DENGAN pedang di punggung,
gadis berambut sebahu potongan shaggy itu melompat dari pohon ke pohon bagai
seekor tupai, ikat kepalanya yang terbuat dari kain berbenang emas itu
memantulkan cahaya sinar matahari, sehingga gerakannya mudah diikuti oleh
sepasang mata yang memperhatikan sejak tadi.
"Gesit dan lincah sekali
gadis itu. Dilihat dari gerakannya yang serba cepat itu, aku yakin dia gadis
yang beringas," sepasang mata yang mengikutinya dari kejauhan itu
membuntuti terus sambil tak lepaskan pandangannya kepada gadis berompi ungu
itu.
Setiap kali gadis itu
menghilang karena tertutup bayangan pohon, sepasang mata yang memperhatikannya
itu segera berkelebat ke arah lain agar dapat mengikuti gerakan si gadis.
Rupanya ia tertarik dengan
kelincahan dan kecepatan gerak si gadis, sehingga ke mana pun gadis itu pergi selalu diikuti.
Jarak yang cukup terjaga membuat si gadis tak sadar kalau sedang diikuti oleh
sepasang mata milik seorang pemuda berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala.
Pemuda berbaju coklat dan bercelana putih kusam itu tak lain adalah Suto
Sinting, murid si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk.
Tiba di sebuah tanggul sungai,
gadis itu hentikan langkah dan gerakannya. Matanya memandang ke sana-sini
seperti ada yang sedang dicari. Kesempatan itu digunakan oleh Suto Sinting
untuk mengambil jarak lebih dekat agar dapat melihat gadis itu lebih jelas
lagi.
"Luar biasa!" gumam
hati sang pendekar tampan itu. "Bukan saja cantik, namun juga bertubuh
menggairahkan. Hmmm... anak siapa dia sebenarnya? Guru mana yang punya murid
secantik itu? Andai saja aku menjadi gurunya, hmm, hmm... tak akan sempat
kuturunkan ilmuku karena sibuk mengagumi kecantikan dan keelokan tubuhnya
itu."
Wees, slaap, slaap, slaap...!
Tiba-tiba gadis itu sudah
berada di atas batu. Batu tinggi itu berada di tengah sungai lebar. Gerakan
cepatnya membuat Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kekaguman yang tak bisa
ditahan lagi.
Gadis itu masih pandangi
keadaan sekeliling, bagai sedang mencari sesuatu yang amat penting baginya.
Dari tempat persembunyiannya Pendekar Mabuk dapat melihat jelas bentuk
kecantikan si gadis yang berhidung mancung, berbibir sensual, bermata agak
lebar tapi indah bentuknya, juga berdada montok tapi kencang dan hangat
rasanya.
Rompi ungunya tidak mempunyai
kancing bagian depan. Tapi ujung bawah rompi saling terikat di perut, sayang
tak sampai menutupi pusarnya. Rompi itu agaknya terbuat dari kain tebal yang
hanya sekadar dibentuk rompi secara acak-acakan, sehingga benang di tepian
rompi merawis-rawis mirip pakaian gelandangan.
Dari pusar ke bawah, gadis
berkulit kuning langsat dan tampak mulus itu mengenakan kain penutup warna ungu
juga.
Kain itu melilit pinggul
sebatas paha. Kain itu menyelinap di sela-sela kedua pahanya dari belakang ke
depan hingga mirip cawat setengah celana. Begitu pendeknya kain penutup itu
sehingga separo dari pahanya yang mulus tak sempat tertutup.
"Kurasa usianya kurang
dari dua puluh tujuh tahun. Mungkin sekitar dua puluh limaan," pikir Suto
dalam pengamatannya.
"Tapi tubuhnya tampak
sekal, seperti sudah sangat matang untuk seorang perempuan dewasa. Kalau saja
tinggi tubuhnya tidak setinggi tubuhku, maka ia akan kelihatan agak gemuk. Tapi
dalam keadaan bertubuh tinggi, ia kelihatan tegap, kekar, dan sepertinya tahan
bantingan juga dia."
Wes, slaap...! Gadis itu
pindah tempat, kini ada di daratan tepi sungai besar itu. Pendekar Mabuk juga
mengikuti dengan lompatan secepat perpindahan cahaya, karena ia menggunakan
jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap...! Suto Sinting pun sudah ada di daratan
tepi sungai, tapi berlindung di balik pohon besar.
"Kuharap dia mandi.
Kuharap mandi, mandi, mandi.... Yaah, cuma garuk-garuk pundak saja, bukan mau
melepaskan pakaiannya. Sial!" Suto Sinting menggerutu sendiri dalam hati.
Tiba-tiba Pendekar Mabuk
terkejut melihat sekelebat sinar merah seperti buah rambutan yang melesat dari
kerimbunan semak dan pohon di sebelah kiri si gadis. Sinar merah mirip buah
rambutan yang memancarkan warna terang itu melesat ke arah gadis tersebut.
"Celaka! Ada yang ingin
menyerangnya?! Oh, dia tak melihat! Bisa mati gadis itu jika terhantam, sinar
merah yang...."
Blaaarrr...!
Pendekar Mabuk belum selesai
lanjutkan kecamuk batinnya, tiba-tiba gadis itu rentangkan kedua tangan tanpa
memandang datangnya sinar. Dari telapak tangan kirinya keluar sinar biru kecil
yang menabrak sinar merah mirip rambutan itu.
Maka terjadilah ledakan besar
yang menggetarkan pepohonan di sekitarnya. Gadis itu tidak terpental, hanya terpelanting
sedikit dan segera sigap kembali. Padahal dahan pada pohon itu belakangnya
sempat patah karena kerasnya sentakan daya ledak tadi, tapi gadis itu bagaikan
mampu menahan sentakan daya ledak yang cukup kuat itu.
"Oh, hebat juga
dia?" gumam Pendekar Mabuk yang tetap bersembunyi sambil menggantungkan
bumbung bambu isi tuak sakti di pundaknya.
"Keluarlah kau, Rogana!
Aku tahu kau ada di sekitar sini!" seru gadis itu dengan suara lantang.
Dari lantangnya suara Suto dapat menilai keberanian gadis itu cukup tinggi.
Gerakan matanya pun menjadi nanar dan liar, seakan ia tak sabar menunggu
kemunculan lawannya yang tadi disebutkan bernama Rogana itu.
Pendekar Mabuk terbelalak
begitu melihat tanah di seberang sana mulai retak. Keretakannya menjalar cepat
mendekati kaki gadis itu dari belakang. Hampir saja Suto berseru memberitahukan
datangnya bahaya tersebut. Tapi rupanya si gadis lebih tanggap dan lebih peka
atas bahaya yang mendekatinya, sehingga ia cepat-cepat lakukan lompatan ke
samping dan berjungkir balik bagai baling-baling.
Wuuut...! Tepat pada saat itu
dari dalam keretakan tanah itu muncul sesosok tubuh yang membaur dengan tanah.
Brrruul...!
Tanah menyembur ke berbagai
arah bersama keluarnya orang berpakaian serba merah. Orang itu sudah
mempersiapkan pedang dan pedangnya terarah ke atas. Jika gadis berompi ungu itu
tidak segera melompat ke samping, maka ia akan tertusuk pedang dari bawah.
Jleeg...! Orang yang baru
muncul dari dalam tanah itu berdiri tegak membelakangi Suto Sinting dalam jarak
tujuh langkah. Suto semakin merapatkan tubuh dengan pohon dan merendahkan badan
supaya lebih terhalang oleh semak ilalang di depan pohon tersebut.
"Gila! Tinggi sekali
orang ini?!" pikir Suto. "Gadis itu sampai mendongak dalam memandangi
wajah lawannya. Raksasa dari mana orang ini sebenarnya?"
Suto Sinting hanya bisa
melihat bagian punggung dan rambut yang panjang sampai pinggang berwarna
abu-abu. Ia belum melihat orang tinggi besar itu dari arah depan. Namun dari
bentuk pedangnya yang besar penuh dengan darah kering,
Pendekar Mabuk bisa pastikan
orang itu bertampang ganas dan sadis. Tapi anehnya gadis berkulit mulus itu tak
merasa takut sedikit pun. Matanya memandang tajam ke arah lawannya, ia tak
segera mencabut pedangnya, hanya berjalan menyamping yang membuat sang lawan
ikut menyamping berlawanan arah.
"Sangat tak seimbang!
Gadis itu bisa mati jika nekat melawan orang itu!" gumam Suto dalam
batinnya. "Oooh...?! Gila?!"
Pendekar Mabuk semakin tegang
ketika lawan si gadis terlihat dari depan. Ternyata orang itu bukan saja
berwajah ganas, melainkan juga berwajah menyeramkan, ia bertulang rahang
panjang ke depan dan berkulit tebal warna abu-abu berlipat-lipat. Di tengah
keningnya mempunyai tanduk seperti cula badak. Alisnya lebat, matanya lebar
kemerah-merahan, mulutnya yang monyong mempunyai bibir tebal warna hitam.
"Iih...!" Suto
bergidik. "Itu manusia apa siluman?! Wajahnya mirip badak, tapi juga mirip
babi hutan. Jangan-jangan dia lahir karena perkawinan silang antara babi hutan
dengan badak bercula satu?!"
Rogana memang manusia berwajah
badak. Bukan saja wajahnya yang mirip badak, tapi kulit tubuhnya juga tebal
seperti kulit badak. Jubah merahnya yang berlengan panjang itu tidak
dikancingkan bagian depannya, sehingga Suto dapat melihat dadanya yang keras
berwarna abu-abu dan perutnya yang tebal berlipat-lipat. Ternyata Rogana juga
mempunyai jari-jari yang besar dan berkuku runcing warna hitam.
"Amit-amit jabang
bayi!" gumam Suto dalam hati. "Mudah-mudahan gadis itu tidak sedang
hamil. Kalau sedang hamil bisa-bisa anaknya seperti si Rogana itu."
Gadis tersebut ternyata tidak
tampak gentar sedikit pun. Bahkan ketajaman matanya memancarkan keberanian yang
tinggi, ia berani menuding lawan yang menyeramkan itu dengan serukan suara
lantangnya.
"Kali ini tak akan
kubiarkan kau lolos dari tanganku, Rogana! Karena kau telah membunuh guruku
yang menyembunyikan diriku!" ujar Perawan Sinting, sambil membayangkan
saat gurunya ditemukan tewas, setelah bertarung melawan Rogana, akibat sang
Guru menyembunyikan sang murid.
"Nyawamu sudah ada dalam
jangkauanku, Gadis Keparat!" balas Rogana dengan suara besar, seperti
tertekan. Ia menyeringai, membuat Suto merinding karena melihat giginya yang
besar dan runcing itu.
"Kalau kau masih sayang
dengan ragamu, sebaiknya hentikan pengejaranmu terhadapku, Gadis Tolol! Ada
baiknya kita berdamai dan hidup berdampingan dengan penuh kasih sayang!"
"Aku mau hidup
berdampingan denganmu, Jika kau sudah menebus kematian guruku dengan
nyawamu!"
"Jadi kau benar-benar tak
mau kuajak berdamai?!"
"Terkutuklah aku selama
tujuh turunan kalau sampai berdamai dengan pembunuh guruku sendiri!" seru
gadis itu menampakkan keras kepalanya.
"Kalau begitu kau
benar-benar gadis bangsat yang harus kukirim ke neraka sekarang juga!
Heeeeaah...!"
Tubuh tinggi besar itu
melayang seperti pilar terbang. Gadis cantik berbibir sensual tak mau
diterjang, karenanya ia segera lakukan lompatan ke samping dalam jarak lima
langkah. Wuuut...!
Pedang besar di tangan Rogana
menebas tempat kosong. Wuuuk...! Tapi begitu melirik si gadis ada di samping
kirinya, ia pun segera menyabetkan pedangnya ke kiri. Wuuuk...!
Si gadis sudah lebih dulu
lakukan gerakan seperti berlari dalam kemiringan batang pohon yang tumbuh tegak
lurus itu.
Tab, tab, tab, tab, tab...!
Tahu-tahu tubuhnya telah melesat berjungkir balik di udara melewati atas kepala
Rogana. Tepat di atas kepala Rogana gadis itu lepaskan pukulan tenaga dalamnya
dengan tangan menggenggam.
Beet, claap...! Pendekar Mabuk
melihat ada sinar merah sekilas yang keluar dari genggaman si gadis dan menghantam
kepala Rogana.
Duaaar...!
Brrruuk...! Gluduk, gluduk,
gluduk...!
Rogana jatuh tersungkur dan
cepat menggelinding ke samping. Dalam sekejap ia telah berdiri kembali dengan
rambut kepulkan asap, tapi kepala masih utuh.
Sebagian rambutnya tampak terbakar
dan menjadi keriting, terutama di bagian tengah kepala yang tadi terkena
pukulan bercahaya merah.
"Grrrmmm...!" Rogana
menggeram dengan pandangan memancarkan amarah besar. Si gadis masih tampak
tenang, berdiri dengan kuda-kuda kokoh dan kedua tangan siap lepaskan pukulan
lagi.
"Heeeaahh...!"
Manusia berwajah badak itu berteriak sambil lemparkan pedang besarnya. Pedang
itu meluncur lurus ke dada si gadis. Tapi dengan satu lompatan bersalto ke
belakang, gadis itu berhasil menendang pertengahan pedang dari bawah ke atas.
Beet...! Pedang berbalik arah
dan meluncur ke dada Rogana. Wees...! Taak...! Rogana menahan ujung pedang
dengan menghadangkan telapak tangan kirinya. Pedang berhenti sekejap, tangan
kanan Rogana menyambar gagang pedang. Wuuut...! Kini pedang berada di tangan
kanan Rogana lagi.
"Hebat, hebat...!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Jurus tendangan yang kelihatannya mudah
dipelajari tapi sebetulnya punya kunci sendiri yang sulit dimiliki setiap
orang."
Gadis itu membuka jurus baru
dengan merentangkan kedua tangannya ke samping dan menegakkan kedua kaki yang
saling merapat, ia sengaja berdiri menyamping dari lawannya dengan mata melirik
penuh waspada. Lawannya bergerak maju dengan lakukan lompatan meluncur cepat
sambil meluruskan pedangnya untuk menembus tubuh si gadis.
Wees...!
Tiba-tiba si gadis berlutut
satu kaki, kemudian kedua tangannya menyentak ke atas bergantian. Bet, bet...!
Tepat pada saat itu Rogana meluncur di atas kepalanya dan pukulan bercahaya
biru menghantam dada dan perut Rogana secara berturut-turut.
Blaar, blaar...!
Tubuh Rogana terpental,
melambung tinggi dan jatuh terbanting hingga tanah terasa bergetar. Brrruuk...!
"Grrrhh...!" Rogana
mengerang antara menahan sakit dan menyalurkan kemarahannya.
Suto melihat perut dan dada
Rogana mengepulkan asap. Tapi agaknya tak dipedulikan oleh Rogana. Ia segera
bangkit, kemudian kaki kanannya menghentak ke tanah satu kali.
"Hheaaahh...!"
Bluuk...! Krrraak...!
Tiba-tiba tanah yang dipijak
si gadis retak terbuka membuat si gadis terperosok masuk ke dalam keretakan
tanah itu.
Brrus...! Untung salah satu
tangannya segera berhasil menyambar akar pohon, sehingga ia tak sampai
terperosok seluruh tubuhnya, ia cepat-cepat berusaha untuk keluar dari
keretakan tanah itu.
Hanya saja, Rogana segera
menerjang dengan gerakan cepat, sehingga tangan si gadis terlepas dari akar
pohon dan ia jatuh ke tempat yang lebih dalam lagi. Bruuus...! Sruuuk...!
"Haaaaahhh...!!"
Rogana berteriak keras dan
panjang. Kedua kakinya segera menghentak ke bumi. Bluk, bluk...! Maka keretakan
tanah itu merapat kembali, membuat si gadis hamper saja terkubur di dalamnya.
Zeerrrpp...!
Sebelum tanah bergerak merapat
kembali, tiba-tiba tubuh gadis itu melesat bagaikan terlempar dari dalam tanah.
Tubuh itu meluncur lurus ke atas dengan satu kaki sedikit terlipat dan tangan
kanan sudah menggenggam pedang. Pedang itu menyala hijau pijar dan mengarah ke
langit.
"Hiaaaaaahhh...!"
Clap, clap, clap, clap...!
Pedang itu memancarkan sinar
seperti kilat berwarna hijau menyebar ke berbagai arah, menyambar apa saja yang
dikenalnya.
Blaaaar, blaar, blegaar,
blaar, duuaar...!
Beberapa pohon tumbang dan
pecah karena sambaran sinar itu. Bahkan dahan pohon yang dipakai bersembunyi
Suto itu patah dalam keadaan hangus pada bagian yang patah. Dahan itu jatuh,
hampir saja menimpa kepala Pendekar Mabuk. Brruk...!
Pendekar Mabuk kaget sebentar,
lalu tak pedulikan dahan itu, karena ia sedang memperhatikan sinar hijau
lainnya. Ternyata salah satu sinar hijau itu ada yang menghantam pelipis
Rogana. Jegaar...!
Rogana terlempar jauh,
pelipisnya hangus dan kepulkan asap. Tapi ia masih sehat dan mampu berdiri
dengan cepat, ia segera menyambut kehadiran gadis berompi ungu yang sedang
bergerak turun dalam gerakan seperti saat ia meluncur ke atas.
"Haaaaarrrhhh...!!"
Rogana memutar-mutar pedangnya
di atas kepala sejenak, kemudian pedang dilepaskan dan, craaak...! Pedang itu
menjadi sembilan bilah yang segera menyebar dan meluncur ke arah gadis itu.
Pendekar Mabuk hanya bisa terbengong menyaksikan jurus aneh si manusia berwajah
badak itu.
Gadis tersebut terpaksa
menangkis tiap pedang yang mendekat ke arahnya. Gerakannya sangat cepat hingga
sukar dilihat. Suto Sinting hanya bisa mendengar suara denting pedang beradu
dengan gaduhnya.
Trang, tring, tring, trang,
tring, trang, trang, tring...!
Rupanya sembilan pedang itu
bagai mempunyai nyawa sehingga dapat bertarung sendiri-sendiri tanpa dimainkan
oleh pemiliknya. Pedang yang sudah tertangkis dan terlempar dapat kembali lagi
menyerang si gadis dari arah mana saja. Lambat sedikit gerakan si gadis maka ia
akan menjadi sasaran empuk bagi pedang tersebut.
"Edan! Rupanya si manusia
badak itu juga berilmu tinggi?!" pikir Suto Sinting dengan hati
berdebar-debar girang karena menyaksikan pertarungan yang sama-sama kuat dan
sama-sama dahsyat.
Sementara si gadis berusaha
melepaskan diri dari kepungan pedang-pedang bernyawa, Rogana lakukan satu
lompatan bagaikan terbang cepat melintasi atas kepala si gadis. Kedua tangannya
segera menyentak dan keluarkan asap abu-abu yang segera membungkus tubuh si
gadis.
Wuursss...!
Bluub...!
Begitu kakinya mendarat ke
bumi, Rogana berseru sambil tepukkan tangan satu kali.
"Heeeeaaaahhh...!" Plaaak...! Sembilan pedang tadi bergerak cepat
mengumpul dan dalam sekejap sudah berada di tangan Rogana menjadi satu pedang.
Zraaak...! Teeb...!
Alam segera menjadi hening.
Pendekar Mabuk tetap lebarkan mata dengan bingung, karena gadis itu hilang tak
terlihat lagi. Tapi di tempat si gadis bertarung tadi tampak dua bongkah batu
hitam dalam ukuran besar; seperti seekor kerbau berdiri. Kedua batu itu saling
merapat.
"Gadis itu menjadi
batu?!" gumam hati Pendekar Mabuk penuh keheranan, ia yakin gadis itu
menjadi batu, karena Rogana memandangi batu itu dengan seringai kemenangan.
"Siapa pun tak akan
menemukan bangkaimu, Gadis Tolol! Hahh...!"
Setelah mengucapkan kata itu,
Rogana segera pergi tinggalkan tempat tersebut dengan langkahnya yang cepat
hingga menyerupai bayangan merah berkelebat menerjang semak dan pepohonan
kecil.
Sedangkan batu itu tetap utuh,
tanpa gerakan sedikit pun.
"Kalau begitu, gadis itu
ada di dalam dua batu berongga yang saling merapat?! Terpenjara di sana? Karena
si Rogana tadi mengatakan 'siapa pun tak akan menemukan bangkaimu', berarti
gadis itu mati di dalam dua batu berongga tersebut?!" pikir Suto dengan
wajah mulai tampak sedih. Kasihan gadis itu. Apa yang bisa kulakukan untuk
selamatkan dirinya? Apakah dia masih hidup di dalam batu itu atau langsung
mati? Suto bicara lirih sambil mendekati batu itu dengan hati-hati.
*
* *
2
BATU besar itu diperhatikan
beberapa saat. Lalu, Pendekar Mabuk gunakan ilmu 'Lacak Jantung' untuk
mendengar detak jantung di sekitar tempat tersebut, ia berhenti dari segala
gerakan dan pejamkan mata sesaat, pusatkan kekuatan batin pada pendengarannya.
"Oh, kudengar ada suara
detak jantung yang samar-samar. Lemah sekali. Apakah ini detak jantung gadis
itu?" pikir Suto Sinting sambil membuka mata kembali.
"Agaknya ia masih hidup
walau di dalam batu. Tapi makin lama detak jantungnya makin lemah, berarti dia
akan mati kehabisan udara! Oh, kalau begitu aku harus segera hancurkan batu
ini!"
Suto tak berani gunakan jurus
penghancur seperti jurus 'Pukulan Gegana' atau jurus 'Pukulan Guntur Perkasa'
dan sejenisnya. Karena ia khawatir jurus itu selain dapat menghancurkan batu
besar tersebut juga dapat menghancurkan gadis di dalamnya.
Dengan penuh pertimbangan
akhirnya Suto Sinting cukup menghantamkan bumbung tuaknya yang mempunyai
kekuatan sakti tersendiri. Sebab bambu yang dipakai untuk tempat tuak itu bukan
sembarang bambu, tapi merupakan jelmaan dari tokoh sakti yang dalam silsilahnya
adalah eyang buyut guru yang bernama Wijayasura, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Pedang Guntur Biru"). Bumbung itu diputar tiga kali
dan dihantamkan ke batu besar yang kerasnya menyerupai besi itu.
Wut, wut, wut...! Blaaarr...!
Krraaak...!
Ledakan yang timbul akibat
hantaman bumbung tuak ke batu membuat batu itu menjadi retak tiga bagian. Tapi
belum pecah, dan wajah si gadis belum kelihatan. Ini menunjukkan bahwa
kekerasan batu itu memang menyerupai besi dan tidak dapat dihancurkan dengan
mudah. Suto Sinting terpaksa mengulangi tindakannya tadi.
Bumbung tuak diputar tiga kali
lalu dihantamkan ke batu tersebut. Blaaar...! Praaak...!
Kedua batu itu akhirnya pecah
menjadi beberapa bongkahan, dan tubuh si gadis tampak berdiri bersama pedang
menyala hijau yang masih di tangannya.
"Gila! Ternyata bagian
dalam kedua batu itu adalah batu lahar yang masih memancarkan nyala merah
membara?!" gumam Suto terheran-heran sambil pandangi asap tipis dan
bongkahan-bongkahan batu tersebut.
Dari luar memang kedua batu
itu tampak dingin-dingin saja. Tapi sebenarnya di sisi dalam batu memancarkan
hawa panas seperti lahar merah. Tentu saja keadaan tubuh si gadis mengalami
luka bakar sangat parah. Kulitnya yang mulus menjadi hitam kecoklatan dan
membengkak.
"Kalau gadis ini tidak mempunyai lapisan tenaga dalam cukup
tinggi, pasti ia sudah menjadi bubur atau setidaknya menjadi arang dan tak
bernyawa," kata Suto dalam hatinya. "Ternyata keadaan gadis ini hanya
mengalami luka bakar saja, rambut dan pakaiannya masih utuh. Berarti ia
mempunyai satu kekuatan yang dapat menahan hawa panas. Benar-benar sinting juga
ilmu gadis ini! Dibungkus lahar panas masih bisa bertahan. Tapi aku yakin, ia
tak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Jelas ia akan mati lumer jika sampai
terbungkus batu lahar selama seperempat hari."
Pendekar Mabuk segera
memeriksa denyut nadinya.
"Ooh... lemah sekali!
Terlambat sedikit aku bertindak, gadis ini tidak akan bernyawa lagi!"
gumam Suto Sinting bagai bicara pada diri sendiri. Kemudian ia segera membawa
gadis itu ke tempat yang teduh.
Mulut si gadis bertubuh sekal
dan tinggi itu terkatup rapat. Padahal Suto harus menuangkan tuak saktinya agar
tertelan oleh si gadis. Karena dengan menelan tuak tersebut, maka kekuatan si
gadis akan pulih kembali. Mau tak mau Suto harus memasukkan tuak dengan cara
meniupkan napas dari mulutnya yang sudah menampung tuak.
Mulut gadis itu beradu dengan
mulutnya dan pelan-pelan tuak semburkan ke dalam mulut gadis itu. Memang hanya
sedikit yang masuk ke tenggorokan si gadis, namun hal itu dilakukan oleh Suto
secara berulang-ulang, sampai tenggorokan si gadis diperkirakan cukup menampung
tuak dua-tiga tegukan.
Setelah itu, Suto segera
membiarkan si gadis tergeletak di rerumputan, ia berdiri agak jauh sambil
sesekali pandangi pecahan batu itu dengan penuh rasa kagum.
"Rogana cukup hebat.
Ilmunya tak boleh diremehkan. Tapi persoalan apa yang membuat Rogana membunuh
gurunya si gadis itu?!" pikir Suto Sinting dalam kebisuannya. Lalu,
matanya melirik ke arah si gadis. Luka bakar itu mulai mengalami perubahan
sedikit demi sedikit. Pendekar Mabuk merasa lega dan mulai bisa tersenyum walau
hanya tipis saja.
Semilir angin di keteduhan
mulai dapat dirasakan oleh si gadis. Luka bakar berubah warna sedikit demi
sedikit. Beberapa saat kemudian kemulusan kulit tubuh gadis itu pulih seperti
sediakala, ia pun sadar membuka matanya, tertegun sesaat, lalu segera bangkit
dengan wajah menegang penuh keheranan.
Pertama-tama yang dipandangi
kulit lengannya, ia sangat terheran-heran melihat lengannya mulus tanpa bekas
luka sedikit pun. Pahanya pun mulus tanpa cacat, lalu wajahnya diraba sendiri,
ternyata juga halus seperti semula.
"Rasa panas tiba-tiba
hilang. Badanku menjadi terasa segar. Apa yang terjadi pada diriku?! Apakah aku
sudah berada di alam kubur?" sang gadis membatin sambil pandang sana
pandang sini. Akhirnya pandangan matanya menemukan seorang pemuda berbadan
tinggi, tegap, dan gagah dengan wajah tampan yang menyejukkan hati.
"Oh...?! Siapa dia?
Malaikat atau dewa?!" pikirnya sambil berdiri pelan-pelan, seakan ia ragu
dengan sikapnya.
"Hai...," sapa
Pendekar Mabuk dengan senyum makin lebar.
Hampir saja gadis itu berlutut
dan menyembah Suto karena menyangka Suto adalah dewa. Tapi karena ia segera
ingat suasana tempat tersebut dan komposisi pepohonan, batu, dan sungai, maka
ia segera yakin bahwa ia masih berada di alam jagat raya dan berhadapan dengan
manusia muda yang punya wajah tampan menawan. Terlebih setelah ia melihat
bongkahan-bongkahan batu yang bagian sisi dalamnya masih tersisa bara api
sama-samar, gadis itu pun segera sadar bahwa dirinya telah lolos dari jurus
mautnya si manusia badak itu.
"Kaukah yang hancurkan batu 'pembungkus' dariku
tadi?" tanyanya dengan sikap tegas.
"Bukan," jawab Suto
Sinting merendah.
"Kebetulan saja aku tadi
sedang mencari kepompong. Kulihat ada kepompong besar tapi keras, lalu
kusentil-sentil dan kepompong itu pecah. Ternyata kepompong itu berisi seorang
gadis cantik yang nyaris mati terbakar. Maka gadis itu kubawa ke tempat teduh
ini biar tidak kepanasan."
Gadis itu diam dengan tegap
pandangi Suto. Ia tahu maksud bahasa merendah itu, bahwa ia telah diselamatkan
oleh pemuda tampan tersebut dari ancaman batu pembungkus kematian. Karenanya ia
segera berkata dengan suara seperti orang menggumam.
"Hebat sekali kau bisa
memecahkan batu itu. Sama saja kau telah menghancurkan jurus mautnya Rogana
yang dinamakan jurus 'Kepompong Mayat' itu.
Pendekar Mabuk berlagak
kerutkan dahi dan ajukan tanya bernada bingung. "Siapa Rogana ini?"
Gadis itu menjawab dengan
senyum tipis berkesan sinis, matanya memandang ke arah pohon yang menjadi
tempat persembunyian Suto Sinting tadi. Kata-katanya pun terdengar bernada
sinis.
"Kurasa kau sudah
melihatnya sendiri seperti apa Rogana itu."
"Apa maksudmu?"
sambil Pendekar Mabuk mendekat.
Setelah memasukkan pedang ke
sarungnya, gadis itu berkata lagi dengan sikap acuh tak acuh. Matanya
memandangi sungai dan pohon yang dipakai bersembunyi oleh Suto tadi.
"Kau tak perlu berlagak
bodoh. Kau telah mengikutiku dari seberang sungai tadi, lalu bersembunyi di
balik pohon itu saat aku bertarung melawan Rogana."
Pendekar Mabuk terkesip dan
membatin,
"Sialan! Rupanya dia tadi
mengetahui gerak-gerikku?"
"Aku tahu kau
mengikutiku, tapi aku yakin kau bukan Rogana, jadi tak perlu kuhiraukan,"
tambah si gadis. "Aku memang tidak melihat jelas wajahmu, hanya merasakan
ada yang mengikuti serta memperhatikan diriku. Selama kau tidak menyerangku aku
tidak lakukan apa pun terhadap dirimu."
Akhirnya pemuda tampan itu
cengar-cengir sendiri, merasa malu oleh kepura-puraannya. Tapi dalam hatinya
Suto merasa lebih kagum dan mengakui kepekaan indera si gadis yang termasuk
tinggi itu.
"Kau memang hebat,"
ujar Suto pada akhirnya. "Kuakui memang aku tadi mengikutimu karena aku
kagum dengan kelincahan gerakmu."
Si gadis tidak menampakkan
kesan bangga mendengar pujian tak langsung dari mulut Suto Sinting, ia
berekspresi biasa-biasa saja. Bahkan sekarang ia berani menatap Suto dalam
jarak dua langkah dengan sorot pandangan mata berkesan cuek.
"Boleh aku minta
minummu?!"
"O, silakan...!"
Pendekar Mabuk menyerahkan bumbung tuaknya. Gadis itu menerimanya dan menenggak
tuak itu dengan tanpa basa-basi lagi. Glek, glek, glek, glek, glek...!
"Busyeeett...! Banyak amat?!" gerutu Suto dalam hati dengan mata
sedikit melebar. Baru sekarang ia melihat seorang gadis mampu menenggak tuak
cukup banyak seperti meminum air putih saja.
"Cukup enak tuakmu!"
ujarnya sambil menyerahkan bumbung tuak kembali, ia masih cuek dipandangi Suto
dengan pandangan mata terheran-heran. Bahkan dengan lagak tengil ia
menepuk-nepuk pundak Suto sambil berkata konyol.
"Teruskan bakatmu. Kau
memang berbakat untuk menjadi penjual tuak."
"Kau...?"
"Banyak penjual tuak yang
kukenal, tapi mereka tidak bisa mencari tuak senikmat tuakmu itu!" lalu ia
melangkah mendekati pohon dan menyandarkan salah satu tangannya dengan tangan
yang satunya lagi bertolak pinggang. Matanya memandangi seberang sungai,
menyusuri tanggul yang ditumbuhi pohon-pohon bambu itu.
"Tengil juga gadis
ini," pikir Suto. "Sudah tahu diselamatkan dari maut, juga tak ada
ucapan terima kasihnya. Sudah diberi minum, masih saja tak mau berterima kasih
padaku. Benar-benar mengesankan kekonyolannya."
Tiba-tiba gadis itu berpaling
memandang Suto. Pandangan mata mereka saling bertemu dan Suto menggeragap salah
tingkah.
"Mengapa kau memandangiku
terus?"
"Hmmm, hmm... aku kagum.
Eh, bukan... aku heran."
"Apa yang mengherankan dari
diriku?"
"Hmmm... hmmm... tak ada.
Aku tak jadi heran," sambil Suto cengar-cengir semakin salah tingkah.
"Kalau begitu aku yang
heran padamu."
"Oh, aku mengherankan
dirimu? Kenapa kau heran padaku?"
"Karena kau masih tetap
ada di sini. Padahal kau tidak punya keperluan apa-apa denganku."
"Songong sekali!"
gerutu Suto dalam hati, tapi mulutnya lontarkan kata yang berbeda.
"Aku suka dengan
kerahamanmu. Aku jadi ingin tahu siapa namamu sebenarnya?"
Gadis itu berbalik, hingga
berhadapan total dengan Pendekar Mabuk. Matanya menatap penuh keberanian, tanpa
rasa malu, kikuk ataupun sungkan.
"Rupanya kau orang baru
di daerah ini, sehingga tak mengenali siapa diriku."
"Hmmm, hmmm... Iya,
memang aku orang baru. Aku jarang berkeliaran di daerah tenggara ini,"
jawab Suto sambil menahan malu dianggap berpengetahuan cekak.
"Kalau begitu agaknya
perlu kau catat dalam otakmu, bahwa aku inilah yang dikenal dengan nama Perawan
Sinting."
"Hahh...?!" Suto
terkejut dengan wajah menegang.
Gadis itu justru berkerut dahi
sambilmelangkah lebih dekat dan tangan kanannya masih bertolak pinggang.
"Kenapa kau
tekejut?"
"Perawan Sinting?!"
tandas Suto lagi, seakan tak yakin dengan pendengarannya.
"Iya. Kenapa kau menjadi
tegang? Apakah ada pihak lain yang mengupahmu untuk membunuh Perawan Sinting?
Jika benar begitu, bunuhlah aku sekarang juga!"
"Oh, hmm... ehh... bukan
begitu maksudku. Eeh...."
"Lalu apa maksudmu
terkejut dan tegang begitu mendengar namaku?"
"Karena...
karena...." Suto tersenyum kaku. "Karena namamu punya kemiripan
dengan namaku."
"O, ya...? Apakah namamu
Perawan Edan?"
"O, bukan. Bukan itu.
Hmmm...."
"Hei, tenang saja! Aku
tidak berbuat jahat padamu. Jangan gugup begitu!" sambil gadis itu
menepuk-nepuk pundak Suto. Sok tua!
"Maksudku... kita punya
nama yang kebetulan saja punya kesamaan. Jika namamu Perawan Sinting, maka
perlu kau catat juga dalam otakmu, bahwa akulah murid si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang yang bernama Suto Sinting."
"Suto Sinting...?!"
gadis itu ganti terkejut dan matanya melebar.
"Kenapa terkejut? Tenang
saja!" balas Suto sengaja bikin dongkol si gadis.
"Hmmmh...!" gadis
itu mencibir.
"Candamu tak lucu sama
sekali. Kau hanya
mengada-ada saja dengan
mengarang nama menyerupai namaku."
"Ooh, ternyata
pengetahuanmu cekak di rimba persilatan ini," kecam Suto sambil sedikit
manggut-manggut. Kini ia berlagak sombong untuk membalas keangkuhan gadis itu
tadi. Ia bahkan berdiri lebih tegak dan digagah-gagahkan karena si Perawan
Sinting sedang memperhatikan dengan langkah mengelilinginya.
"Tak mungkin. Namamu
pasti bukan Suto Sinting."
"Sumpah direndam dalam
duit, berani!" Suto agak ngotot. "Coba tanyakan kepada para tokoh
silat di kawasan selatan, utara, barat, dan timur. Mereka mengenaliku dengan
nama Suto Sinting!"
"Nama yang sangat
buruk," gumam si Perawan Sinting dengan sinis. "Kalau benar itu
namamu, kusarankan ganti saja nama itu. Jangan mengemban namaku!"
"Sejak kecil aku sudah
dipanggil dengan nama Suto. Dan begitu remaja guruku memanggilku dengan nama
Suto Sinting!"
"Ganti sajalah! Suto
Gendeng lebih bagus."
"Tak enak dengan Mario
Gendeng temanku, nanti dikira meniru namanya!"
"Atau ganti saja dengan
nama Suto Slebor! Itu lebih cocok dengan penampilanmu."
"Ah, kurang keren!"
"Hmmm... o, ya, aku punya
nama yang bagus untukmu. Bagaimana kalau namamu diganti Suto PA saja?!"
"Apa itu PA?!"
"Pemuda Amburadul!"
"Ah, sudah Sinting ya
Sinting sajalah! Tak perlu diganti PA atau yang lainnya!"
"Tapi nama Sinting itu
sudah jadi ciri-ciriku! Nanti dikira kita bersaudara!"
"Biar saja! Bukankah
lebih baik kita bersaudara daripada bermusuhan?!"
"Aku tak mau!" tegas
Perawan Sinting.
"Aku keberatan kalau
disangka saudaramu."
"Kenapa keberatan?"
"Aku tak suka punya
saudara pemuda jalang begitu."
"Mataku tidak
jalang!" sanggah Suto.
"Kalau tidak jalang
kenapa sejak tadi matamu melirik belahan dadaku?!"
Seer...! Darah Suto bagaikan
naik semua ke wajah, membuat wajahnya menjadi semburat merah menahan malu. Tapi
dengan cepat ia dapatkan alasan untuk menutupi rasa malunya itu.
"Maaf, waktu kecil aku
pernah sakit panas."
"Apa hubungannya sakit
panas dengan lirikan mata ke dadaku?"
"Mataku sering jereng
sendiri, tapi kadang sehat kembali. Jadi kalau kau melihatku melirik ke dadamu,
itu lantaran mataku tiba-tiba jereng lagi."
"Ooo... jadi matamu
sering menjadi jereng karena sakit panas masa kecil itu?"
"Ya, karena itulah mohon
kau memakluminya."
"Sayang sekali,"
gumam Perawan Sinting. "Padahal aku berharap lirikan matamu adalah lirikan
karena rasa tertarik, bukan karena jereng."
"Hah...?! Oh, tapi anu...
begini...."
Perawan Sinting tiba-tiba
menjejak pinggang Suto hingga tubuh Pendekar Mabuk terpental dan berguling satu
kali. Suto hampir saja marah, namun begitu melihat gadis itu lakukan gerakan
cepat dengan memutar tubuhnya, Suto Sinting jadi tertegun.
Matanya melebar kaget begitu
Perawan Sinting hentikan gerakan dalam keadaan berlutut satu kaki dan di kedua
tangannya telah terselip empat pisau terbang; dua pisau terselip di antara
jemari tangan kiri, dua lagi di jemari tangan kanan.
"Edan betul dia! Rupanya
tendangannya tadi bermaksud menyelamatkan nyawaku dari
empat pisau maut? Hmmm...
siapa pemilik keempat, pisau terbang itu?" gumam Suto
Sinting dalam hatinya.
"Sial malu juga aku jadinya. Kali ini aku benar-benar lengah."
"Berlindunglah!"
Perawan Sinting berseru tanpa memandang Pendekar Mabuk, tapi seruan itu jelas
ditujukan kepada sang pendekar tampan. Sambil berseru begitu, kedua tangan
Perawan Sinting segera berkelebat ke depan lemparkan keempat pisau tadi ke arah
kanannya. Suto Sinting sempat mengecam dalam batinnya.
"Tolol! Kenapa
pisau-pisau itu tidak dilemparkan ke arah datangnya tadi? Mengapa justru
berbeda arah?!"
Weees...!
"Aaaahk...!""
"Oouwhk...!"
Pendekar Mabuk terkejut.
"Oh, ternyata pisau-pisau itu mengenai seseorang di balik semak sebelah
kanan itu?!"
Kejap berikutnya, Perawan
Sinting tegak kembali dan dua orang berpakaian serba biru tua keluar dari
semak-semak itu dengan sempoyongan. Dua lelaki berbadan gemuk itu ingin
lemparkan pisaunya lagi ke arah Perawan Sinting, tapi ia segera tumbang ke
depan karena bagian dada mereka telah tertancap pisau lemparan si Perawan
Sinting. Masing-masing mendapat ganjaran dua pisau yang menancap di sekitar
dada dan perut mereka.
Dengan perhatian terpusat pada
orang yang terkena lemparan pisau, Pendekar Mabuk bergegas hampiri kedua orang
tersebut. Orang itu segera tak bernyawa karena pisau lemparan Perawan Sinting
tadi.
Namun baru saja Suto melintas
di depan Perawan Sinting dalam keadaan perhatian masih terpusat ke orang
tersebut, gadis itu segera menendang punggung Suto dengan satu lompatan cepat.
Buuuhk...! Brrruk...!
Suto Sinting jatuh tersungkur
sangat menyedihkan, ia hampir saja berang dan membalas tendangan kepada Perawan
Sinting.
Namun niatnya itu tertunda
lagi karena Perawan Sinting berguling satu kali dan bangkit dengan satu kaki
berlutut, sementara di kedua tangannya telah terjepit dua keeping logam pipih
bergerigi sebagai senjata rahasia seseorang. Kedua logam itu terjepit juga di
antara jari-jari tangan kanan-kirinya. "Gawat! Kalau saja aku tidak
tersungkur mungkin kedua senjata rahasia itu mengenai tubuhku!" pikir Suto
Sinting. Lalu ia berseru dalam keadaan setengah merangkak.
"Lemparkan kembali ke
arah semula!"
Tapi Perawan Sinting diam
saja. Bahkan gadis itu tak bergerak sedikit pun sejak bangkit dengan berlutut
satu kaki tadi.
Sedangkan mata Pendekar Mabuk
segera menangkap dua gerakan yang melintas di sela-sela semak dan pepohonan.
Maka serta-merta Pendekar Mabuk bangkit dan lepaskan pukulan bersinar biru
besar dari telapak tangan kirinya. Claaap...! Jurus 'Tangan Guntur'-nya itu
sengaja diarahkan ke sebatang pohon. Jegaaar...! Pohon itu pun segera pecah dan
tumbang. Brrruk...!
"Aaaahk...!"
terdengar suara orang berseru. Suto yakin rencananya berhasil; orang itu pasti
tertimpa pohon tersebut.
Zlaaap...! Pendekar Mabuk
segera menerabas ke semak dan hampiri pohon yang tumbang.
"Ooh...?!" keluh
Suto sambil palingkan wajah sebentar karena ngeri.
Ada dua orang yang tertimpa
pohon tersebut. Satu orang tewas karena dadanya terhujam potongan dahan, satu
orang lagi masih hidup, tapi kakinya terhimpit batang pohon yang tumbang
sehingga tak bisa bergerak. Kedua orang itu juga mengenakan pakaian serba biru,
seperti dua orang yang terkena lemparan pisau Perawan Sinting tadi.
Dengan sedikit susah payah,
Suto Sinting akhirnya berhasil menarik orang yang kakinya tergencet pohon itu.
Orang tersebut mengerang kesakitan. Suto tak peduli dan segera menyeretnya ke
tempat Perawan Sinting berada.
Di sana, Suto melemparkan
orang yang kedua kakinya menjadi remuk itu ke depan Perawan Sinting. Keadaan
gadis itu masih tetap berlutut dengan satu kaki dan menjepit dua keping senjata
rahasia bergerigi.
"Perawan
Sinting...?!" tegur Suto mulai curiga. Lalu ia mendekati gadis itu, ikut
berlutut di depan si gadis yang memandang lurus tanpa berkedip.
"Astaga...?!"
Pendekar Mabuk terbelalak kaget. Ternyata ada sekeping logam bergerigi yang
menancap tepat di pertengahan belahan dada si Perawan Sinting. Dada itu
melelehkan darah dan senjata tersebut nyaris terbenam seluruhnya. Kulit di
sekitar dada menjadi memar membiru pertanda logam itu beracun ganas.
*
* *
3
PERAWAN Sinting ternyata masih
hidup, hanya tak berani bergerak karena takut keluarkan darah dari lukanya
terlalu banyak, ia sempat ucapkan kata pelan tapi bernada datar pada saat Suto
Sinting berada di depannya pandangi senjata rahasia yang menancap di dada gadis
itu.
"Cabut... satu...
sentakan...!"
Pendekar Mabuk paham maksud
ucapan itu, ia harus mencabut senjata rahasia yang menancap di dada. Tapi
karena senjata itu terlalu terbenam, sehingga sulit untuk dipegang dan dicabut
dalam satu sentakan.
Apalagi tangan Suto menjadi
gemetar karena senjata itu tepat berada di antara dua bukit sekal di dada
Perawan Sinting itu, mau tak mau ia harus menyingkapkan gumpalan sekal itu
dengan tangan kirinya, dan mencabut logam bergerigi itu dengan tangan kanannya.
Gumpalan sekal itulah yang
membuat Suto gemetar dan berdebar-debar, karena mau tidak mau ia harus
menyingkapkan rompi si gadis dan gumpalan sekal yang montok itu terlihat jelas
di depan matanya.
Hmmmmrrm...! Suto Sinting
menggeram dalam hati, sehingga berulang kali gagal mencabut senjata rahasia
itu.
"Pegang senjata itu,
jangan pegang senjataku!" ucap si gadis dengan gigi menggegat pertanda
menahan kemarahan.
"Maaf, licin...! Banyak
darah dan...."
"Jangan banyak
omong!" gertaknya tetap dengan suara menggeram dan bernada datar.
Sreeb...!
"Ouhk...!" si gadis
terpekik lalu tumbang ke belakang dengan napas menghempas.
Luka mengucurkan darah segar
setelah senjata itu tercabut oleh Suto. Perawan Sinting menggeliat kesakitan.
Wajahnya menyeringai dengan menggigit bibir, membuat wajah itu bagai sedang
menikmati sentuhan mesra. Suto semakin berdebar-debar melihat ekspresi wajah si
cantik itu.
"Minumlah tuak ini!
Cepat, minum biar lukamu tak banyak keluarkan darah. Racun itu mulai mengganas
dalam tubuhmu!"
Berkat kesaktian tuak Suto
yang mujarab sekali untuk penyembuhan itu, luka di dada Perawan Sinting menjadi
kering dan cepat merapat, sampai akhirnya dada itu menjadi mulus kembali tanpa
luka seujung jarum pun. Bahkan darah yang berceceran di sekitarnya bagai
diserap masuk ke dalam pori-pori dan menjadi bersih tanpa bekas sedikit pun.
"Ternyata tuakmu sungguh,
ajaib sekali, ya?!" ujar Perawan Sinting.
"Lupakan dulu soal itu.
Lihat, aku berhasil menangkap salah satu dari pelempar senjata rahasia
ini!" sambil Suto Sinting menunjukkan si lelaki yang kakinya hancur
tertimpa pohon itu. Lelaki tersebut dalam keadaan tergeletak di tanah tanpa
gerakan.
Perawan Sinting memperhatikan
dengan cermat, lalu berlutut mendekati lelaki berkumis agak tebal yang usianya
sekitar empat puluh tahun itu.
"Kurasa dia pingsan
karena tak kuat menahan rasa sakit di kakinya," ujar Suto Sinting yang
segera menenggak tuaknya sendiri.
"Apanya yang
pingsan?" ucap Perawan Sinting dengan nada mengecam kata-kata Suto tadi.
Mendengar suara bernada
begitu, Suto Sinting segera hentikan minumnya dan kerutkan dahi, ia memandang
lelaki berpakaian biru yang sedang dipegang lengannya oleh Perawan Sinting.
Rupanya gadis itu sedang memeriksa denyut nadi di bagian leher.
"Dia tak bernyawa
lagi."
"Kok bisa...?!" Suto
bergegas mendekati dan berlutut, lalu memeriksa denyut nadi orang tersebut.
Ternyata orang itu sudah tidak mempunyai denyut nadi lagi dan tak ada gerakan
dada yang menandakan ia bernapas.
"Wah, kacau...!"
keluh Suto Sinting. "Susah payah kubawa kemari akhirnya mati juga!"
"Dia bukan mati karena
luka, tapi mati karena bunuh diri."
"Bunuh diri?! Dari mana
kau tahu?!"
Suto menatap gadis itu dengan
berkerut dahi semakin tajam.
"Lihat tangan kanannya
ini!"
Pendekar Mabuk segera pandangi
tangan kanan orang tersebut. Ternyata tangan itu bukan sekadar jatuh ke
samping, melainkan menusukkan sesuatu ke dalam pinggangnya. Suto segera menarik
tangan itu, dan sebatang jarum ikut tercabut dari dalam pinggang orang
tersebut. Jarum itu segera dipandangi oleh Pendekar Mabuk dengan heran.
"Jarum beracun
ganas," ujar Perawan Sinting yang badannya menjadi lebih segar setelah meminum
tuaknya Suto tadi.
"Kau mengenali jarum
ini?!" Tanya Pendekar Mabuk.
"Namanya jarum 'Penangkal
Siksa'. Jarum itu mempunyai racun yang sangat tinggi dan mematikan dalam tiga
helaan napas. Jarum itu hanya digunakan untuk bunuh diri agar terhindar dari
siksaan lawan. Karenanya, Jarum itu dinamakan jarum 'Penangkal Siksa'. Orang
ini merasa lebih baik mati daripada kita siksa untuk membocorkan
rahasianya."
Setelah diam sebentar
memandangi jarum itu, Pendekar Mabuk segera pandangi Perawan Sinting yang telah
berdiri dan menghembuskan napas panjang.
"Rupanya kau mengenal
siapa mereka, sehingga kau tahu nama dan kegunaan jarum ini?!"
"Kira-kira begitu,"
jawab Perawan Sinting sambil memandang sekeliling tempat itu.
Suaranya terdengar kembali
setelah ia berada di bawah pohon dan menyandarkan tangan kirinya.
"Mereka pasti orang-orang
Istana Tengkorak."
"Aku baru mendengar nama
tempat itu. Lalu apa hubungannya dengan penyerangan ini?!"
"Entah. Yang jelas, aku
tidak punya urusan dengan Pangeran Cabul."
"Siapa Pangeran Cabul
itu?"
"Penguasa Istana
Tengkorak," jawab Perawan Sinting dengan tegas. Sambungnya lagi,
"Karena aku tak merasa punya urusan dengan Pangeran Cabul, berarti maut
yang datang tadi ditujukan untukmu!"
"Untukku...?! Oh, aku
juga tak kenal dengan Pangeran Cabul!" bantah Suto Sinting. "Bahkan
mendengar namanya saja baru sekarang."
Perawan Sinting menatap dengan
dahi sedikit berkerut. Lalu, hati Perawan Sinting mempertimbangkan pengakuan
Suto tadi.
"Pertanyaan-pertanyaannya
menunjukkan bahwa ia memang asing dengan nama Pangeran Cabul. Aku pun tak
pernah melihat tampangnya berkeliaran di daerah ini. Tapi mengapa orang-orang
istana Tengkorak itu menyerang dengan senjata- senjata mematikan?! Siapa yang
diserang sebenarnya? Kalau kulihat arah pisau dan senjata rahasia itu,
sepertinya sengaja diarahkan kepadanya, bukan kepadaku."
Pendekar Mabuk segera ajukan
tanya, "Apakah kau tahu di mana letak istana Tengkorak?"
"Aku tahu, tapi aku tak
mau antarkan kau ke sana!" jawab Perawan Sinting.
"Cukup kau tunjukkan arah
dan ciri-ciri tempatnya. Aku akan temui Pangeran Cabul sendiri dan meminta
penjelasan terhadap penyerangan orang-orangnya ini!"
Perawan Sinting sunggingkan
senyum tipis. "Kau cari mampus jika ke sana!"
"Kalau dia tidak
memusuhiku, tentunya aku tidak akan mati di tangan Pangeran Cabul!"
"Apakah kau sudah siap
melayani Pangeran Cabul?"
Pendekar Mabuk heran dan
kerutkan dahi lagi.
"O, jadi Pangeran Cabul
itu seorang perempuan?"
"Seorang lelaki!"
jawab Perawan Sinting cepat. "Dia adalah seorang lelaki yang mempunyai
gairah bercinta dengan seorang lelaki juga."
"Hahh...?! Maksudmu...
dia mempunyai kelainan bercinta?!"
"Tepat! Karenanya
kukatakan tadi, aku tidak punya urusan dengan Pangeran Cabul, sebab Pangeran
Cabul tidak bergairah terhadap seorang perempuan. Bahkan ia selalu bersikap
baik terhadap kaum wanita."
Pendekar Mabuk jadi terbengong
melompong. Beberapa saat setelah ia tertegun, Perawan Sinting segera
perdengarkan suaranya yang sedikit serak bagai orang banyak berteriak itu.
"Kita berpisah sampai di
sini. Aku harus mengejar Rogana!"
"Perawan Sinting, tunggu
dulu!"
Gadis itu hentikan langkahnya,
pandangi Suto yang mendekat dengan langkah cepat.
"Kau masih ingin memburu
Rogana?!"
"Aku harus membalas
dendam atas kematian guruku satu purnama yang lalu."
"Kurasa...."
"Aku tahu," sahut
Perawan Sinting. "Aku tahu kalau Rogana itu berilmu tinggi. Jika tidak
berilmu tinggi, tak mungkin ia bias membunuh guruku. Dan aku juga tahu, tidak
mudah menemukan tempat kediaman si manusia badak itu. Tapi semua itu tak
membuatku harus hentikan pembalasan. Dia berhutang nyawa padaku dan harus
membayarnya dengan nyawa."
"Kau bisa celaka jika
masih mengejarnya, Perawan Sinting. Kau bisa mati terbakar dalam batu berapi
seperti tadi!"
"Mati itu biasa,"
ujarnya dengan kalem.
"Semua orang pasti mati.
Mengapa harus ditakuti? Mengapa harus dihindari? Mati sekarang dengan besok,
sama saja."
"Tapi setidaknya jika kau
mati besok, kau masih bisa mengukir sejarah perjalanan hidupmu."
"Perjalanan hidup itu
sama saja. Besok, sekarang, lusa, semuanya sama. Dalam perjalanan hidup hanya
ada dua hal yang saling berpasangan: baik-buruk, sehat-sakit, sedih-gembira,
siang-malam... hanya itu yang ada dalam sejarah."
Suto terbungkam bagai mendapat
petuah dari orangtua. Perawan Sinting sunggingkan senyum pendek dan tipis, ia
menepuk-nepuk bahu Suto.
Pluk, pluk, pluk...!
"Laki-laki tak boleh
takut mati!"
Suto memandang dengan hati
menggerutu. Perawan Sinting makin perlebar senyum.
"Mati itu sehat!"
"Mati kok sehat?!"
gerutu Suto.
"Buktinya, pernahkah kau
dengar ada orang mati pergi ke tabib karena kena penyakit? Pernahkah kau dengar
ada orang mati mengeluh pinggangnya pegal atau kepalanya pusing? Nah, berarti
mati itu sehat!"
"Untuk apa sehat kalau
tak punya nyawa!"
"Untuk dikubur!"
jawab Perawan Sinting seenaknya.
Setelah menjawab begitu,
Perawan Sinting segera melesat tinggalkan tempat. Gerakannya begitu cepat dan
sukar diikuti oleh pandangan mata. Tetapi Pendekar Mabuk merasa cemas dan tak
rela jika gadis secantik itu harus mati di tangan manusia badak yang
menyeramkan. Di samping itu ia belum mendapat penjelasan tentang di mana letak
istana Tengkorak. Maka dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman', gadis itu
segera disusulnya.
"Setidaknya aku harus
mendampinginya agar tak mati di tangan si manusia badak itu!" pikir Suto
sambil melesat melebihi kilat.
Tanpa disadari hati Suto
merasa senang dengan lagak dan gaya si Perawan Sinting itu. Terlebih setelah ia
membayangkan saat menyentuh gumpalan hangat di dada Perawan Sinting,
debar-debar keindahan membakar semangat Suto untuk tetap dekat dengan gadis
itu.
Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!
Pendekar Mabuk sempat
kehilangan arah sejenak, ia tak melihat gerakan Perawan Sinting lagi. Sementara
hatinya sempat ragu dan tak mengerti harus melangkah ke mana.
Wuuuk...! Wwwes...!
Pendekar Mabuk naik ke atas
pohon. Dari ketinggian itu ia berharap dapat melihat lebih leluasa lagi dan
bisa menemukan gerakan Perawan Sinting.
Namun harapannya itu tidak
terkabul. Justru yang dilihatnya adalah sesuatu yang sedang bergerak menuruni
sebuah bukit. Sesuatu yang dilihatnya itu adalah iring-iringan pengusung tandu
yang dikawal oleh delapan orang dan dipukul oleh empat orang.
"Tandu dari mana itu?
Siapa yang ada di dalam tandu tersebut? Apakah si Pangeran Cabul?!" ujar
Suto bicara sendiri.
"Sebaiknya kuikuti
mereka, siapa tahu memang orang istana Tengkorak. Sebab kebanyakan mereka
berpakaian biru muda."
Zlaaap, zlaaap...!
Dalam beberapa kejap saja Suto
Sinting sudah tiba di jalanan yang akan dilalui iring-iringan pengusung tandu
itu. Ia masih bersembunyi di atas pohon dan memperhatikan mereka dengan teliti.
Hati menjadi sangsi, karena bentuk pakaian para pengiring tandu itu tidak mirip
pakaian keempat orang Istana Tengkorak yang tewas di tangan Perawan Sinting
tadi.
"Sepertinya mereka bukan
orang Istana Tengkorak. Tapi barangkali mereka mengetahui di mana arah Istana
Tengkorak itu. Aku sangat penasaran dan tak bisa tenang jika belum mendapat
penjelasan siapa sebenarnya yang ingin dibunuh oleh orang-orang Istana
Tengkorak itu," ujar Suto membatin.
Namun sebelum Suto Sinting
bergerak menghampiri iring-iringan tandu berlapis kain merah rapat itu,
tiba-tiba mereka hentikan langkah setelah kemunculan seorang kakek berjubah
abu-abu. Kakek berambut putih rata yang memegang tongkat kayu berbentuk seperti
tulang itu sengaja menghadang langkah para pengiring tandu, ia melompat dari
balik semak seberang Suto.
Delapan orang pengawai tandu
segera bergerak memagari tandu tersebut. Senjata mereka pun segera dicabut dan
siap tempur, kecuali dua orang lelaki muda berjubah hijau dan kuning.
Dua lelaki yang rambutnya
digulung dan diikat dengan kain pita merah itu agaknya mempunyai jabatan tinggi
di antara enam orang pengawal tersebut. Mereka berdua bersenjata pedang dengan
sarung pedang cukup bagus, berkesan mewah. Dengan gerakan isyarat, si jubah
merah memerintahkan para pengawal untuk mengepung kakek kurus berjubah
berjanggut pendek dan berkumis lebat warna putih itu.
Sang kakek yang berusia
sekitar tujuh puluh tahun tampak tenang-tenang saja. Bahkan sesekali
kelihatannya nyengir sambil pandangi para pengepung.
"Siapa kakek berjubah
abu-abu itu?" tanya Suto dalam hatinya, ia segera pindah pohon agar bisa
melihat lebih dekat lagi. Terdengar suara si jubah kuning berseru kepada sang
kakek.
"Lagi-lagi kau ingin
mengacaukan perjalanan kami, Tulang Geledek!"
"Semasa kalian masih
menjadi pecundang si buruk muka itu, aku tetap akan menghalangi langkah
kalian!" kata sang kakek yang ternyata bernama Tulang Geledek itu.
"Tapi kami tidak ada
urusan denganmu, Tulang Geledek?!" sahut si jubah hijau.
"Apakah kau tak menyesal
kalau sampai aku tega membunuhmu?!"
"Heh, heh, heh...! Kau
tak perlu menggertakku, Jurik Rawa! Apakah kau piker jika kau sudah bersama
Raden Lontar maka aku akan takut menghadapi gertakanmu? Hah...! Sepuluh Raden
Lontar dan sepuluh Jurik Rawa tidak akan membuatku mundur, terutama jika di
belakangku ada tembok besar! Heh, heh, heh...!"
"Bicaramu sengaja
memancing amarahku, Tulang Geledek!" sentak si jubah kuning yang ternyata
bernama Raden Lontar itu. Sedangkan si jubah hijau yang bernama Jurik Rawa itu
segera maju dua langkah dan mencabut pedangnya. Sreet...!
"Tak perlu melibatkah
sahabatku; Raden Lontar! Cukup aku seorang yang akan melawanmu, Tulang Geledek!
Bersiaplah menghadapi ajalmu yang sudah ada di ujung pedangku ini!"
Tulang Geledek justru
terkekeh-kekeh, meremehkan ancaman si Jurik Rawa yang berbadan tegap dan kekar
walau tak seberapa tinggi itu.
Suto Sinting membatin,
"Apa persoalan mereka sebenarnya?!"
*
* *
4
JURIK Rawa lepaskan serangan
pertama, menerjang Tulang Geledek dengan pedang berkelebat dari samping kanan
ke samping kiri. Wees...! Tulang Geledek hanya lompat mundur sedikit. Jleeg...!
Pedang tidak kenai sasaran apa-apa. Tapi Tulang Geledek segera kibaskan
tongkatnya dalam gerakan yang tak bisa terlihat oleh lawannya. Wuut...!
Lalu tongkat disodokkan ke
depan. Suut...!
Buuhk...!
"Eehk...!" Jurik
Rawa mendelik, ulu hatinya tersodok tongkat Tulang Geledek.
Langsung mulutnya ternganga
dan semburkan darah segar.. Bruus...!
Melihat tubuh Jurik Rawa
terbungkuk, Tulang Geledek segera hantamkan tongkatnya ke tengkuk kepala lawan.
Wuuut...! Deeb...!
Tongkat berhenti di atas
tengkuk kepala Jurik Rawa, hanya berjarak satu ruas kelingking saja dari
tengkuk itu.
"Kau sudah mati, Jurik
Rawa!" ujar si kakek berjubah abu-abu. "Tapi aku masih beri
kesempatan padamu untuk sadar akan kekeliruan langkahmu! Kembalikan gadis dalam
tandu ke tempatnya, lalu nikmati sisa hidupmu dengan damai."
Tulang Geledek angkat
tongkatnya kembali, ia bergerak mundur dan tegak. Kalau saja Tulang Geledek mau
hantamkan tongkat itu ke tengkuk kepala Jurik Rawa, jelas pemuda bertubuh kekar
itu akan tewas.
Setidaknya gegar otak. Hal itu
disadari betul oleh para pengepung dan Raden Lontar sendiri. Tapi agaknya
Tulang Geledek punya kebijakan tersendiri dengan memberikan kesempatan kepada
Jurik Rawa untuk mengubah sikapnya.
Tetapi bagi Jurik Rawa,
kebijakan itu adalah kesempatan emas untuk melumpuhkan lawannya, ia tak pernah
membatalkan apa yang sudah dikerjakan. Untuk mengembalikan gadis dalam tenda,
adalah hal yang tabu bagi Jurik Rawa.
Maka ketika Tulang Geledek
ingin bicara kepada Raden Lontar, tahu-tahu Jurik Rawa berkelebat dari samping
dan menyabetkan pedangnya dengan cepat. Wees...!
Traak...! Pedang itu berhasil
ditangkis oleh Tulang Geledek. Habis menangkis, tongkat disentakkan naik.
Beet...! Prrok...!
"Aaahhk ..!" Dagu
Jurik Rawa remuk seketika. Darah mengucur dari mulut Jurik Rawa.
"Rupanya kau tak mau
diberi kesempatan untuk hidup lebih layak lagi, Jurik Rawa! Kalau begitu,
bersiaplah kukirim ke neraka dan bergabunglah dengan orang-orang sesat di
sana!"
Tulang Geledek bergerak
memutar dengan cepat sekali hingga tak kelihatan seperti memutar. Wuuut,
kraakk...!
Tongkatnya menghantam dada
Jurik Rawa. Dada itu remuk, Jurik Rawa ambruk.
"Gila! Dia seperti tidak
bergerak, tapi tahu-tahu Jurik Rawa roboh dan tak bernyawa lagi?!" gumam
batin sang Pendekar Mabuk. "Untung aku sejak tadi tak berkedip sehingga
sempat melihat kecepatan putar tubuh si tua Tulang Geledek itu. Hanya seperti
garis! Benar-benar hanya seperti garis yang bergerak melingkar. Ooh... sungguh
hebat kecepatan jurus itu!"
Melihat Jurik Rawa tumbang
tanpa nyawa lagi, Raden Lontar tampak menggeram penuh murka. Namun ia tidak mau
langsung menyerang Tulang Geledek, ia pergunakan wewenangnya dengan satu kali
ucap saja.
"Serang...!"
Maka para pengepung yang
sebetulnya sudah ciut nyali itu terpaksa maju serempak menghujamkan senjatanya
ke arah Tulang Geledek.
"Heaaaatt...!!"
Tulang Geledek rendahkan kaki
dan memutar tongkatnya di atas kepala satu kali. Wuuut...! Maka tenaga dalamnya
yang tersalur melalui tongkat itu menyebar ke berbagai penjuru dan membuat para
pengepung itu terpental tunggang langgang.
Brruss...! Brruk...!
Guzraak...! Prrok...!
"Aaaaahhh...!"
Mereka memekik serempak dan
terluka serempak. Tak satu pun ada yang masih sanggup berdiri tegak. Bahkan
yang sempoyongan atau terpelanting juga tak ada.
Semuanya terlempar ke belakang
dan menemukan nasibnya sendiri-sendiri. Ada yang kepalanya membentur batu, ada
yang punggungnya menabrak pohon, ada yang jatuh dengan leher tertekuk dan
akhirnya patah leher, ada pula yang kepalanya terjepit di sela dua bongkahan
batu.
Sementara itu, Raden Lontar
yang juga ikut jatuh terduduk itu hanya menderita sakit
pada tulang tunggirnya. Ia
masih bisa cepat berdiri dan mencabut pedangnya dengan wajah semakin berang.
Sementara empat pengusung tandu mundur ke bawah pohon besar dengan meninggalkan
tandunya dalam keadaan masih tertutup. Mereka berempat saling ketakutan dan
siap-siap melarikan diri jika Raden Lontar ternyata juga kalah melawan Tulang Geledek.
"Tua-tua masih lincah
juga si Tulang Geledek itu," gumam Suto dalam hati. Ia menyimpan kekaguman
terhadap kecepatan gerak si Tulang Geledek itu.
"Sekarang kau berhadapan
denganku, Tulang Geledek!"
"Boleh saja," jawab
Tulang Geledek dengan kalem, sambil mengusap-usap janggutnya yang pendek itu.
"Mau bertarung sampai
mati, atau sampai sekarat saja, atau cuma lecet-lecet saja?" tantang
Tulang Geledek dengan lagak dipaksakan agar kelihatan sombong. Tapi Pendekar
Mabuk yakin, kakek beralis tebal putih itu sebenarnya bukan orang yang sombong.
Kesombongan itu dilakukan untuk memancing kemarahan Raden Lontar agar lebih
besar lagi.
"Seseorang yang mempunyai
kemarahan sangat besar dan berkobar-kobar biasanya akan mengalami beberapa
kelemahan, termasuk kelemahan tenaga dan kelemahan kewaspadaannya," pikir
Pendekar Mabuk sambil manggut-manggut, mengakui kecerdasan otak si tua Tulang
Geledek itu.
"Kau boleh jumawa di
depan mereka, Tulang Geledek. Kau boleh bangga melawan si lemah Jurik Rawa.
Tapi melawanku, jangan coba-coba berkedip satu kali pun, Tulang Geledek. Pedang
ini akan menari di lehermu pada saat kau kedipkan mata!" gertak Raden
Lontar.
"O, sehebat itukah jurus
pedangmu? Kalau begitu aku akan pejamkan mata dari sekarang saja, biar pedangmu
tak sempat menari-nari di leherku! Aha...! Heh, heh, heh...! Sudah terpejam apa
belum ini?!" sambil Julang Geledek menyodorkan wajahnya dalam keadaan mata
terpejam kuat-kuat. Lagaknya yang kocak itu membuat Suto Sinting buru-buru
menutup mulutnya karena ingin tertawa dengan suara menyentak.
"Bedebah kau, Tua
Keropos! Hiaaat...!" Wuuut...! Claap. .!
Raden Lontar tidak pergunakan
pedangnya, melainkan pergunakan tangan kirinya menyentak ke depan dalam keadaan
mengepal. Dari kepalan tangan kiri itu melesatlah selarik sinar panjang tanpa
putus warna biru berasap tipis.
"Lho, kenapa pakai
sinar?!" ujar Tulang Geledek sambil masih tetap pejamkan mata, tapi
tongkatnya disodokkan ke depan. Kepala tongkat dihantam sinar biru itu.
Teees...! Sinar itu belum putus, masih seperti bor yang ingin melubangi kepala
tongkat yang berbentuk seperti tulang itu.
Raden Lontar bertahan pula
keluarkan tenaga dalamnya dalam bentuk sinar biru berasap tipis, sedangkan
Tulang Geledek juga bertahan mendorong sinar itu dengan tongkatnya. Kedua kaki
Tulang Geledek merendah, tangan kirinya terangkat sedikit di atas kepala,
tangan kanannya menahan tongkat dengan gemetar. Sedikit demi sedikit Tulang
Geledek bergerak maju, membuat Raden Lontar terdesak mundur.
"Wah, ini baru
seru," puji Suto Sinting dalam hati sambil berwajah ceria.
Namun wajah ceria Suto
tiba-tiba lenyap begitu melihat Raden Lontar sentakkan pedang lurus ke depan
dan dari ujung pedang keluar sinar merah kecil yang melesat ke arah dada kiri
si Tulang Geledek. Slaaap...!
"Heaah...!" Tulang
Geledek segera hadangkan tangan kirinya dalam satu sentakan pendek. Tangan kiri
itu mengepulkan asap tebal warna putih. Lalu sinar merahnya Raden Lontar
tertahan tangan berasap itu. Dees...! Sementara kedua mata Tulang Geledek masih
tetap terpejam kuat-kuat.
Kedua orang itu saling
kerahkan tenaga hingga tubuh mereka bergetar. Kedua sinar itu pun belum mau
padam dan masih menjadi saluran adu tenaga dalam. Hanya saja, Tulang Geledek
masih terus bergerak maju walau dengan geserkan kakinya, sedangkan Raden Lontar
terdesak mundur dengan peluh mulai bercucuran.
Dalam keadaan kerahkan tenaga,
Raden Lontar masih sempat perintahkan kepada anak buahnya yang tampak sudah
mulai bangkit itu.
"Serbu...!" suara
Raden Lontar terdengar berat sekali.
Dua orang di belakang Tulang
Geledek segera menerjang bersama-sama menggunakan golok mereka masing-masing.
"Heeaat...!"
Cras, breet...!
"Aaaahk...!" Tulang
Geledek terpekik dalam keadaan punggungnya luka dua bacokan. Luka itu ternganga
lebar dengan darah mengalir mengerikan. Tapi kakek itu masih mampu menahan dua
sinar yang datang dari Raden Lontar walau dengan menyeringai menahan sakit dan
salah satu kakinya mulai jatuh berlutut.
"Curang!" geram
Pendekar Mabuk, ia bergegas ingin membantu Tulang Geledek ketika dilihatnya dua
orang bersenjata golok itu akan bergerak menyerang Tulang Geledek lagi.
Tetapi niat Suto itu buru-buru
ditahannya, karena ia melihat sekelebat bayangan menerjang kedua anak buah
Raden Lontar yang sedang melompat ke arah Tulang Geledek. Wuuut, weees...!
Prak, prook...!
Bayangan itu berupa sosok
tubuh tinggi berbadan kencang yang segera menyentakkan kedua kakinya ke kanan
kiri hingga kenai kepala kedua anak buah Raden Lontar tersebut. Tendangan
serempak itu ternyata membuat kedua kepala menjadi retak, sehingga kedua anak
buah Raden Lontar itu terpental dan jatuh dalam keadaan sekarat.
"Perawan Sinting?!"
gumam Suto dengan tegang dan mulai berseri-seri kembali.
Ternyata orang yang membantu
Tulang Geledek itu adalah si gadis berompi ungu yang punya gerakan sangat cepat
itu. Perawan Sinting segera melompat di pertengahan jarak dari belakang Tulang
Geledek ke depan melewati kepala Pak Tua itu tanpa permisi dulu. Wuuuk...!
Jlleeg...!
Ia berdiri dengan kaki
merendah menghadap Raden Lontar. Lalu kedua sinar di kanan-kirinya yang sedang
ditahan Tulang Geledek itu segera diambil alih dengan kedua telapak tangannya
yang sudah bercahaya hijau bening itu.
"Biar kuselesaikan
dia!" seru Perawan Sinting, kemudian kedua tangan yang menyala hijau itu
memotong sinar biru dan merah di kanan-kirinya. Zuuuubs...!
Tulang Geledek tidak menahan
kedua sinar itu lagi. Tapi ia segera roboh walau tak sampai tersungkur karena
luka parah di punggungnya. Sementara itu, Perawan Sinting segera kerahkan
tenaga dalamnya untuk melawan dua sinar Raden Lontar itu.
"Hiaaaah...!!"
Pekik si Perawan Sinting
sambil kedua kakinya menghentak ke tanah bersamaan. Kemudian secara pelan-pelan
dari kedua telapak tangan itu keluar sinar hijau bening yang makin lama makin
menjulur maju, mendesak kedua sinar dari Raden Lontar.
"Haaahh...!!" teriak
Perawan Sinting lagi sambil sentakkan satu kali ke tanah. Maka sinar hijau yang
keluar dari tangannya itu bergerak cepat dan mendesak kedua sinar dari Raden
Lontar. Wuuuuurrss...!
Blegaaarrrr...!
"Aaaahhkk...!!"
Raden Lontar memekik keras-keras dalam keadaan terlempar ke belakang bersamaan
suara ledakan yang menggelegar.
Brruuuss...!
Raden Lontar jatuh di
semak-semak tak jauh dari pohon yang dipakai bersembunyi oleh Suto Sinting.
Karenanya, Pendekar Mabuk dapat melihat dengan jelas keadaan Raden Lontar yang
amat menyedihkan itu.
Pemuda berpakaian serba kuning
itu nekat keluar dari semak-semak dengan merangkak. Pakaiannya sudah berubah
menjadi kuning kehitam-hitaman. Wajahnya yang bersih pun menjadi abu-abu.
Pedangnya hancur, tinggal gagang yang masih dipegangi terus itu. Sedangkan
tangan kirinya yang tadi keluarkan sinar biru itu telah hancur sebatas
pergelangan tangan, ia tak punya telapak tangan kiri lagi.
"Perawan
Sinting...!" geram Raden Lontar menyeramkan. "Perempuan terkutuk kau!
Tunggu saat pembalasanku nanti, Jahanam!!"
Raden Lontar segera melesat
pergi dalam keadaan terluka amat parah. Perawan Sinting tidak mengejarnya,
hanya tersenyum sinis sambil pandangi kepergian Raden Lontar.
Sementara para anak buah Raden
Lontar yang masih sempat bernyawa walau dalam keadaan terluka, segera melarikan
diri menyebar arah. Masing-masing mencari selamat sendiri-sendiri, demikian
pula empat pengusung tandu tersebut. Sedangkan tandu merah itu masih tetap
berada di tempatnya tanpa ada yang mengusik sejak tadi.
Perawan Sinting mulai tegang
begitu melihat keadaan Tulang Geledek. Ia segera hampiri Pak Tua itu dengan
sapaan yang menandakan sudah saling kenal.
"Eyang...! Bertahanlah,
aku akan mencari obat untuk lukamu!"
Pendekar Mabuk segera
membatin, "Sudah saatnya aku muncul."
Zlaaap...! Dalam sekejap saja
ia sudah berada di belakang Perawan Sinting.
Kehadirannya tak diketahui
oleh gadis itu, namun membuat Tulang Geledek memandangnya dengan wajah
menyeringai menahan rasa sakit.
"Barangkali beliau butuh
tuakku ini, Perawan Sinting."
Kata-kata lembut dan bernada
kalem itu mengejutkan Perawan Sinting. Dari raut wajahnya, gadis itu tampak
lega begitu melihat kehadiran Pendekar Mabuk. Namun kelegaan itu tidak
ditonjolkan dan ia bersikap dingin-dingin saja.
"Tolong beri minum tuakmu
kepada Eyang Tulang Geledek ini!" kata Perawan Sinting bernada memerintah.
Dengan meneguk tuak sakti si
Pendekar Mabuk, luka lebar di punggung Tulang Geledek akhirnya merapat kembali.
Kakek bertubuh kurus jangkung itu mampu berdiri tegak, badannya terasa lebih
segar dari saat sebelum lakukan pertarungan dengan Jurik Rawa.
Melihat sosok pemuda tampan
dengan bumbung tuak dan baju coklat celana putih, Tulang Geledek segera
kerutkan dahi dan berucap kata bagai orang menggumam.
"Sepertinya... aku belum
pernah bertemu denganmu, Nak. Siapa kau sebenarnya?!"
"Aku.... Suto Sinting,
Eyang," jawab Suto ikut-ikutan memanggil Eyang.
"Ooo... jadi kau kakaknya
si Perawan Sinting ini?!"
"Bukan!" sahut
Perawan Sinting. "Dia Suto Sinting, dan aku Perawan Sinting. Tak ada
hubungan saudara atau apa pun!"
"Ooo... jadi kalian cuma
sama-sama Sinting?!"
Perawan Sinting tampak kesal
dan melirik Suto dengan sinis, sementara Suto justru tersenyum geli sambil
lemparkan pandangan ke arah lain dalam sekejap.
Kemudian sang Pendekar Mabuk
berkata dengan sopan kepada Tulang Geledek.
"Kami baru hari ini
saling bertemu dan berkenalan. Hmm... sepertinya memang antara aku dan Perawan
Sinting tak ada hubungan apa-apa, Eyang!"
"Ah, kalian pasti sedang
saling bertengkar sehingga tak mau saling mengaku saudara. Kalian pasti
kakak-beradik. Buktinya kalian berdua sama-sama Sinting!"
Perawan Sinting segera menarik
baju Pendekar Mabuk untuk jauhi Tulang Geledek. Gadis itu berbisik dengan nada
menggeram jengkel.
"Apa kubilang tadi?!
Gantilah namamu! Jangan Suto Sinting!"
"Memang itu namaku. Kau
saja yang ganti; jangan Perawan Sinting."
"Tidak bisa! Kau yang
harus ganti nama!" tegas gadis itu. "Ganti dengan nama Suto
Sableng!"
"Tidak mau! itu nama
sahabatku si Bayu Sableng! Nanti disangkanya aku ikut-ikutan dia!" bantah
Suto dengan ngotot.
Rupanya Tulang Geledek
mendengar perdebatan itu, sehingga ia pun segera ikut berkata,
"Sudahlah, sesama orang
sinting dilarang saling berdebat! Nanti keputusan kalian serba sinting
semua."
Pendekar Mabuk dan Perawan
Sinting sama-sama menarik napas. Mereka perhatikan langkah Tulang Geledek yang
sedang mendekat.
"Lebih baik kita urus
gadis dalam tandu itu!" seraya Tulang Geledek menuding tandu merah yang
masih tetap pada tempatnya itu.
Suto Sinting merasa heran dan
segera ajukan tanya.
"Dari mana kau tahu kalau
tandu itu berisi seorang gadis, Eyang Tulang Geledek?!"
"Raden Lontar dan Jurik
Rawa adalah begundalnya si manusia badak; Rogana."
"Ooo...," Suto
Sinting manggut-manggut karena baru mengerti akan hal itu, sedangkan Perawan
Sinting tetap tenang karena ia sudah mengetahui sepak terjang Raden Lontar dan
Jurik Rawa.
Tulang Geledek lanjutkan kata,
"Setiap mereka menyerahkan seorang gadis sebagai pemuas gairah Rogana, maka Rogana akan
memberinya upah dengan menurunkan satu ilmu kesaktiannya. Raden Lontar yang
lebih sering melakukan hal itu ketimbang Jurik Rawa. Setahuku Jurik Rawa baru
dua kali ini."
"Mengapa tidak kau
hancurkan mereka dari kemarin-kemarin, Eyang?"
"Kabar itu kudengar sudah
beberapa waktu yang lalu. Tapi baru sekarang kubuktikan sendiri, sehingga baru
sekarang aku berani bertindak. Tempo hari aku gagal menggagalkan kiriman mereka
itu, karena Rogana segera hadir dan membantu mereka. Aku terpaksa pergunakan
jurus pamungkasku... lari tanpa pamit. Heh, heh, heh, heh...""
Perawan Sinting segera
perdengarkan suaranya. "Sebenarnya aku sudah mendengar kalau mereka akan
mengirimkan seorang gadis untuk Rogana. Tapi aku tidak tahu kalau pengiriman
dilakukan hari ini. Tadi aku sempat mengejar Rogana, tapi gagal. Lalu kudengar
suara pertarungan di sini, dan ternyata Eyang Tulang Geledek melawan
mereka."
"Untung kau cepat datang
dan membantuku, Perawan Sinting."
"Semula aku ingin
membiarkan mereka menyerahkan gadis kiriman itu kepada Rogana, dengan begitu
aku bisa mengetahui di mana persembunyian Rogana selama ini.
Tetapi melihat Eyang Tulang
Geledek dalam keadaan bahaya, terpaksa rencana itu kuubah."
"Sebenarnya tadi pun aku
sudah menyiasati Raden Lontar. Padahal kalau aku mau keluarkan jurus balasan,
Raden Lontar tak akan sanggup bernapas lagi hari ini. Maksudku tadi hanya ingin
menyedot seluruh kekuatannya, kemudian memaksanya memberi tahu di mana Rogana
berada. Jika aku tahu, maka keterangan itu akan kusampaikan padamu. Tapi
rupanya aku terluka dan kau datang mengambil alih pertarungan itu, lalu... yah,
seperti inilah jadinya!" Tulang Geledek menyentakkan kedua tangannya
sebagai sikap pasrah terhadap keadaan.
Setelah itu Tulang Geledek
melangkah dekati tandu lebih dulu. Suto dan Perawan Sinting mengikuti dari belakang.
Suto sempat berbisik kepada gadis itu.
"Apakah Eyang Tulang
Geledek itu kakekmu?"
"Bukan. Dia sahabat
mendiang guruku. Hubunganku dengannya sudah seperti kakek dengan cucu
sendiri."
"Tapi menurut ceritanya
tadi, dia sempat lari begitu berhadapan dengan Rogana. Apakah dia tak mampu
kalahkan Rogana?"
"Dia orang yang tak
pernah memaksakan diri. Kalau sekiranya lawannya sulit ditumbangkan, dia lebih
baik lari dan menyusun kekuatan serta mencari siasat baru untuk perlawanannya
mendatang. Ilmu Eyang Tulang Geledek memang setinggi ilmu mendiang guruku. Tapi
otaknya cukup cerdas untuk mengatur siasat. Dia punya keyakinan bahwa mengalah
itu bukan berarti kalah."
"Lalu berarti apa?"
"Berarti bonyok!"
jawab Perawan Sinting tanpa senyum membuat Pendekar Mabuk tertawa dalam gumam.
Rupanya gadis yang ada di
dalam tandu itu dalam keadaan ditotok, sehingga tidak bisa berbuat apa-apa.
Namun ia dalam keadaan sadar dan mendengar semua percakapan di luar tandu.
Tulang Geledek segera
mengeluarkan gadis im setelah melepaskan totokannya. Perawan Sinting memandang
dengan rasa iba. Tapi Suto Sinting memandang dengan mata melebar dan wajah
tegang. Ia terkejut melihat gadis itu sampai-sampai nyaris tidak bisa bicara.
*
* *
5
GADIS itu berambut lurus
sepundak. Pakaiannya berwarna jingga, ia juga mengenakan gelang dan kalung
berbatu jingga. Sabuknya dihiasi batuan warna jingga pula. Agaknya gadis itu
pencinta warna jingga, bahkan pedang dan sarung pedangnya dibungkus dengan kain
warna jingga pula.
Suto Sinting tak mungkin
lupakan gadis itu, walaupun mereka bertemu dalam waktu yang tak terlalu lama.
Tapi ingatan Suto masih segar tentang gadis cantik berusia sekitar dua puluh
dua tahun yang mempunyai mata bulat bening dan berbulu lentik. Gadis itu tak
lain adalah Manggar Jingga, murid Resi Parangkara yang sudah dianggap cucunya
sendiri. Suto pernah terlibat peristiwa hilangnya kakak perguruan si Manggar
Jingga yang bernama Puting Selaksa itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Wanita Keramat").
"Hatiku agak lega ketika
kudengar seseorang menyebutkan nama Suto Sinting," ujar Manggar Jingga.
"Aku yakin bahwa Pendekar Mabuk ada di sini, dan aku pasti tertolong.
Ternyata dugaanku benar!"
"Tunggu dulu,"
sergah Perawan Sinting yang membuat Manggar Jingga tak jadi teruskan ucapannya.
"Mengapa kau sebut-sebut nama Pendekar Mabuk? Di sini tidak ada Pendekar
Mabuk!"
Manggar Jingga terbengong
bingung, matanya segera menatap Suto dan yang ditatap hanya senyum-senyum saja
sambil buang muka sejenak.
Tulang Geledek ikut bicara
kepada Manggar Jingga. "Sebaiknya tak perlu bawabawa nama orang beken itu,
Anak Manis. Kalau didengar orang lain, kau bisa dianggap mengada-ada."
"Bukankah...,"
Manggar Jingga menjadi bimbang sendiri, ia memandang Suto, menatap Perawan
Sinting, kembali memandang Suto, menatap Tulang Geledek.
"Sebaiknya pulanglah ke
rumahmu. Kau tinggal di mana, Anak Manis?" tanya Tulang Geledek.
"Aku berasal dari Teluk
Sendu, Kek."
"Teluk Sendu?" gumam
Tulang Geledek.
"Seingatku aku punya
sahabat lama yang kini menetap di Teluk Sendu. Apakah kau kenal dengan Resi
Parangkara? Oh, mungkin ia sudah meninggal, sebaiknya tak perlu
kutanyakan."
"Resi Parangkara masih
hidup!" sahut Suto Sinting yang membuat Tulang Geledek sempat memandang
heran.
"Apakah kau kenal dengan
Resi Parangkara, Suto?"
"Tentu saja aku kenal,
Eyang. Resi Parangkara adalah gurunya gadis ini!" sambil menuding Manggar
Jingga.
Si tua Tulang Geledek terkesip
pandangi Manggar Jingga.
"Benarkah?" tanyanya
pelan sekali dengan wajah mendekat.
"Benar. Aku adalah murid
Kakek Resi. Maksudku.... Kakek Resi Parangkara."
"Tak mungkin!"
sanggah Tulang Geledek.
"Parangkara hanya
mempunyai seorang murid bernama...."
"Puting Selaksa!"
sahut Suto dan Manggar Jingga secara bersamaan tanpa disengaja.
Tulang Geledek terbengong
sebagai tanda bahwa batinnya mulai percaya terhadap pengakuan Manggar Jingga
tadi.
Sementara itu, Perawan Sinting
diam-diam mencuri pandangan ke arah Suto sambil berkecamuk kagum dalam hatinya
melihat ketampanan Suto itu.
"Baju coklat tanpa
lengan...," gumam Perawan Sinting. "Celana putih kusam, wajah tampan,
badan kekar, gagah, tak memakai ikat kepala, membawa bumbung tuak, tuaknya bisa
dipakai untuk obat dan... hmm, tiba-tiba hatiku merasakan keanehan. Sepertinya
ada sesuatu yang kuingat tapi entah apa. Ciri-ciri itu pernah kudengar melalui
percakapan orang Istana Tengkorak beberapa hari lalu yang kudengar secara tak
sengaja. Tapi... ciri-ciri siapa itu sebenarnya?!"
Tulang Geledek akhirnya
memutuskan langkahnya.
"Aku akan mengantarmu
pulang ke Teluk Sendu sambil ingin bertemu dengan Parangkara. Apakah kau
bersedia, Manggar Jingga?!"
"Aku tak keberatan.
Tapi... aku harus mencari kakakku; si Puting Selaksa. Pencarianku tadi
terhalang oleh jebakan pemuda bernama Raden Lontar itu."
"Sebaiknya kau kuantar
pulang dulu," kata Tulang Geledek. "Baiklah, kubantu mencari kakak
perguruanmu; si Puting Selaksa itu," ujar Tulang Geledek. "Apakah kau
tahu ke mana perginya Puting Selaksa?"
"Aku tidak tahu, Kek. Ia
hanya berpamitan kepada Kakek Resi Parangkara bahwa ingin pergi mencari
Pendekar Mabuk. Pasti ia tidak tahu kalau Pendekar Mabuk ada di daerah
ini!"
Perawan Sinting menyahut,
"Bicaramu melantur lagi, Manggar Jingga. Pendekar Mabuk tidak ada di
daerah sini! Mungkin di pesisir utara sana, atau...."
"Siapa bilang di sini
tidak ada Pendekar Mabuk? Lalu orang yang berdiri di sampingmu itu siapa?"
sergah Manggar Jingga agak ngotot.
Perawan Sinting segera
memandang ke samping, menatap wajah Suto yang hanya senyum-senyum saja bagai
tak mendengarkan perdebatan tersebut. Tulang Geledek juga menatap Suto dengan
dahi berkerut. Pandangan si tua berjubah abu-abu itu terasa merayapi sekujur
tubuh Suto dari kepala sampai kaki.
"Aku kenal gurunya
Pendekar Mabuk," kata Tulang Geledek. "Sahabatku pernah
memberitahukan bahwa si Gila Tuak sudah mempunyai murid bergelar Pendekar
Mabuk. Tapi tidak semua orang mengenal nama asli si Gila Tuak, kecuali para
sahabatnya dan muridnya sendiri."
Suto menyahut, "Jadi
Eyang Tulang Geledek juga tahu bahwa si Gila Tuak mempunyai nama asli Ki
Sabawana?!"
"Lho...? Kamu tahu nama
itu?!" Tulang Geledek tersentak heran.
Suto tersenyum tipis dan
berkata lagi, "Ki Sabawana mempunyai saudara seperguruan yang bernama
Bidadari Jalang."
"Eh... tahu juga
kau?"
"Nama asli Bidadari
Jalang adalah Nawang Tresni."
"Lho, tahu juga nama
itu?!"
Manggar Jingga menyahut,
"Ya, tentu saja Suto tahu, sebab dia muridnya si Gila Tuak yang bergelar
Pendekar Mabuk!"
Perawan Sinting diam saja
dengan kedua tangan bersidekap di dada. Kalem, tapi sebenarnya hati menjadi
deg-degan bagai dikejar anjing. Ketika suasana menjadi hening karena Tulang
Geledek terbengong pandangi Suto, maka Perawan Sinting pun berkata dengan lagak
biasa-biasa saja.
"Hmmm... sebaiknya Eyang
Tulang Geledek segera antar si Manggar Jingga ke Teluk Sendu. Kurasa gurunya
juga akan kebingungan mencari Manggar Jingga."
"Lalu, kau sendiri mau ke
mana, Perawan Sinting?" tanya Tulang Geledek.
"Aku tetap akan memburu
Rogana."
"Hati-hati, dia sangat
berbahaya untuk gadis sepertimu, Perawan Sinting."
"Terima kasih atas
saranmu, Eyang."
"Kalau begitu aku akan
berangkat sekarang juga bersama Manggar Jingga."
Suto segera berkata kepada
Manggar Jingga, "Katakan kepada Puting Selaksa, tunggu aku di Teluk Sendu.
Jangan ke mana-mana. Aku akan berkunjung ke sana dalam waktu dekat ini!"
"Baik. Akan kusampaikan
pesanmu itu!"
Lalu, Manggar Jingga pun pergi
bersama Tulang Geledek. Pendekar Mabuk dan Perawan Sinting masih diam di tempat
pandangi kepergian mereka hingga mereka menghilang dari pandangan mata.
"Kau tetap akan memburu
Rogana?!" tanya Suto.
"Ya, kurasa... kurasa kau
tak keberatan jika mendampingiku, bukan?"
"O, sangat
keberatan!" jawab Suto dengan lagak tengil. "Kurasa kau tak butuh
bantuanku dalam berurusan dengan Rogana."
"Memang aku tak butuh
bantuanmu. Aku hanya membutuhkan bantuan tokoh sakti yang sekarang baru kuingat
ciri-cirinya. Tokoh sakti itu adalah Pendekar Mabuk."
"Sayang sekali di sini
tak ada Pendekar Mabuk, ya?" sindir Suto Sinting membuat gadis berompi
cekak itu sembunyikan rasa malunya.
Perawan Sinting melangkah
pelan-pelan, ia berharap akan diikuti oleh Suto. Tapi saat itu Suto Sinting
justru mengucapkan kata perpisahan dengan nada tegas.
"Sampai jumpa di lain
waktu dan tempat, Perawan Sinting."
Gadis itu kaget dan berpaling
ke belakang. Zlaaap...! Suto sudah berpindah tempat yang tidak diketahui
Perawan Sinting.
Wajah gadis itu tampak kecewa,
dan Suto melihat jelas dari balik persembunyiannya di atas pohon, ia pun tahu
wajah cantik yang kecewa itu lama-lama berubah menjadi murung dan akhirnya
cemberut kesal. Bahkan Suto dapat mendengar dengan jelas seruan Perawan Sinting
sebagai ungkapan kejengkelannya.
"Aku percaya kau Pendekar
Mabuk! Tapi aku tak mau mengagumimu, Setan!"
Suto Sinting tertawa sendiri dengan
mulut ditutup tangan kuat-kuat. Lalu ia membiarkan gadis itu pergi dengan
memendam kedongkolan dalam hatinya.
"Kau pasti berharap aku
mau mendampingimu. Tapi aku ingin menghajar keangkuhanmu yang tadi, Perawan
Sinting!"
Suto membatin sambil pandangi
arah kepergian Perawan Sinting. Kemudian ia pun bergerak mengikuti gadis
itu. Ilmu peringan tubuh dipergunakan
bersama-sama jurus 'Gerak Siluman', sehingga gerakan Suto tak terdengar oleh
gadis yang diikutinya. Pucuk-pucuk daun diinjaknya tanpa timbulkan suara
gemerisik. Ranting-ranting kering pun dipakai tumpuan berdiri tanpa patah
sedikit pun. Meski si Perawan Sinting
bergerak seperti kilat takut dikejar setan, tapi Suto Sinting mampu ungguli
gerakan itu, sehingga kini Perawan Sinting berada dalam pengawasan Suto.
Langkah gadis berpakaian
sangat menantang gairah kaum lelaki itu akhirnya terhenti oleh kemunculan dua
orang dari balik gugusan tanah yang membukit. Kedua orang itu agaknya sengaja
menghadang langkah Perawan Sinting dengan gerak-gerik mencurigakan.
"Hmmm... siapa mereka
berdua itu?" tanya Suto dalam batinnya sambil tetap mengintai gerak-gerik
si Perawan Sinting dan dua penghadangnya itu. Pendekar Mabuk juga pergunakan
jurus 'Sadap Suara' untuk membantu mempertajam pendengarannya, sehingga ia
dapat mendengar percakapan orang-orang yang diintainya.
"Mengapa kalian
menghadangku dengan sikap begitu, Sanca Welang dan Pelung Geni?!" sapa
Perawan Sinting dengan kalem.
"Pangeran Cabul mengutus
aku dan Sanca Welang untuk menangkapmu, Perawan Sinting!" jawab lelaki
agak gemuk yang berpakaian berikat kepala merah garis-garis putih itu.
"O, berarti orang itu
yang bernama Pelung Geni," pikir Suto. "Dan yang tanpa ikat kepala
berbadan kurus itu bernama Sanca Welang. Sepertinya mereka orang Istana Tengkorak,
sebab selain pakaian mereka serba biru, Pelung Geni tadi mengatakan bahwa ia
diutus oleh Pangeran Cabul. Hmmm... agak aneh juga. Mengapa Perawan Sinting mau
ditangkap, sedangkan tadi Perawan Sinting mengaku tak punya urusan dengan pihak
Pangeran Cabul?!"
Perawan Sinting memang
terkesip dan berkerut dahi mendengar ucapan Pelung Geni tadi. Ia pandangi
lelaki bersenjata kapak dua mata itu, dan kesimpulannya mengatakan bahwa lelaki
itu bicara dengan serius, bukan sekadar bercanda.
"Bicaramu kurang benar, Pelung
Geni!
Mungkin maksudmu, Pangeran
Cabul mengundangku hadir ke Istana Tengkorak," kata Perawan Sinting
mencoba berlagak salah tanggap.
Tapi Pelung Geni tegaskan
lagi, "Tugas yang kami terima adalah menangkapmu! Bukan mengundangmu ke
Istana Tengkorak."
"Aneh sekali? Biasanya
orang yang mau ditangkap adalah orang yang punya kesalahan. Sedangkan aku tak
punya kesalahan apa-apa dengan pihakmu, Pelung Geni!"
Sanca Welang menyahut,
"Tugas ini kami terima sejak dua hari yang lalu. Tapi baru sekarang kami dapat
menemuimu, Perawan Sinting."
"Dengan alasan apa
Pangeran Cabul ingin menangkapku?!"
"Penjelasannya di istana
saja. Sebaiknya kau ikut kami ke istana sekarang juga," sahut Pelung Geni.
"Kuharap kau jangan
membangkang agar kami tidak lakukan kekerasan padamu, Perawan Sinting,"
timpal Sanca Welang.
Perawan Sinting tersenyum
tipis berkesan sinis.
"Kalian pikir aku keong
sawah yang ditangkap tanpa perlawanan?"
"Jika kau membangkang,
terpaksa kami akan tega melukaimu, Perawan Sinting," ujar Pelung Geni.
"Hmm! Apa kau sanggup
melukaiku, Pelung Geni? Apakah kau belum tahu siapa aku?!"
"Aku tahu kau murid Nyai
Gagar Mayang. Aku juga tahu kau dulu pernah gila karena dipaksakan menerima
seluruh ilmu Nyai Gagar Mayang, sehingga sampai sekarang kau dikenal dengan
nama Perawan Sinting. Dan mendiang gurumu memang tak pernah terlibat perkara
apa pun dengan Pangeran Cabul. Tapi sekarang keadaan Istana Tengkorak telah
berubah dan menjadi lain dengan yang dulu, Perawan Sinting."
"Jelaskan perubahan
itu!"
"Tak ada waktu
lagi!" sahut Sanca Welang mengawali ketidakramahan mereka. Bahkan ia
menambahkan kata dengan nada terang-terangan mengancam.
"Kau mau ikut kami atau
mati di tangan kami! Pilih salah satu; mati atau ikut?"
"Bagaimana kalau aku
memilih 'atau' nya saja?!" jawab Perawan Sinting berkesan meremehkan
tantangan itu.
Sanca Welang mulai tampak
marah. Senjata pedang besar bergagang panjang setengah depa itu mulai berpindah
tangan dari kiri ke kanan. Pelung Geni menarik sedikit kapaknya yang terselip
di sabuk hitam agar dapat dicabut lebih mudah lagi.
"Jika aku terpaksa
bertindak kasar padamu, jangan salahkan diriku, Perawan Sinting!" ujar
Pelung Geni yang berusia sekitar empat puluh tahun, sebaya dengan Sanca Welang.
"Kalau begitu kutegaskan
saja kepada kalian: aku mau dibawa ke Istana Tengkorak dalam keadaan sudah
menjadi mayat!"
"Wah, berani sekali dia
bicara begitu?!" gumam hati Pendekar Mabuk, ia tetap diam di tempatnya
sampai akhirnya Sanca Welang berkata dengan suara lebih keras lagi.
"Kalau begitu, akulah
yang akan mengubahmu menjadi mayat! Hiaaah...!"
Sanca Welang melompat dengan
senjata pedang besarnya diarahkan ke depan, ingin dihujamkan ke dada Perawan
Sinting. Tetapi gadis lincah itu tahu-tahu melesat ke atas melebihi ketinggian
kepala Sanca Welang.
Di atas sana, tanpa
diduga-duga Perawan Sinting lepaskan pukulan tenaga dalamnya berupa kibasan
tangan bagai memercikkan air ke arah Pelung Geni.
Praat...!
Pelung Geni kaget, tahu-tahu
tubuhnya bagai diterjang seekor banteng yang sedang mengamuk. Brruus...! Tubuh
agak gemuk itu terlempar bagai kapas dihempas angin, ia jatuh berguling-guling
bagaikan karung pasir.
Gdebuk...! Gluduk, gluduk...!
Sanca Welang segera sentakkan
senjatanya ke atas menyambut turunnya tubuh Perawan Sinting. Suuut...! Tapi
ujung kaki Perawan Sinting menjejak kecil ujung pedang itu, dan tubuhnya dapat
melambung lebih tinggi lagi, kemudian bersalto ke udara dua kali. Wuuuut, wess,
wess...! Jleeeg...!
Perawan Sinting daratkan kaki
di atas sebongkah batu hitam yang tingginya sebatas pundak Sanca Welang. Kedua
tangannya mengembang memainkan jurus tangan kosong. Indah sekali gerakannya.
Tiba-tiba Pelung Geni
melepaskan pukulan bersinar merah dari telapak tangannya. Wuuus...! Sinar yang
menyerupai kobaran api itu datang dari arah belakang Perawan Sinting. Gadis itu
ingin merundukkan kepala, tapi dari arah depannya sudah telanjur muncul
serangan Sanca Welang yang melemparkan senjata rahasia menggunakan tangan
kirinya.
Ziiing...! Gerakan logam itu
memutar memercikkan bunga api dan gerakannya cukup cepat. Jika Perawan Sinting
merundukkan kepala maka ubun-ubunnya akan tertancap senjata rahasia itu.
Akhirnya Perawan Sinting
lakukan satu sentakan kecil kakinya, dan tubuh pun melenting ke atas dalam
gerak berjungkir balik.
Wuuuss...!
Blaaarr...!
Pukulan bersinar merah
bagaikan semburan api itu bertabrakan dengan senjata rahasia Sanca Welang
hingga timbulkan ledakan cukup kuat. Tetapi gelombang ledakan itu tak sampai
membuat Perawan Sinting kehilangan keseimbangan, ia justru mendapat pijakan
kaki pada batang pohon.
Kaki itu menjejak cepat, dan
tubuhnya melayang ke satu arah, menjejak pohon lagi, melesat kembali, menjejak
pohon, melesat lagi... begitu seterusnya dilakukan dalam gerakan zig-zag dan
sangat cepat.
Wut, wut, wut, wut, wut,
wut...!
Gerakan yang membingungkan
lawan itu terjadi beberapa saat lamanya. Pelung Geni dan Sanca Welang
menghantamnya baik dengan senjata tajam maupun dengan pukulan bersinar, namun
tak satu pun serangan mereka yang mengenai tubuh Perawan Sinting.
"Edan! Gerakannya cepat
dan memusingkan?!" gumam Suto Sinting dengan bola matanya bergerak cepat
mengikuti arah gerakan gadis itu.
Deees...! Wuuut, wut, wut,
wut...!
Kepala Sanca Welang dipakai
pijakan kaki Perawan Sinting. Padahal setiap batang pohon yang dipakai sebagai
pijakan atau terkena jejakan kaki Perawan Sinting selalu mengepulkan asap dan
menjadi hangus. Karenanya, Sanca Welang sempat memekik keras ketika ubun-ubun
kepalanya dipakai pijakan kaki Perawan Sinting.
"Aaaaaow...!!"
Tahu-tahu gadis itu sudah ada
di pohon belakang Pelung Geni. Kakinya menjejak batang pohon tersebut, tubuhnya
melesat cepat dan menyambar kepala Pelung Geni dari belakang. Dees...!
"Aaaahk...!" Pelung
Geni memekik keras-keras dan segera terpelanting jatuh dalam keadaan kepala
menjadi retak dan berdarah.
Wut, wut, wut, wut...!
Perawan Sinting masih bergerak
cepat ke sana-sini membingungkan dan sukar diikuti dengan pandangan mata.
Tahu-tahu ia sudah meluncur dari arah kanan Sanca Welang dan ujung kakinya
menendang telak kepala itu.
Duuuuhk...!
"Aaaaah.,.!!" Sanca
Welang terpental, telinganya semburkan darah, ia jatuh menggelepar mengerikan.
Sementara itu, Pelung Geni masih berusaha bangkit dengan sempoyongan.
Weess...! Prook...!
Baru saja Pelung Geni tegak,
tahu-tahu sudah disambar kaki yang tak diketahui kedatangannya. Pelung Geni tak
bisa memekik lagi, ia hanya mengerang
dengan suara tertahan sementara wajahnya menjadi hitam hangus dan berasap.
Cairan darah yang mengalir dari hidung dan matanya bukan berwarna merah, melainkan
berwarna hitam.
Wut, wut, jleeg...!
Perawan Sinting akhirnya
hentikan gerakannya dengan menapakkan kaki di atas tanah yang mcnggunduk
setinggi lutut. Pendekar Mabuk terbengong-bengong dan tak bisa mengedipkan
matanya. Baru sekarang ia melihat gerakan secepat itu dan sukar diikuti oleh
pandangan mata. Jika hanya terjadi dua-tiga kali gerakan itu sudah sering
dilihatnya. Tapi jika terjadi sampai lebih dari dua puluh kali gerakan, hai itu
baru sekarang dilihatnya.
"Melihat gerakannya saja
sudah pusing apalagi terkena tendangan kakinya yang bertenaga dalam tinggi
itu?!" pikir Pendekar Mabuk dengan mulut melompong hingga lidahnya kering.
Ia segera menenggak tuaknya sedikit, hanya sebagai pembasah mulut dan
tenggorokan saja.
"Ooh... agaknya Pelung Geni
baru saja hembuskan napas terakhir?!" gumam Suto dalam hati.
Perawan Sinting hanya
sunggingkan senyum sinis melihat Pelung Geni tak berkutik lagi. Tak akan lama
kemudian, Sanca Welang pasti akan menyusul arwahnya Pelung Geni. Yakin akan hal
itu, Perawan Sinting akhirnya tinggalkan tempat tersebut dan tak mau peduli
lagi dengan kedua utusan Pangeran Cabul itu.
Namun baru saja ia berbalik
badan ingin pergi, tiba-tiba Sanca Welang bangkit sedikit dan lemparkan senjata
rahasianya berupa logam berputar yang memercikkan bunga api itu. Weezzz...!
Zuuurrb...!
"Aaahk...!" Perawan
Sinting mengejang dengan keluarkan pekikan pendek. Senjata rahasia itu menembus
masuk ke dalam tubuh melalui punggung gadis itu. Kejap berikutnya, Sanca Welang
pun jatuh terkulai kembali dan menghembuskan napas terakhir. Pendekar Mabuk
memandang tegang dengan jantung berdetak-detak.
"Celaka! Perawan Sinting
akhirnya kena juga! Aku harus segera menyelamatkan jiwanya!"
Zlaaaap...! Weesss...!
Tubuh Perawan Sinting disambar
Pendekar Mabuk dan dibawanya lari ke tempat jauh, karena ia khawatir jika masih
ada bahaya yang tersembunyi di tempat itu.
*
* *
6
MATAHARI tenggelam di langit
barat. Untung saat itu Pendekar Mabuk telah temukan sebuah gua di lereng bukit,
dalam kerimbunan hutan belantara. Pintu masuk gua itu nyaris tak terlihat dari
luar karena tanaman rambat yang merintangi jalan masuknya.
Kalau saja Suto tidak melihat
seekor musang berlari keluar dari gua itu, ia tak tahu kalau di situ ada gua
yang aman dan terlindung dari bahaya orang-orang Istana Tengkorak. Agaknya gua
itu memang tempat peristirahatan para musang, karena di bagian depan banyak
kotoran musang yang baunya tak seharum keringat si Perawan Sinting.
Tetapi gua itu cukup dalam,
dan Suto membawa Perawan Sinting ke tempat yang lebih dalam, lalu meletakkannya
pada lantai yang kering. Langit-langit gua cukup tinggi, walau mempunyai
lubang-lubang yang biasa digunakan
masuknya air hujan atau sinar matahari.
Pada saat Pendekar Mabuk
membawa masuk Perawan Sinting ke gua tersebut, keadaan alam masih diliputi
senja dan cahaya sinar matahari masih membias masuk ke dalam lorong gua
tersebut.
Sebelum petang tiba, Suto
Sinting menyempatkan diri mencari kayu bakar, maka jadilah api unggun sebagai
penerang sekaligus penghangat lorong gua itu.
Sementara si Perawan Sinting
masih dibiarkan terbaring di atas tanah yang diberi alas dedaunan semak
alakadarnya. Perempuan itu masih belum sadarkan diri akibat racun ganas yang
nyaris meledakkan isi tubuhnya itu. Kalau saja Pendekar Mabuk tidak hentikan
dulu pelariannya sebelum masuk gua untuk memberi minum tuak kepada Perawan
Sinting, rasa-raranya gadis itu tak sampai matahari terbenam sudah kehilangan
nyawa.
Tuak tersebut dikucurkan
begitu saja di mulut si gadis yang ternganga. Sebagian tertelan, sebagian
terbuang luber. Tapi berkat tuak tersebut, logam senjata rahasia yang tadi
memercikkan bunga api itu tersentak keluar sendiri dari dalam punggung Perawan
Sinting.
Darah hitam mengalir beberapa
saat, kemudian luka pun mengering dan menjadi rapat kembali seperti tak pernah
tergores apa pun. Darah-darah yang menghitam berceceran itu lenyap bagai
terserap udara. Namun keadaan si gadis masih pingsan, dan Suto Sinting segera
mencarikan tempat untuk berlindung.
Lorong gua itu masih panjang.
Kedalamannya sukar diukur. Pendekar Mabuk mencoba memeriksa keadaan lorong yang
lebih dalam dengan menggunakan sebatang kayu bakar sebagai penerang jalan.
Ternyata lorong itu
berliku-liku dan tidak mempunyai cabang ke sana-sini. Semakin dalam keadaannya
semakin lebar, langit-langit lorong semakin tinggi, lantainya semakin kering,
dan banyak batu yang berserakan.
"Barangkali lorong ini
dulunya adalah sungai saluran lahar dari gunung berapi yang tadi kulihat berada
di balik bukit ini," pikir Suto sambil memandangi dinding kanan-kirinya.
"Sepertinya tak ada bahaya apa-apa, lebih baik aku segera kembali ke
tempat Perawan Sinting. Jangan-jangan dia pergi mencariku keluar gua."
Pada saat itu, Perawan Sinting
mulai sadar dari pingsannya, ia terkejut mendapatkan dirinya berada di sebuah
ruangan selebar tujuh langkah dan berdinding cadas berlumut. Namun ia segera
paham bahwa ruangan itu adalah sebuah gua.
"Siapa yang menyalakan
api unggun itu?" pikirnya sambil memperhatikan nyala api unggun yang
tenang karena terhindar hembusan angin kencang. Perawan Sinting termenung
beberapa saat, lalu segera ingat akan pertarungannya dengan Sanca Welang dan
Pelung Geni. Ia juga ingat bahwa punggungnya sempat terkena sesuatu yang amat
menyakitkan, panas, dan melumpuhkan seluruh urat-uratnya, ia tak tahu dari mana
asalnya dan benda apa yang telah menembus masuk punggung, yang jelas ia yakin
ada seseorang yang menyerangnya dan membuat dirinya pingsan.
"Tapi... punggungku
sepertinya tak terluka lagi? Rasa panas dan sakit tak kurasakan pula?!"
gumam gadis itu sambil meraba-raba punggungnya.
"Aku yakin bahwa aku tadi
terluka. Jika ternyata lukaku menjadi rapat kembali dan kulit punggungku
menjadi halus tanpa luka sedikit pun, seperti yang dialami oleh Eyang Tulang
Geledek, maka tak ada orang lain yang bisa lakukan penyembuhan seajaib ini
selain si Pendekar Mabuk itu! Hmmm... di mana dia sekarang? Kurasa dia juga
yang membawaku kemari dan menyalakan api unggun. Apakah... apakah dia hanya
sekadar menyelamatkan aku dan menaruhku di sini lalu meninggalkan pergi?!"
Perawan Sinting memeriksa
keadaan sekeliling. Lorong tampak gelap, ia tak tahu lorong itu membelok ke
sana-sini dan sedang disusuri oleh Pendekar Mabuk. Bias cahaya api bakar yang
dibawa Suto tak sempat terlihat oleh Perawan Sinting karena keadaan Suto sudah
agak jauh dari tikungan lorong yang terlihat dari tempat gadis itu.
"Ah, persetan dengan
siapa pun yang membawaku kemari!" geram Perawan Sinting agak dongkol
karena tak menemukan siapa-siapa.
"Yang penting aku telah
selamat, badanku jadi segar dan berada di tempat aman!" sambil gadis itu
mendiang di dekat api unggun.
"Aneh sekali, mengapa
Pangeran Cabul ingin menangkapku? Mengapa pihaknya bersikap bermusuhan
denganku? Padahal aku tak punya salah apa-apa terhadap Pangeran Cabul dan
orang-orangnya. Atau...barangkali ada pihak lain yang memfitnahku, sehingga aku
menjadi buronan sang Pangeran?!" Perawan Sinting membatin sambil tangannya
memainkan sebatang ranting yang ujungnya telah terbakar.
"Padahal sewaktu ada
Suto, empat orang yang tewas di sana itu tampak melepaskan serangannya ke arah
Suto, bukan ke arahku?! Tapi kenapa sekarang yang mau ditangkap adalah diriku?
Mengapa bukan pemuda tampan yang sering bikin hatiku berdebar-debar itu?!"
Renungan tersebut terpaksa
harus dihentikan, karena kepekaan telinga Perawan Sinting menangkap suara
langkah kaki dari lorong belakangnya, ia segera berpaling cepat dan siap
mencabut pedang. Bias cahaya mulai tampak mendekat. Beberapa saat kemudian,
tampaklah sesosok tubuh kekar dan gagah yang membawa kayu berapi sebagai ganti
obor itu. Wajah tampan terpampang jelas di belakang api tersebut. Perawan
Sinting segera hembuskan napas lega, karena ia segera mengenali si pembawa kayu
berapi itu adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting.
"Oh, kau sudah sadar
rupanya?!" sapa Suto pertama kali walau Perawan Sinting segera bersikap
acuh tak acuh.
"Dari mana kau?"
tanya si gadis sambil bermain api dengan ranting kecil lagi. Ia sengaja tak
memandang ke wajah Pendekar Mabuk.
"Aku dari jalan-jalan
memeriksa lorong panjang ini," jawab Suto, kemudian ia duduk di atas batu
setinggi betis. Batu itu berdempetan dengan batu besar, sehingga bisa dipakai
bersandar punggung si Pendekar Mabuk.
"Apa yang kau dapat di
kedalaman sana? Perempuan purba yang tanpa busana?!"
Pendekar Mabuk tertawa pendek.
"Kalau ada sudah kubawa kemari!" jawabnya dengan konyol.
Perawan Sinting tidak
tersenyum sedikit pun. Bibirnya yang sensual dan enak digigit menurut bayangan
Suto itu, kini dalam keadaan terkatup rapat.
Pendekar Mabuk memandanginya
dari arah samping. Hati sang pendekar muda berkecamuk dengan desir-desir yang
menghadirkan perasaan indah melambungkan jiwa.
"Dalam siraman cahaya api
unggun, wajah itu semakin tampak lebih cantik lagi. Kecantikannya berbeda
dengan kecantikan calon istriku; Dyah Sariningrum. Kecantikan gadis ini lebih
alami, seperti kecantikan gadis desa yang lugu tanpa rias apa pun. Mata dan
bibirnya selalu memancarkan ajakan bercumbu. Apalagi dia berbadan tinggi,
sekal, kencang, dan... oh, benar-benar corak gadis tahan bantingan! Kurasa dia
cukup ganas jika sedang bercinta."
Lama-lama gadis berkalung
hitam dengan batuan ungu sebesar mata kucing itu merasa risi dipandangi terus,
ia pun segera palingkan wajah dan menatap Suto Sinting terang-terangan.
"Apa maksudmu
memandangiku terus-terusan?" tegurnya membuat Suto salah tingkah dan
tersipu-sipu. Lebih salah tingkah lagi setelah gadis itu mendekatinya dan duduk
di batu samping kiri Suto dalam jarak kurang dari satu jangkauan, ia menatap
lekat-lekat wajah Pendekar Mabuk dari arah samping, sementara yang ditatap
justru berlagak merapatkan tutup bumbung tuaknya.
"Dua kali kau
menyelamatkan nyawaku. Tapi bukan berarti kau boleh seenaknya memandangiku
terus-terusan!" ujarnya bernada ketus.
Pendekar Mabuk tarik napas,
menjaga ketenangan sikapnya.
"Apa ruginya jika hanya
dipandangi saja?"
"Ada ruginya,"
jawabnya cepat. "Kau membuat hatiku berdebar-debar. Kalau hatiku
berdebar-debar terus, maka jantungku akan rusak. Kalau jantungku rusak, berarti
usiaku cekak!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum menawan, tapi tidak diarahkan kepada Perawan Sinting, ia masih berlagak
sibuk dengan bumbung tuaknya. Kini dalam suasana sama-sama membisu, Suto
menjadi kikuk dan berdebar-debar lebih kuat lagi, karena ia sadar bahwa gadis
di sebelahnya memandanginya terus tanpa berkedip. Bahkan untuk melontarkan satu
pertanyaan ataupun kata terasa sulit. Lidah Suto bagaikan kelu.
"Ke mana arah tujuanmu
sebenarnya, Pendekar Mabuk?" tanya Perawan Sinting dengan nada serius
walau suaranya pelan.
"Aku sedang mengejar
musuh utamaku."
"Siapa musuh utamamu
itu?"
"Siluman Tujuh
Nyawa!"
"O, ya...?!" Perawan
Sinting sebenarnya terkejut, karena ia sering mendengar cerita dari para
sahabat gurunya tentang kekejaman Siluman Tujuh Nyawa yang dikenal sebagai
manusia sesat terkutuk itu. Namun rasa kagetnya itu mampu disembunyikan
sehingga ia tampak tenang-tenang saja, bahkan berkesan meremehkan kata-kata
Suto.
"Siapa yang diburu
sebenarnya? Kau memburu dia, atau dia memburumu?"
"Tergantung siapa yang
lengah!" jawab Suto tak bisa diremehkan lagi.
"Hebat sekali kalau kau
berani memburu tokoh terkutuk yang berilmu tinggi itu?" sindir Perawan
Sinting.
"Tak ada yang kutakuti
jika melawan dia!" tegas Suto kini berani menatap untuk menampakkan
kesungguhan ucapan itu.
"Cepat atau lambat, aku
harus berhasil memenggal kepalanya!"
"Mudah-mudahan bukan
kepalamu yang terpenggal," ucap Perawan Sinting sambil membuang pandangan
sejenak, lalu kembali melirik Pendekar Mabuk.
"Sebelum aku melihatmu,
aku sedang mengejarnya. Tapi aku kehilangan jejak, celingak-celinguk sana-sini,
eeh... justru mendapatkan seraut wajah cantik yang punya kelincahan gerak
mengagumkan," ujar Suto mulai merayu.
"Siapa yang kau maksud
seraut wajah cantik itu?" pancing Perawan Sinting.
"Eyang Tulang
Geledek!" jawab Suto konyol, ia sengaja memancing senyum Perawan Sinting,
tapi senyum yang mekar di bibir sexy itu hanya sekelumit dan berkesan sinis.
Gadis itu segera melepas pedangnya dari punggung, menarik pedang sedikit dari sarungnya.
Cahaya hijau pijar tampak keluar dari mata pedang tersebut.
"Bagus sekali pedangmu
itu! Pusaka milik siapa?"
"Mendiang guruku; Nyai
Gagar Mayang!" jawab Perawan Sinting. "Kalau kau ingin memburu
Siluman Tujuh Nyawa, pakailah pedang ini."
"Mengapa harus begitu?"
"Pedang ini ditakuti oleh
Siluman Tujuh Nyawa. Mendiang Guru pernah melawan Siluman Tujuh Nyawa di atas
kapal. Ketika Guru mencabut pedang ini, Siluman Tujuh Nyawa segera melarikan
diri."
"Setahuku Siluman Tujuh
Nyawa hanya bisa dibunuh dengan Pedang Kayu Petir. Dan aku tahu pedangmu itu
bukan Pedang Kayu Petir."
Suto tak sadar kalau sejak ia
menyebut Pedang Kayu Petir mata Perawan Sinting menjadi terkesip dan menatap
dengan tajam. Dahi gadis itu pun mulai berkerut. Dan ketika Suto menatapnya,
gadis itu segera ucapkan kata dengan nada pelan namun penuh tekanan rasa heran.
"Rupanya kau mengenal
nama pedang maha sakti itu, ya?!"
"Sedikit banyak aku
pernah menggunakan pedang tersebut."
"Oh, alangkah besarnya
tipuanmu."
"Terserah penilaianmu,
tapi itulah kenyataan yang pernah kualami," kata Suto sambil membayangkan
pedang maha dahsyat itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Pedang Kayu Petir" dan "Seruling Malaikat").
"Kalau benar kau mengenal
Pedang Kayu Petir, tentunya kau tahu siapa yang menjelma sebagai Pedang Kayu
Petir itu?" Perawan Sinting menguji kejujuran Suto. Pertanyaan itu membuat
Suto tersenyum meremehkan.
"Pedang Kayu Petir itu
jelmaan dari Eyang Agung Cipta Mangkurat...."
Perawan Sinting tersentak
terang-terangan. Kepalanya sempat ditarik mundur dan matanya mulai melebar.
Suto tak peduli dan tetap lanjutkan ucapannya tadi.
"Eyang Agung Cipta
Mangkurat mempunyai cucu, yang menjelma sebagai bambu dan menjadi bumbung
tuakku ini!"
"Siapa nama cucu Eyang
Agung Cipta Mangkurat itu?"
"Aku tak berani
menyebutkan. Karena nama itu jika disebutkan, maka akan terjadi hujan petir
diiringi hembusan badai yang dapat mengguncangkan bumi. Jadi...."
"Ya, aku tahu nama cucu
beliau. Menggunakan nama depan Wijaya!"
Kini Pendekar Mabuk tersentak
kaget. Sangat kaget, hingga ia bangkit berdiri
dengan memandang tajam pada si Perawan Sinting. Jawaban itu memang
benar. Untung Perawan Sinting tidak menyebutkan nama lengkap: Wijayasura. Jika
sampai disebutkan secara lengkap, Suto dapat membayangkan gua itu akan runtuh
menimbun mereka berdua.
"Bagaimana mungkin kau
bisa tahu nama itu?!" tanya Suto dengan suara seperti orang berbisik, ia
duduk kembali, karena dilihatnya si Perawan Sinting tetap duduk tenang.
"Barangkali cerita yang
kau dengar kurang lengkap," ujar Perawan Sinting sambil merapatkan
pedangnya ke dalam sarung pedang.
"Kurang lengkap
bagaimana?"
"Eyang Agung Cipta
Mangkurat mempunyai istri. Tahukah kau nama istri beliau?"
"Tidak," jawab Suto
Sinting tegas-tegas.
"Beliau bernama: Nyimas
Rohing Pandewi!"
Suto berkerut dahi makin
tajam. "Dari mana kau tahu?"
"Mendiang guruku; Nyai
Gagar Mayang, adalah keturunan ketujuh dari Nyimas Rohing Pandewi."
Jantung Suto berdetak cepat,
darahnya bagai mengalir deras mengitari sekujur tubuh, ia merasa semakin lebih
dekat mengenal siapa Perawan Sinting itu.
"Eyang Gusti Nyimas
Rohing Pandewi berubah menjadi pedang ini yang dinamakan Pedang Galih Petir.
Hanya guruku yang boleh memegang pedang ini. Karena dari tujuh turunan Eyang
Gusti Nyimas Rohing Pandewi, hanya Guru yang tidak menikah dan tetap suci. Jika
Guru punya adik atau kakak, yang perempuan dan masih suci, maka pedang ini akan
jatuh ke tangan mereka. Tapi karena Nyai Guru Gagar Mayang adalah anak tunggal,
maka pedang ini boleh diwariskan kepada muridnya, asal murid itu adalah murid
tunggal. Dan kebetulan aku adalah murid tunggal Nyai Guru Gagar Mayang."
Pendekar Mabuk langsung
tertegun dengan kaki dan tangan gemetar. Baru sekarang ia mendengar penjelasan
tentang adanya Pedang Galih Petir.
"Mengapa Guru tak pernah
jelaskan tentang pedang ini padaku? Bahkan Resi Wulung Gading sendiri tidak
pernah menyinggung-nyinggung tentang Pedang Galih Petir ini. Sepertinya mereka
tidak tahu adanya Pedang Galih Petir sebagai jelmaan dari Nyimas Rohing
Pandewi. Atau... barangkali mereka memang merahasiakannya?"
Suto hanya ingat, bahwa dulu
si Gila Tuak pernah mengatakan tentang pasangan setiap pusaka. Waktu itu, si
Gila Tuak bicara dengan nada bimbang.
"Setiap suami pasti
mempunyai istri. Demikian pula dengan pusaka, pasti ada pasangannya."
"Maksudmu pemegang pusaka
adalah pasangannya, begitu Kek?!"
"Hmmm... ya, kira-kira
begitu!" Jawab Gila Tuak jelas bernada bimbang, tapi pada waktu itu Suto
Sinting tidak mencurigai kebimbangan itu.
Kini pendekar muda itu merasa
seperti orang bodoh di hadapan Perawan Sinting, ia tak bisa banyak bicara
tentang Pedang Galih Petir, sedangkan si Perawan Sinting sedikit banyak
mengetahui adanya Pedang Kayu Petir. Hanya saja, gadis itu tidak tahu di mana
Pedang Kayu Petir berada.
"Kelak, kalau waktunya
sudah tiba, pedang ini tidak boleh
diwariskan kepada siapa pun, baik keturunanku maupun muridku. Jika diwariskan,
maka kesaktian pedang ini akan hilang, atau pedang ini akan lenyap dengan
sendirinya," ujar si Perawan Sinting.
"Jadi, harusnya
bagaimana?"
"Jika aku sudah tua dan
kematianku hampir tiba, pedang ini harus disatukan dengan Pedang Kayu Petir,
sebagai suaminya. Tapi aku tak tahu di mana Pedang Kayu Petir itu berada.
Tentunya kau mengetahuinya, Suto!"
"Ya, aku tahu. Pedang itu
ada di tangan Resi Wulung Gading yang bertempat tinggal di Lembah Sunyi."
"O, ya... guruku juga
pernah menyinggung-nyinggung tentang Resi Wulung Gading. Guru pernah berpesan
padaku agar suatu saat aku mencari seorang tokoh tua yang bernama Resi Wulung
Gading dan membicarakan tentang pusaka Pedang Galih Petir ini," Perawan
Sinting manggut-manggut dan termenung dengan sendirinya.
"Apa keistimewaan Pedang
Galih Petir ini, Perawan Sinting?" tanya Suto masih penasaran.
"Suatu saat kau akan
tahu. Sekarang aku merasa belum waktunya kau tahu banyak tentang pedang
pusakaku ini!"
"Mengapa begitu?"
desak Suto. Perawan Sinting diam sejenak, seperti dalam keraguan untuk menjawab
hal yang sebenarnya. Tapi akhirnya karena terlalu lama dipandangi Pendekar
Mabuk, gadis itu pun akhirnya memberi jawaban dengan suara pelan.
"Kelak kalau Rogana sudah
mati, aku akan menjelaskan keistimewaan pedang ini. Sekarang pikiranku masih
dibayang-bayangi dendam kepada Rogana!"
Suto Sinting menarik napas.
"Apakah seorang pemilik Pusaka Pedang Galih Petir diizinkan untuk balas
dendam?"
"Selama bertindak demi
kebenaran dan menghancurkan keangkaramurkaan, pedang ini tetap akan ada di
tanganku. Satu-satunya larangan adalah membunuh orang tak bersalah, atau
mencelakai tokoh aliran putih. Jika hal itu kulakukan maka pedang ini akan
lenyap dengan sendirinya."
Sambil pandangi Perawan
Sinting, pemuda berhidung bangir itu manggut-manggut dan menggumam lirih.
Lama-lama hatinya usil dan mulutnya segera ajukan tanya kembali.
"Apakah seorang pemegang
pusaka Pedang Galih Petir boleh jatuh cinta?"
"Menurut Guru boleh.
Karena aku adalah pemegang pedang ini yang terakhir."
"Juga boleh dicium?"
Perawan Sinting mulai sadar
akan keusilan Suto. Ia segera memandangi nanar kepada pemuda yang ada di
sampingnya. Pandangan tanpa senyum itu sering membuat Suto jadi salah tingkah
sendiri. Tapi kali ini ia mencoba melawan kegundahan hatinya dengan tetap
memandang dan bersikap tenang. Senyumnya justru dilebarkan hingga memancarkan
daya pesona tersendiri yang membuat Perawan Sinting deg-degan.
"Apa maksud pertanyaanmu
itu?"
"Hanya sekadar pertanyaan
iseng saja," jawab Suto Sinting, kemudian duduknya merebah dengan
bersandar batu di belakangnya. Tapi pandangan mata Perawan Sinting masih mengikutinya,
membuat Suto akhirnya mengalihkan rasa risinya dengan mengajukan pertanyaan
lagi.
"Kau pernah jatuh
cinta?"
"Sering," jawab
Perawan Sinting dengan cuek. "Tapi selalu dalam khayalan."
"Dalam kenyataan?"
Gadis itu gelengkan kepala.
"Kalau begitu kau belum
pernah dicium seorang lelaki?"
"Sering," jawabnya
lagi bernada seenaknya.
"Kapan kau dicium seorang
lelaki untuk pertama kalinya?"
"Aku tak ingat. Waktu
itu...." Perawan Sinting diam sejenak, mengalihkan pandangan mata, menarik
napas dalam-dalam seperti menahan kedukaan. Hal itu menarik perhatian Pendekar
Mabuk sehingga pemuda itu mendesaknya lagi.
"Waktu itu kau masih
dalam masa puber, begitu maksudmu?"
"Waktu itu... aku dalam
keadaan tak sadar. Maksudku, antara sadar dan tidak."
"Kau dibius oleh lelaki
hidung belang, begitu?"
Perawan Sinting akhirnya
menatap Suto lagi.
"Waktu itu aku sedang
Gila karena terlalu banyak menerima ilmu dari Guru."
"Ooh...?!" Pendekar
Mabuk terkesip, lalu teringat kata-kata Pelung Geni sebelum pertarungan itu
dimulai.
"Aku memang pernah gila,
berlari ke sana-sini, berteriak-teriak, menyanyi, menari-nari, dan... pada saat
itu ada beberapa orang lelaki yang memanfaatkan keadaanku. Aku dinodai,"
ucapnya lirih sekali. "Tapi menurut beberapa temanku yang mengetahui, hal
itu kulakukan berulang-ulang dengan berbagai lelaki. Aku tak tahu, mengapa pada
saat itu yang ada dalam benakku hanyalah bercinta dan bercumbu,
bersenang-senang dan gembira, sampai akhirnya aku pernah dipasung oleh Guru
selama tiga purnama. Tapi setelah aku sembuh dan sadar kembali, hal itu tak
pernah kulakukan dengan pria mana pun."
Pendekar Mabuk diam sebentar
menyimpan rasa iba terhadap peristiwa yang menyedihkan bagi si Perawan Sinting
itu. Agaknya gadis itu tak mau hanyut dalam kesedihan terlalu lama. Maka ia
segera menarik napas panjang-panjang lalu berkata tegas.
"Lupakan saja kisah
itu!"
"Sayang sekali waktu itu
aku tidak ada."
"Apa maksudmu?"
"Coba kalau waktu kau
masih Gila aku bertemu denganmu."
"Kau akan ikut menciumku,
begitu?" Suto nyengir konyol. "Apakah tak boleh?"
Dengan masih tetap memandang
nanap kepada Suto, Perawan Sinting diam beberapa saat lamanya, sampai akhirnya
ia berkata pelan.
"Kalau begitu... sekarang
aku sedang Gila."
Pendekar Mabuk makin
berdebar-debar, karena ia tahu maksud ucapan itu. Berarti ia diizinkan untuk
mencium gadis itu. Tapi Pendekar Mabuk berlagak tak tahu maksud tersebut, ia
hanya mendesah dan merentangkan kedua tangannya sambil menguap.
"Aahh...! Gila itu tidak
bisa dibuat-buat."
"Siapa bilang?" ujarnya
dalam suara makin pelan, tapi wajah makin mendekat.
"Aku tahu sejak tadi kau
ingin menciumku!"
"Kata siapa?" ujar
Suto berlagak cuek.
"Kata hati kecilku!"
sambil Perawan Sinting lebih dekat lagi.
"Aku tak berselera
menciummu!" tengil si Suto.
"Kalau begitu aku yang
berselera!" tegas Perawan Sinting dalam nada mendesah.
"Cukup lama aku
merindukan keindahan seorang lelaki, tapi selama ini tak ada lelaki yang
menggairahkan...."
Kata-kata itu tak dilanjutkan,
karena bibir Perawan Sinting telah menempel di pipi Suto. Pemuda tampan itu
diam saja. Bahkan ketika bibir itu merayapkan kecupannya ke dagu, Suto masih
pura-pura bersikap dingin.
"Kau benar-benar tak
berselera padaku?" bisik Perawan Sinting yang tangannya mulai meremas
nakal di tempat tertentu.
"Tidak, aku tidak punya
selera padamu," pancing Pendekar Mabuk, ia sengaja tak memberikan reaksi
apa-apa walau tangan Perawan Sinting semakin nakal.
Rupanya gadis itu jengkel
terhadap sikap dingin Suto. Ia segera mengambil bumbung tuak dengan berpura-pura
ingin minum. Ternyata dengan nekat Perawan Sinting mengguyur tubuhnya dengan
tuak yang masih tersisa di dalam bumbung itu. Tuak mengguyur dari kening sampai
ke sekujur badan bagian depan. Krucuk, krucuk, krucuk, krucuk...!
"Edan...!"
Wuuut...! Suto menyambar
bumbung tuak setelah tersentak kaget melihat tindakan gadis itu.
"Kau benar-benar sinting!
Tuak tinggal sedikit dipakai buat mandi!" sentak Suto dan membuat Perawan
Sinting hanya tersenyum sinis sambil berbaring santai. Suto bersungut-sungut dan
menggerutu tak jelas setelah mengetahui di dalam bumbung itu tinggal tersisa
beberapa teguk tuak; sekitar tak sampai sepuluh tegukan lagi.
"Brengsek!" bentak
Suto jengkel, si gadis semakin lebarkan senyum dan pandangi Suto dengan mata
sayu.
"Kalau kau sayang dengan
tuakmu, minumlah yang ada di tubuhku! Tuak ini akan segera kering jika tidak
segera kau ambil, karena tubuhku saat ini sedang panas."
Pendekar Mabuk mulai mengerti
maksud tindakan itu. Ia juga merasa sayang melihat tuak mengalir dari kening
sampai ke leher dan terus ke sela-sela dada, bahkan bagian perut pun tampak
basah hingga bawahnya.
Maka Suto pun segera mencucup
genangan tuak yang ada di kening gadis itu. Kening dan wajah si gadis dihujani
kecupan dan sapuan lidah Suto. Gadis itu mendesah merasakan desiran indah saat
lidah Suto mengeringkan tuak tersebut.
"Ooh, indah sekali sapuan
lidahmu, Suto. Ouuh... di sekitar mulutku banyak sekali tuaknya, Suto.
Ambillah, ambil...!" bisik Perawan Sinting dengan suara mendesah.
Suto pun segera menyapu tuak
di sekitar mulut gadis itu dengan
lidahnya. Sapuan itu mengenai bibir, dan bibir itu pun dikecupnya karena
menyimpan tuak juga. Perawan Sinting membalas kecupan itu dengan lumatan yang
mengganas. Tangannya mulai meremas-remas rambut kepala Suto Sinting penuh
gairah. Sementara rompinya mulai dilebarkan oleh Suto dan dada yang basah oleh
tuak itu pun menjadi sasaran kecupan bibir Suto.
"Oouuh...! indah sekali,
Suto. Oooohh... teruskan... teruskan dan jangan berpindah dulu dari situ....
Aku suka sekali, Suto. Uuuuhk...!"
Perawan Sinting mengerang dan
meraung-raung sambil meremasi rambut kepala Suto. Sementara itu, Suto yang
sudah dibakar gairahnya oleh kehangatan tubuh Perawan Sinting itu semakin
menggila lagi.
Tak ada bagian dada yang lolos
dari kecupan dan sapuan lidah Suto. "Bawah, Suto... bawah masih banyak
tuaknya, Suto. Oooh... teruskan, habiskan tuaknya, Suto.... Aduuuh, indah
sekali. Aaaah...!"
Perawan Sinting tak malu-malu
untuk berteriak menampakkan keganasannya. Gerakannya pun semakin liar dan
semakin membakar gairah Pendekar Mabuk.
"Oh, Suto... terus!
Teruuus...! Aku mau terbang, Suto. Aku mau mencapai puncak keindahan di sana.
Teruuuuss.... Aaaah.... Sutooo, Sutoo, Sutoooooo...!!" jerit Perawan
Sinting sambil menjambak rambut Suto kuat-kuat dan menekan kepala pemuda itu
dengan seluruh urat mengejang.
"Ooh, hik, hik,
hik...!" gadis itu bagaikan menangis karena merasakan keindahan yang
teramat tinggi dan mengalami kebahagiaan yang luar biasa, ia memeluk Suto
dengan kedua kakinya. Napasnya terengah-engah sambil sesekali masih memekik
karena Suto masih nakal.
Akhirnya ia bangkit dan
menarik lengan Suto. Pemuda itu dibaringkan dengan baju disentakkan ke kanan
kiri. Lalu, tubuh Suto pun menjadi sasaran keganasan bibir dan lidahnya, ia membalas
serangan Suto yang tadi dengan lebih liar dan ganas. Sesekali memberikan
gigitan kecil yang menimbulkan rasa nikmat tersendiri bagi si Pendekar Mabuk.
Napas Suto pun menjadi terengah-engah diburu oleh kebahagiaan yang begitu
hangat.
"Kau suka, Suto? Kau
suka, hah?!" tanyanya mencecar.
"Oh, aku suka sekali...
teruskan...!"
"Aaahhrrr...!" gadis
itu mengerang dan menyerang Suto lagi sampai pusat kepekaan pemuda itu.
"Aaow...!" Suto
memekik sambil meremas rambut Perawan Sinting.
Namun di sela-sela erangan dan
pekikan suara mereka, secara samar-samar mereka mendengar suara jeritan yang
memanjang beberapa kali. Jeritan itu sangat kecil, sepertinya datang dari
tempat yang jauh.
"Perawan Sinting, tunggu
dulu!" sentak Suto yang membuat gadis itu hentikan cumbuannya.
"Ada apa?! Kau tak tahan
lagi?!" tanya Perawan Sinting sambil terengah-engah.
"Aku mendengar suara
jeritan!"
"Oh, pasti itu pantulan
gema suaramu sendiri."
"Bukan. Jeritan itu
sepertinya jeritan seorang gadis yang.... Nah, dengar itu!"
"Aaaaa...!
Aaaaaa...!"
Perawan Sinting pun mendengar
jeritan itu, ia mulai sadar bahwa jeritan yang berasal dari tempat jauh adalah
bukan pantulan gema. Tapi benar-benar sepertinya ada seorang gadis yang
tersiksa dengan sangat menyedihkan.
"Jeritan itu ada di luar
gua ini!" bisik Perawan Sinting sambil menelungkup di atas Suto.
"Menyedihkan sekali, ia
meratap penuh penderitaan," ujar Suto dengan pelan.
Perawan Sinting buru-buru
mengenakan pakaiannya kembali, demikian pula halnya dengan Pendekar Mabuk. Mereka
sepakat untuk menolong gadis itu lebih dulu, setelah itu baru melanjutkan
kemesraan yang sepanas bara itu.
"Suaranya seperti ada di
kedalaman lorong sana, Suto!"
"Bawa kayu api, kita cari
sumber suara itu!"
Mereka pun bergegas memasuki
lorong yang tadi diperiksa Suto Sinting. Pemuda itu berjalan lebih dulu karena
ia merasa sudah pernah memasuki lorong tersebut. Keduanya sama-sama menggenggam
kayu bakar sebagai pengganti obor penerang jalan.
"Makin ke dalam tubuhku
semakin merinding, Suto!" bisik Perawan Sinting.
"Aku juga demikian.
Waspadalah terus, perhatikan jalanan di depan, siapa tahu ada bahaya menghadang
kita."
"Ooooouuh...!
Aaaaaawwh...!" jeritan itu terdengar lagi.
"Suaranya semakin dekat,
Suto! Lekas lari...!"
"Perawan Sinting, hati-hati
kau!" seru Suto dengan berusaha menekan suaranya, ia pun segera berlari
mengikuti Perawan Sinting yang tampak tak sabar lagi itu.
*
* *
7
LORONG yang mereka susuri itu
semakin lebar. Jarak dinding kanan-kiri sekitar sepuluh langkah. Bahkan di
depan mereka tampak bias cahaya terang yang muncul dari tikungan lorong.
Pendekar Mabuk pun segera mencekal pundak Perawan Sinting dan hentikan langkah
gadis itu.
"Matikan apinya!"
bisik Suto. "Sepertinya ada kehidupan lain di dalam lorong ini!"
Bluub, bluub...! Api pun
dipadamkan. Tanpa cahaya api dari kayu bakar, mereka sudah dapat berjalan tanpa
meraba-raba.
Keadaan tempat itu memang
menjadi remang-remang karena mendapat sisa pantulan bias cahaya dari tikungan
lorong. Tetapi hal itu tidak membuat mereka kesulitan dalam melangkah.
Suto menggenggam tali bumbung
tuak sebagai persiapan jika sewaktu-waktu datang bahaya. Sedangkan Perawan
Sinting menyelipkan pedangnya di pinggang, sambil tangan kanannya selalu siaga
mencabut pedang tersebut.
"Suara jeritan itu telah
hilang!" bisik Perawan Sinting.
"Memang. Tapi aku yakin
suara itu berasal dari lorong ini."
"Ssstt...! Sepertinya
kudengar suara napas besar yang menyeramkan," bisik Perawan Sinting lagi.
"Aku juga mendengarnya!
Perlambat langkah kita dan hati-hati, jangan sampai timbulkan bunyi!"
Mereka kini melangkah
pelan-pelan saat mendekati tikungan lorong. Begitu sampai di tikungan, mereka
berhenti sebentar. Pendekar Mabuk mengintip ke arah lorong yang membelok itu.
"Oh, jalanannya masih
membelok lagi ke kiri. Tapi cahayanya lebih terang."
"Aku mencium bau tak
sedap. Bau apa ini?"
"Mungkin
keringatmu!"
"Sial!" Perawan
Sinting tersenyum sambil mencubit pipi Suto. Sayang sekali keadaan tak begitu
terang sehingga senyuman itu tak bisa dinikmati Suto Sinting.
Mereka kini menelusuri lorong
yang iebih terang lagi. Begitu tiba di sudut tikungan, mereka berhenti lagi.
Suto mengintip pelan-pelan ke arah lorong yang memancarkan sinar terang itu.
Maka tampaklah cahaya terang benderang dari sebuah ruangan besar yang letaknya
sekitar tiga puluh langkah lagi dari tempat mereka berhenti itu.
"Ternyata gua ini ada
penghuninya juga!" gumam Perawan Sinting.
"Ssst...! Perlambat
sedikit langkahmu. Hati-hati, jangan menginjak batu yang dapat menimbulkan
bunyi keras."
"Aku mengerti.
Cerewet!" Perawan Sinting mencubit bibir Suto. Pemuda itu mendesah sambil
menepiskan tangan tersebut.
"Kau ke dinding kiri, aku
di sebelah kanan!" bisik Suto dan Perawan Sinting mengikuti perintah itu.
Mereka mengendap-endap
mendekati ruangan besar beratap tinggi. Ketika mereka tiba di ujung lorong yang
menghubungkan ruangan besar itu, Pendekar Mabuk berkelebat cepat pindah tempat.
Kini ia ada di depan Perawan Sinting dan berjalan menyamping.
"Suara napas aneh itu
sudah tak ada," bisik Perawan Sinting.
"Kurasa pemilik suara
aneh itu telah pergi saat kita mendengar suara gemuruh samar-samar di tikungan
sana tadi."
"Kurasa juga begitu.
Dan... sepertinya ruangan ini aman! Tak ada orang."
"Siapa bilang?! Lihat di
sebelah sana!" tuding Suto ke arah salah satu sisi ruangan besar itu.
Tampak sebuah batu hitam
memanjang bagaikan ranjang. Bagian atas batu yang datar itu terdapat sesuatu
yang terkulai, dan sesuatu itu tak lain adalah tubuh seorang perempuan yang
tergeletak tanpa mengenakan selembar benang pun.
"Astaga...?!" gumam
Perawan Sinting dengan tegang. "Awasi aku! Aku akan memeriksa gadis di
atas batu itu!"
"Lakukan, akan kujaga
dari sini!"
Perawan Gila melangkah penuh
waspada dan hati-hati. Pendekar Mabuk pandangi lorong depan yang menjadi lorong
tembus dari arah lain ke ruangan besar itu. Lorong seberang sana juga dalam
keadaan terang karena dindingnya dipenuhi oleh obor-obor dari logam putih.
Obor-obor berbentuk serupa juga ada di sekeliling dinding ruangan besar
tersebut.
"Agaknya ruangan ini
merupakan suatu tempat yang terawat. Buktinya lantainya dalam keadaan rata
walau tetap dari tanah cadas. Batu-batuan hanya ada di tepian dinding, tapi di
bagian tengah tak ada batu kecuali batu hitam mirip dipan itu," gumam Suto
Sinting.
"Pssst...! Pssst...!
Suto...!" panggil Perawan Sinting, ia melambai ketika Suto memandangnya.
Maka pemuda bertubuh kekar itu pun segera hampiri Perawan Sinting yang sudah
tiba di batu hitam itu.
"Gadis ini telah tak
bernyawa lagi," ujar Perawan Sinting pelan.
"Kasihan," gumam
Suto sambil geleng-geleng kepala.
"Lihat luka-lukanya, dan
luka yang paling parah ada di antara kedua pahanya itu."
"Tampaknya ia habis
diperkosa." "Benar! Dan yang memperkosa bukan manusia biasa."
"Maksudmu?!"
"Makhluk yang besarnya melebihi
manusia biasa, sehingga 'mahkota' gadis ini rusak menerima keganasan gairah
makhluk itu."
Perawan Sinting segera
pandangi keadaan sekeliling. Aroma tak sedap itu sedang dikenalinya sejak tadi.
Namun begitu ia memperhatikan bekas telapak kaki di sekitar batu hitam itu,
wajahnya menjadi tegang dan matanya melebar.
"Suto... sekarang aku
tahu siapa yang tinggal di sini! Lihat bekas telapak kaki ini! Telapak kaki
berjari empat besar-besar adalah telapak kakinya si manusia badak itu!"
"Rogana...?!"
"Benar!" jawab
Perawan Sinting penuh semangat. "Aku ingat, orang itu hanya mempunyai
empat jari pada masing-masing telapak kakinya. Ooh... tak kusangka ternyata
kita sejak tadi sudah menemukan tempat persembunyian si Rogana!"
"Jika benar begitu,
berarti siapa gadis ini?"
"Entah. Aku tak kenal.
Tapi yang jelas ia adalah korban keganasan gairah si manusia badak itu! Kita
cari dia! Pasti belum jauh dari sini!"
Belum sampai mereka bergerak,
tiba-tiba salah satu dinding ruangan itu jebol. Broool...! Sesosok tubuh tinggi
besar muncul dari dinding itu. Brruuus...! Jleeg...!
"Rogana...!" sentak
Perawan Sinting dengan kaget.
"Rupanya langkah
kalianlah yang kudengar saat aku sibuk menikmati kehangatan gadis itu!"
kata Rogana dengan wajah menyeramkan dan mulut menyeringai menampakkan giginya
yang runcing-runcing itu.
"Aku sengaja mencarimu,
Rogana!" seru Perawan Sinting setelah mencabut pedangnya.
"Kusangka kau sudah mati
di dalam kepompong batu! Ternyata kau masih hidup, Perawan Sinting!"
"Sebelum nyawamu kukirim
ke neraka, aku tak akan mati lebih dulu!"
"Bagus! Dan... siapa
pemuda yang bersamamu itu?!"
"Pendekar Mabuk!"
sentak Perawan Sinting memperkenalkan Suto.
"Oooh... tepat sekali
jika begitu! Ternyata kudapatkan satu kesempatan untuk dua pekerjaan! Pendekar
Mabuk; kau terpaksa harus berhadapan denganku, karena aku telah bersekutu
dengan Pangeran Cabul!"
"Apa hubungannya antara
aku dengan Pangeran Cabul?!"
"O, jadi kau belum tahu
kalau sedang diburu oleh Pangeran Cabul?! Kasihan sekali nasibmu, Nak! Pangeran
Cabul ikut murka karena kau mengganggu
kakak perempuannya yang bernama Ratu Lembah Girang! Maka ia bersumpah akan
mencarimu dan memenggal kepalamu sebagai tanda kasih sayangnya terhadap sang
kakak! Lalu ia bergabung denganku untuk menghancurkan kalian berdua! Dia akan
mengabdi padaku jika aku berhasil membunuhmu!"
Perawan Sinting berseru,
"Sebelum kau membunuh Pendekar Mabuk, kau harus membedah mayatku dulu,
Manusia Badak!
Hiaaat...!"
Rupanya Perawan Sinting
menjadi berang mendengar Suto mau dibunuh oleh Rogana. Ia segera melesat
menjejak dinding, lalu tubuhnya pun menerjang Rogana dengan kecepatan tinggi.
Weees...!
Rogana menyentakkan kedua
tangannya ke depan. Wuuut...! Dan tubuh gadis cantik itu bagaikan dihempaskan
pusaran badai yang amat kuat. Weeut...! Brrruk...!
"Aaahk...!" Perawan
Sinting membentur dinding dan jatuh terpuruk dalam keadaan keningnya berdarah.
Pendekar Mabuk tak mau tinggal
diam. Ia segera menerjang dengan kecepatan jurus 'Gerak Siluman' sambil
menyodokkan bumbung tuaknya. Zlaaap...! Tapi bumbung tuak itu sengaja ditahan
dengan dada Rogana yang keras dan tebal itu. Blaaar...!
Ternyata dada itu dilapisi
tenaga dalam tinggi, sehingga ketika disodok bumbung tuak menimbulkan ledakan
besar. Ledakan itu justru melemparkan Pendekar Mabuk dengan kuatnya hingga
membentur dinding dan kepalanya pun bocor seketika. Sedangkan dada Rogana hanya
berasap tipis, lalu asap itu pun lenyap. Rogana menggeram dengan penuh nafsu
membunuh, ia mencabut pedang yang sejak tadi diselipkan di pinggangnya.
Pedang besar itu segera
ditebaskan ke arah Perawan Sinting yang sedang bergegas bangkit.
Wuuut...!
"Tidaaaaak...!"
teriak Suto dengan tegang sekali. Maka ia pun melesat dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya lagi. Zlaaap...! Tiba di
depan Perawan Sinting, bumbung tuaknya disangga dengan dua tangan. Trraaang...!
Blaaaar...!
Pedang Rogana menghantam
bumbung tuak dan menimbulkan ledakan lagi. Kali ini tubuh Rogana yang tinggi
besar itu terhempas ke belakang akibat pantulan tenaga dalamnya sendiri saat menghantamkan
pedang mengenai bumbung tuak Suto.
Dalam keadaan sedang
terhuyung-huyung ke belakang, tiba-tiba Rogana melihat kilatan cahaya hijau
dari telapak tangan Pendekar Mabuk. Jurus 'Pecah Raga' dipergunakan oleh Suto.
Claap...! Tapi sinar hijau itu dapat ditangkis dengan pedang Rogana.
Blegaar...!
Atap ruangan itu mulai runtuh
sebagian, terutama di sudut ruangan. Ledakan yang kali ini mengguncang hebat
membuat dinding-dinding tampak retak. Rogana terlempar mundur hingga membentur
dinding. Tapi masih dalam keadaan berdiri sedikit membungkuk. Rogana segera
memutar pedangnya di atas kepala. Perawan Sinting berteriak,
"Awas! Pedangnya akan
menjadi sembilan dan bernyawa!"
Pendekar Mabuk mendahului
dengan serangannya menggunakan jurus 'Manggala'. Agaknya manusia badak yang
sangat ganas itu tak bisa dilawan dengan jurus lain, karena ia mempunyai
jurus-jurus yang berbahaya. Maka jurus 'Manggala' pemberian Ratu Kartika Wangi,
calon mertuanya itu, segera digunakan oleh Suto Sinting yang telah berlumuran darah
akibat luka di kepalanya.
Satu sentakan tangan miring
keluarkan cahaya emas berbentuk pisau kecil-kecil. Clap, clap, clap...! Pisau
itu menghujani Rogana yang mau melemparkan pedangnya agar menjadi sembilan
pedang bernyawa.
Dada tebal berkulit abu-abu
iItu ternyata mampu ditembus sinar kuning emas secara beruntun. Zuuuurrrb...!
"Ahk..!" suara kecil
keluar dari mulut Rogana dalam satu sentakan. Setelah itu, orang berwajah badak
itu diam dalam keadaan mendelik, sedangkan pedangnya terlempar dengan sendirinya,
menancap di salah satu dinding. Jaaab...! Kraaaak...!
Dinding itu mulai retak dan
dalam getaran memanjang. Keretakan itu merayap sampai ke bagian langit-langit
ruangan dan lantai.
"Pedang itu keluarkan
tenaga saktinya!" seru Perawan Sinting.
Pendekar Mabuk segera
menenggak tuaknya, lalu sisa tuak yang di mulut disemburkan ke pedang yang
menancap di dinding itu sambil lakukan lompatan cepat.
Bwwrrrsss...!
Laap...! Pedang itu lenyap
seketika. Jurus 'Sembur Siluman' telah membuat pedang itu lenyap selama-lamanya
dan kekuatan saktinya telah berhenti. Keretakan dinding pun terhenti seketika.
Perawan Sinting merasa
mendapat kesempatan begitu melihat Rogana diam saja. Ia segera menerjang dengan
pedang yang menyala hijau itu. Tetapi suara Suto yang berseru membuat gerakan
menerjangnya itu tak jadi dilakukan.
"Tahan...!"
Perawan Sinting memandang Suto
dengan nada protes.
"Tak perlu kau buang lagi
tenagamu untuk melawannya!" ujar Suto. "Ia sudah tidak
bernyawa!"
"Tapi dia tidak mengalami
luka apa-apa dan...."
Prrrus...! Tiba-tiba Perawan
Sinting terkejut melihat kulit lengan Rogana berjatuhan bagai serpihan abu.
Pendekar Mabuk berkata kepada Perawan Sinting.
"Lampiaskan dendammu
dengan tiupan saja!"
Mulanya Perawan Sinting heran
dengan ucapan itu. Tapi ia segera mendekati Rogana dan melepaskan tiupannya.
Puiih...!
Wuuursss...! Tubuh Rogana
ternyata sudah menjadi abu sejak tadi. Sekali ditiup, buyarlah abu itu dan
menumpuk menjadi satu onggokan. Perawan Sinting merasa puas melihat kematian
Rogana, ia segera mendongak ke atas dan berkata bagai bicara pada seseorang
yang tak dilihat oleh Suto.
"Guru, kematianmu telah
terbalaskan. Rogana telah mati dalam melawan muridmu; Perawan Sinting, dan...
dan calon kekasih muridmu ini: Suto Sinting. Damailah arwahmu di kelanggengan
sana, Guru!"
Pendekar Mabuk tercengang
mendengar Perawan Sinting menyebut dirinya 'kekasih'. Jantung Suto menjadi
berdebar-debar setelah Perawan Sinting segera menatapnya dan memamerkan
senyumannya yang lebar dan menawan sekali.
"Satu perkara lagi yang
harus kita selesaikan," ujar Perawan Sinting.
"Pangeran Cabul,
maksudmu?"
"Ya! Karena aku tak ingin
kau diancam oleh Pangeran Cabul! Aku yang akan bertarung melawannya!"
"Hei, hei, hei..., kenapa
jadi kau yang berang kepada Pangeran Cabuli Bukankah yang mau dibunuh adalah
aku?!"
"Sama saja ia mau
membunuh kebahagiaanku!" ketus Perawan Sinting.
"Malam ini juga kita
hancurkan Istana Tengkorak itu!"
Kemudian Perawan Sinting
melangkah lebih dulu, sedangkan Suto Sinting hanya geleng-geleng kepala sambil
sunggingkan senyum kekaguman terhadap keberanian gadis itu.
"Benar-benar sinting
dua-duanya kalau begini," ucap Suto dalam hati.
SELESAI