Cu Cong ambil sikapnya ini untuk bersedia membokong musuh. Ia percaya
Tong Sie terlebih lihay daripada Tiat Sie, dari itu, ia terpaksa
menggunai akal ini.
Itu waktu Siauw Eng telah kasih dengar suara kaget. Ia tampak sekarang,
di depan bayangan yang berpekikan tak hentinya itu, ada satu bayangan
lain, yang kecil dan kate. Karena tubuhnya kecil, bayangan ini tadi
tidak kelihatan. Ia lantas lari turun ke arah orang bertubuh kecil dan
kate itu, sebab ia segera menduga kepada Kwee Ceng. Ia khawatir
berbareng girang. Ia khawatirkan keselamatannya bocah itu, ia girang
yang orang telah menepati janji. Dan ia kemudian berlari, untuk
memapaki, guna menyambut bocah itu.
Selagi dua orang ini mendatangi dekat satu dengan lain, Tong Sie si
Mayat Perunggu pun telah mendatangi semakin dekat kepada Kwee Ceng. Ia
dapat berlari dengan cepat luar biasa.
“Inilah hebat…” pikir Siauw Eng. “Aku bukan tandingannya Tong Sie….tapi
mana dapat aku tidak menolong bocah itu?” Maka terpaksa ia cepatkan
tindakannya, terpaksa ia berteriak: “Bocah, lekas lari, lekas lari!”
Kwee Ceng dengar suara itu, ia lihat si nona, ia menjadi kegirangan
hingga ia berseru. ia tidak tahu, di belakangnya dia tangan maut lagi
menghampiri.
Siauw Mie To Thio A Seng telah menaruh hati kepada Han Siauw Eng sejak
beberapa tahun, sampai sebegitu jauh belum pernah ia berani mengutarakan
rasa hatinya itu, sekarang ia lihat si nona Han terancam bahaya, ia
kaget dan berkhawatir, dengan melupakan bahaya, ia lari turun, niatnya
mendahului nona itu, untuk memberi tahu supaya, habis menolongi orang,
si nona terus menyingkir.
Lam Hie Jin semua memasang mata ke bawah bukit, mereka bersedia dengan
senjata rahasia masing-masing, untuk menolongi Siauw Eng dan A Seng.
Segera juga Siauw Eng sampai kepada Kwee Ceng, tanpa bilang suatu apa,
ia sambar bocah itu, terus ia memutar tubuh, guna lari balik, mendaki
bukit. Tiba-tiba ia rasai tangannya enteng, berbareng dengan itu, Kwee
Ceng pun menjerit kaget! Bocah itu telah dirampas Tan Hian Hong,
demikian bayangan yang mengejar itu.
Dengan kegesitannya, Siauw Eng lompat ke samping, dari situ ia menyerang
dengan pedangnya ke iga kiri si Mayat Perunggu, tetapi ia gagal, maka
ia susuli dengan tikaman ke arah mata. Dengan beruntun ia mainkan jurus
“Hong Hong tiam tauw” – Burung Hong menggoyang kepala, dan “Wat Lie
Kiam-hoat”- ilmu pedangnya gadis Wat.
Tan Hian Hong mengempit Kwee Ceng dengan lengan kirinya, ia kasih lewat
ujung pedang, lalu dengan sikut kanannya, ia menyampok, setelah pedang
itu berpindah arah, ia meneruskan menyambar si nona dengan jurusnya “Sun
swi twi couw” – Menolak Perahu Mengikuti Air. Sia-sia Siauw Eng tarik
pedangnya, untuk diteruskan dipakai membabat, tanganya Hian Hong
mendahulukan menepuk pundaknya, hingga seketika ia roboh ke tanah.
Tan Hian Hong tidak berhenti sampai di situ, ia memburu dan ulur
tangannya yang terbuka ke ubun-ubunnya nona Han. Ia bergerak dalam jurus
Kiu Im Pek-kut Jiauw yang lihay yang untuk meremukkan batok kepala
orang.
Thio A Seng sudah maju tinggal beberapa tindak lagi, ia melihat ancaman
bahaya terhadap si nona yang ia sayangi, ia lompat kepada si nona itu,
untuk mengahalangi serangan, tetapi justru karena ini, bebokongnya
mewakilkan Siauw Eng kena dijambret, hingga lima jarinya si Mayat
Perunggu masuk ke dalam dagingnya. Ia menjerit keras tetapi pedangnya
dikerjakan untuk dipakai menikam ke dadanya lawan! Hanya, kapan Hian
Hong mengempos semangatnya, pedang itu meleset di dadanya itu. Berbareng
dengan itu, si Mayat Perunggu lemparkan tubuh musuhnya.
Cu Cong bersama Coan Kim Hoat, Lam Hie Jin dan Han Po Kie lantas lari menyusul tubuh saudaranya itu.
“Hai, perempuan bangsat, bagaimana kau?!” terdengar teriakannya Hian Hong.
Tiauw Hong tengah memegangi pohon besar, ia menyahut dengan keras:
“Lelaki bangsat, sepasang mataku dirusak oleh mereka itu! Jikalau kau
kasih lolos satu saja di antara tiga ekor anjing itu, sebentar akan aku
adu jiwa denganmu!”
“Bangsat perempuan, legakan hatimu!” sahut Tan Hian Hong. “Satu juga
tidak bakal lolos!” sambil mengucap begitu, ia serang Han Siauw Eng
dengan dua-dua tangannya.
Dengan gerakannya “Lay louw ta Kun” atau “Keledai malas bergulingan”,
Siauw Eng buang diri dengan bergulingan, dengan begitu ia bisa
menyingkir beberapa tindak, hingga ia bebas dari bahaya.
“Kau masih memikir untuk menyingkir?” tanya Hian Hong.
Thio A Seng rebah di tanah dengan terluka parah, menampak nona Han dalam
bahaya, ia menahan sakit, ia kerahkan semua tenaganya, ia menerjang
kepada musuh itu.
Hian Hong lihay sekali, batal meneruskan serangannya kepada Siauw Eng,
ia papaki kakinya Thio A Seng itu, lima jarinya masuk ke dalam daging
betis, maka itu, tak dapat Siauw Mie To bertahan lagi, setelah satu
jeritan keras, ia jatuh pingsan.
Justru itu, Siauw Eng lepas dari mara bahaya, sambil lompat bangun, ia
menyerang musuhnya. Tapi sekarang ia menginsyafi lihaynya musuh, ia tak
mau berkelahi secara rapat, saban kali si Mayat Perunggu hendak
menjambak, ia jauhkan diri, ia berputaran.
Di waktu itu, Lam Hie Jin dan yang lainnya telah tiba, malah Cu Cong
bersama Coan Kim Hoat mendahulukan menyerang dengan senjata rahasia
mereka.
