NYANYIAN burung pagi telah
menggugah hati sejak tadi. Hati yang tergugah itu tak lain milik seorang pemuda
tampan berambut panjang digulung dengan sisanya meriap sampai pundak. Pemuda
itu mengenakan rompi dan celana hijau berhias benang emas dengan sabuk hitam
yang dipakai untuk menyelipkan sebilah pedang sarung perak. Murid dari Resi
Badranaya itu dikenal dengan nama Darah Prabu, yang baru saja terbebas dari
keganasan racun 'Tapak Ungu'-nya Nyi Mas Gandrung Arum.
Hanya pemilik racun 'Tapak
Ungu' yang bisa mengobati Darah Prabu. Namun berkat pengetahuan luas tokoh tua
yang sering dipanggil dengan julukan si Tua Bangka, racun itu bisa ditawarkan
sebelum merenggut jiwa Darah Prabu. Penawarnya adalah air 'Sendang Ketuban' yang
ada di Gunung Purwa. Dan karena air itulah maka murid si Gila Tuak yang
bergelar Pendekar Mabuk; Suto Sinting, berkunjung ke negeri Wilwatikta yang ada
di punggung Gunung Purwa dan bertemu dengan penguasa negeri yang luasnya hanya
satu desa itu; Ratu Dewa Cumbutari. Air 'Sendang Ketuban' itu berhasil
diperoleh Suto Sinting, kemudian segera digunakan sebagai obat penawar racun
'Tapak Ungu' yang membahayakan itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pembantai Raksasa").
"Aku merasa senang sekali
melihat kamu sehat kembali, Darah Prabu. Mulanya aku sangat cemas dan takut
kalau sampai kau mati. Seandainya kau mati, aku sudah menyusun rencana untuk
bunuh diri, biar bisa bertemu denganmu di alam kelanggengan sana. Tapi
kupikir-pikir, mati itu tidak enak, karena tidak bisa garuk-garuk punggung
sebab tidak punya raga. Maka aku hanya bisa berdoa kepada Hyang Widi Wasa agar
kau diselamatkan melalui perantara siapa saja. Dan ternyata Pendekar Mabuk
itulah yang dipakai sebagai perantara Hyang Widi Wasa untuk mengobati lukamu
dan menyelamatkan jiwamu. Aku gembira sekali,
hampir lupa ucapkan terima kasih kepada Hyang Widi Wasa. Sekarang aku
mau berdoa dulu, ya?"
Kata-kata panjang bertele-tele
itu diucapkan oleh seorang gadis berbaju kuning terang dengan belahan dadanya
agak lebar. Gadis itu berwajah mungil tapi cantik, matanya bundar indah
berbinar-binar dengan bulu mata yang lentik, bibir yang mungil, hidung yang
bangir, serta kulit yang kuning mulus.
Dengan rambut sepundak yang
lurus lemas di-poni depan, gadis penyandang pisau tiga jengkal berkalung batu
hijau sebesar kemiri itu tak lain adalah Dewi Kejora, yang dikenal dengan nama
Kejora saja. Dia anak keempat dari lima bersaudara keturunan tokoh putih; Jalma
Dupi dan Sang Ratri. Dua kakaknya telah tewas di tangan orang-orang Candi
Bangkai, sekarang yang masih hidup hanya
seorang kakak dan seorang adik kecil; Dewi Hening dan Dewi Menik. Tapi mereka
saat itu sedang pergi ke Lembah Sunyi menemui Resi Wulung Gading dan akan menanyakan
sebuah pusaka kuno warisan leluhur mereka.
Pusaka itu bernama Panji-panji
Mayat atau Panji- panji Agung. Sebagian orang mengenalnya pula dengan nama
Panji-panji Dewa. Panji-panji itu sampai sekarang belum diketahui ada di mana.
Seandainya dititipkan kepada seseorang, lalu siapa orang yang dipercaya oleh
Nyai Parisupit untuk menyimpan pusaka tersebut? Dan persoalan ini ternyata
telah melibatkan Suto Sinting untuk membantu keluarga Kejora memperoleh pusaka
itu kembali, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Utusan Raja Iblis").
Mendengar ucapan si mungil
Kejora, murid Resi Badranaya itu hanya tersenyum dengan memandang penuh pesona.
Senyum itu bukan senyum murahan, namun cukup mahal bagi Kejora dan jarang
dilakukan oleh Darah Prabu, sebab baru kali itu hatinya merasa berdesir-desir
indah mendengar sebaris ucapan yang bertele-tele namun enak didengar itu.
"Mengapa kau ingin ikut
mati kalau nyawaku tak tertolong lagi?" tanya Darah Prabu memancing
desiran hati agar lebih indah lagi.
"Karena jika nyawamu tak
tertolong, berarti kau mati. Jika kau mati, ragamu tak punya nyawa. Jika ragamu
tak punya nyawa kau tak akan bisa kuajak bicara," jawab Kejora yang
berwatak lugu, polos dan berotak kurang cerdas. Jawaban itu membuat Darah Prabu
tertawa bagai orang menggumam. Tawanya seperti bulu ayam masuk ke telinga
Kejora, menggelitik geli namun memancarkan keindahan di sekujur tubuhnya.
"Jadi kau berdoa untuk
keselamatanku hanya supaya kau bisa bicara denganku?"
"Iya," jawab Kejora
dengan anggukkan kepala dan senyum malu tersembunyi di balik bibir mungilnya.
"Mengapa kau suka bicara
padaku?"
"Karena aku punya sesuatu
yang hanya ingin kubicarakan padamu."
"Sesuatu apa itu, Kejora?
Katakan sekarang juga, mumpung napasku masih ada," seraya Darah Prabu
berlagak acuh tak acuh, memandang ke arah lain dengan hati berdebar-debar.
Tetapi Kejora tidak segera menjawab karena diliputi perasaan malu. Gadis
itu hanya senyum-senyum sambil sesekali
menunduk walau matanya sebentar-sebentar melirik ke arah Darah Prabu. Namun
beberapa saat kemudian terdengar suaranya yang sedikit bergetar, "Ak...
aku... aku malu mau mengatakannya, Darah Prabu."
"Jangan malu kepadaku,
karena aku tak akan menghinamu. Katakan saja apa yang ingin kau katakan,"
sambil Darah Prabu pandangi daun-daun berembun di seberang sana.
Karena tak ada jawaban dari
Kejora, Darah Prabu mengulang pertanyaannya dengan masih memandang ke arah
dedaunan dan bernada sedikit memaksa,
"Bukankah kau ingin
mengatakan sesuatu padaku?" "Benar, Darah Prabu."
"Cepat katakan sekarang
juga aku siap mendengarmu."
"Heegh...!"
Darah Prabu berkerut dahi.
"Apa artinya 'heegh' itu, Kejora?"
Tentu saja Darah Prabu heran,
karena ia tidak berpaling memandang gadis itu. Namun ia tetap bertahan
memunggungi gadis itu agar si gadis semakin memburunya dan penasaran padanya,
ia berkata sambil tangannya memainkan embun di atas permukaan daun di depannya
persis.
"Katakanlah dengan bahasa
yang wajar saja supaya mudah kumengerti maksudmu. Jika kau mengatakan isi
hatimu dengan bahasa sandi, bisa-bisa aku salah menyimpulkan dan akan berakibat
tak enak di hatimu. Hati gadis secantik kau seharusnya selalu dijaga agar tak
pernah terluka dan tergores nyeri. Barangkali akulah yang akan menjadi penjaga
hatimu, Kejora." Suara gadis cantik itu tidak terdengar. Alam menjadi sepi
sejenak, yang ada hanya sisa nyanyian burung pagi. Darah Prabu tersenyum tipis
menertawakan perasaan Kejora yang pasti berdebar-debar salah tingkah sendiri.
Namun setelah masa sepi itu terlalu panjang, tangan Darah Prabu terasa capek
memainkan embun dalam penantiannya, ia pun segera perdengarkan suaranya lagi.
"Tak maukah kau
menjelaskan maksud bahasa sandimu tadi, Kejora?" Kemudian dengan gerakan
kalem Darah Prabu berpaling ke belakang.
"Lho...?!
Kejora...?!" ia terperanjat kaget, matanya mendelik seketika, napasnya
tertahan dan mulutnya ternganga.
Ternyata Kejora sudah tak ada
di tempat. Gadis itu hilang bagai ditelan bumi. Sehelai rambutnya pun tak
tertinggal.
"Ke mana dia?! Mengapa
hilang begitu saja?!" pikir Darah Prabu. "Apakah dia bersembunyi dan
ingin bercanda denganku?"
Tapi hati kecil Darah Prabu
menolak kemungkinan itu. Firasatnya mengatakan ada yang tak beres yang telah
terjadi menimpa diri Kejora. Suara 'heegh' tadi dipahami sebagai suara sentakan
napas yang tertahan akibat satu tekanan; mungkin rasa sakit, atau mungkin
sebuah totokan jalan darah yang membuat jalur pernapasannya tersentak.
Wuuuttt...! Darah Prabu segera
mencari di sekitar tempat itu. Ia juga mempunyai gerakan peringan tubuh yang
cukup tinggi, sehingga mampu melesat ke atas pohon. Clingak-clinguk sebentar,
lalu melesat dari pohon ke pohon sambil memandang jeli ke arah sekelilingnya.
"Prabu...!"
terdengar suara orang memanggil dari arah timur. Darah Prabu segera berpaling
dengan satu sentakan hati penuh harap. Ternyata orang yang memanggilnya itu
adalah pemuda berbaju coklat tanpa lengan dengan celana putih lusuh dan
menyandang bumbung tuak di punggungnya.
"Kebetulan Suto Sinting
sudah bangun," gumam hati Darah Prabu begitu mengetahui pemuda berbaju
coklat tanpa lengan itu tak lain adalah murid si Gila Tuak; Suto Sinting.
Zlaaap...!
Pendekar Mabuk bergerak lebih
dulu sebelum Darah Prabu mendekatinya. Mereka berjumpa dalam satu pohon lain
dahan. Keduanya sama-sama berdiri kokoh dengan keseimbangan tubuh yang terjaga,
seakan mereka berdiri di atas sebuah batu datar.
"Suto, Kejora hilang
secara tiba-tiba!" ujar Darah Prabu bernada tegang.
"Ya, aku
melihatnya!" kata Suto Sinting yang membuat Darah Prabu sedikit berkerut
dahi.
"Sekelebat bayangan ungu
menyambarnya," tambah Suto. "Aku terlambat mengejar karena tutup
bumbung tuakku tadi jatuh menggelinding dan aku kerepotan mengambilnya. Namun
setelah kukejar ke arah timur, ternyata bayangan ungu itu tak terlihat
lagi."
"Bagaimana kau bisa
melihat kejadian itu? Bukankah waktu aku dan Kejora keluar dari gua, kau dan Ki
Sanupati masih tertidur?!"
"Aku baru saja bangun,
lalu buang air kecil. Kudengar percakapanmu di sebelah sana tadi, kuintip
kalian berdua dan kudengar pembicaraan kalian dari balik semak-semak."
"Oh, kau memang pendekar konyol,
Suto!" gerutu Darah Prabu sambil bersungut-sungut.
"Ketika kutenggak tuakku,
kudengar suara Kejora terkikik tertahan. Rupanya ia terkena totokan dari jarak
jauh. Orang yang menotoknya itu segera menyambarnya dan... seperti apa yang
kuceritakan tadi."
"Kalau begitu aku harus
segera mengejarnya ke arah timur!" geram Darah Prabu mulai tampak
kedongkolannya.
"Ada apa ini?!"
tiba-tiba sebuah suara tua menyahut dari dahan yang lebih tinggi di atas kedua
pemuda itu. Oh, ternyata si Tua Bangka sudah ada di atas sana. Tokoh tua
berpakaian abu-abu yang gigi depannya tinggal dua itu ternyata mampu bergerak
dengan ilmu peringan tubuh cukup tinggi, hingga kehadirannya di atas kedua
pemuda itu tidak menimbulkan suara yang mencurigakan, ia datang ke pohon tersebut
bagaikan daun kering yang terbang melayang dihembus angin pagi.
"Tua Bangka, Kejora
hilang!" seru Darah Prabu dengan sedikit mendongak.
Wuuutt...! Tua Bangka turun
dari tempat ketinggiannya bagaikan seekor burung gagak terbang merendah.
Kakinya berpijak pada dahan yang dipakai berdiri Suto Sinting, namun tak terasa
timbul getaran pada dahan itu.
"Oooaahhhmmm...!"
Tua Bangka menguap, lalu
matanya mengerjap- ngerjap sebentar, dan dikucal-kucalnya memakai lengan baju.
Bekas ilernya hilang tersapu lengan baju juga. Ia memandang Darah Prabu dan
segera ajukan tanya dengan suara sedikit parau karena baru saja bangun tidur.
"Siapa yang hilang?"
"Kejora...!" Darah
Prabu agak menyentak, kemudian Suto Sinting menimpali dengan menceritakan
tentang bayangan ungu yang dilihatnya berkelebat ke arah timur. "Bayangan
ungu...?!" gumam Tua Bangka sambil dahinya yang keriput makin berkerut.
"Bayangannya siapa yang warnanya ungu?! Semua bayangan biasanya berwarna
hitam. Lihat, bayanganku saja berwarna hitam," sambil
menuding kepada bayangannya yang
menempel pada batang pohon di
sampingnya. "Maksudku,"
ujar Suto Sinting menjelaskan, "Orang
yang menyambar Kejora bergerak
cepat bagaikan sebuah bayangan berwarna ungu."
"Pasti warna ungu adalah
warna pakaiannya," timbal Darah Prabu.
"O, iya! Pasti
pakaiannya, mana mungkin ada yang ungu itu giginya," ujar Tua Bangka
menanggapi dengan agak tenang, berkesan seenaknya saja. Baginya peristiwa
seperti itu sudah bukan hal yang mengherankan lagi. Bertahun-tahun berkelana di
rimba persilatan, Tua Bangka sudah terlalu sering menghadapi masalah seperti
itu. Yang menjadi masalah baginya adalah; siapa bayangan ungu itu?
"Sumbaruni memakai jubah
ungu, dan ia menyukai warna ungu," ujar Pendekar Mabuk yang cukup kenal
dengan tokoh perempuan sakti mantan istri jin itu, (Baca serial Pendekar Mabuk
episode: "Ratu Tanpa Tapak").
"Hmmm... ya, aku pun
kenal dengan si Pelangi Sutera alias Sumbaruni itu," ujar Tua Bangka.
"Dia memang penggemar warna ungu, sampai pedangnya saja dililit kain ungu.
Tapi apakah mungkin si Sumbaruni yang membawa pergi Kejora?"
"Aku belum kenal dengan
perempuan bernama Sumbaruni," kata Darah Prabu.
"Nanti kalau bertemu
dengannya akan kukenalkan," sahut Tua Bangka, kemudian ia memandang
Pendekar Mabuk. "Urusan apa Sumbaruni hingga membawa pergi Kejora?"
"Bukan dibawa pergi, tapi
diculik! Kejora pasti diculik oleh seseorang!" sergah Darah Prabu.
"Iya, ya! Diculik!"
sentak Tua Bangka sambil bersungut-sungut. "Masalahnya, mengapa Sumbaruni
menculik Kejora? Mengapa bukan aku saja yang diculik Sumbaruni?!"
"Karena kau sudah
tua!" ketus Darah Prabu yang agak dongkol karena merasa ditanggapi dengan
kalem oleh Tua Bangka yang bernama asli Ki Sanupati itu.
"Aku sendiri belum berani
memastikan, apakah benar Kejora diculik oleh Sumbaruni," ujar Pendekar
Mabuk sambil memandang dalam terawangnya. Kemudian ia menatap Tua Bangka dan
berkata lagi dengan suara tenang namun berkesan tegas dan sungguh-sungguh.
"Bukan hanya Sumbaruni
orang yang berjubah ungu.
Tembang Selayang juga berjubah
ungu."
"Hmmm... ya, Tembang
Selayang anak di Empu Tapak Rengat itu memang berjubah ungu, tapi untuk apa
Tembang Selayang menculik Kejora?" ujar Tua Bangka sambil mengusap-usap
dagunya yang tanpa jenggot itu.
"Lalu... Inupaksi, murid si
Jubah Kapur, juga berpakaian serba ungu," kata Suto Sinting lagi.
"Puspa Jingga, murid si
Nini Kalong, juga berpakaian serba ungu," Tua Bangka menimpali lagi.
Suto Sinting menambahkan kata,
"Dewa Sengat, gurunya Putri Kunang, berjubah ungu pula. Tapi dia sudah
mati."
Tua Bangka mengangguk,
"Iya. Terong yang kumakan dua hari yang lalu juga kulitnya berwarna
ungu."
"Sudah!" hardik
Darah Prabu tambah jengkel mendengar kata-kata terakhir Tua Bangka, sedangkan
Suto Sinting sembunyikan geli dengan membuang muka sebentar ke arah lain.
"Mengapa kalian berdua
hanya mengumpulkan orang-orang berjubah ungu?! Masalahnya sekarang bukan jubah
ungunya, tapi bagaimana menyelamatkan Kejora dari tangan orang itu?!"
Tua Bangka menarik napas,
"Kita harus selamatkan Kejora. Itu memang benar. Tapi kita harus
menentukan arah terlebih dulu. Ke mana kita akan mengejar orang yang menculik
Kejora?"
"Ya, ke arah timur!"
Darah Prabu agak menyentak karena jengkelnya dengan sikap konyol si Tua Bangka.
"Timur...?! O, ya... aku
baru ingat," kata Tua Bangka bernada menyentak. "Kalau kalian
berjalan ke arah timur, maka kalian akan menemukan sebuah biara ungu. Dalam
biara ungu itulah Nyi Mas Gandrung Arum menjadi pendeta sesat."
"Apakah dengan begitu
berarti Nyi Mas Gandrung Arum yang menculik Kejora?!" gumam Suto Sinting
sambil merenung.
*
* *
2
BAGAIMANAPUN juga, Kejora
adalah tanggung jawab Pendekar Mabuk, karena Dewi Hening sang kakak sulung Kejora telah percayakan adiknya
dalam lindungan Suto. Maka lenyapnya Kejora merupakan beban tanggung jawab Suto
Sinting yang harus bisa membebaskan kembali gadis lugu itu.
"Yang pacaran dia, yang
berdesir-desir indah dia, giliran diculik orang, aku jadi ikut repot
juga!" gerutu Suto Sinting dengan suara lirih saat mereka bertiga melangkah
menuju ke timur. Suara gerutuan itu didengar oleh Darah Prabu, sehingga pemuda
tampan murid Resi Badranaya itu menjadi sewot dengan hentikan langkahnya
seketika.
"Kalau kau tak mau bantu
mencari Kejora, pergilah sana dan tak perlu ikut ke Biara Ungu!"
"Hei, hei, hei...,"
sapa Pendekar Mabuk sambil senyum-senyum kalem. "Mengapa kau jadi seberang
itu, Prabu?! Ada apa sebenarnya di hatimu, hmm...?!"
"Kau tak perlu
tahu!" jawabnya ketus dan cemberut.
Tua Bangka ikut menimpali
dengan kekonyolannya, "Pukul sajalah... jangan berang saja!"
Darah Prabu merasa dikipas
hatinya yang panas, maka serta merta ia putarkan tubuh dan menghantam Pendekar
Mabuk yang dipunggunginya. Wuuutt...! Plaakk...!
Pukulan itu ditahan dengan
telapak tangan Suto Sinting, tapi tidak digenggam sehingga bisa segera ditarik
mundur dan kini kaki Darah Prabu berkelebat menendang dada Suto.
Wuuuttt...? Deesss...!
Tangan kanan Suto berkelebat
menghantam mata kaki Darah Prabu sambii membuang tendangan ke arah kirinya.
Hantaman yang dilakukan dengan kedua jari separo terlipat itu membuat tubuh
Darah Prabu terpelanting berputar tiga kali lalu jatuh terjungkal di tanah.
Brrruukkk...!
"Kurang ajar kau!
Hiaaah...!" Darah Prabu lepaskan pukulan bertenaga dalam melalui dua
jarinya yang mengeras lurus. Dari dua jari itu keluar selarik sinar kuning
bening yang melesat menuju ke perut Suto Sinting. Pendekar Mabuk cepat berlutut
satu kaki sambil lepaskan pukulan 'Turangga Laga' yang memancarkan seberkas
sinar ungu dari kedua jarinya pula. Claaappp...!
Blaarrr...!
Keduanya sama-sama terjungkal
ke belakang karena ledakan yang cukup keras itu. Tapi dalam waktu singkat
keduanya sudah melambung ke atas dan bersalto satu kali di udara.
"Heeeaaah...!" Darah
Prabu siap menghantamkan pukulannya dengan wajah berang saat tubuhnya melesat
ke arah Suto Sinting, demikian pula Suto Sinting siap menghantam telapak
tangannya ke arah Darah Prabu saat tubuhnya masih meluncur maju ke udara.
Tetapi tiba-tiba Tua Bangka
sentakkan kakinya dan tubuhnya melenting di udara, ia bersalto satu kali,
wuutt...! Tahu-tahu sudah berada di pertengahan jarak antara Darah Prabu dan
Suto Sinting. Kedua tangannya direntangkan dengan telapak tangan terbuka.
Telapak tangan itu memancarkan cahaya merah membara berpijar-pijar. Telapak tangan
itulah yang akhirnya menjadi sasaran pukulan Darah Prabu dan hantaman telapak
tangan Suto Sinting.
Blegaarr...!
Dua ledakan menjadi satu,
suaranya menggema ke mana-mana. Empat pohon tumbang dalam keadaan patah di
pertengahan batang akibat sentakan daya ledak tersebut. Kedua pemuda itu pun
terjungkal ke belakang bagaikan terlempar tanpa keseimbangan badan. Sedangkan
Tua Bangka meluncur turun dan dapat berdiri dengan tegak tanpa luka serta tanpa
rasakan sakit apa pun.
Jleeggg...!
Napasnya terhempas panjang.
Matanya melirik ke kanan-kiri, memperhatikan dua pemuda tampan yang sedang
bangkit dari tempat jatuhnya. Kedua pemuda itu juga masih dalam keadaan segar
bugar tanpa luka dalam sedikit pun. Hanya saja, Darah Prabu merasakan linu-
linu di sekitar tulangnya, namun ia masih bisa bersikap gagah seakan tak
merasakan apa pun. Pendekar Mabuk cepat menenggak tuak, karena tangan dan
dadanya merasa kesemutan.
"Apa-apaan kalian
ini?!" Tua Bangka menghardik kedua pemuda itu. "Bodoh semua! Tadi aku
hanya bercanda saja, mengapa benar-benar kau lakukan, Darah Prabu?!"
Keduanya berdiri di samping
Tua Bangka dalam jarak tiga langkah dari
si Tua Bangka itu. Napas mereka dihempaskan panjang-panjang, kemudian saling
mengendalikan gemuruh dalam dada masing-masing. Darah Prabu tampak tenang,
Pendekar Mabuk pun kelihatan kalem.
"Kalian bisa saling bunuh
kalau tidak kutengahi!" sentak Tua Bangka bersungut-sungut. "Dasar
bocah- bocah darah muda, disulut sedikit mudah terbakar! Untung tadi ada aku,
kalau tidak ada bagaimana, hah?!"
"Tidak akan terjadi
pertarungan," jawab Suto Sinting dengan cepat tapi tetap tenang.
"Kalian pasti akan
bertarung sampai ada yang mati atau setidaknya ada yang luka!"
"Tidak mungkin, karena
hatiku tidak dikipas oleh ucapanmu, Ki Sanupati!" ujar Darah Prabu.
Rupanya murid Resi Badranaya tak boleh dikipas hatinya jika sedang berang
seperti tadi. Sedikit kipas meniup hati yang sedang panas, nalurinya bergerak
mengikuti perintah yang didengar secara di luar kesadaran.
"Lain kali...," kata
Tua Bangka terhenti, tahu-tahu tubuhnya jatuh terkulai. Brrrukk...!
"Lho...?!" Darah
Prabu dan Suto Sinting sama-sama terkejut melongo melihat Tua Bangka jatuh
terkulai seperti sarung kumal.
"Kenapa dia?!" tanya
Darah Prabu.
"Mungkin tak kuat menahan
kedua pukulan kita tadi!"
"Kenapa baru sekarang
jatuhnya?"
"Karena tadi ia ingin
menahannya, tapi lama-lama tak kuat dan akhirnya jatuh juga."
Untung tuak yang ada dalam
bumbung bambu bawaan Pendekar Mabuk adalah tuak sakti. Tuak itu mempunyai
khasiat penyembuhan yang cukup mu-jarab. Tak heran jika Tua Bangka yang jatuh
pingsan itu segera dibuka mulutnya oleh Darah Prabu, kemudian Suto Sinting
menuangkan tuak ke dalam mulut itu. Krucuk, krucuk, krucuk...!
"Jangan banyak-banyak,
nanti dia mabuk!" kata Darah Prabu yang merasa tidak bermusuhan lagi
dengan Suto Sinting.
Namun begitu Suto Sinting
menutup bumbung tuaknya, tiba-tiba sekelebat bayangan datang menerjangnya.
Sebuah tendangan mendarat di pelipisnya, dan sebuah tendangan lagi mendarat di
pipi Darah Prabu. Bruuss...!
"Aaauh...!" kedua
pemuda itu terpelanting jatuh, tiga langkah jaraknya dari tempat Tua Bangka
dibaringkan. Darah Prabu membentur pohon, Suto Sinting jatuh di semak-semak.
Kedua pemuda itu cepat bangkit dengan menyentakkan tangannya ke tanah.
Wuuttt...! Jleg, jleg...!
"Kambing busuk! Siapa
orang yang berani menendangku hingga rahangku terasa mau pecah?!" gerutu
Darah Prabu sambil mencari orang yang menerjangnya. Pendekar Mabuk pun membatin
dalam hatinya,
"Lumayan juga tendangan
tadi, kepalaku terasa berputar sendiri. Hmmm... siapa yang punya tenaga dalam
tanggung-tanggung itu?!"
Kini keduanya sama-sama
memandang seraut wajah cantik imut-imut berkonde dua sebesar kepalan tangan
bayi. Sisa rambutnya meriap sampai menutupi kedua belahan dadanya. Seorang
gadis cantik berbaju hijau dan berkulit kuning langsat berdiri dengan memasang
kuda- kuda, pertanda siap menerima serangan dari mana saja. Matanya melirik
dengan lincah.
Pendekar Mabuk picingkan mata
untuk menatap lekat-lekat gadis itu. Hati sang pendekar pun berkata,
"Sepertinya aku pernah bertemu dengannya?! Kapan dan di mana aku jumpa
dia?!" Darah Prabu melirik Suto Sinting sebentar setelah tahu siapa orang
yang telah membuat tulang rahangnya terasa mau pecah itu. Hatinya pun membatin
kata, "Hmmm... melihat cara Suto memandang, agaknya ia sudah mengenal
gadis cantik itu. Sebaiknya kudekati Suto dan kutanyakan padanya."
Wuuutt...! Darah Prabu pindah
tempat dengan gerakan melambung cepat. Gadis itu bergegas mengubah kuda-kudanya
dengan satu lompatan kecil ke samping, karena ia menyangka Darah Prabu ingin
menyerangnya.
Kini si gadis sedikit gentar
karena kedua pemuda tampan itu berdiri bersebelahan dan sama-sama memandang ke
arahnya. Gentarnya hati si gadis akibat rasa kikuk dan salah tingkah mendapat
pandangan mata kedua pemuda tampan.
"Sial, mereka sama-sama
memancarkan pandangan mata yang mengagumkan. Uuh...! Persetan dulu dengan
pandangan matanya itu!" pikir si gadis dengan wajah tetap cemberut dan hal
itu menambah kecantikannya secara tak disadari.
"Kau kenal dia?"
bisik Darah Prabu dengan menampakkan sikap sombong dalam memandang, dagunya
sedikit terangkat, matanya tertuju dingin
kepada gadis itu. Lagaknya seperti pemuda yang tak mau kenal gadis secantik
itu.
"Aku pernah jumpa dengannya,
tapi aku lupa di mana kami saling bertemu," balas Suto dalam bisikan
sambil sunggingkan senyum tipis dan matanya memandang tak berkedip bagai
menembus dasar hati si gadis yang kira- kira berusia dua puluh satu tahun itu.
"Sapalah dia," bisik
Darah Prabu bernada mendesak. "Mengapa bukan kau saja yang
menyapanya?" "Pikiranku masih tertuju pada Kejora."
Pendekar Mabuk semakin
lebarkan senyum dengan mata tetap tertuju pada si gadis. Senyum itu adalah
senyum geli atas jawaban Darah Prabu, karena jawaban itu mempunyai kesimpulan
bahwa Darah Prabu mulai kasmaran kepada Kejora. Kasmaran itu terasa lucu jika
terjadi dalam keadaan tak diduga-duga.
Tetapi sekarang si gadis yang
habis menendang mereka itu menghardik dengan wajah digalak-galakkan, walau
sebenarnya tak pernah ada orang yang bisa takut dengan kegalakannya itu.
"Apa maksudmu
senyum-senyum padaku?! Kau pikir aku tertarik dengan tampangmu?!"
Tentu saja kedua pemuda itu
menjadi lebih geli lagi, karena Darah Prabu pun tahu bahwa senyuman Suto itu
hanya untuk menertawakan jawabannya tadi. Si gadis semakin cemberut dan berang
karena merasa ditertawakan ramai-ramai. Sebilah pedang di pinggang dicabutnya.
Sreeet...!
"Puaskan tawa kalian
sebelum pedangku menghampiri leher kalian!" geram si gadis sambil mulai
membuka jurus pedang.
"Tunggu, Nona...!"
sergah Pendekar Mabuk dengan mengangkat tangannya, kemudian mendekat dua
langkah. Darah Prabu mengikuti langkah Suto seperti malas-malasan. "Kami
bukan menertawakan dirimu, Nona. Kami punya masalah lucu sendiri yang patut
kami tertawakan." Dalam hati gadis itu berkata, "Sepertinya aku
pernah bertemu dengan pemuda yang bicara ini. Hmmm... kalau
tak salah dialah si Pendekar
Mabuk yang kesohor itu."
Lalu terdengar suara Suto
Sinting dengan nada cukup bersahabat, "Mengapa kau menyerang kami,
sedangkan aku merasa pernah bertemu denganmu. Sepertinya kau bukan musuh kami,
Nona."
"Siapa pun juga orangnya
jika ia mencelakai kakekku si Tua Bangka ini, dia akan kuanggap musuhku!"
ketus si gadis.
"Kakekmu...?!" Suto
Sinting berkerut dahi, lalu berpaling memandang Darah Prabu,
"Kakeknya...?!"
"Hmmm Berarti dia adalah
cucu si Tua Bangka?!"
"Benar, dan kalau begitu
dia adalah...," Pendekar Mabuk segera memandang ke arah gadis itu.
"Oh, ya... aku baru ingat
sekarang! Kau adalah Cawan Pamujan, yang pernah diculik seseorang dalam
peristiwa perebutan pusaka si Tua Bangka itu?" sambil Suto Sinting sempat
membayangkan kala terlibat peristiwa perebutan sebuah pusaka yang ternyata Tua
Bangka itulah pemilik pusaka tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Kapak Setan Kubur").
"Aku memang Cawan
Pamujan, dan aku tahu kau adalah Pendekar Mabuk. Tapi mengapa kau mencelakai
kakekku?!"
Pada saat itulah Tua Bangka
menggeliat, sadar dari pingsannya, kemudian segera dibantu oleh Cawan Pamujan.
Tua Bangka terkejut melihat Cawan Pamujan sudah ada di sampingnya.
"Kapan kau datang kemari,
Cucuku?!"
"Saat kedua orang itu
mencelakakan dirimu, Kek!" jawabnya dengan ketus-ketus manja. Darah Prabu
segera menceritakan apa yang dilakukan oleh Cawan Pamujan ketika mereka sedang
berusaha mengobati Tua Bangka. Kemudian, Tua Bangka yang badannya telah menjadi
sehat dan merasa lebih segar dari sebelumnya segera menjelaskan duduk
perkaranya kepada sang cucu kesayangan, yang merupakan satu-satu cucu calon
pewaris ilmu-ilmunya itu. Salah paham itu segera dapat diselesaikan, dan Cawan
Pamujan menjadi malu sendiri kepada kedua pemuda tampan, ia sering menunduk
jika kedua pemuda itu atau salah satu dari mereka mencuri pandang ke arahnya.
"Aku mencarimu sudah
berhari-hari, Kek. Tapi kau seperti nyamuk yang sulit dilihat batang
hidungnya!" kata Cawan Pamujan dengan nada manjanya.
"Kau ini bagaimana, Cawan
Pamujan... katanya mencariku tapi setelah bertemu mengatakan kakekmu ini
seperti nyamuk? Kalau nyamuk segini gedenya lalu yang digigit apa?"
"Leher...," sahut
Pendekar Mabuk sambil buang muka ke arah Darah Prabu dan Darah Prabu tersenyum-
senyum.
"Kalau yang jadi nyamuk
kalian ya yang digigit leher!" cetus Cawan Pamujan dengan
bersungut-sungut. Darah Prabu menimpali, "Lehernya siapa yang mau digigit
nyamuk sebesar kami ini?!"
"Siapa saja," ujar
Cawan Pamujan berlagak acuh tak acuh.
"Sudah, sudah... jangan
bicara soal nyamuk, aku mulai tersinggung," potong Tua Bangka, lalu ia
bicara pada sang cucu sambil mengusap-usap rambut indah itu.
"Mengapa kau mencariku,
Cantik?! Bukankah kau kuberi tugas menyelesaikan semadi jingkat supaya tubuhmu
bisa melayang terbang seperti seekor camar laut?!"
"Kakek," si gadis
merengek. "Pondok kita diserang oleh orang-orang Balekubang!"
Tua Bangka terperanjat dengan
gigi depannya yang tinggal dua itu seolah-olah mencuat ke atas karena mulutnya
ternganga lebar.
"Orang-orang Balekubang
menyerang pondok kita?!
Mau apa mereka bikin ulah
lagi?!"
"Mereka ingin memboyongku
ke Pulau Tangkal dan aku akan dikawini oleh Penguasa Pulau Tangkal! Aku tidak
mau, Kek. Tidak mau...!" gadis itu bagai anak kecil mau menangis. Kedua
kakinya dihentak-hentakkan ke tanah. Sentakan kaki itu punya getaran tenaga
dalam yang membuat daun-daun pohon tempat mereka bernaung itu berguguran walau
tak begitu banyak.
Melihat gugurnya daun-daun
itu, Pendekar Mabuk hanya manggut-manggut dan membatin, "Rupanya sejak
peristiwa Kapak Setan Kubur itu, Tua Bangka menambah ilmu cucunya hingga
sentakan kaki si cucu dapat merontokkan dedaunan."
Tua Bangka menggeram menahan
kemarahan, matanya sedikit menyipit membayangkan pondoknya diacak-acak oleh
orang-orang Balekubang. Pendekar Mabuk sempat ajukan tanya kepada Cawan
Pamujan,
"Siapa orang-orang
Balekubang itu?!"
"Balekubang adalah
Penguasa Pulau Tangkal yang setiap tahun ganti istri. Tapi tak satu pun dari
para istrinya ada yang mempunyai keturunan darinya."
"Dia tokoh aliran
hitam," gumam Tua Bangka tanpa memandang Suto Sinting. Setelah Darah Prabu
manggut-manggut dan Suto Sinting menarik napas panjang-panjang, Tua Bangka
lanjutkan ucapannya,
"Balekubang ilmunya cukup
tinggi, dan ia mempunyai pusaka yang cukup berbahaya; 'Sepasang Perisai
Guntur', ia hidup berlimpah kekayaan di Pulau Tangkal, karena ia menemukan
timbunan harta karun di pulau itu."
"Apakah kekuasaannya
cukup kuat?!" tanya Darah Prabu.
"Sangat kuat, karena ia
bisa mengupah jago-jago bayaran dari mana saja dengan kekayaannya itu. Aku
pernah bertarung dengannya dan nyaris mati. Pertarungan itu terjadi kira-kira
sepuluh tahun yang lalu. Jadi sekarang tentunya semakin tua semakin tambah
kesaktiannya. Tapi jika pondokku diacak-acak dan cucuku terancam, itu tandanya
ia membuka pintu lebar- lebar bagiku untuk melanjutkan pertarungan sepuluh tahun
yang silam!" "Lalu, apa rencanamu, Ki Sanupati?!" tanya Pendekar
Mabuk.
"Kalian terus saja menuju
ke Biara Ungu, aku akan selesaikan urusanku dengan Balekubang. Jika tokoh lalim
itu belum tewas, hidup cucuku akan selalu terancam. Sudah dua kali ini ia
kirimkan orangnya untuk memboyong cucuku ke Pulau Tangkal. Rasa rasanya aku
perlu bikin perhitungan dengannya sekarang juga."
"Apakah kau perlu
bantuan?!" tanya Pendekar Mabuk.
"Tidak perlu. Urusan ini
masih mampu kuselesaikan sendiri, Suto. Uruslah Kejora dan pusaka yang harus
dikembalikan kepada pihak keluarganya itu!"
Darah Prabu sedikit
terperanjat, ingin bicara dengan Suto Sinting, namun telanjur Tua Bangka bicara
lebih dulu.
"Kita berpisah di sini
dulu. Suatu saat pasti akan jumpa lagi."
"Boleh aku berpesan
padamu, Ki?" ujar Suto Sinting. "Apa pesanmu, Suto?"
"Jangan sampai kau dan
cucumu mati di tangan Balekubang!"
Tua Bangka tarik napas
dalam-dalam, lalu berkata, "Aku tak berani jamin apakah pesanmu itu bisa
kupenuhi atau tidak. Yang jelas aku sudah pesan tanah kuburan sendiri untuk
memakamkan diriku kapan saja."
Pendekar Mabuk hanya angkat
bahu sambil tersenyum lesu, Darah Prabu tertawa kecil dan pendek seperti orang
mendengus kesal. Tapi ia segera ditegur oleh Cawan Pamujan,
"Apakah kau tak ingin
berpesan pada kakekku juga?" "Oh, hmm... iy... iya, aku ingin
berpesan padamu, Ki
Sanupati."
"Apa pesanmu, Darah
Prabu?"
"Kalau kau tewas, jangan
ajak-ajak aku. Karena aku sekarang sedang kasmaran dengan seorang gadis."
Cawan Pamujan menyahut,
"Hmmm... baru saja kita bertemu kau sudah kasmaran? Mana mungkin suci
cintamu itu nantinya?"
"Maksudku bukan kasmaran
padamu, Nona cerewet!
Aku kasmaran pada gadis
lain."
"Ooh...?!" Cawan
Pamujan terperangah malu, wajahnya menjadi merah dadu.
*
* *
3
KEPERGIAN Tua Bangka bersama
cucu manjanya itu tidak membuat semangat kedua pemuda tampan itu berkurang.
Terutama Pendekar Mabuk yang merasa punya beban berat atas penculikan diri
Kejora itu, merasa tak sabar ingin lekas sampai ke Biara Ungu dan bertemu
dengan Nyi Mas Gandrung Arum. Bila perlu, Suto Sinting sudah siap beradu nyawa
dengan Nyi Mas Gandrung Arum atau siapa saja demi membebaskan Kejora.
Darah Prabu mengalami
perubahan begitu pesat dan sukar diterima oleh akal sehat. Perubahan itu ada di
lubuk hatinya yang paling dalam. Rasa simpatinya terhadap Kejora telah berubah
menjadi rasa ingin memiliki gadis itu. Kuncup-kuncup cinta mekar dan tumbuh
semakin subur dalam setiap kali khayalannya terbang membayangi wajah cantik
yang lugu milik Kejora. Setiap tarikan napas seakan denyut nadi untuk memburu
asmaranya yang tertunda. Sebab itulah Darah Prabu pun penuh semangat dalam
perjalanannya menuju Biara Ungu.
"Tapi apakah benar Nyi
Mas Gandrung Arum yang menculik Kejora?!" ujarnya kepada Suto Sinting saat
mereka menuruni sebuah lembah.
Langkah Suto Sinting pun
terhenti bagai sadar akan adanya sesuatu yang perlu dipikirkan lebih dalam
lagi.
"Iya, ya...?! Belum tentu
Nyi Mas Gandrung Arum yang menculik Kejora. Seandainya orang lain yang
menculiknya, berarti kita membuang-buang waktu dan tenaga menuju ke Biara Ungu
ini."
Darah Prabu memandang ke arah
timur sambil menarik napas dalam-dalam. Di seberang sana sudah terlihat gugusan
tanah berhutan renggang yang membukit tak seberapa tinggi, itulah yang dinamakan
Bukit Esa, tempat berdirinya sebuah bangunan yang dikenai dengan nama Biara
Ungu. Di seberang bukit itu tampak genangan air membiru sebagai tanda bahwa
bukit itu terletak tak jauh dari sebuah pantai yang bernama Pantai Tawar.
"Kurang dari setengah
hari kita akan sampai ke bukit itu," ujar Darah Prabu seperti bicara pada
diri sendiri. "Kita akan bertemu dengan orang-orangnya Nyi Mas Gandrung
Arum dan bertarung melawan mereka sampai bisa menembus masuk ke Biara Ungu.
Tentunya untuk menembus masuk ke sana tidak mudah, karena murid- murid Biara
Ungu pasti rata-rata berilmu lumayan tinggi. Salah satu contoh, si Peluh
Setanggi yang licin bagai belut sehingga selalu lolos dari buruanku. Dan jika
ternyata di sana tidak ada Kejora, lalu untuk apa kita melabrak dan menyerang
orang-orang Biara Ungu dengan pertaruhkan nyawa?!"
"Setidaknya kau dapat
bertemu-dengan gadis buronanmu; Peluh Setanggi," kata Suto Sinting mirip
orang menggumam. Mata si Pendekar Mabuk juga memandang ke arah Bukit Esa,
beberapa saat kemudian ia menenggak tuaknya beberapa teguk.
"Hmmm... Peluh
Setanggi!" Darah Prabu bagaikan menggeram penuh dendam kepada gadis
buronannya itu. Tak disangka pengejarannya terhadap diri Peluh Setanggi
membuatnya kenal dengan Kejora, padahal sebelumnya ia tak pernah tahu ada gadis
cantik yang bersifat polos dan lugu bernama Dewi Kejora. Di hati Darah Prabu
masih tersimpan perasaan bangga kala ia menyelamatkan Kejora dari ancaman
pedang Peluh Setanggi. Tapi sayang Peluh Setanggi disambar seseorang dan
dibawanya lari setelah berhasil dilumpuhkan dengan totokan jarak jauh, sehingga
gadis buronan itu tak sempat tertangkap oleh Darah Prabu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Pembantai Raksasa").
Pengejaran itulah yang semula
membuat Pendekar Mabuk dan Tua Bangka merasa heran serta bertanya- tanya; apa
alasan Darah Prabu mengejar Peluh Setanggi. Padahal menurut keterangan Tua
Bangka, Nyi Mas Gandrung Arum adalah kakaknya Resi Badranaya, dan Resi
Badranaya guru Darah Prabu. Semestinya Darah Prabu tidak berani mengusik para
murid Nyi Mas Gandrung Arum karena gurunya sendiri tak berani mencampuri urusan
Nyi Mas Gandrung Arum. Jika sampai Darah Prabu berani mengejar-ngejar Peluh
Setanggi, berarti akan ada masalah besar antara kedua belah pihak; Nyi Mas
Gandrung Arum dengan Resi Badranaya.
"Menurut keterangan Tua
Bangka, gurumu adalah adik dari Nyi Mas Gandrung Arum. Apa benar itu?"
"Ya, memang benar. Dan
selama ini aku dilarang mengusik apa pun urusan Nyi Mas Gandrung Arum, karena
Guru tak mau berurusan dengan kakak perempuannya itu."
"Lalu, apa yang membuatmu
berani mengejar-ngejar Peluh Setanggi sebagai murid Nyi Mas Gandrung
Arum?"
"Guru yang perintahkan
menangkap gadis itu."
"O, berarti pihakmu sudah
mulai berani mencampuri urusan Nyi Mas Gandrung Arum?!"
"Ya, karena pihak Nyi Mas
Gandrung Arum sendiri sudah mulai berani mengusik ketenangan kami."
Pendekar Mabuk palingkan
pandang ke arah Darah Prabu dengan dahi sedikit berkerut "Ada persoalan
apa sebenarnya dengan si Peluh Setanggi itu?!"
Darah Prabu menarik, napas
panjang, dadanya membusung kekar, pandangan matanya yang tertuju ke Bukit Esa
tampak dingin. Kejap berikut terdengar suaranya menjawab pertanyaan Suto
Sinting tadi.
"Sebuah pusaka telah
dicuri oleh si Peluh Setanggi." "Pusaka apa?!" Pendekar Mabuk
semakin penasaran.. "Pusaka seorang sahabat yang dititipkan kepada
Guru. Sudah lama Guru
mempertaruhkan nyawanya untuk pertahankan pusaka itu agar jangan jatuh ke
tangan orang lain, karena Guru tahu persis siapa orang yang berhak mewarisi
pusaka Panji-panji Mayat."
"Oh...?!" Pendekar
Mabuk tersentak kaget. Tubuhnya sampai merinding ketika Darah Prabu menyebutkan
nama pusaka Panji-panji Mayat. Padahal Suto pun tahu banyak tentang Panji-panji
Mayat yang sering disebutnya sebagai Panji-panji Agung.
Justru karena masalah pusaka
Panji-panji Agung itulah Suto menjadi kenal Kejora, Dewi Hening dan Menik.
Karena mereka bertiga adalah pewaris pusaka Panji-panji Agung yang beberapa
waktu sebelumnya selalu menjadi bahan incaran si Raja Iblis; Barakoak. Pusaka
itu adalah pusaka warisan leluhur keluarga Kejora. Ayah, ibu, dan kedua kakak
Kejora mati gara- gara pusaka tersebut. Rupanya nenek mereka, Nyai Parisupit,
telah menitipkan pusaka itu kepada sahabatnya; Resi Badranaya demi keselamatan
pusaka itu agar tak jatuh di tangan keturunan Eyang Kurupati. Keturunan Eyang
Kurupati yang terakhir adalah Barakoak; si Raja iblis yang dulu bercokol di
Candi Bangkai, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Utusan Raja
Iblis").
Candi Bangkai dan si Raja
Iblis sendiri sekarang sudah tiada, dibabat habis oleh Pendekar Mabuk dalam
kisah "Pembantai Raksasa" itu. Pada mulanya Pendekar Mabuk masih
bertanya-tanya, di mana pusaka Panji- panji Agung itu tersimpan. Siapa orang
yang mendapat titipan pusaka itu: Batuk Maragam, Resi Badranaya, Galak Gantung,
atau Guru Suto sendiri yang dikenal dengan nama si Gila Tuak itu? Dan ternyata
pertanyaan tersebut kini telah terjawab, bahwa pusaka itu dititipkan kepada
Resi Badranaya. Sekarang justru pusaka itu dicuri oleh Peluh Setanggi dari
pihak Nyi Mas Gandrung Arum yang beraliran sesat. Padahal, barang siapa
memegang pusaka Panji-panji Agung, maka aliran silatnya tak akan punah sampai
akhir zaman Di samping itu, Panji-panji Agung juga bisa dipakai untuk
membangkitkan mayat orang yang telah mati hanya dengan cara dibawa melewati
dekat orang yang telah mati itu, sehingga pusaka tersebut dinamakan pula Panji-
panji Mayat.
Mendengar cerita Suto Sinting
tentang keluarga Kejora dan pusaka warisannya itu, Darah Prabu semakin
bertambah bersemangat untuk melabrak ke Biara Ungu. Rasa-rasanya tak salah lagi
firasat batinnya bahwa Kejora memang ada di dalam Biara Ungu. Bahkan timbul
kecemasan di hati Darah Prabu, bahwa Kejora akan dibunuh oleh Nyi Mas Gandrung
Arum yang beraliran hitam itu untuk melenyapkan pewaris pusaka tersebut. Dengan
demikian maka Nyi Mas Gandrung Arum akan bebas dan merasa aman memiliki pusaka
Panji-panji Agung.
"Kita tidak boleh
terlambat, Suto! Sebelum mereka membunuh Kejora, kita harus sudah sampai ke
Biara Ungu dan membebaskannya. Aku akan berusaha merebut pusaka itu, dan kau
bertugas membebaskan Kejora!"
"Aku setuju!" jawab
Pendekar Mabuk dengan tegas. "Bahkan bila perlu kau tak perlu ikut masuk
ke dalam biara, biar aku sendiri yang merampungkan dua persoalan itu; merebut kembali
pusaka Panji-panji Mayat dan membebaskan Kejora"
"O, tak bisa begitu! Itu
namanya kau meremehkan kemampuanku melawan orang-orang Biara Ungu. Aku tak suka
dengan caramu itu, Suto!" Darah Prabu tersinggung. Suto Sinting segera
sunggingkan senyum sebagai pertanda rasa tersinggungnya Darah Prabu itu.
"Kalau perlu kau yang
menunggu di luar dan aku yang menerobos masuk ke dalam biara menyelamatkan dua
pusaka itu."
"Dua pusaka?!" Suto
Sinting tertawa pendek.
"Panji-panji Mayat dan
Kejora. Gadis itu kuanggap sebagai pusaka pribadiku!" ujar Darah Prabu
terang- terangan yang membuat Pendekar Mabuk kian lebarkan senyum geli.
"Kita masuk bersama saja.
Kita kerjakan apa yang bisa kita lakukan saat nanti!" Suto Sinting
memutuskan demikian, dan agaknya Darah Prabu tak keberatan.
Namun sebelum mereka bergegas
menuju Biara Ungu, tiba-tiba mereka melihat sekelebat bayangan orang yang
berlari di sela-sela hutan di kaki lembah. Orang itu berlari tak seberapa
cepat, namun dari kejauhan tampak seperti kiasan bayangan warna ungu.
"Siapa orang itu?!"
sentak Darah Prabu sambil menuding ke arah kaki lembah. Pendekar Mabuk pun
cepat lemparkan pandangannya ke arah yang dituding Darah Prabu itu.
"Bayangan Ungu...?!"
gumam Suto Sinting "Apakah dia yang menyambar Kejora?"
"Kejar dia!" sentak
Darah Prabu dengan suara tertahan, lalu ia mendahului bergerak dengan
menggunakan jurus peringan tubuhnya yang mampu berlari secepat kilat.
Wuuttt...!
Zlaaap...! Suto Sinting
berlari lebih cepat karena ia mempunyai jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya
melebihi kecepatan anak panah terlepas dari busurnya. Bahkan Pendekar Mabuk
mampu berlari menyamai kecepatan badai yang mengamuk menerjang pepohonan besar.
Darah Prabu sempat tertinggal karena tak mampu menyamai kecepatan 'Gerak Siluman'
si Pendekar Mabuk.
Rupanya bayangan ungu yang
berkelebat itu menuju ke arah pantai sebelah utara. Bagi kedua pemuda itu,
menuju ke mana pun tak jadi soal yang penting mereka bisa selamatkan Kejora
lebih dulu, setidaknya bisa mengorek keterangan dari mulut si bayangan ungu itu
tentang keberadaan Kejora.
"Sssttt...!"
Pendekar Mabuk menahan gerakan Darah Prabu yang baru saja tiba di baiik pohon
tempat perlindungan. Rupanya Suto Sinting sudah sejak tadi tiba di balik pohon
besar itu dan mengintai ke arah pantai.
Duaaarr...! Sebongkah batu
karang pecah menyebar karena terkena pukulan jarak jauh dalam bentuk seberkas
sinar merah sebesar jeruk peras. Pukulan itu dilepaskan oleh orang berjubah
ungu, sasarannya seorang lawan yang sedang dalam pengejarannya. Agaknya sang
lawan cukup lincah dalam menghadapi serangan, sehingga dengan satu lompatan ke
samping dan melambung tinggi, ia dapat selamat dari sinar merah penghancur
karang itu.
Ternyata orang yang mampu
hindari serangan sinar merah itu adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh
lima tahun, hanya mengenakan kutang hijau bersulam benang emas dengan tali
pengikat kutang dari rantai emas melilit ke belakang. Gadis itu cukup montok,
di atas gumpalan dada kirinya terdapat tato gambar naga berukuran sejengkal, ia
mengenakan pakaian bawah berupa kain hijau berbelahan empat lapis, yang mudah
menyingkap dengan sedikit angkat kaki. Ia menyandang pedang di pinggang.
Sedangkan rambutnya tampak lebat, ikal
dan terurai mekar sebatas punggung. Gadis itu tak lain adalah si Peluh
Setanggi.
"Itu dia gadis
buronanku!" bisik Darah Prabu mulai tampak berang, ia ingin berkelebat ke
arah pantai, tapi segera ditahan oleh genggaman tangan Suto Sinting pada
bajunya.
"Tahan dulu
gerakanmu!""
"Aku tak mau kehilangan
gadis buronanku lagi!" "Iya, tapi lihat dulu pertarungan itu."
Darah Prabu menarik napas
untuk meredam nafsu memburu gadis yang diserang oleh orang berjubah ungu itu.
"Kau kenal siapa
perempuan berjubah ungu itu?" tanyanya dalam bisik.
"Sangat kenal!"
jawab Suto Sinting tegas sekali. "Perempuan berjubah ungu itulah yang tadi
kusebutkan namanya; Sumbaruni alias Pelangi Sutera."
Kedua pemuda tampan
mengarahkan pandangannya kepada perempuan awet muda yang punya kecantikan
mengundang gairah bercumbu bagi lawan jenisnya. Pelangi Sutera atau Sumbaruni
memang berpakaian serba ungu, rambutnya disanggul sebagian, pedangnya dililit
kain beludru warna ungu masih tersandang di punggungnya.
"Kau temui Sumbaruni,
Suto. Minta kembalikan Kejora baik secara halus maupun kasar. Aku akan tangkap
si Peluh Setanggi dan memaksanya agar menyerahkan pusaka itu!"
"Iya, iya... tapi sabar
dulu!" sentak Pendekar Mabuk dengan suara berbisik. "Kita lihat dulu
siapa yang unggul dalam pertarungan ini
dan apa persoalan yang mereka pertarungkan sebenarnya?!" Kedua perempuan
itu saling mencabut pedang masing-masing. Sraaang...! Kemudian keduanya sama-
sama lakukan lompatan menyerang, dan tubuh mereka saiing bertemu di udara.
"Heeaaat...!"
Trang, trang, trang, trang...!
Weess...! Craass...!
Sumbaruni berhasil menyambar
lambung Peluh Setanggi dengan pedangnya. Lambung itu pun robek dan Peluh
Setanggi mendaratkan kakinya saling memunggungi dengan mendekap luka
menggunakan tangan kirinya. Darah merembes basah dari sela-sela jari yang
digunakan mendekap luka.
Sumbaruni segera balikkan
badan dan berseru, "Jemputlah ajalmu sekarang juga, Peluh Setanggi.
Heeeaaat...!"
Perempuan cantik yang galak
itu segera lakukan satu lompatan dengan pedang siap menebas leher Peluh
Setanggi. Tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan menerjangnya dari samping kiri.
Wuuut...! Brrruusss...! Sumbaruni tak menduga datangnya sekelebat bayangan itu,
sehingga tubuhnya yang terkena tendangan kedua kaki bayangan itu terpental
jungkir balik di tepian hutan pinggir pantai. Brruk...!
"Keparat kauu...!"
geram Sumbaruni sambil segera bangkit dalam satu sentakan pinggul, wuuutt...!
Tubuhnya melambung dan berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit merenggang,
pedang terangkat ke atas siap untuk lakukan serangan lagi. Tapi sebuah suara segera
memanggilnya, "Sumbaruni!"
Gerakan Sumbaruni terhenti,
matanya melirik ke samping karena saat itu Suto Sinting segera mendekatinya.
"Tahan dulu amarahmu,
Sumbaruni!"
"Jangan campuri urusanku
dulu, Suto!" ujar Sumbaruni menggeram sambil matanya memandang ke arah
Darah Prabu. Rupanya orang yang menerjangnya tadi adalah Darah Prabu. Pemuda
itu tak menghendaki kematian Peluh Setanggi sebelum gadis buronannya serahkan
kembali pusaka Panji-panji Mayat yang tentunya sudah disembunyikan di suatu
tempat.
Darah Prabu sedang hampiri
Peluh Setanggi yang berlutut sambil mendekap luka. Namun tiba-tiba Sumbaruni
melesat dalam satu sentakan kaki ke tanah. Gerakannya seperti seekor burung
terbang yang segera menebaskan pedangnya ke arah leher Darah Prabu.
Wuuttt...!
Darah Prabu cukup cekatan.
Melihat kelebatan logam panjang mengkilat datang dari arah sampingnya, ia
segera rundukkan kepala dan gulingkan badan ke pasir pantai. Wuuusss...! Dalam
sekejap ia telah bangkit lagi dan lepaskan pukulan bercahaya kuning seperti telur
ayam. Claappp...! Sinar kuning itu meluncur cepat ke punggung Sumbaruni.
Perempuan itu cepat balikkan badan, begitu melihat sinar kuning mendekatinya ia
pun segera lepaskan jurus pedang bersinarnya. Claaapp...! Dari ujung pedangnya
keluar selarik sinar biru lurus bagaikan besi. Sinar biru itu menghantam sinar
kuning dan terjadilah ledakan cukup dahsyat yang melepaskan gelombang panas
menghentak kuat.
Jlegaaar...!
Wuusss...! Hawa panas menyebar
dan kekuatan sentakannya membuat Darah Prabu
terjungkal berjungkir balik ke arah belakang, Sumbaruni sendiri segera
terlempar ke arah perairan pantai. Byuurr...!
Pendekar Mabuk yang tak
bersalah pun terkena sentakan gelombang panas itu hingga tubuhnya terpelanting
dan membentur sebatang pohon kelapa. Bruukkk...! Duuurrr...! Pohon kelapa itu
bergetar hingga merontokkan dua buah kelapa kering. Wuuutt...! Pletok...!
"Aaaauuh...!"
Pendekar Mabuk memekik kesakitan, kepalanya kejatuhan kelapa kering. Tidak
berbahaya tapi sakitnya sangat menjengkelkan.
Gelombang hawa panas itu tak
sampai membuat kulit melepuh, hanya merasa perih dalam beberapa kejap.
Rasa perih itu tak dihiraukan
oleh mereka, sebab perhatian mereka tercurah kembali kepada Peluh Setanggi,
terutama setelah Pendekar Mabuk berseru,
"Peluh Setanggi, mau ke
mana kau?! Berhenti!" Peluh
Setanggi melarikan diri dalam keadaan terluka.
Darah Prabu sangat terkejut
melihat Peluh Setanggi sudah sampai jauh. Ia pun segera menggeram dengan kedua
tangan menggenggam kuat-kuat.
"Setan! Mau lari ke mana
lagi perempuan itu!" Wuuutt...! Darah Prabu mengejar Peluh Setanggi
setelah berseru,
"Suto, ambi; Kejora dari
si jubah ungu itu!"
Sementara itu, Sumbaruni pun
berteriak dari tempatnya berdiri,
"Berhenti kalian, atau
kuhancurkan keduanya dari sini!"
Sumbaruni tampak bersiap
melepaskan jurus mautnya yang dapat menjangkau lawan dalam jarak jauh. Tapi
Suto Sinting yang paham maksud tindakan Darah Prabu tadi segera melompat dan
bersalto di udara satu kali. Wuuukkk...! Jleeg...! Tahu-tahu ia sudah berdiri
di depan Sumbaruni, menghalangi serangan
perempuan galak namun beraliran putih itu.
Sumbaruni tak berani lepaskan
pukulannya, takut mengenai Suto Sinting, sedangkan di hati Sumbaruni masih
menyimpan rasa cinta kepada Suto Sinting sampai kapan pun juga.
"Menyingkirlah, Suto! Kau
bisa mati oleh pukulanku ini kalau tak segera menyingkir!"
"Coba lepaskan pukulanmu,
aku ingin tahu apakah kau tega membunuhku, Sumbaruni?!"
"Keparat kau! Aku harus
mengejar Peluh Setanggi yang telah melukai anakku dengan pukulan beracun!
Hampir saja, Logo, anakku tak tertolong jiwanya jika tidak segera kutemukan
terkapar di lereng bukit! Dan pemuda sahabatmu itu pun harus kuhajar biar tahu
adat, tidak sembarangan main terjang orang yang sedang lakukan
pertarungan!"
"Darah Prabu adalah murid
Resi Badranaya. Kurasa kau mengenal nama Resi Badranaya. Darah Prabu punya
urusan sendiri dengan Peluh Setanggi, karenanya ia tak ingin kau membunuh gadis
itu sebelum pada akhirnya nanti mungkin gadis itu akan dibunuhnya pula!"
Mendengar Darah Prabu sendiri
mengancam jiwa Peluh Setanggi, akhirnya Sumbaruni mulai meredakan amarah dengan
hempasan napas kedongkolannya. Pedang pun dimasukkan kembali ke sarungnya
sambil wajah galak itu cemberut dan berkata dalam gerutuan.
"Untung kau yang
menghalangiku, kalau bukan kau sudah kuhancurkan juga orang yang menjadi
penghalangku!"
"Sudah kuizinkan kau
melepaskan pukulanmu padaku, kenapa tidak kau lakukan?"
"Terlalu sulit bagiku
memukul seorang kekasih yang tak tahu diri dan muka tembok!"
Pendekar Mabuk tertawa dalam
gumam mendengar ucapan itu. Ia mengikuti langkah kaki Sumbaruni menuju ke
tempat teduh. Di sana ada batu setinggi betis. Sumbaruni berdiri dengan
menaikkan kaki kanannya ke atas batu itu, sedangkan kaki kirinya tetap berdiri
tegang di pasir pantai, ia bertolak pinggang sebelah saat memandangi kehadiran
Suto Sinting yang mendekatinya. "Bagaimana kabarmu?" tanya Sumbaruni
dengan
nada masih ketus dan wajah
masih cemberut.
"Aku baik-baik saja,
Sumbaruni. Kurasa kau pun tahu apa yang sedang kulakukan saat ini."
"Aku tak mengerti
maksudmu. Bagaimana aku tahu apa yang sedang kau lakukan saat ini jika kau tak
menceritakannya padaku?!" alis Sumbaruni berkerut tajam.
Suto Sinting lebih dekat lagi
dan berkata dengan lembut namun punya ketegasan tersendiri.
"Kembalikan gadis itu,
Sumbaruni. Dia dalam tanggung jawabku."
Kerutan alis perempuan bekas
panglima Ratu Asmaradani dari negeri bawah laut itu semakin tajam. Tatapan
matanya menampakkan perasaan heran mendengar ucapan Suto Sinting tadi.
"Sumbaruni," Suto
membujuk,"... bisa ataupun tak bisa, kuminta kau melepaskan gadis itu.
Barangkali kita bisa bicarakan persoalanmu dengan gadis itu secara
baik-baik."
"Kau bicara soal apa?!
Aku tak tahu arah pembicaraanmu, Suto! Apa kau benar-benar telah
sinting?!"
"Aku bicara tentang
Kejora!" tegas Suto Sinting. "Kejora...?! Siapa itu Kejora?!"
"Gadis yang kau culik
itu!"
Sumbaruni menatap Suto Sinting
lebih tajam lagi. "Tanda-tandanya kau ingin menantang pertarungan
denganku, Suto. Tak ada hujan
tak ada mendung, tahu- tahu kau menuduhku menculik seorang gadis bernama
Kejora. Apa-apaan kali ini?!"
"Sudahlah, tak perlu
pakai hujan dan mendung, gadis itu dalam tanggung jawabku, Sumbaruni. Kumohon
jangan kau persulit tanggung jawabku terhadap gadis itu." "Aku tidak
menculik siapa pun!" bentak Sumbaruni tiba-tiba. "Kalau aku mau
menculik, mendingan kau saja yang kuculik!"
Pendekar Mabuk tertawa pendek.
"Kau akan dimarahi guruku jika menculikku, Manis!"
Suto Sinting ingin mencubit
dagu Sumbaruni, tapi perempuan itu menepiskan tangan Suto dan berpindah tempat
berdiri.
"Tak perlu pakai merayu
segala! Aku sedang marah! Dan kau menambah kemarahanku dengan menuduhku
menculik seorang gadis. Aku tak suka dengan caramu itu! Bila perlu kita
bertarung sampai mati untuk membuktikan bahwa aku tidak menculik gadis
itu!"
"Jika bukan kau, lalu
siapa si bayangan ungu itu?!"
*
* *
4
SETELAH mendengar cerita dari
Suto Sinting tentang Kejora dan pusaka Panji-panji Agung, akhirnya Sumbaruni
dapat memaklumi tuduhan Suto Sinting terhadap dirinya. Dengan kesungguhan
sikap, Sumbaruni mengaku bahwa dia sama
sekali tidak mengenal Kejora dan bukan penculik gadis itu.
"Setelah kau ceritakan
tentang Nyai Parisupit, barulah aku ingat bahwa Jaima Dupi mempunyai lima anak
perempuan semua. Tapi aku tak hafal nama mereka satu persatu."
"Dan tentunya kau juga
tahu banyak tentang Panji- panji Agung itu, bukan?"
"Mungkin tak terlalu
banyak," jawab Sumbaruni merendah diri. "Yang kutahu hanyalah,
Panji-panji Mayat adalah sebuah bendera pusaka milik Eyang Resi Demang Sudra.
Almarhum adalah guru dari Sabang Wirata dan Kurupati. Panji-panji itu bisa
bangkitkan orang mati. Pemiliknya bisa sedot ilmu yang dimiliki mayat semasa
hidupnya jika orang tersebut tahu cara menggunakan panji-panji itu. Semua mayat
tunduk kepada pemegang pusaka Panji-panji Agung, sehingga ia bisa memiliki
sejumlah prajurit yang terdiri dari para mayat hidup."
"Cukup sakti juga pusaka
itu," gumam Suto Sinting. "Tapi tidak semua orang yang memegang atau
memiliki Panji-panji Mayat
dapat pergunakan panji- panji itu untuk menyedot ilmu para mayat semasa
hidupnya. Hanya beberapa orang saja yang tahu tentang cara tersebut. Bahkan
Jaima Dupi dan Sang Ratri sendiri tak mendapat penjelasan dari Nyai Parisupit
tentang cara menggunakan panji-panji untuk menyedot ilmu mayat semasa
hidupnya."
"Apakah kau tahu
caranya?"
"Tidak. Tapi aku tahu
beberapa orang yang mengetahui tentang cara menyedot ilmu mayat dengan
menggunakan panji-panji itu. Orang-orang yang mengetahuinya antara lain; Ki
Gendeng Sekarat serta kedua gurumu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang."
"Ki Gendeng Sekarat...?!
Hmmm... pantas ia pernah punya pasukan mayat sebelum ia kembali menjadi pelayan
calon istriku; Dyah Sariningrum, Ratu Negeri Gerbang Surgawi di Putau
Serindu?!" pikir Suto Sinting sambil membayangkan sesosok tubuh agak gemuk
yang gemar mengenakan pakaian merah dan bisa bertarung dalam keadaan tertidur
nyenyak, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Prahara Pulau
Mayat").
"Tapi perlu kau ingat,
Suto...," ujar Sumbaruni, si tokoh tua yang masih tampak muda dan cantik
itu. "Beberapa waktu yang lalu, pernah terjadi heboh pusaka Panji-panji
Agung yang sampai membuat beberapa tokoh kalangan atas turun tangan. Peristiwa
itu terjadi sekitar tiga puluh tahun yang lalu "
"Aku belum lahir,"
sela Suto Sinting
Sumbaruni lanjutkan ucapannya,
"Nyai Parisupit segera bersekongkol dengan seseorang untuk membuat tiruan
bendera Panji-panji Mayat atau Panji-panji Agung itu. Jadi yang perlu kau
pertimbangkan, apakah Panji- panji Mayat yang dititipkan kepada Resi Badranaya
itu adalah yang asli? Siapa tahu Nyai Parisupit kala itu menitipkan Panji-panji
Mayat yang palsu kepada Resi Badranaya?!"
"Wah, semakin rumit
masalahnya jika begitu," ujar Suto Sinting. "Paling tidak aku harus
mempelajari Panji- panji Mayat yang asli dan mengetahui yang palsu adalah yang
bagaimana."
"Itulah kesulitanmu.
Karenanya aku ingin sarankan padamu agar mundur dari persoalan itu. Kau akan
dibuat pusing sendiri oleh keaslian pusaka tersebut. Lebih baik kau mengurus masalah
lain, sebab masalah itu sudah dianggap masalah kuno oleh para tokoh persilatan
kalangan atas."
"Tapi bagaimana dengan
Kejora?! Kejora diculik orang, dan Kejora adalah keturunan dari Sang Ratri.
Padahal perempuan yang bernama Sang Ratri adalah mantan prajurit Puri Gerbang
Surgawi di alam gaib yang dikuasai oleh calon mertuaku; Ratu Kartika Wangi.
Sedangkan aku adalah Manggala Yudha Kinasih dari negeri Puri Gerbang Surgawi di
alam gaib itu. Lalu apa kata ibu Ratu Kartika Wangi jika aku hanya tinggal diam
menghadapi kematian mantan prajuritku itu? Bisa-bisa aku dipecat tak jadi calon
menantunya!"
"Bicaralah yang baik,
jangan singgung-singgung soal kekasihmu; Dyah Sariningrum dan keluarganya.
Bisa- bisa kalau aku tak sabar mulutmu akan kurobek dengan pedangku,
Suto!" ujar Sumbaruni dengan nada cemburu. Pendekar Mabuk nyengir takut,
ia sadar bahwa Sumbaruni adalah lawan berat bagi Dyah Sariningrum dalam urusan
cinta. Sumbaruni mencintai Suto Sinting, dan Suto Sinting sudah menjadi calon
suami dari anak Ratu Kartika Wangi, yaitu Gusti Mahkota Sejati yang bernama
asli Dyah Sariningrum. Tentu saja kecemburuan Sumbaruni akan terbakar jika Suto
Sinting
banyak bicara tentang
kekasihnya.
Cinta Sumbaruni kepada
Pendekar Mabuk sungguh besar, sehingga perempuan itu sempat punya rencana untuk
menantang pertarungan nyawa dengan Dyah Sariningrum. Namun rencana itu sampai
sekarang belum sempat terlaksana karena Sumbaruni terlalu banyak punya urusan
di rimba persilatan.
"Suatu saat aku pasti
akan menantang Dyah Sariningrum untuk menentukan siapa yang berhak memilikimu,
Suto!" ujar Sumbaruni yang tidak terlalu digapai oleh Pendekar Mabuk.
"Kalau begitu aku harus
tetap menuju ke Biara Ungu untuk bebaskan Kejora."
"Apakah kau yakin bahwa
Kejora ada di Biara Ungu?! Buktinya kau sudah salah duga dengan menyangkaku
sebagai penculik Kejora, hanya gara-gara aku mengenakan pakaian serba ungu.
Padahal yang namanya Nyi Mas Gandrung Arum itu tidak mengenakan pakaian ungu,
walaupun biaranya adalah Biara Ungu."
"Kalau begitu, aku harus
bagaimana menghadapi masalah ini, Sumbaruni?!"
"Temuilah gurumu dan
tanyakan ciri-ciri pusaka Panji-panji Mayat yang asli, dan tanyakan di mana
letak perbedaannya antara yang asli dengan yang tiruan!"
"Baiklah, tapi setidaknya
aku perlu menemui Nyi Mas Gandrung Arum untuk membicarakan tentang Kejora.
Setelah itu aku akan temui Guru untuk membicarakan pusaka pembangkit mayat
itu."
"Terserah langkahmu. Yang
jelas aku akan merawat anakku; Logo, yang habis terkena racunnya si Peluh
Setanggi. Untung aku bisa menyedot keluar racun itu, jika tidak maka anakku
bukan saja akan menderita luka namun juga akan mati direnggut racun 'Lidah
Malaikat' milik si Peluh Setanggi!" Sumbaruni mendekati Suto Sinting,
berdiri di depannya persis dalam jarak kurang dari satu langkah. Pemuda tampan
itu dipandanginya dengan sorot pandangan mata penuh pribadi. Guratan
kedongkolannya mulai sirna, berubah rona lembut bermata sayu. Pendekar Mabuk
juga menatapnya dengan sunggingkan senyum tipis menawan.
"Apakah kau kecewa jika
aku tak membantumu dalam membebaskan Kejora?!"
Pendekar Mabuk gelengkan
kepala dengan lembut. Lalu berucap dengan lirih, "Aku mampu tangani
sendiri masalah ini, Sumbaruni."
"Kalau begitu aku harus
segera pergi, kita berpisah dulu, Suto," ucap Sumbaruni bersuara bisik,
tangannya meraba pipi Suto Sinting dengan mesra. Pemuda tampan itu hanya
anggukkan kepala samar-samar.
"Kau tak ingin... tak
ingin menciumku?"
Pendekar Mabuk lebarkan senyum
geli dan gelengkan kepala.
Sumbaruni menarik napas
menyimpan rasa kecewa.
Tapi ia segera berkata dengan
suara lirihnya,
"Baiklah, kalau memang
kau tak mau menciumku tak apa, aku yang akan menciummu. "
Cuup...! Dengan gerakan cepat
bibir Sumbaruni mengecup pipi Suto Sinting. Gerakan cepat itu sukar dihindari
oleh Suto Sinting, bahkan ditangkis pun sulit. Mau tak mau pipi itu terkena
jurus kasmaran Sumbaruni yang menghangat sampai ke dasar hati. Sumbaruni pun
menarik diri secepatnya, kemudian melesat pergi tanpa pamit lagi. Weeess...!
Pendekar Mabuk geleng-geleng
kepala pandangi kepergian Sumbaruni sambil mengusap-usap pipi yang habis
terkena jurus ciuman itu. Suaranya terdengar menggumam lirih dengan senyum
masih mengembang samar-samar.
"Dasar perempuan... tidak
diberi malah nyolong! Hmmm... awas kau, lain waktu akan kubalas dengan lebih
nakal lagi!"
Sinar matahari menyorot tajam
ke permukaan bumi. Pendekar Mabuk bergegas menyusuri pantai, karena dari situ
tampak jelas Bukit Esa yang tak jauh dari pantai. Setidaknya jarak itu lebih
mudah ditempuh ketimbang melewati hutan belantara.
Gugusan karang yang membukit
di pantai itu membentang bagai menghalangi langkah Pendekar Mabuk, ia terpaksa
harus mendaki bukit karang yang tak seberapa tinggi untuk pencapai dataran
pantai seberangnya.
Tapi tiba-tiba langkahnya yang
ingin mendaki tertahan oleh suara ledakan menggelegar di dalam hutan.
Blegerrr...!
Getaran daya ledak itu sampai
terasa ke tanah yang dipijak Pendekar Mabuk. Rasa ingin tahu membuat Pendekar
Mabuk akhirnya belokkan arah dan menerabas hutan belantara untuk melihat
pertarungan yang terjadi di sana.
"Pasti pertarungan itu
sangat seru, suara ledakannya sampai terasa menggetarkan tanah sekitar sini!
Hmmm... siapa kira-kira yang lakukan pertarungan itu?!" pikir Suto sambil
memperhatikan kepulan asap di kejauhan sana dan ia segera memburu ke arah
kepulan asap itu.
Zlappp, zlappp..!
Dalam sekejap saja Pendekar
Mabuk telah sampai di suatu tempat menyerupai danau yang cukup lebar. Danau itu
berair hijau buram dengan garis tengah lingkaran lebih dari dua puluh langkah.
Di bagian tengah danau terdapat beberapa tonjolan batu yang mencuat dari
kedalaman air danau. Seseorang yang ingin mencapai ke pertengahan danau harus
mampu melakukan lompatan- lompatan yang tepat pada pucuk-pucuk bebatuan. Jarak
dari batu ke batu cukup lebar, tak bisa dilakukan hanya sekedar dengan
melangkah biasa.
Dan di atas batu-batu di
pertengahan danau itu, tampak tiga orang sedang mengadu kesaktian mereka.
Pendekar Mabuk mengintai dari atas pohon, dan merasa kaget melihat salah satu
dari ketiga orang tersebut. Orang itu berpakaian model biksu warna putih,
rambut putih tipis berkesan botak, jenggotnya agak panjang berwarna putih,
menandakan usianya sekitar delapan puluh tahun. Tubuhnya agak gemuk, namun
gerakannya masih kelihatan lincah. Pendekar Mabuk tak asing lagi dengan tokoh
tua yang dikenal dengan nama Resi Pakar Pantun itu.
Tetapi yang membuat Pendekar
Mabuk lebih heran lagi adalah kedua lawan Resi Pakar Pantun. Tokoh tua itu
bertarung melawan dua gadis berjubah ungu mengenakan kutang hijau bersulam
benang emas, talinya dari rantai kuning emas yang melingkar ke belakang.
Pakaian bawahnya hijau berbelahan empat yang mudah tersingkap sampai batas
pinggang jika dipakai untuk menendang, sehingga kemulusan kulit paha kedua
gadis itu akan terlihat jelas. Keduanya sama-sama menyandang pedang di
pinggang. Keduanya sama-sama berambut lebat ikal terurai mekar. Keduanya
sama-sama pula mempunyai wajah serupa dengan Peluh Setanggi.
"Jangan-jangan salah satu
dari kedua gadis itu adalah Peluh Setanggi?!" pikir Suto Sinting, namun ia
segera merasa kewalahan membedakan yang mana Peluh Setanggi dan yang mana
saudara kembarnya.
Resi Pakar Pantun tampak mulai
terdesak karena kedua gadis itu sama-sama mencabut pedangnya. Mereka menyerang
bersama dalam satu lompatan menyerupai dua pasang burung terbang. Wuuuttt...!
Pedang mereka dikibaskan dari
kanan-kiri ke arah dada Resi Pakar Pantun. Weesss...!
Hampir saja Resi Pakar Pantun
terkena tebasan pedang mereka kalau tak cepat menghindar dengan bersaito ke
belakang dan kakinya tepat menapak pada sebuah batu runcing. Tebb...! ia
pergunakan ilmu peringan tubuhnya hingga dapat berdiri di atas batu seruncing
tombak itu. Hanya dengan satu kaki menapak, Resi Pakar Pantun segera lepaskan
pukulan bertenaga dalam dari kedua tangan yang disentakkan ke depan. Wuuttt...!
Clap, clap...! Dua sinar merah
berbentuk piringan melayang cepat menghantam dua gadis yang sedang turun dari
lompatannya. Yang sebelah kiri sempat menahan sinar merah itu dengan melepaskan
sinar biru lebar dari tangan kirinya. Blaaarrr...! Tapi yang sebelah kanan
masih mampu berkelit dengan meliukkan tubuhnya, hingga sinar merah Resi Pakar
Pantun melesat jauh dan menghantam pohon di daratan. Jlegarrr...!
Gadis yang lolos dari serangan
sinar merah segera menapakkan kakinya di atas sebongkah batu lebih rendah dari
batu yang dipakai berpijak Resi Pakar Pantun. Tetapi gadis yang mengadu
kekuatan tenaga dalamnya dengan melepas sinar biru itu terpental ke belakang,
hilang keseimbangan badannya. Akhirnya ketika kakinya ingin berpijak pada salah
satu batu, ia tergelincir jatuh.
"Aaahh...!"
"Ambar...?!" seru
gadis yang satunya dengan tegang sekali.
Byuurr...! Gadis yang rupanya
bernama Ambar itu jatuh ke danau. Pendekar Mabuk memandang dengan mata
terbelalak penuh keheranan. Tubuh yang jatuh ke danau segera hangus seketika,
seperti besi panas masuk ke dalam air.
Jrrooss...! Wuuusss...!
Asap mengepul putih membubung
tinggi, lenyap dalam sekejap. Tubuh yang jatuh ke perairan danau itu segera
menjadi tulang belulang yang berwarna hitam arang. Kemudian tenggelam
perlahan-lahan dengan sisa asap yang semakin menipis dan segera lenyap.
"Gila!" gumam Suto
Sinting berwajah tegang. "Rupanya air danau itu sangat berbahaya. Ganasnya
melebihi lahar panas sebuah gunung berapi?! Uuh... untung aku tidak gegabah
bermain air itu!"
Gadis itu memekik dengan
berang. "Jahanaaam...! Kau bunuh adikku dengan keji, Manusia bejat!
Kubalas kau sekarang juga, hheeeaaah...!"
Wuuut...! Tubuh gadis itu
berkelebat cepat menerjang Resi Pakar Pantun dengan pedang ditebas-tebaskan
membabi buta. Resi Pakar Pantun sentakkan kaki dan tahu-tahu sudah ada di batu
lainnya. Wees...! Si gadis tak sempat
berhenti bergerak. Kakinya menyentak ujung batu dan tubuhnya melesat ke arah
Resi Pakar Pantun berada.
"Hiaaah...!"
Wuuuss...! Bet, bet, bet,
bet...!
Pedang ditebas-tebaskan hingga
memancarkan kilatan-kilatan sinar biru bagaikan lidah petir. Resi Pakar Pantun
hanya diam saja. Kedua tangannya saling bertemu di dada. Mata terpejam, kepala
tetap tegak. Kilatan cahaya biru itu menyambarnya secara bertubi- tubi.
Duaar, duaar... blaaarr...!
Tubuh sang Resi masih utuh.
Seakan sinar-sinar biru itu meledak dengan sendirinya sebelum menyentuh tubuh
sang Resi.
Namun ketika tubuh si gadis
mendekatinya dengan pedang menebas berserabutan, kedua tangan sang Resi
menyentak membuka dengan suara pekik terlontar dari mulutnya.
"Heeeah...!"
Claaap...! .
Sinar merah menyebar lebar
menghantam tubuh gadis yang melayang. Zeebb...!
"Uuhhg...!" gadis
itu memekik tertahan, tubuhnya terlempar dan berguling-guling di udara bagai
segumpal kapas disapu badai. Tubuh itu akhirnya jatuh di daratan tepi danau,
tepat di bawah pohon yang dipakai Suto Sinting untuk mengintai pertarungan itu.
Brrrukkk...!
"Ooaaahg...!" mulut
si gadis langsung semburkan darah segar dengan tubuh kelojotan bagai dipanggang
api.
Suto Sinting yang tepat ada di
dahan atas gadis itu melihat jelas keadaan si gadis yang amat menyedihkan. Rasa
tak tega membuat Suto Sinting akhirnya turun dari atas pohon. Wuuutt...! Tepat
pada saat itu Resi Pakar Pantun melompat dari tengah danau dengan kaki
menyentak di ujung-ujung batu. Teb, teb, teb...! Wuuttt, jleeg...!
"Suto...?!" tegurnya
penuh keheranan.
Suto Sinting tak sempat
membalas teguran sang Resi karena ia ingin buru-buru menolong gadis itu. Namun
baru saja ia merunduk, gadis itu telah hembuskan napas terakhir dan tak
berkutik selamanya.
"Yaaah... lewat!"
keluh Suto Sinting bernada kecewa. Matanya terpaku memandangi dada si gadis
yang bertato gambar mawar. Dalam hatinya pun segera berkata,
"Kalau begitu dia bukan
si Peluh Setanggi, karena tatonya bukan bergambar naga. Tapi... wajahnya serupa
betul dengan Peluh Setanggi?!"
Resi Pakar Pantun melangkah
lebih mendekat lagi. Saat itulah Pendekar Mabuk bangkit dari jongkoknya dan
memandang sang Resi yang cengar-cengir kepadanya.
"Badak bunting rambutnya
poni, badak jantan enggak dikebiri.
Tak kusangka bertemu di sini,
melihat gadis mati berseri."
Sang Resi langsung berpantun
karena memang kesukaannya bertutur lewat pantun, ia mampu menyusun dalam waktu
singkat, sehingga layak menamakan diri sebagai Resi Pakar Pantun.
"Mengapa kau bunuh kedua
gadis kembar ini, Resi?!" tanya Suto Sinting bernada kurang setuju atas
tingkah sang Resi sebagai tokoh aliran putih yang sudah cukup akrab dengannya
itu. Bahkan si Gila Tuak, gurunya Suto Sinting, kenal baik dengan Resi Pakar
Pantun. Semestinya sang Resi tidak mudah mencabut nyawa dua gadis itu mengingat
ilmu mereka masih jauh di bawah kesaktian sang Resi. Tapi rupanya sang Resi punya
alasan tersendiri atas tindakannya yang sepintas tampak kejam itu.
"Badak bunting minum tuak
segentong penuh, penyakit panu dan kadas langsung sembuh. Tak sengaja hasrat
hati ingin membunuh, semata-mata hanya lindungi jiwa dan tubuh."
Pendekar Mabuk tarik napas
satu kali, pandangi danau berair hijau buram yang menyerupai sang maut menanti
tumbal itu. Kejap berikutnya ia ajukan tanya kembali kepada Resi Pakar Pantun,
"Persoalan apakah yang
membuat mereka menyerangmu seganas itu? Kulihat mereka sangat bernafsu ingin
membunuhmu."
"Badak bunting disangka
buah delima, hinggap di pohon disangka buaya.
Pembalasan menjadi pangkal
dendam lama, ayahnya mati kugempur kepalanya."
Sang Resi menyeringai bagai
banggakan diri, tapi Pendekar Mabuk gelengkan kepala berkali-kali. Merasa heran
melihat sang Resi bicara tentang pembunuhannya dengan ringan bagai merasa tak
berdosa. Hal itu membuat Pendekar Mabuk semakin ingin tahu.
"Mengapa kau membunuh
ayah mereka?"
Kini sang Resi menjawab tanpa
pantun, "Dumpak Roga, ayah mereka adalah pembunuh bayaran yang tak kenal
teman, tak kenal saudara. Siapa pun yang mengupahnya untuk membunuh seseorang,
biar adik kandung sendiri tetap akan dibunuhnya asal besar upah sesuai
keinginannya. Dumpak Roga adalah tokoh aliran hitam yang dibenci sesama aliran
hitam, namun tidak disukai oleh tokoh aliran putih. Aku bertarung dengannya
untuk mempertahankan sebuah pusaka titipan, dan dalam pertarungan itu Dumpak
Roga nyaris membunuhku. Untung aku punya sisa kesaktian yang nyaris kulupakan,
maka kuhantam ia dengan jurus lamaku itu, dan... kepalanya hancur tak sempat
kupunguti lagi." Pendekar Mabuk pandangi wajah mayat si gadis. Kemudian
terlontar pertanyaan yang sejak tadi mengusik batinnya,
"Apakah mereka ada
hubungan saudara dengan seorang gadis yang bernama Peluh Setanggi?!"
"Tentu ada, sebab Peluh
Setanggi adalah kakak tertua dari kesembilan adik kembarnya."
"Hahh...?! Sembilan
kembar?!" Suto Sinting terkejut. "Sepuluh," ulang Resi Pakar
Pantun. "Dumpak Roga
mempunyai istri perempuan
Pulau Godot yang rata-rata bertubuh tinggi besar itu. Ia melahirkan anak kembar
sepuluh, yang dianggap anak sulung adalah Peluh Setanggi, karena ia bayi yang
lahir pertama. Habis melahirkan bayi kembar sepuluh sang Ibu langsung tak mau
bernapas lagi sampai sekarang, alias mati."
"Hmmm...." Pendekar
Mabuk manggut-manggut penuh perasaan kagum mendengar perempuan melahirkan bayi
kembar sepuluh.
"Kini anak Dumpak Roga
selalu memburuku. Kapan saja kami bertemu mereka selalu berusaha membunuhku
sebagai curahan dendam, membalas kematian ayah mereka. Selama ini aku selalu
menghindar, karena gadis- gadis itu tidak berdosa dan tidak tahu mengapa
aku harus membunuh ayah mereka. Tapi
kali ini, agaknya aku tak bisa menghindar diri dan terpaksa bertahan. Kalau aku
tak menyerang mereka, aku bisa mati jatuh ke dalam air Danau Maut."
"Air danau itu tampaknya
tenang namun mampu membakar tubuh manusia secepat itu? Baru sekarang kulihat
ada danau pemakan manusia."
"Namanya Danau Maut,
airnya adalah air beracun yang tak bisa disentuh dengan benda apa pun. Kau
lihat ketika gadis itu melayang kemari dan pedangnya jatuh ke permukaan air
danau, pedang itu langsung menjadi arang, bukan?! Hanya batu dan tanah yang tak
bisa hangus terkena air Danau Maut."
"Mengapa kau sampai bertarung
di atas bebatuan tengah danau itu?!"
"Tak sengaja. Aku hanya
menghindari mereka, tapi mereka mengejarku. Padahal tujuanku hanya mencari
pelayanku; si Kadal Ginting."
"Oh, ya... aku bertemu
dengan Kadal Ginting. Dia kusuruh menemuimu di Hutan Rawa Kotek, karena
kusangka kau masih ada di pondok Nini Kalong, Resi."
"Aku hanya sebentar di
sana, tak boleh bermalam," ujar sang Resi dengan wajah melentur kecewa.
"Mengapa tak diizinkan
bermalam di sana?" "Nini Kolong takut hamil."
Suto Sinting tertawa agak
keras.
"Padahal... padahal aku
sudah tidak mampu lakukan kewajibanku sebagai lelaki. Tapi dia masih curiga,
kusuruh membuktikan tak mau juga. Akhirnya aku harus pergi dari pondoknya
sebelum malam tiba."
"Kasihan..,," gumam
Suto Sinting sambil tertawa cekikikan. Wajah sendu sang Resi tampak lucu,
jenggotnya diusap-usap dengan gerakan lamban.
"Badak bunting main yoyo
di bawah mega."
Suto Sinting bertanya sambil
tersenyum geli, "Apa artinya, Resi?"
"Sudah tahu semangatku
loyo, eh... masih dicurigai juga."
Tawa pun terlepas walau tak
keras. Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala sendiri pada saat tawanya mereda, ia
segera menenggak tuak beberapa teguk, setelah itu baru teringat sesuatu dan
segera ditanyakan kepada sang Resi.
"Katamu tadi, kau
bertarung dengan Dumpak Roga karena mempertahankan pusaka titipan?"
"Benar. Seorang sahabat
lama menitipkan pusaka itu padaku agar terhindar dari jamahan tangan-tangan
murka. Mau tak mau harus kupertahankan walau terpaksa bertaruh nyawa dengan si
Dumpak Roga!"
Hati Suto Sinting
berdebar-debar, dahinya berkerut tajam memandangi Resi Pakar Pantun yang
agaknya berbicara dengan sungguh-sungguh.
"Pusaka apa itu,
Resi?!"
"Pusaka kuno," jawab
sang Resi mulai tampak malas melanjutkan percakapan tentang masa lalunya. Tapi
Pendekar Mabuk menjadi sangat penasaran dan jantungnya berdetak-detak.
"Apa nama pusaka itu,
Resi? Katakanlah namanya!" cecar Pendekar Mabuk tampak tak sabar lagi.
"Namanya... namanya
Panji-panji Mayat." "Oooh...?!" Suto terpekik tegang.
"Ja... jadi pusaka itu
ada padamu, Resi?!"
Resi Pakar Pantun hanya
menatap dengan mata sedikit mengecil menampakkan keheranannya melihat Suto
Sinting setegang itu.
*
* *
5
PENDEKAR Mabuk terpaksa
menceritakan segala sesuatunya tentang persoalan pusaka Panji-panji Agung itu.
Resi Pakar Pantun baru paham apa yang dimaksud Suto Sinting setelah mendengar
cerita perjalanan anak muda itu dari awal sampai akhir. Tokoh tua tersebut
akhirnya manggut-manggut sambil menggumam panjang. Mereka bicara sambil
meninggalkan Danau Maut, setelah memakamkan Jenazah gadis bertato mawar secara
alakadarnya.
"Peristiwa pertarunganku
dengan Dumpak Roga adalah peristiwa beberapa tahun yang lalu," ujar Resi
Pakar Pantun. "Jadi sekarang Panji-panji Mayat sudah tidak ada di tanganku
lagi."
"Ada di mana
sekarang?"
"Kuserahkan kembali
kepada Nyai Parisupit. Barangkali setelah itu pusaka dititipkan oleh Nyai
Parisupit kepada si Resi Badranaya."
Suto diam sejenak. Hatinya
sedikit kecewa mendengar pusaka itu sudah tidak di tangan Resi Pakar Pantun.
Padahal ia berharap pusaka itu tetap ada di tangan Resi Pakar Pantun, sehingga
tidak sulit-sulit lagi menentukan di mana sebenarnya pusaka itu tersimpan.
"Kalau begitu, benar apa
kata Darah Prabu, bahwa pusaka itu telah dicuri oleh Peluh Setanggi atas
perintah Nyi Mas Gandrung Arum," ujar Suto Sinting seperti bicara pada
dirinya sendiri.
"Tapi mestinya Nyi Mas
Gandrung Arum tidak berani melakukan hal itu."
"Mengapa mestinya tidak
berani?"
"Karena Nyi Mas Gandrung
Arum adalah satu- satunya tokoh perempuan sakti yang tidak boleh memegang atau
memiliki pusaka orang lain. Dia telah disumpah oleh gurunya untuk tidak
memiliki pusaka orang lain, kecuali pusaka warisan dari leluhurnya dan dari
gurunya sendiri."
"Hmmm...." Suto
Sinting manggut-manggut lagi. "Mungkin... mungkin Nyi Mas Gandrung Arum
adalah murid dari Eyang Resi Demang Sudra? Atau mungkin juga Nyi Mas Gandrung
Arum muridnya Eyang Sabang Wirata?!"
Ahli Pantun itu menggeleng.
"Nyi Mas Gandrung Arum bukan muridnya Resi Demang Sudra, juga bukan
muridnya Sabang Wirata. Dia mempunyai seorang guru yang dikenal cukup sakti dan
disegani di dunia persilatan, namanya: Begawan Banjar Toya. Mendiang Begawan
Banjar Toya itu pamanku sendiri, dan
beberapa ilmunya diturunkan padaku, tapi aku bukan muridnya. Aku punya
guru sendiri."
"Ooo...," sekali
lagi Suto Sinting menggumam sambil manggut-manggut.
"Dulu aku pernah mau
diangkat murid Paman Banjar Toya, tapi aku tidak mau disuruh agar tidak
memegang atau memiliki pusaka orang lain; kecuali pusaka dari leluhurku dan
dari Paman sendiri. Aku tidak mau disumpah begitu, sebab kalau aku melanggar
sumpah, maka aku akan menemui ajal dalam tujuh hari setelah memegang atau
memiliki pusaka orang lain. Tiga orang murid Paman Banjar Toya bersedia
menerima sumpah itu, salah satunya adalah Nyi Mas Gandrung Arum yang usianya
memang lebih tua dariku. Dulu aku dibujuk olehnya agar mau menjadi murid Paman,
tapi aku tetap tidak mau, sebab waktu itu aku masih punya keinginan besar untuk
mencari pusaka Pedang Kayu Petir. Pedang terdahsyat di seluruh rimba
persilatan! Tapi setelah Paman meninggal, barulah kusadari bahwa Pedang Kayu
Petir itu milik sahabat dari guruku, yaitu Resi Wutung Gading, aku tak berani
merebutnya, lalu kulupakan hasratku ingin memiliki Pedang Kayu Petir itu."
Suto Sinting sempat
sunggingkan senyum tipis, karena ia tahu persis kedahsyatan Pedang Kayu Petir.
Dulu pedang yang dianggap pusaka maha sakti ini pernah hilang, dan Suto
Sintinglah yang menemukannya, bahkan sempat digunakan bertarung melawan Raja
Tumbal yang mempunyai pusaka maut bernama Seruling Malaikat, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: Pedang Kayu Petir dan Seruling Malaikat).
"Kalau begitu, Rasi
Wutung Gading itu sebenarnya sudah berusia cukup banyak, lebih tinggi dari
usiamu sendiri, Resi?"
"Iya. Walaupun sekarang
ia kelihatan tua, tapi sebenarnya ia awet muda. Kalau dibandingkan dengan usia
sebenarnya, seharusnya ia lebih tua lagi dari keadaan yang sekarang."
Suto Sinting lebih tertarik
dengan penjelasan mengenai Nyi Mas Gandrung Arum, sehingga ia segera
mengembalikan pembicaraan ke alur semula.
"Menurutmu, apa yang
mendorong Nyi Mas Gandrung Arum berani mengutus Peluh Setanggi untuk mencuri
pusaka Panji-panji Mayat itu, Resi?!"
Sang Resi hanya angkat bahu
pertanda tidak mengerti jawabannya, ia hanya berkata sambil tetap melangkah
seiring dengan Pendekar Mabuk.
"Barangkali ia kepingin
cepat mati dalam tujuh hari setelah memiliki pusaka orang lain itu, sesuai
dengan sumpahnya di depan gurunya.'
"Kurasa alasan itu tak
masuk akal."
"Kalau begitu, kita
datangi saja Biara Ungu dan biarkan aku yang bicara dengan Nyi Mas Gandrung
Arum."
"Kau pikir kita sekarang
sedang berjalan ke arah mana?"
"Oh, Jadi sekarang ini
kita sedang mengarah ke Biara Ungu?! Ya, ampuuun... mengapa baru sekarang
kusadari hal itu?!" Resi Pakar Pantun sempat tertegun bengong dan
garuk-garuk kepala, langkahnya pun terhenti dengan mata memandang ke arah Bukit
Esa yang ada di depannya. Suto hanya tersenyum-senyum melihat kepikunan sang
Resi.
Ketika mereka mencapai perbatasan
wilayah Biara Ungu, langkah mereka terhenti karena menemukan sesosok mayat
tergeletak di rerumputan. Pendekar Mabuk dan Resi Pakar Pantun sama-sama
terkejut saat menemukan mayat itu.
"Peluh
Setanggi...?!" gumam Suto dengan tegang. "Rupanya ia telah dibunuh
oleh Darah Prabu."
Resi Pakar Pantun mengendurkan
ketegangan di wajahnya. "Bukan, ini bukan mayat Peluh Setanggi."
"Aku masih ingat warna
kutang dan pakaian bawahnya, Resi. Wajahnya pun wajah si Peluh Setanggi."
"Bukan!" sang Resi
agak ngotot. "Lihat tato di atas payudaranya. Tato itu bergambar pedang
bersilang, sedangkan tatonya Peluh Setanggi bergambar seekor naga."
"O, Iya...?! Rupanya kau
sangat hafal dengan gambar tato itu, Resi?"
"Karena letaknya di
tempat yang patut dihafalkan," jawab sang Resi agak ngeres.
"Lalu, siapa gadis yang
mati dalam keadaan bolong lehernya ini?"
"Adik kembarnya Peluh
Setanggi yang berjuluk si Pedang Gunting."
"Bagaimana kau bisa
mengenalinya sebagai si Pedang Gunting?"
"Tatonya bergambar pedang
bersilang, dan tempat yang ditato... agak kecil sedikit dari milik Peluh
Setanggi," Jawab sang Resi sambil cengar-cengir malu. Suto Sinting
sunggingkan senyum tipis berkesan hambar. "Lalu... siapa yang membunuhnya?
Jangan-jangan Darah Prabu salah bunuh, ia menyangka si Pedang Gunting ini
adalah Peluh Setanggi?!"
"Kurasa bukan Darah Prabu
yang membunuhnya, sebab dilihat dari luka berlubang di lehernya jelas ini bukan
perbuatan Darah Prabu."
"Lalu, perbuatan siapa
jika bukan perbuatan Darah Prabu?!"
Tiba-tiba ada suara yang
menyahut dari belakang mereka, "Perbuatanku...!"
Kedua lelaki itu menengok ke
belakang secara serentak, dan mereka temukan seorang perempuan berdiri dengan
tegak menggenggam sebuah busur dan menyandang anak panah di punggungnya.
"Dewi Geladak
Ayu...?!" ucap Pendekar Mabuk dengan suara datar dan pelan. Matanya tak
mau lepas dari wajah cantik berhidung mancung itu. Wajah itu tampak segar, dan
masih terbayang jelas dalam ingatan Suto ketika wajah itu diinjak-injak lawan
hampir hancur, hati Suto kala itu sungguh iba memandang kekalahan perempuan
tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pembantai
Raksasa").
Resi Pakar Pantun sedikit
gelisah, sebab ia tahu siapa perempuan berjubah biru laut dengan penutup
dadanya warna kuning tipis itu. Ketika Dewi Geladak Ayu membantu mendiang Ratu
Sangkar Mesum menyerang negeri Bumiloka, sang Resi tampil sebagai pembela pihak
negeri Bumiloka, sebab negeri itu milik leluhur murid Resi yang bernama
Kertapaksi. Tentunya beberapa anak buah Dewi Geladak Ayu yang dikenal sebagai
bajak laut wanita itu banyak yang tumbang di tangan Resi Pakar Pantun. Kendati
akhirnya sang Resi sendiri lari dari pertarungannya melawan Ratu Sangkar Mesum.
Kini pancaran mata tajam
perempuan bertusuk konde sumpit emas itu terang-terangan ditujukan kepada Resi
Pakar Pantun. Pancaran pandangan mata itu nyata-nyata mengandung permusuhan.
Namun sebelum Dewi Geladak Ayu bicara, Suto Sinting sudah lebih dulu
perdengarkan suaranya dengan nada kalem dan bersikap tenang.
"Mengapa kau bunuh gadis
itu, Geladak Ayu?" "Persoalanku bukanlah persoalanmu, untuk apa kau
ingin mengetahui alasanku
membunuhnya?!"
"Sekadar ingin tahu saja.
Kalau kau keberatan menjelaskannya, ya tak usah dijelaskanlah...!"
jawabnya sambil bersungut-sungut dan bersikap acuh tak acuh. Tapi perempuan
bermata galak itu rupanya mempunyai pertimbangan pribadi, mengingat dulu
jiwanya pernah diselamatkan oleh si tampan Suto Sinting itu. Karenanya, ia pun
segera berkata sambil memperhatikan Suto yang buang muka ke arah lain.
"Kapalku ditenggelamkan
oleh anak buah si Nyi Mas Gandrung Arum dengan alasan tak diizinkan berlabuh di
perairan wilayah Biara Ungu. Maka sebagai imbalannya, akan kubantai habis
orang-orang Biara Ungu satu demi satu!"
Melihat sikap tenangnya Suto Sinting,
Resi Pakar Pantun menjadi ikut tenang, ia tersenyum geli mendengar kapal Dewi
Geladak Ayu ditenggelamkan gara-gara tak boleh parkir di batas wilayah Biara
Ungu. Bagi sang Resi itu suatu hal yang lucu, sehingga ia pun segera lontarkan
pantun Jenakanya.
"Badak bunting badak yang
nakal, bercanda dengan lintah di pinggir danau. Jika bajak laut tak lagi punya
kapal,
jadilah ia bajak sawah
penunggang kerbau."
Resi Pakar Pantun bagaikan
bicara kepada Pendekar Mabuk, tapi sasaran pantunnya ditujukan kepada Dewi
Geladak Ayu. Maka perempuan itu pun mulai berang dan melangkah lebih dekat lagi
sambil berkata dalam geram.
"Berpantunlah sepuas
hatimu, Jahanam! Sebentar lagi nyawamu pun akan kukirim ke dasar neraka!"
"Mengapa marah padaku?
Aku berpantun kepada Pendekar Mabuk," sangkal Resi Pakar Pantun. Bahkan ia
kembali lontarkan pantunnya sambil berhadapan dengan Suto Sinting.
"Badak bunting karena
telan biji salak, sekali lompat kandungan melorot ke kaki. Boleh saja perempuan
berwajah galak,
namun kesukaannya tetap saja
di bawah lelaki."
Pendekar Mabuk menahan tawa
gelinya dengan buang muka dan tersenyum-senyum. Sang Resi seolah- olah mengajak
Suto Sinting tertawa hingga terkekeh- kekeh. Tapi Dewi Geladak Ayu semakin
berang, sehingga tangan kanannya segera menyentak ke depan. Wuuttt..! Dan
seberkas sinar kuning seperti telur ayam melesat ke arah Resi Pakar Pantun.
Claappp...!
Sang Resi sigap dengan keadaan
itu. Ia cepat sentakkan kaki dan tubuhnya melambung ke atas, wuuttt...! Sinar
kuning itu lolos dari tubuhnya, menghantam pohon di belakangnya.
Duaarrr...!
Sang pohon rompal dalam
keadaan daunnya berguguran, beberapa dahannya patah dan jatuh ke tanah. Suto
Sinting segera hentikan senyuman gelinya dan berdiri menghadang langkah Dewi
Geladak Ayu yang ingin hampiri Resi Pakar Pantun.
"Hentikan murkamu,
Geladak Ayu!"
"Tidak bisa!"
bentaknya. "Monyet tua itu harus kubunuh, karena tiga anak buahku mati di
tangannya saat terjadi pertempuran di Bumiloka!"
Mata si tampan Suto tertuju ke
wajah Dewi Geladak Ayu tanpa berkedip. Ketajaman pandangannya mempunyai
kelembutan tersendiri yang membuat resah hati Dewi Geladak Ayu. Dalam hati
perempuan itu pun berkata,
"Setan belang! Tiap aku
bertemu dengan pemuda yang satu ini, selalu berdebar-debar jika menerima
tatapan matanya! Hatiku menjadi gundah tak tentu arah jika ia berdiri dan
memandangku begitu. Setan alas betul dia! Kemarahanku selalu dibuat surut oleh
sikapnya yang menawan. Dasar pemuda sial!" geramnya jengkel pada diri
sendiri.
Dewi Geladak Ayu bermaksud nekat
menyerang Resi Pakar Pantun dengan menggunakan jurus 'Geledek Jalang', yaitu
sebuah sentakan dua jari tangan kanan ke arah samping, lalu dari ujung kedua
jari itu melesat sinar biru kecil sepanjang satu depa, besarnya seukuran dengan
bambu seruling. Slapppp...!
Sinar biru itu melesat
menghantam pohon di samping kanannya. Ternyata sinar biru itu memantul ke pohon
sebelahnya, terus memantul-mantul dari pohon ke pohon dengan gerakan sangat
cepat.
Crap, crap, crap, crap...!
Tahu-tahu sinar biru itu
memantul ke arah punggung Resi Pakar Pantun. Classs...! Pendekar Mabuk yang
mengikuti gerakan sinar dengan pandangan matanya segera memutar tubuhnya dan
kakinya berkelebat menendang lengan Resi Pakar Pantun. Wuuttt...! Deess...!
Sang Resi terjungkal ke
samping tepat pada saat sinar biru ingin menghantam punggungnya. Bruusss...!
Dan bumbung tuak Suto Sinting yang tergantung di pundak itu segera digeser ke
dada, lalu sinar biru yang ganti melesat lurus ke dada Suto Sinting itu
menghantam bumbung bambu itu.
Deeb...! Wuusss...!
Sinar itu berbalik arah dengan
gerakan lebih cepat dan lebih besar dari ukuran semula. Tiap pohon yang tadi dilewati sebagai tempat pantulannya,
kini dilewati kembali sampai akhirnya sinar biru besar itu menuju ke arah Dewi
Geladak Ayu. Weesss...!
"Setan laknat!"
teriak Dewi Geladak Ayu antara kaget dan berang, ia segera sentakkan kakinya
dan tubuh sekal itu pun terbang ke atas, wuuttt...! Sinar besar lewat di bawah
kakinya. Ketika tubuh berkulit kuning langsat itu mendarat lagi ke bumi, sinar
biru besar itu menghantam sebuah pohon besar di kejauhan sana.
Blegaarrr...!
Resi Pakar Pantun yang baru
saja mau bangkit berdiri menjadi tumbang kembali karena getaran gelombang ledak
yang cukup kuat. Tanah pun berguncang bagai dilanda gempa. Pohon besar itu
hancur menjadi serpihan-serpihan kayu sebesar kelingking. Bahkan tiga pohon di
sekitarnya tumbang seketika dengan keadaan akarnya mencuat keluar dari
kedalaman tanah.
Dewi Geladak Ayu yang tadi
sempat oleng karena getaran gelombang ledak itu, kini memandang bengong ke arah
pecahan pohon besar. Dalam hatinya perempuan bajak laut itu menggumam kagum,
"Edani Jurus 'Geledek
Jalang'-ku menjadi lebih dahsyat dari aslinya?! Padahal hanya memantul akibat
kenai bumbung tuak itu, tapi mengapa bisa menjadi sedahsyat itu?! Benar-benar
sinting ilmu si tampan itu. Pantas kalau dia bernama Suto Sinting! Mengagumkan
sekali. Tapi biar bagaimanapun aku harus tetap kelihatan acuh tak acuh, seakan
tak merasa kagum terhadap kehebatan ilmunya. Biar dia tidak ngelunjak
padaku!"
Pada saat terperangah bengong
itulah Dewi Geladak Ayu mengalami kelengahan. Sebilah pisau garpu berukuran
sangat kecil melesat dari arah belakangnya. Pisau garpu mata dua itu dengan
enaknya menancap di tengkuk Dewi Geladak Ayu. Wuuusst...! Jebb...!
"Aaahg...!" Dewi Geladak Ayu terlambat
kesadarannya, ia hanya bisa
terpekik dan segera oleng beberapa saat, kemudian tumbang dalam keadaan
tengkurap di tanah. Brrruk...! Setelah itu si bajak laut perempuan tak berkutik
lagi. Namun kepalanya yang tergeletak miring itu memperlihatkan bola matanya
yang hanya bisa kedip-kedip lemah dan sayu tanpa suara dan rintih apa pun.
Pendekar Mabuk dan Resi Pakar
Pantun terperanjat juga melihat kejadian yang amat tak terduga-duga itu.
Pandangan mata mereka segera terpusat pada pisau kecil berbentuk garpu dua mata
berukuran setengah jengkal.
"Kucing Hutan...!"
ucap Resi Pakar Pantun menegang sambil clingak-clinguk kebingungan.
"Kucing Hutan...! Ada Kucing Hutan di sini...!"
"Untuk apa mencari kucing
hutan?!" sentak Suto Sinting sambil menepuk lengan sang Resi.
"Aku bukan mencari
binatang kucing hutan! Maksudku... maksudku si Kucing Hutan yang membuat Dewi
Geladak Ayu roboh!"
Pendekar Mabuk kerutkan dahi,
"Siapa itu Kucing Hutan?!"
"Perawan titisan
peri!" jawab Resi Pakar Pantun terburu-buru, setengah gugup. "Dia
perempuan peminum darah lelaki. Ilmunya cukup tinggi, lebih tinggi dari ilmuku!
Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini, Suto!"
"Tunggu dulu...!"
cegah Suto Sinting sambil meraih lengan Resi Pakar Pantun. "Dari mana kau
tahu kalau di sini ada Kucing Hutan?!"
"Pisau garpu tala itu
kukenali sebagai senjata gaibnya yang beracun ganas. Menyentuh kulit kita saja
bisa bengkak dan memborok apalagi sampai menancap di tengkuk begitu. Pasti...
seluruh saraf si Dewi Geladak Ayu terhenti kecuali saraf pada matanya itu!
Lekas kita pergi dari sini sebelum ia melihat kita."
"Aku ingin bertemu
dengannya."
"Gila kau! Darahmu bisa
dihisap habis oleh si Kucing Hutan kalau nekat menemuinya!" sambil Resi
Pakar Pantun menarik lengan Pendekar Mabuk dalam satu sentakan. Tapi agaknya
Pendekar Mabuk justru penasaran dan ingin menunggu kemunculan si Kucing Hutan
Itu. "
*
* *
6
YANG disebut-sebut 'Kucing
Hutan' oleh Resi Pakar Pantun ternyata seorang gadis berusia sekitar dua puluh lima
tahun, bertubuh ramping dengan tinggi badan sejajar dengan Suto Sinting, ia
berwajah cantik, hidungnya mancung kecil dan bibirnya mungil warna merah segar.
Matanya sungguh tajam dalam memandang berwarna biru bening. Alisnya tebal namun
tumbuh dengan rapi. Bulu matanya lentik dan lebat. Tak ada kemiripan sedikit
pun dengan seekor kucing.
Rambutnya terurai sepanjang
punggung berwarna hitam rada ungu sedikit, bening dan mengkilap, ia tidak
mengenakan ikat kepala, sehingga rambutnya sering meriap ke depan terhempas
angin.
"Cantik sekali?!"
gumam hati Pendekar Mabuk mengagumi kecantikan si Kucing Hutan yang hanya
mengenakan penutup dada warna ungu tua berukuran kecil, seakan hanya menutupi
bagian ujungnya saja.
Tetapi sebagai pelapis
tubuhnya yang kuning langsat berbulu halus cukup lebat itu, ia mengenakan jubah
lengan panjang warna ungu muda yang tipis terbuat dari kain sutera. Pakaian
bawahnya berupa kain ungu tipis yang seolah-olah hanya dililitkan secara
asal-asalan saja, sehingga paha kirinya sering tampak dari luar karena kain itu
sering tersingkap terhembus angin. Di pinggangnya terdapat sabuk merah tua yang
digunakan untuk menyelipkan pisau-pisau kecil berbentuk garpu mata dua.
Gadis berkuku panjang dan
runcing itu sejak tadi memandangi Pendekar Mabuk dengan sorot pandangan mata
yang tajam tak berkedip. Menyeramkan namun juga mengagumkan.
Pendekar Mabuk hanya diam
dalam ketenangan dan seulas senyum tipis selalu mekar di bibirnya. Pandangan
mata sang pendekar tampan juga tertuju lurus ke mata Kucing Hutan, antara tajam
dan lembut.
Resi Pakar Pantun sedikit
gelisah. Namun karena melihat Suto Sinting kalem-kalem saja, maka sang Resi pun
paksakan diri untuk kalem juga. Bahkan sebagai sapaan pertama sang Resi berani
lontarkan pantunnya kepada si Kucing Hutan. "Badak bunting tidur di
pangkuan itik, membeli sorban berkain batik.
Gadis mana yang punya wajah
cantik, selain si Kucing Hutan berdada lentik."
Gadis itu sunggingkan senyum,
bibirnya terbuka sedikit. Suto kontan terkejut, ternyata gadis itu mempunyai
sepasang taring kecil pada gigi atasnya. Bulu kuduk Pendekar Mabuk langsung
merinding walau ia ikut-ikutan lebarkan senyum segadis.
Senyum si Kucing Hutan
mendadak hilang, lalu terdengar suaranya yang kecil merdu itu berseru kepada
Resi Pakar Pantun,
"Pandai nian kau buat
pantun untukku, Pak Tua. Tapi ketahuilah, dengan sejujurnya kunyatakan padamu;
aku tak suka dengan pantunmu!"
Wajah sang Resi tampak kecewa.
Senyuman tuanya mengendur dan lenyap dengan pandangan mata waswas tertuju ke
arah kanan-kirinya, seakan tak mau dipandang oleh si Kucing Hutan, ia cenderung
pandangi Suto Sinting, karena agaknya Suto Sinting ingin menarik perhatian si
Kucing Hutan dengan bermain pantun juga.
"Badak bunting, bunting
sendiri, mungkin bunting karena tertusuk duri. Lebih baik aku mati berdiri,
daripada tak diundang ikut
kenduri."
Senyum si Kucing Hutan tampak
tersipu dan ditutup tangan kirinya. Kemudian ia bertanya kepada Pendekar Mabuk
dengan mata memancarkan persa-habatan.
"Apa maksud pantunmu,
Paman?" "Paman...?!" Suto Sinting nyaris tertawa ngakak
dipanggil 'paman' oleh gadis cantik itu. Tawa pun terpaksa ditahan karena si
gadis maju dua langkah dan mengulang pertanyaannya dengan tanpa malu-malu lagi.
"Apa maksud pantunmu
itu?!"
"Mmm... maksudku... maksudku
ingin bertanya, siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?"
"Hmmm... tak ada
hubungannya dengan pantun," gerutu sang Resi dengan bersungut-sungut.
"Namaku Kucing Hutan,
tinggalku ya di dalam hutan."
"Lalu tujuanmu kemari
untuk menemui Resi Pakar Pantun atau ingin membunuh Dewi Geladak Ayu?"
"Ingin menemuimu,"
jawab Kucing Hutan dengan suara lebih kecil lagi seperti berbisik, tapi
didengar pula oleh Resi Pakar Pantun, sehingga sang Resi menimpali dengan suara
pelan bernada takut,
"Mampuslah kau, Suto...
siap-siap kehabisan darah saja kau!"
"Kurobek mulutmu jika
bicara seenaknya sekali lagi, Pakar Pantun. Kurobek dan kujadikan bendera
kematian, baru tahu rasa kau!" hardik Kucing Hutan dengan pandangan mata
tajam dan mulai cemberut dan membuat Resi bergidik merinding, lalu segera
bergeser ke belakang Suto Sinting.
Tiba-tiba wajah cemberut itu
berubah cerah, mata tajam berubah berseri, si gadis bertanya kepada Pendekar Mabuk yang masih tetap tenang walau
menahan rasa waswas dalam hatinya. "Siapa namamu?"
Suto Sinting diam sebentar,
setelah itu berpikir baru perdengarkan suaranya yang lembut seakan penuh
kesungguhan.
"Namaku... Suto Sayang.
Aku biasa dipanggil nama belakangku."
"O, jadi tak salah jika
aku memanggilmu Sayang, bukan?"
"Itu panggilan penghormatanku."
"Uuh...!" sang Resi
menggerutu lagi. "Panggilan penghormatan: Sayang. Kalau panggilan
penghinaan apa? Sapi?"
"Ssstt...!" Suto
Sinting terang-terangan menyuruh Resi Pakar Pantun untuk diam sambil melirik ke
belakang. Setelah pandangan matanya kembali ke depan, menatap seraut wajah
cantik mencemaskan itu, ia segera mendengar suara si Kucing Hutan berkata lagi.
"Aku mencium bau wangi
darah pendekar pada tubuhmu."
"Yaah... apes juga
akhirnya kau, Suto!" gerutu sang Resi dalam bisikan.
"Maukah kau datang ke
istanaku, Sayang?" "Di mana istanamu berada?"
"Di Lembah Meong, sebelah
utara dari tempat ini. Kusiapkan jamuan istimewa untuk kedatanganmu nanti
malam."
"Akan kuusahakan untuk
datang."
"Kau memang pria penuh
pesona. Sekarang aku harus pergi membawa Dewi Geladak Ayu itu!" "Mau
kau bawa ke mana dia?" "Ke Istanaku, Sayang."
"Mau kau apakan
dia?"
Kucing Hutan tidak langsung
menjawab, namun segera mencabut pisau garpunya dari tengkuk Dewi Geladak Ayu,
kemudian mengangkat tubuh itu, memanggulnya di pundak kiri. Sebelum melangkah
pergi ia sempat menjawab pertanyaan Suto Sinting tadi.
"Aku terpaksa harus
memotong-motongnya menjadi beberapa bagian, kecuali jika ia mau serahkan sebuah
pusaka kuno yang kuincar dari dulu."
"Pusaka apa?!"
sergah Pendekar Mabuk.
"Jangan lupa jamuan
istimewa nanti malam. Jangan sampai kau tak datang, Sayang. Tapi ingat, jangan
bawa pak tua peot itu. Darahnya pahit dan bikin gatal tenggorokan."
"Tunggu, kau belum jawab
pertanyaanku. Pusaka kuno apa maksudmu tadi?"
"Mungkin kau akan
mendengar jawabannya setelah menikmati Jamuan Istimewa nanti malam. Sampai
jumpa di istanaku, Sayang!"
Wuuusss...!
"Hei, tunggu...!"
seru Pendekar Mabuk, tetapi si Kucing Hutan telah lenyap bagaikan ditelan bumi.
Caranya pergi menunjukkan tingginya ilmu yang dimilikinya, sehingga Pendekar
Mabuk merasa tak berani bertindak gegabah terhadap gadis itu.
"Lupakan tentang
tawarannya tadi," ujar Resi Pakar Pantun sambil menarik lengan Suto
Sinting untuk lanjutkan perjalanan ke Biara Ungu.
"Rasa-rasanya aku perlu
datang ke Lembah Meong nanti malam, Resi. Ada sesuatu yang ingin kudengar
darinya."
"Kubilang, lupakan saja!
Itu hanya sebuah siasat licik si betina buas tadi. Kau hanya akan dihisap
darahnya dan lama-lama mati tanpa darah. Sudah kubilang, dia itu penghisap
darah lelaki!"
Pendekar Mabuk ingin ucapkan
kata lagi, namun niatnya itu tertahan dengan kemunculan dua orang dari arah
depan mereka. Dua gadis berpakaian ungu dengan pedang terhunus sedang mendekati
arah Suto Sinting dan Resi Pakar Pantun.
"Tunggu dulu...! Siapa
dua gadis itu, Resi?!"
Belum sempat Resi Pakar Pantun
menjawab, dari arah kiri mereka muncul tiga gadis berpakaian ungu berambut
panjang dan mengenakan ikat kepala merah. Ketiga gadis itu menggenggam tombak
berujung pedang lebar berumbai-rumbal benang merah. Langkah mereka tampak
tergesa-gesa. Salah seorang berseru kepada dua gadis yang datang dari arah
depan Suto Sinting.
"Jangan sampai lolos!
Mereka telah bunuh si Pedang Gunting!"
"Celaka!" bisik Suto
Sinting. "Kita dituduh telah membunuh si Pedang Guntingi"
"Tenang dulu, jangan
lakukan sesuatu. Biar kujelaskan pada mereka siapa yang membunuh si Pedang
Gunting."
Ketika Resi Pakar Pantun
menengok ke arah kanan, ternyata dari semak-semak telah muncul empat orang gadis
berpakaian ungu dengan senjata tak sama; pedang, tombak, cambuk, dan trisula.
Sedangkan dari arah belakang terdengar suara orang berlari menuju ke arah Suto
Sinting. Sang pendekar tampan dan Resi Pakar Pantun segera menengok ke arah
belakang. Oh, ternyata dari arah belakang mereka tampak delapan gadis
berpakaian ungu sedang berlari mendekati Suto dan Resi Pakar Pantun.
Dari atas pohon segera
berlompatan gadis-gadis jelita berkutang ungu tanpa baju. Mereka tampak siap
tempur karena senjata mereka sudah terhunus semua. Lebih dari lima orang yang
berlompatan dari atas pohon, salah satunya melepaskan pukulan jarak jauh
bersinar biru tua berbentuk cakram. Wuuuttt...!
"Awas...!" seru Resi
Pakar Pantun sambil menarik pundak kanan Suto Sinting. Akibatnya tubuh Suto
Sinting miring ke kanan dan bumbung tuaknya segera berkelebat menghadang sinar
biru yang menuju ke wajahnya. Tuubs...! Wooosss...!
Sinar biru membalik arah
setelah membentur bumbung tuak. Kecepatan geraknya lebih tinggi dari semula dan
bentuknya pun lebih besar dari bentuk aslinya. Tapi si pemilik sinar biru yang
sudah mendarat di tanah, sehingga sinar biru yang sudah berubah bentuk dan
kecepatannya itu menghantam pohon tempat mereka melompat tadi.
Jegaarrr...!
Ledakan menggelegar cukup
dahsyat menggema ke mana-mana. Dalam jarak lingkar empat puluh langkah setiap
tanaman bergetar, bahkan ada yang tumbang atau patah dahannya akibat gelombang
getar ledakan tadi. Semua gadis berpakaian ungu itu memandang dengan terkesima
pada saat pohon yang terhantam pantulan sinar biru itu pecah menyebar tinggi ke
angkasa.
"Ck, ck, ck, ck...!"
salah seorang geleng-geleng kepala sambil berdecak penuh rasa kagum. Katanya
lagi, "Jurus kiamat siapa itu tadi? Hanya memantul dari bumbung tuak saja
daya ledaknya bisa sedahsyat itu, apalagi kalau memantul dari jidat si tampan
itu?!"
"Ya, tak akan memantul,
karena kepala si tampan itu pasti akan pecah oleh jurus 'Brajawuda'-nya si
Mirasuti tadi!" ujar temannya sambil teruskan langkah mengepung kedua
lelaki tua dan muda itu.
"Salah satu ada yang bawa
mayat Pedang Gunting ke Biara laporkan kepada sang Ketua keadaan di sini!"
seru seorang gadis berikat kepala putih. Lalu, salah seorang dari mereka
benar-benar memanggul mayat Pedang Gunting dan lari ke arah biara. Kepergian
satu orang itu tidak mengurangi kekuatan mereka. Menurut Suto Sinting, mereka
masih berkekuatan penuh dalam membentuk kepungan melingkar.
"Mengapa mereka
mengenakan pakaian ungu semua, Resi?"
"Karena memang seragam
orang-orang Biara Ungu begitu. Bentuk pakaian boleh apa saja, tapi warna harus
tetap ungu."
"Apa yang harus kita
lakukan jika sudah terkepung sebegini banyaknya, Resi?! Kalau kita bertindak,
mereka pasti ada yang korban nyawa. Kasihan mereka, kesalahpahaman membuat
mereka harus korban nyawa, Itu tidak bijak namanya, Resi."
"Sebab itulah aku akan
bicara kepada Putik Linang yang berikat kepala putih itu! Kalau tak salah dia
menjabat sebagai kepala keamanan Biara Ungu, termasuk tiga pengawal Nyi Mas
Gandrung Arum."
Senjata sudah arahkan ke
tengah lingkaran, wajah- wajah penuh nafsu membunuh mulai terpampang jelas di
setiap kecantikan mereka. Pendekar Mabuk memandang dengan kebingungan, karena
tak bisa menilai mana yang paling cantik dari mereka. Semuanya cantik-cantik
dan bertubuh sintal menggoda iman.
"Putik Linang," sapa
Resi Pakar Pantun. "Apa maksudmu mengurung kami begini?! Kau anggap kami
ini apa, hah?!"
"Jangan beriagak bodoh,
Resi Pakar Pantun!" jawab gadis berikat kepala putih bersulam benang emas.
"Kau tak bisa cuci tangan begitu saja setelah membunuh Pedang Gunting! Kau
boleh memilih, kami tangkap dan adili di dalam biara atau kami bunuh dan kepala
kalian kami serahkan kepada Nyi sang Ketua; Nyi Mas Gandrung Arum?!"
"Pedang Gunting bukan
mati di tangan kami!" sangkal Resi Pakar Pantun agak ngotot.
"Perhatikanlah luka berlubang di lehernya, itu bukan luka ciri khas kami
jika terpaksa membunuh lawan! Kalian salah paham semua." "Buktikan
pembelaanmu di depan sang Ketua nanti. Jika kalian tak mau kami tangkap dan
kami bawa menghadap sang Ketua, berarti kalian ingin mati di sini!"
"Hajar saja!" teriak
salah seorang gadis bersenjata pedang di belakang Suto Sinting. Tentu saja
seruan itu membuat Suto Sinting berpaling memandang gadis itu dengan tenang.
Sang gadis segera berkata,
"Yang satu jangan dihajar
pakai pedang, tapi pakai bibir saja!"
Teman di sebelahnya menyahut,
"Yang tua direbus saja biar tambah empuk!"
"Kau kira singkong!"
bentak Resi Pakar Pantun dengan perasaan tersinggung. Lalu ia mulai bermain
pantun di depan para pengepungnya.
"Badak bunting bergincu
arang, masuk ke pasar duduk di atas bubur. Jangankan hanya sekian orang,
seribu orang maju bersama tak
akan membuatku mundur "
"Paling-paling
lari," tambahnya dengan pelan. Pendekar Mabuk menahan tawa matanya masih
memandang tajam penuh waspada, seakan semua indera dipertajam agar tahu gerakan
lawan dan datangnya bahaya.
"Kalau begitu kau memang
menghendaki mati di tangan kami, Resi Pakar Pantun!"
"Demi membela kebenaran,
terpaksa kulakukan pertarungan dengan kalian!" "Serrbuuu...!"
Zlaaap...!
Wuuurrsss...! Semua maju
menyerang dengan senjata dihujamkan. Senjata-senjata itu saling beradu satu
dengan yang lainnya, sambil mereka lontarkan seruan- seruan murka.
"Heeeaaatt...!
Claaahhh...! Heeittt...!" Trang, trang, tring, prak, prang, tring...!
"Aauh, Jangan nyodok perutku, Tolol!" "Maaf, agak sengaja!
Heeeaaat...!"
Gaduh sekali suara mereka.
Sebegitu banyak gadis tanpa pertarungan saja sudah berisiknya seperti geger
kiamat, apalagi menghadapi pertarungan penuh murka, seolah-olah suara
berisiknya menembus langit tingkat tujuh membuat para dewa menjadi panik.
"Hentikan!
Hentiiikaaan...!" teriak Putik Linang dengan keras. Teriakan itu
benar-benar membuat mereka berhenti lakukan serangan. Mereka saling mundur
pelan- pelan pandangi Putik Linang. Si gadis berikat kepala putih itu membentak
dengan mata melotot.
"Lihat, apa yang kalian
serang?! Tak ada apa-apa di situ!"
"Lho... ke mana dua orang
lelaki tadi?!" gumam salah seorang dengan heran. Yang lain pun memandang
dengan penuh keheranan. Tempat berdiri Suto Sinting dan Resi Pakar Pantun telah
kosong. Tanahnya hancur diserang senjata mereka.
"Kok mereka bisa lenyap?
Ke mana perginya? Kapan bergeraknya?!" Mereka segera clingak-clinguk penuh
kebingungan. Putik Linang segera berseru keluarkan perintah dengan wibawa.
"Cari mereka sekarang
juga! Jangan bengong saja!
Carlii...!"
Wuuurrsss...! Mereka mencari
dengan penuh semangat.
"Hoi, mengapa mencari
secara berbondong-bondong begitu?! Menyebar, Goblok! Menyebaaarr...!"
Mereka yang sudah berlari
berbondong-bondong ke arah barat segera menyebar ke berbagai arah. Gerakan
mereka sebenarnya lincah-lincah dan cepat-cepat, tapi ternyata belum ada sekuku
hitamnya dibanding gerakan Suto Sinting yang menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.
Mereka tak tahu bahwa sebelum
serbuan datang Suto Sinting sudah berkelebat lebih dulu sambil menyambar tubuh
Resi Pakar Pantun dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' andalannya itu. Pada
saat senjata mereka ditebaskan beramai-ramai, bekas bayangan Suto Sinting masih
terlihat di mata mereka. Padahal orangnya sudah kabur entah ke mana bersama
sang Resi.
"Mereka tidak ada, Putik
Linang! Mereka ditelan bumi!" seru salah seorang dari kejauhan.
"Kau kira bumi ini
nenekmu yang suka menelan apa saja?!" gerutu Putik Linang dengan suara
pelan, wajahnya bersungut-sungut penuh kedongkolan dan rasa heran. Hatinya pun
bertanya-tanya, "Ke mana kedua lelaki itu sebenarnya?!" *
* *
7
BANGUNAN berwarna ungu di
lereng bukit itulah yang dinamakan Biara Ungu. Dibangun dengan susunan batu
bertangga seratus baris. Bangunan itu sendiri mempunyai tiga tingkat,
bergenteng warna ungu yang tampaknya cukup kekar bagaikan lempengan batu kali.
Benteng biara itu pun tampak cocok dengan ketinggian sekitar empat tombak.
Setiap sudut mempunyai menara pengawas yang dilengkapi dengan panah api berkaki
tiga untuk menyerang lawan yang hendak menyerang biara.
Bangunan utama biara itu
mempunyai serambi luas dan lebar, hampir separo dari luasnya halaman depan yang
berlantai marmer itu. Di sanalah sang Ketua yang mengangkat diri sebagai
pendeta melakukan pembicaraan dengan para tamunya, atau mengajar mantra hitam
kepada para muridnya.
Ketika Putik Linang bersama
anak buahnya datang tanpa berhasil membawa pulang Suto Sinting dan Resi Pakar
Pantun, ia langsung menemui Nyi Mas Gandrung Arum di ruang utama. Putik Linang
sempat heran sejenak melihat pelataran kotor, banyak potongan kayu dan serpihan
logam pedang yang berserakan. Ciri-ciri itu menandakan telah terjadi
pertarungan sengit di pelataran yang tak diketahui siapa pelakunya.
"Ah, persetan dengan
keadaan kotor ini! Aku harus segera melapor kepada sang Ketua; Gusti Pendeta
Nyi Mas Gandrung Arum tentang keterlibatan Resi Pakar Pantun dan si pemuda
tampan berbumbung tuak."
Langkah Putik Linang tampak
terburu-buru mendekati ruang pertemuan. Langkah itu segera terhenti dengan
wajah terperanjat karena ia melihat Gusti Pendeta Nyi Mas Gandrung Arum sedang
bicara dengan dua orang tamu yang ada di samping kanan, sementara di samping
kiri tampak beberapa murid dan dua pengawal berjaga-jaga. Hal yang membuat
Putik Linang terbelalak adalah keberadaan dua orang tamu itu. Hatinya sempat
menggerutu dalam kedongkolan.
"Setan kurap tujuh
tempat! Rupanya si tua Resi Pakar Pantun dan pemuda sombong itu sudah ada di
sini?! Aneh. Bagaimana caranya lolos dari sergapan orang sebanyak itu?!"
Pendekar Mabuk dan Resi Pakar
Pantun memang sudah berada di Biara Ungu. Kecepatan 'Gerak Siluman' membuat
mereka berdua segera sampai dan disambut dengan pertarungan para murid yang
menolak kehadiran mereka. Suto Sinting-lah yang merampungkan pertarungan itu
tanpa menimbulkan korban nyawa saat mereka ada di pelataran. Melihat
pertarungan itu begitu seru dan bisa membahayakan keselamatan para murid Biara
Ungu, maka Nyi Maa Gandrung Arum segera menghentikannya. Mau tak mau ia
terpaksa menerima kehadiran kedua tamunya yang kurang disukai itu. Sebab mereka
hadir tepat pada saat Nyi Mas Gandrung Arum ingin istirahat siang.
"Kami ingin bicara
denganmu, Gandrung Arum!" kata Resi Pakar Pantun seolah-olah menjadi wakil
dari kunjungan itu. Suto Sinting belum mau banyak bicara, bahkan bersikap
seperti pengawalnya sang Resi.
"Aku tak suka menerima
tamu dalam keadaan aku ingin istirahat, Pakar Pantun. Tapi karena anak muda itu
menunjukkan kebolehannya di depanku tadi, maka dengan sangat terpaksa kalian
kuterima."
"Anak muda ini bernama
Suto Sinting, murid si Gila Tuak!"
Nyi Mas Gandrung Arum
terkesiap memandang Suto Sinting. Yang dipandang justru menatap ke arah lain
dengan lagak acuh tak acuh. Tapi telinganya menyimak tiap ucapan perempuan
cantik berjubah ungu berbintik- bintik warna emas dari bahan kain mahal.
Sebenarnya Suto Sinting sejak
tadi mencuri pandang ke arah Nyi Mas Gandrung Arum, karena perempuan itu
berpakaian seronok, hanya mengenakan jubah panjang sampai betis dari kain tipis
sejenis sutera. Kain itu sangat tipis sedangkan bagian dalamnya hanya
mengenakan penutup secukupnya dari kain kuning mengkilat seperti rajutan benang
emas. Kemontokan dada Nyi Mas Gandrung Arum dan kemulusan kulitnya tampak
jelas. Lekak-lekuk tubuhnya pun begitu menggiurkan. Ditambah dengan perhiasan
yang lengkap dan rambut tersanggul rapi diberi penghias seperti mahkota,
Nyi Mas Gandrung Arum layak dikatakan
sebagai perempuan cantik yang punya seribu daya tarik bagi lelaki. Jantung Suto
Sinting sempat berdebar-debar karena menahan rasa kagumnya terhadap keindahan
yang dimiliki Nyi Mas Gandrung Arum itu. Dengan lagak acuh tak acuh dan seperti
orang angkuh itulah ia berhasil mengendalikan debar-debar indah yang semula
menggelisahkan hati.
"Pantas dia mampu
melumpuhkan kedua pengawal tadi. Rupanya kau datang dengan membawa si Pendekar
Mabuk, Pakar Pantun."
"Benar, Gandrung
Arum." "Badak bunting menelan pedang, tembus di leher seperti cupang.
Tak sudi aku datang,
jika tanpa urusan yang
menantang."
Sambil tetap duduk di sebuah
kursi berbentuk singgasana, Nyi Mas Gandrung Arum sunggingkan senyum sinis
begitu mendengar pantun sang Resi. Sikapnya yang penuh wibawa dan berkharisma
tinggi itu membuat Suto Sinting menggodanya dengan Jurus 'Senyuman Iblis' yang
mampu membuat lawan jenisnya kasmaran. Jurus itu tidak digunakan sepenuhnya,
hanya sekadar sebagai penggoda hati sang pendeta aliran hitam itu.
Ternyata Nyi Mas Gandrung Arum
mulai gelisah saat memperhatikan senyuman Pendekar Mabuk. Duduknya menjadi tak
tenang, akhirnya ia berdiri dan berjalan mondar-mandir di depan singgasananya,
kedua tangan dikebelakangkan.
"Bocah setan!"
geramnya dalam hati. "Senyumnya membuat gairahku mulai panas dan jantungku
berdetak cepat. Kurang ajar! Aku harus bisa melawan hasratku dengan mantra
pembantai gairah."
Lalu, dalam hati Nyi Mas
Gandrung Arum membaca sebaris mantra pembunuh rasa ingin bercumbu. Mantra itu
tak mampu mengalahkan daya pikat yang ada dalam senyuman Suto Sinting,
sekalipun memang bisa mengurangi rasa ingin bercumbu, namun tak bisa lenyap
tuntas seperti biasanya dalam menghadapi hasrat bercumbu yang harus dibunuh.
Usaha itu sudah cukup membuat hati Nyi Mas Gandrung Arum sedikit tenang dan
bisa bicara lagi dengan Resi Pakar Pantun, yang menjadi ponakan dari gurunya
itu.
Namun sebelum Nyi Mas Gandrung
Arum teruskan pembicaraan yang terhenti karena kenakalan Suto Sinting itu,
tiba-tiba Putik Linang datang menghadap dan langsung memberi hormat dengan kaki
berlutut satu, badan membungkuk ke depan dan kedua tangan saling genggam di
dada.
"Ada apa kau menghadap
dalam keadaan sedang ada tamu begini, Putik Linang?!"
"Saya mau melaporkan
tentang kematian Pedang Gunting, Guru!"
"Nanti saja!
Menyingkirlah dulu, karena ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan kedua
tamuku ini. Tahukah kau, pemuda gagah itu ternyata murid si Gila Tuak yang
bergelar Pendekar Mabuk. Pembicaraanku dengan tokoh kondang ini tak bisa disela
sedikit pun dengan masalah lain."
"Maaf, Gusti Pendeta...."
Putik Linang terpaksa mundur dengan hati dongkol, ia berdiri di jajaran para
pengawal lainnya, ikut menyimak percakapan tersebut. Nyi Mas Gandrung Arum
segera ajukan tanya kepada
Resi Pakar Pantun yang sejak
tadi berdecak-decak dalam hati memandangi kecantikan para murid dan para
pengawal di situ.
"Terangkan persoalanmu
datang kemari membawa Pendekar Mabuk segala?! Apakah kau tak berani datang
sendiri? Takut ditumbangkan murid-muridku?!"
Resi Pakar Pantun merasa
tersinggung, namun ia segera menelan perasaan itu dan tidak mau membahasnya, ia
langsung bicara tentang persoalan sebenarnya.
"Tentunya kau masih ingat
tentang pusaka Panji-panji Mayat."
"Hmmm..., ya, aku masih
ingat pusaka itu milik keturunan si Parisupit. Ada apa dengan pusaka itu?"
"Apakah kau merasa
keturunan dari Parisupit atau Sabang Wirata?!"
Nyi Mas Gandrung Arum kerutkan
dahi memandang Resi Pakar Pantun.
"Ke mana arah
pembicaraanmu sebenarnya, Pakar pikun?! Bicaralah yang searah!"
Pendekar Mabuk sendiri tak
sabar dengan basa- basinya Resi Pakar Pantun, maka ia segera perdengarkan
suaranya yang lembut namun punya kharisma tersendiri. "Kami datang untuk
meminta pusaka itu dari tanganmu, Nyi Mas Gandrung Arum! Kami akan serahkan
kembali pusaka itu kepada pewarisnya, yaitu
anak-anak dari Jalma Dupi dan
Sang Ratri." Kerutan dahi Nyi Mas Gandrung Arum saat itu semakin tajam,
setajam matanya dalam memandangi wajah Pendekar Mabuk.
"Kau menuduhku
menyembunyikan pusaka itu, bocah tampan?! Apakah otakmu lebih dungu daripada
seekor kerbau?!"
"Setahuku, kerbau dengan
diriku masih pintar diriku." "Mengapa kau menganggap pusaka itu ada
di tanganku? Apakah kau tak tahu bahwa aku bukan
keturunan dari Sabang
Wirata?"
"Justru karena aku tahu
kau bukan keturunan Eyang Sabang Wirata, maka kau tidak berhak memiliki pusaka
Panji-panji Mayat itu, Nyi Mas!"
"Setan belang tujuh rupa
kau ini!" geram Nyi Mas Gandrung Arum tampak mulai marah. "Serendah
itu kau tuduh diriku sebagai pencuri pusaka milik orang lain?!" Nyi Mas
Gandrung Arum geleng-geleng kepala. "Untung kau murid si Gila Tuak, jika
bukan sudah kutumbuk mulutmu sekarang juga!"
Rupanya Nyi Mas Gandrung Arum
masih memandang sungkan kepada si Gila Tuak, sehingga ia tak berani bertindak
gegabah kepada murid sinting si Gila Tuak itu. Berarti, sekalipun Nyi Mas
Gandrung Arum berilmu tinggi dan dikenal sebagai pendeta sakti aliran hitam,
namun ia masih merasa ilmunya di bawah Gila Tuak.
Tapi tuduhan itu dirasakan
amat menjengkelkan hatinya, hingga bara murka mulai mengepul memanasi darahnya.
Dengan suara lantang, perempuan cantik yang menjadi tambah cantik dalam keadaan
galak begitu, segera berkata kepada Resi Pakar Patun.
"Pakar Pantun... apakah
kau tak pernah ceritakan kepada bocah sinting ini tentang sumpah dan perjanjian
selama menjadi murid pamanmu; Eyang Guru Begawan Banjar Toya?!"
"Bisa saja kau melanggar
sumpah itu, karena Paman Banjar Toya sudah tiada.""
"Mana mungkin aku berani
melanggarnya, sumpah itu merupakan pedang pengintai kelemahanku sepanjang masa.
Badar Pagetan terbukti mati dalam tujuh hari setelah ia merebut dan menguasai
pusaka Tombak Belalang-nya Sinduraja, padahal saat itu Eyang Guru Banjar Toya
juga sudah tiada. Apakah kau pikir aku ingin meniru kematian Nyai Badar
Pagetan?! Alangkah tololnya aku jika mau menyimpan atau memiliki pusaka
Panji-panji Mayat. Sama saja aku mempersiapkan diri untuk mati dalam tujuh hari
mendatang!"
Kedua tamu beda usia itu
sama-sama diam tertegun merenungi kata-kata Nyi Mas Gandrung Arum. Penjelasan
itu sangat masuk akal, terlebih setelah Nyi Mas Gandrung Arum memberi contoh
kematian saudara seperguruannya: Nyai Badar Pagetan itu. Resi Pakar Pantun
sendiri tahu persis tentang kematian Nyai Badar Pagetan yang sudah diramalkan
oleh batinnya karena mendengar kabar Nyai Badar Pagetan berhasil merebut pusaka
orang lain. Resi Pakar Pantun tak berani menyanggah pengakuan Nyi Mas Gandrung
Arum. Tetapi Suto Sinting mencoba ajukan alasan atas tuduhan tersebut.
"Muridmu, Peluh Setanggi
telah ketahuan mencuri pusaka itu dari tangan Resi Badranaya!"
Nyi Mas Gandrung Arum terkejut
mendengarnya, matanya terbuka dan mulutnya ternganga sejenak. Kemudian segera
berkata sambil melangkah dekati Suto Sinting dan berhenti di depan pemuda
tampan itu dalam jarak tiga langkah.
"Aku tak pernah menyuruh
Peluh Setanggi menemui Badranaya, adikku itu!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum berlagak tidak percaya terhadap pengakuan itu. Ia berkata dengan nada
tenang namun menjengkelkan bagi Nyi Mas Gandrung Arum.
"Jika kau tidak
mengutusnya, lantas mengapa kau menyelamatkan Peluh Setanggi dari buruan murid
Resi Badranaya; si Darah Prabu?!"
"Kau memfitnahku, Nak!
Aku tak pernah menyelamatkan murid murtad itu!"
"Mengapa kau sampai tega
melukai Darah Prabu dengan racun 'Tapak Ungu'-mu itu, Nyi Mas? Apakah luka
racun berbahaya pada diri Darah Prabu bukan dari tanganmu? Apakah ada tokoh
lain yang punya jurus 'Tapak Ungu' selain dirimu?"
"Darah Prabu memang
kuhantam dengan 'Tapak Ungu'-ku, karena dia berusaha menyerangku ketika aku dan
beberapa muridku dalam perjalanan pulang dari Lereng Pelung. Dia menyerangku
lebih dulu saat kami ingin menyeberangi sungai. Dua muridku terluka parah oleh
serangannya, aku terpaksa menghentikan serangannya itu dengan mengirimkan
pukulan 'Tapak Ungu' kepadanya. Tapi itu bukan karena aku membela atau ingin
menyelamatkan Peluh Setanggi!""
Sangkalan Nyi Mas Gandrung
Arum membuat Suto Sinting terdiam kembali. Benaknya berpikir menilai kebenaran
dari apa yang dikatakan Nyi Mas Gandrung Arum.
"Lalu... bagaimana dengan
Kejora?"
"Kejora siapa?!"
sergah Nyi Mas Gandrung Arum. .
Resi Pakar Pantun yang
menjawab, "Kejora gadis anak Jalma Dupi yang kau culik saat berduaan
dengan Darah Prabu."
"Pakar Pantun...!"
geram Nyi Mas Gandrung Arum sambil menghampiri sang Resi. "Lama-lama
mulutmu kuberangus agar tak bisa bicara selama hidupmu! Apa maksudmu menuduhku
menculik Kejora?! Apa alasanmu mengatakan begitu, hah?!"
Suto Sinting yang menjawab,
"Karena kulihat bayangan ungu yang berkelebat menyambar Kejora setelah
gadis itu ditotok dari jarak jauh!"
"Bayangan ungu...?!
Apakah bayangan ungu itu aku?"
"Kau memakai jubah ungu,
Nyi Mas?"
"Memang. Tapi apakah
hanya aku perempuan yang memakai jubah ungu?! Kau lihat sendiri, murid-muridku
pun pada umumnya memakai pakaian serba ungu! Tokoh lain yang memakai pakaian ungu
pun banyak. Mengapa harus aku yang menjadi sasaran kecurigaanmu, Bocah
ganteng?!" seraya Nyi Mas Gandrung Arum dekati Suto lebih rapat lagi.
Matanya memandang tak berkedip bagai ingin menembus ke dalam hati Pendekar
Mabuk.
"Perlu kau ketahui,"
sambung Nyi Mas Gandrung Arum. "Peluh Setanggi sudah bukan muridku lagi.
Ia telah murtad karena bekerja sama dengan orang lain demi mendapatkan upah.
Empat adik kembarnya ikut angkat kaki dari biara ini bersamanya, sedangkan lima
adiknya yang lain masih punya kesetiaan padaku. Sayang baru-baru ini tiga adik
kembarnya hilang, satu ditemukan mati dengan leher berlubang "
"Dewi Geladak Ayu yang
memanahnya!" sahut Resi Pakar Pantun.
"Hmmm... jadi Geladak Ayu
mau menuntut balas padaku?! Kalau begitu, aku harus menghancurkannya sekarang
juga!" sambil Nyi Mas Gandrung Arum manggut-manggut menggeram amarahnya.
"Geladak Ayu sudah
menjadi tawanan si Kucing Hutan," kata Resi Pakar Pantun.
"Kucing Hutan...?! Si
perawan titisan peri itu?! Hmmm...!" Nyi Mas Gandrung Arum mencibir sinis.
Tapi dari sorot matanya tampak memancarkan kebencian, ia duduk di singgasananya
dan berkata kepada Pendekar Mabuk,
"Kalau kau ingin mencari
pusaka Panji-panji Mayat, temuilah si Kucing Hutan dan carilah padanya. Peluh
Setanggi adalah orang upahannya, dan sekarang ia menjadi orangnya si Perawan
Titisan Peri itu. Hancurkan mereka kalau memang kau ingin menegakkan kebenaran,
Pendekar Mabuk!"
Suto Sinting beradu pandang
dengan Resi Pakar Pantun. Mereka saling berkerut dahi menampakkan keheranan yang
bercampur keragu-raguan. Nyi Mas Gandrung Arum berkata kembali,
"Hei, Pendekar Mabuk...!
Apakah kau takut melawan Perawan Titisan Peri itu?! Kalau kau takut, akan
kukirim bantuan untuk memperkuat kesaktianmu!"
Pendekar Mabuk panas hatinya.
"Jangankan si Perawan Titisan Peri, perawan titisan belatung pun aku tak
akan takut berhadapan dengannya!"
"Kalau begitu untuk apa
kau berlama-lama di sini! Pergilah ke Lembah Meong dan hancurkan si Perawan
Titisan Peri itu. Kujamin kau akan dapatkan pusaka itu dan gadis bernama Kejora
juga pasti ada bersamanya!"
Ingatan si murid Gila Tuak
segera kembali pada sekelebat bayangan ungu yang menyambar Kejora dan
menculiknya hingga saat itu. Dalam hati Suto Sinting segera berkata,
"Kucing Hutan berpakaian
serba ungu! Berarti dialah yang menyambar Kejora saat itu!"
Maka tanpa menunggu
pertimbangan lebih bertele- tele lagi, Suto Sinting segera melesat pergi ke
Lembah Meong, Resi Pakar Pantun terpaksa mengikuti gerakan langkah si Pendekar
Mabuk, karena ia pun merasa penasaran dengan batin bertanya-tanya,
"Benarkah pusaka itu telah berhasil dicuri Peluh Setanggi, dan sekarang
berada di tangan Kucing Hutan?!" Pendekar Mabuk sendiri membutuhkan
pemandu menuju Lembah Meong, karenanya ia sangat setuju Resi Pakar Pantun
mendampinginya. Melalui panduan Resi Pakar Pantun, Lembah Meong dapat dengan
mudah ditemukan oleh Pendekar Mabuk. Di lembah itu terdapat bangunan tua yang
dindingnya mulai berjamur. Menurut sang Resi, bangunan itu bekas sebuah
perguruan yang seluruh anggota perguruan mati karena racun, termasuk gurunya.
Sampai sekarang rahasia kematian mereka belum pernah ada yang mengungkapnya,
tak pernah ada yang tahu, siapa yang meracuni mereka hingga mati semua tanpa
sisa sepotong pun.
Remang senja mulai datang.
Bangunan kuno di dalam hutan itu menjadi tampak angker oleh keremangan cahaya
senja. Pendekar Mabuk mengintai dari atas pohon, sementara Resi Pakar Pantun
ada di bawahnya, mengintai dari semak belukar.
"Oh, ada seorang lelaki
yang berjaga-jaga di depan bangunan itu. Hmmm... siapa mereka? Dan mengapa
tempat itu tampaknya sepi-sepi saja? Apakah Kucing Hutan sedang tinggalkan
istananya?" pikir Suto Sinting sambil memperhatikan seorang lelaki
berbadan tinggi besar, namun berdandan seperti wanita; mengenakan giwang, memakai
bedak dan gincu, gerak-geriknya pun seperti wanita. Pendekar Mabuk segera turun
dari atas pohon dan mendekati Resi Pakar Pantun.
"Siapa lelaki yang
berdandan wanita itu?"
"Dia orang Perguruan
Pedang Iblis yang dikenal dengan nama Banci Wadak. Ilmu pedangnya cukup tinggi.
Agaknya dia membelot dari perguruannya karena pengaruh bujukan si Kucing Hutan,
sehingga kini ia menjadi pengikut Kucing Hutan."
"Kau masuk ke dalam
bangunan itu sementara aku akan menghadapi si Banci Wadak!"
"Pancing dia agak menjauh
dari pintu gerbang agar aku bisa masuk dengan bebas!"
Zlaaapp ..! Suto Sinting
segera melesat ke arah bangunan kuno Itu. Tiba-tiba ia muncul di bagian samping
bangunan dan bersuit memancing perhatian si Banci Wadak.
"Suiiit...!"
Banci Wadak menengok ke belakang
dan terkejut, tapi segera menjadi girang, ia berseru tanpa sadar.
"Eh, ada lelaki lho...!
Aduuuh... gantengnya bocah itu!"
Suto Sinting menggoda dengan
lambaian tangan, karena ia segera tanggap bahwa Banci Wadak suka dengan lelaki.
Melihat lambaian tangan itu, Banci Wadak semakin kegirangan dan segera berlari
ke arah samping bangunan yang berpohon jarang.
"Hai, Ganteng...,"
sapanya dengan suara perempuan. "Kok ada di sini sendirian? Masuk ke
dalam, yuk?" sambil ia semakin dekati Suto Sinting.
"Tidak, aku tidak mau
masuk ke dalam, takut kena marah si Kucing Hutan."
"Tak perlu takut, Kucing
Hutan sedang pergi. Pasti pulangnya agak malam. Kita bicara di dalam
saja," rayu si Banci Wadak sambil mengusap-usap punggung Suto Sinting, ia
tak tahu kalau saat itu tengkuk Suto Sinting menjadi merinding karena jijik
diraba lelaki bertubuh besar itu. Bahkan rabaan si Banci Wadak makin lama
semakin nakal, Suto Sinting segera sentakkan tangan berbulu itu. Tapi Banci
Wadak mencobanya lagi menggapai bagian terlarang di tubuh Suto Sinting.
"Jangan malu-malu begitu,
ah! Mumpung tak ada orang kecuali seorang tawanan perempuan di dalam
sana!"
Tiba-tiba ketika tangan Banci
Wadak membandel ke arah tertentu, Suto Sinting menghantamnya dengan kepalan
tinjunya. Plookk...! Krrraakk...!
"Aaauh...!" Banci
Wadak menjerit sambil berjingkat- jingkat mundur. Tulang pergelangan tangannya
terasa patah.
"Bangsat jelek kau, Cah
Bagus! Hiaaatt..!" Banci Wadak segera menyerang Suto Sinting dengan sebuah
tendangan, tapi Suto Sinting dapat merundukkan kepala dengan gesit, sehingga
tendangan itu lolos dari kepalanya. Tubuh Suto Sinting yang menggeloyor seperti
orang mabuk itu segera tegak dalam satu sentakan di mana bumbung tuaknya
menyodok perut Banci Wadak. Buuhg...!
"Uuhhg...!"
Brrrruuss...! Banci Wadak
jatuh ke semak-semak, terlempar lima langkah jauhnya, ia langsung memuntahkan
darah segar dari mulutnya. Namun agaknya luka dalam yang cukup parah tak
dihiraukan, ia segera bangkit dan mencabut pedangnya dengan tangan kanan yang
masih sehat itu. Srrang...!
"Bocah panuan! Kubunuh
kau sekarang juga.
Hiaaattt...!"
Wut, wut, wut, wut...!
Pedang berkelebat dengan cepat
bagai sukar diterobos dengan pukulan apa pun. Kecepatan gerakan pedang membuat
Banci Wadak bagaikan dilapisi cahaya kemilau pedang besar itu. Suto Sinting
agak bingung mencari kesempatan menyerang.
Tiba-tiba seberkas sinar merah
keluar dari tebasan pedang lawan. Claaap...! Suto menangkis dengan bumbung
tuaknya. Teuub...! Sinar merah tidak membalik arah, berarti kekuatan tenaga
dalam sinar itu sangat besar. Yang terjadi hanyalah sebuah ledakan menggelegar
membuat tubuh Suto Sinting terlempar jauh ke belakang.
Blegaarrr...!
Wuuuss...! Brruukkk...!
"Uuhg...!" Suto
Sinting menggeliat kesakitan. "Heeaaahh...!"
Wuuusss...!
Banci Wadak bagaikan terbang
ke arah Pendekar Mabuk dengan pedang siap ditebaskan. Pada saat itu, Suto
Sinting sempat melihat sekelebat bayangan melompati tembok bangunan kuno itu
dari dalam keluar. Lalu, sebuah suara memanggilnya.
"Sutoo...!"
Ternyata Resi Pakar Pantun
telah berhasil keluar dari bangunan kuno itu dengan memanggul gadis berbaju
kuning. Gadis itu tak lain adalah Kejora.
Semangat Pendekar Mabuk
menjadi tambah tinggi setelah mengetahui Kejora dapat diselamatkan oleh Resi
Pakar Pantun, sekarang sedang dibawa lari ke arah selatan.
Pada saat itu, Suto Sinting
hampir tertebas lehernya oleh gerakan pedangnya Banci Wadak. Wuuutt...! Untung
kakinya tersandung akar rumput hingga ia jatuh kembali. Dengan begitu pedang
tersebut tak jadi mengenai lehernya.
Tetapi ia segera bangkit
dengan satu kaki. Tubuhnya meliuk ke samping bagai orang mabuk mau jatuh, lalu
bumbung tuaknya disodokkan ke atas depan. Beeegh...! Sodokan kali ini adalah
sodokan dari jurus 'Mabuk Lebur Gunung' yang mempunyai kekuatan tenaga dalam
tersendiri.
"Uuhhg...!" Banci
Wadak tak bisa berteriak. Tubuhnya terlempar ke belakang dan rubuh dalam
keadaan kejang-kejang. Sodokan yang mengenai perutnya itu membuat sekujur badan
segera menjadi memar membiru, rambutnya rontok bagai terkelupas dari kulit
kepala, beberapa kejap kemudian Banci Wadak hembuskan napas terakhir dalam
keadaan terkapar mengerikan.
Pendekar Mabuk segera
tinggalkan lawannya dan berlari mengejar Resi Pakar Pantun. Zlaaap...! Dalam
waktu sangat singkat, ia sudah berhasil menyusul sang Resi, kemudian mereka
berhenti sejenak di tempat yang aman. "Sutooo...?!" sapa Kejora yang
diturunkan dari pundak sang Resi. Kemudian gadis itu berlari memeluk Suto
Sinting dengan wajah penuh ketakutan.
"Kau sudah aman, Kejora!
Tenanglah...!"
"Aku tak mau kembali ke
rumah kotor itu, Suto!" "Aku juga tak mau," sahut sang Resi.
"Di sana sepi,
ada bangkai manusia di lantai
bawah. Tapi tak kutemukan si Geladak Ayu maupun Peluh Setanggi!"
"Mungkin si Kucing Hutan
punya rencana sendiri untuk si Geladak Ayu! Sebaiknya kita segera pergi ke
tempat yang lebih aman, Resi!"
Kejora bertanya, "Darah
Prabu bagaimana?! Di mana dia sekarang?!"
Suto Sinting bingung memberi
penjelasan, karena terakhir kali ia melihat Darah Prabu berhasil mengejar Peluh
Setanggi, sampai senja itu belum pernah jumpa lagi. Suto pun tak tahu,
bagaimana nasib Darah Prabu saat itu.
Tapi yang jelas, gadis yang
dalam tanggung jawabnya itu sudah bisa diselamatkan dari tangan si penculik,
yang rupanya ingin mendesak Kejora untuk menunjukkan di mana Panji-panji Mayat
disembunyikan oleh keluarganya. Suto Sinting merasa heran mendengar cerita
Kejora tentang desakan Kucing Hutan, sehingga ia pun berkata kepada Resi Pakar
Pantun,
"Kalau begitu, Peluh
Setanggi tak berhasil membawa lari Panji-panji Mayat dari tempat kediaman Resi
Badranaya?! Lalu siapa yang memegang pusaka itu sebenarnya?" Sang Resi
angkat bahu sambil menjawab, "Yang jelas bukan aku. Sumpah!"
Suto Sinting menatap curiga,
sang Resi buang muka karena tak enak hati dipandang demikian.
SELESAI PENDEKAR MABUK