Pendekar Pemanah Rajawali Bab-77 Si Orang Aneh

Sia Tiaw Eng Hiong (Pendekar Pemanah Rajawali), BAB 77 SI ORANG ANEH
Anonim
Kaget pemuda itu. "Gambar apakah?" ia tanya.

"Gambar yang Huma sering pandang."

Kembali Kwee Ceng kaget. Lantas ia mendapat pikiran, "Dia membawa pergi gambar itu, terang dia telah memutuskan segala apa denganku Tidak bisa lain, aku mesti menyusul dia ke Selatan."

Dengan cepat pemuda ini menulis surat untuk Khu Cie Kie, lalu ia kabur dengan kuda merahnya ke luar dari kota. Kuda itu kuat dan cepat larinya, tetapi Kwee Ceng masih tidak puas, ia mencambuki, maka sebentar saja ia telah melalui beberapa puluh lie. Di sini pun ia menyaksikan mayat orang dan bangkai kuda masih berserakan. Di tempat luas beberapa puluh lie, salju melulu yang nampak. Ia memperhatikan tapak kaki kuda, ia kabur ke timur. Lega sedikit hatinya. Ia berpikir "Kudaku kuat lari tanpa tandingan, lagi sebentar aku tentu dapat menyusul Yong-jie. Aku akan mengajak dia menyambut ibuku, untuk bersama-sama pulang ke Selatan. Adik Gochin boleh sesalkan aku tetapi apa boleh buat."

Lagi belasan lie, Kwee Ceng melihat arah tapak kaki kuda menjurus ke utara, hanya di samping itu ada tapak kaki orang. Ia menjadi heran. Tapak kaki itu juga luar biasa, ialah jarak di antara kaki kiri dengan kaki kanan ada kira-kira lima kaki. Tindakan demikian lebar, tetapi tapaknya, bekas injakannya enteng sekali. Melesaknya salju hanya beberapa dim. Teranglah sudah, sebelum melesak ke dalam salju, kaki itu sudah lantas diangkat pula.

Kapan pemuda ini ingat kepada kepandaian enteng tubuh, ia terkejut. Ia tahu, untuk di tempat ini, kecuali Auwyang Hong, tidak ada lain orang yang mempunyai kepandaian sedemikian lihay. Maka itu, mungkinkah See Tok telah mengejar Oey Yong?

Mengingat itu, meskipun di waktu salju dingin begitu, tubuh si anak muda mengeluarkan peluh. Ia kaget dan berkhawatir bukan main. Itu artinya Oey Yong terancam bahaya. Si kuda merah seperti mengerti kekhawatiran majikannya, tanpa dikeprak lagi, ia lari mengikuti tapak kuda dan tapak orang itu, yang terus berdampingan.

Lewat pula beberapa lie, kembali terjadi keanehan pada tapak kaki manusia itu. Tujuannya telah berubah-ubah. sebentar tapak itu belok ke barat, sebentar mengkol ke selatan. Terputar-putar, tidak ada yang tujuannya lempang. Tapi Kwee Ceng berpikir. "Pastilah Yong-jie mengetahui Auwyang Hong mengejar padanya, dia sengaja berjalan berputaran begini rupa. Di salju ini, tapak kaki terlihat tegas, tentulah Auwyang Hong melihatnya dan dapat mengejar terus padanya."

Lagi-lagi belasan lie dikasih lewat. Di sini kedapatan banyak tapak kaki manusia, yang arahnya bertentangan. Melihat itu, terpaksa Kwee Ceng lompat turun dari kudanya, guna meneliti. Ia mendapat tahu, yang mana tapak lebih dulu, yang mana yang belakangan, atau yang mana yang di depan, yang mana yang di belakang. Ia pun mengawasi itu dari jauh.

Tiba-tiba ia ingat, "Yong-jie bertindak menuruti ajaran kitabnya Gak Bu Bok. ia menggunai Pat Tin Touw, barisan rahasianya Cukat Liang, untuk mengacaukan arahnya Auwyang Hong, supaya See Tok jalan terputar-putar hingga dia tidak dapat ke luar dari kurungan tin ini, supaya dia pergi serintasan lantas dia berjalan kembali."

Kwee Ceng lompat naik atas kudanya. sekarang ini ia bergirang berbareng masgul. Girang sebab ia percaya Auwyang Hong tidak bakal dapat mengejar terus si nona. Dan berduka, sebab kacaunya tindakan kaki, dia juga tidak akan dapat mengikuti jejak nona itu. Karena ini ia maju lebih jauh dengan tidak mengikuti jejak kaki hanya garis dari barisan rahasia Pat Tin Touw itu. Lebih dulu ia menuju ke timur selatan, lalu ke timur langsung. Tidak lama, ia melihat pula tapak kaki. lalu ia pun melihat, di kejauhan, di antara salju dan langit, yang seperti menempel, ada petaan seperti bayangan manusia. Ia lantas mengaburkan kudanya, guna menyusul orang itu.

Lantas Kwee Ceng mengenali Auwyang Hong, siapa pun telah melihat kepadanya, bahkan dia segera memanggil-manggil, "Lekas, lekas! Nona Oey terjeblos di dalam embal." la kaget sekali, ia kaburkan kudanya. Ketika lagi beberapa puluh tombak akan mendekati See Tok, ia merasakan kaki kudanya menginjak bukan tanah keras hanya embal yang ketutupan salju. Kuda merah juga merasa yang ia menginjak sesuatu yang empuk. dia mempercepat tindakannya.

Sekarang, setelah datang lebih dekat pada Auwyang Hong, Kwee Ceng melihat kelakuan orang yang luar biasa. See Tok lagi jalan mengitari sebuah pohon kecil, cepat tindakannya, dia tidak mau berhenti sejenak juga.

"Apakah dia bikin?" tanya si anak muda kepada dirinya sendiri. Ia menahan kudanya, niatnya hendak menanya si Bisa dari Barat itu, atau mendadak kudanya itu lari terus, lalu kembali. Sekarang ia baru mengerti. Kudanya itu berada di embal, kalau dia berdiam, dia dapat terpendam, kakinya bakal melesak masuk ke dalam lumpur. Ia pun menjadi kaget, sekelebatan otaknya berpikir. "Apakah Yong-jie kejeblos di dalam embal ini?"

Lantas dia menanya, "Mana nona Oey?"

Auwyang Hong berlari-lari terus, tapi ia menyahut, "Aku mengikuti tapak kudanya dan tapak kakinya sendiri. Sampai di sini, dia lenyap. Kau lihat." Ia menunjuk ke arah pohon.

Kwee Ceng melarikan kudanya lewat, ia memandang ke atas pohon yang ditunjuk. Ia melihat tergantungnya gelang rambut dari emas. Tepat selagi lewat di bawahan pohon, ia menyambar itu. Ia mengenali baik gelang rambutnya Oey Yong. Karena ini, ia memutar kudanya, untuk menuju ke timur. Baru lari kira satu lie, ia melihat suatu benda berkilau di atas salju. Tanpa turun dari kudanya, hanya sambil membungkuk dalam, ia menjumput itu selagi kudanya lewat. Sekarang ia mengenali bunga mutiara yang si nona biasa pakai. Hatinya menjadi tidak karuan rasa saking bingungnya. "Yong-jie! Yong-jie!" Ia memanggil-manggil. "Yong-jie! Kau di mana?" Tidak ada jawaban sama sekali.

Memandang jauh ke depannya, Kwee Ceng melihat segala apa putih, tidak ada setitik juga yang hitam yang bergerak-gerak. Ia berkhawatir, ia penasaran. ia lari terus lagi beberapa lie. Kali ini di sebelah kirinya, ia melihat sepotong baju bulu, ialah baju bulu si nona. Kembali ia kaget. Baju itu dipandang sangat berharga oleh Oey Yong dan biasanya tak pernah terpisah darinya, sekarang baju itu berada di tengah jalan. Bukankah itu alamat dari bencana?

Kwee Ceng menyuruh kudanya lari mengitari baju itu, ia berseru. "Yong-jie!!"

