DARI balik kerimbunan hutan
berpohon rapat, terdengar suara jeritan yang panjang dan memilukan. Siapa yang
menjerit, itu tak jelas. Yang pasti jeritan itu adalah jeritan kematian.
Suaranya yang melengking menggema panjang itu bagaikan membangunkan setiap jasad
yang sudah terkubur mati.
Sementara itu, hembusan angin
cukup kencang dan menderu. Gumpalan awan hitam bergulung-gulung di langit,
menyekap matahari, membuat alam terasa mati. Sesekali terdengar gelegar petir
melecutkan lidahnya bagai ingin membelah langit.
Agaknya alam yang memberikan
tanda-tanda bagai kiamat datang itu tak dihiraukan oleh tiga orang berusia
sebaya itu. Satu di antaranya telah terkapar mati tanpa darah. Dua dari mereka
masih melanjutkan pertarungannya dengan sengit.
Rupanya mereka bertarung di
atas dataran berbatu rata. Dataran tersebut adalah lantai dari sebuah petilasan
keraton yang telah hancur sekian puluh tahun yang lalu, bahkan mungkin sekian
ratus tahun yang lalu. Sisa pilar- pilarnya masih tertinggal sebagian, namun
tak ada yang utuh. Sisa dinding-dindingnya juga masih tertinggal sebagian, tak
ada yang utuh sampai ke atap. Petilasan itu ibarat pohon tua yang sedang
meranggas untuk menunggu tumbang.
Tak ada atap, tak ada pagar,
tak ada pula ruangan. Reruntuhan itu hampir rata dengan tanahnya. Bongkahan
batu bekas dinding dan pilar masih terlihat berserakan di sana-sini.
Salah satu dari dua orang yang
bertarung di atas reruntuhan keraton itu tiba-tiba menghentikan serangannya.
Orang itu memakai pakaian biru tua, berbadan sedikit gemuk, dan berkumis tebal,
berusia sekitar lima puluh tahun. Matanya yang lebar memandang temannya yang
telah tak bernyawa. Sebentar kemudian mata itu kembali menatap lawannya yang
berbadan kurus, berwajah lonjong dengan dagu sedikit panjang. Orang yang
berbaju biru tua itu berkata,
"Tega betul kau membunuh
temanmu sendiri Tapak Getih!"
"Siapa pun yang
menghalangi langkahku pasti kubunuh, Julung Boyo! Tak peduli dia teman sendiri,
tak peduli orang lain. Tapak Getih pantang diganggu langkahnya!" kata orang
kurus berwajah lonjong itu. Dia dikenal dengan nama Tapak Getih, karena setiap
lawan yang terkena pukulan telapak tangannya, langsung mati tanpa memiliki
darah setetes pun di dalam tubuhnya.
Tapak Getih yang mengenakan
jubah merah dan pakaian dalam serba hitam itu berkata lagi kepada Julung Boyo.
"Sebab itu kuingatkan
padamu, Julung Boyo.... Pergilah lekas dari hadapanku dan jangan memaksaku
membunuhmu, seperti yang dialami oleh Cakar Macan itu!"
"Kau benar-benar manusia
picik, Tapak Getih! Kau bujuk kami untuk menunjukkan tempat ini, sekarang kau
mau bunuh kami di sini juga! Kau binatang dan aku binatang, tapi aku masih
punya sisa jiwa manusia yang tak akan tega bertindak seperti dirimu, Tapak
Getih!"
"Hem...!" Tapak
Getih sunggingkan senyum tipis yang lebih berkesan sebagai hinaan.
"Manusia-manusia bodoh itu adalah kau dan Cakar Macan, Julung Boyo! Sudah
tahu aku berjiwa binatang yang keji, masih saja nekat mau menahan langkahku
untuk mencari pintu masuk petilasan ini! Kalau aku menjadi kau, lebih baik aku
pergi dan tak mau korbankan nyawa buat petilasan seperti ini!"
"Mulanya aku hanya ingin
mencegahmu agar tidak diterkam maut yang ada di petilasan ini! Kau adalah
sahabatku, dan juga sahabat si Cakar Macan. Sikap kami hanya semata-mata ingin
melindungi seorang sahabat dari maut yang mengancam! Kami tahu, sudah dua orang
hilang di sini dan tak pernah muncul lagi. Kami tak ingin kau menjadi seperti
itu. Tapi rupanya mata hatimu buta, Tapak Getih! Dan sekarang sikapku bukan
untuk melindungi kamu, tapi untuk membalas kematian si Cakar Macan!"
"Haii...! Saudara bukan,
adik pun bukan, mengapa kau menjadi sebodoh itu, Julung Boyo! Hubungan kita
bertiga hanya sebatas sahabat! Tak ada ikatan darah apa pun! Kenapa kau
menuntut kematian si Cakar Macan?"
"Karena nyawaku pernah
diselamatkan olehnya! Dua kali aku hampir mati terancam bahaya, dan Cakar Macan
berhasil meloloskan aku dari maut itu! Wajar rasanya kalau aku pun punya rasa
bela pati terhadap dia, Tapak Getihi"
"O, jadi kau ingin
ikut-ikutan mati seperti Cakar Macan? Baiklah kalau kau memang ingin
ikut-ikutan mati! Bersiaplah, aku akan mendekatkan arwahmu dengan arwah si
Cakar Macan!"
Orang kurus berambut abu-abu
panjang tak terikat kepala itu mulai mengangkat kedua tangannya. Kakinya pun
bersikap untuk melakukan satu lompatan menyerang.
Julung Boyo mencabut goloknya.
Srekk...! Sambil menggeram dan menggenggam kencang gagang goloknya, Julung Boyo
ucapkan kata,
"Buatku kau sudah bukan
lagi manusia utuh, melainkan iblis yang harus kubantai sekarang juga!"
"Mampukah kau membantai
iblis, Orang Bodoh?! Hiaaah...!"
"Heeaaah....!"
Julung Boyo ternyata melompat
lebih dulu, kemudian Tapak Getih pun melompat menyerang. Julung Boyo segera
tebaskan goloknya membacok kepala Tapak Getih. Tapi golok itu tidak bisa
mengenai sasaran karena Tapak Getih menangkisnya dengan telapak tangannya.
Dess...! Golok tajam itu bagai memukul benda keras yang kenyal. Dan karena
goloknya tertahan di atas, maka rusuk Julung Boyo terbuka dan saat itulah Tapak
Getih menghantamkan tangan kanannya dengan cepat.
Wuttt... ! Blukk... !
"Aaahg...!" Julung
Boyo memekik keras. Tubuhnya limbung dan jatuh ke tanah tak bisa menjaga
keseimbangan lagi. Ia rubuh begitu saja bagaikan barang mati yang tak berguna
lagi. Sedangkan Tapak Getih masih bisa kendalikan keseimbangannya, sehingga ia
menapakkan kakinya tepat di atas sebongkah batu reruntuhan yang agak besar dan
tinggi itu. Jlegg...!
Dari atas batu itu, ia melihat
Julung Boyo menggelinjang beberapa saat dengan mulut ternganga- nganga dan mata
terpejam kuat. Lalu tubuh itu kejang beberapa saat dalam keadaan terkapar,
setelah itu lemas seluruh uratnya, dan Julung Boyo akhirnya menghembuskan napas
terakhir dengan wajah pucat seputih kapas dan sekujur tubuhnya pun demikian.
Julung Boyo mati tanpa ada darah setetes pun dalam jasadnya.
Tapak Getih menghempaskan
napas lega. Ia melompat turun sambil membatin dalam hatinya,
"Tak ada lagi
perintangku! Aku harus cepat mencari pintu masuk ke dalam reruntuhan ini! Pasti
ada jalan menuju ruang bawah tanah! Harus cepat kucari sebelum hujan
turun!"
Baru tiga langkah Tapak Getih
tinggalkan tempat, tiba-tiba sebuah gerakan berkelebat dari arah kanannya.
Wuttt...! Crapp...!
Sebatang tombak berujung garpu
tiga mata menancap di sela-sela bebatuan yang menjadi lantai petilasan itu.
Tombak tersebut datangnya dari arah atas pohon. Kalau Tapak Getih tidak cepat
hentakkan kaki dan melompat mundur, ia akan dihujam tombak tersebut tanpa ampun
lagi. Beruntung ia mempunyai gerakan bagus sehingga mampu menghindari maut yang
hampir merenggut nyawa itu.
Cepat-cepat Tapak Getih
melemparkan pandangannya ke arah pohon, tempat datangnya tombak tersebut. Dari
atas pohon melayang sesosok tubuh berpakaian serba kuning. Rambutnya panjang
diikat memakai tali warna coklat. Orang itu ternyata seorang pemuda yang
mempunyai wajah lumayan ganteng. Usianya sekitar dua puluh delapan tahun,
"Marta Kumba...!"
sapa Tapak Getih dengan suara ketus, lalu ia tersenyum sinis. Marta Kumba,
pemuda yang mempunyai badan tegap itu, segera menghampiri Tapak Getih dengan
senyum sinisnya pula.
"Kau mau membunuhku,
Marta Kumba?!"
"Ya!" jawab Marta
Kumba. "Tapi kau menghindar. Sayang sekali! Seharusnya kau jangan
menghindar supaya kau mati!"
"Bocah goblok!"
geram Tapak Getih.
"Memang goblok!"
jawab Marta Kumba seenaknya.
"Untuk apa kau datang ke
sini, hah?"
"Mengikuti pamanku, yang
ternyata sudah kau bunuh itu!" Marta Kumba memandang Julung Boyo,
pamannya.
"Kau mau ikut-ikutan mati
seperti pamanmu?"
"Tidak! Aku mau mencari
jubah keramat itu!"
"Cuih...!" Tapak
Getih jengkel dan meludah.
"Cuih...!" Marta
Kumba ikut meludah tanpa mengerti maknanya.
"Urungkan niatmu! Kau
masih muda, Marta! Jangan mau mati gara-gara tergiur oleh jubah keramat
itu!"
Marta Kumba memandangi tombak
berujung tiga mata seperti garpu itu, kemudian memandang Tapak Getih dan
berkata dengan nada polos,
"Maksudku kemari juga
ingin mengantarkan senjatamu yang ketinggalan, Paman Tapak Getih! Kau lupa
membawanya waktu makan di kedai sana, jadi aku menyusui kemari!
Terimalah...!"
Wusss...! Dengan gerakan
begitu cepat, Marta Kumba melemparkan tombak itu ke arah Tapak Getih. Gerakan
itu datang dengan sangat tiba-tiba dan mengejutkan Tapak Getih. Karena cepatnya
tombak itu melesat, Tapak Getih tak bisa menghindari, ia hanya berusaha menahan
dengan kedua telapak tangan terbuka.
Tetapi hentakan tombak itu
sangat kuat, sehingga telapak tangan yang bagaikan kebal tak bisa tertusuk
tombak itu mendesak ke belakang, akibatnya ujung tombak yang tengah menancap di
bawah leher Tapak Getih. Jrabb...!
"Agrrr...!" Tapak
Getih tak bisa berteriak. Matanya mendelik dan mulutnya menyemburkan darah.
Tombak itu menancap begitu kuatnya dalam keadaan telapak tangan si Tapak Getih
tergencet antara ujung tombak kanan-kiri dengan dada kanan-kiri. Punggungnya
sendiri beradu dengan sisi dinding petilasan yang masih tersisa agak tinggi
itu.
Marta Kumba melangkah santai
mendekati Tapak Getih. Rupanya orang kurus itu belum mati secara tuntas, ia
masih punya usaha untuk mendorong tombak itu agar lepas dari lehernya. Tapi
tenaganya begitu lemah dan tak punya daya untuk mendorong lebih keras lagi.
Sedangkan Marta Kumba hanya memandanginya saja, bertolak pinggang sambil
geleng-geleng kepala dan tersenyum.
"Kau ini bagaimana?"
katanya dengan santai, seenaknya saja bicara, "Kukembalikan tombakmu malah
dipakai buat bunuh diri?"
Tapak Getih melorot turun dari
berdirinya yang rapat ke sisi dinding, lalu jatuh terduduk, dan akhirnya
menggeloso mati. Marta Kumba hanya tertawa geli. Kembali ia geleng-geleng
kepala.
"Payah betul kau ini,
Paman Tapak Getih! Akhirnya kalau begini kau mati juga, bukan? Makanya kalau
ada orang melemparkan tombak, jangan ditangkap dari depannya, tapi tangkaplah
gagangnya! Wah, wah, wah... sudah tua tapi masih bodoh juga kau, Paman! Ya,
sudah! Terserah maumu sajalah...!"
Pemuda berpakaian kuning
dengan kumis tipis menambah ketampanannya itu segera melangkah dengan pelan,
memandangi keadaan sekeliling. Ia memperhatikan petilasan yang sudah lama
dicari- carinya, yaitu Petilasan Teratai Dewa. Percakapan Tapak Getih dengan si
Cakar Macan dan Julung Boyo di sebuah kedai ternyata disadap oleh telinga
pemuda berambut ikal sebatas punggung itu. Diam-diam ia menguntit ketiga orang
tua yang menuju ke Petilasan Teratai Dewa, dan akhirnya ia menemukan tempat
itu.
"Lewat mana kalau mau
masuk ke ruang bawah tanah? Tak ada pintu di sini?!" gumamnya sendiri
sambil memandangi lantai, mencari pintu masuk ruang bawah tanah.
Sementara itu, langit tergores
kilatan cahaya biru. Petir menyambar, bunyi menggelegar bagai mengguncangkan
reruntuhan itu. Marta Kumba masih tetap santai, tidak tampak tergesa-gesa dan
tegang, ia masih pandangi tiap jengkal tempat yang sudah berantakan itu.
Tiba-tiba ekor matanya
menangkap sekilas cahaya di balik rerimbunan semak. Sekilas cahaya itu seperti
sepasang mata yang mengintainya dari sana. Marta Kumba berlagak tidak melihat
ada yang mengintipnya, ia berjalan pelan sambil pandang sana-pandang sini.
Begitu tiba di depan semak tempat bersembunyinya sepasang mata itu, Marta Kumba
duduk di atas sebongkah batu yang menjadi bagian dari reruntuhan petilasan itu.
Dari sana ia berkata dengan keras, tapi nadanya acuh tak acuh, seperti bicara
pada diri sendiri,
"Sepi sekali tempat ini!
Sayang tak ada manusia lain. Kalau saja ada manusia lain, bisa kuajak kerja
sama untuk menemukan apa yang kucari! Atau... barangkali ada orang yang
malu-malu menampakkan diri di depanku! Mungkin dia punya hidung gerumpung,
sehingga tak berani menampakkan diri di depanku. Atau... mungkin bibirnya
sumbing dan sulit diajak bicara?!"
Marta Kumba duduk memunggungi
semak yang dipakai bersembunyi sepasang mata itu. Sengaja ia duduk begitu,
memancing diri supaya diserang dari belakang. Tetapi sejak tadi ia tidak
merasakan serangan atau tanda-tanda akan diserang. Ia kembali bicara sendiri.
"Sebentar lagi hujan
turun! Biasanya kalau mau hujan begini, ular-ular yang ada di semak-semak akan
keluar menunggu katak atau mangsa yang akan disantapnya! Tempat seperti ini
tidak mungkin tidak dihuni oleh ular- ular berbisa! Biasanya semak-semak adalah
tempat yang dipakai bersarang oleh ular-ular ganas. Tak lama lagi pasti akan
keluar satu atau dua ekor ular dari salah satu semak di sini...!"
Marta Kumba sengaja bicara
seperti itu untuk menakut-nakuti orang yang mengintai dari balik semak- semak.
Paling tidak akan membuat cemas dan waswas orang tersebut, sehingga mereka
menampakkan diri. Tapi karena beberapa saat ditunggu tak kunjung muncul juga si
pengintai itu, maka Marta Kumba kembali bicara sendiri dengan keras,
"Biasanya, kalau ular
ganas mencium bau darah manusia, ia akan datang secara tiba-tiba dan mematuk
kaki, atau mungkin melilit leher dari atas sebuah pohon. Dan kalau ular...
kalau ular...."
Marta Kumba berhenti bicara.
Matanya terkesiap, kepalanya tegak, tak berani menengok ke bawah. Karena ia
merasakan ada gerakan lembut yang menjalar mendekati kakinya. Mata yang
terkesiap itu segera memandang ke bawah pelan-pelan. Marta Kumba menahan napas.
Ada ular sedang merayap melingkari kakinya. Ular itu sebesar lengannya sendiri.
"Mati aku..!"
keluhnya dalam hati. Ia tak berani bergerak sedikit pun. Keringat dinginnya
mengucur deras dari kening dan leher. Jantungnya berdetak-detak cepat. Wajahnya
menjadi pucat pasi. Ular itu berwarna merah kehitam-hitaman. Jenis ular ganas
yang bisa mengejar lawan dengan satu sentakan terbang. Marta Kumba tahu, ular
itu mempunyai bisa yang luar biasa mautnya. Sekali gigit orang, dalam lima
hitungan orang itu pasti mati. Ular itu bernama Ular Welang Jantan.
Marta Kumba gemetar, napasnya
bagai hilang ketika ular tersebut merayap sampai ke betis, iklannya terjulur-
julur naik. Matanya yang merah memancarkan keganasan. Oh, Marta Kumba tak
berani menatap mata ular itu. Sekujur tubuhnya telah dingin, bulu kuduknya pun
merinding. Hatinya berucap kata,
"Mati aku... matilah
sekarang aku.... Aduh, kenapa dia jadi benar-benar nongol di sini... mati
aku... mati sudah riwayatku...!"
Tiba-tiba sebuah tangan
berkelebat menyambar ular tersebut dan menghantamkan ke salah sebuah dinding
batu. Plokk...! Ular sebesar lengan itu hancur kepalanya dengan sekali sabet.
Kemudian bangkainya yang masih mengggerinjal-gerinjal itu dibuang begitu saja
oleh tangan yang menyambarnya tadi.
Tangan itu milik seorang gadis
berpakaian merah jambu sebatas dada. Pundak dan punggungnya yang terbuka
memancarkan warna kulit kuning langsat itu ditutup dengan baju jubah tak
berlengan. Baju jubahnya itu berwarna hijau muda, tipis, dari bahan kain
sutera.
Marta Kumba memandang bengong
kepada gadis cantik berhidung mancung yang punya rambut digulung naik, tapi
sisanya masih meriap ke bawah. Gadis itu tersenyum, dan senyumnya sungguh elok
menawan hati. Marta Kumba tak mampu bicara sepatah kata pun setelah ia sadar,
ternyata si pengintai yang ditakut-takuti ular tadi adalah seorang perempuan
muda yang cantik yang berani memegang ular. Perempuan yang menyelipkan pedang
di pinggangnya itu berkata,
"Kalau hari mau turun
hujan, memang banyak ular keluar dari sarangnya. Hati-hati, nanti kau mampus
ditelan ular!"
Malu sekali Marta Kumba
mendengar kata-kata itu. Ia mengusap wajahnya yang berkeringat dan memenangkan
jantungnya yang masih berdebar-debar dengan kaki dan tangan masih gemetar.
Marta Kumba malu pada ucapannya sendiri, menakut-nakuti tentang ular, begitu
ada ular dia sendiri yang ketakutan setengah mati. Sebagai penutup rasa
malunya, Marta Kumba berkata,
"Aku bukan takut sama
ular, cuma merasa jijik!"
"Ya. Jijik boleh-boleh
saja, tapi tak perlu sampai berkeringat dingin begitu. Tak perlu sampai sepucat
mayat begitu. Dan, jijik pun tak perlu sampai gemetaran kaki dan tangannya
begitu...!" gadis cantik berdada sekal itu memalingkan wajah sambil
tersenyum, matanya memandang bangkai ular yang sudah tidak bergerak lagi.
Seribu kata, sejuta bahasa,
bagaikan hilang lenyap dari mulut Marta Kumba menghadapi rasa malu di depan
seorang gadis. Kalau yang menyambar ular tadi seorang kakek atau lelaki
berbadan kurus sekalipun, Marta Kumba tidak akan malu. Tapi kenyataannya yang
menyelamatkan nyawanya dari ular ganas dan berbahaya itu justru seorang gadis
cantik yang usianya sebaya dengannya. Sungguh sulit melukiskan rasa malu yang
ada pada diri Marta Kumba, karena sebagai pemuda berbadan tegap, kekar,
ganteng, berkumis, tapi sama ular saja menjadi pucat pasi dan gemetaran.
"Siapa namamu?"
tanya gadis yang tampak berjiwa tegas dan pemberani itu.
"Namaku...? Oh, namaku
Marta Kumba!"
"Mau apa datang kemari
dan membunuh orang tua itu?"
"Mau... mau... mau
mencari sesuatu," jawab Maria Kumba dengan sisa kepanikannya.
"Maksudmu, mencari jubah
keramat?"
"Ya. Benar. Jubah keramat."
"Kalau begitu, kau harus
tarung dulu denganku!"
"Hah...?!"
* * *2
LIMA ekor kuda berderap lari
menuju ke sebuah lereng bukit. Penunggangnya orang-orang gagah yang berpakaian
me wah. Dua kuda di depan, dua lagi di belakang, satu kuda ada di tengah-tengah
keempatnya. kuda yang di tengah itu berwarna bulu putih, dan ditunggangi
seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun dengan pakaian rapat berwarna
ungu, hiasan emas pada bagian dada, berupa rantai yang melengkung pendek.
Kancing pada bagian pergelangan baju juga terbuat dari emas. Celananya juga
berwarna ungu dari bahan mahal yang dihiasi sulaman benang emas pada tepiannya.
Kelima kuda ini agaknya melaju
dengan terburu-buru karena mendung telah menggantung. Orang yang ada di atas
punggung kuda putih itu agaknya tak mau dirinya sampai kehujanan. Sebagai orang
yang berpenampilan mewah, menyandang keris di depan perutnya, orang ini
menampakkan dirinya sebagai orang terhormat, yang kaya akan harta dan punya
suatu kedudukan. Keempat kuda di sekelilingnya itu adalah para pengawalnya yang
terpilih.
Orang berpakaian ungu itu
mempunyai mata sedikit besar tapi tajam, memancarkan cahaya kewibawaan ,
kumisnya tebal tapi teratur rapi, menambah kesan tegas dalam jiwanya, ia
mengenakan ikat kepala dari kain batik gelap yang mempunyai bros pada bagian
tengahnya dari emas berbatu berlian tepat di tengah bros bentuk bunga mawar
kecil itu.
Derap kaki kuda itu mulai
melamban setelah satu orang pengawal di depan mengangkat tangan memberi
isyarat. Orang itu berpakaian hijau menyandang pedang di punggungnya, dan
pengawal sebelahnya berpakaian putih, dengan pedang di punggung juga. Mereka
berambut agak panjang tapi rapi. Diikat dengan logam berbentuk rantai emas
dengan hiasan batu merah pada bagian tengah keningnya .
Rupanya kelima kuda itu menuju
ke sebuah tanah lapang yang tidak banyak ditanami pepohonan. Di sana se seorang
sudah menunggu dengan berdiri tegak, dan kedua tangan terlipat di dada. Orang
itu berwajah angker, dingin, rambutnya kucai, tipis tapi panjang, bertubuh
kurus. Tubuh kurusnya itu dibungkus dengan pakaian abu-abu rangkap jubah hijau
tua.
Orang ini tergolong serakah,
karena mempunyai dua pedang, satu pedang di pinggang bergagang cula badak, satu
pedang lagi di punggung berlogam emas sampai pada bagian gagang dan sarungnya.
Pedang itu berukir gambar naga. Dan pedang itulah yang dinamakan Pusaka Pedang
Wukir Kencana, milik Ki Padmanaba. Pedang itulah yang dicuri orang tersebut
dengan menyamar sebagai Embun Salju, guru dari Perguruan Kuil Elang Putih. Orang
itulah yang bernama Rangka Cula, bekas anak buah Logayo dari Perguruan Kobra
Hitam (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Rahasia Pedang
Emas").
Lima kuda berhenti di depan
Rangka Cula. Orang berpakaian ungu itu menghentikan kudanya sejajar dengan
pengawalnya yang bersenjata pedang di punggung, sedangkan dua pengawal yang
bersenjata tombak dan panah di punggung, mengenakan pakaian putih-putih itu,
tetap mengambil posisi di belakang mereka bertiga. Matanya memandang ke
belakang, ke samping dan sekeliling, penuh pangawasan ketat.
Orang berpakaian ungu itu
segera berkata kepada Rangka Cula,
"Kaukah yang bernama
Rangka Cula?"
"Benar," jawab
Rangka Cula yang termasuk orang yang jarang bicara itu.
"Sudah tahu
tugasmu?"
"Mencari jubah
keramat!"
"Betul! Aku sangat
membutuhkan jubah itu. Dan aku sudah siapkan hadiah buatmu!" Orang
berpakaian ungu itu mengambil kantong uang dari dalam bajunya, kantong itu
berwarna merah beludru, memakai tali khusus pada bagian penutupnya. Kantong itu
segera dilemparkan.
Wuttt... !
Diterima oleh tangan kiri
Rangka Cula dengan mata tetap memandang dingin ke arah orang berpakaian ungu
itu. Crikk...! Rupanya di dalam kantong merah itu berisi uang kepingan dari
emas.
"Separo bagianmu sudah
kuberikan, Rangka Cula! Separo lagi akan kuberikan setelah kau serahkan jubah
keramat itu padaku!"
Rangka Cula menganggukkan
kepala.
"Sudah tahu tempatnya di
mana jubah keramat itu bisa kau dapatkan?"
"Petilasan Teratai
Dewa!" jawab Rangka Cula dengan suara datar.
"Bagus! Kapan bisa kudapatkan
jubah itu?"
"Secepatnya!"
"Dua hari?"
"Tidak pasti," jawab
Rangka Cula tetap dingin dan datar.
"Baiklah. Tapi bagaimana
kau bisa menyampaikannya padaku? Apakah kau tahu di mana aku tinggal?"
"Kadipaten
Lambungbumi!"
Orang berpakaian ungu itu
sedikit berkerut dahi.
"Kalau begitu, kau sudah
tahu siapa aku?"
"Adipati
Lambungbumi!"
Maka orang yang berpakaian
ungu itu pun saling pandang dengan pengawalnya yang berpakaian hijau, lalu ia
berkata,
"Kalau begitu, Sirpakana
tidak bisa dipercaya! Dia menyebutkan siapa diriku sebenarnya kepada Rangka
Culai Padahal sudah kuwanti-wanti agar jangan menyebutkan siapa diriku!"
"Sirpakana membutuhkan
jaminan kepercayaan untuk Rangka Cula. Mungkin begitulah yang terjadi, Kanjeng
Adipati, sehingga ia terpaksa menyebutkan siapa orang yang membutuhkan jubah
keramat itu!"
"Baiklah. Sudah telanjur,
yang penting jubah itu harus benar-benar terbukti ada di tanganku!"
Kemudian Adipati Lambungbumi
segera berkata kepada Rangka Cula,
"Apa jaminanmu kalau
ternyata kau gagal mendapatkan jubah itu?"
"Nyawa!" jawab
Rangka Cula. Singkat, tegas, tapi berkesan ganas.
"Baik. Mudah-mudahan kau
berhasil dan nyawamu tidak melayang!"
Rangka Cula diam saja,
memandang dengan lirikan matanya kepada dua orang pengawal Adipati Lambungbumi.
"Kami pamit!" ucap
Adipati Lambungbumi sebelum pergi, dan Rangka Cula yang berwajah kaku itu hanya
menganggukkan kepala tanpa senyum sedikit pun. Bahkan ia tetap diam bagaikan
patung ketika rombongan Adipati Lambungbumi meninggalkan tempat, semakin jauh dan
jauh sekali. Tak lama kemudian, Rangka Cula segera melesat pergi juga setelah
memasukkan kantong uang emas ke dalam balik bajunya yang hijau itu. Tetapi
dalam kejap berikutnya, langkahnya terhenti karena kemunculan seorang nenek
yang berusia antara tujuh puluh tahunan.
Jleggg... !
Lompatan nenek itu masih
mantap ketika mendaratkan kakinya ke tanah. Rambutnya sudah memutih semua,
badannya sedikit bungkuk, ia membawa tongkat penyangga tubuhnya jika berdiri
dan berjalan. Matanya sama cekungnya dengan Rangka Cula. Nenek itu memakai
jubah hitam lusuh dan pakaian dalamnya putih kusam. Rambutnya yang putih rata
itu dibiarkan meriap tanpa disanggul atau diikat. Wajahnya yang berpipi cekung
kempot itu kelihatan berkulit kisut, berlipat-lipat walau tidak terlalu jelas
lipatannya. Nenek itu berbadan kurus kering, bagian tangan dan kakinya bergusik
putih.
"Masih kenal aku, Rangka
Cula?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Nyai Cungkil
Nyawa!"
"Betul! Hik hik hik
hik...! Rupanya otakmu masih ada gunanya, Rangka Cula! Dan aku dengar apa yang
kau bicarakan dengan orang berpakaian ungu itu! Rupanya kau menjadi orang
upahan sang Adipati. Rangka Cula!"
"Benar!" jawab
Rangka Cula, setelah itu diam saja.
"Kau mau mencari jubah
keramat itu?"
"Ya!"
"Hi hi hi hik... ! Tak
mungkin bisa kau mendapatkannya! Tak mungkin berhasil, Rangka Cula!"
"Bisa!"
"Tidak akan bisa! Selama
aku masih hidup, tidak akan bisa kau mendapatkan jubah itu! Sebab akulah juru
taman Keraton Teratai Dewa yang bertugas menjaga segala sesuatu yang...."
Buhgg...! Plokk...!
Belum habis Nyai Cungkil Nyawa
bicara, pukulan dan tendangan Rangka Cula sudah menyerang dengan tiba-tiba.
Nenek tua itu terlempar dari tempatnya berdiri, sekitar lima tombak jauhnya.
Rangka Cula memandang dengan mata ganasnya, ia biarkan nenek itu bangkit dan
terhuyung-huyung bersama tongkatnya.
"Bocah sapi!"
makinya dari kejauhan. "Mau menyerang tidak bilang-bilang. Benar-benar
bocah tak tahu sopan! Hih...!"
Wessst...! Sinar merah
bagaikan kilatan cahaya petir melesat dari ujung jari yang dikibaskan. Sinar
merah itu cepat sekali sampai di depan hidung Rangka Cula. Tapi ia bergerak
cepat menjatuhkan diri dalam posisi melayang. Tubuhnya melengkung ke belakang
dan tangannya menyanggah di atas tanah. Ketika sinar merah itu melesat lewat,
tubuh Rangka Cula bangkit kembali dengan gerakan cepat.
Begitu ia bangkit tegak,
tahu-tahu Nyai Cungkil Nyawa sudah ada di depannya. Tangan nenek itu menghantam
dengan telapak tangan yang terbuka. Desss...! Tepat mengenai mulut Rangka Cula,
sehingga Rangka Cula terpental ke belakang dan terhuyung- huyung nyaris jatuh.
Ada antara lima tindak ia tersentak ke belakang, setelah itu kembali berdiri
tegak walau ia merasakan ada sesuatu yang mengalir dari dalam hidungnya.
Sesuatu itu tak lain adalah darah. Pukulan nenek tua itu jelas dibarengi dengan
tenaga dalam. Jika tidak, tak mungkin bisa membuat hidung Rangka Cula
mengucurkan darah.
Rangka Cula diam saja
memandangi Nyai Cungkil Nyawa. Mata nenek itu mulanya berseri-seri karena bisa
membuat hidung Rangka Cula berdarah. Tapi mata itu jadi menyipit heran begitu
melihat darah yang mengalir dari hidung itu tiba-tiba meresap hilang, seperti
masuk ke dalam pori-pori kulit. Dan wajah Rangka Cula menjadi bersih tanpa
setitik noda merah pun. Bahkan tangannya yang tadi dipakai mengusap darah itu
juga kering tanpa bekas darah setetes pun.
"Semakin sakti saja kau
rupanya!" gumam Nyai Cungkil Nyawa dengan pelan, seakan bicara pada
dirinya sendiri.
Dan tiba-tiba, wukkk...! Api
menyala membakar tanah mengelilingi Nyai Cungkil Nyawa. Api yang membuat
lingkaran besar itu berkobar-kobar dan tetap dipandangi oleh Rangka Cula dengan
mata menyorot dingin. Nyai Cungkil Nyawa terkurung, sementara api makin lama
semakin besar dan nyaris membakar tanaman sekelilingnya.
"Ilmu sihirmu cukup
lumayan, Rangka Cula!" kata Nyai Cungkil Nyawa. "Tapi sama sekali
tidak membuatku gentar!"
Setelah bicara begitu, nenek
bungkuk itu menegakkan badan serta memejamkan mata. Mulutnya berkomat- kamit
beberapa saat dengan gerakan bibir yang cepat. Dan tiba-tiba lingkaran api yang
mengurungnya itu padam seketika. Zrubbb...! Tanah mengepulkan asap, dan angin
meniup asap itu ke arah Rangka Cula.
Kejap berikutnya, Rangka Cula
jatuh terlutut. Tanaman di belakang Rangka Cula layu, dan segera mengerut.
Pohon besar menjadi berkeriput dan mengerti. Rumput menjadi keriting
kecil-kecil, batu menjadi rapuh dan berguguran bagai gundukan abu.
Rangka Cula menundukkan
kepalanya. Menahan napas dengan keringat mulai membasah di tubuhnya. Nyai
Cungkil Nyawa masih berkomat-kamit dalam sikap berdiri tegak, seakan
menghilangkan bungkuk badannya. Sedangkan tanah masih mengepulkan asap putih
yang terbawa angin menerpa tubuh Rangka Cula.
"Tak ada yang bisa
menghindari 'Asap Kematian' ini, Rangka Cula!" geram Nyai Cungkil Nyawa
dengan suara tuanya.
Tiba-tiba Rangka Cula yang
berlutut lemas itu menghentakkan tangannya, memukul tanah satu kali. Blukkk...!
Dan seketika itu pula tubuh Nyai Cungkil Nyawa terlonjak terbang bersamaan
dengan tubuh Rangka Cula yang terlonjak ke atas juga.
Tapi pada saat itu Rangka Cula
segera bersalto satu kali, dan kakinya menjejak tubuh Nyai Cungkil Nyawa dengan
keras. Beggh...! Tepat mengenai dadanya.
Tak heran jika tubuh kering
yang tua renta itu terlempar cukup jauh dan membentur batang pohon dengan
kerasnya. Buhggg...! Wrrr...! Pohon itu terguncang hebat. Daun-daunnya
berguguran. Tubuh Nyai Cungkil Nyawa melorot sampai ke tanah dalam keadaan
memuntahkan darah pada bagian mulut dan hidungnya. Jelas tendangan itu adalah
tendangan bertenaga dalam tinggi. Masih untung dada itu tidak jebol. Jika Nyai
Cungkil Nyawa tidak memiliki lapisan tenaga dalam cukup tinggi pula, maka
dadanya akan jebol oleh tendangan kedua kaki Rangka Cula.
Tubuh tua yang telah terluka
parah itu segera dihantam oleh pukulan jarak jauh Rangka Cula yang berwarna
hijau berpendar-pendar. Pukulan sinar hijau itu keluar dari genggaman tangan
Rangka Cula. Zlappp...!
Cepat sekali gerakannya,
sehingga tak punya waktu lagi Nyai Cungkil Nyawa menghindarinya. Tetapi tiba-
tiba sekelebat bayangan menyambar tubuhnya dari samping kanan. Wutt...!
Blarrr...!
Sinar hijau itu menghantam
pohon yang tadi rontok daunnya. Pohon itu pecah terbelah memanjang dari bawah
sampai ke atas, menjadi potongan-potongan kayu panjang antara sepuluh bagian.
Rangka Cula menggerakkan
matanya memandang ke arah hilangnya Nyai Cungkil Nyawa. Tapi tak terlihat lagi
seseorang di sana, tak terlihat pula bayangan yang berkelebat menyelamatkan
tubuh Nyai Cungkil Nyawa itu. Rangka Cula masih diam di tempat, menyapu keadaan
sekelilingnya dengan lirikan mata ganasnya.
"Ha ha ha ha...!"
tiba-tiba terdengar suara tawa dari arah belakang Rangka Cula. Segera orang
kurus berjubah abu-abu itu berpaling ke belakang. Gerakannya cukup gesit dan
tampak liar. Ia memandang seorang lelaki yang berbadan agak gemuk mengenakan
pakaian dari kulit rusa. Celana dan rompi tanpa lengan berwarna coklat kulit
rusa. Tapi diberi sabuk hitam besar pada pinggangnya. Sabuk hitam itu digunakan
untuk menyelipkan sebilah golok besar bergagang hitam. Golok itu adalah golok
pemenggal leher, bukan untuk membeset kulit. Tetapi tentu saja jika keadaan
memaksa, bisa saja dipakai untuk membeset kulit. Panjang golok itu antara
separo tombak lebih sedikit, dan besarnya seukuran paha manusia.
"Kau kehilangan mangsamu,
Rangka Cula? Ha ha ha ha...!" orang berkumis lebat dan berambut pendek
tanpa ikat kepala itu tertawa geli melihat Rangka Cula kebingungan mencari
mangsanya tadi.
Mendengar orang itu
menertawakan dirinya, Rangka Cula diam saja. Wajahnya tak ada kesan damai
sedikit pun. Ia menatap orang itu tanpa berkedip. Tajam sekali pandangan
matanya itu, sehingga sulit dilawan dengan sinar matahari.
"Kau pasti lupa padaku,
Rangka Cula, karena cukup lama kita tidak bertemu!"
"Setan Bangkai."
"Oh ohh... oho oho ho ho...!"
orang itu semakin tertawa. "Ternyata kau masih ingat namaku, Rangka Cula?!
Ya. Benar. Akulah si Setan Bangkai! Syukurlah kalau kau masih ingat aku.
Berarti kau masih ingat dengan istriku yang kau bunuh seenaknya di Rawa Kebo
itu, hah?! Masih ingat?!"
"Masih!" jawab
Rangka Cula dengan tegas.
"Bagus!" Setan
Bangkai segera mencabut goloknya pelan-pelan dan berkata tanpa senyum, juga
tanpa tawa. "Kalau begitu kau masih ingat, bahwa kau punya hutang nyawa
padaku, Rangka Cula?!"
"Ya!"
"Kalau waktu itu aku
terluka oleh ilmumu, tapi sekarang kau tak akan bisa melukaiku lagi! Sudah
kusiapkan jurus istimewa untuk memenggal kepalamu, Rangka Cula!"
"Silahkan!"
"Tapi terlebih dulu aku
ingin kau menjawab pertanyaanku!"
"Katakan."
"Mana si raksasa yang
bergelar Dewa Murka itu?! Mana Logayo?!"
"Sudah mati!"
"Setan!" geram orang
yang wajahnya mulai sama- sama ganas itu.
"Siapa yang berani
lancang membunuh Logayo?! Apakah orang itu tidak tahu bahwa nyawa Logayo itu
jatahku?! Siapa yang membunuhnya?! Jawaaab...!"
"Kirana!"
"Siapa itu Kirana?!"
bentaknya lagi.
"Entah!"
"Biadab! Kalau begitu,
aku hanya bisa membunuh satu musuhku! Kau...!" mulutnya sambil maju ke
depan dengan penuh dendam. "Kaulah satu-satunya musuhku yang belum mati,
dan sekarang akan mati!"
Rangka Cula tetap berwajah
dingin dan diam saja. Matanya tak beralih pandang sedikit pun, sehingga ia tahu
kaki Setan Bangkai mulai mau bergerak maju untuk melompat. Maka, Rangka Cula
mendahului melompat dengan pedang tercabut seketika.
Wut...! Crasss...!
"Aaah...!" Setan
Bangkai menyeringai kesakitan. Rangka Cula bagaikan angin lewat di samping
kirinya dan berhasil melukai lengan kirinya. Tahu-tahu orang kurus itu sudah
ada di belakang Setan Bangkai dan memunggunginya. Pedang bergagang Cula badak
masih digenggam dengan satu tangan. Dan seketika Setan Bangkai berbalik arah
sambil mengibaskan golok besarnya ke arah leher Rangka Cula, berkelebatlah
tangan Rangka Cula yang memegangi pedangnya itu. Gerakannya cepat, kelebatan
itu tepat mengenai golok besar. Trangng...! Wess...! Golok tersingkirkan dari
arah leher Rangka Cula.
Lalu, dengan tersingkirnya
golok besar itu, Rangka Cula punya kesempatan membabatkan pedangnya ke arah
perut Setan Bangkai. Wutt! Crasss...!
"Aahg...!"
Robek perut Setan Bangkai
seketika itu pula. Darah meluap keluar. Tapi isi perut tak sempat keluar. Setan
Bangkai masih bertahan dengan mundur dua tindak, dan segera mendekap lukanya.
Luka itu diusap dengan telapak tangan kirinya. Seet...! Luka itu hilang dan
perutnya kembali utuh. Demikian pula lengan kiri yang terluka tadi, diusap
memakai tangan kanan. Seet...! Luka tersebut lenyap, lengan kiri itu kembali
utuh, seperti tak pernah terluka.
Rupanya itulah ilmu andalan
Setan Bangkai dalam melawan Rangka Cula kali ini. Ia menyeringai dengan bangga
memamerkan kesaktian barunya. Rangka Cula diam saja, tanpa ada rasa heran
ataupun kagum. Terkesiap pun tidak.
Tapi Rangka Cula segera
memasukkan pedangnya ke tempat semula. Agaknya ia merasa percuma melawan Setan
Bangkai memakai pedang, karena setiap luka dapat disembuhkan seketika dengan
usapan tangan.
"Ayo, majulah! Tebas
tubuhku yang mana saja, silahkan pilih!" kata Setan Bangkai sambil
memajukan perutnya.
"Ayo, maju! Pilih sendiri
mana yang mau kau tebas...!"
Wutt...! Dasss...!
Tanpa banyak bicara, tahu-tahu
pukulan tenaga dalam dilepaskan oleh Rangka Cula. Pukulan yang memancarkan
sinar merah itu dengan telaknya mengenai dada Setan Bangkai. Dada itu menjadi
hitam sebesar piring nasi. Setan Bangkai menyeringai kesakitan. Kali ini ia
terluka dalam dan tak mungkin bisa dijamah tangannya.
"Bangsat kau!"
geramnya. "Tunggu beberapa waktu lagi...!"
Wuttt...! Setan Bangkai pun
cepat menghilang pergi, ia tak sanggup melawan Rangka Cula, karena Rangka Cula
tidak menggunakan pedang, ia tak mampu mengobati lukanya jika Rangka Cula
melukai bagian dalam tubuhnya. Rangka Cula sendiri diam saja
memandangi kepergian lawannya.
*
* *
LANGIT tak jadi sebarkan hujan
ke bumi. Entah mengapa, mendung berjalan santai meninggalkan matahari. Tapi
karena sore telah tiba, sinar mentari pun surut ditelan senja.
Di dalam sebuah gubuk kosong
yang reot tanpa penghuni itu, Nyai Cungkil Nyawa dibaringkan. Tergeletak di
lantai beralaskan tikar dari anyaman daun kelapa kering. Orang yang membawanya
ke gubuk itu adalah pemuda tampan berpakaian coklat putih, menyandang bumbung
tuak. Siapa lagi jika bukan Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang tak pernah
pakai ikat kepala itu.
Nyai Cungkil Nyawa diberi
minum tuak dalam keadaan setengah pingsan. Tuak diteguk oleh nenek bungkuk,
beberapa saat kemudian luka-luka di dalam tubuhnya pun mulai membaik. Napasnya
mulai lancar, kepucatan wajahnya mulai sirna, dan menjadi tampak segar.
Pertama kali membuka matanya,
ia menyipit memandang pemuda tampan yang ada di sampingnya, ia berkata seperti
bicara pada dirinya sendiri,
"Apakah aku sudah berada
di surga...?!"
Pemuda tampan yang tak lain
adalah Suto Sinting itu hanya tersenyum menahan geli. Tanpa bicara ia segera
menjauhkan diri dari nenek bergusik itu.
Sang nenek segera berkata,
"Dewa, jangan tinggalkan
aku...!"
"Kau belum mati,
Nek!" kata Suto sambil tertawapelan. "Kau masih hidup di bumi!"
"Masih hidup...?!
Bukankah... bukankah aku tadi dibunuh oleh Rangka Cula?!"
"Belum sempat!"
jawab Suto, kemudian ia menenggak tuaknya.
"Jadi, kau menyelamatkan
aku?"
"Yang kuasa yang
menyelamatkan kamu, Nek. Cuma, akulah yang dijadikan perantara sementara
ini!" kata Suto merendahkan diri. Nenek itu pelan-pelan bangkit dan duduk
sambil menghembuskan napas kelegaan.
"Kamu siapa, Nak?"
tanyanya.
"Namaku Suto
Sinting!"
"Ooo... bocah
sinting."
"Suto Sinting, Nek! Bukan
bocah sinting!"
"Lha, iya...! Suto itu
anak, sinting itu..., ya sinting! Jadi Suto Sinting itu bocah sinting!"
Tawa pun terdengar pelan.
Pendekar Mabuk segera menutup bumbung tuaknya. Nenek itu bertanya setelah
memandang keadaan gubuk tersebut,
"Ini rumahmu, Suto?"
"Bukan."
"Lalu, rumah siapa yang
begini bagusnya?" sindir Nyai Cungkil Nyawa. Suto tersenyum sambil
menjawab.
"Aku sendiri tidak tahu,
Nek. Kutemukan gubuk reot ini dalam keadaan kosong. Kupikir tadi mau hujan,
jadi untuk sementara kau kubawa kemari! Kalau kau tak suka tinggal di sini, aku
tak keberatan kalau kau mau cari penginapan di desa terdekat sini, Nek."
"Aku tidak bilang begitu.
Aku cuma tanya saja!" katanya sambil bersungut-sungut, lalu bangkit dengan
menggunakan tongkatnya. Rupanya tongkat itu pun tetap tergenggam di tangan saat
ia terlempar dan membentur pohon tadi. Dan Suto pun menyelamatkan nenek itu
tanpa sadar kalau sang nenek masih menggenggam tongkatnya.
"Suto Sinting...."
"Ada apa?"
"Aku hanya menggumam
sendiri! Aku seperti pernah mendengar nama Suto Sinting! Nyai Cungkil Nyawa
berkerut dahi sambil mengulang-ulang menyebut nama Suto Sinting.
"Sudahlah, tak perlu
diingat-ingat," kata Suto. "Yang penting aku pun tahu namamu adalah
Nyai Cungkil Nyawa."
"Dari mana kau tahu
namaku?"
"Kudengar percakapanmu
dengan Rangka Cula sebelum kalian saling beradu kesaktian dan ilmu sihir
tadi!"
"O, begitu?! Lalu,
mengapa kau tidak segera menolongku?"
"Karena kulihat tadinya
kau imbang melawan Rangka Cula. Aku sendiri sedang mengincarnya. Pikirku, kalau
kau lari darinya, aku akan maju menghadapi dia! Tapi kulihat kau kewalahan dan
dalam bahaya, Nek. Jadi, kuutamakan menyelamatkan nyawamu lebih dulu."
"Manusia yang satu itu
sukar dikalahkan! Tapi suatu saat dia akan mati di tanganku!"
"Mudah-mudahan harapanmu
terkabul, Nek!"
Tiba-tiba nenek itu menatap
Suto dengan curiga dan bertanya,
"Apa maksudmu menolong
nyawaku?"
"Apa itu hal yang
buruk?" Suto ganti bertanya.
"Kurasa kau punya
maksud-makaud tertentu! Kurasa kau ingin memiliki jubah keramat itu!"
Ails Pendekar Mabuk itu
berkerut hingga nyaris beradu. Heran sekali Suto dituduh begitu, sementara dia
sendiri ingin tahu apa yang dimaksud jubah keramat dalam percakapan Nyai
Cungkil Nyawa dengan Rangka Cula dipertarungkan itu. Maka, Suto pun bertanya,
"Jubah apa maksudmu,
Nek?"
"Jubah keramat! Apa kau
belum dengar tentang jubah keramat?"
Suto menggelengkan kepala.
"Aku justru ingin dengar dari mulutmu, Nek! Ceritakanlah, karena aku percaya
kau tokoh tua di rimba persiiatan yang tahu banyak tentang jubah keramat
itu!"
"Ya, memang aku tahu
banyak tentang jubah keramat! Karena akulah penjaga Petilasan Teratai Dewa
itu!"
"Apa pula Teratai Dewa
itu?" tanya Suto semakin heran.
"Banyak orang menyangka,
Petilasan Teratai Dewa adalah sebuah keraton yang sudah runtuh. Mungkin karena
luasnya dan ada bekas pilar-pilarnya, maka orang menyangka petilasan itu adalah
reruntuhan sebuah istana. Padahal bukan!"
"Dari mana kau tahu kalau
petilasan itu bukan reruntuhan sebuah istana?" tanya Suto semakin
terpancing ingin tahu.
"Karena akulah penjaga
Teratai Dewa! Dari sejak cicitku, canggahku, buyutku, kakekku, bapakku, sampai
akhirnya aku... adalah juru kunci atau penjaga makam tersebut."
"Makam yang mana?"
"Ya makam Teratai Dewa
itu!" sentak nenek bergusik rada dongkol. "Petilasan Teratai Dewa itu
sebenarnya sebuah makam. Jelasnya, sebuah makam yang di atasnya dibangun
pesanggrahan bagi para leluhur dan ahli waris berkumpul. Lalu, di situ menjadi
suatu tempat untuk mengolah ilmu kanuraga dan tenaga batin. Maka muncullah
sebuah nama perguruan yang pada masa itu disegani orang, yaitu Perguruan
Teratai Dewa!"
"Hmmm...!" Suto
manggut-manggut. "Lalu, makam yang ada di bawahnya itu makam siapa,
Nek?"
"Itu makam Prabu
Indrabayu, seorang raja dari Lereng Gangga yang melarikan diri karena serangan
musuh, hingga sampai di tanah Jawa dan kawin dengan puteri raja di tanah Jawa
ini. Ketika beliau wafat, sang puteri, yaitu istrinya, minta supaya jenazah
suaminya dimakamkan di tanah tempat pertama kali mereka berjumpa. Maka
dibangunlah makam di dalam hutan sana, dan menjadi sebuah pesanggrahan keramat.
Menurut kabarnya, pada masa tempat itu menjadi pesanggrahan, para murid
Perguruan Teratai Dewa itu, sering didatangi arwah Prabu Indrabayu, atau
melihat kelebatan sang Prabu memakai jubah saktinya!"
"Ooo... jadi Prabu
Indrabayu itu mempunyai jubah sakti?"
"Iya! Dan jubah itu ikut
dimakamkan juga di kuburannya itu!"
"Seberapa tinggi
kesaktian jubah itu, Nek?"
"Tinggi sekali, sampai
bisa disambar petir segala!" jawab nenek itu seenaknya saja.
"Maksudku, kesaktiannya
itu bagaimana? Seberapa hebatnya kok sampai kelihatannya diincar betul oleh
Rangka Cula?!"
"Rangka Cula hanya orang
upahan sang Adipati Lambungbumi! Dan karena ulah mulut sang Adipati itulah maka
jadi banyak orang mengincar jubah keramat itu! Sebab sang Adipati tahu adanya
jubah keramat peninggalan Prabu Indrabayu, karena dulu kakek moyangnya ikut
membangun makam Prabu Indrabayu."
"Yang kutanyakan, kehebatan
jubah itu!" tegas Suto lagi.
"Ooo...
kehebatannya?" nenek itu terbatuk sebentar, setelah itu melanjutkan
ceritanya,
"Jubah itu mampu
menciptakan khayalan menjadi kenyataan "
"Maksudnya... maksudnya
bagaimana?" Suto mendekat semakin tertarik.
"Seseorang yang
mengenakan jubah itu, bisa mempunyai kekuatan indera ketujuh, yaitu kekuatan
menghadirkan sesuatu yang ada dalam pikirannya. Dari sesuatu yang tidak ada
menjadi ada, yang ada bisa menjadi tidak ada! Jadi misalnya begini...,"
nenek bergusik itu pun bersemangat sekali menuturkan kehebatan Jubah Keramat
tersebut.
"Misalnya kau memakai
jubah itu, maka apa yang kau bayangkan dalam benakmu bisa menjadi kenyataan.
Kalau misalnya kau menghadapi lawanmu, lalu kau membayangkan lawanmu terpenggal
kepalanya, maka dalam beberapa kejap saja lawanmu benar-benar terpenggal
kepalanya tanpa ada yang menyentuhnya, tanpa ada yang memenggalnya. Misalnya
lagi, kau membayangkan batu di depan gubuk ini pecah, maka tanpa kau ucapkan,
tanpa kau sentuh, batu itu akan pecah sendiri seperti apa yang kau bayangkan.
Mungkin pecah menjadi dua atau menjadi seratus, itu tergantung yang ada dalam
benakmu!"
"Wah, hebat sekali jubah
itu!" gumam Suto dengan kagum.
"Kalau tak hebat, tak
akan jadi bahan rebutan!" kata sang nenek dengan cepat dan merasa bangga
bisa menceritakan kehebatan jubah keramat itu. Lalu, sambungnya lagi,
"Jubah itu diperoleh sang
Prabu Indrabayu ketika bertapa di kedalaman Gunung Wijayakusuma, yaitu tempat
asal tanaman kembang Wijayakusuma. Jadi kalau kau memakai jubah itu, lalu kau
membayangkan perempuan cantik maka kau bisa benar-benar mendapatkan perempuan
cantik sesuai dalam bayangan benakmu. Orang yang mempunyai jubah keramat itu
harus orang yang bersih pikirannya, bersih hatinya, bersih pula khayalannya.
Kalau tidak, akan menimbulkan malapetaka di mana-mana! Kalau setiap orang
dibayangkan buntung kepalanya, maka di tanah Jawa ini akan penuh dengan manusia
tanpa kepala! Nah, jadi hanya orang yang berjiwa bersih yang pantas memiliki
atau memakai jubah tersebut! Tugas leluhurku adalah menjaga agar jangan sampai
jubah itu dicuri maling! Tapi karena mulut Adipati Lambungbumi berkoar ke
mana-mana, mengupah setiap orang untuk mencari jubah keramat itu, nah...
akhirnya banyak maling yang mengincar Jubah keramat itu!"
Pendekar Mabuk
manggut-manggut, lalu ia merenung panjang ketika matahari makin surut dan
petang pun tiba. Nenek bergusik itu keluar sebentar dari gubuk. Ketika ia
kembali lagi sudah membawa sebongkah batu satu genggaman tangan. Batu itu
cekung di permukaannya, lalu diberinya tuak sedikit dengan meminta tuaknya
Suto, diberi pula kain sedikit dari sobekan ikat pinggangnya sendiri, dan
dengan satu kali tunjuk jari, terpeciklah api yang segera menyambar kain
bagaikan sumbu lentera itu, lalu menyala kain tersebut menjadi sebuah pelita
yang cukup ajaib. Dengan bahan bakar tuak, bisa menyala sampai beberapa saat
lamanya, bahkan sampai besok pagi pun bisa, begitu kata si nenek bergusik itu.
Rupanya percakapan itu ada
yang menyadap dari luar gubuk. Nenek bergusik itu berkata lirih pada Pendekar
Mabuk.
"Ada maling!"
Suto berkerut dahi,
menelengkan telinganya, mencari dengar suara yang mencurigakan. Nenek itu
berkata lagi dengan lirih,
"Kau mendengar degub
jantungnya?"
"Tidak."
"Bodoh kamu!" ucap
nenek itu seenaknya saja. "Aku mendengar degub jantungnya. Keras. Itu
tandanya dia deg-degan!"
"Aku hanya mendengar
desir darahnya mengalir di sekujur tubuh."
"Wah, itu lebih hebat!
Suara desiran darah bisa sampai di telingamu, itu hebat!"
"Tapi sepertinya darahmu
sendiri yang kudengar, Nek!"
"Wah, itu bodoh namanya!
Karena aku berada di dekatmu jadi kau mendengar desir darahku! Eh, tapi... tadi
agaknya maling itu makin mendekati kita, Suto! Degub j antungnya makin kudengar
jelas!"
Pendekar Mabuk bergegas keluar
dari gubuk itu. Tapi Nyai Cungkil Nyawa segera menahannya dan berbisik makin
pelan,
"Diam saja di tempat.
Seolah-olah kita tidak mengetahui kehadirannya. Diam saja! Kita bicara soal
lain!"
Suto manggut-manggut tanda
setuju. Kemudian, Suto segera bertanya,
"Sebenarnya, nama aslimu
siapa, Nek?"
"Nama asliku sewaktu
masih gadis cantik adalah Sendang Katon."
"Kenapa diganti dengan
nama Nyai Cungkil Nyawa?"
"Biar seram! Hik hik
hik...!" nenek itu tertawa. Lalu tambahnya lagi, "Pekeijaanku dulu
tukang mencungkil nyawa orang yang mau mengganggu makam Prabu Indrabayu. Jadi
kuberi nama julukan Cungkil Nyawa."
"Apa sekarang kau masih
bisa mencungkil nyawa orang?"
"Kalau ada yang berbuat
kurang ajar padaku, tentu saja aku bisa mencungkil sepuluh nyawa dalam satu
kali cungkilan!"
Setelah bicara begitu, Nyai
Cungkil Nyawa berbisik di dekat telinga Suto. "Dia semakin dekat. Sekarang
ada di pintu masuk!"
Suto tetap tenang dan melirik
sekejap ke arah pintu masuk, ia kembali berpura-pura asyik ngobrol dengan nenek
itu.
"Apa kerjamu sehari-hari
ini, Nyai?"
"Yah, tidak tentu!
Kadang-kadang aku menjadi dukun bayi, atau tukang masak jika ada orang punya
hajat dan...," Nyai Cungkil Nyawa tidak melanjutkan bicaranya. Matanya
memandang ke arah pintu masuk. Suto Sinting pun ikut memandang ke sana, dan
menjadi sangat terkejut begitu melihat 'maling' yang dikatakan Nyai Cungkil
Nyawa itu sudah ada di depan pintu dan sedang memandang ke arah Suto.
Maling itu adalah seekor
harimau loreng bermain merah.
Jantung Suto hampir saja putus
karena kagetnya. Harimau itu tampak ganas dan mulai menggeram dengan kepala
merendah, itu tandanya dia siap menerkam mangsanya. Suto Sinting berkata dengan
sedikit cemas,
"Ini bukan saja maling,
Nek! Ini lebih berbahaya daripada maling!"
"Ggrrrr...!" harimau
loreng berbadan besar itu menggeram dengan mulut menyeringai, menampakkan
taringnya yang menyeramkan.
"Tenang saja...
tenang...," ucap nenek itu. Ia sendiri kelihatan agak gemetar. Lalu
mulutnya komat-kamit entah membaca mantera apa, Suto tak tahu. Yang dilakukan
Suto adalah memandang mata harimau yang berwarna merah itu. Maka timbul
keyakinan dalam diri Suto Sinting bahwa harimau itu bukan sembarang harimau.
"Gggrrr...
aaaoow...!" harimau itu mengaum, suaranya bagai mau merubuhkan bambu-bambu
penyangga atap gubuk itu. Nenek bergusik itu gemetar dan tetap membaca mantera.
Sedangkan Pendekar Mabuk buru-buru meraih bumbung tuaknya, dan menenggak tuak
dengan cepat. Tuak tidak ditelan tapi ditampung di mulut. Maka ketika harimau
itu pada akhirnya benar-benar melompat dan menerkam ke arah si nenek, Suto
segera menyemburkan tuak di dalam mulutnya yang dinamakan ilmu 'Sembur
Siluman'. Brusss...!
Clappp... !
Brukkk...! Nenek itu jatuh
telentang ditindih oleh sesosok tubuh manusia berpakaian hitam-hitam. Lelaki
berpakaian hitam itu segera disentakkan tubuhnya oleh nenek bergusik dan jatuh
terlempar di dekat pintu masuk tadi. Brakkk...!
Gubuk hampir saja ambruk.
Tubuh orang berpakaian hitam itu membentur tiang penyangga pintu. Nenek
bergusik segera memaki,
"Monyet kusut! Rupanya
kau yang berubah menjadi harimau tadi, Sonokeling?!"
Orang berpakaian hitam itu
tertawa terkekeh-kekeh. Usianya hampir sama dengan Nyai Cungkil Nyawa.
Rambutnya juga putih dan kulitnya sudah keriput. Tubuhnya pun sama kurusnya
dengan nenek bergusik itu.
"Memang aku, Nyai,"
kata orang yang ternyata bernama Sonokeling itu.
"Kambing bandot kumis
kucing!" serapah nenek itu. "Sekali lagi kau berusaha menciumku
dengan cara apa pun kubunuh kau saat itu juga, Sonokeling!"
"Siapa dia, Nek?"
tanya Suto.
"Orang gila!" jawab
Nyai Cungkil Nyawa dengan seenaknya saja.
Kemudian nenek itu bicara
kepada orang yang bernama Sonokeling,
"Apa maksudmu datang
kemari, hah?!"
"Aku... aku rindu padamu,
Nyai!"
"Puih...! Rindu,
rindu...!" Nyai Cungkil Nyawa bersungut-sungut cemberut. Suto Sinting
segera paham siapa orang itu, lalu ia tersenyum, dan Nyai Cungkil Nyawa melirik
Pendekar Mabuk, kemudian berkata kepada orang berpakaian hitam itu,
"Tidak malu sama anak
muda ini! Sudah tua peot masih bicara soal rindu! Mengacalah dulu, Sonokeling?!
Lihatlah dirimu, masih muda atau sudah tua?!"
"Apa yang boleh punya
rindu hanya anak muda?!" Ki Sonokeling duduk melonjorkan kaki seenaknya
saja.
"Sudah tak pantas orang
seusia kita bicara soal rindu!"
"Kalau tak pantas ya
sudah!" kata Ki Sonokeling kemudian. "Aku ke sini juga mau kasih tahu
kamu, Nyai! Tempatmu disatroni pencuri!"
"Apa...?!" nenek
bergusik kaget.
"Kulihat ada tiga mayat
lagi yang tergeletak di atas petilasan itu! Dan kulihat juga ada sepasang
muda-mudi di sana!"
"Siapa mereka?!"
"Entah. Aku tak menegur
muda-mudi itu! Waktu kutinggalkan mencari kamu, mereka sedang bertarung! Pokok
masalahnya sudah pasti soal jubah keramat itu!"
"Suto!" kata nenek
itu kemudian, "Aku harus segera ke petilasan! Aku harus mencegah kedua
anak muda itu saling berebut jubah keramat! Mereka harus kuberi pelajaran agar
tidak seenaknya menginjak-injak Pesanggrahan Teratai Dewa!"
"Kalau begitu, aku ikut
de...."
Clappp... !
Suto terkejut, nenek itu
lenyap begitu saja. Entah kemana perginya dan entah bagaimana bergeraknya. Suto
hanya merasakan hembusan angin melesat di depannya. Tetapi Ki Sonokeling masih
ada di tempatnya sedang garuk-garuk kepala.
* * *4
SEPERTI apa yang dikatakan Ki
Sonokeling, di pelataran Petilasan Teratai Dewa terdapat tiga mayat. Tentu saja
mayat itu adalah mayat si Cakar Macan, Julung Boyo dan Tapak Getih. Tetapi dua
remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ada.
Nyai Cungkil Nyawa
mencari-cari kedua muda-mudi itu ke beberapa tempat sambil menggerutu,
"Jangan-jangan mereka
sedang mesra-mesraan di sini! Kugepruk habis kalau ketemu! Tempat suci kok mau
dipakai remas-remasan?!"
Dalam keremangan cahaya langit
yang sudah menjadi cerah dengan rembulan kece mengintip sangat sedikit, Nyai
Cungkil Nyawa menyusuri tempat-lempat yang paling tidak memungkinkan dijamah
manusia. Tetapi tetap saja dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ia
temukan.
Akhirnya Nyai Cungkil Nyawa
kembali ke reruntuhan bagian depan. Mayat-mayat itu diseretnya satu persatu untuk
dibuang ke jurang yang jaraknya tak seberapa jauh dari petilasan itu. Sambil
menyeret mayat- mayat itu Nyai Cungkil Nyawa menggerutu,
" Sampai kapan
orang-orang bodoh ini habis dari permukaan bumi?! Semakin banyak orang bodoh,
maka akan semakin banyak lagi pekerjaanku menyeret mayat, membuangi mayat,
menjadikan mereka mayat dan semua ini sungguh pekerjaan yang membosankan
bagiku! Dari hari ke hari pekerjaanku hanya urusan kematian terus. Padahal aku
tidak pernah punya cita-cita untuk menjadi petugas kematian!"
Nyai Cungkil Nyawa tertidur di
pelataran reruntuhan, ia kecapekan menyeret tiga mayat sambil menggerutu.
Suara dengkurnya samar-samar
terdengar berirama naik turun. Kadang tinggi, kadang rendah, kadang pelan,
kadang keras. Sesekali di sela sepinya malam ia terbatuk-batuk, lalu lelap lagi
dan hadir kembali suara naik turun dari dengkurnya yang tidak punya kemerduan
sama sekali itu.
Sebenarnya Suto Sinting sudah
bisa sampai di petilasan sebelum nenek itu tertidur. Tapi agaknya Suto jadi
punya urusan lain dengan Ki Sonokeling. Lelaki berpakaian serba hitam itu
merasa kagum terhadap ilmu 'Sembur Siluman' milik Suto yang bisa membuat
penyamarannya dari seekor harimau loreng menjadi pudar dan membuatnya kembali
ke wujud manusia. Padahal selama ini tak ada manusia yang bisa memudarkan ilmu
'Siluman Macan'-nya. Nyai Cungkil Nyawa belum tahu bahwa harimau itu jelmaan Ki
Sonokeling. Jika harimau loreng itu belum mengajaknya bicara dalam bahasa
manusia, nenek itu belum bisa memastikan bahwa harimau itu jelmaan Ki
Sonokeling.
"Aku heran padamu, Anak
Muda! Kau bisa dengan mudah mengetahui bahwa harimau itu jelmaanku, dari mana
kau menandainya?"
"Dalam penglihatanku,
mata harimau itu merah. Jadi aku tahu harimau itu hanya siluman
seseorang."
"Dan kau bisa mengubah
wujud manusia diriku yang sebenarnya dengan hanya menyemburkan tuak, sungguh
itu suatu ilmu yang langka. Setahuku ilmu sembur tuak begitu hanya dimiliki
oleh tokoh tua yang dikenal dengan nama si Gila Tuak!"
"Aku muridnya si Gila
Tuak, Ki Sonokeling!"
"Oh...?!" orang
kurus berkulit hitam itu terkejut, ia memandangi Pendekar Mabuk dengan tatapan
mata terheran-heran dan merasa kagum, ia berkata,
"Jadi, kau... kau
muridnya si Gila Tuak itu?"
"Benar, Ki!"
"Waaah... pantas!"
"Ki Sonokeling mengenal
Guru?"
"Ya. Aku kenal dengan
gurumu. Dia orang baik. Dia tahu aku punya ilmu 'Siluman Macan', tapi ia tak
pernah menggangguku. Hanya saja, aku pernah melihat dia menyemburkan tuak
kepada seekor buaya yang ternyata adalah jelmaan si Gunomukti, teman seperguruanku
dulu.
Dan dari situlah aku menjadi
ciut nyali kalau ketemu si Gila Tuak, dalam keadaan sedang menjelma menjadi
harimau! He he he...!" Ki Sonokeling tertawa sendiri membayangkan rasa
takutnya jika ia sedang menjadi harimau dan berpapasan dengan si Gila Tuak.
Ilmu itu biasanya digunakan oleh Ki Sonokeling untuk menakut-nakuti lawannya,
biar tidak terjadi pertarungan antara dirinya dengan lawan tersebut. Hanya jika
terpaksa sekali, karena diserang terus, maka sebagai wujud siluman harimau, Ki
Sonokeling terpaksa
memangsa lawannya hingga mati.
"Boleh aku tahu namamu,
Murid Gila Tuak?"
"Namaku Suto Sinting,
Ki."
"O, Suto Sinting...? Ya
ya ya... aku pernah dengar namamu dibicarakan oleh para tokoh di dunia
persilatan ini. Kalau tidak salah kau yang berjuluk Pendekar Mabuk?"
"Benar, Ki."
"Berarti tak salah pula
dugaanku, bahwa kaulah orangnya yang bisa menyembuhkan seseorang dengan tuakmu
itu?"
"Aku hanya mencobanya,
dan jika orang itu sembuh berarti Yang Maha kuasa memakaiku untuk
menyembuhkannya. Aku hanya manusia biasa tanpa kekuatan apa-apa jika bukan
kekuatan datang dari-Nya, Ki."
"Luar biasa jiwamu!
Rupanya kau menjadi pewaris jiwa gurumu juga!"
"Guru selalu mendidikku
begitu, Ki!"
"Ya, ya... aku percaya
itu. Dan sekarang bisakah aku minta tolong padamu, Suto?"
"Tentang apa, Ki?"
"Aku mempunyai keponakan,
dan keponakan itu punya anak, jadi anak itu termasuk cucuku, bukan?"
"Benar."
"Cucuku sedang sakit saat
ini, Suto. Ia terkena racun pada waktu bertarung melawan orang sesat dari
Perguruan Kobra Hitam, dan sampai sekarang racun itu masih merusak raganya, tak
dapat kusembuhkan dengan berbagai cara."
"Siapa orang Kobra Hitam
yang bertarung dengan cucumu itu?"
"Rangka Cula! Dia memang
orang jahat dan...."
"Dan sedang
kukejar-kejar, Ki!"
"O, ya?!" Ki Sonokeling
terperanjat. "Kalau begitu, kau bisa tanyakan kepada cucuku itu ke mana
larinya Rangka Cula!"
"Baiklah. Kita pergi ke
tempat cucumu, Ki!"
Dalam perjalanan menuju rumah
kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Suto Sinting
sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa.
"Ki Sonokeling sudah lama
mengenal Nyi Cungkil Nyawa?"
"Cukup lama. Sejak aku
berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak
pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat
bersahabat."
"Saya kaget tadi waktu
dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa
menghilang begitu."
"Dia memang perempuan
misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu.
Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana
dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan
pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia
tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu
itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu tinggi ingin merusak makam
tersebut.
Tapi... Sendang Kedaton memang
sakti dan ,,,,,,, "
"Lho, namanya Sendang
Kedaton atau Sendang Katon?!" potong Suto Sinting.
"Sendang Kedaton, itu
nama sebenarnya. Tapi dia sering mengubahnya sendiri menjadi Sendang Katon.
Maksudnya Katon adalah kelihatan, sedangkan maksudnya Kedaton adalah keraton
atau istana. Sendang adalah air bening sejenis dengan air telaga."
"Ooo... terus, terus
bagaimana kisah percintaan Ki Sonokeling dengan Nyai Cungkil Nyawa itu?"
"Ya tidak ada...!"
jawabnya sambil melangkah dan garuk-garuk kepala. "Kisah percintaanku
hanya berat sebelah. Tapi aku cukup puas dan senang, walau ia tidak membalas
cintaku, tapi ia bersikap baik padaku! Padahal dulu dia seperti orang
gila."
"Maksudnya?"
"Sering mencaci-maki aku
dengan seribu kata makian tanpa sebab. Tapi karena aku tetap tabah, akhirnya
dia jadi bosan bersikap galak padaku, dan berubah menjadi baik. Yaah... namanya
saja perempuan, kalau kita tekun dan tabah, suatu saat akan tunduk juga!"
Ki Sonokeling terkekeh di
tengah kegelapan malam yang remang itu, dan Pendekar Mabuk pun tertawa geli.
Mereka masih melangkah menyusuri jalan setapak menuju tempat kediaman cucunya
Ki Sonokeling. Pendekar Mabuk kembali mengajukan pertanyaan untuk mengisi waktu
dalam perjalanan, biar tak sepi.
"Sebenarnya apa betul ada
jubah keramat di dalam makam itu?"
"Betul! Banyak tokoh tua
yang membicarakannya dan Nyai Cungkil Nyawa pun sering bercerita tentang hal
itu kepadaku. Tapi sejauh ini, aku tak pernah diberitahu di mana letak pintu
masuk menuju ruang bawah tanah. Aku pun tak ingin mendesaknya karana takut
disangka punya maksud jahat separti mereka yang ingin memiliki jubah itu!"
"Apakah ia punya anak
atau keluarga?"
"Tidak. Sejak pertama aku
jumpa dia, dia tinggal di petilasan itu dan tak pernah punya anak, juga tak
pernah punya suami. Dia selalu menolak ajakan kawin siapa pun, termasuk aku
sendiri!"
"Barangkali itu sudah
menjadi sumpahnya untuk menjadi penjaga makam Prabu Indrabayu, tidak boleh
kawin dan tidak boleh punya anak! Mungkin juga tidak boleh punya murid!"
"Mungkin. Mungkin memang
begitu. Aku tak bisa pastikan, sebab menurutku dia perempuan misterius yang
menggemaskan hati, ingin mencubitnya setiap saat!"
"Ha ha ha ha...!"
Suto Sinting tertawa geli mendengar ucapan seperti itu meluncur dari mulut
orang setua Ki Sonokeling. Lalu, Suto sendiri segera berkata,
"Biar misterius, tapi kau
tentu bahagia walau hanya merawat taman di sana, Ki! Karena dengan begitu kau
bisa jumpa dia setiap hari!"
"Ya, tapi... tapi
sekarang taman itu sudah tidak ada! Hancur dirusak orang-orang serakah yang
ingin memiliki jubah itu, sehingga aku tidak punya kesibukan di sana. Tak ada
yang kuurus kecuali hanya mengurus cintaku padanya."
"Ha ha ha ha...!"
Pendekar Mabuk melepaskan tawa yang membuat Ki Sonokeling tampak senang
ditertawakan soal cintanya.
Suto terpaksa bermalam di
rumah cucunya Ki Sonokeling. Ia telah berhasil menyembuhkan cucunya Ki
Sonokeling itu, dan racun yang membuat kakinya busuk perlahan-lahan itu telah
menjadi tawar.
Esoknya, pagi-pagi sekali,
mereka telah berangkat kembali menuju ke petilasan untuk menjumpai Nyai Cungkil
Nyawa. Ki Sonokeling bernafsu sekali ingin segera menemui Nyai Cungkil Nyawa,
sehingga pagi- pagi sekali ia sudah mengajak Suto berangkat, dan Suto yang
sebenarnya masih mengantuk itu pun terpaksa menuruti ajakan tersebut, karena Ki
Sonokeling berkata,
"Bumbung tuakmu sudah
kupenuhi dengan tuak Mojolangu!"
"Oh, terima kasih! Terima
kasih sekali, Ki!" jawab Suto kegirangan. Dan itulah penyebab mata Suto
yang masih mengantuk menjadi melek.
Mata Nyai Cungkil Nyawa pun
menjadi melek, tapi bukan karena mendengar tentang tuak, melainkan karena
mendengar suara langkah kaki orang yang menuju ke Petilasan Teratai Dewa itu.
Tapi nenek itu masih berlagak tidur.
Orang yang mendekati petilasan
itu sudah bisa diduga oleh Nyai Cungkil Nyawa, karena ia sudah hafal bau
keringat orang itu. Tapi orang itu tidak tahu bahwa kedatangannya sengaja
ditunggu oleh Nyai Cungkil Nyawa dalam lagak tidurnya.
Orang tersebut berpakaian
merah-merah dengan bajunya yang tanpa pernah dikancingkan bagian depannya.
Orang itu mempunyai badan tergolong besar dengan perut sedikit buncit. Wajahnya
kasar, berkesan bengis. Alisnya tebal, kumisnya pun tebal. Matanya lebar dan
kulit matanya sedikit mengendur ke bawah. Orang itu mempunyai rambut hitam,
panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga
penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan.
Di pinggangnya terselip kapak
bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya
mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam
mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak
panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya
itu.
Melihat wajahnya yang angker
dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke
petilasan itu bukan untuk maksud yang baik. Terbukti ketika ia melihat Nyai
Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu
segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil
Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.
Wusss... !
Batu itu melayang di udara,
menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-tiba batu itu berhenti di udara,
maju tidak, mundur pun tidak.
Zepp...!
Orang bermata lebar itu
semakin memperlebar matanya lagi melihat batu bisa berhenti di udara, ia mundur
dua tindak. Dan tiba-tiba batu itu berkelebat cepat, melesat ke arahnya sendiri.
Orang itu menggeragap bingung, kemudian melompat ke samping dan batu pun lolos
dari sasarannya, menghantam sisa pilar. Durrr..! Bruss...! Sisa pilar itu
hancur, padahal lebih besar dari batu itu sendiri.
Nyai Cungkil Nyawa menggeliat
bangun pelan-pelan. Mulutnya menguap lebar dengan kedua tangan direntangkan.
Pada waktu mulutnya menguap lebar, orang berpakaian merah itu cepat mengambil
sebatang kayu yang agak runcing, lalu dilemparkan ke arah mulut itu.
Wuttt!Tab...!
Kayu itu cepat ditangkap
dengan tangan kiri Nyai Cungkil Nyawa. Bersamaan dengan itu, Nyai Cungkil Nyawa
membuka mata dan bangkitlah ia dengan sedikit limbung.
"O, kamu lagi yang
datang, Gandarwo! Apa belum jera melawanku?"
Orang yang ternyata bernama
Gandarwo itu menggeram gemas. Dua kali usahanya membunuh Nyai Cungkil Nyawa
tidak berhasil, ia segera mencabut kapak dua mata dari pinggangnya.
"Aku belum puas kalau
belum membunuhmu, Nyai!" geramnya.
"Ya silakan bunuh, biar
kamu puas!" kata Nyai Cungkil Nyawa dengan seenaknya saja. Ia mulai
melangkah dengan menggunakan tongkatnya yang tak seberapa panjang itu. Ia
mendekat, tapi Gandarwo mundur dua tindak.
"Apa kau sudah punya ilmu
baru, sehingga berani datang kemari?" kata Nyai Cungkil Nyawa.
"Sudah!" jawabnya
membentak. "Kali ini kau tak akan bisa menghindari ilmu pukulanku yang
terbaru! Heaaah...!"
Gandarwo menyentakkan kapaknya
ke depan. Tiba- tiba ujung kapak yang berupa logam merah membara seperti mata
tombak itu meluncur cepat, belakangnya berantai panjang. Rantai itu kecil dan
mengikuti gerakan ujung kapak tersebut. Suttt...! Zerrrr...!
Wut wut wut wut wut... !
Benda kecil yang berwarna
merah itu bergerak terbang mengitari tubuh Nyai Cungkil Nyawa. Rantai tersebut
akhirnya melilit-lilit di tubuh Nyai Cungkil Nyawa dan menjadikan sang Nyai
terikat dari lengan sampai kaki. Ia tak dapat bergerak. Terjerat kuat sekujur
tubuhnya.
Sedangkan mata tombak yang
merah itu melesat kembali ke pemiliknya dan ditangkap dengan tangan kiri
Gandarwo. Serrrtt...!
Mata tombak itu ditarik,
membuat rantainya mengencang dalam ikatan yang tak mudah dilepaskan itu.
Gandarwo tertawa terbahak-bahak melihat Nyai Cungkil Nyawa terjerat begitu
kuat.
"Ha ha ha ha... !
Sekarang kau tak akan bisa berkutik, Nyai! Kau akan mati jika rantai ini
kutarik dengan sentakan kuat, dan tubuhmu akan terpotong oleh rantai kecil ini!
Ha ha ha ha...!"
"Husy! Berisik!"
bentak Nyai Cungkil Nyawa yang membuat tawa itu lenyap seketika. Kini Gandarwo
menggeram penuh nafsu membunuh, ia berkata dengan mata angkernya yang memandang
tajam,
"Semua ilmuku sudah
kulepaskan untuk membunuhmu tapi kau bisa mengimbanginya. Namun sekarang, jurus
'Rantai Pemotong Baja' ini, tidak akan bisa kau hindari lagi, Nyai. Tidak akan
bisa kau lawan! Hanya ada satu yang bisa menyelamatkan kamu, yaitu sebutkan di
mana letak pintu masuk ke ruang bawah tanah tempat ini!"
Dengan tenang, seakan tak
menghiraukan tubuhnya yang terikat, Nyai Cungkil Nyawa berkata kepada Gandarwo,
"Kau benar-benar manusia
paling bodoh dari yang terbodoh, Gandarwo! Sejak kau masih muda, sampai usiamu
sekarang sudah lewat dari lima puluh tahun, kerjamu hanya mengejar-ngejar jubah
keramat saja! Apa tidak ada pekerjaan lain, hah?! Daripada mengejar- ngejar
jubah yang belum kau tahu di mana letak pintu masuknya! Bodoh amat kau ini!"
"Persetan dengan
omonganmu! Sekarang aku akan dapatkan letak pintu itu dari mulutmu! Kalau kau
tidak sebutkan, kutarik rantai ini, dan terpotonglah tubuhmu menjadi beberapa
potong!"
"Ilmu seperti ini kok mau
diandalkan untuk melawanku, Gandarwo? Carilah ilmu lain yang bisa untuk
membunuhku!"
"Nyatanya kau tak bisa
meloloskan diri dari jeratanku!"
"Siapa bilang?! Aku ada
di belakangmu, Gandarwo!"
Terkejut bukan kepalang
tanggung Gandarwo mendengar suara berkata begitu di belakangnya. Ketika ia
berpaling ke belakang, ternyata Nyai Cungkil Nyawa sudah berdiri di
belakangnya. Gandarwo semakin membelalakkan matanya lebar-lebar, ia kembali
memandang ke arah rantai yang mengikat tubuh Nyai Cungkil Nyawa.
"Lho...?!" Gandarwo
terpekik, karena rantai itu ternyata dalam keadaan tergeletak menumpuk di
lantai tanpa ada orang yang dijeratnya. Rantai itu mudah ditarik dan tak
memiliki hambatan penjerat apa pun, malah nyaris kusut sendiri.
Dalam satu sentakan, rantai
itu bergerak sendiri masuk ke lubang gagang kapak, sehingga kini ujung rantai
yang berupa logam merah seperti mata tombak itu telah kembali merapat di ujung
kapak.
Belum sempat Gandarwo berbalik
ke arah Nyai Cungkil Nyawa, punggungnya telah dihantam memakai telapak tangan
kiri nenek bergusik itu. Dan seketika itu juga, tubuh besar melayang ke depan
bagaikan daun pisang dilemparkan. Wuttt...! Bruskk...!
"Woaaow...!" teriak
Gandarwo karena ia membentur dinding sisa reruntuhan. Wajahnya beradu dengan
kuat, membuat hidungnya berdarah dan tulang pipinya menjadi memar membiru.
Ia membalik dengan
terengah-engah, kemudian menggeram,
"Manusia setan! Tunggu
saatnya aku kembali lagi!" Dan setelah itu Gandarwo melesat pergi,
melarikan diri. Nyai Cungkil Nyawa hanya memandang sambil geleng-geleng kepala
dan menggerutu,
"Pagi-pagi cari penyakit
saja anak itu...?!"
***5
PANTAI berpasir putih
mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan
damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang
pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti
untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi.
Rupanya dua remaja yang dicari
Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar
dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan
gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.
Gadis tersebut menyerang
dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta
Kumba. Hanya dihindari dan
kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang
membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan
ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi
tidak pernah berhasil.
"Sudah kukatakann kau tak
akan berhasil melukaiku, Ratna! Karena itu, berhentilah menyerangku dan biarkan
aku mencari jubah keramat itu sendiri! Jangan menyerangku lagi. Hematlah
tenagamu, Ratna. Lebih baik kau bantu aku mencari pintu masuk ke dalam ruang
bawah tanah itu, supaya aku bisa mendapatkan jubah tersebut dan kau akan kuberi
hadiah sesuka permintaanmu!"
Gadis memakai pakaian merah
jambu sebatas dada dengan kain jubah tipis warna hijau muda tanpa lengan itu,
memang menghentikan serangannya, namun masih tetap menggenggam pedangnya untuk
sewaktu-waktu dikibaskan ke arah Marta Kumba. Matanya masih tajam memandang
penuh rasa penasaran, tapi tak terlalu banyak cahaya permusuhan.
"Sebelum aku berhasi!
memukul atau melukaimu, aku tak akan berhenti menyerangmu, Marta Kumba!"
geram gadis itu, yang ternyata bernama Ratna Prawitasari.
"Baiklah," kata
Marta Kumba. "Kau boleh memukulku, tapi jangan melukaiku!"
"Aku ingin kau melawanku,
Marta Kumba!"
"Aku tak tega, Ratna! Tak
tega...!"
"Harus tega!" sentak
Ratna Prawitasari. "Karena kau adalah lawanku dalam memperebutkan jubah
keramat itu! Kita harus bertarung sampai mati bila perlu!"
"Kurasa tak perlu,"
kata Marta Kumba sambil mengangkat bahu sekejap. "Kurasa kita lebih baik
bersatu daripada bermusuhan!"
"Karena kau menginginkan
jubah itu dan aku pun menginginkannya, maka tak akan bisa kita bersatu!"
"Kalau begitu, kita cari
jubah itu biar dipakai anak kita nanti?!"
"Hmm...!" Ratna
Prawitasari mencibir. "Kau sangka aku mau menjadi istrimu?!"
"Kalau kau tidak mau,
pasti kau sudah serang aku dengan jurus-jurus mautmu! Bukan dengan jurus main-
main!" Marta Kumba tersenyum.
"Untuk apa menggunakan
jurus maut melawan orang semacam kau! Kalau kau menyerangku, baru akan
kugunakan jurus mautku! Seranglah aku sekarang juga, Marta Kumba!"
"Tak mau, ah!" jawab
Marta Kumba sambil duduk di sebuah batu.
Pemuda tampan itu sengaja
melirik dalam tersenyum. Ratna Prawitasari mendengus kesal, karena hatinya
selalu berdebar-debar jika melihat lirikan mata dan senyuman bibir Marta Kumba,
ia menjadi jengkel pada hatinya sendiri yang sering berbunga kagum dan
terpesona menatap ketampanan Marta Kumba. Rasa jengkel dan kesalnya itu
dilampiaskan dalam setiap serangan yang bertujuan menghajar Marta Kumba, agar
tidak memancing asmara dalam hatinya lagi.
"Seranglah aku, Marta
Kumbaaa...!" teriak Ratna Prawitasari dengan keras. Pedangnya masih siap
melintang di atas kepala. Marta Kumba hanya memandang dengan sorot mata yang
menakjubkan hati Ratna Prawitasari.
"Jahanam kau!" geram
Ratna Prawitasari. "Jangan tatap aku begitu!"
"Haruskah aku memejamkan
mata melawanmu?"
"Tidak perlu! Tapi cara
memandangmu aku tak suka!"
"Kenapa?"
"Kau menghadirkan asmara
dalam hatiku dan aku tidak mau punya asmara bersamamu!"
"Kalau begitu, tinggalkan
aku di sini! Pergilah sana!"
"Tidak bisa! Kau
sainganku untuk mendapatkan jubah keramat dan kau harus kulenyapkan dulu!
Hiaaat...!"
Wutt ........ ! Trangng
....... !
Pedang yang ditebaskan Ratna
Prawitasari mengenai batu tempat duduk Marta Kumba, karena pemuda itu tiba-tiba
melesat sebelum pedang sampai melukai tubuhnya.
Tetapi tiba-tiba tubuh Marta
Kumba tersentak dan terpental jauh hingga berguling-guling di pasir pantai.
Seberkas cahaya hijau melesat dari bawah pohon kelapa di seberang sana, dan
cahaya hijau itu mengenai punggung Marta Kumba.
Keadaan itu membuat Ratna
Prawitasari terperanjat kaget dan segera berlari menolong Marta Kumba yang
tergeletak di pasir pantai. Wajah gadis itu tampak cemas.
"Marta...?! Kenapa
kau?!"
Mulut Marta Kumba berdarah.
Matanya terbeliak- beliak. Ratna Prawitasari menjadi tegang dan mulai panik. Ia
segera membalikkan badan Marta Kumba, ternyata punggung itu hangus sebagian.
Kain kuning pakaian Marta Kumba bagai habis terbakar.
Buru-buru Ratna Prawitasari
merapatkan telapak tangannya ke dada Marta Kumba. Telapak tangan itu bercahaya
pijar putih terang. Beberapa saat kemudian, Marta Kumba tersentak batuk, dan
keluarlah darah hitam yang kental. Tapi darah hitam itu justru membuat wajah
Ratna Prawitasari menjadi kelihatan sedikit tenang, ia pun menghembuskan napas
lega.
Seorang berpakaian merah
dengan rambut panjang acak-acakan itu muncul dari bawah pohon kelapa. Orang itu
tak lain adalah Gandarwo, yang melarikan diri dari serangan Nyai Cungkil Nyawa
dan sampai di pantai tersebut. Gandarwo berkerut dahi kuat-kuat seraya
melangkah mendekati Ratna Prawitasari.
"Gadis bodoh! Mengapa kau
malah menolong lawanmu, hah?! Aku sudah memukulnya, dia akan mati dalam
beberapa saat lagi! Tapi kau justru menolongnya membuang racun dalam tubuh
pemuda itu?! Apa maumu sebenarnya, hah?!"
"Manusia lancang! Apa
urusanmu ikut campur pertarunganku dengan dia?! Kau tak punya urusan dengan
kami!"
"Grrr...! Dasar otak
udang!" sentak Gandarwo dalam geramannya. "Kau kuselamatkan dari dia!
Aku tak tega melihat gadis secantik kamu menjadi sasaran keganasan pemuda
ingusan seperti dia! Kau tak pantas bertarung dengan anak ingusan itu!"
"Aku tidak ingusan!"
kata Marta Kumba tiba-tiba. Badannya memang masih sedikit lemas, tapi rasa
sakit dan panasnya telah hilang dari dalam dada. Ia bisa bangkit dan siap
melawan Gandarwo.
"Lihat!" kata
Gandarwo kepada Ratna Prawitasari. "Gara-gara kau salurkan hawa murni ke
dalam tubuhnya, dia menjadi sehat dan tidak jadi mati, tahu?!"
"Sebaiknya kau saja yang
menggantikan untuk mati, Manusia bengis!" kata Ratna Prawitasari dengan
lantang.
"Ggrrr...! kumamah habis
tubuhmu nanti, Perempuan Dungu!"
"Lakukanlah kalau kau
berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan
tubuhnya agar dimakan.
"Grrr...!" Gandarwo
mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani.
"Ayo,
lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi.
"Ggrr...! Nekat
kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas.
"Lakukanlah,.. ! Bedd...
!
"Uuhg....!" Gandarwo
menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu
ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.
Tubuhnya merapat, meliuk ke
kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan.
Sementara itu, Marta Kumba
tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata,
"Baru sama perempuan saja
sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku?!"
Begitu mendengar suara Marta
Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat
ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat
lagi, dan kali ini Marta Kumba menyentakkan tangannya pula dan dari tangan itu
keluar sinar merah yang menghantam sinar hijau. Blarrr...!
Wuuttt...! Brruskk...!
Tubuh Marta Kumba terpental
lagi dan jatuh terguling-guling akibat gelombang ledakan yang amat besar dan
kuat menyentak tubuhnya. Sedangkan Gandarwo hanya terbahak-bahak dan tetap
berdiri di tempatnya dengan kokoh.
Wuttt... crasss...! Pedang
Ratna Prawitasari menebas dan melukai lengan Gandarwo. Lelaki besar itu
tersentak kaget dan mendelik melihat lengannya berdarah. Wajahnya yang angker
menjadi semakin menyeramkan. Kemudian ia menggeram dan mencabut kapaknya.
"Gggrrrr...! Kau telah
berani melukaiku, Gadis Dungu!"
"Karena kau melukai dia
lagi!" kata Ratna Prawitasari sambil menuding Marta Kumba yang berdarah
lagi mulutnya, tapi tidak separah tadi.
"Kalau begitu kalian
berdua akan kulumatkan menjadi satu!"
"Lakukanlah!" sentak
Ratna Prawitasari dengan tak sabar.
"Heaaah...!"
Gandarwo segera menebaskan
kapaknya ke samping kiri untuk memenggal kepala Ratna Prawitasari. Tetapi Ratna
Prawitasari segera membungkuk dan menebaskan pedangnya ke arah perut Gandarwo.
Wuttt...! Wuttt...!
Serangan mereka sama-sama
meleset ke sasaran. Lalu, kaki Gandarwo menyentak maju menendang Ratna
Prawitasari dengan tendangan miring. Ratna Prawitasari menangkisnya dengan
tangan kiri. Debb...! Wuttt!
Ratna Prawitasari terpental
jauh. Tenaga tendang itu amat besar, bukan saja menyentakkan tubuh Ratna
Prawitasari, namun juga membuat tulang lengan yang dipakai menangkis itu terasa
mau patah.
Dalam keadaan duduk, Marta
Kumba melepaskan pukulan jarak jauhnya yang memancarkan seberkas sinar merah.
Tapi sinar merah itu dihantam dengan sinar biru yang keluar dari ujung kapak
Gandarwo.
Debb...! Blarrr...!
Zzrruttt...! Tubuh Marta Kumba
terdorong cepat dalam keadaan tetap duduk, membuat pasir-pasir pantai
berserakan dan akhirnya berhenti karena punggungnya membentur batu. Deggh...!
"Aaauh...!" Marta
Kumba mengerang kesakitan. Tubuhnya menjadi satu dengan pasir pantai.
Melihat keadaan Marta Kumba
diperlakukan demikian, kemarahan Ratna Prawitasari semakin bertambah. Dengan
satu sentakan kaki, tubuhnya melenting di udara dan bersalto satu kali. Tubuh
itu melayang melewati kepala Gandarwo, kemudian kaki Ratna Prawitasari
menendang ke belakang dan tepat mengeni! bagian belakang kepala Gandarwo.
Duhgg... !
Gubruugg...! Tubuh besar itu
tumbang, terguling ke depan karena tendangan yang amat kuat. Orang yang
berambut acak-acakan itu segera mengibaskan kepalanya satu kali, membuang
pening yang tiba-tiba menyerangnya itu.
Ia berdiri dan mencari
sasarannya. Namun, Ratna Prawitasari segera melepaskan pukulan jarak jauhnya
dengan sentakan pendek tangan kirinya. Wuttt... ! Zlaappp... !
Warna merah seperti bola api
menyala dan berukuran satu genggaman tangan itu melesat menghantam dada
Gandarwo. Dasss...!
"Uhhgg...!" Gandarwo
mendelik, mulutnya ternganga, ia bagai mengalami kesulitan bernapas. Tapi dada
yang terkena pukulan merah itu menjadi berasap putih. Hangus sebagian dada itu.
"Hiaaat...!" Ratna
Prawitasari memekik sambil melompat, lalu ia menyerang bersama kibasan
pedangnya.
Trangng...! Kapak Gandarwo
masih sempat berkelebat menangkis, tapi kaki Ratna Prawitasari dengan cepat
menendang bawah ketiak lawan dengan sentakan bertenaga dalam cukup tinggi.
Duesss...!
"Haagh...!" Gandarwo
semakin terpekik tertahan dalam keadaan tubuh besarnya melesat terpental ke
belakang. Ia jatuh bergedebuk dan berguling-guling, kemudian di sana ia
memuntahkan darah dari mulutnya.
Pada waktu itu, Ratna
Prawitasari sudah memekik lagi,
"Hiaaattt...!"
Melihat Ratna Prawitasari mau
menyerang kembali, Gandarwo segera berdiri dan melompat pergi dengan
cepat-cepat, ia melarikan diri dan Ratna Prawitasari yang penasaran dan marah
karena melihat Marta Kumba diperlakukan seperti tadi, segera mengejarnya dengan
seruan keras,
"Jangan lari kau, Manusia
angker...! Kau telah melukai dia dan harus kau tebus dengan nyawamu,
iblis...!!"
"Ratna, sudahlah!"
seru Marta Kumba yang segera bergegas ikut berlari juga walau tak bisa cepat
karena pinggang dan punggungnya masih terasa sakit. Tapi seruan itu tidak
dihiraukan Ratna Prawitasari, dan gadis itu tetap memburu lawannya dengan
pedang siap di tangan.
Gandarwo menjadi ketakutan
melihat gadis muda itu mengamuk tak kenal kata ampun. Maka, dengan sekuat
tenaga Gandarwo pun menyelamatkan diri. Sebab ia tahu, gadis itu bernafsu
sekali untuk membunuhnya, dan ternyata ia punya ilmu cukup tinggi juga.
Kejap berikutnya, Gandarwo
menemukan celah sempit di sebuah tebing karang bercadas putih. Dengan agak
susah payah ia masuk ke dalam celah sempit yang menurut dugaannya sebuah gua
kecil.
Slepp...! Gandarwo merapatkan
tubuh ke balik celah sempit itu dengan kapak siap menghadang. Jika musuhnya
mengetahui ia masuk ke situ dan musuhnya ikut masuk, maka ia siap menyambutnya
dengan tebasan kapaknya yang sudah pasti akan mengenai sasaran tak kenal ampun
lagi.
Ratna Prawitasari tahu
lawannya masuk di celah sempit itu. Tapi ia tak segera mengejarnya masuk. Marta
Kumba menyusul dari belakang dan berkata,
"Sudahlah, biarkan ia
lari!"
"Dia patut mendapat
hajaran lebih banyak lagi supaya tidak berani berbuat seenaknya lagi
kepadamu!"
"Lukaku tak seberapa
parah, Ratna!"
"Tapi aku belum puas jika
dia belum bertekuk lutut d! depanmu dan mengharapkan ampunan darimu!"
"Terserah
kamulah...!" Marta Kumba pasrah.
"Kulihat dia masuk ke
dalam gua itu!"
"Kau akan dihadangnya di
sana!"
"Ya, aku tahu! Sebaiknya
kututup saja pintu gua yang sempit itu!"
Ratna Prawitasari segera
sentakkan tangan kirinya lurus ke depan. Wuttt...! Dan sinar biru melesat ke
atas, menggempur cadas bercampur karang yang ada di atas lubang gua itu.
Blarrr...!
Wurrrr... ! Grubuk grubuk
grubuk... !
Reruntuhan cadas bercampur
karang itu menimbun celah sempit tersebut dan menutup rapat. Bahkan sebongkah
batu jatuh di depan mulut gua dan membuat mulut gua semakin kuat tertutup batu
besar. Tak sembarang orang bisa mendorong batu tersebut, sebab bagian yang
runcing menancap masuk ke dalam celah, menutup dan mengunci.
Marta Kumba berkata,
"Kalau begitu caranya, dia tidak akan bisa keluar dari gua itu,
Ratna!"
"Biar! Biar dia mati di
sana. Kurasa gua itu adalah sarang ular berbisa! Orang ganas macam dia memang
layak mati dimakan ular, daripada kerjanya mengganggu perempuan-perempuan
lemah!"
"Rupanya kau kena dia,
Ratna?!"
"Ya. Dia yang bernama
Gandarwo! Setiap dia masuk kampung, penduduk menjadi ketakutan, masuk pasar,
pasar jadi bubar! Dialah biang keributan dan momok bagi masyarakat di mana ia
berada!"
Ratna Prawitasari
menghembuskan napas kecapekan, ia duduk di atas batang pohon yang telah tumbang
beberapa waktu lamanya. Marta Kumba pun duduk di sampingnya, dan Ratna
Prawitasari memandangi dari arah samping.
"Sakitkah tubuhmu?"
"Tak seberapa sakit.
Hanya tulang punggungku yang terasa mau patah akibat terbentur batu besar
tadi."
"Coba lihat, membaliklah
ke sana...!"
Marta Kumba membalikkan badan.
Ratna Prawitasari memijat bagian tulang punggung yang ada di belakang leher.
Rupanya tulang punggung itu dipegang ujungnya, dan dari jari tangan yang
menekan ujung tulang punggung memancar tenaga inti hawa murni. Terasa oleh
Marta Kumba gerakan halus yang meresap dingin sampai ke tulang ekornya di
bagian dekat pantat.
Beberapa saat kemudian, rasa
sakit itu pun hilang dan tubuh Marta Kumba menjadi terasa segar, ia bergerak
membungkuk maupun meliuk ke kanan-kiri, terasa enteng tanpa rasa sakit.
"Hebat! Rupanya kau anak
tabib, Ratna?!"
"Mungkin," jawab
Ratna Prawitasari dengan ketus bersikap acuh tak acuh. "Sekarang sudah
enak?"
"Terasa lebih enak dari
sebelumnya!"
"Kalau begitu, kita
lanjutkan pertarungan kita!"
"Aku... aku... aku tak
sanggup!"
Ratna Prawitasari berdiri.
"Harus sanggup!" katanya tegas.
"Tidak, Ratna! Kalau kau
mau pukul aku, pukullah! Kalau kau mau bunuh aku, bunuhlah! Tapi jangan paksa
aku melawanmu!"
"Kita bertarung demi
memperebutkan jubah keramat itu!"
"Tidak! Aku tidak ingin
memperebutkan lagi! Kalau kau mau memiliki jubah itu, aku akan bantu mencarikan
tempat masuk ke dalam ruang bawah tanah itu!"
"Kenapa kau jadi tidak
ingin memiliki jubah keramat itu?!"
"Lebih baik kau yang
memilikinya daripada aku harus bertarung dan harus melukaimu!"
"Kenapa?!" bentak
Ratna Prawitasari keras.
"Karena... karena aku tak
tahu mengapa aku jadi begini. Aku... mungkin kata orang, aku sedang jatuh
cinta. Tapi menurutku, mungkin cuma hiasan saja. Ah, tak tahulah! Jangan desak
aku untuk menjawabnya!
Sebaiknya kita kembali ke sana
dan kubantu kau mendapatkan jubah keramat itu, daripada kita bertarung berdebat
memperebutkan jubah yang belum jelas ada di mana pintu masuknya!"
Dengan suara rendah Ratna
Prawitasari pun berkata, "Kau punya perasaan aneh padaku, Marta?"
"Ya. Aneh sekali."
Ratna Prawitasari memandang,
sambil manggut- manggut kecil, dan berkata pelan,
"Aku pun punya perasaan
aneh padamu! Itu sebabnya aku marah melihat kau dilukai oleh Gandarwo!"
"Itu namanya perasaan
kasih sayang, Ratna!"
"Mungkin!" jawab
Ratna Prawitasari masih berkesan tegas tanpa senyum. "Kita kembali ke
petilasan itu! Lekas, jangan sampai orang lain mendahului kita menemukan jalan
masuknya!"
Dan mereka pun bergegas pergi,
namun kali ini Ratna Prawitasari membiarkan Marta Kumba menggandeng
tangannya. Makin berdesir
indah hati Ratna Prawitasari.
***6
LANGKAH Pendekar Mabuk dan Ki
Sonokeling masih tampak santai, tidak terlalu lamban, namun juga tidak cepat.
Suto bersemangat untuk datang ke Petilasan Teratai Dewa, karena ia tahu Rangka
Cula akan datang ke sana. Ia tak perlu susah-susah mencari Rangka Cula, cukup
dengan menghadangnya di sana saja.
Percakapan Rangka Cula dengan
Nyai Cungkil Nyawa membuat Suto berkesimpulan demikian. Dan ia harus
mempersiapkan diri melawan Rangka Cula yang jago ilmu pedang, jago ilmu sihir,
ilmu racun, dan ilmu toya itu.
Tapi satu hal yang dikhawatirkan
Pendekar Mabuk adalah perihal pedang emas yang harus direbutnya dari Rangka
Cula itu. Jika tokoh lain mengetahui bahwa pedang emas itu adalah pusaka Pedang
Wukir Kencana milik Ki Padmanaba, yang mempunyai kedahsyatan serta kesaktian
tinggi itu, maka sudah pasti banyak musuh yang harus dihadapi Suto untuk
memperebutkan pedang tersebut.
"Menurut cucuku, Rangka
Cula menyandang pedang emas di punggungnya," kata Ki Sonokeling. "Aku
jadi curiga, jangan-jangan itu pedang emas pusakanya Ki Padmanaba!"
"Ki Sonokeling kenal
dengan Ki Padmanaba?"
"Kenal. Semasa mudanya
aku sering bertandang ke tempat tinggalnya. Tapi sejak ia menikah, aku tak
pernah lagi bertemu dia. Hanya saja, aku tahu bahwa dia mempunyai pedang pusaka
yang sungguh ampuh. Orang bodoh pun bisa memainkan pedang dengan jurus-jurus
mautnya jika memegang pedang itu!"
"Andai pedang itu benar
milik pusaka Ki Padmanaba, apakah Ki Sonokeling ingin memilikinya juga?"
"Buatku, hidup ini sudah
tidak membutuhkan pedang- pedangan," jawab Ki Sonokeling. "Orang
setua aku, apalagi yang diharapkan? Tinggal menunggu ajal menjemput saja!'
"Bagaimana dengan Nyai
Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?"
"Kurasa tidak! Nyai
Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu
pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam
itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu."
"Apakah Adipati
Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam
itu?"
"O, kakeknya Lambungbumi
hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan,
tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!"
"Ooo...!" Suto
manggut-manggut.
"Kau tadi kelihatannya
tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya?!"
"Tugasku adalah merebut
pedang itu dari Rangka Cula!"
"Ooo...," kini ganti
Ki Sonokeling yang manggut- manggut.
"Aku sempat terkecoh oleh
ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan
pedang itu, dan ternyata dia adalah Rangka Cula! Sangat berbahaya jika pedang
itu jatuh di tangan orang sesat seperti Rangka Cula!"
"Jadi...."
Tiba-tiba Suto mendorong tubuh
Ki Sonokeling hingga orang itu tersungkur jatuh ke samping, kata- katanya
terputus. Dan sebuah benda melesat cepat, melintasi tubuh Ki Sonokeling.
Wuttt...! Jrubbb...! Kalau Suto tak mendorong tubuh Ki Sonokeiing, maka benda
itu akan menancap di dada Ki Sonokeling. Benda tersebut adalah sebatang anak
panah yang datangnya dari arah samping depan.
Zingngng...! Jrubb!
"Aaaah...!"
tiba-tiba terdengar suara orang memekik. Lalu sesosok tubuh jatuh dari atas
pohon. Wuttt...! Brukk!
Sebentar kemudian, ketika
Pendekar Mabuk dan Ki Sonokeiing berdiri, terdengar lagi suara orang memekik
dari atas pohon belakang Suto.
"Aaahg...!"
Brruk... !
Ki Sonokeling memandangi dua
orang yang jatuh secara bergantian, ia menggumam heran,
"Kenapa orang itu?"
"Kita periksa salah
satunya!"
Lalu, Suto Sinting dan Ki
Sonokeling memeriksa orang pertama yang jelas telah melepaskan anak panahnya ke
arah Ki Sonokeling. Melihat orang itu, Ki Sonokeling berkerut dahi, kemudian
menggumam,
"Ini muridnya
Mandraloka...?!"
"Siapa Mandraloka itu,
Ki?"
"Salah satu orang yang
bernafsu untuk memiliki jubah keramat itu hingga mengirimkan beberapa muridnya
untuk membongkar makam. Tapi aku dan Nyai Cungkil Nyawa berhasil mengalahkan
mereka. Walau begitu, Mandraloka masih penasaran, sekali tempo ia mengirimkan
muridnya untuk mencari dan membongkar makam, tapi aku atau Nyai Cungkil Nyawa
selalu berhasil membunuhnya. Sampai lama-lama agaknya murid-murid Mandraloka
habis binasa di tanganku dan di tangan Nyai Cungkil Nyawa! Mungkin sekarang
tibalah dendam Mandraloka dan menyuruh muridnya yang masih tersisa untuk
membunuhku. Kurasa ia juga mengirimkan muridnya untuk membunuh Nyai Cungkil
Nyawa!"
Pendekar Mabuk mendengarkan
penjelasan itu sambil memandangi dahi orang yang mati itu. Dahi tersebut
ditancap kuat oleh senjata rahasia logam putih tajam mempunyai bentuk bintang
segi enam. Pendekar Mabuk mulai menaruh curiga. Waktu itu, Ki Sonokeling
bertanya,
"Siapa yang membunuhnya?
Kaukah, Suto?"
"Bukan!"
Suto dan KI Sonokeling
memeriksa orang kedua yang juga jatuh dari pohon. Ternyata orang itu mati dalam
keadaan lehernya tertancap senjata rahasia yang sama dengan yang ada di dahi
mayat pertama. Suto semakin curiga.
"Aaaahg...!"
Kembali terdengar suara orang
memekik di arah belakang Pendekar Mabuk dan Ki Sonokeling. Mereka berdua
sama-sama berpaling wajah ke belakang dan melihat orang sedang berdiri,
memegang panah yang siap dilepaskan, tapi tak jadi dilepaskan karena tahu-tahu
ia tumbang dengan mata mendelik. Setelah diperiksa oleh Suto dan Ki Sonokeling,
orang itu mati karena lehernya tertancap senjata bintang segi enam juga.
"Siapa yang melakukan ini
semua?" gumam Ki Sonokeling.
Suto hanya tersenyum. Kemudian
meneguk tuaknya dengan tenang. Ki Sonokeling semakin bingung melihat sikap
Pendekar Mabuk yang tenang-tenang saja itu. Dan setelah beberapa saat Suto
selesai menenggak tuak, tiba- tiba matanya memandang sekeliling dan berseru,
"Kiranaaa...! Keluar
kau!"
Maka sesosok tubuh berpakaian
kuning gading muncul dari balik semak belukar. Melompatlah gadis berambut
pendek berponi di dahinya, berwajah cantik dengan hidungnya yang mancung dan
matanya yang bundar bening berbulu lentik itu. Wuttt...! Ia bersalto di tanah
dua kali, lalu mendaratkan kakinya di depan Pendekar Mabuk dan Ki Sonokeling.
Kirana, gadis yang mendampingi
Pendekar Mabuk saat mencari pedang emas itu, tersenyum tipis dengan pandangan
mata yang masih memancarkan keberanian dan ketegasan. Pendekar Mabuk hanya
geleng-geleng kepala sebentar sambil memperhatikan Kirana, kemudian berkata
kepada Ki Sonokeling yang ada di sampingnya,
"Dialah yang membunuh
Logayo, ketua Perguruan Kobra Hitam, yang menjadi atasannya Rangka Cula!"
"Dia...?! Oh, hebat
sekali dia kalau begitu?!" Ki Sonokeling manggut-manggut.
Suto segera berkata kepada
Kirana,
"Kenapa kau menyusul juga
akhirnya?"
"Karena aku mencemaskan
dirimu, Suto! Takut ada bahaya mengancam dan kau hanya sendirian!"
"Sudah kubilang, kau tak
perlu ikut! Aku bisa jaga diri sendiri, Kirana!"
"Termasuk bisa membunuh
pemanah gelapmu tadi?"
Suto melemaskan tangannya,
mendesah kesal. "Itu hanya satu orang dan belum sempat melukaiku!"
"Satu orang yang kau
ketahui mau memanahmu, tapi yang belum kau ketahui, berapa orang?! Apakah kau
pikir saat kau membawa lari nenek tua itu, kau tidak dibuntuti orang?'
"Maksudmu?!" Suto
Sinting terperanjat dan berkerut dahi.
"Lebih dari lima orang
kubunuh karena dia mau mencelakaimu!"
"Lima orang?!"
"Lebih!" tegas
Kirana dalam pengulangannya. "Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini,
tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Suto!"
"Maksudmu, yang tadi
itu?" tanya Suto.
"Semalam!" jawab
Kirana.
Ki Sonokeling menyahut,
"Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?"
"Benar, Ki! Aku tak tahu
siapa yang mau dibunuh, kau atau Suto, yang jelas mereka telah mati lebih dulu
sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.
Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata,
"Kita jadi seperti punya
pengawal, Suto!"
"Suto," kata Kirana.
"Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan
dan merebut pedang itu!"
Suto angkat bahu,
'Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"
Tiba-tiba melesatlah benda
mengkilap ke arah punggung Kirana. Wuttt...! Suto segera menarik tangan Kirana,
memeluknya dan tangannya berkelebat menangkap benda itu di belakang Kirana.
Tabb...!
Sebilah pisau terselip di dua
jari Pendekar Mabuk. Pisau itu ditunjukkan kepada Kirana sambil berkata,
"Kuharap kau tidak
merepotkan aku, seperti saat ini!"
Kirana tersenyum tipis.
"Baru satu kali kau menyelamatkan nyawaku, Suto! Jangan banyak
mengaturkulah...!"
"Apa katamu, hah?!"
sentak Suto sambil mendorong tubuh Kirana ke samping. Tubuh itu membentur Ki
Sonokeling, dan tubuh mereka rubuh saling tindih. Sementara itu, bumbung tuak
Pendekar Mabuk berkelebat ke tempat Kirana tadi berdiri. Sinar merah yang
melesat cepat dari balik pohon itu membentur bumbung tuak Pendekar Mabuk,
dubb...! Sinar tersebut membalik arah dengan lebih cepat dan lebih besar
bentuknya. Kemudian sinar merah itu menghantam pohon besar di seberang sana.
Duarrr...! Wwrrr....!
Brrrukk...! Grussakkk...!
Pohon itu tumbang setelah
terjadi ledakan akibat benturan sinar merah yang berbalik arah itu. Dari balik
pohon besar tersebut melesat sesosok tubuh berambut putih dengan diikat kain
merah.
Pendekar Mabuk berkata kepada
Kirana, "Dua...!" sambil memperlihatkan dua jarinya. Maksudnya Suto
mengingatkan Kirana, bahwa ia telah menyelamatkan nyawa Kirana dua kali. Kalau
tadi tidak didorong Pendekar Mabuk, maka sinar merah itu jelas akan
menghancurkan tubuh Kirana.
Ki Sonokeling segera bangkit
dan memandang orang yang baru saja muncul dari balik pohon. Orang itulah yang
tadi melemparkan pisau dan melepaskan pukulan jarak jauh dalam bentuk sinar
merah. Ki Sonokeling segera menggumam,
"Mandraloka...?!"
Suto pun cepat paham, rupanya
orang berpakaian abu-abu dan menyandang pedang di pinggangnya itulah yang
bernama Mandraloka. Sudah cukup tua, berusia sekitar enam puluh tahunan, tapi
masih kelihatan gagah dan sigap. Badannya tak terlalu gemuk, namun berkesan
masih kekar. Matanya tajam memandang dengan alisnya yang telah berwarna putih
campur hitam sedikit.
"Mandraloka!" seru
Ki Sonokeling, "Apa maksudmu menyerang kami dengan mengorbankan murid-
muridmu, hah?!"
"Maksud apa lagi kalau
bukan maksud membunuhmu terutama, Ki Sonokeling, kedua membunuh gadis itu!
Karena sisa muridku dihabisi oleh gadis itu saat membuntuti pemuda berbaju
coklat itu, sejak dia membawa kabur Nyai Cungkil Nyawa sampai berjalan malam
bersamamu! Gadis itu agaknya gadis yang bodoh, karena melibatkan diri dalam
urusan kita, Sonokeling!"
Kirana menyahut dengan
lantang, "Muridmu membahayakan keselamatan orang jelek ini!" sambil
menuding Suto, "Jadi aku terpaksa bertindak membunuhnya. Kurasa lebih baik
muridmu yang mati dari pada orang jelek ini!" Kembali ia menuding Pendekar
Mabuk, tapi tangannya segera ditampel oleh Pendekar Mabuk yang sedikit
cemberut.
Mandraloka berkata dengan
suaranya yang berat,
"Kurasa kalian telah
bersekongkol, dan terpaksa aku harus memusnahkan kalian bertiga!"
Suto Sinting segera maju dua
tindak dan bertanya,
"Apakah aku juga ingin
kau musnahkan?"
"Ya!"
"Kalau begitu, kau
melawan aku saja, tak perlu dengan kedua orang ini!"
Mandraloka tersenyum sinis
"Aku ingin kalian bertiga maju bersama! Jangan kau sendiri, Anak ingusan!
Kalau kau sendirian yang maju, nanti memboroskan ilmuku saja!"
"Biar aku saja,
Suto!" kata Kirana sambil maju ke depan Suto. Dengan cepat lengannya
ditarik Suto dan disingkirkan ke belakang.
"Aku sanggup
melawannya!" bentak Kirana pada Suto.
"Kau memang sanggup, tapi
dia tidak sanggup!" Suto ganti membentak, sengaja mengecilkan kemampuan
Mandraloka, supaya nafsu amarah Mandraloka semakin terpancing dan akan
membahayakan dirinya sendiri.
Ternyata pancingan Pendekar
Mabuk mengenai sasaran. Mandraloka menggeram, wajahnya makin merah pertanda
marahnya mulai memuncak, ia segera bergerak maju dua tindak. Namun tiba-tiba
kembali tersentak mundur terhuyung-huyung.
Rupanya Ki Sonokeling telah
melepaskan kekuatan tenaga dalamnya dari jarak jauh dengan menggerakkan
tangannya dengan pelan seperti orang menari. Tangan itu melambai ke sana kemari
dengan gerakan kaki melangkah dan terangkat pelan-pelan. Setiap gerakan Ki
Sonokeling menghadirkan kekuatan tenaga dalam yang terpancar lebih cepat dari
gerakannya sendiri.
Mandraloka dibuat terhempas ke
sana kemari dan sukar membalas serangan ke arah Ki Sonokeling. Melihat jurus Ki
Sonokeling seperti orang menari dengan gemulai itu, Suto Sinting dan Kirana
segera mundur beberapa tindak, membiarkan Ki Sonokeling melawan Mandraloka
sendirian. Suto dan Kirana sama- sama memandang dengan mulut bengong, karena
baru sekarang mereka melihat orang bertarung mengadu nyawa dengan gerakan
selemah itu.
Tubuh Mandraloka mental ke
samping kiri dan berguling-guling. Ki Sonokeling membalikkan badan, menghadap
ke arah Mandraloka, kakinya terangkat maju dengan gerakan pelan tangannya naik
ke atas, yang satu lurus ke depan. Dan Mandraloka terjengkang lagi ke belakang
bagai terkena pukulan yang begitu besarnya.
"Apa dia dulunya seorang
penari?" bisik Kirana.
"Entahlah!" balas
Suto membisik.
"Jurusnya aneh sekali!
Aku jadi ingin mempelajarinya!"
"Mana bisa? Dia lebih
lemas, lebih gemulai dalam bergerak daripada gerakanmu yang mirip gerakan
raksasa murka," bisik Suto dan segera dipukul lengannya oleh Kirana, tapi
ia tak mempedulikan. Mata Suto masih memandang ke arah Ki Sonokeling yang
benar-benar seperti penari istana. Kelenturan tubuhnya melebihi lenturnya tubuh
perempuan.
Dalam satu kesempatan,
Mandraloka berhasil melepaskan pukulan jarak jauh yang memancarkan sinar warna
kuning. Tetapi ketika sinar itu mendekati Ki Sonokeling, tubuh Ki Sonokeling
bergerak miring meliuk dengan tangan mengibas pendek, lalu tubuh berputar
cepat. Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata
berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur.
"Menakjubkan
sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.
Sinar kuning itu tetap diam,
tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan
tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang,
kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga
tertatih- tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan
kuatnya dan terkapar jatuh.
Dalam keadaan jatuh pun kaki
Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke
arah lain dengan menyerupai orang diseret. Sementara itu, Ki Sonokeling memutar
tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang
menapak di tanah. Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar
kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar
kuning melesat dengan cepat dan menghantam batu di samping Mandraloka.
Duarrr .... !
Batu pecah. Bongkahannya
menghantam kepala Mandraloka. Plok!
"Aaaauh...!" Kepala
Mandraloka dihantam keras oleh batu itu, tapi tak sampai bocor.
Memar, sudah jelas. Dan ketika
ia ingin melepaskan serangannya lagi, tiba-tiba Ki Sonokeling melompat dengan
sentakan pelan. Di udara ia berjungkir balik dua kali, dan begitu mendarat ke
bumi, sudah menjadi seekor harimau loreng.
"Grrrrr...!"
"Hahh...?!" Kirana
terpekik kaget dan ketakutan, ia segera membalikkan tubuh mau lari, tapi
terhadang tubuh Suto, akhirnya ia melompat dalam gendongan Pendekar Mabuk
seperti seekor monyet melompat ke dalam gendongan induknya. Clubb...!
"Hai, apa-apaan
ini?!" Pendekar Mabuk sempat kaget menerima tubuh Kirana yang tahu-tahu
menemplok di depannya.
"Aku paling takut sama
harimau!" ratap Kirana tampak ketakutan sekali.
"Turun!" Plak...!
Pendekar Mabuk menepuk pantat Kirana, tapi Kirana masih belum mau turun dan ia
gemetaran, wajahnya menjadi pucat ketakutan.
Sementara itu, Mandraloka segera
melesat melarikan diri setelah melihat Ki Sonokeling berubah menjadi seekor
harimau loreng. Harimau itu mengejarnya sebentar, kemudian segera kembali
menemui Pendekar Mabuk setelah Mandraloka menghilang dan tak terkejar.
"Turunlah, Kirana!
Harimaunya sudah tak ada!"
Kirana menoleh ke belakang.
Harimau memang sudah tak ada. Ia pun turun sambil berkata, "Lain kali aku
tak mau ikut kamu kalau harus menemui harimau! Aku paling takut sama harimau,
tahu?! Dan..."
Kirana berhenti bicara.
Matanya terbelalak, karena Harimau itu ternyata ada di belakang Suto sedang
mendekam duduk.
"Uaaa...!" Kirana
berlari secepat-cepatnya hingga tak sadar tubuhnya menabrak pohon. Bruss...!
Pendekar Mabuk hanya
menertawakan hal itu hingga terpingkal-pingkal.
* * *
AGAKNYA Marta Kumba memang
sudah membulatkan hatinya untuk tidak memiliki jubah keramat itu. Ia sudah
berjanji kepada Ratna Prawitasari untuk tidak berbuat curang, ia berkata,
"Milikilah jubah keramat
itu nanti, tapi biarkan aku memiliki dirimu, Ratna."
Gadis cantik yang pemberani
itu menjawab, "Rasa- rasanya sulit melarang keinginanmu yang satu
ini!"
Tak sadar gadis itu bahwa
sebenarnya kemenangan berada di tangan Marta Kumba. Kalau memang nantinya jubah
keramat itu bisa menjadi milik Ratna Prawitasari, dan Ratna Prawitasari menjadi
milik Marta Kumba, berarti Marta Kumba yang menang. Karena dengan memiliki
Ratna Prawitasari berarti ia juga memiliki jubah keramat itu.
Yang menjadi masalah sekarang
adalah, apakah benar jubah keramat itu bisa menjadi milik Ratna Prawitasari?
Apakah benar mereka bisa berhasil mendapatkan benda pusaka yang punya keampuhan
aneh itu? Bukankah untuk menemukan pintu ke ruang bawah tanah petilasan itu,
adalah hal yang paling sulit? Bukankah jika mereka ingin membongkar petilasan
itu, mereka harus menghadapi Nyai Cungkil Nyawa? Apakah ilmu mereka sudah cukup
menandingi ilmunya Nyai Cungkil Nyawa? Belum lagi jika Ki Sonokeling ikut
memihak Nyai Cungkil Nyawa, apakah mereka mampu mengimbangi jurus tarian milik
Ki Sonokeling?Bisa ataupun tidak, toh nyatanya mereka berdua sudah tiba kembali
ke petilasan tersebut. Tetapi mereka terkejut manakala seorang nenek rada
bungkuk menghadang di lantai depan petilasan itu.
"Hei, menyingkirlah sana!
Kalau kalian mau pacaran, cari tempat yang lain! Ini bukan tempat mesum!"
kata Nyai Cungkil Nyawa sambil menggerak-gerakkan tongkatnya.
"Kami ke sini bukan untuk
bermesum ria, Nek!" kata Marta Kumba sambil menahan tangan Ratna
Prawitasari yang ingin maju menyerang nenek itu. Kemudian, nenek itu bertanya
ketus,
"Jadi mau apa?!"
"Mau apa saja itu bukan
urusanmu!" sahut Ratna Prawitasari dengan garang.
Nyai Cungkil Nyawa memandang
dengan rasa tak suka, dan ia berkata kepada Marta Kumba,
"Gadismu ini mulutnya
seperti cabe rawit! Kecil-kecil sudah pandai membuat telinga pedas!"
Marta Kumba menyahut,
"Makanya kalau makan cabe rawit jangan salah masuk ke telinga, Nek! Ke
mulut!"
"Wah, bodoh juga kau
rupanya!" gumam Nyai Cungkil Nyawa sambil bergerak dengan kesan mau
meninggalkan mereka, tak mau melayaninya. Tapi ia meninggalkan kata,
"Kalau kalian nekat mau
pacaran di sini, kalian berdua akan mati!"
Ratna Prawitasari menyahut
dengan galak, "Kau mengancam kami?!"
Nenek itu berbalik memandang
mereka lagi,
"Ya...!" setelah itu
berjalan memunggungi mereka berdua.
Ratna Prawitasari menjadi
jengkel dan marah. Dengan cepat ia melompat dan melancarkan tendangan kakinya
ke punggung yang bongkok itu. Tetapi dengan cepat tubuhnya itu tiba-tiba mental
membalik ke belakang dan menabrak Marta Kumba.
Brrusss...!
"Auh...!" Marta
Kumba terpekik karena dagunya tersodok kepala Ratna Prawitasari.
"Kurang ajar! Dia
membalikkan serangankul" geram Ratna Prawitasari. Ketika ia mau maju
menyerang lagi, Nyai Cungkil Nyawa membalikkan badan. Langkah Ratna Prawitasari
tertahan.
"Sepertinya aku pernah
mengenali jurus membokong orang dari belakang! Hmmm... siapa? Siapa kamu, Cah
Ayu?"
"Ratna! Ratna
Prawitasari!" sebut Ratna Prawitasari dengan tegas.
"Hmmm...." Nenek itu
berkerut dahi memikirkan sesuatu sebentar, setelah itu baru berkata, "O,
tidak, tidak...! Aku tidak kenal kamu. Aku lupa, bahwa semua orang yang suka
menyerangku dari belakang sudah kubunuh semua!"
"Bicaranya pelan tapi
memerahkan telinga orang ini!" bisiknya kepada Marta Kumba.
Pemuda berkumis tipis itu
hanya tersenyum dan berkata kepada nenek bergusik itu,
"Kau siapa, Nek? Mengapa
ada di sini? Kau juga menghendaki jubah keramat itu?!"
Nenek itu geleng-geleng
kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil
Nyawa, penjaga makam ini!"
"Makam...?! Bukankah ini
petilasan sebuah keraton?"
"Keraton nenekmu!"
umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau
yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian
salah alamat! Pulanglah!"
"Kami tidak salah alamat!"
bentak Ratna Prawitasari. "Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat
itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah
keramat itu!"
"Dan kami harus menemukan
jubah itu!" tambah Marta Kumba.
"Tak kuizinkan siapa pun
menyentuh jubah itu! Dengar...?!"
"Nenek ini cerewet sekali
dan bandel!" geram Ratna Prawitasari.
"Pokoknya sudah
kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang
dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna
Prawitasari dan Marta Kumba.
Terdengar suara dengus dari
hidung Ratna Prawitasari menandakan kekesalan hatinya. Kemudian, Ratna
Prawitasari memberikan isyarat dengan mata kepada Marta Kumba agar menyerang
nenek itu secara bersamaan. Marta Kumba mengangguk, maka melompatlah mereka
dari arah kanan belakang dan kiri belakang. Wuttt... wuuttt...!
Tiba-tiba kaki Nyai Cungkil
Nyawa menjejak tanah di depannya, dan tubuhnya melayang mundur bersamaan
majunya kedua tubuh anak muda itu. Dengan meluncur mundur, nenek itu melintas
di pertengahan Marta Kumba dan Ratna Prawitasari.
Wusss...!
Lalu tongkatnya segera
menyodok ke kanan-kiri dengan pegangan pada bagian tengah tongkat. Dug dug... !
"Uuhg...!" Marta
Kumba terpekik dengan suara tertahan, ia langsung membungkuk, merasakan sakit
pada pinggang kirinya yang terkena sodokan tongkat, dan Ratna Prawitasari pun
membungkuk merasakan sakit pada pinggang kanannya.
"Kurang ajar orang pikun
itu!" geram Ratna Prawitasari sambil menahan rasa sakit, karena pinggang
kanannya terasa bagai disodok dengan tongkat besi yang cukup keras dan kuat
sodokannya.
"Sudah kubilang, jangan
nekat kalau mau selamat!" kata Nyai Cungkil Nyawa dengan tenang.
"Habisi saja dia!"
ujar Ratna Prawitasari kepada Marta Kumba.
"Baik!" jawab Marta
Kumba. Kemudian ia lebih dulu mencabut pedangnya dan Ratna Prawitasari pun
segera mencabut pedang. Serta-merta mereka melompat dengan gerakan pedang
menebas dan menyabet. Wess wesss...!
Nenek itu mundur setindak,
lalu dengan cepat tongkatnya bergerak menghantam pergelangan tangan kedua anak
muda itu. Tak tak...!
Trang...! Pedang Marta Kumba
jatuh dan ia mengerang kesakitan. Tulang pergelangan tangannya menjadi bengkak
dan membiru. Demikian pula halnya dengan Ratna Prawitasari yang cepat merunduk,
memegangi pergelangan tangannya dengan merintih tertahan, tapi pedangnya masih
mampu digenggam walau tak sekuat tadi.
Pukulan itu ternyata punya
pengaruh lain. Sekujur tubuh mereka menjadi dingin sekali. Semakin lama semakin
dingin bagian dalam tubuh mereka. Tak sadar mereka pun menggigil dengan
persendian terasa menjadi kaku semua. Untuk bergerak pun sulit rasanya. Mereka
akhirnya sama-sama mendekam jongkok dengan tubuh berguncang kedinginan.
Pada saat itu, Nyai Cungkil
Nyawa segera berkata, "Sekarang, saatnya membunuh kalian berdua yang nekat
minta dicabut nyawanya!"
Nyai Cungkil Nyawa
menakut-nakuti dengan mengangkat kedua tangan, ssakan benar-benar ingin
menghantam mereka dengan pukulan yang mematikan. Tetapi tiba-tiba, tubuh Nyai
Cungkil Nyawa tersentak ke depan dan terguling-guling jauh dari Marta Kumba dan
Ratna Prawitasari. Bahkan tubuhnya yang kurus itu membentur bekas dinding yang
tinggal separo bagian.
Brusskk...!
"Monyet edan...!"
makinya sambil mengerang dan berusaha untuk berdiri lagi.
Ia memandang ke arah datangnya
serangan, ternyata di sana sudah berdiri seorang lelaki berpakaian abu-abu,
rambut panjang warna putih diikat kain warna merah. Dialah Mandraloka yang
sudah bertampang lumayan bonyok akibat dilemparkan ke sana-sini oleh Ki Sonokeling
tadi.
"Oh, ternyata sekarang
kau sendiri yang datang untuk mengurus jenazah kedua muridmu ini,
Mandraloka?!"
"Kedua anak ini bukan
muridku!" ucap Mandraloka dengan geram.
"Lantas mengapa kau
menyerangku?"
"Bukan menyerangmu, tapi
membunuhmu! Tapi rupanya kau punya pelapis tenaga dalam cukup tinggi sehingga
pukulanku tadi hanya membuatmu terpental! Bersyukurlah bahwa kau masih bisa
bicara padaku! Tapi sebentar lagi kau akan mati, Nyai Cungkil Nyawa!"
"Mengapa kau
membunuhku?"
"Baru mau
membunuhmu!"
"Iya. Tapi mengapa kau
punya rencana begitu?"
"Karena kau telah
menghabisi murid-muridku!"
"O, karena itu? Bukankah
jauh-jauh hari sudah kubilang padamu agar jangan mengirimkan muridmu ke sini,
nanti muridmu bisa mati dan kau akan kehabisan murid! Aku sudah mengingatkan
padamu begitu, tapi kau masih nekat mengirimkan muridmu untuk mencuri jubah
keramat itu! Maka tak salah tindakanku jika muridmu kubunuh, sebab dengan
mengirimkan muridmu ke sini, berarti kau menunjukkan pada muridmu jalan
tercepat menuju neraka!"
"Iblis betina
kau...!" geram Mandraloka.
Sementara itu, Ratna
Prawitasari berhasil berdekatan dengan Marta Kumba dan ia mulai berbisik,
"Nenek itu bukan lawan
kita! Aku bisa merasakan tingginya ilmu yang ada pada dirinya!"
"Tulangku lemas semua,
seperti keropos seluruhnya!"
"Bertahanlah dan kita
cepat tinggalkan tempat ini untuk sementara waktu! Biarkan dulu nenek itu
melawan kakek itu. Siapa tahu keduanya sama-sama mati! Kita bisa bebas
mengacak-acak tempat ini! Ayo, kita lari, Marta... ! Mari kubantu...!"
Nyai Cungkil Nyawa sebenarnya
mengetahui kedua remaja itu melarikan diri secara diam-diam, tapi ia memang
membiarkannya, ia lebih penting berhadapan dengan Mandraloka, seorang guru yang
dianggap banyak menyesatkan muridnya itu.
"Sekarang apa maumu
kemari? Mau menuntut balas kematian murid-muridmu atau mau mencuri jubah
keramat itu?!"
"Keduanya!" jawab
Mandraloka.
"Sekali lagi kau
tampakkan diri sebagai guru yang serakah, Mandraloka!"
"Persetan dengan apa
katamu, Nenek gerumpung! Hiaaah...!"
Mandraloka melompat dengan
cepat dan bersalto di udara satu kali. Nyai Cungkil Nyawa pun sentakkan kaki
dan tubuhnya melenting di udara tanpa membawa serta tongkatnya. Kedua tangannya
segera dihantamkan ke depan saat Mandraloka mendekat, dan kedua tangan itu kini
beradu dengan kedua telapak tangan Mandraloka. Plak, plakk! Duarrr...!
Glarrr...!
Dentuman yang dahsyat
terdengar menggema ke mana-mana, membuat reruntuhan pesanggrahan itu
berguncang. Sebagian batunya yang kecil-kecil berjatuhan dan bergerak-gerak
seperti mengalami gempa. Daun-daun di sekitar petilasan itu pun berguncang,
sebagian ada yang rontok, terutama yang sudah kering dan layu.
Nyai Cungkil Nyawa terlempar
dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana
bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas
reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan
tidak mengalami cedera sedikit pun.
Tetapi Mandraloka kelihatannya
mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian
dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di
bawah pohon dalam keadaan berbaring.
Pelan-pelan Mandraloka bangkit
dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang
tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan
sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi
setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.
Ia menarik napas dalam-dalam.
Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan
napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu, nenek bergusik melompat dari
ketinggian tempatnya dan mendarat dengan sigap, ia segera mengambil tongkatnya
lagi, lalu melangkah mendekati Mandraloka.
Cepat-cepat Mandraloka
mengambil sikap kuda-kuda dengan tangan siap menyerang. Tapi Nyai Cungkil Nyawa
menertawakan, dan berkata,
"Mau apa lagi kamu, hah?!
Mau apa lagi...?! Mau hangus sekujur tubuhmu? Iya?! Mau mati seketika? Atau mau
mati dengan tersiksa? Pilih salah satu!"
Mandraloka seperti mengambil
sesuatu dari keningnya, lalu dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa. Wuttt...!
Rupanya sinar biru bundar seperti bola bekel yang diambil dari tengah dahinya
itu. Sinar biru tersebut merupakan inti tenaga dalam yang berpusat pada
otaknya.
Nenek bergusik itu sempat
terkesiap, ia tahu itu ilmu berbahaya. Maka ia tak berani menangkisnya, ia
hanya melompat dan berguling-guling cepat di tanah tak berbatu itu. Sedangkan
sinar bulat biru melesat lolos dari dirinya dan menghantam sisa dinding
reruntuhan.
Zrrrappp...!
Dinding itu hilang lenyap
tanpa bekas. Beberapa sisa pilar yang terkena percikannya juga hilang lenyap.
Bahkan sebuah pohon yang terkena percikan sinar yang memecah biru itu juga
lenyap tak berbekas. Bekas akarnya pun tak ada. Sepertinya pohon itu belum
pernah tumbuh di tanah tempatnya tadi berada.
Alangkah berbahayanya jika
sinar biru tadi mengenai tubuh Nyai Cungkil Nyawa. Dan kejadian itu membuat
kedua tokoh tua itu tertegun bengong. Nyai Cungkil Nyawa bengong karena melihat
kedahsyatan serangan lawannya tadi, Mandraloka bengong karena menyesali
kegagalan serangan mautnya, ia tak menyangka serangan secepat itu bisa
dihindari oleh Nyai Cungkil Nyawa.
Lebih menyesal lagi setelah
tiba-tiba ia merasakan tulang rusuknya menjadi sangat panas karena mendapat
sodokan dari tongkat Nyai Cungkil Nyawa yang datangnya tak diduga-duga.
Duggg...!
Mandraloka tersentak dan
terpelanting seketika, ia sadar akan bahaya yang bisa menggempur kepalanya
dalam keadaan ia mulai lemah begitu. Maka tanpa pamit lagi, Mandraloka cepat
angkat kaki dan pergi melarikan diri. Padahal Nyai Cungkil Nyawa kala itu sudah
siap melepaskan pukulan pamungkasnya yang jarang bisa dihindari lawan.
"Monyet kusut betul si
Mandraloka itu! Dia buat berantakan tempat ini, dia lenyapkan beberapa
petilasan yang ada! Tapi, biarlah... yang penting dia tidak temukan pintu
menuju makam!" gerutu Nyai Cungkil Nyawa sambil bersungut-sungut dan
mendekati bekas dinding yang lenyap itu.
Baru tujuh tindak ia
melangkah, tiba-tiba tubuhnya berbalik dan tangannya melesat berkelebat.
Wuttt...! Sinar merah dilepaskan dari telapak tangannya, seperti ia membuang
sesuatu dalam keadaan tangan tetap sejajar dengan dadanya.
Crass... !
Sinar merah itu mengenai kaki
orang, dan orang itu memekik tertahan kuat.
"Uuhg...!"
Orang itu jatuh ke tanah dalam
keadaan duduk.
Padahal ia tadi sudah berusaha
melompat dan menghindari sinar merah, tapi rupanya ia sedikit terlambat,
sehingga betisnya terkena sinar merah itu. Betis tersebut menjadi bengkak
membiru dan ada satu titik pori-pori yang menggelembung kecil, lalu pecah.
"Aaauuhh...!" orang
itu merintih kesakitan dengan menggeliat memegangi kaki kirinya.
Orang itu berkepala gundul,
tak mengenakan baju, celananya biru, ikat pinggangnya merah. Orang itu berbadan
besar, gemuk, matanya besar, hidungnya bulat, parutnya gendut, kulitnya hitam.
Di pinggangnya tersalip benda kecil bundar, namanya yoyo. Itulah senjata orang
gemuk bulat itu.
Nyai Cungkil Nyawa
memandangnya penuh curiga, ia merasa asing dengan wajah orang itu. Karenanya,
ia segera hartanya,
"Siapa kamu?"
"Ya. Aku memang tamu!
Tapi tamu tak sengaja!" jawab orang gundul itu dengan menyeringai
kesakitan. Jawabannya itu membuet nenek bergusik berkerut dahi dan merasa
heran, ia mengulang pertanyaannya,
"Siapa kamu?!"
"Siapkan jamu! Oh, untuk
apa aku menyiapkan jamu? Aku bukan tukang jamu gendongan!"
"Budek! Kubilang, siapa
kamu?l" teriak nenek bergusik.
"O, kau tanya padaku,
siapa aku?!" Orang itu mengejang sebentar, melirik lukanya di betis.
Ternyata yang semula hanya setitik menjadi lebar dan tampak membusuk. Namun ia
segera memperkenalkan diri. "Aku... Hantu Laut!"
"Jangan menakut-nakuti
aku! Aku tidak takut sama hantu!"
Orang gundul itu berteriak,
"Hantu Laut itu namaku! Bukan aku menakut-nakuti kamu sama hantu!"
"Ooo...!" Nenek itu
merendahkan suara dan manggut- manggut. Kemudian nenek bergusik mengajukan
pertanyaan lagi,
"Mau apa kau
kemari?!"
"Aku tidak membawa
almari! Untuk apa aku bawa- bawa almari?!"
Nyai Cungkil Nyawa berteriak
jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari?!"
"Ooo... mau apa
kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak
tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut
Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul
bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Pusaka Tombak Maut").
"Aku ke sini tidak
sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Suto Sinting! Dia harus
segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia
dari kekasihnya, bahwa ...."
"Nanti dulu jangan cerita
banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman
Suto Sinting?"
"Aku anak buahnya Suto
Sinting! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati untuk menyusul dia, sebab akan
diadakan peresmian istana yang sudah selesai dipugar di Pulau Serindu, dan Suto
harus menghadiri peresmian itu dan .... "
"Aku kenal dengan Suto!
Tapi ke mana aku harus menunjukkan tempat dia kepadamu? Aku sendiri tak tahu
apakah dia masih di gubuk itu atau sudah pergi dengan Ki Sonokeling! Tapi...
aku kenal baik sama dia! Aku adalah kawannya!"
"Kawan ya kawan, tapi
bagaimana dengan lukaku ini? Semakin lama semakin besar boroknya!"
"Itu yang sedang
kupikirkan, sebab aku tak bisa menyembuhkan racun yang sudah kulepaskan melalui
pukulanku tadi! Mungkin kau harus menunggu Pendekar Mabuk sampai tiba di
sini."
"Apa dia mau
kemari?"
"Itu yang tidak kutahu.
Apakah dia ke sini atau ke sana...?!" Nyai Cungkil Nyawa menjadi bingung
bercampur rasa sesal.
*** 8
GANDARWO merasa terjebak oleh
umpannya sendiri, ia tak bisa keluar dari dalam gua yang hanya mirip cadas
berongga itu. Kalau ia gunakan tenaga dalamnya untuk menggempur batu penutup,
maka pantulannya pasti akan mengenai dirinya juga. Di situ ruang sangat sempit,
hanya muat untuk dua orang.
Dalam keadaan gelap itu,
Gandarwo mempunyai sisi keuntungan, ia mempunyai kapak yang ujungnya menyala
merah membara. Tapi di dalam gelap itu, ujung kapaknya menjadi terang bagai
lentera. Dan karena mendapat penerangan dari ujung kapaknya itu, Gandarwo dapat
melihat relief gambar bunga pada dinding gua sempit itu. Gandarwo memperhatikan
sambil bicara sendiri,
"Siapa yang memahat gambar
bunga di gua ini? Orang tersesat, atau orang yang menumpang berteduh karena
hujan? Tapi... rasa-rasanya ini gambar bunga teratai?" tangan Gandarwo
meraba-raba pahatan gambar bunga teratai itu.
Tanpa disadari, tangannya
menekan sesuatu yang ada di tengah gambar teratai. Sesuatu itu seperti sebuah
batu cincin berukuran besar berwarna ungu atau biru tak jelas, karena cahaya
yang timbul dari ujung tongkat kapak itu adalah cahaya merah, jadi warna batu
cincin itu samar- samar kelihatannya. Dan kalau tidak ada penerangan, gambar
dan warna batu cincin itu tidak akan kelihatan.
Ketika tangannya menekan batu
cincin tersebut, tiba- tiba dinding gua bergeser ke arah kiri. Gandarwo kaget.
Ternyata dinding gua bergambar teratai itu adalah sebuah pintu. Di balik dinding
tersebut terdapat ruangan panjang yang layaknya disebut lorong. Beratap tinggi
dan lebar.
"Lorong...?!" mata
Gandarwo mulai berbinar-binar. "Jangan-jangan inilah jalan masuk menuju
ruang bawah tanah di patilasen itu? Lorong ini mempunyai lantai yang kelihatannya
sengaja dirapikan oleh orang untuk jalan keluar-masuk! Coba aku menyusuri
lorong ini, sampai di mana ujungnya?"
Ruangan itu lembab, tapi
melalui penerangan cahaya kapak, Gandarwo melihat ruangan itu bersih, seperti
ada yang merawatnya. Dinding kanan-kiri pun kelihatan halus, rata. Tidak
seperti dinding gua alami. Langkah Gandarwo semakin mantap dan cepat .
Ternyata lorong itu cukup
panjang dan sunyi. Hal yang membuat Gandarwo berdebar-debar antara cemas dan
girang adalah bau wangi yang tercium olehnya di sepanjang lorong tersebut. Bau
wangi itu seperti bau wangi bunga-bunga taman yang biasanya ada di keraton atau
Istana. Ditambah lagi, semakin ke dalam lorong itu semakin lebar, dindingnya
semakin licin dan halus.
Kapak digenggam, dibawa
seperti membawa obor. Langkah dipercepat, mata membelalak ke kanan-kiri dan
depan. Gandarwo mulai menemukan jalanan berlantai marmer. Warna marmer itu
putih kehijau-hijauan. Semakin berdebar-debar hati Gandarwo, semakin dipercepat
langkahnya. Walaupun lorong itu berliku- liku, namun membuat Gandarwo merasa
tidak capek menyusurinya.
Semakin jauh semakin ditemukan
relief dinding dengan gambar bunga teratai, yang kira-kira setiap sepuluh
langkah terdapat satu gambar relief bunga teratai itu. Lebih jauh lagi, Gandarwo
menemukan dinding mulai bermarmer hitam keputih-putihan. Lorong itu pun semakin
membentuk ruangan yang lebar.
"Tak salah lagi, pasti
ini jalan menuju ruang bawah tanah itu. Pasti gua kecil tadi adalah pintu yang
sulit ditemukan orang!" Gandarwo kegirangan, langkahnya semakin
tergesa-gesa. Ia merasakan jalanan menjadi menurun sedikit demi sedikit, dan
bau wangi semakin tajam tercium olehnya.
Tiba-tiba terdengar suara,
zrrrakk...! Gandarwo berguling ke depan dengan cepatnya. Delapan tombak
membentuk pintu teralis turun dari atap lorong. Crakk...! Ujung-ujung tombak
itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh
Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak
dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga.
"Jebakan!" ucap
Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum
kegirangan. "Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati- hati dalam
perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju
makam Prabu Indrabayu!"
Semakin beringas girang wajah
Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan
masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga
yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh
Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan
ada jebakannya pula.
Ternyata benar. Salah satu
anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam.
Gandarwo buru-buru menutup hidung dan mulutnya serta menahan napas dan berlari
menuruni tangga tersebut. Asap itu menurutnya pasti asap beracun. Terhirup
sedikit sangat berbahaya.
Tangga berkelok-kelok membawa
Gandarwo terus ke arah kedalaman. Seolah-olah akan mencapai dasar bumi. Sampai
suatu saat, tibalah ia di ujung tangga, dan ia temukan ruangan besar penuh
dengan perhiasan, senjata, pakaian, dan barang-barang mewah yang layaknya milik
seorang raja.
Ruangan itu berbentuk
lingkaran yang dindingnya mempunyai batu-batu putih memancarkan sinar fosfor.
Batu-batu putih yang jumlahnya lebih dari tiga puluh biji itulah yang membuat
ruangan itu menjadi terang- benderang, sehingga setiap barang bisa dilihat
dengan tanpa menggunakan bantuan sinar merah di ujung kapaknya.
Di ruangan itulah, Gandarwo
menemukan jenazah Prabu Indrabayu yang dilapisi kotak kaca. Jenazah itu masih
utuh tanpa cacat sedikit pun. Gandarwo berdebar- debar melihat jenazah
berpakaian seorang raja dalam keadaan dibaringkan di atas meja marmer berbentuk
bundar, seperti penampang bunga teratai. Dan di dalam peti kaca itulah terdapat
jubah berwarna hitam dari bahan sejenis beludru berbulu halus dan lembut
kelihatannya.
Jubah hitam itu bertepian
hiasan bunga teratai kecil- kecil berwana putih. Tengahnya berwarna merah.
Gandarwo membatin sambil berdebar-debar gemetar,
"Tak salah lagi, pasti
itulah jubah keramat. Hmmm...! Tapi bagaimana cara mengambilnya? Kotak kaca ini
kelihatannya tidak berpintu. Peti mati seperti ini, memang susah dicari
pintunya. Kadang memang tidak diberi pintu supaya peti itu kosong udara dan
mayat tidak lekas busuk. Kurasa begitulah keadaan peti mati berkaca itu. Selain
tidak berudara, juga mayat tersebut dibalsam sebelumnya! Ah, persetan dengan
jenazah itu, yang kubutuhkan jubah tersebut! Kuhancurkan saja petinya
itu!"
Gandarwo mendekat, perutnya
menyentuh tepian meja marmer. Kapaknya sudah diangkat mau dihantamkan ke kaca
itu, tapi tiba-tiba lapisan kaca bagian atas bergerak sendiri turun membuka.
Srrrt...! Gandarwo terbelalak bengong. Setelah itu ia memandang ke kanan-kiri
mencari tahu apa yang menjadi penyebab peti kaca itu bisa membuka sendiri.
Rupanya perutnya tak sengaja telah menekan semacam tombol merah yang merupakan
kunci pembuka tutup peti. Tombol itu hampir rata dengar tepian meja sehingga
tak mudah diketahui orang. Dan lagi-lagi Gandarwo menyentuhnya dengan tidak
sengaja.
Jubah segera diambil. Gandarwo
pun mundur dari tepian meja, kaca penutup peti bergerak sendiri, kembali
menutup seperti semula. Gandarwo tertawa terbahak- bahak kegirangan, ia telah
menemukan apa yang dicari- cari sejak ia berusia dua puluh tiga tahun itu.
Ternyata pencariannya dan ketekunannya itu tidak sia-sia. Itu sebabnya Gandarwo
tertawa sambil jejingkrakan seperti anak kecil mendapatkan baju baru yang
diidam-idamkan selama ini.
Jubah itu segera dipakainya.
Walau tadinya Gandarwo sangsi, apakah jubah itu muat untuk tubuhnya yang besar,
sedangkan jubah itu kecil, tapi ketika dipakai, jubah itu seperti mekar sendiri
menyesuaikan bentuk ukuran tubuh orang yang memakainya. Ketika jubah itu
dipakai, ada semacam sinar yang membungkus tubuh Gandarwo dalam sekejap.
Clap...! Gandarwo menjadi bangga dan merasa dirinya gagah dengan mengenakan
jubah itu.
Pada bagian leher jubah
terdapat krah yang lebar dan kaku, membentuk seperti kelopak-kelopak bunga
teratai. Krah itu berdiri kaku bagai melapisi sekeliling leher. Warnanya hitam
bergaris-garis kuning emas. Jubah itu juga mempunyai tali pengikat bagian depan
sampai dada, terbuat dari tali kuning emas. Jubah itu menyebarkan bau wangi yang
menyegarkan pernapasan.
"Dengan mengenakan jubah
ini, apa yang kubayangkan akan menjadi kenyataan! Jadi, aku tak perlu mengambil
emas atau barang apa pun di sini! Kalau aku mau, dalam waktu singkat
barang-barang di sini bisa pindah ke pondokku dalam sekejap dengan cara
membayangkannya saja! Huah ha ha ha ha...! Eh, tapi... tapi tunggu dulu! Di
sebelah sini ada satu peti mati lagi yang juga berkaca? Milik siapa? Kok
kosong? Tidak ada penghuninya? Oh, masih tampak rapi dan bersih, sepertinya
belum pernah dipakai. Oh, ya... tahu aku! Pasti ini peti mati untuk Istri Prabu
Indrabayu yang sudah disediakan di sini, tapi entah karena apa, jenazah Istri
prabu itu tidak jadi dimakamkan di sini! Ah, persetan dengan semua
itulah!"
Ketika Gandarwo menginjakkan
kakinya untuk menaiki tangga yang dilewatinya, ia diam sebentar, ia bermaksud
mencoba kehebatan jubah keramat itu. Dibayangkan dalam otaknya, tangga itu
bergerak jalan sendiri membawanya ke tempat masuknya tadi. Dan ternyata dalam
kejap berikutnya, tangga itu memang berjalan sendiri. Tanpa susah-susah
Gandarwo menaiki anak tangga, ia sudah dibawa oleh anak tangga itu naik ke atas
dan sampai di lantai bermarmer putih itu.
"Ha ha ha ha ha...!"
Gandarwo tertawa terbahak- bahak kegirangan. Bahkan ketika ia melewati tempat-
tempat yang ada jebakannya, ia membayangkan semua jebakan itu lenyap dan tak
berfungsi lagi. Ternyata jebakan-jebakan itu memang lenyap, jalanan menjadi
mulus dan lancar.
Ketika tiba ia di mulut gua
tempatnya masuk pertama kali, ia memandangi mulut gua yang tertutup batu rapat
itu. Dan tiba-tiba batu itu lenyap karena Gandarwo membayangkan pintu gua itu
tidak ada penutup apa-apa. Bahkan ia membayangkan lubang masuk pintu gua itu
menjadi lebar, dan ternyata terbukti menjadi lebar sehingga ia bisa keluar
dengan mudahnya.
"Ha ha ha ha...! Kalau
sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo,
hah?! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi
namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat
begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama
Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah
Keramat! Huah ha ha ha...!"
Clapp...! Seekor kuda muncul
di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan
dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari
mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu
adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas
pada tepian pelananya.
Gandarwo naik di atas punggung
kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang
memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari
dan Marta Kumba. Mereka sama-sama tertegun bengong di tempat pengintaiannya
melihat Gandarwo keluar dari gua sudah mengenakan jubah, dan melihat seekor
kuda muncul dengan secara ajaib.
"Dia telah mendapatkan
jubah itu, Ratna!"
"Kurasa gua itulah pintu
masuk ke ruang bawah tanah!"
"Sepertinya begitu! Jadi
dia sangat beruntung masuk ke goa itu dan pintunya kau tutup. Mungkin dalam
upaya mencari jalan keluar itulah, ia menemukan jalan menuju ruang bawah tanah
di petilasan teraebut. Dan dia menemukan jubah itu!"
"Tapi apakah benar jubah
itu adalah jubah keramat yang pernah menghebohkan dunia persilatan dan
diperebutkan oleh para tokoh persilatan? Jangan-jangan itu jubah biasa?!"
"Kurasa tidak! Kurasa
jubah itu memang jubah keramat. Aku pernah mendengar percakapan Paman Julung Boyo
dengan Tapak Getih, bahwa jubah itu mempunyai kekuatan daya cipta yang
tinggi."
"Maksudnya?"
"Orang yang memakai jubah
itu, apa yang dibayangkan atau dikhayalkan, akan menjadi kenyataan dalam
sekejap! Buktinya, tadi tahu-tahu di depan Gandarwo sudah ada kuda yang muncul
secara gaib. Pasti tadi Gandarwo membayangkan seekor kuda hitam!"
"Oh, luar biasa kesaktian
jubah itu! Kusangka hanya akan membuat orang yang memakainya menjadi bertambah
banyak ilmunya dan kesaktiannya tak bisa dikalahkan. Ternyata punya daya cipta
yang tinggi! Oh, aku jadi ingin sekali memiliki jubah itu, Marta Kumba! Mengapa
kita kalah dengan Gandarwo...?!"
Ratna Prawitasari menjadi
murung. Badannya yang tadi lemas dan sudah menjadi sehat kembali, sekarang
menjadi lemas lagi. Ia tampak sedih dan kecewa sekali. Marta Kumba yang
melihatnya, segera memeluknya dan berkata,
"Jangan sedih, Ratna! Aku
akan merebut jubah itu untukmu! Aku akan merebutnya untukmu! Jangan
sedih,Ratna...!"
"Dapatkah kau
merebutnya?"
"Harus dapat! Aku harus berusaha
sekuat tenaga untuk mendapatkan jubah itu! Jubah itulah tanda cintaku padamu,
Ratna!"
"Apakah kau cinta
padaku?"
"Ya!" jawab Marta
Kumba dengan berdebar-debar antara takut dan malu. Tapi kemudian Ratna
Prawitasari menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu dengan hangat dan penuh
kemesraan yang Iidah, ia berucap kata lagi,
"Marta..., aku kepingin
sekali punya jubah itu!" Ia mulai bernada manja, dan keberanian Marta
mulai terbakar.
"Aku akan berangkat
sekarang juga untuk merebut jubah itu dari tangan Gandarwo yang berwajah angker
itu!"
Maka berangkatlah Marta Kumba
mengejar kepergian Gandarwo yang telah mengubah namanya menjadi Malaikat Jubah
Keramat. Khawatir terjadi sasuatu pada diri Marta Kumba, Ratna Prawitasari
mengikutinya dari kejauhan, menjaga kemungkinan datangnya bahaya yang menyerang
Marta Kumba.
Kuda hitam itu masih menyusuri
pantai. Marta Kumba mengejarnya dengan susah payah, karena kuda itu berlari
dengan cepat. Tapi pemuda itu agaknya tidak putus asa untuk mengejar kuda
tersebut. Demi cintanya kepada Ratna Prawitasari, ia berlari terus memburu
manusia berwajah angker yang memakai Jubah Keramat itu. Sementara itu di
belakangnya, Ratna Prawitasari mengikuti dan mengawasi keadaan di sekitar
tempat kekasihnya berada.
Sampai tiba di suatu tempat,
Marta Kumba melihat kuda itu berhenti. Tapi agaknya ia tak bisa mendekat,
karena di sana ada satu orang lagi yang pernah dilihat oleh Marta Kumba di
patilasan. Orang itu adalah Mandraloka, yang sengaja menghadang kuda hitam dan
membuat Gandarwo menghentikan langkah sang kuda.
"Gandarwo...! Kulihat kau
mengenakan jubah semegah itu! Apakah itu jubah keramat yang dihebohkan para
tokoh persilatan selama ini?!"
"Huah ha ha ha... !
Mandraloka, mata tuamu ternyata belum rabun! Memang inilah jubah keramat yang
dijadikan incaran para tokoh rimba persilatan selama ini! Akulah pemeliknya!
Dan perlu kau ingat, jangan kau sebut lagi namaku Gandarwo! Tetapi sebut aku
Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha ha...!"
"Aku sangsi dengan
bualanmu, Gandarwo!" kata Mandraloka sambil menahan rasa sakit akibat
serangan dari Nyai Cungkil Nyawa tadi. Kemudian ia berkata,
"Jika benar jubah itu
adalah jubah keramat, tunjukkan padaku kehebatannya!"
Mandraloka sengaja
memancingnya demikian, karena ia punya niat untuk merebut jubah itu dengan
bertarung melawan Gandarwo. Tetapi terlebih dulu ia harus tahu persis bahwa
jubah itu memang jubah keramat. Mandraloka tidak mau membuang tenaga secara
sia-sia dengan mengadakan pertarungan melawan Gandarwo, jika ternyata jubah itu
hanyalah jubah tipuan belaka.
Gandarwo berseru, "Kau
ingin melihat kesaktian jubahku ini? Baik. Apa yang kau inginkan? Apa yang
harus kulakukan?"
"Lenyapkan pohon besar
itu dalam sekejap!" sambil Mandraloka menuding sebatang pohon besar
berdaun rindang seperti beringin, yang tingginya melebihi pohon kelapa.
"Huah ha ha ha ha... !
Buat Malaikat Jubah Keramat, itu pekerjaan yang amat mudah, Mandraloka! Lihat,
pohon itu sudah hilang dengan sendirinya!"
Mandraloka memandang ke arah
pohon yang tadi ditudingnya, dan ia terbelalak kaget, ternyata pohon besar itu
sudah tidak ada. Lenyap tanpa bekas. Tapi Mandraloka masih diliputi
kebimbangan, dan segera ia berkata,
"Munculkan lagi dalam
keadaan penuh dengan buah!"
"Apa yang kau katakan itu
memang benar, pohon itu sudah berbuah lebat, Mandraloka!" sambil berkata
begitu, Gandarwo membayangkan pohon tadi muncul dalam keadaan berbuah.
Maka, terbelalaklah mata
Mandraloka melihat kemunculan pohon tersebut yang kini sudah berbuah lebat.
Gemetar persendian tulang Mandraloka, berdebar hatinya, berdetak cepat
jantungnya. Dalam hati ia mengakui kebenaran jubah tersebut. Maka dengan suara
lantang ia berseru dan mencabut pedangnya,
"Gandarwo! Sekarang
giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan
nyawamu sekarang juga?!"
Gandarwo diam saja, tapi
matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala
Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib.
Gandarwo tertawa terbahak- bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka
terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.
Tiba-tiba tubuh Gandarwo
tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat.
Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba
sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat. Gandarwo
menggeram dengan pancaran mata kemarahannya,
"Kau juga ingin memiliki
jubah ini, Anak Dungu?!"
"Ya! Untuk kekasihku, aku
harus bertarung melawanmu!"
"Kasihan...!"
"Uhg...!" Marta
Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan
kuat. Gandarwo membayangkan Marta Kumba bunuh diri dengan pedangnya, maka
terjadilah hal itu dan membuat sepasang mata yang mengintai kejadian itu
menjadi mencucurkan air mata. Tangis itu terpendam, lalu gadis berjubah hijau
muda itu pun cepat melarikan diri ketakutan melihat kekasihnya mati bunuh diri.
Ia tahu, itu perbuatan pikiran jahat Gandarwo.
Dan tawa Gandarwo pun bergema
ke mana-mana sebagai tawa tokoh sakti yang bergelar Malaikat Jubah Keramat.
* * *9
HANTU Laut memberitahukan
tugasnya kepada Pendekar Mabuk, setelah Suto Sinting memberinya minum tuak
sebagai pengobat kakinya yang luka. Kalau Suto terlambat datang, maka borok itu
akan mengganas sampai pada bagian pahanya. Untung Suto cepat datang bersama
Kirana dan Ki Sonokeling, sehingga Hantu Laut tak sampai mengalami luka ke
bagian paha, kecuali hanya sekitar betis dan mata kaki.
"Jadi, aku harus ke Pulau
Serindu?"
"Betul, Suto! Sebelum
selesai purnama, kau harus sudah sampai ke sana! Karena Gusti Ratu Mahkota
Sejati tinggal menunggu kedatanganmu, maka peresmian istana dari pemugarannya
kembali itu akan dilaksanakan!"
"Aku boleh ikut?!"
tanya Nyai Cungkil Nyawa. Hantu Laut salah dengar sehingga ia berkata,
"Kenapa kau harus takut,
Nek?! Tidak ada yang perlu ditakuti!"
"Kataku, Ikut! Bukan
takut!"
"O, kau mau ikut? Boleh
saja ya, Suto?!"
Pendekar Mabuk hanya
manggut-manggut sambil tersenyum. Nyai Cungkil Nyawa bersungut-sungut sambil
menggerutu,
"Sejak tadi aku ngomong
sama orang ini, kupingku jadi budek sendiri, Suto!"
Ki Sonokeling tertawa lebih
terkekeh dari yang lain. Ki Sonokeling menimpali dengan ucapan,
"Di tempat seperti ini
mana ada yang jualan nasi gudeg, Nyai!"
"Budek! Kupingku jadi
budek! Bukan aku kepingin nasi gudeg! Waaaah, kamu kenapa jadi ketularan budek
begitu, Sonokeling?!"
"Lho, bukannya ngomong
soal nasi gudeg sejak tadi?!" ujar Ki Sonokeling sambil bengong. Yang
lainnya pun segera tertawa.
Pendekar Mabuk segera
mendekati Kirana yang sejak tadi cemberut dan tak mau ikut tertawa.
Suto berkata pelan,
"Kenapa kau cemberut
terus?"
"Kau mau pergi!"
"Ada tugas lain,
Kirana."
"Tapi kau belum
selesaikan tugasmu merebut pedang emas!"
"Akan kulakukan sebelum
aku pergi ke Pulau Serindu!"
"Betul?"
"Ya! Jangan khawatir, aku
tak akan menggantungkan tugas yang belum selesai. Sekarang mari kita cari
Rangka Cula!"
"Kau bilang dia akan
kemari sendiri!"
"Kalau kita menunggu akan
lama jadinyal"
"Rangka Cula biar aku
yang hadapi!" celetuk Nyai Cungkil Nyawa. "Kalau kau mau pergi,
pergilah sana! Soal pedang emas itu, akan kusimpan sampai kau datang
mengambilnya!"
Tiba-tiba muncul Ratna
Prawitasari yang berlari dengan terangah-engah dan ketakutan, ia sendiri
terkejut melihat di patilasan itu banyak orang, bukan hanya Nyai Cungkil Nyawa
sendiri, ia menjadi ragu untuk mendekat, tapi wajah takutnya semakin jelas dan
mengundang keheranan bagi semua yang ada di situ.
Melihat kehadiran Ratna
Prawitasari, Nyai Cungkil Nyawa menjadi berang lagi dan berteriak menghardik,
"Belum kapok kamu, hah?!
Masih saja mau mengacak-acak tempat ini? Mau cari mampus kamu, hah?!"
"Hmm... anu... tidak,
Nek!" Ratna Prawitasari melelehkan air mata karena terbayang saat ia
menangkap ular di kaki Marta Kumba yang duduk di batu, dan batu itu sekarang
ada di samping kirinya.
Ratna Prawitasari tertunduk
menahan tangis yang sukar dikendalikan. Nyai Cungkil Nyawa segera mendekati
dengan dahi berkerut pertanda heran melihat tangis gadis itu.
"Ada apa kau
menangis?" tanya Nyai Cungkil Nyawa. "Merengek-rengek supaya aku
kasihan padamu dan memberitahukan letak pintu itu?"
Ratna Prawitasari menggeleng,
kemudian dengan berburai air mata, Ratna Prawitasari menatap nenek itu dan
berkata pelan,
"Aku sudah tahu pintu itu
ada di mana. Tapi sia-sia kalau aku masuk ke gua itu!"
Terperanjat Nyai Cungkil Nyawa
begitu Ratna Prawitasari sebutkan kata gua. Ia segera membatin, "Dia
benar-benar telah temukan pintunya! Tapi mengapa dia menangis?"
Ratna Prawitasari melanjutkan
bicaranya, "Jubah itu sudah dicuri orang!"
"Hahh...?!" suara
kejutan ini hampir serempak diucapkan oleh Nyai Cungkil Nyawa dan Ki
Sonokeling. Lalaki berkulit hitam itu pun segera mendekati Ratna Prawitasari
dan bertanya,
"Benarkah jubah itu sudah
dicuri orang?!"
Ratna Prawitasari menganggukkan
kepala. "Gandarwo-lah orangnya!"
"Gandarwo...?!"
kedua kakek-nenek itu sama-sama terpekik dan matanya saling mendelik, lalu
pelan-pelan wajah mereka berpaling saling memandang dengan mata tetap mendelik.
"Dia telah membunuh
Mandraloka dan... kekasihku; Marta Kumba!" tertunduk lagi wajah Retna
Prawitasari, ia sembunyikan tangis di sana. Haru hati mereka, namun geram pula
membayangkan Gandarwo berhasil menemukan jubah keramat itu. Semua tak ada yang
bicara. Semua bagai terpaku bungkam oleh berita tersebut. Pendekar Mabuk ikut
mendekat pada waktu Ratna Prawitasari berkata,
"Gandarwo menobatkan
dirinya sebagai orang yang bergelar Malaikat Jubah Keramat, ia menunggang kuda
hitam berpelana emas, yang muncul sendiri dari daya cipta di dalam
pikirannya!"
"Keparat si Gandarwo
busuk itu!" geram Nyai Cungkil Nyawa. Wajah tuanya tampak memerah menahan
amarah. Matanya memancarkan murka yang tertahan. Lalu ia berkata kepada Ki
Sonokeling,
"Tetaplah di sini bersama
mereka, aku akan mencari Gandarwo!"
"Jangan!" kata Ki
Sonokeling. "Kalau kau melawannya, aku harus ikut! Kalau kau mati, aku pun
ikut!"
Ratna Prawitasari pun
menambahkan kata, "Dia dapat memenggal kepala Mandraloka tanpa menyentuh.
Hanya dilihatnya saja, Nek. Kau pun bisa dipenggal seperti itu! Jangan ke sana!
Sebaiknya menghindar saja!"
"Memenggal dengan hanya
melihat...?!" gumam Nyai Cungkil Nyawa sambil merenung dalam kebimbangan.
"Jubah itu... pasti jubah itu yang membuatnya dapat begitu!"
Pendekar Mabuk segera ikut
bicara, "Apa kelemahan jubah itu, Nyai?"
"Kelemahannya...?!"
Nyai Cungkil Nyawa berpikir beberapa saat, kemudian menjawab, "Tidak ada
kelemahannya! Kecuali jika jubah itu dilepas, baru orang itu menjadi
lemah!"
"Kalau begitu, biarlah
aku yang menghadapinya," kata Pendekar Mabuk dengari tegas dan mantap.
Semua mata memandang ke arah Suto, termasuk Ratna Prawitasari.
Tiba-tiba terdengar suara
menyahut, "Aku yang menghadapi!"
Semua berpaling ke arah orang
yang menyahut pembicaraan itu. Ternyata Rangka Cula sudah berdiri dalam jarak
tujuh tombak dari tempat mereka. Nyai Cungkil Nyawa menggeram benci, ia ingin
bergerak maju, tapi tangan Suto menahannya dan berkata,
"Mundurlah semua! Ini
bagianku...!"
Semua menuruti kata Suto.
Mereka mundur dengan wajah tegang ketika Suto melangkah mendekati Rangga Cula.
Orang berwajah dingin itu diam saja. Suto berhenti dalam jarak lima langkah di
depan Rangka Cula. Ia meneguk tuaknya sebentar, setelah itu berkata kepada
Rangka Cula.
"Kita bertemu lagi,
Rangka Cula!"
"Ya," Rangka Cula
menjawab pendek.
"Aku akan merebut pedang
itu lagi darimu!"
"Silakan!"
"Kau jago pedang, dan aku
juga bisa memainkan pedang! Kita bertarung secara jantan!"
"Baik!"
"Kirana, pinjam
pedangmu!" seru Pendekar Mabuk dengan gagahnya.
Kirana cepat mencabut
pedangnya, dan dilemparkan ke arah Pendekar Mabuk. Tabb... ! Pendekar Mabuk
menangkap pedang itu dengan cekatan. Bumbung tuak diselempangkan ke punggung.
Pedang dipegang dengan dua tangan.
"Kau sudah siap, Rangka
Cula?!"
"Sudah!"
"Cabut pedangmu!"
"Nanti!"
Suto mulai melangkah maju dua
tindak. Rangka Cula mulai memegangi gagang pedang dari Cula badak itu. Suto
diam, dengan kedua kaki merapat dan siap menebaskan pedangnya. Pedang itu sudah
ada di sisi kanan dalam genggaman dua tangan, mengarah ke atas ujungnya. Rangka
Cula sendiri memandang tak berkedip dengan kedua kaki yang satu ditekuk ke
depan, satunya lagi dia tarik ke belakang, siap melakukan lompatan maut.
Mereka yang menyaksikan adegan
itu menjadi berdebar-debar tegang. Ratna Prawitasari sendiri tahu, siapa Rangka
Cula. Ia pernah melihat pertarungan Rangka Cula dengan se seorang yang mahir
main pedang, tapi Rangka Cula unggul dan ternyata lebih mahir dari orang
tersebut. Sekarang Ratna Prawitasari merasa cemas dan hatinya bertanya-tanya,
"Mampukah pemuda tampan itu mengalahkan ilmu pedangnya Rangka Cula?!"
Cukup lama mereka saling
pandang dan saling menunggu kesempatan lengah lawannya. Tak ada gerakan apa pun
pada diri mereka. Sungguh amat menegangkan bagi penontonnya.
Tetapi, kejap berikut
terdengar Rangka Cula berseru, "Hiaaat...!"
Wuttt, wuttt... ! Keduanya
sama-sama berkelebat maju. Rangka Cula melompat sambil mencabut pedangnya,
Pendekar Mabuk melompat sambil kelebatkan pedangnya. Mereka tiba di tempat
berbeda, saling memunggungi. Sama-sama diam mematung beberapa saat.
Lalu, mulailah menetes darah
dari lengan Suto, dekat pundak. Kirana tersentak kaget melihat lengan Suto
berdarah. Tapi Kirana juga sedikit lega melihat pergelangan tangan Rangka Cula
juga berdarah. Keduanya sama-sama luka. Keduanya sama-sama tangguh.
Tetapi Rangka Cula segera
berbalik manakala Pendekar Mabuk masih memunggunginya, lalu ia menebaskan
pedangnya ke punggung Pendekar Mabuk dengan cepat.
Wuttt... ! Trangng... !
Pendekar Mabuk menangkisnya tanpa memandang gerakan pedang lawan. Hanya dengan
menengadahkan pedangnya ke atas kepala dan badannya sedikit merendah, pedang
lawan tertangkis. Dan dengan cepat Pendekar Mabuk sedikit naikkan badan, lalu
tangannya berkelebat menebas ke atas dengan cepat. Trangng... !
Wuttt... ! Pedang Rangka Cula
terpilin pedang Pendekar Mabuk. Zrrrakk...! Pendekar Mabuk menyentakkan kuat,
dan pedang itu lepas dari genggaman Rangka Cula. Itu karena genggaman tangan
Rangka Cula sudah mulai melemah akibat terluka dalam oleh pedang Pendekar Mabuk
dalam jurus pertama tadi.
Rangka Cula segera melompat
mundur ketika ia sadar tangannya sudah tidak memegang pedang. Kini pelan- pelan
ia mulai mencabut pedang emas di punggungnya.
Kirana sudah mulai cemas, Ki
Sonokeling pun menjadi tegang tak berkedip.
"Heeaaah...!" Suto
memekik sambil bersalto ke samping, tapi pedang di tangannya dilemparkan cepat
ke arah Rangka Cula. Wuttt...! Trangng...! Rangka Cula mengibaskan pedang emas
untuk menangkis pedang yang melesat ke arah dadanya itu. Tapi di luar dugaan,
Suto Sinting cepat melepaskan jurus Yudha', yaitu tangan disentakkan dalam
keadaan miring dan dari tangan itu melesatlah sinar perak berbentuk bintang
yang menembus perut Rangka Cula.Clappp...! Hanya Nyai Cungkil Nyawa yang
melihat sinar perak itu berbentuk bintang.
Zrrrubb... ! Jurus 'Yudha'
mengenai sasarannya. Rangka Cula diam saja. Berdiri mematung dan tak bergerak.
Pendekar Mabuk menarik napas dan menghembuskan dengan kelegaan tersendiri.
Bahkan ia sempat minum tuaknya dan membuat mereka yang menyaksikan pertarungan
itu menjadi heran.
Kejap berikutnya, mereka makin
dibuat heran. Daun telinga Rangka Cula jatuh. Plukk...! Ruas jari tangannya
menyusul jatuh. Pluk! Kini pergelangan tangan kirinya jatuh. Plukkk...! Dan
tiap ruas tulang pada tubuh Rangka Cula mulai berjatuhan, terpoteng tanpa
darah. Pendekar Mabuk sendiri segera mengambil pedang emas itu dengan
tenangnya. Dan tangan yang memegangi pedang emas itu pun jatuh terpotong rapi.
Kini pedang emas sudah ada di
tangan Suto Sinting. Dan tubuh Rangka Cula yang terkena jurus 'Yudha' itu
menjadi terpotong-potong dengan sendirinya setiap ruasnya, sampai terakhir
kepalanya jatuh ke tanah dalam keadaan sudah tidak sempurna lagi. Brukk...!
Tubuh Rangka Cula rubuh dalam keadaan paha dan lutut sudah terpisah. Dan itulah
kehebatan jurus Yudha', yang menjadi satu dengan jurus 'Manggala', pemberian
dari seorang ratu di alam gaib, yaitu Ratu Kartika Wangi. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").
"Suto...! Kau
berhasil...!" teriak Kirana dengan girangnya, ia segera memeluk Pendekar
Mabuk yang sudah memegangi pedang emas bersama sarungnya. Yang lain pun
tersenyum merasa lega bercampur kagum. Terutama Ratna Prawitasari, tak
henti-hentinya ia tersenyum memandangi kehebatan Suto, tak henti- hentinya ia
terkesima memandangi ketampanan Suto, hingga lupa berkedip sejak tadi.
Namun, kegembiraan itu segera
susut setelah mereka mendengar suara ringkik kuda. Mata mereka berpaling ke
belakang dan melihat seekor kuda hitam ditunggangi orang berwajah angker dengan
rambut panjang acak- acakan, mengenakan jubah yang mengejutkan wajah Nyai
Cungkil Nyawa. Orang itu adalah Manusia Jubah Keramat yang enggan dipanggil
dengan nama Gandarwo.
"Sedang apa kalian
berkumpul di sini?! Mencari jubah keramat?! O, lupakan jubah itu! Lihat...
jubah itu sudah kupakai! Dan akulah orang terkuat di seluruh pelosok penjuru
dunia dengan gelar Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha ha...!"
Nyai Cungkil Nyawa mau
bergerak, tapi mata Pendekar Mabuk memberikan isyarat agar nenek itu diam saja.
Suto pun segera melangkah maju mendekati Gandarwo, yang lain tinggal di tempat
semula. Yang lain memandang dengan berdebar-debar.
"Benarkah jubah itu jubah
keramat, Malaikat Jubah Keramat?" tanya Suto dengan kalem, tidak
menampakkan sikap permusuhan, tapi pedang emas sudah disiapkan di tangan kiri,
masih dalam sarungnya.
"Kalau kau tak percaya,
tanyakan saja pada nenek tua itu!" kata Gandarwo dengan sedikit ngotot.
"Melihat warnanya dan
bentuknya yang megah, aku percaya kalau jubah itu jubah angker!"
"Jubah keramat! Bukan
jubah angker!"
"O, ya...! Jubah keramat
yang sakti!" Suto tersenyum.
"Betul!"
"Dan tentunya kau adalah
orang sakti yang berilmu tinggi!"
"Tak salah lagi! Huah ha
ha ha...!" Gandarwo kegirangan mendapat pujian dari Suto.
"Bagaimana kalau kutukar
dengan pedang emas ini?!" kata Suto.
"Pedang emas?! Oh,
tidak...! Aku tidak...."
"Dengar dulu, Malaikat
Jubah Keramat!" potong Suto. "Pedang ini sangat bagus, lihat ukiran
di dalamnya...!" Pendekar Mabuk meloloskan pedang dari sarung pedang, lalu
menunjukkan ukiran naga di tengah mata pedang itu sambil berkata,
"Nah, lihat... ukiran ini
merupakan ukiran keramat juga "
Pada waktu Gandarwo ikut
memperhatikan ukiran pedang emas itu, tiba-tiba Suto menyentakkan pedang
tersebut dengan cepat. Jrubb...! Tepat menusuk jantung Gandarwo. Orang itu,
yang masih di atas punggung kuda, segera mendelik dan ternganga mulutnya. Untuk
kemudian tumbang dari atas punggung kuda. Brukkk... ! Dan kejap berikutnya ia
menghembuskan napasnya yang terakhir.
Pendekar Mabuk segera melepas
jubah yang dipakai Gandarwo. Sementara orang-orang yang menyaksikan gerakan
cepat Pendekar Mabuk dalam menusukkan pedang tadi, masih tertegun bengong tak
berkedip. Karena mereka sama sekali tidak menyangka kalau Suto akan melakukan
gerakan secepat itu. Bahkan mereka tak menyangka Suto Sinting mempunyai rencana
seperti itu. Kirana sendiri sempat cemas mendengar pedang emas mau ditukar
dengan jubah keramat.
Pendekar Mabuk melakukan
rencana tersebut, karena ia tahu bahwa lawannya sudah siap menyerang sewaktu-
waktu, ia sama saja melawan pikiran seseorang yang bisa menghadirkan bencana
dan maut setiap kejapnya. Untuk melawan pikiran berbahaya itu, Suto hanya
mengalihkan pikiran tersebut hingga lawan pun lengah.
Mereka yang menyaksikan
tindakan Pendekar Mabuk itu baru sadar dari rasa kagetnya setelah Pendekar
Mabuk melipat jubah itu dan menyerahkannya kepada Nyai Cungkil Nyawa.
"Nyai, simpanlah kembali
pada tempatnya, setelah itu tutup rapat-rapat pintu menuju makam! Tak perlu ada
orang yang keluar masuk ke dalam makam Prabu Indrabayu."
"Suto...!" nenek itu
memandang dengan iba hati dan kagum terhadap ketulusan hati Pendekar Mabuk, ia
pun segera berucap kata,
"Terima kasih banyak atas
bantuanmu, Bocah Sinting! Aku tak mengerti harus bagaimana membalas budi baikmu
ini!"
"Balaslah pada orang lain
yang membutuhkan budi baikmu, Nyai!" jawab Pendekar Mabuk yang membuat Ki
Sonokeling geleng-geleng kepala dan menggumam, "Sebuah kalimat yang
bagus...."
"Sekarang, tugasku telah
selesai! Pedang emas sudah kembali ada di tanganku, dan jubah keramat sudah
kembali di tanganmu, Nyai. Rasa-rasanya kita harus berpisah untuk sementara
waktu, karena aku punya tugas lain. Kalau ada orang yang berani mencuri jubah
ini lagi, katakan padanya, aku Suto Sinting, murid si Gila Tuak, akan
berhadapan dengan orang itu!"
Tiba-tiba ada yang menyahut,
"Aku setuju!" semua berpaling ke arah orang yang baru datang itu, dan
Kirana segera sunggingkan senyum sambil menyapa, "Nyai Guru Embun
Salju...?!"
Orang sakti dari Perguruan Elang
Putih itu datang. Rupanya ia juga mencemaskan diri Suto, sehingga ia pribadi
menyempatkan pergi dari kuil Elang Putih untuk menjaga kemungkinan bahaya yang
bisa terjadi pada diri Pendekar Mabuk.
"Aku telah mendapatkan
pedang ini, Nyai Embun Salju!" kata Suto sambil mendekat bersama Kirana.
Ratna Prawitasari pun ikut mendekat dan berkata,
"Sembah hamba, Nyai
Guru...!" Ratna Prawitasari menundukkan kepala memberi hormat kepada Embun
Saiju. Rupanya Ratna Prawitasari adalah murid Perguruan Elang Putih yang
dibuang dari Tanah Merah karena harus menjalani hukuman buang untuk sebuah
kesalahan. Tapi Embun Salju dalam kesempatan itu memberi ampunan pula kepada
Ratna Prawitasari, sehingga Ratna Prawitasari disarankan untuk ikut pulang ke
kuil Elang Putih.
"Suto juga berhasil
selamatkan jubah keramat milik Prabu Indrabayu, Guru!" kata Ratna
Prawitasari yang sudah mengetahui nama Suto.
"Prabu Indrabayu?!"
Embun Salju menggumam. "Oh ya... benar! Aku baru ingat, ini bekas
Pesanggrahan Teratai Dewa?! Di sinilah Prabu Indrabayu disemayamkan bersama
istrinya yang tercinta, yang bernama Sendang Kedaton ...... "
"He!, bukankah itu nama
asli Nyai Cungkil Nyawa, penjaga makam di sini, Nyai Embun Salju?!" kata
Suto.
"Bukan! itu nama istri
tercinta Prabu Indrabayu!"
"Itu nama penjaga makam
di sini, Nyai!" Pendekar Mabuk ngotot.
"Kalau tak percaya kita
tanya pada orangnya...,"
Pendekar Mabuk berpaling ke
belakang mencari Cungkil Nyawa.
"Nyai...?! Nyai Cungkil
Nyawa...?!"
Ki Sonokeling yang menjawab,
"Dia lenyap... hilang dari sampingku!"
"Oh, kalau begitu dia
adalah jelmaan istri Prabu Indrabayu...?!" gumam Pendekar Mabuk sambil
termenung terheran-heran.
Dan sejak itu tak pernah ada
yang menemui Nyai Cungkil Nyawa, ia hilang selama-lamanya.
SELESAI