Pendekar Pemanah Rajawali Bab-76 Pembalasan

Sia Tiaw Eng Hiong (Pendekar Pemanah Rajawali), BAB 76 PEMBALASAN
Anonim
Belum lagi Kwee Ceng mengerti maksudnya penyembelihan kambing itu serta ditancapnya paha di es di kaki puncak itu, satu serdadu yang lain sudah membacok kutung satu kaki yang lainnya dari kambing itu terus kaki itu ditancapkan seperti yang pertama itu. Jaraknya kedua kaki kambing ialah empat kaki. Setelah ini, barulah ia sadar. Ketiga tianglo itu hendak membuat tangga dari kaki kambing, tangga untuk mendaki puncak. Perbuatan itu menyiksa binatang tetapi terpaksa dilakukan karena tidak ada lainnya jalan lagi.

Lou Yoe Kiak berlompat naik ke tangga kaki kambing undak pertama, Kan Tianglo mengutungi kaki kambing lainnya, dia lemparkan itu kepada kawannya, Yoe Kiak menyambuti dan menancapnya dengan sebat, habis mana, dia naik satu tindak. Hal ini dilakukan terus-menerus, di dalam tempo sebentar, pengemis itu telah naik tingginya belasan kaki. Sekarang ketiga tianglo bekerja semua, bekerja sama. Karena sudah tinggi, kalau kaki kambing dilemparkan ke atas, sesampainya di atas sudah dingin, maka kambing hidup dikerek naik, kakinya dikutungi di atas juga. Demikian orang bekerja terus, sampai Kwee Ceng pun membantu.

Ketika akhirnya mereka tiba di puncak, ketiga tianglo sangat letih, sedang si anak muda mengeluarkan peluh.

"Koanjin, dapatkah kau memaafkan aku?" kata Yoe Kiak setelah ia dapat bernapas lega. Tapi Kwee Ceng kagum dan bersyukur.

"Aku justru tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan tianglo bertiga," jawabnya.

"Inilah titahnya pangcu. Yang terlebih sukar pun kami akan melakukannya. Siapa suruh kami mempunyai Pangcu yang luar biasa?"

Yoe Kiak tertawa, juga dua kawannya, habis mana, mereka mendahului turun dari puncak, untuk itu, mereka dibantu dadung yang diikat di pinggang mereka masing-masing.

Kwee Ceng mengawasi sampai ketiga tianglo itu tiba di pinggang gunung, baru ia memandang puncak itu. Ia melihat suatu pemandangan, yang sangat mengagumi, yang membikin pikirannya terbuka. Itulah wilayah es, yang merupakan kaca. Ada es yang berupa seperti bunga atau rumput atau binatang kaki empat atau burung, ada pula yang berdiri bagaikan rebung, bagaikan pohon. Ia menjadi tersengsem. Ia tentu tercengang terus kalau tidak ia mendengat suara tertawa halus di sebelah belakangnya, hingga ia berpaling dengan segera. Di sana ia melihat seorang nona dengan pakaian putih lagi mengawasi padanya, wajah si nona seperti lagi tertawa. Ia menjublak mengawasi. orang itu yang bukan lain dari pada Oey Yong. Yong-jie yang ia cari, yang ia buat pikiran setiap detik.

Sekian lama mereka saling memandang, lantas mereka sama-sama bertindak menghampirkan. Mereka girang dan berduka, karenanya, selagi saling mendekati, tanpa merasa, kaki si nona terpeleset. Si pemuda kaget, dia berlompat, untuk menolongi. Karena itu, mereka jadi saling rangkul, tubuh mereka rebah bersama.

Sampai sekian lama barulah Oey Yong melepaskan diri, untuk duduk di atas satu gundukan es yang mirip sepotong batu besar.

"Jikalau bukannya kau sangat memikirkan aku, tidak mau aku menemui kau," kata dia.

Kwee Ceng mengawasi bengong, mulutnya tertutup. Si nona pun, habis mengatakan begitu, terus berdiam.

"Yong-jie" kata si pemuda akhirnya.

"Engko Ceng" si nona menyahuti.

"Yong-jie" kata pula si pemuda, girangnya bukan kepalang.

"Ah, apakah masih belum cukup kau memanggil namaku?" si pemudi tertawa. "Bukankah meski aku tidak berada di sampingmu, setiap hari kau telah menyebut-nyebut namaku puluhan kali?"

"Bagaimana kau ketahui itu?" Kwee Ceng heran. Oey Yong tertawa.

"Kau tidak melihat aku, aku sering melihat kau," jawabnya.

"Sampai sebegitu jauh kau berada di dalam pasukanku, kenapa kau tidak membiarkan aku melihat padamu?"

"Hm, masih kau ada muka menanyanya? Satu kali kau ketahui aku tidak kurang suatu apa, tentulah kau bakal menikah dengan putri Gochinmu. Maka aku lebih suka tidak memberitahukan kau tentang di mana adanya aku Apakah kau kira aku tolol?"

Mendengar disebutnya nama Gochin Baki, kegembiraan Kwee Ceng lenyap separuhnya, dengan lantas ia menjadi masgul.

"Pemandangan di sana indah, mari kita pergi ke sana," mengajak Oey Yong yang melihat air muka orang itu, tangannya menunjuk. "Mari kita berbicara sambil berduduk."

Kwee Ceng berpaling ke tempat yang ditunjuk itu. Di sana ada sebuah gua es, karena sinarnya rembulan, gua itu mengasih lihat wujud mirip istana. Ia mengangguk. Dengan berpegangan tangan, keduanya menghampirkan gua itu. Di situ mereka mengambil tempat duduk.

"Jikalau aku ingat perlakuanmu terhadapku selama di Tho Hoa To, kau bilang, pantas atau tidak aku memberi ampun padamu?" tanya si nona kemudian. Kwee Ceng berbangkit.

"Akan aku berlutut dan mengangguk padamu," ia kata. Benar-benar ia menekuk lututnya.

"Sudahlah" kata si pemudi tertawa. "Jikalau aku telah tidak memberi ampun padamu, meski kau kutungi seratus kepalanya Lou Yoe Kiak, tidak kesudian aku merayap naik ke atas puncak ini."

"Yong-jie, sungguh kau baik."

"Apakah bicara tentang baik atau tidak baik? Mulanya aku menduga kau cuma mengingat sakit hati guru-gurumu dan hendak menuntut balas. Untuk itu, bahwa di matamu, separuh dari bayanganku juga tidak ada, adalah setelah mengetahui perjanjianmu dengan Auwyang Hong, untukku kau suka memberi ampun tiga kali kepadanya, baru aku ketahui kau sebenarnya masih memikirkan aku."

Si anak muda menggeleng kepala. "Baru sekarang kau mengetahui hatiku," ujarnya.

Oey Yong bersenyum. "Kau lihat, apakah yang aku pakai?"

Ditanya begitu, bagaikan baru sadar, Kwee Ceng mengawasi. Ia lantas mengenali baju putih si nona, baju bulu yang dulu hari dia mengasihkannya kepada nona itu di Thio-kee-kauw. Ia lantas menggenggam tangan orang. Berdua mereka duduk saling menyender.

"Yong-jie," kata pula Kwee Ceng kemudian, "Dari suhu aku mendengar bagaimana kau di Tiat Ciang Bio telah dipaksa Auwyang Hong untuk mengikuti dia. Bagaimana duduknya maka kemudian kau lolos dari tangannya iblis itu?"

Oey Yong menghela napas. "Sayang karena itu maka musnahlah Kwie-in-chung yang indah kepunyaan Liok suko," ia berkata masgul. "Ketika itu si bisa bangkotan memaksa aku menjelaskan artinya Kiu Im cin-keng. Aku bilangi dia, menjelaskan kitab itu tidak sukar tetapi aku membutuhkan tempat yang bersih dan tenang. Dia bilang dia mengerti, dia hendak mencari sebuah kuil. Aku menolak kuil, aku kata aku sebal sama hweeshio dan aku pun tidak suka dahar sayur saja. Lantas dia tanya, bagaimana mauku. Aku lantas membilang di Kwie-in-chung di Thay-ouw, kataku tempatnya bagus, makanannya lengkap dan lezat. si bisa bangkotan setuju, dia menyatakan suka menuruti kehendakku."