Di situ tidak ada gunung atau lembah, suara keras itu tidak mendatangkan kumandang. Hampir anak muda itu menangis. selagi ia tidak berdaya, Auwyang Hong datang menyusul.

"Mari kasih aku mengasoh di atas kuda," berkata See Tok. "Mari kita sama-sama mencari nona Oey."

Tapi Kwee Ceng gusar, ia membentak. "Kalau bukannya kau yang mengejar-ngejar, mana bisa dia lari ke daerah embal ini?" Ia menjepit perut kudanya, hingga kuda merah itu berlompat.

Auwyang Hong menjadi gusar sekali, dia berlompat, baru tiga kali, dia sudah datang dekat, tangannya menyambar ekor kuda. Kwee Ceng kaget. Ia tidak menduga orang demikian gesit. segera ia menyabet ke belakang dengan jurusnya "sin liong pa bwee", atau "Naga Sakti Menggoyang Ekor".

Kedua tangan beradu dengan keras. Kebetulan mereka sama-sama menggunai tenaga penuh. Tubuh Kwee Ceng terpental, hingga ia mencelat dari atas kudanya. Syukur kudanya maju terus. Dengan tangan kirinya, ia menjambret pelana kuda, ia menarik. Maka sedetik kemudian, ia sudah bercokol pula di punggung kudanya itu. Auwyang Hong sebaliknya mundur dua tindak. Karena tolakan Kwee Ceng keras dan dia mesti memasang kuda-kuda untuk mempertahankan diri, kakinya melesak di embal. Kaki kirinya masuk ke lumpur sebatas dengkul, hingga dia kaget tidak terkira. Dia tahu betul, asal ia menggunakan tenaga, dia bakal melesak semakin dalam. Kaki kanannya akan melesak juga. Karena ini dengan cepat dia merebahkan tubuhnya, kaki kanannya menendang ke udara. Berbareng dengan itu, dia mengangkat kaki kirinya, untuk dipakai menendang. Maka itu, dengan lumpur bercipratan, kaki kirinya itu bebas dari dalam lumpur, setelah itu dia berlompat bangun.

"Yong-jie! Yong-jie!" Ia mendengar Kwee Ceng memanggil-manggil pula. Lantas dia melihat pemuda itu, bersama kudanya, sudah meninggalkan dia pergi lebih dari satu lie jauhnya. Dia menduga orang sudah ke luar dari daerah embal melihat larinya kuda yang mantap sekali. Dia mendongkol dan menyesal. Terpaksa dia lari mengikuti jejak kuda merah itu. Hanya, untuk kagetnya, dia merasakan kakinya menginjak dasar yang semakin lunak. Rupanya, dia bukan mendekati tepian hanya berada semakin tengah di embal itu. Dalam khawatir dan menyesalnya itu, dia jadi membenci si anak muda, yang berulang kali membuatnya malu, apa pula yang paling belakang ini, dia mesti bertelanjang dengan ditonton puluhan ribu serdadu. Lantas, dengan ilmunya enteng tubuh yang paling mahir, dia berlari untuk mengejar anak muda itu.

Kwee Ceng tengah melarikan kudanya tatkala ia menoleh ke belakang. Tahu-tahu Auwyang Hong sudah berada dekat beberapa tombak. Ia lantas menggeprak kudanya, hingga kuda itu terkejut dan berlompat lari, hingga kuda dan orang, menjadi berkejar-kejaran.

"Yong-jie!" si anak muda terus memanggil-manggil.

Sementara itu, belasan lie telah dilalui. Kwee Ceng bergelisah ketika ia melihat cuaca mulai gelap. Di waktu hari terang, Oey Yong susah dicari, apa pula setelah datang sang malam. Syukur untuknya, kudanya itu lihay sekali, mendapat tahu dia menginjak salju yang longgar dia lari semakin keras, mirip terbang.

Auwyang Hong mengejar terus tetapi dia ketinggalan semakin jauh. Dia menjadi letih, larinya menjadi kendor. Tapi juga si kuda merah cape, keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, bulunya menjadi mengkilap dan cahaya merahnya bertambah marong, nampak tegas di antara warna putih dari salju di sekitarnya, mirip dengan sekuntum bunga cherry.

Akhir-akhirnya ketika langit telah menjadi gelap. kuda merah pun sudah ke luar dari daerah embal yang luas itu. Auwyang Hong telah ketinggalan jauh entah di mana. Hanya, meski ia bebas dari See Tok. Kwee Ceng tidak bebas dari kekhawatiran atas nasibnya Oey Yong. Di mana adanya si nona? Dia kependamkah di embal? Kalau benar, mana ada pertolongan lagi?

Anak muda ini mencoba menguasai dirinya. Ia turun dari kudanya, untuk beristirahat, guna menentramkan hati, agar ia bisa menggunai pikirannya. Ia mengusap-usap punggung kudanya, katanya, "Kudaku yang baik, hari ini kau jangan takuti kesengsaraan, sebentar kau maju pula lagi sekali, ya?"

Tidak lama ia beristirahat, ia melompat pula ke punggung kudanya. Tali les ditarik membikin kuda itu berbalik ke embal, mencari Oey Yong di daerah lumpur itu. Kuda itu agaknya jerih, setelah dipaksa, baru dia lari. Keras larinya.

Sekonyong-konyong Kwee Ceng mendengar jeritan Auwyang Hong.

"Tolong! Tolong!" See Tok menjerit berulang-ulang.

Dia ternyata terbelesak di dalam embal, sampai sebatas dada. Kedua tangannya diangkat tinggi ke atas, digerak-geraki seperti lagi menjambret sesuatu. Kalau tubuhnya masuk terus ke dalam lumpur itu, sampai di mulutnya, melewati hidungnya, maka akan habislah dia.

Kwee Ceng hampir lompat turun dari kudanya menyaksikan bahaya yang mengancam See Tok itu. Ia membayangkan, jangan-jangan Oey Yong pun telah mendapat nasib serupa.

"Tolong!" Auwyang Hong berteriak pula. "Lekas!"

"Kau telah membunuh guruku Kau pun mencelakai nona Oey." Kwee Ceng berkata seraya menggertak gigi. "Kau ingin aku menolongmu? Jangan harap!"

"Ingatlah janji kita" kata Auwyang Hong. "Tiga kali kau mesti memberi ampun padaku. Dan inilah yang ketiga kalinya Apakah kau tidak mau memegang kepercayaanmu?"

Kwee Ceng mengucurkan air mata. "Nona Oey sudah tidak ada di dalam dunia, apakah gunanya perjanjian kita itu?" katanya berduka.

Auwyang Hong menjadi sangat mendongkol, ia mencaci kalang kabutan. Kwee Ceng tidak memperdulikan, ia larikan kudanya. Baru belasan tombak, mendadak ia mendengar jeritan yang menyayatkan hati, lantas hatinya menjadi lemah. Ia menghela napas. Terpaksa ia memutar balik kudanya. Ia melihat See Tok sudah melesak sebatas lehernya.

"Suka aku menolong kau," katanya pada jago dari See Hek itu "Hanya kudaku ini, kalau kita menaikinya berdua, muatannya menjadi berat, aku khawatir dia pun akan kebelesak di embal."

"Kau menggunai tambang untuk menarik aku," Auwyang Hong mengasih pikiran.

Kwee Ceng tidak membekal tambang tetapi ia mengingat baju panjangnya, maka ia meloloskan itu, dengan memegang keras satu ujungnya, ia melemparkan itu.

Auwyang Hong menjambret dengan tangannya. Begitu dia dapat memegang, kuda merah dikasih lari keras, maka dia lantas kena tercabut dari dalam embal, terus dia diseret lari kuda itu ke arah timur. Belum lama, tibalah dia di tempat yang selamat.

