SUARA tembang itu ternyata
datang dari tanah perbatasan sebuah desa. Mulanya suara tembang itu disangka
sekelompok orang yang mengadakan lomba 'Tembang Tercantik'. Karenanya, pemuda
tampan berbaju tanpa lengan warna coklat dan bercelana putih kusam itu segera
mendekati tempat tersebut. Pemuda tampan yang membawa bambu bumbung tuak itu
tak lain adalah si murid sinting Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk dan
akrab dipanggil Suto Sinting.
Namun setelah Suto Sinting
sampai di tempat datangnya suara tembang itu, ia jadi kecewa dan geleng- geleng
kepala. Ternyata suara tembang itu dilantunkan dari mulut seorang pemuda gila
berpakaian rangkap- rangkapan. Seorang lelaki agak pendek bertubuh kurus dengan
rambut kucal acak-acakan itu menari-nari sambil melantunkan tembang tak jelas
iramanya. Sebuah guci kecil ada di tangan kirinya.
"Uu, lalala... ceriping
singkong enak rasanya. Uuh, lalala... nyolong ceriping aduh nikmatnya, uuh,
lala, lala, la... lalalalala... ceriping!"
Orang gila itu berjoget sambil
geleng-geleng kepala terus tanpa henti. Seakan dunia itu miliknya. Seluruh
keindahan di alam jagat raya itu bagaikan hanya dia yang punya. Matanya yang
sayu itu seperti orang mengantuk, tapi gerakan tubuhnya yang meliuk ke sana- sini
dengan teratur itu benar-benar tampak sedang dinikmati.
Lelaki berpakaian rangkap
tujuh, termasuk tiga celana pendek, tiga
celana panjang beda panjang, dan sarung kumai dililit di pinggangnya itu, tak
pedulikan kedatangan Suto Sinting di bawah pohon. Pendekar Mabuk terpaksa
menikmati tontonan gratis itu sebagai obat kecewa atas hatinya yang salah terka
itu.
"Pemuda itu benar-benar
tak punya beban dalam hidupnya. Alangkah enak hidup seperti dia?" pikir
Suto sambil senyum-senyum kecil karena geli melihat tarian si orang gila.
"Coba kalau aku bisa
hidup seperti dia, pasti pikiran dan batinku bebas dari masalah apa pun.
Tapi... eh, aku tak mau hidup seperti dia, itu berarti aku gila! Mana ada gadis
yang mau punya kekasih pemuda gila? Hmmm... kalau menikmati kelucuan orang
gila, boleh-boleh saja. Sambil beristirahat di tempat teduh ini, kunikmati saja
keanehan orang itu."
Bumbung tuak diangkat dan
dijungkirkan ke mulut. Glek, glek, glek...! Tiga teguk tuak diminumnya. Badan
terasa segar, hati merasa tenang. Pendekar Mabuk sengaja duduk di atas sebuah
batu yang ada di bawah pohon rindang itu sambil matanya pandangi tarian si
orang gila yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu. "Uuh, lalala...
ceriping kodok aduh baunya. Uuh, lalala... ceriping tembok aduh kerasnya. Uuh,
lala, lala,
la... lalalala...
ceriping!"
Orang gila itu masih berjoget
seenaknya dengan kepala menggeleng-geleng terus. Keringatnya mengucur dari dahi
sampai ke pipi. Giginya gemeretak seperti orang sedang menggigil kedinginan.
Matanya yang sayu terbuka sedikit dan mulai melihat kehadiran Suto Sinting, ia
tersenyum dan melambaikan tangan penuh persahabatan. Suto Sinting hanya
membalas senyuman tapi tak mau melambaikan tangan, takut dikira sama- sama
gila.
Tetapi pemuda kurus berambut
tipis itu segera mendekati Suto sambil kepalanya tetap godek-godek seperti
wayang golek.
"Hai, Jek...!"
sapanya sambil melambaikan tangan lagi. "Tampan sekali kau, Jek "
"Namaku Suto, bukan
Jek!"
"Ah, bohong. Kau pasti si
Dufkijek cucunya Mbah
Gudel! He, he, he !"
"Bukan. Aku bukan
Dufkijek, dan bukan cucunya Mbak Gudel. Namaku Suto Sinting. Kau bisa
memanggilku Suto, kalau kau mau bersahabat denganku."
"Ah, kau pasti Dulkijek!
Kalau kau bukan Dulkijek, aku tak mau bersahabat dan tak mau memberitahukan rahasia
pedang itu lho!"
Suto mulai tertarik mendengar
rahasia pedang yang sebenarnya tak ingin diketahui. Karena pemuda gila yang
cengar-cengir terus dengan mata sayu seperti orang mabuk itu sudah telanjur
menyebutkan tentang rahasia sebuah pedang, Suto jadi berminat untuk
mengetahuinya. Mau tak mau ia harus bersikap bersahabat dengan pemuda gila itu.
"Mau bersahabat denganku
atau tidak?" sambil pemuda gila itu geleng-geleng terus mengikuti irama
tembang di hatinya.
"Baiklah. Aku mau
bersahabat denganmu. Aku memang Dulkijek!"
"Naaah... itu baru sohib
namanya! Sohib itu teman baik! He, he, he, he...!"
Suto Sinting ikut-ikutan
tertawa ceria supaya dianggap seorang sahabat yang baik. Pemuda itu mengangkat
tangannya dengan telapak tangan terbuka dan mengajak adu telapak tangan.
"Tos dulu, Jek. Ayo, tos
dulu...!" "Tos itu apa?!"
"Tos itu singkatan dari:
Tangan Orang Senang. Mari kita adu tangan kita supaya senang bersama! Ayo, tos
dulu, Jek...!"
Untuk melegakan pemuda
tersebut, Suto Sinting pun mengadu telapak tangannya dengan orang itu sambil
tertawa kecil. Plok...!
Wuuut!, brruk...!
Pemuda gila itu terlempar
sejauh lima langkah. Suto Sinting kaget, pemuda itu juga kaget dan menggeragap.
"Kenapa pukulanmu keras
sekali, Jek?! Pelan saja?!
Yang penting kita sama-sama
asyik, Jek!"
"Wah, aku lupa menarik
tenaga dalamku dari telapak tangan. Aduh, kasihan sekali dia!" pikir Suto
Sinting yang tak sengaja melepaskan tenaga dalamnya saat beradu telapak tangan.
Hal itu karena Suto sudah terbiasa jika bertemu dengan lawan dan mengadu
telapak tangan selalu saling melepaskan tenaga dalam dari telapak tangan itu.
Tapi rupanya kali ini pemuda gila itu tidak mempunyai tenaga dalam sedikit pun.
Ia menghendaki adu telapak tangan secara kosong hanya sebagai tanda bersahabat.
Suto jadi menyesal sendiri dan buru-buru menolong pemuda itu.
"Maaf, aku tak mengerti
maksudmu. Jangan marah, Kawan!"
"O, tak apa. Untuk apa
aku marah? Yang penting kita sama-sama senang saja, tak perlu saling
bermusuhan, Jek!"
Setelah pemuda itu berhasil
dibantu untuk berdiri, ia mengangkat tangannya lagi.
"Tos lagi, Jek!
Pelan-pelan saja!" Plaak...!
"Asyiiiik...! ini baru
sahabat yang baik!" ujarnya sambil tetap ceria, sementara Pendekar Mabuk
hanya merasa bingung melihat sikap pemuda itu.
"Kelihatannya gila, tapi kok bicaranya masih lancar?"
pikir Suto.
Pemuda yang belum diketahui
namanya itu masih bergoyang-goyang sambil geleng-gelengkan kepala. Ceria
sekali, tampak sangat gembira menikmati hidupnya di siang yang teduh itu.
"Mau ceriping juga,
Jek?" "Ceriping...?!" Suto heran lagi.
"Tak usah
sungkan-sungkanlah.... Apa kau tak tahu kalau ceriping itu jenis minuman tuak
yang paling enak dan melebihi tuak majalegi? Kalau mau ceriping, aku masih
punya cukup banyak."
Suto membatin, "Bukankah
ceriping itu sejenis keripik singkong? Tapi mungkin di daerah ini beda
artinya."
"Kau juragan
ceriping?!" tanya Suto.
"Lho, masa' lupa...?!
Aku, Mahesa Gondes, bandar ceriping di seluruh padukuhan sini. Jek!"
sambil ia menepuk dadanya dan tetap godek-godek. Suto hanya mencatat dalam
hatinya bahwa pemuda itu bernama Mahesa Gondes.
"Kalau kau mau ceriping,
nanti kita bisa bergembira bersama sambil menembang begini...," ia mulai
menembang lagi.
"Uuh, lalala... ceriping
tokek aduh jijiknya. Uuh, lalala... ceriping kebo aduh alotnya. Uuh, lala,
lala, la. lalalala... ceriping!" sambil ia memperagakan kenikmatannya
dalam berjoget dan geleng-geleng kepala.
"Mahesa Gondes, soal
rahasia pedang tadi, bagaimana?" Suto alihkan omongan.
"Ah, minum ceriping dulu
baru ngomong soal pedang!" ujar Mahesa Gondes sambil geleng-geleng kepala
terus.
"Baik, baik...! Aku mau
minum ceriping. Hmmm... kau punya ceriping apa, Mahesa Gondes?!"
"Hmmm, pokoknya asyik,
Jek! Aku orangnya asyik- asyik saja, Jek!" kata Mahesa Gondes sambil
membuka tutup guci itu.
"Minum ini! Kau pasti
akan menikmati keindahan di dunia! Baru kita bisa bicara tentang rahasia pedang
pusaka!"
"Apa ini?!" tanya
Suto heran.
"Ini namanya ceriping
raja! Minum saja, Jek!"
Pendekar Mabuk sempat dibuat
bimbang sesaat, ia mencium tuak dalam guci berbau wangi.
"Minum saja!" bujuk
Mahesa Gondes.
"Minuman apa ini
sebenarnya?" Pendekar Mabuk semakin bingung.
"Minumlah benda itu, itu
adalah tuak gegap gempita. Sejenis minuman yang bikin hati kita senang dan
selalu jujur kepada siapa pun, selalu baik kepada siapa pun, dan selalu mengalah kepada siapa pun. Namanya
"Tuak Ceriping'."
"Wah, gawat sekali orang
ini!" pikir Suto Sinting. "Jangan-jangan bisa muntah jika aku minum
tuak bau wangi rempah-rempah begini." "Kalau kau tak mau minum, aku
tidak bisa kasih tahu rahasia pedang pusaka itu, Jek. Sebab kau tak bisa lihat
di mana pedang pusaka itu berada."
"Pedang apa itu, Mahesa
Gondes?!"
"Pedang Penakluk Cinta.
Wow...! Hebat kan namanya? He, he, he...!" Mahesa Gondes geleng- gelengkan
kepala terus sambil segera serukan tembangnya.
"Uuh, lalala... ceriping
sumur aduh benjolnya. Uuh, lalala... ceriping janda aduh hangatnya. Uuh, lala,
lala, la... lalala... ceriping! Asyiiik...!"
Sementara itu Pendekar Mabuk mulai
teringat sesuatu yang sempat tak terpikirkan, yaitu sebuah pusaka yang bernama
Pedang Penakluk Cinta. Karena dalam perjalanannya memburu Siluman Tujuh Nyawa,
ia sempat melihat pertarungan dua tokoh muda tapi berilmu lumayan tinggi. Dua tokoh muda itu
adalah dua gadis yang tak dikenal Suto dan saling mempersoalkan Pedang Penakluk
Cinta. Sayangnya, sebelum Suto turun tangan melerai pertarungan itu, keduanya
sudah sama- sama mati dibunuh orang misterius dengan senjata rahasia berbentuk
kelelawar. Suto mengejar dan mencari orang itu, tapi tak berhasil menemukannya,
sampai akhirnya ia merasa lelah, lalu mendengar suara tembang Mahesa Gondes dan
akhirnya singgah di tempat itu.
"Penasaran sekali aku
dengan pedang itu?! Mengapa si Mahesa Gondes yang setengah gila ini mengetahui
rahasia pedang itu? Siapa dia sebenarnya? Hmmm... supaya dia mau berterus
terang padaku, sebaiknya kuikuti keinginannya!"
"Ayo minum. Tuakmu kalah
enak dengan tuak ceriping ini!"
Suto Sinting segera menenggak
tuak dalam guci itu. "Lihat tanganmu, Jek!" kata Mahesa Gondes,
sambil
mengambil gucinya. Guci itu
mempunyai tali dan galinya digantungkan pada ikat pinggang.
"Ada apa dengan
tanganku?!"
"Kalau telapak tanganmu
sudah berkeringat, berarti kau sudah merasakan khasiat tuak ceriping raja
tadi!"
Suto Sinting membiarkan
telapak tangannya diperiksa dengan cara diraba. Setelah meraba tangan Suto,
pemuda yang tak jelas status kejiwaannya, gila atau mabuk itu, segera tersenyum
dengan mata sayunya memandang Suto.
"Sebentar lagi kau pasti
akan merasa gembira, Jek! Nikmati saja dulu. Kalau kau sudah mulai merasa
melayang-layang dengan indahnya, baru kita bicara tentang' rahasia Pedang
Penakluk Cinta. Setuju? He, he, he...!"
Mahesa Gondes menari-nari lagi
sambil geleng- geleng kepala dan melantunkan lagu seperti tadi.
"Uuh, lalala... ceriping
borok aduh asinnya. Uuh, lalala... ceriping popok aduh pesingnya. Uuh, lala,
lala, la... lalala... ceriping!"
Pendekar Mabuk hanya
senyum-senyum sambil memikirkan beberapa hal yang membingungkan, ia ikut
geleng-geleng kepala hanya untuk menyenangkan Mahesa Gondes. Tiba-tiba hatinya
berkata, "Mengapa aku berdebar- debar? Ooh... ada perasaan senang di
hatiku dan debaran ini sangat indah rasanya. Hei, ada apa dengan diriku? Kenapa
badanku jadi dingin?! Tapi... tapi tanganku mulai berkeringat?!"
Pendekar Mabuk semakin bingung
dengan perubahan dirinya yang begitu cepat dan sangat di luar dugaan itu.
Sambil terbawa gerakan Mahesa Gondes yang geleng- geleng kepala itu, hati Suto
berkecamuk terus, bertanya- tanya pada diri sendiri.
"Ya, ampun... ada apa
ini? Mengapa hatiku berbunga- bunga begini bahagianya? Oh, pandangan mataku pun
serba indah. Melihat pakaian si Mahesa Gondes yang tumpuk-tumpuk itu tampak
indah namun lucu sekali. Aduh... aku ingin tertawa terus tanpa alasan? Oh,
bibirku tertarik ke kanan kiri, ingin tersenyum terus? Aduuh... nikmat sekali
perasaanku hari ini... lalu bagaimana dengan pedang itu?!"
"Godek-godek terus, Jek!
Ayo, jangan malu-malu, ikuti goyanganku!" Mahesa Gondes memberi semangat.
Bahkan ia mengajak Suto melantunkan tembang pula.
"Uuh, lalala... ceriping
tengkuk aduh kerasnya. Uuh, lalala... ceriping dengkul aduh mualnya. Uuh, lala,
lala, la... lalala... ceriping!"
"Indah sekali tuak
ceripingmu, Mahesa!" ujar Suto sambil tersenyum gembira dan ikut goyang
badan serta goyang kepala. Bahkan ia pun ikut lantunkan tembang seperti Mahesa
Gondes tadi.
"Uuh, lalala... ceriping
golok aduh tajamnya. Uuh, lalala... ceriping tombak aduh mulesnya. Uuh, lala,
lala, la... lalala... ceriping!"
"Bagus, Jek! Terus
gelengkan kepala! Nembang terus, Jeeek...!" seru Mahesa Gondes memberi
semangat. Suto Sinting semakin asyik geleng-geleng kepala dan goyangkan
badannya yang kekar, sambil mengayunkan bumbung tuaknya ke sana-sini. Ia tampak
menikmati perasaan girangnya penuh suka cinta.
Tiba-tiba seberkas sinar merah
melesat dari balik pohon di kejauhan sana. Weeess...! Kebetulan saat itu Suto
Sinting melihat gerakan sinar yang meluncur di udara ke arah Mahesa Gondes.
Tetapi ia tidak segera melindungi Mahesa Gondes atau menghantam sinar berbahaya
itu dengan jurus mautnya, ia justru menuding sinar itu sambil tertawa-tawa.
"Hei, lihat... sinar itu
indah sekali warnanya! Asyiik...! Ha, ha, ha, ha...!" Suto tertawa dengan
nada rendah tapi penuh keceriaan.
Mahesa Gondes juga hanya
menatap gembira ke arah sinar yang melayang ke arahnya.
"Asyik...! Ada dewa
menghampiriku. Pasti ingin tuak ceriping juga! Wahai dewa merah... datanglah
kemari aku akan. "
Blaaabbs !
Sinar merah itu menghantam
dada Mahesa Gondes. Tubuh pemuda itu meletup kepulkan asap tebal. Pendekar
Mabuk bukan kaget dan segera menolong, tapi justru tertawa sambil menudingnya.
"Hah, hah, nah...! Kau
seperti sate kebanyakan bumbu, Mahesa! Ngebul teruuuusss...!"
Suto tetap goyangkan badan sambil
berseru, "Uh, lalala... ceriping asap aduh lucunya "
Asap tebal yang membungkus
Mahesa Gondes itu segera lenyap. Ternyata di balik asap tebal itu tubuh Mahesa
Gondes telah terkapar di tanah dalam keadaan tak berkutik. Tubuh itu menjadi
merah kebiru-biruan, memar, seperti habis dikeroyok orang sepasar. Bahkan
setiap lubang di tubuhnya keluarkan darah kental; dari mulut, hidung, telinga,
dan sudut-sudut matanya.
Suto Sinting yang diliputi
perasaan bahagia itu memandang Mahesa Gondes seperti memandang badut yang lucu.
Ia tertawa geli walau tak harus terbahak- bahak, ia memang menghampiri Mahesa
Gondes, tapi bukan untuk menolong seperti biasanya, melainkan untuk
menertawakan.
"Hah, hah, hah...! Kenapa
kau bobo manis di sini, Mahesa?! Ayo, kita keluarkan ceripingmu lagi. Kita ber-
uhlala kembali, Mahesa! Mumpung aku sedang
asyik ini, Jek!"
Suto Sinting bergoyang kepala, "Uuh, lalala...
ceriping mayat aduh
bonyoknya. Uuh, lalala ceriping
lempung aduh
pulesnya. Uuh, lala,
lala, la... lalala...
ceriping!"
Pendekar Mabuk tidak tahu
bahwa Mahesa Gondes saat itu sedang sekarat akibat pukulan bersinar merah tadi.
Nyawa pemuda itu sudah di ubun-ubun, tinggal lolos meninggalkan raganya, lalu
la akan tewas tanpa bisa ber-uhlala lagi. Tapi pada saat itu segera muncul
sekelebat bayangan yang segera menyambar tubuh Mahesa Gondes. Wuuus...! Orang
yang berkelebat cepat itu membawa pergi Mahesa Gondes. Suto Sinting berseru,
"Hei... mau diajak jualan tuak di mana dia? Aku ikut, Jeek...!"
Suto Sinting pun mengejar
orang tersebut sambil ber- uhlala.
2
ORANG berjubah putih yang
membawa lari Mahesa Gondes itu punya kecepatan gerak yang cukup tinggi.
Pendekar Mabuk tertinggal, karena ia lupa menggunakan jurus 'Gerak Siluman'
yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya itu.
Jika ia tidak dalam keadaan
terbuai oleh perasaan indah akibat 'tuak ceriping raja'-nya Mahesa Gondes,
sudah tentu kecepatan orang berjubah putih itu dapat disusulnya. Setidaknya,
Suto tidak akan kehilangan arah ke mana larinya si jubah putih itu.
Tuak yang diminumnya demi rasa
ingin tahu tentang rahasia sebuah pedang itu ternyata benar-benar membuat
pikiran Pendekar Mabuk menjadi kacau, ia justru hentikan langkah ketika bingung
mencari orang yang dikejarnya.
