JAGO-JAGO dunia berkumpul di
kotaraja, yang merupakan Ibukota dari negeri Bardanesya. Mereka datang ke
negeri Bardanesya bukan sekadar piknik, namun karena tertarik dengan sayembara
yang dikeluarkan oleh pihak keluarga Istana. Sang penguasa negeri Bardanesya
menyebar pengumuman di seluruh pelosok dunia, melalui selebaran-selebaran
maupun pariwara dari mulut ke mulut. Entah mulutnya siapa saja, yang penting
pengumuman itu dalam waktu singkat cepat menyebar dan sampai di telinga para
jago dunia.
Isi sayembara itu berbunyi:
Dicari seorang lelaki perkasa
Untuk calon menantu Raja
Gundalana. Syarat-syarat: Berbadan sehat, tanpa penyakit sedikit pun, meski
hanya sebutir panu.
Berotak waras, dan belum
pernah dinyatakan gila oleh para perempuan.
Punya rasa tanggung jawab,
baik terhadap istri maupun mertua.
Tidak pernah menggunakan obat
terlarang, sekalipun obat nyamuk.
... dan sebagainya... dan
sebagainya....
Barang siapa yang memenuhi
syarat dan terpilih melalui ujian
penyaringan, akan dinikahkan dengan putri Raja Gundalana yang bernama:
Rara Ayu Kumala Udarini Sumbi,
disingkat RAKUS. Sayembara ini tidak dipungut biaya, kecuali sumbangan sukarela
berupa gula, teh, kopi, emping, kacang, dan sebagainya untuk para petugas yang
menangani sayembara ini. Sekali lagi: Sukarela saja. Kalau tidak suka dan tidak
rela, tidak apa-apa. Sekian dan terima kasih.
Bardanesya, 13 Kliwon 4711 SM
(Sudah Malam) Atas nama Ketua Penyelenggara: Pak Nitlyo.
Pendekar Mabuk murid si Gila
Tuak dan Bidadari Jalang, juga membaca selebaran tersebut yang ditempelkan pada
sebatang pohon di hutan perbatasan negeri tersebut. Senyum si tampan Suto
Sinting alias Pendekar Mabuk adalah senyum orang yang tidak tertarik dengan
pengumuman sayembara tersebut, ia tetap ingin melanjutkan perjalanannya ke
Teluk Sendu. Ia harus temui Resi Parangkara yang berdiam di Teluk Sendu, karena
ada kabar dari seorang sahabat yang mengatakan bahwa Puting Selaksa sedang
sakit. Puting Selaksa adalah murid dari Resi Parangkara yang jatuh hati kepada
si Pendekar Mabuk, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Wanita
Keramat").
Tapi menurut dugaan Suto,
perempuan itu tak mungkin sakit berat. Bahkan mungkin hanya menderita rindu
saja. Sebab Suto ingat bahwa Puting Selaksa adalah satu-satunya perempuan yang
pernah mendapat keberuntungan berupa 'gaib kekuatan kasih' yang dimiliki para
dewa, yang bernama 'Rona Dewaji'. Kekuatan itu membuatnya perempuan muda itu
akan selalu dianugerahi kesehatan, keberuntungan, dan kebahagiaan.
Sekalipun Suto punya dugaan
seperti itu, tetapi ia tetap ingin luangkan waktunya untuk datang ke Teluk
Sendu. Karena bukan hanya Puting Selaksa yang akan dikunjunginya, melainkan
Resi Parangkara dan Manggar Jingga, murid sang resi juga, merupakan orang-orang
yang disayanginya dan perlu dikunjungi sebagai langkah silaturahmi yang akan
mempererat tali persaudaraan.
"Aku tidak tertarik
dengan pengumuman seperti itu," ujar Suto dalam hatinya sambil teruskan
langkah tinggalkan pohon berpengumuman tadi. "Bagaimanapun juga aku tetap
akan menikahi calon istriku yang sekarang masih menunggu di Pulau Serindu.
Sayang sekali musuh utamaku; Siluman Tujuh Nyawa, belum berhasil kupenggal
kepalanya. Kalau saja si manusia terkutuk itu sudah berhasil kupenggal
kepalanya dan kupersembahkan kepada Dyah Sariningrum sebagai maskawin untuknya,
ooh... alangkah indahnya. Pasti saat ini aku berada di sampingnya sambil
mengelus-elus kulitnya yang putih, halus, lembut, seperti kulit
bayi itu. "
Masa berandai-andai si murid
sinting Gila Tuak itu terputus seketika, karena mendadak ia dikejutkan oleh
ledakan kecil yang datang dari arah barat, lebih mendekati arah batas wilayah
negeri Bardanesya. Suara ledakan kecil itu diduga sebagai suara pertarungan dua
tenaga dalam. Pendekar Mabuk adalah pemuda yang tak boleh mendengar suara
pertarungan, karena di mana saja dan sedang apa saja jika ia mendengar suara
pertarungan selalu dihampirinya. Suto adalah pemuda yang hobi melihat
pertarungan, terutama jurus-jurus yang sedang bertarung itu. Sebab dengan
sering melihat jurus-jurus tersebut, maka dalam benaknya akan penuh
perbendaharaan jurus, sehingga sewaktu-waktu jika berhadapan dengan salah satu
jurus tersebut, ia dapat segera mengantisipasinya.
Pemuda bertubuh kekar, gagah,
dengan baju buntung warna coklat dan celana putih itu segera berkelebat ke arah
barat. Bumbung tuaknya masih menyilang di punggung. Tali bumbung menyilang di
dadanya yang bidang.
Zlaap, wuuut...! Pendekar
Mabuk tahu-tahu sudah berada di atas pohon berdaun rindang. Lompatannya nyaris
tak terlihat karena selain ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang punya
kecepatan menyamai kecepatan cahaya itu, juga menggunakan ilmu peringan tubuh
yang sangat dikuasainya. Tanpa ilmu peringan tubuh tingkat tinggi, tak mungkin
pemuda berambut panjang lurus sepundak tanpa ikat kepala itu bisa berdiri di
atas dua ranting sebesar kelingkingnya.
"Alih... gila!"
gumam Suto pertama kail melihat ke arah pertarungan.
"Ternyata si pendek;
Sawung Kuntet sedang berhadapan dengan seorang lawan yang sangat tak seimbang?!
Hmmm... nekat sekali si kuntet itu. Sudah tahu lawannya bertubuh tinggi, besar,
seperti raksasa berwajah kuburan, masih saja dilawannya?! Apa tak tersayangkan
olehnya kalau sampai kaki si orang besar itu menginjak kepalanya, sudah tentu
kepalanya akan remuk seperti telur asin diinjak kakinya sendiri?!"
Suto Sinting geleng-gelengkan
kepala. "Ck, ck, ck, ck! Benar-benar konyol si kuntet itu. Boleh saja dia
bertarung pakai golok, pakai tenaga dalam, pakai jurus andalan, tapi mestinya
juga harus pakai otak! Mengapa ia tidak gunakan jurus-jurus jarak jauh saja?
Jangkauan tangannya sangat tak seimbang dengan jangkauan tangan si manusia
raksasa itu! Goblok! Apa dipikirnya dia punya nyawa cadangan?!"
Sawung Kuntet adalah seorang
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun yang berkumis lebat seperti seekor
kelelawar hinggap di bawah hidungnya. Lelaki bertubuh setinggi perut Suto itu
mengenakan baju lengan panjang warna hijau dan celana warna hitam. Rambutnya
botak bagian tengah, dari dahi sampai ke belakang, membentuk seperti parit.
Suto Sinting mengenal lelaki itu dalam peristiwa hilangnya kitab keramat milik
Eyang Bintara alias si Geledek Biru, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode
: "Kematian Sang Durjana").
Sedangkan lawan si Sawung
Kuntet itu adalah orang yang belum dikenal Suto. Orang itu bertubuh tinggi,
besar, dan berkumis lebat melintang dengan wajah seangker kuburan keramat.
Badannya besar penuh bulu, dadanya kekar seperti batu gunung. Pakaiannya serba
merah dengan baju tak berlengan dan tak terkancing bagian depannya. Lelaki
berusia sekitar empat puluh tahun juga itu mempunyai rambut panjang sepunggung,
diurai lepas dan beterbangan ke mana-mana. Tampaknya ia tak bersenjata, tapi
mengenakan sabuk besar terbuat dari logam kemerah-merahan seperti tembaga.
Sekalipun badannya besar dan
tinggi, tapi orang bergelang akar bahar sebelah kiri itu mempunyai gerakan
cukup gesit dan lincah, ia dapat menghindari tebasan golok Sawung Kuntet yang
sebenarnya mempunyai gerakan tebas cukup cepat itu.
Sawung Kuntet tampak sulit
kenai lawannya. Tak sedikit pun goloknya menggores tubuh lawan, bahkan
menyentuh kain pakaiannya pun tidak.
Tetapi sekali pancal, kaki
orang besar itu kenai lengan Sawung Kuntet, sehingga Sawung Kuntet terlempar
dan terbanting dengan sangat menyedihkan. Bruuuk...!
"Ngeeg...!" Jarak
jatuh Sawung Kuntet dengan tempatnya di tendang sekitar tujuh langkah. Orang
berwajah angker itu tidak buru-buru menyerang lagi. Rupanya ia ingin memberi
kesempatan kepada Sawung Kuntet untuk bangkit dan persiapkan diri kembali untuk
lanjutkan pertarungan secara jantan.
Sawung Kuntet meringis
kesakitan sambil menggeliat bangkit. Pada saat itu, lawannya serukan kata
dengan suara besarnya.
"Sawung Kuntet! Kalau kau
masih bersikeras untuk datang ke kotaraja, aku tak akan segan-segan membunuhmu
sekarang juga!"
Sawung Kuntet biarpun kecil
tapi tengil dan konyol, ia membalas seruan itu dengan kebiasaannya menggunakan
kata 'anu' sebagai pengganti beberapa kata yang kadang bisa dipahami orang
kadang tidak.
"Aku tak akan gentar
dengan anu-mu, Singawulu! Sekali aku tetap ingin ke sana, aku tetap anu! Anu-ku
sangat besar, sehingga aku tak merasa takut jika harus bertarung dengan siapa
pun. Siapa tahu aku bisa menjadi menantu Raja Gundalana, dan putrinya itu
menyukai anu-ku!"
Pendekar Mabuk mencoba
berpikir tak jorok. "Apa yang dimaksud: 'Anu-ku sangat besar' itu? Oh,
mungkin, semangatnya yang sangat besar. Lalu, apa yang dimaksud dengan kata:
'putrinya menyukai anu-ku' itu? Hmmm... mungkin maksudnya menyukai
penampilannya atau wajahnya. Ah, memang sulit bicara dengan si Juragan 'anu'
itu. Harus hati-hati mengartikan kalimatnya."
Rupanya antara si Sawung
Kuntet dengan orang yang bernama Singawulu itu sudah saling kenal. Entah
hubungan apa yang terjalin di antara mereka berdua. Yang jelas, agaknya
Singawulu tak menghendaki Sawung Kuntet mengikuti sayembaranya Raja Gundalana
itu.
"Sawung Kuntet! Rupanya
kau memang tak pantas diberi hidup lebih lama lagi! Jika begitu, bersiaplah
untuk mati sekarang juga, Sawung Kuntet!"
Singawulu berjungkir balik,
plik-plak dengan kedua tangannya. Gerakannya sangat cepat dan lincah. Wut, wut,
wut, wut...! Tahu-tahu ia sudah berada di depan Sawung Kuntet. Tapi sebelum ia
lakukan tendangan atau pukulan, Sawung Kuntet sudah lebih dulu menebaskan
goloknya ke lutut Singawulu. Weess...!
Singawulu lompat ke atas
dengan gerakan bersalto cepat. Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Sawung
Kuntet, kakinya menendang ke belakang dengan kekuatan penuh. Dees...!
"Aahk...!" Sawung
Kuntet melayang di udara, terlempar ke arah depannya sejauh sepuluh langkah.
Wajahnya membentur sebatang pohon, dan pohon itu adalah pohon yang dipakai
bersembunyi Suto Sinting.
Brrrruuus...!
"Aaaaaah...!"
Sawung Kuntet memekik keras.
Wajahnya berlumur darah karena hidungnya segera bocor dan bibirnya jontor.
Singawulu yang sudah tak punya ampun lagi itu segera melepaskan sabuknya. Sabuk
yang mirip tembaga berukir itu segera disabetkan ke udara. Wuut...!
Claap, claap...! Dua berkas
sinar biru melesat dari sabetan sabuk itu. Salah satu sinar nyasar ke pohon
lain. Jegaaar...! Pohon itu hancur seketika dan menjadi serpihan arang.
Sedangkan satu sinar biru lagi mengarah ke tubuh Sawung Kuntet.
Melihat pohon itu hancur dan
menjadi arang, Suto Sinting yakin betul kalau tubuh Sawung Kuntet pun akan
senasib dengan pohon tersebut.
Suto dengan cepat segera turun
dari atas pohon. Wuuut...! Bumbung tuaknya sudah berpindah dari punggung ke
tangan, ia menghadang sinar itu dan menahan kecepatan sinar dengan bumbung
tuaknya yang nyaris meleset. Deebs...!
Blaaarr..!
Meledak. Biasanya sinar yang
ditangkis dengan bambu bumbung tuaknya itu akan memantul balik dalam keadaan
lebih besar dan lebih cepat. Tapi kali ini sinar itu justru meledak saat
membentur bambu tempat tuak itu. Berarti sinar biru Singawulu berkekuatan
sangat besar dan mempunyai kesaktian yang tidak tanggung- tanggung.
Ledakan itu membuat Suto
Sinting terpental mundur tiga langkah dan jatuh berlutut satu kaki. Ia
buru-buru bangkit, sebab jari tangan Sawung Kuntet tertindih lututnya, membuat
orang yang masih terkapar itu semakin merintih kesakitan.
Sedangkan di seberang sana,
Singawulu tidak bergeming karena gelombang ledakan tak mencapai tempatnya.
Namun begitu melihat kemunculan pemuda berwajah tampan, Singawulu segera
kerutkan dahinya dan menggeram penuh kejengkelan, ia merasa asing dengan
Pendekar Mabuk dan tak menduga kalau Sawung Kuntet akan ada yang melindungi.
Maka, Singawulu pun segera maju beberapa langkah dengan melompat satu kali
bagaikan seekor kuda nil terbang ke arah Suto Sinting. Wuuus...! Bluuuk...!
Kedua kakinya menapak ke bumi dengan suara yang mirip nangka jatuh.
"Bangsat dari mana kau,
hah?!" bentak Singawulu kepada Pendekar Mabuk. Tapi yang dibentak tetap
kalem dan tegar, tak merasa gentar sedikit pun.
"Maaf, aku hanya
menyelamatkan nyawa sahabatku. Dia sudah jelas kalah melawanmu. Kurasa tak
perlu kau hancurkan seperti pohon itu, Kawan!" ujar Suto Sinting dengan
nada suara yang bersahabat.
"Kalau perlu kau sendiri
akan kuhancurkan dengan 'Sabuk Lidah Dewa'-ku ini!"
Singawulu mengangkat sabuknya,
ingin disabetkan, tapi suara Suto Sinting segera terdengar menahan gerakan
sabuk itu.
"Tunggu, tunggu...! Aku
tidak bermaksud melawanmu, Sobat!"
"Hmmm...!" Singawulu
menggeram dengan mata besarnya memancarkan pandangan yang menyeramkan. Suto
Sinting hanya menggumam dalam hati.
"Gila! Matanya seperti
telur bebek lho! Ganas juga dia. Sabuknya saja bernama 'Sabuk Lidah Dewa'. Ya,
ampuuun... dewa mana yang lidahnya dipotong dan dibuat sabuk orang ini?!
Kasihan amat nasib si dewa itu."
Suara geram Singawulu tak
terdengar lagi setelah Suto berkata,
"Kuakui, sabukmu memang
sakti dan dahsyat. Mungkin aku tak mampu melawan kesaktian sabukmu. Tapi
alangkah sia-sianya sabuk sedahsyat itu hanya dipakai untuk membunuh orang
kerdil seperti si Sawung Kuntet ini?! Tanpa menggunakan sabuk itu kau sudah
bisa mengajarnya dan membuatnya tak berkutik, mengapa harus menggunakan sabuk
pusaka segala? Simpan saja kekuatan sabuk itu untuk lawanmu yang lebih tangguh,
Singawulu!"
"Dia harus kubunuh supaya
tak menjadi perintangku di kotaraja nanti!"
"Tak perlu. Biar aku yang
membunuhnya!" "Hmmmm...! Ada urusan apa kau sampai mau
membunuhnya? Bukankah kau
bilang dia adalah sahabatmu?"
"Artinya, kalau dia masih
nekat mau ke kotaraja, maka aku yang akan membunuhnya! Kusarankan, sebaiknya
berangkatlah ke kotaraja sekarang juga. Hematlah tenagamu, karena siapa tahu
kau diterima sebagai menantu raja dan harus lakukan bulan madu dengan putri
raja itu?!"
Singawulu membatin,
"Benar juga kata-katanya. Untuk apa aku melayani si kutu monyet itu?
Buang- buang waktu dan tenaga saja! Hmm... sebaiknya kutinggalkan saja si kutu
monyet itu, biar diurus oleh sahabatnya yang kurasa ilmunya lebih tinggi dari
ilmu si kutu kuntet itu!"
Pendekar Mabuk merasa lega
melihat Singawulu mengenakan sabuknya di pinggang. Sebelum orang angker itu
pergi, terlebih dulu dia mengancam Pendekar Mabuk dengan menuding tegas-tegas.
"Baik. Akan kuturuti
saranmu. Tapi ingat, kalau sampai dia masih muncul di kotaraja, maka kau
sendiri yang akan kubunuh!"
"Terserah kemampuanmu!
Tapi sebaiknya sekarang juga kuucapkan selamat jalan padamu semoga usahamu
berhasil!" kata Suto Sinting dengan suara lantang, menunjukkan tak ada
rasa takut sedikit pun terhadap ancaman itu.
Singawulu pergi dengan pamer
gerakan cepatnya. Satu kali lompat jauhnya sekitar delapan langkah. Sedangkan
gerakan lompatnya itu cukup cepat, sehingga dalam waktu singkat ia sudah hilang
dari pandangan Suto Sinting.
Sawung Kuntet ternyata menjadi
buta akibat benturan wajah dengan pohon. Dalam arti, pandangan matanya menjadi
rusak dan tak bisa dipakai untuk melihat dengan jelas. Di samping itu, sekujur
tubuhnya bagaikan remuk akibat tendangan bertenaga dalam Singawulu tadi. Ia tak
mampu berdiri, namun masih mampu mengerang dan merintih seperti perempuan mau
melahirkan.
Pendekar Mabuk sempatkan diri
menenggak tuaknya beberapa teguk, kemudian meminumkan tuak itu ke mulut Sawung
Kuntet. Hati si Juragan 'anu' itu merasa lega, karena ia sempat melihat secara
samar-samar bayangan wajah Pendekar Mabuk. Dan ia tahu betul bahwa Pendekar
Mabuk mempunyai tuak sakti yang mampu obati segala macam luka atau penyakit.
"Makanya... lain kali
jangan nakal! Jangan berani sama orang besar. Akibatnya ya begini ini...,"
ujar Suto seperti memberi peringatan kepada anak kecil.
Sawung Kuntet segera sembuh
setelah meminum tuak saktinya Pendekar Mabuk. Rasa sakitnya hilang dalam waktu
singkat. Luka-lukanya pun lenyap beberapa saat kemudian. Pernapasannya yang
semula tersendat-sendat seperti tagihan hutang, sekarang menjadi longgar.
Badannya pun terasa segar, lebih segar dari saat sebelum lakukan pertarungan.
"Terima kasih, anu-ku
telah kau sembuhkan," katanya kepada Suto.
"Aku menyembuhkan lukamu,
bukan anu-mu!" bantah Suto.
"Yang kumaksud memang
lukaku telah kau sembuhkan!" Sawung Kuntet bersungut-sungut. Suto Sinting
menggumam sambil tersenyum geli.
"Untung sinar itu kau
tangkis dengan anu-mu, kalau tidak "
"Bumbung tuakku yang
menangkisnya. Bukan anu- ku yang menangkis!"
"Iya! Maksudku ya bumbung
tuak itu!" bentak Sawung Kuntet yang sebenarnya berasal dari perguruan
silat aliran putih, namun karena jiwanya yang kasar maka sepintas ia seperti
orang beraliran hitam.
"Kalau tidak kau tangkis
dengan anu-mu, sinar biru itu akan membuatku berkeping-keping."
"Sudah kupertimbangkan
sebelumnya! Tapi... siapa sebenarnya Singawulu itu?"
"Dia bekas wakil ketua
anu-ku... maksudku wakil ketua perguruanku, yang telah pergi dan ber-anu lagi
dengan Nyai Santet Pitu."
"Ber-anu itu apa?"
"Berguru!" sentak
Sawung Kuntet.
"Ooo.... Tapi baru
sekarang kudengar nama Nyai Santet Pitu. Siapa dia, Sawung Kuntet?!"
"Nyai Santet anu...
adalah perempuan iblis dari Tebing Teluh. Dia tokoh anu hitam "
"Aliran hitam,
maksudmu?"
"Ya, dan dikenal pula
sebagai dukun anu. "
"Dukun cabul,
maksudmu?"
"Dukun teluh!" tukas
Sawung Kuntet. "Tapi ia juga tokoh persilatan yang pernah punya anu.
"
"Punya anu
bagaimana?" potong Suto lagi.
"Punya perguruan! Hanya
saja, perguruannya dihancurkan oleh perguruan lain lima tahun yang lalu. Nyai
Santet Pitu ingin turunkan anu-nya kepada seseorang "
"Ilmunya ?"
"Ya. Dan rupanya Singawulu tertarik, sehingga ia keluar dari anu-ku, lalu.
"
"Keluar dari
anu-mu?!"
"Keluar dari
perguruanku!" geram Sawung Kuntet dengan jengkel. "Dia keluar dari
perguruanku dan menjadi murid Nyai Santet anu. Dialah satu-satunya orang yang
akan menerima warisan anu dari Nyai anu Pitu itu."
"Oo... jadi Singawulu
adalah pewaris ilmu-ilmunya Nyai Santet Pitu?! Lalu, mengapa sampai bentrok
denganmu?!"
"Kami ber-anu dalam
perjalanan. Maksudku, bertemu dalam perjalanan. Rupanya dia juga ingin ke kotaraja
untuk mengikuti sayembara raja anu. Dia tahu kalau aku pun bermaksud mengikuti
anu tersebut. Lalu, dia menganggapku sebagai lawan yang harus di-anu-kan.
Maksudku, disisihkan. Dia tak setuju kalau aku anu ke kotaraja. Barangkali
karena dalam anunya yakin. "
"Dalam anunya itu
apa?"
"Dalam batinnya...!"
Sawung Kuntet selalu jengkel jika kata-katanya dipotong atau ditanyakan."
dia yakin
kalau wajahnya lebih buruk
dari anu-ku, sehingga "
"Husy! Yang benar saja,
masa' wajahnya lebih buruk dari anu-mu?" Suto geli sendiri.
"Maksudku, dia yakin
kalau wajahnya lebih buruk dari wajahku, sehingga ia takut kalah saing
denganku. Maka ia bertekad menyingkirkan anu-ku!"
"Menyingkirkan nyawamu,
begitu?!"
"Apa lagi kalau bukan
nyawaku yang akan disingkirkan?!" gerutu Sawung Kuntet sambil bersungut-
sungut. Suto Sinting tertawa pelan, merasa geli melihat wajah kecil penuh kumis
itu bersungut-sungut seperti ikan tongkol dalam penggorengan.
"Apakah kau juga anu ke
sana, Suto?"
"Ah, untuk apa? Aku tidak
tertarik ikuti sayembara itu."
"Tapi jago-jago dunia
akan datang ke sana dan meng- anu sayembara itu. Mereka pasti akan bertarung,
anu lawan anu!"
Suto tertawa geli. "Apa
maksudmu bertarung anu lawan anu?"
"Satu lawan satu!"
"Oooo..." Suto
Sinting habiskan tawanya.
"Aku sendiri sudah siap
untuk hadapi mereka dengan anu-ku!"
"Dengan apamu?"
"Dengan ilmuku!"
sentak Sawung Kuntet. "Sekarang aku mau ke sana. Aku tak takut bertemu
beradu anu dengan Singawulu atau yang lainnya."
"Kau tak takut beradu
apa?" "Beradu ilmu!"
"Kusarankan, sebaiknya
jangan ke sana, Sawung Kuntet! Kau akan celaka. Salah-salah kau akan kehilangan
nyawa dan tak bisa beli lagi!" ujar Suto menasihati dengan gaya konyolnya.
Tapi rupanya Sawung Kuntet tak
mau peduli dengan nasihat Suto Sinting itu.
"Bagaimana kalau aku
nekat ke sana?!" "Aku akan mencegahmu dengan cara apa pun!"
jawab Suto yang membuat Sawung Kuntet diam berpikir.
Hati si juragan 'anu' itu
berkata, "Kalau dia yang mencegahku, pasti aku benar-benar tak akan bisa
ke sana. Hmmm... sebaiknya kupakai anu-ku untuk kelabui dia."
Niat untuk menggunakan anu
alias akal, membuat Sawung Kuntet akhirnya berlagak pasrah dan menurut.
"Baiklah, kuikuti anu-mu
tadi. Saranmu, maksudku! Tapi aku ingin melihat pertarungan di sana. Apakah kau
tetap ingin meng-anu-ku jika aku hanya ingin melihat pertarungan?!"
"Kalau kau hanya ingin
melihat pertarungan, sebaiknya pergi saja denganku. Aku juga ingin melihat
pertarungan tersebut."
Tak ada pilihan lain bagi
Sawung Kuntet, akhirnya ia setuju untuk pergi bersama Suto ke kotaraja.
*
* *
2
LERENG bukit tanpa nama
mempunyai hutan berpohon jarang. Bahkan berkesan tandus. Banyak batu bertengger
di lereng bukit yang tak seberapa tinggi itu.
"Dengan melewati bukit
ini, kita akan lebih cepat anu di perbatasan negeri Bardanesya," ujar
Sawung Kuntet sambil melangkah di samping kanan Pendekar Mabuk. "Apakah
Singawulu juga lewat jalan sini?"
"Kurasa anu," sambil
Sawung Kuntet menggeleng. "Dia tidak tahu jalan tembus lewat sini. Pasti
dia lewat pinggir tepian sungai, karena memang jalan yang anu lewat pinggiran
sungai."
"Rupanya kau sudah sering
ke negeri Bardanesya." "Dulu anu-ku di sana."
"Hahh...?! Anu-mu di
sana?"
"Kekasihku!" sergah
Sawung Kuntet. "Dulu hampir setiap tujuh hari sekali aku ber-anu dengan
kekasihku."
"Maksudmu bercumbu?"
"Bertemu!"
"O, bertemu...,"
sambil Suto tersenyum kecil. "Sayang sekali hubungan kami putus di tengah
anu,
sehingga "
"Putus di tengah anu itu
bagaimana?"
"Putus di tengah
jalan," jelas Sawung Kuntet. "...
sehingga aku sudah tak pernah
datang lagi ke negeri Bardanesya."
"Sekarang kau sudah punya
anak berapa, Sawung Kuntet?"
Lelaki pendek itu gelengkan
kepala. "Aku belum sempat punya anu."
"Jadi kau belum punya
anak?"
"Belum sempat punya
istri!" tegas Sawung Kuntet. "O, masih perjaka?"
"Ya, perjaka. Tapi anu-ku
sudah tidak perjaka lagi." Suto Sinting tertawa pelan. "Maksudku,
adikku sudah tidak perjaga lagi. Sudah menikah lebih dulu."
"Oo... kukira yang sudah
tidak perjaka adalah anu- mu."
"Anu-mu, bagaimana?"
"Hmmm, yaaah... itu,
anu... kakakmu," jawab Suto mengalihkan dugaan ngeres.
"Mengapa kau tidak segera
menikah saja?" sambung Suto.
"Aku masih malas jatuh
cinta," jawabnya dengan kalem, seakan pria yang dingin terhadap wanita.
Tapi sebenarnya hati Sawung Kuntet sering menangis sendiri, karena enam belas
kali jatuh cinta, tujuh belas kali ditolak.
"Menurutku," kata
Suto. Namun baru saja berkata satu patah kata, tangan Sawung Kuntet mencekal
lengannya dan hentikan langkah mendadak. Wajah berkumis lebat itu mulai tampak
tegang. Ketegangan itu mengundang rasa ingin tahu Pendekar Mabuk.
"Ada apa?"
"Sssst...!" Sawung
Kuntet memberi isyarat dengan telunjuknya agar Suto tidak bersuara dulu. Ia
menelengkan kepala, melacak sebuah suara yang samar- samar didengarnya.
Lalu ia berbisik pelan,
"Tidakkah kau mendengar suara anu menangis?"
"Anu menangis? Anu
menangis itu seperti apa?" tanya Suto Sinting dalam bisikan pula.
"Maksudku, suara
perempuan menangis!"
"O, perempuan
menangis?!" Suto Sinting ikut mempertajam pendengarannya. Dalam kebisuan
mereka, Suto akhirnya mendengar suara rintihan perempuan secara samar-samar
sekali.
"Ya, ya... aku
mendengarnya. Tapi dari sebelah mana suara itu datangnya?"
"Sepertinya dari... dari
tempat yang lebih anu lagi.
Maksudku, lebih atas
lagi."
Mereka berdua segera mendaki
lebih ke atas. Akhirnya mereka mendengar suara rintihan perempuan tersebut
lebih jelas lagi. Mereka pun segera dekati suara tersebut.
"Ooh...?!"
Ternyata mereka temukan
seorang gadis yang terkapar dalam keadaan sekarat. Gadis itu berusia sekitar
dua puluh dua tahun, raut wajahnya mungil dan cantik, ia mengenakan pakaian
serba kuning. Tapi keadaan pakaiannya morat-marit seperti habis diperkosa.
Wajah si gadis pucat pasi
seperti mayat. Di bawah lehernya, mendekati belahan dada, terdapat dua lubang
masing-masing sebesar kemiri. Lubang itu melelehkan darah berwarna merah
kehitaman. Luka yang membentuk dua lubang itulah yang membuat si gadis tak
berdaya dan sebentar lagi akan kehilangan nyawanya.
"Kasihan sekali gadis
itu. Anu-nya berlubang!" ujar Sawung Kuntet setelah terperanjat dan
memeriksa lebih dekat lagi.
Suto Sinting buru-buru membuka
tutup bumbung tuaknya, ia mengangkat kepala si gadis dengan tangan kiri,
kemudian tangan kanannya yang menyangga bumbung tuak itu menuangkan tuak ke
dalam mulut si gadis dengan pelan-pelan. Beberapa teguk tuak terminum oleh si
gadis, sampai gadis itu tersedak dan terbatuk-batuk. Suto Sinting meletakkan
kembali kepala gadis itu karena merasa lega, sudah ada tuak yang tertelan oleh
si gadis.
"Kau kenal dengan gadis
ini?" tanya Suto Sinting setelah ia sendiri meneguk tuak sebagai pembasah
kerongkongannya. Sawung Kuntet hanya menggeleng, matanya masih tetap tertuju
pada dua lubang di sekitar dada si gadis.
Dua lubang itu mengepulkan
asap setelah si gadis menelan tuak Suto. Makin lama asap itu semakin tebal,
tapi hanya menggumpal di dua lubang yang saling susun seperti dua kancing baju
itu.
Makin lama asap yang
menggumpal di dua lubang itu semakin menipis. Beberapa saat kemudian asap
tersebut hilang, dan kedua lubang itu pun ikut hilang. Keadaannya menjadi
bersih tanpa darah, karena darah yang sudah telanjur keluar dan membekas di
sekitar lubang tadi ikut menguap setelah si gadis minum tuak saktinya Pendekar
Mabuk.
Gadis itu mulai bernapas
dengan normal. Ia justru terkejut ketika menyadari di sampingnya ada lelaki
pendek berkumis mirip kelelawar iseng itu. Ia buru-buru bangkit dalam satu
sentakan menegangkan.
"Hahh...?!"
Begitu melihat pemuda tampan
di sisi lain, ia berlari dekati pemuda tampan itu. Ia tak tahu bahwa pemuda
tampan itu adalah Pendekar Mabuk yang
namanya sering didengar dari mulut teman-temannya seusianya.
"Tenang, tenang... dia
sudah jinak kok! Jangan takut, dia sahabatku!"
"Ak... aku takut
dicakar," ujar si gadis dengan nada manja.
"Kau pikir aku anak
macan?!" geram Sawung Kuntet, lalu bersungut-sungut. Suto Sinting hanya
tertawa geli, namun sengaja buang muka agar tak menyinggung si juragan 'anu'
itu.
Si gadis sempat terbengong
tanpa sadar ketika Suto Sinting sunggingkan senyum kepadanya.
"Siapa kau sebenarnya,
Nona? Mengapa sampai terkapar di sini?"
Saat itulah si gadis
terbengong kagum melihat senyuman yang menurutnya sangat menawan hati itu.
Namun kebengongan itu segera buyar setelah Sawung Kuntet pindah tempat ke
samping kanan Suto Sinting. Si gadis sempat mundur selangkah melihat Sawung
Kuntet mendekat. Wajahnya berubah dari kagum menjadi tegang.
Sawung Kuntet berkata,
"Sepertinya aku pernah melihat anu-mu! Tapi di mana, ya?"
"Husy! Yang benar saja.
Masa' kau pernah melihat anu-nya?"
"Maksudku, pernah melihat
wajahnya!" tegas Sawung Kuntet.
Pendekar Mabuk segera pandangi
gadis itu.
"Apakah kau pernah
bertemu dengan sahabatku yang bernama Sawung Kuntet ini?!"
Gadis itu gelengkan kepala.
"Tapi... tapi guruku pernah menyebutkan nama Sawung Kuntet kepada
kakakku."
"Siapa gurumu?"
tanya Suto.
"Eyang Cakraduya,"
jawabnya dengan jelas.
"Ooo.... Eyang
Cakraduya?!" Sawung Kuntet manggut-manggut. "Aku anu baik dengan
beliau. Kalau begitu, kau adalah murid beliau yang bernama Candu Asmara
itu?!"
"Bukan. Candu Asmara
kakakku, sedangkan aku bernama Mirah Cendani."
"Nama yang cantik
sekali," gumam Suto memuji dengan suara lirih.
Si gadis tersipu dan alihkan
pandangan. Kebetulan pedangnya yang terpental saat pertarungan tadi belum
diambil, maka pedang itu pun diambil dan dimasukkan ke sarungnya yang ada di
pinggang.
Gadis berambut kepang satu
sepanjang punggung itu, kembali memandang Sawung Kuntet setelah orang Lembah
Layon itu ajukan tanya kepadanya.
"Apakah kau yang ikut ke
Lembah Layon ketika anu- ku sakit?"
"Husy...! Yang lengkap
kalau bicara! Anu-mu apa maksudnya?" tegur Suto.
"Guruku! Sebab ketika
guruku sakit, Eyang Cakraduya datang menjenguk bersama anu-nya... maksudku,
muridnya. Dan kalau tak salah gadis inilah yang kulihat bersama Eyang
Cakraduya." "Ya, memang aku yang ikut Eyang kala ke Lembah
Layon," jawab Mirah Cendani.
Sawung Kuntet menarik tangan
Suto hingga jauhi Mirah Cendani. Ia menyuruh Suto Sinting merendah, karena ia
ingin bisikkan sesuatu. Suto pun menuruti kemauan si juragan 'anu' itu.
"Setahuku, Eyang
Cakraduya adalah tokoh ber-anu tinggi. Maksudku, berilmu tinggi. Kudengar,
kedua muridnya juga mewarisi ilmu tingginya. Tetapi, mengapa Mirah Cendani bisa
terluka dan nyaris mati? Pasti dia di-anu oleh seseorang yang anu-nya lebih
besar lagi."
"Maksudmu di-anu
bagaimana?"
"Dilawan oleh orang yang
kekuatannya lebih besar atau ilmunya lebih tinggi. Dalam keadaan luka bolong
pada anu-nya dan masih bisa bertahan hidup, itu sudah menunjukkan bahwa dia
ber-anu tinggi."
"Hmmm... ya. Lantas apa
maksudmu?" "Tanyakanlah, siapa lawannya. Aku ingin bertanya,
tapi takut ia sepelekan
anu-ku. Maksudnya... sepelekan pertanyaanku."
Suto Sinting manggut-manggut
dan tegak kembali. Mereka segera temui Mirah Cendani yang cemberut manja karena
merasa tersinggung melihat mereka berkasak-kusuk berduaan.
"Mirah Cendani,"
ujar Suto dengan lembut. "Kami merasa kagum melihat lukamu yang menurut
kami sangat berbahaya itu tapi kau masih bisa bertahan hidup sampai kami tiba.
Tolong jelaskan kepada kami, mengapa kau sampai terluka separah tadi?"
tanya Suto.
Sawung Kuntet menimpali,
"Tadi kau disembuhkan oleh Suto Sinting menggunakan anu-nya. Eh,
maksudku... tuaknya."
"O, terima kasih sekali
kalau begitu," ujar si gadis seraya menatap Suto Sinting. "Kalau saja
kalian tak datang dan menemukan diriku, mungkin aku sudah tak bernyawa lagi
saat ini."
"Tadi kulihat dadamu
berlubang," kata Suto.
"Ya. Aku terkena senjata
'Garpu Malaikat'-nya si Tengkorak Tampan."
"Hahh...?! Tengkorak
Tampan?!" Sawung Kuntet terperanjat.
"Kau kenal siapa si
Tengkorak Tampan itu, Sawung Kuntet?" tanya Suto.
"Dia orang Pulau Wingit,
muridnya si Jahanam Tua, tokoh sakti yang sukar ditumbangkan!"
"Memang benar. Tengkorak
Tampan adalah murid si Jahanam Tua, tokoh aliran sesat! Tapi si Tengkorak
Tampan pernah lari ketika melawan kakakku! Ilmunya masih di bawah ilmu kakakku.
Kalau saja dia tadi tidak bertindak curang, aku tak mungkin terkena
senjatanya!"
"Apa yang membuat kau bentrok
dengan Tengkorak Tampan?!" tanya Suto.
"Sebenarnya persoalan itu
adalah persoalan guruku dengan gurunya. Tapi kami sebagai murid menjadi ikut-
ikutan bermusuhan dengan sesama murid. Ketika aku dan Candu Asmara pulang dari
rumah paman kami, tiba- tiba kami berpapasan dengan si Tengkorak Tampan.
Kakakku terkena totokannya, dan tak berdaya.
Lalu, aku menghadapi si Tengkorak Tampan sendirian," tutur si gadis dengan
mata mengecil memancarkan dendam.
Lanjutnya lagi, "Setelah
ia terdesak oleh seranganku beberapa kali, akhirnya ia mengangkat kedua
tangannya dan mengaku kalah. Aku tak jadi lanjutkan seranganku. Namun tiba-tiba
ia mencabut senjatanya dan menyerangku saat aku ingin melepaskan totokan pada
diri kakakku. Aku tak menduga kalau dia ternyata menyimpan senjata 'Garpu
Malaikat' di balik bajunya. Padahal 'Garpu Malaikat' adalah senjata berbahaya
milik gurunya tak sebanding jika dipakai melawan senjata lainnya. Maka, ketika
aku berbalik ingin menangkis 'Garpu Malaikat'-nya dengan pedangku, senjata itu
lebih dulu melukaiku."
Gadis itu berhenti sejenak,
menarik napas dan menelannya sebagai penahan kobaran api dendamnya. Setelah itu
ia pun berkata lagi dengan suara merdunya yang enak didengar.
"Aku terpental dan
menabrak kakakku. Ujung gagang pedangku menghantam leher kakakku, tapi justru
membuatnya terlepas dari totokan tersebut."
"Sekarang di mana
anu-mu?" tanya Sawung Kuntet. "Maksudmu... kakakku?"
"Ya. Kakakmu! Di mana
dia?"
"Mengejar si Tengkorak
Tampan yang lari ke arah kotaraja. Karena kubilang lukaku tak seberapa parah,
bisa kuatasi, maka ia pun pergi. Tapi ternyata aku tak bisa atasi lukaku."
"Kau yakin bahwa dia lari ke kotaraja?"
"Dia sendiri yang
mengatakan akan mempersembahkan kepalaku dan kepala kakakku sebagai bukti
keperkasaannya dalam melamar putri Raja Gundalana itu!"
"Hmmmmm...," Sawung
Kuntet manggut-manggut. "Kalau begitu Tengkorak Tampan nanti akan ber-anu
dengan Singawulu!"
"Apakah kau akan menyusul
kakakmu, Mirah Cendani?"
"Tidak. Aku yakin kakakku
mampu mengatasi si Tengkorak Tampan. Aku akan mengadukan hal ini kepada
guru."
"Jadi kau mau anu ke
Bukit Sutera?!" tanya Sawung Kuntet,
"Ya. Guru harus segera
mengetahui kekurangajaran murid si Jahanam Tua itu! Karena ia hampir saja
memperkosaku sebelum aku buru-buru
mencabut pedang dan nyaris memenggal kepalanya."
Sawung Kuntet menggumam, dan
gumam itu didengar oleh Suto Sinting.
"Setahuku, senjata 'Garpu
Malaikat' adalah senjata yang sangat berbahaya, dapat dipakai membunuh dua-
tiga lawan dalam sekali pakai!"
Suto Sinting memandang Sawung
Kuntet dan berkata, "Temanilah dia
pulang dan menghadap gurunya. Aku akan menyusul kakaknya Mirah Cendani. Jangan
sampai ia menjadi korban senjata 'Garpu Malaikat' itu."
"Baik, aku setuju!"
Sawung Kuntet pun berbisik, "Siapa tahu gadis ini tertarik dengan anu-ku
dan. "
"Tertarik dengan
apamu?" bisik Suto.
"Wajahku!" geram
Sawung Kuntet dengan rasa takut didengar Mirah Cendani.
Suto tersenyum, Sawung Kuntet
lanjutkan kata- katanya dengan pelan, hanya Suto Sinting yang mendengarnya.
"Terus terang saja...
anu-ku dulu seperti dia. Maksudku. yang seperti dia kekasihku! Cantik, mungil,
tapi anu-nya besar."
"Apanya yang besar?" "Keberaniannya."
Melihat mereka berkasak-kusuk
lagi, Mirah Cendani segera berkata dengan nada sedikit ketus.
"Kurasa aku tak perlu
pengawal! Aku masih sanggup tiba di Bukit Sutera dengan selamat tanpa harus
dikawal. Nanti justru aku repot melindungi pengawalku sendiri!"
"Kebetulan aku ada perlu
dengan anu-mu. Eh, maksudku. dengan gurumu," kata Sawung Kuntet yang
sejak tadi diam-diam menikmati
sebentuk kecantikan mungil yang mirip wajah mantan kekasihnya itu.
"Kalau kau ingin bertemu
dengan guruku, pergilah sendiri ke Bukit Sutera, tak perlu bersamaku!"
"Aku... aku lupa jalan
menuju ke anu-mu. Hmmm !
maksudku, lupa jalan menuju ke
rumahmu, Mirah Cendani!"
"Kalau begitu kau bisa
mengikuti dari belakang. Tak perlu berjalan seiring denganku!" ujar si
gadis. Sebelum Sawung Kuntet bicara lagi, Mirah Cendani sudah melesat pergi
tinggalkan tempat.
"Lho... sudah anu duluan,
ehh... sudah kabur lebih dulu?!"
"Cepat susul dia!"
Sawung Kuntet tak banyak
bicara lagi kepada Suto. Ia takut
kehilangan jejak Mirah Cendani. Maka ia pun segera mengikuti gadis itu dengan
kecepatan gerak masih lebih tinggi dari gerakan si gadis.
Suto Sinting menuju ke barat,
menyusul kakak Mirah Cendani dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mampu
mempersingkat waktu. Hati si murid Gila Tuak sempat menggerutu sendiri dalam
perjalanannya.
"Sial! Mengapa aku sampai
lupa menanyakan ciri-ciri kakaknya Mirah Cendani itu?! Kalau begini, mana bisa
kutemukan gadis itu kecuali dalam keadaan sedang bertarung melawan Tengkorak
Tampan. Yang namanya Tengkorak Tampan saja aku tak tahu ciri-cirinya. Uuh...!
Bodoh amat aku ini?!"
Pendekar Mabuk hanya bisa
menahan kedongkolan dalam hatinya. Namun langkahnya tetap meluncur ke arah
negeri Bardanesya yang baru kali itu akan disinggahinya.
*
* * 3
PERBATASAN negeri itu
dikelilingi oleh parit besar yang sengaja digali sebagai perintang masuk ke
wilayah tersebut. Namun ada jalanan lebar yang rata menuju ke gapura besar yang
menjadi pintu gerbang negeri tersebut.
Untuk mencapai pintu gerbang perbatasan yang letaknya sekitar lima puluh tombak
dari parit pembatas, dibangunlah sebuah jembatan beton selebar delapan tombak.
Di jembatan itu ada enam
penjaga bersenjata tombak dengan ujung tombak macam-macam. Ada yang ujungnya
berupa pedang besar, ada yang berupa trisula, ada yang ujungnya berupa kapak
dua mata, ada pula yang ujungnya seperti centong nasi, namun tepiannya sangat
tajam, setajam mata pedang. Enam penjaga itu berseragam hijau-hijau dengan
potongan pakaian sama; baju berlengan panjang dan celana longgar. Ikat
kepalanya berbeda-beda. Ada yang pakai ikat kepala, ada yang tidak. Wajah
mereka pun berbeda; ada yang tampan, ada
yang sedang-sedang saja, ada pula yang jelek dengan gigi maju ke depan dan
mekar bak kipas pengantin.
Orang yang bergigi mekar bak
kipas pengantin itulah yang hentikan langkah Suto Sinting dan menegur dengan
galak.
"Mau ke mana kau, Bocah
bau kencur?!"
"Mau... mau jualan
kencur, Kang," jawab Suto Sinting sambil nyengir geli. "Bicara yang
benar!" bentak si gigi mekar.
"Kau sendiri juga
bertanya tak benar," ujar Suto Sinting dengan kalem. "Sudah jelas aku
mau melewati jembatan ini, tentu saja aku mau menuju ke kotaraja. Itu tak perlu
ditanyakan. Yang perlu ditanyakan adalah
siapa namaku dan apa keperluanku? Begitu, Kang!"
''Eh, berani-beraninya kau
mengguruiku, hah?!" orang itu bukan saja giginya yang keluar, tapi
sekarang matanya pun seperti keluar karena melotot lebar-lebar.
Temannya yang berikat kepala
merah itu menyahut, "Hajar saja kalau dia macam-macam!"
Mereka berenam segera berdiri
membentuk pagar betis memenuhi jembatan. Mereka berbaris dengan senjata
mengarah ke depan, siap menghujam Pendekar Mabuk. Rupanya mereka sengaja
membuat pagar betis agar Suto tak bisa menerobos dan melewati jembatan itu.
Pendekar Mabuk hanya tersenyum, ia dapat menduga keenam orang itu berilmu
rendah, karena salah satu dari mereka ada yang menempatkan kedua kaki berkuda-
kuda lemah. Untuk meyakinkan dugaannya, Pendekar Mabuk segera menggunakan jurus
'Sentak Bidadari', pemberian dari bibi gurunya: si Bidadari Jalang. Jurus itu
hanya berlaku bagi orang yang berilmu rendah. Jika orang itu berilmu tinggi, maka
jurus 'Sentak Bidadari'
tak akan berguna sedikit pun.
Si gigi mekar menggertak lebih
dulu, "Pulang dan jangan kembali ke sini lagi!"
Suto membentak keras,
"Minggir...!!"
Wajah-wajah yang dipaksakan
angker itu mulai tampak surut. Jantung mereka berdetak-detak. Bahkan tadi
ketika suara Suto terlontar, ada yang melonjak karena kagetnya. Ada pula yang
membatin, "Aduh, jantungku pasti copot ini!"
Jurus 'Sentak Bidadari' telah
menggetarkan jiwa mereka, membuat mereka menjadi takut dan berwajah pucat. Satu
demi satu tundukkan kepala secara tak langsung. Mereka merasa takut, bahkan
ngeri melihat pemuda tampan yang usianya masih di bawah mereka semua itu.
"Beri aku jalan!"
kata Pendekar Mabuk dengan tegas, tapi suaranya tak menyentak sekeras tadi.
Mereka segera menyisih dengan
langkah sopan dan penuh hormat. Mereka melangkah ke pinggiran jembatan dengan
membungkuk-bungkuk seperti ingin memberi jalan untuk rajanya.
"Silakan lewat,
Nakmas!" ujar si gigi tonggos dengan suara pelan dan senyum canggung.
"Hmm, terima kasih!"
ucap Suto Sinting, lalu melangkah tegak, gagah, dan mantap. Tapi dalam hatinya
ia tertawa sendiri melihat wajah-wajah penuh ketakutan itu.
"Penjagaannya memang
cukup kuat. Di sana ada gerbang perbatasan dan tampaknya dijaga oleh beberapa
orang. Kurasa nanti aku akan menghadapi kesulitan juga dari mereka," ujar
Suto Sinting dalam hatinya, ia sempatkan diri menenggak tuaknya setelah
melewati jembatan tersebut. Keenam penjaga tadi tak satu pun ada yang berani
memandang Suto secara terang-terangan. Mereka hanya saling melirik dengan
jantung masih berdebar-debar.
"Kotaraja masih jauh,
tapi penjagaannya sudah seketat ini?!" ujar Suto membatin. "Ada
berapa lapis penjagaan yang harus kulewati nanti? Apakah si Tengkorak Tampan
dan Candu Asmara juga melewati penjagaan yang berlapis-lapis ini?!"
Langkah Pendekar Mabuk
diperlambat, karena matanya sibuk menghitung jumlah penjaga yang ada di sekitar
gerbang perbatasan. Gerbang itu dibangun dengan tembok kokoh berwarna putih,
mempunyai dua pilar di kanan kirinya. Tinggi gerbang itu sekitar lima tombak,
dan bagian atasnya ada dua orang penjaga berpakaian serba hitam bersenjata
panah. Sedangkan enam orang berpakaian hitam lainnya ada di bawah dengan
senjata tak seragam.
Wajah-wajah kedelapan orang
penjaga gerbang perbatasan itu lebih seram ketimbang enam orang di jembatan
tadi. Mereka rata-rata berkumis lebat dan berusia sekitar empat puluh tahun.
Badan mereka pun tampak lebih kekar ketimbang para penjaga yang ada di
jembatan.
Salah seorang dari mereka yang
menenteng golok lebar tanpa sarung sengaja berdiri menghadang langkah Suto di
pertengahan jalan. Golok lebarnya diberdirikan, bersandar dada kanan. Tangan
kirinya melintir kumis bagaikan sedang melintir sumbu kompor.
"Hei, siapa kau dan apa
perlumu datang kemari?!" tegurnya dengan tak ramah, tapi Suto Sinting
menanggapi dengan senyum ramah dan kalem.
"Namaku adalah Suto
Sinting, Paman. Aku ingin ke kotaraja."
"Hmmm...!" orang itu
manggut-manggut angkuh sambil tetap melintir kumis lebatnya. Kemudian dia
berseru memanggil temannya yang agaknya berkedudukan lebih rendah darinya.
"Gintung, Polo...! Hajar
dia!"
Dua orang bersenjata sabit
kembar dan trisula kembar segera hampiri Pendekar Mabuk yang tercengang.
Gintung bersenjata sabit kembar, dan Polo bersenjata trisula kembar.
"Tunggu dulu!" kata
Suto mencoba menahan langkah kedua orang itu. "Mengapa aku akan dihajar?
Apakah aku melakukan kesalahan?!"
Tetapi pertanyaan itu tak ada
yang menjawabnya. Justru dari arah kanan kiri Suto Sinting segera datang
serangan dari Gintung dan Polo.
Sabit kembar itu disabetkan
secara beruntun ke tubuh Suto Sinting. Namun dengan gerakan menggeloyor seperti
orang mabuk mau jatuh tebasan sabit kembar itu selalu meleset dari sasaran. Tak
satu pun sabetan sabit yang menggores pakaian Pendekar Mabuk.
Sebuah tendangan cepat
dikirimkan oleh Suto. Wuuut...! Tendangan itu sukar dilihat, sehingga tahu-
tahu Gintung terpental sejauh delapan langkah. Wuuuss..! Brrruk...!
"Aaoow..!" pekiknya
kesakitan.
Polo segera menyerang dengan
trisula kembarnya. Pendekar Mabuk sempoyongan, sepertinya mau jatuh ke kiri,
tak tahunya justru berada di kanan, ia menggeloyor terbungkuk-bungkuk dengan
pegangi bumbung tuaknya sebagai penahan tubuh agar tak jatuh ke tanah. Gerakan
yang membingungkan itu membuat Polo sukar mengarahkan tusukan trisulanya ke
tubuh Suto Sinting. Wut, wut, wut, wut...!
Tiba-tiba Suto berguling di
tanah dan kakinya menyentak ke atas. Wuuut...! Sentakan itu tepat kenai dagu
Polo dengan telak, sampai wajah orang itu terdongak dan tubuhnya terlonjak ke
atas. Kruuk...!
"Ouffh...!" Polo
mengerang kesakitan, giginya rontok dua, gusinya berdarah, ia sempoyongan dan
tak bisa tegak lagi.
Zlaap, zlaap...! Suto Sinting
bergerak dengan kecepatan menyamai cahaya. Mereka kebingungan, sulit mengikuti
gerakan Suto dengan pandangan mata. Tahu- tahu Pendekar Mabuk sudah melintasi
gerbang perbatasan, berdiri di bagian dalam, dipunggungi mereka, ia tersenyum
di sana sambil membuka tutup bumbung tuaknya dan menenggak tuak dengan tenang.
"Hei, itu dia
anaknya!" seru salah seorang yang ada di atas pintu gerbang. Mereka
berpaling ke belakang dan terperanjat melihat anak muda itu sudah injakkan
kakinya di tanah wilayah negeri itu.
"Kampret busuk! Keluar
kau!" bentak si kumis melintang dengan melepaskan pelintiran kumisnya.
Empat orang penjaga menyergap Suto membentuk kepungan dari empat arah: depan,
belakang, kanan, kiri, dan dua orang yang ada di atas gapura besar itu
merentangkan tali busurnya, siap lepaskan
anak panah ke arah Pendekar Mabuk.
Tapi si murid sinting Gila
Tuak itu masih tetap tenang. Senyumnya berkesan cengar-cengir meremehkan lawan.
Pandangan matanya tertuju ke mata si kumis melintang yang rupanya sebagai ketua
dari kelompok delapan orang itu.
"Setiap orang yang ingin
menghadap Paduka Raja untuk ikut mendaftarkan diri sebagai calon menantu raja
harus diuji dulu kemampuannya! Kami tidak ingin Gusti Rara Ayu Kumala Udarini
Sumbi mempunyai seorang suami yang tidak mampu melindungi keselamatan keluarga
istana!"
"Aku tidak bermaksud. "
"Serang!" teriak si
kumis melintang memotong kata- kata Pendekar Mabuk.
Dua anak panah melesat lebih
dulu dari atas gapura besar itu dan menancap di bawah pundak kanan-kiri Suto
Sinting. Jeeb, jeeb. ! Disusul dengan lemparan dua
buah pisau dari arah belakang
yang menancap di bagian paha. Jrrub, jruub. !
"Aaakh...! Aooow !"
Suara teriakan itu bukan
berasal dari Pendekar Mabuk. Pemuda tampan itu tetap berdiri di tempat tak
bergerak sedikit pun. Tapi si kumis melintang justru menjerit dua kali dan akhirnya
tumbang sendiri. Brrruk !
"Aaaaaaoow...!
Aaaaahh...!" si kumis melintang meraung-raung kesakitan.
Dua orang yang akan menyerang
Suto dari kanan kiri terpaksa hentikan langkah. Mereka terperanjat sekali
melihat ketuanya jatuh dan meraung-raung. Setelah diperiksa, ternyata si kumis.
"Edan! Kenapa kau,
Sagolo?! Siapa yang melukaimu?!" seru salah seorang dengan wajah tegang.
Suto Sinting mencabut dua
panah yang menancap di bawah pundak kanan-kiri. Srub, sruub...!
Saat itu tubuh Sagolo
menyentak dua kali sambil memekik, "Aah, aahkk...!"
Salah seorang dari dua pemanah
itu mendelik bagai patung ketika melihat Suto Sinting mencabut anak panah
dengan santainya, tapi Sagolo yang merasa kesakitan. Bahkan kini ia melihat
Pendekar Mabuk mencabut pisau di kedua pahanya dengan tenang. Sreeb, sreeb...!
Dan saat itu pula Sagolo menyentak, dua kali lagi dengan pekik kesakitan yang
diteruskan raungan memanjang.
"Hahk, haahk...!
Aaaauuh...!"
"Gila!" gumam orang
di atas yang terbengong. "Dia yang kena panah, dia yang cabut panah, eeh.
Sagolo
yang kesakitan dan terluka
begitu?!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum tipis. Tubuhnya tak merasa sakit sedikit pun. Ketika anak panah dan
pisau dicabut dari badannya, ternyata badan itu tidak terluka. Tetapi Sagolo
tetap terluka hingga darahnya bercucuran ke mana-mana. Ia digotong ke tempat
bayangan tembok gerbang yang teduh.
"Monyet, babi, kambing,
tokek sinting!" makinya sambil berteriak. "Jangan keras-keras
mengangkatku! Sakit semua, Setan!!"
Mereka tak tahu bahwa saat Suto
beradu pandang dengan Sagolo, saat itulah jurus "Alih Raga' dilancarkan.
Jurus itu dapat memindahkan rasa sakit dan luka yang seharusnya diderita Suto
tapi bisa diderita orang lain. Dalam kesempatan itu, jurus 'Alih Raga'
ditujukan kepada Sagolo melalui pandangan mata Suto tadi, sehingga yang terluka
dan merasakan sakit adalah Sagolo sendiri walau yang diserang tubuh Suto
Sinting.
Tiba-tiba dari arah timur
melesat sekelebat bayangan. Wuuuuss...! Bayangan itu berasal dari salah satu
pohon yang melintasi atas kepala para penolong Sagolo.
Jleeg...! Sesosok tubuh muncul
berdiri tak jauh dari para penolong Sagolo. Mereka terperanjat saat orang
tersebut perdengarkan suaranya.
"Bukan kalian yang patut
menguji ilmu pemuda itu! Kalian akan mati sia-sia jika masih nekat ingin
menahannya!"
Mereka segera berkasak-kusuk,
kejap kemudian undurkan diri dan merasa takut berhadapan 'tamu' yang baru
datang itu. Suto Sinting berkerut dahi karena merasa heran melihat sikap mereka
yang takut kepada 'tamu' tersebut.
"Siapa dia? Mengapa
mereka takut?!" pikir Suto Sinting sambil pandangi seorang gadis berusia
sekitar dua puluh empat tahun yang mengenakan celana dan baju buntung warna
ungu bintik-bintik putih. Gadis itu berparas cantik dengan potongan rambutnya
yang pendek. Cepak, seperti potongan lelaki, ia bertubuh tinggi, sekal, dadanya
montok, kulitnya kuning langsat. Sebilah pedang ada di pinggang yang dililit
sabuk kain merah, sama dengan ikat pinggang Suto Sinting.
Gadis berwajah berhidung
mancung dan berbibir sensual dengan mata bening indah itu sengaja hampiri Suto
Sinting dengan langkah tegas. Tak ada kesan yang manja dan cengeng pada
penampilannya. Suto Sinting memandangi penuh rasa kagum dan hati mulai
berdesir- desir.
Ketika gadis itu berhenti di
depan Pendekar Mabuk dalam jarak tiga langkah, aroma wangi melati tercium oleh
hidung Suto yang bangir. Aroma wangi melati itu membuat hati Suto Sinting
semakin berdebar-debar indah.
"Kurasa kau tak perlu
membenci mereka. Tugas mereka memang menguji setiap tamu yang ingin
mendaftarkan diri sebagai calon menantu Raja Gundalana!"
"Aku tidak membenci dan
mendendam kepada mereka," ujar Pendekar Mabuk dengan senyum keramahan
menghiasi wajah tampannya.
Sambungnya lagi, "Hanya
yang kusayangkan, mereka bukan orang-orang berilmu tinggi yang patut menjadi
kelompok penguji ilmu lawan. Salah-salah mereka bisa mati sebagai penguji yang
naas!"
"Untuk ukuran di sini,
ilmu mereka sudah cukup lumayan."
"Mungkin saja begitu.
Tapi kurasa mereka tak harus lakukan pengujian dengan menggunakan pertarungan.
Sebaiknya dengan cara lain yang dapat dipakai untuk mengukur ketinggian ilmu
para tamu! Misalnya dengan cara memecah batu atau yang lainnya."
"Itulah kecerobohan
atasan mereka," ujar si gadis tinggi sambil memandang ke arah Sagolo yang
masih dibiarkan terkapar merintih-rintih.
Si gadis dekati Sagolo,
Pendekar Mabuk pun segera dekati Sagolo pula, kemudian menyuruh Sagolo meminum
tuaknya. Gintung dan Polo juga disuruh minum tuaknya. Mereka menurut walau dahi
yang lain berkerut. Mereka heran melihat tindakan Suto.
"Istirahatlah beberapa
saat. Luka kalian akan sembuh!" ujar Suto Sinting, setelah itu ia pergi
tinggalkan mereka tanpa bicara lagi. Seakan ia tak peduli dengan keheranan yang
akan berkembang di wajah- wajah mereka yang akan melihat kesembuhan secara
ajaib itu. Ia juga tak peduli dengan wajah si gadis yang terbengong
memandanginya.
Pendekar Mabuk teruskan
langkahnya menuju kotaraja. Ternyata kotaraja masih jauh dari gerbang
perbatasan. Sejauh mata Suto memandang, ia belum temukan tanda-tanda keramaian
kota atau rumah-rumah penduduk.
Matahari sudah condong ke
barat sejak tadi. Suto Sinting membatin, "Bisa-bisa sampai kotaraja sudah
malam. Atau mungkin langkahku salah arah?!"
Langkah itu akhirnya terhenti
seketika, karena tiba- tiba muncul seseorang yang turun dari atas pohon di
depannya. Wuuut...! Jleeg...! Suto Sinting sempat tersentak kaget, dan secara
naluriah tangan dan kakinya mengambil sikap kuda-kuda pertahanan.
Ketegangan itu segera
mengendur setelah Pendekar Mabuk segera sadar bahwa orang yang turun dari atas
pohon itu adalah si gadis berpakaian ungu bintik-bintik putih tadi. Rupanya ia
sengaja menghadang Suto Sinting dengan maksud yang masih menjadi tanda tanya
besar dalam hati si pendekar tampan itu.
"Aku sengaja mengganggu
perjalananmu sebentar!" ujar gadis itu tanpa sungkan-sungkan, ia kelihatan
tegas dan rada-rada cuek dalam bersikap. Suto Sinting hanya sunggingkan senyum
tipis sambil pandangannya tak bergeser dari wajah si gadis tomboy itu.
"Ada yang bisa
kubantu?" tanya Suto Sinting bernada lembut.
"Justru aku yang ingin
bertanya, mungkin kau butuh bantuanku?"
"Bantuan tentang apa,
misalnya?"
"Mungkin tentang arah ke
kotaraja! Kulihat kau telah salah arah. Mestinya kau membelok ke kiri saat
melewati jalanan menurun tadi."
Suto Sinting tertawa kecil,
menertawakan kebodohannya.
"Aku memang orang asing
di negeri ini. Kurasa... kurasa aku memang butuh seorang pemandu."
Gadis itu sunggingkan senyum
tipis, seperti gadis yang angkuh dan melecehkan kebodohan Suto. Tetapi senyuman
tipisnya itu sempat membuat Suto Sinting hampir menggeragap, karena di sudut
senyuman itu si gadis mempunyai lesung pipi yang menambah kecantikannya. Lesung
pipit seperti itu juga dimiliki oleh Dyah Sariningrum, calon istri Suto Sinting
yang menjadi penguasa di negeri Putri Gerbang Surgawi, di Pulau Serindu.
Karenanya, desir-desir di dalam dada Suto berubah menjadi debar-debar yang
sempat membuatnya salah tingkah.
"Apakah kau yang bernama
Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk?" tanya gadis itu sebelum mereka
melangkah.
"Benar. Dari mana kau
tahu namaku?"
"Bumbung tuak dan
pakaianmu. Juga, tuak saktimu yang tadi telah membuat luka-luka Sagolo serta
dua anak buahnya menjadi sembuh. Mereka sehat dan merasa lebih segar dari
sebelum meminum tuakmu! Kehebatan tuakmu itu yang paling utama mengingatkan
diriku pada cerita beberapa sahabatku tentang Pendekar Mabuk."
Malu juga Suto jadinya. Tapi
di balik rasa malu itu bertaburan rasa bangga akan populeritas namanya yang
sampai membekas dalam ingatan gadis secantik itu.
"Boleh kutahu
namamu?" Suto ganti bertanya. "Candu Asmara!" jawab si gadis.
Suto Sinting
terperanjat, namun buru-buru
ditahan dan disembunyikan, sehingga ia tetap kelihatan kalem.
"Candu Asmara...?"
gumamnya sambil manggut- manggut. "Kau pasti murid Eyang Cakraduya, dan
kakak dari si Mirah Cendani!"
Kini gadis itu yang
terperanjat kaget. "Dari mana kau tahu?"
Tawa Suto sengaja dibuat
berkesan dingin, ia memandang alam sekelilingnya sambil menjawab pertanyaan
itu, hingga berkesan tengil.
"Kecantikanmu membuatku
ingat tentang murid Eyang Cakraduya yang punya lesung pipit menggetarkan hati
setiap lelaki."
Gadis itu tampak tersipu,
namun masih berusaha tampil cuek.
"Kau... kau kenal dengan
guruku?"
"Dengan kekasihmu pun aku
kenal," pancing Suto Sinting. Pancingan itu membuat Candu Asmara menarik
napas seperti menahan kedongkolan.
"Ikuti aku kalau mau ke
kotaraja!" ujarnya sambil melangkah, tapi maksudnya mengalihkan percakapan
yang tadi.
Pendekar Mabuk menangkap
perasaan tak enak pada diri gadis itu, terutama setelah menyinggung tentang
kekasih. Entah apa sebabnya, untuk sesaat Suto tak ingin menanyakannya. Namun
ia segera mengikuti langkah Candu Asmara hingga akhirnya mereka berjalan
berdampingan.
"Rupanya kau sudah
mengenal seluk beluk negeri ini!
Apakah kau termasuk rakyat
negeri Bardanesya?" "Bukan.
Tapi aku sering
berkunjung ke kotaraja.
Seorang sahabatku tinggal di
sana, dan dia punya hubungan baik dengan putri Paduka Raja Gundalana itu."
"Pantas para penjaga tadi
saling berkasak-kusuk dan takut kepadanya," ujar batin Suto Sinting.
"Kurasa mereka pernah dihajar gadis ini, sehingga mengetahui bahwa gadis
ini berilmu lebih tinggi dari mereka. Hmm.... Ternyata kakak si Mirah Cendani
lebih cantik dari adiknya. Aku terkesan sekali dengan sikapnya yang tegas dan
rada-rada galak itu. Dia bisa bikin hatiku penasaran kalau selalu menjaga
keangkuhan sikapnya."
Lamunan dan kecamuk batin Suto
dibuyarkan oleh teguran Candu Asmara.
"Kau akan mendaftarkan
diri sebagai calon menantu Paduka Raja?"
"Oh, hmm... ya, eeh...
tidak! Aku tidak punya niat begitu," jawab Suto agak grogi, lalu segera
ingat tentang tujuannya semua, ia pun ajukan tanya kepada Candu Asmara.
"Apakah kau sudah bertemu
dengan Tengkorak Tampan?"
Langkah si gadis terhenti,
mata memandang tajam, Suto Sinting menjadi salah tingkah. Senyumnya berkesan
cengar-cengir yang tak jelas tujuannya.
"Mak... maksudku...
hhmm... maksudku, apakah kau sudah berhasil menghadang langkah si Tengkorak
Tampan?"
"Dari mana kau tahu kalau
aku sedang memburu murid si Jahanam Tua itu?! Kau sahabat si Tengkorak busuk
itu?!"
"Oh, bukan! Hmmm... bukan
itu maksudku. Aku... aku mendengar nama itu dari adikmu: Mirah Cendani!"
Candu Asmara kerutkan dahi.
"Kau bertemu dengan adikku?"
"Ya. Kutemukan dia
terkapar dalam keadaan sekarat. Tapi untung aku berhasil menuangkan tuak ke
mulutnya. Sekarang dia sudah sehat dan sedang pulang untuk menemui guru
kalian."
Setelah diam termenung
sebentar, Candu Asmara bergumam lirih, namun sempat didengar oleh Suto.
"Pantas ketika aku
kembali ke tempat itu, Mirah sudah tak ada! Kupikir dibawa pulang oleh
Guru?!"
Suto pun membatin, "Jika
dia sempat menengok tempat itu lagi, dan berhasil menyusulku tiba di gerbang
perbatasan, berarti dia mempunyai kecepatan gerak yang hampir menyamaiku?! Oh,
agaknya kata-kata Sawung Kuntet memang benar; murid Eyang Cakraduya berilmu
tinggi. Tak heran jika Candu Asmara mempunyai kecepatan gerak yang menyamai
gerakanku."
Untuk mengetahui seberapa
tinggi ilmu si gadis itu terutama dalam kecepatan geraknya, Pendekar Mabuk pun
memancingnya secara halus.
"Apakah kita tak akan
kemalaman di jalan jika dengan hanya berjalan biasa begini?"
"Sampai kotaraja bisa
tengah malam."
"Bagaimana kalau kita
berlari agar bisa tiba di kotaraja sebelum tengah malam?!"
Gadis itu hanya tersenyum
kecil berkesan meremehkan, karena ia tahu ajakan itu merupakan tantangan halus
dari si tampan. Maka, tanpa menjawab atau berkata sepatah kata pun, Candu
Asmara sentakkan kaki kirinya ke bumi satu kali. Duuhk...! Bluub...! Asap
mengepul tipis, Candu Asmara bagaikan lenyap di telan bumi. Suto Sinting
kebingungan sesaat. Setelah memandang ke depan, ternyata gadis itu sudah berada
jauh di depan sana.
"Gila! Kecepatan geraknya
seperti melebihi angin berhembus?! Hmmm... baik, akan kususul kau, Candu
Asmara!"
Zlaaaap, zlaaap...! Jurus
'Gerak Siluman' dipergunakan Pendekar Mabuk untuk susul gadis itu. Kejap
berikut, Candu Asmara hentikan langkah ketika ia merasakan hembusan angin
berkelebat di samping kanan, mendahului langkahnya.
"Edan! Gerakan apa itu
hingga bisa mendahului jurus 'Pemburu Badai'-ku?!" gumam hati gadis cantik
itu.
Candu Asmara mencoba menyusul
gerakan Suto Sinting, namun tak pernah berhasil, ia hanya bisa berada tiga
langkah di belakang Suto Sinting. Sekalipun demikian, gerakan itu dianggap oleh
Suto sebagai pemecah rekor bagi gerakan para gadis yang pernah dikenal Pendekar
Mabuk. Angin Betina, saja masih tertinggal lima langkah di belakang Suto
Sinting. Berarti Angin Betina, gadis yang menyimpan cinta kepada Suto itu,
masih kalah cepat dengan Candu Asmara, walaupun Angin Betina punya ilmu yang
dapat menembus waktu.
*
* * 4
HATI Candu Asmara merasa lega
mendengar adiknya dalam keadaan sehat. Nafsu memburu Tengkorak Tampan tidak
sebesar tadi. Bahkan perhatian gadis itu lebih banyak ditujukan kepada Pendekar
Mabuk. Curahan perhatian batin itu membuat Candu Asmara juga rasakan
debar-debar indah yang sering membuatnya jengkel sendiri.
Hampir memasuki kotaraja,
Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah disusul langkah Candu Asmara yang
terhenti pula. Gadis itu memandang heran kepada Suto Sinting. Suaranya
terdengar lirih. "Kenapa berhenti?"
"Aku mendengar suara
perempuan merintih," jawab Suto pelan.
Candu Asmara diam sesaat,
pertajam pendengarannya. Matanya melirik ke arah kiri, pada gerumbulan semak
yang melingkari batu besar. Suara rintihan perempuan berasal dari gerumbulan
semak itu. Sepertinya ada yang terkapar dan sekarat di bawah batu besar itu.
Suto Sinting berbisik lagi,
"Arah pandangan matamu memang benar. Suara itu dari bawah batu. Hanya
saja, ketinggian semaknya membuat kita tak bisa melihat apa yang terjadi di
bawah batu besar itu."
"Rasa-rasanya bukan
rintihan orang menderita," ucap Candu Asmara dengan membisik.
"Sebaiknya tak perlu kau hiraukan. Kita lanjutkan langkah kita."
"Tunggu sebentar,"
sergah Pendekar Mabuk sambil mencekal lengan Candu Asmara. "Aku penasaran
dan ingin mengintainya dari atas pohon itu."
"Ah, sudahlah! Itu tak
perlu!" "Sebentar saja!"
Wuuut...! Tahu-tahu Suto Sinting
sudah berada di atas pohon. Gerakan lompatnya sangat cepat dan membuat Candu
Asmara hanya bisa hempaskan napas sebagai tanda menahan rasa kesalnya.
"Bandel juga dia!"
gerutunya dalam hati. "Masa' dia tak bisa bedakan suara rintihan kesakitan
dengan rintihan kenikmatan?!"
Pendekar Mabuk melesat dari
pohon pertama ke pohon kedua, dari pohon kedua ke pohon ketiga. Di situ ia
berhenti, mengintai ke bawah, tepat di atas batu besar tersebut.
"Astaga...?!" hati
Suto terkejut dan jantungnya menjadi berdetak-detak.
Ternyata apa yang ada di balik
semak dan di bawah batu besar itu adalah suatu pemandangan yang menggetarkan
gairah kemesraannya. Seorang perempuan sedang dicumbu oleh seorang pemuda
dengan panasnya. Perempuan itu tampak berusia sekitar tiga puluh tahun,
sedangkan lawan jenisnya berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Tetapi pemuda
yang bertubuh gempal itu tampak masih hijau dalam hal bercumbu, sehingga butuh
bimbingan dari si perempuan yang cukup matang dalam masalah kencan. Pemuda itu
menurut saja ketika diperintahkan untuk memindahkan kecupannya ke dada si
wanita. Sekalipun pemuda itu masih hijau, tapi semangatnya tampak tinggi dan
menggebu-gebu, sehingga si perempuan mengerang berkali-kali menikmati
keindahannya.
Candu Asmara akhirnya menyusul
Suto Sinting. Dengan lompatan yang sama seringan tubuh Suto tadi, ia melesat ke
atas pohon dan hampiri Suto Sinting. Daun dan ranting yang dipijaknya tak
sempat bergerak karena ilmu peringan tubuhnya ternyata cukup tinggi juga.
Suto Sinting nyaris terkejut
ketika sikunya menyentuh daging empuk di belakangnya. Ternyata ia menyentuh
pipi Candu Asmara yang ikut berjongkok di sampingnya, agak ke belakang.
"Sial!" gerutu Suto
Sinting.
"Inikah yang ingin kau
intip? Rupanya kau doyan mengintip orang beginian, ya?"
"Kusangka bukan
beginian!"
Mereka hentikan bisik-bisik
sesaat karena suara perempuan yang sedang dicumbu pemuda itu makin meringkik
tinggi manakala si pemuda memagut dada sekal perempuan itu. Candu Asmara
sengaja palingkan pandangan ke arah lain sambil mencolek lengan Suto.
"Tinggalkan pemandangan
itu! Sebentar lagi petang datang, kita harus sudah tiba di kotaraja sebelum
hari menjadi gelap."
"Sebentar...," ujar
Suto Sinting dalam bisikan, ia memandang tak berkedip adegan hot yang dilakukan
oleh sepasang insan yang sudah seperti bayi baru lahir itu. Mereka menggelar
pakaian sebagai alas berbaring bagi si perempuan. Tampaknya perempuan itu
sangat menikmati tiap sentuhan hangat yang dilakukan si pemuda atas
perintahnya.
Suto Sinting berbisik tepat di
telinga Candu Asmara, membuat napasnya menyembur hangat di sekitar telinga
gadis itu.
"Kau kenal dengan
mereka?"
Candu Asmara menjawab dengan
nada dingin, "Dewi Ranjang, seorang janda liar yang selalu memburu
kehangatan pemuda ingusan."
"Dewi Ranjang...?!"
gumam Suto lirih. "Lalu, siapa pemuda yang menjadi pasangannya itu?"
"Rudaya, bocah ingusan,
anak Raden Mas Sastrajingga, salah satu dari lima penasihat Raja
Gundalana."
Suto Sinting menggumam lirih
sambil manggut- manggut, pandangan matanya kembali ke arah kedua insan yang
sedang asyik-asyiknya menyerap kenikmatan bersama itu. Jantung Suto pun kian
berdebar-debar saat melihat Rudaya menuruti perintah Dewi Ranjang.
"Kecuplah ini...
kecuplah, Rudaya," sambil perempuan itu menekan kepala Rudaya agar
bergeser ke bawah. Rudaya pun menurut, kepalanya bergeser ke bawah dan
kecupannya mencapai bagian yang diinginkan Dewi Ranjang.
"Oouh... nikmat sekali
itu, Rudaya. Uuuhhh...! Hmmmmhhh...!" sambil kedua tangan Dewi Ranjang
meremas-remas rambut pendek Rudaya dan merentang diri untuk mempermudah gerakan
kepala Rudaya.
"Sudahlah! Untuk apa kita
tonton lama-lama?!" bisik Candu Asmara dengan tak enak hati. Ia menarik
tangan Suto agar menyingkir dari tempat itu. Tapi Pendekar tampan itu masih
betah menyaksikan adegan yang makin lama semakin membakar darah kemesraannya
sendiri.
Tentu saja darah kemesraan
Suto terbakar, karena kala itu Rudaya digulingkan oleh Dewi Ranjang. Pemuda itu
terbaring dan menerima dengan pasrah apa yang akan dilakukan Dewi Ranjang.
"Diamlah begitu, kau akan
kuterbangkan ke langit yang paling tinggi. Hik, hik, hik, hik...!" kata
perempuan yang berparas ayu dan punya mata serta bibir memancarkan daya tarik
untuk bercumbu.
Rudaya menggigit bibirnya
sendiri sambil menggeram ketika Dewi Ranjang menciumi wajahnya, lalu melumat
bibir pemuda itu dengan lahap. Lidah perempuan itu akhirnya menjalar sampai ke
leher, mencekam beberapa saat, lalu bergeser ke dada si pemuda.
Desir-desir di dalam dada Suto
semakin tinggi, karena ia membayangkan seandainya yang diperlakukan begitu
adalah dirinya. Desiran itu sempat membuat Suto Sinting meremas dedaunan
manakala ia melihat jelas sekali ke mana gerakan lidah Dewi Ranjang.
Mulut perempuan bertahi lalat
di sudut dagu kanannya itu melintasi perut Rudaya. Ternyata mulut itu tidak
hanya berhenti mengecup di perut saja, namun lewat terus dan lidahnya menyapu
sekitar paha Rudaya. Napas si Pendekar Mabuk menjadi sesak ketika mendengar
suara Rudaya merintih dengan kepala menggeliat ke atas dan kedua tangan di kanan-kiri
kepalanya itu menggenggam kuat-kuat. Suto dapat merasakan desiran keindahan
yang amat tinggi yang dirasakan Rudaya manakala mulut Dewi Ranjang bagai ingin
menelan sesuatu dengan gerakan pelan-pelan sekali.
Candu Asmara resah. Mau pergi
sendiri, tak enak. Mau tetap di samping Suto, juga tak enak. Serba salah
jadinya.
"Pendekar jalang!"
gerutunya pelan bernada jengkel, tapi gerutuan itu didengar oleh Pendekar
Mabuk. Hati menjadi tak enak mendengar kecaman tersebut. Suto segera ingat nama
besarnya sebagai seorang pendekar.
"Masa' seorang pendekar
kerjanya nonton begituan? Ah, tak enak hati aku kepada gadis yang baru ku kenal
ini. Sebaiknya memang aku harus segera pergi agar tak timbulkan kesan buruk di
hati Candu Asmara," ujar Suto dalam hatinya, maka ia pun segera bergegas
pergi tinggalkan pemandangan yang sedang panas-panasnya itu.
"Jangan coba-coba menatap
mata Dewi Ranjang jika kebetulan kau berpapasan dengannya," kata Candu
Asmara sambil teruskan langkah menuju kotaraja.
"Mengapa tak boleh?"
"Ia mempunyai aji pemikat
melalui pandangan matanya. Kau bisa kasmaran jika terkena aji pemikatnya
itu."
"Kau khawatir?" Suto
Sinting sunggingkan senyum menggoda. "Aku hanya mengingatkan padamu, bukan
karena khawatir. Jika kau sendiri punya selera kepada si janda liar itu,
silakan saja! Itu urusan pribadimu, bukan urusku."
Pendekar Mabuk makin lebarkan
senyum dan akhirnya berubah menjadi tawa pelan seperti orang menggumam. Candu
Asmara bersungut-sungut, tampak sedang menahan rasa malu dan sembunyikan keresahannya.
Menjelang matahari ditelan
bumi, Pendekar Mabuk dan Candu Asmara tiba di kotaraja. Gadis itu segera
membawa Suto Sinting ke sebuah penginapan. Tentu saja hal itu cukup
mengherankan bagi Suto.
"Mengapa aku dibawa ke
penginapan?" tanyanya terang-terangan.
Gadis tomboy itu menjawab
seenaknya, "Kalau kutahu jalan ke neraka, kubawa kau ke neraka dan
kuceburkan ke sana!"
Suto Sinting tertawa geli
melihat gadis itu bersungut- sungut.
"Maksudku, aku tak punya
uang untuk sewa kamar." "Untuk apa sewa kamar? Kau pikir perempuan
apa
aku ini?!"
"Mmm... mmm... maaf, aku
tidak bermaksud menilaimu jelek, Candu Asmara. Tapi... tapi terus terang saja,
tujuanku kemari semula ingin melihat orang-orang yang mencalonkan diri sebagai
menantu raja. Tapi segera berubah setelah bertemu adikmu. Tujuanku menjadi
ingin melindungimu dari serangan Tengkorak Tampan yang membawa senjata milik
gurunya bernama 'Garpu Malaikat' itu. Aku khawatir kau menjadi korban senjata
yang kata temanku adalah senjata berbahaya. Lalu. "
"Cukup!" potong
Candu Asmara. "Aku mengerti maksudmu. Kalau kau ingin bertemu dengan
Tengkorak Tampan, kau bisa temui dia esok hari. Karena esok hari para calon
menantu raja berkumpul di alun-alun."
"Ooo...," Suto
Sinting manggut-manggut. "Kau sendiri tak ingin lanjutkan pembalasanmu
terhadap Tengkorak Tampan?"
"Terlambat. Kurasa saat
ini ia sudah menjadi tamu kehormatan Paduka Raja. Siapa yang mengusik atau
mengganggu tamu istana akan mendapat hukuman dan dianggap bermusuhan dengan
pihak Raja Gundalana. Jadi aku tak berani mengusiknya. Tapi jika ia sudah
pulang dan tidak lagi menjadi tamu Istana, aku akan bikin perhitungan sendiri
padanya!" kata Candu Asmara dengan tegas sekali. Suto Sinting sangat
menyukai nada bicara yang tegas seperti itu.
Ketika Suto diajak masuk ke
penginapan berlantai dua itu, Candu Asmara sempat berkata dalam nada pelan.
"Aku mencari sahabatku;
Cempaka Ayu!" "Apakah dia sering bermalam di penginapan ini?"
"Dia anak pemilik penginapan ini."
"Ooo. ," Suto Sinting manggut-manggut lagi. Ia
ingin
ajukan tanya, tapi batal
karena seorang lelaki berusia sekitar
lima puluh tahun
dan berpakaian rapi
segera menyambut kedatangan Candu Asmara dengan senyum ramahnya.
"Candu Asmara.... Oh,
sudah lama kau tak datang menjenguk kami. Mengapa kau menghilang hampir satu
purnama, Candu Asmara?!"
"Aku ada urusan yang
harus kuselesaikan, Paman! O, ya... perkenalkan, ini sahabatku; Suto
Sinting."
Orang yang dipanggil sebagal
'paman' oleh Candu Asmara itu memberikan hormat kepada Pendekar Mabuk, kedua
tangannya saling genggam di dada serta badannya sedikit membungkuk.
"Selamat datang di
penginapanku, Tuan Muda!" "Terima kasih. Senang sekali aku melihat
penginapan
sebagus ini, Paman," kata
Suto membalas keramahan sang Paman itu.
"Paman, apakah Cempaka
Ayu ada?"
"O, dia ada di kamarnya.
Datanglah sana ke kamarnya! Kedatanganmu sangat ditunggu-tunggu oleh Cempaka.
Heh, heh, heh, heh...!"
Candu Asmara mengajak Suto
Sinting menaiki tangga yang tampak dari ruang tamu itu. Ruang tamu tersebut
dipakai sebagai kedai yang menyajikan makanan mewah dengan tamu-tamu dari
golongan atas. Kala itu, kedai mewah tersebut sedang melayani delapan tamu yang
membentuk tiga kelompok berlainan meja. Mereka memandang ke arah Candu Asmara
dan Suto Sinting, namun keduanya bersikap tak menghiraukan pandangan para tamu
berbusana rapi dan bagus itu.
"Orang yang kupanggil
'paman' tadi adalah ayahnya Cempaka Ayu!"
"Ooo...," Suto hanya
menggumam dan manggut- manggut lagi.
"Dia sangat senang jika
aku ada di sini, karena berkali-kali aku berhasil mengusir orang-orang yang
berniat mengganggu ketenangan para tamu di sini!"
"Rupanya kau petugas
keamanan di penginapan ini?!" "Tak resmi!" jawab Candu Asmara
pendek, sambil
menelusuri lorong di depan
kamar-kamar lantai atas.
Sebuah pintu kamar yang
letaknya di ujung sendiri diketuk oleh Candu Asmara. Kemudian seraut wajah
cantik berhidung bangir muncul dari balik pintu kamar tersebut.
"Candu Asmara...?!"
gadis berusia sebaya dengan Candu Asmara itu terpekik girang, kemudian ia
memeluk Candu Asmara dalam senyum yang lebar. Matanya sempat beradu pandang
dengan Pendekar Mabuk yang masih berdiri di belakang Candu Asmara. Gadis itu
segera lepaskan pelukannya dan mulai salah tingkah karena baru sadar bahwa
Candu Asmara datang bersama pemuda tampan.
"Cempaka, perkenalkan ini
sahabatku; Suto Sinting namanya."
"Ooh...?! Pendekar
Mabuk?!" Cempaka Ayu terperanjat dengan mata membelalak.
Suto Sinting hanya anggukkan
kepala dalam senyum keramahannya.
"Astaga! Rupanya apa yang
kau impikan selama ini benar-benar menjadi kenyataan, Candu Asmara. Kau bisa
bertemu dengan Pendekar Mabuk dan. "
"Ssst...! Tak perlu
dibahas lagi soal itu," potong Candu Asmara yang wajahnya menjadi semburat
merah karena malu kepada Suto Sinting. Senyum si tampan itu semakin lebar,
hatinya pun menggumam,
"Rupanya selama ini Candu
Asmara ingin sekali bertemu denganku. Hmm... ketahuan sekarang! Aku yakin saat
ini hatinya sangat gembira karena keinginannya bertemu denganku sudah tercapai.
Meski berlagak angkuh, tapi ternyata dia menyimpan kegembiraan yang pasti
membuat hatinya melonjak- lonjak. Hmm, hmm, hmm...! Perempuan, perempuan...
paling pintar menutupi isi
hatinya!"
Cempaka Ayu sebentar-sebentar
melirik Pendekar Mabuk. Rupanya gadis itu juga menyimpan rasa kagum terhadap
ketampanan Suto Sinting. Namun ia menghargai nilai sebuah persahabatan,
sehingga tak mau bertingkah yang bukan-bukan di depan Candu Asmara, ia hanya
sering berbisik dan mereka tertawa kecil sambil melirik Suto.
"Kebetulan kau datang hari
ini, Candu," ujar Cempaka Ayu.
"Mengapa
kebetulan?!" tanya Candu Asmara.
Cempaka Ayu melirik ke arah
Pendekar Mabuk sesaat. Sepertinya ada sesuatu yang ragu-ragu dikatakan karena
keberadaan Suto di tempat itu. Suto jadi tak enak hati.
"Apakah aku harus pergi
dulu?" tanya Suto Sinting. "O, tidak! Tidak perlu," jawab
Cempaka Ayu tergesa- gesa. "Ini bukan rahasia lagi. Aku hanya ingin
menyampaikan kabar tentang niat Paduka Raja mencarikan menantu yang gagah
perkasa dan layak diandalkan sebagai panglima negeri ini."
"Itu sudah kudengar,
Cempaka. Esok para calon menantu raja akan dikumpulkan di alun-alun untuk
dilihat kemahirannya dalam ilmu kanuragan. Siapa yang ilmunya paling tinggi,
itulah yang akan dinikahkan dengan Rara Ayu Kumala, bukan?!"
"Iya. Tapi... tapi
rencana itu ternyata harus diubah oleh pihak keluarga istana."
"Mengapa diubah?"
"Kemarin malam Rara Ayu
Kumala hilang." "Hilang...?!" Candu Asmara terperanjat, demikian
pula Pendekar Mabuk yang
segera berkerut dahi tajam- tajam.
"Seseorang telah menculik
Rara Ayu Kumala!" "Ooh...?! Siapa orang yang menculik putri raja
itu?!"
tanya Suto
Sinting dengan rasa
penasaran mendesak
dadanya.
"Rara Ayu Kumala diculik
oleh tokoh aliran hitam dari Pulau Setan yang bernama : Hantu Urat Iblis!"
"Celaka!" sentak
Candu Asmara dengan wajah tegang. Agaknya ia sudah mengetahui siapa si Hantu
Urat Iblis itu.
Suto Sinting segera berkata,
"Tapi mengapa para penjaga di gerbang perbatasan masih menguji tamu yang
mau mencalonkan diri sebagai menantu raja?! Bahkan aku sempat diuji oleh
mereka!" Cempaka Ayu menjawab, "Kabar ini belum disebar- luaskan.
Tapi ayahku mendengarnya dari kenalannya yang menjadi pejabat istana. Ayah pun
wanti-wanti padaku agar tidak bicara pada siapa pun. Tapi kepada kalian aku tak
bisa merahasiakannya."
Candu Asmara masih tertegun
membayangkan Hantu Urat Iblis, sementara itu Cempaka Ayu menyambung
kata-katanya sambil menatap Pendekar Mabuk.
"Mungkin maksud sang Raja
tetap akan menerima calon menantu sebanyak mungkin, karena dengan begitu raja
merasa punya banyak dukungan dari orang-orang berilmu tinggi. Karena rencana
beliau, esok para calon menantu akan dikumpulkan di alun-alun, dan diberi tahu
tentang penculikan tersebut. Raja akan mengubah sayembara, barang siapa yang
bisa mengalahkan Hantu Urat Iblis dan membawa pulang putrinya, dialah yang akan
dinikahkan dengan sang Putri dan mendapat kedudukan tinggi sebagai panglima
tertinggi di negeri ini!"
"Hmmm...," Suto
Sinting manggut-manggut dalam renungannya.
"Apakah... apakah kau berminat
untuk merebut Rara Ayu Kumala dari tangan Hantu Urat Iblis?" tanya Cempaka
Ayu kepada Suto.
Candu Asmara segera menyahut
sambil menatap Suto tajam-tajam dan bicaranya penuh tekanan.
"Hantu Urat Iblis adalah
tokoh sesat aliran hitam yang mempunyai ilmu 'Perisai Kubur', kau tak mungkin
bisa tumbangkan dirinya!" "Apa itu ilmu 'Perisai Kubur'?!" tanya
Pendekar Mabuk.
"Tak bisa terluka. Setiap
kali ia terluka, lukanya akan menutup sendiri dan pulih seperti sediakala.
Racun apa pun tak bisa bercampur dengan darahnya."
"Aku ingin mencoba
melawannya!"
"Tak perlu, Suto!"
sentak Candu Asmara. "Kau akan mati sia-sia jika melawannya!"
Pendekar Mabuk terbungkam dan
memendam keheranan. "Mengapa ia jadi berang begitu?! Seandainya aku mati,
mengapa tak boleh? Ih, lama-lama aneh juga gadis ini, ya?!"
*
* *
5
ALASAN apa yang membuat Hantu
Urat Iblis menculik putri raja, hal itu pun menjadi sesuatu yang dipikirkan
oleh Pendekar Mabuk. Karenanya, sekalipun ia dan Candu Asmara mendapat satu
kamar gratis di penginapan itu, namun Pendekar Mabuk tak bisa cepat tertidur,
ia masih terngiang kata-kata Candu Asmara ketika mereka berada di kamar Cempaka
Ayu.
"Hantu Urat Iblis bukan
saja punya ilmu 'Perisai Kubur', namun juga menguasai ilmu 'Peluh Neraka' yang
tidak dimiliki orang lain."
"Apa kehebatan ilmu
'Peluh Neraka' itu?" tanya Suto. "Pada saat-saat yang ditentukan, ia
dapat keluarkan racun melalui peluhnya. Racun ganas yang sangat mematikan itu
bercampur dengan keringatnya. Siapa pun yang terkena keringatnya walau sedikit
saja, maka orang itu akan mati dalam tiga belas hitungan. Repotnya lagi, racun
itu tak bisa ditangkal dengan obat penawar racun
apa pun."
"Sakti sekali?!"
sindir Suto Sinting agak tak percaya. "Siapa sebenarnya si Hantu Urat
iblis itu sehingga ia bisa mempunyai
ilmu aneh-aneh begitu?!"
"Dia anak haram dari
mendiang Nyai Selir Iblis, penguasa Pulau Setan. Menurut cerita dari guruku, Hantu Urat Iblis sejak bayi tak
pernah kena sinar matahari, karena hidupnya di ruang bawah tanah. Di sana ia
digembleng oleh ibunya sendiri hingga menjadi dewasa. Seluruh ilmu milik ibunya
sudah mengalir ke dalam diri Hantu Urat Iblis sejak ia berusia lima tahun.
Ketika ibunya tewas, ia muncul di permukaan bumi sebagai pengganti sang Ibu;
menjadi penguasa Pulau Setan. Karenanya, dalam usia sekitar empat puluh tahun
ini, dia sudah menjadi tokoh yang ditakuti oleh lawan- lawannya, karena ilmunya
memang dahsyat!"
"Apakah dia punya guru
lain?"
"Tidak! Seluruh ilmu yang
diwariskan oleh mendiang ibunya sudah cukup untuk kalahkan beberapa guru dari
perguruan-perguruan yang pernah menjadi lawan ibunya semasa hidup."
"Jika ia dikatakan
sebagai anak haram, maka sampai sekarang ia tak tahu siapa ayahnya?"
"Kurasa ia sudah
tahu," jawab Candu Asmara. "Tapi kurasa ia belum pernah bertemu
dengan ayahnya. Karena menurut cerita guruku, yang pernah menyelidiki kekuatan
di Pulau Setan, ternyata Nyai Selir Iblis pernah kencan dengan siluman dari
alam gaib. Kencan itu membuahkan keturunan, dan keturunan tersebut adalah si
Hantu Urat Iblis."
Beberapa penjelasan itulah
yang dicerna terus oleh otak Pendekar Mabuk, hingga malam yang semakin larut
dibiarkan lewat begitu saja. Rasa kantuknya belum juga datang walau ia telah
berbaring di ranjang yang berseberang dengan ranjangnya Candu Asmara. Sedangkan
gadis berpakaian ungu bintik-bintik putih itu tampak sudah tertidur sejak tadi
dengan tenang, ia berbaring sambil mendekap pedangnya yang diletakkan di dada.
Sebelum ke kamarnya, tadi Suto
sempat mengisi bumbungnya dengan tuak yang didapat dari ayah Cempaka Ayu. Kini
bumbung tuak itu telah terisi penuh. Namun sebentar-sebentar ditenggaknya,
sehingga mulai berkurang sedikit.
"Bagaimana kalau kucoba
menembus alam gaib dan mencari ayahnya si Hantu Urat Iblis itu? Barangkali
dengan bujukan sang ayah, Hantu Urat Iblis mau melepaskan putri raja,"
pikir Suto Sinting yang mampu menembus alam gaib karena kekuatan khusus yang
diberikan oleh Ratu Kartika Wangi, calon ibu mertuanya itu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").
"Tetapi... kalau aku
pergi sekarang tanpa pamit, pasti Candu Asmara sangat kecewa dan mempunyai
penilaian buruk padaku. Sebaiknya kubangunkan saja dia dan aku harus pamit dulu
padanya."
Suto Sinting dekati ranjang
Candu Asmara. Namun kurang dua langkah dari ranjang, Candu Asmara sudah membuka
matanya, terbangun dari tidurnya, namun tetap dalam posisi tenang, walau tangan
kanannya secara cepat memegang gagang
pedang. Begitu sadar didekati Pendekar Mabuk, tangan yang memegang gagang
pedang itu mengendur, gagang pedang dilepaskan, tak jadi dicabut. Kini pedang
itu justru digeser ke samping kiri, sejajar dengan tubuhnya.
"Hebat! Ternyata dia
sangat peka dengan gerakan. Walau dalam keadaan tertidur, namun dapat segera
mengetahui ada sesuatu yang mendekatinya," pikir Suto Sinting merasa kagum
terhadap kepekaan Candu Asmara.
Karena ia dipandang oleh gadis
itu, maka ia pun sunggingkan senyum berkesan nyengir. Suto jadi tak enak hati,
takut dianggap ingin bertingkah kurang ajar, maka ia buru-buru jelaskan
maksudnya.
"Aku ingin
membangunkanmu, bukan ingin bertindak yang bukan-bukan."
Candu Asmara hembuskan napas
panjang, tapi ia tetap berbaring dengan mata memandang langit-langit kamar.
"Mau apa membangunkan
tidurku?" "Aku mau... mau pamit!"
"Pamit ke mana?"
"Ke alam gaib."
"Edan!" sentaknya
pelan, lalu cemberut dan melengos. Suto Sinting lebih mendekat hingga persis di
tepi ranjang.
"Akan kucoba menemui
siluman yang menjadi ayah si Hantu Urat Iblis itu. Akan kudesak siluman itu
agar mau menyuruh anaknya melepaskan putri raja."
"Tidurlah dulu, baru
mengigau! Jangan mengigau sebelum tidur, itu tidak baik!" ujar Candu
Asmara sambil masih palingkan wajah ke dinding.
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum geli mendengar kata-kata Candu Asmara. Wajah cantik itu dipandangi dari
samping. Timbul getaran nakal di batin Suto yang membuatnya gelisah. Karena
keindahan mata, kemancungan hidung, ketebalan bibir yang serasi itu, sangat
menggoda hatinya dan membuatnya ingin usil di wajah halus tanpa jerawat sebutir
pun itu.
Lengan si gadis juga
dipandangi. Hati pun berdesir kembali, karena lengan itu mempunyai bulu-bulu
halus yang samar-samar, seakan mengundang hasrat untuk meraba bulu-bulu itu.
Pendekar Mabuk akhirnya
menelan ludah sendiri, ia memberanikan diri untuk duduk di tepian ranjang.
Ternyata gadis itu diam saja, namun masih berpaling ke arah dinding dan
memejamkan mata. Suto yakin, gadis itu tidak tidur. Karenanya ia pun segera
mengajaknya bicara dengan suara pelan, agar tak mengundang kebrisikan bagi tamu
penghuni kamar sebelah.
"Candu Asmara, aku bicara
sungguh-sungguh tentang rencanaku tadi. Sekarang juga aku akan pergi. Kau
tetaplah di sini dulu."
Candu Asmara membuka mata,
kini wajahnya menjadi agak miring ke kanan, pandangannya tertuju ke wajah Suto
Sinting yang tetap sunggingkan senyum tipis di bibirnya.
"Rencana apa
maksudmu?" tanya Candu Asmara berlagak bodoh. Sebelum Suto Sinting
mengulangi penjelasannya tadi, Candu Asmara sudah bicara lagi lebih dulu.
"Kau berhasrat ingin
membebaskan putri raja itu? Maksudmu supaya kau dinikahkan dengan Rara Ayu
Kumaia dan menjadi menantu Raja Gundalana? Kau ingin menjadi panglima tertinggi
di negeri ini dengan didampingi istri secantik putri raja itu?!"
Pertanyaan yang beruntun hanya
membuat Pendekar Mabuk geli sendiri. Tawanya tak bersuara, tapi jelas- jeias
berkesan meremehkan dugaan-dugaan Candu Asmara itu.
"Aku. "
"Kalau kau ingin mendapat
hadiah seorang istri yang cantik seperti Rara Ayu Kumala, pergilah sana,
bebaskanlah dia!" sahut Candu Asmara memotong kata- kata Suto.
Pendekar Mabuk akhirnya diam
sambil tetap sunggingkan senyum dan menatap Candu Asmara. Pandangan yang beradu
bagai menembus sampat ke dasar hati masing-masing. Candu Asmara merasakan
getaran hati menjalar ke seluruh tubuhnya, seakan darah mengalir dengan deras
namun punya keindahan yang sulit digambarkan.
Rupanya kebisuan di antara
mereka berdua mengubah wajah ketus dan cemberut menjadi sendu. Mata tegar
berubah menjadi sayu. Tangan di dada pindah ke pangkuan Suto Sinting. Tangan
itu disambut dengan usapan lembut oleh sang Pendekar tampan. Akhirnya tangan
itu saling meremas pelan, dan rasa hangat mengalir pula di seluruh tubuh mereka
berdua.
"Mengapa kau tampaknya
sangat tak setuju jika aku membebaskan putri raja itu?" tanya Suto Sinting
yang kini membungkuk, bertumpu siku di pangkuannya, sementara tangan Candu
Asmara digenggam dengan kedua tangan, dimainkan dengan usapan pelan-pelan.
"Aku takut kau tidak
berhasil, tapi juga takut kalau kau berhasil," jawab Candu Asmara dengan
suara lirih, sambil meresapi tiap usapan tangan Pendekar Mabuk.
"Aneh sekali ketakutanmu
itu. Gagal takut, berhasil takut?"
"Karena jika kau gagal
atau berhasil kita tetap tak akan saling bertemu lagi. Gagal berarti mati,
berhasil berarti menjadi menantu raja."
Kepala gadis itu tergolek.
Manis sekali. Suto merasa sedang menunggui istrinya yang habis melahirkan.
Kebahagiaan seperti itulah yang ada di dalam hati Pendekar Mabuk malam itu.
"Aku tak mungkin gagal,
juga tak mungkin menikah dengan putri raja."
"Benarkah?" suara
itu agak parau, menambah suasana menjadi semakin romantis saja rasanya.
Suto Sinting anggukkan kepala.
"Aku bersumpah tak akan menerima hadiah itu seandainya aku bisa kalahkan
Hantu Urat iblis."
"Kau tetap akan
bersamaku?"
"Mengapa tidak?"
jawab Suto lirih, namun terdengar menggema sampai ke lubuk hati Candu Asmara.
"Kita baru saja bertemu,
tapi rasa-rasanya seperti sudah beberapa tahun saling kenal," ucap gadis
itu.
"Aku pun merasa demikian.
Begitu dekatnya kau dengan hatiku, sampai aku lupa kalau kita baru saja
bertemu," balas Suto Sinting, lalu tersenyum menawan, Candu Asmara pun
tersenyum manis.
Tangan pemuda tampan itu
beranikan diri mengusap rambut Candu Asmara. Ternyata gadis itu tidak menolak,
ia bahkan meresapi usapan yang berawal dari kening hingga ke pertengahan rambut
itu. Ia meresapi dengan mata terpejam lembut.
Kulit halus di pipi kuning itu
semakin menggoda Suto Sinting. Mata yang terpejam seakan sebuah isyarat untuk
Suto agar bertindak lebih romantis lagi. Maka dengan jantung berdetak-detak cepat,
Suto Sinting dekatkan wajahnya. Pipi halus lembut seperti kulit bayi itu
diciumnya pelan-pelan. Ceesss...! Seperti salju menetes di ujung hati, begitu
indah dan sangat menyejukkan jiwa. Candu Asmara tidak meronta, ia diam saja,
seakan pasrah dengan apa yang akan dilakukan Suto Sinting.
Gadis itu masih tak mau
membuka matanya, walau sudah dua kali dikecup oleh Suto; pipi dan keningnya.
Mungkin ia malu jika membuka matanya dan menatap wajah tampan, atau tak sanggup
menahan getaran jiwa yang mengguncang dan bergemuruh di dalam dada. Yang jelas
wajah bersih berkulit kuning langsat itu menjadi semburat merah saat dua kali
menerima ciuman lembut dari Pendekar Mabuk. Merahnya kulit wajah itu bisa
berarti menahan rasa malu atau menahan hasrat yang memburu.
Pendekar Mabuk mengumbar
kebahagiaan di hatinya. Ciumannya kembali menghangat di kening Candu Asmara.
Ciuman itu merayap pelan-pelan ke mata si gadis. Namun kini kedua tangan Suto
memegangi kepala Candu Asmara, mengusap lembut kedua sisi kepala itu dari rambut
sampai ke pipi sambil merayapkan ciumannya. Tangan kanan Candu Asmara meremas
pinggang Suto Sinting ketika ciuman hangat itu mendekati bibirnya.
"Ooh... Indah sekali
caranya menciumku," desah Candu Asmara dalam hatinya.
Namun ketika bibir Suto melintasi
hidungnya dan hampir menyentuh bibirnya, Candu Asmara segera membuka mata dan
mengelak dengan memalingkan wajah ke samping kiri. Ia bagaikan tak mau dikecup
bibirnya. Suto Sinting pun menarik wajah dan memandanginya dengan satu tangan
masih mengelus lembut kepala gadis itu. Kini sang gadis menatapnya dengan mata
kian sayu.
"Jangan mencium
bibirku," katanya dengan suara seperti berbisik.
"Sekali saja," pinta
Suto lirih.
"Jangan," sambil
Candu Asmara menggeleng. "Mengapa tak boleh?"
"Berbahaya bagi
dirimu."
Suto Sinting lebarkan senyum
geli. "Aku bisa menahan hasratku jika kecupan kita makin membara."
"Tak mungkin kau bisa
menahan hasratmu jika sudah mengecup bibirku satu kali pun. Tak ada lelaki yang
bisa menahan keinginannya. Sekali kau mengecup bibirku, kau akan mengecupnya
terus dan selalu ingin berdekatan denganku. Aku tak ingin membuatmu
tergila-gila padaku. Karena aku tahu hatimu belum sepenuhnya siap hidup
bersamaku."
"Jangan samakan diriku
dengan pria lain, Candu Asmara."
"Kau belum tahu apa yang
ada di mulutku, juga di ujung bibirku, Suto."
"Keindahan dan kehangatan
yang membara, bukan?" Candu Asmara gelengkan kepala.
"Menurut guruku. Air
liurku mengandung racun karena aku pelajari ilmu 'Tirta Wicara'. Racun itu jika
bersatu dengan air liurmu akan membuatmu selalu ingin bercumbu denganku dan...
dan kau akan tergila-gila padaku, Suto."
"Benarkah?"
"Aku tak pernah mencobanya. Sebab itu tak pernah ada lelaki yang mengecup
bibirku. Aku takut menyiksa dirinya setelah kecupan itu berakhir."
Tentu saja Pendekar Mabuk
tidak percaya sepenuhnya. Rasa percaya dan tidak membuatnya menjadi penasaran,
ingin membuktikan. Karena memang begitulah sifat Pendekar Mabuk, mudah
penasaran terhadap sesuatu yang membahayakan.
"Aku ingin mencobanya.
Aku ingin sekali mengecup bibirmu yang ranum ini," seraya ujung bibir itu
disentuh oleh telunjuk Suto Sinting.
"Apakah kau sudah siap
untuk keracunan asmara?" Suto
tertawa kecil. "Kalau memang
terbukti begitu,
tentunya kau tak akan menolak
kehadiranku, bukan?" Candu
Asmara diam, sunggingkan
senyum tipis,
seakan pamer lesung pipit yang
kian menggoda hati Pendekar Mabuk. Dada si pemuda kian bergemuruh seperti
gejolak gunung yang akan meletus. Bibir itu dipandanginya, makin lama makin
menantang keberanian. Suto Sinting pun akhirnya dekatkan wajahnya pelan-pelan.
"Suto, jangan...,"
larang Candu Asmara dengan suara lembut sekali. Ia menempelkan telunjuknya ke
bibir Suto sebagai tanda melarang gerakan bibir mendekati bibirnya sendiri.
"Aku ingin membuktikan
kata-katamu, Candu Asmara," desak Suto Sinting yang kian penasaran.
Candu Asmara akhirnya pasrah.
"Kau memang bandel. Terserah kau saja. Tanggung sendiri akibatnya,
Pendekar Nakal!"
Jari telunjuk itu pun pergi
dari bibir Suto Sinting. Wajah pemuda tampan kian mendekat. Candu Asmara
pejamkan mata dengan bibir merekah, seakan siap menerima kecupan hangat dari
pemuda yang mendebarkan hatinya itu.
Akhirnya bibir Suto pun
menempel pelan-pelan di permukaan bibir Candu Asmara. Siiiirr...! Hati keduanya
sama-sama berdesir indah sekali.
Bibir pemuda itu bergeser
pelan dengan ujung lidahnya menyentuh samar-samar di permukaan bibir si gadis.
Candu Asmara panas-dingin, sentuhan hangat bibir dan lidah Suto membakar
gairahnya hingga berkobar-kobar.
"Aih, gila betul! Pandai
sekali dia menciptakan sentuhan indah yang membuatku ingin menjerit. Ooh... aku
suka sekali dengan keindahan ini! Ternyata lebih indah dari sekadar usapan
tangannya yang lembut tadi. Ooh.... Suto, kau telah menjerat hatiku dengan cara
seperti ini. Tak sadarkah kau, Suto?" rintih batin si gadis sambil tetap
menikmati sentuhan lidah Suto yang bermain nakal di permukaan bibirnya.
Akhirnya bibir ranum itu
dipagut pelan-pelan oleh Suto Sinting. Pagutan lembut itu bertambah
menggetarkan jantung si gadis, sehingga rasa ingin menjerit nyaris tak bisa
terbendung lagi.
"Hhmmmhh...," Candu
Asmara mengerang dalam gumam. Kedua tangannya meremas baju Suto bagian
punggung. Tubuhnya menggelia menahan rasa yang luar biasa nikmatnya. Akhirnya
gigi si gadis membuka dan lidah Suto pun disambarnya. Haap...!
"Hhhmmmh...!" desah
yang keluar lewat hidung menghamburkan geram menggumam penuh curahan
kebahagiaan. Suto Sinting melumat lidah dan bibir Candu Asmara dengan
kelembutan yang terasa menerbangkan jiwa setinggi mungkin. Candu Asmara
membalasnya dengan lembut pula, namun kedua tangannya meremas tubuh Suto di
sana-sini, seakan ingin merobek baju
Suto yang tak berlengan itu.
Batin si gadis menuntut kuat.
Tuntutan keindahan yang lebih nyata lagi itu dipertahankan mati-matian hingga
napasnya terengah-engah dan keringat dinginnya keluar semua. Hembusan napas
kelegaan terlontar bersama erangan memanjang ketika Suto Sinting melepaskan
bibir si gadis dan merayapkan ciumannya ke dagu, lalu menelusup ke leher.
"Aaaaaahh...!"
Candu Asmara gemas sendiri.
Punggung Suto menjadi sasaran remasan kegemasannya lagi. Tapi ia tak mau
menyingkirkan wajah Suto yang menelusup di lehernya. Bahkan ia memiringkan
kepala, membuat lehernya menjadi kian terbuka sehingga Suto Sinting memperoleh
kebebasan bergerak. Leher itu disapu dengan lidah Suto, sesekali dipagut-pagut
kecil dalam kelembutan yang memancarkan gairah berlebihan bagi Candu Asmara.
"Sutooo... uuuhh, hhek,
heek, heek...," Candu Asmara merengek seperti anak kecil, ia merasa semakin
hanyut, terbang di langit tingkat tertinggi, lupa segala-galanya, hanyut dalam
kemesraan yang belum pernah diperolehnya, walau dulu ia pernah mempunyai
seorang kekasih yang bernama Umbada. Tapi Umbada tak pernah mendapatkan
kesempatan seperti yang diperoleh Suto. Candu Asmara tak pernah mau berciuman
dengan Umbada, karena Umbada tak pandai menundukkan jiwanya.
Sementara itu, hati Pendekar
Mabuk sendiri berkecamuk dalam keheranan. Hasratnya ingin mencium tubuh Candu
Asmara tak bisa ditangguhkan sebentar pun. Bahkan semakin lama semakin
bersemangat, dan gairahnya semakin berkobar-kobar.
"Edan! Aku tak bisa
berhenti?! Padahal aku ingin berhenti sebentar saja untuk menarik napas, tapi
rasa- rasanya sulit sekali untuk berhenti. Ooh... sekujur tubuhku penuh dengan
keringat dingin. Gairahku meledak-ledak di dalam dada. Apakah karena racun
dalam air liurnya? Oh, pantas dia bernama Candu Asmara, rupanya siapa pun yang
pernah mengecup bibirnya akan kecanduan bermain cinta dengannya. Aduh,
bagaimana berhentinya kalau begini?!"
Candu Asmara sendiri hanya
bisa mengerang dan merintih-rintih ketika ciuman Suto merayap sampai ke belahan
dada. Ia biarkan tangan Suto melebarkan bajunya hingga baju itu terlepas. Dada
berlapis kutang tipis diterjang ciuman Pendekar Mabuk, sampai akhirnya mulut
Pendekar Mabuk itu mencapai puncak bukit kehangatan, ia menyapu ujung bukit itu
dengan lidahnya, pelan namun pasti.
Maksudnya, pasti disantap.
"Aaoouh...!" Candu
Asmara memekik dengan rematan kedua tangan semakin kuat ketika ujung bukit itu
akhirnya disantap oleh Pendekar Mabuk. Tubuhnya mengejang, bibirnya digigit
sendiri dengan kepala menggeliat naik. Suto Sinting memagutnya pelan, pelan,
dan pelaaan... sekali.
"Celaka! Aku benar-benar
tak bisa hentikan tindakanku ini," pikir Suto sempat tegang juga.
"Keinginan menggumulinya semakin besar dan tak bisa kuhindari. Ooh...
kalau begitu aku benar-benar telah terkena racun asmara dalam air liurnya itu.
Bahaya kalau begini! Bahaya sekali! Aku harus paksakan diri untuk melepaskan cumbuanku
dan meminum tuakku!"
Suto Sinting merencanakan hal
itu, tapi dalam hatinya masih ada sedikit kesangsian; dapatkah tuak itu melawan
racun asmara tersebut?
*
* * 6
TERNYATA kesaktian tuak Suto
masih mampu melumpuhkan racun cinta tersebut. Dengan menenggak tuak beberapa
teguk, hasrat ingin bercumbu secara berlebihan dapat dihentikan. Bahkan tuak
itu mampu meredam emosi cinta Candu Asmara, sehingga keduanya sama-sama tegang, hanya saling
berpelukan dalam damai.
Pelukan damai itu, melebihi
puncak keindahan bercumbu. Pelukan damai itu terasa lebih agung dan sangat
berkesan dalam hati mereka masing-masing. Terasa sulit melupakan saat-saat
bahagia dalam pelukan seperti itu.
Pusat perhatian mereka beralih
ke masalah penculikan putri raja. Mereka ikut hadir di alun-alun bersama para
calon menantu raja yang jumlahnya cukup banyak itu. Namun Suto dan Candu Asmara
tidak ikut berkumpul di tengah alun-alun. Mereka hanya berada dalam jajaran
rakyat yang menyaksikan wajah-wajah calon menantu raja mereka.
"Itu yang bernama
Tengkorak Tampan," bisik Candu Asmara sambil menunjuk ke arah pemuda
berbaju merah, rambut kucal, tubuh kurus, namun masih tampak muda, seperti
berusia sekitar dua puluh tiga tahun.
Suto Sinting hanya menggumam
sambil manggut- manggut. Menurutnya, pemuda berpakaian serba merah dengan
punggungnya bergambar tengkorak warna putih itu memang mempunyai wajah yang
lumayan tampan dibandingkan Sawung Kuntet. Tapi melihat bentuk matanya yang
kecil, Suto dapat pastikan bahwa pemuda itu penuh kelicikan.
Di samping Tengkorak Tampan,
Suto melihat wajah angker berbadan tinggi, besar, berbulu, ia adalah si
Singawulu yang pernah berhadapan dengan Suto saat menyelamatkan nyawa Sawung
Kuntet. Hanya beberapa orang yang berwajah angker, lainnya pada umumnya
mempunyai wajah yang bisa dibilang lumayan ganteng.
"Gila! Bocah gendeng itu
ada di sana juga rupanya?!" gumam Suto Sinting dengan terperangah.
"Siapa maksudmu?"
"Santana, sahabatku dari
Pulau Parang," jawab Suto sambil menuding ke arah pemuda bersenjata toya
bambu kuning yang mengenakan rompi putih celana coklat itu. Pendekar Mabuk geli
sendiri saat membayangkan pertemuannya dengan Santana, si pemuda kalem dan
murah senyum itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kematian
Sang Durjana").
Pendekar Mabuk segera tertarik
pada seorang pemuda bertubuh lebih tinggi darinya, berbadan kekar dan
bercambang halus. Wajah tampannya dihiasi dengan kumis tipis dan rambut
bergelombang sepanjang bahu. Pemuda yang mengenakan pakaian hijau muda dengan
hiasan benang emas itu diperkirakan baru berusia sekitar dua puluh tahun. Tapi
karena perawakannya yang tinggi dan kekar, ia tampak seperti sudah berusia
lebih dari dua puluh tahun. Wajah bocahnya masih tampak jelas, sehingga orang
dapat menduga bahwa ia masih muda belia.
"Siapa pemuda yang
berdiri di bawah pohon itu?" "Oh, dia...?! Dia dikenal dengan nama si
Pedang
Dewa, murid Perguruan Jari
Wasiat, berasal dari Selat Kubang. Aku kenal dengannya ketika adikku; Mirah
Cendani hampir mati di tangan para Perampok Gunung Sawan. Dia yang selamatkan
Mirah Cendani," jawab Candu Asmara dengan lancar. Tapi tiba-tiba wajah
gadis itu sedikit menegang. Seseorang yang berjalan dari arah kanan Suto
menjadi pusat perhatian. Candu Asmara pun berbisik kepada Suto dengan lagak tak
memperhatikan orang tersebut.
"Kita pindah ke sebelah
sana saja, dekat Cempaka Ayu!"
"Kenapa?" tanya Suto
heran.
"Pindah saja ke
sana!" sambil Candu Asmara menarik tangan Suto. Ketika pemuda itu menaruh
curiga dengan pandangan si gadis dan ingin berpaling ke belakang, Candu Asmara
buru-buru menyentak dengan suara bisik.
"Jangan menengok ke
belakang! Jangan menengok!" "Hei, ada apa sebenarnya, Candu
Asmara?!"
"Dewi Ranjang melihatmu
dan dia berusaha mendekatimu!" bisik Candu Asmara yang membuat Suto
Sinting jadi tersenyum geli. Rasa takut Candu Asmara terhadap aji pemikat di
mata Dewi Ranjang membuatnya sempat tampak gugup. Suto tahu, Candu Asmara
sangat takut jika Suto terkena aji pemikat Dewi Ranjang. Sebab itu, Suto tak
berani coba-coba melirik Dewi Ranjang, karena Candu Asmara akan berang
terhadapnya jika nekat melakukan hal itu.
Candu Asmara berpindah posisi.
Kini ia berjalan di belakang Suto Sinting dan mengarahkan langkah Suto untuk
pindah tempat. Dengan begitu, ia seolah-olah menjadi penghalang utama jika Dewi
Ranjang ingin mendekati Pendekar Mabuk.
Setelah mereka bergabung
dengan Cempaka Ayu yang berdiri bersama kekasihnya, maka pusat perhatian mereka
pun tertuju pada utusan dari istana yang mewakili Raja Gundalana. Sang utusan
tampil di atas panggung lebar yang sebenarnya disediakan untuk pertarungan laga
bagi para calon menantu raja. Dari atas sana sang utusan berseru mengumumkan
tentang hilangnya Rara Ayu Kumala Undarini Sumbi yang diculik oleh Hantu Urat
Iblis.
Suara gemuruh terdengar bagai
ratusan lebah menyerang alun-alun. Suara gemuruh itu berasal dari gumam, gerutu
dan kecaman dari para calon menantu raja dan rakyat di sekeliling alun-alun.
Mereka sangat terkejut, sekaligus kecewa dengan munculnya musibah yang baru
sekarang diketahui oleh mereka itu.
"Tepat malam purnama yang
akan datang dua hari lagi, Hantu Urat iblis memberi kesempatan kepada siapa
saja yang ingin mencoba merebut Gusti Rara Ayu Kumala dari tangannya. Hantu
Urat Iblis menunggu di Bukit Kecubung dan siap lakukan pertarungan dengan siapa
pun. Jika tak ada yang bisa menumbangkan dirinya, maka Gusti Rara Ayu Kumala
akan diboyongnya ke Pulau Setan dan dijadikan istrinya secara paksa."
"Bangsaaat...!"
teriak Singawulu dengan keras, membuat ia diperhatikan oleh setiap orang.
Singawulu tampak marah sekali dan sangat bernafsu untuk membunuh Hantu Urat
Iblis.
Suto Sinting justru tertawa
geli mendengar makian Singawulu yang sangat kecewa itu. Dalam benak Suto
terbayang semangat Singawulu saat hendak menuju ke kotaraja, seakan ia yakin
betul bahwa dirinya yang akan menjadi menantu Raja Gundalana. Tapi kenyataannya
ia justru mendapat kabar seperti itu, dan Suto dapat bayangkan betapa besar
kekecewaan Singawulu saat itu.
Utusan raja berseru lagi,
"Karenanya, Paduka Raja memutuskan, barang siapa yang bisa membebaskan
Gusti Rara Ayu Kumala dan membawanya pulang dengan selamat, dialah yang akan
menjadi menantu Paduka Raja dan diangkat sebagai panglima tertinggi di negeri
Bardanesya ini!"
"Aku sanggup!" seru
salah seorang peserta.
"Aku juga sanggup! Kau
pikir kau saja yang sanggup?!" bantah orang di sebelahnya.
"Jangan besar mulut,
Kawan! Buktikan, siapa di antara kau atau aku yang berhasil tumbangkan si Hantu
Urat iblis itu!"
"Eh, kau meremehkan aku,
ya?!" bentak orang kedua tadi.
"Kalau iya mau apa kau,
hah?!" orang pertama juga tampak berani.
"Hei, hei, hei...! Jangan
ribut di sini!" sentak yang lainnya. "Kalau mau ribut di Bukit
Kecubung sana!"
Mereka melerai, Suto Sinting
memandang dengan tertawa geli. Pendekar tampan itu masih tetap tenang dan
seakan tidak ikut terlibat dalam rencana pertarungan di Bukit Kecubung itu. Ia
bahkan berbisik kepada Candu Asmara dengan pelan.
"Dapatkah aku menghadap
Raja Gundalana?!" "Untuk apa?"
"Ada beberapa hal yang
ingin kuketahui tentang hubungan raja dengan Hantu Urat Iblis," jawab Suto
dengan serius, sehingga Candu Asmara pun menanggapi dengan serius pula.
Bisikan itu didengar oleh
Cempaka Ayu, kemudian Cempaka Ayu ikut angkat bicara dalam bisikan pula.
"Kurasa untuk saat
seperti sekarang ini, siapa pun sulit menemui raja, karena beliau dalam keadaan
sangat berduka. Sebaiknya jika ada sesuatu yang ingin kau ketahui, tanyakanlah
kepada Paman Sumanjaya!"
"Siapa itu Paman
Sumanjaya?" tanya Suto.
"Sahabat ayahku yang
sering berkunjung untuk makan di penginapanku."
"Oooo..," Suto
manggut-manggut. "Apakah Paman Sumanjaya mengetahui hubungan pribadi
antara raja dengan Hantu Urat Iblis?"
"Menurutku... beliau tahu
banyak tentang keluarga istana, karena beliau adalah penasihat raja dalam
bidang hukum dan adat."
"Kurasa memang lebih baik
bicara kepada Paman Sumanjaya saja," timpal Candu Asmara. "Menghadap
raja tidak mudah. Bisa-bisa kau dicurigai sebagai anak buah Hantu Urat
Iblis!" sambil Candu Asmara sunggingkan senyum cantiknya yang membuat Suto
Sinting berdebar-debar, lalu balas memamerkan senyum menawannya.
Paman Sumanjaya bertemu dengan
Pendekar Mabuk di kedai penginapan milik keluarga Cempaka Ayu. Pendekar Mabuk
didampingi oleh Candu Asmara yang sudah dikenal oleh Paman Sumanjaya.
Tetapi sebelumnya Suto
mewanti-wanti kepada Candu Asmara dan Cempaka Ayu agar jangan memperkenalkan
dirinya sebagai Pendekar Mabuk. Ia hanya bersedia dikenalkan sebagai sahabat
Candu Asmara yang bernama Suto saja.
"Mengapa kau tak mau
diperkenalkan sebagai Pendekar Mabuk. Menurutku, jika Paman Sumanjaya
mengetahui bahwa kau Pendekar Mabuk, maka ia tak segan-segan menceritakan apa
saja yang ingin kau ketahui. Namamu sudah sering disebut-sebut oleh para
prajurit dan pejabat istana," kata Cempaka Ayu.
"Justru aku tak ingin mereka
terlalu menaruh harap padaku," ujar Pendekar Mabuk. "Jangan katakan
kalau aku pun ingin mencoba membebaskan putri raja. Katakan saja bahwa aku dan
Candu Asmara hanya sekadar ingin tahu tentang penculikan tersebut."
Candu Asmara menimpali lagi, "Kalau
hanya itu aku sendiri yang bicara kepada Paman Sumanjaya!"
Orang yang bernama Paman
Sumanjaya itu berbadan gemuk dan tinggi tubuhnya sedang-sedang saja.
Kebiasaannya makan siang di kedai tersebut bukan lantaran di istana tidak
mendapat jatah makan, tetapi sekadar ingin selalu bertemu dengan ayahnya
Cempaka Ayu dan menambah porsi makannya. Sebab jika ia makan terlalu banyak di
istana, merasa malu terhadap pejabat lainnya.
"Penculikan itu dilakukan
pada tengah malam," ujar Paman Sumanjaya mengawali ceritanya. "Tak
seorang pun yang terbangun pada malam itu, sehingga tak seorang pun yang
melihat jalannya penculikan tersebut. Kami seperti dibius dengan suatu ilmu
yang membuat kami tertidur nyenyak sekali. Bahkan penjaga pintu gerbang istana
pun ikut tertidur sampai pagi baru bangun."
"Dari mana pihak istana
tahu kalau Hantu Urat Iblis menunggu di Bukit Kecubung?"
"Selembar surat
ditinggalkan di dalam kamar Gusti Rara Ayu Kumala," jawab Paman Sumanjaya.
Kini Suto Sinting giliran
ajukan pertanyaan kepada sang penasihat raja bidang hukum itu.
"Apakah sebelumnya pihak
raja sudah kenal dengan Hantu Urat Iblis, Paman?"
"Sudah," jawabnya
tegas. "Hantu Urat Iblis pernah datang melamar Rara Ayu Kumala, tapi
lamarannya ditolak secara halus."
"Secara halusnya bagaimana?"
"Rara Ayu Kumala mau
menerima lamaran Hantu Urat Iblis jika diberi maskawin seekor kelinci
emas."
"Mana ada kelinci
emas?" sela Suto sambil tertawa dalam senyum.
"Justru itulah putri raja
memberi syarat yang tak mungkin bisa dikabulkan oleh Hantu Urat Iblis."
"Hmmm...," Suto
Sinting menggumam sambil manggut-manggut. "Kalau begitu, rupanya Hantu
Urat Iblis merasa sakit hati dengan penolakan lamarannya itu, kemudian ia
mendengar sang Raja mencari calon menantu. Sebelum calon menantu didapatkan, ia
menculik Rara Ayu Kumala. Menurutku selain ia sakit hati juga ingin membuktikan
bahwa ia mampu bertindak dengan cara apa pun untuk dapat memperistri Rara Ayu
Kumala."
"Ya, memang begitulah
kesimpulan kami, para pejabat Istana!" ujar Paman Sumanjaya.
"Tapi sebelumnya tak ada
perjanjian apa-apa, bukan?"
"Perjanjian apa maksudmu,
Nak?"
"Misalnya, sang Raja
pernah berjanji tidak akan mengawinkan putrinya dengan siapa pun sebelum Hantu
Urat Iblis mendapatkan kelinci emas, atau perjanjian lainnya yang bersifat
mengikat kebebasan keluarga istana?"
"O, tidak! Tidak pernah
ada perjanjian apa pun."
Suto Sinting manggut-manggut,
lalu diam termenung beberapa saat. Sementara itu, Candu Asmara ganti ajukan
tanya kepada Paman Sumanjaya.
"Paman, jika seseorang berhasil
merebut Rara Ayu Kumala dari tangan Hantu Urat Iblis, tapi dia tidak bersedia
menikah dengan Rara Ayu Kumala, apa sanksinya?"
"Tak ada sanksi apa-apa.
Tak ada hukuman apa-apa! Justru pihak istana akan merasa tak enak hati dan
pasti akan menuruti apa pun permintaan orang tersebut sebagai hadiahnya."
"Nanti dianggap
penghinaan?!" timpal Suto Sinting dengan nada cemas, karena ia pernah
nyaris dianggap menghina keluarga istana karena menolak hadiah berupa
perkawinan terhadap putri sang penguasa, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Asmara Darah Biru").
"Kurasa tidak demikian,
Nak. Perkawinan itu hanya semacam hadiah saja. Karena orang yang membebaskan
sang Putri belum tentu semuanya bermaksud melamar ingin menjadi menantu raja.
Peraturannya sudah berbeda dengan peraturan semula. Sekarang siapa pun, tua
atau muda, lelaki atau perempuan, boleh ikut membebaskan Rara Ayu Kumala. Pihak
istana punya kebijaksanaan tersendiri dalam hal ini."
"Paman berani menjamin
tak ada kesan penghinaan jika ada yang berhasil membebaskan Rara Ayu Kumala
tapi tidak mau menikah dengannya?" sela Candu Asmara.
"Ya. Aku berani menjamin!
Apakah kau tak tahu yang merumuskan ketentuan dan hukum adalah diriku, Candu
Asmara?"
Candu Asmara merasa lega,
demikian pula Pendekar Mabuk. Tapi bagi Paman Sumanjaya, pertanyaan itu
akhirnya menjadi buah ganjalan hatinya.
"Mengapa kalian
mempersoalkan tentang itu? Apakah ada yang ingin membebaskan putri raja tapi
tak ingin menikah dengannya?!"
Suto Sinting buru-buru
menjawab pada saat bibir Candu Asmara mulai bergerak ingin lontarkan kata.
"O, tidak! Kami hanya
ingin tahu saja, Paman. Kami tertarik dengan peristiwa itu dan ingin mengikuti
sampai di mana akhir dari penculikan tersebut. Adakah para calon menantu raja
yang mampu merebut sang Putri dari tangan Hantu Urat Iblis? Hanya itu yang
ingin kami ketahui, Paman."
"Kita lihat saja pada
malam purnama nanti!" kata Paman Sumanjaya, seakan yakin bahwa salah satu
dari para tamu istana itu ada yang berhasil bebaskan Kumala dari tangan Hantu
Urat Iblis.
Candu Asmara sendiri akhirnya
tertarik untuk melihat pertarungan di Bukit Kecubung. Para jago dari pelosok
penjuru dunia datang untuk melawan Hantu Urat Iblis. Bahkan menurut Paman
Sumanjaya, para pelamar itu ada yang
datang dari Pegunungan Tibet dan Tanah Gangga. Suatu kerugian besar jika Candu
Asmara tidak ikut menyaksikan pertarungan di Bukit Kecubung itu.
Selama dua malam Suto Sinting
menginap di penginapan milik ayahnya Cempaka Ayu itu. Selama dua malam itu,
bunga-bunga asmara berhamburan di kamar yang tak seberapa lebar. Namun gadis
berhidung mancung itu tetap tak ingin lanjutkan cumbuan mereka menjadi
pelayaran cinta yang mendebarkan. Suto Sinting pun tak merasa kecewa dan merasa
lebih bangga dapat memeluk Candu Asmara sepanjang malam tanpa menodai cinta dan
kesetiaannya terhadap Dyah Sariningrum.
"Jangan bertindak dulu
sebelum jelas bahwa tak satu pun dari mereka yang mampu merebut Kumala dari
tangan Hantu Urat Iblis," ujar Candu Asmara sebelum mereka berangkat ke
Bukit Kecubung.
"Aku memang bermaksud
begitu. Kalau memang ada yang mampu menumbangkan Hantu Urat Iblis, aku justru
senang, karena tak perlu repot-repot lompat sana- sini melawannya."
Candu Asmara hembuskan napas
lega. Tapi ketika mereka berangkat menuju bukit tersebut pada awal purnama
tiba, Candu Asmara tampak gelisah. Ada suatu kecemasan yang disembunyikan oleh
gadis cantik bertubuh tinggi sekal itu.
"Mengapa kau kelihatannya
resah, Candu Asmara?" tegur Suto yang merasa janggal atas jarangnya Candu
Asmara bicara sepanjang perjalanan itu.
"Aku takut kalau kau
tumbang di tangan Hantu Urat Iblis! Aku... aku tak ingin kau mati di
tangannya!"
Suto Sinting tertawa kalem.
"Bukankah kau dapat bertindak secepatnya jika aku tampak terdesak bahaya?!
Kita bisa lari bersama, heh, heh, heh. "
"Aku yakin kau tak akan
mundur walau sudah tahu kalau terdesak. Kau adalah seorang pendekar, jiwamu tak
mungkin menyerah begitu saja. Kau lebih baik mati di pertarungan daripada lari
dari pertarungan!"
"Betulkah jiwaku begitu?
Oh, aku sendiri justru baru tahu sekarang," ujar Pendekar Mabuk dengan
santainya, seakan tak mempunyai ketegangan sedikit pun. Ketenangan Suto itu
justru membuat Candu Asmara jadi kesal sendiri di dalam hatinya. Gadis itu tak
mau sunggingkan senyum seulas pun walau Suto menggodanya dengan canda.
Sampai mereka tiba di Bukit
Kecubung, gadis itu masih tak mau tersenyum. Namun ketenangannya mulai terlihat
sejak ia melihat gurunya ternyata hadir di situ pula bersama Mirah Cendani dan
Sawung Kuntet,
"Lihat, di sebelah sana
ada adikmu dan Sawung Kuntet!"
"Ya, aku tahu. Kita ke
sebelah sini saja. Kalau Guru tahu aku di sini, pasti akan melarangku ikut
campur dalam pertarungan ini. Padahal kalau kau maju melawan Hantu Urat Iblis
dan keadaanmu terdesak, aku tetap akan ikut campur dalam pertarungan
nanti!"
Candu Asmara sengaja tidak
temui gurunya. Tapi ia yakin, jika ia ikut campur dan dalam bahaya, pasti sang
Guru tidak akan tinggal diam. Rupanya kabar tentang malam pertarungan itu cepat
menyebar ke mana-mana sampai Eyang Cakraduya mengetahuinya.
Terbukti, bukan hanya para
calon menantu raja saja yang hadir di Bukit Kecubung itu, melainkan beberapa
tokoh dari berbagai penjuru ikut datang menyaksikan ulah si anak siluman yang
kala itu belum datang.
Ketika bukit tersebut sudah
ramai dikunjungi orang, maka angin besar berhembus bagaikan badai di awal
kiamat tiba. Suara deru angin yang disertai dengan kilatan cahaya petir membuat
beberapa orang, terutama yang berilmu rendah, sempat merinding dan bergidik.
Mereka memandang ke arah langit. Tampak cahaya biru petir yang melesat di
sana-sini dengan gelegar suaranya yang menggema di sana-sini.
"Biasanya ini pertanda si
Hantu Urat Iblis datang bersama murkanya," bisik Candu Asmara kepada Suto
Sinting. Mata pemuda tampan murid si Gila Tuak itu menatap ke sana-sini,
hatinya penasaran ingin segera melihat sosok tokoh aliran hitam yang dikenal
sebagai Hantu Urat Iblis itu.
*
* *
7
TIDAK seorang pun mengetahui
kehadiran Hantu Urat Iblis. Tahu-tahu mereka dikejutkan oleh kemunculan seorang
lelaki berjubah hitam dan bercelana merah. Jubah hitamnya yang tanpa lengan itu
berkelebat ditiup sisa badai misterius tadi.
Kini cahaya purnama tampak
semakin terang dan menyinari sesosok tubuh yang tak terlalu gemuk, tapi juga
tak terlalu kurus. Pandangan mata mereka tertuju pada seraut wajah pucat yang
punya ketampanan tersendiri. Wajah pucat berambut sepunggung warna abu-abu itu
mempunyai kulit tubuh warna putih dengan garis-garis biru sebagai bayangan urat
nadi yang tampak jelas karena ketipisan kulitnya.
"Diakah yang bernama
Hantu Urat Iblis?" bisik Suto kepada Candu Asmara.
"Benar! Dialah
orangnya!" Candu Asmara menjawab dengan suara sedikit terasa tegang.
Tapi Pendekar Mabuk memandang
dengan sikap tenang sekali, ia memperhatikan sosok Hantu Urat Iblis dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki. Ia tak melihat orang tersebut membawa senjata,
selain keruncingan pada kuku-kuku tangannya. Hanya orang-orang berilmu tinggi
yang sering merasa malas membawa senjata, karena seluruh anggota tubuhnya dapat
berubah menjadi senjata maut perenggut nyawa lawannya.
"Atau memang dia tak
mempunyai senjata?" ujar hati Suto Sinting dengan usil.
Bukit Kecubung termasuk bukit
gundul tanpa hutan. Ketinggiannya memang tak seberapa, tapi permukaan puncaknya
sangat datar, mirip sebuah lapangan bola. Di puncak itu hanya ada satu pohon
yang tumbuh tinggi, seperti pohon jati tapi daunnya mirip beringin.
Di pohon itulah, Rara Ayu
Kumala tahu-tahu sudah terikat begitu mereka mengetahui Hantu Urat Iblis sudah
tiba di tempat tersebut. Gadis cantik itu terikat tubuhnya dalam keadaan
menangis terisak-isak. Namun ia masih sehat dan tak ada luka sedikit pun pada
tubuhnya.
"Gusti Ayu Kumala...
apakah dia sudah menodai- mu?!" seru Tengkorak Tampan.
"Belum! Tapi aku takut...
oh, tolonglah aku...!" seru Kumala Udarini Sumbi. "Apakah dia
menyakitimu?!" seru pemuda yang lain. "Tidak. Dia... dia hanya
menyekapku dan sekarang
mengikatku di sini! Tolong
bebaskan diriku!" sambil sang gadis menangis ketakutan.
Cahaya rembulan bersinar
penuh. Malam bagaikan siang. Terang sekali. Angin berhembus sedang dengan
kecepatan tak perlu disebutkan. Yang jelas, rambut panjang Hantu Urat Iblis
meriap-riap dipermainkan angin. Sebagian ada yang menutup wajah, membuat
wajahnya menjadi tampak menyeramkan. Sorot pandangan matanya sangat dingin,
seakan mampu membekukan seluruh darah orang yang dipandangnya.
Utusan dari istana maju,
bicara dengan Hantu Urat Iblis dengan gemetar.
"Hantu Urat Iblis, apakah
kau tak menyesal membuka tantangan pertarungan di sini dengan para pelamar
ini?!" "Jangan banyak mulut! Siapa yang merasa mampu menjadi istri
Kumala, tunjukkan padaku kehebatannya! Hantu Urat Iblis berkuasa atas diri
gadis yang sudah lama kuidam-idamkan ini! Siapa pun tak berhak
memilikinya!"
"Baiklah, itu urusanmu.
Kalau sakit, kau sendiri yang menanggung. Para pelamar kebanyakan orang-orang
galak dan. "
Claaap...! Tiba-tiba dari mata
Hantu Urat Iblis keluarkan sinar merah berbentuk seperti pintu runcing. Sinar
itu melesat cepat dan menghantam dada utusan dari istana. Zuuurb. !
Orang itu diam saja, tapi
mulutnya tetap ternganga tak bisa ditakupkan lagi. Ia tak menjerit kesakitan,
walau beberapa orang mengetahui dada utusan istana itu menjadi hitam hangus
selebar telapak tangan.
"Minggirlah, Ki Juru
Wicara... biar aku yang menghadapinya pertama kali!" ujar seorang pemuda
berbaju biru tua kepada utusan dari istana itu.
Tetapi pemuda tersebut segera
tercengang setelah mengetahui bahwa Ki Juru Wicara ternyata sudah tidak
bernyawa lagi. Wajah pemuda itu menegang dan ia segera berseru kepada orang di
sekitarnya.
"Dia sudah tak bernyawa?!
Dia langsung mati?!" "Kejam!" geram Singawulu yang tampak sudah
tak
sabar lagi.
Singawulu tiba-tiba melesat
dalam satu lompatan. Wuuut...! Jleeg...! Ia berdiri di depan Hantu Urat Iblis
dalam jarak lima langkah.
"Lepaskan putri raja atau
kulepaskan kepalamu dari ragamu!" ancam Singawulu sambil melepas sabuk
pusakanya.
Hantu Urat Iblis tak menjawab.
Hanya saja, Singawulu tiba-tiba menggeragap bagai diterjang bayangan hitam yang
membuat matanya gelap sesaat. Wuuus...! Tanpa suara teriak atau menggeram,
Singawulu tahu-tahu sudah berada di tanah, terkapar dalam keadaan sekarat.
Dadanya rusak tercabik kuku tajam. Sedangkan Hantu Urat Iblis sudah berada di
tempat yang tadi dibelakangi Singawulu.
"Edan! Gerakannya seperti
setan ketakutan?!" gumam seorang penonton di samping Suto Sinting.
"Gerakan setan yang tidak ketakutan saja sudah secepat itu, apalagi setan
yang ketakutan, ya?" timpal temannya.
Beberapa orang sempat tertegun
melihat Singawulu kejang-kejang beberapa saat, kemudian napasnya menghembus
panjang, dan sejak saat itu tak mau bernapas lagi.
"Gila! Alangkah
singkatnya pertarungan itu. Belum apa-apa Singawulu sudah tewas, padahal baru
melepaskan sabuknya?!" gumam Suto Sinting pelan sekali dan didengar oleh
Candu Asmara.
Gadis itu berkata,
"Begitulah cara Hantu Urat Iblis jika bertarung. Tak pernah pakai
basa-basi dulu, tahu- tahu lawannya tewas tanpa sempat lakukan perlawanan
sedikit pun."
"Ssst...! Lihat, pemuda
yang pernah menolong adikmu itu sudah mencabut pedangnya. Pasti dia akan
menyerang lebih dulu," bisik Suto, dan baru saja bisikan tersebut
berhenti, ternyata pemuda tinggi berambut ikal yang bergelar si Pedang Dewa
sudah berkelebat menerjang Hantu Urat Iblis.
Wees. .! Craas...!
Terjangan dari belakang
membuat Hantu Urat Iblis terkena sabetan pedang. Punggungnya tampak koyak
lebar. Tetapi beberapa orang yang berada di arah belakang Hantu Urat Iblis
segera tercengang melihat luka itu berasap tipis dan bergerak menutup sendiri
secara pelan-pelan. Akhirnya punggung tersebut utuh kembali tanpa luka seujung
rambut pun. Hanya saja pakaian hitam Hantu Urat Iblis tetap saja robek, tanpa
ada yang menjahitnya, baik secara ajaib maupun nyata.
"Itulah ilmu 'Perisai
Kubur'-nya," bisik Candu Asmara. Suto hanya menggumam kecil dan tetap
tenang. Matanya tertuju pada si Pedang Dewa yang memainkan pedangnya dengan
gerakan indah.
Hantu Urat Iblis hentakkan
kakinya dari jarak lima langkah. Duuhk...! Brruuus...!
"Aaaaa...!!" jeritan
si Pedang Dewa terdengar menyayat hati. Tanah yang dipijaknya itu longsor ke
dalam bukit. Tubuhnya bagai tersedot ke dalam. Setelah itu tanah tersebut
muncul kembali dan menjadi datar lagi. Bahkan menjadi keras seperti tak pernah
longsor sedikit pun.
"Celaka!" ujar Candu
Asmara. "Si Pedang Dewa tewas ditelan bumi?! Padahal dia pernah menolong
adikku. Aku harus "
Suto Sinting mencekal lengan
gadis itu. "Ingat, kau hanya akan ikut campur jika aku dalam bahaya!"
Candu Asmara akhirnya
hembuskan napas, tak jadi lakukan tindakan pembalasan terhadap nasib si Pedang
Dewa, karena ingat akan janjinya.
Perhatian gadis itu segera
diarahkan kepada si Tengkorak Tampan. Karena pemuda berbaju merah dengan gambar
tengkorak di punggungnya itu segera lakukan lompatan bersalto cepat ke arah
Hantu Urat Iblis. Wuk, wuk, wuk...! Sambil bersalto ia mencabut senjata milik
gurunya; 'Garpu Malaikat' yang selama ini dianggap sebagai senjata sangat
berbahaya. Gerakan salto itu berhasil dihindari oleh Hantu Urat Iblis dengan
melompat ke samping kanan. Wees...! Jleeg...! Tepat saat kaki Tengkorak Tampan
menapak ke tanah, 'Garpu Malaikat' disentakkan ke depan. Wuuut! Claaap...! Dari
ujung kedua mata garpu itu keluar sinar merah sebesar lidi yang bergerak dengan
sangat cepat.
Jleeb...! Sinar itu menghujam
dada Hantu Urat Iblis. "Uuhk ?!" Hantu Urat Iblis sempat terpekik dan
limbung ke belakang beberapa
langkah. Tapi kejap kemudian ia menjadi tegak kembali dan lubang bekas luka
kedua sinar merah itu telah mengatup dengan sendirinya.
"Keparat kau,
Iblis!" geram Tengkorak Tampan, lalu ia lakukan lompatan menerjang dengan
senjata disabetkan dari bawah ke atas. Weees...!
Hantu Urat Iblis berguling ke
tanah satu kali, lalu tangannya menampar ke atas, mengenai kaki si Tengkorak
Tampan. Plaak...! Suara tamparan itu tak seberapa keras, namun akibatnya
sungguh berbahaya bagi si Tengkorak Tampan.
Pada mulanya pemuda itu masih
mampu berdiri tegak dan memainkan jurusnya untuk siap lakukan serangan kembali.
Tapi tiba-tiba ia menggeloyor mau jatuh. Tubuhnya terasa menggigil. Kakinya
menjadi biru legam. Warna biru legam itu merayap dengan cepat sampai ke
pinggul. Brruk...! Tengkorak Tampan pun roboh dalam keadaan napas
tersentak-sentak.
Semua mata memperhatikan si
Tengkorak Tampan. Mata mereka terbelalak serentak setelah si Tengkorak Tampan
mengejang kuat, lalu melemas sambil hembuskan napas terakhirnya.
"Gila! Kena tamparannya
saja langsung koit?!" ujar penonton awam yang nekat menyusup di antara
para jagoan.
Candu Asmara berbisik kepada
Pendekar Mabuk, "Bukan tamparannya yang mematikan, tapi keringat di
telapak tangannya, ia pasti pergunakan Ilmu 'Peluh Neraka'. Tengkorak Tampan
akhirnya mati setelah tiga belas hitungan."
"Kau menghitungnya?"
"Ya," jawab Candu
Asmara dengan tegas.
Kini setiap orang mengetahui
kehebatan Ilmu si Hantu Urat Iblis itu. Namun demikian pertarungan masih
berlangsung terus. Sebagian memang ada yang mengundurkan diri, karena merasa
tak punya ilmu yang bisa untuk tandingi kesaktian Hantu Urat Iblis itu. Tapi
sebagian lagi masih merasa penasaran dan ingin mencoba melawannya.
Mayat bergelimpangan di puncak
Bukit Kecubung. Setiap lawan yang tumbang tak bernyawa dibuang oleh Hantu Urat
Iblis dengan tendangan kaki hingga menggelinding ke tepian.
Satu persatu mereka tumbang
tak bernyawa. Sampai akhirnya tak ada orang lagi yang ingin mencoba merebut
Rara Ayu Kumala dari tangan Hantu Urat Iblis. Si anak siluman itu berseru
dengan suara lantangnya.
"Kuhitung sampai tiga
kali, kalau tak ada yang maju, berarti aku harus segera pulang ke Pulau Setan
memboyong Kumala!"
Suto dan Candi Asmara saling
pandang. Tapi tiba- tiba Suto terkejut melihat sekelebat bayangan melesat ke
tengah arena. Wuuus...! Jleeg...!
"Aku yang akan melawanmu,
Paman!" ujar seorang pemuda bertongkat bambu kuning sambil cengar-cengir.
"Edan! Santana mau
ikut-ikutan maju?!" sentak Suto Sinting dengan tegang.
Zlaaap...! Suto Sinting
bagaikan menghilang dari hadapan Candu Asmara. Ternyata ia berkelebat menyambar
tubuh Santana dari hadapan Hantu Urat Iblis. Weess...! Tubuh Santana
dilemparkan begitu saja dan jatuh menggelinding menuruni lereng bukit.
Brruk...!
"Aahk...!"
pekikannya terdengar pelan dan pendek, karena saat itu Santana langsung
pingsan. Ulu hatinya membentur batu sebesar kepala bayi dengan kerasnya saat ia
jatuh terbanting.
Kini Suto Sinting yang ada di
depan Hantu Urat Iblis. Kemunculan Pendekar Mabuk membuat beberapa orang yang
mengetahui ciri-ciri tersebut saling terkejut dan bergumam kagum. Mirah Cendani
segera berseru di sela gumam mereka.
"Pendekar Mabuk! Jangan
hadapi dia!"
Si gadis ingin berlari ke
arena, tapi tangan sang Guru mencekalnya.
"Biarkan dia mengakhiri
keganasan si anak siluman itu!" ujar Eyang Cakradayu yang mengenakan kain
putih dililitkan tubuh seperti seorang biksu. Candu Asmara memandang dengan
tegang, jantungnya berdetak-detak saat mendengar Hantu Urat Iblis membentak
kepada Suto Sinting.
"Mau cari mampus juga
kau, hah?!"
Suto Sinting justru menenggak
tuaknya dengan santai. Ketenangan Pendekar Mabuk membuat darah si anak siluman itu
semakin membara.
Tiba-tiba Hantu Urat Iblis
menerjang Suto dengan kecepatan tinggi, seperti yang dilakukan terhadap
Singawulu. Wees...!
Zlaaap...! Jurus 'Gerak
Siluman' si Pendekar Mabuk membuat terjangan cepat itu tak mengenai sasaran.
Tahu-tahu Suto Sinting sudah berada di samping Rara Ayu Kumala.
"Biadab kau!" geram
Hantu Urat Iblis.
Zlaaap...! Suto sudah
berpindah tempat sebelum Hantu Urat Iblis menyerangnya. Anak siluman itu
kebingungan sesaat. Begitu menengok ke belakang, ternyata lawannya sedang
berdiri di belakangnya, menutup bumbung tuak. Hal itu sangat menjengkelkan
sekali bagi Hantu Urat Iblis. Maka serta-merta dari kedua matanya keluar sinar
merah seperti pisau yang meluncur cepat menghantam Suto Sinting.
Claaap...! Blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi hingga
mengguncangkan bukit tersebut, karena Pendekar Mabuk menangkis dua sinar itu
dengan bumbung tuaknya. Bumbung tuak tersebut tidak pecah atau terluka sedikit
pun. Bahkan lecet pun tidak. Tetapi tubuh Suto terpental ke belakang
akibat gelombang ledakan tadi, dan Hantu Urat
Iblis terdorong sempoyongan ke arah belakang.
"Wajahku panas sekali!
Sialan! Ledakan tadi menyemburkan hawa panas yang terasa membuat wajahku
melepuh! Aduh, perih sekali?!" gerutu hati Pendekar Mabuk.
Candu Asmara semakin tegang,
karena ternyata wajah Suto benar-benar melepuh, bagai tersiram air panas,
demikian juga dengan dada dan lengannya. Tapi agaknya Suto Sinting masih kuat
menahan rasa sakit itu, sehingga dalam waktu singkat ia sudah berdiri tegak
kembali.
"Heeah...!" Hantu
Urat Iblis sentakkan kaki ke bumi. Suto Sinting ingat Jurus itu pernah
digunakan untuk melawan si Pedang Dewa. Maka dengan pergunakan jurus 'Layang
Raga', tubuh Suto tetap berada di tempat sementara tanah di bawah kakinya menjeblos
ke dalam. Brruus...!
Hantu Urat Iblis terbelalak
melihat Suto Sinting tetap berada di tempat dalam keadaan kedua kaki mengambang
di udara. Zuuurb...! Tanah itu muncul lagi dan datar seperti semula. Telapak
kaki Suto menyentuh tanah lagi.
Namun serta-merta ia lakukan
lompatan cepat menerjang lawannya. Bumbung tuak disodokkan ke depan. Wuuut...!
Jurus 'Bangau Mabuk' membuat tubuh Suto terbawa terbang oleh gerakan bumbung
tuak tersebut.
Hantu Urat Iblis menahan
sodokan bambu itu dengan kedua telapak tangannya yang mulai menyala merah itu.
Deeeb...! Duaaarr...!
Suto Sinting terlempar kembali
dan jatuh terbanting dengan sangat menyedihkan. Kepalanya membentur batu dan
bocor. Darah mengalir dari kepala bagian samping. Sementara itu, Hantu Urat
Iblis juga terlempar dan berguling-guling ke belakang akibat ledakan yang
saling menyentak kedua arah itu.
Candu Asmara berkelebat
hampiri Suto Sinting, karena gadis itu sangat mencemaskan keselamatan Suto
melihat banyaknya darah yang mengalir.
"Suto! Suto, bangun...!
Ayo, bangun dan minum tuakmu!" seru Candu Asmara yang sempat membuat Mirah
Cendani dan gurunya terperangah kaget melihat Candu Asmara ternyata sudah kenal
dekat dengan Pendekar Mabuk.
Hantu Urat Iblis cepat bangkit
dan menggeram di kejauhan. Candu Asmara tegang sekali, karena keadaan Suto
sangat lemah karena masih merasa pusing. Melihat Hantu Urat Iblis hendak
menyerang lagi, Candu Asmara segera cabut pedangnya dan menghadang lawan,
melindungi Suto Sinting.
"Sudah saatnya kau
berhadapan denganku, Anak Haram!" seru Candu Asmara.
Murka si Hantu Urat Iblis
memuncak mendengar seseorang mengatakannya 'anak haram', ia pun menggeram kuat
dengan tubuh bergetar, kedua tangan mulai diangkat pelan-pelan dengan kuku
runcing menyala biru, dan dari kuku ke kuku tampak sinar biru berlompatan bagai
petir-petir kecil.
Suto Sinting segera kerahkan
tenaga begitu mendengar seruan Candu Asmara, ia sadar bahwa gadis itu mulai
bertindak, sedangkan tindakan tersebut hanya akan mengantarkan nyawa di tangan
Hantu Urat Iblis. Maka serta-merta kaki Suto menendang kaki Candu Asmara.
Beet...! Brruk...!
Gadis itu terpelanting jatuh.
Suto yang ada di belakangnya segera bangkit, berdiri dengan satu kaki berlutut.
Kemudian tangan kanannya menyentak ke depan dalam keadaan jari lurus mengeras.
Napasnya dihentakkan lewat hidung. Bersamaan dengan itu, melesatlah sinar-sinar
kuning emas berbentuk pisau kecil-kecil dalam jumlah banyak.
Cralaap...! Weerrss...!
Saat itu Hantu Urat Iblis
sedang bersiap melepaskan pukulan mautnya dari dua tangan, sehingga kedua
tangannya diangkat ke atas. Namun sebelum niatnya terlaksana, sinar emas
berbentuk pisau dari jurus 'Manggala' itu telah lebih dulu menerjang dadanya.
Zeeerrb...!
Orang-orang bergumam kagum,
"Oooohhh...!"
Hantu Urat Iblis diam tak
bergerak dalam posisi tetap mengangkat kedua tangan dan wajahnya tetap
menyeringai. Suto Sinting buru-buru menenggak tuaknya untuk atasi luka bakar
dan kebocoran di kepalanya. Candu Asmara segera bangkit, tak pedulikan Suto
lagi, ia berlari dekati Hantu Urat Iblis sambil mengangkat pedangnya. Namun
sebelum pedang itu ditebaskan, angin berhembus agak kencang. Rambut Hantu Urat
Iblis rontok dan menjadi debu. Candu Asmara terperanjat kaget. Setelah
diperhatikan baik-baik, ternyata Hantu Urat Iblis sudah tak bernyawa lagi. Tubuhnya
menjadi abu seketika begitu terkena jurus 'Manggala' tadi. Keadaan itu dapat
diketahui oleh mereka setelah hembusan angin semakin kencang dan tubuh Hantu
Urat Iblis pun berhamburan dalam bentuk abu. Prruuuss...!
"Dia telah tewas!
Penculik itu tewas...!" teriak salah seorang. Yang lain segera berseru,
"Hidup Pendekar Mabuk!
Hidup Pendekar Mabuk!"
Mereka menghambur ke arah Suto
sebagai ungkapan kegembiraan atas keberhasilan Suto membebaskan putri raja.
Tetapi gerakan mereka terhenti karena saat itu Suto Sinting segera dipeluk oleh
Candu Asmara dengan ungkapan kegembiraan yang luar biasa.
"Huuuhh...!" mereka
menggoda kedua insan yang berpelukan itu, lalu mereka hamburkan tawa
kemenangan. Sang putri pun segera dibebaskan dari ikatannya oleh para prajurit
istana yang ikut menyaksikan pertarungan tersebut. Mirah Cendani dan gurunya
bergabung dengan Suto Sinting, demikian pula dengan si Sawung Kuntet.
Mereka beramai-ramai
mengantarkan Rara Ayu Kumala ke istana, setelah gadis itu ucapkan terima kasihnya
kepada Pendekar Mabuk. Namun si gadis merasa kecewa setelah Suto mengatakan,
"Kau bebas menikah dengan
siapa pun, Rara Ayu. Bukan aku calon suamimu."
Candu Asmara sunggingkan
senyum kebanggaan. Tangannya menggenggam erat-erat tangan Pendekar Mabuk.
Tanpa diketahui siapa pun,
sepasang mata sedang memandang ke arah Pendekar Mabuk. Sepasang mata itu adalah
milik seorang perempuan cantik bertahi lalat kecil di ujung dagunya. Dia
dikenal dengan nama: Dewi Ranjang.
Suto Sinting tak tahu kalau
sedang diincar oleh mata si Dewi Ranjang, alias janda liar pemburu kehangatan
pemuda.
SELESAI