Suling Emas, Bab 8 Cinta Yang Melukai

Kho Ping Hoo, Suling Emas, Bab 8 Cinta Yang Melukai. Menjelang senja, ketika ia menuruni lereng, ia mendengar suara hiruk-pikuk di kaki bukit. Jelas terdengar suara banyak orang sedang berkelahi, diseling ringkik kuda dan denting senjata tajam saling bertemu.
Anonim
Menjelang senja, ketika ia menuruni lereng, ia mendengar suara hiruk-pikuk di kaki bukit. Jelas terdengar suara banyak orang sedang berkelahi, diseling ringkik kuda dan denting senjata tajam saling bertemu. Lu Sian mempercepat larinya dan napasnya terengah-engah ketika ia tiba di tempat pertempuran, karena selain terus-menerus ia mengerahkan gin-kang untuk berlari cepat juga hatinya selalu penuh ketegangan dan kekuatiran akan keselamatan pemuda idaman hatinya.

Kiranya banyak sekali orang yang bertanding di depan sebuah danau kecil di kaki bukit itu. Hampir seratus orang banyaknya saling gempur dan merupakan perang kecil yang kacau-balau. Ada yang masih menunggang kuda, ada yang sudah bertanding di atas tanah, bahkan ada yang bergulat sambil bergulingan, saling cekik dan saling jotos. Tidak kurang pula yang terlempar ke danau sedang berusaha berenang minggir. Kacau-balau dan hiruk-pikuk, suara makian diseling teriakan marah, keluh kesakitan dan ketakutan.

Lu Sian dapat menduga bahwa orang-orang yang berpakaian seragam biru itu tentulah pasukan yang mengawal atau yang menawan Kam Si Ek, karena diantara mereka ini masih banyak yang menunggang kuda. Adapun lawan pasukan ini adalah orang-orang yang berpakaian macam-macam, ada yang berpakaian petani, ada pula yang berpakaian pendeta, akan tetapi sebagian besar berpakaian pengemis. Tentulah segolongan dengan Wei-ho-kai-pang, pikir Lu Sian dan tentu saja hatinya lalu condong membantu para pengemis. Bukankah Kam Si Ek tertawan oleh pasukan itu dan kini para pengemis hendak menolongnya? Akan tetapi, Lu Sian tidak berniat membantu mereka, matanya mencari-cari karena ia tidak melihat Kam Si Ek. Ia tidak mempedulikan pertempuran hebat itu, karena yang ia butuhkan untuk dicari adalah Jenderal Kam.

Dengan sama sekali tidak mengacuhkan pertandingan, Lu Sian berjalan terus memasuki gelangang perang. Kalau ada senjata menyambar, tidak perduli senjata pihak pasukan atau lawan mereka ia mengelak dan kaki tangannya bergerak merobohkan siapa saja yang menghalangi jalannya! Hebat sepak terjang gadis ini. Baik pihak pasukan maupun pihak pengemis, sekali terkena pukulan maupun tendangannya pasti roboh !

"Dimana Kam Si Ek?" Berkali-kali Lu Sian bertanya kepada seorang anggota pasukan yang ia robohkan, akan tetapi tak seorangpun mau menjawabnya, bahkan ia segera dikeroyok empat anggota pasukan. Golok gagang panjang dari dua orang lawan yang masih menunggang kuda, menyambar ke arah leher dan pinggang Lu Sian. Cepat gadis itu melompat, menyambar belakang golok, membetot dengan gerakan mendadak sambil menendang ke arah golok ke dua. Golok pertama yang ia tarik itu terlepas dari pegangan dan menghantam kawan sendiri yang menyerang dari kiri, tepat mengenai pahanya dan menembus memasuki perut kuda ! Kuda itu meringkik keras dan kabur membawa penungganya yang hampir putus paha kakinya. Adapun orang yang terampas goloknya, hampir saja jatuh terguling karena terbetotot. Pada saat itu, dua orang pasukan yang tidak berkuda sudah menyerbu pula dari depan dan belakang, menggunakan pedang, Lu Sian tidak pedulikan mereka, tubuhnya meloncat ke atas dan tahu-tahu ia sudah berdiri di atas punggung kuda, tepat dibelakang lawan yang terampas goloknya tadi. Sekali menggerakan tangan, ia sudah mencekik leher lawan dari belakang. Dua orang temannya hendak menolong, akan tetapi Lu Sian mengangkat tubuh lawan dan menggunakannya sebagai perisai ! Tentu saja dua orang itu tidak berani menyerang, takut melukai tubuh teman mereka sendiri yang ternyata adalah seorang atasan mereka.

"Hayo, katakan di mana adanya Kam-goanswe!" Lu Sian membentak sambil mempererat cekikan pada tengkuk Si Perwira yang sudah tidak berdaya itu.

"Di... di sana..." Perwira itu menuding ke arah batu karang besar dan Lu Sian cepat membanting tubuhnya ke atas tanah, meloncat turun dari kuda dan berloncatan ke arah sekelompok batu karang yang memang terdapat tidak jauh dari tempat itu. Tempat itu terjaga oleh beberapa orang anggota pasukan, dan agaknya orang tawanan itu disembunyika di belakang batu-batu.

Sebelum Lu Sian sempat turun tangan, tiba-tiba ia mendengar gaduh luar biasa di antara orang-orang yang bertanding. Alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa, berkepala gundul menggunakan kedua lengan bajunya mengamuk. Seperti sepak terjangnya sendiri tadi, laki-laki gundul itu tidak peduli siapa saja, asal berada dekatnya, lalu disapu roboh oleh ujung kedua lengan bajunya. Akan tetapi gerakan laki-laki ini jauh lebih hebat, lebih ganas dan sebentar saja tubuh orang-orang bergelimpangan di sekitarnya. Kemudian laki-laki itu melompat dan bagaikan terbang saja tahu-tahu ia sudah tiba di depan batu-batu karang besar. Lima orang penjaganya segera mencegat dengan senjata di tangan, akan tetapi sekali laki-laki tinggi besar itu menggerakkan tangan kakinya, lima orang itu terlempar semua, terbanting pada batu karang dan hebatlah kesudahannya. Dua di antaranya pecah-pecah kepalanya, yang tiga mungkin patah-patah tulang iganya karena mereka roboh tak dapat berkutik lagi!

Raksasa gundul itu tertawa, lalu melangkah lebar memasuki sekelompok batu karang itu dan di lain saat ia telah melesat keluar mengempit tubuh Kam Si Ek! Kagetlah Lu Sian. Cepat ia menggerakkan kakinya menjejak tanah dan tubuhnya melesat pula mengejar. Akan tetapi gerakan Si Raksasa gundul itu benar-benar hebat karena sebentar saja ia sudah jauh meninggalkan tempat pertempuran. Betapapun juga, Lu Sian tidak mau mengalah, gadis ini mengeluarkan ilmunya berlari cepat sehingga kedua kakinya seakan-akan tidak menyentuh tanah lagi!

"Lepaskan dia!!" Ia membentak setelah dapat menyusul sehingga jarak mereka hanya tinggal lima meter lagi. Kedua tangan gadis ini bergerak dan serangkum sinar kemerahan menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum rahasia yang amat hebat. Gadis ini amat suka akan bunga-bunga yang harum, maka sejak kecil ia mempelajari keadaan segala macam bunga. Setelah ia pandai ilmu silat dan banyak mendapat petunjuk ayahnya tentang pelbagai macam racun, maka ia lalu dapat mencampur racun-racun berbahaya dengan sari keharuman bunga, maka terciptalah jarum-jarumnya yang ia namakan Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum). Memang amat harum baunya jarum-jarum ini, bahkan ketika menyambar dengan sinar merah, sudah tercium baunya yang amat harum, begitu harumnya sehingga dapat memabokkan orang. Tidak terkena jarumnya, baru mencium baunya saja sudah cukup berbahaya, apalagi kalau sampai jarum itu menembus kulit memasuki jalan darah !

Akan tetapi, raksasa gundul itu benar-benar lihai sekali. Tanpa menoleh ia sudah mengebutkan lengan bajunya dan... jarum-jarum itu memasuki lubang tangan baju dan menancap disitu. Tiba-tiba raksasa gundul itu berseru keras, tangannya bergerak dan jarum-jarum itu menyambar keluar, kembali ke pemiliknya! Tentu saja Lu Sian terkejut sekali, cepat ia menyampok jarum-jarumnya sendiri dengan pedangnya yang sudah ia cabut keluar. Lawan ini benar lihai, pikirnya dan terkejutlah ia ketika teringat bahwa raksasa gundul selihai ini kiranya hanya ada seorang saja di dunia, yaitu Ban-pi Lo-cia! Ban-pi Lo-cia tokoh utara yang sudah bertanding dua hari dua malam melawan ayahnya dan berkesudahan seri! Bahkan Kwee Seng sendiri yang begitu sakti, sampai dapat dihancurkan sulingnya oleh raksasa gundul ini. Sejenak Lu Sian meragu. Terang bahwa dia bukan lawan kakek itu. Akan tetapi Kam Si Ek telah dikempit dan dibawa lari, bagaimana ia dapat mendiamkannya saja? Gadis ini sudah mempersiapkan jarum-jarumnya lagi, akan tetapi melihat kakek itu tidak mempedulikannya dan malah lari makin cepat, ia berpikir dan tidak jadi menyerang, melainkan terus mengikuti dengan cepat pula, takut kalau-kalau tak dapat menyusul.

"Ia tentu tidak berniat membunuh Kam Si Ek."

"Kalau hendak membunuhnya, perlu apa dibawa-bawa lari? Agaknya Kam Si Ek tidak berdaya, kelihatannya lemas tentu sudah terkena totokan, kalau mau dibunuh sekali pukul juga mati." Karena berpikir demikian maka Lu Sian tidak jadi menyerang secara nekat, melainkan kini ia membayangi Ban-pi Lo-cia yang terus lari memasuki sebuah hutan di kaki bukit.

Dengan hati-hati sekali Lu Sian menghampiri sebuah bangunan kuil tua yang berada di dalam hutan. Ia tahu bahwa Ban-pi Lo-cia memasuki kuil itu maka ia tidak berani menerjang masuk secara sembrono. Bukan ia takut menhadapi bahaya, melainkan Lu Sian seorang gadis yang cerdik. Sia-sia saja kalau harus menempuh bahaya dan membiarkan dirinya dirobohkan atau ditangkap pula, akan gagallah usahanya menolong Kam Si Ek. Ia berindap menghampiri kuil dan mengintai. Senja telah datang akan tetapi cuaca di luar kuil belum gelap benar. Hanya di sebelah dalam kuil yang tua dan rusak itu sudah gelap. Akan tetapi ia dapat mendengar suara Ban-pi Lo-cia yang parau diselingi suara ketawanya penuh ejekan.