Tan Hian Hong kaget dan heran akan menyaksikan semua musuhnya demikian
lihay, ia menduga-duga siapa mereka dan kenapa mereka itu muncul di
gurun pasir ini. Akhirnya ia berteriak, “Eh, perempuan bangsat,
makhluk-makhluk ini orang-orang macam apakah?!”
Bwe Tiauw Hong sahuti suaminya itu: “Mereka itu adalah saudaranya Hui-thian Sin Liong dan konconya Hui Thian Phian-hok!”
“Oh!” berseru Hian Hong. Lantas ia mendamprat: “Bagus betul, bangsat
anjing, kiranya kau belum mampus! Jadinya kamu datang kemari untuk
mengantarkan nyawa kamu!”
Tapi ia juga khawatirkan keselamatan istrinya, ia lalu menanya, “Eh,
perempuan bangsat, bagaimana dengan lukamu? Apakah luka itu menghendaki
jiwa kecilmu yang busuk itu?!”
Bwee Tiauw Hong menyahuti suaminya dengan mendongkol, “Lekas bunuh mereka! Nyonya besarmu tidak bakalan mampus!”
Hian Hong tahu luka istrinya itu berat, kalau tidak, tidak nanti ia
pegang pohon saja dan tidak datang membantu. Istri itu sengaja pentang
mulut besar. Ia berkhawatir tetapi ia dapat menghampiri istrinya itu. Cu
Cong berlima telah kurung padanya, sedang yang satunya lagi, yaitu Kwa
Tin Ok, berdiri diam sambil menanti ketikanya. Ia lantas lepaskan Kwee
Ceng, yang ia lempar ke tanah, meneruskan gerakan tangan kirinya itu, ia
serang Coan Kim Hoat.
Kim Hoat kaget melihat Kwee Ceng dilempar. Bocah itu dalam bahaya.
Karena itu, sambil berkelit, ia terus lompat kepada Kwee Ceng, tubuh
siapa ia sambar, dengan lompat berjumpalit, ia menyingkir setombak
lebih. Gerakannya itu ialah yang dinamakan “Leng miauw pok cie” atau
“Kucing gesit menerkam tikus”, untuk menolongi diri berbareng menolongi
orang.
Hian Hong kagum hingga ia memuji di dalam hatinya. tapi ia telengas,
makin lihay musuh, makin keras niatnya untuk membinasakan mereka,
apalagi sekarang ini latihannya ilmu yang baru, Kiu Im Pek-kut Jiauw,
sudah selesai delapan atau sembilan bagian. Tiba-tiba ia berpekik, kedua
tangannya bekerja, meninju dan menyambar.
Kelima Manusia Aneh dari Kanglam itu menginsyafi bahaya, karenanya
mereka berkelahi dengan waspada, tak sudi mereka merapatkan diri. Maka
itu kurungan mereka menjadi semakin lebar.
Setelah berselang begitu lama, Han Po Kie tunjuk keberaniannya. Ia
menyerang dengan Teetong Pian-hoat, yaitu ilmu bergulingan di tanah,
guna menggempur kaki lawan.
Dengan caranya ini, ia membikin perhatiannya Tan Hian Hong menjadi
terbagi. Karena ini, satu kali ia kena dihajar kayu pikulan Lam Hie Jin,
hingga bebokongnya berbunyi bergedebuk. Walaupun merasakan sakit,
tapinya ia tidak terluka, dia hanya berteriak menjerit, berbareng dengan
itu, tangannya menyambar penyerangnya itu.
Belum lagi Hie Jin menarik pulang senjatanya, sambaran itu sudah sampai kepadanya, terpaksa ia melenggokkan tubuhnya.
Lihay tangannya Hian Hong itu. Di waktu dipakai menyambar, buku-buku
tulangnya memperdengarkan suara berkeretekan, lalu tangannya itu seperti
terulur menjadi lebih panjang dari biasanya. berbareng dengan itu juga
da tercium bau bacin.
Hie Jin kaget sekali. Selagi ia dapat mencium bau itu, tangan musuh yang
berwarna biru sudah mendekati alisnya, atau sekarang tangan itu – atau
lebih benar lima jarinya – sudah mendekati ubun-ubunnya! Dalam keadaan
sangat berbahaya itu, ia gunai Kim-na-hoat, ilmu menangkap tangan, guna
membangkol lengan musuh itu, untuk diputar ke kiri.
Berbareng dengan itu, Cu Cong pun merangsek ke belakang Tong Sie, si
Mayat Perunggu itu, tangan kanannya yang keras seperti besi, diulur,
guna mencekik leher musuh itu. Karena tangan kanannya itu terangkat,
dengan sendirinya dadanya menjadi terbuka. Ia tidak menghiraukan lagi
hal ini karena adiknya terancam dan adiknya itu perlu ditolongi.
Sekonyong-konyong saja guntur berbunyi sangat nyaring, lalu dengan
tiba-tiba juga, mega hitam menutup sang putri malam, hingga semua orang
tidak dapat melihat sekalipun lima jari tangannya di depan matanya!
Di dalam gelap gulita itu, orang dengar suara merekek dua kali dan suara
“Duk!” satu kali, tanda tenaga diadu. Itulah Tan Hian Hong, yang telah
pertunjuki tenaganya yang menyebabkan Hie in patah bahu kirinya, sedang
sikutnya yang kiri menghajar dadanya Cu Cong.
Rasa sakit tiba-tiba membuat Cu Cong meringis dan tangannya yang dipakai
mencekik leher musuh terlepas sendirinya, sebab tubuhnya terpental
rubuh saking kerasnya serangan sikut itu.
Hian Hong sendiri bukannya tidak menderita karenanya, sebab tadi
hampir-hampir ia tak dapat bernapas, setelah bebas, ia lompat ke
samping, untuk lekas-lekas menjalankan napasnya.
“Semua renggang!” teriak Han Po Kie dalam gelap gulita itu.
“Citmoay, kau bagaimana…”
“Jangan bersuara!” menjawab Siauw Eng, si adik yang ketujuh itu. Dan ia lari ke samping beberapa tindak.
Kwa Tin Ok dengari segala gerak-gerik, ia menjadi heran sekali. “Jitee, kau bagaimana?” ia terpaksa bertanya.
“Sekarang ini langit gelap sekali, siapa pun tidak dapat melihat siapa,” Coan Kim Hoat memberitahu.
Mendengar itu, Hui Thian Pian-hok si Kelelawar Terbangkan Langit itu
menjadi girang luar biasa. “Thian membantu aku!” ia memuji dalam
hatinya.
Diantara tujuh Manusia Aneh, tiga sudah terluka parah, itu artinya
Kanglam Cit Koay telah kalah besar, maka syukur untuknya, sang guntur
menyebabkan langit menjadi gelap gulita, habis mana, sang hujan pun
turun menyusul. Semua orang berhenti bertempur karenanya, tidak ada satu
pun yang berani mendahului bergerak pula.
