1
SETAN Rawa Bangkai adalah
julukan bagi tokoh aliran hitam yang berusia delapan puluh tahun, ia bertapa di
sebuah rawa dengan cara merendam tubuhnya sampai batas leher, tinggal kepalanya
saja yang tampak di permukaan air rawa. Tapa rendam itu dilakukan olehnya
selama tujuh belas tahun.
Kemunculannya kembali ke dunia
persilatan sempat menjadi bahan percakapan para tokoh tua kalangan atas, baik
yang beraliran hitam maupun putih. Mereka mengatakan, "Setan Rawa Bangkai
mulai bergentayangan kembali." Tak heran jika beberapa tokoh tua aliran
putih mengadakan pertemuan di puncak Bukit Sekal.
"Delapan belas tahun yang
lalu, Marundang atau si Setan Rawa Bangkai pernah hampir menghancurkan dunia
dengan ilmu 'Cakrabumi'-nya. Untung bisa ditumbangkan oleh jurus 'Petak
Sembilan'-nya si Raja Maut," ujar Ki Argapura, tokoh yang kesohor sebagai
jago pedang kawakan, pernah menurunkan Ilmu pedangnya kepada Pendekar Mabuk,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Ladang Pertarungan").
"Memang benar! Tapi
sekarang si Raja Maut telah tiada, haruskah kita tangani bersama-sama agar
Setan Rawa Bangkai tidak mengumbar keganasannya kembali?" timpal tokoh
gemuk berjenggot putih yang dikenal dengan nama si Jubah Kapur. Ketua Partai
Gelandangan itu sangat peduli sekali dengan bahaya yang mengancam kedamaian
serta keutuhan dunia persilatan, karenanya dalam pertemuan di Bukit Sekal itu
ia paksakan diri untuk hadir dan ikut membahasnya.
"Kurasa saat ini
Marundang punya ilmu baru yang lebih berbahaya dan sepertinya kekuatan kita
tidak cukup untuk menandingi kekuatan Marundang," kata tokoh tua berambut
belakang panjang depannya botak, tanpa kumis dan tanpa jenggot. Tokoh yang
mengenakan jubah abu-abu itu dikenal dengan nama Buyung Gerang, saudara seperguruan
dengan Poci Dewa yang kala itu ada di sampingnya, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Pertarungan Tanpa Ajal").
Galak Gantung, orang yang
tempo hari lakukan pertarungan dengan Suto Sinting karena salah paham itu,
segera ikut angkat bicara dengan sikap wibawanya.
"Sebenarnya ada satu
orang yang bisa menandingi si Setan Rawa Bangkai itu. Tapi entah dia mau turun
tangan atau tidak dalam perkara ini."
"Siapa maksudmu, Galak
Gantung?!" tanya Ki Argapura.
"Kurasa aku belum tentu
sanggup. Jangan berharap padaku," sahut si Tua Bangka, tokoh berilmu
tinggi yang memiliki pusaka Kapak Setan Kubur.
"Jangan gede rasa dulu,
Tua Bangka! Yang kumaksud bukan dirimu!" ujar Galak Gantung.
"O, maaf. Kukira akulah
orang yang kau anggap sakti itu, he, he, he...." Tua Bangka cengar-cengir
sambil garuk-garuk kepalanya.
"Orang yang mampu
tumbangkan kekuatan si Setan Rawa Bangkai tak lain adalah Sabawana alias si
Gila Tuak!"
"Menurutku, Bidadari
Jalang, saudara seperguruannya si Gila Tuak juga mampu melawan kekuatan Setan
Rawa Bangkai," sela Sumbaruni, tokoh perempuan cantik yang sudah berusia
banyak tapi masih tampak muda. Perempuan mantan istri jin dan punya kesaktian
cukup tinggi. Tapi toh ia masih merasa akan kalah tanding jika melawan Setan
Rawa Bangkai.
Poci Dewa menimpali sambil
manggut-manggut, "Ya, ya... kurasa si Gila Tuak atau Bidadari Jalang yang
mampu lumpuhkan Setan Rawa Bangkai."
"Tapi mereka sudah tidak
mau ikut libatkan diri dalam bentrokan dengan siapa pun. Mereka sudah
mengasingkan diri dan enggan ikut campur di rimba persilatan," ujar Ki
Tumbang Laga yang usianya sudah mencapai tujuh puluh lima tahun tapi masih
tampak gagah, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Kutukan Pelacur
Tua"). "Tapi kudengar mereka berdua akan datang menghadiri pertemuan
ini!" sahut Sumbaruni.
Wuuus...! Buuubb...!
Tiba-tiba segumpal asap
mengepul di samping Sumbaruni. Perempuan sakti yang menyimpan cinta kepada
Pendekar Mabuk itu sempat terkejut sesaat. Asap itu pun lenyap dan muncullah
sesosok tubuh gemuk berkepala gundul mengenakan pakaian model biksu warna
kuning, berkalung tasbih sebesar kelereng sepanjang perut, ia tokoh yang kumis
dan brewoknya berwarna putih rata namun berkesan lembut. Tokoh aliran putih itu
tak lain adalah Resi Badranaya, guru dari si Darah Prabu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Gadis Buronan").
"Maaf aku terlambat
datang," ujarnya sambil mendekapkan kedua telapak tangan di dada dan badan
sedikit membungkuk pertanda memberi hormat kepada sahabat-sahabatnya yang sudah
ada di tempat.
"Badranaya, kusangka kau
tak akan datang karena sibuk dengan urusan kakakmu; Nyi Mas Gandrung
Arum."
"Urusanku sudah selesai,
dan telinga tuaku mendengar kabar tentang kemunculan si Setan Rawa Bangkai.
Firasatku mengatakan, bahwa Setan Rawa Bangkai pasti mempunyai kekuatan lebih
ampuh lagi, ilmu yang lebih dahsyat lagi, sehingga ia akan memporakporandakan
isi dunia untuk yang kedua kalinya. Kudengar kabar pula bahwa kalian berkumpul
di Bukit Sekal ini, sehingga kusempatkan untuk hadir di antara kalian."
Tua Bangka yang juga kenal
dengan Resi Badranaya itu segera berkata,
"Sebaiknya tugas
melumpuhkan Setan Rawa Bangkai kami percayakan padamu saja, Badranaya. Apakah
kau punya kesanggupan untuk mengungguli kekuatan barunya Marundang?"
"Mengungguli atau tidak,
itu persoalan nanti. Yang penting jika kalian percayakan hal ini kepadaku, aku
akan berjuang sekuat tenaga untuk menumbangkan si Setan Rawa Bangkai itu!
Sekalipun nyawaku menjadi korban, aku telah siap dengan hati rela. Toh semua
ini demi selamatkan bumi yang kita pijak agar jangan hancur sebelum kiamat
tiba."
"Aku tidak setuju!"
celetuk Galak Gantung. "Aku keberatan jika Badranaya yang berhadapan
dengan Marundang. Sama saja kita membuang satu nyawa secara sia-sia. Setan Rawa
Bangkai tidak bisa ditandingi secara coba-coba. Harus ada lawan yang sekali
serang bisa bikin ia binasa!"
"Kalau kau tidak
bersedia, aku pun tidak akan memaksakan diri untuk menghadapi Marundang,"
kata Resi Badranaya dengan nada bijaksana. "Barangkali pertimbanganmu
memang benar, Galak Gantung. Hanya saja, siapa orang yang mampu tumbangkan
Marundang dalam sekali serang?"
"Gila Tuak atau Bidadari
Jalang.
Tapi mereka. "
Tiba-tiba terdengar sebuah
seruan di samping Galak Gantung,
"Mengapa harus
aku?!"
Semua mata tertuju pada si pemilik
suara tersebut. Ternyata orang yang bicara itu adalah tokoh beralis tebal putih
yang memakai pakalan hijau di bungkus jubah kuning lengan panjang bukaan depan.
Tokoh berambut putih rata sepanjang pundak dengan ikat kepala hitam dan tongkat
hitam setinggi dada itu tak lain adalah Ki Sabawana, atau si Gila Tuak.
Sedangkan perempuan cantik yang tampak masih muda namun sudah berusia banyak
yang berdiri di samping Gila Tuak adalah perempuan sakti nomor dua setelah si
Gila Tuak. Dia adalah Bidadari Jalang, mantan tokoh hitam yang sudah berpindah
ke aliran putih. Keduanya itu adalah guru dari Suto Sinting yang bergelar
Pendekar Mabuk. Keduanya muncul tanpa suara dan tanpa tanda.
Bagi mereka kemunculan itu
sudah tidak mengherankan. Mereka tahu, Gila Tuak dan Bidadari Jalang adalah
nama tokoh sakti yang tercantum dalam daftar paling atas dari deretan tokoh-
tokoh sakti rimba persilatan. Nama yang ada pada deretan ketiga setelah dua
tokoh itu adalah Siluman Tujuh Nyawa, manusia yang dikutuk menjadi orang sesat
selama tiga ratus tahun. Tapi dalam pertemuan di Bukit Sekal itu, Siluman Tujuh
Nyawa tidak hadir, karena memang pertemuan itu bukan dari aliran hitam.
Bidadari Jalang segera angkat
bicara setelah semua tercekam hening beberapa helaan napas,
"Kami dengar apa yang
sedang terjadi di rimba persilatan. Setan Rawa Bangkai bergentayangan kembali.
Kami sengaja diam karena kami punya sahabat cukup banyak yang ilmunya mampu
menyamai Setan Rawa Bangkai. Kalian-kalian inilah yang sebenarnya kurang
percaya diri, sehingga tidak mau bertindak secepatnya."
"Bidadari Jalang,"
ujar Galak Gantung. "Kabar terakhir yang kudengar sebelum hadir dalam
pertemuan ini ialah tentang ilmu baru yang dimiliki si Setan Rawa Bangkai. Ada
dua ilmu yang sudah ia coba untuk mengacaukan suatu daerah tanpa belas kasihan
sesama manusia. Kedua ilmu itu adalah 'Sukma Sakti' dan satu lagi 'Cakar Belah
Jagat'. Seseorang yang sudah kuasai ilmu 'Sukma Sakti' berarti ia hampir
mencapai tingkat puncak ilmu tertinggi. Kau dan Gila Tuak sudah ada di tingkat
yang sama, tapi kami masih jauh di bawah kalian. Jadi sia-sia saja jika kami
bertindak melawan Setan Rawa Bangkai. Satu-satunya jalan hanya kalian berdua
yang mampu hentikan kekejian Setan Rawa Bangkai."
Tua Bangka menyahut,
"Kami tidak ingin buang-buang waktu, buang-buang tenaga dan yang
terpenting kami tidak ingin buang-buang nyawa. Perlu diingat, bahwa kami hanya
punya satu nyawa. Jadi tak bisa dipakai untuk coba-coba melawan keganasan Setan
Rawa Bangkai."
"Lalu untuk apa kau punya
pusaka Kapak Setan Kubur kalau masih merasa kecil di hadapan Setan Rawa
Bangkai?"
"Nawang Tresni,"
kata Tua Bangka menyebut nama asli Bidadari Jalang. "Pusaka yang kumiliki
sudah hancur kala aku melawan Balekubang, Penguasa Pulau Tangkal yang ingin
mengawini cucuku itu. Kukorbankan pusaka Kapak Setan Kubur demi keselamatan
cucuku dan kehancuran si Balekubang. Jadi, sekarang apa yang kupunya hanya
kapak tebang pohon yang tak punya kekuatan apa-apa untuk melawan Setan Rawa
Bangkai."
Mereka terdiam sebentar,
karena baru sekarang mendengar Kapak Setan Kubur ternyata telah hancur bersama
hancurnya orang-orang Pulau Tangkal. Sayang sekali mereka tak menyaksikan
pertarungan Tua Bangka dengan orang- orang Pulau Tangkal, sehingga peristiwa
hancurnya Kapak Setan Kubur itu tidak bisa disaksikan dengan mata kepala mereka
masing-masing. Jika pada waktu itu Tua Bangka tidak harus melawan orang-orang
Pulau Tangkal, maka ia akan membantu Pendekar Mabuk dalam mencari pusaka
Panji-panji Mayat milik keluarga Dewi Hening itu, (Baca serial Pendekar Mar buk
dalam episode: "Misteri Bayangan Ungu").
Perundingan itu berlangsung
hampir sehari penuh. Pada dasarnya mereka menaruh harap kepada Gila Tuak atau
Bidadari Jalang untuk menghancurkan kekejian si Setan Rawa Bangkai. Tapi
agaknya kedua tokoh sakti yang namanya cukup disegani di kalangan sejajarnya
itu merasa keberatan untuk lakukan permintaan mereka. Akhirnya Gila Tuak
berkata kepada mereka,
"Jika kalian merasa tak
ada yang sanggup tumbangkan si Marundang, maka aku akan mengutus muridku untuk
melawan Setan Rawa Bangkai."
"Hah...?! Maksudmu si
bocah tanpa pusar; Suto Sinting itu?" cetus Tua Bangka agak kaget.
"Tidak. Aku tidak setuju
jika Suto Sinting yang harus berhadapan dengan Setan Rawa Bangkai. Aku sangat
tidak setuju!" ujar Sumbaruni dengan nada keras, ia tampak gusar mendengar
Suto Sinting akan mendapat perintah dari sang Guru untuk melawan Setan Rawa
Bangkai, sebab ia tak ingin Suto Sinting sebagai pemuda yang dicintai walau
bertepuk sebelah tangan itu celaka dan hancur di tangan Setan Rawa Bangkai.
"Mengapa kau tampak
berang sekali setelah mendengar rencanaku, Sumbaruni?!" tanya Gila Tuak
dengan kalem.
"Suto Sinting bocah
kemarin sore. Bukan tandingannya jika harus melawan Setan Rawa Bangkai, itu
sama saja kau ingin mencelakakan muridmu sendiri, Gila Tuak!"
"Kami tidak khawatirkan
hal itu," kata Bidadari Jalang. "Kami tidak cemaskan keselamatan
Suto, sebab kami tahu seberapa tinggi kekuatannya, sehingga menurut kami ia
cukup mampu mengatasi kekejian Setan Rawa Bangkai itu, Sumbaruni!"
"Bidadari Jalang dan Gila
Tuak," sela Ki Argapura, "Kumohon perkara ini jangan dianggap remeh
dan jangan dipakai buat main-main. Benar apa kata Sumbaruni, bahwa muridmu; si
Pendekar Mabuk, adalah bukan tandingannya Setan Rawa Bangkai. Bisa-bisa anak itu
akan mati dalam sekali gebrak saja. Kuingatkan sekali lagi, jika Setan Rawa
Bangkai berani bergentayangan lagi, maka itu adalah tanda bahwa ia sudah
mempunyai ilmu yang lebih dahsyat dari delapan belas tahun yang lalu."
'Dan itu sama saja menyuruh
murid untuk bunuh diri!" timpal Poci Dewa.
Dalam pertemuan itu ada pula
tokoh yang selama ini sering dampingi Suto Sinting dengan kekonyolannya maupun
dengan kesungguhannya. Dia adalah Resi Pakar Pantun bersama pelayannya; si
Kadal Ginting. Resi Pakar Pantun segera hentikan bisik- bisiknya kepada Resi
Badranaya, dan kini ia bicara kepada si Gila Tuak dan Bidadari Jalang dengan
pantunnya:
"Bunga kecubung memakai
selendang,
menanak nasi di dalam kerang.
Jangan anggap remeh usia orang, sekali gebrak nyawa pun akan
hilang."
Pantunnya itu bersifat membela
keputusan Gila Tuak, sehingga, dengan lancar ia bicara kepada mereka,
"Aku yakin Pendekar Mabuk
mampu lumpuhkan si Setan Rawa Bangkai, asal pada saat ia bertarung melawan si
Setan Rawa Bangkai, ia didampingi perempuan cantik."
"Kekuatan Suto tidak pada
perempuan cantik, Pakar Pantun. Jangan bicara sembarangan!" hardik Gila
Tuak. Hardikan itu membuat Resi Pakar Pantun nyengir malu karena merasa salah
duga. Bidadari Jalang menimpali, "Bocah tanpa pusar mempunyai kekuatan yang sulit ditandingi atau
dikalahkan oleh seseorang. Itulah
kehebatan Suto Sinting, dan
karenanya kalian tak perlu khawatir tentang keselamatannya, ia
akan menghancurkan kekejian dan
keganasan si Setan Rawa
Bangkai."
Akhirnya mereka melepaskan
desah kepasrahan sambil angkat bahu. Bahkan Buyut Gerang sempat berkata mirip
orang menggumam,
"Terserah kalian saja,
Gila Tuak! Jika memang kau dan Bidadari Jalang yakin akan kekuatan seimbang
pada diri murid kalian, lakukan saja sesuai keyakinan kalian!"
"Masalahnya sekarang aku
belum tahu, Suto Sinting ada di mana? Tolong carikan dia dan ceritakan
rencanaku ini kepadanya."
"Tapi... tapi bagaimana
jika Suto kalah dan nyawanya loncat dari raganya?!" ujar Sumbaruni yang
tampak gelisah sekali. *
* *
2
PEMUDA tanpa pusar yang
bernama Suto Sinting kala itu sedang berhadapan dengan Jagal Neraka. Orang
brewok berambut ikal yang mempunyai mata besar, bibir tebal dan perawakan
tinggi besar itu sengaja menghadang langkah Suto Sinting ketika pemuda tampan
yang membawa-bawa bumbung tuak itu melewati pantai. Jagal Neraka adalah Ketua
Perampok Lembah Hantu yang tempo hari nyaris mati di tangan Suto Sinting, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Dendam Selir Malam"). Rupanya
kekalahannya telah membuat Jagal Neraka menaruh dendam kepada Suto Sinting,
sehingga ia sengaja mencari pendekar berbaju coklat tanpa lengan baju itu.
Jagal Neraka sengaja tidak sendirian, melainkan bersama dua saudaranya, yaitu
seorang adik yang bernama Kerak Singa dan seorang kakak yang bernama Iblis
Bujangan.
"Seperti janjiku semula,
kita akan bertemu lagi dan aku akan menebus kekalahanku tempo hari, Pendekar
Mabuk!" ujar Jagal Neraka dengan mata lebarnya membelalak penuh pancaran
dendam. Pendekar Mabuk hanya diam saja, berdiri tegak dengan tenang. Bahkan
sempat membuka bumbung tuaknya untuk ditenggak. Namun sebelumnya ia berkata
kepada Jagal Neraka.
"Dendam tidak akan
membawa kedamaian, Jagal Neraka. Dendam justru dapat menyeret orang ke liang
kubur."
"Persetan dengan nasihatmu,
Bocah Sinting!" bentak Jagal Neraka, maksudnya ingin menjatuhkan nyali
Pendekar Mabuk agar merasa takut dan gentar kepadanya, namun bentakan keras itu
bagai tidak didengar oleh si tampan bercelana putih kusam itu. Pendekar Mabuk
sunggingkan senyum sejenak, kemudian menenggak tuaknya dengan kalem. Seakan ia
tidak sedang berhadapan dengan musuh.
Sikapnya itu dianggap
meremehkan sekali oleh Jagal Neraka dan memancing kemarahan Jagal Neraka lebih
berkobar lagi. Kerak Singa berkata pelan seperti menggumam,
"Dia menganggap ringan
kehadiran kita ini, Jagal Neraka. Hantam saja sekarang juga biar bocah itu tahu
sopan sedikit!".
"Memang harus kuhancurkan
wajah gentengnya itu. Hheeeaah...!" Jagal Neraka menggeram jengkel sekali.
Tubuhnya melompat maju dengan kaki kanan yang besar mengarah ke wajah Pendekar
Mabuk. Weeesss...!
Suto Sinting yang sedang
menenggak tuak dengan tengadah itu bagai tak peduli akan kehadiran serangan
dari lawan. Tapi ketika kaki besar itu hampir menyentuh kepalanya, tiba-tiba
tubuh Suto Sinting bagaikan lenyap. Zlaaap...! ia bergerak sangat cepat
menggunakan jurus 'Gerak Siluman' hingga mirip menghilang. Tahu-tahu ia sudah
berada di belakang Kerak Singa dan Iblis Bujangan.
"Bangsat tengik! Lari ke
mana dia?!" geram Iblis Bujangan yang bertubuh besar dengan perut buncit
dan mengenakan baju merah tak dikancingkan bagian depannya. Kumisnya lebat,
rambutnya panjang sepundak mengenakan ikat kepala merah juga.