"Heh-heh-heh, Kam-goanswe tentu banyak kaget. Untung saya keburu datang, kalau tidak tentu keselamatan Goanswe takkan dapat dipertahankan lagi." Kembali kakek itu tertawa. Lu Sian merasa heran mendengar kata-kata ini dan ia mengerahkan pandang matanya untuk melihat sebelah dalam yang agak gelap. Setelah matanya biasa, ia dapat melihat bayangan Kam Si Ek duduk bersila di atas lantai, agaknya mengatur napas dan tenaga, sedangkan Ban-pi Lo-cia juga duduk bersandar tembok.

Kam Si Ek menggerakkan kedua lengannya menjura, masih sambil bersila, dan terdengar suaranya yang nyaring,

"Losuhu siapakah ? Harap suka memperkenalkan diri, agar aku yang sudah menerima budi pertolongan akan dapat mengingat nama besar Losuhu."

"Ha-ha-ha! Kam Si Ek, dengarlah. Aku bukan seorang hwesio seperti kau sangka, aku orang biasa. Sebaliknya kau seorang jenderal yang amat dibutuhkan orang pada saat seperti sekarang ini. Oleh karena itu, aku menolongmu tentu bukan sekali untuk melepas budi, melainkan untuk keperluan yang tiada bedanya dengan para penculikmu. Ha-ha-ha!"

"Hemmm, kiranya begitulah? Kalau begitu, siapapun adanya kau, dan betapapun tinggi kepandaianmu, tak mungkin kau akan dapat memaksa aku untuk tunduk dan mentaati perintahmu. Raja Liang bermaksud menculikku, akan tetapi kau lihat sendiri, banyak orang mencoba mengagalkan penculikannya. Kulihat pendeta, orang-orang Kang-ouw, dan para pengemis yang menyerbu. Aku boleh jadi terkenal dalam perang, akan tetapi aku sama sekali tidak terkenal di antara mereka. Kalau mereka juga berusaha menolongku, tentu juga bermaksud menguasaiku. Ah, alangkah bodoh dan sia-sia ! Selama negara terpecah-pecah seperti sekarang, selama orang-orang besar dan pemimpin rakyat main berebutan, kemuliaan dan kedudukan, selama tentara dipergunakan untuk memerangi saudara sebangsa, aku Kam Si Ek takkan sudi mengeluarkan setetes pun keringat untuk membantu!"

Ban-pi Lo-cia bangkit berdiri, bertolak pinggang dan menundukkan muka memandang orang muda yang sedang duduk bersila itu.

"Ah, Kam Si Ek, tahukah kau siapa aku?"

"Kau seorang tua yang berilmu tinggi, sayang..."

"Eh, kenapa sayang?"

"Sayang bahwa seorang tua yang lihai seperti kau ini masih dapat diperalat oleh orang-orang yang haus akan kedudukan tinggi, yang ingin memperoleh kekuasaan dan kemuliaan di atas ratusan ribu mayat dari rakyat!"

"Ha-ha-ha ! Kalau aku memperkenalkan diriku, tentu kau juga takkan mengenal namaku, karena kau bukan seorang kang-ouw, melainkan seorang ahli perang. Akan tetapi agaknya menarik bagimu kalau kukatakan bahwa aku menangkapmu untuk kuserahkan kepada rajaku di Khitan."

"Ahhh...!" Kam Si Ek benar-benar terkejut mendengar ini. Ia sudah amat terkenal sebagai pemukul orang-orang Khitan sehingga di kalangan musuh besar ini, yaitu para prajurit Khitan, menjulukinya Im-kan-ciangkun! Ia tahu bahwa orang-orang Khitan paling membencinya, maka tahulah Kam Si Ek bahwa kali ini ia tentu akan tewas. Akan tetapi ia sama sekali tidak sudi memperlihatkan rasa takut, maka ia lalu tertawa mengejek.

"Hemm, sejak dahulu aku tahu bahwa orang-orang Khitan amat licik dan pengecut..."

Ban-pi Lo-cia berseru keras dan di luar kuil, Lu Sian sudah siap dengan jarum-jarum dan pedangnya. Kalau kakek itu turun tangan membunuh Kam Si Ek, ia akan mendahuluinya dengan serangan jarum beracun disusul serbuannya ke dalam untuk mengadu nyawa !

"Apa kau bilang? Bangsa Khitan adalah bangsa yang paling besar, bangsa paling gagah perkasa. Bagaimana kau berani menyebut licik dan pengecut?"

"Mereka kalah perang, entah sudah berapa kali mereka terpukul muncur dalam perang melawan pasukanku. Mengapa sekarang mereka menggunakan akal keji untuk menculikku ? Bukankah ini cara yang licik sekali? Kalau memang gagah, mengapa tidak mengajukan panglima perang yang ulung untuk melawanku mengatur barisan?"

"Ha-ha-ha! Kalau kau katakan itu licik, kau gila! Justeru karena kami membutuhkan kepandaianmu mengatur maka kami sengaja menculikmu. He, Kam Si Ek. Tinggal kaupilih sekarang. Kau sudah menumpuk hutang terhadap kami bangsa Khitan. Untuk membalas dendam, membunuhmu sama mudahnya dengan membunuh seekor cacing. Akan tetapi rajaku tidak menghendaki demikian. Kau ikut denganku ke Khitan dan bekerja untuk rajakku. Kelak kau tentu akan menjadi panglima tertinggi dan hidup penuh kemuliaan."

"Tidak sudi ! Lebih baik mati ditanganmu!" Tiba-tiba Kam Si Ek melompat bangun dan goloknya menyambar dalam serangannya kepada Ban-pi Lo-cia. Kiranya, tadi ketika ia ditawan oleh pasukan Kerajaan Liang, ia diperlakukan baik dan golok emasnya pun tidak dirampas, akan tetapi karena ia tidak dapat melawan puluhan orang, pula karena ia belum mendengar apa kehendak Raja Liang memanggilnya secara diculik, Kam Si Ek tidak melawan. Sekarang menghadapi seorang Khitan yang hanya memberi dua jalan, yaitu mati dibunuh kakek ini atau takluk dan membantu Khitan, tentu saja ia lebih senang memilih mati daripada harus menjadi penghianat bangsa.

Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. Entah apa yang terjadi di dalam kuil itu Lu Sian tidak dapat melihat jelas. Selagi ia hendak meloncat masuk membantu Kam Si Ek , tiba-tiba ia mendengar desir angin dari dalam. Cepat ia mengelak dan kiranya golok emas di tangan Kam Si Ek tadi sudah terlepas dari pegangan pemiliknya dan menyambar ke luar mengarah Lu Sian ! Gadis itu terkejut dan cepat meloncat keluar kuil, maklum bahwa kakek itu agaknya sejak tadi sudah tahu bahwa ada orang mengintai.

Benar saja, bayangan kakek gundul itu berkelebat dan tahu-tahu sudah berhadapan dengan Lu Sian. Kakek itu menyeringai, matanya terbelalak lebar, dan sepasang biji matanya yang bundar itu melotot. Memang ia sudah tahu bahwa ada orang mengintai, akan tetapi karena ia memang "besar kepala" dan memandang rendah semua orang, ia tidak peduli. Baru setelah Kam Si Ek menyerangnya, ia "menangkap" golok emas itu dengan ujung lengan baju dan menggentak golok emas itu terlepas dari tangan Kam Si Ek lalu melontarkannya langsung menyerang Si Pengintai. Sama sekali tidak disangkanya bahwa pengintainya adalah seorang gadis yang begini cantik jelita sehingga membuat matanya melotot dan mulutnya mengiler. Biarpun sudah banyak sekali kakek gundul ini mempermainkan wanita cantik, namun harus ia akui selama itu belum pernah ia berjumpa dengan seorang gadis yang seperti ini jelitanya. Tentu saja hatinya girang bukan main.

"Ha-ha-ha, cantik jelita! Aduh, bidadari manis. Hampir saja aku kesalahan tangan membunuhmu. Untung..." Ia melangkah maju jari tangannya yang besar-besar dan berbulu itu bergerak hendak mengelus pipi Lu Sian. Gadis ini mencelat mundur dan wajahnya pucat ketika ia memikirkan Kam Si Ek.

"Kau apakan dia...? Kau... kau bunuh dia...? Ia berseru dan kakinya, bergerak hendak meloncat ke dalam kuil. "Kalau kau membunuh Kam Si Ek, aku akan mengadu nyawa denganmu, Ban-pi Lo-cia!"

"Eh-eh, juita... kau tahu namaku...?" Ban-pi Lo-cia merasa heran. Akan tetapi Lu Sian tidak memperdulikannya dan melangkah masuk ke dalam kuil. Akan tetapi cepat ia menghindar karena hampir ia bertumbukan dengan Kam Si Ek yang berlari keluar dari dalam untuk mengejar lawannya. Ia terheran-heran melihat Lu Sian yang segera dikenalnya. Ia mendengar ucapan gadis itu tadi, maka alangkah herannya karena sama sekali ia tidak menyangka bahwa yang pertama datang untuk menolongnya adalah... puteri Ketua Beng-kauw yang pernah membuat ia tergila-gila begitu berjumpa!

Juga Lu Sian tercengang dan girang sekali.

"Lekas..." katanya. "Lekas kau ambil golokmu disana. Kita keroyok, dia lihai sekali!"

Tentu saja Kam Si Ek tahu akan kelihaian kakek gundul itu. Tadi saja di dalam gelap, sekali gebrak goloknya sudah kena dirampas! Akan tetapi karena tidak ada jalan lain kecuali nekat melawan, ia mengangguk dan cepat ia lari dan mencabut goloknya yang menancap pada sebatang pohon. Setelah itu ia kembali berlari menghampiri lawannya yang sudah berhadapan dengan Lu Sian. Agaknya, kecantikan Lu Sian yang luar biasa itu seakan-akan menyilaukan pandangan mata yang lebar melotot itu, membetot semangatnya dan membuat Si Kakek Gundul berdiri seperti patung, menikmati wajah ayu lalu merayap-rayap turun, Lu Sian menjadi merah mukanya. Pandang mata itu seakan-akan mulut besar yang melahapnya dengan rakus !

"Monyet tua, kau melihat apa?" Lu Sian membentak marah dan pedangnya berkelebat dengan serangan jurus Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat. Karena maklum bahwa lawannya ini amat lihai, maka begitu bergerak ia segera menggunakan ilmu pedang ciptaan ayahnya itu. Pedangnya berkelebat menyambar menimbulkan angin berdesir diikuti suara mengaung.

"Aihh, bagus ilmu pedangmu!" Ban-pi Lo-cia berseru kaget. Tentu saja ia dapat mengenal ilmu pedang yang baik. Cepat ia mengebutkan ujung lengan bajunya yang kiri. Biarpun hanya ujung lengan baju, akan tetapi karena digerakkan oleh seorang yang berkepandaian tinggi, lengan baju itu menjadi senjata yang amat ampuh. Ketika ujungnya menangkis pedang, Lu Sian merasa betapa tangannya panas. Itulah tanda betapa besarnya tenaga sin-kang dari lawannya. Di lain pihak, ban-pi Lo-cia juga heran. Ia tadi sudah mengerahkan tenaganya dengan maksud memukul runtuh pedang Si Nona, siapa kira pedang itu tidak runtuh. Dari rasa kaget ia menjadi gembira.