Kwa Tin Ok berdiam, dengan lihaynya pendengarannya itu, walaupun ada
suara hujan, samar-samar ia masih mendengar suara napas orang. Dengan
waspada ia pasang terus kupingnya. Ia dengar suara napas di sebelah
kirinya, terpisah delapan atau sembilan tindak dari padanya. Ia merasa
pasti, itu bukan napas saudara angkatnya, dengan lantas ia ayunkan kedua
tangannya, akan terbangkan enam batang tok-leng, diarahkan ke tiga
penjuru.
Tan Hian Hong adalah orang yang diserang. Si Mayat Perunggu lihay
sekali. Ia dengar sambaran angin, ia segera menunduk. Dua batang
tok-leng lewat di atas kepalanya. Empat yang lain tepat mengenai
tubuhnya, tetapi ia kebal seperti istrinya, ia tidak terluka, ia
melainkan merasa sangat sakit. Karena serangan tok-leng ini, ia menjadi
tahu di mana adanya si penyerang, musuhnya itu. Ia lompat ke arah musuh
itu, kedua tangannya dipakai untuk menyambar. Ia tidak kasih dengar
suara apa-apa.
Tin Ok dengar suara angin, ia lantas berkelit, sambil berkelit, ia menghajar dengan tongkatnya.
Dengan begitu, di tempat gelap gulita itu, dua orang ini bertempur. Satu
dengan yang lain tidak dapat melihat, mereka dari itu cuma andalkan
kuping mereka, mendengar suara sambarannya angin.
Han Po Kie bersama Han Siauw Eng dan Coan Kim Hoat, yang ketahui
kakaknya tengah bertempur, sudah lantas kasih dengar seruan mereka
berulang-ulang, untuk menganjurkan kakak itu, guna mencoba mengacaukan
pikiran musuh. Di samping itu dengan meraba-raba, mereka pun menolongi
tiga saudara mereka yang telah terluka.
Pertempuran Hian Hong dengan Tin Ok hebat, dengan cepat telah berlalu
dua sampai tigapuluh jurus. Untuk Han Po Kie beramai, rasanya
pertempuran itu berjalan sudah lama, disebabkan ketegangan dan kecemasan
hati mereka. Ingin mereka membantui saudara mereka itu tetapi mereka
tidak dapat melihat.
Tiba-tiba Hian Hong menjerit aneh. Dua kali ia terhajar tongkat, suara
terhajarnya terdengar nyata. Mendengar itu, Po Kie semua bergirang.
Itulah tandanya kakak mereka mulai berhasil.
Selagi orang kegirangan, mendadak kilat menyambar, memperlihatkan sinar terang.
Coan Kim Hoat terkejut, ia berseru: “Toako, awas!”
Hian Hong sangat lihay dan gesit, selagi Kim Hoat bersuara, tubuhnya
sudah mencelat maju, untuk mendesak Kwa Tin Ok. Ia tidak hiraukan
tongkat lawan, yang kembali mampir di tubuhnya yang kebal itu. Tongkat
itu ia papaki dengan pundaknya yang kiri, tangannya sendiri diputar ke
atas, guna menangkap tongkat musuh itu. Berbareng dengan gerakan tangan
kiri ini, tangan kanannya menjambak ke depan. Sinar kilat sudah lenyap
tetapi sambaran itu telah mengenai sasarannya.
Tin Ok kaget tidak kepalang, ia melompat mundur. Gerakannya itu
terhalang, karena bajunya kena terjambak dan robek karenanya. Karena
ini, Hian Hong lanjuti serangannya tanpa berlengah sedetikpun, dengan
mengepal lima jari tangannya, ia lanjuti serangannya, lengannya itu
terulur panjang.
Telak serangan itu, tubuh Tin Ok terhuyung. tapi ia belum bebas bahaya.
Tongkatnya yang terampas Hian Hong, oleh Hian Hong dipakai menyerang ia
dalam rupa timpukan!
Bukan main girangnya si Mayat Perunggu, ia tertawa sambil berlenggak, ia berpekik secara aneh.
Justru itu, kilat berkelebat pula, maka juga Han Po Kie menjadi kaget
sekali. ia melihat bagaimana tongkat kakaknya itu, yang digunai Hian
Hong, tengah menyambar ke kakaknya itu, yang tubuhnya terhuyung. Syukur
dalam kagetnya itu, ia masih ingat untuk segera menyerang dengan
cambuknya, guna mencegah dan melibat tongkat itu.
“Sekarang hendak aku mengambil nyawa anjingmu, manusia cebol terokmok!”
berseru Hian Hong, yang lihat aksinya si orang she Han, yang menolongi
kakaknya itu. Ia lantas berlompat, guna hampirkan si cebol. Tapi kakinya
terserimpat, seperti ada tangan yang menyambar merangkul. Orang itu
bertubuh kecil.
Ia menduga tak keliru, orang itu ialah Kwee Ceng! Segera ia menunduk, untuk sambar bocah itu.
“Lepaskan aku!” menjerit Kwee Ceng.
“Hm!” Hian Hong kasih dengar suaranya yang seram.
Tetapi tiba-tiba Tan Hian Hong perdengarkan jeritan yang hebat sekali,
tubuhnya terus roboh terjengkang. Ia terkena justru bagian tubuhnya yang
terpenting, ialah kelemahannya. Ia melatih diri dengan sempurnya, ia
menjadi tidak mempan barang tajam, kecuali pusarnya itu. Lebih celaka
lagi, ia terkena pisaunya Khu Cie Kee, yang tajamnya bahkan sanggup
mengutungi emas dan batu kemala. Di waktu bertempur ia selalu melindungi
perutnya, tetapi sekarang selagi mencekuk satu bocah, ia lupa. Ini dia
yang dibilang “Orang yang pandai berenang mati kelelap, di tanah rata
kereta rubuh ringsak”. Sebagai jago ia terbinasa di tangannya satu bocah
yang tidak mengerti ilmu silat.
Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi dapat dengar jeritan suaminya itu, dari
atas bukit ia lari untuk menghampirkan. Satu kali ia kena injak tempat
kosong, ia terjeblos dan roboh terguling-guling. Tetapi ia bertubuh
kuat, berurat tembaga bertulang besi, ia tidak terluka. Segera ia tiba
di samping suaminya.
“Lelaki bangsat, kau kenapa?” ia tanya. Tak pernah ia lupai kebiasaannya
membawa-bawa “bangsat”, sebagaimana juga kebiasaan suaminya.
“Celaka, perempuan bangsat….” sahut Hian Hong lemah. “Lekas kau lari…!”
Kwee Ceng dengar pembicaraan itu. Setelah menikam dan terlepas dari cekukan, ia bersembunyi di pinggiran. Ia takut bukan main.
Sang istri kertak giginya. “Akan aku balaskan sakit hatimu!” ia berseru.
“Kitab itu telah aku bakar…” kata Hian Hong, suaranya terputus-putus.
“Rahasianya…di dadaku…” Ia tak dapat bernapas terus, tulang-tulangnya
lantas meretak berulang-ulang.
