1
"TOLOOONGGGG...!"
Seruan itu menggema
merayapi dinding jurang
bertebing curam. Sekelebat
bayangan melintas dari
sela-sela pepohonan. Kejap
berikut bayangan itu tampak
melesat menuruni dinding
tebing berjurang dalam. Dari
tonjolan batu yang satu
bayangan itu melompat ke
tonjolan batu yang satunya
lagi. Zlap, zlap, zlap,
zlap...! Weeeesss...!
Gerakan yang begitu cepat
melebihi gerakan anak
panah tampak menyambar sesuatu
yang semula
bergelayutan pada salah satu
bibir batu. Benda yang
disambar bukan sekadar
singkong bakar atau pisang
rebus, melainkan seraut wajah
cantik berbibir ranum,
tampak indah dan menggemaskan.
Dalam waktu yang
amat singkat, wajah cantik
yang semula bergelayutan di
bibir batu dan nyaris terjun
ke dasar jurang itu sekarang
sudah ada di bawah pohon.
Ternyata ia seorang gadis
berusia sekitar dua puluh satu
tahun. Tubuhnya yang
ramping dan berkulit kuning
mulus itu tampak masih
bergetar. Kedua matanya yang
berbulu lentik itu masih
memejam kuat-kuat, ia belum
sadar bahwa dirinya sudah
berada dibawah pohon dengan
aman.
Sosok tubuh kekar yang berbaju
coklat dan bercelana
putih lusuh itu berdiri di
depan si gadis dengan bumbung
tuak menyilang di punggungnya.
Anak muda yang
punya rambut lurus sepundak
tanpa ikat kepala itu tak
lain adalah si tampan murid
Gila Tuak yang dikenal
dengan nama Suto Sinting alias
Pendekar Mabuk.
"Tolooong...!"
"Husy! Jangan berteriak
lagi! Kau sudah aman,
Nona!" sentak Pendekar
Mabuk dengan menahan rasa
geli di dalam hatinya, ia
segera meraih bumbung
tuaknya karena ingin menenggak
beberapa teguk tuak
pelega tenggorokan.
"Bukalah matamu, Nona.
Kau sudah ada di daratan
dengan aman," kata Suto
Sinting.
Maka gadis yang berpakaian
serba kuning dengan
lengan bajunya yang longgar
dan mempunyai belahan
dada cukup lebar itu, segera
membuka matanya pelan-
pelan. Bibir ranum itu masih
tampak gemetar, sehingga
jika dipandang terlalu lama
bisa bikin lawan jenisnya
sesak napas karena diburu
gairah dan kekaguman.
Pendekar Mabuk menenggak tuak
sebentar, lalu
melepaskan napasnya dengan lega.
Ia sunggingkan
senyuman kecil ketika si gadis
akhirnya memandang
kaget ke arahnya.
"Kkkau... kaaau... kaukah
yang membawaku
kemari?" tanya si gadis
setelah terlebih dulu
memperhatikan keadaan
sekelilingnya dan menyadari
bahwa dirinya sudah tidak
bergelayutan pada dinding
tebing sepertitadi.
"Ya, aku yang membawamu
kemari."
"De... dengan cara
bagaimana?!" tanyanya lagi masih
kurang yakin.
"Menyambarmu dalam satu
gerakan cepat yang
dinamakan jurus 'Gerak
Siluman'."
"Hhmmm... apakah...
apakah kau siluman?!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyumnya yang
berkesan geli namun penuh
kesabaran.
"Aku bukan siluman. Aku
manusia biasa, sama
sepertimu, Nona."
"Mengapa kaumempunyai
gerak siluman?"
"Karena aku belajar
bergerak cepat dengan gunakan
ilmu peringan tubuh sehingga
kecepatannya seperti
siluman sedang bergerak."
Gadis itu memandang dengan
dahi berkerut dan sorot
pandangan matanya amat polos.
"Apakah kau pernah...
pernah... pernah melihat
siluman bergerak?"
"Cerewet juga gadis
ini," gumam Suto daiam hatinya.
Namun yang disajikan di
wajahnya adalah seulas
senyum menawan, sesuai dengan
ketampanannya yang
sering membuat wanita
berdebar-debar. Si gadis tak mau
tersenyum dan tetap memandang
dalam kepolosan,
seolah-olah ia menunggu
jawaban dari pertanyaannya
tadi. Tetapi yang dilakukan si
Pendekar Mabuk bukan
menjawab, melainkan ganti
bertanya kepada gadis itu.
"Apakah kau ingin melihat
siluman bergerak?"
Gadis itu mengangguk dengan
lugu. Suto Sinting kian
geli dan perdengarkan tawa
yang mirip orang
menggumam.
"Sayang sekali siluman
sedang mendapat sahabat
baru yang cantik jadi ia tak
mau bergerak."
"Sombong sekali siluman
itu," gumam si gadis
dengan wajah benar-benar
tampak kecewa, seakan
kelakar Suto Sinting itu
dianggap ucapan yang
sesungguhnya.
"Siapa kau sebenarnya, Nona?
Dan mengapa kau bisa
sampai nyaris mati masuk
jurang begitu?"
"Namaku..., hmm...
namaku: Kejora," jawab si gadis
dengan ragu-ragu. Mata
bundarnya yang berbulu lentik
itu seperti takut memandang
wajah Pendekar Mabuk.
Bibirnya tak mau sunggingkan
senyum sedikit pun,
masih kelihatan sisa
ketegangan dari rasa takut jatuh ke
jurang tadi. Sebentar-sebentar
ia menyingkap rambutnya
yang sering meriap ke pipi
kiri jika sedang menunduk.
Rambut itu tampak lembut
sepanjang punggung
berwarna hitam mengkilap.
Kejora berkata lagi, "Aku
tadi jatuh ke tebing karena
tergelincir saat berlari
menghindari kejaran orang-orang
Candi Bangkai."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi
sedikit. "Candi
Bangkai?!" gumamnya
dengan merasa asing, karena
baru kali itu mendengar nama
Candi Bangkai. Lalu ia
bertanya, "Candi Bangkai
itu nama orang atau nama
perguruan?!"
"Candi Bangkai itu nama
sebuah bangunan angker
yang letaknya di Bukit
Pocong," jawab Kejora dengan
lugu. "Apakah kau belum
pernah mendengar kisah Candi
Bangkai?!"
Si wajah tampan berhidung
bangir itu gelengkan
kepala. "Baru sekarang
kudengar nama itu."
Kejora melirik ke sana-sini
diliputi rasa waswas,
kemudian kembali menatap Suto
Sinting.
"Candi Bangkai itu tempat
angker yang dihuni oleh si
Raja Iblis alias
Barakoak."
"Hmmm... nama aneh lagi?
Barakoak...?!" gumam
Suto Sinting bagai bicara pada
dirinya sendiri.
Baru saja Suto Sinting ingin
ajukan tanya lagi pada
gadis berdada sekal itu,
tiba-tiba mereka sama-sama
dikejutkan oieh suara orang
berseru dari arah belakang
Suto Sinting.
"Itu dia
anaknya...!"
Suara kasar bernada besar itu
membuat Suto Sinting
cepat berpaling dan Kejora
tersentak dalam pekikan
tertahan.
"Oooh...!" wajah si
gadis berubah tegang kembali.
Dua orang segera berlari
menghampiri Kejora. Suto
Sinting cepat ambil sikap
melindungi Kejora dengan
tubuh memunggungi gadis itu.
Suara Kejora terdengar
bergetar dari belakang Suto
Sinting.
"Itu... itu dia mereka!
Mereka anak buah Barakoak!"
"Tenanglah, biar kuhadapi
mereka," ujar Suto Sinting
dengan dada kekarnya sedikit
terbusung, bumbung
tuaknya siap digantungkan di
pundak agar sewaktu-
waktu mudah diraih. Jempol
tangan kanannya mengait
tali bumbung tuak.
Dua orang bertampang sangar
itu berhenti dalam
jarak lima langkah di depan
Pendekar Mabuk. Keduanya
memandang Suto Sinting dengan
sikap bermusuhan.
Keduanya sama-sama berkumis
lebat dan berbadan
kekar. Namun yang satu
berwajah lonjong dan berdagu
runcing, kulitnya hitam tebal,
mengenakan celana hitam
dan rompi merah, ia berambut
panjang sepundak dengan
ikat kepala kain merah.
Orang yang satunya lagi
berwajah bundar lebar
dengan mata besar, rambutnya
ikal pendek dengan ikat
kepala tali tambang putih.
Mengenakan pakaian abu-abu
dengan baju lengan panjang
longgar, juga berkulit hitam
tebal. Usianya sekitar empat
puluh tahun, sama seperti
temannya yang bertubuh agak
pendek darinya.
"Rujak Gada, tangkap
gadis itu sebelum melarikan
diri lagi! Tangkap!"
perintah orang berwajah lonjong
kepada temannya yang
berpakaian abu-abu. Ternyata
orang itu bernama Rujak Gada.
Mungkin karena ia
bersenjata besi berantai
bandul bola berduri yang dapat
untuk menghancurkan kepala
atau tubuh lawannya
seperti rujak bebek, maka ia
dikenal dengan nama si
Rujak Gada.
Kejora tampak kian ketakutan
saat dipandang oleh
Rujak Gada. Suaranya berbisik
lirih dengan nada
gemetar di belakang Suto
Sinting.
"Akutak mau ditangkap
mereka...."
"Berlindunglah di balik
pohon, biar aku bisa bergerak
bebas menghadapi mereka,
Kejora," kata Suto Sinting
sedikit palingkan wajah, tapi
matanya tetap mengarah
pada dua orang berwajah sangar
itu.
Kedua orang itu kini melangkah
ke samping saling
merenggangkan jarak.
Masing-masing mencari
kesempatan baik untuk bergerak
maju. Rujak Gada
terdengar berkata kepada
temannya yang mengenakan
rompi merah itu.
"Rupanya pemuda
gelandangan itu ingin menjadi
pahlawan, Cingur Barong.
Hancurkan wajah tampannya
itu dan aku akan menyambar si
Kejora!"
Orang yang dipanggil Cingur
Barong menggeram
dengan mata melebar tertuju
pada Suto Sinting.
Tangannya yang berjari besar
itu bergerak-gerak bagai
ingin meremas kepala Suto
Sinting hingga remuk. Tetapi
Suto Sinting masih kelihatan
kalem-kalem saja.
Cingur Barong berseru kepada
Pendekar Mabuk,
"Jangan cari penyakit di
depan kami, Bocah Gembel!
Menyingkirlah dan tak perlu
menjadi pelindung gadis
itu!"
"Aku hanya melindungi
pihak yang lemah!" ucap
Suto Sinting dengan tegas.
"Gadis itu tidak perlu
kau lindungi. Kami punya
urusan sendiri yang tidak
berhak dicampuri oleh orang
lain. Karena itu, sekali lagi
kuperingatkan kepadamu,
Bocah Gembel; menyingkirlah
dari hadapan kami!"
"Jika kalian bisa
singkirkan aku maka kalian dapat
menangkap gadis itu!"
"Bangsat! Jangan
menantang kami, Pemuda Dungu!"
bentak Rujak Gada dengan
sangat kasar.
Gertakan itu hanya membuat
Pendekar Mabuk
tersenyum tipis. Senyum itu
makin membuat Rujak
Gada menggeram tak sabar lagi.
Maka, yang seharusnya
ia bertugas menyambar Kejora,
kini justru ia yang
menyerang Suto Sinting lebih
dulu.
"Kuhancurkan batok
kepalamu, Setan Ingusan!
Heeeeah...!"
Rujak Gada bergerak maju
dengan satu lompatan
bertubuh memutar. Putaran
tubuh itu melayangkan
sebuah tendangan ke wajah Suto
Sinting. Wuuuut...!
Suto Sinting menggeloyor bagai
orang mabuk ingin
tumbang, namun sebenarnya ia
menghindari tendangan
kaki lawan, sehingga kaki itu
akhirnya hanya berkelebat
di atas kepalanya. Lalu dengan
berlagak seorang mabuk
yang jatuh ke samping, kaki
Suto Sinting menyampar
kaki lawannya. Weees...!
Plaaak...! Brrruk...!
Rujak Gada terpelanting jatuh
akibat samparan kaki
Suto Sinting. Pada saat itulah
Cingur Barong melompat
ke arah Kejora. Wuuuus...!
Melihat Kejora dalam bahaya,
Suto Sinting segera
berguling di tanah satu kali,
kemudian tubuhnya
melenting ke atas dengan satu
sentakan tangan kiri ke
tanah. Wuuut...! Tubuh kekar
itu melayang di udara ke
arah Cingur Barong. Pertemuan
di udara membuat
mereka saling menghantamkan
pukulannya.
"Modar kau!" Cingur
Barong hantamkan kepalan
tinjunya yang besar.
Taaab! Suto Sinting menangkap
pukulan itu dengan
tangan kiri. Lalu tangan
kanannya menyodok ke depan
dengan gerakan amat cepat. Wuuuut...!
Prrrok...!
"Uuuuhg...!" Cingur
Barong tersentak mundur ke
belakang dalam keadaan masih
melayang, lalu segera
jatuh tak berkeseimbangan
lagi. Brrruk...!
Suto Sinting mendaratkan
kakinya dengan limbung
mirip orang yang sudah mabuk
berat. Namun dalam
sekejap ia tegak kembali dan
tampak perkasa. Matanya
melirik ke arah Kejora.
"Syukurlah ia telah
bersembunyi di balik pohon,"
pikir Suto Sinting merasa
tenang melihat Kejora berada
di balik pohon, mengintip
pertarungan itu dari sana.
Rujak Gada dan Cingur Barong
sama-sama bangkit
berdiri penuh nafsu amarah.
Keduanya sama-sama
menggeram dengan mata semakin
memandang buas
kepada Pendekar Mabuk.
"Kau benar-benar cari
penyakit, Setan Bodoh!"
bentak Rujak Gada.
"Jangan merasa bangga dulu jika
kau bisa membuat kami jatuh,
karena kami hanya
menjajal kemampuan ilmumu.
Sekarang saatnya kami
mengirimmu ke neraka!"
"Kebetulan aku belum tahu
jalan ke sana!" ujar Suto
Sinting menanggapi dengan
tenang sekali. Bahkan di
bibirnya tersungging senyum
tipis yang membuat kedua
lawannya kian penasaran.
Seeet...! Rujak Gada mencabut
senjatanya; sepotong
besi berongga yang ujungnya
mempunyai bola berduri
sebesar kepalan tangannya.
Besi itu disentakkan ke
depan, srrraak...! Ternyata
mengeluarkan rantai panjang
yang menjadi tali dari bola
berduri itu. Kemudian bola
besi berduri itu diputar-putar
di atas kepala. Wuuung,
wung, wuuung...!
"Hancurkan kepalanya,
Rujak Gada! Jangan kasih
ampun lagi padanya. Pantatku
dibuatnya sakit karena
membentur batu!" teriak
Cingur Barong yang juga
segera mencabut senjatanya;
kapak dua mata.
"Heeeeaaat...!"
Rujak Gada melompat sambil
menyambarkan bola besi berduri
itu ke arah kepala Suto
Sinting. Pendekar Mabuk tidak
menghindar, namun
justru mengangkat bambu
bumbung tuaknya dan
menangkis kedatangan bola besi
berduri itu.
Traaang...!
Bola besi itu beradu dengan
bambu bumbung tuak
menimbulkan suara gemerentang
bagai menghantam
sepotong besi. Percikan api
menyembur dari perpaduan
bola besi berduri dengan bambu
bumbung tuak. Ternyata
bambu itu tidak mengalami
kerusakan sedikit pun,
bahkan lecet sedikit juga
tidak.
Tetapi Suto Sinting sedikit
lengah, sehingga kaki
lawannya yang kekar itu
berhasil menendang ujung
pundaknya. Deees...! Wuuut...!
Pendekar Mabuk terpelanting ke
belakang dan
membentur pohon tak seberapa
besar. Pohon itu
bergetar, daunnya rontok
sebagian. Lalu, Rujak Gada
menyerang kembali dengan
mengibaskan senjatanya.
Wuuuut...!
Suto Sinting cepat rendahkan
badan, sehingga bola
berduri itu kenai pohon
tersebut. Crraak...! Duaaar...!
Ledakan kecil terjadi setelah
Suto Sinting berguling
ke samping dengan gerakan
seperti seekor harimau
menghindari lawannya. Pohon
yang terkena bola besi
berduri itu menjadi somplak
lebar akibat ledakan yang
ditimbulkan oleh senjata
tersebut. Rupanya senjata itu
bukan saja mengandalkan
keruncingan durinya, namun
juga disaluri tenaga dalam
cukup tinggi, sehingga jika
menyentuh apa pun akan
timbulkan ledakan yang
menghancurkan benda tersebut.
"Aaauwww...!"
terdengar suara Kejora menjerit. Mata
Suto Sinting cepat dilayangkan
ke tempat
persembunyian Kejora. Rupanya
saat itu Kejora sedang
berpindah tempat karena
hindari kedatangan Cingur
Barong.
Melihat keadaan yang
membahayakan jauh dari
jangkauannya, Pendekar Mabuk
segera keluarkan jurus
'Jari Guntur' yang menggunakan
sentilan jari tangan
kanannya. Tuuuus...!
Wuuut...! Buuuhg...!
"Aaaahg...!" Cingur
Barongterpekik karena pinggang
kirinya seperti ditendang kuda
jantan amat kuat.
Sentilan jari yang
mengeluarkan tenaga dalam tanpa
sinar itu membuat tubuh Cingur
Barong melayang dan
terhempas hingga membetur
sebongkah batu sebesar
anak sapi. Ia mengerang
kesakitan sambil menggeliat
bangkit. Kepalanya berdarah
akibat benturan dengan
batu besar itu.
"Manusia busuk!"
geram Rujak Gada setelah melihat
temannya berdarah, ia
memutar-mutar rantai bola
berduri dengan kaki sesekali
menghentak ke tanah.
Hentakan itu adalah cara
mengeluarkan tenaga dalam
yang disalurkan melalui rantai
tersebut. Akibatnya
putaran rantai itu membuat
bola besi berduri itu
memercik-mercikkan bunga api
merah dalam setiap
putarannya.
"Habislah riwayatmu,
Jahanaaaam...!"
Rujak Gada berteriak sambil
lakukan sentakan pada
tangannya, zraaak...!
Rantainya semakin panjang dan
segera menyambar tubuh Suto
Sinting. Wuuuung...!
Namun pada saat itu Suto
Sinting sudah berkelebat
menggunakan jurus 'Gerak
Siluman'-nya menerjang
Cingur Barong yang berlari
mengejar Kejora.
Zlaaaap...!Brruuss...!
"Aaaaow...!" Cingur
Barong terlempar ke tepian
jurang akibat terjangan kaki
Pendekar Mabuk. Pada saat
ia bangkit kembali dengan
menggeram kesakitan, Suto
Sinting lepaskan jurus 'Jari
Guntur'-nya lagi dengan
sebuah sentilan ke arah dada
Cingur Barong. Tuuuss...!
Wuuuut...!
Buuuhk...! Tenaga dalam yang
terlepas dari sentilan
jari Pendekar Mabuk tepat
kenai bagian atas ulu hati
Cingur Barong. Orang itu
tersentak ke belakang, padahal
di belakangnya adalah jurang
bertebing curam.
Keseimbangan tubuhnya pun
hilang, dan akhirnya
Cingur Barong jatuh ke jurang.
"Aaaaa...!"
jeritannya melengking tinggi menggema
di sana-sini.
"Bangsaaaat...!"
teriak Rujak Gada semakin murka, ia
berlari dan melompat ke arah
Suto Sinting dengan bola
berduri yang masih
memercik-mercikkan bunga api.
Suto Sinting rendahkan badan
hingga berlutut satu kaki.
Kemudian jarinya menyentil
lagi dan tenaga dalam yang
keluar menghantam perut Rujak
Gada yang sedang
melayang di udara. Duuuhb...!
"Heeeehg...!" Rujak
Gada memekik tertahan,
tubuhnya kian melambung tinggi
dan berjungkir balik.
Gerakan jungkir baliknya
melewati batas tepian bibir
jurang, akhirnya ia meluncur
turun tanpa sempat
berpijak lagi. Ia terkejut
mengetahui dirinya telah tidak
punya tempat berpijak.
"Aaaaaaowww...!"
teriakannya pun menggema
karena pantulan dindingtebing
curam itu.
Suto Sinting memandang dengan
jengkel dan
menggerutu, "Yaaah...
akhirnya dua-duanya masuk
jurang?! Uuuh...! Dasar bodoh!
Sudah tahu jurang ini
dalam sekali, mau-maunya
nyebur ke sana! Kalau begini
aku tak bisa dapat keterangan
apa sebab mereka
mengejar si Kejora?! Sial!
Punya lawan dua saja mati
semua! Lain kali kalau tidak
berilmu tinggi janganlah
coba-coba melawanku. Mereka
itu memang keras kepala
dan berlagak jago! Kalautahu
ilmu merekatak seberapa,
aku tak mau melawannya dengan
penuh semangat!
Uuuh... menyebalkan sekali
mereka itu! Jangan-jangan
mereka memang punya kegemaran
nyebur ke jurang?!"
Kedua orang Candi Bangkai
sama-sama terlempar ke
jurang. Teriakan mereka pun
segera menghilang dalam
beberapa kejap kemudian.
Setelah itu, alam menjadi
sepi, dan Suto Sinting
segera menghela napas,
melegakan dadanya yang tadi
dipakai menahan napas beberapa
kali. Ia tak memeriksa
keadaan lawannya yang sudah
masuk jurang itu. Yang
menjadi pusat perhatiannya
sekarang adalah gadis
mungil yang punya kecantikan
lugu itu.
"Hei, ke mana gadis itu
tadi?!" sentak batin Suto
Sinting karena kaget tak
menemukan Kejora di sekitar
tempat itu.
"Kejoraaaa...!" ia
berusaha memanggil, namun tak
mendapat jawaban. Gadis itu
telah hilang; entah
disambar anak buah Barakoak
lainnya atau melarikan
diri karena tak mau
dekat-dekat dengan pertarungan tadi.
Yang jelas Suto Sinting sudah
menyusuri tempat itu, dan
si gadis memang tak ditemukan.
"Jangan-jangan ia
tergelincir masuk jurang lagi?!"
pikir Suto Sinting.
Keputusan hati sang Pendekar
Mabuk adalah mencari
Kejora ke arah datangnya dua
orang Candi Bangkai tadi.
Hatinya menduga kuat bahwa
Kejora ditangkap dan
dibawa lari oleh teman Rujak
Gada dan Cingur Barong
yang tak ikut menampakkan diri
selama pertarungan
tadi.
Namun ketika Suto Sinting
ingin berkelebat mengejar
ke arah yang diyakini,
tiba-tiba ia mendengar seruan dari
dasar jurang. Seruan itu
terdengar kecil dan samar-
samar.
"Tolooong...?!"
Suto Sinting segera periksa
keadaan di bagian tebing
curam itu. Ternyata yang
berseru tadi adalah si Cingur
Barong, ia tersangkut bebatuan
yang menonjol pada
dinding tebing, ia bergelayutan
di sana dalam kedalaman
yang sukar dijangkau lagi.
Sementara itu, Rujak Gada juga
mengalami nasib
yang sama, tersangkut pada
ujung bebatuan yang
menonjol dari dinding tebing
tandus itu. Jarak keduanya
tak terlalu jauh, namun juga
tak mudah saling
menjangkau.
"Rujak Gadaaaa...! Tolong
akuuu...! Tolong
selamatkan jiwaku, Rujak
Gadaaa...!"
Rujak Gada yang kebingungan
mengangkat diri dari
gelayutannya itu berseru
jengkel,
"Matamu buta, ya?! Apa
kautak lihat aku juga dalam
bahaya begini?!"
"Di mana letak setia
kawanmu, Rujak Gada?!
Mengapa kautak mau
menolongkuuu...!"
"Mukamu sobek!" maki
Rujak Gada. "Aku sendiri
butuh pertolongan, bagaimana
aku bisa menolongmu?!"
Pendekar Mabuk tertawa geli
mendengar
pertengkaran mereka. Batinnya
berkata,
"Dasar orang-orang dungu!
Sudah tahu saling dalam
bahaya masih saja
bertengkar!"
"Aaaaa...!" suara
jeritan kecil itu kian mengecil,
kemudian lenyap dan berganti
teriakan lain.
"Rujak Gadaaaa...!
Rujaaaak...!"
Rupanya Rujak Gada gagal
mencapai tempat berpijak
yang aman. Ia tergelincir dan
jatuh ke dasar jurang yang
masih jauh dari tempatnya
tersangkut tadi.
"Rujaaak...!" teriak
Cingur Barong dengan sedih
melihat temannya
takterselamatkan lagi.
Suto Sinting akhirnya
meninggalkan tebing itu
setelah merasa tak akan mampu
menyelamatkan Cingur
Barong, ia melangkah ke arah
yang dimaksud tadi
sambil membatin kata,
"Sudah mau mati masih
memanggil-manggil tukang
rujak! Ck, ck, ck... payah
mereka itu!"
*
* *
2
PENCARIAN si gadis lugu
terhenti oleh suara
ledakan dari arah barat.
Pendekar Mabuk arahkan
langkahnya ke barat karena
rasa ingin tahu apa yang
terjadi di sana.
"Pasti sebuah
pertarungan!" pikirnya penuh harap,
karena ia senang mengintai
pertarungan untuk
mengumpulkan pengetahuan
tentang jurus-jurus yang
ada di rimba persilatan.
Pengintaian di lakukan dari
balik semak bertanah
tinggi. Dan mata yang tak
pernah merah walau
menenggak tuak sebanyak apa
pun itu kini menjadi
tegang terbelalak melihat tiga
orang lelaki berusia rata-
rata sekitar empat puluh
tahun, sedang berhadapan
dengan lawan yang bertubuh
menjijikkan. Orang yang
bertubuh menjijikkan itu
mempunyai kulit dan daging
yang lunak, membusuk, dan
banyak belatung yang
sedang menggerogotinya.
Sebagian wajahnya telah
somplak akibat dimakan
kebusukan dan dibuat pesta
para belatung. Orang tersebut
tak lain adalah sesosok
mayat yang sudah lama terkubur
dan kini bangkit
kembali.
Pendekar Mabuk mengenali mayat
itu, sehingga ia
pun menjadi terkesiap di
tempat sambil menggumam
lirih pada dirinya sendiri.
"Mayat Resi
Dirgantara...?! Oh, ternyata mayat itu
masih bergentayangan akibat
dibangkitkan oleh si Ratu
Sangkar Mesum dulu?! Kusangka
mayat itu sudah
kembali ke kuburnya, ternyata
ia masih berkeliaran
dengan liar."
Peristiwa pertemuan Suto
Sinting dengan mayat Resi
Dirgantara terbayang kembali
dalam benak. Wajah
cantik jalang milik Ratu
Sangkar Mesum juga muncul
dalam ingatan Suto Sinting.
Hatinya tersengat rasa panas
ketika disadari bahwa wajah
cantik itu adalah wajah
orang yang menjadi musuh calon
istrinya; Gusti
Mahkota Sejati yang menjadi
ratu di Puri Gerbang
Surgawi alam nyata. Kala itu
si Ratu Sangkar Mesum
pergi meninggalkan Suto
Sinting dalam keadaan terluka.
Apakah sekarang masih terluka,
atau sudah sembuh, atau
justru sudah mati, Suto
Sintingtak pernah tahu. Ia hanya
bisa mengenang peristiwa
sebulan yang lalu itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Kipas Dewi
Murka").
"Kini mayat itu menyerang
tiga lelaki berwajah
angker," kata hati Suto
Sinting mengalihkan pikirannya.
"Siapa ketiga leiaki
berwajah angker itu? Gerak-
geriknya menimbulkan kesan
bahwa mereka dari aliran
hitam atau... ah, yang jelas
mereka tampaknya bukan
orang baik-baik. Tak layak aku
turut membantu mereka.
Biarlah mereka selesaikan
sendiri urusan mereka dengan
mayat Resi Dirgantara. Tapi...
oh, siapa yang
bersembunyi di balik pohon
seberang itu? Bocah
kecil...?! Oh, ya... bocah
kecil! Anak siapa dia? Mengapa
berani mengintai di balik
pohon? Apakah dia tidak takut
dengan mayat Resi Dirgantara?
Setidaknya ia akan jijik
melihat keadaan mayat busuk
berbelatung begitu!"
Pandangan mata Suto Sinting
beralih kembali ke
pertarungan. Mayat Resi
Dirgantara dikurung tiga orang
berwajah angker. Namun mayat
hidup dengan biji
matanya putih semua itu tidak
melarikan diri. Ia justru
tampak buas, mengangkat kedua
tangannya yang
berkuku panjang dan runcing
itu, lalu mengeluarkan
suara serak yang susah
dimengerti.
"Kkkkraaahhkk...! Ggrrr,
kkrrraakkhg...!"
Salah seorang menyerangnya
dengan sebilah golok
dari belakang. Orang itu
melesat dalam satu lompatan
tak seberapa tinggi, kemudian
goloknya ditebaskan ke
pundak si mayat hidup.
Wuuut...! Tapi gerakan mayat
hidup lebih cepat saat
membaiikkan badan. Weet...!
Kemudian ketika golok itu
menebas turun, ia menangkap
dengan tangan kirinya.
Zraaab...! Ia tak peduli telapak
tangannya terluka karena
ketajaman goiok yang
ditangkap.
Namun tangan kirinya segera
berkelebat mencakar
tubuh lawannya dengan gerakan
dari bawah ke atas.
Wuuut...! Brreeet...!
"Aaaaahg...!" orang
itu memekik dengan wajah
menyeringai. Perut hingga
bagian dada robek parah
akibat cabikan kuku runcing si
mayat hidup. Tangan
mayat tak mau melepaskan goiok
orang itu, dan si
pemilik goiok sendiri tak mau
melepaskan senjatanya.
Maka, cabikan cakar yang kedua
terjadi dengan cukup
mengenaskan.
Wuuut...! Breeeett...!
"Aaaauh...!" orang
itu memekik karena wajahnya
menjadi rusak bagai disabet
lima mata pisau runcing
yang amat tajam. Dan robekan
ketiga tepat kenai leher
orang tersebut. Jrrub,
breeettt...!
"Heeggrr...!" tentu
saja orang tersebut tak bisa
berteriak lagi. Ia segera
tumbang sebelum kedua
temannya maju menyerang.
Rupanya mayat itu tahu apakah
lawannya masih
hidup atau hanya pingsan saja.
Ia melepaskan lawannya
yang sudah tidak bernapas itu,
lalu segera menghadapi
kedua penyerangnya yang datang
dari arah belakang.
Wuuut...! Dalam satu putaran
gerak, tangan si mayat
berkelebat dari samping bawah
ke samping atas.
Gerakan tangan itu timbulkan
sinar merah panjang bagai
lidah api yang segera
menyambar dua orang itu.
Claaaap...!
Crraasss...! Lidah api dari
sinar merah kenai tubuh
kedua lawan dalam sekali
serang. Akibatnya, tubuh
kedua orang itu kepulkan asap
putih dalam keadaan
diam tertegun di tempat. Kejap
berikutnya, ketika
mereka masih saling heran,
tiba-tiba asap menjadi tebal
dan nyala api pun datang.
Dalam waktu singkat
keduanya segera terbungkus api
sekujur tubuhnya.
Wuuusss...!
"Aaaaow...!"
"Auuuh.... Panas, panas,
panaaas...!" Keduanya saling
berjingkrak-jingkrak dalam
upayanya memadamkan api,
tapi api yang membungkus tubuh
mereka tak mau padam
juga. Keduanya segera
berguling-guling namun api tak
mau padam, sehingga akhirnya
mereka meraung-raung
dengan suara keras, dan
akhirnya mereka diam tak
berkutik dalam keadaan mati
hangus menjadi arang
tanpa serat daging maupun sisa
pakaian mereka.
"Ganas sekali mayat
itu?!" pikir Suto Sinting dengan
sedikit cemas kepada bocah
yang sedang mengintip dari
balik pohon. Si bocah tampak
masih tertarik dengan
adegan itu, sehingga ia masih
berada di tempatnya.
Mayat hidup mendiang Resi
Dirgantara mengerang
berkali-kali sambil bola matanya
yang putih polos itu
bergerak ke sana-sini.
Akhirnya mayat itu melangkah
gontai mendekati bocah kecil
di balik pohon. Pendekar
Mabuk tersentak kaget, lalu
segera gunakan jurus 'Gerak
Siluman' untuk selamatkan
bocah tersebut.
Zlaaap...!
Tiba di balik pohon, Pendekar
Mabuk terperanjat
kembali, karena bocah yang
bersembunyi itu ternyata
adalah gadis kecil berambut
cekak warna pirang, seperti
rambut jagung. Bocah itu pun
terkejut melihat kehadiran
Suto Sinting hingga terpekik
dan segera melarikan diri.
"Hei, tunggu...!"
seru Suto Sinting dengan cemas,
karena bocah itu berlari ke
arah datangnya mayat Resi
Dirgantara, ia tak sadar bahwa
pelariannya itu membuat
si mayat hidup diam di tempat
bagaikan menghadang
mangsa datang.
Ketika bocah itu tidak
menengok ke belakang lagi, ia
terpekik kaget melihat mayat
hidup sudah ada di
depannya dalam jaraktiga
langkah.
"Aaaa...!"
jeritannya cukup lengking dengan kedua
bola matanya yang bundar mirip
kelereng itu terbelalak
lebar.
"Kkkrraahk...!"
mayat tersebut menyeringai
menampakkan mulutnya yang
berbibir somplak,
sebagian belatung tersembur
keluar dari mulut itu.
Kedua tangan si mayat
merenggang hendak menyambar
gadis kecil berusia sekitar
tujuh tahun itu.
Pendekar Mabuk cepat-cepat
bergerak menerjang
mayat itu dengan bumbung tuak
dihantamkan dalam
sekelebat. Zlaaap...!
Wuuuut...!
Brrrruuss...!
Mayat hidup itu terlempar
akibat hantaman bumbung
tuak. Belatungnya menyebar ke
mana-mana, ia jatuh
terpuruk bagai seonggok daging
busuk. Namun hal itu
tidak membuat si mayat hidup
terpuruk selamanya, ia
mulai bangkit perlahan-lahan,
padahal biasanya orang
yang terkena hantaman bumbung
tuak itu akan menjadi
lumpuh atau hancur tulangnya
dan tak berdaya lagi.
Agaknya mayat Resi Dirgantara
sukar mengalami
kematian yang kedua, karena kekuatan
gaib Ratu
Sangkar Mesum yang dipakai
membangkitkan mayat itu
telah membuat kesaktian Resi
Dirgantara bekerja
kembali.
"Bahaya...!" geram
Suto Sinting saat memandangi
mayat yang muiai bergerak
hendak bangkit itu. "Gadis
kecil itu yang harus kuselamatkan
lebih dulu!" pikirnya.
Tapi ketika ia berpaling
memandang si gadis kecil,
tiba-tiba gadis itu sentakkan
kaki dan melompat pergi.
Gadis kecil itu bergerak
dengan lincah, bersalto dua kali
di udara secara cepat. Wuuut,
wuuut...! Kakinya
menjejak batang pohon dan
bersalto kembali ke
belakang, lalu ia
berpiak-piak, jungkir balik dengan
menggunakan kedua tangannya
untuk bertumpu di
tanah. Wes, wes, wes, wes...!
Wuuut...! Gadis itu tiba-tiba
sudah berada di atas
pohon, berdiri pada sebuah
dahan. Kemudian sentakan
kakinya membuat tubuh kecil
itu melesat dari pohon ke
pohon, melayang di udara dalam
gerakan jungkir balik
beberapa kali, kemudian
menerabas dedaunan pohon dan
melesat pergi entah ke mana.
Pendekar Mabuk dibuat terpaku
dan terbengong di
tempat.
"Edan gadis kecil itu!
Gerakannya cepat sekali seperti
anak menjangan. Aku harus
memburu bocah itu dan
ingin mengetahui siapa dia
sebenarnya!"
Rasa penasaran Suto Sinting
membuatnya berkelebat
tinggalkan mayat Resi
Dirgantara yang sudah mulai
bangkit lagi itu. Zlaaap...!
Gadis kecil yang lincah dan
luar biasa gesitnya itu
menjadi bahan buruan Suto
Sinting. Agaknya gadis kecil
berpakaian rompi kulit
binatang berbulu hitam dan
putih dengan celana
pendeknya juga terbuat dari
kulit binatang warna coklat
rusa itu lebih menarik untuk
diburu ketimbang gadis
cantik Kejora.
Pendekar Mabuk hampir saja
salah arah. Untung ia
melihat gadis itu berlari
biasa di sela-sela pepohonan.
Pendekar Mabuk pun segera
membelokkan arahnya, ia
sengaja menguntit gadis kecil
yang mengenakan kalung
tali hitam dengan bandul batu
merah delima sebesar
kacang tanah. Lompatan demi
lompatan yang dilakukan
oleh si gadis kecil sangat
menarik perhatian dan
membuat hati Suto Sinting
terkagum-kagum. Satu
lompatan menghasilkan jarak
yang panjang, yang tidak
bisa dilakukan oleh orang
dewasa tak berilmu. Suto
Sinting tersenyum girang
memperhatikan gadis kecil itu
melompat-lompat dalam larinya.
"Benar-benar mirip anak
menjangan mencari
induknya," gumam hati
Suto Sinting sambii geleng-
geleng kepala. Rasa suka
terhadap gadis kecil itu
membuat Pendekar Mabuk tak mau
hanya sekadar
menguntit dan memperhatikan
dari tempat tersembunyi,
maka ia pun segera berkelebat
menyusul gadis kecil itu,
lalu menghadang si gadis kecil
dengan lebih dulu
bersembunyi di balik pohon.
Ketika gadis kecil itu
hendak melintasi jalan di
depannya, Suto Sinting segera
muncul dengan gerakan cepat,
tahu-tahu ada di depan si
gadis.
"Aaahh...?!" gadis
kecil itu terpekik kaget. Matanya
yang bundar indah mendelik
dengan mulut ternganga, ia
segera berbalik arah dan
melesat pergi kembali ke arah
semula. Namun Suto Sinting
segera menyambar lengan
si gadis kecil itu. Wuuuut...!
"Lepaskan aku...!
Lepaskan aku...!" teriak si gadis
dengan meronta-ronta.
"Jangan takut, Gadis
Kecil! Aku bukan orang jahat!
Ada yang ingin kutanyakan
padamu, Dik!"
"Tidak mau! Aku tidak mau
menjawab! Lepaskan
akuuu...!" gadis itu
ingin menangis karena jengkel tak
bisa meronta lepas dari
genggaman Suto Sinting.
Sedangkan pemuda ganteng itu
justru tertawa-tawa
kegirangan melihat gadis kecil
itu ingin menangis dan
berwajah cemberut.
"Lepaskan aku...! Aku
tidak mau diperkosa!
Lepaskan...!"
"Husy! Siapa yang mau
memperkosamu! Kau masih
kecil dan tak pantas untuk
menerima perlakuan sehina
itu, Dik!"
Gadis itu akhirnya hentikan gerakannya,
ia
memandang Suto Sinting dengan
sikap ketus dan
berlagak angkuh.
"Mau apa kau memegangi
tanganku?!"
"Aku ingin kenal
denganmu," Suto Sinting
melepaskan genggamannya.
"Hmmm...!" gadis
kecil itu buang muka dengan
mencibir. Lagaknya bagai orang
dewasa yang angkuh
terhadap seorang lelaki. Ia
berkata tanpa memandang
Suto Sinting.
"Apa perlunya berkenalan
denganku? Aku masih
kecil, belum pantas menjadi
istrimu!"
Suto Sinting justru tertawa
geli. Si gadis kecil melirik
sinis, membuat Suto Sinting
kian gemas dan kegelian
memandang lagak tengil itu.
"Kalau kau mau cari
seorang kekasih atau calon istri,
carilah kakakku!"
"Oh, kau punya
kakak?!"
Gadis kecil itu pandangi Suto
Sinting dengan dagu
terangkat sedikit, kedua
tangannya bersedekap di dada.
"Hmmm... boleh
juga."
"Apanya yang boleh,
Dik?"
"Ketampananmu boleh
juga!"
"Gila! Kecil-kecil sudah
bisa menilai ketampanan
seorang lelaki?!" ucap
Suto bagai ditujukan pada diri
sendiri, tapi si gadis kecil
menyahutnya.
"Apa sulitnya membedakan
pria tampan dan pria
berwajah kusut?!"
Suto Sinting tertawa dengan
suara rendah. Gadis kecil
itu agaknya mempunyai jalan
pikiran dan kecerdasan
menyamai gadis tujuh belas
tahun. Bibirnya yang kecil,
mungil, tipis, menandakan
sebagai bibir gadis yang
cerewet dan pandai bicara.
"Siapa yang mengajarmu
membedakan pria tampan
dan pria kusut?" pancing
Suto sambil membungkuk agar
berhadapan wajah.
"Kakakku," jawabnya
singkat bernada ketus, seakan
membanggakan kakaknya.
Kemudian ia bertanya,
"Apakah kau orang Candi
Bangkai?!"
"Bukan," jawab Suto
Sinting dengan kerutkan
dahinya, merasa aneh mendengar
pertanyaan gadis
sekecil itu yang
menyebut-nyebut nama Candi Bangkai.
Tapi sebelum Suto bicara,
ternyata gadis kecil itu sudah
lebih dulu perdengarkan
suaranya yang kecil dan lucu.
"Kakakku bilang, pria
yang tampan itu berwajah
bersih dan enak dipandang,
contohnya seperti kau! Tapi
kalau pria yang kusut itu
wajahnya sulit dipandang dan
tak bisa dinikmati
keindahannya, contohnya seperti tiga
orangyangmengejarku
tadi."
"Tiga orang yang mana?"
Suto Sinting berkerut dahi.
"Yang tadi..., yang
akhirnya dibunuh oleh manusia
busuk itu!"
"O, jadi kau
dikejar-kejar oleh tiga orang yang mati
dibunuh mayat hidup
itu?!"
"He, eh!" jawab si
kecil dengan wajah bersungut-
sungut. "Orang-orang
Candi Bangkai memang beraninya
hanya sama anak kecil!"
Makin tajam kerutan dahi Suto
Sinting dalam
memandang si gadis kecil itu.
Hatinya berkata, "Jadi tiga
orang berwajah angker tadi
adalah orang-orang Candi
Bangkai; anak buah si Raja
iblis itu?! Hmmm... kalau
begitu nasib gadis kecil ini
sama dengan nasib si Kejora.
Lalu, untuk apa orang-orang
Candi Bangkai mengejar
anak sekecil ini?!"
Gadis kecil yang memakai
giwang merah delima
sebesar merica itu berkata
bagai bicara pada diri sendiri.
Wajah manisnya bersungut-sungut
membuat bibir
kecilnya itu meruncing lucu.
"Sayang aku tak bisa
melawan mereka. Kalau aku
punya kesaktian tinggi, akan
kutumbangkan si Raja iblis;
Barakoak itu! Akan kugulung
habis orang-orang Candi
Bangkai!"
Ia memandang Suto Sinting dan
menyambung kata,
"Mungkin saat ini kakakku
sudah tertangkap oleh
mereka."
"Apakah kakakmu juga
dikejar-kejar oleh mereka?!"
Gadis kecil itu mengangguk.
Sorot matanya mulai
tampak sedih.
"Siapa kakakmu
itu?!"
"Kejora!" jawabnya
singkat, menyentak halus hati
Suto Sinting.
"Pantas, ternyata dia
adik si Kejora," gumam Suto
Sinting dalam hatinya.
Gadis itu mengalihkan pandang
sebentar sambil
berkata, "Jika Kejora
tertangkap berarti aku tinggal
berdua dengan kakakku yang
sulung."
"O, kau masih punya kakak
lagi?"
"Dua kakakku sudah tewas
di tangan mereka.
Demikian pula dengan Ayah dan
ibuku, dibantai mereka
dalam satu malam. Tapi kakakku
yang sulung saat itu
sedang pergi bersama Kejora.
Jadi tidak ikut menjadi
korban pembantaian kaki tangan
Barakoak. Aku bisa lari
loloskan diri melalui jalan
belakang rumah. Sekarang
kami tinggal tiga saudara;
masih juga diburu-buru oleh
Barakoak. Aku dan Kejora
mencari kakak sulungku
yang sedang menghubungi
sahabat Ayah untuk meminta
bantuan melawan orang-orang
Candi Bangkai. Sampai
sekarang kami belum berhasil
bertemu dengan kakak
sulungku. Aku dan Kejora
berpencar karena pengejaran
orang-orang jahat itu!"
"Tabah sekali ia
menuturkan cerita itu," kata Suto
Sinting dalam hati. "Ia
tampak tegar walaupun
menyimpan kesedihan atas
kematian keluarganya."
Gadis kecil itu tiba-tiba
berkata, "Kalau kau mau
membantuku, nanti kukenalkan
kepada kakak sulungku.
Akan kubujuk dia agar mau
menjadi kekasihmu."
Senyum mekar di bibir Pendekar
Mabuk berkesan
kaku; antara geli dan iba
terhadap nasib gadis kecil itu.
Namun ucapan itu tetap
ditanggapi dengan baik oleh
Pendekar Mabuk yang sudah
berdiri tegak sejak tadi,
karena si gadis naik ke atas
batu hingga ketinggian
mereka sejajar.
"Siapa nama kakakmu yang
sulung itu?"
"Hening," jawab si
gadis kecil dengan singkat tapi
jelas.
"Nama yang aneh,"
gumam Suto Sinting. "Lalu
namamu sendiri siapa?"
Gadis itu buang muka memandang
ke arah lain, "Aku
biasa dipanggil dengan nama:
Menik."
"Menik siapa?"
"Menik... Menikmati apa
adanya," jawab si gadis
dengan mengulum senyum
pertanda tidak sungguh-
sungguh menjawab. Namun nama
Menik adalah nama
yang sebenarnya dimiliki si
kecil tengil itu.
"Hening, kakakku itu,
cantik sekali. Pantas menjadi
istrimu. Kalau kau mau
membantuku, kau tak akan
kecewa mendapat hadiah berupa
seorang istri secantik
Hening," kata Menik
dengan nada bicara seperti orang
dewasa. Suto Sinting tertawa
sedikit keras, merasa
sedang dibujuk anak kecil agar
segera menikah dengan
seorang wanita pilihan si
kecil sendiri. Bagi Suto Sinting
kejadian ini adalah kejadian
yang lucu dan menggelikan
sekali.
"Kenapa tertawa saja?
Apakah kau tak punya
keberanian menikahi seorang
perempuan?!" sentak
Menik semakin sok tua, dan
Suto Sinting semakin tak
bisa menjawab karena tawanya
kian menjadi-jadi.
Tapi dalam hatinya pemuda
tampan itu bertanya-
tanya, "Seperti apakah
kecantikan gadis bernama Hening
itu, sehingga sang adik tampak
berkeinginan sekali
menjodohkan aku dengan
kakaknya? Aku jadi ingin
melihat kecantikan itu."
Pendekar Mabuk menjadi
penasaran sekali; ingin
melihat kecantikan kakak
sulung Menik. Tetapi gadis
kecil itu berkata,
"Kalau kau pernah melihat
kecantikan seorang ratu
dari Pulau Serindu yang
bergelar Gusti Mahkota Sejati,
maka kau berarti sudah pernah
melihat kecantikan kakak
sulungku."
Suto Sinting kaget bukan
kepalang. Gusti Mahkota
Sejati adalah gelar yang
dipakai Dyah Sariningrum,
calon istri Suto yang sudah
sering ditemuinya.
Perempuan itu memang seorang
ratu dari negeri Puri
Gerbang Surgawi yang ada di
Pulau Serindu. Tapi
apakah berarti kakak sulung
Menik itu adalah Dyah
Sariningrum juga?
*
* *
3
GADIS kecil yang berpotongan
seperti anak lelaki itu
segera membawa Suto Sinting
masuk ke sebuah gua tak
jauh dari tempat mereka
bertemu, ia menyuruh Suto
Sinting agar buru-buru masuk
ke gua dengan wajah
tegang.
"Cepatlah masuk kalau kau
tak ingin mati beku!"
Pendekar Mabuk heran mendengar
seruan itu. "Hari
sepanas ini kau bilang aku
akan mati beku? Apa
maksudmu, Menik?!" seru
Suto yang masih ada di luar
gua dengan tenang.
"Masuklah, nanti
kujelaskan apa maksud kata-kataku!
Cepat, cepat...!"
Dengan rasa ingin tahu,
akhirnya Pendekar Mabuk
menuruti keinginan si kecil
Menik, ia masuk ke gua
yang berlorong menjorok ke
bawah. Agaknya lorong gua
itu cukup panjang, sehingga
ketika mereka bicara
gemanya masih terdengar pada
saat mulut mereka telah
berhenti bicara.
"Kau ini senang bikin
ulah yang bukan-bukan
rupanya!" kata Suto
Sinting sambil perhatikan si gadis
yang memandang ke arah luar
dengan mata menegang.
"Sekarang aku sudah ada
di dalam gua mengikuti
saranmu. Jelaskan apa maksudmu
menarik-narikku dan
membawaku ke dalam gua
ini?!"
Baru saja Pendekar Mabuk
berhenti bicara, tiba-tiba
ia mendengar deru angin
kencang dari kejauhan. Angin
itu bagal suara lolongan
serigala yang mengalun
mendayu-dayu. Makin lama semakin
jelas, pertanda
semakin dekat pula hembusan
angin tersebut. Suto
Sinting menjadi bertambah
heran hingga mengerutkan
dahinya. Sementara itu, Menik
masih ada tak jauh dari
mulut gua dan memandang ke
arah luar dengantegang.
Hembusan angin kini
benar-benar terasa menerpa
alam sekitar gua itu. Cahaya
matahari yang terang
menjadi redup dalam waktu yang
amat singkat, bahkan
bisa dikatakan redup secara
tiba-tiba. Hawa dingin mulai
terasa membelai kulit lengan
Suto Sinting yang
mengenakan baju sebatas ketiak
itu. Udara dingin itu
semakin lama semakin menyerap
ke pori-pori kulit, dan
bertambah lama bertambah
terasa menembus ke tulang
belulang.
"Kita masuk ke tempat
yang lebih dalam!" ajak
Menik sambil menarik tangan
Suto Sinting. Mau tak
mau Pendekar Mabuk yang saat
itu seperti kambing
congek karena serba heran dan
bingung itu segera
mengikuti langkah Menik.
Mereka menuruni lorong
gelap yang berdinding iembab.
Hembusan udara dingin terasa
masuk ke gua dan
menerpa kulit tubuh mereka.
Dalam keadaan gelap,
Pendekar Mabuk hanya bisa
mengikuti langkah kaki
Menik yang berjalan lebih
dulu, berlari-lari kecil sambil
menuntun tangan Suto Sinting.
"Mau kau bawa ke mana aku
ini, Menik?"
"Menyelamatkan
diri!" jawab Menik. "Ikuti saja
langkahku, kau tak akan
terancam bahaya. Aku sudah
sering masuk ke gua ini.
Sepuluh langkah lagi dari sini
aku menyimpan sebatang obor
bambu pada dinding
kanan kita. Tapi aku tak punya
pematik untuk
menyalakan sumbunya!"
Pendekar Mabuk kurang tertarik
menanggapi kata-
kata itu, karena hatinya berkecamuk
sendiri tentang
udara dingin yang masuk ke gua
dan menerpa kulit
tubuhnya. Udara dingin dan
deru angin yang datang tadi
merupakan suatu keanehan yang
hampir-hampir tak
dipercayai oleh Suto Sinting.
"Angin dingin apa
sebenarnya yang berhembus di
luar gua itu?! Dari mana asal
datangnya angin yang
membawa uap dingin itu?!
Bagaimana gadis kecil ini
bisa mengetahui akan datang
angin dingin di tempat
sepanas tadi?!"
Semakin menyusuri lorong ke
dalam semakin tak
terasa hembusan angin dinding
itu. Kini yang dirasakan
oleh Suto Sinting adalah
kelembaban udara tanpa
desiran angin setajam tadi.
Sebatang obor telah dinyalakan
dengan menggunakan
gesekan bumbung tuak dengan
batu untuk mendapatkan
apinya. Kini lorong itu
menjadi terang, dan Menik
membawa Suto Sinting lebih ke
dalam lagi, hingga
mereka menemukan tempat lega
yang datar, langit-
langitnya tinggi dan di salah
satu sisinya terdapat
tumpukan jerami. Tumpukan
jerami itu agaknya pernah
dipakai tidur oleh seseorang.
Walaupun di situ terdapat
bongkahan batu gunung,
tapi jaraknya tak terlalu
rapat sehinga memungkinkan
seseorang untuk bergerak
leluasa di tempat itu.
"Aku sering bermalam di
sini!" kata Menik sambil
melompat dan duduk di atas
tumpukan jerami kering itu.
"Kau sering bermalam di
sini? Bersama siapa?"
"Kadang-kadang bersama
Kejora, kadang-kadang
sendirian. Aku tak pernah
bermalam di sini dengan
seorang lelaki."
Suto Sintingtertawa geli
mendengar kata-kata seperti
itu terlontar dari mulut gadis
kecil yang belum pantas
bicara tentang lelaki. Tapi agaknya
pembicaraan seperti
itu bukan hal aneh lagi bagi
Menik sendiri.
"Baru sekarang ada
seorang lelaki yang kubawa
masuk kemari, itu pun kalau
bukan karena terpaksa, aku
tak akan memberitahukan kepada
siapa pun tempat ini."
Suto Sinting manggut-manggut sambil
memandangi
keadaan sekeliling, seakan
memeriksa keamanan di
tempat itu. Gadis kecil yang
sok tua itu berkata lagi,
"Keadaan di sini
aman-aman saja! Jangan khawatir;
Naga Sokat sudah dibunuh oleh
kakakku; Hening."
"Naga Sokat...?!"
Suto buru-buru berpaling
memandang Menik. Gadis kecil
itu tersenyum kecil.
"Naga Sokat itu penunggu
gua ini. Beberapa waktu
yang lalu telah dibunuh oleh
kakak sulungku karena
sang Naga sering keluar dan
menelan korban penduduk
yang mencari kayu di sekitar
sini. Tapi telur naga masih
ada lima butir di kedalaman
sana."
"Hahh...?! Telur naga
masih ada di sana?!" Suto
Sinting terkejut. Gadis kecil
itu cekikikan sambil
melonjorkan kakinya dengan
santai.
"Kau ketakutan sekali,
ya?! Padahal aku tidak
bersungguh-sungguh. Aku hanya
bercanda dan menguji
keberanianmu. Telur naga itu
sudah kupecahkan
beberapa bulan yang lalu. Tak
ada anak naga di
dalamnya."
Pendekar Mabuk malu hati dan
salah tingkah sendiri
ditertawakan anak sekecil
Menik, ia tak mau
memandang anak itu untuk
menutupi rasa malunya, ia
mencoba melangkah mengitari
ruangan lebar tersebut,
sementara obor bambu yang
sebagai satu-satunya
penerang ruangan diletakkan di
atas sebuah batu setinggi
pundak Suto yang atasnya
terbelah sedikit.
"Kita istirahat di sini
dulu, nanti kita keluar lagi dan
aku akan tetap mencari kakak
sulungku. Namun lebih
dulu aku harus mencari
kepastian di mana Kejora
berada; tertangkap atau dalam
pelarian. Setahuku ia
dikejar-kejar oleh dua orang
Candi Bangkai yang
kukenal bernama Cingur Barong
dan Rujak Gada."
"Mereka sudah masuk ke
jurang!" kata Suto Sinting
sambil melangkah mendekati
tumpukan jerami kering.
"Siapa yang masuk ke
jurang? Kakakku?!" gadis
kecil itu menegang cemas.
"Cingur Barong dan Rujak
Gada terlempar ke jurang
saat melawanku."
"Ooh...?! Jadi kau berani
melawan dua orang ganas
itu?"
"Kalau bukan karena
melindungi Kejora, aku tidak
akan bentrok dengan Cingur
Barong dan Rujak Gada."
"Kau...?!" Menik
bangkit berdiri di atas jerami.
"Benarkah kau sudah
bertemu dengan Kejora?"
"Berpakaian kuning dan
mengenakan kalung
berbandul batu biru,
bukan?!"
"Ah, benar!" sambil
jarinya menjentik sok tahu.
"Berarti kau memang sudah
bertemu Kejora!"
Namun tiba-tiba sekeping logam
melesat menuju ke
dadanya. Menik terperanjat
lalu melompat ke samping.
Lompatannya terlambat sedikit
dan lengan Menik
tergores benda tersebut.
Craaas...!
"Aaaauh...!"
pekiknya sambil menjatuhkan diri.
Pendekar Mabuk terkejut dan
segera memandang ke
arah datangnya benda itu. Dari
sebuah lorong yang
menjadi sambungan dari lorong
tempat mereka datang
tadi muncul seorang lelaki
berkepala botak. Rambutnya
tersisa di bagian tepi bawah
saja, itu pun bisa dihitung
jumlahnya. Lelaki itu bermata
lebar dengan kumis kecil
melengkung ke bawah.
"Ha, ha, ha, ha...!"
lelaki itu tertawa melihat Menik
jatuh dan merintih-rintih
memegangi lukanya.
"Akhirnya kau mati juga
gadis tengil! Kau tak akan
bisa lolos dari racun 'Gurun
Tandus' yang akan membuat
darahmu mengering dalam waktu
singkat! Ha, ha, ha,
ha...!"
"Menik...?!"
Pendekar Mabuk mendekati gadis kecil
itu dan berlutut memeriksa
lukanya. Ternyata luka itu
memancarkan warna merah bara
berpijar-pijar,
menandakan senjata rahasia
bergerigi itu memang
mempunyai racun berbahaya.
"Katamu di sini tak ada
orang lain kecuali kita?!
Mengapa orang itu ada di dalam
lorong?!"
"Aku tak tahu, dia masuk
sini sebelum kita datang.
Uuhgg...!" Menik
menyeringai semakin kuat. "Lakukan
sesuatu untuk mengusir si
Kelelawar Setan itu! Dia... dia
orangnya Barakoak!
Uuuhf...!"
Kelelawar Setan berseru kepada
Pendekar Mabuk,
"Hei, Anak muda tolol...!
Jangan coba-coba menolong
gadis itu. Dia keturunan iblis
yang perlu dilenyapkan!
He, he, he, he...!"
Pendekar Mabuk memandang
dengan mata tajam, ia
bangkit perlahan-lahan tanpa
sepatah kata pun.
Kelelawar Setan memperhatikan
dengan tawa yang
memuakkan hati Suto Sinting.
"Minggirlah kau, Anak
muda tolol! Aku akan
membawa gadis kecil itu ke
Candi Bangkai sebelum ia
menjadi mayat."
"Kau tak akan bisa
menyentuhnya lagi dengan cara
apa pun, Manusia Keji!"
geram Pendekar Mabuk tampak
menahan kemarahan. Napasnya
membuat batu di
depannya bergetar, karena jika
sedang marah begitu
maka napasnya akan berubah
menjadi senjata maut yang
bernama NapasTuak Setan.
"Kalau begitu kau pun
harus kutangkap dan
kuserahkan kepada Tuanku
Barakoak! Heeeaah...!"
Kelelawar Setan lepaskan
senjata rahasianya lagi ke
arah Suto Sinting. Weeesss...!
Dengan cekatan Suto
menghadangkan bumbung tuaknya
dan senjata itu kenai
bumbung tuak. Traaang...!
Suaranya seperti mengenai
logam baja.
Senjata itu berbalik arah dengan
gerakan lebih cepat
lagi. Ziiing...!
"Edan!" pekik
Kelelawar Setan yang terkejut melihat
senjatanya meluncur dengan
kecepatan lebih tinggi ke
arahnya, ia segera melompat
dalam satu hentakan.
Wuuuss...!
Tiba-tiba orang itu sudah
berada di langit-langit
dalam keadaan menggantung
seperti seekor kelelawar,
kedua kakinya menempel pada
langit-langit dan
tangannya melepaskan senjata
bergerigi lagi. Zeeb,
zeeeeb...!
Pendekar Mabuk segera berkelit
dengan lakukan
lompatan cepat untuk pindah
tempat Trak, trak...!
Senjata tersebut kenai batu
dinding gua. Kelelawar Setan
masih menempel di
langit-langit, ia ingin lakukan
serangan serupa lagi, tetapi
Suto Sinting segera kirimkan
sentilan 'Jari Guntur'-nya
yang bertenaga dalam cukup
besar itu. Tuuuus....!
Buuuhg...!
Tuuuus...!
Krraaak...!
"Aaaauh...!" jerit
Kelelawar Setan sambil melayang
jatuh karena mata kakinya yang
kiri remuk dihantam
tenaga dalam 'Jari Guntur'
itu. Sedangkan dadanya pun
terasa sesak karena terkena
jurus 'Jari Guntur' yang
pertama, ia melayang jatuh tak
bisa menjaga
keseimbangan badannya.
Bruuuk...!
"Aaaoow...!" ia
memekik lagi karena kepalanya
membentur batu runcing dan
batu itu menancap di
bagian pelipisnya. Crrusss...!
Suto Sinting hentikan sebentar
serangannya karena ia
melihat keadaan Menik semakin
parah. Sekujur
tubuhnya mulai tampak memerah
bagaikan kepiting
rebus.
"Menik...! Menik,
bertahanlah! Minum tuakku ini
beberapa teguk saja.
Minumlah...!"
Dengan bantuan Suto Sinting,
gadis kecil itu
meneguk tuak tersebut, ia tak
tahu kalau tuak itu adalah
tuak sakti yang mampu
menawarkan racun dan
mengobati luka apa pun,
sehingga Pendekar Mabuk
sering pula dijuluki orang
sebagai Tabib Darah Tuak.
Kelelawar Setan berhasil
mencabut batu runcing dari
kepalanya. Walau dalam keadaan
berlumur darah, ia
masih nekat lakukan serangan
kepada Suto Sinting.
"Bangsat kau, Jahanam!
Heeeeahh...!"
Suto Sinting cepat balikkan
badan ketika Kelelawar
Setan menyerang dengan
melepaskan tenaga dalamnya
bersinar kuning. Slaaap...!
Sinar kuning itu keluar dari
tengah telapak tangannya.
Bumbung tuak yang baru saja
selesai ditutup kembali
itu segera berkelebat
menghadang sinar kuning itu.
Akibatnya, sinar kuning itu
menghantam bumbung tuak
dan berbalik ke arah
pemiliknya dalam keadaan lebih
besar dan lebih cepat lagi.
Wuuusss...!
Zrruub...!
"Heeegh...!"
Kelelawar Setan mendelik ketika sinar
kuning yang berubah besar itu
menghantam telak
dadanya. Tubuh kurus
berpakaian hitam itu berubah
menjadi berasap kuning seperti
asap belerang. Kulit
kepalanya tampak
bergerak-gerak, urat-uratnya ingin
menjebol keluar dari balik
kulit. Tubuh itu bergetar yang
semakin lama semakin
terguncang-guncang karena
kerasnya getaran. Agaknya ia
tahu bahaya yang akan
melanda dirinya, maka
serta-merta ia berusaha melarikan
diri keluar dari gua tersebut.
"Hhgggrr... hhhgggeerr...
hhhgggrr...!"
Suara yang mirip gorila itu
semakin menjauh,
pertanda Kelelawar Setan
benar-benar meninggalkan
tempat itu. Si gadis kecil
yang sudah mulai sembuh
segera bangkit, ia pandangi
luka goresan di lengannya.
Ternyata luka itu telah
merapat kembali dan kulit
tersebut akhirnya mulus
seperti sediakala tanpa goresan
apa pun. Menik pun merasakan
tubuhnya menjadi lebih
segar dari sebelumnya.
"Boleh juga ilmumu!"
kata Menik sambil manggut-
manggut dalam senyum
kebanggaannya.
"Kelelawar Setan akan
mati sebelum tiba di Candi
Bangkai. Jurusnya itu tadi
kukenali sebagai jurus
penghancur jaringan tubuh
manusia, termasuk dapat
memutuskan seluruh urat yang
ada dalam tubuh."
"Agaknya kau banyak tahu
tentang jurus-jurus orang
Candi Bangkai."
"Karena cukup lama kami
berselisih dengan mereka.
Terutama sejak kakek dan nenek
buyut kami masih
hidup."
"O, jadi...," Suto
Sinting mendekat dengan membuka
tutup bumbung tuaknya.
".... Kalian bermusuhan dengan
Barakoak sejak semasa
leluhurmu masih hidup?"
"Benar! Barakoak ingin
menumpas habis aliran silat
keluarga Sabang Wirata."
"Siapa Sabang Wirata
itu?"
"Eyang buyut kami!"
jawab Menik dengan suara
kecilnya yang bening.
Pendekar Mabuk manggut-manggut
setelah mendapat
penjelasan singkat itu. Ia merenung
beberapa saat,
kemudian terdengar suara Menik
bicara lagi kepadanya.
"Sebaiknya kita keluar
sekarang juga. Kita pindah
tempat persembunyian?!"
"Pindah tempat
persembunyian?!" gumam Suto. "Jadi
kita di sini
bersembunyi?!"
"Kita bersembunyi dari
amukan si Badai Kutub."
"Badai Kutub?! Siapa si
Badai Kutub itu, Menik?!"
"Orang kepercayaan si
Raja Iblis itu! Biasanya kalau
Badai Kutub sudah turun
tangan, berarti Barakoak mulai
dibakar kemarahan. Dan agaknya
keluargakulah yang
dijadikan sasaran kemarahan si
Barakoak."
"Tapi... tapi dari mana
kau tahu kalau si Barakoak
sudah dibakar kemarahan? Dari
mana kau tahu kalau si
Badai Kutub sudah turun
tangan?!" tanya Pendekar
Mabuk dengan wajah penuh
keheranan. Gadis kecil yang
cerdas itutersenyum angkuh.
"Ternyata aku lebih sakti
darimu!" ujar si kecil
Menik. Suto Sinting hanya
tersipu-sipu sambil garuk-
garuk kepala. Ia pun membatin
kata,
"Barangkali Menik
mempunyai ilmu teropong jiwa.
Tapi anak sekecil dia apakah
benar punya ilmu teropong
jiwa? Padahal ilmu teropong
jiwa hanya dimiliki oleh
orang-orang yang sudah mampu
mengendalikan indera
keenamnya. Atau... aku sedang
ditipu oleh si mungil
yang cerdas itu?! Nyatanya
sebelum aku dan dia masuk
ke gua ini, tak ada orangyang
bernama Badai Kutub dan
menampakkan kemarahannya?! Ah,
kurasa si mungil
tengil ini memangpandai
membual!"
Pendekar Mabuk akhirnya
tertawa sendiri ketika ia
mengikuti saran Menik untuk
keluar dari dalam gua
tersebut.
4
ALANGKAH terkejutnya Pendekar
Mabuk begitu
tiba di mulut gua. Ia berhenti
lama sekali di situ sebelum
teruskan langkah keluar dari
gua tersebut. Wajah
tampannya kini mirip pemuda
tolol yang hanya bisa
terbengong-bengong tanpa bisa
ucapkan sepatah kata
pun. Sementara si kecil Menik
tampak tenang dan tak
kelihatan terheran-heran.
"Beginilah jika si Badai
Kutub turun tangan," kata si
kecil Menik setelah menarik
napas. Kedua tangannya
segera bersedekap di dada
bagai ingin memeluk
tubuhnya sendiri.
Pendekar Mabuk masih membisu
seribu kata dengan
mata tak mau berkedip. Tetapi
ia sempat menggumam
dalam hatinya,
"Pantas Menik memaksaku
masuk ke dalam gua ini!"
Lalu tanpa sadar kepalanya
manggut-manggut kecil.
Kini mata itu pun berkedip dan
mulut terkatup, ludah
diteguk untuk basahi
kerongkongannya yang kering
karena terlalu lama melongo. Pendekar
Mabuk benar-
benar tak pernah menduga
sedikit pun bahwa keadaan di
luar gua akan berubah menjadi
padang salju.
Rumput tak terlihat lagi
karena ketebalan salju yang
melapisi tanah. Pepohonan yang
semula berdaun hijau
kini berubah menjadi putih.
Bebatuan yang hitam pun
berselimut salju tebal dan
putih bagai gumpalan kapas.
Hutan itu berubah menjadi
hutan salju.
"Pantas sebelum aku
dibawa masuk kemari,
kurasakan hembusan angin yang
menderu itu membawa
udara dingin tak
sewajarnya," pikir Suto Sinting saat
memandangi alam sekelilingnya
yang berubah menjadi
serba putih itu. Ia merasa
berada di wilayah kutub utara,
walau sebenarnya ia belum
pernah pergi ke sana. Tapi
menurut cerita beberapa orang,
beginilah keadaan di
kutub utara; serba putih dan
alamnya dilapisi busa-busa
salju. Bahkan saat itu, mulut
gua pun sebagian dilapisi
oleh busa salju yang masih
menyebarkan hawa dingin
es.
"Rupanya kau sudah
mengenali tanda-tanda
kemarahan si Badai Kutub itu,
sehingga kau segera
membawaku masuk ke gua pada
saat cahaya matahari
masih terang benderang."
"Rumah kami sering
diserang salju seperti ini jika
Badai Kutub hendak datang
menemui ayahku," kata
Menik dengan sikap berdiri
seperti orang dewasa. "Jika
angin mulai terasa dingin pada
saat matahari bersinar
terang, itu berarti si Badai
Kutub mulai lancarkan
serangannya, ia ingin membuat
lawannya kedinginan,
kemudian ia akan menyerang
dengan mudah. Dalam
keadaan orang kedinginan dan
menggigil, gerakan orang
itu akan lamban dan kaku.
Kesempatan seperti itulah
yang dipakai oleh Badai Kutub
untuk menghajar
lawannya."
Sebelum mulut Suto Sinting
bergerak ingin ucapkan
kata, tiba-tiba terdengar
suara teriakan seseorang dari
tempat yang agak jauh. Suara
itu adalah suara seorang
wanita yang masih melekat
dalam ingatan si Pendekar
Mabuk.
"Tolooong...! Tolooong...
long, long, long, long...!"
"Kejora...?!"
Pendekar Mabuk tak sengaja
menyebutkan nama itu bersamaan
dengan Menik. Wajah
mereka menjadi tegang secara
serentak.
"Tolooong... long, long,
long...!"
"Suaranya ada di sebelah
timur!" kata Pendekar
Mabuk.
"Bukan. Suara aslinya ada
di barat," sanggah si kecil
Menik yang dianggap Suto sok
tahu.
"Ah, telingamu agak
rusak, Menik. Suara itu ada di
sebelah timur!"
"Tolooong... long, long,
long...!"
Menik berlari lebih dulu
dengan gerakan lincahnya,
bersalto dan plik-plak
beberapa kali tanpa pedulikan kaki
dan tangan sering terendam
busa salju. Pendekar Mabuk
berseru memanggil gadis kecil
itu.
"Menik, dia ada di
sebelah timur!"
"Yang kau dengar itu
pantulan gemanya! Kejora ada
di sebelah barat!" lalu
gadis itu teruskan langkahnya
menuju ke barat.
Suto Sinting termenung
sejenak. "Benar juga
pendapatnya! Pantulan gema
membuat Kejora seperti
ada di timur. Hmmm... kalau
begitu aku harus segera
menyusul Menik!"
Gadis kecil yang lincah itu
tiba-tiba lenyap dari
penglihatan Suto Sinting. Pada
saat Menik melompat ke
balik semak berlapis salju,
Suto masih bisa melihat
gerakan itu. Namun ketika
disusul, ternyata Menik tidak
kelihatan lagi. Suto Sinting
kehilangan arah, tak tahu ke
mana arah yang diambil oleh
Menik.
Sementara itu, seruan minta
tolong dari mulut
seorang wanita terdengar
kembali tanpa gema.
"Tolooong...!"
"Suara itu sangat
dekat?!" Pendekar Mabuk berpaling
ke arah kanan. Kemudian ia
bergegas mendekati
serumpun ilalang yang sebagian
besar sudah dilapisi
oleh busa-busa salju.
Pada saat itu seekor kelinci
meloncat-loncat karena
suara kaki Suto menginjak
salju yang dalamnya hampir
sebetis. Kelinci itu lari
ketakutan, namun akhirnya
terperosok jatuh ke lubang
yangtertutup busa-busa salju.
Tolooong...!"
Pendekar Mabuk tak jadi
menghiraukan kelinci itu,
karena suara Kejora semakin
jelas ada di depannya.
Maka ia pun berkelebat menuju
ke tempat datangnya
suara tersebut dengan tubuh
menggigil kedinginan.
Angin pun datang, berhembus
agak kencang
menerbangkan busa-busa salju.
Tubuh Suto Sinting
mulai dihinggapi busa-busa
salju, ia sempat menduga
akan datang kekuatan si Badai
Kutub untuk
menyergapnya, karena itu ia
mempercepat langkahnya
hingga tiba di tempat Kejora.
"Kejoraaa...?!" seru
Pendekar Mabuk sambil
memandang ke bawah. Ternyata
Kejora masuk ke dalam
sebuah sumur yang sudah
dipenuhi oleh busa salju.
Sumur itu agaknya sumur kering
yang sudah tidak
bermata air lagi. Tapi karena
banyak salju yang masuk
ke dalamnya maka tempat itu
menjadi basah dan seperti
berair.
"Tolonglah
akuuu...!" seru Kejora. "Aku terperosok
dan tak tahu bagaimana cara
keluarnya!" gadis itu bicara
dengan gemetar karena tubuhnya
menggigil. Tubuh itu
bagaikan dibungkus kapas,
karena busa-busa salju
menghujaninya, hingga
rambutnya yang lemas dan lurus
itu pun menjadi menggumpal
karena dibungkus salju.
"Bertahanlah sebentar,
aku akan mencari akar untuk
menarikmu!"
Pendekar Mabuk segera
mendapatkan akar gantung
yang menyerupai tali. Ia
memangkasnya dengan
menyentakkan akar itu hingga
putus. Akar-akar tersebut
disambung saling mengait
hingga menjadi panjang.
Kemudian akar itu dijulurkan
ke dalam sumur tersebut.
"Pegang erat-erat, aku
akan menarikmu, Kejora!"
Angin masih berhembus
menerbangkan busa-busa
salju. Rambut dan tubuh Suto
Sinting mulai banyak
dihinggapi busa-busa salju, ia
menggigil saat menarik
tubuh Kejora dari dalam sumur.
Tulang-tulangnya terasa
ngilu karena kedinginan yang
amat mencekam dan
nyaris membekukan darah itu.
Namun akhirnya gadis itu
berhasil diselamatkan dan naik
ke permukaan sumur.
"Kejora... kau tak
apa-apa?!" Suto Sinting segera
membantu Kejora untuk berdiri.
Napas gadis itu
terengah-engah.
"Aku lupa kalau di sini
banyak lubang bekas
penggalian harta karun yang
tak pernah ada itu. Aku
terperosok ke dalam lubang itu
sebelum datang angin
salju. Mulanya aku tak berani
berteriak meminta tolong
siapa pun, karena takut
didengar anak buah Barakoak
yang masih tersebar di
mana-mana ingin menangkapku.
Tapi lama-lama aku tak kuat
menahan dingin."
Untuk memberikan kehangatan
pada tubuh yang
menggigil dibungkus salju 1tu,
Pendekar Mabuk tak
segan-segan melepaskan bajunya
dan diselimutkan ke
tubuh Kejora dari belakang, ia
sendiri menjadi menggigil
hingga giginya gemeletak.
"Sial! Dinginnya kelewat
batas! Apakah aku harus
meminta kembali bajuku? Ah,
tak enak hati kalau
sampai begitu. Malu pada
Kejora. Sebaiknya kutenggak
tuak beberapa teguk sebagai
penghangat tubuhku."
Pendekar Mabuk segera membawa
Kejora ke gua
semula. Untuk mempercepat
langkah ia harus
menggendong Kejora dan
membawanya lari dengan
menggunakan 'Gerak
Siluman'-nya. Dalam beberapa
kejap saja ia sudah tiba di
gua itu dan membawa masuk
Kejora sampai ke tempat yang
mirip ruangan dan masih
diterangi nyala api obor.
"Hei, bagaimana mungkin
kau bisa membawaku
kemari? Bukankah gua ini
adalah gua tempat kebiasaan
adikku bermain?!"
"Apakah adikmu bernama
Menik?!"
"Ya, dia bernama Menik.
Apakah kau pernah jumpa
dengannya?"
Suto Sinting segera
menceritakan pertemuannya
dengan Menik dan
pertarungannya dengan Kelelawar
Setan di tempat itu.
"Ketika kami mendengar
suaramu, kami segera
mencari tempat di mana kau
berada. Tapi Menik hilang
dari pandanganku. Aku tak bisa
temukan dia. Mungkin
karena waktu itu aku segera
mendengar seruanmu, jadi
aku tak begitu punya waktu banyak
untuk mencarinya."
"Ooh... Menik? Di mana
kau sekarang, Adikku?!"
ucap Kejora dengan nada bicara
yang lemah dan wajah
sendu hampir menangis. Suto
Sinting menjadi bingung
jika gadis itu sampai
menangis. Karenanya ia segera
berkata kepada Kejora.
"Tetaplah di sini, aku
akan keluar mencari Menik.
Jangan ke mana-mana sebelum
aku datang kembali."
"Pasti dia terperosok di
salah satu lubang sepertiku
tadi."
"Kalau begitu aku akan
mencarinya di sekitar tempat
tadi! Tenanglah dan jangan
cemas, Menik pasti berhasil
kutemukan!" Suto Sinting
berusaha meyakinkan
kemampuannya agar Kejora tidak
begitu sedih.
Baru saja Suto Sinting tiba di
luar gua, tiba-tiba ia
dikejutkan oleh suara ledakan
yang membuat beberapa
busa salju berguguran dari
ketinggiannya.
Blegaaar...!
"Ada pertarungan di
sebelah timur?!" Ucapnya
menegang dalam hati. Pendekar
Mabuk bergegas ke
timur karena ia gemar
mengintip pertarungan. Tujuannya
mencari Menik sempat
dilupakan, ia lebih tertarik untuk
melihat dulu siapa yang
bertarung di sebelah timur itu.
Langkah Suto Sinting terhenti
sejenak karena ia
menemukan sesosok mayat
tergeletak dengan kepala
terbenam di tumpukan salju.
Mayat itu diperhatikan
sesaat, ternyata si Kelelawar
Setan telah tumbang tak
bernyawa. Keadaannya amat
mengerikan, di antaranya;
urat-urat dalam tubuhnya
menghambur keluar dalam
keadaan putus-putus, termasuk
usus dan bagian dalam
tubuh lainnya. Kematian yang
mengerikan itu pasti
akibat terkena jurusnya
sendiri yang bersinar kuning itu.
Suto Sinting sempat bergidik
menyaksikan keadaan
mayat Kelelawar Setan yang
mengerikan sekaligus
menjijikkan itu. Maka mayat
itu pun segera
ditinggalkan, hasratnya untuk
menyaksikan pertarungan
kian menggebu-gebu.
Ternyata di sana terjadi
pertarungan antara seorang
leiaki berjubah abu-abu dengan
celananya yang juga
warna abu-abu. Lelaki itu
berusia sekitar lima puluh
tahun lebih sedikit, tak
sampai enam puluh tahun.
Rambutnya masih hitam, namun
tipis dan panjangnya
sebatas punggung. Rambut itu
tidak diikat sehingga
meriap-riap tersapu angin yang
masih membawa
serpihan salju. Tubuh lelaki
itu kurus dan tampangnya
berkesan bengis. Mata cekung,
kumis melengkung, dagu
agak runcing dan ada bekas
codet di rahangkanannya.
Lelaki itu bertarung melawan
seorang wanita cantik
berjubah tipis warna ungu,
penutup dadanya yang
montok itu warna merah dengan
bintik-bintik putih
bening, pakaian bawahnya
berupa kain merah yang
mempunyai belahan empat
bagian. Bergerak sedikit saja
belahan itu tersingkap dan
menampakkan kulit pahanya
yang putih mulus dan sekal.
Perempuan yang usianya
sekitar dua puluh lima tahun
itu mempunyai pedang di
punggungnya dengan sarung
pedang dari logam kuning
seperti emas berukir, ia
memakai kalung rantai putih
dengan bandul batuan warna
hijau muda menyerupai,
batuan giok.
"Kau tidak akan bisa
lolos lagi, Dewi Hening!" geram
lelaki itu dengan mata
cekungnya memandang angker.
Pendekar Mabuk berkerut dahi,
"Ooo... rupanya gadis
cantik itu bernama Dewi
Hening? Apakah dia kakak
sulung Menik?! Hmmm...
wajahnya memang cantik dan
bentuk badannya menggiurkan,
tapi ia tidak mempunyai
kemiripan sama sekali dengan
Dyah Sariningrum!
Ngawur saja si kecil Menik
itu. Eh, tapi... dari mana dia
tahu Dyah Sariningrum? Apakah
keluarganya mengenal
calon istriku itu? Oh, aku
lupa menanyakannya pada
Menik."
Kecamuk hati Suto Sinting
terhenti karena tiba-tiba
lelaki berjubah abu-abu itu
lepaskan pukulan anehnya
berupa sinar berbentuk
bintang-bintang kecil yang
berhamburan menyerang Dewi
Hening. Sinar berbentuk
bintang-bintang itu berwarna
biru, tak jelas kehebatan
sinar itu, karena belum-belum
Dewi Hening telah
melawannya dengan sinar kuning
berbintik-bintik
bagaikan serbuk emas yang
keluar dari telapak
tangannya juga. Zrrruubb...!
Weerrsss...!
Kedua sinar itu bertemu di
pertengahan jarak, saling
bergulung-gulung menjadi suatu
gumpalan yang
akhirnya meledak di angkasa
dengan keluarkan asap
hitam membumbung tinggi ke
langit.
Blegaaar...!
Hentakan gelombang ledak itu
membuat Dewi
Hening terpental ke belakang
dan jatuh dalam keadaan
bersimpuh. Sementara itu,
lelaki berjubah abu-abu hanya
terpelanting beberapa langkah,
dan segera berpegangan
pada pohon hingga tak sampai
jatuh ketanah.
"Heeeaaat...!" orang
berjubah abu-abu itu melayang
bagaikan terbang. Kedua
tangannya terjulur ke depan.
Masing-masing tangan mempunyai
tiga jari yang
mengeras lurus. Dari tiga jari
itu keluar sinar-sinar
merah tanpa putus. Enam sinar
merah menghantam
tubuh Dewi Hening secara
bersamaan.
Zrrraab...!
Weeess...!
Zlaaaap...!
Sekelebat bayangan melintas di
depan Dewi Hening.
Enam sinar merah lurus tertahan
oleh sebuah benda yang
disilangkan mendatar di
permukaan dada. Zeeebbss...!
Enam sinar itu membaiik ke
arah semula dengan
lebih besar bentuknya dan
lebih cepat gerakannya.
Wooooss...!
Orang berjubah abu-abu itu
baru saja mau turun dari
gerakan melayangnya, ia
terperanjat meiihat sinarnya
kembali ke arahnya dalam
keadaan lebih besar, ia tak
dapat menghindari lagi,
akhirnya keenam sinar itu
menghantamnya tanpa bisa
ditangkis juga.
Syuuurrb...! Jegaaarrr...!
Ledakan dahsyat mengguncangkan
bumi, membuat
salju-saiju berguguran. Asap
hitam membubung tinggi
bersama serpihan tubuh lelaki
berjubah abu-abu yang
hancur karena ilmunya sendiri
yang dikembalikan itu.
Dan bayangan yang menghadang
di depan Dewi Hening
itu tak lain adalah Pendekar
Mabuk; Suto Sinting. Benda
yang dihantam keenam sinar
merah itu tak lain adalah
bumbung tuak sakti.
Sisa udara dingin masih terasa
menggigilkan
persendian. Busa-busa salju
sudah tidak turun lagi.
Namun cuaca masih redup,
matahari bagaikan
dibungkus oleh kabut yang
sulit diterobos oleh sinar
panasnya.
Pendekar Mabuk bergidik satu
kali saat berhadapan
dengan wanita cantik berambut
sanggul kecil sisanya
meriap dengan indah itu. Ia
menjadi salah tingkah saat
berhadap-hadapan dengan wanita
itu, karena keadaannya
masih bertelanjang dada.
"Sial! Aku tadi lupa
meminta bajuku yang dipakai
selimutan si Kejora. Terlalu
terburu-buru sampai
akhirnya aku keluar dari gua
tanpa baju lagi. Iiih... malu
juga jadinya, dia memandangi
dadaku dengan sorot
pandangan mata yang
angkuh-angkuh nakal," ucap Suto
Sinting dalam hatinya.
"Kaukah yang bernama Dewi
Hening?!" ujar Suto
Sinting menutupi rasa malu dan
kikuknya. Gadis
berjubah ungu itu hanya
anggukkan kepala. Senyumnya
hampir tak terlihat karena
begitu tipis namun berkesan
anggun.
"Aku sahabat adikmu,"
sambung Suto Sinting karena
Dewi Hening tak keluarkan kata
sepatah pun.
"Namaku... oh, ya...
adikmu belum tahu kalau namaku
Suto Sinting. Baru kepadamu
aku memperkenalkan
namaku."
Dewi Hening hanya memandang
dengan dahi sedikit
berkerut. Ada kesan bingung di
wajah cantik berhidung
kecil tapi mancung itu.
"Kau kakak sulung
Menik?"
Anggukan Dewi Hening
berulang-ulang dan tampak
memburu. Wajahnya sedikit
lebih ceria dari sebelumnya.
Tapi ia tak mau membuka mulut
sedikit pun, ia hanya
pamerkan bibirnya yang mungil
namun sepertinya terasa
legit untuk dinikmati itu.
"Aku juga bersahabat
dengan adikmu yang bernama
Kejora. Dia adikmu juga,
bukan?"
Kepala si cantik itu
manggut-manggut kembali. Suto
Sinting diam memandang
menunggu jawaban, namun
tak satu kata pun terlontar
dari mulut Dewi Hening.
Pemuda tampan berbadan kekar
dan gagah itu akhirnya
membatin,
"Jangan-jangan dia bisu?
Oh, sayang sekali kalau dia
benar-benar bisu.
Cantik-cantik kok tak bisa bersuara,
kasihan sekali. Tapi beruntung
kalau punya istri dia;
bagaimanapun tingkah suami tak
akan kena omelan."
Tiba-tiba gadis berkalung
batuan hijau sebesar petai
sayur itu menggerak-gerakkan
tangannya, memberi
isyarat agar Suto Sinting
mendekatinya. Dengan rasa
heran Suto Sinting akhirnya
menuruti keinginan gadis
itu. Ia mendekat, dan si gadis
juga mendekat ke arah
telinga Suto. Laluterdengar
suara bernada bisik ditelinga
Pendekar Mabuk.
"Sekarang di mana
mereka?"
Suto Sinting menarik kepala
dan memandang
sejenak. "Maksudmu, Menik
dan Kejora?!"
Dewi Hening anggukkan kepala
satu kali, menunggu
jawaban dari Suto Sinting yang
kala itu sedang
membatin, "Bisa ngomong
kok?! Kenapa dia tak mau
bersuara dan hanya mau
berbisik saja? Tapi, ooh...
bisikannya itu sungguh
menggoda hatiku, terasa
memancing hasratku untuk saling
bermesraan. Aduh,
jangan-jangan aku tak bisa
kendalikan godaan suara
yang membisik itu?"
Kecamuk batin Pendekar Mabuk
segera dihentikan
setelah ia melihat Dewi Hening
menghempaskan napas
dengan nada kesal. Rupanya ia
menunggu jawaban
dengan tak sabar. Maka Suto
Sinting pun segera berkata
kepadanya.
"Kejora ada di dalam gua
tak jauh dari sini.
Sedangkan Menik... Menik entah
ke mana. Saat aku
menolong Kejora, aku
kehilangan Menik. Dugaan
Kejora, Menik terperosok di
lubang-lubang mirip sumur
bekas penggalian harta karun,
di sebelah barat sana."
Dewi Hening memberi isyarat
lagi agar Suto Sinting
mendekat. Setelah pemuda
tampan itu mendekat, si
cantik itu berbisik di telinga
Suto Sinting.
"Aku akan pergi mencari
Menik. Katakan kepada
Kejora agar jangan ke mana-mana
supaya kami bisa
berkumpul. Aku tahu gua yang
kau maksud, pasti yang
biasa dipakai bermain si
bungsu; Menik."
"Ya, memang di sana
Kejora berada. Tapi tentang
Menik, biarlah aku yang
mencarinya. Kau saja yang
langsung temui Kejora di dalam
gua."
Dewi Hening memberi isyarat
lagi, Suto Sinting
mendekatkan telinga. Lalu
perempuan muda itu bicara
dalam bisikan,
"Tapi kau yakin bahwa
Menik tidak tertangkap
orang-orangnya Barakoak?"
"Aku hanya berharap hal
itu jangan terjadi pada diri
Menik," jawab Suto
Sinting setelah menarik diri. Dewi
Hening hembuskan napas pelan,
kemudian segera
berkelebat tinggalkan tempat.
Suto Sinting agak
bingung, tapi akhirnya
mengikuti langkah Dewi Hening
yang berlari dengan langkah
lebar-lebar bagaikan rusa
betina.
"Siapa lawanmu itu tadi,
Dewi Hening? Apakah ia
termasuk orangnya
Barakoak?!"
Sambil tetap melangkah, Dewi
Hening anggukkan
kepala. Suto Sinting
mengimbangi kecepatan langkah
kaki perempuan itu.
"Kudengar cerita dari
Menik bahwa kau sedang
menghubungi seorang sahabat
untuk meminta bantuan
guna melawan orang-orang Candi
Bangkai. Mana
sahabatmu itu?"
Langkah kaki dihentikan
sejenak. Dewi Hening
segera dekatkan diri dan
berbisik di telinga Suto Sinting.
"Dia sedangtidak ada di
tempat."
"O, jadi usahamu
gagal?"
"Kami harus bertahan
untuk sementara waktu, sampai
menunggu sahabatku itu pulang
dari kepergiannya,"
jawabnya seperti orang
berkasak-kusuk membicarakan
kejelekan tetangga. Suto
Sinting tersenyum geli sendiri
membayangkan hal itu.
Sebelum mereka teruskan
langkah, Dewi Hening
berbisik kembali ke telinga
Suto Sinting.
"Apakah kau Suto Sinting
yang bergelar Pendekar
Mabuk, murid si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang itu?!"
"Tak salah dugaanmu,
akulah orangnya!" jawab Suto
Sinting sedikit bangga karena
namanya dikenal secara
lengkap oleh gadis secantik
Dewi Hening.
Bisikan itu datang lagi kepada
Suto, "Kalau begitu
aku meminta bantuanmu untuk
menghadapi orang-orang
Candi Bangkai. Aku akan
memberikan sebuah hadiah
untukmu sebagai upah
bantuanmu. Apakah kau setuju?"
Pendekar Mabuk menarik kepala
sedikit,
memandangi Dewi Hening dalam
senyum keramahan
yang menawan, kemudian
menjawab pertanyaan
tersebut.
"Tanpa hadiah pun akan
kulakukan hal itu. Karena
tugasku adalah melindungi kaum
yang lemah,
menegakkan kebenaran dan
melawan kejahatan.
Sebaiknya kita jangan bicara
tentang upah atauhadiah."
"Terima kasih atas
kesediaanmu," bisiknya pelan, lalu
ia memandang dengan seulas
senyum yang sedikit lebih
lebar dari senyum tipisnya
yang pertama tadi. Sejenak
kemudian ia mendekati telinga Suto
Sinting dan berbisik
kembali,
"Hati-hatilah, Barakoak
sedang menyebar orang-
orangnya untuk menangkap kami.
Sudah hampir dua
bulan usaha penangkapan itu
mereka lakukan, namun
belum satu pun dari kami yang
berhasil ditangkap.
Orang yang memihak kami akan
menjadi musuh utama
bagi Barakoak. Jadi bersiaplah
juga menjadi musuh
Barakoak; si Raja Iblis
itu."
Suto Sinting hanya sunggingkan
senyum berkesan
meremehkan kekuatan Barakoak.
Namun akhirnya ia
tanyakan juga hal itu kepada
Dewi Hening.
"Apakah kekuatan Barakoak
cukup besar?!"
Dewi Hening anggukkan kepala.
Ia berbisik kembali
di telinga Suto Sinting,
"Anak buahnya cukup
banyak. Ilmunya pun sangat
tinggi."
"Apa alasan Barakoak
memusuhi keluargamu, Dewi
Hening?"
Pertanyaan itu baru mau
dijawab, tapi terpaksa
dibatalkan karena mereka
segera mendengar suara
seruan Menik di tempat jauh.
Suara itu menggema ke
mana-mana.
"Lepaskan akuuu...!
Lepaskaaaan...!"
*
* *
5
SEORANG lelaki agak gemuk
memanggul tubuh
Menik yang sudah tertotok
jalan darahnya. Dua orang
lelaki lainnya mengikuti dari
belakang, satu orang lelaki
kurus ada di depan sendiri
bagai pemandu jalan. Mereka
tak sadar bahwa di jalan yang
akan mereka lewati, dua
orang sedang menghadang di
balik pohon besar yang
masih terbungkus busa-busa
salju. Dua orang itu tak lain
adalah Suto Sinting dan Dewi
Hening.
Setelah tuak diteguk dua kali,
Suto Sinting menerima
bisikan dari perempuan cantik
yang tak pernah mau
bicara keras itu,
"Mereka telah menangkap
Menik."
"Apa mau mereka menangkap
anak seusia Menik?"
"Mereka akan membantai
habis keluargaku."
"Mengapa mereka ingin
membantai habis
keluargamu?!"
Bisikan dari Dewi Hening
terdengar bersama
hembusan napas yang
menggelitik di telinga dan
menciptakan debaran indah di
hati Pendekar Mabuk.
"Eyang buyutku dan eyang
buyutnya Barakoak
bermusuhan; saling berebut
kekuasaan. Ceritanya cukup
panjang, nanti akan kujelaskan
setelah Menik kita
selamatkan."
"Kalau begitu serahkan
mereka berempat padaku.
Jangan keluar dari
persembunyianmu."
"Tetapi si Badai Kutub
ada bersama mereka."
"Badai Kutub?! Oh, ya...
yang mana yang bernama
Badai Kutub?"
"Orang kurus yang
berjalan paling depan itu!"
Mata Suto Sinting menatap
orang kurus berambut
panjang warna putih perak
berjubah biru tua dengan
celananya yang berwarna hitam.
Orang itu bertubuh
jangkung, dan mempunyai
gerakan yang ringan.
Langkahnya hampir tak terlihat
menyentuh tanah, seperti
berjalan di permukaan lapisan
salju yang menutupi
tanah.
Sepuluh langkah sebelum mereka
mencapai tempat
penghadangan Suto Sinting dan
Dewi Hening, orang
bertongkat kepala babi itu
telah lenyap bagai ditelan
bumi. Tetapi ketiga orang
lainnya bagaikan tak peduli
dengan lenyapnya si Badai
Kutub. Mereka tetap berlari
membawa Menik. Sedangkan Suto
Sinting dan Dewi
Hening terperanjat dan menjadi
bingung melihat
lenyapnya si Badai Kutub.
"Ke mana perginya orang
itu?!" tanya Suto Sinting
dengan pelan, seakan ditujukan
pada diri sendiri. Dewi
Hening ingin berbisik memberi
jawaban, tetapi tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh suara
orang di belakang mereka.
"Aku di sini!"
Semakin terperanjat Suto
Sinting dan Dewi Hening
begitu menengok ke belakang,
ternyata Badai Kutub
sudah berdiri di sana dalam
jarak empat langkah.
Matanya yang cekung memandang
dengan dingin,
melebihi dinginnya busa-busa
salju di sekitar tempat itu.
Rambutnya yang putih perak
sepanjang punggung
tanpa ikat kepala apa pun
meriap-riap dihembus angin,
sebagian rambut menyilang di
wajahnya yang keras dan
bertulang pipi menonjol itu.
Pusat pandangan matanya
tertuju pada Dewi Hening,
seakan sedang mempengaruhi
wanita cantik itu dengan
kekuatan pada matanya.
Sebelum Suto Sinting melangkah
maju, Badai Kutub
perdengarkan suaranya yang
ditujukan kepada Dewi
Hening.
"Kalian tinggal bertiga.
Sebentar lagi kalian hanya
berdua jika si kecil itu sudah
dimusnahkan oleh
Barakoak. Hanya ada dua
pilihan yang harus kau ambil
salah satu; musnah semuanya
atau serahkan Panji-panji
Agung kepada kami!"
Kemudian mata yang memandang
dingin sekali itu
beralih kepada Suto Sinting.
"Jika kau ikut campur, kau
akan mati bersama gurumu; si
Gila Tuak dan Bidadari
Jalang!"
Dewi Hening tarik napas
dalam-dalam. Suto Sinting
menahan napas karena gurunya
ikut diancam yang sama
artinya menjadi bahan hinaan.
Namun sebelum satu
anggota tubuh mereka bergerak,
Badai Kutub lenyap
secara tiba-tiba. Laaap...!
Tahu-tahu ia muncul di
belakang mereka dan
perdengarkan suara datarnya,
"Keputusanmu hanya
sampai batas esok siang!"
Dewi Hening dan Suto Sinting
berbalik arah dengan
hati terperanjat. Ternyata si
Badai Kutub sudah berada
dalam jarak lima langkah dari
tempat mereka berdiri.
"Jika Panji-panji Agung
tak kau serahkan, gadis kecil
itu akan mati dan kalian pun
segera menyusul hancur!"
tambah si Badai Kutub.
Laaap...! Ia menghilang lagi
dalam satu gerakan yang
amat cepat, menyamai jurus
'Gerak Siluman'-nya
Pendekar Mabuk. Tahu-tahu ia
sudah ada di belakang
mereka lagi. Kemunculan itu
tak timbulkan suara apa
pun, sehingga ketika mereka
mencari dengan menengok
ke belakang, mereka temukan
orang itu sudah ada dalam
jarak empat langkah.
Namun pada saat itu tangan
kirinya telah berkelebat
seperti melemparkan sesuatu
kepada Dewi Hening.
Claaaap...!
Laaap...! Ia menghilang
kembali sebelum sinar hijau
bening yang dilemparkan itu
akhirnya menghantam
tubuh Dewi Hening, Rupanya
kali ini Badai Kutub
pindah di atas pohon. Berdiri
dengan tegak di salah satu
dahan dan memandang ke arah
Suto Sinting. Sedangkan
Suto Sinting dibuat bingung
karena Dewi Hening
mengejangkan tubuh dengan mata
terbeliak. Pori-pori
kulitnya mulai kepulkan asap
tipis. Dari atas pohon
segera terdengar suara Badai
Kutub yang sengaja bicara
kepada Pendekar Mabuk.
"Racun 'Sukma Beku' hanya
bisa ditahan sampai
malam tiba. Esok pagi jika
Panji-panji Agung tidak
diserahkan kepada kami, wanita
itu akan kehilangan
nyawa pada siang harinya.
Jangan coba-coba
menentangku, karena penawar
racun 'Sukma Beku' ada
padaku dan hanya
akuyangmempunyai penawarnya."
Laaap...! Badai Kutub lenyap
kembali setelah bicara
datar bagai orang tak
berperasaan sama sekali. Pendekar
Mabuk tak sempat memburunya
karena tubuh Dewi
Hening segera tumbang berdebam
ke tanah bersalju.
Buukh...!
Orang-orang yang membawa Menik
sudah tidak
kelihatan ke mana arah
kepergian mereka. Suto Sinting
merasa sia-sia mengejar
orang-orang itu, karena ia tak
mau buang-buang waktu
menghadapi Dewi Hening yang
terkena racun 'Sukma Beku'
itu. Tubuh Dewi Hening
bagaikan batu kerasnya. Tak
ada bagian tubuh yang
mampu ditekuk sedikit pun.
Sehelai rambutnya pun tak
mampu dilipat karena kakunya.
Tubuh yang membatu
itu benar-benar tidak
mempunyai bagian daging yang
empuk, semuanya serba keras
dan dingin sekali. Asap
yang mengepul dari pori-pori
kulit itu ternyata adalah
uap es yang membentuk busa
salju dan melapisi tubuh
Dewi Hening.
"Menik tak akan mati,
karena ia dijadikan sandera
oleh mereka sampai esok siang.
Sebaiknya kuselamatkan
dulu kakak sulungnya ini, baru
kususun rencana untuk
membebaskan Menik," pikir
Suto Sinting, lalu ia
mengangkat tubuh yang keras
dan dingin itu dan
membawanya pergi ke gua.
Kejora yang menunggu di dalam
gua terkejut melihat
Suto Sinting datang membawa
tubuh kakaknya yang tak
bisa bergerak sedikit pun itu.
Kejora menampakkan
kecemasan dan kebodohannya
dengan wajah tegang dan
gerakan menjadi panik.
Pendekar Mabuk meletakkan
tubuh itu di atas tumpukan
jerami.
"Hening...! Hening, kenapa
kau jadi seperti batu es?!
Hening, bicaralah
padaku!" Kejora mengguncang-
guncang tubuh kakaknya.
"Hening tak bisa bicara
karena ia terkena racun
'Sukma Beku' dari si Badai
Kutub."
"Racun 'Sukma Beku' itu
racun apa?"
"Racun berbahaya,"
jawab Pendekar Mabuk sambil
berpikir bagaimana cara
menyembuhkan Dewi Hening.
"Racun berbahaya itu bisa
membuat kakakku
bagaimana?"
"Ya, begini! Kau lihat
sendiri bagaimana keadaan
kakakmu sekarang."
"Beku, keras seperti
batu, badannya dingin dan
berbusa salju."
"Kalau sudah tahu jangan
tanya lagi," kata Suto
Sinting agak jengkel.
Tapi gadis berwajah lugu dan
polos itu justru ajukan
tanya kembali sambil memandang
ke arah Suto Sinting,
penuh dengan kesungguhan dari
rasa ingin tahunya.
"Mengapa racun itu bisa
bikin tubuh Dewi Hening
jadi keras begini?"
"Mana akutahu?! Pemilik
racunnya bukan aku!"
Kejora manggut-manggut kecil,
suara gumamnya
pelan sekali. Pandangan
matanya tertuju pada jasad sang
kakak yang tak bergerak-gerak
itu. Beberapa saat
kemudian ia bertanya lagi kepada
Suto Sinting.
"Mengapa kau temukah
kakakku, sedangkan yang
kau cari adalah adikku?"
Pendekar Mabuk menarik napas
mendengar
pertanyaan lugu itu. Memang
terasa jengkel dan
menyebalkan, tapi keluguan
Kejora memaksanya untuk
menjawab dengan sabar, ia pun segera
menceritakan
pertemuannya dengan Dewi
Hening dan nasib Menik
yangtelahtertangkap oleh pihak
Candi Bangkai
"Mengapa Menik
mautertangkap?"
"Siapa yang mau?!"
sergah Suto Sinting. "Kalau dia
tahu mau ditangkap dia tak
akan mau. Kalau dia bisa
loloskan diri dia akan
loloskan diri. Pertanyaanmu kok
aneh-aneh?!"
Kejora diam dan pandangi jasad
kakaknya dengan
wajah sedih yang berkesan
polos. Pendekar Mabuk
sempat membatin, "Gadis
yang satu ini ternyata lebih
bodoh dari adiknya; si Menik
itu. Tapi agaknya dia
membutuhkan orang yang sabar
untuk menjelaskan apa
pun yang ingin diketahuinya.
Hmmm... kasihan juga
keadaan otak Kejora. Cantik
wajahnya kalau bebal
otaknya bisa membuatnya
terhina di mata lelaki."
Kejora memandang Suto Sinting
yang sudah
mengenakan bajunya kembali,
"Kapan Menik
dibebaskan? Atau... atau Menik
akan dibunuh mereka?"
"Menik tidak akan dibunuh
oleh mereka jika pihakmu
bisa menyerahkah panji-panji
Agung yang menjadi
tuntutan mereka.!"
"Haaah...!" Kejora
mendesah jengkel. "Dari dulu
yang dituntut Panji-panji
Agung terus. Mengapa mereka
tidak menuntut minta beras
atau jagung saja?"
Gerutuan itu sempat membuat
Suto Sinting
tersenyum kecil. Pandangan
mata Suto Sintjng sempat
tertuju pada sebilah pisau di
pinggang Kejora. Pisau itu
panjangnya tiga jengkal dengan
sarung dan gagangnya
terbuat dari perak ukir. Di
ujung gagangnya ada batu
berwarna merah sebesar biji
salak, indah sekali pisau itu.
Dalam hati si murid Gila Tuak
bertanya-tanya,
"Itukah yang dimaksud
Panji-panji Agung?! Karena
tampaknya hanya pisau atau
pedang Dewi Hening itu
yang layak menjadi barang
incaran Barakoak."
Kejora ajukan tanya kembali,
"Kalau kita tidak bisa
serahkan Panji-panji Agung,
lantas sebagai gantinya kita
harus serahkan apa pada
mereka?"
"Nyawa," jawab
Pendekar Mabuk setelah itu menarik
napas dalam-dalam,
"Nyawa siapa yang kita
serahkan? Nyawanya domba
atau nyawanya ayam? Berapa
ekor ayam yang mereka
minta?"
Dengan menahan kesabaran Suto
Sinting menjawab,
"Kalau pihakmu tak bisa
menyerahkan Panji-panji
Agung, maka nyawamu, nyawa
kakakmu dan nyawa
adikmu itulah yang menjadi
penggantinya."
"Aku tidak mau,"
ujarnya dengan cemberut manja.
"Nyawaku hanya satu,
kalau kuserahkan pada mereka,
nanti aku bisa mati."
"Ya, pasti mati!"
kata Suto Sinting bernada jengkel,
namun dalam hati ia segera
tertawa geli menyadari
kebodohan Kejora yangpolos
itu.
Kejora merenung dan bicara
sendiri, "Barakoak
memang serakah, sudah punya
nyawa masih
menginginkan nyawa orang lain.
Apakah aku harus
menyerahkan nyawaku supaya
Menik tetap hidup?"
Pendekar Mabuk tersenyum geli
mendengar keluhan
gadis kecil lugu itu.
Pikirannya segera kembali pada
keadaan Dewi Hening, ia belum
tahu bagaimana harus
menolong perempuan cantik itu.
Dalam keadaan kaku,
mulut Dewi Hening tak bisa
dibuka dengan paksa.
Berarti tak ada tuak yang bisa
dimasukkan ke dalam
mulut Dewi Hening. Padahal
jika tuaknya bisa ditelan
Dewi Hening, maka pengaruh
racun 'Sukma Beku' akan
sirna dan keadaan Dewi Hening
akan sehat kembali.
"Sama saja membuka mulut
arca, tak akan mungkin
bisa dilakukan!" pikir
Suto Sinting setelah melakukan
percobaan membuka mulut Dewi
Hening yang ternyata
memang tidak bisa dilakukan
itu. Sementara busa-busa
salju masih terus bersumbulan
dan membungkus kulit
tubuh Dewi Hening.
Sambil berpikir mencari jalan
keluar untuk
menyelamatkan jiwa Dewi
Hening, Suto Sinting sempat
bertanya kepada Kejora, si
gadis lugu itu.
"Apakah kalian menyimpan
Panji-panji Agung?"
"Aku tidak tahu,"
jawab Kejora. "Menurut cerita
ibuku, keluarga kami memang
mempunyai Panji-panji
Agung."
"Ceritanya
bagaimana?" tanggap Suto Sinting dengan
rasa ingin tahu.
"Dulu, eyang buyut kami
mempunyai Panji-panji
Agung yang disebut juga
Panji-panji Dewa, atau ada
yang menyebutnya Panji-panji
Mayat. Karena jika Panji-
panji itu dibawa melewati
kuburan, maka orang-orang
yang telah mati itu akan
bangkit lagi terkena kekuatan
gaib dari panji-panji
tersebut."
Dahi si tampan Suto berkerut
sebentar, mulutnya
menggumamkan kata lirih,
"Sepertinya aku pernah
mendengar nama Panji-panji
Mayat. Kapan dan di mana
aku mendengarnya?!"
Kejora teruskan penjelasan
yang berupa rangkaian
cerita dalam penuturan apa
adanya. Pendekar Mabuk
segera menyimak kembali
penuturan itu.
"Menurut cerita Nenek,
ibu dari ayahku, bahwa
Eyang Kurupati selalu bentrok
dengan Eyang Sabang
Wirata memperebutkanPanji-panji
Agung..."
"Eyang Kurupati itu
siapa?" potong Suto Sinting.
"Eyang Kurupati itu
leluhurnya Barakoak, saudara tiri
dari Eyang Sabang Wirata,
leluhur kami," jawab Kejora
dengan wajah lugu tanpa rasa
bangga sedikit pun.
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dalam gumam yang
lirih. Kejora pun menyambung
ceritanya lagi.
"Menurut cerita Nenek,
Eyang Sabang Wirata selalu
mempertahankan Panji-panji
Agung yang akan
diwariskan kepada darah
keturunannya. Sebab, menurut
cerita Nenek, barang siapa
yang mempunyai Panji-panji
Agung, maka ia akan mempunyai
keturunan panjang dan
aliran silatnya akan
berkembang terus dari masa ke
masa.!"
"Panji-panji Agung itu
milik siapa sebenarnya?"
"Mana aku tahu, waktu itu
aku belum lahir," jawab
Kejora dengan polosnya. "Tapi
menurut cerita Nenek,
Panji-panji Agung itu warisan
dari guru Eyang Wirata
dan Eyang Kurupati.
Panji-panji itu sebuah pusaka yang
mempunyai pengaruh gaib
seperti yang kusebutkan tadi.
Karena itu, pihak keturunan
Eyang Kurupati ingin sekali
memiliki Panji-panji Agung
supaya aliran silatnya
berkembang turun-temurun.
Karena sepeninggalan guru
mereka, Eyang Kurupati dan
Eyang Sabang Wirata
bermusuhan, ingin menjadi
penguasa tunggal atas aliran
silat yang mereka miliki.
Eyang Kurupati menghendaki
aliran silat Eyang Sabang
Wirata hancur, hingga yang
ada hanyalah aliran silat
Kurupati."
"Pantas mereka mencoba
membantai seluruh
keluargamu. Apakah keturunan
dari Eyang Sabang
Wirata tinggal keluargamu
saja?"
"Menurut cerita Nenek,
ayahku mempunyai dua
orang adik. Tetapi keluarga
dari kedua adik ayahku
sudah dibunuh sampai habis
oleh Barakoak. Sekarang
tinggal keluargaku yang
menjadi sisa keturunan Eyang
Sabang Wirata. Dan Barakoak
adalah keturunan terakhir
dari Eyang Kurupati. Barakoak
tidak mempunyai
saudara lagi, sebab ia lahir
sebagai anak tunggal dan
seorang ibu yang bersuamikan
raksasa."
"Hahh...? Bersuami
raksasa?!",Suto Sinting kaget.
"Menurut cerita nenek,
ibunya Barakoak pernah
menjadi istri seorang titisan
raksasa yang bernama
Gandapura..."
"Gandapura?!" Suto
Sinting terkejut kembali. "Aku
pernah mengenal nama
Gandapura?" pikirnya sambil
membayangkan beberapa
peristiwa yang melibatkan
nama Gandapura, manusia
pemakan daging orang yang
menjadi titisan raksasa itu
adalah penguasa Pantai Ajal,
(Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode :
"Pertarungan Tanpa
Ajal"). Tetapi Gandapura akhirnya
mati di tangan tokoh tua yang
bernama Tua Bangka,
(Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Manusia
Pemusnah Raga").
Suto Sinting membatin,
"Agak susah membedakan
mana yang benar; ibunya
Barakoak pernah menjadi istri
Gandapura atau pernah melayani
Gandapura sampai
akhirnya hamil dan mempunyai
anak Barakoak?"
"Tunggu sebentar,"
ujar Pendekar Mabuk. "Jika benar
Barakoak anak dari Gandapura,
mengapa ia tidak minta
bantuan Gandapura untuk
merebut Panji-panji Agung
itu?"
"Menurut cerita Nenek,
Barakoak tidak diakui
sebagai anak Gandapura dan ia
tidak mewarisi ilmu apa-
apa dari Gandapura."
"Ooo... begitu?!"
Pendekar Mabuk manggut-
manggut. "Berarti ibunya
Barakoak itu bukan asli
istrinya Gandapura. Mungkin
memang pernah melayani
Gandapura dan akhirnya hamil,
sedangkan Gandapura
hanya sekadar mencari pemuas
gairah saja."
"Menjadi pelayan kok bisa
hamil? Memangnya
diapakan kok bisa jadi
hamil?"
"Melayani itu bukan
berarti menjadi pelayan atau
pesuruh, tapi tidur bersama
Gandapura!"
"Tidur kok bisa hamil?
Aku setiap malam tidur tapi
tidak hamil-hamil?"
Pendekar Mabuk tertawa geli
mendengar pertanyaan
polos itu. Terlalu riskan
baginya untuk menjelaskan arti
kata 'tidur', sehingga Pendekar
Mabuk segera berkata,
"SekarangPanji-panji
Agung ada di mana?"
"Akutidak tahu,"
jawab Kejora tak mengejar jawaban
dari pertanyaan semula.
"Apakah mendiang Ayah dan
ibumu menyimpan
Panji-panji Agung?"
"Yang kutahu, Ibu masih
menyimpan panci buat
memasak nasi dari bahan
perunggu."
"Panci dengan panji-panji
apakah ada kesamaannya?"
"Aku tidak tahu, sebab
aku tidak pernah membuat
panci," jawab Kejora
dengan polosnya, membuat Suto
menahan tawa geli hingga
tubuhnya terguncang-
guncang. Kebodohan itu sungguh
menggelikan baginya,
hampir saja Suto Sinting lupa
bahwa ia harus
menghadapi Dewi Hening yang
terkena racun dan tidak
bisa menelan tuak. Belum lagi
ia harus memikirkan
nasib si kecil Menik yang
sewaktu-waktu bisa mati di
tangan Barakoak.
"Barangkali aku harus
lakukan penyembuhan dengan
jurus 'Sembur Husada',"
pikir Suto Sinting. "Tetapi
semburan tuakku nanti dapat
membuat Dewi Hening
lupa akan diriku dan merasa
belum pernah mengenalku.
Hmmm... kurasa tak jadi soal,
mumpung ia belum
banyak mengenal siapa diriku.
Jika memang jurus
'Sembur Husada' berhasil
menyembuhkannya, aku harus
menjelaskan dari ulang tentang
pertemuanku dengannya
atautentang siapa diriku
sebenarnya. Kurasa hanya jalan
itulah yang bisa kutempuh
untuk menyelamatkan
keturunan terakhir pewaris
aliran silat Sabang Wirata
ini!"
Jurus penyembuh yang dinamakan
'Sembur Husada'
memang jarang digunakan oleh
Suto Sinting, kecuali
terhadap orang yang belum
mengenalnya. Sebab
seseorang yang dapat sembuh
dari lukanya akibat jurus
'Sembur Husada', ia akan lupa
ingatan tentang diri Suto
Sinting dan merasa seolah-olah
belum pernah berkenalan
dengan Pendekar Mabuk. Itulah
sebabnya Suto Sinting
lebih sering gunakan
penyembuhan dengan cara
meminumkan tuak kepada si
penderita agar si penderita
jika sembuh tetap ingat siapa
diri Suto Sinting
sebenarnya.
Tubuh yang dibungkus busa
salju semakin tebal itu
bagaikan gumpalan kapas yang
teronggok di atas
tumpukah jerami. Pendekar
Mabuk segera menenggak
tuaknya, sebagian tuak
disisakan di mulutnya. Lalu
dengan menahan napas
panjang-panjang, tuak itu
disemburkan ke sekujur tubuh
Dewi Hening.
Brrrruusss...! Brrruuussss...
Brrruuusss...! Semburan itu
dilakukan beberapa kali agar
kekuatan sakti dari tuak
menjadi lebih besar dan
mempercepat hancurnya busa-
busa salju yang tampaknya
mulai mengkristal itu. Kejora
memperhatikan hal itu dengan
hati penuh rasa heran.
"Mengapa kau ludahi
kakakku? Apa salahnya
padamu?" tanya gadis lugu
itu.
"Ini namanya penyembuhan.
Aku sedang mengobati
kakakmu."
"Menyembuhkan?!"
dahi si cantik lugu itu berkerut
tipis. "Menurut cerita
Nenek, orang yang melakukan
penyembuhan dengan cara
meludahkan air kumur-
kumurnya hanyalah Tabib Darah
Tuak. Apakah kau
Tabib Darah Tuak?"
Pendekar Mabuk tersenyum,
"Apakah nenekmu
masih hidup?"
"Sudah meninggal delapan
bulan sebelum Ayah dan
Ibu dibantai orang-orangnya
Barakoak. Mengapa kau
menanyakan nenekku? Apakah kau
ingin menyusulnya
dan bertanya tentangTabib
DarahTuak?"
Agak menyinggung perasaan juga
pertanyaan itu, tapi
Suto Sinting segera
memakluminya, ia hanya
melebarkan senyum lalu berkata
dengan menatap lekat-
lekat wajah cantik yangpolos
itu.
"Tabib Darah Tuak adalah
si Pendekar Mabuk...."
"Ya, menurut cerita Nenek
memang begitu. Pendekar
Mabuk itu bernama Suto
Sinting, murid si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang. Tapi apakah
kaukenal dengan Pendekar
Mabuk?"
"Akulah yang bernama Suto
Sinting," ujar pemuda itu
pada akhirnya.
"Kalau kau Suto Sinting
berarti kau kenal dengan
Pendekar Mabuk?"
"Akulah Pendekar Mabuk,
Tolol!" geram Suto
jengkel sekali.
Gadis itu memandang tanpa rasa
heran dan bangga.
Justru yang timbul di wajah
cantiknya adalah rona
kebingunan yangterpendam.
"Tapi menurut cerita
Nenek, Pendekar Mabuk itu
bertubuh kekar, gagah,
ganteng, ke mana-mana
membawa bumbung tuak."
"Apakah kau pikir aku
kurang ganteng?" tanya Suto
Sinting bernada
jengkel-jengkel gemas. "Apakah kau
pikir yang kubawa-bawa ini
bumbung kandang
jangkrik?!"
"Apakah yang kau minum
tadi adalah tuak?"
"Bukan. Yang kuminum tadi
air kelapa!" jawab Suto
Sinting makin menampakkan
kejengkelannya.
"Berarti kau bukan
Pendekar Mabuk, sebab Pendekar
Mabuk tidak pernah minum air
kelapa."
"Terserah apa katamu
sajalah...!" ujar Suto Sinting
sambil bersungut-sungut
jengkel.
*
* *
6
PENGOBATAN melalui 'Sembur
Husada' ternyata
berhasil membuat racun 'Sukma
Beku' menjadi tawar.
Tubuh yang terbungkus
busa-busa salju itu mencair
sedikit demi sedikit, sampai
akhirnya tubuh itu bersih
oleh salju, hanya basah kuyup
oleh cairan dingin. Mata
indah Dewi Heningmulai
terbuka.
"Minumlah tuak ini buat
memulihkan tenagamu,"
saran Suto Sinting, dan Dewi
Hening menurut saja. Tapi
setelah ia bisa bangkit dan
duduk di tempatnya, ia
bertanya dalam bisikan,
"Siapa kau
sebenarnya?"
Mau tak mau Suto Sinting
menjelaskan perkara
sebenarnya. Daya ingat Dewi
Hening berangsur-angsur
pulih, sehingga ia mulai
mengenal siapa Suto Sinting, ia
menjelaskan kepada Kejora
bahwa pemuda tampan itu
adalah Pendekar Mabuk yang
sering diceritakan
mendiang nenek mereka. Kejora
menjadi percaya,
karena ia selalu mempercayai
kata-kata kakaknya.
"Jika begitu, dialah
kekasih Gusti Mahkota Sejati;
Dyah Sariningrum itu,
Hening."
Dewi Hening anggukkan kepala,
tapi Suto Sinting
berkerut dahi. Sesuatu yang
nyaris lupa ditanyakan kini
teringat kembali.
"Dari mana kalian
mengenal nama Gusti Mahkota
Sejati?"
Dewi Hening mendekatkan
mulutnya di telinga Suto
Sinting, lalu berbisik memberi
jawaban.
"Ibuku adalah sang Ratri,
bekas prajuritnya Gusti
Ratu Kartika Wangi, ibu dari
Dyah Sariningrum."
"Ooo...," Pendekar
Mabuk hanya bisa melongo
sambil manggut-manggut.
"Kami pernah berkunjung
ke Pulau Serindu untuk
bertatap muka dengan Gusti
Mahkota Sejati, calon
istrimu itu."
"Untuk apa kalian
berkunjung kePulau Serindu?"
"Sekadar anjangsana. Ibu
memperkenalkan anak-
anaknya kepada Gusti Mahkota
Sejati," bisik Dewi
Hening. "Sebab itu,
jangan coba-coba menggodaku,
nanti jika Gusti Mahkota
Sejati mengetahuinya, aku bisa
ikut celaka!"
Pendekar Mabuk nyengir,
malu-malu geli sambil
garuk-garuk kepala. Percakapan
mereka pun beralih
pada nasib Menik dan
Panji-panji Agung. Mereka
berkumpul bertiga saling
berdekatan, sebab Dewi
Hening bicaranya selalu
menggunakan suara membisik,
sehingga tak bisa jelas jika
didengar dari jarak empat
langkah.
Sementara itu, suasana di luar
gua telah menjadi
gelap. Namun keadaan di dalam
sama saja; hanya
diterangi dengan sebatang api
obor yang minyaknya dari
sadapan getah sebuah pohon. Si
kecil Menik yang
membuat obor itu, hingga
menimbulkan kekagumam
bagi Pendekar Mabuk.
"Menik mempunyai otak
yang bertolak belakang
dengan kakaknya; Kejora. Dia
anak yang cerdas sekali.
Amat disayangkan jika harus
mati di tangan Barakoak,"
pikir Suto Sinting. "Aku
harus bisa menyelamatkan
Menik, sebab ia adalah
keturunan dari mantan prajurit
Ibu Ratu Kartika Wangi."
Dewi Hening pun tahu bahwa
Pendekar Mabuk
adalah panglima sang Ratu
Kartika Wangi, yaitu seorang
Manggala Yudha negeri Puri
Gerbang Surgawi yang ada
di alam gaib. Bukan karena
Dewi Hening bisa melihat
noda merah di kening Suto
Sinting yang hanya bisa
dilihat oleh orang-orang
berilmu tinggi saja, melainkan
karena ibu mereka pernah
menceritakan diri Pendekar
Mabuk kepada anak-anaknya,
(Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode :
"Manusia Seribu Wajah").
Pembicaraan tentang
menyelamatkan Menik hanya
dilakukan oleh Dewi Hening dan
Pendekar Mabuk.
Sementara si polos Kejora
hanya sebagai pendengar saja.
Sebab menurut pengakuan Dewi
Hening, adiknya yang
lugu itu tidak mempunyai bekal
ilmu yang cukup untuk
melawan orang-orang Candi
Bangkai. Kejora kurang
lincah dan tak setangkas
Menik, ia sangat lamban dalam
menuntut ilmu ajaran mendiang
ayah mereka.
"Jika keluargamu tidak
menyimpan Panji-panji
Agung, lantas ke mana perginya
pusaka itu?" tanya Suto
Sinting kepada Dewi Hening.
"Barangkali dititipkan
oleh seorang sahabat kakek
yang amat setia," jawab
Dewi Hening dengan suara
bisik.
"Siapa sahabat kakekmu
itu?"
"Resi Wulung
Gading."
"Oooh...?!" Pendekar
Mabuk terperanjat, lalu segera
teringat seorang tokoh tua
yang amat dikenalnya; Resi
Wulung Gading.
Tokoh tua yang punya kesaktian
tinggi itu tinggal di
Lembah Sunyi yang menjadi
pemegang pusaka
terdahsyat; Pedang Kayu Petir.
Hubungan Suto Sinting
dengan tokoh tua itu bukan
sekadar hubungan biasa,
namun boleh dibilang luar
biasa. Karena Resi Wulung
Gading sesungguhnya adalah
keponakan dari Nini Galih.
Sedangkan orang yang bernama
Nini Galih adalah guru
dari Bidadari Jalang, dan
Bidadari Jalang adalah salah
satu gurunya Pendekar Mabuk.
Sudah terlalu sering Suto
Sinting mencurahkan keluh
kesahnya kepada Resi
Wulung Gading, sehingga tokoh
berkharisma tinggi itu
dianggap seperti gurunya
sendiri, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode :
"Cambuk Getar Bumi" dan
"Pedang KayuPetir").
Tiba-tiba Kejora yang dari
tadi diam saja itu ikut
bicara, ia berkata kepada
kakak sulungnya dengan wajah
polos.
"Kalau begitu, kita pergi
temui Resi Wulung Gading
dan meminta Panji-panji Agung
itu. Setelah kita
dapatkan Panji-panji Agung,
kita serahkan kepada
Barakoak, lalukita minta ia
membebaskan Menik."
Plaaaak...! Tangan kakak
sulungnya berkelebat
menampar pipi Kejora. Gadis
itu tersentak tanpa suara,
kemudian berpaling muka dengan
cemberut. Tamparan
itu memang tak keras, tapi
cukup membuat Kejora takut
kepada sang kakak sulung.
Pandangan mata Dewi
Hening tak berani ditatapnya.
Kejora akhirnya
tundukkan kepala ketika Dewi
Hening berkata dalam
suara desah.
"Apa pun yang terjadi,
kita harus pertahankan Panji-
panji Agung sebagai warisan
leluhur kita. Apakah kau
mau aliran kita hancur dan
tidak ada penerusnya?!"
"Begini saja," Suto
Sinting menengahi ketegangan
itu. "Aku akan datang
sendiri ke Candi Bangkai untuk
menyelamatkan Menik, kalian
berdua tetaplah di sini,
atau mencari tempat yang lebih
aman lagi."
"Jangan!" sergah
Kejora sambil memandang ke arah
Suto. "Orang-orang Candi
Bangkai itu jahat-jahat. Kau
bisa dibunuhnya jika bermaksud
membebaskan Menik.
Kalau kau mati, kami tidak
punya pelindung lagi. Siapa
yang akan menolongku jika aku
terperosok ke dalam
lubang atau tergelincir di
tebing jurang itu?"
Pendekar Mabuk tersenyum
memberi ketenangan
kepada Kejora. Ia
menepuk-nepuk pundak gadis itu
dengan lemah lembut, sementara
Dewi Hening
memperhatikan tanpa berkedip.
"Jangan punya pikiran
seperti itu, Kejora. Percayalah
padaku, bahwa aku pasti bisa
membebaskan Menik
dalam keadaan hidup."
"Aku tidak percaya,"
ketus Kejora sambil cemberut.
"Barakoak punya pengawal
sakti; Badai Kutub,
misalnya. Dia orang yang sukar
dikalahkan, apalagi
untuk dibunuh itu sangat
sulit. Belum lagi kalau kau
terkena jurus 'Surya Benggala'
seperti nasib adik ayahku,
kau akan menjadi manusia kaca
dan hancur jika disentuh
seseorang. Barakoak sendiri
bukan tokoh rendahan. Dia
tak bisa dibunuh karena punya
ilmu 'Urat Bumi', jika
ditusuk dengan pedang, lukanya
mengatup lagi begitu
pedang dicabut dari tubuhnya.
Bagaimana mungkin kau
akan bisa melawan dan
mengalahkan orang seperti
mereka?''
"Kalau begitu, biarlah
aku saja yang datang ke Candi
Bangkai untuk membebaskan
Menik," kata Dewi Hening
dalam suara bisik mendesah.
"Jangan! Kau pun bisa
mati jika melawan mereka.
Buktinya kau tak bisa hindari
jurus racun 'Sukma Beku'-
nya si Badai Kutub. Kalau kau
datang ke sana, berarti
kau menyerahkan nyawa. Aku tak
akan mempunyai
seorang kakak lagi!" kata
Kejora dengan wajah diliputi,
rasa takut.
Dewi Hening tarik napas
menahan kejengkelan atas
sikap adiknya. "Jadi,
sebaiknya kita biarkan saja Menik
berada di tangan mereka!"
sambungnya masih dalam
bisikan.
"Jangan! Kalau Menik
terlalu lama di tangan mereka,
Menik pasti akan dibunuh,
sebab Menik adalah
keturunan paling akhir dari
keluarga kita!"
"Jadi mestinya kita harus
bagaimana, Dewi
Kejoraaa...!" ujar Dewi
Hening dengan jengkel, suara
bisikannya sedikit keras dan
tertekan. Pendekar Mabuk
tertawa kecil sambil melengos.
"Atau kau saja yang
membebaskan Menik?" Dewi
Hening bersuara desah lagi.
"Aku bisa mati kalau
datang ke Candi Bangkai
sendirian. Aku mau datang ke
sana membebaskan
Menik, tapi kalian berdua
harus ikut dan menjaga
keselamatanku."
Dewi Hening gemas sekali
kepada adiknya hingga
mendesah dalam satu sentakan
lepas. Pendekar Mabuk
dari tadi senyum-senyum saja
mendengarkan perdebatan
kakak-beradik; yang satu
pintar, yang satunya bodoh
karena kepolosan berpikirnya.
Akhirnya Pendekar
Mabuk perdengarkan suaranya
yang lembut dan enak
didengar itu.
"Ada baiknya jika kita
menghadap Resi Wulung
Gading dan menanyakan tentang
pusaka Panji-panji
Agung itu. Pertama kita perlu
tanyakan, apakah benar
pusaka Panji-panji Agung ada
pada Eyang Resi Wulung
Gading. Kedua, andaikata
memang benar, apakah Panji-
panji Agung itu punya kekuatan
tersendiri untuk
melawan orang-orang seperti
Barakoak itu? Ketiga, kita
tanyakan seandainya
Panji-panji Agung itu diserahkan
kepada Barakoak apakah benar
bisa membuat aliran silat
leluhurmu ini akan hancur dan
lenyap, karena tak ada
penerusnya?"
"Itu akan membuang
waktu," sela Dewi Hening
dalam desahan. "Barakoak
memberi waktu sampai esok
pagi, menurut penjelasanmu
tadi. Berarti kita tidak
punya banyak waktu untuk
menghadap Eyang Resi
Wulung Gading."
"Jika begitu, sekarang
kita tetapkan saja; aku akan
pergi membebaskan Menik,"
kata Suto kepada Dewi
Hening. "Lalu, kau pergi
menghadap Eyang Resi
Wulung Gading untuk
membicarakan tentang pusaka
Panji-panji Agung itu."
"Aku lebih baik ikut kau
saja!" sergah Kejora.
"Candi Bangkai berbahaya
bagi gadis seperti kau,
Kejora. Lebih baik kau
mendampingi kakakmu saja."
"Aku tak mau kena tampar
lagi," ujar Kejora sambil
cemberut. "Aku merasa
aman jika pergi ke mana-mana
bersamamu. Buktinya kau telah
selamatkan nyawaku
dua kali, sedangkan Hening
belum pernah selamatkan
nyawaku."
Dewi Hening tersenyum tipis
memaklumi cara
berpikir sang adik. Akhirnya
ia pun berkata kepada Suto
Sinting,
"Biarlah aku menghadap
Eyang Resi sendirian,
ajaklah Kejora ke Candi
Bangkai. Siapa tahu ia bisa
punya keberanian sehingga
tidak selalu menjadi gadis
penakut seperti sekarang
ini."
"Tapi...."
"Apakah kau malu berjalan
dengan gadis sebodoh
aku?" sergah Kejora
sebelum Suto Sinting menolak
dengan alasan tertentu.
Mendengar pertanyaan seperti
itu, hati Suto Sinting menjadi
iba. Alasan penolakan tak
jadi dilontarkan, akhirnya
Suto pun menyetujui rencana
tersebut. Kejora tampak girang
dan bersemangat,
wajahnya berseri-seri dengan
kecantikan yang
menandingi kakaknya.
Esok paginya, mereka bergegas
keluar dari dalam gua
untuk mengerjakantugas
masing-masing.
Semalaman Suto Sinting
mengatur rencana berdua
dengan Kejora yang akan
menjadi pasangan dalam
menyerang Candi Bangkai. Dewi
Heningtertidur dengan
nyenyak ketika Suto Sinting
mengatur rencana dengan
Kejora.
"Kau tak boleh jauh-jauh
dariku, dan pisaumu tetap
harus ada di tangan. Jika ada
yang mendekatimu,
langsung tancapkan pisau itu
ke tubuh orang tersebut tak
peduli kena bagian apanya
saja, yang penting kau
lakukan perlawanan."
"Kalau yang mendekat kau
sendiri apakah aku harus
menancapkan pisauku ini?"
tanya Kejora.
"Kalau kautega tak
apa."
"Aku tak tega. Tapi
bagaimana jika malam ini kulatih
ketegaanku untuk menancapkan
pisau ke tubuhmu?"
"Kau asli gila atau
pura-pura gila?!" ujar Suto Sinting
sedikit dongkol tapi juga
merasa geli melihat kepolosan
wajah Kejora saat berkata
demikian.
"Sebaiknya tak kulakukan
pada dirimu saja, ya? Nanti
kalau kau kutancap pakai pisau
ini, kau bisa mati.
Karena menurut cerita Nenek,
pisau ini beracun ganas."
"Syukurlah kalau kau
masih punya sisa kewarasan
sedikit," ucap Suto
Sinting bagai orang menggerutu.
Mereka bertiga keluar dari gua
pada saat embun pagi
mulai sirna. Busa-busa salju
telah tiada. Tinggal sisa
cairannya yang membuat alam
menjadi basah bagaikan
habis hujan semalaman. Mereka
bertiga akhirnya tiba di
suatu persimpangan jalan dan
harus lakukan perpisahan.
Pendekar Mabuk dan Kejora ke
arah Candi Bangkai,
sedangkan Dewi Hening pergi ke
arah yang berlawanan
menuju Lembah Sunyi untuk
temui Resi Wulung
Gading.
Namun sebelum mereka berpisah,
mendadak mereka
disergap oleh delapan orang
berpakaian hitam. Delapan
orang itu segera mengurung
mereka dengan senjata
masing-masing siap di tangan.
Mereka mengenakan kain
hitam untuk menutup bagian
hidung hingga mulut,
sedangkan bagian atasnya
dibiarkan terbuka: ada yang
memakai ikat kepala ada
yangtidak.
Suto Sinting terkesiap melihat
kehadiran mereka.
Kejora menjadi tegang dan
ketakutan. Tapi Dewi Hening
bersikap tenang dengan matanya
yang memandang tajam
mengitari mereka satu-persatu.
"Siapa orang-orang
ini?" bisik Suto Sinting yang
merapatkan diri kepada Dewi
Hening,
"Mereka adalah Gerombolan
Rampok Setan yang
mempunyai dendam padaku karena
ketua mereka
kubuntungi kakinya."
"Apa persoalannya
sehingga kau buntungi kaki ketua
mereka itu?"
"Mereka hendak merampok
harta kami saat sebelum
rumah kami dihancurleburkan
oleh Barakoak," jawab
Dewi Hening dalam bisikan.
Kejora berkata dengan suara
lirih dan bergetar, "Kita
lari saja, Hening. Jumlah
mereka banyak dan punya
senjata semua. Pasti senjata
mereka tajam-tajam,
Hening."
"Tutup telinga kalian,
aku mau bicara pada mereka,"
bisik Dewi Hening yang membuat
Suto Sinting berkerut
dahi, tak paham maksud
perintah Dewi Hening itu.
Tetapi Kejora segera menutup
telinganya dengan
memasukkan telunjuk ke lubang
telinga, ia menyuruh
Suto Sinting melakukan hal
yang sama dengan
tendangan kaki kecil.
"Tutup telingamu, Hening
mau bicara pada mereka."
"Mengapa harus menutup
telinga? Apakah aku tak
boleh mendengar apa yang
dibicarakan Hening kepada
mereka?"
Karena tak jelas mendengar
kata-kata Suto, maka
gadis itu menjawab tanpa ada
kaitannya dengan ucapan
Suto tadi.
"Aku tak tahu siapa nama
ketua mereka. Aku belum
pernah kenalan dengan ketua
mereka."
Satu-satunya orang yang
mengenakan penutup wajah
warna merah adalah seorang
lelaki berbadan kekar dan
tinggi rambutnya panjang
terurai diikat dengan kain
merah. Orang itu lebih dulu
keluarkan suaranya dengan
menggeram penuh dendam.
''Kami datang untuk menebus
penghinaanmu terhadap
sang Ketua, Dewi Hening!"
Kakak sulung Kejora diam
membisu, matanya
memandang lurus pada orang
yang bicara dengan suara
besar. Pendekar Mabuk pandangi
dua orang yang ada di
samping kirinya, tapi
telinganya menyimak kata apa pun
yang keluar dari mulut mereka
maupun dari mulut Dewi
Hening nanti.
"Jika kau berhasil
membuntungi kaki ketua kami,
maka kami akan membuntungi
kepalamu sebagai
tebusannya. Itulah perintah
yang kami terima dari sang
Ketua."
Dewi Hening berkata dengan
suara lepas,
"Lakukan...!"
Tiba-tiba delapan orang
pengepung itu tersentak dan
menyeringai kesakitan. Semua
memegang telinga secara
serentak. Pendekar Mabuk sendiri
merasakan ada rasa
sakit di dalam gendang
telinganya ketika mendengar
Dewi Hening bicara dengan
suara lepas, tanpa bisik-
bisik.
"Celaka!" gumam Suto
Sinting dalam hati. "Rupanya
perempuan itu mempunyai
kekuatan tenaga dalam pada
gelombang suaranya. Pantas ia
selalu berbicara dengan
bisik-bisik. Jika ia bicara
dengan suara lepas, maka
gelombang suaranya itu dapat
menyakitkan lawan
bicaranya. Untung aku segera
menarik napas dan
menahan gelombang tenaga dalam
yang masuk lewat
lubang telingaku, jika tidak demikian
aku pasti akan
kesakitan sekali seperti
mereka. Pantas pula kalau
Kejora mendesakku untuk
menutup telinga, rupanya ia
tahu jika kakaknya mau bicara
berarti akan keluar
kekuatan tenaga dalam yang
dapat merusakkan gendang
telinga."
Pendekar Mabuk pun segera
kendalikan napasnya
untuk menyalurkan tenaga dalam
yang dapat dipakai
menutup pendengarannya, ia
sengaja lakukan hal itu
supaya ia tidak sama seperti
yang lain; menutup telinga
demi keselamatan gendang
telinganya. Seorang
pendekar memang harus bisa
mengatasi hal seperti itu
tanpa melakukan penutupan pada
lubang telinga. Dan
hal itu membuat Dewi Hening
melirik Suto sebentar,
menyimpan rasa kagumnya
terhadap kekuatan Suto
Sinting dalam menerima
gelombang suara bertenaga
tinggi itu.
"Tutup telingamu!" sentak
Kejora dalam bisikan.
Tapi Suto Sinting hanya
tersenyum dan pandangi tiga
orang yang kini bergerak lebih
merapat di samping
kirinya.
Dewi Hening berkata dengan
suara jelas, "Kalau
kalian bisa, lakukan
pembalasan padaku!"
"Aaaaa...!" mereka
saling berteriak kesakitan begitu
mendengar suara Dewi Hening.
Bahkan dua orang jatuh
berlutut di belakang Suto
Sinting dan Kejora. Orang itu
menyeringai dan meraung
kesakitan. Lubang telinga
mereka mulai berdarah.
Orang yang mengenakan penutup
wajah warna merah
itu segera berseru memberikan
aba-aba,
"Serang mereka!
Seraaaaang...!"
Dewi Hening berteriak,
"Heeaaaat...!" dengan tangan
dan kaki memasang kuda-kuda
sebagai pembuka jurus.
Tetapi orang-orang yang hendak
maju menyerang itu
saling terpental ke belakang
dalam satu seruan kesakitan.
Orang yang memakai penutup
wajah warna merah juga
tersentak ke belakang dan
menggeram menahan rasa
sakitnya. Akhirnya ia jatuh
terduduk di tanah dengan
telinga mulai berdarah.
Dua orang yang mendekat dari
samping kiri Pendekar
Mabuk itu terguling-guling
kelojotan sambil melepaskan
senjata dan kedua tangannya
memegangi telinga. Namun
darah masih saja keluar dari
telinga mereka.
"Hebat juga ilmu yang
dimiliki Dewi Hening;" ujar
Suto Sinting membatin sendiri.
"Kalau aku tidak segera
tanggap, pasti telingaku pun
akan berdarah seperti
mereka. Alangkah malunya jika
aku sampai begitu?!"
Salah seorang dari kedelapan
pengepung itu nekat
menyerang Dewi Hening sambil
menahan rasa sakit.
Sebuah lompatan menerjang Dewi
Hening dilakukan
dari belakang. Tapi perempuan
itu cepat balikkan badan
dan hentakkan tangannya ke
depan, tenaga dalam tanpa
sinar terlepas dari telapak
tangan itu.
"Hiaaah,..!" teriak
Dewi Hening yang membuat orang
itu menjerit lebih kuat lagi.
"Aaaaa...!"
Tubuhnya melayang ke belakang
dengan luka ganda;
pertama luka karena pukulan
tenaga dalam yang
mengenai ulu hatinya, kedua
luka pada telinganya yang
menjadi rusak berat akibat
suara teriakan Dewi Hening.
Teriakan itu sempat membuat
kedua kaki Suto
Sinting bergetar karena
menahan tenaga dalam yang
menusuk masuk ke telinganya.
Dalam hati sang
pendekar berkata,
"Luar biasa! Mengapa tak
digunakan melawan Badai
Kutub dan Barakoak? Mungkinkah
ilmu ini pernah
dipakai oleh Dewi Hening, tapi
tidak mampu membuat
telinga Barakoak dan Badai Kutub
pecah seperti orang-
orang di sini?! Ooh... aku
berkeringat dingin menahan
kekuatan itu. Mudah-mudahan
Dewi Hening dan Kejora
tak memperhatikan keringat
dinginku ini."
Suara teriakan tadi bukan saja
membuat orang yang
menyerang terpental dan
terluka parah, tetapi beberapa
pengepung lainnya juga semakin
meraung-raung merasa
telinganya bagai
dipakukuat-kuat.
"Tinggalkan setan betina
itu! Cepat lariiii...!" seru
orang berpenutup wajah warna
merah. Sebagian dari
mereka lari tunggang langgang
menuju satu arah. Tiga
orang lainnya masih tinggal di
tempat karena tak
mendengar seruan tersebut.
Mata mereka terpejam kuat-
kuat sambil mulutnya masih
meraungkan rasa sakit.
"Aaaaahh...
Aaaaoow...!",
Pendekar Mabuk mendekati tiga
orang itu, mencolek
salah satu dari ketiganya
sambil berkata,
"Heh temanmu sudah pada
lari! Kau tak mau ikut
lari?!"
"Haahh...?!" orang
itu terkejut melihat teman-
temannya sudah cukup jauh
darinya. Maka ia pun
mencolok dua temannya dan
segera melarikan diri
dengan terhuyung-huyung.
Pendekar Mabuk tertawa geli
melihat kebodohan tiga
orangtersebut.
Keadaan telah menjadi sepi
kembali. Kejora
melepaskan penutup telinganya
dan bertanya kepada
Pendekar Mabuk,
"Apakah telingamuterbuat
dari baja?"
"Mungkin begitu,"
jawab Pendekar Mabuk seenaknya
sambil cengar-cengir.
"Di mana kau pesan
telinga sekuat itu? Aku ingin
memesannya pula. Sebab kalau
kakakku sedang marah,
aku sering kena getahnya
mendengar omelannya."
Pendekar Mabuk makin tertawa
geli. Kejora geleng-
geleng kepala merasa kagum
dengan kekuatan telinga
pemuda tampan itu. Lalu ia
berkata kepada kakak
sulungnya,
"Ilmu 'Guntur Swara'
tidak berlaku untuk telinganya.
Kalau kau melawan dia kau akan
kalah, Hening."
Dewi Hening menjawab dengan
suara membisik,
"Karena dia kekasih Gusti
Mahkota Sejati, tentu saja
mempunyai ilmu lebih tinggi
dariku."
"Bagaimana kalau kita
menyerang Candi Bangkai
bersama-sama saja? Kau bisa
gunakan ilmu 'Guntur
Swara' itu untuk melawan para
kroco-kroconya
Barakoak. Aku yang menghadapi
Barakoak dan Badai
Kutub!" Suto menyarankan.
Dewi Hening menggelengkan
kepala dan menjawab
dengan suara mendesah.
"Mereka sudah terlatih
mengendalikan tenaga dalam
untuk melapisi gendang
telinga. Kekuatan ilmuku ini
sudah diketahui Barakoak,
sehingga orang-orangnya pun
sudah terlatih untuk menghadapi
ilmuku ini."
"Baiklah, kalau begitu
kita berjalan sesuai rencana
semula saja. Hati-hati dalam
perjalanan menuju Lembah
Sunyi!" kata Suto Sinting
berkesan akrab sekali.
Namun mendadak mereka terkejut
mendengar suara
di kejauhan,
"Haiiyaaaa... hiya, hiya,
hiyaaa...!"
Kejora terpekik, "Itu
suara Menik...?!"
"Menik...?!" desah
Dewi Hening dengan wajah
menegang.
"Pasti dia berhasil
meloloskan diri dan sekarang
sedang dikejar-kejar oleh
mereka!" tambah Kejora
dengan berapi-api.
"Kalau begitu, kita cari
ke mana arah larinya. Kita
cegat orang-orang yang ingin
menangkapnya kembali!"
kata Suto Sinting dengan penuh
semangat. Mereka
sama-sama menyimak suara Menik
lagi dengan
mempertajam pendengaran
mereka. Tapi sampai
beberapa saat lamanya suara
Menik tidak terdengar lagi.
Mereka menjadi cemas dan
bertanya-tanya dalam hati,
"Apakah Menik tertangkap
lagi, atau tewas dibunuh
tanpa suara apa pun?!"
*
* *
7
DARI ketinggian tempat mereka
berada dapat dilihat
gerakan seorang bocah yang
melompat bersalto dan plik-
plak beberapa kali. Kecepatan
gerak yang mirip anak
kijang itu merupakan ciri-ciri
yang tak dapat disangkal
lagi, bahwa bocah kecil itu
tak lain adalah Dewi Menik
yang lebih sering dipanggil
Menik.
"Itu dia mereka...!"
tuding Kejora ke arah tiga orang
yang berlari-lari mengejar
Menik.
"Hanya tiga orang yang
mengejar Menik," gumam
Suto Sinting. Tetapi pundaknya
segera ditepuk oleh
Dewi Hening, lalu perempuan
itu menunjuk ke arah
lebih belakang lagi. Ternyata
ada empat orang yang
sedang berpencar menghadang pelarian
Menik.
"Hiyaaa... hiya, hiya,
hiyaaaa...!" seru Menik sambil
berlari dalam
lompatan-lompatan cepat, lincah, dan
gesit. Tahu-tahu ia sudah ada
di atas pohon. Melompat
dari dahan ke dahan, kemudian
pindah lagi sudah di
tanah. Menyelinap di sela-sela
pohon hutan menuju
lembah.
"Hei, lihat di
sana...!" tuding Kejora dengan mata
menegang.
"Oh, Badai Kutub itu
turun tangan?!" gumam
Pendekar Mabuk. "Kalian
hadapi kroco-kroco, aku akan
hadapi Badai Kutub setelah
menyambar Menik."
"Tapi...."
Zlaaap...! Kejora tak jadi
bicara karena Pendekar
Mabuk sudah menghilang bagai
ditelan bumi. Ia
bergerak cepat dengan
menggunakan jurus 'Gerak
Siiuman' yang punya kecepatan
melebihi anak panah itu.
Ketika Menik melompat ke dahan
dalam gerakan
salto cukup cepat, tahu-tahu tubuhnya
disambar
seseorang yang segera
membawanya menjauh dari
tempat itu. Weees...! Tapi
gadis kecil itu menjerit karena
kaget.
"Aaaaa...!"
Jeritan itu membuat para
pengejarnya mengetahui ke
mana arah gerakan si gadis
kecil. Walaupun mulutnya
buru-buru dibekap dengan
tangan penyambarnya, tapi
segalanya telah terlambat.
Para pengejar membelokkan
arah menujutempat datangnya
suara jeritan bocah tadi.
Zlap, zlaaapp...! Terpaksa
orang yang menyambarnya
berkelebat cepat tanpa bicara
apa pun kepada Menik.
Tahu-tahu mereka berdua sudah
berada di puncak
sebuah bukit yang tak seberapa
tinggi. Di sana barulah
Menik tahu bahwa orang yang
telah menyambarnya itu
adalah Pendekar Mabuk; Suto
Sinting.
"Oh, kau rupanya?!"
"Suaramu membuat mereka
tahu di mana arah
gerakanmu. Maka lain kali
kalau kau melarikan diri
jangan disertai dengan jeritan
atau teriakan agar
pengejarmu tak tahu kau
bergerak ke arah mana."
"Hmmm... ya, masuk akal
juga penjelasanmu," kata si
gadis kecil sambil
manggut-manggut dengan lagak sok
tuanya.
"Mengapa kau bisa
tertangkap mereka?" tanya Suto
Sinting, lalu ia menenggak
tuaknya sambil
mendengarkan jawaban dari
Menik.
"Aku terperosok masuk ke
lubang galian seperti
sumur. Ketika aku berusaha
keluar dari sana, tahu-tahu
dua orang Candi Bangkai
menangkapku dari belakang."
"Mengapa kautak mau
berteriak sehingga akutahu di
mana dirimu saat itu?"
"Aku hanya menghadapi
persoalan kecil, tak perlu
bantuanmu. Nyatanya toh aku
bisa keluar sendiri dari
lubang yang dalam itu?!"
Pendekar Mabuk menggantungkan
bumbung tuak di
pundaknya. Saat ia sedang
berpikir mau dibawa ke mana
gadis kecil itu, tiba-tiba si
kecil ajukan tanya,
"Bagaimana kakakku;
Kejora? Berhasil kau
temukan?"
"Ya, berhasil. Bahkan aku
berhasil bertemu dengan
kakak sulungmu; Dewi
Hening."
"Bagus sekali kerjamu,"
ujarnya sambil tersenyum
dan dua tangannya segera
bersedekap di dada.
"Sok tua sekali kau.
Tengil!" ujar Suto Sinting di sela
senyum gelinya.
"Kau sudah bisa tertarik
dengan kecantikan kakakku;
Dewi Hening itu?"
Suto Sinting mencibir dan
bersungut-sungut.
"Katamu dia seperti Gusti
Mahkota Sejati, nyatanya jauh
berbeda!"
"Hik, hik, hik, hik...!
Kau tertipu, ya? Aku memang
menipumu, karena aku ingin
memancing mata
keranjangmu."
Suto Sinting tak jadi kecewa
malainkan justru geli
sendiri. Tawa mereka tiba-tiba
terhenti ketika terdengar
suara bernada dingin di
belakang mereka.
"Puaskan tawa kalian,
sebentar lagi nyawa si kecil itu
akan lenyap!"
Pendekar Mabuk pandai menutupi
rasa kagetnya.
Begitu berpaling dan memandang
orang yang bicara, ia
masih bersikap tenang dan
berkata dengan kalem,
"Oh, rupanya kau sudah
tak sabar menunggu ajalmu,
Badai Kutub!"
Menik tampak sedikit cemas,
matanya bergerak
lincah ke sana-sini mencari
tempat untuk berlari. Tetapi
dari arah kanan kiri segera
muncul dua orang Candi
Bangkai yang tadi mengejar
Menik dari belakang.
"Kalau bukan karena
licik, kalian tak akan bisa
menangkapku!" seru Menik
dengan berani. "Kalau
kalian memang berilmutinggi,
mari kita adu lari!"
Pendekar Mabuk hanya
sunggingkan senyum
mendengar ucapan Menik, ia
tahu Menik sedang
memancing mereka agar bisa
lolos dari keadaan itu. Tapi
agaknya mereka tidak
terpancing oleh tantangan Menik.
Suara si Badai Kutub terdengar
menjawab tantangan itu.
"Percuma kami beradu lari
denganmu, Anak Tikus!
Nyawamu sebentar lagi melayang
dan menyusul dua
orangtuamu ke neraka. Untuk
apa buang-buang tenaga
dengan beradu lari?!"
"Kakak iparku ini tak
akan tinggal diam, Pak Tua
kurap!" ujar Menik sambil
menepuk pinggang Suto
Sinting, seakan menunjukkan
bahwa Pendekar Mabuk
itulah yang dimaksud sebagai
kakak iparnya. Tentu saja
Pendekar Mabuk sedikit
terperanjat mendengar
keberanian gadis kecil berkata
demikian, ia memandang
Menik dan Menik tersenyum
sambil mengerlingkan
mata kirinya.
"Kecil-kecil genit juga
kau!" geram Suto Sinting
seraya kembali memandang ke
arah Badai Kutub.
"Serahkan bocah itu
kepada kami, atau kami akan
menghabisi riwayat hidupmu
juga?!" ancam Badai
Kutub, pada saat itu dari
belakang Suto Sinting dan
Menik muncul Dewi Hening dan
Kejora. Sedangkan dari
belakang Badai Kutub muncul
beberapa orang yang tadi
ingin menghadang pelarian
Menik.
"Kejora, Hening...!"
sapa Menik seenaknya tanpa
menyebut kata 'kakak' kepada
kedua gadis itu. "Untung
kau cepat datang. Kita akan
saksikan pertarungan seru!"
"Menik, ini semua
gara-gara kau tertangkap jadi si
Pendekar Mabuk akhirnya
terpaksa bertarung melawan
mereka!"
"Pendekar Mabuk?! Ohh...
jadi pemuda ganteng itu
Pendekar Mabuk yang sering
diceritakan mendiang
nenek kita?
Pantaaasss...!" Menik manggut-manggut
menggemaskan.
"Apa yang pantas?!"
"Pantas dia terkejut
ketika kusebutkan nama Gusti
Mahkota Sejati. Pantas pula
dia punya wajah tak
sebanding dengan wajah si
Badai Kutub."
"Lindungi si tengil
itu!" bisik Dewi Hening kepada
Kejora. Kemudian Dewi Hening
maju dua langkah
sejajar dengan tempat
berdirinya Suto Sinting.
"Bagus, kalian telah
kumpul. Ini akan mempermudah
kami menghancurkan
kalian!" ujar Badai Kutub.
Suto Sinting berbisik kepada
Dewi Hening, "Gunakan
ilmu 'Guntur Swara'-mu untuk
menyingkirkan yang
lain."
"Tak mungkin bisa, sudah
kubilang mereka cukup
terlatih menghadapi suaraku
dan lagi aku takut kedua
adikku menjadi korban
kekuatanku sendiri."
"Kalau begitu mundurlah,
lindungi kedua adikmu
itu!"
Sebelum Dewi Hening bergerak,
lebih dulu terdengar
suara Badai Kutub berkata
kepada orang-orang di
belakangnya,
"Bunuh mereka semua, tak
perlu ada yangtersisa!"
Badai Kutub mundur,
orang-orang itu maju. Dewi
Hening tak jadi mundur,
melainkan justru melangkah
maju menghadapi orang-orangnya
Badai Kutub. Pedang
pun dicabut dari sarungnya.
Sraaang...! Mau tak mau
Suto Sinting segera mundur
menyerahkan pertarungan
itu kepada Dewi Hening.
Pendekar Mabuk cenderung
menjaga Kejora dan Menik dari
incaran Badai Kutub.
Wung, wung, wung...! Dewi
Hening mainkan
pedangnya sebagai pembuka
jurus. Tiga orang bersenjata
golok lebar maju menyerang
dengan jurus kembar gerak.
"Heeeaaah...!"
Dewi Hening berkelebat dalam
satu lompatan tinggi,
bersalto satu kali dan ketika
bergerak mendarat di
belakang mereka pedangnya
segera berkelebat. Wuuut...!
Crras, cras, cras...!
"Aaaa...!" mereka
memekik bersamaan. Ketiganya
terbabat pedang Dewi Hening
yang mempunyai jurus
berbahaya dan sukar dilihat
kecepatannya. Melihat
gerakan jurus pedang itu,
Pendekar Mabuk teringat
pelajaran pedang yang
diterimanya dari Ki Argapura.
Menurutnya jurus pedang itu
mirip dengan jurus 'Pedang
Ekor Petir' yang pernah
dipelajari, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode :
"LadangPertarungan").
Laaaap...! Jleeeg...!
Badai Kutub sudah berada di
belakang Menik dan
Kejora. Suto Sinting segera
berbalik arah dan
memandang penuh waspada.
Dugaannya mulai terbukti,
Badai Kutub sengaja menyuruh
para kroco maju
menyerang sementara ia mencari
kesempatan
menyambar Menik atau membunuh
langsung ketiga
kakak-beradik itu. Tapi
ternyata dua dari tiga kakak-
beradik itu dalam penjagaan
Pendekar Mabuk, sehingga
kesempatan itu sulit diperoleh
Badai Kutub.
Salah seorang kroco mencoba
membokong mereka
dengan melemparkan pisau ke
arah punggung Menik.
Tetapi Kejora segera menarik
lengan adiknya dan pisau
pun melesat ke arah kosong.
Namun tangan Kejora
segera mencabut pisaunya dan
dilemparkan dalam
gerakan yang tak bisa dilihat.
Wuuut...! Zeeeet...!
Jrrrrub...!
"Aaaahhgg...!" pisau
tiga jengkal itu menancap tepat
di leher orang yang membokong.
Begitu tangan Kejora
disentakkan mundur, pisau itu
lolos dengan sendirinya
melesat kembali ke tangan
Kejora. Pendekar Mabuk
sempat terkesima sebentar
melihat kehebatan jurus pisau
dan kedahsyatan pisau itu yang
ternyata mempunyai
keistimewaan sendiri, yaitu
dapat kembali ke pemiliknya
setelah menikam lawannya.
Cukup dengan satu sentakan
mundur tangan Kejora, pisau
itu melayang balik dengan
sendirinya.
"Pisau itu ternyata bukan
sembarang pisau," kata hati
Pendekar Mabuk. Kata-kata
batinnya tak jadi dilanjutkan
karena tiba-tiba ia melihat
Badai Kutub lepaskan sinar
putih bening dari ujung jari
tengahnya. Claaap...!
Pendekar Mabuk cepat sambar
tubuh Menik dan
bergerak ke samping dengan
gerakan sangat cepat.
Zlaaap...! Sinar putih bening
yang diarahkan kepada
Menik itu melesat lurus tanpa
putus, akhirnya mengenai
anak buahnya sendiri yang
sedang mencari kesempatan
untuk membokong Dewi Hening.
Zyyrruub...!
"Aaahg...!" pekikan
pendek terdengar dari orang yang
terkena sinar putih bening
itu. Orang tersebut mengejang
seketika dengan kedua tangan
terangkat, kedua kaki
merapat sedikit melengkung ke
depan. Tubuh orang itu
berasap putih, kejap berikut
asap pun hilang dan sosok
tubuh orang tersebut berubah
menjadi patung kaca
lengkap dengan goloknya.
Pendekar Mabuk terperanjat dan
hatinya
menggumam, "Jurus 'Surya
Benggala'...?! Mungkin
inilah yang diceritakan Kejora
saat di dalam gua?!
Dahsyat sekali!"
Orang yang berubah menjadi
patung kaca bening itu
tersentuh oleh jubah Dewi
Hening. Seketika itu pula
patung kaca menjadi pecah dalam
bentuk serpihan beling
kecil-kecil. Pyaaar...!
Rasa kagum Suto Sinting
terpaksa diputus karena ia
melihat lagi gerakan sinar
putih bening meluncur dari
jari tangan Badai Kutub,
sasarannya ke arah Kejora. Saat
itu Kejora sedang lengah
perhatikan pecahan kaca.
Pendekar Mabuk segera melesat
dan menghadang
kecepatan sinar putih bening
tersebut. Zlaaap...!
Seberkas sinar hijau melesat
dari tangan Suto Sinting
dan bertabrakan dengan sinar
putih bening.
Claaap...!
Blegaaarrr...!
Ledakan sangat tinggi terjadi
akibat benturan sinar
putih dengan sinar dari jurus
'Pukulan Guntur Perkasa'
milik Pendekar Mabuk. Ledakan
itu membuat beberapa
pohon tumbang dan puncak bukit
bagai mau runtuh
tertelan bumi. Badai Kutub
terlempar ke belakang,
demikian pula Suto Sinting.
Kejora dan Menik terlempar
berlainan arah. Dewi Hening
terjungkal ke depan,
pedangnya terlempar dan tepat
menancap di dada lawan
terakhirnya. Jrrrub...!
Pendekar Mabuk cepat bangkit
dan memandang
sekelilingnya. Menik
terguling-guling menuruni lereng
bukit. Badai Kutub berkelebat
ingin menangkap anak
itu, tapi Suto Sinting lebih
dulu melesat menyambar
tubuh Menik. Zlaaap...!
Wuuut...!
"Jahanam kauuu...!"
geram Badai Kutub, kemudian ia
mengangkat kedua tangannya ke
atas kepala membentuk
cakar menyeramkan. Pendekar
Mabuk segera
melepaskan Menik dan gadis
kecil itu berlari dengan
lincah,tahu-tahu sudah ada di
atas pohon.
Badai Kutub keluarkan asap
hitam dari kedua
tangannya. Asap hitam itu
menyembur ke arah Pendekar
Mabuk. Tak ada jalan lain
untuk menghadapi asap hitam
yang sudah pasti mengandung
racun ganas itu kecuali
dengan cara menghindarinya.
Zlaaap, zlaaap...! Suto
Sinting sudah berada di
belakang Badai Kutub. Lelaki
berjubah biru tua itu
bingung mencari lawannya, lalu
berbalik ke belakang.
Pada waktu itulah Suto Sinting
lepaskan jurus 'Surya
Dewata'-nya, berupa sinar ungu
sebesar lidi yang keluar
dari kedua tangan yang saling
merapat. Claaap...!
Bleeegaaar...!
Ledakan dahsyat terdengar
kembali, karena Badai
Kutub menangkis sinar ungu itu
dengan sinar putih
beningnya yang tadi. Ledakan
itu membuat tubuh Badai
Kutub terlempar ke belakang
dalam keadaan berasap,
sedangkan Suto Sinting
terjungkal dengan mulut
semburkan darah kental.
"Sutooo...?!" pekik
kejora sambil berlari menuruni
lereng bukit. Gadis itu sangat
cemas melihat keadaan
Suto Sinting. Tetapi Suto
Sinting segera bangkit
menampakkan keperkasaannya.
Badai Kutub bangkit dengan
tubuh masih berasap.
Ternyata keadaannya cukup
menyedihkan. Badannya
menjadi hangus dengan rambut
peraknya menjadi
trondol dan hitam akibat
terbakar gelombang ledakan
tadi. Melihat keadaan lawannya
lebih parah, Pendekar
Mabuk menjadi lebih
bersemangat lagi. Ia buru-buru
menenggak tuaknya beberapa
teguk, kemudian bersiaga
lagi menghadapi serangan
lawannya. Namun ternyata
lawannya tak lakukan serangan
melainkan justru
melarikan diri.
Weeesss...!
Zlaaap...! Pendekar Mabuk
mengejar dengan jurus
'Gerak Siluman' yang menjadi
andalan larinya itu.
Agaknya Badai Kutub merasakan
lukanya sangat
berbahaya dan tak mungkin bisa
bertahan, ia akan
kembali bertarung jika sudah
sembuhkan lukanya.
Tetapi Suto Sinting tak mau
kehilangan kesempatan,
ia mengejar terus lawannya
yang berusaha menghindari
pertarungan kedua. Pengejaran
itu tak sadar memancing
Suto Sinting untuk mendekati
sebuah bukit, tempat
bangunan batu bernama Candi
Bangkai itu berdiri.
Di kaki bukit itu, tiba-tiba
Badai Kutub hentikan
langkahnya. Kedua tangannya
mengejang keras di
samping dada dengan telapak
tangan terbuka. Suto
Sinting berhenti mendadak
karena gerakan kakinya
terasa berat.
Rupanya Badai Kutub keluarkan
jurus andalannya
berupa badai salju yang
menghembuskan angin
berkecepatan tinggi dengan
hawa salju yang
menggigilkan tulang. Suto
Sinting menggeram jengkel
merasa terjebak dalam udara
dingin. Tapi ia berusaha
untuk tetap maju dengan
gerakan kaki yang amat berat.
Sementara itu busa-busa salju
mulai menerpa tubuhnya,
membuat tubuh kekar itu bagai
dihinggapi serat-serat
kapas.
Tubuh yang hampir terjungkal
karena desakan badai
salju itu membuat Suto Sinting
kian menggeram dengan
mengerahkan seluruh tenaga
untuk bertahan. Akhirnya ia
tak sabar lagi dan memekik
keras-keras dengan mulut
terbuka dan kaki menghentak ke
bumi.
"Heeeaaahh...!"
Pada saat itulah kekuatan
dahsyat yang dinamakan
Napas Tuak Setan terlepas dari
mulut dan hidung
Pendekar Mabuk. Napas Tuak
Setan adalah kekuatan
dahsyat yang menghadirkan
badai besar tiada
tandingnya.
Wuuuusss...!
Wuuueerrr...!
Alam bergemuruh dengan
guncangan mengerikan
terjadi di bagian tanah.
Langit bermega hitam bergulung-
gulung memercikkan cahaya
petir yang saling
menggelegar bagaikan ingin
meruntuhkan sang langit.
Badai besar melanda bagian
alam di depan Pendekar
Mabuk. Pohon-pohon tumbang dan
beterbangan dengan
sangat mengerikan. Batu-batu
pun sebagian pecah
sebagian lagi beterbangan
sebesar apa pun ukurannya.
Tubuh Badai Kutub terlempar
tanpa ampun lagi,
tergencet pohon besar dengan
batu sebesar rumah.
Nyawanya jelas tak ada lagi.
Tapi mayatnya akhirnya
terlempar karena amukan badai.
Alam bagaikan klamat, badai
yang mengamuk
mencapai di ketinggian bukit.
Bangunan hitam dari batu
yang bernama Candi Bangkai
roboh tersapu badai yang
mengamuk. Jerit dan teriakan
orang sekarat saling
bersahutan. Seluruh penghuni
Candi Bangkai tersapu
badai, terpental ke sana-sini,
terbang tak tentu arah
bersama pohon-pohon dan
batu-batu yang terhempas
sangat kuat.
"Jahanaaammm...!"
Suara teriakan murka itu
terdengar menggema,
namun terbawa badai dan makin
lama semakin menjauh,
lalu hilang ditelan gemuruh
badai. Teriakan itu datang
dari mulut Barakoak, yang
menamakan dirinya si Raja
Iblis. Rupanya Barakoak juga
ikut terlempar dan entah
bagaimana nasibnya tak
diketahui secara jelas oleh
Pendekar Mabuk.
Yang jelas, tanah bukit itu
longsor separo bagian,
bangunan candi roboh menjadi
tumpukan batutanpa arti.
Mayat-mayat bergelimpangan di
sana-sini, pada
umumnya tergencet pohon atau
batu besar yang tak
sempat pecah. Sedangkan yang
tidak mengalami
gencetan terkapar tak bernyawa
dalam keadaan luka
parah jauh dari bukit itu.
Pendekar Mabuk terengah-engah
saat badai telah
berhenti. Dewi Hening dan
kedua adiknya datang, dan
mereka menjadi lega melihat
Suto Sinting dalam
keadaan selamat. Pemuda itu
menenggak tuaknya
beberapa teguk untuk
mengembalikan tenaganya yang
lemas karena tadi melawan
badai salju.
Kejora memeriksa keadaan
sekeliling dengan mata
mendelik tegang dan
terheran-heran. Ia menemukan
mayat Badai Kutub tergencet
pohon dan batu besar. Si
kecil Menik berseru dari
samping Kejora yang ada di
dekat mayat itu,
"Utusan si Raja Iblis tak
bernyawa lagi! Jangan ada
yang maumeminjamkan
nyawanya!"
Dewi Hening tertawa kecil
dalam desahan lembut.
Pendekar Mabuk pun akhirnya
tertawa seraya
menyambut kedatangan Menik
yang melompat dalam
gerakan plik-plak, tahu-tahu
berada di pundak Suto
Sinting.
"Sakti sekali kau, Kang
Pendekar!" ujarnya sambil
mencubit hidung Suto Sinting.
Kemudian ia berseru dari
atas pundak Suto,
"Ayo, siapa yang berani
melawan kakak iparku ini!"
"Menik...?!" ucap
Dewi Hening dalam desahan
menghentak dan Kejora pun
berucap sama dalam suara
jelas. Keduanya sama-sama
merasa cemas dan malu
mendengar Menik menyebut
'kakak ipar' kepada Suto
Sinting. Mereka berdua jadi
tak enak hati, tapi Suto
Sinting hanya terkekeh geli.
SELESAI