"Heh-heh-heh, cantik jelita dan manis seperti bidadari, ilmu pedangnya lumayan pula. Heh-heh, sukar dicari keduanya...!"

Pada saat itu, golok ditangan Kam Si Ek sudah menyambar, membacok, ke arah kepalanya yang gundul. Kepala itu gundul plontos seperti labu, agaknya akan terbelah dua kalau bacokan golok itu mengenainya. Akan tetapi Ban-pi Lo-cia adalah seorang tokoh besar yang sakti. Tanpa menoleh atau membalikkan tubuhnya, ia sudah menundukkan kepalanya sehingga golok itu berdesing hanya beberapa senti di sebelah kanan kepalanya. Kakek ini tentu saja tidak mendiamkan orang yang menyerangnya. Tangan kanannya mencengkram ke belakang dan biarpun ia masih tetap memandang penuh kekaguman kepada Lu Sian, namun tangan yang digerakkan ke belakang itu dengan cepat sekali telah menyerang ke arah pergelangan tangan kanan Kam Si Ek yang memegang golok. Jenderal muda ini kaget. Ternyata kakek yang diserang ini tanpa merobah kedudukan badan telah dapat mengelak dan sekaligus mengancam lengannya. Cepat ia menarik kembali goloknya dan meloncat ke samping untuk menghindarkan cengkraman yang amat hebat itu.

Lu Sian sudah menerjang pula. Kini gerakan kakinya membentuk pat-kwa mengelilingi Si Kakek Gundul, pedangnya menyambar-nyambar dari delapan penjuru. Inilah Pat-mo Kiam-hoat yang dimainkan sepenuhnya oleh gadis itu, karena ia tahu betul, tanpa usaha keras dan sungguh-sungguh, dia dan Kam Si Ek pasti akan celaka menghadapi lawan tangguh ini. Kam Si Ek yang masih merasa heran mengapa gadis puteri Beng-kauwcu ini bisa tiba-tiba muncul di tempat ini dan berusaha menolongnya, juga maklum bahwa mereka berdua menghadapi seorang lawan tangguh. Ia tidak pernah mendengar nama Ban-pi Lo-cia, akan tetapi kakek gundul itu sudah membuktikan kelihaiannya. Cepat Kam Si Ek juga memutar golok emasnya dan kini ia berhati-hati sekali, mengeluarakan jurus-jurus berbahaya mendesak dari belakang.

Kam Si Ek adalah murid dari ayahnya sendiri, seorang panglima perang yang ulung. Akan tetapi, karena ayahnya juga seorang ahli perang, dengan sendirinya ia lebih suka mempelajari ilmu perang dan memimpin barisan daripada ilmu silat. Dalam hal menunggang kuda, melepas panah dan mencari siasat dalam memimpin barisan, ia jauh lebih hebat daripada ilmu silatnya. Betapapun juga, golok emasnya yang digerakkan dengan tenaganya yang besar, cukup berbahaya.

Ban-pi Lo-cia agak tertegun ketika tubuhnya terpaksa bergerak ke sana kemari dan kedua lengan bajunya berkibar-kibar karena ia gunakan sebagai senjata untuk menghadapi hujan serangan pedang Lu Sian. Ia tertegun karena mengenal ilmu pedang itu.

"Kau... murid Pat-jiu Sin-ong...?" tanyanya sambil miringkan tubuh ke kiri disusul kebutan lengan bajunya ke belakang untuk menghalau golok Kam Si Ek.

"Ban-pi Lo-cia manusia liar, kau berhadapan dengan puteri tunggalnya!"

"Ahh... ha-ha-ha, bagus sekali!" Ban-pi Lo-cia tertawa keras dan tiba-tiba ia menghentikan semua gerakannya. Melihat hal ini, Lu Sian dan Kam Si Ek cepat menerjang, pedang Lu Sian membabat ke arah leher disusul dengan tangan kiri, sedangkan Kam Si Ek dari belakang membacokkan goloknya ke arah pinggang. Hebat sekali serangan dua orang muda ini.

Akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar hitam kecil panjang, seperti seekor ular terbang mengitari tubuh Ban-pi Lo-cia. Hebat sekali ini yang ternyata merupakan sehelai cambuk atau tali hitam panjang berkelebatan sambil mengeluarkan suara meledak-ledak seperti petir menyambar. Kam Si Ek berseru kaget karena goloknya sudah terlepas dari tangannya karena lengan kanannya tiba-tiba menjadi lumpuh terkena totokan ujung cambuk !

Lu Sian marah sekali, melihat cambuk itu masih mengancam Kam Si Ek ia menubruk maju dengan nekat, menggerakkan pedangnya menusuk ke arah tenggorokan kakek itu untuk dilanjutkan dengan gerakan mengiris ke arah cambuk. Serangan ini benar-benar amat berbahaya dan Ban-pi Lo-cia maklum akan hal ini. Dengan gerakan kaki ringan, kakek itu meloncat ke belakang sampai dua meter lebih dan ketika Lu Sian menerjang maju, tiba-tiba cambuknya mengeluarkan suara keras lalu menyambar ke depan, ujungnya menghantam ke arah muka yang cantik jelita itu.

Kini Lu Sian yang menjadi kaget setengah mati. Bunyi seperti petir dari ujung cambuk itu membingungkannya, apalagi melihat sinar hitam itu berputaran di depan mukanya. Celakalah ia kalau menerima lecutan cambuk ini, tentu akan bercacat ! Karena ini, ia menggerakkan pedang dan tangan kirinya ke depan, pedangnya berusaha membabat cambuk, tangan kirinya menggunakan gerakan Houw-jiauw-kang (Ilmu Mencengkram Kuku Harimau) untuk menangkap cambuk.

Ban-pi Lo-cia terkekeh dan tahu-tahu sinar cambuknya melingkar-lingkar makin lama makin mengecil dan tanpa dapat dihindarkan lagi oleh Lu Sian, kedua lengan gadis itu sudah terlibat cambuk, terus berputar-putar melibat dan membelenggu kedua pergelengan tangannya, Lu Sian mengeluh kaget, pedangnya terlepas dari tangannya dan betapapun ia mengerahkan tenaga untuk membebaskan kedua lengannya, namun sia-sia belaka.

"Huah-hah-hah, manisku, kau hendak lari ke manakah?" Ban-pi Lo-cia memegangi cambuk atau tali hitamnya itu dengan tangan kiri, kemudian ia melangkah maju dan tangan kanannya dengan jari besar-besar dan penuh bulu itu diulur ke depan, agaknya hendak menangkap tubuh Lu Sian, matanya melotot penuh nafsu. Melihat muka yang berkulit kasar, mata yang bijinya kemerahan, mulut dengan bibir tebal menyeringai makin mendekatinya, Lu Sian hampir menjerit saking ngeri dan seremnya.

"Binatang, kau lepaskan dia!" Tiba-tiba Kam Si Ek yang sudah kehilangan goloknya itu meloncat dan menubruk Ban-pi Lo-cia dari belakang! Tadi jenderal muda ini merasa lengan kanannya lumpuh setelah totokan ujung cambuk sehingga goloknya terlepas. Akan tetapi setelah cambuk itu menyambar ke arah Lu Sian, ia cepat mengerahkan sin-kang ke arah lengan untuk mengusir kelumpuhan. Betapa kagetnya melihat kini Lu Sian yang tertangkap dan agaknya Si Kakek Iblis itu hendak berbuat kurang ajar. Rasa kuatir membuat Kam Si Ek menjadi nekat dan seperti seekor singa muda ia meloncat dan menerkam dari belakang.

Kalau saja ia berada dalam keadaan biasa, tak mungkin Ban-pi Lo-cia dapat diserang secara kasar begini. Akan tetapi pada saat itu, Ban-pi Lo-cia seakan-akan dalam mabok, mabok kecantikan Lu Sian yang membuat semangatnya melayang-layang, apalagi setelah ia berhasil mengikat kedua tangan gadis itu dengan cambuknya. Bagaikan seorang kelaparan melihat panggang ayam di depannya. Ban-pi Lo-cia tidak ingat apa-apa lagi kecuali korbannya. Inilah sebabnya mengapa Kam Si Ek berhasil menerkamnya dan menggulatnya dari belakang. Pemuda yang bertenaga kuat itu sudah memiting lehernya dari belakang dan menggunakan ilmu gulat yang memang pernah ia pelajari untuk memiting dan mencekik leher Ban-pi Lo-cia!

Kagetlah Ban-pi Lo-cia ketika tahu-tahu punggungnya diterkam dan lehernya dicekik lingkaran tangan yang kuat! Karena jalan pernapasannya terancam, Ban-pi Lo-cia marah sekali. Sesaat ia melupakan Lu Sian, cambuknya ia tarik kembali dan kedua tangannya bergerak memukul kepala Kam Si Ek di belakangnya dan merenggut lengan yang mencekiknya. Akan tetapi Kam Si Ek menyembunyikan kepalanya di belakang punggung, memiting dan mencekik terus, bahkan melingkarkan kedua kakinya pada pinggang dan paha lawannya dari belakang. Ia seakan-akan menjadi seekor lintah yang sudah menempel dan lekat, tak dapat dilepaskan lagi! Menghadapi ilmu gulat macam ini Ban-pi Lo-cia kelabakan. Ia bisa dan berani menghadapi imu silat dari aliran manapun juga, akan tetapi menghadapi cara berkelahi yang ngawur dan tanpa aturan ini ia benar-benar terkejut sekali.

Pada saat itu, Lu Sian yang sudah terbebas daripada belenggu ujung cambuk, sejenak mengurut-ngurut kedua lengannya yang terasa sakit, kemudian ia menyambar pedangnya lagi dan cepat melakukan serangan tusukan bertubi-tubi, juga membabat lengan kakek itu untuk mencegah Si Kakek lihai ini memukul Kam Si Ek.

Repot juga Ban-pi Lo-cia. Kedua tangannya harus menghadapi pedang Lu Sian di depan yang menyerang seperti seekor burung walet menyambar-nyambar, sedangkan cekikan Kam Si Ek pada lehernya makin mengeras dan kuat sekali. Sebetulnya dengan mudah Ban-pi Lo-cia akan dapat mengalahkan Lu Sian, akan tetapi karena ia terburu-buru saking gugup dan kuatirnya akan cekikan yang ketat, ia menjadi bingung sendiri, mengebut-ngebutkan kedua lengan baju untuk menghalau lengan Lu Sian tanpa mendapat kesempatan untuk memikirkan daya agar ia terbebas dari cekikan orang muda itu. Kam Si Ek mengerahkan seluruh tenaganya. Niatnya hanya satu, yakni mematahkan tulang leher lawannya ! Tenaga jenderal muda ini memang besar sekali ! kalau yang ia piting lehernya itu bukan Ban-pi Lo-cia, tentu leher itu sudah patah tulangnya karena tenaga pitingan Kam si Ek ini mampu mematahkan tulang seekor harimau! Akan tetapi Ban-pi Lo-cia bukan seekor harimau, bukan pula manusia biasa, melainkan seorang tokoh persilatan yang tinggi ilmunya dan amat kuat tenaganya. Ia pun cerdik. Hanya sebentar saja ia bingung. Segera ia mengerti bahwa kalau ia gugup, akan celakalah dia. Maka kini cambuknya kembali melecut-lecut dan mengeluarkan bunyi seperti petir menyambar, membentuk lingkaran-lingkaran dan di lain saat ujung cambuknya telah melibat pedang Lu Sian dan merampas pedang itu, kemudian ujung cambuk yang melibat pedang itu menyambar pula sehingga pedang itu seakan-akan dimainkan tangan menikam ke arah Lu Sian.