Tiauw Hong tahu, di saat hendak menghembuskan napas terakhir, suaminya
itu telah membuyarkan tenaga dalamnya. Itulah siksaan hebat. ia tak
dapat mengawasi suaminya itu tersiksa begitu rupa. Maka juga, ia kuatkan
hatinya lalu dengan tiba-tiba, ia hajar batok kepala suaminya. Maka
sejenak itu, habislah nyawa jago itu.
Istri ini lantas meraba ke dada orang, untuk mengambil kitab yang
dikatakan suaminya itu, ialah kitab Kiu Im Cin Keng bagian rahasianya.
Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong ini asalnya adalah saudara satu
perguruan, mereka adalah murid-muridnya Tocu Oey Yok Su, pemilik dari
pulau Tho Hoa To di Tang Hay, Laut Timur.
Oey Yok Su adalah pendiri dari suatu kaum persilatan sendiri,
kepandaiannya itu ia ciptakan dan yakinkan di pulau Tho Hoa To itu.
Sejak ia berhasil menyempurnakan ilmu kepandaiannya, tidak pernah ia
pergi meninggalkan pulaunya itu. Karena ini, untuk di daratan Tionggoan,
sedikit orang yang ketahui kelihayannya, maka juga ia kalah terkenal
dari kaum Coan Cin Kauw yang kenamaan di Kwantong dan Kwansee dan Toan
Sie yang kesohor di Selatan (Thian Lam).
Dua saudara seperguruan itu terlibat api asmara sebelum mereka lulus.
Mereka insyaf, kalau rahasia mereka ketahuan, mereka bakal dihukum mati
dengan disiksa. Maka itu pada suatu malam gelap buta, mereka naik sebuah
perahu kecil, kabur ke pulau Heng To di sebelah selatan, dari mana
mereka menyingkir lebih jauh ke Lengpo di propinsi Ciatkang.
Tan Hian Hong tahu, ilmu silatnya cukup untuk membela diri tetapi tak
dapat digunai untuk menjagoi, sekalian buron, maka ia tak berbuat
kepalang tanggung, ia curi sekalian kitab Kiu Im Cin Keng dari gurunya,
untuk mana ia nyelusup masuk ke kamar gurunya itu.
Kapan Oey Yok Su ketahui perbuatannya kedua murid itu, ia murka bukan
main. Tapi ia telah bersumpah tidak akan meninggalkan Thoa Hoa To,
terpaksa ia membiarkan saja, hanya saking murkanya, lain-lain muridnya
menjadi korbannya. Semua muridnya itu ia putuskan urat-uratnya, hingga
mereka menjadi manusia-manusia bercacad seumur hidupnya, lalu ia usir
mereka dari pulaunya.
Hian Hong dan Tiauw Hong menyembunyikan diri untuk menyakinkan Kiu Im
Cin Keng itu. Dengan begini mereka bikin diri mereka menjadi jago. Belum
pernah ada orang yang sanggup robohkan mereka. Sebaliknya, mereka telah
minta banyak korban, apapula makin lama mereka jadi makin telengas.
Pada waktu suami istri kejam ini dikeroyok orang-orang gagah dari
pelbagai partai persilatan di utara Sungai Besar. Medan pertempuran ada
di atas gunung Heng San. Dua kali mereka mendapat kemenangan, baru
ketiga kalinya, mereka kena dilukakan, hingga mereka kabur untuk
sembunyikan diri. Kekalahan ini disebabkan terlalu banyak pengepungnya.
Mereka sembunyikan diri sampai belasan tahun, tidak ada kabar ceritanya,
hingga orang percaya mereka sudah mati karena luka-lukanya. Tidak
tahunya, mereka terus menyakinkan Kiu Im Cin Keng bagian “Kiu Im Pek Kut
Jiauw” atau “Cengkeraman Tulang Putih” dan “Cui Sim Ciang” atau “
Tangan Peremuk Hati”.
Aneh tabiat Hian Hong, walau pun pada istrinya, ia tidak hendak beri
lihat kitab Kiu Im Cin Keng itu, biar bagaimana Tiauw Hong memohonnya,
ia tidak ambil peduli, adalah setelah ia sendiri berhasil
mempelajarinya, baru ia turunkan kepandaian itu kepadanya istrinya.
Ketika istrinya desak, Hian Hong menjawab: “Sebenarnya kitab ini terdiri
dari dua bagian. Saking tergesa-gesa, aku dapat curi cuma sebagian,
sebagian bawah. Justru di bagian atas adalah pelajaran pokok dasarnya.
Adalah berbahaya menyakinkan bagian bawah tanpa bagian atas. dari itu,
biar aku yakinkan sendiri dulu. Kalau tidak, atau kalau kau termaha, kau
bisa celaka. Kau tahu, kepandaian yang kita sudah dapati dari suhu
masih belum cukup untuk pelajari bagian bawah ini. Maka itu, aku mesti
memilih dengan teliti.”
Tiauw Hong percaya pada suaminya, ia tidak memaksa lebih jauh. Adalah
sekarang, di saat dia hendak menutup mata, Hian Hong suka serahkan
kitabnya itu pada istrinya. Tapi bukan kitabnya sendiri yang dia telah
bakar, hanya singkatannya atau rahasia pokoknya.
Tiauw Hong lantas raba dada suaminya, ia tidak dapatkan apa-apa. Ia
heran hingga ia diam menjublak. Tentu saja, ia menjadi penasaran, maka
ia hendak memeriksa, untuk mencari terlebih jauh. Sayang untuknya, ia
tidak sempat mewujudkan niatnya itu. Sebab Han Po kie bersama Siauw Eng
dan Coan Kim Hoat, membarengi berkelebatnya kilat, hingga mereka bisa
melihat musuh, sudah lantas maju menyerang.
Repot juga Tiauw Hong, yang kedua matanya sudah buta. Ia sekarang hanya
mengandal pada kejelian kupingnya, kepada gerak-gerik angin. Ia tahu ada
orang serang padanya, ia melawan dengan mainkan tipu-tipu Kim-na-hoat,
ilmu Menyambar dan Menangkap. Adalah keinginannya ilmu ini agar musuh
berkelahi rapat.
Ketiga Manusia Aneh ini menjadi cemas, bukan saja mereka tidak dapat
mendesak, mereka sendiri saban-saban menghadapi ancaman. Di dalam
hatinya, Po Kie berkata: “Celaka betul! Bertiga kita lawan satu wanita
buta, kita tidak berhasil, runtuhlah nama nama Kanglam Cit Koay…” Maka
itu, ia berpikir keras. Setelah itu mendadak ia menyerang hebat kepada
bebokong lawannya. Ia ambil kedudukan di belakang musuhnya itu.
Terdesak juga Tiauw Hong diserang hebat dari belakang. Ketika ini
digunai Siauw Eng akan menikam dengan pedangnya dan Kim Hoat dengan
dacinnya. Hebat pengepungan ini.