"Kenapa dia tidak bercuriga?" tanya Kwee Ceng.

"Dia dapat menduga aku kenal pemilik dari Kwie-in-chung akan tetapi dia tidak takut. Dialah orang yang besar kepala, yang tidak melihat mata kepada lain orang. Dia bilang tidak perduli ada berapa banyak sahabatku di Kwie-in-chung, dia sanggup melayaninya. Ketika kita sampai di sana, Liok suko ayah dan anaknya tidak ada di rumah, mereka lagi pergi menjenguk nona Thia di Poo-eng, Kangpak. Kau tahu sendiri, Kwie-in-chung itu diatur menurut Tho Hoa To. Begitu tiba di sana, si bisa bangkotan lantas merasa tidak wajar, sedang aku, dengan jalan berliku-liku, lantas aku menghilang. Kapan dia tidak dapat mencari aku, bangkitlah kemarahannya, dia lantas melepas api membakar rumah itu." Kwee Ceng kaget, ia mengeluarkan seruan tertahan.

"Aku telah menduga si bisa bangkotan bakal membakar rumah, aku telah memberi kisikan pada sekalian penghuninya untuk menyingkirkan diri siang-siang." Oey Yong melanjuti. "Bisa bangkotan itu lihay sekali. Habis membakar, dia pergi ke jalanan yang menuju ke Tho Hoa To, guna memegat aku. Begitulah beberapa kali hampir aku tercekuk dia. Akhirnya aku berangkat ke Mongolia. Nyatanya dia mengintil terus, Engko tolol, syukur kau tolol-tololan, jikalau kau sama licinnya seperti si bisa bangkotan dan kau mencari aku seperti dia mencarinya, pastilah aku bakal kena terkepung, tak tahu aku mesti bersembunyi di mana." Mendengar itu, Kwee Ceng tertawa.

"Tapi akhirnya ternyata kau pintar juga," berkata Oey Yong, "Kau mengerti bahwa dengan mendesak Lou Yoe Kiak pasti bakal ada akal."

"Yong-jie, itulah kau yang mengajarnya. Kau yang mengajarnya di dalam impian." Pemuda ini lantas menutur tentang impiannya.

Oey Yong tidak tertawa, tapi ia bersyukur. "Orang dulu membilang kesujutan dapat membuka emas dan batu, itulah benar," katanya. "Karena kau sangat memikirkan aku, sudah selayaknya dari siang-siang aku menemukan kau."

"Yong-jie, baikkah kalau kemudian kau tidak berpisah pula dari aku untuk selama-lamanya?"

Nona itu tidak menyahuti, ia hanya memandang awan yang mengitari puncak. "Engko Ceng, aku merasa dingin," katanya.

Dengan sebat Kwee Ceng mengerebongi si nona dengan baju kulitnya.

"Marilah kita turun," katanya.

"Baiklah Besok malam kita berkumpul pula di sini, nanti aku menjelaskan artinya Kin Im Cin-keng kepadamu."

"Apa?" menanya Kwee Ceng heran.

Semenjak tadi tangan kanan si nona telah memegang tangan kiri si pemuda, sekarang ia menggenggamnya erat-erat.

"Ayahku telah menterjemahkan bagian paling belakang dari kitab itu, besok aku akan menjelaskannya itu kepadamu," bilangnya.

Kwee Ceng berpikir. Ia heran. Bagian itu telah dijelaskan it Teng Taysu, mengapa sekarang nona ini menyebut ayahnya? Ia masih hendak menanya tegas ketika si nona memencet tangannya, maka ia membatalkannya. Ia tahu mesti ada sebabnya untuk tingkah aneh pemudi ini.

"Baiklah," katanya akhirnya.

Sampai di situ, mereka turun dari puncak. untuk pulang ke kemah mereka. Oey Yong berbisik, "Auwyang Hong juga telah naik ke puncak. selagi kita bicara, dia mencuri mendengari di belakang kita."

Pemuda itu terperanjat. "Ah, mengapa aku tidak tahu?"

"Dia bersembunyi di belakang sebuah batu es yang besar. Bisa bangkotan itu sangat licin tetapi kali ini dia lupa satu hal. Meskipun es besar tetapi es terang bagaikan gelas, tidak dapat dia pakai bersembunyi. Dengan bantuannya sinar rembulan aku mendapat lihat samar-samar tubuhnya itu."

Kwee Ceng sadar sekarang. "Maka itu kau sengaja menyebut-nyebut Kin im Cin-keng," ia berkata.

"Ya. Aku hendak memancing dia naik ke puncak, setelah itu kita merusaki tangga kaki kambing itu, supaya dia tinggal menetap sebagai dewa hidup,” berkata si nona. Kwee Ceng memuji bagus. Ia bersorak.

Besoknya pagi Jenghiz Khan menyerang pula kota, tanpa hasil, hanya dia meninggalkan korban seribu jiwa lebih.

Kwee Ceng sementara itu telah bersiap sedia. Untuk merusak tangga kaki kambing, ia minta bantuannya ketiga tianglo. Auwyang Hong lihay sekali. Malam itu ia muncul, tetapi ia memasang mata dari jauh-jauh. sebelum Oey Yong dan Kwee Ceng naik, ia terus bersembunyi.

Melihat akalnya tidak berjalan, Oey Yong memikir akal lain. ia memerintahkan menyiapkan beberapa lembar dadung panjang, dadung itu direndam dulu di minyak tanah. Di Khoresm itu, di mana-mana terdapat sumber minyak tanah, minyak mana oleh rakyat dipakai untuk masak nasi dan lainnya. Menurut kitab Yuan-shih, ketika Jenghiz Khan menyerang kota Urungya, ibukota lama dari Khoresm, ia telah menggunai minyak tanah membakar rumah-rumah hingga kota menjadi pecah karenanya.

Dengan membawa dadung itu, Kwee Ceng berdua Oey Yong naik ke atas puncak, di dalam gua es, mereka duduk memasang omong. Kali ini si pemuda pun turut memasang mata secara diam-diam. Tidak lama maka mereka melihat bayangannya See Tok yang bersembunyi di belakang es besar. Karena lihaynya, dia tidak mendatangkan suara apa juga. Dia rupanya menduga kedua orang itu tidak melihat atau mengetahui akan kedatangannya itu. Oey Yong berlagak pilon, terus ia menjelaskan bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng kepada Kwee Ceng, dan si anak muda pun bersandiwara dengan menanya ini dan itu. Tentu sekali mereka merundingkan isi kitab yang asli hingga mereka membuatnya Auwyang Hong girang tidak terkira. See Tok pikiri "Kalau aku paksa budak itu, tidak nanti dia bicara begini rupa. sekarang dengan mencuri dengar, aku dapat mendengar dengan jelas."

Oey Yong berbicara dengan perlahan, ia baru menjelaskan tiga baris kata-kata, mendadak di kaki puncak terdengar suara terompet, nyaring dan cepat. Kwee Ceng berlompat berdiri seraya berkata, "Jenghiz Khan menghimpunkan panglima, aku mesti lantas turun."

"Kalau begitu, besok saja kita datang pula ke mari," berkata si nona.

"Tidak berhentinya kita mendaki puncak. tidakkah itu sukar dan membuang tempo?" Kwee Ceng tanya. "Apa tidak bisa kita bicara saja di dalam kemah?"

"Tidak" menyahut si nona. "Tua bangka Auwyang Hong terus-terusan mencari aku. Tua bangka itu sangat licin, sulit untuk menyingkir dari padanya, tetapi meski kelicinannya itu, tidak nanti dia dapat menduga kita membuat pertemuan di atas puncak ini."

