PARA penduduk mulai cemas
mendengar suara gemuruh di kejauhan. Mereka segera keluar dari rumah
masing-masing dan memandang puncak gunung. Jauh di sana bertengger puncak
gunung tinggi yang dinamakan mereka Gunung Cadas Geni. Warnanya putih keabu-
abuan.
Biasanya puncak gunung itu
tampak jelas dari Desa Kilangan. Sekarang tampak buram. Ada kabut hitam
menutupinya dan langit di atas puncak berwarna gelap. Ada api menyembur dari
dalam puncak, dan suara gemuruh terdengar lagi.
"Celaka! Kita akan
dilanda musibah," ujar lelaki setengah umur.
"Kita harus cepat
mengungsi. Sebentar lagi desa kita akan disapu lahar panas. Gunung Cadas Geni
mau meletus! Cepat!" teriak tetangganya.
"Apa?! Gunung meletus?
Siapa suruh?" tanya istrinya.
"Mana aku tahu?! Aku
tidak pernah menyuruhnya! Cepat kemasi barang. Jangan banyak tanya!"
"ly... iya.... Baik.
Baik...!" sang istri gugup. Barang dikemasi. Apa yang bisa dibawa,
dibawanya. Yang tidak bisa dibawa berusaha dibawanya pula.
"Kumpulkan anak
kita!"
"Ada berapa ya?"
gumam sang istri dengan linglung. Mungkin karena panik. Sebab di luar rumah
orang-orang juga panik. Mereka saling teriak.
"Cepat mengungsi! Cepat
pindah...! Gunung itu akan meletus! Cepat cari tempat yang aman! Hoi, hoi...,
jangan bengong saja kamu! Cepat pergi dari sini!"
Ada juga suara lain yang
berseru, "Baju hitamku ke mana, Mak?!"
"Jangan urusi baju hitam,
Tong! Cepat bantu Emak kemasi barang!""Barangku ada di mana,
Mak?!"
"Husy! Jangan pikir
barangmu sendiri. Urus juga barangnya Emak itu, Tong!"
"Barang Emak kan sudah
diurus Bapak!"
Suara kentongan berbunyi.
Waktu itu, bunyi gemuruh terdengar yang ketiga kalinya. Tanah berguncang makin
jelas. Gayung di cantelan sempat jatuh. Daun pohon rontok sebagian. Genteng di
pojokan rumah melorot tiga. Jatuh. Mengenai kepala anak kecil. Anak itu
menangis keras-keras. Bapaknya keluar dengan berang melihat kepala anaknya
bocor dan berdarah.
"Kurang ajar! Siapa yang
melempar kepala anakku sampai bocor begini, hah?! Mau mengungsi malah bikin
perkara saja!"
Para penduduk menghambur
keluar dari rumah. Barang-barang dirakit. Siap dibawa pergi. Gulungan tikar,
kendil, anak kambing, diikat dijadikan satu. Gayung sumur, ember timbaan, nasi
jagung, singkong rebus, dibungkus dijadikan satu. Kepanikan demi kepanikan
berlangsung. Mereka bersimpang siur. Ada yang saling tabrak dan saling caci
sendiri.
Ada yang berteriak-teriak
memanggil istrinya, takut ketinggalan. Ada yang berteriak-teriak mencari
anaknya, takut hilang. Ada yang berteriak-teriak menarik anjingnya, takut
disembelih orang. Ada yang berteriak-teriak memanggil neneknya, takut tertukar
kambing bandot.
Gaduh dan riuh desa itu. Tapi
toh masih ada yang tidak menghiraukan suasana. Seorang bocah duduk di atas
punggung kuda. Ia sedang belajar menunggang kuda. Bocah itu tertawa-tawa.
Seorang lelaki gemuk yang dipanggilnya Paman Dubang berlari-lari di samping
kuda merah kecoklatan.
"Jangan kencang-kencang
menarik talinya, Suto!" seru Paman Dubang kepada anak di atas kuda. Ia
tampak cemas. Takut jadi terbalik, kuda di atas anak itu.
"Paman...! Bagaimana cara
menghentikannya!"
"Kencangkan
talinya!" sambil si paman masih berlari-lari di samping kuda. "Lekas
kencangkan talinya!"
"Baik, baik... ! Baik,
Paman!" Anak itu agak cemas, Ia buru-buru mengencangkan tali celananya.
Paman Dubang membentak, "Bukan tali celanamu, Suto! Tapi tali kekang kuda.
Tarik ke belakang supaya berhenti!"
"O, baik. Baik...!"
. Tali kekang kuda ditarik. Kuda meringkik. Kaki depannya naik. Bukan karena
tarikan tali kekang, tapi karena suara gemuruh dan guncangan tanah tadi.
Rupanya kuda juga takut dengan tanda- tanda gunung akan meletus.
"Paman! Bagaimana
ini?!"
"Kendorkan talinya!"
"Sudah."
"Tarik lagi jangan
disentak."
Tali ditarik lagi. Tidak
disentak. Tapi kuda meringkik. Kakinya naik lagi. Tinggi. Sampai bocah yang
bernama Suto itu tersentak ke belakang. Bluukk...! Ia jatuh.
"Aaauuuh...!"
teriaknya kesakitan. Paman Dubang segera menolongnya sambil menggerutu.
"Tadi sudah Paman pesan,
jangan sampai jatuh. Kepalamu bisa bonyok kalau begini caranya. Ayo, bangun!
Lekas bangun."
"Baik, Paman!"
"Kamu harus bisa
menunggang kuda. Jangan sampai kuda yang menunggang kamu!"
"Kudanya nakal, Paman!
Cari kuda betina saja."
"Husy! Kamu masih kecil.
Tidak boleh menunggang kuda betina. Belum akil balik kok sudah mau cari kuda
betina?! Kuda jantan saja! Ayo, lekas... naik lagi ke punggung kuda."
Suto terpacu semangatnya, ia
bergegas naik ke punggung kuda lagi. Paman Dubang berteriak, "Hoii...!
Jangan lewat ekornya! Lewat samping!"
"Bantu aku naik,
Paman!"
Paman Dubang membantu Suto.
Pantat Suto didorong naik. Kaki anak itu melangkahi pelana. Pada saat itu,
gemuruh dan guncangan tanah yang kedua terdengar oleh sang kuda. Rupanya sang
kuda menjadi takut, ia kembali mengangkat kaki depannya sambil meringkik. Suto
nyaris jatuh lagi.
"Paman, Paman...!
Awas...!"
"Pegang tali
kekangnya!" sentak Paman Dubang dengan jengkel.
Suto memegang tali kekang
dengan kaki belum sempurna melangkah. Sang kuda semakin kaget dan berlari dalam
sentakan awal.
"Hati-hati, Paman!"
Suto segera berseru.
"Diamlah! Paman sedang
kebingungan!" Rupanya Paman Dubang ikut terbawa lari. Kaki kirinya terseret-
seret, ia menjadi panik dan gugup. Pelana dipakai gelantungan. Pundaknya
mendorong Suto. Anak itu bisa duduk di pelana. Tapi tangan Paman Dubang
tertindih pantatnya, "Jangan kau duduki tangan Paman, Suto!"
"Habis aku duduk di
mana?"
"Agak maju sedikit, biar
tangan Paman bebas. Aduh, kaki Paman terseret-seret. Bagaimana ini?"
"Ya bagaimana?! Paman kan
pawang kuda. Hentikanlah, Paman!"
"Susah, Tolol!"
sentak lelaki gemuk pendek itu. Kuda tetap berlari dengan liar. Suaranya
meringkik- ringkik bagaikan tawa perawan di malam pengantin. Paman dan Suto
sama-sama tegang. Sama-sama kebingungan. Akhirnya sama-sama terbawa oleh kuda
ke arah kesibukan para penduduk yang siap-siap mengungsi. "Lihat, Suto...!
Gara-gara kamu tak becus mengendalikan kuda, para penduduk menjadi panik
begini!" kata Paman Dubang.
"Oh, maaf, Paman,"
bocah itu matanya jelalatan ke mana-mana. Memandang tiap orang dengan
kesibukannya masing-masing.
Kuda meringkik lagi semakin
keras, semakin kencang larinya. Bahkan kali ini melompat tinggi. Seorang nenek
yang bingung mencari tusuk kondenya yang jatuh di tanah, dilompati oleh kuda
itu. Sang nenek terkejut dan terkesima dengan mulut melongo.
"Burung apa itu
tadi?!" gumamnya dengan bingung. Kuda disangka burung. Tapi siapa yang
tahu gumaman sang nenek, kecuali nenek itu sendiri.
Paman Dubang masih
terseret-seret. Kuda semakin beringas. Lari sana lari sini. Akhirnya Paman
Dubang ketakutan dan berteriak keras-keras.
"Tolooong...!
Tolooong...! Tolong hentikan kuda ini...!"
Tentu saja orang-orang tak
menghiraukan. Tak ada yang datang menolong. Semua panik dengan upaya
menyelamatkan diri sendiri-sendiri.
Di saat itulah, tak lama
kemudian muncul seorang lelaki tua. Dia adalah sesepuh kampung tersebut. Dia
hanya sesepuh, bukan kepala desa. Tubuhnya berdiri di sebuah tempat tinggi dan
berseru.
"Tenang! Tenang! Jangan
panik, Saudara-saudara!"
Suara sesepuh itu didengar
oleh penduduk. Mereka mulai berhenti berlarian. Mereka berkumpul di depan
sesepuh itu. Pada saat yang sama, kuda yang ditunggangi Suto dan Paman Dubang
menabrak sebuah kedai yang telah kosong penghuninya.
Bruss...! Braaak... !
Semua mata jadi memandang ke
arah kedai bernasib malang itu. Salah seorang ada yang berseru.
"Hoi, ada sesepuh mau
bicara kok malah main kuda- kudaan!"
Suto meringis menahan sakit.
Tubuhnya tersangkut di tiang atas kedai. Paman Dubang merintih kesakitan.
Tubuhnya jatuh di atas meja
bertindih patahan tiang atap. Ia berusaha bangkit begitu melihat kaki Suto
bergelantungan di atas. Kemudian ia bergegas menolong bocah itu untuk turun
dari atap. Tapi Suto menolak, kakinya menjejak-jejak.
"Biar. Biar, Paman. Aku
bisa turun sendiri."
Suto pun melompat turun.
Huuhp...!
Braak... ! ,
"Aaauh...!" teriak
Paman Dubang. Suto jatuh di meja, mejanya patah dan menjatuhi kaki Paman
Dubang. Tentu saja Paman Dubang menjerit. Seseorang kembali menyentak.
"Hooi...! Disuruh diam
dan tenang kok malah terbahak-bahak!"
"Terbahak-bahak apanya?!
Kakiku sakit!" bantah Paman Dubang. Suto hanya cekikikan geli.
Mereka segera bergabung dengan
kerumunan orang di depan sesepuh. Kemudian terdengar suara sesepuh berkata,
"Saudara-saudara, warga
Desa Kilangan, kuharap kalian tidak menjadi panik dan jangan salah langkah.
Gunung Cadas Geni itu tidak akan meletus. Jadi kalian tidak perlu panik dan
mencari tempat untuk mengungsi. Kembalilah ke rumah kalian masing-masing.
Gunung itu tidak akan meletus!"
"Tapi kok mengeluarkan
semburan api?"
"Dan juga bergemuruh, Pak
Tua!"
"Betul. Sudah tiga kali
kami mendengar gemuruhnya."
"Itu sebuah pertanda akan
ada bahaya di desa kita ini. Akan ada bencana, tapi bukan bencana alam,"
jawab sesepuh desa berusaha menenangkan rakyatnya.
"Masa begitu?"
"Betul. Dari zaman
buyutku hidup di tanah Desa Kilangan ini, gunung itu tidak pernah meletus. Tapi
jika desa ini akan terserang wabah, misalnya, maka gunung itu memberikan tanda.
Menyemburkan api dan asap hitam tiga kali, mengeluarkan bunyi gemuruh yang
mengguncangkan bumi, tiga kali."
"Ooo... jadi bukan mau
meletus, ya Pak Sepuh?" tanya seseorang.
"Tidak. Jangan takut.
Cuma kalian harus waspada. Jaga diri kalian baik-baik. Jaga keluarga kalian
baik- baik. Tetaplah bersatu dan gotong-royong jika terjadi sesuatu secara
tiba-tiba!"
Kepala mereka manggut-manggut.
Mulut mereka melongo mengeluarkan gumam. Kemudian terdengar kasak-kusuk seperti
serombongan lebah bergaung. Mereka mulai melangkah menuju rumah mereka
masing-masing. Sedangkan Suto mendesak Paman Dubang untuk melangkah mencari
kudanya. Toh gemuruh gunung tersebut memang berhenti. Tidak menyemburkan asap
dan api lagi. Tidak terasa ada guncangan tanah kembali. Gunung itu tenang, hati
masyarakat desa pun jadi lapang.
Tapi beberapa saat kemudian,
suara gemuruh itu datang lagi. Orang-orang yang telah tenang menjadi tegang
kembali. Mereka keluar dari rumah saling pandang dalam keheranan. Suara gemuruh
itu disimak baik-baik. Mata mereka menatap ke puncak gunung. Salah seorang
berseru, "Bukan suara gunung!"
"Ya, sepertinya suara
gemuruh kaki kuda."
"Betul. Makin lama
semakin dekat suaranya."
Seorang lelaki tua
terbatuk-batuk. Lengannya ditepuk oleh istrinya, "Jangan berisiklah...!
Kita sedang menyimak suara gemuruh itu. Kamu kok malah bergemuruh
sendiri!"
"Batuk. Aku batuk,"
kata suaminya yang tua.
"Iya. Batuk ya batuk.
Tapi nanti saja, kalau kita sudah yakin suara apa yang bergemuruh itu!"
Lelaki tua itu bergegas masuk
ke rumah sambil menggerutu, "Orang mau batuk kok disuruh menunda...!"
Gemuruh itu memang kian
mendekat. Kemudian mata mereka memandang ke arah batas desa. Tampak samar-samar
sesuatu yang bergerombol bergerak maju. Kian lama kian jelas. Mereka kian paham
bahwa ada serombongan orang berkuda mendatangi desa mereka. Bertambah dekat
bertambah jelas. Orang-orang penunggang kuda itu memiliki wajah garang, buas,
menyeramkan dan tampak keji-keji. Jumlah mereka ada tiga belas orang. Semua
menunggang kuda. Semua bersenjata. Sepertinya siap tempur.
Salah seorang yang menjadi
ketua mereka mengangkat tangan mengepal. Kuda-kuda itu berhenti. Tapi kudanya
sendiri keterusan. Akhirnya berhenti agak jauh dari rombongan anak buahnya.
Mata orang itu menatap liar di sekelilingnya. Kudanya bergerak pelan mendekati
rombongan. Sambil begitu, orang tersebut berseru kepada penduduk yang melongok
dari pintu rumah, atau yang tersembunyi mengintip dari celah dinding papan,
atau yang bersembunyi di balik batang pohon, termasuk kepada anak kecil yang
bersembunyi di balik sarung bapaknya.
"Mana Ronggo
Wiseso...?!" teriak orang berbadan kekar dengan dada bidang berbulu.
Kumisnya tebal melintang dan kelopak matanya berbelok bagai burung hantu.
"Tunjukkan, mana rumah
Ronggo Wiseso!" seru orang yang berpakaian serba hitam itu. Ia menyandang
pedang di punggungnya. Pedang besar, sebanding dengan ukuran lengannya yang
besar pula.
Karena tak ada penduduk yang
berani buka mulut, selain buka baju karena kegerahan, maka orang tersebut
segera turun dari kudanya. Berjalan dengan mata liar. Menggetarkan hati tiap
manusia yang memandangnya.
Seorang pemuda bertubuh kurus
yang bersembunyi di kolong bangku kedai yang rusak ditabrak kudanya Suto itu,
segera ditarik keluar. Dijambak rambutnya, ditengadahkan kepalanya. Lalu,
pedangnya dihunus, dan ditempelkan di leher anak muda kurus itu.
"Mana rumah Ronggo
Wiseso! Cepat tunjukkan, atau kugorok batang lehermu! Lekas...!" bentaknya
bagai tak sabar.
"Ad... ada... ada di
pojok desa, sebelah barat, Paman!"
"Biadab! Berani kau
memanggil Kombang Hitam dengan sebutan Paman, hah?! Panggil aku Tuan!"
"Ba... baik.. , baik,
Tuan!"
"Nah, begitu!" lalu
ia menggerutu, "Ketua Begal Utara kok dipanggil Paman! Memalukan!" Ia
kembali bertanya meyakinkan.
"Jadi benar, rumah Ronggo
Wiseso ada di pojok sana?!"
"Benar, Tuan Kombang
Hitam."
"Bagus. Terima
kasih," katanya sambil melepas rambut pemuda kurus itu. Pedang pun kembali
dimasukkan dalam sarungnya. Ia melangkah setelah bersalaman dengan pemuda kurus
itu sambil mengucapkan kata terima kasih lagi.
"Serang rumah itu!"
teriak Kombang Hitam kepada anak buahnya. "Bantai semua penghuninya!
Jangan ada yang tersisa!"
Kemudian rombongan itu pun
menuju ke rumah pojok desa. Deru kaki kuda bergemuruh, menerbangkan jutaan debu
menyirat ke mana-mana. Kombang Hitam sendiri memacu kudanya lebih cepat dan
selalu berada di depan rombongan.
'' "Untung kamu selamat,
Nang...!" kata seorang perempuan paro baya kepada pemuda kurus tadi.
Rupanya pemuda itu anak perempuan tersebut.
"Mak... aku... lemas...
aku...."
"Lho, lho... Nang? Lho,
kenapa wajahmu pucat? Lho... Nang? Kok wajahmu membiru?! Nang...?
Anakku...?!"
"Mak...!" suaranya
pelan sekali. Matanya meredup. Ia pun terkulai jatuh dalam pelukan emaknya.
Emaknya tak kuat, akhirnya jatuh ke tanah secara bersamaan. Brukkkk...!
"Anakku! Naang...!"
teriak perempuan itu histeris setelah ia tahu anaknya sudah tidak bernapas
lagi. Pemuda itu mati dalam keadaan sekujur tubuhnya menjadi biru kehitaman.
"Dia keracunan
makanan!" seru seseorang yang mangerumun.
"Bukan keracunan makanan.
Pasti gara-gara salaman sama Kombang Hitam itu!"
"Benar! Pasti waktu
salaman, Ketua Begal Utara itu menyalurkan tenaga dalamnya yang amat beracun
dan berbahaya!"
"Edan! Jahat sekali orang
itu."
"Gawat. Pasti keluarga
Ronggo Wiseso tak mampu melawannya!"
"Apa benar begitu? Ronggo
Wiseso kan pejabat kadipaten?!"RONGGO Wiseso memang pejabat istana
kadipaten. Dia menjadi penasihat sang adipati untuk urusan hukum. Setiap ada
perkara, Ronggo Wiseso yang menyelesaikan secara hukum dan peraturan yang
berlaku, lalu sang adipati yang memutuskan ketetapan hukuman terakhir.
Tapi karena waktu itu Ronggo
Wiseso sering sakit-sakitan, maka ia diizinkan untuk beristirahat. Untuk itu
diangkatlah seorang penasihat hukum yang bisa menggantikan Ronggo Wiseso.
Tetapi penasihat baru itu kurang begitu piawai dalam masalah hukum kadipaten,
sehingga masih sering minta pendapat Ronggo Wiseso. Pihak kadipaten sendiri
masih menganggap Ronggo Wiseso sebagai orangnya dan tetap menerima upah
perbulannya.
Usia orang itu antara enam
puluh tahun. Tubuhnya kurus dengan tulang-tulang wajah yang keras, sedikit
menonjol. Ia terkejut ketika pintu gerbang rumahnya diterjang kuda. Suaranya
bergemuruh mengagetkan seekor ayam yang sedang bertelur di belakang rumah.
Serombongan orang berkuda itu segera mengepung rumah tersebut sampai di bagian
belakang.
Bergegas lelaki kurus karena
penyakit batuk- batuknya itu menuju serambi depan. Dan ia berpapasan dengan
Kepala Begal Utara yang tampak menggeram. Kakinya berdiri tegak merenggang
dengan mata menatap buas. Ronggo Wiseso berkerut kening merasa heran.
"Siapa kau?"
"Ronggo Wiseso, kau tentu
ingat Mandra Dayu yang atas usulmu dijatuhi hukuman mati oleh sang Adipati,
bukan?"
"Mandra Dayu...?!"
gumam Ronggo Wiseso. Ia berpikir sejenak. "O, ya. Benar. Rasanya memang
layak Mandra Dayu menerima hukuman mati, karena ia nyaris membunuh sang Adipati.
Kenapa?""Aku adalah kakak Mandra Dayu. Aku menuntut atas kematian
adikku itu, Ronggo Wiseso! Satu-satunya saudaraku telah kau lenyapkan dengan
keputusan hukummu yang tidak adil itu, maka sebagai gantinya, keluargamu harus
kulenyapkan pula, supaya kau bisa merasakan bagaimana hidup tanpa sanak
keluarga!"
"Tunggu dulu...!"
Kombang Hitam sudah tak sabar.
Ia berseru, "Anak- anak, bantai habis mereka!"
"Hiaaat...!" teriak
mereka bersamaan. Dua belas anak buah Kombang Hitam mengamuk. Tak ada tetangga
yang bisa menolong, tak ada dari mereka yang berani mendekat. Jerit dan
teriakan bagai suasana di alam neraka.
Pada waktu itu, Paman Dubang
dan Suto sudah berhasil menemukan kudanya. Kuda itu menjadi jinak kembali. Suto
duduk di atas punggung kuda, sementara Paman Dubang menuntun, dengan memegangi
tali kekang kuda itu. Kuda itu bukan berlari, namun berjalan dengan santainya.
Suto yang masih berusia
delapan tahun itu tersenyum-senyum. Merasa tenang dan nyaman duduk di punggung
kuda, karena ada yang menjaganya. Kuda pun tidak bisa menjadi liar, melainkan
patuh dan menurut dengan bimbingan Paman Dubang.
"Enak sekali kalau
begini, Paman. Aku pantas menjadi pendekar sakti berkuda, ya?"
"Iya. Tapi mana ada
pendekar naik kuda kok dituntun? Seharusnya seorang pendekar itu bisa naik kuda
sendiri."
"Kalau begitu, lepaskan
saja, biar aku menunggang kuda sendiri."
"Kalau kudanya lepas lagi
bagaimana?"
"Ya dikejar. Sambil
diancam seperti tadi, Paman!"
"Huuh... kuda kok diancam
terus, lama-lama dia bosan jadi kuda," Paman Dubang bersungut-sungut.
Tiba-tiba tiga orang penduduk
yang dikenal Paman Dubang itu menghadang di depan mereka. Wajah ketiga orang
itu menegang dan napas mereka tampak tak teratur.
"Dubang, sebaiknya kau
bawa si Suto pergi jauh- jauh. Jangan pulang ke rumah!" kata salah
seorang.
"Habis mau pulang ke mana
kalau tidak ke rumah?"
"Ke penginapan
saja!" kata yang satunya lagi.
"Di sini mana ada
penginapan?!" sentak Dubang.
"Memangnya kenapa aku
tidak boleh pulang, Kang?" tanya Suto yang merasa heran mendengar larangan
itu.
"Keluargamu sedang
dibantai habis oleh Begal Utara!"
"Apa...?!" Dubang
memekik kaget. Suto segera turun dari punggung kuda dengan merosot dan jatuh
sebentar. Ia mendekati salah satu dari ketiga tetangga dan bertanya, "Apa
yang terjadi di rumahku, Kang?"
"Keluargamu... keluargamu
dibantai oleh Kombang Hitam, kepala rombongan Begal Utara! Kakak-kakak
perempuanmu diperkosa mereka, lalu dibunuh. Termasuk kedua pembantu
perempuanmu, juga diperkosa dan dibunuh, dan ......"
"Tunggu," kata Suto
dengan bingung, lalu ia bertanya kepada Paman Dubang pengasuhnya itu.
"Paman, diperkosa itu diapakan, Paman?"
"Jangan bertanya begitu.
Kamu masih anak-anak. Sebaiknya ..... "
"Sebaiknya cepat lari.
Sembunyikan anak momonganmu itu! Lekas, Dubang! Kalau mereka melihat Suto,
pasti Suto juga akan dibunuhnya. Mereka merencanakan menghabisi semua keluarga
majikanmu itu!"
"Aduh, aku... aku... aku
bagaimana, ya? Kakiku gemetar sekali dan, yaaah... basah juga akhirnya,"
sambil Dubang memandang celananya yang basah bagian bawah. Itu disebabkan rasa
ketakutannya begitu besar.
"Huhh... dasar pengecut.
Baru begitu saja sudah ngompol!" gerutu tetangga yang bersarung merah.
Tiba-tiba mereka sadar, bocah
kecil itu sudah tak ada di antara mereka. Salah seorang dari mereka berseru,
"Lho, di mana Suto tadi?!"