Sekonyong-konyong datang angin besar, membawa mega hitam dan tebal,
membuat langit menjadi gelap-gulita pula. Saking hebatnya, pasir dan
batu pada beterbangan.
Kim Hoat bertiga terpaksa lompat mundur, untuk terus mendekam. Bisa
celaka mereka dirabu pasir dan batu itu. Syukur, angin tidak mengganas
terlalu lama. Hujan pun turut berhenti perlahan-lahan. Malah di lain
saat, dengan terbangnya sang mega, si putri malam pun mulai mengintai
pula dan muncul lagi.
Han Po Kie yang paling dulu lompat bangun, tetapi segera ia menjerit heran.
Bwee Tiauw Hong lenyap, lenyap juga mayatnya Tan Hian Hong. Masih rebah
tengkurap adalah Kwa Tin Ok, Cu Cong, Lam Hie Jin dan Thio A Seng, empat
saudaranya itu. Kwee Ceng mulai muncul dari belakang batu di mana ia
tadi bersembunyi.
Semua orang basah kuyup pakaiannya.
Dibantu oleh Siauw Eng dan Po Kie, Coan Kim Hoat lantas tolongi
saudara-saudaranya yang terluka itu. Lam Hie Jin patah lengannya, syukur
ia tidak terluka dalam. Syukur Tin Ok dan Cu Cong telah lihay ilmu
dalamnya, walaupun mereka terhajar Tong Sie, si Mayat Perunggu, luka
mereka tidak parah. Adalah Thio A Seng, yang tercengkeram Kiu Im Pek-kut
Jiauw, lukanya berbahaya, jiwanya terancam. Ia membikin enam saudaranya
sangat berduka, karena sangat eratnya pergaulan mereka, lebih-lebih Han
Siauw Eng, yang tahu kakak angkatnya yang kelima ini ada menaruh cinta
kepadanya, sedang ia pun ada menaruh hati. Ia lantas peluki A Seng
dengan ia menangis tersedu sedan.
Thio A Seng adalah Siauw Mie To, si Buddha Tertawa, walaupun lagi
menghadapi bahaya maut, ia masih dapat tersenyum. Ia ulur tangannya,
untuk mengusap-usap rambut adik angkatnya itu. “Jangan menangis, jangan
menangis, aku baik-baik saja…” ia menghibur.
“Ngoko, akan aku menikah denganmu, untuk menjadi istrimu! Kau setuju, bukan?” kata nona Han itu tanpa malu-malu.
A Seng tertawa, tapi lukanya sangat mendatangkan rasa sakit, terus ia berjengit, hampir ia tak sadarkan diri.
“Ngoko, legakan hatimu,” kata pula si nona. “Aku telah jadi orangnya
keluarga Thio, seumurku, aku tidak nanti menikah dengan lain
orang….kalau nanti aku mati, aku akan selalu bersama kamu…”
A Seng masih dengar suara tu, ia tersenyum pula, hingga dua kali.
“Citmoay, biasanya aku perlakukan kau tidak manis…” katanya. Masih dapat
ia mengatakan demikian.
Siauw Eng menangis. “Kau justru perlakukan aku baik, baik sekali, inilah aku ketahui,” katanya.
Tin Ok terharu sekali, begitupun dengan yang lainnya. Mereka itu pada melinangkan air mata.
“Kau datang kemari, kau tentu hendak berguru pada kami?” Cu Cong tanya Kwee Ceng, ynag telah hampirkan mereka.
Bocah itu menyahuti, “Ya!”
“Kalau begitu, selanjutnya kau mesti dengar perkataan kami,” kata Cu Cong pula.
Kwee Ceng mengangguk.
“Kami tujuh saudara adalah gurumu semua,” kata Cu Cong. “Ini gurumu yang
kelima bakal pulang ke langit, mari kau hunjuk hormatmu padanya.”
Meski masih kecil, Kwee Ceng sudah mengerti banyak, maka itu, ia
jatuhkan diri di depan tubuh A Seng, untuk bersujud sambil mengangguk
berulangkali.
Thio A Seng tersenyum meringis. “Cukup…” katanya. Ia menahan sakit.
“Anak yang baik, sayang aku tidak dapat memberi pelajaran kepadamu….
Sebenarnya sia-sia saja kau berguru padaku. Aku sangat bodoh, aku pun
malas kecuali tenagaku yang besar…. Coba dulu aku rajin belajar, tidak
nanti aku antarkan jiwa di sini…..” Tiba-tiba kedua matanya berbalik, ia
menarik napas, tapi masih meneruskan kata-katanya: “Bakatmu tidak
bagus, perlu kau belajar rajin dan ulet, jikalau kau alpa dan malas, kau
lihat contohnya gurumu ini….”
Masih A Seng hendak berkata pula, tenaganya sudah habis, maka Siauw Eng
pasang kupingnya, di mulutnya kakak angkatnya itu. Si nona masih dengar:
“Ajarilah ini anak dengan baik-baik, jaga supaya ia jangan kalah dengan
itu…imam…”
“Jangan khawatir,” Siauw Eng menjawab. “Legakan hatimu, kau pergilah
dengan tenang…Kita Kanglam Cit Koay, tidak nanti kita kalah…!”
A Seng tertawa, perlahan sekali, habis itu berhentilah ia bernapas…..
Enam saudara itu memangis menggerung-gerung, kesedihan mereka bukan
main. Walaupun semuanya bertabiat aneh, mereka tetap manusia biasa,
mereka juga saling menyinta. Dengan masih menangis, mereka menggali
liang, untuk mengubur jenazah saudaranya itu di tempat itu. Sebagai
nisan, mereka mendirikan satu batu besar.
Itu waktu, cuaca sudah menjadi terang, maka Coan Kim Hoat dan Han Po Kie
lantas turun gunung untuk cari mayatnya si Mayat Perunggu serta Bwee
Tiauw Hong, si Mayat Besi. Mereka mencari dengan sia-sia. Habis hujan
lebat, di tanah berpasir mesti ada tapak kaki tetapi ini tidak. Entah
kemana perginya Tiauw Hong beserta mayat suaminya itu.
“Di tempat begini, tidak nanti wanita itu kabur jauh,” kata Cu Cong
sekembalinya kedua saudara itu. “Sekarang mari kita antar anak ini dan
kita pun merawat diri, kemudian kau, shatee, lioktee dan citmoay, coba
kau pergi mencari pula.”
Pikiran ini disetujui, maka habis mengucurkan airmata di depan kuburan A
Seng, mereka pun turun dari gunung. Mereka jalan belum jauh tempo
mereka dengar menderunya binatang liar, yang terus terdengar
berulang-ulang.
Po Kie keprak kudanya, maka itu kuda berlompat ke depan. Lari
serintasan, binatang itu berhenti dengan tiba-tiba, tak mau ia maju
walaupun dipaksa majikannya. Po Kie menjadi heran, ia memasang mata ke
depan.