Auwyang Hong mendengar itu, dengan sangat puas ia kata di dalam hatinya, "Jangan kata baru puncak sekecil ini, kau kabur ke ujung langit juga akan aku dapat cari padamu."

"Kalau begitu, kau tunggulah di sini," kata Kwee Ceng. "Di dalam tempo setengah jam aku akan kembali."

"Baiklah," si nona mengangguk.

Pemuda itu turun dari puncak dengan hatinya tidak tentram. Bukankah Oey Yong ditinggal seorang diri? Tapi mengingat yang See Tok sangat menginginkan artinya kitab, ia mau percaya si nona tidak dalam bahaya langsung. Maka dapat ia melegakan hatinya itu.

Oey Yong menantikan hingga ia merasa si anak muda turun dan selesai dengan tugasnya, ia berbangkit seraya mengoceh seorang diri. "Entah di puncak ini ada setannya atau tidak Kalau aku ingat kepada Yo Kang dan enci Liam Cu, sungguh aku takut. Baiklah aku turun sebentar, sebentar aku datang pula bersama-sama engko Ceng."

Auwyang Hong dapat mendengar ocehan orang itu, tetapi dia tidak berani berkutik dari tempatnya bersembunyi, dia khawatir si nona nanti melihat atau mendengarnya. Maka leluasalah Oey Yong pergi turun.

Kwee Ceng bersama ketiga tianglo menantikan di kaki puncak. begitu Oey Yong turun, begitu mereka menyalakan api, membakar dadung yang telah dilibatkan si anak muda di setiap undakan tangga kaki kambing itu. Dadung itu telah direndam di minyak, maka itu api lantas menyala, membakarnya dari bawah terus ke atas. setiap kaki kambing jatuh ke bawah setelah api bekerja melumerkan es yang melekat dan membekukannya kuat sekali. Api itu pun memperlihatkan pemandangan yang bagus, bagaikan cacing melapai naik, sebab waktu itu cuaca gelap dan es berkilau.

Oey Yong bertepuk tangan memuji bagus. Katanya, "Engko Ceng, bilanglah Kali ini kau masih hendak memberi ampun atau tidak kepadanya?"

"Inilah yang ketiga kali, tidak dapat melanggar janji," menyahut si anak muda. Oey Yong tertawa.

"Aku mempunyai akal," katanya. "Tanpa menyalahi janji, aku bisa membinasakan dia untuk membalaskan sakit hatinya gurumu semua." Kwee Ceng girang sekali.

"Yong-jie" katanya. "Benar-benar di dalam dirimu semuanya tipu daya. Apakah akalmu itu?"

"Akal gampang saja," menyahut si nona. "Kita membiarkan si bisa bangkotan makan angin barat daya selama sepuluh hari dan sepuluh malam, biar dia kelaparan dan kedinginan, hingga habis tenaganya, baru kita memasang pula tangga kambing ini untuk menolongi dia. setelah dia ditolong turun dari sini, bukankah itu berarti dia telah diberi ampun hingga tiga kali?"

"Benar," Kwee Ceng menyahut.

"Karena dia telah diberi ampun tiga kali, kita tidak usah sungkan-sungkan lagi," berkata si nona. "Kita menanti padanya, begitu dia turun di bawah, kita lantas turun tangan menyerang padanya. Kita dibantu ketiga tianglo, kita berlima menyerang seorang yang sudah setengah mampus, kau bilang, mustahil kita tidak bakal menang?"

"Tentu saja kita bakal menang," terkata Kwee Ceng, yang tapinya menggeleng kepala. "Dengan membunuh dia secara demikian, aku anggap itulah bukan caranya laki-laki sejati."

"Hm, dengan manusia sejahat dia kita masih bicara tentang kehormatan?" berkata si nona dingin. "Ketika dia membinasakan gurumu yang nomor dua dan nomor empat itu, adakah dia ingat akan cara terhormat itu?"

Kwee Ceng gusar sekali diperingati akan kebinasaan guru-gurunya itu, matanya sampai terbuka mendelik. Ia pun ingat, Auwyang Hong demikian lihay, kalau dia diberi ampun, lain kali tidak ada lagi ketikanya sebaik ini untuk ia membalaskan sakit hati sekalian gurunya itu. Maka ia menggertak gigi. "Baiklah, begitu kita bekerja." bilangnya, menyatakan setuju.

Segera setibanya di dalam kemah, muda mudi ini lantas duduk berbicara terlebih jauh. Kali ini benar-benar mereka berunding tentang Kiu Im Cin-keng. Keduanya merasa senang sekali, sebab ternyata selama satu tahun, mereka memperoleh kemajuan pesat.

"Yong-jie," berkata Kwee Ceng kemudian. "Jahanam Wanyen Lieh berada di dalam kota musuh ini, kita dapat melihat dia tetapi tidak berdaya membekuknya, maka itu bisakah kau memikir suatu akal sempurna untuk memukuli pecah kota?"

"Selama beberapa hari ini aku terus memikirkannya," menyahut si nona, "Hanya selama itu aku belum peroleh daya yang dapat digunakan."

"Di dalam saudara-saudara Kay Pang ada belasan yang cukup baik ilmunya enteng tubuh," kata si anak muda, "Kalau mereka itu ditambah kita berdua, dapatkah kita secara diam-diam mendaki tembok kota?"

"Tembok kota itu terjaga kuat sekali, setiap tombak ada penjagaan belasan tukang panahnya," berkata si nona. "Sulit untuk melewati mereka semua. Laginya di dalam kota ada puluhan laksa serdadu, apa yang kita belasan orang dapat kerjakan? Untuk memaksa membuka pintu kota pun sukar." Kwee Ceng berdiam. Demikian malam itu dilewatkan.

Besoknya Jenghiz Khan mencoba menyerang pula kota, ia gagal. Kegagalan itu berlangsung selama tiga hari terus-menerus. Di hari keempat turun salju besar.

"Mungkin tidak sampai sepuluh hari, Auwyang Hong bakal setengah mati karena kedinginan," berkata Kwee Ceng sambil ia mengawasi ke puncak gunung.

"Dia sempurna ilmu tenaga dalamnya, dia dapat bertahan sepuluh hari," kata Oey Yong. Tapi baru habis ia menutup mulutnya, berdua Kwee Ceng ia terkejut melihat dari atas puncak ada benda yang jatuh. Kemudian si nona bertepuk tangan dan kata kegirangan, "si bisa bangkotan tidak tahan, dia membunuh diri."

Tapi Auwyang Hong tidak jatuh cepat dan meluncur langsung, hanya tubuhnya itu memain, melayang-layang bagaikan layangan. Menyaksikan itu, kedua muda mudi ini heran. Mereka mengawasi terus. Mestinya orang jatuh langsung dan tubuhnya bakal hancur luluh. Kenapa sekarang tubuh See Tok turun perlahan-lahan? Adakah dia mengerti ilmu siluman?

Ketika Auwyang Hong sudah turun semakin ke bawah, baru terlihat apa yang benar. Dia bertelanjang seluruh tubuh, di atasan kepalanya nampak dua buah benda seperti bola bundar yang besar.

"Sayang... sayang..." kata si nona setelah ia melihat tegas. Ia lantas mengerti duduknya hal.

Auwyang Hong itu terserang hebat hawa dingin dan lapar. Dia berotak kuat, dengan lantas dia dapat memikir akal. Bukankah tidak ada tangga untuk turun dan dia tidak dapat lompat turun? Maka dia menggunai akalnya. Untuk itu, terpaksa dia membuka baju dan celananya juga, dengan itu dia membuat dua buah buntalan seperti karung bulat, seperti bola. Dengan menggertak gigi, dengan kedua buah karung itu diikat di pinggangnya, dia berlompat turun. Dia membuang diri tetapi hanya ini satu-satunya daya untuk menolong jiwanya. Karung itu terkena angin, yang masuk ke dalamnya, lalu menjadi kembung dan bulat, maka dengan bantuan bola istimewa itu, tubuhnya tertahan, turunnya perlahan-lahan. saking mahirnya tenaga dalamnya, dia dapat melawan hawa dingin, meskipun benar kedua tangannya hampir beku.