"Ya, ampun...! Dia sudah
berlari ke arah rumahnya!"
"Celaka! Pasti dia menjadi
sasaran juga. Ayo, cepat kita kejar dia!"
Mereka berempat mengejar Suto.
Tapi larinya Suto begitu cepat sambil menyelusup di antara pinggiran rumah
penduduk, mencari jalan pintas menuju rumahnya. Rupanya hati anak itu cemas dan
tegang. Ia mulai menahan kesedihan membayangkan apa yang diceritakan tiga
tetangga tadi. Ia penasaran, ingin melihat kebenaran cerita itu.
Begitu tiba di depan rumahnya,
di balik sebuah pohon, Suto bersembunyi. Ia melihat rumahnya terbakar dengan
api meluap berkobar-kobar. Ia juga melihat ayahnya yang renta itu sedang
melawan dua anak buah Kombang Hitam. Sementara Kombang Hitam sendiri hanya
terkekeh-kekeh sambil berdiri di samping kudanya.
"Hajar terus si tua
bangka itu! Hajar jangan sampai mati!" teriak Kombang Hitam dengan
memuakkan hati siapa saja yang melihat pertarungan itu.
Ronggo Wiseso mencoba menahan
serangan kedua anak buah Kombang Hitam yang datang dari arah kanan-kirinya.
Kedua tangannya dipakai untuk menangkis pukulan yang datang secara bersamaan.
Ketika tangan itu membuka, kaki kedua anak buah Kombang Hitam itu menendang
setengah lingkaran dan mengenai dada Ronggo Wiseso. Buk, buk... !
"Hegh...?!" tubuh
Ronggo melengkung ke belakang, lalu terhuyung-huyung. Darah segar muncrat dari
mulutnya. Warnanya hitam kemerah-merahan.
Kedua anak buah Kombang Hitam
yang melancarkan jurus kembar itu segera menghentakkan telapak tangan mereka,
satu di dada kanan, satu lagi di dada kiri.
Bleg... ! Bleg... !
"Uhggh...!" Ronggo
Wiseso semakin mendelik matanya. Telapak tangan yang datang secara serempak itu
seperti sebongkah batu besar dihantamkan di kedua dadanya. Napas terhenti
seketika itu pula. Ronggo merasakan ada hawa panas yang membakar rongga
dadanya, bahkan seluruh isi tubuhnya bagai terbakar api.
Namun, agaknya lelaki kurus
dan berbadan sedikit bungkuk itu masih berusaha bertahan. Ia balas menyerang
dengan sebuah sentakan kaki kanannya ke arah perut lawan yang ada di sebelah
kanan.
Plakk...! Kaki itu ditangkis
oleh lawannya menggunakan kibasan tangan. Justru Ronggo Wiseso yang menyeringai
kesakitan pada pergelangan kakinya, terasa linu sekali akibat tangkisan tadi.
Akibatnya, satu kaki menjadi lemah. Ia jatuh terlutut. Tapi kaki kirinya
berhasil tetap berpijak pada tanah. Hanya saja, sebelum ia melakukan sesuatu
gerakan, tiba-tiba kedua tangan lawan datang memenggal dari kanan-kiri, tertuju
pada tengkuk kepala Ronggo.
Bleg... ! Bleg... !
"Uhgg...!" kepala
Ronggo tersentak maju dan darah hitam kembali menyembur keluar. Pukulan tangan
memenggal itu seperti dua batang balok yang dihantamkan kuat-kuat di
tengkuknya. Ronggo pun jatuh tersungkur tak tahan lagi. Brukkk...! Saat itu,
Suto menjerit dari balik persembunyiannya.
"Ayaaah...!" ia
berlari mendekati ayahnya yang sekarat.
"Hai, itu pasti anak bungsu
Ronggo! Tangkap dan bunuh anak itu sekalian!" seru Kombang Hitam. Ia
menuding ke arah Suto dengan
mata mendelik liar.
Mendengar seruan itu, Suto
tidak merasa takut. Ia justru mendekati ayahnya. Kedua anak buah Kombang Hitam
yang telah merubuhkan ayahnya itu menghadang langkah Suto, maka Suto pun
berbalik mengambil batu dan melemparkan.
Plak, pletak!
Batu itu mengenai wajah dan
kepala penghadangnya.
"Wadow...!" seru
mereka serempak.
Suto melarikan diri begitu
melihat hidung salah seorang yang dilempar berdarah. Kedua anak buah Kombang
Hitam pun segera mengejarnya. Anak itu berlari mencari kesempatan untuk
melempar lagi.
"Anak itu bisa jadi
penyakit kalau hidup!" geram Kombang Hitam. Maka, ia segera naik ke atas
kuda dan mengejar Suto dengan kudanya itu. Tetapi, Suto membelok ke jalan
setapak yang sempit di pinggiran rumah seseorang. Kuda itu tidak bisa mengejar
masuk di jalanan sempit itu.
"Jahanam!" geram
Kombang Hitam lagi. "Kuremuk habis tulang-tulangnya kalau dia
tertangkap!"
Kombang Hitam mengarahkan
kudanya dengan memutar jalan. Ia bermaksud menghadang jalan tembus tempat
pelarian Suto. Sedangkan kedua anak buahnya masih tetap mengejar melalui jalan
yang diambil Suto.
Rupanya di ujung jalan tembus
itu Dubang telah menghadang. Begitu melihat Suto berlari terbirit-birit, Dubang
segera menyongsongnya. Suto baru bisa menjerit.
"Pamaaan...!"
"Diam. Jangan
bersuara!" sambil Paman Dubang menggendong Suto dan menerabas melalui
tanaman jagung milik tetangga itu.
"Pegangan yang kuat, ya?
Kita akan lari secepatnya lewat celah-celah tanaman jagung ini!" kata
Dubang yang menggendong Suto di belakangnya. Suto pun segera berpegangan
kuat-kuat dengan kedua tangannya. Dubang membawanya lari tunggang- langgang. Ia
sempat berkata dengan nada tegang dan tertekan.
"Jangan terlalu kuat, itu
namanya mencekik leher Paman!" Lalu ia terbatuk-batuk, karena kedua lengan
Suto begitu kencangnya memeluk leher sehingga napas Dubang sulit dikendalikan.
"Ke mana mereka?!"
teriak Kombang Hitam kepada kedua anak buahnya. "Aku tadi melihat
kelebatan anak itu yang digendong seorang lelaki pendek dan gemuk!"
"Saya rasa, mereka masuk
ke ladang jagung, Ketua!"
"Kalau begitu, kejarlah
mereka! Kenapa hanya bengong saja?!"
Maka kedua orang tersebut
segera menerabas masuk ke ladang jagung yang rimbun, tinggi tanaman itu sudah
menyamai tinggi orang dewasa. Sedangkan Kombang Hitam yang merasa waswas itu
segera melarikan kudanya mengikuti tepian ladang jagung. Ia akan mencegat di
ujung ladang sebelah sana.
"Wah... bajuku robek,
Paman!"
"Biarkan saja!"
Dubang tetap berlari sambil mencari arah yang aman. Ia mendengar suara
gemerusuk di belakangnya, itu pertanda ada yang mengejarnya di dalam ladang
jagung itu. Karenanya, ia semakin mempercepat larinya bagai membabi buta.
Larinya sudah tidak tentu arah lagi.
"Turunkan aku, Paman.
Biar aku lari sendiri!"
"Kebetulan!" kata
Dubang, segera menurunkan Suto. Maka mereka lari berdua.
Beberapa waktu kemudian,
mereka berdua berhasil keluar dari ladang jagung. Dubang berhenti sebentar,
mengatur pernapasannya. Di depannya sebuah jalan liar menuju kaki bukit.
"Kita akan ke mana,
Paman?" tanya Suto dengan ngos-ngosan juga.
"Ke mana sajalah. Ooh...
napas Paman seperti mau putus, Suto."
"Tapi mereka mengejar
kita di belakang, Paman. Kita tak boleh beristirahat di sini. Ayo, lari lagi,
Paman...!"
"Lari, lari...!"
sentak Dubang. "Kamu enak, usia masih muda. Aku ini yang sudah setengah
umur harus lari tanpa berhenti, mana bisa?!"
Terdengar suara kaki kuda
samar-samar. Dubang mulai cemas.
"Itu mereka, Paman.
Biarlah kuhadapi mereka. Paman selamatkan diri saja."
"Jangan berlagak jago
kamu. Kamu kan masih kecil! Ayo, lari lagi."
Mereka berlari kembali sekuat
tenaga. Kali ini mereka mendaki tanah perbukitan, melewati celah- celah batang
pohon. Menerabas semak berduri.
Kedua anak buah Kombang Hitam
muncul, keluar dari ladang jagung. Bertepatan dengan itu, Kombang Hitam pun
berpapasan dengan mereka. Ia berteriak dengan kemarahannya.
"Kalian lagi!
Huh...!"
"Mungkin mereka masih
tertinggal di dalam ladang, Ketua!"
"Setan! Kenapa masih
mungkin? Harus pasti!"
Tiba-tiba mata salah satu anak
buahnya itu melihat gerakan terburu-buru di antara celah pepohonan. Ia menuding
sambil berteriak keras.
"Itu dia!"
"Hiiihk...!" kuda
yang ditunggangi Kombang Hitam meringkik dan melonjak kaget karena suara keras
tersebut.
"Kucing kurap! Jangan
keras-keras. Kudaku kaget!"
"Ketua, mereka mendaki
bukit. Saya lihat jelas!"
"Kejar dia!
Kejaaar...!" bentak Kombang Hitam bagaikan orang kesurupan. Dan ia sendiri
segera bergegas mengejarnya dengan tetap menunggang kuda. Suaranya
berteriak-teriak menghela kuda supaya lebih cepat bergerak di kerimbunan semak.
Jalanan makin mendaki. Di
depan ada jurang. Di belakang ada pengejarnya. Turun sama saja bahaya. Dua anak
buah Kombang Hitam tampak berkelebat mengejar dari arah bawah. Satu-satunya
jalan adalah tetap mendaki ke atas. Padahal kaki Dubang seperti dibanduli beban
berton-ton beratnya. Napasnya tinggal seliter lagi. Namun, demi menyelamatkan
Suto, bocah asuhannya itu, Dubang memaksakan diri untuk lari mendaki menjadi
penunjuk jalan. Sesekali ia limbung dan terhuyung karena lelahnya. Sesekali ia
menjadi tegak kembali jika mendengar suara ringkik kuda. Suto memandang gemas,
ingin melawan mereka tapi selalu segera ditarik tangannya oleh Paman Dubang.
"Awas, Paman.
Hati-hati... di sebelah kanan kita jurang yang sangat dalam, Paman."
"Diam kamu! Aku tahu itu
jurang!" kata Dubang dengan hati dongkol, merasa digurui dalam keadaan
kelelahan begitu.
Tiba-tiba suara derap kaki
kuda kian jelas di belakangnya. Dubang menoleh ke belakang, ia melihat Kombang
Hitam sedang memacu kudanya untuk lebih cepat lagi. Kaki Dubang pun kian
dipercepat. Namun, sayang sekali kaki itu menyampar akar pohon yang melintang,
sehingga Dubang pun tersungkur jatuh ke depan. Buukk...! Suto menabraknya dan
ikut terjatuh.
"Ngekk...!" Tubuhnya
tertindih Suto. Ia mencoba bangun karena Kombang Hitam berseru, "Mampus
kalian sekarang, hah...?!"
Terburu-buru Paman Dubang
membuat kakinya goyah berpijak. Ia terpeleset jatuh ke tepian jurang.
"Awas, Paman...!"
teriak Suto terbawa tangan Dubang.
Tangan kanan Dubang memegangi akar
pohon untuk menahan tubuhnya yang nyaris merosot ke jurang. Sedangkan tangan
kirinya berusaha menahan tubuh Suto yang sudah bergeser dari punggungnya.
"Naik, Suto! Naik...!
Cepat naik!"
Tangan Dubang mendorong-dorong
tubuh Suto. Bocah itu berhasil naik ke atas, berada di dekat pohon. Tetapi,
pada saat itu kuda Kombang Hitam mendekati. Dubang berteriak,"Lari! Lekas
lari, Suto...! Lari...!"
"Pamaaan...!" Suto
bingung, ia ingin membantu menolong Dubang agar bisa naik.
"Cepat lariii!"
teriak Dubang dengan gemasnya.
"Selamatkan jiwamu untuk
balas dendam nanti!"
Maka. Suto pun melarikan diri
menuju ke atas. Kombang Hitam berteriak, "Mau lari ke mana kau bocah
ingusan...! Ha, ha, ha...!"
Suto tetap lari sambil
memikirkan kata Dubang tadi. Napasnya terengah-engah. Sementara itu, Dubang,
segera berusaha naik dari tepi jurang.
Susah payah ia menarik dirinya
dengan berpegangan pada akar pohon yang berjuntai mirip rambut raksasa itu,
namun tiba-tiba kedua anak buah Kombang Hitam tiba dari pengejarannya. Mereka
menemukan Dubang dalam keadaan kritis.
"Nah, ini dia
orangnya!" kata salah seorang. Yang satu berkata pula.
"Habisi saja dia!"
Dubang cemas dan memohon,
"Kang, tolong aku...! Tolonglah. Nanti kuberi tahu sisa keluarga Ronggo
Wiseso. Tolong tarik aku ke atas, Kang...!"
"Jangan mau tertipu oleh
bujukannya!" kata yang satu. Yang satunya lagi berkata, "Tapi dia mau
memberi tahu sisa keluarga Ronggo Wiseso!"
Orang yang diajak bicara itu
mendengus, lalu mencabut goloknya. Dubang menjadi tegang. Ingin memohon sesuatu
tak sempat keluar dari mulutnya. Orang yang memegang golok itu segera menebas
ke depan. Crasss...! Akar itu dipenggal. Putus. Dan tubuh Dubang pun jatuh
melayang ke bawah jurang dengan jerit yang menggema mengerikan.
"Aaaa...!"
Suto berhenti dari larinya, ia
mendengar jeritan itu. Ia makin sedih karena tahu suara itu jeritan Dubang. Ia
berbalik arah ingin ke tepi jurang lagi, tapi kuda yang ditunggangi Kombang
Hitam muncul dari semak-semak. Suto menjerit kaget, kemudian hanya bisa berdiri
dengan tubuh gemetar. Pada saat itu, kedua anak buah Kombang Hitam pun datang
dengan napas terengah-engah. Kombang Hitam tertawa terbahak-bahak dengan tetap
di atas punggung kuda.
Kemudian, ia berseru kepada
anak buahnya.
"Penggal kepala bocah
itul Penggal!"JANTUNG bocah yang sudah tidak berbaju lagi itu semakin
berdebar. Rasa cemas melihat golok tajam terhunus membuatnya ia melangkah mundur,
mencari kesempatan untuk mengambil batu buat dilemparkan. Orang yang memegang
golok tajam itu mendekat.
"Kalau berani jangan
pakai golok!" ucap Suto dalam kebingungannya. Kaki gemetar dan celana jadi
melorot. Melihat anak buahnya melakukan tugas dengan agak ragu-ragu, Kombang
Hitam berteriak dengan membentak keras.
"Penggaaal...!"
Dan, golok berkilat itu
diangkat ke atas. Dari sisi kanan Suto, golok itu berkelebat menghantam leher
bocah telanjang dada itu.
Trangng... !
Orang yang menggenggam golok
itu mendelik melihat goloknya telah patah, hampir dekat gagang tempat yang
patah itu. Kini ia hanya memegangi gagang golok saja. Tentunya hal itu membuat
temannya yang satunya terkejut juga, dan Kombang Hitam terperanjat. Ia masih
duduk di atas kudanya sambil matanya melirik kanan-kiri, mencari seseorang yang
telah mematahkan golok itu dengan menggunakan sebutir batu kecil. Batu itu
jatuh di kaki kuda.
Kombang Hitam turun dari kuda.
Memungut batu kecil seukuran kacang tanah itu. Ia mengamat-amati sambil bergumam,
"Keparat! Pasti ada orang berilmu tinggi menghalang-halangi niat kita!
Batu sekecil ini bisa dipakai mematahkan golok baja. Hmmm...! Mana
dia...?" mata Kombang Hitam kembali menatap liar ke sekelilingnya.
Namun yang ada hanya sepi dan
sunyi. Tak ada tempat yang mencurigakan.Kecemasan Suto mereda. Matanya
memandang golok yang patah dan tak sadar masih digenggam oleh pemiliknya.
Kombang Hitam merasa semakin geram dengan anak itu. Lalu, ia berkata kepada
anak buahnya yang masih mempunyai golok di pinggang.
"Penggal! Tunggu apa
lagi. Cepat!"
Sreet...! Golok dicabut lagi.
Suto kebingungan. Ia merundukkan kepala sambil berkata, "Jangan coba- coba
menyerangku lagi!" Suto masih nekat mengancam.
Baru saja golok diangkat ke
atas, belum sempat diayunkan. Tiba-tiba terdengar suara nyaring.
Trangng... !
Kembali golok itu patah.
Bahkan menjadi tiga bagian. Padahal suara trang tadi hanya satu kali. Dan
lagi-lagi Kombang Hitam menemukan sebutir batu sebesar kacang tanah. Hati
lelaki bertubuh besar itu menjadi semakin panas. Matanya semakin buas memandang
sekeliling.
"Benar-benar
keparat!" geramnya dengan kedua tangan menggenggam kuat-kuat. Batu kecil
itu digenggam dan hancur berubah menjadi serbuk abu- abu. Kecemasan Suto
kembali mereda. Ia merasa lega, bahwa golok yang akan memenggal lehernya itu
patah kembali. Itu berarti lehernya masih tetap utuh.
Kombang Hitam berteriak keras,
"Siapa kamu, hah?! Ada urusan apa kamu ikut campur dalam urusanku ini?! Keluarkan
batang hidungmu! Hadapi aku, Kombang Hitam, Ketua Begal Utara! Ayo, keluar dari
persembunyianmu! Keluar...!"
Sepi. Tak ada jawaban dan
suara yang mencurigakan. Bahkan detak jantung pun tak terdengar oleh Kombang
Hitam. Biasanya ia bisa mendengar detak jantung dari orang yang bersembunyi.
Tapi kali ini, ketika ia memejamkan matanya sesaat, ia tidak mendengar detak
jantung, selain jantung milik mereka dan Suto.
"Aku tak mendengar ada
detak jantung selain milik kita," ia berkata kepada anak buahnya.
"Jangan-jangan anak itu
punya kesaktian tersembunyi?"
Kombang Hitam menatap Suto.
Bocah yang ditatap itu mendengus benci, dan memalingkan kepala. Menggumam
sesaat dengan mata tak berkedip. Kemudian ia berkata kepada kedua anak buahnya
itu.
"Kurasa dia anak yang
polos, tanpa ilmu apa pun. Ingat saat dia lari, dia lari sebagai bocah biasa.
Tanpa menggunakan tenaga peringan tubuh, tanpa gerak- gerak yang
mencurigakan."
"Lalu, siapa yang telah
mematahkan senjata kami, Ketua?"
"Entahlah. Sebaiknya
segera kalian periksa keadaan di sekeliling tempat ini! Periksa dengan teliti,
sebelum bocah itu kupenggal sendiri dengan pedangku!"
Kombang Hitam segera maju
untuk meraih Suto. Tetapi, tiba-tiba ia melompat ke samping karena merasakan
ada hawa panas berkekuatan besar sedang mengarah ke dadanya. Begitu ia melompat
ke samping dan berguling satu kali, kuda di belakangnya menjadi sasaran
berikutnya. Kuda itu meringkik sambil terlempar ke belakang, membentur pohon.
Jaraknya ada sepuluh tombak dari tempat sang kuda berdiri. Kuda itu
meringkik-ringkik, tak bisa bangun lagi. Dan hal itu membuat kedua anak buah
Kombang Hitam menjadi tertegun bengong tak berkedip.
"Iblis Laknat!" maki
Kombang Hitam. Ia bergegas bangun. Ia juga memandang kudanya yang patah pada
keempat kakinya dan kelihatan menyedihkan sekali. Meringkik-ringkik bagai orang
menderita sakit yang amat nyeri. Sebagian kulit tubuh kuda yang putih itu menjadi
memar merah. Terutama pada bagian perut dan kaki.
"Benar-benar ada yang
ingin main-main denganku!" geram Kombang Hitam lagi. "Lekas cari!
Periksa. Tumbangkan semua pohon di sini! Bakar semua semak yang ada!
Cepaaat...!"
Kedua anak buah itu bergegas pergi
dengan perasaan takut akan kemarahan Kombang Hitam. Suto juga bergegas pergi.
Tapi Kombang Hitam membentak. "Hai, mau ke mana kamu, hah?"
"Membakar semak!"
"Yang kuperintahkan anak
buahku. Kamu tidak ikut kuperintahkan membakar semak! Diam di situ kalau masih
ingin selamat!"
Suto diam, memandang dengan
tengil dan berlagak tidak takut sedikit pun.
Di balik semak rimbun, kedua
anak buah Suto berkasak-kusuk.
"Mana mungkin kita bisa
menumbangkan pohon? Golok pun tak punya. Bagaimana ini?"
"Entahlah. Kita juga
tidak memiliki tenaga dalam sehebat ketua, mana bisa menumbangkan pohon dengan
tangan kosong? Membakar semak tanpa api pun jelas tak bisa. Kita tidak bisa
mengeluarkan api dari telapak tangan kita, seperti Ketua."
"Lalu, apa yang harus
kita lakukan?"
"Tak tahulah...,"
orang itu tampak bingung dan garuk-garuk kepalanya yang dililit kain pengikat
kepala.
"Nyawa kita bisa melayang
kalau begini caranya. Aku yakin, ada tokoh sakti yang bersembunyi di sini.
Entah di sebelah mana. Salah-salah, begitu kita menemukan dia, kita mati lebih
dulu."
"Iya. Aku juga khawatir
begitu. Jelas tokoh itu sangat sakti. Setidaknya punya tenaga dalam yang jauh
lebih sempurna dari yang dimiliki sang ketua."
"Apakah... apakah
sebaiknya kita pergi saja secara diam-diam?"
"Pergi? Oh, sepertinya
itu gagasan yang bagus. Ayo, lekas tinggalkan hutan ini. Aku yakin, iblis
penunggu hutan ini sedang mengincar sang ketua. Kalau kita mencampuri urusan
mereka, jelas tidak seimbang. Kita bisa mati konyol!",
"Aku tidak mau, ah! Mati
konyol jarang mendapat sumbangan dari teman. Ayo, pergi pelan-pelan...!"
Kedua anak buah Kombang Hitam
berhasil menuruni bukit itu. Mereka berlari dari pelan menjadi cepat. Sampai
tiba di sebuah tempat, tak jauh dari ladang jagung, mereka terhenti di sana.
Seseorang yang menghentikan langkah temannya.
"Lihat di sebelah timur
itu...!" katanya dengan nada kagum.
Temannya memandang menurut
arah telunjuk. Dan ternyata mereka melihat sesosok tubuh berdiri di atas sebuah
tonjolan batu besar. Tubuh itu bagai berada di tempat terang, tanpa dedaunan
penghalang, sehingga bisa dilihat dengan jelas dari tempat kedua anak buah
Kombang Hitam itu.
"Menurutmu dia perempuan
atau lelaki?"
"Sepertinya seorang
lelaki berambut panjang meriap. Berdirinya begitu tegar."
Orang yang berdiri di batu itu
mengenakan jubah ungu. Kain jubahnya melambai-lambai bagaikan menari karena
hembusan angin. Salah satu anak buah Kombang Hitam berkata, "Dia pasti
bukan orang sembarangan, terlihat dari dandanannya yang ketat namun tegas.
Warna pakaiannya merah, berselubung jubah ungu. Ini menandakan keberaniannya
dalam menentang bahaya apa pun juga."
"Siapa dia? Apakah dia
yang menyelamatkan bocah itu? Yang mematahkan senjata kita memakai batu
kerikil?"
"Melihat letaknya yang
jauh sekali dari tempat kita tadi, rasa-rasanya tak mungkin orang berjubah ungu
itu mematahkan senjata kita. Terlalu jauh jaraknya untuk sebuah pukulan jarak
jauh. Seperti ada di seberang jurang lebar itu, kan?"
"Memang. Tapi dia berdiri
menghadap ke tempat kita berada tadi. Jangan-jangan dia sedang memperhatikan
sang ketua kita?"
"Apa iya begitu,
ya...?!" gumam yang satunya bingung sendiri.
"Sudah, sudah... kita
jangan terlalu lama berhenti di sini. Ayo, lekas pergi sebelum sang ketua
mengetahui kita lari!"
Mereka kembali bergegas pergi.
Namun baru tiga langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kemunculan
seseorang dari dalam ladang jagung itu. Orang tersebut berada di arah samping
mereka, jaraknya antara enam tombak. Orang itu memandang sebentar ke arah
mereka, lalu meneruskan langkahnya mendaki tanah perbukitan. Kedua anak buah
Kombang Hitam tertegun bengong, kemudian saling pandang.
