PADANG rumput menghijau bagai
bentangan permadani yang menyegarkan mata. Ketinggian rumputnya rata-rata
sebatas mata kaki. Tentu saja rumput-rumput itu tumbuh dengan sendirinya, tak
ada orang yang sengaja menanam rumput di tanah datar itu. Tapi anehnya ada
orang yang merasa memiliki perkebunan rumput itu. Pendekar Mabuk tertawa
pendek, ketika mendengar padang rumput itu ada pemiliknya.
"Kalau perkebunan kopi,
perkebunan karet, perkebunan tembakau, itu wajar! Tapi kalau perkebunan rumput,
itu agak kurang ajar."
"Tapi orang itu mengaku
sebagai pemilik perkebunan rumput ini, Suto!" ujar Mahesa Gibas, pemuda
berusia sekitar dua puluh tahun yang gemar mengenakan baju kuning dan celana
hitam dengan rambut pendek memakai ikat kepala kuning-merah. Kala itu, Mahesa
Gibas mempunyai wajah yang biru legam, tampak habis dihajar seseorang hingga
babak belur. Bahkan daun telinganya tampak sedikit robek dan berdarah. Rupanya
ia habis dihajar oleh orang yang mengaku pemilik perkebunan rumput.
"Siapa orang itu, dan di
mana tinggalnya?" tanya Suto Sinting setelah memberi minum Mahesa Gibas
dengan tuak saktinya. Tuak itu membuat luka memar dan daun telinga yang robek
menjadi pulih seperti tak pernah mengalami luka apa pun.
Orang yang mengaku sebagai
pemilik perkebunan rumput itu adalah lelaki tua bertubuh kurus, berusia sekitar
enam puluh tahun. Lelaki tua itu gemar mengenakan jubah biru dan celana hitam.
Rambutnya abu-abu, panjang sepunggung, diikat dengan kain putih bagai pasukan
berani mati. Ia memiliki jenggot pendek dan kumis tipis, semuanya berwarna
abu-abu. Mata orang itu cekung, tapi lebar. Tulang pipinya tampak bertonjolan
karena kurusnya, ia sering membawa
tongkat hitam dengan ujung tongkat berbentuk bintang.
"Ia menyebut dirinya dengan
nama Wabah Langit," ujar Mahesa Gibas menjelaskan kepada Suto. "Rasa-
rasanya memang ia pantas berjuluk Wabah Langit, karena rupanya mirip penyakit
menular!"
Pendekar Mabuk tertawa pelan.
Geli juga melihat ungkapan kejengkelan Mahesa Gibas terhadap si Wabah Langit
itu.
"Lalu, bagaimana mulanya
sehingga kau bisa dihajarnya?" tanya Suto Sinting sambil masih duduk di
bawah pohon rindang yang teduh itu.
"Aku berlari melintasi
padang rumput itu. Kupikir, dengan melintasi padang rumput itu aku bisa memotong
jalan dan menyusulmu. Tapi tiba-tiba setelah aku sampai di tanah berhutan
jarang itu, aku diserang oleh si Wabah Langit. Mulanya kulawan dia dengan
jurus-jurus mautku sampai ia terdesak nyaris jebol dadanya. Tapi aku tiba- tiba
kasihan melihat ketuaannya. Lalu, kutinggalkan dia dalam keadaan luka dalam.
Tahu-tahu dia menyerangku dari belakang dan menghajarku sampai babak belur. Aku
mencoba mengalah, sungkan melawan orang tua. Akhirnya aku berhasil melarikan
diri dan bertemu denganmu di sini!"
Senyum sinis Pendekar Mabuk
menandakan dirinya tak percaya sepenuhnya dengan cerita Mahesa Gibas. Ia tahu,
pelayan sang Adipati Jayengrana itu pandai membual. Seratus kata yang diucapkan
hanya delapan kata yang benar, selebihnya adalah bualan. Pendekar Mabuk juga tak
percaya kalau Mahesa Gibas menghajar Wabah Langit hingga dada orang tua itu
hampir jebol. Karenanya Suto hanya tertawa sinis bercampur geli.
"Singkatnya cerita, kau
dihajar karena menginjak- injak perkebunan rumputnya?"
"Ya. Tapi dia juga
sesumbar saat aku melarikan diri." "Sesumbar bagaimana?" pancing
Suto.
"Dengan takaburnya si
Wabah Langit itu berseru sambil mengangkat tongkatnya: 'Dasar bocah tampan tak
tahu diri! Awas kalau kau lewat sini lagi, kuremukkan kepalamu yang seperti
berlian itu! Panggil teman- temanmu, kalau perlu panggil si Pendekar Mabuk,
suruh dia membelamu datang kemari. Akan kubeset-beset kulitnya, kucungkil
matanya, kupotong lidahnya, dan kurontokkan giginya! Meskipun kau mengaku teman
si Pendekar Mabuk, kau pikir aku takut pada Pendekar Mabuk! Cuih. '"
Plaak...! Suto menampar paha
Mahesa Gibas, lalu buru-buru menyapu wajah dengan kain bajunya yang tak
dikancingkan.
"Sialan kau! Kenapa pakai
meludah segala?!" bentak Suto.
"Memang dia pakai meludah
segala! Aku cuma menirukan dia berseru di belakangku!"
"Iya, tapi kau tak perlu
pakai meludah di wajahku, Setan!" geram Suto jengkel sekali.
"Aku tak sengaja,"
Mahesa Gibas bersungut-sungut. "Anggap saja kecelakaan kecil. Tak
usah marah begitu. "
Pada dasarnya, Pendekar Mabuk
tetap tak percaya kalau si Wabah Langit lontarkan sesumbar sampai seperti itu.
"Pasti rekaan si Mahesa sendiri biar aku marah pada Wabah Langit dan
melabraknya!" pikir Suto dengan tersenyum-senyum.
"Pokoknya, kau dihina
habis-habisan. Direndahkan oleh si Wabah Langit, diremehkan dan dianggap banci
kalau tak berani melabraknya," tambah Mahesa Gibas. "Biar saja!"
ujar Suto kalem, tampak tak mau menanggapi hasutan itu.
"Kau tak malu dianggap
banci?!"
"Kenapa malu? Hanya
dianggap banci saja, apa ruginya?"
"Huhh...! Percuma punya
sahabat sepertimu.
Dianggap banci kok diam
saja."
"Habis, apakah aku harus
pakai bedak dan gincu begitu dianggap banci oleh seseorang?!"
"Maksudku, marahlah!
Marah kepada si Wabah Langit itu, biar dia tahu bahwa kau bukan pemuda banci!"
"Ah, biarpun dia tak
tahu, aku tahu kalau aku bukan banci, aku tak merasa kecewa."
"Uhhh...!" geram
Mahesa Gibas sambil cemberut. Suto menertawakan, karena kedongkolan Mahesa
Gibas itulah yang diharapkan hadir dari sikap cueknya dengan hasutan itu.
"Kalau begitu aku tak mau
ikut kau ke Bukit Lahat!" ujar Mahesa Gibas dengan sewot.
"Memang seharusnya
begitu. Bukankah sudah kubilang, kau tetap tinggal bersama Eyang Panembahan
Pancalingga, sambil menunggu kedatangan Perawan Sinting kembali dari Kadipaten
Madusari. Tapi mengapa kau justru menyusulku?! Siapa yang suruh?!"
"Mahayuni yang
suruh!" sahut Mahesa Gibas. "Mahayuni khawatirkan dirimu. Dia takut
terjadi apa- apa pada dirimu. Maka aku disuruh mendampingimu selama dalam
perjalanan menuju Bukit Lahat!" "Omong kosong! Mahayuni tak mungkin
menyuruhmu, sebab dia tahu kau tak punya ilmu yang bisa diandalkan untuk
membantuku jika menghadapi bahaya di perjalanan. Kalau dia mengkhawatirkan
diriku, pasti dia sendiri yang akan menyusulku."
"Tak percaya ya sudah...,"
Mahesa Gibas bersungut- sungut cemberut. Suto hanya menertawakan dengan suara
seperti orang menggumam.
Pendekar Mabuk memang sedang
dalam perjalanan ke Bukit Lahat untuk mengejar si Bayangan Setan yang membawa
lari Raden Rama Jiwana, menantu dari Adipati Jayengrana, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Buronan Cinta Sekarat"). Semula pengejaran itu
dilakukan Suto, Perawan Sinting, dan Mahesa Gibas ke arah Pulau Blacan. Karena
di sanalah setahu mereka negeri Samudera Kubur yang berada dalam kekuasaan si
Bayangan Setan itu berada.
Tetapi perahu yang mereka
tumpangi itu pecah dihantam ombak badai. Mereka terdampar di Pantai Porong dan
bertemu dengan Panembahan Pancalingga, penguasa sekaligus ketua Perguruan
Pantai Porong. Bahkan mereka sempat membantu Perguruan Pantai Porong dalam
menumbangkan lawannya : Nyai Gincu Barong, walau dalam pertarungan itu, Suto
dibantu oleh Andani yang membantai seluruh murid Nyai Gincu Barong dengan
sadisnya. Belakangan diketahui, si Andani itu sebenarnya adalah si Bayangan
Setan, alias Peri Kahyangan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Pembantai Cantik"). Tapi menurut keterangan dari Penembahan
Pancalingga, negeri Samudera Kubur telah hancur delapan tahun yang lalu.
Padahal Suto dan kedua sahabatnya itu baru melakukan perjalanan selama delapan
hari. Sementara itu, ketika si Bayangan Setan telah berhasil menangkap Rama
Jiwana, ia memerintahkan para pengikutnya untuk pulang ke Samudera Kubur.
Timbul pertanyaan dalam hati
Pendekar Mabuk, "Apakah aku telah terlempar ke masa delapan tahun yang
akan datang, di mana Samudera Kubur telah hancur?"
"Barangkali ketika perahu
kita terombang-ambing ombak dan masuk dalam pusaran air, saat itu kita sedang
terlempar ke masa depan. Dan sekarang kita berada di masa depan, masa yang
sebenarnya belum kita lalui?" ujar Perawan Sinting menanggapi pemikiran
Suto tadi.
"Aku masih belum berani
memastikan, sebab Eyang Panembahan sendiri tidak berani berkata begitu kepada
kita, bukan? Tapi anehnya, mengapa ketika aku bertemu dengan Andani atau si
Bayangan Setan, aku tidak melihatnya bersama Rama Jiwana. Apakah Rama Jiwana
telah berhasil dibebaskan atau dibunuh?"
"Jangan-jangan dimakan
habis oleh perempuan yang doyan daging manusia itu?" timpal Mahesa Gibas
sambil bergidik merinding.
"Sebaiknya kau pulang ke
Kadipaten Madusari dan meminta keterangan Adipati Jayengrana, apakah Rama
Jiwana sudah kembali atau belum, atau tak ada kabar beritanya sama
sekali," kata Suto menugaskan si gadis berompi cekak warna ungu dengan
tubuh sexy menggiurkan itu. "Sementara itu, aku akan menuju ke Bukit
Lahat. Aku akan mencari tahu, benarkah si Bayangan Setan ada di Bukit Lahat
bersama para pengikutnya; termasuk si Gober dan si Melon Kuning itu?"
"Aku bagaimana?"
tanya Mahesa Gibas.
"Kau tetap menunggu di
sini, sampai Perawan Sinting datang. Aku akan segera kembali ke padepokan ini
jika sudah mengetahui keadaan di Bukit Lahat yang sebenarnya. Jika benar si
Bayangan Setan ada di sana, maka kita serang dia bersama-sama!"
Begitulah rencana yang telah
disusun Pendekar Mabuk pada saat berada di padepokannya Penambahan Pancalingga.
Perawan Sinting pun pergi ke Kadipaten Madusari yang cukup jauh dan memakan
waktu beberapa hari itu, sedangkan Pendekar Mabuk menyelidiki Bukit Lahat yang
letaknya berbeda arah dengan kepergian Perawan Sinting. Tapi rupanya Mahesa
Gibas merasa tak enak sebagai tamu sendirian di Perguruan Pantai Porong,
sehingga ia menyusul Suto melalui padang rumput, sampai akhirnya dihajar oleh
Wabah Langit yang mengaku sebagai pemilik perkebunan rumput itu.
Mahesa Gibas tetap ngotot, tak
mau disuruh pulang. "Jika terjadi bahaya yang menimpamu di perjalanan,
lalu siapa yang akan
melindungimu, Suto?" kata Mahesa Gibas dengan berlagak menjadi
pelindung Suto. "Apakah kau sanggup menjadi pelindungku?"
"Siapa bilang begitu? Aku
hanya bertanya; siapa yang akan melindungimu jika kau ditimpa bencana di
perjalanan? Siapa?"
"Jadi... maksudmu bukan
kau yang akan melindungiku?"
"Mana mungkin!" lalu
Mahesa Gibas bicara pelan sambil melengos, "Kecuali kalau kau percaya pada
kesaktianku, itu lain persoalan!"
Pendekar Mabuk terpaksa
tertawa walau sebenarnya hatinya gondok melihat lagak Mahesa Gibas yang sok
berilmu tinggi, padahal dikejar anjing saja lari terbirit- birit.
Mau tak mau Pendekar Mabuk akhirnya
lanjutkan perjalanan menuju Bukit Lahat dengan didampingi si pembual; Mahesa
Gibas. Namun baru saja mereka meninggalkan tempat istirahat beberapa langkah,
tiba- tiba perjalanan mereka harus berhenti lagi karena munculnya seorang
lelaki tua berjubah biru dan berikat kepala putih. Lelaki itu melompat dari
balik semak setinggi dada, dan tahu-tahu sudah menghadang langkah mereka
berdua. Jleeg...!
"Naaah... Itu dia
orangnya, Suto! Itu dia!" seru Mahesa Gibas di antara kaget dan takut, ia
segera ambil posisi di belakang Suto Sinting.
"Maksudmu siapa
dia?"
"Dia yang mengakui
mempunyai perkebunan rumput dan bernama Wabah Langit! Lihat saja, wajahnya
mirip penyakit muntaber, bukan?!" "Bocah terkutuk!" geram si
Wabah Langit dengan mata cekungnya memancarkan kemarahan kepada Mahesa Gibas.
"Jangan seenaknya kau bicara, Bocah terkutuk! Sekali lagi kau mengatakan
wajahku seperti penjahit ember, kuhancurkan mulutmu!"
"Penjahit ember?!"
gumam Suto. "Rupanya dia agak budeg, Mahesa," bisiknya kepada Mahesa
Gibas.
"Mungkin kupingnya
tersumbat rumput!" bisik Mahesa Gibas juga.
Lalu, Suto bicara kepada Wabah
Langit dengan sikap ramah.
"Maaf, Ki Wabah Langit...
temanku ini tidak mengatakan kau seperti penjahit ember. Kau salah dengar,
Ki."
"Tidak mungkin aku salah dengar.
Biar sudah tua tapi telingaku belum rusak. Bocah terkutuk itu tadi mengatakan
wajahku seperti penjahit ember! Kau sangka aku tukang timba, hah?!"
bentaknya dengan angker. Wabah Langit bergegas maju, Suto dan Mahesa Gibas
mundur beberapa langkah.
"Tunggu dulu, Ki. Aku
dengar sendiri, Mahesa Gibas tidak mengatakan wajahmu seperti penjahit ember.
Dia hanya mengatakan wajahmu seperti penyakit muntaber!" "Apaaa...?!
Lebih parah lagi?! Kusembelih kau, Bocah terkutuk!" geram Wabah Langit sambil
hendak menyerang Mahesa Gibas, namun berhasil ditahan oleh Suto dengan
menghadangkan kedua tangan dan bersikap
hormat.
"Maaf, maaf... temanku
ini kalau bicara memang tak pernah pakai otak, sebab dia memang belum mempunyai
otak. Mohon dimaklumi saja, Ki Wabah Langit."
"Hmmmrrr...! Kalau bukan
memandang sikapmu yang hormat dan ramah kepadaku, sudah kubantai si Bocah
terkutuk itu!"
"Enak saja! Aku bukan
bocah perkutut!" sentak Mahesa Gibas.
"Sudah, sudah...! Jangan
ikut-ikutan budek. Dia mengatakan kau: bocah terkutuk! Bukan bocah
perkutut!" hardik Suto sambil sedikit palingkan wajah ke belakang.
"Maksudku biar tambah
rusak sekalian pendengarannya itu!" bisik Mahesa Gibas.
"Jangan bisik-bisik! Itu
menyinggung perasaanku!" bentak Wabah Langit.
"Maaf, Ki...!" kata Suto
dengan suara selalu keras biar tak salah dengar lagi,"... aku hanya
mengingatkan Mahesa Gibas agar jangan bersikap kurang ajar kepada orang tua
sepertimu, Ki Wabah Langit."
"Nah, itu bagus?"
sahut Wabah Langit dengan suaranya yang besar dan agak serak, menyeramkan.
"Siapa kau sebenarnya,
Anak Muda?! Aku belum pernah melihat anak muda segagah dirimu di daerah
ini!"
"Perkenalkan, aku bernama
Suto dan temanku yang kau hajar tadi bernama Mahesa Gibas," jawab Pendekar
Mabuk dengan tetap sopan dan ramah. "Kumohon kau memaafkan kelancangan
temanku tadi yang menginjak- injak perkebunan rumputmu itu, Ki Wabah Langit.
Kumohon kau jangan marah lagi kepadanya." "Hmmmrrr...!" geram
Wabah Langit. Setiap dia
menggeram, bulu kuduk Mahesa
Gibas merinding seketika.
"Bukan karena dia
menginjak-injak perkebunan rumputku yang membuatku marah kepadanya! Tapi karena
dia menginjak kepalaku saat aku tidur-tiduran di rerumputan itu. Maka kukejar
dan kuhajar dia!"
"Ooo...," Suto
Sinting manggut-manggut sambil berpaling pandangi Mahesa Gibas. Yang dipandang
diam saja dengan kepala tertunduk malu. Matanya sesekali melirik Suto, juga
melirik si Wabah Langit.
"Pantas dia ngamuk. Yang
kau injak bukan perkebunan rumputnya, tapi kepalanya! Siapa orangnya yang tidak
marah jika diinjak kepalanya?!"
"Tapi itu kan tidak
sengaja!" Mahesa Gibas bersungut-sungut, masih tetap ngotot sebagai orang
tak bersalah. Pendekar Mabuk tak mau memperpanjang masalah itu. Ia segera
berkata kepada si Wabah Langit.
"Kalau begitu, sekali
lagi aku sebagai temannya memohonkan ampun sebanyak-banyaknya kepadamu, Ki Wabah Langit."
"Hmmmrrr!" jawabnya
dalam geram. "Apa yang kalian lakukan di sekitar padang rumputku
ini?!"
"Kami sedang menuju ke
Bukit Lahat, Ki," jawab Suto dengan suara keras supaya jelas didengar si
Wabah Langit. Namun begitu si Wabah Langit mendengar nama Bukit Lahat,
pandangan matanya menjadi dingin, gerahamnya menggeletuk, genggaman tangannya
pada tongkat diperkuat. Suto Sinting menjadi heran melihat perubahan aneh dalam
wajah si Wabah Langit.
"Kalian mau ke Bukit
Lahat?!" "Benar, Ki!" jawab Suto tegas.
Tiba-tiba tongkat di tangan
Wabah Langit itu menyambar kepala Suto Sinting dengan cepat sekali. Weess...!
Tentu saja Pendekar Mabuk
sangat terkejut, dan secara refleks tangannya dipakai menangkis tongkat itu.
Dees...!
"Aaow...!" pekik
Suto sambil tangannya segera dikibas-kibaskan, ia sempat terpelanting beberapa
langkah dan nyaris jatuh. Sedangkan Mahesa Gibas segera lari bersembunyi di
balik pohon besar dengan wajah ketakutan.
"Gila! Pukulan tongkatnya
seakan ingin meremukkan tulang lenganku. Uuh... linu semua sekujur
tubuhku!" keluh Suto dalam hati. Ia segera mundur begitu melihat Wabah
Langit maju mendekatinya.
"Mengapa kau memukulku,
Ki?!" seru Suto sambil menyeringai, tapi tangan kanannya segera meraih
tali bumbung tuaknya yang sejak tadi menggantung di pundak. Tali itu melilit
dalam genggaman Suto, sehingga bumbung
tuak dapat digerakkan ke mana saja.
Ternyata jawaban yang
diperoleh Suto adalah tebasan tongkat yang memutar cepat melintasi atas
kepalanya. Wuuuk...! Tongkat itu tiba-tiba berhenti di depan dan menyodok ke
arah dada Pendekar Mabuk. Suuuut...! Bumbung tuak dihadangkan. Traaang...!
Duaaar...! Benturan ujung tongkat dengan bumbung tuak menimbulkan suara ledakan
yang lumayan besarnya. Ledakan itu membuat Suto Sinting terpental ke belakang,
namun tak sampai terjatuh juga.
"Rupanya kau punya
kekuatan pada bumbung bambu itu, Keparat!" geram si Wabah Langit.
"Tapi tak mungkin bisa menahan jurus 'Tongkat Seribu' ini! Heaaah ..!"
Weesss...! Tongkat ditebaskan
lagi, dan Suto Sinting menangkis dengan bumbung tuaknya dengan lompatan mundur.
Traang...! Terdengar bunyi seperti besi beradu dengan besi. Rupanya tongkat itu
berisi tenaga dalam cukup tinggi yang dapat imbangi kekuatan tenaga sakti dalam
bumbung tuak itu.
Hanya saja, kali ini sekalipun
tongkat sudah ditarik ke tangan
pemiliknya, namun Suto Sinting merasa masih dihantam dengan tongkat secara
bertubi-tubi. Tongkat itu tak terlihat wujudnya, namun angin tebasannya selalu
datang mengancam tubuh Suto. Mau tak mau Pendekar Mabuk selalu berkelit dan
menangkis hawa yang datang bagai sabetan tongkat itu.
Trang, weess... trang, trang,
wess, wesss, trang...! "Aneh! Tongkatnya sudah tidak bergerak tapi
hawanya masih saja menyerangku?!"
pikir Suto sambil bergerak mundur sebagai tanda bahwa dirinya mulai terdesak
dan kebingungan melawan jurus 'Tongkat Seribu' itu.
Wees, trang...! Buuukh, prak,
wwes, trang...!
Praaak...!
"Aaow...!" pekik Suto lagi karena kepalanya seperti dihantam tongkat
dengan kencang dan berkekuatan tenaga dalam. Tubuh Suto Sinting sempat melintir
dan jatuh karena pandangan matanya menjadi gelap setelah mendapat hantaman di
kepalanya.
Baaakh, buuukh, baakh,
buuukh...!
Suto Sinting dihajar oleh
hantamam tongkat yang tak diketahui dari mana arahnya. Yang jelas ia memekik-
mekik beberapa kali sambil berusaha menghindar dari tempat itu. Dan tubuh Suto
mulai merasa memar. Pipinya sempat membiru bagai habis dihantam tongkat dengan
keras. Pelipisnya sempat berdarah, dan tulang punggungnya terasa patah karena
merasa dihantam tongkat beberapa kali. Zlaaap, zlaaap...!
Suto Sinting akhirnya
pergunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk berkelebat cepat pergi dari tempat itu.
Ia sengaja berdiri di belakang si Wabah Langit dengan pandangan mata masih
buram.
"Kau yang mengawali
permusuhan ini, Wabah Langit!"
Si tua berjubah biru dan
bercelana hitam itu terkejut mendengar suara Suto sudah ada di belakangnya.
Maka ia pun segera berpaling memandang ke belakang. Tepat pada saat itu, Pendekar
Mabuk pergunakan jurus 'Jari Guntur', berupa sentilan bertenaga dalam cukup
tinggi.
Tees...!
Buuukh...!
Tees...!
Buuukh...!
"Heekh...!" Wabah Langit tak sempat memekik. Ulu hatinya bagai
ditendang kuda jantan yang sedang mengamuk. Tubuh kurusnya terlempar ke
belakang hingga membentur pohon. Brruk...!
"Oukh...!" ia
semakin mengerang kesakitan dengan sedikit terbungkuk.
Suto Sinting tak memberi
kesempatan bagi si Wabah Langit untuk membalas serangannya. Sentilan dari jurus
'Jari Guntur' dilepaskan terus secara beruntun.
Tes, tees, tes, tes...!
Praak...! Sentilan itu
akhirnya kenai pelipis si Wabah Langit. Kepala pak tua itu tersentak ke samping
dengan kuatnya dan membentur batang pohon. Brruk...!
"Uuuh...!" pekiknya
dengan darah mengalir dari telinga.
Teees, tees...! Trak, trak...!
"Aaow...!" Wabah
Langit memekik panjang karena mata kakinya dihantam dengan sentilan maut
Pendekar Mabuk itu. Kedua mata kaki bagaikan pecah, Wabah Langit jatuh terduduk
sambil menyeringai menahan sakit.
Pendekar Mabuk sengaja
hentikan serangannya, namun ia tetap waspada, sewaktu-waktu Wabah Langit ingin
lepaskan jurus 'Tongkat Seribu' lagi, ia akan menyentil pergelangan tangan itu
dari jarak enam langkah.
"Jahanam kau!
Hmmmrrr...!" geram Wabah Langit sambil berusaha berdiri, namun jatuh
kembali. Seluruh tulang dan urat kaki bagaikan putus. "Aku tak
mengawalinya, Pak Tua!" ujar Suto Sinting. "Kau yang mengawali
permusuhan ini, sehingga aku terpaksa sekali melumpuhkanmu, Pak Tua!"
"Aku belum lumpuh, Setan
Belang! Aku masih bisa memecahkan batok kepalamu dari sini!"
"Apa salahku sehingga kau
tiba-tiba menyerangku, Wabah Langit?!"
"Aku sudah bersumpah akan
membunuh orang Bukit Lahat dengan cara menyiksanya lebih dulu, seperti mereka
menyiksa cucuku hingga tewas!"
"Kalau begitu kau salah
duga, Ki Wabah Langit," ujar Suto mulai mengurangi ketegangannya.
"Aku bukan orang Bukit Lahat!"
"Jangan dustai dirimu
sendiri kalau kau tak berani hadapi dendamku ini, Kunyuk!"
"Aku memang bukan orang
Bukit Lahat! Justru aku ingin pergi ke Bukit Lahat untuk mengejar si Bayangan
Setan itu!"
Wabah Langit diam sejenak,
namun masih keluarkan geram yang membuat Mahesa Gibas merinding lagi, walau
tetap bersembunyi di balik pohon besar itu. Pandangan mata Wabah Langit masih
tetap tajam dan memancarkan dendam, namun beberapa kejap kemudian ekspresi
wajah itu mulai tampak ragu-ragu.
*
* * 2
PONDOK kayu di dalam hutan
mempunyai menara pengawas cukup tinggi. Menara pengawas itu terbuat dari empat
batang pohon kelapa yang diberi tangga dari akar-akaran. Bagian atasnya
dibangun sebuah gubuk kecil yang teduh dan nyaman beratap rumbia.
Pondok yang memiliki menara
pengawas cukup tinggi itu adalah kediaman si Wabah Langit. Hari itu, Pendekar
Mabuk dan Mahesa Gibas dibawa ke pondok tersebut setelah Wabah Langit percaya
bahwa Suto dan Mahesa Gibas bukan orangnya si Bayangan Setan. Rupanya lelaki
tua itu menyimpan dendam kepada si Bayangan Setan, sehingga ia menjadi cepat
curiga terhadap orang yang ingin menuju ke Bukit Lahat.
"Hutan ini adalah lereng
terendah untuk menuju ke Bukit Lahat," ujar si Wabah Langit setelah
lukanya disembuhkan dengan meminum tuaknya Suto. Tentu saja Suto pun mengobati dirinya dengan
meminum tuak itu juga.
"Berapa lama Ki Wabah
Langit tinggal di sini?!" "Hampir dua puluh empat purnama. Kubangun
pondok ini sebagai tempat
untuk menghadang orang- orang yang datang dan pergi dari Bukit Lahat! Selama
ini aku mengincar si Bayangan Setan, namun tak pernah berhasil berhadapan
dengannya. Dia memang licik, gerakannya cepat dan menyerupai hantu tanpa
wujud."
Mahesa Gibas ikut dengarkan
kata-kata Wabah Langit, namun posisi duduknya yang bersila tetap berada di
belakang Suto Sinting, ia masih takut terhadap tokoh tua yang galak dan kasar
itu. Bahkan kadang ia menjadi merinding sendiri jika bertepatan adu pandang
dengan Wabah Langit.
"Maafkan aku kalau tadi
aku telah bertindak bodoh dengan menyerangmu! Kusangka kau adalah orangnya si
Bayangan Setan!" tutur Wabah Langit dengan sikap ksatria sekali.
"Semua ini ada
manfaatnya, Ki. Tak perlu kau sesali hal itu. Aku lebih suka jika kau mau
menceritakan apa yang kau ketahui tentang si Bayangan Setan itu," ujar
Suto Sinting dengan sikap menghormat sekali.
"Aku pernah punya cucu
tunggal bernama Danang Pradana! Ia kubesarkan sejak usia delapan tahun, yaitu
sejak kedua orangtuanya tewas karena bencana alam. Danang Pradana tumbuh
menjadi pemuda yang gagah dan tampan sepertimu. Tapi pada suatu hari, ia
diculik oleh si Bayangan Setan dengan bujukan mesumnya. Kuakui, cucuku memang
mata keranjang, sehingga mudah jatuh dalam rayuan seorang perempuan. Entah
sifat siapa yang diwarisinya itu."
"Mungkin sifat
kakeknya," celetuk Mahesa Gibas pelan sekali. Tapi karena jarak mereka
dengan Wabah Langit hanya dua langkah, maka celetukan itu didengar oleh si Wabah
Langit. Pak tua itu memandang Mahesa Gibas dengan tajam, membuat Mahesa Gibas
salah tingkah menyembunyikan rasa takutnya. Akhirnya ia bergeser ke kiri agar
wajahnya tertutup punggung Suto.
Wabah Langit berkata datar,
"Semasa masih muda memang aku mata keranjang, tapi sekarang sudah tidak
lagi! Catat dalam otakmu, Bocah terkutuk: sekarang sudah tidak lagi!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum
kalem, padahal ia ingin tertawa lepas melihat keangkeran si Wabah Langit yang
menurutnya angker-angker kocak itu.
"Sejak cucuku diculik,
aku selalu mengejar si Bayangan Setan, tapi tak pernah berhasil menangkapnya.
Bahkan memergoki wujudnya pun tak pernah. Tapi menurut beberapa orang yang
pernah melihat wujudnya, si Bayangan Setan adalah seorang wanita cantik yang menggiurkan
dengan tato gambar kupu-kupu di pahanya."
"Kupu-kupunya betina atau
jantan?" sela Mahesa Gibas, bagai celetukan tak sengaja.
Wabah Langit menyentak,
"Aku tak sempat memeriksanya, Tolol!"
Setelah diam sesaat, ia
berkata lagi, "Mungkin aku tak akan sanggup memeriksa tato di paha, sebab
letaknya dekat dengan pusat tegangan tinggi."
Pendekar Mabuk tertawa pelan,
ditahan agar tak lebih keras dari itu. Sementara si Mahesa Gibas cekikikan di
belakang Pendekar Mabuk, dan Wabah Langit tetap berwajah angker, tanpa senyum
sedikit pun, namun tak setegang tadi.
"Sejak cucuku dibawa lari
oleh si Bayangan Setan, aku selalu memburunya, sampai terakhir kali kudengar ia bersarang di Bukit Lahat. Kucoba
menyelidiki Bukit Lahat, tapi tak pernah kutemukan di mana letak sarangnya itu.
Satu-satunya jalan, kuhadang dia di sini. Kubangun pondok ini dan akan
kutinggalkan setelah si Bayangan Setan berhasil kubunuh."
"Tentang nasib cucumu
sendiri itu bagaimana, Ki?" tanya Suto.
"Kabar yang kudengar dari
seorang anak buah si Bayangan Setan yang berhasil kucederai itu, ia mengatakan
bahwa Danang Pradana telah dibunuh, sebagian dagingnya dimakan oleh perempuan
itu. Bejat sekali perempuan itu! Jahanam tingkat tinggi dia!" geram si
Wabah Langit sambil matanya menerawang penuh kobaran api dendam kesumat yang
agaknya sulit dipadamkan.
"Selama aku di sini,
sudah lebih dari dua puluh orangnya si Bayangan Setan yang mati kubunuh dan
mayatnya kubuang ke jurang sebelah timur sana. Setiap orang Bukit Lahat yang
berpapasan denganku tak pernah kuberi kesempatan berumur panjang. Tapi selama
ini, si Bayangan Setan tak pernah berhasil kupergoki. Itu yang membuatku
jengkel dan penasaran, sehingga bertekad tetap di sini sebelum bertemu Bayangan
Setan!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dan menggumam lirih. Setelah sama-sama bungkam beberapa helaan napas, Suto pun
mulai perdengarkan suaranya lagi.
"Tahukah kau tentang
Samudera Kubur yang dulu menjadi pusat kekuasaan si Bayangan Setan?!"
"O, yang ada di Pulau
Blacan?! Itu sudah tak ada. Sudah hancur dan membuat si Bayangan Setan
mengungsi berpindah-pindah tempat, sampai akhirnya ia temukan Bukit Lahat
sebagai tempat yang mungkin menurutnya cukup aman untuk bersembunyi sambil
menyusun kekuatan kembali."
"Beberapa hari yang lalu
kudengar ia perintahkan orang-orangnya yang menyerang Kadipaten Madusari untuk
kembali ke Samudera Kubur. Lalu. "
"Bukit Lahat adalah
Samudera Kubur!" sahut Wabah Langit. "Baginya, di mana ia tinggal, di
situlah Samudera Kubur. Mereka tak pernah menyebut Bukit Lahat. Mereka
menyebutnya Samudera Kubur. Sebab dimana mereka tinggal, tempat itu akan
menjadi kuburan bagi tulang-tulang para korbannya. Tulang-tulang itu sangat
banyak dan menyerupai samudera, sehingga di mana mereka tinggal, tempat itu
akan disebut sebagai Samudera Kubur."
"Oooo...," Suto
Sinting manggut-manggut. Kini ia telah mendapatkan jawaban dari pertanyaannya
sendiri tentang Samudera Kubur dan masa kehancuran Samudera Kubur delapan tahun
yang silam.
"Kalau begitu, Rama
Jiwana dibawanya ke Bukit Lahat, bukan ke Pulau Blacan?!" ujar Suto. Tadi
ia telah ceritakan misinya sebelum dibawa ke pondok, termasuk tentang Andani.
"Ya. Tetapi jika kau tadi
bercerita pernah bertemu dengan wanita cantik bertato kupu-kupu di pahanya dan
dia dalam keadaan sendirian, itu berarti Rama Jiwana telah dibunuhnya, dimakan
sebagian dagingnya, lalu dikubur seenaknya sisa tulang dan daging si Rama
Jiwana itu. Selama ia bersama pria yang sedang digandrunginya, ia tak akan
mencari lelaki lain. Keterangan itu kudapat dari salah seorang pengikutnya yang
pernah kusiksa."
"Bagaimana menurutmu jika
aku pergi ke Bukit Lahat itu, Ki?"
"Kau tidak akan menemukan
apa-apa, selain beberapa gundukan tanah yang jika dibongkar berisi tulang
belulang para korban Bayangan Setan! Salah-salah kau akan masuk dalam
perangkapnya dan tertawan oleh si perempuan cantik berjiwa setan itu!"
Setelah diam sesaat, Pendekar
Mabuk ajukan tanya lagi, "Kupikir, bukit itu harus dihancurkan hingga rata
dengan tanah. Bagaimana pendapatmu jika kulakukan hal itu, Ki?"
"Jangan! Salah-salah
tindakanmu akan merenggut korban yang tak tahu-menahu tentang si Bayangan
Setan," jawab Wabah Langit dengan mata cekung masih tetap memandang dengan
tajam dan menyeramkan. "Kalau tak memperhitungkan timbulnya korban tak
bersalah, sudah dari dulu kulakukan hal itu terhadap Bukit Lahat. Tapi di seberang
Bukit Lahat, ada perkampungan penduduk yang seluruh penghuninya terserang
penyakit kusta. Mereka sengaja menghabiskan sisa hidupnya di perkampungan itu.
Jika bukit tersebut kau hancurkan, maka ledakannya akan menimbun perkampungan
orang-orang kusta itu. Kasihan mereka."
Pendekar Mabuk
manggut-manggut. Dalam hatinya sempat bergumam, "Ternyata orang ini punya
hati yang lembut dan tidak seburuk rupanya, ia memang tampak galak, angker, dan
kasar, namun sebenarnya jiwanya selembut sutera. Tak kusangka Wabah Langit
punya perhitungan sematang itu."
Tiba-tiba Mahesa Gibas angkat
bicara, khususnya ditujukan kepada Suto.
"Mungkin si Bayangan
Setan bersembunyi di kampung kusta itu. Soalnya kalau dia ada di sana, orang-
orang yang sehat seperti kita tak ada yang berani mendekati perkampungan itu,
karena takut tertular penyakit kusta!"
Wabah Langit menyahut,
"Mana mungkin! Apakah kau pikir si Bayangan Setan tidak takut ketularan
penyakit kusta juga?"
"Lho, siapa tahu dia
punya baju anti kusta?!" Mahesa Gibas agak ngotot.
"Baju anti senjata tajam
memang pernah kudengar. Ilmu anti senjata tajam juga pernah kudengar. Tapi
kalau baju anti kusta itu... nenekmu yang merajutnya, ya?!" kata Wabah
Langit dengan nada dongkol, membuat Suto Sinting akhirnya tertawa walau tak
bersuara keras. Mahesa Gibas cemberut dan tundukkan kepala, karena mata tajam
si Wabah Langit tertuju kepadanya.
Ketika mereka sama-sama
bungkam dan keheningan tercipta beberapa saat, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
suara jeritan yang memanjang. Jeritan itu berasal dari tempat yang tak begitu
jauh. Mereka bertiga terperanjat kaget dan saling pandang.
"Suara jeritan?!"
ucap Mahesa Gibas dengan tegang. "Itu suara jeritan, bukan suara jahitan.
Tolol!" bentak Wabah Langit. Mahesa Gibas ingin ngotot membenarkan ucapannya, tapi Pendekar Mabuk
memberi isyarat agar hal itu tak perlu dibahas. Mereka segera keluar dari
pondok.
Blegaaarrr...!
Baru saja mereka tiba di depan
pondok, mereka disambut oleh suara ledakan yang menggetarkan tanah bagai
dilanda gempa. Wabah Langit bicara sendiri.
"Sepertinya berasal dari
perkebunan rumputku!"
Baru saja Suto Sinting ingin
menanyakan tentang perkebunan rumput itu, tahu-tahu Wabah Langit telah
sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melesat ke atas dalam gerakan bersalto
naik beberapa kali.
Wuuuk, wuk, wuk, wuk, wuk...!
Dalam sekejap ia sudah tiba di
atas menara pengawas. Bahkan sempat
sedikit merusakkan tepian atap gubuk pengawas itu. Rupanya dari atas menara
pengawas itulah si Wabah Langit mengintai mangsanya, menunggu lewatnya si
Bayangan Setan.
"Orang tua itu goblok,
ya?" ujar Mahesa Gibas kepada Suto. "Buat apa diberi tangga dari akar
kalau naiknya ke sana pakai lompatan begitu?!"
"Keadaan darurat, jadi
dia melakukannya dengan ilmu peringan tubuh!"
"Kurasa dia cuma pamer
ilmu di depanmu, Suto. Dia sangka kau tidak bisa lakukan hal itu."
"Hmmm...!" Suto
hanya tersenyum tawar.
"Atau mungkin kau memang
tak bisa melakukannya?" "Mungkin tak bisa!" jawab Suto yang tak
mau tergoda oleh bujukan Mahesa Gibas untuk bersaing dengan ilmunya Wabah
Langit.
"Suto, naiklah! Ada
pertarungan di perkebunan rumputku itu. Barangkali kau mengenali mereka yang
sedang bertarung!" seru Wabah Langit.
"Baik, Ki. Aku akan
menyusulmu," jawab Suto, dan Mahesa Gibas tampak ceria girang, ia mundur
beberapa langkah memberi tempat pada Suto Sinting untuk lakukan lompatan
seperti Wabah Langit tadi.
"Ayo, Suto...! Lakukan
seperti dia tadi!"
Suto mundur beberapa langkah,
bersiap untuk melompat. Mahesa Gibas menghitung.
"Satu... dua... tiga, huuup...!"
Pendekar Mabuk berlari tiga
langkah, lalu menyambar tangga akar dan mendaki tangga seperti layaknya orang
tak berilmu.
"Huuuh...! Kukira mau
lompat pakai tenaga peringan tubuh, tak tahunya cuma mau menyambar tangga dan
naik seperti beruk memanjat pohon kelapa! Sial!" gerutu Mahesa Gibas
dengan bersungut-sungut.
Di atas menara pengawas, Wabah
Langit menunjukkan tempat pertarungan tersebut. Pendekar Mabuk melihat dua
orang bertarung di padang rumput. Mereka tampak jelas sekali, karena tak ada
pohon ataupun batu yang mengganggu pandangan mereka.
"Aku tidak kenal siapa
mereka, siapa tahu kau mengenalinya."
"Hmmm... aku hanya
mengenali yang berbaju kuning itu, Ki."
"Siapa yang berbaju
kuning itu?!"
"Dia salah satu orang
kepercayaan si Bayangan Setan yang bernama Melon Kuning!"
"Dia kekayaan si Bayangan
Setan?!" "Orang kepercayaan!" ralat Suto agak keras.
"Ooh...?! Haram jadah kalau begitu!"
"Bukan! Namanya bukan
haram jadah, tapi Melon Kuning!"
"Iya, aku dengar!"
sentak Wabah Langit. "Tapi orang itu adalah haram jadah! Artinya harus
kumusnahkan secepatnya. Apalagi dia menginjak-injak perkebunan rumputku, itu
sama saja menginjak-injak nasiku!"
"Nasi...?!" gumam
Suto heran.
"Sebelum si Bayangan
Setan mati, aku tak akan makan nasi. Aku akan makan rumput! Oleh sebab itu,
kupiara rumput-rumput itu sebagai makananku jika aku merasa lapar!"
Blaaap...!
Tiba-tiba orang tua itu lenyap
dengan tinggalkan letupan kecil yang berasap sangat tipis. Suto Sinting sempat
kaget dan kebingungan sendiri, ia mencari ke bawah, yang ada hanya Mahesa
Gibas.
"Wabah Langit ada di
situ, Mahesa?!"
"Tidak ada! Bukankah dia
ada di atas bersamamu?" "Hilang...!"
"Wah, mungkin digondol
codot!"
Pendekar Mabuk memandang ke
arah padang rumput karena mendengar suara ledakan tadi. Ternyata Wabah Langit
sudah ada di sana. Mata Suto terkesiap dan hati pun membatin, "Gila!
Ternyata dia punya ilmu tinggi juga. Tahu-tahu sudah berada di sana. Seperti
ilmunya Batuk Maragam: sejauh mata memandang, sejauh itu pula ia bisa pindah
tempat dalam sekejap. Oh, aku akan ke sana untuk melihat lebih dekat
lagi!"
Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!
Suto Sinting menggunakan jurus
'Gerak Siluman'. Pucuk-pucuk dedaunan dijadikan tempat berpijak tanpa membuat
daun-daun itu bergerak. Ilmu peringan tubuhnya kali ini digunakan pula tanpa
kesan pamer kepada Mahesa Gibas atau si Wabah Langit. Dalam sekejap ia sudah
tiba di ladang rumput. Tapi Mahesa Gibas tak mengetahui hal itu.
Melon Kuning nyaris berhasil
membunuh si gadis yang menjadi lawannya. Tendangan mautnya yang dapat keluarkan
cahaya merah menyebar itu telah berhasil kenai dada si gadis berbaju hitam dan
bercelana sebetis warna hitam pula. Cahaya merah menyebar mempunyai kekuatan
yang membakar sekaligus menghancurkan benda apa pun yang dikenainya.
Dada si gadis tampak hitam
sampai sebatas leher dan berlubang-lubang sebesar paku. Gadis itu terkapar di
rerumputan dalam keadaan sekarat. Melon Kuning lakukan lompatan bersama
pedangnya yang siap dihujamkan ke perut si gadis. Tapi pada waktu itu sebuah
tenaga padat menghantamnya, buekh...! Melon Kuning yang bertubuh tegap dan
kekar itu terpental sejauh sepuluh langkah. Weees...! Brrruk...! Saat itulah ia
melihat seraut wajah tua yang angker berjubah biru dengan ikat kepala putih.
Wabah Langit memandanginya penuh kobaran api dendam, ia tak pedulikan keadaan
si gadis. Seluruh perhatiannya terpusat pada lelaki berusia sekitar lima puluh
tahun yang mengenakan pakaian serba kuning itu.
Lelaki itu bangkit sambil
menggeram setelah terbanting bagaikan karung beras dilemparkan dari atas
punggung kuda. Matanya yang kecil memandang ganas kepada Wabah Langit.
Pedangnya digenggam lebih kuat lagi, sambil suaranya berseru dengan lantang.
"Siapa kau, Tua
sekarat?!"
Wabah Langit tidak menjawab,
justru balik bertanya, "Benarkah kau orangnya si Bayangan Setan?!"
"Benar!" jawabnya tegas. "Kalau kau ingin kenal
denganku, akulah si Melon
Kuning, orang andalan Bayangan Setan!"
Tanpa banyak bicara lagi,
Wabah Langit menerjang Melon Kuning dengan tongkat dihentakkan ke depan. Wesss,
suuut...! Dari ujung tongkat itu keluar sinar biru lurus. Claaap...! Melon
Kuning menghadang sinar biru itu dengan pedangnya, sehingga sinar itu bukan
menghantam dada melainkan menghantam pedangnya yang mengeluarkan asap kuning.
Blaarr...!
Melon Kuning terlempar oleh
gelombang ledakan yang timbul dan sempat menggertakkan padang rumput itu. Wabah
Langit hanya terpelanting ke belakang, namun tak sempat jatuh, ia tertumpu pada
tongkatnya hingga tetap berdiri dengan kaki sedikit ditekuk.
Pada saat itu, Pendekar Mabuk
tiba di tempat dan segera menolong gadis berbaju hitam. Mulut si gadis yang
tercengap-cengap dalam keadaan nyawa hampir lepas itu segera diguyur dengan
tuak. Sebagian tuak tertelan oleh si gadis. Kejap berikutnya, gadis itu
tersedak dan terbatuk-batuk. Namun luka hangusnya mulai menyurut, lubang-lubang
sebesar paku mulai merapat.
Pendekar Mabuk tak risaukan
gadis itu lagi. Kini perhatiannya tertuju ke arah pertarungan Wabah Langit
dengan Melon Kuning. Agaknya Wabah Langit tak ingin beri kesempatan kepada
orangnya si Bayangan Setan sedikit pun. Ia segera menyerang dengan kibasan
tongkatnya. Wuut, wuuut, wuuut...!
Setiap kibasan tongkat
menaburkan serbuk putih berkilauan. Serbuk itu jelas serbuk beracun. Tapi Melon
Kuning segera sentakkan tangan kirinya yang menyemburkan asap kuning bersama
cukup kencang. Woooss...! Serbuk mengkilap itu berbalik menerjang Wabah Langit.
Werrss...!
"Aaakh....!" Wabah
Langit memekik sambil terhuyung-huyung mundur. Matanya menjadi buta, tubuhnya
mulai berasap, ia terkena jurus mautnya sendiri.
"Terimalah ajalmu ini,
Tua Keropos! Heaaah...!"
Melon Kuning lakukan lompatan
cepat dengan pedang berasap kuning ditebaskan ke arah kepala Wabah Langit.
Wuuuut...!
Namun sebelum pedang itu
membelah kepala si Wabah Langit, Pendekar Mabuk sudah lebih dulu berkelebat
menerjang bersama bumbung tuaknya.
Zlaaap...! Traaang...!
Pedang itu mengenai bumbung
tuak, memercikkan bunga api yang menyambar ke wajah si Melon Kuning sendiri.
Wuurrs...!
"Aaaow...!"
Dan kaki Suto Sinting menendang
dengan cepat ke dada Melon Kuning. Dees...! Wuuut, brruk...! Melon Kuning jatuh
terkapar dalam jarak tujuh langkah. Pendekar Mabuk segera daratkan kakinya ke
tanah, lima langkah dari samping kanan si Wabah Langit.
Pada saat itu, Wabah Langit
mengerjap-ngerjapkan matanya. Mata itu mengucurkan darah bersama kulit tubuhnya
yang mulai mengelupas mengerikan. Namun samar-samar ia masih bisa melihat
bayangan warna kuning yang segera bangkit dari kejatuhannya. Wabah Langit
segera sentakkan tongkatnya sambil kakinya menghentak ke bumi. Duuuhk,
wwesss...!
Claap... ! Seberkas sinar biru
berbentuk bintang melesat dari kepala tongkat tersebut. Sinar itu sangat cepat
dan tak sempat ditangkis maupun dihindari oleh Melon Kuning yang baru saja
bangkit itu. Crrraas...!
"Aaakhrrr...!"
Sinar biru berbentuk bintang
menerjang leher Melon Kuning. Leher itu langsung putus tanpa permisi lagi. Tak
ada ledakan, tak ada suara apa pun kecuali suara napas yang serak dari mulut
Melon Kuning. Kejap berikut, kepala si Melon Kuning jatuh dan menggelinding di
rerumputan. Bluuuk...! Sedangkan sinar biru berbentuk bintang itu melayang
memutar arah dan ketika Wabah Langit mengangkat tongkatnya dengan kepala
tertunduk, sinar biru itu masuk kembali ke kepala tongkat yang berbentuk bintang.
Suuurb...!
"Oouh...!" Wabah
Langit sendiri jatuh berlutut, kekuatannya semakin menipis menahan rasa sakit.
Kulit tubuhnya makin mengelupas, menampakkan rona merah daging yang mengerikan.
"Ki Wabah
Langit...?!" sentak Suto Sinting dengan tegang, ia buru-buru hampiri orang
tua itu, tapi tak tahu harus memegang bagian apanya, karena semua kulit tubuh
mengelupas dan tentu saja sangat perih.
"Tengadahkan kepalamu,
buka mulutmu, lekas lakukan, Ki!" Suto Sinting tampak panik sekali. Untung
si Wabah Langit mau lakukan perintah itu, sehingga Suto Sinting segera
menuangkan tuaknya ke mulut si Wabah Langit.
Si gadis berpakaian hitam itu
segera hampiri Wabah Langit. Rupanya ia telah sehat, tak merasakan sakit
sedikit pun, bahkan ia merasa tubuhnya lebih segar dari sebelumnya. Langkahnya
terhenti ketika matanya beradu pandang dengan Suto Sinting, ia terperangah
dengan bibir ranumnya yang menggairahkan itu merekah indah.
"Oooh...?!" mata
bundar bening itu pun terbelalak ketika Suto Sinting sunggingkan senyum tipis
kepadanya. "Kalau boleh kutahu, siapa namamu, Nona?" tanya Suto
Sinting tanpa pedulikan si Wabah Langit yang jatuh tersungkur ke depan setelah
menenggak tuaknya Suto beberapa teguk tadi.
"Ehhmmm, eeeh,
hhmm...," lidah itu bagaikan kelu. "Jangan gugup. Tenang saja!"
ujar Suto sambil
mendekatinya. Gadis itu
semakin grogi dan salah tingkah.
"Namaku Suto Sinting.
Namamu...?" "Suto Sinting. Eh, anu... hmmm... ehhh. "
Pendekar Mabuk akhirnya
tertawa geli walau tanpa suara. Si gadis semakin tersipu dan wajahnya yang
berkulit kuning langsat itu menjadi berwarna merah dadu.
"Namaku Suto
Sinting," ulang Suto kalem. "Namamu siapa, Nona cantik?"
"Namaku cantik, ehh,
anu... bukan. Tapi, iya ehhh,
bukan, bukan. !"
"Lucu sekali gadis
ini," pikir Suto. "Segagap itukah ia jika bertemu dengan seorang
pemuda?"
*
* *
3
MEREKA bermalam di pondok si
Wabah Langit. Ternyata gadis cantik berhidung bangir itu bernama Mayangsita. Ia
bisa menyebutkan namanya setelah Wabah Langit yang menanyakan nama itu.
Anehnya jika ia diajak bicara
oleh Mahesa Gibas, ia dapat menjawab selancar bicara dengan Wabah Langit. Tapi
jika Suto Sinting yang ajukan tanya atau mengajak bicara, Mayangsita selalu
gugup dan sering latah dalam memberi jawaban.
"Mengapa bisa
begitu?" tanya Mahesa Gibas dengan senyum-senyum dan matanya mengerling
mirip orang cacat.
"Aku... aku memang selalu
gugup jika berhadapan dengan pemuda tampan. Terlebih jika hatiku berdebar-
debar penuh keindahan, aku jadi salah tingkah dan sepertinya seluruh kata-kata
hilang dari ingatanku," jawab Mayangsita dengan lancar.
"Mengapa kau bisa bicara
lancar denganku?" tanya Mahesa Gibas.
Suto Sinting yang diam-diam
menguping percakapan bisik-bisik itu segera menyahut, "Karena kau
jelek!" Lalu, tawa Suto terdengar saat Mahesa Gibas menggerutu tak jelas
sambil cemberut.
Wabah Langit yang berwajah
seram itu justru tidak membuat gugup si Mayangsita. Ketika ditanya asal-
usulnya dengan suara menggeram angker, Mayangsita dapat menjawab dengan lancar
pula.
"Aku dari Lembah Randu,
murid Eyang Panujum." "Panujum?!" Wabah Langit menyentak
karena kaget.
Suaranya yang serak
menyeramkan itu membuat Mahesa Gibas
terlonjak dalam keadaan
bersila. Akhirnya ia tertawa sendiri cekikikan sambil
berlindung di belakang Suto Sinting yang juga tersenyum-senyum menahan tawa.
Mahesa Gibas segera hentikan tawanya ketika mata angker si Wabah Langit menatap
ke arahnya.
"Bocah terkutuk! Ada
orang tua kaget ditertawakan!" geram Wabah Langit dalam gerutu.
"Mengapa kau terkejut
mendengar nama guruku, Ki Wabah Langit?"
"Semasa muda, aku belajar
jurus pedang dari si Panujum. Usianya lima belas tahun lebih tua dariku. Sejak
peristiwa Geger Teluk Sakar, kami berpisah dan sejak itu tak pernah berjumpa
lagi."
"Oh, kalau begitu
alangkah senangnya Eyang Guru jika beliau tahu aku telah bertemu dengan sahabat
lamanya dan Salting, eh... Suto Siring, eh...
Suto... Suto. "
"Suto Sinting!"
tegas Mahesa Gibas.
"O, iya...! Suto
Sinting!" lalu Mayangsita tersenyum malu, tak berani melirik Pendekar
Mabuk yang ada di samping kirinya, sama-sama menghadap si Wabah Langit.
"Apakah gurumu tahu kalau
kau berada di sini?" tanya Wabah Langit.
"Tidak. Aku sengaja pergi
mengejar begundalnya si Bayangan Setan tanpa pamit kepada Eyang Guru. Sebab
jika aku pamit kepada beliau, pasti tak akan diizinkan."
"Kalau begitu kau adalah
murid yang bandel, Mayangsita!"
"Aku terpaksa
membandelkan diri," jawabnya terus terang.
"Mengapa kau sampai nekat
mengejar si Melon Kuning?" kali ini Suto yang bertanya.
Untuk hindari kegugupannya, Mayangsita
menjawab dengan wajah tertunduk, tak berani melirik Suto sedikit pun.
"Ia melumpuhkan kakak
lelakiku yang bernama Kumbara, lalu menyerahkannya kepada perempuan cantik yang
bertato kupu-kupu di pahanya. Menurut Eyang Guru perempuan itu berjuluk si
Bayangan Setan yang sulit ditumbangkan."
"Kapan hal itu
terjadi?" potong Suto.
"Tiga purnama yang
lalu," jawab Mayangsita masih tetap menunduk. "Maka ketika aku
melihat si lelaki berpakaian kuning itu menyeberangi Sungai Kapas, aku segera
memburunya!"
"Cukup berani juga kau,
ya?" ujar Pendekar Mabuk sambil manggut-manggut. Mayangsita tetap
tundukkan wajah, tak berani melirik Suto karena takut menggeragap lagi.
Wabah Langit berkata,
"Lain kali kau tak boleh sebodoh itu, Mayangsita! Kau bisa modar di tangan
orang berpakaian kuning tadi. Untung saja ada aku dan Suto Sinting. Bahkan jika
tak ada Suto Sinting, agaknya aku pun akan mengalami cedera melawan si Melon
Kuning tadi! Kita patut berayukur dan berterima kasih dengan adanya Suto
Sinting di tempat ini!"
"Lupakan tentang
pertolonganku itu," sahut Suto. "Kulakukan karena sudah merupakan
kewajibanku sesuai ajaran Guru."
"O, aku belum sempat
mengenal siapa gurumu, Suto. Melihat gerakanmu yang sangat cepat dan kesaktian
tuak di dalam bumbung bambu itu, aku jadi ingin tahu siapa gurumu
sebenarnya?" tanya si Wabah Langit.
"Guruku orang biasa-biasa
saja, Ki. Ia dikenal dengan nama si Gila Tuak."
"Hahhh...?!" Wabah
Langit tersentak dan lebarkan mata. Mahesa Gibas terlonjak lagi karena kaget.
"Mengapa kau terkejut
sekali mendengar nama guruku, Ki? Apakah kau juga mengenal beliau?"
"Siapa orang yang tak
kenal nama si Gila Tuak, tokoh tertinggi di rimba persilatan ini?! Semua orang
mengenalnya, termasuk aku. Tapi aku sangat tidak menduga kalau kau adalah muridnya
Kakang Sabawana alias si Gila Tuak itu."
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum wajar, ia melirik Mayangsita, ternyata gadis itu sedang menatapnya
dengan mata tak berkedip dan bibir merekah pertanda terbengong sejak tadi.
Pendekar Mabuk makin lebarkan senyum. Jari tangannya usil menyentil bibir itu.
"Kenapa bengong?!"
"Kaa... kalau begitu
kau... kau adalah Pendekar Bauk, ehhh... Pendekar Mabur, eeh... Pendekar
Tubruk, eeeh, hmm... Pendekar "
"Pendekar Mabuk!"
sentak Mahesa Gibas membetulkan.
"Iiiy... iya yang
kumaksud nama itu tadi!"
"Pendekar apa
tadi?!" goda Mahesa Gibas. "Pendekar Sabuk, eeh. "
"Nah, salah kan? Ikuti
aku... Pendekar "
"Pendekar "
"Mabuk "
"Mabuk," Mayangsita
menirukan. "Pendekar apa tadi?"
"Pendekar Serbuk, eh,
anu... maaf, Pendekar "
"Sudah, sudah...!"
bentak Wabah Langit kepada Mahesa Gibas. "Jangan digoda terus!"
"Iya, jangan!" sahut
Mayangsita dengan latah. "Nanti dia malu!"
"Malu sekali! Eh, anu,
maaf...!" sambil matanya melirik Suto dan salah tingkah. Akhirnya Mayangsita
buang muka ketika Suto Sinting tertawa tanpa suara dan sengaja alihkan
pandangannya ke arah Wabah Langit.
"Sebaiknya antar gadis
itu pulang ke Lembah Randu. Jangan sampai ia menjadi korban keganasan si Bayangan Setan dan para pengikutnya."
Mahesa Gibas langsung
menyahut, "Baik, aku akan mengantarkannya!"
"Aku bicara kepada
Suto!" bentak Wabah Langit. Mahesa Gibas mengkerut seperti kerupuk terkena
udara dingin.
"Lembah Randu tak
seberapa jauh dari sini jika memotong jalan menyeberangi Sungai Kapas,"
tambah si Wabah Langit.
"Aku tidak mau
pulang!" sahut Mayangsita dengan memandang tegak kepada Wabah Langit.
"Jangan bandel kau,
Mayangsita! Kau murid sahabatku, dan kuanggap muridku sendiri! Kau harus pulang
demi keselamatanmu!"
"Tidak! Aku tidak akan
pulang sebelum membunuh si Bayangan Setan dan merebut kakakku dari
tangannya!"
"Kakakmu sudah
mati!"
"Tidak! Kumbara belum
mati! Pasti dia sedang berusaha membebaskan diri dan butuh bantuan!"
"Dari mana kau
tahu?!"
"Firasatku mengatakan
demikian, Ki!"
"Bodoh!" bentak
Wabah Langit dengan mata cekung melebar. "Jangan mau mati konyol melawan
orang yang tidak sebanding dengan ilmu yang kau miliki, Mayangsita!"
Gadis itu bangkit berdiri
dengan cemberut.
"Aku tetap tidak mau
pulang! Aku rela mati demi membela kakakku!"
Wabah Langit pun berdiri
dengan berang.
"Gadis tolol! Walau kau
mati, Kumbara belum tentu selamat! Jadi buat apa mati demi yang sudah telanjur
mati! Kecuali kau punya siasat untuk loloskan diri jika terancam bahaya, itu
tak jadi soal! Tapi kalau kau tak punya siasat dan hanya modal nekat, sama saja
mati gantung diri!"
"Tapi... tapi aku sayang
kepada Kumbara, dia... dia satu-satunya saudaraku...." Mayangsita mulai
tampak lelehkan air mata dukanya. "Kalau... kalau dia tewas, aku tak punya siapa-siapa lagi! Lalu, untuk
apa aku hidup tanpa saudara dan keluarga "
Mayangsita menangis, kemudian
buru-buru keluar dari pondok. Pendekar Mabuk bergegas menyusulnya. Mahesa Gibas
juga menyusulnya. Tapi tiba-tiba baju belakangnya dicekal oleh Wabah Langit.
"Biarkan Suto yang
menangani tangisnya! Kau duduk di sini saja bersamaku!"
"Yaaah, apesss...!"
keluh Mahesa Gibas, mau tak mau menurut apa perintah si wajah angker itu.
"Melumpuhkan si Bayangan
Setan, tidak semudah melumpuhkan si Melon Kuning atau yang lainnya! Perlu
dipelajari berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Salah langkah sedikit, nyawa
kita melayang. Mengerti?!"
Mahesa Gibas hanya mengangguk
dan tetap tertunduk dengan hati dongkol.
"Karena itu, kau harus
selalu ingatkan Suto Sinting agar segala langkahnya harus diperhitungkan masak-
masak. Jangan sampai ia melangkah secara gegabah, akhirnya akan menjadi
santapan empuk bagi si Bayangan Setan!"
Mahesa Gibas mengangguk sambil
menahan rasa merinding di kuduknya.
Pendekar Mabuk sempat clingak-clinguk
dibuat bingung setelah sampai di luar pondok. Yang ada hanya kegelapan,
sedangkan Mayangsita tak terlihat di sudut mana pun. Bahkan suara tangisnya tak
terdengar. Pendekar Mabuk mencoba melangkah ke samping pondok, bahkan sampai
mengitari pondok itu, namun Mayangsita tak berhasil ditemukan, baik orangnya
maupun suaranya.
"Kurasa ia kecewa sekali
dengan kata-kata Ki Wabah Langit," ujar Suto membatin. "Gadis itu
tampaknya benar-benar sedih dan tangisnya itu dapat memaksa dirinya untuk kabur
dari pondok ini. Wah, gawat kalau sampai ia kabur! Malam-malam begini, keadaan
gelap gulita tanpa sinar rembulan, ke mana arah pelariannya? Salah-salah ia
akan terperosok ke jurang sebelah timur sana!"
Pendekar Mabuk menjadi cemas,
ia mencoba naik ke menara pengawas, memandang ke arah padang rumput yang
tentunya jika ada orang melintas di sana dapat terlihat walau hanya
bayang-bayang.
Dugaan Suto Sinting ternyata
memang benar, ia melihat sesosok bayangan berlari cepat melintasi padang rumput
itu.
"Tak salah lagi, pasti
itu si Mayangsita! Mau ke mana dia?! Aku harus segera menahan gerakannya agar
tak menemui bahaya!"
Zlaaap, zlaaap...! Tanpa pamit
Wabah Langit dan Mahesa Gibas, Pendekar Mabuk segera mengejar bayangan yang
melintas di padang rumput itu. Ia sengaja tak timbulkan suara, atau memanggil
Mayangsita. Sebab dikhawatirkan, jika gadis itu mendengar suaranya, belum tentu
akan berhenti, bisa jadi bahkan akan semakin percepat larinya dan sukar ditahan
lagi.
Namun gerakan Suto Sinting
yang menggunakan Jurus 'Gerak Siluman' itu sepertinya tak mampu menyusul
kecepatan lari si bayangan tersebut.
Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!
"Gila! Sulit sekali
mengejarnya?! Sepertinya dia mempunyai kecepatan gerak yang melebihi jurus
'Gerak Siluman' ku ini?!"pikir Suto Sinting sambil tetap lakukan
pengejaran.
Bayangan yang dikejarnya
menyelinap ke sana-sini, sehingga sukar dipotong langkahnya. Kadang justru Suto
Sinting salah arah karena bayangan itu membelok dengan cepat. Terpaksa ia
berbalik lagi dan mengejarnya kembali.
"Gawat! Semakin masuk ke
dalam kerimbunan hutan, semakin sukar mataku melihat gerakannya," geram
hati Suto mulai jengkel.
Untung saja saat keluar dari
pondok tadi, Suto sempat menyambar bumbung tuaknya, ia pikir dengan membujuk
Mayangsita untuk meminum tuaknya dapat menghilangkan rasa sedih dan kemarahan
si gadis itu. Tapi karena gadis tersebut melarikan diri, maka bumbung tuak itu
pun tetap dibawanya dalam lakukan pengejaran. Bumbung itu kini diselempangkan
di punggung hingga gerakan Suto menjadi lebih leluasa lagi.
Tanpa disadari, pengejaran itu
telah membuatnya jauh dari pondok si
Wabah Langit. Semakin jauh keadaan semakin gelap. Bahkan Pendekar Mabuk merasa
bergerak sembarangan tapi tidak membentur pohon atau dedaunan sedikit pun.
Mungkin karena semakin lama semakin cepat lagi jurus 'Gerak Siluman'- nya yang
kecepatannya menyerupai kecepatan cahaya itu, sehingga benda apa pun yang
disentuhnya tak sempat dirasakan. "Aneh! Mengapa sejak tadi aku tidak
menabrak sebatang pohon pun? Padahal aku tak melihat di mana ada pohon dan di
mana tempat yang kosong?!" pikir Suto Sinting.
Beberapa saat kemudian, ia
mulai kurangi kecepatan geraknya sambil membatin, "Wah, sepertinya ada
yang tak beres di sekitarku ini? Gelap sekali, mataku seperti telah jadi buta,
tak bisa melihat bayangan sedikit pun. Oh, di mana aku sebenarnya?!"
Tangan Suto sengaja
meraba-raba sekelilingnya, tapi ia tidak menyentuh pohon maupun dedaunan.
Bahkan semak ilalang pun tak tersentuh olehnya.
"Celaka! Apa yang terjadi
ini? Kakiku seperti tidak menginjak tanah. Ooh... tak ada sesuatu yang bisa
kusampar?!"
Hati pemuda itu mulai
berdebar-debar. Tegang. Bumbung tuaknya segera dipindahkan tempatnya dari
punggung ke pundak. Talinya dipegang kuat-kuat, sewaktu-waktu tinggal ambil dan
dikibaskan ke mana saja, tergantung datangnya bahaya. Ia mempertajam seluruh
inderanya, agar cepat bisa mengetahui jika ada gerakan yang mendekatinya.
"Sebaiknya jangan
teruskan melangkah sebelum aku tahu di mana keadaanku sekarang ini dan mengapa
kakiku bagai tak menyentuh tanah?!" ujarnya membatin sambil hentikan
langkah.
Dada mulai merasa sakit,
pernapasan terasa sesak. "Sepertinya aku menghirup udara tak sehat!
Tubuhku
terasa lemas,
makin lama paru-paruku
semakin berat untuk bernapas.
Oh, aku yakin diriku telah berada dalam keadaan yang ganjil. Sebaiknya kuminum
dulu tuakku untuk melonggarkan pernapasan ini."
Keganjilan semakin terasa
ketika Suto Sinting menenggak tuaknya, gerakan tangannya terasa berat dan
lamban. Membuka tutup bumbung pun terasa sulit, walau akhirnya berhasil juga.
Tuak berhasil ditenggaknya, tapi ada sisa yang disimpan di mulut. Nalurinya
bekerja lebih peka lagi, sehingga tiba-tiba
tuak di mulut itu disemburkan ke depan. Jurus 'Sembur Bromo Wiwaha' dipergunakan
oleh Pendekar Mabuk. Bwwwuurss...! Blaaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi. Nyala
sinar merah menyebar dalam sekejap pada saat ledakan itu menggelegar. Tuak yang
disemburkan dengan kekuatan jurus 'Sembur Bromo Wiwaha' itu memercikkan bunga
api, dan bunga api itu menimbulkan ledakan saat kenai gumpalan kabut hitam yang
ternyata tadi telah membungkus Suto Sinting dan membuat kaki Suto melayang tak
menginjak tanah.
Tubuh Suto terlempar dan jatuh
di semak-semak.
Brruss...!
Kini ia dapat merasakan
sentuhan pada semak ilalang dan sakitnya paha tertusuk duri. Pandangan matanya
pun tak segelap tadi. Bahkan ia dapat melihat sekelebat bayangan yang mendekat.
Pendekar Mabuk sempat
berpikir, "Rupanya aku tadi bukan mengejar Mayangsita! Seseorang telah
menyerangku dengan jurus anehnya yang membuat tubuhku terbungkus dalam kabut
hitam. Pantas pandanganku jadi seperti orang buta dan napasku makin memberat.
Untung kabut itu bisa kuhancurkan dengan jurus 'Sembur Bromo Wiwaha'. Kalau
tidak mungkin aku bisa... eh, ada yang mendekatiku! Sepertinya bukan sosok
bayangan Mayangsita. Bentuk bayangan hitam si Mayangsita tak akan sebesar
itu."
Pendekar Mabuk cepat-cepat
bangkit. Tapi seberkas sinar merah telah lebih dulu melesat ke arahnya. Sinar
itu berbentuk seperti sebatang anak panah yang berpijar- pijar. Claap...!
"Kurang ajar!" geram
Suto sambil menyentakkan tangan kirinya, dan dari telapak tangan kiri itu
melesatlah sinar hijau ke arah datangnya sinar merah tersebut. Claap, weess...!
Jurus 'Pecah Raga' dipergunakan dengan gerakan refleks.
Tapi sinar merah lawan lupa
tak dihindari. Ketika sadar, sinar itu sudah berada di depan dadanya. Pendekar
Mabuk segera limbung ke kanan. Jrras...!
"Aaaakh...!" sinar
merah itu menghantam tepat di bawah pundak kirinya. Rasa sakit menyengat dari
kepala sampai kaki. Saat itu, sinar hijaunya pun mengenai sasaran dengan
timbulkan suara ledakan yang menggelegar.
Blagaarr...!
Tapi setelah itu, Pendekar
Mabuk tak mampu ingat diri lagi. Ia jatuh di semak-semak yang rimbun dalam
keadaan pingsan. Tubuhnya menelungkup, menindih bumbung tuaknya. Untung tutup
bumbung tuak tak terbuka, sehingga tuak tak sempat tumpah. Ledakan itu
terdengar hingga di pondok si Wabah Langit. Tapi suara ledakan itu sangat
pelan, sayup-sayup sekali, sehingga Wabah Langit menyangka ada pertarungan di tempat
yang jauh dari pondoknya. Semula ia sempat gelisah, karena Pendekar Mabuk dan
Mayangsita tak segera masuk ke pondok, ia ingin memeriksanya, tapi Mahesa Gibas
segera beranikan diri berkata.
"Suto pasti mendengar
suara ledakan itu. Kalau ledakan itu berbahaya, ia pasti akan memberitahukan
kita, Ki!"
Kata-kata yang terlontar
seenaknya itu membuat Wabah Langit menjadi ragu untuk memeriksa keadaan di luar
pondoknya. Padahal Mahesa Gibas hanya ingin membalas tindakan Wabah Langit yang
tadi melarangnya keluar dari pondok saat mau ikut mengejar Mayangsita. Akhirnya
mereka berdua duduk kembali dan Mahesa Gibas banyak menerima wejangan dari
Wabah Langit. Suka ataupun tidak, Mahesa Gibas terpaksa tetap mendengarkan
wejangan tersebut.
Sebenarnya Wabah Langit mulai
merasa tak enak dalam hatinya. Seperti ada sesuatu yang meresahkan. Tapi
perasaan itu dilawan dengan pertimbangan nalarnya, bahwa Mayangsita kecewa atas
kekerasan ucapannya tadi dan sekarang Suto sedang membujuknya. Jika ia ikut
keluar, Mayangsita belum terbujuk, maka usaha Suto akan sia-sia.
Sampai larut malam, Wabah
Langit masih banyak berikan beberapa wejangan kepada Mahesa Gibas. Padahal
Mahesa Gibas telah terkantuk-kantuk dan berulang kali menguap. Sampai akhirnya
Mahesa Gibas tertidur dalam keadaan duduk bersila dan kepala tertunduk, Wabah
Langit masih berceloteh dengan maksud memberikan pengetahuannya kepada Mahesa
Gibas. Sekalipun ia tampak keras kepada Mahesa Gibas, namun hatinya sebenarnya
merasa berdamai dengan si 'bocah terkutuk' itu.
Ketika matahari mulai
bersinar, Wabah Langit jatuh bersandar dinding dalam keadaan tertidur. Pada
saat itu pula di balik kerimbunan semak, Pendekar Mabuk baru saja siuman, ia
segera menyadari tubuhnya terluka dan luka itu mulai membusuk. Maka ia pun
buru-buru meminum tuaknya, sehingga luka itu cepat mengering lalu hilang bagai
tak pernah mengalami luka apa pun.
Embun pagi yang terserap
matahari masih terasa membasah di permukaan dedaunan. Pendekar Mabuk segera
ingat peristiwa yang dialaminya semalam.
"Sepertinya pukulan
'Pecah Raga'-ku juga kenai sasaran. Entah apa yang dikenainya, mungkin manusia,
mungkin pohon, mungkin juga batu. Tapi sebaiknya kuperiksa sekitar sini untuk
mengetahui apa yang telah terhantam oleh jurus 'Pecah Raga'-ku semalam?!
Ternyata jurus itu telah
mengenai seseorang yang berpakaian hijau. Raga orang tersebut dalam keadaan
pecah, menyebar ke mana-mana. Namun dari potongan- potongan tubuh yang agak
besar, Suto Sinting dapat mengenali siapa orang itu. Terutama setelah ia
menemukan sisa potongan topi kain abu-abu kebiruan yang ujungnya berhias bola
kain kecil, Suto Sinting yakin betul bahwa orang yang terkena jurus 'Pecah
Raga'-nya itu adalah si Gober.
Gober adalah orang andalan si
Bayangan Setan juga yang dulu pernah bertarung melawan Suto. Orang berbadan
agak gemuk dan berkumis lebat itu pernah menyebarkan kabut beracun yang sempat
membuat beberapa penduduk kadipaten nyaris mati keracunan jika tak segera
ditolong dengan menggunakan tuak Suto, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Buronan Cinta Sekarat"). Saat itu, Gober segera larikan
diri karena perintah dari si Bayangan Setan agar mereka segera kembali ke
Samudera Kubur.
"Rupanya orang yang
semalam kukejar itu adalah si Gober. Pantas ia dapat melawanku dengan
menggunakan kabut hitamnya, rupanya kekuatan yang diandalkan selalu dalam
bentuk kabut atau asap beracun!"
Dalam renungannya, Suto tak
lupa bertanya-tanya, "Ke mana perginya si Mayangsita itu? Apakah ia
ditangkap oleh si Gober? Tapi tak ada jejaknya di sekitar sini. Dan kulihat bayangan
yang kukejar memang sendirian, tidak memanggul seseorang. Mungkin si Gober
dalam perjalanan pulang ke Bukit Lahat, dan kebetulan melintasi padang rumput
itu lalu kukejar. Dalam kegelapan malam ia sempat melepaskan jurus berkabutnya
yang tak kuketahui, dan kabut itu membungkusku beberapa saat."
Kini yang jadi pusat pemikiran
Suto adalah perginya Mayangsita. Ia sangat mencemaskan gadis itu, sehingga ia
berniat mencarinya di sekitar tempat itu sebelum pulang ke pondok si Wabah
Langit.
"Sayang sekali aku tak
bisa mengikuti si Gober. Kalau saja tadi malam aku berhasil menguntit si Gober,
maka dapat kuketahui di mana si Bayangan Setan dan para pengikutnya itu
bersarang," ujar Suto membatin sambil melangkah di sela-sela pepohonan
hutan yang rimbun itu. Untuk memudahkan gerakannya, ia segera melesat ke atas
pohon dan melesat dari pohon ke pohon sambil pandangi keadaan di sekitarnya.
Tiba-tiba didengarnya suara
rintihan kecil yang belum diketahui dari mana datangnya. Rintihan kecil itu
seperti tangis seorang gadis yang terbawa angin pagi.
Pendekar Mabuk hentikan
gerakan dan menyimak suara tangis kecil itu dengan pergunakan ilmu 'Sadap
Suara', hingga suara tersebut menjadi jelas dan diketahui tempatnya.
"Oh, sepertinya berasal
dari pohon besar yang berdaun rimbun itu?!" pikirnya, lalu ia pun segera
melesat ke pohon besar tersebut dengan pergunakan ilmu peringan tubuh yang dinamakan jurus
'Layang Raga', dipadu dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya itu.
Zlaaap, zlaaap...! Weess...!
Dalam beberapa kejap, Pendekar
Mabuk sudah sampai di salah satu dahan pohon besar tersebut. Suara isak tangis
itu semakin jelas.
*
* * 4
TERNYATA gadis yang menangis
itu adalah Mayangsita. Ia duduk meringkuk di atas dua dahan besar yang
membentuk sudut dengan dagu diletakkan di atas lututnya. Wajah gadis itu tampak
berlinang air mata. Pendekar Mabuk tak berani langsung mendekatinya.
"Kalau tak hati-hati
mendekatinya dia akan marah dan terjun begitu saja tanpa memperhitungkan
bahaya," pikir Suto. "Kalau langsung mati masih mending, tapi kalau
patah leher dulu, kan sama saja menyiksa?!"
Pendekar Mabuk biarkan dulu
gadis itu habiskan dukanya, ia menunggu dengan sabar sampai isak tangis itu
makin lama makin menipis, lalu hilang tak terdengar lagi. Gadis itu melamun
dengan wajah murungnya. Lalu untuk tak mengagetkan si gadis, Pendekar Mabuk
batuk- batuk kecil, sehingga menarik perhatian si gadis.
"Oh...?!" gadis itu
hanya terperanjat sedikit kala melihat Suto Sinting ada di dahan seberangnya.
"Mayangsita, bolehkah aku
mendekatimu?" sapa Suto Sinting dengan lembut. Mayangsita sibuk
mengeringkan sisa air mata, senyumnya serba canggung. Senyum itu diartikan Suto
sebagai izin untuk mendekat.
Pohon besar itu mempunyai
banyak dahan lebar dan besar. Rata-rata dahan tersebut berbentuk pipih, bukan
bulat seperti kayu gelondong. Pohon itu adalah jenis pohon beringin besi, yang
mempunyai kekuatan melebihi pohon jati. Banyaknya dahan yang tumbuh membuat
pohon itu mempunyai tempat yang enak untuk duduk, bahkan bisa untuk berbaring
bagi para pengembara yang membutuhkan tempat beristirahat.
Agaknya Mayangsita sudah
semalaman berada di pohon beringin besi itu. Ia menemukan dahan yang lebar dan
membentuk sisi sudut, sehingga punggungnya dapat bersandar dan kakinya bisa
selonjor santai. Ketika Pendekar Mabuk mendekatinya, dahan itu masih tersisa
dipakai duduk berdua, karena lebar dahan seukuran sebuah dipan dan ketebalannya
sekitar dua jengkal. Tak ada kekhawatiran untuk jatuh atau patah dahan.
"Mayangsita," ujar
Suto dengan suara lembut. "Mengapa kau harus lari dari pondok itu?
Bukankah kau bisa tetap bersikap tidak setuju dengan keputusan Ki Wabah Langit
tanpa harus pergi di malam gulita itu?"
"Aku muak dengan Ki Wabah
Langit. Dia tak bisa menyelami perasaanku," jawabnya seraya cemberut.
Pendekar Mabuk duduk di depan
Mayangsita.
Matanya memandang lekat-lekat
sehingga kecantikan gadis itu tampak jelas di matanya. Si gadis duduk melonjor
dan sandarkan kepala di dahan belakang.
"Aku mencemaskan dirimu,
Mayangsita."
"Mengapa kau cemaskan
diriku? Aku toh bukan apa- apamu, Suto?"
"Memang kau bukan
apa-apaku, tapi akulah yang membujukmu agar mau singgah dan bermalam di pondok
itu. Mau tak mau aku bertanggung jawab jika terjadi segala sesuatu atas
dirimu." "Tapi kau tidak membelaku saat itu."
"Aku sedang pelajari
bagaimana melemahkan kekerasan hati Ki Wabah Langit. Aku juga kecewa melihat
sikap Ki Wabah Langit, tapi aku bisa memakluminya, karena dia sayang padamu dan
tak ingin kau celaka."
Mayangsita masih cemberut,
tangannya bermain ranting muda. Pendekar Mabuk bicara kembali dengan nada
lembut, seakan penuh kesabaran.
"Sama halnya dengan
diriku, tak rela jika kau sampai celaka. Karena itu aku mengejarmu, ternyata
aku salah kejar. Hampir saja aku mati terbungkus kabut beracun."
"Oooh...?! Kau hampir tewas
oleh kabut beracun?!" Mayangsita tersentak kaget dan wajahnya tampak cemas
pandangi Suto Sinting. Duduknya tak lagi bersandar, sehingga wajahnya menjadi
lebih dekat lagi dengan wajah Suto. Ia memandang dengan bola matanya yang
bening dan mempunyai keteduhan tersendiri, ia menjadi tampak menyesali
tindakannya yang membuat Pendekar Mabuk nyaris binasa itu.
"Maafkan aku, Suto.
Seandainya aku tahu semua ini akan mencelakakan dirimu, aku tak akan lari dari
pondok itu. Ooh... tapi... tapi adakah bagian tubuhmu yang terluka, Suto?"
seraya tangan Mayangsita menyingkapkan rambut di kening Suto, ia memeriksa
tubuh Suto dengan penuh kecemasan.
"Untung aku membawa
bumbung tuakku, sehingga luka kecil itu dapat kusembuhkan dengan meminum tuak
ini!" "Oh, syukurlah," senyumnya mencerminkan hati yang lega.
Hati Suto menjadi berdesir indah melihat sikap Mayangsita yang tampak
mencemaskan dirinya. Keindahan itu kian berbunga ketika Mayangsita sunggingkan
senyum kelegaan, sepertinya gadis itu mengungkapkan rasa sayangnya tanpa
disengaja.
"Mau minum tuakku? Biar
dukamu hilang?!"
Mayangsita sunggingkan senyum
kian lebar. "Kau tahu saja kalau aku haus. Aku menangis semalaman di
sini," sambil Mayangsita menerima bumbung tuak dan menenggaknya beberapa
teguk.
"Jangan menangis lagi,
Mayangsita," ucap Suto bagai orang
berbisik. "Matamu yang indah dapat menjadi bengkak jika kau banyak
menangis."
Mayangsita serahkan bumbung
tuak kembali sambil berkata, "Tidak, aku tidak akan menangis lagi jika kau
ada di sampingku."
"Betul? Janji tak akan
menangis lagi?" sambil Suto sunggingkan senyum yang memancarkan daya pikat
tinggi itu.
Mayangsita mengangguk dengan
tetap pandangi Suto dan sunggingkan senyum indahnya. Lalu kedua tangan gadis
itu menggenggam tangan Suto.
"Aku berjanji. Tapi kau
pun harus janji tetap akan mendampingiku."
"Mengapa kau ingin
kudampingi, Mayangsita?" pancing Suto Sinting.
"Karena hatiku merasa
seperti sudah mengenalmu sejak, dulu. Entah mengapa, ketika aku memandangmu
yang pertama kalinya, hatiku tiba-tiba merasa sangat dekat denganmu, sepertinya
sudah lama kita saling berdekatan. Rasa-rasanya sulit sekali jika aku harus
jauh darimu, Suto."
Mayangsita tersenyum malu
ketika Suto Sinting sunggingkan senyum lebarnya dengan tatapan mata lembut yang
mendebarkan hati.
"Mungkin aku kena pelet
olehmu," tambah Mayangsita di sela tawanya. Kata-kata itu bernada kelakar,
sehingga Suto Sinting pun akhirnya tertawa di sela suara tawa kecil si
Mayangsita. Kini tangan kiri Suto ditumpangkan di tangan Mayangsita yang sejak tadi menggenggam tangan kanannya. Rasa
hangat mengalir di sekujur tubuh akibat kedua pasang tangan itu saling genggam.
Setiap gerakan jari bagai menjadi pusat perhatian dan menghadirkan debar-debar
keindahan tersendiri.
Tak peduli burung tak lagi
berkicau, tak peduli matahari makin meninggi, mereka bagaikan terhipnotis oleh
suasana indah yang hanya bisa dirasakan oleh mereka berdua. Bahkan gadis itu
tak merasa keberatan ketika dagunya diraih Suto dan wajahnya sedikit
ditengadahkan. Mata mereka saling tatap penuh keceriaan dalam jarak kurang dari
dua jengkal. Mereka saling dapat merasakan semburan napas yang menghangat di
sekujur wajah masing-masing.
"Kau cantik sekali,
Mayangsita," bisik Pendekar Mabuk. Bibir ranum Mayangsita bergerak-gerak
indah saat membalas ucapan itu. "Kau pun sangat tampan dan menggoda
hatiku, Suto.
Aku jadi gemetar sekali."
"Mengapa gemetar? Apakah
karena belum sarapan?" "Bukan karena itu, tapi karena aku belum
pernah
dipandangi pemuda setampan
dirimu, Suto." "Kau suka padaku?" pancing Suto.
Mayangsita menjawab lirih,
"Lebih dari suka "
Suto tak mampu bertahan lagi.
Bibir ranum itu sangat menggoda. Akhirnya ia menempelkan bibirnya ke bibir
Mayangsita pelan-pelan. Gadis itu langsung pejamkan mata, pertanda siap
menerima sentuhan hangat dari bibir Suto. Jantung telah berdebar-debar, dan
bibir itu pun ikut gemetar.
Ketika bibir itu terasa
dikecup oleh Suto, tangan Mayangsita meremas lengan Suto. Seakan ia menahan
sesuatu yang meledak-ledak dalam dada dengan indahnya.
Kecupan itu dilepaskan oleh
Suto dengan pelan- pelan. Lalu mereka saling pandang kembali. Pandangan mata
Mayangsita telah menjadi sayu, penuh kobaran hasrat yang membara. Senyum Suto
mengembang tipis penuh pesona.
"Indahkah kecupan
tadi?" bisik Suto.
"Indah sekali,"
jawab Mayangsita dengan berbisik pula.
"Dapatkah kau
melakukannya seperti yang kulakukan tadi?"
Mayangsita tidak menjawab,
namun ia segera mendekatkan wajahnya pelan-pelan. Lalu bibirnya mulai menyentuh
bibir Suto Sinting. Tetapi lidah Mayangsita sengaja menyapu permukaan bibir itu
lebih dulu. Sapuannya sangat lembut dan pelan, hingga jantung Suto menjadi
bergemuruh dihujani keindahan.
Gadis itu rupanya pandai
memainkan hati seorang lelaki. Suto Sinting dibuat penasaran dengan sapuan
lidahnya yang mengitari permukaan bibir Suto. Dengan kedua tangannya menelusup
di sela rambut panjang Suto, Mayangsita mulai memagut bibir Pendekar Mabuk. Bibir itu dilumatnya dengan lidah
menari-nari, dan Suto memberi balasan yang tak kalah hangat.
Makin lama gairah Mayangsita semakin
bergolak. Lidah dan bibirnya menyusuri wajah Suto. Ia tak tanggung-tanggung
untuk berlutut di atas dahan pipih yang kokoh itu. Dengan berlutut dan
menunduk, ia lebih mudah menciumi sekitar wajah Suto, bahkan lidahnya sempat
menggelitik di sekitar daun telinga Suto. Daun telinga itu pun sesekali
digigitnya pelan, menimbulkan rasa nikmat yang membuat tangan Suto meremas.
Apa yang diremas oleh Suto
ternyata adalah gumpalan sekal yang padat dan berisi di permukaan dada
Mayangsita. Rupanya sejak tadi tangan Suto sudah menelusup ke balik baju tanpa
lengan yang berwarna hitam itu. Tangan tersebut menemukan dua bukit yang hangat
dan segera berkeliaran dengan leluasanya.
"Oouuh...!"
Mayangsita mengeluh dengan tangan meremas rambut Suto. Kepala pemuda itu semakin
dirapatkan ke dadanya, bahkan tangan kirinya sempat menarik baju dari ikat
pinggangnya, sehingga belahan baju menjadi lebih lebar lagi, bahkan terlepas
bebas. Mayangsita menyingkapkan bajunya sendiri, kemudian menyodorkan dadanya
ke mulut Suto Sinting.
"Hangatkan yang ini,
Suto. Sapulah ujungnya dengan lidahmu.... Oh, ya, begitu.... Uuuuh... nikmat
sekali, Sutooo...," rengek Mayangsita dengan kepala mendongak dan mata
terpejam. Seakan setiap sentuhan lidah Suto sangat diresapi keindahannya, sehingga
gadis itu kian menghamburkan desah dan erangan yang tiada hentinya. Bahkan
ketika Suto memagut agak kencang, Mayangsita memekik dengan kedua tangan
meremas rambut Suto.
"Aoow... ! Ooh, Suto...
indah sekali itu. Teruskan, Suto... teruskan... ooouh...!"
Kedua tangan Pendekar Mabuk
juga tak mau tinggal diam. Ia merasa sudah telanjur masuk dalam arena
pertarungan cinta. Tangannya pun mulai mengendurkan apa yang mengikat di tubuh
Mayangsita. Agaknya gadis itu tak keberatan, karena ia sempat membantu Suto melepaskan
ikat pinggangnya yang terbuat dari selendang hijau itu. Akibatnya, kain yang
menutupi bagian bawahnya itu merosot hingga jatuh ke lutut. Sesuatu yang
tersembunyi selama ini terbuka bebas tanpa hambatan. Tangan Suto pun dapat
menjamahnya dengan leluasa.
"Ouuh...! Teruskan,
Suto.... Uuhmmm... indah sekali, Sayang...," erang Mayangsita bersama
napasnya yang berhamburan dalam desah.
Gadis itu ternyata jauh lebih
berani dari dugaan Suto Sinting, ia bahkan meminta Suto Sinting merayapkan
kecupannya dari dada sampai ke bawah. Lidah Suto dipaksakan untuk menari-nari
dengan nada merengek.
"Oh, Suto... menarilah...
mainkan tarian lidahmu, Suto. Ooh, ya, ya, yaaaah... terus, Suto.
Teruuuss...!"
Gadis lembut itu akhirnya
menuntut kemesraan lebih liar lagi. Ia duduk di dahan atasnya. Suto Sinting di
dahan bawah. Tanpa merasa canggung dan malu lagi, segala yang dikenakan tadi
ditanggalkan di dahan bawah.
Kerindangan dedaunan pohon
membuat mereka tak merasa khawatir dilihat orang. Gadis itu semakin menjerit.
Terlebih ketika puncak kemesraannya tiba, Mayangsita tak tanggung-tanggung
meraung panjang bagai orang sedang disiksa. Keringatnya pun mengucur deras,
namun agaknya ia masih belum merasa puas, sehingga Suto masih dituntut untuk
melakukan keindahan seperti tadi dengan lidahnya.
"Oh, Suto... Suto,
sekarang giliranmu, Sayang....
Berhentilah dulu, aku akan
melambungkan jiwamu seperti yang kualami tadi. Indah sekali, Suto. "
Pendekar Mabuk pun
menghentikan cumbuannya. Mayangsita menyuruh Suto Sinting berdiri dengan kedua
tangan menumpang di dua dahan sebatas dada itu. Mayangsita sendiri yang
melepaskan ikat pinggang Suto yang terbuat dari kain merah itu. Kemudian
tangannya menemukan sesuatu yang segera diraih dalam genggamannya.
"Ooh... luar biasa sekali
kau, Suto. ," pujinya dalam desah dan napas memburu. Kala itu kain putih
Suto segera ditarik dan jatuh menutupi telapak kaki. Mayangsita tampak
kegirangan. Matanya memandang dengan berbinar-binar. Sambil tangannya masih
menggenggam, Mayangsita mulai memagut-magut lutut Suto. Kadang lutut itu
digigitnya pelan, lalu disapu dengan ujung lidahnya.
"Ouh, Mayang...,"
desah Suto menahan keindahan yang ingin meledak dari dalam dada.
Mayangsita merayapkan lidahnya
dari lutut ke paha dengan gerakan sangat pelan, ia tak peduli lutut itu
gemetaran, tapi kedua tangannya tetap memaksa agar Suto lebih terbuka lagi.
Kepala Mayangsita pun menggeliat hingga tengadah, karena sang lidah ingin
menyapu bagian lain dari sesuatu yang digenggamnya sejak tadi.
"Ooooh...!" erangan
panjang Suto membuat Mayangsita semakin bersemangat lagi. Ia biarkan tangan
Suto meremasi rambutnya, karena hal itu akan membuatnya merasa bangga karena
dapat memberikan keindahan yang setimpal dengan yang diberikan oleh Suto
Sinting tadi. Pagutan-pagutannya semakin kuat, bibir dan lidahnya semakin
lincah bermain di ujung kehebatan Suto itu. Setelah puas bermain, gadis itu pun
seakan ingin menelan Suto bulat-bulat. Hal itu membuat Suto mengerang panjang.
Gadis itu tak sanggup lagi
menahan tuntutan gairahnya, ia ingin lakukan pelayaran cinta bersama Pendekar
Mabuk yang bertubuh kekar dan saat itu bermandi keringat. Menatap keringat Suto
saja Mayangsita sudah tak sabar lagi mempermainkan asmaranya sendiri.
Ia segera melompat ke dahan
lain. Huup...! Jleeg... ! Dahan itu lebih datar dan mempunyai permukaan kulit
yang halus, ia berbaring di dahan itu.
Kedua kakinya ditumpangkan
pada dahan kecil yang lebih tinggi dari dahan yang dipakainya berbaring. Dahan
kecil itu terletak di kanan kirinya, masing-masing berjarak satu betis dari
dahan besar.
Pendekar Mabuk hanya
sunggingkan senyum ketika melihat Mayangsita telah berbaring di sana. Mata si
gadis semakin sayu menatap Suto, membentang lebar penuh tantangan, dan bibirnya
merekah saat memanggil dengan suara merengek seperti anak kecil.
"Suto, datanglah kemari.
Aku tak sanggup bertahan lagi, Suto.... Lakukanlah sekarang juga, Sayang.
Kemarilah. "
Kalau saja saat itu tidak
segera terdengar suara ledakan, mungkin Suto Sinting telah melompat ke dahan
itu dan menikam si gadis dengan kedahsyatannya. Tetapi karena saat itu mereka
segera mendengar suara ledakan dua kali yang berasal dari tempat tak seberapa
jauh dari situ, maka perhatian Suto pun segera beralih ke suara ledakan
tersebut.
Duaar, blaaarr !
Pendekar Mabuk menegang
seketika. Matanya lebih lebar, tak sesayu tadi. Mayangsita pun tertarik dengan
suara ledakan tersebut, namun gadis tu segera bisa bersikap cuek dan tak mau
perhatiannya pindah ke suara ledakan.
"Suto, biarkan suara itu.
Lekaslah mengarungi lautan kemesraan bersamaku, Suto...!" pintanya bernada
merengek.
Jegaaar...!
Suara ledakan itu semakin
keras dan menggetarkan pohon tempat mereka bercumbu. Pendekar Mabuk semakin
penasaran dan resah, ia yakin, di seberang sana ada pertarungan seru. Dan Suto
paling tak bisa tinggal diam jika mendengar suara pertarungan. Nalurinya
sebagai seorang pendekar selalu menuntut untuk melihat siapa yang bertarung dan
jurus-jurus maut apa saja yang digunakan mereka.
Gairah Suto yang sudah membara
pun menjadi padam seketika. Rengekan
Mayangsita sempat tak dihiraukan, ia segera mengenakan apa yang tadi telah
dilepaskannya.
Melihat Suto Sinting merapikan
diri, Mayangsita mulai bernada kecewa.
"Suto, jangan pergi dulu!
Lakukanlah dulu, Suto.
Oooh... aku ingin menikmati
walau sekali saja "
"Kau tetap di sini! Aku
akan kembali secepatnya setelah melihat siapa yang bertarung di sana!"
ujar Suto dengan sedikit gugup karena terburu-buru.
"Sutooo...," rengek
Mayangsita seperti mau menangis. "Lupakan dulu pertarungan itu. Kita berlayar
dulu sampai ke puncak keindahan walau satu kali saja. Setelah itu kita
sama-sama melihat siapa yang bertarung di sana. Lalu kita akan kembali ke sini
dan mengulanginya lagi, Sayang. Ayolah, Suto... oouh, Suto aku sudah tak bisa
menahan diri lagi, Sayang...," bujuk Mayangsita sambil pinggulnya sengaja
menggeliat agar menarik perhatian Suto.
Tetapi bagi Pendekar Mabuk,
sebuah pertarungan lebih menarik perhatiannya daripada sebuah goyangan pinggul,
ia tak peduli rengekan itu. Bumbung tuak yang tadi digantungkan pada salah satu
ranting, kini disambarnya dalam keadaan telah berpakaian rapi.
"Sutooo...!" pekik
gadis itu dengan jengkel.
"Sebentar saja, Mayang.
Aku hanya sebentar, nanti aku ke sini lagi!"
"Kau tak ingin
menikmatinya dulu walau sejenak, Suto?!"
"Aku akan melihat
pertarungan itu. Sebentar saja!" "Tapi nanti kau ke sini lagi?!"
"Ya, aku ke sini
lagi!"
"Dan berlayar denganku ke
lautan cinta?" "Iya, ya...!" Suto agak menyentak.
"Kau berjanji,
Suto?!" "Cerewet kau, ah!"
Zlaaap...! Suto Sinting
bagaikan menghilang, ia melesat cepat menuju ke tempat pertarungan. Sisa asap
hitam dari ledakan yang kedua tadi masih terlihat. Sisa asap itulah yang
menjadi pedoman langkah Suto yang melompat dari pohon ke pohon.
Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!
Gerakan cepat itu terhenti
dengan cepat pula. Seeet...! Pendekar Mabuk masih tetap berada di atas pohon
ketika ia melihat dua orang gadis sedang lakukan pertarungan di tanah berpohon
renggang itu. Mata Suto Sinting sempat terbelalak kaget melihat kedua gadis yang
bertarung dengan sengitnya itu. Yang satu sudah mencabut pedangnya, yang satu
masih menggunakan tangan kosong.
Pada saat itu jantung Suto
Sinting bagaikan berhenti seketika, karena yang dilihatnya adalah seorang gadis
berpakaian serba hitam sedang bertarung dengan seorang gadis cantik berjubah
putih. Jubah putihnya yang berhias benang emas itu tidak memakai lengan,
sehingga kulit tubuhnya tampak berwarna kuning langsat.
Gadis yang berjubah putih itu
mengenakan kutang biru tipis hingga dadanya tampal sekal menonjol, ujungnya
mencuat ke atas. Celana komprangnya berwarna biru, panjang sampai ke mata kaki
dan diberi tali pengikat pada ujung celana itu. Gadis berjubah putih itu
mempunyai senjata pedang gading berukir kepala naga pada gagangnya, ia
mempunyai potongan rambut shaggy tanpa ikat kepala, bibirnya mungil, Hidungnya
bangir.
Pendekar Mabuk yakin gadis itu
jika tersenyum pasti mempunyai lesung pipit di kedua pipinya, sebab Pendekar
Mabuk pernah bertemu dengan gadis itu ketika menembus alam perbatasan antara
gaib dan alam nyata. Gadis itu tak lain adalah Nirwana Tria, cucu Dewa Tanah
yang menjadi orang paling disegani di Dasar Bumi, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Ratu Maksiat").
Kemunculan Nirwana Tria memang
mengejutkan bagi Suto. Tetapi lebih mengejutkan lagi adalah lawan dari Nirwana
Tria itu. Gadis yang sedang menebaskan pedangnya ke arah leher Nirwana Tria dan
tebasan itu dapat dihindari dengan meliukkan badan ke belakang itu adalah gadis
berpakaian serba hitam, cantik, berambut pendek sebahu tanpa ikat kepala,
mengenakan sabuk hijau, dan dadanya montok. Gadis itu tak lain adalah
Mayangsita.
"Lalu, siapa yang
bercinta denganku di atas pohon tadi?!" pikir Suto Sinting dengan hati
berdebar-debar, ia sempat bingung dan menggeragap sejenak, ia merasa bercumbu
begitu panasnya dengan Mayangsita, tapi ternyata gadis itu sekarang sedang
bertarung dengan Nirwana Tria. Padahal Suto masih ingat bahwa Mayangsita
ditinggalkan di pohon besar itu dan sedang menunggu kedatangannya untuk
mengarungi lautan cinta.
"Jangan-jangan mataku
telah rusak?!" gumam hati Pendekar Mabuk, menyangsikan penglihatannya, ia
mengerjap-ngerjap dan mengucal-ngucal mata sesaat. Tapi ketika memandang ke
arah pertarungan, ternyata tetap Mayangsita yang dilihatnya sedang bertempur
melawan Nirwana Tria.
"Haruskah aku kembali ke
pohon itu dan membawa Mayangsita untuk melihat siapa yang bertarung di sini?!" pikir Suto dalam pertimbangan
paniknya.
"Oh, tak mungkin aku
kembali sekarang. Kelihatannya Mayangsita mulai terdesak oleh serangan Nirwana
Tria. Kalau pertarungan itu tidak segera kuhentikan, Mayangsita akan terluka,
bisa-bisa nyawanya melayang. Pertarungan ini tak setanding."
Namun sebelum Suto bertindak,
Mayangsita sudah berhasil melepaskan jurus andalannya ke dada Nirwana Tria.
Tendangan itu datang tak disangka-sangka, sehingga Nirwana Tria kecolongan.
Duukh...! Weess, brrruuk...!
Nirwana Tria terpental mundur
dan jatuh dengan satu kaki berlutut. Mayangsita melompat dan menebaskan
pedangnya dari atas ke bawah, seakan ingin membelah kepala Nirwana Tria.
Tetapi cucu si Dewa Tanah itu
segera bangkit dah menyambut datangnya pedang itu dengan kedua tangan saling
merapatkan pergelangannya dan menyentak ke atas. Seeeb...! Pedang itu terselip
di antara kedua telapak tangan Nirwana Tria. Dalam keadaan menjepit pedang,
kedua tangan Nirwana Tria menyentak ke kiri. Krrak...! Pedang itu pun patah dan
Mayangsita terperangah.
Tanpa menunggu lawannya sadar
kembali dari kekagetannya, Nirwana Tria segera memutar tubuh dengan cepat.
Kakinya menendang dalam gerakan memutar beberapa kali, sehingga kaki itu bagai
menampar wajah Mayangsita berulang-ulang.
Plak, plak, plak, plak,
plak...!
Mayangsita terdesak mundur
dengan geragapan. Dan yang terakhir kalinya, kaki Nirwana Tria melayang lebih cepat
lagi, membuat Mayangsita terlempar ke samping tanpa ampun lagi. Beeet,
ploook...!
Wees, brruk...!
Mayangsita tak sempat terpekik
karena nyawanya bagaikan melayang sekejap dan kembali lagi dengan cepat, ia
jatuh terkapar di bawah pohon dengan tubuh mengejang dan wajah menyeringai
menahan sakit.
Tiba-tiba dari arah belakang
Nirwana Tria muncul sekelebat bayangan yang segera menerjang punggung gadis
cantik bersenjata pedang dua jengkal yang diberi nama Pedang Lidah Naga itu.
Wwees...! Duuukh...!
Nirwana Tria terhentak ke
depan. Punggungnya disodok dengan ujung tongkat. Ujung tongkat itu kepulkan
asap. Semestinya punggung itu bolong seketika. Tapi ternyata punggung Nirwana
tidak mengalami cedera apa pun. Bahkan bekas hangus di jubah putihnya pun tak ada.
Ia hanya merasa sesak napas sedikit, lalu segera bangkit dan cepat berbalik.
"Wah, gawat! Ki Wabah
Langit turun tangan?!" gumam Suto Sinting sebelum menghambur ke
pertarungan. "Pasti suara ledakan tadi yang membuat Ki Wabah Langit segera
lari kemari dan mencemaskan diri Mayangsita!"
Wabah Langit tampak memandang
dengan angker kepada Nirwana Tria. Tapi gadis yang dipandang justru
menyunggingkan senyum sinis berkesan meremehkan pandangan angker itu. Wabah
Langit segera menggeram, tongkatnya diputar di samping kanan dengan permainan
jari-jari tangan kanannya. Putaran itu sangat cepat, menimbulkan suara dengung
yang menyakitkan gendang telinga.
Nirwana Tria segera
mengeraskan kedua jari telunjuknya. Jari telunjuk itu ditempelkan ke pelipis
sebentar, lalu pergelangan tangannya berputar bagai menari, dan kedua jari itu
disentakkan ke depan. Suuut...!
Slaaap...! Dua larik sinar
hijau bening melesat dari ujung jari itu dan mengarah ke dada Wabah Langit.
Kakek berjubah biru itu memindahkan tongkatnya ke depan dalam keadaan masih
berputar cepat bagaikan baling-baling. Weerrs...! Kedua sinar hijau itu
akhirnya menghantam tongkat tersebut hingga timbulkan ledakan yang menggelegar.
Jegaaar...!
Nirwana Tria terpental mundur,
namun hanya jatuh berlutut, sementara si Wabah Langit masih tegak berdiri, ia
bahkan segera lakukan lompatan dengan tongkat tergenggam kuat lalu dihantamkan
ke arah kepala Nirwana Tria. Gerakannya sangat cepat dan hantaman tongkat itu
nyaris tak terlihat.
Pada saat itulah, Suto Sinting
segera melepaskan sentilan kecil dari jurus "Jari Guntur'-nya ke pinggang
si Wabah Langit. Tees...!
Buukh...!
Sentilan yang dilakukan sambil
melompat ke tengah pertarungan itu membuat Wabah Langit terpelanting ke samping
hingga pukulan tongkatnya jauh dari sasaran semula. Brrruk...! Wabah Langit tak
bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, ia jatuh terbanting dengan sangat
menyedihkan.
"Bangsat
terkutuk...!" makinya dengan kasar dan bersuara keras.
Zlaap, jleeg...!
Suto Sinting muncul di
pertengahan jarak antara Nirwana Tria dan Wabah Langit. Kemunculan itu membuat
keduanya sama-sama terkejut. Bahkan Nirwana Tria sempat berseru girang.
"Suto...?!"
"Hentikan pertarungan
ini!" tegas Suto Sinting.
Wabah Langit protes sambil
menahan sakit di pinggangnya. "Dia ingin membunuh Mayangsita!"
Mayangsita yang sudah berdiri
namun tubuhnya sangat lemas sehingga berpegangan pada pohon itu segera ikut
berkata dengan suara lemah.
"Diid... dia... si
Bayangan... Bayangan Ketan, eeeh...
Bayangan Setan!" sambil
menuding Nirwana Tria.
Pendekar Mabuk segera menarik
lengan Nirwana Tria agar berdiri bersebelahan dengannya. Saat itu Nirwana Tria
berkata kepada Suto Sinting bagai anak kecil mengadu kepada orangtuanya.
"Dia menyerangku lebih
dulu, Suto! Tak tahu apa sebabnya, dia ingin membunuhku!"
"Kar... karena... karena
kau adalah Bayangan Wetan, eeeh... Bayangan Setan!" timpal Mayangsita.
"Kau salah duga!"
ujar Suto kepada Mayangsita. "Siapa yang salah raga?!" sahut Wabah
Langit
dengan keras. "Salah
duga!" ulang Suto memperjelas ucapannya untuk si Wabah Langit. "Gadis
cantik ini bukan si Bayangan Setan! Dia adalah Nirwana Tria, dari negeri Pusar
Bumi atau Dasar Bumi! Dia sahabatku, cucu dari Dewa Tanah!"
"Dewa Lintah?!"
"Dewa Tanah, Ki!"
seru Suto.
Wabah Langit terkejut.
"Dewa Tanah...?! Ooh...?! Bbe... benarkah dia cucunya si Dewa Tanah,
penguasa Pusar Bumi itu?!"
"Benar!" jawab Suto
Sinting tegas sekali.
"Boh... bohong...!
Waanita... wanita cantik itu pasti si Bayangan Setan! Ddi... dia... dia bisa
berubah-ubah rupa seperti siapa saja!" kata Mayangsita tetap tak percaya,
ia tampak gugup karena matanya sesekali memandang ke arah Suto Sinting.
Pendekar Mabuk membatin,
"Agaknya dia benar- benar Mayangsita. Dia bicara dengan gugup dan terbata-
bata jika berhadapan denganku. Sedangkan gadis yang bercumbu denganku tadi bisa
bicara dengan lancar. Oh, jika benar si Bayangan Setan bisa berubah-ubah rupa,
tak salah lagi, pasti gadis di pohon itu adalah si Bayangan Setan alias Andani!
Ia berubah menjadi Mayangsita dan memancingku untuk bercumbu! Sialan! Tapi...
diam-diam saja, ah! Malu sekali kalau sampai cerita ini didengar mereka yang
ada di sini!"
Wabah Langit tampak takut
memandang Nirwana Tria. Ia bahkan sempat sedikit membungkuk penuh hormat kepada
Nirwana Tria. "Maafkan kebodohanku tadi, Cucu Dewa Tanah!" "Kau
kenal dengan kakekku, Pak Tua?"
"Aku hanya mendengar
kebesaran namanya saja. Tapi aku menjadi
percaya bahwa kau adalah cucu Dewa Tanah, karena punggungmu tetap utuh menerima
jurus 'Tongkat Kobra'-ku tadi! Jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin
dapat menahan jurus 'Tongkat Kobra'-ku!"
Lalu, Wabah Langit berkata
kepada Mayangsita. "Jangan lagi melawannya, Mayangsita! Dia memang
bukan si Bayangan Setan!
Dugaanmu hanya diracuni oleh dendammu sendiri."
Mayangsita tundukkan kepala,
karena Pendekar Mabuk memandanginya.
*
* *
5
PENDEKAR MABUK ingin buktikan
kepada mereka bahwa Bayangan Setan telah mengubah diri sebagai Mayangsita. Ia
segera membawa mereka ke pohon besar yang dipakainya bercumbu itu. Tetapi ternyata
pohon itu sudah tidak berpenghuni lagi. Sosok gadis yang menyerupai Mayangsita
telah tiada. Berarti Bayangan Setan telah pergi.
Wabah Langit berkata,
"Mungkin dia tahu Nirwana Tria telah muncul di sekitar tempat ini!"
Nirwana Tria menarik napas dan palingkan wajah, tak mau menjadi bahan perhatian
Mayangsita dan Pendekar Mabuk. Sementara itu, Mayangsita yang sudah mau percaya
dengan penjelasan Suto serta Wabah Langit itu segera ajukan tanya kepada
sahabat gurunya itu.
"Mengapa si Bayangan
Setan segera pergi jika benar ia mengetahui kemunculan Nirwana Tria, Ki?"
"Karena dia takut!"
sentak si Wabah Langit. "Mengapa takut?!" desak Mayangsita dengan
lancar
karena matanya tertuju pada si
wajah angker berjubah biru itu.
"Apakah gurumu tak pernah
menceritakan tentang kehancuran Samudera Kubur saat bersarang di Pulau Blacan,
delapan tahun yang lalu?!"
"Guru tak banyak
membeberkan cerita itu, Ki." "Gurumu memang songong!" geram
Wabah La ngit.
"Samudera Kubur saat
berada di Pulau Blacan telah dihancurkan oleh pasukan dari Dasar Bumi atau dari
negeri Pusar Bumi. Pasukan itu dipimpin oleh seorang gadis, cucu dari Dewa
Tanah. Dan gadis itu sekarang ada di sampingmu!"
Mata Mayangsita melirik
Nirwana Tria, bahkan kini memandang langsung dengan posisi berdiri menghadap
Nirwana Tria. Yang dipandang jadi serba salah dan akhirnya hanya tundukkan
kepala sambil kedua tangannya bersedekap, kakinya bermain batu secara iseng.
Suto Sinting pun jadi ikut
memandang Nirwana Tria, karena kekagumannya terhadap gadis itu semakin
bertambah, ia pun ingat dengan cerita Perawan Sinting tentang sebuah biara yang
telah runtuh dan sekarang tinggal puing-puingnya. Biara itu dulu bekas pusat
Perguruan Bunga Seroja. Ketika perguruan itu diambil alih oleh Peri Kahyangan,
maka orang-orang Perguruan Bunga Seroja menjadi sesat dan beraliran hitam.
Perguruan itu akhirnya dihancurkan oleh Nirwana Tria pada masa lima puluh tahun
yang lalu, dan Peri Kahyangan melarikan diri ke alam gaib. Rupanya Peri
Kahyangan kini bergentayangan lagi dan menamakan dirinya sebagai si Bayangan
Setan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Buronan Cinta
Sekarat")
Kini giliran Nirwana Tria yang
bicara.
"Cerita itu tak perlu
disebarluaskan, Ki Wabah Langit," ujarnya dengan sopan dan hormat.
"Untuk apa membicarakan masa lalu. Bukankah lebih baik membicarakan masa
sekarang, di mana Bayangan Setan mengganas lagi dan aku diperintahkan oleh
Kakek Dewa Tanah untuk menuntaskannya!"
"Aku bersyukur jika kau
sudah mulai turun tangan lagi, Nirwana Tria," ujar si Wabah Langit.
"Karena aku sendiri merasa belum tentu unggul melawan si Bayangan
Setan!"
"Kabar yang kudengar,
Bayangan Setan atau si Peri Kahyangan itu bersembunyi di Bukit Lahat. Maka aku
pun segera mencari Bukit Lahat sambil mencari tahu di mana Pendekar Mabuk
berada."
"Mengapa kau juga mencari
Pendekar Mabur, eeh... Pendekar Beruk, eeh... anu... Pendekar "
"Pendekar Mabuk!"
sentak Wabah Langit.
"Iya!" balas
Mayangsita pendek saja. Ia selalu gugup jika menyebut Pendekar Mabuk di depan
orangnya.
"Kakek berpesan agar aku
bekerja sama dengan Pendekar Mabuk. Si Bayangan Setan hanya bisa mati atau
musnah selamanya jika yang membunuh adalah pemuda tanpa pusar. Dan pemuda tanpa
pusar itu adalah Suto Sinting; si Pendekar Mabuk ini!"
Mayangsita terperangah dan tergagap-gagap
lagi. "Oh, jad... Jadi dia
tidak punya pasar?
Eeeh. tidak
punya ular? Aduh, anu...
maksudku... dia tidak punya "
"Pusar!" sentak
Wabah Langit lagi. "Iya. Tidak punya pusar?!"
Nirwana Tria tersenyum geli.
"Tanyakan sendiri pada orangnya."
Wabah Langit menyahut,
"Kalau perlu, periksalah kebenarannya, Mayangsita!"
"Ah, anu... oh, Iya
periksa. Eh, jangan. ! Tidak mau!"
Mayangsita menjauh sambil
mengibas-ngibaskan tangannya.
Pendekar Mabuk dan Nirwana
Tria tertawa geli.
Setelah keadaan tenang
kembali, Mayangsita telah berpindah di samping Wabah Langit, maka Nirwana Tria
mulai bicara dengan serius kepada Suto Sinting.
"Berapa lama kau bertemu
dengan si Bayangan Setan dalam wujud Mayangsita?"
"Yah, tak terlalu lama.
Kami hanya bertegur sapa saja dan menanyakan mengapa Mayangsita tadi malam
kabur dari pondok Ki Wabah Langit."
Mayangsita menyahut, "Aku
sembunyi di... di- tumpukan kayu kabar, eeeh... kayu bakar, di belakang murah,
eeeh... di belakang rumah. Aku memang ingin sindiran, aah... anu, aku memang
ingin sendirian merenungi kata-kata Ki Bawah Langit!"
"Goblok! Namaku Wabah
Langit!" bentak si pemilik nama.
"Iya, maksudku, Wabah
Langit, Goblok! Eaeh... maaf, maaf, Ki!" Mayangsita ketakutan sendiri
sampai cium tangan si Wabah Langit.
Nirwana Tria akhirnya
memutuskan agar Wabah Langit dan Mayangsita kembali ke pondok, ia dan Suto
Sinting akan menuju ke Bukit Lahat, memburu si Bayangan Setan. Semula gadis
murid Eyang Panujum itu agak ngotot, ingin ikut ke Bukit Lahat. Tetapi Suto
Sinting menetapkan dengan tegas.
"Kau harus tetap di
pondok bersama Ki Wabah Langit dan Mahesa Gibas! Jika kau tak mau menurut, aku
tak mau mengenalmu lagi!"
"Bbaa... baiklah kalau
begitu maumu. Akk... aku... akan tetap di pondong, eeh... akan tetap di pondok
bersama Ki Wabah Langit dan Mahesa Gabus, eeh... Mahesa Gibras, aduh... salah
lagi! Siapa, Ki?"
"Tirukan! Ma-he-sa "
"Ma-he-sa "
"Gi-bas "
"Gi-bas "
"Mahesa Gibas!"
"Mahesa Gabres! Aduuuh... salah lagi!"
"Sudah, sudah... kita
pulang sekarang saja, biar urusan si Bayangan Setan ditangani Nirwana Tria dan
Suto Sinting!" geram si Wabah Langit sambil menarik tangan Mayangsita.
Pendekar Mabuk dan Nirwana Tria pandangi kepergian mereka sesaat.
Begitu mereka telah menghilang
dari pandangan mata, tiba-tiba Nirwana Tria memeluk Suto dan bibirnya menyambar
bibir pemuda itu. Crrup...!
"Hei, nakal kau!"
"Aku kangen padamu!"
ujar gadis cantik berlesung pipit itu. "Ketika Kakek Dewa Tanah
memanggilku dan memberikan tugas menghancurkan Peri Kahyangan dengan terlebih
dulu mencari Pendekar Mabuk, hatiku girang sekali. Semangatku tinggi karena aku
punya kesempatan muncul di permukaan bumi dan bisa bertemu denganmu. Maka dari
kabar ke kabar, kuperoleh keterangan bahwa si Pendekar Mabuk sedang memburu
Bayangan Setan ke Pulau Blacan atas permintaan tolong dari Adipati Jayengrana.
Teropong batinku mengatakan, kau tidak ada di Pulau Blacan. Mata batinku pun
mencarimu hingga akhirnya kutemukan kau ada di sekitar Pantai Porong. Lalu
kuperoleh keterangan dari Panembahan Pancalingga, bahwa kau bergerak ke arah
sini. Maka aku pun memburumu ke sini."
Nirwana Tria bicara dengan
berapi-api, seakan menampakkan betul kegembiraannya dapat bertemu dengan
Pendekar Mabuk, ia memang terpikat oleh ketampanan dan keromantisan sang
Pendekar Mabuk. Namun karena ia tahu, Pendekar Mabuk sudah mempunyai calon
istri sendiri, yaitu Dyah Sariningrum anak dari Ratu Kartika Wangi yang
dihormati, maka ia tak berani merebut pemuda itu dari hati Dyah Sariningrum. Ia
hanya memanfaatkan bunga-bunga indah yang bermekaran di masa lajang si Pendekar
Mabuk itu.
Sambil melangkah mendaki
perbukitan, Pendekar Mabuk sempat ajukan tanya kepada Nirwana Tria yang
sebenarnya sudah berusia tiga kali lipat usia Suto Sinting itu.
"Apakah kau tahu,
bagaimana caranya si Bayangan Setan dapat menirukan wujud dari
Mayangsita?"
"Dia bisa mengambil alam
pikiran seseorang dan mewujudkannya dalam bentuk nyata. Barangkali saat itu kau
memikirkan Mayangsita dengan segala permasalahannya, sehingga pikiranmu diambil
dan ia membentuk diri menyerupai alam pikiranmu itu. Ia mempunyai ilmu 'Aji
Samar Dewi' yang bisa membuat dirinya berubah-ubah wujud. Bisa saja ia berubah
menjadi binatang atau raksasa."
"Hmmm...!" Pendekar
Mabuk menggumam sambil manggut-manggut. "Lalu, bagaimana cara
mengatasinya? Maksudku, bagaimana cara mengetahui bahwa binatang atau seseorang
itu adalah penyamaran dari si Bayangan Setan?!"
"Tato di pahanya akan
selalu ikut serta dalam setiap perubahannya, walaupun tato itu tidak hidup
seperti jika berada di pahanya sendiri." Pendekar Mabuk hanya membatin,
"O, pantas waktu tadi kuciumi pahanya, aku melihat ada tato kecil di sana.
Tapi tak jelas bentuknya, sehingga kusangka hanya tompel biasa. Rupanya tato
kecil itu berbentuk kupu- kupu! Ah, kurang ajar betul si Andani itu! Aku nyaris
dibuatnya ternoda! Untung belum sempat kuberikan 'jimat keramat'-ku ini
kepadanya. Benar-benar gila dia. Kusangka si Mayangsita gairahnya sebuas itu.
Tak tahunya si setan keparat yang punya gairah!"
Nirwana Tria sempat curiga dengan
bungkamnya mulut Suto itu.
"Benarkah kau tadi hanya
bicara-bicara biasa dengan jelmaan si Bayangan Setan?"
"Hmmm... ya, benar!"
Suto mempertegas jawabannya agar tak timbulkan kecurigaan lagi di hati gadis
itu.
"Tidak berbuat yang
bukan-bukan?"
"Tidak! Kenapa kau
bertanya begitu padaku?"
Nirwana Tria tersenyum kalem.
"Kau sangka aku tak tahu watakmu kalau sudah berhadapan dengan seorang
gadis cantik dalam keadaan hanya berdua di tempat sepi?!"
Suto Sinting tertawa pahit.
"Aku tak serendah dugaanmu."
"Itu tak mungkin
kulakukan. Seandainya hal itu kulakukan, tentunya aku sudah mati dimakan si
Bayangan Setan."
Nirwana Tria tersenyum sinis,
"Ia tak akan melukaimu atau membunuhmu. Bahkan ia tak mungkin mengunyah
dagingmu walau sedikit pun." "Kenapa kau yakin dia tak akan
membunuhku?" "Karena dia pasti tahu bahwa kau adalah pemuda
tanpa pusar. Satu pantangan
yang tak boleh dilanggar olehnya adalah membunuh atau memakan daging orang yang
tidak punya pusar!"
"O, ya...?!" Suto
Sinting terperanjat dan semakin penasaran. "Seandainya dia nekat
membunuhku atau memakan dagingku, bagaimana jadinya?"
"Seluruh ilmunya akan
hilang seketika itu juga!" "Ooo...," Pendekar Mabuk
manggut-manggut lagi. "Oleh sebab itu, kakekku menyarankan agar aku
menemuimu dan mengatakan,
bahwa hanya kaulah orang yang bisa membinasakan si Peri Kahyangan itu,"
ujar Nirwana Tria dengan serius. "Karena jika ia melawanku, ia hanya bisa
kukalahkan namun tak bisa kubunuh, ia akan segera kabur dan hilang entah ke
mana, lalu muncul kembali beberapa tahun kemudian, seperti halnya kali
ini!"
Pendekar Mabuk tarik napas
dalam-dalam. Secara tak langsung ia telah mendapat mandat dari Dewa Tanah untuk
hancurkan si Bayangan Setan. Hatinya merasa bangga mendapat kepercayaan sebesar
itu. Tetapi ia belum tahu bagaimana cara mengalahkan si Bayangan Setan.
Tentunya tidak seperti ia mengalahkan lawan- lawannya yang lain.
"Bayangan Setan mempunyai
segudang ilmu," lanjut Nirwana Tria. "Kau harus hati-hati. Jangan
sampai ia melarikan diri lagi. Jangan sampai pula ia merasa lebih baik mati
bersama daripada mati sendirian." "Apakah kau tahu di mana letak
kelemahan si Bayangan Setan itu?!" tanya Suto Sinting terang- terangan
meminta petunjuk dari gadis cantik yang tampak lebih muda darinya itu. Nirwana
Tria pun ternyata tidak meremehkan pertanyaan itu dan ia memberikan jawaban
dengan sungguh-sungguh.
"Kelemahan si Peri
Kahyangan atau si Bayangan Setan itu terletak di... di antara kedua pahanya.
Kurasa kau tahu maksudku, Suto."
Pendekar Mabuk justru hentikan
langkah dan memandang dengan dahi berkerut. "Kau tidak sedang bergurau,
Tria?"
"Tidak! Karena menurut
keterangan kakekku, ketika tubuh Peri Kahyangan tersiram 'Cahaya Iblis', yang
tidak terkena cahaya hanya bagian 'mahkota'-nya saja. Jadi, tempat itu adalah
tempat yang rawan, alias tempat apesnya!"
"Apa maksudnya, 'Cahaya
Iblis' itu?"
"Cahaya merah yang keluar
dari gerhana matahari. Kekuatan iblis terpancar melalui gerhana matahari berupa
sinar merah kebiru-biruan. Siapa pun yang terkena sinar merah itu, maka ia akan
memiliki kekuatan iblis yang sungguh dahsyat. Tetapi tidak setiap ada gerhana
matahari, maka akan muncul 'Cahaya Iblis' itu. Seribu tahun sekali 'Cahaya
Iblis' itu akan terpancar dari gerhana matahari. Dan selama ini, hanya si Peri
Kahyangan yang pernah tersiram 'Cahaya Iblis' pada saat terjadi gerhana
matahari, karena pada saat itu ia sedang lakukan semadi telanjang di puncak
sebuah gunung." Pendekar Mabuk sempat membatin, "Unik juga letak
kelemahannya itu. Kalau sejak tadi aku
sudah mengetahuinya, tentu saat di atas pohon itu aku sudah bisa membunuh si
Bayangan Setan! Sangat bisa, sebab kelemahannya itu terbuka lebar-lebar. Tapi
mengapa justru kuberi kenikmatan, ya? Ah, bodoh sekali aku ini!" Tiba-tiba
Nirwana Tria menahan lengan Suto hingga pemuda itu hentikan langkahnya. Mata si
gadis memandang sekeliling dengan jeli. Pendekar Mabuk ikut memandang
sekelilingnya, karena gerakan
mata Nirwana Tria mengisyaratkan datangnya bahaya di
sekitar mereka.
"Ada apa, Tria?"
bisik Suto Sinting karena tak melihat ada sesuatu yang mencurigakan.
"Kau dengar suara lalat
menggaung?"
Pendekar Mabuk tajamkan
pendengaran sebentar. "Hmmm... ya, dia memutar-mutar sekitar kita. Tapi
gerakannya sukar kulihat. Ada apa dengan lalat itu?"
"Adakah bangkai atau
benda busuk di sekitar sini?" "Belum kuperiksa. Tapi menurut
penciumanku, tak
ada benda busuk di sini."
"Kalau begitu, seekor
lalat yang terbang itu adalah lalat yang tidak wajar."
"Maksudmu, lalat yang
kurang ajar?"
"Tidak wajar!" tegas
Nirwana Tria. "Pasti bukan lalat sembarangan! Bersiaplah, Suto! Firasatku
mengatakan, kehadiran kita sudah mulai disambut oleh si Bayangan Setan yang
mengubah diri menjadi seekor lalat."
"Gawat!" gumam Suto
Sinting sambil meraih bumbung tuaknya. Mereka mulai merenggang jarak. Nirwana
Tria mencabut pedangnya yang pendek, namun dapat menjadi panjang dalam satu
sentakan tenaga dalam tertentu.
Wuuuung...! Wuuuung...!
Lalat itu perdengarkan
bunyinya sambil mengelilingi mereka berdua. Suto Sinting semakin percaya terhadap
dugaan Nirwana Tria. Jika lalat itu adalah lalat liar, tak mungkin hanya
terbang mengelilingi mereka berdua. Maka kedua mata Pendekar Mabuk pun
dipertajam dengan tali bumbung tauk mulai melilit di genggaman tangannya.
"Menjauhlah, Suto! Biar
kuhadapi sendiri lalat keparat itu!"
Pendekar Mabuk sengaja memberi
tempat bergerak untuk Nirwana Tria. Suara lalat mendengung makin jelas
mengelilingi Nirwana Tria. Tapi gerakan lalat itu tak bisa dilihat oleh Suto
maupun Nirwana Tria.
Gadis itu akhirnya pejamkan
mata. Ia mulai lakukan gerakan dengan berdasarkan ketajaman pendengarannya.
Tanpa memejamkan mata, maka konsentrasinya akan terpecah belah dan tebasan
pedangnya akan meleset dari sasaran.
Kejap berikut, Nirwana Tria
mengibaskan pedangnya dalam gerakan yang nyaris tak terlihat oleh pandangan
mata Suto.
Wut, wut, wuuut...! Wees...!
Nguuuuung...!
Lalat itu justru terbang
meninggi. Nirwana Tria hentikan gerakan dan tetap pejamkan mata. Pendekar Mabuk
mencari lalat itu dengan pandangan yang tertuju ke atas. Tapi tetap saja tak
melihat seekor lalat yang terbang dan mendengung pelan.
Beberapa saat kemudian dengung
lalat itu terdengar mendekat kembali.
"Awas, Tria...!"
ujar Suto mengingatkan. Nirwana Tria tidak menjawab, namun badannya bergerak
memutar pelan-pelan sambil tetap pejamkan mata. Hal itu terjadi cukup lama.
Sampai akhirnya, pedang Nirwana Tria berkelebat dan menjadi panjang sendiri
dalam gerakan menebas ke samping dua kali.
Wut, wuuuut...! Ngguuuurrk...!
Nguuurrk...!
Suara dengung lalat pun tak
senyaring tadi. Nirwana Tria masih pejamkan mata dan bergerak memutar dengan
pelan. Tapi kali ini ia perdengarkan suaranya kepada Suto Sinting.
"Dia jatuh! Kau
melihatnya, Suto?!"
"Sedang kucari!"
jawab Suto Sinting sambil menyimak suara dengung yang rusak itu.
"Aku telah menebas sayap
kirinya," kata Nirwana Tria. "Periksalah jika kau dapatkan dia!
Mungkin sekarang ada di sebelah kiriku. Di bawah, Suto!"
Pendekar Mabuk memeriksa
bagian kiri Nirwana Tria. Tiap jengkal tanah diperhatikan. Namun ia tak
menemukan binatang kecil itu. Nirwana Tria membuka mata, karena suara dengung
itu telah hilang dan tak muncul-muncul lagi. "Dia telah pergi!"
gumamnya dengan nada menggeram jengkel.
"Hei, ada sesuatu yang
kutemukan di atas daun ini!" seru Suto Sinting yang membuat Nirwana Tria
segera mendekatinya.
Sehelai daun semak liar
berwarna hijau pupus menjadi pusat perhatian mereka. Di atas daun itu tampak
noda hitam kecil yang jika diperhatikan baik-baik ternyata adalah selembar
sayap seekor lalat.
"Sayap inilah yang
kutebas tadi," kata Nirwana Tria.
Pendekar Mabuk hanya membatin,
"Gila! Kecepatan jurus pedangnya memang luar biasa. Dia bisa memastikan
bahwa tebasan pedangnya telah kenai salah satu sayap lalat itu. Dan sekarang
terbukti ada selembar sayap lalat di daun ini. Benar-benar hebat jurus pedang
yang dimilikinya. Atau mungkin pedang pusakanya itulah yang mempunyai kehebatan
sedemikian tinggi?! Pantas jika pedang itu dinamakan Pedang Lidah Naga!"
"Sebaiknya kita...,"
Nirwana Tria tak jadi lanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba mereka mendengar
suara dengung yang lebih besar dan sepertinya menggema. Wajah gadis itu tampak
tegang saat memandang Suto Sinting, membuat Suto sendiri jadi berkerut dahi.
"Suara dengung itu makin
besar!" ujarnya kepada Nirwana Tria.
"Apakah lalat itu juga
menjadi sebesar kerbau?" tanya Suto asal cuap saja.
"Kurasa kini yang datang
serombongan lalat beracun yang ingin menyerang kita, Suto! Bersiaplah!"
Nirwana Tria melompat dalam jarak empat langkah dari Suto. Mereka sama-sama
menghadap ke timur, karena suara dengung besar itu datang dari timur.
Dahi si Pendekar Mabuk semakin
berkerut kuat-kuat ketika ia melihat bayangan hitam bergerak berombak- ombak
menuju ke arahnya. Bayangan hitam itu tak lain adalah ratusan ekor lalat
kiriman si Bayangan Setan yang tentunya
masing-masing membawa racun mematikan.
"Mereka datang dalam
jumlah banyak, Tria!" "Minggirlah! Cari tempat terlindung.
Kuhancurkan
sendiri rombongan lalat
itu!" ujar Nirwana Tria.
"Tidak! Ini giliranku,
Tria! Mundurlah...!" kata Pendekar Mabuk sambil membuka bumbung tuaknya,
ia segera menenggak tuak. Yang ditelan hanya sedikit, sisanya disimpan dalam
mulut, sehingga kedua pipi pemuda tampan itu mengembung besar. Nirwana Tria tak
mau mengecewakan Suto, ia pun bergegas mundur dengan siap siaga lepaskan
pukulan yang akan menghancurkan ratusan lalat yang berombak-ombak itu. Mereka
terbang dalam ketinggian sebatas kepala Suto Sinting. Tapi Suto yakin
lalat-lalat itu akan segera merendah dan menyergap mereka bersama racun yang
ada di kaki mereka.
Ketika rombongan lalat itu
lebih dekat lagi, Pendekar Mabuk segera lakukan lompatan tinggi dalam gerakan
bersalto maju. Wuuuk, wuuuk...! Lompatan itu melebihi ketinggian barisan lalat.
Pada saat posisi Suto menukik
di atas barisan lalat, tuak dalam mulutnya segera disemburkan. Itulah jurus
'Sembur Bromo Wiwaha' yang memercikkan bunga api saat tuak disemburkan.
Bwwwwweeerrss...!
Trak, trak, pletak, praak,
traatak, pletak, traaak...! Terdengar suara seperti berondongan jagung bakar.
Lalat-lalat itu terbakar oleh
semburan tuak yang memercikkan bunga api. Suara gemeretak membuat tanah menjadi
hitam beberapa saat kemudian. Rumput tertutup oleh ratusan bangkai lalat yang
menghangus. Semburan panjang dari mulut Suto tadi telah berhasil membunuh semua
lalat yang ada dalam rombongan tanpa nama itu. Hanya satu ekor yang lolos dari
semburan tuak Suto tadi. Satu ekor lalat tersebut segera mendengung dalam
terbangnya yang menukik tinggi lalu menghilang di sela-sela dahan pohon
rindang.
Pendekar Mabuk bermaksud
mengejar yang seekor itu, tetapi Nirwana Tria sudah lebih dulu berseru
kepadanya.
"Jangan kejar! Dia akan
membawamu ke jebakan yang berbahaya!"
Pendekar Mabuk segera sadar
tentang peringatan itu, sehingga ia tak berani lanjutkan pengejarannya. Hati
sang pendekar pun membatin, "Kalau dipikir-pikir memang tak pantas,
sebagai pendekar kok yang dikejar- kejar seekor lalat! Apa kata orang yang tak
tahu jika melihat tingkahku tadi."
Nirwana Tria berkata,
"Kalau begitu kita sudah berada di dekat sarang si Bayangan Setan! Kita
serang saja dia sebelum dia mempermainkan kita dengan makhluk jelmaannya
seperti tadi!"
"Bagaimana kita bisa
menyerang jika kita tak melihat bentuknya?!" kata Suto.
"Bukankah kau bisa
keluar-masuk alam gaib?!" "Apa maksudmu?!" Suto kerutkan dahi.
"Peri Kahyangan mempunyai
pintu sendiri untuk keluar-masuk ke alam gaib bagi dirinya maupun bagi para
pengikutnya. Pergunakan kesaktianmu itu agar bisa melihat di mana mereka
berada!"
Pendekar Mabuk segera ingat
tentang noda merah di keningnya yang tak bisa dilihat oleh sembarang orang.
Noda merah itu pemberian dari calon mertuanya; Ratu Gusti Kartika Wangi. Noda
merah itu selain sebagai tanda bahwa Suto adalah Manggala Yudha negeri Puri
Gerbang Surgawi di alam gaib, juga sebagai kunci untuk keluar-masuk alam gaib,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Manusia Seribu Wajah").
Noda merah di keningnya yang
sebesar biji jagung itu jika diusap dengan tangan kiri bisa untuk melihat
kehidupan alam gaib, tapi jika diusap dengan tangan kanan membuat Suto dapat
keluar-masuk ke alam gaib.
Maka Pendekar Mabuk pun segera
mengusap keningnya dengan tangan kiri. Slaaap...! Ia pun lenyap dari pandangan
mata dan telah berada di alam gaib. Nirwana Tria menyusul kepergian Suto dengan
merapatkan kedua tangannya di dada, blaas...! Nirwana Tria pun menghilang, dan
kini berada di alam gaib bersama si Pendekar Mabuk. *
* *
6
TERNYATA di alam gaib itu,
Pendekar Mabuk dan Nirwana Tria melihat sebuah bangunan megah dari batuan
putih. Tepi bangunan itu dilapisi logam sejenis emas yang berkilauan. Bangunan
itu berada di puncak bukit yang harus didaki dulu oleh Pendekar Mabuk dan
Nirwana Tria.
Bukan hal sulit bagi mereka
untuk mendaki bukit itu. Masing-masing menggunakan ilmu peringan tubuh dan
mampu melesat seperti anak panah. Zlaaap, zlaaap...! Dalam sekejap mereka sudah
mencapai tangga berbatu putih yang menjadi pintu gerbang bangunan megah itu.
"Pantas mereka tak pernah
bisa menemukan di mana persembunyian si Bayangan Setan, karena ia tinggal di
alam perbatasan ini!" ujar Suto seperti bicara pada diri sendiri.
Nirwana Tria menyenggol lengan
Suto dan berbisik, "Dua orang penjaga gerbang mendekati kita!"
"Kau satu yang berbaju
merah, aku yang berbaju biru! Setuju?!"
"Yang mana saja aku selalu
setuju dengan usulmu, Pria Jelek!" Nirwana Tria masih sempat berseloroh,
karena memang ia sangat tenang menghadapi kedua penjaga gerbang yang tadi ada
di depan tangga.
Dua orang itu sama-sama
berbadan besar dan bersenjata bola berduri. Bola besi itu mempunyai rantai yang
berhubungan dengan gagangnya. Mereka sama- sama berwajah lebih angker dari si
Wabah Langit.
"Mau apa kalian kemari,
hah?!" bentak si baju merah. Nirwana Tria tidak menjawab, demikian pula Pendekar
Mabuk. Keduanya sama-sama lepaskan pukulan jarak lima langkah berupa
sinar yang keluar dari tangan mereka. Nirwana Tria keluarkan sinar hijau, dan
kebetulan Suto Sinting pun keluarkan sinar hijau dari
jurus 'Pecah Raga' yang
dipakai menyerang si Gober itu.
Clap, dap...! Blaaar,
bleggaarr...!
Tak ada satu kedipan kedua
penjaga berwajah angker itu kini menjadi berwajah pucat. Mereka tumbang dalam
keadaan hancur tak bernyawa. Bola besi berduri ternyata sia-sia digenggamnya
sejak kemarin-kemarin, toh nyawa mereka langsung minggat begitu Pendekar Mabuk
dan Nirwana Tria muncul di depan mereka.
Suara ledakan itu jelas
mengagetkan mereka yang ada di dalam bangunan megah tersebut. Dan sudah tentu
mereka menangkap datangnya bahaya, sehingga tak heran ketika mereka menghambur
keluar menuruni tangga, mereka sudah bersenjata dan siap menghadapi
pertarungan.
Lebih dari lima belas orang
menuruni tangga yang jumlahnya sekitar tiga puluh anak tangga itu. Nirwana Tria
dan Pendekar Mabuk tak merasa gentar sedikit pun. Mereka masih tampak kalem.
"Aku menghadapi mereka,
kau menembus ke dalam dan cari si Peri Kahyangan! Hancurkan dia sebelum sempat
kabur lagi!" ujar Nirwana Tria.
"Kau sanggup menghadapi
mereka?!" "Jangan mengecilkan kemampuanku, Suto!"
"Maaf, kusangka kau hanya
bisa menciumku saja!" ujar Suto berseloroh, lalu mereka berdua sama-sama
menyongsong orang-orang yang sedang menuruni tangga tersebut.
Pendekar Mabuk berusaha
menerobos masuk dengan mengibaskan bumbung tuaknya beberapa kali. Mereka yang
terhantam bumbung tuak bertenaga dalam tinggi tak pernah sempat mengerang lebih
dari satu kali. Sementara itu, Nirwana Tria dengan Pedang Lidah Naga-nya
bergerak cepat melumpuhkan mereka yang pada umumnya buas-buas dan liar-liar.
"Cepat masuk!" seru
Nirwana Tria setelah ia menyingkirkan tiga orang yang menghadang langkah Suto
Sinting. Tiga orang itu dihantam dari arah samping dengan sinar biru yang
keluar dari ujung kedua jari Nirwana Tria. Sinar tersebut menembus pinggang
ketiga orang itu dan robohlah mereka tanpa mau bernapas lagi.
Ternyata yang keluar dari
bangunan megah itu semakin banyak. Tapi pada saat itu, Pendekar Mabuk berhasil
menerabas masuk dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya, sementara Nirwana Tria
menghadapi mereka dengan kelincahan yang sukar diimbangi oleh mereka.
Pendekar Mabuk tiba di bangsal
utama. Beberapa lelaki bertelanjang dada yang mempunyai tubuh kekar dan kulit
hitam segera menyerangnya. Namun mereka dapat disingkirkan dalam waktu singkat,
sehingga Suto Sinting segera masuk lebih dalam lagi.
Salah seorang pengawal
bersenjata cambuk menyerang Suto dari belakang. Ctaaar...! Pendekar Mabuk
tersentak dan memekik dengan suara tertahan, karena cambuk itu melilit kuat di
bagian dadanya. Makin lama lilitan cambuk terasa makin menjerat dan nyaris
menembus ke daging dan tulangnya. Wajah Pendekar Mabuk menjadi merah karena
darahnya tak bisa mengalir lagi.
Dengan sentakan kaki pelan,
tubuh Pendekar Mabuk akhirnya melambung ke atas dan bersalto mundur. Wuuut...!
Tali cambuk berhasil dipegangnya saat ia berada di udara, lalu disentakkan ke depan
dengan kekuatan penuh. Wuuut...! Si pemegang cambuk terlempar kuat dan
kepalanya membentur dinding dengan keras. Praaak...!
"Aaoww...!" pekiknya
memanjang, karena kepala itu segera mengucurkan darah. Pendekar Mabuk cepat
lepaskan diri dari lilitan cambuk itu, kemudian ia segera menerjang orang
tersebut dengan tendangan kakinya. Wuuut...! Bruuusk...!
"Heeekh...!" orang
itu mendelik, lehernya tergencet kaki Suto dengan dinding.
"Di mana si Bayangan
Setan itu! Katakan sekarang juga atau kutekan lebih kuat lagi kakiku ini!"
hardik Suto. Orang itu tak mau sebutkan, rupanya ia ingin menjadi pengawal
setia si Bayangan Setan. Tapi Suto Sinting semakin memperkuat tekanan pada
kakinya sehingga orang itu tersentak dengan mulut terbuka dan lidah terjulur.
"Di mana dia! Katakan,
maka akan kulepaskan kakiku ini!"
Orang itu memang tak bisa
menjawab, tapi tangannya menuding ke arah sebuah kamar berpintu emas. Kamar itu
terletak di lantai atas yang dapat terlihat dari tempat Suto berada.
"Terima kasih!" kata
Suto, kemudian melepaskan kakinya sambil menjejak ke atas. Dees...! Prook...!
Dagu orang itu remuk, dan kejap kemudian nyawanya pun melayang karena terlalu
lama tercekik lehernya oleh kaki Suto.
Pendekar Mabuk menuju ke
lantai atas. Ia tidak menggunakan tangga yang ada, melainkan menggunakan ilmu
peringan tubuhnya. Dalam satu gerakan salto ia sudah bisa mencapai lantai atas
tersebut. Wuuut...! Weess...!
Begitu tiba di depan pintu
berlapis emas, Pendekar Mabuk segera sentakkan kakinya menendang dengan tenaga
dalam tersalur penuh ke kaki tersebut. Braaakkk...! Pintu pun jebol, lalu
seraut wajah cantik yang sedang berbaring di ranjang mewah itu sunggingkan
senyum menawan.
"Andani...?!" gumam
Suto Sinting kepada perempuan berambut panjang yang telah melepaskan jubah
hitamnya yang berbola-bola kuning itu.
"Tak perlu sekasar itu,
Suto! Seharusnya kau tahu bahwa aku telah tunduk padamu!" ucap Andani atau
si Bayangan Setan yang cantik, sexy, dan menampakkan kemontokan dadanya, ia
kini melepas jubah hitamnya dengan mata memandang sayu penuh tantangan
bercumbu.
"Aku sudah lama
menunggumu di sini, Suto "
Pendekar Mabuk bagaikan
kehilangan semua bahasanya. Lidahnya menjadi kelu manakala kain tipis penutup
pinggul itu tersingkap. Tato gambar kupu-kupu terlihat jelas di paha kiri
Andani yang dulu pernah bercumbu dengan Suto Sinting itu.
"Tak kusangka kaulah si
Bayangan Setan yang keji itu, Andani!" geram Suto Sinting dengan langkah
pelan dekati ranjang.
Andani makin perlebar belahan
kainnya dengan merenggangkan kaki. Suto Sinting berdebar-debar memandang
sesuatu yang mengintip dari balik kain tipis itu.
"Jangan marah padaku,
Suto. Aku hanya melakukan tuntutan batinku yang tak bisa kuhindari lagi ini!
Barangkali kepada orang lain aku memang kejam, tapi kepadamu sebenarnya aku
tunduk, Suto. Datanglah lebih dekat, tak mungkin aku akan menyakitimu,
Sayang"
Pendekar Mabuk menarik napas
dalam-dalam. "Andani, kau sudah terlalu banyak makan korban.
Rasa-rasanya sukar sekali
untuk diampuni oleh siapa pun!"
"Apakah kau akan membunuhku?!"
"Tak ada jalan lain untuk
menghentikan tindakan kejimu selama ini, Andani. Barangkali aku memang harus
mengakhiri masa hidupmu yang sesat tanpa batas lagi itu!" tegas Suto
Sinting dengan dada bidang tampak menantang. Dada itu penuh keringat yang membuat
mata Andani selalu tertuju ke sana. Perempuan itu tampak bergairah sekali
pandangi dada Suto yang penuh keringat
dan kekar itu.
"Suto, aku berjanji akan
hentikan segala tindakanku, asal aku selalu ada di sampingmu!" tutur
Andani dengan suara-suara yang membangkitkan gairah seorang lelaki, ia tetap
berbaring dengan siku menopang tubuhnya.
"Kau tak mungkin bisa
bersamaku, karena aku sudah mempunyai seorang kekasih!"
"Siapa kekasihmu,
Pendekar tampan?" Andani akhirnya bangkit dan turun dari ranjang dengan
gerakan lembut, ia berdiri di depan Suto dalam jarak kurang dari satu
jangkauan. Sambil menatap dengan mata sayu penuh harap, ia mengulangi
pertanyaannya yang belum dijawab oleh Suto Sinting itu.
"Siapa kekasihmu,
Sayang?"
"Dyah Sariningrum; Gusti
Mahkota Sejatil"
"O, si penguasa negeri
Puri Gerbang Surgawi itu?!" "Benar!"
"Aha.... itu bisa
kuatasi. Aku dapat kalahkan dia dengan mudah. Sekarang pun bisa kukirimkan
penyakit kepadanya dan ia akan mati dalam sekejap. Kau tak perlu takut
kepadanya, Suto!"
Tangan perempuan itu mulai
nakal, walau masih dalam batas mengusap-usap keringat di dada Suto Sinting.
"Aku mau hentikan
tindakanku selama ini, jika kau izinkan aku hidup di sampingmu. Aku menyukai
kehangatanmu, Suto," bisiknya, lalu tanpa ragu-ragu lagi mengecup dada
Suto. Kecupan itu merayap ke kiri hingga menemukan titik hitam di dada Suto,
lalu memagutnya beberapa saat sambil tangannya mulai merayap ke bawah dan
meremas lembut apa yang ditemukannya di sana.
Pendekar Mabuk mulai terbuai
dan gairahnya yang tadi tertunda itu terbakar kembali. Tapi ia buru-buru ingat
serangan lalat beracun tadi. Maka tubuh perempuan itu cepat-cepat disentakkan
menjauh.
"Kita bukan sepasang
kekasih, namun sepasang musuh, Andani!" tegas Suto Sinting.
"Kau tak mau berdamai
denganku, Suto?" ujar Andani dengan nada manja.
"Aku tak punya waktu
untuk berdamai lagi denganmu! Roh para korban tak bersalah menuntut tindakanku
lebih tegas lagi kepadamu!"
"Kau tak takut kehilangan
kemesraanku?"
Pendekar Mabuk membuang bayangan
indah saat bermesraan dengan Andani di atas sebuah pohon. Lalu ia segera
teringat nasib Rama Jiwana, sang menantu Adipati Jayengrana itu.
"Di mana Rama Jiwana?!
Katakan, di mana dia?!" bentak Suto Sinting.
Andani menjawab dengan kalem,
"Oh, dia satu- satunya lelaki yang bisa lolos dari pelukanku. Tapi dia
sekarang terjerat di perkampungan kusta, ia tak tahu seperti apa tempat
persembunyiannya itu. Kini ia terkena penyakit kusta dan aku tak mau
mendekatinya lagi. Hiiii...!"
Sambil berkata demikian, Andani
melepaskan penutup dadanya. Bahkan kain penutup bagian bawahnya pun dilepaskan
pelan-pelan.
"Kau boleh membunuhku,
Suto. Tapi berikan aku kemesraanmu yang dahsyat itu sekali saja. Setelah itu
kau boleh membunuhku!"
"Tak ada kemesraan lagi
bagimu, Andani!"
"Kalau begitu kau sangat
mengecewakan diriku, Suto!"
"Sejak dulu seharusnya
aku mengecewakan dirimu!" "Jahanam!" bentak Andani tak sabar
lagi. Tangannya
disentakkan ke depan dan
seberkas sinar biru melesat menghembus dada Suto Sinting kurang dari sekejap.
Claaap...! Jrrub...!
"Aaaakh...!" Suto
terlempar ke belakang dan membentur dinding. Dadanya hangus dan hawa panas
bagai merambat ke sekujur tubuh.
Ia segera menenggak tuaknya.
Namun baru tertenggak sedikit, Andani telah mengibaskan tangannya tanpa
bergerak dari tempatnya. Wuuut...!
Buuuekh...! Suto Sinting
bagaikan dihantam dengan kayu balok besar. Tubuhnya yang sedang menenggak tuak
itu terlempar dan membentur dinding sebelahnya. Brruussk...!
Tuak tumpah, namun tak
semuanya. Pendekar Mabuk mengerang sambil menutup tuak. Ia segera mengerahkan
tenaganya untuk menahan rasa sakitnya.
"Aku sudah siap mati
bersama, Suto!" Clap, clap, clap... !
Tiba-tiba dari tiga sisi
dinding keluar sinar merah serempak ke arah Suto Sinting, padahal tangan Andani
hanya dijentikkan seperti memanggil seekor ayam. Tiga sinar itu bergerak cepat,
membuat Suto Sinting hanya bisa melesat ke atas hingga kepalanya membentur
langit- langit kamar.
Duuukh, blegaar...!
Ledakan dahsyat terjadi saat
ketiga sinar itu saling bertemu di tempat berdiri Suto tadi.
Anehnya, dinding kamar
tersebut tak menjadi jebol, sedangkan barang-barang lainnya menjadi porak
poranda. Andani tetap berdiri di tempat dengan wajah berangnya.
Suto Sinting jatuh di lantai
bagai terbanting karena kepalanya membentur langit-langit kamar dengan keras.
Namun ia sempat berpikir ketika Andani mendekatinya, dan kedua kaki Andani ada
di depan wajahnya.
"Kalau dia sudah siap
mati bersama, ini berbahaya!" sambil Suto teringat kata-kata Nirwana Tria
tadi. "Aku harus membujuknya agar ia tak punya niat mati bersama."
Dengan suara ketus, si
Bayangan Setan berkata, "Mengapa kau tak menyerangku, hah?! Tak mampukah
kau melakukannya?"
"Aku tak tega!"
jawab Suto. "Aku teringat kemesraan yang pernah kita nikmati di atas pohon
saat itu!"
"Hik, hik, hik, hik...!
Dan kau rupanya ketagihan, Suto?"
"Jangan berkata begitu.
Aku malu, Andani!" sambil Suto masih duduk di lantai dan mendongakkan
kepala. Andani yang sudah tak berlapis apa pun itu menyeringai kegirangan.
"Tunjukkan sikapmu yang
ketagihan itu, Suto...," sambil Andani mendekatkan paha ke wajah Suto.
Paha itu tersentuh bibir Suto. Bibir itu sengaja memagut pelan. Andani mulai
mendesis kecil, ia mengangkat satu kakinya, ditumpangkan di atas sebuah bangku
yang tadi terpental dan jatuh dalam posisi miring itu.
"Kecuplah seperti dulu
lagi, Suto... ooh, naikkan kecupanmu, terus naiiik.... Ooh...!"
Tapi tiba-tiba tangan Suto
yang memegangi bambu tuaknya segera menyodok ke atas dengan tenaga dalam penuh.
Sodokan itu tepat kenai 'mahkota' kenikmatannya. Wuuut, jraaab...!
"Aaaaa...!"
Andani alias si Bayangan Setan
memekik keras- keras, ia tak tahu bahwa Suto sudah mengetahui di mana letak
kelemahannya, ia tak menyangka bumbung tuak itu akan menyodok
"mahkota'-nya hingga hancur dan menyemburkan darah. Untung tubuh itu
segera melayang dan membentur dinding, sehingga semburan darah tak sampai
membasahi wajah Suto.
Tubuh Andani jatuh bersimbah
darah. Darah pun membanjir di lantai. Jurus 'Mabuk Lebur Gunung' telah
hancurkan rahasia si Bayangan Setan yang jago rayu itu.
Tapi agaknya Andani masih
belum kehilangan nyawanya, ia masih bisa bangkit berdiri dengan sempoyongan.
Wajahnya berubah menjadi tua, keriput, dan kulitnya pecah-pecah menyeramkan.
Rambutnya pun memutih dan mulai rontok helai demi helai. Giginya meruncing
berwarna hitam mengerikan.
"Kau mengkhianatiku,
Suto...! Kau menyakitiku...! Hrrrk...!" Ia menyeringai sambil mengangkat
kedua tangannya yang mulai berkuku panjang dan hitam itu.
Pendekar Mabuk segera bangkit,
namun tiba-tiba tubuh tua menyeramkan itu melayang dengan cepat menerkam leher
Pendekar Mabuk.
"Haarrrhh...!"
Weeesss...! Crrraass...!
Kuku-kuku runcing itu menancap
di leher Suto, mencengkeram kuat membuat napas Suto terhenti seketika. Namun
dalam keadaan segenting itu, tangan Suto masih sempat menyodok ke depan dalam
keadaan jari tangan lurus dan miring. Beeet...! Zuuurrb...! Sinar perak telah
terlepas dari ujung tangan Suto dan menembus ke perut si Bayangan Setan.
Seketika itu cengkeraman kesepuluh kuku itu melemah. Suto Sinting segera tarik
diri dan jatuh bersimbah darah. Luka di lehernya sangat parah. Sementara si
Bayangan Setan akhirnya tumbang dalam keadaan tubuhnya terpotong- potong pada
setiap persendiannya. Jurus 'Yudha' telah digunakan Suto dalam keadaan sangat
terpaksa seperti tadi, dan jurus itulah yang mengakhiri riwayat hidup si
Bayangan Setan alias Peri Kahyangan.
"Sutooo...!
Sutooo...?!" suara Nirwana Tria terdengar berlari-lari di lantai bawah.
Suto Sinting tersandar di dinding dalam keadaan leher robek dan mengucurkan
darah. Ketika Nirwana Tria berhasil temukan Suto, gadis itu memekik kaget dan
segera menghambur memeluk Suto Sinting.
"Suto...?! Kau
terluka...?! Ooh...! Kau terluka, Suto...!"
"Tak apa...," suara
Suto serak. "Aku hanya tak kuat mengangkat bumbung tuakku. Beri aku minum
tuakku ini, Tria...!"
"Ba... baik! Baik...!
Buka mulutmu, Sayang...!" Nirwana Tria sempat panik. Tapi untung ia dapat
menuangkan tuak ke mulut Suto dan luka Suto pun bisa segera teratasi.
"Semuanya sudah hancur,
Suto! Semuanya sudah binasa!" ujar Nirwana Tria.
"Bayangan Setan pun sudah
binasa! Lihatlah dia...!" sambil Suto menuding potongan tubuh si nenek tua
yang sebenarnya adalah wujud asli si Bayangan Setan alias Peri Kahyangan itu.
Nirwana Tria akhirnya tertawa
sambil memeluk Suto, lalu mereka segera keluar dari alam gaib dengan senyum
kemenangan. Suto Sinting sengaja sempatkan diri menenteng kepala nenek tua itu
sebagai bukti bahwa si Bayangan Setan telah tiada.
Kematian Bayangan Setan segera
menyebar ke mana- mana. Nama Suto Sinting dan Nirwana Tria pun ikut menjadi
bahan pembicaraan tiap tokoh persilatan. Sementara itu, Rama Jiwana berhasil
ditemukan Suto di perkampungan penderita kusta, ia tak berani pulang ke
kadipaten karena tertular penyakit yang mengerikan itu.
Tapi Suto Sinting segera
menyembuhkan Rama Jiwana dengan tuaknya. Bahkan para penduduk perkampungan
kusta itu pun kini menjadi sehat dan tak pernah menderita penyakit kusta lagi
sejak mereka meminum tuak sakti si Pendekar Mabuk.
SELESAI