"Ayaaaa....!" Lu sian terpaksa mengelak mundur, akan tetapi pedang itu terus mengejarnya, menikam bertubi-tubi sehingga gadis ini terpaksa menggulingkan dirinya dan menjauhi lawan. Saat inilah dipergunakan Ban-pi Lo-cia untuk menggunakan tangan kirinya menotok jalan darah di dekat siku lengan Kam Si Ek yang mengempit lehernya. Ditotok jalan darahnya, seketika lumpuhlah lengan Kam Si Ek dan otomatis kempitannya pada leher juga terlepas. Dengan penuh amarah Ban-pi Lo-cia merenggutkan diri terlepas lalu membalik dan sekali tangan kirinya menampar, pundak Kam Si Ek kena pukulan dan pemuda itu terguling roboh!

"Bocah setan ! Ditawari kemuliaan kau memilih kematian. Kau hendak mencekik aku, hendak membuatku menjadi mayat dengan mata melotot dan lidah keluar, ya? Mari kita lihat, siapa yang akan mampus menjadi setan penasaran!" Ia menubruk maju dan di lain saat ia sudah menindih tubuh Kam Si Ek dan mencekik leher pemuda itu dengan lengan kanannya yang berjari besar-besar dan berbulu ! Tangan kirinya memegang cambuk dan ia tertawa bergelak-gelak ketika kedua tangan Kam Si Ek berusaha melepaskan cekikannya.

"Iblis tua, lepaskan dia!" Liu Lu Sian terkejut sekali melihat pemuda itu terkejut sekali melihat pemuda itu tercekik, maka cepat ia menyambar pedangnya yang tadi dilepaskan libatan cambuk, lalu ia menerjang maju dengan nekat untuk menolong pemuda pujaan hatinya.

"Heh-heh-heh, kau bersabar dan tunggulah, manis ! Nanti kita bersenang-senang kalau bocah ini sudah kucekik sampai melotot matanya, keluar lidahnya dan melayang nyawanya! Ha-ha-ha!" Kakek gundul ini menggunakan cambuk di tangan kirinya untuk menangkis setiap kali pedang Lu Sian menyambar.

Kam Si Ek tahu bahwa nyawanya berada dalam cengkraman maut. Ia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya, berusaha sekuatna untuk merenggut lepas lengan tangan yang mencekiknya. Namun hasilnya sia-sia belaka, karena tangan kakek yang kuat itu tidak dapat direnggutnya. Ia sudah hampir tidak tahan lagi, tak dapat bernapas, pandang matanya sudah berkunang, telinganya penuh suara melengking tinggi, kepalanya serasa membesar dan hampir meledak. Tadinya ia mengharapkan bantuan Lu Sian, akan tetapi gadis itu pun tidak berdaya menolongnya, selalu tertangkis cambuk, habislah harapan Kam Si Ek. Ia merasa menyesal sekali, bukan menyesal harus mati. Bagi seorang gagah, kematian bukanlah apa-apa. Akan tetapi sebagai seorang panglima perang, ia ingin mati di dalam perang, bukan mati di tangan kakek ini yang berarti mati konyol bagi seorang pejuang. Lebih menyesal lagi hatinya itu pun menghadapi bencana yang agaknya akan lebih hebat daripada maut !

Tiba-tiba wajah Kam Si Ek yang sudah merah itu membayangkan kekagetan. Pada saat itu ia tengah memandang ke arah Liu Lu Sian dan kini hendak melihat apa yang akan dilakukan oleh gadis itu, ia berteriak sekuatnya.

"Jangan...!" akan tetapi teriakannya terhenti di tenggorokan yang terjepit erat oleh jari tangan Ban-pi Lo-cia.

"Brett...! Breettt ! Ban-pi Lo-cia, kau lihatlah ke sini dan lepaskan dia...!"

Mendengar suara kain robek dan suara Lu Sian menggetar, Ban-pi Lo-cia tertarik dan menoleh. Matanya yang sudah lebar makin melebar, mulutnya terbuka dan ujung bibirnya penuh air liur ketika ia melihat nona itu merobek bajunya sendiri sehingga baju bagian dada terobek lebar memperlihatkan baju dalam berwarna merah muda yang membayangkan kulit tubuh putih dengan bentuk menggiurkan.

"Kau masih belum mau melepaskannya?" Suara Lu Sian merdu dan diucapkan dengan mulut menyungging senyum manis ditambah lirikan mata memikat.

"Heh-heh-heh... ah, hebat kau...!" Ban-pi Lo-cia lupa kepada Kam Si Ek dan bagaikan dalam mimpi ia bangkit meninggalkan pemuda itu, kini ia terkekeh, matanya tak pernah berkedip menelan gadis di depannya, kakinya melangkah ke depan dan kedua tangannya dikembangkan siap untuk menubruk dan memeluk.

Lu Sian masih tersenyum-senyum, menyembunyikan pedang di tangannya di belakang tubuh, melangkah mundur dengan gerakan lemah gemulai seperti orang menari sehingga makin menonjollah kecantikan tubuhnya, terus mundur dan kadang-kadang melirik kepada Kam Si Ek yang masih rebah di belakang kakek itu. Ketika ia melihat Kam Si Ek sudah merayap bangun, meraba-raba dan menemukan kembali goloknya kemudian bangkit berdiri, tangan kanan memegang gagang golok, tangan kiri mengelus-ngelus lehernya yang terasa kaku dan sakit, tiba-tiba Lu Sian menggerakkan tangan kirinya yang tadinya bersembunyi di belakang tubuhnya, dibarengi teriakan nyaring.

"Bangsat tua, makanlah ini!" Sinar merah menyambar ke seluruh tubuh Ban-pi Lo-cia disusul terjangan pedang yang menusuk ke arah muka di antara sepasang alisnya. Inilah serangan hebat sekali ! Ban-pi Lo-cia tengah terpesona oleh kecantikan Lu Sian, maka hampir saja ia menjadi korban serangan ini. Baiknya ia memang amat lihai, begitu melihat kelebatnya jarum dan pedang kesadarannya pulih dan sambil berseru kaget ia mencelat ke belakang, menyampok jarum-jarum dengan lengan bajunya dan menggerakkan cambuk untuk melibat pedang Lu Sian. Tiba-tiba terdengar angin mendesir di belakangnya, ia cepat mengelebatkan cambuknya membentuk lingkaran lebar dan sekaligus ia sudah dapat menangkis golok di belakangnya dan pedang di depannya. Segera Lu Sian dan Si Ek, tanpa dikomando lagi, telah mengeroyok Si Kakek Lihai sambil mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga. Maklum bahwa mereka berdua terancam bahaya maut yang hebat, maka mereka menjadi nekat. Mau melarikan diri tak mungkin, walaupun akan kalah, maka mereka kini menyerang dengan jurus-jurus berbahaya, kalau perlu siap mengadu nyawa !

Liu Lu Sian adalah puteri tunggal Pat-jiu-sin-ng, biarpun tingkat kepandaiannya jauh kalah kalau dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, namun ia bukan sembarang lawan dan dapat berbahaya kalau maju secara nekat seperti itu. Adapun Kam Si Ek, biarpun ilmu silatnya tidak seganas ilmu silat Lu Sian, namun pemuda ini bertenaga besar dan tak mengenal takut. Oleh karena inilah maka tidak mudah bai Ban-pi Lo-cia untuk merobohkan mereka tanpa melukai berat atau membunuh. Padahal ia tidak sekali-kali bermaksud membunuh Lu Sian yang membuatnya tergila-gila, adapun Kam Si Ek kalau memang tidak dapat ia bujuk tentu akan dibunuhnya. Setelah mencari akal, tiba-tiba cambuknya yang bernama Lui-kong-pian (Cambuk Kilat) membuat gerakan melingkar-lingkar ke atas dan terdengarlah suara cambuk meledak-ledak seperti petir, kemudian ujung cambuk menyambar bertubi-tubi ke arah kepala Kam Si Ek dan Liu Lu Sian.

Dua orang muda itu kaget sekali. Suara meledaknya cambuk itu seakan-akan memecahkan telinga, maka begitu melihat sinar menyambar ke atas kepala, mereka cepat menangkis dengan senjata. Akan tetapi, golok dan pedang seperti terhisap oleh cambuk, lekat dan tak dapat ditarik kembali. Mereka berdua mengerahkan tenaga untuk dapat menarik kembali senjata mereka, dan saat ini dipergunakan oleh Ban-pi Lo-cia untuk secara tiba-tiba melepaskan cambuk Lui-kong-pian, tubuhnya segera berjongkok dan kedua lengannya memukul ke depan dengan jari-jari tangan terbuka. Inilah pukulan Hek-see-ciang (Tangan Pasir Hitam) yang luar biasa ampuhnya. Biarpun jarak mereka terpisah antara dua meter, namun begitu angin pukulan menghantam, dua orang muda itu terpental dan terjengkang lalu roboh!

"Hemm, tua bangka tak tahu malu! Berani kau merobohkan Kam-goanswe yang gagah perkasa?" Tiba-tiba terdengar angin mendesing dari kiri. Maklum bahwa ini adalah pukulan yang amat hebat. Ban-pi Lo-cia dengan kaget cepat memutar tubuh ke kiri dan menangkis. Dua macam tenaga pukulan sakti bertemu di udara, tidak mengeluarkan suara, akan tetapi akibatnya Ban-pi Lo-cia terhuyung mundur sampai empat langkah. Dan di depannya kini berdiri seorang kakek tua yang rambutnya riap-riapan, berdiri secara aneh karena bukan kedua kakinya yang berdiri, melainkan sepasang tongkat bambu yang menggantikan kedua kakinya yang ditekuk bersila.

"Eh... kau... kau Sin-jiu Couw Pa Ong? Ha-ha, aku mendengar kau menjadi orang buronan yang lari ke sana ke mari seperti anjing terkena gebuk? Ha-ha-ha, kedua kakimu lumpuh? Aduh kasihan, Raja Muda yang malang kini menjadi pengemis lumpuh." Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. Ia tidak gentar menhadapi Couw Pa Ong yang kini berjuluk Kong Lo Sengjin karena melihat orang itu sudah lumpuh. Ia maklum bahwa kakek bekas raja muda ini terkenal sekali dengan sepasang tangannya sehingga dijuluki Sin-jiu, akan tetapi andaikata kakek itu belum lumpuh sekalipun ia tidak takut, apalagi sudah lumpuh. Segera ia memegang cambuk kilatnya erat-erat, siap untuk menggempur.