"Siapa orang itu?"
"Entah. Dia acuh tak acuh
pada kita."
"Memang dia tidak
mempedulikan kita. Tapi tidakkah kau sadari pakaiannya?"
"O, iya...?!" orang
itu terkejut. "Dia memakai pakaian serba merah dan berjubah ungu.
Rambutnya panjang meriap. Dan ia seorang perempuan cantik. Apakah dia orang
yang ada di atas...."
Kata-kata itu tidak berlanjut.
Mata kedua anak buah Kombang Hitam terbelalak ketika melihat tempat batu
menonjol berukuran besar itu telah kosong. Tadi, belum lebih dari lima helaan
napas, mereka melihat seseorang berdiri jauh sekali. Dengan pakaian dan ciri-
ciri sama dengan orang yang baru saja muncul dari ladang jagung dan melewatinya
dengan acuh tak acuh.
"Apakah orang yang baru
saja lewat itu adalah orang yang ada di atas batu sana?"
"Aneh. Kalau benar orang
itu adalah orang yang ada di seberang jurang tadi, lantas kapan dia datang
kemari? Jarak dari sini ke batu itu membutuhkan waktu cukup lama. Kenapa dia
tahu-tahu muncul di ladang jagung dan...," orang itu menengok ke belakang.
Ternyata perempuan cantik yang berjubah ungu itu sudah tidak kelihatan lagi.
"Edan! Dia sudah tidak
kelihatan. Ke mana perginya. Mestinya ia masih bisa kita lihat sedang berjalan
mendaki?"
"Ayo, ayo... sepertinya
ada yang tidak beres di sini! Lekas tinggalkan tempat ini sebelum kita jadi
sasaran!"
Mereka berlari menerabas pepohonan
jagung. Mereka tampak tergesa-gesa dalam langkahnya yang merunduk. Namun,
tiba-tiba langkah mereka kembali terhenti. Orang yang berjalan paling depan
terkejut dan berhenti seketika, sehingga yang belakang menabraknya dalam satu
sentakan yang membuat mereka nyaris jatuh bersama. Mereka terhenti karena di
depan mereka berdiri sepasang kaki tegar beralaskan kulit tebal yang diikat
sampai betis.
Kaki itu ternyata milik
seorang kakek tua yang mengenakan pakaian serba hijau dengan jubahnya berwarna
kuning. Kakek itu terkekeh-kekeh. Rambutnya yang putih sepanjang pundak diikat
memakai kain hitam. Ia menggenggam tongkat yang tingginya seukuran dada orang
dewasa. Tongkat itu menancap di samping kaki kanannya, tergenggam erat oleh
tangan kanannya. Tangan itu berurat-urat, bertonjolan, menampakkan kulitnya
yang telah menipis dan berkeriput. Kumis dan jenggotnya pun memutih tanpa hitam
selembar pun. Jelas kakek itu sudah berusia lewat dari sembilan puluh tahun.
"Mengapa kalian
ketakutan?"
"Hmmm... anu... ehh...,"
kedua anak buah Kombang Hitam tidak ada yang bisa menjawab, karena gugup dan
bingungnya. Kakek itu semakin terkekeh- kekeh melihat raut wajah yang salah
tingkah.
"Kalian tak pantas jadi
prajurit, karena mempunyai jiwa pengecut dan pengkhianat. Pasti lari dari
tugas!"
"Ka... kami... kami
takut, Kek."
"Takut melihat golok
kalian patah sendiri?"
"Hah...?!" Kedua
anak buah Kombang Hitam saling menebarkan mata dan saling pandang dalam
keheranan yang kuat. Kemudian mereka menatap kakek putih tebal itu. Sang kakek
semakin terkekeh-kekeh. Kemudian berkata, "Terserah. Itu urusan jiwa
kalian, baiknya segeralah menepi, dan biarkan aku lewat."
Kedua lelaki bertampang licik
itu menyingkir dengan perasaan takut. Kakek berjubah kuning melangkah melintasi
mereka.
Tiba-tiba tubuh mereka rubuh
membuat batang-batang pohon jagung rusak ditimpa tubuh mereka berdua.
"Kenapa kamu
mendorongku?!" sentak yang belakang.
"Mendorong bagaimana?!
Tubuhku sendiri ada yang mendorongnya dengan kuat sekali!"
"O, kalau begitu... angin
dari kibasan jubah kakek itu telah mengeluarkan suatu tenaga yang mampu
mendorong tubuhmu."
"Masa sekeras itu?
Seperti didorong seekor kerbau rasanya."
"Wah, wah, wah...,"
yang satu geleng-geleng kepala. "Pasti kakek itu punya kekuatan tenaga
dalam yang cukup sempurna. Bahkan menurutku sangat tinggi sekali!"
"Mungkin saja. Sebab
hanya terkena angin kibasan jubahnya yang pelan saja aku bisa tumbang tak mampu
berdiri."
"Untung kita tidak
meremehkan dia dan tidak bertindak kurang sopan padanya."
"Hei, kau ingat
kalimatnya tadi? Kurasa dialah orangnya yang membuat senjata kita patah."
"O, iya! Dia tadi
menyebutkannya. Kalau begitu, pasti dialah yang telah melemparkan batu kerikil
dan mengenai kedua golok kita. Tapi... dari mana dia melemparkannya? Saat ini
malah kelihatannya dia sedang menuju ke arah tempat kita tadi bersama sang
ketua. Iya, kan?"
"Iya, ya...," gumam
yang satunya. "Dari mana dia bisa tahu kalau kita habis kehilangan senjata
karena patah, jika memang bukan dia pelakunya?"
"Hmmm... sudahlah.
Lupakan tentang itu. Ayo, kita teruskan pelarian kita. Peduli amat penilaian
kakek tadi terhadap jiwa kita. Mau dibilang pengecut atau pengkhianat, biar
sajalah...!"
Baru saja mereka mau
melangkah, salah seorang menahan tangan temannya sambil berkata dengan nada
tegang.
"Tunggu, coba perhatikan,
apa yang berasap itu?"
Mereka memandang ke tanah
ladang.
"Astaga! Bekas telapak
kaki kakek itu berasap!" kata yang satunya dengan kagum sekali.
Benar," gumam yang lain.
"Bekas telapak kaki itu sangat dalam dan mengeluarkan asap. Bahkan,
lihat...! bekas tongkatnya pun tampak dalam dan berasap juga. Ck, ck,
ck...l" orang itu geleng-geleng kepala.
"Luar biasa sekali
kekuatan tenaga dalamnya. Aku jadi kepingin menjadi muridnya."
"Aku juga. Tapi, nah...
lihatlah lagi, jagung di dekat telapak kaki itu sepertinya juga berasap."
Temannya memandang dengan dahi
semakin berkerut. Kemudian ia memetik jagung muda itu dan membuka kulitnya.
Mata mereka semakin terbelalak.
"Ya, ampuun... jagung ini
menjadi matang. Seperti jagung yang baru saja dibakar!"
"Luar biasa! Hangatnya
terasa di kulit tangan. Coba kau makan jagung itu sebiji. Apa benar-benar
matang?!
Kemudian orang yang disuruh
mencoba itu benar- benar memetik satu butir dari rentetannya. Butir jagung itu
dimakan. Ia mengunyah-ngunyahnya sebentar. Ia menggumam dalam kunyahannya.
"Rasanya pahit-pahit
getir dan... dan.... Aduh, kepalaku jadi menggeliyang begini?"
Ia limbung sedikit. Berusaha
berpegangan pundak temannya. Temannya menjadi heran bercampur tegang.
"Hai, kenapa kau?
Kenapa?"
Tiba-tiba orang yang mencicipi
jagung matang itu terbungkuk dan memuntahkan sesuatu, "Hoooeeek...!"
Mata temannya semakin bundar
melebar. Ia melihat seluruh makanan dimuntahkan dari mulut sang teman. Cukup
banyak orang itu muntah-muntah isi perutnya. Wajahnya menjadi pucat pasi dan
melemas. Tentu saja sebagai teman ia kebingungan dan segera memapah pergi, ia
menyeret kaki temannya yang lemas sambil sedikit berlari. Tapi tubuh temannya
menjadi dingin dan kian dingin.
"Jagung itu masih
mempunyai kekuatan tenaga dalam. Untung kau baru memakannya satu butir. Coba
kalau kau makan semua, kau pasti tidak akan tertolong lagi. Benar-benar gila
ilmu yaang dimiliki kakek berjubah kuning itu. Bertahanlah.
Bertahan sebentar, nanti
kumintakan obat pada Sugolo. Dia bisa menawarkan racun dan sudah mulai
menguasai pengobatan penyakit dalam. Kau masih kuat untuk bertahan, kan? Masih
kuat...? Hei, kau masih kuat...?"
"Masih," jawabnya
lemas. Tubuh itu semakin dingin. Semakin pasrah diseret. Dan setelah diperiksa
sebentar, ternyata tubuh itu sudah bercucur keringat. Agaknya orang itu mabuk
berat sehingga saat diajak bicara tentang Sugolo tadi, mungkin ia tidak
mendengarkan.
"Makanya jadi orang
jangan rakus, ada makanan sedikit langsung dicaplok saja," gerutu
temannya. Ia kembali menatap ke belakang sebentar sambil istirahat.
"Siapa kau sebenarnya,
Kakek? Begitu hebat kau punya ilmu, sampai aku jadi ingin tahu, apa yang kau lakukan
di sana? Mampukah kau menghadapi sang ketua, jika kau inginkan bocah itu? Dan
mungkinkah kau akan bertemu dengan perempuan cantik berjubah ungu itu? Mungkin
kau kalah sakti dengannya, Kakek tua. Tapi mungkin kau mampu ditundukkan dengan
melihat kecantikannya. Hmm... siapa perempuan cantik berjubah ungu itu?
Apakah... apakah sebaiknya aku kembali ke sana untuk mengintai apa yang mereka
lakukan terhadap bocah itu?!"
***
KOMBANG Hitam semakin jengkel
setelah memanggil anak buahnya tiga kali, tapi tidak ada jawaban. Cemas juga
hatinya. Ia menyangka anak buahnya telah mati oleh serangan tenaga dalam yang
tersembunyi.
"Rupanya aku perlu unjuk
diri biar orang itu tahu siapa aku!" gumam Kombang Hitam.
Tangan kirinya menggenggam
kuat-kuat. Ia memusatkan tenaganya di tangan kiri itu. Tangan yang menggenggam
itu ditekuk naik sampai di batas dada. Lalu, dengan kaki sedikit merendah
tangan itu dihentakkan membuka ke arah depan. Huup... !
Dueerr... !
Sebuah ledakan terjadi. Tangan
itu mengeluarkan cahaya biru kehijauan. Cahaya tersebut meluncur cepat dan
menghantam sebuah pohon besar. Pohon tersebut meledak, akarnya terangkat naik.
Tumbang dalam keadaan hangus. Napas Kombang Hitam pun ditarik panjang. Ditahan
dalam dadanya. Kemudian dihembuskan pelan-pelan melalui mulutnya yang sedikit
ternganga.
Waktu itu, bocah berkulit sawo
matang itu menutup kedua telinganya sambil merendahkan badan. Ia sangat
ketakutan mendengar suara ledakan begitu kerasnya, ia merasa ngeri melihat
pohon sebesar gajah tumbang bersama akar-akarnya.
Kakinya gemetaran bagai tak
mampu dipakai berdiri lagi. Namun matanya masih mencuri pandang ke arah Kombang
Hitam, karena hatinya ingin tahu apa lagi yang dilakukan orang berwajah sangar
itu.
Dueer...! Dueer...!Dua pohon
besar berjarak jauh kembali tumbang oleh sentakan tenaga dalam Kombang Hitam.
Matanya tetap memandang liar pada keadaan sekeliling. Karena hal itu ia lakukan
dengan harapan orang yang bersembunyi segera menampakkan diri. Tetapi yang ada
hanya sepi tanpa bunyi. Bau hangus tercium. Itulah bau pohon yang terbakar
karena sinar biru kehijauan dari telapak tangan Kombang Hitam.
"Keluar kau,
pengecut!" bentak Kombang Hitam. Suto pelan-pelan berdiri. Mulai melangkah
mendekati Kombang Hitam dengan penuh perasaan takut. Memelas wajahnya.
"Hei, kenapa kau
mendekat? Kenapa berdiri dari jongkokmu?"
"Bukankah kau menyuruhku
keluar?"
"Bukan kamu, Bodoh! Orang
yang bersembunyi entah di mana, itu yang kusuruh keluar dari
persembunyiannya!"
Suto tersenyum sinis bernada
mengejek.
"Tetaplah di tempatmu!
Kau akan kubunuh setelah penyerang gelap itu kubereskan!"
"Coba saja!" jawab
Suto dengan makin menjengkelkan. Ia kembali ke tempatnya dan berjongkok sambil
siap-siap memegangi kedua telinganya, menutup dengan kedua telapak tangannya.
"Anak bodoh!" geram
Kombang Hitam lagi sambil mendengus kesal. "Belum-belum sudah tutup
telinga!"
Rupanya Kombang Hitam sengaja
membiarkan suasana hening beberapa jurus. Ia menunggu kemunculan penyerang
tersembunyi. Ia memandangi kudanya yang sekarat. Mati tidak, namun tak punya
kemampuan untuk berdiri lagi. Semakin jengkel hati Kombang Hitam jika melihat
keadaan kudanya yang menderita.
"Tak seberapa tinggi
sebenarnya ilmu orang yang bersembunyi itu," pikirnya. "Sayang aku
tidak bisa mengetahui di mana dia bersembunyinya." Matanya pun segera
memeriksa ke atas, siapa tahu penyerang geIapnya itu ada di atas pohon.
Ternyata tidak ada apa- apa di sana. Penasaran sekali hati Kombang Hitam
jadinya.
Setelah Iama dirasakan keadaan
sepi dan aman, maka Kombang Hitam pun segera mendekati Suto. Pandangan matanya
penuh selera untuk membunuh sisa keturunan Ronggo Wiseso itu. Suto menjadi
sedikit ngeri, memandang dengan penuh perasaan waswas. Jongkoknya pun bergeser
sedikit demi sedikit.
Wusss... !
Angin berhembus begitu
cepatnya. Kombang Hitam terkesiap sebentar. Pandangan matanya terarah ke kanan
bagai mengikuti kelebatan angin yang baru saja melintas di depannya. Ketika
pandangan matanya kembali ke arah Suto, mata itu pun terbelalak lebar. Napasnya
bagai tersentak berhenti.
Bocah telanjang dada itu sudah
tidak ada. Lenyap. Karuan saja Kombang Hitam menggeram penuh kemarahan. Matanya
menjadi liar memandang sekeliling.
"Babi buntung! Siapa yang
berani mengganggu sasaranku itu!" geramnya dengan langkah mundur berkeliling,
matanya mencari-cari seseorang yang diduganya telah melenyapkan Suto. Sikapnya
telah menandakan siap bertarung dengan makhluk jenis apa pun. Tangan keduanya
selalu mengencang walau tidak mengepak kuat. Urat-uratnya menegang. Setiap
langkah kakinya membentuk kuda-kuda yang tak mudah dirobohkan sewaktu-waktu.
"Hi, hi, hi...!"
Terdengar suara tawa mengikik
bagai suara peri. Suara itu datangnya dari salah satu dahan pohon. Maka
segeralah kepala Kombang Hitam mendongak ke atas.
"Jabang bayi...!"
gumamnya penuh geram. Ia menatap tak berkedip. Ia tak menyangka di atas sana
ada seorang perempuan berambut panjang terurai. Wajah nya cantik dengan
potongan tubuh yang membuat mata lelaki sukar berkedip. Perempuan itu
mengenakan pakaian serba merah dengan jubah ungu muda. Ia menggendong Suto yang
rupanya dalam keadaan pingsan karena pengaruh totokan jalan darahnya.
Kombang Hitam segera berseru,
"Ooo... rupanya kau yang menggangguku sejak tadi. Turunlah! Kita
selesaikan apa kemauanmu!"
"Dengan senang hati,
Kombang Hitam. Hi hi hi...!"
Kombang Hitam mundur dua
langkah ketika perempuan berjubah ungu itu melompat turun dari atas pohon.
Gerakannya memutar bagaikan baling-baling lurus ke bawah. Jubah dan rambutnya
pun mengembang, berputar mengikuti gerakan tubuh.
Beberapa daun pohon menjadi
runtuh. Rupanya kibasan rambut dan jubahnya mempunyai kekuatan tersendiri yang
mampu meruntuhkan dedaunan, baik daun yang tua maupun yang baru tumbuh.
Akibatnya, tubuh Kombang Hitam banyak ditimbuni dedaunan berukuran kecil-kecil.
Kombang Hitam merasa kagum, namun juga merasa jengkel karena sibuk menghindari
dedaunan, menepis-nepis daun yang mengotori rambut dan bagian tubuh lainnya.
Jlig... !
Kaki perempuan itu menapak di
tanah dengan mantap. Tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sambil menaburkan tawa
cekikikan. Namun ia dibuat terperanjat melihat Suto telah sadar dan melompat
turun dari gendongannya. Buru-buru perempuan itu meraih lengan Suto dan menahan
agar anak itu tidak lari pergi.
"Tetaplah di belakangku,
Nak! Kulindungi kau dari si rakus, Begal Utara itu!"
Suto menurut. Ia merasa dapat
pelindung walau ia masih belum jelas apa yang baru saja dialami. Merasa seperti
dirinya sedang terbang sekejap. Sementara itu, dalam hati perempuan berjubah
ungu berkata, "Ada yang telah melepaskan totokanku pada Suto. Hmm... siapa
orangnya? Apakah Kombang Hitam itu yang melepaskan totokanku dari jarak jauh?
Kurasa tak mungkin. Hmmm... baik. Kutunggu saja orangnya. Pasti nanti akan
muncul!"
Mata Kombang Hitam tidak bisa
berkedip melihat kecantikan terpapar di depannya. Kemarahannya tertunda
sejenak.
Hatinya berdebar-debar indah.
Senyumnya pun menampakkan senyum otak mesum. Tetapi, Kombang Hitam tetap
waspada. Ia tahu perempuan itu berilmu tinggi, tak harus diremehkan. Dari
gerakan turunnya tadi, Kombang Hitam sudah bisa merasakan hembusan tenaga dari
dalam gerakan tersebut. Runtuhnya dedaunan pun bisa dijadikan bukti, dan
membuat Kombang Hitam sempat memuji dalam hati.
"Kenapa kau terbengong
saja, Kombang Hitam?"
"Kau tahu namaku,
rupanya?"
"Aku lebih tahu namamu
daripada rupamu. Kau Ketua Begal Utara yang lebih banyak memperkosa daripada
mengeruk harta. Benar, bukan?" perempuan itu tersenyum. Cantiknya bukan
main.
Kombang Hitam kian
berdebar-debar. Biasanya, ia tidak bisa diam jika melihat perempuan mulus
sedikit. Tak perlu cantik asal mulus dan menggairahkan, Kombang Hitam dan anak
buahnya langsung menjadikan perempuan itu sebagai sarana pesta cinta. Tapi
agaknya kali ini Kombang Hitam tidak boleh gegabah, tidak berani bertindak
sembarangan. Bahkan tiap langkah nya pun diperhitungkan.
"Siapa kau sebenarnya,
Perempuan Cantik?"
"Hi hi hi.... Namamu
sudah cukup dikenal di rimba persilatan. Lucu sekali kalau kau sendiri tidak
mengenaliku. Memang baru kali ini kita bertemu?"
"Tepat sekali. Baru
sekarang kita bertemu. Jadi, sebutkan siapa dirimu sebelum kemarahanku mencapai
ubun-ubun lagi."
Perempuan itu tertawa sinis,
"Jangan coba-coba mengancamku, Kombang Hitam. Riwayatmu akan segera habis
kalau tidak lekas-lekas meminta maaf padaku."
"Mungkin harus kugunakan
permintaan maaf dengan ciuman atau pelukan mesra. He he he...!" Kemudian
kedua kaki Kombang Hitam mulai merendah sedikit. Tangannya mengambil sikap siap
menyerang. Tangan itu bergerak pelan dengan urat-urat mengencang, bertonjolan
dari lengan sampai ke jari-jarinya.
"Aku jadi penasaran
mendengar nyalimu sebesar gunung itu, Sayang! Tapi aku yakin ilmumu hanya
sebesar upil!"
Perempuan itu tetap diam
dengan kaki sedikit merenggang tegak. Dagunya sedikit terangkat menampakkan
keangkuhannya. Matanya bergerak mengikuti langkah kaki Kombang Hitam yang
mencari kesempatan baik untuk menyerang. Makin lama gerakan kakinya semakin
dekat dengan perempuan itu. Sampai satu ketika ia berbalik bagai memutar tubuh,
dan dengan cepat kaki kanannya menjejak ke belakang.
"Hiaaat...!"
Tap...! Tuk...!
Kaki itu ditangkis dengan
tangan kiri oleh perempuan berjubah ungu, lalu tangan kanannya menyentil mata
kaki Kombang Hitam. Seketika itu Kombang Hitam terjungkal sambil berteriak
keras.
"Waddoow...!"
Brukkk!
Tubuh Kombang Hitam
berguling-guling di tanah. Selain tubuhnya seperti mendapat serudukan tiga ekor
banteng, juga kakinya seperti dihantam dengan batang kayu yang amat keras.
Sakitnya bukan main.
Tetapi Kombang Hitam segera
menarik napas untuk mengurangi rasa sakitnya. Kalau bukan Kombang Hitam, pasti
mata kaki itu sudah pecah. Setidaknya akan memar membiru, atau bengkak.
"Boleh juga
mainanmu!" geram Kombang Hitam masih penasaran. Ia bersiap menyerang
kembali. Kali ini tangannya mengembang lebar dengan satu kaki terlipat ke
depan, mirip seekor rajawali hendak menerjang lawannya. Perempuan itu masih
diam tak bergerak. Namun ketika Kombang Hitam melancarkan pukulan jarak jauhnya
yang tingkat menengah, tiba- tiba tubuhnya sendiri yang terpental ke belakang
dan membentur batang pohon besar. Bukkk...!
"Hegghh...!" Matanya
mendelik, mulutnya ternganga. Untung saja pedangnya tidak patah akibat benturan
kuat itu.
Kulit pohon itu terkelupas dan
sedikit koyak. Itu pertanda benturan tubuh Kombang Hitam begitu kerasnya,
hingga membuat kulit pohon koyak. Untung saja Kombang Hitam mempunyai kekuatan
yang cukup besar, sehingga tubuhnya tidak lecet dan tulangnya tidak ada yang
patah.
"Edan! Tenaga dalamku
dikembalikan begitu saja tanpa ada gerakan sedikit pun?!" pikir Kombang
Hitam dengan terheran-heran.
Rupanya ia masih penasaran. Ia
segera bangkit dan menggeram. Kini sekujur tubuhnya mengeras, hingga semua otot
tubuhnya bagai bertonjolan lebih jelas lagi. Tangannya mengembang dengan kedua
telapak tangan mengeraskan jemari, bagai cakar garuda yang kokoh. Wajah
bengisnya pun semakin terlihat jelas. Amat menyeramkan bagi orang lain.
"Terimalah 'Cakar Kumbang
Mesra'-ku ini, Jahanam! Hiaaat...!" Kedua telapak tangan dengan jari-jari
yang mengeras itu mulai mengepulkan asap. Ujung-ujung jarinya membara bagaikan
besi terpanggang api. Jelas akan hangus jika benda apa pun yang tersentuh
jemari 'Cakar Kumbang Mesra' itu.
Kombang Hitam menggerakkan
tangannya dengan cepat dan kuat. Dihantamkan dulu pada batang pohon besar.
Crak, crak, crak...!
Di balik pohon tempatnya
bersembunyi, Suto membelalakkan mata melihat pohon yang terkena cakaran Kombang
Hitam itu hangus di beberapa tempat. Membekas hitam dan masih mengepulkan asap.
Memang di hati Suto ada perasaan ngeri, tapi hatinya berkata, "Hebat
sekali ilmunya. Tapi suatu saat aku harus bisa menandingi ilmu seperti
itu!"
Kombang Hitam menggeram,
matanya tertuju pada perempuan tersebut. Lalu katanya, "Lihat pohon itul
Tidakkah kau sayang pada tubuhmu yang mulus jika sampai terkena 'Cakar Kumbang
Mesra'-ku ini, hah?!"
Perempuan itu hanya tersenyum
tipis, lalu menjawab, "Gantilah namanya menjadi jurus 'Cakar Bebek'.
Karena pohon itu tidak mengalami perubahan apa-apa."
Fuih...! Perempuan itu
meniupkan napasnya dengan pelan. Tapi membuat rambut Kombang Hitam tersingkap
ke belakang bagai dihembus angin kencang. Ia segera menatap ke arah pohon yang
tadi habis dicakarnya tiga kali itu. Dan matanya menjadi terbelalak kaget,
karena bekas hitam yang mengepulkan asap pada batang pohon itu sudah tidak ada.