"Apakah dia keturunan
hantu, sehingga bisa menghilang begitu saja?!" Kerak Singa juga menggeram
jengkel dengan mata kecilnya yang mencari ke arah depan. Orang kurus berkumis
tipis dan berdagu runcing itu sempat terkejut ketika Suto Sinting perdengarkan
suaranya di belakang kedua orang tersebut.
"Aku tidak lari ke
mana-mana!"
Weeet...! Kedua kakak-beradik
itu segera palingkan wajah ke belakang. Suto Sinting tersenyum tenang saat
mereka lebarkan mata pertanda kaget mengetahui lawannya sudah ada di belakang
mereka.
"Monyet sungsang! Kau
sengaja mempermainkan kami, hah?!" bentak Iblis Bujangan, ia segera
mencabut senjata kapak dua mata yang tadi terselip di sabuknya. Wuuut...! Kapak
itu digenggam kuat-kuat, siap untuk dihantamkan dalam satu kali lompat saja.
Tetapi Suto Sinting masih tetap tenang, tak ada kesan takut sedikit pun. Tali
bumbung tuaknya dililitkan di tangan kanan hingga bambu sakti itu bagaikan
sedang ditenteng dengan ringan.
"Maaf, aku tidak
mempermainkan kalian. Aku hanya menghindari bentrokan yang dapat membahayakan
jiwa kita bersama. Persoalanku dengan Jagal Neraka adalah bukan persoalan
kalian berdua," kata Suto Sinting sambil matanya memandang lurus ke arah
Jagal Neraka yang sedang melangkah mendekati mereka.
"Tapi Jagal Neraka adalah
adikku! Jika ia sakit aku ikut sakit. Jika ia dendam padamu, maka aku pun
dendam padamu!"
"O, begitukah tali
persaudaraan kalian?!"
"Iya!" sentak Iblis
Bujangan.
Kerak Singa menimpali,
"Jangan harap kau bisa lolos jika kami bertiga sudah bersatu begini!
Kesatuan kami merupakan kekuatan yang tiada tandingnya. Kuharap kau bersujud
dan memohon ampun kepada kakakku; si Jagal Neraka!"
Pendekar Mabuk justru
sunggingkan senyum. Pandangan matanya sudah tidak tertuju kepada Jagal Neraka
lagi, melainkan kepada si Kerak Singa. Dengan suara kalem, Pendekar Mabuk
berkata,
"Aku tak pernah dididik
oleh guruku untuk meminta ampun kepada orang sesat seperti kalian! Jadi aku
tidak tahu bagaimana caranya bersujud dan meminta ampun. Tolong berikan
contohnya!" "Bodoh! Begini caranya...," kata Kerak Singa, lalu
ia berlutut di depan Suto Sinting dan mencium tanah sambil berseru,
"Ampunilah kesalahanku,
dan aku berjanji tidak akan berani melawanmu lagi serta. "
Beeeg...! Tiba-tiba kaki Jagal
Neraka menendang pinggang Kerak Singa. "Goblok! Kenapa kau yang bersujud
di depannya?! Bangun!"
"Sial! Aku terpedaya oleh
omongannya!" Kerak Singa berdiri dengan menggeram jengkel. Lalu ia berkata
kepada Jagal Neraka,
"Diamlah di sini, akan
kuhajar sendiri bocah sinting itu!"
Iblis Bujangan juga berkata,
"Benar, Jagal Neraka! Diamlah di tempat, biar aku dan adikmu yang
membereskan pemuda dungu itu! Kerak Singa, serang dia. !"
"Keeeeaahhh. !"
Pendekar Mabuk hanya memandang
Jagal Neraka dengan seulas senyum kalem mekar di bibirnya. Ketika serangan dari
Kerak Singa datang, ia berusaha menghindar dengan sedikit memiringkan badan ke
kanan. Tetapi ternyata tendangan dari Iblis Bujangan datang dari kanan dan
akibatnya rahang Suto Sinting menjadi sasaran telak tendangan kaki besar itu.
Wuuuut...! Ploook...!
Krrrak..! "Aaaaow...!"
Suto Sinting tersentak mundur
tiga langkah. Tapi yang berteriak keras-keras adalah Jagal Neraka. Orang
berperawakan besar itu menjerit sambil memegangi rahangnya. Suto Sinting tidak
bersuara sedikit pun.
Kerak Singa penasaran melihat
Suto Sinting bagai kebal tendangan. Karenanya, Kerak Singa segera melesat dalam
satu lompatan dan tubuhnya berputar tepat di depan Suto Sinting. Putaran tubuh
itu membuat kakinya menyabet wajah Suto Sinting dengan telak sekali.
Ploookk...!
"Aaauhg...!"
terdengar suara Jagal Neraka memekik tertahan bersama tubuhnya terpelanting
melintir ke kiri.
"Habisi saja dia!"
seru Iblis Bujangan. "Heeeah...!"
"Hiaaah...!"
Kedua kakak-beradik itu maju
bersama menerjang Suto Sinting. Pukulan telak meluncur beberapa kali mengenai
wajah tampan Pendekar Mabuk. Keduanya menghajar Suto Sinting bagai orang
kesurupan.
Bed, bed, plok, plak, buuhg,
plak, cprot...! Crrraasss...!
Kapak dua mata diayunkan dari
atas ke bawah dan tepat membelah dada Suto Sinting.
"Aaaaahg...!"
Jeritan memilukan itu datang
dari Jagal Neraka, sedangkan Suto Sinting hanya tersentak mundur tiga langkah
lagi. Kulit tubuhnya masih utuh tanpa luka sedikit pun. Tentu saja hal itu
sangat mengejutkan Iblis Bujangan dan Kerak Singa. Mereka sama-sama berpaling
memandang Jagal Neraka yang ada di belakang mereka.
"Haaah...?!"
"Lhoo...?!"
Mereka sama-sama terkejut
melihat Jagal Neraka terkapar berlumur darah. Bukan saja wajahnya menjadi babak
belur tapi juga dadanya robek terbelah sampai batas pusar. Keadaan Jagal Neraka
sangat menyedihkan, ia tak bisa berteriak lagi, bahkan bernapas pun tampak
sulit sekali.
Pendekar Mabuk berkata dengan
suara kalem, "Ada rahasia yang belum kalian ketahui, bahwa orang yang
tersengal-sengal begitu namanya orang sekarat! Lekas bawa pergi dan carikan
obat penyambung nyawanya. Jika tidak, maka ia akan mati oleh senjata kakaknya
sendiri."
"Bangsat! Yang kubelah si
bocah sinting itu, yang celaka malah Jagal Neraka! Ilmu macam apa yang ia
miliki sebenarnya?!"
"Jangan bicara saja!
Cepat bawa pergi Jagal Neraka dan selamatkan dia!" seru Kerak Singa dengan
wajah panik.
Mereka tidak tahu bahwa Suto
Sinting telah menggunakan ilmu 'Alih Raga', yaitu mengalihkan rasa ke raga
orang lain. Ilmu itu dilepaskan pada saat mata Suto Sinting memandangi Jagal
Neraka sebelum ia diserang Iblis Bujangan dan Kerak Singa tadi. Ilmu 'Alih
Raga' membuat dirinya mudah dipukul tapi orang lain yang merasakan sakitnya.
Iblis Bujangan dan Kerak Singa
bergegas mengangkat tubuh besar Jagal Neraka yang dalam keadaan sekarat itu.
Tetapi sebelum tubuh itu sempat terangkat, Jagal Neraka telah menghembuskan
napas yang terakhir, karena jantungnya robek akibat tebasan kapak tajam Iblis
Bujangan.
"Bangsaaaat...! Dia sudah
tak bernyawa lagi! Ini gara-gara bocah sinting itu! Kubunuh kau, Sapi Lanang!
heeeahh...!" Kerak Singa berlari dan lakukan lompatan bersalto ke arah
Pendekar Mabuk. Namun tiba-tiba di pertengahan jarak tubuh Kerak Singa
terpental dan melayang bagaikan terbuang jauh dari tempat tersebut. Sepertinya
ada badai besar yang hanya bisa menghempaskan tubuh kurus si Kerak Singa.
Melihat keadaan itu Suto Sinting menjadi heran dan mulai berkecamuk dalam
batinnya,
"Pasti ada pihak lain
yang memihakku.... Hmmm... siapa orang itu dan di mana ia berada?!" Sambil
mata Suto Sinting melirik sekeliling dengan teliti.
"Aaaah...!" di
sebelah sana Kerak Singa menjerit keras-keras karena tubuhnya terbanting di
atas gugusan batu karang. Punggungnya terluka babak belur akibat goresan ujung
runcing gugusan batu karang itu.
"Celaka! Kalau
kuterus-teruskan bisa berbahaya. Mampus semua saudaraku!" pikir Iblis
Bujangan setelah menyadari tingginya ilmu pemuda yang dihadapi itu.
"Kerak Singa, tinggalkan
tempat ini! Cepaaat...!" Iblis Bujangan berteriak serukan perintah, ia
sudah memanggul mayat Jagal Neraka. Setelah serukan perintah ia pun segera
berkelebat pergi sambil membawa mayat adiknya. Kerak Singa akhirnya ikuti saran
sang kakak, namun sebelumnya sempat berseru tinggalkan ancaman kepada Suto
Sinting.
"Awas! Suatu saat aku
akan membeset sekujur tubuhmu, Bocah Gila!"
Pendekar Mabuk hanya angkat
bahu dan kembangkan kedua tangan pertanda pasrah dengan ancaman itu. Tapi di
bibirnya sunggingkan senyum sebagai imbang bahwa ia tak merasa gentar mendengar
ancaman tersebut. Tuak pun ditenggaknya kembali tiga teguk.
Tiba-tiba telinganya menangkap
suara jerit di kejauhan. Jerit itu adalah jerit seorang wanita yang tak bisa
ditebak muda dan tuanya.
"Aaaaa...!"
Pendekar Mabuk kerutkan dahi
dan berkata dalam hati, "Suara jeritan perempuan. Hmmm... arahnya dari
timur. Siapa dia dan ada apa dengan dirinya? Aku harus segera ke sana untuk
mengetahui rahasia jeritan itu?"
Zlaaap...! Dengan menggunakan
jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi anak panah terlepas dari
busur, Pendekar Mabuk berkelebat menuju ke arah timur, ia tinggalkan daerah
pasir pantai demi mengikuti rasa penasarannya.
Zlaaaap...! Wuuut, Jleeg.„.!
Ia tiba di atas pohon tinggi
dalam sekejap. Kerimbunan daun pohon membuatnya tak terlihat jelas dari bawah.
Tapi dalam keadaan di atas pohon itu ia dapat memandang suasana di bawah dan
sekitarnya.
"Oh, Itu dia...?!"
mata Pendekar Mabuk terarah pada gerakan seorang gadis yang berlari menerabas
semak bagai dikejar setan. Pendekar Mabuk cepat-cepat berkelebat ke arah gadis
tersebut.
Zlaaap...! Wuuut...!
"Aaaaooff...!"
Gadis itu disambarnya dari
belakang, lalu dibawa melayang ke atas pohon bagaikan terbang. Mulutnya segera
disekap dengan tangan agar tak menimbulkan suara jeritan yang dapat diketahui
oleh pengejarnya. Setelah sampai di atas pohon, di sebuah dahan besar bercabang
tiga, tangan Suto Sinting melepaskan bekapannya sehingga mulut gadis itu mampu
mengeluarkan engahan beruntun.
"Jangan berteriak. Aku
bukan lawanmu. Aku seorang teman, Nona!"
"Ooh, oooh... ooh,
siapa... siapa kau?!"
Gadis itu memandang dengan
rasa takut. Tapi setelah agak lama, ia mulai sadar bahwa orang yang
menyambarnya itu berwajah tampan dan memikat hati. Gadis yang memakai rompi
hijau muda sama dengan warna celananya itu segera hentikan rasa takutnya. Namun
pandangan matanya masih menyorot penuh keheranan karena merasa asing, belum
pernah jumpa dengan Suto Sinting.
Sementara itu Suto Sinting
sendiri sempat menatap penuh rasa kagum, karena gadis berambut pendek yang
memakai ikat kepala hijau muda juga itu ternyata berparas cantik. Mungil tapi
menarik. Hidungnya bangir dan matanya membelalak indah.
Ketika pandangan mata Suto
Sinting terarah ke dada si gadis, ia buru-buru buang pandangan karena
berdebar-debar melihat dada si gadis yang montok dan mengenakan penutup dada
warna merah jambu sangat tipis. Sebagian belahan dada bagian atas tampak
menantang dalam kepolosan kulit lembutnya yang berwarna kuning langsat.
Pandangan mata Suto saat itu ke arah pinggang, ternyata gadis itu mempunyai dua
pisau di pinggang kanan kirinya.
Gadis berusia sekitar dua
puluh tiga tahun dan bertubuh sekal itu segera mengulang pertanyaannya dengan
suara masih gemetar akibat rasa takutnya tadi.
"Kaaau... kau
siapa?"
"Aku seorang sahabat.
Bukan musuhmu, Nona."
"Hmmm.,. eeh... tapi
namamu siapa?"
"Kau bisa memanggilku:
Suto," jawab si Pendekar Mabuk tanpa mau menjelaskan siapa nama dan
gelarnya yang sebenarnya.
"Terus terang, Nona...
baru sekarang aku jumpa denganmu, sehingga aku tak tahu siapa namamu."
"Hmmmm... hmmm...
namaku... namaku Pakis Ratu."
"Pakis Ratu...?! Oh, indah
sekali. Seperti nama tanaman hias." "Iiih...!" gadis itu
mencubit
lengan Suto Sinting. Yang
dicubit hanya tertawa kecil tanpa suara.
"Apakah kau benar-benar
bukan berpihak pada si Dewa Tengkorak?!"
"Siapa ..?! Dewa
Tengkorak?! Oh, aku malah baru sekarang mendengar nama Dewa Tengkorak. Siapa
itu Dewa Tengkorak?!"
Pakis Ratu tampak ragu untuk
menjelaskannya. Matanya melirik ke alam sekitarnya dengan perasaan cemas.
Rupanya gadis itu masih merasa takut menjelaskan siapa Dewa Tengkorak itu.
Kecemasan dan keraguan Pakis Ratu membuat Pendekar Mabuk menjadi semakin
penasaran lagi.
"Katakan saja siapa Dewa
Tengkorak itu. Jangan takut, aku melindungimu dari bahaya apa pun, Pakis
Ratu!"
*
* * 3
SETELAH beberapa saat ditunggu
tak ada orang berkelebat di sekitar pohon itu, maka Pendekar Mabuk berani
memastikan si pengejar Pakis Ratu telah kehilangan arah. Gadis itu segera
dibawa turun dan mereka bicara di bawah pohon. Kebetulan di bawah pohon itu ada
sebatang pohon kering yang tumbang beberapa waktu yang lalu. Suto Sinting
membiarkan Pakis Ratu duduk di atas batang pohon kering itu sambil menuturkan
kisahnya.
"Ayahku seorang lurah di
Dewa Balongan. Tapi... tapi sekarang desa itu sudah tidak memiliki kepala desa
lagi. Ayahku telah dibunuh oleh Dewa Tengkorak, ibuku dan keempat saudaraku
juga dibunuh oleh Dewa Tengkorak. Kami sekeluarga dihabisi, nyaris tak tersisa
seorang pun. Bahkan pelayan- pelayan kami pun dibantai habis oleh Dewa
Tengkorak."
Pakis Ratu mulai menitikkan
air matanya. Wajahnya tertunduk dengan napas tersengal-sengal karena isak
tangis kesedihannya. Pendekar Mabuk hanya menarik napas untuk menutupi rasa
harunya, ia bangkit berdiri dan melangkah ke depan, kemudian berpaling kembali
memandangi Pakis Ratu.
"Mengapa Dewa Tengkorak
membantai keluargamu?"
Gadis itu menelan ludahnya
satu kali, kemudian mencoba untuk menenangkan tangis. Sesaat kemudian barulah
terdengar suaranya yang sedikit parau itu.
"Dewa Tengkorak adalah
anak tunggal Ki Gadalumo. Dulu, Ki Gadalumo adalah lurah di Desa Balongan. Tapi
karena Ki Gadalumo lakukan kesalahan, maka Kanjeng Adipati tidak mau memilih Ki
Gadalumo sebagai lurah. Bahkan ia dipecat dari jajaran punggawa kadipaten.
Sebagai gantinya, ayahku diangkat oleh Kanjeng Adipati untuk menjadi lurah di
Desa Balongan."
"Lalu, Ki Gadalumo benci
kepada ayahmu dan memusuhinya?!"
"Ki Gadalumo mati bunuh
diri karena malu kepada masyarakat desa. Dewa Tengkorak yang selama ini pergi
berguru mendengar kabar tersebut dan menyangka penyebab kematian ayahnya adalah
ayahku. Maka ia memusuhi keluargaku. Tetapi pada waktu itu, Dewa Tengkorak tak
pernah berhasil melukai ayahku, karena ayahku mempunyai seorang pengawai yang
bernama Paman Wiradipa. Ilmu si Dewa Tengkorak kalah dengan Ilmu Paman
Wiradipa."
"Lalu, mengapa sekarang
keluargamu bisa dibantai oleh Dewa Tengkorak?!"
"Dia dibantu oleh
seseorang yang ilmunya lebih tinggi dari Paman Wiradipa. Dalam sekali gebrak
saja Paman Wiradipa tumbang tak bernyawa. Ayahku tak sanggup menghadapi Dewa
Tengkorak. Dengan keganasannya yang mengerikan, Dewa Tengkorak membantai habis
seluruh penghuni rumahku."
"Kau sendiri berhasil
lolos dari pembantaiannya?"
Pakis Ratu mengangguk sambil
masih menahan isak tangisnya, ia bicara dengan nada lebih parau lagi karena
bercampur tangis kesedihan.
"Aku sedang berada di
pondok Guru. Ketika tiba di rumah, Dewa Tengkorak sedang mencari-cariku. Maka
aku pun segera melarikan diri dan mengadu kepada Guru."
"Apa tindakan
gurumu?"
"Guru terluka parah oleh
serangan Dewa Tengkorak dan orang yang membantunya. Guru sempat berseru agar
aku melarikan diri dan tidak menghadapi Dewa Tengkorak yang bersekutu dengan
seorang tokoh sakti itu. Maka, Dewa Tengkorak pun mengejarku tanpa orang yang
membantunya. Aku berlari dan berlari untuk selamatkan diri. Kelak aku harus bikin
perhitungan dengan Dewa Tengkorak jika aku sudah menambah ilmuku."
Pendekar Mabuk diam beberapa
saat lamanya, ia membiarkan gadis itu menangis terisak-isak membayangkan
kematian keluarganya. Dalam benak Suto Sinting terlintas kenangan lama saat
keluarganya dibantai habis oleh si Kombang Hitam pada saat ia masih berusia
bocah. Terasa betul luka kepedihan di hati Suto Sinting bila mengenang
peristiwa tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode perdana:
"Bocah Tanpa Pusar").
"Biarkan ia menangisi
kengerian itu, supaya lega hatinya dan kebal terhadap bayangan duka itu,"
pikir Suto Sinting. "Setelah puas mencurahkan duka lewat air mata, ia pun
akan berhenti menangis sendiri. Kalau sekarang ia kubujuk, kubelai atau
kupeluk, tangisnya akan kian meraung dan dukanya akan semakin menjadi-jadi.
Tapi agaknya aku perlu lakukan sesuatu untuk lindungi gadis ini. Dewa Tengkorak
pasti tetap mengincar Pakis Ratu, dan belum akan berhenti memburu keturunan
Lurah Desa Balongan itu sebelum Pakis Ratu dilenyapkan juga."
Tuak dalam bumbung sakti
diteguk kembali oleh Suto Sinting. Tiba-tiba teringat dalam benaknya bahwa
tuaknya itu bukan saja bisa dipakai untuk penyembuhan, namun bisa juga
digunakan untuk menenangkan hati yang resah atau sedih. Maka, ia pun segera
menyuruh Pakis Ratu meneguk tuaknya.
"Minumlah sebagai
penenang jiwamu, Pakis Ratu. Seteguk saja sudah cukup."
Ternyata apa kata Suto Sinting
dalam bujukannya itu memang benar. Dua teguk tuak diminum oleh Pakis Ratu.
Lambat laun rasa dukanya menjadi sirna, kecemasannya pun pudar. Pakis Ratu
menjadi tenang, jiwanya yang guncang akibat kematian keluarganya kini telah
menjadi kokoh kembali.
"Aku harus mencari
seorang guru lagi untuk memperdalam ilmuku dan kelak akan kupakai untuk
membalas dendam kepada Dewa Tengkorak," ujar si gadis dengan nada geram
menahan dendam. Matanya sempat memandang lurus dengan sedikit mengecil, seakan
memancarkan cahaya dendam kesumat yang sangat membara.
"Kalau kau. "
Kata-kata Suto Sinting
terhenti seketika karena ia melihat cahaya merah bergerak cepat ke arah
punggung Pakis Ratu. Claaap.. ! Dengan kecepatan tinggi tangan Pendekar Mabuk
menyambar tubuh Pakis Ratu. Weees. !
Gadis itu jatuh dalam dekapan
Suto Sinting sambil terpekik kaget. Cahaya merah itu kenai sebatang pohon dan
timbulkan ledakan cukup keras.
Duaaar. !
Pohon tersebut menjadi koyak,
sebagian kulit batangnya terkelupas. Daun-daunnya pun berguguran walau tak
seluruhnya. Tapi batang pohon itu menjadi seperti habis diseruduk cula badak.
"Ada yang mau
membunuhku?!" ujar Pakis Ratu dengan tegang setelah memandang nasib pohon
tersebut.
"Tenanglah. Biar aku yang
menghadapi orang itu,"
bisik Suto Sinting sambil menarik tubuh Pakis Ratu agar berdiri di belakangnya.
Gadis itu menurut sambil matanya melirik ke sana-sini penuh waspada.
Suto Sinting bagaikan bicara
sendiri sambil memandang ke arah semak belukar yang berada dalam jarak sepuluh
langkah lebih darinya.
"Keluarlah, Sobat! Jangan
bersembunyi di balik semak itu. Aku tahu kau ada di sana dan aku dapat lepaskan
pukulan jarak jauhku jika kau tak mau keluar dari semak-semak!"
Alam menjadi sepi sesaat.
Pendekar Mabuk menunggu orang yang bersembunyi di balik semak-semak itu. Namun
yang ditunggu tak kunjung muncul. Suto Sinting sudah mau lepaskan jurus pukulan
jarak jauhnya. Namun tiba-tiba seberkas sinar merah melesat lagi dari arah
samping dan sasarannya adalah tubuh Pakis Ratu.
Claaap...!
Wuuusss...!
Blaaarrr...!
Pendekar Mabuk kaget dan
menjadi heran. Sinar merah itu meledak di pertengahan jarak.
Sinar merah itu meledak
setelah munculnya seberkas cahaya putih sebesar lidi. Cahaya putih itu
menghantam sinar merah dan terjadilah ledakan cukup besar, sempat membuat
pepohonan bergetar hingga daun-daun pun berguguran.
"Hmmm... ada
yang memihakku secara
sembunyi-sembunyi," pikir Suto Sinting.
"Siapa orang yang memihakku itu? Mengapa ia tak
menampakkan diri?" Rupanya ledakan tadi menyemburkan gelombang hawa panas
ke arah pengirim sinar merah tersebut. Hawa panas itu segera dihindari
dan mau tak mau si
pemilik sinar merah segera
melompat keluar dari persembunyiannya, ia melambung bagaikan
terbang dan bersalto dua kali.
Dalam sekejap saja sudah mendaratkan
kakinya di depan
Suto Sinting dan Pakis Ratu.
Jleeeeg...!
"Ooh...?!" Pakis
Ratu terpekik dengan wajah tegang memandang tokoh yang baru datang.
Tokoh tersebut seorang lelaki
bertubuh kurus berbaju abu-abu dan celana merah. Bajunya tidak dikancingkan
sehingga tampak tulang iganya saling bertonjolan keluar karena kekurusan
badannya. Tangannya kecil, bagai tulang terbungkus kulit tanpa daging sedikit
pun. Rambutnya kucal, sepanjang tengkuk dengan ikat kepala warna merah tua.
Matanya melotot lebar seakan ingin lepas dari rongganya, ia mempunyai alis
tebal yang hampir beradu di pertengahan kening.
"Dddl... dialah yang
bernama Dewa Tengkorak!" bisik Pakis Ratu dengan agak gugup, namun ia
masih dapat lebih tenang dari sebelum meminum tuaknya Suto Sinting.
Mendengar bisikan itu,
Pendekar Mabuk hanya menggumam lirih dengan mata tetap memandang lelaki kurus
bersenjata pedang lebar yang masih berlumur darah kering.
Wajah menyeramkan bermata
melotot itu memandang Suto Sinting tanpa berkedip. Yang dipandang hanya tenang-
tenang saja, namun segala gerak-gerik lawannya tertangkap oleh indera
penglihatannya.
"Menyingkirlah dari gadis
itu agar panjang umurmu, Bocah Tolol!" geram Dewa Tengkorak yang berusia
sekitar lima puluh tahun.
"Menyingkir atau tidak
nyawaku sudah punya batas usia sendiri," kata Suto Sinting dengan suara
kalem. "Apa pedulimu jika aku tak mau menyingkir dari gadis ini?"
"Kau akan kujadikan
korban terakhir setelah keluarga Lurah Deksana kuhabisi tanpa sisa sepotong
pun!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum, bahkan tertawa kecil tanpa suara bagai orang mendengus. Sikapnya yang
kalem membuat hati Dewa Tengkorak menjadi semakin panas.
"Kuhitung tiga kali kalau
kau masih melindungi gadis itu, aku terpaksa mencabut nyawamu lebih dulu, Bocah
Tolol!"
"Gadis ini tidak berdaya
dan bukan tandinganmu, Dewa Tengkorak."
"Aku tidak peduli! Dia harus
mati sebagal keturunan Lurah Deksana yang tercecer dari pembantaianku!"
"Aku hanya melindungi
kaum yang lemah dan orang yang benar! Biasanya aku sulit disuruh menyingkir
jika yang kulindungi adalah orang yang tak berdaya."
"Setan alas! Tak sabar aku
berceloteh denganmu. Heeeah...!"
Dewa Tengkorak berkelebat
cepat sekali bagaikan angin menerjang tubuh Pendekar Mabuk. Pedang besarnya itu
ditebaskan dari atas samping ke bawah. Wuuung...!
Pendekar Mabuk justru
sentakkan kaki hingga tubuhnya naik ke atas dan berputar cepat. Wuuut...! Dalam
putaran itu, bumbung bambu tuak dipergunakan untuk menahan tebasan pedang
besar, sementara tangan kirinya berkelebat cepat menghantam dagu Dewa
Tengkorak. Duuug...! Krrrak...! Traaang...!
"Aaauh...!" Dewa
Tengkorak terpental mundur bagai terbuang begitu saja. Pukulan menggunakan
pangkal telapak tangan kiri itu ternyata bertenaga dalam cukup besar. Dagu si
Dewa Tengkorak terdengar gemeretak patah. Sementara itu pedangnya beradu dengan
bumbung tuak. Suaranya seperti pedang beradu dengan besi baja yang sukar
dipatahkan atau digores sedikit pun.
Brrruk...! Dewa Tengkorak
jatuh terjungkal dengan punggung menyentuh tanah lebih dulu. Ia segera
berjungkir balik dan, wuut...! Jleeeg...! Tahu- tahu sudah berdiri lagi dengan
dagu menjadi biru.
"Gggrrrmm...!" ia
menggeram sambil memainkan pedangnya ke sisi kanan-kiri. Wut, wut wut..!
Sedangkan Pendekar Mabuk masih berdiri tegak dan tenang, seperti tidak habis
lakukan perlawanan apa pun.
"Keparat busuk kau! Tak
boleh dianggap enteng rupanya. Terima jurus 'Malaikat Penggal Hantu' ini!
Hheeeeaahh...!"
Wung, wung, wung, wung,
wung...!
Pedang besar itu bergerak
cepat menebas ke sana-sini sambil bergerak maju. Tebasannya begitu cepat hingga
timbulkan suara dengung. Gerakan Dewa Tengkorak sukar dilihat oleh mata orang
awam, namun Pendekar Mabuk masih bisa mengikuti tiap gerakan dengan pandangan
mata yang terlatih melihat benda berkelebat cepat itu.
Pendekar Mabuk segera memutar
bumbung tuaknya. Tali bumbung digenggam dan bumbung itu melayang berputar
mengelilingi kepalanya, menimbulkan suara menggaung lebih keras dari suara
pedang besar itu.
Wuuung, wuuung, wuuung,
wuuung...!
Traaang, duaaar...!
Ledakan cukup keras timbul
akibat bumbung tuak beradu dengan tebasan pedang bertenaga dalam itu. Ledakan
tersebut membuat Dewa Tengkorak terpelanting ke belakang dan jatuh terduduk.
Sementara itu Suto Sinting masih tetap diam di tempat, hanya bergeser ke kiri
sedikit setelah terjadi benturan pedang dengan bumbung, tapi keadaannya masih
berada di depan Pakis Ratu.
"Keparat laknat
kau!" geram Dewa Tengkorak, ia segera bangkit dan mengangkat pedang
besarnya lagi. Tapi tiba-tiba pedang itu hancur menjadi serpihan seperti garam
kristal.
Prrruusss...!
"Hahhh...?!" Dewa
Tengkorak terbelalak. Mata yang sudah melotot semakin melotot lagi hingga
wajahnya tampak menyeramkan, ia tak menyangka kalau pedangnya ternyata sudah
hancur begitu membentur bumbung tuak tersebut. Rupanya perpaduan tenaga dalam
dari pedang dan bumbung tuak mengakibatkan kehancuran bagi sang pedang.
Kehancuran itu tidak terjadi secara seketika, namun selang beberapa kejap
setelah tenaga dalam yang semula disalurkan ke pedang itu ditarik kembali oleh
pemiliknya.
Dengan wajah terbengong
memandangi gagang pedangnya yang sudah tidak bermata pedang lagi itu, Dewa
Tengkorak menggeletukkan giginya hingga terdengar gemeretuk dari tempat Pakis
Ratu berdiri. Gadis itu menggumam kagum dalam hatinya.
"Hebat sekali ilmunya
Suto. Pedang baja sebesar itu diadu dengan bumbung bambu saja bisa remuk
sedemikian rupa. Jangan-jangan Suto punya ilmu lebih tinggi dari ilmunya Paman
Wiradipa?! Hmmm... alangkah hebatnya dia; sudah tampan, berilmu tinggi lagi.
Sungguh luar biasa mengagumkannya."
Pendekar Mabuk bicara kepada
Dewa Tengkorak, "Kusarankan hentikanlah pembantaianmu! Kurasa sudah cukup
ayah Pakis Ratu kau bunuh, bahkan seluruh keluarganya yang kau bantai. Biarkan
gadis ini hidup dengan tenang tanpa gangguan dendammu, Dewa Tengkorak!"
"Tutup bacotmu!"
bentak Dewa Tengkorak semakin murka. "Kurasa kau memang layak dihancurkan
seperti kau menghancurkan senjataku ini! Hiaaah...!"
Dewa Tengkorak mengangkat
kedua tangannya membentuk cakar. Kedua tangan itu menyala merah membara. Namun
sebelum ia bergerak, tiba-tiba seberkas sinar putih perak sebesar lidi melesat
menghantam dadanya. Claaap...! Duuus...!
"Aaahg...!" Dewa
Tengkorak tumbang ke belakang bagai ditendang kuda. Wajahnya menjadi pucat pasi
dengan mulut memuntahkan darah merah segar.
Pendekar Mabuk merasa heran
dan segera memandang sekeliling sambil membatin,
"Siapa orang yang
membantuku sejak dari pantai tadi?! Mengapa ia tidak menampakkan diri terang-
terangan?!"
Dewa Tengkorak mengerang
dengan merangkak rangkak mencari tempat untuk rambatan. Tetapi berulang kali ia
gagal berdiri karena tubuhnya terasa lemas, ia terpaksa menahan napas dengan
mengeraskan seluruh urat tubuhnya menggunakan sisa tenaga yang ada. Asap tipis
mulai mengepul dari pori-pori kulitnya, dan tubuh kurus itu mulai bergetar
dengan suara mendesah panjang. Rupanya ia lakukan penyembuhan secara sederhana.
Dan hal itu tidak dipedulikan oleh Suto Sinting.
Pandangan Pendekar Mabuk ke
arah belakangnya, karena ia menjadi penasaran ingin mengetahui siapa orang yang
membantu menyerang Dewa Tengkorak itu. Pakis Ratu sendiri merasa bingung
melihat Suto Sinting celingak-celinguk mirip pemuda dungu.
"Apa yang kau cari,
Suto?!" "Orang yang melepaskan sinar
putihnya tadi."
"Sinar putih apa? Aku
tidak melihat ada sinar putih."
Pendekar Mabuk makin bingung
menjelaskannya.
*
* *
4
LANGIT sore memancarkan warna
merah tembaga, seakan mengisyaratkan kepada manusia akan datangnya bencana.
Kematian akan terjadi di mana-mana, jerit tangis anak manusia akan menggema di
seluruh pelosok dunia. Bencana yang akan timbul itu tak lain datang dari
keganasan tokoh aliran hitam yang dikenal dengan nama Setan Rawa Bangkai.
Pendekar Mabuk belum mengetahui kemunculan Setan Rawa Bangkai, sehingga ia
masih menganggap suasana berjalan sebagaimana mestinya. Yang ada dalam benak
Pendekar Mabuk adalah mencari tempat untuk bermalam sang gadis cantik yang
sudah kehilangan seluruh anggota keluarganya itu. Namun agaknya Pakis Ratu
masih meributkan soal pelarian Dewa Tengkorak yang dibiarkan Suto Sinting.
"Seharusnya manusia
terkutuk itu jangan diberi kesempatan hidup lagi! Seharusnya kau tidak
membiarkan Dewa Tengkorak melarikan diri walau dalam keadaan terluka, ia bisa
saja meminta bantuan penyembuhan kepada temannya yang ilmunya lebih tinggi itu.
Jika lukanya sembuh, maka ia akan mengumbar kekejian lagi, setidaknya ia akan
memburuku kembali!"
Gadis itu bicara dengan
bersungut-sungut Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum kecil melihat raut muka
si cantik mungil itu. Dengan sabar Pendekar Mabuk pun jelaskan maksud dirinya
membiarkan Dewa Tengkorak melarikan diri.
"Kalau dia mati sekarang
juga, berarti dia tidak menebus kekejiannya dengan kehidupan yang sengsara.
Ingat, Pakis Ratu... hidup itu lebih sengsara daripada mati. Orang yang mati
tidak akan menemukan kesulitan lagi, tidak akan merasakan penderitaan lagi. Tetapi
orang yang hidup akan merasakan semua itu. Jika ia menanam kejahatan, maka
hidup selanjutnya akan menuai penderitaan. Jika ia menanam kebaikan, maka hidup
selanjutnya akan menuai keindahan. Jadi kalau Dewa Tengkorak kita biarkan
hidup, berarti kita biarkan dia menuai penderitaan, diburu musuhnya, dikejar
dendam, dihantui kegelisahan dan lain sebagainya."
"Bilang saja kalau kau
tak bisa membunuh Dewa Tengkorak, karena ilmumu lebih rendah darinya!"
potong Pakis Ratu dengan nada ketus dan wajah cemberut.
"Ya, anggap saja
begitu," balas Suto Sinting dengan diiringi senyum kesabaran.
"Kelak kalau aku sudah
berguru lagi pada orang yang lebih sakti darinya, akan kubunuh sendiri si
tengkorak busuk itu!"
Suto Sinting tertawa geli,
namun tawanya tak sampai keluarkan suara keras. Mirip orang menggumam.
"Kau ingin berguru kepada siapa?" "Siapa saja!" jawabnya
tetap
berwajah cemberut. "Aku
pernah dengar cerita tentang kesaktian seorang pendekar yang bernama Pendekar
Mabuk. Aku akan berguru padanya. Aku akan meminta ilmu dan kesaktian yang dapai
untuk hancurkan kepala si Dewa Tengkorak itu."
Semakin geli hati Suto Sinting
mendengarnya. Rupanya gadis itu benar- benar belum mengetahui bahwa ia sedang
berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Bagi Suto, hal itu semakin membuatnya serba
salah. Jika ia mengaku bahwa dirinyalah Pendekar Mabuk yang diceritakan Pakis
Ratu, belum tentu si gadis akan mempercayainya. Jika Suto diam saja, maka
alangkah kasihannya si gadis yang tidak tahu di mana Pendekar Mabuk berada.
"Yang penting sekarang
mencari tempat untuk bermalam. Kau butuh istirahat, Pakis Ratu."
Ucapan itu disertai belaian
lembut di rambut Pakis Ratu. Si gadis merasakan debaran aneh di hatinya yang
membuat ia tak mampu menepiskan tangan yang membelai rambut pendeknya itu. Ia
hanya berlagak acuh tak acuh, seakan tidak menghiraukan usapan lembut dari
tangan pemuda tampan itu.
"Aku ingin menemui guruku
lagi. Mungkin Guru butuh bantuan karena luka-lukanya. Di pondoknya itu aku bisa
bermalam dan beristirahat."
"Siapa gurumu sebenarnya,
Pakis Ratu?"
"Nyai Kidung Laras."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi,
merasa asing dengan nama Nyai Kidung Laras. Baru kali ini ia mendengar nama
tersebut, sehingga hasrat hati pun ingin bisa bertemu dengan tokoh tersebut.
Terlebih setelah Suto Sinting ingat bahwa Nyai Kidung Laras sedang menderita
luka seperti yang diceritakan Pakis Ratu, keinginan untuk bertemu Nyai Kidung
Laras semakin besar, sebab ia ingin mencoba mengobati perempuan itu dengan
menggunakan tuak saktinya.
Untuk mempersingkat waktu,
Pendekar Mabuk menggunakan jurus 'Gerak Siluman' dalam perjalanannya menuju ke
tempat tinggal Nyai Kidung Laras. Kecepatan lari dari jurus 'Gerak Siluman' tak
mungkin bisa diikuti atau diimbangi oleh Pakis Ratu. Mau tak mau Pakis Ratu
digendongnya dengan dua tangan. Gadis itu tidak keberatan, karena hatinya
merasa senang jika berada dalam pelukan pemuda tampan itu.
"Mana arah yang harus
kutuju?" "Ke selatan!" jawab Pakis Ratu,
padahal arah yang sebenarnya
adalah ke barat. Pakis Ratu sengaja memperjauh jarak supaya ia lebih lama
berada dalam gendongan Pendekar Mabuk. Dari selatan, ia segera menuju ke arah
barat, dan Suto Sinting tidak menyadari kalau diperdaya oleh Pakis Ratu.
"Edan! Kecepatan geraknya
seperti terbang. Ternyata arah selatan sangat pendek bagi perjalanan 'terbang'
seperti ini," pikir Pakis Ratu. "Seharusnya aku tadi menunjuk ke arah
timur lebih dulu, baru ke selatan, setelah itu ke barat. Jadi aku bisa berada
dalam gendongannya lebih lama lagi."
Semua perjalanan yang ditempuh
dengan menggunakan jurus Gerak Siluman' memakan waktu pendek. Sepertinya baru
sekejap Pakis Ratu berada dalam gendongan Suto Sinting, tahu-tahu mereka sudah
sampai di Lembah Hijau, tempat kediaman Nyai Kidung Laras.
Ternyata keadaan Nyai Kidung
Laras memang menyedihkan. Sekujur tubuhnya menjadi hitam hangus akibat luka
bakar yang sulit disembuhkan. Luka bakar itu tidak menyerang pada rambut atau
pakaian, namun hanya mengenai kulit dan daging tubuh sang Nyai. Perempuan
berusia lima puluh tahun itu terkapar di depan pondoknya tanpa bisa lakukan
apa-apa.,ia bagaikan sedang menunggu saatnya ajal tiba.
Namun ketika Pendekar Mabuk
tiba di tempat, sang Nyai dipaksa untuk meminum tuak sakti beberapa teguk.
Dengan menelan tuak tersebut, luka bakar di tubuh Nyai Kidung Laras menjadi
sembuh secara berangsur- angsur. Bahkan sebelum petang tiba, keadaan Nyai
Kidung Laras telah menjadi sehat melebihi sebelum lakukan pertarungan dengan
Dewa Tengkorak.
Perempuan berjubah ungu yang
rambutnya disanggul asal-asalan itu ternyata dulunya bekas perempuan cantik.
Terbukti sampai sekarang rona kecantikannya masih membekas di wajah sang Nyai.
Badannya tidak terlalu kurus, namun juga tidak gemuk. Badan itu masih terawat
dengan rapi dan tampak sekal berisi. Dalam hati Suto Sinting mengakui,
perempuan separo baya itu masih punya daya pikat sendiri bagi seorang lelaki,
hanya saja tidak terlalu ditonjolkan.
Nyai Kidung Latas bukan
perempuan jalang yang yang melirik nakal. Ia justru tampak berkharisma dengan
ketenangannya yang kadang membuat Suto Sinting kikuk bicara.
"Luka yang kuterima ini
bukan dari ilmunya Dewa Tengkorak," kata sang Nyai saat menyalakan pelita.
"Jika bukan Dewa
Tengkorak, lantas siapa yang menyerangmu, Nyai?" tanya Suto Sinting dengan
tutur kata yang ramah dan lembut.
"Dewa Tengkorak sekarang
bersekutu dengan Setan Rawa Bangkai yang baru selesai lakukan semadi rendam di
rawa busuk itu. Agaknya Dewa Tengkorak sekarang sudah menjadi pelayan Setan
Rawa Bangkai, karena ia ingin memanfaatkan kesaktian Setan Rawa Bangkai untuk kepentingan
pribadinya. Salah satu kepentingan pribadi yang sudah dibantu oleh Setan Rawa
Bangkai adalah membantai keluarganya Pakis Ratu." Pendekar Mabuk menggumam
sambil manggut-manggut. Petang dibiarkan lewat, karena ia sudah sepakat dengan
Pakis Ratu untuk bermalam di pondok Nyai Kidung Laras.
"Siapa yang dimaksud
Setan Rawa Bangkai itu, Guru?" tanya Pakis Ratu yang rupanya baru kali itu
mendengar nama Setan Rawa Bangkai. Sang Nyai pun menjelaskan kepada muridnya,
tapi Pendekar Mabuk menyimak betul tiap ucapan sang Nyai sebagi bekal
pengetahuannya tentang tokoh beraliran hitam tersebut.
"Setan Rawa Bangkai
mempunyai nama asli Marundang. Usianya sudah sangat tua tapi kekuatannya masih
seperti anak muda. Dia bekas ketua Perguruan Leak Garang. Semasa jayanya
perguruan itu ditakuti oleh perguruan lain. Jurus-jurusnya sangat mematikan dan
tidak kenal belas kasihan kepada lawan."
Suto Sinting menyempatkan
meneguk tuaknya ketika Nyai Kidung Laras hentikan cerita sebentar karena
terbatuk-batuk. Batuk itu adalah sisa gatal di tenggorokan karena tak pernah
meminum air tuak.
Sang Nyai pun lanjutkan
ceritanya, "Perguruan Leak Garang menyediakan tenaga-tenaga pembunuh
bayaran, pengawal bayaran dan orang- orang upahan yang siap menerima perintah
dari siapa saja yang berani memberi upah tinggi kepada mereka. Tetapi pada
suatu hari, Perguruan Leak Garang diserang oleh orang-orang Pulau Kelabang yang
diketuai Medangsula,"
"Siapa yang unggul,
Guru?" "Perguruan Leak Garang disapu
habis oleh orang-orang Pulau Kelabang.
Tinggal si Marundang seorang diri. Ia mengamuk dan membabat habis orang Pulau
Kelabang, sampai ketua mereka pun dibinasakan tanpa ampun oleh Marundang. Sejak
itu ia tinggal seorang diri di dalam hutan, di tepi rawa busuk yang disebut
Rawa Bangkai. Hatinya menyimpan dendam kepada orang- orang rimba persilatan,
karena saat perguruannya diserang oleh orang-orang Pulau Kelabang, tak ada satu
pun orang yang mau memihaknya. Maka timbullah dendam di hati Marundang untuk
membantai habis seluruh tokoh rimba persilatan. Dengan kesaktiannya yang
tinggi, ia menyebarkan kematian secara membabi buta. Tapi akhirnya ia nyaris
binasa oleh lawannya
yang dikenal dengan nama si Raja
Maut. "
"Raja Maut?! Oh, saya
kenal betul dengan mendiang Raja Maut, Nyai!" ujar Suto Sinting memotong
pembicaraan sang Nyai, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu
Tanpa Tapak").
"Aku pun kenal dengan
Raja Maut, tapi... kau sebut tadi 'mendiang' padanya? Jadi, Raja Maut sekarang
sudah meninggal?"
"Sudah, Nyai. Beliau tewas
di tangan Rara Sumina," jawab Suto Sinting dengan nada duka, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Gundik Sakti").
Setelah diam sesaat, Nyai
Kidung Laras perdengarkan suaranya kembali.
"Kekalahannya dalam
melawan Raja Maut membuat Marundang perdalam lagi ilmunya dengan melakukan tapa
rendam di rawa busuk itu. Selama delapan belas tahun ia tidak tampakkan diri di
rimba persilatan. Sebulan yang lalu kudengar kabar bahwa Marundang yang
berjuluk Setan Rawa Bangkai itu sudah bergentayangan kembali. Kabar yang
kudengar pula, bahwa Setan Rawa Bangkai telah kuasai dua ilmu baru yang bernama
'Sukma Sakti' dan Cakar Belah Jagat'. Kedua ilmu itu sama-sama berbahaya karena
hampir mencapai tingkat tertinggi dari segala ilmu."
Pendekar Mabuk menjadi sangat
tertarik mendengar nama dua ilmu barunya Setan Rawa Bangkai itu. Ia pun segera
ajukan tanya kepada Nyai Kidung Laras,
"Apa kehebatan kedua ilmu
itu, Nyai?"
"Yang dinamakan ilmu
'Sukma Sakti' itu adalah menyerang lawan tanpa gerakan namun dapat membuat
lawan terluka parah, bahkan bisa meremukkan kepala lawan. Sedangkan ilmu atau
jurus 'Cakar Belah Jagat' itu tak lain adalah kecepatan gerak tangan yang
mempunyai kuku beracun dan bertenaga dalam tinggi, hingga tanah pun dapat
terbelah jika dicakarnya dengan jurus 'Cakar Belah Jagat'. Dan kedua ilmu itu
sukar ditandingi, Suto. Barangkali hanya si Gila Tuak saja yang bisa menandingi
ilmunya Setan Rawa Bangkai."
Pendekar Mabuk sempat
terperanjat mendengar nama gurunya disebutkan. Suto Sinting sendiri masih belum
tahu apakah Nyai Kidung Laras tidak tahu bahwa Suto adalah si Pendekar Mabuk,
muridnya Gila Tuak? Atau, jangan- jangan Nyai Kidung Laras berlagak tidak tahu
tentang jati diri Suto Sinting. Hal itu akhirnya tidak dipedulikan oleh Suto.
Yang ada dalam benak Suto adalah ingin mengetahui seberapa hebat kedua ilmu
barunya Setan Rawa Bangkai itu. Karenanya ia pun segera ajukan tanya kepada
Nyai Kidung Laras.
"Di mana aku dapat temui
Setan Rawa Bangkai itu, Nyai?"
"Jangan!" sergah
Pakis Ratu secara tiba-tiba. Nyai Kidung Laras sunggingkan senyum kecil,
kemudian bertanya kepada Pendekar Mabuk,
"Untuk apa kau ingin tahu
tempat tinggal Setan Rawa Bangkai?"
"Saya ingin melihat
kehebatan kedua ilmu itu, Nyai."
"Jangan, Suto! Nanti kau
akan mati jika bertemu muka dengannya. Guruku saja tak bisa tandingi Setan Rawa
Bangkai, apalagi dirimu, Suto!"
Gadis itu menampakkan
kecemasannya. Agaknya ia tak ingin Suto Sinting menderita celaka sekecil apa
pun. Entah perasaan apa yang mendasari rasa tidak rela jika Suto celaka, yang
jelas kala itu Pakis Ratu pandangi Suto Sinting dengan sorot pandangan mata
bernada memohon pengertian dari Suto. Bahkan ia mengulang bujukannya yang
bernada larangan itu.
"Kumohon, jangan
coba-coba temui dia. Lebih baik kau tidak perlu tahu kehebatan dua ilmu barunya
itu, ketimbang kau sendiri menjadi korban nantinya!"
Nyai Kidung Laras menimpali,
"Kurasa saran dari muridku itu memang benar, Suto. Aku tahu arah
perasaannya saat ini, tapi sebaiknya biar kau sendiri yang menarik
kesimpulan."
Pendekar Mabuk tersenyum malu-
malu.
*
* *
5
KAKI Gunung Babat diselimuti
kabut tipis yang merayap bagai ribuan roh bergentayangan. Kabut tipis itu
berada satu mata kaki dari tanah, membuat akar pepohonan tampak samar- samar.
Hutan di kaki gunung itu
banyak ditumbuhi pohon jati liar yang menjulang tinggi bagai ingin mencakar
langit. Hutan itu jarang dilintasi manusia karena keadaannya yang cukup liar.
Binatang buas dan rawa-rawa menyebar bak penghuni tetap hutan tersebut. Seekor
ular sebesar batang kelapa yang panjangnya lebih dari tujuh tombak sedang
merayap pelan menuju semak belukar. Di balik semak itu ada sebuah gua bermulut
lebar. Rupanya sang ular ingin masuk ke dalam gua tersebut sebagai tempat
tinggalnya selama ini.
Tetapi tiba-tiba ular besar
itu tersentak kaget dan mengibaskan ekornya hingga menghantam sebatang pohon
ketika terdengar suara ledakan yang menggelegar dan mengguncangkan tanah
sekitarnya.
Rupanya ledakan itu berasal
dari arah timur kaki gunung tersebut. Ledakan dahsyat itu terjadi akibat
benturan cahaya berlainan warna. Dan kedua cahaya itu datang dari tangan dua
tokoh sakti yang sedang melakukan pertarungan bertaruh nyawa.
Dua tokoh sakti yang mengadu
ilmu itu sama-sama berusia di atas tujuh puluh tahun. Salah satu dari kedua
tokoh itu mengenakan jubah kuning tanpa lengan, Rambutnya panjang diikat ke
belakang, ubannya masih tipis namun kentara kalau sudah berusia lanjut.
Sekalipun sudah berusia tujuh puluh tahun lebih namun tokoh berjubah kuning itu
masih kelihatan gagah dan lincah. Wajahnya yang jenaka kelihatan tak dibebani
perasaan gentar sedikit pun.
Tokoh itu pernah muncul dalam
suatu peristiwa yang melibatkan Pendekar Mabuk dalam mengatasi keganasan gadis
bernama Seroja Putih yang terkena kutuk dari tokoh beraliran hitam bernama Nyai
Pegat Raga. Gadis itu adalah murid dari ketua Perguruan Tapak Dewa yang bernama
Eyang Darah Guntur. Dan tokoh yang berjubah kuning itu adalah adik dari Eyang
Darah Guntur yang dikenal dengan nama Ki Tumbang Laga, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Kutukan Pelacur Tua").
Sedangkan lawan yang dihadapi
Ki Tumbang Laga kali itu adalah tokoh yang sedang menjadi bahan pembicaraan
orang-orang rimba persilatan, ia tak lain adalah Setan Rawa Bangkai yang
mempunyai nama asli Marundang.
Setan Rawa Bangkai bertubuh
lebih kurus dari Ki Tumbang Laga. Bahkan lebih kurus lagi dari si Dewa
Tengkorak. Badannya yang kurus bagai hanya mempunyai tulang itu tampak berwarna
hitam tapi bersisik busik, ia mempunyai sepasang mata cekung dengan tulang
rongga mata tampak menonjol dan tepian matanya berwarna merah. Rambut panjang
sepunggung dibiarkan meriap lepas berwarna abu-abu. Bibirnya tampak pecah-pecah
bagai orang menderita sakit panas dalam atau sariawan.
Tokoh berjubah hitam itu
mempunyai kuku runcing-runcing, panjang dan berwarna hitam kelabu. Ketajaman
kukunya itu sempat merobek sebatang pohon jati ketika ia menyabet perut Ki
Tumbang Laga dengan gerakan mencakar. Untung Ki Tumbang Laga cepat menghindar
dengan lakukan sentakan yang membuat tubuhnya melambung ke atas dan berjungkir
balik satu kali di udara, kemudian kakinya menyentak pada batang pohon,
sehingga tubuh Ki Tumbang Laga bagaikan meluncur terbang pindah ke tempat lain.
Wuuut...!
Craaak...!
Lima kuku panjang dan runcing
itu menyebat batang pohon dan batang pohon besar itu menjadi koyak
berserat-serat bagai terbabat lima mata pedang. Sedangkan pohon di kanan
kirinya menjadi hangus pada tempat-tempat tertentu karena terkena angin sabetan
cakar tersebut.
Setan Rawa Bangkai diam di
tempat dan pandangi lawannya dengan mata cekung yang cukup tajam. Rambutnya
tertutup angin hingga sebagian merintangi permukaan wajahnya. Kedua tangan di
samping masih berjari keras seakan siap-siap lakukan cakaran berikutnya. Ki
Tumbang Laga sudah berdiri di depannya dalam jarak tujuh langkah. Tokoh tua
berwajah jenaka itu tersenyum bagai menyepelekan perlawanan Setan Rawa Bangkai.
Dari tempatnya cengar-cengir, Ki Tumbang Laga lontarkan kata dengan suara
lepas.
"Sampai kapan pun kau tak
akan bisa mengungguli ilmuku, Marundang! Sebaiknya kau menyerah saja dan
merelakan nyawamu melayang sebagai penebus kematian murid kakakku, si Seroja
Putih itu!"
"Kau datang kemari untuk
antarkan nyawamu, Tumbang Laga!"
"O, tidak. Jangan salah
paham. Aku tidak mengantarkan nyawa, melainkan diutus oleh kakakku; si Darah
Guntur untuk menebus kematian Seroja Putih. Sebab murid kakakku itu telah kau
bunuh melalui tangan pelayanmu si Dewa Tengkorak. Seandainya sekarang pun aku
dapat jumpa dengan Dewa Tengkorak, maka kalian berdua akan kuantarkan ke neraka
tanpa dipungut biaya sedikit pun, Marundang!"
"Kematian Seroja Putih
bukan atas perintahku, tapi tindakan si Dewa Tengkorak sendiri. Mengapa kau
menuntut padaku, Tumbang Laga?!"
"Atas perintahmu atau
bukan, yang jelas kau bertanggung jawab atas segala perbuatan Dewa Tengkorak.
Sebab ia berani bertindak semena-mena karena merasa mendapat perlindungan
darimu. Mustahil sekali Dewa Tengkorak berani bertindak semena-mena jika tidak
atas dukungan darimu, Marundang."
Dengan mata cekung memancarkan
kebencian, Setan Rawa Bangkai berkata bagai tanpa irama dan nada. Datar sekali.
"Tak ada pilihan lain,
bersiaplah untuk mati lebih dulu!"
Tiba-tiba tubuh Ki Tumbang
Laga terlempar ke samping dengan kuat sekali. Wuuut...! Brruuusss...! Tubuh itu
menghantam pohon besar tanpa dapat menjaga keseimbangannya. Kepala Ki Tumbang
Laga membentur batang pohon dengan keras sekali hingga terdengar suara seperti
tulang meretak. Prraakk...!
"Aaahg...!" pekik
pendek Ki Tumbang Laga mengawali cucuran darah yang keluar dari kepalanya.
Setan Rawa Bangkai masih diam
di tempat dan hanya memandang dengan sorot mata semakin tajam. Tanpa gerakan
sedikit pun, ia telah dapat membuat tubuh Ki Tumbang Laga yang baru saja
terpuruk di bawah pohon tersebut telah melayang lagi ke arah lain, bagai
dilemparkan ke suatu tempat dengan gerakan layang sangat cepat.
Weesss...! Brruusss...!
Praaak...!
"Aaauh...!" pekikan
Ki Tumbang Laga terdengar kembali setelah tubuhnya menabrak sebongkah batu
sebesar kerbau berdiri.
Ki Tumbang Laga tidak tahu
bahwa Setan Rawa Bangkai telah pergunakan ilmu 'Sukma Sakti', yang bisa
menghantam atau menyerang lawannya dengan kekuatan batin. Karena itu, Ki
Tumbang Laga yang masih mencoba untuk bisa berdiri lagi, tiba-tiba tersentak ke
belakang dengan kepala mendongak ke atas. Ia seperti mendapat pukulan dahsyat
pada dadanya. Padahal saat itu Setan Rawa Bangkai hanya diam di tempat tanpa
lakukan gerakan sedikit pun.
"Huuugh...!" Ki
Tumbang Laga pejamkan mata kuat-kuat dengan tubuh melengkung ke belakang.
Dadanya menjadi berasap dan membekas hitam berbentuk telapak tangan. Bekas
hitam itu mengepulkan asap putih samar- samar, disusul dengan muntahnya darah
kental berwarna merah kehitaman dari mulutnya.
Dalam keadaan separah itu,
tubuh Ki Tumbang Laga melayang kembali. Kali ini ia melambung tinggi tanpa
mendapat pukulan atau tendangan dari lawannya. Tubuh yang melambung tinggi itu
segera bergerak turun dalam keadaan kepala di bawah. Darah makin tersontak
banyak dari mulutnya.
Kepala Ki Tumbang Laga
bergerak ke arah sebongkah batu yang ujungnya runcing. Kepala itu akan menancap
pada keruncingan batu tersebut.
Zlaaap...! Wuuut...!
Tiba-tiba sekelebat bayangan
menyambar tubuh Ki Tumbang Laga. Dalam sekejap saja bayangan itu sudah berhasil
memanggul tubuh Ki Tumbang Laga dan menampakkan diri dalam jarak sepuluh
langkah dari Setan Rawa Bangkai. Pandangan mata Marundang sempat terkesiap
sejenak dengan mata cekungnya yang mengecil, ia merasa asing terhadap
kemunculan tokoh muda yang berani menyambar tubuh Ki Tumbang Laga.
Tokoh muda itu tak lain adalah
Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang kali ini menyilangkan bumbung tuaknya di
punggung. Dengan tangan kiri memegangi tubuh Ki Tumbang Laga yang dipanggulnya,
Suto Sinting sempat beradu pandangan mata dengan Setan Rawa Bangkai.
"Siapa kau...?!"
gertak Setan Rawa Bangkai tanpa bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri.
Suto Sinting tidak memberi
jawaban, bahkan melepaskan serangan pun tidak, ia hanya berkelebat sambil
membatin dalam hatinya,
"Menyeramkan sekali tokoh
itu. Pasti dia itulah yang dikenal Setan Rawa Bangkai. Rupanya kedatanganku
nyaris terlambat. Ki Tumbang Laga hampir saja mati di tangannya. Hmmm...
rupanya arah yang ditunjukkan oleh Nyai Kidung Laras tak membuatku salah jalan.
Kurasa di hutan inilah terdapat rawa busuk yang baunya menyebar sampai di
tempat ini. Sebaiknya tidak kulayani sekarang, aku harus selamatkan jiwa Ki
Tumbang Laga dulu!"
Zlaaap...!
"Hei, jangan pergi! Jawab
dulu pertanyaanku, Monyet!" sentak Setan Rawa Bangkai dengan suara
seraknya. Tetapi Pendekar Mabuk tetap pergi dengan pergunakan jurus 'Gerak
Siluman' yang mampu bergerak dengan kecepatan sangat tinggi bagai menghilang
dari pandangan mata itu.
Namun agaknya Setan Rawa
Bangkai tidak mau melepaskan lawannya begitu saja. Pandangan matanya masih
mampu melihat gerakan secepat anak panah, sehingga dengan kekuatan batin dari
ilmu 'Sukma Sakti', ia menyerang Suto Sinting dan membuat Pendekar Mabuk
tiba-tiba terjungkal bagai dibanting oleh tenaga gaib yang tak kelihatan.
Wuuuut...! Brrruukk...! "Aahhg...!"
Suara rintihan itu datang dari
mulut Ki Tumbang Laga yang sudah terluka sangat parah itu, sebab keadaan Ki
Tumbang Laga tertindih tubuh Suto Sinting yang tak bisa kendalikan keseimbangan
badannya.
"Celaka! Dia menggunakan
kekuatan batinnya untuk menyerangku!" geram Suto Sinting dalam hati.
"Aku tak bisa melawannya karena serangan itu tak bisa dilihat mata.
Uuuh... hidungku... sial betul! Hidungku jadi berdarah akibat bantingan keras
tadi. Uuuh... tulangku pun terasa remuk semua kalau begini!"
Zaaap...! Setan Rawa Bangkai
tiba-tiba sudah berada di depan Suto Sinting dalam jarak enam langkah. Namun
sebagai seorang pendekar, Suto Sinting tak mau menyerah begitu saja, ia
berusaha bangkit dan membiarkan Ki Tumbang Laga terkapar di tanah.
Sayangnya, baru saja ia
bangkit dengan satu kaki berlutut, tiba-tiba datang serangan tenaga besar tanpa
terlihat bentuknya. Tahu-tahu saja dagu Suto Sinting bagai ditendang oleh kaki
bertenaga dalam cukup besar. Serangan pada dagu membuat kepala Pendekar Mabuk tersentak
ke belakang dalam keadaan terdongak dan rasa sakit menyerang dari ubun-ubun
sampai telapak kaki. Wuuuut...! Brrrus...!
Suto Sinting terpental ke
belakang lima langkah jauhnya dari tubuh Ki Tumbang Laga. Mulutnya menyemburkan
darah segar karena tenggorokannya pun terasa seperti terkena tendangan
bertenaga besar. Suto Sinting nyaris tak bisa bicara lagi, bahkan pernapasannya
menjadi sesak sekali.
"Tuak... mana tuakku...?!
Tuak...!" pikir Suto Sinting sambil berusaha meraih bumbung tuaknya yang
masih menyilang di punggung.
Wuuut... Beeeegh...!
"Heeegh...!" Suto
Sinting tersentak mendelik karena perutnya terasa mendapat pukulan besar yang
makin membuat napasnya sulit dihela lagi. Serangan itu tetap datang dari si
Setan Rawa Bangkai dengan menggunakan ilmu 'Sukma Sakti'-nya. Serangan tersebut
membuat Suto Sinting terpuruk lemas bagai kehilangan seluruh tenaga. Hanya ada
sisa tenaga sedikit yang dapat digunakan untuk meraih bumbung tuaknya. Pada
saat Pendekar Mabuk berhasil meraih bumbung tuak, tiba-tiba ia sempat melihat
tubuh Setan Rawa Bangkai terpelanting ke samping dan berguling-guling menerabas
semak berduri. Guzraak...! ia bagaikan tersapu badai yang sulit dihindar! lagi.
Bahkan semak yang diterabasnya menjadi rusak, akar-akarnya berhamburan keluar
dari tanah.
"Siapa yang
menyerangnya?!" pikir Suto Sinting sambil berusaha memandang keadaan
sekeliling. Tapi tak ada bayangan manusia yang berdiri di sekitar tempat itu.
"Ah, persetan dengan
penyerangnya itu! Tuak harus kuminum lebih dulu supaya mengembalikan
tenagaku!"
Glek, glek, glek...!
Tiga teguk tuak sudah cukup
menyegarkan tubuh Pendekat Mabuk. Tenaganya yang pulih secara sedikit demi
sedikit itu membuatnya lekas bangkit berdiri dan memandang ke arah jatuhnya
Setan Rawa Bangkai. Tampak kepala Setan Rawa Bangkai tersumbul dari ketinggian
semak ilalang. Agaknya tokoh berilmu tinggi itu ingin lakukan serangan kembali
kepada Suto Sinting. Zaaap...! ia muncul dalam gerakan secepat kilat, dan
tahu-tahu sudah berada di depan Suto Sinting.
Namun lagi-lagi sebuah
serangan yang tak berbentuk dan tak berwarna itu datang kepadanya membuat
tubuhnya tumbang ke belakang dan berguling- guling bagai dilanda badai. Wut,
brruuus...! Wes, wes, wes...!
Guzraaak...!
"Siapa orang yang
menyerangnya?!" pikir Suto Sinting dengan rasa heran. "Sepertinya
serangan itu ditujukan untuk membelaku. Hmmm... kurasa dia adalah orang yang
membantuku menghindari bahaya saat aku ada di pantai dan saat aku bertarung
melawan Dewa Tengkorak. Oh, ya... sebaiknya kuselamatkan dulu Ki Tumbang Laga
yang sedang sekarat itu!"
Weeess...! Suto Sinting
menyambar tubuh Ki Tumbang Laga. Zlaaap...! Ia pun segera membawa pergi Ki
Tumbang Laga yang sekarat itu dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Ia
tinggalkan Setan Rawa Bangkai demi menyelamatkan Ki Tumbang Laga dan tidak
mempedulikan siapa orang yang membelanya itu.
Jauh dari kaki Gunung Babat,
Pendekar Mabuk meletakkan tubuh Ki Tumbang Laga yang sudah seperti kertas putih
itu, ia paksakan mulut Ki Tumbang Laga untuk menerima kucuran tuaknya. Beberapa
teguk tuak masuk ke tenggorokan Ki Tumbang Laga, hingga akhirnya Ki Tumbang
Laga tersedak dan terbatuk-batuk. Darah kental keluar dari mulut itu bercampur
dahak. Tapi beberapa saat kemudian, napas Ki Tumbang Laga menjadi lega dan
wajah pucatnya berangsur-angsur pudar. Tokoh tua itu pun membuka mata
pelan-pelan.
*
* *
6
NODA hitam di
dada KI Tumbang Laga
yang membentuk telapak
tangan itu, telah lenyap
sejak Ki Tumbang Laga meneguk tuak saktinya Pendekar Mabuk. Bahkan
rasa sakit di
sekujur tubuhnya pun telah hilang sama sekali. Ki Tumbang Laga merasa
lebih segar dan lebih sehat dari
sebelum lakukan pertarungan
dengan Setan Rawa Bangkai. "Terima
kasih atas
pertolonganmu," kata Ki Tumbang Laga dengan pandangi Suto
Sinting penuh rasa kagum.
"Aku hanya menuangkan
tuak ke mulutmu, Ki. Tak ada lain yang kulakukan kecuali itu."
"Itulah sebabnya aku
berterima kasih padamu, karena kau tidak menyiramkan tuak ke mukaku," ujar
KI Tumbang Laga dalam nada kelakar. "Seandainya kau tidak datang dan
membawaku pergi dari sana, mungkin saat ini aku hanya bisa melambaikan tangan
padamu dari pintu neraka."
Pendekar Mabuk hanya tertawa
kecil tanpa suara.
"Tadi aku sudah sempat
melihat pintu neraka, tapi masih tertutup. Aku tak berani mengetuk, takut
dipaksa masuk ke sana oleh penjaganya."
Tawa Pendekar Mabuk kian
melebar dan kali ini disertai suara seperti orang menggumam. Ki Tumbang Laga
pun tampak tidak seperti memendam dendam kepada lawannya, ia justru seperti
orang yang tidak pernah lakukan pertarungan maut dengan siapa pun.
"Mengapa sampai terlibat
bentrokan dengan Setan Rawa Bangkai, Ki?"
"Dari mana kau tahu kalau
lawanku tadi adalah Setan Rawa Bangkai?"
"Ciri-cirinya kudengar
dari penjelasan Nyai Kidung Laras."
"O, si cantik dari Lembah
Hijau itu?" ujar Ki Tumbang Laga yang rupanya kenal dengan Nyai Kidung
Laras. Tokoh tua itu manggut-manggut dalam senyumnya yang membuat wajahnya
tampak lucu.
"Dia memang pernah
bertemu dan beradu ilmu dengan Marundang, tapi ia hampir mati kalau tak segera
larikan diri. Aku kenal baik dengannya. Dulu aku pernah naksir dia, tapi karena
dia tidak naksir diriku, akhirnya aku terusir dari hatinya. Kasihan, ya?"
"Siapa yang
kasihan?"
"Diriku ini!"
jawabnya sambil tertawa kecil. "O, ya... boleh aku minta tuakmu sedikit
lagi, Suto?"
"Mengapa tidak, Ki?
Silakan minum sepuas hatimu! Tuakku masih tersedia cukup banyak, separuh
bumbung lebih."
Pendekar Mabuk serahkan
bumbung tuaknya, kemudian Ki Tumbang Laga menenggaknya beberapa teguk, ia
menghembuskan napas kelegaan melalui mulutnya dan sempat bertahak panjang tanda
kekenyangan minum tuak.
"Seroja Putih, adiknya
Kenanga Pilu, dibunuhnya saat Dewa
Tengkorak menyerang Perguruan
Tapak Dewa," ujarnya
membuat Suto Sinting terkejut. "Jadi
Kenanga Pilu punya adik
bernama Seroja Putih?"
Ki Tumbang Laga anggukkan
kepala dengan wajah duka sebentar.
"Kala itu aku dan
kakakku; gurunya Seroja Putih, sedang tidak ada di tempat. Dewa Tengkorak
dibantu Setan Rawa Bangkai lakukan pembantaian di Perguruan Tapak Dewa."
"Mengapa sampai terjadi
begitu?" "Seroja Putih pernah hampir
membuat Dewa Tengkorak mati
hangus. Rupanya dendam itu masih membekas di hati Dewa Tengkorak. Tanpa
dukungan Setan Rawa Bangkai, Dewa Tengkorak tak akan berani menyerang Perguruan
Tapak Dewa."
Pendekar Mabuk
angguk-anggukkan kepala. "Agaknya kemunculan Setan Rawa Bangkai
benar-benar dimanfaatkan oleh Dewa Tengkorak untuk membalas dendam terhadap
musuh-musuhnya," pikir Suto Sinting. "Keganasan Dewa Tengkorak timbul
secara liar karena merasa mendapat dukungan kuat dari Setan Rawa Bangkai.
Seandainya si Setan Rawa Bangkai dapat dilenyapkan, maka Dewa Tengkorak akan
kehilangan nyali dan tak berani bertindak seenak bodongnya begitu!"
Ki Tumbang Laga berkata dengan
memandang ke arah lain, "Tentu saja sepak terjang Dewa Tengkorak disambut
baik dan didukung penuh oleh Setan Rawa Bangkai, sebab orang terkutuk berbau
busuk itu memang kehendaki agar tokoh-tokoh aliran putih hancur semua. Ia ingin
tampil sebagai tokoh tertinggi di rimba persilatan yang kelak akan mempunyai
pengikut dalam jumlah banyak."
"Jika boleh kusimpulkan,
kunci kekejaman Dewa Tengkorak itu terletak pada kesaktian Setan Rawa Bangkai,
Ki?" .
"Benar. Sedangkan si
Setan Rawa Bangkai sendiri sebenarnya lebih kejam dan lebih ganas dari Dewa
Tengkorak. Jika tokoh sesat itu tidak dilenyapkan dengan segera, maka dunia
persilatan kita akan diselimuti kabut hitam. Setiap perguruan akan mengalami
masa berkabung yang tiada habisnya."
"Jika begitu, kusarankan agar
Ki Tumbang Laga kembali menghadap Eyang Darah Guntur dan jangan pergi ke mana-
mana. Serahkan persoalan ini padaku. Aku akan mengatasi kekejian Setan Rawa
Bangkai dan Dewa Tengkorak."
Ki Tumbang Laga tertawa
terkekeh- kekeh, membuat Suto Sinting memandang dengan berkerut dahi karena
merasa heran. Rasa penasaran terhadap tawa itu membuat Suto Sinting akhirnya
ajukan tanya,
"Mengapa kau menertawakan
kata- kataku, Ki?"
"Karena aku tak yakin
bahwa kau bisa mengungguli ilmunya Setan Rawa Bangkai. Orang itu bukan
tandinganmu, Nak. Satu-satunya orang yang bisa ungguli kesaktian Setan Rawa
Bangkai adalah gurumu sendiri: si Gila Tuak."
"Tidak mungkin!"
sergah Pendekar Mabuk. "Guru tidak akan turun tangan lagi di rimba
persilatan! Seandainya harus turun tangan lagi, maka aku adalah orang pertama
yang akan mengawali pertarungan dengan Setan Rawa Bangkai. Aku tak ingin
bertumpang tangan sementara Guru lakukan pertarungan dengan lawannya. Siapa pun
yang menjadi musuh Guru harus berhadapan denganku lebih dulu."
"Dan kau akan mati konyol
di tangan Setan Rawa Bangkai!"
"Itu sudah menjadi bagian
dari tanggung jawabku!" sahut Suto Sinting dengan tegas. "Mati konyol
ataupun mati tidak konyol bagiku sama saja."
"Jiwa kependekaranmu
begitu kuat," kata Ki Tumbang Laga sambil menepuk-nepuk pundak Pendekar
Mabuk. "Kuakui nyalimu sangat besar, tak ubahnya seperti gurumu: si Tua
Bangka dan Bidadari Jalang. Tetapi perlu diingat, Suto... melawan kekejian itu
tidak harus dengan modal keberanian belaka. Otak pun harus ikut bekerja agar
kita tidak mati konyol tapi kekejaman itu bisa tersingkirkan."
"Melawan orang seperti
Setan Rawa Bangkai tak perlu harus menggunakan siasat yang memeras otak, Ki.
Keberanian dan kecepatan gerak merupakan modal utama untuk tumbangkan Setan
Rawa Bangkai dan pengikutnya, seperti si Dewa Tengkorak itu."
Ki Tumbang Laga
manggut-manggut sambil tertawa terkekeh.
"Boleh, boleh... kau
boleh saja bilang begitu. Tapi percayalah, ilmu yang kau miliki belum cukup
untuk melawan Setan Rawa Bangkai, apalagi sekarang ia mempunyai ilmu 'Sukma
Sakti' dan 'Cakar Belah Jagat' yang berbahaya itu. Kau harus punya ilmu
tandingannya, Suto. Kau bisa memintanya dari gurumu; si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang. Kurasa mereka punya ilmu tandingan tersebut."
Tiba-tiba sebuah suara
terdengar menyahut dari belakang mereka,
"Mereka tidak punya ilmu
tandingan!"
Suto Sinting dan Ki Tumbang
Laga sama-sama terkejut, keduanya sama-sama segera menengok ke belakang.
Ternyata seseorang telah berdiri di sana dalam jarak lima langkah dari tempat
mereka berdiri.
Orang yang kini berhadapan
dengan mereka itu mengenakan pakaian serba putih; jubah dan celana putih,
sabuk putih, tanpa baju. Kulit wajahnya
pucat dan tampak sekali ketuaannya, ia berusia sekitar sembilan puluh tahun.
Rambutnya yang panjang acak-acakan itu berwarna putih rata. Alisnya pun putih
rata. Matanya sedikit cekung, tanpa
kumis dan jenggot. Tapi ia mempunyai kuku-kuku yang panjang. Saat melangkah
tiga tindak, ia tampak tertatih-tatih. Tokoh tua serba putih ini dikenal Suto
Sinting sebagai tokoh sakti dari Gunung
Kemuning, ia mempunyai
nama asli: Murdawira, tapi
lebih dikenal dengan nama Setan
Merakyat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Tabib Darah
Tuak").
"Bapa Guru...?!"
sapa Suto Sinting, karena memang dari dulu Suto Sinting selalu memanggil dengan
sebutan 'Bapa Guru'. Hal itu dilakukan Suto sebagai penghormatan tinggi kepada
tokoh sakti yang menjadi sahabat si Gila Tuak. Tak heran jika Suto Sinting saat
itu sedikit bungkukkan badan sebagai tanda memberi hormat kepada Setan
Merakyat.
"Bagaimana kabar Bapa
Guru Murdawira?"
"Aku sehat-sehat saja.
Kalau aku tak sehat aku tak bisa mengikutimu sejak dari pantai sampai
kemari," jawab Setan Merakyat dengan suara tuanya.
"Salam hormatku untuk
kedatanganmu, Kakang Setan Merakyat!" Ki Tumbang Laga pun memberi salam
dan hormat kepada tokoh serba putih yang selalu berpenampilan kalem.
"Tumbang Laga, salam
hormatmu kuterima. Tapi aku ikut berbela sungkawa atas kematian murid dari
kakakmu, si Darah Guntur."
Pendekar Mabuk membatin,
"Rupanya Bapa Guru Setan Merakyat ini yang selalu membelaku dalam
pertarungan di pantai, dan dalam menghadapi Dewa Tengkorak, serta sampai saat
aku menghadapi Setan Rawa Bangkai tadi. Hmmm...! Tak disangka dialah orangnya."
Ki Tumbang Laga tak merasa
heran lagi jika Setan Merakyat mengetahui kematian Seroja Putih, karena tokoh
yang satu ini memang mempunyai ketajaman indera ketujuh cukup luar biasa. Namun
Ki Tumbang Laga segera bicarakan tentang kemunculan Setan Rawa Bangkai.
"Apakah kehadiranmu di
sini ada hubungannya dengan kemunculan Setan Rawa Bangkai?!"
"Bisa dikatakan ya dan
tidak," jawab Setan Merakyat.
"Sekarang baru
kuingat," kata Ki Tumbang Laga, "Bahwa ada orang lain yang dapat
ungguli kehebatan ilmunya Setan Rawa Bangkai, yaitu kau sendiri, Kakang
Murdawira. Kau dan Marundang adalah tokoh berilmu tinggi yang sama- sama punya
julukan 'Setan', jadi kurasa. "
"Jadi maksudmu 'setan'
bertarung melawan 'setan', begitu?!" Ki Tumbang Laga tertawa kecil sambil
garuk-garuk kepala. Suto Sinting hanya tersenyum-senyum saja. Tetapi si Setan
Merakyat hanya diam tanpa senyum, namun wajahnya tidak tampak tersinggung atau
memendam kedongkolan. Setan Merakyat justru tampak kalem bagai tak pedulikan
ucapannya sendiri tadi.
"Kehadiranku memang ada
hubungannya dengan kemunculan Setan Rawa Bangkai. Tetapi aku tidak akan melawan
dia, Tumbang Laga. Aku punya jago sendiri yang akan kuandalkan, yaitu Pendekar
Mabuk, murid si Gila Tuak."
Ki Tumbang Laga dan Suto
Sinting sama-sama terperanjat. Keduanya saling beradu pandangan mata. Tetapi Ki
Tumbang Laga segera berkata kepada Setan Merakyat.
"Apakah kau tidak salah
pilih jago, Kakang Murdawira?! Pendekar Mabuk masih muda dan ilmunya. "
"Aku sudah bicarakan
dengan si Gila Tuak dan Bidadari Jalang," sahut Setan Merakyat.
"Lalu, apa kata
mereka?" desak Ki Tumbang Laga.
"Mereka setuju jika kita,
para tokoh aliran putih, mengajukan Pendekar Mabuk sebagai lawan tandingnya si
Marundang. Tetapi tentu saja aku berada di belakang Pendekar Mabuk."
"Apa maksudnya 'berada di
belakang' Pendekar Mabuk?"
Setan Merakyat melangkah ke
samping, memperhatikan serumpun tanaman liar yang sedang berbunga. Bunganya
berwarna merah segar dan enak dipandang mata. Setan Merakyat menghampirinya dan
memetik sekuntum bunga yang mirip terompet kecil itu. Sambil memperhatikan
bunga tersebut, Setan Merakyat bicara kepada Pendekar Mabuk,
"Suto, masih ingatkah kau
pada pertemuan kita sebelum ini?"
"Tentu saja masih, Bapa
Guru." "Aku pernah mengatakan bahwa
salah satu ilmuku yang akan
kuturunkan padamu, dan ilmu itu tidak bisa kuturunkan kepada orang lain kecuali
orang yang tanpa pusar. Dan kebetulan saja orang tanpa pusar itu adalah kau
sendiri. Jadi, ilmu itu akan kuturunkan padamu atas seizin kedua gurumu; Gila
Tuak dan Bidadari Jalang." Hati pemuda itu berdebar-debar dalam
kegirangan. Wajahnya tampak berseri dan senyumnya begitu indah menawan
menyambut kabar gembira tersebut. Ki Tumbang Laga masih bingung pandangi Suto
yang menurutnya seperti mendapat durian runtuh.
"Beruntung sekali kau,
seperti dapat durian runtuh. Tahu-tahu akan diberi ilmu dari tokoh sesakti
beliau itu, Suto. Kalau aku masih muda, tentunya aku iri dengan
keberuntunganmu."
Suto Sinting hanya tertawa
pelan namun memanjang.
Ki Tumbang Laga bicara kepada
Setan Merakyat, "Bagaimana mungkin kau mempunyai ilmu yang hanya bisa
diturunkan kepada orang tanpa pusar, Kang? Bukankah kau sendiri manusia yang
mempunyai pusar?"
"Coba kulihat
dulu...." Setan Merakyat segera menyingkapkan kain penutup perutnya.
"O, iya... aku sendiri punya pusar. Tapi... Suto Sinting jelas tak punya
pusar. Kalau kau tak percaya, cobalah kau periksa sendiri dia."
"Bukan soal tak percaya
tentang punya pusar atau tidak, tapi yang kuherankan adalah syarat penurunan
ilmu itu. Mengapa hanya bisa diterima oleh orang yang tanpa pusar? Padahal kau
sendiri sebagai pemilik ilmu itu mempunyai pusar?"
"Tumbang Laga," kata
Setan Merakyat sambil jarinya memainkan bunga kecil yang diputar-putar dalam
gerak memelintir.
".... Ilmu itu adalah
ilmu temuanku sendiri. Sebenarnya siapa saja bisa memiliki ilmu itu, namun
harus melalui cara berlatih selama tiga puluh tahun lebih. Karena ilmu itu
kudapatkan setelah berlatih selama tiga puluh tahun lebih. Dan sekarang tinggal
diwariskan kepada seseorang, anggaplah orang itu adalah muridku. Tetapi selama
ini kucoba memasukkan ilmu itu ke raga seseorang yang mempunyai pusar, ternyata
tidak sedikit pun bagian dari kekuatan ilmu itu dapat masuk ke dalam raga orang
tersebut. Pilihanku adalah seseorang yang tanpa pusar. Sebab dengan tanpa pusar
maka ketahanan tubuh seseorang dapat menerima dengan kokoh kehadiran ilmu itu
dalam sukma dan raganya."
Ki Tumbang Laga
manggut-manggut pertanda memahami maksud Setan Merakyat. Kejap berikutnya
terdengar suara Suto Sinting yang tampak tak sabar lagi,
"Bapa Guru, kapan saja
saya akan siap menerima warisan ilmu itu darimu."
"Bagus. Aku tahu bahwa
kau sejak dulu telah menunggu penurunan ilmuku ini kepadamu. Tapi pada waktu
itu aku belum bertemu dengan gurumu. Sekarang setelah bertemu dengan gurumu,
serta meminta izin menurunkan ilmu padamu, apakah kau mau menerimanya,
Suto?"
"Dengan senang hati saya
menerimanya."
*
* *
7
SETAN Rawa Bangkai kebingungan
mencari lawan yang menyerangnya, ia tak tahu bahwa lawannya telah pergi meninggalkan
dirinya untuk menemui Suto Sinting dan Ki Tumbang Laga. Rasa penasaran yang
memancing murkanya membuat Setan Rawa Bangkai mengamuk di hutan itu, melepaskan
pukulan tenaga dalam ke segala arah. Ledakan yang menggelegar
sambung-menyambung itu membuat Gunung Babat bergetar bagai ingin meletus.
"Marundang sedang
mengamuk," ujar Ki Tumbang Laga kepada Setan Merakyat. "Biarkan saja," jawab Setan Merakyat dengan santainya. "Aku
butuh tempat yang sunyi untuk menurunkan ilmuku kepada Suto Sinting.
Dapatkah
kau membantuku, Tumbang
Laga?"
Ki Tumbang Laga diam sebentar,
memikirkan sebuah tempat yang diinginkan Setan Merakyat. Kejap berikutnya Ki
Tumbang Laga pun berkata,
"Bagaimana kalau kita
pergi ke Lembah Celaka?"
"Jangan. Aku takut kita
bertiga malah celaka sendiri," kata Setan Merakyat.
"Bapa Guru," ujar
Suto Sinting menyela pembicaraan, "Mengapa kita tidak pergi ke Gunung
Kemuning saja? Bukankah tempat kediaman Bapa Guru adalah tempat yang tenang dan
sunyi?"
"O, iya! Hampir saja aku
lupa kalau aku punya tempat yang tenang dan sunyi di puncak Kemuning."
Setan Merakyat garuk-garuk kepala. Ki Tumbang Laga berkata kepada Suto Sinting,
"Kalau tempat yang lebih sunyi dan tenang lagi ya masuk ke liang kubur
saja."
Setan Merakyat menyahut,
"Kalau kau masuk ke sana lebih dulu, silakan saja. Aku belum ingin ke
sana, Tumbang Laga."
Pendekar Mabuk dan Ki Tumbang
Laga sama-sama tertawa. Kemudian mereka bertiga bergegas pergi tinggalkan
tempat itu menuju puncak Gunung Kemuning yang selalu diselimuti kabut tebal
itu. Ki Tumbang Laga sebenarnya ingin pulang ke Perguruan Tapak Dewa untuk
menemui Eyang Darah Guntur, kakaknya. Tetapi niatnya dicegah Setan Merakyat.
"Aku butuh bantuanmu,
Tumbang Laga. Ikutlah bersamaku ke puncak Kemuning. Soal menghadap kakakmu,
biar nanti aku yang menjelaskan alasannya, mengapa kau ikut aku. Jangan takut
kalau kakakmu marah, nanti aku yang akan meredakan amarahnya."
Tentu saja Setan Merakyat
berani bilang begitu, karena Eyang Darah Guntur sangat hormat kepadanya.
Kesaktian Setan Merakyat lebih tinggi dari kesaktian Eyang Darah Guntur,
sehingga Eyang Darah Guntur tak berani menentang segala keputusan Setan
Merakyat.
Pendekar Mabuk merasa hari itu
adalah hari keberuntungannya. Seandainya ia tidak nekat menentang larangan
Pakis Ratu, mungkin ia tidak akan segera pergi ke puncak Gunung Kemuning.
Seandainya ia tidak pergi secara diam-diam dari Lembah Hijau tanpa diketahui
Pakis Ratu dan Nyai Kidung Laras, mungkin Setan Merakyat tidak segera muncul
dan menurunkan ilmunya.
"Biarlah Pakis Ratu
tinggal di pondok gurunya sendiri. Nanti jika urusanku sudah selesai akan
kuhampiri lagi untuk pererat persahabatan," pikir Suto Sinting dalam
perjalanan menuju puncak Gunung Kemuning.
Sesuatu yang sangat tidak
diduga- duga ternyata terjadi di pertengahan jalan. Mereka melihat pertarungan
antara Dewa Tengkorak melawan seorang gadis cantik berusia dua puluh enam
tahun, mengenakan jubah kuning dalaman merah. Rambutnya dikonde dua tempat,
sisanya meriap ke bawah dengan gemulai. Gadis itu berwajah mungil, bermata
bundar indah, dan berkulit kuning langsat, ia menggunakan seruling sebagai
senjata yang dapat menyemburkan cahaya merah api ke tubuh lawannya. Gadis itu
tak lain adalah Dinada, mantan orang Bukit Kasmaran, murid dari Mendiang Nyai
Guntur Ayu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gelang Naga
Dewa").
"Bapa Guru, saya kenal
dengan gadis itu!" kata Suto Sinting. Mereka ada di ketinggian bukit cadas
yang dapat melihat bebas ke arah bawah.
"Saya kenal sekali
dengannya, Bapa Guru."
"Gadis mana yang tidak
kau kenal? Semua gadis pasti kau kenal. Matamu memang mata keranjang,"
kata Setan Merakyat yang membuat Suto Sinting malu. "Ingat, kau adalah
calon jodohnya Dyah Sariningrum. Jangan sembarang melotot kalau melihat
perempuan."
"Maksud saya, gadis itu
adalah Dinada, sahabat saya, Bapa Guru. Bolehkah saya membantunya? Sebab
menurut saya, Dinada bukan tandingannya Dewa Tengkorak."
Ki Tumbang Laga menyahut,
"Nyawa Dewa Tengkorak adalah jatahku. Jangan kau serobot seenaknya saja,
Suto! Aku yang akan menghadapi Dewa Tengkorak untuk bikin perhitungan."
"Tidak bisa! Dinada
adalah sahabatku, Ki. Aku wajib membantunya. Sebab. "
"Dinada memang sahabatmu,
tapi Dewa Tengkorak itu jatahku!" sahut Ki Tumbang Laga agak ngotot.
Setan Merakyat akhirnya berkata,
"Apa yang kalian perebutkan? Nyawa si Dewa Tengkorak?! Hmm. !"
Claaap...! Tiba-tiba jari
tangan Setan Merakyat menunjuk ke depan. Dari jari itu melesat seberkas sinar
putih perak bagaikan cahaya bintang. Sinar kecil itu menghantam dada Dewa
Tengkorak pada saat si Dewa Tengkorak sedang lakukan lompatan untuk menerjang
Dinada yang sempoyongan terkena pukulannya.
Zeeeb...! Sinar itu menghantam
dada Dewa Tengkorak dengan jelas sekali. Orang kurus itu segera terpental ke
belakang bagai dilemparkan begitu saja dan jatuh terpuruk tak berkutik lagi.
Pekikan suaranya pun tak ada.
Dinada terkejut melihat
keadaan lawannya tahu-tahu jatuh terpuruk tak berkutik. Lebih terkejut lagi
melihat lawannya berasap, semakin lama semakin tebal, dan ketika angin
berhembus asap pun pudar.
"Ooh...?!" Dinada
semakin melebarkan matanya karena terkejut melihat tubuh Dewa Tengkorak benar-
benar menjadi tengkorak berjubah abu- abu dan bercelana merah.
"Ajaib sekali?! Mengapa
dia tiba- tiba tinggal tulang-belulang tanpa rambut dan tanpa daging sedikit
pun? Oh, siapa orang yang telah membantuku dalam pertarungan ini?!" Dinada
segera lemparkan pandangan matanya ke atas perbukitan, ia terperanjat lagi
melihat tiga orang berdiri di sana, satu di antaranya adalah pemuda tampan yang
dikenalnya dengan nama Suto Sinting.
"Oooh, ternyata si
Pendekar Mabuk itu yang telah menolongku?!" pikir Dinada. Lalu, dalam
keadaan masih menahan luka di pundaknya yang terasa mau patah itu, ia pergi ke
puncak perbukitan tersebut.
Sementara itu, di puncak
perbukitan yang tak seberapa tinggi itu, Ki Tumbang Laga melontarkan gerutuan
yang cukup menggelikan bagi Pendekar Mabuk. "Sial! Pembalasanku belum
sempat kulampiaskan, eeeh... sudah kabur lebih dulu nyawa si Dewa
Tengkorak."
Setan Merakyat berkata,
"Sekarang apa kalian mau berebut tulang- belulangnya?! Berebutlah sana,
biar sama-sama seperti serigala!"
Suto Sinting hanya tertawa
pendek dan berkata, "Mengapa waktu Dewa Tengkorak melawanku, Bapa Guru
tidak lakukan hal seperti tadi?"
"Dewa Tengkorak masih
punya jatah untuk hidup setengah hari lagi dari sananya. Jadi aku tak berani
mendahului kehendak sang takdir. Sekarang jatah untuk hidup baginya sudah
habis, maka aku berani melepaskan jurus pencabut nyawa."
"Hmm... mentang-mentang
yang bisa mengetahui takdir manusia!" Ki Tumbang Laga bersungut-sungut
dengan dongkol, Suto Sinting menertawakan sampai datangnya Dinada ke tempat
itu.
"Suto, terima kasih atas
pertolonganmu. Kalau kau tidak segera bertindak, mungkin aku sudah mati di
tangan Dewa Tengkorak. Aku sudah hampir tak berdaya menghadapi serangannya yang
serba cepat tadi."
Suto Sinting jadi tak enak
hati. Matanya melirik ke arah Setan Merakyat. Ternyata tokoh sakti itu sedang
bicara kepada Ki Tumbang Laga dengan suara seperti orang menggumam.
"Jadi anak muda itu enak,
ya? Selalu menjadi bahan pujaan para gadis. Walaupun tidak lakukan apa-apa,
tetap saja dianggap sebagal orang berjasa."
"Kita dulu juga pernah
muda dan pernah mengalami hal seperti itu, Kang."
Mendengar percakapan itu,
Pendekar Mabuk makin tak enak hati, lalu berkata kepada Dinada,
"Sebenarnya tadi yang "
Setan Merakyat segera
menyahut, "Nona cantik, barangkali memang belum waktumu untuk mati pada
hari ini. Karena kebetulan saja kami lewat dan Suto melepaskan pukulan jarak
jauhnya yang memang dahsyat itu. Kurasa tidak ada sesuatu yang perlu
dibanggakan, walaupun sebenarnya jurus maut Suto tadi memang sangat
mengagumkan."
"Iya, Eyang... saya
memang sangat kagum dengan jurus-jurusnya Suto Sinting."
"Ya, ya... silakan
mengagumi sepuas hatimu, karena sebentar lagi aku harus membawanya pergi dan
kau tak boleh ikut."
"Lho, kau akan pergi ke
mana, Suto?"
Suto Sinting belum menjawab,
Setan Merakyat sudah menyahut lebih dulu, "Mau membasmi kejahatan lagi,
seperti tadi!"
"Ah, Bapa Guru jangan
begitu...," bisik Suto Sinting.
"Biar saja. Biar gadis
itu makin terkagum-kagum padamu," bisik Setan Merakyat membuat Suto
Sinting menjadi salah tingkah.
"Dinada, mengapa kau
terlibat pertarungan dengan Dewa Tengkorak?"
"Dulu, semasa mendiang
guruku masih hidup, perguruanku pernah bentrok dengan perguruannya. Tapi
pihakku lebih unggul, dan sekarang agaknya ia masih mengenaliku, lalu ingin
membalas dendam atas kekalahan pihaknya dulu," tutur Dinada dengan
pandangan mata tak lepas dari wajah Pendekar Mabuk yang rupawan itu. Setelah
terdengar suara gumam dari Suto Sinting yang manggut-manggut itu, Dinada ganti
ajukan pertanyaan.
"Kau sendiri mau pergi ke
mana sebenarnya?" "Aku harus mengikuti Bapa Guru Setan Merakyat ini
ke puncak Gunung Kemuning."
"Apakah aku boleh ikut
denganmu, Suto? Kita sudah lama tidak jumpa, bukan?"
"Hmmm... iya, memang
sudah lama kita tidak jumpa. Tetapi keputusan boleh dan tidaknya ada di tangan
Bapa Guru Setan Merakyat."
Karena Pendekar Mabuk segera
melempar pandangan mata kepada Setan Merakyat, mau tak mau Setan Merakyat
segera memberi jawaban bagi Dinada.
"Nona, perjalanan kami
bukan untuk berlibur dan bersenang-senang. Jadi kurasa kali ini kami tak bisa
mengajakmu. Mungkin di lain waktu kau boleh ikut kami pergi ke pantai, mengail
ikan atau belajar mendayung. Kuharap kau tidak kecewa, Nona Cantik."
Dinada tampak kecewa, namun
segera disembunyikan dengan senyum manisnya, ia segera berkata kepada Suto
Sinting,
"Maukah kau datang padaku
jika urusanmu sudah selesai nanti? Aku... aku rindu bercanda denganmu,
Suto."
Ki Tumbang Laga menyahut,
"Itu soal gampang, Nona. Kalau Suto tak menemuimu untuk bercanda, biar aku
saja yang menemuimu. Aku pun punya canda yang lebih menarik dari Suto."
Setan Merakyat menyenggol
pinggang Ki Tumbang Laga dengan sikunya,
"Tua-tua masih iri juga
kau!" "He, he, he.„. Aku hanya sekadar
bercanda kok, Kang."
Pendekar Mabuk tersenyum geli,
kemudian berkata kepada Dinada, "Jika sudah selesai urusanku, aku akan
menemuimu secepatnya Dinada. Maaf, sekarang aku tak bisa mengajakmu pergi
karena Bapa Guru tidak izinkan siapa pun ikut kecuali hanya kami bertiga."
Gadis cantik itu mencoba untuk
memahami keadaan Suto Sinting, waiau sebenarnya ia ingin tahu persoalan
sebenarnya dan Suto tak mau menceritakan, tetapi ia tetap mencoba untuk tidak
penasaran. Rasa kecewanya dipendam dalam-dalam bersama lambaian tangan
mengiringi kepergian Suto Sinting bersama dua tokoh tua itu.
Perjalanan menuju puncak
Gunung Kemuning terpaksa dilakukan dengan menggunakan jurus peringan tubuh yang
membuat mereka berkelebat bagaikan badai. Ternyata jurus 'Gerak Siluman'- nya
Suto Sinting mampu menyamai jurus serupa yang dimiliki oleh Setan Merakyat.
Sedangkan gerakan Ki Tumbang Laga tertinggal tak seberapa jauh di belakang
mereka. Ki Tumbang Laga tak sampai kehilangan jejak, sehingga ketika mereka
tiba di puncak Gunung Kemuning, Ki Tumbang Laga menyusul beberapa saat
kemudian.
Puncak gunung itu cukup
dingin. Jika seseorang tidak mempunyai jurus pemanas tubuh, maka darah mereka
akan membeku tinggal di puncak gunung itu selama seperempat hari. Dedaunan
maupun batang tumbuh-tumbuhan dilapisi busa salju hingga sampai pada tanah
tempat mereka berpijak. Jika mereka bicara uap dingin keluar bersama hembusan
napas mereka. Suto Sinting sudah terlatih hidup di tempat dingin, sehingga ia
tidak kaget lagi menghadapi cuaca seperti itu.
"Tumbang Laga," ujar
Setan Merakyat, "Aku butuh tempat yang tidak berhubungan dengan tanah.
Bisakah kau mencarikan tempat seperti itu di sini?"
"Kakang Murdawira,
wilayah ini adalah wilayahmu. Tentunya yang tahu seluk-beluk tempat ini adalah
kau sendiri, Kakang. Bagaimana mungkin aku bisa mencarikan tempat yang tidak
berhubungan dengan tanah daerah ini?"
"Betul juga kata-katamu,
Tumbang Laga. Tetapi aku lupa, di mana tempat yang tidak menyentuh tanah di
daerah ini? Seingatku memang ada, tapi di mana tempat itu? Aku benar-benar
lupa. Maklum usia sudah sangat tua membuat ingatanku makin hari semakin rapuh,
Tumbang Laga."
Ki Tumbang Laga diam sejenak,
berpikir tentang tempat yang tidak menyentuh tanah. Tiba-tiba Suto Sinting
ajukan tanya kepada Setan Merakyat,
"Untuk apa tempat yang
tidak menyentuh tanah itu, Bapa Guru?"
"Akan kau gunakan sebagai
alas berpijak. Karena nanti pada saat kau menerima jurus warisanku itu, tubuhmu
tak boleh berhubungan dengan tanah. Jika kau berhubungan dengan tanah, maka
seluruh bumi ini akan mengalami getaran gelombangnya yang dapat mengeringkan
darah mereka."
"Saya mempunyai jurus
'Layang Raga" Bapa Guru. Dapatkah kita gunakan jurus itu?" "O,
ya... aku ingat si Gila Tuak mempunyai jurus 'Layang Raga', tapi... tapi
benarkah kau sudah mewarisi jurus itu pula? Coba tunjukkan padaku, Suto."
Maka Pendekar Mabuk pun
menarik napasnya pelan-pelan dengan mata sedikit terpejam. Tiba-tiba tubuhnya
terangkat ke atas sedikit, telapak kakinya tidak menyentuh tanah. Makin lama
makin tinggi, sampai sebatas pinggang si Setan Merakyat.
"Bagus, bagus...."
Setan Merakyat angguk-anggukkan kepala. "Sekarang turunlah dulu, jangan
mengambang di udara begitu. Kurang sopan kelihatannya, Suto."
Setelah Pendekar Mabuk
menapakkan kakinya kembali ke tanah, Setan Merakyat bicara kepada Ki Tumbang
Laga.
"Tumbang Laga, kumohon
bantuanmu untuk menjaga keamanan kami berdua pada saat ilmu itu
kuturunkan."
"Maksudmu bagaimana,
Kakang?!" "Selama
kusalurkan inti ilmu
'Pranasukma', baik aku maupun
Suto Sinting tak boleh diganggu oleh apa pun, tak boleh disentuh oleh siapa
pun. Bahkan lebih bagus lagi jika kami tak diganggu oleh hembusan angin maupun
suara desah apa pun. Jadi kuharap kau bisa menjaga ketenangan dan keamanan
kami."
Ki Tumbang Laga diam sebentar
merenungi kata-kata Setan Merakyat. Pendekar Mabuk pun ikut bungkam, seakan
menurut saja apa perintah si tokoh sakti yang dipanggilnya Bapa Guru itu.
"Kakang Murdawira,"
ujar Ki Tumbang Laga, "Kalau yang kau butuhkan adalah keamanan seperti
itu, berarti aku harus bisa melindungi kalian dari hembusan angin segala.
Satu-satunya cara aku harus menggunakan jurus "Surya Perisai', yang
nantinya akan membuat kalian berdua terselubungi lapisan seperti kaca.
Keadaannya sangat rapat dan kokoh. Tetapi waktunya tak bisa lama-lama karena
tak ada udara di dalam lapisan kaca nanti."
"Aku tak membutuhkan
waktu terlalu lama. Setelah Inti 'Pranasukma' kusalurkan habis ke dalam galih
napas dan pusat roh dalam diri Suto, selanjutnya kami tak butuh lagi keheningan
yang murni. Kau bisa melepaskan lapisan kaca itu." "Tunggu
dulu," sergah Suto Sinting. "Bapa Guru, kalau boleh saya ingin tahu,
apa kegunaan jurus 'Pranasukma' itu?"
Setelah menarik napas satu
kali, Setan Merakyat pun segera menjelaskan kegunaan dan kehebatan jurus atau
ilmu "Pranasukma' itu kepada Suto Sinting. Tetapi Ki Tumbang Laga ikut
mendengarkannya. Sebab dari semula sebenarnya ia ingin menanyakan tentang ilmu
apa yang akan diturunkan Setan Merakyat kepada Pendekar Mabuk itu, tetapi ia
tak pernah punya keberanian untuk ajukan pertanyaan tersebut.
Sebelum mulai bicara, Setan
Merakyat berbalik badan hingga berhadapan dengan Ki Tumbang Laga. Suto Sinting
ada di samping Ki Tumbang Laga menunggu jawaban dari rasa ingin tahunya tadi.
"Suto, kau melihat batu
putih sebesar anak kuda di belakangku itu?"
"Ya, saya melihatnya,
Bapa Guru," jawab Suto Sinting setelah memperhatikan sebongkah batu yang
dilapisi salju, ukurannya sebesar anak kuda yang sedang berdiri.
"Perhatikan terus batu
itu, dan jangan heran jika ia pindah ke bawah pohon berjajar tiga yang ada di
belakangmu sana!"
Pendekar Mabuk dan Ki Tumbang
Laga sama-sama menoleh memandang pohon yang ditunjuk Setan Merakyat. Tetapi
dalam benak mereka masih diliputi kebingungan tentang apa maksud ucapan Setan
Merakyat tadi.
Keduanya kembali pandangi batu
sebesar anak kuda yang ada dalam jarak tujuh langkah di belakang Setan
Merakyat. Batu itu tiba-tiba lenyap bagai ditelan bumi. Zaaab...! Pendekar
Mabuk dan Ki Tumbang Laga sama-sama terperanjat dengan mata melebar. Kini
keduanya sama-sama berpaling ke belakang, memandang ke arah pohon yang tadi
ditunjuk Setan Merakyat. Mereka sama-sama terkejut dalam hati melihat batu tadi
ternyata sudah berpindah tempat, berada di bawah pohon tersebut dalam keadaan
tidak pecah atau retak sedikit pun. Bahkan busa-busa saljunya masih utuh tak
bergeser sedikit pun.
"Luar biasa...!"
gumam Ki Tumbang Laga bagai bicara pada diri sendiri. Setan Merakyat pun segera
menyahut,
"Itulah ilmu 'Pranasukma'
yang akan kau terima. Batinmu bisa memindahkan benda apa pun dari tempatnya
semula. Bahkan menghancurkan benda itu pun bisa kau lakukan tanpa menyentuh
sedikit pun. Tetapi ilmu 'Pranasukma' ini hanya dipakai dalam keadaan terpaksa
sekali. Jika tidak terpaksa, jika masih ada cara lain, pergunakan cara lain
dulu. Sebab ilmu 'Pranasukma' hanya bisa digunakan seratus kali. Sedangkan aku
baru menggunakan empat kali. Jadi masih ada kesempatan sembilan puluh enam kali
untuk menggunakan kekuatan ilmu 'Pranasukma' itu."
Pendekar Mabuk dan Ki Tumbang
Laga sama-sama manggut-manggut. Dalam hati mereka tetap menyimpan kekaguman,
tapi dalam hati Suto Sinting ditambah rasa girang yang tiada habis-habisnya.
Ilmu kekuatan batin seperti itu jarang dimiliki orang. Bahkan mungkin Gila Tuak
dan Bidadari Jalang tidak memiliki ilmu seperti 'Pranasukma' itu.
"Sebelum matahari
tenggelam, kuharap pekerjaan ini sudah selesai. Jadi kita harus mulai dari
sekarang, Suto."
"Baik Bapa Guru. Saya
sudah siapkan diri untuk menerima ilmu tersebut." "Jangan minum tuak
dulu, Suto.
Kosongkan raga dan
pikiranmu." "Baik, Bapa Guru!"
"Duduklah bersila tapi
jangan sampai menempel di tanah."
Pendekar Mabuk anggukkan
kepala dengan sikap patuhnya. Namun ketika ia ingin duduk di tanah, Setan
Merakyat menahan lengannya dan berkata,
"Sebelumnya, buka seluruh
pakaianmu. Jangan sampai ada benda lain yang menempel pada tubuhmu."
"Bu... buka...?!
Maksudnya, buka semuanya, Bapa Guru?"
"Tenang saja, di sini tak
ada perempuan. Seorang pun tak ada."
Sebenarnya Pendekar Mabuk agak
malu, tapi demi mendapatkan ilmu dan kesaktian seperti yang dicontohkan tadi,
Suto Sinting akhirnya melepas seluruh pakaiannya. Bahkan bumbung tuaknya
dilepaskan pula, disandarkan di bawah pohon tak jauh dari Ki Tumbang Laga
berdiri.
Setelah melepaskan pakaiannya,
Suto Sinting segera duduk bersila. Jurus 'Layang Raga' dipergunakan oleh Suto,
membuat tubuhnya terangkat mengambang di udara dalam keadaan tetap duduk
bersila. Ketinggian duduknya itu tak lebih dari batas perut si Setan Merakyat.
"Pejamkan matamu,"
perintah Setan Merakyat, dan pemuda yang tidak mempunyai pusar sedikit pun itu
segera turuti perintah tersebut, ia memejamkan mata dengan tenang.
"Pusatkan perhatian benak
pada gerakan napasmu," perintah si Setan Merakyat. "Selama belum
selesai jangan bicara apa-apa dulu."
"Baik, Bapa Guru!"
"Tumbang Laga, lakukan
seperti yang kuperintahkan tadi."
"Baik, Kakang...!"
jawab Ki Tumbang Laga dengan tegas dan patuh.
Kedua jari tengah Ki Tumbang
Laga sama-sama berdiri mengeras. Kemudian ujung-ujung jari tengah itu
dipertemukan di depan dada: Lama kelamaan kedua tangan yang saling bertemu itu
bergerak pelan ke atas, hingga kini keberadaannya melebihi ketinggian kepala si
Tumbang Laga.
Claaap...! Wuuurrrsss...!
Pertemuan dua jari tengah itu
akhirnya memancarkan sinar merah bening. Sinar itu meluncur ke atas dan
berhenti di atas kepala Suto Sinting dan Setan Merakyat. Sinar merah itu
akhirnya menyebar ke bawah dalam keadaan melebar, sehingga tubuh Suto Sinting
dan Setan Merakyat dilapisi oleh cahaya merah yang turun dari atas kepala
mereka itu. Lama kelamaan cahaya merah itu menjadi bening, membentuk seperti
kurungan besar, dan warna merahnya pun punah menjadi warna putih yang kian lama
menjadi kian bening.
Sinar merah di atas kepala
mereka telah lenyap. Kedua tubuh mereka menjadi seperti berada dalam tabung
berkaca putih bening. Pada saat itulah tubuh Setan Merakyat pun terangkat naik
dengan sendirinya dan mengambang di udara, sama seperti yang dilakukan Suto
Sinting, ia segera keraskan kedua jari pada tiang tangannya.
Classs, claasss...!
Dari masing-masing kedua jari
keluar sinar ungu bening. Satu sinar ungu mengarah pada perut Suto Sinting
tempat biasanya seseorang berpusar. Satu sinar ungu lagi mengarah pada ulu hati
Suto Sinting.
Kedua sinar ungu itu membuat
tubuh Suto Sinting menjadi menyala ungu bening bagai terbuat dari beling
kristal ungu. Tubuh tersebut diam mengejang kaku bagaikan patung.
Zuuub, zuuub...!
Kedua sinar ungu itu pun
segera padam setelah lebih dari dua puluh helaan napas memancar ke tubuh Suto
Sinting. Tapi sayang mereka yang ada di dalam tabung kaca itu tidak bernapas,
sehingga tidak bisa menghitung berapa helaan lamanya kedua sinar ungu itu terpancar
dari kedua tangan Setan Merakyat.
Tetapi walaupun kedua sinar
ungu itu telah padam dari ujung jari Setan Merakyat, keadaan Suto Sinting masih
seperti patung dari batuan bening warna ungu. Tubuh tersebut tetap mengambang
di udara dan tidak bergerak sedikit pun.
Setan Merakyat memberikan
isyarat kepada Ki Tumbang Laga agar melepaskan jurus 'Surya Perisai' yang
menyelubunginya. Ki Tumbang Laga yang sejak tadi menempelkan kedua jari
tengahnya di atas kepala itu segera bergerak mundur satu langkah, kemudian
telapak tangannya dihentakkan ke depan. Selarik sinar merah menghantam lapisan
dinding kaca tersebut. Claaap...!
Pyaaar...! Lapisan dinding
kaca itu hancur seketika dihantam sinar merah dari telapak tangan. Tetapi sisa
kehancuran itu tidak berserakan di tanah. Tak satu pun terlihat pecahan beling
tergeletak di tanah. Pecahan beling itu bagaikan lenyap begitu hendak menyentuh
tanah.
Setan Merakyat menghirup udara
segar panjang-panjang. Tetapi keadaan Suto Sinting tetap menjadi patung ungu
bening dalam keadaan mengambang di udara. Ki Tumbang Laga memandang dengan
heran, kemudian ketika Setan Merakyat mendekatinya untuk memandang Suto Sinting
dari jarak tujuh langkah, Ki Tumbang Laga pun segera ajukan tanya bernada
cemas.
"Mengapa ia masih dalam
keadaan seperti patung batu bening begitu, Kakang?!"
"Peresapan dari cahaya
sakti 'Pranasukma' membutuhkan waktu beberapa saat lamanya. Tapi usaha ini
termasuk cepat dan lancar. Aku yakin jika bukan Suto Sinting yang menerima
cahaya sakti itu, tubuhnya akan pecah menjadi serpihan-serpihan daging yang
layak dijadikan sate."
"Lalu, sampai berapa lama
ia akan menjadi seperti patung bening begitu, Kakang?"
"Tergantung, kekuatan
tubuhnya. Bisa tujuh hari, bisa empat belas hari lamanya. Dan selama itu ia tak
boleh disentuh oleh siapa pun, kecuali oleh angin. Bahkan ia tak boleh terkena
percikan air walau setetes pun, karena hal itu dapat membuat tubuhnya menjadi
pecah. Karenanya kita harus menjaganya terus sampai ia sadar dan wujudnya
berubah seperti sediakala."
Glegaaar...! Tiba-tiba
terdengar suara guntur menggelegar pertanda hujan akan turun di puncak Gunung
Kemuning. Ki Tumbang Laga mulai cemas, matanya memandang ke arah langit yang
hanya bisa dilakukan melalui celah- celah dedaunan. Langit bersih dan putih
tiba-tiba mulai diselimuti mega hitam. Mendung menggantung di langit, pertanda
tak lama lagi hujan pun akan turun dengan deras.
"Celaka! Hujan akan
turun, Kakang! Berbahaya sekali untuk keselamatan Suto Sinting, ia akan pecah
jika terkena rintik gerimis sekalipun."
Setan Merakyat pun tampak
gelisah. Matanya memandang ke langit dengan tegang. Tetapi ia segera berkata
kepada Ki Tumbang Laga,
"Bantu aku menolak hujan,
Tumbang Laga!"
"Aduh, maaf sekali,
Kakang. Sungguh aku tak bisa lakukan hal itu. Aku belum pernah menjadi pawang
hujan."
"Bantulah dengan
sebisa-bisamu!" Setan Merakyat agak membentak.
*
* *
8
EMBUN pagi belum sempat kering
sudah harus digenangi oleh darah korban ilmu 'Sukma Sakti' yang cukup ganas
itu. Kali ini korban ilmu 'Sukma Sakti' adalah seorang gadis berusia sekitar
dua puluh lima tahun yang mengenakan pinjung penutup dada warna merah dengan
celana sebetis dibungkus kain putih. Gadis itu mengenakan rompi panjang
berwarna kuning emas, rambutnya dikuncir tinggi sisanya berjuntai seperti ekor kuda.
Gadis itu adalah Syair Kusumi, murid dari Nini Kalong, si Penjaga Hutan Rawa
Kotek. Kepala gadis itu pecah ketika tiba- tiba tubuhnya terbanting membentur
dinding tebing karena kekuatan ilmu 'Sukma Sakti’nya si Setan Rawa Bangkai.
Rupanya pertarungan Syair
Kusumi dengan Setan Rawa Bangkai terjadi di ujung pagi, ketika Syair Kusumi
dalam perjalanan pulang dari suatu tempat menuju kediaman gurunya di Hutan Rawa
Kotek. Ia kepergok Setan Rawa Bangkai yang menaruh dendam kepada Nini Kalong
karena persoalan masa muda mereka. Mengetahui Syair Kusumi adalah murid pertama
dari Nini Kalong, maka Setan Rawa Bangkai pun segera menyerangnya.
Syair Kusumi mencoba lakukan
perlawanan dengan jurus 'Pedang Gangsing', yaitu kibasan pedang beruntun yang
timbulkan dengung yang biasanya bisa bikin darah lawan muncrat dari
lubang-lubang di bagian kepalanya. Tetapi kali ini jurus 'Pedang Gangsing'
tidak mempan bagi Setan Rawa Bangkai. Justru Syair Kusumi yang dibanting ke
sana-sini sampai akhirnya dibenturkan dinding tebing dengan keras dan kepala
pun pecah tak berbentuk lagi. Pertarungan itu dilihat oleh seseorang dari
tempat yang tersembunyi. Orang tersebut mengenal Syair Kusumi sebagai murid
Nini Kalong. Tetapi orang itu tidak berani bertindak lakukan pembelaan, sebab
ia hanya mempunyai ilmu pas-pasan. Karenanya, ia hanya segera larikan diri ke
arah Hutan Rawa Kotek yang tak jauh dari tempat pertarungan tersebut
Lelaki berusia sekitar empat
puluh tahun, berambut pendek, ikat kepala berwarna putih, ia mengenakan baju
hijau tua yang membungkus badannya yang kurus dan agak pendek, ia tak lain
adalah Kadal Ginting, pelayannya Resi Pakar Pantun.
Sebenarnya Kadal Ginting tidak
bermaksud memergoki pertarungan tersebut, ia diutus oleh Resi Pakar Pantun
untuk mencari Kertapaksi, murid Resi Pakar Pantun, dan mengingatkan agar
menghindari bentrokan dengan tokoh yang berjuluk Setan Rawa Bangkai. Sebab sang
Resi khawatir jika muridnya yang mudah terpancing kemarahan itu akan berhadapan
dengan Setan Rawa Bangkai, dan tentu saja Setan Rawa Bangkai bukan tandingannya
Kertapaksi. Dalam perjalanan mencari Kertapaksi itulah, Kadal Ginting melihat
pertarungan Syair Kusumi dengan Setan Rawa Bangkai, sehingga ia sempatkan diri
untuk mengabarkan hal itu kepada Nini Kalong.
"Kadal buntung!"
geram Nini Kalong. "Apa maksudmu pagi-pagi begini membangunkan tidurku,
hah?! Bocah tak tahu sopan! Begitukah ajaran dari tuanmu, si Pakar
Pantun?!"
"Sabar, Nini... kumohon
simpanlah dulu omelanmu!"
"Tidak bisa! Aku harus
ngomel karena kau mengganggu tidurku. Biasanya aku bangun bila matahari sudah
di tengah langit, tapi sekarang matahari baru menggeliat tapi aku harus sudah
terbangun oleh seruanmu yang urakan itu! Dasar kadal kurang kerjaan!"
"Nini, aku membawa berita
penting untukmu. Berita tentang kematian. "
"Kematian siapa? Si Pakar
Pantun tuanmu itu? Aku tak pedulikan dia lagi, Kadal! dia mau mati atau hidup,
atau mau setengah mati setengah hidup, itu urusannya! Dia sudah cukup tua,
sudah pasti bisa membedakan mana yang lebih enak; hidup atau mati!"
Kadal Ginting menarik napas
menahan kejengkelan. Tapi Nini Kalong segera berkata lagi dengan sisa
berangnya.
"Kenapa dia mati? Bunuh
diri atau keracunan pantun?!""
"Bukan Eyang Resi yang
meninggal, Nini!" sergah Kadal Ginting dengan jengkel.
"Lalu, siapa yang
meninggal jika bukan dia? Sebab menurutku sudah waktunya dia meninggal, mengapa
masih ngotot hidup terus?! Siapa yang mati maksudmu?"
"Muridmu sendiri; si
Syair Kusumi!"
"Apaa...?!" Nini
Kalong terpekik dengan mata melotot. Kadal Ginting takut hingga mundur dua
langkah.
"Jangan bicara seenak
mulutmu yang bau comberan itu, Kadal Ginting! Bisa kurobek mulutmu menjadi
delapan lembar kalau kau bicara seenaknya di depanku!"
"Ak... aku... aku
tidak... tidak bohong, Nini," Kadal Ginting gugup sekali sambil pegangi
mulutnya yang takut dirobek menjadi delapan lembar itu.
"Ak... aku melihat sendiri. Melihat dengan mata kepala
sendiri, bukan dengan mata kaki! Syair Kusumi kepalanya pecah dibenturkan
dinding tebing oleh... oleh. "
"Oleh siapa?!"
bentak Nini Kalong dengan berangnya.
"Oleh... Setan... Setan
Rawa Bangkai!"
"Keparat! Maksudmu si
Marundang yang membunuh muridku itu, hah?!"
Kadal Ginting menganggukkan
kepala dengan perasaan takut sambil melangkah mundur karena Nini Kalong maju
mendekatinya. Wajah perempuan kurus bermata cekung itu menjadi menyeramkan.
Rambutnya yang putih meriap
membuat wajahnya tampak semakin angker. Ketika menggeram penuh kemarahan,
perempuan tua berusia sekitar sembilan puluh tahun itu mengeluarkan asap dari
hidungnya. Asap tipis tersebut adalah lambang kemurkaan darahnya yang menjadi
mendidih mendengar kematian murid pertamanya.
"Di mana dia
sekarang?"
"Terakhir kali kulihat
dia. dia
di... di sekitar Tanah Tebing
Tebas," jawab Kadal Ginting dengan grogi.
Blaaasss...! Tanpa
diduga-duga, Nini Kalong melesat pergi dengan kecepatan tinggi, nyaris menabrak
tubuh Kadal Ginting. Untung lelaki bernyali ciut itu segera menghindar ke kiri,
jika tidak pasti akan terpental diterjang lompatan Nini Kalong. Sekalipun ia
sudah menghindar, tetap saja tubuhnya jatuh terpelanting ke belakang karena
hembusan angin kepergian Nini Kalong.
Dalam beberapa kejap saja,
Nini Kalong sudah sampai di Tanah Tebing Tebas, ia buktikan dengan mata kepala
sendiri salah seorang dari keempat muridnya itu telah tak bernyawa dalam
keadaan kepala hancur nyaris tak berbentuk lagi. Darah perempuan tua itu makin
mendidih, kulit wajahnya kian memerah.
"Keparat!" geramnya
penuh murka.
Lalu ia berseru,
"Di mana kau, Manusia
Bangkaaaiii...!" Jlegaaar...! Sebuah pukulan tenaga dalam dilepaskan
sebagai pelampiasan dari murkanya. Pukulan itu menghantam dinding tebing dan
menimbulkan ledakan cukup keras, hingga menggema ke mana-mana bersama
reruntuhan batu dinding yang hancur sebagian ittu. Blaaas...! Nini Kalong pergi
tinggalkan mayat muridnya demi memburu dendam yang telah dibakar murka, ia
menggunakan getaran batin untuk menemukan di mana Setan Rawa Bangkai berada
saat itu.
Ternyata pencarian tersebut
sampai mendekati tengah hari bolong belum juga berhasii. Nini Kalong tak tahu
kalau Setan Rawa Bangkai kala itu sedang berhadapan dengan seorang lawan yang
sengaja mencarinya juga. Orang tersebut adalah seorang perempuan cantik
berjubah ungu bintik-bintik emas. Kutang dan pakaian penutup bawahnya berwarna
kuning emas. Perempuan cantik itu mengenakan perhiasan lengkap, termasuk
mahkota kecil di kepalanya. Kesan wibawa terlihat jelas di wajah yang berkulit
putih mulus itu, karena ia adalah penguasa Bukit Esa yang menobatkan diri
sebagai pendeta aliran hitam, dikenal dengan nama Nyi Mas Gandrung Arum, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri Bayangan Ungu").
Nyi Mas Gandrung Arum lakukan
lompatan bagai terbang dengan kedua telapak tangan terbuka dan mengarah ke
depan. Dari telapak tangan itu keluar sepasang sinar hijau yang masing- masing
berukuran sebesar tongkat gembala. Wuuut, wuuuut...!
Tetapi Setan Rawa Bangkai
tetap berdiri di tempatnya. Kedua tangannya juga disentakkan ke depan, dan dari
tengah kedua telapak tangan itu melesat sepasang sinar merah terang sebesar
lidi. Sinar sebesar lidi itu menghantam sinar hijau di pertengahan jarak. Clap,
claap...! Jegaaarrr...!
Ledakan amat dahsyat menggema
bagai ingin memecahkan langit. Ledakan itu membuat tubuh Nyi Mas Gandrung Arum
terpental tanpa keseimbangan tubuh, ia jatuh terbanting di kaki sebatang pohon
beringin liar. Brrrus...!
Sedangkan Setan Rawa Bangkai
hanya terdorong mundur tiga tindak. Hampir saja jatuh kalau tak buru-buru
berpegangan pada batang pohon yang kemudian pohon itu roboh ke arah berlawanan.
Brrruk...! Tiga pohon lainnya tumbang pula akibat getaran gelombang ledak yang
sangat kuat tadi. Bahkan di tempat lain ada empat pohon yang ikut tumbang tak
tentu arah, ada pula yang patah di pertengahan batangnya.
Nyi Mas Gandrung Arum segera
bangkit berdiri karena khawatir diserang lawannya dalam keadaan belum siap
kembali. Dengan berdiri tegak Nyi Mas Gandrung Arum menghirup udara
panjang-panjang, menyalurkan hawa murni pada bagian dalam tubuhnya yang terasa
sakit. Sedangkan Setan Rawa Bangkai segera berkelebat mendekati Nyi Mas
Gandrung Arum. Kini keduanya saling berhadapan kembali dalam jarak kurang dari
tujuh langkah. Mata mereka saling pandang dengan tajam, penuh pancaran hasrat
membunuh.
"Sia-sia saja kau
melawanku, Gandrung Arum! Kau akan kehilangan nyawa jika masih nekat ingin
membalas dendam padaku!" geram Setan Rawa Bangkai.
"Aku tak akan pergi dalam
keadaan bernyawa jika tak bisa membalaskan kematian dua puluh tiga anak buahku
yang kau bunuh dengan keji dua hari yang lalu itu! Lebih baik aku kehilangan
nyawa daripada pulang ke Bukit Esa tanpa menenteng kepalamu, Setan Busuk!"
ucap Nyi Mas Gandrung Arum dengan penuh kebencian.
"Mereka layak mati,
karena telah lancang, berani melarangku melewati batas wilayah kekuasaanmu.
Mereka belum tahu siapa si Marundang ini! Jadi mereka perlu mendapat pelajaran
alakadarnya, Gandrung Arum!"
"Kau memang
keparat, Marundang!
Seenaknya saja bicara dan bertindak, maka aku
pun akan memperlakukan hal yang sama terhadap dirimu,
Marundang!" Blluuk ..! Tiba-tiba
Nyi Mas Gandrung Arum memukul
dadanya sendiri. Jurus 'Tapak Ungu'
dipergunakan, membuat
kulit mulusnya membekas telapak tangan
warna kebiru-biruan.
Biasanya jurus 'Tapak
Ungu' akan membekas di dada lawan walau Nyi Mas Gandrung Arum memukul
dadanya sendiri. Dan jurus itu mempunyai racun yang amat berbahaya, sukar
disembuhkan jika
bukan dengan air Sendang
Ketuban.
Tetapi agaknya kali ini lawan
Nyi Mas Gandrung Arum orang yang cukup paham dengan jurus 'Tapak Ungu'
tersebut. Maka ketika Nyi Mas Gandrung Arum memukul dadanya sendiri, Setan Rawa
Bangkai segera menempelkan telapak tangan ke dadanya sendiri. Tangan itu
menyala biru, lalu berubah menjadi hijau. Secepatnya tangan itu disentakkan ke
depan, dan sinar hijau yang menyala di telapak tangan Setan Rawa Bangkai
melesat bagai terbuang. Weeess...! Sasaran sinar hijau itu adalah dada Nyi Mas
Gandrung Arum. Wuuuut, weees...!
Nyi Mas Gandrung Arum tahu
bahwa pukulan 'Tapak Ungu'-nya sedang dikembalikan oleh lawan. Maka ia segera
melenting ke atas, bersalto satu kali dan sinar hijau itu lolos dari tubuhnya,
menghantam sebatang pohon yang segera kering dan menjadi keropos.
Jleeg...! Nyi Mas Gandrung
Arum mendaratkan kakinya ke tanah. Tapi sebelum ia melepaskan pukulan berbahaya
lagi, tiba-tiba tubuhnya terlempar ke samping dan berputar- putar di udara
bagaikan baling-baling.
Wut, wut, wut, wut, wut,
wut...!
Weeeerr...! Brrrruk,
praaak...!
Nyi Mas Gandrung Arum
dilemparkan dengan kekuatan ilmu 'Sukma Sakti' hingga kepalanya membentur
batang pohon dengan kuatnya. Batang pohon itu sempat hancur sebagian bagai
ditumbuk oleh gada besi. Jika batang itu saja sampai hancur sebagian, tentunya
kepala Nyi Mas Gandrung Arum pun menjadi ikut hancur. Tapi karena pengaruh
lapisan tenaga dalam yang menyelimuti sekujur tubuhnya, maka Nyi Mas Gandrung
Arum hanya mengalami luka kecil pada pelipisnya. Hanya saja, pandangan mata
menjadi berkunang-kunang dan sekujur tulangnya seperti remuk setelah tubuhnya
jatuh terkulai di tanah.
Setan Rawa Bangkai masih tetap
diam di tempat. Tiba-tiba kedua tangannya diangkat dan kesepuluh kukunya yang
runcing itu menyala merah bagaikan bara. Kuku yang menyala merah itu
memancarkan kilatan cahaya seperti lidah petir yang berkerliap dari kuku yang
satu ke kuku yang lain. Kemudian lidah petir itu menjadi panjang bagaikan
sepuluh cambuk membara. Setan Rawa Bangkai mengibaskan tangannya dengan gerakan
mencakar, maka lidah- lidah petir itu berkelebat bagaikan mencambuk tubuh Nyi
Mas Gandrung Arum.
Cralaaap...!
Blegaarrr...!
Tubuh Nyi Mas Gandrung Arum
disambar seseorang, sehingga lidah- lidah petir itu mengenai tempat kosong.
Akibatnya tanah di tempat itu menjadi retak panjang dan sebagian sisi bongkahan
tanah itu longsor masuk ke dalam bumi. Sedangkan pohon-pohon di sekitar tanah
yang terbelah itu menjadi tumbang tak karuan bagai dilanda kiamat kecil. Itulah
kedahsyatan jurus 'Cakar Belah Jagat' yang menjadi jurus andalan nomor dua bagi
Setan Rawa Bangkai.
Sosok bayangan hitam yang
menyambar tubuh Nyi Mas Gandrung Arum itu ternyata adalah sosok tua berambut
putih, yang tak lain adalah Nini Kalong. Melihat kehadiran Nini Kalong yang
baru saja letakkan tubuh Nyi Mas Gandrung Arum di tempat yang aman, Setan Rawa
Bangkai menjadi menggeram diliputi cahaya murka dari sorot sepasang mata
cekungnya itu.
"Gggrrrmmm...!"
geramnya dengan sangar. "Kau muncul juga akhirnya, Nini Kalong!"
"Aku datang bukan sekadar
untuk selamatkan si Gandrung Arum, tapi untuk membalas kematian muridku; Syair
Kusumi!" seru Nini Kalong yang bisa sampai di tempat itu karena suara
ledakan dahsyat tadi.
"Sebenarnya kau adalah
orang terakhir yang ingin kuhancurkan, Nini Kalong. Tapi karena kau muncul
lebih dulu dari yang lain, maka aku terpaksa mengakhiri hidupmu sekarang
juga!" "Gandrung Arum boleh kau anggap
ringan, tapi Nini Kalong
jangan kau samakan dengan Gandrung Arum, Marundang! Jangan anggap aku tak bisa
menandingi kesaktianmu. Terimalah jurus pertamaku ini! Heeeaaah...!"
Jurus 'Tolak Tujuh' dilepaskan
oleh Nini Kalong. Sinar hijau sebesar jeruk nipis keluar dari tangannya,
melesat cepat hendak menghantam kepala Setan Rawa Bangkai. Claaap...!
Weeess...!
Namun Setan Rawa Bangkai hanya
diam saja, sunggingkan senyum sinis yang benar-benar tak sedap dipandang mata.
Sinar hijau yang melesat ke arahnya itu segera ditangkap dengan tangannya.
Sinar itu segera dilemparkan kembali ke arah Nini Kalong. Wuuuut...!
Blegaaarr...!
Nini Kalong loncat ke atas dan
melambung di udara beberapa saat. Sinar hijau yang dikembalikan itu menghantam
tanah di belakangnya. Tanah itu menjadi hancur dan berlubang cukup besar, asap
mengepul bagai keluar dari dalam tanah yang telah menjadi hangus itu.
Ketika tubuh Nini Kalong
hendak mendarat ke bumi, tiba-tiba ia merasa mendapat pukulan di ulu hatinya
dengan sangat keras. Beeehg...! Maka tubuhnya pun terdorong ke belakang dengan
suara pekik tertahan menyertainya,
"Heeegh...?!" mata
Nini Kalong mendelik dengan mulut ternganga. Mulutnya itu mulai mengepulkan
asap tipis bagai ada sesuatu yang terbakar di dalam tubuhnya.
Setan Rawa Bangkai sejak tadi
hanya diam saja, ia menghantam ulu hati lawannya dengan menggunakan kekuatan
batin dari ilmu 'Sukma Sakti'-nya itu. Tentu saja Nini Kalong tak bisa
menghindar atau menangkis karena tak dapat melihat datangnya pukulan tersebut.
Wajah Nini Kalong mulai
membiru agak kemerah-merahan, sepertinya sekujur kepala itu menjadi bisul yang
amat menyakitkan.
Sekalipun demikian, Nini
Kalong masih memaksakan diri untuk bangkit dan lakukan penyerangan kembali.
Sedangkan Setan Rawa Bangkai mulai mengangkat tangannya yang berjari keras
membentuk cakar. Kilatan cahaya merah berkerilap dari kuku-kuku hitamnya.
Begitu tangan dikibaskan bagai mencakar udara kosong di depannya, sinar merah
yang menyerupai lidah petir itu berkerilap menyambar tubuh Nini Kalong. Jurus
'Cakar Belah Jagat' digunakan lagi untuk hancurkan tubuh Nini Kalong.
Dalam keadaan sempoyongan
sambil menahan rasa sakit, Nini Kalong tak mampu hindari lima sinar merah itu.
Tetapi tiba-tiba sekelebat sinar biru besar memotong jalannya lima sinar merah
tersebut. Akibatnya kelima sinar merah yang mirip cambuk lidah petir itu
menghantam sinar biru besar tersebut.
Blegaaarrr...! Gleeerrr...!
Tanah berguncang walau tak
sempat retak terbelah seperti tadi. Pepohonan ikut bergetar dan sebagian dahan
ada yang patah akibat gelombang ledakan yang menghentak kuat itu. Setan Rawa
Bangkai sendiri terpental ke belakang dan jatuh berguling satu kali, lalu cepat
sentakkan tangan ke bumi dan tubuhnya melambung ke atas dengan ringannya.
Wuuuus...! Jleeeeg...!
Ketika ia menapakkan kakinya
ke tanah, wajahnya tampak terkejut karena ternyata di tempat itu sudah hadir
tokoh lain. Seorang anak muda berpakalan coklat-putih, menyilangkan bumbung
tuak di punggungnya, ia berdiri membelakangi Nini Kalong yang terpental akibat
ledakan tadi dan sekarang sedang mengerang menahan sakit dalam keadaan
terkapar.
"Siapa kau...?!"
hardik Setan Rawa Bangkai.
"Aku adalah orang yang
akan menjadi tandinganmu, Setan Rawa Bangkai!"
"Sebutkan namamu!"
bentak Setan Rawa Bangkai.
Bukan pemuda itu yang
menjawab, tetapi seseorang yang muncul dari balik semak di samping kanan
Marundang.
"Dia bernama Suto
Sinting, si Pendekar Mabuk, murid Gila Tuak dan Bidadari Jalang!"
Dengan gerakan cepat kepala
Setan Rawa Bangkai berpaling memandang orang yang menjawab itu. Ternyata di
sana telah berdiri tokoh berpakaian serba putih yang tak lain adalah Setan
Merakyat. Di belakang Setan Merakyat tampak Ki Tumbang Laga berdiri dengan
tenang dan berlagak acuh tak acuh.
"Murdawira..., ternyata
kau pun tak sabar menunggu kematianmu tiba!" ucap Setan Rawa Bangkai.
Tiba-tiba sebuah suara
menyahut dari samping lain, "Justru kau yang tak sabar menunggu kematianmu
tiba, Marundang!"
Kepala berambut panjang warna
abu-abu itu berpaling cepat ke arah lain. Ternyata di sana sudah berdiri dua
tokoh tua lainnya: Resi Pakar Pantun dan si Tua Bangka.
Rupanya bunyi ledakan
menggelegar yang pertama tadi dijadikan tanda bagi mereka untuk mencari tahu di
mana Setan Rawa Bangkai berada. Bahkan kali ini segumpal asap pun muncul di
depan Setan Rawa Bangkai. Buuusss...! Ketika asap itu hilang, tampaklah sesosok
tubuh gemuk berkepala gundul, mengenakan pakalan biksu warna kuning dan
berkalung tasbih putih sepanjang perut. Kemunculan tokoh itu membuat Setan Rawa
Bangkai menggeram dengan memancarkan pandangan tajam.
"Ggrrmm...! Kau pun hadir
juga, Badranaya?!"
Setelah melirik Nyi Mas
Gandrung Arum yang terkapar menahan luka itu, Resi Badranaya pun berkata kepada
Marundang,
"Kau telah melukai
kakakku, Marundang! Kau harus menerima pembalasan dariku!"
"Tidak! Bukan kau lawan
yang pantas untuknya, tapi dia... Pendekar Mabuk. Itulah lawan yang imbang
baginya, Badranaya!" sahut Setan Merakyat dengan nada tegas.
Resi Badranaya menjadi ragu,
sebab ia menaruh hormat kepada Setan Merakyat. Tetapi bagi Marundang, keadaan
itu justru semakin memancing murkanya, ia menggeram dengan pandangi mereka satu
persatu.
"Siapa pun kalian yang
ingin mati lebih dulu silakan maju!" ujarnya menantang
Pendekar Mabuk segera
berkelebat menerjang tanpa banyak bicara lagi. Zlaaap...! Brrus...! Tubuhnya
menabrak Setan Rawa Bangkai, tapi justru ia sendiri yang terpental mundur dan
jatuh terjungkal ke belakang. Setan Rawa Bangkai tetap berdiri tegak dengan
menarik kedua tangan yang tadi digunakan menghadang terjangan Pendekar Mabuk.
"Cepat bangkit,
Suto!" seru Ki Tumbang Laga memberi semangat.
Wuuuut...! Suto Sinting
sentakkan badan dan tubuhnya melambung ke atas, lalu berdiri tegak menapakkan
kakinya di tanah. Setan Rawa Bangkai pergunakan jurus 'Sukma Sakti'-nya untuk
melemparkan Suto Sinting ke arah samping. Wuuut...! Tubuh anak muda itu
terlempar dengan ringannya dan pundaknya membentur batang pohon dengan keras.
Ouuuhg...!
"Auh...!" pekiknya
pendek.
"Ayo, hajar dia,
Suto!" seru Ki Tumbang Laga dengan gemas. "Percuma lima hari aku dan
Kakang Murdawira menjagamu selama menjadi patung kristal ungu kalau akhirnya
kau akan tumbang juga, Suto!"
Pendekar Mabuk bangkit
kembali. Saat itu Setan Rawa Bangkai menghantam dada Suto Sinting dengan
keadaan tetap diam tak bergerak. Batinnya memukul keras pemuda tampan itu
menggunakan ilmu 'Sukma Sakti'-nya.
Tetapi Suto Sinting
cepat-cepat pergunakan jurus 'Pranasukma' untuk menahan gelombang naluri yang
menghantamnya. Zeeebb...! Pukulan keras itu tertahan di pertengahan jarak.
Setan Rawa Bangkai terperanjat karena merasakan pukulan batinnya ditahan oleh
suatu kekuatan yang sukar dikalahkan. Beehg...! Setan Rawa Bangkai terjengkang
ke belakang sendiri. Pukulan batinnya bagaikan membalik arah mengenai dirinya.
Suto Sinting berdiri tak bergerak memandangi lawannya. Tiba-tiba lawannya
terlempar ke atas dan membentur dahan pohon besar. Brruk...! Krrrak...! Dahan
itu patah akibat benturan keras kepala Setan Rawa Bangkai.
Wuuut...! Brrrak...!
Wuuuss...!
Prraak...!
Setan Rawa Bangkai dilempar-
lemparkan oleh kekuatan 'Pranasukma'- nya Suto Sinting. Tubuh kurus kering itu
dibanting-banting lebih dari sepuluh kali, hingga tulang-tulangnya menjadi
patah. Walau memekik berkali- kali, tapi Suto Sinting tetap membanting-banting
tubuh itu dengan jurus 'Pranasukma'-nya.
"Aaahgg...!" Setan
Rawa Bangkai memekik panjang ketika tubuhnya melayang ke arah Suto Sinting.
Tangan Suto berkelebat menyambar bumbung tuak, dan bumbung tuak itu segera
dihantamkan ke tubuh yang melayang itu.
Wuuut, praak! Duaaar...!
Hantaman bumbung tuak itu
timbulkan ledakan cukup keras. Ternyata ledakan itulah yang mengakhiri riwayat
hidup Setan Rawa Bangkai. Tubuh kurus itu terkulai di tanah dalam keadaan
seluruh tulangnya patah, dan tentu saja nyawanya pun melayang bersama kepulan
asap pada pinggangnya yang terhantam bumbung tuak tersebut.
Beberapa tokoh tua menampakkan
kelegaannya, sebagian ada yang bertepuk tangan pelan sebagai tanda pujian bagi
sang Pendekar Mabuk.
"Kuhitung sudah tujuh
belas kali kau menggunakan jurus 'Pranasukma' tadi. Ingat-ingatlah sisanya,
jangan sampai kau kehabisan kekuatan 'Pranasukma' itu, Suto," ujar Setan
Merakyat sambil menepuk-nepuk pundak Suto Sinting.
"Setelah saya
pikir-pikir, sebenarnya Bapa Guru bisa lakukan sendiri perlawanan seperti tadi,
karena Bapa Guru memiliki ilmu 'Pranasukma'. Tapi mengapa justru Bapa Guru
turunkan kepada saya ilmu itu, sehingga sayalah yang melawan kekuatan si Setan
Rawa Bangkai itu?"
"Kalau ilmu itu tak
segera kuturunkan, maka aku akan mengalami susah mati. Padahal aku sudah jenuh
hidup dan ingin segera mencapai alam keabadian. Kupilih waktu yang tepat untuk
turunkan ilmu itu padamu, dan saat sekarang inilah saat yang tepat karena ada
alasan bagimu untuk mencoba kedahsyatan ilmu 'Pranasukma' itu."
Resi Pakar Pantun sibuk
menolong Nini Kalong, karena perempuan tua itu memang bekas kekasihnya. Resi
Badranaya sibuk menolong Nyi Mas Gandrung Arum yang sebenarnya adalah kakaknya
sendiri. Tapi semua pertolongan mereka sia-sia. Hanya tuak Suto yang bisa
sembuhkan segala luka pada tubuh kedua perempuan itu.
Selesai sembuhkan mereka, Suto
Sinting segera dibawa menghadap Gila Tuak bersama-sama para tokoh tua itu.
Kebetulan hari itu adalah hari yang sudah disepakati oleh para tokoh tua aliran
putih untuk mengadakan pertemuan yang kedua di Bukit Sekal, dalam rangka
membahas masalah kemunculan Setan Rawa Bangkai. Satu- satunya orang yang tak
mau ikut ke Bukit Sekal adalah Nyi Mas Gandrung Arum, karena ia merasa bukan
tokoh aliran putih, tapi karena bujukan Suto Sinting, akhirnya perempuan cantik
dan berdada montok itu akhirnya pergi juga ke Bukit Sekal, untuk selanjutnya ia
masuk ke dalam golongan putih.
SELESAI