Kwee Ceng mau mencari Oey Yong, pikirannya selalu berada pada si nona, dari itu ia kabur terus bersama kudanya itu, hingga See Tok juga turut terbawa-bawa. Maka itu, dia memasang diri terlentang, dia membiarkan tubuhnya di bawa kabur di atas salju itu. Ketika ini dipakai dia untuk meluruskan jalan napasnya. Selama apa yang terjadi itu, sang tempo lewat dengan cepat.

Kwee Ceng telah melintasi pula wilayah embal. Ia mendapatkan lagi tapak kuda dan tapak orang. Itulah tempat dari mana Oey Yong datang. Hanya sekarang, si nona tetap tidak ada. Ia lompat turun dari kudanya, ia bengong mengawasi tapak kaki itu.

Dalam keadaan berduka dan berkhawatir itu, Kwee Ceng lupa kepada musuhnya. Ia berdiri diam dengan tangan kiri memegangi les dan tangan kanan mencekal baju bulunya Oey Yong. Setelah mengawasi tapak kaki, terus ia memandang jauh ke depan. Ia baru terkejut ketika ia merasa benturan perlahan pada pundaknya. Hendak ia memutar tubuh, atau tahu-tahu tangan Auwyang Hong telah mengancam in-tay-hiat, jalan darah di punggungnya, hingga ia tidak berdaya lagi. Inilah cara ketika ia pun mencekuk si bisa bangkotan ketika dia baru ke luar dari liang perangkap. Auwyang Hong mengasih dengar tertawanya yang dingin.

"Jikalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah" kata si anak muda, yang hatinya sudah tawar. "Kita memang tidak membuat perjanjian aku menghendaki diberi ampun olehmu."

See Tok melengak. Dia memang berniat menyiksa pemuda ini, untuk menghina padanya, habis mana dia hendak mengambil jiwa orang. Di luar dugaannya, si pemuda justru meminta kematiannya.

"Si tolol ini sangat mencintai itu budak celaka, jika aku binasakan dia maka tercapailah cita-citanya mencari kematian," ia berpikir. "Karena budak celaka itu sudah mampus, tentang artinya kitab Kiu Im Cin-keng sekarang aku bergantung hanya kepada dia ini."

Karena ini, ia lantas mengangkat tubuh si anak muda, buat dibawa naik ke atas kuda, lalu kuda itu ia kasih lari ke selatan di mana ada sebuah lembah.

Selagi melewati sebuah kampung, Auwyang Hong masuk ke situ. Ia berniat singgah. Di situ berserakan banyak mayat. Hawa udara sangat dingin tidak membikin mayat-mayat itu rusak. bahkan segala apa juga tidak berubah. Maka semua mayat terlihat tegas seperti waktu baru matinya, dipandangnya menggiriskan, sebab semua tubuhnya tidak sempurna lagi. Mereka semua korban kekejaman tentara Mongolia.

Beberapa kali Auwyang Hong memanggil, ia tidak mendengar penyahutan dari orang kampung, yang ada hanya suaranya beberapa puluh ekor kerbau dan kambing yang seperti saling sahutan. Mengetahui ada binatang itu, ia senang juga. Ia bawa Kwee Ceng ke dalam sebuah rumah batu. Ia kata, "Kau sekarang tertawan olehku. Tidak ada niatku membunuh kau, umpama kata kau dapat melawan aku, kau merdeka untuk pergi."

Kemudian ia menangkap seekor kambing, untuk disembelih dan dijadikan penangsal perutnya yang kosong. Kwee Ceng mendelu melihat sikap orang yang sangat bangga akan dirinya sendiri itu. See Tok sangat puas dengan kemenangannya itu. Dari mendelu, ia menjadi gusar sekali. Kemudian Auwyang Hong melemparkan sepotong paha kambing. "Kau dahar biar kenyang, sebentar kita bertempur," katanya mengejek.

"Kalau kau mau bertempur, marilah." Kwee Ceng menjawab gusar. "Buat apa menanti sampai sudah gegares kenyang?" ia lantas berlompat maju dan menyerang.

See Tok menekuk kedua kakinya, untuk menongkrong. Dari mulutnya ke luar dua kali suara kerak-kerok. Ia telah lantas menggunai ilmu silat Kodoknya, dengan apa ia membalas menyerang. Maka itu, di situ mereka lantas bertarung.

Setelah bertempur lebih dari seratus jurus, Kwee Ceng terdesak. Ia masih kalah dalam hal tenaga dalam. Begitu ia dirangsak satu tindak dan kempungannya ditinju. Ia kaget dan tidak berdaya, maka ia menanti kebinasaannya. Auwyang Hong tidak meneruskan hajarannya itu, dia hanya tertawa.

"Hari ini sampai di sini saja" dia berkata, "Pergi kau melatih ilmu silatmu dari kitab Kiu Im Cin-keng, besok aku nanti melayani pula padamu."

"Fui!" menghina si anak muda, yang lantas pergi duduk di bangku. ia menjumput paha kambing untuk dimakan. Sembari makan, ia berpikir. "Dia hendak mempelajari ilmu silat dari kitab. Kalau aku berlatih, dia akan menontonnya. Tidak, aku tidak boleh kena diakali. Ah, ya, tadi serangannya ke kempunganku itu, bagaimana harus aku menangkis atau mengelakkannya? "

Ia lantas berpikir. Ia ingat, belum pernah ia mempelajari sesuatu jurus yang dapat memecahkan serangan lawan itu. Ada juga di dalam kitab, bagian "Hui Sie Keng", ialah ilmu "Kapas Terbang". Ilmu itu, kalau dapat diyakinkan, akan membikin tenaga di kempungan bisa menghindarkan serangan.

"Biar aku mempelajarinya di dalam hati, dia hendak menelad juga tidak dia mampu," pikirnya pula. Maka lekas-lekas ia menghabisi daging kambingnya, terus ia duduk bersila, untuk belajar sambil bersemedhi. Dengan begitu ia bisa memusatkan pikirannya. Ia menghapal bunyinya kitab. Setelah mengerti "It kin toan kut pian", ia sudah mendapati pokoknya ilmu silat, dan sesudah mendapatkan pengajaran dari It Teng Taysu, ia telah memperoleh kemajuan terlebih jauh, maka itu, tidaklah sukar untuk ia meyakinkan "Hui Sie Keng". Belum dua jam, ia sudah berhasil. Ia lantas melirik kepada Auwyang Hong, yang lagi bersemedhi.

"Awas" ia berseru. Ia bangun, lantas ia lompat menerjang, sebelah tangannya melayang.

Auwyang Hong telah siap sedia. Ia menangkis. Tadi ia berhasil dengan tinjunya ke kempungan, maka selang tidak lama, setelah melihat lowongannya, ia mengulangi serangannya itu. Hanya sekarang ia menjadi heran. Tinjunya itu melejit lewat, tinju itu seperti mengenai sesuatu yang licin, hingga tubuhnya sendiri sedikit terjerunuk ke depan. Justru itu, tangan kiri Kwee Ceng terbang ke lehernya.

"Bagus" pikirnya. Ia kaget dan girang. Ia menjerunuki tubuhnya terus ke depan, dengan begitu ia bebas dari serangan si anak muda. Setelah itu ia membalik diri, akan berkata, "Bagus ilmumu ini adakah ini dari dalam kitab? Apakah namanya?"

"See-cat Iet-wi, pay-hoat kek-ji," sahut Kwee Ceng.

See Tok melengak. Ia tidak mengerti. Tapi segera ia ingat akan penyebutan lafal bahasa sansekerta. Maka ia pikir. "Baik aku melayani dia dengan akal." Karena ini, ia lantas melayani lebih jauh pemuda itu.

Semenjak itu, sebulan lebih keduanya berdiam di rumah batu itu. Kalau yang satu ingin mencangkok ilmu silat dari Kiu Im Cin-keng, yang lain hendak menuntut balas. Saban-saban Kwee Ceng kena dibikin tidak berdaya. Selamanya ia tidak dihajar atau dibinasakan, maka terus saban-saban ia meyakinkan secara baru, untuk menandingi setiap pukulan dahsyat dari See Tok. Selama itu, terus mereka dahar daging kambing, sampai binatang itu hampir habis.

Lama-lama, Kwee Ceng sendiri mendapatkan kemajuan yang tentu, Auwyang Hong sebaliknya cuma dapat berlatih, tidak dapat dia ilmu dari Kiu Im Cin-keng yang diharap-harap itu. Dia malah menjadi bingung. Apa yang dia lihat dari Kwee Ceng ini, tidak cocok sama bunyinya kitab yang dia suruh si pemuda menuliskannya untuknya selama mereka berdiam di dalam perahu dulu hari itu. Karena ini, lama- lama jago dari See Hek ini berkhawatir juga. Dia pikir, "secara begini, selagi aku sendiri tidak mendapatkan artinya kitab, bisa-bisa aku akan menjadi bukan tandingan dia." Dia menjadi jeri sendirinya.

Selama beberapa hari ini, dengan cara berlatihnya itu di otak. Kwee Ceng mulai mempelajari ilmu silat bersenjata. Ia menggunai pedang pendeknya untuk membuat pedang kayu. Dengan itu ia melayani tongkat ular dari See Tok.

Sekarang Auwyang Hong memakai tongkat kayu tanpa dibantu ularnya yang istimewa. Ketika dulu dia menempur Ang Cit Kong, tongkatnya terlempar lenyap di laut. Kemudian dia membikin tongkat baja, dia melilitkan ularnya di ujung tongkat, tetapi tongkat ini lenyap di kurungan es selama dia digencet es oleh Lou Yoe Kiak. Meski hanya tongkat kayu dan tanpa ularnya, ilmu silatnya tak berubah. Dari itu, tongkatnya ini tetap lihay. Beberapa kali pedang kayu si anak muda kena dibikin mental. Coba tongkat itu ada ularnya, pasti lihaynya bertambah.

Selama itu, kuping mereka mendengar suara terompet, kuda dan tentara, dari tentara Jenghiz Khan yang berangkat kembali ke timur, yang mana berjalan beberapa hari lamanya. Semua itu tidak dihiraukan dua orang yang lagi bertarung ini. Adalah pada suatu malam, ketika pasukan Mongolia itu sudah pergi semua, baru mereka merasakan kesunyian.

"Malam ini tetap aku tidak bakal dapat mengalahkan kau tetapi juga tongkatmu tidak akan dapat berbuat banyak atas pedangku," kata Kwee Ceng di dalam hatinya selagi ia berdiri siap. Dengan pedang di tangannya. Ia baru dapat memikir satu jurus yang baru dan hendak mencobanya, untuk mana ia menanti lawannya menyerang lebih dulu. Mereka belum mulai bertempur tatkala mendadak mereka mendengar bentakan di atas genting, "Jahanam, kau hendak lari ke mana?" Itulah suaranya Ciu Pek Thong.

Dua-dua Kwee Ceng dan Auwyang Hong terbengong. Sama-sama mereka memikiri "Kenapa dia datang begitu-jauh ke Barat ini?" Mereka baru mau membuka mulut atau mereka mendengar tindakan kaki dari dua orang, yang satu di depan, yang lain di belakang, datang mendekati ke rumah batu ini. Inilah mungkin disebabkan selagi lain-lain rumah kosong, di sini nampak cahaya api.

Dengan sebat See Tok mengebut dan apinya padam. Justru itu daun pintu tertolak hingga bersuara dan seorang lari masuk. Didengar dari tindakan kakinya yang enteng, orang yang dikejar Pek Thong itu tak usah kalah ilmunya enteng tubuh dari Loo Boan Tong. Maka heranlah See Tok hingga ia berkata di dalam hatinya, "Dia dapat lari puluhan ribu lie tanpa terbekuk Loo Boan Tong, dia lihay. Orang dengan kepandaian seperti dia, sekarang ini tinggal Oey Yok Su dan Ang Cit Kong. Inilah hebat untukku si bisa bangkotan."

Di dalam gelap itu terdengar suara orang berlompat naik ke atas penglari di mana dia terus berduduk. terus terdengar tertawanya Ciu Pek Thong, yang berkata, "Kau main petak dengan Loo Boan Tong, aku senang sekali. Sekarang jangan kau molos pula."

Setelah itu terdengar si tua tukang guyon itu menutup pintu dan mengangkat sebuah batu besar guna dipakai menunjang belakang pintu, sesudah mana dia berkata, "Eh, bangsat bau, kau berada di mana?" Dia pun bertindak dengan tangannya meraba-raba, seperti lagi mencari sesuatu.

Kwee Ceng, yang telah lama berdiam di tempat gelap. dapat melihat samar-samar lagaknya kakak angkat itu, hendak ia menunjuki bahwa orang ada di atas penglari, akan tetapi sebelum ia keburu membuka mulutnya, mendadak Ciu Pek Thong berlompat sambil tertawa, dia menyambar kepada orang yang lagi sembunyi itu. Rupanya dia telah ketahui di mana orang berdiam dan berlagak mencari, untuk bersiap berlompat naik,

Orang yang dipanggil jahanam itu benar lihay. Tidak menanti sampai ia kena dicekuk. ia mendahului menyingkir dengan lompat jumpalitan turun, hingga sesaat kemudian ia sudah berjongkok di pojok rumah.

Pek Thong agaknya jeri juga terhadap si jahanam itu, ia berlaku sangat berhati-hati. Sebelum mencari, ia memasang dulu kuping dan matanya. Maka itu sebagai orang lihay ia lantas mendapat ketahui, kecuali ia sendiri, di situ ada suara bernapas dari tiga orang. Ia heran kenapa orang berdiam saja. Mungkin orang kaget dan takut? Ketika tadi ia mendatangi rumah batu ini, ia juga menduga mesti ada penghuninya dan itu dibuktikan sama padamnya api serta sekarang sama suara bernapas.

Akhirnya ia berkata, "Tuan rumah, jangan takut Aku datang ke mari untuk membekuk satu maling cilik. Setelah dia terbekuk, akan aku lantas berlalu dari sini."

Habis berkata, Loo Boan Tong memasang kupingnya. Ia lantas mendengar suara bernapas yang semakin perlahan. Ia mendapat tahu, suara bernapas itu datangnya dari tiga penjuru, timur, barat dan selatan.

Ia terkejut tetapi ia segera berseru, "Hm, jahanam, kiranya di sini kau menyembunyikan kawanmu." Ia tidak mendengar jawaban.

Kwee Ceng juga berdiam saja. Ia tahu, dengan Ciu Pek Thong menghadapi lawan tangguh, Pek Thong tentulah tidak bisa membantu padanya. Ia pikir baiklah ia menanti ketikanya.

Habis mementang mulut, Pek Thong bertindak perlahan ke pintu, dari mulutnya ke luar ocehan. “Jangan-jangan Loo Boan Tong tidak bakal berhasil membekuk orang dan sebaliknya ialah yang nanti kena dicekuk." la bertindak terus.

Itu waktu dari kejauhan terdengar suara seruan ramai dibarengi sama tindakan kaki kuda yang riuh, rupanya itu dari satu pasukan tentara yang besar. suara itu mendatangi ke arah rumah batu ini.

Mendadak terdengar suaranya Ciu Pek Thong. "Bantuanmu makin lama makin banyak. Nah, sudahlah. Loo BoanTong minta maaf saja, tidak dapat dia menemani kau lebih lama pula."

Dia lantas memegang batu besar penunjang pintu itu, agaknya dia hendak menyingkirkannya guna membuka pintu, guna mengangkat kaki. Akan tetapi, setelah batu itu terangkat oleh kedua tangannya, mendadak dia melemparkannya ke arah tempat sembunyinya orang yang dia kejar-kejar itu. Pintu itu menghadap ke selatan dan orang itu jadinya berada di utara.

Auwyang Hong dapat mendengar segala apa. Ia berpikir. "Dia menyerang, dengan begitu bagian kanannya menjadi tidak terlindung, baiklah aku hajar padanya. Kalau dia sudah mampus, maka berkuranglah bencana untukku di belakang hari, dan kalau nanti terjadi rapat yang kedua di Hoa-san, musuhku juga lenyap satu." Begitu berpikir, begitu ia menongkrong, sebelah tangannya diajukan- ia menyerang dengan Hap Mo Kang, ilmu Kodoknya. Dia berada di barat, dari barat dia menyerang ke timur.

Kwee Ceng sementara itu tidak berdiam saja. Ia memasang matanya ke segala penjuru, terutama terhadap See Tok. Seperti si Bisa dari Barat, ia juga sudah biasa dengan tempat gelap itu. Demikian ia melihat sepak terjangnya Auwyang Hong. Bokongan itu berbahaya untuk Pek Thong. Tidak ayal lagi, dengan jurus "Hang- liong Yu-hui", ia menyerang ke arah manusia licik itu.

Di pihak orang yang dikejar-kejar Pek Thong itu, dia pun tidak berpeluk tangan. Ketika dia mendapat tahu datangnya serangan, dia memasang kuda-kudanya, terus kedua tangannya dipakai menyambut sambil menolak pergi batu besar itu. Karena ini dengan berbareng empat orang sama-sama mengeluarkan tenaganya.

Dengan suara nyaring, batu besar jatuh ke tengah-tengah ruangan. Di situ ada sebuah meja, maka ringseklah meja itu, suaranya berisik menulikan telinga. Mendengar itu, Kwee Ceng girang, dia tertawa. sebenarnya dia tertawa nyaring sekali tetapi suaranya lenyap di antara seruan riuh pasukan tentara yang mendatangi itu, yang sudah mulai memasuki dusun. Sekarang ini Kwee Ceng dapat mendengar lebih nyata. Itulah dua buah pasukan yang lagi bertempur.

Rupanya tadi orang main berkejar-kejaran. Itu pula pasukan Khoresmia yang kalah perang, yang kabur sambil dikejar tentara Mongolia. Mungkin tentara shah Ala-ed-Din itu hendak mempertahankan diri di dusun ini atau mereka telah kecandak. Demikian, suara anak panah pun terdengar swang-swing tak hentinya, disusul sama bentrokan pelbagai senjata lainnya.

Mendadak Pek Thong mendapatkan ada orang menerobos masuk. Ia menyambar, ia mencekuk orang itu, terus ia melemparkannya ke luar. Habis itu ia mengangkat batu, guna dipakai mengganjal pula pintu itu, yang ia telah lantas menutup rapat kembali.

Sampai itu waktu Auwyang Hong, yang gagal dengan bokongannya karena dirintangi Kwee Ceng, mengasih dengar suaranya. Rupanya menyangka yang ia telah terpergoki. Ia tanya.

"Loo Boan Tong, tahukah kau aku siapa?"

Pek Thong tidak segera mengenali suara orang. Sebaliknya, dengan sebelah tangan menjaga diri, dengan tangan yang lain ia menyerang ke arah dari mana suara datang. Ia lantas mendapat perlawanan. Mulanya tangannya ditangkis untuk ditangkap. terus ia diserang. Ia kaget sekali ketika ia menangkis.

"Ha, bisa bangkotan, kau di sini?" tanyanya heran.

Untuk memperbaiki diri, ia menggeser tubuh ke kiri Justru itu, orang yang bersembunyi di utara itu, mendadak menghajar ke punggungnya. Ia lihay, sambil tangan kanannya menyerang See Tok. dengan tangan kirinya ia menangkis ke belakang. Ia menganggap inilah ketikanya yang baik akan mencoba ilmu silat yang ia ciptakan di Tho Hoa To, ialah ilmu kedua tangannya berkelahi masing-masing, yang tadinya ia belum peroleh kesempatannya akan mengujinya. Akan tetapi tangkisannya ke belakang ini telah ditalangi Kwee Ceng. si anak muda berlompat maju, tangan kanannya menangkis tangan kakak angkat itu, tangan kirinya menangkis serangan si lawan belum dikenal.

Berbareng sama bentrokan tangan ketiga orang itu, dua seruan terdengar berbareng.

"Saudara Kwee!" demikian suaranya LooBoan Tong, si tua tukang berguyon.

"Kiu Cian Jin!" berteriak Kwee Ceng.

Sudah tentu suara itu membuat Auwyang Hong heran, karena di sini ia dapat bertemu sama Loo Boan Tong serta ketua Tiat Ciang Pang itu.

Ketika terjadi pertandingan di Yan Ie Lauw itu, lantaran takut ular berbisa, Pek Thong telah menyembunyikan dirinya di wuwungan lauteng, dengan begitu, ia bebas dari panah tentara negeri dan selamat juga dari pagutan ular. Ia berdiam terus di situ sampai kabut buyar dan orang semua bubaran. Habis itu, ia berkeliaran saja. Lewat beberapa bulan, ia bertemu dengan seorang anggota Kay Pang, yang memberikan sepucuk surat kepadanya. Itulah suratnya Oey Yong, yang menagih janji padanya. Ia pernah menjanjikan si nona, apa saja yang dia minta, ia tidak bakal tolak. Sekarang Oey Yong minta ia pergi membinasakan Kiu Cian Jin. Si nona menulis juga, kalau "tugas" ini rampung, maka Lauw Kui-hui atau Eng Kouw, tidak bakal mencari pula padanya. Ia menerima baik permintaan si nona. Ia pikir, Kiu Cian Jin toh jahat sudah bersekongkol sama bangsa Kim. Sebagai pengkhianat, pantas dia dibinasakan. Maka seorang diri ia pergi ke Tiat Ciang Hong. Mulanya mereka berimbang. Sesudah Pek Thong menggunai kedua tangannya menuruti caranya masing-masing, Kiu Cian Jin keteter. Dia kabur, dia lantas dikejar terus-terusan. Sebetulnya Cian Jin heran kenapa Pek Thong memusuhkannya. Pernah ia minta keterangan, tapi Pek Thong tidak dapat memberikannya. Begitulah mereka berkejar-kejaran, sebentar kecandak dan bertempur, sebentar Cian Jin lari pula. Sampai akhirnya tibalah mereka di rumah batu itu di mana justru berada Auwyang Hong dan Kwee Ceng. Kiu Cian Jin lari ke Barat ini dengan pengharapan Loo Boan Tong tidak kuat menahan hawa dingin, sedang Pek Thong norek, ia cuma tahu mengejar tak hentinya.

Sampai di situ, Kwee Ceng dan Ciu Pek Thong masing-masing mengetahui baik, siapa itu dua orang yang berada bersama mereka di dalam rumah batu itu. Auwyang Hong juga mengetahui mereka itu bertiga dan bahwa Kiu Cian Jin musuhnya Pek Thong. Sebaliknya Kiu Cian Jin itu cuma mengenali Pek Thong dan Auwyang Hong, ia masih ragu-ragu untuk Kwee Ceng.

Kiu Cian Jin, Ciu Pek Thong dan Auwyang Hong adalah orang-orang lihay, yang sebanding kepandaiannya, tetapi juga Kwee Ceng, setelah melayani See Tok sekian lama, pesat kemajuannya, hingga ia jadi berimbang sama mereka itu. Hanya sekarang mereka itu merasakan rintangan dari ruang yang gelap dan suara sangat berisik di luar.

Kwee Ceng bebal tetapi sekarang ia dapat berpikir. "Baik aku merintangi See Tok biar Ciu Toako membinasakan Kiu Cian Jin, kemudian berdua kita mengepung si Bisa dari Barat ini."

Ia lantas mengambil putusannya. Ia juga bisa berkelahi dengan dua tangannya seperti Pek Thong, maka sekarang ia menggunai ilmu silat yang istimewa itu. Dengan tangan kanan ia menyerang ke dada, dengan tangan kiri menyambut satu serangan. Tapi ketika tangannya bentrok. la terkejut. Ia mengenali ia bentrok sama tangannya Pek Thong. Ia lantas lompat, ingin ia menarik tangannya toako itu. Mendadak Pek Thong bergerak mendahului ia, tangan kirinya ditarik pulang, tangan kanannya menyerang. Inilah ia tidak sangka, maka tahu-tahu ia terhajar pundaknya. ia merasa sakit dan kaget sekali.

"Ah, saudara yang baik, kau hendak menguji aku?" kata Pek Thong. "Hati-hatilah."

Dan dia menyerang pula dengan tangan kirinya. sekarang ini Kwee Ceng telah bersedia, ia berhasil menangkis. Selagi Pek Thong dan Kwee Ceng bertempur, Auwyang Hong juga bergebrak sama Kiu Cian Jin.

Cian Jin lantas berpikir, "Kita tidak bermusuh satu dengan lain tetapi di Hoa-san nanti, kita bakal bentrok. Maka kalau sekarang aku dapat menghajar dia, pasti itulah baik."

Maka itu ia menyerang dengan hebat. Hanya, baru beberapa jurus, dua-dua ia dan See Tok mendapat pikiran yang serupa. Itulah disebabkan mereka mendapat kenyataan Pek Thong bertempur sama Kwee Ceng. Mereka berpikir. "Pek Thong ini tidak karuan lagaknya, kenapa sekarang aku tidak mau memberi rasa padanya?" Maka itu, keduanya lantas menanti ketika yang baik.

Setelah belasan jurus, Pek Thong mendapat tahu kemajuan Kwee Ceng. Ia girang sekali, ia heran juga. Ia tanya, "Eh, saudara yang baik, dari mana kau peroleh kepandaianmu?" suara di luar berisik sekali, Kwee Ceng tidak mendengar, ia tidak menjawab. Pek Thong menjadi gusar. Ia tidak ingat suara berisik itu.

"Baik" katanya. "Kau tidak mau memberitahukan aku Kau main gila, ya?"

Justru itu datang serangan berbareng dari Kiu Cian Jin dan Auwyang Hong. Ia lantas lompat berkelit, terus ia kata kepada si anak muda. "Baiklah, aku membiarkan kau sendiri melawan mereka." Benar-benar, ia tidak melawan kedua penyerangnya. Ia digantikan Kwee Ceng, yang hendak membelai padanya.

Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin, yang mendapat tahu Ciu Pek Thong mundur, lantas menyerang Kwee Ceng. Anak muda ini menjadi bingung. Tadi ia heran atas serangannya Pek Thong. sekarang ia menghadapi dua musuh tangguh. Satu Auwyang Hong saja sudah hebat. Tapi ia terpaksa mesti berkelahi. Maka ia berkelahi dengan sungguh-sungguh.

Sesudah bertempur sekian lama, Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin menjadi heran. Menurut mereka, siapa saja di antara mereka berdua, pasti akan dapat mengalahkan Kwee Ceng, siapa tahu sekarang, mereka menampak kesulitan. Ke mana mereka menyerang, si anak muda selalu dapat melayani. Akhir-akhirnya, mereka menjadi kewalahan.

Ciu Pek Thong beristirahat di atas penglari. Ia tahu berapa lama sudah Kwee Ceng telah menempur dua musuh yang tangguh itu. Ia pikir, ia perlu lekas turun, untuk membantu, kalau tidak adik angkatnya itu bisa susah. Lantas ia turun dengan diam-diam, ia bertindak berindap-indap ke belakang Auwyang Hong. Di dalam gelap itu, ia sengaja menutup kedua matanya. Hanya tangannya yang diajukan ke depan, guna menjambret. Kebetulan ia melanggar punggungnya Auwyang Hong, yang lagi nongkrong guna menyerang Kwee Ceng dengan ilmu Kodoknya.

See Tok terkejut, ia segera menyerang ke belakang. Kwee Ceng mendapatkan tidak ada serangan, ia menendang Kiu Cian Jin, habis mana ia berlompat mundur ke pojok. Kebetulan untuknya, Pek Thong datang pada waktunya yang tepat, kalau tidak ia bisa celaka di tangannya si Bisa dari Barat. Ia sudah bernapas memburu. Tapi ia tidak bisa beristirahat lama, segera ia mesti menghadapi pula ketua dari Tiat Ciang Pay, sedang Ciu Pek Thong menyambut Auwyang Hong. Atau mereka mesti saling ganti lawan. Yang lucu adalah kalau Pek Thong bertempur pula sama adik angkatnya itu seperti tadi. Di dalam gelap. sukar untuk mereka lekas saling mengenali.

Pek Thong gembira sekali dengan ini pertempuran kacau. Satu kali, selagi melayani Kwee Ceng, ia kata kepada anak muda itu. "Tangan kita masing-masing seperti melayani dua musuh, sekarang aku hendak mencoba, kau melayani empat tangan. Kau anggap mereka berdua hanya satu orang."

Kwee Ceng tidak mendengar apa yang orang bilang hanya ia lantas merasa ia seperti dikepung tiga orang. Tentu sekali, itulah berbahaya. Maka ia lebih sering berkelit.

"Jangan takut, jangan takut," kata Pek Thong, yang ketahui orang lebih banyak menolong diri dari pada membalas menyerang. “Jangan takut, kalau ada bahaya, aku nanti bantu kau."

Loo Boan Tong boleh mengatakan demikian, tetapi mereka berada di tempat gelap. Dia bisa terlambat, maka itu, Kwee Ceng menjadi letih pula, sedang begitu ia merasakan tangan kedua lawannya semakin berat. Ia telah memikir untuk lompat naik ke penglari, untuk beristirahat. Siapa tahu, Pek Thong mendesak kepadanya. Ia kaget dan mendongkol, akhirnya ia kata nyaring, "Ciu Toako, manusia tolol, perlu apa kau mengganggu aku?"

Percuma anak muda ini mengasih dengar suaranya, suara itu tak terdengar Pek Thong. Di luar, suara pertempuran ada sangat berisik. Ia lantas mundur. Tiba-tiba kakinya terpeleset, hampir ia roboh. Di saat itu datanglah serangannya Kiu Cian Jin. Sambil terhuyung, ia memungut batu yang ia injak itu, ia angkat tinggi ke dadanya, guna dipakai melindungi tubuhnya. Maka itu, serangannya Cian Jin mengenai batu itu.

Menyusul itu datang serangannya Auwyang Hong, yang menuju ke kirinya. Ia menggunai terus batunya. Kali ini sambil menangkis, ia melemparkan batu keras sekali ke tinggi. Kesudahannya, batu itu membikin wuwungan bolong, hingga di sana nampak sedikit cahaya terang dan bintang-bintang di langit.
Pek Thong gusar melihat cahaya terang itu. Ia membentak "Sekarang segala apa tampak nyata Mana menggembirakan?"

Kwee Ceng merasa sangat letih la tidak memperdulikan teguran itu, bahkan ia lompat tinggi sekali, noblos di wuwungan yang bolong itu. Auwyang Hong berlompat naik, untuk menyusul.

"Jangan pergi! Jangan pergi!" Pek Thong berseru-seru. Mari menemani aku bermain-main." Dan ia berlompat juga, guna menyambar kakinya See Tok. Auwyang Hong kaget, ia menendang. Kakinya itu bebas, tetapi karena itu, ia tidak dapat naik terus, ia mesti turun pula.

Kiu Cian Jin melihat keadaan orang, tanpa menanti si Bisa dari Barat menginjak lantai, dia berlompat menendang ke dada, karena mana, Auwyang Hong mesti membikin mengkerat dadanya itu, sambil menolong diri, ia juga menotok ke kaki si penyerang. Karena ini, keduanya jadi bertarung pula.

Sekarang dengan adanya cahaya terang, orang bertempur dengan satu sama lain bisa saling melihat. Hanya ketika itu, di luar, suara berisik telah jadi semakin berkurang.

Ciu Pek Thong menjadi lenyap kegembiraannya, ia menjadi mendongkol, karena uring-uringan, ia menyerang Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin, ia menyerang dengan hebat sekali.