Lenyap sama sekali. Tanpa bekas sedikit pun. Keadaan pohon menjadi utuh seperti
sediakala.
Terperanjat lagi Kombang Hitam
begitu mengetahui ujung-ujung jarinya yang tadi merah membara itu sekarang
dalam keadaan padam. Bahkan mengandung bintik-bintik putih seperti busa.
Setelah diperhatikan baik-baik, ternyata busa-busa salju.
"Gila!" sentak hati
Kombang Hitam. "Dia bisa memadamkan bara panas dari ilmu 'Cakar Kumbang
Mesra' ku?! Bahkan bisa membuatnya menjadi dingin membeku. Setan mana perempuan
ini sebenarnya?"
Kombang Hitam masih
membelalakkan mata dengan rasa heran dan kagum. Ia mengusap-usapkan jemarinya
ke baju sambil memandang tajam pada perempuan berjubah ungu itu. Hati Kombang
Hitam kembali berkata-kata.
"Kalau kulanjutkan,
matilah aku! Perempuan ini ternyata berilmu tinggi. Dia bukan tandinganku.
Pedangku pun tak akan mampu melawan!"
Mulai ciut nyali Kombang
Hitam. Mulai gentar hatinya. Dan ia pun bertanya, "Siapa dirimu
sebenarnya?!"
"Jadi, kau belum pernah
berhadapan dengan Bidadari Jalang?"
Terperanjat wajah Kombang Hitam
seketika itu. Matanya melebar tegang, dan ia menggumam jelas.
"Bidadari
Jalang...?!"
"Itulah aku!" jawab
perempuan berjubah ungu. Tegas dalam senyum yang angkuh.
Wajah keras dan bengis itu
menjadi lunak. Mulai ada keraguan di wajah itu. Kombang Hitam mundur satu
langkah begitu mengetahui perempuan cantik itu adalah Bidadari Jalang. Nama itu
sangat dikenal di rimba persilatan. Bukan hanya dikenal banyak orang, melainkan
menjadi tokoh yang disegani dan ditakuti oleh beberapa kalangan persilatan.
"Pantas tenaga dalamnya
begitu hebat, dan sentilan jarinya seberat itu," pikir Kombang Hitam saat
itu, lalu pikirannya melayang pada kisah berdarah di Pantai Muara Tungkai. Ia
hanya mendengar kisah itu, di mana Bidadari Jalang mengalahkan
pendekar-pendekar dari dataran Tibet yang hendak memporak-porandakan tanah
Jawa. Padahal tiga pendekar Tibet itu terkenal sakti dan berilmu tinggi-tinggi.
Jika tiga pendekar Tibet saja bisa dikalahkan oleh Bidadari Jalang, apalagi
dirinya sendiri?
Berpikir juga Kombang Hitam
ingin menghadapi Bidadari Jalang. Dia tahu, perempuan itu dikenal pula sebagai
bidadari yang bisa kejam, bisa romantis. Dan kalau kekejamannya tiba, tak
pernah mengenal kata ampun dan hidup. Pasti lawannya dibuat hancur tanpa bisa
dimakamkan jenazahnya.
"Kau sudah menjadi
patung, Kombang Hitam?" sindir Bidadari Jalang. Kombang Hitam segera
melepaskan diri dari renungannya.
"Aku heran padamu,
Bidadari Jalang. Aku tidak punya urusan denganmu, mengapa kamu mengusik urusan
pribadiku?"
"Bukankah kau ingin
membunuh anak ini?"
"Ya. Karena dia keturunan
Ronggo Wiseso. Aku punya dendam pribadi dengan Ronggo Wiseso, dan harus
membunuh anak itu!"
"Itu berarti kau punya
urusan denganku."
"Mengapa begitu, Bidadari
Jalang?"
"Karena aku menghendaki
anak ini tetap hidup," jawabnya dengan kalem.
Senyum pun kembali mekar,
manis namun angkuh.
Bingung juga Ketua Begal Utara
itu. Untuk merebut Suto jelas sesuatu yang tak mungkin. Bisa-bisa nyawanya
melayang tanpa arah yang pasti. Untuk membujuk Bidadari Jalang, agak sulit juga
menurutnya. Tapi ia tetap mencobanya dengan bujukan.
"Apakah kau ada di pihak
Ronggo Wiseso, Bidadari Jalang?"
"Aku ada di pihakku
sendiri."
"Lalu, mengapa kau menghendaki
anak itu tetap hidup?"
"Itu urusanku. Apakah kau
ingin merebutnya dari tanganku?"
Kombang Hitam menarik napas.
Tampak gelisah, ia pun berkata, "Jangan sampai kita saling bermusuhan,
Bidadari Jalang. Terus terang saja, aku adalah salah satu pengagum kehebatanmu.
Tak mungkin aku melawan orang yang kukagumi di seluruh rimba persilatan ini.
Jadi, sebaiknya dengan rendah hati, aku meminta kepadamu agar Suto kau serahkan
padaku. Biar impas dendamku kepada keluarga Ronggo Wiseso."
"Aku keberatan,"
jawabnya bernada ketus.
"Kuharap kau tidak
berkata demikian, Bidadari Jalang."
"Aku tidak bisa
menyerahkan anak ini kepada siapa pun. Lupakanlah tentang anak ini. Anggap saja
ia tidak lahir dari darah keturunan Ronggo Wiseso!"
"Tidak bisa, Bidadari
Jalang. Aku harus membunuh anak itu."
"Aku melindunginya. Mau
apa kau sekarang?" tantang si cantik bermata indah itu.
Hal itu membuat Kombang Hitam
menjadi semakin lesu. Wajah bengisnya benar-benar surut bagaikan pelita
kekurangan minyak. Sinar matanya yang semula berapi-api penuh nafsu membunuh,
sekarang justru penuh ungkapan mengiba, mohon dibelaskasihani. Tetapi agaknya
Bidadari Jalang tetap pada pendiriannya, untuk tidak menyerahkan Suto kepada
Kombang Hitam.
"Kurasa aku tak perlu
menghabiskan waktu terlalu lama di sini," kata Bidadari Jalang.
"Tunggu sebentar,"
sergah Kombang Hitam ketika Bidadari Jalang mau pergi membawa Suto. Ia
buru-buru berbalik dan memandang dengan sorot mata yang tajam.
"Mau apa lagi kau?
Haruskah aku menghancurkan tubuhmu yang seperti badak itu?!"
"Hmmm... anu... tidak.
Bukan begitu maksudku, tapi ..... "
"Aku tidak punya waktu
lagi."
Bidadari Jalang berkata kepada
Suto yang sejak tadi berada di balik pohon, bersembunyi. "Bocah bagus,
kemarilah. Kita pergi bersama ke rumahku. Mari, kemarilah ...... "
Tiba-tiba tubuh Suto terangkat
naik. Melayang- layang di udara, lalu bergerak cepat ke suatu arah. Bidadari
Jalang terperanjat, demikian pula Kombang Hitam. Mereka tidak menyangka sama
sekali kalau Suto mempunyai ilmu peringan tubuh yang begitu sempurnanya,
sehingga bisa melayang terbang menjauhi Bidadari Jalang dan Kombang Hitam.
"Edan! Rupanya bocah itu
punya ilmu juga?!" gumam Kombang Hitam dengan terheran-heran.
"Hiaaat...!"
Bidadari Jalang melompat dan bersalto di udara dua kali, lalu rambutnya
berkelebat mengikat ke tubuh Suto, menjerat kuat sehingga anak itu tertarik ke
tubuhnya. Lalu, Bidadari Jalang memeluk bocah itu. Kakinya kembali memijak
tanah dalam keadaan memeluk Suto. Sementara itu, wajah Suto sendiri tampak
terperangah dan terheran-heran dengan apa yang terjadi saat itu.
Belum sempat Bidadari Jalang
menarik napasnya tiba-tiba tubuh Suto meluncur naik, licin bagaikan belut dan
kembali melayang di udara dalam keadaan bersalto tiga kali putaran.
"Woaaaw...!" teriak
Suto kebingungan karena merasa terbang tak tentu arah.
Tappp... !
Tubuh bocah itu jatuh dalam
pelukan lelaki tua. Rasa heran Kombang Hitam belum habis saat melihat tubuh
Suto melayang lepas dari pelukan Bidadari Jalang. Sekarang keheranannya kembali
bertambah begitu melihat kemunculan lelaki berambut putih dengan jubah kuning.
Mata Kombang Hitam kian terbelalak, karena ia tahu siapa kakek tua bertongkat
kayu hitam itu.
"Si Gila Tuak..?!"
sebut Kombang Hitam tak sadar. Kakek itu tersenyum tawar. Kombang Hitam
melangkah
mundur lagi.
Buat Kombang Hitam, kemunculan
si Gila Tuak memang menggetarkan hati, sebab ia tahu siapa Gila Tuak. Tokoh
terkuat di pihak golongan putih, yang sudah tujuh tahun tidak menampakkan diri
di rimba persilatan. Kombang Hitam pernah melihat sendiri pertarungan Gila Tuak
dan Penguasa Tanah Neraka yang bergelar Malaikat Tanpa Nyawa. Pada waktu itu,
Malaikat Tanpa Nyawa nyaris menguasai rimba persilatan di separo tanah Jawa
sebelah timur. Tapi tokoh dari golongan hitam itu akhirnya tumbang di ujung
tongkat si Gila Tuak. Sedangkan Malaikat Tanpa Nyawa itu adalah Ketua Rampok
Wetan, di mana dulu Kombang Hitam pernah menjadi anak buahnya.
Namun kehadiran si Gila Tuak
tidak terlalu membuat Bidadari Jalang terheran-heran seperti Kombang Hitam.
Bidadari Jalang hanya tersenyum sinis dan berkata, "Kali ini kau muncul
lagi, Gila Tuak! Dan kali ini kau mencampuri urusanku lagi."
"Nyai Nawang
Tresni," panggil si Gila Tuak menyebut nama asli Bidadari Jalang,
"Jangan sangka hanya kamu yang membutuhkan anak ini, tapi aku pun
membutuhkannya."
"O, begitu?" kata
Nyai Nawang Tresni alias Bidadari Jalang, ia cukup tenang dan kalem. Kombang
Hitam semakin waswas. Ketika si Gila Tuak berkata, "Rupanya kau punya
murid baru, ya?" sambil melirik Kombang Hitam, lelaki yang dilirik itu
menjadi semakin berdebar-debar. Ia buru-buru menyela perkataan.
"Maaf, Gila Tuak... aku
bukan murid Bidadari Jalang. Hmm... sebenarnya anak itu adalah bagianku. Tapi,
kalau kau menghendaki, silakan ambil. Aku mohon diri dari hadapan kalian!"
Tanpa mengulang kata-katanya
lagi, Kombang Hitam segera kabur. Melompat ke semak belukar menghilang dengan
kecepatan tinggi. Agaknya Kumbang Hitam tak mau ambil risiko lebih parah lagi.
Bertemu dengan dua tokoh sakti itu, sama saja bertemu dengan liang kubur.
Kombang Hitam lebih memilih mengalah, membiarkan bocah ingusan itu menjadi
bahan rebutan mereka.
Tetapi dalam hati Kombang
Hitam sempat bertanya-tanya, mengapa kedua tokoh kondang yang banyak ditakuti
lawan itu memperebutkan keturunan Ronggo Wiseso? Apa kehebatan Suto sehingga
diperebutkan oleh kedua tokoh utama itu? Dan jika terjadi pertarungan antara
Bidadari Jalang dengan si Gila Tuak, mana yang lebih unggul? Mampukan si Gila
Tuak menumbangkan perempuan berilmu sangat tinggi itu, atau sebaliknya?
*
* *BIDADARI Jalang, yang
mempunyai nama asli Nyai Nawang Tresni itu, hanya berdiri memandang dengan
kedua tangan terlipat di dada. Tangan itu yang membuat dada montok Bidadari
Jalang jadi tertutup. Ia menampakkan sikap tenangnya, namun berusaha mencari
cara untuk merebut Suto dari pelukan si Gila Tuak.
"Kali ini kau kelewatan,
Gila Tuak. Kau memancing kemarahanku dan memaksa diriku tega kepadamu."
"Jangan menabur bunga di
ujung duri, taburkan bunga di atas kain, Nawang Tresni. Jangan berpikir
kepentingan diri sendiri, pikirkan pula kepentingan orang lain."
Sungging senyum kesinisan
mekar di sudut bibir yang menggairahkan setiap lelaki itu. Bidadari Jalang pun
berkata, "Aku tak butuh nasihatmu, Gila Tuak! Aku hanya butuh bocah tanpa
pusar itu! Serahkanlah padaku, jangan membuat aku memaksa raga tuamu!"
"Aku juga membutuhkan
bocah tanpa pusar ini, Nawang Tresni. Sudah cukup banyak usiaku. Sudah bosan
aku hidup di bumi. Aku sudah ingin mati. Tapi kau tahu sendiri, aku belum punya
murid yang menjadi pewaris ilmu-ilmuku. Dan hanya pada seorang murid yang tidak
mempunyai pusar, ilmu itu bisa kuturunkan. Setelah itu baru aku akan bisa
menutup mata dengan tenang."
"Persetan dengan
kepentinganmu itu!" geram Bidadari Jalang. Kemudian kaki kanan perempuan
yang menggeram itu dihentakkan ke tanah satu kali. Jluuk... !
Wuuss... !Tubuh Suto mencelat
ke atas, melayang ke arah Bidadari Jalang. Bagaikan tersentak tiba-tiba dari
pelukan Gila Tuak. Tubuh itu diterima oleh satu tangan Bidadari Jalang.
Pleek...! Langsung ada dalam gendongannya, posisinya tepat seperti anak duduk
digendongan seorang ibu.
Napas Suto terengah-engah. Ia
sendiri kaget dengan peristiwa melayangnya tubuhnya tadi. Ia menjadi ketakutan.
Pegangannya pada pundak Bidadari Jalang diperkuat.
"Setan betina!"
umpat Gila Tuak. Baru saja Gila Tuak ingin bergerak, tiba-tiba tubuh Bidadari
Jalang telah melesat ke pucuk sebuah tanaman peredu. Kakinya tak membuat
tanaman yang dipijaknya bergerak sedikit pun. Bahkan ketika ia melenting
tinggi, tanaman itu hanya bergerak sedikit, sebagai alas untuk menjejakkan
ujung jempol kakinya, dan tubuh yang menggendong Suto itu sudah berada di atas
sebuah pohon berdahan kekar.
"Woaaaow...!" Suto
buru-buru memejamkan matanya setelah menyadari berada di sebuah ketinggian dan
melihat kakek berambut putih itu menjadi kecil.
"Jangan lari, kau,
Nawang!" seru si Gila Tuak. Tubuhnya segera berkelebat bagaikan angin.
Menghilang di balik semak belukar. Bidadari Jalang pun melompat dengan cepat
bagaikan kilat, dari dahan yang satu, pindah ke dahan yang lain. Sementara Suto
tetap diajak terbang ke sana sini tanpa tahu arah tujuannya.
Ranting dan dahan berguncang
semuanya. Sebagian daun banyak yang rontok sebelum menua. Itu jelas akibat
gerakan bertenaga dalam tinggi dari Bidadari Jalang. Satu pohon yang
dihinggapinya, sepuluh pohon lainnya ikut runtuh daunnya.
"Wooaaw...
wooaaw...," teriak Suto ngeri-ngeri girang.
Suara Suto bagai berkumandang
ke mana-mana. Karena kecepatan gerakan Bidadari Jalang dalam membawanya lari
membuat Suto bagai melayang dengan suara yang tertinggal. Suara teriakan Suto
berada di pohon pertama, tapi sebenarnya ia sudah berada di pohon ketiga.
Begitulah seterusnya, dan hal itu dimanfaatkan oleh si Gila Tuak. Ia mengejar
lewat bawah.
Gerakannya tak bisa dilihat
mata. Namun sebagai tanda daerah yang dilewatinya, daun dan kulit pohon
disekitar situ menjadi kering bagai habis terbakar. Bahkan sebagian masih ada
yang berasap dan hangat. JaIur pelarian Gila Tuak membentuk garis hitam
berliku-liku jika diteropong dari ketinggian tertentu.
Pelarian Bidadari Jalang tiba
di puncak bukit berbatu-batu hitam. Ia berhenti sebentar karena harus membujuk
Suto. Sebab dalam pelariannya tadi, Bidadari Jalang telah berusaha menotok
jalan darah Suto agar berhenti berteriak dan pingsan, sehingga tidak berisik
suaranya. Namun, anak itu justru menjerit makin keras jika terkena totokan jari
Bidadari Jalang. Rupanya anak itu sudah tak mempan totokan lagi. Dan Bidadari
Jalang tahu, semua itu adalah ulah si Gila Tuak, yang tadi waktu ada Kombang
Hitam telah melepaskan totokan pada diri Suto. Kini justru Gila Tuak telah
berhasil menyalurkan hawa dinginnya pada tubuh dan darah bocah tanpa pusar itu,
sehingga kebal totokan siapa pun. Itulah sebabnya Bidadari Jalang perlu
membujuk Suto.
Namun, begitu ia mendaratkan
kakinya di permukaan batu besar, tiba-tiba di salah satu batu sebelahnya telah
berdiri si Gila Tuak dengan senyum di mulutnya. Tongkatnya tergenggam di tangan
kanan dengan ujung tongkat diletakkan di samping kaki. Sosok tegapnya masih
terlihat walau ia berdiri memunggungi matahari senja. Bayangan sosok Gila Tuak
membuat hati Bidadari Jalang sedikit terperanjat. Tak sangka Gila Tuak sudah
lebih cepat sampai ketimbang dirinya.
"Hebat juga kau, Gila
Tuak!" gumam Bidadari Jalang. "Tapi kau tak akan bisa merebut anak
ini!"
"Jangan salahkan aku jika
terpaksa menurunkan tangan keras padamu, Bidadari Jalang!"
"Kalau kau mampu,
lakukanlah!" tantang perempuan itu dengan senyum manis yang menggoda
setiap lelaki. Hanya Gila Tuak yang tidak tergoda oleh senyuman birahi Bidadari
Jalang.
Padahal, 'Senyuman Iblis'
adalah salah satu ilmu yang sering digunakan oleh Bidadari Jalang untuk
mengalahkan lawannya, Biasanya, senyuman itu mampu membuat lawannya reda dari
kemarahan, reda dari nafsu membunuhnya, dan justru menjadi kasmaran kepadanya.
Lawan, bisa dibuatnya pasrah tak berdaya karena merasa dibuat nikmat dengan
memandang senyuman iblis itu.
Tapi rupanya si Gila Tuak
sudah memperkirakan akan digunakannya ilmu 'Senyuman Iblis' yang mempunyai
pengaruh maut untuk jiwanya, sebab itu ia telah menutup jiwanya sehingga tidak
pernah punya rasa tertarik dengan senyuman siapa saja.
"Nawang, kenapa kau
bersikeras mendapatkan bocah tanpa pusar itu? Apa keperluanmu
terhadapnya?"
"Aku butuh obat. Aku
butuh mengembalikan beberapa ilmuku yang hilang terhisap kekuatan Tiga Pendekar
Tibet dulu. Di dalam tubuhku sejak pertarungan dengan Tiga Pendekar Tibet itu,
telah mengidap racun berbahaya, namanya Racun Birahi. Racun ini akan mengikis
habis kekuatanku sedikit demi sedikit jika aku sedang kasmaran dengan seorang
pria.
Racun Birahi ini akan menjadi
tawar jika aku sering mendapat hawa murni dari lelaki yang tidak mempunyai
pusar. Dan, sudah sekian lama aku mencarinya, tapi tak pernah kutemukan lelaki
tanpa pusar. Maka ketika kulihat bocah ini tanpa pusar, aku segera merebutnya
dari tangan Kombang Hitam. Bocah inilah satu-satunya jalan untuk membuat
kekuatanku
pulih kembali dan racun
menjadi tawar."
"Dasar Jalang! Dia masih
bocah! Masih ingusan dan belum bisa mengeluarkan hawa murni!" sentak Gila
Tuak.
"Aku akan mendidiknya.
Aku akan menjadi gurunya termasuk guru cinta. Hi hi hi...."
"Guru sesat!" geram
si Gila Tuak lagi. "Jangan kau racuni masa depan anak itu dengan persoalan
cinta birahimu, Bidadari Jalang! Biarkan dia menerima ilmu- ilmuku supaya aku
bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang, entah di tangan siapa saja!"
"Hi hi hi..., kamu pikir
enak, ya, punya ilmu yang bisa membuat umur panjang? Hi hi hi... rasakan
susahnya orang yang jenuh hidup dalam ketuaan! Masih mending aku, awet hidup
tapi masih tetap muda. Tidak sepeot kamu. Hi hi hi..."
"Setan! Kalau kau tidak
mempunyai ramuan awet muda dan ilmu kecantikan abadi, kau juga akan setua aku,
Bidadari Jalang. Aku tahu, umurmu sebaya dengan umurku!"
"Tentu saja! Tapi kita
beda guru walau saat diangkat murid kita sama-sama berusia imbang. Aku mewarisi
ilmu Kecantikan Abadi dari Eyang Guru Nini Galih, sedangkan kau mewarisi ilmu
Usia Panjang dari suaminya, yaitu Eyang Purbapati. Dan ternyata akulah yang
lebih unggul. Walau aku bisa mati kapan saja, tapi kecantikanku tidak tersiksa
raga tua renta seperti kamu. Hi hi hi... untuk apa mempunyai umur panjang kalau
raga kita makin lama semakin keropos, Gila Tuak?"
"Sudah. Cukup! Jangan
mengingat-ingat masa lalu. Jangan mengungkit Eyang-eyang guru kita masing- masing.
Persoalan kita adalah Suto!"
"Rebutlah kalau kau
merasa mampu!"
"Hiaah...!" si Gila
Tuak melompat sambil mengarahkan tongkatnya ke tubuh Bidadari Jalang.
Namun, begitu melihat tubuh
Bidadari Jalang melayang, Bidadari Jalang pun melompat jauh ke kanan. Sodokan
tongkat itu membentur batu yang semula ada di belakang Bidadari Jalang. Batu
itu pun segera retak terbagi beberapa bagian, bagaikan dihantam palu godam yang
sangat besar.
Menyadari kekuatannya telah
berkurang sejak ia terkena Racun Birahi, maka perempuan itu segera melarikan
diri. Ia sedikit cemas menghadapi Gila Tuak dalam keadaan kurang kekuatan.
Siapa tahu si Gila Tuak itu sudah berhasil menemukan jurus-jurus baru dalam padepokannya
sejak ia menghilang dari rimba persilatan selama tujuh tahun. Bisa-bisa jurus
dan ilmu barunya Gila Tuak membuat hancur seluruh kekuatan Bidadari Jalang yang
tersisa itu.
Melarikan diri adalah hal
terbaik. Menghindari pertarungan dengan Gila Tuak, untuk saat ini adalah
langkah yang tepat. Tapi Gila Tuak sendiri tidak mau melepaskan Bidadari Jalang
begitu saja. Ia pun segera mengejarnya. Mereka menuruni bukit dengan kecepatan
tinggi. Suara jeritan Suto yang dibawa lari secepat itu, membuat jejak
tersendiri bagi Gila Tuak.
"Nawang! Berhenti kau!
Hadapi aku!" teriak Gila Tuak, yang kemudian ia sendiri berhenti dari
larinya. Matanya menyipit memandang kilasan angin merah yang berkelebat di
depannya. Serta-merta tongkatnya dilemparkan dengan tangan kiri.
Sekalipun memakai tangan kiri,
namun tongkat itu melesat bagaikan anak panah yang tak dapat dilihat mata
telanjang. Dan tiba- tiba terdengar suara orang memekik.
"Aaahg...!"
Bidadari Jalang yang ada di
tempat tinggi, di sebuah dahan pohon, jatuh terkulai karena punggungnya menjadi
sasaran tongkat si Gila Tuak itu. Tubuh Suto pun melayang jatuh sambil anak itu
menjerit ketakutan.
"Waaaooow...!"
Wusssh...! Taaap...!
Gila Tuak berkelebat cepat.
Tubuh Suto tertangkap olehnya. Bocah tanpa pusar itu menghembuskan napas lega.
Bidadari Jalang tak sempat
menyentuh tanah. Kakinya menginjak salah satu ranting semak, lalu melenting
naik lagi, dan hinggap di salah sebuah dahan kecil yang tak mungkin bisa
dipakai untuk bertengger burung rajawali. Namun nyatanya bisa dipakai
bertengger Bidadari Jalang. Jika bukan ilmu peringan tubuh yang amat tinggi,
tidak mungkin Bidadari Jalang mampu berdiri di sana.
Ia sempat nyengir sebentar
sambil memegangi pinggangnya, kemudian menatap si Gila Tuak yang ada di dahan
pohon lainnya, lebih tinggi letaknya.
"Jahanam kau, Gila
Tuak!" geram Bidadari Jalang.
Gila Tuak hanya tersenyum.
Kumis putihnya sedikit naik.
