PERAHU kecil itu merapat ke
pant ai bagai t anpa t enaga pendorong. Sat u-sat unya penumpang perahu kecil
itu berdiri di burit an perahunya dengan kaki t egak sedikit merenggang, badannya lurus dengan dada membusung karena montok. Orang t ersebut
memiliki wajah cant ik sederhana, tapi mat a kecilnya t ampak t ajam dalam set
iap pandangnya.
T ubuh yang t ak terlalu kurus
namun cukup padat
berisi it u di bungkus pakaian
silat warna hijau muda bert epian kain sat in merah t ua, ikat pinggangnya kain
merah t ua juga. Di selipan ikat pinggang it u t erdapat sebilah pedang
bergagang kayu hitam dengan sarung
pedangnya yang juga dari kayu
hit am mengkilap.
P erempuan berusia sekit ar t
iga puluh t ahun it u bersiap diri unt uk t urun dari perahunya. Namun t iba-t
iba perahu kecil it u mengalami sent akan yang mengguncangkan, bahkan hampir saja
perahu it u t erbalik jika keseimbangannya t idak dijaga oleh perempuan t
ersebut . Apa yang ia t abrak saat it u, jelas t ak ada. It u berart i perahu t
ersebut ada yang mengguncangnya dengan dorongan t enaga dalam dari kejauhan t
empat .
Ket ika posisi
perahu sudah kembali normal, perempuan it u cepat
sent akkan kakinya ket epian perahu, dan t ubuhnya melent ing di udara dengan
berjungkir balik sat u kali. Dalam wakt u singkat sepasang kakinya sudah
mendarat di pasir pant ai dengan sigap, t angan kanannya memegang gagang
pedang, siap mencabut nya sewakt u-wakt u.
Alam pant ai sepi, t iada
suara selain desau angin dan gemercik riak pant ai. Tetapi mata perempuan
berambut ikal yang diikatkan ke belakang sepanjang punggung it u masih menat ap
sekelilingnya dengan penuh waspada. Set iap gugusan bat u atau gerumbulan semak
disusuri dengan pandangan mat anya yang t ajam it u.
"Past i ada
orang yang menyambut ku dengan angkuh!" ucapnya
di dalam hat i. Ia masih belum bergerak sedikit pun kecuali mat anya yang
bergerak liar ke sana-sini.
Set elah ia merasa yakin t ak
ada orang di ger umbulan
semak, at au di at as pohon
yang menjulur ke pant ai, at au di balik gugusan bat u yang bert ebaran di pant
ai it u,
maka ia pun bergerak memandang
ke arah perairan, sampai mendapat kan perahunya sendiri. Ket ika ia memandang
perahunya, mat anya cepat berkedip dengan hat i sedikit kaget melihat seseorang
t elah berada di sana, di burit an t empat nya berdiri t adi.
Seorang lelaki bercelana merah
t anpa mengenakan baju, t elah berdiri dengan t egak bagai menant ang keribut
an. Orang it u bert ubuh kurus sekali, sepert i t idak mempunyai daging lagi
kecuali t ulang yang dibungkus kulit . Rambutnya yang panjang berwarna abu-abu
meriap dipermainkan angin pant ai, sebagian mat a cekungnya t ert ut up
helai-helai rambut . T angannya lurus ke samping bawah kanan-kiri, t anpa ada
kesan ingin mencabut senjat a cakra di pinggangnya. Orang it u t ak lain adalah
T engkorak T erbang, si penjaga pant ai di bawah kekuasaan Rat u P ekat .
Melihat orang mirip t engkorak
hidup it u berdiri di perahunya, perempuan t ersebut segera serukan kat a,
"T inggalkan perahuku at
au kuhant am kau dari sini?!" T engkorak Terbang diam saja, t ak memberi
jawaban
apa pun, t api ia t idak mau
beranjak pergi dari at as perahu. Mat anya yang cekung it u hanya menat ap
penuh sinar permusuhan, sehingga perempuan it u pun segera mengirimkan pukulan
jarak jauhnya lewat sodokan t angan
kanannya yang bert elapak t erbuka dan menghadap ke atas. Zebb...!
T engkorak T erbang sent akkan
kakinya dan t ubuhnya
pun melayang bagaikan t
erbang, lalu bersalt o sat u kali ke udara, hingga dalam wakt u singkat
sepasang kakinya
t elah mendarat di pasir pant
ai. Jarak berdirinya hanya lima langkah dari perempuan berpakaian hijau muda it
u. T ak ada senyum, t ak ada ucap. T engkorak T erbang memperhat ikan perempuan it u dengan mat a t ak berkedip.
"Begit ukah caramu
menyambut tamu?!" perempuan it u memperdengarkan suaranya yang bening.
T erpaksa orang bert ubuh
sangat kurus it u menjawab, "Harusnya aku yang bert anya, begit ukah
caramu dat ang bert amu di pulauku?"
P erempuan it u sedikit
sipitkan mat a begit u t ahu suara
orang berwajah keras dengan t
onjolan t ulang-t ulangnya t ampak jelas it u t ernyat a sangat kecil. Suara T
engkorak T erbang memang cempreng dan sangat tak enak didengarnya.
"P ulau Beliung ini bukan
pulaumu! Aku t ahu siapa
penguasa di pulau ini!"
kat a perempuan it u dengan ket us.
"T api aku pet ugas
penjaga pant ai yang punya we wenang unt uk menolak kehadiran orang
asing!" balas T engkorak T erbang
"Apakah kau sanggup
menolak kehadiran Badai
Kelabu?!"
"Apa sulit nya menolak kehadiranmu,
Badai Kelabu?! Sekarang juga jika kau t idak segera angkat kaki dan pergi
bersama perahumu, kau akan kuhancurkan sepert i ombak menghancurkan gundukan
pasir!"
"Kulayani sesumbarmu it
u, Mayat Hidup!"
Sambil berkat a begit u,
perempuan yang mengaku
berjuluk Badai Kelabu it u
melangkah ke samping, mencari celah unt uk menyerang. T api sebelum ia
melakukan penyerangan, t iba-t iba t ubuh T engkorak T erbang t elah lebih dulu
melesat t anpa diket ahui sent akan kakinya. T ubuh kurus keront ang it u
bagaikan t erbang ke arah Badai Kelabu dan melepaskan sat u t endangan kaki
kanannya yang menyamping. Wesss...!
T app...!
Kaki kurus it u dengan mudah
ditangkap oleh t angan Badai Kelabu. Mest inya orang yang dit angkap kakinya it
u jat uh t erpelant ing karena Badai Kelabu memelint irnya. T et api, gerakan
memelint ir it u diikut i oleh si t ubuh ceking dengan cepat , bahkan ia
bergerak bagaikan kipas
yang membalik dan dengan menggunakan kaki kirinya
menendang wajah Badai Kelabu.
P lokk...!
T enaga yang keluar
cukup besar. T endangan menyabet it u membuat wajah Badai
Kelabu bukan hanya t erlempar
ke samping, namun juga
t ersent ak ke belakang. Wajah it u menjadi merah. P englihat annya
sempat kabur sebent ar. P egangan tangannya pada kaki T engkorak T erbang pun
lepas.
Badai Kelabu t erhuyung ke
belakang hampir jat uh, sedangkan T engkorak T erbang pun jat uh dalam posisi
t engkurap, kedua t elapak t
angannya menapak di t anah. T angan it u segera menghent ak, dan t ubuhnya
kembali melent ing t inggi lalu bersalt o sat u kali, dan dalam wakt u singkat
sepasang kaki kurusnya sudah menapak di t anah
dengan sigap dan t ampak kekar
walaupun kurus sekali.
T engkorak T erbang
memperdengarkan t awanya yang merusakkan gendang telinga, "Hiaak, hak hak
hak hak hak...!" T ubuhnya t erguncang-guncang karena t awanya.
Badai Kelabu menggeram sambil
menarik napasnya.
Dalam hat i ia membat in kat
a, "Boleh juga t endangannya. Berat dan mantap. Wajahku t erasa bagai
disembur api. P anas sekali. Kalau aku bukan orang berilmu, past i wajahku
sudah somplak disabet t endangan kaki kurus it ul Agaknya orang ini punya ilmu
yang cukup lumayan juga."
T engkorak T erbang
memperdengarkan suaranya lagi, "P ulanglah daripada kau mat i sia-sia di
sini, Badai Kelabu!"
"Aku akan pulang set elah
melihat mayat mu terkapar di pant ai ini! Hiaaat...!"
Cepat sekali Badai Kelabu t
ahu-tahu t elah melesat t erbang dengan kaki mengarah ke wajah T engkorak T
erbang. Kaki it u dit ahan oleh t elapak t angan T engkorak T erbang. P
lakk...!
P ert emuan t elapak kaki
dengan t elapak tangan it u just ru membuat t ubuh Badai Kela bu bersalt o maju
sat u kali. T ubuhnya melayang melewat i kepala T engkorak T erbang, dan ket
ika gerakan salt onya berguling, kaki kirinya menyepak ke belakang dengan kuat
dan t epat mengenai punggung T engkorak Terbang. Bukkk...!
Kaki Badai Kelabu bagai
mendapat t empat pijakan
baru, maka t ubuhnya pun t
ersent ak maju dan berguling di pasiran pant ai. Dalam kejap berikut t ubuh it
u t elah
kembali berdiri membelakangi T
engkorak T erbang yang segera membalikkan badan unt uk menghadap lawan.
T api rupanya lawan sedang t
ersungkur akibat sepakan kaki yang mirip t endangan kuda t adi. T engkorak T
erbang cepat -cepat bangkit dengan wajah dan rambut dikibaskan karena
bercampur pasir. Lelaki kurus keront ang it u menggeram dengan
mat a lebih t ajam memandang. Di dalam hat inya ia berkat a,
"Kurang ajar, t endangan bert enaga dalam it u
membuat t engkuk kepalaku
semut an dan kaku! Lumayan juga dia punya isi. Aku t ak boleh menganggapnya ent
eng!"
Badai Kelabu sunggingkan
senyum mengejek, ia juga
ucapkan kat a bernada ket us,
"Baru sat u jurus saja kau sudah kerepot an menghadapiku, Mayat Hidup!
Apalagi lebih dari sat u jurus, kau akan kerepot an menghadapi liang kuburmu
sendiri!"
"Jangan bangga dengan t
endangan cacingmu it u,
Badai Kelabu! Aku bukan
orang yang mudah dirobohkan oleh perempuan pucat
macam kau, tahu?! Cuih...!"
T engkorak T erbang meludah
seba gai penghinaan.
T et api segera mat anya t
erkesiap, dahinya berkerut , karena apa yang dil udahkan dari mulut nya it u t
ernyat a adalah darah kent al. Wajah kaget nya dit ert awakan oleh Badai
Kelabu, se dangkan T engkorak T erbang hanya membat in kat a,
"Wah, gawat ! Aku t
erluka di bagian dalam?!"
T awa perempuan berwajah lonjong it u makin
t erdengar jelas. T api t awa
it u sendiri cepat t erhent i set elah ia menyadari beberapa helai rambut nya
ada yang rontok, t erbang t erbawa angin. Badai Kela bu menjadi kaget melihat
rambut nya mudah t erbawa angin, ia berkat a dalam hat inya,
"Kurang ajar! Rupanya t
endangan kakinya yang menampar wajahku tadi benar-benar dialiri tenaga dalam
yang cukup besar. P anas masih kurasakan di sekit ar kepala dan panas it u
membuat rambutku menjadi rontok?! Edan! Harus segera kulawan rasa panas ini
memakai hawa dinginku, biar t ak menjadi bot ak kepalaku karena kehilangan
banyak rambut !"
Rupanya di seberang sana, T
engkorak T erbang juga
sedang memejamkan mat a dalam
sikap berdiri dan menundukkan kepala, ia mencoba mengobat i luka dalamnya
dengan t ahan napas beberapa saat . Dan Badai Kelabu pun buru-buru menyalurkan
hawa dinginnya di kepala unt uk meredam hawa panas yang hampir meront okkan
rambutnya it u.
Kejap berikut nya, mereka
berdua sudah kembali
sama-sama siap bert arung
lagi. Jarak mereka menjadi
t ujuh langkah, karena
masing-masing merasa t ak mau kecurian gerak yang bisa membahayakan jiwa mereka
masing-masing. Mat a mereka pun saling pandang t ak berkedip unt uk memperhat
ikan set iap gerakan kecil dari masing-masing lawan.
"Kuingatkan sekali lagi,
t inggalkan pulau ini supaya
kau masih bisa menikmat i
hidup di masa t uamu nant i, Badai Kelabu!"
"Aku t idak akan pergi
sebel um bert emu dengan Nyai
Rat u P ekat !"
"Hiiak, hak hak hak hak
hak...!" T engkorak Terbang t ert awa
keras dengan suaranya yang merusakkan gendang t elinga.
Badai Kelabu sempat kerut kan dahi menahan t elinganya yang t erasa sakit .
Lalu, T engkorak T erbang serukan kat a lagi.
"Just ru kau akan cepat
mat i kalau bertemu dengan
Rat u P ekat !"
"Aku dat ang bukan unt uk
bermusuhan dengannya. Aku dat ang sebagai t amu! T amu yang ingin memint a bant
uan dari Nyai Rat u!"
"Unt uk sement ara ini,
Rat u t idak menerima tamu
siapa pun!"
"Aku bert eman baik
dengan Rat u!"
"T idak peduli t eman
baik at au t eman jelek, t ugasku adalah menolak siapa pun yang ingin dat ang
ke pulau ini! Ket ahuilah Badai Kelabu, unt uk sement ara pulau ini
t ert ut up bagi siapa pun!
Orang yang nekat dat ang kemari, berart i musuh kami! Dan aku berkuasa unt uk
menghancurkannya!"
"Rupanya Nyai Rat u P
ekat sudah memut us tali
persahabat an dengan siapa pun
dan menjalin t ali permusuhan dengan t eman-t eman baiknya!"
"Hiak, hak
hak hak hak...! Boleh
saja kau
menyimpulkan begit u, Badai
Kelabu, t api kau t et ap harus pergi dari pulau ini!"
"Aku akan memaksa Nyai Rat u P ekat unt uk menerimaku!" kat a
Badai Kelabu sambil maju sat u
t indak.
T engkorak T erbang pun maju
sat u t indak dan berkat a, "Kalau kau bisa mengalahkan T engkorak T
erbang, baru kau bisa mendesak Nyai Rat u P ekat! T api kurasa, it u usahamu
yang sia-sia, karena kau akan mat i t anpa membawa hasil apa pun, Badai
Kelabu!"
"Kita bukt ikan siapa yang
unggul di ant ara kit a,
T engkorak T erbang!"
sambil berkat a begit u, kedua t angan
Badai Kelabu mulai mekar
jari-jemarinya, perlahan-lahan bergerak ke at as, lalu memut ar lewat belakang
sat u persat u.
P ada saat yang sama, T engkorak
Terbang pun cepat kerahkan t enaga yang
membuat kedua t angannya gemet ar. T
elapak tangannya saling t erkat up di dada, menempel lekat dengan kaki kian
merendah. Dan t iba- t iba kaki yang merendah it u menghent ak ke bumi,
t ubuhnya pun t erlempar ke at
as sambil dilepaskannya pukulan jarak jauh bert enaga dalam cukup besar it u.
Kedua t angan T engkorak T erbang menyent ak ke depan dan, wessss...! P ukulan
t enaga dalam t anpa wujud t anpa warna it u melesat ke arah Badai Kelabu.
"Hiaaat ...!" pekik Badai
Kelabu dengan
menyent akkan kedua t angan
dari at as ke bawah, sepert i melepaskan burung dalam genggaman. Wuuuhgg...!
T ali badai dilepaskan. P ukulan t enaga dalam
T engkorak Terbang t ersent ak
ke at as dan menimbulkan suara dent aman yang t eredam. Karena pada saat it u,
angin badai dat ang menghant am. T ubuh T engkorak T erbang yang kurus keront
ang it u terhempas oleh
kekuat an angin badai yang
seolah-olah hanya dalam sat u kelompok saja.
Bat u besar yang ada di
belakang T engkorak Terbang ikut t erhempas bergeser t iga langkah dari t empat
nya. Se dangkan t ubuh T engkorak T erbang sendiri jat uh membent ur bat u
dalam jarak lima langkah lebih dari t empatnya semula. T ubuh kurus it u sepert
i bungkusan kosong yang dibuang dan dihempaskan begit u saja t anpa bisa
menjaga keseimbangan t ubuh.
Begggh...!
"Uhhg...!" T
engkorak T erbang t erpekik dengan suara t ert ahan. T ulang rusuknya t erasa
sakit diadu dengan bat u besar, juga ba gian pundaknya t erasa ngilu dan lecet
karena bent uran bat u t ersebut . Napas T engkorak T erbang t
erasa sesak, seakan dihimpit benda berat dan besar.
P ukulan 'Badai Gunung' it u
seakan masih saja menyerangnya walau t ubuh T engkorak T erbang t elah merapat
dengan bat u besar. Rambut nya meriap-riap ke belakang, dadanya t erasa sakit sekali. T engkorak T erbang berusaha
melawan t ekanan berat dari pukulan
'Badai Gunung' yang belum
dihent ikan oleh Badai
Kelabu it u.
Kedua t angan T engkorak T erbang berusaha mendorong sesuat u yang
t ak kelihat an di ba gian depannya. Tenaganya t erkuras, urat dan otot nya mengeras, ia sampai
meringis-ringis menahan t enaga yang begit u besar menghimpitnya, bagai ingin
membuat
t ubuhnya t ergencet bat u di
belakangnya. T et api, sekuat
t enaga T engkorak T erbang,
kekuat an besar dari pukulan
'Badai Gunung' it u masih
belum bisa dihindari.
Badai Kelabu bel um mau
menarik t angannya ke belakang. Mat anya masih t ert uju pada lawan. T enaganya
masih dikerahkan, dan semburan angin badai masih
t erarah pada sat u t ujuan.
Benda-benda di luar jalur arah angin badai it u t idak ikut t erpent al dan t
erhempas. Kekuat an angin badai it u kira-kira hanya membent uk semacam jalur
yang lebarnya dua langkah dari sisi kanan-kiri mereka.
"Di mana sumbarmu, T
engkorak Dekil...?! Ayo,
hadapi pukulan 'Badai
Gunung'-ku ini, hiiaah...!"
Makin keras dat angnya t
ekanan badai ke arah T engkorak T erbang, semakin kewalahan orang kurus keront
ang it u menahannya. Sampai-sampai, bat u yang dipakai bersandar punggung T
engkorak T erbang it u pun bergerak-gerak, mulai bergeser dari t empatnya.
Sebent ar lagi past i akan t erhempas juga bersama t ubuh T engkorak T erbang.
Dalam keadaan krit is begit u,
T engkorak Terbang
cepat mencabut senjat a cakranya yang berujung bergerigi. Senjat a it u dipegang menggunakan dua
t angan, bagian ujungnya
dihadapkan ke depan. T etapi kaki T engkorak Terbang mulai t erangkat-angkat
karena hempasan angin kencang yang hampir menerbangkan t ubuhnya.
"Hiaaaahh...!" T
engkorak T erbang pekikkan suara
nyaringnya yang kering dan
sember it u.
Roda bergerigi di ujung senjat
a cakra berput ar cepat
bagaikan baling-baling.
Kecepat an put aran gerigi it u memercikkan api merah. Api it u menyembur ke
depan, semakin lama semakin besar dan membuat t ubuh T engkorak Terbang mulai
terbebas dari t ekanan angin badai. Sement ara it u, di seberang sana Badai
Kelabu masih bert ahan melepaskan kekuat an badainya dengan lebih besar lagi
melalui kedua t elapak t angannya yang t erbuka dan ujung t elapaknya menghadap
ke t anah. T angan it u pun gemet ar bagai menerima t ekanan yang membalik dari
percikan bunga-bunga api senjat a cakra it u.
T ubuh T engkorak T erbang t
erasa makin ringan, makin bebas bergerak. Dan tenaga dalamnya t et ap
dikerahkan membuat senjat a cakra it u semakin banyak menyemburkan percikan
bunga api merah, hingga menimbulkan suara: wooooossss...!
Kejap berikut, T engkorak T erbang sengaja menjejakkan kakinya
hingga t ubuhnya melesat ke at as. P ercikan bunga api hilang. Badai yang
dikerahkan lewat t angan perempuan it u menghant am apa saja yang ada pada jalur
bekas t empat berdiri T engkorak T erbang.
Dari udara, senjat a cakra it
u dikibaskan bagaikan
pedang menebas kepala lawan.
Kibasan it u
menyemburkan nyala api kuning kehijau-hijauan, wuuuut ...!
Badai Kelabu cepat gulingkan t
ubuh ke t anah, karena kilatan cahaya kuning kehijauan it u melesat cepat bagai
mau memenggal kepalanya. Dengan berguling ke t anah, cahaya kuning kehijauan it
u t erhindar dari lehernya, dan
sebagai sasarannya adalah
sebatang pohon kelapa yang melengkung ke arah pant ai. Crassss...! Buurrrk...!
Bat ang pohon kelapa it u t erpot ong dengan rapi, dan cepat sekali menjadi
rubuh pada bagian yang t erpotong it u. Srettt ...!
Badai Kelabu mencabut pedang
hit amnya, ia segera melompat ke depan menerjang T engkorak Terbang yang juga
melompat ke depan, hingga ke dua senjat a it u beradu dalam sat u suara pekikan
Badai Kelabu.
"Ciaaaaat ...!"
Duarrr...!
Keduanya sama-sama t erpent al
ke belakang dan jat uh t anpa bisa menyangga keseimbangan t ubuh mereka. Bent
uran dua senjat a bert enaga t inggi it u melepaskan sat u ledakan dan sentakan
yang begit u kuat , yang membuat keduanya sama-sama t erpent al. Lalu, keduanya
pun sama-sama cepat bangkit dan siap menyerang lagi.
"T ahan...!" terdengar
seruan dari belakang Tengkorak
T erbang. Seruan it u dat ang
dari perempuan muda berpakaian serba ungu, dialah put ri penguasa P ulau
Beliung it u. Dialah yang berjul uk Cempaka Ungu. Ia menyandang pedang di
punggung yang dililit kain ungu.
Cempaka Ungu segera melompat ,
bersalt o di udara sat u kali dan mendarat di t anah pert engahan antara T
engkorak Terbang dan Badai Kelabu. Kehadiran Cempaka Ungu membuat serangan
kedua orang it u t ert ahan dan saling menghent ikan gerakan.
"Badai Kelabu!" ucap
Cempaka Ungu yang sudah mengenali perempuan yang menggenggam pedang hitam
it u.
"Syukur kau masih
mengenaliku, Cempaka Ungu!" kat a Badai Kelabu sambil menghembuskan napas
panjang, mengendurkan ket egangannya.
"Apa maksudmu menyerang T
engkorak T erbang?"
t anya Cempaka Ungu.
"Jika bukan
karena diserang, aku t ak akan menyerang! Jika bukan karena
ingin dibunuh, aku t ak ingin membunuh!"
Cempaka Ungu palingkan wajah
kepada Tengkorak T erbang. T api sebelum Cempaka Ungu ajukan t anya, T engkorak
T erbang sudah lebih dulu serukan kat a keras nyaring,
"Sepert i perint ah Nyai
Rat u, aku berhak mengusir t amu siapa saja orangnya. Dan t ugas it u
kujalankan!"
"Badai Kelabu
t eman baik ibuku,
Tengkorak
T erbang!"
"T ak peduli t eman baik,
karena perint ah ibumu hanya mengusir orang yang mencoba dat ang ke pulau ini,
t ak
t erkecuali!"
Cempaka Ungu segera
melangkah mendekat i
T engkorak T erbang dan berkat
a dengan suara pelan. "Biarkan dia dat ang menemui Ibu!"
"T ak ada izin dari
ibumul Aku tak berani lepaskan dia!"
"Dia bisa kit a gunakan
sebagai sekut u, dan akan membant u menghadapi kedat angan Siluman T ujuh
Nyawa!"
"Aku t ak berani
simpulkan begit u, Cempaka Ungu!"
"Aku yang menjamin
dirinya! Biarkan dia dat ang menemui Ibu!"
"Bagaimana kalau aku t et
ap melarangnya?"
"Kau akan
berhadapan denganku. Tengkorak
T erbang!"
*
* *
2
IST ANA Cambuk Biru pernah menjadi ist ana berdarah karena kedat
angan anak buah Siluman T ujuh Nyawa yang bernama Gagak Neraka. Dalam kait an
perist iwa berikut nya, Sut o melihat seorang pengkhianat yang mengadakan kont
ak hubungan dengan kekuat an
t enaga bat innya kepada
Siluman T ujuh Nyawa. Dalam
perkiraan P endekar Mabuk,
akan datang serombongan kapal dari orang-orangnya Siluman T ujuh Nyawa unt uk
menyerang P ulau Beliung dan menguasai i st ana t ersebut (Baca serial P
endekar Mabuk dalam episode: "Ist ana Berdarah"). Karenanya, P
endekar Mabuk dan Nyai Rat u P ekat bersepakat unt uk menolak kedatangan t amu
siapa pun juga orangnya, karena dikhawat irkan akan menjadi mat a-mata ut usan
Siluman T ujuh Nyawa.
T engkorak T erbang yang bert
ugas sebagai penjaga
pant ai, walau gelar
panglimanya sudah di bat alkan, tapi ia t et ap menjalankan t ugas dengan penuh
t anggung jawab. T ak peduli Badai Kelabu t eman baik dari Rat u P ekat , ia t
et ap saja menolak kehadiran t amu t ersebut
dengan cara sekeras apa pun. T
et api, Cempaka Ungu mendesaknya unt uk menerima t amu yang sat u it u. T
engkorak Terbang bukan t akut kalah t arung dengan Cempaka Ungu, t api t akut
kepada ibu gadis it u jika gadis it u dikalahkannya. Mau t ak mau T engkorak T
erbang melepaskan musuhnya dan membiarkan Badai Kelabu diba wa oleh Cempaka
Ungu ke ist ana.