"Hah, hah, hah...! Orang
itu larinya cepat sekali, seperti setan kebelet buang air besar," ujarnya
dengan terkekeh-kekeh sendiri, ia sandarkan salah satu tangannya ke pohon dan
pandangan mata menatap ke sana-sini. Mata Suto seperti mata orang mengantuk.
Sayu dan sedikit merah.
"Jualan tuak ceriping ke
mana si Mahesa Gondes itu, ya?" tanya Suto pada dirinya sendiri.
"Hebat sekali ceripingnya. Bisa bikin perasaanku selalu riang dan senang.
Umumnya bahan yang dipakai untuk ceriping adalah singkong atau pisang. Tapi
kali ini yang kuminum ceriping...
ceriping raja? Heh, heh, heh...!"
Suto Sinting melangkah tanpa
tujuan sambil menikmati keindahan yang memabukkan jiwanya.
"Ceriping sama dengan
tuak. Singkong sama dengan raja. Jadi ceriping singkong sama dengan tuak raja!
Hah, hah, hah, hah...! Lucu sekali pengertian yang kudapatkan ini?! Raja kok
dibuat tuak?! Apa tidak bikin orang kesurupan?! Hehh, hehh, heeh, he...!"
Tiba-tiba ia mendengar suara
dentuman yang cukup keras.
Blaaarr...!
Tawanya dihentikan, tapi
senyum kegembiraan masih ada.
"Suara apa itu tadi?!
Setan batuk?! Hah, hah, hah...!
Setan kok batuk?! Ada-ada saja
pikiranku ini!" Blegaaar...!
"Waah, lebih seru lagi.
Kurasa suara itu bukan suara setan batuk. Tapi suara petir bangkis! Hah, hah,
hah...! Petir kok bangkis, lalu ingusnya sebesar apa, ya? Hik, hik... lucu
sekali pikiranku ini? Kenapa aku jadi punya pikiran yang lucu-lucu, ya?!"
Ledakan ketiga terdengar lagi.
Kali ini ledakan tersebut sampai menggetarkan tanah tempat Suto berpijak.
Pemuda mabuk tuak ceriping itu bicara pada diri sendiri.
"Wah, buminya mau ambrol.
Pasti sudah keropos! Tapi, jangan-jangan getaran tanah ini akibat suara
menggelegar itu? Ah, sebaiknya kulihat ada apa di sebelah sana, sehingga sejak
tadi jegar-jeger mirip dewa tepuk tangan! Heeh, heeh, hheeh, hee...! Dewa kok
tepuk tangan, apa dewanya kurang kerjaan?!" Suto Sinting tertawa sendiri
sambil hampiri tempat datangnya ledakan tadi.
Ternyata di lembah berpohon
renggang itu terdapat sebuah pertarungan yang cukup seru. Pertarungan itu dilakukan
oleh dua perempuan yang usianya sama-sama sekitar dua puluh tiga tahun. Yang
satu berambut pendek sepundak dengan poni di depan dahinya, yang satu berambut
panjang sebahu diriap, dengan ikat kepala dari kulit macan tutul.
Gadis yang mengenakan ikat macan
tutul itu juga mengenakan baju model tutul-tutul tapi bukan warna kuning-hitam,
melainkan warna biru tutul-tutul putih. Bajunya tanpa lengan dan berbelahan
dada lebar, menampakkan sebagian tepi bukit mulusnya yang berkulit kuning
langsat itu. Sedangkan bagian bawahnya adalah kain yang dibentuk seperti celana
panjang longgar berbelahan samping kanan-kiri. Jika kaki gadis itu menendang,
maka kainnya akan menyingkap dan pahanya pun akan melambai-lambai menggugah
hasrat lelaki yang sedang tidur. Gadis berpakaian tutul-tutul itu punya
tendangan cukup bagus. Selain cepat juga tinggi, melebihi kepala lawannya.
Sedangkan sang lawan jarang gunakan tendangan, kecuali dalam saat-saat
tertentu.
Sang lawan mengenakan jubah
rapat berlengan longgar warna hijau dengan bunga-bunga merah. Celana panjangnya
yang longgar berwarna merah darah. Sekalipun ia tampak rapi, tidak seseronok
lawannya, tapi gumpalan dadanya tampak membusung penuh tantangan, seakan
menunggu jamahan tangan lawan jenisnya, ia juga seorang gadis cantik berhidung
mancung dan berbibir mungil. Matanya indah, dan sangat sayang jika sampai
tercolok pedang lawannya.
Melihat kedua gadis itu
bertarung, Suto Sinting justru menertawakan walau tak keras, ia memandang dari
ketinggian tanah yang ditumbuhi semak ilalang.
"Haah, haah, haah,
haa...! Cantik-cantik kok pada berantem?! Bodoh amat mereka itu. Mendingan ikut
senang-senang denganku, hati riang jiwa melayang, ooh... asyiknya!"
Suto Sinting menuruni tanah
tinggi itu sambil mendendangkan tembang suara pelan.
"Uuh, lalala... ceriping
paha aduh mulusnya. Uuh, lalala... ceriping dada aduh montoknya. Uuh, lala,
lala, la... lalalala... ceriping! Uuh... lalala... uuh, lalala "
Tiba-tiba ia berseru,
"Awas kepala!"
Plook ! Si gadis berikat kepala kulit macan tutul
itu
terkena tendangan kaki lawan
yang memutar dengan cepat.
Pelipisnya bagaikan ditampar
dengan tendangan itu cukup keras, ia terpelanting dan berguling-guling
sesaat.
Suto tertawa melihat gadis itu
berguling-guling, "Hah, hah, hah, hah! Tangkisanmu salah, Nona!
Menangkislah pakai tangan, jangan pakai kepala!"
Kali ini Pendekar Mabuk bukan
sebagai pemisah pertarungan, tapi sebagai penonton terang-terangan. Jaraknya
dengan pertarungan sekitar sepuluh langkah, ia menyaksikan pertarungan itu
sambil tertawa-tawa, karena setiap gerakan kedua gadis itu selalu menghadirkan
kelucuan bagi hati Suto Sinting. Tak segan-segan ia bertepuk tangan seperti
anak kecil nonton adu jago di pekarangan rumah tetangga.
"Awas perutmu, hoi!"
Buuhk...!
"Naah... apa kataku! Hah,
hah, hah, hah! Ususmu bisa kusut, Nona! Perut mau ditendang kok dibiarkan
saja?! Uuuh... lucu sekali gadis berbaju biru itu."
Gadis berbaju biru tutul-tutul
putih itu bukan saja rasakan sakit pada bagian perutnya yang terkena tendangan
lawan, tapi juga merasa dongkol mendengar komentar Suto dari kejauhan. Ingin
rasanya menyumpal mulut Suto dengan segenggam tanah kuburan. Namun karena si
jubah hijau bunga-bunga merah mendesaknya terus, maka si baju biru merasa tak
perlu pedulikan seruan-seruan pemuda tampan itu.
"Sebelum kesabaranku
habis, serahkan saja Pedang Penakluk Cinta itu padaku, Sunggar Manik! Jika kau
tetap ingin membawa lari pedang itu, maka aku mengakhiri masa hidupmu di bumi
ini! Ratu Ladang Peluh telah memberiku wewenang untuk mencabut nyawamu jika kau
tetap membandel tak mau serahkan pedang pusaka itu!"
"Sampai mati pun tak akan
kuserahkan pedang itu ke tanganmu. Mustikani! Bila perlu, Ratu Ladang Peluh pun
akan kulawan dengan pedang itu!" balas si baju biru tutul-tutul yang
ternyata bernama Sunggar Manik itu, sedangkan lawannya bernama Mustikani. Suto
Sinting terkekeh pelan di tempatnya sambil geleng-geleng kepala.
"Bodoh amat kalian!
Mengapa harus berebut pedang? Beli lagi saja! Banyak tukang pande besi jualan
pedang!" Mustikani benar-benar ingin wujudkan ancamannya.
Pedang di punggung dicabut.
Sreet...! Sunggar Manik yang ada dalam jarak delapan langkah itu dihampirinya
dengan gerakan melompat jungkir balik berkali-kali dengan gunakan ujung
pedangnya sebagai tumpuan di tanah. Wuk, wuk, wuk, wuk!
Tiba di depan Sunggar Manik
pedangnya ditebaskan dengan cepat dengan gerakan memenggal kepala. Wuuus...!
Trang...! Sunggar Manik pun telah siap dan cabut pedangnya dengan cepat, lalu
menangkis pedang itu. Denting suara pedang melengking tinggi dan keluarkan
pereskan bunga api.
Sunggar Manik cepat sentakkan
pedang runcingnya yang habis dipakai menangkis tadi. Suuut...! Pedang itu
bertujuan menghujam ke dada Mustikani. Tetapi gadis berponi rata itu berkelit
ke samping dengan lincahnya. Lalu ia putar tubuhnya dengan cepat, pedangnya
menyambar perut Sunggar Manik. Wees...! Traaaang...!
Hampir saja perut Sunggar
Manik robek tanpa ada yang menjahitnya. Untung jurus pedangnya cukup lincah,
sehingga ia berhasil menangkis tebasan cepat. Seakan ia sudah tahu bahwa
serangan berikutnya akan membahayakan perutnya.
Trang, trang, tring, trang,
tring...!
Kedua gadis itu beradu pedang
dengan kecepatan tinggi. Gerakan jurus pedang mereka nyaris tak bisa dilihat
dari tempat Suto berdiri sambil sesekali menenggak tuaknya, lalu tertawa-tawa
pelan, menganggap pertarungan pedang itu adalah sesuatu yang lucu.
"Mana bisa saling merobek
perut, jurus pedang kalian tanpa tipuan begitu?!" ujar Suto pelan, hanya
dia yang mendengarkan. "Kalian pegang pedang saja seperti pegang centong
nasi, mana bisa unggul?!"
Lalu, ia berseru,
"Gunakan kaki, Non! Kaki mainkan...!"
Seruan itu dijawab sendiri,
"Mau main ke mana si kaki, ya? Main jauh-jauh nanti malah nyasar ke
pelacuran? Hik, hik, hik, hik!" Pendekar Mabuk pun tertawa sendiri.
Tapi seruannya tadi sempat
ditangkap telinga Mustikani, sehingga kaki Mustikani segera berkelebat cepat
menendang Sunggar Manik saat pedang mereka beradu di atas kepala. Traang...!
Buuhk...!
"Heehk...?!" Sunggar
Manik terpental lima langkah jauhnya. Ulu hatinya terkena tendangan dengan
telak. Tendangan bertenaga dalam itu sempat membuat ulu hati Sunggar Manik
bagaikan terbakar bagian dalamnya, ia memuntahkan darah segar saat hendak
bangkit.
"Hoeek...!"
Suto berkata sambil tertawa,
"Wah, ngidam, ya Non?! Sudah hamil berapa bulan, Non?!" sambil ia
tetap geleng-geleng kepala dengan lambat, badannya bergerak-gerak ikuti irama
goyangan indah.
Tetapi tiba-tiba Suto melihat
selarik sinar putih terang melesat dari telapak tangan Mustikani yang
disentakkan ke arah Sunggar Manik. Kala itu Sunggar Manik sedang berlari jauhi
lawannya, karena ingin menahan luka panas di dalam dadanya lebih dulu. Ia
merasa akan terganggu bahaya jika redakan luka dalam jarak dekat dengan
lawannya.
Slaaap...! Sinar putih itu
meluncur jauh ke arah lawan. Suto langsung berseru sambil tertawa.
"Woow...! Indah sekali
sinarmu! Lebih indah jika dipadu dengan sinarku!"
Claap...! Suto Sinting
lepaskan jurus pukulan 'Guntur Perkasa' yang berupa sinar hijau dari tangannya.
Karena posisinya seolah-olah berada di pertengahan jarak antara Mustikani
dengan Sunggar Manik, maka sinar hijau itu berhasil memotong kecepatan sinar
putih tersebut dan bertabrakan di depan Sunggar Manik yang baru saja hendak
lari ke arah lain. Blaaarrr...!
Ledakan keras menggelegar
guncangkan tanah sekelilingnya. Tubuh Sunggar Manik terlempar akibat jaraknya
terlalu dekat dengan ledakan, ia bagai dilemparkan oleh ledakan yang mempunyai
gelombang panas dan daya sentak cukup besar itu. Weerr...! Bruuuss...!
"Aaoow...!" Sunggar
Manik meraung kesakitan karena menabrak pohon besar. Wajahnya berciuman dengan
pohon dengan keras. Kulit pohon sampai lecet dan somplak. Hal itu membuat
Sunggar Manik semakin parah. Dahinya terasa retak, batang hidungnya terasa
patah. Darah mengalir deras dari hidung, sementara tulang dada juga terasa
remuk.
"Sekarang tamatlah
riwayatmu, Sunggar Manik!
Hiaaah..!"
Mustikani melayang seperti
seekor burung tanpa sayap. Pedangnya diarahkan ke depan, siap menembus dada
atau leher lawan. Pendekar Mabuk girang melihat gadis itu bagaikan terbang.
"Wooow, hebaaat..! Aku
juga bisa, Non! Lihat, hiaaahuu...!"
Pendekar Mabuk ikut-ikutan
meluncur bagaikan terbang. Bahkan gerakannya lebih cepat karena ia menggunakan
separo jurus 'Gerak Siluman' yang terkenal berkecepatan tinggi itu. Weees...!
Akibatnya, kedua tubuh itu bertabrakan di udara sebelum pedang Mustikani
mencapai tubuh Sunggar Manik. Brrruus...!
Bumbung tuak lebih dulu
membentur tubuh Mustikani dari arah samping. Gadis itu langsung terpental jauh
bagaikan diterjang badai besar, ia sempat memaki keras ketika melayang-layang
di udara. "Setan kuraaap...!" Brruuuk...!
"Uuuhk...!"
Mustikani mengerang, ia jatuh dalam keadaan telentang. Tulang punggungnya
terganjal akar pohon sebesar lengan. Tulang punggung itu bagaikan patah
seketika karena hempasan terbangnya mempunyai daya banting cukup keras.
Sedangkan Pendekar Mabuk juga jatuh terbanting dengan kepala membentur tanah.
Duuuk...!
"Aoow...!
Puyeeng...!" erangnya sambil menggeliat memeluk bumbung tuaknya. Namun
rasa puyeng di kepala hanya sesaat, ia segera bangkit dan menenggak tuak sambil
berlutut satu kaki. Glek, glek, glek...! Tuak itu membuat seluruh rasa sakit
hilang, termasuk rasa puyengnya, ia tertawa-tawa lagi dengan suara tawa seperti
erang menggumam.
"Hebat, hebat... kepalaku
termasuk barang awet, tak mudah pecah! Heh, heh, heh, heh!"
Suto memandang ke arah Sunggar
Manik, ia terperanjat melihat gadis itu telah melarikan diri agak jauh.
"Lho... lari?! O, ya...
memang lebih baik kau melarikan diri dulu, Non. Nanti kembali lagi kalau luka-
lukamu sudah sembuh, ya?! Hik, hik, hik,
hik...! Larinya seperti ayam kesiangan!"
Wuuut, brruk...!
Tiba-tiba Suto Sinting
terjungkal ke depan. Punggungnya diterjang dengan tendangan kuat. Rupanya
Mustikani berhasil kerahkan tenaga simpanan sambil menahan tulang punggungnya
yang sakit untuk lakukan terjangan ke arah Suto. Ia tampak berang kepada pemuda
yang belum dikenalnya itu. Tapi merasa pernah dibuat beruntung oleh saran Suto
tentang tendangan tadi.
"Uuh...! Punggungku masih
ada apa sudah jebol, ya?!" gumam Suto Sinting sambil cengar-cengir, masih
tetap bersuasana senang dan tak merasa marah oleh serangan tersebut.
Mustikani memandang ke arah
Sunggar Manik yang sudah menjauh itu. Ia ingin mengejar, tapi tiba-tiba kakinya
disampar oleh kaki Suto yang berlagak ingin bangkit itu. Wuuut, brruuk...!
Mustikani terpelanting jatuh dengan pedang nyaris menancap perutnya sendiri.
Untung ujung pedang itu menancap di tanah samping pinggangnya, sehingga perut
gadis itu masih utuh.
"Setan busuk!" maki
Mustikani, ia ingin bangkit, namun jatuh melemas lagi. Kali ini tulang
punggungnya benar-benar patah, ia mengerang kesakitan dan hanya bisa menggeliat
pelan-pelan.
Suto Sinting menertawakan
lagi. "Uuh, lalala... ceriping kaki aduh sakitnya...," goda Suto
Sinting yang tidak mendapat tanggapan dari si gadis.
"Oouh...!
Oooouh...!"
"Sakit, ya? Sakit,
Non?!" Suto mendekati dan jongkok seenaknya di dekat Mustikani sambil
cengar- cengir. "Punggungku yang kau jejak juga sakit, Nona. Tapi aku
minum tuak ini jadi bisa 'uhlalala' lagi. Kalau kau mau tak sakit, minumlah
tuakku ini!"
Si gadis masih tak
menghiraukan, ia hanya mengerang sambil peringas-peringis berusaha mengurut
pinggangnya. Suto Sinting membuka tutup bumbung tuak, lalu menyodorkan ke mulut
si gadis.
"Ayo, minum! Minumlah...
jelek-jelek tuak ini mengandung kekuatan sakti, Non. Sakti sekali! Sakit apa
pun yang kau derita bisa cepat sembuh, kalau kau mau minum tuak ini. Orang mati
yang sudah jadi tengkorak saja bisa hidup kembali, kalau mau minum tuak ini!
Tapi biasanya orang mati pada bandel, tak ada yang mau minum tuak ini!"
celoteh Suto tanpa pedulikan wibawa dan kharismanya sebagai pendekar kondang
itu hilang daripadanya.
Bumbung tuak disodor-sodorkan
ke mulut Mustikani. Si gadis tetap tak peduli karena menahan rasa sakit. Tapi
pada saat mulutnya mengerang, tuak pun mengucur masuk ke mulut si gadis.
Beberapa tuak terteguk, tapi yang lainnya berceceran di sekitar mulut dan dada
si gadis.
Beberapa saat kemudian, Mustikani
mulai rasakan kesegaran pada tubuhnya. Mula-mula pernapasannya yang tadinya
berat menjadi longgar. Rasa sakit jika bergerak mulai ringan. Bahkan tulang
punggungnya terasa tersambung lagi. Rasa sakit itu makin lama semakin lenyap
dan tubuh Mustikani menjadi lebih segar dari sebelum bertarung dengan Sunggar
Manik.
"Hebat juga tuaknya.
Hmmm...! Siapa pemuda ini sebenarnya?" pikir Mustikani sambil
memperhatikan Suto Sinting yang masih menggumamkan tembang sambil duduk santai
di bawah pohon terdekat, kepala menggeleng-geleng menikmati irama tembang yang
digumamkan itu.
3
SETELAH rasakan kehebatan tuak
Suto, gadis itu menjadi punya pertimbangan lain dalam benaknya. "Aku yakin
dia bukan pemuda sembarangan. Dari kehebatan tuaknya yang mampu lenyapkan luka
dengan cepat ini, aku yakin dia punya ilmu cukup tinggi. Setidaknya sejajar
denganku. Kurasa ada baiknya jika ia kubujuk untuk membantuku mendapatkan
Pedang Penakluk Cinta."
Mustikani merasa yakin, bahwa
ia akan kalah jika berhadapan dengan Sunggar Manik apabila Sunggar Manik
mengeluarkan Pedang Penakluk Cinta. Tadi dia berani serang Sunggar Manik,
karena pedang yang ada di pinggang Sunggar Manik bukan Pedang Penakluk Cinta.
"Pedang itu pasti
disimpan di suatu tempat," pikir Mustikani. "Sekarang ia sedang mengambilnya
untuk melawanku! Tak ada jeleknya jika kugunakan pemuda ini untuk menjadi
perisaiku melawan pedang tersebuti Aku harus mengenalnya lebih dekat
lagi."
Rencana batinnya itulah yang
membuat Mustikani mulai dekati Pendekar Mabuk. Walau wajahnya masih belum bisa
ramah, karena menahan harga dirinya agar tak dianggap gadis ganjen, namun
sikapnya sudah mulai menunjukkan rasa ingin bersahabat. Sikap itu ditanggapi
Suto Sinting dengan santai, tak terlalu pikirkan apa maksud pendekatan si
gadis, karena Suto masih diliputi perasaan senang, bahagia dan selalu ingin
tersenyum. Apa saja yang dipandang bisa menghadirkan perasaan geli di hatinya,
sehingga ia mudah tertawa atau tersenyum.