"Kek... jangan bawa aku
terbang, Kek. Aku puyeng, Kek. Kepalaku pusing dan... dan... hooek...!" ,
Tiba-tiba Suto muntah. Bukan
muntah darah. Bukan muntah karena pukulan tenaga dalam. Tapi muntah karena
pusing dan mual perutnya. Gila Tuak berteriak pada Bidadari Jalang sambil
membungkukkan kepala Suto.
"Lihat! Anak ini mabuk
dan bisa sinting gara-gara kau bawa lari sana-sini!"
"Persetan! Terimalah
pukulan 'Gegana'-ku ini. Hiaat...!"
Dua jari disentakkan ke depan
oleh Bidadari Jalang. Dari ujung dua jari itu melesat sinar patah berwarna
kuning. Arahnya ke wajah si Gila Tuak. Tapi, dengan cepat Gila Tuak melompat
turun ke bawah. Wusss... !
Bersamaan dengan itu, sinar
kuning terang membentur pohon tempat Gila Tuak tadi bertengger.
Pohon itu hanya terguncang
sedikit. Daunnya rontok sebagian. Tapi masih berdiri tegak. Sedangkan Gila Tuak
sudah sampai di bawah. Suto semakin muntah dibawa terjun begitu cepat.
"Hoooek... hoooek...! Oh,
puyeng saya, Kek. Puyeng...!" ucap Suto lemah sekali. Gila Tuak iba
melihat anak itu.
Sebenarnya si Gila Tuak tidak
ingin lari. Kasihan Suto. Tapi ia melihat Bidadari Jalang turun dari atas pohon
dengan jubahnya berkibar bagaikan sayap garuda. Rambutnya pun meriap terbang
dengan membentuk keindahan tersendiri.
Maka, mau tak mau Gila Tuak
segera melarikan Suto sambil berkata, "Kapan saja kau mau muntah,
muntahkan saja. Kakek tidak marah terkena muntahanmu, Suto!"
"Sabawana!" teriak
Bidadari Jalang. "Ke mana pun kau lari akan kukejar dan kubuat cacat
seumur hidupmu! Jahanam kau!"
Mendengar seruan itu, Gila
Tuak tahu bahwa kemarahan Bidadari Jalang sudah mulai mendekati puncaknya.
Sebab, biasanya jika perempuan itu marah sampai memuncak, ia selalu menyebut
nama asli Si Gila Tuak, yaitu Ki Sabawana.
Bidadari Jalang berteriak
lengking. Nyaring dan keras sekali. Suara teriakannya menyerupai sebuah
seruling. Dan suara itu membuat hewan-hewan hutan menjadi kalang kabut. Burung
beterbangan sambil mencicit bagaikan ketakutan. Ular-ular yang bersembunyi di
sarangnya melesat keluar. Seakan semua hewan yang ada di hutan lereng bukit itu
menjadi panik dan salah tingkah.
Sabawana mendekap telinga Suto
sambil tetap membawanya lari. Kalau saja tangan Sabawana tidak mendekap telinga
Suto, maka dari dalam telinga itu akan mengalir darah segar. Gendang telinga
akan pecah. Karena Gila Tuak tahu bahwa jeritan lengking itu adalah ilmu
'Siulan Peri' warisan Eyang Nini Galih, gurunya Bidadari Jalang. Sementara itu,
Gila Tuak tidak perlu menutup telinganya sendiri dengan tangan atau alat apa
pun, karena ia telah menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menutup gendang
telinga, melapisinya, hingga tak akan ditembus kekuatan 'Siulan Peri' tersebut.
Gila Tuak terus berlari,
Bidadari Jalang terus mengejar dengan penasaran. Sampai akhirnya mereka tiba di
pesisir utara. Tanah yang sepi di pinggiran laut itu mempunyai warna yang
putih. Tempatnya lega, karena tanaman kelapa dan sebagainya berada dalam jarak
antara dua puluh lima tombak dari tepian laut.
Gila Tuak ingin segera membawa
Suto menyeberangi lautan dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang bisa berjalan
di atas air asalkan ada alasnya. Tetapi, langkah itu terpaksa harus terhenti.
Di sampingnya Suto muntah-muntah lagi sambil merengek.
"Puyeng, Kek. Aku mual
dan puyeng sekali...."
Juga karena ia memandang aneh
di tengah lautan. Pada saat itu Bidadari Jalang menyusul dengan sentakan suara
kemarahannya.
"Mau lari ke mana kau,
Sabawana!"
Mata perempuan itu memandang
tajam. Penuh pijar-pijar kemarahan. Gila Tuak diam. Memandangnya sebentar
sambil dalam posisi setengah jongkok, karena harus memijit-mijit tengkuk Suto
yang masih muntah tanpa cairan lagi itu.
"Nawang, kau lihat perahu
yang bergerak itu?! Perhatikanlah gambar pada layarnya."
Bidadari Jalang menatap ke
laut. Ia sedikit terperangah melihat perahu layar bertiang tunggal. Di layar
itu ada gambar tombak bersilang dengan naga melingkar di tengahnya.
"Iblis Pulau
Bangkai!" geram Bidadari Jalang setelah mengenali simbul pada layar perahu
tersebut.
"Aku tahu kau punya
urusan pribadi dengan Iblis Pulau Bangkai. Agaknya ia datang untuk membalas
dendam atas kematian gurunya yang tempo hari pernah kau hancur leburkan dengan
ilmu 'Guntur Baja'. Jelas sekarang murid tunggalnya yang bernama Nagadipa sudah
menguasai seluruh ilmu Iblis Pulau Bangkai. Mau tak mau kau akan berhadapan
dengannya Nawang Tresni. Demi keselamatan anak ini, aku harus menyelamatkannya
dan menyembunyikannya."
"Tidak bisa!" sentak
Bidadari Jalang.
"Percayalah padaku,
Nawang Tresni. Serahkan dulu anak ini. Biar kuturunkan seluruh ilmuku padanya,
nanti kau boleh mengambilnya kembali. Kau tak mungkin menghadapi aku dan Iblis
Pulau Bangkai itu secara bersamaan. Kau pasti kesulitan, Nawang Tresni.
Hadapilah dulu musuh utamamu itu, setelah itu kalau kau mau bikin perhitungan
denganku, silakan!"
Bidadari Jalang diam mematung.
Matanya menatap laju perahu yang tampak semakin cepat mendekati arah pantai. Ia
berpikir beberapa saat. Ia mempertimbangkan kekuatan lawannya yang akan datang
itu. Ilmu dari iblis Pulau Bangkai cukup berbahaya. Dulu ia mengalahkan Iblis
Pulau Bangkai dalam keadaan belum terkena Racun Birahi. Tapi sekarang dalam
keadaan seperti ini, mungkinkah dia akan unggul melawan murid Iblis itu, yakni
Nagadipa? Jika menurut perhitungannya. Ia tidak akan unggul, apakah harus
melarikan diri atau nekat melawannya?!SALAH satu hal yang amat dikhawatirkan
oleh Bidadari Jalang adalah ketampanan Nagadipa. Dulu, ketika Bidadari Jalang
melawan Iblis Pulau Bangkai, hampir-hampir ia terbunuh karena kelengahannya.
Kelengahan itu disebabkan oleh munculnya Nagadipa, yang pada waktu itu belum
menjadi tandingan Bidadari Jalang.
Lelaki berhidung mancung
dengan mata indah memancarkan kelembutan itu hanya diam di salah satu sisi,
memperhatikan pertarungan gurunya dengan Bidadari Jalang. Dan pada waktu itu,
Bidadari Jalang sering mencuri pandang ke arah lelaki tegap dan perkasa itu,
sehingga hampir saja pukulan dahsyat Iblis Pulau Bangkai mengenai bagian
rawannya.
Pada waktu pertarungan itu
terjadi, Bidadari Jalang berhasil membunuh Iblis Pulau Bangkai. Kemudian ia
bermaksud menghampiri Nagadipa, ingin diajaknya kencan. Tetapi pemuda itu telah
lebih dulu menghilang, ia cepat pergi begitu melihat gurunya roboh, dan
Bidadari Jalang kehilangan jejak. Tetapi desir hati Bidadari Jalang pada waktu
itu sudah menciptakan keindahan yang mengesankan, sehingga ketampanan, dan
keperkasaan Nagadipa sering terbayang dan mengganggu batinnya.
Sebenarnya mudah saja buat
Bidadari Jalang untuk mengalahkan Nagadipa nanti. Dengan senyumannya ia bisa
membuat pria itu tak berdaya, pasrah dan dimabuk asmara. Tetapi repotnya,
Bidadari Jalang pasti tergoda juga birahinya. Padahal setiap birahinya muncul,
maka kekuatannya akan berkurang dan sebagian ilmunya akan rusak, hilang.
Karenanya, sudah sekian lama Bidadari Jalang menahan diri agar tidak mudah
terpancing birahi, supaya kekuatannya tidak nyaris habis.
Memang begitulah akibat
terkena Racun Birahi.
Tetapi sekarang ia harus
berhadapan denganNagadipa, yang konon keturunan bangsawan dari tanah seberang.
Mampukah ia menahan serangan luar dalam dari murid Iblis Pulau Bangkai itu?
Kalau saja Bidadari Jalang mampu melawan jurus-jurus mautnya Nagadipa, apakah
dia masih mampu melawan godaan birahi dari ketampanan Nagadipa? Apakah dia
mampu menghindari ajakan bercumbu yang terpancar lewat mata si tampan itu?
Agaknya kebimbangan hati
Bidadari Jalang tersadap oleh indera keenam si Gila Tuak. Karenanya, sebelum
kapal itu menepi, Gila Tuak sempat mengajukan saran.
"Pergilah kalau kau ragu.
Jangan hadapi dia sebelum kau benar-benar yakin akan kemampuanmu, Bidadari
Jalang!"
"Hmm...," Bidadari
Jalang mencibir sinis. "Kau pikir aku gentar menghadapi Nagadipa?
Sebaiknya kau saja yang pergi, bawa anak itu agar tidak menjadi korban
kemarahan Nagadipa."
"Menjadi korban? Hmm...
apa hubungannya?"
Dia akan menyangka Suto adalah
anakku."
"He he he...," si
Gila Tuak terkekeh. "Mana mungkin dia menyangka begitu? Suto dengan kamu
tidak punya kemiripan sedikit pun. Dan lagi, kalau sampai dia mengusik Suto,
dia harus bangkit dari kuburnya."
Perahu semakin dekat. Semakin
jelas bentuk layar, tiang dan atap rumbia di tengahnya. Gila Tuak segera
beranjak mundur dan berkata kepada Bidadari Jalang, "Aku akan menjadi
penontonmu, Bidadari Jalang. Nah, selamat bertarung.
Tunjukkan kehebatanmu di
depanku jika kau punya niat untuk merebut Suto sebelum anak ini menjadi
muridku."
Weesss...! Angin cepat
bertiup. Rambut Bidadari Jalang tertiup dan berkibar sejenak. Itulah angin
kepergian Gila Tuak saat meninggalkan Bidadari Jalang. Tetapi sebentar
kemudian, wuuss
Angin cepat datang lagi. Gila
Tuak terkekeh. Ia lupa membawa Suto saat pergi tadi. Kini Suto digendongnya,
dan sebelum si Gila Tuak melesat lagi, Suto buru-buru berkata, "Jangan
ajak aku terbang, Kek. Aku sudah sangat puyeng."
"He he he... baiklah.
Mari kita jalan saja, Nak,..," karena menuruti rengekan bocah tanpa pusar
itu, akhirnya Gila Tuak pun jalan dengan santai, menuju ke sebuah tempat, yaitu
tebing karang yang tidak terlalu tinggi. Dari sana masih dapat ia melihat
keadaan Bidadari Jalang berdiri bagai termangu menunggu kedatangan lawannya.
Kini, perahu berlayar tunggal
sudah menepi. Tetapi anehnya belum ada yang muncul dari dalam perahu itu.
Bidadari Jalang sudah mengambil jarak dan bersiap siaga menyambut serangan dari
dalam perahu jika sewaktu-waktu muncul. Tetapi sampai sekian lama ia menunggu,
yang ada hanya sepi dan sunyi. Tak sabar hati Bidadari Jalang, maka ia segera
melompat dari tempatnya, bersalto di udara satu kali, dan hinggap kakinya di
buritan perahu.
Kaki itu menghentak. Jlig...!
Lalu, ia kembali bersalto balik bertepatan dengan mentalnya tiang layar perahu
dan tiang-tiang penyangga atap rumbia akibat hentakan kakinya. Dinding beratap
rumbia itu pun terpental ke atas bersama atapnya juga. Perahu jadi terbuka, dan
ternyata tak ada isinya apa-apa.
Byuuur...! Tiang, layar,
dinding rumbia, atapnya, semua terhempas jatuh ke perairan, bagai habis
diledakkan oleh suatu kekuatan yang dahsyat. Bidadari Jalang hanya berkerut
dahi ketika mengetahui perahu tanpa isi. Tak ada manusia satu pun di sana,
bahkan bangkai manusia juga tak ada. Lalu, siapa yang mengarahkan perahu ke
tepi pantai? Siapa yang membawa perahu mendekati Bidadari Jalang? Oh, tentu,
saja ada yang membawanya. Lalu, ke mana si pembawa perahu itu? Apakah
bersembunyi di dalam air, di bawah perahunya itu?
"Nagadipa!
Keluarlah!" bentak Bidadari Jalang. Matanya memandang tajam tak berkedip
di bagian bawah perahu. Bisa saja sewaktu-waktu muncul serangan dariI bawah sana.
"Nagadipa...?! seru
Bidadari Jalang lagi. "Aku tahu kau datang mencariku. Aku di sini.
Keluarlah Nagadipa!"
Tiba-tiba terdengar suara dari
belakang Bidadari Jalang.
"Aku sudah di sini sejak
tadi," suara itu pelan. Kalem.
Segera mata dan kepala
Bidadari Jalang menoleh ke belakang. Oh, ternyata pria tampan berpakaian kuning
dengan rompi terbuka telah berdiri di belakang Bidadari Jalang. Tubuhnya
berkulit bersih, walau tak terlalu putih. Lengannya kekar, demikian pula kedua
kakinya yang kokoh. Rambutnya panjang sebatas pundak dan mengenakan ikat kepala
dari kain berbenang emas. Kumisnya tipis, menambah wajah itu semakin tampan,
Dulu, Bidadari Jalang melihat pria itu belum berkumis, Sekarang sudah berkumis,
dan semakin mempesona dipandang mata.
"Oh, sial...!" keluh
Bidadari Jalang dalam hatinya. Karena di dalam hatinya ia merasakan desiran
yang begitu indah, menuntut jiwanya untuk dipeluk pria itu. Bidadari Jalang
mencoba mengusir perasaan indah yang berbunga-bunga itu. Karena ia sadar, Racun
Birain akan segera bekerja kembali merongrong kekuatannya "Rupanya kau mau
pamer ilmu dulu padaku, ya Nagadipa?" kata Bidadari Jalang dengan sinis.
Ia berkata begitu, karena ia tahu, tanpa memiliki ilmu tinggi, Nagadipa tidak
mungkin tahu-tahu muncul di belakangnya. Itu berarti Nagadipa telah mampu
bergerak cepat tanpa menimbulkan suara atau gerakan yang terlihat, sehingga
tahu-tahu sudah berada di belakang Bidadari Jalang.
Perempuan itu manggut-manggut
sambil memperhatikan Nagadipa dari kepala sampai kaki. Ia melangkah pelan,
bagai sedang memperhatikan sebuah benda yang sangat dikaguminya. Nagadipa diam
saja. Bahkan memamerkan senyumannya.
Oh, hati Bidadari Jalang
semakin dicekam keindahan melihat senyum itu. Ia buru-buru mengalihkan pandangan
dengan gusar.
"Mengapa kau tidak
menyerangku, Nagadipa?" ketusnya.
"Aku masih ingin
menikmati kecantikanmu, Bidadari Jalang."
"Hmm...," Bidadari
Jalang mencibir, menutupi rasa bangganya mendengar ucapan itu. Katanya lagi.
"Jangan basa-basi,
Nagadipa. Kau datang untuk menuntut balas atas kematian gurumu beberapa tahun
yang lalu, bukan?"
"Benar."
"Nah, sekarang lakukanlah
pembalasan itu. Aku sudah siap."
Senyum si tampan itu semakin
mekar. Oh, begitu indahnya. Bidadari Jalang buru-buru buang pandang. Wajahnya
tegang, namun hatinya melayang. Ia hanya melirik sedikit ketika pria itu
melangkah mendekati bagian pantai yang basah. Nagadipa memandang ke arah
cakrawala sambil berkata, "Bodoh sekali kalau aku membunuhmu sebelum puas
aku mengagumi kecantikanmu, Bidadari Jalang. Wajah cantik dan bentuk tubuh yang
menggairahkan seperti yang kau miliki itu, tidak pernah kutemukan di Pulau
Bangkai. Bahkan mungkin di seluruh pelosok tanah Jawa hanya kaulah yang
memiliki wajah dan tubuh seperti itu. Jadi, aku terpaksa berpikir, haruskah aku
membunuhmu demi membalas dendam kematian guruku, atau membiarkan kau hidup di
dalam pelukanku?"
"Setan buduk! Tak perlu
kau bicara begitu, Nagadipa!" geram Bidadari Jalang, sebab kalimat itu
semakin mengguncangkan hatinya, semakin menghadirkan bunga-bunga indah yang
mulai mengusik birahinya. Bidadari Jalang kian cemas dengan dirinya sendiri.
Tetapi, kecemasan dan
kegusarannya diketahui oleh Nagadipa, sehingga lelaki tampan itu semakin
mendayu-dayukan rayuannya.
"Kalau aku berniat membunuhmu,
itu mudah saja. Tapi menaklukkan hatimu, merebut perhatianmu, menggapai
kemesraanmu, itu bukan hal mudah. Lebih sulit ketimbang harus meruntuhkan
sebuah gunung karang...."
"Tutup mulutmu!"
bentak perempuan itu dengan mata mendelik.
"Kalau aku menutup
mulutku, mana bisa kau menikmati kehangatan bibirku ini, Bidadari Jalang?"
Perempuan itu menggeram
jengkel. Kedua tangannya menggenggam kuat, menahan sesuatu yang ingin berontak
dari ujung birahinya. Nagadipa berpaling memandang, matanya ditatapkan ke mata
Bidadari Jalang dengan penuh kelembutan.
Senyumnya mekar tipis, menawan
sekali. Dan ia tetap bersikap kalem, sehingga Bidadari Jalang semakin penasaran
hatinya.
"Inilah repotnya
mempunyai musuh secantik kamu, Bidadari. Hasrat membunuhku hilang. Yang timbul
hanyalah hasrat ingin memeluk kamu dan menciumi wajahmu dengan penuh
kelembutan."
"Bukan saatnya untuk
bermain kemesraan, Jahanam!" sambil Bidadari Jalang menggigit giginya.
"Kemesraan sebentuk
perasaan yang tidak mengenal tempat dan waktu. Kemesraan berhak muncul kapan
saja dan di mana saja."
Mata Bidadari Jalang bertambah
tajam menatap. Nagadipa jadi punya pujian lain untuk perempuan itu.
"Oh, jangan kau
memandangku begitu, Bidadari Jalang. Matamu semakin membangkitkan nafsuku.
Karena jujur saja kukatakan
padamu, bahwa semakin tambah waktu semakin matang kecantikanmu, semakin besar
daya pikatmu. Tak satu pun lelaki yang sanggup menghindari daya pikatmu,
termasuk aku. Luluh lantak hatiku menerima tatapan matamu yang begitu menggoda
hati... "
Bidadari Jalang kian terbang
jiwanya, ia menahan gejolak birahi sampai napasnya terengah-engah. Ia
menahannya kuat-kuat agar tidak terpikat oleh rayuan dan pujian itu. Dadanya
yang montok naik-turun karena napasnya tertahan berat.
"Oh. Bidadari... jangan
bernapas seperti itu. Aku... aku... aku semakin luluh di hadapanmu," suara
itu semakin lemah, wajah tampan itu semakin menunduk. Bidadari Jalang kian
gusar hatinya.
Dan tiba-tiba ia menyentakkan
tangan kanannya ke depan dalam keadaan telapak tangan terbuka, ibu jari
terlipat.
Wuug...! Ada tenaga yang
terpancar keluar tanpa sinar. Seketika itu pula tangan kiri Nagadipa membuka
telapaknya dan melakukan gerakan bagai menepis sesuatu dari kiri ke kanan.
Tubuhnya miring ke kiri. Duubb...! Wuuug...!
Kraaak... !
Gundukan batu karang yang
berjarak lima belas tombak dari tempat mereka berdiri menjadi retak bagian
tengahnya. Bagian ujungnya pecah berserakan di atas. Rupanya tenaga dalam
kiriman Bidadari Jalang itu dihadang oleh tenaga dalam Nagadipa, dan lelaki itu
berhasil membelokkan pukulan jarak jauh tersebut ke arah gundukan batu karang.
Akibatnya batu karang itulah yang menjadi sasaran kedua kekuatan yang beradu
itu.
Wajah Nagadipa terangkat.
Kalem. Senyumnya mengembang. Bidadari Jalang mendengus sinis. Ia melangkah ke
samping pelan-pelan, menunggu kesempatan baik untuk menyerang. Sementara
itu,Nagadipa diam saja. Hanya memandanginya dengan sorot pandangan matanya yang
lembut.
la berkata, "Tegakah kau
membunuh lelaki yang sedang kasmaran padamu, Bidadari Jalang?"
"Diam!" bentaknya.
Nagadipa bahkan tertawa dalam gumam.
"Kudengar kau terkena
Racun Birahi dari Tibet, ya? Apa betul? Apakah karena itu kau menjadi takut dengan
rayuanku?"
"Tapi mengapa wajahmu
merah jambu? Kau menahan malu atau menahan gejolak nafsu, Bidadari
Jalang?"
"Persetan dengan
penilaianmu. Hiaaat...!"
Bidadari Jalang menggerakkan
kepalanya, mengibaskan rambutnya yang panjang itu. Rambut berputar bagai kipas,
menimbulkan hawa panas yang menyebar, menghantam tubuh Nagadipa. Wuusss... !
Nagadipa menahan dengan kedua
tangan disilangkan di depan wajahnya. Kakinya yang seketika itu membentuk
kuda-kuda, ternyata mampu dirobohkan oleh hempasan tenaga dalam Bidadari Jalang
yang disalurkan melalui kibasan rambutnya itu. Nagadipa terjengkang ke belakang
dan jatuh terduduk dalam jarak tiga langkah dari tempatnya. Ia buru-buru
berguling ke belakang dan bangkit dengan segera dalam posisi siap menerima
serangan lagi.
Bidadari Jalang melentingkan
tubuh dan bersalto beberapa kali di udara. Terdengar bunyi gemuruh dari
jubahnya yang mengeluarkan angin bertenaga dalam. Kaki Bidadari Jalang tidak
menjejak tubuh Nagadipa, melainkan sengaja mendarat di depan Nagadipa. Lelaki
itu tersentak dan tubuhnya sedikit oleng karena hempasan tenaga dalam yang
disalurkan melalui jubah itu.
Pada saat tubuh Nagadipa oleng
ke samping, kaki bidadari Jalang segera menendangnya dengan
tendangan miring.
"Hiattt...!"
Plak...! Nagadipa menangkis
dengan satu tangan dihentakkan ke samping. Kaki Bidadari Jalang bagai dihantam
palu godam. Mata kaki yang terkena lengan tangkisan Nagadipa itu menjadi
sedikit memar membiru. Rupanya tangkisan lengan itu dialiri tenaga dalam yang
cukup besar, sehingga andai bukan kakinya Bidadari Jalang, maka kaki itu akan
patah seketika.
"Lumayan juga tenaga
dalammu, Nagadipa," kata Bidadari Jalang. "Pasti kau telah berhasil
mempelajari kitab peninggalan gurumu itu!"
"Tapi di dalam kitab itu
tidak ada pelajaran membunuh perempuan cantik yang dikagumi. Jadi...."
"Hiaaat...!" segera
Bidadari Jalang menyerang kembali sebelum lelaki itu selesai menuturkan
rayuannya, Kali ini Bidadari Jalang menghantamkan tangannya dalam posisi
terbuka telapaknya dan berlipat ibu jarinya. Pukulan itu terarah ke rahang
Nagadipa. Namun sebelum pukulan sampai, Nagadipa sudah lebih dulu menyambar
kaki Bidadari Jalang.
Prasss...!
Bidadari Jalang jatuh
terpelanting, menandakan kekuatannya semakin berkurang sejak hatinya berdesir-
desir mendengar rayuan Nagadipa.
Dalam posisi jatuh
terpelanting itu, Bidadari Jalang segera menjejakkan kakinya ke atas, dan pada
saat itu Nagadipa bermaksud menerkam, memeluk tubuh cantik yang menggiurkan
itu. Akibatnya, dada Nagadipa terkena tendangan kaki Bidadari Jalang. Ia
tersentak sambil bersuara.
"Huugh...!"
