1
WAJAH gadis itu tampak tegang.
Matanya yang bundar indah kelihatan lebar dan bergerak-gerak liar. Gadis
berpakaian kebaya biru kusam dan kain batik coklat tua itu berlari
meneroboskerimbunan semak kayu kering. Suara gemersik terdengar sebagai tanda
ke mana arah pelariannya.
Gadis itu berusia sekitar dua
puluh dua tahun. Tapi jika diperhatikan agak lama, ia tampak sudah matang
sebagai gadis dewasa. Kulitnya yang kuning langsat itu berdada sekal dan
montok. Tak heran jikatubuhnya itu mengundang minat setiap lelaki. Apalagi ia
berkebaya robek bagian pundak sampai hampir sebatas dada, tentunya kekuningan
kulit mulusnya itu kian menambah semangat bagi seorang lelaki. Rambutnya yang
panjang terurai lepas itu bagaikan lambaian tangan untuk bercumbu mesra.
Tetapi gadis itu kini dalam
ketakutan. Wajahnya yang tegang menyelusup di antara kerimbunan tanaman hutan,
ia bersembunyi di balik pohon, memandang ke belakang, melongok ke sana-sini,
kemudian berlari lagi sambil menghamburkan tawa yang oekikikan. Gerakan larinya
berkesan liar, perubahan air mukanya tak menentu; kadang tampak takut,
kadangtampak sedih, kadang pula ia tampak ceria hingga tawanya terlepas di
sela-sela pohon hutan.
"Mereka tak bisa
mengejarku. Hi, hi, hi...! Mereka kehilangan jejakku?! Oooh... alangkah
dungunya mereka. Hi, hi, hi...!" gadis itu berkata dengan suara jelas,
tapi seakan ditujukan kepada dirinya sendiri. Napasnya yang terengah-engah kini
diredakan sambil tubuhnya bersandar di bawah pohon. Tawanya masih
berderai-derai diselingi wajah tegang sepintas.
Tiba-tiba dari kerimbunan
semak di sampingnya muncul dua lelaki yang melompat dengan gesit dan
lincah.Wuuurt...! Jleeeg...!
"Aaauh...!" gadis
itu memekik kaget dengan suara melengking tinggi. Dua lelaki yang masing-masing
berusia sekitar tiga puluhan tahun itu melepaskan tawa bersamaan.
"Sekarang kau tak dapat
lari lagi, Cah Ayu...! He, he, he, he...!" goda lelaki berpakaian hitam
dengan ikat kepala dan ikat pinggang kain hitam pula. Kumisnya sedikit tebal
dan matanya tampak liar, bernafsu sekali memandang gadis yang kini sedang
mundur ke arah kerimbunan semak lainnya .
"Akutidak mau! Pergi
kalian! Pergi! Akutidak suka sama kalian. Kalian terlalu nakal!" gadis itu
mencoba mengusir dengan sebaris kecaman. Tapi si baju hitam semakin
mendekatinya Gadis itu lari ke balik pohon, tapi kepalanya nongol memandang si
baju hitam. Senyum si baju hitam adalah seringai seorang lelaki yang kegirangan
mendapatkan perempuan mulus di t engah hut an.
Sedangkan temannya, yang
mengenakan pakaian hijautua dengan ram but panjang sepundak tak diikat itu juga
menyeringai kegirangan, ia melangkah melalui sisi lain, membentuk gerakan
mengepung gadis itu.
"Kami tidak nakal
kepadamu, Anak Manis! Kami tidak akan menyakitimu. Justru kami ingin memberikan
keindahan padamu, Anak Manis," bujuk si baju hijau.
"Keindahan apa?!"
sentak gadis itu dari balik pohon.
"Kehangatan dan cinta,
Anak Manis."
Gadis itu tersenyum-senyum
nakal dengan mata memandangi si baju hijau yang bernama Kobar, sementara si
baju hitam yang bernama Raseta makin mendekat mengambil arah dari belakang
gadis itu. Sementara Kobar sibuk membujuk, Raseta kian mendekat dan melebaikan
kedua tangannya bersiap untuk memeluk dari belakang.
"Namamu siapa, Anak
Manis?" Kobar memancing perhatian gadis itu supaya tidak menengok ke
belakang, sehingga ia tidak tahu kalau akan diterkam oleh Raseta dari belakang.
"Namaku Palupi,"
jawab gadis itu sambil tersenyum- senyum memainkan ujung rambutnya yang meriap
ke dada kanan.
"Namamu cantik sekali,
seperti orangnya Nama itu hangat didengar, pasti sehangat tubuh orangnya. He,
he, he, he...!"
"Kumismu juga hangat,
Kang. Sehangat jagung bakar. Hi,hi,hi...!"
Kobar bangga, mengusap
kumisnya yang lebat, lebih lebat dari kumis Raseta. Tapi gadis itu tiba-tiba
memekik dengan suara lengking manakala Raseta berhasil menyergapnya dari
belakang.
"Aaaa...!"
Gadis itu meronta ketika
tengkuk dan punggungnya diciumi oleh Raseta dengan buas. Jeritannya terlontar
berulang-ulang bahkan terdengar kasar.
"Tolooong...! Tolooong,
aku mau diperkosa. Hii... tolong! Aku malu...! Aku malu sekali. Oouhh...!
Tolooong... aku mau diperkosa.
Hiii... geli! Geliii .... Tidak mau. Tidak mau! Lepaskan aku! Jangan pegang
tubuhku. Oh, lepaskan tangan kananmu, Kang."
Tetapi Raseta makin buas
menciumi punggung Palupi. Karena kepala Palupi bergerak meronta tak karuan,
maka Raseta tak berhasil mencium pipi gadis itu. Kesempatan itu dimiliki oleh
Kobar yang ada di depan Palupi dan langsung ikut memeluk penuh gairah yang
berkobar-kobar. Wajah Palupi pun segera disosornya. Bruuus...! Cruuup...!
Tapi pada waktu itu Palupi
berhasil meloloskan diri dengan menarik badan ke bawah sambil mengerang penuh
ketakutan. Pada waktu tubuh Palupi lolos ke bawah, kedua tangan Kobar memeluk
tubuh Raseta. Karena mata mereka saling terpejam untuk menikmati dan meresapi
kehangatan sang dara, maka mereka sempat kecele sebentar. Bukan Palupi yang
dicium Kobar, melainkan wajah Raseta yang terkena sosoran mulut Kobar.
Sedangkan Raseta menyangka Palupi berbalik arah dan wajahnya menghadap ke
mukanya. Maka ketika bibirnya menyentuh bibir Kobar, Raseta sempat kaget dan
buru-buru membuka mata.
"Hah...?! Bangsat
kau!"
Plook...!
"Kau yang bangsat!"
bentak Kobar lalu membalas tamparan itu. Plook...!
Palupi telah lolos dengan cara
merangkak menerobos kaki kedua ielaki itu. Ia berlari ke pohon seberang, dan
dari sana ia tertawa kegelian melihat dua lelaki itu saling berciuman dan
berpelukan.
"Hi, hi, hi...! Ayo,
berciumanlah sepuas hatimu! Aku akan menjadi penonton yang setia dan tidak akan
mengganggu kalian. Hi, hi, hi.... Kumis bertemu dengan kumis alangkah lucunya?!
Hi, hi, hi...!"
"Monyet liar kau,
Palupi!" geram Kobar.
"Kamu juga monyet
liar!" geram Raseta kepada teman sendiri. "Kusangka mulutnya Palupi.
Setelah kurasakan mulut itu berbulu , eh... taktahunya kumisnya yang
menggelitik lubang hidungku! Kampret busuk!"
Kobar akhimya tertawa geli
menyadari salah ciumnya tadi. Raseta pun ikut terbahak-bahak hingga tubuhnya
oleng karna terbungkuk-bungkuk. Air matanya sempat keluar pertanda ia
benar-benar geli membayangkan kejadian tadi.
"Hei, gadis itu lari!
Ayo, kejar lagi dia! Jangan sampai lolos!" teriak Kobar dengan sentakan
nada tinggi.
Sambil bergegas mengejar,
Raseta berseru, "Jangan berebut! Sebaiknya kalau nantitertangkap kita
antri saja! Gantian. Jadi kitatidak salah kumis lagi!"
Palupi yang kebayanya
bertambah robek karena tarikan tangan Raseta tadi, berusaha melarikan diri
menuju ke arah sungai, ia mendengar suara gemuruh aliran arus sungai yang jatuh
dari ketinggian tempat, ia yakin di depannya ada air terjun, berarti ada
sungai, dan ia bisa menyeberang sungai secepatnya sebelum terkejar oleh dua
lelaki bernafsu jalang itu.
Namun angan-angannya itu tak
terlaksana, karena sebelum ia mencapai tepian sungai, tubuhnya telah tersungkur
jatuh karena diterkam Kobar dari belakang. Terkaman itu mengejutkan hingga
suara kagetnya melengking tinggi.
"Aaaauh...! Jangaaan...!
Lepaskan aku! Lepaskan...! Aku tidak mau! Tidak mau! Tidak mau di sini!
Lepaskaaan...!"
Palupi mencoba mengamuk,
meronta, mendorong tubuh Kobar yang mulai menindih dirinya. Dengan mengerahkan
tenaga wanitanya, tubuh Kobar yang kurus berhasil disentakkan dan orang
ituterlemparke samping. Palupi berusaha bangkit dengan merangkak, tapi tubuhnya
tersungkur lagi karena segera diterkam oleh Raseta.
"Kenakau...!" teriak
Raseta.
"Aaauh...! Jangan!
Jangan! Jangan sekarang! Aauuuh...! Aku tidak mau. Tolooong...! Tolooong...!
Aaauh...!" Palupi merontaterus.
"Pegang kuat-kuat, jangan
sampai lepas!" seru Kobar kepada Raseta. Lalu Kobar pun ikut menerkam,
memegangi kaki Palupi. Tapi kaki itu menjejak-jejak. Akhimya Kobar ikut
menerkam Palupi.
"Tidak mau! Pokoknya
akutidak mauuu...! Aaauh...! Kurang ajar kalian! Lepaskan aku!
Lepaskan...!"
Ternyata Palupi tetap meronta
menguras tenaga. Ketiganya saling bergelut di rerumputan. Saling berusaha
mencapai keinginan batinnya, saling berusaha mencari pemenuhan hasratnya. Tanpa
sadar, ternyata justru gadis itutelah berhasil lolos dari pelukan mereka, dan
kedua lelaki itu justru sibuk saling peluk sendiri.
Begitu Raseta sadar, ia
berteriak membentak, "Bangsat! Kau lagi!"
Plook...! Wajah Kobar
ditamparnya penuh kejengkelan. Kobar pun memaki serupa dan memukul wajah Raseta
dengan kedua tangannya yang hinggap memenuhi wajah temannya itu. Prook...!
Dari jarak limatombak Palupi
tertawa terkikik-kikik kegelian melihat dua lelaki yang saling bergelut di
rerumputan. Tapi kedua orang itu segera berjingkat bangkit, lalu mengejar ke
arah Palupi. Gadis itu berlari lagi menuju sungai. Tapi sebelum tiba di tepian
sungai, lagi-lagi langkahnya terhenti total. Kali ini bukan karena diterkam
Kobar atau Raseta, melainkan karena kemunculan seseorang di depan langkahnya.
Jleeg...!
"Ooh?!" Palupi
terbelalak, matanya melebar, mulutnya melongo. Mata itu tak bisa berkedip lagi
Sepertinya, karena kali ini yang dipandang bukan wajah berkumis dan berbadan
kurus, melainkan wajah tampan punya senyum menawan.
Seorang pemuda bertubuh tegap,
kekar, dan gagah, berdiri sambil menyandang bum bung tuak dari bambu di pundak
kanannya. Pemuda itu bercelana putih kusam, dengan baju tanpa lengan warna
coklat. Ikat pinggangnya dari kain merah dan rambutnya lemas, lurus sebatas
lewat pundak sedikit. Matanya memancarkan kelembutan yang menenangkan jiwa seresah
apa pun. Seakan di kedua mata pemuda tampan itu terdapat dua sendang bening
yang menyejukkan hati setiap wanita .
"Menyingkirlah ke balik
pohon di belakangku, biar kuhadapi kedua lelaki itu," katapemuda tampan
tersebut yang tak lain adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang, yang kini namanya kesohor sebagai Pendekar Mabuk.
"Ak... aku... aku mau
diperkosa," kata Palupi dengan gugup, kepalanyamengangguk. Tapi Suto
menjawab,
"Akutidak mau
memperkosamu. Jangan menyuruhku memperkosamu"
"Aku... akutidak
menyuruhmu, akumemberitahukan padamu bahwa aku mau diperkosa."
"Terserah kau mau atau
tidak, tapi jangan memohon begitu padaku."
"Aku tidak memohon!"
bentak Palupi jengkel. "Aku memberi tahu padamu, ada dua lelaki yang mau
memperkosaku!"
"Ooo... begitu maksudmu?
Kalau soal itu aku tak perlu kau beri tahu. Aku sudah tahu sendiri. Aku sudah
melihat pengejaran mereka dan usaha mereka saat menggelutimu tadi. Karena itu,
menyingkirlah biar aku yang hadapi mereka, Nona!"
Tentu saja kemunculan Suto
Sinting merupakan penghalang besar yang memuakkan bagi Raseta dan Kobar. Mereka
memandang benci ketika berhadapan dengan Suto Sinting. Yang membuat mereka
semakin memendam kemarahan adalah sikap Suto Sinting yang tenang dan
kalem-kalem saja, malah sempat menenggak tuak dari bumbung bambu yang
ditentengnya ke mana- mana itu.
"Apa maksudmu menghadang
kami, Bocah Ingusan?!" sentak Kobar kepada Suto.
"Dia pasti berlagak
menjadi pahlawan! Hajar saja dia. Habisi nyawanya!" ujar Raseta dengan
mata memandang penuh permusuhan. Maka, Kobar pun mencabut goloknya. Sreet...!
Disusul kemudian golok Raseta juga dicabut dari sarungnya.
Seeet...! Mereka saling
memisah jarak, ke kiri dan ke kanan, siap mengepung si tampan berhidung bangir
dan berkulit sawo matang itu.
Palupi yang sudah bersembunyi
di balik pohon belakang Suto, segera berlari menghampiri Suto, mencolek-colek
punggung Suto, setelah Suto berpaling memandangnya, gadis itu berkata,
"Kang, yang mereka cabut
itugolok! Goloknyatajam lho! Apakamutidak takut sama goloktajam?"
"Kembalilah
ketempatmu!" kata Suto agak jengkel. Palupi menurut, kembali ke balik
pohon dan menonton cara Suto menghadapi dua orang berbadan kurus itu.
"Bocah ingusan!"
seru Kobar, "Kuingatkan padamu, jangan mau mati sia-sia untuk gadis gila
seperti si Palupi itu! Tak ada hebatnya kau membela kesucian gadis gila. Karena
mungkin dia sudah tidak perawan lagi sejak beberapa waktu yang lalu! Jadi
sebaiknya, menyingkirlah dan jangan berlagak sebagai pendekar!"
"Justru aku yang ingin
sarankan pada kalian agar jangan mengganggu gadis seperti dia! Entah gila atau
tidak, tapi memaksa kehendak seorang gadis untuk melayani hasrat kelelakian
kalian itu adalah tindakan yangtakterpuji!"
"Ha, ha, ha...! Kau
berlagak menjadi seorang resi atau pendeta, hah?!" seru Raseta sambil
makin mendekat, bersiap lakukan serangan dadakan, ia berkata lagi, "Aku
dan Kobar tidak butuh nasihatmu! Kau tak perlu menasihati kami, karena kau
bukan calon mertua kami. Ha, ha, ha...!"
"Memberi nasihat bukan
tugas calon mertua saja, tetapi di antara kita perlu saling bertegur sapa,
saling memberi nasihat, mengingatkan kepada siapa yang lupa akan
langkahnya," kata Suto dengan nadatenang.
Palupi maju lagi dekati Suto
dan berkata, "Kang, kok ngobrol terus? Kapan tarungnya?! Sudah, bres,
bres, bres... begitu!" sambil mulutnya bersungut-sungut dan kembali ke
balik pohon.
Suto Sinting membatin,
"Gadis ini sepertinya lebih sinting dariku. Jangan-jangan apa yang
dikatakan dua orang itu memang benar, bahwa gadis itu memang gila. Hmmm...
rasa-rasanya aku tak perlu gunakan kekerasan untuk mencegah tindakan tak
terpuji dari mereka. Cukup dengan saran dan ucapan saja, aku yakin mereka sadar
dengan apa yang ingin mereka lakukan itutadi."
"Hei, Bocah
Ingusan!" seru Kobar, "Kau telah berbuat lancang dengan menghadang
langkah kami! Kau harus menerimapelajaran dari kami. Hiaaaah...!"
Kobar menyeringai lebih dulu
dengan sebuah lompatan. Suto Sinting terkesiap sejenak, lalu badannya limbung
bagai mau jatuh seperti orang mabuk. Tetapi gerakan limbung ke kiri itu
ternyata hasilkan tendangan ke kanan, dan tendangan itu kenai siku tangan kanan
Kobar yang hendak menebaskan goloknya ke pundak Suto. Dees...! Krek...!
"Auh...!" Kobar
memekik tertahan, tulang sikunya bagaikan lepas dari engsel. Gerakan itu di
luar rencana Suto. Gerakan itu adalah gerakan naluri dari jurus-jurus silatnya,
yaitu jurus silat Pendekar Mabuk.
Tak heran jika tubuh Suto
segera meliuk ke depan bagaikan limbung, kakinya saling berlilit dan tersendat
dalam langkahnya. Ketika tangannya seakan ingin mencari sesuatu untuk pegangan
agar tubuh tak jatuh, tiba-tiba tangan itu berkelebat. Duug...! Tepat kenai ulu
hati Kobar. Akibatnya, Kobar mendelik, napasnya tertahan dan sulit dihela, ia
terdorong ke belakang hampir jatuh terkapar kalautak ditahantangan Raseta.
"Monyet buruk!"
geram Raseta. "Terlalu lancang kau melakukan serangan terhadap temanku
ini! Jangan bangga dulu kau, Bocah liar! Jangan merasa jadi pendekar walau bisa
memukul Kobar. Tapi cobalah dulu hadapi jurus golokku ini! Heaaah...!"
Wut, wut, wuuuut...!
Golok itu berkelebat cepat
bagai ingin menerjang wajah Suto Sinting. Tapi tubuh Pendekar Mabuk itu justru
meliuk ke belakang bagaikan ingin tumbang dan terkapar terkena angin tebasan
tersebut. Namun sebenarnya itulah gaya jurus Pendekar Mabuk dalam menghadapi
serangan senjata tajam lawannya. Dengan keadaan meliuk ke belakang, ternyata
kedua kakinya mampu menendang cepat ke arah lawan. Des, des...! Dug, dug,
dug... !
Wuuut...! Suto Sinting
bersalto ke belakang. Jleeg...! Ia telah berdiri tegak kembali ketika lawannya
sedang terhuyung-huyung karena tendangan beruntunnya tadi kenai lengan, dada,
dan dagu.
"Terpaksa aku bersikap
agak kasar, karena serangan mereka tak mau ditunda," pikir Suto agak
menyesal sampaikeluarkan jurus mabuknya Padahal iamerasatak perlu gunakan jurus
apa pun untuk hadapi kedua orang itu.
Melihat Suto berhasil bikin
mundur dua lelaki itu, Palupi tepuk tangan dari samping pohon, seakan merasa
bangga melihat perlawanan Suto yang sempoyongan mirip orang mabuk itu.
"Terus, Kang! Hajar
terus, Kang...! Tendang lagi mereka biar seluruh giginya rontok seperti daun
kesamber petir. Hi, hi, hi...!" suara Palupi tak dihiraukan Suto, karena
tiba-tiba kedua lawannya itu menyerang secara bersamaan dengan jurus golok
kembar yang beda gerakan tapi sama-sama berkecepatan tinggi. Wuuut...! Wees,
wees, wees, wwwuuut...! Trang! Golok mereka akhirnya dihadang oleh bambu tempat
tuak Suto yang kerasnya menyamai baja itu. Dan ketika golok itu menghantam
bambu tuak, tiba-tiba kedua mata mereka sama-sama terbelalak kaget.
"Rompal...?!" gumam
Kobar dengan mata menatap goloknyayangnyaris patah.
"Edan!" gumam
Raseta, juga terheran-heran melihat goloknya geripis separo bagian. Sedangkan
Suto Sinting menarik diri, mundur dua langkah dan berdiri tegak dengan senyum
tipis menambah ketampanannya.
"Pergilah dan jangan
ganggu gadis itu lagi. Kuharap selamanya kalian tak akan berbuat sehina itu
lagi!" kata Suto dengan suara tenang.
"Persetan dengan
nasihatmu! Kobar, serang dia dengan jurus 'Sinar Mega' kita bersama-sama!"
"Heaaaat...!" Kobar
segera bersiap lepaskan pukulan tenaga dalam yang dinamakan jurus 'Sinar Mega'
itu. Raseta pun lakukan hal yang sama, sehingga dari telapak tangan kiri mereka
sama-sama keluarkan selarik sinar putih meliuk-liuk bagaikan mata bor besar. Claaap...!
Kedua sinar itu menghantam dada Suto. Tapi sebelum tiba di sasarannya, kedua
sinar itu telah pecah lebih dulu karena dihantam oleh sinar merah menyerupai
piringan lebar. Blaaar...!
Ledakan itu menyentak kuat,
membuat kedua orang yang mau memperkosa Palupi terpental ke belakang tiga
tindak jauhnya, dan Suto Sinting hanya mundur setindak, ia terkejut dan heran,
sebab ia merasa tidak memberikan serangan balasan.
Dalam hatinya menanyakan
tentang datangnya sinar merah itu. Tapi pertanyaan batinnya itu segera terjawab
setelah kemunculan seorang lelaki tua, berusia sekitar empat puluh tahun lebih,
mengenakan baju abu-abu dengan selempang pita kuning yang menyilang di dada dan
punggung.
"Kobar dan Raseta!"
sentak orang yang baru muncul dari atas pohon itu. "Tugas kalian bukan
untuk memperkosaperempuan! Apakah kalian lupa?!"
Raseta dan Kobar bergegas
bangkit dengan perasaan takut kepada orang berselempang pita lebar itu. Mereka
tundukkan wajah, seakan siap menerima hukuman dari orang yang lebih punya kharisma
ketimbang keduanya itu.
Suto Sinting berkerut dahi
memandangi lelaki berjenggot tipis warna hitam, dan berambut sedikit panjang
namun diikat dengan kain satin, sama dengan warna selempangnya. Dalam hati Suto
bertanya-tanya, "Siapa orang ini? Agaknya ia adalah atasan dari Raseta dan
Kobar."
Orang tersebut menghardik
Raseta, "Apakah sang Ketua menugaskan kau untuk mengejar-ngejar
perempuan?!"
"Tidak, KiWirogo!"
"Kobar, kau sadar siapa
orang yang baru saja kau hadapi itu?"
"Bocah ingusan, yang
berlagak ingin menjadi pendekar pembela gadis gila itu, Ki Wirogo!"
Plook...! Ki Wirogo menampar
dengan kelebatan kaki kanannya. Wajah Kobar menjadi merah matang karena
tamparan kaki tersebut. Kobar tak berani lakukan apa- apa kecuali segera
bangkit dari jatuhnya dan kembali tundukkan kepala.
"Bodoh!" bentak Ki
Wirogo. "Dia adalah seorang pendekar! Bumbung tuaknya itu sudah mewakili
gelarnya sebagai Pendekar Mabuk!"
"Hahh...?!" Kobar
dan Raseta tersentak kaget, wajah mereka terangkat, mata mereka melebar menatap
Suto Sinting yang tetap tenang berdiri di bawah pohon, di belakangnya ada
Palupi yang cekikikan sambil mengusap-usap punggung atau lengan Suto.
"Orang itu mengenalku.
Hmmm... pasti dia cukup punya nama di rimba persilatan. Sayang aku kurang
mengenalinya Namanya Ki Wirogo... ah, nama itu masih asing bagiku," pikir
Suto dalam masa bungkamnya.
Ki Wirogo segera berkata
kepada Suto dengan sikap tegas namun berkesan hormat, "Pendekar Mabuk,
maafkan kelancangan dan kebodohan anak buahku itu! Tapi kurasa ada baiknya jika
kau tidak lanjutkan permusuhan ini. Cukuplah sampai di sini saja."
"Terima kasih atas
peringatanmu, Ki Wirogo. Perlu kau ketahui, aku tak punya niat bermusuhan
dengan orang-orangmu, sebab aku tidak tahu siapakalian."
"Kami adalah utusan dari
Lumpur Maut, mempunyai keperluan yang tidak ada sangkut pautnya dengan
pribadimu, Pendekar Mabuk."
Palupi berbisik, "Pak tua
itu juga pasti mau ikut- ikutan memperkosaku, Kang. Sikat saja dia! Biar
usianya cepat tua dan cepat habis!"
Bisikan itutak dihiraukan oleh
Suto Sinting, sebab Ki Wirogo segera mohon pamit dan membawa kedua orangnya itu
untuk pergi. Suto dapat menangkap adanya pemaksaan sikap di balik ketegasan Ki
Wirogo. Sepertinya orang berpakaian abu-abu itu memaksakan diri untuk menjadi
orang bijak di depan Suto, entah dengan maksud supaya dipuji atau supaya
disegani. Yang jelas, Suto segera berusaha melupakan apa yang baru terjadi.
Tapi Palupi menjadi cemberut dan tampak kesal.
"Kenapa mereka tidak
kaubunuh saja, Kang? Mereka itu berbahaya! Apalagi yang tua tadi, dia punya
pusaka maut yang saat ini tidak dibawanya."
"Pusakaapa?" tanya
Suto enggan.
"Pusaka pedang. Namanya
Pedang Kayu Petir, dan ........ "
"Apa...?!" Suto
terkejut mendengar nama Pedang Kayu Petir disebut-sebut. Sebab pedang itulah
yang sedang dicarinya untuk mengalahkan musuh utamanya, Siluman Tujuh Nyawa.
Karena menurut keterangan seorang tokoh sakti, Siluman Tujuh Nyawa hanya bisa
dikalahkan dengan Pedang Kayu Petir, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode
: "Bandar Hantu Malam"). Sedangkan tokoh sesat yang paling keji itu,
sedang diburu oleh Suto untuk dipenggal kepalanya sebagai hadiah mas kawin
kepada calon istrinya, Dyah Sariningrum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "PraharaPulauMayat").
Makatak heran jika hati Suto
menjadi berdebar-debar begitu Palupi menyebut-nyebut nama Pedang Kayu Petir.
Sebab menurut keterangan Resi Wulung Gading, pedang itu sudah lama hilang dari
tangannya dan sampai sekarang tak tahu ada di mana. Sang Resi sendiri telah
melacaknya melalui semadi beberapa kali tapi tidak pernah berhasil menemukan di
mana pedang itu sekarang berada, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Cambuk Getar Bumi").
"Apa benar Ki Wirogo
punya Pedang Kayu Petir?"
"Benar!" jawab gadis
gila itu.
"Dari mana kau tahu kalau
dia punya pusaka Pedang Kayu Petir!"
"Dari dugaanku,"
jawab Palupi seenaknya saja. Suto terpaksa berkerut dahi dengan menanam rasa
kecewa dan kebimbangan. Hatinyapun berkata,
"Gadis ini gila, tapi dia
bisa sebutkan Pedang Kayu Petir. Apakah dia punya hubungan dengan pemilik
Pedang Kayu Petir?!"
***2
MENURUT keterangan Resi Wulung
Gading, orang sesakti apa pun tak akan bisa hindari kekuatan pusaka Pedang Kayu
Petir. Konon kekuatan sakti yang ada dalam Pedang Kayu Petir dapat kenai tubuh
orang berilmu sangat tinggi. Sekalipun orang tersebut dapat lenyap karena
raganya masuk ke alam gaib, tapi Pedang Kayu Petir tetap dapat lukai tubuh
orang tersebut. Bahkan Resi Wulung Gading pernah katakan, Pedang Kayu Petir
adalah pusaka yang ditakuti oleh semua orang sakti di rimba persilatan.
Banyak orang berminat memiliki
Pedang Kayu Petir. Tetapi karena pedang itu bertahun-tahun telah hilang dan tak
pernah ada yang menemukan, maka heboh tentang pusaka Pedang Kayu Petir itu
hilang dengan sendirinya. Para pemburu pedang tersebut lama-lama bosan
mencarinya dan tak pernah lagi pusaka itu disebut-sebut oleh mereka. Pedang
tersebut dianggap musnah secara gaib, sehingga mereka merasa tak perlu lagi
memburunya.
Sebab itulah Suto Sinting
merasa heran jika Palupi si gadis gila itu bisa sebutkan Pedang Kayu Petir.
Suto Sinting tertarik dengan Palupi bukan lantaran Palupi punya wajah cantik
dan tak terurus, melainkan karena gadis gila itu diharapkan dapat menjadi
penunjuk jalan menujutempat pedang tersebut berada.
"Palupi, apakah kau tahu
di mana Pedang Kayu Petir itu berada?"
"Di sana. Jauh...!"
jawab Palupi sambil memainkan rambut Suto dari samping.
"Sebutkan letaknya,
Palupi," desak Suto.
Palupi tersenyum-senyum.
Matanya memandangi Suto penuh ungkapan rasa kagum dan tertarik. Desakan Suto
itutidak dijawab, tapi gadis itu berkata,
"Kamu tampan sekali.
Ganteng, iiih...! Aku gemas sekali padamu!" sambil Palupi mencubit pipi
Suto. Pendekar Mabuk diam saja, karena memaklumi tingkah si gadis gila.
Seandainya Palupi tak gila, tentunya ia malu mencubit-cubit pipi pemuda tampan
yang baru saja dikenalnya.
"Agaknya aku harus
membujuk dengan sabar," pikir Suto. "Sepertinya dia tahu rahasia
pedang itu. Tapi karena otaknya terganggu, maka ia tak bisa jelaskan sebaik
mungkin. Aku yakin, lama-lama gadis ini dapat berikan keterangan yang
kuharapkan melalui mulutnya yang kadang bicara tidak sesuai dengan kehendak
otaknya, melainkan sesuai dengan hati kecilnya, ia melebihi orang mabuk, dapat
bicara tanpa disadari apa yang diucapkannya."
Palupi masih tersenyum-senyum
sambil memperhatikan kekamya lengan dan tubuh Suto. Bahkan dada Suto sempat
dirabanya dengan penuh rasa bangga dan girang hati.
Suto berlagak jinak-jinak
merpati, seolah-olah pasrah dengan desakan Palupi yang bergairah ingin mencumbu
dan dicumbu. Tetapi dengan secara tak kelihatan Suto selalu menghindari hasrat
Palupi yang ingin mencumbunya.
"Ciumlah aku, Kang, atau
kau yang kucium. Pilih salah satu. Keduanya juga boleh," kata Palupi
sambil terkikik geli dengan suara membisik,
"Aku tak ingin
memilihnya," kata Suto. "Sekarang aku tahu di mana pedang itu
berada," pancing Pendekar Mabuk yang membuat gerayangan tubuh Palupi
berhenti sejenak.
"Hmmm...!" Palupi
mencibir. "Mana mungkin kau tahu di mana pedang itu berada."
"Tahu saja!"
"Di mana?"
tanyaPalupi menantang.
"Di dasar laut,
tersembunyi di celah batu karang."
"Hmmm! Salah!"
Palupi mencibir lagi, tapi wajahnya cerminkan rasa menang. "Pedang itu
bukan di dasar laut ."
"Iya Di dasar laut!"
Suto berlagak ngotot.
"Bukan, Kang! Pedang itu
bukan di dasar laut tapi di dalam gua."
"Lhaiya, di dalam gua
yang ada di dasar laut!"
"Bukan!" Palupi
mulai jengkel dan cemberut.
"Iya. Gua itu ada di
dasar laut dan pedang itu ada di dalam gua tersebut."
"Bukan! Bukan!
Bukan!" Palupi merengek bagai orang mau menangis. Bahkan berdirinya
menghadap ke arah lain, memunggungi Suto Sinting. Mulutnya kian cemberut,
seolah-olah sakit hati atau jengkel karena jawabannyatidak dipercaya.
Hal itu makin dimanfaatkan
oleh Pendekar Mabuk untuk membujuk, "Habis kalau bukan di dasar laut,
lantas di mana? Setahuku gua itu ada di dasar laut utara."
"Tidak! Bukan di sana!
Gua itu ada di Bukit Tungkai!" jawab Palupi sewot.
"Ah, bohong!"
"Iya. Sungguh! Gua itu
ada di Bukit Tungkai, dan pedang itu ada di sana!"
"Kok kamu bisa tahu?
Apakamu pernah ke gua itu?"
"Pernah saja!" jawab
Palupi tak mau kalah. "Aku yang menyimpannya di sana!"
"Hmmm...!" Suto
mencibir menampakkan sikapnya yang tidak mau percaya. "Tak mungkin kau
yang menyimpannya."
"Iya!" teriak
Palupi. "Aku yang simpan pedang itu. Kalau tak percaya, ayo ikut aku.
Kutunjukkan di mana aku menyimpan pedang tersebut!"
"Baik! Mari kita buktikan
mana yang benar di antara kita berdua!"
Pancingan Pendekar Mabuk
akhirnya berhasil. Palupi membawa Suto ke Bukit Tungkai. Nama bukit itu masih
asing bagi Suto. Tentu saja Suto tak tahu di mana letak Bukit Tungkai.
Sepanjang perjalanan Suto selalu bicara tentang pedang itu dengan sikap
seolah-olah tidak percaya dengan ucapan Palupi. Hal itu membuat Palupi semakin
penasaran dan ingin buktikan kebenaran kata- katanya. Dalam hati Suto merasa
girang, karena Palupi bisa ditundukkan dengan caraberadu debat. Seandainya
Palupi tidak gila, tentu saja Suto sulit lakukan pancingan seperti itu. Pasti
Palupi akan tutup mulut dan jaga ketat rahasia penyimpanan pedang yang pernah
menghebohkan para tokoh di rimba persilatan sekian puluh tahun yang lalu itu.
Sayang sekali langkah mereka
menuju Bukit Tungkai terpaksa terhenti karena kemunculan dua lelaki yang
menghadang di depan mereka. Dua lelaki itu muncul dari balik bebatuan besar,
melompat mengejutkan Palupi hingga gadis itu menjadi kaget dan langsung memeluk
Suto. Wajahnya disembunyikan di sela leher Suto sambil iameratap gemetar,
"Takut, Kang...!"
Dua orang yang muncul secara
mengejutkan itu berpakaian serba biru. Tapi yang satu berikat kepala kuning,
yang satu lagi berikat kepala putih. Keduanya sama-sama bersenjatakan kapak di
pinggang masing- masing. Kapak mereka punya ukuran yang sama dan bentuk yang
sama pula, tapi warna gagangnya berbeda. Yang berikat kepala putih kapaknya
bergagang putih, yang berikat kepala kuning gagang kapaknya berwarna kuning
pula.
"Siapakah kalian
sebenarnya, dan mengapa menghadang langkahku, Sobat?" tegur Suto secara
baik- baik ketikaPalupi sudah melepaskan pelukannya.
"Kami utusan dari Muara
Singa untuk membawa pulang gadis gila itu!" jawab lelaki berikat kepala
putih, ia mempunyai kumistipis, usianya sejajar dengan si ikat kepala kuning,
sekitar tiga puluh tahun lewat sedikit. Keduanya sama-sama berbadan tegap,
tidak gemuk, tidak pula kurus. Melihat cara memandang mereka yang tajam, Suto
dapat menduga keduanya mempunyai ilmu yang lumayan.
"Apakah gadis ini
keluarga kalian?"
"Kau tak perlu
tahu," jawab orang berikat kepala kuning. "Yang jelas, jangan halangi
niat kami membawa pulang gadis itu ke Muara Singa!"
"Muara Singa?" gumam
Suto sambil berkerut dahi pertanda merasa asing dengan nama tersebut. Lalu,
Suto bertanyakepada Palupi,
"Apakah kau orang Muara
Singa, Palupi?"
"Enak saja! Aku bukan
keturunan seekor singa!" sentak Palupi dengan cemberut.
Suto kembali bicara kepada dua
orang utusan dari Muara Singa itu, "Kelihatannya gadis ini tak mau dibawa
pulang ke Muara Singa, Sobat."
"Kami akan
memaksanya!" kata si ikat kepala kuning dengan tegas.
"Kalau kalian memaksa,
mungkin dengan terpaksa aku akan melindunginya"
"Apa hakmu melindungi dan
mempertahankan gadis itu, hah?" gertak si ikat kepala putih.
"Aku punya keperluan
sendiri dengan Palupi," jawab Suto dengantetap kalem.
Yang kenakan ikat kepala
kuning segera bicara dengan yang pakai ikat kepala putih, "Paksa saja dia!
Rebut dari tangan pemuda itu!"
"Baik. Kurasa memang tak
ada jalan lain, Kisworo!"
"Seranglah dulu dia,
Marjan!"
"Kau sajalah yang duluan.
Aku ingin lihat seberapa tinggi ilmu silatnya!"
"Aku justru mau pelajari
jurus-jurusnya. Ayo, seranglah dulu dia!"
"Setiap kali pasti aku
dulu yang bertindak," Marjan bersungut-sungut. "Kauduluan sana!"
"Pancinglah lebih dulu,
biar kuperhatikan kelemahannya!"
"Kau ini bagaimana? Dari
dulu selalu mengandalkan pancinganku. Nanti giliran akuterdesak, kau
lari?!"
"Eh, jangan sembarangan
kalau bicara ya? Aku tak pernah lari melawan siapa pun, tahu?!"
"Tempo hari kau
tinggalkan aku ketika aku melawan musuh kitadi tepi sungai!"
"Aku bukan lari, tapi
cari tempat yang enak buat pertarungan!"
"Nyatanya kau tidak
bertarung melawan orang itu, kan?"
"Itu salahnya dia,
kenapatidak mengejarku...!"
Palupi berseru, "Hoi,
hoi... ini bagaimana kok malah cekcok sendiri? Apa sebenamya kalian tidak
berani melawan calon suamiku ini?"
Kedua utusan Muara Singa itu
sama-sama terhenti berdebat dan memandangi Suto dan Palupi. Keduanya
menggumam bersamatanpa
disengaja,
"Calon suaminya?"
Pendekar Mabuk melirik Palupi
dengan dongkol. "Seenaknya saja bilang calon suami," gerutu Pendekar
Mabuk, lalu ia buka tutup tabung bambunya dan ditenggaknyatuak beberapateguk.
Saat itu Palupi bicara lantang kepada kedua orang yang mengaku utusan dari
Muara Singa.
"Kalau kalian ingin
selamat, jangan melawan calon suamiku. Sebaiknya pergilah kalian dan biarkan
calon suamiku ini memperkosaku dulu!"
"Husy!" bentak Suto
dengan rasa malu.
"Tak apa, Kang. Jangan
takut. Mereka pasti kalah melawanmu."
"Iya, tapi kau jangan
sebut-sebut soal perkosa! Siapa yang mau perkosa kau?" geram Suto berbisik
di dekat telinga Palupi. Gadis itumalah cekikikan.
" Siapa namamu, Pemuda
Dusun?!"
"Namaku Suto
Sinting!" jawab Suto yang membuat Kisworo dan Marjan saling pandang dengan
dahi berkerut.
"Sepertinya aku pernah
mendengar nama itu, tapi kapan dan di mana, siapa yang sebutkan nama itu di
depanku, ya?" ujar Kisworo kepada temannya.
"Ya, aku juga pernah
dengar nama itu, tapi entah siapa yang sebutkannya."
"Persetan dengan nama
itu, kalau kau tak mau serang dia, ya sudah kuserang lebih dulu untuk dapatkan
gadis gila itu!"
Kisworo segera tampil lebih
dekati Suto, lalu ia membuka jurus pertama tanpa cabut senjata Suto Sinting
bisikkan kata kepada Palupi agar jauhi dirinya. Tapi Palupi justru pegangi baju
Suto sambil berkata,
"Aku takut, Kang. Aku
takut kau kena pukul. Sebaiknyakitalari saja, Kang!"
Pegangan tangan Palupi pada
baju Suto membuat Suto sulit bergerak. Akhimya ketika ia dapat serangan jurus
pertama dari Kisworo, ia terpaksa gunakan jurus 'Jari Guntur', yaitu dengan
sentilan kecil jari tangannya, sebuah pukulan bertenaga dalam terlepas dan
kenai dada Kisworo. Wuuut...! Duuuhg...!
"Hegh...!" Kisworo
terpekik dengan sendirinya. Tubuhnya terpental ke belakang. Napasnya menjadi
berat, dadanya terasa nyeri, ia segera ditolong Marjan untuk bangkit. Wajah
yang menyeringai itu sempat berkata,
"Aku seperti ditendang
kuda," dengan suara berat mirip orang tua.
"Percayalah, di sini
tidak ada kuda. Itu hanya bayanganmu saja, karena kau masih memikirkan kuda
pamanmu yang masuk jurang tempo hari itu, Kisworo. Tenang dan tabahlah. Hadapi
dia lagi. Aku belum lihat dia mainkan jurusnya!"
Tentu saja Marjan tak bisa
melihatnya, karena sentilan jari kanan Suto itu dilakukan dari samping,
tersembunyi di balik bumbung tuak yang menggantung di pundak kanannya
"Heaaat...!" Kisworo
terpaksa maju lagi dengan mencabut kapaknya karena Marjan mendorongnya ke depan
membuat Kisworo tersentak mendekati Suto di luar keinginannya Dengan begitu,
mau tak tak mau Kisworo lakukan serangan lagi sementara Marjan seolah-olah
lakukan pengamatan terhadap jurus lawan.
Tass...! Duuhg...!
"Huehg...!" Kisworo
kembali terpental ke belakang, kali ini jatuhnya terguling-guling tanpa bisa
kendalikan keseimbangan tubuh.
"Kau ini bagaimana? Belum
apa-apa sudah mundur lagi?!" kecam Marjan.
Kisworo yang ditolong bangkit
oleh Marjan segera menggerutu dengan suara berat mirip kakek berusia seratus
tahun.
"Matamu budeg! Dadaku mau
jebol lagi, seperti ditendang kuda liar!"
"Tidak ada kuda!"
bantah Marjan.
Kini Kisworo yang mendorong
tubuh Marjan hingga Marjan terpelanting mendekati Suto. Jaraknya yang cukup
dekat itu membuat Marjan cemas, takut dihantam Suto. Karenanya, Marjan segera
lepaskan serangan tangan kosongnya ke arah rahang kiri Suto. Wuuut...! Kepala
Suto mundur dan pukulan itu tak kenai sasaran. Tapi Marjan segera tarik diri,
lompat mundur dua langkah untuk atur jarak, ia segera lepaskan serangan dengan
gunakan kakinya, tapi sebelum hal itu dilakukan, baru satu kaki diangkat,
tiba-tiba Suto sentilkan jarinya dan tenaga seperti kuda terlepas melalui
sentilan 'Jari Guntur' itu, tepat kenai dada Marjan.
Duuhg...!
"Ehhg...!"
Wuuuss... ! Bruuk... !
Marjan terpental bagaikan
terbang terhembus badai kencang, ia jatuh terkapar di dekati kaki Kisworo. Matanya
sempat terbeliak-beliak sebentar karena rasakan dada sakit dan napas tersumbat
seketika. Mulutnya ternganga mencari udara. Kisworo segera menolongnya untuk
bangkit tanpa mengetahui gerakan jari Suto yang menyentil temannya tadi.
"Belum-belum sudah mundur.
Kau ini bagaimana, Jan?!" kecam Kisworomembalas.
"Mundur dengkulmu!"
suara Marjan berat. "Dadaku bagaikan diseruduk banteng!"
"Tak ada banteng di sini.
Percayalah itu hanya bayanganmu saja, karena sejak kecil kau memang takut
dengan banteng!"
"Tutup mulutmu! Lihat,
dadaku membekas biru begini!" ia menunjukkan kulit dadanya yang memar
sebesar telapak tangan.
Kisworo berkata, "Ah, itu
memang tompel sejak lahir! Aku tahu kau punya tompel sebesar itu sejak lahir.
Jangan gunakan alasan takut melawan pemuda itu!"
Marjan menggerutu jengkel,
"Gundulmu itu yang tompel semua!" ia bersungut-sungut. Kini matanya
memandang Suto Sinting yang masih tampak tenang, bicara pelan dengan Palupi
yang tersenyum-senyum penuh bayangan kemesraan.
"Suto Sinting!" sapa
Marjan mulai terpancing kemarahan yang sebenarnya "Rupanya kau punyateman
lain yang bersembunyi di sekitar sini dan melepaskan pukulan jarak jauh kepada
kami! Suruh keluar dia! Kalau kau tak mau, kau sendiri yang akan terima
serangan balasan dari kami!"
"Sudahlah, Sobat,"
kata Suto kalem. "Jangan timbulkan permusuhan di antara kita. Jujur saja
kalian katakan, mengapa kalian kehendaki gadis ini untuk dibawa pulang ke Muara
Singa? Jika jawaban kalian jujur, mungkin aku bisa pertimbangkan dan bisa anggap
keperluan kalian memang penting laiu aku akan bantu kalian untuk bujuk gadis
ini."
Kisworo maju selangkah dengan
sikap berdiri masih sedikit gemetar akibat rasa sakit yang masih membekas di
dadanya itu.
"Terus terang saja, Suto
Sinting, kami perlukan gadis itu. Karena gadis itu tadi mengoceh di depan
gerbang kami dan menyebut-nyebut Pedang Kayu Petir!"
Suto terkesiap sejenak, tapi
tidak bicara apa-apa. Kisworo teruskan kata,
"Ratu kami ingin dapatkan
pedang pusaka itu, karena kami ingin desak gadis gila itu untuk katakan di mana
pedang pusaka itu berada!"
Kini kepala pendekar tampan
itu manggut-manggut. Suasana menjadi hening sesaat ketika Suto sedang
pertimbangkan iangkah berikutnya. Tapi Palupi segera berkata kepada Suto dengan
suara keras,
"Dia bo hong, Kang! Dia
bohong sekali! Aku tidak tahu tentang pedang itu! Sama sekali tidak tahu!"
Kisworo menyahut, "Tapi
kau sebut-sebutkan pedang itu, bukan?!"
"Aku asal sebut saja! Aku
sebutkan pedang itu biar orang sangka aku sakti!" jawaban Palupi membuat
hati Suto bimbang kembali. Jangan-jangan kepadanya pun Palupi asal sebut biar
membuat Suto penasaran padanya?
Suto segera alihkan
pembicaraan sebentar kepada Kisworo, "Siapa ratu di Muara Singa
itu?!"
"Gusti Purnama
Laras!" jawab Kisworo dengan mantap seakan bangga dengan ratu gustinya.
Suto hanya menggumam lirih menyebutkan nama Gusti Purnama Laras.
Tetapi tiba-tiba Palupi
mengacaukan pikiran Suto kembali dengan berkata,
"Dia bo hong, Kang!
Purnama Laras bukan nama seorang ratu, tapi nama seekor burung beo!"
"Kurang ajar! Berani
betul kau menghina Ratu gusti kami, hah?!" Marjan marah, langsung saja ia
sentakkan tangannya untuk kirimkan pukulan jarak jauhnya ke tubuh Palupi. Wuuut...!
Pukulan itu tidak bersinar,
tapi Suto Sinting bisa rasakan hembusan hawa panas yang mendekati dirinya,
sebab Palupi ada di belakang Suto sebelah kanan. Maka dengan cepat Suto Sinting
hadangkan bumbung tuaknya di depan tubuh Palupi dan tubuhnya sendiri. Pukulan
hawa panas itu mem balik arah. Buuurss...! Weess...! Kini sasarannya ke tubuh
Marjan sendiri, dan Marjan tidak tahu kalau pukulannya mem balik arah.
Akibatnya ketika ia mau bertolak pinggang, tahu-tahu tubuhnya itu tersentak dan
terpental ke belakang. Wuuut...! Buuhg...! ia jatuh tujuh langkah jauhnya
daritempatnyaberdiri.
"Marjan?! Kenapa kau
pakai terbang-terbangan segala?!" Kisworo segera menghampirinya. Marjan
menyeringai dan mengerang sambil berdiri dengan bantuan sebatang pohon yang
nyaris berbenturan dengan tubuhnya tadi.
"Kau ini unjuk ilmu
terbang atau kenapa, Marjan?"
"Matamu buta!" maki
Marjan. "Tidak tahukah kau tenaga dalamku membalik sendiri dengan lebih
besar dan lebih cepat dari semula?!"
"Membalik sendiri?!"
Kisworo heran, matanya memandang Suto yang masih tampak tenang, bahkan kini
sedang meneguk tuaknya. Lalu, Kisworo berbisik,
"Kalau begitu kita coba
lepaskan pukulan jarak jauh kita bersama-sama!"
Keduanya bersiap lepaskan
pukulan jarak jauh secara bersamaan, tapi niat itu tertunda karena kemunculan
seseorang berjubah biru tua dengan pakaian dalamnya warna putih bersih. Orang
itu muncul sambil berseru,
"Tahan! Dia bukan
tandingan kalian!"
"Dungu Dipo?! Oh,
syukurlah kau lekas datang membantukami!" ujar Marjan.
Suto membatin, "Siapa
lagi orang yang dipanggil Dungu Dipo ini? Melihat keakraban mereka, agaknya
Dungu Dipo ini juga orang Muara Singa. Tapi kelihatannya ia punya ilmu lebih
tinggi dari Kisworo dan Marjan?! Akuharus lebih waspada lagi dengan orang tua
itu!"
Dungu Dipo memang pantas
dikatakan sebagai orang tua, karena rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban walau
belum begitu banyak. Usianya sekitar limapuluh tahunan. Tubuhnya agak kurus,
tulang pipinya bertonjolan, matanya cekung, tapi mempunyai sorot pandangan mata
lebih tajam lagi dari Marjan dan Kisworo. Ia tidak berkumis, namun berjenggot
tipis. Rambutnyapanjang, diikat dengankain warnamerah. Di pinggangnya terselip
senjata golok panjang bergagang hitam melengkung.
Orang yang beraut muka antara
seram dan lucu itu mendekati Suto dari arah samping, sehingga ia masih bisa
berpaling ke arah Marjan dan Kisworo, namun juga bisa memandang Suto dengan
jelas-jelas. Pusat perhatiannya sempat terarah pada Palupi, namun segera
beralih kepada Kisworo dan berkata,
" Jika hanyamenangkap
gadis dungu saja tak mampu, sebaiknya kau pulang ke desa dan menggembala kerbau
saja, Kisworo!"
Kecaman dan hinaan itu tak
berani dibantah oleh Kisworo. Marjan pun diam tak berkutik, seakan takut kepada
Dungu Dipo. Sementara itu Pendekar Mabuk sejak tadi tersenyum-senyum dikulum
memandangi wajah runcing Dungu Dipo yang menurutnya sangat lucu jika sedang
marah begitu.
Kali ini Dungu Dipo sengaja
pandangi wajah Suto agak lama. Waktu itu Palupi berbisik kepada Suto, "Aku
tak tega memandangi wajahnya, Kang."
"Kenapa?"
"Dia mirip kakekku yang
sudah meninggal."
"Kapan kakekmu
meningga?"
"Rencananya bulan depan,
tapi sampai sekarang aku tidak tahu apakah dia sudah meninggal atau belum."
"Ah, ngacau saja
omonganmu, Palupi. Carilah tempat bersembunyi sana! Agaknya aku harus bertarung
hadapi tokoh yang satu ini!"
Suto terpaksa harus maklum
jika Palupi bicara mengacau, karena sakit gilanya membuat si gadis seakan tak
sadar dengan apa yang dikatakannya. Sebab itu, Suto lebih baik menyuruh Palupi
untuk bersembunyi, karena ia punya dugaan keras bahwa Dungu Dipo pasti akan
merebut Palupi juga. Dungu Dipo ini tampak lebih berani daripada Marjan dan
Kisworo. Suto Sinting sedikit lega melihat Palupi bersembunyi di balik pohon di
belakangnya.
"Anak muda, kau telah
mencampuri urusan negeri kami," kata Dungu Dipo. "Biarkan kami bawa
pulang gadis itu, karena Ratu Gusti kami membutuhkan keterangan dari gadis itu!
Jangan kau halangi maksud kami, kalau kau ingin kami tidak selamat!"
"Bukan kami yang tidak
selamat, tapi dia yang tidak selamat!" Kisworo membetulkan maksud Dungu
Dipo.
"Aku tahu! Memang itu
maksudku!" bentak Dungu Dipo.
Suto Sinting tersenyum dan
membatin, "Mungkin karena selalu salah mengutarakan maksudnya itu maka ia
dijuluki Dungu Dipo. Hi, hi, hi... an eh juga orang ini. Galak tapi lucu."
"Hei," sentak Dungu
Dipo. "Kenapa ribut saja?!"
"Kenapa diam saja!"
Marjan membetulkan lagi.
"Iya. Aku tadi sudah
bilang begitu, Tolol!" bentak Dungu Dipo tak suka dianggap salah ucap. Ia
membentak kepada Suto, "Kenapa diam saja?! Apakah kau sedang
mempertimbangkan untuk mati atau modar?!"
"Hidup ataumati!"
ralat Marjan iagi.
"Diam kau!" bentak
Dungu Dipo.
Suto Sinting tertawa lalu
berkata, "Dungu Dipo, ketahuilah bahwa aku tidak semata-mata menahan gadis
gila itu. Tapi aku juga butuh gadis itu untuk suatu maksud, jadi aku terpaksa
mempertahankannya Kecuali gadis itu dengan rela mau ikut bersamamu menghadap
Ratu Gustimu, maka aku pun akan melepaskannya dan tidak akan menahannya."
"Persetan mau atau tidak,
tugasku adalah membawa gadis itu menghadap Ratu Gustiku. Kalau kau menghalangi
niatku ini, maka aku tak segan-segan mencabut nyawaku sendiri!"
Kisworo berbisik pada Marjan,
"Dia kalau mengancam orang tidak pernah bisa menakutkan lawan. Maksudnya
mencabut nyawamu, jadi mencabut nyawaku. Mana bisa menakutkan lawan?!"
"Diamkan saja, nanti kita
kena sembur napasnya bisa hangus!" bisik Marjan.
Kepada Suto, Dungu Dipo
berkata, "Menyingkirlah dari kami atau akuterpaksa bertindak nanti
saja?!"
"Silakan bertindak jika
kau ingin bertindak!"
"Kurang ajar! Tak
adatakutnya kau kepadaku, hah?! Hiaaat...!"
Dungu Dipo melompat ke
samping, menjejakkan kakinya dan melenting di udara, tapi arahnya justru jauh
dari Suto Sinting. Ketika ia mendaratkan kakinya, ia sempat bingung mencari
Suto. Selain tempatnya jauh dari lawan, berdirinya pun jadi memunggungi lawan. Karena
itu ia bingung mencari lawannya yang dianggap bisa menghilang.
"Hebat?! Dia bisa
menghilang?!"
Marjan berseru, "Lawanmu
ada di belakang, Dungu Dipo! Kau salah berdiri!"
"Hiaaat...!" Dungu
Dipo berbalik arah, lalu memandang Suto yang masih diam saja. Kini ia melangkah
dengan langkah biasa karena merasa jaraknyaterlalu jauh dengan lawan. Setelah
kurang lebih berjarak enam tindak di depan Suto, Dungu Dipo berhenti dan
membentak,
"Mengapa kau menjauhiku,
hah?! Kau takut padaku?!"
Palupi yang menongolkan kepala
dari baiik pohon berseru, "Dasar wong edan! Dia sendiri yang menjauh kok
dikatakan orang lain yang menjauh!"
"Diam kau gadis gila!
Hiaaah...!"
Claaap...!
Dungu Dipo lepaskan pukulan
pelumpuh urat berwarna kuning dari telapak tangannya. Sasarannya ke arah
Palupi. Tapi selarik sinar kuning itu dihadang oleh Suto Sinting dengan bumbung
tuaknya. Traaap...! Sinar kuning itu membentur bumbung tuak, dan membias balik
ke arah penyerangnya. Dungu Dipo kaget dan segera lompat bersalto ke belakang.
Sinar kuning itu menghantam pohon. Duur...! Pohon berguncang, daunnya banyak
yang gugur, tapi tidak mengalami perubahan apa-apa. Dungu Dipo segera
berkelebat dalam satu lompatan ke arah Suto. Lalu dari mulutnya disemburkan
napas yang menghentak kuat.
Wuuuss...!
Hawa panas yang mampu
melelehkan besi mendekati Suto. Dengan cepat Pendekar Mabuk ayunkan tali bambu
tuaknya ke depan. Wuuuss...! Angin deraskeluar dari kelebatan bambu tuak itu,
membuat angin panas menyebar balik ke arah Dungu Dipo.
"Hiaaah...!"
Dungu Dipo sentakkan kedua
tangannya ke samping, dan hawa dingin keluar dari pori-pori tubuhnya. Dengan
begitu, hawa panasnya yang membalik ingin menyergap sekujur tubuh itu menjadi
padam karena keluarnyahawa dingin itu.
Syorrrb...!
Asap mengepul bagaikan panas
masuk ke air dingin. Pada saat itu, Suto Sinting kirimkan pukulan jarinya
dengan menyentil pelan tanpa kelihatan. Tess...! Duuhg... !
Jurus 'Jari Guntur' lepaskan
tenaga sebesar tendangan kuda, dan tepat kenai pinggang Dungu Dipo. Akibatnya
Dungu Dipo pun terpekik sambii terpelanting jatuh ke kanan, terkapar di dekat
kaki Marjan. Bruuus...!
"Uuhg...! Monyet
juling!" makinya dengan suara berat. Wajahnya memerah, ia lekas bangkit
dan membentak Marjan serta Kisworo. "Kenapa kalian diam saja?! Ayo, lekas
bantu aku melawan dirimu!"
"Melawan dia,
maksudnya?"
"Lha iya! Masa' mau
melawanku?!" bentak Dungu Dipo. Kedua orang itu takut dengan bentakan
tersebut, sehingga cepat-cepat melompat lakukan serangan bersama ke arah Suto
Sinting. Tapi pada waktu itu Suto Sinting cepat jejakkan kakinya ke tanah dan
tubuhnya melesat naik, hinggap di atas pohon.
Namun hal yang amat
mengejutkan Dungu Dipo dan kedua orangnya itu adalah keberadaan Suto yang juga
ada di depannya. Di bawah pohon lain juga ada Suto. Di atas pohon lain ada juga
Pendekar Mabuk. Di belakang mereka ada dua Pendekar Mabuk. Mereka jadi kebingungan
dan tidak tahu bahwa Suto sengaja pergunakan jurus 'Sapta Tingal', yaitu
memecah diri menjadi kembar tujuh rupa. Hal itu semata-mata untuk menakuti
mereka saja, supayatidaktimbul korban dalam pertarungantersebut.
Ternyata Dungu Dipo dan kedua
orangnya menjadi tegang, sangat ketakutan. Lalu mereka segera larikan diri
setelah Dungu Dipo berseru, "Lariii...!" Tentunya mereka punya
pertimbangan, jika Suto dapat berubah menjadi tujuh sosok kembar, maka tentunya
ilmu mereka tidak sebanding dan tak akan menang melawan Pendekar Mabuk itu. Tak
salah jika mereka lari mencari selamat. Tapi Suto sendiri jadi kebingungan
karena Palupi pun ikut menghilang dari tempat itu.
***3
ANGIN gunung berhembus ke
barat. Kecepatan hembusnya cukup tinggi, karena pucuk-pucuk cemara hutan itu
meliuk-liuk dengan tajam, seakan hampir patah pada bagian tengah batang.
Hembusan angin cepat itu ternyata tetap saja diterobos oleh pelarian Suto
Sinting yang mengejar Palupi.
"Aku jangan sampai
kehilangan gadis gila itu! Dia satu-satunya penunjuk jalan bagiku untuk menuju
Bukit Tungkai. Tapi... apakah benar Pedang Kayu Petir ada di Bukit Tungkai?
Apakah benar Palupi yang menyimpannya di sana? Siapa dia sebenamya hingga
menyimpan pedang pusaka itu di Bukit Tungkai? Atau, jangan-jangan bicaranya itu
hanya mengacau saja karena kegilaannya itu? Ah, benar dan tidaknya aku ingin
buktikan, karenanya aku harus temukan gadis itu sebelum orang lain temukan
dia!"
Hati Suto Sinting memang
bimbang; antara percaya dan tidak dengan penjelasan Palupi. Mau percaya, takut
ternyata semua itu hanya celoteh orang gila belaka. Mau tidak percaya, nanti
jangan-jangan celoteh itu memang benar? Maka Suto memutuskan lebih baik percaya
saja, ketimbang tidak percaya ternyata pedang itu memang benar-benar ada di gua
Bukit Tungkai?
"Kalau toh akutertipu,
tak apalah. Maklum saja yang bicara orang gila. Lebih baik akutertipu daripada
pedang pusaka itu ternyata berhasil dimiliki oleh orang-orang Muara Singa.
Tapi... ngomong-ngomong untuk apa ratu Muara Singa menghendaki pedang itu? Apa
kah juga untuk melawan Siluman Tujuh Nyawa?" pikir Suto dalam
masapencarian diri Palupi.
"Jika memang ratu Muara
Singa ingin lawan Siluman Tujuh Nyawa dengan pedang itu, seharusnya aku
bergabung dengan mereka dan mem bantu Ratu Purnama Laras untuk kalahkan Siluman
Tujuh Nyawa. Tapi... apakah orang-orang Muara Singa bisa kuajak
bersahabat?"
Sehari semalam pencarian itu
dilakukan, tapi Palupi tidak ditemukan jejaknya. Suto Sinting hampir kehilangan
kesabarannya, iahampir-hampir bemiat tidak mau mengejar Palupi lagi. Namun jika
ia ingat Pedang Kayu Petir yang amat dibutuhkannya itu, semangatnya mencari
Palupi kambuh lagi dengan membara. Pencariannyapun dilanjutkan kembali.
Tetapi alangkah kagetnya
Pendekar Mabuk ketika tiba di sebuah lembah berpohon hutan jarang itu, ternyata
ia temukan keadaan yang menyedihkan. Beberapa orang terkapar di lembah itu
dalam keadaan wajah membiru legam. Mulut mereka berbusa warna darah. Jumlah
mereka setelah dihitung oleh Suto ada delapan orang. Mereka berpakaian sama,
dan sewarna dengan pakaian Kisworo serta Marjan, yaitu biru.
"Agaknya mereka
orang-orang Muara Singa," pikir Suto sambil memperhatikan semua orang di
situ menggenggam senjata dalam keadaan lemas. Mereka menggeliat-geliat pelan
bagaikan ular keberatan badan. Mata mereka ada yang terpejam, ada yang terbuka
sayu. Erangan mereka sangat lirih, bagaikan sedang menunggu ajal tiba.
"Jika hanya dengan
pukulan, tak mungkin mereka mempunyai ciri luka yang sama: wajah membiru, mulut
berbusa darah, rambut mereka sebagian rontok. Pasti mereka habis lakukan
pertarungan dan terkena racun. Entah racun apa dan bagaimana cara kerjanya,"
pikir Pendekar Mabuk setelah menenggak tuaknya. "Tapi agaknya aku belum
terlambat. Masih bisa sembuhkan mereka dari racun itu dengan menggunakan tuakku
ini."
Maka, Suto Sinting pun segera
meminumkan tuaknya sedikit kepada orang yang bertubuh gemuk dan matanya sedang
terbeliak-beliak bagaikan sekarat. Orang muda yang bertubuh agak gemuk itu
meneguk tuak Suto dengan gelagapan. Dari mulutnya sempat keluar suara lirih,
"Tandu....
Terbang...."
"Apa maksudmu?"
tanya Suto.
"Kami... diserang....
Tandu Terbang...."
"TanduTerbang?!"
Suto berkerut dahi dalam keadaan masih jongkok di samping orang agak gemuk itu.
Ia merasa aneh dengan julukan Tandu Terbang, ia bahkan tak tahu apakah Tandu
Terbang adalah nama seseorang atau benda berupatandu yang bisa terbang ke sana-sini?
Suto Sinting belum temukan
kepastian tentang hal itu, tiba-tiba sebeberkas sinar merah bagaikan piringan
melayang cepat menuju ke
punggungnya. Wuuut...!
Ekor mata Suto melihat
kerliapan sinar datang dari belakang. Dengan cepat Suto Sinting gulingkan badan
lompati orang gemuk itu, dan sinar merah tersebut melintas dengan cepat
ditempat Suto jongkok tadi. Sinar itu akhimya menghantam sebongkah batu
setinggi perut manusia dewasa. Blaaar...!
Batu pun pecah menjadi
kerikil-kerikil tajam. Suto Sinting segera bangkit dan perhatikan arah
datangnya pukulan jarak jauh itu. Ternyata di sana ada seorang lelaki
berpakaian sama dengan para korban di situ. Suto segera mengerti bahwa orang
berikat kepala dari kain benang perak itu adalah orang Muara Singa. Tapi apa
persoalannya orang itu menyerang, Suto sendiri belum bisa memastikan.
Ketika orang itu mendekat
dengan mata tajam dan berkesan dingin, Suto Sinting segera menyapanya dengan
sikap tenang.
"Mengapa
kaumenyerangku?!"
Orang berusia sekitar empat
puluh tahun kurang sedikit itu menjawab dengan nada ketus dan berkesan
bermusuhan.
"Kau harus menerima
ganjaran yang setimpal atas perlakuanmu ini, Sobat!"
"Apa maksudmu?"
"Kau telah membantai
orang-orangku hingga terkapar begini!"
"Tunggu dulu! Kau salah
paham! Ini bukan pekerjaanku."
"Omong kosong! Batu
Sampang tak bisa ditipu oleh siapa pun!" sambil ia menepuk dada menyatakan
dirinya sebagai Batu Sampang. Pedang yang menyilang di punggungnya menandakan
ia punya kedudukan lebih tinggi dari orang-orang yang terkapar itu.
"Apakah kau orang Muara
Singa, Batu Sampang?!"
"Benar! Kurasa kau pun
tahu kalau orang-orang yang terkapar ini adalah prajurit negeri Muara Singa!
Kau tak perlu berlagak bodoh, Bocah Kunyuk!"
"Aku baru saja mau
sembuhkan luka-luka temanmu ini, Batu Sampang! Kau jangan menuduhku sebagai
pelakunya!" Suto membela diri dengan tenang.
"Tak adatampangtabib di
wajahmu, Bocah Kunyuk! Sebaiknya terimalah pembalasan dari Batu Sampang,
TamtamaMuara Singa ini! Hiaaat...!"
Orang itu langsung saja
lakukan lompatan secepat kilat dan menerjang wajah Suto Sinting dengan
tendangan kakinya yang sempat mengecohkan gerakan menghindari dari Suto.
Duuuhg...! Plok...! Kaki kiri menendang pundak, kaki kanan masuk ke wajah Suto
bagaikan tamparan cepat dan kuat.
Suto Sinting terpelanting dan
hampir saja jatuh, karena ia memang tidak bermaksud menangkis tendangan itu.
Hanya ingin menghindari, tapi salah gerak. Suto Sinting akhirnya kibaskan
kepalanya sendiri untuk membuang rasa pusing yang begitu kuat, bahkan sempat
membuat pandangan matanya menjadi kabur.
"Cepat sekali gerakannya,
jurus tipuannya kuakui begitu hebat," pikir Suto Sinting dalam keadaan
sudah berdiri tegak lagi. "Rupanya orang ini perlu diberi pelajaran sedikit
supaya mau percayai omonganku!"
Batu Sampang yang berwajah
dingin itu segera lepaskan pukulan tenaga dalamnya lewat punggung telapak
tangan yang disentakkan ke depan dalam keadaan menguncup tertekuk itu.
Wuuut...! Claaap...! Dengan cepat sinar kuning berbentuk bola kecil itu melesat
ke arah tubuh Pendekar Mabuk.
Dengan menggunakan bumbung
tuaknya, Suto menangkis sinar kuning tersebut. Deeb...! Sinar itu mengenai
bumbung tuak, langsung memantul balik ke arah pemiliknya. Tentu saja Batu
Sampang kaget dan tak menduga kalau sinar kuningnya berhasil memantul balik
dalam bentuk bulatan lebih besar lagi dan kecepatan lebih tinggi lagi.
Wuuuusss...!
"Hiaaah...!" Batu
Sampang segera melenting di udara dan hinggap di gugusan tanah yang lebih
tinggi. Sinar kuningnya temukan tempat kosong dan masuk ke semak-semak sana.
Jraass...! Zraaakk...!
Suto Sinting terkesiap melihat
semak-semak itu kontan menjadi kering setelah kepulan asap yang membungkusnya
saat sinar itu mengenai semak-semak hilang. Ternyata sinar kuning itu cukup
berbahaya bagi manusia. Mungkin kulit dan daging manusia akan menjadi kering
jikaterkena sinar kuning tersebut.
"Tahanlah dulu
seranganmu, Batu Sampang! Kita bicara baik-baik saja!"
"Tak ada waktu untuk
bicara dengan orang sepertimu, Setan Bagus! Sekarang saat pembalasan, bukan
saat bicara. Hiaaah...!" Batu Sampang lompat tinggi-tinggi dan bersalto
dua kali.
Wut, wuuut...!
Trang... !
Ternyata Batu Sampang sudah
cabut pedangnya pada saat bersalto tadi. Pedang itu ditebaskan untuk membelah
kepala Pendekar Mabuk. Tapi dengan cepat Suto Sinting silangkan bambu tuaknya
ke atas kepala dengan disangga dua tangannya. Akibatnya pedang itu menghantam
bumbung yang seperti menghantam besi baja.
"Pedang itu punya isi
juga rupanya," pikir Suto. "Pedang itu tidak rusak atau rompal
seperti pedang lainnya. Pedang itu masih utuh dan tubuhku tadi seperti disiram
air panas dalam sekejap ketika bumbung tuak beradu dengan pedangnya. Hmm...!
Agaknya ia seorang prajurit negeri Muara Singa yang diandalkan untuk lakukan
penyerangan terhadap lawan siapa saja. Aku tak boleh lengah sedikit pun. Ia
mempunyai jurus-jurus yang dibarengi oleh gerakan sangat cepat. Hampir saja aku
tadi matiterbelah oleh pedangnya!"
"Hiaaaah...!" Batu
Sampang tampak buas. Ia menyerang lagi dengan satu lompatan pendek, namun
pedangnya segera berkelebat membabat sekujur tubuh Suto Sinting. Wut, wut, wut,
wut, wut... weess...!
"Kunyuk bunting!"
geram Batu Sampang. "Tebasan pedangku mampu dihindari olehnya. Padahal
selama ini tak ada lawan yang berhasil hindari jurus 'Pedang Kilat' yang
kumiliki?! Rupanya anak muda ini punya ilmu cukup tinggi. Pantas ia bisa
tumbangkan delapan orangku dalam waktu singkat. Baru kutinggal memeriksa di
balik bukit ini, mereka sudah terkapar tak berdaya begini! Aku harus gunakan
jurus pedang lainnya!"
Suto Sinting segera berseru,
"Batu Sampang, aku tak ingin ada yang celaka di antara kita. Hentikan
seranganmu dan biarkan kusembuhkan luka parah pada delapan orangmu ini!"
"Jangan banyak mulut kau!
Hadapilah jurus 'Pedang Sekarat' ini! Hiaaah...!"
"Batu Sampang!"
teriak seseorang, ternyata orang agak gemuk tadi yang minum tuaknya Suto itulah
yang berseru memanggil Batu Sampang. Orang itu lanjutkan seruannya, "Bukan
dia yang menyerang kami, Batu Sampang! Bukan dia!"
"Lantas siapa,
Prasogo?!" suara Batu Sampang menyentak tegas.
"Tandu Terbang!"
jawab Prasogo tegas dan jelas. Agaknya pengaruh racun yang merusak bagian dalam
tubuhnyamulai hilang setelah iameminum tuak tadi.
Batu Sampang tertegun
memandangi Prasogo begitu mendengar nama Tandu Terbang. Perubahan wajah itu
diperhatikan oleh Suto secara diam-diam. Dalam hati Suto pun berkata,
"Agaknya nama Tandu
Terbang sudah dikenal oleh mereka dan termasuk nama yang diperhitungkan oleh
Batu Sampang, ia kelihatan cemas walau disimpannya dalam sikap diam dan
berlagak tenang. Hmm... pasti ia punya urusan sendiri dengan Tandu Terbang yang
mungkin pernah membuatnya jera. Terbukti amarahnya tidak langsung meluap begitu
mengetahui siapa penyerangnya, ia pun tidak keluarkan sangkalan dan langsung
percaya dengan pengakuan Prasogo."
Kejap berikut terdengar suara
Batu Sampang bertanya tegas kepada Prasogo,
"Ke mana larinya si Tandu
Terbang itu?"
"Tidak tahu. Kami
diserang dengan uap beracun yang menyebar bersama gerakannya!" jawab
Prasogo, kini ia malahan berdiri sebagai tanda bebas dari pengaruh racun.
"Apakah pemuda itu adalah
orangnya Tandu Terbang?" Batu Sampang menuding Suto Sinting sambil
pandangi Prasogo, dan orang agak gemuk itu gelengkan kepala sambil menjawab,
"Tidak. Dia datang
beberapa saat setelah Tandu Terbang, malahan dia obati aku dengan tuaknya itu!
Kurasa jika yang lain minum tuaknya, juga akan selamat dari racun mautnya Tandu
Terbang!"
Batu Sampang tarik napas, ia
pandangi Suto sesaat, kemudian berkata kepada Prasogo, "Kalau begitu,
suruh dia obati yang lainnya juga."
Prasogo berkata kepada Suto,
"Maukah kau mengobatiteman-temanku ini?"
"Tidak!" jawab Suto
tegas. "Kujamin dalam beberapa saat lagi teman-temanmu akan kehilangan
nyawa, karena kulihat racun itu sangat ganas."
"Tolonglah, Tuan Pendekar
yang budiman. Tolong sembuhkan mereka," Prasogo memohon penuh harap. Tapi
Batu Sampang bersikap sinis dan diam saja.
"Tuakku bukan untuk umum,
Prasogo. Tapi kalau memang kau berharap semua temanmu selamat sepertimu, suruh
orang angkuh itu memohon sendiri padaku!"
Batu Sampang tersentak dan
cepat berpaling kepada Suto dengan so rot mata kian dingin. Suto hanya
tersenyum, bahkan dengan santainya menenggak tuak tanpa ragu-ragu. Sedangkan
Prasogo tidak berani menyuruh Batu Sampang, melainkan hanya memandangnya dalam
keraguan.
Terdengar lagi suara Pendekar
Mabuk berkata, "Prasogo, waktunya hanya sebentar, aku harus segera pergi
untuk selesaikan urusanku! Selamat tinggal!"
"Tunggu!" Batu
Sampang segera mencegah dengan seruan. Rupanya ia tak punya pilihan lain. Demi
keselamatan jiwa anak buahnya ia terpaksa harus tunduk dan memohon sendiri
kepada Suto Sinting, ia pun segera dekati Suto Sinting, berhadap-hadapan dalam
jarak tiga langkah, berpandangan sama tajamnya. Tapi kemudian Batu Sampang
tundukkan wajah bungkukkan badan, menghormat dan berkata,
"Tolong, selamatkan
mereka dari racun itu!"
"Mengapa kauharus memohon
padaku?"
"Karena aku yang bertanggung
jawab atas delapan jiwa yang kubawa dari Muara Singa itu!" suara Batu
Sampang menjadi lunak.
"Untuk apa kau membawa
delapan jiwa dari asalmu itu?"
"Mencari gadis gila yang
bernama Palupi."
Suto terkejut, tapi segera
sembunyikan keterkejutannya itu dengan sikap tenang. Matanya sedikit terkesiap
mendengar jawaban tersebut. Tapi ia masih ingin ajukan tanya sekali lagi
sebelum ia lakukan penyembuhan.
"Untuk apa gadis gila itu
kau cari?"
"Karena dia tahu di mana
Pedang Kayu Petir berada! Ratu Gusti kami sangat membutuhkan pusaka
tersebut."
Suto manggut-manggut, lalu
bergegas memberikan tuak ke mulut mereka yang terkapar menunggu ajal. Namun
dalam hati Suto Sinting segera berkata,
" Setelah kuperhatikan,
ternyata racun ini bukan untuk mematikan, namun untuk melukai saja. Sebenarnya
tanpa meminum tuakku, mereka dapat sembuh walau agak lama. Kulihat warna biru
di wajah beberapa orang sudah tampak memudar. Agaknya orang yang memiliki racun
ini bermaksud melukai saja, tidak punya niat mematikan mereka. Hmm... kenapa
begitu? Apakah karena Tandu Terbang hanya punya racun seperti itu, dan tak
punya racun jenis lain yang mematikan lawannya?"
Sedikit demi sedikit mereka
mulai sadar, tapi ram but mereka sudah telanjur banyak yang berguguran. Bahkan
kepala mereka ada yang sudah menjadi botak di bagian tengahnya. Keganasan racun
itu hanya berakibat merontokkan rambut dan melemahkan peredaran darah, termasuk
jantung dan paru-paru mereka. Tapi tidak sampai merusak separah dugaan semula.
"Kasihan, kepalamu sampai
botak selicin ini, Teman," kata Suto kepada orang yang kepalanya botak
licin di bagian tengah. Orang itu justru bersungut-sungut dan berkata,
"Ini memang botak dari
lahir, Kang!" "Oo...," Suto tertawa geli namun tak berani
terlepas keras, ia segera temui Batu Sampang yang agaknya kian mengurangi sikap
dinginnya kepada Suto. Dalam hati Batu Sampang ternyata menaruh kekaguman
terharap cara penyembuhan Suto, juga mengakui keunggulan ilmu Suto melalui
pertarungan singkattadi.
"Terima kasih atas
bantuanmu, Pendekar Mabuk," katanya setelah mengenal siapa Suto sebenarnya
.
"Buatku ucapan itu tidak
terlalu berharga. Lebih berharga hati yang mau bersahabat denganku, Batu
Sampang."
Lelaki itu mengangguk-angguk
dengan mata memandang ke arah rumput di samping kaki Suto. Lalu, terdengar
suara Suto ajukan tanya,
"Kalau boleh kutahu,
mengapa Ratu gustimu membutuhkan Pedang Kayu Petir?"
"Aku tak bisa sebutkan.
Tapi jika kau ingin mengetahuinya, kau bisa datang ke negeri kami dan bicara
langsung dengan Gusti Purnama Laras." "Apakah beliau mau
menerimaku?" "Pasti mau. Karena...," Batu Sampang diam sesaat.
Matanya memperhatikan tiga
anak buahnya yang sempat cekcok gara-gara saling ledek kebotakannya Ketiga anak
buahnya itu hentikan percekcokan karena mereka tahu dipandangi oleh Batu
Sampang. Agaknya Batu Sampang punya wibawa yang besar di depan anak buahnya
itu, sehingga dengan memandang saja mereka menjadi takut dan segera perbaiki
sikap masing-masing.
"Karena apa, Batu
Sampang? Lanjutkanlah kata- katamutadi," desakSuto.
"Karena... namamu pernah
dibicarakan dalam sidang parapejabat istana."
"Namaku...!" Suto
berkerut dahi dengan heran. "Maksudnya, mereka membicarakan diriku sebagai
pemilik Pedang Kayu Petir?"
"Bukan begitu,"
jawab Batu Sampang tetap bersikap tegas dan wibawa. "Namamu dibicarakan
sebagai tamu yang ingin diundang ke negeri kami. Tapi tak satu pun dari kami
yang mengetahui di mana kau berada."
Pendekar Mabuk terbungkam
mendengar jawaban tersebut. Agaknya ada sesuatu yang penting sehingga namanya
dibicarakan oleh orang-orang Muara Singa. Padahal Suto Sinting merasa belum
pernah berkenalan dengan satu pun orang Muara Singa. Tapi Suto segera tidak
merasa heran sebab banyak tokoh yang mengatakan namanya sudah kondang di rimba
persilatan, dan hampir setiap tokoh berilmu tinggi aliran putih mengenal nama
Pendekar Mabuk.
Batu Sampang berkata,
"Kalau kutahu sejak tadi bahwa kau adalah Pendekar Mabuk, Suto Sinting,
tentunya akutak akan berani menyerangmu, Suto."
"Mengapa?"
"Karena aku sering
mendengar para tokoh tua berbicara tentang kesaktianmu. Terutama kesaktian
gurumu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang."
Suto Sinting sunggingkan
senyum sederhana. "Kesaktianku belum seberapa. Jangan terlalu terpengaruh
oleh dongeng mereka yang melebih- lebihkan kenyataan yang ada."
"Tapi Ratu Gusti Purnama
Laras sangat tertarik dan kagum dengan kesaktianmu, sehingga beliau sangat
berharap dapat jump a denganmu, Suto."
"Apakah menurutmu aku
memang harus datang ke sana?"
"Sebaiknya begitu, dan
aku akan menyertaimu sampai menghadap Ratu Gustiku!"
Pendekar Mabuk tarik napas
dalam-dalam. "Sayang sekali ada urusan yang harus kuselesaikan secepatnya.
Sebaiknya berikan arah negerimu agar aku dapat datang sendiri ke sana jika
urusanku telah selesai"
"Muara Singa ada di
sebelah barat, di bawah kaki Bukit Tungkai."
Wajah Suto terkesiap mendengar
nama Bukit Tungkai, karena ia ingat nama bukit itu disebut-sebut oleh Palupi
sebagai bukit penyimpanan Pedang Kayu Petir. Untuk menutupi kecurigaan Batu
Sampang, Suto buru-buru sembunyikan rasa terperanjatnya itu dengan berkata,
"Apa ciri-ciri Bukit
Tungkai yang bisa kuketahui?"
Batu Sampang diam sebentar,
seakan berpikir tentang ciri-ciri yang mudah diingat oleh calon tamunya itu.
Sesaat kemudian barulah
iamenjawab,
"Bukit Tungkai tak jauh
dari laut. Kaki bukit itu menyatu dengan pantai Pasir Merah, pasimya memang
berwarna merah kecoklatan. Bukit itu tidak terlalu tinggi, juga tidak begitu
lebar. Dulu bukit itu adalah sarang singa, tapi sekarang sudah tidak lagi. Di
ujungnya, maksudku di puncak bukit, terdapat batu tanpa lumut warna hitam,
menjulang berbentuk seperti sepotong telapak kaki raksasa yang kelihatan bagian
tungkai atautumitnya"
"Baiklah. Aku paham.
Setelah urusanku selesai aku akan menuju ke arah barat sampai menemukan bukit
berciri-ciri seperti itu," kata Suto Sinting.
"Kalau begitu, kita
berpisah dulu sampai di sini?"
"Hmmm... sebentar, ada
satu yang ingin kutanyakan padamu. Apakah kau tahu dan kenal dengan orang yang
menyerang anak buahmu itu?"
"TanduTerbang
maksudmu?"
Suto anggukkan kepala.
"Aku hanya pernah dengar
julukan itu, dan pernah dengar cerita kehebatan si Tandu Terbang dari mulut
orang-orang di kedai. Tapi aku belum pernah jumpa dengan si Tandu Terbang
sendiri. Kusarankan, hati- hatilah jika jumpa dengannya. Karena Tandu Terbang
orang berilmu tinggi. Konon ia muridnya Pendita Arak Merah berasal dari
Tibet."
Kembali sang Pendekar Mabuk
terperanjat, ia pernah mendengar nama Pendita Arak Merah dari Tibet, sehingga
ia pun berkata,
"Kalau begitu, Tandu
Terbang adalah saudara seperguruan dengan Sri Maharatu dariPulau Dadap?!"
"Mungkin saja! Aku pernah
dengar nama Sri Maharatu, tapi tidak tahu dari mana asal-usulnya dan siapa
gurunya."
Suto hanya manggut-manggut. Ia
tak mau katakan bahwa Sri Maharatu, yang kondang sebagai murid Pendita Arak
Merah dari Tibet itu sudah mati di tangannya dengan jurus 'Yudha', (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Cambuk Getar Bumi"). Suto sengaja
sembunyikan cerita itu agar tidak berkesan sombong di hadapan siapa saja.
Setelah berpisah dengan
rombongan Batu Sampang, Suto jadi berpikir tentang Palupi dan Bukit Tungkai.
"Jangan-jangan Palupi memang orang Muara Singa yang menyimpan rahasia
Pedang Kayu Petir, atau terlibat sesuatu yang bersangkutan dengan Pedang Kayu
Petir? Buktinya nama Bukit Tungkai yang disebut-sebut Palupi itu adalah nama
bukit tempat Muara Singa berada."
Sambil mencari ke mana
kira-kira arah kepergian Palupi, Pendekar Mabuk bertanya-tanya dalam hati
tentang pedang tersebut dan hubungannya antara Palupi dengan orang-orang Muara
Singa.
"Aku jadi curiga, jangan-jangan
orang-orang Muara Singa mau tangkap Palupi bukan untuk mengorek keterangan tapi
untuk membunuhnya? Mungkin Palupi terlalu banyak tahu tentang pedang pusaka itu
dan Ratu Purnama Laras tidak ingin rahasia pedang pusaka itu bocor dari mulut
gadis gila itu, sehingga Palupi perlu dimusnahkan? Oh, kalau begitu aku harus
segera dapat menemukan Palupi sebelum mereka lebih dulu membunuh Palupi! Tapi
jika orang-orang Muara Singa ingin membunuh Palupi, mengapa Dungu Dipo saat itu
melepaskan pukulan sinar kuningnya yang tidak membahayakan bagi keselamatan
jiwa Palupi?"
Tak ada kepastian jawaban,
sehingga Suto dibuat gelisah dan menerka-nerka menjengkelkan. Tetapi
kejengkelannya itu terhibur oleh suara teriakan seorang wanita di kejauhan
saja. "Hiaaaah...!"
Suara itu lengking, kecil,
meninggi, dan berkesan liar. "Itu pasti suara si gadis gila!" pikir
Suto seketika itu juga. Maka ia pun segera melesat ke arah datangnya teriakan
wanita.
***4
TERNYATA tak jauh dari tempat
itu ada sebuah sungai dangkal berair bening. Ditepi sungai itutanahnya datar,
berbatu-batu namun ada sebagian yang lega. Di tepian sungai itulah Suto melihat
sekelebat sosok perempuan melompat menyambar kepala seorang lelaki dengan
trisulanya. Untung lelaki itu cepat gulingkan tubuh ke tanah walau ia harus
meringis karena punggungnya terganjal sebongkah batu agak runcing.
Wanita itu bukan Palupi. Tapi
jelas suara jeritan tadi datangnya dari mulut wanita berbibir agak tebal dan
memancing gairah kaum lelaki itu. Wanita tersebut punya wajah cantik. Kulitnya
kuning langsat, seperti kulit Palupi, rambutnya pendek sebatas pundak lewat
sedikit, namun tampak tebal dan hitam mengkilat, ia tidak kenakan ikat kepala,
sehingga rambutnya meriap ke sana-sini ketika digunakan untuk bergerak dengan
gesit dan lincah.
Menurut dugaan Suto, wanita
berpakaian kuning gading itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Dengan pinggul
yang meliuk indah dan pantat montok kencang Suto dapat pastikan perempuan itu
pasti sering membuat lelaki tergila-gila. Tapi bagi Suto bukan perawakan
perempuan yang menggairahkan itu yang menjadi pusat perhatiannya, melainkan
gerakan silatnya yang aneh dalam menghadapi pertarungan. Lelaki yang diajaknya
bertarung sudah dikenal Suto belum lama ini. Dialah lelaki berusia lima puluh
tahunan yang bernama Dungu Dipo.
"Persoalan apa yang
dihadapi Dungu Dipo, sehingga perempuan itu agaknya bernafsu sekali ingin
membunuh Dungu Dipo?" pikir Suto daritempatnya.
Hentakan napas Dungu Dipo yang
hadirkan napas sepanas lahar itu selalu dapat dihindari oleh perempuan tersebut
dengan bersalto di udara atau melompat dengan gesit. Tetapi menurut penilaian
Suto, Dungu Dipo akan terpojok dengan serangan perempuan tersebut. Kibasan
golok panjang Dungu Dipo sering menemui tempat kosong karena terkecoh oleh
gerakan lincah si perempuan.
Pada satu kesempatan mereka
sama-sama hentikan penyerangan. Perempuan itu ada di depan Dungu Dipo dalam
jarak lima tindak, ia masih sigap dan tak punya rasa gentar sedikit pun.
Trisulanya yang berwarna kuning emas, entah emas asli atau emas palsu, masih
digenggam dengan erat-erat. Dungu Dipo sendiri memandang perempuan itu dengan
mata tajam, seakan juga bernafsu untuk membabat habis tubuh mulus yang bahenol
itu.
"Kuingatkan sekali lagi
padamu, Hantu Tari," seru Dungu Dipo."... jangan paksakan diri untuk
melawanku, jika kau ingin berumur pendek "
"Mungkin maksudnya, jika
ingin berumur panjang jangan melawannya," gumam Suto dalam hati
membenarkan kata-kata Dungu Dipo yang selalu salah maksud itu.
"Kalau tak becus ngomong,
jangan buka mulut, Dungu Dipo! Hadapi saja dendamku ini, karena hari ini adalah
hari pembalasan tiba! Jika dulu kau berhasil membakar tubuhku dengan napas
laharmu itu, sekarang tubuhmu yang akan kubuat lumer oleh jurus 'Api Lebur
Baja' yangtak adatandingannya!"
"O, jadi selama lima
tahun kau menghilang karena kau belajar lagi perdalam ilmu silatmu?! Hmm...!
Kau tak tahu kalau aku pun perdalam ilmu silatku, sehingga tak mudah merobohkan
orang lain!"
Suto geleng-geleng kepala.
"Dirobohkan orang lain, diganti merobohkan orang lain. Padahal artinya
jauh berbeda!" pikirnya sambil santai setelah meneguk tuak.
Suto ada di atas pohon, duduk
di sebuah dahan kekar dalam satu sisi sungai yang sama dengan mereka, ia
sengaja tidak ikut campur, karena ingin melihat seberapa tinggi ilmu perempuan
yang tadi dipanggil Dungu Dipo dengan nama julukan HantuTari itu.
Perempuan itu perdengarkan
suaranya, "Sekalipun tubuhku sudah kembali mulus berkat ramuan dari
guruku, tapi dendamku masih belum mulus dan tetap menuntut pembalasan padamu.
Tak peduli kau sekarang menjadi orang penting di negeri Muara Singa, persoalan
kita tetap persoalan pribadi!"
"Kulayani apa maumu. Tapi
jangan salahkan diriku jika nyawamu tercabut oleh tanganku. Sebab aku orang
yang tak pernah mau menyisakan nyawaku sendiri, HantuTari."
Hantu Tari hanya sunggingkan
senyum sinis, iatahu maksud kata-kata Dungu Dipo adalah, tidak mau menyisakan
nyawa musuhku sendiri', tapi karena salah ucap, maka artinya menjadi lain. Dan
itu sebuah ancaman yang lucu bagi siapa pun yang mendengarnya.
Perempuan itu tidak mau
membuang waktu lagi. Ia segera bergerak dengan merentangkan kedua tangannya ke
samping, lalu berputar-putar pelan bagai orang sedang menari. Trisula emas
masih tergenggam di tangan kirinya merapat dengan lengan. Jurus tarian itu ternyata
punya kekuatan sendiri. Pertama dapat memukau lawan melihat tarian yang indah
dan liukan pinggul bagaikan menantang gairah lelaki. Kedua, pengumpulan tenaga
dalam ternyata lebih diutamakan pada tangan dan kaki, sehingga ketika gerakan
lamban yang mirip tarian itu menyentak cepat, sentakan itu cukup mengejutkan
dan membuat lawan menggeragap. Tapi dari tangan kiri Hantu Tari telanjur
melesat seberkas sinar merah mirip bintang berekor. Claap...! Wuuus... !
Dungu Dipo sentakkan kaki dan
melenting ke atas, ia bersalto satu kali, kemudian tangan kirinya melepaskan
pukulan sinar hijau bening berbentuk seperti cahaya petir. Claap...!
Duaaar... !
Blaaar... !
Kedua sinar membentur batu di
lain tempat. Batu- batu itu pecah berhamburan. Tapi batu yang dihantam sinar
merahnya HantuTari menjadi lumer dan meleleh bagaikan bubur. Itulah jurus 'Api
Lebur Baja' yang menjadi andalannya Batu bisa menjadi lumer padahal lain bahan
dengan besi atau baja. Jika batu saja bisa lumer, apalagi tubuh Dungu Dipo,
tentu lebih mudah membusuk dan mencair.
Wuuut... !
Keduanya saling terjang dengan
senjata masing- masing beradu. Trang, trang! Tapi gerakan kaki Hantu Tari yang
mirip orang menari itu berhasil menendang tengkuk kepala Dungu Dipo. Duuuhg...!
Bruusss...! Dungu Dipo tersungkur
mencium tanah. Goloknya hampir saja mengenai dada sendiri, ia segera berbalik
dan bermaksud untuk bangkit. Namun tiba-tiba dari ujung trisula itu keluar
sinar biru bagaikan kawat baja.
Claaap...! Sinar itu tepat
menembus dada Dungu Dipo.
"Ahhg...!" Dungu
Dipo menengadahkan wajah dan terpekik. Matanya terpejam kuat-kuat. Namun ia
masih berusaha untuk bangkit dan menyerang lawannya.
"Racun Murka' sedang
bersarang di hatimu, Dungu Dipo! Tapi sebaiknya memang kuselesaikan saja dengan
jurus 'Surya Pemunah Bangkai' ini! Hiaaah...!"
HantuTari menyentakkan
trisulanya ke depan dengan gerakan mirip orang menari kejang. Tiga matatrisula
itu melesatkan sinar hijau kusam. Arahnyake dada Dungu Dipo. Tetapi tiba-tiba
tiga larik sinar hijau tua itu dihantam oleh sinar merah yang melesat lebih
cepat bagaikan kilat, membentang tepat di depan Dungu Dipo seakan sebuah
perisai penangkis serangan.
Blaaar...! Glegaarrrr...!
Ledakan dahsyat membuat tubuh
Hantu Tariterpental ke belakang bagaikan terbang, ia jatuh tersungkur di
samping batu besar. Ledakan yang terjadi karena benturan kedua sinar itu
memercikkan nyala sinar biru terang menyilaukan. Gelombang panas yang menyentak
dari ledakan itu berhasil membuat sebongkah batu menjadi rompal separo bagian.
Tubuh Dungu Dipo sendiri terseret ke tepian air sungai dan terpuruk di sana
dengan erangan lirih.
Hantu Tari bangkit, ia limbung
dan hampir jatuh jika tidak berpegangan pada sebongkah batu yang tingginya
sebatas dada. Mulutnya memuntahkan darah. Wajahnya menjadi pucat. Napasnya
sesak sekali, sehingga ia bersandar di batu tersebut sambil mencari kelegaan
untuk napasnya, ia memegangi dadanyayang terasa sakit bagaikan dihunjamtombak
dari jarak dekat.
"Kurang ajar! Siapa yang
membantumu Dungu Dipo?! Kulihat sinar merah itu bukan datang dari tubuh Dungu
Dipo!"
Pandangan mata Hantu Tari
tertuju ke atas tanggul. Suto Sinting sudah berdiri di sana. Ia segera melompat
turun dekati Dungu Dipo. Tapi matanya memandang ke arah Hantu Tari dengan
senyum tipis. Mata Hantu Tari tak berkedip memandang pendekar tampan yang baru
kali itu dilihatnya
Terdengar suara Suto berkata
dengan nada ramah, tanpapermusuhan, bahkan berkesan penuh sesal.
"Maaf, aku hanya mencegah
agar jangan terjadi korban nyawa. Aku tidak tahu kalau sinar hijaumu itu
berkekuatan amat tinggi. Semestinya ledakan itu tak begitu keras dan dahsyat.
Tapi ternyata aku salah duga. Sekali lagi aku mohon maaf jika sampai melukaimu,
Hantu Tari. Tapi aku bersedia sembuhkan lukamu sekarang juga jika kau
mau!"
"Persetan dengan
permintaan maafmu!" geram Hantu Tari dengan suara berat. "Kau
berhutang satu jurus padaku! Akan kubalas kalau luka ini telah sembuh! Tunggu,
tak akan lama kita pasti bertemu dan kau harus bayar hut angmu ini!"
Weess...!
Setelah bicara begitu, Hantu
Tari larikan diri dengan menahan luka di dadanya Pendekar Mabuk tak sempat
menahan gerakan HantuTari. Tapi pikirnya, memang tak ada perlunya menahan
HantuTari, sebab ia tak punya persoalan dengan perempuan itu. Namun kepada
Dungu Dipo, ia punya persoalan sendiri, yaitu sebagai calon tamu di tempat
Dungu Dipo mengabdikan dirinya.
Jika Suto lakukan penyelamatan
terhadap Dungu Dipo, hal itu disebabkan karena ia ingin menjalin persahabatan
dengan pihak Dungu Dipo, terutama dengan ratu gustinya Sebab dengan menjalin
persahabatan itulah, Suto Sinting berharap dapat mengetahui rahasia pedang
pusaka yang konon disimpan oleh gadis gila di sebuah gua di Bukit Tungkai.
"Dungu Dipo, minumlah
tuakku ini sedikit saja untuk penyembuhkan lukamu!" kata Suto Sinting, ia
sudah berhasil membawa Dungu Dipo ke tempat kering, dan lelaki itu didudukkan
dalam keadaan bersandar pada sebuah batu. Wajah Dungu Dipo pucat pasi. Luka itu
diduga menjadi parah akibat ledakan dua sinar tersebut. Tapi sebelumnyapasti
sinar biru dari ujung trisula Hantu Tari telah melukai bagian dalam tubuh Dungu
Dipo cukup parah.
"Minumlah tuakku, jangan
diam saja!" kata Suto Sinting. Tapi Dungu Dipo masih diam. Anehnya engahan
napasnya sudah terkendali dan mulutnya tak mau terbuka, tapi matanya menatap
dengan tajam ke arah Suto Sinting. Pandangan mata itu terasa makin lama semakin
tajam dan semakin liar, sampai akhirnyatangan Dungu Dipo yang masih memegangi
golok panjangnya itu berkelebat membabat wajah Suto Sinting. Wuuus...!
Untung wajah yang hampir
terbabat golok itu ditarik mundur dengan gerakan naluri yang amat cepat,
sehingga golok itu tidak kenai wajah tersebut. Bahkan tubuh Suto yang jongkok
berhasil melompat mundur tiga langkah jauhnya.
"Kenapa kau jadi
menyerangku?!" sentak Suto kepada Dungu Dipo. Tapi orang tersebut justru
bangkit berdiri dengan menggeram, matanya menjadi liar dan ganas, ia ingin
sekali membunuh Suto Sinting, bahkan kalau mungkin merajang-rajang tubuhnya dengan
golok panjang itu.
"Ggrrr...!"
Suto Sinting berkerut dahi
mendengar erangan menyeramkan dari mulut Dungu Dipo. Matanya memandang penuh
waspada dan kecurigaan Suto membuat hatinya mengatakan, "Ada yang tak
beres pada dirinya."
Tiba-tiba tubuh Dungu Dipo
melayang dengan cepat dan membabatkan goloknya. Wuuut...! Wwwess...! Gerakan
golok itu sangat kuat dan cepat. Hampir saja pundak Suto terpotong karena
gerakan golok tersebut. Suto tidak melawan, kecuali hanya menangkis dengan bumbung
tuaknya. Traang...! Kraak...!
Golok panjang itu patah
menjadi dua bagian. Sisanya yang masih menancap di gagang golok hanya sedikit,
kurang dari setengah jengkal. Tetapi Dungu Dipo masih menggeram. Kini golok
patah itu dibuang, dan ia menerkam Suto Sinting dengan mata kian buas dan liar.
Wuuut ... ! Praaasss... !
Suto Sinting menghindar,
akibatnya seonggok batu yang menjadi sasaran serangan Dungu Dipo. Batu itu
pecah karena tendangan kuat bertenaga dalam dari kedua kaki Dungu Dipo. Bahkan
batu besar itu hampir saja terguling dari tempatnya ketika dua kaki itu
menjejak bersamaan. Kekuatan yang ditimbulkan sempat membuat tanah terguncang
sedikit bagai dilanda gempa selintas.
"Besar
sekalitenaganya?!" pikir Suto. "Tapimengapa dia jadi seganas itu
terhadapku?! Ia menjadi buas dan liar. Sepertinya bukan kehendak hati nuraninya
untuk bersikap seganas itu!"
Dungu Dipo berbalik arah,
menggeram dengan kedua tangan merenggang bagai ingin mencakar, lalu salah satu
tangan disentakkan ke depan. Wuuut...! Claap! Sinar hijau besar melesat
menghantam Suto Sinting. Tapi pemuda tampan itu bagai menghilang dari
tempatnya. Zlaap...! Ternyata bergerak cepat dan berpindah tempat di samping
kanan Dungu Dipo. Sinar hijau itu menghantam pepohonan di seberang sungai.
Blegaaar... !
Buuurrrrkk...! Dua
pohontumbang seketika, terbelah dari atas ke bawah. Itu pertanda pukulan
dahsyat yang dilepaskan Dungu Dipo benar-benar ingin menghancurkan Suto
Sinting. Tetapi Pendekar Mabuk tidak mau berikan balasan, ia sempat berkata
dalam hatinya,
"Kudengar tadi HantuTari
lepaskan pukulan 'Racun Murka' yang berwarna biru dari ujung trisulanya.
Apakah dengan begitu muka
Dungu Dipo menjadi ganas akibat terkena 'Racun Murka' dari Hantu Tari
tadi?!" Clap, clap...! Wuuut...!
Dungu Dipo semakin membabi
buta melepaskan pukulan-pukulan dahsyatnya. Suto Sinting hanya menghindar dan
menghindar terus sambil berpikir harus bagaimana mengatasi 'Racun Murka' yang
berpengaruh dalam jiwa Dungu Dipo itu. Jelas apa yang dilakukan Dungu Dipo
adalah perbuatan yang tidak disadarinya
Bebatuan banyak yang hancur
lebur oleh pukulan dahsyatnya. Sinar yang melesat tak tanggung-tanggung
banyaknya itu menghancurkan pepohonan juga di sekeliling tempat itu. Gemuruh
suara ledakan selalu sambung-menyambung membuat bumi bagaikan sedang diguncang
kiamat. Suto Sinting tak punya pilihan lain kecuali segera larikan diri
menghindari pertemuan dengan Dungu Dipo.
"Aku harus melumpuhkannya
dari belakang, supaya ia pingsan dan buru-buru kuberi minuman tuakku!"
pikir Suto Sinting dalam pelariannya. Tapi ternyata pelarian itutidak dibiarkan
oleh Dungu Dipo.
"Ggrrrraaw...!"
Suara geramnya makin keras dan
menyeramkan. Dungu Dipo melesat mengejar Suto Sinting, sehingga mereka saling
kejar. Kecepatan geraknya pun lebih tinggi dari kecepatan aslinya Rupanya
pengaruh 'Racun Murka' bukan hanya dalam jiwa yang menjadi buas saja, melainkan
kekuatan tenaga dalamnya pun menjadi berlipat ganda. Buktinya sambil mengejar
Suto, Dungu
Dipo melepaskan pukulan tenaga
dalamnya berulang- ulang dari jenis pukulan-pukulan dahsyat. Tak heran jika
pepohonan banyak yang hancur dan tumbang diamuk pengaruh 'Racun Murka' yang
membuat Dungu Dipo bagaikan orang gila.
"Apakah Palupi menjadi
gila juga karena pukulan beracunnya Hantu Tari?!" pikir Suto Sinting kala
ia bersembunyi di balik pohon besar berbatang pipih, menyerupai bilik-bilik
dinding.
"Tak ada salahnya jika ia
kulumpuhkan dulu walaupun terluka, tapi harus segera kutolong agar nyawanya tak
telanjur melayang. Hmm... sebaiknya kugunakan jurus 'Mabuk Pelebur Gunung',
setelah itu harus buru-buru kuberi tuak. Tapi... apakah itu tidak berbahaya?
Oh, jangan! Jurus itu berbahaya. Selain dapat membuatnya biru legam dengan
rambut rontok semua, dalam waktu singkat ia akan mati. Tuakku belum tentu bisa
bekerja lebih cepat melawan kekuatan jurus itu dan 'Racun Murka' di
dalamnya."
Selagi Suto berpikir,
tiba-tiba ia mendengar suara jerita seorang wanita.
"Aaaah...!"
Suto tersentak kaget.
"Itu suara Palupi! Ya, pasti Palupi!" Dan Suto pun segera sentakkan
kaki, pergunakan ilmu peringan tubuhnya untuk melesat dengan cepat melebihi
anak panah. Zlaaap...! Dalam sekejap ia sudah berada di tempat yang datar, di
sana ia melihat Palupi sedang dikejar-kejar Dungu Dipo. Bahkan sebuah pukulan
bertenaga dalam tinggi dilepaskan oleh Dungu Dipo ke arah punggung Palupi yang
berlari-lari ketakutan itu.
Claap... !
Sinar merah dari tangan kiri
Dungu Dipo melesat cepat menghantam Palupi. Tapi Pendekar Mabuk bergerak lebih
cepat lagi dengan menghantam sinar ungunya yang keluar dari dua jari. Kedua
jari itu mengeras, ditempelkan di dahi, lalu disentakkan ke depan dan keluarlah
sinar ungu yang menghantam sinar merah dari tangan Dungu Dipo. Zlaaap...!
Duaaar...! Jurus 'Turangga Laga' telah mematahkan jurus mautnya Dungu Dipo yang
hampir-hampir mencelakakan Palupi.
Gadis gila ituhanyamenjerit
ketakutan dengan tubuh terlempar jatuh di semak-semak ketika ledakan itu
terjadi dengan keluarkan gelombang hentakan cukup kuat. Sedangkan Dungu Dipo
sendiri terkapar karena terjengkang ke belakang disentakkan oleh angin ledakan
tersebut. Suto Sinting buru-buru menyambar Palupi yang sedang berdiri dari
jatuhnya sambil mencaci Dungu Dipo,
"Dasar orangtua
kampret!" Wuuut...! Tubuh gadis itu terasa terbang dalam sekejap, ia
sempat gelagapan dan terbengong-bengong ketika sudah berada di balik pohon
besar.
"Diam! Jangan bicara apa
pun! Orang itu sedang mencarimu!" sambil telunjuk Suto dirapatkan di bibir
gadis gila yang sebenarnya berbentuk indah menawan hati itu. Tapi si gadis gila
mengangguk-angguk, seakan memahami kata-kata Suto sambil berseru,
"Orang itu harus dibunuh
biar tak bisa jalan lagi!"
"Ssst...!" bentak
Suto mendesis. "Disuruh diam kok malah bicara dengan suara keras"
"O, Iya. Akulupa!"
kataPalupi dengan berbisik. "Eh, Kang... ke mana saja kau? Aku mencarimu
ke mana- mana ingin mengajakmu bercumbu. Akhirnya aku bercumbu dengan pohon!
Tapi...tak ada enaknya."
Kata-kata itutak dihiraukan
oleh Suto, dianggap kata- kata gadis gila yang tidak muncul dari lubuk hatinya.
Suto memaklumi kata-kata itu, walau sebenarnya tak pantas jika diucapkan gadis
seusia Palupi seandainya ia waras.
Rupanya suara Palupi tadi
didengar oleh Dungu Dipo, sehingga pohon besar itu pun diserangnya dengan
pukulan tenaga dalamnya yang dahsyat. Wuus...! Blegaaar...! Pohon itu hancur.
Tapi tubuh Palupi sudah disambar Suto untuk pindah tempat dengan kecepatan tinggi.
Seandainya tidak, sudah pasti tubuh mereka hancur berkeping-keping seperti
pohon besar itu yang juga hancur berkeping-keping tak berbentuk bekas pohon
sama sekali.
Gerakan pindah Suto membawa
Palupi diketahui oleh mata Dungu Dipo. Maka Dungu Dipo mengerang kuat- kuat
dengan suara mirip manusia hutan yang liar, lalu kedua tangannya disentakkan ke
depan dan melesatlah dua sinar hijau besar dari kedua tangan itu. Wooos...!
Suto Sinting sentakkan kakinya
dengan tangan kanan menyambar pinggang Palupi yang menjerit-jerit ketakutan.
Tahu-tahu tubuh Palupi sudah ada di atas pohon bersama dengan Suto. Dan dari
sana Suto lepaskan pukulan bersinar hijau pula yang langsung kenai tubuh Dungu
Dipo dan membuat orang tersebut terpental, memuntahkan darah segar dari
mulutnya, lalu terkapar tak berkutik. Sedangkan sinar hijaunya tadi
menumbangkan empat pohon dalam keadaan terpotong- potong menjadi beberapa,
bagian.
"Aaa...!" Palupi
jatuh dari pegangan Suto,tergelincir saat mencoba berdiri sendiri di atas
dahan. Suto Sinting segera turun menyambarnya kembali. Tapi ia segera terkejut
ketika melihat tubuh Dungu Dipo ada yang menyambarnya pergi.
5
SEKELEBAT bayangan yang sempat
dilihat Suto menyambar tubuh Dungu Dipo tampak seperti seseorang yang pernah
dikenalnya. Rasa penasaran Suto membuatnya terpaksa mengejar orang tersebut.
"Pakaian hitam
seluruhnya, sepertinya pakaian Siluman Tujuh Nyawa!" pikir Suto setelah
tiba di suatu tempat dan merasa kehilangan jejak. "Apakah benar orang yang
menyambar tubuh Dungu Dipo adalah Durmala Sanca, atau Siluman Tujuh Nyawa?!
Jika benar, untuk apa dia membawa pergi Dungu Dipo dalam keadaan terluka parah?
Ya, Dungu Dipo pasti terluka parah, selain oleh 'Racun Murka' juga oleh
pukulanku tadi. Tapi jika yang menyambarnya Siluman Tujuh Nyawa, mengapa aku
tidak melihat sekilas tongkat El Mautnya?"
Suto Sinting berkelebat ke
utara, kembali ke selatan, lalu ke timur dan segera ke barat. Tapi bayangan
hitam yang menyambar Dungu Dipo tidak terlihat. Tubuh Dungu Dipo sendiri juga
tidak tampak jejaknya. Tak ada tetesan darah. Padahal semestinya Dungu Dipo
memuntahkan darah segar karena terkena pukulan bertenaga dalam cukup besar.
Tidak cukup satu kali Dungu Dipo memuntahkan darah, pasti akan berulang kali.
Tapi ternyata darah itu tak kelihatan tercecer di beberapa temp at yang dilacak
Suto.
"Sial! Cepat sekali
gerakan si bayangan hitam tadi. Jangan-jangan memang benar, Siluman Tujuh Nyawa
yang membawanya pergi dan masuk ke alam gaib?! Ah, sudahlah! Biarkan dulu si
Dungu Dipo. Aku perlu menanyakan beberapa hal kepada Palupi! Gadis itu hampir
saja cedera karena tingkahnya yang membuatnya jatuh dari pohon. Untung segera
berhasil kusambar kembali!" sambil menggumam begitu, Suto Sinting bergegas
kembali ke tempat di mana ia tinggalkan si gadis gila itu.
Tetapi alangkah kecewanya hati
Pendekar Mabuk setelah sampai tempat semula, ternyata Palupi sudah tidak ada di
tempat. Matanya memandang sekeliliing, bahkan sempat naik ke atas pohon dan
memeriksa alam sekitar dari sana. Gadis gila itu tidak terlihat sedang
melarikan diri ke suatu tempat. Suto Sinting menjadi cemas dan berkata dalam
hatinya,
"Jangan-jangan dia ikut
dibawa lari oleh Siluman Tujuh Nyawa? Ah, kacau sekali pikiranku. Mereka lenyap
begitu saja, seperti ditelan bumi. Apakah benar orang berpakaian serba hitam
tadi adalah Siluman Tujuh Nyawa? Belum tentu juga! Siapa tahu orang lain. Tapi
apakah orang lain itu yang membawa pergi gadis gila? Atau... atau gadis gila
itu pergi sendiri entah ke arah mana? Apakah ia menyusulku? Ah... dasar
gila!" Suto Sinting mendesah jengkel sendiri. Lalu untuk menahan rasa
jengkelnya, iameneguktuak beberapa kali.
Sambil melangkah mencari
Palupi, Suto Sinting menggerutu dalam hatinya,
"Benar-benar sial nasibku
hari ini! Belum mengorek keterangan tentang rahasia Pedang Kayu Petir dari
Palupi, eh... sudah lenyap lagi. Aku jadi semakin penasaran dengan gadis itu.
Pasti dia memegang kunci rahasia pedang pusaka tersebut. Sayang saja dia tidak
waras, jadi tak bisa dikendalikan gerakan dan terutama otaknya. Kalau saja dia
gadis yang waras, sudah pasti bisa kuajak kerjasamamenemukan Pedang Kayu
Petir."
Angin berhembus ke arah barat.
Ke arah itu pula Suto Sinting bergerak, karena ia membayangkan Bukit Tungkai
dan gua tempat menyimpan Pedang Kayu Petir. Tetapi tujuan utamanya saat itu
adalah mencari Palupi, dan dugaannya mengatakan bahwa Palupi tinggal dan
bersembunyi di gua yang ada di Bukit Tungkai itu. Besar kemungkinan Palupi
ketakutan menghadapi serangan dahsyat dari Dungu Dipo, sehingga ia melarikan
diri ke gua di Bukit Tungkai untuk bersembunyi.
Ternyata perjalanan ke Bukit
Tungkai pun memakan waktu tidak sebentar. Sampai malam tiba, Suto belum menemukan
ciri-ciri Bukit Tungkai. Akhirnya ia bermalam di sebuah desa, menumpang di
rumah seorang pemilik kedai yang ternyata masih punya hubungan saudara dengan
Ki Rosowelas, pemilik kedai yang pernah menampungnya ketika dalam perjalanan ke
Gunung Keong Langit, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bandar
Hantu Malam").
Esoknya, perjalanan diteruskan
dengan bumbung tuak telah kembali terisi penuh tuak pilihan. Bumbung itu agak
berat, tapi bukan masalah buat Suto karena ia sudah terbiasa membawa bumbung
berisi penuh tuak. Jika bumbung penuh tuak, hati Suto menjadi tenang dan
gembira, karena ia bisa menikmati tuak kapan saja ia inginkan. Salah satu
kehebatan Suto Sinting adalah tidak pernah merasa mabuk walaupun meminum tuak
dua bumbung sekaligus. Bagi Suto Sinting, lebih baik ia terlambat makan
daripada terlambat minumtuak. Tanpa meminum tuak setengah hari saja tubuh Suto
akan merasa lemas dan pegal-pegal.
"Seharusnya," pikir
Suto sambil melangkah, "Jika Palupi pulang atau bersembunyi di Bukit
Tungkai, ia pasti akan bermalam di desa itu tadi. Ia pasti akan kemalaman di
perjalanan. Tapi ternyata gadis gila itu tak ada di sana, dan beberapa penduduk
yang kutanyai merasa tidak melihat gadis gila masuk desa itu. Lantas lewat mana
Palupi pergi ke Bukit Tungkai? Atau barangkali ia pergi ke arah lain yang
justru berbeda arah denganku?"
Melewati kaki bukti cadas yang
tak seberapa tinggi, langkah Suto menjadi terhenti dan matanya memandang ke
atas bukit. Pendekar Mabuk sedikit terperangah melihat seseorang sedang
bertarung di atas bukit bertanaman jarang itu.
"Sepertinya itu Hantu
Tari?! Apakah ia telah berhasil sembuhkan lukanya? Lalu siapa yang diajaknya
bertarung kali ini?"
Pendekar Mabuk kerutkan dahi,
merasa heran dengan lawan yang diserang oleh HantuTari. Dengan cepat Suto
Sinting naik ke atas bukit dan mencari tempat berlindung bagi dirinya. Karena
kali ini ia melihat sesuatu yang aneh, HantuTari bertarung melawan seseorang
yang ada di dalam tandu. Tandu itu bisa bergerak ke sana-sini dan keluarkan
pukulan atau lepaskan senjata rahasia.
"Itukah yang dimaksud
Tandu Terbang?!" pikir Suto dari persembunyiannya.
Tandu itu berukuran kecil.
Tertutup kain merah satin yang mengkilap dengan hiasan rumbai-rumbai benang
kuning pada tepiannya. Tandu itu mempunyai empat tiang pemanggul, depan dua
belakang dua. Kayu pemanggul itu berwarna hitam dengan ukuran gambar badan dan
kepala naga. Jadi tandu yang pantasnya milik seorang ratu itu seperti disangga
oleh empat ekor naga. Atapnya berbentuk lengkung tapi mempunyai lubang sebesar
buah sawo. Ada enam lubang yang mengelilingi atap berlapiskain satin mengkilap
warna merah itu.
"Kurasa yang ada di
dalamnya hanya satu orang, karena tandu itu tak akan cukup untuk dua
orang," pikir Suto. "Pasti orang itu dalam keadaan duduk, karena
atapnyatidak begitutinggi. Jika orang di dalam tandu itu berdiri, pasti orang
itu bertubuh cebol. Hmmm... raja mana yang ada di dalam t andu itu? Bangsawan
mana yang mempergunakantandu tanpa pemikul itu? Pintu tak ada, jendela tak ada,
tapi orang di dalam tandu agaknya bisa melihat gerakan Hantu Tari, sehingga
bisa hindari serangannya. Hebat juga ilmu orang tersebut. Oh, ya... apa benar
dia yang ada dalam tandu itu murid Pendita Arak Merah dari Tibet? Jangan-jangan
Pendita Arak Merah sendiri yang duduk di dalam tandu itu?"
Hantu Tari mulai terdesak oleh
gerakan Tandu Terbang yang mampu melesat dengan cepat menerjang lawannya.
Sebilah pedang tiba-tiba keluar dari dalam ukiran kepala naga. Sraak...! Pedang
itu bagaikan muncul dari mulut naga, yaitu kayu pemikul sebelah kanan depan.
Seolah-olah kayu itu sebagai pengganti tangan kanan si penghuni tandu. Kayu
pemikul itu bisa bergerak sendiri ke atas atau ke bawah, bahkan agaknya bisa
pula bergerak ke samping kanan-kiri. Gerakannya itu memungkinkan pedang
tersebut mampu menebas lawan kapan saja.
Ketika Tandu Terbang melayang
dengan pedangnya, Hantu Tari menangkis menggunakan trisula emasnya. Trang...!
Lalu kakinya menendang bagian bawah kayu pemikul. Daahg...! Tendangan bertenaga
dalam tinggi itu membuat tandu berjungkir balik di udara, tapi tak membuat
rusak keadaan penutupnya. Penghuni tandu pun tidak terlempar keluar dan, ketika
diam di tempat, tandu itu sudah dalam keadaan seperti semula.
Kedua kayu pemikulnya
menghadap ke arah Hantu Tari. Keadaan tandu itu tidak menyentuh tanah,
mengambang di udara tanpa bergerak, seakan menunggu serangan lawan selanjutnya.
"Jika bukan orang berilmu
tinggi yang ada dalam tandu itu, tak mungkin ia bisa gerakkan tandu itu dan
diam dalam keadaan melayang di udara," pikir Pendekar Mabuk.
"Benar-benar tinggi ilmu si penghuni tandu itu. Sri Maharatu pun kalah
tinggi ilmunya dengan orang dalam tandu. Aku yakin, pasti Pendita Arak Merah
sendiri yangmenghuni tandu tersebut."
Tiba-tiba terdengar suara
Hantu Tari berseru, "Aku tak peduli dengan ancamanmu, Tandu Terbang! Apa
pun tuduhanmu tak akan kubantah untuk memohon ampun darimu! Apa keinginanmu
akan kulayani sekarang juga, Tandu Terbang! Memang dulu aku punya kekasih orang
Lumpur Maut, tapi bukan berarti aku orang Lumpur Maut! Dan percintaan usangku
itu tak pernah kuingat- ingat lagi, walaupun kau bernada cemburu kepada bekas
kekasihku itu!"
Hantu Tari diam, masih dalam
keadaan sigap, kuda- kudanya kokoh dan trisulanya terangkat di atas kepala
dengan arah ujung tiga mata trisula lurus ke depan. Kapan saja siap lepaskan
serangan kepada lawannya.
Setelah diam beberapa saat,
Hantu Tari kembali berkata, "Itu bukan urusanku! Urusanku dengan Windu
Jati adalah urusan cinta, bukan urusan perguruan, bukan pula urusan kekuasaan
di Lumpur Maut! Tapi kalau kau masih penasaran denganku, kutunggu seranganmu
sekarang juga, Tandu Terbang! Jangan sangka aku merasa jera dan takut
menghadapimu!"
Suto Sinting berucap dalam
hatinya, "Sepertinya Hantu Tari berbicara dengan seseorang. Tapi tak
kudengar percakapan lawan bicaranya itu?! Apakah orang yang ada di dalam tandu
merah itu yang bicara pelan kepadanya? Begitu pelannya, sampai-sampai hanya dia
yang mendengar perkataan orang dalam tandu?"
Terdengar lagi suara Hantu
Tari berseru, "Windu Jati telah mati! Mengapa kau persoalkan lagi dengan
diriku? Aku sudah bukan kekasihnya orang Lumpur Maut! Kala aku tadi
menyerangmu, karena dulu kau pernah lukai punggungku dengan pedangmu itu, Tandu
Terbang. Sekarang luka itu harus kau bayar dengan kehancuran tandumu!"
Hantu Tari mulai meliuk-liuk
memainkan jurus mirip orang menari. Sesekali ia berseru bagai menjawab sebuah
pertanyaan atau membantah sebuah tuduhan.
"Ya. Akan kuhancurkan
tandumu itu supaya kutahu persis wajah pengecut yang selalu bersembunyi di
balik tandu yang mirip kandang ayam itu!"
Wuuut...! Tiba-tiba tandu
merah itu melayang terbang dengan cepat. Pedang di kayu pengusungnya itu
bergerak menoreh dada Hantu Tari. Tetapi dengan lincah, Hantu Tari sentakkan
kaki dan melenting di udara, bergerak membabatkan ujung trisulanya yang telah membara
seperti besi terpanggang api. Gerakannya itu bagaikan menukik, kepala di bawah
dan trisula terarah ke atap tandu.
Namun belum sempat trisula itu
menyentuh atap tandu, tiba-tiba dari lubang sebesar buah sawo yang ada di atap
tandu itu keluar seberkas sinar putih perak. Claaap...! Salah satu dari enam
lubang di atas tandu telah berhasil menghentakkan tubuh HantuTari melalui sinar
putih peraknya. Tubuh tersebut terlempar dengan kuat, berjumpalitan di udara,
lalu jatuh terpuruk bagaikan kehilangan tenaga. Brruk...!
Wuuusss...! Taab...!
Tandu merah hinggap di pucuk
gugusan batu cadas. Bagian depannya yang masih mengeluarkan pedang itu
menghadap ke arah Hantu Tari. Rupanya sinar putih itu membuat luka cukup berat
di dalam tubuh Hantu Tari yangtepat mengenai bagian bawah pundak kiri. Luka itu
membiru, bahkan cepat membuat wajah menjadi pucat bagaikan mayat.
Rupanya Tandu Terbang tak
cukup lukai bagian dalam lawannya. Dari ujung kayu pengusung sebelah kiri depan
melesat kilatan cahaya logam yang mengarah ke tubuh Hantu Tari. Kilatan cahaya
logam itu jelas senjata rahasia yang membahayakan. Mungkin pula mengandung
racun ganas. Hantu Tari akan mati, atau cedera berat seumur hidupnya jika
terkena logam berkilat itu.
Untunglah sebuah sinar biru
bagaikan bintang melesat dari balik gugusan batu cadas sebelah kanan, dan sinar
biru itu menghantam logam putih tersebut.
Duaaar... !
Logam putih itu berhasil
dihancurkan oleh sinar biru. Tandu Terbang bergerak ke kanan, lalu dari kain
penutup yang berwarna merah itu melesat sinar hijau pendar-pendar berbentuk bo
la. Wuuut...! Sinar itu mengarah ke gugusan batu dan ketika menyentuh gugusan
batu besar itu seketika terdengar suara menggelegar bagaikan guntur menyambar
batu tersebut.
Glegaaar... !
Gugusan batu sebesar anak
gajah itu hancur lebur menyebar ke berbagai arah dalam bentuk serpihan kecil
menyerupai pasir. Sedangkan orang yang diperkirakan bersembunyi di balik
gugusan batu itu tidak kelihatan. Entah kapan ia pergi dari sana, tapi Suto
Sinting tak melihat adanya gerakan yang berpindah tempat dari balik batu itu ke
tempat lain. Suto pun mencari-cari dengan matanya yang bergerak nanar.
Jleeg...!
Tiba-tiba sesosok tubuh kurus
sudah berdiri di belakang tandu. Sesosok tubuh kurus itu miiik seorang nenek
berambut putih dengan rambut disanggul sebagian. Wajahnya kempot, kulitnya
keriput, matanya cekung, namun mempunyai pandangan yang tajam. Nenek itu
kenakan jubah merah muda yang sudah kusam dengan pakaian dalam warna hitam.
Nenek itu masih tegak walau usianya diperkirakan sekitar sembilan puluh tahun
lebih, ia mengipas-ngipas diri dengan kipas warna hitam bertepian garis kuning
emas. Di bagian tengah kipasnya terdapat lukisan seek or burung murai.
Rupanya nenek itu mendengar
suara lawan bicaranya sehingga tahu-tahu ia menjawab,
"Benar! Tak salah
dugaanmu, Tandu Terbang. Akulah yang bernama Nyai Paras Murai, guru dari
HantuTari!"
Lalu, nenek itu diam beberapa
saat bagai mendengar suara, setelah itu terdengar berkata bagaikan menjawab
sebuah pertanyaan,
"Tak peduli apa urusanmu
dengan muridku, tapi aku tak rela jika muridku kau lukai begitu! Aku berhak
membelanya, TanduTerbang!"
Tandu merah itu bergerak
memutar, kini bagian depannya terarah kepada Nyai Paras Murai. Sang nenek masih
tampak tenang, tak ada kesan gugup atau cemas sedikit pun dalam wajah tuanya
itu. Gerakan mengipasnya berhenti, kipasnya terkatup dan digunakan untuk
menunjuk lawannya.
"Kau sendiri yang akan
hancur jika melawanku, Tandu Terbang! Sekalipun muridku mudah kau tumbangkan,
tapi jangan harap kau bisa menumbangkan gurunya pula, Tandu Terbang!"
Claaap...! Tiba-tiba dari
mulut naga kayu itu keluar sinar merah lurus menghantam tubuh Nyai Paras Murai.
Dengan cepat kipas hitam dibentangkan dan menjadi penangkis sinar merah
tersebut.
Daaar...! Letupannyatak begitu
dahsyat, namun cukup membuat Nyai Paras Murai terlonjak mundur dua tindak.
Tandu Terbang segera melesat menyerang nenek itu dengan gerakan cepat. Sang
nenek bersalto di udara dan menendang bagian atap tandu.
Braak...! Tendangan itu
mengguncangkan tandu, namun juga membuat sang nenek terpental lebih tinggi, ia
bagaikan beradu tenaga dalam dengan lawannya.
Tiba-tiba Tandu Terbang
berputar sambil keluarkan sinar warna-warni dari keenam lubang di bagian
atapnya. Clap, clap, clap, clap...! Sinar itu pun ikut memutar seolah-olah
menyapu tubuh Nyai Paras Murai yang baru saja jatuh terhentak dari suatu
ketinggian. Nyai Paras Murai tidak diberi kesempatan menyerang kembali, ia
berusaha menghindari sinar-sinar warna- warni itu dan dibuat terteter oleh
serangan Tandu Terbang. Karena di samping sinar yang keluar dari enam lubang di
bagian atap, Tandu Terbang juga keluarkan sinar biru berasap tebal dari kedua
kayu pengusung bagian belakang. Sinar biru itu melesat ke arah Nyai Paras
Murai, akibatnya sang nenek berjumpalitan dengan kebingungan menghindari
serangan yang beruntun dan bersifat mengepungnya itu.
Maka dengan hentakkan kaki di
tanah, Nyai Paras Murai kibaskan kipasnya dari samping kiri ke kanan,
wuuusss...! Tandu Terbang terpental berjungkir balik karena kibasan kipas itu
hadirkan angin kencang yang menyerupai badai. Dua gugusan batu terlempar ke
arah Tandu Terbang. Jika tandu itu tidak kuasai diri dan mampu melesat tinggi
bagaikan menghindari gelombang badai yang ada di bagian bawahnya, maka tandu
itu akan hancur dihantam dua gugusan batu besar. Sementara itu, di sisi lain
dua pohon tumbang, patah bagian tengahnya bagaikan dihempas badai berkekuatan
melebihi dua ekor banteng menyeruduk pohon tersebut.
Suto Sinting sendiri hampir
saja terpental dari tempat persembunyiannya jika iatidak segera berpegangan
akar pohon. Untung keadaannya tidak tepat berhadapan dengan arah berdirinya
Nyai Paras Murai. Keadaannya sedikit menyamping, sehingga hempasan badai yang
melanda tubuh Suto tidak sekuat badai yang menerbangkan tandu merah itu.
Dalam keadaan terbang tinggi
pun tandu merah itu masih lepaskan pukulan bersinar. Empat sinar merah melesat
bagaikan besi baja yang mengarah kepada Nyai Paras Murai dan Hantu Tari. Dengan
cepat Nyai Paras Murai selamatkan diri, karena agaknya ia bisa mengukur
kekuatan lawannya yang lebih tinggi dari ilmunya sendiri. Namun sambil
berkelebat menghindari dari serangan empat larik sinar merah itu, Nyai Paras
Murai menyambar muridnya dan membawanya pergi dengan kecepatan tinggi. Tandu
Terbang merendah, lalu melesat bagaikan seekor burung mengejar mangsanya.
Pendekar Mabuk keluar dari
persembunyian, memandang ke arah kepergian mereka sambil geleng- gelengkan
kepala. Mulutnya berucap lirih, "Gila! Tandu Terbang memang berilmu
tinggi. Seharusnya ia tumbang dan jebol karena kipas badai tadi. Tapi ia mampu
melesat terbang tinggi menghindarinya?! Luar biasa ilmu itu. Aku jadi
penasaran, bagaimana kelanjutan pertarungan itu. Kulihat Tandu Terbang masih
penasaran mengejar lawannya. Apakah Nyai Paras Murai mampu mengimbangi kekuatan
itu? Andai tidak, lantas bagaimana caranya menyelamatkan diri dari ancaman
ganas Tandu Terbang? Ah, sebaiknya kuikuti langkah mereka ke arah sana!"
Suto Sinting pun segera
berkelebat, menggunakan ilmu peringan tubuh dan jurus gerak siluman yang mampu
berlari dengan kecepatan melebihi badai tadi.
Zlaap...! Zlaaap...!
Tetapi gerakan Suto
terhentioleh sebuah pertarungan yang terjadi di lereng sebuah bukit. Suto
terkejut, perhatiannya lebih tertarik ke arah pertarungan tersebut, ia bergegas
menghampiri lereng bukit itu dan memperjelas penglihatannya.
"Dungu Dipo ada di sana?
Hmm... siapa orang yang sedang diserangnya itu?" pikir Suto Sinting sambil
kian mendekati tempat pertarungan Dungu Dipo melawan tokoh tua berpakaian serba
hitam. Rambutnya masih tampak hitam pekat walau wajahnya mencerminkan usia di
atas sembilan puluh tahun. Tubuh kurus yang terbungkus baju jubah hitam itu
masih mampu bergerak lincah, walau pada akhirnyaterjungkal karena tendangan kaki
Dungu Dipo yang mempunyai hentakan tenaga dalam dan membuat tubuh lawannya
terpental sebelum kaki menyentuh tubuh itu.
"Bahaya! Dungu Dipo masih
ganas saja. Pengaruh 'Racun Murka' belum hilang dari jiwanya, ia masih
kelihatan bernafsu membunuh siapa saja, termasuk lawannya itu. Tapi... bukankah
lawannya itu yang tadi kulihat berkelebat menyambarnya? Pakaiannya hitam, rambutnya
panjang dan hitam, kulitnya pun tergolong hitam. Jangan-jangan memang orang itu
yang tadi menyambar Dungu Dipo?"
Dalam satu kesempatan, Dungu
Dipo melihat lawannya yang tua terkulai lemas dan memuntahkan darah dari
mulutnya walau tak banyak. Ketika lawan sedang menunduk terengah-engah dalam
keadaan merangkak mau bangkit, Dungu Dipo lepaskan pukulan bersinar hijau dari
kedua tangannya. Suto ingat, pukulan bersinar hijau keruh itu sangat berbahaya
jika mengenai lawan, karena pohon besar pun bisa dibuatnya hancur
berkeping-keping.
"'Racun Murka' itu jangan
sampai membawa korban nyawa!" pikir Suto Sinting. Kemudian dengan cepat,
Pendekar Mabuk rapatkan kedua telapak tangan di dada, lalu kedua tangan itu
dalam keadaan tetap merapat disentakkan ke depan dan dari ujung tangan melesat
selarik sinar ungu yang menghantam kedua sinar hijaunya Dungu Dipo di
pertengahan jarak dengan lawannya.
Claaap...!
Blegaaarrrr...!
Kedua sinar itu pecah menjadi
satu cahaya putih menyilaukan yang berkerilap lebar. Asap hitam mengepul,
membumbung tinggi di udara, lalu lenyap bersama hembusan angin yang bergerak
menuju barat.
Karena sinar hijau tadi masih
menyatu dengan kedua telapak tangan Dungu Dipo, maka ketikaterjadi ledakan
dahsyat yang mengguncangkan beberapa pohon di sekitarnya, tubuh Dungu Dipo
terpental ke belakang dan berguling-guling. Telapak tangannya menjadi hitam
bagaikan terkena sengatan tajam sinar ungunya Pendekar Mabuk. Kekuatan
gelombang sinar ungu tadi mampu menembus peredaran darah Dungu Dipo melalui
jalur sinar hijau yang belum putus dari telapak tangannya. Akibatnya, darah
dalam tubuh Dungu Dipo bagaikan tersontak keluar dari mulut, hidung, dan
telinganya, ia jatuh terkapar sambil menggeram, mengerang-erang seperti singa
sedang sekarat.
"Harus segera kujejali
tuak ini supaya nyawanya tidak copot dari raga!" pikir Suto sambil
berkelebat menuju tempat Dungu Dipo terkapar.
Tapi di luar dugaan, sinar
biru datang menghantam betis Suto dari arah belakang. Claap...!
Dess...! Brruk...! Suto
Sinting jatuh tersungkur karena kakinya bagaikan hilang seketika itu. Tak ada
urat yang mampu digunakan untuk berdiri. Kaki kiri itu bagaikan lumpuh, tapi
kaki kanannya tidak.
Dengan menggunakan kaki kanan
Suto Sinting berusaha bangkit dan memandang ke belakang, ternyata pukulan sinar
biru itu datang dari si tokoh tua berpakaian serba hitam yang tadi nyawanya
diselamatkan Suto dari ancaman sinar hijaunya Dungu Dipo. Tentu saja Suto
Sinting menjadi geram dan jengkel, karena orang itu bukannya berterima kasih
padanya, melainkan justru menyerangnya.
"Mengapa kau menyerangku,
PakTua?!" sentak Suto ketika orang berpakaian serba hitam itu bergegas
mendekatinya dan ingin lepaskan satu pukulan mautnya lagi ke tubuh Suto.
Mendengar seruan Suto, orang
tersebut menahan diri untuk tidak melepaskan pukulannya. Namun ia menjawab
pertanyaan Suto itu dengan pandangan angkernya,
"Kau membunuh muridku!
Dan aku tak rela orang lain membunuhnya!"
"O, jadi Dungu Dipo ini
muridmu?"
"Ya! Dan akulah yang
menyambarnya saat ia bertarung denganmu!"
"Pak Tua..., percayalah,
aku tidak bermaksud membunuh muridmu. Justru aku ingin menolongnya dari
pengaruh 'Racun Murka'kiriman HantuTari itu!"
Pak Tua yang sudah angkat
tangannya untuk disentakkan ke depan itu menjadi diam sesaat. Tangannya
bergerak turun pelan-pelan sambil terdengar suaranya bagai orang menggumam,
"'Racun Murka'...?! Jadi,
Hantu Tari telah pergunakan racun itu untuk serang muridku?!"
"Periksalah
sendiri!"
"Ya, ya...!" orang
itu manggut-manggut. "Pantas ketika kusembuhkan lukanya akibat seranganmu
tadi, tahu-tahu dia menyerangku dengan ganas bagai tak mengenaliku lagi!"
"Itulah sebabnya aku
banyak menghindar, dan terpaksa melumpuhkannya untuk mengobati racun tersebut
dari jiwanya. Tapi kau lebih dulu membawanya pergi!"
'"Racun Murka'tak ada
obatnya!" gertak Pak Tua itu. "Selama racun itu bermukim dalam jiwa
seseorang, maka orang tersebut akan selamanya menjadi liar, ganas, dan tak
mengenal siapa-siapa lagi. Selama ini tak pernah kudengar ada orang sembuh dari
'Racun Murka'. Yang kudengar orang itu mati karena dikalahkan lawannya, kadang
saudara sendiri atau teman sendiri yang membunuhnya!"
Suto Sinting sempat tertegun
dan bertanya dalam hati, "Benarkah 'Racun Murka' tak dapat ditawarkan
sekalipun menggunakantuakku?"
***6
TOKOH tua yang ternyata memang
gurunya Dungu Dipo itu mengaku bernama Ki Palaran. Tokoh itu juga mengenal si
Gila Tuak, gurunya Suto Sinting. Tapi rupanya baru kali ini ia berhadapan
langsung dengan murid sinting si Gila Tuak itu. Ki Palaran sendiri tidak
menyangka kalau Suto ternyata orang yang namanya sedang menjadi buah bibir
kalangan rimba persilatan sebagai Pendekar Mabuk beraliran putih.
Ketika Suto berhasil sembuhkan
diri sendiri dari sinar birunya Ki Palaran dengan meminum tuaknya, Ki Palaran
sempat merasa heran, karena baru kali ini melihat seorang lawan yang dapat
sembuh dengan cepat setelah terkena pukulan jurus 'Pelumpuh Jagat' itu. Bahkan
Ki Palaran kian terheran-heran melihat Suto berhasil lenyapkan 'Racun Murka'
dalam jiwa Dungu
Dipo setelah meminumkan tuaknya
ke mulut Dungu Dipo. Ketika orang tua itu mendengar nama Suto Sinting dan
gelarnya; Pendekar Mabuk, maka rasa heran itu pun lenyap dari hatinya.
"Pantas kalau kau bisa
lakukan hal-hal seperti itu, ternyata kau si Pendekar Mabuk, muridnya Gila
Tuak!" katanya ketika itu, dan Suto Sinting hanya tersenyum ramah, tanpa
kelihatan membusungkan dada atas kesaktiannya.
Hubungan mereka bertiga
menjadi baik. Bahkan Ki Palaran sempat menceritakan siapa HantuTari dan Nyai
Paras Murai itu.
"Paras Murai adalah bekas
kekasihku," kata Ki Palaran agak malu-malu, namun masih kelihatan
ketegasan dan kewibawaannya. "Kami tak jadi melanjutkan hubungan cinta
karena orangtua kami saling bermusuhan. Walau sekarang aku dan Paras Murai
sudah sama-sama tidak mempunyai orangtua, namun hubungan cinta sudah telanjur
putus dan sepertinya kami sama- sama enggan menyambung kembali di usia setua
ini."
Dungu Dipo masih bersandar di
pohon sambil duduk melonjor seakan menunggu pulihnya tenaga yang terkuras habis
karena amukannya itu. Sementara Suto Sinting sendiri masih tampak diam,
mengikuti cerita Ki Palaran yang tentunya punya pengetahuan cukup banyak di
rimba persilatan.
"Paras Murai mempunyai
murid Win dari, yang kemudian bergelar Hantu Tari, karena jurus-jurus yang
diajarkan Paras Murai menyerupai sebuah tarian. Hantu Tari sebenarnya masih ada
hubungan saudara dengan penguasa Muara Singa. Dia adalah adik sepupu Ratu
Purnama Laras, anak dari adik ayahnya Ratu Purnama Laras, ia diangkat murid
oleh Paras Murai sejak berusia sebelas tahun"
Setelah Ki Palaran berhenti
bicara, Suto segera ajukan tanya, "Lantas, persoalan apa yang membuat
Hantu Tari mendendam kepada Dungu Dipo?"
"Persoalannya
berkait," jawab Ki Paiaran. "Hantu Tari mempunyai kekasih bernama
Windu Jati, orang Lumpur Maut. Windu Jati diutus oleh penguasa tanah Lumpur
Maut untuk membunuh Ratu Purnama Laras. Waktu itu, Dungu Dipo sebagai pengawal
terdepan sang Ratu. Dungu Dipo berhasil membunuh Windu Jati yang kala itu
datang bersama rombongannya berjumlah tujuh orang, di luar rombongannya itu
ikut pula Hantu Tari sebagai pendamping sang kekasih. Melihat kekasihnya mati
di tangan Dungu Dipo, Hantu Tari mengamuk, lalu berhasil dicederai oleh Dungu
Dipo. Sekujur tubuhnya terbakar dan kecantikannya hilang, kemulusannya pun
rusak, hal itu membuat Hantu Tari sangat sakit hati. Namun berkat perawatan
gurunya, Hantu Tari bisa kembali seperti sediakala Kini saatnya ia menuntut
balas atas kekalahannyatempo hari."
"Akutak tahu kalau dia
sudah dibekali 'Racun Murka' oleh gurunya," sahut Dungu Dipo dengan suara
parau, masih malas bicara namun dipaksakan.
Ki Palaran melanjutkan kata,
"Tetapi sejak terputusnya hubungan cinta antara Hantu Tari dan
Windu Jati, tak ada lagi
hubungan Hantu Tari dengan orang-orang Lumpur Maut. Tetapi pada umumnya,
orang-orang Muara Singa masih menyangka bahwa HantuTari di pihak orang-orang
Lumpur Maut."
"Tapi," kata Suto,
"Sebelum aku tiba di sini, kulihat Nyai Paras Murai dan Hantu Tari
terlibat pertarungan dengan Tandu Terbang."
Ki Palaran cepat pandangkan
mata ke arah Suto, demikian pula Dungu Dipo, seakan terkejut mendengar nama
Tandu Terbang disebutkan. Bahkan Dungu Dipo menyatakan sikap tertariknya dengan
bertanya,
"Lantas bagaimana?"
"Hantu Tari terluka,
dibawa lari oleh Nyai Paras Murai. Tapi pihak Tandu Terbang masih
mengejamya."
Dungu Dipo yang tampak tegang
memandang gurunya, seakan ia ingin mendengar pendapat sang Guru tentang Tandu
Terbang itu. Tetapi karena keduanya sama-sama diam, Suto pun kembali ceritakan
pertemuannya dengan Batu Sampang.
"Kala itu kutemukan
delapan orangnya Batu Sampang terkapar karena terkena racun dari Tandu Terbang.
Tapi aku berhasil menolong mereka, dan Batu Sampang mengharapkan kedatanganku
ke Muara Singa."
Dungu Dipo menyahut,
"Kalau saja kutahu waktu itu kau adalah Pendekar Mabuk yang bernama Suto
Sinting, maka aku tak akan gegabah melawanmu. Karena memang Ratu Gustiku sangat
mengharapkan bisa jumpa denganmu. Tentunya kalau beliau mendengar aku
menyerangmu, aku akan kena hukum cambuk entah berapa puluh kali. Sejujurnya
kukatakan padamu, bahwa kau sangat ditunggu-tunggu oleh Ratu Gusti Purnama
Laras."
"Apa persoalannya?"
"Tak bisa kuceritakan,"
jawab Dungu Dipo yang sejak tadi bicaranya lancar tanpa salah arti. Mungkin
pengaruh dari luapan murkanya yang sudah tercurah habis tadi, sehingga
pikirannya mulai bisa berpikir dengan benar, mampu menyusun kalimat dengan
tepat. Itu pun tidak disadari oleh Dungu Dipo. Sampai kapan ia dapat berbicara
sesuai dengan arti sebenarnya, tak ada yangtahu. Yang jelas, bila ia dalam
keadaan kelelahan ia mampu bicara dengan arti yang benar. Tapi jika tak
mengalami kelelahan, sepertinya ia tak mampu menyusun kalimat sesuai dengan
maksud hatinya.
Dungu Dipo berkata lagi,
"Ada baiknya jika kau menghadap Ratu Gustiku. Kau akan dihormati sebagai
tamu agung oleh beliau."
"Itu soal gampang,"
kata Suto. "Tapi aku ingin tahu lebih dulu, apa hubungan Ratu Gustimu
dengan gadis gila yang bernama Palupi?"
"Bisa kutanyakan, eh...
bisa kau tanyakan setelah kau bertemu dengan Ratu Gustiku."
"Mengapa kau tak berani
menjawab pertanyaanku itu?"
"Takut kurang jelas
bagimu. Tapi setahumu..., eh... setahuku, gadis gila itu tak ada hubungannya
dengan Ratu Gustiku, sebab kami mengetahui gadis itu baru beberapa hari yang
lalu, yaitu ketika ia berteriak-teriak di depan pintu gerbang mengatakan akan
menjual Pedang Kayu Petir kepada siapa saja yang mau membelinya. Gadis itu
segera diusir oleh penjaga pintu gerbang. Penjaga pintu gerbang sempat bocor
kepalanya karena dilempar batu oleh gadis gila itu. Ratu Gusti Purnama Laras
mendengar teriakan gadis gila yang menawarkan Pedang Kayu Petir, lalu menyuruh
kami untuk menghadapkan gadis itu. Tapi... gadis itu malah lari sehabis melukai
kepala si penjaga pintu gerbang. Kami ditugaskan mencari dan membawanya pulang
ke Muara Singa. Hanya itu yang kau tahu, eh... yang kutahu tentang gadis
tersebut."
"Apakah ceritamu itu bisa
kupercaya?"
Dungu Dipo diam sejenak, lalu
angkat bahu, "Terserah padamu. Aku tidak memaksamu untuk mempercayai
ceritaku. Karenanya kusarankan agar kau temui saja Ratu Gustiku supaya dapat
penjelasan lebih lengkap lagitentang gadis itu dan Pedang Kayu Petir."
Ki Palaran menimpali,
"Tak ada jeleknya jika kau mau menghadap Ratu Purnama Laras. Mungkin
banyak hal yang dapat kau ketahui dari beliau."
"Apakah menurutmu,"
kata Suto kepada Dungu Dipo, "Gadis gila itu benar-benar mempunyai Pedang
Kayu Petir?"
Ki Palaran yang menjawab,
"Namanya saja orang gila, tentunya celotehnya tidak selalu benar. Lebih
banyak mengacau bagai orang mengigau. Pedang Kayu Petir sudah bertahun-tahun
dinyatakan hilang dari permukaan bumi. Beberapa orang tokoh sakti tak ada yang
berhasil menemukan pedang itu dalam teropong indera keenamnya. Kurasa gadis
gila itu tak mempunyai Pedang Kayu Petir. Sebab jika dia mempunyai pedang
pusaka tersebut, maka ia sudah menjadi orangterkenal di kalangan rimba
persilatan. Orang setinggi apa pun jika melawannya akan tumbang. Kenyataannya
sampai sekarang tak pernah ada berita lagi tentang pedang pusaka
tersebut."
Pendekar Mabuk
angguk-anggukkan kepala, ia diam sesaat, setelah itu memandang Ki Palaran dan
bertanya,
"Apakah Ki Palaran tahu
siapa orang yang ada dalam Tandu Terbang itu?"
KI Palaran tarik napas
panjang-panjang, setelah itu baru menjawab dengan suara pelan tapi terdengar
jelas oleh Suto dan Dungu Dipo.
"Tandu Terbang dulu
pernah mengamuk dan membunuh orang-orang yang berpihak kepada Gandar Soca,
penguasa daerah Lumpur Maut yang berjuluk Raja Tumbal. Menurut kabar, Raja
Tumbal pernah berselisih dengan Pendita Arak Merah dan berhasil membunuh adik
Pendita Arak Merah dari Tibet itu. Padahal Pendita Arak Merah mempunyai murid
Tandu Terbang dan Sri Maharatu dari pulau Dadap. Kedua murid ini punya tugas
membalaskan kematian adik Pendita Arak Merah, sehingga perselisihan pun terjadi
antara Raja Tumbal dengan Tandu Terbang dan Sri Maharatu. Tapi yang tampak
getol menyerang adalah Tandu Terbang. Untuk beberapa saat Raja Tumbal sempat
menghilang dari rimba persilatan, sehingga Tandu Terbang pun tidak tampakkan
gerakannya. Ternyata Raja Tumbal menghilang untuk pelajari beberapa ilmu
kesaktian yang dapat mengungguli Pendita Arak Merah. Mungkin sekarang Tandu
Terbang mendengar Raja Tumbal bangkit kembali, sehingga tugas dari sang Guru
pun harus dikerjakan sebaik-baiknya."
"Tapi mengapa dia punya
urusan dengan Hantu Tari juga?'
"Kurasa itu urusan
pribadi, atau karena Tandu Terbang masih menyangka Hantu Tari ada di pihak Raja
Tumbal," jawab Ki Palaran dengan nada bijaknya .
Suto manggut-manggut sebentar,
setelah itu berkata lagi, "Sri Maharatu pernah kulihat wajahnya, tapi
Tandu Terbang tidak kulihat wajahnya saat bertarung melawan HantuTari."
"Tak seorang pun yang
pernah melihat wajah orang dalam tandu merah itu."
"Bagaimana kalau aku
menduga, bahwa orang dalam tandu itu adalah Pendita Arak Merah sendiri?"
KI Palaran terkesiap memandang
Suto. Ia sedikit tegang namun bercampur rasa bangga dalam hati yang
disembunyikan. Dalam gumam lirihnya ia terdengar berkata datar, "Baru
sekarang ada orang yang punya dugaan seperti itu. Selama ini aku sendiri tak
membayangkan hal tersebut yang menurutku sangat besar kemungkinannya Karena
semangat menghancurkan Raja Tumbal begitu besar dan semangat biasanya ada di
dalam jiwa orang yang merasa dirugikan pribadinya, misalnya orang yang
kehilangan sanak- saudaranya karena dibunuh Raja Tumbal."
Dungu Dipo ikut terbengong
mendengar dugaan Suto. Ia berkata, "Itu sebuah pemikiran yang bagus
sekali. Tak pernah kudengar ada orang yang mempunyai dugaan seperti itu. Aku
jadi yakin, di dalam Tandu Terbang itu terdapat sosok seorang guru berilmu
tinggi dari Tibet yang bernama Arak Merah."
"Aku jadi ingin
membongkar tandu itu," ujar Suto Sinting setelah diam dan menerawang
beberapa saat.
"Jika tak ada urusan,
jangan sekali-sekali mengganggu Tandu Terbang," kata Ki Palaran.
"Ilmunya sangat tinggi. Kurasa jika aku harus berhadapan dengan nya, belum
tentu aku bisa menumbangkan si Tandu Terbang itu. Sebaiknya jangan bikin
perkara dengannya, hindari bentrokan dengan si Tandu Terbang."
Dungu Dipo segera menimpali,
"Lupakan tentang Tandu Terbang. Sekarang sebaiknya kau datang ke Muara
Singa. Ratu Gusti Purnama Laras pasti akan senang hatinya menerima
kedatanganmu. Setidaknya aku akan mendapat penghormatan dari beliau, mungkin
sebuah hadiah, jika aku datang bersamamu."
Rasa ingin tahu yang ada di
dalam hati Suto Sinting semakin besar, terutama tentang Palupi dan Pedang Kayu
Petir itu. Karenanya, Suto Sinting segera bergegas mengikuti Dungu Dipo menuju
ke negeri Muara Singa setelah Ki Palaran kembali ke pondoknya di lereng Gunung
Cemara Putih. Harapan Suto, setelah bertemu dengan Ratu Purnama Laras ia bisa
peroleh keterangan tentang Pedang Kayu Petir yang sebenarnya.
"Jangan katakan bahwa kau
pernah bertemu dengan gadis gila itu," kata Dungu Dipo. Kata-kata itu
membuat Suto Sinting menjadi heran dan menaruh curiga, sehingga meluncurlah
pertanyaan dari mulutnya,
"Mengapa begitu? Apa
akibatnya jika kuceritakan tentang hal yang sebenarnyakualami
bersamaPalupi?"
"Pokoknya jangan
ceritakan soal Palupi. Berlagaklah pura-pura tidak bertemu dengan gadis gila
itu. Aku takut Ratu Gustiku akan menaruh curiga padamu, Suto. Dikiranya kau
telah berhasil memiliki Pedang Kayu Petir."
Suto hanya tersenyum dan
manggut-manggut. Sebenarnya jika Pendekar Mabuk tidak berbelok arah untuk
saksikan pertarungan Dungu Dipo dengan Palupi, ia dapat jumpai pertarungan
hebat antara Nyai Paras Murai. Tandu Terbang berhasil mendesak Nyai Paras
Murai, sehingga hampir-hampir Hantu Tari hancur menjadi sasaran pukulan tenaga
dalam yang dilancarkan dari dalam tandu. Untung Nyai Paras Murai cepat-cepat lindungi
muridnya, hingga punggungnya menjadi sasaran telak sinar putih dari salah satu
keenam lubang di bagian atap tandu.
Jika Hantu Tari menjadi lemas
dan tak berdaya karenaterkena sinar putih perak, maka Nyai Paras Murai pun
hampir-hampir mengalami nasib serupa. Untung ia segera mampu kendalikan hawa
murni dalam tubuhnya, sehingga darah dan napasnya membaur dengan hawa murni
itu, lalu melawan luka yang ditimbulkan dari sinar putih perak tersebut. Dalam
beberapa saat saja, kekuatan Nyai Paras Murai sudah pulih kembali.
"Keparat kau, Tandu
Terbang!" geram Nyai Paras Murai, lalu ia meletakkan tubuh muridnya yang
lemas itu. Wajah sang murid yang kian memucat dengan bibir semakin membiru
tidak dihiraukan. Nyai Paras Murai segera bentangkan kipasnya lalu melompat ke
arah Tandu Terbang dengan gerakan bersalto cepat beberapa kali.
Wuuurt ... !
Kipas dikibaskan, dari kibasan
itu terpancar sinar biru menyebar bagaikan kilatan bintang jatuh di waktu
malam. Slaaap...! Sinar itu bagaikan ingin membelah tandu merah dari atas ke
bawah. Biasanya sinar seperti itu dapat membelah gunung atau pohon sebesar apa
pun. Tetapi kali ini agaknya sinar biru itu gagal menunjukkan kehebatannya.
Dari dalam selubung tandu
keluar sinar kuning yang segera pecah dan menyelubungi seluruh tandu. Akibatnya
sinar biru itu tak dapat membelah tandu bahkan hanya menimbulkan dentuman
dahsyat. Blegaar... !
Tubuh kurus Nyai Paras Murai
pun terpelanting jauh bagaikan kapas terhempas topan, ia berguling-guling di
kejauhan sana. Tandu Terbang melihat keadaan Hantu Tari tanpa penjagaan. Maka
dengan cepat tandu itu melayang tinggi dan dari ujung kayu pengusungnya yang
kiri keluar logam putih seperti saat di puncak bukit cadas itu. Claaap...!
Pantulan sinar matahari
menyilaukan, melesat dari logam putih itu, membuat Nyai Paras Murai mengetahui
muridnya dalam bahaya. Maka ia segera menyentakkan kipasnya dalam keadaan
tertutup. Suuut...! Dan logam putih itu berhenti di udara dalam jarak dua
jengkal sebelum menyentuh dada Hantu Tari. Logam putih itu berbelok arah, lalumelesat
ke arah Nyai Paras Murai.
Kipas hitam yang ditutupkan
itu mempunyai daya tarik pada logam yang mampu menyedot benda putih berbahaya
tersebut. Senjata berbentuk menyerupai ujung anak panah itu melesat cepat ke
arah Nyai Paras Murai, namun kipasnya segera dikibaskan ke samping ketika benda
itu mendekatinya. Wuuut...! Benda tajam itu terlempar ke arah lain dan menancap
di sebuah pohon.
Jraab... !
Blaaar... !
Ledakan dahsyat kembali
terdengar. Benda putih berkilap itu menghancurkan pohon tersebut menjadi serbuk
coklat yang menyerupai pasir menggunung di tempat di mana pohon itu tumbuh.
Dapat dibayangkan seandainya tubuh Hantu Tari yang terkena senjata, logam
seperti pucuk panah itu, mungkin mayatnya tak akan bisa dimakamkan karena
menjadi serbuk halus seperti pohontersebut.
Clap, clap, clap, clap...!
Nyai Paras Murai menghujani
sinar biru kilat dari ujung kipasnya ke arah Tandu Terbang. Dengan begitu,
Tandu Terbang dibuat terdesak dan kebingungan menghindari serta menangkis hujan
petir dari ujung kipas tersebut. Tandu Terbang sempat dibuat mundur beberapa
langkah jauhnya. Kemudian tiba-tiba tandu itu melepaskan sinar hijau dari dua
kayu pengusung bagian depannya. Slaaap...!
Nyai Paras Murai segera
membentangkan kipasnya, lalu kipas itu dilemparkan ke arah dua sinar tersebut.
Kipas terbang dengan berputar cepat dan memercikkan bunga api warna merah.
Kipas itu menghantam dua sinar hijau tersebut, sehingga dua kali terjadi
guncangan hebat karena ledakan yang ditimbulkannya.
Blaar...! Blegaaarrr...!
Ledakan itu membuat Tandu
Terbang tersentak dan melesat mundur. Nyai Paras Murai terpental tiga langkah,
lalu bangkit berlutut dan menangkap kipasnya yang terbang bagaikan bumerang.
Taab...! Dengan cepat ia bergerak menyambar muridnya dan membawanya lari lagi.
Tetapi Tandu Terbang masih mengejarnya juga.
***7
KABUT sore membantu Nyai Paras
Murai menghilangkan jejak. Tandu Terbang kebingungan mengikuti arah pelarian
Nyai Paras Murai karena kabut sore menebal dan mengganggu pandangannya.
Akibatnya, Tandu Terbang bergerak berbeda arah dengan orang yang dikejarnya.
Nyai Paras Murai berlari ke arah barat, sedangkan Tandu Terbang ke arah
selatan.
Langkah sang Guru yang
menyelamatkan jiwa muridnya terhenti di suatu tempat. Wajahnya tampak tegang
memandang kanan-kiri dan sekitarnya. Lalu terdengar ia bergumam seorang diri,
"Iniperbatasan
negeriMuara Singa?!"
Mata tuanya memandang ke arah
puncak bukit, samar-samar terlihat olehnya batu hitam berbentuk seperti tungkai
kaki manusia yang sebagian tertutup kabut sore. Hatinya yakin betul bahwa ia
sudah mendekati wilayah Muara Singa. Gemuruh ombak samar-samar terdengar di
sebelah utara.
"Kurasa ada baiknya
kutemui Ratu Purnama Laras untuk meminta perlindungan! Di sana aku bisa
sembuhkan luka HantuTari sebelum ajal menyambutnya lebih dulu. Aku yakin,
penguasa Muara Singa tak keberatan jika aku dan Hantu Tari memohon perlindungan
dari kejaran Tandu Terbang, toh Hantu Tari masih punya hubungan keluarga dengan
penguasa Muara Singa itu!"
Tanpa rasa ragu sedikit pun,
Nyai Paras Murai bergegas lanjutkan perjalanannya ke arah barat sambil
memanggul HantuTari di pundak kirinya. Gerakan cepat itu tiba-tiba terhenti
karena kemunculan dua orang berpakaian biru dengan ikat kepala merah dan hijau.
Dua orang berbadan tegap itu muncul dari balik kerimbunan semak ilalang yang
tumbuh di bawah pohon beringin putih.
"Penjaga tapal
batas!" gumam Nyai Paras Murai pelan sekali, tak terdengar oleh dua orang
tersebut, karena jaraknyamasih tujuh langkah ke depan.
Keduanya kini melangkah tiga
tindak, lalu yang seorang menyapa dengan sikap tegas, "Nyai Paras Murai!
Akuhapal sekali dengan wajahmu, Nyai!"
"Benar. Aku Paras Murai.
Aku ingin menghadap Ratu Gustimu!"
"Siapa yang kau panggul
di pundak Itu?"
"Hantu Tari, muridku
sendiri," jawab Nyai Paras Murai dengan nada tegas pula. "Izinkan aku
lewat dan menemui Ratu Purnama Laras!"
"Tidak bisa!" jawab
orang yang satunya, yang memiliki kumis tebal.
"Mengapa tak bisa?!
Apakah kalian tak tahu bahwa HantuTari adalah adik sepupu Ratu Gusti
kailan?"
"HantuTari adalah orang
Lumpur Maut!"
"Itu dulu, ketika dia
berpasangan dengan Windu Jati. Tapi sekarang ia tak punya hubungan apa-apa lagi
dengan orang Lumpur Maut! Dia bukan kaki tangannya Raja Tumbal."
"Maaf, Nyai. Saat ini
Muara Singa tertutup untuk tamu asing mana pun juga! Dengan menyesal kusarankan
kembalilah, Nyai!"
"Aku akan menghadap
ratumu apa pun yang ingin kau lakukan padaku!"
"Kalau begitu jangan
menyesal jika kami lakukan kekerasan untuk mengusirmu, Nyai Paras Murai!"
"Jika itu kehendakmu, aku
siap hadapi kalian berdua!"
"Heaaat...!" orang
berkumis tebal melompat lebih dulu sambil cabut goloknya. Lompatannya cukup
tinggi dan kakinya berkelebat men en dang wajah Nyai Paras Mural. Kaki itu segera
ditangkis dengan menyilangkan tangan yang sudah menggenggam kipas dalam keadaan
tertutup. Dees...! Lalu, golok si kumistebal pun menebas ke samping tanpa
ragu-ragu lagi.
Wuuut...!
Trak...! Kecepatan gerak
membuat kipas itu mampu menahan tebasan golok si kumis tebal. Kipas itu segera
memilin cepat dan menyodok pergelangan tangan pemeganggolok. Slaap...! Dees...!
"Auh...!" orang itu
memekik, goloknya lepas dari genggaman. Tangannya terasa ngilu dan sulit
digerakkan. Seakan tulangnya remuk dan uratnya putus semua akibat sodokan ujung
kipas bertenaga dalam tinggi itu. Dalam keadaan orang tersebut menyeringai,
kaki Nyai Paras Mural bergerak memutar dan menen dang wajah orang tersebut
dengan kuat. Plook...!
"Auuf...!" orang
berkumis tebal memekik lagi dua kali. Hidungnya langsung berdarah. Tubuhnya
terjengkang karena terpental oleh hentakan kaki Nyai P aras Murai itu.
Melihat temannyatergeletak
dengan hidung berdarah, orang tanpa kumis segera lepaskan pukulan tenaga dalam
jarak jauh. Wuuut...! Pukulan tanpa sinar itu hanya bisa dirasakan gelombang
tekanannya begitu besar. Nyai Paras Murai segera sentakkan kaki dan tubuh pun
melesat ke atas dengan tetap memanggul muridnya. Wuuuk...! Pukulan tenaga dalam
tanpa sinar lolos dari tubuh Nyai Paras Murai. Orang tersebut menjadi
penasaran, sehingga ia terpaksa mencabut goloknya juga dan menerjang Nyai Paras
Murai dengan gerakan golok menebas ke kanan kiri dengan kecepatan tinggi.
Wuung, wuung, wuung...! Suara angin tebasan golok mendengung beberapa kali.
Nyai Paras Murai sengaja
undurkan diri beberapa tindak untuk mengatur jarak dengan lawannya. Ketika
lawannya daratkan kaki ke tanah, Nyai Paras Murai segera sentakkan kipasnya
dalam keadaan masih tertutup. Suuut...! Sodokan kipas itu hasilkan pukulan
jarak jauh yang mengarah ke perut lawannya. Pukulan tanpa sinar ternyata tepat
kenai sasaran, menghantam keras perut lawannya yang membuat orang tanpa kumis
ituterlempar ke belakang dan jatuh berjungkir balik tak karuan gerakannya.
"Uuhgg...!" orang
itu mengerang sambil pegangi perutnya yang membekas merah karena dihantam
gelombang tenaga dalam dari ujung kipas, ia akhirnya muntah di tempat.
Agaknya Nyai Paras Murai
sengaja tidak celakai kedua penjaga perbatasan itu. Ia hanya ingin melumpuhkan
kedua orang tersebut dalam beberapa saat saja. Ketika kedua orang itu tak
memungkinkan bisa mengejarnya dalam waktu singkat, Nyai Paras Murai segera
berkelebat ke arah benteng Muara Singa. Jaraknyayang masih jauh dari perbatasan
membuat Nyai Paras Murai terpaksa gunakan ilmu peringan tubuhnya kembali agar
mampu bergerak cepat dan lekas tiba di tempat.
"Sebaiknya jangan lewat
pintu gerbang," pikirnya.
"Di sana aku hanya akan
menemui kesulitan yang ditimbulkan oleh para penjaga gerbang. Itu akan membuang
waktu saja. Sebaiknya aku melewati tembok benteng agar lekas tiba di depan
istana Muara Singa!"
Wuuut...! Tubuh Nyai Paras
Murai begitu ringannya melesat ke atas dan hinggap di salah satu pohon dekat
dengan bagian atas benteng berwarna hitam abu-abu itu. Dari atas pohon
tersebut, Nyai Paras Murai melompat ke tembok benteng, Wuuus...! Dan dalam sekejap
ia sudah berada di pelataran istana. Tapi kehadirannya itu dilihat oleh seorang
pemanah yang ada di atas benteng.
Zlaaap...!
Sebatang anak panah diarahkan
padanya, dan bergerak cepat menuju punggung sang nyai. Namun gerak nalurinya
cukup tinggi. Tangannya cepat menyambar kipas dari pinggang, lalu tubuhnya
berputar sambil kibaskan kipas ke samping dalam keadaan terbuka.
Wuuuut...! Weeesss...!
Hembusan angin kencang membuat
anak panah yang sedang menuju ke arahnya menjadi berbelok arah dan mengenai
dinding bangunan lain. Traak...! Anak panah itu patah bagian ujungnya karena
menghantam dinding.
"Pencuri! Pencuri masuk!
Awaaas...! Pencuri masuk!" teriak penjaga di atas benteng yang gagal
memanah Nyai Paras Murai. Teriakan itu segera diteruskan oleh penjaga lainnya,
lalu beberapa penjaga segera berhamburan mengepung Nyai Paras Murai dengan
senjataterhunus.
Batu Sampang segera muncul
dari serambi Istana. Dengan berdiri di anak tangga keenam, Batu Sampang
pandangi Nyai Paras Murai yang tampak tak pedulikan kepungan para pengawal
istana itu. Mata Nyai Paras Murai segera beradu pandang dengan Batu Sampang,
lalu suaranyaterlontar lantang,
"Aku mau bertemu dengan
Ratu Gusti Purnama Laras!"
"Apa maksudmu mau menemui
beliau?"
"Mohon
perlindungan!" jawabnya tanpa ragu-ragu. "Muridku; HantuTari, dalam
keadaan luka parah karena pertarungannya dengan Tandu Terbang. Akutak berhasil
kalahkan Tandu Terbang, ia mengejar kami, dan aku butuh perlindungan dari
ratumu! Yang kubawa ini adalah adik sepupu dari ratumu!"
"Kau ingin mengecohkan
kami, Nyai Paras Murai?! Kau ingin lakukan penyerangan terhadap Ratu bersama-
sama dengan muridmu itu?!"
"Leherku sebagai
jaminannya jika aku mendustai kalian!"
Tandu Terbang diam sebentar,
lalu berseru pada seorang pengawal, "Prasogo! Periksa keadaan Hantu Tari
itu, apakah benar dia terluka parah?!"
"Baik!" jawab
Prasogo, lalu Nyai Paras Murai meletakkan tubuh muridnya di lantai tangga.
Prasogo dibiarkan memeriksa keadaan Hantu Tari. Kejap berikutnya Prasogo
berseru kepada Batu Sampang,
"Benar! Dia terluka parah
bagian dalamnya!"
Batu Sampang kembali diam
mempertimbangkan keputusannya. Karena dalam ingatannya, Hantu Tari pernah
bertarung melawan Dungu Dipo demi membela Windu Jati, orang Lumpur Maut.
Sekarang pun Batu Sampang belum mengetahui nasib Dungu Dipo, karena kedua orang
yang berangkat bersama Dungu Dipo sudah pulang ke istana, sedangkan Dungu Dipo
belum kembali. Batu Sampang curiga, jangan-jangan Dungu Dipo telah dibunuh oleh
Hantu Tari yang dibantu oleh Nyai Paras Murai. Karena itu, Batu Sampang segera
ajukan tanyakepada Nyai Paras Murai,
"Di manamayat Dungu Dipo
kau buang, Nyai?!"
"Aku tak tahu tentang
mayat itu! Aku tak jumpa dengan Dungu Dipo. Jangan menuduhku membunuh Dungu
Dipo! Karena yang kuhadapi adalah Tandu Terbang. Tak menutup kemungkinan Tandu
Terbang akan mengejarku sampai kemari!"
Batu Sampang bimbang sesaat.
Pancingannya tidak berhasil menjebak Nyai Paras Murai. Kelihatannya ucapan itu
memang polos. Batu Sampang melihat keadaan pakaian Nyai Paras Murai yang
acak-acakan seperti rambutnya, pertanda habis lakukan pertarungan sengit dengan
seseorang.
Jika nenek berilmu tinggi itu
lari dan sampai meminta bantuan kepada pihak Muara Singa, tentunya musuh yang
dihadapi bukan orang sembarangan. Dan orang yang dulu dikenal bikin para tokoh
berilmu tinggi pontang-panting adalah Tandu Terbang. Batu Sampang dapat
bayangkan keadaan Nyai Paras Murai yangterdesak danterpaksa tanpamalu-malu
menyatakan permohonan perlindungannya .
"Baiklah. Kau dan muridmu
kuizinkan temu Ratu Gustiku. Tapitinggalkan semua senjata, termasuk kipas
saktimu itu, Nyai! Jika kau keberatan, tak kuizinkan bertemu dengan Ratu
Gustiku!"
"Aku tidak keberatan,
asal senjata kami tidak hilang dicuri anak buahmu!"
"Aku yang menjamin
keamanan senjata-senjata kalian!"
Setelah dilucuti, Nyai Paras
Murai segera dibawa menghadap Ratu Purnama Laras. Mereka bertemu di ruang
paseban, tempat pertemuan paratamu dengan sang Ratu yang gemar menghiasi
sanggulnya dengan roncean bunga melati. Batu Sampang kerahkan beberapa orangnya
untuk memagari ruang pertemuan itu, sebagian ada yang berjaga-jaga di pinggiran
ruang pertemuan tersebut. Agaknya Batu Sampang tak mau kehilangan kewaspadaan.
Demi keselamatan ratunya ia sendiri ikut berdiri di belakang sang Ratu sebagai
penjaga setia.
Ratu Purnama Laras adakah
sosok wanita cantik yang tenang dan berwajah manis, selalu tampak ramah kepada
siapa pun. Sikapnya tak terlihat angkuh ataupun dingin. Tapi di balik senyum
keramahan tersebut, tersembunyi mata hati yang penuh waspada terhadap apa pun
yang menimbulkan kecurigaannya Termasuk berhadapan dengan Nyai Paras Murai,
sang Ratu yang kenakan pakaian berjubah hijau muda dari kain sutera transparan
itu selalu memperhatikan tiap gerakan sekecil apa pun yang dilakukan oleh
tamunya Bahkan sosok tubuh Hantu Tari yang digeletakkan di lantai depan gurunya
itu juga ikut diperhatikan dengan ekor matanya.
Sambil dengarkan cerita Nyai
Paras Murai tentang serangan Tandu Terbang, sang Ratu yang mengenakan perhiasan
lengkap dan tampak anggun itu mempertimbangkan kehadiran Hantu Tari. Orang itu
sekalipun saudara sepupu tapi pernah dianggap memihak Lumpur Maut, sehingga
bagi sang Ratu tidak bisa percaya begitu saja dengan pengakuan Nyai Paras Murai
yang mengatakan bahwa muridnya tak punya hubungan dengan Lumpur Maut.
"Alasannya apa kau
berkata begitu, Nyai Paras Murai?" tanya sang Ratu.
Maka, Nyai Paras Murai
menceritakan tentang hubungan pribadi antara muridnya dengan Windu Jati.
Persoalan cinta sang murid diungkapkan di situ, hingga pada akhirnya sang murid
merasa harus menjauhi orang- orangnya Raja Tumbal, karena banyak lelaki yang
berlomba-lomba ingin menggantikan kedudukan Windu Jati di hati HantuTari.
"Raja Tumbal sendiri
pernah utarakan ingin peristri Hantu Tari, tanpa peduli istrinya sudah tiga.
Tapi Hantu Tari tidak beri jawaban apa-apa kecuali menghilang dari orang-orang
Lumpur Maut."
"Tapi mengapa ia masih
dimusuhi oleh Tandu Terbang?"
"Karena Tandu Terbang tak
mau percaya dengan kenyataan yang ada," jawab Nyai Paras Murai. "Di
samping itu, Tandu Terbang memang liar dan ganas!"
Persoalan yang belum ditemukan
oleh sang Ratu adalah penyerangan Tandu Terbang terhadap anak buah Batu
Sampang. Ratu Purnama Laras mengetahui cerita tentang amukan Tandu Terbang di
masa lalu. Tetapi sasarannya bukan kepada orang-orang Muara Singa, sedangkan
sang Ratu merasa tidak mempunyai persoalan dengan Tandu Terbang. Sejak menerima
laporan dari Batu Sampang, Ratu Purnama Laras selalu memikirkan alasan
penyerangan Tandu Terbang terhadap orang- orangnya dengan menggunakan racun
itu.
Sang Ratu akhirnya setuju
memberikan perlindungan kepada Hantu Tari dan gurunya. Ketika sang Guru telah
lakukan penyembuhan terhadap muridnya, Ratu Purnama Laras sempat mengajak Nyai
Paras Murai untuk bicarakan tentang penyerangan Tandu Terbang kepada
orang-orangnya itu.
"Dendam Tandu Terbang
adalah dendam utusan dari sang Guru yang adiknya mati terbunuh oleh kekejaman
Raja Tumbal," kata Nyai Paras Murai. "Kebuasan Tandu Terbang
tentunyatercurah bagi siapa saja yang dianggap memihak orang-orang Lumpur Maut
di bawah pimpinan Raja Tumbal."
"Apakah Tandu Terbang
menyangka aku memihak Raja Tumbal?"
"Barangkali saja begitu.
Sebab perlu kau ingat, Purnama Laras, bahwa Raja Tumbal adalah Gandar Soca, dan
orang yang bernama Gandar Soca adalah kakak dari Raden Ayu Indriakara, ibumu! Tak
heran jika Tandu Terbang menyangka orang-orangmu ada di pihak Raja Tumbal
karena antara kau dan Raja Tumbal masih punya hubungan darah yang mungkin
dikenalinya"
"Apakah TanduTerbang
orang buta,tak bisa bedakan mana yang jahat dan mana yang tidak punya hubungan
darah keturunan?"
"Tandu Terbang sudah
dicetak menjadi pembunuh berdarah dingin oleh gurunya, sehingga tak peduli
keadaanmu bebas dari kekejian Raja Tumbal, tapi karena masih ada hubungan
darah, maka ia pun menyerangmu. Penyerang itu pun bisa diartikan sebagai
peringatan agar kau tidak turut campur dalam urusannya dengan pamanmu itu; si
Raja Tumbal."
"Mestinya tidak dengan
cara begitu. Dia bisa datang dan temui diriku secara baik-baik."
"Darah dingin Tandu
Terbang tak mengenal bicara baik-baik, Purnama Laras," jawab sang nyai
bertindak sebagai orang yang dituakan.
Sementara Nyai Paras Murai
berunding dengan Ratu Purnama Laras, di tempat lain Suto Sinting dan Dungu Dipo
kebingungan mencari tempat untuk bermalam. Akhirnya mereka menemukan sebuah pondok
di tepi sebuah telaga yang tidak begitu luas. Telaga itu ada di dalam hutan
yang banyak ditumbuhi pohon berakar gantung sejenis beringin. Akar-akarnya yang
berjuntai dari atas ke bawah menyerupai rambut-rambut raksasa yang cukup
menyeramkan pada malam hari. Dungu Dipo mengatakan hutan ini adalah hutan
hantu, karena nyaris menyerupai wilayah yang dihuni para hantu.
Pondok di tepi telaga itu
ternyata milik seorang petapa berusia sekitar seratus tahun lewat sedikit.
Kedatangan Suto dan Dungu Dipo
seolah-olah sudah diketahui oleh petapa tersebut, sehingga sang petapa yang
berpakaian kain putih lusuh melilit badan itu sejak tadi sudah berada di luar
pondoknya Petapa itu seorang lelaki berbadan kurus, berkepala gundul, namun
berwajah teduh, ia menyiapkan lentera di depan pondoknya sebagal penerang
jalan, seakan ia tak ingin tamunya terperosok masuk ke telaga di depan
pondoknya.
Dengan penuh hormat dan
kelembutan petapa itu menyambut kedatangan Suto Sinting dan Dungu Dipo. Ia
lebih dulu memperkenalkan diri kepada tamunya.
"Nama saya Demang Buwana,
Tuan-tuan. JikaTuan- tuan berkenan, sayapersilakan singgah di pondok
saya."
"Demang Buwana...?!"
gumam Dungu Dipo. "Apakah kau yang dikenal dengan nama Begawan Demang
Buwana, Eyang?"
"Tidak salah lagi, memang
itulahnama saya."
Dungu Dipo langsung berlutut
di depan petapa kurus itu dengan kepalatertunduk penuh hormat.
"Maafkan saya, Eyang.
Saya tidak tahu kalau Eyanglah yang bergelar Begawan Demang Buwana. Hormat
sayahaturkan kepada Eyang Begawan."
"Terima kasih, hormatku
pun kuhaturkan kembali untukmu, Nak Mas Dungu Dipo," kata sang Begawan
yang kemudian memanggil Dungu Dipo dengan sebutan 'Nak Mas' sebagai panggilan
hormat untuk orang yang lebih muda darinya.
Suto Sinting sendiri merasa
tidak mengenal nama tersebut. Tetapi melihat Dungu Dipo berlutut dan memberi
hormat, Suto pun segera ikut-ikut berlutut di depan Begawan Demang Buwana.
"Saya pun menghaturkan
hormat kepada Eyang Begawan."
Tetapi Begawan Demang Buwana
justru segera ikut berlutut dan membungkuk lebih rendah di depan Suto Sinting
sambil berkata,
"Sayalah yang patut
memberi hormat dan sembah kepada Gusti Manggala Yudha Kinasih, Pendekar Mabuk
Suto Sinting."
Terkejut Dungu Dipo melihat
Begawan Demang Buwana lebih menghormat di depan Suto Sinting. Padahal Suto
sendiri juga kaget mendengar sang Begawan menyebutnya Gusti Manggala Yudha
Kinasih, sebab sebutan itu hanya dilakukan oleh orang-orang negeri Puri Gerbang
Surgawi di alam gaib, khususnya para bawahan Ratu Kartika Wangi, calon
mertuanya. Suto segera sadar, buat orang berilmu tinggi, tanda merah di
keningnya itu tidak dapat disembunyikan lagi.
Hanya orang yang punya
kesaktian tinggi yang bisa melihat bahwa di tengah kening Suto terdapat noda
merah kecil, yaitu sebuah tanda yang diberikan oleh Ratu Kartika Wangi sebagai
penghormatan tertinggi dan gelar Manggala Yudha Kinasih di kalangan orang-orang
alam gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Manusia Seribu
Wajah").
Jika petapa tua itu dapat
melihat noda di kening Suto, maka Suto pun tahu bahwa petapa itu adalah
seseorang yang berilmu tinggi yang kesaktiannya melebihi dirinya sendiri.
Terbukti, sebelum Suto dan
Dungu Dipo memperkenalkan diri, Begawan Demang Buwana sudah bisa menyebutkan
nama mereka masing-masing, padahal mereka merasa baru pertama jumpa dengan sang
Begawan.
Hal yang menarik lainnya
adalah keajaiban pondok tersebut. Dari luar Suto dan Dungu Dipo melihat pondok
itu kecil, sangat sederhana. Mungkin hanya muat untuk ditempati satu orang.
Tapi ketika mereka berdua masuk ke dalam, ternyata pondok itu tampak lebar dan
bisa digunakan bermalam empat atau lima orang. Itulah yang membuat kedua tamu
sang Begawan tertegun kagum.
"Apakah Begawan Demang
Buwana masih ada hubungannya dengan nama Nyai Demang Ronggeng?" tanya Suto
kepada sang Begawan.
"Demang Ronggeng adalah
adik bungsu saya, Gusti Manggala," jawab sang Begawan tetap menghormat
kepada Suto. Sementara itu, Dungu Dipo sempat berbisik kepada Pendekar Mabuk
pada kesempatan di mana sang Begawan tidak memperhatikan mereka.
"Kau gila, Suto! Begawan
Demang Buwana ini orang yang amat disegani di rimba persilatan khususnya oleh
golongan hitam, dan ia sangat dihormati oleh aliran putih. Dia itu tokoh sakti
yang sudah lama menghilang dari rimba persilatan. Setiap orang ingin jumpa
dengan tokoh yang termasuk dikeramatkan oleh para tokoh golongan putih. Tapi
kau justru bicara dengan seenaknya dan membiarkan dirimu dihormati setinggi itu
oleh beliau. Seharusnya kau yang bersikap sehormat itu kepadanya, bukan
terbalik begitu."
"Aku sudah menghormat
tapi ia lebih menghormat lagi," jawab Suto dengan kalem, tanpa mau
menceritakan mengapa ia dipanggil 'Gusti' oleh sang Begawan.
"Jangan mau dipanggil
'Gusti' olehnya. Kau ini sepertinya merasa lebih tinggi derajatmu ketimbang
dia! Kau bisa kena kutuk tujuh turunan kalau tak mau hormat kepadanya, Suto!
Ratu Gustiku sendiri tak berani sembarangan sebut nama beliau, karena sangat
hormat dan takut. Tidak semua orang bisa bertemu dengan beliau, termasuk Ratu
gustiku sendiri yang sudah bertahun-tahun mencari tapi tidak pernah jumpa
dengan beliau. Jadi, kusarankan jangan terlalu ngelunjak dan membiarkan dirimu
dipanggil 'Gusti' oleh beliau, siapa tahu beliau hanyamenguji rasa hormatmu
kepadanya."
Suto Sinting hanya tersenyum
geli ditahan. Percakapan kasak-kusuk mereka terhenti karena sang Begawan
menghampiri Suto sambil berkata,
"Sudah cukup lama saya
menunggukedatangan Gusti Manggala untuk suatu keperluan. Rupanya baru sekarang
Hyang Widi mengizinkan kita saling bertemu."
"Apakeperluanmu, Eyang
Begawan?"
Sang Begawan menunjukkan
sebuah mangkok yang sedang dibawa dengan dua tangan itu. Mangkok tersebut
ternyata berisituak. Sang Begawan berkata,
"Saya ingin meminum tuak
ini, tapi menunggu sisa dari Gusti Manggala; Pendekar Mabuk, Suto Sinting.
Silakan Gusti Manggala
meminumnya sebagian, baru sisanya saya habiskan."
Dungu Dipo terbelalak bengong.
Suto Sinting mulai paham maksud sang Begawan. Meminum tuak sisa dari seorang
Manggala Yudha Kinasih merupakan kebanggaan tersendiri bagi para tokoh sakti
yang mengenal Ratu Kartika Wangi. Dengan sikap hormat seperti itu, ia akan
dapat penghormatan tinggi juga dari Ratu Kartika Wangi dan dianggap sebagai warga
Puri Gerbang Surgawi yang akan mendapat bantuan gaib dari sang Ratu jika
sewaktu-waktu dibutuhkan.
Maka Suto Sinting pun meminum
tuak dalam mangkok itu sebagian, sisanya segera dihabiskan oleh sang Begawan
dengan penuh rasa hormat dan berterima kasih sebesar-besarnya. Sedangkan Dungu
Dipo meminum tuak dengan mangkok lain yang hanya sedikit dan boleh dihabiskan.
Tetapi di dalam hati Dungu Dipo terkagum-kagum melihat Suto Sinting berani
memberikan sisa minumannya kepada sang Begawan yang diagung-agungkan oleh gusti
ratunyaitu.
"Jika Gusti Manggala
ingin beristirahat silakan berbaring di ranjang sebelah dalam itu, dan Nak Mas
Dungu Dipo silakan berbaring di ranjang sebelah kiri itu. Saya akan
berjaga-jaga di depan pintu demi keselamatan Gusti Manggala dan Nak Mas Dungu
Dipo."
Jika dilihat dari luar, pondok
itutidak memungkinkan dipakai menempatkan dua ranjang berkasur jerami dengan
seprei putih lembut. Tetapi kenyataannya di dalam gubuk yang tampak kecil itu
bukan hanya ada dua ranjang, melainkan tiga ranjang dengan satu ranjang
berukuran kecil dan layak disebut dipan. Tempat itu kosong. Dipan itulah yang
akan digunakan tidur oleh sang Begawan. Dipan itu jauh lebih buruk keadaannya
daripada dua ranjang mewah tersebut.
Dungu Dipo sempat heran, dari
mana sang Begawan dapatkan dua ranjang bagus itu. Tapi rasa lelahnya lebih
mencekam pikiran, sehingga Dungu Dipo lebih mementingkan merebahkan diri untuk
melepas lelah ketimbang memikirkan keanehan tersebut.
Pendekar Mabuk tak semudah itu
untuk berbaring dan tertidur. Ketika Dungu Dipo mulai terdengar suara
dengkurannya, Suto Sinting sengaja dekati sang Begawan untuk memancing
percakapan tentang Pedang Kayu Petir.
"Mohon ampun, Gusti
Manggala. Sampai sekarang saya masih belum bisa meneropong di mana pedang itu
berada. Jika benar apa yang diceritakan oleh Gusti Manggala tentang gadis gila
itu, maka besar kemungkinan memang dialah yang memiliki pedang tersebut."
"Siapa sebenarnya Palupi
itu sehingga memiliki pedang tersebut, Eyang?"
Sang Begawan tersenyum,
"Dalam teropong batin dan jalur lacak sukma, gadis itu tidak bisa
diketahui dari mana asalnya Dia mempunyai pelapis jiwa yang membuat seseorang
tak bisa melacak sukmanya dan meneropong batinnya Mungkin karena dia memiliki
pedang pusaka itu maka jati dirinya tak bisa diketahui oleh siapa pun,
Gusti."
Suto Sinting sempat
berdebar-debar. Agaknya memang benar, Palupi mempunyai Pedang Kayu Petir.
Terbukti tokoh sesakti Begawan Demang Buwana sampai tak bisa melacak jati diri
gadis itu. Jika demikian halnya, maka besar kemungkinan Ratu Purnama Laras
punya maksud tertentu dengan memerintahkan orang- orangnya untuk menangkap
Palupi. Barangkali sang Ratu menginginkan agar hanya dialah yang mengetahui di
mana pedang maha sakti itu tersimpan aman di tempatnya.
Sang Ratu tak ingin gadis itu
bicara kepada siapa pun, sehingga perlu mengamankan atau menyembunyikan Palupi
dari pergaulan di rimba persilatan. Jika Palupi lebih dulu tertangkap Ratu
Purnama Laras, maka akan sulit bagi Suto untuk mendapatkan keterangan langsung
dari mulut si gadis gila itu. Jadi Suto harus bisa lebih dulu menemukan Palupi
ketimbang Ratu Purnama Laras.
"Lalu bagaimana dengan
Tandu Terbang, Eyang Begawan? Apakah bisa diketahui siapa orang yang ada di
dalam Tandu Terbang itu?"
"Tandu Terbang itu
dilapisi kekuatan yang sukar ditembus mata hati siapa saja, Gusti Manggala.
Saya tak mampu memandang ke dalam karena kekuatan batin yang melapisi tandu
merah itu sangat kuat!" ujar Eyang Begawan Demang Buwana memberi penjelasan
pada Pendekar Mabuk.
"Orang di dalam tandu itu
mempunyai ilmu yang bukan saja berasal dari tanah Jawa, melainkan dari manca
negara pun dimilikinya!"
"Maksud Eyang ilmu dari
Tibet juga dimilikinya?"
"Benar. Dan sebagian
besar saya rasakan getaran ilmu dari Tibet ada di dalam tandu merah itu, Gusti
Manggala."
Tak salah dugaan Suto, pasti
si Pendita Arak Merah itu yang ada di dalam Tandu Terbang tersebut. Hati Suto
gelisah karena menjadi sangat penasaran ingin menyingkap siapa orang yang ada
dalam tandu tersebut, ia tak sabar ingin membuktikan kebenaran dugaannya itu,
bahkan kalau bisa dilakukan di depan umum. Masalahnya sekarang adalah, mampukah
Suto menyingkap rahasia di dalam tandu tersebut jika ilmu yang dimiliki
penghuni tandu itu sangat tinggi, bahkan tak bisa ditembus oleh mata batin sang
Begawan?
***8
PERJALANAN Suto dan Dungu Dipo
dilanjutkan pagi hari. Seandainya saat itu Suto Sinting sendirian tanpa Dungu
Dipo dan sudah tahu persis arah Muara Singa, ia akan tiba di sana sebelum malam
tiba. Tentunya ia akan gunakan gerak silumannya yang mampu bergerak melebihi
kecepatan badai itu.
Tetapi karena Dungu Dipo tak
mampu bergerak secepat Suto, maka terpaksa perjalanan itu memakan waktu lama,
sampai bermalam di pondok Begawan Demang Buwana segala, belum lagi siang
harinya masih menempuh jarak yang cukup jauh. Menurut dugaan Dungu Dipo, mereka
akan tiba di Muara Singa menjelangpetang.
"Itu jika tidak ada
halangan. Jika kita ada halangan maka bisa jadi kita akan sampai di tempat pada
waktu tengah siang."
"Tengah malam!" Suto
membetulkan maksud ucapan Dungu Dipo.
"Lha iya, maksudku tengah
malam!" Dungu Dipo yang mulai tak bisa bicara tepat sesuai arti dan maksud
hatinya itu tampak ngotot jika mendapat pembetulan ucapan.
"Tapi jika kita bisa
dapatkan kuda, maka perjalanan kita akan lebih lambat lagi," katanya salah
arti.
"Maksudnya lebih cepat
lagi, begitu?"
"Memang aku tadi bilang
lebih cepat lagi!" Dungu Dipo bersungut-sungut, sedangkan Suto Sinting
tersenyum geli sambil buang muka, takut rekannya itu tersinggung jika melihat
senyumnya.
"Bagaimana caranya supaya
kita bisa dapatkan kuda? Lebih enak jika perjalanan ini ditempuh dengan naik
kuda. Kitatak akan capek jika kuda naik kita."
"Kita naik kuda!"
"Iya, maksudku begitu!
Jangan menyalahkan aku t erus, ah!"
Suto Sinting tak mau melayani
kedunguan murid Ki Palaran itu. Suto pun berpikir bagaimana caranya agar
secepatnyatiba di Muara Singa tanpa banyak mem buang waktu. Namun harapan itu
agaknya tidak bisa terlaksana, karena di tengah perjalanan tiba-tiba mereka
mendengar suara tangis seorang wanita. Suto dan Dungu Dipo sama-sama saling pandang
dan merasa heran mendengar suara tangis seorang perempuan. Mereka segera
mendekati sumber suara tangis itu dengan langkah hati- hati dan sedikit tegang.
"Ya, ampuun...?!"
Suto Sinting terperanjat demikian pula Dungu Dipo. Ternyata suara tangis itu milik
Palupi yang duduk di atas batu bawah pohon.
"Palupi...?!" sapa
Suto sambil bergegas mendekati gadis gila itu. Sang gadis segera hentikan
rintih tangisnya.
"Kang...!"
panggilnya manja, lalu ia berdiri dan memeluk Suto Sinting.
"Ada apa,Palupi?! Mengapakaumenangis
di sini?"
"Aku diperkosa orang,
Kang," rengek Palupi.
"Hah...?! Siapa yang
memperkosamu? Mana orangnya?!"
"Dia... dia pergi! Dia
jahat sekali, Kang."
Dungu Dipo menyelatanya,
"Orang itu pergi setelah memperkosamu?"
"Tidak. Orang itu justru
pergi sebelum memperkosaku! Aku benci padanya!"
Dungu Dipo tarik napas dan
dihempaskan panjang- panjang pertanda membuang perasaan jengkelnya. Suto
Sinting pun juga menghela napas. Ternyata omongan Palupi tidak harus dipercaya
semuanya. Tapi Suto Sinting masih bisa memaklumi karena otak Palupi tak waras
sehingga bicaranyamelantur tak karuan.
"Ke mana saja kau, Kang?
Kucari-cari sampai di lubang semut, kupanggil-panggil dari depan lubang semut
itu, tapi kau tidak menjawabnya. Kau kejam, Kang Suto. Kau pergi tanpa
meninggalkan pesan padaku."
Sebenarnya Suto ingin
membantah bahwa bukan dia yang pergi tapi Palupi yang pergi meninggalkannya.
Tapi setelah dipikir-pikir, bantahan itu tak ada artinya bagi gadis gila
seperti Palupi. Karenanya Suto Sinting hanya tertawa dalam gumam dan segera
memandang Dungu Dipo. Hatinya bimbang, apa yang harus dikatakan kepada Dungu
Dipo tentang gadis itu. Suto ingin mengorek keterangan dari Palupi tentang
Pedang Kayu Petir, tapi Dungu Dipo pasti mendengarnya. Mau membiarkan Palupi
dibawa Dungu Dipo, hati kecil Suto tak rela
"Kang, ke mana kau akan
pergi? Aku ikut, ya Kang?" Palupi bernada manja.
Dungu Dipo menyahut,
"Bawa saja dia, Suto. Kebetulan sang Ratu Gustiku ingin sekali berpisah
dengan gadis gila itu."
"Berpisah? Maksudmu ingin
bertemu, begitu?"
"Memang aku tadi bilang
begitu!" sentak Dungu Dipo. Suto Sinting diam mempertimbangkan langkahnya.
Masa bungkam yang sepi itu
tiba-tiba dikejutkan dengan munculnya sinar merah dari balik pohon. Sinar merah
itu melesat hendak menghantam punggung Dungu Dipo. Kelebatan cahaya sinar
tertangkap oleh ekor mata Pendekar Mabuk. Maka dengan cepat, Pendekar Mabuk
menarik tangan Dungu Dipo ke arahnya. Wuuut! Bruss... !
Dungu Dipo terlempar ke
samping, tersungkur di semak ilalang pendek. Suara makiannya terdengar
selintas, namun segera diam dan bungkam. Tawa gadis gila itu terdengar
lepasterkikik-kikik, namun juga segera diam dan bungkam, setelah mereka
mendengar suara ledakan yang mengguncangkan tanah tempat mereka berpijak.
Blegaaar...! Sinar merah itu
menghantam pohon besar di kejauhan sana, membuat pohon tersebut tumbang dengan
akarnya mencuat ke atas, jebol dari tanah. Dungu Dipo dan Palupi memandang ke
arah pohon itu dengan mata melebar dan mulut melongo bengong.
"Seseorang melepaskan
pukulan jarak jauh padamu, Dungu Dipo. Bersiaplah lindungi Palupi, aku akan
hadapi penyerang gelap itu."
Dungu Dipo segera membawa
Palupi ke bawah pohon untuk berlindung, sementara Suto Sinting berdiri dalam
jarak tujuh langkah darinya, mencari tempat persembunyian si penyerang gelap.
Telinga batin Suto mendengar suara detak jantung di balik pohon berkulit putih
itu. Hatinya menggumam,
"Hmm... ada lebih dari
satu orang yang bersembunyi di sana! Sebaiknya kupaksa mereka untuk segera
tampakkan diri!"
Jurus 'Surya Dewata' digunakan
oleh Suto. Dari dua jari tangannya yang menempel di dahi segera disentakkan ke
depan. Wuuut...! Dan ujung jari itu melepaskan selarik sinar ungu menghantam
pohon tersebut bagian atasnya Duaaar! Pohon itu langsung bolong, bahkan tiga
pohon di belakangnya pun ikut bolong, padahal jarak antara pohon-pohon itu
sekitar delapan sampai sepuluh langkah. Kekuatan jurus 'Surya Dewata' memang
mampu menembus sampai sekian jauh yangtakakan disangka-sangkaoleh siapapun.
Ledakan keras yang
mengguncangkan pohon putih itu membuat tiga orang yang bersembunyi di balik
pohon tersebut berlarian melompat ke berbagai arah. Kalau saja Suto tadi
arahkan sinar ungunyake bagian bawah pohon, pasti tiga orang itu mati ditembus
sinar ungu tersebut. Namun Suto sengaja hanya ingin memancing keluar
orang-orang itu, sehingga sinar ungunya dikenakan ke batang pohon agak ke atas,
yang sekiranya jika tembus tak akan kenai tubuh para penyerang gelap itu.
T iga orang yang muncul dari
sana segera berjumpalitan mendekati Suto dengan memperagakan jurus-jurus silat
tercepatnya. Mereka tak lain adalah Raseta, Kobar, dan Ki Wirogo. Mereka
orang-orang Lumpur Maut yang tempo hari dua di antaranya mau perkosa Palupi.
Melihat wajah Raseta dan
Kobar, Palupi menjadi bersungut-sungut jengkel sambil menggerutu keras,
"Huuh...! Mereka lagi!
Percuma dari dulu tak bisa memperkosaku, mau apa mereka datang kemari? Usir
saja mereka, Kang Suto!"
Ki Wirogo tampil lebih ke
depan. Raseta dan Kobar ada di samping belakang, masing-masing berjarak tiga
langkah dari Ki Wirogo. Mata ketiga utusan Lumpur Maut itu tertuju kepada Dungu
Dipo. Sedangkan mata Dungu Dipo pun memancarkan permusuhan dalam memandang
ketiga orang Lumpur Maut itu. Bahkan Dungu Dipo lepaskan Palupi dan maju sampai
di samping Suto, lalu dengan bertolak pinggang dan berwajah berani,
terlontarlah kalimat yang bernada tantangan.
"Wirogo! Apa maksudmu
menyerangku dari belakang, hah?! Apakah orang-orang Lumpur Maut sudah tak punya
nyali untuk berhadapan denganku secara jant an?!"
Tampak Ki Wirogo
menggeletukkan gigi gerahamnya dengan pandangan mata semakin dingin, semakin
penuh permusuhan. Kedua tangannya telah menggenggam bagaikan menahan luapan
murka yang tidak ingin dilepaskan saat itu.
Kejap berikut terdengar suara
Ki Wirogo bernada dingin, "Dungu Dipo... berkoarlah sesuka hatimu, karena
ajalmu sebentar lagi akan tiba!"
"Biadab kau!" geram
Dungu Dipo, tiba-tiba ia sentakkan kedua tangannya ke depan dan melesatlah dua
sinar hijau kusam ke arah Ki Wirogo dan Raseta.
Claaap...!
Ki Wirogo yang berdiri tegak
itu hanya diam dengan kedua tangan bersedekap di dada. Tapi dari tubuhnya
tiba-tiba memancar sinar putih berkilauan, makin lama cepat menjadi lebar, lalu
sinar hijaunya Dungu Dipo itu
menghantam sinar putih
menyilaukan tersebut. Blaaar...!
Ledakan hebat terjadi
mengguncang bumi. Dungu Dipo tersentak ke belakang hingga jatuh terduduk,
sedangkan Ki Wirogo tetap di tempat tak bergeming sedikit pun. Sinar putih
menyilaukan itu segera redup, mengumpul menjadi satu di tengah dahi, lalu sinar
itu melesat ke arah Dungu Dipo yang baru saja bangkit. Sinar putih menyilaukan
itu membentuk satu garis lurus dan bergerak dengan cepatnya. Claaap...!
Saat itu, Suto sedang membujuk
Palupi, "Cepat sembunyikan dirimu di balik semak-semak seberang sana.
Orang-orang itu berbahaya bagimu. Mereka dapat lukai dirimu seenaknya saja.
Cepat sembunyi ke semak sana, ya?"
"Ya, ya...!" jawab
Palupi dengan mengangguk- angguk tegang. Maka iapun segera lari ke semak-semak
seberang.
Suto Sinting segera berbalik
arah untuk membantu Dungu Dipo menghadapi ketiga utusan Lumpur Maut. Tetapi tak
disangka-sangka sinar yang dihindari Dungu Dipo itu melesat lurus dan mengenai
pinggang kiri Suto. Deesss...!
"Ahg...!" Suto
Sinting terpental lemas dan jatuh terkulai di bawah pohon. Punggungnya sempat
membentur keras batang pohon itu. Ia menyeringai merasakan panas di sekujur
tubuhnya terutama bagian dalam. Wajah Suto pun cepat menjadi sepucat mayat.
Tubuhnya menggigil dan bagian yangterkena sinar putih itu menjadi hitam hangus
sebesar jeruk nipis.
"Suto?! Kau kena?!"
Dungu Dipo terkejut melihat Suto menggeliat dengan memeluk bumbung tuaknya.
Ketika Dungu Dipo hendak menolong Suto, tiba-tiba sinar putih dari tengah dahi
Ki Wirogo kembali melesat lurus. Claap...! Sasaran empuk jatuh di punggung
Dungu Dipo. Deess...!
"Aaahg...!" Dungu
Dipo mengejang dengan tubuh melengkung ke belakang. Lalu ia pun jatuh terkulai
di samping Suto Sinting.
Terdengar suara Ki Wirogo
berseru, "Kobar, Raseta...! Habisi orang Muara Singa itu, tapi biarkan si
Pendekar Mabuk. Jangan usik dia lagi!"
"Baik!" jawab Raseta
dan Kobar sambil bergegas maju mencabut senjatanya .
Tetapi tiba-tiba jari tangan
Suto masih bisa menyentil ke depan dalam keadaan tubuh setengah berbaring.
Taas...! Jurus 'Jari Guntur' ditujukan ke arah Raseta dan Kobar. Rupanya
kekuatan tenaga dalam yang terlepas sangat besar, sehingga kedua tubuh yang
berjalan dalam jarak satu langkah kurang itu segera terpental ke belakang dan
berguling-guling. Kemudian keduanya sama-sama memuntahkan darah segar ketika
Dungu Dipo roboh ke depan, nyaris menjatuhi tubuh Suto Sint ing. Bruuk... !
"Hoeeek...!"
Melihat kedua anak buahnya
berlutut sambil terbungkuk merasakan sakit, Ki Wirogo mencengkeram baju
belakang mereka dan menarik mereka hingga berdiri.
"Bodoh!" sentaknya.
"Habisi sekalian si Pendekar Mabuk itu. Ia sudah tak berdaya karena
darahnya sudah dicemari 'Racun Sinar Iblis' tadi! Jangan takut, lenyapkan
sekalian Pendekar Mabuk itu!"
"Bba... baik...,"
jawab Raseta, lalu berjalan terhuyung-huyung dan saling berbenturan dengan
tubuh Kobar yang juga berjalan sempoyongan seperti orang mabuk. Di tangan
mereka sudah tergenggam golok tajam yang siap dipakai untuk menghabisi nyawa
Suto dan Dungu Dipo.
Tiba-tiba sangat di luar
dugaan siapa pun, sebentuk bayangan merah menyambar Raseta dan Kobar dengan
kecepatan tinggi. Wuuuut...! Braaak...!
"Aaaahg...!"
"Uuhg...!"
Bayangan merah besar itu
membuat Raseta memekik panjang dalam keadaan terjungkal ke belakang dan Kobar
mengerang dengan suara tertahan, tubuhnya terkapar berlumur darah. Mata mereka
terbeliak dengan mulut ternganga bagai ingin menghirup udara sebanyak-
banyaknya Raseta sendiri dadanya bolong sampai ke belakang, ia tak mampu
bertahan satu helaan napas, lalu roboh tanpa nyawa. Kobar sendiri masih bisa
berusaha bertahan sampai dua helaan napas, kemudian roboh dengan dada memar dan
leher robek.
Ki Wirogo terperanjat bukan
kepalang melihat dua anak buahnya sudah tak bernyawa lagi. Matanya tak berkedip
memandang bayangan merah yang menyambar secepat kilat itu adalah Tandu Terbang.
Kini benda ganas masih diam di udara dalam ketinggian sebatas manusia berdiri.
Tandu Terbang berhadapan dengan Ki Wirogo yang tampak tegang dan menyimpan
kecemasan.
"Tak kusangka ia muncul
juga dalam keadaan seperti ini?" pikir Ki Wirogo.
Sementara itu, kesempatan
tersebut dipergunakan oleh Suto untuk membuka tutup bumbung tuaknya, lalu ia
meneguk tuak dengan terburu-buru, hingga tuak berceceran membasahi wajah dan
dadanya, ia meneguknya lebih banyak dari biasanya, karena jika tidak begitu,
maka luka bakar pada bagian dalam tubuhnya akan merenggut nyawa secepat
mungkin.
Dengan meneguk tuak, terasa
bagian dalam yang panas luar biasa itu menjadi sejuk. Napas pun dapat dihela
dengan longgar. Suto segera meminumkan tuak ke mulut Dungu Dipo. Kebetulan
mulut itu ternganga- nganga, seperti ikan kekurangan air, karena merasakan sakit.
Tak sulit bagi Suto untuk menuangkan tuaknya walau sebagian besar menyiram
wajah Dungu Dipo hingga gelagapan.
Melihat Pendekar Mabuk tampak
mulai segar lagi, Ki Wirogo semakin menyembunyikan kecemasan yang bertambah
besar. Pikirnya, "Melawan Tandu Terbang saja aku belum tentu menang,
apalagi jika Pendekar Mabuk ikut turun tangan membalas seranganku tadi. Matilah
aku jika begini keadaannya."
Niat untuk melarikan diri
timbul dalam benak Ki Wirogo. Tetapi lebih dulu ia akan membuat Tandu Terbang
terdesak agar tak mudah menyerang. Maka dengan gerakan kedua tangan merapat di
dada, lalu berkelebat ke kanan-kirl secara bersamaan, tangan tersebut segera
menyentak ke depan secara bersamaan pula.
Wuuuuk ... !
Telapak tangan keduanya
menyemburkan api yang cukup besar. Wooosss...! Api itu menyerang Tandu Terbang
dalam bentuk dua gumpalan besar yang segera menjadi satu. Api sebesar kerbau
menerjang tandu tersebut, tapi terhenti di pertengahan jarak karena munculnya
uap putih yang menyembur dari ujung dua kayu pengusung tandu itu. Uap putih itu
menjadi satu dan saling menahan gerakan dengan gumpalan api besar. Uap putih
itu ternyata uap salju, terbukti rumput di bawahnya menjadi putih dan udara di
sekitar tempat itu menjadi dingin sekali, menggigilkan tubuh.
Ki Wirogo memberi bantuan
tenaga dorong kepada gumpalan apinya dari jarak empat langkah. Kedua tangannya
masih terangkat ke depan, tenaga dalam keluar dari telapak tangan tanpa bentuk
dan warna. Tenaga itulah yang digunakan mendorong gumpalan apinya agar maju terus
menerjang gumpalan uap salju. Kedua kaki Ki Wirogo tampak gemetar dan tanah
yang dipijaknya pun mulai amblas sedikit demi sedikit. Telapak kaki itu
sebentar lagi pasti akan terbenam di tanah yang dipijaknya.
Dungu Dipo masih lemas walau
sudah tidak merasakan sakit. Suto Sinting segera menariknya agar berdiri, ia
lebih segar, lebih cepat kuat kembali ketimbang Dungu Dipo.
"Lihat, Tandu Terbang
membantu kita menyerang orang Lumpur Maut!"
"Tap... tapi... sebaiknya
kita tinggalkan saja mereka. Jangan sampai kita berhadapan dengan Tandu
Terbang!" bisik Dungu Dipo dalam kelemasannya .
"Baik. Kita tinggalkan
mereka. Cari si Palupi dulu. Tadi bersembunyi di semak-semak sebelah
sana!"
Mereka berdua sibuk mencari
Palupi, karena gadis gila itu tak kelihatan di balik semak-semak tempatnya
bersembunyi tadi.
"Tadi kusuruh dia
bersembunyi di sini! Rupanya karena ketakutan dia bersembunyi di tempat yang
lebih aman dan mungkin agak jauh ke sana! Ayo, kita cari dia ke sana!"
Dungu Dipo berlari lamban
karena masih lemas, ia mengikuti Suto Sinting yang segera memanggil-manggil
gadis gila itu.
"Palupiii...!
Palupiii...! Hoi, Palupi di mana kau?! Jawab...!"
"Ah, sudahlah. Tinggalkan
saja gadis gila itu. Jangan ceritakan hal ini kepada Ratu. Ayo, lekas kita
pergi dari sini."
"Tunggu! Lihat orang
Lumpur Maut itu, iaterdesak!"
Ki Wirogo memang terdesak.
Tubuhnya terbenam sebatas mata kaki. Tapi ia masih berusaha mengerahkan tenaga
dalamnya untuk mendorong gumpalan api yang berkobar-kobar tiada kunjung padam
itu. Sedangkan uap putih pun masih bertahan di depan gumpalan api dalam jarak
satu depa. Bahkan secara tiba-tiba, dari gumpalan uap putih itu melesat lima
sinar biru bagaikan lidi yang segera menerjang tubuh Ki Wirogo men em bus gumpalan
api tersebut.
Craap... !
Blegaaar... !
Ledakan dahsyat terjadi
manakala lima sinar biru menembus gumpalan api. Api itu pecah dan padam
seketika. Tapi lima sinar itu masih utuh dan melesat mengenal tubuh Ki Wirogo.
Zraaab...!
"Aagh...!" Ki Wirogo
terpekik, tubuhnya mengepulkan asap putih samar-samar bagaikan terbakar bagian
dalamnya. Kulitnya tampak mulai mengelupas. Sekalipun demikian ia masih
kelihatan berusaha untuk melarikan diri. Tubuhnya melesat ke atas dalam satu
hentakan kaki yang terpendam, ia hinggap di atas pohon dalam keadaan limbung.
Tandu Terbang berkelebat mengejar sambil melepaskan senjata logam putih
mengkilap dari ujung kayupengusungnya. Ziiing!
Tapi Ki Wirogo masih bisa
berusaha menghindari logam berbahaya yang mirip ujung anak panah itu. Ia
melompat dari dahan ke dahan, sengaja berlari melintasi pohon-pohon supaya
Tandu Terbang tak bisa mengejarnya dengan bebas. Keadaan lukanya makin lama
semakin parah, tapi Ki Wirogo masih bertahan terus sekuat sisa tenaga yang
digunakan untuk melarikan diri.
Suto segera membawa Dungu Dipo
pergi. "Aku tak bisa berlari cepat," kata Dungu Dipo. Suto Sinting
segera
berkata,
"Ke mana arah yang harus
kitatuju, katakan saja!"
"Lurus ke sana, nanti
kita akan menemukan lembah berbunga, dari sana belok ke kiri dan lurus saja
maka kita akan sampai ke batas wilayah Muara Singa. Di sana pasti ada dua
penjaga yang mengenakan pakaian biru. Lalu ....... "
Teeeb...! Gerakan tangan Suto
sangat cepat menotok samping leher Dungu Dipo. Tubuh orang itu langsung terkulai
lemas bagai tanpa urat dan tulang. Suto Sinting segera memanggul tubuh itu di
pundak kirinya.
"Maaf, Dungu Dipo...
terpaksa kulakukan cara ini supaya kau bisa bergerak secepat gerakanku!"
Zlaaap...! Suto Sinting
bagaikan menghilang, padahal berlari sangat cepat menggunakan gerak silumannya
yang tak mudah dilihat mata telanjang. Dalam waktu singkat ia sudah sampai di
lembah berbunga, lalu membelok ke kiri.
Zlaaap...!
Seperti apa kata Dungu Dipo,
di perbatasan ada dua penjaga berseragam biru. Suto Sinting berhasil melewati
dua penjaga yang sedang saling berbincang-bincang. Gerakan cepat dari Pendekar
Mabuk membuat ram but mereka yang panjang tersentak meriap, tapi mereka tidak
melihat sekelebat bayangan yang melintasi depan mereka.
"Angin apa itu
tadi?" tanya seorang penjaga kepada temannya.
"Biasa, angin
bukit!" jawab yang satunya dengan kalem.
"Sepertinyaada yang
melintas di depan kita."
"Ya angin itu tadi yang
melintas, kok bingung kamu ini?!" Lalu mereka kembali ke percakapan
semula, sedangkan Suto Sinting menuju titik hitam yang tak lain adalah tembok
benteng batu. Beberapa rumah penduduk dilewati begitu saja, dan satu pun dari
mereka tak ada yang melihat gerakan Suto Sinting yang memanggul Dungu Dipo.
Orang bisa melihat kehadiran
Suto Sinting setelah Pendekar Mabuk itu berhenti di depan pintu gerbang dan
melepaskan totokan Dungu Dipo. Tees...!
"Hei, lihat...! Ki Dungu
Dipo datang bersama orang tampan!" seru salah satu dari empat penjaga
gerbang.
Dungu Dipo yang merasa jengkel
terpaksa memendam kejengkelannya, ia hanya melirik Suto dengan cemberut, lalu
berseru kepada penjaga gerbang,
"Buka pintu! Kami akan
menghadap Ratu!"
Pintu gerbang pun dibuka,
Dungu Dipo membawa Suto Sinting masuk. Tapi di luar dugaan siapa pun, ternyata
pelarian Suto Sinting tadi diikuti oleh Tandu Terbang secara sembunyi-sembunyi.
Bahkan ketika Suto dan Dungu Dipo masuk melalui pintu gerbang yang dibuka
lebar, Tandu Terbang melesat dengan cepat ke dalam benteng, seperti kilatan
cahaya merah tak berbentuk. Zlaaap...! Ketika pintu gerbang sudah ditutup,
barulah wujud Tandu Terbang yang merah terlihat oleh mata beberapa pengawal
Istana. Tandu itu diam di udara tepat di belakang Suto dan Dungu Dipo.
Seseorang yang melihat
kehadiran Tandu Terbang segera berseru dengan tegang,
"Tandu Terbang! Tandu
Terbang...!" Yang lain ikut berseru demikian dan saling berlari
berhamburan, ada yang segera mencari senjata, ada yang segera mencari tempat
untuk bersembunyi. Sedangkan Suto dan Dungu Dipo yang berpaling ke belakang
segera tertegun bengong melihat Tandu Terbang diam di udara menghadap mereka.
"Sial! Rupanya kita tadi
diikuti olehnya!" gumam Suto Sinting kepada Dungu Dipo yang matanya
terbelalak tak bisa bilang apa-apa.
Batu Sampang keluar dari
istana begitu mendengar suara gaduh tentang Tandu Terbang. Bahkan Nyai Paras
Murai dan Hantu Tari yang telah sembuh dari lukanya ikut keluar mendampingi
Ratu Purnama Laras. Mereka berdiri di teras istana, sementara Tandu Terbang dan
yang lainnyaada di tengah pelataran istana.
"Kepung dia! Jangan
sampai lolos!" teriak Batu Sampang memberi perintah kepada para pengawal,
dan mereka pun segera mengepung tempat itu serapat mungkin dengan senjata
terhunus. Suto Sinting dan Dungu Dipo ikut terkepung juga karena jaraknya
dengan Tandu Terbang hanya lima langkah.
Dungu Dipo berseru kepada Batu
Sampang, "Aku membawa Pendekar Mabuk!"
Batu Sampang tampak sedikit
lega, lalu menyampaikan hal itu kepada sang Ratu. Sementara itu, Suto membisik
di teiinga Dungu Dipo menyuruhnya bicara dengan sang Ratu.
"Biar kutahan Tandu
Terbang di sini, jika ia ingin membuat ulah aku yang akan menghadapinya. Suruh
orang-orangmu menjauh agar tak timbul korban sasaran. Lekas!"
Dungu Dipo segera menghadap
sang Ratu dan menyampaikan pesan Suto Sinting. Sang Ratu memandang dengan
senyum berseri, pertanda hatinya tenang, bahkan berbunga indah melihat wajah
Pendekar Mabuk yang terkenal tampan itu. Ia hanya berkata kepada Dungu Dipo dan
Batu Sampang,
"Lakukan apapun perintah
Pendekar Mabuk!"
Hantu Tari menyahut,
"Lebih baik kita serang bersama-sama saja! Tandu Terbang berilmu tinggi
dan sangat berbahaya jika hanya dihadapi oleh satu orang saja, Purnama
Laras!"
"Kerjakan apa pun yang
diperintahkan Pendekar Mabuk!" ulang sang Ratu dengan tegas. Maka Dungu
Dipo dan Batu Sampang pun memberi isyarat kepada para pengawal agar menyingkir
jauh-jauh dan membuka kepungan mereka. Mereka justru menjadi penonton
pertarungan yang menegangkan antara Pendekar Mabuk yang namanya sedang kondang
itu dengan Tandu Terbang yang dikenal sebagai sosok tokoh misterius beriimu
tinggi.
Suto Sinting mencoba menatap
tandu itu mencari celah untuk dapat membongkar kain penutup tandu. Namun pada
saat itu ia mendengar suara serak berbisik yang tak jelas suara lelaki atau
perempuan.
"Jangan ikut campur
urusanku. Ini bukan kejahatan, tapi menegakkan keadilan. Pergilah, biarkan aku
berhadapan dengan Purnama Laras!"
Suto Sinting kaget, lalu
segera berkata dalam hatinya, "Rupanya orang di dalam tandu itu berbicara
lewat batin, ia mampu mengirimkan suara batinnya ke gendang telingaku. Hebat
juga orang ini!"
Tandu Terbang ingin bergerak
ke teras istana, tapi Suto Sinting segera mengibaskan bumbung tuaknya dengan
kecepatantinggi. Bumbung tuak itu dihantamkan pada salah satu sisi kayu
pengusung tandu. Trak...! Wuuusss...! Tandu merah itu berputar cepat dalam
keadaan di tempat. Pukulan itu bertenaga dalam tinggi dan membuat tandu
terpelanting memutar bagaikan gangsing.
Seet...! Tapi Tandu Terbang
pun tunjukkan kebolehannya yang mampu berhenti dengan mendadak walau masih
berputar cepat, ia berhenti tepat pada keadaan semula, yaitu menghadap ke arah
Suto Sinting.
Pendekar Mabuk mendengar
kiriman suara dari dalam tandu,
"Aku tak mau melawanmu.
Jangan bodoh, Pendekar Mabuk. Urusanku dengan Purnama Laras adalah urusan
pribadi, jangan melibatkan diri."
"Jelaskan
persoalannya!" seru Suto yang didengar oleh yang lain. Tapi mereka yang
berada dalam jarak terdekat dengan Suto pun tidak dapat mendengar suara orang
yang ada di dalam tandu merah itu. Agaknya suara itu khusus dikirimkan untuk
Suto Sinting.
"Istana ini adalah
istanaku, Pendekar Mabuk. Aku berhak merebutnya dari kekuasaan Purnama Laras.
Ayahku, raja di sini. Ketika aku lahir, ibuku yang bernama sang Paramita
meninggal dunia. Beliau adalah rakyat negeri Puri Gerbang Surgawi di bawah
kekuasaan Gusti Ratu Kartika Wangi. Kau pasti kenal!"
Bagai kilat menyambar di depan
Suto, mata pendekar tampan itu terbelalak seketika. Wajah tegangnyatak bisa
disembunyikan, bahkan jantungnya menjadi berdetak- detak kencang. Lidah Suto
kelu hingga tak bisa bilang apa-apa.
Tandu Terbang kirimkan suara
lagi, "Dalam usia masih bayi, ayahku menikah lagi dengan Raden Ayu
Indriakara. Ia seorang ibu tiri yang keji. Ia tak suka denganku. Dalam usia
satu tahun, aku dibuang ke hutan Pulau Peri. Tapi inang pengasuh yang disuruh
membuangku justru membawaku pergi berlayar. Inang pengasuhku kawin dengan
nahkoda kapal dan menganggapku sebagai anak sendiri. Sampai di Tibet aku
diserahkan kepada Pendita Arak Merah. Lalu jadilah aku murid sang Pendita yang
pertama sebelum kehadiran Sri Maharatu."
Sepi sejenak, Suto memandang
orang-orang sekeliling yang juga diam dengan wajah tegang dan hati mereka pun
pasti berdebar-debar. Suto menyempatkan diri meneguk tuaknya, lalu menyuruh
Tandu Terbang teruskan cerita.
"Raden Ayu Indriakara tak
bisa punya keturunan, ia tidak menyesali tindakannya yang membuangku, justru ia
lebih suka mengangkat anak. Maka diangkatlah anak seorang petani miskin yang
baru saja ditinggal mati kedua orangtuanyakarena bencana alam. Anak itu diberi
nama Purnama Laras. Ketika Ayah meninggal, negeri ini dikuasai oleh ibu tiriku;
Indriakara. Ketika ibu tiriku meninggal, negeri ini diserahkan kepada Purnama
Laras. Tapi sebagai anak kandung pewaris negeri ini, aku merasa berhak merebut
hak warisku dan menjadi penguasa di Muara Singa. Sebab itu, aku akan berhadapan
dengan Purnama Laras!"
Suto berkata, "Aku
sanggup selesaikan masalah ini tanpa pertumpahan darah!" suara itu pun
didengar oleh mereka yang berdiri tegang memperhatikan Suto, termasuk sang Ratu
sendiri. Suto sengaja bicara dengan nada keras,
"Hentikan murkamu kepada
sang Ratu. Masih ada jalan lain mengembalikan hak warismu atas negeri ini tanpa
gunakan kekerasan!"
Sang Ratu menjadi tegang dan
heran, ia memandang Hantu Tari dan Nyai Paras Murai. Mereka saling pan dang
mendengar suara Suto. Tapi tak satu pun ada yang berani bicara. Bahkan yang
ingin batuk pun ditahannya mati-matian hingga wajahnyamemerah.
Terdengar suara Suto berkata
jelas-jelas, "Jika memang kau anak dari permaisuri yang bernama Sang
Paramita, keluarlah dari tandu dan perkenalkan wajahmu kepada mereka! Tunjukkan
kebenaran dan keadilan yang kau miliki tanpa harus bersembunyi di dalam
tandu!"
"Kau bertaruh apa atas
kesanggupanmu menyelesaikan persoalan initanpakekerasan?"
Kata Suto, "Jika kau
benar anak Sang Paramita yang dibuang oieh ibu tirimu; Raden Ayu Indriakara,
sehingga ibu tirimu akhirnya memungut anak petani yang diasuh menjadi anak
sendiri itu, maka aku akan bertaruh nyawa untukmu. Aku ada di pihakmu! Apa pun
kesulitanmu untuk merebut negeri ini akan kupertaruhkan nyawaku untuk
membelamu. Maka, keluarlah dari tandu dan perlihatkan kebenaranmu!"
Hening mencekam, semua
memandang Ratu Purnama Laras. Nyai Paras Murai diam dan tampak kepalanya
manggut-manggut memandangi tandu merah itu. Ia tahu persis persoalan tersebut,
sehingga dalam hatinya membenarkan ucapan Suto. Bahkan Nyai Paras Murai
tiba-tiba melangkahturun tangga dua baris dan berseru,
"Jika benar kau anak dari
Sang Paramita, aku pun akan berpihak padamu!"
Kasak-kusuk mulai terdengar
bergemuruh seperti suara lebah. Suara kasak-kusuk itu diam seketika setelah
Nyai Paras Murai berseru lagi,
"Jika kau anak Sang
Paramita, kau pasti bisa tunjukkan noda hitam pada bagian tubuhmu yang menjadi
tanda sejak lahir. Aku tahu persis noda hitam itu, karena dulu aku adalah dukun
bayi yang membantu melahirkan anak Sang Paramita!"
Suasana hening mencekam sesaat.
Tiba-tiba Ratu Purnama Laras berseru dari tempatnya, "Jika benar kau punya
tanda hitam sebagai anak Sang Paramita, maka kaulah orang yang kutunggu-tunggu
untuk kuserahi kekuasaan ini. Karena aku sadar bahwa aku hanyalah anak angkat
dari Raden Ayu Indriakara. Aku sadar ada orang yang lebih berhak mewarisi
negeri ini ketimbang diriku. Aku hanya mempertahankan agar negeri ini tidak
jatuh di tangan orang yang bukan pewaris sebenarnya! Buktikan bahwa kau anak
Sang Paramita!"
Wuuut...! Sekelebat bayangan melompat
dari dalam tandu merah, menerobos kain penutup namun tidak membuat kain itu
robek atau terbuka, ia bagaikan menembus kain penutup itu dan tahu-tahu sudah
berdiri di depan Suto.
"Palupi...?!" pekik
Suto karena kagetnya melihat orang yang muncul dari dalam tandu ternyata adalah
Palupi yang kini mengenakan pakaian jubah ungu, rambut lebih tertata rapi,
wajah lebih bersih, dan kecantikannya lebih menonjol.
Bukan hanya Suto yang
terkejut, tetapi beberapa orang yang pernah melihat gadis gila menawar- nawarkan
Pedang Kayu Petir juga ikut terkejut dan tak menyangka bahwa tandu merah itu
ternyata adalah Palupi si gadis gila.
Tanpa bicara sepatah katapun,
Palupi segera berbalik arah memunggungi Suto Sinting, lalu menyingkapkan sisa
rambutnya yang tergerai itu, ia menunjukkan noda hitam yang ada di tengkuk
kepala. Nyai Paras Murai memeriksanya sebentar dan menjadi yakin bahwa Palupi
adalah anak Sang Paramita, istri pertama penguasa negeri Muara Singa. Sengaja
Nyai Paras Murai tadi tidak menyebutkan di mana letak noda hitam itu, sebab
jika disebutkan bisa dibikin secepatnya di dalam tandu pada tempat yang sama.
Tapi ternyata tanpa disebutkan tempat noda itu, Palupi dapat tunjukkan
tempatnya yang tepat, sehingga Nyai Paras Murai tidak sangsi lagi.
"Benar! Dia memang anak
Sang Paramita!" kata Nyai Paras Murai kepada Ratu Purnama Laras. Sang Ratu
pun menjawab,
"Jika begitu, memang
dialah orang yang kutunggu selama ini! Dialah yang mempunyai hak atas negeri
ini!"
Palupi segera mengibaskan
tangannya sekelebat, tandu merah pun lenyap dengan meninggalkan kepulan asap
tipis setelah menyala terang sekejap. Rupanya dengan kibasan tangan seperti
itulah ia memunculkan dan menghilangkan tandu selama ini. Jika bukan berilmu
tinggi tak mungkin hal itu bisa dilakukan Palupi yang nama kecilnya adalah:
Galuh Puspanagari.
Ratu Purnama Laras menerima
kedatangan Palupi dengan bijak dan berjiwa besar, ia pun bersedia undurkan diri
dan menyerahkan kekuasaan kepada Palupi tanpa harus melalui banjir darah lebih
dulu. Justru orang-orang menaruh rasa hormat dan salut atas sikap yang diambil
oleh Ratu Purnama Laras. Sekalipun kini ia tidak menjadi ratu lagi, namun
Palupi tetap memohon agar Purnama Laras mau mendampinginya sebagai penasihat
dalam memimpin negeri tersebut.
Kepada Suto, Palupi sempat
berbisik, "Sayang orangtua angkatku sudah meninggal karena wabah penyakit
di tengah lautan, sehingga aku diserahkan pada guru Pendita Arak Merah.
Jikatidak, akan kubanggakan kau di depan orangtua angkatku itu. Tapi...
terlepas dari semua ini, aku mengucapkan terima kasih atas caramu menyelesaikan
persoalanku ini, dan... aku tak ingin mendesakmu untuk memperkosaku, karena
semua itu sebenarnya hanya kepura-puraanku guna menyelidiki kekuatan
lawan-lawanku."
Suto Sinting tersenyum,
"Lalu bagaimana dengan Pedang Kayu Petir itu?"
Palupi hanya memandangi Suto
dengan senyum manis yang sukar diartikan.
SELESAI