"Apa maksudmu menghalangi
seranganku kepada Sunggar Manik?!" tanya Mustikani dengan ketus.
"Biar lebih seru
lagi," jawab Suto Sinting seolah-olah terlontar seenaknya saja.
"Kau kekasihnya Sunggar
Manik?!"
Pendekar Mabuk tertawa geli,
namun tak terbahak- bahak. Rasa-rasanya pertanyaan wajar seperti itu mengandung
kelucuan yang amat menggelikan, padahal dilontarkan dengan wajah ketus dan
berkesan sinis. Tapi perasaan Suto tak merasa tersinggung sedikit pun.
"Kalau dia kekasihku,
sudah kuajak 'uhlala' sejak tadi," jawabnya di sela tawa. "Aku tidak
kenal siapa dia, juga tidak kenal siapa dirimu. Tapi aku yakin kita pasti akan
berkenalan."
"Hmmm...!" Mustikani
mencibir, Suto perpanjang tawanya.
"Asyik sekali cibiranmu,
Non! Mirip rembulan dalam gerhana. Heh, heh, heh, heh!"
Mustikani pandangi Suto yang
cuek, geleng-geleng kepala dengan badan sedikit ikut bergoyang. Mustikani
menyimpan keheranan melihat sikap pemuda tampan yang ceria dan geleng-geleng
terus itu.
"Jangan-jangan dia orang
gila lepas dari pasungan?" pikir Mustikani, tengkuknya sempat merinding
sedikit.
Pandangan mata sayu Suto
Sinting masih tetap tertuju ke wajah Mustikani yang cantik jelita itu. Setelah
beberapa saat saling bungkam dan saling pandang, Suto Sinting perdengarkan
suaranya yang bernada lembut, seakan penuh persahabatan dan kesabaran yang
damai.
"Namaku Dulkijek, ehh...
bukan. Itu bukan namaku. Hanya si gendeng Mahesa Gondes saja yang memanggilku
Dulkijek. Namaku sebenarnya adalah ceriping raja. Eh, salah lagi... anu....
Suto! Nah, iya... namaku Suto, itu asli, tidak salah lagi!" lalu Suto
tertawa cekikikan, merasa geli sekali dengan kesalahan ucap yang dilakukan
tanpa disengaja itu. Sedangkan Mustikani sendiri sebenarnya ingin tertawa,
namun ditahannya mati-matian agar tetap kelihatan berwibawa di depan pemuda
aneh itu.
"Namamu sendiri siapa,
Nona? Boleh kutahu? Kalau tak boleh akan kuberi nama sendiri. Heh, heh, heh,
heh!" Setelah diam sesaat dengan pandangan tetap berkesan angkuh, gadis
itu pun sebutkan namanya dengan suara
datar.
"Namaku Mustikani!"
"Siapa? Setrikani?!" "Mustikani!" sentak si gadis.
"Ooo.... Mustikani?!
Kedengarannya tadi Setrikani. Kupikir, apanya yang disetrika? Tengkuknya? Heh,
heh, heh, heh!"
"Kau ceria sekali, ya?
Sedikit-sedikit tertawa, sedikit- sedikit tertawa? Jangan-jangan otakmu sedang
tak waras?!"
"Kelihatannya memang
begitu. Heh, heh, heh...! Hari ini aku diliputi perasaan senaaaang... sekali,
ini gara-gara si Mahesa Gondes yang memberiku tuak ceriping raja, eh...
ceriping apa tadi namanya, ya?" Suto menggumam, seakan bertanya pada diri
sendiri. Mustikani hanya kerutkan dahi dan tak pedulikan tentang apa yang
dialami Suto Sinting, ia segera ajukan tanya perihal pertolongan Suto terhadap
dirinya itu.
"Mengapa kau
menyelamatkan Sunggar Manik dari ancaman mautku, sementara kau juga sembuhkan
cederaku dengan tuakmu itu? Apa maksud tindakanmu yang kuanggap aneh
ini?!"
"Entah, aku sendiri tak
tahu mengapa aku lakukan semua itu! Aku hanya merasa senang dan bahagia sekali
jika bisa sembuhkan dirimu dan membuatmu sehat seperti sekarang ini. Cuma itu
yang ada di hatiku. Kalau tak percaya, tanyakanlah padaku!"
Mustikani tarik napas
dalam-dalam. Ada rasa kesal mendengar jawaban yang seolah-olah dilontarkan
tidak dengan sungguh-sungguh itu. Hati gadis itu pun membatin sambil memandang
ke arah kepergian Sunggar Manik.
"Sepertinya pemuda ini
benar-benar gila. Kurasa ia tak bisa diharapkan menjadi perisaiku dalam
menghadapi Sunggar Manik dan Pedang Penakluk Cinta itu. Diajak bicara saja
susah, apalagi diajak kerja sama, malah akan menyusahkan diriku sendiri nanti!
Sebaiknya kukejar saja si Sunggar Manik sebelum ia mengambil Pedang Penakluk
Cinta yang disembunyikan di suatu tempat!"
Suto Sinting segera bangkit
berdiri ketika Mustikani ingin tinggalkan tempat itu. Suaranya cepat berseru
menahan langkah kaki Mustikani.
"Hei, tunggu...!" Ia
terpaksa mendekat dengan langkah limbung karena Mustikani berhenti dalam jarak
lima langkah di depannya.
"Mau ke mana kau,
Mustikani?"
"Mengejar lawanku
tadi!" jawab Mustikani masih ketus.
"Dia sudah lari, mengapa
harus dikejar?! Bodoh amat kau ini. Orang lari kok dikejar?! Lebih baik istirahat dulu di sini bersamaku, nanti akan
kunyanyikan sebuah lagu yang berjudul 'Uhlala'. Kau pasti ikut-ikutan goyang kepala, Mustikani. Heh,
heh, heh, heh!"
Suto mulai tarik suara,
"Uuh, lalala "
"Aku tak butuh
nyanyian!" sentak Mustikani memotong, membuat Suto tak jadi lantunkan
tembangnya, ia justru tertawa geli menyadari tembangnya terputus begitu saja.
"Yang kubutuhkan adalah
Sunggar Manik, bukan nyanyianmu yang bersuara seperti kaleng rombeng itu!"
tambah Mustikani dengan hati kesal.
"Mengapa kau membutuhkan
Sunggar Manik?
Apakah dia kekasihmu?"
"Hmm, dasar bodoh!"
"Sudah lama aku bodoh,
tapi baru kau yang tahu.
Heh, heh, heh, heh!"
"Persetan dengan ucapanmu!" sentak Mustikani, kemudian ia bergegas pergi.
Tapi tangan Suto mencekal lengannya dengan cepat, membuat langkah tertahan
kembali. Teeb...!
"Sebutkan dulu alasanmu,
mengapa ingin mengejar Sunggar Manik?!"
"Itu urusanku! Kau tak
perlu tahu!"
"O, perlu! Aku perlu tahu
alasanmu, supaya aku bisa tentukan sikap; apakah aku harus membantumu atau
tidak."
"Kau tidak perlu
membantuku!"
"Jadi, kau tak butuh
bantuanku? Oh, kalau begitu, kembalikan tuakku yang sudah kau telan tadi!
Kembalikan, ayo...!"
"Dasar edan! Tuak sudah
ditelan disuruh mengembalikan?!"
Gerutuan si gadis tak
didengarkan oleh Suto. Murid sinting si Gila Tuak itu berkata lagi dengan nada
membujuk.
"Percayalah, aku akan
membantumu jika kau mau berterus terang tentang permusuhanmu dengan Sunggar
Manik. Jelaskan saja padaku, supaya aku bisa tahu mana yang baik dan mana yang
jahat. Kalau kau yang jahat, aku tak mau membantumu. Tapi kalau kau di pihak
yang baik, aku akan membantumu."
"Tak ada yang perlu
kujelaskan padamu!" ketus Mustikani. "Kau mau anggap aku orang baik
atau orang jahat, terserah! Aku tak punya urusan denganmu!"
"Heh, heh, heh, heh...!
Tak punya urusan denganku kok berhenti di sini?" ledek Suto Sinting.
"Kau yang menahan
langkahku!" bentak Mustikani semakin dongkol hatinya.
"Aku menahan karena aku
ingin tahu tentang pedang yang kau perdebatkan dengan Sunggar Manik tadi!"
Mustikani agak kaget. Ada rasa
sesal karena tadi ia memperdebatkan pedang yang dicarinya tanpa menyadari ada
orang yang mendengarkan perdebatan itu. Mustikani merasa tak bisa sembunyikan
masalah lagi jika kenyataannya Suto Sinting sudah menyinggung- nyinggung
tentang pedang. Napas gadis itu ditarik dalam-dalam, lalu dihembuskan dalam
satu sentakan kedongkolan.
"Apa saja yang kau dengar
dari pertengkaranku dengan Sunggar Manik tadi?'"
"Aku mendengar kalian
tadi berdebat soal Pedang Penakluk Cinta. Selain itu juga main ancam-ancaman
yang mengerikan, tapi aku belum sempat ngeri. Sekarang aku ngeri dulu,
ya?"
"Bicara yang benar!"
sergah Mustikani dalam nada menghardik. Suto Sinting tersenyum, mengangkat tangannya,
memberi tanda agar Mustikani tenang dan jangan terburu-buru marah.
Pemuda berambut panjang lurus
sepundak tanpa ikat kepala itu menyambung kata-katanya lagi,
"Hanya soal pedang itu
yang masih melekat dalam ingatanku. Jadi sekarang kuminta padamu, jelaskanlah
tentang pedang itu, Mustikani! Kalau kau tidak mau jelaskan, aku akan lantunkan
tembang keras-keras tentang 'uhlala' yang "
"Cukup!" sentak
Mustikani memotong kata-kata Suto lagi. Ia merasa akan semakin kesal jika
sampai mendengarkan tembang yang dianggapnya melantur tak karuan itu. Karenanya
ia memilih lebih baik jelaskan persoalan sebenarnya.
"Siapa tahu dia memang
benar-benar mau membantuku," pikir Mustikani, menaruh harap lagi kepada
Suto Sinting yang belum diketahuinya sebagai Pendekar Mabuk.
Nama Pendekar Mabuk cukup
dikenal di rimba persilatan. Mustikani sendiri sering mendengar cerita tentang
kesaktian Pendekar Mabuk dari beberapa orang yang dikenalnya. Bahkan
cerita-cerita itu membuatnya ikut merasa kagum terhadap Pendekar Mabuk. Tetapi
ia belum pernah bertemu dengan sosok Pendekar Mabuk, sehingga ia tak tahu kalau
sekarang ia sedang berhadapan dengan pendekar berilmu tinggi itu.
"Aku diutus untuk
menangkap Sunggar Manik atau membunuhnya, dan membawa pulang Pedang Penakluk
Cinta," tutur Mustikani dengan serius.
"Siapa yang mengutusmu?
Sunggar Manik sendiri?" "Bukan!" sentaknya dengan kesal.
"Ratu Ladang
Peluh yang mengutusku!"
"O, ya... tadi kudengar
kalian juga sebutkan nama ratu itu. Siapa...? Ratu Ladang Peluh?! Aneh. Ladang kok
peluh. Ladang itu pantasnya ladang jagung atau ladang singkong. Jadi bisa
dipanen tiap bulan-bulan tertentu. Kalau ladang peluh itu yang mau dipanen
apanya? Mau panen peluh?! Memangnya sekarang
peluh sekilonya berapa?"
"Mau kujelaskan
persoalannya apa mau ngoceh sendiri?!" hardik Mustikani. Suto Sinting
cepat-cepat diam, menutup mulut sambil tertawa geli tanpa suara. Hanya tubuhnya
yang terguncang-guncang sesaat.
"Sunggar Manik mencuri
pusaka ratu kami, yaitu Pedang Penakluk Cinta itu! Ia mencuri pedang itu
bersama adiknya yang bernama Lentik Sunyi. Kemudian, sang Ratu menugaskan aku
dan Umbari untuk menangkap atau membunuh keduanya, yang penting Pedang Penakluk
Cinta harus berhasil kami bawa pulang ke Bukit Randa, tempat sang ratu
bertakhta dalam istana kecilnya."
"Bukit Randa itu di
mana?" potong Suto Sinting, karena tiba-tiba ia merasa sangat asing dengan
nama itu dan menjadi ingin tahu secepatnya.
"Bukit Randa ada di
sebelah selatan, hampir mendekati pesisir kidul," jawab Mustikani sepolos-
polosnya, karena ia pikir penjelasan itu perlu diketahui Suto agar jika terjadi
sesuatu padanya Suto bisa sampaikan kabar kepada Ratu Ladang Peluh.
"Aku dan Umbari berpisah
di lereng bukit itu," Mustikani menuding sebuah bukit kecil tak jauh dari
tempat mereka berdiri.
"Kami berpisah karena
masing-masing mengejar kedua pencuri yang berpencar itu. Aku mengejar Mustikani
dan Umbari mengejar Lentik Sunyi."
Sambil masih godek-godek
kepala, Suto Sinting segera ajukan tanya setelah Mustikani diam selama dua helaan
napas.
"Bagaimana kalau sampai
kau tak berhasil tangkap Sunggar Manik dan Lentik Sunyi?"
"Ratu akan menghukumku!
Mungkin juga akan membunuhku karena dianggap sebagai pengawalnya yang sudah tak
berguna lagi."
"Ooo... jadi kau pengawal
Ratu Ladang Peluh?" "Bukan aku saja, tapi Umbari dan beberapa orang
lainnya, termasuk Sunggar
Manik sendiri sebenarnya adalah pengawal pribadi sang Ratu."
"Ooo... pantas kalian
cantik-cantik dan lincah-lincah.
Tentunya ilmu silat kalian
cukup tinggi, ya?"
Gadis berjubah hijau
bunga-bunga merah itu tidak hiraukan sanjungan yang dianggap kampungan itu.
Mustikani lanjutkan kata-katanya. Kini kata-katanya lebih cenderung berkesan
keluhan hati yang dicekam rasa cemas.
"Jika ratu mengutus kami,
berarti nyawa kami siap hilang sewaktu-waktu; hilang di tangan musuh, atau
hilang di tangan ratu jika kami gagal."
"Oh, itu tak baik!
Manusia tanpa nyawa, itu tak baik! Sumpah!" kata Suto Sinting seakan
serius sekali. "Jadi kusarankan, sebaiknya kau jangan mau kehilangan
nyawa. Apa artinya hidup tanpa nyawa?! Iya, kan?!"
Mustikani bersungut-sungut,
"Wejanganmu kesiangan! Aku bukan anak kecil yang perlu wejangan seperti
itu! Aku harus pergi mengejar Sunggar Manik dan Lentik Sunyi! Pedang itu harus
kudapatkan, karena aku ingin tetap bernyawa!"
"Bagus! Mari kita
bernyawa bersama!" ujar Suto semakin ngaco. Mustikani menatap dengan tajam
dan cemberut. Suto segera sadar bahwa ucapannya tadi kurang betul.
"Maksudku, mari kita
mengejar Sunggar Manik dan Lentik Sunyi bersama. Kita serang mereka. Kita
tangkap mereka. Lalu... kita ajak mereka menyanyikan:
'Uuh, lalala... ceriping
maling aduh bencinya. Uuh, lalala... ceriping copet aduh muaknya. Uuh, lala,
lala, la... lalalala... ceriping'!"
Suto lantunkan tembang lagi
dengan kepala menunduk dan geleng-geleng, tubuh bergoyang ikuti irama. Tapi
ketika ia buka mata, ternyata Mustikani sudah berlari jauh meninggalkannya.
"Lho... dia sudah sampai
sana?! Waah... ketinggalan aku ini! Kejar terus, Jek...!"
Zlaap, zlaap...! Suto Sinting
segera menyusul Mustikani dengan Jurus 'Gerak Siluman' yang dilakukan secara
refleks itu. Dalam sekejap saja Mustikani sudah terkejar dan justru Suto
Sinting berhasil mendahului Mustikani. Ia berhenti di bawah pohon yang akan
dilewati Mustikani.
"Edan! Cepat sekali gerakannya?
Tahu-tahu ia sudah berada di depan langkahku?! Padahal sudah kutinggal cukup
jauh!" ujar Mustikani dalam hatinya dengan rasa terheran-heran.
Akhirnya mereka berlari
beriringan. Namun baru beberapa saat mereka lakukan pengejaran terhadap diri Sunggar
Manik, tiba-tiba langkah mereka terpaksa hentikan langkah. Mereka temukan dua
sosok mayat tergeletak berdekatan. Dua sosok mayat itu adalah dua gadis yang
pertarungannya pernah dilihat Suto sebelum Suto akhirnya bertemu Mahesa Gondes.
"Umbari...?! Umbari!...!"
seru Mustikani sambil hampiri salah satu mayat yang berpakaian abu-abu itu.
Ternyata mayat itu adalah
mayat Umbari, sedangkan mayat yang satunya adalah mayat Lentik Sunyi.
"Kulihat mereka tewas
karena lemparan senjata rahasia berbentuk kelelawar," kata Suto Sinting
sambil mencari sekeping logam hitam berbentuk kelelawar bersayap runcing.
Ketika kedua gadis yang lakukan pertarungan itu tiba-tiba tumbang karena
lemparan senjata rahasia, Suto sempat memeriksa keduanya, dan menemukan sekeping
logam berbentuk kelelawar bentangkan sayap. Logam hitam berukuran kecil itu
sempat dicabut oleh Suto dari leher Umbari, lalu logam itu dibuang begitu saja
setelah Suto merasa jelas dengan bentuk logam tersebut. Sekarang logam itu
sedang dicarinya untuk ditunjukkan kepada Mustikani.
Tetapi sebelum Suto temukan
logam tersebut, Mustikani sudah berhasil menemukan sekeping logam berbentuk
kelelawar dari dada mayat Lentik Sunyi, ia mencabut benda itu dan memperhatikan
dengan dahi berkerut. Dukanya terhadap kematian sang teman menjadi surut oleh
rasa heran dan aneh melihat logam berbentuk kelelawar kecil itu.
"Nah, seperti itulah
logam yang kutemukan menancap di leher mayat ini," ujar Suto sambil dekati
Mustikani.
"Kurasa, kedua gadis ini
sengaja dibunuh oleh seseorang yang memiliki senjata rahasia berbentuk
kelelawar seperti yang kau pegang itu, Mustikani! Dan orang tersebut sempat
kukejar, kucari-cari, tapi yang kutemukan justru 'ceriping raja'-nya si Mahesa
Gondes yang sangat 'uhlala' ini," sambil Suto Sinting sunggingkan senyum
keceriaan.
Mustikani tetap berkerut dahi
pandangi senjata rahasia berbentuk kelelawar itu. Ia menggumam, seperti bicara
pada diri sendiri.
"Rasa-rasanya aku kenal
siapa pemilik senjata rahasia ini!"
"O, kau kenal pemilik
senjata itu? Bagus, bagus!" kalau begitu, maukah kau mengenalkan diriku
kepadanya?!" seraya senyum Suto semakin melebar, kepala godek-godek pelan.
Mustikani menggeram.
"Hiih...!" Wuuut, jruuub...!
Senjata itu dilemparkan di
atas kepala Suto Sinting. Pemuda itu cepat rundukkan kepala dengan wajah
menyeringai merasa ngeri. Senjata itu menancap di pohon belakang Suto.
"Akan kubalas kematian
Umbari! Akan kutuntut nyawanya sebagai pengganti nyawa Umbari!" geram
Mustikani sambil matanya menerawang jauh, memancarkan dendam yang ditujukan
pada seseorang.
Suto Sinting sempat bengong
karena beranggapan dirinya yang diancam Mustikani.
"Bukan aku pemilik
senjata rahasia itu, Non! Aku orang baik-baik. Lihat saja, aku hanya bisa
menyanyi: 'Uuh, lalala... ceriping codot aduh ngototnya. Uuh,
lalala '"
"Diaaam...!" bentak
Mustikani membuat Suto terlonjak kaget dan langsung bungkam tak bersuara
sedikit pun.