Kong Long Sengjin tidak menjadi marah mendengar makian ini.

"Ban-pi Lo-cia, kau tikus Khitan yang busuk. Mana aku ada waktu melayani segala tikus yang tiada harganya? Akan tetapi jangan kau mencoba menganggu Kam-goanswe. Dia seorang patriot Tang, dan aku akan membelanya sampai mati!"

Ban-pi Lo-cia cukup maklum bahwa menghadapi kakek lumpuh ini, biarpun ia tidak akan kalah, namun ia merasa sangsi apakah ia akan dapat merobohkannya cepat-cepat, apalagi kalau dua orang muda itu nanti membantu Si Kakek Lumpuh. Ia memang cerdik. Perlu apa meributkan Kam Si Ek. Terang bahwa jenderal muda itu tidak akan suka membantu Khitan, andaikata ia paksa bawa ke Khitan, akhirnya tentu akan nekat tidak mau membantu. Tadi pun sudah tampak jelas kekerasan hati pemuda ini. Membunuhnya pun kalau resikonya harus dikeroyok, tidak menguntungkan. Kerajaan di selatan tidaklah berbahaya lagi, mereka saling gempur, saling berebutan kekuasaan, apa perlunya takut akan barisan yang dipimpin Kam Si Ek? ia lalu tertawa menyeringai.

"Kakek lumpuh, raja gembel! Siapa butuh dia? Kau bawalah jenderalmu itu, yang kubutuhkan adalah Si Bidadari!" Ia menoleh dan memandang kepada Liu Lu Sian dengan mata melotot dan mulut terbuka lebar.

Pada saat itu, Liu Lu Sian yang sudah sadar lebih dulu, telah lari kepada Kam Si Ek. Pemuda itu masih pingsan, akan tetapi setelah Lu Sian mengurut dada dan menotok tiga jalan darah terpenting, pemuda itu pun siuman dari pingsannya. Untung bahwa mereka tadi terkena pukulan secara langsung, hanya terpukul oleh anginnya saja yang membuat mereka pingsan. Kalau tersentuh tangan Ban-pi Lo-cia dengan pukulannya Hek-see-ciang tentu sukar ditolong nyawa mereka.

Mendengar ucapan dua orang kakek sakti itu, Liu Lu Sian terkejut bukan main. Menghadapi seorang kakek saja sudah repot, apalagi kalau mereka berdua itu maju bersama, seorang menculik Kam Si Ek dan yang seorang pula menculik dia ! Ia tertawa bekikikan sambil menutup mulutnya dan matanya memandang ke arah Kong Lo Sengjin. Dua orang kakek itu terheran, dan Lu Sian segera meloncat berdiri, menudingkan telunjuknya ke arah Kong Lo Sengjin sambil berkata.

"Ayahku Pat-jiu Sin-ong pernah bilang bahwa Sin-jiu Couw Pa Ong adalah seorang patriot yang gagah perkasa dan seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, tidak takut akan setan dan iblis sehingga ayahku kagum sekali. Akan tetapi setelah aku menyaksikan sendiri, hi-hi-hik..." Liu Lu Sian tidak melanjutkan kata-katanya melainkan tertawa lagi terkekeh.

Kong Lo Sengjin mengerutkan keningnya, hatinya serasa dibakar dan ia membentak,

"Budak rendah! Biarpun kau puteri Pat-jiu Sin-ong aku takut apa? Mengapa kau mentertawakan aku? Apanya yang tidak cocok?"

"kau ternyata seorang yang licik, beraninya hanya membunuhi para pengungsi! Orang-orang yang tidak bersalah, masih bangsa sendiri pula, karena mereka itu tidak kuat melawanmu, kau bunuhi seperti orang membunuh lalat saja. Akan tetapi sekali ini kau menghadapi seorang Khitan, musuh lama Kerajaan Tang, karena kau tahu bahwa Ban-pi Lo-cia orangnya lihai bukan main, kau lalu mengkeret nyalimu, nyali tikus yang beraninya hanya kepada si lemah. Khitan ini hampir membunuh Jenderal Kam, kau mengalah dan ketakutan. Cihh, mana itu darah pahlawan? Hi-hi-hik!"

Sin-jiu Couw Pa Ong yang sekarang bernama Kong Lo Sengjin adalah seorang bekas raja muda yang selalu dihormati orang. Selama hidupnya baru sekarang ia mendengar olok-olok macam itu terhadap dirinya, maka mukanya segera menjadi merah, dan ia mencak-mencak seperti orang kebakaran jenggot. Matanya bernyala jalang ketika ia menghadapi Ban-pi Lo-cia yang hanya menyeringai penuh ejekan.

"Ban-pi Lo-cia, bersiaplah kau! Biar aku melawanmu agar jangan ada siluman cilik mengira Kong Lo Sengjin takut menghadapi seekor monyet Khitan!"

Ban-pi Lo-cia tentu saja maklum akan kelicikan Liu Lu Sian yang menggunakan siasat mengadu domba. Akan tetapi ia pun terkenal sebagai tokoh kang-ouw tingkat tinggi, manabisa ia mengalah terhadap seorang kakek yang sudah lumpuh? Ia harus memperlihatkan kelihaiannya, setelah merobohkan kakek lumpuh ini, apa sukarnya menangkap Si Gadis Liar dan membunuh Kam Si Ek?

"Raja Muda bangkrut! Kaulihat Lui-kong-pian mengambil nyawamu!" Bentakan ini disusul suara "tar-tar-tar!" keras sekali ketika cambuknya melayang ke atas dan melecut-lecut sambil mengeluarkan bunyi seperti halilintar.

"Ha-ha-ha, kau benar, Ban-pi Lo-cia. Hajar saja kakek lumpuh itu, mana dia kuat melawanmu?" Liu Lu Sian berseru sambil bertepuk tangan. Besar hati Ban-pi Lo-cia mendengar gadis itu memihak kepadanya, maka ia makin hebat memutar cambuknya dan menyerang.

Di lain pihak, Kong Lo Sengjin yang berwatak angkuh dan tinggi, merasa marah sekali dan ia tidak akan berhenti, tidak akan mau sudah sebelum ia berhasil mengalahkan Ban-pi Lo-cia. Memang cerdik Liu Lu Sian. Ia memakai taktik memanaskan kedua pihak, sebentar ia memihak Ban-pi Lo-cia, sebentar ia memihak kakek lumpuh sehingga pertandingan di antara kedua orang sakti itu makin menghebat. Sementara itu, seperti menjadi harapan Lu Sian, pertandingan makin lama makin hebat dan mati-matian sedangkan cuaca menjadi makin gelap, malam pun tiba. Dengan hati-hati Lu Sian mengumpulkan pedang dan golok Kam Si Ek, memberi isyarat supaya pemuda itu tidak banyak bergerak atau bicara, kemudian di dalam gelap ia memegang tangan pemuda itu, menyerahkan goloknya dan mengajaknya pergi dari situ dengan perlahan-lahan dan sedikit-sedikit.

Sementara itu, dua orang kakek yang sudah dibakar perasaannya oleh Lu Sian, telah bertanding dengan hebatnya. Mula-mula Ban-pi Lo-cia menggunakan tangan kosong karena ia memandang rendah kepada lawannya yang sudah lumpuh. Namun tahu bahwa lawannya ini tentu memiliki sin-kang yang kuat, maka dalam serangannya ia mengerahkan tenaga dan menggunakan Hek-see-ciang yang ia andalkan. Agaknya Ban-pi Lo-cia, seperti biasa menjadi watak tokoh besar yang terlalu percaya kepandaian sendiri, memang sengaja hendak menguji sampai di mana hebatnya Si Kepalan Sakti. Pukulannya Hek-see-ciang yang tadi anginnya saja sudah mampu merobohkan Lu Sian dan Si Ek, kini menghantam ke arah Kong Lo Sengjin. Hebat memang pukulan Hek-see-ciang dari kakek gundul ini. Tentu dilatih belasan tahun lamanya, dengan latihan mencacah dan memukul pasir besi panas yang tercampur racun kelabang direndam arak tua, maka kini pukulan yang dilancarkan kengan pengaruh tenaga sin-kang, hebatnya luar biasa sehingga tidak aneh kalau orang-orang muda perkasa seperti Lu Sian dan Si Ek tadi roboh hanya oleh anginnya saja.

Namun sekali ini perhitungan Ban-pi Lo-cia meleset. Kong Lo Sengjin tidak percuma dijuluki Sin-jiu atau Kepalan Sakti. Ia memang seorang ahli silat tangan kosong, maka tentu saja ia hafal akan segala macam pukulan berbisa seperti Hek-see-ciang atau Ang-see-jiu, maupun Pek-lek-jiu, malah sudah tahu pula bagaimana harus menghadapi pukulan-pukulan ini. Kini melihat Ban-pi Lo-cia yang didahului oleh sinar hitam, ia tertawa bergelak, lalu memapaki pukulan itu dengan telapak tangan kanannya setelah memindahkan tongkat kanan ke tangan kiri. Ban-pi Lo-cia girang melihat ini. Tangan terbuka merupakan sasaran lunak bagi Hek-see-ciang, karena hawa pukulannya akan langsung menembus kulit telapak tangan dan menyerbu ke dalam saluran darah terus ke jantung. Maka ia mengerahkan tenaganya dan memukul telapak tangan itu.

"Dessss...!" Ban-pi Lo-cia kaget setengah mati karena kepalan tangannya bertemu dengan benda yang lemas lunak seperti kapas dan mendadak ia merasa betapa tenaga pukulannya seperti amblas tanpa dasar, tidak menemui sesuatu. Selagi ia hendak menarik tangannya, tiba-tiba tenaga pukulannya membalik dan menyerang dirinya sendiri melalui kepalan tangannya !

"Celaka...!" Ia berseru kaget dan cepat lengan kirinya menampar tangan kanannya sendiri sehingga tenaga yang membalik itu tertangkis dan ia segera melempar diri ke belakang sambil bergulingan. Kiranya kakek buntung itu sudah mempergunakan jurus dari Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang dasarnya memainkan atau mencuri tenaga lawan, kemudian dengan pengerahan tenaga sin-kang ia melontarkan kembali tenaga lawannya yang tadi tenggelam atau tersimpan.

Marahlah Ban-pi Lo-cia. Tahu bahwa tak boleh ia main-main lagi dengan tangan kosong melawan kakek yang berjulukan Kepalan Sakti ini, ia melolos Lui-kong-pian dan terus mengadakan serangan dahsyat. Cambuknya menyambar-nyambar dan meledak di atas kepala Si Kakek Buntung. Diam-diam Kong Lo Sengjin terkejut. Ia lebih mahir menggunakan tangan kosong, akan tetapi menghadapi cambuk yang demikian panas dan dahsyatnya, kalau dilawan dengan tangan kosong, tentu ia akan terdesak. Maka ia lalu melompat ke belakang dan mengangkat tongkat bambumya untuk menangkis, kemudian secepat kilat tongkat bambu yang kiri menusuk perut lawan. Kiranya dua batang bambu yang dipergunakan untuk pengganti kaki itu kini dapat dimainkan seperti senjata.