Tubuh Nagadipa terpental ke
belakang dengan satu lompatan ringan. Padahal jika bukan Nagadipa, dada itu
bisa jebol terkena tendangan bertenaga dalam dari kaki Bidadari Jalang. Melihat
lawannya hanya terpental dalam satu lompatan ringan, Bidadari Jalang segera
berdiri dan menyembunyikan keheranan di dalam hatinya.
"Hebat juga dia. Masih
bisa tenang dan tersenyum."
Nagadipa memang berdiri tegak
dan tersenyum. Tetapi tiba-tiba ia terkejut karena ada sesuatu yang mengalir di
sudut bibirnya. Ia buru-buru mengusap cairan yang mengalir itu, dan
memandangnya dengan mata setengah terperanjat. Oh, ternyata darah kental.
Nagadipa mulai terpancing kemarahannya melihat tubuhnya bisa dilukai. Karena di
Pulau Bangkai, tak ada orang yang bisa melukai tubuhnya. Apalagi yang
memukulnya hingga mengakibatkan darah kental keluar dari mulut, disana tidak
ada yang bisa melakukan.
Melihat kening Nagadipa
berkerut, Bidadari Jalang tersenyum girang, walau bernada tetap sinis. Ia
berdiri dengan sigap, seakan telah siap menerima serangan balasan dari
Nagadipa.
Dugaannya memang benar.
Nagadipa menjadi gusar melihat tubuh bagian dalamnya berhasil dilukai Bidadari
Jalang. Maka, ia pun segera membentangkan kedua tangannya ke kanan-kiri.
Perlahan-lahan disatukan kedua telapak tangan itu. Kakinya sedikit merendah,
dan kesatuan telapak tangan itu disodokkan ke depan, ke arah Bidadari Jalang.
Seberkas sinar perak melayang
cepat dari ujung tangan Nagadipa. Zlaaap...! Arah sinar perak itu ke dada
Bidadari Jalang. Tetapi dengan cekatan Bidadari Jalang mengambil jubahnya dan
merapatkan ke depan tubuhnya. Bagian dada itu bagai ditutup oleh tameng kain
jubah ungu.
Traap... ! Traas... ! Traas...
!
Sinar perak itu memercikkan
api ketika membentur jubah ungu. Bagaikan sinar las yang menghantam lempengan
baja. Bidadari Jalang hanya tersenyum. Nagadipa segera menarik kedua tangannya
yang saling katup itu. Kini tangan itu kembali dihentakkan keduanya dalam
keadaan telapaknya terbuka ke depan.
"Mata Iblis!" teriak
Nagadipa. "Hiaaat...!"
Wuung...! Blaamm...!
Bola api melesat keluar dari
kedua telapak tangan Nagadipa. Bola api mula-mula kecil. Namun begitu mendekati
jubah ungu yang dipakai perisai oleh Bidadari Jalang itu, makin tama menjadi
semakin besar. Dan menghantam kuat jubah ungu tersebut. Kekuatan bola api itu
cukup besar, seperti sebongkah potongan puncak gunung yang dilemparkan ke arah
Bidadari Jalang. Besar sekali kekuatan yang ada, sampai akhirnya tubuh Bidadari
Jalang terlempar ke belakang dan terkapar di tepian pantai, mulut, hidung, dan
telinganya mengeluarkan darah.
Melihat keadaan Bidadari
Jalang lemah dan mengalami kesulitan untuk bangkit, Nagadipa segera menghunus
pedangnya yang sejak tadi ada di samping kanan. Pedang pendek itu segera dibawa
mendekati Bidadari Jalang sambil ia berteriak.
"Sekaranglah saatku
membalaskan kematian Guru, Hiaaat...!"NAGADIPA sangat kaget pada saat ia
mau menebaskan pedangnya ke leher Bidadari Jalang, tiba- tiba tubuhnya
terpental jauh sepuluh langkah ke belakang. Menurutnya, Bidadari Jalang masih
mempunyai kekuatan pada matanya yang bisa memancarkan tenaga begitu hebatnya,
hingga membuat tubuh kekarnya terpental. Padahal waktu itu keadaan Bidadari
Jalang mulai kritis.
Sementara itu, Bidadari Jalang
memendam rasa heran melihat lawannya tersentak ke belakang, bagai mendapat
dorongan yang amat kuat. Kesempatan itu dipergunakan oleh Bidadari Jalang untuk
mencoba bangkit dan berdiri dengan kekokohan kuda-kudanya. Terasa nyeri sekujur
tubuh Bidadari Jalang, namun ia masih sanggup bertahan. Dan bilamana perlu ia
masih sanggup menjauh meninggalkan pertarungan itu.
"Jalang," panggil
Nagadipa dengan menggeram. "Tak ada waktu bagi kita untuk menunda urusan
dendam ini! Biarpun sudah malam, harus tetap kita tentukan siapa yang mati di
antara kita berdua ini!"
"Majulah kalau kau masih
penasaran, Nagadipa! Aku sudah siap menyambut jurus-jurusmu!" Bidadari
Jalang tak mau kalah sesumbar.
Sedikit agak jauh dari
pertarungan mereka, si Gila Tuak dan Suto duduk di atas tebing karang
berpayungkan petang dan rembulan. Suto habis diurut bagian punggung dan
dadanya. Rasa mual dan puyengnya mulai berkurang. Dan satu hal yang tak
terpikirkan olah bocah tanpa pusar itu, bahwa sampai saat itu ia tidak pernah
merasakan lapar sedikit pun. Ia tidak tahu, bahwa, si Gila Tuak telah
menyalurkan hawa dingin yang berguna untuk menutup rasa lapar dan haus dalam
diri Suto, yaitu saat ia mengurut bocah itu tadi. Itulah sebabnya, Suto tidak
menuntut makanan, hanya menuntut pulang."Mengapa kita masih di sini, Kek?
Mengapa kita tidak pulang? Bukankah petang mulai tiba?"
"Menurutmu, kau ingin
pulang ke mana? Ke rumah mu?"
Suto menggeleng. Dalam ingatan
bocah itu terbayang kekejian yang dilakukan Kombang Hitam dan anak buahnya, ia
juga ingat saat ayahnya roboh berlumuran darah dan sudah tentu tak bernyawa lagi.
Ia juga terbayang melihat kepulan api dan asap yang membakar rumahnya. Ia tahu,
bahwa dari keluarganya tinggal dia sendiri yang hidup dan selamat dari kekejian
Kombang Hitam.
Karenanya, Suto menggeleng
ketika mendapat pertanyaan tadi. Kemudian ia berkata dengan nada suara memelas.
"Aku harus pulang ke
mana, Kek? Aku tidak tahu."
"Pulang ke rumahku saja,
ya? Kau akan kuangkat menjadi muridku. Semua ilmu silatku akan kuturunkan
kepadamu, Suto."
"Nanti aku jadi pendekar,
ya Kek?"
"O, iya! Kamu akan menjadi
pendekar pembela kebenaran."
"Aku juga bisa terbang
seperti Kakek dan Bibi berjubah ungu itu, ya?"
"Bisa. Kamu akan bisa
seperti itu."
"Wah, ndak mau aku,"
Suto merengut. "Lama-lama aku bisa sinting lagi!"
Gila Tuak tertawa
terkekeh-kekeh. Kepala Suto di- usap-usapnya. Suto segera berkata, "Kalau
aku jadi pendekar, nanti terbang cepat seperti tadi, aku bisa muntah-muntah
lagi, Kek. Aku tidak mau jadi pendekar bergelar Pendekar Cepat Muntah."
Kakek itu semakin terkekeh
geli dan berkata, "Kalau begitu kamu jadi pendekar sinting saja. Namamu
Suto Sinting."
Sekarang Suto yang tertawa
dengan menutup mulut. Malu, Gila Tuak memeluk anak itu di sela tawanya sendiri.
Beberapa saat mereka diam. Hanyut oleh suara deburan ombak yang menghantam kaki
tebing karang itu. Mata mereka tertuju pada pertarungan Bidadari Jalang dengan
Nagadipa.
Melihat Bidadari Jalang
terkena pukulan Nagadipa, Suto berkata, "Kasihan Bibi itu, Kek. Dia
terkena pukulan."
"Itu salahnya sendiri.
Karena dia tidak mau waspada dan tidak melatih gerakan lincah."
"Kalau aku berlatih
gerakan lincah, aku bisa menghindari pukulan seperti itu, ya Kek?"
"O, iya! Malah kamu bisa
menyerang."
Anak itu tersenyum bangga
membayangkan kehebatannya sendiri. Ia semakin tertarik memperhatikan
pertarungan tersebut. Lama-lama Suto berkata, "Kasihan Bibi itu, ya Kek?
Dia menolongku dari kejahatan orang bertampang seram itu, tapi sekarang dia
menemui musuhnya sendiri. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas
pertolongannya. Tapi belum bisa kusampaikan karena Bibi itu sibuk."
"Tahu berterima kasih itu
hal yang baik sekali, Suto. Kita hidup memang harus selalu mau berterima kasih
kepada siapa saja, terutama kepada Yang Maha Kuasa. Apa pun pemberian-Nya kita
harus berucap syukur dan berterima kasih. Itu sangat baik."
"Tapi aku suka sama Bibi
itu. Biar wanita, tapi pandai memainkan jurus-jurus silat dan dia pemberani, ya
Kek?"
"Memang dia pemberani.
Kau sebagai laki-laki juga harus lebih berani daripada Bibi Nawang."
"Nawang itu apa namanya,
Kek"
"Ya. Namanya Nawang
Tresni, julukannya Bidadari Jalang."
"Jalang itu apa,
Kek?"
Si Gila Tuak terdiam. Bingung
juga memberi jawaban atas pengertian kata 'jalang' kepada anak seusia Suto.
Namun untuk melegakan hati anak itu, Gila Tuak hanya bisa menjawab,
"Jalang itu... nakal."
"Ooo... Tapi mengapa Bibi
Nawang dikatakan sebagai Bidadari? Apakah beliau memang seorang bidadari dari
kayangan?"
"Bukan. Julukan Bidadari
diberikan kepadanya oleh Eyang Guru kami, atas kecantikan Nawang yang mirip
kecantikan bidadari."
"O..., lalu, apakah
dulunya Kakek dan Bibi mempunyai guru yang sama?"
"Bisa dikatakan begitu,
Suto. Sebab, guruku adalah suami dari gurunya Nawang. Kami sering dididik
secara bersama-sama dengan mereka, bahkan sering disuruh tarung untuk
mengetahui kelemahan kami masing- masing. Jadi, kalau sekarang Nawang bertarung
denganku, maka jelas sulit sekali untuk membedakan mana yang menang dan mana
yang kalah. Nawang juga mempunyai ilmu yang tinggi warisan dari gurunya
sendiri."
"Hebat sekali Bibi itu,
Kek! Sudah cantik, punya ilmu tinggi!"
"Bahkan sejak dia masuk
dalam golongan hitam, ia mempelajari sisa warisan ilmu dari gurunya, yaitu ilmu
sihir. Dan ia menguasai ilmu itu. Sayang sekali keadaan Bibi Nawang sekarang
sedang sakit, sehingga mungkin dia tidak mau menggunakan kekuatan sihirnya untuk
melawan Nagadipa itu, atau.., atau mungkin sudah hilang akibat racun itu?"
kata-kata terakhir diucapkan pelan oleh Gila Tuak, sepertinya ia bicara pada
dirinya sendiri. Ia termenung beberapa saat sambil memandangi pertarungan
tersebut. Suto sendiri juga membisu sambil termenung memandang kesana. Namun
tiba-tiba bocah itu tersenyum sendiri, membuat Gila Tuak menjadi heran.
"Hei, kenapa kau
tersenyum sendiri?" sambil Gila
Tuak menyenggol pundak anak
itu dengan pahanya.
"Tidak ada apa-apa kok,
Kek."
"Ayo Suto katakan apa
yang sebenarnya. Jangan menipu diri sendiri. Tak baik orang melakukan
kebohongan, itu sama saja ia membodohkan dirinya sendiri. Katakanlah, kenapa
kau tersenyum?"
"Mmmm... anu...,"
Suto malu-malu. "Bibi Nawang itu... ternyata benar-benar cantik, ya
Kek?"
"Oho ho ho...,"
kakek berjubah kuning itu memeluk Suto dan menepuk-nepuk pundak anak itu.
"Masih kecil sudah bisa menilai begitu. Bagaimana kalau kau sudah besar
nanti, ya?"
"Tapi... tapi saya bicara
sejujurnya, Kek."
"Iya, ya, ya... aku tahu
kau boleh memberi penilaian seperti itu, asal jangan berkhayal yang bukan-
bukan? Kau masih terlalu muda untuk mengenal lebih dalam tentang
perempuan."
Suto menjadi semakin malu.
Matanya memandang ke bawah. Menunduk takut. Takut ditertawakan dan diolok-olok.
Beberapa saat kemudian, Gila Tuak mengambil tongkatnya. Rupanya tongkat itu
bukan sekadar tongkat. Tongkat itu merupakan tabung yang terbagi dua, yaitu
tutup dan tabungnya. Tongkat itu bisa dilepas bagian atasnya, dicabut ke atas,
dan tampaklah rongga tabung tersebut. Kemudian dengan mendongak sedikit, Gila
Tuak menenggak isi tabung yang berupa cairan berbau aneh buat Suto. Anak itu
bertanya, "Apa yang Kakek minum itu?"
"Tuak," jawab si
Gila Tuak. "Kau mau? Nih, cobalah beberapa teguk. Enak kok. Bisa bikin
sehat di badan kalau tak terlalu banyak."
Kemudian Suto meneguk tuak
dalam tabung tongkat itu. Hanya dua teguk Suto menelan tuak itu. Ia segera
menyeringai dan meringis-ringis sambil bilang, "Rasanya kok seperti ini,
Kek? Getir dan kecut...!"
"He he he...," Gila
Tuak tertawa melihat wajah
Suto menyeringai lucu setelah
minum tuak. Bahkan lidahnya dljulur-julurkan dan diusap-usap pakai telapak
tangannya.
"Cuih, cuih...,"
Suto meludah.
"Kalau kau sudah
terbiasa, maka tuak ini menjadi minuman yang lezat dan segar. Aku selalu
meneguknya dalam waktu-waktu tertentu."
"Cuih...!" kembali
Suto meludah. "Kek, kepalaku jadi puyeng lagi, Kek. Aku bisa jadi sinting
nih!"
"Oho ho ho... itu karena
tuak ini terlalu keras untuk bocah seusia kamu. Nanti kalau kau pulang ke
rumahku, akan kuberi kau tuak yang tidak keras, sehingga enak diminum
untukmu."
"Kek...," kata Suto
setelah beberapa saat. "Kok apa yang kulihat terasa berputar, Kek? Aku
melihat Bibi Nawang kok jadi berputar, Kek?"
"Memang bibimu sedang
bersalto di udara, ya berputar."
"Jangan-jangan... aku
nanti mabuk, Kek?"
"Tidak. Kau tidak sampai
mabuk. Hanya sedikit puyeng, memang. Belum sinting. Tapi anggap saja itu perkenalanmu
dengan si Gila Tuak ini," sambil Gila Tuak menepuk dadanya sendiri.
"O, jadi Kakek yang
berjuluk Gila Tuak."
"Iya. Karena aku ke
mana-mana membawa tuak dalam tongkatku!"
"Lalu, besok kalau aku
jadi pendekar, aku harus membawa apa, ya Kek?"
"Menurutmu, kau ingin
membawa apa kalau sudah jadi pendekar?"
"Hmmm... membawa...
membawa singkong bakar saja."
"Singkong bakar?"
Gila Tuak tertawa.
"Eh, jangan singkong
bakar, ah! Nanti aku dapat julukan si Singkong Setan!"
"Pantasnya julukanmu
setan singkong saja, he he he...!"
Gila Tuak tampak girang sekali
mendapatkan bocah tanpa pusar itu. Ia mengajaknya bergurau terus. Sampai suatu
saat, canda mereka terhenti karena pekikan Bidadari Jalang. Mata mereka kembali
terpusat pada pertarungan di sana.
Rupanya Bidadari Jalang saat
ini sedang keteter oleh serangan beruntun dari Nagadipa. Kekuatannya semakin
berkurang, sehingga beberapa kali Bidadari Jalang kecolongan. Ia dapat terpukul
dan tersentak ke sana-sini.
"Bodoh sekali,"
gumam si Gila Tuak. "Padahal ia punya ilmu 'Sapta Tingal', yang bisa
mengecoh musuhnya yang merubah diri menjadi tujuh kembar. Mengapa tidak
digunakan? Apakah 'Sapta Tingal' sudah ikut hilang digerogoti Racun
Birahi?"
Suto merasa diajak bicara,
sehingga ia berkata, "Birahi itu apa toh, Kek?"
"Belum waktunya kau
mengetahui," jawab si Gila Tuak dengan mata tetap tertuju pada
pertarungan.
Suto bertanya lagi,
"Kalau aku nanti bisa menjadi pendekar, apakah aku boleh mengetahui
birahi, Kek?"
"Boleh. Tapi jangan
banyak-banyak."
"Mengapa tidak boleh
banyak-banyak?"
"Karena... karena bisa
menyesatkan jiwamu, bisa merapuhkan dirimu, jika terlalu banyak birahi. Seperti
bibimu itu, akhirnya jadi rapuh dan sesat."
"Lho, kalau begitu Bibi
Nawang itu orang sesat, ya Kek? Apakah Bibi Nawang itu termasuk orang
jahat?" tanya Suto dengan rasa ingin tahu terhadap segala- galanya begitu
besar.
"Ada yang mengatakan,
Bibi Nawang itu orang jahat, karena ia ada di pihak golongan hitam. Tapi ada
pula yang bilang, dia itu orang baik. Tergantung dari sudut mana kita
memandang."
"Kenapa begitu?"
"Karena orang jahat bisa
saja berbuat baik, dan orang baik bisa saja berbuat jahat. Karena di dalam jiwa
kita bermukim dua sifat manusia, yaitu baik dan- jahat. Sewaktu-waktu salah
satu pasti digunakan oleh diri kita baik sadar maupun tak sadar."
Suto diam termenung. Apakah
dia merenungi kata kata Gila Tuak? Entahlah. Yang jelas matanya kembali
memandang pertarungan yang bagai disaksikan oleh sang purnama di angkasa.
Karena kemunculan sang purnama itulah maka pantai itu menjadi terang dan setiap
gerakan bisa dilihat dari tempat Suto dan si Gila Tuak duduk dengan santai.
Gila Tuak mengibaskan
tangannya. Hanya jari telunjuknya yang dikibaskan menyentil pelan. Pada saat
itu, tubuh Nagadipa tersentak mundur. Padahal ia punya kesempatan melumpuhkan
Bidadari Jalang lewat belakang. Tubuh yang terpental mundur itu membentur batu
karang yang tadi retak akibat dijadikan sasaran pukulan tenaga dalam mereka
berdua.
Keadaan seperti itu,
dimanfaatkan oleh Bidadari Jalang untuk mengibaskan rambutnya. Dan sekali ini
Nagadipa terpelanting jatuh dalam jarak lima langkah dari tempatnya.
Diam-diam Suto memperhatikan
gerakan jari Gila Tuak yang mengibas dalam sentilan pelan tadi. Ia menaruh
curiga, namun tidak tahu apa alasannya mencurigai jarinya Gila Tuak. Yang
jelas, kakek berambut putih rata itu tetap memperhatikan ke arah pertarungan.
Bahkan sekarang Suto mendengar kakek itu mendenguskan napas satu kali lewat
hidungnya.
Suto buru-buru memandang ke
arah pertarungan. Kala itu Nagadipa tersentak ke belakang lagi dengan tubuh
melengkung, kepala sedikit tertunduk. Dari mulutnya keluar darah segar.
Bidadari Jalang baru saja bangkit akibat pukulan jarak jauhnya Nagadipa yang
mengempaskan tubuhnya ke pasir pantai. Melihat hal itu, Bidadari Jalang merasa
heran. Mengapa Nagadipa memuntahkan darah?
Keheranan itu disembunyikan.
Bidadari Jalang segera mengangkat tangannya ke atas, kedua kakinya tegak. Dan
sekarang satu kakinya diangkat dengan terlipat ke belakang. Tangan kanan yang
terangkat lurus ke atas itu memercikkan bunga api warna biru, sepertinya ujung
tangan itu berhasil menangkap petir di sela terangnya purnama. Kemudian, tangan
tersebut segera dikibaskan ke depan, ke arah Nagadipa. Dilakukannya seperti
Bidadari Jalang memercikkan air pada tubuh Nagadipa.
Dari kibasan tangan tersebut,
memerciklah bunga api ke tubuh Nagadipa. Begitu banyaknya bunga api berwarna
biru kemerah-merahan itu, sehingga Nagadipa terguling-guling di pasir sambil
memekik keras-keras. Ia menjadi kalang kabut karena merasakan hawa panas sedang
menyerang tubuhnya. Karena ia berguling-guling di pasir, maka yang seharusnya
pakaiannya terbakar menjadi padam.
Hampir saja tubuhnya hangus
terbakar jika tidak segera berguling-guling. Karenanya ia segera bangkit dan
berdiri dengan tegar kembali. Bidadari Jalang sedikit kecewa atas serangannya
yang terhitung gagal itu. Namun ia masih memperlihatkan kesigapannya dalam
melawan Nagadipa.
"Jelas sudah, Nawang
banyak kehabisan kekuatan tenaga dalamnya gara-gara Racun Birahi itu,"
gumam Gila Tuak. "Kalau tidak, pasti ia tidak selamban ini dalam melawan
Nagadipa. Hmmm... payah sekali dia itu. Pasti hatinya tadi tergoda birahi
begitu memandang lawannya yang tampan. Kalau tidak tergoda birahi, tidak
mungkin ia banyak melakukan kelengahan."
Tiba-tiba Suto berkata,
"Kek, kepalaku kok masih puyeng saja?"
"Kalau begitu, sebaiknya
kita segera pulang saja. Kamu telah mabuk akibat tuak tadi. Dengan tidur dan
beristirahat, rasa pusingmu, itu akan hilang."
"Apakah kita perlu pamit
pada Bibi Nawang dulu, Kek?"
"Hmmm... ya, ada baiknya
kita pamit ke sana dulu."
Maka, Gila Tuak segera membawa
Suto melangkah mendekati pertarungan yang tiada habisnya itu. Suto
digandengnya, dan langkah mereka tampak santai sekali. Suto sempat bertanya,
"Kenapa Kakek tidak membantu Bibi?"
"Kalau tidak terpepet,
jangan mencampuri urusan orang lain, sebab tugas utama kita sebagai manusia
adalah mengurus dirinya sendiri. Kalau diri kita sudah diurus dengan benar dan
baik, maka sekali tempo boleh kita mengurus orang lain, asal demi kebaikan.
Sebab, dengan ikut campur urusan orang lain, berarti kita harus sudah siap
menanggung akibat buruknya."
Mereka semakin dekat dengan
Bidadari Jalang. Langkah kaki mereka pun terhenti. Pertarungan Bidadari Jalang
juga ikut terhenti. Dengan wajah pucat Bidadari Jalang berkata ketus kepada si
Gila Tuak, "Jangan ikut campur urusanku!"
"O, tidak. Aku hanya mau
pamit saja. Aku bosan nonton pertarunganmu yang bertele-tele. Kamu seperti anak
kemarin sore yang baru lulus mencapai jurus-jurus dasar. Suto ngantuk, ia perlu
istirahat. Jadi aku pulang bersamanya ke padepokanku."
Suto menyahut, "Bibi,
terima kasih atas pertolongan Bibi tadi. Aku jadi selamat dari Kombang
Hitam."
Hati Bidadari Jalang tersentuh
juga mendengar ucapan itu. Namun ia terpaksa harus melompat dan bersalto ke
belakang satu kali, karena ia merasakan ada hawa panas yang dilancarkan dari
tangan Nagadipa.
Akibatnya, begitu ia
menghindar, tubuh Suto menjadi sasaran hawa panas itu.
"Awas Suto...!"
teriak Bidadari Jalang.
Dengan cepat, Gila Tuak
melintangkan tongkatnya di depan Suto, dan hawa panas yang mampu melelehkan
baja dalam waktu singkat itu menjadi berbalik arah menuju ke pengirimnya.
Nagadipa kaget mengetahui pukulannya yang dinamakan 'Gayung Iblis' itu bisa
dikembalikan oleh seseorang. Ia segera menghindari pukulannya sendiri itu, dan
pukulan tersebut menghantam lautan. Crooos...! Suaranya sangat keras. Air
lautan bergolak bagai diguncang gempa. Nagadipa hanya bertanya dalam hati.
"Siapa kakek tua itu?
Hebat sekali dia? Bisa menahan pukulan 'Gayung Iblis' saja sudah cukup hebat,
apalagi bisa mengembalikan?"
*
* *"GILA Tuak, pergilah
secepatnya, aku tak butuh penonton!" Kata-kata Bidadari Jalang itulah yang
membuat Nagadipa terperanjat. Matanya sempat terbelalak seketika, dan hanya
sekejap. Ia jadi ingat pesan almarhum gurunya ketika masih hidup.