Di sana tertampak serombongan orang serta dua ekor macan tutul
menoker-noker pada tanah. Itulah sebabnya kenapa kuda si kate tidak
berani maju terus. Tidak ayal lagi, Po Kie lompat turun dari kudanya,
dengan cekal Kim-kiong-pian, ia maju ke arah mereka. Segera ia dapat
tahu perbuatannya itu macan tutul.
Dua ekor macan tutul itu telah dapat mengorek satu mayat, malah jago
Kanglam ini kenali itu mayatnya Tan Hian Hong, yang terluka dari leher
sampai di perutnya, seluruhnya berlumuran darah, seperti ada dagingnya
yang orang telah potong.
Heran Po Kie. Ia berpikir: “Dia mati di atas gunung, kenapa mayatnya ada
di sini? Siapakah orang-orang itu? Apakah maksudnya maka itu mayat
diganggu?”
Itu waktu Coan Kim Hoat semua telah datang menyusul, maka mereka pun
saksikan myatnya Hian Hong itu. Mereka menjadi heran sekali. Diam-diam
mereka bergidik menyaksikan itu musuh tangguh. Coba tidak ada Kwee Ceng,
setahu bagaimana jadinya dengan mereka.
Kedua macan tutul itu sudah mulai gerogoti mayatnya Hian Hong.
“Tarik macan itu!” kata satu anak kecil yang menunggang kuda, yang
berada di antara rombongan orang tadi. Ia menitahkan orangnya, yang
menjadi tukang pelihara macan tutul itu. Tempo ia lihat Kwee Ceng, dia
membentak: “Hai, kau sembunyi di sini! Kenapa kau tidak berani membantui
Tuli bertarung? Makhluk tidak punya guna!”
Bocah itu ialah Tusaga, putranya Sangum.
“Eh, kamu mengepung pula Tuli?” tanya Kwee Ceng, yang agaknya kaget. “Di mana dia?”
Tusaga perlihatkan roman tembereng dan puas. “Aku tuntun macan tutulku
menyuruhnya gegaresi dia!” sahutnya. “Kau lekas menyerah! Kalau tidak,
kau pun bakal digegares macanku!” ia mengancam tetapi ia tak berani
dekati musuhnya, jerih ia menampak Kanglam Cit Koay. Kalau tidak,
tentulah Kwee Ceng telah dihajarnya.
Kwee ceng terkejut, “Mana Tuli?!” ia tanya.
“Macan tutulku telah gegares Tuli!” sahut Tusaga berteriak. Ia lantas ajak pemelihara macan tutul itu untuk berlalu.
“Tuan muda, dialah putranya Khan besar Temuchin!” berkata itu tukang rawat macan tutul, maksudnya memberitahu.
Tusaga ayun cambuknya, menghajar kepalanya orang itu. “Takut apa?!” teriaknya. “Kenapa tadi ia serang aku?! Lekas!”
Dengan terpaksa, tukang rawat macan tutul itu turut perintah. Satu
tukang rawat macan tutul yang lainnya ketakutan, ia berkata, “Akan aku
laporkan kepada Khan besar!”
Tusaga hendak mencegah tapi sudah kasep. Dengan mendongkol ia berkata:
“Biarlah! Mari kita hajar Tuli dulu! Hendak aku lihat, apa nanti paman
Temuchin bisa bikin!”
Kwee Ceng jeri kepada macan tutul tetapi ia ingat keselamatannya Tuli.
“Suhu, dia hendak suruh macan itu makan kakak angkatku, hendak aku
menyuruh kakak angkatku lari,” ia kata kepada Siauw Eng.
“Jikalau kau pergi, kau sendiri bakalan digegares macan itu,” kata itu guru. “Tak takutkah kau?”
“Aku takut…” sahut murid ini.
“Jadi kau batal pergi?” tanya gurunya lagi.
Kwee Ceng bersangsi sebentar, ia menyahuti: “Aku mau pergi!” Benar-benar ia lantas lari.
Cu Cong rebah di bebokongnya unta karena lukanya, ia kagumi bocah itu.
Ia berkata kepada saudara-saudaranya: “Bocah ini bebal tetapi dialah
orang segolongan dengan kita!”
“Matamu tajam, jieko,” kata Siauw Eng. “Mari kita bantu dia!”
Coan Kim Hoat lantas memesan: “Bocah galak itu memelihara macan tutul,
ia mungkin putranya satu pangeran atau raja muda, kita harus
berhati-hati. Kita tak boleh terbitkan onar, ingat, tiga dari kita
terluka…”
Po Kie manggut, ia lantas saja lari menyusul Kwee Ceng, setelah
menyandak, ia ulur tangannya, akan cekuk bocah itu, untuk terus
dipanggul!
Begitu tubuh Kwee Ceng di atas pundak orang, ia seperti lagi menunggang
kuda, yang larinya sangat pesat, sebentar kemudian tibalah di satu
tempat, di mana tampak Tuli sedang dikurung oleh belasan orang. Dia
orang ini turut perintahnya Tusaga, dari ini putranya Temuchin cuma
dikurung, tidak lantas dikeroyok.
Sebenarnya Tuli rajin melatih diri menuruti ajarannya Cu Cong, ia pun
sangat berani, ketika besoknya pagi ia tidak dapat cari Kwee Ceng, tanpa
minta bantuan Ogotai, kakaknya, seorang diri ia pergi memenuhi janji
kepada Tusaga untuk bertempur.
Tusaga datang dalam jumlah belasan, heran dia melihat Tuli sendirian.
Tapi ia tidak peduli suatu apa, pertempuran sudah lantas dimulai. Hebat
Tuli itu, ia gunai jurus ajarannya Cu Cong, ia bikin musuh-musuhnya
rubuh satu demi satu. Ia tentu tidak tahu, jurusnya itu adalah jurus
pokok dari “Khong Khong Kun”, ilmu silat tangan kosong.
Tusaga penasaran, sebab dua kali ia rubuh mencium tanah dan hidungnya
kena diberi bogem mentah dua kali juga, saking murkanya, ia lantas lari
pulang untuk mengambil macan tutul ayahnya. Tuli yang sedang kegirangan
tidak menyangka musuhnya itu bakalan minta bantuan binatang liar.
“Tuli! Tuli! Lekas lari, lekas!” Kwee Ceng berteriak-teriak sebelum ia datang mendekat. “Tusaga bawa-bawa macan tutul!”
Tuli kaget, hendak ia lari, tapi ia lagi dikurung. Sementara itu Han Po Kie dapat candak Tusaga dan melombainya.
Kanglam Cit Koay dapat lantas mencegah Tusaga apabila mereka kehendaki
itu, tetapi mereka tidak mau menerbitkan onar, sekalian mereka ingin
saksikan sepak terjangnya Tuli dan Kwee Ceng.
Itu waktu ada beberapa kuda dilarikan keras ke arah mereka, salah satu
penunggangnya berteriak-teriak. “Jangan lepaskan macan tutul! Jangan
lepaskan macan tutul!”