Kalau yang kanan akan menyerang, yang kiri menjadi kaki dan demikian sebaliknya. Bahkan adakalanya tubuh kakek lumpuh ini melayang ke atas dan pada saat seperti itu, dua batang bambunya dapat menyerang bertubi-tubi. Hebat memang bekas raja muda ini ! Tongkat-tongkat bambunya itu tidak saja dapat menyerang dengan pukulan dan hantaman atau sodokan seperti dua batang toya panjang, malah ujungnya dapat ia pergunakan untuk menotok jalan darah. Karena bambu itu berlubang, maka ketika digerakkan oleh sepasang tangan yang sakti itu, mengeluarkan bunyi angin mengaung-ngaung seperti suara dua ekor harimau bertanding.

Ramai bukan main pertandingan tingkat tinggi ini. Bayangan mereka lenyap terbungkus gulungan sinar senjata dan terdengar pada saat itu adalah auman-auman yang keluar dari sepasang bambu diseling suara meledak-ledak dari ujung cambuk. Keadaan yang seimbang ini, ketangguhan lawan membuat hati yang sudah menjadi gelap, tidak mendusin lagi bahwa dua orang muda itu sudah lenyap dari situ.

Setelah lewat seratus jurus, mendadak Kong Lo Sengjin yang teringat kepada Lu Sian berseru,

"Siluman betina, kaulihat baik-baik bagaimana aku merobohkan monyet Khitan!" Tiba-tiba gerakannya berubah. Kini tongkat bambu di tangan kirinya menerjang dengan gerakan memutar seperti kitiran sehingga suara mengaung jadi makin keras. Demikian cepatnya putaran tongkat bambu ini sehingga Ban-pi Lo-cia terpaksa memutar cambuknya pula untuk menangkis dan melindungi tubuh. Dengan tongkat lawan diputar sperti itu, tak mungkin ia dapat melibat dengan cambuknya.

Tiba-tiba sekali, selagi bayangan tongkatnya itu masih belum lenyap, tongkatnya sendiri sudah turun dan kini sebagai gantinya, tangan kanan kakek lumpuh itu menghantam ke depan dengan pukulan jarak jauh. Angin mendesis ketika pukulan ini dilakukan. Pukulan ini sudah membunuh puluhan orang pengungsi tanpa mengenai tubuh, maka dapat dibayangkan betapa ampuhnya. Ban-pi Lo-cia kaget dan maklum bahwa inilah pukulan maut yang membuat kakek bekas raja muda itu dijuluki Kepalan Sakti. Ia tidak berani berlaku sembrono, maka tidak mau menangkis secara langsung karena maklum bahwa lawannya memang memiliki keistimewaan dalam hal pukulan tangan kosong. Cepat ia menggeser kakinya sehingga kedudukan kuda-kudanya miring, kemudian dari samping ia baru berani menangkis dengan Hek-see-ciang. Tentu saja menangkis dari samping tidak sama dengan menerima dari depan secara langsung. Betapapun juga, begitu lengannya bertemu dengan lengan kakek lumpuh, hampir saja Ban-pi Lo-cia terjengkang, maka cepat-cepat ia melompat ke belakang sambil tertawa bergelak.

"Huah-hah-hah, bidadari cantik manis. Kau lihat, bukankah Ban-pi Lo-cia tidak dapat roboh oleh Sin-jiu ? Sekarang kaulihat betapa aku membalasnya..." Tiba-tiba Ban-pi Lo-cia berhenti berkata-kata, matanya liar mencari-cari di dalam gelap dan tiba-tiba ia berseru,

"Celaka, kita kena tipu gadis liar itu!"

"Huh-huh, siapa butuh siluman itu? Biar dia mampus!" Kong Lo Sengjin memaki. "Hayo kita lanjutkan pertandingan, tak usah banyak cerewet!" Kembali ia menerjang maju dengan tongkat bambunya.

"Nanti dulu!" Ban-pi Lo-cia mengelak. Lenyapnya gadis jelita yang tadinya ia anggap sebagai korban yang sudah berada di depan mulut, melenyapkan pula nafsunya bertempur.

"Kau tahu ia itu puteri Pat-jiu Sin-ong. Mengapa pula ia ikut-ikut memperebutkan Kam-goanswe kalau tidak diutus ayahnya? Hemm, apakah kaukira Nan-cao tidak mengilar pula memiliki panglima seperti Kam-goanswe?"

Kong Lo Sengjin menyumpah-nyumpah.

"Kau betul ! Celaka, kita kejar dia!"

Dua orang itu lalu melesat pergi mengejar. Tiba-tiba keduanya seperti ada yang memberi aba-aba, meloncat ke atas pohon dan memandang dari puncak pohon besar. Biarpun keadaan gelap, namun sinar bintang-bintang di langit cukup untuk menerangi sebagian besar permukaan bumi dan pandangan tajam kedua orang kakek ini segera melihat berkelebatnya bayangan dua orang muda itu yang belum lari jauh.

"Huah-hah-hah, manisku ! Kau hendak lari kemana?" Mereka berdua meloncat turun lagi dan segera mengejar ke arah dua bayangan tadi.

Bukan main kagetnya hati Lu Sian. Tadinya ia sudah merasa girang karena berhasil lari pergi dari tempat pertempuran selagi dua orang kakek sakti itu berkutetan mencari menang. Tanpa disengaja, mereka lari sambil berpegang tangan. Agaknya Kam Si Ek masih belum pulih betul oleh bekas pukulan Hek-se-ciang, maka ia menurut saja digandeng dan ditarik oleh gadis itu.

"Celaka." Bisik Lu Sian, "Si Monyet Gundul mengejar kita..."

"Hemm, kita bersembunyi di balik batang pohon besar, biarkan ia lewat lalu tiba-tiba kita berdua menyerang dari kanan kiri, bukankah itu akan berhasil?" Kam Si Ek memberi usul.

Siasat seperti ini adalah siasat perang, akan tetapi agaknya takkan berhasil banyak kalau dipergunakan sebagai siasat pertandingan perorangan. Dalam perang mungkin siasat ini dapat dipergunakan melawan musuh yang lebih banyak.

"Percuma, kepandaiannya beberapa kali lipat lebih tinggi daripada kita, akal itu takkan berhasil. Lebih baik bersembunyi, tapi jangan sampai dapat dicari."

Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari arah belakang,

"Kam-goansewe, jangan takut aku menolongmu!"

Gemetar suara Lu Sian mendengar ini.

"Wah, benar-benar celaka. Kusangka Ban-pi Lo-cia menang dan mengejar, kiranya kedua-duanya iblis tua itu yang mengejar kita."

"Hemm, mengapa takut? Kalau memang tidak ada jalan keluar, kita lawan mati-matian. Aku tidak takut mati!"

"Aku... aku juga tidak takut mati, akan tetapi aku masih ingin hidup, apalagi sekarang setelah bertemu denganmu." Kata-kata Lu Sian ini membikin Kam Si Ek terkejut dan tercengang. Selanjutnya ia menurut saja ketika Lu Sian menariknya ke arah kiri di mana terdapat sebuah danau kecil. Kini bulan mulai menerangi jagat dan tampaklah permukaan danau kilau kemilau, dan rumput alang-alang yang tumbuh di pinggir danau bergerak-gerak seperti menari-nari ketika tertiup angin malam.

"Lekas terjun, ini jalan satu-satunya!" Lu Sian menarik tangan Kam Si Ek dan mereka terjun ke dalam air danau yang gelap dan dingin. Kam Si Ek segera menggerakkan kaki tangan hendak berenang ke tengah, akan tetapi gadis itu menahannya.

"Tidak usah ke tengah, kita bersembunyi di sini saja."

"Di sini?" "Ya, menyelam. Lihat, alang-alang ini dapat menyembunyikan kita." Lu Sian memilih batang alang-alang yang besar dan panjang, memotongnya dan memasukkan ujungnya ke mulut.

"Kalau mereka lewat, kita menyelam, batang alang-alang ini membantu pernapasan kita."

Diam-diam Kam Si Ek kagum bukan main. Gadis ini cerdik luar biasa, pikirnya setelah ia mengerti apa yang dimaksudkan Lu Sian. Ia pun segera memotong sebatang alang-alang dan mereka menanti. Danau di bagian pinggir itu tidak dalam, air hanya sebatas dada mereka. Akan tetapi dinginnya bukan main !

Tidak lama mereka menanti. Dua bayangan yang cepat sekali gerakannya datang dari depan, lalu terdengar suara Ban-pi Lo-cia,

"Ke mana mereka pergi ? Tak mungkin mereka lari jauh!"

"Hemm, kalu tidak bersembunyi di danau itu, kemana lagi?" kata pula Si Kakek Lumpuh, Kong Lo Sengjin.

Kagetlah hati dua orang muda itu dan cepat-cepat Lu Sian menarik tangan Kam Si Ek memberi isyarat supaya menyelam. Keduanya lalu menyelamkan kepala, berlutut ke dalam danau dan batang alang-alang itu mereka pergunakan untuk menghisap hawa dari permukaan air. Karena di situ memang banyak tumbuh alang-alang maka batang alang-alang dari mulut mereka itu tidak tampak dari luar.

Mereka tidak berani banyak bergerak, kuatir kalau-kalau air bergelombang dan menimbulkan kecurigaan. Dari dalam air mereka dapat melihat bayangan dua orang itu di pinggir danau. Agaknya dua orang kakek itu tetap menyangka mereka bersembunyi di danau maka sengaja mereka menanti. Akan celakalah agaknya kalau tadi mereka tidak mempergunakan batang alang-alang untuk bernapas, karena kalau tadi mereka hanya menyelam biasa, tentu sekarang sudah tidak kuat menahan napas dan terpaksa muncul lagi. Dan sekali mereka muncul, berarti mereka pasti akan tertawan ! Saking girang dan kagum hati Kam Si Ek memikirkan ini, di dalam air ia memegang tangan Lu Sian dan menggenggamnya. Kagetlah ia karena tangan gadis itu menggigil kedinginan. Baru ia teringat bahwa di dalam air danau ini dingin luar biasa, maka tanpa ragu-ragu lagi Kam Si Ek lalu memeluk pundak gadis itu sambil merapatkan tubuhnya agar dengan jalan ini mereka berdua agak merasa hangat.

Ketika melihat dari dalam air bahwa kedua orang kakek itu berdiri agak menjauhi tempat mereka sembunyi, Lu Sian menempelkan telinganya ke permukaan air dengan gerakan hati-hati sekali. Daun telinganya timbul di permukaan air di antara alang-alang dan terdengarlah suara Ban-pi Lo-cia.

"Aku harus mendapatkan bidadari itu!"