Di ist ana, Rat u P ekat
sedang berbincang-bincang dengan Sut o, si Mat a Elang, dan Dewa Racun. Saat it
u Singo Bodong sedang membant u empat prajurit yang membangun kembali pint u
gerbang ist ana.
Kedat angan Badai Kelabu
disambut dengan baik oleh Rat u P ekat . Bahkan perempuan berusia sekit ar lima
puluh t ahunan, mengenakan pakaian hit am sebat as dada yang dit aburi
manik-manik emas dengan dirangkap baju jubah put ih dari bahan sut era, dan mengenakan
kalung berliont in bat u hit am it u, memeluk Badai Kelabu dengan penuh
keakraban.
T et api, Mata Elang yang
berdiri di samping Rat u dengan
t egap dan berpakaian serba merah
it u, memandang penuh kecurigaan kepada Badai Kelabu. Set iap gerakan
yang dit imbulkan oleh Badai Kelabu it u t ak luput dari incaran kewaspadaan
mata pengawal pribadi Rat u P ekat it u. Sedangkan P endekar Mabuk hanya
memandangnya dengan senyum t ipis di bibir, dan Dewa Rac un memperhat ikan
dengan mat a sedikit menyipit , merasa pernah melihat perempuan yang baru dat
ang it u.
"Semakin cant ik dan
hebat kau, Badai Kelabu!" puji
Rat u P ekat yang rambut nya
sudah mulai dit aburi uban walau t ak t erlalu banyak.
"Jangan puji aku
demikian, Nyai. Aku sedang bersedih, dan menjadi lebih sedih lagi set elah
mendengar cerita dari Cempaka Ungu t ent ang musibah yang melanda Ist ana
Cambuk Biru ini."
"Ya, aku pun ikut sedih.
T api masa berkabungku ini
t ak mau kubuat berlarut
-larut . Semua sudah menjadi t akdir Yang Maha Kuasa. Dan... oh, t ent unya kau
sudah mengenal kedua t amuku ini, Badai Kelabu," sambil Rat u P ekat
menunjuk P endekar Mabuk dan Dewa Racun.
Badai Kelabu memandang kepada
Dewa Racun, lalu menat ap Pendekar Mabuk beberapa saat lamanya. Hat inya
berdebar-debar menerima senyuman Sut o, si murid sint ing Gila T uak it u, yang
berdiri dengan t enang, kedua t angan t erlipat di dada, bumbung bambu t uak
t erselempang di punggung,
mengenakan pakaian coklat celana put ih. Baju coklat nya t anpa lengan, rambut
nya t anpa ikat kepala, tapi justru membuat Sut o t ampak lebih t ampan
daripada seandainya ia memakai ikat kepala.
Cempaka Ungu menjadi t ak enak
hat i melihat Badai Kelabu menat ap Pendekar Mabuk t iada berkedip, ia segera
palingkan pandang dengan hat i kesal. Dan pada saat it u, Badai Kelabu berkat a
kepada Rat u Pekat ,
"T amumu yang kerdil
berpakaian bulu serba put ih ini
kukenal dengan julukan Dewa
Racun. Aku t ahu dia orang P ulau Serindu, Nyai. T api t amumu yang t ampan it
u, baru sekarang aku melihatnya," Badai Kelabu melirik Sut o lagi sekejap.
"Dia murid sint ing si
Gila T uak dari Jurang Lindu!" "O, ya... aku t ahu nama si Gila T
uak, t api aku t ak
pernah tahu kalau si Gila T
uak punya murid senakal it u!" kat a
Badai Kelabu, karena ia menganggap senyuman Pendekar Mabuk it u
sungguh nakal menggoda hat i.
"Namanya Sut o!" t
ambah Rat u P ekat . "Dia yang
menyelamatkan kami dari amukan
anak buah Siluman
T ujuh Nyawa."
Badai Kelabu sunggingkan
senyum sekejap, melirik Sut o sesaat , kemudian senyumnya hilang. Wajahnya
menjadi keruh, dan ia pun ucapkan kat a bernada duka.
"Kedat anganku kemari
juga ada hubungannya dengan
Sil uman T ujuh Nyawa, t erut
ama dengan anak buahnya yang dikenal sebagai Nakhoda Kapal Neraka yang bernama
Tapak Baja it u."
"Hmmm... ada apa dengan
Tapak Baja?" "Dia melukai guruku, Nyai."
"Melukai gurumu?"
Nyai Rat u P ekat bernada heran. "Set ahuku gurumu orang berilmu t inggi!
Bagaimana mungkin dia bisa dilukai oleh Tapak Baja?"
"Karena sekarang Nakhoda
Kapal Neraka it u
mempunyai senjat a yang sangat
dahsyat dan sulit dikalahkan."
"Senjat a apa yang
dimilikinya?" desak Rat u P ekat .
"P usaka T ombak Maut
!"
"Ooh...?!" Rat u P
ekat nampak kaget . Bahkan Dewa Racun sempat t ersentak kaget dan memandang Rat
u P ekat . Mereka saling pandang sebentar, lalu Rat u P ekat
alihkan padang kepada si Mat a
Elang yang rupanya juga ikut t erperanjat demi mendengar P usaka Tombak Maut
disebut kan Badai Kelabu. De wa Racun memandang P endekar Mabuk, t api Sut o t
et ap t enang. Tak ada rasa kaget kecuali bingung dan berkerut dahi.
"Ccee... cee...
celaka!" ucap Dewa Racun dengan gagap, karena mulut nya t idak beraroma
ikan bakar. Jika ia habis makan ikan bakar dan sisa aroma ikan masih ada di
mulut nya, ia akan bicara dengan lancar.
"Apa hebat nya P usaka
Tombak Maut it u?" t anya
Sut o.
"It ... it ... it u
senjata pusaka yang berba... ba... bahaya!" kat a Dewa Racun. "T
ap... t ap... t api, set ahuku senjat a it u bukan milik si T apak Baja!"
"Benar," sahut Rat u
P ekat. "Set ahuku senjat a P usaka Tombak Maut it u milik seorang tokoh
sakt i yang berjuluk Ki Jangkar Langit!"
"Jangkar Langit ?" P
endekar Mabuk gumamkan kat a.
"Sepert inya guruku
pernah menyebut -nyebut
nama
Jangkar Langit."
"Jika kau memang murid si
Gila T uak," kat a Rat u P ekat yang baru-baru ini saja dia menget ahui
siapa P endekar Mabuk it u, "T ent unya kau pernah mendengar nama Jangkar
Langit dari mulut gurumu, karena Ki Jangkar Langit adalah t eman baik
gurumu."
"Lalu, di mana let ak
kedahsyatan P usaka Tombak Maut it u?" tanya Sut o kepada Badai kelabu. P
erempuan it u ingin menjawabnya, t api lidahnya bagaikan kelu. Nyai Rat u P
ekat yang menjelaskan pert anyaan it u,
"P usaka Tombak Maut it u
adalah sebuah tombak yang ujungnya t erbuat dari t aring babi hut an, alias t
aring genjik. Babi hutan it u adalah jelmaan dari tokoh sesat zaman dulu, yang
berhasil di bunuh oleh Ki Jangkar Langit. P usaka it u bisa dipakai membunuh
orang sat u pulau dengan hanya dit ancapkan pada sat u tanah. T anah it u
akan mengeluarkan gas
beracun dan
seluruh penghuni pulau it u akan mat i. Apalagi jika ada angin besar,
maka gas beracun it u pun bisa t erbawa angin ke pulau lain dan menewaskan
orang di t empat lain. P usaka it u dapat menggegerkan orang dalam dua-t iga
pulau dengan gas beracunnya it u, sehingga diberi nama P usaka Tombak
Maut."
Cempaka Ungu yang baru
mendengar cerit a it u menjadi t erbengong-bengong menyimaknya. P endekar Mabuk
hanya berkerut dahi sambil mulut nya sedikit melongo membayangkan sebuah pusaka
yang punya kehebat an sepert i it u. Menurut Sut o, set iap lapisan t anah
mempunyai lapisan gas beracun. Jika t ombak it u dit ancapkan di t anah, maka
gas beracun akan t erhisap keluar, dan menyebar ke mana-mana. Jadi, tombak it u
adalah tombak penghisap racun yang berbahaya bagi keselamat an jiwa manusia.
Badai Kelabu masih
mencuri-curi pandang pada P endekar Mabuk. T et api Sut o t idak menghiraukan,
sebab ia segera t ert arik dengan ucapan kata dari Dewa Racun yang t erput
us-put us karena gagapnya it u,
"T ap... t ap... T apak
Baja akan semakin ganas jika memegang senjat a pusaka it u. Ap... ap...
apalagi...
apalagi dia adalah salah sat u
dari kelima al...al... al...." "Alang-alang!"
"Bukan. Al... algojo! Dia
sat u dari kelima algojonya Sil uman T ujuh Nyawa, yang t ugasnya menghancurkan
lawan yang harus cepat disingkirkan. P as... pas... pas...."
"Pasar?!"
"Bukan! P a.... P ast
i... past i T apak Baja akan semakin merajalela keganasannya dengan menggunakan
senjat a pusaka it u."
"Juga semakin
ganas," celet uk si Mat a Elang yang sejak t adi diam saja it u.
"Kalau begit u,"
Cempaka Ungu ikut bicara, "Sangat berbahaya jika Siluman T ujuh Nyawa
menugaskan T apak Baja unt uk menyerang pulau kit a ini, Ibu!"
"Ya. Sangat
berbahaya," jawab Rat u P ekat dalam t at apan mat a menerawang.
"Karena...P usaka T ombak Maut adalah jenis pusaka yang sulit dicari t
andingannya, t ak bisa dikalahkan dengan pusaka apa pun juga. Dia mempunyai
sifat dan gerakan yang berbeda dari pusaka- pusaka pada umumnya."
P endekar Mabuk mengambil
bumbung t uaknya, lalu menenggak t uak di depan mereka t anpa rasa canggung at
aupun malu-malu. T uak dit eguk t iga kali, set elah it u dikembalikan pada
posisinya semula, ia kelihat an orang yang paling berwajah t enang, walau sudah
mendengar banyak t ent ang keganasan P usaka T ombak Maut di
t angan T apak Baja. Bahkan
Dewa Racun sendiri
kelihat an gelisah memikirkannya, Cempaka Ungu t ampak cemas memikirkan
nasib ist ananya yang bisa
direbut dengan mudah oleh
Tapak Baja.
Sele wat hening sekejap, Rat u
P ekat bert anya kepada
Badai Kelabu,
"Lant as apa maksudmu dat ang kemari, Badai
Kelabu?"
"Guru t erluka oleh pusaka
it u. Dalam wakt u sesingkat mungkin aku harus mencari obat unt uk menyembuhkan
luka Gur u. Menurut Guru, hanya ada sat u cara yang bisa menyembuhkan lukanya,
yait u dengan menggunakan sebuah bat u yang bernama Bat u Galih Bumi,"
sambil mat a Badai Kelabu menat ap ke arah kalung Rat u P ekat.
Mendengar nama Bat u Galih
Bumi dise but kan, Rat u P ekat terkejut , demikian juga Cempaka Ungu dan si
Mat a Elang. Dewa Racun manggut -manggut dalam bungkamnya mulut , sedangkan P
endekar Mabuk hanya sedikit kerutkan dahinya, masih kurang jelas apa yang dimaksud
Bat u Galih Bumi dan mengapa Rat u P ekat jadi
t erkejut.
T erdengar kembali Badai
Kelabu ucapkan kat a, "Guru mengut usku dat ang menemuimu, Nyai. Guru
ingin meminjam Bat u Galih Bumi yang kau pakai sebagai kalung it u."
Sut o pun segera manggut
-manggut kecil, karena sekarang dia mengert i bahwa t ernyat a yang dimaksud
Bat u Galih Bumi it u adalah liont in yang dipakai kalung Rat u P ekat . Bat u
hit am sebesar mat a pet e it u dipandangi oleh Sut o beberapa saat. T iba-t
iba kepala P endekar Mabuk t ersent ak ke belakang sedikit . Sepert i ada sat u
t enaga yang terpancar dari bat u it u dan mencolok
mat anya, membuat kepalanya t
ersent ak mundur dalam gerakan tak kent ara. P endekar Mabuk hanya membat in,
"Hmmm... memang ada
isinya bat u it u."
T erdengar Dewa Racun berkat a
kepada P endekar Mabuk, "Ssssu... Sut o, ikut lah aku sebent ar. Ada yang
ingin kubicarakan denganmu!"
Kemudian, Dewa Racun juga
berkat a kepada Rat u
P ekat , "Mmma... maa...
maaf. Rat u... saya mau ada sedikit pembicaraan dengan P endekar Mabuk."
"Ya, silakan!" jawab
Rat u P ekat mulai t erdengar ket us. P ast i sedang menahan suat u pergolakan
rasa di dadanya.
"Bagaimana, Nyai? Boleh
aku pinjam Bat u Galih
Bumi it u?" desak Badai
Kelabu set elah P endekar Mabuk dan Dewa Racun pergi.
Rat u P ekat menjawab, "T
idak kuizinkan siapa pun
meminjam ataupun memegang Bat
u Galih Bumi ini," seraya ia memegang bat u di kalungnya.
"Nyai, guruku dalam
keadaan berbahaya. P ukulan
'Tombak Maut ' bisa membuat
jiwa Gur u melayang jika t idak segera diobat i dengan Bat u Galih Bumi."
"Aku tak peduli dengan
sakit gurumu. Jika urusannya
sampai pada meminjam Bat u
Galih Bumi, aku t idak sanggup memberikan bant uan apa-apa pada gurumu!"
"Kami menjamin akan
mengembalikan Bat u Galih
Bumi it u, Nyai Rat u."
"Aku t et ap t idak bisa
meminjamkannya. Sebab aku t ahu wat ak gurumu it u sering licik. Bisa-bisa bat
u ini t idak kembali ke t anganku dan menjadi miliknya."
"Nyawaku sebagai jaminannya,
Nyai Rat u." "Nyawamu t idak sebanding nilai dan harganya
dengan bat u ini, Badai
Kelabu," kat a Rat u P ekat semakin hilang kesan persahabat annya.
"Jadi apa yang harus saya
lakukan jika Nyai Rat u
t idak mengizinkannya? Saya
bingung, Nyai!" ucap
Badai Kelabu bernada sesal.
"P ulanglah dan kat akan
kepada gurumu, aku t ak bisa meminjamkan Bat u Galih Bumi unt uk keperluan apa
pun, dan kepada siapa pun t ak akan kupinjamkan bat u ini!"
"Padahal, pesan Guru saya
harus merebut bat u it u jika t idak boleh dipinjamkan!"
"It u berart i kau harus
melawanku, Badai Kelabu!" "Melawan siapa pun saya t ak akan mundur,
Nyai
Rat u. Demi menyelamat kan
jiwa Guru, saya siap mat i
bert arung dengan siapa
pun."
"Badai Kelabu!" sent
ak Cempaka Ungu yang mulai t ersinggung dengan ucapan-ucapan Badai Kelabu.
"Jika kau memaksa ibuku dan mau melawannya, kau harus hadapi dulu
anaknya!" Cempaka Ungu menepuk dada.
"Apakah kau lawan
sebandingku, Cempaka?"
"Keparat ! Kau
benar-benar t eman yang t idak bisa menghargai nilai persahabat an.
Hihhh...!" Tapp...!
T angan Cempaka Ungu yang
ingin menghant am
Badai Kelabu it u dit angkap
oleh t angan ibunya. Mat a Cempaka Ungu melirik t ajam kepada ibunya dan sang
Ibu berkat a,
"Dia memang bukan lawan t
andingmu, Cempaka!"
"Biarkan saya menghajar
mulut nya, Ibu!"
"Jangan! Aku t ahu, Badai
Kelabu punya ilmu lebih t inggi darimu! Bukan kau yang harus melawannya, tapi
aku sendiri!"
"At au, biarkan aku yang
maju, Nyai!" kat a si Mat a
Elang. Dan t iba-t iba dari
sepasang mat a lelaki muda yang berompi merah berhias manik-manik emas it u
keluar cahaya sepert i lidi panjang berwarna kuning. Menghantam ke wajah Badai
Kelabu.
T et api dengan cekat
annya Badai Kelabu menyent akkan t angannya ke depan
dalam posisi t erbalik. Dari pangkal jari yang bert ulang menonjol it u keluar
gelombang t enaga dalam yang menghent ak ke depan, menyambut sinar kuning dari
mat a si Mat a Elang. Mest inya, lawan yang t erkena sinar kuning it u akan t
erjengkang ke belakang bahkan mungkin t erlempar jauh dari t empat nya. T et api, yang t erjadi adalah kebalikannya. T ubuh si
Mat a Elang tersent ak ke belakang ket ika sinar kuning it u masuk kembali ke
mat anya. Wuttt ...! Blluggh...!
T ubuh si Mat a Elang membent
ur pilar dengan kerasnya. P ilar it u berada dalam jarak delapan langkah dari t
empatnya semula.
Melihat si Mat a Elang
terlempar sebegit u rupa dan menjadi sulit bernapas, Rat u P ekat belalakkan
mat a garangnya, lalu dengan sat u sent akan t angan kirinya ia berhasil
melepaskan pukulan jarak jauh kepada Badai Kelabu. Sang t amu it u pun
terlempar keluar dari serambi ist ana, dan Rat u P ekat segera melompat unt uk
mengejar
Badai Kelabu ke halaman depan
ist ana.
"Badai Kelabu! Jika aku t
erpaksa membunuhmu, bukan karena aku t idak menghargai persahabat an kit a
selama ini, t api karena aku mempert ahankan bat u pusakaku ini! Jangan kau
salahkan diriku jika nyawamu sampai melayang, karena kau t ak mau mengikut i
saranku unt uk segera pulang ke P ulau Hit am!"
"Nyai Rat u," kat a
Badai Kelabu dengan berdiri t egak siap menyerang, "Sejujurnya kukat akan,
aku cukup senang dan gembira menerima t ant anganmu! Kalau t oh aku harus mat
i, biarlah aku mat i lebih dulu daripada mat i set elah guruku!"
"Baiklah! Kau rupanya
lebih senang mat i di t anganku
daripada mat i di t angan
orang lain. Hiaaat ...!"
Rat u P ekat kembali sent
akkan t angannya dari bawah ke at as depan, dan Badai Kelabu cepat hent akkan
kaki, t ubuhnya melent ing di udara. Kejap berikut, t ubuh it u sudah berdiri t
egak menghindari pukulan jarak jauhnya Rat u P ekat .
T angan Badai Kelabu segera
bergerak memut ar ke
belakang keduanya, lalu sepert
i melepas burung ia lepaskan pukulan 'Badai Gunung'-nya. Wuusss...!
Angin kencang menghempas
membuat t ubuh Rat u P ekat mundur sat u t indak. T api kedua t angannya segera
bergerak menahan hembusan kuat dari arah lawan. Barang-barang yang ada di
belakang Rat u P ekat menjadi
t erbang t ak t ent u arah.
Bahkan t ubuh Cempaka Ungu
pun t erlempar keluar dari
jalur badai yang menghembus dengan kuat it u.
"Hiihhg...!"
Rat u P ekat bert ahan dari
hembusan badai kabut t anpa ada penahan di bagian belakangnya. T ubuhnya sebent
ar- sebent ar ingin t erlempar ke belakang, t api dipert ahankan unt uk t et ap
berdiri di t empat dengan kedua kaki makin merendah. Kedua t angannya
dihadapkan ke depan, berusaha mengeluarkan hembusan angin juga unt uk menahan
badai dari t angan t amunya.
Bat u Galih Bumi memancarkan
sinar merah dalam
sat u kilasan yang cepat .
Badai Kelabu t ak menduga akan mendapat
serangan sinar merah
sebesar jari
kelingkingnya. Wuutttt ...!
"Hiaaat ...!" ia
memekik sambil gulingkan t ubuh ke
kiri. Rupanya t erlambat
sedikit ia bergerak, sehingga bet isnya t erkena sinar merah it u. Jrubbb...!
"Aaahg...!" Badai
Kelabu memekik. Bet isnya menjadi
berlubang bagai habis dit
embus t ombak at au anak panah yang t ajam. Darah keluar dari bet isnya. Badai
Kelabu mencoba berdiri dan t ak menghiraukan lukanya.
Sret t ...! P edang hit am
dicabut dari sarungnya, ia
menggeram penuh dendam
pembalasan at as luka di kakinya. Tapi t iba-t iba, bat u hit am yang menggant
ung di at as dada Rat u P ekat it u kembali mengeluarkan sinar merah. Wuutt
tt...!
Trangng...! Badai Kelabu
menangkis sinar merah it u
menggunakan pedangnya yang
diangkat t epat di t engah dada. Sinar merah membent ur pedang, dan membalik
membent uk sudut kecil ke arah t ubuh Rat u P ekat . Seket ika it u pula Rat u
P ekat sentakkan kakinya dan
melesat di udara dalam gerakan
salt o. Wuggh...!
"Hiaaat ...!" sent
ak suara Rat u P ekat sambil t angannya menghent ak ke
depan. T angan it u mengeluarkan gelombang t enaga dalam t anpa sinar. T
ak t erlihat gerakannya, sehingga Badai Kelabu pun t erpukul pada bagian
pinggangnya. Beggh...!
"Aaagh...!" Badai Kelabu
t ersent ak, t ubuhnya
melengkung ke belakang dengan
mulut t ernganga menahan sakit .
*
* *
3
DALAM sebuah kamar, Dewa Racun
berbicara dengan Sut o Sint ing. Sut o yakin pembicaraan it u sangat pent ing,
karena Dewa Racun membawanya menjauh dari Rat u P ekat dan yang lainnya. Seba b
it u Sut o pun menyimak percakapan Dewa Racun dengan sungguh- sungguh,
"Ak... aku... aku baru t
ahu kalau Bat u Galih Bumi
adalah perhiasan yang dipakai
kalung oleh Rat u P ekat ." "Ada apa dengan Bat u Galih Bumi? Apakah
ada
hubungannya dengan P usaka T
ombak Maut ?"
"Bis... bis... bisa ada,
bisa juga t idak. Maksudku begini...," Dewa Racun yang kerdil it u segera
naik ke at as sebuah bangku supaya wajahnya bisa sejajar dengan Sut o. T api t
et ap saja ia lebih rendah dari Sut o, namun dalam bicaranya t idak t erlalu
mendongak ke at as sepert i t adi.
"Nyai... nyai... nyai
gus... gust iku pernah bilang, bahwa Bat u Galih Bumi bisa unt uk mengobat i
luka apa pun, dan juga bisa unt uk menolak kut ukan apa pun. Dul.. dul.. dul u,
Nyai Gust i pernah punya gagasan unt uk memiliki Bat u Galih Bumi unt uk
memulihkan pengaruh pukulan 'Candra Badar' yang diderit anya dari Siluman T
ujuh Nyawa it u. Jad... jad... jad...."
"Jadah?!"
"Bukan. Jad... jadi,
bagaimana kalau Bat u Galih Bumi it u kit a rebut dari t angan Rat u Pekat
?"
Sut o t idak langsung
menjawab, ia berpikir beberapa
kejap. T api sambil berpikir
ia meneguk t uak dari dalam bumbungnya it u. Kemudian barulah ia menjawab,
"Kurasa t ak perlu, Dewa
Racun."
"T api nyai gust iku
perlu obat pemunah pukulan
'Candra Badar' Bii... biii...
biar t ubuhnya t idak t erbakar jika t erkena sinar mat ahari at au sinar alam
lainnya."
"Aku bisa mengat asinya.
Tak perlu harus mencuri
at au merebut bat u pusaka
milik orang lain, supaya kelak suat u saat orang lain juga akan segan mencuri
at au merebut pusaka milik kit a."
"Ap... ap... apakah kau
yakin bahwa kau bisa
menyembuhkan penyakit yang diderit a oleh
nyai gust iku?"
P endekar Mabuk t ersenyum t
enang. "Kit a lihat saja
nant i!" Sut o mau
bergegas keluar dari kamar, t api t angan
Dewa Racun menahannya. "T
ung... t ung... t ung...."
"Kamu ini mau ngomong apa
mau menari? Kok t ang,
t ung, t ang, t ung?"
"Mmmmak... maaak...
maksudku, t unggu dulu!" sent ak Dewa Racun dengan jengkel. Sut o t ert
awa kecil.
"Sudah kupast ikan, aku t
ak mau merebut pusaka milik orang lain at au barang apa pun yang bukan
milikku!" t egas Sut o kemudian.
"T ap... t ap., t api
bagaimana dengan luka-luka yang
diderit a gurunya Badai Kelabu
it u?"
"It u bukan
urusanku! Apa maksudmu menanyakannya?"
"Sep... sep...
sep...."
"Sepuluh?"
"Bukan! Se... sepert
inya... sepert inya guru Badai Kelabu membut uhkan pert olongan, sedangkan Rat
u P ekat bersikeras t idak mungkin meminjamkan Bat u Galih Bumi kepada siapa
pun. Aku t akut mereka saling ber... ber... ber...."
"Beranak?"
"Berselisih!" bent
ak Dewa Racun. "Pert arungan bisa t erjadi!"
"Jadi, maksudmu kit a
harus memihak salah sat u dari mereka? T
idak, Dewa Racun!
Aku t idak mau mencampuri urusan orang lain, kecuali
hanya sebagai pihak penengah! T ugas kit a di sini hanya menjaga serangan dari
Siluman T ujuh Nyawa yang bisa dat ang sewakt u-wakt u. T api sampai lima hari
kit a di pulau ini, t ak ada ut usan dari Sil uman T ujuh Nyawa yang dat ang
menyerang. Berart i kit a harus segera berangkat ke P ulau Serindu. Aku sudah t
ak sabar lagi ingin segera bert emu
dengan Dyah Sariningrum, nyai
gust imu it u, Dewa Racun. Aku t ak mau ikut campur urusan Badai Kelabu dan Rat
u P ekat!"
"Mak... mak...
mak...." "Makan."