Kwee Ceng di lain pihak lari terus hingga ke luar dusun. ia telah menyaksikan sisa kedua pihak tentara yang terluka dan terbinasa, ia pun mendengar rintihan datang dari sana sini. ia tidak memperdulikan mereka, ia hanya mencari satu tempat sunyi di mana ia segera merebahkan diri, untuk beristirahat. Ia sangat letih, ia merasakan otot-ototnya dan buku-buku tulangnya ngilu dan nyeri. Tanpa merasa ia tidur kepulasan.

Lama anak muda ini tidur, ketika besoknya pagi ia mendusin, ia mendusin dengan kaget hingga ia berlompat bangun. Itulah disebabkan ia merasa mukanya terusap-usap sesuatu. Ketika ia berlompat, ia berbareng mendengar meringkiknya kuda, untuk girangnya ia melihat kuda merahnya, yang datang padanya dan menjilati mukanya. Ia menjadi girang sekali ia merangkul leher binatang itu.

Ketika si anak muda dikurung Auwyang Hong, kuda itu diumbar saja, dia dapat hidup sendiri Tempo terjadi pertempuran tentara Kim dan tentara Mongolia, dia menyingkir jauh, setelah kedua pihak tentara pergi, dia mencari majikannya itu.

Dengan menuntun kudanya, Kwee Ceng berjalan perlahan-lahan kembali ke dalam dusun. Sekarang ia melihat tegas sisa pertempuran, mayat serdadu dan bangkai kuda, berserakan di sisi pelbagai senjata. Masih ada serdadu yang terluka, yang merintih. Ia terharu sekali. Terpaksa ia tidak menghiraukan segala itu, ia langsung kembali ke rumah batu. Sebelumnya masuk. Ia memasang kuping dulu, lalu ia mengintai dari sela pintu. Setelah tidak mendengar apa-apa dan tidak melihat sesuatu, dengan perlahan ia menolak daun pintu untuk bertindak masuk. Tidak ada orang di situ, entah ke mana perginya Ciu Pek Thong, Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin bertiga. Untuk sejenak ia berdiri menjublak. Kemudian ia ke luar dari dalam rumah, untuk naik kudanya, guna berangkat ke arah timur. Ia melarikan binatang tunggangannya itu. Tidak lama ia berhasil menyandak pasukan perangnya Jenghiz Khan.

Itu waktu Khoresmia telah terpukul hebat, pelbagai kotanya pecah atau diserbu rusak. Angkatan perangnya hancur luluh, bahkan rajanya, shah Ala-ed-Din, kabur entah ke mana. Tapi shah itu, atas titahnya Jenghiz Khan, dicari terus oleh Subotai dan Jebe, yang menyusul ke arah Barat. Jenghiz Khan sendiri berangkat pulang dengan kemenangannya itu.

Subotai berdua telah mengejar sampai di sebelah barat Moskwa, di dekat kota Kiev, di tepi sungai Dnieper, di mana mereka telah melabrak beberapa puluh ribu jiwa serdadu Russia dan Kimchak. Di mana pun mereka menghukum hertog dari Kiev serta sebelas pangeran dengan jalan melindas mereka dengan kereta. Ini dia yang dinamakan "Perang Kalka". Demikian padang rumput Russia mengeluh di bawah injakan kaki kuda Mongolia.

Jenghiz Khan masgul dan cemas karena hilangnya Kwee Ceng di Samarkand. Sekarang ia melihat si anak muda kembali, hatinya girang. Pula tak dapat dikatakan girangnya putri Gochin Baki.

Khu Cie Kie tetap turut di dalam angkatan perang yang pulang ke timur ini, saban-saban ia membujuk pendekar Mongolia itu untuk dia mencintai rakyat dan mencoba mengurangi pembunuhan kepada musuh. Jenghiz Khan sangat tidak menyetujui sikap imam ini tetapi karena ia tahu orang ada orang berilmu, ia tidak mau terlalu menentang nasihat itu. Dengan begitu, kata-katanya imam dari Coan Cin Kauw ini telah menolong banyak sekali jiwa orang. Di dalam kitab Yuan-shih, jasanya Khu Cie Kie ada tercatat jelas.

Untuk “pemerintah dunia", Cie Kie menasihati janganlah orang gemar membunuh. Ditanya tentang cara memerintah, ia menganjurkan untuk menghormati Thian dan mencintai rakyat.

Mengenai pertanyaan ilmu umur panjang, ia menasihati untuk membersihkan hati dan mengurangi seggla nafsu keinginan. Karena ini, ia disebut sin-sian atau dewa dan Jenghiz Khan menganjurkan putra-putranya mencontoh imam ini. Ketika kemudian Mongolia menyerang negara Kim, kembali Khu Cie Kie berhasil menolong banyak jiwa manusia.

Untuk pulang dari Khoresmia ke negerinya Jenghiz Khan memerlukan banyak waktu. Ketika akhirnya ia tiba di negaranya, ia membuat pesta besar. Terus ia memelihara tentaranya. Lewat lagi beberapa bulan, timbullah keinginan pendekar ini maju pula ke selatan, guna menyerang bangsa Kim. Untuk itu ia segera mengadakan rapat.

Di dalam rapat ini, Kwee Ceng menutup mulut. semenjak pulang, ia senantiasa berduka. Sering seorang diri ia pesiar di tanah datar atau di padang rumput, dengan menunggang kuda merahnya sambil membawa kedua burungnya. Ada kalanya selama orang bicara, ia berdiam terbengong saja. Semua ini disebabkan ia terlalu keras memikirkan Oey Yong yang lenyap itu. Putri Gochin membujukinya. Ia tidak mengambil perduli, ia seperti tidak mendengarnya. Orang tahu ia bersusah hati, sampai tidak ada yang menyebut-nyebut urusan jodohnya. Demikian di harian rapat itu, selagi lain orang bicara banyak ia berdiam saja.

Habis rapat, Jenghiz Khan menitahkan semua panglimanya mengundurkan diri. Seorang diri ia berdiam di atas bukit, otaknya bekerja. Besoknya pagi ia mengasih titah untuk angkatan perangnya maju di tiga jurusan, untuk menyerang negeri Kim.

Tatkala itu Juji bersama Subotai masih ada di Barat, lagi mengurus negara-negara taklukannya. Maka itu sekarang pasukan kesatu dikepalai oleh Ogotai, putra nomor tiga. Pasukan kedua diserahkan di bawah pimpinan Tuli, putra nomor empat. Kwee Ceng dapat tugas pula, untuk memimpin pasukan ketiga.

Jenghiz Khan memanggil berkumpul ketiga kepala perangnya itu, ketika ia mau bicara sama mereka itu, ia menitahkan semua pengiringnya mengundurkan diri, lantas ia berkata. "Pasukan perang Kim dipusatkan di Tongkwan. Kota itu sukar dipukul pecah karena keletakannya di selatan nempel sama pegunungan dan di utara berbatas dengan sungai besar. Pikiran dari pelbagai perwira pun tidak ada yang akur satu dengan lain. Kalau kita maju dari depan, gerakan kita tentu bakal meminta tempo yang lama. Maka itu aku pikir, jalan yang paling sempurna ialah kalau kita bangsa Mongolia berserikat sama kerajaan Song. Aku pikir baiklah kita meminjam jalan dari negara Song itu, ialah kita maju dari Tong-ciu dan Teng-ciu untuk menuju langsung ke ibukota Kim, Tay- liang."

Mendengar itu, Ogotai, Tuli dan Kwee Ceng berlompat untuk saling rangkul, buat bersama-sama berteriak. "Bagus!"

Jenghiz Khan memandang Kwee Ceng sambil bersenyum. "Kau pandai mengatur tentara, aku senang denganmu," kata pendekar ini. "Sekarang aku hendak tanya kau, setelah Tay-liang kena dipukul pecah, bagaimana?"

Kwee Ceng menggeleng kepala. "Tidak menyerang Tay-liang," sahutnya.

Ogotai dan Tuli menjadi heran. Terang barusan ayah mereka menyebutnya menyerang ibukota Kim itu. Kenapa sekarang Kwee Ceng membilang demikian? Maka keduanya mengawasi dengan melongo. Jenghiz Khan sebaliknya tetap bersenyum.