"Ah, monyet tua bangka tak tahu malu, masih suka mengejar-ngejar gadis remaja. Aku sama sekali tidak peduli. Nah, kaucarilah sendiri!" jawab Kong Lo Sengjin sambil menggerakkan tongkat hendak pergi.

"Uh, uh, kaulah yang tolol!" Si Gundul memaki. "Apa kaukira Jenderal Kam Si Ek akan aman berada di tangannya ? Eh, setan lumpuh, mari kita kerja sama. Kau mengejar ke kanan aku mengejar ke kiri, syukur kalau aku dapat menangkap Si Bidadari Manis dan kau dapat menemukan Jenderal Kam. Kalau sebaliknya, kita lalu saling menukar tangkapan kita, bukankah ini kerja sama yang baik sekali?"

Si Kakek Lumpuh diam sejenak. Dipikir-pikir memang benar juga ucapan iblis gundul ini. Iblis gundul ini lihai bukan main, kalau dia sampai mengganggu puteri Beng-kauw-cu Pat-jiu Sin-ong, itulah baik. Biar kelak Pat-jiu Sin-ong mencarinya untuk membalas dendam. Biar dua orang iblis itu saling gempur, dengan demikian berarti ia akan kehilangan dua orang musuh yang tangguh, dan kalau mereka itu sampai mampus, berarti Khitan dan Nan-cao akan kehilangan tulang punggungnya.

"Usulmu baik sekali, baiklah aku setuju!" kata Si Kakek Lumpuh yang segera meloncat dan berlari cepat sekali dengan sepasang tongkatnya, ke arah kiri, Ban-pi Lo-cia juga berlari cepat ke arah kanan dan sebentar saja lenyaplah bayangan mereka, meninggalkan danau yang sunyi.

Lu Sian menarik tangan Kam Si Ek dan kini keduanya berdiri lagi. Air sampai sebatas dada mereka. Akan tetapi mereka belum berani keluar dari danau.

"Kita tunggu sebentar, siapa tahu mereka itu hanya menipu. Kalau mereka tiba-tiba kembali, kita dapat menyelam lagi."

Kata Lu Sian dan Kam Si Ek mengangguk. Mereka masih berpegang tangan dan kini, di bawah sinar bulan mereka saling pandang dengan seluruh rambut, muka dan tubuh basah! Melihat pandang mata Kam Si Ek seperti itu, tak terasa lagi Lu Sian menjadi merah mukanya, berdebar hatinya dan ia cepat menundukkan mukanya !

"Liu-siocia, tanpa bantuanmu aku tentu sudah menjadi orang halus. Aku berhutang budi, berhutang nyawa kepadamu, entah bagaimana aku dapat membalasnya."

"Tidak ada yang hutang dan tidak ada yang menghutangkan nyawa!" jawab Lu Sian, kini matanya bersinar-sinar memandang. Wajah mereka hanya terpisah dua jengkal saja, tangan mereka masih saling berpegang.

"Kalau tadi aku tidak kaubantu, aku pun sudah celaka di tangan Ban-pi Lo-cia." Ketika Lu Sian menunduk dan melihat bajunya yang robek, ia cepat-cepat menutupkannya, dan kembali dua pipinya tiba-tiba menjadi merah.

Kam Si Ek bingung. Sejenak ia terpesona. Biasanya, menghadapi gadis cantik yang terang-terangan memperlihatkan cinta kasih kepadanya, ia memandang randah dan tidak mengacuhkan. Ia selalu menganggap bahwa wanita hanya akan melemahkan semangatnya berjuang ! Akan tetapi sekali ini ia benar-benar bingung. Wajah ini, biarpun basah kuyup dan rambutnya awut-awutan, luar biasa cantiknya.

"Kenapa kau memandang terus tanpa berkedip?" Tiba-tiba Lu Sian bertanya sambil tersenyum.

"Eh.. oh.. aku heran, bagaimana kau bisa tahu bahwa aku terkurung bencana dan dapat datang menolong..." Dalam gugupnya Kam Si Ek berkata, heran akan kenakalan gadis ini menggodanya seperti itu.

Lu Sian lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ia mendengar rencana jahat yang dilakukan Phang-ciangkun untuk menipu dan menawan Kam Si Ek dan semua peristiwa yang terjadi ketika ia melakukan pengejaran untuk menolong Kam Si Ek ke Lok-yang, Kam Si Ek mendengarkan penuh perhatian, kagum akan kecerdikan Lu Sian dalam mengikuti jejak mereka yang menculiknya, bergidik mendengar akan kekejaman Kong Lo Sengjin membunuhi pengungsi.

"Dia dahulu adalah seorang Raja Muda yang perkasa, berjuang mati-matian mempertahankan Dinasti Tang. Sayang bahwa kekecewaan karena melihat jatuhnya Kerajaan Tang membuat ia seperti gila dan menjadi seorang kejam."

"Kau sendiri bersetia kepada Tang sampai rela mengorbankan nyawa." Lu Sian menegur.

"Akan tetapi semua kesetiaanku kutujukan kepada negara dan bangsa. Kerajaan Tang roboh karena kesalahan Kaisar dan pembantu-pembantunya, yang mengabaikan rakyat. Sekarang, setelah Kerajaan Tang jatuh, aku hanya mengabdi kepada negara dan rakyat, tidak mudah tertipu oleh mereka yang mengangkat diri sendiri menjadi raja-raja kecil yang saling bertempur memperebutkan kekuasaan."

"Hemm, kau memang... memang lain daripada yang lain..." Lu Sian menarik napas panjang memandang kagum tanpa disembunyikan lagi. Melihat pandang mata gadis ini, berdebar jantung Kam Si Ek karena ia menjadi bingung dan tidak mengerti mengapa gadis ini memandangnya seperti itu, menimbulkan rasa tegang dan juga senang.

"Nona, mengapa kaulakukan semua ini...?" Akhirnya ia bertanya, memandang tajam.

"Lakukan apa?" Lu Sian sambil memperlihatkan senyumnya yang membuat darah diseluruh tubuh Kam Si Ek bergelora.

"Melakukan semua untuk menolongku ? Mengapa kau seperti tidak mempedulikan keselamatanmu sendiri hanya... hanya untuk menolong orang seperti aku?"

Sejenak mereka saling pandang dan tanpa sengaja, kini mereka saling mendekat, tinggal sejengkal saja jarak antara hidung mereka. Akhirnya Lu Sian menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali, akan tetapi suaranya terdengar merdu dan jelas.

"Karena ........... karena aku cinta kepadamu !"

Hampir saja Kam Si Ek terjengkang ke dalam air kalau saja Lu Sian tidak cepat-cepat memegang lengannya dan menariknya,

"Kau ... kenapa.....?" Gadis itu bertanya kaget.

"Ah..... Lui Lu Sian.... Kau membikin aku hampir mati kaget....!" Kam Si Ek memang amat kaget, kaget dan girang. Siapa yang takkan kaget mendengar seorang gadis remaja yang demikian cantik jelita, yang dahulu telah merobohkan hatinya, kini tiba-tiba mengaku cinta secara terang-terangan ?

"Lu Sian... mungkin... mungkinkah ini..." ia lalu merangkul.

"Mengapa tidak mungkin? Ketika kau muncul dahulu itu... menangkis pedangku, lalu bilang bahwa hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya kau menangkan aku... nah, sejak itu aku tak dapat melupakanmu..."

"Aduh, kau adikku yang nakal... adikku yang manis..." Dalam kegirangan yang meluap-luap Kam Si Ek lalu mendekap kepala gadis itu dan menciumnya. Keduanya yang selama hidupnya baru kali ini mengalami hal seperti itu, merasa seakan-akan lemas seluruh syaraf di tubuh, membuat mereka tak dapat berdiri tegak, dan tergulinglah mereka ke dalam air, masih berpelukan dan berciuman! Dalam keadaan seperti itu untung sebelum mereka bangkit, mereka melihat bayangan Ban-pi Lo-cia berkelebat di pinggir danau dan berdiri tak jauh dari rumpun alang-alang! Tentu saja mereka tidak berani berkutik, dengan saling rangkul mereka memaksa diri berendam di dalam air, menahan napas !

Setelah bayangan itu lenyap lagi, baru mereka berani muncul dalam keadaan saling rangkul dan terengah-engah, kemudian tertawa-tawa karena keadaan itu mereka anggap lucu. Tiba-tiba mereka berhenti tertawa, masih saling peluk dan saling pandang dengan sinar mata penuh kasih sayang. Lama mereka saling pandang tanpa kata-kata, kemudian terdengar Kam Si Ek berkata lirih,

"Moi-moi, terima kasih atas budi dan cintamu, percayalah, semenjak aku melihatmu dahulu, aku sudah jatuh cinta kepadamu, hanya aku... aku tahu diri, seorang seperti aku mana mungkin mengharapkan seorang dewi puteri Beng-kauwcu?"

Lu Sian mencubit lengan pemuda itu.

"Kau seorang Jenderal ! Dan aku.. aku hanya wanita biasa, bagaimana kau bisa bilang begitu?" Ia lalu menyandarkan mukanya pada dada yang bidang dan basah itu, sedangkan Kam Si Ek dengan penuh kebahagiaan mendekap kepala kekasihnya itu menggigil kedinginan. Memang tadi di dalam air sudah amat dingin, kini setelah separuh tubuh berada dipermukaan air dan tertiup angin malam, dinginnya makin menghebat.

"Ah, kau kedinginan ! Mari kita keluar dari sini!" katanya

"Hemm, kukira kau akan mengajakku menjadi sepasang kura-kura disini." Lu Sian menggoda. Mereka tertawa dan kembali Kam Si Ek merasa kagum terhadap kekasihnya ini. Jelas bahwa Lu Sian ini memiliki watak yang bebas, lincah dan jenaka sekali. Tidak biasa ia menghadapi watak seperti ini dan karenanya ia merasa amat gembira dan heran.

Mereka lalu meloncat ke darat.

"Kita kembali ke Sungai Kuning, bukankah perahu yang membawamu masih berada di sana?"

"Ah, malah kembali ke perahu?" "Tentu saja. Perahu itulah tempat satu-satunya yang tidak akan disangka oleh dua orang kakek itu. Mereka tentu mengira kita mengambil jalan darat, untuk kembali ke bentengmu atau ke selatan."

Kam Si Ek mengangguk. Cerdik benar kekasihnya ini dan ia makin bangga serta gembira. Mereka lalu sedapat mungkin memeras air dari pakaian yang mereka pakai, kemudian berlari-lari mengambil jalan yang gelap menuju ke Sungai Kuning di utara. Di tengah jalan, Lu Sian mengeluarkan jarum dan benang yang selalu dibawanya dalam saku, dan sambil berjalan ia menjahit bajunya yang robek. Mereka melakukan perjalanan tanpa bicara karena kuatir kalau-kalau suara mereka akan terdengar orang, hanya genggaman jari-jari tangan mereka yang bicara banyak, menggetarkan perasaan hati masing-masing. Kadang-kadang Kam Si Ek tak dapat menahan hatinya dan ia memeluk Lu Sian, beberapa lama mereka berdekapan dan berbisik-bisik di dekat telinga masing-masing.

