1
AWAL senja di Pantai Giring
terjadi perundingan bersejarah bagi dua hati yang sama-sama memburu cinta.
Kedua hati itu milik dua perempuan kakakberadik yang sama-sama mempunyai ilmu
cukup tinggi, sama-sama mempunyai kecantikan tersembunyi, sama-sama berdada
montok dan berpinggul elok.
Yang sebagai kakak berpakaian
ketat warna biru terang, rambut terurai panjang yang kadang-kadang diikat ke
belakang, berkesan wibawa. Sedangkan yang sebagai adik berpakaian ketat seperti
dari karet warna hitam, rambut acak-acakan berkesan liar dan ganas. Mereka
adalah Merpati Liar, murid Nyai Parisupit, dan Angin Betina, murid Nini
Pancungsari.
"Setulus hatikah kau
mencintai Pendekar Mabuk, Angin Betina?"
"Mungkin lebih dari
sekadar tulus," jawab Angin Betina dengan nada tegas. "Cita-citaku
hanya ingin hidup mengabdi kepadanya, sekalipun aku tahu Pendekar Mabuk telah
mempunyai calon istri sendiri; Dyah Sariningrum, penguasa negeri Puri Gerbang
Surgawi di Pulau Serindu."
>>><><><><<
(Halaman Hilang)
tak ingin ia terluka hatinya,
aku tak ingin ia kecewa. Sebab itu, kau jangan coba-coba mengusik percintaannya
dengan Dyah Sariningrum. Karena jika hal itu kau lakukan, barangkali kau akan
berhadapan denganku, Merpati Liar."
Sang kakak segera memandang
dengan tajam, merasa heran mendengar pernyataan dari adiknya. Tak terbayang
sebelumnya bahwa Angin Betina mempunyai pikiran sejauh itu.
"Rupanya hatimu
ikut-ikutan sinting seperti ilmunya Pendekar Mabuk itu, Angin Betina."
"Terserah apa
penilaianmu, tapi memang begitulah ketulusan cinta yang ada di hatiku. Cinta
ini adalah cinta pengabdian dan kesetiaan yang mungkin sulit tumbuh di hati
perempuan lain."
Merpati Liar menarik napas
dalam-dalam, lalu berkata, "Baiklah kalau memang itu keputusanmu. Aku akan
mencoba bersikap sepertimu. Terus terang saja, aku kagum pada kepolosan cinta
mu kepadanya." Tanpa senyum sejak tadi, Angin Betina pun berkata,
"Kelak aku akan mati untuk dia, dan itulah
saatnya aku membawa cintaku
selama-lamanya." "Apakah itu tidak berlebihan?"
Angin Betina gelengkan kepala,
pandangi kakaknya tak berkedip. "Begitulah caraku mencurahkan cinta yang
tulus kepada seorang lelaki. Barangkali dengan mati demi dia, maka dia akan
bisa menerima cinta kasihku ini! Kuharap kau tidak menyuruhku mengubah
cita-cita ini, Merpati! Biarkan aku menjadi perisainya demi kepuasan hatiku
mencintainya."
Merpati Liar geleng-geleng
kepala karena heran mengetahui kesetiaan Angin Betina terhadap Pendekar Mabuk.
Sesaat kemudian Merpati Liar pun perdengarkan suaranya yang berkesan wibawa.
"Pilihan mu adalah
pilihan mu, dan aku akan memilih jalanku sendiri. Yang jelas, cinta ini akan
terpendam selamanya dan mungkin tak akan diketahui oleh si murid Gila Tuak itu.
Tetapi perlu kau ingat, Angin Betina... siapa pun yang ingin melukaimu, harus
menyingkirkan nyawaku lebih dulu. Karena hanya kaulah satu-satunya saudaraku.
Kita sama-sama tidak mempunyai saudara lain, tidak mempunyai keluarga lagi.
Jika kau menjadi perisainya, maka aku akan menjadi tombak bagimu."
"Jangan melibatkan
hidupmu ke dalam hidupku, Merpati! Jalan hidupku sulit diikuti oleh pemikiran
yang waras. Perlu kau tahu, cintaku kepada Suto Sinting sudah telanjur
buta."
"Cintaku kepada seorang
adik lebih besar dibandingkan cintaku kepada Pendekar Mabuk. Catat dalam
ingatanmu kata-kataku ini, Angin Betina!"
Dalam ketinggian suatu tebing
yang agak jauh dari tempat kedua perempuan itu bicara ada seorang pemuda yang
berdiri tegak dengan rambut panjang lurus sepundak meriap disapu angin. Pemuda
itu mengenakan baju coklat tanpa lengan dan celana putih kusam dengan ikat
pinggang merah. Di punggungnya menyandang bambu bumbung tempat tuak. Pemuda itu
tak lain adalah si murid Gila Tuak dan Bidadari Jalang yang dikenal dengan nama
Suto Sinting alias si Pendekar Mabuk. Rupanya dari tadi ia menggunakan Jurus
'Sadap Suara' untuk mendengarkan percakapan kedua perempuan itu dari jarak
jauh.
"Kasihan sekali
mereka," gumam Pendekar Mabuk dalam hatinya. "Mengapa otak mereka
sekecil buah buni? Seharusnya mereka tak perlu mengabdikan hidup untuk seorang
lelaki sepertiku. Bukankah di dunia ini ada lelaki lain yang melebihi dariku?
Atau... atau barangkali di dunia ini sudah tidak ada lelaki selain diriku? Oh,
aku belum memeriksanya. Aah... tapi sulit juga mencegah hasrat hati mereka. Tak
semudah memadamkan hutan yang terbakar."
Kecamuk di hati Suto Sinting
terhenti seketika begitu melihat seberkas sinar biru datang menghampiri Angin
Betina dan Merpati Liar. Sinar biru itu seperti bintang jatuh dari langit,
besarnya seukuran telur ayam dengan ekor memanjang berwarna biru kehijauan.
Wweess...!
"Sinar apa itu?!"
sentak batin Suto Sinting. Matanya terbelalak seketika, mulutnya ternganga
sedikit.
Firasatnya mengatakan sinar
itu adalah bahaya bagi kedua perempuan tersebut. Maka Suto Sinting pun segera
lepaskan jurus 'Surya Dewata' yang memancarkan sinar ungu. Kedua tangannya
segera merapat di dada, kemudian menyentak ke depan dan sinar ungu sebesar lidi
melesat dari ujung kedua tangan itu.
Slaaap...! Weeesss...!
Sinar ungu itu dimaksudkan
untuk menghancurkan sinar biru aneh sebelum sinar tersebut mengenai Angin
Betina atau Merpati Liar. Tetapi jarak yang cukup jauh membuat sinar ungu itu
gagal mencapai sasaran.
Sinar biru aneh, menyerupai
bintang jatuh itu menjadi lebar dan menghantam punggung Angin Betina. Sedangkan
Merpati Liar yang segera bergerak membalikkan badan karena merasa ada bahaya
datang, ternyata terlambat bergerak sehingga sinar lebar warna biru itu
menghantam pula bagian dadanya.
Zuubbbss...!
Sinar ungunya Pendekar Mabuk
melesat terus tidak mengenai sasaran apa-apa dan lenyap di kejauhan sana.
Sementara itu, tubuh kedua perempuan kakak-beradik telah terkurung sinar biru
yang menyilaukan. Mereka tak bergerak dan tak bisa bersuara sedikit pun.
Pendekar Mabuk menjadi sangat tegang, lalu segera menggunakan jurus 'Gerak
Siluman' untuk melesat menghampiri kedua perempuan itu dengan kecepa- tan
melebihi kecepatan anak panah.
Zlaaap...!
Tiba di tempat itu, ternyata
sinar biru telah padam. Pendekar Mabuk kian tercengang melihat Merpati Liar dan
Angin Betina dalam keadaan menjadi patung batu berlumut hijau.
"Celaka! Apa yang terjadi
sebenarnya?! Oh, gila! Benar-benar gila! Mereka telah berubah menjadi patung
batu! Sungguh kejam kedahsyatan sinar biru tadi. Siapa pemilik sinar itu
sebenarnya?!"
Pendekar Mabuk mencoba mencari
seseorang di sekeliling tempat itu, tapi ia tidak menemukan siapasiapa di sana.
Jantung yang berdetak-detak karena tegang membuat Suto Sinting sedikit panik
dan berusaha mengguncangkan kedua patung batu berlumut itu. Ternyata kedua
patung itu sangat kokoh, kakinya menyatu dengan karang yang dipijak mereka.
Seolah-olah kedua patung itu sudah ratusan tahun berada di tempat itu, sehingga
tak mungkin bisa digeser sedikit pun. "Keparat!" geram Suto Sinting,
hatinya menjadi
panas sekali melihat dua
perempuan yang sama-sama mencintainya dan sama-sama punya kesetiaan tinggi
padanya itu telah mengalami nasib semalang itu.
Kemarahan Pendekar Mabuk yang
tertahan di dada membuat nafasnya keluarkan hembusan angin berbahaya. Kemarahan
itu membangkitkan kekuatan jurus 'Napas Tuak Setan' dengan sendirinya, sehingga
setiap kali napas Suto Sinting terhembus melalui hidung, benda-benda di
depannya bagai dilanda angin kencang. Bebatuan kecil bergulir bagai
diterbangkan oleh hembusan angin kencang.
Daun kering atau rumput laut
yang mengering beterbangan terkena hembusan napas Suto Sinting. Bahkan
sebongkah batu karang sebesar kepala kerbau menjadi bergetar karena terkena
hembusan napas dari hidung Suto Sinting. Jika napas itu dilontarkan lepas dari
mulutnya, maka badai raksasa akan datang dan melanda alam di depan Suto
Sinting, menimbulkan bencana bagi apa saja yang ada di depannya. Sebab itulah,
Suto Sinting sangat hati-hati untuk tidak melontarkan suara keras yang akan
beriringan dengan terhembusnya 'Napas Tuak Setan' dari mulutnya.
Zlaaap, zlaaap...!
Pendekar Mabuk mencari orang
yang melepaskan jurus maut bersinar biru berekor kehijauhijauan itu. Jurus
'Gerak Siluman' membuatnya berada di tempat jauh dalam sekejap, berpindah ke
sanasini bagai kilatan cahaya petir yang sukar diikuti oleh mata manusia biasa.
Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!
"Keparat! Tak ada manusia
satu pun di sekitar sini!" geram Pendekar Mabuk dengan kedua tangan
menggenggam keras dan gigi menggeletuk.
"Di mana orang itu
bersembunyi?! Aku yakin pasti pemilik sinar biru tadi berada tak jauh dari
sini!" gumam hati si murid Gila Tuak.
Beberapa saat lamanya ia
mencoba menjelajahi wilayah Pantai Giring untuk mencari si pemilik sinar biru.
Tetapi hasilnya nihil dan hanya kekecewaan yang didapatkannya.
"Setan belang! Kurasa
orang itu cepat-cepat tinggalkan tempat ini setelah tahu sinar birunya kenai
sasaran!" ucap Suto Sinting dalam hatinya. Ia menyempatkan diri menenggak
tuaknya tiga tegukan sebagai penenang hati yang merasa terbakar api kemarahan
itu.
Senja semakin redup, sebentar
lagi akan beralih petang. Pendekar Mabuk masih termenung sedih di depan kedua
patung kakak-beradik itu. Ia mencoba menggunakan jurus 'Sembur Husada',
menyembur kedua patung itu menggunakan air tuak yang sudah berada di mulutnya.
Brrruuss...!
Sayang sekali jurus 'Sembur
Husada' tidak mempan untuk mengubah kedua perempuan itu ke wujud aslinya. Kedua
patung batu itu hanya menjadi basah oleh semburan tuak, tapi tetap saja tak
bergeming bagai patung yang usianya sudah seratus tahun lebih.
"Oh, Merpati Liar dan
Angin Betina... apa yang harus kulakukan untuk kalian?! Aku tak berhasil
memulihkan keadaan kalian menjadi manusia seperti semula! Tapi aku yakin, pasti
ada cara tersendiri untuk menolong kalian agar tak menjadi patung batu
selamanya!" gumam Pendekar Mabuk dengan suara pelan, seakan ia bicara
dengan kedua patung batu tersebut.
Pendekar Mabuk termenung lama
di depan kedua patung itu. Sampai malam tiba, ia masih ada di depan kedua patung
dalam keadaan berlutut karena lelah berdiri. Benaknya mencoba mencari jalan
keluar untuk menolong kedua perempuan tersebut. Cahaya rembulan menerangi
Pantai Giring, tapi keindahan alam yang bercahaya rembulan itu tidak dapat
membuat hati Suto Sinting menjadi ceria.
"Haruskah mereka menjadi
patung selamanya? Oh, tidak! Mereka tidak boleh menjadi patung selamanya, dan
aku harus bisa menolong mereka. Entah jurus apa yang bersinar biru tadi, entah
siapa pemiliknya, kurasa ada baiknya jika kutanyakan kepada Guru. Siapa tahu
Guru dan Bibi Guru bisa memberi ku jalan keluar untuk membebaskan Merpati Liar
dan Angin Betina dari keadaannya yang malang ini." Kata-kata itu terucap
lirih, tak begitu jelas dari jarak lima belas langkah. Padahal dalam jarak lima
belas langkah di belakangnya, ada sepasang mata yang memperhatikan keadaan
Pendekar Mabuk. Sepasang mata itu agaknya baru saja tiba di tempat itu dan
tertarik untuk memperhatikan Suto Sinting. Rupanya si pemilik sepasang mata itu
mengenali ciri-ciri Pendekar Mabuk, sehingga ia tahu persis bahwa orang yang
dianggapnya sedang bicara dengan kedua patung itu adalah si murid Gila Tuak;
Suto Sinting.
"Aku tak akan tinggal
diam! Kalian pasti akan bebas!" ucap Suto menggeram.
Hati orang yang mengintai itu
berkata, "Kasihan. Pendekar Mabuk sekarang sudah menjadi gila. Patung batu
diajak bicara. Aku harus segera memberi kabar kepada Eyang Resi tentang nasib
Pendekar Mabuk yang sudah menjadi gila itu!"
Si pengintai yang berambut
pendek dengan ikat kepala putih dan baju hijau tua itu tak lain adalah si Kadal
Ginting, pelayan setia Resi Pakar Pantun.
2
TOKOH tua agak konyol yang
jago pantun itu berusia sekitar delapan puluh tahun. Mengenakan pakaian model
biksu, selembar kain abu-abu melilit di tubuhnya. Rambutnya beruban tipis dan
berkesan botak, tapi jenggot serta kumisnya agak lebat berwarna putih uban.
Kegemarannya bicara melalui pantun. Itulah yang membuatnya dikenal sebagai Resi
Pakar Pantun.
Ilmunya lumayan tinggi,
terbukti ia mempunyai beberapa murid yang pada umumnya adalah para da- rah
keturunan bangsawan. Ia tokoh aliran putih yang cukup dikenal di kalangan tokoh
tua. Pendekar Mabuk mengenal Resi Pakar Pantun dalam suatu peristiwa langka
yang melibatkan kakak kandung Dyah Sariningrum yang telah menjadi seorang perempuan
pertapa bernama Betari Ayu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: Telur
Mata Setan").
Setelah menyelesaikan masalah
pusaka PanjiPanji Mayat, Resi Pakar Pantun bermaksud mengunjungi kediaman
mantan kekasihnya yang menjadi Penunggu Hutan Rawa Kotek. Perempuan tua itu
dikenal dengan nama Nini Kalong. Tetapi karena terbentur malam, sang Resi
terpaksa bermalam di sebuah kedai yang ada di sebuah desa tak jauh dari pantai.
Di kedai itulah sang Resi
berkenalan dengan seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun yang mempunyai
rambut lurus dikuncir. Pemuda itu berbadan dan berwajah tampan. Dari kulitnya
yang berwarna terang dan bersih dapat disimpulkan bahwa pemuda itu bukan pemuda
desa setempat. Apalagi ia mengenakan celana ungu dan baju tak berlengan warna
putih berbunga-bungs ungu serta membawa pedang bersarung perak. Di gagang
pedangnya terdapat ronceronce benang ungu sebagai ciri-ciri yang bisa dipakai
untuk mengenali pemuda yang mengaku bernama Elang Samudera. Tanda lain yang
bisa dipakai sebagai ciri-ciri Elang Samudera adalah sebuah tato yang ada di
punggung telapak tangan kanannya. Tato itu bergambar seekor burung elang biru
yang sedang mengepakkan sayapnya. Tato itu kecil, tapi cukup jelas bentuk dan
warnanya, pertanda dikerjakan oleh seorang ahli tato yang memang lihai melukis
di tubuh orang.
Pada mulanya pemuda itu datang
ke kedai dalam keadaan wajah murung, ia duduk sendirian dan merenung walau
minuman yang dipesan sudah disajikan. Kemurungan pemuda itu menarik perhatian
Resi Pakar Pantun. Maka, sang Resi pun mulai usil dengan kekonyolannya.
Kala itu sang Resi sedang
menikmati Jagung bakar yang masih muda. Sebutir biji jagung dipetiknya dan
sentilkan ke arah pemuda tersebut. Tees...! Tentu saja biji jagung itu
disentilkan dengan dialiri tenaga dalam cukup besar, terbukti gerakannya cukup
cepat dan tak terlihat. Sasarannya ke arah pelipis si pemuda murung itu.
Setidaknya akan membuat pelipis itu memar atau mungkin justru akan membuat
pingsan si pemuda jika biji jagung itu tidak dihindari.
Tetapi dengan gerakan cepat
yang nyaris tak terlihat, pemuda itu menyambar sepotong lidi penusuk daun.
Tangan yang memegang lidi pendek itu berkelebat ke samping, dan... creb! Biji
jagung itu berhasil ditusuknya dengan lidi tersebut.
"Boleh juga
ilmunya," pikir sang Resi yang segera nyengir ketika pemuda itu melirik ke
arahnya. Resi Pakar Pantun segera menghampiri meja pemuda itu dengan senyum
keramahan.
"Anak tikus datang
bertamu, membawa uban sebagai jamu.
Bukan maksud sengaja
mengganggumu, tapi sekadar ingin tahu permainanmu."
Pemuda berhidung mancung itu
hanya diam memandangi Resi Pakar Pantun yang tanpa basa-basi lagi duduk di
depannya. Melihat senyum sang Resi, hati yang semula hampir panas menjadi teduh
kembali. Pemuda itu pun segera membalas pantun ciptaannya.
mur?" "Keringat sapi
disangka kuah bubur, kambing muda bernapas dalam lumpur. Rambut beruban umur
mendekati kubur,
mengapa tingkahmu masih
seperti cacing dije-
Sang Resi tidak tersinggung,
ia justru tertawa terkekeh-kekeh mendengar pantun balasan itu. Kemudian dengan
pandangan mata tertuju lurus ke wajah muda itu, sang Resi segera lontarkan
pantunnya lagi.
"Anak tikus tak mau
bodoh, masuk ke celana bermain cinta. Jika ingin enteng di jodoh, Sebutkanlah
nama dan cita-cita."
Pemuda itu sunggingkan senyum
tipis pertanda mulai bersikap ramah. Ia memindahkan pedangnya yang ada di meja
menjadi ke bangku sebelahnya.
"Namaku Elang Samudera,
Kek. Aku tak punya cita-cita lain kecuali ingin hidup menjadi dewa."
"He, he, he...!"
Resi Pakar Pantun terkekeh mendengar jawaban itu.
"Kau boleh menertawakan
cita-citaku, tapi sebutkanlah dulu siapa namamu, Kek?"
"Aku adalah Pakar Pantun.
Orang-orang memanggilku: Resi Pakar Pantun. Pernah kau mendengar namaku itu,
Elang Samudera?"
"Pernah," jawabnya
dengan tenang. "Kalau tak salah guruku pernah bercerita tentang seorang
tokoh jago pantun yang bernama Resi Pakar Pantun. Rupanya kaulah orangnya,
Kek."
"Benar. Tapi siapakah
gurumu itu, Elang Samudera?" Sebelum Elang Samudera menjawab, tiba-tiba
Kadal Ginting datang dengan tergopoh-gopoh menghadap sang Resi. Wajah lelaki
berusia empat puluh tahun yang tegang itu membuat Resi Pakar Pantun
memperhatikan dengan dahi berkerut, sementara itu Si Kadal Ginting sendiri
ragu-ragu untuk bicara, karena takut mengganggu percakapan majikannya dengan
anak muda yang belum dikenalnya itu.
"Ada apa, Kadal
Ginting?!" tanya sang Resi, dan barulah Kadal Ginting berani perdengarkan
suaranya yang bernada gugup itu.
"Eyang Resi... Pendekar
Mabuk menjadi gila." "Hahhh...?! Siapa yang menyuruhnya gila?!"
sentak sang Resi.
"Bukan saya, Eyang Resi.
Yang jelas, saya lihat sendiri Pendekar Mabuk bicara dengan patung batu."
"Patungnya siapa?!"
"Bukan patung saya, Eyang
Resi. Saya sendiri tak sempat bertanya kepada patung itu, siapa namanya. Yang
pasti, Pendekar Mabuk telah menjadi gila dan ia tak mau pergi dari
pantai."
"Pantainya siapa?"
"Bukan pantai saya,
Eyang. Saya tidak punya pantai. Sumpah mati! Saya tidak punya pantai!"
"Maksudku... di pantai
mana?!" bentak sang
Resi.
"Jangan bentak saya,
Eyang. Eyang Resi sendiri
yang salah tanya. Hmmm... saya
tidak tahu nama pantai itu, tapi saya tahu tempatnya. Patung itu ada di dekat
pantai, eh... anu... pantai itu ada di dekat patung dan Pendekar Mabuk tak mau
pergi dari sana, seperti terpikat oleh patung tersebut, Eyang."
"Pendekar
Mabuk...?!" gumam Elang Samudera lirih sambil termenung. Suara gumam itu
membuat Resi Pakar Pantun memperhatikan Elang Samudera. "Apakah kau kenal
dengan Pendekar Mabuk,
Elang Samudera?"
"Justru aku mencarinya,
Kek. Aku ingin membunuhnya."
"Lho...?!" Resi
Pakar Pantun terperanjat kaget. "Mengapa kau ingin membunuhnya?"
"Karena dia mencuri
pusaka Tongkat Guntur Bisu milik Ratu Remaslega dari Pulau Sangon. Aku disewa
untuk membunuh Pendekar Mabuk dengan upah cukup tinggi. Bahkan bila aku mau,
aku boleh mengawini Ratu Remaslega yang cantik jelita itu setelah kepala
Pendekar Mabuk kupersembahkan sebagai mas kawin pinangan ku."
"Edan!" sentak Resi
Pakar Pantun dalam geram. Untuk sejenak ia bingung mengambil sikap, harus
bagaimana ia menghadapi Elang Samudera.
"Saya sarankan, Eyang
Resi beristirahat dulu," ujar Kadal Ginting. "Saya tahu, Eyang Resi
dalam keadaan serba bingung. Ada baiknya, Eyang Resi renungkan dulu kebenaran
cerita pemuda itu; benarkah Pendekar Mabuk mencuri pusaka Tongkat Guntur Bisu?!
Siapa tahu itu hanya fitnah, tapi menurut saya... sepertinya keterangan itu
memang benar. Buktinya Pendekar Mabuk menjadi gila, bicara dengan patung, dan
itu mungkin karena Pendekar Mabuk terkena kutukan dari tongkat pusaka
tersebut."
Kadal Ginting bicara di ambang
pintu kamar yang disewa Resi Pakar Pantun. Ia tak berani menatap sang Resi,
karena pendapatnya takut membuat sang Resi marah. Namun ia masih mencoba bicara
dengan hati-hati kepada majikannya itu dengan maksud agar sang majikan
mempunyai pertimbangan lebih bijak lagi "Kita memang tidak tahu kekuatan
dan kedah- syatan Tongkat Guntur Bisu. Tetapi menurut saya, jika tongkat pusaka
itu tidak mempunyai kekuatan apaapa, tak mungkin Pendekar Mabuk akan mencurinya.
Jika hal itu tidak terjadi, tak mungkin pemuda yang menurut Eyang tadi bernama
Elang Samudera, mencari Pendekar Mabuk dengan sungguh-sungguh, bahkan menurut
saya ia datang dari tempat yang jauh. Tak mungkin Ratu Remaslega menyewa pemuda
yang menurut gerak-geriknya berilmu tinggi itu. Sebaiknya Eyang Resi jangan
cepat mengambil keputusan. Mungkin saja tongkat pusaka itu dicuri Pendekar
Mabuk karena dia dalam keadaan gila. Atau..."
Kadal Ginting hentikan
kata-katanya setelah matanya melirik ke pembaringan, ternyata Resi Pakar Pantun
sudah tertidur dengan nyenyak, bahkan suara dengkurnya terdengar samar-samar.
Hati pun menjadi dongkol, mulut pun keluarkan gerutuan sambil wajahnya
bersungut-sungut.
"Dasar bandot! Diajak
bicara malah tidur mendengkur. Apa dikiranya kata-kataku tadi tembang pengantar
tidur?! Hmmm...!"
Hingga matahari menyingsing di
ufuk timur, Pendekar Mabuk masih berlutut di depan patung Merpati Liar dan
Angin Betina. Ia tidak tahu bahwa dirinya sedang dibicarakan oleh Resi Pakar
Pantun dan Kadal Ginting. Ia juga tidak tahu bahwa dirinya sedang dicari-cari
oleh Elang Samudera dengan satu tuduhan mencuri Tongkat Guntur Bisu.
Yang ada dalam benak Suto
Sinting seat merenungi nasib kedua perempuan itu adalah bagaimana cara
mengembalikan keadaan mereka berdua. Kejadian itu sempat membuat Pendekar Mabuk
menjadi dungu, hampir patah semangat karena gagal menghancurkan sinar biru dari
langit. Kekecewaan itu juga membuat benaknya menjadi kosong, tak mengerti harus
berbuat apa. Karenanya sampai matahari terbit ia masih ada di situ dengan mata
tak berkedip memandangi kedua patung tersebut.
Sampai akhirnya semangat
Pendekar Mabuk terpancing kembali setelah tahu-tahu punggungnya mendapat
serangan dari seseorang. Sebuah tendangan keras bertenaga tinggi membuatnya
terjungkal berguling-guling hingga membentur kaki patung.
Dees...!
"Uuuhg...!" Pendekar
Mabuk mengerang kesakitan, wajahnya menyeringai dengan mata terpejam kuat.
Bumbung tuak yang sudah dilepaskan dari punggungnya itu terpental tiga langkah
jauhnya dari tempatnya jatuh.
Belum sampai matanya terbuka,
tiba-tiba sebuah tendangan lagi menyampar dagunya sampai kepalanya tersentak ke
belakang. Dees...!
"Auhg...!"
Pandangan mata pun menjadi
berkunangkunang karena kerasnya tendangan yang semestinya meretakkan tulang
dagunya itu. Beruntung sekali tendangan itu hanya membuat bibirnya berdarah dan
hidung pun mengucurkan darah akibat sentakan cukup kuat mengguncang kepala.
Tapi berkat tendangan kuat itu, tubuh Pendekar Mabuk terlempar jatuh menindih
bumbung tuaknya.
"Serahkan pusaka itu,
atau kau akan kehilangan nyawa!" hardik orang yang menendangnya.
Sraaang...! Suara pedang
dicabut dari sarungnya. Pendekar Mabuk mulai sadar akan datangnya bahaya lebih
besar lagi. Ia menguatkan diri dengan membuka mata sedikit dan memandangi
lawannya. Hati terkejut kala melihat lawannya adalah seorang le- laki berbadan
kurus yang usianya sekitar lima puluh tahun. Lelaki itu mengenakan rompi kuning
dengan celana coklat tua. Kumisnya melengkung sampai ke dagu, rambutnya panjang
berwarna abu-abu diikat kain hitam. Wajahnya tampak bengis dengan bentuk tulang
rahang maju ke depan.
Ternyata orang itu tidak
sendirian. Ia didampingi seorang lelaki yang usianya agak lebih muda lagi. Tapi
wajahnya sama-sama berkesan bengis. Kumisnya lebih lebat, badannya lebih gemuk,
mengenakan pakaian hitam berlengan panjang longgar. Lelaki yang berambut pendek
itu memakai ikat kepala merah dan bersenjatakan tombak berujung pedang lebar.
"Habisi saja, Cakawala!
Dengan menyerahkan kepalanya kita sudah bisa mengambil hadiahnya. Tak perlu
repot-repot mencari pusaka tersebut!" ujar si lelaki berpakaian hitam
kepada Cakawala; si kurus berompi kuning itu.
"Gagasan mu selalu jitu,
Tawur Geni! Akan kupenggal saja kepalanya tanpa memikirkan pusaka tersebut!"
Cakawala segera melompat dan
membabatkan pedangnya. Wuuus...! Pendekar Mabuk segera berguling ke arah lain
sambil menyambar bumbung tuaknya. Ia bangkit dengan satu lutut dan
menghantamkan bumbung tuaknya pada kaki Cakawala.
Beed! Prrak...!
"Aaaaow...!"
Cakawala berteriak kesakitan. Mata kakinya pecah seketika begitu terhantam
bumbung tuak yang kerasnya melebihi besi itu. Cakawala langsung tak mampu
berdiri, ia jatuh terduduk sambil meraung kesakitan.
"Bangsat!
Heaaah...!" Tawur Geni melompat dengan tombak bermata pedang lebar
ditebaskan ke leher Pendekar Mabuk. Tapi pada saat itu Suto Sinting sudah
bergegas bangkit dan melompat mundur hingga ke tepi tebing karang. Sedikit lagi
jatuh tergelincir ke laut berkarang runcing.
Weeess...! Mata tombak lebar
itu melintas di depan dada Pendekar Mabuk. Sejengkal lagi ujung tombak dapat
merobek dada si murid sinting Gila Tuak itu.
Tetapi dengan gerakan
sempoyongan seperti orang mabuk ingin tumbang, Suto Sinting memutar tubuhnya
dalam gerakan maju ke depan dan tiba-tiba bumbung tuaknya menyodok ke pinggang
lawan. Wuuut, beehg...!
"Heeeggh...!" Tawur
Geni mendelik mengalami kesukaran bernapas. Tulang rusuknya tersodok bumbung
tuak dengan sangat keras dan bertenaga dalam cukup lumayan, sehingga ia yakin sekurangkurangnya
satu tulang rusuknya patah seketika itu juga.
"Bajingan kau...!"
Tawur Geni masih paksakan diri untuk memaki dengan suara berat, seperti
tersekat di kerongkongan. Ia segera memaksakan tangan yang memegangi senjata
itu berkelebat ke samping dengan harapan ujung tombaknya dapat kenai perut Suto
Sinting.
Tapi rupanya hal itu tidak
mudah dilakukan. Sekalipun tangan itu mampu bergerak lebih cepat dari gerakan
pertama, namun Suto Sinting bisa bergerak lebih cepat lagi dengan menghadangkan
bumbung tuaknya sebagai penangkis mata tombak lebar itu.
Wuuut, praaang...!
Mata tombak pecah menjadi
delapan keping. Benturan tersebut bukan saja membuat mata tombak pecah,
melainkan juga mengeluarkan sinar berkerilap bagaikan cacing panjang warna
merah yang merayap cepat ke gagang tombak dan melesat menghantam dada kanan si
Tawur Geni. Claaap...!
"Auuhg...!" Tawur
Geni mengejang seketika dengan mata mendelik. Kulit tubuhnya menjadi berasap
dan berwarna merah matang.
Pendekar Mabuk tak menyangka
benturan senjata lawan dengan bumbung tuaknya akan mengeluarkan cahaya kilat
merah seperti itu. Rupanya Tawur Geni salurkan tenaga dalamnya melalui tombak
tersebut dan tenaga dalam itu memantul balik lebih cepat dan lebih besar lagi
setelah membentur bumbung tuak yang mempunyai kesaktian tersendiri itu.
Akibatnya, Tawur Geni pun jatuh terkulai dengan mata mendelik dan napas susah
dihela.
Sementara itu, Cakawala yang
tadi meraung dalam keadaan duduk sambil memegangi mata kakinya yang pecah, kini
sudah tidak meraung lagi. Bahkan kini sudah tidak duduk lagi. Ia terbaring
dengan mata mendelik dan mulut ternganga, tapi nafasnya sudah tidak ada.
Rupanya mata tombak lebar yang
pecah menjadi delapan keping itu membawa petaka sendiri bagi Cakawala. Kepingan
paling ujung dari tombak tersebut telah mental kuat ke arah Cakawala dan
menancap di tengah tenggorokan Cakawala. Itulah sebabnya Cakawala tak bisa
berteriak dan tak bisa memaki temannya, karena ia segera roboh ke belakang,
jatuh telentang dalam keadaan sekarat beberapa saat, setelah itu diam tak
berkutik selamanya. Ternyata ujung tombak itu mempunyai racun yang sangat
berbahaya jika sampai menggores kulit seseorang.
Pendekar Mabuk buru-buru
meneguk tuaknya untuk hilangkan rasa sakit akibat dua tendangan yang
diterimanya tadi. Setelah dalam waktu singkat badannya menjadi segar kembali
dan rasa sakit pun hilang, ia mulai memeriksa kedua orang tersebut dengan
pandangan mata.
"Kedua orang inikah yang
melepaskan sinar biru berekor kehijauan itu?!" pikir Pendekar Mabuk. "Hmmm...!
Rasa-rasanya bukan mereka, sebab gerakan silatnya ku rasakan cukup lemah dan
kurang tangkas. Mereka bukan orang berilmu tinggi. Hanya saja, kudengar tadi
mereka menghendaki sebuah pusaka dariku. Pusaka apa yang mereka
maksudkan?!"
Pendekar Mabuk buru-buru
mendekati Tawur Geni yang masih tampak bernapas walau keadaan luka-luka di
tubuhnya sangat memprihatinkan.
"Hei, siapa kalian berdua
sebenarnya?! Mengapa kalian menghendaki pusaka dariku?! Pusaka apa?!"
"Ka... kami orang sewaan
yang... yang disuruh memenggal kepalamu dengan hadiah tinggi. Kam... kami...
kami harus membawa kepalamu sebagai buk... bukti bahwa... bahwa... oooh "
"Bahwa apa? Siapa yang
menyewa kalian? Katakan sekarang juga, siapa?!" desak Pendekar Mabuk
begitu melihat Tawur Geni mulai bermata sayu.
"Hei minum tuakku ini
biar lukamu sembuh.
Lekas, minumlah !"
Pendekar Mabuk bermaksud
selamatkan jiwa Tawur Geni dengan cara meminum tuaknya. Tetapi baru saja ia
membuka tutup bumbung tuak, Tawur Geni sudah lebih dulu roboh dalam keadaan
terkapar menyedihkan. Suto Sinting menggeram jengkel ketika ia gagal menuangkan
tuak ke mulut Tawur Geni, sebab orang itu sudah lebih dulu kehilangan nyawanya
sebelum meneguk tuak Suto.
"Kampret!" geram
Suto Sinting dengan jengkel sekali. "Seharusnya kuberi minum tuak sejak
tadi biar ia tidak mati, sehingga aku bisa mengetahui siapa orang yang menyewa
mereka berdua, dan pusaka apa yang mereka cari dariku. Aaah... sayang sekali
keduanya sudah tak bernyawa sebelum ku tahu apa sebenarnya yang terjadi di rimba
persilatan ini!"
Pendekar Mabuk menarik napas
panjangpanjang. Kemudian ia berkata lagi dengan suara pelan sekali,
"Sebaiknya ku tinggalkan
saja mereka, dan kucari keterangan sebisa mungkin, ada apa dengan diriku dan
pusaka apa yang dicari mereka itu. Hmmm...! Untuk tidak mendatangkan bau busuk
dari mayat mereka, sebaiknya kedua mayat ku buang ke laut saja. Biarlah jazad
mereka menjadi penghuni lautan bergelombang besar itu!"
Byuuur...! Byuuuur...!
Dua mayat tak diketahui dari
mana asalnya telah dibuang oleh Pendekar Mabuk ke laut biru. Sekalipun
demikian, namun hati dan jiwa Pendekar Mabuk mulai semakin tidak bisa tenang
lagi, sebab berbagai pertanyaan menghantui benaknya. Pertanyaan yang paling
utama adalah: siapa orang yang membuat Merpati Liar dan Angin Betina bisa
berubah menjadi patung batu? Dan pertanyaan kedua ialah: pusaka apa yang dicari
darinya oleh kedua orang tersebut?
3
GAGASAN yang terlintas di
benak Pendekar Mabuk adalah pergi ke Jurang Lindu untuk temui gurunya; si Gila
Tuak. Setidaknya sang Guru dapat menjelaskan ilmu apa dan ilmu milik siapa yang
dapat membuat seseorang menjadi patung batu. Hati kecil pun berharap agar si
Gila Tuak dapat menunjukkan cara mengembalikan wujud asli Merpati Liar dan
Angin Betina.
Namun baru saja Suto Sinting
ingin tinggalkan Pantai Giring, tiba-tiba ia mendengar suara gerakan menerabas
kerimbunan semak di depannya. Langkah pun terhenti, karena firasatnya
mengatakan ada seseorang yang akan muncul dari kerimbunan semak tersebut.
Zrraak...! Jleeg...!
Pendekar Mabuk terkejut
melihat seorang nenek muncul dari kerimbunan semak dalam gerakan lari cepat dan
tiba-tiba berhenti dalam jarak lima belas langkah di depannya. Nenek itu pun
terperanjat melihat Suto Sinting ada di depannya. Agaknya ia tak menyangka ada
seorang pemuda tampan yang akan berpapasan dengannya.
Wajah keriput berambut putih
kusam itu segera berkelebat pergi dan menghilang di balik kerimbunan semak
lain. Pendekar Mabuk masih terkesima di tempatnya, karena ada sesuatu yang aneh
dalam penglihatannya.
"Siapa orang itu
tadi?!" tanya hati sang pendekar tampan. Rasa penasarannya membuat Suto
Sinting berkelebat mengejar sang nenek dengan menggunakan jurus 'Gerak
Siluman'-nya.
Zlaaap!!!
Ia bagaikan menghilang karena
kecepatan bergerak yang sukar ditandingi itu. Kecepatan tersebut berhasil
menyusul gerakan sang nenek aneh, hingga perempuan tua renta itu terhenti dari
langkah pelariannya.
Wuuut...! Plaaak...! Sang
nenek menyerang dengan sebuah tendangan melayang. Pendekar Mabuk menangkisnya
dengan tangan kiri yang berkelebat membuang tendangan tersebut.
Rupanya gerakan tangan
Pendekar Mabuk mempunyai kekuatan tenaga dalam tersendiri yang mampu membuat
kaki lawan terpental kuat. Akibatnya tubuh kurus renta itu terpelanting dan
jatuh membentur akar pohon besar. Brruk...!
"Oohk...!" Nenek itu
mengerang kesakitan, hidungnya berdarah karena benturan dengan akar pohon yang
cukup keras. Pendekar Mabuk bergegas menghampirinya dengan menunjukkan sikap
bersahabat.
"Maaf, karena kau
menyerangku secara tibatiba, maka aku menangkis seranganmu, Nek," katanya
dengan tutur kata yang bernada ramah.
"Bunuh saja aku!"
ujar si nenek dengan wajah duka, ia menghapus darah dari hidungnya memakai kain
jubah yang berwarna hijau muda.
Perintah membunuh tidak
dikerjakan oleh Suto Sinting, ia bahkan menyodorkan bumbung tuaknya setelah
membantu nenek itu bangkit berdiri.
"Minumlah tuakku sedikit,
biar luka dan rasa sakitmu hilang, Nek."
"Tak perlu! Aku Ingin
mati saja!" katanya sambil buang muka tak mau memandang Suto Sinting.
"Mati itu gampang, tapi
badanmu harus sehat dulu. Jadi kau bisa mati dengan sehat, Nek. Orang mati
sehat itu lebih enak, ketimbang mati dalam keadaan tak sehat. Karena itu,
minumlah tuakku ini sedikit saja," bujuk Suto Sinting yang lama-lama meluluhkan
hati sang nenek.
Pendekar Mabuk memandanginya
dengan mata tak berkedip walau berkesan lembut. Rasa heran berkecamuk dalam
hatinya, karena nenek kurus itu berambut panjang, dan di kepalanya terdapat
sepasang tanduk seukuran setengah jengkal. Tanduk itu tumpul namun kelihatan
keras.
Karena sang nenek memakai baju
dalam kuning tipis dan kain penutup bagian bawahnya berwarna kuning sebatas
betis, maka tampaklah keanehan itu di mata Suto Sinting. Sepasang kaki sang
nenek berbulu coklat kemerahan, serupa dengan kaki kuda. Tetapi telapak kakinya
masih berwujud telapak kaki manusia biasa. Sedangkan daun telinga sang nenek
pun cukup panjang, menyerupai daun telinga seekor kambing. Lehernya juga
berbulu, mirip leher seekor kambing. Bentuk mulutnya agak maju, menyerupai
bentuk mulut seekor kambing. Tapi mata dan hidungnya masih tampak sebagai mata
dan hidung seorang wanita.
Sepasang tangan sang nenek
berjubah hijau tanpa lengan itu juga berbulu, menyerupai bulu seekor kuda, tapi
telapak tangannya adalah telapak tangan manusia biasa. Jari-jarinya berkuku
runcing dan berwarna hitam, mirip kuku binatang buas yang sukar ditentukan
jenisnya.
Keadaan itulah yang membuat
sang nenek sering berpaling, bahkan sekarang sedang memunggungi Suto Sinting.
Mungkin ia malu dengan keadaan dirinya yang separo binatang separo manusia itu.
Ia takut menerima hinaan dari pemuda setampan Suto Sinting. Dan perasaan
seperti itu bagai mengalir ke hati Pendekar Mabuk, sehingga si murid sinting
Gila Tuak itu bersikap hati-hati sekali kepada sang nenek, berusaha untuk tidak
menyinggung perasaan perempuan tua renta itu. Dalam perkiraan Suto Sinting,
sang nenek berusia sekitar delapan puluh tahun, mungkin lebih dari delapan
puluh tahun. Toh hal itu tak bermaksud ditanyakan oleh Suto Sinting sebab takut
menyinggung perasaan sang nenek.
"Tendangan mu sebenarnya
cukup cepat dan sukar ditangkis atau dihindari," sanjung Suto Sinting
mengambil hati sang nenek. "Hanya saja, sayang gerakan tanganku yang
secara naluriah itu mampu menangkis tendangan mu. Padahal jika kau ulangi lagi,
belum tentu gerakan naluriah ku bisa menangkis tendangan seperti tadi,
Nek."
"Aku tak butuh sanjungan
mu," ucap sang nenek dengan masih memunggungi Suto Sinting. Punggungnya
tampak sedikit menonjol seperti punggung seekor sapi.
"Kalau begitu, apa yang
kau kehendaki dariku, sehingga kau menyerangku secara tiba-tiba? Apa salahku,
Nek?"
"Aku tak ingin jumpa
denganmu!" jawab sang nenek setelah berpikir sejenak. "Aku malu
dengan keadaanku!" tambahnya.
"Aku tidak bermaksud menghinamu,
Nek." "Tinggalkan aku sekarang juga! Tinggalkanlah
sekarang juga!" pintanya
dengan tetap memunggungi Suto Sinting. Melalui gerakan kepalanya yang raguragu
ingin menoleh ke belakang dapat dilihat sebentuk kecemasan yang sedang melanda
jiwa nenek itu.
"Lekas pergi dariku,
jangan pandangi aku terus!" desak nenek bersenjata pedang di pinggangnya.
"Baiklah," kata Suto
Sinting seraya menarik napas dalam-dalam. "Aku pergi. sekarang juga supaya
kau tak merasa malu padaku."
Namun ketika Suto Sinting melangkah
dua kali, sang nenek tiba-tiba berbalik arah dan berseru dengan nada kentara
sangat dipaksakan. "Tung... tunggu!"
Langkah Suto Sinting terhenti,
tapi ia tidak berpaling memandang sang nenek. Wajah dan pandangan mata Suto
Sinting tetap mengarah ke depan, membiarkan sang nenek mendekatinya.
"Ada sesuatu yang ingin
kutanyakan padamu. Apakah kau melihat dua orang lelaki berwajah bengis lewat
daerah ini?!"
Pendekar Mabuk kerutkan dahi,
tetap tidak memandang ke arah sang nenek. Dalam benaknya terbayang wajah bengis
Cakawala dan Tawur Geni. Maka kedua nama itu pun disebutkan dengan jelas dan
agak keras, karena Suto Sinting khawatir pendengaran sang nenek sudah mulai
budek.
"Apakah yang kau maksud
dua orang bernama Cakawala dan Tawur Geni?"
"Benar! Benar
sekali!" sang nenek tampak bersemangat. "Apakah kau teman
mereka?"
"Bukan," kini Suto
Sinting berpaling memandang dengan memamerkan senyum keramahannya. "Mereka
justru menyerangku dan aku terpaksa melawannya."
"Oh, syukurlah! Tapi...
ke mana mereka seka- rang?"
"Mayat mereka ku buang ke
laut." "Jadi, mereka... mereka sudah mati?!"
Pendekar Mabuk menganggukkan
kepala. Sang nenek melepaskan napas lega.
"Kurasa mereka
mendapatkan hukuman yang setimpal."
"Mengapa kau bilang
begitu?"
"Karena mereka mengeroyokku.
Mereka berhasil menotokku setelah menghinaku habis-habisan. Dalam keadaan
tertotok, perhiasan ku dilucuti oleh me- reka. Mereka orang-orang Tanah Legong,
yang dihuni oleh para rampok picisan yang tak punya perasaan sama sekali.
Setelah totokan itu berhasil kulepaskan dengan napas dalamku, aku mengejarnya
karena ingin bikin perhitungan dengan mereka, termasuk ingin merebut kembali
perhiasan ku."
"Aku tak tahu kalau
mereka menyembunyikan perhiasan di balik ikat pinggang mereka. Karenanya,
ketika mereka sudah tak bernyawa, mayat mereka ku buang ke laut supaya tidak
menyebarkan bau busuk di tempat ini."
Sang nenek menghempaskan napas
lagi. Pandangan matanya menerawang bagai menyimpan penyesalan. Suto Sinting
buru-buru berkata dengan lembut,
"Maafkan aku yang tak
sempat menyelamatkan perhiasan mu, Nek."
"Lupakan saja soal itu,
yang penting mereka sudah menerima ganjaran setimpal dengan perbuatan mereka.
Aku sudah cukup puas dan lega," ujarnya sambil segera tundukkan kepala.
"Boleh ku tahu namamu,
Nek?" tanya Suto Sinting dengan nada sopan.
Setelah diam sesaat, wajah
manusia bertanduk itu memberanikan diri memandang Suto Sinting. Sesaat kemudian
baru terdengar suara sang nenek menyebutkan namanya.
"Dewi Cintani!"
"Oh...?!" Suto
Sinting terkejut tapi segera sunggingkan senyum menawan yang tidak berkesan
melecehkan nama itu. Ia justru tampak kagum mendengar nama sang nenek yang
begitu indah itu.
"Apakah kau tak percaya
dengan namaku itu?!" "Aku sangat percaya," kata Suto Sinting,
"Bah- kan aku sangat kagum dengan keindahan namamu itu, Nek. Hmmm... lalu
bagaimana aku harus memanggilmu? Nyai Dewi Cintani atau Nini Dewi
Cintani?"
"Kalau kau mau panggil
Nona pun aku tak keberatan," jawabnya sambil tersenyum malu dan
sembunyikan wajah dengan menunduk.
Dalam hati kecil Suto Sinting
ingin tertawa melihat kegenitan sang nenek yang tidak sebanding dengan usia dan
keberadaannya. Tetapi tawa geli itu hanya disimpan dalam hati, yang keluar
hanya seulas senyum lebar bersama ucapan yang bijaksana.
"Kurasa tak keberatan
bagiku memanggilmu Nona kalau toh memang kau belum pernah menikah, Nek. Tetapi,
alangkah senangnya jika kau izinkan aku memanggilmu: Cintani saja."
"Kurasa... itu lebih
akrab. Tapi apakah kau mau bersahabat denganku lebih akrab lagi?"
"Mengapa tidak?"
Suto Sinting angkat bahu. "Aku tak pernah pandang bulu dalam
bersahabat."
"Jangan bicara soal bulu,
aku tersinggung. Sebab badanku memang penuh bulu."
"O, maaf! Maaf sekali,
Cintani. Aku tidak sengaja menyinggung mu. Aku hanya ingin katakan bahwa aku
tak pernah memandang derajat dalam bersahabat," kata Suto Sinting
terburu-buru, takut kemurungan di wajah Cintani berubah menjadi duka.
Suto Sinting menambahkan kata,
"Sebagai kesungguhan ku dalam bersahabat, kurasa tak ada jeleknya jika ku
ingin kau memanggilku: Suto."
Cintani menegakkan kepala,
memandang pemuda di depannya.
"Suto,..?!" gumamnya
lirih sambil berkerut da-
hi. "Ya, Suto. Karena
memang itulah namaku." Lalu seulas senyum menawan pun mekar di bibir murid
sinting si Gila Tuak itu.
"Apakah "
Nenek Dewi Cintani tak jadi
teruskan kata, karena tiba-tiba seberkas sinar merah bundar sebesar jeruk peras
melayang dari arah belakang Suto Sinting. Sinar merah itu melesat cepat dengan
sasaran punggung Pendekar Mabuk.
"Awas...!" pekik
Nenek Cintani dengan mata terbelalak.
Suto Sinting cepat balikkan
badan begitu melihat wajah sang nenek terbelalak tegang. Ia yakin ada bahaya
datang dari arah belakangnya. Wuuut !
Bumbung bambu tempat tuak
segera berpindah tempat dari pundak ke tangan kanan. Bumbung bambu itu
berkelebat menghadang sinar merah tersebut. Deebbs !
Wooos !
Sinar merah berbalik arah
dengan keadaan lebih besar dan lebih cepat lagi. Kesaktian bumbung tuak
tersebut telah membuat si pemilik sinar merah terkejut melihat serangannya
berbalik ke arahnya dalam keadaan lebih cepat dan lebih besar dari aslinya.
Pemilik sinar itu segera lompat ke arah lain, dan sinar merah itu menghantam
sebatang pohon berukuran besar.
Blegaaarrr...!
Tanah berguncang sesaat karena
getaran daya ledak yang cukup dahsyat itu. Bahkan daun-daun pohon sempat
berguguran baik yang sudah layu maupun yang masih hijau segar. Tempat itu bagai
dilanda gempa sesaat. Dan pohon yang terhantam sinar merah itu pecah menjadi
serat-serat halus. "Edan! Bagaimana mungkin jurus 'Gulana Bara'-ku bisa
membuat pohon itu menjadi serat-serat lembut? Padahal biasanya hanya bisa
membuat sebatang pohon pecah menjadi beberapa bagian saja," gumam hati si
penyerang dengan perasaan kagum dan terheran-heran.
Nenek Cintani berkata pelan,
"Ada seseorang yang ingin membunuhmu, Suto! Hati-hatilah, kurasa ia
berilmu tinggi."
"Berlindunglah di pohon
belakangmu, Cintani! Aku akan menghadapi orang itu. Waspadalah agar jangan
menjadi korban salah sasaran," balas Suto Sinting dalam bisikan.
Hati sang nenek pun membatin,
"Kurasa dia cukup mampu menahan serangan lawan. Bambu tuaknya itu ternyata
mempunyai kesaktian tersendiri yang tidak mudah dihancurkan oleh serangan
lawan. Hmmm...! Kurasa untuk sementara aku tak perlu turut campur dulu. Kecuali
jika ia terdesak oleh serangan lawan dan dalam bahaya, aku terpaksa turun
tangan juga."
Dari balik pohon, Nenek
Cintani mendengar Suto Sinting berseru ke arah lawannya yang bersembunyi di
balik semak belukar.
"Keluarlah, Sobat! Jika
ada urusan denganku, selesaikan secara ksatria!"
Suara Pendekar Mabuk tak
terdengar. Ia sengaja diam untuk menunggu kemunculan lawannya. Tapi yang
terjadi hanya kesepian yang membawa ketegangan tersendiri bagi Nenek Cintani.
"Jika kau tak mau keluar
dari persembunyianmu, aku akan memaksamu keluar dengan caraku sendiri,
Sobat!" seru Suto Sinting, mengancam secara halus. Tiba-tiba sebatang anak
panah melesat dari samping kiri Suto Sinting. Kecepatan anak panah itu cukup
tinggi, nyaris tak terlihat oleh mata manusia biasa. Tetapi hal itu bisa
diatasi oleh Suto Sinting dengan satu lompatan berjungkir balik di udara.
Begitu kaki mendarat di bumi, ternyata anak panah itu sudah ada dalam
genggamannya.
"Kiriman mu sudah
kuterima, Sobat!" seru Suto Sinting masih dengan sikap tenang.
Katanya lagi, "Tapi
agaknya kiriman ini kurang lengkap, maka terpaksa kukembalikan padamu,
Sobat!" Lalu ia lemparkan anak panah itu ke arah datangnya.
Weeesss...!
Anak panah itu melesat sangat
cepat menembus semak belukar. Jika bukan disertai tenaga dalam, tak mungkin
anak panah itu mampu bergerak secepat dilepaskan dari busurnya. Bahkan anak
panah itu berhasil kenai sasaran, karena kejap berikut
terdengar suara orang memekik
dari balik semak belukar.
"Aaahg...!" Suara
itu disusul dengan sebuah seruan bernada berat, "Aku kena...! Racun 'Cegat
Nyawa' mengenai ku! Aaahhg...!"
Gruzak, gruzak, gruzak...!
Suara gaduh terdengar di balik
semak bagai seseorang sedang mengalami sekarat.
"Bangsaaat...!"
teriak sebuah suara yang segera disusul dengan kemunculan seorang bertubuh
tinggi besar, kumisnya tebal, matanya lebar, brewoknya pun lebat. Lelaki itu
berambut ikal dengan wajah angker berbibir tebal. Ia mengenakan pakaian serba
hitam dengan kalung dari akar berbandul tengkorak dari kayu hitam. Jleeg...!
Bumi bagai bergetar ketika orang itu mendaratkan kedua kakinya ke tanah. Mata
besarnya segera memandang liar ke arah Suto Sinting. Kedua tangannya yang
berjari besar bergerak menggenggam kuatkuat, diiringi suara geram yang
mengerikan bagai orang berilmu rendah.
"Hah...?! Jagal
Neraka?!" ucap batin Nenek Cintani dengan kaget. "Rupanya Suto punya
urusan dengan Ketua Rampok Lembah Hantu? Oh, celaka...! Apakah Suto dapat
imbangi kehebatan ilmu si Jagal Neraka?!"
Pendekar Mabuk yang dicemaskan
Nenek Cintani itu masih tetap tenang. Tak sedikit pun tampak gentar berhadapan
dengan orang tinggi besar berwajah menyeramkan itu. Bahkan senyum Suto Sinting
tampak mekar ketika Jagal Neraka lontarkan suaranya yang besar dan berat itu.
"Biadab kau! Kau telah
lukai adikku dengan racun 'Cegat Nyawa' yang ada di ujung anak panahnya itu,
hah?! Kuremukkan batok kepalamu sekarang juga, Pemuda Sinting! Gggrrr...!"
Jagal Neraka lepaskan pukulan
jarak jauhnya berupa sinar merah patah-patah tertuju ke dada Suto Sinting.
Clap, clap, clap...! Tapi dengan gerakan lincah dan cekatan, tubuh Pendekar
Mabuk me-lenting di udara berjungkir balik satu kali, sehingga sinar merah
patah-patah itu menghantam sebuah pohon besar jauh di belakang Nenek Cintani
yang sudah ketakutan terkena sinar tersebut.
Blegaaar...!
Pohon itu tumbang seketika
dalam keadaan terbelah menjadi empat bagian memanjang. Tumbangnya pohon itu
menimbulkan suara gemuruh yang menggema ke mana-mana bersama gelegar ledakan-
nya. Pendekar Mabuk daratkan kakinya ke tanah, lalu memandang Jagal Neraka
dengan senyum yang menjengkelkan lawan.
"Gggrrr...!" Jagal
Neraka bermaksud menyerang lagi, tapi tangan Pendekar Mabuk maju ke depan
dengan telapak tangan menghadap lawan.
"Tunggu sebentar, Sobat!
Jangan bernafsu sekali jika ingin mengadu kesaktian denganku! Sebelumnya
jelaskan dulu apa salahku sehingga kau menyerangku?!"
"Kau melukai adikku
dengan anak panah beracun ganas itu, Setan Kurap!" bentak Jagal Neraka
dengan suara lantang memekakkan gendang telinga.
"Aku hanya sekadar
mengembalikan senjatanya," sangkal Suto Sinting. "Bukankah kau dan
adikmu itu lebih dulu menyerangku?! Serangan pertama kalian itulah yang
kutanyakan; apa sebabnya? Kurasa baru sekarang kita saling jumpa, Kawan!"
"Jangan banyak
bacot!" sentak Jagal Neraka. "Serahkan pusaka itu atau kupenggal
kepalamu untuk mengambil hadiah dan melengkapi pinangan ku!"
Pendekar Mabuk berkerut dahi.
Hati pun berkata, "Tadi kudengar Cakawala dan Tawur Geni juga
menyinggung-nyinggung soal pusaka, sekarang orang ini juga begitu. Pusaka apa sebenarnya?!"
Pendekar Mabuk hanya berkata,
"Aku butuh penjelasan lebih lengkap. Karena, terus terang saja, aku tak
tahu menahu soal pusaka yang kau maksud itu."
"Jangan pura-pura goblok!
Aku tahu, pusaka Tongkat Guntur Bisu ada padamu dan entah kau simpan di mana!
Serahkan pusaka itu padaku! Cepat!"
Suto Sinting bahkan tertawa
seperti orang menggumam. Nenek Cintani kelihatan bertambah te- gang mendengar
percakapan itu. Ia berusaha mengintai lebih jelas lagi dengan jongkok dan
berlindung semak ilalang.
Suto Sinting berkata dengan
kalem, "Kurasa kau salah sasaran, Kawan! Aku tidak mempunyai pusaka
Tongkat Guntur Bisu. Bahkan namanya pun baru sekarang kudengar. Sekali lagi ku
ingatkan kepadamu, kau salah sasaran!"
"Tidak mungkin! Aku tahu
ciri-ciri mu. Kau adalah Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting! Mengakulah,
jangan mengelak kalau kau ingin selamat!"
"Baik, aku mengaku,
memang itulah nama dan gelarku. Tapi soal pusaka tersebut, aku benar-benar
tidak memilikinya, Sobat!"
"Badak busuk! Ku cabut
nyawamu sekarang juga jika kau tetap membandel!"
"Jangan, aku masih ingin
berumur panjang. Aku belum kawin, Sobat. Jangan cabut nyawaku sekarang. Nanti
saja kalau aku sudah merasakan keindahan cinta dalam pelukan wanita," kata
Suto Sinting berkesan meremehkan kemarahan Jagal Neraka, Sikap itu diam-diam
semakin mencemaskan Nenek Cintani yang agaknya mengetahui kehebatan ilmu si
Jagal Neraka itu.
Wuuut...! Jagal Neraka mulai
mencabut cambuknya. Cambuk itu adalah cambuk tiga mata dengan masing-masing
ujung cambuk mempunyai senjata kecil; pisau, bola berduri dan logam bergerigi.
Cambuk itu mulai diputar-putar di atas kepala. Jagal Neraka menggeram-geram
sambil melangkah mengitari Suto Sinting. Yang dikitari tidak bergerak, kecuali
memasang kewaspadaan dengan seluruh indera dipertajam.
"Rupanya kau memilih mati
daripada menye- rahkan pusaka itu, Bocah Bangkai! Tapi hal itu memang lebih
baik, sebab cukup dengan serahkan kepalamu saja, aku sudah bisa menerima hadiah
dan sekaligus berhak menjadi suami si cantik dari Pulau Sangon!
Heeeaah...!"
Wuuut...! Duaar, taaar,
blaaar...!
Cambuk bermata tiga
memercikkan api sendirisendiri dan mempunyai letupan yang berbeda-beda. Sasaran
telak adalah punggung Suto Sinting. Namun ternyata gerakan cambuk masih kalah
cepat dengan gerakan Pendekar Mabuk yang menggeloyor bagai mau jatuh, namun
ternyata melenting tinggi di udara dengan bersalto satu kali.
Wuuut..! Jleeg...!
"Gggrrr...! Hoaaah...!"
Wuuuut...! Cambuk dilecutkan
lagi. Tiga ujung cambuk mengarah ke dada Suto Sinting secara serentak. Tapi
bumbung tuak segera bertindak. Bumbung itu berkelebat dalam satu gerakan
menyentak ke samping. Ketiga ujung cambuk yang berbahaya itu menghantam bumbung
tuak secara bersamaan.
Blegaaarrr...!
Tiga ledakan dahsyat menjadi
satu, membuat bumi berguncang, pepohonan bergetar, dan telinga bagai disodok
dengan benda tajam. Pendekar Mabuk terpental ke belakang, namun tak sampai
jatuh karena segera membentur pohon. Sedangkan Jagal Neraka terlempar ke
belakang dan jatuh berdebam ke tanah. Blukk...! Ketiga mata cambuknya meliuk
berbalik arah, tapi hanya satu mata cambuk yang mengenai perutnya. Jruuub...!
"Aaaahhh...!"
teriaknya keras sekali pada saat perut itu dihunjam mata pisau. Hampir seluruh
mata pisau terbenam dalam perut buncitnya. Jagal Neraka mendelik dan gemetar.
4
JAGAL Neraka akhirnya
melarikan diri dengan membawa luka beracun di perutnya. Sebelum melarikan diri,
Jagal Neraka sempat lontarkan ancaman kepada Suto Sinting, tetapi oleh Suto
ancaman itu tak dihiraukan. Suto pun sengaja membiarkan lawannya lari, karena
sebenarnya ia hanya ingin memberi pelajaran kepada Jagal Neraka sambil
bertahan.
"Aku menemukan Jagal
Kubur telah menjadi mayat di balik semak sana," kata Nenek Cintani yang
menyempatkan diri memeriksa keadaan sekitarnya.
"Siapa Jagal kubur
itu?" "Adik si Jagal Neraka tadi."
"Agaknya kau kenal dengan
mereka?"
"Tentu, karena aku pernah
berhadapan dengan mereka. Jagal Neraka adalah Ketua Perampok Lembah Hantu. Dulu
aku hampir mati di tangannya kalau tak segera ditolong oleh Salju Kelana."
Pendekar Mabuk terperanjat
mendengar nama itu. "Salju Kelana? Oh, kau kenal dengannya?"
"Dia sahabatku,"
jawab Nenek Cintani sambil melangkah lebih mendekat lagi. "Apakah kau juga
mengenal Salju Kelana?"
"Ya, aku pun
sahabatnya," jawab Suto Sinting. "Sahabatnya atau... atau
kekasihnya?" Pendekar Mabuk tersenyum dengan tawa pen-
dek tanpa suara. Di benaknya
sempat terbayang seraut wajah cantik Salju Kelana yang mirip dengan Dyah
Sariningrum. Di hati kecilnya segera bersemi rasa rindu ingin jumpa Salju
Kelana, tapi tak tahu di mana
perempuan itu sekarang
berada, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Rencong Pemburu Tabib").
Kebisuan yang berlangsung tiga
helaan napas itu dipecahkan oleh suara tua Nenek Cintani.
"Maukah kau menolongku
mencarikan Salju Kelana?"
"Aku tak tahu di mana ia
berada saat ini."
"Dia mempunyai adik
bernama Kelana Cinta, prajurit di sebuah negeri yang bernama "
"Ringgit Kencana!"
sahut Suto Sinting membuat Nenek Cintani terkesiap seketika.
"Agaknya kau pun juga
mengenal Kelana Cinta,
Suto?"
"Kami bersahabat dengan
akrab sekali. Kelana
Cinta mempunyai ratu yang
bernama Ratu Asmaradani. Sedang Ratu Asmaradani adalah adik sepupu dari bibi
guruku; Bidadari Jalang."
"Oh, aku pernah mendengar
nama Bidadari Jalang sebagai tokoh perempuan sakti tertinggi di rimba
persilatan," ujar Nenek Cintani dengan nada kagum.
"Beliau adalah
guruku."
"Kalau begitu... kalau
begitu apa yang dikatakan Jagal Neraka tadi memang benar. Kau adalah Pendekar
Mabuk; murid Bidadari Jalang dan Gila Tuak?!"
"Apakah hal itu sangat
penting bagimu?"
"Oh, aku sangat bersyukur
sekali bertemu dengan murid si Gila Tuak yang juga disebut-sebut sebagai Tabib
Darah Tuak," kata Nenek Cintani sambil matanya tampak menerawang bagai
orang melamun penuh rasa bangga.
Setelah itu ia memandang Suto
Sinting dan berkata dengan sorot pandangan mata berseri-seri,
"Kalau begitu, tentunya
kau bisa menolongku, Suto! Tolonglah aku!"
Suto Sinting berkerut dahi.
"Apa yang harus kulakukan untukmu, Cintani?"
"Hmmm... eh...
hmmm...," Nenek Cintani tampak gugup karena rasa girangnya.
"Bicaralah dengan tenang,
Cintani," seraya Suto Sinting menepuk pundak nenek bertanduk itu.
"Hmmm... o, ya, sebaiknya
kita bicara di tempatku saja. Aku khawatir Jagal Neraka akan datang lagi
bersama beberapa anak buahnya untuk menuntut balas padamu. Kita harus segera
tinggalkan tempat ini dulu, Suto."
Rasa penasaran membuat Suto
Sinting akhirnya menuruti ajakan Nenek Cintani. Ternyata ia dibawa ke sebuah
gua di lereng Bukit Mayong. Gua tersebut tak begitu kentara jika dilihat dari
luar, karena pintu masuk gua sangat kecil, hanya bisa digunakan oleh satu
orang. Tetapi bagian dalam gua cukup luas, mempunyai kedalaman yang memanjang
bagaikan terowongan menuju ke suatu tempat.
"Di sinilah tempat
tinggalku sejak peristiwa itu,"
ujar Nenek Cintani sambil menyalakan api unggun pada ruangan bertanah datar,
kira-kira dua puluh lima langkah dari mulut gua.
"Peristiwa apa maksudmu,
Cintani?" tanya Suto Sinting sambil duduk di atas sebuah batu setinggi
lutut. Nenek Cintani berdiri tak jauh darinya, sesekali tangannya merapikan
susunan kayu api unggun memakai sebatang kayu panjang.
"Aku mempunyai seorang
musuh yang ilmu sihirnya cukup tinggi. Pada suatu hari, kami bertarung untuk yang
ketiga kalinya. Ia hampir saja mati di ujung pedangku. Tapi ternyata ia segera
menggunakan ilmu sihirnya. Seberkas sinar hijau dari mata kirinya menghantam
ku. Dalam sekejap tubuhku berubah menjadi separo manusia separo hewan, yah...
seperti yang kau lihat ini."
Nenek Cintani tundukkan kepala
dengan sedikit membuang wajah ke kiri. Ia menahan rasa malu saat dipandangi
Suto Sinting, padahal pandangan itu adalah pandangan hati yang iba terhadap
nasibnya.
"Teruskan ceritamu,"
ujar Suto Sinting dengan suara lembut dan pelan.
"Aku sudah berusaha
meminta tolong kepada beberapa tokoh tua untuk pulihkan keadaanku agar menjadi
seperti sediakala. Tetapi tidak ada satu orang pun yang mampu melepaskan
kekuatan sihir Selir Dewani, musuhku itu. Lalu kuingat seorang tokoh perempuan
sakti yang sudah lama mengasingkan diri; yaitu Bidadari Jalang. Kudengar
Bidadari Jalang pernah menyandang gelar: Ratu Sihir Sejagat. Aku bermaksud
ingin menemuinya dan meminta bantuan beliau untuk pulihkan kembali keadaanku,
tapi sayang aku tak pernah tahu di mana Bidadari Jalang berada."
Pendekar Mabuk menggumam
pendek, lalu berkata, "Beliau ada di pengasingannya, di Lembah
Badai."
"Aku tak tahu arah ke
Lembah Badai. Maukah kau membawaku ke sana, Suto?"
"Tentu saja mau, karena
aku sendiri bermaksud ingin temui Kakek Guru si Gila Tuak dan Bibi Guru
Bidadari Jalang."
"Oh, kalau begitu pucuk
dicinta ulam pun tiba. Hasratku bertemu dengan hasrat mu, kurasa inilah kodrat
yang harus ku lalui agar aku bisa pulih menjadi manusia utuh seperti
sediakala." Nenek Cintani tampak berseri-seri menahan rasa girangnya.
Namun wajah buruk yang berseri itu segera redup setelah ia ber- tanya kepada
Pendekar Mabuk yang habis menenggak tuaknya tiga tegukan.
"Tapi bagaimana dengan
urusanmu?" "Urusan yang mana?"
"Kudengar Jagal Neraka
menyebut-nyebut pusaka Tongkat Guntur Bisu. Benarkah kau mencuri tongkat
itu?"
"Aku justru heran,
mengapa diriku dituduh mencuri Tongkat Guntur Bisu. Padahal aku baru sekarang
mendengar nama pusaka tersebut, Cintani. Aku sendiri tidak tahu, siapa pemilik
pusaka Tongkat Guntur Bisu itu sebenarnya."
"Benarkah begitu?"
Nenek Cintani bernada
sangsi.
"Berani sumpah celaka
tujuh turunan, aku be-
nar-benar tak tahu menahu
tentang tongkat itu, Cintani!"
Nenek bertubuh kerempeng itu
diam sesaat. Ada sesuatu yang dipertimbangkan dalam benaknya. Kejap kemudian ia
perdengarkan suaranya kembali yang serak dan berat itu.
"Tongkat Guntur Bisu
adalah pusaka milik Gusti Ratu Remaslega, penguasa Pulau Sangon. Tongkat itu
terbuat dari logam emas, panjangnya sehasta, kira-kira seukuran panjang lengan
kita. Ujung tongkat tersebut membentuk kelopak bunga yang ingin mekar. Di dalam
kelopak bunga itu terdapat sebutir 'mata guntur' "
"Mata guntur'?! Sejak
kapan guntur punya ma-
ta?"
"Itu hanya nama sebuah batu permata sejenis
intan yang besarnya seukuran
telur ayam. Intan itu bukan sembarang intan. Menurut cerita, intan itu
adalah permata milik Dewa Penyebar
Murka yang jatuh dari kayangan.
Seorang pertapa agung bernama Begawan Mega Suci adalah orang pertama yang
mendapatkan batu 'mata guntur' itu. Setelah dibentuk menjadi sebuah tongkat,
batu 'mata guntur' itu diwariskan kepada cucu tunggal sang Begawan, yaitu Ratu
Remaslega."
"Apa kehebatan pusaka
Tongkat Guntur Bisu
itu?!"
"Tongkat Guntur Bisu
tidak pernah timbulkan
suara. Jika ia disentakkan ke
depan dengan dialiri tenaga dalam sedikit saja, akan keluarkan sinar biru
sebesar telur ayam. Sinar biru itu berekor panjang dalam bentuk biasa sinar
hijau. Jika sinar itu mengenai tubuh manusia, maka manusia itu akan menjadi
patung batu berlumut seperti berusia ratusan tahun lebih "
"Celaka!" sentak
Pendekar Mabuk dengan wajah menegang. Sentakan itu membuat Nenek Cintani
hentikan kata-katanya dan menatap penuh keheranan. "Rupanya tongkat itu
yang membuat kedua sahabatku menjadi patung batu di tebing karang tepi
pantai tadi!"
Nenek Cintani kerutkan dahi,
antara percaya dan tidak. Pendekar Mabuk segera ceritakan peristiwa yang
dilihatkan dari awal hingga akhir tanpa mengurangi dan menambah apa pun yang
terjadi saat itu. Nenek Cintani tampak masih berkerut dahi, namun pandangan
matanya menerawang dalam sikap merenungi cerita tersebut.
"Kalau begitu aku harus
bertemu dengan Ratu Remaslega dan bikin perhitungan dengannya!" ujar Suto
Sinting dengan dada bergemuruh menahan kemarahan. Nafasnya dikeluarkan dengan
hati-hati karena dikhawatirkan akan menghadirkan badai dari kekuatan Napas Tuak
Setan-nya. "Kurasa Ratu Remaslega tak akan berbuat seperti itu," kata
Nenek Cintani. "Tongkat itu jarang digunakan, kecuali dalam keadaan sangat
terpaksa."
"Mungkin saja ia
menyimpan dendam kesumat kepada kakak-beradik itu; Merpati Liar dan Angin
Betina."
Nenek Cintani gelengkan
kepala. "Seingatku, Ratu Remaslega tak pernah punya dendam kepada siapa
pun. Kedua nama itu pun tak pernah dikenalnya."
"Kau berani bertaruh
nyawa?"
"Ku pertaruhkan nyawaku,
bahwa Ratu Remaslega bukan orang yang membuat kedua sahabatmu itu menjadi
patung batu. Jika benar Ratu Remaslega yang melakukannya, hukumlah aku,
pancunglah kepalaku!" Pendekar Mabuk tertegun mendengar pertaru-
han itu. Agaknya nenek berdaun
telinga panjang ingin meyakinkan pada Suto Sinting bahwa Ratu Remaslega tidak
bersalah.
"Jika begitu, siapa orang
yang melakukannya, menurutmu?!" tanya Suto Sinting bersifat memancing
keterangan. Tapi sang nenek gelengkan kepala dengan lesu.
"Aku tak bisa menjawab
pertanyaanmu itu. Yang jelas, aku yakin sekali bahwa perbuatan keji itu bukan
perbuatan Ratu Remaslega. Dia seorang ratu yang bijak dan sabar. Dia akan
bertindak jika rakyatnya terancam bahaya. Tapi segala urusan pribadi tak pernah
diperpanjang, bahkan kadang diselesaikan dengan cara damai. Ratu Remaslega
lebih mencintai perdamaian dan mengutamakan kemesraan ketimbang
permusuhan."
"Bagaimana kau bisa tahu
banyak tentang di-
rinya?" "Aku adalah
Perwira Pulau Sangon!" jawab Nenek Cintani dengan tegas. Jawaban itu
membuat mulut Suto Sinting terkatup rapat, mata memandang lekat-lekat, badan
tak bergerak selama dua helaan napas.
"Sejak aku bertarung
dengan Selir Dewani yang membuat wujud ku menjadi manusia setengah hewan ini,
aku tak mau pulang ke Pulau Sangon. Aku malu kepada rakyat Pulau Sangon. Harga
diriku akan hilang, wibawaku sebagai Perwira Pulau Sangon pun akan sirna jika
keadaanku seperti ini. Yang akan kuterima hanyalah hinaan di belakangku, dan
rasa malu yang amat menderitakan batin ku. Karenanya aku bersumpah tidak akan
pulang ke Pulau Sangon sebelum seseorang mengubah wujud ku menjadi manusia tak
bertanduk."
"Apakah kau tak ingin
mengantarku ke Pulau Sangon untuk bicara kepada Ratu Remaslega tentang pusaka
itu?!"
Nenek Cintani gelengkan
kepala. "Aku tak bersedia mengantarmu ke Pulau Sangon. Tetapi jika bibi
gurumu; Bidadari Jalang itu, sanggup melepaskan pengaruh sihirnya si Selir
Dewani, dan membuat wujud ku kembali seperti semula, maka tanpa kau pinta aku
akan membawamu ke Pulau Sangon."
"Kau berjanji?!"
Nenek Cintani anggukkan
kepala. "Aku bukan hanya berjanji, tapi bersumpah akan membawamu ke Pulau
Sangon dan membantu segala kesulitanmu. Sebab itu, pertemukan dulu aku dengan
bibi gurumu itu!"
"Baik. Akan kubawa kau ke
Lembah Badai menemui Bibi Guru Bidadari Jalang. Tapi satu hal ingin kutanyakan
dulu padamu, dapatkah seseorang yang telah menjadi patung batu berubah ke wujud
aslinya sebagai manusia biasa?"
Setelah diam berpikir beberapa
saat, Nenek Cintani menjawab, "Seingatku, dulu Ratu Remaslega pernah
bercerita di depan para pengawal dan pejabat istana, bahwa seseorang yang
pernah menjadi patung batu akibat pusaka Tongkat Guntur Bisu, bisa berubah menjadi
manusia kembali. Tapi aku lupa, bagaimana caranya. Hanya sang Ratulah yang
mengetahui hal itu."
Suto Sinting manggut-manggut.
"Satu lagi pertanyaanku; adakah pusaka lain yang kehebatannya serupa
dengan Tongkat Guntur Bisu?!"
"Aku tidak tahu,"
jawab Nenek Cintani dengan tegas. "Yang jelas, aku belum pernah mendengar
ada pusaka lain yang punya kesaktian serupa Tongkat Guntur Bisu.
Dalam hati Pendekar Mabuk
mengalami sedikit perasaan lega. Setidaknya rasa puas terhadap hal-hal yang
kini sudah diketahui. Satu harapan telah tumbuh membara di hati kecil Suto
Sinting, yaitu harapan bertemu dengan Ratu Remaslega untuk menanyakan cara memulihkan
keadaan Merpati Liar dan Angin Betina.
Maka dengan penuh semangat
Pendekar Mabuk membawa Nenek Cintani pergi ke Lembah Badai. Ia pun berharap
bibi gurunya bisa memulihkan keadaan Nenek Cintani agar menjadi manusia utuh
tanpa kaki kuda dan tanduk kambing. Suatu keyakinan tumbuh di hati Pendekar
Mabuk bahwa Bidadari Jalang pasti bisa lakukan hal itu, karena Bidadari Jalang
menguasai ilmu sihir, bahkan pernah dijuluki oleh beberapa orang sebagai Ratu
Sihir Sejagat.
Salah satu contoh ilmu sihir
yang diturunkan kepada Suto Sinting adalah jurus atau ilmu 'Sapta Tinggal',
yang mampu membuat Pendekar Mabuk tampak menjadi kembar tujuh rupa dan
lain-lain gerakan.
Ketika dalam perjalanan menuju
Lembah Badai, tiba-tiba Suto Sinting dan Nenek Cintani temukan sebuah patung
batu dalam bentuk manusia sedang membungkuk bagai menahan rasa sakit di
perutnya. Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah untuk mengamati patung
tersebut dari jarak dekat. Bahkan ia meraba patung yang berdiri di tanah
bercadas keras itu. Sementara itu Nenek Cintani terbengong melompong dengan
hati berkata,
"Kurasa ini bukan patung
biasa."
Lalu, ia pun berucap kata
kepada Suto Sinting, "Patung ini pasti jelmaan dari seseorang yang terkena
sinar biru dari Tongkat Guntur Bisu! Tak mungkin orang membangun patung atau
prasasti di tempat seperti ini."
"Gila!" tiba-tiba
Pendekar Mabuk tersentak kaget. Wajah pun menjadi tegang, langkah mundur
dilakukan Suto Sinting sebanyak tiga tindak.
"Aku mengenali orang
ini!" katanya dengan mata tak berkedip.
"Siapa orang yang menjadi
patung ini?!"
"Kabut Merana, murid dari
sahabat guruku; si Galak Gantung!"
Suto Sinting yakin patung itu
adalah Kabut Merana, gadis yang dulu dikenalnya dalam peristiwa geger
tergantungnya bayi cucu Sultan Renggana. Hati pun menjadi sedih bercampur
berang melihat Kabut Merana menjadi patung berlumut. Padahal dulu Kabut Merana
dan Suto sama-sama nyaris mati di tangan Tulang Naga, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Bayi Pembawa Petaka").
5
PATUNG Kabut Merana tiba-tiba
terancam bahaya. Seberkas sinar merah berbentuk bunga api melesat dari suatu
arah dan menghantam patung tersebut. Pendekar Mabuk bergegas sentakkan kaki dan
tubuhnya melambung di udara melewati kepala patung. Dengan cekatan sekali
bumbung tuaknya dihadangkan sebagai penangkis sinar merah itu.
Duuusss...! Benturan tersebut
membuat sinar merah kembali ke arah semula dalam keadaan lebih besar dan lebih
cepat dari aslinya. Bumbung tuak itu hanya berasap sepintas, keadaannya masih
utuh tanpa hangus dan luka sedikit pun.
Jegaaarr...!
Ledakan dahsyat menggelegar
manakala sinar merah itu temukan sasaran sebongkah batu besar di balik
pepohonan yang jauhnya sekitar tiga puluh langkah dari tempat patung Kabut
Merana berada. Ledakan itu mengguncangkan bumi, nyaris membuat patung itu retak
karena getarannya cukup kuat.
"Apa pun yang terjadi
patung ini jangan sampai hancur, karena kelak aku akan membuatnya berwujud
manusia kembali!" kata Suto Sinting dengan kalimat yang cepat.
Pada saat itu sebatang pohon
mulai berderit. Pohon itu akhirnya tumbang akibat getaran daya ledak tadi.
Sedangkan dari sisi lain muncul lagi sinar merah serupa dengan yang tadi dalam
ukuran yang sama. Pendekar Mabuk sempat kebingungan. sebab pohon yang tumbang
itu hendak menimpa patung Kabut Merana, sedangkan sinar merah itu menuju ke
arahnya dengan cepat.
"Hiaaah...!" Nenek
Cintani sentakkan tangan kirinya ke atas. Tangan itu memancarkan sinar kuning
yang melesat ke arah batang pohon yang sedang bergerak tumbang. Claaap...!
Blegaaar...!
Pohon tersebut hancur menjadi
serpihanserpihan kecil yang menghujani patung dan kepala mereka. Sementara itu,
Suto Sinting tak pedulikan lagi serpihan pohon tersebut. Ia lakukan lompatan ke
depan sambil kibaskan bumbung tuaknya ke arah sinar merah yang menyerangnya.
Wuuuuk...!
Duuusss...! Sinar merah
kembali arah dalam keadaan seperti tadi. Lalu menghantam sebuah pohon besar
yang berjarak lima belas tombak dari tempatnya berdiri.
Jegaaarrr...!
Pohon itu hangus seketika
dengan menyebar kan asap tebal. Ketika asap sirna, pohon itu telah menjadi
seonggok arang keropos. Tetapi dari kepulan asap yang sempat menyebar di
sekeliling pohon, muncul sesosok tubuh yang meloncat dengan gerakan bersalto.
Wuuut...! Kaki orang itu
menjejak pohon lain, lalu melesat lagi dalam gerakan bersalto. Wuuut...! Kini
kaki pun menjejak sebongkah batu tak seberapa besar, desss...! Lalu tubuh pun
melenting ke udara dalam gerakan bersalto dua kali, Wut, wuuut...!
Jleeeg...!
Orang lincah itu akhirnya
mendaratkan kakinya ke tanah di depan Pendekar Mabuk dalam jarak delapan
langkah. Mata Pendekar Mabuk memandang tak berkedip. Ternyata orang itu adalah
lelaki tua berusia sekitar delapan puluh tahun. Rambutnya pan- jang berwarna
putih diikat ke belakang. Jenggotnya pendek, kumisnya lebat, keduanya berwarna
putih rata, ia bermata cekung dan berbadan kurus. Mengenakan pakaian dalam
hitam dilapisi jubah putih tanpa lengan. Tokoh tua itu sangat dikenal oleh
Pendekar Mabuk, namun tidak dikenal oleh Nenek Cintani.
"Ki Galak
Gentung...?!" sapa Suto Sinting dengan nada terheran-heran. Rupanya tokoh
tua itu tak lain adalah Galak Gantung, gurunya Kabut Merana, namun juga sahabat
dari si Gila Tuak.
Pandangan matanya yang tampak
tajam namun berkesan dingin itu membuat Suto Sinting tak habis pikir, mengapa
ia diserang oleh Galak Gantung. Agaknya tokoh tua itu memendam murka kepadanya,
sehingga Suto Sinting pun akhirnya ajukan tanya kepada sahabat gurunya itu.
"Ki Galak Gantung,
mengapa kau menyerangku dan ingin hancurkan patung muridmu ini?!"
Dengan suara datar dan dingin,
Galak Gantung pun menjawab,
"Aku malu melihat muridku
menderita seperti itu. Lebih baik ia hancur binasa daripada menderita sebagai
patung berlumut. Kaulah penyebabnya, dan karena itu kau harus menebus dengan
nyawamu, Suto!"
"Tunggu dulu,
Ki...!" sergah Suto Sinting dengan sedikit gugup, karena ia tak kehendaki
pertarungan melawan tokoh yang dihormati itu.
"Mengapa kau menuduhku
sebagai penyebabnya? Aku baru saja tiba di tempat ini bersama Cintani!"
"Omong kosong!"
sentak Galak Gantung menampakkan kemarahannya. Ia melangkah lebih dekat lagi.
Sambungnya kemudian, "Berita telah tersebar, bahwa Pendekar Mabuk menjadi
pencuri pusaka Tongkat Guntur Bisu yang dapat mencelakai seseorang dengan
mengubah orang itu menjadi patung batu!"
"Itu tidak benar, Ki.
Berita itu bohong!" sela Nenek Cintani yang tadi mengundurkan diri tiga
langkah dari belakang Suto Sinting. Kali ini ia beranikan diri ikut bicara,
karena ia merasa yakin bahwa Suto
Sinting tidak bersalah.
"Aku tak mengenalmu,
Perempuan Rapuh! Kuharap kau jangan ikut campur dalam urusan ini!" gertak
Galak Gantung.
"Tapi apa yang
dikatakannya memang benar, Ki," ujar Suto Sinting masih berusaha untuk
tidak terpancing menjadi marah. "Kau lihat sendiri, aku tidak memegang
Tongkat Guntur Bisu!"
"Kau pikir aku bodoh, tak
bisa mengerti jalan pikiranmu?! Kali ini aku terpaksa bertindak tanpa seizin
gurumu demi membela muridku! Kau telah menyimpang dari jalan arif seorang
pendekar, Suto! Gelarmu itu harus dilepas bersama nyawamu juga! Cukup banyak
korban seperti muridku ini yang sempat kutemukan sepanjang perjalanan
kemari."
Suto Sinting hembuskan napas
penahan kesabaran. Ia sempat melirik Nenek Cintani yang kini ada di samping
kirinya. Sang nenek hanya pandangi Galak Gantung yang melangkah ke samping
bagai mencari kesempatan untuk lakukan serangan ke arah Suto Sinting.
Suara tokoh tua itu terdengar
kembali, "Ketika kudengar kabar bahwa muridku berubah menjadi patung batu
akibat ulah mu, mulanya aku tak mau percaya begitu saja. Tapi setelah kulihat
sendiri bahwa Puspa Jingga, murid Nini Kalong. Juga menjadi patung di kaki
bukit, aku mulai percaya dengan berita tersebut."
"Och... ja... jadi Puspa
Jingga pun mengalami nasib serupa?!" Suto Sinting sangat terkejut, sebab
ia kenal betul dengan Puspa Jingga maupun gurunya; Nini Kalong, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Kipas Dewi Murka").
"Jangan berlagak dungu di
depanku, Suto Sinting. Kulihat sendiri, Tembang Selayang, anak Empu Tapak
Rengat, juga kau celakai hingga menjadi patung berlumut."
"Tembang Selayang?!"
ucap Suto Sinting begitu kagetnya hingga suaranya nyaris tak terdengar. Ia pun
terbayang wajah cantik milik putri Empu Tapak Rengat yang pernah membantunya
dalam perebutan sebuah pusaka juga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Kapak Setan Kubur"),
"Dan tak berapa jauh dari
sini...," sambung Galak Gantung. ".... Kutemukan pula patung batu
berlumut jelmaan dari raga Bulu Sekuntum, anak buah Ratu Dewi Giok dari Tanjung
Samudera."
"Oh, celaka! Bulan
Sekuntum pun menerima nasib seperti itu?!" gumam Suto Sinting seperti
bicara sendiri, sambil benaknya membayangkan wajah Bulan Sekuntum yang cantik,
sekal dan berdada montok, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Keranda Hitam").
Dalam hati Suto Sinting hanya
ada satu kesimpulan, ada orang yang bermaksud ingin melenyapkan dirinya dengan
menyebar fitnah sebagai pencuri Tongkat Guntur Bisu. Tetapi siapa gerangan si
pemfitnah itu, Suto Sinting tak bisa menduga-duga sedikit pun. Tetapi ia punya
firasat akan diburu dan dituntut oleh beberapa tokoh berilmu tinggi, terutama
para guru me- reka yang menjadi korban keganasan Tongkat Guntur Bisu.
Galak Gantung adalah contoh
yang sudah nyata, ia ingin menuntut balas atas musibah yang dialami oleh
muridnya. Pendekar Mabuk mencoba meyakinkan bahwa dirinya tidak bersalah, tapi
agaknya kabar tentang dirinya sebagai pemegang Tongkat Guntur Bisu itu sudah
menyebar dan dipercaya oleh setiap orang. Terbukti Galak Gantung sama sekali
tidak bisa menerima penjelasannya, padahal Galak Gantung tahu bahwa Suto
Sinting adalah murid tokoh sakti beraliran putih yang pantang lakukan pencurian
dan bertindak sekeji itu.
"Sekarang hanya ada dua
pilihan, kau kehilangan nyawa atau aku yang kehilangan nyawa," kata Galak
Gantung. "Hidupku hanya akan penuh dengan rasa malu dan menderita tekanan
batin jika aku tak bisa membunuh orang yang mencelakai muridku! Karena itu aku
tak akan merasa rugi jika toh nanti kau bisa membunuhku, Suto Sinting.
Persahabatan ku dengan gurumu kuanggap sudah tidak ada lagi!"
"Celaka kalau begini
jadinya! Lalu, apa yang harus kulakukan?!" pikir Suto Sinting diliputi
kebimbangan dan keresahan. Baginya bukan soal siapa yang kalah dan menang,
siapa yang mati dan hidup, namun lebih dari itu, tantangan Galak Gantung
merupakan pertarungan yang sia-sia karena kesalah-pahaman. Pendekar Mabuk harus
bisa meluruskan tanpa timbulkan korban nyawa. Tapi jika nyawanya sendiri
terancam, apakah ia akan membiarkan seseorang mencabut nyawanya dengan
seenaknya?
"Keluarkan pusaka Tongkat
Guntur Bisu itu! Aku tak akan mundur menghadapi tongkat itu, Bocah Liar!"
geram Galak Gantung dengan sorot pandangan mata semakin tajam. Pendekar Mabuk
hanya diam tanpa melayani tantangan itu. Tapi ia tetap dalam keadaan siap jika
sewaktu-waktu menerima serangan dari sahabat gurunya itu.
Ia hanya berbisik kepada Nenek
Cintani, "Menjauhlah dan jangan campuri urusan ini!"
"Aku saksi kebenaran mu,
Suto! Aku harus meluruskan kekeliruan itu dengan melawannya!" ucap Nenek
Cintani dengan suara tuanya,
"Ku mohon jangan campuri
dulu urusan ini. Aku akan selesaikan sendiri tanpa ada korban satu pun!"
Nenek Cintani akhirnya sadar
apa keinginan Suto Sinting, maka ia pun segera menepi ke bawah pohon sambil
tetap waspada menjaga keselamatan Suto Sinting dari jarak jauh. Ia tak ingin
kehilangan pemuda tampan itu, karena hanya pemuda tampan itulah satu-satunya
seorang sahabat yang tak pernah menghina dan menyinggung perasaannya. Nenek
Cintani menaruh harap agar persahabatan itu dapat berlangsung kekal,
lebih-lebih ia membutuhkan pertemuan dengan Bidadari Jalang. Mau tak mau ia
harus menjaga agar Suto Sinting bisa tetap hidup dan membawanya ke Lembah
Badai.
Slaaap...! Galak Gantung
bagaikan menghilang lenyap ditelan bumi. Tapi kejap berikut ia sudah muncul di
belakang Suto Sinting dalam jarak tiga langkah. Suaranya terdengar menggumam
besar bernada geram.
"Ku awali pertarungan ini
agar kau merasa terhormat!"
Wuuut...! Hembusan hawa panas
menerjang punggung Suto Sinting. Tetapi sebelum hembusan itu membakar kulit,
Suto Sinting sudah lebih dulu berke- lebat dalam satu sentakan jurus 'Gerak
Siluman' yang juga mirip menghilang lenyap dari pandangan mata lawannya.
Zlaaap...! Tahu-tahu ia sudah
berada di tempat sejauh lima belas langkah dari Galak Gantung. Hawa panas yang
dapat melelehkan baja dari telapak tangan Galak Gantung akhirnya menerpa
sebatang pohon dan pohon itu pun layu seketika, dalam kejap berikutnya berubah
hitam menjadi arang.
"Jangan lari kau, Bocah
Sinting!" gertak Galak Gantung dengan wajah murka.
"Aku tidak lari, karena aku
tidak bersalah, Ki Galak Gantung!" ujar Suto Sinting dari tempatnya. Ia
tetap berdiri tenang dengan kedua kaki sedikit merenggang. Sementara itu, Nenek
Cintani hampir saja lepaskan pukulan tenaga dalamnya karena ia berada di
belakang Galak Gantung. Namun karena tokoh tua itu cepat menghilang dan
tahu-tahu muncul di dekat Suto Sinting maka pukulan itu ditahan dalam
genggaman.
Galak Gantung lepaskan pukulan
berbentuk angin kencang dari kibasan tangan kirinya. Wuuus...! Weeerr...!
Angin kencang datang menerjang
Pendekar Mabuk. Hembusan angin kencang berhawa dingin seperti salju itu datang
tanpa diduga-duga, sehingga Pendekar Mabuk terlempar dalam sentakan keras dan
sempat melayang-layang di udara. Akhirnya tubuh kekar itu membentur pohon dan
jatuh terbanting dengan cukup menyedihkan.
Bruuukk...!
"Uuhhg...!" pekiknya
dengan berat pertanda menahan sakit pada dadanya yang membentur batu sebesar
kepala. Hawa sedingin salju semakin terasa mencekam tulang-belulang Pendekar
Mabuk. Tubuh itu menggigil, darahnya bagai terasa membeku. Sehingga
persendiannya tak dapat dipakai untuk bergerak.
"Gila! Jurus apa ini,
urat-uratku terasa kaku semua dan, ooh... detak jantungku melemah?! Uuh... aku
sukar bernapas!"
Pendekar Mabuk ingin meneguk
tuaknya, tapi tangannya tak mampu mengangkat bumbung tuak.
Sementara itu, Galak Gantung
melangkah mendekatinya dan berhenti dalam jarak sepuluh tombak. Kemudian
seberkas sinar hijau lurus melesat dari kedua jari tangannya yang disentakkan
ke depan. Claaap...!
Saat itulah, Nenek Cintani
melepaskan pukulan tenaga dalamnya yang dari tadi tertahan dalam genggaman.
Pukulan tenaga dalam itu berupa sinar ungu berkelok-kelok melesat ke arah
pertengahan jarak antara Suto Sinting dengan Galak Gantung. Slaaap...!
Blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi akibat
benturan sinar ungunya Nenek Cintani dengan sinar hijaunya Galak Gantung.
Ledakan bergelombang besar itu menghempaskan tubuh Galak Gantung hingga
terpelanting ke belakang dan berguling-guling, sementara tubuh Pendekar Mabuk
sendiri semakin ter-hempas menjauh dan membentur sebongkah batu besar.
Brrukkk...!
"Aaahg...!" pekiknya
keras bersamaan bunyi gemuruh akibat robohnya dua pohon ke arah berlawanan
dengan jatuhnya Suto Sinting.
"Sutooo...!" seru
Nenek Cintani yang suaranya tak sampai didengar oleh Pendekar Mabuk. Kekuatan
teriak sang nenek sangat lemah, sehingga Suto Sinting tak tahu kalau dirinya
sedang dihampiri oleh Nenek Cintani.
Wuuutt...! Tubuh sang nenek
bergerak cepat dalam lompatan berkali-kali. Sekejap saja ia sudah berada di
depan Suto Sinting dan bermaksud membantu Suto untuk berdiri.
Tetapi Galak Gantung sudah
lebih dulu bangkit dan menjadi bertambah murka karena ikut campurnya Nenek
Cintani. Maka dengan mulut bungkam tanpa sepatah kata pun, Galak Gantung
lepaskan pukulan jarak jauh berupa lima sinar merah yang keluar dari kelima
jari. Sinar merah itu melesat bagaikan tali penjerat sukma.
Bertepatan dengan datangnya
lima sinar merah, sekelebat bayangan melintas dengan cepat dari arah kiri Nenek
Cintani. Sepasang tangan tua menyambar tubuh Pendekar Mabuk dan Nenek Cintani.
Bumbung tuak yang masih menggantung di pundak Pendekar Mabuk ikut terbawa pula.
Weeess...! Laaap...! Bleguuurr...!
Lima sinar merah menghantam
tanah dan bumi pun berguncang hebat. Tanah tersebut menjadi amblas ke dalam
membentuk lubang cukup besar. Beberapa pohon tumbang karena akarnya bagai
tersedot ke dalam dan hancur bersama tanah di sekitarnya.
"Keparat...!" geram
Galak Gantung setelah mengetahui serangannya meleset dari sasaran. Matanya yang
memancarkan nafsu untuk membunuh itu mencari di mana Pendekar Mabuk berada.
Ternyata lawan yang dicarinya ada di gugusan tanah cadas yang membukit tak
seberapa tinggi. Pendekar Mabuk terkapar di sana dengan didampingi Nenek
Cintani.
Tetapi yang membuat Galak Gantung
semakin menggeram adalah munculnya seorang tokoh tua berpakaian model biksu
warna abu-abu. Tokoh tua itu agak gemuk dan tidak membawa senjata apa-apa. Ia
berdiri tegak pandangi Galak Gantung dengan kedua tangan bersedekap di dada.
Penampilannya cukup tenang, dan tidak berkesan bermusuhan. Tapi hal itu membuat
kebencian Galak Gantung semakin nyata.
Nenek Cintani mendengar tokoh
tua itu bicara pelan padanya, "Bantu ia meminum tuaknya cepatcepat!"
Tetapi nenek bertanduk itu
justru memandangi tokoh berambut tipis putih dengan jenggot dan kumis yang
putih rata, ia merasa asing dengan sang penyelamat nyawa dari ancaman lima
sinar merah tadi.
"Keparat kau! Apakah kau
ingin ikut mati bersama murid si Gila Tuak itu, hah?!" bentak Galak
Gantung setelah ia bergerak bagai menghilang dan muncul kembali di bawah cadas
yang membukit itu.
"Anak tikus masuk celana,
bertemu kutu langsung disewa. Mengumbar marah apalah guna, lebih baik bicara
sambil tertawa."
Siapa lagi tokoh tua yang
gemar bermain pantun selain Resi Pakar Pantun. Dengan wajah dan senyum
konyolnya, ia biarkan Galak Gantung memandang dengan murka. Galak Gantung
segera mengirimkan pukulan bergelombang yang memancarkan sinar hijau.
Wuuuung...!
Resi Pakar Pantun buru-buru
menangkisnya dengan seberkas sinar kuning lebar yang keluar dari kedua telapak
tangan ketika tangan tersebut disentakkan ke depan. Claaap...!
Zluub...! Sinar hijau
bergelombang itu tiba-tiba padam tanpa suara menggelegar. Bahkan letupan kecil
pun tak terjadi, kecuali kepulan asap putih samarsamar yang membubung tinggi ke
angkasa. "Kau benar-benar memancing hasratku untuk menghancurkanmu, Pakar
Pantun!" seru Galak Gantung bagai lupa siapa dirinya, yang banyak
dipandang sebagai tokoh aliran putih berkharisma tinggi.
Resi Pakar Pantun berkata
pelan kepada Nenek Cintani, "Larilah kalian, biar kuredakan murka si Galak
Gantung ini!"
Setelah itu ia melompat dari
ketinggian tepat si Kadal Ginting muncul di kejauhan sana, tempat Suto Sinting
terkapar tadi. Kadal Ginting ingin lepaskan pukulan jarak jauhnya sebagai sikap
memihak sang majikan, tetapi Resi Pakar Pantun mengangkat satu tangannya
pertanda Kadal Ginting tak diizinkan lakukan tindakan apa pun.
Jleeg...! Kini ia berhadapan
dengan Galak Gantung yang berwajah beringas. Senyum sang Resi masih merupakan
seringai konyol yang memuakkan Galak Gantung.
"Ada sesuatu yang perlu
ku jelaskan padamu, Galak Gantung!"
"Tutup mulutmu dan terima
saja upah mu membela si Bocah sinting itu!"
Wuuut...!
Galak Gantung menghantamkan
salah satu telapak tangannya ke dada Resi Pakar Pantun. Tapi dengan cekatan
sang Resi menahan pukulan itu dengan sentakkan telapak tangannya pula.
Wuuut...!
Plak, blaaarrr...!
Kali ini terdengar kembali
ledakan cukup seru. Ledakan itu membuat keduanya sama-sama terpental ke
belakang, berjungkir balik tak karuan. Dua tenaga sakti diadu dan hasilnya
cukup menyedihkan bagi keduanya. Dari hidung dan telinga mereka mengalir darah
segar sebagai tanda sama-sama luka bagian da- lamnya.
Nenek Cintani sudah berhasil
membantu Suto Sinting meminum tuak. Keadaan Pendekar Mabuk pun menjadi segar
kembali. Ketika ia ingin membantu Resi Pakar Pantun, tiba-tiba tangan kurus
bagai tulang dibungkus kulit itu mencekal pundaknya.
Nenek Cintani menahan gerakan
Suto Sinting sambil berkata,
"Pak Tua itu menyuruh
kita lari, dia akan meredakan kemarahan lawanmu!"
Pendekar Mabuk diam sejenak
mempertimbangkan anjuran tersebut. Hatinya pun segera membatin,
"Demi menghindari korban
salah satu antara aku atau Galak Gantung, memang sebaiknya aku segera pergi dan
tidak melayani kemarahannya yang salah paham itu!"
Maka, bersama Nenek Cintani
yang mampu bergerak cepat walau tak bisa imbangi jurus 'Gerak Siluman', mereka
berdua melesat tinggalkan gugusan cadas yang membukit, sementara Resi Pakar
Pantun dan Galak Gantung sama-sama sedang menyalurkan hawa murni untuk
mengobati luka dalam mereka.
6
UNTUK menyingkat waktu agar
segera tiba di Lembah Badai, Suto pun memotong jalan melalui perbukitan. Namun
baru satu bukit yang didaki oleh mereka, ternyata perjalanan mereka sudah
menemui hambatan.
Sekelebat bayangan datang
menyambar Pendekar Mabuk dari arah samping. Kehadiran bayangan yang berkelebat
itu sama sekali tidak diduga-duga oleh Suto Sinting. Akibatnya, ia terpental
karena terjangan yang cukup keras dan cepat. Bruuusss...!
"Aaaahg...!"
"Auuuh! Sutoo...?!"
Nenek Cintani terpekik karena dagunya tersodok bambu tuak tanpa disengaja.
Akibatnya sang nenek pun ikut terpental dan berguling-guling di tanah.
Terjangan itu membuat pelipis
Suto Sinting bagaikan ditendang kuat-kuat. Kepalanya menjadi sakit dan
pandangan matanya kabur. Sesosok bayangan yang berdiri di depannya pada saat ia
merangkak ingin bangkit, ternyata tak bisa dipandang dengan jelas.
Tulang-tulangnya bagaikan patah semua, hingga terasa sakit sekali ketika
dipakai untuk berdiri.
Wuuk, crass...
"Aaaah...!" Suto
Sinting terpekik keras karena lengannya menjadi koyak. Yang dirasakan hanyalah
gerakan cepat berhawa dingin mendekati lehernya. Firasatnya mengatakan ada
senjata yang sedang menghampiri leher, karenanya Suto Sinting berusaha
menghindari dengan cara mundur selangkah dan meliukkan badan ke samping. Tetapi
benda itu ternyata masih sempat merobek daging lengannya hingga terluka bakar.
Perihnya bukan kepalang tanggung, pertanda senjata tajam yang merobek kulitnya
itu mengandung racun.
Dalam keadaan pandangan mata
masih buram, Suto Sinting merasakan panas di sekujur tubuhnya. Bahkan
urat-uratnya yang kekar menjadi lunak dan mengalami kesukaran saat ingin
digerakkan.
"Celaka! Aku terkena
racun pada senjata itu!" pikirnya, maka dengan sisa tenaga ia sentakkan
kaki dan tubuhnya pun melesat naik, lalu dengan sekuat tenaga ia berusaha
bersalto ke belakang hindari serangan berikutnya.
Wuk, wuk, wuk, wuuusss...!
"Sepertinya lawanku kali
ini bersenjata pedang panjang," kata Suto Sinting dalam hati. Gerakan
pedang yang menebas ke sana-sini diterima pendengaran dengan jelas. Pendekar
Mabuk semakin mundur sambil menunggu pulihnya pandangan mata.
Trang, trang, wuuus...! Trang,
trang, trang...!
Suara pedang beradu. Ini
menandakan adanya perlawanan dari Nenek Cintani yang juga bersenjata pedang.
Kesempatan itu buru-buru digunakan oleh Pendekar Mabuk untuk meminum tuaknya.
Dengan susah payah akhirnya ia berhasil menenggak tuak walau tercecer ke mana-mana.
Tetapi keadaan tubuhnya menjadi segar kembali setelah beberapa saat menenggak
tuak. Pandangan matanya pun mulai jelas kembali.
"Kurang ajar! Siapa orang
itu?!" geramnya dalam hati saat sudah mampu memandang lawannya. Saat itu
sang lawan sedang mengadu jurus pedangnya dengan Nenek Cintani. Suto Sinting
sempat terpukau melihat Nenek Cintani masih lincah dalam bermain jurus pedang.
Bahkan beberapa kali lawannya tampak terdesak mundur dan terkena tendangan kaki
atau pukulan tangan kirinya.
Beg, beg, beg...!
Pukulan beruntun yang amat
cepat dari telapak tangan kiri Nenek Cintani itu mendarat telak di dada seorang
pemuda yang sibuk memainkan pedangnya. Pendekar Mabuk merasa baru kali itu
melihat wajah si pemuda berbaju tanpa lengan warna putih. Rupanya pemuda tampan
bertato seekor burung elang di punggung telapak tangan kanannya itulah yang
menerjang- nya secara tiba-tiba.
"Siapa orang itu? Aku
merasa tak pernah jumpa dengannya sebelum ini. Tapi mengapa ia menyerangku
dengan ganas?!"
Pemuda tersebut tak lain
adalah Si Elang Samudera yang mengenakan sepasang gelang kulit warna loreng
hitam-putih.
Pada satu kesempatan, Nenek
Cintani tertipu oleh gerakan pedang Elang Samudera. Tubuhnya ikut miring ke
kanan, tidak tahunya kaki kiri Elang Samudera maju menendangnya dengan
tendangan setengah lingkaran. Wuuus...! Ploook...!
"Auuh...!" Nenek
Cintani terlempar ke samping, pipinya terkena tendangan dari arah samping. Ia
terjungkal dan berguling di tanah. Dalam sekejap sudah mampu bangkit kembali,
sedangkan Elang Samudera mendesak dengan serangan berbahaya. Pedangnya menebas
cepat dan sangat cepat. Nyaris tak mampu dilihat gerakan pedangnya itu.
Wuuut...! Traaang...!
Untung Nenek Cintani masih
mampu menangkisnya. Jika tidak, maka dada perempuan tua renta itu akan terbelah
menjadi dua bagian. Sayangnya, ketika pedang Nenek Cintani berhasil menahan
tebasan pedang lawan, tahu-tahu dadanya menjadi sakit dan tubuhnya melayang ke
belakang. Sebuah tendangan kaki lurus telah dilancarkan oleh Elang Samudera dan
tepat kenal ulu hati perempuan tua itu.
Duugh...!
"Oohhg...!"
Elang Samudera membiarkan
tubuh nenek bertanduk itu jatuh delapan langkah ke belakang. Pedang pemuda
tampan itu disentakkan ke langit. Ujung pedang menjadi menyala merah bara bagai
besi terpanggang api. Warna merah yang tidak sampai separuh ba- gian mata
pedang itu melesat dengan sendirinya ke arah Nenek Cintani. Claaapp...!
Padahal waktu itu keadaan
Nenek Cintani belum siap menerima serangan kembali. Sinar merah itu hampir saja
menghantam dada Nenek Cintani.
Zlaaap...! Suto Sinting
berkelebat menghadang sinar merah tersebut. Bumbung tuaknya digunakan menangkis
sinar itu. Deess...! Blaaar...! Ledakan cukup dahsyat pun menggema ke
mana-mana.
"Gila! Sinar merah itu
meledak begitu menyentuh bumbung tuakku. Berarti tenaga dalam yang digunakan
pemuda itu cukup tinggi. Jika tidak, maka sinar merah itu akan berbalik ke arah
pemiliknya seperti biasanya. Gila betul! Aku jadi penasaran ingin menghadapinya
hingga tuntas!" pikir Pendekar Mabuk sambil bersiap menghadapi serangan
berikutnya. Matanya sempat melirik sekejap ke arah Nenek Cintani, ternyata
perempuan bertanduk itu memuntahkan darah kental yang cukup membahayakan
jiwanya. Tapi Pendekar Mabuk tak punya waktu untuk mengobati sang nenek.
Akhirnya ia berikan bumbung itu sambil berkata,
"Minum tuak dulu, dan
kupinjam pedangmu!" Wuuut...! Suto Sinting menyambar pedang Ne-
nek Cintani, sedangkan bumbung
tuaknya ditinggalkan agar tuak bisa diminum sendiri oleh sang nenek. Dengan
satu sentakan kaki ke tanah, Pendekar Mabuk sudah berada di depan Elang
Samudera sambil menggenggam pedang di tangan, kanannya.
"Rupanya kau sangat ingin
berhadapan denganku, Sobat!" ujar Suto Sinting menampakkan ketenangan
sikapnya,
Elang Samudera kelihatan lebih
sinis. Pandangan matanya cukup tajam dan tanpa senyum sedikit- pun
"Serahkan pusaka itu atau
kita lanjutkan per-
tarungan kita ini?!"
ancam Elang Samudera bernada dingin.
tipis. Pendekar Mabuk
justru sunggingkan senyum
"Pusaka apa
maksudmu? Tongkat Guntur Bi- su?! Hmmm...!" senyum sinis
Pendekar Mabuk kian melebar.
"Aku tak punya banyak
waktu untuk bicara denganmu!"
"Lalu apa maumu, Sobat?!
Kalau saja aku mempunyai pusaka itu pasti sudah kuserahkan padamu, sebab aku
bukan orang yang gemar cari penyakit." "Mengapa tidak segera kau
berikan sekarang
juga?!"
"Karena aku tidak
memiliki pusaka itu! Kau sa-
lah paham, Kawan. Tapi jika
kau memaksaku harus memilih, maka aku akan memilih bertarung denganmu demi
membuktikan kebenaran pengakuan ku!"
Elang Samudera menggeram,
"Aku tak butuh kebenaran mu lagi. Yang kubutuhkan adalah kepalamu untuk
memperistri Ratu Remaslega. Hiaaah...!"
Wuuut, wweesss...!
Elang Samudera menerjang
dengan satu lompatan cepat sekali. Pedangnya berkelebat menebas dari samping,
sasaran utamanya adalah memenggal leher Suto Sinting. Namun dengan tangkas
Pendekar Mabuk yang pernah belajar jurus-jurus pedang dari tokoh jago pedang
kesohor yang bernama Ki Argapura itu, segera berkelit dengan badan meliuk bagai
orang mabuk ingin tumbang. Tapi pedangnya cepat disentakkan ke arah samping
hingga membentur tebasan pedang Elang Samudera. Traaang...!
Bunga api memercik dari
perpaduan pedang tersebut. Gerakan itu membuat mereka saling beradu punggung.
Elang Samudera segera melipat pedangnya ke belakang dan ditusukkan tanpa harus
berpaling lebih dulu. Wuuuut...! Pendekar Mabuk paham betul dengan jurus
seperti itu, sehingga ia sudah persiapkan diri untuk lakukan satu sentakan kaki
dan tubuhnya pun melesat naik melebihi kepala Elang Samudera. Suuut...!
Di udara, tiba-tiba tubuh Suto
Sinting berjungkir balik. Dalam keadaan menukik itulah pedang ditebaskan bagai
ingin membelah kepala Elang Samudera. Wuuuut...
Trang...! Elang Samudera
rendahkan badan dengan pedang menyilang di atas kepala. Serangan pedang Pendekar
Mabuk pun tertangkis oleh pedangnya hingga memercikkan bunga api kembali.
Namun di luar dugaan, keadaan
Suto Sinting yang berjungkir balik itu bukan saja untuk menebaskan pedangnya,
tapi juga melakukan tendangan ke belakang dengan kerasnya. Wuuut...! Duuuhg...!
"Aaahg...!" Elang
Samudera terpental ke depan dan berguling-guling di tanah. Tendangan Suto
Sinting tepat mengenal belakang kepalanya. Tendangan bertenaga dalam itu
membuat darah mengucur dari hidung dan telinga Elang Samudera.
"Edan! Jurus pedangnya
sukar kuduga arahnya!" geram Elang Samudera dalam hatinya. "Agaknya
ia lebih menguasai jurus pedang ketimbang diriku."
Sementara itu, Nenek Cintani
pun membatin, "Tak kusangka Suto punya jurus pedang yang cukup hebat!
Gerakan itu belum pernah kulihat sebelumnya, dan aku yakin perpaduan pedang
dengan kakinya tak mungkin bisa dihindari oleh lawan mana pun." Pendekar
Mabuk sengaja tidak mendesak la-
wannya dengan serangan
berikut. Ia justru berdiri dengan tegak dan menampakkan kegagahan serta keperkasaannya.
Tetapi di wajahnya masih terpancar senyum ketenangan yang berkesan santai,
seakan tak punya minat untuk menumbangkan lawan lebih parah lagi. Elang
Samudera dibiarkan bangkit berdiri dan mempersiapkan diri kembali.
"Masih tak mau percaya
dengan kejujuran ku?!" ujar Suto Sinting setengah menantang. Hati Elang
Samudera menjadi semakin panas.
"Jangan bangga dulu
dengan jurus pedangmu.
Coba hadapi jurus 'Badai
Pedang'-ku ini! Hiaaaah...!" Tubuh Elang Samudera tiba-tiba memutar ba-
gaikan gangsing. Gerakan
pedangnya begitu cepat hingga menimbulkan suara mendengung. Sementara itu,
Pendekar Mabuk diam di tempat dengan pedang dipegang dua tangan. Jurus 'Pedang
Batu' segera digunakan.
Weees...! Wung, wung, wung,
wung...!
Begitu tubuh yang memutar
cepat itu berada dalam jarak satu jangkauan, tiba-tiba Suto Sinting memutar
tubuh satu kali dengan tebasan pedang yang sama sekali tak bisa dilihat oleh
siapa pun. Slaaap...!
Trraang...! Weeesss...!
Nenek Cintani tak sempat
berkedip, namun hatinya membatin, "Apa yang dilakukan Suto? Mengapa ia
diam saja dan tiba-tiba pedang lawannya terpental sejauh itu?"
Elang Samudera hentikan
gerakan putarnya. Seet...! Tiba-tiba kaki Suto Sinting menendang dalam gerakan
memutar satu kali. Weees...! Ploook...!
"Uuuhg...!" Elang
Samudera terpental dan sebe- lum jatuh tubuhnya sudah membentur pohon di
belakangnya. Beeehg...!
Zlaaap...! Tiba-tiba Suto
Sinting sudah ada di depannya dengan pedang diacungkan menggunakan satu tangan.
Ujung pedang menempel di tengah leher Elang Samudera, membuat kepala Elang
Samudera tak bisa bergerak karena takut tergores pedang. Tubuh Elang Samudera
berdiri dengan gemetar merapat dengan pohon. Nafasnya yang semestinya
ngos-ngosan menjadi tertahan dan dihembuskan pelan-pelan. Matanya mendelik
dengan mulut ternganga tegang.
"Ucapkan selamat tinggal
kepada matahari sekarang juga. Cepat!" hardik Suto Sinting dengan suara
sedikit menggeram.
Keringat dingin Elang Samudera
keluar semua, padahal ancaman itu hanya sebuah gertakan belaka. Tapi Elang
Samudera menganggapnya suatu kesungguhan yang mengancam jiwanya.
"Sedikit nafasmu
menyentak, pedang ini terbenam di lehermu!"
Elang Samudera semakin tegang,
bibirnya tampak gemetar. Nenek Cintani mendekat sambil membawakan bumbung tuak.
"Habisi saja dia sekarang
juga! Jangan beri kesempatan lebih lama dari dua helaan napas!" kata Nenek
Cintani menambah ciut nyali Elang Samudera. Padahal Nenek Cintani pun hanya
memperkuat gertakan Suto Sinting, sebab ia yakin Suto Sinting tak akan mau
membunuh lawannya dengan begitu saja tanpa mengetahui banyak hal tentang
tuduhan terhadapnya.
"Ak... aku mengaku
kalah," ucap Elang Samudera dengan gemetar, tapi terpancar jiwa
kesatriaannya melalui pengakuan itu.
Ternyata ada pihak lain yang
menganggap an- caman pedang Suto itu sudah kesungguhan. Pihak lain itu adalah Resi Pakar Pantun yang
sengaja mencari Suto. Ia datang bukan saja bersama pelayannya; Kadal Ginting,
melainkan juga bersama Galak Gantung.
"Tahan murkamu,
Suto!" seru Resi Pakar Pantun sambil setengah berlari mendekati Pendekar
Mabuk. Kehadiran mereka hanya dipandang sepintas oleh Suto Sinting, setelah itu
matanya tertuju tajam ke arah mata Elang Samudera.
Agaknya kemarahan Galak
Gantung sudah dapat dijinakkan oleh Resi Pakar Pantun. Terbukti suaranya segera
menimpali kata-kata Resi Pakar Pantun.
"Kurasa memang ada
sesuatu yang harus diluruskan, Suto. Tariklah pedangmu sebentar."
"Dia mempunyai tuduhan
terhadap Suto sama seperti tuduhanmu, Ki!" kata Nenek Cintani setelah
Pendekar Mabuk kelihatan masih enggan bicara.
"Aak... aku... aku minta
maaf jika tuduhan itu tak benar," ujar Elang Samudera dengan suara pelan,
karena jika ia gunakan suara agak keras, ia khawatir sentakan nafasnya membuat
lehernya tertembus ujung pedang yang runcing itu.
Pendekar Mabuk masih pandangi
wajah Elang Samudera yang pucat berkeringat. Kian lama wajah Suto Sinting
sendiri sunggingkan senyum tipis, kemudian ia segera menarik pedangnya sambil
melebarkan senyum. Elang Samudera hembuskan napas kelegaan. Pedang pun
dilemparkan ke arah Nenek Cintani. Taab...! Sang nenek sangat terampil
menangkap pedang itu. Bumbung tuak segera diminta, dan Suto Sinting pun
menenggak tuak itu tiga teguk.
"Elang Samudera,"
sapa Resi Pakar Pantun. "Sejak kau ingin tinggalkan kedai di desa itu, aku
su- dah mengatakan padamu, bahwa kau tak akan mampu kalahkan Pendekar Mabuk.
Sekarang apa yang kukatakan itu terbukti, bukan?!"
"Benar. Aku mengakui
keunggulan ilmu pedangnya," jawab Elang Samudera dengan kepala tertunduk
sedikit.
"Dan sudah kukatakan pula,
bahwa Pendekar Mabuk tak mungkin mencuri pusaka itu. Mengapa kau masih tak
percaya?"
"Karena aku memperoleh
keterangan dari orang penting di Pulau Sangon. Aku percaya keterangan itu tidak
mungkin palsu. Dia mengatakan bahwa Tongkat Guntur Bisu dicuri oleh Pendekar
Mabuk. Barang siapa bisa mengambil kembali pusaka itu atau membawa pulang
penggalan kepala Pendekar Mabuk, jika lelaki boleh menjadi suami Ratu
Remaslega, jika perempuan berhak menjadi pewaris kekayaan sang Ratu. Maka aku
pun berminat untuk memburu Pendekar Mabuk."
"Siapa orang yang bicara
begitu padamu?" tanya Galak Gantung,
"Perwira Pulau Sangon
yang bernama Dewi Cin-
tani!"
"Hah...?!" Nenek
Cintani terkejut dengan mata
melebar memandang ke arah Suto
Sinting, sedangkan Suto Sinting pun menatap Nenek Cintani dengan tajam.
7
RESI Pakar Pantun dan Galak
Gantung belum tahu siapa Nenek Cintani itu. Rasa heran pun timbul di wajah dua
tokoh tua itu ketika Suto Sinting beradu pandang dengan Nenek Cintani setelah
mendengar ke- terangan dari Elang Samudera.
Nenek Cintani akhirnya berkata
dengan geram kemarahan kepada Elang Samudera, "Kau jangan menyebar fitnah
lebih parah dari yang sudah-sudah! Bisa-bisa kurobek habis mulutmu yang lancang
itu, Setan Licik!"
"Apa maksudmu mengancam
begitu?!" ujar Elang Samudera. "Aku tidak memfitnah mu, Nenek Peot!
Aku memang mendapat perintah memburu Pendekar Mabuk bersama tongkat pusaka
curiannya itu dari Perwira Pulau Sangon "
"Akulah Perwira Pulau
Sangon!" sahut Nenek Cintani dengan suara membentak.
"Tidak! Kau bukan Perwira
Pulau Sangon!"
"Aku datang dari Pulau
Sangon! Aku dipercaya oleh Ratu Remaslega untuk berada paling depan dari semua
prajurit Pulau Sangon! Akulah perwira mereka!"
Elang Samudera tetap gelengkan
kepala, tapi suaranya tidak sekeras tadi.
"Tidak. Perwira Pulau
Sangon adalah wanita berparas cantik dan pemberani."
"Keparat kau!" geram
Nenek Cintani sambil mengangkat pedangnya. Elang Samudera mundur selangkah dan
memasang kuda-kuda walau tanpa pedang.
Pendekar Mabuk rentangkan
tangan di depan Nenek Cintani pertanda menahan gerakan sang nenek. Dari wajah
dan nafasnya yang memburu, Pendekar Mabuk tahu bahwa Nenek Cintani menjadi
berang karena tidak diakui sebagai Perwira Pulau Sangon. Sementara itu, di
samping Suto Sinting, dua tokoh tua itu sama-sama diam dan memandangi Nenek
Cintani serta Elang Samudera secara bergantian.
"Sarungkan pedangmu,
Cintani," perintah Suto Sinting dengan suara pelan namun berkesan tegas.
"Dia menghinaku, Suto!"
"Tidak. Ini bukan
semata-mata penghinaan, tapi ada sesuatu yang tak beres, perlu dibicarakan
dengan kepala dingin, Cintani."
"Aku Perwira Pulau
Sangon. Aku yang bernama Nenek Cintani. Tapi aku tidak pernah bicara pada siapa
pun tentang hilangnya pusaka itu, dan aku tidak pernah menyuruh siapa pun untuk
memburu Pendekar Mabuk!" Nenek Cintani tampak ngotot sekali.
Galak Gantung segera maju
selangkah dan berkata kepada Elang Samudera.
"Sebenarnya, siapa
dirimu, Anak Muda?!" "Seperti yang sudah kau dengar, Pak Tua....
Aku adalah Elang Samudera dari
Teluk Merah. Aku diperintahkan oleh guruku untuk datang ke Pulau Sangon menemui
Ratu Remaslega."
"Dengan alasan apa gurumu
menyuruhmu menemui Ratu Remaslega?" tanya Resi Pakar Pantun yang belum
pernah mendengar pengakuan tersebut.
"Guru menyuruhku mengabdi
kepada Ratu Remaslega untuk memperkuat pertahanan di pulau itu. Perintah Guru
selalu tak berani ku bantah. Tetapi ketika aku bertatap muka dengan Ratu
Remaslega, sang Ratu dalam keadaan murung dan tak mau bicara. Kemudian seorang
pengawalnya menyarankan agar aku mau menunda pertemuanku dengan sang Ratu
karena sang Ratu dalam keadaan sedang berduka. Kutanya kepada pengawal itu
penyebab duka sang Ratu, namun aku tak mendapat jawaban yang sebenarnya. Aku
terpaksa pulang kembali ke Teluk Merah mengabarkan hal itu kepada Guru. Tetapi
di perjalanan aku disusul oleh seorang wanita cantik penunggang kuda putih. Dia
adalah Perwira Pulau Sangon." "Aku tidak pernah naik kuda
putih!" sahut Nenek Cintani dengan berang.
"Ssstt...! Dengarkan dulu
semuanya," kata Galak Gantung. "Teruskan ceritamu, Elang
Samudera."
Elang Samudera mengangguk
penuh hormat kepada tokoh tua itu. Kemudian ia melanjutkan ceritanya dengan
suara jelas.
"Menurut keterangan
penunggang kuda putih itu, rakyat Pulau Sangon sedang dilanda duka karena
pusaka Tongkat Guntur Bisu milik sang Ratu dicuri orang. Pencurinya adalah
Pendekar Mabuk. Perwira Pulau Sangon itu berkata kepadaku, bahwa sang Ratu baru
saja membuka sayembara; barang siapa bisa merebut kembali pusaka Tongkat Guntur
Bisu, akan mendapat hadiah istimewa dari beliau. Barang siapa bisa memenggal
kepala Pendekar Mabuk, berhak menjadi suami sang Ratu dan segala permintaannya
akan dituruti oleh sang Ratu. Maka aku pun segera pergi mencari Pendekar Mabuk
untuk memenggal kepalanya, sebab terus terang saja, aku kagum kepada kecantikan
Ratu Remaslega. Aku terpikat pada pandangan pertama."
"Siapa gurumu sebenarnya?
Saat di kedai kemarin kau belum menjawab pertanyaanku, Elang Samudera,"
kata Resi Pakar Pantun setelah menarik napas dalam-dalam.
Tetapi Galak Gantung segera
bicara kepada Resi Pakar Pantun, "Kalau benar dia berasal dari Teluk
Merah, maka aku dapat pastikan bahwa ia adalah murid dari Pendeta Darah Api,
pamannya Ratu Remaslega."
"Memang benar, Pak Tua.
Aku adalah murid Pendeta Darah Api!" ujar Elang Samudera membenarkan
pendapat Galak Gantung dengan ketegasan dan rasa bangga yang terpancar di
wajahnya.
"Kalau begitu," sela
Nenek Cintani. "Kaukah yang bernama Adhiyaksa?"
"Ya, namaku sebenarnya
memang Adhiyaksa!" Nenek bertanduk itu segera bangun dan tun-
dukkan kepala. Ia tak berani
memandang Elang Samudera, seperti ada sesuatu yang disembunyikan dan membuat
hatinya menjadi sedih. Mungkin sang nenek malu dengan keadaan dirinya yang
separuh hewan itu, tapi mungkin juga karena ada penyebab lain. Maka Suto
Sinting pun segera mendekatinya dan ajukan tanya dengan suara pelan, namun bisa
didengar oleh yang lain.
"Apakah kau kenal
dengannya, Nenek Cinta-
ni?!"
Setelah membiarkan pertanyaan
itu sesaat, Ne-
nek Cintani pun palingkan
wajah kembali, menatap Elang Samudera dengan bola mata berkaca-kaca pertanda
menahan tangis.
"Adhiyaksa sejak usia
delapan tahun dititipkan kepada Pendeta Darah Api, sedangkan aku dititipkan
kepada Pendeta Kembang Ayu, yaitu adik perempuan Pendeta Darah Api. Maka
jadilah aku sebagai murid Pendeta Kembang Ayu yang sekarang menjadi penasihat
Ratu Remaslega."
"Dari mana kau tahu kalau
aku sejak usia delapan tahun ikut dengan Guru Pendeta Darah Api?"
"Karena..: karena kau
sebenarnya adalah adikku, Adhiyaksa...!"
"Hahhh...?!"
Elang Samudera terkejut, Nenek
Cintani tak tahan memendam keharuan, maka ia pun segera tundukkan kepala dan
menitikkan air mata. Mereka yang lain saling pandang dengan mulut terkunci
sesaat, termasuk si Kadal Ginting yang mengikuti percakapan itu dari bawah
pohon.
Elang Samudera berkata,
"Guru memang mengatakan, bahwa aku akan menemukan sesuatu yang amat
berharga di Pulau Sangon nanti, yaitu seorang kakak yang selama ini berpisah
dariku. Tetapi ketika aku datang ke istana Pulau Sangon, aku lupa dengan kata-kata
Guru, sebab yang terbayang lekat dalam benakku adalah wajah Ratu Remaslega.
Tapi... tapi apakah benar kau kakakku? Setua inikah kakakku?"
Nenek Cintani segera mundur
menjauhi Elang Samudera. "Tidak...! Aku... aku salah ucap. Aku bukan
kakakmu! Kau tidak mempunyai kakak manusia separuh hewan seperti ini! Tidak,
Adhiyaksa... aku bukan kakakmu. Kakakmu masih ada di Pulau Sangon sebagai
prajurit unggulan!"
Elang Samudera terpaku di
tempat dalam kebimbangan. Nenek Cintani melangkah mundur sambil tampakkan
tangisnya dan memandangi Elang Samudera. Suto Sinting segera berkata kepada
Elang Samudera,
"Barangkali dia memang
kakakmu, tapi karena dia terkena pengaruh sihir lawannya, maka tampak seperti
manusia separuh hewan."
Elang Samudera pun akhirnya berseru,
"Ka-
kak...!"
"Tidak! Kau bukan adikku,
dan aku bukan ka-
kakmu! Selamat tinggal,
Adhiyaksa...!" Weees...! "Kakaaaaak...!" teriak Elang Samudera
menge-
jar Nenek Cintani yang segera
larikan diri.
Tetapi pelarian itu segera
terhenti karena dari arah depan Nenek Cintani muncul seorang gadis berpakaian
serba kuning dengan langkah terhuyunghuyung. Gadis itu tampak terluka parah
pada bagian perut dan dadanya. Darah mengucur membasahi bagian depan tubuh
langsing itu.
Nenek Cintani terperanjat
kaget dan berseru menyapa, "Puri Lanjar...?! Oh, kaukah itu, Puri
Lanjar...?!"
"Uuhgg...!" gadis
terluka parah itu akhirnya roboh ke depan tak mampu menahan diri untuk tetap
berdiri. Nenek Cintani segera menghampirinya dengan tegang. Elang Samudera tiba
di tempat itu, namun perhatiannya sudah beralih kepada Puri Lanjar. Suto
Sinting dan yang lainnya segera ikut menghampiri gadis yang terluka.
"Siapa gadis ini,
Cintani?!" tanya Pendekar Ma-
buk.
"Puri Lanjar, orang kedua
setelah diriku, pen-
gawal samping Ratu
Remaslega!" jawab Nenek Cintani dengan suara berkesan panik.
"Puri Lanjar, apa yang
terjadi pada dirimu ini?!
Mengapa sampai begini, Puri
Lanjar?!"
Gadis berwajah sepucat mayat
itu berusaha bicara dalam pangkuan Nenek Cintani. Mulutnya bergerak-gerak, tampak
sulit melontarkan kata.
"Aku Dewi Cintani...
percayalah, aku perwiramu. Katakan apa yang terjadi, Puri Lanjar?!" desak
nenek bertanduk itu.
"Selir Dewani "
"Ada apa dengan si
keparat itu?! Lekas bicara padaku, Puri Lanjar!"
"Aku... aku diutus menangkap
Selir Dewani, karena dia... dia mencuri pusaka Tongkat Guntur Bisu, tapi...
tapi... aku terluka olehnya dan... dan "
"Biar kuberi minum tuak
dulu," kata Suto Sinting sedikit mendesak. Nenek Cintani bergeser sedikit
memberi tempat untuk Suto Sinting yang ingin menu- angkan tuaknya. Tetapi baru
saja tutup bumbung tuak itu dibuka, ternyata Puri Lanjar telah menghembuskan
napas terakhir dan tak mungkin bisa terselamatkan lagi jiwanya oleh tuak Suto
itu.
"Puri
Lanjaaarrr...!" teriak Nenek Cintani dengan suara tuanya yang serak hingga
akhirnya ia terbatuk-batuk dalam tangis.
"Keparat kau, Selir
Dewani...!"
Pendekar Mabuk tampak kecewa
sekali, ia terlambat memberikan tuaknya kepada gadis yang terluka itu. Tetapi
sang Resi segera berbisik kepada Suto Sinting sambil menepuk punggung pemuda
tampan itu,
"Memang sudah takdirnya
ia harus tiada, tak mungkin bisa tertolong oleh tuakmu."
Galak Gantung menimpali dengan
persoalan lain, "Kalau begitu, pencuri pusaka Tongkat Guntur Bisu adalah
Selir Dewani! Bukan kau, Suto!"
Elang Samudera berkata,
"Jika begitu, orang yang menemuiku di perjalanan dan mengaku sebagai
Perwira Pulau Sangon itu adalah Selir Dewani?!"
"Mungkin saja begitu. Apa
susahnya mengaku sebagai perwira dan mengaku bernama Dewi Cintani?!" jawab
Resi Pakar Pantun.
"Tapi mengapa ia
menyuruhku memenggal kepala Pendekar Mabuk? Apakah...." Elang Samudera
memandang Suto Sinting dan lanjutkan kata-katanya, ".... Apakah Selir
Dewani adalah musuh bebuyutan mu, Pendekar Mabuk?"
Murid sinting si Gila Tuak itu
justru gelengkan kepala dengan dahi berkerut. Ia tampak bingung, dan akhirnya
suaranya yang pelan terdengar berkata,
"Aku malah tidak kenal
dengan Selir Dewani. Jangankan bertemu orangnya, mendengar namanya saja baru
kali ini. Maksudku, baru dalam peristiwa ini. Sebelumnya aku tak pernah
mendengar nama Selir Dewani"
"Aneh!" gumam Resi
Pakar Pantun.
Ketika si Galak Gantung mau
bicara, tiba-tiba niatnya dibatalkan karena mendengar suara derap langkah kaki
kuda menuju ke arah mereka. Tak berapa lama kemudian muncul seekor kuda putih
yang menjadi pusat perhatian Suto Sinting dan yang lainnya. Di atas kuda putih
itu tampak seraut wajah cantik berhidung mancung dan bermata indah namun
berkesan jalang. Perempuan penunggang kuda putih itu mengenakan jubah lengan
panjang warna biru muda dengan rambut disanggul rapi berlilitkan logam emas
pelapis bebatuan permata. Perempuan cantik berdada montok itu diperkirakan oleh
mereka berusia sekitar dua puluh tujuh tahun.
Melihat perempuan yang
menyandang pedang di punggungnya, Elang Samudera segera berseru sambil
menudingkan tangannya kuat-kuat.
"Itu dia orangnya! Dia
yang mengaku bernama Dewi Cintani dan sebagai Perwira Pulau Sangon!"
"Keparat busuk kau, Selir
Dewani...!" teriak Nenek Cintani sambil berkelebat menerjang perempuan
yang masih berada di atas punggung kuda.
Weeesss...! Gerakan sang nenek
begitu cepat hingga mengejutkan Galak Gantung dan Resi Pakar Pantun yang
dilalui bagian depannya. Tubuh sang nenek melambung tinggi dengan kaki terarah
ke wajah Selir Dewani.
Wuuut...! Selir Dewani hanya
mengangkat tangan dan membuka telapak tangannya ke depan. Tibatiba tubuh nenek
kurus kering itu terpental dengan sendirinya sebelum kakinya menyentuh tubuh
Selir Dewani. Nenek itu membalik arah bagai dilemparkan tenaga yang cukup kuat.
Weeerrr...! Brruk...!
"Aaauhg..,!" Nenek
Cintani mengerang kesakitan, seluruh tulangnya bagaikan remuk. Ia jatuh tepat
di tanah depan Elang Samudera yang sedang memungut pedangnya. Pedang itu tadi
terlempar saat lakukan pertarungan dengan Suto Sinting.
"Kukejar tikus dari Pulau
Sangon, yang kutemukan justru kawanan musang di sini!" seru perempuan yang
masih duduk di atas kuda putih itu. Ia tampak angkuh dan sombong.
Galak Gantung menggeram sambil
memandang tajam Selir Dewani. Resi Pakar Pantun bersungutsungut dan bicara
kepada Kadal Ginting yang kala itu segera mendekati sang Resi karena takut
diserang perempuan di atas kuda itu.
"Kurang ajar betul
perempuan itu. Kita dianggap kawanan musang!"
"Padahal hanya satu wajah
yang mirip musang, ya Eyang?"
"Siapa? Aku...?! Jangan
menyindir ku begitu, bisa kubobok wajahmu, Kadal Ginting!" geram Resi
Pakar Pantun.
Selesai menolong Nenek Cintani
dengan meminumkan tuaknya, Suto Sinting segera mencekal lengan Elang Samudera
yang ingin bergegas maju menyerang Selir Dewani dengan pedangnya. Gerakan murid
Pendeta Darah Api itu terhenti karena tangan Suto Sinting, ia pun cepat
berpaling memandang Suto dan saat itu Suto Sinting segera berkata,
"Kurasa perempuan itu
sekarang sudah menjadi bagianku! Biar aku yang menghadapinya, Elang
Samudera."
Resi Pakar Pantun berseru
kepada Selir Dewa- ni, "Turun kau dari kudamu, bicarakan masalah mu dengan
kami. Jangan seenaknya mengatakan kami kawanan musang!"
"O, jadi aku harus
mengatakan bahwa kalian adalah kawanan serigala?! Hi, hi, hi...!"
Galak Gantung menjadi berang,
ia segera sentakkan tangan kanannya ke depan untuk lepaskan pukulan jarak
jauhnya. Namun gerakan itu kalah cepat dengan gerakan tangan Selir Dewani yang
mencabut sesuatu dari balik jubahnya. Sesuatu yang dicabutnya itu tak lain
adalah sebatang tongkat dari emas berukir panjang satu hasta. Tongkat itulah
yang dinamakan Tongkat Guntur Bisu.
Claaap...!
Sinar biru berekor hijau
melesat dari bola intan di ujung tongkat manakala tongkat itu disentakkan ke
arah depan. Sinar biru itu menyebar begitu mendekati tubuh Galak Gantung.
Gerakan menghindari dari Galak Gantung ternyata terlambat juga, sehingga tubuh
Galak Gantung terbungkus sinar biru yang menyilaukan itu.
Semua memandang dengan kaget,
dan melangkah mundur dalam keadaan wajah menegang. Sinar biru itu lenyap dari
tubuh Galak Gantung dan mereka semakin terperangah melihat Galak Gantung
berubah menjadi sebuah patung batu berlumut, bagai sudah berusia ratusan tahun.
"Gila...!" geram
Suto Sinting bernada gumam. "Hi, hi, hi...!" Selir Dewani tertawa
kegirangan.
"Siapa lagi yang ingin
diabadikan menjadi patung batu?!" ia memandang Kadal Ginting dan berkata
dengan sinisnya, "Apakah kau ingin seperti si tua bangka itu? Majulah
selangkah kalau memang kau ingin menjadi patung berlumut seperti dia!"
Kadal Ginting geleng-gelengkan kepala dengan wajah takut. Ia makin bersembunyi
di belakang Resi Pakar Pantun,
Di luar dugaan siapa pun, dari
arah belakang Selir Dewani melesat sesosok bayangan yang langsung menerjang
perempuan itu. Weeesss...! Brruss...!
Selir Dewani terjungkal jatuh
dari atas punggung kuda. Brruk...! Sang kuda meringkik kaget dengan mengangkat
kedua kaki depannya, kemudian melarikan diri dari tempat itu.
Selir Dewani melontarkan
sumpah serapah tak beraturan sambil masih menggenggam Tongkat Guntur Bisu. Ia
cepat-cepat bangkit berdiri dan terkejut memandang orang yang baru datang itu.
"Bibi...?!" sapanya
dengan nada heran. Orang yang menerjang Selir Dewani dari belakang itu adalah
seorang perempuan berjubah satin merah jambu. Ia berwajah cantik dengan rambut
disanggul berhias permata. Sebuah senjata berupa kipas gading tampak terselip
di pinggangnya.
Pendekar Mabuk sempat
terperanjat melihat kehadiran perempuan itu, sebab ia sudah mengenalnya. Itulah
sebabnya ia segera menyapa dengan suara lantang,
"Rara Santika...?!"
"Maaf, aku datang tak
bermaksud mencampuri urusan kalian, tapi untuk mengejar buronanku ini!"
kata Rara Santika yang dulu pernah bekerja sama dengan Pendekar Mabuk dalam
peristiwa penghancuran Gua Tumbal Perawan yang dikuasai oleh adik Rara Santika,
yaitu Rara Sumina, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gundik
Sakti").
Selir Dewani menggeram dengan
sorot pandangan mata tajam ke arah Rara Santika. Tongkat Guntur Bisu tampak
siap-siap untuk digunakan menyerang Rara Santika. Tapi perempuan berpenutup
dada biru muda yang dipanggil 'bibi' oleh Selir Dewani itu tidak merasa takut
sedikit pun. Ia bahkan berkata dengan suara lantang,
"Akhirnya kutemukan juga
kau di sini! Sekalipun kau mengubah namamu menjadi Selir Dewani, tapi aku tetap
tahu bahwa kau adalah Selir Malam yang dari dulu dikenal sebagai Gadis
Pencuri."
"Apa maksud Bibi
menyerangku dari belakang?!"
"Ratu Remaslega adalah
sahabatku, dan dia tahu bahwa kau adalah keponakanku. Ratu Remaslega setengah
menuntut kepadaku agar tongkat pusakanya yang kau curi itu dikembalikan. Aku
malu padanya, dan aku harus bisa merebut tongkat itu jika kau tidak mau
mengembalikan secara baik-baik, Selir Malam!"
"Akan kukembalikan setelah
pembunuh ibuku menjadi patung batu, termasuk Bibi Santika sendiri!"
Rara Santika menyambar kipas
gadingnya yang bernama Kipas Dewi Murka. Ia lakukan satu lompatan kecil untuk
menghindari serangan keponakannya yang ternyata bernama Selir Malam itu. Wuuut...!
Dan saat itulah Tongkat Guntur Bisu lepaskan sinar birunya yang berekor hijau
menuju ke dada Rara Santika. Claaap...!
Blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat mengguncangkan
bumi. Sinar biru itu ternyata mampu ditangkis dengan Kipas Dewi Murka. Namun
ledakan tersebut membuat Rara Santika terlempar jauh dan membentur sebongkah
batu besar. Brrruk...!
"Oouuh...!" Rara
Santika jatuh terkulai dengan mulut keluarkan darah karena benturan punggung
dengan batu sangat keras. Tulang punggungnya sempat patah hingga ia tak mampu
lagi untuk tegakkan badan. Kipasnya sendiri terpental lima langkah darinya
tersangkut pada ranting semak.
"Rupanya kipas itu adalah
senjata yang mampu menangkis kekuatan Tongkat Guntur Bisu?!" gumam Nenek
Cintani di samping Elang Samudera dan Suto Sinting.
"Aku harus bertindak
sekarang juga!" ujar Suto Sinting bagai bicara pada diri sendiri. Resi
Pakar Pantun yang mendengar ucapan itu segera berpaling dan ingin mencegah niat
Suto. Namun pencegahannya itu terlambat. Pendekar Mabuk sudah lebih dulu
bergerak dengan cepat ke arah depan Rara Santika, seakan menghadang serangan
berikutnya dari Selir Malam.
"Memang kalian berdua
yang kuharapkan mati bersama untuk menebus kematian Ibuku yang kalian bunuh!
Mulanya aku ingin kau dibenci oleh setiap wanita, Pendekar Mabuk. Aku ingin kau
mati secara menyedihkan dengan diburu ke sana-sini seperti babi hutan.
Karenanya, setiap perempuan yang mengenalmu kujadikan patung batu dan ku
sebarkan bahwa kaulah pencuri tongkat pusaka ini. Tetapi agaknya rencana itu kurang
tepat dan terlalu mengulur waktu. Maka ku putuskan untuk menghadapi kau dan
membuatmu menjadi patung batu untuk kemudian kuhancurkan selembut sagu!"
Pendekar Mabuk menggumam,
"O, pantas kau mendendam padaku dan pada Rara Santika. Rupanya kau anak
dari si Gundik Sakti itu!"
"Benar! Tapi aku tak ikut
mati saat Gua Tumbal Perawan yang menjadi tempat tinggal kami kau hancurkan
bersama bibiku yang keparat itu! Aku sedang tidak ada di tempat pada saat kau
hancurkan gua itu."
Pendekar Mabuk melangkah pelan
mendekati ke arah Kipas Dewi Murka, namun gerakannya itu tidak menimbulkan
kecurigaan Selir Malam. Begitu dekat dengan Kipas Dewi Murka, Pendekar Mabuk
segera berkata kepada si Selir Malam.
"Lampiaskan dendammu
padaku, jangan kau korbankan orang lain yang tak bersalah padamu! Tapi
percayalah, kau tak akan mampu membunuhku, karena aku dan bibimu ada di pihak
yang benar!"
"Akan kubuktikan
kemampuanku di depan si keparat Cintani yang termakan sihir ku itu!
Hiaaat..,!"
Claaap...! Tongkat Guntur Bisu
keluarkan sinar birunya kembali. Zlaaap...! Suto Sinting menyambar Kipas Dewi
Murka dan kipas itu pun segera disentakkan sambil menangkis datangnya sinar
biru. Wuuuk...! Blaaaass...! Sinar biru itu berbalik arah dan menghantam Selir
Malam secara di luar dugaan.
Blaaab...! Zlaaasss...!
Tubuh Selir Malam yang tak
sempat menghindar itu terpaku di tempat, dan sinar biru menyebar membungkusnya
dengan menyilaukan.
Kejap berikut, sinar biru itu
lenyap dan tampaklah sesosok patung batu berlumut dalam bentuk seorang wanita
berwajah kaget dengan gerakan mau melarikan diri. Selir Malam akhirnya menjadi
sebuah patung batu berlumut, tapi Tongkat Guntur Bisu masih tetap utuh,
terselip di tangan patung. Tangan itu bagaikan berlubang, yang seolah-olah
sengaja dipersiapkan untuk tempat menaruh tongkat.
Tongkat Guntur Bisu segera
diambil oleh Suto Sinting. Setelah mengamat-amati sebentar, ia segera bergegas
menemui Rara Santika yang tak bisa bangkit karena patah tulang punggungnya.
Perempuan itu pun segera diberinya minum tuak dari bumbung sakti, kemudian
Kipas Dewi Murka dikembalikan kepada Rara Santika.
"Kusangka kipas ini tidak
bisa untuk membalikkan sinar biru tadi," kata Rara Santika yang kini sudah
mampu berdiri.
"Aku pun untung-untungan
saja mengerahkan tenaga dalam dan menyentakkan kipas untuk menangkis sinar
biru. Ternyata justru mampu membalikkan sinar tersebut."
"Lagi-lagi kau beruntung
dalam pertarungan maupun dalam asmara," sindir Rara Santika sambil
tersenyum sinis. Pendekar Mabuk hanya nyengir sambil garuk-garuk kepala.
"Biasanya jika sudah
memperoleh kemenangan kau pergi meninggalkan aku," sambung Rara Santika.
"Jika tidak karena
pekerjaan yang amat penting, aku ingin selalu mendampingimu."
"Ah, lupakan tentang
itu!" Rara Santika mengelak dan tak mau terlibat perkara perasaan dan
batin. "Patung itu harus kuhancurkan sebagai tanda kematian abadi bagi
keponakanku sendiri yang se-sat itu!"
Tiba-tiba dua jari tangan
kanan Rara Santika menyentak ke depan dan selarik sinar hijau melesat
menghantam patung Selir Malam. Claap...! Blaarrr...!
Patung itu hancur menjadi
serbuk yang lembut dan menyebar ke mana-mana. Tak ada kemungkinan lagi bagi
Selir Malam untuk berubah wujud sebagai manusia biasa. Pendekar Mabuk paham
betul maksud penghancuran itu, maka ia pun menarik napas dalamdalam penuh
kelegaan.
"Sutooo...! Sutooo...!
Aku telah berubah! Lihat, aku telah berubah...!"
Seruan itu datang dari Nenek
Cintani yang ber- lari-lari menghampiri Suto Sinting dan Rara Santika. Pendekar
Mabuk terperangah dengan mulut bengong dan mata tak berkedip setelah menggumam
kagum,
"Ya ampuuun...?!"
Rupanya kematian Selir Malam
membuat pengaruh sihirnya pun hilang. Nenek Cintani berubah wujud menjadi
manusia biasa. Bukan sekadar manusia seutuhnya, namun juga manusia yang
mengagumkan dan mendebarkan hati Pendekar Mabuk. Karena ternyata Nenek Cintani
adalah seorang perempuan cantik yang masih tergolong berusia muda.
Kecantikannya begitu memukau tiap lelaki, hingga Suto Sinting sempat sesak
napas, terutama memandang dadanya yang kencang dan menonjol penuh tantangan
itu. Tanpa malu-malu, Nenek Cintani segera memeluk Suto Sinting dalam
keharuannya. Rara Santika hanya melirik ketus, Resi Pakar Pantun
tersenyum-senyum kecut memandangi Rara Santika. Sedangkan si murid Pendeta
Darah Api segera ikut memeluk Dewi Cintani sebagai kakak yang selama ini
berpisah darinya.
Resi Pakar Pantun berkata,
"Hentikan suka cita ini. Pikirkan nasib si Galak Gantung dan yang lainnya
itu. Menurutku, Galak Gantung tak pantas menjadi patung. Ia tampak jelek
sekali."
Rara Santika menyahut,
"Pesan sang Ratu Remaslega kepadaku, para korban Tongkat Guntur Bisu ini
dapat dipulihkan menjadi manusia kembali apabila terkena tetesan air dari
Sendang Ketuban."
"Nan air itulah yang
terbayang dalam benakku sejak tadi!" ujar Resi Pakar Pantun.
"Air Sendang
Ketuban...?!" Pendekar Mabuk menggumam dengan berkerut dahi. "O,
ya... aku ingat. Sendang Ketuban ada di negeri Wilwatikta. Aku pernah
mengambilnya untuk menawarkan racun 'Tapak Ungu' yang kala itu mengenai si
Darah Prabu," (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pembantai
Raksasa"). "Aku ikut ke negeri Wilwatikta!" sahut Elang
Samudera.
"Aku setuju," kata
Rara Santika. "Kau ikut pulang ke Pulau Sangon bersamaku, Cintani!"
"Yah, kalau memang begitu
baiknya, terpaksa aku ikut saran mu, Rara Santika!" kata Dewi Cintani
dengan rasa kecewa yang disembunyikan. Hasratnya ingin mendampingi Suto Sinting
setelah dirinya tampak cantik kembali terpaksa dibatalkan, karena ia pun malu
kepada adiknya jika tampak terpikat kepada murid sinting si Gila Tuak itu.
Dengan meneteskan air Sendang
Ketuban, maka para korban yang menjadi patung batu itu akhirnya pulih menjadi
manusia kembali seperti aslinya. Pekerjaan itu dilakukan sendiri oleh Suto
Sinting, sambil bermaksud membersihkan namanya dari anggapan buruk yang sudah
telanjur disebarkan oleh Selir Malam itu.
SELESAI