"Kalau tidak menyerang Tay- liang, bagaimana?" dia tanya pula.

Kwee Ceng menjawab dengan tenang. "Sudah tidak menyerang, bukannya juga tidak menyerang. Menyerang tetapi tidak menyerang, tidak menyerang tetapi menyerang." Kedua pangeran itu menjadi heran bukan main.

Jenghiz Khan tertawa, ia berkata pada si anak muda "Menyerang tetapi tidak menyerang, tidak menyerang tetapi menyerang. Bagus kata-kata itu. Nah, kau menjelaskanlah kepada semua kakakmu ini."

Kwee Ceng mengangguk. la berkata, "Aku dapat menerka siasat perang dari Khan yang agung. Kita berpura-pura menyerang ibukota Kim, untuk membasmi musuh di kaki tembok kota. Tay-liang ialah kota tempat kediaman raja Kim, tetapi di sana tentara yang ditempatkan tidak banyak. jikalau kita pergi ke sana. Pasti sekali raja Kim bakal segera mengirim pasukan dari Tong-kwan untuk menolongnya. Tong-kwan terpisah jauh dari Tay-liang kalau tentara dikirim cepat, tentara itu akan keburu lelah di tengah jalan. Umpama kata tentara itu dapat tiba tepat, mereka tentulah tidak kuat berperang. Dari itu tentara kita yang besar tinggal melabrak saja kepadanya. Kita pasti menang Kalau bala bantuan musuh itu dapat dipukul hancur, kota Tay-liang bakal jatuh tanpa diserang lagi. Sebaliknya kalau langsung kita menyerang Tay-liang, itulah sulit, kita pun bisa digencet musuh dari depan dan belakang."

Jenghiz Khan bertepuk tangan sambil tertawa lebar. "Bagus! Bagus!" pujinya.

Lantas raja ini mengeluarkan sehelai peta bumi, ia membeber itu di atas meja, untuk ketiga panglima perangnya itu melihatnya. Menampak itu, semua ketiga panglima itu heran bukan main. Peta itu ialah peta bumi sekitar kota Tay- liang, di situ terlukis garis untuk dua pasukan tentara - pasukan Mongolia dan musuh. Di situ pun tercatat jelas siasat guna menyerang musuh, buat menghajar bala bantuan dari Tong-kwan selagi bala bantuan itu baru tiba dan masih letih. Jadi cocoklah itu dengan pikiran Kwee Ceng barusan. Kota Tay-liang mau diserang, toh tidak diserang - kota itu tidak diserang, toh bakal dirampas.

Ogotai dan Tuli sating memandang, mereka memandang ayah mereka, lalu mereka memandang Kwee Ceng. Pada wajah mereka terlukis nyata keheranan dan kekaguman mereka.

Jenghiz Khan berkata pula, "Dengan penyerangan kita ke selatan kali ini, sudah pasti negara Kim bakal kena dipukul pecah. Di sini ada tiga buah surat tertutup, kamu bawalah seorang satu. Kalau nanti kota Tay-liang sudah dipukul pecah, kamu berkumpul di istana Kim-loan-thian raja Kim, di sana kamu membukanya dengan berbareng, lalu kamu bertindak menuruti apa yang tertera di situ."

Sembari berkata, khan agung itu merogoh sakunya mengeluarkan surat tertutup itu atau kim-long atau "kantong sulam", ia menyerahkannya seorang satu. Kwee Ceng melihat surat itu tertutup dan tersegel, laknya dicap dengan cap khan sendiri.

"Sebelum kamu memasuki kota Tay-liang, jangan kamu lancang membuka surat tertutup ini." Jenghiz Khan memesan. "Maka itu, sebelumnya kamu membuka, mesti kamu mengasih lihat satu pada lain, untuk diperiksa dulu ada atau tidak tanda rusaknya." Ketiga panglima itu menjura seraya berjanji akan mentaati pesan itu

"Kau biasanya lambat, kenapa sekarang kau cerdas dan sebat?" kemudian khan menanya Kwee Ceng.

Pemuda ini tidak mau mendusta, ia mengaku bahwa. ia telah membaca kitab Gak Hui. Jenghiz Khan lantas menanyakan hal ikhwalnya Gak Hui dan si anak muda menuturkannya. Gak Hui itu telah melabrak bangsa Kim di Cu-sian-tin, hingga Gak Hui dipangil "Gak Yaya" alias " Kakek Gak", sampai timbul sebutan, "Menggoncang gunung gampang, menggoncangkan tentaranya Gak Hui sukar."

Mendengar itu, khan ini membungkam, ia jalan mondar-mandir di kemahnya sambil menggendong tangan, kemudian ia menghela napas dan mengatakannya, "Menyesal aku tidak terlahir pada seratus tahun dulu supaya aku bisa bersahabat sama pendekar itu. Sekarang ini di dalam dunia ini siapakah dapat menjadi tandinganku?"

Untuk sejenak itu, hati raja jago ini menjadi tawar sendirinya. Karena menyesalnya, Kwee Ceng sendiri sekeluarnya dari kemah, sudah lantas menuju langsung ke kemah ibunya. Saking repot sama tugasnya, sudah beberapa hari ia tidak dapat ketika menjenguk orang tuanya itu. Besok ia mau berangkat perang ke selatan, guna membalas sakit hati negara, jadi hari itu perlulah ia menemani ibunya. Ketika ia sampai di kemah, ia mendapat sebuah kemah kosong, segalanya sudah dibawa pergi. Cuma seorang serdadu tua menjaga di situ. Atas pertanyaan, serdadu itu memberitahukan bahwa atas perintah khan agung, ibunya sudah pindah ke lain kemah. Setelah menanya jelas, ia pergi terus ke kemah yang disebutkan itu. Ia lantas mendapatkan sebuah kemah besar, yang beberapa lipat lebih besar dari kemah yang lama tadi. Dan begitu ia menyingkap pintu, ia terbengong. Di situ terlihat banyak barang berharga yang bergemerlapan, yang tentara Mongolia dapat merampas dari musuh. Putri Gochin juga berada di situ tengah menemani ibunya, yang lagi menutur hal ikhwal ia sendiri di waktu masih kecil. Menampak si anak muda, putri itu berbangkit menyambut sambil bersenyum.

"Ibu," Kwee Ceng memanggil. "Dari mana semua ini?"

"Khan agung membilang selama berperang di Barat, kau berjasa besar, maka semua ini ialah hadiah untukmu," sahut sang ibu. "Sebenarnya kita sudah terlalu biasa dengan penghidupan kecil, semua ini tidak ada perlunya untuk kita."

Di kemah itu ada tambah delapan budak. untuk merawati Lie Peng. Semua mereka ada budak-budak asal rampasan, maka itu bisa dimengerti kalau mereka ada dari kalangan bangsawan.

Ketiganya lantas duduk memasang omong. Tidak lama, putri Gochin mengundurkan diri. Ia tahu, anak itu tentu mau bicara banyak sama ibunya, ia tidak mau mengganggu mereka. Hanya, lama ia menantikan di luar, ia tidak melihat si anak muda ke luar.

"Anak Ceng," berkata Lie Peng. "Putri menantikan kau di luar, pergi kau bicara sama dia."

Kwee Ceng menyahut. “Ya,” tapi ia tidak bergerak dari tempatnya duduk.

Lie Peng menghela napas, ia berkata. "Sudah dua puluh tahun kita tinggal di Utara ini. Meski pun benar khan agung sangat memperhatikan kita, tapinya aku sangat ingin pulang. Maka itu semoga kau berhasil memusnahkan negara Kim, supaya kita berdua bisa lekas kembali ke kampung halaman kita. Kita tinggal tetap di Gu-kee-cun, di tempat kediaman lama dari ayahmu. Kau bukannya seorang yang kemaruk harta dunia dan keagungan, jadi tak usahlah kau datang pula ke sini. Hanya urusan putri yang sedikit sulit."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar