1
HUTAN cemara merah dihembus
angin badai yang mematahkan beberapa dahan. Angin itu berhembus dari arah utara
dengan kecepatan mampu menerbangkan orang. Batu-batu sempat beterbangan dan
saling berbenturan. Alam di hutan cemara merah bergemuruh memekakkan telinga.
Di sela-sela pepohonan cemara
yang terombang-ambing itu, tampak seraut wajah tampan bermata teduh dengan
rambut sepanjang pundak, lepas tanpa ikat kepala. Seraut wajah tampan itu
membiarkan anak rambut menutupi sebagian parasnya yang berhidung bangir. Ia
berdiri dengan tegak, kakinya sedikit merenggang, kedua tangannya menggenggam
di samping, ototnya tampak bertonjolan bagai pilar beton yang sukar digoyahkan.
Pemilik wajah tampan yang
memakai baju coklat tanpa lengan dan celana lusuh itu menyandang bumbung tuak
di punggungnya. Ciri-ciri itu menandakan bahwa si wajah tampan itu adalah
Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting; murid dari Gila Tuak dan Bidadari
Jalang, tokoh yang namanya berada di paling atas dari deretan nama-nama tokoh
sakti di rimba persilatan. Dengan mata sedikit mengecil, Pendekar Mabuk
keraskan kakinya yang seakan menancap di tanah. Ia berdiri menantang badai
dengan tenang.
Sebongkah batu sebesar kepala
kerbau melayang ke wajahnya karena terlempar oleh hembusan angin badai itu.
Dengan sigap batu itu dihancurkan menggunakan pukulan tangan kirinya.
Prraak...! Menyusul sebatang dahan berukuran sebesar pahanya terhempas bagai
ingin memukul kepala bagian kanan. Dengan cepat, tangan kiri Pendekar Mabuk
menyodok ke kanan. Dahan itu dihantam menggunakan pangkal telapak tangannya.
Prraak...!
Dua bongkahan tanah menyerupai
cadas menerjangnya karena hembusan kuat dari angin badai misterius itu. Dua
bongkahan tanah seperti cadas itu datang dari arah depannya. Pendekar Mabuk
segera layangkan tendangan ganda dengan satu kaki yang kecepatannya sukar
dilihat oleh mata manusia biasa.
Wut, wut...! Braasss...! Dua
bongkahan tanah seperti cadas itu hancur dan debunya terhempas terbawa angin.
Sebagian debu menyiram dadanya, namun dalam waktu singkat debu itu lenyap
karena angin badai yang menerjang tubuh kekar itu hanya bisa membawa pergi
debu-debu tersebut.
"Badai tak wajar!"
gumam Pendekar Mabuk sambil bersikap tegak dan berdiri kokoh kembali, seakan ia
sengaja menentang kekuatan badai tersebut.
Pucuk-pucuk pohon cemara
meliuk begitu tajam, seakan ingin menyentuh tanah. Keadaan di depan Suto
Sinting menjadi tak jelas karena tertutup pucuk-pucuk pohon cemara. Tapi mata
si bocah tanpa pusar itu sempat melihat sebuah benda menerobos kerimbunan pucuk
cemara yang meliuk itu. Benda tersebut menerjang ke arahnya. Dengan cepat Suto
menyentakkan kedua tangannya secara beruntun ke arah depan. Bet, bet...!
Brruuus...!
"Apa itu tadi?!"
ujarnya membatin sambil matanya mencari benda yang terpental akibat pukulan
kedua tangannya tadi.
"Aahhk...
aaahkkk...!"
"Lho... manusia?!"
gumam Suto Sinting dengan heran. Matanya dilebarkan walau terpaksa tetap tak
bisa selebar biasanya karena menahan hembusan angin badai itu. Ia memandang ke
arah benda yang terpental akibat pukulannya tadi. Ternyata memang seorang
manusia yang kini sedang meringkuk, terhalang sebatang pohon hingga tak bisa
terlempar lagi oleh kekuatan angin badai itu.
"Oh, siapa dia?! Mengapa
dia menyerangku?" pikir Suto sambil berusaha mendekatinya, tetapi ternyata
usaha mendekati orang tersebut tak bisa dilakukan dengan mudah karena ia harus
melawan kekuatan angin badai tersebut. Sedikit saja salah satu kakinya
diangkat, ia akan terhempas terbang dihembus angin badai yang cukup kencang
itu. Terpaksa Suto Sinting hanya bias memandangi orang tersebut dengan telapak
kaki bergeser maju sedikit demi sedikit. Sesekali tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang karena nyaris tak kuat menahan hempasan angin besar itu.
"Seseorang telah menjajal
ilmuku begitu aku tiba di alam perbatasan ini. Sejak tadi aku tak mau melawan,
karena tak ingin bermusuhan dengannya. Tapi tampaknya ia masih belum puas jika
aku belum melawannya. Baiklah, akan kulawan angin badainya dengan jurus 'Napas
Tuak Setan'-ku!" geram hati Pendekar Mabuk.
Padahal jurus 'Napas Tuak
Setan' sangat berbahaya, bukan saja bagi manusia, namun juga berbahaya bagi
alam dan lingkungan sekitarnya. Satu hentakan napas melalui mulut Suto dapat
timbulkan bencana badai besar yang mampu menyapu seluruh bangunan rumah dalam
satu desa, bahkan mampu memporak-porandakan hutan dan menggeser bukit yang tak
terlalu besar. Napas maut itu biasanya terhembus dengan sendirinya jika hati
Pendekar Mabuk sedang murka.
Kegeraman hati dibina,
diperbesar supaya ia merasa marah dan bisa keluarkan napas mautnya itu. Tetapi,
sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba badai telah reda sendiri. Hembusan angin
semakin menurun, pucuk-pucuk cemara merah mulai tegak kembali. Akhirnya hutan
cemara merah itu menjadi tenang, angin yang berhembus semilir damai menyejukkan
badan.
"Sial! Begitu mau kulawan
angin badai itu berhenti!" gerutu Pendekar Mabuk setelah menarik napas dan
mengendurkan ketegangan uratnya.
"Oh, ternyata orang yang
kupukul tadi adalah seorang gadis?!" ujar batin Suto dengan terkejut
ketika ia memandang orang yang tersangkut pohon tadi. Ia segera mendekati orang
itu, dan ternyata memang seorang gadis berwajah cantik, manis, menawan hati.
Gadis itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun, mengenakan jubah lengan panjang
warna abu-abu, mengenakan kutang tipis warna hijau dan kain penutup pinggul
warna hijau pula.
"Oh, kasihan sekali gadis
ini! Tapi mengapa ia menyerangku secara tiba-tiba seperti tadi?!" ujar
batin si murid sinting Gila Tuak. Ia segera membaringkan gadis itu. Rupanya
gadis itupingsan karena pukulan Suto tadi. Tetapi dalam hatinya sang pendekar
tampan merasa salut dan kagum melihat ketahanan gadis itu.
"Mestinya dia mati,
karena aku tadi menggunakan pukulan bertenaga dalam cukup besar. Tapi ternyata
ia hanya pingsan dan tidak mengalami luka memar sedikit pun. Hebat juga gadis
ini!"
Ia memandangi gadis yang
dibaringkan di tanah berumput merah kecoklatan itu. Gadis berambut pendek yang
bagian depannya diponi itu mempunyai wajah yang sangat menggemaskan. Hidungnya
kecil tapi mancung, alis matanya lebat dan lentik, bibirnya kecil namun
menggairahkan. Enak untuk dikecup dan dilumat.
Kulitnya berwarna kuning
langsat. Dan yang lebih membuat hati Suto berdebar-debar, ternyata gadis itu
mempunyai dada yang sekal, termasuk montok, walau tidak sebesar semangka.
Kutang tipisnya itu sedikit merosot ke bawah karena hembusan angin badai tadi,
akibatnya, separo dari dada montoknya itu tampak tersembul menyembunyikan
pucuknya di tepian kutang.
"Wow...! Ini baru
kejutan!" gumam Suto Sinting dengan hati berdebar.
"Ah, sebaiknya kubetulkan
letak penutup dadanya itu biar tidak terlalu seronok dipandang orang."
Maka, tangan Suto pun segera membetulkan letak penutup dada yang berwarna hijau
berhias benang emas itu.
Tetapi kutang itu terlalu
kencang dan ketat, sehingga Suto Sinting sulit merapikannya. Tarik sana, tarik
sini, akhirnya jengkel-jengkel tangan Suto merogoh gumpalan daging yang sekal
dan montok itu untuk membetulkan letak penutupnya. Tapi dasar jahil, tangan
Suto sempat meremas pelan dan cekikikan dalam hatinya.
"Enak lho...,"
sambil ia tersenyum-senyum sendiri, lalu segera clingak-clinguk, takut dilihat
orang lain.
"Sialan. Deg-degan juga
hatiku. Eh... yang kiri sudah, yang kanan belum kupegang. Nanti besar sebelah,
kasihan kan? Ah, yang kanan, ah...!"
Memang bandel dan jahil murid
si Gila Tuak itu. Sudah dapat yang kiri, eeh... yang kanan diremas juga.
Nyuuttt...!
"Aaow...!"
Suto terlonjak kaget. Gadis
itu memekik, sadar dari pingsannya. Hampir saja jantung Suto copot karena rasa
kagetnya itu. Ia menjadi sangat malu dan salah tingkah, bahkan sempat
menggeragap hingga suaranya seperti orang bisu.
"Aah, uuh, aah, uhmm,
eeh, uuh...!"
Gadis itu bangkit dan
melangkah dekati Suto lalu dengan cepat tangannya berkelebat menampar wajah
Suto. Plook...!
"Setan kau! Sudah gagu,
kurang ajar lagi!" omel gadis itu sambil membetulkan penutup dadanya
supaya letaknya lebih pas lagi.
Wajah Suto menjadi merah
padam, bukan saja karena menahan rasa malu tapi juga karena menahan rasa sakit
akibat tamparan gadis itu.
"Tangannya seperti sandal
karet! Panas sekali kalau dipakai untuk menampar!" gerutu hati Suto.
"Hei, Orang Gagu... apa
maksudmu bertindak kurang ajar padaku, hah?! Apakah kau belum tahu siapa
aku?!"
"Bbbe... belum,
Nona."
"Lho... gagu kok bisa
ngomong?"
"Ak... ak... aku bukan
oor... orang gagu, Nona."
"Ooo... kau orang gagap?
Punya penyakit gagap, begitu?!"
"Jug... jug... juga
bukan!"
"Bukan gagap kok
ngomongnya jag-jug-jag-jug begitu!" si gadis bersungut-sungut, tapi
hatinya berkata lain.
"Ganteng amat pemuda ini.
Badannya gagah, kekar dan... ya ampuun, ternyata dia mempunyai ketampanan yang
sukar kubenci. Hatiku berdebar-debar, entah mengapa aku merasa sangat bahagia
saat ini. Padahal aku belum kenal siapa dia, padahal dia belum tunjukkan sikap
manis padaku, dan... oh, kalau tahu dia seganteng ini, sebaiknya tadi kubiarkan
saja dia berkurang ajar padaku."
Tetapi wajah si gadis tetap
berlagak acuh tak acuh, bahkan berkesan angkuh. Sambil merapikan pakaiannya dan
menghilangkan rumput yang menyangkut di rambutnya, gadis itu tetap menampakkan
sikap judes, walau sesekali ia melirik ke arah Pendekar Mabuk.
"Maafkan kelancanganku
tadi, Nona. Aku hanya bermaksud memberi keseimbangan saja biar tidak bengkak
sebelah dan...."
"Keseimbangan apa
maksudmu!" bentak gadis itu dengan bibir mungilnya meruncing.
"Maksudku... maksudku
kalau yang kiri sudah diremas yang kanan juga harus...."
"Kurang ajar!"
sentak gadis itu dengan mata melotot.
"Jadi kau sudah melakukannya
pada yang kiri?!"
"Hmm... eeh... uuh...
aah... eehm...."
Plak, plak...!
"Terima kasih," kata
Suto sambil mengusap pipinya yang kena tampar dua kali itu.
"Dasar manusia
jalang!" maki si gadis. "Kurasa cukup pantas tamparan dua kali untuk
kekurangajaranmu tadi!"
"Maukah kau menamparku
empat kali lagi?"
"Eeeh... nantang kau, ya?
Nantang kau, hah?!" sambil si gadis tolak pinggang, mendesak Suto dengan
mata melotot galak.
"Maksudku... kalau satu
remasan dua tamparan, aku ingin ditampar empat kali lagi supaya mendapat dua
remasan lagi, Nona!"
"Mulut kotor,
hiaaat...!"
Wuuut, wuuut, wuuut, wuuut,
wuuu...!
Gadis itu memukul Suto
beberapa kali, tapi Suto hanya menggeloyor ke sana-sini seperti orang mabuk mau
jatuh. Akibatnya pukulan beberapa kali itu tidak ada yang mengenai sasaran satu
pun.
"Rupanya kau mau unjuk
gigi di depan Ajeng Ayu, hah? Kau belum kenal Ajeng Ayu? Inilah si Ajeng Ayu!
Hieeat...!"
Wuk, wuk, wuk, wuk, wuk,
wuk...!
Lebih dari tujuh tendangan
dilepaskan oleh gadis itu. Tetapi dengan lentur dan lincah Suto Sinting yang
tetap berdiri di tempat tanpa bergeser sedikit pun mampu hindari tendangan
gadis itu. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana-sini bagai orang mabuk dengan gerakan
tangan sesekali mirip orang menenggak tuak, tendangan itu selalu lolos dari
tubuhnya. Tak sedikit pun menyerempet lengan atau bagian yang lain.
"Setan!" geram gadis
itu dengan hati semakin keki.
"Berani-beraninya kau
menghindari tendanganku, hah?! Coba jurus 'Kaki Tiga' ini! Hiiaah...!"
Gadis itu tiba-tiba meloncat
ke atas, tubuhnya berputar cepat bagai gangsing, tahu-tahu wajah Suto merasa
mendapat tiga kali tendangan beruntun yang sukar dihindari. Begitu cepatnya
tendangan tiga kali itu hingga yang terdengar suara, prrrook...!
Suto Sinting menggeloyor ke belakang
dan gelagapan. Pandangan matanya menjadi buram, wajahnya terasa kian panas
bagai dipanggang api. Ia buru-buru menenggak tuaknya dua teguk. Tuak itu
membuat rasa panas di wajah lenyap dalam waktu singkat, pandangan matanya
menjadi jernih kembali dan badannya terasa segar, karena tuak itu adalah tuak
sakti yang mampu sembuhkan penyakit dan lenyapkan berbagai macam luka.
"Gila! Tendangannya
seperti mengandung lahar panas dan kecepatannya sukar dilawan," gumam Suto
dalam hati sambil memandang sang gadis yang masih tolak pinggang dan mencibir,
membanggakan jurus tendangannya tadi.
"Sekarang kau baru kenal
siapa si Ajeng Ayu ini, bukan?" sambil gadis itu menepuk dadanya sendiri.
"Kau masih mau
mencobanya?"
"Aku... aku tak berani
menolak keinginanmu, Nona. Silakan saja kalau masih ingin memperkenalkan diri
padaku."
"Ngeledek kau, ya?!
Hiaaat...!"
Gadis itu melompat dengan
gerakan tubuh memutar, kaki lebih dulu menyerang. Tetapi Suto Sinting segera
menyentilkan jarinya ke arah betis gadis itu.
Tess...! Beet...!
"Auuh...!" gadis itu
memekik dan tubuhnya terpelanting jatuh. Brrruk...!
"Aaaauuh...!" Ia
merengek seperti anak kecil sambil pegangi betisnya yang merasa seperti
ditendang seekor kuda jantan. Betis mulus itu tampak biru sebesar telapak
tangan. Suto Sinting hanya sunggingkan senyum dan merasa bangga dengan jurus
'Jari Guntur'-nya itu.
"Itulah salam perkenalan
Suto Sinting," ujar Suto sambil menepuk dadanya menirukan lagak gadis itu
tadi.
"Aduuh... tulang lututku
bagai mau copot rasanya," keluh si gadis dalam hati. "Tak kulihat
tangannya bergerak menghantamku, tapi kenapa tiba-tiba betisku jadi sasaran?
Uuuh... rasa linunya sampai di tulang punggung dan tengkuk. Gila! Jurus apa
yang dipergunakan setan ganteng ini?! Kurasa... eh, tadi kudengar dia
menyebutkan namanya? Suto?! Suto Sinting?! Sepertinya aku pernah dengar nama
itu disebutkan oleh Guru. Tapi kapan dan apa penjelasannya tentang nama itu,
ya? Aduh, aku lupa sama sekali."
Suto Sinting tak tega melihat
gadis itu menyeringai kesakitan tiada henti. Ia segera mendekati dan
menyerahkan bumbung tuaknya yang masih penuh dan baru terminum beberapa teguk
itu.
"Minumlah tuakku, maka
rasa sakit itu akan hilang."
"Kau dukun, ya?"
"Anggap saja
begitu!" jawab Suto dengan kesan malas menjelaskan khasiat tuak dan
asal-usul bumbungnya itu.
Ajeng Ayu mendengus sambil
buang muka pertanda tak mau menerima tawaran itu. Tetapi Suto segera berkata,
"Kalau kau tak mau minum
tuak, maka kakimu akan beracun, sukar diobati lagi. Kalau kakimu akan membusuk
dan akhirnya harus dibuntungi biar tidak membusukkan bagian yang lain!"
"Haah...?! Seganas itukah
pukulanmu?"
"Sebenarnya jurus yang
kupakai tadi untuk lawan beratku. Tapi aku tadi tak sengaja melepas jurus itu.
Aku pun menyesal setelah membayangkan gadis secantik kau akan buntung salah
satu kakinya gara-gara jurusku tadi. Maka kutawarkan padamu untuk minum tuak
ini biar kakimu tak jadi buntung."
Ajeng Ayu terpengaruh oleh
bualan Suto Sinting. Ia tampak tegang dan cemas. Akhirnya mau meminum tuak itu.
Dan suatu keajaiban dirasakan olehnya, rasa sakit dari betis sampai tulang
tengkuk itu lenyap sama sekali, bahkan tubuhnya merasa lebih segar dari sebelum
meminum tuak itu.
"Sakti juga kau ini
rupanya. Siapa gurumu?"
"Sebaiknya kau tanyakan
siapa kekasihku," kata Suto.
"Aku tidak butuh
kekasihmu!" ujar Ajeng Ayu dengan cemberut. "Apakah kau sudah punya
kekasih?"
"Sudah."
"Siapa?"
"Kau!"
Buuhk...! Gadis itu jatuh
secara tiba-tiba. Setelah diperiksa Suto, ternyata gadis itu pingsan dengan
wajah memucat.
"Aneh! Masa' hanya
kujawab dalam canda begitu saja dia langsung pingsan?! Oh... gadis cap apa dia
sebenarnya?"
Suto semakin penasaran ingin
mengetahui siapa gadis itu sebenarnya. Tak akan bisa tidur rasanya jika Suto
belum mengetahui secara mendalam tentang Ajeng Ayu yang memang ayu itu.
*
* *
2
SETELAH diperiksa lebih teliti
lagi, ternyata di leher belakang Ajeng Ayu terdapat suatu benda kecil yang
menancap di situ. Benda tersebut segera dicabut oleh Pendekar Mabuk.
"Jarum...?!" gumam
Pendekar Mabuk sambil memandangi benda yang habis dicabut dari tengkuk Ajeng
Ayu itu. Jarum tersebut tidak sepanjang jarum biasanya. Jarum itu separo lebih
pendek dari ukuran jarum jahit. Pada bagian ujung tumpulnya terdapat sebutir
manik-manik, sehingga jarum itu layak disebut jarum pentul.
"Rupanya ada seseorang
yang bermaksud ingin membunuh Ajeng Ayu ini! Dia lepaskan jarum ini dari suatu
tempat yang amat tersembunyi. Dan... oh, kulit lukanya membiru? Lho... makin
lama semakin lebar? Wah, tak salah lagi; pasti jarum ini beracun. Racunnya
cukup ganas, sehingga sekali tancap membuat orang tak berdaya!"
Mata teduh itu segera
memandang ke arah sekelilingnya. Ia mencari seseorang yang melepaskan jarum
beracun itu. Tiap jengkal tempat diperhatikan dengan teliti, sampai pada
gerakan angin halus pun dipertimbangkan sebagai gerakan alami atau gerakan
buatan seseorang.
