Gemercik air sungai jatuh di
bebatuan. Iramanya melenakan, membuat rasa kantuk tiba.
Angin semilir berhembus di
keteduhan pohon rindang yang tumbuh dekat air terjun itu. Siang yang panas
menjadi siang yang sejuk. Tak heran jika Suto Sinting terlena tidur di bawah
pohon munggur yang menaunginya.
Mimpi pun hadir di sela
kenyenyakan tidur siang Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak itu. Mimpi itu indah
baginya. Ya, memang indah, sebab mimpi yang hadir adalah mimpi tentang seorang
wanita cantik berpakaian sutera biru muda. Rambutnya bak mayang terurai,
lembut, dan halus. Mahkota kecil menghiasi rambut indah yang mungkin cukup
dikeramas memakai merang. Wajah cantiknya tak bisa dilukiskan lagi. Bibirnya
menggairahkan, selalu tampak basah,
menggemaskan sekali. Ingin
Suto menggigitnya dengan lembut.
Wanita yang hadir dalam
mimpinya itu mengenakan
perhiasan lengkap, gelang
berhias batuan intan, kalung susun dua berhias berlian, cincin, giwang,
pokoknya elok sekali, ia tampak seperti seorang ratu. Atau anak raja. Atau
memang dia seorang ratu. Entahlah. Mimpi Suto belum saling bercakap-cakap.
Hanya saling pandang saja.
Bayangan mimpi itu semakin
jelas. Wanita berjubah biru muda tipis membayang bagian dalamnya yang dibungkus
kain ketat itu, mulai melangkah mendekati Pendekar Mabuk, ia menyerahkan
setangkai bunga aneh, yaitu mawar pelangi. Artinya, mawar itu punya aneka warna
seperti pelangi dan baunya harum lembut. Wanita itu tersenyum saat menyerahkan
bunga tanpa duri. Lesung pipit di pipinya membuat Suto terperangah kagum.
"Ini untukmu,"
wanita dalam mimpi itu berucap lirih, suaranya merdu.
"Aku... belum kenal siapa
dirimu, mengapa harus
terima bunga darimu?"
"Kuberikan bunga ini
untukmu. Cuma-cuma. Tidak dipungut biaya."
"Apakah kau tukang
kembang?"
"Bukan," jawab
wanita yang diperkirakan baru berusia dua puluh lima tahun. "Aku seorang
ratu. Bukan tukang kembang."
"Ooo... ratu apa?"
"Ratu Ringgit
Kencana." "Punya negeri?"
"Punya. Negeriku bernama
Negeri Ringgit Kencana."
"Bagus sekali," kata
Suto lembut dan menawan. "Apanya yang bagus? Nama negeriku?"
"Bunganya," jawab Suto. "Ada yang lainnya?"
"Di negeriku banyak bunga
Mawar Pelangi. Apakah kau suka?"
"Sangat suka. Bolehkah
aku datang ke negerimu?" "Aku akan menjemputmu sebentar lagi."
"Namamu siapa?"
"Asmaradani." "Oh, eloknya...?"
"Namaku yang elok?"
"Mawarmu ini," jawab
Suto sambil tersenyum lembut.
"Aku butuh
bantuanmu."
"Indah sekali.
Belum-belum sudah butuh bantuan." "Aku terpaksa menghubungimu, karena
tak punya
senopati."
"Begitukah...?!"
Asmaradani, Ratu Ringgit
Kencana, anggukkan kepala dengan gemulai. Bau wewangiannya menyerap ke dalam
hati sanubari Pendekar Mabuk. Lama-lama mata indah itu mulai berkaca-kaca.
Wajah cantik ceria menjadi tersaput duka. Ratu Ringgit Kencana melelehkan air
mata. Suto Sinting trenyuh, lalu menghapus air mata yang meleleh sampai di
pertengahan pipi. Ia menghapus dengan jari telunjuk yang ditekuk
dan digunakan sebagai menadah
butiran air mata itu. "Jangan menangis, Asmaradani. Aku akan datang
menolongmu," bisik Suto
Sinting dengan nada mesra
sekali. "Sebutkan
kesulitanmu dan aku akan lakukan apa yang seharusnya kulakukan."
Asmaradani menatap dengan
penuh perasaan. Jari- jemarinya yang lentik indah itu meraba pipi Suto Sinting.
Pendekar tampan berbaju coklat tanpa lengan dengan celana putih berikat
pinggang merah dan menyandang bambu tempat tuak itu membiarkan pipinya disentuh
tangan berkulit halus, seperti tangan kulit bayi. Lembut sekali rasanya. Enak
sekali dinikmati. Bahkan Suto pun membiarkan rambutnya diusap pelan-pelan oleh
Asmaradani. Rambut panjang lewat pundak itu dipermainkan oleh wanita itu.
Pelan... pelan... pelan... seakan setiap gerak dan sentuhan diresapi sampai ke
dasar hati.
Sayang sekali mimpi itu
terputus karena sentakan halus di bagian rambut, seperti tertarik seseorang
tanpa sengaja. Suto Sinting buka mata dan terkejut dengan ucapan tak sadar.
"Jabang bayi...!"
Yang ada di depan wajahnya
adalah wajah hitam, bermata besar, berhidung besar, kepala gundul tapi berkuncir
rambut merah jagung di bagian tengahnya. Orang yang sedang berjongkok di
depannya itu berkulit hitam, tinggi, besar, tanpa baju kecuali hanya mengenakan
cawat saja. Dialah anak jin yang bernama Logo. Tentu saja hal itu sangat
mengejutkan Suto
Sinting, karena ternyata anak
jin itulah yang memegang- megang rambut Suto. Wajahnya sangat berbeda jauh
dengan wajah dalam mimpi Suto tadi.
"Logo...?! Kau
mengejutkan tidurku!"
"Maaf," kata Logo
bersuara besar. Maklum, anak jin kalau suaranya kecil bisa disangka anak
kucing. Maka wajar kalau Logo bersuara besar.
"Ibu menyuruhku
memanggilmu," kata Logo. "Kau ditunggu di gua pantai Bukit Semberani.
Ibu ingin membicarakan sesuatu kepadamu, Kang Suto."
"Katakan kepada ibumu,
aku sedang tidur. Nanti saja kalau sudah bangun, aku akan ke sana."
"Baik. Akan kusampaikan
pesanmu. Permisi, Kang
Suto."
"Ya," jawab Suto
sedikit dongkol. Gara-gara sentuhan kasarnya mimpi pun jadi hancur berantakan.
Padahal sedang asyik-asyiknya. Suto kembali tidur, memejamkan mata, tapi tak
bisa nyenyak seperti tadi. Pikirannya digelayuti bayangan wajah ibunya Logo,
wanita cantik bernama Sumbaruni yang menggunakan julukan Pelangi Sutera, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Tanpa Tapak").
"Ah, mau apa Pelangi
Sutera memanggilku?" pikir Pendekar Mabuk. "Apakah dia sudah
menemukan tempat persembunyian Ratu Tanpa Tapak yang bernama Nila Cendani itu?
Kalau belum, kenapa harus bertemu denganku? Mau bikin persoalan apa lagi? Soal
cintanya? Ah, malas! Aku bosan bicara soal cinta. Terlalu cengeng. Tapi... tapi
wanita dalam mimpiku itu tadi terasa aneh
sekali bagiku. Toh aku
menyukai kecengengannya? Toh aku tidak benci melihatnya menangis. Hmmm, siapa
tadi namanya? Oh, ya... Asmaradani. Bagus sekali. Dia memberikan mawar warna
pelangi. Apa artinya? Apakah ada hubungannya dengan Pelangi Sutera? Ah,
wajahnya beda jauh. Kurasa tak ada hubungannya. Lalu, apa artinya mimpiku tadi?
Apakah mimpi bertemu wanita cantik punya arti akan bertemu dengan anak
jin?!" Suto Sinting tertawa sendiri membayangkan wajah Logo.
Ia menarik napas, masih
merebah, masih memejamkan mata. Sadar sepenuhnya. Namun tiba-tiba Suto terkejut
karena ia mencium bau bunga mawar. Dahinya berkerut dengan mata masih terpejam.
Penciumannya dipertajam. Bau bunga mawar seperti dalam mimpinya itu semakin
jelas. Ketika kepalanya bergerak miring ke kiri pelan-pelan, aroma harum lembut
bunga mawar itu kian bertambah nyata. Suto Sinting terpaksa buka matanya.
"Hahhh...?!"
Pendekar Mabuk kian
terperangah kaget. Cepat-cepat bangkit terduduk. Karena saat itu matanya
memandang setangkai bunga mawar tanpa duri dan berwarna pelangi tergeletak di
samping kirinya, seakan ikut tidur mendampinginya.
"Bunga ini ada di
sampingku?! Apakah sejak tadi?! Siapa yang membawanya? Apakah si anak jin tadi?
Ah, aneh sekali. Padahal bunga mawar warna pelangi ini hanya kutemukan dalam
mimpiku. Kenapa bisa benar- benar ada di sampingku?"
Pandangan mata Pendekar Mabuk
segera menyelidik ke sekelilingnya. Tak ada siapa-siapa di sekitar tempat itu.
Sungguh pemandangan yang lengang. Semak di kejauhan sana pun dipandang dengan
sedikit menyipit, tapi tak terlihat ada sesuatu yang mencurigakan. Pohon- pohon
dipandangi juga, tapi tak ada orang bersembunyi di sana.
"Apakah bunga ini ada
sejak tadi sebelum aku terbaring tidur di sini? Ah, tak mungkin. Tadi aku tidak
mencium bau bunga ini. Jangan-jangan pohon ini angker? Atau..., ada seseorang
yang meletakkan bunga ini kemudian lari dan tak mau kembali lagi? Orang gila
itu namanya. Tak mungkin, ah!"
Tiba-tiba pendengaran pendekar
tampan itu menangkap suara orang berlari. Cepat-cepat kakinya menyentak ke tanah,
wuuut...! Tubuhnya terlempar ke atas dengan ringan sekali. Jleeg...! Ia
bagaikan seekor jatayu yang hinggap di atas dahan dengan kokohnya. Di balik
semak dedaunan pohon itu Suto Sinting bersembunyi, ingin melihat siapa orang
yang berlari ke arahnya itu.
Ternyata seorang pemuda
berusia sekitar dua puluh enam tahun. Kurus dan berpakaian coklat muda baik
baju maupun celananya. Rambutnya sedikit bergelombang, panjang lewat pundak,
tidak diikat. Pemuda itu juga membawa bumbung bambu warna coklat muda, tali
penggantungnya diberi lapisan kain hitam.
Melihat wajahnya yang pucat
tegang dengan bibir
berdarah, pemuda itu pasti
habis dihajar oleh seseorang, ia malahan bersembunyi di balik pohon besar yang
dipakai bersembunyi oleh Suto di atasnya. Pemuda itu tak tahu kalau di atasnya
ada orang bersembunyi pula. Mungkin karena panik, takut, ngos-ngosan, sehingga
pemuda kurus itu tak sadar bicara sendiri dengan gemetar.
"Ya ampuuun... dosa apa
aku ini kok sampai dikejar- kejar orang? Mimpi apa aku semalam kok sampai
dihajar orang? Kalau tadi aku tak segera lari, pasti aku dibunuh oleh orang
itu. Ihh... mengerikan. Goloknya tajam sekali. Kalau aku dibacok pakai golok
itu, oooh... ngeri! Ngeri sekali membayangkannya."
Di atas pohon Pendekar Mabuk
mendengarkan dengan seksama.
"Wah... itu dia
orangnya?!" ucap pemuda itu dengan
tenang. "Dia pasti
mencariku. Mudah-mudahan dia tidak tahu kalau aku bersembunyi di balik pohon ini!"
Suto Sinting segera memandang
ke arah yang dipandang pemuda tersebut. Memang ada orang datang dalam keadaan
wajah tegang, sepertinya sedang mencari seseorang yang akan dibunuhnya. Orang
tersebut sedikit gemuk, mengenakan pakaian serba hitam. Kumisnya tebal, matanya
lebar. Tak terlalu tinggi, tapi cukup menyeramkan bagi orang awam. Dilihat dari
keangkeran wajahnya, jelas orang itu pasti bukan orang baik-baik. Suto Sinting
ingin mengetahui apa yang akan diperbuat oleh orang berkumis tebal itu.
Ketika orang itu
celingak-celinguk mencari
buruannya, tiba-tiba muncul
seorang lagi dari arah lain, juga celingak-celinguk mencari sesuatu. Orang yang
baru saja muncul itu berpakaian merah luruh, kurus, dan berambut kucai. Matanya
cekung, dingin, tampang bengisnya terlihat nyata. Kumisnya tipis, tapi panjang.
Golok bergagang hitam terselip di depan perutnya, belum dicabut dari sarungnya.
Tapi orang berpakaian hitam tadi sudah menggenggam golok putih berkilauan,
seakan siap bacok kapan saja bertemu buronannya.
"Dia menghilang!"
seru si gemuk berkumis tebal.
"Tak mungkin. Cari sampai
ketemu. Pasti ada di sekitar sini!" balas si baju merah dalam seruannya.
Suto Sinting tahu, mereka
berteman. Tentunya mereka sama-sama mencari pemuda yang bersembunyi di bawahnya
itu. Si pemuda tampak kian menggigil, merapatkan tubuh ke batang pohon dengan
napas tersendat-sendat.
"Kasihan...," gumam
hati Pendekar Mabuk. Sendatan napas pemuda di bawahnya ternyata membuatnya tak
sadar menjadi terbatuk-batuk.
"Uhuk, uhuk, uhuk,
uhuk...!" Walaupun sudah ditutup tangan, tapi suara batuknya masih saja
terdengar jelas.
"Aku mendengar suara
orang batuk Brojo! Apakah kau yang batuk?" seru si baju merah.
"Enak saja. Mungkin
kaulah yang kumat bengeknya!"
seru orang yang bernama Brojo.
Maka si baju merah berseru lagi,
"Mana mungkin! Biar aku
kurus, yang namanya Mat
Paung tak akan terkena
penyakit bengek, karena tiap hari
makananku empedu ular dan
minum darah ular!" Rupanya si baju merah itu bernama Mat Paung. Ia orang
yang tak mau direndahkan walau oleh teman sendiri, ia menepuk dadanya saat
membanggakan dirinya sebagai orang yang tidak pernah terserang batuk dan
bengek. Tapi karena terlalu keras menepuk dada, akhirnya ia justru menjadi
batuk sendiri. Brojo memandangi Mat Paung yang berjarak lebih dari sepuluh
langkah itu. Brojo merasakan ada keanehan kala mendengar suara batuk Mat Paung.
"Suara batukmu berbeda
dengan yang tadi. Berarti... berarti bocah itu ada di balik pohon besar di
sana, Mat Paung! Coba cari ke sana!"
Rasa gentar, gugup, membuat
napas pemuda itu kian tersendat-sendat dan batuk pun tak bisa ditahan.
Pemuda itu akhirnya tertangkap
karena batuk
berulang kali. Sia-sia saja ia
bersembunyi jika suara batuknya tak bisa ikut disembunyikan. Brojo dan Mat
Paung segera menemukannya.
"Am... ampun... ampun,
Kang...!" pemuda itu ketakutan, bahkan sempat menyembah-nyembah kepada
kedua lelaki yang usianya sekitar empat puluh tahun kurang sedikit.
Buuhg...! Mat Paung menendang
pinggang pemuda itu saat si pemuda bersujud menyembah supaya diampuni. Tentu
saja pemuda itu terpekik dengan suara tertahan, ia terpental ke samping,
berguling, dan mengerang. Napasnya kian sesak, tubuhnya kian lemas, akhirnya ia
hanya terbaring dengan mulut cengap-
cengap mencari napas.
Tetapi Brojo segera menginjak
perutnya, menekan kuat sehingga pemuda itu pun mendelik kesakitan. Brojo
berseru dengan garangnya.
"Serahkan benda itu atau
kau kubuat modar sekarang juga, hah!"
"Sud... sum... uuh...
aahg...," pemuda itu tak bisa
bicara.
Dari atas pohon peristiwa itu
dapat dilihat Suto dengan jelas sekali, ia merasa kasihan kepada pemuda
tersebut, sebab menurut penglihatannya si pemuda agaknya tidak berilmu sedikit
pun. Maka diam-diam Suto Sinting mengirimkan pertolongannya dengan melepaskan
pukulan yang bernama jurus 'Jari Guntur', yaitu sebuah sentilan jari dengan
ringan namun mempunyai kekuatan seperti seekor kuda yang sedang menendang
dengan berangnya.
Tees...! Jari disentilkan ke
arah tengkuk Brojo. Tubuh gemuk itu tiba-tiba terlempar ke samping dan
tersungkur dengan parah. Gabruusss...! Mulutnya mencium tanah, menyodok batu
keras. Tentunya berdarah dan robek di bagian tepi bibir serta pipi. Tulang
pipinya menjadi memar merah.
"Eh, diam-diam kau memang
berilmu tinggi? Kau hanya pura-pura ketakutan, ya? Kampret busuk!
Hiaaah...!"
Mat Paung mencabut goloknya
dan ingin menebaskan ke bagian kaki. Ia bermaksud memotong kaki pemuda itu
sebagai pelajaran. Tetapi ketika golok terangkat, Suto
Sinting melepaskan jurus 'Jari
Guntur'-nya lagi ke pergelangan tangan Mat Paung.
Teess...!
Tangan yang memegang golok itu
tersentak ke samping dan goloknya lepas bagaikan dibuang begitu saja. Tapi Mat
Paung sempat memekik kesakitan dengan wajah menyeringai dan melangkah mundur
dua tindak, ia memegangi lengan kanannya memakai tangan kiri dan menggamitnya
ke dekat paha.
"Uuuh...! Bangsat kau!
Kau punya ilmu tapi tidak bilang-bilang. Uuhh...! Ternyata apa yang dikatakan
orang-orang itu memang benar, kau berilmu tinggi. Tapi... tapi aku yakin ilmumu
tak setinggi ilmuku, Setan Alas!"
"Buk... bukan aku,
Kang...! Sumpah... summ... sumpah...! Aku tidak menyakitimu, Kang," bocah
muda itu ketakutan walau ia sudah bangkit dan hendak melarikan diri. Langkahnya
terhenti karena di sisi lain ia dihadang Brojo yang mulutnya mulai banyak
dibungkus darah. Brojo benar-benar memandang penuh kebencian dan kemarahan.
"Aku tak bisa memaafkanmu
lagi, Setan!" geram Brojo. "Tinggal pilih, serahkan benda itu atau
kau kupenggal sekarang juga. Jawab!"
"Ak... aku tidak punya.
Sungguh...! Aku tidak menyimpannya, Kang!"
"Bohong! Kini semua orang
tahu bahwa Keris Setan
Kobra sudah jatuh ke tanganmu!
Semua orang tahu!" "Ya, ampun, Kaaang... untuk apa aku
membohongimu?! Aku benar-benar
tidak tahu menahu tentang Keris Setan Kobra itu. Sumpah mati sekarang juga,
Kang!"
Suto Sinting sangat terkejut
mendengar masalah sebenarnya. Pemuda itu dituduh sebagai pencuri Keris Setan
Kobra. Aneh sekali. Bukankah Keris Setan Kobra disembunyikan rapat-rapat oleh
Ki Empu Sakya, pemiliknya? Kenapa bocah muda yang polos itu dituduh sebagai
pemilik keris pusaka tersebut? Atau jangan- jangan pemuda dungu itu benar-benar
memiliki keris pusaka tersebut? Suto Sinting mulai bimbang dan ragu untuk
membantu pemuda tersebut. Karena jika benar pemuda itu memiliki keris pusaka
Setan Kobra, berarti pemuda itu telah berhasil merampasnya dari tangan Ki Empu
Sakya?
"Aku tak sabar lagi!
Modar kau sekarang juga! Hiaaah...!'" Brojo melayangkan goloknya untuk
membacok kepala pemuda tersebut. Tapi naluri Suto segera mengatakan bahwa ia
harus melindungi pemuda itu untuk mengetahui perkara sebenarnya. Naluri Suto
mengatakan ada sesuatu yang tak beres dalam perkara itu.
Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan
lagi oleh Suto. Kali ini sengaja diarahkan ke dada Brojo. Taas...! Duuhg...!
"Uhhg...!" Suara
pekik tertahan terdengar dari mulut
Brojo. Matanya mendelik,
mulutnya ternganga, ia tersentak mundur walau tak sampai jatuh. Tapi ia
terhuyung-huyung empat tindak ke belakang. Lalu, mulutnya mengeluarkan darah
segar tak begitu banyak.
"Brojo...?!" Mat
Paung kaget, ia tetap menyangka pemuda kurus itu yang menyerang Brojo secara
diam- diam.
"Kau memang membuatku
penasaran ingin meremukkan kepalamu, Bocah Dungu! Terimalah jurus
'Kuda Gila' ini,
heaaat...!"
Mat Paung melompat-lompat di
tempat dengan golok berkelebat dimainkan, lalu tiba-tiba, wuuuss...! Ia
melompat menerjang pemuda kurus itu. Tapi Suto Sinting menyentilnya dari jauh.
Teess...! Duuhg...!
Mat Paung melayang balik,
terjungkal di udara dan jatuh dengan kepala terlipat membentur tanah keras.
Duuhg...! Krek...!
"Aaooww...!" ia
menjerit kesakitan karena tulang lehernya nyaris patah, ia tak bisa mendongak
lagi. Jika kepalanya dipakai memandang tegak, tulang lehernya terasa sakit
sekali. Akibatnya ia hanya menunduk terus sambil meraung-raung kesakitan. Sementara
itu, pemuda kurus itu justru semakin bertambah kebingungan melihat para
pengejarnya dalam keadaan seperti itu. Brojo sendiri menjadi pucat pasi dan
napasnya sulit dihela.
"Mat Paung...!"
suara Brojo berat dan sukar diucapkan. "Kita... kita tinggalkan saja orang
ini. Kita lapor pada ketua, biar ketua yang tangani.... Ayo, kita selamatkan
diri. Dia... dia memang berilmu tinggi, seperti kata orang-orang itu...''
Mat Paung merintih tanpa bisa
menjawab. Ketika Brojo membawanya pergi, Mat Paung menurut saja. Tapi Brojo
sempat berseru di kejauhan kepada pemuda
kurus yang memandangi
kepergiannya dengan terbengong heran itu.
"Ingat, kami akan kembali
lagi! Kau akan berurusan
dengan ketua kami, Suto!"
Seruan terakhir membuat
Pendekar Mabuk terkejut sekali, ia mendengar suara yang menyebutkan namanya, ia
jadi terbengong beberapa saat.
"Dia menyebut namaku?!
Apakah pemuda itu bernama Suto?!" pikirnya.
Tak ada jalan lain untuk
mengetahui persoalan sebenarnya kecuali dengan cara turun dari pohon dan
menemui pemuda kurus itu. Maka, ketika pemuda kurus itu bergegas pergi, Suto
Sinting segera melompat dari atas pohon dan tubuhnya melayang turun ke bawah
dengan gerakan tak terlalu cepat. Jleeg...!
Tapi suara kakinya itu sempat
terdengar pemuda tersebut, sehingga si pemuda cepat palingkan wajah. Ia
terkejut memandangi Suto Sinting, mulutnya terperangah dengan wajah cemas dan
napas memburu menandakan rasa takutnya.
"Jangan takut
padaku," kata Suto.
"Ak... aku tidak tahu
menahu tentang pusaka Keris Setan Kobra itu Kang!" pemuda tersebut
mendahului alasannya.
"Aku tidak bermaksud
mencari keris itu. Aku hanya ingin menanyakan apa persoalan sebenarnya yang kau
hadapi dengan Brojo dan Mat Paung itu?"
"Ap... apakah... apakah
kau orang yang menolongku menyerang mereka?"
"Benar," jawab Suto
dengan tenang. Ketenangan Suto membuat pemuda itu ikut-ikutan lega dan rasa
takutnya berkurang.
"Akkk.... aku tidak tahu
kenapa dia menyerangku. Mereka... menurut pengakuan si baju hitam, adalah
orang-orang Perguruan Lumbung Darah. Mereka menuduhku sebagai orang pencuri
pusaka Keris Setan Kobra milik Ki Empu Sakya. Padahal aku tidak mempunyai keris
itu. Aku bukan orang sakti, mana mungkin aku membunuh Ki Empu Sakya dan merebut
keris pusakanya?"
"Tunggu, tunggu...!"
Suto menemukan kejanggalan. "Apa kau bilang tadi? Membunuh Ki Empu
Sakya?!"
"Iya. Mereka sangka
begitu."
"Apakah... apakah Ki Empu
Sakya memang ada yang membunuhnya?"
"Benar. Delapan hari yang
lalu, Ki Empu Sakya dibunuh orang di belakang rumahnya. Aku sendiri melihat
jenazahnya."
"Astaga...?!" Suto
Sinting terbengong tegang. "Delapan hari yang lalu aku sedang berada di
Pulau Serindu menengok calon istriku," pikir Suto.
Hening tercipta sejenak. Suto
terbayang wajah Ki Empu Sakya yang pernah ditolongnya saat terancam keserakahan
Wiratmoko dalam persoalan keris itu juga. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Naga Pamungkas"), ia sama sekali tak menduga kalau Ki Empu
Sakya ternyata sudah tiada. Berita itu baru saja diterimanya, karena ia pergi
ke Pulau Serindu menengok
Dyah Sariningrum selama enam
hari. Baru sekarang ia tiba di tanah Jawa, dan tahu-tahu mendengar kabar
tersebut.
"Aku sudah bilang kepada
orang-orang Perguruan Lumbung Darah itu bahwa aku tidak memiliki keris pusaka
tersebut, tapi mereka tetap tidak percaya."
"Mengapa mereka menduga
keras kaulah pemilik keris itu?' tanya Suto.
"Karena mereka sangka aku
bernama Suto Sinting!" "Hahh...?!" Suto Sinting terkesiap
memandang
pemuda kurus.
"Padahal namaku Sabani,
bukan Suto Sinting. Enak saja, aku disamakan dengan Suto Sinting. Gantengnya
saja sudah tentu ganteng aku, ya Kang?"
"Hmmm... iya...,"
jawab Suto dengan terpaksa.
"Aku jadi benci dengan
orang yang bernama Suto Sinting. Gara-gara dia aku jadi dihajar mereka. Kalau
ketemu orangnya yang bernama Suto Sinting, ingin rasanya aku meludahi wajah si
Suto Sinting itu!" Sabani bersungut-sungut, Suto Sinting tarik napas
dalam-dalam menahan kesabaran mendengar kata-kata Sabani ini. Ia terpaksa harus
memaklumi kebodohan pemuda kurus tersebut.
"Mengapa kau sampai
disangka Suto Sinting?"
"Entah. Kata mereka,
ciri-ciriku sama dengan Suto Sinting. Kata dua orang tadi, Suto Sinting
membawa- bawa bumbung tuaknya ke mana pun pergi. Padahal aku membawa bumbung
ini bukan bumbung tuak. Aku pedagang legen. Aku jualan legen di pasar. Kamu
tahu
legen kan? Itu lho... air
sadapan bunga kelapa. Ah, kurasa kau juga pedagang legen. Buktinya kau
membawa-bawa bambu juga. Kau pasti tahulah, apa itu legen."
"Ya...ya." jawab
Suto dengan menahan kedongkolan karena dirinya disangka pedagan legen.
"Lalu, kenapa mereka menuduh kau mempunyai keris itu?"
"Soalnya, yang membunuh
Ki Empu Sakya itu adalah pemuda bernama Suto Sinting. Jadi, karena aku dianggap
Suto Sinting, maka aku dianggap punya keris pusaka Keris Setan Kobra!"
Jantung Suto berdetak-detak
cepat. Sekarang ia tahu persoalannya. Dirinya dianggap sebagai pembunuh Ki Empu
Sakya. Jelas ini perbuatan orang jahat yang menyebar fitnah begitu. Atau
barangkali ada orang yang meniru penampilannya lalu membunuh Ki Empu Sakya.
"Apes amat nasibmu hari
ini," pikir Suto dengan sedih. Tapi ia segera berkata kepada Sabani,
"Apakah kau juga yakin kalau yang membunuh Ki Empu Sakya adalah orang
bernama Suto Sinting?"
"Yakin!"
"Kau melihat sendiri Suto
membunuhnya?" "Tidak," jawab Sabani polos.
"Tapi kenapa kau yakin
kalau Suto Sinting yang membunuhnya?"
"Karena menurut kabar
orang-orang begitu. Suto Sinting pembunuhnya! Orang-orang pun tahu, bahwa keris
pusaka itu sekarang ada di tangan Suto Sinting. Wah, itu orang memang
benar-benar sinting kok. Sudah
membunuh, tapi masih juga
mencuri keris pusaka korbannya! Benar-benar pantasnya dipancung saja kepala
orang yang bernama Suto Sinting itu. Iya, kan? Kau setuju kan?"