4
MUSTIKANI tetap ingin kejar
Sunggar Manik lebih dulu. Jika ia berhasil merebut Pedang Penakluk Cinta yang
diduga disembunyikan oleh Sunggar Manik, maka ia akan dapat menumbangkan orang
yang membunuh Umbari dengan senjata rahasia beracun tinggi itu. Namun gadis itu
tak mau menjawab pertanyaan Suto ketika Suto ajukan tanya siapa pemilik senjata
berbentuk kelelawar itu.
"Nanti kau akan tahu
sendiri jika kau benar-benar bantu aku dalam merebut Pedang Penakluk Cinta
itu!" ujarnya sambil melirik Pendekar Mabuk dengan wajah masih pancarkan
dendam terhadap si pembunuh Umbari itu.
Suto Sinting akhirnya ikuti
langkah Mustikani yang sudah ditinggal jauh oleh Sunggar Manik. Sekalipun
demikian, Mustikani masih yakin bahwa ia akan berhasil temukan Sunggar Manik,
karena ia tahu Sunggar Manik terluka cukup parah dan akan kehabisan darah dalam
pelarian. Setidaknya akan kehabisan tenaga, lalu berhenti di suatu tempat, dan di situlah
saatnya Mustikani harus memaksa Sunggar Manik untuk serahkan pedang tersebut.
Murid Sinting si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang yang bertubuh kekar dan gagah itu masih dalam keadaan dimabuk
oleh khayalan indah yang menyenangkan hatinya. Tetapi ia tak terlalu banyak
kehilangan kewaspadaan. Masih ada sisa kewaspadaan yang membuatnya segera
mencekal lengan Mustikani, lalu menariknya mundur hingga saling berjatuhan.
Bruuuss...!
"Edan kau ini!"
sentak Mustikani dengan marah. Namun belum habis kata-kata itu, suara Mustikani
cepat menjadi lirih karena tiba-tiba ia sadar apa yang terjadi pada saat itu.
Serombongan jarum melayang di
atasnya pada saat ia jatuh telentang dan menindih tubuh Suto yang telentang
juga itu. Jarum-jarum itu bagaikan pasukan nyamuk yang melesat di udara dan
menancap di pohon belakang mereka. Zruuub...!
Pohon itu segera menjadi layu.
Kulit pohon bergerak- gerak terkelupas pelan-pelan dan mengkerut. Daun-daun
pohon segera mengkerut juga dalam keadaan berubah menjadi kuning. Kejap
berikutnya, pohon itu telah menjadi kering dan merengas bagai hidup di padang
pasir tanpa air. Keadaan tersebut ternyata disebabkan oleh racun di ujung-ujung
puluhan jarum yang menancap di batangnya. Racun itu bekerja dengan cepat dan
ganas, membuat pohon bagaikan mati kering dalam dua helaan napas.
Mustikani buru-buru bangkit
dan memasang kewaspadaan tinggi. Matanya menatap ke arah datangnya jarum-jarum
hitam tersebut. Sementara itu, Suto Sinting bergegas bangkit dengan wajah
menyeringai karena tangannya terlipat ke belakang saat jatuh dan tertindih
tubuh Mustikani. Tangan itu terasa terkilir dan sakit jika dipakai untuk
bergerak.
"Sial! Pergelangan
tanganku terselip di sebelah mana ini?!" gumam Suto Sinting dalam nada
gerutu. Tapi hatinya merasa geli melihat pergelangan tangannya sukar ditegakkan, ia buru-buru
menenggak tuaknya sambil duduk melonjor di tanah. Dua teguk tuak cukup rasa
sakitnya hilang dan pergelangan tangannya menjadi normal kembali.
Namun ia segera terkejut
begitu melihat arah yang dipandang Mustikani. Ternyata di sana telah berdiri
seorang tokoh tua berusia sekitar tujuh puluh tahun, ia seorang kakek berjubah
biru lusuh dengan tubuh kurus, mata cekung dan rambut abu-abu pendek. Janggut
dan kumisnya juga abu-abu pendek. Giginya... bukan abu- abu, tapi hitam kelam
bagai kebanyakan nikotin tembakau. Tokoh tua yang menggenggam tongkat berujung
seperti palu itu sangat asing bagi Suto Sinting, sehingga Suto segera dekati
Mustikani. Kala itu Mustikani sedang beradu pandang mata dengan mulut
terbungkam rapat, namun dadanya yang naik turun menunjukkan gemuruhnya hati
yang dibakar kemarahan dan ketegangan.
"Siapa Pak Tua itu?
Bandar ceriping juga?" tanya Suto dalam bisikan.
Mustikani menjawab dengan
lirih dan bernada datar. "Dia
dikenal dengan nama:
si Tulang Besi
dari
Sungai Garong. Dia adalah
Ketua Perguruan Raga Baja" "Diakah
yang menyerangmu dengan jarum-jarum
maut tadi?"
"Memang dia!" geram
Mustikani. "Satu purnama yang lalu, perguruannya dihancurkan oleh ratuku,
ia sempat lolos, dan baru sekarang muncul lagi. Kurasa dia ingin balas dendam
padaku, karena dia tahu aku orangnya Ratu Ladang Peluh."
Pendekar Mabuk masih
senyum-senyum saat pandangi si Tulang Besi yang berwajah tegas, berkesan galak.
Senyuman Suto Sinting diartikan lain bagi si Tulang Besi, karenanya ia segera
berseru dengan suaranya yang masih terdengar sedikit berat, menyeramkan.
"Apa maksudmu
senyum-senyum padaku, Pemuda Pikun?!"
"Maksudku...? Oh, hmmm...
maksudku tersenyum padamu ya mengajakmu tersenyum," jawab Suto Sinting,
lalu tertawa pelan. "Pertanyaanmu lucu juga, Pak Tua. Orang tersenyum kok
mau dilarang?!"
"Aku tidak butuh
senyumanmu, Pemuda Bodoh!" bentaknya.
"Tidak butuh ya sudah!
Masih bisa kutawarkan pada yang butuh," ujar Suto Sinting dengan santai
sekali, seakan tak punya beban apa-apa, tak punya rasa takut sedikit pun.
"Dengar kataku, Pemuda
Dungu...! Aku tak punya persoalan apa-apa denganmu. Persoalanku hanyalah
mencabut nyawa gadis pengikut ratu Iblis itu sebagai cicilan hutang si ratu
iblis itu atas pembantaian yang menewaskan semua muridku! Tapi jika kau mau
berlagak jagoan, mau jadi pelindung gadis binal itu, maka aku tak segan-segan
mencabut nyawamu pula tanpa permisi lagi!"
"Tulang Besi!" seru
Mustikani. "Jika kau ingin membalas dendam atas kematian semua muridmu,
lampiaskan kepada ratuku! Jangan kepadaku, karena pada waktu peristiwa
pembantaian itu terjadi, aku tidak ikut di dalamnya. Aku sedang menengok
kakekku yang saat itu kebetulan sedang sakit. Jadi aku tak punya kesalahan apa
pun padamu, Tulang Besi!"
"Hmmm...! Hanya segitu
nyalimu, Perawan Busuk?!" geram si Tulang Besi. "Aku dapat rasakan
getaran hatimu yang ketakutan melihat kehadiranku di sini!"
Suto Sinting menyahut,
"Pak Tua, bolehkah aku melindungi gadis ini?!"
Mustikani menggerutu pelan
namun penuh geram. "Goblok! Begitu saja ditanyakan!"
Tulang Besi segera berkata,
"Kalau kau ingin mati bersama gadis busuk itu, jadilah pelindungnya. Bila
perlu, jadilah pemandu jalan menuju neraka!"
"Wow... mengerikan
sekhalieee...," ujar Suto berkesan canda.
Tulang Besi marah, merasa
dipermainkan oleh Pendekar Mabuk. Maka dengan cepat ia menggeram seperti seekor
singa mengincar mangsa. Geraman itu membuat tanah dan pohon sekitarnya
bergetar. Bahkan beberapa helai daun ada yang rontok akibat getaran tersebut.
Rupanya si Tulang Besi sengaja pamer kesaktian sambil ciutkan nyali calon
lawannya.
Suto Sinting berkata kepada
Mustikani dengan santai, cuek sekali, seakan ia tidak sedang berhadapan dengan
seseorang yang berilmu tinggi.
"Rupa-rupanya ada gunung
berapi mau meletus, Mustikani. Getaran gempanya sampai ke tempat kita ini!
Bagaimana jika kita mengungsi lebih dulu sebelum kena letusan gunung berapi
itu?!"
Mustikani tidak melayani
ucapan Suto. Ia tetap diam dan menatap tajam-tajam ke arah Tulang Besi. Ia tak
mau lengah dan terkena pukulan lawan.
Murid si Gila Tuak yang
dikenal pula dengan Julukan Tabib Darah Tuak itu segera memandang si Tulang
Besi sambil nyengir dan berkata kalem.
"Pak Tua, aku mau coba
lindungi gadis ini. Karena menurut dugaanku, gadis ini tidak bersalah, sebab
dia tidak ikut dalam pembantaian itu. Jadi, kalau kau tidak keberatan dan tidak
merasa jeri, izinkan aku melindungi gadis ini dari ancaman balas dendammu.
Bagaimana?"
Tulang Besi semakin menggeram
dengan mata cekungnya kian tajam. "Grrrhhmmrrr!"
Getaran pada tanah semakin
hebat. Bahkan tanah di bawah kaki si Tulang Besi menjadi retak memanjang sampai
di sekitar tempat Suto berdiri. Pohon-pohon pun bergetar lebih keras, membuat
daun-daun berguguran dan ranting-ranting kecil berjatuhan. Suara derak samar-
samar terdengar. Ternyata sebatang dahan lapuk patah akibat getaran tersebut.
Pendekar Mabuk memandang
sekelilingnya dengan bingung tapi tetap dengan senyum.
"Wah, rasa-rasanya kiamat
mau tiba, Mustikani. Tapi mengapa langit tidak ikut bergetar, ya? Jangan-jangan
di dalam tanah ini ada binatang raksasa yang sedang menguap karena habis bangun
tidur?"
Nada bicara yang berkesan
menyepelekan itu membuat hati Mustikani menjadi cemas. Sebab secara jujur hati
kecilnya mulai mengakui kehebatan ilmu Tulang Besi. Hanya dengan keluarkan
suara menggeram saja bisa menggetarkan tanah dan pepohonan sekelilingnya,
apalagi pukulannya. Nyali pun menjadi ciut juga, namun Mustikani tidak perlihatkan
keciutan nyalinya itu. Ia tetap diam memandang Tulang Besi seakan siap hadapi
serangan kapan pun.
Sementara itu, Tulang Besi
menjadi semakin berang melihat Suto Sinting tidak kelihatan takut sedikit pun.
Bahkan sebaliknya, tampak menyepelekan gertakan nyali itu. Tulang rahangnya
yang bertonjolan itu tampak bergerak menggeletukkan gigi. Suaranya pun
terdengar kian memberat, seakan dibebani kemarahan yang telah menjadi lebih
besar dari sebelumnya.
"Anak muda, kuizinkan kau
menjadi pelindungnya jika kau kuat menahan hantaman tongkatku ini!
Heeeah...!"
Weess...! Tongkat itu
dihantamkan ke kepala Pendekar Mabuk sambil si Tulang Besi lakukan lompatan
cepat. Dengan gerak refleksnya Pendekar Mabuk angkat bumbung tuak dan sentakkan
ke samping. Tongkat pun akhirnya kenai bumbung tuak.
Duaaar...!
Benturan tongkat dengan
bumbung tuak timbulkan ledakan yang cukup keras dan mengeluarkan daya sentak
besar. Tangan si Tulang Besi yang pegangi tongkat itu tersentak ke belakang,
badannya turut tersentak dan akhirnya ia terpelanting nyaris jatuh kalau tidak
punggungnya membentur pohon. Sementara itu, Pendekar Mabuk yang cengar-cengir
itu juga terpelanting ke belakang dan nyaris jatuh kalau tak segera ditahan
dengan kedua tangan Mustikani.
"Gila! Ternyata bumbung
tuak bocah itu punya kekuatan tenaga dalam yang tidak kecil?!" gumam hati
si Tulang Besi. "Agaknya aku harus hati-hati dengannya. Selama ini hanya
orang-orang berilmu tinggi yang mampu menahan hantaman tongkatku. Apakah anak
muda itu juga berilmu tinggi? Siapa dia sebenarnya? Aku tak pernah jumpa
dengannya."
Mustikani berbisik,
"Hati-hati, dia bukan orang berilmu pas-pasan! Seluruh tulangnya seperti
terbuat dari besi. Tenaga dalamnya pun
cukup tinggi. Jangan sampai pukulan dan tendangannya kenai tubuhmu. Bisa remuk
tulangmu jika diadu dengan tulangnya."
"Tenang saja. Aku hanya
berpura-pura sempoyongan, padahal... memang benar-benar sempoyongan. Heh, heh,
heh, heh!"
"Masih konyol saja kau
ini! Hilangkan kekonyolanmu!" Mustikani menyentak dengan suara berbisik,
ia benar-benar mencemaskan jiwa Suto, tapi yang dicemaskan justru seenaknya
saja.
"Pak Tua, aku sudah bisa
menahan pukulan tongkatmu, malahan kau sendiri yang terpental lebih jauh
dariku. Jadi, sekarang kau mengizinkan aku menjadi pelindung gadis ini, bukan?!"
"Jangan merasa bangga
dulu dengan keselamatan yang kebetulan ini, Bocah bau popok! Tahanlah pukulanku
ini jika kau memang merasa mampu menjadi pelindung! Heeeahh...!"
Wuuut...! Tulang Besi
berkelebat menerjang Pendekar Mabuk dengan tangan menggenggam dan dihantamkan
ke wajah anak muda itu. Beet!
Suto Sinting menggeloyor
seperti orang mabuk mau jatuh. Wuuut, wees...! Pukulan tangan itu lolos dari
sasaran. Namun ternyata kaki si Tulang Besi menendang cepat ke arah samping
mengenai pangkal lengan Suto. Beet, krak...!
"Aaaah...!" Suto
Sinting memekik sambil terjungkal ke samping. Tulang di ujung pundaknya terasa
dihantam dengan besi sebesar betisnya. Tulang itu terasa remuk dan tangan
kirinya tak mampu digerakkan lagi. "Aaahk...!" Suto Sinting mengerang
kesakitan sambil bergeser mundur dengan merayap-rayap hingga mencapai bawah
pohon, ia sandarkan tubuhnya di sana seraya berusaha menahan rasa sakit yang
luar biasa. Matanya sesekali terbeliak dengan mulut ternganga, atau terpejam
kuat-kuat dengan mulut menyeringai.
"Kutumbuk hancur batok
kepalamu, Tikus Lumbung!
Haaaah...!"
Tulang Besi melompat sambil
ingin hantamkan tongkatnya yang berkepala mirip martil besar itu. Namun sebelum
lompatan itu mendekati tubuh Suto, jari tangan Suto segera menyentil dua kali.
Des, des...!
Jurus 'Jari Guntur'
dipergunakan Pendekar Mabuk untuk menyingkirkan bahaya yang sedang menuju ke
arahnya. Sentilan jari itu mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar, seperti
tendangan kuda jantan yang liar. Dua sentilan bertenaga dalam itu kenai dada si
Tulang Besi. Duuhk, duuhk ..!
"Uuhk...!" Tulang
Besi terlempar mundur. Kekuatan daya lompatnya kalah besar dengan kekuatan
sentilan Suto Sinting. Akibatnya ia jatuh terbanting dalam keadaan duduk.
Brruuk...!
Umumnya orang yang terkena
sentilan jurus 'Jari Guntur' apalagi di bagian dadanya, dia akan menyeringai
kesakitan karena tulang dadanya terasa remuk. Apalagi sampai dua kali sentilan
mengenai tempat yang sama, pasti orang itu tidak akan bisa bernapas untuk
beberapa saat.
Tetapi tidak demikian halnya
dengan si Tulang Besi. Ia segera bangkit dan tetap tampak kuat bagai tak pernah
mendapat sentilan 'Jari Guntur'. Rupanya tulang-tulang tubuhnya yang keras
seperti besi itulah yang membuat ia mampu cuek setelah terkena sentilan 'Jari Guntur'
dua kali.
"Kuat juga orang
ini?!" gumam Suto Sinting dalam hati.
Mustikani ingin bertindak,
tapi Suto Sinting mencegahnya.
"Diam saja di tempat,
Mustikani! Aku masih sanggup menghadapi besi tua ini!"
Sambil berkata begitu, Suto
Sinting bangkit berdiri lagi. Sebab pada saat Tulang Besi terlempar dan
terbanting, Suto buru-buru menenggak tuaknya dua teguk. Tuak itu segera
hilangkan rasa sakit di ujung pundak kirinya, ia menjadi sehat lagi, seperti
tak pernah cedera sedikit pun, dan hal itu juga menimbulkan rasa kagum di dalam
hati si Tulang Besi.
Kakek berjubah biru itu segera
mainkan jurus dengan tongkatnya. Tiba-tiba tubuhnya melambung di udara, melesat
cepat bagai seekor burung zaman purba yang meluncur ke arah Suto Sinting dengan
tongkat digenggam dua tangan menyilang di depan dadanya. Weeers...!
Ayunan tubuh menyentak ke
atas, membuat Pendekar Mabuk melambung naik. Wuus...! Kemudian kedua kakinya
menjejak pohon yang ada di belakangnya. Dess...! Tubuhnya pun meluncur cepat
bagaikan terbang ke arah si Tulang Besi. Weess...! Dengan kedua tangan
menggenggam bumbung tuak melintang di dada, Pendekar Mabuk sengaja mengadu
kekuatan tenaga dalamnya kepada si Tulang Besi.
Bumbung tuak dan tongkat
saling bertabrakan di udara. Masing-masing digenggam dengan kedua tangan yang
sudah dialiri tenaga dalam.
Blegam...!
Ledakan dahsyat terjadi hingga
mengguncangkan alam sekeliling. Beberapa pohon berukuran sedang menjadi tumbang
bagaikan dihempas badai yang mengamuk.
Benturan tongkat dengan
bumbung tuak itu sempat menimbulkan daya rekat cukup kuat, sehingga Tulang Besi
bagai bergelayutan pada tongkatnya dan kakinya menendang ke dada Suto Sinting
secara beruntun.
Des, des, des, des, des...!
"Aaahk...!" Suto
Sinting tak bisa hindari tendangan itu karena tak menduga akan mendapat
serangan beruntun secepat itu.
Ketika tongkat terlepas dari
bumbung tuak, tubuh mereka sama-sama melayang turun. Tapi Pendekar Mabuk masih
sempat kerahkan sisa tenaganya untuk berkelebat memutar tubuh. Wuuus...!
Bersamaan dengan itu bumbung tuaknya pun berkelebat menyabet dan kenai bagian bawah ketiak si Tulang Besi.
Buuhk, kraak...!
"Aaaahhk...!" Tulang
Besi terlempar bagai bola kena pukulan kuat. Tubuhnya melayang cepat sejauh
delapan langkah lebih. Kepala si Tulang Besi yang kehilangan keseimbangan badan
itu membentur pohon besar dengan kuatnya. Prrook...!
"Aauw...!" pekik si
Tulang Besi lagi. Benturan itu sangat kuat, sehingga sebagian kulit batang
pohon itu menjadi rompal. Tak ketinggalan kepala si Tulang Besi yang kerasnya
seperti besi itu akhirnya bocor juga dan mengalirkan darah cukup deras.
"Aauh...! Bangsat tengik
bocah itu!" erang si Tulang Besi sambil pegangi rusuknya. "Jahanam
terkutuk! Tulang rusukku bisa patah begini?! Kalau kupaksakan aku bisa mati di
tangan anak semuda dia!"
Tulang Besi segera kerahkan
sisa tenaganya dan melarikan diri secepatnya, ia merasa tak mungkin mampu
melawan kekuatan si pemuda sinting itu jika dalam keadaan terluka separah itu.