"Yang jelas orang itu
pasti mengincar kematian Ajeng Ayu. Bukan mengincarku! Hmmm... tega nian orang
itu, sehingga ia bermaksud membunuh gadis secantik Ajeng ini?" gumam batin
Suto sambil masih pandangi keadaan sekeliling. Tapi ia masih belum menemukan
tempat yang dicurigai sebagai persembunyian si penyerang gelap itu.
"Sebaiknya Ajeng kupaksa
meneguk tuakku supaya racun itu tidak melenyapkan nyawanya!"
Pendekar Mabuk menenggak tuak,
sebagian ditelan sebagian lagi disimpan dalam mulut. Kemudian dengan sedikit
ragu dan clingak-clinguk lebih dulu, Suto akhirnya menempelkan bibirnya ke
mulut Ajeng Ayu.
Tuak dalam mulut disemburkan
pelan-pelan ke mulut Ajeng Ayu, sehingga sedikit demi sedikit tuak itu masuk ke
tenggorokan Ajeng Ayu.
Hal itu diulanginya
berkali-kali, sampai akhirnya Suto berhasil melakukannya karena tak kuat
menahan debar-debar gairah yang ditimbulkan dari perpaduan mulutnya dengan
mulut Ajeng Ayu. Bahkan tadi Suto sempat mengecup lembut bibir menggairahkan
itu sebagai ulah kenakalan jiwa mudanya. Ulah itu yang makin menimbulkan hasrat untuk mengecup
bagian lainnya.
Tapi hal itu tak sampai
dilakukan oleh Pendekar Mabuk karena ia tetap menjaga sikapnya sebagai seorang
pendekar yang mempunyai banyak pengagum. Ia tak mau citranya jatuh gara-gara
menggumuli gadis yang sedang pingsan. Beberapa saat kemudian, Ajeng Ayu mulai
siuman.
Racun yang menghentikan
jantungnya itu dapat dikalahkan oleh kekuatan sakti tuak Suto yang telah masuk
dalam tubuhnya. Bahkan luka di tengkuknya hanya terasa gatal sedikit. Ajeng Ayu
segera menggaruknya sebentar. Tapi bekas luka membiru sudah tak ada. Bahkan
bekas menancapnya jarum sudah hilang sama sekali.
"Ooh...? Kenapa aku duduk
di tanah?!" gumamnya bernada kaget, lalu segera memandang Suto yang
sengaja sudah menjauh lima langkah dari Ajeng Ayu.
Suto berdiri sambil salah satu
pundaknya bersandar pada batang pohon yang patah di pertengahannya akibat angin
badai tadi.
"Apa yang telah kualami
tadi?!" Ia ajukan tanya kepada Pendekar Mabuk.
"Kau pingsan
mendadak."
"Mengapa aku
pingsan?"
"Karena... aku
menyebutkan dirimu sebagai kekasihku."
"Hmmm...! Tak mungkin aku
pingsan gara-gara ucapan gombalmu itu!" Ajeng Ayu mencibir. "Pasti
aku kau teluh biar aku tak sadar diri, lalu pada saat aku tak sadar diri, kau
menggagahiku! Begitu, bukan?!" sentaknya masih bernada galak.
"Kalau aku mau
menggagahimu, mengapa harus pada saat kau tak sadar? Rugi sekali aku. Karena
dengan begitu kau tidak memberikan balasan yang menurutku pasti lebih berani
daripada diriku."
"Jangan bicara
sembarangan kau!" gertaknya sambil hampiri Suto Sinting. Yang digertak
hanya sunggingkan senyum kalem.
"Semula memang kusangka
kau pingsan karena jawabanku tadi. Tapi setelah kuteliti lagi, ternyata kau
pingsan karena jarum ini...," sambil Suto menunjukkan jarum bermanik merah
bening itu.
Ajeng Ayu kerutkan dahi dan
pandangi jarum itu dengan lebih dekat lagi. Mulutnya sedikit terperangah
terbuka untuk memperkuat rasa herannya terhadap jarum tersebut.
"Jarum ini menancap di
leher belakangmu."
"Tak mungkin...,"
kata Ajeng Ayu dengan diliputi kecemasan.
"Kalau tidak segera
kucabut, kau akan kehilangan nyawa, karena jarum ini beracun ganas,"
tambah Suto Sinting, tapi Ajeng Ayu geleng-gelengkan kepala.
"Tak mungkin! Tak mungkin
jarum ini menancap di tengkukku!"
"Mengapa kau bilang
begitu?"
"Karena aku kenal pemilik
jarum ini! Aku juga tahu, bahwa jarum ini mempunyai racun ganas yang dinamakan
racun 'Pemburu Jantung'. Senjata jarum ini dilepaskan dari sebatang sumpit
emas. Orang yang memiliki sumpit emas adalah si Rambut Perak."
"Siapa si Rambut Perak
itu?"
"Bibiku sendiri!"
jawab Ajeng Ayu dengan suara setengah berbisik, semakin mempertegang suasana.
Pendekar Mabuk terkejut dalam
hati dan segera kerutkan dahi memandangi Ajeng Ayu.
"Benarkah jarum ini
senjata milik bibimu?"
"Aku tak akan keliru,
karena aku tahu betul senjata ini. Aku pernah belajar menyumpit dari bibiku,
menggunakan sumpit emas dan jarum semacam ini yang tidak beracun."
"Aneh. Jika benar jarum
ini milik bibimu, lalu mengapa bibimu bermaksud ingin membunuhmu?"
"Karena itulah aku tak
yakin kalau tadi aku pingsan gara-gara jarum ini!"
"Jadi kau menyangka
kuapakan sehingga pingsan? Kau sangka aku memperkosamu? Hmmm... maaf saja,
ya?" Suto Sinting mencibir sambil melengos. "Kalau mau begitu tak
perlu pakai memperkosa segala. Banyak wanita yang secara sukarela mau
menyediakan dirinya sebagai pemuas gairahku. Tapi aku tak mau lakukan, karena
aku ingin persembahkan hati dan cinta yang tulus serta kesetiaan kepada Dyah
Sariningrum, calon istriku, itu."
"Hmmm...! Berlagak suci
kau, ya?!" ejek Ajeng Ayu.
Tapi sebelum ia bicara,
tiba-tiba pergelangan tangannya disambar oleh Suto Sinting. Ia ditarik hingga
jatuh ke dalam pelukan Suto. Namun bertepatan dengan hal itu, sebuah benda
melesat cepat dan menancap pada pohon yang digunakan Suto untuk bersandar itu.
Weess, jeeb...!
"Dasar brandal
kampungan!"
Plook...!
Suto ditampar lagi oleh Ajeng
Ayu. Gadis itu marah kepada Suto karena menyangka akan diperkosa oleh Suto,
setidaknya diperlakukan kurang ajar oleh si tampan yang sebenarnya menggetarkan
hatinya itu. Suto tiada membalas, hanya menyeringai menahan panas di seluruh
permukaan wajahnya, sebab tamparan itu lebih keras dari tamparan sebelumnya.
Ajeng Ayu meronta lepas dari
pelukan Suto. Ia masih tampak berang dan menuding Suto dengan ucapkan kata-kata
keras.
"Sekali lagi kau berani
bertindak kurang ajar begitu padaku, tak akan ada ampun lagi bagimu,
Suto!"
"Aku tidak bermaksud
kurang ajar padamu, Ajeng!"
Suto agak ngotot.
"Lihatlah di pohon...!" sambil Suto menuding pohon tempatnya
bersandar tadi.
Ajeng Ayu kaget dan kerutkan
dahi. Ia melihat sebatang jarum pendek menancap di pohon tersebut.
"Gila!" gumam Ajeng
Ayu dengan tegang setelah tahu jarum yang menancap di pohon sama dengan jarum
yang masih dipegang Suto.
"Sekarang kau percaya
bahwa aku tidak bermaksud...."
"Lekas pergi dari
sini!" Ajeng Ayu menarik tangan Suto. Pendekar tampan itu tersentak dan
akhirnya ikuti langkah Ajeng Ayu yang melarikan diri dari tempat tersebut.
Ajeng Ayu membawanya ke sebuah
gua, tetapi bukan gua berbatu indah warna-warni yang dicari Suto. Gua itu tak
begitu dalam dan tidak mempunyai lorong tembus ke mana-mana. Batu-batuannya
berwarna putih semacam batuan kapur dan tidak banyak. Rata-rata batu di situ
setinggi betis, tidak ada yang lebih tinggi seperti di Gua Mahkota Dewa.
Padahal Suto Sinting pergi ke
perbatasan alam gaib dan alam nyata itu untuk mencari Batu Tembus Jagat yang
ada di Gua Mahkota Dewa. Ia membutuhkan Batu Mahkota Jagat untuk melawan racun
'Asmara Kubur' yang diderita oleh Dewi Kesepian. Apabila racun itu tak bisa
dimusnahkan, maka kaum lelaki di dunia akan semakin berkurang dan lama-lama
bisa menjadi punah semuanya. Karena lelaki mana pun yang berkencan dengan Dewi
Kesepian akan terkena wabah penyakit berbahaya dan merenggut jiwa, (Baca serial
Pendekar Mabuk damal episode : "Dewi Kesepian".
Gadis centil itu kini tampak
diliputi kesedihan yang menegangkan. Sebentar-sebentar matanya memandang ke
arah pintu masuk gua, sepertinya takut dikejar oleh si pemilik jarum beracun
itu.
"Apakah ada kemungkinan
bibimu akan mengejar kemari?"
"Bisa saja," jawab
Ajeng Ayu dengan suara pelan.
Kecentilan dan lagak angkuhnya
hilang sama sekali. Suto bukan saja merasa penasaran tapi juga merasa kasihan
kepada gadis yang tiba-tiba berubah murung itu.
"Jangan takut, kalau dia
kemari akan kuhadapi secara baik-baik. Barangkali kau punya salah
padanya."
"Tidak. Aku tidak pernah
bikin masalah terhadap Bibi Rambut Perak. Bahkan aku selalu bersikap patuh
kepadanya."
"Lalu apa alasannya menyerangmu dengan
jarum beracun itu?"
"Itu yang tidak
kuketahui. Tapi jika Bibi sudah melepaskan jarum 'Hantu Merah' berarti dia benar-benar
murka dan berniat membunuh. Jarum itu dilepaskan kepada orang yang tak bisa
diberi ampun lagi olehnya."
Pendekar Mabuk diam sesaat,
mencoba mencari penyebab murkanya si Rambut Perak. Tetapi karena ia belum
pernah kenal dan belum pernah melihat si Rambut Perak, maka ia tidak menemukan
apa-apa dalam renungannya. Ia hanya bisa berkata dengan nada pelan, seakan
bicara pada dirinya sendiri.
"Tetapi mengapa tak
kulihat seorang pun di sekitar tempat tadi?"
"Bibi Rambut Perak pasti
ada di kejauhan. Ia meniup sumpitnya bisa dari jarak yang cukup jauh. Mungkin
dia berada di bukit sebelah timur tadi."
"Oh, jauh sekali kalau
begitu?!" gumam Suto merasa heran karena bukit yang dimaksud Ajeng Ayu
sempat dilihatnya sebelum badai datang. Bukit itu berjarak sangat jauh, lebih
dari dua ratus langkah jauhnya.
"Jika benar jarum itu
dilepaskan dari bukit tersebut, tentunya si Rambut Perak bukan orang
sembarangan. Ilmunya cukup tinggi, hingga dapat meniupkan jarum dalam sumpitnya
menggunakan napas tenaga dalamnya," pikir Suto saat merenung sebentar.
Tiba-tiba Ajeng Ayu berkata
dengan nada geram.
"Akan kuadukan kepada
guruku, biar Bibi dihajar oleh guruku!"
"Bibimu kenal dengan
gurumu?"
"Ya, tapi mereka kurang
akrab," jawab Ajeng Ayu dengan wajah cemberut.
Pendekar Mabuk ingin ajukan
tanya lagi, tetapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sebuah suara yang datang
dari luar gua.
"Ajeng Ayu! Keluar
kau!"
"Oooh...?!" Ajeng
Ayu membelalakkan mata dan menjadi tegang. "Itu suara Bibi Rambut
Perak?!"
Pendekar Mabuk hanya menggumam
pendek. "Akan kutemui sendiri dia!"
"Ja... jangan! Kau bisa
dibunuhnya jika ia sedang murka begitu. Dia ingin bertemu denganku, jika kau
ikut campur dia tak akan segan-segan membunuhmu. Tapi barangkali jika kutemui
dan kuajak bicara baik-baik, kemarahannya bisa reda."
"Baik, temuilah dia. Aku
hanya akan mendampingimu."
Suara si Rambut Perak
terdengar lagi lebih keras dari yang tadi.
"Ajeng Ayu...! Keluar kau
dari gua, atau kuhancurkan gua itu biar kau mati terkubur hidup-hidup!"
Akhirnya gadis itu keluar dari
dalam gua dan Pendekar Mabuk mendampingi dari belakangnya. Mereka melihat
seorang perempuan berjubah tanpa lengan warna ungu dengan kutang dan kain
penutup pinggulnya yang sebatas betis itu berwarna kuning.
Perempuan itu berambut panjang
sepunggung berwarna perak. Rambut itu dibiarkan lepas bergerak tanpa pengikat
apa pun. Sebuah benda panjang sebesar jari kelingking tergenggam di tangan
kirinya. Benda itulah yang dinamakan sumpit untuk meluncurkan jarum beracun
dengan cara meniupkannya. Biasanya sumpit terbuat dari bambu kecil, tapi sumpit
yang ada di tangan si Rambut Perak itu terbuat dari logam berlapis emas
berukir, panjangnya sekitar satu lengan.
"Sudah kuduga kau ingin
berbuat mesum dengan pemuda itu!" kata si Rambut Perak dengan ketus dan
berwajah judes.
"Kami baru kenal, Bibi.
Kami tidak bermaksud ingin berbuat tak senonoh," ujar Ajeng Ayu dengan
wajah sedih.
"Kalau tak ingin berbuat
mesum, lalu mengapa kalian berada dalam gua itu berduaan?!"
Suto menyahut, "Karena
Ajeng takut kau bunuh!"
"Hei, siapa kau? Aku tak
bertanya padamu!" Ia menuding dengan sumpitnya.
"Tapi kau melibatkan aku
dalam tuduhanmu!" jawab Sulo dengan tegas walau di bibirnya sunggingkan
senyum tipis berkesan kalem.
Perempuan bertubuh sintal dan
mempunyai dada lebih besar dari dua bukit di dada Ajeng Ayu itu segera berjalan
ke samping dengan mata memandang tajam ke arah Suto dan Ajeng Ayu. Rupanya
perempuan berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu menyembunyikan rasa
kagumnya melihat ketampanan dan kegagahan Pendekar Mabuk, sehingga kini matanya
lebih terarah kepada Suto Sinting.
Ia berjalan balik ke tempat
semula sambil berkata kepada Ajeng Ayu.
"Ajeng Ayu, apakah kau
tak tahu bahwa pemuda yang bersamamu itu adalah manusia yang hidup di permukaan
bumi?!"
"Eh, hmmm...," Ajeng
Ayu memandang Suto sebentar, kemudian memandang bibinya kembali. "Aku
tidak tahu Bi. Aku dan dia benar-benar baru saja bertemu dan saling
kenal."
"Bohong! Kulihat dari
kejauhan kau telah cukup intim dengannya."
"Tap... tapi aku tak tahu
kalau dia manusia dari permukaan bumi, Bi!"
"Hmmm...!" Rambut
Perak mendengus. Matanya yang agak besar dan berkesan judes-judes cantik itu
menatap ke wajah Suto. Yang ditatap justru menenggak tuaknya dengan cuek,
seakan tak peduli tatapan mata si Rambut Perak itu.
"Tinggalkan dia, Ajeng!
Dan kalau kulihat kau berhubungan lagi dengan manusia semacam dia, tak ada
ampun lagi bagimu. Aku akan tega membunuhmu, Ajeng!"
"Tapi... tapi dia telah
menolongku dan...."
"Tinggalkan dia!"
bentak Rambut Perak dengan mata melebar.
Pendekar Mabuk dipandangi
Ajeng Ayu dengan wajah sedih. Setelah menarik napas, Suto pun berkata dengan
lembut.
"Turutilah apa kata
bibimu tadi. Pergilah dan jangan temui aku lagi."
Ajeng Ayu tidak menjawab,
namun dari sorot matanya ia tampak keberatan jika harus meninggalkan Suto.
Untuk sesaat ia bimbang mengambil keputusan. Sementara itu, sang bibi pun
berkata lagi dengan nada ju-desnya.
"Apakah kau lupa bahwa
keluargamu musnah karena dibantai habis oleh manusia permukaan bumi?! Pamanmu,
suamiku, juga binasa oleh manusia dari permukaan bumi yang bernama Siluman
Tujuh Nyawa itu!"
Suto Sinting terkejut
mendengar nama itu disebutkan. Siluman Tujuh Nyawa adalah tokoh paling sesat
yang menjadi musuh utamanya. Kini Suto tahu apa sebabnya Ajeng Ayu dilarang
keras untuk berhubungan dengan manusia dari permukaan bumi.
Rupanya gadis dari keluarga
masyarakat dasar bumi itu mempunyai dendam terhadap Siluman Tujuh Nyawa,
sehingga si Rambut Perak merasa lebih baik membunuh keponakannya sendiri daripada
melihat sang keponakan berhubungan dengan manusia dari permukaan bumi.
"Ajeng, pulang sekarang
juga kau!" perintahnya dengan tegas.
"Bibi, aku merasa Suto
bukan orang yang pantas kita musuhi, Bi. Dia tidak seperti Siluman Tujuh Nyawa
itu."
"Sama saja! Bukankah pada
mulanya Siluman Tujuh Nyawa itu bersikap baik kepada keluarga kita? Tapi pada
akhirnya dia tega membantai habis keluarga kita. Untung kau dan aku saat itu
sedang menemui gurumu, sehingga kita selamat dari pembantaian itu!"
Rambut Perak dekati Ajeng Ayu
dan menatap kian tajam.
"Jangan tergoda oleh
ketampanan manusia permukaan bumi. Ketampanan itu adalah racun yang lebih ganas
dari jarum 'Hantu Merah'-ku. Aku lebih baik kehilangan kau daripada harus
melihatmu berhubungan dengan manusia seperti dia!" sambil menuding
tegas-tegas ke arah Suto.
Pendekar Mabuk menarik napas
menahan kesabaran.
"Kurasa tidak semua orang
yang hidup di permukaan bumi bertabiat seperti Siluman Tujuh Nyawa!"
"Jangan banyak bicara
kau!" bentak si Rambut Perak dengan sikap sangat bermusuhan.
"Kurasa kau perlu
disadarkan, Rambut Perak! Bukan hanya keluargamu yang bencidan memusuhi Siluman
Tujuh Nyawa, tapi banyak orang di permukaan bumi yang memusuhinya. Bahkan aku
sendiri berkelana karena memburu Siluman Tujuh Nyawa. Aku harus bias memenggal
kepala Siluman Tujuh Nyawa sebagai maskawinku melamar calon istriku di Pulau
Serindu."
Mendengar nama Pulau Serindu,
mata si Rambut Perak yang semula pandangi Ajeng Ayu, sekarang beralih ke wajah
Suto. Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan hatinya mendengar nama Pulau
Serindu disebutkan.
"Seandainya sekarang
Siluman Tujuh Nyawa atau si Durmala Sanca itu ada di sini, aku akan memenggal
kepalanya atau menghancurkannya sama sekali untuk kubawa ke Pulau
Serindu."
"Jangan berlagak kenal
dengan orang Pulau Serindu!" geram si Rambut Perak. "Aku tahu siapa
penguasa di Pulau Serindu!"
"Aku pun tahu,"
sahut Suto. "Calon istriku memang penguasa Puri Gerbang Surgawi yang ada
di Pulau Serindu. Ia bernama Dyah Sariningrum atau berjuluk Gusti Mahkota
Sejati! Dia putri kedua dari Ratu Kartika Wangi, penguasa negeri Puri Gerbang
Surgawi di alam gaib! Ia mempunyai seorang nenek yang bernama Betari Ayu dan
sekarang menjadi seorang petapa di Gunung Kundalini!"
Rambut Perak dan Ajeng Ayu
sama-sama terperanjat mendengar penuturan Suto. Mereka sama-sama memandang Suto
dan undur beberapa langkah jauhi Suto. Wajah mereka tampak tegang dan lidah
mereka bagaikan kaku, tak bisa untuk mengucapkan sepatah kata pun.
"Jika kau memang berilmu
tinggi, tentunya kau bisa melihat noda merah kecil di keningku ini, Rambut
Perak!"
"Ooh...?!" Rambut
Perak tersentak kaget, sepertinya ia baru menyadari bahwa Suto mempunyai noda
merah samar-samar di keningnya. Noda merah itu sangat kecil, sebesar biji
jagung dan hanya bisa dilihat oleh orang berilmu tinggi.
"Kkkau... kau... seorang
manggala yudha-nya Gusti Prabu Kartika Wangi?!"
"Ya, aku memang
panglimanya Ibu Ratu Kartika Wangi!" tegas Suto Sinting dengan sikap
berwibawa.
Secara tiba-tiba saja Rambut
Perak berlutut di hadapan Suto Sinting dan tundukkan kepala.
"Ampunilah aku, Gusti
Manggala...! Ampunilah aku yang bodoh ini!"
Ajeng Ayu bingung melihat
bibinya menjadi berlutut penuh hormat dan rasa takut di depan pemuda tampan
itu. Dalam keadaan bingung itu, tiba-tiba tangannya ditarik turun oleh sang
bibi.
"Beri hormat kepadanya!
Dia panglimanya Gusti Ratu Kartika Wangi! Aku baru sadar dan melihat tanda
merah di keningnya itu!" bisik Rambut Perak kepada keponakannya. Ajeng Ayu
pun segera berlutut dan tundukkan kepala penuh rasa hormat dan takut.
Suto Sinting hanya sunggingkan
senyum tipis melihat ketakutan bibi dan sang keponakannya itu. Kegalakan dan
kejudesan si Rambut Perak tiba-tiba lenyap begitu saja, bahkan perempuan tua
berhidung mancung dan berkulit kuning itu tak berani mengangkat wajahnya untuk
pandangi Suto seketus tadi. Tetapi Ajeng Ayu masih berusaha melirik Suto
sesekali. Agaknya gadis itu masih belum yakin bahwa Suto adalah panglima
perangnya negeri Puri Gerbang Surgawi yang kondang kesaktiannya di alam gaib
itu.
"Bangkitlah, tak perlu
bersujud begitu padaku. Semasa aku di luar wilayah Puri Gerbang Surgawi,
anggaplah aku sebagai seorang sahabat, bukan sebagai panglima atau manggala
yudha."
"Tap... tapi... tapi aku
tadi sudah bersikap tak patut di depanmu, Gusti Manggala. Sikapku yang kurang
ajar tadi layak kau beri hukuman di sini, ketimbang aku harus menghadap Gusti
Ratu Kartika Wangi untuk mempertanggungjawabkan sikapku tadi!" ucap si
Rambut Perak dengan tetap tundukkan kepala.
"Bangunlah. Sebuah
ketidaktahuan wajar menimbulkan kesalahan. Yang paling berbahaya adalah
seseorang yang melanggar kesalahan atas dasar kesengajaan. Berdirilah, Rambut
Perak dan Ajeng Ayu...."
Akhirnya sikap lemah lembutnya
Suto itu menenangkan hati si Rambut Perak yang sudah sangat ketakutan itu.
Sebab ia tahu persis siapa orang-orang yang ada di dalam lingkungan negeri Puri
Gerbang Surgawi baik yang ada di alam gaib maupun yang ada di alam nyata, di
Pulau Serindu itu.
Ajeng Ayu jadi ikut-ikutan
bersikap sopan dan tak beranlipetentang-petenteng lagi di depan Suto. Jika
bibinya yang berilmu tinggi saja takut kepada Suto, apalagi dirinya. Gadis itu
berdiri sedikit membelakangi bibinya dengan kaki rapat dan kepala sedikit
tertunduk.
"Hukumlah aku, Gusti
Manggala."
"Tidak. Aku tidak akan
menghukum orang yang tidak tahu bahwa dirinya melakukan kesalahan. Aku hanya
akan meluruskan jalan pikirannya itu agar kelak tidak melakukan kesalahan
lagi," jawab Suto bersikap bijak.
"Jika begitu, katakanlah
apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahan dan sebagai ganti hukumanku
itu, Gusti Manggala."
Pendekar Mabuk menarik napas
menyimpan kebanggaan tersendiri atas sikap Rambut Perak dan Ajeng Ayu itu.
Beberapa kejap kemudian ia mulai bicara dengan suaranya yang lembut dan sengaja
menampakkan keseriusannya.
"Aku ke sini mencari Gua
Mahkota Dewa."
"Baik, akan kami antar ke
gua itu, Gusti Manggala," kata Rambut Perak.
"Biar aku saja yang
mengantarnya, Bi!"
"Ajeng Ayu, kau tidak
boleh me...."
"Biar dia saja yang
mengantarku, Rambut Perak!" sahut Suto membuat Rambut Perak diam seketika
dan akhirnya hanya bisa anggukkan kepala penuh hormat.
"Baik, Ajeng Ayu akan
memandu Gusti Manggala ke gua tersebut!" Kemudian ia berkata kepada Ajeng
Ayu.
"Hati-hati dan jangan
sembrono lagi kepadanya!"
"Baik, Bibi!" jawab
Ajeng Ayu dengan berseri-seri.
*
* *
3
TERNYATA pengaruh noda merah
kecil di kening Suto cukup besar. Hanya dengan memperhatikan noda merah di
kening seseorang yang sedang berang bias tunduk seketika dan menjadi hormat kepada
Pendekar Mabuk. Alangkah beruntungnya murid si Gila Tuak itu mendapatkan tanda
penghargaan dari Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya.
"Kalau perlu semua
tubuhku diberi tanda merah saja, biar aku tambah hebat," gumam Suto
Sinting dalam hatinya sambil cekikikan sendiri. Tetapi sebenarnya di dalam hati
gadis centil itu masih belum percaya dengan jabatan Suto Sinting sebagai
panglima negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib.
Sebab menurutnya, penampilan
seorang panglima negeri yang kondang kesaktiannya itu tidak sesederhana Suto.
Menurut Ajeng Ayu, setidaknya seorang panglima mengenakan baju kebesaran,
selempang kepanglimaan, pedang keprajuritan, dan sebagainya. Bukan hanya celana
putih kusam, baju coklat tanpa lengan, ikat pinggang merah, membawa bumbung
tuak, ooh... rasa-rasanya Ajeng Ayu lebih suka menganggap Suto Sinting sebagai
gelandangan yang berwajah tampan. Maka tak heran jika sikap gadis centil itu
masih seenaknya saja. Rasa hormat dan takutnya hilang sejak kepergian si Rambut
Perak.
"Pintar juga kau
mengarang cerita hingga bibiku jadi ketakutan," ujarnya sambil melangkah
menelusuri hutan cemara merah.
Pendekar Mabuk hanya
tersenyum, tak mau ngotot dengan pengakuannya tadi.
"Mau percaya atau tidak
terserah...," ujar Suto membatin.
"Aku tadi hampir tertawa
melihat bibiku langsung berlutut kepadamu. Kalau tak takut dihajar Bibi, aku
pasti sudah tertawa keras-keras."
Pendekar Mabuk tersenyum
dengan suara tawa pendek mirip gumam. Hatinya pun berkata, "Tentu saja dia
beranggapan pengakuanku tadi bohong, karena dia tidak melihat noda merah di
keningku."
"Kau memang sangat
beruntung, Suto. Pengetahuanmu luas, sehingga bisa menyebutkan nama-nama
keluarga Gusti Ratu Kartika Wangi yang membuat bibiku percaya dengan
pengakuanmu. Hih, hi, hi, hi....Baru sekarang bibiku bertekuk lutut di depan
seorang pembohong sepertimu! Biar tahu rasa dia! Dia piker semua orang yang
hidup di permukaan bumi selalu sama dengan Siluman Tujuh Nyawa? Hmmm... kalau
kepergok yang punya otak bulus begini mau apa dia?"
Gadis itu ngoceh sendiri
sambil sesekali melirik Suto dalam langkahnya yang sengaja merapat di samping
kanan Suto Sinting. Sedangkan Pendekar Mabuk hanya bisa tertawa geli dalam
hatinya melihat kebodohan yang terpampang lebar tanpa disadari oleh pelakunya.
"Tapi kalau kau bertemu
dengan guruku, kau tak akan bisa berdusta seperti tadi. Guruku sangat cerdas
dan sulit ditipu!"
"Pasti gurumu orang yang
berilmu tinggi."
"O, tentu! Ia punya
kesaktian dapat membuat dirinya semuda aku dan cantik, ia juga punya jurus-jurus
hebat dan dahsyat! Contohnya angin badai tadi."
"Jadi, angin badai yang
mengamuk tadi adalah ulah gurumu?"
"Bukan. Itu ulahku
sendiri," Ajeng Ayu tersenyum nyengir. "Aku baru tamat mempelajari
jurus 'Selaksa Badai', dan kucoba di daerah ini agar tidak menimbulkan korban
nyawa. Ternyata sungguh dahsyat dan aku tidak bisa mengendalikan diri, akhirnya
aku terlempar sendiri sampai di tempatmu."
"Konyol!" gerutu
Suto setelah tahu angin badai yang mengamuk itu ulah si centil Ajeng Ayu
sendiri. Ajeng Ayu hanya tertawa cekikikan, sikapnya lebih akrab dan lebih
ramah ketimbang tadi.
"Kalau Guru ada di
sekitar sini, aku pasti kena marah, mungkin dihajarnya sendiri, karena aku tak
bias kendalikan diri."
"Lawan saja kalau dia
menghajarmu."
"Uuuh, lawan...!"
Ajeng Ayu bersungut-sungut.
"Siapa yang berani
melawan Guru? Bisa remuk jadi tanah. Tamparannya saja bikin memar pipi. Bibi
saja takut kepada Guru. Tapi dia orang yang bijaksana dan penuh pengertian
kepada muridnya, selama sang murid patuh kepadanya."
Ajeng Ayu tertawa pendek,
"Aku tadi termasuk tidak patuh, karena belum diizinkan mencoba jurus itu,
tapi aku nekat sudah mencobanya. O, ya.... Kalau suatu saat kau bertemu dengan
guruku, kumohon jangan sekali-kali menggunakan akal bulusmu seperti tadi. Kau
bisa malu sendiri."
Sebenarnya Suto ingin ajukan
pertanyaan lagi, tapi langkahnya segera terhenti begitu melihat sebuah gua
bermulut tak seberapa lebar. Bentuk gua yang ada di sebuah tebing tak begitu
tinggi itu mengingatkan Suto pada suatu peristiwa yang membuatnya terdampar di
gua tersebut, karena gua yang ada di depannya itulah yang dinamakan Gua Mahkota
Dewa. Suto pernah berada di dalam gua itu bersama Nirwana Tria, cucu si Dewa
Tanah yang dihormati oleh masyarakat Dasar Bumi.
Dalam ingatan Suto, wajah cantik
Nirwana Tria pun membayang semakin jelas, membuat senyumnya tersungging dalam
rona keindahan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu
Maksiat").
"Mengapa kau tersenyum
sendiri begitu?" tegur Ajeng Ayu.
"Aku ingat
seseorang," jawab Suto sambil pandangi gua itu. "Dulu aku pernah
berada di gua itu dalam keadaan pingsan dan hampir-hampir tak bisa keluar
karena pintu gua diberi jebakan sinar yang bisa membakar tubuhku jika nekat
kusentuh."
"Kapan kau pernah ke
sini? Tiga purnama yang lalu?"
"Tidak. Hmmm... kalau tak
salah ingatanku, sekitar empat purnama yang lalu."
"Kau datang ke sini untuk
keperluan yang sama?"
"Tidak. Dulu aku termasuk
terdampar di sini. Tapi sekarang aku sengaja datang ke sini."
"Sengaja?! Oh, kalau
begitu ilmumu cukup hebat juga, ya? Bisa masuk ke alam perbatasan dari alam
nyata."
"Yaah... soal hebat,
lumayan-lumayan saja. Kalau tidak karena suatu keperluan penting aku juga tidak
memaksakan diri untuk datang ke sini."
"Apa yang ingin kau
lakukan di dalam gua itu nanti?"
"Aku mencari sebuah batu
untuk obat."
"Batu...? Batu untuk
obat? Kok aneh? Batu kok dipakai untuk obat?"
"Batu itu jika dimasukkan
ke dalam air tuak di bumbung ini akan larut dan tuaknya bisa menjadi obat untuk
sembuhkan seseorang yang terkena racun 'Asmara Kubur'. Karena menurut guruku,
tak ada obat lain yang bisa tawarkan racun 'Asmara Kubur' selain batu itu yang
larut dalam tuakku."
"Aneh," gumam Ajeng
Ayu. "Tapi biarlah... Itu urusanmu, tugasku hanya memandumu sampai di Gua
Mahkota Dewa. Dan sekarang kita sudah sampai di depan Gua Mahkota Dewa."
"Kau mau pulang?"
"Apakah kau mengizinkan
aku ikut terus denganmu?"
"Apakah kau tidak
keberatan jika kuizinkan ikut terus denganku?"
"Apakah kau sanggup
memenuhi keinginanku?"
"Apa keinginanmu?"
"Hmmm...," gadis itu
tersenyum-senyum lucu dengan matanya melirik indah menggemaskan. "Tidak.
Aku tidak ada keinginan apa-apa. Aku cukup senang jika bisa menolongmu, karena
kau sudah selamatkan nyawaku dari racun 'Hantu Merah' tadi. Kalau tidak ada
kau, aku sudah mati sebelum Bibi tiba di tempatku."
"Kalau begitu, ikutlah
sampai ke dalam gua." Suto Sinting melangkah lebih dulu, Ajeng Ayu tertawa
girang tanpa suara, kemudian ia bergegas menyusul langkah Suto. Ia tampak ceria
sekali.
Namun tiba-tiba langkah mereka
terhenti karena mendengar suara gemuruh yang menggetarkan alam sekitarnya.
Suara itu mirip suara seekor singa, namun juga mirip suara seekor beruang.
Suara itu bernada besar dan menggema sampai ke mana-mana. Bebatuan kecil
berjatuhan dari dinding tebing, daun-daun cemara pun berguguran, tanah yang
mereka pijak terasa ingin merekah retak.
Ajeng Ayu ketakutan sekali, ia
segera menggenggam lengan Suto Sinting dengan wajah tegang dan pucat. Napas
gadis itu menjadi sesak dan lidahnya bagaikan terbuat dari kayu, sulit dipakai
untuk bicara.
"Suara apa itu?"
tanya Suto Sinting dengan nada berbisik, ia pun tampak menegang. Bumbung
tuaknya segera diambil dari pundak dan talinya dililitkan ke tangan kanan.
"Ajeng, suara apa
itu?" bisik Suto lagi setelah lama tak mendapat jawaban dari Ajeng Ayu.
"It... itu... itu suara
Liongsa."
"Siapa itu Liongsa?"
"Pelarian dari negeri
Siluman. Beberapa... beberapa waktu ini, masyarakat Dasar Bumi dihebohkan
dengan adanya pelarian dari negeri Siluman yang bernama Liongsa. Ia
dikejar-kejar oleh... oleh para penjaga Gerbang Siluman yang...."
"Gerbang Siluman?! Oh,
maksudmu Liongsa adalah buronannya Eyang Putri Batari?!"
"Benar!" sentak
Ajeng Ayu dengan bersemangat.
"Kau... kau mengetahui
nama penguasa Gerbang Siluman itu rupanya."
"Ya, aku memang tahu
tentang beliau," jawab Suto sederhana dan tak mau membeberkan kisahnya
ketika mencari Tuak Dewata, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Gerbang Siluman").
"Para penjaga penjara
para Siluman itu memburu Liongsa ke Dasar Bumi, tapi kami tidak ada yang pernah
bertemu dengan Liongsa. Dan ternyata... ternyata dia bersembunyi di Gua Mahkota
Dewa. Ooh... mengerikan sekali!" gadis itu nyaris menggigil jika tidak
berpegangan pada Suto Sinting.
Ia menambahkan kata,
"Sebaiknya urungkan saja niatmu mencari batu itu! Kapan-kapan saja."
"Tidak bisa! Aku harus
dapatkan batu itu sekarang juga."
"Tapi gua itu sedang
dipakai bersembunyi Liongsa. Bagaimana mungkin kau bisa masuk ke sana,
Suto!"
"Akan kucoba
mengalahkannya."
"Oh, jangan, jangan...!
Kau tak akan mampu mengalahkannya. Menurut kabar yang kudengar, Liongsa itu
tangguh dan ganas. Masyarakat kami tak ada yang berani membantu para pengejar
dari Gerbang Siluman, kecuali guruku dan kakeknya. Tapi toh mereka juga tidak
berhasil menemukan Liongsa. Atau... atau sebaiknya kupanggilkan guruku dulu,
biar guruku yang mengusir Liongsa dari gua itu?!"
"Tak perlu. Kau tetap
saja di sini. Aku akan masuk ke dalam gua itu sendiri," ujar Suto
menampakkan keberaniannya. Ia kelihatan tenang dan penuh percaya diri, tetapi
Ajeng Ayu merasa kurang percaya dengan kemampuan Suto, sehingga ia menahan Suto
agar tak jadi masuk ke gua itu.
"Jangan nekat, Suto!
Berbahaya sekali kalau kau melawan Liongsa! Aku tak ingin melihatmu mati
dicabik-cabik Liongsa, Suto!"
"Aku tak akan mati.
Percayalah!" sambil Suto menepuk-nepuk tangan Ajeng Ayu yang menggenggam
lengannya.
Ketika Ajeng Ayu ingin
keluarkan bujukan lagi, tiba-tiba suara tersebut terdengar kembali.
"Qrrrrr...!"
Buumm, buumm, bummm...!
Tanah dan alam sekitarnya
bergetar lebih hebat, karena kali ini suara itu disertai dengan
sentakan-sentakan yang mengguncang alam sekelilingnya. Kaki Liongsa bagai
disentak-sentakkan ke tanah atau entah ke mana saja, yang jelas menghadirkan
guncangan yang menyeramkan.
Ajeng Ayu masih tetap
berpegangan lengan Suto. Kali ini tubuhnya nyata-nyata gemetar, sementara Suto
Sinting masih tetap tenang dan matanya memandang lurus ke arah gua, sama
seperti Ajeng Ayu.
Lalu secara tiba-tiba mata
mereka menjadi silau ketika dari mulut gua itu keluar sinar merah terang
menyilaukan bagai disemburkan dari dalam. Wuuusss...!
Blaaab...! Sinar itu lenyap,
alam menjadi sepi. Seakan tak pernah ada getaran apa pun. Keadaan itu dibiarkan
sampai beberapa saat oleh Suto dan Ajeng Ayu.
"Apakah dia sudah
pergi?" bisik Suto.
"Entahlah. Tapi...
menurut firasatku ia sedang mengintai kita, Suto. Ak... aku... aku jadi takut
sekali."
"Bersembunyilah di balik
tiga batang pohon yang berjejer itu. Aku akan memeriksa gua tersebut."
"Tap... tapi, Suto...
tapi kalau dia masih ada kaubisa binasa sebelum mencapai...."
"Gggrrrrraaowww...!!"
Ajeng Ayu melompat sambil
menjerit ketakutan, karena tiba-tiba suara menyeramkan itu ada di belakangnya.
Ketika mereka berpaling ke belakang, ternyata di sana sudah berdiri sesosok
makhluk yang mengerikan.
Wuuut, wuuut...!
Suto Sinting menyambar tubuh
Ajeng Ayu yang melompat ke arah lain. Tubuh itu segera dibawa menjauh dari
makhluk aneh yang menyeramkan itu.
"Iit... itu... Itu
dia.... Liongsa... ooh, aku takut sekali berhadapan dengannya, Suto. Aku takut
sekaliiii...!"
"Sssstt...! Tenanglah,
Ajeng! Kalau kau merasa takut dia akan semakin berani. Sebaliknya kalau kita
merasa berani dia akan menjadi takut!" Suto ingin bergerak maju tapi
ditahan oleh tangan Ajeng Ayu.
"Kita lari saja, Suto!
Lariii...! Kita panggil guruku saja, Suto!" Ajeng Ayu setengah merengek
karena begitu takutnya.
"Biarkan aku mencoba
melawannya satu jurus saja. Kalau satu jurus aku tak mampu mengenai tubuhnya,
larilah ke arah timur dan aku akan menyusulmu secepatnya, lalu kita menghadap
gurumu," bujuk Suto Sinting, akhirnya gadis centil yang kini gemetaran itu
melepaskan genggaman tangannya pada lengan Suto.
Keberanian pemuda itu semakin
bertambah besar karena ia harus bertarung di depan gadis cantik.
Liongsa adalah makhluk
berkepala singa. Kepalanya besar, rambut di kepalanya lebat, tapi badannya
panjang seperti naga. Ia mempunyai delapan kaki berkuku tajam semua. Badan
besar dan kaki besar berkuku tajam itu ternyata mempunyai ekor sebesar lengan,
panjangnya satu depa lebih, dan ekor itu berduri runcing-runcing!
"Gggrrooowww...!!"
Liongsa membuka mulutnya, menampakkan giginya yang runcing tajam bersama
taringnya yang mirip mata pedang. Lebarnya mulut dapat dipakai untuk menelan
dua orang sekaligus.
Sungguh menyeramkan sekali
jika ia sedang menggerang membuka mulut dengan pandangan mata besar yang merah
itu seakan membekukan darah tiap makhluk yang menjadi lawannya.
Tetapi Pendekar Mabuk tampak
tidak memiliki rasa takut sedikit pun. Ia justru maju pelan-pelan sambil
menggenggam tali bumbung tuaknya. Liongsa juga bergerak maju seakan menyambut
keberanian Suto dengan liar dan ganas.
"Grrrooow...!"
Wuuus...! Api menyembur dari
mulut makhluk berkepala singa dan bertubuh seperti naga itu. Api tersebut
menyambar tubuh Suto Sinting. Namun dengan satu sentakkan kaki ke tanah, tubuh
Pendekar Mabuk melambung ke atas melebihi tinggi singa aneh itu.
Semburan api lolos dari tubuh
Suto, tapi binatang itu mengangkat kedua kaki belakangnya bagai ingin bersalto,
dan tiba-tiba ekor berduri itu menyabet tubuh Suto Sinting saat melambung di
udara. Wuuut...!
Jruuuk...!
"Aaahk...!" Suto
Sinting memekik sambil terpental. Sabetan itu kenai punggung Pendekar Mabuk.
Punggung itu bukan hanya robek di bagian baju saja, melainkan juga kulit
punggung menjadi koyak dan mengucurkan darah segar. Ajeng Ayu pejamkan mata
dengan tangis terpendam ketika melihat Suto jatuh tersabet ekor Liongsa. Ia
semakin tak berani memandang Suto Sinting ketika binatang aneh itu melompat dan
kedua kaki depannya yang menginjak perut Suto.
Buuhk...!
"Heeehhk...!" Suto
Sinting mendelik dengan mata terbeliak. Perutnya bagai dibebani dua pilar yang
mempunyai paku-paku tajam. Kuku kedua kaki itu menancap di perut Suto dan
merobekkan ulu hati serta bagian dekat lambung.
Kepala Liongsa merendah dengan
mulut terbuka lebar ingin mencaplok Pendekar Mabuk. Tetapi dengan mengerahkan
sisa tenaganya, Suto berhasil menghantamkan bumbung bambu tempat tuak itu ke
salah satu kaki Liongsa yang menginjak perut.
Prrak...!
"Grrraaaoow...!"
Binatang itu tersentak ke atas dengan mengangkat keempat kakinya. Saat itulah
Suto punya kesempatan untuk berguling ke samping lalu cepat berdiri dengan
perut berlumuran darah.
Liongsa mengerang menyeramkan.
Kepalanya meliuk menyambar tangan Suto Sinting. Tetapi dengan cepat Suto
menggunakan jurus 'Mabuk Lebur Gunung', menggeloyor limbung ke kiri, tahu-tahu
bumbung tuaknya menyodok mulut Liongsa yang lebar itu.
Wuuut, prrroook...!
"Ggrrraaoow...!"
Liongsa bagai memekik, tubuhnya limbung ke samping. Ia jatuh, namun cepat
berguling dan bangkit lagi dengan kedelapan kakinya. Sementara mulut bagian
bawah tampak hancur bercucuran darah hitam akibat sodokan bambu dari jurus
'Mabuk Lebur Gunung' tadi.
Suto masih menggeloyor limbung
ke sana-sini memainkan jurus mabuknya. Ia bertahan mati-matian untuk tidak
menjadi lemah karena luka di bagian depan dan belakang itu.
"Celaka! Lukaku ini
semakin melemahkan tenaga. Aku harus menjauhinya untuk sementara!" pikir
Suto, kemudian ia berplik-plak ke belakang, jungkir balik ke belakang dengan
cepat. Dalam waktu singkat sudah berada agak jauh dari Liongsa.
Plak, plak, plak, plak...!
Dengan cepat bumbung tuak
dibuka lalu ditenggak. Glek, glek, glek...! Cukup tiga teguk tuak, Suto yakin
dalam waktu singkat lukanya akan menutup kembali dan rasa sakitnya akan hilang
lenyap.
"Graaoooww...!!"
Liongsa menyerang lagi dengan satu lompatan menerkam ganas. Pendekar Mabuk
segera lepaskan jurus 'Pukulan Gegana' yang memancarkan sinar kuning patah-patah
dari kedua jarinya. Clap, clap, clap, clap...!
Sinar itu kenai kedua kaki
depan Liongsa. Blaaarr...!
Kedua kaki itu menjadi hitam
seketika dan keropos tak bisa dipakai berdiri lagi. Tetapi gerakan Liongsa
masih tetap ganas dengan keenam kakinya. Ia bergerak meliuk dengan cepat dan
kedua kaki belakangnya menyambar dada Suto Sinting. Craaas...!
"Aauh...!" Suto
memekik karena dadanya robek bagai disabet empat pedang tajam. Ia terpental dan
jatuh bersandar pada sebatang pohon.
"Grrrr...!" Liongsa
berbalik arah, kini wajahnya menghadap Suto, mulutnya segera dibuka lebar-lebar
sebelum ia lakukan lompatan yang akan menelan tubuh Suto Sinting.
"Kalau aku tak segera
bangkit, matilah aku ditelan makhluk aneh itu!" pikir Suto sambil
menyeringai menahan rasa sakit. Ia tak sempat meneguk tuaknya lagi, karena
Liongsa segera lakukan lompatan seperti yang diperkirakan Suto.
Wuuut...!
Suto menyentakkan tangannya ke
tanah dan tubuhnya segera melambung ke atas. Weesss...! Kakinya sempat menjejak
ke pohon yang ada di belakangnya. Dess...! Maka tubuhnya pun meluncur maju
melalui atas kepala Liongsa. Wuuut...!
Jleeg...! Suto jatuh terduduk
di atas tengkuk Liongsa, lalu bumbung tuaknya dihantamkan kuat-kuat ke batok
kepala besar tersebut.
Beet, traaak...! Beeet, kraaak...!
"Grrraaaaaaaow...!
Graaaaow...!"
Kaki belakang Liongsa
menghentak ke atas, Suto Sinting terlempar berjungkir balik melalui atas kepala
Liongsa. Ia jatuh terpuruk setelah menabrak sebatang pohon. Brruuss...!
"Aaaou...!" Suto
mengerang, sekujur tubuhnya terasa sakit. Tulang-tulangnya bagaikan remuk
semua.
Sementara itu, kepala Liongsa
juga berlumuran darah karena retak dihantam bumbung tuak dua kali. Tapi agaknya
makhluk aneh itu termasuk kuat dan semakin terluka kian ganas.
Menduga keadaan Suto Sinting
tak mampu bergerak lagi, Ajeng Ayu mulai tumbuh rasa nekatnya. Ia tak ingin
Suto mati ditelan Liongsa di depan matanya. Maka dengan cepat ia menyambar
sebatang kayu dan melompat menyerang Liongsa dari samping. Wuuut...!
Namun belum sampai lompatannya
mencapai badan Liongsa yang panjang, mata lebar Liongsa melihat gerakan Ajeng
Ayu. Badan bagian belakang segera dikibaskan ke samping, maka ekor berduri itu
pun menghantam lambung Ajeng Ayu.
Wuuut...! Jruuuk...!
"Aaaaa...!" gadis
itu memekik panjang sambil terlempar membentur pohon juga. Bruuuk...!
"Oouuuhhk...!" Ia
mengerang sambil berusaha untuk bangkit, tapi luka parah telah dideritanya di
bagian lambung. Darah mengucur deras dari lambung yang koyak lebar dan
mengerikan itu.
Melihat keadaan seperti itu,
semangat Suto Sinting timbul kembali. Ia bergegas bangkit walau dengan
sempoyongan. Ia ingin menyambar Ajeng Ayu dan membawanya menjauh.
Namun tiba-tiba seberkas sinar
seperti pisau berwarna merah menyala melesat dari salah satu sisi. Clap, clap, clap...!
Slaaaps...!
Blaaarrr...!
Sinar yang mirip pisau itu
kenai telinga Liongsa yang langsung meledak dengan memancarkan sinar merah
lebar ke berbagai penjuru. Sinar merah itu sangat terang dan menyilaukan,
sehingga Suto Sinting yang terpental oleh gelombang ledakan tadi segera
menelungkupkan tubuh dan wajahnya karena tak tahan memandang silaunya sinar
merah tersebut. Hal yang dilakukan pula oleh Ajeng Ayu, yang merapatkan
wajahnya dengan batang pohon agar tak terkenai sinar merah yang menyilaukan itu.
Ledakan itu juga
mengguncangkan alam sekitarnya, tapi tidak sampai menumbangkan pohon-pohon.
Ketika getaran itu berhenti, Suto Sinting segera bangkit merangkak mendekati
Ajeng Ayu. Tetapi ia sempat bingung memandang tempat di mana Liongsa tadi
berada. Ternyata makhluk aneh itu sudah tak ada. Yang tertinggal di tempat itu
hanya kerangka berukuran kecil seperti kerangka seekor kucing tapi mempunyai
enam kaki.
"Gila! Dia menjadi
kerangka sekecil itu?! Hmmm...siapa orang yang telah menyerangnya dengan sinar merah
seperti pisau tadi?!"
Pandangan mata Suto segera
mencari orang lain di sekitarnya. Ternyata ia segera menemukan seraut wajah
cantik yang berdiri tak jauh dari Ajeng Ayu. Suto terkejut dengan mata melebar,
sedangkan Ajeng Ayu pun segera meratap sambil mengulurkan tangannya kepada
orang tersebut.
"Guruuuu...
aaahk...!"
Orang yang dipanggil 'Guru'
oleh Ajeng Ayu itu tak lain adalah Nirwana Tria, si cantik cucu dari Dewa Tanah
itu. Suto sama sekali tak menduga bahwa guru Ajeng Ayu ternyata adalah Nirwana
Tria yang masih muda dan cantik sekali itu. Dulu Suto sempat terpikat oleh
kecantikan tersebut, dan Nirwana Tria sendiri merasa senang jika dicium oleh
pemuda tampan itu.
Sepertinya mereka sama-sama
menyimpan kenangan indah yang sukar dilupakan sampai saat itu juga. Uluran
tangan Ajeng Ayu tidak segera disambut oleh Nirwana Tria yang mengenakan jubah
putih berhias benang emas tanpa lengan itu. Si cantik berlesung pipit segera
hampiri Suto Sinting dan menolongnya untuk bangkit.
"Suto, kau terluka parah?!"
"Guru! Aku di sini!"
seru Ajeng Ayu dengan hati dongkol. Tapi sang Guru tidak peduiikan seruan itu.
Ia segera mencium pipi Suto dengan ungkapan rasa rindu yang mendalam.
"Guru, yang jadi muridmu
aku, Guru! Bukan dia!"
"Suto, kau...
kau...."
"Tak apa. Aku ada tuak,
bisa segera pulih kembali. Tolonglah muridmu itu dulu. Jangan kecewakan
dia!"
"Oh, ya... hampir saja
aku lupa kalau dia murid bandelku!"
Tuak sakti si Pendekar Mabuk
akhirnya menutup segala luka dan melenyapkan semua rasa sakit. Ajeng Ayu tampak
segar, bagai tak pernah terluka sedikit pun, demikian pula halnya dengan si
Pendekar Mabuk. Nirwana Tria hentikan omelannya kepada sang murid yang bandel
dan sudah berani mencoba jurus badainya itu.
"Aku mendengar deru badai
yang aneh, dan aku yakin pasti Ajeng Ayu menggunakan jurus badai yang belum
waktunya dicoba itu. Maka kukejar arah suara deru itu, sampai akhirnya kudengar
lagi suara aneh yang menggetarkan pepohonan. Aku tak tahu suara apa itu, tapi
kukejar terus sampai kutemukan kau sedang terancam maut oleh makhluk
menjijikkan itu."
"Kalau Guru tak datang,
Suto pasti mati ditelan Liongsa."
"Belum tentu,"
sanggah Nirwana Tria sambil pandangi muridnya. "Suto adalah seorang
pendekar. Ilmunya lebih tinggi dari ilmu yang kumiliki. Percuma saja dia
menjadi seorang Pendekar Mabuk kalau melawan siluman seperti Liongsa harus
kalah. Kau belum melihat jurus-jurus mautnya, Ajeng!"
"Bbe... benarkah ilmunya
lebih tinggi dari Guru sendiri?" Ajeng Ayu tampak sangsi.
"Dia seorang manggala
yudha dari Puri Gerbang Surgawi. Tentu saja ilmunya lebih tinggi dariku."
"Oh, ja... jadi dia
memang panglimanya Gusti Ratu Kartika Wangi?!"
"Kau tampak sangsi,
Ajeng. Sebaiknya ingat-ingatlah ceritaku beberapa waktu yang lalu ketika aku
dan Pendekar Mabuk kalahkan kekuatan si Ratu Maksiat itu."
Ajeng Ayu tertegun bengong,
matanya memandang Suto tak berkedip, sementara yang dipandang hanya
tersenyum-senyum saja.
"Apakah kau kembali ke
sini karena rindu padaku, Suto?" ucap Nirwana Tria dengan lembut.
"Selain rindu juga karena
ada keperluan penting, yaitu mengambil sebuah batu dari Gua Mahkota Dewa untuk
sembuhkan seorang sahabat yang terkena racun 'Asmara Kubur' yang berbahaya
itu."
"Kurasa kau bebas
mengambilnya sekarang. Siluman buronan itu sudah tak akan mengganggumu lagi.
Tapi aku harus segera menyerahkan kerangkanya kepada Eyang Putri Batari di
Gerbang Siluman."
"Sampaikan salam hormatku
kepada beliau jika kau menghadap nanti."
"Akan kusampaikan sesuai
pesanmu," ujar Nirwana Tria sambil sunggingkan senyum yang mendebarkan
hati Suto itu.
"Guru, bolehkan aku ikut
Suto mengobati sahabatnya itu?" tanya Ajeng Ayu dengan nada manja seperti
terhadap kakaknya sendiri.
"Kau harus ikut aku
menghadap Eyang Putri Batari, Ajeng."
"Oh, Guru... tolonglah
izinkan aku ikut dengan Suto," rengek Ajeng Ayu.
Nirwana Tria menarik napas dan
menimbang-nimbang keputusannya dengan melirik Suto Sinting.
Pendekar Mabuk hanya angkat
bahu, seakan segala keputusan diserahkan kepada Nirwana Tria sendiri.
*
* *
4
DALAM serial Pendekar Mabuk
episode : "Dewi Kesepian" dikisahkan bahwa Yundawuni, murid murtad
Pendeta Amor terkena racun 'Asmara Kubur' saat lakukan pertarungan dengan Nyai
Ronggeng Iblis.
Racun itu akan membusukkan
sel-sel darah merah dan jantung Yundawuni, napasnya akan menyebarkan wabah
penyakit yang membahayakan bagi siapa saja dalam jarak sepuluh langkah di
sekeliling Yundawuni.
Racun itu terlepas bersama
kutukan keramat Nyai Ronggeng Iblis dan tidak ada obat yang bisa sembuhkan
racun tersebut kecuali kutukan itu ditarik kembali oleh Nyai Ronggeng Iblis.
Padahal tokoh sesat itu telah dibunuh Suto Sinting saat Pendekar Mabuk
membebaskan pengaruh sihir yang membuat seorang gadis kehilangan raganya, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gadis Tanpa Raga").
Yundawuni yang masuk aliran
putih dan tidak diakui oleh pendeta sesat itu terpaksa membutuhkan darah
kemesraan seorang lelaki setiap malamnya. Ia harus bercumbu dan mencapai puncak
kemesraannya bersama seorang lelaki siapa saja. Karena hanya darah kemesraan
seorang lelaki itulah yang membuat racun itu tidak sempat membusukkan darah dan
jantung Yundawuni.
Akibatnya, setiap malam
Yundawuni selalu bergairah dan membutuhkan seorang lelaki. Padahal bagi lelaki
mana pun yang telah bercumbu dengannya lambat laun akan terserang wabah
penyakit mengerikan, yaitu pembekuan pada jalur darah dan penyumbatan pada
jalur pernapasannya. Cepat atau lambat lelaki itu akan kehilangan nyawanya
setelah terserang penyakit itu.
Pendekar Mabuk menghadap
gurunya; si Gila Tuak dalam rangka mencari tahu obat untuk melawan racun
'Asmara Kubur' itu. Menurut si Rupa Setan, perempuan yang menjadi penguasa Kuil
Tembus Jagat di Pulau Katong, tak ada obat untuk melawan racun 'Asmara Kubur'
kecuali kematian bagi si penderitanya. Karena itu, Pendekar Mabuk ditugaskan
oleh sang Guru untuk sembunyikan Yundawuni agar terhindar dari murka para tokoh
sakti yang menganggap Yundawuni sebagai bencana bagi kaum lelaki. Padahal
Yundawuni sendiri akan mati jika dalam dua malam tidak mendapatkan darah
kemesraan seorang lelaki.
Gila Tuak menemukan memerangi
racun 'Asmara Kubur', yaitu sebuah batu ajaib yang dinamakan Batu Tembus Jagat.
Batu itu akan tumbuh lagi di tempatnya semula jika sudah larut di tempat lain.
Batu itu berbentuk bulat agak panjang, menyerupai belimbing sayur, warnanya
kuning kunyit. Cara menggunakannya harus dilarutkan dalam tuak sakti si
Pendekar Mabuk.
Yundawuni harus disembunyikan
sampai Suto dapatkan Batu Tembus Jagat itu. Tetapi ketika itu Yundawuni yang
segera mengubah namanya menjadi Dewi Kesepian itu telah pergi dan bersembunyi
bersama Temon, pemuda yang masih lugu dan polos namun telah menjadi pemuas
gairah si Dewi Kesepian. Temon sendiri juga akan menderita wabah yang
membahayakan jiwanya.
Tetapi Pendekar Mabuk lebih
mengutamakan memburu Batu Tembus Jagat lebih dulu daripada mencari Yundawuni
dan Temon. Sebab untuk wabah yang diderita kaum lelaki yang pernah berkencan
dengan Dewi Kesepian, Suto telah temukan obatnya, yaitu tuaknya sendiri
dicampur dengan air kelapa gading.
Ramuan itu telah berhasil
menyelamatkan nyawa Darah Prabu, murid Resi Badranaya dan Kadal Ginting, si
pelayan Resi Pakar Pantun. Mereka menjadi sehat dan terhindar dari wabah
tersebut setelah meminum tuak Suto yang dicampur dengan air kelapa gading. Tapi
ramuan itu tidak berlaku bagi Dewi Kesepian.
Dengan perasaan kagum,
Pendekar Mabuk mulai memasuki gua tersebut. Sebenarnya ia pernah masuk ke gua
itu pada saat diselamatkan oleh Nirwana Tria dari ancaman maut Ratu Maksiat.
Tetapi rasa kagum Suto masih saja tak bisa dihilangkan, karena gua itu memang
mempunyai keindahan tersendiri.
Batu-batu yang ada di dalam
gua tersebut mempunyai aneka warna. Bentuknya pun tampak aneh dan punya susunan
seni keindahan tersendiri. Ada yang berbentuk seperti buah rambutan tapi
berwarna hijau bening, ada yang berbentuk seperti bocah menggeliat bagai baru
bangun tidur, ada juga yang berbentuk seperti mangkuk penuh bakso tapi berwarna
biru bintik-bintik putih.
Di antara batu-batu indah
itulah, Suto Sinting harus menemukan Batu Tembus Jagat. Ia mencari ke sana-sini
memakan waktu sangat lama, tapi batu kuning kunyit berbentuk seperti belimbing
berukuran satu kelingking, ternyata tidak ditemukan oleh Suto.
"Jangan-jangan batu itu
sudah ada yang mengambilnya? Atau mungkin sudah telanjur ditelan Siluman
Liongsa, karena disangka belimbing sayur?! Wah, celaka betul kalau sampai batu
itu sudah ditelan oleh Liongsa. Berarti aku harus...," kecamuk batin Suto
Sinting terhenti karena matanya segera memandang kearah sebuah batu hijau
berbentuk seperti mulut naga sedang tengadah.
Di dalam lekuk batu yang mirip
mulut naga itu terdapat batu kecil seukuran kelingking dan berwarna kuning
kunyit. Batu itu memancarkan cahaya tipis di sekelilingnya.
"Nah, itu dia! Uuh...
hampir saja aku patah semangat mencarinya."
Pendekar Mabuk akhirnya dekati
batu itu dan mengambilnya dengan sangat hati-hati sekali. Wuuut...!
Begitu batu ada di tangan
Suto, tiba-tiba gua itu bergetar seperti dilanda gempa. Pendekar Mabuk menjadi
tegang. Namun ia segera berseru bagai bicara kepada penunggu gua tersebut.
"Maaf, kuambil Batu
Tembus Jagat ini demi menyelamatkan nyawa orang banyak. Kumohon relakan batu
ini menjadi obat bagi sesamaku."
Setelah berkata begitu,
getaran di dalam gua pun berhenti dan suasana menjadi tenang kembali. Suto
Sinting tersenyum lega dan berkata sambil memandang langit-langit gua yang
indah, "Terima kasih atas kerelaanmu, Gua yang cantik!"
Kini batu yang dicari telah
didapat oleh Pendekar Mabuk. Ia terpaksa keluar dari alam perbatasan dan
memasuki alam nyata, yaitu alam kehidupannya sendiri.
Sementara itu, Ajeng Ayu
terpaksa mengikuti gurunya menghadap Eyang Putri Batari, yaitu nenek dari Dyah
Sariningrum yang menjadi penguasa Gerbang Siluman.
Batu kuning kunyit yang
tingginya satu kelingking itu telah dimasukkan ke dalam bumbung tuak dan larut
menjadi satu dengan tuak tersebut. Tuak Suto menjadi berwarna
kekuning-kuningan. Namun untuk diteguknya sendiri masih terasa enak, seakan
tidak mengalami perubahan apa pun, kecuali perubahan pada kesegaran badannya.
Ia merasa lebih segar dan lebih bersemangat setelah meneguk tuak yang telah
bercampur larutan Batu Tembus Jagat.
"Sekarang aku harus bisa
segera temukan Dewi Kesepian. Mudah-mudahan Temon yang bersamanya belum tewas
akibat wabah dari hasil cumbuannyadengan Dewi Kesepian," kata Suto di
dalam hatinya.
Dewi Kesepian bersembunyi. Di
mana letak persembunyiannya, Suto sudah dapat menduga. Karena dulu ia pernah
mengintip Dewi Kesepian sedang bercumbu dengan Temon yang masih hijau dalam hal
bercinta di sebuah gua. Gua itulah yang menjadi sasaran Pendekar Mabuk
sekarang. Untuk mencapai gua itu, Suto Sinting terpaksa gunakan jurus 'Gerak
Siluman', yang mempunyai kecepatan gerak menyamai cahaya.
Sayangnya, di perjalanan ia
terpaksa hentikan langkah karena mendengar suara dentuman. Dentuman itu
diperkirakan terjadi karena pertarungan tenaga dalam tingkat tinggi yang tak
diketahui siapa pelakunya. Rasa penasaran Suto membuat ia terpaksa mengarah ke
suara dentuman itu untuk mengetahui siapa yang bertarung menggunakan tenaga
dalam tingkat tinggi itu.
Zlaap, zlaap, zlaap...!
Dalam sekejap saja Suto sudah
sampai di sebuah pantai berpasir putih. Hamparan pasir putih itu ditaburi
bebatuan karang yang saling bertonjolan meninggi hingga menyerupai hutan
karang. Bahkan ada batu karang yang berbentuk seperti pohon, tingginya sama
dengan tinggi sebatang pohon kelapa. Tak heran jika masyarakat di sekitar
pantai itu menamakannya: Pantai Hutan Karang.
Ternyata pertarungan yang
terjadi di Pantai Hutan Karang itu dilakukan oleh seorang perempuan berwajah
tua, keriput, hitam, matanya cekung ke dalam, hidungnya pesek dan nyaris
berongga mirip lubang belut, bibirnya pecah-pecah serta giginya mancung ke
depan bertumpuk-tumpuk tak beraturan. Tetapi perempuan yang berambut panjang sepunggung
dengan ikat kepala berwarna merah bintik-bintik kuning itu mempunyai bentuk
tubuh yang sungguh elok.
Pinggulnya meliuk sebegitu
menawannya, dadanya montok namun tampak padat dan kencang. Kulit tubuhnya
kuning langsat, mengenakan jubah hijau tak dikancingkan bagian depannya, dan
kutang serta celana komprangnya berwarna kuning. Perempuan berwajah tua
menyeramkan itu tak lain adalah si Rupa Setan, tokoh berilmu tinggi dari aliran
putih yang dulu pernah menjabat sebagai Ketua Partai Petapa Sakti bersama
saudara seperguruannya yang bernama Tanuyasa alias si Omong Cekak. Rupa Setan
sendiri mempunyai nama asli Anjardani, tetapi orang jarang mengetahui nama asli
itu kecuali para tokoh tua seangkatan dengannya.
Pendekar Mabuk terkejut
melihat pertarungan itu. Bukan keberadaan Rupa Setan yang membuatnya terkejut,
tetapi lawan si Rupa Setan itulah yang amat mengejutkan Suto Sinting. Orang
yang bertarung melawan Rupa Setan mengenakan kerudung kain hitam dari kepala
sampai kaki.
Wajahnya putih, bibirnya biru,
pandangan matanya dingin, nyaris tanpa ekspresi apapun. Orang itu membawa
tongkat berujung pedang lengkung menyerupa paruh burung. Tongkat itu dinamakan
Pusaka El Maut, dan hanya dia yang memiliki pusaka itu, sehingga bisa dijadikan
ciri khas bahwa orang yang membawa pusaka El Maut tak ada lain kecuali si
Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa.
"Si keparat itu ternyata
ada di sini! Hmmm...! Barangkali sekaranglah saat yang tepat untuk memenggal
kepalanya dengan jurus 'Kapak Songo' yang belum pernah kupakai selama
ini!" geram Pendekar Mabuk sambil matanya memandang ganas kepala musuh
utamanya itu.
"Tetapi, sebaiknya
kulihat dulu apakah si Rupa Setan mampu tandingi kesaktian Siluman Tujuh Nyawa
atau terpaksa lari tinggalkan lawannya. Salah-salah jika aku langsung ikut
campur akan menyinggung perasaan si Rupa Setan," pikir Suto dalam
pertimbangannya.
Siluman Tujuh Nyawa adalah
tokoh sesat yang amat kejam dan tak mengenal belas kasihan kepada siapa pun.
Bahkan anaknya sendiri tega dibunuh, demikian juga saudara kembarnya dan
ayahnya sendiri. Durmala Sanca adalah manusia terkutuk yang dimusuhi oleh pihak
aliran putih maupun aliran hitam, sekaligus ditakuti oleh kalangan para tokoh
kelas menengah ke bawah.
Tetapi agaknya si Rupa Setan
tak punya rasa takut hadapi Siluman Tujuh Nyawa. Walaupun ia sudah berkali-kali
terpental dan terbanting, namun ia masih tetap bangkit dan menahan luka
dalamnya, lalu menyerang si tokoh sesat itu lagi. Darah yang mengalir dari
sudut bibir si Rupa Setan tidak membuatnya jera.
Luka koyak di bagian ujung
pundaknya tidak digubris. Si Rupa Setan lakukan lompatan cepat bagai sinar
putih melesat di atas kepala Siluman Tujuh Nyawa. Weees...! Senjata kipas yang
biasanya terselip di pinggang kali ini digunakan untuk merobek kepala Siluman Tujuh
Nyawa dalam gerakan cepat tersebut.
Namun tiba-tiba Siluman Tujuh
Nyawa bagaikan menghilang. Laaap...! Tahu-tahu ia muncul di depan si Rupa Setan
begitu perempuan berwajah seram itu menapakkan kakinya ke bumi. Serta-merta
pusaka tongkat El Maut segera disabetkan ke perut si Rupa Setan dalam gerakan
yang tak bisa dilihat mata manusia biasa.
Weees...! Breeett...!
"Aahk...!" si Rupa
Setan terpekik pendek dengan suara tertahan. Tubuhnya terlonjak ke belakang. Ia
terlambat menghindari sabetan senjata El Maut itu, sehingga robeklah perut si
Rupa Setan dengan darah menyembur deras ke mana-mana.
Brruk...! Rupa Setan jatuh
terkapar dalam keadaan menggeliat menahan rasa sakit. Agaknya perempuan itu
berusaha mengerahkan kekuatan terakhirnya untuk memberi serangan balasan. Ia
masih bisa terduduk dengan kaki melonjor, dan kipasnya segera dilemparkan ke
arah Siluman Tujuh Nyawa.
Wuuus...!
Kipas itu berputar cepat
dengan memercikkan bunga-bunga api. Kipas itu melesat ke arah leher Siluman
Tujuh Nyawa. Tetapi tongkat El Maut segera menghantamnya dalam satu kelebatan
cepat.
Wuuut, blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi
mengguncangkan bumi sekitar mereka. Bebatuan karang yang menjulang tinggi
mengalami keretakan, bahkan sebagian ada yang runtuh bagian ujungnya.
Ternyata kipas itu tidak
hancur, hanya terpental menjauh sesaat, kemudian kipas itu berkelebat menyerang
lagi dalam keadaan telah menjadi dua buah.
Siluman Tujuh Nyawa tak sempat
hampiri si Rupa Setan untuk mengakhiri masa hidup perempuan itu, karena dua kipas
yang bergerak memutar dengan memercikkan bunga api itu membuatnya terpaksa
harus menangkis dengan tebasan ganda dari tongkat El Mautnya.
Wes, wes, blegar, blaaarr...!
Ledakan besar terjadi kembali.
Kedua kipas terlempar beberapa jarak dalam keadaan tetap melayang. Namun
sekarang kipas itu telah berubah menjadi empat buah yang memutar seperti
piringan dan menyerang Siluman Tujuh Nyawa lagi.
Blegaar, blaar, blaarrr,
jegaaarrr...!
Empat kipas maut berhasil
dihalau dengan sabetan cepat tongkat berparuh panjang itu. Namun dari empat
kipas yang terpental, ketika menyerang ke arah Siluman Tujuh Nyawa lagi telah
berubah menjadi delapan buah.
Masing-masing memutar cepat
bagai piringan bercahaya merah dan lakukan serangan serempak. Dari delapan buah
kipas yang berhasil ditangkis menggunakan tongkat El Maut, akhirnya berubah
menjadi enam belas kipas. Siluman Tujuh Nyawa dibuat sibuk dengan kipas-kipas
aneh itu. Setiap satu kipas tersentuh benda bisa berubah menjadi dua. Jika enam
belas kipas ditangkis semua oleh Siluman Tujuh Nyawa, maka akan muncul tiga
puluh dua kipas yang menyerangnya secara serempak.
Sementara tokoh sesat terkejam
itu sibuk hindari kipas-kipas berbahaya, si Rupa Setan terkapar tanpa daya
lagi. Ia nyaris tak bisa bergerak, hanya bisa duduk bersandar pohon dengan
perut koyak besar mengerikan sekali. Namun ia masih bisa kendalikan kipasnya
dengan kekuatan batin.
"Celaka! Dia akan
kehabisan darah, setidaknya lukanya itu pasti beracun dan membahayakan
jiwanya!" pikir Suto Sinting dari persembunyiannya. Kemudian dengan
menggunakan 'Gerak Siluman' ia berkelebat menyambar si Rupa Setan.
Zlaaaapp...! Wuuus...!
Zlaaap...!
"Rupa Setan...!
Bertahanlah, minum tuakku! Lekas minum tuakku!" Suto Sinting sempat panik
melihat mata si Rupa Setan mulai sayu dan mengecil. Sebentar lagi mata itu akan
terbeliak dan menjadi putih. Napas perempuan itu mulai lemah, seakan ia sudah
tak mampu lagi untuk bernapas. Tetapi mulut yang ternganga berusaha menghirup
napas dengan susah payah itu dijadikan peluang bagi Suto Sinting untuk
menuangkan tuaknya pelan-pelan.
Sekalipun tersedak dan
terbatuk-batuk beberapa kali, namun tuak Suto telah berhasil masuk ke
tenggorokan si Rupa Setan. Sedikit demi sedikit tuak bisa ditelan, akibatnya
pernapasan si Rupa Setan mulai lancer kembali.
Suto segera perhatikan Siluman
Tujuh Nyawa yang diserang oleh puluhan kipas bercahaya merah. Bunyi ledakan
terjadi berulang-ulang hingga membuat suasana di sekitar Pantai Hutan Karang
itu bergemuruh tiada henti. Batu-batu karang sudah banyak yang tumbang dan
hancur berantakan akibat gelombang ledakan itu.
Sayang kipas-kipas itu
akhirnya lenyap sendiri dalam bentuk bayang-bayang, karena kekuatan batin si
Rupa Setan sudah tidak bisa mengendalikan lagi. Kini kipas itu tinggal satu
yang aslinya, dan jatuh di tanah sebagai kipas biasa.
"Hmmm...! Ia mulai tidak
hadapi kipas-kipas itu! Sebaiknya kuhampiri dan kuserang dari depan!"
pikir Suto, kemudian dengan cepat ia keluar dari persembunyiannya dan
meninggalkan si Rupa Setan menunggu kesembuhannya.
Claap, clap...!
Blaar, blaar...!
Sinar hijau yang melesat dua
kali dari tangan Suto adalah sinar dari jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' yang
diarahkan kepada Siluman Tujuh Nyawa. Tapi secara tak sengaja, gerakan tongkat
El Maut yang ingin menyingkirkan kipas-kipas itu telah mengenai kedua sinar itu
secara berturut-turut hingga timbulkan ledakan makin dahsyat lagi.
"Durmala Sanca, kini
hadapilah aku dan kita selesaikan urusan kita secara jantan!" seru
Pendekar Mabuk dengan suara lantang.
"Iblis bau kencur muncul
juga!" geramnya tanpa ada perubahan wajah sedikit pun, ia tetap tampak
dingin dan datar.
"Belum waktunya
kuhabiskan tenagaku untuk melawannya! Ada saatnya sendiri untuk merajang habis
raganya, setelah jurus maut yang baru kupelajari dapat kukuasai!"
Melihat Suto Sinting muncul di
pantai tersebut, Siluman Tujuh Nyawa segera sentakkan tongkatnya ke tanah dan
tubuhnya melesat tinggi bagai ingin menembus langit. Wuuuttt...! Akibatnya
kipas-kipas merah itu saling berbenturan dengan sendirinya dan menciptakan
ledakan, yang mengguncangkan sebagian dataran di sekitar Pantai Hutan Karang
itu.
Laaap...! Siluman Tujuh Nyawa
sendiri segera tak terlihat lagi. Ia segera memasuki alam gaib sebagai tempat
pelariannya jika berhadapan dengan Pendekar Mabuk.
"Pengecut kaauuu...!"
teriak Suto. Jegaar, jegaar, jegaaarr, jegaaar...!! Suto melepaskan pukulan
tenaga dalam ke langit dengan arah berlainan. Pukulan itu adalah pelampiasan
rasa jengkel dan kecewanya karena Siluman Tujuh Nyawa tidak mau menghadapi
pertarungan dengannya.
Bukan hal sulit bagi Suto
untuk mengejar sampai di alam gaib. Tapi ia segera ingat punya urusan dengan
Dewi Kesepian, sehingga niatnya untuk memburu sampai ke alam gaib terpaksa
ditunda. Sementara itu, ia segera melihat si Rupa Setan telah muncul dari balik
bebatuan karang tempatnya dibaringkan tadi.
Rupa Setan melangkah dengan
sempurna dan tak terlihat habis terluka parah sedikit pun. Perempuan itu segera
hampiri kipasnya yang kini menjadi satu buah lagi dan tergeletak di pantai
tanpa cahaya. Setelah memungut kipasnya, ia melangkah dekati Suto Sintingyang
memperhatikan dengan senyum tipis yang agak kaku karena ia habis mengalami
kekecewaan terhadap kaburnya sang musuh utama itu.
"Mengapa kau selamatkan
nyawaku?"
"Siapa tahu suatu saat
kau ganti menyelamatkan nyawaku," jawab Suto Sinting seenaknya.
"Mengapa kau terlibat pertarungan dengan manusia terkutuk itu?"
"Dia ingin membalas
dendam atas kekalahannya beberapa tahun yang lalu," jawab si Rupa Setan.
"Beberapa tahun yang
lalu, aku pernah membunuh enam belas anak buahnya di atas sebuah kapal. Waktu
itu aku masih muda dan lebih gesit dari sekarang."
"Lebih cantik juga
tentunya."
"Hmmm...!" si Rupa
Setan hanya tertawa satu sentakan tanpa sunggingkan senyum sedikit pun. Ia
memandang ke arah lautan yang ombaknya kini sudah tenang, tidak seganas tadi
sewaktu terjadi ledakan berkali-kali. Sambung si Rupa Setan lagi,
"Kalau kau tak muncul,
mungkin hari ini adalah hari terakhir bagiku menikmati kehidupan di dunia.
Racun yang ada pada senjatanya sangat ganas, tak mampu kulawan dengan hawa
saktiku. Untung kau datang dan segera memberiku minum tuak saktimu yang sungguh
ampuh itu, sehingga... rasa-rasanya aku tak perlu malu-malu untuk ucapkan
terima kasih kepadamu, Suto."
"Aku pun mengucapkan
terima kasih padamu."
"Untuk hal apa?"
"Yaah... mungkin suatu
saat kau membantuku dan aku lupa mengucapkan terima kasih, maka sekarang aku
lebih dulu mengucapkan terima kasih padamu, Rupa Setan!"
"Kau memang pemuda aneh
yang sinting," gumam Rupa Setan sambil melirik sekejap lalu membuang
pandangannya ke lautan lagi.
Dengan memandang ke arah
cakrawala ia bertanya, "Bagaimana dengan usahamu mencari Batu Tembus Jagat
itu?"
"Berkat doa restumu...
aku berhasil."
"Padahal aku tidak berdoa
untukmu."
"Kalau begitu, yang
kudengar doa dari guruku dan orang lain. Aku salah duga!" kata Suto sambil
melebarkan senyum. Si Rupa Setan masih tetap serius bagai manusia tak bisa
tersenyum.
"Kurasa sekarang waktunya
aku mencari Dewi Kesepian. Apakah kau melihatnya berkeliaran di suatu
tempat?"
"Aku tak pernah
melihatnya sejak habis kau kalahkan tempo hari."
"Kalau begitu aku harus
mencarinya menuruti jalan firasatku."
"Akan kubantu
menemukannya!" ujar si Rupa Setan, kemudian ia mencabut kipasnya yang
sudah diselipkan di pinggang.
Kipas itu segera dibentangkan.
Beert...! Lalu dikibaskan ke kanan, kiri, depan beberapa kali sambil matanya
terpejam dan bersuara seperti orang menggumam.
"Dewi Kesepian, Dewi
Kesepian, Dewi Kesepian,huummmm...."
Seet...! Tiba-tiba kipas itu
berhenti dalam keadaan terbuka. Lalu warna hijau itu memancarkan cahaya bagai
air yang menggenang. Dari cahaya air yang menggenang itu tampak seraut wajah
berukuran kecil milik Dewi Kesepian alias Yundawuni.
Diam-diam Suto Sinting merasa
kagum terhadap ilmu yang dipakai si Rupa Setan itu. Dengan bantuan ilmu yang
tak diketahui Suto itu, ia dapat melihat Dewi Kesepian sedang berlari-lari di
daerah perbukitan.
Tampaknya Dewi Kesepian
berlari-lari di antara sela-sela pepohonan. Tak jelas apakah ia lari karena
dikejar orang atau mengejar orang, yang jelas gerakan larinya tampak lincah dan
terburu-buru. Tetapi daerah perbukitan itu sangat dikenal oleh Suto Sinting.
"O, dia ada di perbukitan
itu. Pasti arahnya ke gua yang kuduga sejak semula."
"Apakah kau pernah ke
tempat itu?!"
"Pernah, sewaktu aku
mengikuti jejaknya dan akhirnya mengintip dia sedang bercumbu dengan
Temon."
"Kau memang punya
kegemaran mengintip, Suto!"
Pendekar Mabuk hanya tertawa
pelan. Kipas itu dikibaskan dan bayangan tersebut lenyap.
"Kurasa sewaktu kupergoki
kau berada di reruntuhan gubuknya Yundawuni, kau juga bermaksud mau mengintip
percumbuan mereka lagi."
"Ah, dugaanmu terlalu
mengada-ada."
"Buktinya kulihat wajahmu
kecewa sekali ketika mengetahui gubuk dan hutan sekitarnya telah kubakar habis.
Lalu, kau mengejarku karena kau telah curiga padaku sebagai orang yang membakar
gubuknya Dewi Kesepian."
"Aku kecewa terhadap
tindakanmu yang gegabah, Rupa Setan! Dan... dan kurasa tak ada waktu lagi untuk
membicarakan soal itu. Aku harus segera menemui Yundawuni dan memberinya obat
ini supaya ia tidak menyebarkan wabah melalui kemesraannya."
Zlaaap...! Suto Sinting segera
bergegas pergi, tetapi Rupa Setan pun mengikutinya. Agaknya Rupa Setan
mempunyai jurus langkah cepat sendiri yang hamper menyamai kecepatan jurus
'Gerak Siluman'-nya Pendekar Mabuk, sehingga mereka bisa bergerak cepat seiring
sejalan.
Namun tiba-tiba Suto
mengurangi kecepatan geraknya, bahkan si Rupa Setan sempat berkata dalam suara
pelan.
"Berhentilah dulu. Aku
mendengar suara orang merintih kesakitan."
Langkah kaki mereka berbenti
total. Pendengaran mereka dipertajam dengan memiringkan kepala mengarahkan
telinga ke suara lirih yang terdengar samar-samar.
"Ya, kurasa memang ada
orang merintih di arah selatan sana!" ujar Suto Sinting sambil memandang
ke arah selatan.
"Akan kutengok sebentar
siapa orang itu. Barangkali seseorang yang membutuhkan bantuan kita."
"Mengapa harus kau yang
menengoknya? Mengapa bukan kita bersama-sama saja?"
"Jangan berdebat hal
seperti itu. Ikuti saja langkahku kalau kau mau ikut menengoknya!' setelah
berkata begitu, si Rupa Setan berkelebat ke selatan dan Pendekar Mabuk pun
menyusulnya.
*
* *
5
SEORANG gadis cantik berusia
sekitar dua puluh tiga tahun terkapar berlumur darah pada bagian dadanya. Gadis
berambut pendek berponi depan yang mengenakan jubah tanpa lengan warna biru tua
itu menderita luka parah yang telah menyebarkan bau busuk. Namun napasnya masih
tersisa dan bisa dipakai untuk merintih dengan sangat menyedihkan.
Pendekar Mabuk terkejut sekali
melihat gadis itu yang tak lain adalah si Tenda Biru, bekas murid mendiang Nyai
Garang Sayu yang kemudian berpindah aliran putih dan menjadi murid mendiang
petapa sakti yang bernama Eyang Tapak Lintang, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Gadis Tanpa Raga").
"Tenda Biru...?!"
seru Suto Sinting yang segera berkelebat menghampiri gadis itu, sementara si
Rupa Setan diam terpaku di tempatnya sambil menutup hidung karena tak tahan bau
busuk dari luka di dada Tenda Biru.
Melihat panjangnya luka, Rupa
Setan yakin bahwa gadis itu telah terluka oleh pedang seorang lawan yang
mengandung racun 'Bangkai Peri'. Siapa pun yang terkena racun 'Bangkai Peri'
lukanya akan segera membusuk dan mengeluarkan belatung dalam waktu singkat.
Sambil menahan napas, Suto
mencoba bicara dengan Tenda Biru yang wajahnya telah pucat pasi yang nyaris
menjadi mayat itu.
"Tenda Biru... siapa yang
melukaimu separah ini?! Siapa, Tenda Biru?!"
Tapi mulut gadis itu bagai tak
bisa untuk ucapkan kata selain keluarkan rintihan yang lirih. Suto segera
mengambil bumbung tuaknya yang menyilang di punggung, kemudian memberi minum
Tenda Biru dengan tuak itu. Tuak yang sudah bercampur dengan larutan Batu
Tembus Jagat itu mempercepat proses penyembuhan luka, sehingga dalam beberapa
kejap saja bau bangkai itu sudah tidak tercium lagi. Bahkan luka ternganga itu
bergerak merapat dengan sendirinya dan makin lama semakin terkatup lagi.
Tenda Biru bisa bernapas
dengan lega. Pedangnya yang terlempar dalam satu jangkauan itu segera diambilnya
setelah Suto membantunya untuk duduk.
"Suto, ooh... untung kau
ada di daerah ini. Kalau tidak kau tak akan bisa melihatku lagi," ujar
Tenda Biru setelah menarik napas panjang. Ia melirik ke arah Rupa Setan dan
segera berkerut dahi melihat wajah keriput berlipat-lipat menyeramkan itu.
"Dia sahabatku. Jangan
takut, wajahnya memang jelek tapi hatinya baik," ujar Suto sambil melirik
ke arah si Rupa Setan, dan perempuan berwajah menyeramkan itu segera buang
muka, seperti menyimpan rasa malu atau menyembunyikan suatu perasaan yang tak
mudah dipahami orang lain.
"Siapa yang bertarung
melawanmu,Tenda Biru."
"Seseorang telah membawa
lari muridku!"
"Panji Klobot
maksudmu?!"
"Ya. Panji Klobot dibawa
lari oleh orang itu, entah apa maksudnya! Lalu ia kukejar sampai di sini, dan
Panji Klobot berhasil larikan diri. Tapi orang itu berhasil pula melukaiku,
sehingga ia meninggalkan diriku dalam keadaan luka seperti tadi. Ia mengejar
Panji Klobot."
"Kau kenal dengan orang
itu?!"
"Aku tak mengenalnya.
Tapi aku masih ingat ciri-cirinya. Ia mengenakan jubah biru muda tanpa lengan,
penutup dadanya kain hitam tipis, demikian pula penutup bagian bawahnya kain
hitam tipis. Ia seorang perempuan yang tinggi dan bertubuh sekal, lebih kekar
dari tubuhnya dibandingkan tubuhku. Ilmunya cukup tinggi, hingga aku berhasil
dilukainya tanpa bias bergerak lagi."
"Apakah ia mempunyai
suara agak serak?" tiba-tiba Rupa Setan ajukan tanya.
"Ya. Suaranya agak serak,
juga agak besar seperti suaramu."
Pendekar Mabuk segera memandang
Rupa Setan dengan tegang. Rupa Setan bertanya lebih dulu kepada Pendekar Mabuk.
"Kau tahu siapa orangnya,
bukan?"
"Ya. Kurasa dia adalah si
Dewi Kesepian!"
"Yang kita lihat dalam
bayangan kipasku tadi, mungkin dia sedang mengejar si Panji Klobot!"
"Kalau begitu, sebelum
Panji Klobot menjadi korban kemesraannya, kita harus temukan dia secepatnya,
Anjardani!"
Tenda Biru segera bangkit
berdiri. Rupanya ia telah sehat dan badannya terasa lebih segar dari
sebelumnya.
"Aku tahu arah
pelariannya. Panji Klobot menuju ke utara!" kata Tenda Biru.
"Tidak. Sekarang mereka
ada di barat!" bantah Suto Sinting.
"Bukan! Mereka lari ke
utara!"
"Kalau begitu, kau
mengejar ke utara dan aku akan mengejar ke barat, karena setahuku perbukitan
yang tadi kulihat dalam bayangan kipasmu," Suto memandang Rupa
Setan,"... letaknya ada di arah barat kita."
"Aku akan ikut mengejar
ke barat!" kata Rupa Setan sambil mengangguk penuh wibawa. Dan tiba-tiba
tubuhnya berubah seperti bayangan yang samar-samar, kemudian bercahaya merah
tipis, lalu lenyap begitu saja, membuat Tenda Biru terbengong melompong.
"Dia sudah menuju ke
barat! Aku akan menyusulnya," ujar Suto Sinting.
"Hati-hati melawan
perempuan itu. Ia jago bermain jurus pedang. Aku segera ke utara!"
Weees...! Tenda Biru segera
berkelebat meninggalkan tempat. Ia menuju ke utara sesuai penglihatannya tadi.
Tetapi Pendekar Mabuk segera
berkelebat ke arah barat dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaaapp...! Panji
Klobot adalah mantan pelayan di kadipaten yang tertarik dengan ilmu Pendekar
Mabuk, lalu ia mengikuti Pendekar Mabuk dengan harapan bias diangkat sebagai
muridnya. Tetapi karena Pendekar Mabuk belum ingin mempunyai murid, maka
permohonan Panji Klobot ditolaknya.
Tenda Biru yang kala itu
kehilangan raganya berjanji akan menurunkan ilmunya kepada Panji Klobot jika
pemuda polos dan lugu itu bisa menemukan Bunga Kecubung Dadar. Suto Sinting
membantu Panji Klobot mencarikan Bunga Kecubung Dadar itu dan berhasil
kembalikan wujud raga Tenda Biru. Tetapi janji Tenda Biru kepada Panji Klobot
tetap ditepati, sebagai tanda terima kasihnya kepada Suto Sinting.
Rupanya ketika Tenda Biru
melatih Panji Klobot di tepi pantai, Dewi Kesepian tertarik dengan kepolosan
Panji Klobot. Ia segera membawa lari Panji Klobot pada saat Tenda Biru lengah.
Pengejaran pun segera dilakukan oleh Tenda Biru sampai di hutan tersebut.
Pertarungan terjadi, dan Tenda
Biru terluka oleh jurus pedang si Dewi Kesepian yang serba kilat dan cepat itu.
Tetapi lebih dulu Tenda Biru telah berteriak kepada Panji Klobot agar segera
melarikan diri, sebab pemuda ingusan itu hanya menonton saja pada saat Tenda
Biru sudah terdesak oleh serangan Dewi Kesepian.
Rupanya selama Suto Sinting
menembus alam perbatasan gaib. Dewi Kesepian sudah tidak memanfaatkan darah
kejantanan Temon lagi. Temon telah terkena penyakit yang diderita oleh Darah
Prabu dan lelaki lainnya yang pernah bercumbu dengan Dewi Kesepian. Temon
ditinggalkan terkapar di dalam gua persembunyian yang dulu dipakai untuk
mengajarkan jurus-jurus bercinta kepada Temon. Tak seorang pun mengetahui
keadaan Temon yang telah memucat dan kulitnya berbintik-bintik hitam dengan
napas tersendat-sendat, terkapar di dalam gua tersebut.
Kini giliran Panji Klobot yang
jadi sasaran Dewi Kesepian. Pelarian Panji Klobot yang tak seberapa cepat itu
berhasil terkejar oleh Dewi Kesepian. Pemuda itu hentikan langkahnya setelah
terhadang Dewi Kesepian.
Dengan modal ilmu pas-pasan
yang baru dipelajarinya, itu pun belum rampung, Panji Klobot mencoba melawan
Dewi Kesepian. Tentu saja tendangannya yang lamban itu berhasil disapu habis
oleh Dewi Kesepian dalam sekali gebrak saja.
Buuhk...!
"Auuuh...!" Panji
Klobot meringis kesakitan ketika jatuh terbanting tulang punggungnya membentur
akar yang menonjol seperti batu.
"Bodoh sekali kau! Apakah
kau pikir aku mengejarmu untuk bermusuhan denganmu?!" sentak Dewi
Kesepian.
Panji Klobot masih
mengusap-usap punggungnya sambil pandangi Dewi Kesepian. Hati pun berkata,
"Lho, kok ternyata yang
mengejarku perempuan cantik, ya? Kusangka tadi tak seberapa cantik. Tapi,
ooh... tinggi sekali perempuan ini? Peranakan raksasa atau keturunan jin?"
'"Kudengar gurumu tadi
memanggilmu Panji Klobot. Itukah namamu?"
"Iiy... iya... tapi aku
murid baik-baik, Bibi!"
"Husy! Jangan panggil aku
Bibi! Namaku Dewi Kesepian. Panggil saja Dewi!"
"Oh, iiy... iya, baik
Bibi Dewi!"
"Sial! Hilangkan sebutan
'bibi'-nya!"
"Oh, eh, uuh... maaf,
jangan bentak-bentak aku. Aku punya sakit jantung, Bi„. eh, Dewi."
Senyum manis Dewi Kesepian
yang mempunyai paras cantik menawan itu membuat rasa takut Panji Klobot pun
berkurang. Semakin lebar senyuman perempuan itu, semakin hilang rasa takut di
hati pemuda lugu itu.
"Aku mengejarmu bukan
untuk bermusuhan, tapi untuk bersahabat. Gurumu salah duga, akibatnya aku
terpaksa melumpuhkan gurumu yang masih muda itu."
"Ja... jadi aku tidak
akan kau siksa atau kau jadikan tumbal bikin jembatan?"
"Hik, hik, hik,
hik...," Dewi Kesepian tertawa. "Apa kau ini kerbau, kok mau
dijadikan tumbal jembatan segala?!"
Panji Klobot nyengir tawar,
karena masih diliputi keraguan dalam hatinya.
"Bangun dan berdirilah!
Mana yang sakit, kuobati sebentar!"
Panji Klobot berdiri, Dewi
Kesepian segera mengurut punggung yang terasa sakit itu dengan menyalurkan hawa
murninya. Lambat laun punggung itu mulai terasa enak dan rasa sakitnya
berkurang.
"Kau tukang urut,
ya?"
"Jangan menduga
sembarangan," sambil Dewi Kesepian mencubit pipi Panji Klobot. "Kalau
aku kau anggap tukang urut, barangkali ada benarnya asal yang diurut tidak
sembarang tempat."
"Maksudnya tidak
sembarang tempat bagaimana?"
"Yaah, hanya
tempat-tempat tertentu saja yang kuurut."
"Tempat tertentu itu yang
mana?"
"Oh, kau mau
mencobanya?"
"Mau, mau...," Panji
Klobot tampak girang, karena ia merasa punggungnya sangat enak diurut, apalagi
tempat tertentu yang dimaksud Dewi Kesepian.
"Kalau kau mau diurut di
tempat tertentu, jangan di sini."
"Habis di mana?"
"Di sana saja, di balik
semak-semak."
"Ah, takut! Nanti ada
ular."
"Tidak mungkin, karena
aku membawa pedang penangkal ular. Hanya ular tertentu yang berani bergerak
mendekatiku."
"Hiii... ular apa
itu?"
"Nantilah kalau sudah
kuurut kau akan tahu sendiri," jawab Dewi Kesepian yang selalu berpikiran
ngeres. Ia akhirnya berhasil membujuk Panji Klobot untuk menerobos semak-semak
di bawah pohon rindang yang sepi dan aman dari incaran mata orang.
Panji Klobot tidak tahu kalau
Dewi Kesepian semalam tidak mendapatkan darah kemesraan seorang lelaki. Ia
tidak bisa menggunakan Temon lagi, dan tidak mendapat mangsa yang mudah dirayu.
Sebelum hari menjadi malam kembali, ia harus mendapatkan darah kemesraan
seorang lelaki agar darah dan jantungnya tidak membusuk.
Panji Klobot tak sadar bahwa
tiap kata dan senyum Dewi Kesepian adalah rayuan yang menghanyutkan. Maka dalam
beberapa waktu saja, Panji Klobot sudah jatuh dalam pelukan Dewi Kesepian. Ia
menuruti apa yang diperintahkan Dewi Kesepian, karena apa yang dilakukan Dewi
Kesepian mendatangkan keindahan baginya. Suatu keindahan yang belum pernah
didapatkan seumur hidupnya, telah membuat Panji Klobot makin terbuai dan merasa
menyesal atas pelariannya tadi.
"Kalau tahu akan mendapat
keindahan seperti ini, mengapa aku capek-capek melarikan diri, ya? Bodoh amat
aku ini! Mau diberi kenikmatan yang begitu indah kok malah melarikan
diri," ujar Panji Klobot dalam hatinya sambil membiarkan pakaiannya
dilepasi oleh Dewi Kesepian satu persatu.
"Kau senang
kubeginikan?"
"Senang sekali,"
jawab Panji Klobot yang sambil nyengir malu-malu.
"Kau suka dengan apa yang
kita lakukan ini?"
"Ya, suka sekali,
Dewi."
"Sekarang ganti kau yang
memberiku keindahan."
"Caranya bagaimana?"
"Begini caranya...,"
Dewi Kesepian segera membimbing pemuda polos itu untuk menciptakan
sentuhan-sentuhan kemesraan yang begitu indahnya.
Panji Klobot cepat paham
ketimbang mempelajari jurus dari Tenda Biru. Dewi Kesepian mulai mendesah,
menggigit bibirnya sendiri sambil mengerang panjang. Tangannya meremas-remas
rambut kepala Panji Klobot, sementara sang pemuda melakukan apa yang diinginkan
Dewi Kesepian.
Tenda Biru salah arah dalam
pengejarannya. Ia menuju ke utara lurus, sedangkan Panji Klobot kala itu
membelok ke barat untuk hindari pengejaran Dewi Kesepian. Karenanya, arah Suto
dan Rupa Setan-lah yang betul. Sayang sekali mereka terhambat oleh sesuatu yang
tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Rupa Setan segera tampakkan
diri ketika ia tahu Pendekar Mabuk menyusulnya. Langkah sang Pendekar Mabuk
terhenti begitu Rupa Setan mengangkat tangan memberi isyarat agar jangan
menimbulkan suara apa pun.
"Ada apa,
Anjardani?" bisik Suto Sinting.
"Apakah kau mendengar
suara perempuan yang terengah-engah?"
Suto diam sebentar, menyimak
suara yang dimaksud Rupa Setan.
"Hmmm... ya, tapi masih
agak jauh dari tempat kita."
"Maksudku, benarkah itu
suara si Yundawuni?"
"Hmmm... kalau menurut
irama engahan napasnya, memang itulah suara orang yang sedang berkencan begitu
dalam. Dari seraknya suara aku dapat membayangkan bahwa Yundawuni alias si Dewi
Kesepian itu telah berhasil merayu Panji Klobot, dan sekarang Panji Klobot
sedang melayani gairahnya."
"Kita sergap mereka. Kau
sambar pemudanya, aku akan halangi perempuannya!"
Namun baru saja mereka mau bergerak, tiba-tiba
kaki mereka terjeblos dalam sebuah lubang menyerupai sumur. Kerimbunan rumput
dan ilalang yang tumbuh di situ membuat lubang itu tertutup dan membuat mereka
berdua akhirnya masuk ke dalam lubang tersebut.
Bruuusss...! Wuuut...!
"Sutooooo...!!"
teriak Rupa Setan karena sangat terkejut merasakan tubuhnya melayang secara
tiba- tiba. Pendekar Mabuk sendiri juga kaget dan hanya memekik panjang dalam
keadaan tegang.
"Aaaaaaa...!"
Ternyata sumur itu mempunyai
kekuatan gaib yang dapat menyedot benda apa pun yang ada di atasnya, kecuali
tanaman. Sumur itu makin lama semakin lebar dan tubuh mereka tak bisa
dihentikan walau Rupa Setan telah menggunakan ilmu pelenyap raga seperti yang
tadi digunakan saat berpisah meninggalkan Tenda Biru.
Pendekar Mabuk pun berhasil
menjejakkan kakinya ke dinding Iubang tersebut, tetapi tubuhnya tak bias
melambung naik, melainkan justru tertarik turun dengan lebih cepat lagi.
Brruk...! Bruuk...! Mereka
terbanting di dasar yang keras. Keduanya sama-sama pingsan untuk beberapa saat
lamanya. Pendekar Mabuk siuman lebih dulu. Dan ia menjadi terkejut melihat
keadaan di sekelilingnya. Ternyata ia dan Rupa Setan terkapar di sebuah ruangan
yang mempunyai bebatuan menyala biru indah. Dinding ruangan itu juga dipenuhi
batu-batuan yang memancarkan warna biru seperti mengandung fosfor.
Cahaya itu membuat ruangan
tersebut menjadi terang temaram. Tuak segera diminum oleh Pendekar Mabuk.
"Untung tuak ini tidak tumpah isinya," pikir Suto sambil menenggak
tuak tersebut. Badannya menjadi segar kembali setelah meneguk tuak.
Ketika Suto sedang mengagumi
ruangan sekelilingnya yang lantainya berlapis kabut putih samar-samar itu, Rupa
Setan pun akhirnya siuman dan mengeluarkan suara keluhan kecil yang terdengar
di telinga Suto. Maka Suto pun segera mendekatinya, membantunya untuk bangkit
dan duduk, kemudian memberinya tuak beberapa teguk.
"Oh... gawat!" ujar
Rupa Setan dengan nada tegang. "Kita harus segera keluar dari sumur
keparat ini!"
"Bagaimana caranya? Kita
jatuh dari tempat yang amat tinggi. Tak mungkin kita mendaki dinding sumur itu.
Kita masih hidup saja sudah beruntung sekali, Rupa Setan!"
"Ya, tapi kita telah masuk
dalam sumur celaka ini!"
"Kurasa kita sudah tidak
berada di sumur lagi, melainkan di sebuah ruangan aneh."
"Inilah yang dinamakan
Sumur Tambak Peluh," ujar Rupa Setan sambil berdiri memandangi
sekelilingnya.
"Dalam kitab pusaka milik
guruku, tertulis pula nama Sumur Tambak Peluh bersama ciri-ciri dan kekuatan
gaibnya."
Rupa Setan memperhatikan
batu-batu yang menyala biru pada dinding ruangan tersebut. Tanpa diminta oleh
Suto, Rupa Setan jelaskan sendiri tentang Sumur Tambak Peluh itu.
"Sumur Tambak Peluh
adalah bekas penjara para dewa yang dibangun dalam waktu sekejap oleh Hyang
Maha Dewa. Penjara ini tercipta beberapa ratus tahun bahkan mungkin pula ribuan
tahun yang lalu. Di sinilah para dewa menjalani siksaan batin satu persatu.
Mereka dipenjarakan di sini secara bergantian, dan masing-masing merasakan
siksaan batin yang lebih berat daripada siksaan raga."
Kabut yang melapisi lantal
ruangan itu bergerak lamban, seakan ada angin yang meniupnya dari satu sisi ke
sisi lain. Rupa Setan diam sebentar, pandangi kabut itu dengan bola mata
menampakkan kecemasannya.
"Kabut Kasmaran...,"
gumam Rupa Setan yang membuat Suto Sinting kerutkan dahi.
"Apa maksudmu berkata
'Kabut Kasmaran'?!"
"Seperti yang tertulis
dalam kitab pusaka milik guruku; Sumur Tambak Peluh ini mempunyai kabut yang
dinamakan 'Kabut Kasmaran'. Uap kabut ini menyebar naik ke permukaan bumi dan
membuat siapa pun yang menghirupnya menjadi kasmaran terhadap lawan jenisnya.
Jika kabut ini tiada lagi, maka manusia di permukaan bumi tidak akan mempunyai
gairah untuk bercinta, bercumbu, dan bermesraan. Kabut inilah yang mempengaruhi
jiwa kita sehingga kita menjadi bergairah terhadap lawan jenisnya."
Pendekar Mabuk yang ikut
memperhatikan batu-batu menyala biru itu segera berpaling ke arah Rupa Setan
yang ada dalam jarak lima langkah darinya. Rupa Setan pun menatap, lalu
mendekatinya dan berkata dengan suara pelan.
"Kita telah menghirup
kabut ini. Berbahaya sekali bagi jiwa dan batin kita."
"Aku tak mengerti
maksudmu."
Rupa Setan menghembuskan napas
panjang. Ia mendongak ke atas, memandang lubang sumur tempatnya terjeblos tadi.
Lubang itu tampak hitam karena ketinggiannya dan bagian atas yang tertutup
tanaman jenis rumput.
"Lubang ini dulu dipakai
meloloskan diri oleh Dewa Sang Gama. Hanya dia satu-satunya Dewa yang bias
lolos dari Sumur Tambak Peluh ini, kemudian menemukan kebebasannya ketika
memperistri seorang gadis desa. Tapi mereka tidak dikaruniai keturunan, dan
keduanya mati bersama karena penyakit ketuaan. Pada saat Dewa Sang Gama meloloskan
diri dari penjara ini, seketika itu kedewaannya hilang dan ia berubah menjadi
manusia biasa. Tapi menurutnya lebih baik menjadi manusia ketimbang menjadi
dewa yang terpenjara di dalam Sumur Tambak Peluh ini."
"Lengkap sekali kitab
pusaka milik gurumu itu," gumam Suto Sinting sambil mencari celah-celah
yang bisa dipakai untuk meloloskan diri.
"Kitab itu hanya bisa
dibaca dengan mata batin. Tidak semua orang bisa membacanya."
"Apa lagi yang dijelaskan dalam kitab itu
tentang tempat ini?"
"Zaman dulu, tempat ini
hanya menjadi bagian dari dongeng para remaja yang menginjak usia dewasa,"
tutur Rupa Setan. Ia melangkah pelan-pelan menelusuri dinding berbentuk segi
enam itu. Biar pelan, tapi suaranya terdengar oleh Suto, karena ruangan itu
hanya berukuran kecil. Jarak dari dinding ke dinding yang paling jauh hanya
sekitar tujuh delapan langkah.
"Setiap Dewa yang
terpenjara di sini akan menangis dan bermandi peluh karena menahan gairah
asmaranya. Ia akan dirongrong tuntutan batin, tanpa bias melampiaskannya kepada
lawan jenisnya."
"Begitukah?" Suto
terperanjat, cepat menatap Rupa Setan.
"Tuntutan batin itu tak
akan hilang karena para dewa yang terpenjara di sini selalu menghirup uap Kabut
Kasmaran ini."
"Oh, jadi...
Jadi...?"
"Aku mulai merasakan getaran
di hatiku. Apakah kau tidak merasakannya?" Rupa Setan berpaling memandang
Suto dari jarak tiga langkah. Suto Sinting hanya diam mematung, karena ia pun
mulai merasakan getaran halus dalam hatinya. Getaran itu adalah gairah bercumbu
yang makin lama semakin mendebarkan jantung.
*
* *
6
KABUT tipis itu semakin
mempengaruhi alam pikiran mereka, menaburkan khayalan tentang cinta dan
kemesraan. Pendekar Mabuk mencoba mengatasi gangguan getaran batinnya dengan
lakukan semadi pengendalian napas murninya. Tetapi usaha itu ternyata sia-sia
belaka. Sekalipun ia telah duduk bersila dan berbadan tegak dengan menarik
napas pelan-pelan, namun detak-detak jantung yang menuntut kemesraan semakin
mengacaukan jalan pikirannya.
Rupa Setan gelisah dan
mondar-mandir sejak tadi. Hasrat bercintanya sebagai seorang perempuan mulai
meletup-letup, membuat dada terasa bergemuruh keras. Apalagi ia berada bersama
seorang pemuda tampan, gagah dan menawan, terasa sulit sekali baginya untuk
mengendalikan tuntutan batin yang menghendaki kemesraan. Dengan berjalan
mondar-mandir tuntutan batin itu sedikit teratasi, namun bukan berarti
kemenangan baginya.
Ketika melihat Pendekar Mabuk
lakukan semadi dengan gelisah, Rupa Setan berkata tanpa memandang pemuda tampan
itu.
"Percuma saja kau lakukan
hal itu. Di sini kekuatan kita berkurang separo bagian. Semakin lama menghirup
kabut keparat ini, semakin terkikis ketahanan kita. Bisa jadi akan semakin
habis tanpa tersisa."
Pendekar Mabuk masih mencoba
kendalikan napas murninya, tetapi selalu gagal dan gagal lagi. Ia menjadi
jengkel sendiri, akhirnya melepaskan pukulan tenaga dalam sebagai pelampiasan
rasa jengkelnya itu.
"Hiaaah...!"
Wuuut...!
Pendekar Mabuk tertegun
sesaat, karena tak ada tenaga yang keluar dari tangannya. Jurus "Pukulan
Guntur Perkasa' tak bisa dikeluarkan seperti biasanya.
Semakin berdebar hati Suto
menyadari kenyataan itu. Beberapa jurus lain dicobanya, tapi hasilnya sama
saja; seakan ia telah kehilangan seluruh ilmunya dan menjadi lemah karena
dipengaruhi khayalan bercumbu yang datang silih berganti. Maka yang dapat
dilakukannya hanya diam dan terengah-engah dicekam kegelisahan, diburu hasrat
untuk bercumbu.
Perempuan berwajah buruk dan
menyeramkan itu akhirnya hentikan langkah mondar-mandirnya. Ia berdiri dengan satu
tangan bersandar pada dinding, tangan yang satunya bertolak pinggang. Ia tampak
tegar walau sebenarnya dalamnya rapuh tersiksa khayalan yang hadir dengan
sendirinya.
"Mengapa kita sampai
terperosok ke dalam sumur keparat ini?!" geram Suto Sinting yang mulai
berkeringat dingin.
"Barangkali semua ini
pelajaran yang berarti bagi kita. Sejak beberapa hari yang lalu kita
memburu-buru si Yundawuni yang selalu dibakar gairah kemesraan dan selalu
membutuhkan kehangatan seorang lelaki.
Barangkali Sang Maha Dewa
memberi pelajaran bagi kita, seperti inilah rasa yang dialami Dewi Kesepian
dalam menderita siksaan batin selama ini. Setidaknya kita diminta untuk mau
memahami, betapa sakitnya penderitaan yang dialami Dewi Kesepian apabila racun
'Asmara Kubur' itu mulai
menyerang jiwanya," tutur si Rupa Setan.
"Tapi mengapa aku harus
ikut masuk ke dalam sumur ini? Bukankah semestinya hukuman itu berlaku hanya
untukmu, karena kau pernah bermaksud membunuh Dewi Kesepian untuk melenyapkan
racun 'Asmara Kubur'. Pada waktu itu kau tidak berpikiran betapa menderitanya
dia. Sedangkan aku justru berusaha melindungi dia dan mencarikan obat untuk
menolongnya, tapi mengapa aku juga harus merasakan penderitaan batin seperti
ini?"
"Barangkali Sang Hyang
Maha Dewa menguji ketangguhan jiwamu. Kau berusaha menolong orang yang dituntun
hasrat untuk bercinta, tapi dapatkah kau menolong dirimu sendiri jika mengalami
perasaan yang sama dengan yang dialami Dewi Kesepian itu?"
Pendekar Mabuk diam sesaat,
kemudian ia berkata seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Memang banyak orang yang
ingin menolong orang lain, tapi ia sendiri belum tentu bisa menolong dirinya
sendiri."
"Berarti kita harus bisa
menolong diri kita sendiri sebelum kita bisa menolong orang lain. Kira-kira
begitulah makna yang terkandung dalam musibah ini," ujar si Rupa Setan
dengan suara masih tegas.
Pendekar Mabuk duduk bersandar
dinding bercahaya, mulutnya sengaja terbungkam untuk mencoba atasi gejolak
hatinya yang ingin berpelukan, ingin berciuman, dan ingin mendapatkan lebih
dari sekadar pelukan serta ciuman.
Bayangan perempuan-perempuan
cantik yang pernah dipeluknya hadir dalam ingatan, seakan memamerkan kemolekan
tubuh mereka, melambaikan tangan untuk bercumbu, kadang bayangan itu ada yang
terasa merayapkan tangannya ke dada Suto, menelusuri lekuk tubuhnya. Debur
dalam dada Suto pun kian gemuruh.
Hal yang sama dirasakan pula
oleh si Rupa Setan. Perempuan itu juga duduk bersandar pada dinding. Makin lama
duduknya semakin bergeser mendekati Suto.
Gerakan bergeser mendekati itu
membuat Suto Sinting akhirnya bertanya pada dirinya sendiri, "Haruskah
kulakukan bersama perempuan berwajah menyeramkan ini? Alangkah sialnya nasibku
jika harus bercumbu dengan perempuan berwajah setan ini.
Tapi...apa boleh buat jika
memang adanya cuma dia?! Oh, tidak! Akan kucoba untuk bertahan dan bertahan
terus sampai batas kekuatanku hancur dan kupasrahkan segalanya kepada sang
nasib."
Rupa Setan berkata dengan
suara pelan, karena napasnya semakin terasa memburu dan terputus-putus.
"Pernahkah kau bercinta
dengan seorang perempuan, Suto?"
"Belum," jawab Suto
dengan suara lemah, seakan malas menanggapi percakapan itu. Namun si perempuan
berwajah buruk tidak hiraukan sikap Suto tersebut. Ia masih ajukan pertanyaan
lagi dengan suaranya yang mulai sedikit bergetar.
"Benarkah kau belum
pernah bercumbu dengan seorang perempuan?"
Tiba-tiba terlintas dalam
pikiran Suto, "Mungkin dengan banyak bicara akan mengurangi tekanan batin
ini ketimbang dipakai untuk diam dan merenung, maka yang hadir hanya sejuta
khayalan menyiksa jiwa."
Suto pun akhirnya tak
segan-segan untuk bicara kepada si Rupa Setan.
"Aku memang pernah
berpelukan dengan seorang perempuan, aku memang pernah berciuman dan saling
meraba, tapi tak pernah berbuat lebih jauh dari itu."
"Jadi kau belum pernah
merasakan nikmatnya berhubungan badan dengan seorang perempuan?"
"Belum. Apakah kau
pernah?"
Rupa Setan bergeser lebih
mendekat lagi, ia menarik napas dan membuangnya lepas-lepas.
"Yaaah... dulu memang aku
pernah melakukannya, karena pada waktu itu aku terbuai oleh rayuannya. Setelah
kusadari bahwa pria itu hanya menghendaki tubuhku belaka, aku segera menyesal
karena sebetulnya hatiku masih tertuju kepada si Tanuyasa. Namun agaknya
cintaku kepada Tanuyasa bertepuk sebelah tangan sampai sekarang."
Pendekar Mabuk tertawa pendek
dan pelan. "Hmm..., rupanya kau masih tertarik dengan si Tanuyasa alias si
Omong Cekak yang sudah setua itu, ya?"
"Bukan tertarik karena
nafsu, tapi semata-mata ingin mempunyai keturunan dari satu perguruan. Kadang
kenangan masa muda kami membuatku merasa lebih baik berada di dekatnya."
Rupa Setan bergeser lagi,
hingga kini duduknya hanya berjarak satu jengkal dari Suto Sinting. Pemuda itu
masih diam menahan hasrat bercumbu yang bergejolak dalam dada.
"Dulu hidupku hampir saja
liar. Tanuyasa dulu setampan dirimu, hingga aku tergila-gila padanya. Ketika
kutahu ia tidak mencintaiku, aku menjadi brutal, terlebih setelah aku
ditinggalkan oleh pria yang telah mengisap sari maduku. Aku menjadi benci pada
diriku sendiri dan merasa tak memiliki daya tarik sebagai perempuan.
Kusembunyikan wajahku di balik
kehancuran hati. Tak ingin kupamerkan kepada siapa pun, kecuali Tanuyasa. Namun
beruntung sekali aku segera menemukan kesadaranku, bahwa hidup brutal bukan merupakan
jalan keluar yang terbaik bagiku. Lalu, dengan tetap berhubungan sebagai
saudara seperguruan, aku dan Tanuyasa mendirikan Partai Petapa Sakti. Di
situlah kusibukan diriku untuk melupakan cinta yang tak terbalas. Tapi tetap
saja kusembunyikan wajahku di balik kehancuran yang membekas."
"Apa maksudmu
'kusembunyikan wajahku di balik kehancuran' tadi?" sambil Suto pandangi
wajah buruk yang menyeramkan itu.
Tiba-tiba Rupa Setan memegang
bawah dagunya. Tangannya bergerak mencengkeram, lalu ditarik ke atas seperti
mengelupas gedebong pisang.
"Oooh...?!" Suto
Sinting terkejut hingga membelalakkan mata lebar-lebar. Si Rupa Setan bagai
mengelupas kulit wajahnya sendiri. Ternyata wajah buruk itu adalah topeng yang
dibuat setipis mungkin dari bahan karet. Di balik topeng berwajah buruk
menyeramkan itu, ternyata tersimpan wajah cantik rupawan yang mempunyai hidung
mancung, bibir sensual, mata indah berbulu lentik dan kulit kuning langsat yang
halus mulus. Dengan rambut meriap sebagian ke pipinya, Rupa Setan sunggingkan
senyum yang membuat jantung Suto bagai mau pecah karena detak-detaknya yang
amat kuat.
"Inilah aku sebenarnya.
Inilah Anjardani yang asli," ujar si Rupa Setan dengan bola mata yang
bening berbinar-binar memancarkan gairah cinta begitu membara.
"Luar biasa...,"
gumam Suto nyaris tanpa suara. Ia tertegun beberapa saat memandangi wajah
cantik yang mempunyai lesung pipit kecil jika sedang tersenyum itu.
Mata bagai sulit dikedipkan,
kerongkongan seakan sukar menelan ludah, dan gejolak birahinya kian bergemuruh
lebih seru lagi.
"Wajah ini tak ingin
kupamerkan kepada setiap lelaki. Aku hanya inginkan wajah ini dinikmati oleh
Tanuyasa, tapi ternyata Tanuyasa lelaki yang buta kecantikan dan tak bisa
terpikat oleh kecantikanku. Selama tiga puluh tahun lebih, baru kaulah lelaki
yang melihat wajah Anjardani yang sebenarnya, Suto."
Mata bening itu kini menjadi
sayu dalam memandang. Uap kabut itu kian banyak dihirup Anjardani, sehingga
gairahnya semakin melonjak-lonjak menuntut kehangatan seorang lelaki. Kehangatan
itu kini ada di depannya, namun ia masih ragu untuk mereguknya. Ia mencoba
mendekatkan wajahnya sambil menggenggam tangan Suto Sinting. Tangan itu dingin
oleh keringat gairah yang tertahan. Suto Sinting hanya bisa terbengong
melompong ketika tangannya digenggam Anjardani, dan napas perempuan itu semakin
menghangat di permukaan wajahnya.
"Pandanglah aku sebagai
gadis sebayamu," ucap Anjardani lirih. "Kita telah sama-sama
terperangkap dalam penjara terkutuk ini. Musibah ini membuat kita tak berdaya
lagi, Suto. Bukan salah kita jika akhirnya kau dan aku saling memenuhi
kebutuhan batin masing-masing. Akankah kita bertahan saja hingga musibah dalam
penjara terkutuk ini membunuh kita?"
Kata-kata yang semakin lama
semakin bercampur desahan napas penuh gairah itu membuat Suto Sinting semakin
merinding. Lalu dibiarkannya perempuan cantik itu mencium pipinya dengan
lembut. Ciuman itu merayap hingga menyentuh bibir, dan Suto Sinting tak mampu
diam selamanya. Sentuhan bibir itu membuat lidahnya menyambar, namun segera
dilumat oleh Anjardani dengan penuh ungkapan gairah yang berkobar-kobar.
"Suto, aku tak tahan lagi
menghadapi siksaan dalam penjara ini. Aku tak mampu bertahan lagi,
Suto...," bisiknya dalam nada rengekan bercampur desah yang memburu.
Kehangatan itu akhirnya
menjalar di sekujur tubuh mereka. Suto Sinting kian mengganas setelah amukan
Anjardani membuat gumpalan dadanya tersembul lepas dari kain penutup tanpa
disengaja. Suto Sinting segera menyambar bagai seekor ikan hiu mencium bau amis
darah.
"Oouh...!" Anjardani
memekik karena tak mampu menahan keindahan yang datang secara tiba-tiba di
permukaan dadanya. Selanjutnya ia mengerang
berkepanjangan karena Pendekar
Mabuk nyaris lupa
daratan. Ia sapu habis
tempat-tempat yang paling peka dan mampu hadirkan kenikmatan bagi Anjardani,
sehingga perempuan itu bagai
terbang melayang-layang bertabur keindahan dan kebahagiaan.
Namun sebelum kemesraan itu
meluncur deras lebih dalam lagi,
tiba-tiba merasakan getaran yang cukup jelas pada lantai tempat mereka terbaring.
Getaran itu makin lama dirasakan sebagai guncangan gempa yang membuat batu-batu biru di dinding mulai
berjatuhan.
"Celaka! Tempat ini akan
runtuh, Suto!"
Anjardani menjadi tegang,
demikian pula halnya dengan Pendekar Mabuk. Mereka cepat-cepat merapikan diri
kembali. Tanpa disadari hasrat bercumbu menjadi surut karena ketegangan yang
kian memuncak. Penjara terkutuk itu mengalami guncangan semakin kuat. Batu-batu
mulai menimbuni mereka dari langit-langit penjara.
"Lekas minum tuakku untuk
menahan rasa sakit! Minum...!" paksa Suto kepada Anjardani sambil
menyodorkan tuaknya. Perempuan cantik itu segera meminum tuak beberapa teguk.
Ternyata badannya terasa segar dan kepalanya yang dijatuhi bebatuan kecil itu
tidak merasa sakit.
Bahkan ketika sebongkah batu
biru berpijar runtuh dari langit-langit ruangan itu dan menjatuhi kepala
Anjardani, perempuan itu tak sempat menghindar, lalu menghantamkan pukulannya
ke atas. Wuuut, prraaak...! Batu itu hancur menjadi serbuk dan berhamburan
mengotori rambut serta tubuhnya.
Namun pada saat itulah ia
segera berseru dengan nada terkejut.
"Hei, batu ini bisa
kupukul hancur!"
"Tentu saja karena kau
menggunakan tenaga dalammu!"
"Tapi seharusnya tenaga dalamku hilang
karena pengaruh uap Kabut Kasmaran ini!"
Mereka saling pandang dengan
kepala merunduk dan tangan menutup ke atas. Guncangan semakin kuat, batu-batu
di langit-langit kian berhamburan menghujani mereka. Salah satu batu yang agak
besar menimpa kepala Suto Sinting. Tapi tiba-tiba tangan Suto menghantam ke
atas. Beet, praak...! Batu itu pun hancur seperti yang dipukul Anjardani tadi.
"Aku juga bisa!"
seru Suto dengan girang. Ia mencoba melepaskan pukulan bersinar ke arah salah
satu dinding. Claaap...! Blaaarrr...! Mereka terpental bersama hancurnya dinding
yang terkena pukulan bersinarnya Suto itu. Tapi mereka saling tertawa karena
merasa kekuatan serta ilmunya pulih kembali.
"Kekuatan kita telah
pulih kembali!" seru Anjardani mengimbangi suara gemuruh yang memekakkan
telinga.
"Mungkin karena kita minum
tuak ini!" seraya Suto menunjukkan bumbung tuaknya. "Coba kita minum
lagi agak banyak!"
Mereka segera menenggak tuak
banyak-banyak. Rasa segar di tubuh semakin terasa jelas. Bahkan gejolak hasrat
bercumbu lenyap sama sekali.
Sebetulnya pada saat mereka
meminum tuak tersebut pada waktu baru saja siuman dari pingsan, kekekuatan
mereka masih tetap ada. Tetapi karena terlalu lama menghirup uap Kabut
Kasmaran, maka kekuatan itu berkurang kembali, sehingga pada waktu Suto mencoba
melepaskan pukulan tenaga dalamnya mengalami kegagalan.
Suto sendiri lupa bahwa tuak
itu telah bercampur dengan Batu Tembus Jagat yang punya kesaktian tersendiri.
Batu yang tercipta dari keringat dewa yang teraniaya itu mempunyai kekuatan
yang bersifat memberontak terhadap kekuatan apa pun. Karenanya, uap Kabut
Kasmaran yang melumpuhkan kekuatan mereka dapat dikalahkan dengan kekuatan yang
ada dalam Batu Tembus Jagat tersebut.
Rupa Setan segera menggunakan
ilmu bayangannya. Ia berubah menjadi bayangan samar-samar, lalu bayangan itu
berubah menjadi sinar merah seperti kobaran api. Sinar tersebut melesat naik
memasuki lorong tempat mereka jatuh tadi.
Sedangkan Suto Sinting segera
gunakan ilmu 'Sukma Lingga' yang menggantikan ilmu 'Dewatakara' itu. Dengan
memejamkan mata dan menyatukan kekuatan batin serta pikiran, tiba-tiba Suto
berubah menjadi cahaya hijau berekor kecil. Weeess...! Cahaya hijau itu melesat
naik menembus lorong sumur dan menjelma di tempat yang bertanah keras, di mana
Rupa Setan telah menunggunya selama tiga helaan napas.
"Suara gemuruh itu masih
ada, bahkan getarannya masih terasa di tempat ini!" kata si Rupa Setan.
"Ya, aku merasakannya
juga. Tapi... di mana topengmu?"
"Ooh...?!" Rupa
Setan terkejut dan meraba wajahnya yang tak bertopeng. "Celaka! Topengku
tertinggal di dalam penjara terkutuk itu! Aku harus mengambilnya dulu!"
Seet...! Suto mencekal lengan
Anjardani, membuat perempuan cantik itu tak jadi melangkah terjun ke Sumur
Tambak Peluh lagi.
"Tak perlu kau ambil lagi
topengmu. Aku lebih suka melihatmu dalam keadaan begini."
"Bee... benarkah?!"
Anjardani grogi dipandangi Suto yang sunggingkan senyum menawan itu. Suto
mengangguk kecil, penuh kesan yang mendebarkan hati Anjardani.
"Aku akan lebih sering
menatapmu jika kau tidak mengenakan topeng."
"Mmm... meng... mengapa
kau berkata begitu?"
"Karena sesungguhnya aku
takut jika melihat wajahmu bertopeng, dan aku terpesona jika melihat wajahmu
tanpa topeng."
Anjardani sunggingkan senyum
tersipu. Suto berdebar melihat lesung pipit di sudut senyum itu. Ia mencubit
pipi Anjardani.
"Cantik sekali kau!"
"Aah...!" Anjardani
menepak lengan Suto sambil makin tersipu. Tepat ia menepak lengan Suto,
terdengarlah suara ledakan yang menggelegar dan membuat tempat itu bergetar
kembali.
Blegaaaarrr...!
"Ada pertarungan di arah
barat!" sentak Suto menegang. "Aku akan melihat ke sana!"
Zlaaap...!
"Heei, tunggu...!"
Anjardani pun melesat menyusul langkah Suto Sinting.
*
* *
7
ALANGKAH terkejutnya Pendekar
Mabuk melihat pertarungan itu ternyata dilakukan oleh dua tokoh tua yang
berilmu tinggi. Yang satu berjubah putih, rambut pendek putih dan jenggot serta
kumisnya putih. Suto mengenal tokoh itu sebagai orang yang berjuluk si Jubah
Kapur, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bayi Pembawa
Petaka").
Sedangkan yang satu lagi
adalah tokoh tua yang berbadan gemuk, sama gemuknya dengan si Jubah Kapur,
mengenakan pakaian seperti biksu berwarna abu-abu, brewok, kumis, dan
jenggotnya berwarna putih rata, ia tak lain adalah Resi Badranaya, gurunya
Darah Prabu.
Mereka duduk bersila di atas
batu yang saling berjauhan dalam jarak sekitar enam tombak. Mereka saling
melepaskan tenaga dalam tingkat tinggi tanpa bergeser dari tempat duduk mereka.
Jubah Kapur melepaskan sinar
kuning terang, sedangkan dari tangan Resi Badranaya melesat sinar merah lurus
yang menghantam sinar kuningnya Jubah Kapur. Kedua sinar yang bertemu di
pertengahan jarak itu saling bertahan dan memancarkan cahaya warna-warni
berpijar-pijar.
"Gawat! Apa yang membuat
mereka saling beradu tenaga dalam?!" gumam Suto Sinting. "Padahal
keduanya sama-sama tokoh putih."
"Pasti ada persoalan yang
sangat genting, sehingga mereka mengadu kesaktian seperti itu," ujar
Anjardani yang juga mengenal si Jubah Kapur sebagai tokoh aliran putih yang
menjadi Ketua Partai Gelandangan. Suto pun mengenal Jubah Kapur sebagai guru
dari Inupaksi, putra Raja Bumiloka.
"Harus segera dihentikan
sebelum keduanya kehilangan nyawa!" kata Anjardani, sambil bergerak
melesat dari balik kerimbunan semak. Namun saying gerakannya itu tertahan oleh
tangan Suto Sinting yang mencekal lengannya dengan kuat.
"Aku ingin melihat siapa
yang unggul dalam pertarungan seru ini!"
"Tidak ada yang unggul!
Mereka sama kuat dan sama tinggi ilmunya! Mereka akan mati bersama-sama kalau
kita biarkan!" sentak Anjardani dengan suara membisik.
"Hei... lihat di seberang
sana, sepertinya tubuh Dewi Kesepian sedang terkapar tanpa daya lagi!"
"Oh, ya... benar!
Jangan-jangan dia sudah mati?!"
"Celaka! Kalau begitu kau
hentikan saja pertarungan mereka, aku akan memeriksa Dewi Kesepian. Jika masih
bernapas segera kutolong dengan tuakku yang tinggal sedikit ini!" ujar
Suto, kemudian keduanya saling melesat cepat melakukan rencana masing-masing.
Cahaya yang membias lebar
berwarna-warni itu masih tetap berpijar-pijar di pertengahan jarak. Jubah Kapur
keluarkan peluhnya hingga membasahi seluruh jubah putihnya. Demikian pula Resi
Badranaya yang bermandi keringat dengan tubuh bergetar menahan kekuatan si
Jubah Kapur.
Tetapi tiba-tiba seberkas
sinar putih perak melesat bersamaan munculnya wajah cantik yang selama ini
tertutup topeng tua menyeramkan itu. Claaap...!
Blegaaaarrr...!
Sinar putih itu menghantam
cahaya warna-warni dan membuyarkan cahaya itu dalam satu ledakan besar cukup
dahsyat. Kedua tokoh yang beradu kesaktian itu terpental ke belakang dan
berguling-guling menyedihkan. Tiga batang pohon tumbang seketika dan salah
satunya hampir saja menimpa tubuh si Jubah Kapur. Untung ia cepat sentakkan
tangan dan tubuhnya melesat dalam gerakan bersalto cepat, sehingga lolos dari
pohon yang tumbang itu.
Jleeg...! Jubah Kapur berdiri
tegak dengan napas terengah-engah dan wajah menjadi merah bagai habis
dipanggang api. Di sisi lain, Resi Badranaya pun cepat menjadi tegak kembali
dengan wajah seperti kepiting rebus dan napasnya terengah-engah memandang ke
arah pertengahan jarak tadi.
Di pertengahan jarak itu
berdiri seraut wajah cantik bertubuh elok dalam usia lebih tua dari kedua tokoh
yang bertarung itu namun karena mempunyai ilmu awet muda, sehingga masih tetap
kelihatan sekal dan menawan. Anjardani sengaja berdiri di sana sebagai tanda
bahwa dia tidak menghendaki pertarungan dari kedua tokoh aliran putih itu.
"Keparat kau, Anjardani!
Apa maksudmu pamer kecantikan di depanku, hah?!" geram Resi Badranaya
sambil melangkah dekati Anjardani. Si Jubah Kapur pun segera dekati Anjardani
dengan wajah berangnya.
"Apa perlumu ikut campur
dalam urusanku dengan si Badranaya itu!"
"Kalau kalian merasa
berilmu tinggi, lawan aku! Majulah kalian berdua dan tandingi ilmuku daripada
kulihat kalian berdua hancur dan kehilangan nyawa!"
"Aku ada di pihakmu,
Tolol!" sentak Resi Badranaya.
"Bukankah kau juga telah
sepakat untuk melindungi Dewi Kesepian sesuai kesepakatan kita saat kau ikut
melihat Suto menyembuhkan Darah Prabu dan Kadal Ginting?! Mengapa kau sekarang
tidak memihakku, sementara aku bertarung dengan si gelandangan tua itu hanya
karena membela Dewi Kesepian!"
Sambil berkata begitu, Resi
Badranaya menuding ke arah Dewi Kesepian sehingga pandangan mata mereka tertuju
ke sana. Ternyata di sana Suto Sinting telah berhasil menyadarkan Dewi Kesepian
yang tadi nyaris sekarat karena pukulan si Jubah Kapur.
"Hei, murid si Gila
Tuak!" seru Jubah Kapur.
"Biarkan dia mati dan
jangan coba-coba menolongnya jika kau tak ingin aku menghajarmu!"
"Jubah Kapur!" seru
Anjardani. "Mengapa kau begitu bernafsu ingin membunuh Dewi
Kesepian?!"
"Dia telah membunuh
muridku secara pelan-pelan. Inupaksi sebentar lagi mati karena racun yang
ditularkan melalui kehangatan tubuhnya! Dia biang petaka bagi para pemuda
seusia muridku itu!"
"O, jadi Inupaksi
bercumbu dengannya dan sekarang menderita penyakit yang sukar disembuhkan?! Ah,
itu hal yang kecil bagi Pendekar Mabuk," ujar Anjardani sambil memandang
ke arah Suto yang membantu Dewi Kesepian untuk berdiri. Rupanya perempuan yang
mengidap racun 'Asmara Kubur' telah meminum tuak rendaman Batu Tembus Jagat,
sehingga bukan hanya racun itu yang hilang melainkan luka pukulan si Jubah
Kapur itu pun tidak dirasakannya lagi.
"Kalian belum tahu
celakanya racun dalam tubuh perempuan itu!" ujar Jubah Kapur masih berang.
"Inupaksi menceritakan
semuanya padaku, termasuk apa yang dirasakannya dalam menderita penyakit laknat
itu. Aku merasa dicabik-cabik oleh kemesuman perempuan itu. Selayaknya jika ia
mati dan tak akan pernah hidup lagi, daripada menjadi wabah bagi kaum pria
seusianya! Tapi rupanya si Badranaya naksir dia, sehingga membelanya
mati-matian!"
"Aku bukan naksir dia,
Bodoh! Sudah kubilang padamu, jangan gegabah dalam bertindak, dan kita harus
mencari Suto Sinting, karena dialah yang bisa sembuhkan muridmu, seperti dia
menyembuhkan muridku. Tapi kau tidak percaya dengan omonganku dan langsung
menuduhku yang bukan-bukan! Sebagai seorang Resi aku pantas merasa tak terima
kau tuduh dengan tuduhan kotor itu, Gelandangan Bodong!"
"Jaga mulutmu,
Gendut!" bentak Jubah Kapur dengan mata melotot dan tangan mau lepaskan
pukulan jarak jauhnya lagi.
"Hentikan perdebatan
kalian!" sentak Anjardani.
"Biarkan murid si Gila
Tuak menyelesaikan persoalanmu, Jubah Kapur!"
Pendekar Mabuk segera tampil
meninggalkan Dewi Kesepian yang menahan rasa duka dan haru mendengar kecaman
yang dilontarkan padanya.
"Pertarunganmu
mengguncangkan separo bagian bumi ini, Jubah Kapur. Getarannya sampai terasa ke
penjara terkutuk itu!" ujar Suto kepada si Jubah Kapur.
"Pada dasarnya murkamu
itu memang benar, tapi juga salah."
"Bocah ingusan sok
menggurui yang tua!" sentak Jubah Kapur dalam gerutunya.
"Kukatakan salah karena
kau sudah diberi tahu oleh Resi Badranaya mengapa masih nekat ingin membunuh Dewi
Kesepian! Tahukah kau, dia menderita racun 'Asmara Kubur' karena melawan Nyai
Ronggeng Iblis, dan itu berarti dia melawan kekejaman yang dapat membahayakan
pihak tak bersalah. Mengapa kau hanya bisa membunuhnya? Mengapa tidak mencari
jalan keluar yang lebih baik daripada membunuh?"
"Guru mana yang tidak
murka jika muridnya terjebak dalam percintaan terkutuk itu?!" bantah Jubah
Kapur.
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum kalem.
"Inupaksi sebenarnya
terjebak dalam penjara terkutuk. Penjara itu ada di dalam pelukan Dewi
Kesepian. Kalau ia tidak melanggar tata susila ia tidak akan menderita sakit
seperti sekarang ini! Sementara itu, Dewi Kesepian sendiri juga terperangkap
dalam penjara terkutuk berupa racun 'Asmara Kubur' yang membuatnya serba salah."
"Suto...!" seru Resi
Badranaya. "Jangan banyak bicara, cepatlah pergi temui si Inupaksi dan
buktikan omonganku tadi di depan si gelandangan itu!"
Jubah Kapur berang lagi dan
menuding Resi Badranaya. "Kalau ternyata bocah sinting ini gagal, kepalamu
kuhancurkan agar tak bisa bicara dusta lagi, Gendut!"
"Apa kau ini bukan gendut
juga, Jubah Kapur," sambil Anjardani sunggingkan senyum geli. Jubah Kapur
cemberut dan bersungut-sungut pandangi Anjardani. Ia tak berani melawan karena
ia tahu Anjardani mempunyai ilmu lebih tinggi darinya.
Pendekar Mabuk lambaikan
tangan kepada Dewi Kesepian, kemudian Dewi Kesepian mendekat dengan wajah
terbungkus duka dan rasa malu.
"Kau sekarang telah bebas
dari racun 'Asmara Kubur', berarti kau bebas dari penjara terkutuk yang
dilepaskan oleh Nyai Ronggeng Iblis itu. Kurasa sekarang kau tak perlu lagi
mencari darah kemesraan seorang lelaki, kecuali jika kau memang telah menikah
dengan lelaki itu," kata Suto kepada Yundawuni alias si Dewi Kesepian.
"Aku butuh bukti sampai
dua malam!" katanya sambil menatap Suto. "Jika benar dua malam aku
tidak mengalami perubahan yang menyakitkan dalam tubuhku, berarti racun itu
memang telah sirna dari diriku. Kurasa aku memang tidak perlu lagi memburu
kemesraan seorang lelaki, kecuali...."
"Kecuali apa?"
sergah Anjardani. Tapi Dewi Kesepian hanya tundukkan kepala merasa takut
berhadapan dengan perempuan yang mampu melerai pertarungan dua tokoh sakti itu.
"Mengapa kau sampai
terlibat pertarungan dengan mendiang Nyai Ronggeng Iblis?!" tanya Suto
kepada Dewi Kesepian.
"Kekasihku dibunuh
olehnya setelah ia puas mencumbunya!"
"Oo... pantas Ronggeng
Iblis melepaskan kutukan racun 'Asmara Kubur', rupanya ia ingin membuatmu
tersiksa oleh hasrat gairah yang menyala-nyala sepanjang masa," ujar
Anjardani.
"Jika kau ingin buktikan
kemampuanmu mengobati muridku, sekarang juga kita harus pergi ke Bumiloka!
Jangan terlalu banyak membuang waktu untuk seorang perempuan! Perempuan kalau
diberi waktu akan mengeruk kebebasan kita!"
"Bicaramu jangan
menyinggung perasaanku, Jubah Kapur!" gertak Anjardani, dan Jubah Kapur
pun diam sambil melengos. Suto Sinting hanya tertawa geli, kemudian segera
pergi bersama-sama mereka yang ada di situ ke Bumiloka.
"Kau harus ikut,"
kata Suto kepada Dewi Kesepian.
"Karena setelah itu kau
harus tunjukkan di mana Temon, Panji Klobot dan orang-orang yang telah menjadi
korban racun itu."
"Aku bersedia
membantumu," jawab Dewi Kesepian, "... sambil membuktikan kemampuan
tuakmu tadi."
"Aku akan mendampingi
kalian!" sahut Anjardani.
"Mengapa harus kau
dampingi?!" Suto bernada protes.
"Untuk menjaga
kenakalanmu!" jawab Anjardani sambil tetap memandang ke arah depan, tanpa
pedulikan senyum Suto Sinting dan Dewi Kesepian.
Tuak dan Batu Tembus Jagat
akhirnya menyelesaikan semua masalah
yang berkaitan dengan Dewi Kesepian. Kini perempuan itu telah bebas dari racun
'Asmara Kubur' yang sama artinya telah bebas dari penjara terkutuk yang
menyedihkan itu. Demikian pula Inupaksi, Temon, Panji Klobot, dan beberapa pria
lainnya.