Suto Sinting hanya tarik napas
lagi, menahan kemarahannya yang menggumpal di dada, menyakitkan ulu hati.
"Kau tinggal di mana,
Sabani?"
"Aku di desa Kukusan,
satu desa dengan Ki Empu Sakya. Makanya aku kenal sama tokoh tua yang sakti
itu."
"Kau kenal dengan bocah
bernama Angon Luwak?" "Lho... itu nama adikku!" Sabani kaget
"Apakah kau
kenal dengan adikku itu? Dia
sudah berminggu-minggu tidak pulang ke rumah, Kang!"
Pendekar Mabuk diam saja.
Termenung beberapa saat
lamanya. Sabani segera
berkata,
"Sudah, begitu saja.
Kang. Aku ucapkan terima kasih atas pertolonganmu tadi. Kalau kau mau mampir ke
rumahku, mari bersamaku menuju ke rumah. Kalau tidak, kita pisah di sini dan
sampai ketemu di lain waktu."
Suto Sinting hanya
mengangguk-anggukkan kepala sambil masih menerawang tak tentu arah. Sabani
berkata lagi,
"Oya, Kang... kalau
ketemu orang yang bernama Suto, ludahi saja mukanya! Jangan takut. Biar dia
sadar bahwa wajahnya tak pantas dipajang di mana-mana, karena sudah membunuh,
eeh... mencuri pusaka lagi! Itu
kan jahat namanya."
"Sabani, kalau kau ketemu
Angon Luwak adikmu itu, katakan bahwa aku membutuhkan dia!"
"O, ya! Mudah-mudahan dia
sudah pulang pada hari ini. Lalu... namamu siapa?"
"Tanyakan saja pada Angon
Luwak. Dia tahu namaku!"
"Lho, tapi dari mana dia
bisa menyebutkan namamu kalau aku tidak menunjukkan wajahmu. Dia tidak akan
mengenalinya, Kang. Siapa namamu sebenarnya?"
Dengan suara pelan dan hati
sedih menahan kedongkolan, Pendekar Mabuk pun akhirnya berkata,
"Akulah yang bernama Suto
Sinting."
"Hahhh...?!" Sabani
berseru kaget, matanya mendelik, Suto memandang dengan tenang dan menganggukkan
kepala. Sabani tiba-tiba tertawa.
"Ah, kau bercanda saja,
Kang! Jangan mengaku-aku begitu nanti kalau didengar orang kau malah dikejar-
kejar seperti aku tadi. Aku saja tak sudi dituduh bernama Suto Sinting, kau
malah mengaku-aku sebagai Suto Sinting?!"
"Sabani adikmu tahu
persis siapa aku. Katakan, Suto Sinting membutuhkan dia secepatnya. Aku tak
jauh dari sekitar desamu."
Sabani memandang dengan dahi
berkerut. "Kau benar-benar cari penyakit, Kang. Jangan begitu. Kau
pedagang legen, ya sudah dagang legen saja. Jangan cari nama biar terkenal.
Nanti kau repot sendiri. Suto Sinting itu orang berilmu tinggi, menurut kata
orang-orang. Suto
Sinting tidak jualan legen
seperti kita ini. Kang," Sabani geli sendiri, menganggap jawaban Suto
sebuah kelakar sesama pedagang legen, karena sama-sama membawa bumbung bambu.
Sebenarnya Suto jengkel dengan
sikap Sabani. Tapi ia tetap menyimpan kejengkelan itu karena Sabani memang
tidak tahu menahu tentang Suto Sinting itu siapa dan yang mana.
"Kau mau percaya atau
tidak, itu urusanmu. Yang jelas, akulah Suto Sinting, dan aku butuh adikmu
Angon Luwak untuk menyelidiki siapa pembunuh Ki Empu Sakya sebenarnya!"
Claaap...! Suto cepat-cepat
pergi dengan gerak lari bertenaga ringan tinggi. Dalam satu kedipan mata saja
Suto sudah berada dalam jarak jauh. Hal itu membuat Sabani terbengong melompong
dan menjadi percaya, karena ia tahu hanya orang berilmu tinggi yang bisa
bergerak secepat itu. Ia menjadi gemetar dan menggigil, takut pada ucapannya
tadi tentang meludahi wajah Suto.
"Maafkan aku. Kang... aku
tak tahu kalau yang bernama Suto itu juga pedagang legen. Moga-moga kau tidak
mendendam padaku. Kang...," kata Sabani dengan
wajah pucat pasi.
*
* *
2
PENGEJARAN terhadap diri Ratu
Tanpa Tapak kehilangan jejak. Berhari-hari Suto Sinting tidak
temukan perempuan yang ingin
menjadi penguasa di seluruh jagat raya itu. Akhirnya Suto putuskan untuk
menghentikan pengejaran, ia berangkat ke Pulau Serindu untuk menengok Dyah
Sariningrum. Kepergiannya itu didampingi oleh Ki Gendeng Sekarat, si tukang
tidur, karena memang dialah yang diutus mencari Suto oleh sang Ratu negeri Puri
Gerbang Surgawi itu. Sedangkan Pelangi Sutera tetap tinggal di tempat dan tidak
mengetahui kepergian Suto, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Ratu Tanpa Tapak").
Berawal dari situlah, ternyata
sebuah peristiwa yang tak diduga-duga itu terjadi dengan sangat menyedihkan. Ki
Empu Sakya dibunuh seseorang dan tersebarlah berita bahwa Suto Sinting adalah
pembunuh Ki Empu Sakya. Tersebar pula kabar, bahwa keris pusaka milik Ki Empu
Sakya yang bernama Keris Setan Kobra itu telah dicuri oleh Suto Sinting dengan
cara membunuh Ki Empu Sakya lebih dulu. Siapa yang menyebarkan berita itu
pertama kalinya, tak diketahui secara pasti. Yang jelas, kini Suto Sinting si
Pendekar Mabuk menjadi buronan orang banyak, bahkan menjadi bahan ejekan
mereka.
"Tak kusangka pemuda
setampan dia, sesakti dia, ternyata tega membunuh orang tak bersalah dan
mencuri pusakanya. Sangat memalukan sekali."
"Aku juga tidak menyangka
akan begitu. Padahal gurunya; si Gila Tuak, tidak mempunyai perilaku seburuk
itu!"
"Dia tidak pantas
mendapat gelar pendekar dan
menjadi sanjungan para tokoh
golongan putih. Tindakannya sudah membuatnya masuk dalam golongan hitam!"
Begitulah celoteh mereka,
hampir rata-rata mengecam Suto Sinting dan menjelekkan gurunya; si Gila Tuak.
Berita itu sampai di telinga para sahabat Suto Sinting. Mereka menjadi bimbang,
walau sebagian ada yang percaya dengan berita tersebut. Tetapi bagi Pelangi
Sutera, berita itu tidak mudah dipercayai begitu saja. Karenanya ia menyuruh
Logo anaknya yang lahir dari ayah jin itu, untuk mencari Pendekar Mabuk dan
mengajaknya bicara tentang hal itu. Tetapi niatnya itu tak pernah terlaksana,
karena Suto Sinting sedang sibuk menyelidiki siapa penyebar fitnah tersebut.
Dalam perjalanannya menuju
desa Kukusan, Pendekar Mabuk melihat suatu pertarungan yang tidak seimbang, ia
melihatnya dari atas bukit. Seorang gadis berpakaian hijau terang, rambut
kepang dua, sedang dikeroyok lima orang lelaki berperawakan kekar dan
ganas-ganas. Gadis itu tak lain adalah Mega Dewi, anak Lurah Pramadi yang akrab
dengan Ki Empu Sakya dan banyak yang tahu bahwa Mega Dewi pernah dekat dengan
Suto Sinting.
Suto Sinting tidak berpikir
apa persoalannya sehingga lima orang kekar menyerang Mega Dewi secara
bersamaan. Suto hanya memikirkan, Mega Dewi perlu bantuan karena kekuatannya
tak seimbang menghadapi lima orang ganas itu. Maka Suto Sinting pun segera
melesat turun dari bukit untuk membantu Mega Dewi.
Pada saat itu, Mega Dewi
terkena pukulan orang berompi hitam dengan tato di dada bergambar tengkorak.
Orang tersebut sepertinya paling ganas dari ke empat temannya. Pukulan berupa
sinar hijau melesat dari tangannya dan mengenai lambung Mega Dewi. Pada waktu
itu Mega Dewi sedang menghadapi dua penyerang bersenjata tombak berujung pedang
lengkung.
Akibat pukulan sinar hijau
itu, Mega Dewi jatuh tersungkur dan memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Orang bertato gambar tengkorak itu segera mencabut pedang dari pinggangnya dan
melompat untuk menebas leher Mega Dewi.
"Lebih baik modar
daripada tak mau membantu kami. Mega Dewi! Heaaat...!"
Wuuut...! Weees...!
Trang...! Tahu-tahu bambu
bumbung tuak sudah
menahan gerakan pedang yang
nyaris menempel di leher Mega Dewi. Bambu itu bagaikan besi dan membuat pedang
lawan rompal separo bagian. Sisi tajamnya tinggal bagian ujung dan dekat
gagang.
Begitu pedang rompal,
pemiliknya terperanjat kaget. Suto segera sentakkan kakinya ke kiri. Wuuut...!
Duuuhg...! Tendangan sampingnya mengenai rusuk lawan yang ganas itu. Kraak...!
Dua tulang rusuk patah seketika, lawan jatuh terpental dan meraung-raung kesakitan
di sana.
Keempat orang lainnya segera
mengurung Suto
Sinting. Sang pendekar tampan
diam memandang
dengan mata tajam. Salah
seorang dari mereka berseru garang,
"Monyet kencur! Siapa kau
dan apa perlumu
mencampuri urusan kami dengan
gadis itu, hah?!"
"Justru aku yang ingin
bertanya siapa kalian, sehingga kalian berani menyerang sahabatku?!"
Yang berkumis pendek berseru,
"Kami orang-orang
Tambak Wesi! Kami harus paksa
gadis itu agar menunjukkan di mana Suto Sinting itu berada! Sebab kami pernah
dengar bahwa anak gadis mendiang Ki Lurah Pramadi itu pernah dekat dengan Suto
Sinting. Malahan ada yang bilang dia bekas kekasihnya Suto Sinting. Kami
membutuhkan orang itu!"
"Untuk apa?"
"Merebut Keris Pusaka
Setan Kobra!"
Yang bersenjata sabit itu
berseru pula, "Suto telah membunuh Ki Empu Sakya, pasti dia telah merebut
keris pusakanya juga."
"Dan perlu kau ketahui,
Anak Muda..., kami adalah bekas murid-murid Ki Empu Sakya. Beliau pernah
menjadi sesepuh di Perguruan Tambak Wesi. Maka layaklah jika kami menuntut
kembali keris pusaka tersebut!"
Suto memandang dengan
menyipitkan mata. Satu persatu wajah diperhatikan, ia tak yakin dengan
pengakuan tersebut. Ki Empu Sakya orang bijaksana, kalem, dan sabar. Tak
mungkin pernah bergabung dengan manusia-manusia berwajah bengis seperti mereka.
Tetapi hal itu disimpannya saja dalam hati. Suto
hanya berkata kepada mereka
berempat,
"Kalau kalian mencari
Suto Sinting, akulah orangnya!"
"Hahh...?!" mereka
saling terkejut dan sama-sama saling pandang dengan tegang. Dua di antaranya
tampak cemas. Dua lagi tampak memberanikan diri. Salah satu dari yang
memberanikan diri itu berkata keras.
"Kalau begitu kami harus
memaksamu agar mau serahkan keris itu!"
"Aku tidak mempunyai
Keris Setan Kobra, dan aku tidak membunuh Ki Empu Sakya, karena beliau termasuk
orang yang kuhormati!"
"Omong kosong! Kau harus
dipaksa rupanya. Hiiaat...!"
Orang itu melompat dengan
mengibas-ngibaskan sabit kembarnya di kanan kiri. Kibasan sabit kembar itu
menimbulkan bunyi yang membuat merinding orang awam. Tetapi Suto Sinting tetap
diam dan tenang. Rupanya ia cepat-cepat pergunakan ilmu 'Layang Raga' sejak
mendengar penjelasan mereka. Maka, ketika si Sabit Kembar membabatkan sabitnya
ke lengan Suto, temannya yang menggenggam tombak bergagang pedang lengkung itu
memekik kesakitan.
"Aoooww...!"
Sabit Kembar berpaling
memandangi teman yang menjerit, ternyata tangan orang itu putus dan buntung
seketika. Yang lainnya menjadi sangat heran melihat adegan itu. Si Sabit Kembar
masih penasaran. Dengan kakinya ia menendang ulu hati Suto Sinting sekuat
tenaga. Tentunya tenaga dalam
pun dikerahkan.
Wuutt..! Duuugh..!
"Uuhgg...!" temannya
yang berbaju hitam mendelik, langsung memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Sedangkan Suto Sinting tetap diam tak bergeming. Si Sabit Kembar menjadi panik.
"Edan! Apa iya yang
kuserang dia yang celaka temanku sendiri?" pikirnya. Si Sabit Kembar
kurang percaya. Maka sekali lagi ia menyerang Pendekar Mabuk dengan kedua
sabitnya. Wut, wut, wut, craass...!
Kedua sabit itu merobek
menyilang di perut Suto Sinting. Lalu terdengar pekik tertahan dari temannya
yang belum terluka apa pun itu.
"Aahg...!" pekikan
pendek itu membuat si pemilik perut limbung ke belakang. Sabit Kembar semakin
terperangah heran melihat perut temannya berodol, ususnya keluar semua. Padahal
ia merasa merobek perut Suto Sinting dengan jurus 'Elang Ganas', tapi mengapa
justru temannya yang menderita luka separah itu, dan akhirnya membuat orang
tersebut tidak bernyawa lagi.
"Celaka! Ilmu apa yang
digunakan orang ini?!" pikir si Sabit Kembar dengan mundur beberapa
tindak. "Kalau kuteruskan bisa mati semua temanku?!"
"Kalau aku bersalah, aku
tak akan bisa gunakan ilmu
'Layang Raga'," kata
Suto. "Sebagai bukti bahwa aku tidak bersalah, maka aku masih bisa gunakan
ilmuku itu."
Mereka akhirnya lari
meninggalkan Suto dengan membawa mayat temannya. Tak satu pun ada yang
berani coba-coba lagi dengan
Pendekar Mabuk. Ketenangan Suto yang tidak mau mengejar mereka itu justru
membuat mereka semakin dicekam rasa takut dan larinya kian kencang. Yang
buntung tangannya juga terpaksa harus lari sekencang mungkin sambil membawa potongan
tangannya sendiri, sebab ia berharap sang Guru bisa menyambungkan kembali
potongan tangan tersebut, ia tidak tahu bahwa sang Guru tak mampu melakukan hal
yang begitu ajaib.
Pendekar Mabuk segera melirik
ke arah Mega Dewi. Gadis itu duduk di bawah pohon, diam dan cemberut. Jelas ia
masih menderita luka dalam, karena wajahnya masih pucat dan sesekali tersentak
memuntahkan darah. Setelah dipaksa meminum tuaknya Suto, maka luka dalam itu
pun mulai reda dan ia tak lagi tersentak muntah darah. Makin lama kesehatannya
berangsur- angsur membaik, tetapi ia masih bersikap dingin kepada Suto Sinting.
"Mengapa sikapmu tidak
seramah dulu. Mega Dewi?" Gadis berkepang dua itu menjawab dengan ketus,
"Pikirlah sendiri!"
Pendekar Mabuk tidak melayani
keketusan Mega Dewi. Ia hanya tersenyum dan berdiri di depan Mega Dewi sambil
bermainkan sehelai ilalang. Wajah murung itu dipandanginya dalam senyum yang
tiada habisnya.
"Kau cemburu karena
kutinggalkan terlalu lama?" "Untuk apa menaruh cemburu kepada seorang
pengkhianat!'
Kaget juga Suto mendengar
ucapan itu. Senyumnya
segera hilang, ia mulai bisa
meraba masalah yang dipendam dalam hati Mega Dewi. Ia pun segera jongkok di
hadapan Mega Dewi sambil memegangi bumbung tuak yang tadi diteguk isinya tiga
kali. Ia bertanya dengan nada lebih pelan dan bersungguh-sungguh.
"Apa maksudmu mengatakan
aku seorang pengkhianat?!"
"Karena kau tega membunuh
sahabat sendiri. Ki Empu Sakya bukan musuhmu, tapi kau serakah, ingin memiliki
kerisnya sehingga membunuh beliau! Akibatnya, orang banyak yang mengejarku
karena disangkanya aku menyembunyikan kau!"
Suto menarik napas sambil
berdiri. "Mega Dewi, semua itu fitnah belaka! Jangan mau percaya dengan
kata-kata siapa pun tentang hal itu.''
"Itu bukan fitnah, itu
kenyataan!"
"Apa alasanmu menuduhku
begitu dan yakin bahwa aku yang membunuhnya?"
"Ada saksi mata yang
melihatmu melakukan serangan mematikan bagi diri mendiang Ki Empu Sakya!"
"Siapa saksi
matanya?"
"Seorang penduduk desa,
tetangga tak jauh dari rumah Ki Empu Sakya!" jawab Mega Dewi dengan tetap
ketus.
"Apa kata orang
itu?!"
"Pembunuhnya orang yang
membawa-bawa bambu bumbung tuak. Siapa lagi kalau bukan kau?!"
Pendekar Mabuk
manggut-manggut. Ia mulai tahu, mengapa ia dituduh sebagai pembunuh Ki Empu
Sakya.
Tak heran jika Sabani juga
disangka bernama Suto Sinting, karena ia pedagang legen yang ke mana-mana
membawa bambu bumbung tuak.
Mega Dewi berdiri, menatap
sinis kepada Suto
Sinting.
"Mulai sekarang kau tak
perlu bersahabat denganku lagi, Suto!"
"Mega Dewi, kau salah
sangka!"
"Tidak mungkin!"
bantah Mega Dewi dengan menggeram menahan kemarahan. "Aku tahu kau berilmu
tinggi, Ki Empu Sakya juga berilmu tinggi. Ki Empu Sakya tak akan mudah
diserang atau bahkan dibunuh jika penyerangnya bukan orang yang berilmu
tinggi!"
"Tapi itu bukan aku, Mega
Dewi. Tidak semua orang yang membawa bambu bumbung adalah Pendekar Mabuk Suto
Sinting?! Di pasar banyak orang membawa bambu bumbung sebagai penjual legen
kelapa!"
"Seorang penjual legen
lebih mustahil lagi jika bisa membunuh Ki Empu Sakya. Aku tahu seberapa tinggi
ilmu Ki Empu Sakya. Aku bukan anak kecil yang bisa kau bohongi dengan
dalih-dalihmu, Suto!"
Sedih sekali hati Pendekar
Mabuk mendengar kata- kata Mega Dewi. Menurutnya, itu baru satu orang teman
yang tidak percaya, bagaimana jika sampai semua temannya tidak mau percaya lagi
kepadanya? Padahal memperoleh kepercayaan itu lebih sulit daripada memperoleh
kemenangan dalam suatu pertarungan.
Pada dasarnya, Suto Sinting
mengakui kebenaran kata-kata Mega Dewi. Orang yang bisa membunuh Ki
Empu Sakya pasti orang berilmu
tinggi, itu memang benar. Suto juga mengakui bahwa Ki Empu Sakya orang berilmu
tinggi. Jika tidak berilmu tinggi beliau tidak akan mungkin bisa melihat noda
merah di kening Suto, yaitu lambang penghargaan yang diberikan oleh Gusti Ratu
Kartika Wangi, calon mertuanya yang menjadi penguasa di sebuah negeri alam
gaib.
Memang mustahil jika pedagang
legen seperti Sabani itu mampu membunuh Ki Empu Sakya. Jika benar pembunuhnya
membawa bumbung bambu, maka Suto dapat menduga orang sakti lainnya yang juga
punya kegemaran minum tuak dan ke mana-mana membawa bumbung bambu. Tapi sejauh
ingatannya, sepanjang pengelanaannya di rimba persilatan selama ini, Suto belum
pernah temui orang yang ke mana-mana membawa bumbung bambu.
Bumbung bambu merupakan ciri
khas Pendekar Mabuk. Tak heran jika Mega Dewi sangat percaya dengan berita
tersebut, dan menduga keras bahwa memang Suto lah pembunuh Ki Empu Sakya. Lalu,
pembunuhan itu dikaitkan dengan keris pusaka milik Ki Empu Sakya. Wajar jika
semua orang menduga kalau keris itu sekarang ada di tangan Suto Sinting.
Sebelum Mega Dewi pergi
meninggalkannya karena tak mau bersahabat lagi, Suto Sinting sempat mengajukan
satu pertanyaan kepada gadis kepang dua itu.
"Siapa nama saksi yang
melihat Ki Empu Sakya dibunuh?!"
"Mbok Wiji, seorang
pengrajin perabot dapur dari bambu!"
"Aku akan temui dia, dan
kubuktikan bahwa bukan
aku orang yang dilihatnya kala
itu! Tak lama lagi kau akan tahu apakah aku bersalah atau tidak."
"Aku sudah tak mau peduli
lagi dengan dirimu. Aku tak mau terlibat persoalan apa-apa bersamamu! Dan kau
tak perlu mencariku atau berusaha menemuiku lagi, Suto. Aku sudah tidak suka
berteman denganmu!"
Kata-kata itu menyakitkan bagi
Suto Sinting, tapi agaknya kali ini Suto harus menelan kepahitan tersebut.
Sebelum ia bisa membuktikan kepada masyarakat dan para tokoh bahwa dirinya
tidak bersalah, ia masih harus menelan kenyataan pahit dan mendengar kata-kata
yang menyakitkan seperti itu. Tak ada cara lain untuk membersihkan diri kecuali
dengan menggunakan pengakuan perempuan desa yang bernama Mbok Wiji. Suto akan
tampakkan diri di desa Kukusan itu, dan memohon kepada Mbok Wiji untuk
mengenali wajah pembunuh Ki Empu Sakya. Suto yakin Mbok Wiji akan mengatakan
bahwa wajah pembunuh Ki Empu Sakya bukan wajah yang dimiliki Suto.
Bergegaslah Suto Sinting
menuju desa Kukusan. Perjalanannya sengaja melalui tempat-tempat yang
tersembunyi, supaya jangan temui halangan dari siapa pun sebelum ia berhasil
temui Mbok Wiji. Dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang digabungkan dengan
ilmu 'Layang Raga' kecepatan lari Suto lebih tinggi dari kecepatan anak panah
melesat dari busurnya.
Ketika sampai di batas desa,
hari sudah sore. Matahari hampir tenggelam. Tapi Suto tidak pedulikan suasana
tersebut, ia mulai kurangi kecepatan larinya dan menjadi berjalan cepat biasa
saja.
Langkahnya terhenti sejenak
ketika melihat kerumunan orang di lereng bukit. Di sana ada tanah pemakaman,
dan di tanah pemakaman itu agaknya sedang dilakukan upacara penguburan. Suto
menjadi penasaran nalurinya mengatakan ada sesuatu yang perlu ditengok di kuburan
itu.
Ketika ia tiba di sana,
ternyata ia bertemu dengan
Sabani, si pedagang legen
dalam bumbung bambu itu.
Tapi Sabani kala itu tidak
membawa bumbungnya. "Kang...?" Sabani gemetar, ingat dosanya ketika
bertemu Suto yang pertama
kalinya itu. "Siapa yang meninggal, Sabani?" "Mbok Wiji."
"Hah...?!" Suto
Sinting terperangah kaget. "Jenazahnya ditemukan cucunya tadi pagi, di
dekat
sungai. Sepertinya ia dibunuh
oleh seseorang menggunakan senjata tajam. Kang. Lehernya robek."
Suto Sinting menjadi tertegun
penuh kekecewaan. Satu-satunya saksi mata atas peristiwa kematian Ki Empu Sakya
kini telah tiada. Semakin sulit bagi Suto untuk membuktikan bahwa orang yang
membawa bumbung bambu dan membunuh Ki Empu Sakya itu bukan dirinya. Mbok Wiji
tentunya mengenali pembunuh tersebut. Tapi sekarang Mbok Wiji sudah tiada.
Bagaimana Suto harus membuktikan bahwa
dirinya tak bersalah?
*
* *
3
SIAPA pun jika menghadapi
masalah seperti itu tidak akan mudah tidur, kecuali Ki Gendeng Sekarat. Suto
Sinting pun menjadi susah tidur. Malam hari ia temukan pohon yang bisa
digunakan untuk tidur, tetapi yang terbayang di benaknya hanyalah wajah Ki Empu
Sakya dan persoalan dirinya. Di atas pohon itu, Suto hanya berkedip-kedip
memikirkan nasib dirinya yang benar- benar sial itu.
Suto Sinting pun segera ingat
pesan calon istrinya; Dyah Sariningrum. Pesan itu diucapkan ketika Dyah
Sariningrum mengantar Suto sampai ke pantai.
"Jangan singgah ke pulau
mana pun, kecuali ke tujuanmu. Kalau kau singgah di pulau mana pun, maka kau
akan menemui persoalan yang rumit."
"Kau tak perlu cemburu,
Sayangku," bisik Suto
Sinting dengan mesra.
"Tidak. Aku tidak akan
cemburu. Aku percaya kepadamu. Tapi langkah seseorang kadang tidak mengetahui
lubang di depannya. Aku percaya kau tidak akan jatuh cinta pada wanita lain.
Hanya saja, menurut perhitungan hari, tanggal, waktu, dan bulan, kepergianmu
ini harus langsung ke tempat tujuan. Sekali lagi, jika kau mampir-mampir maka
kau akan menemui
nasib sial."
"Apakah kau suka jika aku
bernasib sial?"
Dyah Sariningrum yang punya
lesung pipit itu tersenyum manis. Cantik sekali. Ia tersenyum sambil gelengkan
kepala dan memandang lembut kepada calon suaminya.
"Aku tidak ingin kau
bernasib sial. Karena itu aku beritahukan apa yang harus kau lakukan supaya
tidak bernasib sial."
"Aku harus menurut
padamu, karena aku sayang kepadamu, Dyah tersayang," kata Suto makin
membisik dan menyiram kesejukan hati sang Ratu yang bergelar Ratu Mahkota
Sejati itu.
Tetapi dalam perjalanan pulang
dengan tugas memburu Siluman Tujuh Nyawa, Suto Sinting sempat lupa akan pesan
calon istrinya itu. Sekalipun Suto orang yang cerdas dan berilmu tinggi, tapi
kealpaan tetap saja bisa singgah pada dirinya. Manusia tak akan luput dari
kelupaan, karena kelupaan merupakan bagian dari penyakit kodrati bagi manusia
itu sendiri.
Di atas perahunya yang
berlayar tunggal, dengan ditemani oleh seorang prajurit negeri Puri Gerbang
Surgawi, Suto Sinting melihat suatu pertarungan di atas permukaan air laut.
Salah satu orang yang mengadakan pertarungan di atas sepotong papan itu adalah
Raja Maut, sahabat gurunya Suto, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Ratu Tanpa Tapak").
Melihat Raja Maut bertarung
dengan seorang wanita cantik namun berkesan galak itu, Suto Sinting tak bisa
tinggal diam. Apalagi
pelayaran perahunya harus melintasi tempat itu. Pada mulanya Suto Sinting tidak
mengenal perempuan yang bertarung dengan Raja Maut. Tetapi prajurit yang
menyertainya dalam perahu itu berkata,
"Perempuan itulah yang
bernama Nyai Demang Ronggeng, penguasa Pulau Blacan yang tampak dari sini
itu."
"Ooo... ya, ya, ya... aku
mengerti sekarang," kata Suto sambil manggut-manggut. "Aku pernah
dengar cerita permusuhan Raja Maut dengan Nyai Demang Ronggeng. Pasti persoalan
Kitab Sukma Sukmi yang dicuri oleh Nyai Demang Ronggeng dari tangan gurunya si
Raja Maut."
"Saya malah tidak dengar
cerita itu, Gusti Manggala Yudha," kata prajurit tersebut kepada Suto.
Gusti Manggala Yudha memang pangkat dan sebutan Suto di kalangan orang-orang
Puri Gerbang Surgawi. Kedudukannya lebih tinggi dari sang Ratu Mahkota Sejati,
karena kehormatan Suto itu diberikan oleh penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi
di alam gaib, yaitu Ratu Kartika Wangi, Ibu dari Dyah Sariningrum atau si Ratu
Mahkota Sejati itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Manusia
Seribu Wajah").
"Raja Maut agaknya
terdesak oleh kekuatan Nyai Demang Ronggeng. Sekujur tubuhnya telah basah
kuyup, sedangkan Nyai Demang Ronggeng masih kering," gumam Suto bagaikan
bicara sendiri.
Ketika melihat Raja Maut
terpental jauh karena satu
pukulan sinar merah dari
kibasan kipas berbulu merah itu, Suto Sinting cemaskan jiwa Raja Maut.
"Arahkan perahu kita
untuk menolong Raja Maut!"
kata Suto kepada sang prajurit
yang mengendalikan laju perahu itu. Maka sang prajurit pun menuruti perintah
tersebut.
Raja Maut benar-benar terluka
parah. Tubuhnya mengambang di air dalam keadaan pingsan. Suto Sinting segera
menolong, mengangkat tubuh Raja Maut untuk diselamatkan jiwanya. Raja Maut
dibaringkan di perahu itu. Mulutnya dipaksa terbuka, lalu tuak dari bumbung
dituangkan oleh Suto sedikit demi sedikit. Akhirnya beberapa teguk tuak
tertelan oleh Raja Maut, sampai orang tua itu tersedak dan terbatuk-batuk,
sadar dari pingsannya. Namun karena tubuhnya masih memar membiru dan lemas.
Raja Maut tak bisa bilang apa-apa
Jleeg...!
Rupanya pertolongan Suto
kepada Raja Maut tidak disukai oleh Nyai Demang Ronggeng. Perempuan itu
berusaha mencapai perahu dan tiba-tiba ia sudah berhasil menginjakkan kakinya
di buritan perahu. Suto Sinting sempat terperanjat, namun kembali tenang dengan
berkata sopan kepada Nyai Demang Ronggeng,
"Maaf. aku tidak
bermaksud campuri urusanmu, melainkan sekadar menolong orang yang kukenal
ini!"
"Lancang betul kau!"
sentak Nyai Demang Ronggeng. "Aku ingin membunuhnya, tapi kau ingin
menyelamatkannya. Itu sama saja kau telah menantangku untuk lanjutkan
pertarungan ini!"
"Tidak. Aku tidak
menantangmu. Ini sekadar tugasku sebagai manusia, menolong yang lemah, membantu
yang susah!"
"Hmmm...!" Nyai
Demang Ronggeng mencibir melihat Suto merendahkan hati di depannya. Matanya
menatap terus tak berkedip, lama-lama hatinya berkata, "Ganteng juga
dia!" Tapi sikapnya tetap dipaksakan angkuh dan sinis.
"Kalau kau tak
menantangku," kata Nyai Demang Ronggeng, "Bunuh si setan tua itu!
Jangan obati dia! Ceburkan ke laut sekarang juga!"
Dengan senyum kalem Pendekar
Mabuk berkata, "Maaf, aku tidak bisa berbuat sekejam itu, Nyai. Guruku
tidak pernah ajarkan agar aku berbuat sejahat itu kepada orang tak
berdaya."
"Siapa gurumu?!"
"Gila Tuak"
Mata Nyai Demang Ronggeng
terkesiap, ia terkejut, namun disembunyikan dalam hati. Hanya wajahnya yang
tampak semakin sinis dengan kata-katanya yang ketus, kadang bernada dingin.
"Kebetulan sekali! Si
Gila Tuak punya hutang padaku! Hutang jurus!"
"Oh, aku tidak tahu hal
itu, Nyai. Aku tidak bermaksud apa-apa padamu."
"Gila Tuak pernah
menyerangku saat aku bertarung melawan setan busuk itu!" Ia menuding Raja
Maut "Aku dibuatnya lari terbirit-birit. Sekarang giliranku membalas sakit
hati itu melalui muridnya!"
"Nyai Demang Ronggeng,
terlalu buruk jika kita turuti nafsu membunuh dan membalas dendam. Sebaiknya,
lupakan saja niatmu itu agar di antara kita tidak ada yang celaka, Nyai!"
"Akan kulupakan setelah
aku berhasil mengirim penggalan kepala murid si Gila Tuak. Hiaaatt...!"
Nyai Demang Ronggeng nekat
menyerang Suto
Sinting dengan lompatan cepat
bagaikan hembusan angin. Wuuutt...! Tetapi Suto Sinting enggan melayani,
sehingga ia hanya menghindar pada saat jaraknya dengan lawan sudah sangat
dekat, ia menjatuhkan diri dalam posisi duduk, lalu meraih bumbung tuak yang
tergeletak di samping raga si Raja Maut.
Serangan yang dihindari dengan
seenaknya itu membuat tubuh Nyai Demang Ronggeng tak mampu berhenti seketika.
Ia melaju dengan lompatan cepatnya dan akhirnya melewati batas perahu dan,
byuuurrr...! Ia jatuh ke lautan.
Untuk sesaat ia menyelam diri,
tapi kejap berikut ia muncul dengan satu sentakan kuat. Bruuus...! Ia melayang
tinggi bagaikan seekor lumba-lumba muncul dari kedalaman air. Gerakan saltonya membuat
ia mampu hinggap di atas barak perahu yang beratap papan itu. Draak...!
Tubuhnya yang basah kuyup meneteskan air ke atap barak. Tapi kipas bulu
merahnya itu bagaikan anti basah. Tak sedikit pun air menempel di kipas
tersebut.
"Nyai Demang Ronggeng,"
kata Suto, "Jangan memaksaku bertindak kasar kepadamu. Aku tahu siapa
kau, dan aku kenal dengan
dengan Ki Gendeng Sekarat, saudara seperguruanmu, karena itu aku masih
menghormatimu, Nyai."
"Aku tidak butuh
hormatmu! Aku benci pada
Gendeng Sekarat!
Hiaaat...!"
Kali ini Nyai Demang Ronggeng
melompat sambil kibaskan kipasnya. Dari kipas itu keluar tenaga dalam yang
besar dan menyerang Suto Sinting yang masih enggan melayaninya. Suto bermaksud
menghindar, namun terlambat, sehingga tubuhnya yang baru saja hendak melompat
itu terhempas pukulan tenaga dalam dari kipas merah. Wuuut...! Braaak...!
Suto Sinting jatuh di haluan
kapal. Prajurit ingin membantu tapi Suto segera melarangnya. Pendekar Mabuk
cepat berdiri karena Nyai Demang Ronggeng telah lepaskan lagi serangan
berikutnya, berupa cahaya merah dari kipas tersebut.
Slaaap...!
Dengan cepat Suto meraih
bumbung tuaknya dan disilangkan di depan dada. Akibatnya sinar merah itu
mengenai bumbung tuak tersebut namun tidak membuat bumbung itu hancur,
melainkan membuat sinar merah memantul kembali arah. Pantulan sinar merah itu
ternyata lebih cepat dan lebih besar lagi, tenaga yang ada di dalam sinar merah
menjadi berlipat ganda. Wuuusss...!
Nyai Demang Ronggeng terkejut.
Hampir saja ia terpaku melihat sinar merahnya membalik dalam keadaan lebih
besar. Dengan gerakan cepat, kipas di
bentangkan dan digunakan
menangkis sinar merah itu. Praak...! Blaaar...!
Sinar merah jebol seketika.
Tubuh Nyai Demang
Ronggeng terpental jatuh ke
laut kembali. Byuuur...! Tetapi sebelum ia jatuh masuk ke dalam air, prajurit
sempat melihat mulut Nyai Demang Ronggeng semburkan darah segar, pakaiannya
terbakar pada bagian dada. Setelah itu lenyap, tak bisa diketahui keadaannya.
Raja Maut mulai sehat walau
tidak sepenuhnya, ia mulai sadar bahwa dirinya berada di atas perahu, ia juga
kaget melihat Suto ada di perahu itu juga.
"Apa yang terjadi,
Suto?"
"Nyai Demang Ronggeng
terkena pukulannya sendiri dan masuk ke perairan. Sampai sekarang belum muncul-
muncul," Suto menjawab dengan mata memandangi perairan di sekelilingnya.
"Apa warna pukulannya
tadi?" "Merah! Keluar dari kipasnya."
"Habislah riwayatnya.
Setidaknya bagian dalamnya rusak berat!" gumam Raja Maut sambil memandangi
perairan juga.
"Apakah ini persoalan
Kitab Sukma Sukmi?"
"Benar. Hari ini
kutentukan sikapku; kalau tak dapat merebut kitab itu, lebih baik aku mati di
tangannya, toh aku sudah turunkan ilmuku kepada muridku. Bagiku mati bukan
masalah lagi."
"Sebenarnya aku hanya
ingin menolongmu, Raja Maut. Tidak bermaksud mencampuri urusan kalian berdua.
Tetapi...," ucapan itu terhenti. Sesosok tubuh
keluar dari kedalaman air
laut. Mirip ikan lumba-lumba sedang terbang.
Bruuusss...!
Jleeg...!
Nyai Demang Ronggeng masih
hidup, keadaannya memang menyedihkan. Dada sampai leher berwarna hitam hangus.
Sebagian pakaiannya rusak termakan api. Namun keadaan api sudah padam karena
air laut. Matanya menjadi mengerikan. Bagian tepi kelopak mata itu memerah.
Hidungnya masih melelehkan darah. Tapi ia masih mampu berdiri di buritan dengan
tegak dan kokoh.
"Nyai, sudahlah, jangan
teruskan pertarungan ini," kata Suto memohon.
Tapi agaknya perempuan berhati
sadis itu tetap ingin lanjutkan pertarungan sampai titik darah penghabisan.
Dengan geram kemarahannya ia berkata,
"Sekarang sudah tak ada
waktu untuk berdamai denganmu, murid Gila Tuak! Kau atau si setan tua itu yang
mati di tanganku! Atau kalian berdua sama-sama kukirim ke alam baka?!"
"Kau pikir mudah
mengirimku ke alam baka?" sahut si Raja Maut, lalu mencoba berdiri, tapi
ia jatuh lagi karena keadaannya masih lemah. Pada saat Raja Maut jatuh, Nyai
Demang Ronggeng segera melepaskan pukulan dengan kedua tangan disentakkan ke
depan. Wuuus...!
Sinar merah besar melesat
menghantam tubuh Raja
Maut. Suto Sinting cepat
lompatkan diri ke depan Raja
Maut, lalu dengan kedua tangan
disentakkan ke depan, melesatlah sinar biru besar dari tangan Suto. Sinar bru
itu menghadang laju sinar merah, dan bertemu di pertengahan tanpa ledakan.
Kedua orang itu akhirnya adu
kekuatan tenaga dalam. Nyai Demang Ronggeng kerahkan tenaga dalamnya supaya
sinar merah bisa menembus tubuh Suto, sedangkan Suto sendiri kerahkan tenaga
dalamnya supaya sinar biru bisa mendesak sinar merah lawan. Kedua tangan Suto
Sinting bergetar, tapi sekujur tubuh Nyai Demang Ronggeng gemetaran. Wajahnya
yang pucat menjadi memerah, pertanda seluruh kekuatan dikerahkannya.
Pertemuan kedua sinar itu
memercikkan bunga api. Garis pertemuan bergerak maju-mundur menandakan kekuatan
mereka saling dipertahankan. Sampai akhirnya, kaki Suto Sinting menghentak ke
lantai perahu. Duuuhg...! Seakan hentakan itu mendatangkan kekuatan besar dan
membuat sinar birunya mampu mendesak ke depan dan akhirnya menghantam tubuh
Nyai Demang Ronggeng. Blaaar...!
Cahaya biru pijar memecah
menyilaukan. Pandangan mata mereka tak mampu menembus nyala biru terang yang
melebar melebihi lebar layar itu. Namun cahaya itu hanya sekejap, lalu lenyap.
Blaab...!
Sosok Nyai Demang Ronggeng
tidak kelihatan lagi. Asap tipis masih menyelimuti tempat berdirinya Nyai
Demang Ronggeng. Semakin tipis asap itu semakin terlihat oleh mereka tubuh Nyai
Demang Ronggeng
mengambang di permukaan air
dalam keadaan hangus seluruhnya. Perempuan itu telah menjadi arang karena
terkena pukulan jurus 'Tangan Guntur' yang jarang digunakan Suto itu.
Raja Maut dan prajurit
memandang dengan mulut ternganga bengong. Wajah mereka diliputi perasaan kagum
dan takjub terhadap hasil pukulan jurus Pendekar Mabuk itu. Sedangkan Suto
Sinting sendiri memandang mayat yang ditinggalkan perahu itu dengan wajah
sesal. Bahkan ia menggumam di samping Raja Maut,
"Seharusnya hal itu tidak
terjadi kalau hatinya tidak sekeras baja!"
"Memang itulah akibat
yang harus diterima bagi orang yang tak pernah mau mengenal perdamaian,"
ujar Raja Maut. "Aku tak salahkan dirimu. Kau hanya sebatas melindungiku.
Karena kau tahu keadaanku sedang lemah, tak mungkin mampu melawan jurusnya
tadi. Aku berterima kasih padamu, Suto! Biar kujelaskan sendiri pada si Gila Tuak,
gurumu itu, mengapa kau membunuh Kiswanti."
Suto memandang jauh dalam
lamunan sesalnya. Pantai Pulau Blacan terlihat jelas dan akan dilewatinya. Suto
Sinting diam tanpa bicara apa pun. Raja Maut segera mendekati dan bicara dengan
hati-hati.
"Suto, aku harus mengambil
Kitab Sukma Sukmi di pulau itu. Maukah kau menungguku mengambilnya, agar aku
bisa pulang menumpang perahumu?"
Napas Suto Sinting ditarik
dalam-dalam. "Ambillah, setelah itu jagalah agar Kitab Sukma Sukmi yang
berisi
jurus-jurus maut dan ilmu 'Tarian
Mayat' itu jangan sampai jatuh ke tangan orang sesat lagi."
Raja Maut yang berjubah
abu-abu itu tersenyum
ceria. Pendekar Mabuk senang
melihat orang yang ditolongnya menjadi ceria. Maka perahu pun menepi ke pantai
Pulau Blacan. Raja Maut turun sendiri, menuju persinggahan Nyai Demang
Ronggeng. Suto dan prajurit menunggu di perahu sampai beberapa saat lamanya.
Suto sempat bercerita tentang hubungan Nyai Demang Ronggeng dengan Ki Gendeng
Sekarat yang ditinggalkannya di Pulau Serindu. Bahkan Suto banyak bercerita
pengalaman yang dilalui bersama si tukang tidur itu.
"Jadi, Ki Gendeng Sekarat
itu sebenarnya sudah hampir mati di tangan Ratu Tanpa Tapak, Gusti
Manggala?"
"Ya. Tapi seorang teman
bernama Sumbaruni menolongnya, aku pun akhirnya datang membantu mereka."
"Sumbaruni...?"
gumam prajurit itu bernada heran. Dulunya pun berkerut. "Sepertinya saya
pernah dengar nama Sumbaruni dari cerita ke cerita."
"Mungkin kau ingin
katakan bahwa Sumbaruni itu bersuamikan jin Kazmat?"
"Bukan itu saja,"
jawab prajurit yang usianya sekitar
tiga puluh tahun.
"Menurut cerita yang saya dengar, Sumbaruni itu pelayan seorang petapa di
Gunung Winukir. Pertapa itu adalah Eyang Bayudana, yang mempunyai murid bernama
Pramban Jati dan Resi
Wisbo."
"Pramban Jati itu gurunya
Ki Gendeng Sekarat!" sahut Suto.
"Ooo...," prajurit
itu manggut-manggut.
"Resi Wisbo adalah
gurunya Raja Maut tadi!"
"O, begitu?! Jadi antara
Sumbaruni dan Nyai Demang Ronggeng, Ki Gendeng Sekarat, Raja Maut bisa jadi
mempunyai kesamaan ilmu, Gusti?"
"Mungkin saja. Cuma yang
mana yang lebih tinggi, kurasa Sumbaruni-lah yang paling tinggi ilmunya. Karena
dia mendapat warisan ilmu secara langsung dari Eyang Bayudana sang petapa
itu."
Percakapan itu terhenti karena
Raja Maut telah kembali dengan membawa Kitab Sukma Sukmi. Mereka meluncur ke
Tanah Jawa memakan waktu perjalanan selama satu hari satu malam. Dan saat
itulah sebenarnya Suto Sinting telah lupa akan pesan Dyah Sariningrum. Ia telah
mampir ke sebuah pulau, walau hanya di pantainya saja, dan walaupun untuk
menolong seseorang.
Kini dalam lamunan malam Suto
di atas pohon, kesalahan itu teringat kembali. Hatinya pun berkata,
"Pantas nasibku sial, karena aku telah mampir ke Pulau Blacan! Kurasa Dyah
pun tahu kesalahan yang telah kuperbuat itu, karena ia punya kekuatan batin
untuk meneropong kehidupanku dari jauh."
Hati Suto Sinting ingin
menyesali langkahnya itu, tapi ia merasa penyesalan tersebut tidak berarti
apa-apa. Tak perlu dipikirkan lagi. Sebab yang perlu dipikirkan adalah
bagaimana membuktikan bahwa dirinya tidak
bersalah.
"Kurasa aku memang harus
temui Sumbaruni atau Pelangi Sutera itu! Paling tidak, Sumbaruni punya saran
untukku."
Kecamuk batin dan pikirannya
itu akhirnya melelahkan jiwa. Suto Sinting tertidur ketika pagi tinggal sedikit
waktu lagi. Namun dalam tidurnya itu, ia kembali bermimpi tentang wanita cantik
berjubah sutera warna biru muda.
"Asmaradani...?!"
sapa Pendekar Mabuk dalam mimpinya. Seolah-olah mereka saling melepas rindu
karena lama tak jumpa. Asmaradani memeluk Suto penuh ungkapan rasa kangen.
Lalu, wanita cantik itu kembali menyerahkan setangkai bunga mawar warna pelangi
dengan tangkai tanpa duri.
"Lama aku menunggumu,
ingin serahkan bunga ini untukmu, Suto."
"Kau baik padaku.
Asmaradani," ucap Suto bernada mesra.
Sayang mimpi itu tak panjang.
Suto terbangun ketika mendengar suara kokok ayam dan lesung penumbuk padi di
kejauhan sana. Tetapi ia jadi terkejut setelah menyadari tangannya menggenggam
setangkai mawar pelangi tak berduri.
"Bunga ini benar-benar
kumiliki?! Mimpiku itu... oh, mimpi apa sebenarnya? Apa arti mimpi seaneh
ini?!" pikir Suto dengan bingungnya.
*
* *
4
LANGKAH Pendekar Mabuk semakin
diperlambat karena suara aneh di sekelilingnya. Matanya melirik curiga walaupun
sikapnya masih tenang-tenang saja. Telinganya menangkap suara detak jantung
yang jumlah lebih dari dua irama. Itu tandanya ada beberapa orang yang
bersembunyi di sekitar semak dan kerapatan pohon. Mereka sepertinya menunggu
saat yang baik untuk lakukan penyerangan.
"Siapa mereka?"
tanya Suto dalam hatinya. Hanya itu yang ada di hatinya, karena kejap
berikutnya sebilah pisau melesat dari arah belakang, sasarannya pada
punggungnya.
Slaaap...! Kecepatan pisau itu
cukup tinggi. Pasti dilemparkan dari tangan orang berilmu lumayan tinggi.
Tetapi Pendekar Mabuk tidak kalah cepat berputar badan. Wuuut...! Ceeb...!
Pisau seukuran satu jengkal
itu tahu-tahu sudah terselip di sela jari-jari Suto Sinting. Padahal tangan
Suto hanya berkelebat dan berhenti sampai di depan dadanya, namun pisau itu
telah mampu ditangkapnya sehingga tak sampai merobek kulit tubuhnya.
Dengan pisau masih terselip di
tangan, Suto Sinting diam tak bergerak dan mata memandang jeli ke sekitarnya.
Suto tidak menemukan bayangan manusia di sana-sini, tapi hati nuraninya
mengatakan ada yang bersembunyi di balik pohon di depannya itu. Maka dengan
gerakan tangan berkelebat cepat dan kaki sedikit merendah, pisau itu
dilemparkan ke dahan pohon
tersebut.
Slaaab...! Craab, craaab,
craab...!
Gerakan pisau begitu cepat dan
memotong tiga dahan seukuran satu lengan orang dewasa. Ketiga dahan itu langsung
jatuh secara bersamaan. Grussaak...!
Duuhg...!
"Aow..!" seseorang
terpekik kesakitan karena kejatuhan salah satu dahan. Pasti kepalanya bocor,
setidaknya benjol. Suto Sinting tersenyum geli dan matanya menatap tajam ke
arah pohon tersebut. Dugaannya benar, ada orang bersembunyi di balik pohon itu.
Orang tersebut tak sengaja terpekik karena tak menyangka akan kejatuhan dahan
sebesar lengan. Anehnya orang itu masih saja tidak mau keluar dari
persembunyiannya, rupanya ia bertahan untuk tidak menampakkan diri dan segera
menutup mulutnya dengan tangan.
Suto Sinting mau meninggalkan
orang itu dan tidak peduli dengan serangan tadi. Tetapi baru saja ia balikkan
tubuh, tiba-tiba dari arah kirinya melesat dua benda kecil warna putih
terpantul sinar matahari. Benda itu adalah dua senjata rahasia yang dilemparkan
dari balik dua pohon berjajar rapat.
Ziing, ziing...!
Dua tangan Suto segera
berkelebat menangkap dua senjata rahasia tersebut dalam gerakan melebihi
kecepatan layang senjata itu sendiri. Sleb, sleb...! Sekali lagi dua senjata
itu mampu ditangkap dengan jepitan jari-jemarinya. Ternyata senjata itu
berbentuk bintang
segi enam yang runcing dan
berbau amis. Itu tandanya senjata tersebut mempunyai kadar racun tinggi
yangberbahaya jika melukai kulit tubuh manusia.
Belum sempat Suto
mengembalikan senjata tersebut, dari dua arah yang berlawanan muncul pisau
terbang lagi yang kecepatan geraknya sama.
Slaab... slaab...!
Seketika itu pula Suto Sinting
lompatkan badan dan bentangkan kedua tangan dalam keadaan melempar dua senjata
rahasia yang terselip di kedua tangannya itu. Wuuut...! Ziing, ziing...!
Rupanya Suto membubuhkan
tenaga dalam tinggi pada dua bintang segi enam itu, sehingga ketika kedua benda
tersebut membentur pisau-pisau terbang, terjadilah ledakan yang cukup lumayan
besarnya. Duaar...! Daaar...! Nyala api memercik lebar dan kepulan asap
membubung tinggi dari benturan benda tersebut. Gelombang ledakannya sempat
mematahkan ranting-ranting pada pohon di sekitar terjadinya benturan tersebut.
Sementara itu, Suto Sinting kembali berdiri tegap dengan bumbung tuak masih ada
di belakang, tergantung di pundak.
"Sedikitnya ada empat
orang yang berada di sini. Mereka menyebar di empat tempat. Aku harus lebih
hati- hati lagi," pikir Suto Sinting. "Agaknya mereka tak mau
kuabaikan. Mereka ingin kulayani. Baiklah, akan kuturuti keinginan mereka."
Tentunya secara diam-diam
lawan menjadi jengkel karena serangan gelapnya mampu dipatahkan Suto
Sinting. Terutama orang yang
kejatuhan dahan tadi, pasti hatinya sangat penasaran untuk membalas tingkah
Pendekar Mabuk. Tak heran jika orang itu keluar dari persembunyian lebih dulu,
setelah itu disusul oleh teman-temannya yang lain.
Orang itu keluar dengan kepala
berdarah karena kejatuhan dahan. Wajahnya tampak bengis, matanya memandang
tajam, penuh nafsu membunuh. Bajunya yang berwarna kuning itu basah oleh darah,
terutama bagian kiri, karena rupanya bagian kepala yang bocor itu cenderung di
sebelah kiri, atas telinga.
Suto Sinting hanya tersenyum
tipis melihat empat orang dalam kedudukan mengepung dirinya dari empat arah.
Mereka bertubuh kekar dan berwajah angker. Pandangan mata mereka dingin dan
sikap mereka sangat jelas bermusuhan. Tetapi Pendekar Mabuk justru menyempatkan
diri untuk meneguk tuaknya dengan santai. Pada saat ia meneguk tuak dengan
mengangkat bumbung memakai satu tangan, seseorang yang ada di belakangnya mencoba
memanfaatkan keadaan itu untuk melemparkan pisau dengan cepat. Wuuut...!
Orang itu menduga keadaan
tersebut adalah kesempatan yang baik untuk menyerang karena dianggapnya Suto
sedang lengah. Orang itu tak menduga jika Suto Sinting punya gerakan cepat dalam
menurunkan bumbung tuak dan berbalik dengan cepat pula. Pisau itu ditangkis
dengan bumbung tuak, Trangg...! Dan pisau itu kembali arah dengan kecepatan
tinggi dari dilemparkan tadi. Orang tersebut kaget dan
mendelik, ia kebingungan
menghindari pisaunya sendiri. Akhirnya, jeebb...! Pisau menancap di bawah
pundak kanan.
"Aahg...!" orang itu
memekik sambil menyeringai. Tubuhnya jadi gemetar. Kulitnya mulai memerah.
Rupanya pisau itu beracun ganas. Suto tak menyangka sama sekali. Orang tersebut
akhirnya jatuh terkapar dengan mengerang-erang.
"Bangsat!" teriak
orang berkepala gundul dengan kumis lebat sekali itu. "Kau telah celakai
teman kami, Iblis Busuk!" Orang itu bergegas makin dekat.
"Maaf, bukan aku yang
melemparkan pisau, tapi dia!" "Tapi kenapa kau tangkis pakai bumbung
tuakmu itu,
hah?!"
"Karena aku tak mau kena
pisaunya. Kalau kau mau silakan saja!" jawab Suto Sinting seenaknya. Orang
itu menjadi menggeram penuh luapan kemarahan. Golok panjangnya segera dicabut
dari sarungnya. Sreeet..! Tapi temannya yang mengenakan rompi merah berhias
benang kuning membentuk gambar kalajengking itu segera berseru sambil memberi
isyarat dengan tangan,
"Tahan dulu,
Jolegi!"
Suto membatin, "Ooo... si
gundul sangar itu bernama Jolegi? Aneh juga nama itu, seperti nama makanan
jajan pasar?" Suto tertawa dalam hati.
Jolegi berkata kepada si rompi
merah, "Aku tak sabar ingin membelah kepalanya, Lawa Abang!"
Lawa Abang yang berompi merah
itu berkata, "Tahan dulu! Kalau kau belah kepalanya, kita tak akan dapat
hasilnya, Bodoh!"
Orang yang terkena pisau itu
masih terkapar mengerang-erang kecil. Kulit tubuhnya kian merah bagai
terpanggang api. Sedangkan seorang teman yang menolongnya dengan memberikan
obat berbentuk butiran hitam itu segera kembali menemui Suto Sinting. Orang itu
bertubuh kurus, tapi wajah lonjongnya menampakkan kesan bengis terhadap lawan.
Kumisnya tipis, turun ke bawah sampai dagu. Suto segera mengambil tempat,
sehingga semua lawannya ada di depannya.
"Suto Sinting!" sapa
orang berwajah runcing itu. "Kami pasti tak salah duga, kau bernama Suto
Sinting, si Pendekar Mabuk itu, bukan?"
"Ya. Kalian siapa?"
Semua diam, seakan saling
berserah diri untuk menjelaskan. Lawa Abang segera berseru kepada si muka
runcing, "Jelaskan sekalian, Musang Hitam!"
Maka orang berwajah runcing
dan berkulit hitam itu pun berkata tegas.
"Kami adalah orang-orang
yang tergabung dalam
Partai Bayaran. Kami dibayar
untuk dapatkan pusaka Keris Setan Kobra yang kau rampas dari Ki Empu Sakya itu,
Suto Sinting."
"Kalian salah duga,"
kata Suto Sinting dengan masih kalem. "Bukan aku yang membunuh Ki Empu
Sakya, dan aku tidak mempunyai keris pusaka itu!"
"He, he, he, he...!"
Musang Hitam terkekeh sinis. "Kepada orang lain kau boleh mengaku begitu,
Anak
Muda. Tapi kepada kami kau tak
bisa berkata begitu. Karena kami tak pernah punya rasa segan untuk mencacah dan
merajang-rajang tubuh orang yang bermaksud menipu kami, Suto Sinting!"
Dengan mata menatap Musang
Hitam yang berusia sekitar empat puluh tahun itu, Suto Sinting berkata tegas
pula.
"Kalian salah sasaran!
Carilah pembunuhnya. Jangan termakan hasutan dan fitnah dari orang tak
bertanggung jawab. Aku tidak punya keris pusaka!"
"Terlalu lambat. Musang
Hitam!" geram Jolegi. "Begini caranya memaksa anak angkuh ini.
Heaaat...!"
Jolegi melompat menyerang Suto
Sinting dengan jurus goloknya yang berkelebat cepat menebas sana-sini
membingungkan lawan. Tetapi ketika tubuh itu mendekati Suto Sinting, tahu-tahu
sebuah pukulan bertenaga dalam tinggi tanpa sinar menghantamnya tanpa
tanggung-tanggung lagi. Suara tubuh yang terhantam itu sampai terdengar oleh
teman-teman Jolegi.
Bueeegh...! Wuuus...!
Jolegi terlempar kuat dan
cepat. Gusraaak...! "Auuuhh...!" rintihan itu terdengar kecil, karena
Jolegi jatuh jauh dari
tempatnya berdiri semula. Jaraknya lebih dari sepuluh langkah. Wajahnya
terbenam di semak-semak tempatnya bersembunyi tadi. Tentu saja kedua temannya
yang masih dalam keadaan siaga menjadi terperanjat bengong melihat kekuatan
tenaga dalam yang begitu besar itu. Mereka sangka datang dari Suto, padahal
Suto sendiri membatin, "Siapa yang
menyerangnya? Siapa orang yang
membantuku ini?" Wuuut...! Jleeg...!
Sekelebet bayangan putih melintas
di udara, lalu
mendarat dengan sigap. Semua
mata terbuka lebar. Seorang gadis berusia sekitar dua puluh empat tahun sudah
berdiri tegak dengan pakaian putih berhias benang emas. Gadis itu mempunyai
potongan rambut pendek, seperti potongan lelaki. Justru potongan rambutnya itu
yang menampakkan jelas bentuk kecantikannya yang menggemaskan. Gadis itu bukan
hanya cantik, tapi manis dan enak dipandang mata. Hidungnya kecil tapi bangir,
bibirnya mungil tapi selalu menimbulkan bayangan yang enak untuk dikecup.
Matanya tak terlalu besar, tapi indah dan tajam. Dadanya tak terlalu besar,
tapi sekal dan menantang gairah.
Suto bukan saja merasa kagum,
tapi juga heran, karena baru sekarang ia melihat sosok gadis cantik
bersenjatakan pedang di punggungnya. Ujung gagang pedang yang dibalut kain
beludru merah itu berbentuk hiasan bunga mawar yang indah. Dan agaknya hanya
pedang itulah satu-satunya senjata andalan gadis asing berkulit kuning itu.
"Lawa Abang, rupanya
sobat muda kita ini punya simpanan yang bisa kita buat hiburan sejenak, he, he,
he...!" ujar Musang Hitam, tak peduli lagi dengan keadaan Jolegi.
Sementara itu, orang yang terkena pisau dan sedang berusaha melawan racun
dengan obat pemberian Musang Hitam tadi, kini bergegas bangkit walaupun hanya
duduk saja. Matanya memandang lebar
tak berkedip kepada gadis
cantik yang baru saja datang itu.
Slaap...!
Gadis itu melemparkan sesuatu
ke samping kanan dengan kaki sedikit merendah. Rupanya sebuah senjata rahasia
berbentuk segi tiga dari logam putih mengkilap berukuran kecil. Senjata
rahasianya itu langsung menancap di leher orang yang sedang melawan racun dan
terbengong memandangnya. Juub...! Begitu senjata rahasia itu menancap di leher,
orang itu langsung terkapar lagi dan meraung-raung kecil.
"Ahhggrr...!
Uugrr....!"
"Sial amat kau. Kadal
Gunung. Baru mau melihat kecantikan sebentar sudah harus berbaring lagi,"
ujar Lawa Abang sambil menahan kejengkelan.
Suto Sinting hanya melirik
memperhatikan gadis yang berdiri sejajar dengannya, tapi berjarak empat langkah
lebih itu. Sang gadis pun juga melirik sebentar, lalu segera memandang Lawa
Abang dan Musang Hitam.
"Kalian pergi dan jangan
ganggu pemuda ini, atau terlibat urusan berat denganku?!" tantang gadis
itu dengan beraninya. Tak ada wajah sangar pada dirinya. Tak pantas ia
menggertak begitu. Sebab itu mereka mentertawakan.
"Sayangilah kecantikanmu,
Nona. Jangan berkoar begitu di depan orang-orang Partai Bayaran!" ujar
Lawa Abang.
"Tak perlu kusayangi
wajahku, karena ada orang lain
yang akan sayang dengan
wajahku ini, Lawa Abang!" "Hei...?! Kau tahu namaku? Rupanya aku
orang
terkenal dan dikagumi wanita
cantik sepertimu, ya?"
Lawa Abang bangga diri.
"Aku mendengar percakapan
kalian sejak tadi. Sebelum kalian persiapkan diri untuk mencegah Suto Sinting,
aku sudah lebih dulu bersembunyi di sini!"
"Bagus!" sahut
Musang Hitam, ia manggut-manggut seakan merasa senang menghadapi tantangan
gadis cantik itu. "Apakah kau kekasihnya Suto?"
"Bukan!" jawabnya
tegas. "Aku pengagum Pendekar
Mabuk!"
"Pengagum?" Lawa
Abang memandang Musang Hitam dengan menahan tawa. "Dia seorang pengagum
Pendekar Mabuk? Hua, ha, ha, ha, ha...! Baru sekarang ada orang mengagumi
pembunuh keji dan perampok benda pusaka! Ha, ha, ha, ha...!"
Slaaap...!
Sebutir bola besi putih
berukuran sebesar biji salak dilemparkan oleh gadis itu. Tangannya bergerak
sangat cepat ketika mengambil bola besi putih dari balik bajunya dan
melemparkannya ke depan nyaris tak terlihat gerakannya. Bola itu tak sempat
dihindari dan ditangkis, tahu-tahu sudah masuk ke mulut Lawa Abang. Bluuss...!
Kontan tawa orang itu diam. Matanya mendelik. Lehernya dijulurkan. Rupanya bola
besi itu menyumbat tenggorokan dan tidak bergerak turun. Dari luar terlihat
bentuknya yang menonjol sedikit lebih besar dari jakunnya. Lawa Abang mendelik,
mau menelan
susah, mau dimuntahkan susah.
Dan anehnya golok yang ada di
tangannya sejak mau menyerang Suto itu tiba-tiba berkelebat menempel lehernya.
Plaaak...! Golok itu menempel dan sulit dilepaskan. Lawa Abang tak bisa berseru
meminta tolong pada Musang Hitam, karena tenggorokannya tersumbat dan tak mampu
keluarkan suara. Namun Musang Hitam yang terheran-heran itu segera membantu
melepaskan golok yang menempel di leher Lawa Abang. Tanpa diduga-duga trisula
yang terselip di pinggang Musang Hitam itu bergerak keluar dari pinggang dengan
sendirinya. Zlaaap...! Trang! Trisula itu bagaikan tersedot dan menempel di
leher Lawa Abang.
"Apa-apaan ini?!"
Musang Hitam mulai berang. Trisulanya disentakkan. Kini trisula itu tercabut.
Hanya saja, untuk dibawa pergi menjauhi leher Lawa Abang terasa berat sekali.
Musang Hitam bingung mengendalikan daya tarik yang timbul dari leher Lawa
Abang. Trisulanya berulang kali bergerak kuat ke arah leher Lawa Abang. Hampir
saja menancap di leher itu.
Jolegi datang dengan
terhuyung-huyung. Musang Hitam tambah kaget melihat wajah Jolegi terkelupas
kulitnya. Rupanya pukulan tenaga dalam gadis itu tadi telah menyebarkan hawa
panas tinggi yang mengelupas kulit wajah Jolegi. Orang itu menggeram penuh
dendam dan kesakitan. Goloknya yang masih tergenggam di tangan itu tiba-tiba bergerak
sendiri ke arah leher Lawa Abang.
Wuuut...! Traaang...! Beradu
dengan golok yang
menempel di leher Lawa Abang.
Jolegi berusaha mencabutnya. Tapi begitu berhasil, golok itu kembali tersedot
ke leher Lawa Abang. Bahkan dua pisau yang masih terselip di pinggangnya itu
lompat sendiri ke arah Lawa Abang. Traaang...! Jruub...! Satu pisau akhirnya
menancap walau tak terlalu dalam.
Gelang besi yang dikenakan
Jolegi pun tahu-tahu menempel di leher Lawa Abang. Tangan Jolegi terbawa pula
ke sana. Traak...!
"Edan! Tinggalkan saja
dia!" kata Jolegi sambil menyeringai antara kesakitan dan kebingungan
menarik gelang besinya dari leher Lawa Abang.
"Tidak perlu," bisik
Musang Hitam. "Kita bisa serang dari belakang saja!"
Dengan leher penuh senjata dan
logam besi, Lawa Abang dituntun pulang oleh Musang Hitam. Sementara itu, Jolegi
yang sudah berhasil melepaskan gelang dari tangannya dan membiarkan gelang itu
menempel di leher Lawa Abang, segera membantu Kadal Gunung untuk meninggalkan
tempat itu.
Ia sempat berkata kepada Suto
Sinting, "Sekarang kami kalah, tapi ingat... kami akan datang lagi untuk
menyelesaikan urusan ini, Suto!"
Gadis itu yang menyahut,
"Jangan lupa kalau datang lagi sekalian membawa peti mati untuk kalian
masing- masing."
"Persetan kau!" geram
Jolegi.
"Hei, sebutkan dulu siapa
orang yang mengupah kalian untuk menemuiku?!" sentak Suto Sinting sambil
melompat dan berdiri
menghadang langkah Jolegi.
Semula Jolegi tidak mau
bicara. Tetapi gadis cantik itu mengancamnya,
"Aku bisa mengirimmu ke
alam lain jika kau tak menjawab pertanyaannya!"
Jolegi melirik ke belakang, ia
merasa ngeri juga melihat gadis itu sudah ada dalam jarak tiga langkah di
belakangnya. Akhirnya Jolegi pun menjawab,
"Ratu Tanpa Tapak!"
"Hahh...?!" Suto
terkejut "Di mana dia sekarang? Katakan!"
Jruub...! Sebilah pisau
melayang cepat dan menancap
di perut Jolegi ketika ia akan
menjawab. Akibatnya Jolegi mengejang dan mendelik. Mulutnya ternganga. Pegangan
tangannya terlepas, Kadal Gunung jatuh tersungkur dengan menyedihkan. Jolegi
pun menyusul jatuh, lalu terkapar tak bernyawa lagi.
Slaaap...! Daaar...!
Sinar merah pun mengakhiri
riwayat Kadal Gunung. Semuanya datang dari Musang Hitam, ia tak mau rahasia itu
bocor, ia membungkam teman sendiri dengan cara sekeji itu. Lalu ia melesat
pergi sambil memanggul tubuh Lawa Abang. Sementara itu, Suto Sinting dan gadis
cantik itu masih tertegun bengong, karena tak menyangka Musang Hitam akan
membunuh teman sendiri demi terjaganya rahasia.
"Apakah aku harus mengejarnya?!"
tanya gadis itu kepada Suto.
"Tak perlu. Biarkan semua
ini menjadi pelajaran bagi
mereka, dan mereka tak akan
berani menggangguku lagi," jawab Pendekar Mabuk dengan pandangan mata
mulai tertuju kepada gadis itu.
"Siapa kau sebenarnya dan
mengapa memihakku?" "Aku pengagummu," jawab gadis itu.
Suto tersenyum dengan dahi
sedikit berkerut. "Hanya pengagum saja?"
Senyum gadis itu mengembang
saat menganggukkan kepala. Amboi... cantiknya! Senyum itu mampu merontokkan
jantung tiap lelaki yang punya penyakit jantungan. Begitu indah dan menawan,
menggemaskan dan membuat penasaran. Untung Suto Sinting mampu menahan gejolak
jiwa, sehingga ia tetap tenang dan pandangan beralih tempat. Namun hanya
sekejap, karena mata itu kembali mengagumi kecantikan yang sepertinya
diturunkan oleh dewa dari langit itu.
"Siapa namamu?"
"Rindu Malam,"
jawabnya.
"Hah...? Rindu Malam? Oh,
bagus sekali nama itu! Sumpah tujuh turunan, bagus sekali nama itu. Aku sangat
menyukainya!" puji Suto bagaikan tak mampu terbendung lagi. Wajah Suto
tampak ceria berseri-seri. Itu tandanya ia benar-benar menyukai nama Rindu
Malam, sebuah nama yang bukan saja indah, namun mempunyai arti hangat
tersendiri bagi Suto.
Gadis itu hanya
tersenyum-senyum sedikit berkesan malu.
"Kau dari perguruan mana?
Jurusmu aneh-aneh menurutku."
"Apa yang aneh?"
Rindu Malam ganti bertanya.
"Bola apa yang kau
lemparkan masuk ke mulut Lawa
Abang tadi?"
"Itu yang dinamakan biji
semberani. Punya kekuatan menarik logam apa pun. Semakin terkena cairan semakin
tinggi kekuatan daya tariknya."
"Lucu sekali senjatamu
itu," ujar Suto sambil tertawa kecil. Rupanya bola itu mempunyai kekuatan
magnit yang mampu menyedot logam bukan saja besi, namun juga emas dan yang
lainnya. Bola itu jelas akan membuat lawan kebingungan, salah-salah mati
dihunjam senjata yang terbang dengan sendirinya.
"Biji semberani?!"
gumam Suto sambil berkerut dahi, merasakan ada sesuatu yang aneh. "Apakah
kau murid Raja Maut yang tinggal di Bukit Semberani?!"
"Bukan!" jawab Rindu
Malam. "Tapi aku memang tinggal di dasar Bukit Semberani. Jauh di
kedalamannya sana."
Percakapan terhenti karena
gangguan sinar kuning yang melesat menghantam Suto Sinting dari belakang.
Claaap...! Tapi Rindu Malam segera berkelebat ke samping dan sentakkan
tangannya. Telapak tangan keluarkan sinar merah yang segera menghantam sinar
kuning itu. Claap...! Blaaarrr...!
Ledakan begitu kuat, gelombang
ledaknya membuat Suto dan Rindu Malam sama-sama terpental. Tapi keduanya bisa
kuasai keseimbangan, sehingga dalam sekejap mereka mampu berdiri tegak lagi.
Hanya saja, pengirim pukulan bersinar kuning itu tahu-tahu
terlempar dari atas pohon
karena gelombang ledakan tadi. Ia jatuh menerabas ranting dan dahan hingga
patah. Bruuuk ...!
O, ternyata seorang gadis
berpakaian hijau bergaris- garis kuning. Siapa gadis itu? Suto tidak
mengenalnya, Rindu Malam pun tidak mengenalnya.
*
* *
5
TIGA teguk tuak ditanggak.
Suto Sinting sengaja biarkan gadis berwajah mungil manis berkulit hitam bersih
itu memandanginya dengan tajam, Pendekar Mabuk memang tidak terpancing
kemarahannya, tapi Rindu Malam sebagai pengagum Pendekar Mabuk merasa tidak
suka dengan sikap sinis gadis itu. Rindu Malam mengambil tempat di depan Suto
Sinting, seakan siap menjadi pelindung jika gadis berambut panjang itu
menyerang sewaktu-waktu.
"Apa mau mu menyerang
kami, hah?!" gertak Rindu
Malam.
"Aku benci dengan seorang
pendekar yang mengkhianati sahabat sendiri!"
"Apa maksudmu?!"
"Pemuda sinting itu
membunuh sahabatnya sendiri yang tidak pernah menyakiti hati siapa pun. Ia
mencuri keris pusaka sahabatnya dengan licik!"
Sekalipun Rindu Malam merasa
kurang enak mendengar ucapan itu, tapi ia tak berani cepat-cepat
lanjutkan kata. Ia diam
sebentar, dan Suto Sinting segera perdengarkan suara,
"Siapa kau sebenarnya.
Nona Manis?"
"Aku Srimurti, murid Raja
Maut!" jawabnya dengan ketus sekali.
"Ooo...," Suto
Sinting manggut-manggut. "Baru sekarang kita jumpa. Tapi aku sudah pernah
dengar nama mu sebelumnya."
"Aku pun dengar namamu
sudah lama, tapi tak sangka kalau ternyata kau pendekar yang licik, keji, dan
rakus!"
"Hati-hati
bicaramu!" sentak Rindu Malam, ia tampak mulai semakin berang.
"Aku tak kenal siapa
kau," kata Srimurti kepada Rindu Malam. "Kuharap kau menyingkir dari
depanku, karena aku punya urusan sendiri dengan pendekar licik itu!"
"Aku tak punya urusan
denganmu, Srimurti," kata
Suto Sinting.
"Kau punya urusan
denganku, Suto!" sergah Srimurti. "Ki Empu Sakya sudah kuanggap
orangtuaku sendiri, karena beliau sangat dekat dan akrab denganku dan dengan
guruku. Kematian Ki Empu Sakya membuatku punya perhitungan sendiri denganmu,
karena aku tak ingin pusaka Keris Setan Kobra itu jatuh ke tangan orang sesat
sepertimu! Sebaiknya serahkan saja padaku secara baik-baik biar dirawat dan
disimpan oleh guruku; Raja Maut!"
"Kau keliru!" jawab
Suto tenang sambil maju
melewati Rindu Malam. Jaraknya
tinggal tiga langkah dari Srimurti. Suaranya tenang dan jelas.
"Kau terhasut oleh fitnah
seseorang, atau hanyut
dalam arus salah paham. Aku
tidak lakukan apa pun terhadap Ki Empu Sakya!'
"Omong kosong!"
sahut Srimurti. "Kurasa kau perlu dipaksa supaya tahu bagaimana menjadi
orang jujur dan benar! Hiaaah...!"
Wuuut...!
Srimurti sentakkan kakinya dan
dari telapak kaki melesat sinar hijau kecil ke arah wajah Suto Sinting. Tapi
tubuh Suto Sinting cepat melengkung ke belakang dan sinar hijau itu lewat di
depan wajahnya. Hampir saja mengenai dada Rindu Malam yang ada di belakangnya.
Untung dengan cepat Rindu Malam sentakkan tangan kirinya dan sinar merah kecil
pun beradu dengan sinar hijaunya Srimurti. Blaaar...!
Ledakan itu tak berbahaya.
Srimurti segera mengerahkan tenaga dalamnya melalui gerakan tangan yang
direntangkan ke depan-belakang bagaikan bangau hendak terbang. Tapi gerakan
Rindu Malam lebih cepat, melayang bagaikan singa menerkam melewati batas kepala
Suto Sinting. Wuuus...! Arahnya ke tubuh Srimurti, tapi dengan cepat Srimurti
justru putar tubuhnya dan layangkan tendangan dengan satu kaki. Weees...!
Plak..! Tangan Rindu Malam sempat berkelebat menangkis, tapi tangan yang kiri
sempat menghantam dada Srimurti yang baru saja kembali pada keadaan semula.
Duuhhk..! Srimurti terkejut, tak
menyangka datangnya serangan
kuat itu. Matanya mendelik sebentar dan dadanya segera kepulkan asap lewat
pori-pori kulit tubuhnya, pakaiannya hangus membekas gambar telapak tangan
hitam.
Srimurti terhempas ke
belakang. Punggungnya membentur pohon dalam keadaan tetap berdiri. Duuhg...! Ia
menyeringai sebentar. Merunduk menahan sakit. Tetapi Rindu Malam menerjang
terus sambil berseru,
"Kulumpuhkan kau sekarang
juga jika ingin mengganggunya! Heaaah...!"
Wuuut...!
Srimurti sentakkan kaki,
bergerak cepat dan larikan diri menerabas semak. Rindu Malam berseru,
"Hai, jangan lari!" sambil ia nekat mengejarnya penuh hasrat
bermusuhan. Suto Sinting hanya geleng-geleng kepala dan tetap diam di
tempatnya. Hatinya merasa heran, namun juga prihatin terhadap anggapan
Srimurti, sebagai murid sahabatnya sendiri itu.
"Mengapa murid Raja Maut
sampai seyakin itu menganggapku sebagai pembunuh Ki Empu Sakya? Apakah Raja
Maut pun beranggapan begitu?! Hmm..., sebaiknya aku harus segera temui Raja
Maut untuk membicarakan kesalahpahaman ini!"
Pendekar Mabuk pun heran
dengan sikap Rindu Malam yang tampak sangat melindungi dirinya. Benarkah sikap
itu hanya sebatas sikap seorang pengagum, atau punya maksud-maksud lain yang
tak berani dikatakan secara terus terang? Suto Sinting
sempat memikirkan kemunculan
Rindu Malam yang tak pernah diduga-duga itu. Namun pikiran tersebut segera
buyar karena sebelum mencapai pondok Raja Maut di puncak Bukit Semberani,
ternyata tokoh tua itu sudah berada di bawah sebuah pohon, seakan sengaja
berdiri di situ menunggu kedatangan Suto.
Dilihat dari sikap dan
wajahnya. Raja Maut sepertinya tidak terpengaruh oleh adanya berita tentang
siapa pembunuh Ki Empu Sakya. Ia kalem dan berkesan bersahabat. Senyumnya tipis
sekali, sepertinya sinis, tapi sebenarnya tidak. Memang begitulah senyum kalem
si Raja Maut itu.
"Muridmu baru saja
menyerangku, Raja Maut!" ujar Suto setelah menenggak tuaknya sebentar.
"Dia menyangka akulah pembunuh Ki Empu Sakya dan merebut pusaka Keris
Setan Kobra."
Senyum Raja Maut kian melebar.
"Kita duduk di depan gubukku sana saja!" ajak Raja Maut. Suto Sinting
tak menolak. Mereka bergegas menuju pelataran pondok beratap sirap. Di sana ada
pohon rindang tapi rendah, seperti payung peneduh di waktu siang, di bawahnya
ada tiga batu berpermukaan datar. Di atas batu itu mereka duduk dan bicara.
"Aku ikut prihatin dengan
kabar yang mencemarkan nama baikmu, Suto." Raja Maut bicara dengan mata
memandang sekeliling, seperti memasang kewaspadaan tinggi, seakan begitulah
sikapnya jika berada di tempat yang ingin digunakan untuk bicara hal-hal
bersifat rahasia.
"Aku sendiri tak menduga
kalau kau akan dikecam olah para tokoh dunia persilatan dengan tuduhan membunuh
sahabatku, yang juga sahabat gurumu itu."
"Tapi aku tidak
melakukannya, Raja Maut. Kau tahu sendiri, belakangan ini aku sedang bepergian
dan bahkan pulangnya sempat bertemu denganmu di Pulau Blacan!"
"Kutinggalkan pulau ini
selama sembilan hari," kata Raja Maut. "Aku menemui seorang sahabat
di Pulau Lengkur selama empat hari, sisanya kugunakan untuk menuju ke Pulau
Blacan dengan singgah di selat Merah. Ketika aku kembali kemari dengan membawa
Kitab Sukma Sukmi, tahu-tahu kudengar kabar kematian Ki Empu Sakya. Aku sangat
terkejut. Lebih terkejut lagi mendengar kabar, pelakunya adalah Suto Sinting.
Hampir hampir aku tak percaya dengan pendengaranku sendiri."
"Dalam hatimu, apakah kau
percaya bahwa aku pelakunya?"
"Hati kecilku mengatakan,
bukan kau! Aku tahu sifat gurumu, dan aku tahu sifat itu menurun pula pada
dirimu. Tak ada sifat sejahat itu pada gurumu dan dirimu. Tapi mengapa berita
semakin hari semakin santer mengatakan kaulah pembunuhnya? Repotnya lagi,
banyak tokoh yang beranggapan pusaka Keris Setan Kobra ada di tanganmu!"
Raja Maut bicara dengan wajah menampakkan keprihatinan cukup dalam, sehingga
Suto Sinting merasa tidak semata-mata dituduh, melainkan juga diperhatikan
kesulitannya.
"Aku terpojok, Raja
Maut...," lalu Suto pun
menceritakan perihal kematian
Mbok Wiji, sikap Srimurti, Mega Dewi, dan yang lainnya. "Bisakah kau
membantuku dalam persoalan ini?"
"Aku tak menjanjikan
hasilnya, tapi setidaknya aku punya saran untukmu."
"Apa saranmu?"
"Menghilang untuk
sementara waktu. Jangan muncul dulu di rimba persilatan sampai persoalan ini
menjadi gamblang, siapa pelaku sebenarnya dan siapa pemegang keris pusaka
itu."
"Menghilang...?!"
gumam Suto Sinting sambil termenung.
"Kemunculanmu hanya akan
menimbulkan pertumpahan darah dari pihak yang tidak bersalah. Aku percaya, ada
pihak lain yang sengaja ingin mencelakakan dirimu, dan mencemarkan namamu serta
nama gurumu. Terbukti setiap mulut yang bicara kudengar selalu menyebut-nyebut
nama Gila Tuak."
Suto tarik napas
panjang-panjang. Pandangan matanya terlempar jauh. Raja Maut memperhatikan sesaat,
lalu ikut memandang jauh sambil berkata pelan.
"Pusat perhatian mereka
bukan kepada Empu Sakya, tapi yang terpenting adalah keris pusaka itu."
"Sebenarnya aku sendiri
tidak banyak tahu tentang kehebatan keris itu."
"Keris pusaka Setan Kobra
adalah keris pelenyap raga dan jiwa. Keris itu juga mampu membunuh lawan dengan
cara membayangkan wajah lawan dan menusukkan keris itu ke batang pohon. Lawan
di tempat
sejauh mana pun tidak akan
bisa menghindari maut tersebut, ia akan mati bersama terhunjamnya keris ke
batang pohon. Keris itu juga bisa digunakan membunuh lawan melalui bekas tapak
kaki lawan tersebut. Tergores sedikit saja, lawan mati seketika. Tapi jika
keris iu dihunjamkan langsung ke tubuh lawan, maka tubuh itu akan lenyap tak
berbekas dan tak akan muncul lagi di permukaan bumi."
"Hebat sekali!"
gumam Suto Sinting. "Mengapa Ki Empu Sakya saat berhadapan dengan
Wiratmoko, si Iblis Naga Pamungkas itu, tak mau gunakan kerisnya itu?!"
"Empu Sakya tidak mau
lakukan pertempuran lagi. Sudah dua puluh tahun ia tak mau terlibat dalam
kancah persilatan. Membunuh dan melukai siapa pun tak mau dia lakukan, ia punya
keinginan untuk menjadi seorang petapa yang mampu mencapai kesempurnaan jiwa,
sehingga kelak matinya akan moksa, hilang tak berbekas dan langsung ke alam
kelanggengan yang penuh keindahan, tapi harapan itu ternyata gagal karena ia
masih simpan keris pusaka itu."
Suto Sinting manggut-manggut.
Hatinya mengakui kewajaran setiap hasrat manusia sesat yang ingin memiliki
keris tersebut, seperti Ratu Tanpa Tapak. Rupanya ratu yang bernama asli Nila
Cendani itu ingin memiliki keris tersebut untuk kalahkan Suto dengan cara
membunuh Suto dari jarak jauh. Pantas jika Nila Cendani mengupah beberapa orang
untuk rebut keris itu yang menurut sangkaannya ada di tangan Suto Sinting.
Setelah diam sesaat lamanya,
Suto Sinting segera
ajukan tanya, "Menurutmu
siapa sebenarnya orang yang membunuh Ki Empu Sakya?"
"Teropong batinku lemah
sejak aku terkena pukulan
Nyai Demang Ronggeng tempo
hari. Akibatnya aku tak bisa mengetahui siapa pelakunya. Tetapi menurutku, kau
memang harus bersembunyi untuk beberapa waktu. Sebab jika kau masih berkeliaran
di rimba persilatan, banyak tokoh yang mengincar kematianmu untuk rebut keris
itu. Mereka anggap ilmumu tidak setinggi ilmu Ki Empu Sakya dalam kekuatan
teropong batinnya. Mungkin para tokoh dari berbagai penjuru yang punya ilmu
tinggi-tinggi itu juga akan ikut dalam perebutan keris tersebut. Apalagi
cucunya Empu Sakya yang bernama Kalatandu...."
"Aku baru mendengar nama
itu," potong Suto dengan terpaksa karena merasa heran dan asing sekali
dengan nama Kalatandu. Maka Raja Maut pun jelaskan maksud kata-katanya.
"Kalatandu adalah cucu
Empu Sakya. Termasuk muridnya juga. Tapi karena Kalatandu sebenarnya anak dari
mendiang Nini Tandu, kakak perempuan Empu Sakya yang baru separo bagian
turunkan kesaktiannya kepada Kalatandu, maka Kalatandu sendiri bertekad
mengembara mencari pembunuh ibunya setelah mendapatkan hampir seluruh ilmu dari
Empu Sakya. Entah sekarang Kalatandu sudah berhasil menemukan pembunuh ibunya
atau belum, entah ada di mana, yang jelas kalau dia, si Kalatandu itu mendengar
kematian Empu Sakya di tanganmu dan mendengar bahwa keris
pusaka itu juga ada di
tanganmu, dia akan mengamuk dan mencarimu. Menurutku, maaf..., kau kalah tinggi
ilmunya dengan Kalatandu."
Mata pendekar tampan berambut
sedikit panjang itu tidak berkedip memandangi wajah Raja Maut yang bicara
dengan sungguh-sungguh. Bahkan di wajah Raja Maut sepertinya tersimpan kecemasan
di balik sikap tenang dan wibawanya. Suto Sinting sendiri sempat kaget
mendengar Kalatandu diperhitungkan sebagai orang yang berilmu tinggi darinya.
Namun hati kecil Suto sangsi dan bertanya-tanya, "Apa benar Kalatandu
lebih tinggi ilmunya dariku?" Akibatnya, hati Suto penasaran, ingin bisa
bertemu dengan Kalatandu. Setidaknya untuk jelaskan perkara sebenarnya supaya
tidak terjadi permusuhan.
Renungan mereka menghadirkan
kebungkaman yang sunyi. Kesunyian itu terpecahkan oleh langkah orang berlari dengan
tergopoh-gopoh dari arah samping pondok, seakan muncul dari kemiringan lereng.
Raja Maut dan Suto Sinting
sama-sama terkejut melihat orang yang datang berlari ke arah mereka. Orang itu
tak lain adalah Srimurti, yang berlumur darah dan banyak luka di tubuhnya.
Tentu saja Raja Maut menjadi tegang melihat muridnya dalam keadaan terluka parah.
Sang murid jatuh tersungkur tepat di depan kaki gurunya.
"Muridku...? Siapa yang
melakukan semua ini padamu?!" Raja Maut mulai tampakkan kemarahannya.
Wajahnya mulai memerah menahan amarah.
Srimurti masih bisa bicara
dalam sanggahan tangan sang Guru, "Perem... perempuan itu... benar-benar
ingin membunuhku. Guru."
"Perempuan yang mana?!
Siapa namanya?!"
"Ta... tanyakan...
tanyakan kepada... dia...!" Srimurti menuding Suto, tentu saja wajah Suto
terperanjat tegang dan Raja Maut cepat memandangnya.
"Mak... maksudmu... gadis
berpakaian putih tadi?" "Bbbe... benar...! Dia membelamu dan... dan
ingin
membunuhku."
"Apa maksud semua ini,
Suto Sinting?!" Raja Maut tampak menuntut pada Suto walau ia masih
berusaha menahan murka, ia merasa sakit hati dan tak rela jika murid tunggalnya
dilukai separah itu. Suto menjadi serba salah, ingin menyalahkan Srimurti
karena tuduhannya yang membuat Rindu Malam mengamuk, tapi takut salah sangka
dan menimbulkan Raja Maut kian marah. Maka sebagai penengah ketegangan dan pereda
kemarahan, Suto Sinting berkata,
"Kuobati dulu muridmu
itu, biar tidak terlambat. Setelah itu kita bicarakan tentang Rindu
Malam."
"Siapa itu Rindu
Malam?"
"Yang melukai muridmu;
Srimurti! Nanti kujelaskan. Bawalah masuk Srimurti dan berikan minuman tuak
dari bumbung ini...," Suto berusaha tetap tenang.
Dalam hatinya sendiri Pendekar
Mabuk merasa heran dan tidak menyangka kalau Rindu Malam menghajar Srimurti
separah itu. Kepala Srimurti hampir pecah, entah terkena pukulan jurus seperti
apa. Tubuh hitam
Srimurti pun memar merah
kebiru-biruan dari telapak kaki sampai ubun-ubun. Ujung-ujung rambut Srimurti
keriting bagai bekas terbakar.
Srimurti hampir saja tak
tertolong kalau ia tak segera pulang dan tidak bertemu Suto. Sebab luka yang
diderita Srimurti bercampur dengan pukulan beracun ganas yang sulit dicari
penangkalnya. Jika tidak meneguk tuak dari bumbung keramat milik Suto Sinting
itu, nyawa Srimurti sudah sampai ke tepi neraka. Karena keadaan gawatnya
terselamatkan oleh tuaknya Suto, maka Srimurti sendiri mengurangi sikap
permusuhannya dengan Suto Sinting.
Keadaan yang cepat membaik
membuat Srimurti jelaskan perasaan hatinya yang benci kepada pembunuh Ki Empu
Sakya. Seperti para tokoh lainnya, Srimurti juga yakin bahwa pembunuhnya adalah
Suto, karena kemana-mana membawa bumbung tempat tuak.
Raja Maut berkata, "Itu
tidak bisa dipakai alasan. Bambu seperti bumbung tuak itu mudah didapat, dan
bisa ditenteng oleh setiap orang. Mungkin saja seorang penjual legen, seperti
yang diceritakan Suto tadi, adalah orang yang membunuh Empu Sakya."
"Kabar menyebutkan orang
pembawa bembu tuak itu pemuda yang ganteng. Dan Suto sendiri juga pemuda
yang...," Srimurti tidak berani teruskan ucapannya, karena ia
menyembunyikan perasaan kagumnya terhadap ketampanan Suto. Ia tak mau Suto
mengetahui hatinya memuji ketampanan pendekar itu. Sebab itu, Srimurti segera
lanjutkan dengan kata-kata lain.
"Tak tahulah, Guru. Yang
jelas para tokoh sudah
memastikan Suto-lah perampas
keris milik Ki Empu
Sakya itu."
"Kau jangan mudah
terpengaruh oleh berita yang belum terbukti nyata, Muridku," kata Raja
Maut. "Kau masih terlalu dini untuk mengenal Suto Sinting. Aku cukup dalam
mengenalnya, karena aku sahabat gurunya. Tak mungkin Suto lakukan hal seperti
itu, karena dialah yang menolong Ki Empu Sakya ketika hampir saja berhadapan
dengan Iblis Naga Pamungkas."
"Tapi..., gadisnya itu
sangat ganas menyerangku, Guru. Aku jadi curiga, jangan-jangan ia bekerja sama
dengan kekasihnya."
Raja Maut memandang Suto
seakan menuntut penjelasan dan pengakuan. Suto segera gelengkan kepala sambil
berkata,
"Dia bukan kekasihku. Dia
mengaku pengagumku bernama Rindu Malam."
"Aku tidak mengenal nama
itu," kata Raja Maut. Agaknya Raja Maut memang tidak mengenal nama
Rindu Malam. Suto sempat
merasa heran, mengapa gadis secantik Rindu Malam yang punya jurus aneh dan ilmu
tinggi tidak dikenal oleh tokoh tua seperti Raja Maut. Jangan-jangan nama itu
adalah nama samaran di depan Suto saja. Mungkin jika Rindu Malam berhadapan
dengan Raja Maut, maka sang tokoh tua itu akan mengenalinya dengan nama lain.
Bagi Suto, yang penting Raja
Maut percaya bahwa Rindu Malam bukan kekasihnya, dan sekadar sebagai
pengagumnya. Pembelaan Rindu Malam dinilai wajar
karena tak rela jika orang
yang dikagumi cedera atau luka oleh siapa pun. Suto Sinting pun segera
melupakan Rindu Malam dengan kemisteriusannya, karena ia segera punya gagasan
untuk temui Pelangi Sutera di gua pantai Semberani. Suto harus bertemu wanita
bekas istri jin itu, karena agaknya tempo hari ketika Logo sang anak jin itu
mengatakan bahwa Suto dipanggil ibunya, permasalahan matinya Empu Sakya itulah
yang akan dibicarakan oleh Pelangi Sutera.
Sama-sama dalam wilayah Bukit
Semberani, tapi jarak antara pondok Raja Maut dengan gua yang sekarang dipakai
tempat tinggal Pelangi Sutera itu cukup jauh. Puncak dengan dasar. Namun Suto
dapat menempuhnya dalam waktu cepat karena mampu bergerak melebihi anak panah.
Sayangnya ia harus berhenti ketika mau injakkan kakinya di dataran pasir
pantai.
Suto cepat rapatkan badannya
pada sebuah pohon. Matanya mengintai dari sana. Bocah berusia sepuluh tahun
sedang berlari-lari dengan wajah tegang.
"Angon Luwak...?!"
gumam Suto dengan heran. "Mengapa ia berlari ketakutan begitu? Oh,
ternyata ia dikejar dua ekor kuda?!"
Angon Luwak memang dikejar dua
ekor kuda. Penunggangnya dua lelaki yang sama sekali tak imbang jika harus
bertarung melawan bocah sekecil Angon Luwak. Satu dari penunggang kuda itu
telah dikenal oleh Suto Sinting. Lelaki muda berpakaian mewah itu tak lain
adalah Raden Udaya, putra adipati yang pernah
menghadang perjalanan Suto
Sinting karena menganggap Mega Dewi kekasihnya direbut oleh Suto Sinting, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Naga Pamungkas"). Tetapi
lelaki yang satunya, yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu, sama
sekali masih asing bagi Suto Sinting.
Sekalipun begitu, Suto Sinting
segera lompat ke arah pantai dan mendarat di depan Angon Luwak. Bocah itu
terperangah girang.
"Kang Suto...?!"
napasnya terengah-engah dan segera berlindung di belakang Pendekar Mabuk.
Kemunculan Suto membuat dua kuda pengejarnya segera berhenti dalam jarak lima
langkah di depan Suto.
Mereka beradu pandang. Raden
Udaya merasa muak melihat tampang Suto. Sikapnya sinis dan jelas sekali bermusuhan.
Sedangkan lelaki yang berpakaian hitam celana merah berwajah dingin dan
berambut lurus itu hanya diam di tempat, mata nya menatap bagaikan ingin
membekukan darah Pendekar Mabuk.
"Selamat bertemu lagi,
Raden Udaya," sapa Suto sengaja tersenyum mengejek.
"Persetan dengan dirimu,
Suto!" geram Raden Udaya dengan suara pelan.
"Tak kusangka ternyata
kau tega bermusuhan dengan anak sekecil Angon Luwak."
"Dia membuat kudaku
ketakutan. Anak itu harus dihajar, biar lain kali tidak membuat kudaku ketakutan."
Suto Sinting sunggingkan
senyum. Sinis dan masih mengejek sifatnya.
"Tak kuizinkan kau
menghajar bocah yang bukan tandinganmu, Raden Udaya!"
"Keparat!" geram si
baju hitam berwajah dingin itu.
Ia segera bergegas untuk
lakukan satu lompatan penyerangan dari atas punggung kuda. Tapi tiba-tiba Raden
Udaya rentangkan satu tangannya, menahan gerakan orang itu dengan isyarat,
sedangkan mata tetap memandang ke arah Suto penuh benci.
"Jangan kotori tanganmu
untuk menghadapi tikus lumbung itu, Malaikat Beku," kata Raden Udaya
kepada si baju hitam celana merah yang berjuluk Malaikat Beku itu. Lanjutnya
lagi, "Ada urusan lain yang perlu kita selesaikan. Yang ini nanti-nanti
saja, karena terlalu mudah untuk diselesaikan bagi kita!"
Setelah berkata begitu, Raden
Udaya dan Malaikat Beku segera pergi tinggalkan Suto dan Angon Luwak. Agaknya
Raden Udaya sungkan berhadapan dengan Suto Sinting karena ingat kecemburuannya
dulu. Suto merasa kebetulan karena ia tidak buang-buang waktu terlalu banyak.
"Mereka benar-benar ingin
membunuhku, Kang!" "Makanya lain kali kau jangan dekati mereka. Orang
kaya seperti Raden Udaya itu
akan lebih menghargai nyawa kuda daripada nyawa bocah desa sepertimu!"
"Tapi..." ucapan
Angon Luwak terhenti karena ia
sempat kaget melihat
kemunculan Logo, si anak jin. Manusia hitam bercawat dan bertubuh tinggi besar
itu melangkah dari arah gua yang dituju Suto Sinting. Wajah sangarnya
tersenyum, maksudnya ingin bersikap
ramah, tapi justru senyum itu
menakutkan bagi Angon Luwak, sehingga Angon Luwak semakin bersembunyi di
belakang Suto Sinting.
"Angon Luwak, dia tidak
jahat seperti dugaanmu. Bermainlah dengan Logo, aku akan temui ibunya. Tak usah
takut."
"Aku bukan takut. Kang.
Aku cuma merasa jijik melihat kulitnya yang hitam mengkilap dan bau keringatnya
seperti timbunan sampah," kata Angon Luwak.
Suto tertawa pendek.
"Tahan bau tak sedap itu, lama- lama kau akan terbiasa. Nanti akan
kukatakan kepada ibunya agar Logo perlu dimandikan dengan air kembang seribu
rupa seribu aroma."
Kemudian Suto bicara kepada
Logo, "Ibumu ada, Logo?"
"Ibu pergi," jawab
Logo yang bersuara besar. Suto mendesah kecewa. "Pergi ke mana?"
"Ke Jurang Lindu temui
gurumu; Gila Tuak." "Hah...?! Untuk apa dia temui guruku?!"
Logo geleng-geleng kepala.
"Aku tidak tahu, Suto.
Tapi sepertinya untuk urusan
yang amat penting. Karena
Ibu pergi dengan
terburu-buru."
Hati Suto Sinting jadi tak
enak. "Kalau begitu aku harus bergegas menyusul ke Jurang Lindu. Jangan-
jangan dia bicara tentang cintanya dan ingin bertanding kesaktian dengan Dyah
Sariningrum; calon istriku itu?! Gawat!" pikir Suto mulai tampak tegang.
6
BOCAH yang sudah tidak mau
menjadi penggembala kambing lagi itu, sekarang seakan menjadi pengamat dunia
persilatan.
Sebab ia selalu mengikuti para
tokoh sakti beraliran putih, terutama Suto Sinting. Tempo hari ia ingin ikut Ki
Gendeng Sekarat ke Pulau Serindu, tetapi Ki Gendeng Sekarat keberatan. Ki
Gendeng Sekarat hanya berjanji suatu saat akan datang lagi menemui Angon Luwak
dan memberikan Ilmu mainannya.
Maka bocah itu pun
menggelandang menyusuri jejak kepergian Suto Sinting. Terutama setelah ia
sekian hari lamanya kebingungan mencari Suto tidak ada, kini ia sudah temukan
pendekar kebanggaannya itu, maka diikutinya terus ke mana pun perginya Pendekar
Mabuk tersebut. Walaupun pada awal keberangkatan Suto ke Jurang Lindu sudah
berpesan agar Angon Luwak bermain dengan Logo dan tetap tinggal bersama Logo
untuk suatu saat akan dihubungi lagi, tapi bocah itu nekat mengikuti arah
kepergian Suto secara diam-diam.
Sebenarnya Pendekar Mabuk
mengetahui gerak-gerik bocah yang mengikutinya itu, tapi Suto sengaja berpura-
pura tidak mengetahui dan membiarkannya. Karena ia mengakui bahwa di dalam jiwa
Angon Luwak telah bangkit semangat kependekaran yang sebenarnya perlu dibina
sejak sekarang. Sayangnya Suto tidak punya
waktu, sehingga ia hanya bisa
membiarkan jiwa kependekaran itu berkembang dalam diri Angon Luwak dengan cara
mengikuti segala gerak dan langkahnya.
Tentu saja Angon Luwak ikut
berhenti ketika langkah Suto Sinting pun tak dilanjutkan. Langkah Suto terhenti
karena dari empat pohon muncul empat sosok yang saling berloncatan dengan
gerak-gerak liar dan beringasnya. Angon Luwak cepat sembunyikan diri dan
mengintai kejadian yang akan terjadi antara Pendekar Mabuk dengan keempat sosok
berwajah angker itu.
Rupanya dari keempat sosok
berwajah angker itu masih punya satu orang lagi yang bersembunyi dari balik
pohon, kira-kira dua puluh langkah di depan Suto Sinting. Orang tersebut kini
muncul dengan kalem, membawa tongkat berkepala bola besi berduri. Orang itu
berusia sekitar lima puluh tahun, berambut panjang warna abu abu dengan
jubahnya yang berwarna biru tua.
Suto picingkan mata untuk
melihat jelas raut wajah orang berjenggot abu-abu itu. Agaknya ia tokoh yang
dihormati oleh keempat orang yang tadi melompat dari pohon mirip bajing loncat
itu. Wajahnya kurus, tapi jika ia melangkah tanah di sekitarnya terasa bergetar
halus. Rumput-rumput yang tidak terpijak bergetaran, rumput yang terpijak
menjadi layu seketika. Warna hijaunya berubah menjadi kekuning-kuningan,
sedikit coklat. Jika bukan berilmu tinggi tak mungkin bekas tapak kakinya
membuat rumput menjadi kuning layu.
Bocah kecil itu terbengong
heran dan kagum melihat bekas tapak kaki orang berjubah biru itu. Tapi Suto
Sinting tetap tenang dan tidak
merasa heran dengan hal itu. Ia bahkan sedikit tersenyum berkesan menganggap
wajar hal hal seperti itu.
Ke empat orang yang
masing-masing bersenjata golok lebar itu mengurung Suto lebih rapat lagi, tapi
mereka memberi tempat bagi hadirnya si jubah biru.
Dan kehadiran si jubah biru
hanya dipandangi Suto dengan kalem, tak ada rasa gentar atau takut sedikit pun.
Bahkan ia sempat menenggak tuak dan meneguknya beberapa kali. Pada waktu ia
menenggak tuak, seseorang ingin menyerangnya, memanfaatkan kesempatan itu
sebagai peluang emas untuk merobohkan Pendekar Mabuk. Tetapi si jubah biru
memberi isyarat dengan tangan, melarang anak buahnya menyerang Suto dalam
keadaan sedang menenggak tuak.
"Gayamu mirip seperti apa
yang diceritakan oleh mereka di kedai-kedai, Suto Sinting!" kata si jubah
biru dengan suara serak.
"Maaf, boleh kutahu siapa
kalian? Mengapa mengurungku begini?"
Tanpa senyum sedikit pun, si
jubah biru menjawab,
"Buka matamu dan ingat
baik-baik. Orang yang sedang bicara denganmu inilah yang berjuluk si Jejak
Iblis, ketua Perguruan Pasir Tawu."
"Senang sekali aku
mengenal nama julukan dan nama perguruan yang baru sekarang kudengar."
Jejak Iblis sipitkan mata
dalam memandang. "Kupikir yang bernama Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak
itu adalah orang pandai dan punya wawasan luas. Ternyata
pendapatku keliru. Pendekar
Mabuk adalah orang yang pandangannya sempit dan pengetahuannya cekak. Sampai
sampai Perguruan Pasir Tawu dan nama Jejak Iblis saja baru didengarnya
sekarang. Kasihan sekali kau, Nak!"
Ejekan yang disertai
geleng-geleng kepala itu sebenarnya membuat Suto Sinting tersinggung. Tetapi
Suto mampu atasi dirinya agar tidak terpancing oleh kemarahannya sendiri. Sebab
jika ia terpancing oleh kemarahannya, maka ia tidak akan dapat memusatkan
kekuatannya pada seluruh indera yang ada. Sedangkan dalam keadaan terkepung
begitu, seluruh indera harus bekerja dengan baik, sampai pada indera keenam pun
harus digerakkan dengan baik-baik. Jika tidak, maka bahaya yang datang
sewaktu-waktu bisa jadi merenggut nyawanya dalam waktu satu gebrakan saja.
"Apa maksudmu menemuiku
dengan cara seperti ini. Jejak Iblis?"
"Tentu saja aku tak ingin
kau lolos dari tanganku," jawabnya kalem.
Suto kerutkan dahi, terkesiap
sesaat, lalu bertanya,
"Mengapa kau tak ingin
aku lolos dari tanganmu? Apakah aku punya salah pada perguruanmu?"
"Tidak," jawab Jejak
Iblis pelan tapi berkesan tegas. "Hanya saja, kami telah disewa seseorang
untuk menangkapmu atau membunuhmu dan merebut keris pusaka milik mendiang Empu
Sakya."
Mendengar penjelasan itu
Pendekar Mabuk segera tahu apa maksud pembicaraan tersebut dan siapa orang
yang dimaksud.
"Nila Cendani yang
menyewamu, bukan?"
"Syukur jika kau telah
mengetahuinya. Tapi ada yang perlu kau ketahui lagi, bahwa Nila Cendani itu
masih punya darah keturunan denganku, walaupun dalam urutan silsilah jauh. Ia
sering membantu perguruanku, dan sekarang malahan menyewa perguruanku untuk
tugas ini. Tentunya jika tidak disertai imbalan cukup besar aku tidak akan
bersedia turun tangan sendiri, Suto Sinting."
"Berapa besar imbalanmu,
sehingga kau mau memihak ratu yang sesat itu?"
"Separo harta karun yang
dipendamnya di Teluk
Sumbing akan menjadi
milikku."
"Harta karun?!"
gumam Suto heran. "Apakah Nila
Cendani punya harta
karun?!"
"Tak perlu banyak
tanya," kata Jejak Iblis. "Serahkan saja keris itu sebelum aku
bertindak kasar yang akan membuatmu menyesal, Suto Sinting."
"Aku tidak mempunyai
keris apa-apa. Yang kupunya hanya bumbung tempat tuak ini," sambil Suto
mengangkat bumbung tuaknya, sebagai siasat menjaga diri sewaktu-waktu.
Firasat Suto itu ternyata benar.
Begitu dia menyatakan tidak mempunyai Keris Setan Kobra, tongkat si Jejak Iblis
diacungkan ke depan sebagai isyarat. Maka dua anak buahnya yang ada di kanan
kiri Suto segera lakukan lompatan kilat sambil menebaskan golok lebar mereka.
Wuuut, wuuut...! Trak,
trak...!
Suto Sinting bergerak memutar.
Gerakan memutar itu
ternyata merupakan jurus
penangkis bagi serangan lawan dari kanan kiri. Gerakan dengan tubuh limbung
bagaikan orang mabuk itu mampu membuat kedua golok lebar tertahan oleh bambu
bumbung tuaknya secara hampir bersamaan.
Hantaman golok ke bumbung tuak
mempunyai kekuatan balik yang cukup besar, membuat kedua tangan si penyerang
tersentak ke belakang dan mereka terbawa sentakan itu hingga terjungkal ke
belakang tak tentu arah.
Hub...! Suto Sinting kembali
berdiri dengan satu kaki berjingkat, kaki yang satunya menempel di atas telakan
kaki yang berjingkat. Tubuhnya melengkung ke depan dan oleng sedikit bagaikan
orang dilanda hawa mabuk. Tapi sebenarnya Suto masih dalam keadaan sadar, tak
mengalami mabuk sedikit pun. Gerakan itu membuat mata Jejak Iblis menyipit,
bagai mencari kelemahan dan mempelajari kelengahan Pendekar Mabuk.
Dua orang yang terjungkal
cepat berdiri. Kini orang yang ada di belakang Suto bergegas menyerang dengan
lompatan yang bersamaan. Mereka lakukan semua itu tanpa suara pekik dan teriak
apa pun. Jurus mereka punya gerakan kembar. Arahnya sama-sama ke punggung Suto.
Tetapi jurus itu segera dipatahkan oleh kilatan cahaya putih yang melesat ke
dua arah. Kilatan cahaya putih itu adalah pantulan sinar matahari pada
sebuah benda yang melayang dan
tahu-tahu menancap ke punggung kedua penyerang itu.
Ziiing, ziing...! Jlub,
jlub...!
Brrrruuuk...!
Keduanya jatuh bersama. Mereka
terkapar mengejang di tanah berumput. Matanya terbeliak-beliak bagaikan
mempertahankan nyawanya agar jangan pergi dari raga. Tentu saja hal itu
mengejutkan dua anak buah Jejak Iblis yang tadi dijungkirbalikkan Suto.
Sedangkan Jejak Iblis sendiri hanya picingkan mata menahan murka yang siap dilepaskan
sewaktu-waktu. Rumput yang diinjaknya berasap tipis, pertanda terbakar oleh
kekuatan tinggi yang tersalur ke kaki berkata menahan murka.
Suto Sinting memandangi dua
orang yang masih berkelojotan itu. Ia tak melihat bentuk senjata rahasia yang
menancap di tubuh kedua korban itu. Matanya segera menyapu sekeliling, mencari
orang yang merobohkan anak buah Jejak Iblis. Tapi ia tidak melihat gerakan dan
tempat yang mencurigakan.
Jejak Iblis berseru kepada
kedua anak buahnya yang tadi dijungkirbalikkan Pendekar Mabuk, "Agaknya
suasana kurang tepat untuk kalian! Bawa kedua temanmu itu, Pulang! Biar
kuhadapi sendiri anak muda dan konco bancinya itu!"
Maka kedua anak buah Jejak
Iblis segera menyambar tubuh kedua orang yang membiru tubuhnya itu. Mereka memanggulnya
dan segera melesat berlari membawa pergi orang yang terluka itu. Kini tinggal
Jejak Iblis sendirian menghadapi Suto Sinting, ia maju beberapa
langkah tanpa gentar dan tatap
tenang. Suto Sinting pun juga tetap tenang dengan bumbung tuak ada di tangan
kanan.
"Rupanya kau punya
pengawal yang berjiwa pengecut, Suto!"
"Aku tidak punya pengawal
siapa-siapa. Kalau toh ada orang yang menyerang pihakmu, mungkin karena kau
punya urusan sendiri dengan orang itu!" kata Suto Sinting dengan tetap
berdiri tegak, gagah, dan tampak jantan.
"Kita bertarung secara
jantan! Jika kau kalah kau harus serahkan keris pusaka itu. Jika kau menang,
aku akan serahkan nyawaku! Setuju''
"Tidak!" sahut Suto
cepat. "Karena aku tidak mempunyai keris pusaka. Jadi aku tidak punya
sesuatu yang harus dipertaruhkan. Kusarankan, jangan mau kehilangan untuk hal
yang sia-sia, Jejak Iblis!"
"Aku harus memaksamu!
Bersiaplah untuk jurus awalku ini, Suto!"
Zliing...! Senjata rahasia
melesat lagi dengan cepat sebelum Jejak Iblis bergerak. Dengan cepat Jejak
Iblis sentakkan tangan pemegang tongkat dan bola berduri di ujung tongkat itu
berputar cepat menghadang senjata rahasia tersebut!
Logam kecil itu mental karena
putaran bola berduri. Logam kecil itu melesat ke arah Suto Sinting. Agaknya
memang diarahkan ke sana oleh gerakan jurus memutar tongkat oleh Jejak Iblis.
Tapi dengan tangkas Pendekar Mabuk menahan gerakan benda itu menggunakan
bumbung tuaknya. Jraaab...!
Benda itu menancap di bambu bumbung tuak. Ternyata benda itu berbentuk segi
tiga kecil.
"Rindu Malam...?!"
gumam hati Suto mengenali jenis senjata rahasia itu.
Dugaannya tepat sekali. Memang
Rindu Malam ada di sekitar tempat itu. Jejak Iblis memaksanya keluar dari
persembunyiannya yang sudah diketahui oleh Jejak Iblis lewat datangnya senjata
rahasia tersebut. Tangan kiri si Jejak Iblis menyentak ke arah kerimbunan di
balik pohon-pohon pendek. Sinar merah seperti meteor melesat dan menghantam
pohon-pohon pendek itu.
Duaaar...! Blegaaar...!
Gemanya menggaung kemana- mana.
Rindu Malam lebih dulu
melompat keluar dari persembunyiannya sebelum sinar merah itu meledakkan
pohon-pohon pendek. Gerakan saltonya di udara sangat cepat, menyerupai
baling-baling yang tertiup angin kencang. Tahu-tahu gadis berambut pendek
seperti potongan lelaki itu sudah berdiri di samping Suto Sinting dalam jarak
tiga langkah. Kakinya sedikit merenggang, badannya tegak, wajahnya tampak tegas
memandang Jejak Iblis. Matanya yang indah itu berkesan lembut dan kalem namun
punya kharisma tersendiri.
"Menyingkirlah, biar
kutangani orang ini," bisik Rindu Malam dengan suara pelan yang mampu
didengar oleh telinga Jejak Iblis. Maka tokoh tua itu segera berkata kepada
gadis cantik itu,
"Jangan paksakan dirimu
berkorban untuk pria seperti
dia, Nona. Suto Sinting hanya
bagus di wajah tapi buruk di hatinya. Terbukti dia sudah tega membunuh orang
yang selama ini dikenal baik oleh para tokoh persilatan!" "Kurasa
Suto hanya punya wajah bagus, tapi hati buruknya adalah milikmu, Pak Tua!"
jawab Rindu Malam sambil maju dua langkah. "Apa pedulimu jika aku berdiri
di pihaknya? Apakah kau akan takut
menghadapiku?!"
"Jejak Iblis orang yang
tak pernah punya rasa takut kepada siapa pun!"
"Bagus kalau begitu! Jika
kau memang ingin bertarung melawan Suto, akulah wakilnya dan mari kita tentukan
siapa yang unggul di antara kita!"
Suto hanya membatin,
"Konyol juga gadis ini. Apa dia tak bisa menilai kehebatan ilmu Jejak
Iblis melalui rumput yang layu dan menguning jika habis dipijaknya? Apakah
getaran tanah yang timbul karena langkah kaki Jejak Iblis tak membuatnya
memperhitungkan tantangannya? Benar-benar gila gadis ini. Untuk apa sebenarnya
dia mau korbankan diri membelaku?"
Setelah saling pandang
beberapa saat antara Rindu Malam dengan Jejak Iblis, kini giliran wajah Suto
Sinting yang terperanjat kaget melihat mata Jejak Iblis mulai keluarkan darah,
seperti lelehan air mata. Sedangkan bola mata Rindu Malam masih kelihatan tajam
dan hanya mengalami perubahan tipis, yaitu sedikit merah di bagian tepiannya.
"Rupanya mereka adu
kekuatan tenaga dalam lewat pandangan mata?!" pikir Suto Sinting.
"Dan, sepertinya
Rindu Malam punya kekuatan
lebih tinggi dari Jejak Iblis. Buktinya Jejak Iblis menjadi berdarah sedangkan
Rindu Malam tidak mengalami hal seperti itu. Oh, hebat sekali gadis ini
sebenarnya?!"
Darah yang mengalir dari kedua
rongga mata Jejak Iblis semakin banyak. Tangan Rindu Malam menggenggam tidak
terlalu kuat, tetapi tangan Jejak iblis menggenggam kuat. Bahkan sebagian
kukunya ada yang menembus masuk ke besi tongkatnya, pertanda ia bertahan
mati-matian agar tak tumbang melawan gadis muda yang ternyata berilmu tinggi
itu.
Tiba-tiba Jejak Iblis melesat
begaikan kapas terhempas angin. Tubuh Rindu Malam pun ikut menyambut serangan
lawan. Wuuut...! Sedangkan Suto melompat mundur memberikan tempat lebih leluasa
bagi keduanya.
Jejak Iblis menghantamkan bola
berduri di ujung tongkat itu. Wuuung...! Tapi tangan Rindu Malam menyambar
pedang di punggungnya dengan sangat cepat. Tahu-tahu pedang itu sudah
ditebaskan menyambut gerakan bola berduri. Traang! Traak...! Buk...!
Tongkat itu patah seketika.
Bola berduri jatuh di tanah. Sedangkan pedang Rindu Malam masih tetap utuh
tanpa rusak sedikit pun. Tubuhnya segera berputar cepat di udara setelah
melakukan jurus tebas pedang jitunya itu, dan kakinya berhasil berkelebat
menendang wajah Jejak Iblis. Plook...!
Wajah orang berjenggot pendek
abu-abu itu terlempar
ke samping, membuat
keseimbangan tubuhnya limbung. Akhirnya ia jatuh pada saat menapakkan kakinya
ke tanah. Saat wajahnya terlempar karena tendangan cepat Rindu Malam tadi, Suto
melihat ada percikan merah yang keluar dari mulutnya, itulah darah yang
ditimbulkan dari tendangan bertenaga dalam tinggi.
"Edan! Cepat sekali
gerakannya. Sulit kupatahkan?!" pikir Jejak Iblis dengan napas mulai
terengah-engah. Sementara itu, Rindu Malam masih berdiri dengan tegak dan
sigap, pedangnya tergenggam di tangan kanan dengan kokoh.
Jejak Iblis berdiri lagi.
Tongkatnya dibuang karena merasa tak berfungsi. Getaran tanah yang ditimbulkan
akibat jatuhnya dirinya tadi mulai reda dan diam seperti sediakala.
"Sebuah gerakan yang amat
terlatih," kata Suto dalam hati memperhatikan cara Rindu Malam memasukkan
pedang dengan cepatnya itu.
Kini Rindu Malam mulai pasang
kuda-kuda karena lawannya telah membuka jurus baru tanpa senjata. Tiba- tiba
tubuh Jejak Iblis melayang bagaikan seekor garuda ingin mematuk jantung
lawannya. Rindu Malam pun sentakkan kaki dan ternyata mampu melesat naik lebih
tinggi dari kepala Jejak Iblis. Ia bersalto satu kali sambil kakinya menjejak
ke bawah. Duuuhg...! Kepala Jejak Iblis dijadikan sasaran kakinya. Suaranya
terdengar jelas, menimbulkan kesan jejakan kaki Rindu Malam itu cukup telak
mengenai sasaran.
Bruuuk...! Jejak Iblis jatuh
dengan satu lutut
menyentuh tanah. Hidungnya
mengeluarkan darah kental akibat tendangan tersebut, ia segera bangkit dan
berbalik badan menghadapi Rindu Malam yang sudah berdiri dengan tegak dalam
jarak tujuh langkah darinya itu.
Rupanya tendangan kaki Rindu
Malam berkekuatan tenaga dalam sangat tinggi, sehingga saat ini tubuh Jejak
Iblis mengepulkan asap putih dari pori-pori. Warna kulit membiru tampak ada di
bagian dahi, lalu warna memar itu berjalan turun sampai ke dagu, leher, dada,
dan akhirnya sampai ke bagian bawah lainnya dalam keadaan memar membiru semua.
Jejak Iblis mulai gemetaran.
"Titik urat sarafku dilumpuhkan! Siapa perempuan muda itu yang mampu
menyerang titik urat sarafku? Kalau tak segera kuobati, pasti jantungku akan
berhenti dalam waktu dekat ini!" Setelah berpikir begitu. Jejak Iblis pun
akhirnya berkata, "Kau hebat, Nona! Tapi suatu saat aku akan datang untuk
membalas kekalahan ini."
Selesai bicara begitu, tubuh
Jejak Iblis melesat kembali bagaikan sebatang panah dilepaskan dari busurnya.
Sebenarnya Suto ingin mengejar, tapi Rindu Malam berseru,
"Biar aku saja yang
mengejarnya!" Claap...! Tubuh
Rindu Malam pun berkelebat
pergi dengan sangat cepat.
Kejap berikutnya terdengar
suara Angon Luwak berseru,
"Auuh...! Tolooong...!
Kang Suto, tolooong...!" "Angon Luwak!" seru Suto dengan cepat,
lalu ia
berkelebat pergi ke arah
tempat datangnya suara Angon
Luwak. Samar-samar terdengar
suara derap kaki kuda yang menjauh. Tapi suara Angon Luwak pun semakin menjauh.
"Kaaang...! Kang
Sutooo...! Tolong, Kaaang...!"
Tanpa disengaja seorang
penunggang kuda berpakaian hitam-hitam menggamit kedua tangan Angon Luwak,
sehingga bocah itu tidak bisa menggenggam apa-apa. Sementara itu, Suto yang
mengejarnya melalui pohon ke pohon mengetahui Raden Udaya dan Malaikat Beku berlari
menunggang kuda di depan orang berpakaian hitam tersebut. Suto Sinting segera
lompat turun dan menerjang penunggang kuda berpakaian hitam. Wuuusss...!
Bruuuss...!
Tahu-tahu tubuh Angon Luwak
sudah di atas pundak Pendekar Mabuk. Sedangkan orang berpakaian hitam itu
tumbang, jatuh dari atas kuda dan memekik keras.
"Aaaa...hhgg...!"
Rupanya ia jatuh tepat di atas
tonggak kayu runcing. Pinggangnya terhunjam tonggak kayu runcing itu. Jreeb...!
Ia mengerang kesakitan, sementara Suto membawa Angon Luwak lari lebih cepat dan
lebih jauh lagi. Raden Udaya dan Malaikat Beku memandang peristiwa itu dari
kejauhan dengan jengkel sekali.
"Biar kukejar dia!"
kata Malaikat Beku tak sabar
menahan kemarahannya.
*
* *
7
ORANG berjubah kuning dengan
pakaian hijau bagian dalamnya itu berdiri dengan tegak dan gagah, padahal
usianya sudah mencapai sembilan puluh tahun lebih. Rambutnya putih meriap-riap
dipermainkan angin yang berhembus ke tanah Jurang Lindu itu. Orang itu tak lain
adalah Ki Sabawana, yang lebih dikenal dengan nama si Gila Tuak, guru dari
Pendekar Mabuk; Suto Sinting.
Sementara itu, perempuan
cantik yang tampak masih muda padahal sudah berusia tujuh puluh tahun lewat
itu, berdiri di samping si Gila Tuak dengan kaki sedikit renggang dan kedua
tangan ke belakang. Rambut perempuan cantik itu terurai, warnanya hitam
mengkilap halus. Pakaiannya merah, jubahnya ungu muda. Ia berdada montok,
bentuk tubuhnya masih saja menggiurkan setiap lelaki hidung belang. Perempuan
cantik itu tak lain adalah Bidadari Jalang, juga gurunya Suto Sinting yang oleh
Suto disebutnya Bibi Guru.
Mereka berdua berhadapan
dengan beberapa orang, antara lain seorang lelaki berjubah biru dengan pakaian
dalam abu-abu, rambut putihnya panjang lewat punggung, tubuhnya kurus dan
jangkung. Salah satu matanya buta sebelah kiri. Ia adalah tokoh tua berusia
delapan puluh tahun, namanya Ki Darma Paksi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Titisan Ilmu Setan").
Di samping Darma Paksi adalah
lelaki berpakaian abu-abu juga dengan jenggot panjangnya yang putih
berusia tujuh puluh tahun
lebih, berkumis pendek dan badannya juga kurus, ia adalah Ki Argapura yang
dikenal dengan julukan si Penggal Jagat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Ladang Pertarungan").
Di belakang Ki Argapura berdiri
tegak seorang lelaki berpakaian serba putih, kurus, bungkuk, rambut putih
tipis, mata sipit, jenggot panjang, kumis putih melengkung ke bawah,
menggenggam pipa tembakau. Dia dikenal di rimba persilatan dengan nama Tabib
Awan Putih, yang berusia delapan puluh tahun. Sedangkan di sampingnya berdiri
pula lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun, bercelana biru dan jubah
abu-abu, rambut botak tengah warna putih, berbadan gemuk, ia lelaki yang sejak
tadi mengunyah makanan dari kantung kulit di pinggangnya, ia adalah Ki Madang
Wengi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Mustika Serat
Iblis")
Di samping kanan Ki Madang
Wengi, di bawah pohon berdaun lebat, berdiri pula seorang lelaki, tokoh tua
berusia sekitar tujuh puluh tahun. Bajunya juga serba putih model biksu,
rambutnya putih digelung tengah, jenggotnya panjang, badannya kurus. Dia adalah
Ki Jangkar Langit, pemilik pusaka Tombak Maut, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Pusaka Tombak Maut").
Sedangkan orang yang sejak
tadi duduk di atas batu dengan mata cekungnya menatap Bidadari Jalang, bertubuh
kurus dan berkulit hitam dengan rambutnya
berwarna putih itu tak lain
adalah Ki Sonokeling, yang bisa merubah wujudnya menjadi seekor macan, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Malaikat Jubah Angker").
Tak jauh dari Ki Sonokeling
berdiri seorang wanita cantik berpakaian ungu ketat dilapis jubah ungu yang
warnanya lebih tua lagi. Perempuan berusia tua sekali tapi masih kelihatan
seperti gadis berusia dua puluh lima tahun itu tak lain adalah Pelangi Sutera
atau Sumbaruni, Ibu dari anak jin: Logo. Wanita inilah yang sebenarnya sedang
disusul oleh Suto Sinting. Wanita inilah yang dikhawatirkan hendak menantang
adu kekuatan ilmu dengan Dyah Sariningrum karena ia mencintai Suto Sinting,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Tanpa Tapak"), ia
juga bersebelahan dengan Ki Lumakaono yang berjuluk Pawang Gempa dan Ki
Parandito yang berjuluk Juru Bungkam.
Jurang Lindu itu juga dihadiri
oleh seorang tokoh kawakan yang masih tampak cantik dan muda, rambutnya
disanggul, sesuai wajahnya yang bulat telur. Wanita ini mempunyai nama asli yang
tidak boleh disebutkan, karena dapat mendatangkan badai besar jika nama aslinya
itu disebutkan siapa saja. Ia adalah maha guru di Kuil Elang Putih berjuluk
Embun Salju, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Rahasia Pedang
Emas").
Masih banyak lagi tokoh tua
beraliran putih yang hadir di antara mereka, sehingga hari itu Jurang Lindu
penuh dengan tokoh tua aliran pulih yang masing-
masing punya pemikiran yang
sama, yaitu menuntut Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Kedua tokoh itu dituntut
atas tindakan murid mereka; Suto Sinting, yang dikabarkan membunuh Ki Empu
Sakya, seorang tokoh tua yang tak pernah mau menyakiti siapa pun sejak ia
menjadi seorang empu. Perbuatan baik semasa hidup sang empu membuat mereka
merasa tidak rela atas perlakuan yang menyebabkan kematian sang empu.
"Aku berani bertaruh
nyawa, bahwa Suto tidak mungkin melakukan tindakan seperti itu!" tegas
Bidadari Jalang, bekas tokoh hitam yang sekarang sudah berubah aliran menjadi
tokoh putih dan mengasingkan diri di Lembah Badai.
"Saksi mata mengatakan
Suto-lah pelakunya," kata Ki Madang Wengi. "Aku menjadi kecewa sekali
mendengar muridmu bertindak sekejam itu kepada orang seperti Empu Sakya itu,
Gila Tuak!"
"Saksi mata hanya
menyebutkan ciri-ciri orang yang membunuh Empu Sakya. Di dunia ini ada banyak
orang yang punya ciri-ciri sama, apalagi ciri-ciri penampilan. Wajah yang
hampir serupa pun banyak dijumpai di permukaan bumi ini, padahal mereka bukan
saudara sedarah kandung," sanggah Gila Tuak.
"Kalau sekiranya kalian
berdua sudah tak mampu mengajar murid kalian, serahkan saja padaku untuk
menanganinya! Suto Sinting harus kalian jatuhi hukuman supaya tidak melakukan
tindakan seperti itu lagi!" kata Jangkar Langit dengan tegasnya.
"Jangkar Langit
benar," sahut si Penggal Jagat, Ki
Argapura. "Aku menyesal
mengajarkan ilmu pedangku kepada Suto Sinting jika ternyata jiwanya tak
sebersih ilmu-ilmu yang dimilikinya! Kusarankan untuk melepaskan gelar
pendekarnya sebagai hukuman atas tindakan itu, Gila Tuak!"
"Ya, ya, ya....,"
celoteh mereka seperti gaung lebah. Kemudian Tabib Awan Putih pun berkata,
"Mencabut kependekarannya
adalah tindakan yang lebih bijaksana! Aku setuju!"
"Aku juga setuju sekali
untuk mencabut gelar pendekar pada diri muridmu itu, Gila Tuak dan Bidadari
Jalang!" timpal Ki Sonokeling.
"Aku tidak setuju!"
sentak gadis cantik yang tak lain adalah Sumbaruni, bekas istri jin itu.
Semua mata memandang Sumbaruni.
Semua mulut menjadi berhenti berucap. Sumbaruni atau Pelangi Sutera melangkah
pelan mendekati Gila Tuak, tetapi pandangan matanya tertuju kepada mereka, ia
tampak tegas dan berwibawa di depan para tokoh tua itu, sebab mereka tahu
Sumbaruni punya ilmu dari tokoh sakti yang lebih tua dari mereka, yaitu Eyang
Bayudana. Nama Bayudana adalah nama sejajar dengan Purbapati dan Nini Galih,
gurunya Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Tentu saja Sumbaruni lebih berwibawa
dari mereka. Kedudukannya sejajar dengan Gila Tuak dan Bidadari Jalang, Embun
Salju, dan seorang tokoh lain yang kehadirannya di situ diwakili oleh utusannya
bernama Kelana Cinta.
"Gelar kependekaran Suto
Sinting tidak layak dicabut
sebelum kalian bisa buktikan
secara nyata bahwa dia bersalah!" tegas Sumbaruni.
"Tapi saksi mata
yang...."
"Saksi mata itu telah
mati!" sahut Sumbaruni cepat dan keras, membuat Ki Darma Paksi tak jadi
lanjutkan kata.
"Aku yakin Suto tidak
bersalah!" tambah Sumbaruni setelah semua diam selama satu helaan napas.
"Siapa di antara kalian yang mau bangkitkan jenazah Empu Sakya dan
tanyakan langsung siapa pelakunya?! Siapa yang mau?!"
Tak ada suara lagi yang
terdengar. Ki Madang Wengi hanya mengunyah makanannya tanpa mau berikan jawaban
apa pun. Ki Sonokeling pandangi Ki Argapura yang hanya diam termenung memandang
tanah di depannya.
"Kalian tak bisa mengecam
Gila Tuak dan Bidadari Jalang seenaknya sendiri! Kalian juga harus mampu
buktikan secara nyata, bukan secara kabar burung bahwa Suto Sinting memang
bersalah. Kalau kalian mau berolah pikir," kata Sumbaruni si Pelangi
Sutera itu, "... coba kalian renungkan, mengapa saksi mata itu mati? Dan
kematiannya itu menurut para penduduk desa Kukusan, tetangga-tetangga Ki Empu
Sakya, adalah disebabkan karena ada seseorang yang membunuhnya. Mbok Wiji
dilenyapkan, itu pertanda seseorang tak mau rahasianya terbongkar jika Mbok
Wiji terlalu banyak bicara tentang kesaksiannya. Cukup dengan kesaksian tentang
tabung bambu tempat tuak saja yang diharapkan
oleh seseorang, selebihnya ia
tak ingin Mbok Wiji bicara misalnya tentang wajahnya, rambut si pembunuh, warna
bajunya atau yang lainnya! Jelas ini adalah fitnah yang bermaksud untuk
menjatuhkan nama harum Pendekar Mabuk dan suatu tujuan untuk menjatuhkan nama
harum para gurunya!"
Gila Tuak segera berkata
kepada Embun Salju, "Embun Salju, kau tentunya dapat melihat kejadian
sebelum Empu Sakya terbunuh melalui ketajaman Indera keenammu yang dinamakan
Ilmu 'Jalur Gaib'. Coba kau gunakan ilmu itu untuk mengetahui kebenaran
peristiwa itu."
Embun Salju tarik napas dengan
tetap bersikap tenang, "Ilmu 'Jalur Gaib' sepertinya ada yang menutup,
sehingga sudah kucoba berulang kali untuk melihat kejadian sebelum Empu Sakya
terbunuh, tapi selalu gagal."
"Itu berarti orang yang
membunuh Empu Sakya punya Ilmu 'Perisai Sukma'!" sahut Sumbaruni dengan
cepat dan keras.
"Benar pendapatmu,
Sumbaruni," kata Embun Salju. "Setahuku orang yang punya ilmu
'Perisai Sukma' adalah Empu Sakya sendiri."
"Yang lain?"
Embun Salju angkat pundak dan
bentangkan tangan pertanda tidak tahu jawabannya. Lalu, terjadilah masa bungkam
beberapa saat. Mereka saling berpikir dan berkecamuk sendiri-sendiri.
Tiba-tiba Bidadari Jalang,
memecah kesunyian di
antara mereka dengan ucapan
yang jelas didengar oleh semua pihak.
"Seingatku, Tabib Awan
Putih mempunyai ilmu
'Perisai sukma'.'
Tabib Awan Putih sedikit
menggeragap. "Hmm... eeh... iya, benar."
Pusat pandangan tertuju pada
Tabib Awan Putih.
Semakin gugup tabib tua dari
Tiongkok itu dipandangi oleh mereka.
"Tapi... tapi aku tidak
menutup 'Jalur Gaib'-mu, Embun Salju!"
"Ya, aku merasakan bukan
tenagamu yang menutup
'Jalur Gaib'-ku ini. Tapi
tenaga orang lain yang sulit kukenali, karena mirip tenaga Empu Sakya
sendiri."
Gila Tuak segera berkata,
"Suto, muridku, tidak mempunyai Ilmu 'Perisai Sukma'. Dia tidak mempunyai
ilmu itu karena aku tidak memilikinya."
"Jadi, pembunuh Empu
Sakya adalah orang yang punya ilmu 'Perisai Sukma'," simpul Sumbaruni.
"Menurut Embun Salju, ilmu "Perisai Sukma' itu bukan dari kekuatan
Tabib Awan Putih. Jika begitu, dari siapa ilmu itu datangnya? Jika kita bisa
kenali pemilik 'Perisai Sukma' yang bukan dari Tabib Awan Putih, maka kita akan
dapatkan titik terang tentang siapa pembunuh Empu Sakya sebenarnya! Tapi aku
tidak setuju dengan pendapat kalian yang memojokkan Suto, sebab Suto Sinting
tidak mempunyai ilmu 'Perisai Sukma'."
Pertemuan para tokoh tingkat
tinggi itu cukup seru. Menegangkan juga. Jika tidak ada sumbang saran dan
pemikiran dari Sumbaruni,
jelas Gila Tuak dan Bidadari Jalang akan terdesak oleh tuntutan mereka. Tidak
menutup kemungkinan akan hadirnya pertikaian di antara gurunya Suto dengan para
tokoh tingkat tinggi itu.
Seorang wanita muda berusia
sekitar dua puluh tujuh tahun, masih cantik dan berambut cepak seperti potongan
lelaki, tapi mengenakan rantai emas berbatu merah delima di tengahnya, segera
unjuk bicara. Tokoh ini mewakili seseorang. Dan ia dikenal oleh beberapa orang
dengan nama Kelana Cinta. Ki Jangkar Langit mengenal Kelana Cinta sebagai gadis
pengelana, Madang Wengi mengenal Kelana Cinta sebagai gadis pengembara yang
tidak pernah terlibat persoalan memalukan. Sedangkan Embun Salju mengenal
Kelana Cinta sebagai wanita yang melakukan tapa berkeliling dan berbicara
tentang cinta, namun sikap dan perilakunya bukan binal atau jalang. Melainkan
justru selalu menjaga harga diri dan martabat kaum wanita.
Kelana Cinta berkata,
"Aku kenal seseorang yang punya ilmu itu, tapi aku tak bisa sebutkan. Aku
akan temui dia dan menanyakan kebenarannya. Orang itu selain mempunyai ilmu
'Perisai Sukma' ia juga mempunyai ilmu 'Jalur Gaib'."
Embun Salju terkejut, karena
merasa kesaktiannya diungguli oleh orang yang diceritakan oleh Kelana Cinta. Ia
penasaran, dan segera bertanya dengan sifat sedikit mendesak.
"Siapa orang itu? Katakan
saja sekarang juga. Aku ingin menemuinya juga untuk perkara lain. Katakan saja,
Kelana Cinta."
Gadis berpakaian merah jambu
segar dengan pedang di punggung itu hanya tersenyum ramah. "Maaf, aku tak
bisa, karena ini memang sumpahku. Tapi aku berjanji akan secepatnya membawa
kabar kepadamu, Embun Salju. Yang jelas, orang yang kukenal itu tidak mungkin
orang yang membunuh Empu Sakya. Sebab ia pun berteman baik dengan Empu
Sakya."
Kita tinggalkan dulu
persidangan di Jurang Lindu itu. Ada sesuatu yang menarik untuk disimak, karena
punya hubungan dengan soal cinta, tapi tidak ada kaitannya dengan Kelana Cinta.
Dengan susah payah, Mega Dewi
memang bermaksud mencari Jurang Lindu. Ia ingin bertemu dengan Gila Tuak dan
mengadukan kekejaman Suto menurut anggapannya. Tetapi di perjalanan ternyata ia
dicegat oleh seorang pemuda tampan yang cukup dikenalnya. Pemuda itu mengenakan
pakaian bagus, bercorak bangsawan, berambut rapi, dan bersenjata pedang dengan
sarung emasnya. Pemuda itu tak lain adalah Raden Udaya. Ia sendirian, karena
memang ia ingin bertemu empat mata dengan Mega Dewi untuk utarakan persoalan
cintanya.
"Sudah beberapa kali
kukatakan, Raden... aku tidak bersedia menerima cintamu!" tegas Mega Dewi
dengan wajah tak ada senyum sedikit pun.
Tetapi Raden Udaya masih
bersikap sabar dan tidak tersinggung, ia mendekat lagi dan berkata dengan
suaranya yang dibuat semesra mungkin.
"Mega Dewi, apakah kau
melihat aku lakukan suatu kesalahan yang menyakitkan hatimu, sehingga aku tak
layak menjadi pendamping mu?"
"Tidak. Kau sangat baik
padaku, Raden Udaya. Selama ini kita bersahabat tanpa ada pertengkaran apa pun.
Tapi hanya sebatas bersahabat saja."
"Apakah persahabatan yang
manis tak layak berlanjut ke jenjang perkawinan, Mega Dewi?"
"Tidak semua persahabatan
harus berakhir di perkawinan. Ada yang menjadi langgeng dan sama-sama terkubur
di dalam tanah, namun tetap bersahabat di alam sana. Kumohon kau tidak menjadi
pemuda yang picik dan mengartikan sebuah persahabatan sebagai alasan untuk
jatuh cinta, Raden."
Pemuda yang sebenarnya tampan
juga itu segera tarik napas dalam-dalam. Kini ia merasakan perih di tepian
hatinya. Wajah tampannya tertunduk murung. Mega Dewi kasihan, tapi tak mau
memberi hati kepada pemuda itu, takut disalahartikan lagi.
"Mega Dewi," kata
Raden Udaya pelan sekali. "Tahukah kau, bahwa kau telah sangat
mengecewakan hatiku yang amat sayang kepadamu ini?"
"Aku tahu, tapi aku tak
bisa berbuat apa-apa. Aku memang tidak mencintaimu. Haruskah aku berdusta untuk
sebuah cinta palsu? Banggakah dirimu jika mendapat cinta palsu?"
"Memang tidak. Tapi siang
malam yang terbayang dalam benakku hanya dirimu, Mega Dewi. Siang malam yang
ada di hatiku hanyalah senyummu, tawamu, dan
candamu. Sayang sekali sejak
kau mengenal Pendekar Mabuk itu kau tidak punya tawa dan canda padaku seperti
dulu. Mungkinkah kau telah perbandingkan diriku dengannya dan menganggapnya
lebih unggul dariku?"
"Udaya!" ketus Mega
Dewi mulai tersinggung hatinya "Hubungan kita tak ada sangkut pautnya
dengan Pendekar Mabuk! Kau sangka aku jatuh cinta padanya? Kau sangka aku mudah
tergiur dengan ketampanannya?" "Jika tidak, mengapa kau menjauhiku,
Mega Dewi?!" "Karena ayahmu itu, sang Adipati, adalah orang yang
pernah melukai ibuku. Melukai hati Ibu semasa Ibu masih seusiaku. Untung Ibu
bertemu dengan ayahku, dan menjadi terobati luka hatinya. Ketahuilah, Udaya...
sang Adipati pernah mempermainkan cinta ibuku, sehingga Ibu hampir-hampir
menjadi gila karena kekejian cintanya. Dan sekarang aku membalaskan sakit hati almarhumah
ibuku itu melalui dirimu, yaitu putra
sang Adipati!"
Raden Udaya tertegun bengong.
Matanya memandang tak berkedip. Untuk beberapa saat lamanya mereka saling
pandang, sehingga akhirnya Raden Udaya pun berkata dengan nada menggeram
jengkel.
"Kalau begitu kau memang
punya niat jahat padaku tanpa kusadari sebelumnya!"
"Kalau kau anggap begitu,
aku tak keberatan. Sekarang apa maumu?"
"Tak ada kemauan lain
kecuali hanya ingin mengisap madumu!" jawab Raden Udaya, kemudian segera
menyergap memeluk Mega Dewi
dan menciuminya dengan kasar. Tentu saja Mega Dewi berontak dengan sengit, ia
sadar dirinya akan diperkosa oleh pemuda itu. Maka ia tak tanggung-tanggung
menghantamkan telapak tangannya ke dada pemuda tersebut. Duuuhg...! Craaas...!
Raden Udaya terpental jauh.
Dadanya hangus karena pukulan bertenaga panas cukup tinggi itu. Untung ia
kenakan baju pelapis dari baja, sehingga kulit dadanya tidak mengalami hangus
berat, tapi pakaian bagusnya menjadi terbakar sebatas lebar pukulan telapak tangan
Mega Dewi.
Malaikat Beku muncul dan
segera melompat dari punggung kuda. Cambuknya disambar dan hendak dilecutkan ke
tubuh Mega Dewi. Tetapi Mega Dewi segera larikan diri, tak mau layani persoalan
itu. Sedangkan Raden Udaya berseru melarang Malaikat Beku yang ingin mengejar
Mega Dewi dengan cambuknya.
"Biarkan dia! Suatu saat
akan kubuat bertekuk lutut di hadapanku!"
"Kita sudah gagal
mengejar Suto dan bocah itu, aku jadi muak sendiri! Aku ingin melampiaskan
murkaku kepada gadis itu, Raden!"
"Jangan! Dia masih bisa
berguna bagi hidupku kelak!" kata Raden Udaya, dan sebagai orang
sewaannya, Malaikat Beku tak berani membantah larangan itu. Walau hatinya
dongkol karena gagal mengejar Suto dan Angon Luwak, namun agaknya ia
harus menelan kedongkolan itu
dengan sangat terpaksa.
Suto Sinting memang berhasil
selamatkan Angon Luwak dari penculikan anak buah Raden Udaya yang bernama
Kromosudo itu. Kegagalan menculik Angon Luwak membuat Kromosudo dihajar habis
oleh cambuk Malaikat Beku. Bahkan sekarang disuruh Raden Udaya untuk pulang ke
kadipaten dan mengurus kuda-kuda piaraan yang ada di istal kadipaten. Padahal
semula Kromosudo adalah prajurit pengawal kepercayaan Raden Udaya. Sejak Raden
Udaya memperoleh pengawal pribadi yang berilmu tinggi yakni Malaikat Beku,
tenaga dan kepandaian Kromosudo terbuang begitu saja, karena memang tidak
sebanding dengan kesaktian Malaikat Beku. Walaupun Kromosudo sakit hati, namun
ia tak bisa berbuat apa-apa.
Raden Udaya maupun Malaikat
Beku tidak tahu bahwa Suto membawa Angon Luwak ke gua tempat mereka bertemu Ki
Gendeng Sekarat yang membawa Raja Maut dalam keadaan luka parah itu. Di gua
itu, Suto Sinting memarahi Angon Luwak yang tak mau pulang ke rumah dan tetap
mengikuti Suto.
"Kalau kau menguntitku
terus, kau akan mati sia-sia karena bisa dijadikan umpan bagi musuh-musuhku.
Kau akan dijadikan pelampiasan kemarahan mereka. Sedangkan kau tidak punya ilmu
setinggi mereka. Lebih baik kau tinggal di rumahmu, atau kau bermain dengan
Logo, nanti toh aku akan ke gua di pantai Semberani itu."
"Aku mengikutimu karena
ada sesuatu yang ingin
kukatakan kepadamu,
Kang," kata bocah berambut lurus itu.
"Apa yang ingin kau
katakan padaku?" Suto berkerut
dahi.
"Kau dicari orang banyak
karena dituduh membunuh
Ki Empu Sakya."
"Aku tahu! Aku sudah
mendengar berita itu."
"Kau dituduh merampas
pusaka milik Ki Empu Sakya, yaitu Keris Setan Kobra, Kang! Mereka banyak yang
berkeinginan untuk merebut keris itu darimu!"
"Itu pun aku sudah tahu,
Angon Luwak!"
"Tapi aku yakin keris itu
tidak ada di tanganmu, Kang. Karena aku tahu di mana tempat persembunyian keris
itu. Apakah kau juga sudah tahu, Kang?"
Pertanyaan bernada mengejek
itu membuat Suto Sinting berwajah tegang karena sedikit terperangah. Pendekar
Mabuk bahkan sempat cemas, lalu memandang ke sana-sini, takut percakapan itu
didengar orang.
"Apa benar kau tahu
tempat penyimpanan keris itu?!" Angon Luwak yang lugu itu mengangguk.
"Ketika kudengar kabar orang mencarimu dan menganggap keris itu ada di
tanganmu, aku menengok tempat penyimpanan keris itu. Ternyata masih ada di
tempat. Lalu kubiarkan di tempatnya dan aku ingin mencari cara untuk meyakinkan
mereka, bahwa kau tidak mempunyai keris itu. Tapi aku sudah lebih dulu
dikejar-kejar oleh dua
orang kadipaten."
Suto sedikit bimbang.
"Jangan-jangan kau
membohongiku?"
"Tidak, Kang."
"Bagaimana kau bisa
mengetahui tempat
penyimpanan keris itu?"
suara Suto semakin lirih.
"Ki Empu Sakya pernah
bercerita padaku tentang pohon yang punya kesaktian besar. Namanya pohon Kenari
Raja. Pohonnya besar, daunnya rindang, batangnya ditumbuhi duri
runcing-runcing. Menurut cerita Ki Empu Sakya, pohon itu menyimpan kekuatan
sakti yang sampai sekarang tak diketahui orang. Letak kekuatan sakti ada di
dalam batang pohon itu. Suatu saat kutemukan pohon itu tak berapa jauh dari
hutan di belakang rumahnya. Aku heran dan ingin tahu kekuatan apa yang ada di
dalam pohon itu. Ternyata pohon itu berongga dan di sisi luarnya mempunyai
pintu bikinan manusia. Waktu kubuka, ternyata berisi keris. Aku takut, dan
kututup lagi. Tapi aku yakin, itulah keris pusaka Setan Kobra. Karena kulihat
sepintas saja, gagangnya seperti kepala ular kobra!"
Suto Sinting menjadi
berdebar-debar. "Benarkah
cerita bocah ini?"
pikirnya.
*
* *
8
POHON Kenari Raja salah satu
jenis pohon langka pada masa itu hingga masa sekarang. Di seluruh hutan Tanah
Jawa hanya ada beberapa batang pohon Kenari
Raja yang tumbuh mendekati
kaki bukit. Bahkan namanya pun tak banyak yang tahu. Pohon itu memang besar, mirip
pohon beringin. Daunnya lebat, cabang- cabangnya kekar, batang pohon ditumbuhi
duri-duri runcing. Keistimewaan pohon itu terletak di bagian tengah batang yang
berongga menyerupai cerobong asap. Sekalipun begitu kayu pohon Kenari Raja
sangat keras, melebihi kerasnya kayu pohon jati.
Pendekar Mabuk ingin
membuktikan kata-kata bocah penggembala itu. Sang bocah sendiri ingin
menunjukkan kebenaran omongannya. Maka mereka pun pergi ke hutan yang letaknya
searah bagian belakang rumah Ki Empu Sakya. Suto Sinting sempat berkata dalam
hatinya, "Hutan ini sepertinya hutan yang pernah dilewati pada waktu kami
berurusan dengan Iblis Naga Pamungkas? Hmmm... ya, ya. Aku ingat betul. Bahkan
di bawah pohon inilah aku bertarung melawan Wiratmoko, si Iblis Naga Pamungkas
itu, sebelum Ki Empu Sakya ingin melawannya." (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Naga Pamungkas").
"Benarkah ini pohon yang
kau maksud, Angon
Luwak?"
"Benar, Kang. Ki Empu
Sakya membuat pintu di batang pohon itu dengan memotong sebagian batangnya.
Potongannya tidak dibuang, tapi ditutupkan kembali dan dikunci memakai pantek
besi. Itu pantek besinya. Coba kau geser sedikit pantek besinya, pasti sebagian
batang yang terpotong bisa kau lepas."
Bocah berusia sepuluh tahun
mengenakan baju tanpa
lengan warna abu-abu dengan
celana hitamnya sebatas betis, ternyata bukan bocah pendusta. Apa pun yang
dikatakannya memang benar. Suto menggeser pantek besi menyerupai paku, dan
kulit pohon seakan terkelupas dalam ukuran besar. Ternyata itulah pintu ynng dimaksud
Angon Luwak sebagai penutup rongga batang pohon.
Suto Sinting berhasil melepas
potongan batang yang dikatakan 'pintu' itu, dan ternyata di dalam batang pohon
tersebut terdapat sebilah keris bergagang kepala seekor ular kobra yang
mengembangkan cuping di kanan kirinya. Warna gagang berbentuk kepala ular itu
hitam keling, mengkilat. Suto Sinting terperanjat sejenak, lalu dengan
hati-hati mengambil keris tersebut setelah lebih dulu memberi sikap hormat agar
tak kualat.
Jantung Pendekar Mabuk
berdetak-detak keras ketika memegang keris yang menjadi bahan rebutan dan
incaran orang banyak itu. Hatinya berdebar-debar, perasaan senang dan bangga
tersirat lewat senyuman di wajahnya.
Sarung keris terbuat dari
ukiran logam emas. Panjangnya dua jengkal lebih sedikit, tapi tak sampai tiga
jengkal. Ketika Suto Sinting melolos keris itu dari sarungnya, tampaknya cahaya
merah api yang memercik-mercik di sekeliling mata keris. Keris itu
berkelok-kelok dan membentuk badan ular kobra hingga ekor. Bagian ekornya itulah
yang runcing dan tajam, warna hitam perunggu.
Angon Luwak memandang dengan
mulut
melompong. Pendekar Mabuk
manggut-manggut dalam senyum kebanggaannya. Andai kata saat itu ia mau
bayangkan wajah seseorang lalu menusukkan keris itu ke batang pohon apa saja,
maka orang yang dibayangkan itu akan mati pada saat keris ditusukkan ke pohon. Tetapi
Suto tidak ingin mengotori bayangan otaknya. Suto hanya merasa perlu
menyelamatkan keris tersebut dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung
jawab, seperti Nila Cendani, si Ratu Tanpa Tapak itu.
"Pantas kalau keris ini
menjadi bahan rebutan dan incaran orang banyak. Percikan sinar merah ini
menunjukkan kesaktian yang selalu ada di dalam keris ini, Angon Luwak."
"Kalau memiliki keris ini
bisa jadi pendekar ampuh, Kang?"
"Memang. Tapi kalau
jiwanya tak kuat, ia bisa
menjadi orang paling jahat. Sebab
dengan membayangkan wajah seseorang, keris ini bisa untuk membunuh orang
tersebut dari jarak sejauh apa pun."
"Ck, ck, ck, ck..., sakti
sekali keris ini, ya Kang? Mengapa Ki Empu Sakya tidak mau menggunakannya? Dia
bisa menjadi pendekar tanpa tanding, Kang."
"Ki Empu Sakya bukan
orang jahat. Beliau tidak ingin melukai siapa pun, tidak mau memusuhi siapa
pun, karena ingin mencapai kesempurnaan hidup," kata Suto sambil
memasukkan keris tersebut ke sarungnya. Kini keris yang sudah berada dalam
sarungnya digenggam erat, masih dipandangi beberapa saat.
"Kau ingin
memegangnya?" tanya Suto kepada
Angon Luwak.
Bocah itu menggeleng.
"Tidak, Kang. Nanti kalau aku tak sadar malah keris itu remuk dalam
genggaman tanganku," katanya, karena Angon Luwak tahu ia mempunyai ilmu
'Genggam Buana' pemberian Ki Gendeng Sekarat yang bisa meremukkan apa saja yang
digenggamnya kuat-kuat.
Suto Sinting tersenyum geli
mendengar jawaban polos bocah itu. Tapi senyum itu hilang seketika karena
kemunculan seseorang yang melompat dari balik semak belukar di seberang sana.
Rupanya perjalanan Suto dan Angon Luwak ada yang menguntitnya sejak tadi. Orang
tersebut tak lain adalah Jejak Iblis, yang tubuhnya telah terluka bagai
tercabik-cabik binatang buas. Pakaiannya rusak mirip gelandangan. Separo
wajahnya memar membiru lantaran dihajar habis-habisan oleh Rindu Malam yang
ketika itu mengejar pelariannya. Rupanya Jejak Iblis masih belum jera dan tetap
mengincar keris pusaka tersebut.
"Wah, Kang... dia datang
lagi, Kang," kata Angon
Luwak dengan cemas.
"Tenanglah. Cari tempat
yang aman buat persembunyianmu. Aku akan menghadapi orang itu, Angon
Luwak," bisik Suto Sinting dengan mata tetap memandang Jejak Iblis yang
kehadirannya tadi membuat tanah bergetar. Kini ia melangkah mendekati Suto. Langkahnya
itu membuat tanah bergetar dan daun berguncang.
"Akhirnya kupergoki juga
kebusukanmu, Suto
Sinting. Kau benar-benar
memiliki keris itu," kata Jejak
Iblis dengan nada datar dan
dingin.
"Aku baru sekarang
memegang keris ini dan menemukannya di sini!" kata Suto.
"Bagus. Jika begitu,
serahkanlah padaku sebelum kesabaranku hilang."
Orang ini benar-benar ngotot,
menurut pikiran Suto.
Sudah babak belur masih saja
mengejar dan menginginkan keris tersebuL Suto sangat prihatin dengan watak
Jejak Iblis yang tak pernah bisa menghargai nyawanya itu.
"Keris ini tidak akan
kuserahkan ke tangan orang- orang seperti mu, Jejak Iblis. Apa pun yang akan
kau perbuat terhadapku, aku akan melayanimu!"
Jejak Iblis mulai menggeram.
Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat. Tapi pada saat itu pula melesatlah
sebuah bayangan yang menerjangnya dari samping.
Bruss...!
Jejak Iblis kaget bukan
kepalang. Ia terlempar tujuh langkah dari tempatnya berdiri. Bayangan yang
menerjangnya itu ternyata seorang gadis cantik berpakaian putih yang tak lain
adalah Rindu Malam.
"Dia lagi...?' gumam Suto
dalam hatinya.
Rindu Malam menatap Suto
sebentar, ia berkata, "Selamatkan keris itu, akan kutumbangkan orang
ini!"
Luka-luka Jejak Iblis semakin
parah, tapi orang itu tak ada kapoknya, ia bangkit dan mengambil sikap siap
menghadapi pertarungan dengan gadis cantik itu.
Sementara itu Suto Sinting
yang ingin segera pergi terpaksa batalkan niatnya karena dari sisi lain muncul
tiga orang brewok yang mempunyai wajah kembar. Semuanya berambut botak bagian
depan, tapi brewoknya lebat. Wajahnya angker dan matanya garang. Badan mereka
besar, kekar, senjata mereka sama-sama tombak bermata pedang. Di bawah ujung
tombak itu terdapat ronce-ronce benang merah.
"Agaknya aku harus
menghadapi mereka," pikir Suto sambil menyelipkan Keris Setan Kobra ke
pinggangnya.
Sementara itu, Suto Sinting
sempat melihat gerakan Rindu Malam yang bersalto cepat sekali di udara
menyerang tubuh Jejak Iblis yang sedang melompat menyerangnya pula.
Dalam sekejap Suto melihat
Rindu Malam dan Jejak Iblis beradu telapak tangan di udara. Plak...! Blaaar...!
Ledakan dahsyat terdengar mengguncangkan tempat itu. Cahaya api merah berpendar
bersamaan bunyi ledakan tadi.
Jleeg...! Rindu Malam
mendaratkan kakinya ke tanah dengan sigap, tanpa luka apa pun. Sementara itu,
Jejak Iblis kehilangan dua tangannya. Terpotong tepat di pergelangan tangan.
Wajahnya yang tadi tampak biru separo bagian, kini menjadi hitam hangus,
tinggal kelopak matanya yang tampak merah. Rambutnya pun mengepulkan asap dan
akhirnya rontok semua. Lelaki itu masih berdiri dengan sedikit limbung dan gemetaran.
"Jurus apa yang digunakan
Rindu Malam itu? Dahsyat sekali?" pikir Suto.
Agaknya kali ini Jejak Iblis
mengakui kekalahannya. Ia sudah kehilangan tenaga cukup banyak, ia sudah
merasakan dirinya amat lemah dan parah. Suto yakin kali ini Jejak Iblis tak
sanggup lagi melawan Rindu Malam karena sudah kehilangan kedua tangannya.
Keyakinan Suto itu menemui kebenarannya. Karena kejap berikutnya Jejak Iblis
segera larikan diri dalam keadaan tak mampu melompat secepat dulu. Ia berlari
terhuyung-huyung sambil meninggalkan ancaman bagi Rindu Malam.
"Aku akan menuntut balas
kekalahan ini! Ingat!" Rindu Malam tidak mengejarnya, hanya
menghempaskan napas lega. Tapi
ia segera berbalik arah, karena ia tahu ada tiga orang brewok yang sedang
berhadapan dengan Suto Sinting. Gadis itu melenting ke atas dan bersalto dua
kali, lalu mendarat tepat di samping Suto Sinting. Jleeg...! Tegap dan kokoh
sekali berdirinya. Matanya yang indah menatap tajam pada tiga orang brewok itu.
"Ilmumu cukup hebat, Nona
Cantik," ujar brewok berbaju merah. "Tapi ilmu itu hanya bisa untuk
mengalahkan si Jejak Iblis. Jangan harap kau bisa mengalahkan Tiga Jagal dari
Utara."
Rindu Malam tersenyum sinia.
"Apa maksud kalian datang kemari?"
Brewok berbaju hitam menjawab,
"Untuk apa lagi kami datang kalau bukan untuk keris pusaka itu? Kami telah
menyadap pembicaraan Pendekar Mabuk dengan bocah kumal itu, dan kami sengaja
biarkan mereka
menemukan keris itu lebih
dulu. Buat kami lebih mudah merebut keris itu daripada menemukan tempat
penyimpanannya! Hea, ha, ha, ha, ha...I"
Brewok baju hijau juga tertawa
dan berkata, "Jangan kalian khawatirkan kami. Kami tidak akan seganas
dugaan kalian jika berhasil merebut keris itu. Kami sudah cukup sakti tanpa
keris itu. Kami hanya ingin menjualnya kepada seseorang, dan menukarnya dengan
separo harta karun yang dipendam di daerah Teluk Sumbing itu! He, he, he,
he...!"
"Nila Cendani yang kau
maksud?!" seru Suto.
"Benar, Pendekar Tampan!
Rupanya kau telah mengetahui si cantik bertangan besi itu," jawab brewok
berbaju hitam.
Rindu Malam berbisik,
"Mundurlah, biar kuhadapi mereka!"
"Mereka agaknya berilmu
tinggi dan ganas-ganas! Biar aku saja yang menghadapinya."
"Jangan buang-buang
tenagamu," kata Rindu Malam kepada Suto. "Aku mampu kalahkan mereka
dalam satu gebrakan."
"Jangan sombong, Rindu
Malam."
"Aku bicara karena aku
punya bukti! Mundurlah dulu ke bawah pohon. Jadilah penonton yang baik,
Suto."
Suto Sinting akhirnya angkat
pundak pertanda
terserah apa maunya si gadis
cantik itu. Pendekar Mabuk menepi ke bawah pohon Kenari Raja. Di sana ia
meneguk tuaknya. Santai sekali sikapnya dalam suasana seperti itu.
"Kalahkan aku jika kau
ingin menghadapi Suto
Sinting, Pendekar Mabuk
itu!" kata Rindu Malam.
"Hei, Nona... tidakkah
kau sayang dengan kecantikan dan kehangatan tubuhmu itu, hah? Daripada kau
bertarung melawan kami, lebih baik menjadi istri kami bertiga, kau akan
mendapatkan kepuasan sepanjang hidupmu."
"Iya, benar! He, he,
he...!" brewok berbaju hijau menimpali dengan tawanya yang memuakkan Rindu
Malam.
Sreet...! Rindu Malam cabut
pedangnya dari punggung. Tiga Jagal dari Utara segera persiapkan diri
menghadapi lawannya dengan berjajar masing-masing sejarak dua langkah. Mereka
mulai memainkan jurus kembar tiga. Mengibaskan tombak pedangnya ke beberapa
arah, lalu sama-sama berhenti bergerak dalam keadaan tombak diarahkan ke depan
dengan kaki merendah.
"Serang!" teriak
brewok berbaju merah. Lalu ketiganya menyatuhkan ujung tombak. Traak...! Mata
tombak berbentuk pedang putih itu saling menempel. Dari perpaduan pedang itu
melesat sinar biru sebesar gagang tombak itu.
Slaaap...!
Rindu Malam rendahkan kaki,
pedangnya berdiri di depan dengan ujungnya ditahan memakai telapak tangan kiri.
Selarik sinar biru besar itu menghantam pertengahan pedang Rindu Malam.
Traang...! Seperti tombak menancap pada dinding cadas, sinar biru itu
ditahan oleh Rindu Malam.
Pedangnya menjadi menyala biru terang. Tiga Jagal dari Utara kerahan tenaga
dalam lebih kuat lagi agar sinar birunya bisa mematahkan pedang Rindu Malam dan
mengenai dada gadis itu. Tetapi sampai tubuh mereka gemetaran, keringat mereka mengucur,
sinar biru itu tetap tidak mampu mematahkan pedang Rindu Malam.
Tiba-tiba tangan kiri Rindu
Malam yang menempel di balik ujung pedang disentakkan bagaikan memukul pedang
sendiri dengan pangkal telapak tangan.
Dees...!
Tiba-tiba sinar biru itu berubah
menjadi ungu dan putus dari larikannya. Sinar ungu bagaikan membalik ke senjata
Tiga Jagal dari Utara dan meledakkan senjata mereka di sana.
Blaaar...! Traaaang...!
Tombak mereka hancur
berkeping-keping, gagangnya terpotong-potong menyebar ke sana-sini. Tiga Jagal
dari Utara saling terpental terbang ke belakang. Mereka jatuh terbanting dengan
kerasnya. Bruuuk...!
Rindu Malam merubah posisi
kuda-kudanya dengan sedikit tegak dari semula. Pedangnya dimainkan ke kanan,
kiri, depan, dan belakang. Lalu gerakan pedang yang menimbulkan suara dengung
segera berhenti dalam keadaan terangkat di atas kepala bagian samping kanan.
Tangan kiri Rindu Malam terjulur ke depan sedikit ditekuk dalam keadaan
menggenggam kuat-kuat.
"Jurus apa lagi yang
digunakan si manis ini?" pikir
Suto masih tetap tidak mau
ikut campur pertarungan itu. Sebab ia merasa bahwa Rindu Malam ingin unjuk
kebolehan ilmu di depannya. Dan Suto tak mau mengecewakan gadis itu dengan ikut
campur dalam pertarungan satu melawan tiga itu. Ia hanya akan berbuat jika
Rindu Malam terdesak dalam bahaya.
Tiga Jagal dari Utara masih
bisa bangkit walaupun masing-masing dada mereka telah kepulkan asap. Suto tahu,
mereka luka di bagian dalam akibat ledakan sinar ungu tadi. Tetapi agaknya
mereka semakin murka dan penasaran untuk membalas sarangan Rindu Malam.
Kini ketiganya sama-sama
melompat maju melakukan serangan dengan jurus yang sama. Telapak tangan mereka
yang digunakan menjadi andalan sebagai ganti senjata, karena telapak tangan
mereka kini menyala biru terang. Suto menyimpan kecemasan, karena ia tahu tiga
brewok itu kini menggunakan pukulan maut yang tentunya punya kekuatan dahsyat.
"Heaaat...!" mereka
berteriak keras bersama-sama. Rindu Malam berguling di tanah bagaikan bola.
Menggelinding dengan cepat dan
tahu-tahu sudah berdiri
tepat pada saat tiga brewok
mendaratkan kaki mereka di tempat Rindu Malam berdiri tadi. Jrreg...!
Pada saat itulah Rindu Malam
yang beradu punggung dengan tiga lawannya segera berbalik cepat, pedangnya
ditebaskan menyamping. Craaas...!
"Ahhhg...!"
Tiga Jagal dari Utara
sama-sama memekik tertahan. Pedang Rindu Malam berhasil melukai mereka dalam
satu sabetan cepat. Bekas luka
sabetan pedang itu menyala, mengeluarkan lidah api yang membakar luka tersebut.
Tak heran jika Tiga Jagal dari Utara saling berkelojotan meraung-raung di
tanah, berguling-guling dirajang rasa sakit yang luar biasa. Api yang menyala
akibat tebasan pedang itu sukar dipadamkan walaupun sudah dipakai
berguling-guling. Bahkan api itu semakin lama semakin berkobar membakar separo
tubuh mereka bagian bawah. Teriakan histeris memilukan hati.
Suto Sinting tak tega. Ia
segera meneguk tuak, menyimpannya di mulut, lalu melakukan satu lompatan
panjang sambil menyemburkan tuak dari mulutnya. Wuuurrsss...!
Api itu padam, tapi tubuh
mereka telah hangus dan berasap. Mereka masih hidup, sedang merasakan sakit
yang tiada taranya. Bagian perut ke bawah dalam keadaan luka bakar yang amat
parah. Mereka tak mampu berdiri lagi.
Rindu Malam terperanjat
melihat tindakan Suto Sinting yang memadamkan api dengan semburan tuaknya tadi.
Dalam gumamannya yang didengar Suto, Rindu Malam berkata dengan nada kecewa.
"Baru sekarang ada orang
yang mampu memadamkan api pedangku. Jurus 'Pedang Lahar' selama ini tak pernah
ada yang mampu mengalahkannya. Sekali orang itu terbakar, akan selamanya
terbakar. Tapi sekarang ternyata ada orang yang mampu memadamkan api pedangku
itu. Luar biasa!"
"Aku kasihan. Terlalu
menyiksa jika membiarkan
mereka terbakar dan akhirnya
mati. Kalau memang kau ingin bunuh mereka, bunuhlah dengan cepat, jangan
membiarkan mereka tersiksa lama baru menemui ajalnya," kata Suto Sinting.
"Aku tak berani lakukan
jika kau tidak menghendaki demikian," kata Rindu Malam.
"Sebenarnya aku bisa
memulihkan luka bakar itu, tapi
biarlah luka itu sebagai
pelajaran bagi mereka agar tidak berpihak kepada yang jahat dan tidak rakus
dengan harta harapannya."
Rindu Malam mengangguk-angguk.
Seakan ia tak berani menentang keputusan Pendekar Mabuk. Matanya memandang Suto
dalam kebeningan yang meneduhkan.
"Apa rencanamu
sekarang?"
"Menyerahkan keris ini
kepada guruku, entah mau diapakan," jawab Suto.
"Bolehkah aku ikut?"
Suto diam sesaat
mempertimbangkan. Setelah itu ia berkata, "Baiklah...." Baru sampai
di situ kata-kata Suto, tiba-tiba ia mendengar suara pekikan Angon Luwak di
persembunyiannya. Suto cepat palingkan wajah memandang ke arah suara pekikan
Angon Luwak yang sepintas itu. Firasatnya mengatakan, bahwa anak itu dalam
bahaya.
Ternyata sekelebat bayangan
terlihat membawa lari Angon Luwak. Rindu Malam dan Suto sama-sama tercengang.
Pendekar Mabuk bergegas mengejar bayangan yang membawa lari Angon Luwak. Tapi
tangan Rindu Malam menahan.
"Biar kukejar dia dan
kubebaskan anak itu. Kau pergilah ke tempat gurumu, kita akan bertemu di Pantat
Semberani!"
Suto menghempaskan napas, lalu
anggukkan kepala. Slaaap...! Rindu Malam tak banyak bicara, segera lari kejar
bayangan yang menculik Angon Luwak. Gerakan larinya sangat cepat, menyamai
gerakan Pendekar Mabuk yang juga berlari menuju Jurang Lindu.
Zlaaap...!
Pertemuan para tokoh tingkat
tinggi masih terjadi di Jurang Lindu. Mereka bukan lagi memperdebatkan kesalahan
Suto Sinting, melainkan menyingkap tabir rahasia mengenai siapa orang yang
telah membunuh Ki Empu Sakya itu. Jangkar Langit mempunyai pendapat,
"Empu Sakya pasti dibunuh
pada saat sedang tidur. Sebab kelemahannya memang dalam keadaan tidur."
Ki Madang Wengi menyahut,
"Benar. Setahuku Empu Sakya punya kelemahan pada saat tidur. Di saat
itulah seluruh kesaktian dan kekuatannya pergi dan ia menjadi orang yang kosong
ilmu. Karenanya Empu Sakya termasuk manusia yang jarang tidur."
"Siapa saja yang tahu kelemahan
Empu Sakya?" tanya Bidadari Jalang.
"Kurasa tidak
banyak," jawab Ki Argapura. "Hanya sahabat dekatnya, seperti
kita-kita ini yang mengetahuinya."
"Mungkinkah satu di
antara kita ini yang telah membunuh Empu Sakya?" kata Ki Sonokeling sambil
memandangi mereka satu persatu. Mereka pun menjadi
saling pandang bernada curiga.
Pada saat itulah, Pendekar
Mabuk muncul di antara mereka. Kehadirannya membuat semua mata tertuju kepada
Pendekar Mabuk. Mata mereka pun tertuju pada Keris Setan Kobra yang terselip di
ikat pinggang Suto yang berwarna merah itu. Pendekar Mabuk tak pedulikan
pandangan mereka, tapi ia segera tundukkan kepala memberi hormat kepada sang
Guru, juga menghormat kepada para tokoh tua lainnya.
"Aku melihat senjata
terselip di pinggangmu, Muridku," tegur Gila Tuak.
"Apakah itu Keris Setan
Kobra?" tanya Bidadari
Jalang memancing kejujuran.
"Benar, Bibi Guru. Saya
menemukan keris ini di penyimpanannya dan segera membawa kemari untuk
diselamatkan dari tangan para angkara murka."
Suto Sinting mengambil keris
itu, lalu dengan kedua tangan diserahkan kepada Gila Tuak. Ia dalam keadaan
merendah, satu lututnya menempel tanah. Gila Tuak menerima keris itu dengan
bingung dan punya rasa tak enak kepada para tokoh lainnya.
''Bagaimana keris ini bisa
jatuh ke tanganmu, Muridku?"
Maka, Suto Sinting pun
menceritakan perjalanan menemukan keris bersama bocah desa yang menjadi
tetangga Ki Empu Sakya itu. Semua yang hadir di situ mendengar cerita Suto
tanpa ada yang memotong dengan pertanyaan apa pun.
"Banyak orang yang
menghadang saya, memaksa
saya menyerahkan keris itu
sebelum saya mendapatkannya. Pada umumnya mereka adalah orang- orang yang
disewa oleh Nila Cendani, si Ratu Tanpa Tapak yang sangat bernafsu untuk
mendapatkan keris itu guna membalas kekalahannya dalam pertarungan dengan
saya."
Ki Parandito segera menyahut,
"Ya, aku dengar sendiri saat ia lari meninggalkan ancaman dan
menyebut-nyebut niatnya untuk membalasmu setelah mendapatkan Keris Setan Kobra.
Tapi apakah mungkin Nila Cendani yang membunuh Empu Sakya?"
"Mungkin saja!"
jawab Ki Darma Paksi.
Embun Salju segera berkata,
"Tapi Nila Cendani tidak mempunyai ilmu 'Perisai Sukma'. Dari mana ia
menutup ilmu 'Jalur Gaib'-ku selama ini?"
Semua saling bungkam dan
saling pandang. Gila Tuak segera membuka kebungkaman dengan mengajukan tanya,
"Mau kita apakan keris
ini?"
Ki Madang Wengi menjawab,
"Lenyapkan saja supaya tidak jadi bahan rebutan. Salah-salah bisa jatuh ke
tangan orang-orang seperti Nila Cendani dan kehidupan di bumi bisa dirusaknya
dengan Keris Setan Kobra itu."
"Aku setuju. Lenyapkan
saja keris itu," kata Ki
Argapura.
"Baiklah," ujar Gila
Tuak. Ia meletakkan keris itu diatas sebuah batu. "Suto, lenyapkan dengan
tuakmu!" perintah Gila Tuak.
Maka, Suto pun segera
melaksanakan perintah tersebut, ia menenggak tuak, tapi tidak ditelan semuanya.
Sebagian disimpan di mulut, lalu tuak di mulut disemburkan ke keris tersebut.
Wuuurrsss...!
Jurus 'Sembur Siluman'
digunakan oleh Suto Sinting. Keris itu lenyap, seperti halnya benda lain jika
disembur tuak dengan jurus 'Sembur Siluman' akan hilang seketika itu juga. Tetapi
sebenarnya sewaktu-waktu Suto bisa memunculkan keris itu lagi dengan
menggunakan ilmu
'Jelma Siluman' dengan
kekuatan pandangan matanya.
Lenyapnya keris itu membuat
mereka menghela napas lega. Tetapi tiba-tiba terdengar langkah kaki
berlari-lari menuju tempat mereka. Suara meratap pun terdengar makin mendekat.
"Kang Sutooo...!
Kaaang...!"
"Angon Luwak!"
teriak Suto dengan kaget sekali, sebab Angon Luwak dalam keadaan terluka parah.
Suto Sinting menyongsongnya, lalu mengangkat bocah itu yang terkulai lemas
sebelum sampai di antara para tokoh tua. Suto Sinting segera membawa Angon
Luwak ke depan gurunya. Yang lainnya ikut memandangi bocah itu dengan iba hati.
"Agaknya ia terkena
pukulan tenaga dalam yang tidak semestinya dilepaskan untuk bocah sekecil
dirinya," ujar Ki Argapura, entah bicara kepada siapa.
Pendekar Mabuk segera berusaha
meminumkan tuaknya ke mulut Angon Luwak. Setelah ia menunggu kesembuhan Angon
Luwak dengan menceritakan
tentang Raden Udaya yang waktu
itu ditemuinya sedang mengejar-ngejar Angon Luwak. Suto Sinting juga
menceritakan keadaan Tiga Jagal dari Utara yang dikalahkan oleh seorang gadis
pengagumnya, tapi Suto tidak sebutkan nama gadis itu. Karena menurut Suto, nama
Rindu Malam tidaklah terlalu penting bagi mereka. Yang terpenting adalah sikap
gadis itu sebagai pengagumnya yang mau korbankan nyawa demi membela dirinya dan
ikut menyelamatkan Keris Setan Kobra itu.
"Jangan-jangan dia jatuh
cinta padamu?" kata
Sumbaruni bernada cemburu.
Embun Salju tersenyum tipis,
Bidadari Jalang juga tersenyum, Nyai Punding Sunyi pun tersenyum. Malahan Ki
Madang Wengi pun berkata,
"Ingat, Sumbaruni...
usiamu sudah di atasku. Jangan main cemburu begitu."
Sumbaruni tersinggung dan bicara
dengan lantang, "Apa pedulimu kalau aku jatuh cinta pada pemuda seperti
Suto, Madang Wengi?! Toh keadaan diriku masih tetap muda dan membutuhkan
pasangan yang seimbang."
Beberapa tokoh tua terkekeh
geli. Tapi mereka tidak lanjutkan kata-kata, sebab Angon Luwak mulai sadar dan
bocah itu agaknya sudah mulai bisa diajak bicara. Luka-lukanya memang belum
sembuh keseluruhan, tapi sudah lebih baik daripada semula.
"Apa yang terjadi padamu,
Angon Luwak?' tanya
Suto di depan mereka.
"Orang kadipaten itu...
mau membunuhku, Kang," jawab Angon Luwak. "Tapi Rindu Malam datang
selamatkan aku, dan menyuruhku lari mencarimu ke arah timur, lalu... kulihat
dirimu ada di sini."
"Sekarang di mana Rindu
Malam?"
"Sedang... sedang
bertarung melawan pengawalnya orang kadipaten itu."
Suto mengerti maksudnya. Orang
kadipaten yang dimaksud pasti Raden Udaya. Pengawalnya adalah Malaikat Beku.
Tapi ada sesuatu yang ingin diketahui oleh Suto melihat Raden Udaya tampak
bernafsu sekali untuk membunuh Angon Luwak.
"Sebenarnya, persoalan
apa yang membuatmu selalu dikejar-kejar oleh Raden Udaya itu, Angon
Luwak?"
"Persoalannya...,"
Angon Luwak diam sebentar, memikirkan jawabannya. Yang lain, para tokoh tua
tingkat tinggi itu, menunggu jawaban dengan tanpa ada yang bersuara. Bocah itu
pun akhirnya berkata lagi,
"Persoalannya karena aku
punya nyawa dan orang itu akan lenyapkan nyawaku. Tentunya aku tak mau karena
nyawaku cuma satu, Kang."
Beberapa dari mereka ada yang
tertawa dalam gumam mendengar kepolosan Jawaban Angon Luwak. Yang lainnya hanya
tersenyum, termasuk Bidadari Jalang. Suto Sinting menjelaskan maksudnya.
"Benar. Mereka akan
melenyapkanmu karena kau punya satu nyawa. Tapi apa sebabnya sehingga ia ingin
melenyapkanmu, Angon Luwak?"
"Karena... karena saya
waktu itu melihat
pengawalnya orang kadipaten
itu membunuh Mbok Wiji di tanggul sungai, Kang."
"Raden Udaya membunuh
Mbok Wiji?"
"Pengawalnya, Kang. Raden
Udaya hanya memerintahkan."
"Mbok Wiji?!" gumam
mereka satu persatu. Sumbaruni berkata, "Mbok Wiji adalah saksi mata
yang melihat pembunuh Empu
Sakya. Mengapa ia membunuh Mbok Wiji?"
"Melenyapkan sakai
mata!" jawab Bidadari Jalang. "Bukankah tidak ada hubungannya dengan
dirinya?"
kata Ki Argapura.
"Mbok Wiji yang sebarkan
cerita tentang ciri-ciri pembunuh itu, yakni tentang bumbung tuak dari bambu.
Dan semua orang tahu, pembawa bambu tuak adalah Suto. Maka tersebarlah berita,
bahwa Suto adalah pembunuh Empu Sakya," kata Sumbaruni. "Tetapi jika
Mbok Wiji bicara lebih banyak atau dihadapkan pada Suto, maka mungkin Mbok Wiji
akan menyatakan bahwa wajah pembunuh bukan wajah yang dimiliki Suto."
"Berarti Raden Udaya-lah
pembunuhnya?" Ki
Sonokeling ambil kesimpulan
begitu.
"Tapi Udaya tidak punya
ilmu tinggi, dan tidak punya ilmu 'Perisai Sukma'."
"Aku curiga pada
pengawalnya, si Malaikat Beku itu!" kata Suto bagaikan bicara sendiri.
"Sebaiknya kutemui mereka. Angon Luwak, di mana Rindu Malam bertarung
dengan pengawalnya Raden Udaya itu?'
"Di pantai,
Kang...," jawab Angon Luwak. Suto Sinting pun pamit kepada gurunya untuk
menyusul Raden Udaya ke pantai. Ki Madang Wengi
mengikutinya.
*
* *
9
PANTAI itu termasuk jajaran
wilayah Pantai Semberani, walau letak pertarungan mereka jauh dari kaki Bukit
Semberani. Tak heran jika di situ ternyata telah berdiri pula seorang tokoh tua
berambut abu-abu yang tak lain adalah Raja Maut. Tokoh tua itulah yang
menyaksikan pertarungan Rindu Malam dengan Malaikat Beku. Ledakan-ledakan yang
terjadi akibat pertarungan ilmu Rindu Malam dengan Malaikat Beku mengguncang
tanah pantai, menggetarkan Bukit Semberani, sehingga memancing Raja Maut keluar
dari pondoknya, ingin melihat apa yang terjadi di sekitarnya.
Agaknya Rindu Malam terdesak
oleh kekuatan Malaikat Beku. Tubuhnya berulang kali terjungkal akibat hentakan
gelombang tenaga dalam yang dahsyat dari cambuk si Malaikat Beku. Cambuk itu
bukan sembarang cambuk. Kenyal dan alot. Mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup
tinggi, sehingga sejak tadi sulit dipotong oleh pedang Rindu Malam.
"Kurasa gadis itu akan
terdesak dan celaka jika aku tak segera turun tangan," pikir Raja Maut.
"Tapi
haruskah aku ikut campur
tangan dengan urusan mereka? Ah, kurasa jika hanya menyelamatkan gadis itu, tak
seberapa berat ikut campurku terhadap urusan mereka."
Malaikat Beku memutar-mutar
cambuknya di udara. Kejap berikut cambuk itu dilecutkan ke tanah berpasir.
Taaar...! Ujung cambuk menghantam tanah berpasir. Lalu dari dalam tanah itu
menyembur puluhan jarum warna merah yang melesat ke arah Rindu Malam,
Zraaaak...!
Rindu Malam masih terjatuh
dari satu sentakan kuat tadi. Ketika ia bangun separo berdiri, tiba-tiba ia
diserang pukulan jarum tersebut. Zrubb...!
"Ahhg...?!" Rindu
Malam terkejut, tak sempat menghindar. Tubuhnya segera mengejang di tempat.
Kepalanya terdongak dengan wajah menyeringai menderita. Tubuh gadis itu segera
berasap, menyebarkan bau busuk, seperti bau mayat yang sudah terkubur satu
minggu lamanya.
"Sudah kuingatkan agar
kau lari dariku, Nona. Tapi agaknya kau memang ingin lekas modar! Sekarang
terimalah jurus 'Cambuk Pembelah Raga' ini! Heeaaaat...."
Cambuk itu melayang di udara.
Saat itu seluruh tali cambuk berubah menjadi membara merah dan berasap. Cambuk
itu pun dilecutkan ke tubuh Rindu Malam yang mengejang kaku karena jarum
beracun tadi.
Taaar...! Glegaaar...!
Suara ledakan membahana
terdengar menyeramkan.
Gelombang air laut naik
setinggi atap rumah, bergulung- gulung menuju ke tengah samudera. Mestinya
tubuh Rindu Malam akan hancur terpotong-potong menjadi beberapa puluh bagian.
Tetapi pada saat cambuk sedang dilecutkan, Raja Maut bergerak lebih dulu dan
lebih cepat, ia menyambar tubuh Rindu Malam. Wuuut...! Tahu-tahu sudah ada di balik
gugusan batu karang. Jauhnya lebih dari lima belas langkah dari tempat Malaikat
Beku berdiri. Sedangkan Raden Udaya hanya terperangah bengong, masih duduk di
atas kudanya di belakang Malaikat Beku, berjarak lewat dari dua puluh langkah.
Sejak tadi ia menyaksikan pertarungan hebat itu, dengan senyum kebanggaan,
karena Malaikat Beku yang dijagokan ternyata mampu menunjukkan kehebatan ilmu
dan jurus-jurusnya.
Bukan hanya Raden Udaya yang
kecewa melihat Rindu Malam terselamatkan oleh gerakan cepat Raja Maut, tetapi
Malaikat Beku pun sangat kecewa dan murkanya kian bertambah.
"Keparat kau, Tua
Bangka!" teriaknya penuh luapan amarah. "Kuhancurkan sekalian tubuhmu
dengan Cabuk Urat Setan-ku ini! Heaaah...!"
Malaikat Beku berlari mengejar
Raja Maut yang menunggu dengan siap. Tetapi gerakan Malaikat Beku itu
dipatahkan oleh sebuah serangan yang datang dari arah samping kirinya. Dees...!
Sebuah sentilan jari tengah membuat Malaikat Beku terlempar hampir masuk ke
perairan laut. Jurus 'Jari Guntur' mengawali kehadiran Suto di pantai itu.
"Bangsat! Siapa yang mau
ikut campur lagi, hah?!" teriak Malaikat Beku.
"Aku...!" jawab
Suto, lalu muncul dari
persembunyiannya. Hal itu
membuat Raden Udaya terkejut dan cemas. Tapi membuat Raja Maut tersenyum lega.
Sementara Rindu Malam terkapar dengan tubuh membiru dan tak bisa berbuat
apa-apa. Raja Maut mencoba menawarkan racun di tubuh Rindu Malam dengan
menyalurkan hawa dingin ke tubuh gadis itu. Wuuut...! Jleeg...!
Suto Sinting melompat dan
berdiri tegak tak jauh dari Malaikat Beku. Di ujung sana, Raden Udaya yang
menjadi takut menyimpan kecemasannya. Lalu ia putuskan untuk menyingkir
sementara dari tempat itu, menunggu hasil akhir pertarungan yang bakal terjadi
dengan seru itu.
Tetapi ketika Raden Udaya
membelokkan arah kudanya, tiba-tiba seseorang telah melemparkan batu kerikil
sekecil kacang tanah. Wuuut...! Teeb...! Raden Udaya jatuh dari punggung kuda,
tapi ia tak bisa bergerak lagi, sekujur tubuhnya menjadi kaku. Rupanya
seseorang telah menotok jalan darahnya memakai batu kerikil itu. Kini yang
dapat dilakukan oleh Raden Udaya hanya menggerakkan kepala saja, termasuk mulut
dan matanya. Tapi bagian tubuh lainnya kejang seperti tubuh patung batu.
"Siapa ini yang
menotokku?!" teriaknya dengan berang.
Suara tawa seperti menggumam
terdengar. Seorang
lelaki bertubuh agak gemuk
muncul sambil mengunyah makanan. Ki Madang Wengi itulah orang yang telah
menotok jalan darah Raden Udaya untuk menahan agar anak Adipati itu tidak pergi
dari tempatnya. Ki Madang Wengi hanya terkekeh-kekeh mendengar sebaris cacian
dari Raden Udaya yang minta dibebaskan dari totokannya. Ki Madang Wengi bahkan
duduk di atas batu sambil memperhatikan ke arah pertarungan Malaikat Beku dan
Suto Sinting.
Sebelum itu, Suto Sinting yang
tampak tenang sempat menenggak tuaknya, menelannya beberapa teguk. Membiarkan
Malaikat Beku melecutkan cambuknya ke arah tubuh Suto. Tubuh Pendekar Mabuk itu
melesat lompat ke samping menghindari cambuk tersebut dengan tetap menenggak
tuaknya. Setelah selesai menenggak, barulah ia memandang dengan senyum penuh
tantangan.
Sementara itu dari kejauhan
terdengar suara Raja Maut berseru kepada Pendekar Mabuk, "Habisi saja dia,
Suro! Dia adalah Kalatandu, cucu sesat Empu Sakya yang banyak mengetahui
rahasia dan kelemahan Empu Sakya!"
Suto manggut-manggut
memandangi Malaikat Beku sambil menyunggingkan senyum sinis. Malaikat Beku
tempak berang kepada Raja Maut. Tetapi jaraknya yang jauh membuat ia tak berani
menyerang, karena takut diserang Suto dari belakang. Hatinya hanya membatin,
"Busuklah mulut si tua
bangka itu! Dia tahu siapa diriku!"
Sedangkan Suto Sinting segera
perdengarkan
suaranya yang kelem,
"Ooo... jadi kau yang bernama
Kalatandu?"
"Ya! Memang aku
Kalatandu!" sentak Malaikat
Beku.
"Kurasa kau yang membunuh
Mbok Wiji!"
"Memang. Perempuan itu
kubunuh supaya tidak banyak bicara tentang diriku. Sebab hanya dialah yang
mengetahui saat aku membunuh Empu Sakya, kakekku sendiri itu. Tapi dia hanya
tahu ciri-ciri yang ada padaku. Sengaja kubawa bumbung tempat tuak seperti
bumbungmu itu, supaya orang akan menyangka kaulah pelakunya. Ternyata rencanaku
itu berhasil. Tapi aku jadi khawatir kalau Mbok Wiji bicara tentang wajahku dan
ciri-ciri lainnya!"
"Dugaan para tokoh pun
begitu, Kalatandu."
"Persetan dengan dugaan
para tokoh. Sekarang sudah telanjur terbuka. Tapi kau tak bisa menyalahkan aku
saja, sebab anak Adipati itulah yang memerintahkan diriku dan mengupahku untuk
menjatuhkan namamu! Dengan begitu kau akan dibenci oleh Mega Dewi dan Mega Dewi
akan mencintai Udaya! Anak Adipati itulah yang mengatur siasat dengan
menggunakan bambu tuak pada saat aku membunuh kakekku yang sedang tidur
itu."
"Kenapa kau tega membunuh
kakekmu sendiri." "Karena aku sudah tak sabar lagi menunggu keris
pusaka itu belum juga
diwariskan padaku. Sayangnya waktu Kakek sudah kubunuh, aku tidak menemukan
letak penyimpanan keris itu. Tapi aku cukup puas dapat
membunuh Empu Sakya dengan
keris peninggalan Ibuku. Kurasa Mbok Wiji juga tahu kalau aku keluar dari
belakang rumah Empu Sakya sambil membawa keris, ia pasti akan menceritakan
kepada orang-orang tentang keris yang kubawa itu, sehingga orang sangka kaulah
pembunuhnya dan berhasil membawa keris pusaka!"
"Terima kasih atas
pengakuanmu, Kalatandu," kata
Suto kalem sekali.
"Sengaja kubeberkan
supaya kau tidak penasaran dalam perjalanan menuju ke alam baka, Suto Sinting!
Tentunya kau pun tahu bahwa bocahmu itu perlu kubunuh karena dia mengetahui
saat aku membunuh Mbok Wiji. Jika tidak kubunuh dan ia buka rahasia itu, maka
orang cerdas akan bisa menyimpulkan siapa pembunuh Empu Sakya sebenarnya. Tapi
sayang... bocahmu itu licin seperti belut dan selalu dinaungi dewa
keberuntungan, sehingga sampai sekarang masih belum berhasil kulenyapkan!"
"Kau tak akan berhasil
membunuhnya semasa
Pendekar Mabuk masih
hidup."
"Kalau begitu sekaranglah
saatnya untuk minggat ke neraka! Heaaat...!"
Taaar...!
Cambuk dilecutkan, ujungnya
melepaskan sinar api yang berkerilap menyambar tubuh Suto Sinting. Tapi
Pendekar Mabuk berhasil bersalto dua kali ke belakang dengan gerakan cepat.
Gerakan itu membuat cambuk Kalatandu mengenai tempat kosong. Kalatandu menjadi
sangat penasaran, ia menggeram
sambil segera lakukan lompatan menyerang. Cambuknya diputar di atas kepala
menimbulkan bunyi dengung yang amat kuat, lalu dilecutkan ke arah Suto kembali.
Taaar...!
Suto Sinting menangkis cambuk
itu dengan bambu tuaknya. Cambuk menjadi terjerat bambu tuak. Lalu Suto
sentakkan dengan keras, penuh kekuatan tenaga dalam, sehingga tubuh yang
melayang itu tersentak maju ke arahnya, kemudian ujung bambu disodokkan ke depan.
Wuuuk...! Buuuhg...! Tepat mengenai dada Kalatandu.
"Uhhg...!" tubuh
Kalatandu belum sampai menyentuh tanah sudah terlempar lagi ke belakang.
Wajahnya menjadi merah dan mulutnya keluarkan darah akibat sodokan bambu tuak
yang bernama jurus 'Mabuk Pelebur Gunung'. Tubuh Suto pun melangkah dua tindak
dengan menggeloyor seperti orang mau jatuh karena mabuk. Tapi itulah jurus
mautnya yang membahayakan lawan.
Kalatandu masih bisa bangkit.
Padahal wajahnya sudah biru legam, demikian pula bagian lengannya. Rambutnya
rontok dan menjadi beterbangan tertiup angin pantai. Suto menganggap Kalatandu
berilmu tinggi, karena biasanya lawan yang terkena jurus 'Mabuk Pelebur Gunung'
akan mati beberapa saat setelah rambutnya rontok.
"Rupanya ia punya baja
pelapis jiwa di dalam tubuhnya!" pikir Suto, namun ia masih menampakkan
ketenangannya.
Kalatandu menepukkan tangannya
di atas kepala. Plaaak...! Claaap...! Sinar putih melesat menghantam Suto
Sinting. Dengan cepat Suto berguling ke tanah menyambar cambuk yang jatuh, lalu
cambuk itu dilecutkan ke arah datangnya sinar tersebut. Taaar...!
Kilatan cahaya biru keluar
dari ujung cambuk dan menghantam sinar putih.
Blegaaar...!
Ledakan terjadi dengan
dahsyat. Gugusan batu karang setinggi rumah menjadi rontok berjatuhan menutup sebagian
tepian pantai. Tetapi Kalatandu masih tetap berdiri tegak tanpa bergeser dari
tempatnya sedikit pun. Bahkan kedua tangan yang tadi bertepuk satu kali di atas
kepala itu ditarik turun sampai ke dada secara pelan-pelan, kemudian
disentakkan ke depan dengan kaki merenggang rendah. Wuuut...! Slaaap...!
Sinar merah meluncur selarik
lurus dari ujung dua tangan yang menyatu itu. Suto Sinting menangkisnya dengan
bumbung tuak. Taaas...! Sinar merah itu menjadi besar dan bentuk besarnya
bergerak makin mendekati ujung tangan Kalatandu. Akhirnya Kalatandu ketakutan
sendiri dan melepaskan kedua tangannya sambil melompat menghindar. Wuuut...!
Blaaar...! Sekali lagi gugusan batu karang menjadi sasaran sinar itu. Dihantam
kuat dalam bentuk satu ledakan, dan tahu-tahu gugusan batu karang itu lenyap,
tinggal setumpuk pasir putih kecoklatan sebagai tanda batu karang itu lebur
menjadi selembut itu. Kalatandu sempat terperangah heran dan
tegang.
Tapi pada saat itu, Suto
Sinting masih memanfaatkan senjata Kalatandu itu dengan melecutkan cambuk
tersebut ke udara tiga kali. Tar, tar, tar...! Dan kilatan cahaya api merah
kebiru-biruan melesat menghantam tubuh Kalatandu.
Duaaar...! Ketiganya
menghantam bersama, tubuh Kalatandu terlempar jauh. Ketika ia jatuh ke tanah,
ternyata satu kakinya sudah tak ada, satu tangannya jatuh di sebelah sana, dan
daun telinganya pun entah jatuh di mana. Kalatandu masih mencoba berdiri untuk
lakukan serangan dengan satu tangan. Namun Pendekar Mabuk segera melompat dan
lecutkan cambuk ke arah punggung lawan.
Taaar...! Craas...!
Tenaga dalam yang dimiliki
Suto membuat ujung cambuk bagaikan pedang tajam. Punggung Kalatandu koyak
lebar. Tak diduga ujung cambuk itu mengenai jantung dari belakang, jantung itu
pecah dan Kalatandu pun tak mampu berkutik lagi. Ia rebah tanpa nyawa dengan
tubuh berlumur darah.
Kejadian itu dilihat jelas
dengan mata Raden Udaya, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena masih dalam
pengaruh totokan Ki Madang Wengi. Sedangkan Ki Madang Wengi segera membawanya
ke tempat para tokoh yang berkumpul di Jurang Lindu. Mereka sepakat menyerahkan
Raden Udaya kepada sang Adipati untuk dihukum karena kesalahannya mengupah
Kalatandu membunuh Ki Empu Sakya.
"Katakan kepada sang
Adipati, jika ia tidak bisa menghukum secara adil, kita yang akan mengadili
sesuai cara kita sendiri!" kata Jangkar Langit kepada Ki Madang Wengi dan
Ki Sonokeling yang ditugaskan membawa Raden Udaya ke kadipaten.
Suto Sinting pun berhasil
mengobati luka racun Rindu Malam, yang apabila terlambat sedikit lagi akan
menewaskan nyawa gadis cantik itu. Raja Maut tersenyum tipis, wajahnya tampak
ceria.
"Sekarang namamu sudah
bersih dari para tokoh aliran putih, Suto. Kurasa Madang Wengi mampu membuka
mulut Raden Udaya untuk mengakui segala tindakannya bersama Kalatandu, si cucu
sesat itu."
Suto Sinting tersenyum lega.
Tapi ia segera membawa Rindu Malam melangkah agak jauh dan bertanya kepada si
cantik itu,
"Siapa kau sebenarnya,
sehingga berani mengorbankan nyawa untuk persoalanku ini? Katakan sejujurnya,
Rindu Malam."
Gadis itu menatap sebentar,
lalu tundukkan kepala sambil berkata,
"Aku seorang utusan yang
ditugaskan membantu menyelesaikan perjalanmu, setelah itu membawamu ke
negeriku."
"Utusan dari mana?"
"Negeri Ringgit
Kencana," jawab Rindu Malam pelan tapi jelas. Sangat mengejutkan Suto.
"Ratu Asmaradani mengutusku menjemputmu, Suto!
"Asmaradani?! Bukankah
wanita itu hanya ada dalam
mimpiku?! Tapi kenapa ternyata
ada dalam kenyataan?!" pikir Suto dengan terheran-heran.
Lalu terbayang dalam ingatan
Suto tentang
mimpinya, seorang wanita
cantik yang mengaku bernama Asmaradani memberikan setangkai mawar warna
pelangi. Mawar itu tanpa duri, dan punya aroma wangi yang amat lembut, membekas
di hati. Saat terbayang mawar yang mirip dengan hiasan di ujung gagang pedang
Rindu Malam itu, Suto mendengar suara gadis itu berkata,
"Kami punya kesulitan,
dan hanya kau yang bisa melepaskan kesulitan itu."
"Kesulitan apa?!"
Rindu Malam belum menjawab,
segera muncul gadis yang rambutnya cepak seperti lelaki, tapi mempunyai rantai
emas berbatu mirah delima di keningnya. Gadis itu tak lain adalah Kelana Cinta,
yang hadir di pertemuan para tokoh tingkat tinggi di Jurang Lindu tadi.
Rindu Malam merunduk memberi
hormat. Ternyata Kelana Cinta mempunyai jabatan lebih tinggi dari Rindu Malam.
"Persoalannya sudah
selesai, Rindu Malam. Pelakunya adalah Raden Udaya dengan menggunakan kesaktian
seseorang yang mempunyai ilmu 'Perisai Sukma'."
"Ia bernama Kalatandu,
Perwira Kelana Cinta," kata Rindu Malam, yang ternyata seorang perwira,
jabatan tinggi bagi mata-mata Negeri Ringgit Kencana, yang punya hak mewakili
ratunya untuk kepentingan apa pun.
"Baik. Sekarang sudah
tiba saatnya menjemput Pendekar Mabuk karena kurasa sang Ratu sudah menunggunya
terlalu lama."
"Suto, mari ikut kami ke
Negeri Ringgit Kencana," kata Rindu Malam.
"Aku... hmmm... baiklah,
aku bersedia. Tapi jelaskan dulu kesulitan apa yang harus kuhadapi untuk
menolong kalian?"
"Ratu Asmaradani bisa
jelaskan padamu. Jika kau ingin tahu kesulitan itu, cepatlah temui ratu
kami!" kata Kelana Cinta dengan sikap sopan dan tampak menghormat kepada
Pendekar Mabuk. Si tampan Suto Sinting itu hanya tertegun bengong dengan dahi
berkerut
tajam.
SELESAI