Maka tanpa berkata apa pun, ia tinggalkan tempat tersebut dengan gerakan cepat,
Mustikani sengaja tidak
mengejarnya, karena ia menjadi tegang setelah melihat Suto Sinting terkapar di
tanah tanpa bergerak lagi. Tendangan beruntun si Tulang Besi tadi telah
membuatnya pingsan dan terluka parah di bagian dalam dadanya.
"Celaka! Bagaimana kalau
sudah begini?!" keluh Mustikani dengan wajah tegang sekali. Sekalipun dia
tahu tuak Suto dapat sembuhkan luka, tapi dia tak tahu bagaimana cara
meminumkan tuak itu, karena keadaan mulut Suto terkatup rapat.
Gadis cantik yang tadi ikut
terlempar saat terjadinya ledakan dahsyat itu, kini diam mematung dalam keadaan
serba bingung. Matanya menatap lurus ke sosok tubuh kekar berwajah tampan yang
kini terkapar dengan sangat menyedihkan.
"Dadanya menjadi merah
kebiru-biruan. Alangkah parahnya ia. Siapa yang akan kumintai bantuan untuk
menyelamatkan nyawa pemuda konyol ini?!" pikir si cantik di sela-sela
kecemasannya.
5
CAHAYA lampu minyak menerangi
rumah gubuk di lereng Bukit Busung. Dinamakan demikian, karena menurut legenda
zaman dulu, di bukit itu ada seorang gadis anak janda miskin yang hamil tanpa
suami. Artinya, tidak ada yang mengaku sebagai ayah si jabang bayi yang
dikandungnya. Akhirnya untuk menutup rasa malu, ketika perut gadis itu
membengkak, si ibu selalu mengatakan kepada kenalannya bahwa anak gadisnya
bukan hamil tapi karena terkena penyakit busung lapar. Setelah sembilan bulan,
gadis itu tidak melahirkan, sampai dua bulan ke depan juga belum melahirkan.
Ketika diperiksa seorang tabib, ternyata gadis itu memang benar-benar kena
penyakit busung lapar. Karenanya bukit itu dinamakan Bukit Busung.
Tetapi persoalan yang dihadapi
Pendekar Mabuk bukan persoalan busung-membusung, melainkan persoalan Pedang
Penakluk Cinta yang kabarnya tidak bisa membuat oramg menjadi busung. Keberadaan
Pendekar Mabuk di Bukit Busung itu bukan lantaran ia ingin menjadi busung juga,
tapi karena dibawa oleh Mustikani. Ia dipanggul di pundak Mustikani yang
menggunakan kekuatan tenaga dalam. Tanpa kekuatan tenaga dalam mustahil gadis
cantik itu dapat memanggul tubuh Suto Sinting yang kekar dan tinggi gagah itu.
Dengan kekuatan tenaga dalamnya, Mustikani menyampirkan tubuh Suto Sinting di
pundaknya seperti menyampirkan handuk saat mau ke kamar mandi.
Pemuda berhidung bangir itu
tak melakukan protes atau meronta saat dipanggul seenaknya oleh Mustikani dan
dibawa ke Bukit Busung, karena pada waktu itu Suto Sinting dalam keadaan
pingsan.
Mustikani membawanya ke pondok
di lereng Bukit Busung, karena tempat itulah yang terdekat dengan tempat
pingsannya Suto akibat tendangan beruntun si Tulang Besi. Kebetulan Mustikani
mempunyai kakek yang tinggal di Bukit Busung. Maka tak ada pilihan lain bagi si
gadis untuk menyelamatkan nyawa si tampan kecuali dengan cara membawanya ke
pondok sang kakek itu.
Tetapi setelah tiba di rumah
kakeknya, ternyata Mustikani terpaksa mencukil pintul belakang dan masuk lewat
pintu belakang tersebut. Bukan karena Mustikani berbakat jadi maling, tapi
karena keadaan terpepet. Sang kakek ternyata sedang pergi, sedangkan hari sudah
hampir petang. Mau tak mau Mustikani harus segera membawa masuk Suto Sinting ke
dalam pondok tersebut.
Pemuda itu dibaringkan di atas
dipan dari anyaman bambu. Dipan itu tidak berkasur, karena mungkin sang kakek
tak sempat memesan kasur di toko mebel, atau memang saat itu belum ada toko
mebel. Sekalipun dipan itu tanpa kasur, tapi terasa empuk, karena dilapisi
anyaman jerami yang dibungkus tikar pandang.
Pendekar Mabuk siuman setelah
dibaringkan di situ selama lebih kurang dua jam. Karena pada waktu itu belum
ada arloji, maka Mustikani tidak mempersoalkan berapa lama si pendekar tampan
itu dibaringkan dalam keadaan pingsan.
Yang jelas ketika Suto Sinting
siuman, pertama-tama yang dirasakan adalah sakit dada, senut-senut di kepala,
panas di pernapasan, lemah di tenaga, nyeri di sekujur tulangnya. Pertama ia
membuka mata, yang dilihat adalah ujung api lampu minyak. Lampu minyak itu
menggantung di tengah ruangan dan dapat dilihat dari tempat Suto berbaring.
Makin lama pandangan matanya
makin jelas. Makin bingung juga jadinya.
"Di mana aku ini?"
gumamnya dengan suara lirih sekali, lalu segera menyeringai menahan rasa sakit
di dadanya. Dada itu hangus dan gumpalan darahnya menghitam di bawah lapisan
kulit.
Lalu seraut wajah muncul bagai
melongok Suto dari sisi kanan. Serut wajah itu amat cantik dan mempesona. Suto
Sinting kaget, tapi tak mau berteriak karena dadanya akan menjadi semakin sakit
jika dipakai untuk berteriak.
"Ssi... siapa kau,
Nona?" "Apakah kau lupa padaku?" Mustikani justru balik
bertanya. Pendekar Mabuk bingung, namun tak sampai pingsan lagi. Ia segera
mengingat-ingat bayangan yang samar-samar sudah mulai muncul di benaknya. Lalu,
sebaris kenangan tadi sore muncul kembali dalam ingatannya.
"Oh, kau... kau
Mustikani, yang mau dibunuh oleh Tulang Anjing itu?"
"Benar. Tapi yang mau
membunuhku adalah si Tulang Besi, bukan Tulang Anjing."
"Iya. Maksudku, si Tulang
Besi yang mirip tulang anjing itu," ujar Suto menutupi kekeliruannya.
Setelah itu si tampan konyol
itu menyeringai lagi, menahan rasa sakit di dadanya. Tangannya yang ingin
memegang dada bergerak sangat pelan. Menyedihkan sekali, ia seperti orang jompo
yang belum makan tujuh hari. Lemas dan sepertinya tak punya sisa tenaga lagi
selain untuk menarik napas. Menarik napas saja terasa sulit, apalagi menarik
timba sumur, jelas tak akan mampu. Bahkan menarik kesimpulan saja agak susah.
"Tuak...," ucap Suto
Sinting pelan. "Minum tuak "
"Sudah. Aku sudah minum
tuak, tadi sewaktu sampai di sini."
"Aku yang minum... bukan
kau!" kata Suto dengan menahan rasa dongkol.
"Oo... maksudmu
kau ingin minum
tuak. Hmmm...
sebentar, kuambilkan...."
Mustikani agak gugup. Rupanya gadis itu menjadi gugup karena punya rasa takut,
yaitu takut kalau pemuda tampan itu mati. Maka ketika Suto mulai siuman, Mustikani
merasa gembira. Rasa gembira itu tak disadari muncul sendiri dalam hatinya
dengan tulus, ikhlas, tanpa paksa dan tanpa ancaman. Tak heran jika saat Suto
meminta minum tuaknya, Mustikani sempat menggeragap dan salah ambil. Bukan
bumbung tuak milik Suto yang diambilnya, melainkan bumbung milik kakeknya yang
biasa dipakai untuk menyimpan minyak tanah. Untung saja belum sempat diserahkan
kepada Suto sehingga Mustikani terhindar dari tindakan yang nyaris memalukan
pribadinya.
"Hmmm .. hmmm... apakah
kau bisa meminum tuak sendiri? Keadaanmu lemah begitu, Suto," ujar
Mustikani.
"Tidak... bisa. Harus ada
yang... menuangkan ke mulutku."
"Hmm, eeh, hhm... aku
saja. Aku sudah biasa menyiram tanaman, jadi aku yakin kalau aku bisa
menuangkan tuak ke mulutmu."
"Kau... pikir... aku...
pot kembang...?!"
Mustikani tersenyum tawar dan
kaku sekali. Salah tingkah juga gadis itu, selain juga tangannya gemetar karena
rasa gugup. Perasaan gugup itu timbul setelah ia merasa beruntung bertemu
dengan Suto Sinting. Jika tidak ada Suto Sinting, ia yakin akan tumbang di
tangan Tulang Baja, karena ilmunya tak akan mampu menandingi ilmu si Tulang
Baja.
Rasa salut dan kagum membuat
hati Mustikani tertarik untuk bersahabat dengan pemuda tampan itu. Lebih-lebih
setelah beberapa saat ia tadi pandangi wajah Suto yang pingsan, ia baru temukan
sebentuk ketampanan yang mendebarkan hati. Seakan ketampanan itu membutuhkan
belas kasih sayang yang tulus dari hatinya, sehingga sang hati pun membuka
pintu dan siap-siap menerima tamu jika sampai Suto Sinting merayap masuk ke
hatinya.
"Buka mulutmu, akan
kutuangkan tuak ini pelan- pelan," ujar Mustikani masih paksakan diri
untuk kelihatan tegar dan tegas, walau pemaksaan itu justru membuatnya semakin
kikuk.
Suto Sinting membuka mulutnya.
Kecil. Mustikani sangsi dapat menuangkan tuak di lubang mulut yang sekecil itu.
"Lebarkan lagi
mulutmu."
"Sudah...," jawab
Suto pelan, lalu melebarkan mulutnya lagi.
"Lebih lebar lagi.
Terlalu sempit untuk masuknya air tuak."
"Ini... sudah
besar."
"Ah, mengapa masih kecil
sekali?"
"Yang... mau kau...
tuangi itu... lubang hidung." Mustikani tertawa, namun tak berani bersuara
lepas.
Bahkan ia tertawa sambil
menoleh ke belakang, sembunyikan senyum gelinya. Tanpa sengaja tawa yang
dipendam itu mengguncangkan tubuh, sementara bumbung tuak sudah dimiringkan.
Mau tak mau tuakpun akhirnya mengguyur wajah Suto Sinting. Byuur...!
"Haap, hhaap,
haap...!" Suto Sinting gelagapan. "Ooh...?!" Mustikani kaget dan
buru-buru menarik bibir tuak dari mulut Suto. Tapi dengan begitu, sebagian tuak
sudah tertelan ke tenggorokan, dan mulai bekerja sebagai penyembuh luka di dada
si Pendekar Mabuk itu.
Mustikani meninggalkan Suto
yang masih berbaring di dipan bambu, ia sempatkan diri untuk mandi, karena
kebetulan tempat penampungan air di kamar mandi terisi penuh. Usai mandi, badan
segar, pakaian rapi, Mustikani kembali temui Suto sambil menentang pedangnya.
Pedang pun diletakkan di atas meja. Saat itu, Suto Sinting telah duduk di
tepian dipan bambu, ia tampak segar dan telah sehat seperti sediakala. Tak ada
bekas luka sedikit pun di dadanya.
"Maaf, tadi aku... aku
tak sengaja mengguyur wajahmu," kata Mustikani dengan senyum dikulum.
Gadis itu dekati Suto Sinting,
berdiri pandangi Suto dengan bola mata bening yang memancarkan kelembutan
tersendiri, ia berkata lagi dengan suaranya yang semakin berkesan kalem tapi
punya ketegasan yang tak timbulkan kesan cengeng.
"Aku benar-benar tak
sengaja mengguyur wajahmu dengan air tuak."
"Tak apa. Aku tak sakit
hati, asal bukan air comberan yang kau guyurkan ke wajahku," ujar Suto
dengan kalem. Senyumnya pun tampak lebih kalem lagi dari senyum sebelumnya.
Rupanya setelah minum tuaknya
sendiri luka di dada tadi hilang, dan pengaruh tuak yang diminumnya dari Mahesa
Gondes telah sirna sama sekali tanpa bekas. Kondisi murid si Gila Tuak
benar-benar normal, perasaannya pun tidak diliputi khayalan indah seperti saat
mabuk 'ceriping raja' itu. Suto Sinting tampil sebagai pemuda yang gagah,
tampan, mempesona, wibawa, dan lembut. Mengesankan sekali.
Perubahan sikap itu membuat
Mustikani bingung. Ada dua hal yang membuat Mustikani bingung. Pertama, sikap
Suto menjadi sangat menarik dan tidak kampungan. Kedua, hati Mustikani menjadi
sering berdebar-debar jika melihat senyuman Suto. Apa maksud debaran hati itu,
Mustikani sendiri tak tahu dengan pasti. Yang jelas, malam itu Suto tampil beda
dari jumpa semula. Kekonyolannya terbatas dan tidak berkesan norak.
"Gara-gara pemuda yang
bernama Mahesa Gondes itulah aku menjadi nyaris kehilangan jati diriku, dan
hanyut dalam keindahan yang memabukkan," tutur Suto menjelaskan kondisinya
kala jumpa pertama itu. "Apakah kau kenal dengan pemuda yang bernama
Mahesa Gondes itu?"
"Tidak. Aku baru
mendengar nama itu sekarang," jawab Mustikani polos sekali. "Kurasa
kau telah diberi tuak beracun yang dapat membawa khayalanmu ke alam keindahan,
dan mempengaruhi pikiran serta jiwamu kepada kesenangan semata."
"Kurasa juga
begitu." Suto Sinting tersenyum, setengah tersipu malu sambil
geleng-geleng kepala dalam terawangnya, ia malu pada diri sendiri.
"Mengapa kau mau saja
disuruh meminum tuak itu?" "Karena aku penasaran ingin mengetahui
rahasia tentang...." Suto Sinting diam sesaat, ia juga ingat tentang
Pedang Penakluk Cinta yang dicuri oleh Sunggar Manik.
Saat pertimbangan Suto terlalu
lama, Mustikani memandang dengan dahi berkerut. Menyadari pandangan mata si
gadis penuh curiga, Suto Sinting buru-buru alihkan pembicaraan tersebut ke
masalah lain.
"Apakah ini rumahmu
sendiri, Mustikani?"
"Bukan. Ini rumah kakekku
yang dikenal dengan nama Ki Belantara. Kau mengenalnya, Suto?"
"Tidak. Tapi aku ingin
sekali berkenalan dengan beliau."
"Kakek pergi, entah ke
mana. Ketika aku membawamu kemari, rumah ini kosong. Pasti kakek pergi, entah
untuk berapa lama," jawab Mustikani sambil matanya bagai tak mau lepas
dari wajah Suto dan merasa sayang jika berkedip.
Pendekar Mabuk langkahkan
kaki, seperti menyelidiki tiap dinding rumah kayu itu. Padahal dalam benak Suto
sedang mencari bahan pembicaraan selanjutnya. Sebab ketika pandangan matanya
beradu dengan tatapan mata Mustikani selama tiga helaan napas, jantung Suto mulai
berdebar-debar, salah tingkah, dan otaknya bagaikan kosong, tak tahu apa yang
harus dibicarakan. Karenanya, untuk menutupi perasaan itu, ia berlagak pandangi
sekeliling rumah kayu tersebut.
"Di kamar mandi belakang
masih banyak air, kurasa cukup untuk mandi. Kalau kau ingin mandi, mandilah
sana. Biar badanmu lebih segar lagi."
"O, ya... baru saja aku
ingin katakan hal itu!" ujar Suto, lalu bergegas, untuk mandi.
Selama Suto pergi mandi,
Mustikani termenung di depan meja kayu berwarna coklat kehitaman. Apa yang
direnungkan adalah perasaannya yang tiba-tiba berubah aneh setelah mengetahui
sikap Suto Sinting sebenarnya.
Dan tiba-tiba sebaris ingatan
bagai menyengat hidungnya, sehingga gadis itu tersentak kaget dengan menegakkan
badannya dalam keadaan tetap duduk di bangku panjang.
"Ciri-ciri pakaiannya,
bumbung tuaknya, ketampanannya, ooh... semua itu pernah kudengar dari mulut
orang-orang yang pernah bertemu langsung dengan Pendekar Mabuk. Hmm... Apakah
dia si Pendekar Mabuk itu?!"
Mustikani berdebar-debar,
mulai gusar dan salah tingkah lagi.
"Sepertinya memang benar
dia si Pendekar Mabuk. Jika bukan Pendekar Mabuk, mana mungkin bumbung tuaknya
mampu menahan pukulan 'Tongkat Maut'-nya si Tulang Besi?! Oh, ya... aku yakin!
Yakin sekali, bahwa Suto adalah si Pendekar Mabuk!"
Mustikani hembuskan napas,
tubuhnya bagai terasa lemas karena debar-debar kegirangan menguasai jiwanya.
"Ya, ampuun... mengapa
baru sekarang kusadari kalau dia adalah si Pendekar Mabuk?!"
Kemunculan si pemuda seusai
mandi itu mengagetkan Mustikani. Gadis itu sempat menggeragap dan buru-buru
sembunyikan kekagetannya dengan berlagak menata tikar pelapis dipan bambu itu.
Suto Sinting sempat curiga, namun ia lebih pandai menyimpan kecurigaannya,
sehingga bersikap biasa- biasa saja. Seakan tak mengetahui kekagetan gadis
cantik jelita itu.
"Sekarang ada di mana
pemuda yang memberimu butiran racun berbahaya itu?" Mustikani makin
menutupi perasaannya.
"Seseorang telah
menyambarnya saat ia sekarat, ia sekarat karena ada orang yang kehendaki
kematiannya dengan melepaskan pukulan jarak jauh yang sangat membahayakan
jiwanya. Aku tak tahu siapa orang itu. Aku juga mengejar orang yang menyambar
Mahesa Gondes, tapi mungkin salah arah. Akhirnya aku lupa mengejarnya lagi
setelah melihat pertarunganmu dengan Sunggar Manik itu!"
Pendekar Mabuk duduk kembali
ke dipan tak berkasur itu. Mustikani duduk di sampingnya dalam jarak satu
jangkauan tangan.
"Mengapa kau bertanya
soal pemuda itu?" tanya Suto.
"Karena kau tadi tampak
ragu mau sebutkan suatu rahasia."
Pendekar Mabuk alihkan
pandangan ke atas meja. Di sana tergeletak pedang Mustikani yang tadi nyaris
merenggut nyawa Sunggar Manik. Gadis itu tetap arahkan pandangannya kepada
Suto. Pandangan mata itu seakan menuntut Suto untuk jelaskan rahasia yang
dimaksud. Akhirnya, Suto tak bisa sembunyikan hal itu karena tadi sudah
telanjur sebutkan tentang sebuah rahasia.
"Mahesa Gondes ingin
mengatakan sebuah rahasia, asal aku mau ikut minum tuak tersebut. Rahasia itu
adalah rahasia tentang Pedang Penakluk Cinta."
"Ooh...?!" Mustikani
terperanjat, duduknya bergeser lebih dekat lagi dengan Suto. Dalam jarak
seperti itu, ia bisa bicara pelan sekali dan tetap didengar oleh si pemuda
tampan itu.
"Apa yang ia katakan
tentang rahasia Pedang Penakluk Cinta itu?"
"Dia belum katakan
rahasia itu sudah telanjur diserang seseorang dan dibawa lari. Entah
penyerangnya sama dengan yang melarikan atau tidak aku tak jelas."
Gadis berbibir ranum itu
hembuskan napas tanda kecewa.
"Sayang sekali...,"
gumamnya lirih, lalu pandangan matanya tampak menerawang ke satu arah.
"Apakah kau tahu rahasia
Pedang Penakluk Cinta itu?" tanya Suto Sinting.
"Aku tak mengerti maksud
'rahasia' dalam kata-kata temanmu itu. Tapi seperti yang pernah kuceritakan
padamu, bahwa pedang itu dicuri oleh Sunggar Manik dan adiknya; Lentik Sunyi.
Pada saat Sunggar Manik dan Lentik Sunyi kupergoki, mereka tidak membawa pedang
tersebut. Aku menduga, pedang itu disembunyikan oleh mereka. Mungkin temanmu
yang bernama Mahesa Gondes itu tahu di mana pedang tersebut disembunyikan oleh
Sunggar Manik."