Karena melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali, pada keesokan harinya pagi hari barulah mereka sampai di sudut di mana perahu besar itu berlabuh. Alangkah kaget hati Lu Sian melihat bahwa air bah makin membesar. Dusun yang terendam air makin tak tampak dan keadaan di situ sunyi sekali, para anak buah perahu berjaga. Dari tempat tinggi itu tampak perahu masih berada di sana sehingga mereka menjadi girang sekali.

Karena banjir makin membesar, kini rumah gedung itu mulai terendam air sedikit, kira-kira sejengkal dalamnya. Ketika Lu Sian dan Kam Si Ek tiba di gedung itu, mereka mendengar suara bersungut-sungut dari dalam.

"Celaka betul, sampai sekarang belum juga ada berita dari kota raja! Apakah kita akan didiamkan di sini sampai mati kedinginan?"

"Ah, Laote, tak perlu mengomel. Ini termasuk kewajiban dan tentu akan ada pahalanya!" cela suara lain. Tiba-tiba enam orang prajurit yang bertugas menjaga perahu itu terkejut ketika dua sosok bayangan melompat masuk dan seorang gadis dengan pedang di tangan telah berada di depan mereka. Apalagi ketika melihat bahwa bayangan ke dua adalah Kam Si Ek, orang yang tadinya tertawan dan dibawa ke kota raja, seketika mereka menjadi pucat dan berseru.

"Celaka...!"

Akan tetapi pada saat itu, pedang di tangan Lu Sian sudah berkelebatan bagaikan seekor burung garuda menyambar, mengeluarkan angin menderu dan muncratlah darah dari tubuh enam orang itu yang roboh satu-satu dengan dada berlubang atau leher hampir putus. Darah yang keluar dari luka mereka membuat sedikit air yang merendam lantai seketika menjadi merah.

"Moi-moi... jangan..." Kam Si Ek mencegah, akan tetapi gerakan pedang Lu Sian amat cepat, secepat kilat menyambar dan enam orang itu telah menggeletak tak bernyawa lagi. Cegahan Kam Si Ek terlambat dan pemuda ini berdiri dengan muka berkerut, tak senang ia menyaksikan perbuatan gadis ini yang dianggapnya amat kejam dan ganas. Teringat ia bahwa gadis kekasihnya ini adalah puteri tunggal Beng-kauwcu dan terbayang dalam benaknya kekejaman-kekejaman yang terjadi di Beng-kauw. Tiba-tiba ia menjadi marah sekali.

"Hemm, gadis berhati kejam ! Sekarang aku tahu maksud hatimu! Kau tidak ada bedanya dengan yang lain. Tentu kau hendak membujukku untuk membantu ayahmu di Nan-cao, bukan? Kau mempergunakan kecantikanmu untuk menjatuhkan hatiku. Memang, aku cinta kepadamu, aku tergila-gila kepadamu oleh kecantikanmu. Akan tetapi jangan harap bahwa aku, Kam Si Ek seorang laki-laki sejati akan menjual negara dan bangsa hanya karena seorang wanita!" Ia mencabut golok emasnya dan memandang dengan mata penuh kemarahan.

Lu Sian terkejut, akan tetapi hanya sebentar. Ia malah tersenyum, tersenyum mengejek. Ia puteri tunggal Pat-jiu Sin-ong, tentu saja ia pun mempunyai watak yang amat aneh. Membunuh baginya bukan apa-apa. Orang yang patut dibunuh harus dibunuh, demikian ajaran ayahnya. Kini ia memandang dengan mata penuh kagum dan cinta kepada Kam Si Ek, akan tetapi sengaja ia tersenyum mengejek. Inilah kesempatan baik baginya untuk menguji kepandaian pemuda itu. Maka ia lalu menggerakkan pedangnya dan berkata.

"Kam Si Ek, begitukah dugaanmu? Dan kau telah menghunus golokmu? Baiklah, mari kita lihat siapa diantara kita yang lebih lihai!" Sambil berkata demikian, gadis itu meloncat ke ruangan belakang gedung yang lebih luas karena ruangan itu penuh mayat. Sambil melompat ia melirik dan mengeluarkan suara ketawa mengejek, membikin hati Kam Si Ek makin panas.

"Lihat golok!" bentak Kam Si Ek sambil meloncat mengejar bagaikan kilat. Lu Sian membalikkan tubuh dan menggerakkan pedangnya menangkis. Maka bertandinglah kedua orang itu dalam ruangan belakang di mana lantainya penuh air sehingga kaki mereka membuat air di lantai muncrat-muncrat. Golok dan pedang menyambar-nyambar dan berkali-kali terdengar suara nyaring beradunya kedua senjata itu ! Memang aneh kedua orang muda ini. Beberapa jam yang lalu mereka masih berpelukan, berciuman, dan sekarang mereka sudah saling serang, senjata mereka saling mengintai nyawa!

Dalam hal ilmu silat, Kam Si Ek masih kalah oleh Liu Lu Sian. Akan tetapi, pemuda ini mempunyai ketabahan hati luar biasa, karenanya ilmu goloknya seperti dimainkan oleh orang nekat, juga tenaganya besar sekali sehingga untuk seratus jurus lamanya mereka bertanding dengan seru dalam keadaan berimbang.

Lu Sian orangnya memang cerdik sekali. Ia sudah dapat menyelami perasaan hati kekasihnya, maka ia tidak marah ketika tadi dimaki-maki. Ia tahu bahwa cara hidup kekasihnya itu jauh berbeda dengan dia, maka bagi Kam Si Ek, cara pembunuhan yang dilakukan tadi tentu amat mengagetkan. Selain itu, agaknya kekasihnya ini mulai merasa curiga, mengira bahwa dia memang bermaksud membujuk dan menariknya untuk membantu Kerajaan Nan-cao. Oleh karena ini, maka ia berlaku hati-hati sekali. Kalau sampai ia menyinggung hati pemuda yang sudah menjadi kekasihnya itu, maka hal itu dapat merenggangkan perhubungan mereka yang sudah mulai terjalin.

Kini ia sudah merasa puas menguji kepandaian Kam Si Ek. Sungguhpun tingkat kepandaian jenderal muda ini tentu saja sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kwee Seng, namun kalau dibandingkan dengan para pemuda yang pernah datang ke Beng-kauw, Kam Si Ek boleh dibilang paling unggul. Tidak banyak selisihnya daripada tingkatnya sendiri. Kalau ia mau, tentu lambat laun ia dapat mendesak dan mengalahkan Kam Si Ek. Maka ia sudah merasa puas. Bakat ilmu silat dalam diri Kam Si Ek amat baik, kalau pemuda ini menerima pelajaran ilmu silat tinggi, tentu dia sendiri pun akan kalah ! Ia sudah mencoba kepandaiannya, akan tetapi belum mencoba hatinya. Biarlah ia mainkan ujian berbahaya ini. Setelah berpikir demikian, ia sengaja memperlambat gerakan pedangnya dan ketika golok menyambar lehernya, ia sengaja tidak menangkis, bahkan meramkan kedua matanya menanti maut!

Betapa terkejutnya hati Kam Si Ek, tak usah diceritakan lagi. Pemuda ini berseru kaget dan karena ia sudah tak mungkin menarik pulang goloknya, maka sedapat mungkin ia menyelewengkan bacokannya ke arah leher. Namun, tetap saja goloknya itu membabat ke arah pundak dan "makan" ke dalam daging di pangkal lengan Lu Sian. Darah mengucur, membasahi baju gadis itu. Kam Si Ek berdiri tegak seperti patung, mukanya pucat, matanya terbelalak, lalu ia memandang wajah Lu Sian dengan bingung.

"Kau bunuhlah. Mengapa tidak jadi? Bukankah engkau hendak membunuhku?" Lu Sian berkata, biarpun pangkal lengannya terasa sakit, namun jantungnya berdebar girang melihat hasil ujiannya yang berbahaya ini. Jelas bahwa pemuda itu tidak membencinya, buktinya tidak tega membunuhnya dan tadi serangan pemuda itu hanya digerakkan oleh kemarahan yang tiba-tiba.

"Kau.. kau mengapa begini aneh..? Mengapa membunuh orang... dengan kejam...?"

"Mengapa aku membunuh mereka berenam tadi ? Hemm, dengarlah. Mereka adalah anak buah pasukan yang telah menawanmu, mereka adalah musuh. Pula, kita sedang dikejar-kejar dua orang kakek iblis, dan mereka ini sudah melihat kita. Kalau tidak dibunuh, apakah mereka tidak akan membocorkan keadaan kita kepada mereka? Kau seorang jenderal, dengan pasukanmu sudah biasa kau membunuh laksaan orang musuh tanpa berkedip, membunuh laksaan orang yang tidak kau ketahui apa kesalahan mereka dan apa kejahatan mereka. Sekarang aku membunuh enam orang yang terang-terangan adalah orang jahat dan yang akan mendatangkan bahaya bagi kita, mengapa kau marah-marah? Kau mengucapkan fitnah busuk, mengira aku akan membujukmu untuk mengabdi kepada Nan-cao ! Alangkah tipis kepercayaanmu, tanda bahwa cintamu palsu belaka, hanya di bibir. Aku... aku... ahhhh....!" Tubuh Lu Sian terhuyung-huyung lalu ia roboh terguling.

Kam Si Ek kaget sekali, cepat ia melompat maju dan memeluk tubuh gadis itu, dan melihat betapa wajah gadis itu pucat, matanya meram, mulutnya terkancing rapat, ia makin gugup.

"Moi-moi.... Moi-moi..., kaumaafkan aku... ah, aku bodoh sekali! Lu Sian... ! Moi-moi...!" Kam Si Ek lalu memondong tubuh gadis itu, menyambar pedang dan golok, lalu berlari ke belakang rumah dan meloncat ke atas dek perahu besar. Hanya di perahu itulah tempat kering, maka ia lalu meletakkan tubuh Lu Sian ke atas sebuah opembaringan yang berada di bilik perahu.

"Ah, benar-benar aku lancang tangan... Moi-moi, kau ampunkan aku...!" Kam Si Ek merobek baju di pundak Lu Sian dan memeriksa. Luka itu cukup dalam dan mengeluarkan banyak sekali darah. Dengan hati penuh kegelisahan pemuda itu lalu merobek ikat pinggangnya dan membalut pundak dengan erat sekali untuk mencegah mengalirnya darah terlalu banyak. Kemudian, melihat wajah gadis itu masih pucat dan matanya masih meram, napasnya tersengal-sengal seperti orang sekarat, ia lari kesana kemari, mengambil panci dari belakang perahu, membuat api dan memanaskan air. Tidak ada yang lebih baik daripada air matang untuk mencuci luka, pikirnya. Di musim banjir seperti itu, air sungai amat kotor dan amat tidak baik untuk mencuci luka sebelum dimasak mendidih.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar