1
GUNUNG Kundalini dilapisi
kabut tebal. Kabut pembawa hawa dingin itu menyelimuti puncak gunung.
Dari gumpalan kabut tersebut
muncul sesosok tubuh berlari menuruni lereng terjal. Gerakannya cukup lincah
dan cepat. Dalam waktu singkat ia sudah mencapai kaki gunung tersebut.
Orang yang meluncur dari
puncak gunung tersebut ternyata seorang wanita muda yang usianya sekitar dua
puluh lima tahun, tapi sebenarnya sudah berusia tiga kali lipat dari usia
tersebut. Ilmu awet ayu dan awet muda membuatnya tampak tetap segar, cantik,
dan menggairahkan setiap lelaki.
Ia mengenakan pakaian model
angkin ketat dan celana ketat warna ungu berhias benang emas. Dadanya yang
sekal tampak mencuat mau keluar dibungkus pinjung ungu ketat itu.
Gumpalan daging pada belahan
dada terlihat mulus, membuat pria mana pun menelan ludah sendiri jika
melihatnya. Pakaian menantang saraf lelaki itu dibungkus dengan jubah lengan
panjang yang longgar berwarna ungu tua tanpa kancing. Pedang di punggungnya
dibungkus pula oleh kain beludru warna ungu.
Siapa lagi tokoh cantik yang
gemar berpetualang dengan pakaian serba ungu itu kalau bukan Pelangi Sutera
alias Sumbaruni, bekas istri Jin Kazmat yang juga bekas panglima negeri dasar
laut: Ringgit Kencana.
Perempuan ini bukan perempuan
sembarangan.
Kesaktiannya cukup tinggi,
karena ia menerima warisan seluruh ilmu yang ada pada diri seorang pertapa
sakti kala ia menjadi pelayannya. Pertapa itu adalah Eyang Bayudana.
Kesaktiannya itu membuat ia
dikenal di kalangan tokoh tua berilmu tinggi, karena sebenarnya Sumbaruni
adalah tokoh sakti yang masuk dalam aliran putih. Jika ia mau membuka perguruan
sendiri, maka muridnya ditanggung banyak kaum lelaki.
Tapi ia tidak mau membuka
perguruan. Ilmunya hanya akan diturunkan kepada anaknya yang semata wayang,
yaitu Logo. Anak jin yang bertubuh tinggi besar, berbadan kekar, gundul
berkuncir tengah melengkung ke belakang, kegemarannya hanya mengenakan cawat,
selebihnya polos tapi tidak merangsang. Kasih sayangnya kepada anak tunggalnya
itu membuat Sumbaruni enggan mewariskan ilmunya kepada siapa pun.
Tetapi kesaktiannya itu pernah
dilumpuhkan oleh 'Racun Ludah Naga' yang membuatnya menjadi kecil, semakin lama
semakin seperti bocah. 'Racun Ludah Naga' adalah milik Syakuntala, Panglima
Tanah Hindus, utusan Raja Kulana Baham. Ketika Syakuntala mengadu pertarungan
dengan Pendekar Mabuk; Suto Sinting, Sumbaruni mendahului menyerang Syakuntala
sebagai pembelaan diri dan unjuk kesetiaan terhadap Suto, sebab sebenarnya ia
menyimpan hati dan cinta terang-terangan kepada si pendekar tampan muridnya
Gila Tuak itu.
Saat melakukan pertarungan
itulah, Sumbaruni terkena 'Racun Ludah Naga'.
Tubuhnya makin lama semakin
menyusut. Obatnya hanya dengan menelan Telur Mata Setan. Pendekar Mabuk-lah
yang berusaha mencari Telur Mata Setan ke Gunung Kundalini.
Dengan didampingi Teratai
Kipas yang sebenarnya anak raja dari negeri Majageni itu, akhirnya Telur Mata
Setan berhasil diperoleh Pendekar Mabuk, walaupun ada pihak lain yang
menginginkannya, yaitu Resi Pakar Pantun, gurunya Tuanku Nanpongoh, penguasa
Pulau Intan yang juga terkena 'Racun Ludah Naga'. Tetapi bagaimanapun Pendekar
Mabuk lebih beruntung dan dapat membawa Telur Mata Setan ke pesanggrahan Nyai
Guru Betari Ayu, di puncak Gunung Kundalini, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Racun Gugah Jantan").
Setelah meminum Telur Mata
Setan yang berisi cairan hijau manis, dan hanya bisa dilubangi dengan sinar
tenaga dalam dari Suto Sinting itu, Sumbaruni yang sempat menjadi bocah cilik
seperti berusia dua tahun kurang itu segera tertidur nyenyak. Pengaruh cairan
hijau dalam telur berkulit kuning emas itu membuat Sumbaruni tertidur selama
sehari semalam penuh.
Pada saat ia tertidur itulah
tubuh kecilnya mengalami perubahan semakin besar, semakin menjadi dewasa, dan
akhirnya menjadi seperti semula. Ketika ia bangun dari tidurnya, ia telah
menemukan tubuhnya pulih kembali, lengkap dengan kecantikannya dan kepadatan
dadanya yang montok menggemaskan itu.
"Di mana Suto Sinting
sekarang, Betari Ayu?" tanyanya kepada Nyai Guru Betari Ayu yang dalam
urutan usia tergolong lebih muda dari Sumbaruni.
"Suto Sinting telah
pergi," jawab Betari Ayu dengan kalem dan bijak.
"Mengapa dia tinggalkan
diriku di puncak gunung ini? Lelaki macam apa dia itu? Tidak tanggung jawab!
Bawa-bawa anak orang kemari lalu ditinggalkan begitu saja?! Apa dia sangka aku
ini barang titipan?!"
Sumbaruni ngomel dan
menggerutu tak jelas bedanya. Betari Ayu yang berpenampilan anggun dan tenang,
namun nilai kecantikannya tak kalah dengan Sumbaruni itu hanya senyum-senyum
saja. Ia tahu Sumbaruni sewot karena ia merasa ditinggalkan Suto.
Padahal Sumbaruni suka sama
Suto. Sedangkan Suto dijamin tidak punya cinta untuk Sumbaruni, sebab Betari
Ayu sang pertapa itu yakin bahwa Suto hanya punya cinta kepada seorang penguasa
Puri Gerbang Surgawi yang amat cantik jelita; Dyah Sariningrum, adik Betari Ayu
sendiri. Tapi toh Betari Ayu tidak banyak cemburu dan curiga kepada hubungan
Suto dengan Sumbaruni.
"Cinta bisa tumbuh di
mana saja dan kapan saja, juga oleh siapa saja. Cinta yang tumbuh bukan suatu
kesalahan, karena cinta adalah bagian dari naluri dan kodrat. Sukar diatur
pertumbuhannya. Setiap manusia punya benih cinta yang sewaktu-waktu dapat
tumbuh merimbun indah. Tetapi tidak banyak orang yang mengerti hakikat dari sebuah
cinta yang sejati. Hanya adikku yang tahu persis hakikat cinta yang sejati,
sehingga layaklah ia dijuluki sebagai Gusti Mahkota Sejati," tutur Betari
Ayu di depan murid setianya;
Selendang Kubur. Pada waktu
itu Sumbaruni berada di pekarangan, lalu masuk lagi dan menemui Betari Ayu.
"Ke mana perginya si
pemuda sinting itu?"
"Mengantar Teratai Kipas
ke Negeri Majageni!"
"Brengsek!"
sentaknya menggeram. Rasa cemburu tumbuh di hati Sumbaruni. "Untuk apa dia
mengantar gadis itu? Mengapa harus ke Majageni segala?"
"Karena Teratai Kipas
ternyata putri raja Majageni yang bernama Prabu Wiloka. Gadis itu harus pulang
untuk kelak mewarisi takhta kerajaan tersebut," kata Betari Ayu dengan
jujur, karena dia adalah wanita yang tak pernah berbohong, terutama semenjak
menjadi seorang guru di Perguruan Merpati Wingit. Apalagi sekarang ia sudah
menjadi pertapa di pengasingannya, ia sama sekali pantang melakukan kebohongan.
Melakukan pertarungan pun sudah tak mau.
"Aku akan menyusul ke
Negeri Majageni dan mengobrak-abrik istananya!" kata Sumbaruni dengan
kecemburuan berapi-api.
"Tak perlu bersikap
begitu," kata Betari Ayu lembut sekali. "Kecemburuan jika tidak
dikendalikan akan menjadi mata pedang yang tertajam bagi leher kita
sendiri."
"Ah, tidak peduli!
Pokoknya aku harus menyusul Suto Sinting ke sana!"
"Menyusul itu boleh-boleh
saja, tapi tak perlu buat keonaran di sana. Kasihan prajurit Majageni yang
tidak punya kecemburuan jadi korban juga."
Itulah sebabnya Sumbaruni
terburu-buru menuruni lereng gunung untuk mengejar Suto Sinting. Harapannya
bisa bertemu dengan Pendekar Mabuk itu di perjalanan, sehingga ia akan cegah si
Pendekar Mabuk untuk tidak mengantarkan Teratai Kipas sampai ke Majageni.
Banyak wanita yang
tergila-gila dengan Suto Sinting dan menjadi benar-benar sinting.
Tapi yang sintingnya kelewat
batas hanya ada dua wanita; Sumbaruni dan Angin Betina. Kecemburuannya sangat
tinggi, nyawanya siap dikorbankan demi kecemburuan dan kesetiaan.
Kepada dua wanita itu Pendekar
Mabuk sudah berterus terang bahwa ia tak bisa membalas cinta dan kemesraan
mereka, yang dapat dilakukan hanya persahabatan yang amat erat. Kepada keduanya
juga sudah dijelaskan bahwa Suto Sinting hanya mencintai satu wanita di dunia
yaitu Dyah Sariningrum.
Tetapi mereka berdua tetap
nekat mencintai Suto Sinting. Cinta itulah yang dianggap cinta asmara sinting
yang tak mau tahu kepada siapa hati Suto tertuju penuh kesetiaan. Mereka hanya
berharap, moga-moga di perjalanan cinta Suto kandas dan beralih kepada mereka.
Padahal Suto Sinting yakin
betul bahwa cintanya kepada Dyah Sariningrum tak akan kandas di tengah jalan.
Ketika Teratai Kipas menanyakan padanya,
"Apakah betul kau akan
menikah dengan Dyah Sariningrum?"
Suto Sinting menjawab,
"Ya. Tapi aku harus
kalahkan dulu Siluman Tujuh Nyawa, si tokoh sesat yang tak akan insaf itu.
Kepala tokoh sesat yang amat keji itulah maskawin yang akan kupersembahkan
kepada Dyah Sariningrum."
"Bagaimana jika kau gagal
memenggal kepala Siluman Tujuh Nyawa?"
"Tak akan gagal!"
jawab Suto penuh keyakinan.
"Cepat atau lambat,
Siluman Tujuh Nyawa harus dibinasakan agar tidak mengganggu kedamaian di muka
bumi ini!"
"Apakah kau tak ingin
beralih kepada perempuan lain?"
"Mengapa kau tanyakan
begitu?"
"Sekadar ingin tahu,
sebagai bekal jawabanku nanti kepada ayahku."
"Ada apa dengan
ayahmu?"
"Dia ingin punya menantu
sepertimu!" jawab Teratai Kipas terang-terangan.
"Kalau begitu kau harus
mencari seorang calon suami yang berjiwa sepertiku; artinya memerangi kejahatan
dan keangkaramurkaan. Jangan mencari calon suami yang beraliran hitam!"
"Ya, aku akan mencarinya
walau hal itu sangat sulit!"
Suto Sinting tertawa kecil.
"Tidak sulit kalau kau
mau tekun mencarinya. Di muka bumi ini bukan hanya aku pendekar beraliran putih
yang punya ilmu tinggi dan berbudi baik. Bahkan ada yang lebih sakti dariku,
ada yang lebih baik dariku, ada yang lebih tampan dariku."
"Tapi tidak ada yang
lebih sinting darimu!" sahut Teratai Kipas sambil tertawa, Suto Sinting
pun melepas tawa wibawa yang menawan hati.
Mereka melangkah menyusuri
pantai, karena jalan
tercepat sedikit hambatan
untuk menuju Majageni adalah melalui jalan pantai. Tapi karena terik matahari
membakar bumi tidak tanggung-tanggung, Suto Sinting memberi usul untuk
beristirahat di bawah pohon rindang di depan langkah mereka itu. Teratai Kipas
setuju karena semakin lama berjalan dengan Suto Sinting semakin lama pula ia
menyimpan kebanggaan dalam hatinya.
Pendekar Mabuk menenggak
tuaknya beberapa teguk untuk menghapus dahaga. Teratai Kipas sudah mulai
terbiasa meminum tuaknya Suto yang sebenarnya tidak memabukkan itu. Tuak
tersebut tersimpan dalam bumbung bambu yang punya kadar tenaga sakti
tersendiri, sehingga membuat tubuh menjadi segar, membuat luka menjadi cepat
hilang, namun tidak membuat mabuk. Teratai Kipas juga meneguknya beberapa kali,
dan badannya terasa lebih segar, rasa lelahnya hilang.
"Lama-lama aku akan
ketagihan tuakmu kalau begini caranya," kata Teratai Kipas yang mempunyai
nama asli Roro Padmi Wulintang.
"Carilah aku di rimba
persilatan jika kau rindu dengan tuakku," kata Suto Sinting sambil duduk
di atas batu sebatas lutut. Teratai Kipas ingin mengatakan sesuatu namun urung
karena ada suara yang didengar oleh mereka.
"Pendekar muda...
tolonglah aku!"
Suara itu sangat jelas
didengar oleh telinga mereka. Tapi mereka bingung mencari suara tersebut. Siapa
yang bicara, dari mana arahnya, masih belum jelas. Suto
Sinting hanya pandangi Teratai
Kipas dan berkata pelan,
"Apakah aku tidak salah
dengar?"
"Aku sendiri mendengar
suara orang minta tolong padamu. Tapi di mana orangnya? Akan kuperiksa di
kerimbunan pohon sebelah sana...!"
Baru saja Teratai Kipas hendak
bergerak tiba-tiba suara itu terdengar lagi, kali ini arahnya justru berlawanan
dengan arah yang hendak dituju oleh Teratai Kipas.
"Aku di sini, Pendekar
Muda. Tolonglah aku...!"
Pendekar Mabuk
celingak-celinguk mencari sumber suara. Tak ada manusia di sekeliling mereka.
Yang ada hanya gugusan batu-batu pantai, ada yang tingginya sampai sebatas dada
manusia dewasa, ada yang hanya setinggi mata kaki saja. Suto Sinting penasaran
hingga melompat ke atas batu yang agak tinggi. Wuuut...!
Jleeg...! Dari ketinggian itu
ia memandang sekeliling mencari si pemilik suara, tapi ia tidak menemukan
siapa-siapa di sana.
"Apakah kau melihat
seseorang di balik bebatuan sana?" tanya Teratai Kipas yang masih ada di
bawah.
"Tidak ada siapa pun di
sana-sini!"
Wuuut...!
Suto Sinting pindah ke batu
lain dengan lompatan yang amat cepat karena menggunakan ilmu peringan tubuh.
Dari batu ke batu ia melompat mencari sumber suara tadi, namun hasilnya tetap
nihil. Ia kembali berada di depan Teratai Kipas. Gadis yang mengenakan pakaian
sebatas dada warna hijau muda dan dibungkus jubah kuning kunyit itu sengaja
pandangi Suto Sinting dengan curiga. Lalu ia berkata pelan dalam jarak satu
langkah dari hadapan Suto Sinting.
"Jangan-jangan kau yang
bikin lelucon sekonyol ini?"
"Apakah kau pikir mulutku
bergerak saat kita mendengar suara tadi? Perhatikan saja mulutku terus."
"Aku tidak mau,"
jawab Teratai Kipas sambil tersenyum.
"Kenapa?"
"Semakin lama
memperhatikan bibirmu semakin gemetar tubuhku."
"Apa sebabnya?"
"Ingat bibir kekasihku
yang telah tiada."
Suto Sinting tersenyum.
"Apakah bibirku sama dengan bibir kekasihmu?"
"Justru jauh berbeda,
makanya aku jadi ingat dia!" Jawab Teratai Kipas seenaknya saja dalam
menjawab.
Padahal yang benar bibir Suto
jika terlalu lama dipandang terlalu cepat hadirkan debar-debar keindahan hati
yang akan menuntut batin untuk mengecupnya pelan-pelan. Teratai Kipas tak mau
terpikat, karena ia tahu tak akan mendapatkannya walau sekejap pun.
Suara aneh terdengar lagi pada
saat Teratai Kipas kepergok senyuman Suto Sinting yang menawan hati itu.
"Pendekar muda, hentikan
kemesraanmu, tolonglah aku! Tolonglah...!"
Sekali lagi Pendekar Mabuk dan
Teratai Kipas tengok sana-sini dan tetap tak ada manusia lain kecuali mereka
berdua. Di laut hanya ada ombak yang tidak terlalu besar. Tak ada manusia
berdiri di atas gelombang lautan.
Akhirnya Suto Sinting mencoba
bicara dengan si pemilik suara itu.
"Apakah kau mendengar
suaraku juga?"
"Aku sangat mendengarnya,
Pendekar Muda!"
Jawaban itu membuat Suto
kembali beradu pandang dengan Teratai Kipas. Kemudian Pendekar Mabuk berbisik,
"Jangan-jangan ada orang yang menggunakan Ilmu 'Suara Gaib', yaitu bicara
dari jarak jauh melalui getaran angin."
"Apakah ilmu semacam itu
memang ada?"
"Ya. Ada beberapa tokoh
tua yang dulu mempunyai ilmu itu. Ada yang sudah hilang, ada yang masih menjaga
keutuhan suara seperti itu. Salah satu di antaranya adalah Palupi, yang dulu
dikenal dengan nama Tandu Terbang, murid dari Pendeta Arak Merah dari
Tibet."
Rupanya percakapan itu
didengar oleh seseorang yang tadi bicara, sehingga orang itu berkata kepada
Suto Sinting,
"Aku tidak memiliki ilmu
'Suara Gaib' seperti itu, Pendekar Muda! Aku ada di dekatmu. Di pantai ini
juga!"
Tentu saja kata-kata itu
membuat Suto dan Teratai Kipas sama-sama terperanjat. Mereka kembali tengok
sana-sini, namun tetap saja tak melihat sesosok manusia lain di situ.
"Suaranya jelas suara
lelaki tapi wujudnya tak bisa kulihat?" bisik Teratai Kipas. "Cobalah
bicara terus dengannya aku akan melacak sumber suara tersebut. Pancing dia agar
jangan berhenti bicara."
Suto Sinting mengangguk.
Terdengar suara Suto bicara tak jelas arah pandangannya.
"Siapa namamu, Sobat?"
"Aku yang berjuluk Bancak
Doya!"
"Apakah kau mengenalku
juga?"
"Tidak. Tapi melihat
perawakanmu aku yakin kau seorang pendekar budiman."
"Kau terlalu memujiku,
Bancak Doya! Kalau boleh kutahu, kau orang mana? Apa nama perguruanmu?"
"Aku ketua Perguruan
Beruang Maut."
"O, ketua perguruan?!
Lantas apa maksudmu mendatangiku dengan keadaan tak mau menunjukkan dirimu,
Bancak Doya?"
Sementara itu, Teratai Kipas
berjalan pelan-pelan menyusuri datangnya suara Bancak Doya itu. Semakin ke arah
pantai semakin jelas suara yang didengarnya.
Terdengar pula Bancak Doya
berkata,
"Aku bukan tak mau
menunjukkan diriku, tapi... Inilah kesulitanku, Pendekar Muda. Justru itu aku
ingin minta tolong padamu."
"Apa yang harus kuperbuat
untuk menolongmu?"
"Sempurnakanlah kematianku."
"Apa...?!" Suto
Sinting terkejut.
Teratai Kipas berlari
mendekati Suto dengan tegang. Kedua wajah tegang itu saling beradu pandang.
Teratai Kipas berbisik,
"Kulihat bayangannya di
balik batu itu. Tapi tak ada wujud manusianya."
"Dia sembunyi di batu
yang lain!" bisik Suto juga.
"Tidak ada. Yang kulihat
hanya bayangannya di tanah."
Suto Sinting bergegas ke
tempat yang dimaksud Teratai Kipas. Matanya memandang ke arah pasir pantai. Di
sana memang ada bayangan manusia berdiri. Tapi wujud manusia itu sendiri tidak
terlihat mata mereka.
Orang yang tampak bayangannya
itu bertubuh kurus dan agak jangkung. Benarkah begitu? Suto Sinting memandang
ke langit karena menduga orang itu ada di angkasa atau di atas pohon. Mungkin
saja berdiri di atas selembar daun.
"Aku tidak terlihat,
Pendekar Muda," kata suara Bancak Doya, kali ini amat dekat dengan Suto
Sinting, seakan ada di samping kanannya. Suto yang terheran-heran segera
menyipitkan mata untuk memandang sesuatu yang mungkin tak bisa terlihat oleh mata
telanjang. Tetapi sesuatu itu tidak ada dalam pandangannya.
"Bancak Doya, apa
sebenarnya yang terjadi pada dirimu?" tanya Suto.
"Kematianku tidak
sempurna, Pendekar Muda.Tolonglah sempurnakan kematianku agar tak membuatku
bergentayangan begini."
Teratai Kipas bergidik
merinding, tapi ia ikut bertanya, "Kematian yang bagaimana sebenarnya?
Maukah kau menceritakannya kepada kami?"
Untuk sesaat yang terdengar
hanyalah debur ombak siang. Bayangan hitam di pasir pantai bergerak. Lama-lama
bayangan itu lenyap tak berbekas.
"Bayangannya
hilang?!" ucap Teratai Kipas dengan nada heran dan tegang.
Tapi suara Bancak Doya
terdengar kembali, "Aku ada di bawah pohon, jadi bayanganku tak terlihat,
Nona. Jika aku di bawah terik matahari maka bayanganku akan timbul lagi."
"Mengapa bisa
begitu?" tanya Suto Sinting mulai menenangkan diri.
"Aku tidak tahu mengapa
bisa begini, yang jelas aku merasa telah mati akibat suatu pertarungan."
"Kau bertarung melawan
siapa, Bancak Doya?"
Suara yang bernada tua tapi
belum terlalu lanjut usia itu terdengar lagi,
"Seorang pencuri ingin
menjarah harta pusakaku. Aku melawannya, tapi ilmunya cukup tinggi. Tenaga
dalamnya besar sekali. Lima anak buahku mati dalam satu gebrakan. Aku sendiri
berhasil dilumpuhkannya."
"Bagaimana caranya mengalahkan
dirimu? Bukankah kau ketua perguruan? Berarti ilmumu tinggi."
"Pencuri itu mempunyai
ilmu lebih tinggi dariku. Dia menikamkan pisaunya ke punggungku. Sebenarnya tak
terlalu parah. Tikamannya sempat kuhindari, tapi punggungku tergores pisau itu.
Dan tahu-tahu aku tak bisa menyentuh benda apa pun. Aku melarikan diri menabrak
pohon. Tapi pohon itu ternyata bisa kutembus dengan tubuhku. Aku terkejut, lalu
menyadari bahwa sisa anak buahku tak bisa melihatku lagi. Mereka menganggapku
telah mati tanpa meninggalkan jasad. Mayatku tak ada, sehingga mereka tak bisa
menguburku."
Nada suara itu kian lama
semakin terdengar mengharu. Suto Sinting tarik napas dalam-dalam, demikian pula
Teratai Kipas. Setelah diam beberapa saat Suto Sinting berkata,
"Menyedihkan sekali
nasibmu. Tapi kau bisa melihatku dengan jelas?"
"Jelas sekali,"
jawab Bancak Doya. "Selama tujuh hari beberapa orang masih bisa melihatku,
namun tak bisa menyentuhku, juga tak bisa kusentuh. Aku seperti bayangan tanpa
raga. Lewat dari tujuh hari barulah mereka merasa kehilangan aku, dan aku hanya
bisa melihat bayanganku. Aku berusaha mencari kesempurnaan dalam kematianku,
tapi tak seorangpun mampu menyempurnakan kematian ini. Jika kau bisa,tolonglah
aku, Pendekar Muda! Sempurnakan kematianku ini jika memang aku harus mati, dan
jika memang aku masih hidup, pulihkanlah keadaanku seperti semula."
"Aku...," Suto
Sinting diam sebentar, seperti ragu mengatakan sesuatu. Sesaat kemudian barulah
ia berkata, "Aku tak mengerti apa yang harus kulakukan untuk dirimu,
Bancak Doya. Tapi... sebaiknya akan kucoba menggunakan Ilmu 'Sembur Siluman'
yang kumiliki! Bergeraklah ke bawah sinar matahari biar kulihat
bayanganmu."
Maka terdengarlah suara napas
Bancak Doya yang bergerak menuju tempat panas. Bayangannya terlihat dibatu
setinggi dada. Suto Sinting segera menenggak tuaknya. Sebagian ditelan,
sebagian disisakan di mulut.
Tuak yang di mulut segera
disemburkan ke arah bayangan yang menempel pada batu itu.
Bwwruus...!
Bayangan itu lenyap. Suto
Sinting dan Teratai Kipas menunggu kemunculan wujud raga Bancak Doya, tetapi
hingga beberapa saat wujud raga itu tak terlihat. Suto Sinting mencoba
bertanya, "Bancak Doya, kau masih melihatku?!"
Tak ada jawaban, tak ada
suara. Suto Sinting heran dan bertanya dalam hati, "Mungkinkah kematiannya
telah menjadi sempurna?"
***2
NAPAS Sumbaruni
terengah-engah. Bukan karena lelah berlari menyusul Pendekar Mabuk, tapi karena
diburu oleh kecemburuan yang membuatnya terpaksa menahan napas, menahan
kemarahan sendiri. Ia berhenti pada satu ketinggian tebing. Dari atas tebing
landai itu ia dapat memandang ke bawah, mencari kemungkinan kelebatannya si
pendekar tampan itu. Tapi yang dicari tidak kelihatan selintas bayangannya pun.
"Mungkinkah mereka sudah
sampai ke Istana Majageni? Apakah Teratai Kipas juga mampu imbangi gerak lari
cepatnya Pendekar Mabuk? Hmm... menurut teropong batinku, Teratai Kipas tidak
mampu imbangi kecepatan Suto Sinting. Aku sendiri sering tertinggal jika
mengikuti gerak larinya yang sinting itu!" pikir Sumbaruni sambil menatap
ke sana-sini.
Kejap berikut wanita yang
masih tampak muda dan cantik itu terperanjat oleh suara langkah kaki yang
berhenti di belakangnya, ia buru-buru palingkan wajah sambil siap-siap lepaskan
pukulan jarak jauhnya. Tapi niat melepaskan pukulan jarak jauh tertahan begitu
tahu siapa orang yang muncul di belakang.
"Celana kolor masuk ke
tungku Hangat sebentar disangka nasi Kalau tak salah dugaanku Engkaulah si
cantik Sumbaruni.''
Napas bekas istri jin itu
terhempas lega. Ternyata orang itu adalah Resi Pakar Pantun yang sudah mengenal
Sumbaruni sejak dulu. Di belakang sang Resi berdiri seorang lelaki kurus pendek
berusia sekitar empat puluh tahun. Sumbaruni mengenal lelaki itu yang tak lain
adalah pelayan si Resi Pakar Pantun yang bernama Kadal Ginting, (Tentang Resi
Pakar Pantun, baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Telur Mata
Setan").
"Apa maksudmu menemuiku
di sini, Pakar Pantun?!"
"Hanya kebetulan
saja," jawab sang Resi dengan santai. "Aku mencari si Malaikat
Miskin. Dia lari dari pertarungannya denganku. Apakah kau melihat gelagat si
Malaikat Miskin, Sumbaruni?"
"Tidak," Jawab
Sumbaruni pendek dan tegas. Tapi hati Sumbaruni segera membatin, "Resi
Pakar Pantun mencari Malaikat Miskin? Ada persoalan apa sehingga Malaikat
Miskin dibuatnya lari terbirit-birit?"
Terdengar suara sang Resi
bicara pada Kadal Ginting,
"Rupanya musuh kita lari
ke liang semut, Kadal Ginting!"
"Tak boleh dibiarkan
begitu saja, Eyang Resi! Harus dicari sampai dapat daripada kelak bikin duri
dalam hidup kita setelah kita mendapatkan Telur Mata Setan!"
Sumbaruni terperanjat dalam
hatinya. Ia segera ingat bahwa Resi Pakar Pantun juga mencari Telur Mata Setan
untuk sembuhkan sakit muridnya yang juga terkena 'Racun Ludah Naga' itu. Maka
dengan cepat Sumbaruni berkata,
"Jika kalian ingin
mencari Telur Mata Setan, sama saja kalian mencari bulu angin. Artinya, apa
yang kalian cari tidak akan kalian dapatkan, karena Telur Mata Setan sudah
kutelan dan membuatku menjadi seperti sediakala begini. Tidakkah kalian tahu bahwa
bocah kecil yang digendong Selendang Kubur saat kalian datang ke pesanggrahan
Betari Ayu itu adalah aku?"
"Ooo... pantas,
pantas...," kata Resi Pakar Pantun.
"Aku memang merasa pernah
melihatmu belum lama ini, tapi di mana? Dan baru kuingat ternyata kau telah
menjadi kecil dan digendong-gendong oleh Suto Sinting serta Selendang
Kubur!" Resi Pakar Pantun mangigut-manggut.
Kadal Ginting menyahut kata,
"Eyang Resi... kalau begitu kita gagal mencarikan obat penawar racun yang
diderita Tuanku Nanpongoh?!"
Wajah tua Resi Pakar Pantun
yang berbaju biksu warna abu-abu itu menjadi murung. Kecerahannya pudar
berganti selaput duka membias di mata. Mata itu memandang jauh bagai menerawang
di gumpalan awan duka. Tak lama terdengar pula suaranya yang lirih, seakan
bicara pada dirinya sendiri.
"Celana kolor robek
tengahnya Ditambal nasi masih terbuka jua Bagaimanapun kita hanya bisa berusaha
Tapi kematian bukan kita penentunya."
Sumbaruni masih diam saja,
bagaikan sedang merenungi pantun sang Resi. Tapi kejap berikutnya ia mendengar
suara Kadal Ginting yang ikut-ikutan bermain pantun dalam wajah duka pula.
"Celana kolor dibungkus
pisang daun Robek daunnya tinggal pisangnya...."
Lalu diam sesaat bagai
berpikir. Resi Pakar Pantun tertarik dan segera bertanya pelan,
"Apa maksudmu, Kadal
Ginting?"
"Maksudnya yaaah... cuma
sekadar memberi tahu kalau pisang itu bisa dibungkus dengan daun. Itu
saja!"
Plaaak...! Tiba-tiba tangan
Resi Pakar Pantun menampar wajah Kadal Ginting. Tamparan pelan tapi tenaga
besar, tak heran membuat Kadal Ginting terjungkal ke samping sambil mengerang
keaakitan.
"Lain kali kalau bikin
pantun harus ada artinya!" hardik Resi Pakar Pantun. "Misalnya
begini: " Celana kolor dibungkus pisang daun, robek daunnya tinggal
pisangnya. Biar kecewaku sampai ke ubun-ubun, tapi masih ada pikiran untuk
tugas lainnya'. Begitu, Tolol!"
"O, jadi begitulah contoh
pantun tolol, Eyang Resi?"
"Hmmrrr...!" sang
Resi menggeram jengkel karena penjelasannya disalahartikan. Tapi ia segera
tidak pedulikan lagi akan kebodohan Kadal Ginting. Matanya menatap Sumbaruni
kembali yang sejak tadi ingin tertawa tapi ditahan terus hingga mengulum senyum
dan buang muka.
"Sumbaruni, maukah kau
membantuku mencari Malaikat Miskin dan muridnya si Menak Goyang?"
"Apa persoalannya?"
"Baru sekarang kuingat
bahwa Malaikat Miskin membunuh adikku dan merebut pusaka Pisau Tanduk Hantu.
Aku harus membalaskan kematian adikku dan merebut kembali pisau tersebut."
"Itu urusan pribadimu,
mengapa kau ingin melibatkan diriku juga?"
"Jujur saja kukatakan
padamu, aku belum tahu di mana tempat Malaikat Miskin membangun perguruannya.
Daripada aku membuang waktu, lebih baik aku minta bantuanmu untuk mengantarku
ke perguruannya. Barangkali saja kau tahu di mana letak perguruan si Malaikat
Miskin itu. Tapi jika kau tidak tahu, aku tidak memaksamu dan akan kucari
sendiri tempatnya itu."
Sumbaruni diam berpikir, ia
masih ingat di mana letak Perguruan Tongkat Sakti yang diketuai oleh Malaikat
Miskin itu. Ketika ia berubah menjadi bocah, ia pernah disandera di perguruan
itu, sehingga ia masih ingat jalan menuju tempat tersebut. Hal yang dipikirkan
Sumbaruni adalah: Haruskah ia ikut terlibat dalam perburuan pusaka Pisau Tanduk
Hantu itu?
Menunggu jawaban dari
Sumbaruni tak kunjung tiba, Resi Pakar Pantun berkata,
"Celana kolor bersulam
benang paku Digondol anjing dibuat jamu Tak ada ruginya kau menolongku Hadiah
besar kan kuberikan padamu."
Sungging senyum tipis berkesan
sinis mekar di bibir manis Sumbaruni. Ia tak begitu tertarik dengan janji sang
Resi. Tetapi ia penasaran dan ingin tahu bentuk hadiah yang akan diberikan
padanya.
"Apa hadiah yang akan kau
berikan padaku? Aku ingin tahu."
Resi Pakar Pantun menjawab,
"Kunikahkan kau dengan pelayanku yang ganteng ini; Kadal Ginting!"
"Ah, Jangan begitu, Eyang...!"
Kadal Ginting bersungut-sungut malu.
Sumbaruni menarik napas sesak
dan berkata,
"Apakah kau bicara
menggunakan mulut dan pikiran? Atau hanya menggunakan mulut dan gigimu, Pakar
Pantun?"
"Mengapa kau tersinggung?
Apakah kau tak melihat bahwa wujud Kadal Ginting ini tak berapa jauh bedanya
dengan Pendekar Mabuk?"
"Memang tak seberapa
jauh, tapi untuk menjangkaunya bagaikan harus uluran tangan dari sini ke
rembulan. Kau menghinaku jika menawarkan hadiah seperti kepompong retak itu,
Pakar Pantun!"
"Jangan menghinaku,
Sumbaruni!" bentak Kadal Ginting. "Aku bukan seperti kepompong
retak!"
"Maaf, aku jengkel dengan
tuanmu itu, Kadal Ginting!" sesal Sumbaruni.
Kadal Ginting segera
berpantun,
"Celana kolor tersangkut
getek Hanyut terbawa air singgah di benua Biar begini rupaku yang jelek Tapi
sekali lirik, perawan sedesa ikut semua."
Resi Pakar Pantun sebenarnya
ingin tertawa mendengar rangkaian syair pantun itu, tapi karena bayangan
kegagalannya kian nyata, rasa tawa itu terpendam amat dalam, rasa murka tumbuh
membara. Sasaran murkanya tertuju pada Malaikat Miskin, sehingga ia pun segera
berkata kepada Sumbaruni,
"Sumbaruni, aku mempunyai
pusaka Jarum Jungkir Juling. Jika kau mau antarkan aku ke tempat Malaikat
Miskin, kuberikan Jarum Jungkir Juling kepadamu."
Resi Pakar Pantun segera
mengambil pusaka yang dimaksud. Caranya dengan mengurut jari tengah kanannya.
Satu kali urut pelan-pelan, dari ujung jari itu muncul sepucuk Jarum warna
putih mengkilat. Wut...!
Jarum itu dicabut dari ujung
jari tengah. Panjang jarum hanya seukuran tinggi kelingking.
"Jarum Jungkir Juling
ini," katanya sambil mendekat dan menunjukkan Jarum tersebut,
"...jika kau sentakkan dengan menahan napas di dada, maka akan keluar dari
ujung jari tengahmu tiada habis-habisnya. Orang yang terkena Jarum Jungkir
Juling punya dua kemungkinan; kalau tidak terjungkir langsung mati, ya matanya
jadi juling seumur hidup. Tak ada ruginya kau memiliki jarum ini. Hanya dalam
keadaan terpaksa saja kau bisa pergunakan secara diam-diam, tanpa diketahui
oleh lawan."
Kepala gadis yang sudah bukan
gadis itu manggut-manggut empat hitungan. Suaranya terdengar pelan,bagaikan
malas-malasan terucapkan,
"Boleh, boleh, boleh...
lumayan juga kesaktian jarummu ini, Resi!"
"Akan kuberikan padamu
jika kita sudah tiba di depan perguruannya Malaikat Miskin. Aku berjanji dan
tak akan ingkar padamu, Sumbaruni!"
Terbayang selintas kekasaran
Malaikat Miskin saat Sumbaruni kecil ada di tangannya, yang menangis mencari
Suto Sinting tapi justru ditampar mulutnya oleh Malaikat Miskin, maka Sumbaruni
pun menyetujui perjanjian tersebut.
"Tugasku hanya
mengantarmu sampai di perguruan
itu, aku tak mau ikut campur
di dalamnya!"
"Baik. Begitu saja sudah
cukup menolongku!" kata
Resi Pakar Pantun.
"Tapi..., tunggu
dulu," kata Sumbaruni sebelum mereka bergegas pergi. "Seingatku aku
ditawan oleh Malaikat Miskin karena ia menuduh Suto Sinting sebagai pencuri
pusakanya. Jadi kurasa Pisau Tanduk Hantu tidak ada di tangan Malaikat Miskin.
Pisau itu di tangan seorang pencuri, entah siapa pencurinya. Yang jelas bukan
Suto Sinting, sebab kala ia dituduh mencuri pusaka itu, ia ada bersamaku dan
mencuri bukan merupakan sifat yang dimiliki oleh Suto Sinting!"
"Pikiranmu masih muda,
Sumbaruni. Tak tahukah kau bahwa Malaikat Miskin itu orang licik? Mungkin saja
ia sebarkan kabar tentang hilangnya Pisau Tanduk Hantu supaya orang-orang
anggap ia sudah tidak berpusaka Pisau Tanduk Hantu. Dengan begitu tak ada orang
yang mengusik ketenangannya dalam memiliki pusaka itu. Padahal sebenarnya Pisau
Tanduk Hantu masih ada di tangannya, entah disembunyikan di mana!"
"Kalau memang menurut
keyakinanmu begitu, terserah. Tapi tugas membawamu sampai di depan gerbang
Perguruan Tongkat Sakti akan kukerjakan, dan jika kau ingkar janji tentang
Jarum Jungkir Juling itu, kau akan berurusan denganku lebih parah lagi, Pakar
Pantun!" ancam Sumbaruni yang merasa masih mampu menandingi kesaktian Resi
Pakar Pantun.
Sumbaruni dan Resi Pakar
Pantun tak mengerti bahwa kala itu Malaikat Miskin berpisah arah dengan
muridnya; Menak Goyang. Sang murid kembali ke perguruan dan kerahkan bala bantuan
untuk menyerang Bukit Kopong, sedangkan sang Guru sempatkan diri mencari Suto
Sinting dan ingin membujuknya agar ikut membantu menyerang orang-orang Bukit
Kopong.
Sebab dalam hatinya, Malaikat
Miskin punya keyakinan bahwa pencuri pisau pusaka itu dari tangannya adalah
salah satu orang Bukit Kopong yang dipimpin oleh Cukak Tumbila, saudara
seperguruannya sendiri.
Sedangkan Malaikat Miskin
sendiri belum berhasil melacak kepergian Suto Sinting si Pendekar Mabuk, murid
si Gila Tuak itu, karena ia salah arah. Ia pergi ke arah barat, sedangkan Suto
Sinting dan Teratai Kipas ke utara. Biar sampai buntung semua jari kakinya
tidak akan ketemu jika salah satu tidak membelok arah yang sama.
Pendekar Mabuk bukan malah
bertemu dengan Malaikat Miskin, melainkan justru bertemu dengan gadis berambut
pirang. Jubahnya warna merah jambu transparan, hingga terbayang jelas bagian di
balik jubah itu. Pakaian dalamnya hanya menutup bagian dada yang terpenting
saja, juga bagian lain yang terpenting.
Kain kuning yang menutup
bagian terpenting itu hanya seukuran setelapak tangan saja, sisanya tali
melingkari tubuh sebagai pengikat kain kuning. Gadis berambut pirang panjang
dan bertubuh elok menantang selera itu tak lain adalah Jelita Bule, anak buah
Ratu Rangsang Madu yang pernah diutus untuk mencari Suto Sinting pada saat sang
Ratu terkena 'Racun Bulan Madu' dari Nyai Sunti Rahim, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam serial : "Tabib Darah Tuak").
Melihat pelarian Jelita Bule
yang tampak terburu-buru dan masih menggenggam pedang di tangannya, Pendekar
Mabuk segera tanggap dan mengetahui adanya kesulitan yang dialami oleh Jelita
Bule. Ia segera melesat dan menghadang langkah Jelita Bule. Tentu saja gadis
berusia dua puluh tiga tahun yang bermata kebiru-biruan itu terhenti dengan kaget,
tapi segera menjadi lega setelah mengetahui orang yang menghadangnya adalah
Pendekar Mabuk.
"Oh, syukurlah aku
bertemu denganmu, Suto Sinting!" ujar Jelita Bule dengan napas
terengah-engah diburu ketegangan. Matanya yang berbulu lentik indah itu melirik
Teratai Kipas dengan curiga.
Teratai Kipas sendiri punya
cara memandang yang kurang bersahabat, sehingga Suto Sinting terpaksa
menjelaskan kepada Teratai Kipas tentang siapa Jelita Buie itu, dan menjelaskan
kepada Jelita Bule tentang siapa Teratai Kipas. Hal itu dilakukan Pendekar
Mabuk supaya tidak timbul saling salah paham dalam bersikap.
"Tampaknya kau dalam
ketegangan yang mencekam, Jelita Bule. Apa yang telah terjadi pada
dirimu?" tanya Pendekar Mabuk setelah meneguk tuaknya.
"Seseorang ingin membunuhku!"
jawab Jelita Bule setelah tarik napas panjang-panjang. Sambungnya lagi.
"Sebetulnya aku diutus
mencarimu oleh Gusti Ratu Rangsang Madu untuk sampaikan undangan perkawinan
beliau. Tapi di perjalanan aku dan Pesona Indah dihadang oleh orang dekil yang
ingin perkosa kami berdua. Kami melawan, tapi rupanya orang itu cukup sakti.
Akhirnya aku segera melarikan diri, karena merasa ilmuku tak bisa tandingin
ilmunya."
"Orang dekil?!"
gumam Pendekar Mabuk sambil tundukkan kepala dan kerutkan dahi. Sebentar
kemudian ia pandangi Teratai Kipas, seakan ingin minta pendapat pada Teratai
Kipas tentang si orang dekil itu. Tapi Teratai Kipas tidak memberikan jawaban
apa-apa.
Suto Sinting segera bertanya,
"Lalu di mana Pesona Indah? Kau tinggalkan?"
"Dia terluka, tapi dia
pun lari ke arah lain dan orang itu masih mengejar Pesona Indah. Hanya saja
ketika ia melihatku, ia berbalik mengejarku dan aku harus segera selamatkan
diri. Dia...."
Kata-kata itu terhenti,
berubah menjadi kata-kata kaget, "Itu dia...!"
Teratai Kipas sempat terlonjak
kaget dan cepat pasang kuda-kuda untuk menghadang bahaya, sebab yang dituding
Jelita Bule adalah arah belakangnya.
Namun ketika Teratai Kipas
berbalik ke belakang dan mengetahui yang datang adalah seorang gadis berpakaian
tipis membayang seperti Jelita Bule, Teratai Kipas segera yakin bahwa gadis itu
pasti teman Jelita Bule yang namanya sedang dipertanyakan oleh Pendekar Mabuk
itu.
"Pesona Indah...?! Kau
tidak apa-apa?!" Jelita Bule menghampirinya.
Pesona Indah mundur selangkah
dan berkata, "Jangan dekati aku!"
Kata-kata itu bernada tegas
tapi mengandung kesedihan. Pendekar Mabuk mendekati Jelita Bule yang terhenti
seketika dalam jarak empat langkah sebelum mencapai Pesona Indah yang tampak
berpakaian dalam warna kuning dan jubah tipisnya warna biru, berwajah mungil
cantik, berambut hitam sepundak dengan poni di depan merata rapi.
Mereka heran melihat Pesona
Indah yang murung itu
tak mau didekati. Jelita Bule
segera berkata, "Aku tahu kau terluka. Tapi kurasa kita sudah jumpa dengan
Tabib Darah Tuak dan lukamu akan disembuhkan, Pesona Indah. Mengapa kau larang
kami untuk mendekatimu?"
"Tuak itu tak ada gunanya
lagi bagiku! Tak akan bisa menolongku karena...," Pesona Indah diam, dan
akhirnya menangis dengan tundukkan wajahnya.
"Karena apa, Pesona
Indah?!" desak Suto Sinting penasaran.
"Karena... karena aku tak
bisa menelan tuak lagi," Jawab Pesona Indah bersama tangisnya.
"Aku tak mengerti maksud
kata-katamu. Jelaskan, Pesona Indah!" desak Pendekar Mabuk sambil maju dua
langkah.
Gadis itu tidak menjawab, tapi
ia menghampiri pohon yang ada di sampingnya. Lalu ia menggerakkan tangannya
memukul pohon besar itu dengan gerakan lambat sekali. Bluuusss...! Tangan itu
menembus pohon.
Mata mereka yang memandang
menjadi terbelalak kaget dan heran. Mereka semakin tertegun setelah melihat
Pesona Indah melangkah dan mampu menembus pohon tanpa mengguncangkan pohon itu
sedikit pun. Ia menembus pohon bagai sesosok bayangan tanpa raga.
"Apa yang terjadi pada
dirimu sebenarnya, Pesona Indah?!" gumam Jelita Bule dengan
terheran-heran.
"Aku sudah tidak
mempunyai raga lagi."
"Kau menjadi manusia
tembus pohon?!"
"Lebih parah dari itu,
aku tidak bisa menyentuh apa pun. Tak bisa merasakan memegang pedang atau
memegang batu. Lihatlah...!"
Pesona Indah mengangkat batu
seukuran kepalanya, tapi batu itu tidak bisa terangkat karena tidak terpegang
oleh Pesona Indah.
Tangannya bagaikan bayangan
yang dapat menembus batu, sehingga batu itu tak mampu disentuhnya sedikit pun.
"Ya, ampuuun... kau...
kau...," Jelita Bule sukar bicara karena tegangnya.
Teratai Kipas yang sejak tadi
diam saja dan ikut terheran-heran itu segera tarik napas panjang-panjang dan
berkata, "Aku tahu apa yang telah terjadi."
Suto Sinting dan Jelita Bule
pandangi Teratai Kipas dengan masing-masing dahi berkerut. Tapi sebelum Teratai
Kipas bicara, tiba-tiba mereka mendengar suara tanpa rupa yang berkata;
"Nasibmu sama dengan
nasibku, Nona!" Sekali lagi mereka terkejut. Tapi Pendekar Mabuk yang
cerdas itu cepat menghapal suara tersebut, sehingga ia berseru,
"Bancak Doya...?! Kaukah
yang bicara itu?!"
"Benar, Pendekar Muda!
Aku Bancak Doya!"
"Bukankah kematianmu
telah kusempurnakan dengan semburan tuakku?"
"Belum, Pendekar Muda!
Semburan tuakmu hanya dapat melenyapkan bayanganku. Tapi suaranya masih bisa
kau dengar, bukan? Berarti kematianku belum sempurna, Pendekar Muda!"
"Suto, siapakah orang
yang bicara tanpa rupa itu?" tanya Jelita Bule.
Pendekar Mabuk belum sempat
menjelaskan sudah terdengar suara Bancak Doya yang agaknya bicara pada Pesona
Indah,
"Nona jubah biru, apakah
kau melihatku saat ini?"
"Tid... tidak...!"
"Nanti kau akan melihatku
kalau kau sudah berbentuk bayangan, dan mungkin juga setelah bayanganmu hilang.
Ketahuilah, Nona jubah biru, dulu aku juga menjadi manusia tembus benda. Tak
bisa memegang apa-apa. Tapi dalam tujuh hari kemudian orang-orang tak bisa
melihatku, hanya bisa melihat bayanganku saja dan mendengar suaraku. Sekarang
bayanganku sudah tidak terlihat lagi, tapi rupanya suaraku masih bisa didengar.
Percayalah Nona jubah biru... kau akan mengalami urutan kejadian seperti yang
kualami."
Pesona Indah semakin menangis,
semua orang yang ada di situ bisa melihat sosok Pesona Indah tundukkan kepala
dalam wajah dukanya. Suto Sinting dan dua wanita cantik yang berdiri di
kanan-kirinya itu sama-sama tertegun, sepi dan hening beberapa saat lamanya,
sampai akhirnya terdengar lagi suara Bancak Doya yang berkata kepada mereka
semua,
"Nasib Nona jubah biru
itu tak akan bisa tertolong lagi. Sebaiknya relakan saja ia mengalami hal yang
sedang kualami ini."
"Akan kusembur dengan
tuakku!" sambil Suto Sinting buru-buru hendak menenggak tuaknya. Tetapi
suara Bancak Doya terdengar lagi,
"Percuma, Pendekar
Muda...! Semburan tuakmu akan mempercepat Nona Jubah biru menjadi bentuk
bayangan. Kau sembur lagi bayangan itu akan lenyap, dan suaranya tetap ada.
Entah sampai kapan suaranya bisa kau dengar terus, seperti suaraku saat
ini."
Pendekar Mabuk ragu, akhirnya
tak jadi semburkan tuaknya. Pesona Indah berkata, "Aku harus menghadap
Guru! Kuadukan hal ini kepada Guru!"
Plaaasss...! Pesona Indah
berlari menembus pepohonan dan semak, apa saja diterjangnya tanpa menimbulkan
angin dan gerakan lain.
"Ilmu apa yang membuat
nasibnya menjadi seperti itu?" tanya Suto Sinting sambil matanya memandang
Teratai Kipas.
***3
SEPERTI dugaan Teratai Kipas,
sebuah pisau telah menggores lengan Pesona Indah. Memang begitulah menurut
pengakuan Jelita Bule. Lawannya yang disebut sebagai laki-laki dekli itu
bersenjatakan sebuah pisau.
Ciri-ciri pisau itu adalah
bergagang tanduk rusa purba warna kuning kecoklatan. Mata pisau runcing dari
logam baja hitam. Panjangnya dari ujung sampai gagang sekitar dua jengkal.
Sarung pisau itu juga terbuat dari tanduk rusa purba yang berukir.
"Itulah yang dinamakan
Pisau Tanduk Hantu!" kata Teratai Kipas membuat suasana menjadi sepi
sejenak karena mereka saling terkesima.
Jelita Bule bertanya,
"Dari mana kau tahu tentang Pisau Tanduk Hantu?"
"Bekas guruku; Ki Selo
Gantung, pernah menceritakan Pisau Tanduk Hantu yang dimiliki oleh Malaikat
Miskin. Tapi menurut Guru, pisau itu dulu bekas milik seseorang yang berhasil
direbut oleh Malaikat Miskin."
"Apakah kau tahu
kehebatannya?"
"Tentu saja tahu,"
jawab Teratai Kipas dengan tegas.
"Pisau itu cukup
digoreskan pada tubuh lawan. Sedikit goresan saja sudah bisa membuat lawan
menderita luka seperti yang dialami oleh Pesona Indah dan Bancak Doya. Siapa
pun yang tergores Pisau Tanduk Hantu tubuhnya akan berubah menjadi bayangan
selama tujuh hari. Ia bisa dilihat tapi tak bisa disentuh dan juga tak bisa
menyentuh apa pun. Selama tujuh hari menjadi bayangan, ia tetap bisa kirimkan
suaranya kependengaran kita. Setelah tujuh hari, bayangan itu akan lenyap dan
orang tersebut hanya bisa didengar suaranya saja tanpa bisa dilihat bentuknya.
Setelah tujuh hari lagi, orang tersebut tak akan bisa didengar lagi suaranya
karena ia sudah berada di alam kelanggengan. Alam kematian yang abadi!"
"Kenapa baru kau katakan
sekarang?" tanya Suto Sinting bernada gerutu.
"Aku baru ingat kata-kata
mendiang guruku setelah melihat dua korban; Bancak Doya dan Pesona Indah
itu," jawab Teratai Kipas.
"Lalu, siapa pemilik
pisau itu?"
"Si orang dekil
itu!" kata Jelita Bule menyahut dengan geram tertahan.
"Seperti apa
ciri-cirinya?" tanya Teratai Kipas.
"Mungkin Bancak Doya
mengenalnya," kata Suto Sinting. "Sayang sekali dia sudah pergi
mengejar Pesona Indah. Mudah-mudahan ia bisa menenangkan hati Pesona Indah yang
sangat menderita itu."
"Aku masih ingat
ciri-cirinya," sambar Jelita Bule sambil berpaling menatap Suto Sinting
dan Teratai Kipas.
"Coba sebutkan apa yang
kau ingat, Jelita Bule!"
"Namanya tak kuketahui,
tapi yang jelas wajahnya jelek, tak ada manisnya sedikit pun. Rambutnya
abu-abu, kepala depan botak, celana merah, bajunya hitam, pendek, dan...."
"Si Maling Sakti!"
sergah Teratai Kipas memutus kata-kata Jelita Bule.
"Maling Sakti?!"
gumam Suto Sinting.
"Apakah namanya Maling
Sakti?"
"Banyak yang memberi
julukan begitu. Tapi nama aslinya Durjana Belang. Sebab kalau ia marah wajahnya
menjadi merah separo bagian."
"Kalau begitu dugaan kita
dulu benar, Teratai," kata Suto Sinting.
"Memang orang itulah yang
melarikan Sumbaruni kecil dan mencuri pusaka dari tangan Malaikat Miskin!"
Lalu terbayang kembali wajah
si Maling Sakti di benak Suto Sinting. Teratai Kipas pernah dibuatnya hampir
mati gara-gara melawan sosok pendek berwajah lugu tapi ternyata berilmu tinggi
itu. Lebih lekat lagi bayangan si Maling Sakti setelah Jelita Bule berkata,
"Dia tidak bisa dibunuh,
karena berulang kali pedangku menebas dadanya, namun ternyata ia kebal senjata.
Kekuatan tenaga dalamnya sangat besar."
"Tentu saja, karena dia
telah menelan Batu Sembur Getih!" sahut Teratai Kipas yang segera ingat
saat Suto Sinting menuangkan tuaknya untuk obati si Maling Sakti, dan dari
dalam bumbung bambunya itu keluar Batu Sembur Getih yang disimpan Suto dalam
bumbung itu. Akibatnya batu tersebut tertelan oleh si Maling Sakti, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Telur Mata Setan").
"Maling Sakti bisa menjadi
orang berbahaya sekali," kata Suto Sinting bagai menggumam pada diri
sendiri.
Tapi setelah itu ia memandang
Teratai Kipas dan menyambung ucapannya,
"Selain dia menjadi kebal
serta bertenaga dalam ganda karena menelan Batu Sembur Getih, dia juga bersenjata
Pisau Tanduk Hantu. Ini sangat berbahaya bagi orang lain. Pasti sikapnya akan
semena-mena terhadap siapa saja!"
"Kalau begitu, kita cari
dia untuk kita tumbangkan!" kata Jelita Bule.
"Pada dasarnya memang
begitu, tapi bagaimana cara melawan orang yang berkekuatan ganda seperti
Durjana Belang itu?" ujar Teratai Kipas. "Aku sendiri merasa semakin
tak mampu untuk kalahkan ilmunya."
"Aku yang akan
menghadapinya!" kata Suto Sinting dengan tegas dan yakin sekali akan
kemampuannya.
Tiga sosok itu melesat menuju
ke arah sungai. Karena menurut pengakuan Jelita Bule, Maling Sakti bertarung
dengannya di tanggul sebuah sungai dan berhasil melukai Pesona Indah di sana
juga.
Harapan mereka sebelum
mencapai tanggul sungai mereka sudah bisa bertemu dengan si Maling Sakti, sebab
Maling Sakti tadi mengejar Jelita Bule. Tapi ternyata yang mereka temui bukan
si Maling Sakti, melainkan dua orang yang pernah berhadapan dengan Pendekar
Mabuk. Dua orang itu adalah orang-orang Bukit Kopong juga, anak buah dari Cukak
Tumbila yang sangat penasaran untuk dapatkan pusaka peninggalan mendiang Ki
Selo Gantung; bekas gurunya Teratai Kipas.
Kedua orang itu adalah Roh
Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak. Dalam kisah Telur Mata Setan' telah
diceritakan bahwa Roh Seribu Dewa mulanya bersatu dengan Neraka Berjalan dan
Jeprak Kurap. Mereka adalah para pemburu pusaka untuk diperjual-belikan.
Mereka menamakan diri: Tiga
Pengawal Iblis. Tetapi setelah kematian Jeprak Kurap di tangan Teratai Kipas,
mereka mengambil si Kumis Tengkorak untuk bergabung menjadi Tiga Pengawal
iblis. Namun dalam satu pertempuran dengan Pendekar Mabuk, Neraka Berjalan
dibunuh oleh Malaikat Miskin, karena Malaikat Miskin ingin menciptakan budi
supaya dibalas oleh Suto dengan cara bergabung menyerang orang-orang Bukit
Kopong.
Kini yang dinamakan Tiga
Pengawal Iblis tinggal dua, yaitu Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak. Dan
agaknya mereka masih penasaran untuk dapatkan pusaka Tongkat Tulang Barong.
Mereka menganggap kunci mendapatkan Tongkat Tulang Barong ada di tangan Teratai
Kipas.
Tak heran jika mereka
menyerang Teratai Kipas untuk mencederai wanita cantik itu karena mereka
melihat tiga bayangan berkelebat. Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan oleh si
Kumis Tengkorak yang kurus kerempeng mirip tengkorak tapi kumisnya panjang
melengkung sampai lewat dagu.
Pukulan jarak jauh itu
bersinar hijau lurus tertangkap oleh mata Jelita Bule yang posisinya tertinggal
di belakang. Dengan cepat tangan Jelita Bule menyentak dan terlepaslah Jurus
'Kencana Lepas'-nya yang berwarna kuning keemasan. Sinar kuning itu menghantam
sinar hijau setelah seruan Jelita Bule terdengar keras,
"Teratai,
awaaas...!"
Blaaarrr...!
Ledakan keras terdengar saat
kedua sinar itu berbenturan. Gelombang ledakan itu menghempas kuat, membuat
tubuh Teratai Kipas yang sedang melompat itu terpelanting terbang dan jatuh tak
terjaga keseimbangan tubuhnya. Bruus! Pendekar Mabuk dan Jelita Bule segera
menghadap ke arah datangnya sinar hijau tadi.
Teratai Kipas menggerutu tak
jelas sambil berdiri kembali tanpa luka dan cacat apa pun.
Dua orang muncul dari balik
pepohonan jati besar. Si Kumis Tengkorak yang berbaju loreng hitam-merah dengan
rambut ditumbuhi uban tidak merata, muncul lebih dulu. Disusul kemudian Roh
Seribu Dewa yang berwajah angker tanpa ikat kepala karena rambutnya pendek,
kumisnya lebat seperti sayap kelelawar, bajunya hitam, senjata di pinggangnya
adalah trisula bergagang panjang. Kedua tokoh hitam yang berusia sekitar lima
puluh tahun itu sama-sama menatap Teratai Kipas yang tengah berjalan mendekati
Suto.
"Rupanya kalian masih
penasaran denganku?!" kata Suto Sinting.
"Sebelum gadis ini buka
mulut tentang di mana pusaka Tongkat Tulang Barong disembunyikan, kami tetap
akan mengganggu ketenangan kalian!" kata Roh Seribu Dewa yang bersuara berat.
Si Kumis Tengkorak menimpali,
"Tapi kalau yang lainnya mau ikut-ikut cari perkara dengan kami, kami siap
sedia melayaninya tanpa rasa gentar sedikit pun."
Matanya melirik ke arah Jelita
Bule yang berhidung mancung dan berkulit putih itu. Pandangan mata itu jelas
pandangan mata nakal, karena keelokan tubuh Jelita Bule terlihat jelas dari
balik pakaian tipisnya.
Teratai Kipas segera maju
selangkah dari samping Suto dan berkata tanpa rasa takut sedikit pun,
"Sampai mayatku ke liang
kubur pun kalian tak akan dapatkan keterangan dari mulutku tentang Tongkat
Tulang Barong itu!"
"Perempuan keras kepala
akan dimakan rayap dalam waktu singkat!" ujar Kumis Tengkorak dengan nada
tegas namun berkesan dingin.
"Apa maumu
sekarang?!" bentak Teratai Kipas.
Roh Seribu Dewa menjawab,
"Melumpuhkan dirimu agar mau bicara!"
"Biar aku saja yang
menghadapi!" kata Jelita Bule.
"Jangan! Ini
urusanku!" kata Teratai Kipas agak pelan.
Roh Seribu Dewa segera
berkata, "Terlalu banyak berunding kalian ini! Heaaah...!"
Sebuah pukulan jarak jauh
dilepaskan oleh Roh Seribu Dewa. Sasarannya ke perut Teratai Kipas.
Dengan cepat Teratai Kipas
melompat ke atas dan pukulan bersinar biru bagai bola kecil itu melesat di
tempat kosong. Tetapi karena di belakang Teratai Kipas ada Suto Sinting, maka
Suto-lah yang menjadi sasaran bola biru itu.
Wuuut...!
Deeeb...! Weees...! Blaaar...!
Sinar biru itu ditangkis
dengan bumbung tuaknya Suto Sinting. Sinar itu membalik arah lebih besar
bentuknya dan lebih cepat gerakannya. Roh Seribu Dewa tercengang melihat
pukulannya membalik arah. Ia bagaikan terpaku di tempat. Untung kaki si Kumis
Tengkorak segera menendangnya dari samping.
Duuug...!
Wuuus...! Brrruk...!
Roh Seribu Dewa jatuh
terjengkang karena tendangan itu, tapi ia selamat dari pukulan sinarnya yang
membalik itu. Sinar tersebut menghantam pohon jati di
belakangnya dan pohon itu
langsung pecah menjadi berantakan. Duaaar!
"Auh...!" Roh Seribu
Dewa terpekik kesakitan karena sepotong dahan pohon yang hancur jatuh menimpa
ubun-ubunnya.
"Hiaaat...!" si
Kumis Tengkorak melompat menyerang Teratai Kipas. Tangannya bergerak cepat
membingungkan pandangan mata lawannya. Tapi Teratai Kipas segera bersalto
mundur dua kali, dan dengan kaki berlutut satu, ia telah mencabut kipasnya.
Lalu kipas itu disentakkan ke
depan dan dari ujung kipas yang masih terkatup itu keluar sinar merah lurus.
Claaap...!
"Huaaah...!" si
Kumis Tengkorak menyentakkan kedua tangannya ke depan dalam keadaan terbang di
udara. Dari tangan itu keluar asap biru yang menghadang sintar merah.
Blaaarrrr...!
Ledakan yang timbul cukup
hebat. Daya hempasnya bagaikan badai menyentak tubuh yang melayang itu. Tak
urung tubuh si Kumis Tengkorak terpental menghantam salah satu pohon.
Duuugh...!
"Oohg...!" Kumis
Tengkorak terpekik. Tulang punggungnya terasa patah.
Tahan...!" seru Suto
Sinting ketika Jelita Bule hendak bergerak menyerang Roh Seribu Dewa yang sudah
cabut trisulanya. Seruan itu disangka tertuju pula kepada Teratai Kipas yang
hendak menerjang si Kumis Tengkorak dengan kipasnya yang telah terbentang.
Gerakan Teratai Kipas pun
terhenti seketika. Padahal maksud Suto Sinting mengingatkan Jelita Bule agar
tidak ikut campur dalam perkara tersebut.
Karena tak ada serangan dari
pihak Teratai Kipas, maka Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak pun hentikan
serangannya. Mereka bersifat menunggu, dengan mata tertuju pada Pendekar Mabuk,
menyangka ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh Pendekar Mabuk.
Tapi setelah Pendekar Mabuk
sendiri diam karena bingung merasa semuanya bungkam seketika, maka Roh Seribu
Dewa pun berkata kepadanya,
"Kalau kau ingin
membelanya, majulah! Aku yang akan merajang tubuhmu, Bocah Kampung!'
"Tidak. Aku tidak akan
mau melawanmu lagi. Aku kasihan kepadamu. Jika melawan Teratai Kipas saja
kalian keteter, mengapa kalian berharap melawanku? Kusarankan hilangkan saja
harapan kalian untuk melawanku!"
"Kau sangka kami kalah
melawanmu, hah?!" bentak Roh Seribu Dewa. "Coba terima jurus 'Trisula
Kubur' ini, hiaaah...!"
"Heeeaaah...!" si
Kumis Tengkorak ikut-ikutan menyerang Suto Sinting dalam satu lompatan. Namun
baru saja mereka bergerak, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sekelebat bayangan
yang melintas di depan mereka seperti angin berhembus. Wuuut...!
Craasss...!
Bruuus...! Bayangan itu masuk
ke semak-semak.
Kemudian terdengar seperti
berlari meninggalkan tempat itu dengan menerabas semak belukar dengan cepatnya.
Suara gemerisik terdengar
makin lama semakin
menjauh.
Bukan hanya kedua tokoh hitam
itu saja yang terkejut, melainkan Suto Sinting dan kedua gadis cantik itu juga
terperanjat melihat gerakan cepat sesosok bayangan yang segera menghilang itu.
Lebih terkejut lagi setelah melihat perut si Kumis Tengkorak terluka kecil
bagai tergores benda tajam. Sementara itu dada Roh Seribu Dewa juga tergores
kecil, seperti terkena bulu bambu yang tajam. Darah yang keluar sangat sedikit.
Bahkan luka itu sempat digaruk-garuk oleh Roh Seribu Dewa sambil menggeram
marah,
"Setan mana tadi yang
lewat di depan kita itu, Kumis Tengkorak? Kurang ajar! Apa maksudnya
menghentikan gerakan kita?!"
Kumis Tengkorak hanya
menjawab, "Entah!" tapi matanya tertuju pada Suto Sinting yang tadi
sempat melompat mundur sekitar dua tindak. Tanpa menunggu kata-kata lainnya,
Kumis Tengkorak melompat kembali menerjang Suto Sinting.
"Hiaaat...!"
Suto Sinting lompat ke depan
juga sambil kibaskan bumbung tuaknya ke arah badan Kumis Tengkorak.
Wuuut...! Wuuusss...! Bumbung
bambu itu terlihat jelas-jelas menghantam pinggang Kumis Tengkorak. Tapi
bumbung bambu itu bagaikan menghantam bayangan.
Bahkan tubuh itu masih bisa
bergerak menerjang Pendekar Mabuk. Blaaass...!
"Lho...?!" terdengar
suara kaget Kumis Tengkorak setelah berhasil berdiri di belakang Suto Sinting.
Semua menjadi heran dan tegang, termasuk Suto sendiri.
"Kumis Tengkorak?!"
seru Roh Seribu Dewa. "Kau bisa menembus raga si bocah kampungan itu?!
Hebat...!
Hebat sekali kau! Ha, ha, ha,
ha...!"
"Hebat gundulmu!"
sentak Kumis Tengkorak.
Pendekar Mabuk, Teratai Kipas,
dan Jelita Bule segera mundur jauhi mereka berdua. Roh Seribu Dewa dihampiri
oleh si Kumis Tengkorak dan terdengar pula ia berkata,
"Bukan aku yang sakti,
tapi bocah kampungan itu yang sakti. Raganya tak bisa disentuh!"
"O, kukira kau yang
menjadi sakti?! Ha, ha, ha, ha...! Minggir, biar kuhadapi sendiri si bocah
kampungan yang mata keranjang itu!"
Sambil berkata demikian,
tangan Roh Seribu Dewa menepiskan tubuh Kumis Tengkorak. Wuuusss...!
Tangan itu bagaikan menepis
bayangan. Tubuh si Kumis Tengkorak tak tersentuh oleh Roh Seribu Dewa. Tangan
tersebut nyeplos dari lengan si Kumis Tengkorak sampai ke dada dan keluar lagi.
Langkah kaki Roh Seribu Dewa
terhenti, ia pandangi temannya yang kurus kering bermata cekung itu.
"Kau...?!" katanya
dalam nada heran. "Kau yang sakti. Buktinya aku tak bisa menyentuh
tubuhmu, Kumis Tengkorak!"
"Jangan ngomong
sembaranganl Aku belum sesakti itu!" sentak Kumis Tengkorak.
Ia mencoba menampar wajah Roh
Seribu Dewa.
Wuuut..., plooos...! Tamparan
itu tidak mengenai sasaran, melainkan berkelebat tembus melintasi pertengahan
wajah Roh Seribu Dewa. Keduanya sama-sama kaget.
"Ternyata kau yang sakti,
Roh Seribu Dewa! Aku tak bisa menamparmu! Lihat!" Plos... wuuus...
plos...!
Kumis Tengkorak menampar wajah
Roh Seribu Dewa, tapi selalu nyeplos seperti memukul asap. Roh Seribu Dewa
terperangah dalam wajah bangga, lalu ia tertawa terbahak-bahak.
"Huah, ha, ha, ha, ha...!
Ternyata kita berdua menjadi sakti, tak bisa disentuh siapa pun! Hua, hah, hah,
hah, haaa...!"
Plos, plos, plos, plos...!
Roh Seribu Dewa menendang dan
memukul teman sendiri berulang kali untuk membuktikan dugaannya.
Ternyata ia seperti memukul
dan menendang asap.
"Lihat... buktinya kau
pun tak bisa kupukul, Kumis Tengkorak! Dan lihat betapa saktinya kita...."
Roh Seribu Dewa berlari
menembus pohon. Blees...!
Plaaas...! Ploos...!
Setiap pohon diterjangnya, dan
tubuh Roh Seribu Dewa dapat menembusnya dengan mudah bagaikan gumpalan asap
menerjang pepohonan, ia tertawa terbahak-bahak sambil lari sana-sini sengaja
menabrak pohon atau gugusan batu.
"Huah, hah, ha, ha, ha,
ha...! Kita menjadi sakti, Kumis Tengkorak! Lihat... lihat aku bisa menembus
pohon! Tak ada getarannya
sedikit pun. Lihat kesaktianku ini, sama dengan kau juga. Kalau tak percaya
cobalah sendiri!"
Kumis Tengkorak penasaran. Tak
peduli jadi tontonan tiga lawannya, ia berlari menembus pohon.
Mulanya agak ragu. Kepalanya
dulu yang dibenturkan ke pohon. Busss...! Kepala itu nongol di balik pohon
sementara badannya masih ada di depan pohon.
"He, he, he..., iya! Bisa
begini?!"
Akhirnya Kumis Tengkorak tak
segan-segan menembus pohon. Mereka berdua berlari-lari menerjang pepohonan
dengan bangga dan gembira sekali.
Blas, blus... blas, blus...
blas, blus...!
"Hiiaah, hiaah,
hiaaahhh...! Kita bisa menembus pohon," Kumis Tengkorak jejingkrakan
seperti anak kemarin sore. Mereka berdua bersuka ria dengan gembira, seakan
memamerkan kesaktiannya yang baru di depan Suto Sinting.
Terdengar suara Teratai Kipas
berkata lirih, hanya Suto dan Jelita Bule yang mendengarnya,
"Manusia goblok! Dirinya
sudah menjadi bayangan kok bangga? Disangkanya sakti?! Hmm...!"
"Menurutmu," kata
Jelita Bule, "Orang yang berkelebat tadi adalah si Maling Sakti dengan
pisaunya?"
"Benar," kata
Teratai Kipas. "Pasti mereka telah tergores pisau si Maling Sakti. Lihat
saja luka goresan di dada dan perut mereka itu!"
Suto Sinting tersenyum geli
melihat Roh Seribu
Dewa dan Kumis Tengkorak
jejingkrakan lari sana-sini bahkan saling berbenturan tapi selalu lolos bagai
dua asap beradu. Wuuus...! Dan mereka justru tertawa terbahak-bahak. Tawa dan
kegembiraan mereka itulah yang membuat Suto Sinting menjadi geli melihatnya.
"Hei, Bocah
Kampungan!" seru Roh Seribu Dewa,
"Sekarang saatnya kita
bertarung untuk menentukan mana yang boleh tetap hidup dan mana yang harus mati
lebih dulu!"
Pendekar Mabuk lebarkan
senyumnya, ia maju tiga langkah, sementara Teratai Kipas dan Jelita Bule tetap
di tempat.
"Perlu kau ketahui, Roh
Seribu Dewa," kata Suto Sinting, "Kalian bukan menjadi sakti, tapi
justru kebalikannya! Kalian akan menderita dan sedih, karena sebentar lagi
kalian tidak akan bisa dilihat siapa-siapa!"
"Itulah kehebatan
kami!" teriak Roh Seribu Dewa dengan bangga.
Kumis Tengkorak yang ada di
samping kanan Roh Seribu Dewa segera berkata,
"Kalau kau mulai takut,
segeralah menyingkir dari hadapan kami, Bocah ingusan! Biar kami akan paksa
Teratai Kipas untuk buka mulut!"
"Menyedihkan
sekali!" kata Pendekar Mabuk.
"Kalian berdua sebenarnya
sudah mati karena tergores pisau orang yang berkelebat di depan kalian
tadi!"
"Gundulmu iyu yang
mati!" umpat Kumis Tengkorak sambil mengusap-usap kumisnya dengan bangga.
"Ambillah batu dan
lemparkan padaku. Kalau kalian bisa mengambil batu, aku akan berguru kepada
kalian!"
kata Suto Sinting.
"Kurang ajar! Berani
betul kau merendahkan ilmu orang sakti seperti kami ini, hah?! Akan
kubuktikan...!" seru Roh Seribu Dewa. Lalu, ia mengambil batu yang
tergeletak tidak jauh darinya.
Wuuut... ploos...! Ploos...!
Roh Seribu Dewa diam dalam
keheranan memandangi batu itu. Kumis Tengkorak pun memandang dari tempatnya
dengan dahi berkerut.
Tangan Roh Seribu Dewa
mendekati batu itu pelan-pelan bagai ingin menangkap kupu-kupu atau seekor
capung. Lalu tangan itu bergerak cepat menyambar batu segenggam.
Wuut...!
Ploos...! Tangan menggenggam
tapi batu masih tertinggal di tempatnya.
Temannya berseru,
"Goblok! Ambil batu saja tak becus!" Ia bergegas mendekat dan
memungut batu itu.
Bluus...! Sekali lagi ia
menyambar batu itu.
Ploos...!
"Kok tidak bisa?!"
si Kumis Tengkorak mulai heran dan curiga, ia bicara pada Roh Seribu Dewa,
"Kita tak bisa menyentuh apa-apa?!"
"Entahlah. Sebenarnya
kita ini sama-sama sakti atau sama-sama goblok?!"
Lalu, Suto Sinting berkata,
"Percayalah padaku, kalian sebentar lagi akan menjadi manusia tanpa raga!
Kalian telah terkena kekuatan sakti dari Pisau Tanduk Hantu yang dimiliki oleh
Durjana Belang alias si Maling Sakti itu!"
Roh Seribu Dewa menjadi gusar.
"Tidak mungkin! Pisau Tanduk Hantu dimiliki oleh Malaikat Miskin
dan...."
"Dan dicuri oleh teman
kalian yang bernama si Maling Sakti!" sahut Teratai Kipas sambil mendekati
Suto. Jelita Bule ikut mendekat pula.
"Dalam tujuh hari kalian
akan tinggal bayangan dan suara saja!" sambung Jelita Bule menimpali
ucapan Suto dan Teratai Kipas.
Roh Seribu Dewa saling pandang
dengan Kumis Tengkorak.
"Benarkah Durjana Belang
sudah berhasil mencuri pisau Tanduk Hantu dari tangan si Malaikat
Miskin?!"
Kumis Tengkorak berkata,
"Mungkin saja, karena kudengar ada tokoh lain yang berani membayar Pisau
Tanduk Hantu dengan harga mahal sekali!"
"Tap... tapi... tapi
kenapa dia melukai kita? Kita kan teman?" Roh Seribu Dewa mulai tampak
sedih.
"Entahlah," si Kumis
Tengkorak tundukkan kepala dengan sedih pula. "Mungkin Durjana Belang tak
suka pada kita yang selalu dipuji oleh sang Ketua!" sambil berkata begitu,
tangannya mencoba memegang ranting-ranting semak, ternyata ranting itu tak
tersentuh sedikit pun.
"Tak mungkin. Durjana
Belang tak mungkin berhasil mencuri pisau itu. Kalau toh memang benar dia telah
berhasil mencuri pisau itu, pasti dia tak akan melukai kita. Selama ini
hubungan kita dengannya baik-baik saja, Kumis Tengkorak...! Kita tak pernah
nakal padanya," suara Roh Seribu Dewa semakin parau bagai orang mau
menangis.
"Mungkin...," Kumis
Tengkorak semakin sedih.
"Mungkin dia ingin
menumpas habis kita, dan.. dan ingin merebut kekuasaan untuk menggantikan
kedudukan Cukak Tumbila sebagai penguasa Bukit Kopong!"
"Kalau begitu... kita
harus cepat-cepat menghadap sang Ketua!"
"Baik. Kita adukan
tindakan Maling Sakti yang membuat kita begini!"
Blaass...!
Kedua orang itu pergi tanpa
pamit, menembus pohon, menembus semak, menembus apa saja yang dilintasinya.
Sementara itu, Suto Sinting dan kedua gadis cantik itu memandang dengan
tertegun sesaat, lalu Teratai Kipas berkata, "Benarkah Maling Sakti
bernafsu ingin menggantikan kedudukan Cukak Tumbila sebagai penguasa Bukit
Kopong?!"
"Entahlah. Kita kejar
saja dia!" ujar Suto sambil bergegas pergi.
***4
MENJELANG senja, lereng
bertanah datar menjadi tempat pertemuan yang menegangkan. Di situ ada gugusan
bukit cadas yang tak seberapa tinggi. Mudah dicapai dengan kekuatan tenaga
peringan tubuh. Dinding bukit cadas kecil itu berbentuk datar, dalam arti tegak
lurus. Bagian atas bukit kecil itu juga datar, tanpa pepohonan kecuali semak
pendek dan bebatuan.
Dari atas bukit kecil itulah
Pendekar Mabuk melompat turun dan bersalto dua kali, sementara Teratai Kipas
dan Jelita Bule tetap ada di atas. Suto Sinting mendaratkan kakinya tanpa bunyi
karena mampu mengendalikan ilmu peringan tubuh yang digabungkan dengan jurus
'Layang Raga'.
Kemunculan Pendekar Mabuk yang
menyerupai dewa turun dari langit itu mengejutkan langkah kaki seseorang.
Langkah itu terhenti seketika dalam jarak tujuh tindak di depannya sang
pendekar tampan, murid sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu.
"Eeh... kamu?" ujar
orang itu sambil nyengir.
Wajahnya lucu-lucu konyol.
Enak ditampar. Lagaknya bagai orang tak berdosa apa pun. Barangkali itulah
salah satu kemahiran si Maling Sakti, mampu menipu lawan dengan lagaknya yang
seperti orang polos tanpa bersalah sedikit pun.
Tetapi sang pendekar tampan
tetap waspada dan pandangi Maling Sakti dengan mata tak berkedip walau di
bibirnya tersungging senyum tipis, ia melangkah tenang dekati Maling Sakti.
Empat langkah kemudian berhenti.
"Hebat. Kau sekarang
menjadi orang hebat, Maling Sakti!"
"Ah, jangan begitu,"
Maling Sakti bersungut-sungut malu bagai merendahkan diri. "Soal hebat itu
kan sudah lama, masa' baru kau tegur sekarang? Aku jadi malu sendiri."
"Mestinya kehebatanmu itu
kau pergunakan untuk kebajikan, Maling Sakti."
"O, tentu! Tentu begitu,
Suto Sinting!"
"Tapi tindakanmu
belakangan ini konon lebih liar lagi dari sebelumnya. Mengapa kau bertindak
lebih liar lagi?"
"Baru saja mau pulang ke
tempat tinggalku. Kalau kau mau ikut singgah, aku tak keberatan kau singgah di
tempat tinggalku."
"Hei, yang kutanyakan,
mengapa kau bertindak lebih liar?!" tegas Suto.
"O, kau tanya begitu?
Kudengar kau tanya dari mana aku sejak kemarin? Hmm... ah, kau mungkin salah
tanya. Mengapa kau menganggap aku bertindak liar, Suto Sinting?"
"Karena kau telah melukai
beberapa orang dengan
pusaka curianmu itu!"
"Pusaka? Pusaka
apa?!" Maling Sakti berwajah bingung, dahinya berkerut, matanya menatap
tajam. Suto Sinting melirik ke arah atas bukit cadas itu. Maling Sakti
ikut-ikutan memandang ke atas, menatap Jelita Bule dan Teratai Kipas. Lalu ia
nyengir sendiri dan berkata,
"Rupanya kau semakin
lengket dengan gadis mantan murid Ki Selo Gantung itu, Suto. Hmm... boleh
juga!"
Maling Sakti manggut-manggut.
"Tapi menurutku lebih cantik yang berkulit putih dan berambut emas itu.
Siapa dia, Suto?!"
"Apakah kau belum
mengenal gadis itu?"
"O, menilai kecantikan
itu merupakan keahlianku, Suto!"
"Yang kutanyakan, apakah
kau tidak mengenal gadis itu?!" Suto agak keras lagi dalam bicaranya,
sedikit bernada jengkel.
"Ooo... begitu? Ah, mana
aku kenal dia? Bertemu pun baru sekarang!"
"Kau bohong, Maling
Sakti!"
"Ya, ampuuun...! Berani
sumpah disambar tumpeng, aku belum pernah bertemu dengan gadis itu sebelum ini!
Eh, ngomong-ngomong dia memakai pakaian atau tidak, Suto? Kok kelihatannya...
anu sekali?! Hi, hi, hi, hi...!" Maling Sakti cengengesan.
Dari atas sana, percakapan itu
terdengar oleh kedua wanita tersebut. Maka Teratai Kipas memberi isyarat kepada
Jelita Bule agar turun bersama. Anggukan kepala Teratai Kipas membuat Jelita
Bule segera melompat turun bagai seekor burung kehilangan bulunya.
Wuuus...!
Mata Maling Sakti terbelalak
nakal. "Wow...!" ucapnya sambil tarik napas memandangi keadaan Jelita
Bule yang berpakaian sangat tipis itu. Kedua wanita tersebut ada di sebelah
kanan Suto Sinting dalam jarak empat langkah. Jelita Bule langsung menyapa si
Maling Sakti,
"Kau jangan berlagak tak
mengenaliku, Monyet Miskin! Kau telah bertarung denganku dan dengan temanku.
Kau bermaksud mau memperkosa kami sekaligus! Kau telah melukai temanku dengan
pisau pusakamu!"
"Hei, hei...?!"
Maling Sakti kian bingung mirip pria linglung. "Kau bicara soal apa
sebenarnya? Aku tidak penah bertarung denganmu dan tidak pernah bermaksud
memperkosamu. Aku tidak punya pisau pusaka.
Senjataku hanya golok, tapi
itu pun sudah pecah ketika beradu dengan bumbung tuaknya Suto! Jangan
mengada-ada, Nona aduhai!"
Pendekar Mabuk mengernyitkan
alis, mengecilkan matanya. Dipandangi tubuh Maling Sakti secara diam-diam. Tak
terlihat ada pisau di pinggangnya. Sementara itu Teratai Kipas berkata dalam
nada pelan kepada Jelita Bule.
"Apa kau tak salah lihat?
Sudah yakin bahwa dia orangnya?"
"Ya. Dia orangnya! Dia
yang mempunyai Pisau Tanduk Hantu itu!" jawab Jelita Bule dengan suara
keras dan tegas.
"Maling Sakti," kata
Suto Sinting, "Serahkan pisau itu, karena pusaka tersebut bukan
milikmu!"
"Aku tidak memiliki pisau
itu, Suto!" Maling Sakti bernada jengkel.
"Omong kosong!"
bentak Jelita Bule. "Pasti kau sembunyikan di balik bajumu itu! Mengaku
sajalah kau!"
"Belum. Belum pernah
melihatnya," kata Maling Sakti salah dengar.
"Dia bilang; mengaku
sajalah kau!" bentak Suto memperjelas.
"O, dia minta aku
mengaku? Baik...! Nih, aku mengaku!" tubuh Maling Sakti dikeraskan. Dari
kaki sampai kepala kaku semua.
Jelita Bule merasa
dipermainkan. Maka dihampirinya Maling Sakti dan ditampar pipi orang itu dengan
keras.
Plaaak...!
"Auh...!" Maling
Sakti terpelanting memutar dua kali. Ia meringis sambil mengusap-usap pipinya. "Katanya
suruh mengaku! Begitu tubuhku sudah kubuat kaku, malah ditampar?! Bagaimana kau
ini, Nona? Gilakah kau sebenarnya?!"
Teratai Kipas ikut jengkel dan
menjelaskan, "Jangan berlagak bodoh, Durjana Belang! Yang dimaksud mengaku
itu berkata jujur! Bukan tubuhnya dibuat menjadi kaku seperti kau tadi!"
"Tunggu dulu...,"
bisik Jelita Bule saat mereka berada di dekat Suto. "Dia bisa kutampar.
Padahal waktu bertarung denganku dan Pesona Indah, tubuhnya bagaikan baja.
Jangankan ditampar, ditendang saja tak bergeming sedikit pun. Sekarang...
lihat, pipinya menjadi merah karena tamparanku?!"
"Coba lepaskan pukulan
tenaga dalam yang tidak berbahaya!" bisik Teratai Kipas. Maka dengan
serta-merta Jelita Bule lepaskan pukulan tenaga dalam dari arah samping ketika Suto
mengajak bicara Maling Sakti.
Wuuut...! Sentakan tangan kiri
Jelita Bule mempunyai hentakan tenaga dalam tanpa sinar yang hanya akan membuat
orang terpukul dan tumbang. Beeeg...!
Wuuusss... brruk...!
Tubuh Maling Sakti terlempar
empat tindak dari tempatnya dan jatuh terjungkal dengan berteriak kesakitan
karena tulang sikunya membentur batu.
"Wadaaaow...! Kampret
busuk!" Ia bergegas bangkit dan menjadi marah, tapi warna merah di
wajahnya yang kanan hanya samar-samar, berarti kemarahannya tak seberapa
tinggi.
"Perempuan kebo! Kalau
berani jangan membokong! Hadapi aku secara jantan!" umpat dan tantang si
Maling Sakti. Tapi Jelita Bule tidak layani tantangan itu. Ia bahkan berbisik
kepada Suto dan Teratai Kipas.
"Waktu bertarung
denganku, dia tak bisa dihantam seperti tadi. Bahkan kugunakan jurus 'Kencana
Lepas' ku, tapi tak mampu menembus atau melukai kulit tubuhnya. Sekarang kenapa
dia bisa terjungkal hanya dengan pukulan tenaga dalam seringan itu?"
"Akan kugeledah
dia!" ujar Suto pelan, lalu tinggalkan dua gadis itu dan dekati Maling
Sakti.
"Maling Sakti, jika kau
benar tidak membawa Pisau Tanduk Hantu, maukah kau kugeledah?"
"Untuk apa kau
membedahku?"
"Kugeledah!" tegas
Suto lagi.
"O, mau menggeledahku?
Boleh saja! Boleh...! Silakan!" Maling Sakti angkat kedua tangannya. Suto
memeriksanya sampai kedua kaki dirabanya.
"Kalau perlu periksa juga
mulutku ini. Haaa...?!"
Maling Sakti buka mulutnya
lebar-lebar. Suto Sinting mendengus dan berpaling wajah.
"Tak perlu. Aku belum
terbiasa mencium bau pete!" ujar Suto Sinting sambil mendengus lagi lewat
hidungnya, dan segera
meninggalkan Maling Sakti.
"Bagaimana?" tanya
Teratai Kipas.
"Tidak ada! Dia tidak
menyelipkan pisau di mana-mana! Tak ada senjata apa pun kecuali senjatanya
pribadi."
"Ah, itu tak kubutuhkan!"
kata Jelita Bule. "Tapi... siapa tahu disimpan pada sekitar 'senjata
pribadinya itu?"
Teratai Kipas ingin tertawa
geli, "Coba kau yang geledah di daerah sekitar itu," ucapnya kepada
Jelita Bule.
"Ih, amit-amit! Kau saja
yang periksa kalau kau mau!"
Suto Sinting berkata,
"Sudah, sudah.... Sudah kuperiksa di sekitar situ juga tidak ada.
Jangan-jangan memang bukan dia?"
"Suto...," seru
Maling Sakti. "Apakah kau sudah puas menggeledahku?"
Suto Sinting diam, tak bisa
menjawab. Sebab hatinya masih penasaran dan diiiputi keragu-raguan. Tapi
akhirnya ia berkata juga, "Dari mana kau tadi?"
"Memang aku jarang gosok
gigi," jawab Maling Sakti salah dengar.
"Kutanya; dari mana kau
tadi?!"
"O, dari... dari mencari
dua temanku; Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak. Apakah kalian ada yang
melihatnya?"
Tiga orang itu saling pandang.
Teratai Kipas yang menjawab, "Ya, kami melihat mereka berdua. Tapi
sekarang mereka sudah menjadi bayangan, tak bisa disentuh dan tak bisa
menyentuh apa pun."
"Ah, kau bercanda saja!
Yang kutanyakan, apakah kalian melihat mereka? Bukan menanyakan tentang
cita-cita kalian!"
"Aku sudah menjawab
pertanyaanmu! Bukan bicara soal cita-cita!" bentak Teratai Kipas, lalu
Suto Sinting mengulangi jawaban Teratai Kipas tadi. Dan si Maling Sakti tampak
terbengong heran.
"Mereka menjadi
bayangan?! Ah, mana mungkin? ilmu mereka tak setinggi itu!"
"Karena seseorang telah
menggoreskan Pisau Tanduk Hantu di tubuh mereka!" kata Suto lebih
memperjelas lagi.
"Siapa yang menggunakan
pisau itu? Hmmm..., si Malaikat Miskin maksudmu?"
"Kurasa bukan dia."
"Ah, pasti dia! Aku harus
bikin perhitungan dengannya sekarang juga!" Maling Sakti bergegas pergi.
"Hei, mau ke mana
kau?!"
"Ke Perguruan Tongkat
Sakti, bikin perhitungan dengan si Maiaikat Miskin!"
"Kau tak akan bisa masuk
ke pintu gerbangnya. Penjagaannya sangat ketat!" seru Teratai Kipas. Dari
kejauhan si Maling Sakti
berseru pula,
"Tak ada yang tak bisa
kutembus walau seketat apa pun penjagaan di sana! Kalau kau tak percaya,
kepalanya Malaikat Miskin akan kubawakan untukmu!" sambil langkahnya makin
cepat dan akhirnya berlari menyelusup di balik semak.
Kepergian Maling Sakti membuat
Suto Sinting dan kedua wanita itu tertegun beberapa saat. Masing-masing sibuk
dengan kecamuk batinnya. Tiba-tiba terdengar suara Jelita Bule berkata lirih
bagai tertuju untuk dirinya sendiri,
"Mungkinkah ada Maling
Sakti kembar?"
Pendekar Mabuk dan Teratai
Kipas sama-sama memandang Jelita Bule dengan cepat. Dahi mereka masih berkerut.
Jelita Bule tambahkan kata lagi,
"Sebab setahuku memang
dialah orangnya. Tapi mengapa dia bisa kupukul dan tidak membawa pisau
tersebut?"
"Penipuan...," ucap
Teratai Kipas pelan dan datar, seperti orang bicara sambil menerawang ke
mana-mana.
"Penipuan
bagaimana?" tanya Suto Sinting. Tapi Teratai Kipas tidak lanjutkan kata.
Ia hanya tarik napas dalam-dalam dan berkata kepada Suto Sinting,
"Keadaannya sudah seperti
ini. Sekarang kita mau bagaimana menurutmu?"
Ganti si Pendekar Mabuk yang
tarik napas, lalu menjawab dengan ketegasan yang masih bernada lembut,
"Kurasa Jelita Bule
pulang saja, sambil menjelaskan masalah ini kepada Ratu Rangsang Madu."
"Tapi aku harus meminta
kepastianmu bahwa kau akan datang pada saat perkawinan Gusti Rangsang Madu
nanti!"
" Kapan hal itu
dilakukan?"
" Tepat malam purnama
nanti. Tinggal beberapa hari lagi."
" Baik. Akan kuusahakan
untuk datang. Tapi... siapa calon suaminya?"
" Calon suami Ratu
Rangsang Madu tak lain adalah si tampan Pande Bungkus!"
" Hah...?!" Suto
Sinting terkejut, matanya terbelalak.
" Pande Bungkus? Si bocah
polos tanpa ilmu apa pun itu?!"
"Benar. Kepolosannya itu
yang membuat Gusti Ratuku terpikat olehnya!" kata Jelita Bule sambil
tersenyum, lalu Suto Sinting termenung dan akhirnya tertawa sendiri sambil
geleng-gelengkan kepala.
Terbayang wajah Pande Bungkus
yang tampan, bertubuh kekar, berambut ikal selewat pundak diikat dengan kain
putih, tapi di balik sosok penampilannya yang menawan itu dia adalah pemuda
usia delapan belas tahun yang lugu, bahkan berkesan bodoh. Tak ada ilmu apa pun
pada diri Pande Bungkus kecuali ilmu membidik sasaran dengan ketapelnya.
Ketapel itu selalu menjadi kalung kebanggaan dan ke mana pun ia pergi selalu
dibawanya.
Pemuda desa yang dulu
mempunyai ibu seorang pedagang nasi bungkus itu dikenal Suto Sinting pada saat
terjadi banjir yang menerjang rumah pemuda tersebut. Pada mulanya Pande Bungkus
ingin menjadi murid Pendekar Mabuk, sehingga dengan penuh kesetiaan mendampingi
Suto Sinting melakukan perjalanan ke Pulau Selayang, menyembuhkan Ratu Rangsang
Madu. Tapi agaknya ia terjerat cinta di Pulau Selayang dan memilih menjadi
suami sang Ratu ketimbang menjadi murid sang pendekar tampan, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Tabib Darah Tuak").
"Setiap manusia mempunyai
keberuntungan sendiri-sendiri. Keberuntungan itu sendiri tak bisa direncanakan
sematang mungkin, karena keberuntungan itu datang dari luar kemampuan daya
pikir manusia," kata Suto Sinting menjelaskan kepada Teratai Kipas tentang
siapa Pande Bungkus dan siapa Ratu Rangsang Madu sebenarnya.
"Apakah keberuntunganku
pun akan datang tak disangka-sangka? Terutama soal jodohku nanti?" pancing
Teratai Kipas saat Jelita Bule sudah pergi sejak tadi. Dan Suto Sinting
memandangnya dalam senyuman yang lembut menawan.
"Jodoh tidak bisa diatur
sesuai dengan hasrat kita. Jodoh sudah punya kodrat sendiri. Kita hanya bisa
menerka-nerka dan mencoba apakah seseorang yang kita cintai itu memang jodoh
kita atau bukan. Jika bukan, maka perpisahan pun akan segera datang walau hati
kita menaruh cinta sebesar gunung."
"Berarti hubunganmu
dengan Dyah Sariningrum juga belum tentu merupakan jodohmu sepanjang
masa?"
"Kira-kira begitu. Tapi
kemungkinan melesat sangat kecil. Sebab guruku; si Gila Tuak sudah mengetahui
wanita yang bagaimana yang akan menjadi jodohku nanti. Apabila dalam semadiku
aku sampai menangis dan mencucurkan air mata darah ketika terbayang seorang
wanita, maka dia itulah calon jodohku kelak,walaupun seribu wanita berteman
dekat denganku."
"Apakah kau pernah
mencucurkan air mata berdarah?"
"Ya. Saat kuterbayang
wajahnya yang menderita dalam cengkeraman Siluman Tujuh Nyawa," jawab Suto
terang-terangan sambil termenung membayangkan saat ia lakukan semadi di tempat
tinggal gurunya, sebelum ia turun sebagai seorang pendekar penegak kebenaran dan
keadilan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Darah Asmara
Gila").
Percakapan yang dilakukan
sambil jalan-jalan tiba-tiba terhenti bersama langkah mereka. Baik Suto Sinting
maupun Teratai Kipas sama-sama terperanjat manakala mereka tahu-tahu melihat seorang
kakek berdiri di atas sehelai daun sereh liar yang mirip seperti ilalang itu.
Suto Sinting segera tarik
napas lega dan hilangkan kekagetannya, tapi Teratai Kipas masih memandang penuh
keheranan. Buat Suto Sinting, bukan hal aneh lagi jika ia melihat kemunculan
seorang kakek berpakaian serba putih, bahkan rambut, alis, dan bulu-bulu
kakinya serba putih uban.
Kakek itu tak lain adalah
kakek misterius yang ditemuinya sebelum Suto menyelamatkan Pande Bungkus yang
hanyut terbawa arus banjir beberapa waktu yang lalu.
"Siapa orang sakti
itu?" bisik Teratai Kipas menganggap kakek itu orang sakti karena mampu
berdiri di atas sehelai daun sereh tanpa patah. Suto Sinting segera menjawab,
"Dia itulah yang berjuluk
Setan Merakyat, kakak dari si Bongkok Sepuh yang kau kenal lewat cerita-cerita
gurumu. Bongkoh Sepuh sendiri dulu dikenal dengan nama si Setan Arak!"
Pendekar Mabuk segera
memberikan hormat sekadarnya, Teratai Kipas ikut-ikutan karena merasa takut
terkena kutuk sang tokoh tua nan sakti itu. Gerak kemunculannya tidak
menimbulkan suara tidak pula menimbulkan hembusan angin. Teratai Kipas yakin,
biasanya orang seperti Setan Merakyat dapat menghajar seseorang melalui
ucapannya saja.
"Ada keperluan apa Eyang
Bapa Guru Murdawira menemuiku di sini?" tanya Suto Sinting dengan
menyebutkan nama asli si Setan Merakyat itu.
"Aku hanya ingin tanyakan
kesiapanmu. Sudahkah kau siap menerima salah satu ilmuku yang hanya bisa
kuturunkan pada pemuda tanpa pusar sepertimu?"
"Aku masih punya masalah,
Bapa Guru. Aku belum siap menerima ilmumu."
"Masalahmu belum selesai?
Oh, ya... baik. Akan kutunggu sampai masalahmu selesai, dan aku selalu
membayang-bayangimu, Anak Muda. Tapi ketahuilah, aku baru saja bertemu dengan
gurumu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang untuk meminta izin menitipkan ilmuku
kepadamu. Kedua gurumu itu setuju dan mengizinkannya. Tapi lebih baiknya lagi,
kau memang harus menghadap dan bicara sendiri tentang izin itu kepada kedua
gurumu tersebut."
"Nanti jika masalahku
sudah rampung, aku akan menghadap kedua guruku ke Jurang Lindu dan ke
Lembah Badai!"
"Baik. Kutunggu
kesiapanmu. Tapi perlu kau ketahui, baru saja kau telah lakukan suatu kebodohan
besar dalam sejarah hidupmu, Pendekar Mabuk."
Suto Sinting kaget dan
memandang Setan Merakyat yang turun dari atas daun sereh liar itu. Suto pun
bertanya, "Kebodohan apa yang telah kulakukan?"
"Melepaskan seorang
pencuri yang sedang kau kejar-kejar itu."
"Maksudmu...?"
"Durjana Belang kau
biarkan lari, padahal memang dialah yang sekarang ini memegang Pisau Tanduk
Hantu. Aku merasakan sekali getaran gaib pisau pusaka itu saat ia kulihat
sedang bicara denganmu tadi! Cari dia dan paksa supaya dia mengaku siapa
dirinya sebenarnya!"
"Tap... tapi pisau itu
tidak ada padanya, Eyang Bapa Guru."
"He, he, he, he...! Siapa
bilang dia tak memiliki Pisau Tanduk Hantu? Kau telah tertipu mentah-mentah
olehnya, Suto. Cari dia dan temukan pisau itu sebelum terlalu banyak makan
korban."
***5
PERJALANAN pulang ke Negeri
Majageni tertunda beberapa hari gara-gara Teratai Kipas harus membantu Suto
Sinting menangani masalah Pisau Tanduk Hantu.
Teratai Kipas sendiri merasa
senang bisa mendampingi Pendekar Mabuk karena di balik susah payahnya terselip
kebanggaan yang hanya bisa dirasakan oleh dirinya saja.
Tetapi Pendekar Mabuk menjadi
tak enak hati atas penundaan itu.
"Apa kata orangtuamu
nanti jika kau tidak segera pulang? Prabu Wiloka pasti akan menyangka putri
kesayangannya dilarikan oleh Pendekar Mabuk dan tak urung aku mendapat kecaman
dari sang Prabu."
"Itu urusanku, biar aku yang
menjelaskan kepada ayah tentang keterlambatan ini," ujar Teratai Kipas
seakan siap membela Suto mati-matian jika terjadi kecaman atau tuduhan yang
dilontarkan dari pihak istana.
Pendekar Mabuk tidak bisa
memaksa Teratai Kipas lagi. Gadis itu pun agaknya keras kepala dalam urusan
yang satu ini. Tiga hari telah lewat, Teratai Kipas masih tak ingin tinggalkan
Suto Sinting.
"Sebelum masalah ini
selesai aku belum ingin pulang ke istana," ujar Teratai Kipas. "Aku
bukan hanya senang mendampingimu saja, tapi juga penasaran dan ingin tahu siapa
pemegang Pisau Tanduk Hantu sebenarnya. Aku ingin ikut membela kebenaran.
Setidaknya buat pengalaman hidupku sebelum aku kembali menjadi putri keraton
Majageni. Kalau aku sudah menjadi putri keraton dan apalagi sudah menggantikan
kedudukan ayahku, aku tak akan mudah ikut membantumu dalam menegakkan kebenaran
dan memerangi kejahatan seperti saat ini. Jadi biarkanlah aku ikut untuk yang
terakhir kali hidupku sebagai gadis pengembara."
Suto Sinting semakin tak bisa
bicara apa-apa, sehingga ia hanya bisa angkat kedua pundak tanda pasrah.
Pengejaran Suto terhadap
Maling Sakti tak sengaja membawanya ke arah tempat berdirinya Perguruan Tongkat
Sakti. Pengejaran ini terpaksa terhenti karena banyaknya mayat yang
bergelimpangan di sana-sini sepanjang jalan menuju Perguruan Tongkat Sakti.
Mata Suto dan Teratai Kipas memandang dengan terheran-heran.
Asap mengepul di pusat
perguruan. Pintu gerbang perguruan hancur, hangus terbakar dan tinggal sisanya
menghitam di sana-sini. Suasananya sepi dan mencekam. Bau daging bakar yang
hangus menandakan banyaknya korban manusia yang ikut terbakar dalam reruntuhan
itu.
"Seganas inikah Durjana
Belang itu menurutmu, Teratai?" tanya Suto kepada Teratai Kipas, karena
gadis itu tampak hanyut dalam lamunan ketegangan.
"Mungkin saja Durjana
Belang bisa seganas ini.
Entah dendam apa yang ia
miliki terhadap Perguruan Tongkat Sakti, yang jelas ia berhasil menghancurkan
perguruan ini. Mungkin bukan saja dendam karena kedua temannya; Roh Seribu Dewa
dan si Kumis
Tengkorak, dibunuh oleh
Malaikat Miskin menggunakan pisau itu. Mungkin ada dendam lain yang...."
"Tunggu, tunggu...,"
Suto Sinting sengaja hentikan ucapan Teratai Kipas. "Apakah kau yakin
bahwa si Maling Sakti punya anggapan bahwa Malaikat Miskin yang menggunakan
Pisau Tanduk Hantu untuk membunuh kedua temannya? Bukankah pisau itu ada di
tangan Maling Sakti sendiri? Tentunya ia tak akan menduga bahwa Malaikat
Miskin-lah yang mencelakai kedua temannya itu?"
"Aku tak yakin dengan
kata-kata Setan Merakyat. Sebab kita sudah menggeledah Maling Sakti dan pisau
itu tidak ada padanya. Kita sudah coba serang dia melalui tenaga dalam Jelita
Bule, tapi toh dia bisa tumbang. Kurasa dia bukan Maling Sakti yang memiliki
Pisau Tanduk Hantu!"
"Setan Merakyat lebih
tahu dari kita, Teratai. Aku cenderung mempercayai kata-katanya. Ingat, apakah
orang yang kala itu menelan Batu Sembur Getih mempunyai perbedaan rupa maupun
pakaiannya? Kurasa tidak. Ya dia itulah orangnya."
"Lalu, mengapa kala
diserang Jelita Bule ia bisa terpental? Mestinya dia tidak bisa diserang,
bahkan wajahnya tak bisa memar merah kala ditampar!"
"Mungkin ia bisa
kendalikan kekuatan Batu Sembur Getih, sehingga di depan kita kekuatan Batu
Sembur Getih bagaikan tidak berfungsi sama sekali. Di belakang kita kekuatan
itu digunakan sebagaimana mestinya."
"Lalu tentang pisau
itu?"
"Mungkin ia punya cara
sendiri untuk menyembunyikannya."
Teratai Kipas diam,
merenungkan pendapat Suto Sinting. Sambil merenungkan kata-kata itu matanya
mengawasi reruntuhan Perguruan Tongkat Sakti.
Langkahnya pelan, mengenali
setiap mayat yang ada di sekitar tempat itu. Akhirnya terpetiklah gagasan baru
dalam pemikiran Teratai Kipas.
"Kurasa ada seseorang
yang telah berhasil merebut Pisau Tanduk Hantu dari tangan si Maling Sakti
sebelum ia bertemu dengan kita tempo hari itu."
"Maksudmu, Pisau Tanduk
Hantu pindah tangan?"
"Ya. Karena jika Maling
Sakti mengamuk di sini, maka mayat-mayat ini tidak akan ada. Kalau toh ada
hanya beberapa saja. Maling Sakti pasti membuat para korban menjadi manusia
bayangan, ia akan menggoreskan pisau pusaka itu kepada para korban di sini. Tak
mungkin hanya menggunakan kekuatan tenaga dalamnya saja jika memang Pisau
Tanduk Hantu masih menjadi miliknya."
Kini ganti Pendekar Mabuk yang
merenungkan kata-kata Teratai Kipas. Menurutnya, memang ada benarnya pendapat
Teratai Kipas. Barangkali memang benar bahwa pisau tersebut sudah pindah tangan
dan tidak ada pada diri Maling Sakti. Hal yang dipertanyakan adalah; siapa
orang yang berhasil merebut Pisau Tanduk Hantu dari tangan Maling Sakti?
"Aneh, di sini tidak ada
mayat Malaikat Miskin dan Menak Goyang," ujar Teratai Kipas seraya masih
menatap ke sana-sini.
"Barangkali mereka kabur
saat melihat kesaktian Durjana Belang menghancur-leburkan tempat ini!"
"Rasa-rasanya janggal
sekali kalau Durjana Belang bisa membuat Malaikat Miskin terdesak dan melarikan
diri."
"Mengapa janggal?
Bukankah Durjana Belang telah menelan Batu Sembur Getih? Tentunya kekuatannya
berlipat ganda dan dapat untuk mengalahkan kesaktian si Malaikat Miskin!"
Baru saja Teratai Kipas ingin
ucapkan kata, tiba-tiba tubuhnya tersentak naik dan bersalto di udara satu
kali.
Wuuk...! Pendekar Mabuk cepat
palingkan wajah pandangi gerakan Teratai Kipas. Pada saat itu ia melihat seberkas
sinar merah pecah-pecah sedang menerjang tubuh Teratai Kipas. Sinar merah
pecah-pecah yang dihindari itu ganti menyerang ke arah Pendeka Mabuk, karena
keadaan Suto berdiri sejajar dalam satu arah dengan Teratai Kipas.
Gerakan sinar merah yang cepat
itu membuat Suto tak sempat mengambil bumbung tuaknya, sehingga tangan kirinya
digunakan sebagai penghadang sinar merah tersebut. Dari tangan kiri Suto
Sinting keluar sinar membara warna biru. Belum sempat melesat keluar, baru saja
tersumbul dari telapak tangannya sudah harus dihantam oleh sinar merah
pecah-pecah itu.
Akibatnya sinar merah tersebut
menghantam tangan kiri Suto Sinting dengan menimbulkan ledakan yang cukup
besar.
Blaaarrr...!
Tentu saja tubuh Suto Sinting
terhempas kehilangan keseimbangan, ia jatuh berjungkir balik di bawah pohon
delapan langkah dari tempatnya berdiri semula.
Sedangkan orang yang menyerang
dengan sinar merah pecah-pecah itu segera muncul dari tempat persembunyiannya
pada saat Teratai Kipas sudah mencabut kipasnya dan Suto Sinting berusaha
bangkit dengan lemah.
"Malaikat
Miskin...!" seru Teratai Kipas dengan sikap menantang. "Mengapa kau
menyerang kami? Apakah kau ingin bikin perkara dengan Pendekar Mabuk?"
"Jangan berlagak bodoh,
Kipas Sate!" ejek Malaikat Miskin dengan wajah penuh gumpalan amarah.
Pendekar Mabuk cepat-cepat
minum tuaknya untuk menghilangkan rasa sakit dan luka dalam akibat menghadang
pukulan jarak jauhnya si Malaikat Miskin tadi. Teratai Kipas sengaja memberikan
kesempatan kepada Pendekar Mabuk untuk sembuhkan diri dengan tuak, sehingga
untuk sementara Teratai Kipas bertekad melayani kemarahan Malaikat Miskin
semampunya.
"Tak kusangka ternyata
kalian berdua lebih kejam dari orang-orang Bukit Kopong! Sekian banyak muridku
yang tak tahu apa-apa kalian jadikan korban dan perguruanku kalian bumi
hanguskan seperti ini!"
"Bicaralah yang benar,
Malaikat Miskin! Jangan memandang dengan sebelah mata!" pancing Teratai
Kipas agar perhatian Malaikat Miskin tidak tertuju pada Pendekar Mabuk yang
disangka masih terluka parah itu.
Padahal Suto Sinting sudah
mulai segar kembali setelah menenggak tuaknya. Bahkan ia sudah mampu berdiri
dengan tegak dan melangkah dengan gagahnya.
"Kau hanya sekadar
mencari kambing hitam untuk melampiaskan kemarahanmu, Malaikat Miskin,"
kata Teratai Kipas dengan lantang. Tak ada hormat sedikit pun kepada bekas guru
kekasihnya yang sudah tiada itu.
"Kalian ingin mengelak?
Kalian sudah kepergok, tak mungkin bisa menghindar dari tuduhanku!" suara
Malaikat Miskin cukup keras, ia melangkah dengan penuh waspada sambil bertumpu
pada tongkatnya yang mempunyai tiga cabang bagian atasnya itu.
"Malaikat Miskin,"
seru Suto Sinting yang kini sudah berada di samping Teratai Kipas, "Siapa
yang lakukan pembumihangusan perguruanmu ini! Apakah kau melihat kami
melakukannya?"
"Siapa lagi jika bukan
kalian!" bentak Malaikat Miskin yang mengenakan jubah abu-abu
bertambal-tambal seperti gelandangan itu. "Ketika aku melihat kepulan asap
dari kejauhan sana, aku mulai cemaskan perguruanku. Lalu kuhampiri kemari dan ternyata
kutemukan kalian berdua ada di sini! Tentu saja aku tak bisa mengalihkan
tuduhan kepada orang lain, sebab yang kutemukan di sini adalah kalian!"
"Justru kami sedang
selidiki siapa menghancurkan perguruanmu ini!" sahut Teratai Kipas. Gadis
itu tampak ngotot sekali karena hatinya panas dituduh sebagai pembantai
orang-orang perguruan tersebut.
"Kalian tak perlu banyak
mulut lagi! Sekarang terimalah pembalasanku inil Heaaahhh...!" si Malaikat
Miskin tiba-tiba sentakkan
tongkatnya ke depan. Dari tiga ranting di ujung tongkat itu keluar tiga sinar
berwarna hijau lurus. Sasarannya tertuju kepada Suto Sinting dan Teratai Kipas;
dua ke arah Suto, satu ke arah Teratai Kipas. Tentu saja serangan itu dihadapi
oleh kedua orang tersebut. Suto Sinting menangkisnya memakai bumbung tuak,
sedangkan Teratai Kipas menghadang sinar hijau dengan bentangan kipas emasnya
itu.
Blaaar...! Drrabb...!
Wuuurrrss...!
Teratai Kipas terpental karena
tak kuat menahan sentakan sinar hijau yang bertenaga besar dan berbahaya itu. Tubuhnya
melayang-layang dan membentur pohon.
Sedangkan Suto Sinting masih
tegak berdiri karena sinar hijau itu bisa dikembalikan dengan tangkisan bumbung
tuaknya. Sekalipun tubuh Suto meliuk bagai orang mabuk hendak jatuh, namun
gerakan bumbung tuaknya sangat tepat menangkis dua sinar hijau.
Kedua sinar hijau kembali ke
pemiliknya dengan lebih besar dan lebih cepat lagi. Malaikat Miskin menggeragap
dan segera melompat ke samping dan berguling-guling di tanah menghindari sinar
hijaunya.
Sinar itu akhirnya menghantam
reruntuhan bangunan perguruannya yang masih tersisa. Reruntuhan itu hancur
menjadi serbuk halus yang tak bisa terlihat lagi ke mana gerakannya. Sedangkan
Malaikat Miskin bangkit dengan tongkatnya dan memandang akibat benturan hijau
itu dengan mata terbelalak, terheran-heran.
"Sehebat itukah jurus
sinar hijauku itu? Rasa-rasanya tak akan sampai membuat bangunan menjadi hancur
selembut debu?! Gila! Bumbung tuak bocah itu benar-benar berbahaya!"
Malaikat Miskin membatin.
Terdengar pula suara Suto Sinting
yang tak mau melepaskan serangan balasan,
"Kuingatkan sekali lagi,
Malaikat Miskin..., jangan mengumbar kemarahanmu kepada kami! Kami bukan pelaku
penghancuran ini!"
"Aku tak percaya!"
geram Malaikat Miskin. Tiba-tiba tangan kirinya menyentak ke depan. Claaap...!
Sinar merah lurus melesat ke arah dada Suto Sinting. Dengan cepat pula jurus
'Tangan Guntur' digunakan oleh Suto Sinting. Sinar biru melesat dari tangan
Suto dan bertemu di pertengahan jarak dengan sinar merahnya Malaikat Miskin.
Sinar-sinar itu tidak meledak tapi saling dorong bagai ingin mendesak ke arah
lawan masing-masing.
Pertemuan sinar itu
memancarkan sinar lebar memercik-mercik. Kadang bergerak mendekati Suto, kadang
bergerak mendekati Malaikat Miskin. Rupanya kedua tokoh itu saling adu kekuatan
tenaga dalam, sehingga keduanya sama-sama gemetar, sekujur tubuh mereka
bergetar dan urat-urat di leher dan tangan saling bertonjolan keluar, bagai
ingin merobek kulit tubuh mereka. Malaikat Miskin langsung bercucuran keringat
bagai habis mandi, tapi Suto Sinting hanya berkeringat tipis di keningnya.
Tiba-tiba Malaikat Miskin
angkat tongkatnya dan dari salah satu ranting di atas tongkat itu memancarkan
sinar hijau lagi. Slaaap...!
Tapi gerakan Suto Sinting
masih mampu melebihi kecepatan sinar tersebut. Bumbung tuaknya diarahkan ke
depan dan sinar itu menghantam bumbung tuak, memantul balik dan membuat pusat
perhatian Malaikat Miskin menjadi guncang. Zlaaap...!
Malaikat Miskin terpaksa harus
hindari sinar hijau yang mengarah ke dadanya. Sinar yang membias dari bumbung
Suto itu dihindari dengan cara memiringkan badan. Tapi akibat menghindari sinar
hijau, adu kekuatan dengan menggunakan sinar merahnya itu menjadi lemah.
Akibatnya sinar biru Suto mendesak lebih kuat dan menghantam tubuh Malaikat
Miskin.
Blaaarr...! Blegaaar...!
Sinar hijau menghantam pohon,
tubuh Malaikat Miskin terpental karena dihantam ledakan kuat dari sinar birunya
Suto Sinting. Dada tokoh tua itu menjadi hangus sampai pada kain bajunya yang
tampak hitam bagaikan habis dibakar api berdaya panas tinggi.
"Huuuhhg...!"
Malaikat Miskin mengerang di
tempatnya jatuh, ia tersandar pada pohon dengan tongkatnya terlepas dari tangan
kanan. Kedua tangan memegangi dadanya sambil menggeliat-geliat bagaikan
terbakar dadanya.
"Maaf, kau memaksaku
berbuat demikian, Malaikat Miskin!"
Tokoh tua itu diam saja. Ia
segera ambil sikap berlutut dan memejamkan mata. Sementara itu, Pendekar Mabuk
agak terkejut melihat Teratai Kipas terkapar di bawah pohon besar. Tubuhnya
mulai mengepulkan asap dan tak bergerak. Dengan cepat dihampirinya tubuh gadis
itu. Wajah pucat kebiru-biruan terlihat jelas di permukaan raut muka Teratai
Kipas.
"Celaka! Hampir saja aku
terlambat!" gumam Suto dengan cemas, lalu ia berusaha meminumkan tuaknya
ke mulut Teratai Kipas yang berbibir ranum menggemaskan itu.
Di seberang sana, Malaikat
Miskin menggerakkan kedua tangannya pelan-pelan dari dada menuju ke
tenggorokan, dan akhirnya ia memuntahkan darah kental warna hitam. Rupanya
gerakan tangan itu adalah tenaga pembersih luka yang ada di dalam dadanya. Luka
itu terbuang melalui mulut dan dalam bentuk cairan hitam kemerah-merahan, ia
menyalurkan hawa murninya beberapa saat dan hal itu sengaja dibiarkan oleh Suto
Sinting.
Kalau saja Suto Sinting mau
melepaskan pukulan lagi ke arah Malaikat Miskin, pasti tokoh tua itu akan
hancur atau tumbang tak bernyawa lagi. Serangan itu akan kena sasaran tanpa
meleset. Tapi toh hal itu tidak mau dilakukan oleh Pendekar Mabuk, karena ia
tidak harapkan Malaikat Miskin mati di tangannya, ia cenderung mengharapkan
kesadaran Maiaikat Miskin tentang salah pahamnya itu.
Setelah beberapa saat
kemudian, Teratai Kipas sudah pulih kesehatannya, Malaikat Miskin mampu berdiri
tegak lagi, Suto Sinting segera berkata kepada Malaikat Miskin dengan nada
tegasnya,
"Percuma saja kau
melawanku, karena bukan aku yang bersalah. Seandainya aku mati di tanganmu, kau
pun kelak akan menyesal jika mengetahui siapa yang menghancurkan perguruanmu
ini, Malaikat Miskin! Kuingatkan sekali lagi, jangan memusuhi aku dan Teratai
Kipas. Jika kau ingin membalas dendam, bukan kepada kami."
"Lalu kepada
siapa?!" gertak Malaikat Miskin masih menampakkan keberangannya. Matanya
masih memandang dengan tajam dan ganas.
"Kami tidak tahu secara
pasti siapa pelakunya," kata Suto Sinting. "Tapi cobalah kau bicara
dengan Durjana Belang!"
"Si Maling
Sakti...?!"
"Benar. Sebab kami
melihat beberapa korban yang berubah menjadi menusia bayangan, bahkan ada yang
tinggal suaranya saja yang bisa kami dengar, sedangkan sosok tubuhnya lenyap
tak terlihat."
"Itu pasti karena Pisau
Tanduk Hantu!" sergah Malaikat Miskin dengan tegang, ia mulai tampak lebih
gusar lagi. "Apakah pisau pusaka itu ada di tangannya dan dipergunakan
olehnya untuk melawan seseorang?"
"Aku tak melihat dengan
mata kepala sendiri. Tapi ada korban dan saksi mata yang memberikan keterangan
kepadaku, bahwa Durjana Belang memegang Pisau Tanduk Hantu!"
"Keparat, bocah
itu!" kegeraman Malaikat Miskin membuat tangannya menggenggam kencang,
hingga tak sadar tongkatnya menjadi sedikit retak karena tergencet genggamannya
yang beraliran tenaga dalam itu.
Kreek...!
Kejap berikutnya, suara
Malaikat Miskin terdengar lagi, "Jadi menurutmu si Maling Sakti itu yang
menghancurkan perguruanku?"
"Aku tidak berkata
begitu," jawab Suto Sinting.
"Karena aku tidak melihat
sendiri saat perguruanmu dihancurkan oleh seseorang. Tetapi perlu kau ketahui,
bahwa Maling Sakti menyimpan dendam kepadamu karena menyangka kaulah yang
membuat Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak, temannya itu, menjadi manusia
bayangan karena tergores pisau pusaka itu.
Pada saat kami menggeledahnya,
kami tidak menemukan pisau itu pada tubuhnya. Kami sendiri masih bingung,
benarkah Maling Sakti yang menggenggam pisau pusakamu itu, atau ada Maling
Sakti kembar yang lainnya?"
"Pantas kalau dia
mendendam kepadaku, karena dulu dia pernah kutolak ketika melamar menjadi
muridku. Tampangnya yang memang tampang maling itu mengkhawatirkan diriku, maka
aku tak mau menerimanya sebagai murid. Beberapa waktu kemudian kudengar ia menjadi
muridnya Cukak Tumbila sampai sekarang!" kata Malaikat Miskin dengan wajah
masih tampak menahan amarah.
"Satu hal yang ingin
kutanyakan padamu, Malaikat Miskin. Apakah Pisau Tanduk Hantu bisa
disembunyikan dengan cara lain yang membuat pusaka itu tidak bisa terjamah dan
tidak bisa terlihat oleh orang lain?"
Malaikat Miskin diam sebentar,
berpikir beberapa saat, setelah itu baru menjawab dengan nada tegasnya.
"Tidak bisa! Pisau itu
tidak bisa disembunyikan dengan cara gaib!"
Teratai Kipas bicara pada Suto
Sinting dengan suara agak pelan,
"Berarti pisau itu telah
dijual kepada pemesannya sebelum ia bertemu kitai"
"Kepada siapa dia
menjualnya?!" sergah Malaikat Miskin yang mendengar kata-kata Teratai
Kipas, ia maju hingga jaraknya menjadi empat langkah di depan Pendekar Mabuk
dan Teratai Kipas.
"Kami hanya mempunyai
dugaan saja," kata Suto Sinting. "Tapi kami belum dapat keterangan,
kepada siapa ia menjual pisau itu kalau memang benar dia itulah pencuri Pisau
Tanduk Hantu!"
"Ggrrrmm...!" Malaikat
Miskin menggeram bagai singa buas. "Aku harus segera melabraknya! Akan
kutuntut Cukak Tumbila atas perbuatan muridnya ini!"
Blaasss...!
"Malaikat Miskin!"
seru Suto mengejar, "Buktikan dulu apakah benar si Maling Sakti yang
terlibat masalah ini atau bukan dia?!"
Tapi Malaikat Miskin sudah
menghilang. Seandainya ia mendengar seruan itu, ia tak punya waktu untuk
menjawabnya. Dendam dan kemarahan telah menggumpal di dada. Hasrat untuk
membalas orang yang mengacak-acak Bukit Kopong semakin membakar jiwa. Suto
Sinting dan Teratai Kipas hanya bisa tertegun beberapa helaan napas.
Tak lama kemudian, Pendekar
Mabuk menenggak tuaknya dan setelah itu berkata kepada Teratai Kipas.
"Kita ikuti saja gerakan
Malaikat Miskin. Kita ingin tahu apa yang terjadi di Bukit Kopong! Setidaknya
jika si Maling Sakti benar-benar tidak bersalah, kita bisa selamatkan dia
dengan membawanya lari dan menyembunyikannya, biar ia tidak menjadi korban
salah sasaran dalam perkara ini!"
"Yang lebih penting
adalah mencari tahu siapa sekarang pemegang Pisau Tanduk Hantu itu!" kata
Teratai Kipas dengan tegas, dan membuat Suto Sinting hanya bisa
mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui gagasan tersebut.
***6
TANGAN Teratai Kipas segera
ditarik oleh Suto Sinting. Tubuh gadis itu hampir jatuh kalau tidak segera
dipeluk sang pendekar tampan. Mereka terbenam di semak-semak. Teratai Kipas
berdebar-debar dan membatin,
"Oh, indahnya. Mengapa
baru sekarang ia berbuat begini padaku? Padahal sudah cukup banyak semak-semak
yang kami lewati. Seandainya di setiap semak-semak dia berbuat begini padaku,
alangkah indahnya perjalanan hidup bersamanya."
Teratai Kipas mulai pasrah, ia
memejamkan mata, menunggu serangan mesra berikutnya. Tapi sampai lama menunggu
tak ada serangan mesra selanjutnya. Teratai Kipas yang sudah pejamkan mata itu
segera melek kembali dan berbisik dengan bibir merekah dan suara mendesah,
"Mengapa tak kau
lanjutkan?"
"Apanya?" bisik Suto
Sinting. "Aku menarikmu ke semak bukan untuk berbuat yang tidak-tidak,
tapi membawamu sembunyi secepat mungkin."
"O, jadi... jadi kau
mengajakku bersembunyi?"
"Benar. Kita mengintip
dua orang yang ada di balik gugusan batu cadas itu!"
Seketika itu merah pula wajah
Teratai Kipas menahan rasa malu bercampur kecewa. Hatinya membatin penuh
gerutu, "Sial! Kalau tahu diajak sembunyi kenapa harus berdebar-debar
penuh harap? Uuh...! Dasar pemuda sinting. Sayang saja dia tampan, kalau tak
tampan malas aku menemaninya. Bikin hatiku malu sendiri jika begini!"
Apa yang dimaksud Suto Sinting
ternyata adalah sepasang manusia berlainan jenis yang sedang berpelukan di
balik gugusan batu cadas. Rupanya pasangan yang sedang berkasih-kasihan itulah
yang membuat Suto Sinting hentikan langkahnya dalam perjalanan mencari sang
pencuri Pisau Tanduk Hantu.
Teratai Kipas terbelalak kaget
melihat pasangan yang sedang saling berpelukan, saling bercanda penuh tawa
mengikik dan berbisik. Bukan adegan itu yang membuat Teratai Kipas terkejut dan
terheran-heran, melainkan karena ia mengenali siapa pasangan yang berpelukan
mesra di balik batuan cadas tersebut. Mulut Teratai Kipas menyebutkan nama
mereka dengan lirih dan bernada desah keheranan.
"Menak Goyang...? Oh,
dia... dia bercinta dengan si Maling Sakti?!"
"Titik terang mulai
tampak nyata di depan kita, Teratai Kipas. Kita dengarkan saja percakapan
mereka."
"Tapi... tapi kalau
mereka berbuat yang bikin hati syur bagaimana?"
"Pejamkan matamu agar tak
terbawa khayalannya," bisik Suto Sinting dengan senyum tipis mekar di
bibirnya.
Teratai Kipas bersungut-sungut
tak jelas maksudnya. Tapi perhatian Suto Sinting sudah telanjur terlempar ke
arah Menak Goyang yang sedang dirangkul Maling Sakti. Menak Goyang yang cantik
itu seakan pasrah-pasrah saja ketika dikecup lehernya oleh si Maling Sakti.
Bahkan ia mendongak bagaikan
memberi tempat agar bibir si Maling Sakti kian bebas menikmati kemulusan
lehernya. Tawa mengikik dan tubuh menggelinjang kegelian membuat si Maling
Sakti kian nakal. Hasrat kejantanannya ditampakkan dalam bentuk 'Kerajinan
tangan' yang cekatan serta penuh semangat juang.
"Sial! Kenapa kita harus
mengintip yang beginian?" gerutu Teratai Kipas yang wajahnya sangat dekat
dengan wajah Pendekar Mabuk, sampai-sampai hembusan napas dari hidung Suto
terasa menghangat di pipi kirinya.
Teratai Kipas tundukkan
kepala, tak berani melihat adegan panas yang dapat membangkitkan semangat
kemesraannya, ia takut batinnya menuntut kepada Suto dan Suto tidak mau
menuruti tuntutan itu.
Tapi agaknya Menak Goyang dan
Maling Sakti sengaja membiarkan hasrat mereka saling menuntut keindahan yang
lebih dalam. Menak Goyang tak segan-segan memberikan apa yang diharapkan Maling
Sakti.
Gadis itu tiada hentinya
bergoyang mengikuti kebiasaannya yang membuatnya dijuluki Menak Goyang. Tak ada
waktu untuk diam bagi Menak Goyang, apalagi dalam keadaan sedang bercumbu
mesra, sampai-sampai Suto Sinting berkata lirih dalam candanya yang membisik di
telinga Teratai Kipas,
"Goyang terus sampai
pagiii...!"
"Ssst...!" Teratai
Kipas menempelkan telunjuknya di bibir Suto Sinting.
Keduanya sama-sama duduk di rerumputan
bawah pohon besar, memunggungi adegan panas yang sedang berlangsung di balik
gugusan batu cadas itu. Ilalang memagari pohon itu, sehingga keadaan mereka
sangat rapi dan aman dari jangkauan mata sepasang orang yang sedang berkencan
tersebut.
Suto Sinting sengaja mengajak
bicara Teratai Kipas dengan suara pelan untuk mengalihkan khayalan yang masuk
ke otak mereka karena mendengar suara rintihan dan erangan si Menak Goyang.
"Aku tidak menyangka sama
sekali."
"Aku juga seperti mimpi
melihat mereka di sini," ujar Teratai Kipas. "Aku jadi curiga
terhadap Menak Goyang. Kurasa ada hubungannya dengan Pisau Tanduk Hantu."
"Maksudmu, dia bekerja
sama dengan Maling Sakti dalam masalah pencurian pisau tersebut?"
"Benar! Pasti dia yang
membantu Maling Sakti masuk ke benteng perguruannya. Sedikitnya dialah yang
memberikan keterangan dan petunjuk tentang bagai mana caranya mencuri Pisau
Tanduk Hantu."
"Masuk akal. Tapi atas
dasar apa dia berbuat begitu?"
"Mungkin secara diam-diam
dia sudah lama jatuh cinta kepada Maling Sakti?"
"Ya, ya... itu pun masuk
akal. Jika memang begitu, berarti sikapnya yang keras hati menuduhku sebagai
pencuri Pisau Tanduk Hantu itu adalah untuk mengalihkan perhatian Malaikat
Miskin, supaya tidak menuduh dan menaruh curiga kepada Maling Sakti. Aku hanya
dijadikan kambing hitam dalam hal ini!"
"Tapi ketika Malaikat
Miskin menemui kita bersama Menak Goyang, bukankah Malaikat Miskin menjadi
berbalik menuduh orang-orang Bukit Kopong sebagai pencurinya? Pikiran itu
timbul karena mendapat laporan dari Menak Goyang dan Menak Goyang mempunyai
gagasan itu dari kata-katamu dulu?"
"Benar. Tapi tentunya
Menak Goyang tidak menyebutkan nama Maling Sakti sebagai tertuduh utama.
Seandainya disebutkan hanya berupa kemungkinan-kemungkinan yang belum pasti.
Jadi dengan begitu Menak Goyang tampak bersungguh-sungguh dalam memihak
Malaikat Miskin. Tentu saja hal itu sudah diperhitungkan, seandainya Maling
Sakti menjadi tertuduh utama maka Maling Sakti dan Menak Goyang akan melawan
Malaikat Miskin secara bersama-sama dengan menggunakan Pisau Tanduk Hantu
itu!"
"Licik sekali mereka
itu?"
"Cinta jika sudah
menggila, membuat orang menjadi licik dan banyak akal."
"Ah, bodoh amat si Menak
Goyang itu. Mengapa jatuh cintanya sama Maling Sakti? Apa yang diharapkan dari
Maling Sakti itu? Rupa tak punya, kegagahan tak ada, kesaktian pun
begitu-begitu saja. Kekayaan sama sekali tak ada!"
"Siapa yang bisa menyelam
di hati manusia? Tak ada yang bisa kecuali orang itu sendiri. Tak ada yang tahu
mengapa Menak Goyang mau jatuh cinta kepada Maling Sakti. Hanya Menak Goyang
sendiri yang punya alasan kuat untuk langkahnya itu."
Percakapan mereka semakin
panjang mengupas hubungan Menak Goyang dengan si Maling Sakti.
Dengan memperpanjang
percakapan berkasak-kusuk itu suara-suara kemesraan di balik batuan cadas tidak
terdengar dan tidak menimbulkan khayalan indah menuntut batin. Tak terasa
mereka sudah cukup lama berkasak-kusuk di balik kerimbunan semak, sehingga
suara-suara mesra itu pun hilang dan berganti percakapan ringan penuh tawa
cekikikan.
"Mereka sudah selesai
berlayar. Kita dengarkan percakapannya," bisik Suto Sinting kepada Teratai
Kipas, lalu keduanya berbalik arah, menyingkapkan daun-daun ilalang
pelan-pelan.
Menak Goyang dan Durjana
Belang sama-sama tidak tahu kalau dua pasang mata sedang memperhatikan mereka.
Tak aneh lagi jika Menak Goyang bicaranya kelewat batas, sedikit ngeres, karena
ingin memancing kemesraan lebih lama dengan Maling Sakti. Agaknya si Maling
Sakti sudah cukup puas bercanda dengan nada ngeres, sehingga ia bicara ke
masalah Pisau Tanduk Hantu.
"Hampir saja aku
tertangkap basah oleh si Pendekar Mabuk kalau saja Pisau Tanduk Hantu tidak kau
pimjam untuk mengalahkan lawanmu itu."
"Apakah mereka
menggeledahmu?"
"Ya. Pendekar Mabuk dan
Teratai Kipas serta gadis yang bertarung denganku itu sempat menggeledahku.
Tentu saja aku tetap tenang karena pisau ada di tanganmu dan kau gunakan
membunuh Kadarwati, musuh lamamu yang menjadi anak buah si Bancak Doya itu. Aku
sempat cemas dengan kekuatan Batu Sembur Getih. Untung aku mengikuti saranmu;
dengan merelakan diri dipukul dan mengendurkan pernapasan, maka tubuhku bisa
dipukul seseorang. Dengan begitu Pendekar Mabuk dan dua perempuan itu
terbengong bingung melihat aku bisa dibuat jatuh dan bisa kena tampar. Aku
sebenarnya ingin tertawa geli melihat kebodohan mereka, tapi aku bisa
menahannya kuat-kuat dengan berpura-pura ingin melabrak gurumu. He, he, he,
he...!"
"Sekarang bagaimana
dengan Pisau Tanduk Hantu itu? Apakah tetap ingin kau jual kepada istri Adipati
Kumitir?"
"Menurutmu sendiri
bagaimana? Sebab dijual ataupun tidak pisau ini punya keuntungan sendiri bagi
kita berdua. Istri Adipati Kumitir; Gusti Permeswari Prananingsih itu, berani
membayar mahal pisau ini. Uangnya tak habis dimakan empat keturunan kita. Kita
bisa pergi dari sini dan pindah ke Pulau Khayalan, hidup di sana sebagai suami
istri yang kaya raya, Menak Goyang. Tapi jika pisau ini tidak kita jual, kita
akan menjadi pasangan suami-istri yang ditakuti para tokoh dunia
persilatan."
Menak Goyang yang bersandar
dalam pelukan Maling Sakti tampak tetap menggoyang-goyangkan kakinya yang
melonjor. Pakaian mereka sudah rapi, duduk mereka sedikit bergeser dari tempat
cumbuan tadi. Menak Goyang tampak berpikir sebentar, kemudian bertanya,
"Sebenarnya untuk apa
Gusti Permeswari Prananingsih ingin memiliki pisau pusaka itu? Apakah beliau
bicara padamu?" sambil Menak Goyang memainkan pisau yang ada dalam
sarungnya yang terbuat dari tanduk rusa purba itu. Pisau itu jelas ada di
tangan Menak Goyang, mata Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas melihatnya
jelas-jelas.
Tapi mereka tidak mau segera
bertindak. Pendekar Mabuk sendiri bermaksud mendengarkan semua percakapan kedua
pencuri tersebut untuk bekal pengetahuan dirinya selanjutnya. Apalagi
percakapan itu menyinggung-nyinggung nama Istri Adipati Kumitir.
Seperti diketahui oleh Suto,
bahwa istri Adipati Kumitir dulu pernah dihebohkan sebagai istri Adipati yang
dibawa lari oleh Suto Sinting. Padahal yang membawa lari adalah Suto palsu.
Tetapi Suto asli tahu bahwa istri adipati itu memang tergila-gila oleh
ketampanan Suto palsu, sehingga ketika sang Istri Adipati Kumitir bertemu
dengan Suto asli, ia mengejar-ngejar dan mengharap belaian kemesraan. Perempuan
itu agaknya memang tergila-gila dengan sosok penampilan Suto palsu, hingga lupa
akan martabatnya sebagai istri seorang Adipati, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Peri Sendang Keramat").
Durjana Belang yang dikenal si
Maling Sakti itu menjawab pertanyaan Menak Goyang,
"Secara pasti aku tak
tahu mengapa Gusti Permeswari Prananingsih berkeinginan sekali memiliki Pisau
Tanduk Hantu. Tapi dalam salah satu percakapan aku sempat mendengar ia
keceplosan bicara, bahwa ia sedang menyimpan dendam dan cinta kepada seorang
pemuda tampan. Perempuan itu hanya punya dua pilihan, Jika cintanya tidak
dilayani, pemuda itu harus dibunuh. Dan pisau itulah yang digunakan untuk
menandingi pemuda tersebut nantinya!"
Kini pisau ada di tangan
Maling Sakti, diamat-amati bagai penuh ungkapan sayang untuk melepaskan kepada
pembelinya. Tapi di balik kerimbunan semak ilalang, Suto Sinting sempat tarik
napas dalam-dalam sambil menyimpan kecemasan, hatinya pun membatin,
"Jangan-jangan akulah
pemuda yang sedang diincar oleh istri Adipati itu. Sebab agaknya sang istri
Adipati penasaran sekali akan cintanya. Mungkin sampai sekarang ia masih
tergila-gila padaku."
Batin ini berhenti berkecamuk,
karena perhatian Suto Sinting tertuju kepada Maling Sakti dan Menak Goyang
lagi. Waktu itu Maling Sakti mencium pipi Menak Goyang, dan gadis itu tampak
kegirangan menerima ciuman tersebut. Setelah itu terdengar lagi si Maling Sakti
berkata,
"Kalau bukan karena
kebesaran cintamu, kurasa tak mungkin aku bisa mendapatkan Pisau Tanduk Hantu
ini."
"Kalau bukan karena kau
pandai memberikan kepuasan batin yang amat indah, tak mungkin aku mau
mengorbankan diri mencuri pisau pusaka guruku itu!" sambil tangan Menak
Goyang mencubit pipi Maling Sakti. Mereka tertawa cekikikan, karena tangan
Maling Sakti mulai melakukan 'kerajinan tangan' lagi yang membuat Menak Goyang
tanpak senang sekali menerimanya.
Teratai Kipas berbisik kepada
Suto, "Ooo... rupanya si Maling Sakti dianggap pandai memberikan
kebahagiaan batin, sehingga Menak Goyang cintanya terkojor-kojor kepada Maling
Sakti."
"Itulah yang kukatakan tadi,
kita tak bisa tahu hati seseorang yang sebenarnya. Hanya orang itulah yang
mengetahui mengapa ia mau jatuh cinta kepada seseorang. Dan kebahagiaan batin
seperti yang dikatakan Menak Goyang pun belum tentu sama dengan kebahagiaan
batin yang kau harapkan. Karena setiap manusia berbeda selera batinnya."
Percakapan Suto Sinting segera
berhenti karena tiba-tiba mulutnya didekap oleh tangan Teratai Kipas. Teratai
Kipas melirik ke arah kiri. Ternyata lirikan itu merupakan isyarat agar Suto
memandang ke arah kiri.
Lalu Pendekar Mabuk
terperanjat kaget, hampir saja ia keluar dari persembunyian itu jika tangannya
tidak ditahan oleh Teratai Kipas.
"Kita lihat saja dulu
dari sini!" bisik Teratai Kipas.
Seseorang muncul dan segera
melesat ke arah Menak Goyang dan si Maling Sakti. Orang itulah yang membuat
Suto Sinting terkejut, karena orang itu tak lain adalah wanita cantik bekas
istri jin.
"Sumbaruni...?!"
desah Suto Sinting dalam kecemasan.
Kehadiran Sumbaruni juga
mengejutkan Menak Goyang dan Maling Sakti. Mereka cepat-cepat melepaskan diri
dari kemesraan. Berpisah dan saling berdiri dengan sikap siap hadapi serangan
sewaktu-waktu. Tapi Sumbaruni tampak tenang. Bahkan senyumnya keilhatan
mengejek kemesraan yang tadi sempat dipergokinya itu.
Mata Sumbaruni tertuju ke arah
Pisau Tanduk Hantu yang ada di tangan si Maling Sakti. Sebelum Sumbaruni
bicara, Menak Goyang lebih dulu menyapa,
"Siapa kau?! Mengapa
datang menemui kami di sini? Apa maksudmu?"
"Menak Goyang, kau lupa
padaku?"
Menak Goyang yang bergerak-gerak
pinggulnya itu mengerutkan dahi menatap Sumbaruni. Beberapa saat kemudian
terdengar Sumbaruni bicara lagi dengan sikap sinisnya.
"Ketika aku menjadi bocah
kecil, kau pernah melarikan aku dari tangan Suto Sinting dan menyanderaku di
perguruanmu! Demikian pula kau Durjana Belang, kau pernah menyerobotku dari
gendongan orang Perguruan Tongkat Sakti dan menyembunyikan aku saat Siluman
Tujuh Nyawa menghendaki diriku sebagai tumbal kesaktiannya. Aku masih ingat
kalian."
"Sumbaruni...?"
desah Menak Goyang agak ragu.
"Ya, akulah Sumbaruni,
Menak Goyang! Dulu waktu aku menjadi bocah kecil kau bisa saja seenaknya
memperlakukan diriku, memperdaya Suto Sinting agar mengaku sebagai pencuri
Pisau Tanduk Hantu. Tapi ternyata kaulah biang keladi pencurian pusaka tersebut,
Menak Goyang. Rupanya kau bekerja sama dengan Durjana Belang dalam pencurian
Pisau Tanduk Hantu. Pantas kau ngotot sekali menuduh Suto Sinting sebagai
pencurinya, hanya untuk menutupi kekasihmu itu agar tidak masuk dalam
kecurigaan gurumu!"
"Tutup mulutmu,
Setan!" bentak Menak Goyang merasa malu ditelanjangi kedoknya selama ini.
Tapi bentakan itu justru menimbulkan tawa tipis bagi Sumbaruni yang tak merasa
gentar sedikit pun menghadapi mereka berdua.
"Terus terang saja, apa
maksudmu menemui kami, Sumbaruni?" kata Maling Sakti dengan tenang, tapi
matanya tampak memandang nakal ke dada Sumbaruni.
"Aku tidak akan berurusan
dengan kalian," ujar Sumbaruni. "Aku hanya ingin mencari seseorang
dan kebetulan tersesat kemari. Tapi suatu kebetulan aku bisa bertemu denganmu,
Menak Goyang. Aku membawa kabar buruk untukmu."
"Kabar buruk apa? Kau mau
menyebar fitnah?"
"Apa untungnya aku
memfitnah dirimu?"
"Barangkah kau ingin
merebut kekasihku ini dari pelukanku?" sambil Menak Goyang melingkarkan
tangannya ke pinggang Maling Sakti.
Sumbaruni hamburkan tawa
kecil. "Apa aku ini perempuan sebodoh kamu? Suto Sinting adalah kekasihku.
Jika dibandingkan kekasihmu seperti bumi yang diinjak-injak kebo dan langit
yang dipenuhi bidadari."
"Sekali lagi kau bicara
begitu, kurobek mulutmu, Betina Jalang!"
"Itulah sebabnya kau
jangan gede rasa dulu. Tak perlu cemburu padaku. Aku hanya ingin menyampaikan
kabar padamu bahwa seseorang sedang mengamuk di perguruanmu. Mungkin sekarang
sudah selesai atau mungkin juga sedang berlangsung. Orang itu mencari gurumu
dan menuntut kembalinya Pisau Tanduk Hantu itu. Jika kau tidak segera pulang ke
perguruanmu, maka perguruanmu akan hancur tak tertolong lagi. Mungkin pula kau
tak sempat melihat gurumu menghembuskan napas terakhir. Sebab orang itu
mempunyai ilmu lebih tinggi dari ilmunya gurumu; Malaikat Miskin!"
"Siapa orang yang berani
berkurang ajar seperti ini?! Sebutkan namanya!"
"Siapa lagi kalau bukan
Resi Pakar Pantun!"
"Oh...?!" Menak
Goyang terperanjat dan menjadi tegang.
Sumbaruni lanjutkan kata saat
Menak Goyang adu pandang dengan Maling Sakti.
"Resi Pakar Pantun merasa
sebagai pewaris yang berhak memegang Pisau Tanduk Hantu itu. Pisau tersebut
diperoleh gurumu dengan cara merebut dan membunuh adik Resi Pakar Pantun.
Tentunya kau sudah paham tentang hal itu, Menak Goyang. Sekarang kusarankan
cepatlah kembali ke perguruanmu sebelum Resi Pakar Pantun mengamuk di
sana!"
Teratai Kipas berbisik,
"Rupanya Sumbaruni dan Menak Goyang belum tahu kalau Perguruan Tongkat
Sakti sudah hancur."
"Ya. Dan rupanya bukan
Maling Sakti yang menghancurkannya, melainkan si 'Tikar Rombeng' itu."
Percakapan mereka berhenti
sejenak, karena saat itu Menak Goyang membentak kepada Sumbaruni,
"Kau tak perlu mengatur
langkahku! Pergilah secepatnya! Biarkan kami melanjutkan kemesraan kami berdua!
Kehadiranmu hanya mengganggu kemesraan dan kebahagiaan saja!"
Sumbaruni tertawa pelan.
Teratai Kipas sempat berbisik pada Suto, "Apakah benar dia kekasihmu?
Kudengar dia tadi mengaku sebagai kekasihmu."
"Siapa saja berhak dan
boleh mengaku demikian. Tapi kenyataan yang membedakan kebenaran ucapan
tersebut!" Jawab Suto Sinting sambil mata tetap mengawasi Sumbaruni, takut
kalau tahu-tahu diserang dengan Pisau Tanduk Hantu.
"Aku memang tidak ingin
berlama-lama di sini. Aku justru sedang mencari si Pakar Pantun. Dia punya
janji padaku yang belum dilunasi! Aku akan menagihnya, jika perlu dengan
kekerasan. Mulut orang tua itu memang perlu ditampar dengan pedang biar tidak
bicara plin-plan lagi!"
Sumbaruni segera pergi meninggalkan
Menak Goyang dan Maling Sakti. Tapi dalam hati Suto Sinting menjadi gundah.
"Dia mencari Resi Pakar
Pantun? Mau menagih janji tentang apa? Jika ia sampai bertarung dengan Resi
Pakar Pantun, itu sangat membahayakan keselamatannya. Ada baiknya kalau aku
mengikuti Sumbaruni dulu dan mencegah niatnya bersikap kasar kepada Resi Pakar
Pantun."
Teratai Kipas melihat
kegundahan itu dari sorot pandangan mata Pendekar Mabuk. Gadis itu bagaikan
cukup peka perasaannya, tahu apa yang dibatin Suto, sehingga ia berkata dengan
nada sedikit ketus,
"Kalau kau mengikuti
kepergian Sumbaruni, aku tak akan ikut. Biarlah aku pulang ke Majageni
sendiri."
"Tapi... tapi Sumbaruni
ingin lakukan sesuatu yang berbahaya!"
"Dan kau akan membelanya,
bukan? Itu baik. Sebagai seorang kekasih memang bertugas melakukan pembelaan
kepada wanita yang mencintainya. Tapi aku tidak bisa, karena aku tidak punya
urusan dengan Sumbaruni. Pergilah sana dan biarkan aku pulang sendiri."
"Maksudku begini,
Teratai...," ucapan Suto Sinting berhenti karena tiba-tiba ia tertarik
dengan percakapan Maling Sakti dengan Menak Goyang.
"Lupakan saja tentang
perguruanmu!" kata Maling Sakti. "Kau tak perlu harus kembali ke
sana. Yang hancur biarlah hancur, kita melangkah sesuai dengan rencana kita sendiri."
Menak Goyang berkata,
"Baiklah. Aku ikut apa
saja rencanamu, asal kau jangan jauh-jauh dariku. Kalau perlu, sekarang juga
kita menuju ke kadipaten Kumitir dan menjual pisau pusaka itu. Lalu, kita
segera pergi ke Pulau Kayangan dan hidup bahagia di sana. Bukankah itu suatu
impian yang indah, Durjana Belang?"
"Ya, Itu impian yang
indah," sambil Maling Sakti mencium pipi Menak Goyang, dan sang gadis
menyodorkan lebih dari pipi.
Tetapi percintaan dan
kemesraan mereka terpaksa terhenti dan buyar oleh datangnya sebuah serangan
bersinar merah yang mengarah kepada mereka. Claaap!
Sinar merah itu melintas cepat
menghantam punggung Menak Goyang yang sedang mencium Maling Sakti dengan
berkobar-kobar.
Jraaab...!
"Aaah...!"
Menak Goyang lepaskan
ciumannya, tersentak mundur kepalanya, mengerang dalam keadaan tubuhnya menjadi
hangus seketika. Rambutnya pun menjadi keriting dan akhirnya jatuh dalam
keadaan kelojotan.
"Bangsaaat...!"
teriak Maling Sakti marah besar.
Wajahnya merah separo. Dan
saat itu pula muncul di hadapannya sesosok tubuh berjubah tambal-tambal.
"Malaikat
Miskin...?!" ucap Suto dengan tegang.
***7
BERULANG KALI Suto Sinting
ingin bergerak, tapi selalu ditahan oleh Teratai Kipas. Padahal di hati Suto
Sinting sudah tak sabar, ingin segera mengamankan Pisau Tanduk Hantu itu.
"Biarkan mereka berurusan
sendiri. Bukan pada tempatnya kalau kita ikut campur urusan mereka! Mereka
adalah pemilik dan pencuri," Teratai Kipas memberikan alasan dan
pengertian maksud menahannya.
"Tetapi pisau itu membahayakan!
Bisa-bisa pisau itu memakan korban lagi kalau tidak segera diamankan. Malaikat
Miskin yang menjadi korban berikutnya! Kita harus amankan pisau itu dari tangan
si Maling Sakti."
"Kalau Maling Sakti
menjadi korban, itu adalah hukumannya yang pernah membunuh adik Resi Pakar
Pantun untuk merebut pisau itu!"
Suto Sinting diam termenung,
namun matanya masih mengawasi ke arah pertemuan Malaikat Miskin dan Maling
Sakti. Sementara itu, Menak Goyang agaknya tidak tertolong lagi. Tubuhnya diam,
kaku, hangus, dan tentunya sudah tidak bernapas sedikit pun.
"Kau seorang guru yang
kejam, Malaikat Miskin! Muridmu kau bunuh dengan ilmu mautmu sendiri!"
"Membunuh murid murtad
tidak ada salahnya!" kata Maiaikat Miskin dengan memandang tajam kepada si
Maling Sakti. "Hukuman itu layak diterimanya karena rupanya dialah dalang
pencurian pisau pusakaku itu!"
"Kau salah, Malaikat
Miskin! Menak Goyang tidak ada sangkut pautnya dengan pisau ini!" sambil
pisau pusaka itu ditunjukkan. "Hubunganku dengan Menak Goyang hanya sebatas
hubungan cinta semata!"
"Omong kosong!"
bentak Malaikat Miskin.
"Sekarang tak perlu
banyak bicara, serahkan pisau itu padaku, kau kubebaskan dari segala hukuman
dan tuduhan!"
"Ini bukan pisaumu! Kau
pun tidak berhak memiliki Pisau Tanduk Hantu. Sekarang aku tahu, bahwa pisau
ini sebenarnya milik leluhurnya Resi Pakar Pantun! Kau memiliki pisau ini dari
hasil merampasnya, Malaikat Miskin! Jadi aku semakin kuat mempertahankan pisau
ini dari jangkauanmu!"
"Keparat! Kau memang
bajingan busuk, Durjana Belang! Panggil gurumu dan suruh dia berhadapan
denganku!" teriak Malaikat Miskin dengan berang.
Maling Sakti tersenyum sinis,
"Tak perlu kau berhadapan
dengan guruku, karena sebentar lagi Cukak Tumbila pun akan kutumbangkan dan aku
akan berkuasa di Bukit Kopong! Siapa yang kehendaki pisau ini juga akan
kutumbangkan. Durjana Belang harus berkuasa di antara para tokoh rimba
persilatan. Dan pisau inilah yang akan mengadili siapa saja yang
menentangku!"
"Babi sangit!" geram
Malaikat Miskin dengan mulai mengangkat tongkatnya. "Kau berhadapan
denganku, sama saja berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa, Maling Pikun!
Jangan sangka aku merasa gentar dengan senjata itu! Aku masih mampu merebutnya
dari tanganmu! Lihat saja nanti!"
"Majulah kalau kau tak
sayang nyawamu, Malaikat Gelandangan!"
Seet...! Pisau Itu dicabut
dari sarungnya. Sarungnya dimasukkan ke ikat pinggang, sedangkan pisau berbesi
baja hitam itu dimainkan dengan satu tangan oleh Maling Sakti. Gerakan
jurus-jurus yang dipergunakan Maling Sakti tampak mantap dan meyakinkan,
sepertinya ia memang sudah menguasai jurus berpisau tunggal. Lincah dan gesit
dalam setiap gerakannya.
Malaikat Miskin segera
sentakkan tongkatnya ke tanah.
Duug...!
Dari tanah memercik lidah api
menyambar tubuh Maling Sakti. Wuuus...! Tetapi Maling Sakti segera lakukan
lompatan dan berjungkir balik di udara. Wuuukk...! Ia menuju Malaikat Miskin
dan segera menendangkan kakinya ke arah kepala lawan.
Wuuss...!
Dees...!
Tongkat itu menghantam cepat
mata kaki Maling Sakti. Pada saat menghantam, tampak ada sinar
biru memercik sekejap.
Claaap...!
"Auuh...!"
Maling Sakti memekik, ia jatuh
terpuruk karena kakinya terasa sakit, mata kaki bagaikan pecah karena hantaman
tongkat bertenaga dalam tinggi. Tetapi keadaan itu justru membuat Malaikat
Miskin tertegun sekejap.
"Kenapa ia hanya mengaduh
sebentar? Mestinya kaki itu hancur dan tak tak bisa dipakai berjalan lagi.
Untuk berdiri pun sudah tak mungkin mampu. Tapi ia ternyata masih bisa berdiri.
Kakinya seperti merasa keseleo sedikit. Hebat juga kekuatan tenaga penahan luka
pada kaki si Bocah Setan ini?!"
Saat tertegun itu, tiba-tiba
tubuh Maling Sakti mampu melesat dan mengibaskan pisaunya ke arah dada Maiaikat
Miskin. Wuuus...! Wuuut...! Malaikat Miskin tersentak mundur dan menjatuhkan
diri di tanah. Jika tidak begitu perutnya akan robek terkena sabetan pisau maut
tersebut.
Begitu tubuh sampai di tanah,
tiba-tiba tubuh itu berputar dengan menggunakan pinggulnya dan satu sentakan
napas membuat tubuh itu melenting naik, lalu bersikap berdiri tegak. Jleeg...!
Dan tongkatnya segera menebas ke arah kepala si Maling Sakti.
Wuuut...! Cepat sekali gerakan
tongkat itu, sehingga hampir-hampir kepala Maling Sakti remuk terhantam kepala
tongkat.
Gerakan lincah si Maling Sakti
membuat tubuhnya dalam waktu singkat sudah berada di tanah dalam keadaan
tengkurap, ia berguling dengan kaki berputar naik, lalu menjejak perut Malaikat
Miskin. Duuhg...!
"Heegh...!" Malaikat
Miskin terpekik mendelik.
Tubuhnya bagaikan dilanda
badai. Terhempas kuat menghantam gugusan batu cadas yang tadi dipakai untuk
bermesraan dengan Maling Sakti dan Menak Goyang.
Bueehg...!
"Hiaaat...!"
Tiba-tiba tubuh Maling Sakti melompat bagai seekor harimau hendak menerjang
lawannya.
Pisaunya terarah lurus ke
tubuh Malaikat Miskin yang sedang merunduk hendak bangkit dengan berpegangan
tongkatnya. Tiba-tiba mata Malaikat Miskin melihat gerakan maut yang mengancam
jiwanya. Seketika itu ia merebah kembali dan tongkatnya disodokkan ke depan.
Wuuut...! Sodokan ke depan
atas mengenai perut Maling Sakti. Duuhg, claap...! Sinar merah memercik dari
ujung tongkat yang menyentuh perut Maling Sakti.
"Uhg...!" Maling
Sakti hanya terpekik pelan, tubuhnya tertahan dan oleng ke kiri. Bruuk...!
Lalu, wajahnya yang masih terangkat disapu oleh tendangan putar kaki Malaikat
Miskin. Plook...!
Tendangan itu cukup kuat dan
keras, namun hanya membuat kepala Maling Sakti tersentak ke belakang dan
membentur tanah empuk. Buuk...! Tapi wajah itu tetap utuh, tanpa luka dan tanpa
darah. Malaikat Miskin cepat sentakkan badan dengan bertumpu pada tongkatnya.
Badan melesat naik dan bersalto mundur dua kali.
Wuk, wuk...!
"Edan!" gumamnya
dalam hati setelah kakinya menapak di tanah dengan tegak.
"Sodokan tongkatku tak
membuatnya cedera apa pun?! Padahal biasanya sodokan tongkat membuat benda apa
pun menjadi pecah, perut orang bisa jebol karena kualiri tenaga dalam yang
bernama jurus 'Naga Beringas'. Tapi kenyataannya ia hanya terpental jatuh tak
seberapa parah! Ilmu apa yang dimilikinya, sampai-sampai tendangan 'Sapu
Neraka'-ku tidak bisa membuat kepalanya pecah. Mestinya kepalanya hancur saat
terkena tendangan 'Sapu Neraka' yang tak pernah ada yang kuat menahannya
itu?!"
Maling Sakti berdiri dalam
keadaan tegap pula. Ia bagaikan tak mengalami rasa sakit pada kepala atau tubuh
lainnya. Ia bahkan tersenyum sinis dan mulai pasang kuda-kuda lagi. Sempat pula
si Maling Sakti berkata,
"Jurus-jurusmu tidak
berguna buat tubuhku, Malaikat Miskin! Keluarkan semua ilmumu dan aku siap
menghadapinya!"
"Keparat! Monyet juling
kau! Terimalah jurus 'Dewa Kilat' ini, heaaah...!"
Malaikat Miskin segera
putar-putarkan tongkatnya, lalu tongkat menyentak ke depan dengan digenggam dua
tangan.
Wuuukkk...! Dari ujung
tongkat, tepat di pertengahan tiga ranting pendek itu, melesat sinar biru
bergerak zig-zag bagaikan gerakan petir menyambar mangsanya. Zaap, zaap,
zaap...!
Maling Sakti mengambil sikap
berdiri dengan kaki merapat dan sedikit ditekuk lututnya ke depan. Pisau Tanduk
Hantu digenggam di depan wajah, tangan kirinya menyangga tangan kanan yang
menggenggam pisau. Kilatan cahaya biru itu masuk mengenai dada Maling Sakti.
Blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi
mengguncangkan alam sekeliling. Ledakan itu menimbulkan cahaya biru besar
menyebar dan mengepulkan asap bergumpal-gumpal.
Sebongkah batu yang ada di
belakang Maling Sakti itu menjadi hancur berbongkah-bongkah. Pohon pun retak
karena daya ledak yang menghempas sangat kuat.
Beberapa tanaman semak
tercabut dari akarnya dan menjadi kering dalam waktu empat helaan napas.
Namun ketika asap yang
membungkus tubuh Maling Sakti itu mulai sirna, tampaklah samar-samar sosok
Maling Sakti yang masih berdiri dengan kaki merapat.
Sedikit pun tak ada yang luka,
bahkan pakaiannya robek pun tidak. Tentu saja hal itu membuat si Malaikat
Miskin terperangah bengong.
"Benar-benar gila orang
ini?!" geram Malaikat Miskin lebih jengkel lagi. "Jurus 'Dewa Kilat'
tak mempan menghancurkan tubuhnya? Padahal pohon saja retak, batu saja pecah,
itu pun tak terkena langsung oleh kilatan cahaya biruku. Tapi dia... yang
jelas-jelas dihantam cahaya biru, masih tetap utuh. Bahkan masih bisa meringis
seperti kuda ganjen?! Setan alas!"
Durjana Belang yang wajahnya
masih tampak merah separo karena pengaruh amarah dalam hatinya itu kini
mengendurkan ketegangan uratnya. Senyumnya makin tampak seperti seringai iblis
yang kegirangan menemukan mangsanya. Terucap pula kata-kata sombongnya kepada
Malaikat Miskin,
"Apakah masih ada jurusmu
yang lebih dahsyat lagi, hah?! Keluarkan semua! Lepaskan padaku, aku akan
menahannya!"
"Itu belum seberapa,
Maling Kunyuk!" geram Malaikat Miskin. "Kali ini kau tak akan mampu
menahan pukulan 'Tongkat Jenazah' yang tak pernah ada tandingannya. Hiaaah...!
Hiaaah...!"
Wut, wut, wut...! Tubuh
Malaikat Miskin berputar cepat mengelilingi Maling Sakti. Tongkatnya pun
diputar cepat di atas kepala dengan kedua tangan. Dari putaran tongkat itu
keluar percikan-percikan bunga api dan membuat tongkat itu lama-lama menyala
merah bagaikan besi terpanggang api yang membara.
Maling Sakti hanya diam dan
terkekeh-kekeh saja. Ia tidak mengikuti gerakan lawan yang mengelilinginya
dengan sangat cepat, hampir tak terlihat itu. Jurus itu membuat lawan tak
mengerti kapan Malaikat Miskin hentikan gerakannya dan lepaskan jurusnya. Hanya
saja, tiba-tiba tubuh itu bergerak lebih cepat lagi, lalu berhenti mendadak di
belakang Maling Sakti. Tongkat yang membara merah panas itu dihantamkan ke
kepala si Maling Sakti. Wuuut...! Praak!
Blaaarrrr...!
Kembali ledakan dan asap
berhamburan membungkus tubuh Maling Sakti. Teratai Kipas dan Suto Sinting
sama-sama berpendapat bahwa kepala Maling Sakti pecah, karena terdengar suara
benda pecah sebelum suara ledakan bergema menggetarkan
pepohonan sekeliling.
Namun alangkah terkejutnya
mereka setelah mengetahui Maling Sakti tetap berdiri tegak dengan kaki sedikit
merenggang, dan tertawa bagaikan kekeh tawa seorang kakek. Kepalanya masih
utuh. Tapi tongkat andalan Malaikat Miskin pecah. Remuk menjadi beberapa
bagian. Malaikat Miskin memandang dengan mata terbelalak tak bisa berkedip.
Dari persembunyiannya Pendekar
Mabuk membatin,
"Luar biasa kekebalannya!
Dengan bekal ilmu kekebalan dan kelipatgandaan tenaga serta pisau itu, ia bisa
menjadi tokoh sesat yang bertindak semena-mena.
Agaknya aku harus bertindak
cepat mengamankan pisau itu sebelum Malaikat Miskin menjadi korban."
Tetapi sebelum Suto Sinting
bergerak, tiba-tiba ia terkejut melihat Maling Sakti melompat dengan sangat
cepat, menerjang tubuh si Malaikat Miskin. Gerakannya itu jelas tak bisa
dihindari karena menyerupai hembusan badai.
Wuuusss..!
Tahu-tahu ia sudah berada di
seberang sana, dari sisi kanan Malaikat Miskin pindah ke sisi kiri. Tentu saja
orang yang dilintasinya menjadi terkejut dan menatapnya penuh keheranan.
"Monyet burik! Gerakannya
lebih cepat dari gerakanku. Padahal setahuku, Cukak Tumbila sendiri tak mungkin
mampu berkelebat secepat itu?! Dia seperti menghilang dan berbentuk angin lewat
di depanku. Dan... dan... oh, celaka?!"
Malaikat Miskin menjadi
tegang, karena ketika ia memandang ke bawah, ternyata pakaiannya telah robek
dan kulit dadanya tergores benda tajam. Malaikat Miskin terpaku sejenak
memandangi lukanya. Tubuhnya segera kelihatan gemetar. Ketegangan wajahnya kian
jelas dan sangat menonjol.
Di sisi sana, Maling Sakti
tertawa terkekeh-kekeh.
"He, he, he, he....
Jangan kaget, itulah hukuman bagi orang yang nekat ingin melawanku, Malaikat
Miskin! Sekarang kau baru percaya bahwa aku bukan tandinganmu. Tenaga dalammu
tak akan mampu mencederai tubuhku, karena tanpa sengaja aku telah menelan Batu
Sembur Getih yang mampu melipatgandakan tenaga dalamku dan memperkebal tubuhku!
He, he, he, he...! Itulah akibatnya jika bandel Pisau Tanduk Hantu akhirnya
memakan bekas majikannya sendiri! Kau tak akan bisa menyentuhku lagi, Malaikat
Miskin. Kau akan lenyap setelah melewati tiga kali tujuh hari!"
"Bangsaaat...!"
Malaikat Miskin yang sudah
kehilangan tongkatnya itu mengamuk, ia menerjang tubuh Maling Sakti. Tapi tubuh
itu hanya bisa dilewati saja, ditembus tanpa sentuhan apa pun. Tubuh Malaikat
Miskin sudah menjadi bayangan tampak nyata, sebentar lagi akan menjadi bayangan
hitam, lalu hanya tinggal suara, dan tujuh hari kemudian lenyap tanpa
tinggalkan bekas apa pun. Malaikat Miskin mengamuk sejadi-jadinya, memukul,
menghantam, menendang tapi semua itu hanya ditertawakan oleh Maling Sakti.
Karena tubuh Maling Sakti tak bisa disentuh oleh Malaikat Miskin.
"Huaaahh...! Bangsat kau,
Durjanaaa...!" teriak Malaikat Miskin dengan amat berang dan salah
tingkah.
Rasa sesalnya begitu tinggi,
sehingga kemarahan yang tak bisa dilampiaskan membuatnya seperti orang
kesurupan.
"Terlambat...!"
gumam Suto Sinting bernada keluh, lemas, dan lirih.
"Tak perlu kau sesali,
karena itulah hukuman bagi si perampas pusaka!" kata Teratai Kipas
membujuk hati Pendekar Mabuk yang tampak kecewa dengan kelambatan tindakannya
sendiri.
"Orang sedunia bisa
dibuatnya menjadi bayangan semua oleh tindakan sewenang-wenangnya! Aku harus
segera merampas pisau itu!" kata Suto Sinting, kali ini tanpa banyak
memikirkan Teratai Kipas, ia melompat keluar dari balik kerimbunan semak.
Teratai Kipas akhirnya ikut
muncul juga dan membuat kejutan tersendiri bagi si Maling Sakti. Sementara itu,
bayangan sosok tubuh Malaikat Miskin berlari menerjang pepohonan sambil berseru
dengan suara keras dan serak,
"Tunggu pembalasanku...!
Kuadukan kau kepada Cukak Tumbila! Tunggu...!"
Maling Sakti tidak hiraukan
teriakan yang makin lama semakin menjauh itu. Kini matanya lebih tertarik
memperhatikan Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas.
Senyumnya bagaikan seringai
bocah tanpa dosa, tapi pisau keramat itu masih nyata-nyata tergenggam oleh
tangan kanannya.
Teratai Kipas mendahului
bicara, "Kali ini kau tak bisa berlagak bodoh lagi, Durjana Belang! Semua
rahasiamu sudah kami ketahui sejak tadi!"
"He, he, he.... Teratai
Kipas dan Suto, kalian ingin rasakan juga bagaimana menjadi sosok tanpa raga?
Mendekatlah kemari kalau kalian ingin seperti Malaikat Miskin itu! Tapi
sebelumnya kuingatkan padamu, tak ada manusia lain yang mampu menandingiku;
Batu Sembur Getih dan Pisau Tanduk Hantu telah menyatu dalam diriku! Tentunya
kalian tahu bagaimana kehebatan dua pusaka itu jika menyatu dalam tubuh satu
orang!"
Pendekar Mabuk masih tenang.
Malahan ia sempat menenggak tuaknya beberapa teguk.
Teratai Kipas yang berdiri tak
jauh dari samping kiri Pendekar Mabuk segera berkata lagi, "Maling Sakti,
kesombonganmu akan hancur jika kau berhadapan dengan Pendekar Mabuk, karena dia
tak sama dengan pendekar lainnya! Jangan kau anggap setara dengan kesaktian
Malaikat Miskin!"
"Hah, ha, ha, ha, ha,
ha...! Benarkah begitu, Suto?"
Dengan kalem Pendekar Mabuk
kasih jawaban, "Aku sekadar menegakkan mana yang benar dan melumpuhkan
yang salah!"
"Tak perlu berbasa-basi
lagi, Suto! Kau boleh bangga bisa mengalahkan Siluman Tujuh Nyawa, tapi belum
tentu bisa kalahkan Durjana Belang, si Maling Sakti ini!" sambil ia
menepuk dada sendiri. Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis, tetap tenang
namun penuh waspada.
Tiba-tiba ketika Suto Sinting
ingin lepaskan kata, sekelebat bayangan muncul dan langsung menerjang si Maling
Sakti. Wuuut...! Brruuuus .!
Tubuh Maling Sakti terbuang
dan jatuh membentur pohon. Tapi ia seperti tidak merasakan sakit sedikit pun.
Dalam sekejap ia telah bangkit dan berdiri menatap bayangan yang baru datang.
Orang tersebut segera disusul pelayannya yang selalu ketinggalan dalam
bergerak.
Teratai Kipas berkata lirih
kepada Suto, "Yaaah... si Tikar Rombeng muncul lagi! Cari penyakit saja
orang ini?!"
Si Tikar Rombeng' alias Resi
Pakar Pantun, memang muncul di situ dalam keadaan kebingungan mencari pencuri
pusaka leluhurnya. Wajahnya tuanya menjadi ceria ketika ia melihat pisau
tersebut ada di tangan Maling Sakti.
"Celana kolor buat
bungkus batu Dibuka sedikit baunya langu Tujuh keliling kucari pusaka itu
Ternyata ada di tangan bocah dungu!"
Resi Pakar Pantun mengawali
lagaknya yang gemar bermain pantun untuk mengungkapkan rasa. Ia tampak tenang
dalam sikap berdiri yang masih berkesan gagah walau usianya sudah banyak. Mata
Pendekar Mabuk memperhatikan ke arah Resi Pakar Pantun, karena ia ingat
Sumbaruni yang tadi mencari orang itu. Rasa khawatirnya membuat Pendekar Mabuk
memancing keterangan dengan pertanyaan seakan tanpa maksud yang semestinya.
"Resi Pakar Pantun,
beruntung sekali kau datang kemari, karena aku ingin bertanya apakah kau tadi
bertemu dengan Sumbaruni?"
"He, he, he, he....
Sumbaruni tak akan bisa mengejarku walau aku punya janji padanya. Aku tak akan
penuhi janjiku sebelum berhasil merebut pusaka milik leluhurku itu!"
"Kalau boleh kusarankan,
jangan teruskan niatmu Resi Pakar Pantun. Tapi aku berjanji akan merebutkan
Pisau Tanduk Hantu itu dari tangannya dan akan kuserahkan padamu!" kata
Suto Sinting yang mempunyai dugaan bahwa sang Resi akan tumbang jika melawan
Maling Sakti.
"Celana kolor disambung-sambung
menjadi sorban Bayi sungsang hendak menuntut ilmu Meski wajahku tua rambut
beruban Tapi tak bisa termakan kelicikanmu."
Pendekar Mabuk memandang
Teratai Kipas. Gadis itu berkata lirih, "Agaknya ia tak butuh bantuanmu.
Dia akan hadapi sendiri si Maling Sakti."
"Tapi dia bisa celaka dan
bernasib seperti Malaikat Miskin!"
"Biarkan saja. Itu memang
pilihannya."
Terdengar pula suara Maling
Sakti bicara dengan Resi Pakar Pantun,
"Bagiku kedatanganmu
adalah hal yang menguntungkan, Resi Pakar Pantun! Dengan begitu aku tak perlu
susah payah mencari orang yang akan merebut pisau ini. Aku tahu pisau ini milik
leluhurmu, tapi karena sudah di tanganku, tentunya menjadi milikku. Aku tahu
kau ingin merebutnya kembali, karena itu lakukanlah niatmu sekarang juga, aku
akan melenyapkan ragamu seperti mereka yang mencoba menentangku!"
"Celana kolor tersangkut
paku...."
"Robek?" potong
Kadal Ginting.
"Belum," jawab Resi
tak sadar, ia segera mendengus kesal dan mengulangi pantunnya yang ditujukan
pada Maling Sakti.
"Celana kolor tersangkut
paku Dilihat malu oleh sang tamu Jangan remehkan ketuaanku Sekali tepuk
retaklah dadamu!"
Maling Sakti maju tiga
langkah, Resi Pakar Pantun pun maju dua langkah. Sikap si Maling Sakti penuh
tantangan, sementara Resi Pakar Pantun hanya diam dalam ketenangannya.
Teratai Kipas berbisik pada
Suto, "Kali ini judulnya Celana Kolor, bukan Tikar Rombeng lagi...."
Belum sempat Suto menjawab,
sudah terdengar suara Resi Pakar Pantun berkata,
"Celana kolor basah
ujungnya...."
"Tuh, benar kan? Celana
kolor lagi?" bisik Teratai Kipas.
"Ssst...! Diamkan saja,
biarkan sepuasnya dia bicara tentang celana kolor!"
"Iya, tapi aku risi
membayangkannya."
"Jangan bayangkan bentuk
celananya, tapi bayangkan seni pantunnya," bisik Suto Sinting. Kasak-kusuk
itu membuat sang Resi berhenti berpantun sebentar.
Matanya melirik tak suka
mendengar kasak-kusuk itu.
Maka ia pun mengulang lagi,
"Celana kolor basah
ujungnya Dicium perawan pingsan ibunya Serahkan pisau itu kepada pemiliknya
Jangan sampai memakan korban pemegangnya."
Tawa Maling Sakti berkesan
meremehkan. Tapi tawa itu tiba-tiba lenyap karena mendadak ia mendapat serangan
pukulan jarak jauh dari tangan Kadal Ginting.
Claaap...! Seberkas sinar
kuning melesat dan menghantam pinggang Maling Sakti.
Duaaar...!
Tubuh Maling Sakti hanya
terguncang sedikit, dan sinar kuning itu lenyap seketika setelah membentur
pinggang Maling Sakti. Mata sang Resi sedikit terkesiap menahan rasa heran
melihat Maling Sakti tak terluka sedikit pun oleh pukulan Kadal Ginting. Bahkan
saat itu Kadal Ginting segera berkata pelan,
"Dia kebal pukulan,
Eyang! Hati-hati!"
"Aku tahu, dan aku bisa
mengatasinya sendiri. Kau mundurlah, Kadal Ginting. Biar kuhadapi sendiri bocah
dogol ini!"
Maling Sakti pandangi wajah
Kadal Ginting.
Matanya tajam memandang dengan
wajah menjadi belang, merah sebelah kanannya karena menahan kemarahan.
Tiba-tiba dari mata itu keluar sinar kecil bagaikan benang lurus berwarna merah
dan tertuju ke tubuh Kadal Ginting. Slaaap...!
Resi Pakar Pantun menahan
dengan telapak tangan menghadang sinar kecil itu. Zeerrrbbb...! Sinar merah
kecil bagaikan terkumpul di tangan Resi Pakar Pantun. Tangan itu cepat
menggenggam, lalu melemparkan genggaman tersebut ke arah Maling Sakti.
Wuuut...! Claaap...!
Sinar merah terang menggumpal
bagaikan bola, terlepas dari genggaman tangan sang Resi. Menghantam tubuh
Maling Sakti yang tak sempat melompat menghindarinya.
Jedaaar...!
Ledakan mengejutkan terjadi,
melepas hentakan keras. Tubuh Maling Sakti tersentak mundur tiga tindak, namun
tak mengalami luka apa pun. Padahal tubuh itu tadi bagaikan dibungkus nyala api
dalam sekejap. Tapi sehelai rambut pun tak ada yang terbakar.
Hal itu membuat Resi Pakar
Pantun berkerut dahi pertanda memendam perasaan heran. Hatinya pun segera
berkata,
"Mestinya dia pecah
karena sinarnya tadi. Tapi mengapa masih utuh? Rupanya ia punya ilmu kebal yang
tak mempan pukulan tenaga dalam seperti itu tadi? Hmmm... baiklah. Dia boleh
bangga punya ilmu kebal, tapi belum tentu bisa menahan jurus 'Tepuk
Amai-amai'ku ini...."
Resi Pakar Pantun segera
merentangkan kedua tangannya ke atas, lalu tiba-tiba ia bertepuk satu kali.
Plok...! Dari tepukan itu
memercik sinar biru ke arah tubuh Maling Sakti. Seberkas sinar biru itu segera
ditahan oleh telapak tangan kiri si Maling Sakti.
Claap...! Jleeb...! Sinar itu
bagaikan masuk menembus telapak tangan. Tiba-tiba tangan tersebut menyentak ke
depan dan keluarlah sinar biru tadi beriringan dengan sinar merah sejajar.
Sraaab...!
Melesatnya kedua sinar dihadang
oleh kibasan tangan sang Resi yang menghadirkan semburan asap putih.
Sinar-sinar itu masuk ke dalam
asap putih, terbungkus menggumpal sekejap, lalu meledak dengan dahsyatnya,
sangat diluar dugaan Suto Sinting dan Teratai Kipas.
Glegaaarrrr...!
Gelombang hentakannya begitu
kuat, menyebar ke berbagai penjuru, membuat Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas
nyaris terpelanting jatuh. Untung keduanya segera saling berpegangan dan
bertahan pada batang pohon, sehingga mereka tak sampai terkapar seperti ynng dialami
Resi Pakar Pantun. Sedangkan Maling Sakti sendiri tersentak mundur dan
membentur dinding gugusan cadas. Jika tidak ia pasti akan jatuh terkapar
seperti Resi Pakar Pantun dan Kadal Ginting yang tadi sempat terpekik kaget
itu.
Melihat sang Resi jatuh
terkapar dan berusaha bangkit lagi, Maling Sakti segera menyerang dengan
gerakannya yang amat cepat Wuuut...! Hampir saja gerakan itu tak mampu dilihat
oleh Suto Sinting karena cepatnya. Dan sang Resi sendiri nyaris diterjang tubuh
Maling Sakti yang telah memasang Pisau Tanduk Hantu di depannya. Untung sang
Resi jatuh kembali karena kakinya masih terasa lemas, sehingga terjangan itu
mengenai tempat kosong.
Menyadari hal itu, sang Resi
menjadi semakin tegang, ia cepat-cepat lepaskan jurusnya dengan memukul tanah
satu kali. Blaaak...! Dan dari tanah itu mengalirlah tenaga dalam ke arah kaki
si Maling Sakti, sehingga tubuh Maling Sakti terlempar terbang diluar dugaan.
Wuuut...!
Resi Pakar Pantun berdiri
dengan satu lutut, kemudian ia bertepuk tangan beberapa kali. Plok, plok, plok,
plaaak, plak, plok...!
Beberapa sinar kilat
menghujani tubuh Maling Sakti yang sedang meluncur turun. Clap, clap, clap,
clap...!
Ledakan yang terjadi akibat
sinar biru menghantam Maling Sakti itu terdengar beruntun sehingga menjadikan
suara bergemuruh sambung-menyambung. Tanah dan pepohonan sekelilingnya ikut
bergetar.
Hawa panas menyebar sesuai
arah angin berhembus. Tetapi tubuh Maling Sakti masih mampu mendarat dengan
sigap dan tak mengalami cedera apa pun juga. Bahkan ia segera melayang bagaikan
terbang menuju ke arah sang Resi dengan pisau siap ditorehkan.
"Heaaahh...!"
Sang Resi menangkis gerakan
tangan berpisau yang berkelebat hendak menggores wajahnya. Plaaak...! Lalu
tangan kanannya dihantamkan ke depan, dan disambut oleh hantaman tangan kiri si
Maling Sakti. Plaaak...!
Duaaar...!
Perpaduan kedua telapak tangan
itu memercikkan sinar merah terang, dan suara ledakannya menghentak kuat,
membuat kedua tubuh sama-sama terpelanting mundur.
Brrruk...!
"Aaaahg...!" Resi
Pakar Pantun mendelik dengan tubuh menggeliat, berdiri dengan satu lutut
bertumpu di tanah.
Teratai Kipas memandang tegang
ke arah Resi Pakar Pantun, karena mulut sang Resi segera memuntahkan darah
segar. Wajah sang Resi menjadi pucat pasi, sementara itu wajah Maling Sakti
masih segar bugar dan cepat-cepat bangkit dari jatuhnya tadi.
"Keparat busuk kau,
Maling Singkong! Hiaaah...!"
Kadal Ginting mencoba
melakukan pembalasan atas apa yang diderita oleh majikannya, ia menyerang
dengan gerakan tangan berseliweran cepat di depan wajah. Tiba-tiba kedua
tangannya menyentak ke depan dan gelombang hawa panas tinggi menerjang tubuh si
Maling Sakti.
Wooosss...!
Tetapi orang itu hanya diam
bagai dihembus hawa sejuk tanpa rasakan sengatan panas sedikit pun, sedangkan
tanaman di belakangnya menjadi lekas layu dan mengering dalam dua kejap saja.
Tapi Maling Sakti tak mengalami luka bakar sedikit pun. Bahkan ia maju dalam
satu lompatan dan kakinya menendang dada Kadal Ginting. Duuuhg...!
"Huaaahhg...!" Kadal
Ginting terpental jauh dan jatuh terkapar di sana dalam keadaan menyemburkan
darah dari mulutnya.
"Kalian berdua memang
cari mampus!" bentak Maling Sakti. "Sekarang tibalah saatnya merubah
nasibmu ini menjadi manusia tanpa raga, Resi Bodoh!
Hiaaah!"
Maling Sakti berkelebat cepat
menerjang sang Resi dengan pisau dikibaskan. Namun sebelum pisau itu mengenai
tubuh sang Resi, tiba-tiba Suto Sinting bergerak menggunakan jurus 'Gerak
Siluman' yang kecepatannya melebihi anak panah dilepaskan dari busurnya itu.
Zlaaap...! Duuusss...!
Kakinya berhasil menendang
lengan Maling Sakti. Tubuh itu tersentak ke samping sehingga ketika tangannya
berkelebat mengibaskan pisau, yang terkena pisau adalah dinding cadas di
samping Resi Pakar Pantun. Jraaasss.,.!
Namun lutut Maling Sakti menyentak
maju dan tepat kenai dada sang Resi yang sedang kesakitan. Duuuhg...!
"Uuhhg...!" sang
Resi kian mendelik, hidung dan telinganya mengucurkan darah segar. Sodokan
lutut itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang amat besar, mampu memecahkan
sebongkah batu marmer yang besarnya seperti kerbau. Jika sang Resi tidak
dilapisi tenaga dalam kuat, dada itu pasti jebol seketika dan tak ada ampun
lagi bagi keselamatan jiwanya. Untung sang Resi berlapiskan tenaga dalam besar,
sehingga dada itu hanya mengalami luka dalam yang cukup parah, ia menjadi sukar
bernapas, sekali bernapas tersentak-sentak. Wajahnya makin pucat bagaikan kapas
putih.
Maling Sakti sangat marah,
sebab mestinya ia sudah berhasil menggoreskan pisau itu ke tubuh Resi Pakar
Pantun, tapi karena ditendang Pendekar Mabuk, sasarannya jadi meleset. Maka
wajahnya yang merah separo itu semakin bertambah merah lagi. Kini Suto Sinting
yang menjadi sasaran kemarahannya, karena ia tahu bahwa sang Resi sudah terluka
parah dan mudah untuk dibereskan.
"Akhirnya kau ingin minta
giliran juga, Suto Sinting!"
"Aku hanya menyelamatkan
orang yang memang berhak memiliki pusaka itu!"
"Tak perlu banyak mulut,
terimalah pisau maut ini! Hiaaah...!"
Maling Sakti melompat
menerjang Pendekar Mabuk.
Pisaunya berkelebat merobek
tangan sang pendekar tampan. Tapi gerakan tangan Pendekar Mabuk cukup gesit.
Dengan sedikit bergeser ke kanan, pisau itu berhasil membentur bumbung tuak
sakti.
Blaaarrr...!
Benturan pisau dengan bumbung
tuak mengakibatkan ledakan besar yang mementalkan tubuh Pendekar Mabuk. Tubuh
itu kontan ke samping dan kepala sang pendekar tampan membentur batang pohon.
Duuurr...!
Pohon besar itu berguncang,
daunnya berjatuhan karena mendapat benturan hebat dari kepala Suto Sinting.
Mestinya kepala itu pecah, sedikitnya
bocor karena benturannya sangat kuat. Tapi karena kepala itu juga dialiri
tenaga dalam, maka yang dialami Suto Sinting hanya pusing dan berkunang-kunang.
Pandangan matanya sedikit kabur. Sedangkan tubuh Maling Sakti terpelanting
membentur batu hingga batu itu mengalami keretakan di beberapa tempat. Tapi
Maling Sakti bagaikan tidak merasakan sakit sedikit pun. Ia cepat bangkit dan
segera menyerang Suto lagi.
"Heaaat...!" ia
berlari sebentar, lalu melompat sambil mengibaskan pisau ke punggung Suto Sinting
yang tengah berusaha bangkit membelakangi.
"Sutooo...!
Awaaass...!" teriak Teratai Kipas. Suto Sinting mendengar jelas teriakan
itu. Ia segera berbalik dan kakinya bergerak memutar. Plook...!
Dengan tubuh condong ke kiri,
kaki itu berhasil menendang wajah Maling Sakti sangat kuat. Akibatnya pisau itu
tak sempat bergerak merobek kulit punggung Pendekar Mabuk. Tubuh si Maling
Sakti jatuh ke samping dan berguling-guling.
Pendekar Mabuk melompat jauhi
lawannya. Tubuhnya bergerak limbung bagaikan orang mabuk yang hampir jatuh.
Tapi sebenarnya itulah jurus aneh milik Suto Sinting. Kadang menukik, kadang
menggeloyor ke samping, tahu-tahu kakinya menyepak ke belakang dan tepat kenai
wajah Maling Sakti yang baru saja hendak bangkit. Plaaak...!
Mau tak mau kepala Maling
Sakti tersentak kebelakang dan membentur batang pohon jati dengan keras.
Duuuhg...! Pohon itu bergetar karena kuatnya benturan. Tapi kepala Maling Sakti
tetap utuh, tanpa luka ataupun lecet sama sekali. Bahkan ia bagaikan tak
merasakan pusing sedikit pun, terbukti dapat bangkit dengan segera.
Suto Sinting cepat-cepat
tenggak tuaknya. Glek, glek..! Cukup dua tegukan, sisanya disimpan di mulut.
Karena pada waktu itu, Maling
Sakti telah datang menyerangnya dengan pisau dihunjamkan ke dada Suto Sinting.
Maka, kaki Suto segera menghentak ke tanah dan tubuhnya melenting di udara
tepat pada saat pisau itu menghunjam. Wuuut...!
Bruuusss...!
Tuak di mulut disemburkan ke
arah tangan yang memegang pisau. Tapi yang terkena semburan tuak bukan tangan saja,
melainkan kepala Maling Sakti pun basah oleh air tuak. Jurus 'Sembur Siluman'
dipergunakan oleh Suto Sinting. Jurus itu membuat Maling Sakti terbelalak kaget
dan terbengong-bengong.
Pisau Tanduk Hantu lenyap dari
tangannya. Lenyap tak berbekas apa pun kecuali sarungnya yang masih terselip di
pinggang.
"Bangsat...?! Mana
pisauku?! Mana pisau itu?!"
Maling Sakti mencari-cari ke
rerumputan, disangkanya pisau itu jatuh tak disadarinya. Padahal pisau itu
lenyap, karena jurus 'Sembur Siluman' memang berguna melenyapkan benda apa pun
yang disemburnya.
"Pisaumu telah lenyap!
Tak akan bisa kautemukan lagi, karena jurus 'Sembur Siluman'-ku bertugas
melenyapkan apa saja yang berhasil kusembur dengan tuak saktiku! Menyerahlah
dan sadarlah, Maling Sakti! Di atas kekuatanmu masih ada kekuatan lain yang
lebih tinggi, yaitu kekuatan Yang Maha Kuasa...."
"Persetan dengan
celotehmu! Kalau kau tidak mengembalikan pisau itu, kuhancurkan kepalamu
sekarang juga, Suto!" bentak Maling Sakti, ia tampak marah besar. Tangannya
mulai membentuk cakar harimau, ia akan lepaskan jurus andalannya. Namun sebelum
itu, tiba-tiba seberkas sinar biru melesat menghantam punggungnya.
Sinar itu datang dari suara
tepukan tangan Resi Pakar Pantun yang agaknya menghabiskan sisa tenaganya untuk
mencoba tumbangkan si Maling Sakti.
Sinar biru itu melesat cepat
menghantam punggung Maling Sakti. Claap...! Blaaarrr...!
Sinar menyilaukan mengembang.
Asap mengepul membungkus tubuh Maling Sakti. Suto Sinting terpental mundur dua
tindak, merapat di pohon. Tak lama kemudian terdengar suara merintih tertahan
dari dalam kepulan asap itu. Angin bertiup menerbangkan kepulan asap, maka
terlihat jelas sosok Maling Sakti yang amat menyedihkan.
Tubuhnya terkelupas,
pakaiannya compang-camping, hangus terbakar. Mulutnya keluarkan darah segar,
demikian pula hidung dan telinganya. Daging tubuhnya tampak tersayat-sayat
mengerikan, ia masih mencoba bertahan, tapi akhirnya tak kuat juga dan jatuh
terkapar dengan erangan memanjang.
"Uuugghh...!"
Rupanya jurus 'Sembur Siluman'
bukan saja melenyapkan Pisau Tanduk hantu namun juga melenyapkan kekuatan Batu
Sembur Getih yang membuat kebal tubuh Maling Sakti. Akibat hilangnya kekebalan
itu, maka kilatan cahaya biru dari jurus 'Tepuk Amai-amai' milik Resi Pakar
Pantun itu telah berhasil menghancurkan raga si Maling Sakti.
Bahkan dua helaan napas
setelah si Maling Sakti jatuh, Suto Sinting yang mau mengobatinya dengan tuak
menjadi terhenti langkahnya. Maling Sakti hembuskan napas terakhir, untuk
kemudian tak mampu bernapas selama-lamanya. Ia mati dalam keadaan raganya
hancur mengerikan.
Pendekar Mabuk segera menolong
Resi Pakar Pantun dengan tuaknya. Kadal Ginting pun nyaris terlambat jika Suto
tidak segera menuangkan tuak ke mulut si pelayan Resi Pakar Pantun itu. Ketika
keadaan mulai membaik, Resi Pakar Pantun pun berkata kepada Suto Sinting,
"Celana kolor digelar di
atas meja...."
"Sudah, sudah...
pantunnya nanti saja," kata Pendekar
Mabuk melihat napas sang Resi
masih belum teratur.
"Sekarang istirahatkan
dulu ragamu, juga otakmu, supaya lukamu lekas sembuh dan tenagamu pulih
kembali."
"Terima kasih atas
bantuanmu... tapi, bagaimana dengan Pisau Tanduk Hantu?"
"Apakah kau masih ingin
agar pisau itu menjadi sumber bencana bagi orang yang tak bersalah?"
Resi Pakar Pantun diam,
menenangkan engahan napasnya. Teratai Kipas berkata kepadanya,
"Relakan saja pisau itu
lenyap daripada menjadi sumber bencana, tak urung kau juga yang menanggung
dosanya, karena kau pewarisnya!"
"Ya sudahlah...,"
ujar sang Resi.
"Celana kolor buat
membungkus cincin Golok tajam jangan dipakai gosok gigi Rupanya tak ada lagi
pilihan lain Demi perdamaian manusia kurelakan pusaka itu pergi."
Kadal Ginting ikut-ikutan
bermain pantun, karena ia
merasakan badannya mulai segar
kembali.
"Celana kolor terbang ke
angkasa,
Disambar burung, burungnya
mati...."
Karena lama tak ada
lanjutannya, Resi Pakar Pantun
melirik pelayannya yang ada di
samping dan bertanya,
"Lanjutannya
bagaimana?"
"Saya hanya ingin kasih
tahu ada burung goblok. Sudah tahu celana kolor masih saja disambar, akhirnya
menutup mata dan ia menabrak pohon! Mati!"
Pendekar Mabuk dan Teratai
Kipas tertawa. Lebih geli lagi melihat kepala Kadal Ginting dikeplak oleh sang
Resi. Ploook...!
"Hargailah pantun supaya
umurmu panjang!"
"Apa hubungannya,
Eyang?"
"Tidak ada!"
jawabnya dengan kesal, dan itulah canda sang Resi yang merasa beruntung bertemu
dengan Pendekar Mabuk yang ilmunya dianggap ilmu gila-gilaan. Tapi diam-diam
sang Resi merasa kagum melihat sikap Suto Sinting yang tak mau gegabah membunuh
lawan walau dengan mudah hal itu bisa dilakukan pada saat Maling Sakti
kehilangan pisaunya tadi.
"Bukan manusianya yang
dibunuh, tapi kejahatannya yang wajib dimatikan!" itulah pedoman Pendekar
Mabuk murid si Gila Tuak yang punya tugas menjadi penegak kebenaran di rimba
persilatan.
SELESAI