Segera terlihat ternyata mereka itu adalah Mukhali berempat, yang dengan
laporannya si tukang pelihara macan tutul, tanpa perkenanan dari
Temuchin lagi, mereka lantas datang menyusul.
Itu waktu Temuchin bersama Wang Khan, Jamukha, dan Sangum tengah
menemani dua saudara Wanyen di tenda mereka, mereka terkejut mendengar
laporan si tukang pelihara macan, semua lantas lari keluar tenda untuk
naiki kuda mereka. Wang Khan mendahului perintah satu pengiringnya:
“Lekas sampaikan titahku, cegah cucuku main gila!“
Pengiring itu segera kabur dengan kudanya.
Wanyen Yung Chi kecewa gagal menyaksikan orang diadu dengan binatang, ia
masgul, sekarang ia dengar berita ini, kegembiraannya terbangun secara
tiba-tiba, “Mari kita lihat!“ katanya.
Wanyen Lieh pun gembira tetapi ia tidak perlihatkan itu pada wajahnya.
Ia pikir: “Jikalau anaknya Sangum membinasakan anaknya Temuchin, kedua
mereka bakal jadi bentrok, dan inilah untungnya negaraku, negara Kim
yang besar!” Ia terus kisiki pengiringnya, yang pun lantas berlalu
dengan cepat.
Wang Khan semua iringi kedua saudara Wanyen itu. Mereka jalan baharu
satu lie lebih, di depan mereka tertampak beberapa serdadu Kim tengah
berkelahi sama pengiring Khan ini yang tadi diberikan titah. Sebabnya
adalah serdadu-serdadu Kim itu menghalang-halangi orang menjalankan
tugas, sedang si petugas tidak berani abaikan kewajibannya.
Dua saudara Wanyen itu lantas memerintah serdadu-serdadunya berhenti
berkelahi. Mereka ini bilang: “Kami tengah berdiam disini, orang ini
tidak ada matanya, dia terjang kami!”
Pengiringnya Wang Khan itu mendongkol dan tidak mau mengerti. Ia pun
tidak karu-karuan dipegat dan dikeroyok. Ia kata dengan sengit: “Aku toh
ada di sebelah depan kamu dan kamu di belakang aku…!”
Dua saudara Wanyen itu tidak inginkan mereka adu mulut. “Berangkat!” mereka menitah.
Jamukha lihat itu semua, ia menduga peristiwa itu terjadi karena bisanya dua Wanyen ini, karena ia jadi waspada.
Tidak lama tibalah mereka di depan rombongannya Tusaga beramai. Dua ekor
macan tutul sudah lepas dari ikatan pada lehernya, keempat kakinya
tengah menoker-noker dan mulutnya meraung-raung tidak hentinya. Di depan
mereka berdiri dua bocah ialah Tuli dan Kwee Ceng.
Temuchin dan keempat pahlawannya segera siapkan panah mereka, diarahkan
kepada dua binatang liar itu. Temuchin ketahui baik, binatang adalah
binatang kesayangan Sangum, yang ditangkap sedari masih kecil dan
dipelihara dan dididik dengan banyak sukar hingga jadi besar dan dapat
mengerti, dari itu asal putranya tidak terancam tidak mau ia memanah
macan itu.
Tusaga lihat datangnya banyak orang dan kakek beserta ayahnya juga
berada bersama, ia jadi semakin temberang, berulang-ulang ia anjuri
macannya lekas menyerang.
Wang Khan murka melihat kelakuan cucunya itu, di saat ia hendak
mencegah, lalu terdengar suara kuda berlari-lari mendatangi di arah
belakang mereka. Sebentar saja kuda itu, seekor kuda merah, tiba
diantara mereka. Penunggangnya seorang wanita usia pertengahan yang
memakai mantel kulit indah dan mengempo satu anak perempuan yang elok
romannya, adalah istrinya Temuchin atau ibunya Tuli. Ia lantas lompat
turun dari kudanya.
Nyonya Temuchin tengah pasang omong dengan istrinya Sangum di tenda
mereka, tempo ia dengar perkara putranya, ia khawatirkan keselamatan
putranya itu, maka ia lantas menyusul. Anak perempuan yang ia bawa-bawa
itu adalah putrinya, Gochin Baki.
“Lepas panah!” Yulun Eke segera memerintah. Ia sangat khawatir melihat
putranya terancam macan tutul itu. Gochin sebaliknya segera hampirkan
kakaknya. Ia baharu berusia empat tahun, romannya cantik dan manis, ia
belum tahu bahaya. ia tertawa haha-hihi. Kemudian ia ulurkan tangannya,
berniat mengusap-usap kepalanya seekor macan tutul.
Macan itu lagi bersiap-siap, melihat orang datang dekat, segera ia berlompat menubruk.
Semua orang kaget, sedang Temuchin tidak berani melepaskan anak
panahnya, khawatir kena putrinya. Ke empat pahlawannya lempar panah
mereka dan menghunus golok untuk maju menyerang.
Dalam saat mengancam itu, Kwee Ceng berlompat, ia tubruk Gochin, yang ia
peluk, untuk menjatuhkan diri, meski demikian, kuku macan telah mampir
dipundaknya.
Di antara empat pahlawan, Boroul yang bertubuh kate dan kecil adalah
yang paling gesit, ialah yang maju di muka sekali, tetapi justru ia
maju, kupingnya mendengar beberapa kali suara angin menyambar, menyusul
mana kedua macan itu rubuh berbareng, rubuh celentang lalu tidak
berkutik lagi. Ia menjadi heran, apapula ia dapatkan, kedua binatang itu
berlubang masing-masing di kedua pelipisnya, yang dari mana darah
mengucur keluar. Terang itu adalah kerjaan orang yang lihay. Kapan ia
berpaling ke arah dari mana suara angin itu datang menyambar, tampak
enam orang Han, pria dan wanita, lagi mengawasi dengan sikapnya yang
tenang sekali. Ia lantas menduga kepada mereka itu.
Yulun Eke lantas saja peluki putrinya, yang ia ambil dari rangkulannya
Kwee Ceng. Anak itu menangis karena kagetnya, maka ia dihiburi ibunya,
yang pun terus tarik Tuli, untuk dirangkul dengan tangannya yang lain.
Sangum sangat murka. “Siapa yang membunuh macanku?!” ia tanya dengan bengis.
Semua orang berdiam. Walaupun kejadian berlalu di depan mata mereka,
tidak ada seorang jua yang ketahui siapa si penyerang gelap itu. Boroul
sendiri tutup mulut.
“Sudahlah saudara Sangum!” berkata Temuchin sambil tertawa. “Nanti aku
gantikan kau empat macan tutul yang paling jempolan ditambah sama
delapan pasang burung elang.”
Sangum masih mendongkol, ia membungkam.