"Hmmm..., ya, mungkin
juga!" Suto Sinting sentakkan bahu satu kali. "Tapi mungkin juga
Mahesa Gondes itu sendiri yang menyembunyikan pedang tersebut."
Mustikani menjadi gelisah. Ada
kecemasan yang membias di permukaan wajah cantiknya. Kecemasan itu adalah rasa
takut dijatuhi hukuman mati oleh sang Ratu jika ia tak berhasil dapatkan Pedang
Penakluk Cinta.
"Sebenarnya, seberapa
dahsyat kesaktian pedang itu, Mustikani?" tanya Suto Sinting setelah
menenggak tuaknya lagi. Tuak di dalam bumbung tinggal sedikit, sehingga Suto
harus mulai hemat untuk tak terlalu sering meneguk tuaknya.
Mustikani menjawab pertanyaan
Suto Sinting dengan sesekali matanya memandang Suto, sesekali menerawang bagai
mengingat-ingat kedahsyatan pedang tersebut.
"Dua tahun yang lalu, aku
mulai menjadi pengikut Ratu Ladang Peluh. Selama setahun kurang, aku mengikuti
perjalanan Ratu Ladang Peluh sampai akhirnya kami berhasil merebut wilayah
Bukit Randa yang kini menjadi wilayah kekuasaan kami."
"Semula siapa yang
menguasai Bukit Randa?"
"Iblis Wajah Sutera, yang
sekarang sudah dikirim ke neraka oleh Ratu Ladang Peluh. Orang-orangnya pun
berhasil kami bantai habis, sehingga tak ada lagi aliran silat dari keturunan
Iblis Wajah Sutera." "Hmmm...," Suto Sinting hanya
manggut-manggut. "Selama itu aku melihat sendiri kesaktian Pedang
Penakluk Cinta," sambung
Mustikani. "Pedang itu mempunyai tiga kesaktian. Pertama, mampu menusuk
jantung orang melalui bekas telapak kaki orang tersebut. Kedua, jika lawan
tergores pedang itu, maka racun yang ada di dalam besi pedang akan menyerang
urat saraf setelah menyatu dengan darah, berpengaruh pada otak manusia yang
dapat membangkitkan gairah untuk bercinta. Pedang itu sebenarnya bukan terbuat
dari besi, melainkan dari jenis batu-batuan dari kerak bumi yang menyerupai
besi dan mempunyai kadar racun penggugah gairah bercumbu jika racun itu menyatu
dengan darah korban."
"Hebat sekali pedang
itu?!" gumam Suto Sinting. "Lalu, apa kesaktiannya yang ketiga?"
"Jika terkena sinar
rembulan dapat memantulkan cahaya putih. Cahaya putih itu jika kenai mata kita,
maka mata kita akan menjadi buta seumur hidup. Tak ada obat penyembuhnya."
"Cukup berbahaya juga
pedang itu!" gumam Suto Sinting lagi dengan membayangkan kehebatan pedang
tersebut. Segenggam kecemasan mulai bertaburan di hati Suto Sinting, karena
menurutnya pedang itu dapat menjadi biang bencana bagi kedamaian di dunia jika
berada di tangan orang sesat.
"Pedang itu harus
dihancurkan. Jika tidak, ia akan menjadi perusak kehidupan di muka bumi itu,
jika pemegangnya adalah tokoh persilatan sesat." Mustikani diam sebentar,
merasa tak enak mendengar ucapan itu. Tapi ia tak tunjukkan perasaan tak
enaknya itu, walau hati kecilnya menyadari bahwa selama ini ia telah menjadi
pengikut tokoh aliran hitam yang berjuluk Ratu Ladang Peluh.
"Apakah kau setuju jika
pedang itu dihancurkan?!" tanya Suto Sinting sambil ingin mengetahui jiwa
Mustikani yang sebenarnya. Ternyata gadis itu tak segera menjawab. Di wajahnya
tampak kebimbangan bercampur perasaan gelisah yang menjengkelkan diri sendiri.
"Agaknya kau tak setuju
jika pedang itu dimusnahkan," ujar Suto pelan sekali, berusaha untuk tidak
menyinggung perasaan si cantik jelita itu.
"Bukan soal setuju atau
tidak setuju. Tapi pedang itu sekarang sudah merupakan nyawaku. Jika aku gagal
membawa pulang pedang itu, maka aku akan dibunuh oleh Ratu Ladang Peluh,"
Mustikani mencoba mengungkapkan ganjalan hatinya.
"Jadi kau tak setuju jika
pedang itu kuhancurkan?" desak Suto Sinting seakan ingin mendengar
kepastian dari mulut si cantik jelita itu.
"Setuju saja, asal pedang
itu sudah berhasil kukembalikan ke tangan Ratu Ladang Peluh," kata
Mustikani setelah diam selama dua helaan napas, ia bicara sambil memandang
Suto. Pandangan matanya itu seakan mengharap pengertian tersendiri dari Suto
tentang niatnya itu. Suto Sinting segera sunggingkan senyum sambil
manggut-manggut, menandakan ia cukup mengerti maksud hati kecil Mustikani.
"Aku tak mau mati karena
gagal dalam tugas."
"O, ya! Aku paham
maksudmu. Kau tak mau terlibat dalam usaha menghancurkan pedang itu,
bukan?"
"Aku masih ingin hidup
lebih lama lagi, karena aku belum punya keturunan."
Senyum Suto menjadi lebih
lebar lagi.
"Mengapa tak segera
mencetak keturunan?" tanya Suto dengan kalem bernada menggoda. Mustikani
malu dan sembunyikan senyum masamnya.
"Kusarankan secepatnya
bersuami jika memang sekarang kau belum bersuami."
"Aku memang belum bersuami."
"Desaklah kekasihmu agar
cepat menikahimu, maka kalian akan segera mempunyai keturunan."
"Aku... aku tidak
mempunyai kekasih."
"Ah, kau bergurau!"
Suto Sinting menggoda dengan berlagak tak percaya.
"Tidak! Aku tidak
bergurau! Aku memang tidak mempunyai kekasih. Sejak putus dengan kekasihku yang
dulu, aku masih belum bisa percaya dengan hati seorang lelaki. Kuanggap setiap
lelaki hanya mencari kepuasan dan kehangatan tubuh seorang perampuan sepertiku.
Setelah puas, pergi dan mencampakkannya!"
"Kurasa... anggapan itu
kurang tepat," ujar Suto Sinting sambil segera menyimpulkan bahwa
Mustikani ternyata gadis yang patah hati dan tak mau percaya lagi kepada cinta
seorang lelaki. Tentunya hal itu terjadi akibat ia pernah dikhianati oleh
seorang lelaki. "Lelaki adalah sosok seorang manusia, demikian pula
perempuan. Yang membuat seorang lelaki menjadi pengkhianat cinta adalah
kepribadian orang itu sendiri, Mustikani. Pribadi manusia beraneka ragam, satu
dengan yang lainnya tidak bisa sama persis. Perempuan pun ada yang punya
kepribadian buruk, ada yang cenderung menjadi seorang pengkhianat cinta, tapi
tidak semua perempuan berkepribadian buruk."
Mustikani diam saja. Ia
sedikit tundukkan kepala karena merenung. Pendekar Mabuk sengaja biarkan gadis
itu hanyut dalam renungannya.
Suto Sinting sempatkan diri
menengok keadaan di luar rumah melalui jendela yang dibukanya sendiri. Ternyata
keadaan di luar rumah sepi-sepi saja dan sang rembulan muncul di balik awan.
Sangat sedikit, sehingga sinarnya hanya teram-temeram menerangi permukaan bumi.
Jendela ditutup, Suto Sinting
kembali duduk di dipan. Kali ini ia duduk lebih dekat lagi dengan Mustikani. Ia
beranikan diri mengusap punggung gadis cantik berkulit kuning langsat itu.
"Buanglah kepicikanmu
sebelum kau bisa menilai seseorang dengan benar, penilaian terhadap pribadi
seseorang tidak boleh dibarengi dengan dendam dan kesumat. Pandanglah kehidupan
dari berbagai sisi, jangan hanya satu sisi saja."
"Akan kucoba," ujar
Mustikani dengan lirih sekali. Suto
Sinting beranikan diri
untuk menyentuh dagu
Mustikani. Wajah
yang sedikit tertunduk itu didongakkan pelan-pelan hingga mereka
saling beradu pandang.
Senyum lembut sengaja
dipamerkan oleh Suto bersama tutur kata yang sedikit bernada bisik.
"Melangkahlah lagi ke
jalan penuh kasih. Jangan takut gagal, karena jika kau takut gagal berarti kau
takut berhasil."
"Ya, aku mengerti,"
balas Mustikani dalam bisikan pula.
"Cobalah mencari seorang
kekasih yang dapat mendamaikan hatimu."
"Selama ini tak ada. Yang
ada hanya kepalsuan. Tapi akan kucoba membuka hatiku kembali untuk menerima
kehadiran seorang lelaki yang dapat kujadikan dambaan hatiku."
"Bagus!" tegas Suto
Sinting seraya lebarkan senyum. "Masih banyak kesempatan bagi gadis
secantik dirimu, Mustikani. Jangan hancurkan hatimu oleh dendam dan kebencianmu
sendiri. Aku yakin, cepat atau lambat kau pasti akan temukan kedamaian
itu."
"Adakah kedamaian di
hatimu sendiri?" "O, ya... tentu ada."
"Dapatkah kau berikan
kedamaian itu untukku?"
Suto Sinting menjadi
terbungkam sesaat, ia bingung menjawab, karena ia tahu maksud Mustikani.
Apalagi gadis itu segera tambahkan kata di sela keheningan mereka berdua itu.
"Kurasa jika aku selalu
bersamamu, aku akan memperoleh kedamaian yang hakiki." Hanya sehela napas
yang dihempaskan pelan bersama senyuman tawar. Sebenarnya Suto ingin katakan
bahwa harapan Mustikani untuk mendapatkan kedamaian dan kasih sayang dari Suto
adalah hal yang tak mungkin, sebab Suto sudah mempunyai seorang kekasih
sendiri, bahkan calon istri, yaitu Dyah Sariningrum, penguasa negeri Puri
Gerbang Surgawi di Pulau Serindu. Tetapi hati kecil Suto tak tega untuk
menjelaskan hal itu, sekalipun hal itu adalah kejujuran yang patut dihargai
dari seorang lelaki.
"Banyak hal yang harus kita
pertimbangkan masak- masak dalam menentukan pendamping hati. Pertimbangan itu
membutuhkan waktu dan tak mungkin bisa diputuskan sesingkat ini,
Mustikani."
"Ya, aku mengerti sekali.
Tapi... itu hanya suatu harapan. Toh harapan tak harus menjadi kenyataan. Bisa
gagal dan bisa pula berhasil."
"Aku senang jika kau
mulai bisa berpandangan seperti itu. Kau tampak lebih cantik dari sebelumnya,
Mustikani."
"Benarkah?"
Pendekar Mabuk anggukkan
kepala. Senyumnya yang kian menawan hati si gadis membuat si gadis tambah
berdebar-debar.
Jari tangan yang masih pegangi
dagu itu kini merayap ke pipi Mustikani merasa dibuai oleh sentuhan penuh
damai, ia biarkan sentuhan jemari itu hingga nyata-nyata merupakan usapan
tangan penuh kelembutan. Mustikani pejamkan mata untuk resapi tiap sentuhan
lembut itu. Saat mata si gadis terpejam, Pendekar Mabuk bertambah gemetar
karena pandangi bibir ranum yang menggemaskan itu. Akhirnya dengan tekad berani
tanggung risiko kena tampar tujuh kali, Pendekar Mabuk segera dekatkan wajah, lalu
bibirnya menyentuh pipi si gadis.
Ternyata Mustikani diam saja.
Bahkan tangannya meremas tangan Suto Sinting yang jatuh di pangkuannya. Remasan
itu merupakan pertanda bahwa lampu hijau telah dinyalakan, Suto dipersilakan
masuk.
Maka ciuman Suto yang lembut
sekali itu merayap hingga menyentuh bibir. Bibir ranum itu segera dikecupnya
pelan-pelan sekali. Cuup...! Suto melumat bibir itu sesaat, si gadis justru
memberi peluang dengan merekahkan bibirnya dan pasrah lidahnya untuk dipagut.
Ternyata Suto benar-benar memagut lidah itu dengan pagutan sangat lembut,
sentuhan keindahannya sampai ke dasar kalbu si gadis.
Tangan si gadis akhirnya
memeluk Suto Sinting. Seakan ia meraih sebentuk kebahagiaan sejati yang jarang
diperoleh dari seorang lelaki. Kebahagiaan liar memang sering diperolehnya,
namun yang sejati dan agung seperti malam itu, sama sekali tak pernah
diperolehnya. Karena itulah pelukan itu menjadi sangat erat, Mustikani seakan
tak ingin lepaskan apa yang telah menyiram hatinya dengan damai dan sejuk itu.
"Ooh.... Suto, sudah...
sudah, Suto. Jangan teruskan," bisik si gadis dengan suara gemetar.
"Bau keringatmu masih
harum, sulit membuatku hentikan ciuman ini, Mustikani," ujar Suto yang
juga membisik di sekitar leher dan telinga kiri gadis itu.
"Jangan teruskan, Suto.
Kau... kau bukan para budak cinta piaraan sang Ratu!"
"Balaslah ciumanku,
Mustikani. Balaslah...!" pinta Suto seakan membangkitkan semangat
Mustikani yang telah lama terkubur ditimpa dendam itu.
"Aku tak mau... aku tak
mau kau hanyut dan terlena dalam buaianku. Kau bukan para budak pemuas gairah
kami, Suto.... Kumohon, hentikanlah sebelum kau terkena racun
kemesraanku."
"Balaslah!"
"Tidak. Aku tidak mau!
Aku kotor dan kau tak pantas menerima kekotoran ini, Suto. Oouh... jangan pancing
gairahku, Suto. Nanti akan mengamuk dan membuatmu kewalahan."
"Lawanlah aku, Mustikani!
Lawanlah. "
"Tidak, Suto! Jangan
paksa aku untuk, oooh. Suto,"
desah Mustikani dengan
meremaskan kedua tangannya ke punggung Suto, pertanda sedang menahan gejolak
gairah yang tak ingin dilepaskan kepada Suto. Mustikani merasa tidak layak
menerima kelembutan yang begitu indahnya dari seorang pemuda seperti Suto
Sinting, sebab ia tahu Suto Sinting adalah Pendekar Mabuk. Nama besar pemuda
itu terlalu agung baginya.
Mustikani akhirnya terkulai
lemas dalam pelukan Suto Sinting karena menahan gejolak gairahnya mati- matian,
ia terpaksa harus puas menerima kebahagiaan dari Suto walau dengan hanya
menyandarkan kepala di dada bidang sang Pendekar Mabuk itu.
6
TIDUR nyenyak dalam pelukan
Pendekar Mabuk merupakan kebanggaan tersendiri bagi Mustikani. Udara dingin
yang biasanya meresap ke tulang, malam itu dapat dikalahkan oleh hangatnya
pelukan sang Pendekar Mabuk.
Mimpi pun menjadi indah. Mimpi
jalan di atas padang bunga, mimpi terbang sampai menyentuh rembulan, mimpi
bertarung dengan siapa pun selalu menang, mimpi makan tempe rasa ayam panggang,
dan berbagai macam mimpi indah lainnya datang silih berganti membuat hati
Mustikani selalu diliputi rasa senang.
Pendekar Mabuk sendiri juga
merasa memperoleh kebahagiaan selama tidur memeluk gadis cantik jelita. Mimpi
yang hadir dalam tidur Suto juga serba indah; bertemu dengan arwahnya Pesona
Indah yang pernah menjadi utusan Ratu Asmaradani, berkunjung ke Padepokan Griya
Indah, menunggang kuda yang bernama Indah Turangga dan hal-hal yang serba indah
lainnya.
Tak heran jika mereka berdua
akhirnya bangun kesiangan. Mustikani menggeragap dan wajahnya menjadi pucat
pasi. Tubuh gadis itu gemetar dengan jantung berdebar-debar keras.
Suto Sinting yang membuka mata
dalam keadaan masih berbaring sempat merasa heran melihat Mustikani sepucat
itu.
"Bangun kesiangan saja
sampai gemetaran dan pucat sekali kau, Mustikani."
"Bu... bukan karena
bangun kesiangan, tapi... lihat itu...!"
"Astaga!" Suto
Sinting juga kaget dan segera melompat dari dipan bambu. Ternyata di pintu
rumah kayu itu sudah berdiri seorang lelaki tua berjubah putih dengan rambut
pendek dan kumis abu-abu. Lelaki itu berusia sekitar enam puluh tahun, bertubuh
sedang tapi berwajah tegas, matanya memandang dengan tajam.
"Siapa dia?" bisik
Suto Sinting. "Kakekku...," Jawab Mustikani dengan lirih.
"Pantas wajahmu jadi
pucat pasi, rupanya kau takut karena dipergoki kakekmu sedang tidur bersamaku.
Hmmm... katakan saja kalau kita hanya tidur biasa, tanpa luar biasa!"
bisik Pendekar Mabuk yang terpaksa cengar- cengir karena dipandang tajam oleh
Ki Belantara, kakek Mustikani.
Sang kakek segera mengangkat
tangan kirinya dan menyentak ke depan. Wuuut...! Ternyata ia mengeluarkan tenaga
dalam yang menerjang Mustikani, membuat gadis itu terlempar jatuh di atas dipan
bambu.
Gubraaakk...!
"Untuk apa kau pulang,
Gadis Liar!" geram Ki Belantara menampakkan kemarahannya. Mustikani tak
berani melawan, ia diam saja dan bersimpuh di atas dipan dengan kepala
tertunduk dan menahan kesedihan.
"Kau sudah tak layak lagi
singgah di rumahku, Gadis Liar!" bentak Ki Belantara, lalu tubuhnya
melompat ke atas dipan ingin menendang Mustikani. Tapi dengan cepat Pendekar
Mabuk sentilkan jarinya yang dapat keluarkan gelombang tenaga dalam itu.
Tees..! Buuhk...!
Ki Belantara terpental dan
menabrak pintu yang telah dibuka dari luar tadi. Gubraaak...! Bruuk...!
Seet...! Kakek itu bangkit
dengan secepatnya. Napasnya ditarik panjang-panjang, matanya menatap lebih
tajam. Suto Sinting maju dengan sikap masih menghormat dan salah tingkah.
"Jadi sekarang kau ingin
menjadi pembela cucuku, Bocah Sapi?!" geram Ki Belantara kepada Suto
Sinting.
"Maaf, Ki...! Kami hanya
tidur biasa, tanpa melakukan gitu-gituan. Kumohon jangan marah kepada
Mustikani, Ki. Jika kau ingin marah, marahlah padaku. Pukullah aku sepuas
hatimu asal pelan-pelan, Ki!"
"Aku tidak menuduh kalian
berbuat mesum di sini! Aku hanya marah kepada cucuku yang bandelnya melebihi
cucu setan itu!" sambil Ki Belantara menuding Mustikani dengan
tegas-tegas.
Ki Belantara mendekati Suto
Sinting.
"Dengar, gadis itu sudah
menjadi pengikut Ratu Ladang Peluh alias ratu kebejatan! Pasti sudah ikut-
ikutan bejat seperti ratu itu. Entah berapa lelaki yang sudah jatuh dalam
pelukannya untuk memuaskan gairahnya. Dia sudah menjadi gadis yang kotor, hina,
dan celaka! Aku tak sudi punya cucu sesat seperti dia! Aliran hitam bukan
aliranku. Jika ia menjadi pengikut ratu aliran hitam, berarti dia sudah menjadi
musuhku! Musuhku tak boleh tinggal di pondokku ini!"
Mustikani segera turun dari
dipan, berlari ke arah kakeknya, lalu bersimpuh sambil memeluk kaki sang Kakek.
Tangisnya tercurah di sana hingga terisak-isak.
"Ampunilah aku, Kakek...
ampunilah aku...! Aku memang bersalah, tak mau menuruti nasihatmu kala itu.
Ampunilah aku... hukumlah aku seberat mungkin! Aku akan terima hukuman darimu
apa saja, asal aku tetap kau akui sebagai cucumu, Kek...!"
Tangis Mustikani membuat Suto
Sinting bergegas keluar dari pondok itu. Ia tak tega, tak bisa melihat gadis
menangis sebegitu menyedihkan. Bagi Suto, lebih baik melihat pemandangan indah
serba hijau daripada melihat seorang gadis menangisi penyesalannya.
Rupanya Ki Belantara sangat
marah ketika Mustikani nekat bergabung dengan Ratu Ladang Peluh, ia tak sempat
mencegah cucunya lagi, dan sengaja membiarkan sang cucu bergabung dengan ratu
sesat itu. Tetapi untuk selanjutnya Ki Belantara merasa tak memiliki cucu lagi
dan menganggap Mustikani bukan lagi cucunya. Karena itu, Ki Belantara menjadi
berang melihat Mustikani berada di pondoknya karena ia sudah menganggap gadis
itu tidak punya hubungan apa-apa dengannya.
Suto Sinting membiarkan
persoalan mereka diurus oleh mereka berdua di dalam rumah kayu itu. Suto
Sinting sengaja nyelonong ke kamar mandi dan menyegarkan badan di belakang
rumah, ia tak mau ikut campur urusan pribadi antara kakek dan cucu itu.
Bagaimanapun juga, ternyata cinta sang Kakek terhadap cucunya masih tetap ada,
walau tertimbun oleh kemarahan yang terpendam selama dua tahun. Akhirnya, Ki
Beiantara pun tak tega untuk tidak mengakui Mustikani sebagai cucunya. Sang
cucu akhirnya dipeluk dengan seribu ampun yang menjengkelkan diri sendiri bagi
Ki Belantara.
"Aku tidak ingin kembali
ke Bukit Randa! Aku tidak mau jadi pengikutnya lagi. Suto Sinting telah bicara
banyak padaku dan membuatku sadar, Kek!" tutur sang cucu di sela
tangisnya. "Aku ingin kembali menjadi gadis baik-baik dan meninggalkan
aliran sesat sang Ratu! Terimalah aku sebagai cucumu lagi, Kek... karena aku
tak punya orangtua lagi, tak punya sanak saudara lainnya. Hanya kau yang
kupunyai sebagai sisa leluhurku, Kek "
Ratapan itu yang membuat hati
Ki Belantara akhirnya luluh. Pendekar Mabuk dipanggil saat pemuda itu berdiri
di bawah pohon depan rumah sambil menenteng bumbung tuaknya dan memandangi
pohon-pohon sekitarnya.
"Aku ingin kau menjadi
saksi!" kata Ki Belantara. "Saksi apa maksudmu? Apakah di sini ada
pembunuhan?" tanya Suto
Sinting.
"Bukan saksi pembunuhan,
tapi saksi pengakuan!" tegas ki Belantara. "Cucuku, si Mustikani,
berjanji tidak akan kembali menjadi pengikutnya Ratu Ladang Peluh. Dia ingin
kuterima lagi sebagai cucuku. Dia bersedia menjalani hukuman dariku!"
"Benar aku berjanji seperti itu di depanmu, Suto!"
Pendekar Mabuk nyengir bingung
sendiri. Baru sekarang ia menjadi saksi seperti itu. Tapi agaknya ia harus
ikuti permainan yang ada.
"Aku ingin kau menjadi
saksi kesanggupan Mustikani dalam menjalani hukuman dariku!" ujar si
kakek.
"Hukuman apa maksudmu, Ki
Belantara?" "Mustikani tidak boleh keluar dari batas halaman
rumah ini selama tujuh bulan,
dan harus bisa kuasai jurus 'Beruang Menari' yang akan kuajarkan padanya!"
"Ooh...?! Tujuh
bulan?!" Mustikani kaget.
Suto Sinting mengerti
keberatan hati Mustikani, maka ia mencoba meringankan hukuman itu dengan
berkata kepada Ki Belantara, "Tujuh bulan itu terlalu menyiksa hati
cucumu, Ki. Bisa-bisa begitu selesai jalankan hukuman, cucumu menjadi gadis
yang kurus dan sakit- sakitan karena tekanan batin. Apakah kau tak malu punya
cucu yang kurus, kerempeng, sakit-sakitan, kena angin sedikit roboh?!"
"Hmmm...," Ki
Belantara diam sesaat. "Kalau begitu lima bulan saja!"
"Tiga bulan!" tegas
Suto.
"Ini hukuman! Bukan
jualan kambing yang bisa ditawar!"
"Tapi tiga bulan tak
boleh keluar halaman rumah ini sudah merupakan siksaan berat bagi seorang gadis
secantik dia, Ki! Percayalah, dengan tiga bulan terkurung di sini dia akan jera
dan tak akan berani menentang nasihatmu lagi!" Setelah diam sesaat, Ki
Belantara berkata, "Baiklah! Tiga bulan tak boleh ke mana-mana. Tapi dalam
waktu tiga bulan dia harus kuasai jurus 'Beruang Menari'. Jika belum bisa
kuasai jurus itu, dia tak boleh ke mana- mana!"
"Baik! Aku setuju!"
ujar Suto.
"Yang mau jalani hukuman
adalah cucuku! Mengapa kau yang menyatakan setuju? Kau hanya kubutuhkan sebagai
saksi saja!" ujar Ki Belantara membuat Suto Sinting nyengir sambil
palingkan wajah.
"Bagaimana denganmu,
Mustikani?! Sanggup jalani hukuman itu?!"
Mustikani anggukkan kepala di
depan kakeknya. "Sanggup, Kek! Tapi bagaimana dengan... dengan pedang
itu?!"
Suto Sinting segera teringat
tentang Pedang Penakluk Cinta, ia menatap Mustikani yang masih diliputi
kecemasan.
Ki Belantara perdengarkan
suaranya di sela keheningan mereka, "Aku tahu maksudmu, Mustikani! Seperti
yang kau tuturkan dalam tangismu tadi, kau mendapat tugas oleh Ratu Ladang
Peluh untuk dapatkan Pedang Penakluk Cinta yang dicuri Sunggar Manik. Jika kau
tak berhasil, maka kau akan dibunuh oleh ratu bejat itu. Tapi sekarang
keadaannya sudah lain, Cucuku! Ratu bejat itu harus berhadapan denganku jika
akan jatuhkan hukuman seperti itu padamu! Kau sudah menjadi orang hukumanku
lebih dulu, dan si ratu bejat tak bisa merebut tawananku seenaknya
sendiri." "Aku akan mencari pedang itu!" sahut Suto tiba-tiba.
Ki Belantara menatap Suto dengan dahi berkerut,
"Kau ingin memiliki
pedang itu?!"
"Ya. Aku ingin
memilikinya sekejap untuk kemudian akan kuhancurkan!"
"Bagus!" sentak Ki
Belantara mengagetkan Suto dan Mustikani. Si kakek tampak bersemangat sekali
setelah mendengar ucapan Suto Sinting tadi.
"Aku akan membantumu
menghancurkan pedang itu, Pendekar Mabuk!" ujar Ki Belantara. Kali ini
ucapan itu benar-benar membuat Suto Sinting tercengang dan terbengong beberapa
saat. Ki Belantara sunggingkan senyum tipis melihat si pemuda tercengang.
"Dari mana kau tahu kalau
aku adalah Pendekar Mabuk?!"
"Dari ciri-cirimu!"
jawab Ki Belantara sambil melangkah ke dapur. Suto dan Mustikani saling
pandang. Gadis itu juga sunggingkan senyum sambil segera palingkan wajah ke arah
lain.
"Sial! Rupanya gadis itu
juga sudah tahu kalau aku adalah Pendekar Mabuk?!" gumam Suto dalam
hatinya.
Ki Belantara keluar dari dapur
sambil perdengarkan suaranya.
"Bumbung tuakmu,
ketampananmu, dan semua yang ada padamu membuatku yakin bahwa kau adalah murid
si Gila Tuak. Sekalipun aku belum pernah bertemu Gila Tuak, tapi namanya sangat
kukenal."
Ki Belantara dekati Suto,
memandang dalam jarak dua langkah. "Karena itulah aku tak berani bertindak
terlalu kasar padamu, karena aku tahu cucuku kembali bersama seorang pemuda
yang tak lain adalah Pendekar Mabuk! Sebab itu pula kau kujadikan saksi dalam
menebus kesalahan cucuku ini!"
"Kau memang hebat,
Ki!" ujar Suto tanpa alasan, karena ia ingin tutupi rasa canggung dan
kikuk sejak Pak Tua itu memandangnya penuh rasa kagum.
"Pedang itu dapat kita
temukan setelah kita berhasil menemukan muridku!"
Mustikani kaget. "Oh,
jadi sekarang Kakek sudah punya murid?!"
"Ya. Aku kesepian tanpa
dirimu, Mustikani. Lalu seorang pemuda pencari kayu bakar kutemukan, dan
kuangkat sebagai muridku. Tapi sayang pemuda itu bandelnya sama denganmu,
Mustikani!"
Pendekar Mabuk tertawa pelan
seperti orang menggumam. Tapi tawa itu segera hilang setelah Ki Belantara
menunjukkan benda kecil bagai sebutir kacang tanah berwarna hitam. Rupanya
benda itu sejak keluar dari dapur sudah ada di dalam genggaman Ki Belantara.
"Muridku itu mencuri
beberapa butir racun perubah jiwa yang belum selesai kuracik ini!"
Suto Sinting terkejut dengan
mata melebar. "Ooh, ini... ini 'ceriping raja' yang pernah kutelan dari
"
"Mahesa Gondes!"
sahut Ki Belantara. Suto Sinting dan Mustikani menarik napas jelas-jelas
sebagai tanda terkejutnya.
"Kulihat kau memang
tergoda oleh bujukan muridku yang masih bodoh itu, Pendekar Mabuk. Kulihat
kalian bersenang-senang dan geleng-geleng kepala. Lalu dengan jengkel kuhantam
sendiri muridku, kubuat sekarat, dan kubawa lari agar ia tidak buka rahasia
tentang obat perubah jiwa manusia ini!"
"Oh, jadi kau yang
menghantam Mahesa Gondes dengan sinar merah, dan kau pula yang menyambar pemuda
itu saat ia terkapar?!"
"Benar!" jawab Ki
Belantara dengan tegas. "Dan aku berhasil menghindar dari kejaranmu. Tapi
saat kusembuhkan anak itu dari lukanya, tiba-tiba aku diserang musuh lamaku;
Janarpati karena dendam lamanya! Kami bertarung hingga menjelang petang.
Janarpati melarikan diri, aku mengejarnya tanpa pedulikan Mahesa Gondes lagi.
Ketika kurasakan tak berhasil mengejar Janarpati, aku kembali hampiri Mahesa
Gondes, ternyata anak itu sudah tak ada. Kucari hingga fajar terbit di ufuk
timur, namun Mahesa Gondes tetap tidak kutemukan. Kusangka ia pulang kemari,
ternyata tidak!"
Mustikani segera ajukan tanya
setelah mereka sama- sama bungkam beberapa helaan napas.
"Untuk apa Kakek
menciptakan racun itu?" "Meracuni orang-orang Bukit Randa! Terus
terang,
aku muak dengan tingkah laku
Ratu Ladang Peluh yang sempat menggiurkan cucuku hingga cucuku bersekutu
dengannya!"
"Aku hanya ingin membalas
sakit hatiku kepada Raden Pundawa dengan menggunakan kekuatan Ratu Ladang Peluh.
Sebab aku tak mungkin unggul melawan Raden Pundawa yang telah merenggut
kesucianku dan menghancurkan hatiku dengan cinta palsunya itu. Dengan
menggunakan Pedang Penakluk Cinta, Raden Pundawa telah berhasil ditaklukkan
oleh sang Ratu. Ia menjadi pelayan cinta sang Ratu sampai akhirnya mati di
kamar sang Ratu. Aku puas melihat kematiannya!"
Ki Belantara menghempaskan
napas. "Mengapa kau tidak mengatakan hal itu pada kakekmu ini, Mustikani?!
Kau sangka kakekmu ini tak sanggup menghajar Raden Pundawa?!"
"Kakek punya hubungan
baik dengan ayah Raden Pundawa, sang Adipati Kumatan itu! Tentunya cara Kakek
menangani Raden Pundawa berbeda dengan Ratu Ladang Peluh!"
Ki Belantara tarik napas lega,
memaklumi jalan pikiran sang cucu. Ia segera melupakan masalah itu, dan lebih
bersemangat menyambut niat Suto Sinting untuk menghancurkan Pedang Penakluk
Cinta yang belum diketahui ada di mana itu.
"Sebaiknya kita segera
mencari Mahesa Gondes. Dia tahu persis rahasia pedang tersebut! Karena
kudengarkan celotehnya selama mabuk obatku ini, ia selalu sebut- sebut tentang
Pedang Penakluk Cinta," ujar Ki
Belantara. Suto setuju, lalu mereka pun pergi dan meninggalkan Mustikani
di pondok tersebut.
*
* * 7
DALAM perjalanan mencari
Mahesa Gondes, Ki Belantara sempat jelaskan maksudnya menciptakan tuak racun
yang dinamakan Mahesa Gondes sebagai tuak 'ceriping raja' itu. Menurut Ki
Belantara yang ingin hancurkan kekuatan di Bukit Randa, tuak racun perusak jiwa
itu dapat melumpuhkan kekuatan Ratu Ladang Peluh secara tak kentara. Rencananya
racun itu akan dimasukkan ke dalam sumber air yang mengalir ke Istana Bukit
Randa.
"Dengan memasukkan racun
itu, maka orang-orang Bukit Randa akan lemah dan mereka akan lengah karena
sibuk bersukaria. Dalam keadaan seperti itu, aku dapat menghancurkan Ratu
Ladang Peluh dan pengikutnya, namun cucuku bisa kuselamatkan. Racun itu kucari
sendiri dari getah dan akar-akaran. Ada satu akar yang belum kumasukkan dalam
tuak itu, tapi tuak tersebut sudah telanjur banyak dicuri oleh Mahesa Gondes
sialan itu!"
Suto tertawa kecil, ia
mengerti maksud jalan pikiran Ki Belantara. Kakek itu merasa tak akan unggul
jika bertarung dengan Ratu Ladang Peluh yang pasti akan menggunakan senjata
Pedang Penakluk Cinta. Oleh sebab itu, si jubah putih berikat kepala hitam itu
ingin membuat lawannya lupa tentang pedang tersebut dengan racun yang membuat
orang selalu senang dan terbuai oleh keindahan.
"Aku pernah mempunyai
seorang sahabat yang bernama Mahesa Gibas," ujar Suto. "Apakah Mahesa
Gondes bersaudara dengan Mahesa Gibas, karena namanya hampir sama."
"O, aku pernah mendengar
nama Mahesa Gibas dari mulut Mahesa Gondes. Mereka bukan bersaudara, melainkan
hanya berkawan. Semula mereka sahabat karib. Mereka sama-sama menggunakan nama
Mahesa sebagai ikatan persahabatan, tapi mereka punya nama asli sendiri-sendiri
dan tidak ada hubungan keluarga. Mereka itu sebenarnya pemuda-pemuda yang tak
punya pengarah hidup sehingga mereka bertindak seenaknya sendiri."
"Ooo...," Suto
Sinting menggumam lega. Rupanya soal nama saja sempat mengganjal di hati Suto
Sinting, sehingga ia menyempatkan diri untuk menanyakannya.
Langkah mereka berdua terhenti
mendadak. Ada suara orang memekik bukan karena kesakitan tapi karena luapan
kemarahan. Suara pekikan itu ada di sebelah timur mereka. Suto Sinting segera
mengajak Ki Belantara untuk menuju ke arah suara pekikan itu.
"Jangan-jangan muridku
sedang bertarung dengan seseorang?!" gumam Ki Belantara sambil bergegas
menuju ke timur.
Ternyata suara itu datang dari
balik bukit cadas tanpa nama. Bukit itu tak begitu tinggi, mudah di daki dari
sisi barat. Suto Sinting dan Ki Belantara berada di atas bukit itu, mereka
berlindung di balik bebatuan tinggi, menatap ke arah pertarungan yang terjadi
di bawah sana.
Pertarungan itu dilakukan oleh
seorang perempuan muda yang usianya sekitar dua puluh enam tahun. Mengenakan
jubah tanpa lengan warna jingga dengan kain pembalut bagian bawahnya juga
berwarna jingga longgar, ia tampak mengenakan penutup dada warna hitam kecil,
sehingga sebagian kulit dadanya tampak coklat mulus. Perempuan muda itu
mempunyai rambut panjang yang digulung ke atas, sisanya dibiarkan berjuntai
seperti ekor kuda.
Wajah perempuan itu cantik.
Tapi matanya berkesan jalang. Bibirnya sedikit tebal, dan mengundang selera
untuk bercumbu. Seakan tiap ia tersenyum selalu menyebarkan daya tarik untuk
bercumbu. Perempuan itu bertubuh sekal, padat dan montok. Mata Suto Sinting
sempat tak berkedip memandanginya.
"Ssst...!" Ki
Belantara menendang betis Suto ketika Suto terbengong melompong pandangi
perempuan berjubah jingga itu. Suto Sinting buru-buru sadar dan nyengir malu,
hindari pandangan mata Ki Belantara yang
cemberut itu.
"Jangan mudah tergiur!
Kau belum kenal siapa perempuan itu."
"Memang belum, Ki. Siapa
perempuan montok itu?" "Jerami Ayu!"
"O, pantas!"
"Pantas apa?"
"Pantas ayu!" jawab
Suto lirih sambil berbisik.
"Dia orangnya Ratu Ladang
Peluh. Tapi kudengar dia sudah memisahkan diri dari Ratu Ladang Peluh karena
persoalan pribadi dengan ratu bejat itu."
"Ooo...," Suto
menggumam lirih. "Mengapa kau selalu mengatakan Ratu Ladang Peluh sebagai
ratu bejat?!"
"Karena dia selalu
mencari mangsa seorang lelaki muda dengan pedang pusakanya, ia menampung lelaki
muda sepertimu cukup banyak untuk dijadikan pemuas gairahnya. Kau belum tahu, kehidupan
di istana Bukit Randa sangat bejat. Mereka bebas bercinta dengan lelaki mana
pun, kecuali lelaki yang sedang menjadi pilihan si ratu bejat, tak boleh
dipakai oleh anak buahnya! Menurutnya, darah kemesraan seorang pemuda dapat
membuatnya panjang umur dan tetap cantik, sehingga... kurasa tak perlu
kuceritakan lagi kau sudah bisa membayangkan seperti apa gilanya kehidupan
bercinta di dalam istana Bukit Randa itu."
"Ya, kau benar, Ki. Kau
tak perlu bercerita dulu, sebab kulihat pemuda yang sedang bertarung melawan
Jerami Ayu itu mulai keluarkan jurus mautnya!"
Blegaaarr...!
"Apa kataku, jurus
mautnya keluar, bukan?!" bisik Suto Sinting setelah mendengar ledakan
cukup dahsyat dan mengguncangkan bukit cadas itu. Ledakan itu timbul akibat benturan sinar kuning yang
keluar dari tangan seorang pemuda gagah berpakaian hitam. Sinar kuning itu
ditangkis dengan sinar biru yang keluar dari tangan Jerami Ayu. Sehingga
meledak di pertengahan jarak, membuat pemuda itu terpental dan jatuh
berguling-guling bagai diterjang badai. Jerami Ayu sendiri terlempar kuat
hingga membentur pohon dengan keras. Bruuus...! "Jangan campuri dulu
urusan mereka! Kita lihat sampai di mana kekuatan si Jerami Ayu," bisik Ki
Belantara. Suto Sinting setuju dan anggukkan kepala.
Tapi tiba-tiba Ki Belantara
tampak terkejut setelah melihat Jerami Ayu cabut pedang yang sejak tadi
diselipkan di pinggang kirinya.
"Ooh...?! Ternyata di
sana?!" gumam Ki Belantara dengan nada tegang, memancing rasa ingin tahu
Pendekar Mabuk.
"Apa maksudmu, Ki?"
"Lihat, Jemari Ayu
mencabut pedang hitam!"
"Ya, aku melihatnya.
Kurasa ia merasa terdesak dan ingin segera tumbangkan si pemuda. Kau kenal
siapa pemuda itu, Ki?"
"Tidak! Tapi aku mengenal
pedang di tangan Jerami Ayu. Pedang hitam itu adalah Pedang Penakluk
Cinta!"
"O, ya...?!" Suto
terperangah kaget. "Kau tak salah pandang, Ki?"
"Kudengar penjelasan dari
seorang sahabatku yang pernah melihat Ratu Ladang Peluh menggunakan Pedang Penakluk Cinta, katanya pedang itu
berwarna hitam karena terbuat dari batu kerak bumi yang kerasnya melebihi besi.
Gagang pedang berbentuk dua hati berempetan. Bukankah gagang pedang di tangan
Jerami Ayu juga berbentuk dua hati berdampingan?!"
"Hmmm... ya, memang
benar. Tapi apakah pedang itu memang Pedang Penakluk Cinta? Bukankah menurut
cucumu pedang itu dicuri oleh Sunggar Manik?!"
Ki Belantara tak sempat
menjawab, karena mereka segera menyimak suara Jerami Ayu yang berseru kepada
lawannya.
"Sambada! Kali ini kau
tak bisa lari dari pelukanku!
Lihat, apa yang ada di tanganku
ini?!"
"Hmm...! Kau kira pedang
murahan itu bisa meluluhkan hatiku untuk tetap mencintaimu?! Tidak,
Jerami!"
Rupanya pemuda yang bernama
Sambada itu tidak tahu tentang pedang di tangan Jerami Ayu. Pemuda tinggi,
tegap, gagah, dan bercambang tipis dengan rambut ikal bergelombang sepanjang
bahu itu sengaja maju dekati Jerami Ayu. Dua pisau yang ada di pinggang kanan-kirinya itu segera dicabut.
Masing- masing pisau panjangnya sekitar dua jengkal lebih sedikit, ia memainkan
pisaunya itu dengan jurus-jurus yang punya gerakan cepat.
Jerami Ayu tersenyum dan mulai
melangkah ke samping seraya mengangkat pedang hitam itu dengan kedua tangannya.
Sarung pedang yang terbuat dari ukiran kayu cendana berlapis emas pada
tepiannya itu masih terselip di pinggang. Kemewahan sarung pedang itulah yang
membuat Suto Sinting mulai yakin bahwa pedang itu adalah Pedang Penakluk Cinta.
Aroma harum cendana menyebar dan tercium oleh hidung Suto ketika angin
berhembus ke arahnya.
"Saatnya kita bergerak,
Pendekar Mabuk!" bisik Ki Belantara.
"Aku saja yang
menanganinya, Ki!" bisik Suto, lalu bersiap untuk lakukan serangan yang
dapat menghancurkan pedang itu.
Tetapi sebelum Suto bergerak,
tiba-tiba terdengar suara orang melantunkan tembang dari arah barat. Suara itu
membuat Ki Belantara dan Suto Sinting menengok ke arah barat, tempat datangnya
mereka tadi.
"Uuh, lalala... ceriping
sendok aduh kerasnya. Uuh, lalala..."
"Itu dia si Mahesa
Gondes, Ki!" sentak Suto dengan suara bisik.
"Kucing kurap, kadal
kudis...! Dia masih tetap mabuk racun itu rupanya?!"
"Mungkin dia habis minum
tuak beracun itu, Ki!" "Kurasa begitu, karena ia mencurinya satu guci
penuh."
"Edan!" gumam Suto
Sinting sambil geleng-geleng kepala.
Perhatian mereka terhadap
Jerami Ayu dan Sambada terlupakan sesaat. Dan pada saat itu mereka segera
melihat kemunculan seorang gadis berpakaian biru tutul- tutul putih, mengenakan
ikat kepala kulit macan tutul. Gadis itu tak lain adala Sunggar Manik yang muncul dari belakang Mahesa Gondes, langsung
menerjang pemuda itu dari belakang. Wuuut...! Bruuuk...!
"Aauh...!" Mahesa
Gondes tersungkur dan mengerang kesakitan.
"Celaka! Murid bodong itu
bisa mati di tangan gadis itu!" geram Ki Belantara.
"Tanganilah dulu, Ki! Aku
akan menangani pedang itu!" ujar Suto Sinting membagi tugas. Ki Belantara
segera melesat turun dari bukit dan menerjang Sunggar Manik yang ingin
menghajar Mahesa Gondes lagi itu. Wuuut...! Bruuus...!
Pendekar Mabuk cepat pindahkan
perhatian ke arah pertarungan Jerami Ayu dengan Sambada. Pada saat itu, tepat
Jerami Ayu melompat dan melayang di atas kepala Sambada. Ia bersalto satu kali,
namun sambil menebaskan Pedang Penakluk Cinta itu.
Wuuut, craas...!
"Auh...!" Sambada
terpekik dan jatuh tersungkur. Pundak kirinya terkena sabetan Pedang Penakluk
Cinta. Goresan itu tak seberapa dalam. Bahkan darah yang keluar dari goresan
pedang itu boleh dibilang sangat sedikit. Tetapi hal itu membuat Jerami Ayu
tersenyum lega setelah berdiri tegak tak jauh dari Sambada.
"Apa yang terjadi jika
sudah begitu?" pikir Suto Sinting. Rasa ingin tahu menahan niatnya untuk
menyerang Jerami Ayu yang kini tertawa cekikikan sambil berdiri pegangi
pedangnya di bawah pohon, empat langkah dari Sambada. Pemuda itu telah berdiri
dan menggenggam kedua pisaunya.
Suto melihat ketegangan di
wajah Sambada mulai berkurang. Pandangan matanya yang tertuju pada Jerami Ayu
pun tak setajam tadi. Bahkan semakin lama memandang Jerami Ayu yang tersenyum
menggoda itu, wajah Sembada semakin luluh, tanpa ketegangan sedikit pun. Senyum
tipisnya mulai tampak. Kedua pisaunya dilepaskan. Jatuh di tanah.
"Apakah kau masih
berkeras untuk menolak cintaku, Sambada?!" ujar Jerami Ayu sambil matanya
melirik nakal.
"Jerami...," Sambada
dekati perempuan itu. Si perempuan sengaja mundur hingga punggungnya merapat
dengan batang pohon.
"Apakah kau tetap ingin
meninggalkan aku dan melangsungkan pernikahanmu dengan Seriti Kumala?!"
"Kau ternyata lebih
cantik dari Seriti Kumala! Ooh, Jerami Ayu... aku ingin kembali padamu dan kita
akan hidup bersama, Sayang "
Racun dari Pedang Penakluk
Cinta telah membaur dengan darah Sambada. Racun itu mempengaruhi otak Sambada
dan membakar gairah. Hati Sambada yang semula tetap tak ingin layani cinta
Jerami Ayu kini berhasil ditaklukkan oleh pedang tersebut.
"Edan! Begitu cepatnya
Sambada berubah pikiran dan menjadi bergairah kepada Jerami Ayu?!" ujar
Suto dalam hatinya saat melihat Sambada segera merapatkan badan ke tubuh Jerami
Ayu.
Perempuan itu segera masukkan
pedang tersebut ke sarungnya. Kedua tangan segera memeluk Sambada yang menciumi
wajahnya. Jerami Ayu tertawa cekikikan sebagai ungkapan rasa bahagianya.
"Peluklah aku, Sambada!
Oouh... jangan gigit leherku. Geli, ah! Hik, hik, hik!"
Sambada bergairah sekali.
Bibir perempuan itu segera dilumatnya dengan ganas. Jerami Ayu membalas dengan
jamahan tangan yang mencapai tempat tertentu. Sambada membiarkan tangan Jerami
Ayu menemukan apa yang dicari dalam dirinya.
"Oouh, Sambada....
Sambada aku sayang padamu... jangan tinggalkan aku, Sambada! Oouh...!"
Jerami Ayu kian mengganas ketika Sambada melepaskan penutup dadanya, lalu
menyapu dada montok itu dengan ciuman buasnya.
Tangan pemuda itu menarik kain
tipis penutup bagian bawah Jerami Ayu. Kain itu tersingkap ke atas dan paha
mulus si Jerami Ayu membuat mata Suto Sinting tak bisa berkedip. Jantung Suto
berdetak-detak manakala melihat tangan Sambada semakin nakal merayap di sekitar
paha Jerami Ayu yang masih tetap berdiri bersandar pohon itu.
"Sam... ooh, Sam... sudah
lama kurindukan sentuhan mesramu ini! Aku tak mampu menahannya lagi, Sam.
Lakukanlah... lakukanlah.... Oouh...!" Jerami Ayu mengerang penuh
kenikmatan. Jubahnya terlepas karena gerakan liarnya. Sementara itu, Sambada
sendiri telah kehilangan ikat pinggangnya dan membuat pakaiannya berantakan.
Pemuda itu bagai orang gila cumbuan, ia mengganas dan melampiaskannya dengan
kasar kepada Jerami Ayu. Agaknya Jerami Ayu menyukai kekasaran itu, sehingga ia
memberi perlawanan yang sama hangatnya sampai-sampai ikat pinggangnya sendiri
terlepas dan pedang itu dibiarkan jatuh di bawah kakinya.
"Oouuuh...!" Jerami
Ayu tak malu-malu lagi untuk mengerang panjang ketika ditikam oleh kehangatan
Sambada yang luar biasa nikmatnya itu. Pendekar Mabuk berkeringat dingin.
Seakan seluruh tulangnya hilang karena terbuai oleh pemandangan yang membuat
dadanya bergemuruh bagai gunung ingin meletus itu.
"Celaka! Aku tak boleh
hanyut dengan pemandangan itu!" pikir Suto Sinting sambil menarik napas
dan mengalihkan pandangan sebentar.
Pandangan Suto Sinting
dialihkan ke arah Ki Belantara. Rupanya Pak Tua itu masih sibuk menghajar
Sunggar Manik yang tetap ingin mengejar Mahesa Gondes yang lari mengelilingi
bukit cadas itu. Meski mulut dan hidungnya telah mengucurkan darah, Sunggar
Manik tak mau melarikan diri ke arah lain.
"Kalau benar dia muridmu,
kau harus bertanggung jawab, Setan Peot! Muridmu telah mencuri pedangku!"
seru Sunggar Manik.
Pendekar Mabuk alihkan
pandangan lagi ke arah Jerami Ayu dan Sambada. Oh, ternyata mereka semakin
panas. Sambada mendayung perahu cintanya mengarungi samudera kenikmatan,
membawa Jerami Ayu ke puncak keindahan. Perempuan itu memekik- mekik tanpa
pedulikan suasana di sekitarnya lagi. Dengan mata terpejam dan tangan
mencengkeram kedua lengan Sambada dengan rematan penuh gairah.
"Jerami...?!!" seru
suara orang yang baru tiba di situ. Orang tersebut adalah Mahesa Gondes sendiri
yang segera hentikan pelariannya dan membelalakkan mata melihat apa yang
diperbuat Jerami Ayu dengan Sambada. Seruan itu membuat Jerami Ayu hentikan
kemesraan dan membuka matanya. Sambada didorong mundur. Tapi pemuda itu tetap
ingin lanjutkan pelayarannya sehingga Jerami Ayu sibuk menghindarinya.
"Tunggu sebentar,
Sambada!"
"Jerami, aku belum
selesai membahagiakan dirimu.
Ayolah, Jerami...," bujuk
Sambada.
Jerami Ayu meraih pakaiannya
dan mengenakan sejadinya.
"Pergilah, Mahesa! Jangan
pandangi aku demikian!" "Jerami, kau... kau... hah, hah, hah,
hah!" Mahesa
Gondes tertawa. "Kau
membohongiku, Jerami! Nah, nah, nah... sekarang ketahuan kau membohongiku! Kau
suruh aku melarikan Pedang Penakluk Cinta saat Sunggar Manik pingsan di
tanganmu dan kau menghadapi adiknya. Katamu, jika aku mau melarikan pedang itu,
kau mau menjadi kekasihku. Tapi ternyata kau bercinta dengan pemuda itu. Hah,
hah, hah, hah!"
Jerami Ayu segera menyambar
pedangnya setelah menyentakkan tubuh Sambada yang membuat Sambada terjungkal ke
semak-semak. Saat itu Suto Sinting membatin dalam hatinya.
"O, rupanya Mahesa Gondes
diperalat oleh Jerami Ayu! Dia melarikan pedang itu saat Sunggar Manik pingsan
dan Lentik Sunyi bertarung melawan Jerami Ayu. Rupanya Mahesa Gondes berhasil
serahkan pedang itu kepada Jerami Ayu dengan janji ingin dijadikan kekasihnya.
Alangkah kasihan si Mahesa Gondes, ia tak tahu Jerami Ayu ingin dapatkan pedang
itu untuk tundukkan cinta Sambada!"
"Mahesa! Aku tidak ada
urusan apa-apa lagi denganmu! Sebaiknya pergi dan jangan ganggu aku lagi!"
seru Jerami Ayu.
"Hah, hah, hah, hah...!
Kau menipuku, Jerami! Kau menipuku, hah, hah, hah, hah!" Mahesa Gondes
tertawa walau merasa ditipu. Tawa itu tetap ada karena pengaruh 'ceriping raja'
yang ditelannya.
"Aku memang memperalat
dirimu, Mahesa Gondes, karena aku tahu kau pemuda yang bodoh! Bahkan kau
percaya saja ketika aku pergi dengan alasan memeriksa pedang ini kepada guruku.
Kau tak tahu bahwa kala itu aku sengaja melarikan diri dari congor bebekmu
itu!"
"Hah, hah, hah, hah!
Congorku ini bukan congor bebek, tapi congor kambing, Jerami! Hah, hah,
hah...!"
Wuuus...! Tiba-tiba sekelebat
bayangan melesat menerjang Jerami Ayu yang telah mencabut Pedang Penakluk
Cinta. Tapi untung ia segera berguling bersama pedang tersebut, sehingga
terjangan dari belakangnya itu tidak kenai kepalanya sedikit pun.
"Oh, rupanya kau, Sunggar
Manik?!" geram Jerami Ayu sambil memandang Sunggar Manik yang telah berdarah
akibat dihajar Ki Belantara itu. Sunggar Manik mengejar Mahesa Gondes, namun
segera setelah berhasil lolos dari serangan Ki Belantara. Sementara itu, Ki
Belantara pun segera mengejarnya. Namun Sunggar Manik cenderung untuk segera
menyerang Jerami Ayu karena melihat pedang itu ada di tangan Jerami Ayu.
"Kembalikan pedang
itu!" sentak Sunggar Manik. "Apa? Kembalikan?! Hmmm! Ini yang
kukembalikan padamu!"
Weess...! Jerami Ayu lemparkan
senjata rahasianya berupa sekeping logam berbentuk kelelawar. Sunggar Manik
sentakkan kaki dan melambung ke atas dengan cepat dalam gerakan bersalto satu
kali. Senjata itu meleset dari tubuh Sunggar Manik, namun di belakang Sunggar
Manik ada Sambada yang ingin membantu Jerami Ayu dengan menyerang Sunggar Manik
dari belakang. Maka senjata rahasia berbentuk kelelawar itu akhirnya menancap
telak di dada Sambada. Jrreeb...!
"Aahk....!" Sambada
pun roboh dan berkelojotan beberapa saat sebelum hembuskan napas terakhir.
"Sambadaaa...!"
Jerami Ayu menjerit, menyesal
sekali telah membunuh orang yang dicintainya itu. Ia segera hampiri Sambada,
namun racun ganas dari senjatanya membuat Sambada tak kehilangan nyawa dalam
waktu lima hitungan sejak terkena senjata tersebut.
Jerami Ayu menjadi sangat
murka kepada Sunggar Manik, ia berpaling ke belakang, tepat saat Sunggar Manik
mencabut pedangnya untuk ditebaskan ke punggung Jerami Ayu. Wuuut, wwees...!
Jerami Ayu berguling ke samping dalam keadaan pakaian setengah bugil itu. Ia
segera menghujamkan Pedang Penakluk Cinta ke tanah. Jrrub...!
"Aaahkh...!" Sunggar
Manik mengejang, pegangi dadanya dengan mata mendelik. Rupanya jantungnya telah
tertusuk Pedang Penakluk Cinta melalui bekas telapak kakinya yang dihujam
pedang itu.
Brrruk...! Sunggar Manik pun
roboh tak berkutik selamanya. Jerami Ayu menggeram dengan mata liar memandang
Mahesa Gondes yang mendekatinya.
"Jerami, bagaimana dengan
nasib cintaku, Cah Ayu...! Heh, heh, heh, heh!"
"Keparat kau, Mahesa!
Semua Ini gara-garamu!
Kubunuh kau sekarang
juga!" teriak Jerami Ayu.
Wees...! Mahesa Gondes
disambar seseorang, ternyata Ki Belantara. Tapi pada saat itu, Pedang Penakluk
Cinta segera diangkat oleh Jerami Ayu dan siap dihujamkan ke bekas telapak kaki
Mahesa Gondes.
"Heeaat...!"
Wuuus...! Baaar...!
Jerami Ayu disambar sesuatu
yang membuatnya terpental. Ternyata Pendekar Mabuk mulai bergerak, berkelebat
menyambar Jerami Ayu dengan bumbung tuak diadukan dengan Pedang Penakluk Cinta.
Benturan itulah yang mengakibatkan timbulkan ledakan bergelombang padat dengan
daya sentak cukup tinggi. Suto Sinting sendiri jatuh terjungkal dalam jarak
empat langkah dari tempat benturan tersebut.
"Jahanaam...!!"
teriak Jerami Ayu dengan murkanya. Matanya mendelik bagai orang kesurupan, ia
segera bersalto beberapa kali sambil dekati Suto Sinting. Saat itu Suto sedang
menggeliat bangkit dengan menyeringai menahan rasa sakit di pinggangnya.
Pinggang itu menjadi memar akibat membentur sebongkah batu.
"Kubuat gila birahi kau,
Jahanam!" teriak Jerami Ayu, kemudian pedang itu ditebaskan dari atas ke
bawah. Wuuut...!
Suto Sinting segera
melintangkan bumbung tuaknya dengan kedua tangan ke atas kepala dalam keadaan
berlutut satu kaki. Duaaarr...! Pedang itu meledak saat menghantam bumbung
tuak. Sementara bumbung dari bambu itu tidak mengalami kerusakan sedikit pun.
Lecet atau hangus pun tidak.
Ledakan itu membuat Jerami Ayu
terpental lagi, namun kali ini hanya terhuyung-huyung ke belakang. Suto Sinting
segera lepaskan pukulan 'Guntur Perkasa' yang merupakan sinar hijau lurus
melesat dari tangan kirinya. Slaaap...! Sinar itu tepat kenai pedang hitam yang
masih terangkat ke atas dalam genggaman Jerami Ayu.
Jegaaaarrr...!
Ki Belantara tarik mundur
langkahnya begitu melihat sinar hijau menghantam Pedang Penakluk Cinta dan
ledakan dahsyat terjadi hingga mengguncangkan tanah sekitar tempat itu.
Pepohonan pun bergetar, runtuhkan ranting dan daun.
Jerami Ayu menyeringai menahan
sakit sambil pandangi Pedang Penakluk Cinta yang kini hancur menjadi serbuk
halus berhamburan di tanah. Ki Belantara pun tertegun di tempat melihat
kedahsyatan jurus pukulan 'Guntur Perkasa'-nya Pendekar Mabuk. Mahesa Gondes
pun ikut terbengong melihat pedang itu hancur dalam sekejap.
Suto Sinting buru-buru
menenggak tuaknya yang tinggal sedikit itu untuk hilangkan rasa sakit di
pinggang. Sementara si perempuan berpakaian setengah bugil itu segera menyambar
jubah jingganya dengan tangan kiri, sebab tangan kanannya menjadi hangus akibat
ikut terkena jurus 'Guntur Perkasa' itu.
"Bangkai setan!"
serunya pada Suto. "Kuberi waktu padamu untuk menebus kelancanganmu ini!
Kalau kau tak bisa mengganti pedang itu, kau harus siap kehilangan
nyawamu!"
Blaaassss...!
Jerami Ayu segera pergi
meninggalkan tempat itu. Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum mendengar
ancaman tersebut.
SELESAI