Turunnya Auwyang Hong ini dari atas puncak dapat dilihat oleh tentara dari kedua pihak, mereka itu heran sekali, lantas ada yang menduga kepada dewa, maka banyak serdadu yang bertakhyul pada berlutut dan memuji.

Kwee Ceng mengawasi. Karena Auwyang Hong terbawa angin, mungkin dia bakal turun di dalam kota. Ia lantas menyiapkan panahnya, ia menunggu sampai Auwyang Hong terpisah dari tanah beberapa puluh tombak. la melepaskan panah berantainya. Ia mengharap mengenai sedikitnya payung bolanya si Bisa dari Barat, supaya dia jatuh dengan terluka parah. Tapi See Tok lihay, dia melihat datangnya anak panah, dia menangkis dengan kakinya. Menyaksikan kejadian yang luar biasa itu, tentara bersorak memuji.

Jenghiz Khan yang telah menerima laporan dari Kwee Ceng, juga menitahkan tentaranya melepaskan anak panah, maka hebatlah datangnya serangan. Auwyang Hong mendapat lihat ancaman bahaya itu, dia menjadi nekat. Dia melepaskan kedua tangannya, hingga lantas saja dia jatuh dengan kepala turun terlebih dulu. Kembali puluhan ribu serdadu bersorak riuh.

Auwyang Hong turun tepat ke dalam kota, di betulan sebuah bendera besar. Dia menyambar dengan kedua tangannya, dia memegang keras kain bendera. Dia bertubuh berat, kain bendera itu robek. Tapi justru dia menjambret, hingga tubuhnya sedikit tertahan, kedua kakinya pun menyambar ke arah tiang bendera, maka di lain saat lenyaplah dia di dalam kota.

Tentara di kedua pihak heran, mereka bicarakan urusan itu hingga mereka melupakan peperangan.

"Kali ini dia terhitung tidak diberi ampun," berpikir Kwee Ceng, yang segera menyesal sekali, "Dia jadi masih mempunyai ketikanya satu kali lagi. Tentunya Oey Yong masgul sekali."

Ketika ia berpaling kepada si nona, nona itu justru nampak girang, dia bersenyum. Ia menjadi heran.

"Yong-jie, mengapa kau bergembira?" tanyanya.

Si nona bertepuk tangan, dia tertawa. "Aku hendak mempersembahkan hadiah besar kepadamu, kau senang atau tidak?" dia balik menanya.

"Apakah itu?"

"Kota Samarkand."

Kwee Ceng tercengang.

"Si bisa bangkotan barusan mengajari aku tipu daya memecahkan kota," berkata si nona. "Pergi kau menyiapkan pasukan perangmu, sebentar malam kau bakal berhasil."

Selagi pemuda itu masih belum mengerti, nona ini berbisik di kupingnya. Baru setelah mendengar itu, dia juga girang hingga dia bertepuk-tepuk tangan.

Siang itu Kwee Ceng memberi titah rahasia kepada semua serdadunya, untuk mereka itu memotong tenda mereka masing-masing, guna membikin sebuah payung kecil, yang ukurannya ia berikan, payung mana mesti diikatkan tambang. Titah itu diberi batas waktu, ialah semua payung mesti sudah rampung di dalam tempo setengah jam. Ia membutuhkan selaksa buah. semua serdadu menjadi heran. Pula, di waktu hawa begitu dingin, tanpa tenda, bagaimana mereka bisa melindungi diri? Tapi titah ialah titah. Maka bekerjalah mereka.

Masih ada titah lainnya dari Kwee Ceng. Pertama-tama titah mengumpulkan kerbau dan kambing di kaki puncak, di mana orang mesti menanti titah lebih jauh untuk bekerja. selaksa serdadu diperintah pergi ke tempat tiga puluh lie di luar pintu kota utara, untuk di sana mereka itu mempersiapkan diri dalam empat barisan Thian-hok. Tee-cay, Hong-yang dan In-sui. Mereka mesti menanti waktu untuk membekuk musuh. Lagi selaksa serdadu diperintah mengambil tempat di kiri dan kanan pintu utara itu, mereka mesti mengatur diri dalam empat barisan Liong-hui, Houw-ek. Niauw-siang dan Coa-poan. Tugas mereka ini ialah mendesak, memaksa musuh masuk ke dalam empat barisan yang lainnya itu. Kemudian, selaksa serdadu yang ketiga diperintah siap sedia untuk tugas yang akan diberikan terlebih jauh.

Demikian malam itu, setelah bersantap. empat laksa serdadu diberangkatkan. Lebih dulu dua laksa jiwa dikirim ke pintu kota, lalu yang selaksa ke kaki puncak. dan yang selaksa lagi untuk bersiap sedia.

Kwee Ceng menitahkan satu serdadu pengiringnya pergi pada Jenghiz Khan untuk memberitahukan yang kota musuh bakal terpukul pecah, dari itu junjungan itu diminta menyiapkan barisannya untuk menyerbu.

Jenghiz Khan heran, ia bersangsi. Maka ia memerintahkan si serdadu pergi memanggil Kwee Ceng datang padanya, untuk ditanya tegas, tetapi serdadu itu membilangi, "sekarang ini Kim Too Huma tentu sudah memimpin pasukan perangnya menyerang musuh, ia hanya menantikan Kha Khan membantu padanya."

Benar juga, disana sudah lantas terdengar tentaranya Kwee Ceng membunyikan terompet perang. Di sana seribu lebih serdadu telah bekerja menyembelih kerbau dan kambing untuk membuat tangga istimewa, pekerjaan mana dilakukan oleh orang-orang Kay Pang yang dapat bergerak dengan cepat dan gesit. Maka dengan lekas telah terampungkan seratus lebih tangga istimewa itu. setelah itu, Kwee Ceng sendiri yang mulai, yang mengasih contoh mendaki tangga itu, untuk naik ke atas puncak gundul. Ia ditiru oleh selaksa serdadu.

Hanya mereka ini dibantu dengan dadung yang diikat di pinggang mereka, perlahan mereka merayapnya naik. Atas titah yang keras, mereka itu dilarang mengasih dengar suara apa-apa.

Puncak itu tidak luas, selaksa serdadu tidak bisa ditempatkan di situ, maka itu Kwee Ceng sudah lantas menitahkan rombongan pertama mengikat payung di pinggang dan memegang golok di tangan. Setelah ia memberi tanda dengan tepukan tangan, mereka itu pada berlompat ke arah kota musuh, ke pintu kota selatan guna mulai dengan penyerangan mereka. Pula ia sendirilah yang memberi contoh dengan berlompat paling dulu.

Semua serdadu telah melihatnya tadi siang bagaimana Auwyang Hong berlompat turun dari puncak itu, maka dengan berani mereka meniru perbuatan kepala perang mereka. Maka sekejab saja, udara seperti penuh dengan payung manusia itu. Rombongan demi rombongan tentara itu pada menerjunkan diri

Oey Yong menanti di batu es, senang ia menyaksikan rampungnya tindakan permulaan itu. Ia kata di dalam hatinya, "Jenghiz Khan berhasil atau tidak, itu tidak ada hubungannya sama aku, hanya kalau engko Ceng menuruti perkataanku, dia sekalian dalam melakukan sesuatu yang besar."

Kwee Ceng adalah yang pertama tiba. Belum sampai di tembok kota, ia sudah melepaskan payungnya, dan belum lagi kakinya menginjak tanah, ia sudah putar goloknya yang besar menyerang serdadu-serdadu penjaga kota itu.