"Jangan sekali-kali kamu
bikin perkara dengan tokoh tua di rimba persilatan yang bergelar si Gila Tuak!
Hindarilah dia, kapan saja kamu bertemu dengan Gila Tuak. Orang itu bisa
menjadi ganas dari orang yang paling ganas di bumi ini! Kesaktiannya tak
sebanding denganmu. Aku saja ada di bawahnya. Karena itu, si Gila Tuak sangat
ditakuti oleh tokoh-tokoh dunia persilatan, sehingga dia dikenal dengan julukan
Gila Tuak. Kerjanya menjagal siapa saja yang bikin perkara dengannya .......
"
Nagadipa baru percaya betul
dengan pesan almarhum gurunya itu. Ia telah melihat sendiri kehebatan Gila Tuak
yang mampu menahan pukulan 'Gayung Iblis', bahkan mampu mengembalikannya juga.
Sebab itu, setelah ia mendengar nama Giia Tuak, nyalinya jadi ciut. Dan pada
waktu Bidadari Jalang berbicara dengan Gila Tuak, diam-diam Nagadipa segera
menghindar dengan berlari cepat bagaikan kilat menyusuri tepian pantai.
"Kakek, lihat orang itu
telah lari!" seru Suto sambil menarik-narik jubahnya Gila Tuak. Bibir
berkumis putih itu menyunggingkan senyum tipis. Tetapi wajah Bidadari Jalang
menjadi cemberut berang. Ia kecewa atas kehadiran Gila Tuak, yang membuat
lawannya menjadi ketakutan.
"Aku tidak suka dengan
caramu, Gila Tuak!"
"Apa maksudmu?" Gila
Tuak berkata dengan santai, seakan meremehkan kegeraman Bidadari
Jalang."Kau banyak ikut campur pertarunganku tadi! Kau pikir aku tidak
tahu, kau telah melancarkan pukulan jarak jauhmu beberapa kali ke arah
Nagadipa?!"
Senyum tipis kembali mekar.
"Kulakukan demi menyelamatkan jiwamu," katanya dengan kalem.
"Aku bisa mengatasinya
sendiri. Aku tidak perlu bantuanmu!"
"Kalau kubiarkan saja dia
menyerangmu, kau pasti akan habis dibinasakan oleh Nagadipa. Aku tahu,
kekuatanmu semakin berkurang, Nawang Tresni. Kurasa itu karena Racun Birahi
yang bersarang di dalam tubuhmu!"
Bidadari Jalang ingin
membantah lagi, namun segera ia menarik napas, karena menyadari kata-kata itu
memang benar. Kekuatannya semakin berkurang, ia menjadi cepat lemah. Dengan
pukulan-pukulan yang tak begitu tinggi bobot tenaganya saja ia bisa dibuat
limbung. Kalau saja tadi si Gila Tuak tidak ikut campur secara
sembunyi-sembunyi, ia memang sudah habis di tangan Nagadipa.
Menyadari hai itu, Bidadari
Jalang bertambah cemas. Sekalipun ia sembunyikan kecemasan tersebut namun Gila
Tuak tetap bisa merasakannya. Maka, Gila Tuak pun berkata, "Sudahlah,
lupakan dulu tentang Nagadipa dan dendamnya. Kita bicara di pondokku saja.
Banyak hal yang perlu kita bicarakan tentang bocah tanpa pusar ini, juga
tentang penyakitmu itu."
Bidadari Jalang menghempaskan
napas kuat-kuat. Wajahnya masih cemberut. Tapi agaknya ia tidak mempunyai
pilihan lain. Kalau saja ia ngotot dan tetap merebut Suto dari tangan Gila
Tuak, jelas ia akan hancur di tangan saudara seperguruannya. Seandainya ia
tidak dalam keadaan lemah, mungkin ia masih mau melayani pertarungannya dengan
Gila Tuak, walau ia tahu lelaki itu tak bisa mati begitu saja.
"Baiklah, mari kita
tinggalkan tempat ini," kata Bidadari Jalang dengan wajah masih ketus
cemberut. Ia pun segera melangkah lebih dulu. Tiga langkah kemudian ia
berhenti, memandang Suto yang diam saja, yang menatap aneh padanya.
Sementara itu, Gila Tuak
sendiri tidak segera bergerak. Gila Tuak diam bagaikan patung. Matanya menatap
lurus kepada Bidadari Jalang dengan kesan aneh pula. Tentu saja hal itu membuat
dahi Bidadari Jalang berkerut.
"Ayo, Suto..., kita pergi
sekarang. Kamu mau digendong aku atau digendong kakek tua itu?" kata
Bidadari Jalang kepada Suto.
Namun bocah itu diam saja.
Kedua tangannya terlipat di dada. Rambutnya yang plontos dibiarkan tertiup
angin malam pada bagian depannya. Jaraknya berdiri mematung aneh itu ada tiga
langkah dari tempat Gila Tuak berdiri. Tepatnya di samping kanan agak ke depan
dari Gila Tuak.
"Hei, bocah tuli!"
sentak Bidadari Jalang dengan hati dongkol. "Ditanya kok diam saja? Apa
kau bisu, hah?!"
Semakin heran Bidadari Jalang
melihat Suto tersenyum. Sambil tetap berlipat tangan di dada, bocah itu
bergerak lebih menjauhi Gila Tuak. Langkahnya kalem-kalem saja, seakan acuh tak
acuh dengan Gila Tuak maupun Bidadari Jalang.
"Gila Tuak, ayolah, bawa
anak itu ke pondokmu!"
"Berangkatlah dulu,"
jawab si Gila Tuak dengan suara datar.
"Tidak bisa. Kau pasti
akan menipuku kalau kita tidak berangkat bersama. Kau akan larikan anak itu ke
tempat lain."
"Berangkatlah dulu dan
bawa anak itu."
Semakin datar suara Gila Tuak,
semakin pelan nadanya, semakin curiga pula hati Bidadari Jalang dibuatnya. Mata
perempuan cantik itu cukup tajam memandang Gila Tuak yang punya pandangan lurus
ke depan. Pandangan mata kakek tua itu bagaikan penuh beban yang tertahan. Mau
tak mau Bidadari Jalang mendekat kembali dan berkata dengan mata menyipit
ketus.
"Aku tidak butuh
kelakarmu saat ini, tahu? Jangan main-main denganku, Gila Tuak!"
Jawaban yang keluar dari mulut
Gila Tuak hanya, "Pergilah, bawa lari anak itu. Lekas."
"Hei, ada apa kau ini,
hah? Kenapa kau tidak segera bergerak untuk pergi?"
"Jangan banyak tanya.
Lekas pergi bersama Suto Lekas...!" kali ini Gila Tuak gemetar tangannya.
Terlihat oleh Bidadari Jalang tongkat yang dipegang Gila Tuak juga ikut
bergerak-gerak dalam getaran lembut. Semakin heran dan curiga Bidadari Jalang
saat itu. Bahkan ia pun mendengar dengus napas tertahan dari hidung Gila Tuak.
"Apa yang terjadi
sebenarnya?" bisik Bidadari Jalang berkesan tegang di dalam hatinya.
"Seseorang telah menahan
inti ragaku."
"Apa...?!" Bidadari
Jalang tersentak kaget walau tak harus berucap kata dengan keras.
"Aku tak bisa
bergerak," kembali Gila Tuak berkata dengan suara bisik yang amat pelan.
Kepala Gila Tuak memang bisa
bergerak. Ia memandang ke kiri dan kanan. Kedua tangan itu pun bisa bergerak
bebas. Tetapi kedua kaki si Gila Tuak tak bisa digerakkan sedikit pun. Diangkat
sejengkal pun tak bisa. Dengus-dengus napas tertahan berat itu menandakan Gila
Tuak sedang berusaha mengangkat salah satu kakinya. Namun kakinya tetap seperti
tertancap di tanah pasir pantai. Kaki itu bagai ada yang memegangi dari dalam
tanah.
Melihat keadaan si Gila Tuak
yang ternyata tidak main-main itu, Bidadari Jalang semakin tegang dalam
keheranannya. Kemudian ia mencoba menarik tangan Gila Tuak. Namun tubuh tua itu
tidak mampu bergeser dari tempatnya berpijak.
Gila Tuak akhirnya menghentakkan
kedua tangannya dengan satu kekuatan dalam yang cukup besar. Kekuatan dorong
kedua tangan Itu biasanya dipakai untuk menggeser pintu gua dari batu besar,
atau menumbangkan pohon yang berukuran sedang-sedang saja. Anehnya, tubuh tua
Gila Tuak tidak mampu terdorong ke belakang. Hanya meliuk sebentar dan kembali
lagi, seperti sebongkah karet yang tertancap kuat di salah satu dasar lantai.
"Siapa yang mengganggumu
begini?" gumam Bidadari Jalang dengan mata memandang sekeliling, penuh
kecurigaan.
"Entahlah. Aku belum
menemukan dari mana asal kekuatan gaib yang menahanku bergerak ini?"
"Coba gunakan tenaga
dalammu untuk melompat dari tempat ini."
"Sudah kucoba tadi,"
jawab si Gila Tuak masih pelan sekali suaranya, "Tapi tak bisa melawan
kekuatan ini. Kepalaku malah terasa sakit akibat tenaga dalam yang kupakai
tertahan kuat-kuat."
Bidadari Jalang memunggungi
Gila Tuak, matanya memandang tajam ke arah semak pantai, ke arah batang-batang
kelapa, ke daerah gundukan karang yang tadi retak dalam pertarungannya dengan
Nagadipa, dan ke mana saja mata itu menatap tajam. Namun ia tidak menemukan
bayangan sosok siapa pun di sana.
Tiba-tiba Bidadari Jalang
menggerakkan kakinya memutar dan menendang dada Gila Tuak dengan keras.
"Haiaai..!"
Buukk...!
"Uhhg...?!" Gila
Tuak mendelik karena terkena tendangan putar dari kaki Bidadari Jalang.
Tendangan itu biasanya bisa merubuhkan batang pohon. Namun kali ini tak mampu
membuat tubuh tua itu bergeser dari tempatnya. Bahkan Gila Tuak sedikit
meringis merasakan sakit di dadanya akibat terkena tendangan
keras.
"Monyet Burik!"
cacinya dengan dongkol. "Kenapa kau menyerangku, hah?!"
"Maaf. Maksudku membuatmu
supaya tumbang dan bebas dari kekuatan yang menahan kakimu."
"Iya. Tapi dadaku mau
jebol rasanya, Tolol!"
Bidadari Jalang menahan tawa
geli jadinya. Ia jadi iba melihat Gila Tuak jadi terengah-engah akibat menahan
tendangan tadi.
"Aih, gila! Apa-apaan
sebenarnya ini?" geram Bidadari Jalang. Ia masih sesekali memandang
berkeliling mencari sumber kekuatan yang mengganggu Gila Tuak. Lalu tiba-tiba
ia melompat pergi dalam kecepatan tinggi, yang tak mampu dilihat oleh mata telanjang.
Angin kepergiannya membuat pasir-pasir pantai menyebar ke mana-mana, termasuk
memercik ke wajah Gila Tuak. Tangan lelaki tua itu buru-buru meraup wajahnya
beberapa kali, membersihkan jenggotnya yang terkena percikan pasir, dan
akhirnya meludah beberapa kali, karena ada beberapa butir pasir yang masuk ke
mulutnya.
"Setan alas!"
katanya memaki dengan suara pelan. "Cuih, cuih...I"
Gerakan Bidadari Jalang
menimbulkan suara mirip bambu kecil diputar-putarkan dengan menggunakan tali.
Wung... wuung... wung...! Berkeliling di sekitar semak pantai. Kadang menjauh,
kadang melintas di depan Gila Tuak dan menjauh lagi, lalu mendekat kembali.
Tiba-tiba perempuan berambut panjang itu sudah berdiri kembali di depan Gila
Tuak dengan jubahnya melambai-lambai tertiup angin.
"Tidak ada siapa pun di
sekitar sini, Gila Tuak. Aku sudah memeriksanya," kata Bidadari Jalang.
Gila Tuak menggeram dengan
napas terhempas. Merasa jengkel sekali dengan keadaannya.
"Kunyuk rembes!"
makinya dalam geram. "Siapa yang berani mempermainkan aku begini
sebenarnya?"
Lalu, kedua tangannya
terangkat ke atas. Tongkatnya melintang dan dipegangi dengan kedua tangan.
Tongkat itu bagaikan sesuatu yang keras dan dipakai untuk mengangkat tubuhnya.
Ia seperti orang bergelayutan di salah satu dahan pohon.
"Hiighh...!" Gila
Tuak mengerahkan tenaganya untuk mengangkat kedua kaki. Hingga wajahnya
memarah, ternyata belum juga berhasil mengangkat tubuh.
"Terus. Kerahkan terus
tenagamu. Kubantu menggempur bagian bawahnya," kata Bidadari Jalang. Lalu,
tangan kiri bergerak menyentak ke depan. Sebuah kekuatan tenaga dalam
dilancarkan melalui tangan tersebut, hawa panas terasa menggempur kaki Gila
Tuak. Dan lelaki tua itu pun berteriak kepanasan.
"Waoow...!"
Bidadari Jalang berhenti
melakukannya. Tangan Gila Tuak turun kedua-duanya. Tetapi tongkatnya masih
tinggal di atas. Bagai tergantung pada suatu tiang gawang. Walau tanpa
penyangga, tongkat itu tetap diam tak bergerak, sehingga menimbulkan perasaan
heran bagi orang yang belum tahu kehebatan ilmu Gila Tuak.
"Hati-hati, Tolol! Jangan
terkena mata kakiku. Hantam saja tanahnya dan aku akan mengangkat
tubuhku!" sentak Gila Tuak semakin dongkol pada Bidadari Jalang.
"Baik, baik... I Ayo,
lakukan lagi. Angkat tubuhmu dengan kekuatan penuh dan aku akan mendongkel tanahnya."
Tongkat yang tetap diam
melintang di atas kepala Gila Tuak itu kembali digunakan sebagai pegangan kedua
tangannya. Lalu, begitu Gila Tuak mengerahkan tenaga untuk mengangkat tubuhnya,
Bidadari Jalang mengerahkan tenaga jarak jauhnya untuk menghantam tanah yang
dipakai berpijak kedua kaki tua itu.
"Hiaaat...!" teriak
Bidadari Jalang dengan kedua tangan diarahkan ke depan, agak bawah, dan dari
telapak tangan itu keluarlah asap tipis yang menyembur ke arah tanah sekitar
kaki Gila Tuak. Kedua tangan Gila Tuak sendiri gemetar saat menarik dirinya ke
atas. Tetapi usaha itu agaknya masih juga belum berhasil. Gila Tuak bagai
sebuah gunung yang sukar digeser sedikit pun.
Mereka saling menghempas napas
dengan mata beradu pandang. Angin malam masih berhembus mempermainkan jubah
kedua tokoh sakti itu. Rembulan di langit bagai kian terang, sehingga apa saja
yang ada di sekitar mereka dapat terlihat jelas. Termasuk wajah Suto yang sejak
tadi tersenyum-senyum sinis, juga kelihatan jelas oleh mata Bidadari Jalang.
Terbersit pikiran licik di
otak Bidadari Jalang, "Kularikan saja si Suto itu. Ini adalah kesempatan
menculik si Suto. Dengan keadaan seperti ini, Gila Tuak tak akan mampu
mengejarku. Aku bebas membawa lari Suto ke mana saja."
Belum sempat Bidadari Jalang
melangkah mendekati Suto, mulut Gila Tuak sudah menghamburkan kata.
"Bawalah pergi bocah itu,
Nawang. Biarkan aku di sini mengalahkan kekuatan gaib ini sendirian. Yang penting,
selamatkan dulu bocah itu, jangan sampai ada yang mengganggunya. Bawalah ke
tempatmu, atau kemana saja. Aku pasti bisa mencari jejak kalian melalui
tongkatku ini."
Tak ada jawaban dari Bidadari
Jalang. Tetapi hati perempuan yang rambutnya ikut meriap-riap karena hembusan
angin itu berkata-kata sendirian.
"Wah, percuma saja kalau
bocah itu kularikan. Gila Tuak bisa mencarinya menggunakan tongkatnya. Rupanya
ia telah menyedot sebagian kekuatan kecil pada bocah itu dan menyimpannya pada
tongkatnya. Tentu saja ke mana saja aku menyembunyikan Suto, tongkat itu bisa
menunjukkan di mana raga Suto berada. Ah, sial! Sepertinya tak ada kesempatan
bagiku untuk menculik si Suto."
"Nawang, lakukanlah apa
yang kukatakan tadi. Jangan diam saja!"
"Baiklah...!"
Setelah berkata begitu,
Bidadari Jalang mendekati Suto. Langkahnya biasa-biasa saja. Namun, tiba-tiba
di luar dugaan tubuh yang berparas cantik itu tersentak ke belakang bagai
diseruduk tiga ekor banteng. Tubuh Bidadari Jalang terpental melayang sampai kira-kira
tujuh langkah jauhnya. Tentu,saja hal itu membuat mata si Gila Tuak terbelalak
seketika.
Buru-buru ia menatap Suto
dengan mata sedikit menyipit tajam.
"Tak mungkin bocah itu
mampu membuat Bidadari Jalang terpental sebelum menyentuh tubuhnya. Edan!
Kekuatan dari mana yang dimiliki Suto itu?" pikir Gila Tuak.
Bidadari Jalang bangkit sambil
memaki-maki, "Bocah celeng! Landak bunting kau, ya? Kenapa kau
menyerangku, hah?!"
Perempuan itu melangkah cepat
dengan gusarnya. "Kau ingin membunuhku, ya? Iya...?!"
Tangan perempuan itu bergerak
cepat, menampar wajah Suto. Tapi tiba-tiba gerakan tangan itu mampu ditangkis
cepat oleh tangan kiri Suto. Dan tiba-tiba tangan kanan Suto menyodok ke depan
dalam keadaan pangkal telapak tangannya terbuka, menghantam ulu hati Bidadari
Jalang. Begg... !
"Uhhg...!" Bidadari
Jalang terhempas mundur tiga langkah dengan menggeloyor, nyaris membentur tubuh
Gila Tuak. Kedua tokoh sakti itu sama-sama semakin membelalakkan mata. Suto
tetap diam dengan berdiri tegak, bagaikan seorang jagoan yang tidak kenal
mundur setapak pun. Wajahnya masih menampakkan kesinisan. Sikapnya jelas
bermusuhan. Tak ada lagi sikap bocah dan wajah kanak-kanaknya.
"Babi Dungu!" rutuk
Bidadari Jalang. "Anak itu harus diberi pelajaran biar tidak ngelunjak."
Kemudian tangan kanan Bidadari
Jalang dihentakkan ke depan dalam keadaan kedua jari lurus dan keras.
Cepat-cepat tongkat si Gila Tuak menghantam tangan itu. Plokk...!
"Auh...!" Bidadari
Jalang memekik kesakitan. Pergelangan tangannya menjadi sedikit memar akibat
pukulan tongkat itu.
Padahal Gila Tuak
menghantamkan tongkatnya tidak begitu keras. Cukup pelan namun cepat. Dan tentu
saja tongkat itu dialiri tenaga dalam dari tubuh Gila Tuak. Barangkali akan
hancur jika pukulan pelan tadi dihantamkan pada sebongkah batu kali. Bidadari
Jalang menatap marah pada Gila Tuak. Pergelangan tangannya dipegangi. Ia bukan
saja merasa ngilu, tapi juga sekujur tubuh jadi semutan sesaat.
"Mengapa kau menyerangku,
Tua Bangka?!"
"Pukulanmu itu akan
mematikan Suto. Ingat, dia hanya seorang bocah," kata Gila Tuak dengan
suara rendah.
"Tapi rupanya dia
mempunyai ilmu yang tidak bisa dianggap enteng! Dua kali dia nyaris membunuhku,
Gila Tuak!"
"Itu bukan
kekuatannya."
Bidadari Jalang terdiam
seketika. Mau membantah, namun tak jadi. Ia segera memandang Suto yang masih
berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang. Seakan ia siap menunggu serangan
lagi.
Gila Tuak kembali berkata
dengan suara pelan, "Seseorang telah mengendalikan dia dari suatu tempat.
Jelas orang itu memusuhi aku, karenanya aku dibuatnya tak bisa bergerak begini.
Siapa orang yang telah mengendalikan bocah itu sebenarnya?"
Bidadari Jalang menghempaskan
napas, membuang sebagian kemarahannya. Lalu, ia berkata dengan suara pelan
juga.
"Bagaimana kalau
kupancing dengan serangan, supaya kau bisa mengetahui, jurus-jurusnya siapa
yang dipakai oleh Suto."
"Hmmm... boleh saja. Tapi
awas, jangan sampai melukai tubuh bocah itu. Kau dan aku akan menderita
kerugian besar jika bocah itu sampai mati atau sakit karena seranganmu."
"Kucoba untuk
hati-hati!" bisik Bidadari Jalang.
Langkah perempuan cantik itu
menjauhi si Gila Tuak. Seakan ia mencari tempat untuk bertarung dengsn Suto. Ia
mengambil jarak tertentu dengan sikap siap menyerang atau bertahan.
"Siapa kau sebenarnya,
hah?" bentak Bidadari Jalang. Suto hanya diam dan tersenyum sinis. Cukup
lama ia memandangi Bidadari Jalang dengan sorot pandangan mata seorang lelaki
dewasa yang nakal. Bidadari Jalang menjadi gelisah dipandang nakal begitu.
Namun ia berusaha mengendalikan perasaannya agar tidak terpancing oleh
pandangan nakal Suto.
"Katakan, siapa dirimu
sebenarnya?! Karena kami tahu, kau bukan Suto!"BOCAH berumur delapan tahun
itu, masih tetap menunggu serangan dari Bidadari Jalang. Pada saat itu, Gila
Tuak sengaja diam tak ikut menyerang Suto, sebab ia ingin mengetahui gerakan
jurus yang digunakan Suto nanti. Ia pun yakin, kekuatan aneh yang membuat kedua
kakinya bagai tertancap kuat di tanah itu pasti datang dari ulah orang yang
sama. Dalam hati, Gila Tuak menggerutu sendiri.
"Sial! Ternyata tidak
mudah mendapatkan bocah tanpa pusar itu. Ada-ada saja perintangnya! Bocah
sinting itu ternyata punya kekuatan keramat tersendiri. Kalau dia berhasil
mewarisi ilmu-ilmuku, sudah pasti dia akan menguasai rimba persilatan. Dia akan
menjadi seorang pendekar tanpa tanding. Karena keberadaannya yang tanpa pusar
alias tidak punya udel itu, telah mewarisi kekuatan keramat, di antaranya ia
tidak mudah lelah, napasnya panjang dan otot-ototnya pun kuat. Sayang sekali
kalau sampai ia jatuh di tangan manusia sesat dan dikuasai oleh orang-orang
dari golongan hitam!"
Saat itu, bocah tanpa pusar
mengusap-usap dagunya yang tanpa selembar rambut pun, tapi sepertinya ia merasa
mempunyai jenggot yang sedikit panjang. Gerakan matanya liar dan nakal bersama
senyum orang dewasa yang dibawakannya.
Pada waktu Bidadari Jalang melancarkan
pukulan jarak jauhnya yang tidak terlalu berat ukurannya, Suto melenting ke
atas dan bersalto satu kali, kemudian dari posisinya yang sedang bergerak turun
itu dia menghentakkan kedua tangannya ke depan, ke arah Bidadari Jalang.
Wooos... !
Semburan api meluncur dari
kedua telapak tangan Suto. Hampir saja semburan itu mengenai rambut Bidadari
Jalang. Untung saja perempuan itu segeramelompat ke belakang dalam gerakan
salto juga.
Gila Tuak terperanjat. Hatinya
seketika itu berkata, "Edan! Itu jurus Tapak Bromo?!"
Segera mulut si Gila Tuak
berseru pada Bidadari Jalang dari tempatnya berdiri.
"Nawang! Mundurlah!
Lekas! Berdiri di belakangku, Nawang!"
Mendengar nada suara Gila Tuak
yang tegang, firasat Nawang Tresni alias Bidadari Jalang itu, mengatakan bahwa
dirinya dalam ancaman yang membahayakan. Agaknya si Gila Tuak benar-benar
mempunyai keputusan yang harus dipatuhi. Maka dengan gerakan melayang tinggi,
kaki satu lurus menendang ke samping ke arah kepala Suto, yang saat itu juga
kembali melayang untuk menyerang, Bidadari Jalang berusaha tiba di dekat Gila
Tuak.
Tendangan samping yang terbang
itu meleset pada sasarannya, karena tubuh Suto berhasil merunduk. Pada saat
tubuh Bidadari Jalang terbang di atas kepalanya, tangan kiri Suto menghentak ke
atas, dan tepat mengenai paha Bidadari Jalang.
Plokk...!
