SEKELEBAT bayangan melintas
menuju arah utara. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan hingga tak terlihat
bentuk dan wajah orang yang berlari itu. Arah yang dituju sangat jelas sebuah
bukit di pesisir pantai utara. Bukit itu tak seberapa tinggi, na-mun menjadi
patokan bagi para nelayan untuk menandai arah pantai utara. Bukit yang bagian
puncaknya berbidang datar mirip tanah lapang yang dikelilingi pohon pada
lerengnya itu selalu menjadi incaran orang-orang yang berada di tengah laut.
Jika mereka mulai melihat
bukit yang banyak ditumbuhi pohon jati merah, maka itulah pertanda mereka mulai
mendekati wilayah pantai utara tanah Jawa. Karenanya bukit itu dinamakan Bukit
Mata Laut.
Tak heran jika sekelebat
bayangan yang melintas itu dapat dengan mudah menemukan letak Bukit Mata Laut,
karena ia menggunakan ciri pepohonannya yang terdiri dari pohon jati merah itu.
Dalam waktu singkat sekelebat bayangan tersebut telah mencapai lereng bukit.
Kejap berikutnya ia telah mencapai puncak bukit dan berhenti di balik sebuah
pohon.
"Oh, ternyata sudah
banyak orang? Apakah mereka sekadar ingin menyaksikan pertarungan ini atau juga
ingin ikut terjun dalam pertarungan?' pikir sosok bayangan tadi yang ternyata
seorang gadis berpakaian kuning gading. Gadis jelita itu berambut pendek, ada
poni dikeningnya. Pedang di pinggang berbatu ungu pada gagangnya. Gadis cantik
itu mempunyai tato gambar bunga mawar di pergelangan tangan yang menandakan
bahwa ia adalah murid Perguruan Mawar Seruni, mendiang gurunya bernama Nyai
Punding Sunyi. Gadis cantik itu tak lain adalah Kirana, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Lentera Kematian").
Dulu Kirana selalu mendampingi
seorang pendekar tampan yang bergelar Pendekar Mabuk yang punya nama Suto
Sinting itu. Dia menyimpan perasaan suka pada sang pendekar, tetapl tak pernah
dicetuskan melalui kata-kata. Rasa suka kepada sang pendekar disimpannya saja
di dalam hati, sebab Kirana tahu Pendekar Mabuk sudah mempunyai kekasih, calon
istri yang amat dicintainya, yaitu Gusti Mahkota Sejati yang bernama asli Dyah
Sarinlngrum, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu. Rasa cinta
yang terpendam dan mau mengalah untuk tidak menampakkan tuntutannya itulah yang
membuat Kirana nadir di Bukit Mata Laut tersebut.
Ketenaran nama Pendekar Mabuk
di kalangan para tokoh persilatan membuat sang pendekar selalu menjadi pusat
perhatian dan pembicaraan mereka, sehingga dalam waktu yang amat singkat kabar
tersebut me-nyebar dengan cepat menyusupi telinga-telinga mereka.
Kabar itu tak lain adalah
kabar tentang pertarungan Pendekar Mabuk yang akan dilakukan di Bukit Mata
Laut. Lawannya dari Tanah Hindus, seorang perwira kepercayaan Raja Kulana Baham
bernama Syakuntala. Tantangan Syakuntala itu terjadi di tengah laut ketika
kapalnya berpapasan dengan perahu yang digunakan Pendekar Mabuk menuju Pulau
Selayang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Tabib Darah
Tuak").
Kabar yang cepat menyebar
membuat para tokoh rimba persilatan berdatangan mengunjungi Bukit Mata Laut.
Pada umumnya mereka yang datang adalah orang-orang yang sudah mengenal
kesaktian Syakuntala dan kehebatan ilmunya Pendekar Mabuk. Mereka ingin
menyaksikan dengan matanya sendiri seperti apa pertarungan dua tokoh sakti
tersebut. Mereka ingin tahu, siapa yang unggul dalam pertarungan itu.
Tetapi ada pula yang hadir di
Bukit Mata Laut untuk mewakili tantangan Pendekar Mabuk dalam menghadapi
Syakuntala. Umumnya mereka yang mempunyai perasaan cinta terhadap sang pendekar
tampan itu merasa tak rela jika Suto Sinting dilukai oleh Syakuntala. Mereka
ingin tampil sebagai perisai sang pendekar. Hasrat seperti itulah yang membuat
Kirana hadir di Bukit Mata Laut dengan segenggam harapan dapat membuktikan
pembelaan dan kesetiaannya terhadap Suto Sinting.
Tetapi ketika Kirana ingin
bergerak mendekati tanah lapang yang sudah dihadiri orang banyak itu, tiba-tiba
langkahnya terhentl karena seseorang berkelebat mendekatinya. Kirana sempat
terkejut karena kehadiran orang tersebut bagaikan muncul secara tiba-tiba dari
arah samping kirinya.
"Kirana," sapa orang
itu.
"Oh, kau...!" Kirana
hampir berkelebat menendang orang itu karena gerak nalurinya. "Kau sangat
mengejutkan diriku, Citradani! Hampir saja aku menendangmu."
"Maaf, aku tidak
bermaksud mengejutkan dirimu, Kirana," ucap Citradani dengan tersenyum kecil.
Wanita cantik yang mengenakan pakaian merah jambu itu adalah murid dari
Perguruan Bang Putih yang usianya dua puluh empat tahun, sejajar dengan usia
Kirana. la pernah bertemu dengan Pendekar Mabuk ketika terusir dari
perguruannya karena menghilangkan kalung pusaka 'Lintang Suci' milik sang Guru
yang jika nama aslinya disebutkan akan menghadirkan angin badai dan guntur
berhamburan.
"Apakah kau datang
sendirian, Citradani?"
"Ya. Aku mewakili Guru
Embun Salju untuk menyaksikan pertarungan Suto dengan Syakuntala," jawab
Citradani sambil melangkah menuju ke arena pertarungan. la menyambung kata,
"Guru Embun Salju pernah
bertempur melawan Syakuntala, jadi beliau tahu persis kekuatan Syakuntala.
Menurut beliau, Syakuntala orang berbahaya. Ilmunya cukup tinggi dan bersifat
liar. Jika tidak berilmu tinggi ia tidak akan dijadikan panglima Tanah Hindus.
Sejujurnya saja, Guru Embun Salju merasa cemas mendengar kabar Syakuntala akan
bertarung melawan Suto Sinting. Guru mencemaskan keselamatan Suto Sinting, sebab
itu aku dikirim untuk membayang-bayangi Suto jika dalam bahaya yang akan
merenggut jiwanya."
"Kudengar Syakuntala itu
memang orang berilmu tinggi. Tapi bagaimanapun juga aku merasa masih mampu
menghadapi Syakuntala. Tak perlu Suto yang maju. Aku sudah selesaikan pelajaran
baru dari Kitab Gatra Lelana. Kurasa Syakuntala cukup menghadapiku saja
daripada menghadapi Suto Sinting."
"Hati-hatilah dalam
bertindak, Kirana. Guru pun berpesan padaku agar jangan bertindak gegabah
terhadap Syakuntala, karena ia mempunyai jurus yang mampu dilepaskan secara
tiba-tiba dan sangat di luar dugaan kita."
Kirana hanya tersenyum tipis.
Citradani tak tahu bahwa Kirana sekarang sudah diangkat menjadi ketua Perguruan
Mawar Seruni sejak berhasil menamatkan pelajaran dari Kitab Gatra Lelana. Tentu
saja ilmunya tidak seperti dulu lagi. Karenanya ia merasa sangat yakin dapat
tumbangkan Syakuntala dengan bekal ilmu barunya itu.
"Citradani, perhatikan
gadis cantik yang didampingi oleh Nyai Paras Murai dan Hantu Tari itu! Apakah
kau mengenalnya?"
Mata Citradani tertuju pada
gadis bermahkota kecil di kepalanya. Jubahnya ungu, pakaian dalamnya kuning,
rambutnya disanggul sebagian. Ada dua pengawal di bagian belakangnya. Salah
satu pengawal dikenal oleh Citradani sebagai tokoh yang bernama Batu Sampang.
"Dia yang sekarang
menjadi ratu di Muara Singa. Dialah yanq dulu dikenal dengan nama Tandu
Terbang."
"Oh...?! Jadi gadis
itulah yang ada di dalam Tandu Terbang itu?"
"Benar. Namanya sekarang
dikenal sebagai Ratu Galuh Puspanagari. Kabarnya Suto Sintinglah yang
merebutkan takhta untuknya dan menjaga dari rencana penggulingan takhta yang
akan dilakukan oleh Raja Tumbal. Suto Sinting yang berhasil membunuh Raja
Tumbal.
Kabarnya pula ratu itu adalah
murid Pendeta Arak Merah dari Tibet. Kesaktiannya sedikit berkurang sejak ia
menduduki takhta sebagai Ratu di negeri Muara Singa. Tapi sisa kesaktiannya
masih membuatnya d-pandang sebagai tokoh beriimu tinggi juga." (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Tandu Terbang").
"Dari mana kau tahu
tentang dia?"
"Gusti Guru Embun Salju
belum lama ini berkunjung ke negeri Muara Singa, karena punya hubungan baik
dengan kakak angkat sang ratu bernama Purnama Laras. Orang yang berjalan paling
depan itulah yang bernama Purnama Laras."
"Menurutmu apa rencananya
datang kemari?" tanya Kirana penuh selidik.
"Mungkin sama dengan
kita, ingin melihat keunggulan Suto Sinting, atau ingin membuktikan siapayang
unggul dalam pertarungan nanti."
"Barangkali mereka akan
kecewa, karena Suto Sinting tak akan berhadapan dengan Syakuntala. Orang yang
akan menumbangkan Syakuntala adalah aku sendiri."
Citradani mendesah, "Ah,
jangan sebodoh itu, Kirana. Urungkan niatmu!"
Kirana hanya tersenyum sinis,
tapi bukan karena benci kepada Citradani, melainkan bersikap meremehkan nasihat
sahabatnya itu. Kirana dan Citradani membaur dalam kerumunan orang-orang yang
menunggu saat pertarungan dimulai. Agaknya pihak Syakuntala sudah siap sejak
tadi dengan jumlah anak buahnya yang berkumpul di sisi timur.
Ternyata yang ingin menyaksikan
pertarungan seru itu bukan hanya Palupl, si Ratu Puspanagari itu, melainkan
juga ada tokoh lain yang menaruh simpati dan menyimpan kekaguman terhadap
Pendekar Mabuk. Antara lain: Ki Argapura, si jago pedang yang pernah
mengajarkan jurus pedangnya kepada Suto. Delima Gusti, putri Adipati Suralaya,
yang pernah terlibat masalah bersama Suto dalam peristiwa Cambuk Getar Bumi.
Kelana Cinta, mata-mata dari
Ringgit Kencana yang selalu menjadi wakil Ratu Asmaradani. Prasonco alias Raja
Maut, sahabat karib gurunya Suto Sinting; si Gila Tuak. Hadir juga di situ
Bongkok Sepuh alias si Setan Arak, yang pernah diselamatkan Suto Sinting dari
ancaman maut ilmu 'Darah Gaib' dan 'Bias Dewa' itu. Tak ketinggalan pula Batuk
Maragam yang bernama asli Brajamusti juga ada di situ bersama gadis yang ingin
menjadi muridnya; Camar Sembilu. Serta beberapa tokoh lain yang masing-masing
punya rasa kagum kepada kependekaran murid sinting si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang itu.
Tetapi mereka menyimpan
pertanyaan dalam hati karena Suto Sinting belum kelihatan tampil di situ. Bagi
mereka, sangat mustahil jika Suto Sinting sebagai Pendekar Mabuk yang
belakangan ini disebut-sebut sebagai Tabib Darah Tuak itu akan ingkar janji
dengan tidak menghadiri pertarungan tersebut. Suto Sinting pasti datang. Tapi
mengapa sampai hari menjadi lewat siang sang pendekar tampan itu belum muncul
juga? Adakah sesuatu yang menghambat langkahnya menuju Bukit Mata Laut'.
Terdengar percakapan Batuk
Maragam dengan Bongkok Sepuh yang ada di samping Ki Argapura dan Raja Maut,
"Suto pasti datang. Sebab
saat kami berada di Pulau Selayang, Suto sudah bilang padaku bahwa ia harus
penuhi tantangan pertarungan dengan Syakuntala. Mestinya aku yang akan
menghadapi Syakuntala, tapi ia wanti-wanti sekali agar aku tidak merusak
rencananya menundukkan panglima Tanah Hindus itu.
Uhuk, uhuk, uhuk ..... '
Mendengar batuknya Brajamusti,
mata Syakuntala di seberang sana memandang dengan beringas. Batuk Maragam
mengetahui sorot pandangan mata bekas lawannya yang pernah dipotong jari
kelingkingnya itu, tapi Batuk Maragam tidak melayani sikap tersebut. Karena
Raja Maut segera bertanya dan ia harus memberi penjelasan kepada sahabatnya
itu,
"Apa yang membuat Suto
Sinting harus bertarung dengan Syakuntala di sini?"
"Sebenarnya ini akibat
siasat dari, uhuk, uhuk...!"
"Siasat uhuk, uhuk itu
yang bagaimana?"
"Aku sedang batuk! Jangan
diartikan sebagai bahasa mulut!" gerutu Batuk Maragam. "Sebenarnya
ini akibat siasat Suto yang ingin menghindari murka Syakuntala terhadap perahu
kami. Jika Suto tidak gunakan tantangan seperti ini, maka akan timbul korban
tak ber-salah di perahu kami yang kala itu membawa Jelita Bule dan Pesona Indah
ditambah si anak desa Pande Bungkus itu."
Batuk Maragam jelaskan pula
tujuan perahu mereka menuju pulau Selayang, karena ingin menolong Ratu negeri
Malaga yang bernama Ratu Rangsang Madu dari pengaruh racun ganas milik mendiang
Nyai Sunti Rahim. Racun itu hanya bisa disembuhkan oleh darah Pendekar Mabuk
yang disebut-sebut sebagai Tabib Darah Tuak.
Sedangkan Syakuntala sendiri
kala itu juga bermaksud membawa Suto sebagai Tabib Darah Tuak yang harus
sembuhkan Raja Kulana Baham, pe-nguasa Tanah Hindus yang menderita sakit tak
tersembuhkan, hanya dengan bantuan Tabib Darah Tuaklah penyakit itu bisa disembuhkan.
Sedangkan Raja Kulana Baham itu adalah raja yang lalim, licik dan gemar
menjajah kemerdekaan negeri lain, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Tabib Darah Tuak").
Tantangan itu menyebutkan,
jika Syakuntala bisa kalahkan Suto Sinting dalam pertarungan, maka Suto akan
mau dibawa ke Tanah Hindus, tapi jika tidak, maka Syakuntala tidak akan bisa
membawa Tabib Darah Tuak. Mau tak mau akan pulang ke Tanah Hindus dengan tangan
hampa tanpa sang tabib. Hal itu dilakukan oleh Suto Sinting sebagai pengajaran
bagi raja Tanah Hindus sendiri atas perbuatan kejinya selama ini yang mendapat
upah penyakit kutukan tak tersembuhkan itu. Pada dasarnya, Batuk Maragam dan
Jelita Bule sendiri tidak setuju jika Suto Sinting pergi ke Tanah Hindus, sebab
banyak bahaya yang akan membuat Suto Sinting tak dapat keluar dari sana.
Syakuntala tampak tak sabar.
Orang bercambang dan berkumis lebat itu mondar-mandir dengan gelisah. Kepalanya
yang gundul menjadi mengkilap karena ter-panggang matahari. la mengenakan baju
putih tanpa lengan dan celana putih ketat bawah membentuk keke-karan kakinya,
seakan kuda-kudanya tak mungkin bisa dipatahkan lawan. Pedang lengkung di
pinggang dari perak hias selalu dipegang gagangnya, bagai tak sabar ingin
segera mencabutnya. Matanya yang bulat lebar, tubuhnya yang berotot gepal, dua
anting di kanan kiri telinganya itu, benar-benar membuat penampilan Syakuntala
tampak menyeramkan. la tak merasa malu wa-lau tahu banyak mata yang tertuju
pada kelingkingnya yang cacat karena terpotong dalam pertarungan dengan Batuk
Maragam itu.
Karena tak sabar, Syakuntala
berteriak dengan berangnya, "Mana Pendekar Mabuk itu?! Apakah dia
bersembunyi di balik ketiak wanita?! Seharusnya kalau dia takut menghadapiku,
datang saja dan bersujud di hadapanku, aku pasti akan mengampuni mulut besarnya
yang hanya bisa berkoar-koar penuh sampah itu!"
Mendengar pendekar idamannya
dihina, Kirana menjadi panas hati. Memang sebenarnya bukan hanya Kirana saja
yang panas hati mendengar hinaan itu. Palupi, Kelana Cinta dan beberapa wanita
pengagum Suto Sinting juga merasa hatinya bagaikan disiram air men-didih. Tapi
mereka bisa menahan diri. Hanya Kirana yang kurang bisa menahan diri, sehingga
dengan Ian-tang ia berseru dari tempatnya,
"Hei, Gundul Kopong...!
Bicaralah dengan hati-hati sebelum kepala gundulmu menggelinding ditebas jari
kelingking Pendekar Mabuk!"
Mata Syakuntala tertuju kepada
Kirana, memandang dengan tajam. la segera tampil di arena yang terbentuk dengan
sendirinya karena dikelilingi para penonton yang hadir di situ. Di tengah arena
itu Syakuntala menuding Kirana sambil berkata keras-keras,
"Siapa kau, Gadis Peot?!
Kalau kau merasa tak senang dengan hinaanku, majulah kemari dan hadapi
aku!"
Wuuut...! Kirana tanpa
berpikir panjang lagl lang-sung melompat dan tiba-tiba sudah berada di tengah
arena. Beberapa mata yang melihat kejadian itu memandang tegang. Beberapa hati
berkata, Terlalu bera-ni gadis itu!"
"Aku sudah di sini!
Sekarang mau apa kau?!" tantang Kirana dengan tegas.
"Sepertinya kau tak rela
jika aku menghina Pendekar Mabuk si Tabib Darah Tuak itu!"
"Tantanganmu itu pun
sudah termasuk menghina dan menyinggung perasaanku, Kepompong Gundul! Kau pikir
kau bisa unggul menghadapi Pendekar Mabuk? Tidak! Kau akan tumbang dan pulang
tinggal nama. Tapi jika kau bertarung melawanku, kau masih punya keuntungan,
yaitu dapat pulang bersama nyawamu walau akhirnya di sana pun kau akan
kehilangan nyawa juga."
"Mulut lancang!"
geram Syakuntala dengan mata melebar ganas. "Apa maumu sebenarnya, Gadis
Edan?!"
"Aku mewaklli Pendekar
Mabuk! Kau tidak akan bisa bertarung melawannya sebelum mampu menumbangkan
diriku, Kepompong Sawah!"
"Jahanam!
Hiaaat...!"
Tangan orang gundul itu
menyentak tiba-tiba dengan bentuk jari seperti cakar elang. Dari tengah telapak
tangannya itu melesat selarik sinar merah. Bentuknya seperti besi panjang yang
membara. Slaaap...! Sinar merah itu menuju dada Kirana. Tapi gadis itu dengan
cepatnya menyentakkan kakinya ke depan dengan tendangan miring. Dari sisi kaki
itu keluar gelombang bersinar biru yang menghantam sinar merah tersebut.
Claaap.-.l Wuuusss...! Blaaar...!
Kirana terpental tak seberapa
jauh. Tapi ia masih bisa berdiri walau pandangan matanya sedikit buram karena
pancaran sinar ledak tadi. la segera tarlk napas dan pandangan matanya kembali
normal. Pada saat itulah ia melihat Syakuntala melompat dan mencabut pedangnya
untuk ditebaskan dari atas kanan ke bawah kiri. Wuuuttt...!
Traaang...! Kirana mampu
bergerak cepat mencabut pedangnya dan menangkis tebasan itu. Kakinya berkelebat
lagi menendang wajah Syakuntala. Tetapi kaki itu justru dihantam oleh kepalan
tangan kiri Syakuntala. Deees...! Keduanya sama-sama tersentak mundur dua
tindak.
"Pukulannya mengandung
hawa panas yang tinggi," pikir Kirana. "Kakiku terasa dibakar
seketika. Untung hawa murniku cepat tersalur ke bawah. Aku harus hati-hati
dengan pukulannya itu."
Syakuntala kembali menyerang
dengan jurus pedangnya yang membuat tubuhnya melompat sana-sini membingungkan
pandangan lawan. Kirana menghadapinya dengan jurus baru, sebuah jurus pedang
yang dilakukan dengan memutar tubuh bagaikan gangsing. Gerakan pedangnya sampai
timbulkan bunyi menggaung karena cepatnya. Gerakan memutar itu pun
membingungkan Syakuntala karena setiap pedang yang ditebaskan selalu saja
mengenai pedang Kirana.
Trang, trang... trang...
tring, taaang... trang... !
Sepuluh jurus tebasan pedang
tak berhasil lukai tubuh Kirana. Pandangan mata Syakuntala dibuat bingung
membedakan mana pedang dan mana baglan tubuh Kirana. Syakuntala segera
mundurkan diri. Wuuut...!
Dalam jarak lima langkah ia
berdlri tegak membiarkan Kirana berputar-putar terus tanpa sadar bahwa lawannya
sudah berhentl menyerang dan sedang memperhatikan. Salah seorang penonton
menjadi pusing dan mual perutnya melihat tubuh Kirana berputar secepat gangsing
itu.
Sllaapp...! Kirana akhirnya
berhenti berputar cepat. la tidak merasakan pusing sedikit pun, sehingga ia
bisa berdiri tegak menghadap Syakuntala. Tapi di luar dugaan, tiba-tiba
Syakuntala lepaskan senjata rahasianya berupa logam menyerupai bentuk ujung
panah yang melesat cepat dari sentakan tangan kiri.
Zlaaab, zlaaab, zlab...!
Kirana cepat kibaskan
pedangnya. Trang, tring...! Jrrub...! Satu dari tiga logam putih itu menghantam
tepat di bawah pundak kiri Kirana.
"Aahg...!" Kirana
terpekik dan oleng ke belakang. la mundur dengan terhuyung-huyung dan pegangl
pundaknya yang terluka itu. Benda tersebut sudah telanjur terbenam di daging
bawah tulang pundak.
Sakitnya bukan main. Kirana
menjadi pucat pasi dan jatuh terkulai di dekat kaki Bongkok Sepuh.
Citradani segera menuju ke
tempat Kirana. Bongkok Sepuh menolong Kirana, tapi wajah Kirana semakin pucat.
Tak ada darah yang keluar dari luka itu kecuali warna daging yang memerah saja.
"Celaka! Senjata rahasfa
Itu mengandung racun tinggi!" kata Bongkok Sepuh.
"Kirana...! Kau terluka
parah. Berbahaya sekali!" kata Citradani. Wajahnya tegang melihat Kirana
semakin pucat dan semakin lemas. Kulit tubuh gadis itu mulai membiru di sekitar
luka.
"Tengkurapkan dia!"
kata Batuk Maragam. Citradani memiringkan tubuh Kirana. Lalu, telapak tangan
Batuk Maragam menghantam pundak belakang Kirana dengan satu sentakan
mengejutkan. Dddus...!
Slaaap...! Logam putih beracun
yang terbenam di tubuh Kirana itu melesat keluar. Barulah darah keluar dari
luka tersebut. Tapi darah yang keluar sudah bercampur dengan racun ganas
sehingga warnanya bukan merah lagi, melainkan hitam bercampur larutan warna
hijau tua.
"Dia terkena 'Racun Getah
Mayat' Sulit disembuhkan. Sebentar lagi pasti akan mati," kata Batuk
Maragam. "Bawa keluar dari sini, biar kuobati sebisaku! Siapa tahu dia
akan uhuk, uhuk, uhuk, ihiiiik ......... heoeek...!"
Batuk Maragam tak bisa
lanjutkan kata-katanya karena sakit batuk menyerang lagi. Citradani membawa
Kirana keluar dari lingkaran orang-orang yang membentuk arena pertarungan itu.
Sementara Kirana ditangani
oleh Batuk Maragam, Syakuntala semula ingin mengejar Kirana dan membunuhnya
hingga mati. Tapi gerakan liarnya itu segera ditumbangkan oleh pukulan jarak
jauh tanpa sinar.
Wuuut...! Beehg...! Tubuh
lelaki berlengan kekar dan berkulit hitam itu tersentak ke arah lain, melayang
kehilangan keseimbangan tubuh, lalu jatuh terpelanting di depan kaki tiga anak
buahnya. Brruk...!
"Bangsat licik! Siapa
yang menyerangku tadi!" bentaknya dengan suara keras dan kasar. Ketiga
anak buahnya segera gelengkan kepala saat mata Syakuntala menatap mereka.
"Bukan saya yang
menyerangnya, Tuan!"
Plook...! Anak buah yang
bicara itu ditampar keras ke kanan hlngga melintir bagai seseorang sedang
me-nari. Orang itu lalu jatuh terduduk dengan wajah menyeringai karena pipinya
hangus dan berasap. Itu pertanda bahwa Syakuntala benar-benar marah besar
hingga tak sadar tenaga dalamnya tersalur keluar melalui telapak tangan yang
digunakan menampar tadi.
"Siapa yang menyerangku
tadi, hah?!" teriak Syakuntala sambil berjalan ke tengah arena. Lalu,
terdengar suara seorang gadis berseru tegas,
"Aku...!" Kemudian
gadis itu tampil ke tengah arena. Gadis itu tak lain adalah Palupi, si Ratu
Galuh Puspanagari.
"Galuh, tahan dan
kendalikan dirimu!" bisik Purnama Laras.
"Akan kulawan dia!"
ujarnya sambil melangkah maju ke arena. Batu Sampang ingin bergerak maju, tapi
tangannya segera ditahan oleh Purnama Laras.
"Biarkan! Dia ingin
lampiaskan perasaannya terhadap Suto dan musuh Suto!"
Palupi tampil sebagai wanita
berpakaian indah karena memang ia seorang ratu. Tetapi Nyai Paras Murai, Hantu
Tari, Batu Sampang, dan Purnama Laras sendiri menjaga di sekeliling arena untuk
segera berikan bantuan jika terjadi sesuatu yang membahayakan ratu mereka.
"Siapa kau, sehingga
berani menyerangku dari samping, hah?!" bentak Syakuntala dengan ganas.
"Aku Palupi! Mungkin kita
pernah bertemu di suatu tempat manakala kau mengenalku sebagai Tandu
Terbang."
Wajah Syakuntala tampak
terperanjat kaget mendengar nama Tandu Terbang. la bersuara menggeram,
"O, rupanya kaulah orang
yang ada di dalam tandu itu?! Baik. Kita memang pernah bertemu dan mengadu
kesaktian ketika di Selat Madagaskar. Waktu itu aku kalah, tapi kali ini aku
tak akan kalah lagi!"
"Tebuslah kekalahanmu itu
sekarang juga, Syakuntala. Kau memang lebih baik berhadapan denganku daripada
dengan Suto Sinting yang hanya akan melenyapkan nyawamu dalam waktu kurang dari
lima hitungan!"
"Kutebus kekalahanku
dulu, Biadab! Heeeaaah...!" Tandu Terbang yang sekarang lebih senang
meng-aku bernama Palupi itu segera menyentakkan dua jarinya ke depan. Suuut...!
Tubuh berkepala gundul yang melayang hendak tebaskan pedangnya tersentak
mun-dur. Duuss...!
Seberkas sinar kuning kecil
menghantam perut Syakuntala. Sinar kuning kecil itu seperti sinar bertenaga
lima banteng murka. Syakuntala tak mampu menahan diri, sehingga tubuhnya
melayang terbuang ke belakang dan menabrak dua anak buahnya. Brruuusss...!
"Heeg...!" salah
satu anak buahnya terpekik tertahan karena tubuhnya terkapar dan kejatuhan
badan kekarnya Syakuntala yang berperawakan tinggi besar itu.
Orang itu mendelik bagai tak
bisa bernapas. Syakuntala sendiri menahan sakit dengan menggeletukkan gigi dan
mengancing mulut rapat-rapat.
Rasa mual yang amat kuat membuat
Syakuntala akhirnya tak mampu menahan diri dan muntah di tempatnya jatuh itu.
Isi perutnya terkuras keluar tanpa pe-duli muntahnya itu membasahi kaki anak
buahnya yang masih terkapar menahan sakit karena tertindih tubuh Syakuntala
tadi.
"Kusarankan, batalkan
saja pertarungan ini demi keselamatanmu, Syakuntala!" kata Palupi dengan
tegas dan berkesan penuh wibawa. Tapi hal itu justru membuat Syakuntala menjadi
semakin berang. la segera bangkit dan maju ke arena.
"Jangan punya niat
mengguruiku, Tandu Terbang! Kurobek mulutmu sekarang juga dengan pedangku ini!
Hiiaaah...!"
Wuuut... wwwuus...!
Pedang itu ditebaskan ke tubuh
Palupi. Tapi dengan gerakan cepat Palupi mampu melenting ke atas dan bersalto
satu kali. Jleeg...! la telah mendarat di belakang Syakuntala dengan kedua
kaki merenggang sigap. Syakuntala segera balikkan badan sambil layangkan
tendangan kakinya yang bergerak memutar itu.
Wuuss...! Plak, plak, plak!
Wuuuss...! Des, dess...!
Dua pukulan telapak tangan
Palupi kembali kenai dada Syakuntala. Tubuh kekar itu tersentak mundur tiga
tindak dalam keadaan melengkung. Dari mulutnya keluar darah beberapa percik
akibat pukulan telapak tangan bertenaga dalam itu.
Namun Syakuntala masih
penasaran dan tetap lakukan pembalasan. la meraba pedang lengkungnya dengan
tangan kiri dari gagang sampai ke ujung. Lalu pedang itu segera dikibaskan ke
arah tubuh Palupi. Kibasan itu memercikan tiga larik sinar merah dari kedua
tangan kanan-kirinya itu. Seber-kas sinar putih perak menyatu dalam kelebatan
berben-tuk gelombang-gelombang besar.
Blaaar...! Gelegaaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi dari
benturan dua jenis sinar itu. Palupi terpental jauh dari tempatnya, karena
jarak pertemuan dua sinar itu lebih dekat dengan diri-nya. Sedangkan Syakuntala
terpental sekitar tiga tindak ke belakang dalam keadaan jatuh terduduk, tidak
seperti Palupi yang terkapar dengan wajah memucat, darah keluar dari mulut dan
hidungnya.
Ledakan itu timbulkan getaran
pada bumi, seakan bukit itu ingin terbelah menjadi dua bagian. Beberapa orang
yang ada di situ juga berjatuhan karena guncangan mendadak tersebut.
RAJA MAUT memandang dengan
tegang, demikian pula yang lain. Ki Argapura berkata kepada Bongkok Sepuh,
"Tandu Terbang agaknya telah kehilangan ilmunya cukup banyak sejak menjadi
seorang ratu. Berbahaya sekali jika ia nekat bertarung dengan Syakuntala!"
"Memang. Pertarungan ini
tidak seimbang, harus dicegah!" Bongkok Sepuh hendak bergerak maju ke
arena, tapi pundaknya segera dicekal oleh Batu Maragam yang berkata,
"Jangan campuri
pertarungan ini. Kita hanya sebagai penonton saja, supaya Pendekar Mabuk tidak
merasa kecewa andai ia menang melawan Syakuntala. Kalau toh kita harus campuri,
akulah yang lebih berhak campur tangan karena Syakuntala bekas musuh
lamaku."
"Tapi ratu cantik itu
bisa mati kalau masih mencoba melawan Syakuntala!"
Raja Maut segera berseru
kepada Nyai Paras Murai yang berdiri tak jauh darinya, "Paras Murai, cegah
orangmu agar jangan masuk ke arena!"
Nyai Paras Murai hanya
mengangguk. Tapi ketika itu Hantu Tari bergegas mendekatl Purnama Laras dan
berkata, "Kalau kita tak turun tangan, sang Ratu bisa binasa di tangan
Syakuntala!"
"Sabarlah. Jangan
mengumbar kemarahan," kata Purnama Laras berkesan bijak.
Batu Sampang berkata,
"Izinkan saya menandingi Syakuntala!"
"Jangan. Sebaiknya kita
bawa keluar saja sang Ratu itu!"
Tetapi Hantu Tari tampak geram
dan benci sekali memandangi Syakuntala yang bersiap-siap lanjutkan pertarungan,
sementara Palupi masih menggeliat dalam keadaan terkapar.
"Aku harus bertindak sekarang
juga!" geram Hantu Tari.
Hantu Tari, tahan...!"
seru Nyai Paras Murai ketika Hantu Tari berkelebat masuk ke arena hendak
menyerang Syakuntala.
Gerakan yang tertahan membuat
Hantu Tari jengkel kepada gurunya dan berseru, "Dia melukai Palupi! Ini
saat terbaik untuk membalasnya."
"Jangan! Urus dulu sang
Ratu, lukanya cukup berbahaya!"
Hantu Tari terpaksa segera
angkat tubuh Palupi dan membawanya ke tepi arena. Sementara itu Syakuntala
segera bangkit, menggerakkan kedua tangannya dengan kerahan tenaga berotot.
Seakan ia sedang lakukan penyembuhan dengan permainan napasnya agar tubuhnya
kembali segera seperti sediakala.
"Tandu Terbang! Kau tak
bisa hentikan pertarungan Ini sebelum nyawamu kucabut dari raga!
Heiaaah...!"
Syakuntala kembali menyerang
Palupi, padahal Palupi sudah dalam perlindungan Hantu Tari, Purnama Laras, dan
Batu Sampang. Gerakan berbahaya Syakuntala itu segera dipatahkan oleh pukulan
tenaga dalam tanpa sinar dari Nyai Paras Murai. Wuuuut...! Buuhg...!
"Uuhg...!"
Syakuntala terpekik tertahan. Karena pada saat itu pula muncul serangan tanpa
sinar dari jarak jauh. Serangan itu datang bersama melesatnya sesosok tubuh
yang masuk ke dalam arena. Jleeg...!Kelana Cinta yang sejak tadi bersedekap
menyak-sikan pertarungan itu kini menedahkan kata lirih,
"Sumbaruni...?"
Wanita cantik berpakaian serba
ungu itu tak lain adalah Pelangi Sutera, alias Sumbaruni, bekas istri jin,
bekas panglima negeri dasar laut: Ringgit Kencana, yang berarti pula bekas
atasannya Kelana Cinta.
Melihat lawannya yang maju
kali ini, Syakuntala sedikit kecilkan matanya. Tapi pandangannya masih tajam,
Kedua pukulan jarak jauh yang mengenai tubuhnya tidak membuatnya lemah setelah
menarik napas dan menahannya di rongga dada dan perut.
"Kaukah yang bernama
Sumbaruni?!" geram Syakuntala dengan mata kian mengecil menatapi wajah ayu
Sumbaruni.
Wajah cantik berkesan gaiak
itu tak mau sunggingkan senyum, tapi bicaranya sangat tegas dan jelas.
"Aku memang Sumbaruni,
yang dulu pernah melukai rajamu sekian tahun yang lalu. Sekarang agaknya kau
ingin mengikuti jejak penyakit rajamu itu, Syakuntala!"
"Aku tak punya urusan
denganmu!"
"Sekarang kau mempunyai
urusan denganku. Karena Pendekar Mabuk tak kuizinkan bertarung melawanmu!"
"Mengapa kau ikut campur
pertarungan ini?! Apa hakmu mencampuri urusanku dengan Tabib Darah Tuak
itu!"
"Aku pelindungnya dan
pengawal setianya! Jika kau ingin menghadapi Pendekar Mabuk, kau harus
melangkahi mayatku lebih dulu!"
"Kulayani keinginanmu,
Sumbaruni. Heaaah...!"
Syakuntala tampak semakin ganas
melawan musuhnya yang sekarang. Sumbaruni bukan wanita yang mudah ditumbangkan.
Ilmunya tinggi dan mampu mengukur kekuatan lawannya dengan ilmu 'Getar Sukma'
yang dimilikinya. Syakuntala yakin, Sumbaruni berani tampil dl arena karena
wanita itu sudah mengukur ilmu lawannya yang dirasakan lebih rendah darinya.
Terbukti, tebasan pedang dan serangan tenaga dalam Syakuntala sejak tadi mampu
ditangkis dan dihindari oleh Sumbaruni.
Sampai-sampai, Syakuntala
sendiri membatin dalam hatinya,
"Bangsat! Sejak tadi
seranganku dipatahkan terus oleh jurus-jurusnya. Kudengar dia mempunyai jurus
'Anak Rembulan' yang dapat melumpuhkan lawan. Aku harus hindari agar ia tidak
lepaskan jurus itu. Kudului dengan melepaskan 'Racun Ludah Naga' yang akan
membuatnya tak berdaya.Tanpa menggunakan racun itu aku tak bisa melukai
tubuhnya!"
Syakuntala memainkan jurus
rendah. Tangannya berkelebat ke sana-slnl sambil yang kanan pegangi pedang.
Gerakan tangan dan tubuhnya yang meliuk-liuk itu menyerupai gerakan seekor naga
sedang mende-kati mangsanya. Tapi tiba-tiba Sumbaruni lepaskan jurus 'Anak
Rembulan' berupa sinar kuning seperti bintang yang dilemparkan dari tangan
kirinya. Ciaaap...!
Wuuutt...! Tubuh Syakuntala
melentak terbang menghindari sinar kuning itu yang segera menghantam tubuh
saiah satu anak buahnya. Tapi dalam gerakan menyentak bagaikan terbang itu,
tiba-tiba dari mulut Syakuntala keluar cairan hitam yang diiudahkan. Cuuuih...!
Ploook...!
Ludah hitam itu kenai leher
Sumbaruni walau sudah berusaha untuk dihindari. "Ahh...!" Sumbaruni
bagaikan mengeluh dan merasa jijik. Namun kejap berikutnya ia jatuh terkulai
berlutut karena seperti kehilangan seluruh tulangnya.
Tubuh itu segera tertunduk
lemas bagaikan tak bisa mengangkat kepala. Lehernya membekas hitam tanpa cairan
sedikit pun.
"Celakal Dia menggunakan
'Racun Ludah Naga'," ucap Batuk Maragam didengar oleh beberapa orang di
sekitarnya. Wajah Batuk Maragam menjadi tegang. Sumbaruni yang terkulai masih
berusaha berlutut dengan satu tangan menopang tubuh itu sangat mencemaskan para
penonton.
"Saatnya aku melayani
mayatmu, Sumbaruni! Hiaaah...!" Syakuntala melompat dengan pedang
terangkat di atas. Pedang itu pun segera ditebaskan ke arah leher Sumbaruni.
Wuuusss...! Zlaaap...!
Traaak... !
Pedang itu tiba-tiba tertahan
oleh sebuah benda yang datangnya tak terlihat mata para penonton. Benda itu
adalah bumbung tuak sakti milik Pendekar Mabuk. Dan tiba-tiba tangan Syakuntala
yang menghantamkan pedang itu tersentak ke belakang dengan keras, tubuh besar
itu pun terpelanting jatuh ke belakang. la bagai mendapat sentakan tenaga yang
membalik akibat benturan pedang dengan bumbung tuak.
Suara orang di sekeliling
mulai bergumam menggaung bagaikan lebah begitu melihat seorang pemuda berambut
lurus panjang sebatas lewat pundak, berpakaian coklat tanpa lengan dan celana
putih. Pemuda tampan itu tak lain adalah Pendekar Mabuk. Kedatang-annya membuat
para pengagumnya merasa lega, bahkan beberapa orang sempat bertepuk tangan
karena girangnya.
Terlambat sedikit saja
kedatangan Suto Sinting, maka leher Sumbaruni pasti telah jatuh terpenggal oleh
pedang Syakuntala. Sekalipun leher Sumbaruni selamat dari pedang Syakuntala,
tapi wanita cantik itu masih tetap terkulai di tanah dalam keadaan bersimpuh
dan tertunduk. Tubuhnya menjadi susut beberapa saat setelah terdengar suara
Syakuntala berkata kepada Pendekar Mabuk.
"Mengapa baru datang?
Apakah kau sengaja ingin menyerangku dari belakang?!"
"Maafkan keterlambatanku,
karena aku harus menghadap guruku lebih dulu!"
"Bagus. Berarti kau sudah
pamit untuk berangkat ke Tanah Hindus, Tabib Darah Tuak!"
"Justru Guru melarangku
pergi ke Tanah Hindus!"
"Gurumu itu memang setan
kurang ajar! Akan kupaksa muridnya agar Ikut denganku ke Tanah Hindus!"
"Kalau kau mampu, silakan
saja!"
"Kau ingin melawanku
dengan senjata atau tanpa senjata?!"
"Terserah mana yang baik
menurutmu!"
"Ha, ha, ha, ha...!"
Syakuntala tertawa dengan bangga. "Sebaiknya tak perlu gunakan senjata.
Kau akan luka dan mati oleh senjataku, nanti bagaimana nasib rajaku jika kau
sampai mati? Hmmm.... Bersiaplah menghadapiku, Tabib Darah Tuak!"
Setelah memasukkan pedangnya
ke sarung pedang, Syakuntala mulai memamerkan kecepatan gerak tangannya yang
menghasilkan tonjolan-tonjolan kuat dan keras pada lengannya. Pendekar Mabuk
pun menyelempangkan tali bumbung tuak, sehingga bumbung tuak itu berada di
punggungnya dengan aman. Gerakannya cukup sederhana, bahkan bagaikan tak
mengeluarkan tenaga dan otot.
Tapi ketika Syakuntala maju
menyerang dengan pukulan beruntun, Suto Sinting hanya diam saja. la membiarkan
pukulan itu menghantam wajah, dada, serta perutnya beberapa kali. Tapi yang
berjeritan dan memekik kesakitan adalah beberapa anak buah Syakuntala. Mereka
saling tumbang bagai dihantam pukulan kuatyang membuat mereka memuntahkan darah
segar.
"Aahg...!"
"Uuhg...!"
"Hheeg...
hoeeek...!"
Syakuntala hentikan
serangannya seketika itu pula. la terkejut melihat anak buahnya saling
berjatuhan. Ada yang wajahnya memar dan mulutnya pecah bagai habis terhantam
pukulan bertenaga dalam. Syakuntala membatin,
"Gila! Yang kuhantam
Pendekar Mabuk tapi yang tumbang malah anak buahku?! Kurang ajar! Ilmu konyol
apa yang dimiliki si Tabib Darah Tuak ini ? !"
Pendekar Mabuk hanya
sunggingkan senyum tipis. Syakuntala tak tahu bahwa Suto telah menggunakan ilmu
anehnya yang bernama ilmu 'Allh Raga', mengirimkan rasa kepada orang lain,
sehingga pada saat dirinya dipukul yang terasa sakit adalah orang lain. Dengan
begitu Syakuntala bagaikan menyerang anak buahnya sendiri. la menjadi ragu-ragu
menyerang Pendekar Mabuk.
"Kalau kutebas kepalanya
dengan pedang, tak urung yang akan menggelinding adalah kepala anak buahku
sendiri," pikirnya dengan bingung. "Lalu bagaimana caraku
menghadapinya jika begini?"
Pada saat Syakuntala
kebingungan itulah, Suto Sinting segera lepaskan pukulannya yang bernama
'Pukulan Gegana'. Seberkas sinar patah-patah warna kuning melesat dari dua jari
tangan Pendekar Mabuk.
Clap, clap, clap...!
Syakuntala terhenyak kaget.
Buru-buru ia melepaskan pukulan bersinar hijau diri telapak tangannya. Tapi pukulan
balasan itu termasuk terlambat karena jaraknya sudah sangat dekat dengan dada.
Blegaaar...!
Kedua sinar itu beradu dan
meledak dengan dahsyat. Hentakan gelombang ledaknya yang menghadirkan hawa
panas tinggi itu menghantam tubuh Syakuntala. Seketika itu pula tubuh besar
berkulit hitam terlempar dalam keadaan tidak beraturan. Tubuh itu menggelinding
berguling-guling di tanah sambil terdengar suara erangan memanjang dari mulut
Syakuntala.
"Aaaahhh...!"
Orang-orang menyangka
Syakuntala mati. Tapi nyatanya tidak. Syakuntala hanya menderita luka bakar
yang menghanguskan sekujur tubuhnya. Matanya menjadi merah dan sebagian
cambangnya rontok.
Kulitnya kian hitam bagaikan
disambar petir. la sempat berusaha bangkit, tapi jatuh tersungkur kembali bagaikan
kehilangan seluruh tenaganya.
"Angkat sang Panglima!
Larikan dia!" seru saiah satu anak buahnya. Kemudian dua anak buahnya
bergegas menyambar tubuh Syakuntala dan membawanya lari meninggalkan Bukit Mata
Laut. Anak buah yang lain Ikut-ikutan melarikan diri. Yang terkena ilmu 'Anak
Rembulan' tadi disambar oleh temannya dan ikut dibawa larl. Suto Sinting hanya
tersenyum memandangi pelarian tersebut dan tidak berminat untuk mengejarnya.
Karena ia segera melihat Sumbaruni berubah menjadi lebih kecil dari wujud
aslinya.
"Sumbaruni!" sentak
Suto Sinting dengan terkejut dan merasa heran.
Batuk Maragam berkata,
"Dia terkena racun 'Ludah Naga', tubuhnya akan berangsur-angsur menjadi
kecil. Makin lama akan menjadi seperti bocah."
Sumbaruni berkata lirih,
"Cepat, berikan tuak-mu...."
Suto Sinting segera menuangkan
tuak ke mulut Sumbaruni dengan pelan-pelan. Tetapi beberapa saat kemudian,
setelah Suto Sinting juga meminumkan tuaknya untuk Kirana dan Palupi, ternyata
tubuh Sumbaruni tidak berubah seukuran tubuh aslinya. Bahkan tampak berubah
menjadi lebih susut lagi.
"Tuakmu tidak akan
berhasil untuk menawarkan racun 'Ludah Naga', Suto," kata Bongkok Sepuh.
"Racun itu hanya bisa ditawarkan dengan Telur Mata Setan."
Sementara Suto Sinting
tertegun tegang memandangi Sumbaruni, Nyai Paras Mural segera menimpali kata,
"llmunya akan mengendap
dan tak bisa digunakan lagi. Tapi pikirannya masih mampu digunakan sebagai-mana
mestinya."
"Suto... tolonglah
aku!" Sumbaruni memandang penuh iba. la berusaha berdirl dengan berpegangan
jubahnya Batuk Maragam.
Hati Suto Sinting tersentuh
haru melihat Sumbaruni lebih pendek dari ukuran sebenarnya. Raut wajahnya pun
mulai kian tampak lebih remaja. la seperti anak gadis berusia sekitar tujuh
belas tahun.
"Sumbaruni...!" Suto
Sinting meralh tangan Sumbaruni dan segera membimbingnya mendekat. "Apa
yang harus kulakukan?"
"Carikan aku Telur Mata
Setan. Tubuhku akan kian mengecil jika tidak segera menelan telur keramat itu,
Suto," ucap Sumbaruni sambil menahan tangis dengan hati cemas dan duka.
"Di mana bisa kudapatkan
Telur Mata Setan itu?"
Tak ada jawaban beberapa saat.
Mereka saling berpiklr dalam herring. Tapi tiba-tiba Nyai Paras Murai berkata
bagai orang menggumam, sepertinya ditujukan kepada dirinya sendiri,
"Kalau tak salah, aku
pernah mendengar Telur Mata Setan itu hanya ada di Gunung Kundalini...."
"Gunung Kundalini?!"
gumam Suto Sinting sambil berkerut dahi.
"Sumbaruni harus segera
menelan Telur Mata Setan," kata Bongkok Sepuh. "Jika tidak, dalam
waktu dekat ia dapat berubah menjadi bayi, lama-lama akan mati juga."
Mereka yang mengerumuni
Sumbaruni menjadi merenggang karena kemunculan sosok tilnggi-besar berkulit
hitam. Sosok berkepala gundul dengan satu kuncir rambut melengkung ke belakang
itu tak lain adalah Logo, anak Sumbaruni dari hasil keturunan Jin Kazmat Itu.
"Ibu...! Ibu...?!"
Logo mendekati Sumbaruni dan dipandanginya dengan mata yang besar dan wajah
yang penuh keheranan. Sumbaruni memandang anaknya dan segera menepuk-nepuk
pundak Logo ketika anak jin itu berlutut di hadapannya.
"Apa yang terjadi, ibu?
Mengapa Ibu menjadi kecil dan muda begini?"
"Tidak ada apa-apa. Tidak
terjadi apa-apa, Logo. Jangan piklrkan Ibu."
"Aku harus tahu apa yang
terjadi, Ibu!" bentak Logo mulai kelihatan kasarnya. Bentakan itu hadirkan
getaran yang mampu membuat orang tanpa ilmu tersentak mundur.
Melihat Logo mulai menahan
kemarahan, Bongkok Sepuh mencoba meredakan kemarahan itu dengan berkata,
"Ibumu baru saja
bertanding melawan Syakuntala dari Tanah Hindus. Ibumu menang. Hanya terkena
'Racun Ludah Naga' yang membuatnya menyusut. Tapi orang Tanah Hindus Itu
sekarang sudah lari menderita kekalahan. Lukanya pun parah."
"Syakuntala...!"
Logo menggeram dan kedua
tangan menggenggam kuat-kuat. Sumbaruni cemas dan berkata dengan suara
dipaksakan lebih keras lagi,
"Ibu tidak apa-apa, Logo!
Jangan berbuat yang bukan-bukan, Nak!"
"Sebelum dia mati aku
tidak akan pulang temui ibu!" kata Logo lalu segera berlari pergi
menerjang beberapa orang yang menghadang jalan. Orang-orang itu buyar seketika
takut diterjang kaki berpotongan seperti pilar itu.
"Logooo...!" seru
Sumbaruni dengan berlari, tapi ia jatuh tersungkur karena masih lemas. Untung
tubuhnya segera disambar tangan Suto hingga ia tak sempat mencium tanah.
"Biar aku yang menahannya!"
kata Raja Maut, lalu mengejar Logo.
TUJUH hari perjalanan menuju
Gunung Kundalini membuat Suto Sinting semakln dicekam rasa haru. Perjalanan itu
tidak dilakukan sendirlan. Sumbaruni ngotot ingin ikut agar begitu Telur Mata
Setan ditemukan ia bisa cepat-cepat menelannya. Alasan kuat itulah yang membuat
Pendekar Mabuk tidak bisa mencegah Sumbaruni mengikutinya.
Keadaan Sumbaruni yang
memprihatinkan itulah yang membuat hati Suto Sinting sering digetarkan oleh
keharuan. Betapa tidak, karena sekarang Sumbaruni bukan lagi sosok gadis cantik
bermata galak.
Sumbaruni bukan lagi wanita
yang lincah dan berilmu tinggi. Sumbaruni sudah menjadi seorang bocah yang
tingginya hanya sebatas perut Suto Sinting.
Bukan saja sosok tubuhnya yang
menyusut, melainkan pakaiannya pun ikut menyusut menyesuaikan badan. Bahkan
pedang di punggungnya pun ikut menjadi kecil. Apa saja yang menempel di tubuh
Sumbaruni telah berubah menjadi kecil. Itulah kehebatan "Racun Ludah Naga'
yang dimiliki Panglima Perwira Tanah Hindus. Konon hanya beberapa orang saja
yang mempunyai ilmu 'Racun Ludah Naga'.
Kini dalam keadaan seperti
gadis kecil berusia sepuluh tahun, Sumbaruni tidak bisa banyak berbuat apa-apa.
Bahkan terkadang jika ia lelah berjalan, Suto Sinting terpaksa harus
menggendongnya. Sikap itu dilakukan Suto Sinting agar Sumbaruni tidak patah
semangat dan masih mempunyai gairah hidup.
Betapa pun tabahnya seseorang
jika melihat keadaannya makin hari makin menjadi seperti anak kecil, sudah
tentu kekecewaannya begitu besar dan mampu mematahkan semangat hidupnya. Namun
karena Sumbaruni selalu didampingi Suto Sinting yang gemar mengalihkan
kesedihan dengan bercanda, maka semangat mempertahankan hidup masih
menyala-nyala di hati sanubari sahabat Gila Tuak itu.
Guntur menggelegar di langit.
Awan mendung mulai menutupi mentari sore. Angin berhembus secara alami, bukan
karena pengaruh kekuatan gaib apa pun. Hari memang menjadi mendung, sebentar
lagi hujan akan turun. Saat itu mereka berdua sudah berada tidak seberapa jauh
dari gunung Kundalini. Puncak gunung yang bersalju itu sudah kelihatan dari
tempat mereka berjalan.
"Aku yakin di dekat kaki
gunung itu ada sebuah desa, Suto. Ada baiknya jika kita mencapai desa Itu
sebelum hujan turun dan sore menjadi gelap," kata Sumbaruni.
Walaupun sosok tubuhnya
menjadi bocah cilik tapi daya pikir dan kemampuan bicaranya masih seperti orang
dewasa. 'Racun Ludah Naga' hanya menyusutkan tubuh dan melenyapkan ilmu, tapi
tidak bisa menyusutkan daya pikir dan akal seseorang. Hal itu dianggap sebagai
kelemahan 'Racun Ludah Naga', yang konon akan menjadi lebih berbahaya lagi,
lebih bisa menyusutkan daya pikir korbannya jika saat dilepaskannya ludah itu
keadaan Syakuntala sedang lakukan puasa dan diludahkan dengan hati yang damai.
Tapi karena racun itu diludahkan
pada saat hati dibakar Kemarahan dan tidak sedang berpuasa, maka 'Racun Ludah
Naga' tak mampu membuat susut pikiran seseorang.Tepat ketika Suto Sinting dan
bocah Sumbaruni mencapai sebuah kedai, hujan pun turun dengan deras. Cahaya
senja makin remang, tak berapa lagi lagi akan menjadi petang. Hujan itu
disertai dengan angin dan badai yang berhembus dengan mengerikan.
Kilatan-kilatan cahaya guntur seakan ingin menyambar seluruh permukaan bumi.
Kabut menebal di sana-sini, sehingga pemandangan tak bisa terlihat jelas.
"Untung kita sudah tiba
di kedai Ini. Jika tidak, pasti kau akan terserang batuk-batuk seperti empat
hari yang lalu," kata Suto Sinting kepada bocah Sumbaruni.
"Kalau kau tak menuruti
gagasanku untuk mengarah kemari, kau juga tak akan temukan kedai ini,
Suto!" bocah Sumbaruni tampak bangga dengan ketepatan gagasannya. Suto
Sinting hanya tersenyum sambil manggut-manggut.
"Kau mau makan bubur
sayur?" Suto Sinting mena-wari Sumbaruni.
"Perutku sudah telanjur
kenyang oleh jadah goreng ini," ujarnya sambil menghabiskan sisa makanan
yang sedang dikunyahnya. "Aku minta tuak, ah!"
"Husy! Jangan!" kata
Suto Sinting agak berbisik. "Jika kau minum tuak, nanti orang-orang di
sini akan mengecammu sebagai bocah nakal. Ingatlah, kau dipandang mereka sebagai
bocah, bukan sebagai gadis dewasa."
Sumbaruni tarik napas, ada
perasaan sedih jika ingat akan hal itu. la mencoba beralasan, "Aku... aku
hanya ingin menghangatkan badan. Tubuhku dingin sekali. Angin badai dan hujan
menghadirkan hawa dingin mencekam tubuh, seakan ingin membekukan darahku, Suto.
Berilah tuak sedikit saja!"
Alasan itu dipandang masuk
akal sekali. Suasana yang membuat Pendekar Mabuk tak bisa menahan keinginan
bocah Sumbaruni. Dengan memandang sekeliling, secara diam-diam cangkir tuak diberikan
kepada Sumbaruni.
"Minumlah sedikit saja,
jangan sampai kelihatan siapa-siapa!" bisik Suto Sinting sambil badannya
bergerak miring menutupi gerakan minum tuaknya bocah Sumbaruni.
Sruup...! Srrrup...!
Srruupp...!
Bocah Sumbaruni meneguk tuak
dari cangkir. Beberapa hirupan tuak membuat Suto Sinting cepat-cepat
mencegahnya. "Sudah, jangan banyak-banyak. Nanti kau mabuk, aku
malu!"
Tanpa disadari oleh mereka
ternyata di belakang Suto Sinting telah berdiri si pemilik kedai yang usianya
sudah mencapai enam puluh tahun dan sedikit bungkuk. Pemilik kedai yang dikenal
dengan nama Ki Sabarsumo itu terkekeh pelan mengejutkan Suto dan Sumbaruni.
Bicaranya yang penuh senyum itu pun terdengar pelan.
"Wah, adik kecil kok
sudah doyan tuak? Apakah tidak memabukkan?"
Suto Sinting tersenyum kikuk,
demikian pula Sumbaruni yang sunggingkan senyum canggung bernada malu dan
jengkel. Suto Sinting segera berkata kepada Ki Sabarsumo,
"Dia memang sudah
terbiasa minum tuak karena sering ikut denganku berkelana ke mana-mana."
"Ooo... pantas. Wah,
hebat juga anak sekecil dia sudah doyan tuak. Pasti kelak besarnya akan menjadi
Pendekar Mabuk wanita, seperti yang sekarang sedang ramai dibicarakan oleh para
langgananku itu, Nak."
"Siapa yang sedang santer
dibicarakan mereka,Ki?"
"Pendekar Mabuk yang
punya ilmu tinggi dan dikagumi orang banyak. Tapi Pendekar Mabuk hanya ada di
wilayah kulon, di sebelah barat sana. Cerita tentang kehebatannya lebih banyak
dibicarakan oleh orang-orang kulon dan sekitar pesisir utara."
Suto Sinting diam saja
walaupun ia tahu yang dibicarakan Ki Sabarsumo itu adalah dirinya. Suto Sinting
tidak mau perkenalkan dirinya sebagai Pendekar Mabuk karena untuk menghilangkan
kesan sombongkan diri. Baginya biarlah orang tahu dengan sendirinya siapa Pendekar
Mabuk dan siapa dirinya itu, ketimbang harus memperkenalkan diri tanpa diminta.
Kecuali untuk suatu keperluan penting, Suto Sinting baru mau perkenalkan diri
sebagai Pendekar Mabuk, murid dari Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Karenanya ketika bocah
Sumbaruni ingin berkata tentang siapa sebenarnya yang diajak bicara Ki
Sabarsumo itu, Suto Sinting buru-buru alihkan pembicaraan dengan menanyai bocah
Sumbaruni,
"Apakah kau ingin makan
nasi pecel?"
"Tidak. Sudah kubilang
aku sudah kenyang dengan makan ketan goreng ini!" jawab Sumbaruni merasa
dongkol karena niatnya bicara dialihkan Suto Sinting. Ki Sabarsumo berkata
sambil membersihkan meja samping Suto, "Apakah dia adikmu, Nak?"
"Benar, Ki," jawab
Suto secepatnya. "Dia adikku yang paling kucintai."
"Kulihat sungguh besar
kasih sayangmu kepada seorang adik. Andai kata aku dikaruniai keturunan mungkin
anakku yang sulung sudah seusiamu dan anakku yang bungsu sudah seusia adikmu
itu. O, ya... siapa nama kalian?"
"Aku bernama Suto dan
adikku ini bernama Runi," jawab Pendekar Mabuk berkesan menutupi jati diri
mereka berdua.
"Apakah kedua orangtua
kalian masih ada?"
"Hmmm... sudah meninggal.
Kami hanya hidup berdua saja," jawab Suto Sinting.
"Ooo... kasihan sekali,
ya? Bagaimana jika kalian tinggal di sini saja bersamaku?" Ki Sabarsumo
menawarkan jasa baiknya. "Setidaknya jika kalian berdua tinggal bersama
kami, tentunya kami tidak akan kesepian jika kedai ini sudah ditutup. Istriku
akan punya hiburan, setidaknya punya teman berbincang-bincang yang dapat menghibur
hatinya."
Sumbaruni langsung menyahut
kata, "Kami punya tujuan sendiri, Ki."
"Betul," timpal Suto
Sinting. "Kami punya jalan hidup sendiri. Sebagai pengelana kami tak bisa
bermukim di suatu tempat. Kami hanya bisa singgah di sana-sini dalam waktu
sejenak."
"Sayang sekali,"
ujar Pak Tua berpakaian hitam dengan ikat kepala kaln batik coklat itu.
"Ki, apakah kedai ini
menyewakan tempat untuk bermalam?" tanya Sumbaruni.
"Tidak. Tapi jika kalian
mau bermalam di sini, aku punya satu kamar lagi yang kusediakan untuk bermalam
para sanak saudaraku yang berkunjung kemari. Kalian bisa tempati kamar itu
tanpa membayar uang sewanya. Kami justru senang jika kalian mau bermalam di
sini. Jangan teruskan perjalanan, agaknya hujan akan menjadi lebih deras lagi menjelang
tengah malam."
"lya. Sekarang saja
hujannya sudah bercampur badai begini. Kurasa beberapa pohon di sana-sini ada
yang tumbang karena amukan angin badai dalam hujan ini," kata Sumbaruni
sambil memandang arah luar lewat celah pintu penutup kedai yang belum ditutup
rapat itu.
"Biasanya," kata Ki
Sabarsumo, "Jika keadaan alam seperti ini, pasti Gunung Kundalini akan
kedatangan tamu orang sakti."
"Dari mana kau
tahu?" sergah Suto Sinting merasa tertarik dengan ramalan tersebut. Ki
Sabarsumo yang murah senyum pun menjawab penuh kesabaran,
"Bagi rakyat desa sekitar
kaki Gunung Kundalini sudah mempunyai tanda khusus akan hal itu. Hujan badai
sangat jarang turun di sekitar sini, hanya saat-saat menjelang kedatangan tamu
sakti yang menuju Gunung Kundalini saja hujan badai datang hampir semalaman.
Seakan hujan badai merupakan sambutan ramah dari Gunung Kundalini untuk
tampakkan kesegarannya kepada sang tamu."
Suto Sinting hanya
mengangguk-anggukkan kepala. la tak tahu kalau Sumbaruni telah habiskan tuak
dalam cangkir, bahkan menuangnya sendiri dari poci. Pandangannya yang sejak
tadi tertuju pada Ki Sabarsumo dan sesekali memandang ke arah hujan membuat
Suto tak melihat gerakan tangan Sumbaruni menuang tuak dan meminumnya. Tak
heran jika bocah Sumbaruni itu ini menjadi cegukan dengan mata sedikit merah
sayu.
"Kita lanjutkan
perjalanan kita, Suto. Jangan takut dengan hujan air! Huk, huk.... Kalau takut
air, maka kita akan menjadi manusia kering yang huk, huk...."
"Sumbaruni?! Wah, kacau!
Kau pasti mabuk karena kebanyakan minum tuak! Tuak ini agak keras, beda dengan
tuak-tuak di tempat lain!"
"Siapa yang mabuk?!
Huk...! Huk...! Aku masih bisa melihat wajahmu yang tampan dan mendebarkan hati
itu. Huk... huk...! Kapan kau ingin mengawiniku, Suto Sinting?"
"Ssstt...!" Suto
Sinting membekap mulut bocah Sumbaruni dengan cemas. Matanya melirik sana-sini.
Untung Ki Sabarsumo sudah
pergi mempersiapkan kamar untuk mereka, dan beberapa pengunjung kedai sibuk
dengan percakapan masing-masing. Suto Sinting agak lega tak ada orang yang
mengetahui celoteh bocah Sumbaruni itu.
"Sumbaruni, sebaiknya kau
beristirahat di kamar saja. Kau mabuk!"
"Tidak. Aku tidak
mabuk," katanya dengan parau dan nada mengambang.
"Aku masih sehat, huk,
huk... huk...!"
"Coba hitung, ini
berapa?" Suto Sinting menunjukkan tiga jarinya.
Sumbaruni memandang sebentar
dan tersenyum tipis seakan meremehkan.
"Hmmm... begitu saja
ditanyakan. Aku tahu itu empat!"
"Salah! Ini tiga!"
"Kau yang bodoh tak bisa
menghitung jarimu sendiri," kata Sumbaruni.
Suto Sinting geleng-geleng
kepala dengan tersenyum geli. "Coba kau hitung, ada berapa pengunjung di
kedai ini?"
Sumbaruni menghitung dengan
pandangan mata lalu menjawab, "Sepuluh!"
"Salah. Yang ada di sini
ada delapan orang termasuk kita berdua. Bukan sepuluh orang."
"Tadi yang dua sudah
pulang sebelum hujan turun. Kau tak tahu, Suto!"
Pendekar Mabuk tertawa geli
tanpa suara. Lalu ia segera membawa bocah Sumbaruni ke kamar setelah Ki
Sabarsumo memberitahukan bahwa kamar mereka sudah disiapkan. Bocah Sumbaruni
sebenarnya masih ingin duduk di situ, tapi Suto Sinting membujuknya untuk ke
kamar. Sebab jika bocah Sumbaruni ada di situ dalam keadaan mabuk, maka
kata-katanya akan membahayakan bagi diri mereka. Setidaknya banyak orang yang
tahu bahwa mereka sedang memburu Telur Mata Setan dan mengetahui siapa Suto dan
Sumbaruni sebenarnya.
Hari sudah malam, hujan makin
menderu karena derasnya bertambah. Bocah Sumbaruni tak mau diting-gal Suto
keluar kamar. la minta ditunggui dengan sikap manjanya. la masih ingin berceloteh
tentang perasaan hatinya kepada Suto Sinting. Suara celotehnya agak keras
sehingga Suto mengingatkan.
"Ssst...! Jangan bicara
keras-keras. Kurangi suaramu itu, biar tak mengganggu pendengaran Ki Sabarsumo
dan istrinya."
"Mereka akan merasa
senang jika terganggu, karena mereka tak pernah diganggu oleh suara bocah
sepertiku. Kau tahu, apa yang dilakukan Ki Sabarsumo kepada istrinya malam
ini?"
"Tentunya mereka
beristirahat karena sudah seharian bekerja melayani tamu."
"Tidak. Mereka pasti
bercengkerama, bermesraan dan saling menemukan kebahagiaan batinnya. Tapi
aku...? Aku sudah lama tak mendapatkan kebahagiaan batin karena tak pernah ada
lelaki yang bisa membangkitkan gairahku. Sekalipun ada, tapi lelaki itu tak mau
memuaskan hasrat kerinduanku terhadap sebentuk kebahagiaan batin. Aku sering
merasa benci dengan hidupku yang tak pernah kau jamah dengan kemesraan. Padahal
aku berharap sekali mendapatkan kemesraan yang amat hangat darimu, Suto!"
"Sumbaruni, tahan
bicaramu! Ingat kau bocah kecil yang tak pantas bicara seperti itu!"
"Kecil orangnya, tapi
itunya tetap besar... maksudku pikirannya tetap pikiran orang dewasa! Hik, hik,
hik, hik...!" Sumbaruni mengikik sendiri.
Suto Sinting membatin,
"Payah! Keadaan mabuknya membuat dia bicara seenaknya saja tanpa
pertimbangan apa-apa. Bisa berbahaya jika didengar orang lain. Agaknya aku
harus hati-hati menghadapinya walaupun dia berwujud gadis kecil yang
sepantasnya menjadi adik bungsuku."
Akhirnya Sumbaruni menangis,
karena Suto Sinting tak mau tidur di sampingnya. Suto Sinting memilih tidur di
sebuah bangku yang ada di kamar itu. Sumbaruni menderita tekanan batin, dan
tangisnya terisak-isak mengharukan Suto.
"Tidurlah di sampingku.
Hanya sekadar tidur saja. Aku kedinginan, Suto!" pintanya penuh harap sambil
menggigil, karena udara malam memang dingin. Akhirnya Suto Sinting berbaring
di sampingnya dan memeluk Sumbaruni seperti memeluk seorang adik kecil tanpa
nafsu dan gairah asmara sedikit pun. Sumbaruni merasa damai dalam pelukan Suto.
Perjalanan diteruskan esok
paginya. Tapi semakin bertambah hari semakin susut keadaan tubuh Sumbaruni. Ki
Sabarsumo sempat pandangi Sumbaruni dengan rasa heran karena pagi itu ia
melihat Sumbaruni seperti bocah berusia tujuh tahun. Lebih muda dari semalam.
Tapi keanehan itu hanya dipendam dalam hati Ki Sabarsumo karena takut
menyinggung bocah Sumbaruni jika dilontarkan dan dipertanyakan.
Hanya saja setelah Sumbaruni
dan Pendekar Mabuk meninggalkan kedai mereka, Ki Sabarsumo berkata kepada
istrinya yang juga berambut kelabu itu,
"Aneh sekali bocah gadis
itu. Semalam ia kelihatan lebih besar dari pagi ini.Mengapa bisa begitu?"
Istri Ki Sabarsumo pun
berkata, "lya. Aku juga merasa heran. Sekarang gadis kecil itu menjadi
lebih kecil lagi. Wajahnya lebih mungil dan kecantikannya semakin menggemaskan.
Aku jadi ingin punya anak seperti gadis mungil itu."
wajah Sumbaruni sekarang
menjadi mungil tapi cantik menggemaskan. Tak ada daya tarik berbau birahi pada
dirinya, yang ada daya tarik ingin mencubit pipinya atau menggodanya biar
menangis. Bentuk dadanya yang sekal itu pun lenyap sejak empat hari yang lalu.
Karenanya, di mata pria Sumbaruni bukan lagi gadis yang menggairahkan dan
menimbulkan bayangan indah untuk dicumbu, melainkan sebagai gadis kecil yang
lucu tapi menggemaskan.
Langkah kaki Sumbaruni tak
bisa cepat dan mudah diserang rasa lelah. Akibatnya, Suto Sinting kembali
menggendongnya. Tapi kali ini Sumbaruni tidak mau digendong di belakang.
"Aku mau digendong
depan!"
"Ah, kau memang nakai,
Sumbaruni!" gerutu Suto Sinting sambil menggendongnya di depan, sementara
punggung Suto Sinting digunakan menggantungkan bumbung tuaknya. Sumbaruni
tampak kegirangan walau digendong dengan satu tangan oleh Suto, karena dengan
digendong depan begitu wajahnya dapat pandangi Suto lebih dekat lagi. Bahkan
tangan berjari mungilnya itu sering nakal, memencet hidung Suto sambil
tertawa-tawa dan kadang juga menyentil bibir Suto dengan pelan. Tak jarang pipi
Suto ataupun rambutnya diusap-usap oleh tangan berjari mungil itu. Suto Sinting
membiarkan karena merasa dipermainkan anak kecil, tak ada debar kemesraan
sedikit pun yang tergugah di hati Suto Sinting.
"Bawalah aku lari secepat
mungkin," kata Sumbaruni dalam bahasa dewasa.
"Kenapa harus
begitu?"
"Supaya jika aku
tiba-tiba menciummu tak ada orang yang tahu."
"Kalau kau nakal
kulemparkan ke atas pohon dan kutinggalkan di Sana!" ancam Suto Sinting
sempat merasa risi jika sampai dicium, sebab ia pun tetap sadar bahwa Sumbaruni
punya pikiran dewasa bukan kekanak-kanakan. Sumbaruni tertawa geli. la
memelukkan tangannya ke leher Suto dan sandarkan kepala ke pundak Suto.
"Baiklah, aku tak akan
nakal. Berlarilah dengan cepat supaya kita lekas dapatkan Telur Mata Setan
itu."
Zlaaap...! Suto Sinting
berlari dengan cepat melebihi gerakan anak panah yang terlepas dari busurnya.
Gerakan larinya itu terhenti ketika mereka sudah tiba di kaki Gunung Kundalini.
"Kita sampai di kaki
gunung. Sekarang mana arah yang harus kutuju?"
"Jalanlah terus sampai
kita bertemu seseorang dan menanyakan tentang Telur Mata Setan itu," saran
Sumbaruni. "Tapi sebelumnya antarkan aku ke balik pohon sebelah
sana."
"Mengapa kau ingin ke
sana?"
Bocah Sumbaruni tersenyum malu
dan berblsik, "Aku mau pipis dulu."
Suto Sinting tertawa geli.
Lalu segera membawa bocah itu ke balik pohon besar. Suto Sinting memunggungi
pohon itu ketika Sumbaruni menyelinap di balik pohon tersebut. Sekalipun
wujudnya seperti bocah berusia tujuh tahun, tapi antara Sumbaruni dan Suto
Sinting sama-sama merasa malu jika buang air sembarangan.
"Kita mendaki lereng
gunung ini!" kata Sumbaruni. "Sekarang aku mau jalan dulu. Tapi nanti
kalau lelah kau harus menggendongnya lagi."
"Tapi kalau kau nakal dan
tanganmu jahil, aku tidak mau menggendongmu!" sambil Suto Sinting
melangkah menggandeng tangan bocah Sumbaruni.
Wuuut...! Tiba-tiba ada angin
cepat bergerak melintas di depan langkah mereka. Suto Sinting hentikan langkah.
Sumbaruni pun memandang sekeliling dengan mata kecilnya yang masih mempunyai
ketajaman tersendiri.
"Ada seseorang yang
melintas di depan kita," bisik Sumbaruni.
"Ya. Hati-hatilah. Jangan
jauh-jauh dariku. Mudah-mudahan orang itu adalah orang baik, jadi kita bisa
menanyakan tentang benda yang kita cari itu," kata Suto Sinting dengan
pelan juga.
Tiba-tiba seberkas sinar merah
kecil melesat dari balik celah dedaunan semak. Slaaap...! Sinar merah kecil itu
segera ditangkis dengan gerakan Suto yang membungkuk melepas bumbung tuak
dengan cepat dan terhantamlah bumbung tuak oleh sinar merah kecil itu.
Daaahk...! Sinar tersebut membalik arah semula menjadi lebih besar dan lebih
cepat lagi.
Gusraak...! Duaar...!
Semak-semak pecah berhamburan.
Pohon di balik semak-semak itu menjadi retak namun tak sampai roboh. Dari
semak-semak itu melesat sesosok bayangan yang agaknya adalah pemilik sinar merah
tadi.
Wuuuuss...!
Jleeg...!
Kini mata Pendekar Mabuk dan
bocah Sumbaruni melihat sosok tubuh langsing berdada sekal milik seorang gadis
yang diperkirakan berusia sekitar dua pu-luh tiga tahun. Gadis itu mengenakan
pakaian biru muda dengan rambut diikat ke belakang, sisanya berponi di depan
kening. Hidungnya mancung, matanya bulat indah. Tapi berdirinya tak bisa
tenang. Tangannya ber-gerak-gerak, kakinya kadang meiiuk ke kiri atau ke kanan.
Terkadang ia jalan mondar-mandir dengan tangan bergerak apa saja.
"Siapa kau?! Mengapa
menyerangku, Nona?!"
"Aku adalah Menak Goyang,
pemburu pencuri pusaka milik guruku!" jawab gadis itu dengan ketus sambil
melangkah ke kiri dan ke kanan, kadang menendang rerumputan atau menyambar
dedaunan.
"Apa urusannya denganku?"
"Kau pasti pencuri Pisau
Tanduk Hantu milik Guru! Karena hanya kaulah orang yang ada di sini! Sejak
ke-marin sudah kujelajahi sekeliling kaki gunung ini, tapi akhirnya kaulah
orang yang kutemui. Berarti kaulah pencuri pusaka Pisau Tanduk Hantu itu!"
Suto Sinting dan Sumbaruni
saling pandang heran. Mereka dituduh mencuri pisau pusaka, sementara mereka
tidak tahu bagaimana bentuknya dan seperti apa kehebatan Pisau Tanduk Hantu
itu. Agaknya mereka harus berdebat kepada Menak Goyang untuk membuktikan bahwa
mereka bukan pencuri yang dimaksud.
PENDKEKAR MABUK enggan
melayani kekerasan Menak Goyang. Karenanya, setiap mendapat serangan pukulan
jarak jauh selalu dikembalikan dengan cara menangkisnya memakai bambu bumbung
tuaknya. Menak Goyang terdesak sendiri oleh pukulannya yang kembali dengan
cepat dan dengan lebih besar. Bahkan ia sempat terpental dan jatuh terkapar
ketika ia melepaskan gelombang pukulan hawa panas yang keluar dari kedua
tangannya. Pukulan itu membalik dan menghantam dirinya sendiri.
"Kurang ajarl Dari tadi
pukulanku membalik terus. Uuh...! Dadaku menjadi sakit dan panas karena
pukulanku sendiri! Rupanya pencuri itu bukan pencuri sembarangan!" kata
Menak Goyang membatin.
Gadis itu berdiri sambil tarik
napas dalam-dalam. Tubuhnya bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Rupanya Menak
Goyang semakin penasaran melihat ilmu Suto Sinting yang begitu-begitu saja tapi
sulit ditumbangkan. Sementara itu, Sumbaruni di bawah pohon agak jauh dari Suto
Sinting.
Hatinya merasa bercampur aduk
tak karuan hingga menjelma menjadi kegelisahan. Sebab ia merasa ingin menyerang
tapi tak mempunyai daya dan kemampuan seperti dulu lagi. la hanya bisa
memandang benci kepada Menak Goyang.
"Sebaiknya mengaku saja
dan kembalikan pisau pusaka itu supaya di antara kita berdua tidak ada saling
bermusuhan. Bukankah lebih baik kita saling bersahabat dan mempererat diri
ketimbang bermusuhan, Maling Tampan?!" kata Menak Goyang yang membuat
Sumbaruni mencibir sirik kepadanya.
"Sudah kukatakan bahwa
aku tidak tahu menahu tentang Pisau Tanduk Hantu. Aku bukan pencuri. Kau salah
duga, Menak Goyang!"
"Kalau bukan pencuri,
mengapa kau berkeliaran di sini? Ini bukan wilayahmu. Ini wilayah perguruanku;
Perguruan Tongkat Sakti! Kalau guruku si Malaikat Miskin mengetahuimu, kau
tetap saja akan dicurigai."
"Pertemukan aku dengan
gurumu; si Malaikat Miskin. Aku akan jelaskan duduk perkaranya mengapa aku
sampai memasuki wilayah kalian."
"Tidak perlu. Yang
dikehendaki Guru hanya Pisau Tanduk Hantu. Sekarang ini yang lebih penting
adalah pusaka itu daripada penjelasanmu."
"Menak Goyang," sapa
Suto Sinting dengan maju selangkah, sedangkan yang diajak bicara masih tetap
bergoyang badan tak bisa tenang. "Kalau aku punya pisau pusaka itu,
barangkali sudah kugunakan untuk melawanmu. Kau tahu sendiri, aku tidak
melawanmu menggunakan pisau pusaka itu!"
Suto membentangkan kedua
tangannya sambil melangkah dua tindak lagi, kian mendekati Menak Goyang. Yang
didekati berjalan ke sana-sini walau hanya dua-tiga tindak.
"Siasatmu memang licik.
Kau sengaja tidak keluarkan pisau itu karena kau ingin mengelak dari tuduhanku!
Kau pikir aku tak bisa meraba jalan pikiranmu, Maling Ganteng?!"
Mendengar sebutan 'maling
ganteng', hati Sumbaruni dibakar oleh kecemburuan. Apalagi dilihatnya Menak
Goyang tersenyum tipis dengan mata nakal memandangi Suto Sinting. Bocah
Sumbaruni makin diremas rasa cemburu, sehingga ia segera mengambil batu dan
melemparkannya ke arah Menak Goyang.
Wuusss...!Menak Goyang tetap
diam dengan menggerak-gerakkan pinggulnya ke kanan-kiri. Lemparan batu itu
segera dihadang dengan kibasan dua jarinya yang berkelebat keluarkan tenaga
dalam tanpa sinar. Wuuut...! Praak...! Batu itu pecah sebelum mencapai
tempatnya.
"Adikmu nakal sekali,
Maling Tampanl Rupanya kau memang bekerja sama dengan adik kecilmu itu. Atau
barangkali pisau pusaka itu tersembunyi di balik tubuh adikmu itu?"
"Menak Goyang, percayalah
padaku! Kami tidak mencuri pusaka itu. Tapi jika kau tetap tidak percaya,
sekarang apa maumu akan kulayani!"
"Bagus! Kita ke
semak-semak sana!"
"Untuk apa?"
"Katamu apa kemauanku
akan kau layani?"
"Hei, Gadis Kotor!"
teriak bocah Sumbaruni. "Sekali lagi kau merayu dia akan kuhancurkan
kepalamu dengan batu ini!" Sumbaruni memperlihatkan batu yang lebih besar
dari genggamannya. Menak Goyang tertawa mendengar seruan bocah imut-imut
itu."
"Adikmu galak juga. Cukup
berani dan pandai bicara, Maling Tampan! Tentunya kau sayang sekali kepadanya.
Tapi alangkah sayangnya gadis lucu itu menjadi adik dari seorang pencuri sehina
dirimu!"
Sumbaruni makin jengkel. Maka
dilemparkanlah batu. itu sambil berlari agak mendekat. Wuuut...! Lalu Sumbaruni
berlari kembali ke tempat semula dengan gerakan lari yang lucu. Batu itu hanya
dihindari oleh Menak Goyang yang meliukkan badan ke depan. Wees...! Batu itu melayang
lewat belakang sasarannya.
Menak Goyang dekati Suto
Sinting dalam jarak tiga langkah. Matanya yang jernih dan indah menatap punya
makna tersendiri. la bertolak pinggang dengan satu tangan dan badannya
bergerak-gerak tak mau diam sedikit pun.
"Kalau aku mengajakmu ke
semak-semak sebelah sana itu lantaran aku ingin menggeledahmu, benarkah kau
tidak sembunyikan Pisau Tanduk Hantu di tubuhmu. Aku akan memeriksa sekujur
tubuhmu. Jika kau periksa di sini, kau pasti malu pada adik kecilmu itu!"
"Kau tak perlu
menggeledahku, karena aku tahu tanganmu sudah gemetar karena niat nakal di
hatimu!"
Menak Goyang membatin,
"Sial! Tahu juga dia dengan maksudku?"
"Hmm...!" Menak
Goyang berlagak mencibir. "Biar kau tampan, tapi aku tak punya maksud
nakal seperti anggapanmu! Yang kubutuhkan adalah pisau pusaka itu, karena pisau
tersebut menjadi kewajiban dan tugasku untuk menemukannya kembali! Jadi, jika
kau masih berlagak menjadi orang suci, maka pedangku ini yang akan bicara
menggantikan mulutku. Pedangku akan mendesakmu hingga kau mengakui
kedurjanaanmu!"
"Cabutlah kalau kau bisa
mencabut pedangmu!" tantang Suto Sinting. Tapi setelah berkata demikian
jari telunjuknya menyala hijau. Jari itu disentilkan ke arah pedang ketika
tangan Menak Goyang bergegas memegang gagang pedang. Selanjutnya, Menak Goyang
dibuat terheran-heran karena pedangnya terkunci dan tak bisa dicabut walau
dengan mengerahkan tenaga dalamnya.
"Semoga peringatan ini
dapat membuatnya jera dan tidak menuduhku lagi sebagai pencuri Pisau Tanduk
Hantu," pikir Suto Sinting sambil membiarkan Menak Goyang kerepotan
mencabut pedangnya.
"Setan! Dia bikin
pedangku terkunci oleh suatu kekuatan gaib yang tak bisa dilolos dari
sarungnya?! Kurasa dia memang berilmu tinggi! Berbahaya kalau kulawan secara
kasar. Harus menggunakan cara tersendiri!"
Setelah membatin demikian,
Menak Goyang berkata kepada Suto dengan nada ketus, "Sekarang aku semakin
yakin. Ilmumu tinggi, dan hanya orang berilmu tinggi yang dapat masuk ke kamar
Guru untuk mencuri Pisau Tanduk Hantu itu! Kau terpancing oleh tantanganku,
Maling Tampan."
Menak Goyang melangkah ke
sana-sini sambil mendengarkan perkataan Suto Sinting yang tetap tenang
memegangi tali bumbung tuaknya.
"Kalau aku bisa masuk ke
kamar gurumu, mungkin bukan hanya Pisau Tanduk Hantu yang kubawa lari.
Barangkali juga dirimu akan ikut kubawa lari juga!" goda Suto Sinting
sebagai tanda bahwa dirinya tidak menanggapi tuduhan dan kecaman Menak Goyang
secara sungguh-sungguh. Menak Goyang hanya tersenyum-senyum sambil buang pandangan
mata.
Tiba-tiba ia berkelebat cepat.
Wuuuttt...! Deeb...! Dua jarinya menotok punggung bocah Sumbaruni yang
terbelalak kaget melihat gerakan cepat menyambar tubuhnya. Bocah Sumbaruni
tertotok hingga diam tak bergerak tak bersuara. Bocah itu dalam waktu singkat
sudah ada di gendongan Menak Goyang. Suto Sinting terkejut melihat kejadian
ini. Matanya terbelalak dan menjadi tegang, karena ia segera bisa menangkap
maksud Menak Goyang dalam menyambar bocah Sumbaruni. Menak Goyang sendiri
segera lepaskan pukulan bertenaga sinar merah ke arah Suto Sinting, sementara
itu Suto Sinting sempat lengah dan terkena pukulan sinar merah pada pundaknya.
Desss...!
Pundak itu menjadi hangus.
Membekas hitam dan berasap. Suto Sinting memperhatikan luka itu dengan menahan
sakit. Sementara mata Suto Sinting ke arah luka, Menak Goyang melesat pergi
menjauh dari Pendekar Mabuk sambil membawa lari bocah Sumbaruni. Dari kejauhan
ia berseru,
"Bocah ini tak akan
kembali padamu jika kau tidak membawa pulang Pisau Tanduk Hantu! Jika kau inginkan
adikmu ini, maka kau harus menukarnya dengan Pisau Tanduk Hantu."
Ternyata luka itu membuat
urat-urat di tubuh Suto Sinting menjadi lemas. Gerakan mengejarnya tak mampu
cepat, bahkan Pendekar Mabuk sempat jatuh tersungkur. Sementara yang dikejar sudah
tak terlihat lagi dari tempatnya jatuh. Suto Sinting buru-buru menenggak tuak
dalam bumbung. Empat teguk tuak membuat detak jantungnya yang lemah menjadi
cepat kembali seperti sediakala.
"Gadis itu benar-benar
licik! Aku yakin dia mampu mengukur ilmuku, merasa tak mampu menghadapiku,
merasa tak mampu menemukan pisau pusaka itu, maka ia memanfaatkan diriku untuk
dapatkan pisau pusaka tersebut dengan menculik Sumbaruni! Gila! Kalau begini
aku jadi terlibat urusan dengan orang-orang Perguruan Tongkat Sakti! Hmmm...!
Sebaiknya kukejar dia sampai ke perguruannya. Kalau perlu kuhadapi gurunya yang
berjuluk Malaikat Miskin itu! Bagaimana pun juga aku harus bisa merebut kembali
Sumbaruni yang tak bersalah itu!"
Pendekar Mabuk gunakan ilmu
'Gerak Siluman' yang mampu berlari cepat melebihi kecepatan kilatan petir dari
langit. Kecepatan gerakannya itu membuat ia bagaikan bayangan coklat melesat
terhempas angin, karena ia mengenakan baju coklat tanpa lengan dan celana putih
kusam.
sekali gerakan cepat itu bisa ditangkap
oleh pandangan mata seseorang dari kejauhan. Tentunya orang yang bisa melihat
gerakan cepat itu adalah orang berilmu tinggi. Jika bukan orang berilmu tinggi
tak mungkin bisa melihat wujud Pendekar Mabuk bergerak secepat itu.
Claaap...! Seberkas sinar
hijau melintas di depannya. Suto Sinting hentikan gerakan larinya karena sinar
hijau itu menghantam pohon dan pohon itu langsung tumbang menghadang jalan.
Jelas orang yang keluar-kan sinar hijau itu bukan bermaksud melukai Pendekar
Mabuk melainkan hanya sekadar ingin menghentikan langkah sang pendekar semata.
Sinting segera pandangi
keadaan sekeliling-nya. Luka di pundak telah lenyap akibat tuak yang ditenggak.
Badan Suto Sinting sudah segar seperti sediakala. Kini ia siap hadapi bahaya
sebesar apa pun dan tak ingin main-main lagi. Karena menurut dugaannya, orang
yang melepaskan sinar hijau tadi tentunya orang berilmu tinggi yang punya
keperluan sendiri dengannya.
Tak ada orang di
sekelilingnya. Ilmu 'Lacak Jantung' dipergunakan untuk mendengar detak jantung
di sekitarnya. Tapi ternyata suara detak jantung tak didengarnya. Suto Sinting
hanya membatin,
"Pasti orang itu jauh
dari sini, namun mampu memandang jelas kemari!"
Angin bertiup. Makin lama
semakin bergemuruh. Pendekar Mabuk pandangi daun-daun pohon di sekelilingnya.
Ternyata daun-daun pohon bergetar semua. Sebagian ada yang rontok dan
berjatuhan.
Gemerisik suara dedaunan
bagaikan gerakan angin di atas pepo-honan saja. Sedangkan batang pohon dan
tanah tidak ikut bergetar sedikit pun.
"Siapa yang mengirimkan
ilmu seperti ini? Pasti dikirim dari jarak jauh, karena detak jantungnya masih
belum kudengar," kata batin Pendekar Mabuk.
Dedaunan yang jatuh ke bumi
ternyata mengepulkan asap tipis, nyaris tidak terlihat. Tapi karena banyaknya
daun yang jatuh maka asap-asap itu menjadi lebih tebal lagi, sehingga tanah
bagaikan mengeluar-kan kabut putih berhawa dingin. Suto Sinting segera melipat
kedua tangannya di dada, berdiri tegak sambil pejamkan mata. la memusatkan
pikirannya dan mengerahkan kekuatan batinnya untuk mengimbangi ilmu kiriman
tersebut.
Dalam beberapa kejap kemudian,
daun-daun yang berguncang itu berhenti. Uap dingin dari sentuhan daun dengan
tanah itu tidak lagi terasa membekukan kaki Pendekar Mabuk. Agaknya kekuatan
batin Suto mampu meredam kekuatan kiriman dari jauh. Bahkan kekuatan batin itu
mampu membuat langit menjadi berawan hitam tapi di sisi barat, timur, selatan,
dan utara. Sedangkan langit di atas kepala Pendekar Mabuk masih tampak terang
dan cerah.
Beberapa saat kemudian, terdengar
angin berhembus kembali dengan menderu. Suto Sinting masih pejamkan mata dalam
keadaan berlipat tangan di dada dan berdiri tegak dengan kaki sedikit
merenggang. Hembusan angin itu ternyata mengantarkan suara detak jantung yang
samar-samar terdengar di telinga Suto Sinting.
Suara jantung itu kian lama
kian jelas, sampai akhirnya Suto membuka matanya dan mengetahui sesosok tubuh
berdiri di depannya dengan kaki sedikit merenggang dan tampak tegang. Sosok itu
tak lain adalah sosok seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun kurang
dan mengenakan jubah merah.
Mata Pendekar Mabuk terkesiap
memandang perempuan berambut panjang yang digelung di bagian tengahnya. Yang
membuat mata terkesiap lagi ialah pa-kaian di balik jubah itu sangat tipis,
bagai terbuat dari kain selendang sebatas dada berwarna biru muda. Tipisnya
kain pelapis dada itu membuat bayangan samar-samar bentuk dada yang sungguh
menantang karena kebesaran dan kesekalannya. Suto Sinting terpaksa tarik napas
dalam-dalam.
Wanita itu adalah wanita
cantik. Ditambah dengan tahi lalat kecil di dagu sebelah kiri membuat daya
pikat tersendiri bagi siapa pun yang memandangnya. Suto Sinting sempat bergetar
hatinya melihat bentuk bibir yang melenakan, bagai mempunyai kekuatan khayal
cukup tinggi.
Senyumnya yang tipis pun
mempunyai daya cekam indah di hati pria yang memandangnya. Suto Sinting menahan
diri dan mengendalikan gejolak yang bergemuruh di dadanya.
"Siapa kau, Nyai?"
tanya Suto menyapa lebih dulu ketika mereka beradu pandang sudah lebih dari
tiga he-laan napas. Jarak mereka hanya empat langkah.
"Barangkali kau belum
pernah melihatku, tapi kuyakin kau pasti pernah mendengar namaku; Nyai Sapu
Lanang."
Suto Sinting berkerut dahi. la
merasa asing dengan nama itu.
"Aku baru sekarang
mendengar namamu, Nyai Sapu Lanang."
"Kalau begitu kau bukan
orang sekitar sini. Kau pasti datang dari jauh."
"Agaknya dugaanmu itu
memang benar, Nyai. Kau pandai menduga seseorang."
Suto Sinting juga sunggingkan
senyum kecil sebagai sikap tenang yang dipamerkan. Lalu wanita yang mengaku
bernama Nyai Sapu Lanang itu dekati Suto Sinting hingga jarak mereka tinggal
dua langkah lagi. Bau harum tercium dari tubuh elok berkulit kuning langsat.
Wewangian itu bagaikan menggugah hasrat bercumbu bagi seorang lelaki siapa saja
yang didekatinya.
"Dari mana asalmu, dan
siapa namamu?"
"Aku dari Jurang Lindu.
Namaku Suto Sinting."
Nyai Sapu Lanang kerutkan dahi
tipis. "Sepertinya aku pernah mendengar nama Suto Sinting. Ya, pernah!
Tapi kapan dan di mana aku telah lupa."
"Aku hanya anak desa.
Mungkin kau baru mendengarnya sekarang karena aku hanyalah anak desa yang tak
punya kelebihan apa-apa, sehingga tak mungkin namaku kau kenal sebelum
ini." Suto Sinting sengaja rendahkan diri supaya perempuan cantik itu
tidak ber-andai-andai tentang nama tersebut. Agaknya Suto pun tak ingin Nyai
Sapu Lanang mengetahui gelar kependekarannya.
Tetapi Nyai Sapu Lanang bukan
orang berotak udang yang bisa dibuat rempeyek. Nyai Sapu Lanang cukup cerdas
dalam menyimpulkan sesuatu masalah, sehingga dengan tegas ia pun berkata,
"Kau tak mungkin hanya
anak desa biasa! Gerakan larimu kulihat begitu cepat. Itu sudah menandakan kau
berilmu tinggi. Ketika kukirimkan jurus 'Gelombang Badai' kau bisa
menghentikannya dengan kekuatan batinmu. Je|as lagi bahwa kau orang yang bukan
sekadar anak desa biasa, Suto!"
Pendekar Mabuk tarik napas.
Meninggalkannya tiga langkah. Di sana ia menenggak tuaknya tiga tegukan.
Sikapnya seakan acuh tak acuh kepada Nyai Sapu Lanang, sehingga wanita itu
membatin dalam hatinya,
"Agaknya ia sukar
ditundukkan dengan penampilanku ini. Tak biasanya seorang lelaki yang kudekati
akan menjauh. Pasti akan mendekat. Tapi kali ini agaknya pemuda itu
kebalikannya, justru aku yang mendekatinya dan merasa terjerat dalam khayalanku
sendiri. Oh, kali ini agaknya kau harus berjuang lebih keras lagi untuk
tundukkan mangsaku.
Pendekar Mabuk sengaja
pandangi keadaan sekeliling dengan sikap tenang. Saat itu terdengar suaranya
berucap pelan tapi terdengar jelas oleh Nyai Sapu Lanang yang mendekatinya
lagi dua tindak.
"Untuk apa kau
menghentikan langkahku? Apakah kau juga muridnya Malaikat Miskin dan bermaksud
menghalangi pengejaranku?"
"Tidak. Aku kenal dengan
si Malaikat Miskin, tapi aku bukan muridnya. Kalau mau justru Malaikat Miskin
seharusnya belajar dan berguru kepadaku."
"Jadi kau ada di pihak
mana?"
"Tak punya pihak,"
jawab Nyai Sapu Lanang.
"Tapi kalau kau bermaksud
menemui Malaikat Miskin, aku bisa mengantarmu ke Perguruan Tongkat Sakti."
Tiba-tiba wajah Suto Sinting
yang semula memandang ke arah lain kini cepat berpaling mengatap Nyai Sapu
Lanang. Yang ditatap sengaja sunggingkan senyum penjerat hati. Namun Suto
Sinting lebih tertarik dengan kata-katanya.
"Benarkah kau bisa
membawaku menemui Malaikat Miskin?!"
"Ya, tapi ada syaratnya!"
"Sebutkan!"
Nyai Sapu Lanang tidak segera
menjawab, melainkan justru mengadu pandangan mata beberapa saat. Suto Sinting
membatin, "Hmm...! Dia menyerangku dengan halus melaiui pandangan matanya.
Oh, rupanya dia ingin menjerat hatiku?! Aku harus bisa melawan dan melumpuhkan
kekuatan matanya Itu."
Suto Sinting menarik napas
panjang dengan pelan-pelan hingga tak terlihat secara nyata. Tetapi saat itulah
sebenarnya Suto Sinting menahan serangan halus penjerat hati. Tak heran jika
Nyai Sapu Lanang segera berkata dalam hatinya, "Kuat juga pemuda ini!
Agaknya ia mampu menahan daya pikatku melaiui mata.
Padahal biasanya hati pria
mana pun akan luluh jika kugunakan jurus "Mata Peri'-ku ini!"
Terdengar Suto Sinting
berkata, "Kusuruh kau sebutkan syaratnya mengapa kau justru diam dan
menjerat hatiku dengan tatapan matamu?"
Nyai Sapu Lanang tersipu
sendiri dan membatin, "Sial! Dia tahu kalau sedang kuserang secara
diam-diam."
Tapi di mulut berbibir
menggemaskan itu sebaris kata terucap lirih,
"Syaratnya tak sulit. Kau
pasti bisa lakukan. Kau hanya menuruti keinginanku untuk membawamu pulang ke
pondokku. Aku butuh keturunan."
"Butuh keturunan? Mengapa
kau bicarakan padaku?"
"Sekian lama
kupertahankan kecantikanku, kemolekanku, keelokan tubuhku, hanya untuk mencari
pria yang mampu berikan keturunan padaku. Sebab ilmu-ilmuku tidak bisa
diberikan kepada orang lain kecuali kepada keturunanku sendiri. Tapi sampai
sekian lama aku berkelana, ternyata tak ada pria yang sanggup memberikan
keturunan padaku. Sampai sekarang aku masih membutuhkan pria seperti apa pun
untuk mencoba memberikan keturunan padaku. Jadi aku hanya membutuhkan dirimu
untuk membuatku mempunyai keturunan. Kita pulang ke pondokku dan layanilah aku
seperti apa yang kubutuhkan. Maka akan kubantu kau menemui Malaikat Miskin,
bila perlu kubantu kau menyerangnya."
Setelah diam beberapa saat,
Suto Sinting berkata, "Syaratmu terlalu berat bagiku, Nyai Sapu
Lanang!"
Wanita cantik dan menggoda
hati itu gelengkan kepala. "Tidak terlalu berat untuk seorang lelaki
seperti kau, Suto! Justru aku akan merasa bahagia dan ingin mengulanginya lagi
jika sudah merasakan keindahan yang dapat kita capai bersama."
"Tidak, aku tidak bisa
melakukannya. Aku tak sanggup memenuhi keinginanmu, Nyai Sapu Lanang. Carilah
lelaki lain yang mampu melakukannya!"
Mata jeli berbulu lentik itu
mulai nakal dalam memandang. Senyum itu masih membias di bibir ranum dan selalu
tampak basah. Sesaat setelah diam sang nyai pun perdengarkan suaranya,
"Kau mampu! Kurasakan ada kekuatan yang maha dahsyat dalam asmaramu,
Suto."
"Memang aku mampu
melakukannya, karena aku lelaki yang sehat. Tapi aku tak mau menodai
kesetiaanku terhadap calon istriku, Nyai Sapu Lanang."
"Calon istrimu tak
mungkin dapat meneropong apa yang kita lakukan, karena aku mempunyai kekuatan
yang mampu mengembalikan daya teropong seseorang. Kau tak perlu takut ketahuan
siapa-siapa. Tak ada .yang mengetahui perbuatanmu di pondokku, Suto!"
sambil berkata begitu sang nyai semakin mendekati Suto. Bahkan tangannya berani
meraih lengan Suto Sinting dan tubuhnya kian mendekat.
Pandangan mata yang menjadi
mulai sayu itu dipandangi pula oleh Suto Sinting dalam hiasan senyum menawan.
Justru sang nyai yang menjadi makin terjerat serta penasaran untuk tundukkan
kekuatan Suto Sinting dalam bertahan dari getaran api asmaranya.
"Sebaiknya tinggalkanlah
aku, dan biarkan kucari sendiri Perguruan Tongkat Sakti itu. Aku masih mampu
menemukannya tanpa bantuanmu, Nyai."
"Oh, kau mengecewakan
hatiku jika selalu menolak, Suto Sinting."
"Kau tak perlu kecewa
karena pada dasarnya kita memang bukan pasangan bercinta, Nyai. Kita hanya
saling bertemu di perjalanan dan tidak harus melakukan perbuatan yang hina dan
rendah di mata hati kita sendiri."
"Aku inginkan dirimu,
Suto. Aku inginkan sekarang juga!" bisik Nyai Sapu Lanang dalam desah
tipisnya. Tapi Suto Sinting gelengkan kepala sambil tetap sunggingkan
senyumnya.
"Jangan paksa aku, Nyai.
Berbahaya bagi dirimu jika aku meronta!"
"Tak akan mungkin
berbahaya!" kata sang nyai, lalu tiba-tiba dari pandangan mata sang nyai
melesat sinar biru bening yang amat tipis dan menghunjam masuk ke mata Suto
Sinting. Claaap...! Suto Sinting tak sempat menghindar karena jaraknya teramat
dekat. Suto hanya rasakan adanya kejutan yang menyentakkan kepala ke belakang
dan matanya terpejam seketika.
Ketika ia buka mata kembali,
tiba-tiba jantungnya berdetak-detak karena memandang segalanya serba gelap.
Tetapi gemuruh dalam dadanya kian riuh. Darah-nya bagai dibakar api asmara yang
menggelisahkan. Suto Sinting mundur dua langkah dan dibiarkan oleh Nyai Sapu
Lanang, hanya dipandangi saja dengan senyum penuh harapan atas kemenangannya.
"Nyai, kau apakan diriku
ini...?!" napas Suto Sinting mulai terengah-engah. Hasrat bercumbunya kian
dirasakan menyentak-nyentak dan menuntut batin.
"Jangan kau fawan
hasratmu, Suto. Kau telah terkena 'Racun Gugah Jantan' yang tak dapat dihindari
oleh siapa pun. Jika kau melawan hasratmu maka kau akan menjadi lekas tua!
Racun itu hanya bisa terobati jika kau salurkan hasratmu padaku, karena akulah
yang memiliki penawar racun tersebut. Tak akan kau dapatkan pada orang lain,
Suto Sinting!"
Buru-buru Pendekar Mabuk
menenggak tuaknya. Glek, glek, glek...! Tetapi anehnya hasrat bercumbunya kian
berkobar-kobar. Rupanya kekuatan dari 'Racun Gugah Jantan' itu tak dapat
dikalahkan dengan tuak sakti dalam bumbung tersebut. Suto Sinting dibuat
panas-dingin. Keringatnya mulai bercucuran dan ia bersandar di pohon dengan
tubuh gemetar karena melawan hasratnya sendiri.
"Percuma kalau kau tetap
melawannya, Suto! Percuma! Sebaiknya mari pergi ke pondokku dan lepaskanlah
hasratmu itu agar aku bisa mempunyai keturunan darimu. Mungkin saja kaulah pria
yang cocok menjadi ayah dari keturunanku!"
"Tidak! Jauhilah aku!
Jauhi aku, Nyai...!" kata Suto Sinting dengan terengah-engah, bahkan
sempat pe-jamkan kuat-kuat karena menahan gejolak bercumbu yang luar biasa
besarnya itu.
"Kau akan menjadi lekas
tua! Ingat, Suto... kau akan cepat tua jika hasrat itu selalu kau tahan dan tak
tercurahkan. Aku tak kan menawarkan racun itu jika kau tak melayaniku!
Hik..hi... hik..J Kau akan cepat menua, Suto.
Suto Sinting hanya
terengah-engah diguncang kebimbangan mengambil keputusan.PONDOK berdinding kayu
dibangun di bawah sebuah pohon besar jenis beringin gajah. Beringin itu usianya
sudah ratusan tahun hingga tumbuh besar, daun dan dahannya menyerupai payung
raksasa. Akar-akar gantungnya sebesar lengan manu-sia dewasa, pada umumnya
akar-akar itu menembus tanah dari atas ke bawah. Sebagian akar kecil-kecilnya
bergelantungan bagai rambut-rambut raksasa hutan.
Di belakang pondok itu
terdapat tanah lega tak seberapa luas, berkeadaan sedikit miring. Bebatuan
tumbuh di sana-sini bagaikan kepala raksasa yang tersum-bul dari dasar bumi. Di
salah satu batu datar selebar punggung kerbau, berdiri sesosok tubuh yang
memiliki rambut putih lurus sepanjang lewat pundak sedikit. Lelaki berambut
putih uban itu mempunyai potongan tubuh yang sedikit kurus. Urat-uratnya
bertonjolan bagai ingin keluar dari lapisan kulit yang tampak agak keriput itu.
Urat-Urat tersebut menandakan bahwa dulunya lelaki itu berperawakan tegap,
gagah, dan berotot kekar.
Kerutan wajahnya terlihat
jelas. Dahinya sedikit terlipat karena kulitnya mengendur. Alis matanya mulai
ditumbuhi uban, tapi jenggot dan kumisnya bersih tanpa selembar rambut atau
uban. Pakaiannya tetap berwarna sama; baju coklat tanpa lengan, celana putih
kusam dan ikat pinggang dari kain merah. Usianya sekitar enam puluh tahun.
itu sedang berlatih
jurus-jurus silatnya dengan menggunakan gerakan lamban namun penuh curahan
tenaga dalam. Gerakan jurus tangan kosong itu membuat tubuhnya meliuk ke
sana-sini seperti orang mabuk yang terhuyung-huyung. Kadang ia melengkung ke
depan hendak jatuh, namun ternyata justru berguling di tanah dengan menggunakan
punggung-nya sebagai bahan hentakan yang membuat ia melenting bangkit dan
berdiri lagi dengan cepat. Kadang ia limbung ke kiri seperti mau jatuh, tapi
ternyata menggunakan kaki kirinya untuk menyentak ke tanah dan tubuh itu
melesat ke kiri, lompat ke atas batu sambil lepaskan tendangan berputar cepat.
Sepasang mata memperhatikan
gerakan silat lelaki itu dengan rasa heran. Sepasang mata yang bersembunyi itu
sempat membatin dalam hatinya,
"Gerakannya sangat aneh.
Sepertinya mudah di-tumbangkan. Kuda-kudanya tampak lemah. Tapi kurasa
kenyataannya tidak demikian. Hmm...! Siapa orang itu? Mengapa ia ada di
sini?"
Ketika lelaki itu hentikan
latihan gerakan jurus tangan kosongnya, barulah terlihat siapa dia sebenarnya.
Karena pada saat itu, lelaki tersebut segera mengambil bumbung tuak yang
diletakkan di samping batu besar, lalu menenggak tuak beberapa teguk. Kebiasaan
itu tak lain adalah kebiasaan murid sinting si Gila Tuak yang dikenal dengan
julukan Pendekar Mabuk. Bagi yang tidak tahu perkara sebenarnya, pasti akan
terheran-heran melihat Suto Sinting dalam keadaan setua itu. la menjadi lelaki
yang usianya dua kali lipat dari usia sebenarnya. Mungkin malah seperti tiga
kali lipat usia aslinya.
Semua itu terjadi karena
Pendekar Mabuk masih dalam pengaruh 'Racun Gugah Jantan' dari Nyai Sapu
Lanang.Tiga hari ia berada di pondok Nyai Sapu Lanang. Namun sang nyai belum
mau memberikan obat penawar racun itu, karena Suto Sinting belum mau melayani
keinginan sang nyai. Yang dilakukan Suto Sinting selama tiga hari empat malam
di pondok itu adalah membujuk Nyai Sapu Lanang agar mau berikan obat penawar
racun dengan berbagai cara. Sayang wanita yang berhasrat ingin mendapat
keturunan dari Suto Sinting itu tetap tidak mau berikan obat itu.
"Sebelum kau mau melayani
hasratku, kau tak akan kuberi obat penawar 'Racun Gugah Jantan'."
"Nyai, sekalipun aku mau
melayani gairahmu, belum tentu akan membuatmu hamil dan mempunyai keturunan
dari benihku, Nyai. Jangan terlalu yakin bahwa aku bisa memberikan keturunan
padamu. Siapa tahu kau memang ditakdirkan hidup tanpa keturunan. Biar semua
lelaki memberikan benihnya padamu, kau belum tentu bisa menjadi hamil, Nyai.
Jadi sebaiknya lepaskanlah aku dari pengaruh racunmu itu!" bujuk Pendekar
Mabuk kala itu.
"Memang belum tentu. Tapi
setidaknya aku ingin mencoba menanamkan benihmu dalam rahimku. Siapa tahu
justru benihmu itulah yang mampu menjadikan aku berketurunan, Suto Sinting.
Karenanya aku hanya memohon padamu untuk membuktikan kebenaran dugaan kita
masing-masing. Mencoba beberapa kali tak ada jeleknya daripada tidak mencoba
yang berarti tidak berusaha!"
Pendekar Mabuk tetap gelengkan
kepala. Sekaiipun 'Racun Gugah Jantan' selalu membangkitkan gairah Pendekar
Mabuk, tapi gairah itu selalu ditahannya kuat-kuat. Suto Sinting tak ingin
memberikan kemesraan batinnya kepada perempuan lain.
"Hanya Dyah Sariningrum
yang boleh memiliki kemesraan batinku ini. Aku tak ingin berikan kepada siapa
pun, kecuali kepada wanita yang amat kucintai itu," pikir Suto Sinting.
"Bagaimanapun juga aku harus berusaha melawan gairahku sendiri tanpa harus
melampiaskannya kepada Nyai Sapu Lanang. Aku percaya suatu saat bujukanku akan
berhasil. Nyai akan mau berikan obat penawar racun itu. Setidaknya aku akan
mendapat akal agar ia mau pulihkan keadaanku. Sekarang memang belum ada akal
dan siasat yang tepat untuknya, tapi lambat laun aku pasti akan menemukannya.
Yang penting aku jangan jauh-jauh darinya dan menjaga keselamatan jiwanya,
sebab jika ia mati maka racun Ini akan bekerja terus dalam tubuhku dan
menyiksaku lebih keji lagi. Ketuaanku semakin cepat tiba dan tak punya harapan
menjadi muda seperti usia sebenarnya jika Nyai Sapu Lanang tak ada di
sampingku."
Sementara itu, Nyai Sapu
Lanang sendiri sering membatin di hatinya, "Orang ini benar-benar bandel.
Kuat sekali la menahan gairahnya yang hampir setiap saat menuntut kepuasan
batin. Padahal gairah yang tertahan itu sangat menyiksa jiwanya. Gairah yang
tertahan itu melemaskan otot-ototnya dan membuyarkan ketenangannya.
Tapi ia tabah menghadapi dan
kuat menjalani siksaan batin itu? Sampai kapan ia akan mampu bertahan dari
godaan 'Racun Gugah Jantan'? Hmm...! Tak akan lama. Tak akan lebih dari tujuh
hari ia mampu menahan hasratnya yang selalu berkobar-kobar itu. Cepat atau
lambat, pada akhirnya nanti ia akan tak mampu lagi bertahan, lalu ia akan
pasrah dan teng-gelam dalam pelukanku. Oh, aku menjadi lebih yakin, kekuatannya
menahan hasrat itu merupakan tanda-tanda kekuatan benihnya yang dapat
membuahkan janin dalam rahimku nanti! Pasti dialah lelaki yang cocok dengan kesuburanku."
Suto Sinting mempunyai
berbagai cara untuk menahan gejolak gairahnya jika sang gairah mulai mencekam
batin kuat-kuat. la dapat lakukan dengan semadi pernapasan atau membuangnya
dengan berlatih gerakan-gerakan bertenaga. Jika keletihan tiba, maka gairahnya
itu menjadi pudar sesaat. Hasrat ingin bercumbu lenyap pada saat ia melakukan
latihan jurus tangan kosong hingga keluarkan keringat. Tak heran jika selama
tiga hari di pondok itu Suto Sinting sering lakukan latihan jurus tangan kosong
yang bersifat menguras tenaga.
Sayangnya, walaupun gairah itu
bisa dibendung dengan meletihkan badan, tapi pengaruh racun yang membuat
ketuaannya cepat tiba dan tak bisa terbendung. Semakin sering menahan gairah
semakin cepat pertumbuhan ketuaannya. Tak heran jika dalam waktu empat malam
saja Suto Sinting mencapai tingkat ketuaan seperti seorang kakek. Itu
disebabkan karena terlalu seringnya menahan gairah kemesraannya.
Nyai Sapu Lanang sendiri
sengaja sering menggoda dengan berbagai cara agar setiap waktu gairah Suto
Sinting terpancing. Kedua orang tersebut saling menyimpan harapan, sehingga
mereka secara tak langsung tak mau berpisah. Suto sendiri berharap bujukannya
akan berhasil membuat Nyai Sapu Lanang berikan obat penawar racun. Sedangkan
Nyai Sapu Lanang sendiri berharap agar kelemahan Suto Sinting pada akhirnya
akan tiba juga, sehingga ia dapat menikmati dan memperoleh apa yang diharapkan
dan diyakininya itu.
Tetapi pada hari keempat itu,
agaknya Nyai Sapu Lanang terperangkap oleh godaannya sendiri. Kekerasan hati
Suto Sinting yang tak mau memberikan setitik kehangatan membuat gairah sang
nyai bangkit menuntut jiwa. Akhirnya sang nyai harus pergi tinggalkan pondok
untuk mencari lelaki lain sebagai pemuas harapannya. Suto Sinting biarkan
perempuan itu pergi, karena ia yakin akan kembali lagi. la juga tahu bahwa
kekalahannya sedang ditunggu-tunggu oleh sang nyai. Jadi tak mungkin Nyai Sapu
Lanang pergi selamanya tinggalkan mangsa di pondoknya.
Pada saat sang nyai pergi
itulah, Suto Sinting pergunakan waktu untuk berlatih jurus tangan kosongnya
sambil membuang hasrat yang bergolak akibat 'Racun Gugah Jantan'. Namun ketika
ia selesai menenggak tuaknya, tiba-tiba sepasang mata yang dari tadi
meng-intipnya dari balik celah dedaunan semak itu berkelebat muncul dan berdiri
di depan Suto Sinting. Kemunculannya membuat Suto Sinting sempat terperanjat
sesaat. Matanya memandang dengan sedikit mengecil karena pandangan mata Suto
pun mengalami keburaman karena penuaannya itu.
"Jurus-jurusmu cukup aneh
sekali, Kek! Kalau boleh kutahu, siapa dirimu? Apakah kau kakeknya Nyai Sapu
Lanang?!"
Orang yang menyapa Suto
Sinting itu adalah seorang wanita berusia sekitar dua puluh tujuh tahun,
berpotongan tubuh menggiurkan, dadanya mon-tok,mengenakan pinjung penutup dada
ketat warna hijau muda berhias benang emas kuning.
Celananya juga ketat berwarna
hijau muda dengan hiasan benang emas pada tepian celana. Pakaian itu dibungkus
dengan baju jubah tanpa lengan yang panjangnya sampai betis. Jubah itu berwarna
kuning kunyit. Di pinggangnya terselip kipas warna kuning emas. Rambutnya lepas
terurai sepanjang punggung, dililit dengan hiasan kepala berwarna kuning emas.
Seraut wajah cantik yang
pandangi Suto Sinting tanpa kesan terpikat itu segera didekati oleh sang
pendekar beruban. Wajah berhidung mancung dan ber-mata bening ditatapnya lebih
dalam lagi, kemudian barulah Suto perdengarkan suaranya yang bergetar bagai
suara orang lanjut usia.
"Siapakah dirimu, Nona
Cantik?"
"Namaku Teratai Kipas.
Kurasa Nyai Sapu Lanang mengenal namaku.Dan sekarang pun aku ingin bertemu
dengannya."
"Untuk apa kau ingin
menemuinya, Nona?"
"Bikin perhitungan
dengannya! Kuharap kau jangan menghalangi niatku, Kakek Tua. Aku tak ingin
melibatkan dirimu dalam urusanku dengan Nyai Sapu Lanang!" kata Teratai
Kipas dengan nada tegas. Dari ucapannya yang tegas itu terpancar dendam yang
tersembunyi di dalam dada wanita cantik berkulit putih itu.
"Boleh kutahu masalahnya,
Nona?" tanya Suto Sinting dengan sikap ramah.
"Siapa dirimu sebenarnya?
Sebutkan dulu!"
"Namaku Suto Sinting. Aku
bukan kakeknya Nyai Sapu Lanang."
Wanita itu tercenung sesaat
sambil menggumam, "Suto...? Suto Sinting...?!"
"Ada yang menyangsikan
dirimu, Nona Teratai Kipas?"
"Tidak ada," jawab
Teratai Kipas jelas-jelas. "Aku hanya merasa pernah mendengar nama Suto
Sinting, tapi... kurasa bukan kau orangnya."
Pendekar Mabuk yang menyerupai
seorang kakek itu tersenyum kecil. Matanya masih memandang Teratai Kipas yang
menatap penuh curiga. Kejap berikut terdengar Teratai Kipas perdengarkan suaranya
yang lembut namun punya ketegasan tersendiri di dalamnya.
"Nyai Sapu Lanang
berhutang nyawa padaku. Dia yang membuat adikku menjadi gila dan akhirnya bunuh
diri karena kasmaran kepadanya tiada berkesudahan! Kekuatan ilmu pemikatnya
membuat kematlan adikku; Arya Wuka yang masih berusia dua puluh tahun itu. Aku
tidak bisa menerima kenyataan ini dan harus membalas dengan kematian Nyai Sapu
Lanang sendiri. Jadi, urusan ini tak ada sangkut pautnya denganmu, Ki Suto
Sinting. Kuharap kau jangan mencampuri urusanku ini."
Terasa aneh hati Suto Sinting
mendengar dirinya dipanggil 'Ki Suto Sinting'. Ada rasa janggal, malu, dan
sedih yang tipis. Batinnya bertanya, "Sudah setua itukah diriku sehingga
dipanggil 'Ki Suto Sinting' oleh si cantik ini? Padahal usianya mungkin sejajar
denganku. Tapi haruskah aku tersinggung karena dipanggil 'Ki Suto Sinting'
olehnya? Oh, kenyataan ini, ketuaan ini yang membuatku mendapat panggilan 'Ki
Suto Sinting'. Aku tak salahkan dirinya, karena memang sosokku sudah tampak
tua."
Terdengar lagi Teratai Kipas
berkata, "Kumohon padamu, Ki Suto... panggillah Nyai Sapu Lanang, dan
suruh dia berhadapan denganku. Aku ingin bertarung dengannya secara hormat.
Bukan dengan mengamuk kasar dan liar. Tapi kalau kau tak mau memanggilnya keluar
dari pondok itu, maka jangan salahkan diriku jika pondok itu kuhancurkan
bersama dirinya. Nyai Sapu Lanang pantas dimusnahkan agar tidak menjadi perusak
kaum lelaki lainnya!"
Sinting masih tampak tenang.
Matanya memandang sebentar ke arah pondok yang dipunggunginya, lalu kembali
menatap Teratai Kipas dengan sikap ramahnya yang masih ada, senyum tipis yang
masih menghiasi wajah tuanya.
"Nyai Sapu Lanang tidak
ada. Dia sedang pergi."
"Aku tidak percayal"
tegas Teratai Kipas.
"Aku berkata yang
sebenarnya, Teratai Kipas."
"Kalau begitu aku harus
menggeledah pondok itu!" Teratai Kipas segera berkelebat menuju ke dalam
pondok. Tapi Suto Sinting bergerak lebih cepat hingga ta-hu-tahu sudah berada
di depan pintu menghadang langkah Teratai Kipas. Wajah dan sikapnya masih
tampak tidak bermusuhan, walaupun wanita cantik itu kelihatan geram dan
memendam kedongkolan yang besar di hatinya.
"Percayalah, sekalipun
kau obrak-abrik isi pondok ini kau tak akan menemui Nyai Sapu Lanang, Nona! Dia
pergi sejak tadi pagi."
"Menyingkirlahl"
ucapnya bernada ketus dan memandang sinis.
Suto Sinting tarik napas
dengan senyum kalem. Melihat kepenasaran Teratai Kipas, akhirnya Pendekar Mabuk
menyingkir dari depan pintu dan membiarkan Teratai Kipas lakukan penggeledahan
di dalam pondok. Suto Sinting sengaja menunggu di luar pondok sambil meneguk
tuaknya kembali. Beberapa saat kemudian, Teratai Kipas keluar kembali dengan
wajah cemberut bagaikan menemukan kekecewaan yang kian menjengkelkan hati.
"Pergi ke mana
dia?!" tanyanya mulai semakin ketus. Suto Sinting angkat bahu pertanda
tidak tahu. Tapi Teratai Kipas tak percaya dan semakin jengkel karena
menganggap dipermainkan oleh Suto.
"Kalau kau tak mau
sebutkan ke mana perginya, aku akan bicara dengan tangan dan mungkin senjata
kipasku akan merobek kulit tuamu, Ki Suto!"
"Aku memang tidak tahu ke
mana perginya."
"Baiklah. Jawaban itu
berarti memaksaku untuk melakukan kekerasan agar kau buka mulut!"
Wuuut...! Teratai Kipas segera
bergerak. Tangannya berkelebat bagaikan menampar dalam jurus cakar. Weees...!
Hampir saja wajah tua Suto Sinting terkena cakaran kuku yang tak seberapa
panjang tapi runcing tajam itu. Jaraknya yang hanya satu langkah telah membuat
Teratai Kipas kembali mencakar bagai ingin merobek dada Suto Sinting. Wuuuss...!
Deeb...! Tangan itu ditangkis oleh lengan kiri Suto Sinting.
Perpaduan tulang lengan dengan
pergelangan tangan membuat Teratai Kipas hentikan serangannya sejenak. Hatinya
sempat membatin,
"Gila! Sudah setua itu
tapi tulangnya masih keras. Tenaga dalamnya tersalur dengan baik. Pergelangan
tanganku menjadi linu, bahkan sampai ke pangkal pundak rasa linunya. Aku harus
hati-hati dengannya!"
Pendekar Mabuk perdengarkan
suaranya yang masih tetap kalem, "Kumohon jangan paksa diriku untuk
mengatakan ke mana kepergian perempuan itu. Aku benar-benar tidak bisa
menolongmu. Jangan gunakan kekerasan untuk hal yang tidak kuketahui, Teratai
Kipas!"
"Omong kosong! Kau pasti
tahu!"
"Baiklah. Sekalipun
misalnya aku mengetahuinya, aku tidak akan sebutkan di mana dia berada!"
"Kau memang perlu
mendapat pelajaran dan tidak menganggapku sebagai anak kecil, Suto Sinting!
Hiaaah...!"
Teratai Kipas berkelebat
arahkan tendangannya ke dada Suto Sinting. Gerakan kaki lurus itu ternyata
hanya sebuah tipuan, karena kejap berikut ia menyentak naik dan kaki kirinya
yang berkelebat dari samping menendang tepat kenai bagian bawah ketiak Suto
Sinting.
Duuuhg... !
"Uhg...!" Suto
Sinting terlempar ke samping walau tak sampai jatuh. Tapi ia mulai rasakan
patah tulang ru-suknya karena tendangan kaki kiri itu disaluri tenaga dalam
tinggi. Untung Suto Sinting dapat segera tarik napas dalam-dalam dan salurkan
hawa murninya sendiri ke tempat yang sakit, sehingga rasa tulang rusuk patah
itu segera berkurang.
"Hiaaat...!" Teratai
Kipas berkelebat menerjang Suto dalam satu lompatan. Suto Sinting terpaksa
menyambutnya sekadar memberi bukti bahwa dirinya memang tidak tahu ke mana
kepergian perempuan penyapu kaum lelaki itu. Suto Sinting melompat dengan
bumbung tuak menggantung di pundak. Lalu di udara mereka saling beradu telapak
tangan. Plak, plak...! Wuuuut...! Brruk...! Teratai Kipas seperti mendapat daya
hentak dari tendangan seekor banteng yang sedang mengamuk. Hentakan gelombang
tenaga dalam dari telapak tangan Pendekar Mabuk membuatnya terpental jauh,
sekitar delapan langkah baru jatuh terseret mundur dalam keadaan duduk miring
tak bisa jaga keseimbangan tubuh. Hampir saja bagian belakang kepala Teratai
Kipas membentur sebongkah batu jika tak segera menahan napas agar gerakan
terseretnya terhenti.
"Orang tua nakal kau
rupanya!" geram Teratai Kipas. "Jangan sangka aku jera dengan
kekuatan tenaga dalammu itu, Ki Suto! Terimalah jurus kipasku ini!"
Seet...! Kipas emas dicabut dari pinggang. Dalam satu lompatan kipas itu
dikibaskan ke arah depan. Wuuus...! Lalu berhamburanlah serbuk-serbuk hitam
yang menyebar ke arah Suto Sinting.
"Racun...!" pikir
Suto Sinting seketika itu. Maka ia pun segera gunakan 'Gerak Siluman'-nya
hingga mampu berkelebat pergi menghindari kibasan kipas yang menghadirkan
serbuk-serbuk hitam itu. Zlaaap...!
Serbuk hitam itu jatuh
menghujani bongkahan batu yang tadi ada di belakang Suto Sinting. Batu itu
menjadi retak perlahan-lahan dan akhirnya terbelah menjadi beberapa bagian.
Belahan-belahan itu segera berubah menjadi serbuk halus bagaikan ditumbuk
dengan palu go-dam raksasa.
"Beruntung kau dapat
hindari 'Serbuk Pelebur Nyawa' dariku. Kalau tidak kau akan menjadi tepung
lembut seperti batu itu, Pak Tua!" kata Teratai Kipas dengan wajah
memancarkan keberangan.
"Sekarang kau tahu aku
tidak main-main lagi, Ki Suto! Jadi sebaiknya kau pun jangan anggap remeh
pertanyaanku tadi. Katakan ke mana perginya Nyai Sapu Lanang itu?!"
"Jawabanku tetap sama
walaupun kau kerahkan seluruh ilmumu untuk menyerangku, Nona Cantik! Sudah kukatakan,
seandainya aku tahu tetap tidak akan kukatakan, apalagi dalam keadaan aku
benar-benar tidak tahu, tetap tidak bisa kukatakan ke mana perginya si
perempuan pemburu lelaki itu!"
"Jika begitu, mungkin
inilah kunci pembuka mulutmu! Hiaaat...!"
Teratai Kipas melemparkan
kipasnya dalam keadaan terbuka. Kipas emas bergambar bunga teratai itu melayang
cepat menerjang Suto Sinting. Wuuus...! Tepian kipas itu menyala merah,
bagaikan dikelilingi oleh kawat membara. Kipas itu bergerak memutar dengan cepat
hingga tepiannya yang menyala merah bara itu memercikkan bunga-bunga api satu
arah putaran.
Sinting segera menghantam
kipas itu dengan bumbung tuaknya. Wuuut.... Blegaaar...! Cahaya terang warna
merah berkelebat besar. Kilatan cahaya merah dari hasil benturan kipas dengan
bumbung tuak sampai nyaris menjilat dedaunan di atas pohon. Tentu saja hentakan
daya ledaknya cukup besar dan membuat Suto Sinting serta Teratai Kipas
sama-sama terpental ke belakang bagaikan terlempar oleh kekuatan maha dahsyat.
Sekitar dua-tiga dahan patah
seketika dan tumbang dengan sendirinya. Sedangkan kedua orang tersebut
sama-sama terkapar dalam jarak sekitar enam tombak jauhnya dari tempat mereka
berdiri semula.
Dedaunan semak dan ranting
pohon kecil diterabas oleh lemparan tubuh mereka hingga rusak bagaikan dilanda
seekor kerbau yang mengamuk membabi buta.
Kekuatan tenaga dalam pada
kipas emas itu sangat besar. Jika tidak, daya ledaknya tak mungkin sehebat itu.
Sementara di sisi lain Teratai Kipas sendiri berkeyakinan bahwa bumbung tuak
itu menyimpan tenaga sakti yang amat besar. Jika tidak tentunya benturan tadi
tak akan hadirkan gelombang daya ledak yang begitu kuat.
"Dadaku terasa sakit
sekali, seperti habis terhimpit pilar besar!" kata Teratai Kipas sambil
berusaha bangkit berdiri. Ucapannya itu dilanjutkan lewat kata hati seraya ia
berusaha bersandar pada sebuah pohon berukuran sedang.
"Oh... panas sekali.
Cuih...!" Teratai Kipas meludah, ternyata yang diludahkan segumpal darah
kental. "Aku terluka dalam. Aduuuh... panasnya dadaku. Napas terasa
mengandung hawa panas. Oh, bahaya sekali luka dalamku ini! Benar-benar gila
bumbung tuak itu. Biasanya kipasku justru mampu memotong pohon besar dalam
sekali lempar, ini justru tak mampu memotong bambu yang besarnya hanya dua genggaman
tangan!"
Mata wanita cantik itu melirik
ke arah terjadinya benturan kipas dengan bumbung tuak. Ternyata kipas itu dalam
keadaan tergeletak di tanah tanpa rusak sedikit pun. Tapi nyala pijar merah di
tepiannya telah padam. Tanah di tempat terjadinya ledakan dahsyat tadi menjadi
cekung ke dalam bagaikan habis kejatuhan batu besar dari puncak pohon cemara.
Dengan terhuyung-huyung
Teratai Kipas menghampiri senjatanya dan memungutnya kembali. Saat memungutnya
ia hampir saja tersungkur jika tidak segera menopang tubuh dengan tangan kiri
dan lutut kirinya. Sedangkan Suto Sinting berjalan dari tempatnya terkapar
dalam keadaan sehat. Langkahnya sedikit lamban dan kurang gagah karena pengaruh
ketuaannya. Rupanya ia tadi sudah segar kembali.
"Teratai Kipas, kau
terluka dalam cukup parah. Kusarankan minumlah tuakku ini beberapa teguk untuk
mengobati luka dalammu itu!"
"Hmm...!" Teratai
Kipas bangkit dengan limbung, lalu berusaha untuk berdiri tegak walau kedua
kakinya tampak bergetar samar-samar. la memandang dengan sikap curiga ketika
Suto Sinting menyodorkan bumbung tuaknya.
"Kau pikir aku lawan yang
mudah kau jebak dengan racun tuakmu itu?" katanya sebagai pelampiasan
sikap curiga kepada tuak tersebut.
Suto Sinting tersenyum tipis.
Masih tidak menampakkan sikap bermusuhan. Sementara hati Teratai Kipas segera
membatin, "Dia tetap segar dan tak menjadi pucat sedikit pun. Hebat
sekali?! Apakah karena ia meminum tuaknya?"
Pendekar Mabuk segera
melangkah pergi pelan-pelan sambil berkata, "Kalau tak mau disembuhkan ya
sudah! Aku tak akan memaksamu."
"Tunggu!" sergah
Teratai Kipas. la bergegas mendekati Pendekar Mabuk yang sengaja hentikan
langkah sambil melirik ke belakang.
"Apa sangsinya jika
ternyata kau meracuniku dengan tuak ini?"
"Tak ada sangsinya! Aku tak
jadi berikan tuakku untukmu!" jawab Suto Sinting sambil lanjutkan langkah
hendak masuk ke dalam pondok yang salah satu dinding kayunya jebol akibat
gelombang ledakan dahsyat tadi. Tapi karena dada Teratai Kipas semakin panas,
dan ia meludahkan darah kental lagi dari mulutnya, maka kecemasan yang mencekam
hati telah membuatnya bergegas mengejar Suto kembali, lalu mencekal pundak
Pendekar Mabuk yang tidak dikenalinya itu.
"Berikan tuakmu!"
katanya masih tak ramah. "Jangan, Nanti kalau kau mati aku yang dituntut
arwahmu," goda Suto Sinting.
"Aku percaya padamu, Ki
Suto!" Suto Sinting berbalik badan, kini wajah pucat pasi itu
dipandanginya dalam senyum ramah seorang lelaki tua. Bumbung tuak diberikan,
dan Teratai Kipas segera menenggaknya.
Beberapa saat setelah itu,
Teratai Kipas merasakan ada perubahan dalam dadanya. Dada yang panas menjadi
dingin. Dada yang sakit menjadi lega dan sehat. Tubuhnya yang lemas menjadi
kuat kembali.
Tapi wanita cantik itu menjadi
tertegun merasakan perubahan yang cepat itu. la merasa heran dan terkagum-kagum
dalam hati, karena ia merasakan tubuhnya segera menjadi lebih segar dari
sebelum melakukan pertarungan dengan si tua aneh itu.
Ki Suto..., siapa sebenarnya
dirimu dan ada hubungan apa dengan Nyai Sapu Lanang itu? Tolong je laskan agar
aku tak salah anggapan terhadapmu!"SEBATANG kayu kering terbujur di
samping pondok, letaknya tepat di bawah sebongkah batu sebesar rumah yang
tersumbul dari kemiringan tanah lereng. Cahaya matahari terpayungi batu besar
itu. Batang pohon yang sudah lama tumbang itu menjadi tempat duduk Suto Sinting
dan Teratai Kipas yang telah saling berdamai setelah Suto jelaskan mengapa ia
berada di pondok itu. Tapi Suto Sinting belum memberitahukan apa tujuannya
datang ke Gunung Kundalini dan siapa sebenarnya dirinya itu.
"Adikku diculik oleh
Menak Goyang, muridnya Malaikat Miskin dari Perguruan Tongkat Sakti. Saat aku
mengejar Menak Goyang itulah aku dihadang oleh Nyai Sapu Lanang dan terkena
racun tersebut, sehingga keadaanku menjadi setua ini."
"Bukankah 'Racun Gugah
Jantan' hanya berguna untuk membangkitkan gairah seorang lelaki agar
bersemangat mengarungi lautan cinta bersamanya?"
"Benar. Tapi apabila
gairah itu tertahan, maka sifatnya berubah menjadi racun penua raga. Apabila
aku mau layani perempuan itu, aku tidak akan lekas menjadi tua seperti ini.
Walau gairahku tetap melonjak-lonjak asalkan tetap disalurkan kepadanya,
penuaan tidak akan terjadi pada diriku."
Teratai Kipas manggut-manggut.
"Kalau begitu selama ini kau menolak ajakan bercintanya?"
"Benar. Aku tak mau
melayaninya walau satu kali saja."
"Mengapa kau sebodoh itu?
Seharusnya kau mau melayaninya demi keselamatan ragamu agar tak menjadi lekas
tua begini! Kau sudah terkena racun itu dan hanya dia yang mempunyai obat
penawarnya. Mengapa kau tak mau menyerah saja?"
"Aku tak tega menodai
cinta. Aku harus menjaga kesucian cintaku kepada seseorang yang amat kusayangi.
Sebab itu aku memilih bertahan berada di dekatnya dengan harapan suatu saat
dapat membujuknya memberikan obat penawar itu. Dan aku terpaksa menjaga
keselamatan jiwanya, sebab kalau dia mati, aku tak akan dapatkan obat penawa
racun itu. Dia sendiri berharap aku menyerah dan pasrah padanya padanya jika
setiap saat dibangkitkan gairahnya dan aku harus tersiksa menahan gejolak batin."
Teratai Kipas diam termangu
beberapa saat. Batinnya sempat berkecamuk sendiri tiada yang tahu.
"Alangkah setianya Suto
Sinting ini kepada orang yang dicintainya. Jarang sekali ada lelaki sesetia
dia! Padahal seandainya ia mau layani Nyai Sapu Lanang, toh kekasihnya tidak
mengetahuinya. Tapi agaknya ia membenci pengkhianatan diri pribadi. la tidak mau
berbuat tak senonoh dengan perempuan lain walau sang kekasih tak melihatnya.
Oh, alangkah agung dan mulianya cinta orang ini. Hanya saja... mengapa Nyai
Sapu Lanang sangat berharap dan penasaran sekali kepada orang ini, hingga
melepaskan 'Racun Gugah Jantan'? Apakah orang ini sebelum mengalami penuaan
berwajah tampan? Hmm...! Seperti apa ketampanannya itu, sampai sang nyai dibuat
penasaran? Kurasa wajar-wajar saja. Ketampanannya tidak akan melebihi Raden
Panji, kekasihku yang mati terbunuh di tangan lawannya itu.Ah... entah seperti
apa ketampanannya, aku tak akan tertarik. Aku hanya merasa kasihan dengan
nasibnya yang menjadi tua begini sementara adik nya ada dalam penawanan si
Malaikat Miskin."
Pendekar Mabuk meneguk tuaknya
lagi. Setelah itu terdengar suara Teratai Kipas ajukan tanya, "Mengapa
adikmu diculik Menak Goyang?"
"Aku dituduh mencuri
pisau pusaka milik Malaikat Miskin!"
"Maksudmu, Pisau Tanduk
Hantu?"
"Ya. Rupanya kau tahu
tentang pisau itu?!"
"Aku kenal Malaikat
Miskin. Aku kenal orang-orang perguruan itu, karena almarhum kekasihku dulu
memang orang Perguruan Tongkat Sakti."
"Kalau begitu kau
tentunya tahu di mana letak Perguruan Tongkat Sakti?!"
"Sangat tahu!" jawab
Teratai Kipas. "Kau ingin agar aku mengantarmu ke sana dan membantu merebut
adik kecilmu itu?"
"Hanya menunjukkan
tempatnya saja. Soal merebut adikku itu urusanku. Aku bisa menanganinya
sendiri."
"Apa keuntunganku jika
mengantarmu ke sana?"
Suto Sinting diam sambil
tersenyum tanpa memandang Teratai Kipas. la segera angkat pundak dan berkata,
"Aku tak tahu apa yang kau harap dari jasamu nanti. Kau punya keinginan
apa, Teratai Kipas?"
"Membalaskan dendamku
pada Nyai Sapu Lanang! Aku tahu dia cukup sakti, ilmuku kalah tinggi dengannya.
Walau aku punya siasat sendiri untuk menumbangkannya, tapi aku akan cedera
melawannya. Kalau kau kutolong pergi ke Perguruan Tongkat Sakti, tentunya aku
berharap kau membantuku dalam melapiaskan dendamku kepada Nyai Sapu
Lanang."
"Apakah dendam itu cara
penyelesaian yang baik?"
"Menurutku memang begitu!
Aku tak peduli apa anggapan orang tentang dendam. Yang jelas, jiwaku menjadi
dituntut terus, seakan didesak oleh roh adikku untuk membalaskan sakit hatinya
kepada Nyai Sapu Lanang."
Keras sekali kemauan wanita
cantik itu. Suto Sinting merasa percuma menyadarkan Teratai Kipas agar jangan
menuruti nafsu dendam. Karena dilihatnya, bagi Teratai Kipas tak ada cara lain
untuk membalaskan sakit hatinya kecuali dengan melampiaskan dendam. Maka
Pendekar Mabuk pun segera berkata,
"Aku bisa membantumu jika
Nyai Sapu Lanang sudah memberiku obat penawar 'Racun Gugah Jantan'. Jika ia
belum memberiku obat penawar, aku masih bersikap menjadi pelindungnya. Kurasa
kau bisa memahami mengapa aku bersikap demikian."
"Ya, aku bisa memahaml
maksudmu."
Suto Sinting tarik napas
dalam-dalam karena ia mulai merasakan hasratnya meletup-letup. Pandangan
matanya sudah berusaha dihindarkan dari gumpalan dada putih sekal, tapi
bayangan sebentuk kehangatan di dada itu masih sesekali menggoda benak dan
membangkitkan gairah. Suto Sinting yang cepat dibakar api asmara itu menjadi
geiisah. Napasnya terasa mulai tidak teratur. la pun berucap kata dalam
batinnya,
"Celaka! Hasratku timbul
kembali karena terlalu lama berdekatan dengan Teratai Kipas. Ah, gawat juga
kalau begini! Aku membayangkan sedang bercumbu dengan Teratai Kipas. Mati aku,
Mak...! Jantungku berdetak cepat dan jiwaku memberontak menuntut pemu-asan
batin. Apa yang harus kulakukan jika begini? Apa...?!" Suto Sinting
menjadi bingung sendiri dan dicekam kegeiisahan yang menjengkelkan.
Terdengar pula suara Teratai
Kipas berkata, "Aku mau membantumu, tapi kau harus berjanji akan
membantuku menumbangkan Nyai Sapu Lanang jika kau telah dipulihkan dalam
keadaan raga sebenarnya. Kau mau berjanji, Suto?"
"Baik. Aku
berjanji!" jawab Suto dengan napasnya tampak memberat dan keringat
dinginnya mulai membersit di kening.
Teratai Kipas memandang heran
melihat perubahan sikap Suto Sinting yang geiisah dan resah itu. Maka
terlontarlah pertanyaan dari mulut berblbir mungil dan sedikit tebal
menggemaskan itu,
"Ada apa?! Mengapa
wajahmu menjadi pucat, na-pasmu menjadi cepat dan kau tampak tak tenang. Ada
apa sebenarnya?"
"Hmm... eeh... tidak
apa-apa," jawab Suto Sinting dengan rasa malu. "Sebaiknya sekarang
juga kita pergi ke Perguruan Tongkat Sakti. Kau bersedia?" tanya Suto
Sinting dengan suara semakin lirih.
"Baik. Aku
bersedia!" tegas Teratai Kipas. "Tapi jelaskan dulu mengapa kau
menjadi sepucat itu?"
"Hmm... penjelasannya
nanti saja. Apakah... apakah kau sanggup berlari cepat seperti anak panah lepas
dari busurnya?"
Tentu saja aku bisa lakukan
hal itu. Apa maksudmu bertanya demikian?"
"Kita adu kecepatan lari.
Tentukan arah yang harus kita tuju, dan kita akan berlomba kecepatan lari ke
arah sana!"
Teratai Kipas sunggingkan senyum
tipis, namun wajah cerianya terpapar jelas di mata Suto Sinting. Senyuman itu
mempunyai lesung pipit, walau tak seberapa jelas namun cukup mengingatkan
pikiran Suto Sinting kepada seraut wajah pemilik lesung pipit. Wajah itu tak
lain adalah wajah kekasihnya; Dyah Sariningrum. Semakin tergoda kasmaran hati
Suto Sinting, semakin mencekam hasrat bermesraannya membakar darah.
Maka, Suto pun segera
mengawali adu kecepatan berlari. Karena dengan begitu ia akan menjadi leiah dan
kelelahan itulah yang mampu membuat darah kemes-raannya menjadi dingin, tak
sepanas saat itu. Teratai Kipas tak tahu maksudnya, ia hanya menyangka Suto
Sinting ingin unjuk kebolehan dalam kecepatan berlarinya. Padahal Suto berlari
tidak dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam penuh. la juga tidak pergunakan
ilmu peringan tubuhnya, sehingga ia tertinggal jauh oleh Teratai Kipas. Tapi
justru keadaan itulah yang membuat Suto terhindar dari gairahnya.
Perguruan Tongkat Sakti
ternyata terletak di lereng Gunung Kundalini juga. Letaknya agak tinggi dari
tempat pondoknya Nyai Sapu Lanang. Lebih tepatnya sebelah utara saat Suto
Sinting pertama kali bertemu dengan Nyai Sapu Lanang. Sebenarnya saat itu Suto
tinggal beberapa waktu lagi sudah mencapai Perguruan Tongkat Sakti. Tapi karena
terhalang Nyai Sapu Lanang ia jadi menunda waktu datang ke perguruan tersebut.
Perguruan itu dikeliiingi oleh
benteng kayu yang rapat dan kokoh. Pada tiap sudut terdapat menara pengawas
yang dijaga oleh satu orang untuk satu menara.
Hal itu mempersempit kemungkinan
pencuri masuk ke bangunan pusat perguruan yang ada di tengah benteng kayu itu.
Anehnya justru perguruan itu sedang dilanda musibah dengan masuknya seorang
pencuri yang berhasil membawa lari Pisau Tanduk Hantu. Sudah pasti pencurinya
orang berilmu tinggi karena bisa menerobos masuk ke benteng yang dijaga ketat
itu.
"Bagaimana caranya masuk
tanpa menimbulkan korban?" tanya Suto Sinting kepada Teratai Kipas.
"Itu yang sedang
kupikirkan," jawab Teratai Kipas dengan mata pandangi benteng perguruan
itu. "Jika benar Pisau Tanduk Hantu dicuri orang, maka mereka juga akan
mencurigai diriku sebagai pencurinya. Sebab akulah orang yang dulu sering
keluar-masuk benteng itu selama menjadi kekasih Raden Panji. Ini yang
mem-buatku agak ragu untuk mendekati secara baik-baik."
Pendekar Mabuk mau ucapkan
kata, tapi tiba-tiba niatnya diurungkan karena melihat sekelabat bayangan biru
melintas menuju gerbang benteng. Mata tua Suto sempat menangkap seraut wajah
yang dikenalnya sebagai milik Menak Goyang. Maka dengan gerakan cepat ia pun
menghadang langkah gadis berjubah biru itu.
Zlaaap...!
Melihat Suto Sinting
menghadang seseorang, Teratai Kipas ikut menyusulnya dengan gerakan cepat pula.
ia sempat merasa heran melihat Suto Sinting mampu bergerak lebih cepat dari
saat beradu lari tadi, namun pikiran tersebut segera dihilangkan. Kini
perhatian Teratai Kipas terpusat pada Menak Goyang yang terkejut melihat Suto
Sinting menghadang langkahnya.
"Siapa kau? Mau apa
menghadangku?" tanya gadis itu sambil kakinya bergoyang-goyang tak bisa
diam. Rupanya ia tidak mengenali Suto Sinting karena penampilan Suto yang
seperti seorang kakek itu.
"Kita masih punya urusan
yang belum selesai, Menak Goyang."
Gadis itu kerutkan dahinya.
Tapi semakin heran ketika dilihatnya Teratai Kipas muncul dan mengambil tempat
di samping Suto Sinting. Seakan Teratai Kipas tunjukkan sikap memihak kepada
Pendekar Mabuk yang masih belum dikenal oleh Menak Goyang itu.
"Teratai Kipas...?! Apa
maksudmu membawa kakek tua ini datang kemari?!"
"Jika tak ada urusan
penting denganmu tak mungkin dia datang kemari," jawab Teratai Kipas
dengan tenang.
"Siapa Pak Tua ini
sebenarnya?! Aku merasa tak punya urusan dengannya!"
Suto Sinting segera menjawab,
"Bukalah matamu baik-baik, Menak Goyang. Walau keadaanku menjadi setua ini
tapi tentunya kau masih ingat dengan seseorang yang kau sebut-sebut sebagai
Pencuri Tampan?!"
Setelah mempertegas
penglihatannya, Menak Goyang terperanjat jelas-jelas. Matanya melebar mulutnya
ternganga. Sebentar kemudian terdengar ia berucap,
"Kau rupanya...?!"
"Benar! Aku orang yang
kau tuduh pencuri pusaka gurumu! Aku datang untuk mengambil adikku yang kau
bawa lari itu!"
"Apakah pisau itu sudah
kau bawa juga sekarang ini?"
"Selamanya aku tak pernah
memiliki pisau itu, karena bukan aku pencurinya!"
"Kalau kau datang tanpa
membawa Pisau Tanduk Hantu, kami tak akan mau serahkan adikmu yang aneh
itu!" kata Menak Goyang.
Teratai Kipas menengahi dengan
sikap tenangnya, "Menak Goyang, kau salah orang. Kau hanya bikin penyakit
saja. Dia bukan pencuri pisau itu!"
"Kau tak perlu ikut
campur, Teratai Kipas. Guru akan marah kepadamu kalau kau ikut campur urusan
Ini. Kecuali jika ternyata kaulah pencurinya, maka urusan ini memang menjadi
urusanmul"
"Jangan menuduh
sembarangan, Menak Goyang! Aku bisa marah padamu!" Menak Goyang justru
mendekat dengan sikap me-nantang. "Apakah kalau kau marah lantas aku takut
padamu?!"
Kalau kau tak takut padaku,
coba serang aku lebih dulu!" pancing Teratai Kipas dengan mata jell
menatap calon lawannya.
"Rupanya kau ingin bukti
keberanianku? Terlmalah ini, hiaaah...!"
Menak Goyang lepaskan
tendangan memutar dengan cepat. Sasaran kaki yang berkelebat adalah wajah
Teratai Kipas. Namun dengan cekatan tangan Teratai Kipas menghantam mata kaki
itu dengan kepalan kerasnya. Dees...!
"Aauh...!" Menak
Goyang terpekik ketika tubuhnya terpelanting dan jatuh di samping Suto Sinting.
Ketika ia berusaha bangkit,
Suto Sinting segera menyentakkan tangannya. Kedua tangan yang menguncup itu
menghantam dengan gerakan limbung seperti orang sedang mabuk. Pukulan itu
mengenai tubuh Menak Goyang dengan cepat dan beruntun, sulit dilihat oleh mata
orang biasa. Des, des, des, des...! Serangkaian jurus totokan mengenai sasaran
dengan te-lak. Menak Goyang jadi terkulai lemas bagai kehilangan seluruh urat
tubuhnya. Tulang-tulangnya seakan telah remuk dan tak bisa digerakkan sedikit
pun. Namun kesadarannya masih ada, masih bisa merintih dan bicara.
Suto Sinting menakut-nakuti
dengan kata, "Mudah sekali bagiku untuk membuat kau kehilangan kepala.
Sekarang pun bisa kulakukan. Tapi kuberi kesempatan padamu untuk membawa kami
menghadap gurumu; si Malaikat Miskin itu. Jangan ada pihakmu yang menyerang
kami. Jaminannya adalah nyawamu. Sekali totok lagi, nyawamu akan lenyap dari
raga!"
"Bbba... baik... baik
akan kubawa kalian menghadap Guru, tapi bebaskan dulu totokan ini!"
"Tidak bisa! Kau akan
kami seret sampai di depan gurumu!" kata Suto Sinting tanpa senyum sedikit
pun walau wajahnya tidak berkesan angker.
Dengan cara menyeret Menak
Goyang, mereka mendekati pintu gerbang benteng. Teratai Kipas menyangga ketiak
kanan Menak Goyang dan Suto Sinting menyangga ketiak kiri gadis itu. Kaki Menak
Goyang terseret bagian telapaknya karena tak mampu menapak sedikit pun.
"Menak Goyang...!"
seru penjaga pintu gerbang. Empat orang itu segera mengepung Suto Sinting dan
Teratai Kipas. Mereka bersiap melepaskan serangan. Tetapi Menak Goyang melirik
tangan Suto Sinting tetap menguncup berarti siap lepaskan satu pukulan yang
akan mencabut nyawanya. Menak Goyang ngeri, dan segera berseru kepada keempat
penjaga gerbang,
"Jangan serang mereka!
Nyawaku terancam! Buka pintu gerbang dan bawa kami menghadap Guru!"
"Tapi...."
"Jangan membantah
perintahku!" sergah Menak Goyang dengan kepala masih bisa bergerak-gerak
tak mau diam.
Teratai Kipas sempat
menggerutu pelan, "Dasar Menak Goyang, biar ditotok masih saja bisa
goyang-goyangkan kepala!"
Pintu gerbang dibuka, Suto
Sinting membawa masuk Menak Goyang bersama Teratai Kipas. Semakin banyak murid
perguruan yang melihat keadaan itu semakin banyak yang mengepung dari kejauhan.
Wajah-wajah mereka tampak tegang, karena Menak Goyang yang dikenal sebagai
murid tertinggi di situ bisa dilumpuhkan oleh dua tamu tak diundang, berarti
kedua tamu itu berilmu tinggi. Begitu setidaknya jalan pikiran para murid
Malaikat Miskin itu.
Seorang lelaki berambut rata,
kurus dan tinggi, matanya cekung, tulang pipinya bertonjolan, muncul menghadang
langkah Suto Sinting dan Teratai Kipas yang hendak memasuki ruang pertemuan.
Teratai Kipas bUikkan kepada
Suto, "Pak Tua yang memakai jubah abu-abu itu si Malaikat Miskin."
Suto Sinting hanya anggukkan
kepala sambil masih tetap menopang tubuh Menak Goyang. Matanya memandang orang
yang memakai jubah abu-abu ber-tambal kain warna-warni hingga nyaris tak terlihat
lagi warna abu-abunya.
Malaikat Miskin yang
berpakaian mirip gelandangan itu mengenakan ikat kepala hitam dengan bertambal
kain kecil-kecil. Celananya pun hitam dengan tambalan di sana-sini. la
mempunyai mata cekung yang memandang dengan dingin. Menggenggam tongkat putih
yang ujungnya bercabang tiga pendek-pendek. Sepertinya tongkat dari kayu pohon
biasa. Tanpa ukiran dan hiasan apa pun.
Menak Goyang segera
dilemparkannya dan jatuh terpuruk bagaikan sarung basah. Melihat Menak Goyang
terlempar jatuh di depan kakinya, Malaikat Miskin memandang dengan lebih tajam
lagi. Giginya tampak sedang menggeletuk menahan amarah. Mata tajam itu segera
berpindah dari Suto ke Teratai Kipas. Suara Malaikat Miskin terdengar berat.
"Apa maksudmu datang
kemari secara bermusuhan, Teratai Kipas?!"
"Aku mengantarkan orang
ini, Eyang Guru!" jawab Teratai Kipas masih menghormat Malaikat Miskin
seperti saat menjadi kekasih Raden Panji dengan sebutan Eyang Guru.
"Apa perlunya datang
kemari dengan melumpuhkan Menak Goyang muridku?!" tanyanya lagi dengan
nada datar dan suara berat.
Suto Sinting yang menyahut,
"Aku datang untuk mengambil adikku!"
"Siapa adikmu?!"
Belum sempat dijawab,
tiba-tiba dari arah dalam ruang pertemuan muncul gadis kecil berlari-lari.
Gadis itu berusia sekitar empat tahun. Dan Suto Sinting terbelalak kaget
melihat bocah kecil itu ternyata adalah Sumbaruni yang sudah semakin menyusut.
la mirip bocah berusia empat tahun yang belum bisa berlari dengan tegar.
Malaikat Miskin segera menyambar Sumbaruni dan dalam waktu sekejap sudah berada
di gendongannya. Kedua tangan Sumbaruni tersekap hingga tak bisa meronta-ronta.
Sedangkan Malaikat Miskin
lemparkan pandangan tajamnya ke wajah bocah itu yang membuat sang bocah tak
berani meronta lagi. Penuh rasa takut.
"Runi...?!" ucap
Suto Sinting lirih.
Bocah kecil itu memandangi
Suto Sinting dengan heran. Makin lama semakin lebar matanya, lalu terdengar
bocah itu bicara seperti orang dewasa.
"Suto,..?! Kaukah
itu...?!"
"Ya. Aku Suto...
kakakmu!"
"Ooh...?!" Sumbaruni
tercengang sejenak. Wajah ciliknya tampak penuh haru dan ketakutan.
"Mengapa... mengapa kau bisa menjadi setua itu, Suto?!"
"Ceritanya panjang,
Runi...."
Suto Sinting belum selesaikan
kata, Malaikat Miskin sudah menyuruh anak buahnya untuk membawa masuk
Sumbaruni. Anak itu pindah gendongan dan dibawa lari masuk. Suto Sinting
mendengar suara teriakan Sumbaruni yang mengiris hati, "Tidak mau...!
Tidak mau...! Aku mau pulang! Aaauh... Sutooo...!"
Berkelebatlah Pendekar Mabuk
dengan menggunakan Gerak Siluman'-nya untuk mengejar Sumbaruni. Tapi gerakan
cepat itu tertangkap mata Malaikat Miskin. Kaki orang jangkung itu menendang
tak sampai menyentuh tubuh Suto. Wuuut...!
Beeehg... !
Ulu hati Suto Sinting bagaikan
dihantam dengan pilar baja yang besar. Mata tua Pendekar Mabuk menjadi mendelik
dan kontan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Tubuh itu terjengkang ke
belakang dan terkapar dengan napas tersendat-sendat. Gelombang tenaga dalam
yang amat besar dilepaskan dari kaki Malaikat Miskin dan membuat Pendekar Mabuk
mengalami luka memar tepat di ulu hatinya. Biru legam di sekitar bawah dada.
Bumbung tuak mengganjal punggung karena belum diambil dari tempatnya.
Teratai Kipas sengaja tidak
ikut menyerang Malaikat Miskin untuk membuktikan bahwa ia hanya mengantarkan
Suto Sinting tiba di tempat itu. Tetapi Malaikat Miskin berkata kepada Teratai
Kipas,
"Bawa pergi orang ini
jika belum membawa Pisau Tanduk Hantu milikku! Katakan padanya, dalam waktu
satu malam jika ia tidak membawa pisau itu kemari, maka adik kecilnya akan
kujadikan korban pengganti pusaka, dan ia sendiri akan mati membusuk karena
jurus Tendangan Melarat'-ku tadi!"
Tapi dia bukan pencurinya,
Eyang Guru."
Tahu apa kau, hah?! Hanya dia
orang asing yang ada di wilayahku saat pisau pusaka itu hilang. Berarti dialah
pencurinya!"
"Belum tentu!"
"Jangan membantah
keputusanku kalau kau tak ingin kuanggap bersekongkol dengan orang itu!"
sambil Malaikat Miskin menuding Suto Sinting yang terkapar dengan wajah kian
memucat .
Teratai Kipas tak berani membantah
lagi. la sadar bahwa ilmunya kalah tinggi. Malaikat Miskin bukan tandingannya.
Jika ia melawan hanya untuk membela Suto Sinting itu sama saja ia mati konyol
tanpa arti. Maka segera saja tubuh Suto Sinting diangkat dengan menggunakan
ilmu tenaga dalamnya hingga tubuh itu terasa ringan. la memanggul tubuh Suto
Sinting dan melesat pergi tinggalkan perguruan tersebut.
"Waktumu hanya semalam
untuk menebus adikmu Itu dengan Pisau Tanduk Hantu," kata Teratai Kipas
ketika merasa sudah jauh dari Perguruan Tongkat Sakti.
"Ja... jangan bicara
dulu.... Beri aku... tuak...! Tuak...!" Suto sulit bicara karena sekujur
tubuhnya bagaikan berubah menjadi kayu keras.TUAK sakti itu pula yang
selamatkan Pendekar Mabuk dari pembusukan yang dikarenakan jurus Tendangan Melarat'
si Malaikat Miskin itu. Jika Teratai Kipas terlambat memberikan tuak kepada
Suto Sinting, maka pembusukan akan segera berlangsung dan itu berarti mereka
terlambat melawan pengaruh kekuatan jurus Tendangan Melarat' tersebut.
"Apa rencanamu sekarang?1'
tanya Teratai Kipas. "Membalas budi baikmu yang telah selamatkan aku dari
pembusukan. Tapi ketuaanku ini masih belum bisa hilang," jawab Suto
Sinting sambil membuka tutup bumbung tuak dan meneguk tuak lagi dua tegukan.
"Apakah kau ingin kembali
ke pondoknya Nyai Sapu Lanang?" tanya gadis itu.
"Aku belum punya
keputusan. Aku ingin beristirahat di sini dulu."
Suto Sinting sengaja duduk
melonjor dengan punggung bersandarkan batang pohon. Angin berhembus
menghadirkan semilir kesejukan yang membuat orang terkantuk-kantuk. Tetapi
agaknya baik Suto maupun Teratai Kipas tak mau hanyut tertidur di situ. Teratai
Kipas ikut duduk bersandar, berhadapan dengan Suto Sinting. Punggung Teratai
Kipas bersandar pada sebongkah batu cadas berlumut tipis. Kakinya tidak
melonjor, melainkan menapak ke tanah hingga kedua lututnya terlipat naik. Sikap
duduknya seperti seorang lelaki yang mampu bergerak dengan gesit dan cekatan.
Suto Sinting memandang lurus
pada permukaan tanah di depannya. la menerawang dengan wajah sendu tanpa
keceriaan. Teratai Kipas dapat menduga apa yang membuat Suto Sinting menerawang
sedih.
"Kurasa yang lebih utama
adalah menyelamatkan adikmu itu dulu!" kata Teratai Kipas memecah kebisuan
mereka yang berlangsung beberapa saat lamanya. Sambungnya lagi, "Bocah itu
tidak berdosa. Kulihat ia menangis sedih saat dibawa lari. la rindu padamu.
Cuma anehnya, ia bicara seperti orang dewasa. Lucu dan menyedihkan. Padahal
jika ia berhasil kita bawa keluar dari sana, aku ingin sekali menggendongnya."
Pendekar Mabuk yang mulai
membungkuk karena pengaruh ketuaannya itu hanya bisa tarik napas dalam-dalam.
Kejap berikutnya terdengar suaranya pelan,
"Ya, memang
lucu...."
"Aku jadi heran padamu,
mengapa bocah sekecil itu kau bawa-bawa sampai ke kaki gunung ini? Seharusnya
anak seperti dia tidak boleh ikut melintasi hutan di pegunungan. Jangan ajak
anak sekecil dia untuk berkelana mengikuti langkahmu yang tak pasti itu."
"Sebenarnya kedatanganku
ke Gunung Kundalini punya maksud tertentu yang berkaitan dengan si kecil Runi
itu."
"Apa maksud tertentumu
itu?"
"Mencari Telur Mata
Setan."
Seeet...! Wajah Teratai Kipas
terangkat tegak dan menatap Suto Sinting yang menunduk. Sekalipun dalam keadaan
menunduk, tapi ekor mata Suto dapat melihat gerakan cepat wajah yang menjadi
tegak dan sedikit tegang itu. Maka Pendekar Mabuk pun segera menatap Teratai
Kipas."Kami membutuhkan Telur Mata Setan. Kabarnya ada di Gunung
Kundalini, tapi kami tak tahu di mana letaknya yang tepat."
Teratai Kipas masih tertegun
tanpa gerak dan tanpa kedip. Suto Sinting merasa heran dan akhirnya bertanya,
"Apakah kau tahu letak Telur Mata Setan?"
Teratai Kipas cepat-cepat
hembuskan napas, sunggingkan senyum tipisnya. Pandangan mata beralih ke arah
lain sebentar, lalu kembali lagi memandang Suto. Kepalanya menggeleng-geleng
pelan sambil masih tersenyum berkesan meremehkan pertanyaan Pendekar Mabuk
tadi.
"Jika kau tahu, bantulah
aku mendapatkan Telur Mata Setan itu."
Si lesung pipit segera
menjawab dengan hiasan senyumnya, "Kau seperti anak kemarin sore
saja."
"Apa maksudmu berkata
begitu?" Suto Sinting kerutkan dahi.
"Lupakan tentang Telur
Mata Setan!"
"Mengapa harus kulupakan,
sedangkan aku sangat membutuhkannya untuk suatu kepentingan yang sangat
penting."
Tawa kecil terdengar dari
mulut si cantik beralis sedikit lebat itu.
"Telur Mata Setan itu
tidak ada," katanya tegas-tegas. "Telur Mata Setan hanya ada dalam
dongeng anak-anak desa sekitar kaki Gunung Kundalini. Dongeng itu dituturkan
para orang tua menjelang sang anak tidur. Dongeng Telur Mata Setan memang
menarik bagi alam pikiran anak-anak, sehingga nama Telur Mata Setan menjadi
kondang. Tapi sesungguhnya telur itu tidak ada."
Suto Sinting terperangah
bengong sampai beberapa saat lamanya tak terdengar berucap kata apa pun.
Teratai Kipas menertawakan,
tampak geli melihat wajah seorang kakek menjadi terbengong seperti itu.
"Telur itu... telur itu
tidak ada?! Hanya sebuah dongeng?!"
"Ya, hanya sebuah dongeng
menjelang bobo' saja. Kusarankan, jangan mencari Telur Mata Setan lagi. Lebih
baik kau mencari teiur mata sapi, itu banyak terjual di kedai-kedai atau di
pasar tak jauh dari sini.
Hik, hik, hik...!"
Suto Sinting kembali
terbengong. Jauh-jauh ia memburu Telur Mata Setan sampai mengalami nasib
menjadi cepat tua seperti itu, ternyata telur itu hanya ada dalam dongeng
belaka. Alangkah sia-sianya waktu dan tenaga yang telah dicurahkan untuk
mengejar telur dalam dongeng? Rasa kecewa bercampur dengan rasa sesal.
Percampuran kedua rasa itu membuat hati Suto Sinting menjadi jengkel. Belum
lagi jika ia memikirkan 'Racun Gugah Jantan' yang belum terobati dari tubuhnya
itu, semakin besar saja kedongkolan hati Pendekar Mabuk menerima kenyataan itu.
"Sekali lagi kusarankan,
lupakan tentang dongeng Telur Mata Setan. Kau tidak akan berhasil mendapatkannya
walaupun sampai masuk ke liang lahat. Jika kau nekat ingin mencarinya, kau
harus masuk ke alam negeri dongeng. Tapi itu pun sesuatu yang amat
mustahil!"
Tarikan napas Pendekar Mabuk
tampak memberat. Kejap berikutnya suaranya mulai terdengar lirih tapi jelas di
telinga Teratai Kipas.
"Permainan siapa
sebenarnya yang kujalankan ini? Nyai Paras Murai atau si Bongkok Sepuh?!"
Wajah cantik itu terperanjat,
"Kau mengenal Nyai Paras Murai?"
"Ya. Aku berkenalan di
tengah jalan dan ia memberitahukan tentang Telur Mata Setan itu. Katanya telur
tersebut ada di Gunung Kundalini. Maka kami segera lari kemari."
"Aku juga mengenai nama
Nyai Paras Murai. Ketika aku menjadi kekasih Raden Panji, aku pernah melihat
Malaikat Miskin bertarung dengan Nyai Paras Murai, tapi perempuan itu kalah dan
melarikan diri. Tapi kuanggap ia tokoh perempuan yang punya kesaktian cukup
lumayan."
Pendekar Mabuk bangkit berdiri
bagai tak hiraukan kata-kata Teratai Kipas. Matanya memandang jauh ke satu arah
membayangkan kesia-siaannya datang ke kaki Gunung Kundalini. Dalam sikap
punggung sedikit bungkuk ia dekati Teratai Kipas dalam dua langkah.
"Aku akan kembali ke
Perguruan Tongkat Sakti! Akan kukerahkan semua ilmuku untuk merebut Sumbaruni
dari tangan Malaikat Miskin."
Dengan sentakan cepat Teratai
Kipas bangkit berdiri dan wajahnya menegang.
"Kau juga mengenai nama
Sumbaruni?! Bukankah dia perempuan sakti yang terkenal sebagai istri Jin Kazmat
dan tinggal di gua Pantai Semberani? Kesaktiannya melebihi Nyai Paras
Murai!"
"Dari mana kau
mengetahuinya?"
"Guruku banyak bercerita
tentang Sumbaruni!"
"Siapa gurumu itu?"
"Namanya tak terlalu
penting bagimu. Tapi jika kau ingin mengetahuinya, maka kau dapat mengingat
sebuah nama...."
Belum sempat nama itu terucap,
tiba-tiba Suto Sinting segera menarik tangan Teratai Kipas ke arah pe-lukannya,
karena dari samping kiri gadis itu tampak sinar' hijau berkelebat cepat menuju
kepada gadis itu.
Claaaap...!
Wuuut...! Brruk!
Suto Sinting sampai
terjengkang karena benturan badannya dengan badan Teratai Kipas. Mereka jatuh
bertumpuk-tumpuk. Sinar hijau tadi menghantam pohon dan pohon itu menjadi retak
tiga bagian dari bawah ke atas. Krraak...! Tak ada dentuman yang terdengar
ledakan kecuali letupan kecil.
"Apa yang kau lakukan
padaku, hah?!" sentak Teratai Kipas menjadi merah wajahnya menahan malu
dan marah. Tetapi begitu mendengar suara pohon retak, ke-marahannya segera
sirna dan berubah menjadi ketegangan yang mengejutkan.
"Seseorang ingin
membunuhmu dari jarak jauh!"
"Ya, ya... aku
tahu!" Teratai Kipas bergegas bangkit. Tapi tabrakan tubuh dengan tubuh
itu membuat Suto Sinting berdesir hati karena sempat rasakan keha-ngatan badan
Teratai Kipas. Desiran hati membuat gairah cumbu Suto Sinting hampir saja
meledak-ledak lagi. Untung ia segera dapat alihkan perhatiannya kepada
munculnya sesosok tubuh sintal berpakaian merangsang syaraf, namun juga
merangsang permusuhan terpendam. Orang itu tak lain adalah Nyai Sapu Lanang.
"Biadab kau, Suto!"
makinya dengan geram tertahan di mulut. "Rupanya hasrat bercumbumu sengaja
tidak ingin kau berikan padaku karena kau punya maksud ingin memberikannya
kepada di betina itu?!"
"Nyai Sapu Lanang!"
sentak Teratai Kipas. "Kau boleh seenaknya menuduhku punya maksud tak
senonoh dengan si tua Suto ini! Tapi sebelumnya perkenalkan dulu, aku adalah
Teratai Kipas, kakak dari Arya Wuka yang menjadi gila karena asmara bercumbumu
dan akhirnya mati bunuh diri karena tak jumpa lagi denganmu. Kini aku menuntut
pembalasan! Nyawa adikku hanya bisa kautebus dengan nyawamu sendiri, Nyai Sapu
Lanang!"
"Hmm...!" Nyai Sapu
Lanang sunggingkan senyum sinis, sebagai senyum penghinaan terhadap kemampuan
Teratai Kipas yang dianggapnya sepele itu.
Katanya setelah itu, "Aku
tak peduli apakah kau kakaknya Arya Wuka atau bukan, yang jelas kau telah
membuatku benci kepadamu karena bermesraan di sini dengan Suto Sinting! Tanpa
kau tuntut nyawaku, aku pun akan menuntut nyawamu karena kau berani
bertumpuk-tumpuk dengan lelaki yang kuharapkan menjadi benih keturunanku!"
"Apa maumu sekarang,
hah?!" bentak Teratai Kipas tak ada takutnya sama sekali. Melihat keadaan
membahayakan Teratai Kipas, Suto Sinting segera menengahi pertentangan itu. la
bergegas maju ke pertengahan jarak di antara kedua perempuan tersebut yang
masing-masing tak ingin dilihat tewas di mata Suto.
"Redakan kemarahanmu,
Nyai...! Redakan dendammu, Teratai Kipas. Ingat sesuatu hal yang perlu kau
pertimbangkan masak-masak."
Teratai Kipas mendengus kesal.
la tahu maksud Suto Sinting, tak boleh mencelakakan Nyai Sapu Lanang sebelum
obat penawar racun diberikannya. Tapi gemuruh dendam sudah telanjur mendesak
dada. Sulit untuk dibendung lagi. Karenanya gadis itu segera berkata kepada
Suto Sinting berambut putih,
"Urusanmu adalah
urusanmu. Aku akan mengurus masalahku sendiri! Menyingkirlah dari hadapanku,
karena aku tak ingin kau menjadi korban dendamku!"
"Teratai..., sadar!
Jangan gegabah. Pandanglah siapa yang kau lawan!" bujuk Suto Sinting.
Selagi Suto membujuk Teratai
Kipas agar kurangi niat membalas dendam pada saat-saat sekarang, tiba-tiba Nyai
Sapu Lanang lepaskan senjata rahasianya berbentuk bintang segi enam dari
lempengan baja putih. Slaap...! Dub! Ziing...! Benda itu dilemparkan ke arah
pohon dan memantul cepat menuju kepala Teratai Kipas. Pantulan cahaya matahari
pada benda pipih itu terlihat oleh mata Suto Sinting yang memunggungi Nyai Sapu
Lanang. Dengan cepat tangan Suto Sinting menyentak ke arah benda tersebut.
Claaap...!
Seberkas sinar biru dari jurus
'Tangan Guntur' melesat melalui pertengahan telapak tangan Suto Sinting.
Sinar biru itu menghantam
benda mengkilap itu sebelum benda tersebut mendekati kepala Teratai Kipas.
Duaaar....! Tentu saja benda itu hancur. Tubuh Teratai Kipas melenting di udara
dengan hentakan kaget yang membuat kakinya menyentak ke tanah secara naluriah.
"Keparat kau, Suto! Kau
ternyata ada di pihak perempuan lacur itu, hah?!" bentak Nyai Sapu Lanang.
Kemudian ia melesat dalam satu lompatan ke punggung Suto Sinting. Wuuut...!
Suto Sinting sendiri cepat
putarkan bumbung tuaknya. Dan bumbung itu melesat terbang ke arah tubuh Nyai
Sapu Lanang. Bumbung itu bagaikan terbang membawa Suto Sinting. Ujung bambu
menyodok ke depan dan dihantam dengan kepalan tangan Nyai Sapu Lanang.
Duus...! Duaaar...!
Ledakan cukup keras kembali
terdengar saat pukulan bertenaga dalam tinggi itu mencoba memecahkan bumbung
tuak sakti tersebut. Ledakan tersebut membuat tubuh Nyai Sapu Lanang terpental
melayang ke belakang dan jatuh terbanting dengan punggung membentur gumpalan
batu. Blluhk...!
"Heegh...!" pekik
tertahan terdengar dari mulut Nyai Sapu Lanang.
Rupanya pukulan itu membalik
keras menghantam tubuh Nyai Sapu Lanang sendiri. Pukulan tenaga dalam yang
berbalik dalam keadaan lebih besar dari aslinya itu membuat sekujur tubuh Nyai
Sapu Lanang menjadi biru legam. Matanya cenderung menjadi merah bagai ingin
keluarkan darah. Tetapi mulut dan hidungnya sudah lebih dulu mengucurkan darah
sebelum ia jatuh terbanting.
Melihat Nyai Sapu Lanang
terkapar dalam keadaan luka parah dan boleh jadi dikatakan sedang sekarat,
Teratai Kipas segera cabut senjatanya. Sreet...! Lalu dengan teriakan penuh
dendam ia melintasi pohon di depan Suto Sinting, berkelebat ke arah tubuh yang
tak berdaya itu. Wuuut...!
"Hiaaah...!"
"Terataiii...!"
teriak Suto Sinting sangat ketakutan kalau sampai kipas itu menghabisi nyawa
Nyai Sapu Lanang. Maka dengan gerakan nyaris tak terlihat lagi karena cepatnya,
Suto Sinting segera menyambar tubuh Nyai Sapu Lanang tepat ketika ujung kipas
menge luarkan mata pisau tajam dan siap dihunjamkan ke tubuh Nyai Sapu Lanang.
Tapi karena tubuh itu lebih dulu disambar Suto Sinting, maka pisau yang keluar
dari ujung kipas hanya menancap di tanah dekat batu yang mengganjal tubuh Nyai
Sapu Lanang tadi.
Juubb...!
Dalam sekejap Suto Sinting
telah jauh dari Teratai Kipas. la berdiri membungkuk sambil memanggul tubuh
Nyai Sapu Lanang. Dari tempatnya ia berseru,
"Teratai..., maafkan aku!
Kau tak boleh membunuhnya sebelum urusanku selesai! Aku terpaksa harus
selamatkan dia lebih dulu, Teratai! Sampai jumpa di lain waktu!"
"Sutooo...! Serahkan dia
padaku atau kau ikut menjadi korbanku?! Sutooo...!"
Teriakan itu tak dihiraukan.
Suto Sinting bagai lenyap ditelan bumi karena gerakannya begitu cepat. Te ratai
Kipas penasaran dan segera lari mengejarnya.DEMI mendapatkan obat penawar racun,
Suto Sinting terpaksa larikan musuhnya dan mengobatinya dengan tuak. Mulut
perempuan itu dingangakan dan dituangi tuak sedikit demi sedikit. Hal itu
sengaja dilakukai oleh Suto Sinting tidak di pondok Nyai Sapu Lanang, melainkan
di suatu tempat tersembunyi.
Karena Suto Sinting punya
dugaan akan dikejar oleh Teratai Kipas ke arah pondok. Maka ia lakukan
penyembuhan itu di tempat lain. Dan ternyata dalam beberapa waktu kemudian
setelah Nyai Sapu Lanang berhasil meneguk tuak beberapa kali, ternyata keadaannya
mulai membaik. Nyawa sang nyai tertolong oleh tuak Suto.
Nyai Sapu Lanang hanya
pandangi wajah Suto Sinting yang berdiri bersandar pada sebuah pohon.
Samar-samar ia masih sempat mengingat saat disambar oieh Suto Sinting dan
dipaksakan meminum tuaknya. Kini rasa sakit terbakar di sekujur tubuh telah
lenyap, dan Nyai Sapu Lanang sadar bahwa kesembuhannya berkata pertolongan Suto
Sinting.
"Ternyata kau lebih setia
padaku daripada terhadap gadis itu, Suto!" katanya sambil mendekati Suto
Sinting. la menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, tubuh diliukkan ke
sana-sini, ternyata sangat enteng dan tidak merasakan ngilu sedikit pun.
"Bumbung tuakmu itu ada
isinya?"
"Tentu. isinya
tuak," jawab Suto Sinting seenaknya saja.
"Maksudku mempunyai hawa
sakti tersendiri yang bisa memantulkan pukulankutadi. Hampir saja aku mati oleh
tenaga dalamku sendiri."
"Apakah kau ingat siapa
yang menyelamatkan nyawamu dari bahaya kematian?"
"Tentunya kaulah
orangnya," jawab Nyai Sapu Lanang dengan mengusap-usap lengan Suto, senyumnya
membias berkesan nakal. "Kau pasti menyadari bahwa akulah wanita yang kau
butuhkan dalam hidupmu. Tentunya kau tak rela jika melihat aku mati terbakar
oleh tenaga dalamku sendiri sementara kau belum merasakan kehangatan yang
kumiliki di sela kemesraanku."
"Kau keliru,
Nyai...," sambil Suto Sinting melangkah berpindah pohon. "Kalau aku
menyelamatkan nyawamu, lantaran aku ingin agar kau sadar bahwa aku tidak
menaruh kebencian padamu. Kau telah kutolong, maka sebaiknya kau pun membalas
pertolonganku ini dengan memberikan obat penawar racunmu ini!"
Nyai Sapu Lanang mendekat
dengan senyum masih tetap nakal. "Lupakanlah tentang obat penawar racun
itu, Suto. Kau tak akan mendapatkannya sebelum kau mau turuti hasratku.
Biasanya, lelaki yang sulit diperoleh adalah lelaki yang mampu memberikan
keturunan lebih dari sepuluh anak! Hik, hik, hik, hik...!"
Suto Sinting menggeram jengkel
dalam hatinya. "Nyai, aku sudah menyelamatkan nyawamu. Tidakkah kau ingin
menyelamatkan nyawaku juga dari racunmu yang mempercepat ketuaanku ini?!"
Nyai Sapu Lanang gelengkan
kepala. "Aku tak menyuruhmu menyelamatkan nyawaku. Semua kau lakukan
karena gagasanmu sendiri, bukan atas permohonanku. Jadi aku merasa tak punya
hutang budi padamu."
"Benar-benar buta mata
hatimu, Nyai! Seumur-umur baru sekarang kutemukan manusia yang tak tahu balas
budi!""Akulah orangnya!" kata Nyai Sapu Lanang dengan
membusungkan dada. la justru merasa bangga dikatakan sebagai manusia tak tahu
balas budi. Suto Sinting tambah jengkel. Kalau tak ingat perempuan itu adalah
kunci kesembuhannya dari 'Racun Gugah Jantan', sejak tadi sudah dihabisi oleh
Suto Sinting dengan ditantang bertarung secara terhormat.
Nyai Sapu Lanang berkata lagi,
"Jangan menolong orang yang tak tahu balas budi, nanti hatimu kecewa dan
menyesal! Tetapi berbuatlah keindahan kepada orang yang mempunyai sejuta
kehangatan, maka kau akan bahagia dalam pelukannya, Suto. Kalau kau tak
percaya, kau bisa mencobanya sekali-dua kali."
"Muak aku mendengar
rayuanmu, Nyai!" sentak Suto Sinting lalu buang muka sambil mendenguskan
napas lewat hidung. Semak berduri yang berjarak lima langkah darinya terhempas
bagai ditiup angin kencang.
Angin itu adalah angin napas
yang keluar dari hidung Suto Sinting. Dalam keadaan marah seperti itu, Suto
Sinting mampu hadirkan angin badai yang amat dahsyat karena ia mempunyai ilmu
'Napas Tuak Setan' yang amat berbahaya dan jarang dipergunakan itu.
Nyai Sapu Lanang bagaikan
tidak menghiraukan kejengkelan Suto Sinting. la makin merayapkan tangannya
dengan nakal. Suto Sinting walau sudah berwujud seorang kakek beruban rata,
namun masih cepat menggerakkan tangannya menepis tangan Nyai Sapu Lanang.
Plaak...!
"Jangan memancing
kemarahanku, Nyai!" ancamnya dengan suara pelan tapi sorot matanya menatap
tajam.
"Apakah kau tak ingin
menjadi muda seperti usia aslimu?"
"Siapa orangnya yang mau
cepat tua?"
"Menjadikanmu muda
kembali adalah hal yang mudah. Tinggal kesanggupanmu dan tekadmu. Hanya dengan
beberapa kali mengarungi samudera cinta bersamaku, kau akan kembali muda dan
mungkin juga akan melihat ketampanan dari keturunanmu yang kulahirkan sembilan
bulan kemudian, Suto."
"Aku tak butuh rayuanmu
lagi, tahu?!" bentak Suto Sinting dengan gusar. Napas yang terlepas dari
mulutnya ternyata cukup besar dan kencang. Tubuh Nyai Sapu Lanang sempat
terhempas delapan tombak jauhnya. Wuuusss...!
Suto Sinting sendiri terkejut
karena ia tak sengaja membuat Nyai Sapu Lanang terpental. Ketika mengu-capkan
kata: "Tahu...." maka 'Napas Tuak Setan'-nya ikut terlepas karena
keadaan hati sedang marah.
'Napas Tuak Setan' itulah yang
menerbangkan tubuh Nyai Sapu Lanang dan menumbangkan tiga pohon kecil yang ada
di depannya. Semak-semak di balik pohon itu pun rusak, sebagian bagaikan
tercabut dari akarnya.
"Celaka! Aku harus
mengendalikan amarahku biar tak menimbulkan bencana di sekitar sini! Hampir
saja kaki gunung itu dilandai badai hebat karena napasku terlepas dalam keadaan
marah," pikirnya dengan rasa sesal di hati.
Nyai Sapu Lanang yang
terlempar jauh itu segera bangkit. la mulai dibakar oleh hawa marahnya. Merasa
dipermainkan oleh Suto Sinting, maka ia segera menemui Suto kembali dengan
mata membelalak garang.
"Sekarang kau
terang-terangan ingin menantangku, Suto!"
"Maafkan aku, Nyai!
Jangan marah padaku! Jangan pancing kemarahanku!"
"Persetan dengan dirimu!
Kau telah permainkan aku seenakmu dengan sentakan napasmu. Kau pikir hanya kau
yang mempunyai kekuatan seperti itu?
"Napasku tak sengaja
terlepas keluar, Nyai. Maafkan aku," Suto merendah untuk menghindari
perselisihan dengan perempuan pemegang obat penawar racun rtu. Tetapi agaknya
perempuan itu berang dan tersinggung sekali dilemparkan bagaikan seonggok
sampah.
Maka dengan cepat kakinya
menerjang Suto Sinting dalam satu lompatan bersuara keras,
"Heaaah...!"
Brrrus...! Suto Sinting
diterjang dengan kekuatan tendangan bertenaga dalam. Suto Sinting tidak melawan
dan menerima tendangan itu secara rela. Tubuhnya terlempar sejauh enam langkah
ke belakang. la jatuh berguling-guling, terpental ke sana-sini. Rupanya Nyai
Sapu Lanang ingin membalas perlakuan Suto tadi dengan pengerahan tenaga dalam
di kakinya.
Pendekar Mabuk hanya
menyeringai karena tulang iganya seperti mengalami keretakan. la berusaha
bangkit pelan-pelan dan tidak lakukan pembalasan apa pun. la bahkan menenggak
tuaknya dua teguk, lalu menutup bumbung tuak itu agar tak tumpah ke mana-mana.
Tapi begitu selesai menenggak tuak, tiba-tiba Nyai Sapu Lanang menyentakkan
kedua tangannya ke depan dengan jari membentuk cakar harimau.
"Terimalah pembalasanku
ini, Suto! Heaaah...!"
Wuuuttt...! Tenaga dalam tak
bersinar terlepas dari kedua tangan itu. Tenaga dalam bergelombang panas itu
.amat besar dan membuat tubuh Suto Sinting ter-jungkal di udara saat terhempas
terbang ke belakang.
Tubuh itu jatuh sambil memeluk
bumbung tuaknya yang hampir terlepas dari pegangannya. Akibat
terbanting-banting, pelipis Suto menjadi berdarah karena membentur batu runcing
di tanah. Pelipis itu robek, namun tak dihiraukan oleh Suto.
"Cukuplah murkamu, Nyai.
Jangan marah lagi padaku," bujuk Suto Sinting yang masih tetap berusaha
untuk mengalah. Sebab jika ia lakukan penyerangan, ia takut akan menewaskan
Nyai Sapu Lanang.
"Kau mau menuruti
keinginanku atau harus menerima hajaran seperti ini, hah?!" bentak sang
nyai semakin gusar dan berang karena tak ada perlawanan dari Pendekar Mabuk.
Sosok tua yang tampak rapuh
itu hanya menjawab, "Hentikan amarahmu dan jangan lagi memaksaku untuk
melayanimu, Nyai."
"Setan! Kalau begitu kau
memang layak dihajar sampai akhirnya kau tahu bahwa memenuhi harapanku itu
lebih enak daripada menerima hajaranku! Hiah!"
Dada Suto Sinting dihantam
dengan pangkal telapak tangan. Tubuh Suto yang telah mengurus dimakan 'Racun
Gugah Jantan' itu terdorong keras ke belakang dengan darah muncrat dari
mulutnya. Tubuhnya sempat melayang empat langkah dan jatuh terpelanting
membentur pohon dalam keadaan bersimpuh. Tapi bumbung tuak masih ada di
tangannya, dipegang kuat-kuat. Hasrat untuk melawan ditekan kuat-kuat walau
sangat menyiksa batinnya.
Wuuut...!
Tiba-tiba sekelebat bayangan
muncul melintasi pertengahan jarak di antara mereka berdua. Sosok yang hadir di
antara mereka itu tak lain adalah kakek serba putih yang dulu pernah dianggap
sebagai tokoh misterius. Orang tersebut adalah si Setan Merakyat, kakak dari
Bongkok Sepuh. Rambutnya panjang berwarna putih rata, pakaiannya serba putih,
dan ketika berkelebat datang seperti gumpalan salju yang terhempas angin.
"Setan
Merakyat...?!" Nyai Sapu Lanang terkejut karena ia mengenali tokoh tua
berilmu tinggi itu (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Tabib
Darah Tuak").
Tetapi Setan Merakyat tidak
menanggapi sapaan itu, melainkan justru menyingkir dari pertengahan jarak dan
berkata kepada Suto Sinting yang masih dikenalinya,
"Mengapa tak kau lawan?
Kau hanya akan menjadi bulan-bulanan oleh si binal berhati keji itu! Lawan dia,
tunjukkan harga dirimu sebagai lelaki!"
"Aku terkena racun, Bapa
Setan Merakyat! Hanya dia yang bisa sembuhkan racun itu! Jika dia
mati...."
Setan Merakyat menyahut,
"Jika dia mati aku yang akan sembuhkan 'Racun Gugah Jantan' itu!"
Mendengar ucapan Setan
Merakyat, Suto Sinting tergugah keberaniannya untuk lakukan sesuatu yang pantas
dilakukan. Nyai Sapu Lanang berwajah beri-ngas memandang Setan Merakyat.
"Kau tidak berhak
mencampuri urusanku, Setan Merakyat!"
"Karena kau sudah kelewat
batas, Waryanti!" kata Setan Merakyat yang agaknya mengenai nama asli Nyai
Sapu Lanang. "Kau pertahankan kecantikanmu, kau pertahankan kemudaanmu,
tapi tindakanmu semakin menyerupai iblis dari neraka. Layaklah jika Suto
Sinting meleburkan jasadmu agar menyatu dengan apinya neraka, Waryanti!"
"Keparat kau, Murdawira!
Heeeaaah...!"
Nyai Sapu Lanang baru saja
ingin serang Setan Merakyat dengan jurus andalannya, namun Suto Sinting sudah
lebih dulu melepaskan jurus 'Manggala' yang mampu melesatkan beberapa puluh
pisau kecil dari tangannya yang disentakkan ke depan dalam keadaan miring.
Zlap, zlap, zlap, zlap...! Zrrrreeeb...!
Pisau-pisau kecil itu
menghunjam tubuh Nyai Sapu Lanang. Mata sang nyai terbelalak, berdirinya tegak
dan diam tak bergerak dengan mulut ternganga. Sampai beberapa saat ia masih
diam bagaikan mematung. Tapi ketika angin berhembus, tubuh itu berhamburan
menjadi debu-debu lembut yang tak bisa dikumpulkan lagi. Nyai Sapu Lanang
akhirnya mati menjadi debu oleh jurus 'Manggala' milik Pendekar Mabuk,
pemberian dari Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya yang menjadi penguasa sebuah
negeri di alam gaib; Negeri Puri Gerbang Surgawi.
Setan Merakyat selesai
memandangi tubuh Nyai Sapu Lanang yang berhamburan menjadi debu-debu lembut
itu. la segera menatap Suto Sinting, tundukkan kepala sedikit sebagai hormat
samar-samar.
"Sudah seharusnya sejak
dulu aku menghormat padamu, karena kulihat noda merah di keningmu sebagai tanda
kehormatan tertinggi yang layak dihormati oleh para tokoh berilmu tinggi.
Kutunggu tuntutanmu, tapi kau tidak menuntutku. Berarti kau bukan orang yang
gila hormat. Dan aku suka dengan murid yang tidak gila hormat, Anak Muda!"
"Jangan memanggilku 'anak
muda' dalam keadaan seperti ini, Bapa. Aku malu! Keadaanku hampir sama tuanya
dengan Bapa Setan Merakyat."
"Itu hanya pengaruh
'Racun Gugah Jantan'. Kuperhatikan seluruh sikapmu dari Gunung Kemuning,
ternyata kau memang lelaki sejati yang mampu menghargai kepercayaan dan cinta
kasih kepada seorang calon istri. Aku menaruh hormat padamu, Anak Muda;
Manggala Yudha Kinasih."
"Sudahlah, Bapa... jangan
berlebihan memujiku.
Sebaiknya tolong bantu aku
menawarkan 'Racun Gugah Jantan' ini. Aku tak mau cepat tua, Bapa!"
"Tak ada yang sulit
bagiku demi menyelamatkan calon muridku nanti."
"Bapa, tempo hari kita
jumpa di Pulau Selayang, Bapa bilang aku adalah calon muridmu. Apa sebenarnya
yang terjadi dan terencana dalam benak Bapa Setan Merakyat?"
Tokoh tua berilmu tinggi itu
tersenyum.
"Ada sebuah ilmu yang akan
kuturunkan pada seseorang. Tapi hanya orang yang tanpa pusar saja yang bisa
menerimanya, selain itu tak bisa. Dan orang tanpa pusar itu adalah kau. Maka
ilmu itu akan kuturunkan padamu jika waktunya telah tiba. Sebab itulah aku
membayang-bayangimu terus sampai akhirnya kita bertemu di sini, Suto."
"Ilma..?" Suto
Sinting menggumam. "Apakah kau tak bersedia?"
"Hmm... eh... tentu saja
bersedia, Bapa Setan Merakyat. Tapi... agaknya yang kubutuhkan saat ini bukan
ilmu itu tapi Telur Mata Setan untuk memulihkan keadaan Sumbaruni yang terkena
'Racun Ludah Naga' dari Syakuntala, Bapa!"
"Akan kubantu mencarinya.
Karena secara pasti aku sendiri tak tahu di mana Telur Mata Setan itu berada.
Tapi aku tahu, di Gunung Kundalini ada seorang pertapa yang pasti mengetahui di
mana telur keramat itu berada. Kau bisa tanyakan kepadanya,"
"Siapa nama pertapa itu,
Bapa?"
"Calon kakak iparmu
sendiri!" jawab Setan Merakyat. Tiba-tiba matanya memancarkan sinar hijau
terang menerjang Suto Sinting. Suto merasa silau. Dan tiba-tiba sinar hijau itu
lenyap seketika. Setan Merakyat pun lenyap tak diketahui ke mana arah
kepergiannya.
Tapi Suto Sinting segera
terbelalak girang ketika melihat wujudnya telah pulih menjadi muda seperti
sedia-kala dengan kegagahan dan ketampanan yang akan membuat banyak wanita
bertekuk lutut di depannya.
SELESAI