Di dalam kota ada sejumlah serdadu yang melihat datangnya musuh dengan cara yang luar biasa itu, mereka kaget dan heran, mereka pun takut, hilang semangat berkelahinya. Lagi pula, tentara yang pertama turun itu ada dari rombongan Kay Pang, dari itu hebat penyerangan mereka ini, dengan lantas mereka mendekati pintu kota.

Tentara Mongolia menyusul belakangan. Di antara mereka ini ada beberapa ratus yang gagal, payung mereka rusak. jiwa mereka melayang. pula mereka yang sampainya di tanah terpencar, banyak yang kena dikurung, ditangkap atau dibinasakan tentara Khoresm. Di antara tentara itu, dalam sepuluh sembilan yang mendarat dengan berhasil. Dengan titahnya Kwee Ceng, mereka ini memecah diri, ialah yang separuh menyerang musuh, yang separuh lagi memaksa menerjang pintu kota untuk dibuka dan dipentang.

Tentu sekali penyerangan itu sangat mengacaukan musuh, suara pertempuran juga sangat berisik Jenghiz Khan mendengar suara itu, ia mau percaya Kwee Ceng tidak melaporkan hal yang tidak-tidak. maka ia lantas bekerja, menitahkan pasukannya maju ke pintu kota, untuk menyerang musuh.

Pintu kota selatan sudah lantas terpentang, beberapa ratus serdadu Mongolia berjaga-jaga di situ, membiarkan ribuan kawannya masuk. untuk bekerja sama. Kawan- kawan yang lainnya menerobos terus saling susul. Belum sampai fajar, buyar sudah tentara Khoresm yang melindungi pintu kotanya.

Shah Ala-ed-Din diberitahukan di pintu kota utara belum ada musuh. Dia memerintahkan membuka pintu kota itu, untuk melarikan diri dari sana. Di sana telah menanti barisan sembunyi dari Kwee Ceng, barisan itu menyambut musuh dengan penyerangan mereka dari kiri dan kanan.

Shah tidak berniat berkelahi lagi. Dia menyuruh Wanyen Lieh bertahan di sebelah belakang, dia sendiri bersama barisan pengiringnya membuka jalan untuk molos dari kepungan, guna kabur paling dulu. Biar penjagaan rapat tetapi karena musuh berjumlah lebih besar dan mereka itu nekat, pasukan Khoresm itu bisa juga mendesak.

Kwee Ceng terutama hendak mencari Wanyen Lieh, ia menguber pangeran Kim itu, yang dapat dikenali dari kopiah perangnya yang terbuat dari emas dan berkilauan. Beberapa kali ia diwartakan musuh bakal bisa lolos, diakhirnya terpaksa ia memegang pimpinan juga.

Pertempuran yang kacau itu berjalan terus sampai terang tanah. Banyak musuh yang tertawan, tetapi di antaranya Wanyen Lieh tak tampak. Jenghiz Khan telah lantas berkumpul di istana shah.

Kwee Ceng lagi membereskan pasukannya, mengurus yang terbinasa dan menghibur yang terluka ketika ia mendengar terompet emas dari khan yang agung. Dengan lantas ia lari mentaati panggilan. Di depan istana ia melihat satu pasukan kecil, di antaranya ada Oey Yong bersama ketiga tianglo. Si nona lantas menepuk tangan, maka dua serdadunya menggotong sebuah kantung goni yang besar.

"Eh, coba kau terka, apakah isinya karung ini?" ia tanya si anak muda. Ia tertawa.

"Di dalam kota ini terdapat banyak barang luar biasa, mana bisa aku menerka?" sahut si anak muda, yang pun tertawa.

"Hendak aku menghadiahkannya kepada kau, pasti kau girang," kata si nona pula.

Tiba-tiba Kwee Ceng ingat halnya Kiu Cian Jin di Tiat Ciang Hong menghadiahkan Lam Kim sebagai bingkisan untuk Yo Kang, nona itu dimasuki ke dalam keranjang, maka ia menduga, mesti Oey Yong telah mendapatkan nona yang cantik dan ia sekarang hendak digoda. "Ah, aku tidak mau," ia kata sambil menggoyang kepala.

"Apakah benar-benar kau tidak mau?" Oey Yong tanya sambil tertawa. "Awas, setelah kau melihat, jangan kau menarik pulang kata-katamu."

Tanpa menanti jawaban, nona Oey mengulur tangannya, untuk mengangkat karung itu, untuk mengeluarkan isinya yang benar saja adalah seorang dengan rambut kusut dan mukanya penuh darah, pakaiannya seragam dari satu serdadu Khoresmia, hanya ketika diawasi, dialah Wanyen Lieh atau Chao Wang, pangeran dari Kim. Maka bukan main girangnya Kwee Ceng.

"Yong-jie," ia berseru. "Di mana kau dapat membekuk dia?"

"Aku melihat serombongan serdadu kabur dari pintu kota utara," menyahut si nona, "Pasukan itu memakai bendera Chao Wang dan seorang panglima dengan kopiah emas dan jubah perang tersulam kabur ke arah timur. Aku tahu Wanyen Lieh sangat licik, tidak bisa terjadi di waktu kekalahan sebagai itu dia masih berani mengibarkan benderanya dan tetap memakai kopiah dan seragamnya, lantas aku menduga itulah mesti akal belaka guna mengelabui orang. Kalau benderanya ke timur, dia mesti kabur ke barat. Maka bersama Lou Tianglo beramai aku bersembunyi menjaga di sebelah barat. Benarlah dugaanku, di sana aku berhasil membekuk jahanam ini."

Kwee Ceng menjura dalam kepada nona itu. Ia sangat bersyukur. "Yong-jie," ia berkata, "Kau telah membalaskan sakit hatinya ayahku, aku tidak tahu apa aku mesti bilang padamu."

Oey Yong tertawa. "Itulah hal kebetulan saja," ia berkata. "Kau telah mendirikan jasa besar, kau pasti bakal diberi hadiah oleh khan yang agung. Itulah baru bagus."

"Sebenarnya aku tidak mengharapkan jasa," berkata si anak muda yang polos.

"Engko Ceng, ke mari," kata si nona kemudian, perlahan, seraya bertindak ke samping. Kwee Ceng mengikuti.

"Benarkah di dalam dunia ini tidak ada apa-apa yang dikehendakimu?" si nona tanya.

Pemuda itu melengak. "Melainkan satu keinginanku," jawabnya. "Ialah agar untuk selama-lamanya aku tidak dapat berpisah dari kau."

Oey Yong mengawasi. "Hari ini kau mendirikan jasa besar ini, aku percaya umpama kata kau menyebabkan khan yang agung gusar tidak nanti dia menghukummu," katanya.

Pemuda itu belum mengerti, ia berdiam. "Ah..." katanya.

"Kalau hari ini kau minta pangkat atau gelaran, dia pasti menerimanya dengan baik," berkata pula si nona. "Kalau juga kau minta dia jangan menghadiahkannya, dia juga sukar menolaknya. Yang penting sekarang ialah kau mesti mendayakan agar dia menjanjikannya dengan mulutnya sendiri apa juga yang kau minta dia mesti meluluskannya."

"Benar," kata si anak muda, singkat.

Mendengar jawaban hanya sebegitu, Oey Yong menggoyang kepala. Ia mendongkol. "Rupanya kedudukan sebagai Kim Too Huma paling jempol, bukankah?" ia kata.

Kwee Ceng terkejut, sekarang ia sadar. "Aku mengerti sekarang," katanya. "Bukankah kau menghendaki aku menolak jodoh putrinya, supaya dia berjanji dulu, baru aku mengutarakan permintaanku? Dengan begitu dia jadi tidak dapat menolak. bukankah?" Oey Yong tetap kurang puas.

"Itulah terserah padamu. Mungkin kau tetap suka menjadi menantu raja..."

"Yong-jie," berkata si anak muda, "Memang Gochin Baki sangat mencintai aku, tetapi aku menyayangi dia seperti saudara saja. Bahwa dulu hari aku tidak menampik, itulah karena aku hendak menepati janji belaka, maka kalau khan yang agung suka menarik keputusannya, sungguh itu bagus untuk kedua belah pihak." Mendengar itu, baru lega hati si nona. Ia menatap pemuda itu.

Sementara itu terdengar suara terompet emas yang kedua kali.

Kwee Ceng mencekal tangan si nona. "Yong-jie, kau tunggu kabar baik saja," bilangnya. Terus ia masuk ke dalam istana dengan menggiring Wanyen Lieh.

Melihat munculnya si anak muda Jenghiz Khan girang sekali. Ia berbangkit dari kursinya, untuk menyambut sendiri, ia menarik tangan orang guna berjalan bersama. ia terus menitahkan orang mengambil sebuah kursi, untuk menyuruh anak muda itu duduk di sisinya.

Kwee Ceng lantas memberitahukan bahwa Wanyen Lieh telah dapat ditangkap. Ia lantas menitahkan agar orang tawanan itu dibawa menghadap. Jenghiz Khan menjadi terlebih girang lagi. Dia melihat pangeran Kim itu berlutut di depannya, ia mendupak dengan kaki kanannya ke kepala orang.

"Ketika dulu hari kau datang ke Mongolia dengan tingkah kerenmu, pernahkah kau memikir bakal datang satu hari seperti ini?" ia tanya. Wanyen Lieh tahu ia bakal mati, ia mengangkat kepalanya.

"Dulu hari itu negaraku, negara Kim, kuat, aku menyesal tidak lebih dulu memusnahkan Mongolia," katanya dengan berani. "Begitulah maka terjadi bencana hari ini."

Jenghiz Khan tertawa lebar. Tidak ayal lagi, ia menitahkan menghukum mati pada orang tawanannya itu. Maka Wanyen Lieh lantas digusur ke luar istana, untuk menerima nasibnya. Kwee Ceng girang berbareng berduka mengingat akhirnya sakit hati ayahnya telah terbalaskan.

Jenghiz Khan lantas berkata. "Telah aku janjikan siapa dapat memukul pecah kota ini serta membekuk Wanyen Lieh, hendak aku menghadiahkan dia dengan orang-orang perempuan, permata dan cita dari kota ini maka itu sekarang pergilah kau menerimanya itu semua."

Kwee Ceng menggeleng kepala. "Aku dan ibuku telah menerima budi besar, semua itu sudah cukup," katanya. "Segala budak, permata dan cita pun sudah cukup, berlebihan tidak ada gunanya."

"Bagus!" Khan agung itu memuji, "Itulah sifatnya seorang ksatria. Sekarang, apakah yang kau kehendaki? Apa juga yang kau minta, tidak ada yang aku bakal tidak luluskan."

Kwee Ceng berbangkit, ia menjura. "Aku hendak mengajukan satu permohonan, aku minta khan yang agung tidak buat gusar," ia berkata.

"Kau bilanglah," kata Jenghiz tertawa.

Kwee Ceng lagi hendak menyebutkan permintaannya itu ketika dengan sekonyong-konyong terdengar tangisan dan jeritan-jeritan yang hebat sekali, hingga orang menjadi terkejut. Semua perwira berlompat bangun sambil menghunus senjatanya masing-masing. Mereka menduga tentara dan rakyat musuh berontak. mereka mau pergi untuk menindasnya.

"Tidak apa-apa" berkata Jenghiz Khan sambil tertawa. "Kota anjing ini tidak mau takluk. dia membikin aku kehilangan banyak perwira dan serdadu, dla juga menyebabkan kebinasaan cucuku yang kucintai, maka dia perlu dibasmi secara besar-besaran Nah, mari kita pergi melihatnya."

Jago Mongolia ini berbangkit, terus dia bertindak ke luar, dlikuti semua panglima. Dari luar istana mereka naik kuda, untuk kabur ke barat dari arah mana datangnya tangisan dan jeritan-jeritan hebat itu. Semakin dekat mereka mendengar semakin tegas tangisan yang menyayatkan hati itu. Ketika mereka tiba di luar kota, di sana terlihat berkumpulnya tak terhitung penduduk kota, pria dan wanita, tua dan muda, dikumpulkan satu baris demi satu baris, di tegalan yang kosong, sebab tentara Mongolia telah menitahkan semua penduduk kota ke luar dari rumah mereka, tidak ada satu jua yang ketinggalan. Penduduk itu mengira bakal dilakukan pemeriksaan guna mencari mata-mata, siapa tahu, setelah merampas alat senjata, tentara itu merampas juga barang permata dan lainnya yang berharga, akan akhirnya mereka pilih nyonya- nyonya dan nona-nona yang parasnya elok-elok. Baru sekarang penduduk itu mengerti bahwa mereka lagi diancam malapetaka. siapa yang melawan, dia lantas dibacok atau ditombak mati. Kemudian, sesudah pemilihan wanita yang cantik-cantik itu, tentara Mongolia menyerbu di antara orang banyak itu, tak perduli tua dan wanita dan anak-anak. semua dibacoki kalang kabutan. Itulah yang menyebabkan tangisan dan jeritan yang menyayatkan itu, yang seperti menggetarkan langit dan bumi. Ketika Jenghiz Khan beramai muncul, telah jatuh korban lebih dari belasan jiwa, daging dan darah mereka berhamburan, mayat berserakan terinjak-injak kuda.

"Bagus! Bagus!" Jenghiz Khan tertawa bergelak-gelak. "Biar mereka tahu rasa."

Tapi Kwee Ceng tidak tega melihatnya. Dia lari ke depan khan yang agung itu. Ia mohon keampunan untuk mereka itu. Jenghiz Khan mengangkat tangannya. "Bunuh habis mereka itu satu pun jangan dikasih ampun."

Kwee Ceng terkejut, ia melengak justru itu ia melihat seorang bocah umur tujuh atau delapan tahun lari ke luar dari rombongan orang banyak yang bercelaka itu. Dia menubruk seorang wanita yang roboh diterjang kuda sambil dia berteriak-teriak, "Ibu! Ibu!" Lantas seorang serdadu menerjang ke arah mereka, dia mengayun goloknya yang panjang, maka tubuh ibu dan anak itu lantas terkutung menjadi empat potong, hanya sebelum napasnya putus, bocah itu masih memeluki ibunya. Darahnya Kwee Ceng menjadi naik.

"Khan yang agung," dia berseru, "Kau telah membilang bahwa semua wanita, permata dan cita dari kota ini kepunyaanku, kenapa sekarang kau menitahkan melakukan pembasmian ini?" Jenghiz Khan tercengang, tapi lantas dia tertawa.

"Kau sendiri yang tidak menghendakinya," sahutnya.

"Bukankah kau telah bilang, apa juga yang aku minta, kau bakal menerimanya?" si anak muda menegaskan. "Benar bukan?"

Khan itu mengangguk, dia bersenyum.

"Kata-katanya khan yang agung adalah seperti gunung yang maha besar," kata si anak muda nyaring. "Aku minta kau memberi ampun kepada jiwanya beberapa puluh laksa rakyat negeri ini."

Jenghiz Khan kaget. Inilah dia tidak menyangka. Tapi dia sudah memberi janji, mana dapat dia menyangkal itu? Maka itu, dia jadi mendongkol bukan main, matanya terbuka lebar, merah seperti api. Dia mendelik mengawasi si anak muda. Tangannya pun memegang gagang goloknya.

"Telur busuk, benar-benarkah permintaanmu ini?" tanyanya bengis.

Semua pangeran dan panglima pun kaget karena kemurkaannya khan mereka itu. Kwee Ceng juga tidak pernah melihat orang bergusar demikian macam, tanpa merasa hatinya berdebaran, tetapi ia memberikan jawabannya.

"Aku cuma minta rakyat ini diberi ampun," demikian penyahutannya.

"Apakah kau tidak bakal menyesal?" menegasi Jenghiz Khan, suaranya dalam.

