SUNGGUH mengejutkan sekali
jika Arjuna tampil di rimba persilatan dan berhadapan dengan Pendekar Mabuk.
Tentu saja dunia akan menjadi gempar, dan setiap orang tak akan percaya, karena
mereka berbeda zaman. Mungkin juga setiap orang akan bertanya-tanya, siapa yang
unggul jika Pendekar Mabuk bertarung melawan Arjuna?
Sayangnya, orang yang
menghadang langkah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu, hanyalah orang yang
mirip Arjuna. Rambutnya pendek, rapi, tanpa ikat kepala. Badannya sedang, tidak
tinggi, tidak pendek, tidak gemuk, tidak kurus dan tidak apa-apa. Kulitnya
putih untuk ukuran kulit seorang lelaki. Usianya sekitar dua puluh empat tahun.
Matanya kecil tapi tajam. Hidungnya bangir dan punya ketampanan tersendiri.
Jika Pendekar Mabuk mengenakan
baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih, maka orang yang mirip Arjuna
itu mengenakan rompi putih dan celana coklat tua. Pendekar Mabuk mengenakan
ikat pinggang dari kain merah, orang yang mirip Arjuna itu mengenakan ikat pinggang
kulit warna hitam. Pendekar Mabuk membawa bambu bumbung tuak, orang itu membawa
bambu tanpa tuak. Bambu itu adalah sebuah toya yang panjangnya satu depa lewat,
seperti tongkat pramuka. Tapi orang itu jelasbukan seorang pramuka.
Bambu kuning itu adalah bambu
gading. Kedua ujungnya papak alias datar. Kelihatannya masih basah, karena
warna kuningnya masih mengkilap. Tapi sebenarnya bambu itu cukup ulet dan
keras. Sekali gebuk, lalat pun bisa mati, apalagi nyamuk.
Ketika langkah Suto Sinting
terhenti, pemuda itu tiba- tiba lakukan lompatan cepat menerjang ke dada Suto.
Wuuut...! Tentu saja tendangan kaki itu dapat ditangkis dengan sentakan tangan
kanan ke samping kiri. Plak...! Kaki kiri Pendekar Mabuk pun berkelebat ke
samping. Wuuut...! Deeekh.
"Akh...!" pemuda
berbambu kuning itu tersentak mundur dua langkah karena pinggangnya terkena
tendangan Suto. Tapi ia tak sampai jatuh, karena setelah tersentak mundur dua
langkah, bambu kuningnya berkelebat menyambar Suto beberapa kali.
Wus, wus, wus, wus...!
Suto menghindarinya dengan
melangkah mundur sambil kepalanya berkelit ke kanan-kiri. Bambu itu hanya lewat
di depan hidung Suto, kira-kira berjarak setengah jengkal.
Namun tiba-tiba bambu kuning
itu berhenti, lalu menyodok mata Pendekar Mabuk. Suuut...! Taaab...! Pendekar
Mabuk menahan sodokan bambu kuning tersebut dengan telapak tangannya. Dalam
sekejap toya bambu kuning itu telah tertangkap di tangan Suto. Namun segera
terlepas kembali ketika Suto Sinting kirimkan tendangan sekali lagi ke arah
pinggang lawan. Buuukh...!
"Uuuugkh...!" pemuda
berbambu kuning itu menyeringai sambil sedikit membungkuk pegangi perut
sampingnya. Tendangan itu dirasakannya seperti terjangan seekor kerbau mabuk.
"Maaf, bukan aku yang
cari penyakit, tapi kau sendiri yang ingin cepat ke liang kubur, Sobat!"
ujar Suto Sinting yang sengaja tak lanjutkan serangannya agar si pemuda
berambut pendek itu sadar akan kesalahannya. Tapi rupanya harapan Suto itu
tidak terkabul, karena si pemuda berambut pendek itu justru memainkan toya bambunya
setelah menarik napas untuk menahan rasa sakitnya.
Raut wajah pemuda itu tampak
menyimpan dendam atas dua kali serangan Suto yang mengenainya, ia juga tampak
penasaran karena sejak tadi tak bisa melukai atau mencelakai lawannya. Padahal
ia merasa sudah tepat sasaran.
Kali ini si pemuda berambut
pendek sentakkan tongkatnya ke arah dada Suto Sinting. Tongkat itu dialiri
tenaga dalam hingga keluarkan sinar kuning lurus. Claaap...! Pendekar Mabuk
agak terkejut karena tak menyangka ujung tongkat akan keluarkan sinar. Namun
dengan cekatan ia menyambar bumbung tuaknya dan dihadangkan di depan dada
sehingga sinar kuning lurus itu tepat kenai bumbung tuak tersebut.
Traaak...! Terdengar suara
seperti benda keras beradu dengan bumbung tuak. Dan sinar kuning itu ternyata
memantul berbalik ke arah pemiliknya dalam keadaan lebih cepat dan lebih besar
dari keadaan aslinya. Weess...!
"Edan!" teriak
pemuda berambut pendek itu, lalu ia melompat dan berguling di tanah ketika
sinar kuningnya nyaris kenai dadanya sendiri. Wut, bruuk...! Sinar kuning itu
akhirnya menghantam pohon di belakangnya.
Duaaarr...! Ledakan cukup
keras terdengar menggema, mata si pemuda berambut pendek terbelalak melihat
pohon yang terhantam sinar kuning itu terbelah menjadi dua bagian. Padahal biasanya
sinar kuning itu jika meleset kenai lawan, akan menghantam pohon dan pohon itu
hanya akan terkoyak sebagian saja. Tapi kali ini sinar kuning itu justru telah
membuat pohon itu terbelah sedemikian rupa. Sungguh mengherankan bagi si pemuda
berambut pendek itu.
Akhirnya ia bangkit pandangi
lawannya yang tetap berdiri tenang dengan senyum tipis membias di wajahnya.
Kalau saja Suto mau lakukan serangan lagi, pemuda itu pasti akan celaka karena
ia punya kesempatan menghantam dengan telak. Pemuda itu pun berpikir,
"Mengapa ia tak mau balas menyerangku?!"
Suto pun perdengarkan suaranya
yang bernada kalem tapi tegas.
"Siapa kau sebenarnya,
Sobat?!"
"Aku yakin kau si
Pendekar Mabuk yang kondang itu! Ciri-cirimu tetap seperti yang pernah kudengar
dari seseorang."
"Yang kutanyakan, siapa
kau sebenarnya?!" Suto agak menggertak, karena jawaban pemuda itu tak
sesuai dengan pertanyaan yang diajukan Suto.
Pemuda itu segera sadar, lalu
menjawab sesuai pertanyaannya.
"Namaku Santana!"
"Santana...?!" Suto
berkerut dahi. "Aku merasa asing dengan nama itu."
"Hmm, kasihan. Rupanya
kau pendekar yang kurang pergaulan," ejek Santana dengan senyum sinis.
"Kau belum tahu siapa jawara dari Parang, eh... maksudku dari Pulau
Parang?!"
"Aku pernah mendengar
nama Pulau Parang tapi tidak pernah tahu kalau pulau itu ada jawaranya,"
ujar Suto Sinting dengan melangkah ke samping.
"Akulah jawaranya!"
Santana menepuk dada. "Akulah yang bernama Sandi Tanayom alias
Santana!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut
kalem, "Akulah Suto Sinting, alias Pendekar Mabuk!"
"Aku sudah tahu nama
aslimu Sinting. Kau tak perlu memperkenalkan diri lagi. Sebaiknya cepat
persiapkan diri untuk kematianmu!" sambil Santana mondar-mandir ke
kanan-kiri dengan lagak sok jagonya.
"Mengapa aku harus
persiapkan diri untuk kematianku?"
"Sudah tujuh hari aku
mencarimu, Suto Sinting!"
Pendekar Mabuk tertawa dalam
hati, "Bocah ini kalau ditanya pasti jawabannya tidak pernah nyambung!
Goblok apa gila dia itu?"
"Mengapa kau ingin
membunuhku Santana?!" "Sekadar menyalurkan bakat saja," jawabnya
dengan
konyol.
"Bakat apa?"
"Jangan sebut-sebut bakat
seenaknya, ya? Bakat itu nama bapakku!" Santana tampak ngotot.
"Subakat, itu nama lengkap bapakku!"
"Lho, yang menyinggung
soal bakat kau dulu, Santana. Aku hanya menanyakan bakat apa yang ingin kau
salurkan itu!"
"Bakat menjadi pembunuh
bayaran!" jawab Santana dengan mata dilebarkan biar tampak galak dan
menyeramkan. Tapi karena wajahnya tampan, maka kesan galaknya tidak ada, yang
muncul justru kesan lucu menggelikan hati Suto.
"O, jadi kau seorang
pembunuh bayaran?" gumam Suto sambil manggut-manggut.
"Hampir," jawab
Santana tegas. "Maksudku, sebentar lagi aku hampir menjadi pembunuh
bayaran, terutama setelah berhasil membunuhmu, Pendekar Sinting!"
"Siapa yang membayarmu
untuk membunuhku?" "Memang tugasku membunuhmu!"
"Yang kutanyakan, siapa
yang menyuruhmu membunuhku?!" sentak Suto agak kesal dengan jawaban yang
tulalit alias tak pernah nyambung itu.
"Soal siapa yang
menyuruhku, kau tak perlu tahu. Itu urusanku dan itu rahasia perusahaan. Kau
hanya kuminta dengan kerelaanmu agar bersedia kubunuh dan mayatmu akan
kuserahkan kepada Ratu Ladang Peluh!"
"Ooo... jadi yang
mengupahmu untuk membunuhku itu adalah si Ratu Ladang Peluh?" sambil Suto
manggut- manggut, tapi Santana membantahnya dengan keras.
"Kau tidak perlu tahu
siapa yang mengupahku! Aku bukan orang upahan Ratu Ladang Peluh! Bagaimanapun
juga aku tidak akan katakan padamu bahwa aku pembunuh bayaran atas suruhan Ratu
Ladang Peluh!"
"Bocah goblok!"
gerutu Suto sambil menahan rasa jengkel-jengkel geli. "Kalau mau
merahasiakan siapa yang mengupahmu, jangan sebutkan namanya!"
"Memang tidak sebutkan
namanya! Buktinya aku tidak bilang padamu kalau aku disuruh membunuhmu oleh
Ratu Ladang Peluh, bukan?! Aku tidak bilang begitu, bukan?!"
"Hmmm..., pembunuh
bayaran kelas teri kau ini, Santana," kecam Pendekar Mabuk sambil
sunggingkan senyum berkesan geli. Karena bagaimanapun ngototnya Santana, Suto
tahu persis bahwa pemuda itu disuruh oleh Ratu Ladang Peluh untuk membunuh
Pendekar Mabuk. Padahal nama itu sedang menjadi buah pikiran Suto, sebab masih
ada kaitannya dengan perkara hancurnya sebuah pedang pusaka, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Pedang Penakluk Cinta").
"Sebaiknya urungkan
niatmu membunuhku, Santana," saran Suto.
"Urungkan?! Hmmm, enak
saja! Aku sudah menerima uang muka dari orang yang menyuruhku, dan uang muka
itu sudah habis kupakai jajan, masa' aku harus mengurungkan niatku?! Hmmm,
tidak bisa! Aku harus tetap berusaha membunuhmu, supaya dapat tambahan uang dan
memperoleh sebuah pusaka dari orang yang menyuruhku itu. Pusaka Pedang Penakluk
Cinta!"
"Dasar bodoh! Kau tak
pantas menjadi pembunuh bayaran, Santana, karena semua rahasia kau beberkan
secara tidak sengaja, termasuk nama orang yang membayarmu itu! Aku tahu, kau
disuruh oleh Ratu Ladang Peluh dengan upah menarik, yaitu sebuah pedang pusaka
yang bernama Pedang Penakluk Cinta."
"Lho, kok tahu?"
gumam Santana yang sampai didengar oleh telinga Suto. Maka senyum Suto pun
mengembang dengan lebar. Santana akhirnya menggeram,
"Aku tak peduli kau tahu
siapa yang menyuruhku atau tidak, yang jelas sekarang terimalah saat kematianmu
yang sebenarnya, Suto Mabuk! Heaaat...!"
Santana melompat kembali
sambil menyodokkan toya bambu kuningnya.
Tapi dengan sentakan cepat, Pendekar Mabuk telah melayang melebihi ketinggian
Santana. Wuuut...! Santana melesat di bawah kaki Pendekar Mabuk. Maka dengan
cepat ujung kaki kanan Suto menyentak ke bawah, tepat kenai ubun-ubun Santana.
Deess...!
Brrukk...! Santana kontan
jatuh tersungkur. Wajahnya yang tampan itu bagai diadu dengan tanah. Suara
pekiknya terbungkam oleh rumput yang masuk ke mulutnya. Sedangkan Suto Sinting
sudah berada di tempat lain dengan lakukan gerakan salto pada saat kakinya
menyentak di kepala Santana.
"Babi burik! Kepalaku
malah dipakai buat tumpuan kakinya!" geram hati Santana. "Ooh...
kepalaku? Ya, ampun... mengapa berat sekali? Uuh...! Gila! Kepalaku seperti
dibanduli batu sebesar gunung. Sulit sekali diangkat dan rasa sakitnya sampai
ke tunggir! Uuuh, setan belang nyolong kacang, jurus apa yang dipakai si
Pendekar Sinting itu?!"
Pendekar Mabuk akhirnya
menjambak rambut Santana hingga kepala pemuda itu terdongak.
Mulutnya ternganga penuh
rumput yang terpotong pada saat giginya menggegat menahan rasa sakit itu.
Pendekar Mabuk cabuti rumput yang ada di dalam mulut Santana sambil berkata,
"Aku tahu kau pesuruh
yang bodoh, jadi aku tak tega untuk mencelakaimu!"
Santana tak bisa bertindak
dengan tongkat karena kedua tangannya yang lurus ke depan itu diinjak oleh kaki
Suto. Posisi Suto ada di depan Santana. Setelah rumput tidak menyumbat mulut
Santana, Suto pun menuangkan tuaknya ke mulut itu. "Minum tuak ini biar
kepalamu tak pecah!"
Glek, glek, glek ..! Mau tak
mau Santana menelan tuak itu. Kejap berikutnya ia merasa sehat kembali tanpa
rasa sakit sedikit pun. Suto segera membangunkan.
"Sekali lagi kusarankan
padamu, batalkan niatmu untuk membunuhku, Santana! Ratu Ladang Peluh itu bukan
orang yang patut dibela. Dia ratu aliran hitam!"
Setelah berpikir sejenak,
Santana pun berkata, "Akan kuturuti saranmu. Tapi ada syaratnya!"
sambil hati Santana membatin, "Kalau kulawan dengan kekerasan aku tak akan
menang. Harus kugunakan akalku untuk tundukkan orang ini!"
Suto Sinting diam saja, ia
sengaja menyimak apa yang ingin dikatakan oleh Santana. Sampai akhirnya, tanpa
diminta Santana menjelaskan sendiri maksudnya.
"Syaratnya cukup
ringan."
Santana membuat lingkaran
besar dengan tongkat bambu kuningnya. Lingkaran itu mengelilingi Suto Sinting
dalam jarak empat langkah dari tengah ke garis lingkaran. Setelah itu, Santana
dekati Suto Sinting lagi.
"Pendekar Mabuk, kalau
kau bisa membuatku keluar dari lingkaran ini, berarti aku tidak jadi
membunuhmu. Karena jika kau bisa membuatku keluar dari garis lingkaran itu,
maka aku akan merasa tak bakal bisa menandingi kekuatan dan ilmumu. Tapi jika
kau yang keluar dari garis lingkaran itu, berarti kau harus rela kubunuh demi
tugasku!"
Santana tersenyum lagi. Suto
Sinting tetap tenang memandangi garis lingkaran tersebut.
"Bagaimana?" desak Santana bernada menantang. Dengan kalem Suto
Sinting berkata sambil garuk-garuk kepala.
"Kelihatannya syarat itu
cukup berat, Santana. Kurasa aku tak bisa membuatmu keluar dari lingkaran. Tapi
kalau membuatmu masuk ke dalam lingkaran, kurasa aku sanggup
melakukannya."
"O, baik! Baik!"
Santana manggut-manggut. "Itu tak jadi masalah, Suto," sambil ia
melangkah keluar dari lingkaran. "Silakan kau membuatku jatuh ke dalam
lingkaran dengan cara apa pun. Kalau memang "
Suto Sinting memotong,
"Santana, aku tidak menggunakan ototku, tapi aku menggunakan otakku."
"Tak apa! Kau boleh
menggunakan otakmu. Aku tetap mengakui kemenanganmu walaupun kau menggunakan
otak jika "
"Santana," potong
Suto Sinting lagi. "Lihat kakimu! Sekarang kau sudah berada di luar
lingkaran. Berarti aku sudah bisa membuatmu keluar dari garis lingkaran sesuai dengan syarat yang kau ajukan
tadi!"
"Maksudku, hmm... ehhh...
begini, Suto. Kau tadi bilang "
"Kau kalah, Santana! Kau
sudah keluar dari lingkaran sedangkan aku tetap berada di dalam
lingkaran!" sahut Suto lagi. Santana menjadi diam tertegun dan segera
menyadari bahwa dirinya telah terpedaya oleh kata-kata Pendekar Mabuk tadi.
Suto Sinting sunggingkan
senyum lebar ketika Santana menatap dengan bengong. Hati murid si Gila Tuak itu
merasa geli dan ingin tertawa, namun demi menjaga perasaan Santana, ia tak jadi
lepaskan tawa lebar-lebar.
"Kau curang, Suto!"
Santana mulai menggeram.
"Hei, ingat apa yang
kukatakan tadi... aku tidak akan menggunakan otot melainkan menggunakan otak,
dan kau sudah bilang akan mengakui kemenanganku walaupun aku menggunakan
otak!"
Santana bagai tak bisa
berkutik lagi. Senyumnya hilang, pandangan matanya terasa hampa. Jelas batinnya
penuh gerutu dan makian.
"Jika kau seorang pria
sejati berjiwa kesatria, kau pasti mengakui kekalahanmu ini, Santana! Tapi jika
kau berjiwa pengecut dan banci, maka kau akan ngotot tak berani akui kekalahan
diri sendiri!" tambah Suto Sinting semakin membuat Santana terbungkam
seribu bahasa selama empat helaan napas lebih.
Ketika sedang beradu pandang
dalam kebisuan, tiba- tiba ekor mata Pendekar Mabuk melihat gerakan benda yang
meluncur ke arah Santana.
Slaap...! Seketika itu pula
Pendekar Mabuk berseru dengan wajah menegang seketika. "Awaaas...!"
Santana segera sentakkan
tangan kanannya ke kiri. Bambu kuning itu melintang di sekitar telinganya.
Benda yang meluncur itu menancap tepat di bambu kuning itu. Jrraab...! Jika tak
terhalang bambu kuning, leher Santana yang menjadi sasaran benda tersebut.
Tongkat ditarik kembali oleh
Santana dengan kalem. Matanya memandang benda yang menancap di bambunya.
Ternyata sebuah senjata rahasia dari sekeping logam putih berbentuk bintang
segi enam, tapi bagian tengahnya berlubang seperti cincin.
Suto Sinting membatin,
"Boleh juga gerakan cepatnya! Tanpa memandang ke arah kirinya ia sudah
bisa menangkis senjata rahasia tersebut. Kuakui, walau cuma seperti itu tapi ia
sudah tergolong hebat. Ilmunya tidak terlalu rendah."
Santana yang kehilangan senyum
itu melirik ke semak-semak sebelah kirinya.
"Agaknya ada orang jahil
yang ingin membunuhmu, Santana!" ujar Suto Sinting.
Santana tidak memberikan
komentar apa-apa. Tapi ia segera sentakkan tongkat bambu kuningnya itu ke arah
datangnya senjata rahasia tadi. Sentakan bertenaga dalam membuat benda yang
menancap di tongkat bambunya itu terlepas dan melesat dengan cepat seperti
dilemparkan dengan tangan. Slaaap.! Benda itu melayang ke arah semak-semak.
Zrrraab...!
Triing...!
Terdengar suara denting
menggema kecil, seakan benda berbentuk bintang segi enam itu telah menyentuh
logam lain di balik semak-semak tersebut. Kejap berikutnya, dari balik
semak-semak tampak sesosok bayangan melesat keluar dengan gerakan bersalto di
udara dua kali.
Bruus...! Wuuk, wuuk...! Jleeg...!
Pendekar Mabuk dan Santana
sama-sama pandangi seraut wajah cantik yang baru saja muncul dari semak- semak
itu. Seraut wajah cantik itu milik seorang gadis berusia sekitar dua puluh dua
tahun. Rambutnya pendek, seperti potongan lelaki, kepalanya dililit logam
kuning emas dengan hiasan batu merah delima sebesar biji sawo berantai pendek.
Gadis itu mengenakan baju
tanpa lengan warna merah kehitaman dari
bahan kain tebal. Bajunya yang berhias benang emas dan mempunyai krah agak
tinggi, hingga menutupi sebagian lehernya yang dari depan tampak berwarna
kuning mulus.
Baju berbelahan dada agak
lebar dan sedikit menggoda itu dililit sabuk hitam dengan kepala sabuk dari
logam emas berbatu merah. Ada tiga batu merah delima pada kepala sabuknya itu.
Sedangkan celananya juga berwarna merah kehitaman berhias benang emas dari kain
tebal dan ketat hingga membentuk lekak-lekuk pinggul, paha dan betisnya.
Kaki yang separo betisnya
kelihatan itu mengenakan sandal kulit bertali hitam membentuk anyaman renggang
pada betisnya. Gadis itu bersenjata pedang di punggung. Pedang tersebut sudah
dicabut dari sarungnya dan digenggam dengan tangan kanan. Rupanya pedang itulah
yang terkena lemparan balik sekeping logam berbentuk bintang segi enam itu. Ia
berhasil menangkisnya dan segera tampakkan diri dengan wajah tanpa senyum.
Suto Sinting yang berada dalam
jarak dua langkah di samping Santana segera berbisik dengan pandangan mata
tetap tertuju kepada wajah cantik berhidung mancung dan berbibir sensual itu.
"Kau mengenalnya, Santana?"
"Dia memang cantik,"
jawab Santana seperti orang tuli yang selalu salah jawab.
Suara Suto Sinting jadi
menggeram karena menahan kejengkelan.
"Aku bertanya padamu,
apakah kau mengenal gadis itu?!"
"Oh, hmm... tidak!"
jawab Santana seperti baru saja sadar dari lamunan. "Aku... aku sama
sekali tak mengenalnya. Mungkin kau yang mengenalnya. Barangkali dia
kekasihmu?!"
"Kekasihku adalah Dyah
Sariningrum. Bukan dia! Dyah Sariningrum lebih cantik darinya. Sayang sekali
perjalananku ke Pulau Serindu untuk menemuinya terhalang oleh kemunculanmu
tadi!"
Santana menatap Suto Sinting
dengan mulut terperangah.
"Hei, nama itu kukenal!
Bukankah orang yang bernama Dyah Sariningrum itu adalah penguasa di Pulau
Serindu yang bergelar Gusti Mahkota Sejati?!"
"Tepat sekali! Dia itulah
calon istriku!"
"Ooo... jadi kau sudah
pesan tempat di hati sang Ratu Puri Gerbang Surgawi itu?!" Santana mulai
tersenyum kembali.
"Benar sekali. Aku sudah
pesan tempat cukup lama!" Suto pun tersenyum walau hanya tipis-tipis saja.
"Hebat sekali kau! Hebat
sekali! Hah, hah, hah, hah!" Kedua pemuda itu tertawa, sepertinya tak
menghiraukan kemunculan si gadis cantik yang menggenggam pedang itu. Sang gadis
menjadi dongkol, kemudian segera lakukan lompatan ke arah Santana. Pedangnya ditebaskan
dalam sekali kelebat. Beet...!
Trak...! Pedang itu berhasil
ditangkis dengan bambu kuningnya Santana. Bambu itu tak menjadi patah atau
terpotong, padahal pedang tersebut cukup tajam. Jika tak dialiri tenaga dalam,
tentunya bambu itu sudah patah atau terpotong.
Gagal menebaskan pedangnya ke
tubuh Santana, gadis itu segera kirimkan tendangan kakinya dalam satu lompatan
kecil. Beet...! Plook...! Santana menangkisnya dengan kaki, sehingga kaki
mereka saling beradu. Sementara itu, Suto Sinting mundur jauhi mereka.
Namun ketika itu Santana
segera hantamkan telapak tangan kirinya dalam gerakan sangat cepat. Beet...!
Buuhk...!
"Hehhk...!" gadis
itu tersentak mundur, tubuhnya melayang sesaat, namun berhasil kuasai diri
sehingga tak sampai jatuh, ia berdiri dalam jarak lima langkah dari Santana.
Sedangkan Suto Sinting berdiri
dua langkah dari samping kiri si gadis. Gadis itu melirik Suto Sinting dengan
lirikan tak bersahabat, Suto pun segera mundur sambil mengambil bumbung tuaknya
yang sejak tadi menyilang di punggung. Sambil melangkah mundur, Suto Sinting
sunggingkan senyum lebar, bagaikan seringai penuh goda.
"Siapa kau, Nona cantik?!
Apa alasanmu dua kali menyerangku dengan senjata?!" tanya Santana dengan
wajah tak menampakkan permusuhannya. Wajah itu kembali dihiasi oleh senyum yang
kadang kecil kadang melebar.
Si gadis tak lagi menatap Suto
melainkan lemparkan pandangan ke arah Santana. Walau sepasang mata itu jernih
dan berbulu lentik, namun sorot pandangannya terasa tajam dan dingin. Tajam
seperti peniti, dingin seperti es cendol.
*
* *
2
PENDEKAR Mabuk coba menyapa si
gadis dengan nada lebih lembut dari nada suara Santana.
"Nona, boleh kutahu siapa
dirimu sebenarnya?"
Gadis itu memandang Santana,
tapi menjawab pertanyaan Suto Sinting walau bernada ketus.
"Aku yang berjuluk
Mendung Merah dari Gunung Pare!"
"Wah, gawat!" sahut
Santana pelan, memandang Suto dengan senyum dikulum.
"Gunung Pare itu tempat
begituan!" "Begituan bagaimana?"
"Tempat perjudian
nyawa!" tegas Santana. "Kudengar, di Gunung Pare banyak orang berjudi
dengan mengadu jago. Jago mereka adalah manusia seperti kita. Siapa yang mati,
itulah yang kalah. Kalau belum mati, walau sudah babak belur dan tidak bisa
bicara lagi, tapi masih bernapas, tetap belum dikatakan kalah! Bukankah begitu,
ya Nona?!" Santana melempar bicara kepada gadis itu.
"Itu dulu!" jawab si
gadis pendek, namun sudah bikin Santana tersenyum lebar. Sebelum pemuda
bertongkat bambu kuning itu bicara lagi, Mendung Merah sudah dului ajukan tanya
kepada pemuda itu.
"Kau yang berjuluk
Pendekar Mabuk, bukan?!" "Ooo... keliru, Non! Keliru!" ujar
Santana santai
sekali, ia menuding Suto,
"Dia yang punya gelar Pendekar Mabuk!"
"Benar, aku yang bergelar
Pendekar Mabuk!" sambil Suto acungkan tangan dengan cengar-cengir.
Gadis itu menatap Suto Sinting
sesaat, lalu menatap Santana, kembali memandang Suto, kembali lagi pandangi
Santana. Ia tampak bingung menentukan keyakinannya. Mungkin karena pakaian Suto
dan Santana punya warna sama, hanya berbeda tempatnya, maka si gadis menjadi
bimbang. Bawahan putih atau atasan putih? Atasan coklat atau bawahannya yang
coklat? Tapi keduanya sama-sama membawa bambu, hanya saja beda kegunaannya.
"Aku bertanya
sungguh-sungguh, siapa yang berjuluk Pendekar Mabuk?!"
"Aku...!" jawab Suto
lagi sambil menepuk dada dan maju selangkah.
"Jangan menyesal jika
pedangku telanjur merenggut nyawamu!" geram gadis itu.
Tiba-tiba ia bergerak cepat
menyabetkan pedangnya ke dada Suto Sinting. Beett...! Tapi gerak naluri Suto
sudah terlatih. Dengan memiringkan badan sedikit seperti orang mabuk
menggeloyor, bambu bumbung tuaknya dihadangkan ke arah datangnya pedang. Maka
bambu itulah yang terkena sabetan pedang si Mendung Merah. Traang...!
"Busyet! Suaranya seperti
besi ketemu besi?!" gumam Santana pelan. Matanya memandang kagum ke arah
bumbung tuak yang tak lecet sedikit pun.
Si gadis lepaskan pukulan
dengan tangan kirinya, tapi dihindari oleh Suto dengan menggeloyor seperti
ingin tersungkur ke depan. Wuut...! Pukulan tersebut tak kenai sasaran, tapi
hembusan angin, pukulannya terasa panas di tengkuk Pendekar Mabuk. Berarti
pukulan itu mengandung tenaga dalam cukup besar.
"Hai, sabar...! Sabar
dulu, Mendung Merah!" bujuk Pendekar Mabuk.
Namun si gadis tak mau turuti
bujukan itu. Kakinya menendang ke samping, arahnya tepat di depan mulut
Pendekar Mabuk. Wuukk...! Tendangan itu tidak ditangkis, tapi dihindari juga
dengan cara melompat ke belakang. Wes, jleeg...!
Si gadis sentakkan kakinya dan
tubuh sekalnya itu tiba-tiba melambung ke atas, lalu bersalto ke belakang.
Wees...!
Begitu kedua kakinya sampai di
tanah, pedangnya menebas ke samping kanan. Wuuut...! Trang..! Bumbung tuak
dipakai menangkis pedang itu lagi. Tapi sang pedang berkelebat dalam gerak
meliuk cukup cepat. Suuutt...! Wees...! Kepala Suto Sinting nyaris jadi sasaran
telak kalau saja pemuda itu tidak cepat-cepat tundukkan kepala dengan setengah
berjongkok.
Tangan kiri Suto menapak di
tanah, tubuhnya memutar cepat dengan kaki menyambar betis gadis itu. Wuut...!
Plook...!
Brrruk...! Mendung Merah jatuh
terduduk dalam hempasan keras. Suto Sinting segera berdiri dan pindah tempat
dengan gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap...! Tahu-tahu ia sudah berada
di belakang Santana.
Diam-diam Mendung Merah
tercengang kagum melihat gerakan sebegitu cepat, nyaris tak terlihat sedikit
pun bayangannya. Santana sendiri agak kaget mengetahui Suto Sinting sudah ada
di belakangnya.
"Edan! Lewat mana kau
bisa sampai di belakangku?!" "Lewat kolong kakimu!" jawab Suto
Sinting sambil pandangi si gadis yang telah berdiri dengan wajah
memancarkan permusuhan.
Ketika Mendung Merah ingin
bergerak lagi, Santana buru-buru berkata kepadanya.
"Mendung Merah, maukah
kau kerja sama denganku?"
"Minggir kau! Akan
kuhantam dia dari sini jika benar dia Pendekar Mabuk!" sentak Mendung
Merah.
"O, silakan!" ujar
Santana sambil menyingkir, membuat Pendekar Mabuk tanpa penghalang apa pun di
depannya. Seketika itu pula Mendung Merah sentakkan tangan kirinya dengan jari
lurus ke depan dan saling merapat. Suuutt...! Dari ujung jari tengah itu keluar
sinar merah panjang yang melesat ke dada Pendekar Mabuk. Claap...!
Bumbung tuak segera diangkat
sedada. Sinar merah itu menghantam bumbung tersebut. Tuub...!
Ternyata sinar merah itu
memantul balik dalam keadaan lebih cepat dan lebih besar dari aslinya.
Weess...!
Mendung Merah kaget sekali.
Hampir saja ia jadi sasaran balik sinarnya sendiri. Untung ia segera sentakkan
kaki dan tubuhnya melambung ke udara dan bersalto mundur satu kali. Suut...!
Wuuuk...!
Sinar yang kembali arah itu
akhirnya menghantam sebatang pohon yang besarnya tiga kali pelukan Suto
Sinting. Jegaarrr...!
"Edan!" sentak
Santana dengan rundukkan kepala hampir jongkok. Ledakan yang terjadi sangat
keras dan menghentak kuat, seakan ingin memecah gendang telinga.
Sementara itu, Mendung Merah
tertegun beberapa kejap dengan mata tak bisa berkedip, ia nyaris tak percaya
bahwa sinar merahnya yang berbalik arah itu telah membuat pohon yang
dihantamnya menjadi serpihan-serpihan kayu yang menyebar ke berbagai arah.
Padahal biasanya sinar merah tersebut hanya bisa membuat pohon berlubang besar
dalam keadaan lubangnya hangus. Tak sampai membuat pohon pecah seperti saat
itu.
Setelah masing-masing
sama-sama bungkam selama dua helaan napas, Pendekar Mabuk segera menegur
Mendung Merah dengan serius, tanpa senyum sedikit pun, namun tanpa wajah
bermusuhan.
"Mendung Merah, mengapa
kau benar-benar ingin membunuhku?!"
Santana menyahut, "Jawab
saja, Nona! jawab apa adanya, daripada nanti dia matinya penasaran, Rohnya bisa
mendatangimu tiap malam dan mencabuti bulu ketiakmu!"
"Aku tak punya
bulu!" bentak Mendung Merah kepada Santana.
"Ooh... maaf, maaf... aku
salah pandang kalau begitu!" kata Santana sedikit gugup, tapi gayanya
menggelikan hati Pendekar Mabuk.
Mendung Merah hampiri Santana
dan mengacungkan pedangnya ke arah pemuda itu.
"Jika kau bukan Pendekar
Mabuk, jangan ikut bicara! Bisa robek mulutmu dengan pedangku ini kalau masih
ikut campur urusanku dengannya!"
Suto menyahut, "Aku
merasa tak punya urusan denganmu, Mendung Merah."
"Aku yang punya urusan
denganmu! Kau tak perlu ikut mengurusnya, biar aku yang mengurus, karena memang
tugasku tak jauh dari urusan nyawamu!"
"Tugas apa itu, kalau
boleh kutahu?!" "Memenggal kepalamu!" geram Mendung Merah.
Santana maju dekati Mendung
Merah. Senyumnya berkesan sinis mengejek.
"Siapa yang memberimu
tugas begitu, Neng?!"
"Aku dibayar oleh Ratu
Ladang Peluh untuk membunuh Pendekar Mabuk!"
Suto Sinting terperanjat.
Lagi-lagi nama Ladang Peluh mengejutkan hatinya, membelalakkan matanya, menahan
napasnya di tenggorokan. Suto Sinting tak bisa tertawa, tapi Santana justru
tertawa agak keras. Tawa meremehkan.
"Itu tidak mungkin, Nona
cantik! Tidak mungkin!" "Apanya yang tidak mungkin, Tikus
parit?!" geram
Mendung Merah.
"Ratu Ladang Peluh sudah
menyewaku untuk membunuh Pendekar Mabuk. Separo bayaranku sudah diberikan
sebagai uang muka, sisanya akan dilunasi setelah aku datang kembali dengan
membawa potongan kepala Pendekar Mabuk! Jadi tak mungkin kau merebut lahanku,
Cah Ayu!"
"Mendung Merah tak kenal
kata tak mungkin!" sentak gadis itu dengan galaknya. "Pendekar Mabuk
adalah buruanku!"
"Tidak bisa! Dia adalah
buruanku!" bantah Santana. "Kalau begitu kita tentukan siapa yang
berhak
memenggal kepala Pendekar
Mabuk!"
"Boleh!" kata
Santana dengan bersemangat menyambut tantangan Mendung Merah.
Suto Sinting tertawa kecil
dalam hatinya, ia sengaja mundur beberapa langkah sampai di bawah pohon.
Hatinya pun membatin, "Gila! Mereka berebut kepalaku? Lucu sekali! Apa
mereka pikir mudah memenggal kepala Pendekar Mabuk?!"
Santana dan Mendung Merah
masih bersitegang. Suto sengaja membiarkannya, sambil ia ingin tahu sejauh mana
kemampuan kedua orang itu sehingga mereka berani memperebutkan kepala Pendekar
Mabuk.
"Kalau kau mampu menahan
sodokan bambu kuningku, berarti kau berhak mendapatkan kepala Pendekar
Mabuk!" ujar Santana sambil melangkah ke kiri mengitari gadis itu. Si
gadis sendiri melangkah ke kanan membentuk gerakan melingkar sambit
mempertinggi kewaspadaannya.
Bambu kuning yang dipermainkan
dengan kedua tangan Santana itu tiba-tiba menyodok ke dada Mendung Merah secara
beruntun.
Suutt, suut, suuut, suutt...!.
Mendung Merah hanya menghindar
dengan gerak tubuh lincahnya yang meliuk ke sana-sini, sementara kedua kaki
tetap berada di tempat, tak bergeser sedikit pun. Gadis itu ingin tunjukkan
bahwa ia mampu bergerak lebih cepat dari sodokan bambu kuning Santana.
Sodokan itu mengandung tenaga
dalam, sehingga ujung bambu terasa keluarkan hawa panas yang dapat menyengat
kulit manusia biasa. Hawa panas itu pun berhasil dihindari oleh Mendung Merah.
Namun ketika pedang Mendung
Merah ingin menebas bambu itu, tiba-tiba Santana berputar tubuh dengan cepat
bersama bambunya. Namun seketika itu pula bambunya menyodok ke belakang ketika
Santana memunggungi Mendung Merah. Wuutt...!
Tenaga dalam yang keluar dari
ujung bambu lebih besar dari yang tadi. Untung gadis itu berhasil sentakkan
kaki ke tanah secepatnya, lalu tubuhnya melambung ke udara dan bersalto maju
satu kali. Wuuuss...!
Tubuh itu melayang lewat atas
kepala Santana. Pedang pun ditebaskan ke arah kepala Santana. Tetapi dengan
cepat Santana berlutut satu kaki dan bambu kuningnya disilangkan di atas kepala
dengan kedua tangan memeganginya. Traakkk...! Pedang itu akhirnya tertahan oleh
bambu kuning tersebut hingga tak sempat lukai kepala Santana.
Pemuda itu cepat-cepat
lepaskan satu tangannya. Kini bambu kuning dipegang dengan satu tangan dan
berputar melilit di tangan Mendung Merah yang memegangi pedang.
Slep, slep, slep...!
Dess...! Bambu itu menyodok
cepat dan kenai ketiak Mendung Merah.
"Uuhk...!" Mendung
Merah menyeringai, ketiaknya terasa sakit sekali mendapat sodokan bambu kuning
yang rasanya seperti disodok besi. Tulang di ketiak terasa remuk. Tangan kanan
Mendung Merah pun tak mampu menggenggam lagi. Pedangnya jatuh ke tanah, tangan
itu bagaikan lumpuh tanpa daya sedikit pun.
Tapi gadis itu belum mau
menyerah, ia berusaha kerahkan tenaga yang masih tersisa. Seluruh tenaga
dipusatkan pada tangan kirinya. Ketika bambu Santana menyabet punggung Mendung
Merah, gadis itu cepat- cepat berguling di tanah. Wuuus, wuuutt...!
Gerakan berguling sengaja
mendekati kaki Santana. Dengan gerakan cepat, tangan kiri itu segera keraskan
kedua jarinya dan menotok tepian mata kaki Santana dengan gerakan seperti
seekor kobra mematuk mangsa.
Tuuuss...!
"Aow...!" Santana
terpekik dengan suara tertahan. Tiba-tiba tubuhnya jatuh terduduk. Seluruh urat
dan tulangnya bagaikan hilang. Rupanya ia terkena totokan lawan yang membuatnya
kehilangan sebagian besar kekuatannya, namun masih tetap dalam keadaan sadar,
ia tak mampu lagi memegangi bambu kuningnya. Napasnya menjadi sangat sesak dan
sulit dihela, sehingga Santana tampak cengap-cengap seperti seekor lele
kekurangan air.
"Haap, haap..,
haap...!"
Mendung Merah segera
menendangkan kaki kanannya, sementara kaki kiri dipakai untuk berlutut di
tanah. Wuuut, plook...! Dengan telak tendangan itu kenai wajah Santana. Tapi
setelah itu Mendung Merah jatuh terduduk. Rupanya sodokan bambu kuning di
ketiaknya makin lama semakin melumpuhkan seluruh bagian tubuhnya. Tulang-tulang
terasa nyeri dan urat-urat bagai mengendor.
Bruuukk...! Mendung Merah
jatuh terduduk dalam keadaan bersandar pada akar pohon yang tersumbul dari
tanah setinggi betis manusia dewasa itu. Napasnya terengah-engah dengan wajah
pucat pasi seperti mayat. Wajah Santana pun tampak lebih pucat lagi, bahkan
menyerupai sehelai kertas tanpa stempel.
"Edan...! Kurang
ajar...," Santana memaki dengan suara lirih dan serak karena berusaha
melonggarkan napasnya.
"Hrrmmm...
hhrrmmm...," Mendung Merah tak bisa keluarkan suara kecuali menggeram
seperti orang mendengkur.
Pendekar Mabuk tertawa dari
kejauhan. Tawa gelinya memang tak keluarkan suara keras, namun dari guncangan
badannya ia tampak terpingkal-pingkal melihat kedua orang yang ingin
membunuhnya itu saling terkulai lemas. Dengan sisa tawa yang ada, Suto pun
akhirnya hampiri kedua orang yang sama-sama lumpuh itu.
Pedang milik Mendung Merah
dipungutnya, lalu diletakkan di atas pangkuan gadis itu.
"Babat saja lehernya!
Kapan lagi kalau tidak sekarang!" ujar Suto dengan nada menyindir.
Bambu kuning yang tergeletak
sejauh satu langkah dari Santana juga dipungut dan diletakkan di atas dada
Santana yang terduduk melonjor dalam keadaan lengan tersangga batu sebesar anak
sapi.
"Gebuk saja gadis itu!
Jangan malu-malu, Santana!" "Mata... mu...!" Santana memaki
sambil matanya
mendelik dan sibuk menarik
napasnya yang terasa sulit dihela itu.
Pendekar Mabuk lebarkan
senyum, keluarkan suara tawa seperti orang menggumam, ia geleng-geleng kepala
pandangi kedua orang tersebut secara bergantian. Mereka juga memandang Pendekar
Mabuk dengan kecamuk batin masing-masing. Entah apa yang dikecamukkan mereka,
tapi yang jelas mereka punya kedongkolan sendiri terhadap ejekan Suto Sinting
tadi.
"Kalian ini bagaimana?
Payah sekali!" Suto bertolak pinggang satu tangan. "Bagaimana kalian
mau membunuhku jika menumbangkan lawan seperti kalian tak mampu saling
menumbangkan?!"
Melihat kedua orang itu tak
berdaya, Pendekar Mabuk tak sampai hati. Sekalipun mereka bermaksud
membunuhnya, namun dalam hati Pendekar Mabuk yakin bahwa mereka akan
membatalkan niatnya jika sudah mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Menurut
penilaian Suto, wajah-wajah mereka bukan wajah-wajah orang jahat yang tak dapat
disadarkan. Mereka masih bisa disadarkan dan diberi pengertian.
"Apalagi ilmu mereka
hanya segitu, sekali kugebrak bakalan ngacir tak balik-balik lagi," ujar
Suto dalam hatinya. "Aku yakin mereka hanya terpedaya oleh kata- kata Ratu
Ladang Peluh, sehingga mereka menerima tawaran menjadi pembunuh bayaran.
Agaknya mereka belum tahu belang si Ladang Peluh itu."
Tuak sakti yang ada dalam
bumbung Suto diminumkan kepada mereka satu persatu. Dengan meneguk tuak dari
dalam bumbung yang selalu dibawa- bawa Suto itu, kekuatan mereka menjadi pulih
kembali. Rasa sakit hilang, napas sesak menjadi longgar, tulang nyeri menjadi
kokoh kembali, urat kendor menjadi
keras, dan gemuruh hati yang ingin membunuh menjadi tenang kembali.
"Aneh?! Hanya dengan
meneguk tuaknya saja badanku menjadi segar dan lincah kembali?" pikir
Santana. "Bahkan aku merasa lebih segar dari sebelum bertemu dengannya?
Ternyata tinggi juga kesaktian yang dimiliki si Pendekar Mabuk itu?! Apakah aku
mampu melawannya? Ah, aku jadi sangsi pada kemampuanku sendiri jika harus
berhadapan dengannya. Apalagi dia baik padaku, mau mengobati kelumpuhanku
ini!"
Sementara itu, hati Mendung
Merah sendiri membatin, "Luar biasa tuaknya itu. Sekujur badanku seperti
habis dipijat secara rata. Enak dan segar. Mengapa dia mau menolongku,
sedangkan dia tahu aku diupah untuk membunuhnya? Oh, haruskah aku membunuh
orang sebaik dia dan... dan setampan dia?! Ah, ratu setan itu benar-benar iblis
tanpa malu! Pemuda setampan dia disuruh membunuhnya. Apa dia sudah buta?! Belum
lagi pertimbangan tentang ilmunya yang dapat kuduga lebih tinggi dari ilmuku.
Bayangkan saja, jurus totokanku yang kenai pemuda konyol itu dapat dibuyarkan
dengan meminum tuaknya?! Apa bukan ilmu edan-edanan itu namanya?!"
Ketika keduanya saling berdiri
membenahi pakaian dan membersihkan tanah yang menempel di pakaian mereka,
Pendekar Mabuk sengaja pandangi mereka dari jarak empat langkah sambil
perdengarkan suaranya yang masih bernada bersahabat itu. "Sebenarnya apa
yang membuat kalian bersemangat sekali diupah untuk membunuhku oleh Ratu Ladang
Peluh? Apakah karena besarnya upah tersebut atau karena hal lain?!"
"Upah itu bisa dibilang
besar, bisa pula dibilang kecil. Tergantung keadaan orang tersebut. Kalau
sedang miskin, tak punya beras sejimpit pun, tentu saja upah itu termasuk besar
dan menggiurkan hati. Tapi bagi orang yang sudah punya delapan kapal, maka upah
seperti itu dinilai sesuatu yang tak berharga."
"Jawabanmu tak pernah
sesuai dengan pertanyaan, Santana. Sebaiknya kau jangan menjawab!" kata
Suto Sinting agak jengkel, ia segera memandang Mendung Merah yang telah
memasukkan pedangnya ke sarung pedang.
Tapi sebelum gadis itu bicara,
tiba-tiba Suto Sirting tersentak kaget dan cepat bergerak dengan menggunakan
jurus Gerak Siluman'-nya. Zlaapp...! Ia melesat hampiri gadis itu. Mendung
Merah menyangka Suto ingin menerjangnya, ia segera menghindar ke samping kanan.
Gerakan Suto berkelebat di sebelah kirinya.
Blaaarrr...!
Ledakan besar terjadi dan
menggetarkan tanah sekitar tempat itu. Ternyata tindakan Suto tadi adalah
langkah menyelamatkan Mendung Merah dari serangan sinar biru yang melesat dari atas pohon berdaun
rimbun. Sinar biru itu seperti lidi, meluncur cepat mengarah ke kepala Mendung
Merah.
Tetapi dengan berkelebatnya
Pendekar Mabuk, maka sinar biru itu akhirnya menghantam bumbung tuak Suto.
Sinar itu membalik arah dan menghantam dahan pohon bersama timbulnya ledakan
besar tadi.
Zrraak...! Bruuk...!
Dari atas pohon itu melesat
sekelebat bayangan. Rupanya ada seseorang yang nyaris termakan sinar birunya
sendiri yang memantul balik dalam keadaan lebih cepat dan lebih besar dari
keadaan aslinya. Orang tersebut melompat hindari sinar tersebut. Karena
terburu-burunya, maka ia tak berhasil kuasai keseimbangan tubuh, sehingga ia
jatuh terduduk pada saat kakinya mendarat di tanah.
Santana kaget, tapi Mendung
Merah lebih kaget lagi, karena ia sadar bahwa nyawanya nyaris terancam punah
dari peredaran jika tidak segera diselamatkan oleh Pendekar Mabuk. Gadis itu
semakin terkejut setelah mengetahui siapa orang yang melepaskan sinar biru
penjemput nyawanya itu.
"Siapa orang itu?!"
bisik Suto kepada Mendung Merah, karena saat itu Mendung Merah ada di samping
kanannya, sedangkan Santana ada di sebelah kirinya.
*
* * 3
PEMILIK sinar biru itu adalah
seorang lelaki pendek berusia sekitar empat puluh tahun dengan kumis seperti
kelelawar menclok di bawah hidung. Tinggi badannya sebatas perut Suto lebih
sedikit. Lelaki itu mempunyai rambut yang tumbuh di sisi kanan-kiri kepalanya,
sedangkan bagian tengah kepala dari depan sampai ke belakang botak tanpa rambut
sehelai pun.
Ia mengenakan baju berlengan
panjang warna hijau tua dengan celananya berwarna hitam. Baju itu tidak
dikancingkan, sehingga perutnya yang buncit itu tampak berkulit coklat gelap.
Ia juga mengenakan sabuk dari
kain warna merah. Kain merah itu dipakai untuk selipkan golok bergagang hitam
bentuk kepala burung gagak.
Matanya yang beralis tebal itu
memandang lurus dan tajam ke arah Mendung Merah. Pandangan mata itu menandakan
sikap permusuhan yang dalam, seakan tak akan mengenal kata ampun untuk Mendung
Merah.
"Apa maksudmu
menyerangku, Sawung Kuntet?!" seru Mendung Merah dengan suara lantang
menandakan keberaniannya. Suto Sinting sedikit condongkan badannya ke arah
Santana dan berbisik pelan, tak kentara.
"Ooo... namanya Sawung
Kuntet!"
"Sawung itu jago, Kuntet
itu pendek. Berarti dia jagoan yang bertubuh pendek."
"Jagoan apa dulu?"
"Mungkin jagoan sambar jemuran orang? Hee, hee, hee, he...!"
"Sstt...!" desis
Suto menyuruh Santana agar tak cengengesan dulu, karena saat itu bibir si
Sawung Kuntet sudah mulai bergerak-gerak
ingin bicara.
"Aku mau anu kau, karena
kau mau anu Pendekar Mabuk!"
Santana dan Suto Sinting
berkerut dahi, merasa tak jelas dengan kata-kata Sawung Kuntet yang gemar
menggunakan kata 'anu' sebagai pengganti kata yang dimaksud. Suto Sinting
akhirnya bertanya dalam bisikan kepada Mendung Merah.
"Apa maksudnya?"
"Dia ingin membunuhku
karena aku ingin membunuhmu. Kurasa begitulah maksudnya."
"Aneh. Mengapa harus
pakai kata 'anu' untuk mengungkapkan maksudnya?"
"Memang begitulah ciri
bicaranya!" bisik Mendung Merah.
"Sudah lama kau kenal
dia?"
"Cukup lama. Ia orang
Lembah Layon yang ada di kaki Gunung Pare."
Setelah menggumam dan
manggut-manggut, Suto Sinting kerutkan dahi. Pada saat itu Sawung Kuntet
melirik Suto sekejap. Anehnya, lirikan itu tidak tampak bersahabat melainkan
justru kelihatan bermusuhan.
Hati Suto pun membatin,
"Rupanya dia ingin membelaku?! Dengan alasan apa dia ingin selamatkan
diriku?" Mendung Merah ajukan tanya lagi kepada Sawung Kuntet.
"Apa maksud pembelaanmu
terhadap Pendekar Mabuk?!"
"Karena dia anuku!"
"Anumu...?!" Santana
berseru dengan heran. "Anumu bagaimana?!"
"Dia jatahku!"
bentak Sawung Kuntet. "Kau pun juga akan ku-anu setelah anunya gadis itu
melayang!"
Suto Sinting tertawa ditahan,
Santana pun geli dan menutup mulutnya agar tak melepaskan tawa.
"Anunya Mendung Merah
akan melayang, katanya. Melayang ke mana, ya?!" ujar Santana sambil
menahan tawa.
Mendung Merah jelaskan,
"Maksudnya, dia juga akan membunuhmu setelah nyawaku melayang!"
"Ooo...," Suto dan
Santana sama-sama melongo sambil angguk-anggukkan kepala dan memendam rasa geli
dalam hati.
"Apa maksudmu mengatakan
Pendekar Mabuk adalah jatahmu?!"
tanya Mendung Merah lagi.
"Aku sudah di-anu oleh
Ratu Ladang Peluh. "
"Di-anu itu
diapakan?" potong Santana. "Diperkosa apa diperbudak?!"
"Disewa, Bodoh!"
bentak Sawung Kuntet.
"O, jadi kau sudah disewa
oleh Ratu Ladang Peluh?
Disewa untuk apa?!" tanya
Suto. "Untuk meng-anu-mu!"
"Apa lagi artinya itu,
Mendung?" bisik Suto. Mendung Merah pun berbisik, "Mungkin artinya
dia sudah disewa oleh Ratu Ladang Peluh untuk membunuhmu!"
Suto Sinting terkesip. Matanya
segera menatap Sawung Kuntet.
"Benarkah kau sudah
disewa oleh Ratu Ladang Peluh untuk membunuhku?!"
"Benar!" jawabnya
tegas. "Dari tadi kuikuti pembicaraan kalian, sehingga aku meng-anu siapa
kalian berdua. Ternyata dia bernama Santana dan kau yang ber- anu Pendekar
Mabuk!"
Mendung Merah segera bicara
kepada Sawung Kuntet.
"Kurasa sebaiknya
urungkan saja niatmu membunuh Pendekar Mabuk! Kau tak akan mampu menandingi
ilmunya!"
"Justru kau yang harus
anu, dan jangan bermimpi lagi mendapatkan anu besar dari Ratu Ladang Peluh!
Jika kau tak mau mundur, maka kau akan ku-anu sekarang juga! Siapa pun yang
ingin meng-anu Pendekar Mabuk, akan ku-anu lebih dulu sebelum ia berhasil bawa
kepala Pendekar Mabuk ke Ratu anu!"
Santana tampil ke depan sambil
cengar-cengir. "Sawung Kuntet, sedikit banyak aku bisa memahami
maksud kata-katamu. Siapa pun
yang ingin membunuh Pendekar Mabuk maka orang itu akan kau bunuh lebih dulu,
supaya kepala Pendekar Mabuk bisa kau dapatkan, dan kau tukar dengan upah dari
Ratu Ladang Peluh! Tapi ketahuilah
pula Sawung Kuntet...
sebagai orang yang disewa juga
oleh Ratu Ladang Peluh, aku tak gentar sedikit pun jika harus bertarung dulu
denganmu untuk menentukan siapa yang berhak membunuh Pendekar Mabuk! Jadi jika
kau tetap ingin menjadi pembunuh bayaran untuk dapatkan kepala Pendekar Mabuk,
kurasa kau harus beranu-anuan dulu denganku!" "Apa itu
beranu-anuan?!" sentak Mendung Merah.
"Berpukul- pukulan. He,
he, he, he...!"
Santana nyengir. Mendung Merah
masih berwajah ketus, sedangkan Sawung Kuntet menjadi berang karena dibuat
bercandaan oleh Santana. Tiba-tiba tangannya berkelebat seperti melemparkan
pisau ke arah Santana. Ternyata yang keluar dari lemparan tangannya adalah
cahaya merah yang berbentuk seperti piringan bergerigi. Crlaapp...!
Santana segera sodokkan
tongkat bambunya ke depan. Wuuutt...! Dari ujung bambu kuning itu keluar
seberkas cahaya kuning seperti anak panah kecil. Claap...! Cahaya kuning itu
menghantam cahaya merahnya Sawung Kuntet. Maka meledaklah kedua cahaya itu di
pertengahan jarak.
Duuaaarrr...!
Daya sentak ledakan itu
melesat ke dua arah, membuat Sawung Kuntet terdorong mundur hingga lima langkah
dan Santana terpelanting ke belakang sekitar lima langkah.
Suto Sinting segera berdiri di
pertengahan jarak mereka. Pada saat itu, Sawung Kuntet sudah mulai kepalkan
kedua tangannya yang mengeras, seakan ia telah menggenggam tenaga dalam yang
siap dilepaskan dari jarak jauh. Mendung Merah mencabut pedangnya kembali.
Sreett...! Gadis itu berseru sebelum Pendekar Mabuk menyuruh Sawung Kuntet
hentikan serangannya.
"Hadapilah aku lebih
dulu, Sawung!"
Lelaki pendek itu segera
sentakkan kedua tangannya ke arah Mendung Merah sambil membuka genggamannya.
Ternyata sebentuk tenaga dalam cukup besar dilepaskan oleh Sawung Kuntet pada
saat Mendung Merah lakukan lompatan menyerang.
Wuuutt...! Baahkk...!
Tubuh gadis itu terlempar
cukup jauh. Ia seperti diterjang seekor banteng liar yang sedang mengamuk.
Tubuh itu terbanting di bawah pohon dan mengerang lirih di sana.
Brruuuss...!
"Aooh...!"
Suto Sinting membatin,
"Boleh juga tenaga dalamnya yang tanpa sinar itu! Mendung Merah seperti
kapas dihempas badai. Hmmm... rupanya si Sawung Kuntet punya tenaga dalam cukup
besar juga?!"
Rasa ingin menjajal ilmunya
Sawung Kuntet membuat Santana segera maju menyerang. Kali ini ia pergunakan
jurus 'Toya Sakti'-nya yang ditebaskan ke kanan-kiri beberapa kali, lalu
tiba-tiba menyentak ke depan dan dari ujung toya itu keluar jarum-jarum
berkarat yang jumlahnya lebih dari sepuluh batang jarum.
Sraab...! weerrs...!
Jarum-jarum berkarat menerjang Sawung Kuntet. Tetapi pria pendek berkumis
seperti kelelawar itu melayangkan tubuhnya dengan ringan. Wuuutt...! Tubuh itu
bersalto dua kali selama di udara, dan jarum-jarum berkarat itu menancap pada
sebatang pohon, Pohon tersebut menjadi rubuh dalam beberapa kejap kemudian.
Tempat yang terkena jarum-jarum itu tampak hitam membusuk.
Pendekar Mabuk bingung sendiri
melihat sana-sini menyerang Sawung Kuntet. Ia segera melompat ke sisi lain dan
membiarkan Santana hadapi Sawung Kuntet yang sudah mencabut goloknya begitu
kakinya menapak ke bumi.
Jleeg...!
Wut, wut, wut, wuut, wuut...!
Sawung Kuntet tebaskan
goloknya ke arah Santana beberapa kali. Gerakan golok menebas itu sangat cepat
sehingga tampak seperti cahaya putih berkelebat ke sana-sini, karena golok itu
memantulkan sinar matahari.
Rupanya Santana juga dapat
mainkan tongkat bambu kuningnya dengan kecepatan yang sama. Setiap tebasan
golok itu selalu ditangkis dengan bambunya.
Trak, trak, trak, trak,
trak...!
Lalu tubuh Santana berputar
cepat dan tongkatnya menghantam dari arah samping. Buuhk...! Pinggang si Sawung
Kuntet terhantam. Sebelum lelaki itu memekik, Santana segera rendahkan badan
dengan menyapukan tongkatnya ke arah bawah. Wuutt...! Prraakk...!
"Aaow...!" Sawung
Kuntet memekik, karena Santana berhasil menyambar mata kakinya. Pria pendek itu
berdiri dengan satu kaki dan mulai limbung. Santana segera menyodokkan bambu
kuningnya dengan kecepatan tinggi dan secara beruntun. Deb, deeb, deeb,
deeb...!
Suara angin dapat keluar dari
ujung bambu kuning itu dan menghantam dada Sawung Kuntet beberapa kali. Lelaki
itu terdorong mundur gelagapan, akhirnya terlempar dalam gerakan melayang
mundur saat tongkat menyodok telak ulu hatinya. Des...! Wuuutt...!
Brruuk...!
Sawung Kuntet terbanting di
antara akar-akar pohon yang bertonjolan di tanah, ia menyeringai kesakitan.
Santana melompat dengan gerakan jungkir balik menggunakan tongkatnya yang
sesekali menyentuh tanah sebagai penopang tubuh. Wuk, wuuk, wuk...!
Jleeg...! Santana daratkan
kakinya tepat di samping Sawung Kuntet dan terbaring. Tongkat bambu kuning
diangkat dan ingin dihujamkan ke perut Sawung Kuntet. Tetapi pria pendek itu
gunakan tenaga simpanannya hingga tubuhnya bisa melenting naik dengan kedua
kaki terangkat ke atas dalam gerakan jungkir balik. Saat itulah tongkat bambu
kuning berhasil ditendang oleh kaki Sawung Kuntet. Bet...! Tendangan itu sangat
keras, sehingga bambu kuning itu tersentak dan tubuh Santana ikut terbawa
hingga oleng.
Santana yang menggeragap itu
segera disabet dengan golok panjang Sawung Kuntet. Weess...! Tapi bambu kuning
bergerak cepat lindungi pinggang samping sehingga golok itu tak jadi merobek
pinggang melainkan kenai bambu itu dengan keras.
Trraak...! Benturan itu
memercikkan bunga api dalam sekejap, sepertinya golok tersebut beradu dengan
besi baja yang melapisi bambu kuning tersebut. Padahal yang ada dalam lapisan
bambu kuning itu adalah tenaga dalam Santana yang selalu disalurkan ke dalam
bambu tersebut. Begitu sadar goloknya tak kenai sasaran, Sawung Kuntet segera
pergunakan telapak tangan kirinya untuk
menghantam punggung Santana.
Bet! Plaak...!
"Aaah...!" Santana
memekik, punggungnya berasap dan membekas telapak tangan Sawung Kuntet yang
selain bertenaga besar juga mengandung hawa panas api cukup tinggi.
Brruk...! Santana tumbang
dalam keadaan tersangkut. Sawung Kuntet tak mau hentikan serangan sampai di
situ saja, ia mengangkat goloknya dan menghujamkan golok ke punggung Santana
dengan kedua tangan.
"Heaaah...!"
Tapi di luar dugaan, Sawung
Kuntet terpental sebelum goloknya sempat menghujam punggung lawannya, ia merasa
ulu hatinya ditendang seekor kuda jantan dengan kerasnya. Napas bagai
menggumpal di perut, jantung terasa berhenti mendadak. Sawung Kuntet jatuh
terkapar dalam jarak lima langkah dari Santana, ia tak tahu bahwa Pendekar
Mabuk telah lepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya yang berupa sentilan jari
bertenaga dalam tinggi.
"Aahk...!
Aaakkh...!" Sawung Kuntet mendelik dan kelojotan, mulutnya ternganga
karena ingin menghirup udara banyak-banyak. Namun jalur pernapasannya seakan
tersumbat sesuatu yang sulit dihilangkan.
Mendung Merah sudah berdiri
sejak tadi. Rasa sakitnya akibat jatuh terbanting itu sudah dapat diatasi
dengan tarikan napasnya. Gadis itu segera berlari dan lakukan lompatan bersalto
beberapa kali hingga secepatnya tiba di dekat Sawung Kuntet. Jleeg...!
Pedang di tangannya segera
dihujamkan ke dada Sawung Kuntet. Suuut...! Traang...! Mendung Merah
terpelanting jatuh karena pedangnya tersentak kuat dan akhirnya menancap di
tanah. Jreeb...!
Sesuatu yang membuat pedang
Mendung Merah terpental adalah sentilan tenaga dalam juga yang dilakukan oleh
Pendekar Mabuk dari tempatnya berdiri. Sentilan itu tepat kenai pedang, dan
pedang menjadi berat dalam keadaan terlempar. Mau tak mau tubuh Mendung Merah
terbawa oleh pedangnya.
"Hentikan semua!"
seru Pendekar Mabuk kali ini perlihatkan ketegasannya.
Suasana hening sejurus ketika
Pendekar Mabuk hampiri ketiga orang itu. Lalu, suara erangan Santana terdengar
secara samar-samar. Sentakan-sentakan napas Sawung Kuntet pun terdengar lirih
seperti orang cegukan. Pria itu masih mendelik dengan mulut terbuka berusaha
menarik napas beberapa kali.
"Sadarlah kalian bahwa
saat ini aku dapat membunuh kalian semua!" seru Suto Sinting bernada
tegas, namun hatinya tetap bersabar. Suto hanya ingin memberi peringatan kepada
mereka, agar tidak bertarung sendiri- sendiri hanya untuk merebutkan haknya
sebagai pembunuh bayaran Ratu Ladang Peluh.
"Aku sengaja tak ingin
menjadi musuh kalian dengan cara melukai, atau mencederai, bahkan membunuh
kalian! Lupakan tugas kalian sebagai pembunuh bayaran si Ladang Peluh itu,
karena tindakan tersebut hanya akan mengorbankan nyawa kalian secara
cuma-cuma!"
Tak satu pun yang berani
bicara pada saat itu. Apalagi si Sawung Kuntet, sama sekali tak bicara karena
ia sedang sibuk ngap-ngapan mencari lubang napasnya.
Sekali lagi Pendekar Mabuk
tunjukkan sikap bersahabatnya dengan meminumkan tuak sakti kepada mereka.
Dengan begitu, luka dan rasa sakit mereka segera lenyap. Badan mereka pun segar
kembali. Tetapi warna hitam hangus di rompi Santana masih membekas telapak
tangan Sawung Kuntet, dan agaknya bekas itu menjadi suatu peringatan bagi
Santana untuk lebih berhati-hati jika terpaksa harus bertarung lagi melawan
Sawung Kuntet.
Kegalakan lelaki pendek itu
pun menjadi reda dengan sendirinya, karena ia merasa diselamatkan oleh Pendekar
Mabuk, sehingga pernapasannya normal kembali.
"Aku mendapatkan satu
kesimpulan setelah melihat pertarungan kalian yang lamban dan kurang pantas
jika menjadi pembunuh bayaran," ujar Suto Sinting memberanikan diri bicara
agak sombong untuk meluruskan jalan pikiran mereka.
Sambungnya lagi, "Kalian
sebenarnya dimanfaatkan oleh Ratu Ladang Peluh sebagai umpan agar aku
menemuinya. Mengapa kalian dijadikan umpan? Karena dia tak bisa menemukan
diriku dengan mudah, sehingga tak bisa melampiaskan dendamnya!"
Santana melirik Mendung Merah,
saat itu Mendung Merah sendiri melirik Sawung Kuntet yang menatap Suto Sinting
dengan pandangan mata tak setajam tadi. Agaknya mereka sengaja diam untuk
dengarkan ucapan sang Pendekar Mabuk itu.
"Nyawa kalian sama sekali
tidak dihargai oleh Ratu bejat itu. Bayangkan saja, berapa duit kalian dibayar
untuk dapat membunuhku? Sementara dia tahu persis bahwa kalian tak mungkin bisa
membunuhku, justru kalian sendiri akan terbunuh olehku jika kita saling
bertarung. Jika kalian terbunuh, tentu saja dia tak akan keluarkan uang untuk
membayar kalian!"
Suto sengaja diam sesaat untuk
memberi kesempatan kepada mereka merenungi kata-katanya itu. Beberapa kejap
kemudian, Sawung Kuntet perdengarkan suaranya yang mirip orang menggumam,
seakan bicara pada dirinya sendiri.
"Keparat!
Berani-beraninya dia menjadikan anuku sebagai umpan!"
"Anuku itu apa
maksudnya?" tanya Santana. "Nyawaku!" sentak Sawung Kuntet.
"Ooo... nyawamu. Kukira
anumu!" gumam Santana, lalu diam, masalah 'anu' tak dibahas lagi.
Mendung Merah segera berkata,
"Aku tertarik tugas ini bukan semata-mata upah sejumlah uang dan
perhiasan. Terus terang saja aku tertarik tugas ini karena ia berjanji akan
memberi hadiah padaku sebuah pedang sakti yang bernama Pedang Penakluk Cinta,
jika aku berhasil membawa pulang kepala Pendekar Mabuk."
"Aku juga akan diberi
hadiah Pedang Penakluk Cinta jika bisa memenggal kepalamu, Suto!" ujar
Santana. Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum lebar setengah geli.
Sawung Kuntet segera berkata,
"Dia juga ber-anu begitu padaku, dan aku sangat tertarik dengan Pedang
Penakluk anu. "
"Husy! Penakluk anu
bagaimana?!" sentak Santana. "Maksudku. Pedang Penakluk Cinta!"
"Bicaralah yang
lengkap!"
"Apa hakmu mengatur
bicaraku?!" sentak Sawung Kuntet menegang. Suto Sinting segera meredakan
kembali ketegangan itu.
"Ratu bejat itu memang
licik!" ujar Suto Sinting. "Kalian boleh percaya boleh tidak, Pedang
Penakluk Cinta sudah kuhancurkan saat berada di tangan Jerami Ayu!"
Ketiga orang itu saling
pandang dengan dahi berkerut.
Suto menyambung, "Kalian
boleh tanyakan kepada Ki Belantara, jika kalian kenal dengan beliau. Ki
Belantara adalah saksi mata saat aku menghancurkan Pedang Penakluk Cinta.
Karena pedang itu kuhancurkan, maka Ratu Ladang Peluh sangat marah dan
mendendam padaku, tapi tak bisa melampiaskan kemarahannya. Kurasa ia sudah
cukup lama mencari-cariku namun tak berhasil dijumpai, sehingga ia menggunakan
umpan nyawa kalian. Harapannya, jika kalian sekarat ditanganku, tentunya kalian
akan bicara siapa yang menyuruh kalian. Dan kalau sudah begitu, dia berharap
aku mendatanginya ke Bukit Randa!"
"Bangsat kurap! Pedang
sudah anu ditawarkan sebagai anu!" geram Sawung Kuntet.
Wajah tiga orang utusan Ratu
Ladang Peluh itu tampak memendam kejengkelan. Mendung Merah bahkan kelihatan
menyembunyikan rasa malu di hadapan Pendekar Mabuk, ia tak berani menatap
langsung ke mata si murid sinting Gila Tuak itu.
"Kurasa bukan hanya kita
saja yang dikerahkan sebagai orang upahannya!" kata Santana sambil
tersenyum kecut. "Mungkin lebih dari lima atau enam orang."
Mendung Merah segera berkata
dengan nada menggeram, "Aku akan bikin perhitungan sendiri dengan Ratu Ladang Peluh! Ia telah
menganggapku sebagai gadis bodoh dengan cara seperti ini!"
"Aku pun akan memberi
pelajaran pada anu-nya yang busuk itu!" Sawung Kuntet ikut-ikutan
menggeram.
"Apa benar anu-nya Ratu
Ladang Peluh itu busuk?!" tanya Santana sambil tersenyum menahan geli.
"Yang kumaksud, mulutnya!
Mulut busuk itu harus dihajar biar anu!"
Pendekar Mabuk segera berkata,
"Itu urusan kalian! Aku tak menyuruh kalian bertindak begitu. Hanya saja,
yang jelas aku tak akan layani dendam si Ratu Ladang Peluh itu! Aku punya
urusan lain yang lebih penting dari melayani dendamnya!"
Santana perdengarkan suaranya
yang kalem, "Aku hanya akan minta bukti keutuhan Pedang Penakluk Cinta
itu. Jika ia bisa tunjukkan pedang itu masih utuh, akan kulanjutkan tugasku
mengejar kepalamu, Suto. Tapi jika ia tak bisa tunjukkan pedang itu, berani
pedang itu benar-benar hancur dan... yah, mungkin kepalanya kubuat hancur juga
dengan bambu gadingku ini!"
"Gagasanmu itu bagus!
Pertama, untuk membuktikan kebenaran kata-kataku tentang pedang yang sudah kuhancurkan
itu. Kedua, untuk menelanjangi tipu muslihatnya! Tentang yang lain-lain,
terserah dirimu sendiri, Santana."
"Anu-nya ratu itu memang
palsu!" ujar Sawung Kuntet.
"Anu-nya palsu? Maksudnya
anu-nya dari karet, begitu?!" tanya Suto.
"Pengakuannya palsu!"
sentak Sawung Kuntet menjelaskan.
"Ooo... pengakuannya?!
Kukira... kukira giginya yang palsu," gumam Suto Sinting sambil tertawa.
Mendung Merah sembunyikan
senyum. "Dia pandai menutupi otak ngeresnya!" ujar Mendung Merah
membatin.
"Dia mengaku, anu-nya kau
acak-acak, dan ia sangat sakit hati padamu."
"Ah, yang benar saja!
Mana mungkin aku mengacak- acak anunya!"
Mendung Merah yang menyahut,
"Maksudnya, ia mengaku istananya di Bukit Randa itu kau acak-acak! Sebab,
di depanku pun ia mengaku demikian."
"Ooo... istananya?"
Suto Sinting manggut-manggut sambil tersenyum, sementara Mendung Merah sengaja
bersungut-sungut dengan gerutu tak jelas. Wajahnya tampak semakin cantik dan
menarik dalam keadaan cemberut begitu.
Santana juga ingin katakan hal
yang sama tentang pengakuan Ratu Ladang Peluh. Tetapi sesuatu telah membuat
Santana tak jadi bicara.
Sekelebat bayangan melintas di
depan mereka, tepat di belakang Pendekar Mabuk. Mereka menjadi cemas dalam
keadaan tegang. Sosok bayangan yang muncul di belakang Suto Sinting itu tak
lain adalah tokoh yang dikenal oleh mereka bertiga.
*
* *
4
TOKOH yang baru muncul itu
bertubuh kurus, ceking, jangkung dan bermata cekung. Ia seorang lelaki tua yang
mempunyai rambut berwarna biru. Rambut itu panjangnya sepundak, berkesan kusut,
tanpa ikat kepala. Ia tak berkumis dan tak berjenggot, namun alisnya yang tebal
juga berwarna biru.
Jubahnya yang berlengan
panjang dan bagian depannya tidak dikancingkan itu juga berwarna biru muda
seperti rambutnya. Tapi celana komprangnya berwarna abu-abu, bukan biru lagi.
Kakek berusia sekitar delapan puluh tahun itu mempunyai kulit yang kusam dan
berkeriput. Dadanya yang tinggal tulang dibungkus kulit itu masih tersisa tato
semasa muda. Tato yang lebarnya pas satu dada itu bergambar seekor burung
sedang lebarkan sayapnya.
Pendekar Mabuk merasa asing
dengan kemunculan kakek bertongkat hitam itu. Sepanjang ingatannya, ia merasa
belum pernah jumpa dengan tokoh tua tersebut. Tapi si tokoh tua menatapnya
dengan pandangan mata yang dingin dan menggetarkan hati.
"Kau kenal kakek
itu?" bisik Suto kepada Mendung Merah.
"Dia yang bernama Eyang
Bintara alias Geledek Biru!"
Santana yang mendengar
bisik-bisik itu segera menimpali dengan bisikan pula.
"Dia adalah Penguasa Kuil
Keramat di Bukit Belatung! Di kawasan tenggara, dia sangat dikenal, ditakuti
dan disegani."
Sawung Kuntet nimbrung juga,
"Anu-ya sangat banyak!"
"Apanya maksudmu?"
"Pengikutnya!" geram
Sawung Kuntet.
"Dia guru besar dari
Perguruan Badai Keramat!" tambah Mendung Merah. Si tampan Pendekar Mabuk
hanya menggumam dan manggut-manggut kecil. Setelah beradu pandang sebentar,
tiba-tiba saja si Geledek Biru surutkan pandangan matanya, tak sedingin tadi,
tak setajam saat ia datang. Mereka yang mengenal siapa Geledek Biru menjadi
heran melihat surutnya pandangan mata tersebut. Tak biasanya Geledek Biru
surutkan pandangan mata dalam berhadapan dengan siapa pun.
Zeeeb...! Geledek Biru
bergerak dekati Suto Sinting dengan gerakan kaki tak menyentuh tanah, seperti
melayang cepat dan berhenti dengan cepat pula.
Yang lain mundur dua langkah,
tapi Suto Sinting tetap diam di tempat dalam jarak empat langkah dari Geledek
Biru. Pemuda itu masih menampakkan
sikapnya yang tenang, seakan menghadapi manusia biasa. Padahal dalam hati Pendekar
Mabuk mulai mengakui kehebatan ilmu Geledek Biru dengan cara memperhatikan
gerakan kakek tersebut saat mendekatinya tanpa menyentuh tanah.
"Pasti kau yang berjuluk
Pendekar Mabuk!" ujarnya dengan nada tegas dan suara masih jelas.
"Benar, Eyang! Aku yang
berjuluk Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak!" jawab Suto Sinting dengan
tegas pula.
Santana beranikan diri
bersuara setelah Geledek Biru dan Pendekar Mabuk saling membisu dalam beradu
pandang.
"Maaf, Eyang Geledek
Biru, apakah Eyang juga diminta bantuannya oleh Ratu Ladang Peluh untuk
membunuh Pendekar Mabuk?!" Sebelum pertanyaan itu dijawab oleh Geledek
Biru, gadis berpakaian merah itu segera menimpalinya.
"Eyang Geledek Biru,
mohon Eyang tidak terpengaruh oleh kata-kata Ratu Ladang Peluh. Mohon pula,
pertimbangkan baik-baik pengaduan Ratu Ladang Peluh itu. Jangan sampai Eyang
Geledek Biru termakan fitnah atau terpedaya olehnya."
Sawung Kuntet jadi ikut
bicara, "Kami semua di-anu oleh Ratu Ladang Peluh, Eyang!"
"Di-anu itu
diapakan?!" sahut Santana.
"Ditipu, maksudku!"
Sawung Kuntet agak menyentak.
Mendung Merah berkata lagi,
"Pendekar Mabuk bukan orang yang patut dipenggal kepalanya, tapi Ratu
Ladang Peluh itulah yang patut dipenggal kepalanya, Eyang!"
Suto Sinting pandangi
sekeliling, menatap wajah para utusan Ratu Ladang Peluh satu persatu.
Keheningan terjadi karena mereka saling bisu. Geledek Biru juga pandangi
wajah-wajah di belakang Pendekar Mabuk.
Kejap berikut, sebelum Suto
Sinting ingin mengawali percakapannya, si Geledek Biru kembali perdengarkan
suara dengan nada rendah.
"Justru aku ke sini ingin
menanyakannya kepada Pendekar Mabuk, benarkah dia yang membunuh Ratu Ladang
Peluh?!"
"Bukan membunuh,
Eyang!" sahut Mendung Merah. "Tapi menurut pengakuan Pendekar Mabuk,
dialah yang hancurkan Pedang Penakluk Cinta milik sang Ratu itu, Eyang."
Geledek Biru seperti orang
menggumam, "Lalu, siapa yang membunuh Ratu Ladang Peluh?"
Ketiga wajah di belakang Suto
Sinting saling tatap satu dengan yang lainnya. Pendekar Mabuk pun kerutkan dahi, sama seperti mereka. Tatapan
mata si Pendekar Mabuk tertuju ke wajah bermata cekung di depannya, setelah
tadi ia sempatkan diri menengok ke belakang dan pandangi wajah-wajah mereka
yang penuh keheranan itu.
"Membunuh bagaimana
maksudnya, Eyang?!" kini Suto Sinting beranikan diri untuk bertanya kepada
si Geledek Biru. Yang ditanya justru membungkam mulutnya sesaat dengan tetap
pandangi bola mata Pendekar Mabuk. Beberapa saat kemudian, suara si Geledek
Biru pun terdengar kembali.
"Ladang Peluh ditemukan
tewas di pantai bersama empat orang pengawalnya."
"Ooh...?'" mereka
saling menggumam kaget. "Mayat mereka ditemukan oleh salah seorang muridku
dalam keadaan terpenggal kepalanya. Sementara itu, kudengar kabar dari Jerami
Ayu, bahwa Ratu Ladang Peluh mencari-cari Pendekar Mabuk untuk lampiaskan
dendamnya. Maka kucoba untuk mencari dan menemukan Pendekar Mabuk dengan caraku
sendiri."
"Bukan aku yang
membunuhnya, Eyang," kata Suto Sinting dengan nada bicara tetap ramah.
"Justru aku yang sedang diburunya dan ingin dipenggal kepalaku,
sampai-sampai dia menyuruh tiga orang di belakangku ini untuk memenggal
kepalaku. Tapi setelah kujelaskan bahwa mereka diperdaya oleh Ratu Ladang
Peluh, mereka justru menjadi sahabatku, Eyang!"
"Kapan mayat Ratu Ladang
Peluh ditemukan, Eyang?" tanya Mendung Merah.
"Kemarin sore!"
jawab Geledek Biru. Ia melirik Mendung Merah sebentar yang terperangah, lalu
menatap Suto Sinting lagi.
"Kurasa... seorang
Manggala Yudha sepertimu tak perlu mendustaiku. Pendekar Mabuk!"
Suto Sinting kaget disebut
'Manggala Yudha' alias sang senopati atau panglima perang, itu berarti si
Geledek Biru mampu melihat noda merah kecil di kening Suto yang menjadi tanda
bahwa dirinya adalah Manggala Yudha Kinasih dari negeri Puri Gerbang Surgawi di
alam gaib. Noda merah kecil itu pemberian Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya,
atau ibu dari Dyah Sariningrum. Noda merah itu tak bisa dilihat oleh sembarang
orang, kecuali oleh orang berilmu tinggi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Manusia Seribu Wajah").
Pendekar Mabuk mulai simpulkan
bahwa si Geledek Biru memang berilmu tinggi, terbukti ia dapat melihat noda
merah di kening Suto Sinting. Tetapi nada bicaranya tadi seperti tidak percaya
dengan pengakuan Suto, sehingga si murid sinting Gila Tuak terpaksa meyakinkan
sekali lagi kepada Geledek Biru.
"Sungguh, Eyang! Aku
bukan orang yang menewaskan Ratu Ladang Peluh! Bahkan bertemu pun belum
pernah."
Si rambut biru itu
manggut-manggut, kalem tapi berwibawa.
"Kalau begitu, pasti
orang lain yang membunuh si Ratu Ladang Peluh itu!"
"Kurasa memang begitu,
Eyang!" kata Suto Sinting, namun dalam hatinya membatin, "Mengapa ia
sangat peduli dengan kematian Ratu Ladang Peluh? Apakah ia punya hubungan
keluarga dengan Ratu bejat itu?!"
Seperti orang yang tahu maksud
hati orang lain, Geledek Biru tanpa diminta telah jelaskan alasannya dalam
mencari Pendekar Mabuk.
"Aku sengaja mencarimu,
karena kusangka kau yang membunuhnya. Seandainya memang kau yang membunuhnya,
maka yang ingin kutanyakan, apakah Serat Sekar Siluman ada padamu?"
Kerutan dahi Suto Sinting
menjadi semakin tajam, demikian pula kerutan dahi ketiga orang di belakangnya.
Mereka merasa asing dengan kata-kata 'Serat Sekar Siluman' yang sama sekali tak
dimengerti maksudnya itu. Maka si Pendekar Mabuk pun menanyakannya kepada
Geledek Biru, dan kakek tua yang mirip tengkorak berkulit itu segera jelaskan
maksud kata-kata itu.
''Yang kumaksud dengan 'Serat
Sekar Siluman' itu adalah kitab kecil seukuran telapak tangan yang selalu
diselipkan di pinggang Ladang Peluh. Kitab keramat itu terdiri dari sepuluh
lembar, terbuat dari kulit rusa. Kitab itu berisi mantra-mantra pemanggil
kekuatan iblis. Mantra-mantra itu tidak bisa diingat atau dihafalkan, jadi cara
menggunakannya harus dibaca. Jika si Ladang Peluh membaca salah satu dari
kesepuluh mantra dalam kitab tersebut, maka kekuatan iblis yang maha dahsyat
akan datang dan menyatu dalam jiwa raganya."
Mereka manggut-manggut
serempak, kecuali si kakek kurus itu. Beberapa saat setelah suasana sempat
menjadi hening karena tak ada yang bersuara, Santana segera ajukan tanya kepada
si Geledek Biru.
"Jika benar kitab yang
dapat mendatangkan kekuatan iblis itu selalu dibawa dan terselip di pinggang
Ratu Ladang Peluh, mengapa ia bisa terbunuh, Eyang?!"
"Tentunya ia belum sempat
membaca salah satu dari kesepuluh mantra itu, maka seseorang sudah lebih dulu
berhasil membunuhnya. Tetapi jika saat itu Ratu Ladang Peiuh punya kesempatan
membaca satu saja dari sepuluh mantra keramat tersebut, maka orang yang
membunuhnya itu justru akan kehilangan nyawanya sendiri," tutur Geledek
Biru dengan kata demi kata dapat didengar secara jelas.
Sambungnya kembali, "Aku
yakin, 'Serat Sekar Siluman' itu ada padanya sebelum ia tewas. Dan setelah ia
tewas, 'Serat Sekar Siluman' dicuri pula oleh si pembunuhnya itu. Karena pada
waktu mayat Ladang Peluh ditemukan oleh tiga orang muridku, keadaan sabuk dan
angkinnya terlepas, menandakan seseorang telah sengaja melepas sabuk dan angkin
itu untuk mengambil 'Serat Sekar Siluman' tersebut."
"Dari mana Eyang tahu
kalau kitab itu ada padanya?" tanya Mendung Merah. "Kitab itu adalah
milikku!"
"Ooh...?!" Mendung
Merah dan Santana menggumam bersama dengan nada terperanjat.
"Satu purnama yang lalu,
kitab itu dicuri, atau lebih tepatnya lagi dirampas oleh si Ladang Peluh saat
kitab tersebut berada di tangan muridku yang bernama: Jati Kumarang."
"Apakah Jati Kumarang
tidak melawannya kala itu?" tanya Suto Sinting.
"Jati Kumarang seorang
pemuda tampan sepertimu. Sayang sekali ia mudah tergoda bujuk rayu dan kecantikan
si ratu celaka itu. Ia terbuai oleh kemesraan, sehingga dengan mudahnya
melepaskan kitab tersebut. Ketika ia sadar, ia tak bisa ungguli kekuatan Ratu
Ladang Peluh."
Geledek Biru hentikan kata
sejenak. Menerawang bagai mengenang sang murid dengan napas ditarik
panjang-panjang.
"Jati Kumarang terkena
luka beracun. Saat ia menghadapku dan melaporkan bencana itu, aku terlambat
selamatkan nyawanya, karena racun yang mengenainya begitu ganas dan segera
merenggut nyawanya," sambung Geledek Biru dengan memendam kesedihan.
"Mengapa kitab itu tidak
segera Eyang rebut dari tangan Ratu Ladang Peluh?" ujar Mendung Merah
setelah mereka saling bungkam sesaat. "Kala itu Ladang Peluh masih
mempunyai pusaka yang sangat membahayakan, yaitu Pedang Penakluk Cinta. Aku
pernah mencobanya mengadu nyawa dengan Ladang Peluh, tapi hampir saja mati di
ujung pedang itu. Ia nyaris berhasil menikam jantungku melalui bekas telapak
kakiku di tanah. Dan ketika aku berhasil menguasai ilmu peringan tubuh yang
kunamakan jurus 'Tapak Angin', yang membuatku dapat berjalan tanpa meninggalkan
bekas telapak kaki di tanah ini, ternyata semuanya sudah terlambat. Bahkan
kudengar dari mulut Jerami Ayu sendiri, bahwa Pedang Penakluk Cinta telah
dihancurkan oleh pendekar Mabuk. Sayang sekali dalam keadaan seperti ini,
Ladang Peluh telah tewas dan kitab itu sudah disambar pencuri lain!"
"Kira-kira siapa anu-nya,
Eyang?!" tanya Sawung Kuntet. "Maksud saya... siapa pelakunya?"
"Semula kusangka sang
Pendekar Mabuk inilah pelakunya. Tapi ternyata kutemukan kejujuran dari bola
matanya, bahwa dia bukan pelakunya. Jika begitu, pasti ada pihak lain yang
mempunyai ilmu cukup tinggi juga dan berhasil menewaskan Ladang Peluh bersama
keempat orangnya itu. Tentu saja si pelaku adalah orang yang tahu tentang kitab
'Serat Sekar Siluman' tersebut. Jika tidak, tak mungkin ia membawa lari kitab
itu setelah membunuh Ladang Peluh!"
Suto Sinting hembuskan napas
panjang. Kini ia tahu, bahwa hancurnya Pedang Penakluk Cinta membuat Ratu
Ladang Peluh menjadi sangat murka. Perempuan itu bermaksud menghancurkan Suto
melalui mantra yang ada di dalam kitab 'Serat Sekar Siluman' yang selalu
dibawanya dalam pencarian itu. Tetapi sayang sekali ada pihak yang mengincar
kitab itu di luar dugaan Ratu Ladang Peluh, sehingga sang Ratu bejat itu tewas
lebih dulu sebelum berhasil muntahkan murkanya kepada Pendekar Mabuk.
Suto yakin, sang Ratu bejat
mengetahui hancurnya Pedang Penakluk Cinta adalah karena laporan dari Jerami
Ayu. Sebab ketika pedang itu hancur, Suto membiarkan perempuan itu lolos. Besar
kemungkinan si Jerami Ayu yang telah memisahkan diri dari Ratu Ladang Peluh,
kembali ingin bergabung lagi.
Pedang Penakluk Cinta pada
mulanya dicuri oleh Sunggar Manik dari tangan Ratu Ladang Peluh. Dalam
pelariannya, Sunggar Manik bertemu dengan Jerami Ayu yang rupanya sudah lama mengincar pedang
tersebut. Jerami Ayu berhasil merebut pedang itu dengan bantuan Mahesa Gondes,
murid Ki Belantara. Jerami Ayu ingin tundukkan hati pemuda tampan yang bernama
Sambada dengan menggunakan pedang tersebut. Namun akhirnya pedang itu hancur di
tangan Pendekar Mabuk, setelah dipakai membunuh Sunggar Manik.
Jerami Ayu bisa saja berlagak
tak pernah memegang pedang tersebut, ia pura-pura menjadi saksi mata
pertarungan antara Sunggar Manik dan Pendekar Mabuk yang menewaskan Sunggar
Manik dan menghancurkan pedang tersebut. Dengan membawa keterangan berharga itu
ia menghadap Ratu Ladang Peluh dengan harapan dapat diterima kembali sebagai
pengikut si Ratu bejat itu.
"Mungkinkah si Jerami Ayu
sendiri yang membunuh Ratu Ladang Peluh, Eyang?" ujar Suto Sinting memecah
kebisuan mereka.
"Tak mungkin!" tegas
Geledek Biru. "Jerami Ayu tak akan mampu ungguli ilmunya si Ladang Peluh,
ia memang kecewa terhadap sikap Ladang Peluh karena niatnya bergabung kembali
ditolak sang Ratu, walaupun ia telah menjadi pembawa berita tentang hancurnya
Pedang Penakluk Cinta. Tapi Jerami Ayu tak mungkin berani melawan Ladang Peluh,
terbukti ia justru datang kepadaku dan dengan maksud meminta bantuanku untuk
kalahkan Ladang Peluh. Tapi aku menolaknya, karena aku tahu Jerami Ayu bukan
perempuan baik-baik. Ia perempuan yang licik dan serakah."
"Kalau begitu, sangat
berbahaya jika kitab keramat itu jatuh di tangan Jerami Ayu!" ujar Santana
kepada Mendung Merah.
"Di tangan manusia
serakah siapa pun, kitab keramat itu sangat berbahaya karena bisa menjadi
bencana bagi kehidupan manusia," ucap Eyang Bintara alias si Geledek Biru.
"Jika begitu, aku akan
membantumu mencari kitab keramat itu, Eyang!" ujar Suto Sinting menyatakan
kesanggupannya.
"Bila perlu, hancurkan
saja kitab itu agar tak menjadi biang petaka dan bahan incaran orang-orang
serakah!" kata Geledek Biru. "Aku rela tak memiliki kitab itu,
daripada bumi ini menjadi hancur karena kitab itu!" "Aku juga akan mencoba
ikut membantu mencarikan kitab itu, Eyang," ujar Santana, seakan tak mau
kalah gengsi dengan Pendekar Mabuk.
Mendung Merah akhirnya
berkata, "Aku hanya sanggup sampai mengetahui siapa pemegang kitab keramat
itu sekarang. Barangkali aku tak punya kesanggupan untuk merebut kitab itu,
karena aku tak mau menjadi korban mantra kekuatan iblis yang ada di dalam kitab
tersebut, Eyang."
"Kuhargai kesanggupanmu
walau cukup sederhana itu, Mendung Merah!"
Sawung Kuntet yang semula diam
saja kini jadi ikut bicara juga.
"Aku akan anu ke Lembah
Layon. Aku tak berani anu-anuan seperti kalian."
"Tak berani apa
maksudmu?"
"Ikut-ikutan!"
sentak Sawung Kuntet dengan dongkol. Santana nyengir tanpa pedulikan wajah
murung si pria pendek itu.
*
* *
5
BARU saja mereka ingin
berpencar, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara gemuruh yang menggetarkan
bumi. Suara gemuruh itu tak diketahui dari mana datangnya. Tetapi getarannya
sungguh mencemaskan hati mereka, karena tanah di sekitar tempat itu mulai retak
dan membentuk celah-celah lebar. Bahkan sebagian tanah ada yang amblas ke
dalam, menelan dua pohon besar.
"Selamatkan diri kalian
maaing-masing!" seru Geledek Biru. Seruan itu membuat mereka menyebar dan
mencari tempat yang dapat dipakai untuk menyelamatkan diri dari ancaman maut
itu.
"Mantra di dalam kitab itu pasti ada yang membacanya! Cari orang yang telah
mengucapkan mantra tersebut! Ini bencana berasal dari kekuatan iblis!"
Baik Suto Sinting atau yang lain masih sempat mendengar seruan si Geledek Biru.
Tetapi mereka tak sempat balas berseru, karena beberapa saat kemudian hembusan
angin menjadi hembusan badai. Suara
gemuruh semakin jelas, dibarengi kilatan cahaya petir yang menyambar ke
sana-sini. Ledakan di pucuk pohon terjadi beberapa kali. Pohon-pohon yang
disambar petir itu mengepulkan asap, bahkan ada yang pecah dan ditelan gerakan
tanah yang longsor ke dalam bumi. Langit menjadi gelap, awan hitam makin tebal
dan menutupi hampir sebagian besar permukaan langit.
Suasananya seperti awal kiamat
yang datang tanpa diduga-duga oleh siapa pun.
"Aaauuuh...!"
Mendung Merah menjerit, ia jatuh terperosok dalam keretakan tanah, seakan
dihisap dari dalam bumi.
Melihat keadaan gadis itu
sangat membahayakan, Pendekar Mabuk segera melesat dengan sangat cepat.
Weeess...! Wuuutt...! Tangan gadis itu disambarnya. Dalam sekejap saja Mendung
Merah telah berada dalam pelukan Suto dan dibawa menjauh dari tempat tersebut.
Zlaap, zlaap, zlaap...!
Mendung Merah terengah-engah,
tubuhnya terasa lemas karena merasa hampir tak bernyawa lagi. Ia bersyukur setelah
mengetahui dirinya sudah berada di sebuah bukit yang tak terlalu tinggi dan
dapat memandang kehancuran alam di bawah sana. Namun gadis itu cepat tersentak
kaget setelah menyadari berapa dalam pelukan Pendekar Mabuk.
"Ooh... kau...?!"
"Oh, hmm... eeh...,"
Pendekar Mabuk sendiri segera menggeragap dan mengalihkan perhatiannya ke wajah
Mendung Merah, ia buru-buru melepaskan pelukannya, karena tadi terkesima
melihat alam yang nyaris hancur bagal dilanda kiamat itu. Sekalipun kini
gemuruh itu telah lenyap dan suasana sudah menjadi tenang, namun ternyata
gemuruh di dalam dada Suto Sinting masih terasa menggetarkan tubuhnya dan
membuatnya tergagap-gagap.
"Apa yang terjadi... yang
terjadi di sana itu, eeh... Iya, di sana!" Suto Sinting mencoba alihkan
perhatian untuk menutup rasa malunya, ia merasa seperti pemuda jalang yang
berani memeluk seorang gadis tanpa permisi. Untungnya Mendung Merah juga segera
alihkan perhatian, seakan tak ada masalah tentang pelukan penyelamatan tadi,
walau hatinya pun bergemuruh digoda oleh perasaan malu, geli dan gembira.
"Kudengar suara si
Geledek Biru tadi berseru mengatakan ada orang yang telah menggunakan kitab itu
dengan mengucapkan salah satu mantranya," kata Mendung Merah sambil
berpura-pura tak merasa pernah dipeluk Pendekar Mabuk.
"Siapa yang menggunakan
mantra dalam kitab itu?!" "Mana ada yang tahu?! Justru si Geledek
Biru tadi
berseru agar kita mencari
orang yang memegang kitab tersebut!"
"O, Iya. Benar. Aku tadi
juga mendengarnya. Tapi, hei... di mana mereka?"
Dari tempat tinggi itu, mata
Pendekar Mabuk dan Mendung Merah mencari-cari mereka, yang tadi ada di
kanan-kirinya. Tak terlihat batang hidung si murah senyum; Santana. Juga tak
terlihat sepotong gigi pun milik juragan 'anu' Sawung Kuntet. Bahkan Eyang
Bintara alias si Geledek Biru itu juga tak kelihatan kemana gerakannya. Mungkin
mereka menjadi korban bencana alam sepintas tadi, mungkin terkubur ke dalam
bumi, mungkin pula lolos dari maut dan berada di tempat lain.
"Kita terpisah dari
mereka," ujar Mendung Merah dengan mata masih memandang pohon-pohon yang
tumbang berserakan dan tanah yang rusak berat.
"Ya, kita memang terpisah
dari mereka. Tapi apakah hal ini membuat kita harus merasa takut?"
"Aku tidak berkata
begitu," kata Mendung Merah sedikit ketus, karena ia agak tersinggung
dianggap merasa takut. Pendekar Mabuk tersenyum kalem. Ketenangannya sudah
berhasil pulih dan dikuasai. "Sebaiknya kita cari si pemegang kitab
keramat itu sambil memeriksa tempat tadi. Siapa tahu ada yang tergencet pohon,"
ujar Suto Sinting.
Mendadak mereka mendengar
suara letusan yang tak begitu keras. Letusan itu seperti suara perpaduan tenaga
dalam yang dihantamkan dari kedua orang dalam suatu pertarungan. Pendekar Mabuk
segera mengajak Mendung Merah untuk datangi tempat tersebut, melihat apa yang
terjadi di sana.
"Oh...?! Lihat, siapa
yang terkapar itu?!" ujar Mendung Merah sambil menuding ke satu arah, di
samping gundukan tanah setinggi kuda itu. Di sana tampak seseorang berpakaian
hijau-hitam tergeletak dengan wajah biru memar dan sedang kejang-kejang. Orang
itu tampak sedang mendekati ajalnya karena luka pukulan yang menghangus di
bagian dadanya.
"Celaka! Ada apa dengan
si Sawung Kuntet itu?!" gumam Suto tegang, lalu segera berkelebat dekati
Sawung Kuntet yang sedang sekarat. Mendung Merah pun ikut berkelebat hampiri
Sawung Kuntet.
"Siapa lawannya?!"
sambil mata Suto memandang sekeliling dengan tajam. Tetapi mereka berdua tidak
melihat ada orang di sekitar tempat itu. Mereka yakin, Sawung Kuntet
ditinggalkan begitu saja oleh lawannya.
"Aku akan mencari di
sekitar sini!" ujar Suto Sinting. Namun sebelum bergegas pergi, lengannya
segera dicekal oleh Mendung Merah.
"Bagaimana dengan dia?
Apakah kita biarkan mati di sini atau kita tolong dulu dengan tuakmu itu?"
"Ya, ampun...! Hampir saja aku lupa!" Suto Sinting segera tuangkan
tuak ke mulut Sawung Kuntet secara pelan-pelan agar tak banyak tuak yang
terbuang sia-sia.
"Tunggu dia, dan tanyakan
padanya siapa orang yang melukainya tadi!"
"Kau mau ke mana?!"
"Mengejarnya di sekitar sini!"
"Hei, tunggu dulu!
Bagaimana kau bisa mengejar lawan si Sawung Kuntet ini jika belum tahu siapa
orangnya?!" seru Mendung Merah. Tetapi pada saat itu Suto Sinting sudah
berkelebat jauh, karena ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya
menyamai kecepatan cahaya itu.
Tuak sakti Pendekar Mabuk yang
ditelan Sawung Kuntet itu telah membuat si juragan 'anu' segera sadar. Luka
parahnya terkikis habis oleh kesaktian tuak tersebut. Dalam beberapa kejap ia
sudah dapat mengenali wajah Mendung Merah yang berdiri tak jauh darinya, ia pun
segera bangkit terduduk. Napasnya yang menjadi longgar itu menghirup udara
banyak-banyak, seakan ingin mengganti udara yang tadi tak sempat terisi di
paru-parunya.
"Siapa yang sembuhkan
anuku ini?" tanya Sawung Kuntet saat dipandangi Mendung Merah dengan sikap
masih tetap ketus, seakan tak pernah bisa ramah kepada pria pendek itu.
"Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk itu yang mengobatimu."
"O, pantas...,"
gumamnya pelan. "Orang itu menghantam anuku seenaknya saja!" tambah
Sawung Kuntet sambil berdiri.
"Apamu yang
dihantamnya?!" "Anuku!"
"Dadamu?"
"Benar-benar anuku!"
sentak Sawung Kuntet sambil melirik bagian bawahnya. "Bukan dadaku saja,
tapi anuku juga kena!"
Mendung Merah buang muka
karena ia ingin tertawa. "Sekarang ke mana si Pendekar Anu itu?!"
"Pergi mencari orang yang
menyerangmu," jawab Mendung Merah dengan ketus.
"Celaka! Pendekar Mabuk
pasti celaka kali ini!" "Kenapa?!" sergah Mendung Merah, tampak
segera
menjadi cemas.
"Orang itu... lawanku
tadi... dia membawa anu, kurasa "
"Membawa anu bagaimana?!
Yang jelas!" bentak Mendung Merah.
"Membawa kitab keramat
yang dikatakan oleh Eyang Bintara tadi!" Sawung Kuntet ganti membentak,
menandakan tak suka mendapat bentakan.
Mendung Merah menjadi semakin
tegang. "Jadi jadi
lawanmu tadi membawa kitab
'Serat Sekar Siluman'?! Kau melihat dengan jelas dia memegangnya, atau hanya
kira-kira saja?!"
"Dia kupergoki sedang
membuka-buka anu, dan. "
"Membuka anu
bagaimana?!"
"Membuka kitab!"
sentak Sawung Kuntet. "Kitab itu berwarna coklat, kecil, tampak terbuat
dari kulit anu... kulit rusa, maksudku."
"Kau mengenali
orangnya?!"
"Tidak. Kurasa selama ini
aku belum pernah menganu dia... mengenali dia!"
Gadis itu menarik napas penuh
kecemasan. Setelah diam sesaat memikirkan langkahnya, akhirnya ia segera
melesat tinggalkan Sawung Kuntet sambil berseru, "Aku mau menyusul
Pendekar Mabuk! Dia pasti dalam bahaya!"
"Masa bodo! Lebih baik
aku pulang saja, daripada anuku kena lagi," gerutu Sawung Kuntet, kemudian
ia pergi tinggalkan tempat itu berbeda arah dengan kepergian Mendung Merah.
Suto Sinting sempat jengkel
dalam hatinya, karena sudah mencari dalam radius sepuluh kilometer tapi tetap
tak temukan siapa pun di sekitar tempat itu. Bahkan ketika ia kembali ke tempat
semula, ternyata Mendung Merah dan Sawung Kuntet sudah tak ada pula. Rupanya
Mendung Merah tak berhasil berpapasan dengan Suto. Ia tak tahu gerakan Suto
Sinting mengelilingi tempat tersebut, sehingga akhirnya Mendung Merah sendiri
clingak-clinguk kebingungan dengan memendam rasa kesal dan cemas.
Tentu saja ia mencemaskan Suto
Sinting, karena dalam hati Mendung Merah mempunyai rasa kagum dan tertarik
kepada pemuda tampan yang berilmu tinggi itu. Ia ingin mendekati Suto lebih
dekat dari yang sudah dekat. Jauh-dekat tiga debaran indah bagi hati Mendung
Merah. Hanya saja ia sangsi melakukan hal itu, takut dikecewakan, karena
menurutnya biasanya pemuda tampan seperti Suto adalah type pemuda yang suka
mempermainkan gadis dan playboy, pacarnya banyak, gemar merayu, sadis dalam hal
kerinduan. Hanya saja, hati Mendung Merah ternyata tak mau berpaling begitu
saja. Hati itu masih dibayang-bayangi berbagai rasa, termasuk rasa khawatir
akan keselamatan Suto, rasa dongkol, rasa kagum dan... mungkin juga rasa kare
ayam ada di dalam hati gadis itu manakala mengenang Pendekar Mabuk.
"Ke mana si Mendung Merah
dan Sawung Kuntet?!" gumam hati Suto Sinting sambil melompat dari pohon ke
pohon, ia melakukan pencarian melalui pohon ke pohon, karena tempat itu
dianggapnya telah memungkinkan untuk memandang sekeliling secara luas. Dengan
ilmu peringan tubuhnya yang cukup tinggi, Pendekar Mabuk tak ragu-ragu
menapakkan kakinya ke pucuk-pucuk dedaunan, ia bagaikan seekor burung yang
sedang mencari sarangnya, hinggap dari pucuk daun yang satu ke pucuk daun yang
lainnya.
Tak terasa pencariannya
semakin menjauhi tempat terjadinya bencana alam lokal tadi. Bahkan semakin jauh
dari tempat ditemukannya Sawung Kuntet dalam keadaan sekarat.
Tiba-tiba tampak olehnya
cahaya merah melesat ke udara, melambung menuju ke suatu tempat.
Cahaya yang mirip bintang
jatuh itu terlihat melambung di seberang gerumbulan dedaunan pohon sebelah
timur, agak jauh dari tempat Pendekar Mabuk berada. Dengan gerakan serupa
cahaya, Pendekar Mabuk melesat juga ke arah timur, karena rasa ingin tahunya
tentang cahaya merah tadi begitu besar.
Ternyata cahaya merah tersebut
adalah kekuatan tenaga sakti si Geledek Biru yang digunakan menyerang seorang
lawan berjubah biru lusuh, berjenggot abu-abu dengan wajah tampak angker. Orang
tersebut berusia sekitar tujuh puluh tahun, dan pernah berhadapan dengan Suto
Sinting ketika Suto melindungi Mustikani. Tokoh tua itu tak lain adalah si
Tulang Besi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pedang Penakluk
Cinta").
Ketika Pendekar Mabuk tiba di
balik gerumbulan daun pohon. Tulang Besi dalam keadaan tubuhnya berasap,
tangannya yang kanan lurus ke depan dengan telapak tangan terbuka. Tangan itu
tampak sedang menahan cahaya merah yang tadi mirip bintang jatuh itu. Sedangkan
Eyang Bintara alias si Geledek Biru tetap diam di tempat, seakan menjadi
penonton aksi si Tulang Besi yang menahan sinar merah. Sinar tersebut menempel
di telapak tangan Tulang Besi dengan cahayanya yang makin lama semakin terang.
"Keluarkan seluruh tenaga
intimu, dan tahan sinar 'Ajilebur'-ku itu!"
"Heeaahh...!!"
Tulang Besi benar-benar kerahkan tenaga intinya, sehingga telapak tangannya
menyala biru pendar-pendar.
"Persoalan apa yang
membuat Eyang Bintara bertarung melawan Tulang Besi!" pikir Suto dari
tempatnya. "Kurasa Tulang Besi akan hancur jika nekat melawan Eyang
Bintara. Bodoh amat dia!"
Dugaan tersebut mendekati
kebenaran. Tulang Besi tampak gemetaran dan semakin terang cahaya merah bundar
yang menempel di telapak tangannya semakin kuat getaran pada sekujur tubuhnya.
Asap yang mengepul dari tangan tersebut membuat sinar birunya menjadi redup,
bagai tak sanggup lagi untuk menyala terang.
Tiba-tiba Eyang Bintara
ulurkan tangan ke depan, lalu tangan itu menyentak ke belakang dan sinar merah
yang menempel di telapak tangan Tulang Besi itu berkelebat lepas, meluncur
balik dan ditangkap oleh si Geledek Biru.
Zuubbs...! Sinar itu kini
berada dalam genggaman Geledek Biru dan keadaannya berubah menjadi biru bening.
Kedua tangan Geledek Biru saling bertemu, telapak tangannya saling bergeseran
seperti menghancurkan sinar tersebut. Bluub...! Sinar itu pun lenyap, tinggal
asap tipis yang segera musnah diterpa angin.
Tulang Besi jatuh berlutut
dengan napas terengah- engah dan keringat bercucuran. Tubuhnya tampak lemas,
wajahnya kelihatan pucat pasi seperti mayat. Kejap berikutnya kepalanya
tersentak ke depan dan dari mulutnya keluar darah kental.
"Heek...!" Tulang
Besi jatuh merangkak. Siapa pun orangnya akan menduga, Tulang Besi tak sanggup
lagi menghadapi Geledek Biru. Keadaannya sudah sangat parah. Satu pukulan lagi
dari lawannya dapat mengakibatkan minggatnya sang nyawa dari raganya.
"Aku tak ingin kau mati,
Tulang Besi! Tapi serahkan kitab keramatku itu sebelum pendirianku
berubah!"
Dengan suara berat menahan
sakit, Tulang Besi berkata, "Bunuhlah aku dan geledahlah di dalam tubuhku!
Maka kau tetap tak akan temukan kitab keramatmu itu, karena memang bukan aku
yang membunuh Ladang Peluh! Bukan aku... yang mengambil kitab keramatmu...
itu!"
"Bukankah kau yang sedang
mencari kesempatan untuk membalas dendammu kepada Ladang Peluh?!"
"Memang benar! Tapi...
uuhk... tapi sudah kucoba melawannya, ternyata aku... aku kalah ilmu dengannya.
Aku... aku pergi meninggalkan mereka, dan beberapa saat kemudian kudengar suara
ledakan di sekitar pantai tempatku mencoba bertarung dengannya. Aku... aku
tidak pedulikan suara itu, lalu aku pergi ingin temui adikmu; si Tulang
Geledek, karena kurasa dia tahu rahasia kematian dan kelemahan Ladang Peluh.
Ternyata aku justru hampir mati oleh kiamat kecil tadi!"
Suto sempat terperanjat,
"Oh, ternyata Eyang Bintara alias si Geledek Biru itu adalah kakak dari
Tulang Geledek yang pernah bertemu denganku dalam urusan dengan Rogana?"
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Perawan Sinting").
Rupanya pengakuan Tulang Besi
membuat Geledek Biru bertimbang rasa. Akhirnya ia dekati Tulang Besi dengan
gerakan kaki tanpa menyentuh tanah.
Zeeebb...!
Geledek Biru dapat berhenti
secara mendadak di depan Tulang Besi. Kemudian dari telunjuknya yang
ditudingkan keluar sinar putih terang dan menyilaukan. Claap...! Sinar putih
itu kenai kepala Tulang Besi. Beberapa kejap kemudian, Tulang Besi pun sehat
kembali. Rupanya sinar putih itu adalah cahaya sakti yang dapat menyembuhkan
luka si Tulang Besi dan memulihkan tenaganya.
"Kucoba untuk
mempercayaimu, karena kau adalah teman adikku semasa muda dulu," kata
Geledek Biru. "Tapi jika kuketahui kau pemegang kitab itu, maka seketika
itu juga kucabut nyawamu demi keselamatan seisi dunia ini, karena aku tahu
jalanmu mulai menyimpang sejak kau mendirikan Perguruan Raga Baja itu!
Pergilah, dan jangan campuri urusan ini! Jangan coba-coba ikut mencari kitab
keramatku itu, nanti akan kau miliki sendiri jika kau yang memperolehnya!"
Tanpa komentar apa pun, Tulang
Besi segera melesat pergi tinggalkan Geledek Biru. Suto Sinting masih menaruh
curiga pada Tulang Besi, karena ia tahu Tulang Besi menaruh dendam kepada Ratu
Ladang Peluh, sebab perguruannya dihancurkan oleh Ratu bejat itu. Karenanya,
Suto Sinting diam-diam mengikuti kepergian Tulang Besi dari kejauhan.
"Siapa tahu ia pandai
bersandiwara di depan Eyang Bintara, dan kitab itu disembunyikan di suatu
tempat yang hanya dia yang tahu?!" pikir Suto sambil mengikuti Tulang
Besi.
Ketika Tulang Besi melintasi
lembah berpohon jarang, langkahnya segera terhenti dan berkelebat sembunyi di
balik pohon. Suto Sinting hentikan langkahnya tapi masih tetap berada di atas
pohon agak jauh dari Tulang Besi.
"Mengapa ia
bersembunyi?" pikir Suto dalam pengintaiannya.
Rupanya Tulang Besi sedang
mengincar seseorang yang akan lewat tempat tersebut, ia sudah mengetahui
gerakan orang yang diincarnya. Orang itu sedang melesat bagai bayangan dari
arah barat. Ketika melintas di depan Tulang Besi, tiba-tiba bayangan yang
berwarna kuning gading itu dihantamnya menggunakan tenaga tanpa sinar.
Wuutt...! Buuhk...!
"Aakh...!" orang itu
memekik dan jatuh terbanting.
Brruuk...!
Suto Sinting terkejut, ia
mendekat dengan melayangkan tubuhnya dan hinggap di pohon yang satunya. Mata
pemuda itu lebih terbuka lagi, karena sekarang ia dapat melihat jelas bahwa
bayangan kuning gading itu ternyata adalah seorang perempuan berwajah cantik
dengan perhiasan lengkap dan pakaiannya berkesan mewah. Perempuan itu terkapar
dengan bagian lehernya berwarna biru legam akibat terkena pukulan tanpa sinar
si Tulang Besi tadi.
"Terpaksa kulakukan
kecurangan ini, Rasti! Tanpa kulakukan kecurangan ini aku tak mungkin bisa
melumpuhkan dirimu dan. " Zlaaap...! Wuuss...!
Tulang Besi terkejut sekali,
karena tubuh perempuan itu ternyata sudah lenyap dari hadapannya. Percuma saja
ia menghampiri perempuan tersebut dan meluncurkan celotehan jika perempuan itu
tiba-tiba disambar oleh seseorang.
"Bangsat! Berhenti kau!
Tinggalkan perempuan itu!" teriak Tulang Besi dengan berang, ia melepaskan
pukulan bercahaya merah suram. Clap...! Duar! Cahaya itu tidak kenai orang yang
menyambar Rasti. Cahaya itu kenai sebatang pohon dan pohon itu segera retak
dari atas ke bawah. Tapi si penyambar tubuh Rasti tetap melesat dan sukar dikejarnya.
Orang yang menyambar tubuh
perempuan itu tak lain adalah si Pendekar Mabuk, ia merasa kasihan melihat
perempuan itu diserang secara licik dan terluka berbahaya. Jika tak segera
disambar dan dibawa lari untuk diobati, pasti perempuan yang berusia sekitar
dua puluh delapan tahun itu akan mati oleh luka parahnya itu.
Lagi-lagi sebuah gua menjadi
tempat persembunyian Pendekar Mabuk yang membawa lari pasiennya. Gua itu tidak
terlalu dalam, mempunyai pintu masuk yang termasuk sempit. Namun keadaannya cukup
terang, karena bagian atas gua terdapat celah untuk masuknya sinar matahari.
Hanya saja, karena sinar matahari mulai redup di awal senja, maka sinar yang
masuk akhirnya menjadi ikut redup. Tetapi pada saat sinar itu redup, Suto Sinting sudah berhasil menuangkan
tuak ke mulut Rasti yang dibaringkan di atas tanah berbatu datar dan berlumut
rata mirip permadani.
"Ternyata wajahnya cantik
juga dia?!" gumam Suto Sinting dalam hatinya. Perempuan yang pingsan dan
sedang menunggu proses penyembuhan itu dipandanginya dengan cermat, dengan
senyum tipis, dengan hati berdebar-debar. Baju kuningnya yang tanpa lengan dan
panjang menyerupai jubah tak terkancing itu tersingkap lebar, sehingga penutup
dadanya kelihatan jelas, berwarna merah tipis, membuat gumpalan di dadanya
membayang samar-samar. Pakaian longgar penutup bagian bawahnya juga berwarna
merah samar- samar, dan membuat apa yang ditutupi tampak membayang, semakin
mendebarkan.
Ternyata perempuan itu
mempunyai tubuh yang sekal dan montok. Kemulusan kulitnya yang berwarna putih
sangat menggiurkan bagi setiap lelaki yang memandangnya. Hidung yang mancung
dan bibir yang sensual membuat hati Suto Sinting geregetan dan ingin
mengecupnya pelan-pelan. Rambutnya yang panjang sepunggung diikat dengan logam
perhiasan dari bahan emas bercampur bebatuan warna-warni. Sungguh cantik ia
jika mengenakan perhiasan rambut seperti itu. Kalung dan gelangnya pun
menampakkan bahwa dirinya adalah perempuan berada. Bukan perempuan miskin yang
keluyuran mencari upah seperti Mendung Merah.
Pendekar Mabuk sengaja keluar
gua sebentar untuk memeriksa keadaan. Siapa tahu Tulang Besi mengikutinya
sampai tempat tersebut. Tapi ternyata Tulang Besi atau siapa pun tak ada di
tempat itu. Agaknya gua itu cukup aman, apalagi terlindung semak ilalang
setinggi pundak Suto Sinting. Setelah yakin keadaan aman, Pendekar Mabuk masuk
ke gua kembali. Pada saat itu si perempuan telah siuman dan segera memandang
Suto Sinting dalam keadaan duduk, ia berkerut dahi, terbungkam dan merasa asing
oleh penampilan pemuda tampan yang gagah perkasa itu. Suto sunggingkan senyum
keramahan.
"Kau aman di sini,
Rasti!" ujar Suto, langsung menyebut nama perempuan itu, karena ia telah
mendengar nama tersebut dari mulut Tulang Besi. Rasti terperanjat dan semakin
heran mendengar namanya disebutkan oleh pemuda yang belum dikenalnya.
"Kaukah yang menyerangku
dengan curang?!" "Bukan. Orang yang menyerangmu adalah Tulang
Besi. Kau dalam keadaan
terluka parah dan kelihatannya akan dibunuh oleh si Tulang Besi. Lalu aku
menyambarmu dan membawamu kemari."
Setelah Suto Sinting mendekat
pada saat Rasti berdiri, tiba-tiba pandangan mata perempuan itu dipertajam dan
mulutnya sebutkan kata dengan pelan.
"Apakah... apakah kau
Pendekar Mabuk alias Suto Sinting?!
"Benar!" jawab Suto
dengan senyum ramah. Rasti tersentak dan mundur selangkah dengan wajah tegang.
"Hei, mengapa kau tampak
takut padaku?! Aku bukan orang jahat!" kata Pendekar Mabuk sambil
membetulkan letak tali bumbung tuak di pundaknya. "Hmm, eeh... tidak.
Tidak apa-apa. Aku hanya terkejut. Tak sangka akan bertemu dengan Pendekar
Mabuk yang kondang itu," ujar Rasti sambil sunggingkan senyum kaku.
"Ada persoalan apa kau
dengan Tulang Besi, sehingga ia tampak bernafsu sekali ingin membunuhmu?"
tanya Suto mengalihkan pembicaraan agar tidak terlalu berpusat pada dirinya.
"Aku tak tahu. Tapi aku
kenal dengan Tulang Besi. Dulu kami pernah bermusuhan, tapi ia kalah dan nyaris
mati di tanganku. Hanya saja, persoalan itu sudah kuanggap kadaluwarsa, Sudah
sekitar delapan tahun yang lalu dan tak pernah kuingat-ingat lagi. Mungkin saja
dia ingin balas dendam padaku karena kekalahannya di masa lalu."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dan menggumam kecil.
"Dari mana kau tahu
namaku?!" tanya perempuan bermata jeli itu.
"Kudengar si Tulang Besi
menyapamu dengan nama Rasti. Maka aku yakin namamu adalah Rasti. Apakah aku
salah panggil?"
Perempuan itu sunggingkan
senyum dan mulai luwes. "Kau memang cerdas!" pujinya di sela senyum
indahnya itu.
Pandangan matanya mulai
berkesan genit. Suto Sinting sadar dirinya sedang digoda, maka ia segera
alihkan pandangan matanya ke arah lain. Ia sengaja hindari hal itu, karena tak
ingin terjerat oleh debar-debar keindahan yang sudah semakin bergemuruh dalam
dada. "Maukah kau mengantarku ke suatu tempat, Suto?" "Ke
mana?" tanya Suto Sinting sambil berbalik
menatap lagi. Tapi Rasti tidak
langsung menjawab, melainkan menatap seperti tadi dengan senyum yang sangat
menggoda. Suto Sinting akhirnya salah tingkah sendiri, lalu segera ajukan tanya
untuk memecah kebisuan di antara mereka.
"Kau mau ke mana,
Rasti?"
Setelah melangkah dekati Suto,
perempuan itu menjawab dengan lirih.
"Aku ingin ke suatu
tempat yang jauh dari keramaian. Mungkin puncak gunung atau sebuah pulau yang
terpencil."
"Mengapa kau ingin ke sana?"
"Aku ingin membuang rasa
kesepianku yang menyiksa hidupku sejak kematian suamiku dua tahun yang lalu.
Mungkin dengan mengusir kesepian, aku bisa bergairah lagi dalam hidup dan tidak
punya niat untuk bunuh diri."
"Suamimu meninggal dua
tahun yang lalu? Sakitkah dia?"
Perempuan itu gelengkan
kepala. Bibirnya yang menawan hati bergerak-gerak dengan pandangan mata yang
sedikit sayu.
"Dia dibunuh oleh si
Geledek Biru."
"Oh...?!" Suto
Sinting terkejut. "Mengapa sampai berurusan dengan si Geledek Biru?"
"Salah paham! Ada dua
nama yang sama, dan Geledek Biru menyangka nama suamiku adalah orang yang
mencuri pedang pusakanya. Lalu, suamiku yang tak berilmu sedikit pun itu
dibunuhnya. Aku ingin membalas dendam kepada Geledek Biru, tapi tak mungkin
bisa, karena ilmunya tak seimbang dengannya. Maka kupilih untuk menghilang dari
rimba persilatan, mengasingkan diri di suatu tempat yang terpencil, agar tak
tersiksa oleh kesepian yang sering muncul manakala kulihat dua pasangan sedang
berkasih-kasihan atau. "
Ucapan itu terhenti, napas
Rasti tersentak. Suto Sinting memandang dengan heran. Namun ketika perempuan
itu tersentak lagi sambil pegangi dadanya, Suto Sinting tahu ada sesuatu yang
menyakitkan dalam dadanya.
"Rasti minumlah tuakku
lagi. Lekas minum!"
"Tid... tidak bisa...
aku... aku. "
Rasti mengejang beberapa kali.
Tubuhnya oleng dan jatuh ke belakang. Namun sewaktu tubuh itu limbung ingin
jatuh, tangan Pendekar Mabuk segera menangkapnya. Rasti terkulai sesaat dalam
pelukan Suto Sinting, matanya terbeliak-beliak mengerikan. Tubuhnya menjadi
dingin, wajahnya pucat pasi.
"Hei, kenapa kau ini?!
Ada apa, Rasti?!" "Pen... penyakitku kambuh lagi... lagi "
"Minumlah tuakku, biar
penyakitmu hilang!" Rasti menggeleng, bibirnya gemetar.
"Aku... aku tak bisa Penyakit ini tidak bisa diobati
dengan apa
pun, kecuali, kecuali...
oouh, huuhk....
Ahhk !" "Kecuali
apa. Rasti?!"
"Di... dingin... peluklah
aku. Peluklah, huuhk...!" ia menyentak lagi. Suto Sinting segera
memeluknya dalam keadaan mulai panik.
"Hang... hangatkan aku...
oouh. hangatkan aku. Toloong... hanya dengan memberi kehangatan, penyakit ini
bisa hilang. Oouhk... tolong hangatkan aku. Hangatkan seluruh tubuhku "
"Ak aku harus
bagaimana?"
"Peluk... peluk seluruh
tubuhku. Peluk erat-erat, hangatkan de... dengan tubuhmu. Huuhkk... aahk
!"
Rasti menyentak dan kejang.
Badannya terasa semakin dingin seperti es. Wajahnya pun bertambah pucat seperti
kertas putih. Semula Suto Sinting ragu memberikan apa yang diminta Rasti, tapi
setelah melihat wajah yang semakin pucat dan tubuh yang bertambah dingin dan
bergetar, Suto merasa harus melakukan permintaan Rasti.
"Ia tidak main-main. Ia
sungguh-sungguh menderita penyakit aneh. Aku harus memberikan pelukan yang...
oh, tapi kehalusan kulit dan kesekalan
tubuhnya dapat membuatku tergoda, dan gairahku bisa terbakar. Aduh, bagaimana
kalau begini ? Haruskah kuberi pelukan
dan
kubiarkan gairahku semakin
terbakar?"
Pendekar Mabuk benar-benar
panik, tindakannya serba canggung. Tapi perempuan itu semakin tersentak-
sentak, tubuhnya pun kian dingin.
*
* *
6
SEMAKIN erat Suto Sinting
memeluknya, semakin reda sentakan-sentakan tubuh Rasti. Napasnya yang sesak
tampak mulai longgar. Rasti sengaja ditengkurapkan di atas tubuh Suto sementara
Suto sendiri berbaring di atas batuan datar. Jika tubuh Rasti yang berbaring,
maka punggung Rasti akan terkena dinginnya batu yang berlumut. Jadi mau tak mau
Suto memeluk Rasti yang tengkurap di atasnya. Kedua kaki Suto pun menggamit
tubuh Rasti erat-erat.
"Ooh... uuuhhh...,
tempelkan mulutmu ke leherku," bisik perempuan itu. Suto mengerti
maksudnya. Hembusan napasnya akan menghangat di leher perempuan itu dan
menciptakan kehangatan yang lebih mendalam lagi.
Tetapi aroma wangi mawar di
tubuh perempuan itu semakin menggoda hasrat si pemuda tampan. Tempelan bibirnya
pada leher Rasti membuat lidah Suto pun akhirnya usil juga. Leher itu digelitik
dengan lidah secara pelan-pelan. Rasti justru mengencangkan pelukannya.
Kepalanya bergerak menggeliat ke kanan- kiri, seakan ia ingin seluruh lehernya
mendapat kehangatan dan keusilan lidah Suto.
Gerakan tubuh Rasti pun
memancing hasrat Suto untuk menikmati tiap sentuhan tubuh. Hati berdebar-
debar, jiwa menuntut keindahan lebih tinggi. Pendekar Mabuk akhirnya
meremas-remas pinggul Rasti. Perempuan itu tidak menolak, justru keluarkan
suara erangan tipis. Bahkan makin lama wajahnya semakin didusal-dusalkan di
telinga kiri Suto, kadang merayap ke permukaan wajah Suto lalu pindah ke
telinga kanan. Hembusan napas Rasti menghangat di sekitar wajah, sehingga Suto
Sinting benar-benar terpancing untuk mencumbunya.
"Oouh, ouuh... hangat
sekali, Suto. Hangat dan nikmat. Uuuh... peluk aku lebih kuat lagi. Peluk
aku... uuhmmm...!" perempuan itu nekat mencium Suto, bahkan bibir Suto
dikecupnya dan dilumatnya. Suto tak bisa menolak karena telah terlanjur
terjerat tuntutan batinnya sendiri.
"Remas aku, Suto....
Remas aku! Oouh, aahh. "
Rasti merintih dengan gerakan
semakin liar. Suto Sinting meremas pinggul Rasti yang masih kencang itu. Remasan
tangan Suto membuat Rasti bertambah mengerang, dan bibirnya semakin ganas
mengecup leher Suto, memagut-magut dengan sapuan lidahnya yang begitu
mendebarkan hati si pemuda tampan itu.
Pakaian Rasti berantakan
dengan sendirinya. Gumpalan di dadanya terasa menghangat di wajah Suto, karena
Rasti bergerak naik hingga dadanya ada di atas wajah Suto Sinting.
"Kecup, Suto... oouh,
kecuplah sekarang juga, Sayang...," rengek Rasti. Maka ujung dada yang
merentang itu pun disambar oleh mulut Suto Sinting. Haaapp...!
"Aaaahh... nikmat sekali,
Sayang. Nikmat sekali! Ooohh... ssss, ahh!" Rasti mendesis-desis dengan
wajah terdongak. Matanya terpejam kuat, namun kadang terbeliak dengan bibir
digigit sendiri. Suto Sinting menjadi seperti bayi yang kehausan. Seolah-olah
ia tak sadar dengan apa yang sedang diperbuatnya saat itu.
"Ooouh... luar biasa
indahnya, Suto. Hangat sekali kemesraanmu. Ooh... jangan hentikan sampai di
sini saja, Suto. Aku bahagia sekali. Aku, oouh. " Tubuh itu
tidak lagi dingin. Bahkan
semakin lama semakin panas dan mencucurkan keringat. Butiran keringat menetes
dari dagunya ke leher Suto Sinting. Gerakan-gerakan liarnya terhenti bersama
helaan napas yang terengah- engah seperti habis melakukan pekerjaan yang amat
melelahkan. Suto Sinting pun menghentikan
reaksi ketika Rasti akhirnya jatuh terkulai di atasnya dan memeluk
dengan kepala tergolek di samping wajah Suto. Pada saat itulah kesadaran
Pendekar Mabuk muncul kembali. Pemuda itu merasa seperti baru saja bangun dari
mimpinya. Hatinya tersentak kaget menyadari apa yang baru saja dilakukan
bersama perempuan yang baru dikenalnya itu. Ia segera menyingkirkan tubuh Rasti
dari atasnya. Rasti menggerang manja, tak ingin turun dari
atas Suto. "Aku ingin
menikmatinya lagi, Suto."
"Hmm, eehh, hmmm
istirahatlah dulu. Kau tampak
lelah sekali, Rasti."
"Tapi kau kan belum
mencapai puncak keindahanmu? Sekarang giliranku yang akan menjadi pelayan
kemesraan kita, Suto. Berbaringlah dulu, jangan berdiri. Aku akan membuatmu
seperti berada di langit-langit surgawi, Sayang "
"Iyy iya, tapi nanti saja. Kau harus istirahat.
Kalau
kau teruskan, penyakitmu tadi
bisa kambuh lagi, Rasti." "Tidak, tidak! Justru aku akan menjadi
semakin kuat
dan tangguh setelah
mendapatkan puncak kemesraan seperti ini."
"O, begitukah kau
sebenarnya?" sambil Suto Sinting duduk bersandar pada dinding gua.
"Sudah beberapa waktu
lamanya aku tidak menikmati kemesraan seorang lelaki. Aku terlalu sibuk dengan
urusanku, sehingga tak sempat memburu pemuas dahagaku. Akibatnya, penyakitku
kambuh lagi."
"Penyakit apa itu
tadi?"
"Penyakit penyakit
kekurangan hawa sakti."
"Baru sekarang kudengar
ada penyakit seperti itu." "Kurangnya hawa sakti akan merusak
kelenjar di
dalam hatiku. Keringnya
kelenjar hati membuat darah terserap. Lama-lama seluruh darahku dapat mengering
dengan sendirinya jika aku tak segera mendapat cumbuan dan kemesraan dari
seorang lelaki. Puncak kenikmatan yang kudapatkan dari seorang lelaki membuat
kelenjar hatiku berfungsi kembali dan darahku tidak terserap habis. Hawa
saktiku pun bekerja seperti semula setelah aku dapat mencapai puncak kenikmatan
asmaraku."
"Aneh sekali...?'"
gumam Suto Sinting dengan dahi berkerut. "Aku akan menjadi lebih segar
lagi jika sudah tersiram darah kemesraan seorang lelaki. Darah kemesraan lelaki
merupakan semangat baru di dalam jiwa dan ragaku. Karenanya, lakukanlah lagi,
Suto. Cumbulah aku dan berlayarlah bersamaku. Semburkan darah kemesraanmu
sebanyak-banyaknya padaku, agar hidupku menjadi lebih segar dan lebih
bersemangat lagi."
"Hmm, eeeh.... nanti
saja," jawab Suto setelah menimbang-nimbang. Bagaimanapun panasnya
kemesraan itu, Suto Sinting tetap tak ingin menodai kesetiaan cintanya terhadap
seorang kekasih nun jauh di sana: Dyah Sariningrum. Ia tak ingin lakukan percumbuan
yang begitu dalam dengan perempuan mana pun. Ia ingin berikan kesucian asmara
sejati kepada Dyah Sariningrum sebelum perempuan lain merasakan semburan darah
kemesraannya.
Namun dalam temeram sisa
cahaya senja itu, wajah Rasti semakin melentur sayu, memancarkan harapan cumbu
yang begitu besar, memancarkan gairah yang bergelora. Remasan tangannya sebagai
simbol desakan batin untuk mendapatkan darah kemesraan Suto. Senyumnya pun
melambangkan ajakan untuk berlayar menuju pulau kenikmatan sejati.
"Tanganmu sungguh hebat,
Suto. Tapi apakah... apakah kehangatanmu ini juga sehebat jari tanganmu yang
mampu melambungkan jiwaku ke puncak asmara?!"
Suto Sinting hanya tersenyum
canggung, ia sadar kata-kata itu merupakan jebakan halus menuju ke percumbuan
yang lebih dalam. Suto pun bergolak dan gairahnya menggeliat, ingin unjuk
kehebatan. Tetapi kesadarannya yang selalu terjaga itu membuat Suto harus
menolak tantangan bercumbu itu secara halus, ia tak ingin lakukan penolakan
secara kasar, karena ia tak ingin menyinggung perasaan perempuan cantik yang
sudah matang dalam berkencan itu.
"Aku harus mandi dulu.
Aku akan mencari sungai di sekitar tempat ini," ujar Suto Sinting ketika
Rasti menyodorkan bibirnya dengan mata kian sayu.
"Mengapa harus mandi? Tak
perlu mandi kau sudah harum dan keringatmu membakar gairahku, Suto."
"Aku... aku tidak bisa
lakukan pelayaran cinta dalam keadaan badan masih kotor dan belum mandi. Aku
harus mandi dulu, Rasti."
"Percuma, Suto. Kau nanti
toh akan mandi keringat juga; keringatku dan keringatmu sendiri."
"Memang. Tapi untuk
mengawalinya, badanku harus bersih dulu. Aku tak ingin kau menikmati pelayaran
cinta denganku dalam keadaan badanku masih kotor. Aku tak ingin memberikan yang
kurang baik padamu. Aku ingin berikan yang terbaik padamu, Rasti."
Perempuan itu tersenyum,
hatinya berdesir bangga karena merasa diistimewakan oleh si tampan itu. Ia
segera menyambar bibir Suto. Bibir itu dilumatnya sejenak, kemudian dilepaskan
dengan engahan napas kelegaan.
"Pergilah mandi sana!
Jangan lama-lama. Aku tak ingin menunggu terlalu lama. Nanti aku kedinginan dan
masuk angin," tuturnya seraya hamburkan tawa lirih yang mengikik penuh
rangsangan menantang.
Suto Sinting bergegas bangkit,
merapikan pakaian sejenak.
"Atau... aku ikut mandi
sekalian saja, ah!" ujar perempuan itu seraya ikut-ikutan bangkit dan
merapikan pakaian.
Pada saat itu, mata Suto
menangkap sebuah benda yang segera diselipkan di pinggang Rasti. Benda itu
semula jatuh di tanah, diduduki oleh perempuan itu. Ketika si perempuan merapikan
pakaiannya, benda itu nyaris tertinggal, ia segera memungutnya dan menyelipkan
di pinggang belakang, di balik kain pengganti sabuk. Benda itu berwarna coklat
sebesar telapak tangan, bentuknya menyerupai lembaran- lembaran kulit rusa.
"Benda apa itu,
Rasti?!" tanya Suto Sinting setelah mempertimbangkan kecurigaannya yang
menggoda hati. "Hmm, ooh... anu, hmm... bukan apa-apa. Maksudku, bukan
sesuatu yang penting. Ini hanya... hanya jimat.
Jimat pemikat pria, hik, hik.
hik...!"
Sekalipun Rasti mengalihkan
dalam canda, namun rasa penasaran Suto masih menggoda terus dan kecurigaannya
semakin besar. Benda itu menyerupai sebuah kitab yang terdiri dari sekitar
sepuluh lembar kulit rusa. Dalam benak Pendekar Mabuk menduga bahwa kitab itu
adalah kitab keramat yang dinamakan kitab 'Serat Sekar Siluman'. Tetapi hati
kecil Suto masih sangsi, sehingga ia pun bertanya-tanya dalam hatinya,
"Apa benar bentuk kitab keramat seperti itu?!"
Rasti sudah rapi, siap pergi
mencari sungai untuk mandi.
"Ayo, kita cari sungai
itu dan bersihkan badan sebelum petang tiba. Nanti kita kembali lagi kemari,
Suto!" ajak Rasti ketika sudah diambang pintu gua.
Suto Sinting sempat tertinggal
karena memikirkan benda yang dikatakan sebagai jimat oleh perempuan itu.
"Rasti, boleh kulihat
benda yang kau katakan sebagai jimat itu?"
Rasti berlagak tidak mendengar
ucapan Suto Sinting, ia bergegas keluar dari gua lebih dulu. Suto Sinting
buru-buru menyusulnya.
"Rasti...! Rasti, tunggu
sebentar!"
Langkah perempuan itu semakin
cepat. "Ayo, Suto... kita temukan sebuah sungai sebelum petang tiba!
Lekaslah...!"
"Hei, Rasti... tunggu
aku! Aku ingin melihat benda yang kau selipkan di pinggang belakangmu itu!
Apakah benda itu adalah kitab keramat 'Serat Sekar Siluman' milik Geledek Biru
yang pernah dicuri Ratu Ladang Peluh?!"
Perempuan itu bagaikan tak
menghiraukan seruan Suto sama sekali. Ia justru melangkah semakin cepat dengan
jubah kuningnya yang melambai-lambai. Suto berlari menyusulnya, tapi Rasti
makin percepat langkahnya.
"Rasti, aku hanya ingin
tahu apakah benar benda itu adalah kitab keramat berisi mantra-mantra
berkekuatan iblis?!" seru Suto Sinting, namun seruan itu tetap tak
dihiraukan Rasti. Bahkan perempuan itu mengubah langkahnya menjadi gerakan lari
kecil dengan lompatan- lompatan peringan tubuh.
Suto Sinting jengkel, akhirnya
ia membentak, "Hei, Rasti...! Tunggu!"
Di luar dugaan, Rasti hentikan
langkah sekejap, berbalik ke belakang dan sentakkan tangan kirinya ke arah Suto
Sinting. Wuutt...! Sentakan itu mengeluarkan cahaya kuning emas sebesar telur
burung. Claap...! Weess...!
Pendekar Mabuk sangat terkejut
mendapat pukulan bersinar kuning emas itu. Bumbung tuak yang disilangkan di
punggung tak sempat diraih dan dipakai menangkis. Namun sebelum sinar kuning
emas sebesar telur burung itu menghantam dadanya, secara refleks tangan Suto
pun menyentak ke depan. Jurus 'Pecah Raga' yang digunakan secara tiba-tiba itu
keluarkan sinar hijau dari telapak tangan si Pendekar Mabuk. Namun gerakan itu
agak terlambat, sinar hijau tersebut menghantam sinar kuning emas yang sudah
mendekat dan kurang tiga langkah lagi. Akibatnya, benturan sinar hijau dan
sinar kuning emas itu timbulkan ledakan yang menyentak kuat dan mengguncangkan
pepohonan di sekitarnya.
Blaaarrr...!
Tubuh Suto Sinting terlempar
ke belakang, melayang dan berjungkir balik tak karuan bagaikan seonggok sampah
tersapu badai, ia jatuh terbanting setelah tubuhnya membentur pohon berduri.
Cruus, buuhk...! "Aaow...!" pekiknya sambil menyeringai kesakitan.
Duri-duri pohon yang berukuran
sebesar paku itu menancap dan merobek pinggang Suto. Duri itu mengandung getah
beracun yang cukup membahayakan jiwa manusia. Suto Sinting akhirnya terpuruk
sesaat di bawah pohon itu dengan pinggang mengucurkan darah dan darah itu
menjadi cepat mengering dan itu berarti kematian Suto pun akan tiba.
"Rastiii...!" teriak
Suto sebelum ia semakin lemas akibat racun pada duri pohon tersebut. Namun
perempuan yang dipanggilnya justru semakin percepat pelariannya, dan dalam
waktu singkat telah menghilang dari pandangan si Pendekar Mabuk. Rasti
benar-benar melarikan diri tanpa basa-basi lagi.
"Keparat! Berarti
dugaanku benar; benda itu adalah kitab keramat yang dinamakan 'Serat Sekar
Siiuman' Oouhk...! Badanku panas sekali! Celaka! Pasti duri pohon ini beracun
membahayakan. Oouhk... aaahk...!"
Suto Sinting buru-buru
mengambil bumbung tuaknya dengan susah payah. Tangannya selain lemas juga
gemetar, sehingga bumbung tuak tak dapat diambil dengan mudah, walau akhirnya
berhasil juga. Ia segera menenggak tuak saktinya.
Suara ledakan tadi memancing
seseorang untuk datang ke tempat itu. Dalam keremangan cahaya senja yang
semakin menua, Pendekar Mabuk masih bisa melihat kemunculan sesosok tubuh kurus
bermata cekung yang dulu pernah bertarung melawannya. Orang tersebut tak lain
adalah si Tulang Besi, yang sedang mencari-cari buronannya. Buronan itu tadi
disambar oleh seseorang dan orang yang menyambarnya adalah Suto sendiri. Tapi
Tulang Besi tak tahu bahwa penyambar buronannya adalah si Pendekar Mabuk.
Maka ketika ia mengetahui
keadaan Pendekar Mabuk sedang kesakitan akibat tergores duri beracun, dan tuak
yang ditenggaknya belum bereaksi, Tulang Besi segera lepaskan tendangan
kebenciannya ke arah wajah Suto.
"Kau yang tempo hari
coba-coba melawanku, Bocah gendeng! Terimalah upah kelancanganmu waktu itu.
Hiaaah...!"
Beet! Plaak...!
Suto Sinting masih sempat
menangkis dengan silangkan lengan kirinya ke depan. Tendangan itu tertahan
lengan tersebut, tak sempat kenai wajah tampan si murid sinting Gila Tuak itu.
Pemuda tersebut segera berguling ke belakang, lakukan jungkir balik dengan
cepat. Dalam satu sentakan tubuhnya pun melambung ke atas dan bangkit berdiri
dengan tegak. Pengaruh luka di pinggangnya telah hilang, bahkan luka itu telah
mengering. Sebentar lagi akan hilang sama sekali tanpa bekas.
"Tahan seranganmu, Tulang
Besi!" sentak Suto Sinting dengan lantang pertanda badannya telah segar
kembali.
"Persetan dengan
kata-katamu, Bocah gendeng! Kau telah memihak Mustikani, yang berarti kau ada
di pihak Ladang Peluh! Itu sama saja kau adalah musuhku yang perlu kubinasakan!
Heaah...!"
Tulang Besi melompat cepat dan
melepaskan tendangan beruntunnya ke dada Pendekar Mabuk. Wuut, wuut, wuut...!
Tapi dengan cepat Suto Sinting menadahkan bumbung tuaknya sebagai penangkis tendangan
itu. Krak, prak, krak...!
"Aaoww...!" Tulang
Besi memekik kesakitan dan jatuh terduduk di tanah. Kedua kakinya terasa remuk
karena menendang bumbung bambu tuak yang mempunyai kekuatan tenaga dalam
tersendiri. Tulang Besi bagaikan menendang sebatang baja yang meremukkan Tulang
kakinya sendiri.
"Hentikan kebodohanmu,
Tulang Besi! Aku tahu apa yang kau cari dan apa yang harus kita kejar!"
sentak Suto Sinting, ingin ungkapkan tentang perempuan yang bernama Rasti itu.
Tetapi agaknya Tulang Besi masih terpaku oleh kekalahannya beberapa waktu yang
lalu, sehinga dengan berang ia melepaskan pukulan jarak jauhnya tanpa sinar.
Dalam keadaan duduk di tanah,
Tulang Besi sentakkan tangannya ke depan, dan gelombang hawa padat berkekuatan
dua kali tenaga kuda itu meluncur lepas menghantam Suto Sinting. Beet,
wuuut...! Suto Sinting segera hindari gelombang hawa padat itu dengan satu
lompatan ke atas. Wuuuus...! Gelombang hawa padat itu akhirnya menghantam pohon
berduri di belakang Suto.
Blaam...! Krraaak...!
Pohon itu retak dan menjadi
miring, hampir saja tumbang. Pendekar Mabuk segera lepaskan jurus 'Jari
Guntur'-nya ke arah Tulang Besi. Senantiasa jarinya diarahkan tepat ke dada
Tulang Besi. Des, dos...! Dua kali sentilan jari membuat Tulang Besi yang
pernah merasakan akibatnya segera berguling ke samping untuk menghindarinya.
Buub, buub...! Sentilan bertenaga dalam itu akhirnya kenai tanah. Tanah pun
memuncrat dengan dedaunan kering menyebar ke mana-mana
Zlaap, zlaaap...! Suto Sinting
segera berpindah tempat dengan cepat, sehingga tampak seperti menghilang.
Tulang Besi sempat clingukan sebentar dengan wajah tegang. Akhirnya ia temukan
Suto Sinting sudah berada di belakangnya. Dalam keadaan kedua kakinya masih
terasa sakit dipakai berdiri, Tulang Besi akhirnya berguling ke belakang dari
keadaannya yang duduk di tanah sejak tadi. Gerakan tergulingnya itu sambil
melepaskan tendangan bertenaga dalam, sehingga hembusan hawa padat kembali
menyerang Pendekar Mabuk secara beruntun. Wuuk, wuuk...! Namun bumbung tuak pun
kembali menghadang gelombang hawa padat itu dalam keadaan dipegang dua tangan
dan satu kaki Suto berlutut menahannya.
Blaam, blaamm. .! Benturan
gelombang hawa padat dengan bumbung tuak membuat Suto Sinting terdorong ke
belakang dan jatuh terduduk. Namun ia segera berguling ke samping karena Tulang
Besi tampak ingin lepaskan pukulan bersinarnya. Sebelum hal itu terjadi, Suto
Sinting segera arahkan sentilan 'Jari Guntur'-nya ke pelipis Tulang Besi.
Dess...! Wuuut, brruukk...! "Aoooww...!" Tulang Besi memekik sambil
jatuh berguling guling. Kepalanya terasa mau pecah karena terkena sentilan
jarak jauh yang mempunyai kekuatan tenaga dalam sebesar tendangan seekor kuda
jantan itu. Untuk sesaat Tulang Besi yang meraung-raung kesakitan sambil kedua
tangannya pegangi kepala.
Pendekar Mabuk bergegas
bangkit, ia sengaja tidak menyerang lagi, karena tak ingin pertarungan itu
mencelakakan kedua belah pihak. Bagaimanapun ganasnya si Tulang Besi, tapi Suto
masih ingat bahwa kakek tua itu patut murka kepada pihak Ratu Ladang Peluh
karena perguruannya dihancurkan. Hanya saja, ia salah paham dan menyangka
Mustikani masih berada di pihak Ratu Ladang Peluh, sehinga pembelaan Suto
terhadap Mustikani dianggap bersekutu dengan pihak Ratu Ladang Peluh. Yang
perlu dilakukan Suto adalah meluruskan anggapan tersebut agar tidak membuat
pertikaian dan salah paham itu menjadi berlarut-larut.
"Sekarang pun kau sudah
kuanggap mati di tanganku, Tulang Besi!" seru Suto Sinting sambil
mengarahkan bambu tuak seperti ingin dihantamkan ke kepala Tulang Besi.
"Kalau aku mau, bambu ini
dapat membuat kepalamu pecah seperti telur bebek habis dibanting!" tambah
Suto. "Tapi karena aku merasa kau bukan musuhku dan aku bukan berada di
pihak Ratu Ladang Peluh, maka aku tak akan membunuhmu, Kakek berang!"
"Keep... keparat
kaauu...!" geram Tulang Besi sambil menahan sakit. "Minumlah tuakku,
kujamin kau akan sembuh dan tak merasa sakit lagi! Tapi berjanjilah untuk tidak
bermusuhan lagi denganku karena kemarahanmu itu menimbulkan kesalahpahaman
belaka, Tulang Besi!" Suto Sinting segera sodorkan bumbung tuaknya dengan
tetap waspada. Tulang Besi menolak dengan suara mengerang dalam satu sentakan.
"Tulang Besi, aku tahu
yang kau cari saat ini! Kau mencari perempuan berjubah kuning yang bernama
Rasti! Jika kau tak mau minum tuakku, maka pelarian Rasti semakin jauh lagi
dari tempat ini, karena ia tadi bersamaku dan segera melarikan diri setelah
kutahu ia menyembunyikan kitab keramat di pinggang belakangnya!"
Tulang Besi segera berubah
sikap. Walau tetap menggeram, namun ia mulai tertarik dengan ucapan Suto tadi.
*
* *
7
SETELAH menerima perdamaian
dari Pendekar Mabuk berupa pengobatan melalui tuak saktinya, Tulang Besi
akhirnya membenarkan dugaan Suto tentang kitab keramat di tangan Rasti.
"Memang benar, benda yang
disembunyikan perempuan itu adalah kitab keramat. Kitab itu diambilnya dari
mayat Ladang Peluh sesaat setelah ia berhasil membunuh Ratu bejat itu bersama
beberapa pengawalnya."
"Apakah kau melihatnya
sendiri?"
"Ya, aku mengintainya
dari kejauhan. Karena sebelum itu, Ratu bejat kuserang sebagai tindakan balas
dendamku kepadanya. Tapi agaknya aku kaliah ilmu dengannya. Aku terluka dalam,
dan harus sembuhkan lukaku dulu untuk menyerangnya lagi. Saat kutinggalkan,
beberapa waktu kemudian kudengar suara ledakan dari tempatku bertarung
melawannya. Aku kembali ke sana untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata Ratu
Ladang Peluh bertarung melawan Rastiwina, dan pertarungan itu kuperhatikan
hingga tewasnya si Ladang Peluh dan anak buahnya itu."
Sementara si Tulang Besi
berceloteh, benak Suto Sinting memikirkan sesuatu yang terasa menggoda
ingatannya. Bahkan batin Pendekar Mabuk
pun bertanya pada diri sendiri, "Rastiwina...?! Sepertinya aku
pernah mendengar nama Rastiwina itu?! Di mana dan kapan kudengar nama
itu?!"
"Rupanya Rastiwina
mengetahui bahwa Ladang Peluh mempunyai kitab keramat tersebut. Mungkin karena
dulu mereka bersahabat dan belakangan ini kudengar mereka bermusuhan karena
persoalan pribadi, sehingga Rastiwina akhirnya nekat menghadapi Ladang Peluh.
Tujuannya hanya untuk mengambil kitab keramat tersebut. Dan kulihat Rastiwina
berhasil dapatkan kitab itu setelah menggeledah tubuh mayat Ratu bejat yang
dipenggalnya memakai pedang milik pengawal Ladang Peluh sendiri."
"Dan kau pun naksir kitab
itu?!"
Tulang Besi gusar sesaat,
namun akhirnya menjawab, "Daripada kitab keramat itu jatuh di tangan
Rastiwina yang juga sebejat Ladang Peluh, lebih baik kitab itu kurebut dan
kukuasai sendiri!"
"Kau akan berurusan
dengan Geledek Biru jika menguasai kitab itu!"
"Memang. Tapi aku bisa
pergunakan kekuatan sakti di dalam kitab itu untuk melawan Geledek Biru. Hanya
saja... sekarang pendapatku sudah berubah, mengingat si Geledek Biru adalah
kakak sahabatku sendiri. Aku hanya ingin merebut kitab itu agar jangan jatuh di
tangan perempuan bejat!"
"Bukankah dia "
"Apakah kau belum kenal
dengan Rastiwina yang berjuluk Ratu Lembah Girang itu, Anak muda?!"
Suto Sinting tersentak kaget
begitu mendengar nama Ratu Lembah Girang. Rasa ingin protes atas pemotongan
kata-katanya tadi terpaksa dibatalkan karena ia lebih tertarik memperhatikan
nama Ratu Lembah Girang. Kini Suto ingat bahwa ia pernah berurusan dengan Ratu
Lembah Girang yang ingin menguasai bocah sakti di Pulau Swaladipa. Walau secara
langsung memang ia belum pernah beradu muka dengan Ratu Lembah Girang, tetapi
para begundalnya telah menyerang dan bermaksud membunuhnya, termasuk iblis
kirimannya yang amat berbahaya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Bocah Titisan Iblis").
"Pantas sejak tadi aku merasa
janggal terhadap nama Rastiwina. Rupanya nama itu adalah nama asli dari Ratu
Lembah Girang yang pernah kudengar disebutkan oleh si Manusia Kayu; Ki Sumparana," pikir
Suto Sinting sambil tertegun berkepanjangan. Karena ia juga ingat
pertarungannya melawan Pangeran Cabul dan Lembah Wuyung, yang merupakan
orang-orang utusan Ratu Lembah Girang untuk mencabut nyawa Suto Sinting.
"Kurasa ia mengenaliku.
Tapi mengapa saat di dalam gua ia tidak membunuhku? Mengapa ia justru
bersemangat dalam mencumbuku?" pikir Suto lagi. Ia tak tahu bahwa
Rastiwina alis Ratu Lembah Girang terkejut ketika mengetahui ketampanan Suto
Sinting yang menjadi lawannya itu. Ia tidak menyangka ketampanan dan kegagahan
Pendekar Mabuk sangat menawan hatinya, sehingga ia merasa sayang jika harus
membunuh pemuda itu sebelum dimanfaatkan kehangatan kemesraannya.
"Dia tidak boleh mati.
Dia begitu hangat dan pandai membuatku terbang di puncak kenikmatan. Aku akan
tundukkan dia dengan aji pemikat abadi yang menurut keterangan Ladang Peluh dulu,
mantra tersebut ada di dalam kitab keramat ini. Sekarang dia tahu aku membawa
kitab itu. Aku harus melumpuhkannya sesaat. Setelah kitab ini kupelajari, akan
kuhampiri dia dan kutundukkan agar menjadi pemuas gairahku. Ooh... aku suka
sekali dengan permainan tangannya yang seolah- olah sangat sesuai dengan
harapanku itu. Aku tak boleh membunuhnya...!" pikir Rastiwina pada saat
itu. Karenanya ia lebih baik melarikan diri daripada harus berhadapan dengan
Suto dan saling mengadu ilmu.
Pendekar Mabuk segera sadar
dari lamunannya. Namun ia terperanjat mengetahui hari telah menjadi gelap dan
Tulang Besi telah pergi dari hadapannya. Ke mana perginya si Tulang Besi, Suto
tak tahu. Namun dugaan hati kecilnya mengatakan, bahwa Tulang Besi pergi
mencari Rastiwina karena ingin merebut kitab keramat itu.
Sekalipun gelap petang telah
tiba, namun Pendekar Mabuk tetap lakukan pencarian terhadap diri Rastiwina.
Semakin cemas hati si Pendekar Mabuk setelah mengetahui bahwa kitab itu
ternyata jatuh di tangan Ratu pengumbar nafsu dari Pulau Swaladipa. Semakin
kuat niatnya untuk selamatkan kitab itu atau menghancurkannya sama sekali,
seperti yang dikatakan si Geledek Biru.
Esok paginya, Pendekar Mabuk
yang sempat tidur beberapa waktu di atas pohon itu, segera memutuskan untuk
memberi tahu hal itu kepada Geledek Biru dan beberapa orang lainnya yang
dianggap mau membantu Geledek Biru dalam mencari kitab keramat tersebut. Sebuah
desa yang disinggahi menjadi tempatnya bertanya tentang kediaman si Geledek
Biru, sambil ia mengisi bumbungnya dengan tuak yang baru.
"Eyang Bintara tinggal di
Bukit Belatung," tutur si pemilik kedai yang sudah berusia sekitar enam
puluh tahun itu.
"Ke mana arahnya jika aku
harus ke Bukit Belatung, Ki?"
"Jalanlah menuju ke
selatan. Jika kau temukan dua sungai bersebelahan, ikutilah sungai yang sebelah
kiri dan menuju ke muara!"
Ketenangan Suto terasa semakin
besar, karena bumbung tuaknya sudah terisi tuak penuh, ia lebih bersemangat
lagi dalam perjalanannya. Hanya saja, langkahnya terpaksa terhenti karena suara
ledakan menggelegar yang samar-samar berasal dari arah barat daya. Ia segera
bergegas ke sana, karena rasa ingin tahunya jika mendengar suara pertarungan
selalu menggoda hati.
Mata Suto Sinting terbelalak
begitu melihat di tepian sungai terjadi pertarungan antara Rastiwina melawan
Mendung Merah. Agaknya gadis berpakaian merah itu terdesak beberapa kali,
karena ilmunya tak sebanding dengan ilmu si Ratu Lembah Girang. Namun gadis itu
masih belum mau larikan diri walaupun ia telah memuntahkan darah segar dari
mulutnya.
"Kau memang keparat
busuk, Mendung Merah! Kau sama busuknya dengan gurumu! Jika gurumu saja hampir
mati di tanganku, apalagi hanya kau seorang?!"
Rupanya antara perguruan
Mendung Merah dengan pihak Ratu Lembah Girang pernah terjadi bentrokan yang
nyaris menewaskan gurunya Mendung Merah yang namanya tak diketahui oleh Suto
Sinting. Tapi dari perkataan Rastiwina, Suto dapat simpulkan bahwa bentrokan
itu terjadi karena rebutan sebuah pusaka yang akhirnya dihancurkan sendiri oleh
Ratu Lembah Girang.
"Urusan pusaka Keris
Bumiyamka itu sudah tak ada lagi. Pusaka itu ternyata kalah sakti dengan
ilmuku, terbukti mampu kuhancurkan sendiri! Kurasa kau tak perlu mengungkit
masa lalu antara pihakku dengan pihak perguruanmu,
Mendung Merah. Apalagi kau masih bau kencur saat peristiwa itu terjadi!"
"Aku bukan memasalahkan
Keris Bumiyamka itu! Yang kukehendaki adalah kitab keramat 'Serat Sekar
Siluman'! Aku tahu kitab itu ada padamu, karena Sawung Kuntet memergokimu
sedang membuka-buka kitab tersebut, lalu ia kau serang hingga sekarat!"
"O, jadi kau ingin
menguasai kitab keramat itu juga?! Hmm...! Kalau aku sudah menjadi bangkai, kau
boleh menguasai kitab itu. Mendung Merah! Sekalipun si Geledek Biru yang ingin
merebutnya dari tanganku, akan kupertahankan dengan mempertaruhkan
nyawaku!" "Kalau begitu, jangan salahkan diriku jika aku harus
merebutnya dengan cara sekasar mungkin!" bentak
Mendung Merah, lalu segera
mencabut pedangnya.
Sreeet...!
Tetapi sebelum Mendung Merah
menyerang, tiba-tiba Rastiwina lepaskan pukulan jarak tujuh langkah dengan
pergunakan dua jarinya yang mengeras. Dua jari itu dikibaskan seperti
melemparkan pisau, dan dari dua jari itu melesat sinar merah patah-patah
seukuran pisau terbang. Clap, clap, dap!
Mendung Merah sentakkan kaki
ke tanah dan tubuhnya melambung naik dengan gerakan bersalto. Wuk, wuuk...!
Begitu hinggap di atas gundukan tanah setinggi pundak manusia dewasa, pedang
itu dikibaskan ke depan dan dari kibasan pedang itu keluarlah serbuk biru
mengkilap yang menyebar ke arah Ratu Lembah Girang. Wuuurrsss...!
Serbuk itu pasti serbuk
beracun, terbukti rumput- rumput yang terkena serbuk itu menjadi lumer dan
akhirnya mencair seperti bubur. Jika sampai serbuk biru mengkilap itu kenai
tubuh Ratu Lembah Girang, tentunya perempuan bermata jalang itu akan lumer dan
menjadi seperti bubur. Sayangnya, Ratu Lembah Girang bukan orang berilmu
pas-pasan, sehingga dengan satu kali sentakan tangannya, ia dapat keluarkan
hembusan angin yang membuat serbuk-serbuk itu terbang ke arah Mendung Merah
sendiri. Wuuss, wuuurss...!
"Heeaaat...!"
Mendung Merah melompat ke sana-sini dengan lompatan cepat. Kakinya bagai
menyentak bagian ujung saja, termasuk menjejak sebatang pohon yang membuatnya
meluncur ke satu arah hindari serbuknya sendiri.
Begitu kakinya mendarat di
bumi, tahu-tahu Rastiwina lepaskan pukulan bersinar kuning emas sebesar telur
burung puyuh itu. Claap...! Sinar kuning itu meluncur cepat ke arah Mendung
Merah. Namun sebelum sampai di pertengahan jarak, seberkas sinar merah kecil
telah melesat lebih cepat dan menghantam sinar kuning tersebut. Weeess...!
Jegaaarrr...!
Ledakan itu menyentakkan tubuh
Rastiwina ke belakang, namun ia hanya terhuyung sesaat, lalu dapat berdiri
tegak kembali dan memandang ke arah datangnya sinar merah kecil tadi. Ternyata
dari balik pohon rindang itu muncul seraut wajah yang murah senyum, yaitu wajah
seorang pemuda bertongkat bambu kuning.
"Santana...?!" gumam
Suto Sinting dari persembunyiannya. "Kusangka ia telah mati ditelan bumi,
ternyata masih cengar-cengir juga anak itu?!"
"Bocah ingusan! Kau mau
ikut campur juga, hah?!" bentak Rastiwina dengan wajah berang. Santana
tetap nyengir sambil melangkah santai dekati lawannya.
"Jurusmu cukup
membahayakan nyawa sahabatku, Bibi! Aku terpaksa mematahkannya, ketimbang
sahabatku kehilangan nyawa, lebih baik kau sajalah yang kehilangan nyawa, toh
wajahmu sudah tampak tua. Kuduga usiamu sudah delapan puluh tahun lebih, Bibi
cantik!"
Santana bicara seenaknya dan
tak punya kesan bermusuhan. Namun kata-katanya justru memanaskan telinga
Rastiwina yang tak mau dikatakan sudah tua. Ia sangat tersinggung dengan
penghinaan itu, sehingga suara geramnya menunjukkan ia sangat marah kepada
Santana.
Pendekar Mabuk geleng-geleng
kepala sambil tersenyum geli. "Bocah itu kalau bicara seenak udel-nya
sendiri! Memang menjengkelkan, tapi juga menggelikan. Apalagi dia mengakui
bahwa Mendung Merah adalah sahabatnya, jelas itu sangat menggelikan bagiku,
sebab kutahu mereka semula adalah saingan; sama-sama menjadi pembunuh bayaran yang
memburuku, eeh... sekarang malah jadi sahabat?!"
Celoteh batin Suto Sinting
dihentikan sampai di situ dulu, karena Rastiwina melepaskan kemarahannya dengan
sebuah pukulan jarak jauh yang mengeluarkan asap hitam-hitaman dari pangkai
telapak tangan atau pergelangannya.
Wuuusss...! Asap itu menyembur
ke arah Santana. Mendung Merah berseru dari tempatnya. "Awas,
racuuun...!"
Santana segera memutar tongkat
bambu kuningnya dengan satu tangan. Tongkat itu bagaikan berputar secepat
baling-baling dalam gerakan menyelinap dipermainkan oleh kelima jari tangan
kanan itu. Seerr...! Wuuurrss...! Angin putaran tongkat itu membuyarkan asap
kehitaman. Pada saat itu, Rastiwina segera melesat bagaikan kilat menerjang
Santana. Weesss...!
"Brreesss...!
"Aoow...!" pekik Santana
tertahan. Tubuhnya terpental delapan langkah ke belakang, ia terbanting dengan
kerasnya di samping Mendung Merah. Brruuk!
"Auuh...! Tulang
punggungku patah, Sayang...!" rintihnya sambil menyeringai menatap Mendung
Merah dengan satu mata dipicingkan. Mendung Merah tak pedulikan rintihan konyol
itu. Ia segera menyerang Rastiwina dengan tebasan pedangnya beberapa kali. Wut,
wut, wut, wut...!
Rastiwina hanya menghindar
dengan meliukkan badan dengan lincah ke kiri, kanan, belakang, merunduk, dan
akhirnya jatuhkan diri, sambil kakinya menyapu betis Mendung Merah. Wuuutt...!
Prraak...!
Brrruk...! Rastiwina berhasil
menjatuhkan Mendung Merah yang memekik tanpa suara karena mata kakinya bagaikan
pecah disapu tendangan bertenaga dalam tadi. Sapuan itu juga membuat pedang
Mendung Merah terlepas dari genggamannya. Pedang itu terpental ke atas dan
segera disambar oleh Rastiwina.
Wuuut, teeb...!
"Saatnya pergi ke neraka
telah tiba, Gadis bodong!
Heeaah...!"
Ratu Lembah Girang menebaskan
pedang ke arah kepala Mendung Merah. Namun sebelum pedang itu bergerak membabat
kepala, tiba-tiba Santana lemparkan tongkat bambu kuningnya dengan tenaga dalam
disalurkan ke dalam bambu tersebut. Wuuut...! Deeeg!
"Uuhk...!" tubuh
Rastiwina terdorong mundur, bahkan jatuh berjumpalitan di tanah, ia merasa
seperti diseruduk banteng liar. Lemparan bambu kecil itu kenai dada kirinya,
dan bambu itu memantul balik ke arah pemiliknya. Teeb...! Santana menangkap
bambu itu dengan cekatan, ia segera bangkit dan sunggingkan senyum kepada
Mendung Merah yang menatapnya.
"Mundur, Sayang... nanti
nyawamu berantakan! Dia sudah memegang senjatamu, biar aku yang hadapi
dia!"
"Kitab itu ada pada
"
"Aku tahu!" potong
Santana dengan kalem. "Aku dengar suaramu tadi. Lihat, bagaimana caranya
mengambil kitab itu, hanya ada di ujung tongkatku ini!" Santana segera
melompat dengan menggunakan tongkatnya sebagai alat pelempar tubuh yang
disentakkan ke tanah.
"Hiaaahh...!"
Wuuuss, wuutt...! Terjangan ke
arah kepala Rastiwina berhasil dihindari. Santana akhirnya mendarat ke belakang
Rastiwina. Namun dengan cepat bambu kuningnya bagaikan disabetkan dari samping
kiri ke kanan dalam satu gerakan cepat, nyaris tak terlihat. Weess...!
Trraak...! Pedang di tangan
Rastiwina menahan bambu itu. Kaki perempuan tersebut berkelebat menjejak dada
Santana. Beet! Bluuhk...!
"Huuueeeek...!"
Bruuuss...!
Mulut Santana semburkan darah
cukup banyak. Pemuda itu jatuh terkapar dengan napas tersentak- sentak, matanya
pun mendelik dengan mulut ternganga. Keadaan Santana sekarat, karena tendangan
yang kenai dadanya itu bertenaga dalam sangat besar dan membuat dada Santana
membekas telapak kaki warna hitam dan berasap.
"Habislah riwayatmu,
Jahanam! Hiaaah...!" teriak Rastiwina dengan murkanya. Tangan yang
memegangi pedang milik Mendung Merah diangkat, pedang itu akan dihujamkan ke
dada Santana. Tetapi niat itu tertunda kembali.
Zlaaap...! Bruuuss...!
Pendekar Mabuk turun tangan
setelah melihat kenyataan yang menyedihkan, kedua orang sahabatnya tidak dapat
mengalahkan Ratu Lembah Girang. Maka ia pun segera berkelebat menerjang Ratu
Lembah Girang dengan pergunakan kecepatan gerak yang menyerupai perpindahan
sinar itu.
Terjangan dari samping itu
membuat Ratu Lembah Girang terlempar sepuluh langkah jauhnya, ia jatuh terbanting
di sela-sela bebatuan. Pendekar Mabuk segera mengejarnya, dan hentikan langkah
dalam jarak satu tombak dari Rastiwina. Ia biarkan perempuan itu bangkit dengan
suara geram kemarahan yang lebih besar lagi.
"Hhmmr...! Ternyata kau
tak bisa kujadikan pemuas gairahku lagi, Pendekar Mabuk kecubung! Kau membuat pengampunanku hilang, dan kini
yang ada padaku hanyalah membunuhmu, mencabik-cabikmu, dan merajang habis
sekujur tubuhmu yang sebenarnya menggairahkan sekali itu!"
"Berilah kitab itu dan
kita selesaikan permusuhan kita sampai di sini saja. Ratu Lembah Girang!"
ujar Suto Sinting, sengaja menyebut nama itu untuk mengingatkan perempuan itu
pada peristiwa Bocah Emas beberapa waktu yang lalu.
"Biadab kau, Suto! Dari
dulu kau selalu mencampuri urusanku! Kau membuatku murka dan tak punya belas
kasihan lagi! Adikku; Pangeran Cabul, juga kau bunuh! Bocah Emas itu juga kau
bawa lari. Kau benar-benar neraka bagi hidupku, Pendekar sapi! Sekarang saatnya
membalas seluruh tindakanmu itu, Keparat!"
"Rastiwina, yang
kuharapkan adalah kau mengembalikan kitab itu kepada si pemiliknya, yaitu Eyang
Bintara alias Geledek Biru. Serahkan padaku dan aku akan menyerahkannya kepada
beliau!" tegas Suto Sinting.
"Ambil ini!
Hiaaah...!"
Rastiwina sentakkan kedua
tangannya dalam keadaan menggenggam. Dari kedua genggaman itu keluar sinar
kuning secara beruntun dalam bentuk seperti piring kecil.
Blab, blab, blab, blab, blab,
blab,..!
Suto Sinting menangkisnya
dengan melintangkan bambu tuaknya di depan dada. Kedua tangannya memegangi
bambu itu dengan kuat, karena sinar kuning itu ternyata tidak bisa membalik ke
arah semula seperti sinar-sinar lain yang terkena bumbung tuak. Bahkan
sinar-sinar kuning itu tidak meledak walau berulangkali membentur bumbung tuak.
Menandakan kekuatan sinar itu sungguh dahsyat dan dapat mengimbangi kekuatan
sakti yang ada pada bumbung tuak milik Pendekar Mabuk itu.
Kekuatan Suto menahan bumbung
tuak itu akhirnya lemah. Wuuuss...! Tubuh Suto Sinting terlempar ke belakang
dengan keseimbangan tubuh tak terkendali, ia jatuh terjungkal dan pelipisnya
membentur batu runcing. Cuuur...! Darah pun mengucur dari pelipis Pendekar
Mabuk.
Sinar kuning itu telah lenyap.
Kini Rastiwina meluncur bagaikan singa terbang tanpa membawa pedang milik
Mendung Merah. Wuuut...! Dari kedua matanya memancarkan sinar merah lurus dua
larik yang ditujukan ke tubuh Pendekar Mabuk. Dengan gerakan cepat, Pendekar
Mabuk sentakkan tangan ke tanah dan tubuhnya melesat naik, melambung di udara
tepat pada saat kedua sinar merah dari mata Ratu Lembah Girang menghantam batu
besar yang ada di belakang Suto saat Suto terjatuh tadi. Cralap...!
Blegaaarrr...!
Batu besar itu lenyap tanpa
bekas, kecuali asap hitam yang segera buyar disapu angin. Pada saat itu, Suto
Sinting yang masih melambung di udara segera lepaskan pukulan sinar kuning
juga, yaitu jurus 'Pukulan Gegana' dari dua jari yang dikeraskan. Sinar kuning
patah-patah itu menghantam punggung Rastiwina yang sedang melayang di bawahnya.
Clap, clap, clap...!
Jleb, jleb, jleb...!
"Aaaa...!" Rastiwina
alias Ratu Lembah Girang memekik panjang dan tubuhnya jatuh tengkurap. Sinar
kuning itu menembus punggungnya. Punggung itu akhirnya kepulkan asap yang makin
lama makin tebal membungkus raga.
Pendekar Mabuk segera bersalto
di udara dan hinggap di atas batu
setinggi dadanya sendiri. Jleeg..! Dari sana ia dapat melihat kemunculan si
Tulang Besi yang segera hentikan langkahnya sambil pandangi tubuh Rastiwina
yang dibungkus asap tebal. Dari arah lain juga melesat bayangan biru yang
menghampiri Pendekar Mabuk. Wuuutt...! Jleeg...!
"Eyang Bintara...?!"
sapa Suto Sinting, lalu buru-buru turun dari atas batu tersebut, takut dianggap
tak sopan kepada si Geledek Biru.
Geledek Biru pandangi
Rastiwina yang sudah tak berkutik lagi. Bahkan ketika gumpalan asap itu buyar
seketika setelah Geledek Biru hembuskan napas dari mulutnya, semua mata
memandang tertegun ke arah Ratu Lembah Girang. Ternyata tubuh perempuan itu
sudah menjadi seonggok daging yang kering, kehitam- hitaman, dan tentunya tak
mempunyai nyawa sesendok pun. Ratu Lembah Girang akhirnya tewas di tangan
Pendekar Mabuk, disaksikan seorang tokoh tua yang amat disegani dan ditakuti di
kawasan tenggara; Geledek Biru.
"Dia yang mencuri kitab
keramat itu, Eyang!" kata Suto Sinting.
"Hmmm...," Geledek
Biru manggut-manggut. "Tapi dia sudah menjadi kering seperti arang begitu,
apakah kitab keramatku masih utuh?"
"Hmm, hmm... mungkin ya
ikut kering juga, Eyang!" jawab Suto Sinting dengan takut-takut.
Tulang Besi yang sudah
mendekati mereka ikut bicara.
"Lebih baik hancur
daripada bikin penyakit bagi orang lain!"
Geledek Biru hanya melirik si
Tulang Besi, sementara itu Suto memeriksa kain ikat pinggang Rastiwina yang
juga menjadi abu itu. Ia menemukan kitab tersebut, namun keadaannya sudah
terbakar dan hanya sisa bagian pinggirannya saja.
"Ini kitab keramat milik
Eyang, silakan ambil, Eyang!"
"Aku sudah punya banyak
abu gosok buat cuci piring. Ambillah sendiri!" ujar Geledek Biru dengan
hati kesal, namun membuat Tulang Besi tersenyum kaku, dan Pendekar Mabuk
tersipu malu menahan geli.
"Lupakan tentang kitab
itu! Tolong sembuhkan Mendung Merah dan Santana!" perintahnya kepada
Pendekar Mabuk. Dengan rasa hormat Suto pun obati mereka menggunakan tuak
saktinya. Lalu, mereka pun saling berpisah dengan damai.
SELESAI