"Maksudnya!" sent ak
Dewa Racun. Biasanya jika dia kesulit an mengucap sat u kat a, jika sudah dit
ebak oleh orang lain, kat a-kat a yang akan diucapkan segera dapat dit emukan
dan dilont arkan. T api jika orang lain it u salah menebak apa yang ingin
diucapkan, Dewa Racun sering merasa dongkol hat inya.
"Maksudku, memang t idak
harus memihak pada salah sat u, t api ambillah jalan t engah supaya mereka t
id... t id... t idak saling berselisih."
"Baiklah, akan kucoba
membujuk Badai Kelabu agar t idak bernafsu unt uk merebut at au memiliki Bat u
Galih Bumi. Mudah-mudahan dia mau percaya bahwa aku bisa mengobat i penyakit
gurunya it u."
"Nnnnnaaah... it u yang
kumaksud!" Dewa Racun t ersenyum senang.
"T api, siapakah Badai
Kelabu it u? Apakah dia orang jahat ?"
"Ak... ak... aku baru
ingat , bahwa dia orang P ulau Hit am yang pernah membant u Rat u P ekat
menyerang orang-orangku."
"Jadi, kenapa kit a harus
menolongnya dari kesulit an ini?"
"Buk... buk... bukankah
Rat u P ekat semula juga memusuhi kit a? Tapi sepert i apa kat a gurumu, si
Gila
T uak, kepadamu, bahwa
menundukkan lawan t idak harus dengan kekerasan, tapi juga bisa dilakukan
dengan kebaikan. Sekarang pun kit a sudah menundukkan Rat u P ekat !"
"O, ya! Benar apa kat amu
it u. Guru memang pernah
bilang be git u padaku. T anpa
sadar kit a t elah menundukkan Rat u P ekat ,
sehingga t idak punya niat unt uk menyerang nyai gust imu yang bergelar Gust i
Mahkot a Sejat i it u!"
"Jadi, apa salahnya kalau
kit a juga menundukkan
Badai Kelabu dengan keb... keb...
keb...." "Kebakaran!"
"Kebaikan!" sent ak
Dewa Racun dengan gemas. Sut o
hanya t ersenyum geli dan
cepat melangkahkan kaki keluar dari kamar.
Sampai di pelat aran ist ana,
P endekar Mabuk dan
Dewa Racun sama-sama t
erperanjat melihat Badai Kelabu s udah t erbujur lunglai dengan darah melumuri
kakinya dan di be berapa t empat di t ubuhnya t erdapat luka memar membiru.
P endekar Mabuk dan Dewa Racun
t idak melihat bahwa Ba dai
Kelabu baru saja t erkena pukulan punggungnya oleh t
elapak t angan Rat u P ekat yang saat it u masih menyalakan pijar merah
membara. T angan t ersebut bagaikan berlumur lahar gunung berapi dan mau dihant
amkan lagi ke dada Badai Kelabu yang t erkapar t ak berdaya. T api, Sut o segera
serukan kat a keras,
"T ahan, Nyai...!"
Suara it u membuat Nyai Rat u
P ekat palingkan wajah
ke arah Sut o, juga Cempaka
Ungu dan Mat a Elang yang memperhat ikan dari sisi kejauhan. Sut o segera melangkahkan kaki
mendekat i Rat u P ekat. P erempuan it u
menggeram dengan mat
anya yang nanar memancarkan nafsu unt uk membunuh
Badai Kelabu.
"Apa maksudmu menahan
pukulanku yang terakhir, P endekar Mabuk?!"
"It u perbuat an
sia-sia," jawab P endekar Mabuk seenaknya saja. "Tinggalkan dia,
Nyai...!"
"Dia akan merebut bat u
pusakaku ini, P endekar Mabuk! Mengapa aku harus melepaskan dia?!" sent ak
Nyai Rat u P ekat sambil masih bersikap berlut ut sat u kaki, siap hent akkan t
angannya yang membara it u.
"Dia punya alasan yang
mendesak. Jika alasan yang mendesak it u bisa diat asi, dia t idak akan merebut
Bat u Galih Bumi-mu it u, Nyai!"
"T ak ada yang bisa
menyelamat kan jiwa orang yang t elah t erkena senjata P usaka Tombak Maut, Sut
o! Hanya Bat u Galih Bumi yang bisa menyelamatkannya! Jadi, bagaimanapun juga
Badai Kelabu past i t et ap akan menyelamatkan nyawa gurunya dengan merebut bat
u ini!"
"Serahkan perkara it u
padaku," kat a Sut o, lalu ia menenggak t uak beberapa t eguk. Sisanya
masih ada yang disimpan di mulut hingga kedua pipinya sedikit mengembung.
Dari arah belakang terdengar
suara Mat a Elang,
"Pendekar Mabuk! Kuharap
jangan ikut campur urusan
Nyai Rat u unt uk kali ini! T
inggalkan dia!"
Sut o bahkan menyemburkan sisa t uak dalam mulut nya ke t angan Rat u Pekat
yang membara bagaikan lahar gunung berapi it u. Brusss...!
Nyrrosss...! T iba-t iba t angan yang mirip
besi membara it u menjadi hitam dan berasap. Nyala baranya padam. Hal it
u t idak menimbulkan rasa sakit pada t angan Rat u P ekat, hanya menimbulkan
rasa heran yang sangat besar.
Rat u P ekat membat in kat a,
"Gila! P ukulan 'Lahar
Iblis'-ku bisa dipadamkan
begit u saja dengan semburan t uaknya?! Luar biasa mengagumkannya anak muda
sint ing ini?!"
T angan Rat u P ekat yang hit
am segera pulih menjadi
kuning langsat sepert i
sediakala t anpa memakan wakt u yang lama. Hanya sekit ar t iga helaan napas t
angan it u t elah menjadi bersih dan kering.
Dari kejauhan Mat a Elang
menyangka Sut o mulai menyerang Rat u P ekat , maka dengan kekuat an t enaga
dalam yang disalurkan lewat sepasang mat anya, keluarlah
cahaya merah dari mat a kiri si Mata Elang. Wuutt t.....' Arah melesatnya sinar
merah sebesar lidi it u menuju ke punggung Sut o. Melihat gerakan sinar merah
melesat ke arahnya, Sut o hanya sedikit memiringkan badannya, hingga sinar it u
membent ur t abung bambu
t empat penyimpan t uak.
Trass...! Zuuut t...!
Cempaka Ungu t erkejut bukan
main sampai t erlont ar suara keras, "Awaaas...!"
Sinar merah yang mengenai
bumbung bambu t empat t uak it u membalik, yang semula besarnya sepert i
sebat ang lidi, kini menjadi
lebih besar lagi, t iga kali lipat dari besar semula. Kecepat an geraknya pun
melebihi kecepatan semula. Hampir saja Mat a Elang t ak sempat menghindari
serangan yang membalik ke arahnya jika t ubuhnya t idak disent akkan oleh t
angan Cempaka Ungu dengan sekuat t enaga.
Brakkk...! P rokkk...!
T ubuh Mat a Elang yang didorong keras oleh Cempaka
Ungu t erlempar dan membent ur rerunt uhan bekas pint u gerbang. P elipisnya
menghant am kuat sebuah
benda keras, dan
akhirnya
berdarah, ia
menyeringai sambil memegangi pelipisnya.
Se dangkan sinar merah yang
membalik it u juga
hampir saja mengenai t angan
Cempaka Ungu saat gadis it u mendorong t ubuh Mat a Elang. Unt ung Cempaka Ungu
cepat menarik t angannya dan berguling ke arah samping, sehingga sinar merah it
u menghant am t iang penyangga atap di serambi samping. T iang sebesar t iga
pelukan manusia it u menjadi gompal pada bagian salah sat u sisinya dihant am
sinar merah it u. Brull...! P rakkk...!
Rat u P ekat t erkesima dan
memandang t ak berkedip ke arah
t iang yang gompal dengan pasir dan bebat uannya yang menyembur ke
mana-mana. Set ahu sang Rat u, sinar merah dari mat a pengawal pribadinya it u
t idak akan sedahsyat it u kekuat annya. P aling bisa hanya menggompalkan t
iang marmer sebagian kecil saja, t idak akan merusakkan sampai bat as lewat dari pert engahan besarnya t iang
sepert i saat it u.
Melihat keadaan sedemikian
rupa, Rat u P ekat cepat
berdiri dan berkat a kepada
Sut o,
"Akan kau apakan
perempuan ini?! Dia sudah banyak menderit a luka dalam akibat seranganku!"
"Rasa-rasanya t ak baik
jika persahabat an kalian put us hanya karena keadaan yang krit is sepert i
saat ini! Biarlah kusembuhkan luka-luka si Badai Kelabu ini, dan akan kubuj uk
supaya dia t idak mengincar Bat u Galih Bumi lagi."
"T api dia tetap akan
berkeras kepala unt uk
menyembuhkan luka gurunya
memakai Bat u Galih
Bumi!"
"Aku yang akan
menyembuhkan luka-luka gurunya it u!"
Rat u P ekat kerutkan dahi, t
ak yakin akan kemampuan P endekar Mabuk. Sebab ia cukup t ahu keparahan orang
yang terkena pukulan P usaka Tombak Maut . Tapi kesangsian di hat i Rat u P
ekat hanya dipendamnya saja, ia t idak mau melontarkannya. Karena pada saat it
u ia segera berpaling ke arah seseorang yang sedang dipanggil P
endekar Mabuk t empat orang-orang yang membet ulkan pint u gerbang.
"Singo Bodong...! Angkat
dia ke dalam!" t eriak Sut o.
Orang bert ubuh t inggi,
besar, berperut sedikit buncit , jarinya
sebesar pisang ibarat nya, segera dat ang mendekat i P endekar Mabuk. Dialah
Singo Bodong, orang berwajah seram, angker, t api t idak punya ilmu apa-apa
bahkan berkesan polos dan lugu. Ia diba wa oleh P endekar Mabuk dalam
perjalanannya, karena semula ia disangka t okoh keji bernama Dadung Amuk, (Baca
serial P endekar Mabuk dalam
episode: "Ut usan Siluman
T ujuh Nyawa").
"Apa yang harus
kulakukan, Sut o?" t anya orang berkumis t ebal berpotongan sepert i
seorang warok.
"Angkat perempuan ini ke dalam.
Aku akan
mengobat inya."
"Menurut ku dia sudah
sangat parah dan t inggal menunggu mat inya saja, Sut o. Sebaiknya...."
"Sebaiknya angkat dia ke
dalam!" gert ak P endekar
Mabuk.
Singo Bodong ket akut an.
"Baa... baik... baik!" Lalu, ia bergega s mengangkat t ubuh Ba dai
Kelabu ke dalam ist ana. Bahkan langsung dibawa masuk ke dalam kamar yang
khusus unt uk t idur P endekar Mabuk selama di P ulau Beliung it u.
Rat u P ekat sempat berpapasan
dengan Mata Elang
yang memegangi pelipisnya.
Darah karena luka bent uran masih keluar dari pelipis it u. Sambil memeriksa
luka t ersebut , Rat u P ekat berkata,
"Jangan lawan P endekar
Mabuk it u! Dia sangat
berbahaya! Ingat , jangan
sekali-kali melawan at au membokongnya! Kau bisa lebih celaka dari saat ini,
Mat a Elang!"
"Baik, Nyai...!"
Di dalam kamar it u, t ubuh
Badai Kelabu dibaringkan di at as lant ai, bukan di at as t empat t idur. Seba
b saat it u, Cempaka Ungu segera ikut masuk ke dalam kamar, dan membent ak
Singo Bodong,
"Jangan t aruh dia di at
as pembaringan P endekar
Mabuk! Bisa kotor t empat t
idur it u, Goblok!"
Singo Bodong t akut . Maka, t
ubuh Badai Kelabu dit aruhnya di lant ai. T ubuh it u sangat memprihat inkan.
Lemas sekali, dan dingin di t elapak kaki sert a di beberapa t empat lainnya.
Napasnya memang masih ada, t api sangat t ipis dan t ak kentara lagi helaannya.
Cempaka Ungu sengaja ikut
masuk ke dalam kamar
it u. Bukan
semat a-mata ingin melihat cara
Sut o melakukan penyembuhan t erhadap t ubuh yang t inggal menunggu
lepasnya nyawa it u, t api juga menampakkan rasa was was, karena ia
t akut kalau-kalau Sut o melakukan kemesraan secara
diam-diam dengan Badai Kelabu. Cempaka Ungu menyimpan kecemburuan yang t ak
mampu diungkapkan karena Sut o t ak pernah memberi sambut an t erhadap hasrat
hat inya.
Buat Cempaka Ungu, kehadiran P
endekar Mabuk di
P ulau Beliung adalah ses uat
u yang menggembirakan, juga menjengkelkan. Gembira, karena hat inya t erpikat
kepada Pendekar Mabuk dan berharap mendapat sambut an hangat
dari P endekar Mabuk it u, menjengkelkan karena Sut o t ak pernah memberi sambut an hangat
yang diharapkan. T et api secara jujur Cempaka Ungu mengakui, kehadiran P
endekar Mabuk t elah membuat hat inya lupa pada seseorang yang sudah sat u
tahun menjalin hubungan cinta dengannya.
P engobat an yang dilakukan
Pendekar Mabuk sangat sederhana, t api membuat P endekar Mabuk sedikit bingung,
ia berpikir beberapa saat , sampai akhirnya Dewa Racun yang berdiri di samping
Cempaka Ungu
bert anya,
"Ap... ap... apa yang ingin
kau lakukan, Sut o?" "Memasukkan t uak ini ke dalam mulutnya. Dia t
idak
bisa menelan apa-apa.
Tenggorokannya bagai t erkunci. Harus dilakukan dengan paksa."
"Se... sebaiknya kau
masukkan t uak it u lewat semburan dari mulut mu," usul Dewa Racun.
"Maksudnya," Cempaka
Ungu menyela bicara, "Sut o menampung t uak dalam mulut nya, lalu mulut nya dirapatkan ke mulut
Badai Kelabu dan t uak di mul ut P endekar Mabuk disemburkan ke dalam mulut
Badai Kelabu?"
"T ep.. t ep... t epat
sekali!"
"T idak!" sent ak
Cempaka Ungu dengan cemberut , "It u t idak baik dan t idak pant as! P
enyembuhan it u penyembuhan mesum namanya!"
Sut o t ahu Cempaka Ungu
merasa cemburu, sehingga Sut o hanya t ert awa geli beberapa saat . Wajah
Cempaka Ungu menjadi merah dadu menahan malu, karena kecemburuannya diket ahui
Sut o dan dit ert awakannya.
"T api... t erserah
dialah!" ucap Cempaka Ungu sambil bersungut -sungut dan palingkan wajah, t ak
mau memandang.
"Singo Bodong, carikan aku
corong unt uk memasukkan t uak ke
dalam mulut Badai Kelabu!"
"Corong...?!" Singo
Bodong berkerut dahi.
"Daun saja!" kat a P endekar Mabuk kemudian. "Ambil daun unt uk kit a
bikin corong, dan t uak ini bisa dimasukkan ke dalam kerongkongan Badai Kelabu
memakai bant uan corong daun t
ersebut !"
"Nah, it u baru
pengobatan yang jit u!" sahut Cempaka
Ungu lega.
*
* *
4
SUN GGUH sederhana pengobatan it u. Hanya menelan t uak beberapa t eguk,
lalu ist irahat sat u malam, esok paginya semua luka memar telah hilang, luka
berdarah di bet isnya menjadi kering dan nyaris hilang. Badan t erasa segar,
bahkan Badai Kelabu merasa sepert i mendapat kekuatan baru. Lebih lincah dalam
bergerak, lebih lega dalam bernapas.
"Hanya dengan t
uak...?" gumam Cempaka Ungu di
dalam hat inya. "Apakah
suat u saat nant i kalau aku mengalami luka dalam at au luka luar bi sa cepat
sembuh hanya dengan minum t uak? Ah, kurasa t uak it u t idak sembarang t uak.
T api..., seingat ku t uak it u diperoleh dari t uak yang diberikan oleh Ibu.
Apakah semua t uak yang diberikan oleh Ibu mempunyai khasiat yang begit u t
inggi unt uk penyembuhan? Hmm...? Mengapa Ibu diam saja dan tak pernah cerit
akan hal it u padaku?"
Kalau saja saat it u Pendekar
Mabuk mendengar
percakapan hat i Cempaka Ungu,
maka gadis it u past i akan dit ert awakan. Cempaka Ungu berpendapat t erlalu
sederhana, ia t idak t ahu bahwa yang mempunyai khasiat mujarab dan hebat
adalah bukan t uaknya, melainkan
bumbung t empat menyimpan t
uak it u. Sembarang t uak bisa masuk ke bumbung it u, t api t idak sembarang
bumbung bambu yang bisa mengeluarkan khasiat dahsyat sepert i it u.
Bumbung bambu it u dulu bekas
milik si Gila T uak
semasa mudanya. Bumbung it u
diperoleh Sabawana, nama asli Gila T uak, ket ika Sabawana berada dalam penjara
bumi. Ia t erperosok ke sana dalam sat u pengejaran. Musuh yang dikejarnya adalah
Yopradigda, yang kemudian bergelar Malaikat T anpa Nyawa dan dikalahkan oleh
Gila T uak.
Yopradigda pada wakt u it u
berhasil mengubah diri menjadi seekor belalang dan t erbang ke sana kemari
karena t akut t ert angkap oleh Sabawana. Dalam pengejaran it ulah Saba
wana t erperosok dalam lubang sumur yang amat dalam. T ernyat a lubang sumur it
u adalah lorong sebuah gua. Di dalam sana, Saba wana menemukan beberapa lorong
berliku-liku. Ia melangkah menyusuri lorong it u, t api t ak dapat menemukan
jalan keluar. Bahkan jalan t empat terperosoknya semula juga
t idak bisa dit emukan
kembali.
T ak t erasa hari bergant i
hari dan bulan bergant i bulan, Sa ba wana sibuk mencari jalan keluar dan t ak
pernah berhasil. It ulah sebabnya Saba wana menamakan t empat it u adalah
penjara bumi. T et api Saba wana t ak pernah put us harapan, ia selalu berusaha
mencari jalan keluar, ke mana pun arah lorong it u berada ia s usuri
t erus walau sering sekali ia
merasa melewat i jalan yang pernah dilewat i lebih dari t iga kali.
Di dalam penjara bumi it u,
Saba wana akhirnya bert apa. Rasa put us asanya dilampiaskan dalam upaya t
erakhir, yait u semadi dengan t ujuan memint a bant uan kepada Hyang Widi agar
ia bisa bebas dari penjara bumi.
Di dalam t apanya it u, Sa
bawana merasa dit emui oleh
seorang bocah t elanjang
berusia ant ara t iga t ahun. Bocah it u berambut t ipis, matanya t ajam,
berkesan bandel dan nakal. Bocah it u bert anya kepada Sabawana,
"Apa yang kamu cari di
sini, Kak? Bukankah ilmumu
sudah t inggi?"
Sa bawana menjawab, "Aku
mencari jalan keluar dari penjara bumi ini," sambil menjawab be git u, hat
i Sa bawana bert anya juga, "Siapa sebenarnya anak kecil it u?"
T et api anak t ersebut malah
bertanya, "Siapa namamu, Kak?"
Sa bawana yang masih berusia
dua puluh dua t ahun it u menjawab,
"Namaku Saba wana, murid
dari Eyang P urbapat i." "O, kakak muridnya P urbapat i?"
"Benar, Dik. Siapa namamu
dan apakah kau kenal dengan Eyang P urbapat i?"
"Sangat kenal Kak. Eyang
P urbapat i juga past i kenal denganku jika kau sebut kan nama
Wijayasura."
"O, namamu
Wijayasura?"
"Benar, Kak."
"Apakah kau bisa membant
uku keluar dari dasar bumi ini?"
Bocah kecil yang masih suka
menyedot ingusnya it u
menjawab sambil t ert awa.
"Kakak saja yang sudah
besar t idak bisa keluar dari penjara bumi, apalagi aku yang masih kecil. Hi hi
hi...!"
Sa bawana menahan napas, agak
dongkol juga mendengar jawaban yang merupakan sat u harapan namun t
ernyata harapan kosong yang diperolehnya. Tapi bocah it u segera berkat a lagi,
"T api kalau kakak mau
menunggu t umbuhnya sebuah pohon bambu hingga bambu it u menjadi besar dan
daunnya mengering, kakak akan bisa menemukan jalan keluar dari t empat ini.
Ambillah bambu it u dan pakailah sebagai t empat t uak. Karena aku t ahu kakak
suka minum t uak. T ebanglah bambu besi it u dengan pedangmu, set elah it u
jangan lagi kakak gunakan pedang it u. Jelas?"
"Jelas, Dik."
"Sampaikan salamku pada
Eyang P urbapat i-mu it u!" Wijayasura mau pergi, t api Saba wana cepat
bert anya,
"Dik, di mana t empat t inggalmu
sebenarnya?"
"Aku ada di pohon bambu
it u!" set elah menjawab begit u, bocah t elanjang yang t idak mempunyai
pusar it u hilang
lenyap dari pandangan mat a semadinya Sa bawana. Dan seket ika
it u Saba wana t ersent ak kaget dari t apanya.
Lebih t erkejut lagi ket ika pandangan mat anya menemukan sebuah pohon bambu
yang masih kecil, t ak jauh dari t empatnya bert apa. P ohon bambu it u aneh.
Daunnya hanya t iga lembar, warnanya hijau kehit am- hitaman. Ket ika Sabawana mendekat dan ingin memegangnya t iba-t iba t ubuhnya
t erpent al mundur,
t erlempar jauh ant ara
sepuluh kaki dari t
empat t umbuhnya pohon bambu muda it u.
"Bocah yang mengaku
Wijayasura it u mengat akan bahwa dirinya t inggal di pohon bambu t ersebut .
Apakah dia menjelma menjadi pohon bambu, atau sebagai penjaga pohon
bambu?"
pikir Sabawana sambil mengusap-usap pinggangnya yang
terasa hampir pat ah gara-gara t erlempar jauh t adi.
Sa bawana t erpaksa menunggu t
umbuhnya pohon
bambu t ersebut sambil melat
ih beberapa jurus silat nya. Sat u keanehan lagi yang t erjadi pada pohon bambu
it u t erletak pada pert umbuhannya. Pohon tersebut t umbuh dengan pesat . Gant
i hari gant i pert umbuhan. Sat u hari bert ambah panjang sat u jengkal. T et
api warna daunnya t et ap hijau kehit am-hit aman dan hanya t iga lembar. P
ohon it u t umbuh dengan lurus dan membeng-kak.
Ket ika pohon t ersebut sudah
mencapai ket inggian seukuran t inggi t ubuh Saba wana, t iba-t iba daunnya
mengering, t api belum berjat uhan. Pada saat it u, Sa bawana mendengar suara
gaib yang berjenis s uara anak-anak. Suara it u adalah suara Wijayasura.
"Saba wana, jika t iga
daun it u t elah jat uh dengan
sendirinya, tebanglah bagian
ujungnya tepat pada ruas pert ama, lalu t ebang pula t epat pada ruas kedua.
Set elah it u, pergilah ke arah mana saja sesukamu, kau akan menemukan jalan
keluar. Dan karena aku sudah
memberikan jalan keluar
padamu, kau harus menyerahkan semua ilmumu
kepadaku, karena kau meminjamnya dariku...."
Sa bawana kurang jelas dengan
kalimat t erakhir? T api ia lebih mement ingkan kalimat-kalimat pert ama. P
ohon bambu harus dit ebang bagian pucuk pada ruas pert ama, lalu ruas kedua. P
adahal pohon bambu yang t umbuh membengkak it u hanya mempunyai t iga ruas.
Ruas ket iga adalah bagian pangkal dekat dengan t anah. Ruas ket iga it u
jaraknya sangat dekat dengan ruas kedua, kurang dari empat jari. Ruas kedua
dengan ruas pert ama jaraknya cukup panjang. Saba wana mulai paham, bahwa bocah
t anpa pusar yang mengaku bernama Wijayasura it u menghendaki agar Sabawana
memanfaatkan bambu di ant ara ruas pert ama dengan ruas kedua sebagai bumbung t
empat t uak.
Maka, Sabawana pun mulai menebang bambu berwarna coklat
dengan sedikit semburat warna hitam pada bagian ruas keduanya. Tent u saja hal
it u ia lakukan set elah t iga lembar daun bambu jat uh ke t anah dan lenyap t
anpa bekas. Bambu it u t idak mempunyai kekuat an yang melemparkan t ubuh Saba
wana ket ika didekat i. Karenanya, Saba wana bisa menebang dengan bebas dan
leluasa. Hanya anehnya, ket ika pedangnya dipakai menebang ruas kedua, pedang it u pat ah bersamaan t
erpot ongnya bambu t ersebut . T ent u saja pedang it u t ak bisa digunakan
lagi dan dit inggalkan oleh Sa bawana di dekat sisa potongan pohon bambu. Dan
anehnya lagi, sisa pot ongan pohon bambu it u menjadi lenyap set elah Saba wana
melangkah t iga t indak dari t empatnya
menebang t adi. Saba
wana mencari-cari bekasnya,
t api t ak dit emukan sama sekali. Yang ada
hanya sisa pedangnya yang
bergagang menyerupai guci t uak berukuran kecil.
Apa yang dikat akan oleh suara
gaib dari Wijayasura it u memang benar. Ke mana pun arah yang dit uju oleh Sa
bawana, ia selalu menemukan t empat t erang, sebagai jalan keluar dari gua t
ersebut . Dan ket ika ia muncul, t ernyata ia berada di lereng sebuah gunung.
Gunung it u dikelilingi oleh laut an. Sabawana segera menyimpulkan bahwa gunung
it u berada di t engah laut an. Saba wana mengenal gunung it u bernama Karak
Kato, yang unt uk kemudian hari banyak disebut -sebut orang sebagai Gunung Krakat
au.
Cepat-cepat Sabawana pulang ke pesanggrahan
gurunya, dan ia menemui Eyang P urbapat i, lalu mencerit akan pengalamannya. Saba
wana baru sadar bahwa ia t elah berada di penjara bumi it u selama dua t ahun,
t erhit ung dari pamitnya Sabawana kepada sang Gur u. Eyang P urbapat i t
erperanjat mendengar cerit a Sa bawana, kemudian guru Sa bawana it u berkat a,
"Mest inya kau t idak
memanggil bocah kecil it u
dengan sebut an Dik. Mest inya
kau memanggilnya : Eyang."
"Mengapa begit u, Eyang
Guru?"
"Karena bocah kecil it u
adalah jelmaan dari wujud kecil guruku, yait u Eyang Wijayasura."
"Oh...?!" Sabawana
kaget sekali mendengarnya dan merasa t akut .
"Wijayasura adalah
nama asli guruku, ia menghabiskan sisa hidupnya
dengan bert apa di dasar
laut di ba wah gunung Karak
Kat o. Eyang Wijayasura adalah manusia t anpa pusar, dan semua ilmuku yang kut
urunkan kepadamu adalah ilmu milik beliau. Maka, pesanku kepadamu, Saba wana,
jangan t urunkan ilmumu kepada siapa pun, kecuali kau menemukan orang at au
bocah yang t idak mempunyai pusar. T urunkanlah ilmu it u kepadanya, dan
berikanlah bumbung t uak pusaka ini kepadanya, karena ilmu it u sepert inya
dimint a kembali oleh Eyang Wijayasura melalui suara gai b t erakhir yang kau
dengar it u...."
Begit ulah asal mula bumbung t
empat t uak t ersebut ,
yang menurut Eyang P urbapat
i, di bumbung it ulah sukma Wijayasura bersemayam. Dan Sabawana yang
kemudian dikenal dengan
julukan Si Gila T uak menemukan bocah
t anpa pusar dari keluarga Wiseso yang terbant ai kecuali bocah it u. Lalu, Saba
wana at au Si Gila T uak mengangkat nya sebagai murid. Bocah it u bernama Sut
o, dengan nama lengkap: Sut owijaya! Bocah it ulah yang kemudian t umbuh
sebagai pemuda gagah perkasa dan t ampan wajahnya, gemar minum t uak sehingga,
mendapat gelar P endekar Mabuk dan akrab dipanggil dengan nama Sut o Sint ing,
(Baca serial P endekar Mabuk dalam episode: "Bocah T anpa P usar").
Apakah Sut owijaya adalah t it
isan dari Wijayasura? Hanya Eyang P urbapat i yang bisa menjelaskannya, karena
Si Gila T uak sendiri t idak bisa memast ikannya. Yang jelas, Wijayasura
menemui ajalnya dengan cara
'muksa', at au lenyap t ak
berbekas, kecuali pakaiannya.
Sut o t idak mencerit akan
pengalaman yang didengar
dari mulut si Gila T uak it u
kepada siapa pun. Karena menurutnya,
hal it u t idak begit u pent ing unt uk dicerit akan kepada siapa pun,
unt uk menghilangkan kesan menyombongkan diri. Ia hanya mengingat -ingat
pesan gurunya, bahwa lebih
baik mengut amakan kepent
ingan orang banyak daripada mengut amakan kepent ingan diri sendiri.
It ulah sebabnya, Sut o pun
merasa punya kewajiban menolong guru Ba dai Kelabu yang t erancam mat i karena
t erkena pukulan 'P usaka Tombak Maut '. Hanya saja, Badai Kelabu masih sedikit
sangsi dengan kemampuan Sut o. Terang-terangan ia berkat a,
"P usaka Tombak Maut
adalah pusaka yang ganas dan
berbahaya, apalagi di t angan
orang-orang angkara murka! Tak pernah ada lawan yang luput dari ancaman maut P
usaka Tombak Maut , menurut cerit a guruku. Jika kau ingin mengobat i guruku, apakah
kau punya pusaka lain yang bisa menandingi racun dari P usaka T ombak Maut it
u? Apakah kau juga mempunyai Bat u Galih Bumi, sepert i yang dimiliki Nyai Rat
u Pekat it u?"
"Aku t idak mempunyai Bat
u Galih Bumi," jawa b P endekar Mabuk. "Tapi aku percaya bahwa gurumu
past i doyan minum t uak!"
"Kau ini sint ing amat ?
Orang sakit kau suruh minum t uak?"
"Kau pun t adinya t
erluka parah, dan menjadi sehat sepert i pagi ini karena minum t uakku!"
"Aku hanya sakit biasa.
Lukaku bukan karena luka t erkena senjat a P usaka Tombak Maut , sedangkan
guruku
sakitnya karena terkena P
usaka T ombak Maut !"
"T idak ada
pusaka yang t idak
mempunyai kelemahan? Sama halnya t idak ada orang kuat yang t idak
mempunyai kelemahan. Di at asnya orang kuat , ada yang lebih kuat lagi. Di at
asnya orang sakt i, ada yang lebih sakt i lagi. Begit ulah falsafah hidup yang
mest inya kau sadari, Badai Kelabu!"
P erempuan it u memalingkan
wajah, memandang Sut o Sint ing dengan dahi berkerut, lalu ia ceploskan kat a
dengan suara pelan,
"Jadi kau merasa lebih
sakt i dari guruku?"
"Aku t idak berkat a
demikian," jawab P endekar Mabuk sambil t ersenyum bijaksana dan menawan
hat i set iap perempuan, termasuk hat i Badai Kelabu sendiri saat it u.
Badai Kelabu mengambil sebut
ir bat u seukuran biji
salak dan berkat a, "Bat
u hit am ini sangat keras. Guruku bisa meremas bat u hit am ini dalam sat u
kali genggaman dan hancur menjadi serbuk-serbuk hitam. Apakah kau bisa
melakukan begit u?"
Sambil senyum-senyum P endekar
Mabuk mengambil bat u it u dari t angan Badai Kelabu, lalu ia berkat a,
"Menggenggam bat u begini...," Sut o menggenggam bat u it u, "Dan membuatnya menjadi hancur berbent uk serbuk-serbuk hit am
adalah hal yang amat mudah. Tapi apakah gurumu bisa membuat bat u ini menjadi
kembar dua dalam sat u genggaman t angan?"
"Maksudmu, kembar dua
bagaimana?"
"Sepert i ini!" Sut
o membuka genggamannya. Mat a
perempuan it u t erkesiap
melihat bat u dalam genggaman Sut o menjadi dua, sama besar, sama warnanya dan
sama bent uknya. Badai Kelabu di buat melongo mulutnya oleh
'permainan' Sut o yang
diperolehnya dari ilmu bibi gurunya, yait u Bidadari Jalang. Badai Kelabu t ak
mengert i bahwa P endekar Mabuk mempunyai ilmu sihir dari Bidadari Jalang yang
dulu pernah dikenal dengan sebut an Rat u Sihir oleh sekelompok golongan, terut
ama oleh para t okoh t ua di daerah t anah Jawa Wet an.
Se belum habis rasa kagum Ba
dai Kelabu, Sut o kembali berkat a sambil menggenggam lagi dua bat u kembar t
ersebut ,
"Meremas bat u agar
menjadi hancur hanya
dibut uhkan pemusatan t enaga
dalam yang dibarengi
t ersalurnya hawa panas int i
dalam t ubuh kit a. Maka bat u pun bisa hancur menjadi serbuk hit am sepert i
ini...," Sut o membuka genggamannya.
Badai Kelabu kerut kan dahi,
karena di t elapak t angan
P endekar Mabuk ia t idak
melihat serbuk hitam hasil dari remasan t angannya. Sut o hanya t ersenyum ket
ika Badai Kelabu berkat a,
"T ak ada serbuk hit am! Bat u it u hilang dari
genggamanmu."
"Siapa bilang? Cobalah
kau sent uh bagian at as t elapak tanganku!"
Badai kelabu menyent uhnya
dengan jari t elunjuk. Namun sebelum jari t elunjuk it u menyent uh kulit t
elapak
t angan P endekar Mabuk, t
elunjuk it u merasakan t elah menyent uh segumpalan serbuk kasar yang t ak t
erlihat
oleh mat a. Bahkan Badai
Kelabu bisa menjumput serbuk it u dan menabur-naburkan di at as t elapak t
angan Sut o, t api mat anya t ak melihat sebut ir serbuk pun.
Membat inlah hat i
Badai Kelabu, "Luar biasa kehebat an ilmunya. Serbuk ini bisa
menjadi senjat a unt uk menaburi mat a lawan, t oh lawan t idak melihat ada
serbuk yang akan dit aburkan?! Rasa-rasanya Guru t ak mungkin bisa melakukan
hal sepert i ini! Rasa-rasanya ilmu P endekar Mabuk lebih t inggi daripada
ilmunya Gur u. Ya, ya... sekarang aku percaya, dia past i bisa mengat asi
luka-luka yang diderit a Guru!"
P endekar Mabuk segera ajukan
t anya, "Apakah kau masih
sangsi dengan
kesanggupanku unt uk
menyembuhkan sakit yang diderit a gurumu?"
Badai Kelabu berkata,
"Unt uk sat u hal ini, kuakui kau lebih unggul dari gur uku. T api unt uk
penyembuhan, aku masih sangsi. Hanya saja, t ak ada jeleknya jika aku mencoba
membawamu ke P ulau Hit am dan memberi kesempatan padamu unt uk menyembuhkan
Guru. T etapi aku mint a sat u jaminan darimu, Sut o."
"Jaminan apa maksudmu,
Badai Kelabu?"
"Jika Guru t ak bisa sembuh, kau harus rela menyerahkan nyawamu
ke t anganku. Kau harus mau kubunuh!"
Sut o Sint ing tert awa sambil
mengambil bumbung
t uaknya. T awanya terhent i
dan ia berkat a, "Nyawaku t idak semurah it u!"
"Karena aku juga punya
jaminan!" kat a Badai
Kelabu.
Sut o meneguk t uaknya
beberapa kali, kemudian baru bert anya,
"Jaminan apa?"
"Jika guruku bisa sembuh,
kupasrahkan jiwa ragaku kepadamu!"
"Jika aku t idak mengobat
i gurumu, apakah kau yakin t ak akan memasrahkan jiwa ragamu kepadaku?"
Badai Kelabu
diam t ersekap malu. Wajahnya semburat merah dadu karena
menahan malu. P endekar Mabuk
menert awakannya dengan
mat a t et ap memandang kepada
perempuan it u. Yang dipandang jadi salah t ingkah. Mat anya menat ap ke mana
saja, sampai akhirnya ia kembali menat ap Sut o dan berkat a,
"Baiklah. Kit a t ak
perlu saling ada jaminan sepert i it u! Akan kucoba membawamu kepada Guru,
walau nant inya Guru akan murka padaku karena aku t ak mendapatkan Bat u Galih
Bumi!"
"Murka gurumu bisa
kuredakan! T api kumohon
jangan lagi kau berusaha
merebut ataupun mencuri Bat u Galih Bumi, karena it u bukan hakmu, bukan pula
hak gurumu. Rat u P ekat yang berhak memiliki Bat u Galih Bumi it u! Jika kau
merebut nya, berart i kau merusak persahabat anmu dengan Rat u Pekat , bahkan
bisa jadi merusak nyawamu sendiri. Sebab aku t ahu, kau bukan t andingan Rat u
P ekat , ilmumu masih jauh di bawahnya."
"Kau bermaksud
menghinaku?"
"T idak. Aku t idak
bermaksud menghinamu at au merendahkan kamu. T api aku bermaksud memacu
semangatmu agar t erus menunt ut ilmu set inggi mungkin,
supaya kau t idak direndahkan
oleh orang lain!"
Badai Kelabu akhirnya
hempaskan napas panjang, lalu berkat a,
"Sulit sekali membantah
kat a-kat amu. Sebaiknya memang kit a segera bertolak dari pulau ini menuju P
ulau Hit am. Sebaiknya... sebaiknya aku memeriksa perahu dul u sebelum
berangkat !"
"Aku hanya akan membawa
De wa Rac un. Mungkin dia bisa membant uku!"
T anpa diket ahui oleh mereka, sepasang mat a memperhat ikan percakapan it
u dan mencuri dengar semuanya. Sepasang mat a it u adalah milik Cempaka
Ungu yang berwajah berang.
*
* *
5
BARU saja menapakkan kakinya
di pasir pant ai, Badai Kelabu sudah mendapat serangan dari arah belakang. Hembusan angin panas t erasa melesat mendekat i
punggungnya. Badai Kelabu cepat sent akkan kaki dan melesat ke samping.
Wuttt...! Dan ia berada di at as sebuah bat u dalam kejap berikut nya.
Beggh...! P ukulan tenaga
dalam berhawa panas it u
mengenai pasir pant ai. P asir
it u menyembur ke at as dan berhamburan t ert iup angin laut an. Sebagian ada
yang memercik di kaki Badai Kelabu.
Sesosok bayangan melesat dari
balik rimbunan pohon
pant ai. Bayangan it u
berwarna ungu. Dengan cepat Badai Kelabu mengenali bayangan tersebut . P ast i
Cempaka Ungu! Jlegg...!
Lompat an Cempaka Ungu t
erjadi dua kali. Sat u kali ia melompat dan hinggap di pasir pant ai, sat u
kali lagi ia melompat dan hinggap di at as sebuah bat u berukuran t inggi sat u
tombak, sama dengan ukuran t inggi bat u yang dipakai berpijak Badai Kelabu.
"Kau lagi!" geram
Badai Kelabu, ia berani
menggeram jengkel karena sejak
perist iwa pert arungannya dengan Rat u P ekat , Cempaka Ungu sudah t idak lagi menampakkan sikap bersahabat dengannya. Cempaka Ungu
sendiri merasa bermusuhan dengan
Badai Kelabu karena beberapa hal
yang menjengkelkan hat inya.
"Apa maksudmu
menyerangku, Cempaka Ungu?"
"Mest inya kau sudah t ahu,
bahwa aku sudah t idak menyukaimu lagi!" jawab Cempaka Ungu dengan sinis
dan ket us.
"Aku tak merasa rugi t
idak disukai orang macam
kamu!" balas Badai Kelabu
t ak kalah ket us dan sinisnya. Keduanya saling berhadapan dalam jarak delapan
langkah.
"Jika begit u, sebaiknya
kumusnahkan saja dirimu, Badai Kelabu!"
Sret t ...! Cempaka Ungu mengawali mencabut pedangnya.
"T unggu dulu! Apa
alasanmu sehingga bernafsu sekali unt uk membunuhku, Cempaka Ungu? Apakah kau
masih menyangka aku akan
merebut at au mencuri Bat u
Galih Bumi milik ibumu it
u?"
"Aku sudah t idak
berpikir hai it u lagi, Ba dai Kelabu! Karena aku t ahu, kau tak akan mampu
merebut nya dari t angan ibuku! Kalau bukan karena P endekar Mabuk yang menahan pukulan ibuku, nyawamu sudah melayang sejak kemarin sore,
Badai Kelabu!"
"Lalu, apa masalahnya
sehingga kit a harus bert arung di sini?!"
"Hmmm..., kau t akut
rupanya?!" Cempaka Ungu t ersenyum sinis.
"T akut melawanmu sama
saja t akut melawan bocah ingusan! Sama sekali tak ada gent ar di hat iku unt
uk melawanmu, Cempaka Ungu! T api
sebelum aku membelah
kepalamu, lebih dulu aku ingin t ahu apa alasanmu sehingga kamu sangat bernafsu
mat i di
t anganku?!"
"Pert anyaan yang
sombong!" geram Cempaka Ungu. "Badai Kelabu! Kalau kau ingin t
inggalkan pulauku ini, cepat lah pergi dan t ak perlu membawa P endekar Mabuk
it u!"
"Aku harus pergi dengan
membawanya! Karena dia
yang akan menjadi t abib unt
uk guruku!"
"Perset an dengan gurumu,
Badai Kelabu! Sut o harus t et ap di sini!" sent ak Cempaka Ungu.
"Kau t idak berhak menent
ukan dia harus ada di mana! Kau bukan apa-apanya, Cempaka Ungu!"
"Memang! T api dia punya
kepent ingan dengan ibuku di pulau ini!"
"Apakah ibumu jat uh cint
a kepada P endekar Mabuk? Oh, alangkah pikunnya ibumu it u, sudah t ua masih
cari yang muda! Serakah sekali dia?!"
"T ut up mulutmu, Badai
Kelabu! Sekali lagi kau menghina ibuku, kut ebas lehermu t anpa ampun
lagi!" Cempaka Ungu menjadi gusar.
"Kau pikir mudah menebas
bat ang leherku, Bocah
ingusan?! Ilmu pedangmu masih cet ek
dan t ak sebanding
dengan ilmu pedangku!" sent ak Badai Kelabu. Lalu, ia pun
mencabut pedangnya. Srett ...!
"Jangan kau meremehkan
aku, Badai Kela bu! Ka u
akan menyesal jika sudah t ahu
set inggi apa ilmu pedangku!"
"Bukt ikan di depan mat
aku! Jangan hanya bisa berkoar saja!" t ant ang Badai Kelabu dengan lant
ang. Cempaka Ungu semakin
panas hat i mendengar t ant angan it u, maka ia
pun berseru,
"Benar-benar cari mampus
kau, hiaaat ...!"
"Hiaaahh...!"
Cempaka Ungu sent akkan
kakinya dan t ubuhnya pun melent ing di udara dengan berjungkir balik sat u
kali. Badai Kelabu pun cepat melesat ke udara dan berjungkir balik sat u kali,
lalu keduanya saling membabat kan pedang ke arah lawan masing-masing.
Trang t rang t rang...!
Gerakan pedang Cempaka Ungu
cukup cepat, t api Badai Kelabu t ak kalah cepat dengan gerakan it u. P edangnya menangkis set iap sabet an pedang dari Cempaka Ungu.
Lalu, kaki kanannya sempat menendang
ke belakang saat t ubuh mereka
saling melint as lewat . Begg...!
Badai Kelabu mendaratkan
kakinya di t empat berdirinya Cempaka
Ungu t adi, yait u di at as bat u. Se dangkan Cempaka Ungu hampir saja t
ersungkur akibat t endangan kaki lawannya yang mengenai bagian pinggang kanan,
ia berhasil mendarat di at as bat u bekas t empat berdiri Badai Kelabu
dengan sedikit sempoyongan, nyaris jat uh ke bawah.
Se gera Cempaka Ungu
membalikkan badan, dan menghirup napas panjang-panjang. P ada saat it u, Badai
Kelabu pun s udah siap berdiri menant ang serangan berikut nya. Unt uk sesaat
Cempaka Ungu t idak bicara, karena ia
harus segera menahan
napasnya unt uk menahan rasa ngilu
di sekujur t ulang iganya akibat
t endangan Badai Kelabu t adi.
"Bagaimana? T ersumbatkah napasmu karena t endanganku?" ejek
Badai Kelabu dengan senyum sinisnya.
"Hmm..., t erlalu ringan
t endanganmu! Adakah yang
lebih hebat lagi dari t
endangan seekor kucing mabuk t adi?" Cempaka Ungu t ak mau kalah ejek,
walau sebenarnya
dalam hat i Cempaka Ungu
mengakui beratnya t endangan lawan.
"Ha ha ha ha... kau boleh
berkat a begit u, t api aku t ahu
kau sedang menahan rasa sakit,
Cempaka Ungu. Kulihat wajahmu menjadi pucat dan keringat dinginmu keluar di
bagian keningmu!"
"Sial! Dia menget ahui
keadaanku!" geram Cempaka
Ungu dalam hat inya. Karena
rasa malu, maka t anpa bicara apa-apa lagi, ia segera sent akkan kaki dan
kembali menerjang ke arah lawannya.
"Hiaaat ...!"
Wugggh...! Wugggh...!
Dua sosok manusia perempuan it
u saling t erjang kembali di udara. P edang mereka saling dikibaskan dengan
cepat.
Trang t rang t rang...!
Buhgg...!
Jleg...! Cempaka Ungu mendarat
kan kakinya di t anah, ia t elah berhasil menyodok bagian bawah ket iak
lawannya dengan siku yang berkekuatan t enaga dalam. Sodokannya t adi t erasa t
erkena t elak. It ulah sebabnya ia membalikkan t ubuh dengan t ersenyum angkuh.
Badai Kelabu berhasil berdiri
dengan t egak walau t adi saat mendarat kan kakinya di at as bat u t empat
berdirinya Cempaka Ungu it u hampir saja ia t erjungkal jat uh. Sodokan keras
bert enaga dalam t erasa meremukkan t ulang
rusuk dan menahan jalur pernapasannya. T etapi ia
masih mampu menahan dengan mengeraskan seluruh urat yang ada di sekit ar bagian
bawah ket iak.
"Hai, wajahmu merah,
Badai Kelabu! Sebent ar lagi kau rubuh karena sodokan sikuku t adi!" ledek
Cempaka Ungu.
Badai Kelabu paksakan diri unt
uk t ersenyum dari at as bat u, lalu ia berkat a, "Wajahku merah karena
menahan nafsu unt uk membunuhmu!"
"Kenapa t idak kau lakukan?"
t ant ang Cempaka Ungu.
"Kupikir, sia-sia
membunuh anak kemarin sore!" "Kalau nyat anya kau tak mampu membunuhi
anak
kemarin sore, mengapa harus
merasa sia-sia?"'
"Karena aku punya urusan
yang lebih pent ing daripada melayani kenakalan anak kemarin sore! Aku harus
segera kembali membawa sert a Pendekar Mabuk it u unt uk menjadi t abib bagi
guruku!"
"It u hanya impian
kosong, Badai Kelabu! Langkahi dul u mayatku, baru kau bi sa membawa pergi P
endekar Mabuk dari pulau ini!"
"Keparat kau! Bocah t ak
t ahu diunt ung!" hardik
Badai Kelabu dengan
membelalakkan mat anya yang ganas, ia pun segera mengangkat pedangnya ke at as,
lalu dit arik t urun dalam sat u sentakan kuat , dan disent akkan kembali ke
depan, ke arah Cempaka Ungu. Dan t iba-t iba dari ujung pedang it u t
erlepaslah sinar merah cerah dengan gerakan secepat kilat. Zuittt...!
Cempaka Ungu t erkesiap
sejenak. Cepat -cepat ia
hadangkan pedangnya unt uk
menangkis sinar merah cerah it u. Dubbbh...!
"Aaahg...!" Cempaka
Ungu t ersentak ke belakang dan jat uh t erlent ang. Sinar merah memang
berhasil dit ahan dengan menggunakan pedangnya yang kedua ujungnya dipegang
dengan dua t angan. T api begit u besarnya t enaga dorong yang dat ang dari
sinar merah it u, sehingga t ubuh Cempaka Ungu t ak sanggup bert ahan unt uk t
et ap berdiri, ia t erpent al ke belakang dalam keadaan sebagian rambutnya t
erbakar karena t erkena percikan api sinar merah t adi. Bau rambut t erbakar
sangat kuat menusuk hidungnya.
Melihat lawannya jat uh, Badai
Kelabu segera lompat dari at as bat u ke t anah. Jlegg...! P ada saat it u,
Cempaka Ungu sedang bergega s unt uk bangkit . Maka dengan cepat Badai Kelabu
berlari menyerang dan akhirnya melompat menerjang lawan dengan pedang lurus ke
depan.
"Hiaaaaat ...!"
Cempaka Ungu t ak sempat
menghindar, karena ia baru saja sa dar. Dengan gerakan cepat ia kibaskan
pedangnya ke kiri dan ke kanan menangkis pedang Badai Kelabu.
Trang t rang...! Brreet ...!
"Auh...!" Cempaka
Ungu t erpekik, ia t ak menyangka kalau gerakan t ubuh Badai Kelabu akan
melesat ke at as ket ika t iba di depannya. T ubuh Badai Kela bu it u melent
ing di udara dan bergerak menukik dalam sat u kibasan pedang. P edang it u berhasil
menyabet pundak Cempaka Ungu dan t ubuh yang menukik it u cepat kembali pada
posisi biasa, lalu mendarat di belakang Cempaka Ungu.
P undak Cempaka Ungu robek
akibat sabet an pedang.
Lukanya cukup lebar dan
mencucurkan darah segar. Badai Kelabu mengangkat pedangnya dari samping dan
segera menebas ke leher
lawannya yang sedang memunggungi dengan
mengerang kesakit an. Wess...! Trang...!
T iba-t iba pedang Badai Kelabu
t ak jadi menyent uh leher Cempaka Ungu. P edang it u membalik ke arah
semula, bahkan t ubuh Badai Kelabu it u t erbawa hent akan
gelombang yang membuat pedangnya terpent al ke samping. T ubuhnya pun t erbawa
t erpent al dan jat uh berguling, lalu cepat bangkit dengan sat u kaki masih
berlut ut , pedang berdiri t egak di depannya, digenggam dengan dua t angan.
"Set an! Ada yang ikut
campur urusanku!" geramnya
dalam hat i. Mat anya mencari
sekeliling yang t ampak sepi. T api ket ika ia memandang ke arah perairan pant
ai, ia melihat sebuah perahu warna merah mendekat i pant ai. P enumpangnya empat orang
lelaki yang sedang
memandang ke arah pert arungan t adi.
"Hmm... siapa
mereka?" gumam hat i Badai Kelabu.
"Past i sat u dari mereka
yang t adi menahan gerakan pedangku dan menghent akkan dengan kekuatan jarak
jauh yang cukup t inggi!"
T erdengar suara Cempaka Ungu
berseru kepada salah sat u penumpang perahu merah, sambil mendekap lukanya yang
masih berdarah,
"Sanjaya...!"
Cempaka Ungu berlari menyambut
perahu merah it u.
Empat lelaki di at as perahu
merah, hanya sat u yang t urun dan segera menyambut langkah kaki Cempaka Ungu
yang limbung dan hampir jat uh. T ubuh Cempaka Ungu segera dit ahan oleh lelaki
muda berkumis t ipis it u.
"Cempaka! Kau t
erluka?!" Sanjaya yang berpakaian merah t ua dari bahan kain beludru dan
bermanik-manik perak hias it u t ampak t egang melihat luka di pundak Cempaka
Ungu.
"Dia... dia...,"
Cempaka kesakit an, ia sulit bicara. "Penghulu P et ir! Rawat kekasihku
ini!" seru Sanjaya
kepada sat u dari ket iga
orang di at as perahu merah t ersebut , ia sendiri segera berlari menemui Badai
Kelabu yang masih siap menghunus pedang di t angan, berdiri dengan kaki tegak, bagai menunggu kedat angan lawannya.
"Beraninya kau melukai
kekasihku, hah?! Siapa kau sebenarnya, P erempuan Dungu?!" sent ak
Sanjaya.
Badai Kelabu mengernyitkan
alis. Ia pandangi sesaat pria yang berompi merah dengan mengenakan baju lengan
panjang komprang warna hit am, celananya pun merah dihiasi
rajut an benang put
ih perak yang membent uk hiasan. Rambutnya sedikit panjang bergelombang dengan ikat kain beludru merah bermanik-manik put ih
perak. T ubuhnya t inggi, tegap dan kekar. Sebilah keris bergagang kayu merah t
erselip di balik sabuk-nya yang berwarna merah pula. Keris it u t epat ada di
depan perutnya dan siap unt uk dicabut sewakt u-wakt u.
"Sebelum kau t ahu
namaku, t erlebih dulu aku ingin t ahu siapa
dirimu dan apa hubungannya dengan Cempaka Ungu?" t anya Badai Kelabu
dengan sikap t enang.
"Sudah kubilang t adi, Cempaka Ungu adalah
kekasihku! Namaku Sanjaya, bergelar P angeran
Berdarah!"
"Cukup asing namamu it u
di t elingaku! P angeran
Berdarah...?! Sebuah nama yang belum kondang,
t ent unya!" ejek Badai
Kelabu.
P angeran Berdarah merasa t
erhina dan menggeram gusar. Wajahnya yang t ampan kelihat an buas dan liar. Se
gera ia sent akkan tangan kanannya ke arah sebuah bat u, wuut ...! ia lepaskan
pukulan t enaga dalamnya ke sana. Badai Kelabu hanya melirik dengan menyimpan
rasa heran, ia sangka P angeran Berdarah memamerkan ilmunya.
Bat u it u t idak pecah. Badai
Kelabu sunggingkan
senyum t ipis meremehkan. Tapi
belum habis senyumnya, t iba-t
iba ia merasakan gelombang hawa panas mendekat inya dengan gerakan cepat ,
arahnya dari bat u yang habis dihant am P angeran Berdarah. Wuusss...!
Beeghh...!
Badai Kelabu t erjungkal jat
uh dan berguling-guling bagai dilanda angin t opan yang bert enaga besar.
Rupanya pukulan yang dilepaskan P angeran Berdarah it u sengaja dipant ulkan
melalui bat u t ersebut unt uk mengecohkan lawan, sehingga lawan menjadi
kelabakan. "Edan! Ini jurus yang aneh!" pikir Badai Kelabu.
"Hampir saja dadaku jebol t erkena pukulan it u kalau t ak segera kuikut i gerakan dorongnya. T ak kusangka
pukulan it u memant ul ke arahku, sehingga aku hanya bisa menahan napas unt uk
bert ahan menerima hembusan hawa panasnya it u. Kalau t idak kut ahan napasku,
habislah aku dibakar gelombang hawa panas yang memant ul it u! Agaknya aku
harus berhat i-hat i melawan
orang sat u ini!"
"Bangun kau, P erempuan
Dungu!" sent ak P angeran
Berdarah. "Hadapilah aku
jika kau memang berilmu t inggi!
Rasa-rasanya kau memang
tak sebanding melawan Cempaka
Ungu! Akulah lawanmu!"
Badai Kelabu cepat sentakkan
kakinya dalam posisi bersimpuh, dan t iba-t iba t ubuh it u t elah melayang
dengan ringannya, pedangnya segera dit ebaskan ke arah kepala P engeran Berdarah. Wueesss...! P angeran Berdarah hanya
menghindar ke samping dan membiarkan pedang it u
menebas t empat kosong. T etapi kejap berikut nya, P angeran Berdarah cepat
hant amkan pukulannya ke arah gugusan bat u. Wuttt ...! Begit u Badai Kelabu
pijakkan kakinya ke t anah, ia t elah mendapat serangan pukulan t enaga dalam
yang memant ul dari bat u it u. Wuugggh...!
Beggh...!
"Ehhg...!" Badai Kelabu
t ersent ak karena
punggungnya t erkena pukulan pant ul t ersebut. T ubuhnya melengkung kedepan
dengan kepala t erdongak, mulut
t ernganga melepaskan pekik t
ert ahan.
P ada saat it u, Pangeran
Berdarah cepat sent akkan kakinya ke depan dengan kekuat an penuh unt uk menendang perut Badai
Kelabu. Kemungkinan perut it u akan jebol karena P angeran Berdarah menggunakan
jurus t endangan 'T urangga Sakt i'.
Sayangnya, sebelum kaki it u
menyent uh kulit t ubuh
Badai Kelabu, sebuah pukulan
jarak jauh dilepaskan oleh seseorang dan menghant am mat a kaki P angeran
Berdarah. Duuggh...!
"Auh...!" P angeran
Berdarah t erpekik.
Kerasnya pukulan jarak jauh
yang menghant am mat a kaki it u membuat kaki tersebut t ersent ak hingga
memutar t iga kali dengan cepat. Kemudian P angeran Berdarah jat uh dalam
keadaan pusing karena berput ar cepat t iga kali, dan ia sedikit menyeringai
karena merasakan mat a kakinya bagaikan mau pecah.
"Hiaaat ...!" t
erdengar pekik t iga orang yang segera
melompat diri t urun dari
perahu merahnya. Mereka adalah P enghulu P et ir, si Lat ah Lidah dan Jalak P
ut ih. Mereka sama-sama hendak menyerang dua orang yang salah sat unya t adi
mengirimkan pukulan jarak jauh dan mengenai mat a kaki P angeran Berdarah. T et
api, gerakan ket iga orang yang memihak Sanjaya it u segera t erhent i karena
seruan dari Cempaka Ungu.
"T ahan...!"
Hanya sat u seruan, mereka
bert iga sepakat hent ikan langkah. T api mat a mereka masih t ajam memandangi
wajah P endekar Mabuk dan Dewa Racun. Orang yang mengirimkan pukulan jarak jauh
t adi adalah Sut o Sint ing, yang dengan t enangnya berjalan mendekat i mereka
sambil menyempatkan diri menenggak t uaknya beberapa t eguk.
P angeran Berdarah masih bisa
bangkit walau sedikit pincang, ia mendekat i Sut o dan membent ak, "Siapa
kau?!"
"Siapa...?!" bent ak
si Lat ah Lidah mengikut i suara keras yang membuat nya lat ah ikut membentak.
"Cempaka Ungu t ent unya
bisa menjelaskan siapa diriku dan siapa t emanku ini," kat a Sut o dengan
kalem,
sambil ia menepuk-nepuk pundak
Dewa Racun, t api t epukannya dikibaskan oleh Dewa Racun, ia t ak suka dit epuk
pundaknya.
"Jawab saja pert anyaanku!" bent ak P angeran
Berdarah. ,
"Ya. Jawab...!" si
Lat ah Lidah membent ak pula. "Jangan kau memancing persoalan denganku, t
ahu?!" "T ahu!" jawab si Lat ah Lidah. Pangeran Berdarah
cepat pandangkan mat a
padanya, si Lat ah Lidah cepat
menut up mulutnya dengan rasa
malu dan bersalah.
Cempaka Ungu menggenggam lukanya dan mendekat i mereka, ia
segera berkat a kepada P angeran Berdarah,
"T ahan amarahmu,
Sanjaya! Mereka berdua bukan musuhku!"
"T api dia melumpuhkan t
endanganku! Dia harus
kubalas!"
"Harus!" bent ak si
Latah Lidah, sepert inya t ak boleh mendengar suara keras yang menyent ak,
karena dia akan menirukan ucapan it u walau t ak mengert i maksudnya.
"Balaslah pada perempuan busuk
it u!" geram Cempaka
Ungu sambil menuding Badai Kelabu yang berusaha bangkit dari jat uhnya.
"Cempaka," kat a P endekar Mabuk sambil memperhat ikan luka di pundak perempuan
it u, "Kenapa pundakmu?! Kau t erluka? Oleh siapa, Cempaka?!"
"Badai Kelabu ingin
membunuhku, Sut o!" Cempaka
mengadu.
Sut o mau meraih pundak yang t
erluka it u, t api
P angeran Berdarah cepat
membent ak, "Jangan sent uh dia!"
"Jangan! Jangan sent uh
dia! Aku saja! Eh... anu... anu...!" si Lat ah Lidah kebingungan sendiri
set elah menyadari ucapannya,
ia menut up mulut dengan
t angannya, sement ara P enghulu P et ir segera menyeretnya, menjauhi mereka ke suat
u t empat di
bawah pohon t eduh.
*
* *
6
P ERSOALAN it u dit engahi
oleh Rat u P ekat . P ada dasarnya, Cempaka Ungu t ak mengizinkan P endekar
Mabuk meninggalkan P ulau Beli ung, seba b t akut jika sewakt u-wakt u dat ang
serbuan dari Siluman T ujuh Nyawa. Walau sebenarnya Rat u Pekat t ahu, bahwa
put rinya it u cemburu jika P endekar Mabuk pergi bersama Badai Kelabu, t api
ia berlagak t idak t ahu menahu maksud hat i Cempaka Ungu yang sebenarnya.
Badai Kelabu sendiri merasa
perlu mempert ahankan
rencananya, yait u membawa Sut
o Sint ing ke P ulau Hit am unt uk menyembuhkan gurunya. T api ia harus
menyingkirkan Cempaka Ungu lebih dul u, karena Cempaka Ungu dianggap ingin
menggagalkan rencana t ersebut , yang berart i ingin membiarkan guru Badai
Kelabu mat i karena racun berbahaya dari P usaka Tombak Maut.
P endekar Mabuk t erpaksa
mengobat i luka di pundak Cempaka Ungu dengan meminumkan air t uaknya. Rat u P
ekat t ak begit u cemas dengan luka it u. Ia bahkan segera alihkan pembicaraan
kepada P angeran Berdarah yang dat ang bersama t iga orang t emannya it u. Rat
u P ekat belum mengenal ket iga teman P angeran Berdarah, sehingga hal it u
perlu dipert anyakan.
"Apa maksudmu dat ang
kemari dengan membawa t iga orang it u, Sanjaya? Aku belum mengenal siapa
mereka!"
"Ibu Rat u," kat a P
angeran Berdarah dengan sopan,
"Saya mohon Ibu Rat u t
idak menaruh curiga kepada t iga t eman saya it u, mereka adalah Jalak P ut ih,
si Lat ah Lidah dan P enghulu P et ir. Mereka yang akan membant u saya dalam
mengejar larinya T apak Baja. P usaka milik Gur u saya t elah dicuri oleh Tapak
Baja dan...."
"Aku sudah
mendengar," sahut Rat u P ekat. "P usaka Tombak Maut milik gurumu; Ki
Jangkar Langit , t elah berada di t angan T apak Baja, si Nakhoda Kapal Neraka
it u."
P endekar Mabuk dan Dewa Racun
diam saja. T api Dewa Racun manggut -manggut dan baru t ahu bahwa P angeran
Berdarah adalah murid dari Ki Jangkar Langit , pemilik P usaka T ombak Maut it
u. Pendekar Mabuk pun baru t ahu hal it u, t api ia sepert inya t idak begit u
peduli siapa P angeran Berdarah, ia meneguk t uaknya sambil mengikut i
percakapan t ersebut .
P angeran Berdarah berkat a
kepada Rat u P ekat, "Saya dat ang kemari di samping unt uk menengok keadaan
Cempaka Ungu dan Ibu Rat u,
juga mencari t ahu ke mana jejak kepergian si T apak Baja it u. Sebab Guru
t idak akan bisa t enang dalam
menghabiskan sisa hidupnya jika P usaka Tombak Maut it u belum kembali ke t angan beliau. Saya
t idak diizinkan pulang menghadap
beliau, jika T ombak Maut belum berhasil dit emukan. Jadi saya harus mencarinya
ke segala penjuru dengan bant uan t iga t eman saya yang pernah saya tolong
dalam menghadapi beberapa persoalan pribadinya it u, Ibu Rat u."
"Wat ak seorang murid
yang baik," kat a Rat u P ekat .
"Ki Jangkar Langit past i
suka mempunyai murid sepert i kamu, Sanjaya. T api ket ahuilah, jangan
sekali-kali kau mencoba berhadapan dengan murid si Gila T uak...."
"Maaf, Ibu Rat u,"
pot ong Sanjaya dengan rasa penasaran. "Apakah di sini ada orang yang
mengaku murid si Gila T uak? Seingat saya, Ki Jangkar Langit
t idak pernah mengatakan bahwa
Gila T uak mempunyai
murid. Jangan sampai Ibu Rat u
t erkecoh oleh pengakuan palsu."
"Pemuda yang sejak t adi
minum t uak it ulah murid si Gila
T uak!" jawab Rat u Pekat .
Kemudian, mat a P angeran Berdarah menat ap P endekar Mabuk dengan sorot
pandangan sinis dan meremehkan.
Sut o duduk
berseberangan dengan P angeran
Berdarah. P endekar Mabuk
selalu duduk bersimpuh, t ak mau duduk bersila. Dengan begit u t ubuhnya selalu
kelihat an t egap dan sikapnya senant iasa siap siaga.
"Benarkah kau murid si
Gila T uak, t eman dari guruku
it u?" t anya P angeran
Berdarah kepada P endekar Mabuk. "Benar," jawab P endekar Mabuk
pendek. T api
mat anya t et ap memandang
lurus ke arah mat a P angeran Berdarah yang t ampak t idak percaya dengan
pengakuan t ersebut .
Diam-diam pangeran berhidung bangir it u
melepaskan kekuat an t enaga dalamnya melalui gerakan jari t elunjuknya. Jari t
elunjuk it u bergerak maju, mendorong t ubuh P endekar Mabuk dari jarak jauh.
Tapi P endekar Mabuk hanya sunggingkan senyum t enang sambil matanya t et ap
memandang P angeran Berdarah.
P angeran Berdarah yang
duduknya bersila di lantai marmer yang licin it u t anpa sadar t elah bergeser
mundur pelan-pelan. Makin lama semakin mundur, semakin menjauhi t empat nya
semula, dan begit u sadar ia sudah ada di t epian serambi ist ana. Sement ara
it u P endekar Mabuk t et ap duduk bersimpuh di t empatnya. P angeran Berdarah
bergegas maju lagi dengan sikap malu sekali, karena set iap mat a memperhat
ikan gerakan mundurnya yang bagai didorong oleh suat u t enaga dari jarak jauh.
Niatnya ingin menumbangkan Pendekar Mabuk, tapi kenyat aannya bahkan dirinya
sendiri yang t erdorong sampai jauh.
Rat u P ekat t ersenyum t ipis
ket ika P angeran Berdarah duduk bersila lagi di depannya.
"Masih ingin mencoba
kekuat an ilmu P endekar
Mabuk it u?"
"Hmmm... anu... t idak,
Ibu Rat u!" jawab P angeran
Berdarah dengan rasa malu yang
sukar dit ut upi lagi.
Dalam hat i P angeran Berdarah
berkata, "Mungkin dia memang murid si Gila T uak. Kekuat an sikap duduknya
just ru membuat t ubuhku sendiri yang t erdorong. Gila! P andangan matanya
begit u t ajam walau tampak lembut , t api menembus sampai ke dalam hat iku,
membuat ku menjadi gentar menghadapinya. Hmmm... unt ung t adi di pant ai aku t
ak jadi melabraknya. Dan pant aslah kalau pukulan jarak jauhnya membuat t
ubuhku t ersent ak berput ar t iga kali!"
Set elah P angeran Berdarah
mendengar cerit a t ent ang perist iwa yang membuat istana bermandikan darah,
ia pun segera mengambil
kesimpulan yang diajukan sebagai usul kepada Rat u P ekat , yang dianggap calon
mert uanya it u,
"Jika benar ada dugaan
bah wa anak buah Sil uman T ujuh Nyawa akan dat ang menyerang dan merebut pulau
ini dari kekuasaan Ibu Rat u, maka sebaiknya saya dan t iga t eman saya it u
akan t inggal di sini beberapa wakt u. Biarlah P endekar Mabuk pergi
menyembuhkan gurunya Badai Kelabu. Se belum dia kembali, kami masih t et ap di
sini, sambil menunggu siapa t ahu T apak Baja yang dat ang ke pulau ini dan dit
ugaskan menghancurkan pulau ini. Sayalah yang akan menghadapinya, Ibu Rat
u!"
"Bagaimana menurut mu, P
endekar Mabuk?" t anya
Rat u P ekat .
"It u gagasan yang
bagus," jawab P endekar Mabuk. "Boleh saya bicara, Nyai Rat u?"
kat a Mat a Elang
t iba-t iba. Nyai Rat u
anggukkan kepala dan berkat a, "Bicaralah!"
"Bukankah menurut
pendapat Nyai Rat u sendiri, T apak Baja adalah orang yang kuat , bengis dan
kejam?"
"Memang benar."
"Apakah kit a cukup mampu
menghadapi dia, jika sewakt u-wakt u dia dat ang t anpa ada P endekar Mabuk di
sini?"
"Kenapa t idak?"
sahut P angeran Berdarah. "Saya
sudah mendapat jurus unt uk menghadapi P usaka Tombak Maut , Ibu Rat
u. Sebelum saya dit ugaskan mencari P usaka Tombak Maut dan merebut nya dari t
angan T apak Baja, Guru t elah lebih dul u mengajarkan bagaimana cara
menghadapi orang bersenjat a P usaka Tombak Maut it u. Jika pusaka t ersebut
sudah bisa saya rebut , saya
pun bisa menggunakannya unt uk melenyapkan T apak Baja, Ibu
Rat u!"
"Bagus! Kurasa kit a t ak
perlu cemas lagi, Mat a
Elang!" kat a Rat u P
ekat kepada pengawal pribadinya it u.
P enghulu P et ir, yang sejak
t adi duduk di belakang
agak samping dari Badai
Kelabu, segera menyumbang kat a,
"T apak Baja memang keji
dan ganas. Kabar t erakhir
yang saya t erima, bahwa dari
sejumlah dua puluh t ujuh orang anak buahnya dalam Kapal Neraka it u, sekarang
t inggal sat u orang, yait u yang bernama Hant u Laut. Dua puluh enam anak
buahnya it u kebanyakan mat i di t angan T apak Baja sendiri. T et api dengan
adanya P angeran Berdarah dan kami bert iga di sini, Rat u t idak perlu cemas
lagi. Kami mampu menghadapi T apak Baja dan Hant u Laut . Kami sudah perhit
ungkan kekuat an mereka,
dan kami sudah at ur sat u
rencana perlawanan sendiri!" Semua mat a t ert uju pada orang berusia lima
puluh
t ahun yang berambut abu-abu
it u. Rambut nya pendek, t ubuhnya kurus, mat anya sedikit sipit , ia
mengenakan jubah panjang warna ungu t ua yang sudah kumal, t anpa mengenakan
baju dalam, t api memakai celana abu-abu dengan ikat pinggang kain put ih.
Jubahnya it u t ak pernah dit ut
up, sehingga t ulang iganya
t ampak bert onjolan, ia bersenjat a sabit yang panjang gagangnya t iga
jengkal. Tapi melihat penampilannya yang kalem, ia berkesan orang berilmu t
inggi. Kesannya it u seakan merupakan jaminan t ersendiri bagi kekuat an baru
yang akan membent engi P ulau Beliung.
"Nyai Rat u," kat a
Sut o. "Saya rasa sekarang sudah jelas, di sini ada kekuat an-kekuatan
baru yang siap menghadapi kedat angan orang-orangnya Siluman T ujuh Nyawa.
Rasa-rasanya kit a t ak perlu cemaskan lagi kekuat an di sini, dan saya akan
segera berangkat ke P ulau Hit am bersama Dewa Racun dan Badai Kelabu."
"Baik. Berangkat lah!
Lalu, bagaimana dengan sat u
t emanmu yang mirip Dadung
Amuk it u?"
"Saya t it ip Singo
Bodong sebent ar. Biar dulu dia di sini, saya akan jemput dia lagi setelah
selesai sembuhkan sakitnya guru Badai Kelabu!" kata Sut o. Set elah acara
pamit an it u selesai, Sut o pun segera menemui Singo Bodong.
"Singo Bodong, kau kut
inggal di sini se bent ar.
Bant ulah mereka
sebisamu."
"Kau akan pergi ke mana,
P endekar Mabuk?"
"Ke P ulau Hit am,
menyelamat kan seseorang yang t erluka parah!"
"T api, kau nant i
kembali ke sini menjemputku, P endekar Mabuk!"
"Ya. P ast i aku kembali
lagi ke sini menjemput mu."
Dewa Racun angkat bicara,
"Dan... dan... dan lagi, perahunya t idak cukup unt uk muat empat orang
jika badan besarmu it u ikut sert a! Kam... Kam... Kam...."
"Kampret ?!"
"Kamu!" sent ak Dewa
Racun, "Kamu kuruskan badan dul u di sini dengan kerja yang giat , sup...
sup., sup...."
"Supri?!"
"Bukan! Supri it u nama t
etanggaku dulu! Maksudku, supaya! Supaya mudah belajar ilmu silat jika t ubuhmu
t elah kurus!" kat a Dewa Racun.
Buat Singo Bodong, ia merasa
lebih enak t inggal di pulau it u. T idak t erlalu ramai, dan sering melihat
pert arungan hebat dari tokoh-tokoh dunia persilat an, ia salah sat u orang
yang menjadi pengagum pendekar, tapi ia sendiri t idak pernah memiliki ilmu
kependekaran. Hanya sedikit ilmu yang diberikan oleh P endekar Mabuk secara t
ak disadari it u. Ilmu t ersebut berada di napasnya. Napas Singo Bodong bisa
membuat pot bunga dari t anah t erjat uh jika t erkena hembusan napas lewat
mulut . P ernah ia mencobanya kepada seorang prajurit ist ana. P rajurit it u
hanya t erdorong selangkah ke belakang, tapi unt uk selanjutnya masih bisa
menyerang Singo Bodong. Berart i kekuat an napas it u hanya bisa dipakai oleh
Singo
Bodong sebagai sarana unt uk
menakut -nakut i lawan saja.
Se belum mat ahari t egak di
at as kepala manusia, perahu bermuat an t iga orang it u t elah meninggalkan
pant ai P ulau Beli ung. P erahu berlayar t unggal it u cukup besar unt uk
ukuran t iga orang. Mempunyai ruang unt uk meneduh dan t idur pada bagian
haluannya. Ruangan t ersebut berat apkan rumbia dengan t iga jendela, sat u
jendela menghadap ke arah haluan, pint unya menghadap ke arah burit an. P erahu
it u adalah milik Badai Kelabu yang dibawanya dari P ulau Hit am.
"Kami mempunyai sat u
perahu kecil lagi, muat unt uk dua orang. Kurasa guruku t idak keberat an unt
uk memberikan perahu it u kepada kalian sebagai upah kesembuhannya," kat a
Badai Kelabu yang berdiri di burit an bersama Sut o. Dewa Racun a da di haluan,
mengendalikan lajunya perahu yang t ert iup angin.
"Mengapa gurumu sampai
berurusan dengan T apak
Baja?" t anya P endekar
Mabuk.
"Sebenarnya kami t ak
punya persoalan dengan Sil uman T ujuh Nyawa. Hanya karena perahu kami
berpapasan dengan Kapal Neraka it u, dan Gur u t idak mau mendekat saat
dipanggil oleh Tapak Baja, maka orang ganas it u menjadi marah, lalu menyerang
kami."
"Wakt u it u kau ada di
perahu yang dit umpangi
gurumu j uga?"
"Ya. Kami t ujuh orang,
habis menyambangi seorang t eman di P ulau Belacan. Aku diperint ahkan unt uk
kabur oleh Guru dengan cara t erjun ke laut . T api sebenarnya
aku hanya menyelam di bawah
perahu, bersembunyi di sana. Keenam t emanku mat i karena amukan T apak Baja
bersama t ombak maut it u, dan Guru pun t erluka berat."
"Bagaimana luka-luka yang
diderit a oleh gurumu it u, Badai Kelabu?"
"Sekujur t ubuhnya
melepuh, t ermasuk bagian wajah. Set iap bagian melepuh yang pecah mengeluarkan
bau bus uk yang memusingkan kepala. P adahal Guru hanya t ergores sedikit oleh
ujung tombak pusaka it u di bagian bet is kirinya, t api racun yang ada di t
aring babi hut an it u amat ganas, dengan cepat menyebar ke sekujur t
ubuh."
Dewa Rac un mendengar
percakapan it u. Seba gai orang yang ahli di bidang penget ahuan racun, ia pun
segera menyahut ,
"It ... it ... it u
namanya Racun Gelembung Mayat !" Kedua wajah di burit an segera berpaling
memandang
ke arah haluan perahu. Sut o
segera berseru dari t empatnya,
"Racun Gelembung Mayat
dapat bert ahan berapa lama, Dewa Racun?"
"Paling lama hanya mampu
bertahan dua puluh hari. Lewat dari dua puluh hari dia akan mat i
membusuk!"
"Apa yang diserang oleh
Racun Gelembung Mayat ?" "Pembusukan di bagian gelembung darah orang
it u!" Badai Kelabu berbi sik kepada Sut o, "Dia sangat
mengert i t entang racun it u.
Jangan-jangan dialah yang mencipt akan P usaka Tombak Maut it u, P endekar Mabuk?"
P endekar Mabuk t ampilkan
senyum ramah. "T idak.
Dia hanya t ahu t ent ang segala
jenis racun, t api kadang dia t idak t ahu bagaimana cara mengat asi keganasan
racun tersebut . T idak semua racun bisa dimengert i cara
menanggulanginya!"
"T api, kau t ahu cara
menanggulangi semua jenis
racun berbahaya, P endekar
Mabuk?"
"Hmmm... mungkin t idak
semua racun kuketahui juga cara penanggulangannya. Tapi, mungkin juga aku bisa
menawarkan semua jenis racun dari yang berbahaya dan yang t idak
berbahaya."
"Kenapa masih bersifat
mungkin? Kenapa kau t idak
t ahu dengan past i, Sut
o?"
"Karena aku belum pernah
mencoba menawarkan semua jenis racun!" jawab P endekar Mabuk dengan
bersikap jujur, namun menyembunyikan kepandaiannya.
Kepandaian yang ada pada P
endekar Mabuk, sert a
t ingginya ilmu Sut o, telah
membuat Badai Kelabu menjadi sering berpikir t ent ang diri Sut o.
Namun Badai Kelabu menganggap
P endekar Mabuk lelaki yang dingin t erhadap perempuan. T erbukt i, semalam ia
t idur di dalam kamar berat ap rumbia it u, tapi t ak sedikit pun t ubuhnya t
erasa disent uh oleh P endekar Mabuk
Sut o ada di haluan bersama
Dewa Racun. Bahkan sesekali Sut o yang mengendalikan lajunya perahu sement ara
Dewa Racun t idur dalam keadaan berdiri. Si Kerdil berpakaian put ih bulu it u
sudah t erbiasa t idur dalam keadaan berdiri dan bersidekap t angan di dada.
Bus ur dan anak panahnya tetap tersandang di punggung
t anpa menjadi gangguan
sedikit pun baginya.
Ket ika pagi mulai
menyingsing, lalu mat ahari makin menyebarkan sinar panasnya, Badai Kelabu t
erkejut melihat arah perahu t ersebut , ia segera berseru kepada P endekar
Mabuk yang menjadi pengemudinya.
"Sut o, kit a salah
arah!"
"Salah arah?!" Sut o
kerutkan dahi.
"P ulau Hit am ada di
sebelah kanan perahu kit a ini! Cepat put ar haluan!"
Dewa Rac un t erbangun dari t
idurnya, ia mengerjap- ngerjapkan mat a, memandang sekeliling dan ikut berkat a,
"O, bet ul kata Badai
Kelabu. Kit a salah ar... ar...
arah!"
"Kupikir pulau di seberang sana yang
jadi sasarannya!" kat a P endekar Mabuk sambil t ert awa, lalu ia
biarkan Badai Kelabu mengambil alih haluan dan membet ulkan let ak arah perahu.
Dewa Racun pun akhirnya menert awakannya.
"Ist irahat lah, Sut o.
Biar kukemudikan perahu ini!"
kat a Badai Kelabu, ia tahu P
endekar Mabuk cukup let ih karena semalaman t ak t idur.
"Aku masih kuat
melek!"
"Jangan. Nant i kau sakit
, Sut o," kata Badai Kelabu dengan lembut , seakan penuh perhat ian dan
kasih sayang pada P endekar Mabuk.
P ulau Hit am masih separo
hari lagi perjalanan.
P endekar Mabuk belum lama t
ert idur, t erpaksa harus dibangunkan
oleh Dewa Racun.
Cara
membangunkannya pun t ak
berani langsung di sent uh t ubuhnya, melainkan dengan dilempar selembar kecil
kain pembersih. Kain it u langsung dit angkap cepat oleh t angan Sut o.
Tapp...!
"Ada apa?" t anya P
endekar Mabuk set elah t ahu
dirinya dibangunkan Dewa
Racun. Orang kerdil it u segera berkat a,
"Kita melewat i sebuah
pulau yang berasap!"
"Kenapa berasap?" P
endekar Mabuk segera keluar dari kamar berat ap pendek.
"Lihat lah sendiri!"
Begit u P endekar Mabuk keluar
dari kamar berat ap pendek it u, Badai Kelabu segera berseru dari haluan,
"Ada kebakaran di pulau it u!"
"Pasang indera pendengaranmu, Dewa Racun. P ercakapan apa yang t erjadi di sana? Firasat ku mengat akan, it u asap api
yang buruk!"
Dewa Rac un pun segera
menempelkan kedua jari
t elunjuknya ke pelipis,
matanya memandang pada pulau bert ebing landai. Hut an-hut annya t ak begit u
lebat . Suat u kegiat an dari sebuah kehidupan ada di balik tebing landai it u.
"Sut o, ak... aku... aku
mendengar suara orang me... merat ap! Sepert i orang kesakit an!"
"Adakah yang perlu
ditolong?"
"Hmmm... iy... iya! Ada
orang ber... ber... berseru melepas kemarahannya. T ap... tapi t ak jelas
ucapannya."
"Badai Kelabu, arahkan
perahu ke pulau it u!" perint ah P endekar Mabuk. "Aku penasaran,
ingin t ahu
apa yang t erjadi di pulau it
u!"
"Baik, Sut o!" Badai Kelabu pun mengarahkan perahunya unt uk
mendekat i pulau yang mengepulkan
asap hit am.
*
* *
7
P ULAU it u bernama P ulau
Kidung. P enguasanya seorang resi berusia sekit ar t ujuh puluh t ahun lebih,
ia membangun sebuah padepokan, yang makin lama berkembang menjadi desa kecil. P
adepokan it u diberinya nama P adepokan Kidung Kencana.
Di sana, Resi Kidung Sent anu
mewejang murid- muridnya t ent ang makna hidup dan kehidupan. Ilmu- ilmu
kanuragan yang diajarkan kepada para muridnya lebih bersifat kebat inan dan t
enaga dalam t anpa jurus- jurus kembangan yang indah sepert i layaknya ilmu
silat yang dianut oleh para tokoh rimba persilat an.
Murid Resi Kidung Sent anu
bukan hanya kaum lelaki, namun banyak juga kaum wanit anya. Dan mereka saling
menikah, saling berumah t angga, lalu membent uk kelompok masyarakat desa yang
mat a pencahariannya dari bercocok t anam palawija, sebagian juga ada yang
mencari ikan. T et api pada saat it u perahu yang dit umpangi Sut o melewat i
bagian belakang pulau, sehingga beberapa perahu nelayan t ak terlihat bert
ambat di sana.
P erkampungan kecil it u kini
t erbakar. T ent unya ada pihak yang sengaja membakarnya. Karena sebelum
t erjadi kebakaran besar,
terlebih dulu mayat -mayat bergelimpangan di sana-sini. P ada umumnya mayat -
mayat it u mat i dalam keadaan hangus at au membiru legam. Jelas penyebabnya
sebuah racun berbahaya, at au pukulan t enaga dalam yang amat t inggi kekuat
annya hingga menghanguskan t ubuh manusia.
Rupanya P ulau Kidung
it u sedang diporak-
porandakan oleh dua orang
beraliran sesat . Kini t inggal t iga orang yang masih hidup sebagai penduduk
asli P ulau Kidung it u. Dua di ant aranya sedang berdiri menghadapi seorang
berkepala gundul, berbadan besar, gemuk, t ak pernah memakai baju. Orang sesat
berkepala gundul it u mengenakan celana biru t ua dengan ikat pinggang kain
merah. Mat anya besar, hidungnya bulat , perutnya gendut , kulitnya berwarna
hit am walau bukan
t ermasuk hitam keling. Orang
it u t idak mempunyai alis,
kalau toh ada hanya t ipis
sekali, sehingga wajah bundar dengan pipi bengkak it u mirip sekali dengan
wajah set an. It u sebabnya ia mengaku dirinya berjuluk Hant u Laut .
Jauh di belakang Hant u Laut,
kira-kira dalam jarak lima belas
langkah, berdiri seorang lelaki kurus, jangkung dan agak bungkuk. Hidungnya
panjang, wajahnya lonjong, mempunyai mat a sipit t api t ajam. Rambut hit amnya
bercampur uban sepanjang pundak dan diikat memakai kain merah. Orang jangkung
yang kurus it u mengenakan
baju dan
celana abu-abu,
dirangkap jubah warna hitam
pekat dengan sulaman benang put ih bergambar t engkorak dan t ujuh mat a rant
ai di belakang jubahnya. Gambar it u menunjukkan lambang sekut unya Siluman T ujuh Nyawa. Dan memang orang
berwajah bengis it u adalah sat u dari kelima algojonya Siluman T ujuh Nyawa,
yang menjadi Nakhoda Kapal Neraka dengan nama julukannya: T apak Baja. Dalam
usia enam puluh t ahun lebih it u, Tapak Baja masih bisa memandang dengan awas,
gerakan mat anya cukup lincah, sehingga ia t ahu ada sat u orang yang sudah t
erluka, namun masih bisa bangkit dan hendak menyerangnya dari samping kiri.
Seket ika it u t angannya menyent ak dan sebuah pukulan bercahaya biru melesat
menghant am dada orang it u hingga jebol. Berhamburanlah isi dada orang malang
it u.
"Hant u Laut ,"
serunya. "Habisi mereka! T inggal
beberapa gelint ir saja! Aku
mau ist irahat dulu!"
"Siapa yang sekarat
?!" sahut Hant u Laut yang memang agak t uli sejak kedua t elinganya
pernah dihant am oleh Tapak Baja pada saat orang keji it u marah di at as
kapalnya dulu.
"Aku mau ist irahat
!" bentak T apak Baja sambil t et ap
memegangi sebuah t ombak
bergagang hitam. It ulah P usaka T ombak Maut yang sedang diribut kan di
kalangan para t okoh persilat an.
"O, Nakhoda mau ist
irahat dulu? Silakan! Biar aku yang merampungkan sisa t ikus-t ikus kecil ini,
ha ha ha ha...!" Hant u Laut serukan t awanya yang menggelak- gelak sambil
melangkah maju mendekat i dua orang
berusia ant ara dua puluh t
ujuh t ahun dan yang sat u berusia ant ara t iga puluh t ahun. Yang berusia t
iga pul uh
t ahun t elah memegang golok
bengkok ujungnya, ia berpakaian serba biru t ua dengan ikat pinggang put ih,
rambut nya yang sebat as pundak juga diikat dengan kain put ih. T inggi t
ubuhnya sedang, badannya agak gemuk dibanding t emannya. Orang it u adalah T
ambak Lanang, murid kinasih Resi Kidung Sent anu.
Sat u lagi murid kinasih dari
Resi Kidung Sent anu
adalah Jalu Jant an, yang kala
it u berpakaian serba merah, bert ubuh t inggi, kurus dan bersenjat a sebat ang
t oya. Tongkat t oyanya it u berwarna coklat t ua, sepert i t erbuat dari kayu
sawo. Ia masih berdiri menunggu lawannya mendekat , walau napasnya t elah
ngos-ngosan karena sejak t adi sudah berjumpalit an menghindari serangan lawan
yang sulit dit umbangkan it u.
Orang gundul yang menjadi
lawannya mendekat dengan sant ai, sepert i anak kecil, ia memainkan yoyo bert
ali panjang, ia cengar-cengir memandangi kedua lawannya di kanan-kiri,
sementara it u, T ambak Lanang berkat a kepada Jalu Jant an,
"Hat i-hat i dengan
mainannya it u! Jangan sampai
t ert ipu lagi!"
Hant u Laut makin mendekat ,
Jalu Jant an, dan T ambak Lanang bergerak mengepung di kanan kiri. Toya di t
angan Jalu Jant an sudah siap dimainkan dalam sat u kibasan at au sent akan
keras nant inya. T ambak Lanang pun memainkan pedang bengkoknya di at as
kepala, siap dibacokkan sewakt u-wakt u.
"He he he he... t inggal
kalian yang hidup di pulau ini! Se bent ar lagi, guru kalian, Kidung Sent anu
it u, akan keluar dari t empat pert apaannya! P ast i dia akan t erkejut
melihat pulau ini t elah kosong. Dan past i dia lebih t erkejut lagi jika
raganya cepat menjadi kosong karena dit inggalkan oleh nyawanya. He he
he...!"
"Jangan mimpi bisa
mengalahkan Tambak Lanang
dan Jalu Jant an! Badan kebomu
it u bisa hancur kucacak- cacak dengan golokku, t ahu?!" bentak Tambak
Lanang.
"Minggat lah ke neraka,
Set an Gundul! Hiaaat ...!" Jalu Jant an sentakkan kaki, t ubuh pun
melesat menyerang Hant u Laut yang memunggunginya. Toya di t angan diarahkan ke
depan, dalam sat u kali sent akan ujungnya t erbuka dan mengeluarkan mat a
pisau t ajam. Arah mat a pisau it u t ert uju ke t engkuk kepala Hant u Laut .
T et api dengan cepat Hant u
Laut membalikkan badan.
Kakinya menendang ke at as,
wuttt ...! Trakk...! Toya it u pat ah seket ika. T api kaki Jalu Jant an segera
menyusul sebagai gant i toyanya.
Beggh...! Dada manusia
berkepala gundul it u t erkena
t elak tendangan kaki kanan
Jalu Jant an. T api just ru yang menendang yang t erpental ke belakang,
sedangkan yang dit endang hanya t erkekeh-kekeh geli sambil t et ap berdiri.
Sert a-mert a Hant u Laut
melemparkan yoyonya ke
arah Jalu Jant an yang masih
kehilangan keseimbangan badan it u. Wuttt ...! Crak...! Yoyo it u mengeluarkan
gerigi t ajam pada bagian t epiannya. Gerigi it u memut ar cepat dan merobek
leher Jalu Jant an. Brett....!
"Ahhg...!" Jalu Jant
an memekik t ert ahan. Darah segar muncrat dari lehernya yang robek lebar dan
dalam, ia menggelepar-gelepar, sangat menyedihkan.
Melihat temannya menggelepar-gelepar dengan wajah membiru it u, T ambak Lanang
semakin mendidih darahnya, ia cepat sent akkan kaki dan melayang menerjang t
ubuh Hant u Laut. Golok bengkok ditebaskan membabat leher Hant u Laut, t api
orang gundul it u menarik kepalanya ke belakang, sehingga ujung golok hanya
lewat sekilas di depan dagunya. Wusss....!
Dalam kesempat an it u. Hant u
Laut cepat sent akkan
kakinya ke depan, begg...!
Kena t elak pada pinggang T ambak Lanang. T ubuh it u oleng ke samping, lalu
disambut dengan t endangan memut ar oleh kaki Hant u Laut .
Wuttt ...! Bukkk....!
T ubuh T ambak Lanang t
erpental t iga langkah ke belakang. Sempoyongan ia menahan diri. T endangan it
u begit u kuat menerjang pinggangnya hingga t erasa pat ah
t ulang iganya. Tapi T ambak
Lanang t ak mau menyerah.
Cepat ia angkat golok
bengkoknya ke atas unt uk dit ebaskan ke depan. Tapi tahu-t ahu Hant u Laut
melemparkan yoyonya ke arah pergelangan t angan T ambak Lanang. Yoyo it u
keluarkan gerigi lagi yang memutar cepat dan berdesing. Crass...! Gerigi it u
nyaris memotong pergelangan t angan T ambak Lanang.
"Auh...!" T ambak Lanang segera
mendekap
lengannya yang berdarah it u
sambil menahan rasa sakit . Goloknya jat uh di t anah dan cepat dipungut dengan
t angan kiri. T ubuh T ambak
Lanang yang membungkuk it u menjadi sasaran empuk bagi senjat a yoyo Hant u
Laut .
Yoyo it u dilepaskan bagai
mengibas, geriginya muncul lagi dan bergerak cepat . Crass....!
"Auuh...!" T ambak Lanang mengejang. Kulit punggungnya robek karena kibasan
gerigi yoyo t ersebut . P ada
saat ia mengejang dalam keadaan masih membungkuk it u,
Hant u Laut segera melompat dan menjejak t engkuk kepala T ambak Lanang dengan
keras dan bert enaga dalam cukup besar.
"Hegg...!" t
erdengar suara T ambak Lanang set elah suara t endangan begit u keras.
Beggg...! Krekk...! P at ah t ulang leher it u.
Darah menyembur keluar dari
mulut Tambak Lanang. Mat a orang it u sudah terbeliak-beliak bagai menunggu
ajal. T api ia masih berusaha meraih senjat anya yang jat uh di tanah. Namun
dalam gerakan cepat dan kuat , kaki Hant u Laut menendang kepala T ambak Lanang
di bagian pelipisnya. P lokkk...!
T ambak Lanang t ak mampu t
erpekik lagi. T ubuhnya t ersent ak dan jat uh terkapar dalam jarak empat
langkah dari t empat nya semula. Di sana t ubuh it u mengejang- ngejang dan
mengeluarkan darah dari t iap lubang di kepalanya. Kemudian, t ubuh it u t idak
bergerak lagi unt uk selamanya. Sedangkan Jalu Jantan sudah sejak
t adi t ak mampu bergerak at
au pun bernapas, karena
nyawanya t elah lepas dari
raga akibat robekan di lehernya.
P ada saat kemat ian Tambak
Lanang it ulah, Sut o, Dewa Racun, dan Badai Kelabu muncul dari t empat yang
lebih t inggi. Dari sana mereka bisa melihat kemat ian T ambak Lanang, dan t
epuk t angan T apak Baja yang dit epukkan pada pahanya, dengan sat u t angan t
et ap memegangi P usaka Tombak Maut.
P lok plok plok....!
"Bagus, bagus, ba gus...!
It u baru namanya kerja yang bagus!"
"Mengejar ikan gabus...?!
Ah, unt uk apa aku harus mengejar ikan gabus, Nakhoda?"
"Kubilang, it u kerja
yang bagus! Bukan kusuruh mengejar ikan gabus! Dasar budek!" bent ak Tapak
Baja dengan mat a mendelik membuat Hant u Laut ciut nyali.
Di balik rimbunan pohon, di at
as sana, t iga makhluk saling berbi sik-bisik. Badai Kela bu yang mendului
bicara kepada Sut o,
"It u dia orangnya yang
bernama T apak Baja!"
"Yang t ua dan memegang t
ombak berujung t aring babi hut an it u?"
"Ya. Dan yang berkepala
gundul it u a dalah Hant u
Laut , anak buahnya yang t
inggal sat u-sat unya it u!" "Mer... mer... mereka habis membunuh dua
orang!
T ap... t api Si T apak Baja t
idak t urun tangan, hanya Si
Hant u Laut saja yang
menangani dua musuhnya it u!" "Aku harus balas menyerang sekarang
juga!" geram
Badai Kelabu yang se gera
berlari menuruni lereng. Tapi
t angannya cepat ditahan oleh
Sut o.
"T unggu dul u! Jangan
gegabah! Kit a pelajari dulu
keadaan sekeliling t empat
mereka!"
"Kalau tak segera bert
indak, mereka bisa kabur secepat nya!"
"Aku yang akan mengejar
mereka!" kat a Sut o. "Jangan dulu bergerak, karena kulihat ada
sekelebat bayangan kuning menyusup di balik semak belukar di belakang T apak
Baja."
Baru saja Sut o selesai mengat
akan demikian, t iba-t iba T apak Baja palingkan badan ke belakang dan sent
akkan t angannya yang kiri. Wuuttt ....!
Grus ssak....!
P ukulan jarak jauh it u
menghant am semak belukar, namun sebelum pukulan it u sampai ke semak belukar,
sosok bayangan yang bersembunyi di sana t elah melesat keluar lebih dulu dengan
melent ingkan t ubuh ke udara dan bersalt o dua kali, lalu sepasang kaki it u
hinggap di salah sebuah dahan pohon yang t umbuh pendek. Orang yang hinggap di
pohon pendek berdahan kecil it u mengenakan celana kuning dengan kain pembalut
bagian dadanya warna kuning juga, hanya diselempangkan ke pundak kanan,
sedangkan pundak kirinya t erbuka t anpa kain penut up. Orang it u berusia ant
ara t ujuh puluh t ahun, rambut put ih dikonde kecil di t engah kepala, membawa
kalung bat uan besar sepert i t asbih warna merah t ua, but ir-but ir kalungnya
it u seukuran dengan biji buah rambut an.
"Siapa... oor... or...
orang it u, Badai?" t anya Dewa
Racun.
"Past i dia yang bernama
Resi Kidung Sent anu!"
jawab Ba dai Kelabu.
T ernyat a jawaban it u memang
benar, sebab t ak berapa lama t erdengar suara T apak Baja menyapa orang kurus
berjenggot dan berkumis put ih it u,
"Resi Kidung Sent anu,
akhirnya kau keluar juga dari
pert apaanmu, Resi!
Hampir-hampir kut inggalkan kau unt uk pergi ke P ulau Beliung, karena aku
masih punya t ugas unt uk menggempur Istana Cambuk Biru di sana! Unt ung kau
lekas muncul, jadi aku t idak perlu
menunggumu t erlalu lama!"
"Enyahlah kau manusia
keji, sebelum t anganku
berlumur darahmu!" geram
Resi Kidung Sent anu dengan suara t uanya. Ancaman halus it u dit ert awakan
oleh Hant u Laut .
"Ha ha ha ha...! Dia
suruh kit a mengunyah, Nakhoda! Melant ur sekali bicaranya! Ha ha ha....!"
P lokkk....!
T awa dari Hant u Laut t
erhent i seket ika. Sebuah t amparan sangat keras mendarat cepat di pipinya. T
apak Baja yang menamparnya dan segera berkat a dengan nada jengkel.
"Dia suruh kit a enyah!
Bukan mengunyah! Enyah it u
pergi!"
Hant u Laut mencibir,
"Hmmm... enak saja dia suruh kita pergi! Apakah dia mau
serahkan nyawa secepat
nya?!"
"Kurasa dia sudah t ahu
kalau nyawanya akan t ercabut
olehku secepatnya!" kat a
T apak Baja dengan sedikit membungkuk karena jangkungnya t ubuh. Lalu, ia
berkat a kepada Resi Kidung
Sent anu,
"T urunlah supaya
pekerjaanku memusnahkan pulau ini bisa lebih cepat! At au kau ingin mat i di at
as sana?"
Resi Kidung Sent anu t idak
menjawab. T et api, pohon yang dipakainya berdiri it u bergerak t urun ke bumi
secara perlahan-lahan, sampai dahan yang dipijaknya merapat ke t anah.
"Hebat sekali ilmunya.
Pohon it u bisa t urun ke t anah bagai mengant arnya t urun ke bumi!"
gumam Badai Kelabu dengan t erheran-heran. T et api, Tapak Baja t erdengar
berseru meremehkan,
"He he he he... dia unjuk
kehebat an ilmunya kepada kita, Hant u Laut! Dia mau pamer ilmu kepada kit
a!"
"Ha ha ha ha...!"
Hant u Laut ikut menert awakan.
"It u ilmu kecil yang
murahan! Bukankah begit u, Hant u Laut ?"
"Ya. It u ilmu kancil
yang murahan...."
"Ilmu kecil yang murahan!
T uli!" bent ak T apak Baja dengan mat a melotot seram kepada Hant u Laut.
"Kalau ada orang bicara, dengarlah baik-baik pakai kupingmu!"
"Ya, ya... baik. Aku akan
pakai caping!"
"Kuping, t olol! Kuping
it u t elinga!" sambil T apak
Baja membet ot t elinga si
Gundul yang budek it u.
T erdengar suara Resi Kidung
Sent anu yang bernada bijak it u berkata sambil menahan amarah kuat-kuat .
"Kurasa sudah c ukup
kau membant ai semua penduduk pulau ini, T apak Baja!
T inggalkanlah t empat ini sekarang juga!"
"O, belum seluruhnya t
erbant ai habis, Resi Kidung
Sent anu! Masih ada sat u
orang yang hidup, yait u kau sendiri! P adahal t ugas yang diberikan oleh
Siluman T ujuh Nyawa adalah membant ai habis semua penduduk pulau ini, t anpa
kecuali!"
"Mengapa Siluman T ujuh
Nyawa sejahat it u kepada
kami? P adahal kami t idak
pernah berniat jahat sedikit pun kepadanya?"
"Karena kamu menolak unt
uk menjadi sekut unya
Sil uman T ujuh Nyawa, Resi!
Dan inilah akibatnya!" "Kalau aku menolak, it u lant aran aku t idak
ingin
menjadi orang sesat sepert i
kalian!"
"Kalau t idak ingin
menjadi orang sesat , sebaiknya mat i saja. Kau t idak akan t ersesat di alam
kubur nant i!"
"Sampai kapan pun kami
memang t idak akan t ersesat , sebab kami ada di pihak yang benar! It ulah
sebabnya kami t idak t akut mat i!" kat a Resi Kidung Sent anu dengan
tetap berani bicara t egas di depan dua orang pencabut nyawa murid-muridnya it
u.
"Bagus, bagus...!" T
apak Baja manggut -manggut . Kemudian ia serukan perint ah kepada Hant u Laut.
"Hant u Laut , bunuh
dia!"
"O, t idak. Aku t idak
but uh dia!"
"Bunuh! Kat aku, bunuh
dia! Bukan but uh dia?!" bent ak T apak Baja yang membuat Hant u Laut
menjadi makin gugup.
"O, bunuh?! Baa...
baik....!"
Maka, sert a-merta Hant u Laut
menyerang Resi Kidung Sent anu dengan t ubuhnya yang melayang dan kakinya menendang
lurus ke depan. Dada kurus Resi
Kidung Sent anu menjadi
sasaran kaki it u. Dan karena Resi Kidung Sent anu t idak menghindar sert a t
idak pula menangkis, maka dada it u menjadi sasaran t elak bagi kaki Hant u
Laut yang bert elapak besar it u.
Buegggh...! T erdengar mant ap
sekali t endangan it u.
T et api t ubuh kurus it u t
idak bergeming se dikit pun. Berguncang pun t idak. Bahkan wajah Hant u Laut t
ampak menyeringai merasakan linu pada t ulang kakinya
yang sepert i menendang
sebongkah bat u gunung at au
bagai menendang dinding baja
padat . "Hancurkan dia!" sentak Tapak Baja. "Luncurkan? O, baik!
Akan kuluncurkan dia!"
"Dasar t uli! T erserah
apa kat amulah! Kau hancurkan
boleh, kau luncurkan nyawanya
juga boleh!"
Hant u Laut cepat sent akkan t
angannya menghant am dada t ipis lelaki t ua it u. Ia menggunakan pukulan
berunt un dengan kecepat an t inggi. Beg, beg, be g, beg....! Orang t ua it u t
et ap memainkan kalungnya, t anpa ada gerakan menyerang at au menangkis. P
ukulan berkepalan besar it u sepert i hembusan angin pegunungan, di biarkan
saja t anpa ada t indakan apa pun. Sedangkan yang memukul semakin menyeringai,
t angan kirinya dikibas- kibaskan karena merasa sepert i pat ah t ulang-t ulang
jarinya.
"Celaka! Berbahaya sekali
jika dia hanya bert ahan
saja!" pikir Badai
Kelabu. Maka, ia pun segera melompat ke depan dan berlari menghampiri Resi
Kidung Sent anu. P endekar Mabuk dan Dewa Racun t erkejut sekali.
*
* *
8
DEWA RACUN mengecam kebodohan Badai Kelabu dengan rasa jengkel, "Das... das...
dasar perempuan bod... bod... bod..."
"Bodong?!"
"Bodoh!" sent ak
Dewa Racun. "Melawan Rat u P ekat saja hampir mampus, sekarang malah mau
melawan T apak Baja yang pegang P usaka Tombak Maut ! Cari penyakit saja
perem... perem... perempuan it u!"
Dewa Racun mau bergerak t
urun, t api t angan Sut o menahan lengannya sambil berkat a,
"Jangan menyerang dul u!
Awasi dan jagai saja dia
dari balik pohon bambu di
sebelah sana!" sambil P endekar Mabuk menunjuk serumpun pohon bambu yang
rapat t umbuhnya it u. Lalu, sambung P endekar Mabuk lagi,
"Aku akan mempelajari
gerakan dan cara kerja
P usaka Tombak Maut it u dari
sini!"
Dewa Racun mengangguk, lalu
segera menyusuri jalan menurun, menyelusup dari pohon ke pohon, hingga menuju
rimbunan pohon bambu. P endekar Mabuk meneguk t uaknya beberapa kali, kemudian
kembali memperhat ikan T apak Baja yang agaknya belum mau t urun t angan dalam
menghadapi Resi Kidung Sent anu. Ia masih marah-marah kepada Hant u Laut yang
dianggap
t idak mampu merobohkan
lawannya yang sudah t ua rent a it u.
"Gunakan t enagamu,
Tolol!" bent ak T apak Baja.
"Aku t idak punya t et angga, bagaimana harus kugunakan?!"
"T enaga! Kat aku,
gunakan t enaga! Bukan t et angga!" T apak Baja bert eriak di t elinga
Hant u Laut . Suaranya keras
memekakkan t elinga, hingga
Hant u Laut mengernyit kan alis.
Kejap berikut nya, Hant u Laut
mundur t iga t indak, lalu ia sent akkan t angan kanannya dengan t elapak
t erbuka. Wuuhgg....! Tenaga
dalamnya dilepaskan unt uk memukul dada Resi Kidung Sent anu.
Begg....!
T elak sekali t enaga dalam
besar it u menghant am dada t ipis Resi Kidung Sent anu. T et api orang t ua it
u t idak juga bergeser dari t empatnya. Hanya kain penut up dadanya saja yang t ampak bergerak, sedangkan t ubuhnya t et ap t egar bagaikan
t ebing gunung cadas.
"Keparat bet ul ini
orang...!" geram Hant u Laut
dengan jengkel, merasa dirinya
dipermainkan oleh kekuat an t ubuh lawannya. Maka, segera ia lepaskan yoyo-nya
ke depan dengan sat u sent akan beraliran t enaga dalam yang cukup besar.
Wengng....!
Yoyo it u melesat cepat , lalu
kembali t ert angkap t angan Hant u Laut . P ada saat yoyo it u melesat, bukan
gerigi t ajam yang keluar dari t epiannya, melainkan sinar merah menyebar bagai
kilat an lidah api membara.
Melihat datangnya sinar merah
membara it u, Resi Kidung Sent anu t et ap diam, berdiri di t empatnya semula
dengan mempermainkan manik-manik kalung pada jemarinya. T erlihat t ak ada niat
unt uk menangkis at aupun menghindar.
Sikap it u kian mencemaskan
Badai Kelabu. Maka dengan sert a-mert a ia lepaskan pukulan t enaga dalam jarak
jauh yang memancarkan sinar kuning dari dua jari yang dit ot okkan ke depan.
Sinar kuning it u melesat dengan cepat dan menghant am sinar merah yang hampir
mencapai dada Resi Kidung Sent anu.
Blarrr....!
Bent uran kedua sinar
menimbulkan ledakan cukup kuat . Gelombang ledakan menghempas ke sekelilingnya.
T ubuh Hant u Laut dan T apak Baja sempat t erguncang sedikit karena hempasan
gelombang ledakan it u. T etapi Resi Kidung Sent anu t et ap berdiri tanpa goyah
sedikit pun.
"Monyet bet ina!" geram Hant u
Laut set elah menget ahui
siapa orang yang memat ahkan pukulan t enaga dalamnya it u.
T apak Baja pun t ampakkan
kegarangannya begit u
melihat kemunculan Badai
Kelabu, ia segera berseru dari t empatnya sambil t et ap bert ongkat kan P
usaka T ombak Maut it u.
"Perempuan liar! Apa
maumu ikut campur urusanku, hah?! Mau cari kuburmu at au mau cari
bangkaimu?!"
"Kalian memang
biadab!" sent ak Badai Kelabu dengan lant ang dan berani. Suara sent
akannya bernada
curahan dendam t erhadap apa
yang diderit a gurunya akibat ulah kedua orang it u.
"Kurang ajar! Dia mengat akan kit a biadab, Nakhoda!"
"Menurut mu
bagaimana?"
"Memang!" jawab Hant
u Laut .
"Memang bagaimana?!"
sent ak T apak Baja dengan mat a mendelik liar.
"Maksudku... maksudku
memang dia perlu dihajar,
Nakhoda!"
"Jangan dihajar! T api
hancurkan dia! T umbuk sampai lembut !"
"Baik. Akan kupeluk
sampai lembut !"
"T umbuk sampai
lembut!" ulang Tapak Baja nyaris hilang kesabarannya, ia menggeram bengis
kepada Hant u Laut . Wajah t uanya memerah, menampakkan warna murkanya.
"Hiaaat ....!" unt
uk menut upi kesalahannya sekaligus
menghilangkan kemarahan Tapak
Baja, cepat -cepat Hant u Laut memekikkan semangat t empurnya dengan
menggerakkan kedua t angannya yang menggenggam kuat -kuat dan diacungkan ke
depan salah sat unya. Tapi ia belum bergerak dari t empatnya, menunggu T apak
Baja merasa lega dan menyingkir sedikit menjauhinya.
Bukk...! P unggung Hant u Laut
sendiri yang t erkena
serangan dari kaki T apak
Baja. Cukup keras t endangan Nakhoda Kapal Neraka it u, membuat Hant u Laut t
ersent ak ke depan dan celingak-celinguk kebingungan, t ak t ahu mengapa ia dit
endang oleh sang Nakhoda.
"Serang dia!! Jangan t
eriak saja!" bent ak T apak Baja. "Baik! Hiaaat ...!" Hant u
Laut cepat keluarkan yoyo mautnya. Yoyo it u diput ar-put ar di at as kepala.
Wuung wuung wuung....! Wesss...! Hampir saja mengenai wajah T apak Baja jika
kepala bengis it u t idak segera dit arik ke
belakang.
"Maju, Goblok!"
Begg...! Kaki T apak Baja
menendang pant at Hant u
Laut hingga orang gundul it u
t ersent ak maju dua t indak.
Badai Kelabu
hanya bergerak pelan mencari kesempatan melancarkan pukulan
jarak jauh. Ia t ak berani mendekat,
karena senjat a yoyo it u dapat melukainya sewakt u-wakt u.
Hant u Laut sendiri masih t et ap memut ar-mut arkan yoyonya hingga menimbulkan
suara berdengung mirip lebah mengelilingi t empat it u.
Lalu t iba-t iba kedua t angan
Badai Kelabu menyent ak
ke depan secara bert urut an.
Wutt ... wut tt....!
Buuhg buuhg....!
Dada dan perut Hant u Laut t
erkena pukulan jarak jauh dari t angan Badai Kelabu. T ubuh besar dan gemuk it
u t ersentak ke belakang. Yoyonya cepat dit arik dan dit angkap di t angan. Tapp...! T ubuh gemuk
it u t erbungkuk karena merasakan mual di perut nya.
"Jahanam kau...!"
geram Hant u Laut dengan mat a lebarnya
memandang Badai Kelabu
secara menyeramkan. Tapi Badai Kelabu t idak merasa gent ar sedikit pun.
Ia bahkan bersiap melepaskan pukulan
'Badai Gunung'-nya.
Saat it u, T apak Baja
berhadapan dengan Resi Kidung
Sent anu dan berkat a dengan
suara keras, memancing perhat ian Badai Kelabu.
"Di depan si Gundul it u kau boleh unjuk kekebalanmu. T api di ujung pusaka
ini kau t ak akan bisa unjuk kesakt ianmu, T ua bangka! Hiaaat....!"
T apak Baja menghujamkan t
ombak it u ke dada Resi Kidung Sent anu. T et api t angan Badai Kelabu cepat
menyent ak ke arah sana dan keluarkan nyala api merah t embaga. Wuttt ....!
Trangng....!
Tombak yang baru saja mau
bergerak menghujam it u t ersent ak ke samping karena dit abrak oleh nyala
sinar merah t embaga. T apak Baja segera berpaling ke arah Badai Kelabu dengan
kegeraman yang membakar darahnya.
Namun hat inya yang dibakar
kemarahan menjadi
sedikit reda karena ia melihat
Hant u Laut lepaskan yoyonya, gerigi yang keluar dari t epian yoyo it u merobek
lengan kiri Badai Kelabu. Brett ...!
"Aauh...!" Badai
Kelabu memekik t ert ahan. Rasa
sakit segera menguasai sekujur
t ubuhnya. Lengan di ujung pundak it u robek dan berdarah. Darahnya merah kehit
am-hit aman. Jelas it u darah yang bercampur dengan racun berbahaya. T ubuh
Badai Kelabu pun mulai t erasa dingin.
Melihat lawannya t erluka,
semangat dan keberanian Hant u Laut menjadi kian meluap, ia pun sent akkan
kakinya pada salah sat u bat u dan t ubuhnya yang besar it u melesat cepat
dengan kaki t erent ang ke depan.
"Hiaaat ....!"
P lak, buhgg....!
T angan Badai Kelabu cepat
menangkis, lalu kaki kanannya bergerak cepat menendang perut Hant u Laut
dengan t endangan samping. Tendangan it u t elak mengenai perut lawan, membuat
lawan t erhuyung- huyung ke belakang. Lalu, dengan cepat Badai Kelabu mencabut
pedangnya. Srett ....!
"Jahanam najis kau,
hiiih....!"
Wusss...! P edang dit ebaskan
ke kepala Hant u Laut . Orang gemuk yang t erhuyung-huyung it u masih sempat
menghindar dengan merendahkan t ubuhnya. Sambil merendah, ia lepaskan pukulan t
enaga dalamnya melalui
t elapak tangan kiri. Wuuttt
...! Buhggg....!
"Ahg...!" Badai
Kelabu t ersent ak ke belakang dua t indak.
Se belum Badai Kelabu si gap
kembali, Hant u Laut melemparkan
yoyonya dalam gerakan lempar menyamping. Wengng...!
Yoyo it u melesat dari arah depan-kanan ke depan-kiri. Brett ...! Gerigi yoyo
it u merobek dada di ba wah leher Badai
Kelabu. Robekannya panjang dan cukup dalam. T ubuh Badai Kelabu t
erpelant ing dan jat uh.
"Saat nya kuhancurkan
wajah cant ikmu dengan jurus
'Lidah Naga'-ku ini, Set an
Bet ina! Hiaaat ....!"
Hant u Laut sent akkan kaki
dan melesat di udara dalam sat u garis lurus dari t empat nya berpijak t adi.
Lalu, t angannya melepaskan yoyo yang memancarkan warna biru muda ke arah t
ubuh Badai Kelabu.
Melihat cahaya it u meluncur
deras ke arahnya, Badai Kelabu sempat menghadang dengan pedang hit amnya.
Trasss...! Cahaya biru it u membelok arah, melesat ke depan-kanan dan meluncur
menuju Tapak Baja yang akan menggerakkan tombak pusaka tersebut unt uk membunuh
Resi Kidung Sent anu.
Karena ia melihat sinar biru
milik Hant u Laut it u
membelok ke arahnya, maka niat
nya unt uk menyerang Resi Kidung Sent anu dit angguhkan. T apak Baja t ahu,
sinar biru it u sinar yang berbahaya. Jurus 'Lidah Naga' milik Hant u Laut
adalah jurus pemusnah lawan yang t ak bisa dit awar-t awar lagi kedahsyatannya.
Sekalipun demikian, T apak Baja
masih bisa
menggunakan t elapak t angan
kirinya unt uk menahan sinar biru t ersebut . Tappp...! Sinar biru it u padam
di t angan T apak Baja. It ulah sebabnya dia di jul uki T apak
Baja, karena t elapak
tangannya bagaikan baja, mampu menahan pukulan t enaga dalam berbent uk sinar
apa pun. "Habisi dia!" t eriak T apak Baja kepada Hant u Laut , sebab
menurut perhit ungan T apak Baja, lawan sudah
lemah dan t inggal dilenyapkan
nyawanya.
"Hiaaat ...!" Hant u
Laut kembali sent akkan kaki dan melesat t erbang ke at as sambil melepaskan
yoyonya lagi. Karena saat it u Badai Kelabu t ert unduk lemah menahan sakit
yang membuat wajahnya makin membiru.
Namun, sebelum t angan Hant u
Laut melepaskan yoyonya lagi, t iba-t iba sebuah anak panah melesat dengan
cepat dan menancap di bawah ket iaknya. Jrubb....!
"Aaoou...!" pekik
Hant u Laut , t ak jadi melepaskan yoyonya.
Hant u Laut mengejang ket ika
kakinya memijak bumi, ia mencabut anak panah kecil it u dengan seringai kesakit
an. Mat anya memandang liar ke arah rimbunan pohon bambu, karena ia t ahu arah
dat angnya anak panah it u dari rimbunan pohon bambu di sebelah kanannya. T et
api pada saat it u mat anya menjadi berkunang-kunang, ia berdiri dengan limbung
dan melangkah mundur
t erhuyung-huyung, kedua t
angannya masih merent ang sedikit ke depan unt uk menjaga keseimbangan.
"Hant u Laut ...!"
seru Tapak Baja t ampak cemas, ia segera melompat dengan bersalto di udara dua
kali, lalu mendaratkan kakinya di belakang Hant u Laut . P ada wakt u it u, t
ubuh Hant u Laut hampir t umbang ke belakang. T apak Baja segera menahan t ubuh
besar it u.
"Bodoh kau!" bent ak
Tapak Baja. Segera ia membuka t angan Hant u Laut yang kanan, kemudian luka
bekas t ert ancapnya anak panah beracun it u segera diludahi t iga kali.
Cuih, cuih, cuih....!
Kulit yang t erluka it u
bergerak-gerak sepert i tersiram air keras. Asap t ipis mengepul dari luka t
ersebut . Lalu, dalam wakt u yang amat singkat luka it u mengering dan akhirnya
hilang tak berbekas.
Kesempat an it u digunakan
oleh Resi Kidung Sent anu unt uk melesat bagaikan t erbang, mengambil Badai
Kelabu agar t idak menjadi sasaran
t erdekat dari kemarahan T apak
Baja. T ubuh berpakaian kuning it u
sepert i seekor kelelawar
raksasa yang t erbang dengan cepat nya.
Wuurrrr....!
"Mau ke mana kau,
Kunyuk!" sentak T apak Baja sambil mendongak ke at as. Ia segera
melepaskan Hant u Laut , lalu sent akkan kaki dan melompat ke salah sat u t
empat , ia melihat bayangan Resi Kidung Sent anu bergerak di t anah berumput .
T apak Baja segera menoreh bayangan it u dengan menggunakan ujung t ombak
pusaka t ersebut . Gress....!
"Ahhg...!" t
erdengar pekik Resi Kidung Sent anu
dengan suara t ertahan pada
saat ia masih berada di udara. Rupanya dengan menggoreskan ujung t ombak ke
bayangan, Resi Kidung Sent anu dapat t erluka dadanya dan berdarah. Resi Kidung
Sent anu jat uh berdebum
t anpa keseimbangan lagi. T et
api ia buru-bur u bangkit
berdiri bagai t ak
menghiraukan lukanya yang menghitam koyak it u.
Wuttt ...! Kalung it u
dikibaskan oleh Resi Kidung Sent anu. Kibasan t ersebut mendat angkan angin
kencang yang menyent akkan t ubuh T apak Baja. Bahkan t ubuh Hant u Laut pun t
erdorong menyerosot di t anah sampai membent ur pohon punggungnya. Buehgg....!
"Aduuuh..!" Hant u laut mengerang memegangi pinggang belakangnya yang
t erasa pat ah t ulangnya akibat bent uran dengan bat ang pohon besar.
Sement ara it u, Tapak Baja
hanya t erhuyung-huyung
dan t ak jadi jat uh karena t
ersangga oleh tombak yang dijadikan t ongkat penyangga badannya it u. Ia cepat
balikkan badan dan menggeram
buas kepada Kidung
Sent anu.
"Kalau aku harus
membunuhmu, bukan karena aku t ak suka padamu, t api aku menyingkirkan iblis
yang bersemayam di raga dan jiwamu!" ucap Resi Kidung Sent anu, kemudian
cepat -cepat ia lemparkan kalung bermanik-manik merah t ua it u. Wuurrrr...!
T apak Baja melihat kalung it
u menyala bagaikan bat uan dari magma gunung berapi. Cepat -cepat ia kibaskan t
ombak pusaka it u unt uk menghant am kalung t ersebut .
Blarr...! T rak trak trak
blarrr....!
Kalung it u hancur berant akan
t ak berbent uk lagi. Tombak P usaka Maut masih berdiri t egak dan ut uh, t
anpa lecet sedikt i
pun. Resi Kidung Sent anu memandang dengan sorot mat a
yang dingin, ia cepat gerakkan tangannya, merapat kan t elapak t angan it u di
dada. Kepalanya masih tegak, mat a memandang lurus bagai menerawang.
"Hiaat ...!" Tapak
Baja melompat dan menyambar-kan
ujung t ombaknya ke leher Resi
Kidung Sent anu. Brett ...! Leher it u robek seket ika tergores ujung t ombak
yang t erbuat dari t aring babi hut an runcing dan t ajam. Tapi Resi Kidung
Sent anu tet ap diam, t idak memberikan perlawanan dan gerakan menangkis sedikit pun. Sement ara it u, luka di dadanya
semakin melebar, darah yang keluar bukan merah, melainkan hit am.
"Habis sudah riwayat mu,
T ua bangka! Hiaaah....!" Beggh...! T apak Baja segera pukulkan t elapak
t angannya ke punggung Resi Ki
dung Sent anu. P ukulan it u berasap biru. Resi Kidung Sent anu masih diam,
berdiri dengan t angan merapat di dada. T api mat anya kali ini dipejamkan,
sepert inya sedang menahan segala bent uk serangan yang menyakitkan t ubuh.
T apak Baja
menjadi lebih buas
lagi, karena
pukulannya t idak bisa
merobohkan Resi Kidung Sent anu. Maka, dengan
sat u lompat an ke belakang, ia kibaskan tombaknya menyabet t engkuk kepala
Resi Kidung Sent anu. Brett....!
Kulit dan daging bagian t
engkuk kepala orang t ua it u
t erkoyak lebar. Darahnya
memercik deras. T api Resi Kidung Sent anu masih t et ap diam, bagai melakukan
semadi dalam keadaan berdiri.
Dari at as lereng, Sut o
membat in, "Resi Kidung Sent anu past i punya kejut an sendiri. T apak
Baja akan semakin bernafsu, dan mungkin Resi Kidung Sent anu memancing nafsu
amarah T apak Baja biar nant inya nafsu it u sendiri yang akan menewaskan T
apak Baja. Hmmm... cukup t inggi ilmu sang Resi. T api, apakah ia memang bisa
dilukai dari bayangannya? Apakah dia menyimpan kekuatan pada bayangannya?
Kulihat saat T apak Baja menggoreskan ujung t ombak ke t anah, t epat mengenai
bayangan sang Resi, dan seket ika it u sang Resi memekik, terluka dadanya.
Tapi, t adi pun kulihat bayangannya t erinjak kaki Hant u Laut, toh dia t idak
merasakan sakit . Apakah melukai lawan lewat bayangannya adalah salah
sat u kehebat an
pusaka t ersebut ?"
Di balik kerimbunan semak
bambu, Dewa Racun masih bersembunyi di sana. Ia ingin mengambil Badai Kelabu
yang makin membiru dan lemas t ubuhnya. Tapi keadaan Badai Kelabu ada di dekat
Resi, dan sang Resi sedang diserang T apak Baja. Dewa Racun t idak mau bert
indak gegabah. Salah-salah ia yang menjadi sasaran P usaka Tombak Maut it u.
Namun, melihat sang Resi yang
t ercabik-cabik hanya diam saja, Dewa Racun menjadi geram dan tak t ega
membiarkannya. Maka, sat u anak panah dilepaskan dari sela-sela bat ang bambu.
Zuut tt ....!
Anak panah t ert uju ke arah T
apak Baja. T api mat a t ua T apak Baja cukup awas. Ia hindari gerakan anak
panah berbul u merah it u. Lalu ia sent akkan t angan kirinya ke rimbunan
bambu. Wuttt ....!
Sinar biru melesat dari t
elapak t angan. Dewa Racun
cepat hindarkan diri dengan
melompat keluar dari persembunyiannya. Wess....!
Brakkk...! Blarrr....!
Rimbunan bat ang bambu pecah
menjadi serpihan- serpihan kecil karena t erkena sinar biru dari t elapak t
angan kiri T apak Baja.
"Monyet kecil!" bent
ak T apak Baja dengan murka yang memerahkan bola mat anya. "Tak perlu kut
ahu siapa dirimu, t api kau sudah mencoba menyerangku, berart i kau t ermasuk
lawan yang harus kumusnahkan bersama Resi peot ini! Hiaaat ....!"
Dewa Racun melompat hindari
serangan tombak yang meluncur cepat bersama pemegangnya. Dewa
Racun sengaja memancing T apak
Baja supaya menjauhi Badai Kelabu, supaya jika serangannya meleset t idak
mengenai Badai Kelabu yang hidup di ant ara mat i it u.
Sement ara Dewa Racun melompat
-lompat dengan lincahnya, hat i P endekar Mabuk menjadi was was, ia membat
in, "Jangan-jangan
Dewa Racun belum menget ahui bahwa
P usaka Tombak Maut bisa melukai lawan melalui bayangan lawannya? Celaka! Dewa
Racun bisa celaka jika ia t ak menyadari hal it u!"
Sut o baru saja mau bergerak,
t iba-t iba mat anya t erbeliak melihat T apak Baja menorehkan ujung t ombak ke
pohon. Karena di pohon t erdapat bayangan Dewa Racun, maka Dewa Racun pun t
ersent ak kaget sambil
t erpekik dengan suara t ert
ahan. "Oohgg...!"
T ubuh Dewa
Racun melengkung ke depan. P unggungnya robek, darah
keluar menghitam di rompi bul unya yang juga robek bagai habis digores dengan
benda yang amat t ajam it u. Dewa Racun limbung menahan rasa sakit di sekujur t
ubuhnya.
"Mampus kau t ikus bus
uuuk...!" t eriak T apak Baja
sambil melompat dan hendak
menancapkan t ombak it u ke punggung Dewa Racun.
P endekar Mabuk cepat-cepat
melepaskan pukulan jarak jauhnya. Namun, sebelum pukulannya t erlepas, t iba-t
iba t ubuh T apak Baja t ersentak dan t erlempar jauh hingga membent ur pohon
yang dipakai duduk bersandar oleh Hant u Laut .
Begggh....!
"Uuhg...!" ia memekik kesakit an. "Ada yang
menyerang dari persembunyian,
Nakhoda!"
P lokk...! Wajah berkepala
gundul dit ampar t elak oleh
T apak Baja, lalu ia membent
ak,
"Aku t ahu! Aku t ak
perlu saranmu!"
Hant u Laut t ak berani bicara
lagi. Ia segera bangkit dan berniat menyerang Dewa Racun yang t erluka parah,
sedang merangkak mendekat i Badai Kelabu. T etapi t angannya segera dit arik
oleh T apak Baja, dan Hant u Laut jat uh t erduduk lagi.
"T ak perlu ikut campur,
Tolol! Biar aku sendiri yang melenyapkan si penyerang gelap it u!"
T apak Baja cepat sent akkan t
angannya ke t anah dan t ubuhnya melesat lompat dalam keadaan berdiri sigap, ia
berseru sambil mat anya memandang sekeliling.
"Bangsat ...! Keluar
kau! Hadapilah aku kalau memang kau ingin mengant
arkan nyawamu!"
P endekar Mabuk membat in
sambil bergerak pelan mendekat i tempat Dewa Racun dan Badai Kelabu,
"Siapa penyerang gelap it u? Cukup t inggi juga ilmunya, hingga dia bisa
membuat T apak Baja t erlempar sejauh it u bersama P usaka Tombak Maut nya! Hmmm... sebaiknya t ak perlu
kuhiraukan dulu siapa orang it u, yang pent ing kuselamat kan dulu De wa Rac un
dan Badai Kelabu! Dewa Rac un adalah penunjuk jalan bagiku unt uk bert emu
dengan kekasihku; Dyah Sariningrum. Dewa Racun t ak boleh mat i karena
luka-lukanya it u!"
Resi Kidung Sent anu tet ap
berdiri t anpa goyah sedikit
pun. Walau t ubuhnya t elah t
erkoyak habis hingga bagian wajahnya bagai nyaris membelah, t api mat anya t et
ap
memandang lurus dengan t angan
saling merapat di dada dalam sikap semadi, ia t ak menghiraukan dua orang yang
menjadi biru kulit t ubuhnya akibat luka goresan P usaka Tombak Maut it u.
Sut o dengan cepat menyambut t
ubuh Dewa Racun
dan Badai Kelabu. Gerakannya
diket ahui T apak Baja, sehingga Tapak Baja berseru,
"Hai, berhent i! Hadapi
aku atau kuserang kau dari belakang?!"
Baru saja P endekar Mabuk ingin
sent akkan t angannya unt uk melepaskan pukulan jarak jauhnya, tapi
lagi-lagi t ubuh Tapak Baja t ersent ak ke depan dan jat uh t ersungkur.
Seseorang t elah menyerangnya dari bagian punggung T apak Baja, yang membuat T
apak Baja kaget dan t ak bisa menjaga keseimbangan t ubuhnya. Serangan it u
jelas serangan bert enaga dalam t inggi, karena Tapak Baja sampai semburkan
darah dari mulutnya walau t ak t erlalu banyak, dan masih bisa membuatnya cepat
berdiri.
"Perset an dulu dengan
siapa penyerang gelap it u,
yang pent ing kubawa lari dul
u kedua t emanku ini dan kusembuhkan dulu luka-lukanya, set elah it u baru aku
kembali ke sini t anpa mereka!"
Set elah membat in begit u, P
endekar Mabuk pun cepat
pergi membawa mereka.
*
* *
9
P ULAU it u mempunyai t ebing,
dan di t ebing it u ada gua karang di mana air laut juga masuk ke dalamnya. Gua
it u t idak t erlalu dalam, t api cukup lebar. Langit nya rendah, namun bisa
dipakai unt uk masuk sebuah perahu. Di gua it ulah Sut o menyembunyikan
perahunya. Di at as perahu it
ulah, Dewa Racun
dan Badai Kela bu dibaringkan set elah dipaksa
meminum t uak dari t abung bambu yang selalu ada di punggung P endekar Mabuk it
u.
T ak kurang dari serat us hit
ungan, set elah minum t uak
beberapa t eguk, rasa sakit di
sekujur t ubuh De wa Rac un dan Badai Kelabu mulai berkurang. Napas mereka
lancar kembali. T api badan masih t erasa lemas unt uk bergerak.
"Jangan bergerak dulu!
Biarkan t enagamu pulih kembali!" kata P endekar Mabuk kepada Dewa Racun
yang mencoba unt uk bangkit t api susah.
"Racun di uj ung t ombak
it u sangat ganas, Sut ... Sut ...
Sut o! Hawa murniku yang biasa
un... un... unt uk menolak racun t ak mampu menghadapi keganasan racun t
ersebut . Ber... berart i... berart i racun it u jenis Racun Ludah Dewa."
"Apa it u Racun Ludah
Dewa?"
"Ra... ra... racun yang t
idak bisa dilawan, karena t idak ada penawarnya."
"T api badanmu yang t
adinya dingin sekarang sudah menjadi hangat kembali, Dewa Racun. Demikian juga
Badai Kelabu. Bahkan paras pucat mulai memudar dari wajah kalian."
"Yaa... yaa... ya,
memang. Just ru aku heran padamu. T u... t u... t uak apa sebenarnya yang kau
miliki, hingga t erasa sepert i dapat menawarkan Racun Ludah Dewa...? Sung...
sungguh aku heran, Sut o!"
P endekar Mabuk hanya
t ersenyum. Segera ia
pandangi Badai Kelabu yang
sudah bisa mengerang dan menggeliat it u. P endekar Mabuk memberi saran sama
sepert i yang diberikan pada Dewa Racun t adi. Badai Kelabu t ak jadi mencoba
unt uk bangun, t api ia bisa bicara dengan suara lemah,
"Sudah mat ikah
aku...?"
"Belum," jawab Sut o
sambil t ersenyum. Mat a Sut o melihat ke arah luka-luka di t ubuh Badai
Kelabu,
t ernyata lebih cepat kering
daripada luka-lukanya Dewa Racun. Mungkin hal it u dikarenakan Badai Kelabu
hanya terkena racun dari gerigi yoyo milik Hant u Laut yang t idak separah
racun di ujung t aring babi hutan it u. Racun it u juga cukup berbahaya, hanya
saja mudah dit awarkan ket imbang racun dari P usaka Tombak Maut .
"Aku akan kembali ke
sana," kat a P endekar Mabuk.
"Kalian t et ap saja di
sini sampai aku dat ang kembali membawa P usaka Tombak Maut it u."
"Sut o, jangan berusaha
merebut pusaka it u!" kat a Badai Kelabu dengan perasaan cemas. "T
apak Baja dan pusaka it u sangat berbahaya unt uk keselamat anmu. Aku t akut
kau t erluka, Sut o!" tangannya menggenggam
t angan P endekar Mabuk.
"Aku hanya ingin melihat , siapa orang yang menyerang T apak
Baja dari t empat persembunyiannya!
Karena saat aku hendak
membawamu pergi, T apak Baja sedang t erdesak oleh serangan berilmu t
inggi," ucap P endekar Mabuk.
"T ak perlu.
T ak perlu,
Sut o! Sebaiknya kit a t inggalkan saja mereka dan
cepat menuju P ulau Hit am. Gur uku
past i sangat membut uhkan kamu dan menunggu-nunggu kedat angan kit a!"
"Sebent ar saja aku ke
sana! Secepatnya aku kembali!" "Aku t akut kau jadi sasaran kemarahan
Tapak Baja,
Sut o!"
"Aku ada di persembunyian
pert ama. Tidak akan t urun!"
Badai Kelabu merasa t ak
mungkin bisa mencegah
kemauan P endekar Mabuk yang
sangat keras it u. Akhirnya ia hanya berpesan,
"Hat i-hat i, Sut o! T ak
perlu ikut t urun sepert i aku
t adi!"
"Mudah-mudahan keadaannya begit u!" jawab
P endekar Mabuk, lalu segera
keluar dari gua it u melalui
t epian t ebing karang. Dengan
gesit Sut o melompat dari bat u ke bat u, dan dalam wakt u singkat ia sudah
kembali berada di t empat persembunyian yang pert ama. Dari ket inggian it u ia
bisa melihat keadaan T apak Baja dengan bebas. T api merasa kurang jelas,
sehingga ia perlu melompat bagai seekor burung jant an yang t erbang dan
hinggap di salah sat u dahan pohon. Dari dahan kedahan ia melompat, sampai
akhirnya ia t epat berada di at as pohon yang digunakan Hant u Laut bersandar
dalam duduknya.
P ada saat it u, Tapak Baja
sedang berhadapan dengan orang berambut merah jagung. Rambut it u panjang lewat
pundak t anpa ikat kepala. Alis, kumis, dan jenggot nya juga ber warna merah
bulu ja gung. Orang bert ubuh kurus it u mengenakan jubah t anpa lengan
sepanjang lut ut berwarna merah t ua, celana dan baju dalamnya yang berlengan
panjang it u berwarna hijau muda. Dari kerut an kulit wajahnya, ia t ampak
sepert i berusia sekit ar enam puluh t ahun, ia mengenakan sabuk hit am besar,
dan menggenggam t ongkat berkayu put ih set inggi lewat kepala. Ujung tongkat
nya it u berbent uk kepala singa.
Melihat mat anya yang kecil t
api t ajam it u, P endekar Mabuk dapat menduga orang berambut merah it u punya
kejelian pandang yang cukup t inggi. Sikap berdirinya yang selalu t egak
dengan dada membusung,
menampakkan ia sebagai orang yang pant ang menyerah.
Rupanya bukan hanya P endekar
Mabuk yang t idak mengenali t okoh t ua it u, melainkan Tapak Baja sendiri juga
t idak mengenalinya. Karena it u, T apak Baja segera ajukan t anya dengan nada
kasar,
"Siapa kau, Iblis keriput
! Apa urusanmu denganku, sehingga kau berani menyerangku dari belakang,
hah?!"
"T alang Sukma adalah
namaku. Jangkar Langit adalah kakakku. P usaka Tombak Maut adalah sasaranku.
Dan nyawamu adalah alas kakiku!" jawab si Rambut Jagung yang t ernyat a
adalah adik dari Ki Jangkar Langit , pemilik P usaka Tombak Maut it u.
Mendengar pengakuan it u, T
apak Baja menggeram penuh nafsu unt uk membunuhnya. T api ia sempat
berkat a dengan lant ang,
"Urungkan niatmu merebut
P usaka Tombak Maut ini! Kau hanya akan mat i t anpa art i, Talang Sukma!"
"Demi merebut hak milik
kakakku, aku siap mat i di t angan siapa saja, T apak Baja!"
"Aku yang berhak memiliki
pusaka ini! Karena pusaka ini, sepert i kau ket ahui sendiri, sudah berada di
t anganku. Berart i akulah
yang berhak memilikinya!" "Orang sesat sepert i kau t ak pernah punya
hak
memiliki pusaka apa pun, Tapak
Baja!"
"Keparat ! T erlalu
semborono bicaramu, T alang
Sukma!"
"T ak perlu beramah t
amah bicara dengan pengikut iblis sepert i kau, T apak Baja! T ak perlu sabar
bersikap di depan penganut set an sesat sepert i dirimu!"
"Jahanam kau!
Hihhh...!" Tapak Baja segera kirimkan
pukulan bert enaga dalam cukup
t inggi. Dari t elapak t angan kirinya keluar sinar biru yang disusul dengan
sinar merah di belakangnya. Wuttt wuttt ....!
Dua sinar menyerang T alang
Sukma yang berjarak
delapan langkah it u. T api
oleh T alang Sukma, sinar it u disingkirkan melalui kibasan tongkatnya yang disabet kan ke kiri dengan
menggunakan dua t angan dan kaki merendah ke belakang Wuusss....!
Arah kedua sinar yang saling
susul it u membelok dan
menghant am sebuah pohon jat
i. Bezz... bezzz....!
Zzruubbb....!
P ohon jat i
it u lenyap, bergant
i serbuk yang menyerupai t epung dan menggunung di t
empat pohon
it u semula berada. T apak
Baja t erkesiap melihat kedua sinarnya bisa dibelokkan arahnya, ia semakin menggeram karena merasa
disepelekan ilmunya.
T alang Sukma melangkah pelan
ke samping kiri dengan memut ar-mut ar t ongkat panjangnya bagai dipermainkan di sela-sela
jarinya. Bunyi put aran t ongkat it u mirip serombongan lebah menggaung dan
angin put arannya membuat dedaunan t ersingkap. Daun-daun yang t ersingkap it u
segera berubah warna dari hijau menjadi kuning kecoklat-coklat an. Jelas
kibasan angin it u mempunyai t enaga dalam yang t inggi dan sengaja dipamerkan
kepada T apak Baja, biar menjadi bahan perhit ungan bagi T apak Baja.
Namun, agaknya T apak Baja t
idak mau peduli dengan kibasan t ongkat berput ar it u. Mat anya segera melirik
bayangan Talang Sukma yang jat uh di at as sebuah gugusan bat u. T apak Baja
cepat sent akkan kakinya, dan t ubuh pun melayang cepat ke arah gugusan bat u it
u. Lalu, ujung t ombak dipakai menghantam gugusan bat u t ersebut . T rakk...!
Blarrr....!
Bat u it u pecah menjadi
serpihan pasir yang membara merah mengepulkan asap panas. Sedangkan T alang
Sukma t et ap berdiri t egak sambil memut ar-mutarkan
t ongkatnya. Karena pada saat
tombak it u dihant amkan
pada bat u ia t elah melompat lebih dulu hingga bayangannya pindah di t empat
lain. Rupanya Tapak Baja t elah t ert ipu. T alang Sukma t elah menget ahui
kehebat an t ombak pusaka milik kakaknya it u, sehingga bisa
mengecohkan gerakan T apak
Baja.
Se gera T alang Sukma sodokkan
t ongkat nya ke depan dan dari kepala t ongkat it u menyembur sinar kuning
dalam sekejap. Zubbb....!
Crab crab crab! Blllaaar....!
Sinar kuning it u bagai t
ersedot oleh ujung t ombak dan akhirnya melesat sinar kuning kemerahan dari
ujung t ombak, arahnya ke at as dan meledak di angkasa sana. Dua pohon pat ah
dahannya, dan jat uh di dekat Resi Kidung Sent anu yang t et ap berdiri dengan
sikap semadinya.
Kejap berikut nya T alang
Sukma menarik tongkatnya ke belakang, tapi t angan kirinya menyent ak ke depan
sepert i orang melemparkan sesuat u dari
t elapak
t angannya. T ernyat a dari t
elapak t angan kirinya it u keluar tenaga dalam yang berasap biru. T enaga it u
melesat t anpa wujud ke arah T apak Baja, membuat T apak Baja segera
menyilangkan t ombak it u ke
samping. T ombak it u dipegang dengan dua t angan dan keluarlah loncat an api
biru bagaikan pet ir menyambar t ongkat T alang Sukma set elah t erlebih dulu
menembus
t enaga dalam yang meluncur ke
arahnya.
Blluub....! T arrr....!
T alang Sukma melompat kan
badan ke kanan. Kayu
t ongkatnya yang put ih menjadi hit am di bagian t engahnya, t api belum pat ah.
Kayu it u t erkena kilat an cahaya biru yang t erasa menyengat di t elapak t
angan T alang Sukma. Hampir saja t angan it u melepaskan
genggaman pada t ongkatnya.
Se gera t ongkat it u dipegang
oleh t angan kiri dan t angan kanan mengibas ke samping, memercikkan sinar
merah berbint ik-bint ik
menerjang T apak Baja. Zrappp....!
T apak Baja cepat melakukan
kibasan memut ar pada t ombaknya. Tombak it u memutari kepala dengan cepat dan
keluarlah sinar hijau muda yang mengelilingi t ubuhnya. Sinar hijau muda it u
membuat but iran sinar merah t adi melet up dan mengepulkan asap hitam pekat t
ersembur ke at as.
Bahkan ket ika kaki Talang
Sukma menendang sebongkah bat u sat u genggaman t angan, bat u it u melesat ke
arah T apak Baja. T api sebelum sampai menyent uh sinar hijau yang
mengelilinginya it u, bat u t ersebut t elah hancur dalam sat u ledakan kecil yang
cukup mengagumkan bagi orang awam. Rupanya sinar hijau it u menjadi
pagar bertenaga t inggi, t erbukt i T alang Sukma
t ak berani menerobos masuk ke
dalam lingkaran sinar hijau t ersebut .
"Ayo, dekat lah! Majulah
kalau kau memang berilmu t inggi!" t eriak T apak Baja menant ang.
"Aku t ak mau mat i t
erbakar!" kat a T alang Sukma. "T api barangkali tongkatku ini
bersedia unt uk t erbakar!"
Zubbb...! T alang Sukma lemparkan tongkatnya
dengan kuat . Tongkat meluncur
cepat ke arah Tapak Baja, menerobos lingkaran sinar hijau. Zrubbb....! Tongkat
it u t erbakar dan menjadi hangus, tapi masih mampu melesat cepat dan
menghantam pangkal ket iak
T apak Baja.
Duuub....!
Sent akan tongkat it u begit u
keras, sehingga T apak Baja t erpelant ing ke belakang dan jat uh. T ombaknya t
erlepas dari t angan, jat uh di depan Hant u Laut .
"Cepat ambil!"
teriak T apak Baja. Maka, Hant u Laut dengan cepat berguling sambil meraih t
ombak it u. Kini ia berdiri dengan menggenggam tombak. Membawanya lari ke t
empat yang aman. Melihat t ombak di t angan Hant u Laut, T apak Baja menjadi
lega. Ia cepat berdiri dan siap menghadang serangan Talang Sukma.
P endekar Mabuk ingin t urun
dari at as pohon unt uk merebut tombak it u, t api Hant u Laut berdiri di
samping Resi Kidung Sent anu. Salah-salah jika P endekar Mabuk menerjang unt
uk merebutnya, t ombak it u bisa dikibaskan sembarangan oleh Hant
u Laut dan mengenai Resi Kidung Sent anu. Sut o menahan diri unt uk t idak
melakukannya.
T et api di pohon belakang
Hant u Laut, P endekar Mabuk melihat Dewa Racun t elah berdiri di sana. Dewa
Racun berada lebih bawah dari Badai Kelabu yang bert engger dengan t ubuh segar
di at as Dewa Rac un. P endekar Mabuk memberi isyarat agar jangan merebut
t ombak it u dulu, sebel um
Hant u Laut menjauhi Resi Kidung Sent anu. Sebab P endekar Mabuk t ahu, orang
berkepala gundul it u
cukup bodoh dan akan menggunakan t ombak it u secara
sembarangan jika keadaannya t erdesak. Sut o khawat ir t ombak it u akan
menewaskan Resi Kidung Sent anu karena kebodohan
Hant u Laut .
Melihat tombak berada di t
angan Hant u Laut , T alang Sukma
segera mengejarnya. Tapi
lompat annya dipat ahkan oleh t erjangan T apak Baja dari belakang. Dua
pukulan t elapak t angan yang mengepulkan asap merah it u mengenai punggung T
alang Sukma dengan t elak. Bleg, bleg....!
"Haagh...?!" T alang
Sukma t ersent ak melengkung ke belakang dan jat uh tanpa daya lagi. Ia
berusaha mengerang dan menggeliat . Tapi punggungnya yang hangus t erbakar oleh
dua pukulan it u t elah membuat nya hanya bisa berguling ke samping dan t ubuhnya t erlent ang di t anah. T
ernyat a bekas hangus it u t erlihat nyat a di dada T alang Sukma dan
mengepulkan asap berbau sangit . Rupanya pukulan ampuh T apak Baja it u t elah
t embus sampai di ba gian dada dan membuat T alang Sukma akhirnya meregang
nyawa, t ak berkut ik selamanya.
Sut o segera melompat t urun
dari at as pohon sambil menyent ilkan
jari t elunjuknya. Jurus 'Jari Gunt ur' dipakainya. Sent ilan jarak jauh
it u mengenai pelipis T apak Baja, dan T apak Baja t erlempar karena sent akan
yang begit u kuat t ersebut .
"Bangsaaat...!" t
eriaknya sambil t ubuh it u jat uh berdebum di dekat Hant u Laut .
Sut o berdiri t egak menghadap
T apak Baja, siap menjadi musuh t andingan yang akan memusnahkannya. T api t
anpa diduga-duga oleh P endekar Mabuk dan yang lainnya, Hant u Laut cepat menikamkan
P usaka T ombak
Maut it u ke lambung T apak
Baja.
Jrubbb....!
"Haagghh...!" T apak
Baja mendelik, memegangi t ombak it u, dan makin lama pegangannya makin lemah.
Tombak segera dicabut kembali oleh Hant u Laut yang t ert awa keras dan
berseru,
"Dendamku t erbalaskan
sekarang! Ha ha ha...! Sekian
puluh t ahun
aku menyimpan dendam t erhadap keganasanmu, Nakhoda!
Sekian lamanya kau hina aku dengan kekuasaanmu! Sekarang kau t ak akan bisa
memperbudak aku seenaknya saja! Kukirim kau ke neraka sana dan jadilah nakhoda
kapal di sana!"
"Han... Han... Hant u
Laaa... Lauuut ...!" t ubuh T apak
Baja roboh. T angannya masih
meremas rumput kuat - kuat bagai menggenggam kemarahan dan dendam yang t ak
bisa t erbalaskan. Karena kejap berikut Tapak Baja meregang nyawa, ia mat i dalam keadaan mulut
t ernganga dan mat a mendelik.
"Sekarang akulah Nakhoda
Kapal Neraka! T ak ada yang bisa memerintahku dengan sewenang-wenang! Bahkan
Siluman T ujuh Nyawa pun bila perlu kula wan dengan P usaka Tombak Maut ini!
Haaa... ha... ha ha ha....!"
T awanya it u t erhent i
karena Dewa Racun dan Badai Kelabu t urun dari at as pohon. Hant u Laut segera
memandang mereka dengan buas dan liar. Ia siap kibaskan tombak dengan badan
sedikit membungkuk.
"Mau apa kalian,
hah?!" bent ak Hant u Laut dengan wajah angker.
"Kembalikan pusaka it u
kepada pemiliknya!" kat a
P endekar Mabuk.
"T idak bisa! Akan
kupakai melawan Siluman T ujuh Nyawa
yang selama ini
memerint ahku sepert i memerint ah binat ang!"
"Akan kudukung usahamu it
u! Akan kubant u! T api serahkan pusaka it u kepada pemiliknya!" bujuk Sut
o Sint ing.
"T idak bisa! Tanpa
pusaka ini aku lemah dan t idak
punya kekuat an apa-apa! Aku
harus t unjukkan kepada Sil uman T ujuh Nyawa, bahwa aku bi sa menggant ikan
jabat an Tapak Baja sebagai Nakhoda Kapal Neraka yang mampu memusnahkan lawan
dalam sekejap. P ert ama- t ama akan kuhancurkan dulu penguasa P ulau Beliung,
sebagai perint ah lanjut an dari Siluman T ujuh Nyawa. Set elah it u
kuhancurkan pulau-pulau lainnya, dan yang t erakhir Siluman T ujuh Nyawa sendiri
akan kuhancurkan sepert i aku menghancurkan isi t ubuh T apak
Baja!"
"Dengar, Hant u Laut
...!"
"Jangan mendekat! Kut
ancapkan t ombak ini ke t anah, kalian akan mat i menghirup udara
beracun!"
Dewa Racun ingin bergerak
melemparkan pisaunya yang selalu ada di samping kanan-kiri, t api t angan P
endekar Mabuk memberi isyarat agar jangan dulu melakukan hal it u, karena ujung t ombak sudah menghadap ke t anah. P endekar Mabuk
melihat angin berhembus cukup kencang ke arah t imur, sedangkan di
t imur ada sat u pulau yang
berpenghuni. Racun yang
keluar dari dalam t anah akibat
t ombak dit ancapkan ke t anah, bisa terbawa angin ke t imur dan menyebarkan
kemat ian di sana.
"Kalau kalian
masih sayang nyawa, jangan mendekat iku dan jangan sampai
bert emu denganku, kapan saja, juga di mana saja! Mengert i?!" bent ak
Hant u Laut . Kemudian ia cepat sent akkan kaki dan melesat pergi t inggalkan
tempat it u.
Melihat P endekar Mabuk hanya
diam saja, Dewa
Racun dan Badai Kelabu j uga
merasa ragu unt uk mengejar Hant u Laut . T api Badai Kelabu segera ajukan t
anya kepada Sut o.
"Mengapa t idak kita
kejar dia?"
"Dia orang ngawur! Angin
bert iup ke t imur, kalau dia t ancapkan t ombak ke t anah dan gas beracun
keluar, bisa
t erbang t erbawa angin dan t
erhirup oleh penduduk pulau
sebelah t imur sana. Korban
akan berjat uhan!"
"Benar juga," gumam
Badai Kelabu. "P ulau t empat t inggalku juga ada di sebelah t imur.
Bisa-bisa hawa racun it u t erbawa angin sampai ke pulau t empat t
inggalku!"
"Kita mest i
mengejarnya, t api t idak harus
menyerangnya secepat
ini!" kata Sut o.
"Bagaimana dengan Resi
Kidung Sent anu it u?" kat a Dewa Racun. P endekar Mabuk segera
memeriksanya, dan ia t erkejut , bahwa t ernyat a Resi Kidung Sent anu sudah t
idak bernyawa lagi. Ia mat i dalam keadaan berdiri dan dalam sikap bersemadi.
"Kurasa ia t elah mat i
sejak t adi," gumam Badai
Kelabu.
"Ya. Kurasa ia mat i
sejak dadanya ditoreh dengan t ombak it u melalui bayangan t erbangnya,"
sambung Sut o.
"Lan... lant as... bagaimana dengan kit a, mau
mengikut i pelarian Hant u
Laut at au... at au... melanjut kan perjalanan ke P ulau Hitam?"
Sut o Sint ing diam beberapa
saat , lalu t erdengar gumamnya sepert i bicara pada diri sendiri,
"Dia past i menuju P ulau
Beliung. Bahaya! Orang- orang yang ada di P ulau Beliung t ak mungkin bisa
menandingi kehebat an P usaka Tombak Maut it u!"
"Sebaiknya pergi dulu ke
pulauku!" desak Badai
Kelabu. "Jangan pikirkan
Cempaka Ungu dulu!"
"Bukan Cempaka Ungu yang
kupikirkan!" sahut Pendekar Mabuk. "Tapi amukan Hantu Laut yang bodoh
dan tidak pernah pakai perhitungan dalam bergerak, ia sedang merasa bangga
memiliki pusaka itu, tak heran jika ia menggunakannya secara sembarangan!
Pusaka itu akan menggegerkan penduduk tiap pulau yang disinggahinya!"
"Jad... jadi...
bagaimana?" tanya Dewa Racun dengan
gusar.
Suto masih mempertimbangkan,
mengejar pelarian Hantu Laut agar mencegah banyaknya korban yang berjatuhan
atau menyembuhkan gurunya Badai Kelabu t erlebih dulu? Hal yang makin
menyangsikan P endekar Mabuk adalah, bahwa Hant u Laut ingin membuktikan di mata
Siluman Tujuh Nyawa, dia mampu menjalankan
tugas, menggantikan kehebatan
Tapak Baja. Sasaran utamanya adalah Pulau Beliung, sedangkan di Pulau Beliung
ada Singo Bodong. Padahal keselamatan Singo Bodong ada dalam tanggung jawab
Suto.
Haruskah Pendekar Mabuk
kembali ke Pulau Beliung
menghadang Hantu Laut ? Atau
mengejar Hantu Laut sebelum sampai ke Pulau Beliung ? At au meneruskan
perjalanan ke P ulau Hit am yang t inggal separo hari lagi it u?
Pertimbangan Pendekar Mabuk
ada dalam kisah selanjut nya.
SELESAI