"Tidak," pemuda itu menyahut pula. Tapi ia terluka hatinya, sebab itu artinya ia menyia-nyiakan pengharapannya Oey Yong untuk ia menolak perjodohannya dengan Gochin Baki.

Jenghiz Khan mendengar suara orang menggetar, tanda dari hati takut, hanya orang paksa membesarkan nyali. Mau atau tidak, ia menghargainya. Ia lantas menghunus pedangnya seraya memberi titah menarik pulang tentaranya. Tukang terompetnya pun segera membunyikan alat tiupnya itu.

Beberapa laksa serdadu Mongolia, dengan tubuh mereka kecipratan darah, lantas mengundurkan diri dari antara puluhan laksa rakyat itu, terus mereka berbaris dengan sempurna. Belum pernah Jenghiz. Khan menemui orang yang berani menentang titahnya, sekarang dia menghadapi Kwee Ceng. Bukan main mendongkolnya, tidak bisa dia lantas melenyapkan itu. Maka setelah berseru, dia melemparkan goloknya ke tanah, lantas dia mengaburkan kudanya pulang ke dalam kota.

Semua panglima mengawasi Kwee Ceng dengan sorot mata mereka penuh kegusaran. Hati mereka itu kebat-kebit. Khan mereka gusar, maka itu, entah siapa yang apes yang bakal kena digusari nanti. Mereka juga tidak puas sekali. setelah kota terpukul pecah, mereka mengharap dapat melakukan pembunuhan selama beberapa hari, tidak tahunya, harapan mereka menjadi kosong.

Kwee Ceng tahu orang tidak puas, ia tidak menghiraukannya. Dengan perlahan ia menjalankan kuda merahnya ke tempat yang sepi. Ia menyaksikan sisa peperangan itu. Mayat-mayat berserakan, rumah-rumah habis terbakar. ia berduka untuk nasib rakyat itu. Ini telah terjadi karena ia hendak menuntut balas sakit hati ayahnya, sebab Jenghiz Khan hendak menjadi jago dunia. Ia memikirkan, apa dosa rakyat itu. Ia menjadi ngelamun hingga ia tanya dirinya sendiri, "Aku memukul pecah kota untuk membalas sakit hati ayahku, sebenarnya, pantaskah itu atau tidak?"

Seorang diri, ia masih jalan mondar-mandir di daerah yang sunyi itu, yang pemandangannya menggiriskan. Sampai lohor baru ia pulang ke kemahnya. Di muka kemah ia disambut dua serdadu pengiring Khan, yang lantas memberi hormat kepadanya sambil memberitahukan dia dipanggil Khan, bahwa sudah lama mereka menantikan.

"Tadi siang aku berbantah, mungkin dia hendak menghukum mati padaku," pikir pemuda ini. "Setelah sampai begini-jauh, aku melihat selatan saja." Ia memanggil seorang pengiring kepercayaannya, ia berbisik kepadanya, yang disuruh segera pergi kepada Lou Yoe Kiak. habis mana ia menuju ke istana. Hatinya tidak tenang, tetapi ia telah berkeputusan, "Tidak perduli Khan bagaimana gusar dan aku dipaksanya, aku tetap tidak akan menarik pulang permintaanku mengampuni rakyat Samarkand. Dialah Khan, dia tidak dapat menarik pulang kata-katanya."

Kwee Ceng menduga Jenghiz Khan lagi mengumbar hawa amarahnya, tidak tahunya mulai tiba di pintu pendopo, ia sudah mendengar tertawa nyaring dan riang dari orang agung itu, maka ia melekaskan tindakannya. Setibanya di dalam, ia menampak di sisi Khan ada berduduk satu orang, dan di kakinya ada mendeprok seorang wanita muda, yang menyender kepada kakinya. Orang yang berduduk itu, yang rambutnya telah putih semua tetapi wajahnya sehat, adalah Tiang Cun Cu Khu Cie Kie, sedang si nona ialah putri Gochin Baki. Ia girang bukan main, ia lari menghampirkan untuk menemui imam itu.

Jenghiz Khan menyambar sebatang tombak dari tangan seorang pengiringnya, begitu ia membalik tubuh, ia menghajar Kwee Ceng dengan tombak itu. Pemuda ini terkejut, ia tidak melawan, hanya berkelit. Maka tombak itu mengenai pundaknya dan patah menjadi dua potong. Mendadak Jenghiz tertawa dan kata. "Telur busuk, habis sudah. Jikalau bukannya aku melihat muka Khu Totiang dan anakku, hari ini aku hendak mengutungi lehermu."

Putri Gochin berlompat bangun seraya berseru, "Ayah, kalau aku tidak ada di sini, kau pasti menghina engko Ceng."

Ayah itu melemparkan tombak buntungnya.

"Siapa yang bilang?" tanyanya tertawa terbahak.

"Aku melihatnya sendiri. Apakah ayah masih menyangkal?" kata putri itu aleman. "Hatiku tidak tentram, maka itu aku datang bersama Khu Totiang untuk menyaksikannya."

Jenghiz Khan menarik tangan putrinya dan tangannya Kwee Ceng dengan masing-masing sebelah tangannya. "Mari duduk, jangan rewel," katanya. "Mari mendengari Khu Totiang membaca syair." Memang benar, ketika itu, Tiang Cun Cu tengah hendak membacakan syairnya.

Setelah pertempuran di Yan Ie Lauw, Khu Cie Kie mendapat tahu Ciu Pek Thong, paman gurunya, tidak kurang suatu apa, dan bahwa yang membinasakan Tam Cie Hian, saudara seperguruannya, adalah Auwyang Hong. Maka itu dengan hati lega ia dan saudara-saudaranya menghaturkan terima kasih kepada Oey Yok Su.

Ketika ia mengatur barisannya di Yan Ie Lauw itu, ia mengharap datangnya Yo Kang, untuk membantu pihaknya, maka ia menyesal bukan main tempo ia mendengar dari Kwa Tin Ok tentang tersesatnya muridnya itu, Cie Kie menyesalkan diri mendapat murid tak kebetulan. Ia menyesal tidak membawa muridnya itu pergi, hanya dibiarkan tinggal tetap di istana, jadi si murid terlalu terpengaruhkan penghidupan mewah. Justru itu, ia menerima suratnya Jenghiz Khan, yang diiringi surat Kwee Ceng, yang mengundang kepadanya. Karena mengingat pemuda itu, yang ia buat kangen, ia memenuhi undangan itu dan berangkat bersama belasan muridnya, hingga kesudahannya ia berhasil bertemu sama pendekar Mongolia itu. (Menurut kitab Yuan Sih, setelah surat-menyurat tiga kali dengan Jenghiz Khan, baru Khu Cie Kie berangkat ke Mongolia dengan melewati pegunungan Kun Lun San. Ia membawa delapan belas muridnya dan mengambil tempo perjalanan empat tahun. Umumnya Khu Cie Kie dikenal sebagai Chang Chun, diambil dari gelarannya, Tian Cun Cu).

Khu Cie Kie melihat kulitnya Kwee Ceng menjadi sedikit hitam tetapi kesehatannya sempurna. Ia girang sekali. Sebelum Kwee Ceng datang, ia telah bicara sekian lama sama Jenghiz Khan tentang apa yang ia tampak di tengah jalan. Ia menuliskannya secara berirama. Beginilah kira-kira syairnya itu;


Sepuluh tahun bencana peperangan, 
maka laksaan rakyat bersengsara.
Di dalam ribuan laksa jiwa, 
yang hidup tak ada satu dua.
Tahun yang lalu menerima panggilan,
tahun ini berangkat memenuhinya,
Dengan menerjang hawa yang dingin,
tanpa memperdulikan gunung 3000 lie.
Sekarang pun masih mengingat tanah daerah, 
dan sisa napas letih masih ada,
asal saja rakyat dapat bebas dari sengsara.


Syair itu oleh seseorang pembesar sipil disalin ke dalam bahasa Mongolia, kapan Jenghiz Khan mendengarnya, dia berdiam saja, dia cuma mengangguk. Rupanya dia menginsyafi akibatnya bencana peperangan itu.