Wang Khan gusar, ia mendamprat Tusaga. Cucu ini didamprat di depan orang
banyak, ia penasaran, keluarlah alemannya, ia terus menangis sambil
bergulingan di tanah, ia tidak pedulikan walaupun kakeknya menitahkan ia
berhenti menangis.
Diam-diam Jamukha kisiki Temuchin apa yang tadi terjadi di tengah jalan antara pengiringnya Wang Khan dan serdadu-serdadu Kim.
Panas hatinya Temuchin. Ia menginsyafi peranan kedua saudara Wanyen itu.
Di dalam hatinya, ia kata: “Kamu hendak bikin kita bercedera, kita
justru hendak berserikat untuk menghadapi kamu!” Maka ia hampiri Tusaga,
untuk dikasih bangun dengan dipeluk. Anak itu mencoba meronta tetapi
tidak berhasil.
Sambil tertawa, Temuchin hampiri Wang Khan dan kata: “Ayah inilah
permainan anak-anak, tak usah ditarik panjang. Aku lihat anak ini
berbakat baik, aku berniat menjodohkan dia dengan anakku, bagaimana
pikirmu?”
Wang Khan girang, ia lihat, meskipun masih kecil, Gochin sudah cantik,
setelah dewasa, mesti dia jadi elok sekali. Ia tertawa dan menyahuti:
“Mustahil aku tidak setuju? Marilah kita tambah erat persaudaraan kita.
Cucuku yang perempuan hendak aku jodohkan dengan Juji, putramu yang
sulung, Kau akurkah?”
Dengan girang, Temuchin kata sama Sangum. “Saudara, sekarang kita menjadi besan!”
Sangum itu angkuh, ia sangat bangga untuk keturunannya, terhadap
Temuchin ia berdengki dan memandang enteng, tak senang ia berbesan
dengannya, akan tetapi di situ ada putusannya ayahnya, terpaksa ia
menyambut dengan sambil tertawa.
Wanyen Lieh menjadi sangat tidak puas. Gagallah tipu dayanya. Selagi ia
berpaling, ia lihat rombongannya Kwa Tin Ok, dan Cu Cong rebah di atas
unta. Ia terperanjat dan heran sekali. “Eh, kenapa ini beberapa Manusia
Aneh berada disini?” katanya dalam hatinya.
Tin Ok beramai tidak mau menarik perhatian orang, mereka berdiri
jauh-jauh. Mereka tidak lihat Wanyen Lieh, itulah kebetulan bagi
pangeran ini yang lantas ngeloyor pergi duluan.
Temuchin lantas dapat tahu enam orang itu ialah yang telah tolongi
putranya, ia suruh Boroul memberi hadiah bulu dan emas, sedang Kwee
Ceng, yang ia usap-usap kepalanya, ia puji untuk keberaniannya.
Tuli tunggu sampai Wang Khan semuanya sudah berlalu, ia tutur kepada
ayahnya sebabnya ia berkelahi sama Tusaga, ia pun bicara hal Kanglam Cit
Koay (yang sekarang menjadi Kanglam Liok Koay sebab jumlah mereka telah
berkurang satu).
Temuchin berpikir sebentar, terus ia kata pada Coan Kim Hoat, “Baik kamu
berdiam di sini mengajari ilmu silat kepada putraku. Berapa kamu
menghendaki gaji kamu?”
Coan Kim Hoat senang dengan tawaran itu. Mereka memang lagi pikirkan
tempat untuk bisa mendidik Kwee Ceng. Ia lantas menyahuti: “Khan yang
besar sudi terima kami, itu pun sudah bagus, mana kami berani minta gaji
besar? Terserah kepada Khan sendiri berapa sudi membayarnya.”
Temuchin girang, ia suruh Boroul layani enam orang itu, untuk diberi
tempat, habis itu ia larikan kudanya, untuk susul kedua saudara Wanyen,
guna mengadakan perjamuan perpisahan untuk mereka itu.
Kanglam Liok Koay jalan perlahan-lahan, untuk merundingkan urusan mereka.
“Mayatnya Tan Hian Hong dipotong dada dan perutnya, entah itu perbuatan kawan atau lawan…” kata Han Po Kie.
“Itulah aneh, aku tak dapat menerkanya,” bilan Tin Ok. “Yang paling perlu ialah mencari tahu di mana beradanya Tiat Sie.”
“Memang selama ia belum disingkirkan, kita selalu terancam bahaya,” menyatakan Cu Cong.
“Sakit hatinya ngoko memang mesti dibalas!” kata Siauw Eng.
Karena ini kemudian Po Kie bersama Siauw Eng dan Kim Ho Ta lantas pergi
mencari. Mereka mencari bukan hanya di sekitar tempat itu, malah
diteruskan hingga beberapa hari, mereka tidak peroleh hasil.
“Wanita itu rusak matanya terkena tok-leng toako, mestinya racunnya
senjata itu bekerja, maka mungkin ia mampus di dalam selat!” kata Po Kie
kemudian sepulangnya mereka.
Dugaan ini masuk di akal. tapi Tin Ok tetap berkhawatir. ia baharu
merasa hatinya tentram kalau sudah dengan tangannya sendiri ia bisa raba
mayatnya Tiat Sie si Mayat Besi itu. Ia menginsyafi lihaynya Bwee Tiauw
ong. Tentang perasaannya ini ia tidak utarakan, ia khawatir
saudara-saudaranya bersusah hati.
Sejak itu Kanglam Liok Koay menetap di gurun pasir, akan ajari ilmu
silat kepada Kwee Ceng dan Tuli yang juga diajari ilmu perang. Dan Jebe
bersama Boroul turut memberi petunjuk juga. Hanya kalau malam, Kwee Ceng
dipanggil belajar sendirian untuk diajari ilmu pedang, senjata rahasia
dan entengi tubuh. Sebab di waktu siang mereka diajari menunggang kuda,
main panah dan ilmu tombak.
Kwee Ceng bebal, di sebelah itu ada sifatnya yang baik. Ia tahu ia mesti
membalas sakit hati ayahnya, untuk itu ilmu silat penting, dari itu, ia
belajar dengan rajin sekali. Untuk itu ia dapatlah disebut, pisau
tumpul kalau digosok terus bisa menjadi tajam.
Cu Cong bersama Coan Kim Hoat dan Han Siauw Eng mengajarkan ilmu
kegesitan, kemajuannya sedikit, tapi ajarannya Han Po Kie dan Lam Hie
Jin tentang pokok dasar silat, ia mengerti dengan cepat, malah ia segera
dapatkan maknanya itu.
Sang tempo berjalan dengan pesat, sepuluh tahun sudah lewat. Sekarang
Kwee Ceng telah menjadi satu anak tanggung berumur enam belas tahun.
Lagi dua tahun akan tiba saatnya janji pibu itu, adu kepandaian. Maka
Kanglam Liok Koay perhebat pengajarannya, hingga untuk sementara
muridnya dilarang belajar naik kuda dan memanah, dan siang dan malam
terus ia belajar silat tangan kosong dan pedang.