"Uuh...!" Bidadari
Jalang tidak merasakan sakit, namun merasa kaget dan geli. Ia seperti mendapat
godaan dari tangan iseng seorang lelaki dewasa. Hatinya jadi berdesir dan
deg-degan.
"Dia kurang ajar padaku,
Gila Tuak!"
"Dia bukan Suto. Aku
mengenal jurus 'Tapak Bromo' tadi."
"Dia mau memancing
gairahku."
"Karena dia Malaikat
Tanpa Nyawa."
"Hah...?!" Bidadari
Jalang terkejut. "Bukankah Malaikat Tanpa Nyawa itu sudah kau bunuh?"
"Ya. Tapi murid Malaikat
Tanpa Nyawa itu masih penasaran ingin membalas dendam atas kematian gurunya
padaku. Satu-satunya murid dari Malaikat Tanpa Nyawa adalah Cadaspati. Ia
menguasai ilmu 'Tapak Bromo' dan 'Inti Neraka'. Ilmu 'Inti Neraka' bisa
disusupkan ke tubuh seseorang dari jarak jauh, dan orang itu jadi mewakili
dirinya. Suto jadi sasaran untuk melancarkan serangan dendamnya padaku. Jangan
kau ikut campur dulu, Nawang. Diamlah di belakangku. Dia perlu kuhadapi
sendiri, biar tak timbul korban lain."
Sambil bergerak ke belakang
Gila Tuak, Bidadari Jalang membenarkan kata-kata Gila Tuak itu di dalam
hatinya. Bahkan di dalam hati pula perempuan itu berkata, "Pantas bocah
itu mampu membuatku terpental sebelum kupegang. Rupanya Cadaspati yang mengendalikan
Suto dari jauh. Tapi di mana ia bersembunyi? Sejak tadi tak kulihat orang
bersembunyi di sekitar sini, Licik. Ia sengaja menggunakan raga bocah tanpa
pusar itu, karena ia tahu bahwa aku dan Gila Tuak tidak berani melukai atau
membunuh Suto. Dalam keadaan seperti itu, maka Cadaspati merasa punya perisai
sendiri dalam melakukan penyerangannya kepada Gila Tuak!"
Terbayang dalam benak si
Bidadari Jalang pada saat ia bertemu dengan Malaikat Tanpa Nyawa dan Cadaspati
di lereng Gunung Layon. Pertemuan para tokoh terjadi di lereng gunung itu. Dari
partai pengemis, diwakili oleh si Bongkok Pencabut Uban, dari partai pengembara
diwakili oleh Pendekar Gusi Berdarah, dari partai pertapa sakti diwakili oleh
Resi Dewa Tembang, dari partai pelacur sakti di wakili oleh Nyai Ganjen
Pemikat, dari partai banci keramat diwakili oleh Mahesa Gincu, dan dari partai
perampok diwakili oleh Malaikat Tanpa Nyawa yang selalu didampingi Cadaspati,
serta tokoh-tokoh lainnya pun hadir termasuk Bidadari Jalang dan si Gila Tuak.
Dalam pertemuan memilih
tanding untuk melawan Tiga Pendekar Tibet itulah, Bidadari Jalang bertemu
dengan Cadaspati.
Bertubuh kurus kering,
rambutnya panjang acak-acakan, matanya cekung, jenggotnya abu-abu, bersenjata
cambuk tiga lidah. Gerakannya begitu gesit, sehingga Bidadari Jalang merasa
maklum jika kali ini bocah tanpa pusar itu mampu bergerak segesit belut putih.
Tak heran juga jika Suto sebentar- sebentar mengusap dagunya, karena yang hadir
dalam raganya adalah ilmu dan gerakan Cadaspati yang senang mengusap-usap
jenggot kelabunya.
Bahkan Bidadari Jalang tidak
merasa heran lagi melihat Suto kembali melancarkan pukulan jarak jauhnya ke
arah Gila Tuak. Dan pukulan tanpa bentuk, tanpa wujud serta tanpa hawa itu
berhasil ditangkis oleh Gila Tuak dengan memutarkan tongkatnya di bagian depan.
Pukulan itu terbuang ke samping, menghantam batang pohon kelapa, membuat pohon
kelapa itu kering seketika tanpa membuat buah- buahnya jatuh, bahkan selembar
daunnya pun tak ada yang berguguran ke tanah. Benturan tenaga dalam yang
sempurna dengan batang kelapa itu hanya menimbulkan bunyi seperti sarung
dikibaskan di udara. Wuuugh... !
Dengan tanpa menggerakkan
kaki, Gila Tuak ganti menghentakkan ujung tongkatnya ke arah gundukan batu
karang. Zuubb...! Dari ujung tongkat itu keluar sinar merah membara, meluncur
menghantam gundukan batu karang, lalu memantul balik dalam bentuk sinar putih
perak dan menghantam tubuh Suto dari belakang.
Wesss... !
"Uhhg...!" Suto
tersentak ke depan. Mestinya jatuh tersungkur, namun ia begitu lincah, hingga
dapat berguling di tanah dan dalam waktu dekat sudah berhasil berdiri lagi
dengan satu lentingan tubuh yang tidak terlalu tinggi. Jleg...! Kedua kaki
bocah itu menapak mantap bagaikan kedua kaki orang dewasa yang kekar.
"He he he he...,"
kali ini Suto tertawa. Dan suara tawa yang mengekeh itu semakin membuat Gila
Tuak serta Bidadari Jalang semakin yakin, bahwa tawa itu ada lah milik murid
terkasih Malaikat Tanpa Nyawa.
"Pandai juga kau
memukulku tanpa harus melukai, Gila Tuak," katanya dengan suara besar
sedikit serak.
Jelas bukan suara Suto.
"Kalau kau memang masih
menyimpan dendam padaku, hadapilah aku tanpa harus menggunakan raga bocah
itu."
"Ho ho ho... justru aku
menggunakan raga bocah ini supaya aku terlindung dan aku bisa membuatmu hancur
berkeping-keping. Bukankah kau hanya bisa mati di tangan bocah tanpa pusar? Ho
ho ho ho.... Sekarang saatnya aku membalas dendam atas kematian guruku!''
Bidadari Jalang yakin, bahwa
Cadaspati telah salah duga. Ia sangka Gila Tuak bisa mati di tangan bocah tanpa
pusar, padahal sebelum ilmunya diturunkan pada bocah tanpa pusar, Gila Tuak
sulit dibunuh oleh senjata apa pun dan oleh pendekar mana pun. Kesalah pahaman
itulah yang membuat Cadaspati begitu semangat membalas dendam kepada Gila Tuak
menggunakan raga Suto.
Tiba-tiba tangan Suto bergerak
memutar-mutar keduanya. Gerakannya acak-acakan. Tubuhnya berputar pula dengan
putaran tak menentu arah. Ia seperti bocah kesurupan. Suara geram yang timbul
dari mulutnya seperti suara seekor singa terjepit pohon.
Pada waktu itu, Gila Tuak
menggenggam erat ujung tongkatnya. Ujung tongkat bagian bawah menancap di
tanah, tepat di depannya. Kini kedua tangan Gila Tuak berpegangan pada kepala
tongkat yang merapat di ulu hati. Posisi tongkat itu sedikit miring ke depan. Kepala
Gila Tuak agak tertunduk dan memejamkan mata.
Hawa dingin mulai terasa
meresap sampai ke tulang. Bidadari Jalang sadar, bahwa hawa dingin yang hadir
saat itu bukan hawa dingin dari laut, melainkan dari gerakan tangan Suto yang
memancarkan tenaga dalam berhawa dingin. Maka, Bidadari Jalang pun segera
memusatkan konsentrasinya dengan merapatkan tangan kanannya ke pertengahan dada
dalam posisi telapak tangan terbuka dan jempolnya terlipat. Ia pun sedikit
memejamkan matanya untuk mengeluarkan hawa panas dari setiap pori-pori
tubuhnya.
Angin berhembus kencang pada
saat Suto berhenti bergerak gila itu. Kini kedua tangannya terangkat ke atas
dengan telapak tangan tengadah. Kedua tangan bocah itu bergetar, mulutnya bagai
meraungkan lolongan kecil. Semakin lama, semakin hadir mencekam udara dingin
itu. Angin kencang dan guntur menggelegar di angkasa dengan sesekali kilatan
cahaya petirnya menyambar-nyambar. Anehnya, rembulan tetap ada dan tetap
menerangi bumi.
Kilatan cahaya petir bagai
berjalan mengelilingi bagian atas si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Sepertinya
kilatan cahaya petir itu ingin menyambar habis tubuh Gila Tuak, namun ada
sesuatu zat yang melindungi tubuh si tua bangka tersebut.
Dan tiba-tiba kedua tangan
Suto turun dengan gemetar serta pelan-pelan. Tangan itu merapat di depan
ketiaknya. Lalu, sebelum tangan itu dihentakkan keduanya ke depan, terdengar
seruan dari Suto.
"'Guntur Colok Sukma'!
Hiaaat...!"
Kedua telapak tangannya
didorongkan ke depan, dan dari telapak tangan itu memancarlah ribuan, bahkan
jutaan, jarum bernyala membara. Jarum-jarum yang membara itu mengerombol dan
meluncur ke arah dada Gila Tuak. Dengan cepat si Gila Tuak itu membuka telapak
tangannya di depan dada. Dari telapak tangan Gila Tuak menyemburlah dua cahaya
hijau muda yang memisah ke dua arah. Kedua bias cahaya hijau itu membentur
masing-masing gerombolan jarum-jarum membara.
Akibatnya, jarum-jarum
berwarna merah menyala itu bagai tertahan di udara, tak bisa menembus maju.
Bahkan makin lama makin terdesak mundur. Bias cahaya hijau itu begitu kuat
menekan gumpalan cahaya membara dari tangan Suto. Tubuh bocah itu tampak
bergetar menahan kekuatan yang maha dahsyat ingin membalik ke dirinya.
Gila Tuak tetap tenang, walau
tubuhnya mulai berkeringat. Tangan kanannya yang memancarkan dua bias cahaya
hijau itu gemetar, dan matanya jadi merah. Bidadari Jalang melihat hal itu
dengan tegang. Sesekali ia memandang ke langit di mana petir-petir masih
berusaha melesat ke arah Gila Tuak dan memantul balik dengan suaranya yang menggelegar.
Ombak laut pun mulai mengamuk, bergulung-gulung di tengah samudera menuju ke
tepian.
Bidadari Jalang menjadi cemas
melihat jutaan jarum membara semakin dekat dengan telapak tangan Suto. Itu
pertanda jarum-jarum membara kian terdesak.
"Jika sampai tenaga itu
masuk kembali ke dalam telapak tangan Suto," pikir Bidadari Jalang.
"Maka cahaya hijaunya Gila Tuak akan ikut masuk ke dalam telapak tangan
bocah itu. Dan ini suatu tindakan yang berbahaya. Gila Tuak melancarkan Ilmu
'Pecah Raga', yang tentunya akan membuat hancur tubuh Suto kalau tidak segera
cepat cepat ditarik kembali sinar itu. Gawat...! Aku harus segera bertindak
untuk menyelamatkan raga Suto itu!"
Semakin tipis sisa cahaya
merah membara dari telapak tangan bocah tanpa baju itu. Semakin mengucur peluh
yang keluar dari tubuh Gila Tuak. Maka, segera Bidadari Jalang melenting ke
atas dan bersalto beberapa kali melewati kepala Gila Tuak dan Suto.
Wuugh... wuugh... wuugh...!
Jleg...!
Bidadari Jalang menapakkan
kakinya di belakang Suto. Kemudian ia mengibaskan jubahnya ke depan dan
terpancarlah kabut dari jubah itu berwarna putih keperakan, sepertinya kabut
itu mengandung bintik- bintik serpihan mutiara yang jumlahnya berjuta-juta.
Bintik-bintik mengkilat dan kabut itu segera membungkus tubuh Suto tepat pada
saat sinar merah dari tangan Suto melesak ke dalam telapak tangan, dan sinar
hijau dari Gila Tuak terdesak masuk dalam satu hentakan yang cukup kuat.
"Aaakh...!"
Bukan tubuh Suto yang
terpental ke belakang, melainkan tubuh Bidadari Jalang yang seolah-olah menjadi
sasaran hentakan sinar hijaunya Gila Tuak. Tubuh perempuan itu
berguling-guling, sesekali terpental terbang bagaikan kapas terhembus angin.
Begitu jauh ia terpental, hingga suara teriakannya menjadi kecil.
Kabut putih berbintik-bintik
berkelip itu masih menaungi bagian belakang Suto. Anak itu bagai terperangkap
jala. Ia tak bisa bergerak ke sana-sini. Ruang geraknya sempit sekali. Bahkan
semakin lama kabut itu semakin mutlak membungkus tubuhnya, hingga tubuh kecil
itu seperti berada dalam tabung yang amat transparan.
"Jahanam!" teriak
bocah itu. Masih terdengar jelas kemarahan suaranya. Ia ingin menghantamkan
kekuatannya kembali ke arah Gila Tuak, namun sepertinya semua kekuatannya
teredam oleh kabut aneh tersebut.
"Bidadari Jalang! Kau
ikut campur dalam urusanku, hah? Kuhancurkan juga tubuh jalangmu itu,
Biadab!" Suto memaki-maki sendiri. Ia hanya bisa berbalik arah, namun tak
mampu melangkah keluar dari gumpalan kabut transparan tersebut. Kerlip-kerlip
yang mirip serpihan mutiara itu membuat suasana di sekitar Suto menjadi terang.
Suto kelabakan mencari jalan keluar.
Kesempatan itu digunakan oleh
Gila Tuak yang belum bisa bergerak pula dari tempatnya untuk bersemadi dalam
keadaan berdiri. Tongkat dipegang di tangan kiri, sementara tangan kanannya
merapat tegak di bagian dadanya. Makin lama kaki Gila Tuak semakin jelas
mengepulkan asap. Butiran pasir yang putih itu menjadi merah sedikit demi
sedikit. Merah membara bak serpihan logam panas.
Kemudian, si Gila Tuak
berteriak keras dari panjang. "Hiaaah...!"
Broolll... !
Tubuh Gila Tuak berhasil jebol
dari tanah. Melompat ke atas dengan ringannya, bersalto ke belakang satu kali,
dan segera mendarat di tanah dengan tegak dan kokoh kembali. Napas Gila Tuak
terhempas lega. Ia memandang bekas tempatnya berdiri masih tampak merah
membara, sebagian ada yang berpasir hangus. Asap masih mengepul di bekas
tempatnya berdiri.
"Jahanam, Bidadari
Jalang...! Lepaskan aku dari penjaramu ini! Hoooi... Bidadari Jalang, lepaskan
kabut ini. Singkirkan! Atau kuhancurkan tubuhmu dari sini, Setan!"
Gila Tuak tersenyum tipis.
Memandang jauh ke sana, di mana Bidadari Jalang tampak kecil dan sedang
berusaha untuk bangkit. Gila Tuak pun segera mendekati Suto yang bernasib sial,
yaitu menjadi wakil kehadiran Cadaspati. Mata Suto memandang tajam pada Gila
Tuak, mulutnya menggeram penuh nafsu untuk membunuh.
"Siapa pun tak bisa lepas
dari Selubung Kematian ini," kata Gila Tuak. "Selubung Kematian ini
akan membuat tubuhmu menjadi kering dan mati tanpa tulang lagi. Ini jurus
simpanan Bidadari Jalang yang jarang-jarang digunakan kalau tidak dalam keadaan
terpepet."
"He he he...!"
Cadaspati tertawa terkekeh-kekeh menggunakan mulut Suto. "Kalian tidak
mungkin membiarkan raga bocah yang kupakai ini menjadi kering dan mati tanpa
tulang. Cepat atau lambat, kalian pasti akan segera membebaskan aku."
Peluh menetes dari kening
kakek tua itu. Namun napasnya mulai reda. Ia tetap kelihatan tenang dan
berkata, "Aku sudah terbebas dari jurus 'Paku Jagat'-mu tadi. Itu berarti
kau tak punya kesempatan untuk mengendalikan raga bocah itu lebih lama lama.
Aku akan menyimpan kekuatan 'Inti Neraka'-mu di dalam tongkatku, dan akan
kusatukan ke dalam hawa murni bocah tanpa pusar ini, sehingga kekuatan ilmu itu
akan menjadi miliknya."
"Gggrrr...!"
Cadaspati menggeram antara jengkel dan ketakutan. Matanya membelalak tajam,
ingin melancarkan pukulan dahsyatnya, namun tidak kuasa berbuat itu.
Dari jauh, tampak Bidadari
Jalang berjalan dengan oleng, seperti orang mabuk. Makin lama makin dekat,
makin jelas ada darah sedikit meleleh di sudut bibirnya. Kalau saja bukan
Bidadari Jalang yang menahan pukulan sinar hijaunya Gila Tuak, sudah pasti tubuh
orang tersebut akan hancur seketika. Ia juga mempunyai pukulan jenis 'Pecah
Raga', yang bernama 'Lebur Jiwa', namun sekarang tak bisa digunakan karena
rongrongan Racun Birahi dalam tubuhnya itu.
"Bagaimana keadaanmu,
Nawang?"
"Monyet kamu!" umpat
Nawang Tresni dengan dongkol. "Mengapa kau gunakan ilmu "Pecah
Raga"? Apakah kau tidak menyadari bahwa ilmu itu bisa menghancur leburkan
tubuh Suto?"
"Aku sadar. Dan aku pun
tahu bahwa kau tidak akan tinggal diam. Kau pasti tahu bahayanya ilmu itu,
namun kau mestinya juga tahu, bahwa aku tak punya pilihan lain untuk menghadapi
serangan berbahaya itu. Aku yakin, kau akan segera bertindak menyelamatkan
tubuh bocah itu."
"Benar-benar tua rongsok
kamu ini!" omel Bidadari Jalang. ''Kau memancingku untuk menjadi umpan,
ya?"
"Maafkan aku. Lupakan
soal itu. Sekarang, bukalah Selubung Kematianmu itu. Akan kucungkil ilmu 'Inti
Neraka' si murid Malaikat Tanpa Sunat itu dari raga Suto. Aku sudah bebas
bergerak."
"Biadab!" geram
Suto. "Nama guruku Malaikat Tanpa Nyawa, bukan Malaikat Tanpa Sunat!"
"He he he....
Rasa-rasanya julukan gurumu memang harus sedikit dirubah begitu. Karena
sebentar lagi kau tidak akan mempunyai ilmu andalan dari gurumu itu!"
"Dan itu artinya ilmumu
disunat," sambung Bidadari Jalang dengan menahan geli. "Jadi, memang
pantas kau berjuluk murid terkasih Malaikat Tanpa Sunat. Hi hi hi...,"
akhirnya Bidadari Jalang tertawa juga. Ia lupa pada kedongkolannya.
Wajah Suto yang mewakili wajah
murid Malaikat Tanpa Nyawa itu kelihatan semakin gusar. Ada perasaan cemas yang
lebih kuat lagi, dan kian lama membuatnya kian terengah-engah.
"Nawang, lekas buka
Selubung Kematian itu sebelum membahayakan raga Suto. Aku akan bersiap
mencungkil ilmu itu untuk Suto kelak!"
"Baiklah. Bersiaplah,
Gila Tuak. Begitu kubuka Selubung Kematian, cepat cungkil ilmu itu dari raga
Suto."
"Tunggu dulu,"
sergah Suto dengan suara mirip Cadaspati. "Aku mempunyai suatu gagasan
yang baik."
"Hmmm...!" Bidadari
Jalang hanya mencibir sinis.
"Aku akan mengabdi kepada
kalian selamanya, asal kalian membebaskan aku dari Selubung Kematian ini.
Aku rela jadi abdi kalian, dan
menurut dengan perintah kalian."
"Hmm...," Gila Tuak
juga mencibir. Lalu katanya lagi. "Mana ada seekor kuda menuntut pakaian,
mana ada hati durjana mengenal perdamaian?! Tipu muslihatmu sudah tak laku,
Cadaspati. Sekali jahat, tak mampu lagi orang terjerat. Janjimu itu ibarat asap
kemenyan, yang menyebarkan bau wewangian tanpa sesajian. Aku dan adik
seperguruanku ini tidak punya pilihan lain."
"Aku bicara dengan
sungguh-sungguh. Aku mengakui keunggulan ilmu kalian," bujuk Cadaspati.
"Terima kasih atas
pengakuanmu," kata Gila Tuak. "Sayang pengakuan itu terlambat
datangnya, karena aku sudah punya keputusan yang tak bisa diganggu gugat
lagi."
Gila Tuak memandang Bidadari
Jalang. Waktu itu, Bidadari Jalang habis menyapu sisa darah yang meleleh di
sudut bibirnya. Gila Tuak pun berkata, "Lakukan, Nawang...!"
"Tunggu... jangan dulu...
jangan...!" Suto memekik keras-keras. Itu pertanda Cadaspati sangat
ketakutan.
Si Gila Tuak segera membuka
penutup tongkatnya, ia menenggak habis sisa tuak yang ada di dalam tongkat itu.
Ia tidak menelannya, namun menampungnya di dalam mulut, hingga kedua pipinya
melembung. Lalu, ia memberi isyarat kepada Bidadari Jalang dengan menganggukkan
kepala. Maka, Bidadari Jalang pun mengibaskan jubahnya ke depan, dan kabut
berbintik- bintik berkelip itu pun terhisap masuk ke dalam jubah ungunya.
Bertepatan dengan itu, Gila
Tuak menyemburkan tuak yang ada di dalam mulutnya ke arah Suto. Brusss... !
"Haaagh...!" kepala
Suto terdongak, tubuh pun tegak. Keras seluruh uratnya. Menyeringai wajah bocah
itu. Dari pertengahan kedua matanya, tepat di bawah dahi, keluarlah cahaya
berwarna kekuning-kuningan agak putih. Cahaya itu melesat terbang, dan dengan
hentakkan kaki pelan, tubuh Gila Tuak pun melesat ke atas. Bersalto di udara
sambil menggerakkan tongkat yang terbuka tutupnya itu.
Tiba-tiba cahaya kuning yang
tiga kali lebih besar dari kunang-kunang itu tersedot ke dalam tabung tongkat.
Cahaya itu mulanya ingin berusaha lolos pergi, tetapi daya hisap dari mulut
tabung tongkat begitu kuat. Maka, cahaya kuning tipis itu tersedot masuk, dan
Gila Tuak segera menutupnya. Treep...!
Kekuatan ilmu 'Inti Neraka'
yang sukar didapat itu terperangkap masuk di dalam tabung tongkat. Kini keadaan
Suto kembali normal, menjadi dirinya, sebagai bocah berusia delapan tahun yang
tidak memiliki pusar. Dulu, ketika ia lahir, ia memang mempunyai tali pusar.
Namun setelah tali pusar itu diputus, makin lama lubang itu menciut. Makin
besar makin tertutup kulit dari daging tubuhnya. Hingga dalam usia delapan
tahun, perut bocah itu rata. Tidak mempunyai lubang tali pusar.
"Apakah kau akan mencari
tempat persembunyian Cadaspati?" tanya Bidadari Jalang. Si Gila Tuak
menjawab, "Nanti saja. Yang penting kita harus menyelamatkan anak ini dulu
ke tempat yang aman."
Suto segera bertanya,
"Bibi, apakah aku tadi habis tertidur?" tanyanya kepada Bidadari
Jalang. Perempuan itu hanya mengangguk dengan senyum ceria.
"Ya, kau lelah dan tidur
cukup lama."
Gila Tuak berkata kepada Suto,
sambil tersenyum- senyum dan mengusap-usap kepala Suto yang ditumbuhi rambut
hitam yang cukup lebat.
"Sekarang sudah waktunya
kau mempersiapkan diri untuk menjadi seorang pendekar tanpa tanding,
Suto."
"Pendekar tanpa
tanding?" Suto berkerut dahi.
"Jangan tanpa tanding,
ah! Nanti aku tidak punya lawan. Lantas, untuk apa aku jadi pendekar kalau
tidak punya tandingannya?"
Giia Tuak dan Bidadari Jalang
terkekeh geli mendengar kebodohan yang polos dari anak itu. Maka, Bidadari
Jalang pun berkata, "Bagaimana kalau kau menjadi pendekar cinta
saja?"
"Husy! Jangan bicara
seperti itu pada anak kecil, Nawang!" sentak Gila Tuak. Tetapi pada saat
itu ternyata Suto menyahut, "Aku mau. Aku mau jadi pendekar cinta, Bi. Aku
mau...!"
"Hei, kenapa kau
mau?!" sentak Gila Tuak lagi.
"Biar kekasihku banyak,
hi hi hi...!" Suto tertawa cekikikan dengan malu. Bidadari Jalang pun
tertawa geli, sedangkan Gila Tuak bersungut-sungut dalam gerutunya,
"Dasar bocah
sinting!"
Gila Tuak dan Bidadari Jalang,
dua tokoh sakti di rimba persilatan yang namanya cukup menggetarkan jiwa setiap
orang itu kini siap mengembleng Suto. Apakah yang akan terjadi kelak pada bocah
itu?
SELESAI