Khu Cie Kie menoleh kepada Kwee Ceng dan berkata. " Ketika tahun itu aku serta tujuh gurumu mengadu kepandaian di Yan Ie Lauw, gurumu yang nomor dua telah meraba ke luar dari sakuku sebuah syair tentang keindahan malam tanggal lima belas bulan delapan di waktu rembulan paling terang dan permainya. Setelah itu aku menulis menyambungi syair itu. Hanya sekarang, mereka itu tak dapat melihat sambungan ini dalam mana aku mengharap terhentinya peperangan untuk menjamin perdamaian."

Disebutnya ketujuh gurunya itu membuat Kwee Ceng sangat berduka hingga air matanya mengembang.

"Totiang telah datang ke Barat ini, pasti totiang telah menyaksikan keangkeran angkatan perangku," berkata Jenghiz Khan. "Berhubung dengan itu, apakah totiang ada membuat syair untuk memujinya?"

"Di sepanjang jalan aku telah melihat bekas-bekas Khan yang agung menyerang kota dan merampas daerah, dalam hatiku timbul kesannya," menyahut Khu Cie Kie. " Karena itu aku telah membuat syair. Beginilah syairku itu."


Thian yang maha mulia mengirim walinya ke dunia, 
Mengapa tidak menolong umatnya dari penderitaan? 
Umat ini siang dan malam bersengsara, 
Menahan hati menelan napas sampai mati tidak berbicara. 
Mereka berdongak ke langit, memanggil kepada Thian, 
Thian tidak menyahut


Si penterjemah menjublak. Mana dia berani menyalin itu untuk junjungannya?

Khu Cie Kie tidak memperhatikan orang itu, ia membacakan pula,


Oh, dunia telah dibuka,
Di sana hidup ribuan juta manusia,
Di sana kejahatan bertempur tak hentinya,
Hingga hebatlah penderitaannya.
Raja Langit, Ratu Bumi, semua malaikat,
Mengapa melihat kematian tidak menolong?
Si wali berduka tak berdaya,
sia-sia siang dan malam berduka saja.


Kwee Ceng merasakan artinya syair itu. Bukankah ia telah menghadapi peperangan dan baru tadi menyaksikan pembasmian manusia itu?

"Syair totiang indah," berkata Jenghiz Khan, yang memasang kupingnya. "Apakah bunyinya itu? Lekaslah salin."

Penterjemah itu bersangsi, ingin ia membuat salinan lain, tetapi di situ ada Kwee Ceng, ia khawatir anak muda ini nanti menjelaskannya, dengan begitu ia bisa bersalah. Maka dengan terpaksa, ia menterjemahkannya juga. Mendengar itu Jenghiz Khan tidak puas.

"Katanya di Tionggoan ada ilmu untuk hidup lama dan tak menjadi tua, tolong totiang mengajari itu padaku," ia minta.

"Ilmu hidup lama dan tak menjadi tua itu, di dalam dunia ini tidak ada," menyahut imam itu. " Hanya ada juga ilmu bersemedhi dari golongan Too Kauw, ilmu itu benar-benar dapat menolak penyakit untuk menambah umur."

"Bagaimanakah ilmu itu, totiang?" tanya khan agung itu "Bagaimakah pokoknya?"

"Hukum Thian tidak mengenal sanak. cuma mengenal orang baik," sahut Cie Kie singkat.

"Apa itu yang dibilang baik?" Jenghiz Khan menanya pula.

"Nabi tidak mempunyai hati lain, hatinya dicurahkan cuma kepada rakyat." Khan itu berdiam.

Khu Cie Kie berkata pula. "Di Tionggoan ada sebuah kitab suci yang dinamai Too Tek Keng yang kami kaum Too Kauw menganggapnya sebagai mustika. Demikian kata-kataku barusan, dari kitab itu asalnya. Kitab itu pun membilang, serdadu itu senjata tak membahayakan, itu bukan senjatanya bangsa budiman. Senjata itu dipakai setelah sangat terpaksa. Siapa memuji senjata, dia gemar membunuh orang, dan siapa gemar membunuh orang, dia tidak dapat mewujudkan cita-citanya di kolong langit ini."

Selama perjalanannya ke Barat ini, di sepanjang jalan itu Khu Cie Kie telah menyaksikan akibat bencana perang. Ia merasa sangat terharu, maka itu ia menggunai ketikanya ini untuk membuka jalan, guna memohon untuk rakyat.

Jenghiz Khan meminta pengajaran panjang umur, sebaliknya ia dinasehati untuk jangan terlalu menggunai tentaranya, jangan terlalu banyak membunuh orang. Kata-kata itu tidak cocok untuknya, maka juga, ia lantas kata pada Kwee Ceng. "Pergi kau menemani totiang beristirahat."

Kwee Ceng menurut, ia lantas mengajak imam itu mengundurkan diri. Di luar istana ia segera disambut Oey Yong serta ketiga tianglo bersama semua anggota Kay Pang. Mereka itu datang dengan menunggang kuda. Si nona lantas mengajukan kudanya sambil menanya dengan tertawa. "Tidak apa-apakah?"

Kwee Ceng menyahut sambil tertawa juga. "Untung justru totiang datang."

Oey Yong memberi hormat kepada Tiang Cun Cu, lalu kepada Kwee Ceng ia menambahkan, "Aku khawatir khan yang agung gusar dan nanti membunuh kau, maka kami datang ke mari untuk menolongi. Apakah katanya Jenghiz Khan? Apakah dia menerima baik penampikan jodohmu itu?"

Ditanya begitu, Kwee Ceng berdiam. Ia ragu-ragu. "Aku tidak melakukan penolakan," katanya akhirnya. Tidak bisa ia berdiam terus.

Oey Yong tercengang. " Kenapa?" tanyanya selang sejenak.

"Jangan gusar, Yong-jie. Sebabnya..."

Baru pemuda ini mengatakan demikian, di sana terlihat putri Gochin lari ke luar dari istana. Sembari lari dia memanggil-manggil keras. "Engko Ceng! Engko Ceng!"

Melihat putri itu, Oey Yong terkejut. Dengan lantas ia melompat turun dari kudanya, untuk menyingkir ke samping. Kwee Ceng hendak memberi penjelasan kepada kekasih itu atau Gochin Baki sudah lantas menarik tangannya sambil berkata dengan bernafsu, "Kau tentu tidak menyangka aku bakal datang ke mari, bukankah? Kau telah melihat aku, kau girang atau tidak?"

Si anak muda mengangguk. terus ia menoleh ke samping, tetapi ia tidak melihat Oey Yong. Putri Gochin, yang hanya memikirkan Kwee Ceng, juga tidak mendapat lihat nona Oey. Ia tetap memegangi tangan si anak muda, ia tanya ini dan itu, tidak perduli di situ ada banyak orang lain.

Kwee Ceng mengeluh di dalam hatinya. Ia pun pikir, "Tentulah Yong-jie menganggap karena aku bertemu adik Gochin ini, aku menjadi tidak sudi menampik perjodohanku dengannya." Karena ini, apa yang si putri bilang, ia hampir tidak mendengarnya. Akhirnya Gochin melihat orang melengak saja, ia heran, ia tidak puas.

"Eh, kau kenapakah?" tanyanya. "Dari jauh-jauh aku datang menjenguk kau, kau tidak memperdulikan orang."

"Adikku, aku mengingat satu hal," berkata si anak muda. " Hendak aku melihat dulu itu, sebentar aku kembali untuk bicara denganmu."

Pemuda ini memesan serdadu pengiringnya, untuk melayani Khu Cie Kie, lantas ia lari ke kemahnya. Begitu ia tiba, serdadu pengiringnya memberi laporan kepadanya. "Nona Oey baru saja pulang, dia mengambil gambar, terus dia pergi dari pintu kota timur."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar