1
SEPASANG mata yang
memperhatikan langkah seorang pemuda tampan itu tetap tersembunyi di balik
gugusan batu cadas. Celah batu cadas yang hanya bisa dipakai untuk mengintai
itu terletak di atas bukit yang tak seberapa tinggi. Andai pemilik sepasang
mata itu ingin melompat turun dari atas bukit ke bawah, ia tidak akan mengalami
cedera pada kakinya, kecuali jika ia melompat dan jatuh kepala duluan, mungkin
akan patah lehernya.
"Gagah sekali dia. Sudah
gagah, tampan, kekar, tampak kalem lagi. Hmm... siapa dia sebenarnya?"
Penilaian seperti itu jelas
datang dari seorang perempuan. Si pemilik sepasang mata itu ternyata memang
seorang perempuan. Masih muda, sekitar berusia dua puluh lima tahun. Tapi
agaknya sudah tidak perawan lagi. Bukan karena dilihat dari jalangnya yang
melebar, tapi karena wajahnya yang cantik itu tampak sudah cukup matang dalam
pergaulan asmara.
Perempuan itu berpakaian serba
kuning gading. Bajunya tanpa lengan, tapi bagian depannya rapat sampai batas
perut. Untuk belahan dadanya sedikit lebar, dan sepertinya sengaja memamerkan
gumpalan dua bukit di dada itu. Tentu saja yang dipamerkan yang sebagian, tidak
seluruhnya. Justru karena gumpalan bukit dadanya tampak sebagian, putih, mulus,
sekal sedikit mengkilap karena keringat. maka pemandangan seperti itu jelas
akan menarik perhatian setiap pria.
Perempuan itu mempunyai rambut
panjang, tapi digulung ke atas sebagian, sisanya berjuntai ke bawah seperti
ekor kuda. Sisa rambut yang berjuntai ke bawah itu panjangnya sampai pundak
lewat sedikit. Di samping cantik dan berhidung bangir, perempuan itu juga
mempunyai bibir yang segar, merekah, bawahnya sedikit tebal tapi indah dan
menimbulkan khayalan untuk dikecup bagi lawan jenisnya.
Ia mengenakan ikat pinggang
dari kain merah yang dipakai untuk selipkan sebilah pedang bergagang besi putih
antikarat. Sarung pedangnya juga dari logam antikarat tanpa ukiran apa pun.
Tapi ujung gagang pedang mempunyai ronce-ronce benang merah sebagai penghias.
"Hei, ke mana tadi
perginya si tampan?! Kok tiba-tiba lenyap begitu saja? Wah, rugi besar aku
kalau begini caranya, sudah jongkok dari tadi, eeh... kehilangan pemandangan
indah. Hmmm.., ke mana dia, ya?"
Perempuan itu mulai keluar
dari balik gugusan batu cadas. Matanya memandang ke sana-sini mencari si pemuda
berbaju coklat tanpa lengan dengan celana putih lusuh. Perempuan itu tak tahu
bahwa pemuda yang rambutnya panjang sepundak, lurus dan lembut, tanpa ikat
kepala dan menenteng bumbung tuak tadi adalah Pendekar Mabuk alias Suto
Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Perempuan itu tak tahu kalau
Pendekar Mabuk mempunyai jurus 'Gerak Siluman' yang dapat bergerak secara
tiba-tiba dengan kecepatan menyamai kecepatan sinar.
"Kampret betul pemuda
itu, dia membelok ke mana tadi kok tahu-tahu sulit dicari batang hidungnya.
Batang hidungnya saja sulit dicari, apalagi batang anunya. Maksudku... batang
lehernya. Hi, hi, hi, hi...!"
Perempuan berkulit putih mulus
itu tertawa sendiri dalam hatinya. Ia segera naik ke atas gugusan batu cadas karena
rasa penasaran untuk mencari pemuda tampan yang dilihatnya tadi. Agaknya hati
si perempuan merasa senang jika dapat melihat pemuda itu lebih lama lagi.
"Brengsek! Jangan-jangan
dia jin penunggu hutan ini?" gumam si perempuan dengan suara pelan.
"Tapi kalau dia jin penunggu hutan ini, kok gantengnya bukan main, ya?
Kurasa walau seandainya ia peranakan jin, aku tidak keberatan jika diambil
istri olehnya. Tapi... tapi
kalau dia jin, biasanya itunya
besar, ya? Maksudku..., suaranya besar. Kalau bicara bisa bikin telinga budek.
Apalagi kalau mengerang-ngerang saat bercumbu, wow..., dadaku bisa kempes
mendadak karena getaran suaranya. Hi, hi, hi, hi...."
Perempuan itu tertawa sendiri
bukan saja dalam hati, tapi lewat mulut pun ia keluarkan suara tawa lirihnya.
Pikirannya selalu mengarah pada hal-hal yang bersifat 'ngeres', seakan
menandakan bahwa dia amat menyukai yang 'ngeres-ngeres', misalnya... pasir,
debu, dan sebagainya.
"Ah, coba kucari ke arah
selatan sana. Soalnya tadi kulihat di selatan ada sungai. Jangan-jangan pemuda
itu mandi di sungai. Kalau benar dia mandi di sungai, woow..., mendebarkan
sekalilah yaow...! Hi, hi, hi...."
Perempuan lincah dan berkesan
genit itu segera bergegas turun dari atas gugusan batu cadas. Wuut...!
Jleeg...! Ia lakukan satu lompatan kecil untuk mencapai tempatnya mengintai
tadi. Tapi baru saja ia ingin bergegas menuruni bukit cadas tersebut, tiba-tiba
ia harus terpekik kecil saat membalikkan badan.
"Ooh...!" matanya
mendelik, mulutnya ternganga kecil bagai memamerkan bibirnya yang merekah ranum
itu. Mengapa ia terpekik kaget?
Karena ternyata pemuda yang
diintainya dan dicari-cari tadi sudah ada di belakangnya. Pendekar Mabuk
berdiri dengan tenang dan senyum kalem yang mendebarkan hati. Perempuan itu
jadi salah tingkah, akhirnya pasang lagak cemberut dan sok galak.
"Mau apa kau, hah?! Mau
memperkosaku, ya? Iya?!"
Pendekar Mabuk yang berhidung
bangir dan bermata indah untuk ukuran mata lelaki itu hanya semakin memperlebar
senyum. Si perempuan memaki dalam hati begitu melihat senyum itu melebar.
"Kucing burik! Ditanya
malah tersenyum, bikin hatiku makin deg-degan saja. Ih... tapi rasanya darahku
mengalir dengan indah begitu melihat senyumannya semakin lebar lho. Aduuh...
enak sekali rasanya mengalami desiran seperti ini."
Tapi wajah cantik itu masih
berlagak ketus dan galak. Matanya seakan memancarkan permusuhan dan kebencian.
Namun si murid sinting Gila Tuak itu bukan orang bodoh. Ia dapat mengartikan
pancaran pandangan mata yang berpura-pura itu. Maka dengan suara lembut ia
berkata kepada si perempuan.
"Mengapa kau menyangka
aku ingin memperkosamu, Nona?"
"Karena kau tiba-tiba
muncul di belakangku. Pasti kau mau menyergapku dari belakang!"
"Kalau aku mau
menyergapmu, mengapa harus dari belakang? Apa enaknya? Bukankah lebih enak
menyergap dari depan?"
"Iya juga sih...,"
ucap perempuan itu dalam hati. Ia jadi malu sendiri, namun masih mampu tutupi
rasa malu itu dengan lagak angkuhnya.
"Justru aku ingin
bertanya padamu, Nona," kata Suto Sinting sambil sandarkan punggungnya di
batu cadas yang menjulang tinggi itu.
"Mau tanya soal apa? Kau
kira aku dukun yang bisa mengetahui nasibmu?"
"Aku bukan mau bertanya
tentang nasib dan masa depanku. Karena masa depanku adalah masa bodo
bagiku."
"Lalu kau ingin bertanya tentang
apa?!" sentaknya dengan dagu dinaikkan sedikit biar tampak galak dan
judes.
"Aku hanya ingin
bertanya, mengapa kau sejak tadi mengintaiku dari celah bebatuan itu? Apa
maksudmu berbuat begitu, Nona?"
Kontan wajah perempuan cantik
itu menjadi merah, seperti kulit bisul mau pecah. Ia gelagapan sesaat dan
pandangan matanya menjadi salah tingkah.
"Sialan! Rupanya dia tahu
kalau kuperhatikan dari tadi. Ih, malu sekali!" pikir perempuan itu.
"Katakan terus terang,
apakah kau ingin mencelakaiku? Kau ingin membunuhku dari belakang?" tanya
Suto Sinting membuat perempuan itu semakin tak bisa bicara.
"Jika memang begitu
maksudmu, silakan membunuhku dari depan saja. Kau boleh menikamkan pedangmu di
bagian dada, ulu hati, perut, bawah lagi, dan bawah lagi, silakan pilih!"
Semakin malu perempuan itu
berhadapan dengan Suto Sinting. Ia memalingkan wajah memandang arah lain.
Hatinya bergumam dalam nada gerutu.
"Sial betul, kenapa aku
jadi tak bisa bicara lagi? Kenapa aku tak bisa berlagak galak lagi? Hmmm... dia
tahu-tahu ada di belakangku, di atas bukit ini, berarti dia mempunyai ilmu
cukup tinggi. Yaah... setidak-tidaknya dua tingkat di bawahkulah...."
Suto Sinting semakin mendesak
perempuan itu.
"Mengapa kau diam saja?
Mengapa galakmu hilang?"
"Namaku: Sunting
Sari."
"Lho, aku tidak tanya
namamu kok. Aku tanya, kenapa kau diam saja? Mengapa tiba-tiba kau sebutkan
namamu?"
"Celaka!" geram
Sunting Sari dalam hatinya. "Iya, ya... kenapa aku jadi sebutkan namaku?
Aduh, benar-benar kacau otakku kalau begini! Pergi saja, ah!"
Namun belum sempat Sunting
Sari pergi, tiba-tiba datang seberkas sinar biru bundar sebesar kelereng yang
melesat dari bawah bukit menuju punggung Sunting Sari. Dengan cepat tangan Suto
menyambar baju Sunting Sari dan menariknya dalam pelukan. Bet, wuuut...!
"Ouh...!" pekik
Sunting Sari. "Kurang ajar kau...."
Sunting Sari mau menampar
Suto, tapi gerakan tangannya terhenti seketika karena mendengar suara ledakan
yang mematahkan dahan sebuah pohon di seberang gugusan cadas itu.
Duaar...! Kraak...! Brruuk...!
"Oh, kenapa pohon itu
patah?!" ucap Sunting Sari dengan mata terbelalak dan punggungnya tetap
bersandar di dada Suto Sinting.
"Seseorang ingin
membunuhmu dengan sinar biru. Hampir saja punggungmu yang patah seperti dahan
itu!"
"O, ya...?!" Sunting
Sari segera tarik diri dan sengaja lepas dari pelukan Suto Sinting. Ia
memandang ke arah belakang, ternyata di bawah sana ada seorang gadis yang
memandangnya dengan kedua tangan bertolak pinggang.
"Setan burik! Rupanya dia
yang mau membunuhku tadi. Hiaaah...!"
Sunting Sari segera melompat
dan tubuhnya melayang turun bagaikan terbang. Tangannya menyentak saat kakinya
mendekati tanah dan dari sentakan tangannya itu keluar sinar berasap warna
merah. Claaap...! Wweeess...!
Gadis berjubah biru tanpa
lengan itu hanya me-nudingkan telunjuknya. Claaap...! Sinar biru lurus keluar
dari telunjuk itu dan menghantam sinar merahnya Sunting Sari.
Blaaarrr...!
Kedua sinar meledak di
pertengahan jarak. Sunting Sari menapakkan kakinya ke tanah. Lalu ia segera
menerjang gadis berambut pendek itu.
"Heiaaat...!"
Gadis berusia sekitar dua
puluh tiga tahun itu tak mau menghindar, namun justru lakukan lompatan ke depan
menyongsong terjangan Sunting Sari. Maka kedua perempuan itu saling beradu
pukulan di udara dengan gerakan cepat.
Plak, plak, plak,
blaaarrrr...!
Keduanya sama-sama terpental
dan jatuh berdebam di tanah. Suto Sinting hanya memandang dari atas gundukan
cadas yang membukit itu. Namun dahinya berkerut tajam karena ia merasa
mengenali gadis berjubah biru dengan pakaian dalam biru tipis transparan itu.
"Kalau tak salah dia
adalah si Tenda Biru?! Ooh...celaka si Sunting Sari. Pasti dia akan babak belur
melawan Tenda Biru yang mendapat ilmu warisan dari Eyang Tapak Lintang dari
Gunung Rangkas itu!" kata Suto dalam hati sambil mengenang peristiwa
mencari Bunga Kecubung Dadar demi menolong Tenda Biru, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Gadis Tanpa Raga").
Perhitungan Suto Sinting
ternyata memang benar. Tenda Biru berhasil bangkit secepatnya, kemudian
melayang cepat bagaikan terbang dan kakinya menyambar kepala Sunting Sari.
Plook...!
"Aauh...!" Sunting
Sari terpental setelah tubuhnya melintir beberapa saat, memutar cepat dan
membentur dinding cadas. Brruus...! Tetapi hebatnya, Sunting Sari tak mengalami
luka sedikit pun. Pada bagian pelipisnya tak terdapat warna merah atau memar
akibat tendangan Tenda Biru tadi. Ia justru melenting ke udara dengan
menyentakkan telunjuk ke tanah. Wuuut...! Di sana ia bersalto satu kali,
kemudian hinggap di atas sebatang dahan. Jleeg...! Dari atas pohon itu ia
lepaskan pukulan bersinar merah lurus bagaikan tombak. Slaaap...!
Tenda Biru berlutut satu kali,
telapak tangannya menghadang sinar merah itu dalam keadaan sudah membara biru.
Sinar merah lurus itu menghantam telapak tangan yang membara biru dengan telak
sekali. Jlab...! Blegaaaarr...!
Ledakan dahsyat mengguncangkan
alam sekitar mereka, termasuk pepohonan bergetar dan batu-batu pun ikut
bergetar. Bahkan bukit cadas itu mengalami longsor sedikit di salah satu
sisinya membuat Suto Sinting terpaksa cepat-cepat berkelebat turun dari atas
bukit tersebut. Zlaaap...!
Dalam sekejap Suto Sinting
sudah tiba di pertengahan jarak kedua perempuan tersebut. Ia memandang ke kiri,
ternyata Sunting Sari jatuh terkapar dengan mulut berdarah akibat gelombang
ledakan yang menghantam dadanya tadi. Suto menengok ke kanan, tampak si Tenda
Biru jatuh terduduk dengan wajah pucat dan tangannya bengkak membiru. Namun
kedua perempuan itu sama-sama berusaha untuk lekas berdiri untuk tunjukkan
bahwa diri mereka masih tahan lakukan pertarungan lagi.
"Hentikan! Hentikan semua
ini!" seru Suto Sinting sambil menengok ke kanan-kiri.
"Rupanya kau sudah
terpikat oleh si perempuan lacur itu, Suto!" sentak Tenda Biru sambil
menuding Sunting Sari.
"Tenda Biru, dengarkan
penjelasanku...."
"Aku tak perlu
penjelasanmu! Aku tak suka melihat kau akrab dengannya! Ketahuilah, dia adalah
perempuan yang dari kemarin kukejar karena nyaris celakai sahabatmu, si Panji
Klobot!"
"Hahhh...?!" Suto
Sinting terkejut. "Sekarang di mana Panji Klobot?!"
"Dirawat di pondok si
Kusir Hantu! Tapi kurasa kau tak perlu datang menengoknya! Erami saja perempuan
itu dan lupakan tentang kami!"
"Tenda Biru...,"
seruan Suto Sinting itu terhenti, langkah Suto pun diurungkan karena tiba-tiba
Tenda Biru melesat naik ke atas bukit dalam keadaan terbang mundur. Dari atas
sana Tenda Biru berseru.
"Perempuan jalang...,
jika kau masih tetap ingin membunuh Panji Klobot, kau akan berhadapan denganku
dan akan kehilangan nyawa! Ini peringatan terakhir bagimu! Sekalipun kau merasa
didukung oleh Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu, tapi aku tak akan gentar
melawannya!!"
"Biadab kau...!"
bentak Sunting Sari sambil melepaskan pukulan bersinar hijau seperti bintang.
Claap...!
Suto Sinting berkelebat dan
menangkis pukulan sinar hijau itu dengan bumbung tuaknya. Teeb... Wuuuss...!
Sinar hijau itu berbalik arah dalam keadaan lebih cepat dan lebih besar lagi
dari ukuran aslinya.
Blegeeerr...!
Sebuah pohon besar terhantam
sinar hijau itu. Hampir saja Sunting Sari mengalami korban pukulannya sendiri
yang berbalik arah itu. Untung ia segera melesat tinggalkan tempat berdirinya
itu, sehingga pohon besar itulah yang akhirnya pecah menjadi berkeping. Sunting
Sari terbelalak kaget dan terheran-heran, sebab biasanya sinar hijaunya itu tak
sampai sedahsyat itu.
"Tenda Bi...," Suto
terbungkam seketika, karena Tenda Biru ternyata sudah tidak ada di tempatnya.
"Sial!
Dia telah pergi!"
"Rupanya kau bernama Suto
Sinting, yang dikenal dengan julukan Pendekar Mabuk itu?" ujar Sunting
Sari.
"Benar. Apakah kau pernah
mendengar namaku?"
"Banyak mulut perempuan
binal membicarakan tentang dirimu!
Hmm... ternyata hanya seperti ini orangnya!" sambil Sunting Sari mencibir,
seakan meremehkan nama Pendekar Mabuk.
Perempuan itu mendekati Suto
dengan wajah dibuat sinis. "Aku hanya mempunyai nama yang...."
Brruuk...!
Tiba-tiba Sunting Sari jatuh
berlutut di depan Suto. Pendekar Mabuk terkejut dan terlambat menyambar tubuh
itu. Napas Sunting Sari terengah-engah, mulutnya mengeluarkan darah kental yang
semakin mencemaskan hati Suto.
"Apa yang.terjadi pada
dirimu, Sunting Sari?!"
"Ak... aku terluka dalam
akibat pukulan gadis jahanam itu!"
"Minumlah tuakku! Lekas
minum sebelum lukamu menjadi lebih parah lagi!"
Mulanya Sunting Sari menolak
tawaran minum tuak, sebab ia belum tahu bahwa tuak itu adalah tuak sakti
berkhasiat tinggi untuk menyembuhkan luka maupun penyakit akibat racun. Tapi
setelah dibujuk beberapa kali dan Sunting Sari merasa semakin banyak
memuntahkan darah kental, maka ia pun mau meneguk tuak tersebut.
Ternyata beberapa saat setelah
meneguk tuak, ia merasakan ada perubahan pada luka dalamnya. Dadanya tak terasa
panas, pernapasannya pun menjadi longgar, bahkan tubuhnya menjadi terasa segar,
lebih segar dari sebelum bertemu dengan Suto Sinting.
"Luar biasa! Ternyata
tuaknya mempunyai kekuatan gaib yang sangat menakjubkan," gumam Sunting
Sari dalam hatinya.
"Sunting Sari, benarkah
kau akan membunuh Panji Klobot?" tanya Suto setelah ingat kata-kata Tenda
Biru tadi.
Perempuan yang merasa sudah
diselamatkan jiwanya dari luka berbahaya itu akhirnya bersikap ramah dan tidak
berlagak angkuh lagi. Ia berkata dengan suara rendah.
"Aku disuruh menangkap
Panji Klobot. Jika tak bisa ditangkap, harus dibunuh! Begitulah perintah yang
kuterima."
"Siapa yang memberimu
perintah begitu?"
"Ketuaku...."
"Ketua perguruan?"
sergah Suto.
"Ketua Partaiku."
"O, kau tergabung dalam
partai apa?"
"Partai Janda Liar!"
jawabnya sedikit bernada tegas, seakan membanggakan partainya.
Pendekar Mabuk terkejut,
karena ia tahu bahwa Ketua Partai Janda Liar adalah si Selimut Senja. Ia pernah
berurusan dengan Selimut Senja gara-gara mencuri panah emas untuk hancurkan
kabut sinar ungu yang menutupi matahari dan membuat wajah perempuan berilmu
awet muda itu menjadi tua. Untuk mencuri panah tersebut, ia mengaku sebagai
Panji Klobot, karena hal itu adalah siasat yang digunakan Suto bersama Panji
Klobot.
Selimut Senja yang bergairah
kepada Suto itu akhirnya beranggapan bahwa ia sedang bergairah kepada Panji
Klobot dan memburu si Panji Klobot. Padahal Panji Klobot sendiri bukan tokoh
sakti. Ia tidak mempunyai ilmu apa-apa dan sekarang sedang dididik oleh Tenda
Biru. Tak heran jika Ketua Partai Janda Liar itu sekarang memburu Panji Klobot,
karena setahunya
Suto bernama Panji Klobot,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bencana Selaput Iblis").
"Maukah kau menghentikan
pengejaranmu terhadap Panji Klobot?" tanya Suto kepada Sunting Sari.
Perempuan yang kini telah sehat
itu menggelengkan kepala tegas-tegas.
"Aku harus bisa menangkap
atau membunuh Panji Klobot!"
Suto hanya membatin,
"Celaka! Berarti kau harus berhadapan denganku, Sunting Sari! Adakah jalan
lain untuk menghindari pertikaianku dengan Sunting Sari? Bingung juga aku
jadinya kalau begini. Yang jelas, tak mungkin aku akan diam saja jika nyawa
Panji Klobot terancam bahaya!"
Pendekar Mabuk tertegun
beberapa saat.
*
* *
2
SEBETULNYA Suto ingin
meninggalkan Sunting Sari karena ia tak ingin berhadapan dengan perempuan itu
dalam perkara pengejaran terhadap diri Panji Klobot. Tetapi sebelum Suto
melangkah pergi, perempuan itu perdengarkan suaranya yang bernada lirih.
"Suto, dapatkah kau
membantuku untuk satu hal yang amat rahasia?" Pendekar Mabuk kerutkan dahinya
ketika memandang Sunting Sari.
"Membantumu dalam hal
apa?"
"Menggulingkan kedudukan
Ketua Janda Liar."
"Hah...?!" Suto
terperanjat mendengarnya.
Sunting Sari ingin menjelaskan
maksud ucapannya itu, tetapi tiba-tiba mereka mendengar suara gemuruh dari arah
barat. Pendekar Mabuk lebih terperanjat lagi ketika melihat langit barat
menjadi hitam dan hujan turun dengan deras. Hujan itu berwarna merah dan sedang
bergerak menuju tempat mereka. Sunting Sari juga memandang ke arah barat, tapi
ia tidak setegang wajah Suto. Ia hanya merasa heran melihat hujan berwarna
merah.
"Cepat kita cari tempat
berlindung, Sari!" sambil Suto menarik tangan perempuan itu.
"Hujan aneh apa itu,
Suto?"
"Hujan berdarah! Cepat
berteduh, jangan sampai kau terkena tetesan air hujan itu!"
Sunting Sari semakin heran
melihat Suto tampak panik. Bahkan pendekar tampan itu menyambar tubuh Sunting
Sari dan memanggulnya, kemudian bergerak cepat menggunakan jurus 'Gerak
Siluman'-nya.
Zlaap, zlaaap, zlaaap...!
Dalam sekejap mereka sudah
sampai di lereng sebuah bukit. Hujan berdarah tak sempat mengejar mereka. Namun
hujan itu tetap bergerak seakan ingin menyapu seluruh permukaan bumi.
"Mengapa kau panik
sekali?" tanya Sunting Sari setelah mereka berada di sebuah gua.
"Hujan itu hujan berdarah
yang mengandung racun dapat membusukkan tulang. Kulitmu akan melepuh jika
terkena tetesan hujan berdarah itu, dan kau akan menjadi mayat yang membusuk
seperti bubur. Hujan itu adalah hujan kiriman dari seseorang yang berilmu
tinggi."
"Siapa orang itu?"
"Pangkar Soma, murid
mendiang Tengkuk Cadas yang mempunyai jurus 'Hujan Petaka'. Aku pernah
mengalami hal ini saat membantu membebaskan Tenda Biru dari kekuatan sihir Nyai
Ronggeng Iblis."
Suto segera menenggak tuaknya
beberapa reguk. Sunting Sari disarankan untuk minum tuak juga agar
sewaktu-waktu terkena percikan air hujan berdarah itu kulitnya tak akan
melepuh. Perempuan itu menurut setelah ia tahu sendiri kesaktian tuak Suto yang
dapat membuat seluruh lukanya lenyap dalam sekejap tadi.
"Aku akan menghantam
mendung itu agar hujan berdarah tidak membawa korban tak bersalah terlalu
banyak. Aku yakin pasti di sebelah barat sudah ada korban yang sebenarnya tak
punya masalah apa-apa dengan si Pangkar Soma."
"Apakah kau bisa
menghentikan hujan itu?"
"Mudah-mudahan...,"
jawab Suto sambil bergegas keluar gua. Kala itu hujan sedang bergerak ke
arahnya. Pendekar Mabuk cepat sentakkan tangannya ke langit dan keluarkan sinar
hijau yang melesat cepat menghantam awan hitam itu. Slaaap...!
Jegaaarrr...!
Slaaaap...!
Jegaaarrrr...!
Dua kali jurus 'Pukulan Guntur
Perkasa' dilepaskan oleh Pendekar Mabuk, ternyata sudah mampu memecahkan
gumpalan mendung hitam di langit. Hujan berdarah pun berhenti seketika. Tetapi
dari langit timur muncul lagi gumpalan mendung yang bergerak ke barat. Namun
gumpalan mendung itu menurunkan hujan biasa yang bagaimanapun lebih baik
dihindari daripada masuk angin. Maka Suto Sinting pun masuk ke dalam gua lagi.
"Hebat sekali!"
gumam Sunting Sari saat Suto Sinting memasuki gua yang tak seberapa lebar itu.
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis yang memancarkan daya pesona
tinggi, menggetarkan hati Sunting Sari.
"Sekarang yang turun
hujan biasa. Syukurlah... setidaknya bisa menyingkirkan bercak-bercak merah
darah yang membasahi alam sebelah barat tadi."
"Dapatkah kau
menghentikan hujan biasa ini?"
"Mudah-mudahan bisa. Tapi
sengaja kubiarkan hujan turun, di samping untuk membersihkan bekas hujan darah
juga untuk membasahi hutan dan persawahan. Maklum, sudah cukup lama hujan tak
turun, sehingga sawah dan ladang para petani dilanda kekeringan."
Pendekar Mabuk memandang hujan
sebentar dengan senyum tipis masih mengembang di bibirnya yang termasuk segar
untuk ukuran bibir seorang lelaki. Sunting Sari diam-diam memperhatikan penuh
rasa kagum dan bangga bisa berada dalam satu gua bersama Pendekar Mabuk yang
kondang itu.
"O, ya... tadi kau bilang
akan menggulingkan kedudukan Ketua Partai Janda Liar itu. Apa alasanmu ingin
bertindak begitu, Sunting Sari?"
"Dia membunuh nenekku,
aku harus membalasnya, tapi Selimut Senja mempunyai ilmu lebih tinggi dariku
dan aku tak bisa kalahkan dia."
"Siapa nenekmu itu?"
"Nyai Watu Wadon."
"Ooh...?!" Suto
Sinting terperanjat lagi.
Dalam benak Suto segera
terbayang wajah Nyai Watu Wadon yang sudah tua tapi masih lincah dan tegar itu.
Suto pernah berhadapan melawan Nyai Watu Wadon ketika nenek berjubah abu-abu
itu ingin membalas dendam kepada Bidadari Jalang; Bibi Gurunya Suto.
Nyai Watu Wadon sempat terluka
oleh pukulan Suto dan ia segera melarikan diri. Tetapi di perjalanan Nyai Watu
Wadon dicegat oleh Selimut Senja dan terjadilah pertarungan yang membuat Ketua
Partai Janda Liar itu tewas, dan Selimut Senja dinobatkan sebagai Ketua Partai
Janda Liar yang baru, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bencana
Selaput Iblis").
Sunting Sari lanjutkan
penjelasannya sambil duduk di atas sebuah batu bersebelahan dengan tempat
berdirinya Suto Sinting. Wajahnya sesekali memandang ke arah Suto, sesekali
sengaja menatap rintik hujan yang turun bersama kabut itu.
"Aku menjadi anggota
Partai Janda Liar secara kebetulan saja. Nenekku membentuk Partai Janda Liar
ketika aku pulang kembali kepadanya karena disia-siakan oleh suamiku. Setelah
Nenek Watu Wadon membunuh mantan suamiku itu, ia membentuk Partai Janda Liar
bersama beberapa perempuan yang dikecewakan oleh kaum lelaki."
"Kalau begitu kau sudah
pernah menikah?"
"Ya, aku menikah dengan
seorang putra adipati Johor. Usia pernikahanku hanya delapan bulan, dan kami
belum dikaruniai keturunan."
"Bagaimana dengan kedua
orangtuamu dan sanak saudaramu lainnya?"
"Kedua orangtuaku sudah
tiada sebelum aku menikah. Aku mempunyai seorang kakak dan seorang adik,
keduanya perempuan. Tapi entah di mana mereka sekarang. Kami berpisah sejak
kecil, ketika desa kami dilanda banjir besar."
Pendekar Mabuk menarik napas
karena digelitik oleh rasa iba kisah itu. Tetapi rasa iba itu tidak
ditonjolkan, sehingga kesedihan di hati Sunting Sari tidak semakin mendalam.
Perempuan itu bahkan masih mampu teruskan kisahnya dengan suara jelas.
"Aku bergabung dengan
nenekku, dan mendapat ilmu darinya sebagai tambahan ilmu yang sudah kudapatkan
dari mendiang guruku sendiri. Dalam hidupku, kala itu aku merasa hanya punya
satu saudara, yaitu seorang nenek. Dan aku membantu nenekku dalam membentuk
Partai Janda Liar, juga membantu dalam setiap pembalasan dendam kepada mereka
yang lukai hati kami."
"Apakah Selimut Senja tak
tahu kalau kau adalah cucu Nyai Watu Wadon?" sela Suto.
"Dia tahu, dan semua
anggota tahu bahwa aku adalah cucu Nyai Watu Wadon. Tapi Selimut Senja sangat
meremehkan diriku. Karena dia pikir jika aku berontak maka dengan mudahnya ia
dapat habisi nyawaku. Sementara aku sendiri berpikir, jika nenekku saja tumbang
melawannya, apalagi aku? Selimut Senja memang berilmu tinggi, apalagi setelah
ia menguasai ilmu 'Kulit Baja', seakan tak ada anggota kami yang sanggup
melawannya."
Pendekar Mabuk
manggut-manggut. Ia terkenang saat pertemuannya dengan Begawan Parang Giri,
kakeknya Selimut Senja. Pertemuan itu terjadi saat Suto Sinting mengembalikan
panah emas yang pernah dicuri oleh Selimut Senja dari tangan kakeknya. Saat
pertemuan itu, Begawan Parang Giri tampak bersyukur sekali kepada Suto atas
kembalinya panah emas yang dinamakan pusaka 'Jemparing Malaikat' itu.
"Aku sudah menduga, bahwa
kau akan tampil dalam masalah 'Selaput Iblis' dan kulihat sendiri hatimu saat
mencuri panah ini dari tangan Selimut Senja. Hatimu tulus tanpa niat untuk
memiliki. Maka kutuntun hatimu untuk datang padaku menyerahkan pusaka ini,
Nak."
"Mohon maaf, Eyang
Begawan, karena saya menggunakan pusaka ini tanpa seizin Eyang Begawan lebih
dulu."
"Tak apa, Nak. Karena
keadaan menuntutmu harus berbuat begitu dan aku harus mengikhlaskannya. Kurasa
aku lebih beruntung dalam hal ini, karena pusaka ini telah kembali padaku.
Tetapi kitab pusakaku belum bisa kembali dan aku sengaja tidak
mengejarnya."
"Haruskah saya merebut
kitab pusaka itu dari tangan cucu Eyang itu?"
"Tidak perlu! Karena di
dalam kitab pusaka itu ada jurus jebakan yang dapat celakakan diri orang yang
mencurinya. Cepat atau lambat, Selimut Senja akan menemui ajalnya karena jurus
jebakan dalam kitab tersebut."
"Tapi cucu Eyang dapat
menyebarkan bencana jika sikapnya masih sesat seperti itu. Mungkin sebagian
dari ilmu yang didapat melalui kitab pusaka itu digunakan untuk celakai orang
lain. Apakah Eyang tidak merasa bertanggung jawab atas segala keagungan
jurus-jurus di dalam kitab tersebut?"
"Nak, Selimut Senja itu
sudah bukan kuanggap cucuku lagi. Kalau kau berkesempatan melenyapkan dirinya,
lakukan saja dan aku tidak akan menuntutmu. Enam cucu lainnya, termasuk
kakaknya Selimut Senja juga sudah rela kehilangan Selimut Senja yang selama ini
mencoreng moreng nama keluarga. Hanya saja, keenam saudara Selimut Senja
berlagak tidak tahu-menahu tentang sepak terjang Selimut Senja, karena mereka
tidak kuat menahan rasa malu di depan para tokoh aliran putih."
Percakapan itu masih terngiang
di telinga Suto walau sudah beberapa waktu berselang. Renungan demi renungan
membuat Suto berkesimpulan bahwa Selimut Senja sudah dianggap mati oleh
kakeknya dan para sanak saudaranya. Rupanya hanya Selimut Senja yang masuk
aliran hitam dari sekian sanak saudaranya yang beraliran putih.
Renungan itu buyar karena
suara Sunting Sari terdengar jelas, sebab perempuan cantik itu sengaja dekati
Suto dan bicara beradu muka dalam jarak kurang dari selangkah.
"Suto, jika kau bisa
membantuku menggulingkan kekuasaan Selimut Senja, yang sekarang menamakan
dirinya Janda Liar itu, maka apa pun yang kau inginkan dariku akan kuturuti."
Suto hanya tersenyum tipis dengan mata memandang
lembut kepada Sunting Sari. Perempuan itu berkedip-kedip saat beradu pandang
bagai menampakkan kepasrahannya kepada Suto sambil bibirnya yang sensual itu
sedikit direkahkan hingga tampak menantang.
"Aku benar-benar ingin
mendapat dukungan dari orang berilmu tinggl sepertimu untuk menggulingkan Janda
Liar itu. Katakan, apa yang kau harap nanti dan sekarang dariku, semuanya akan
kupenuhi selama aku mampu melakukannya, Suto."
Pendekar Mabuk mengulurkan
tangan dan membelai rambut kepala Sunting Sari yang tampak berwajah penuh harap
itu. Dengan kalem dan suara lembut Suto berkata kepadanya,
"Akan kubantu kau, tapi
bebaskan Panji Klobot dari pengejaranmu, karena sesungguhnya kau salah
kejar!"
Setelah diam sesaat, Sunting
Sari menjawab, "Baiklah. Aku tak akan mengejar Panji Klobot lagi. Tapi
bagaimana dengan yang lain?"
"Maksudmu yang lain
siapa?"
"Ada beberapa orang lagi
yang ditugaskan untuk menangkap atau membunuh Panji Klobot. Sebab bagi yang
berhasil menangkap Panji Klobot akan mendapat hadiah istimewa dari Selimut
Senja, yaitu diangkat sebagai wakilnya dan diizinkan mempelajari ilmu 'Kulit
Baja'."
"O, begitu?"
Sunting Sari anggukkan kepala.
"Aku sangat bernafsu untuk pelajari ilmu 'Kulit Baja' itu, karena jika aku
sudah bisa kuasai ilmu tersebut, maka akan kugunakan untuk melawannya, membalas
dendam atas kematian nenekku."
Suto tertawa pelan seperti
orang menggumam.Tangannya semakin mengusap-usap tengkuk kepala Sunting Sari
dengan tanpa ragu lagi.
"Pembalasan itu tidak
selalu datang dari tangan kita sendiri, Sari," ujar Suto dengan tegas.
"Pembalasan akan datang dengan sendirinya tanpa harus kita buru.
Percayalah, Selimut Senja akan menerima ganjarannya sendiri jika waktunya telah
tiba."
"Tapi aku ingin buru-buru
dia disingkirkan dari Partai Janda Liar, Suto. Karena di bawah kepemimpinannya
Partai Janda Liar telah mengalami penyimpangan yang cukup jauh."
"Penyimpangan bagaimana
maksudmu?"
Sunting Sari memandang hujan
sebentar. Ternyata hujan masih deras dan belum tampak ingin mereda. Dalam
pertimbangannya, akhirnya Sunting Sari memutuskan untuk memperjelas keadaan di
tubuh Partai Janda Liar itu.
"Pada mulanya Partai
Janda Liar dibentuk untuk melampiaskan dendam kepada kaum lelaki yang menyakiti
hati kami dengan semena-mena. Dalam kitab ketentuan yang sudah disepakati
bersama, anggota Janda Liar boleh melakukan tindakan sekeji apa pun asal demi
menegakkan harga diri kaum wanita, menjunjung tinggi martabat kaum wanita, dan
menunjukkan kepada kaum pria di mana pun berada bahwa wanita pun mampu
setangguh kaum pria."
"Hmm..., sebuah tujuan
yang mulia tapi mungkin langkahnya kurang tepat. Lalu...?"
"Lalu sekarang di bawah
kepemimpinan Selimut Senja, tujuan itu telah diubah secara tak langsung. Siapa
pun yang menjadi anggota Partai Janda Liar, harus mampu memikat hati kaum pria,
mempermainkan cintanya, dan memperbudak kaum pria sebagai tenaga pemuas gairah
kami. Bahkan Selimut Senja member perintah kepada kami agar jangan segan-segan
membunuh seorang lelaki yang telah memuaskan gairah kami, bila perlu lelaki itu
dibuat tergila-gila dulu, setelah itu baru dibunuh."
"Kejam sekali!" ucap
Suto bernada geram karena merasa kaumnya direndahkan oleh Partai Janda Liar.
"Begitulah menurut
Selimut Senja cara membalas dendam terhadap kaum pria," tambah Sunting
Senja. "Maka di pesanggrahan, sekarang ini banyak para anggota yang
membawa kaum pria untuk bercumbu di kamar masing-masing. Kadang pria itu
dipakai oleh dua-tiga orang sebagai budak gairah mereka. Jika pria itu menolak,
akan dipaksa, jika paksaan sudah berhasil, pria itu akan dibunuh dan mayatnya
dibuang ke Jurang Celaka, tak jauh dari pesanggrahan kami di Lembah Liar
itu."
Pendekar Mabuk termenung
beberapa saat. Ia merasa mulai perlu bergerak untuk hentikan kemaksiatan para
anggota Partai Janda Liar itu. Tetapi dia ingin bergerak bukan berdasarkan
bujukan Sunting Sari, ia harus punya alasan lain untuk lakukan hal itu, di
antaranya menyelamatkan nyawa Panji Klobot atau melindungi kaum pria yang
diperdaya oleh Partai Janda Liar.
"Ada satu hal yang ingin
kutanyakan padamu, Suto."
"Tentang apa?"
Sunting Sari meraba dada Suto
Sinting yang terbuka dari bajunya itu. Dengan ujung-ujung jarinya ia menyentuh
dada itu, merayap pelan-pelan bagai sedang menikmati sentuhan dada perkasa.
"Kau sudah punya kekasih,
Suto?"
"Calon istri!" jawab
Suto mempertegas. "Aku sudah mempunyai calon istri, yaitu Ratu di negeri
Puri Gerbang Surgawi yang ada di Pulau Serindu. Dyah Sariningrum namanya, dan
Gusti Mahkota Ratu gelarnya."
"Oh, sayang
sekali...," ucapan itu sangat pelan, hampir saja tak terdengar oleh Suto.
Pendekar Mabuk hanya
sunggingkan senyum tipis melihat wajah memendam kekecewaan.
"Mengapa kau tanyakan hal
itu, Sari?"
"Hmmm... ehh... tidak,
tidak apa-apa," Sunting Sari gugup. "Aku... aku hanya ingin tahu,
apakah Panji Klobot itu saudaranya Dyah Sariningrum atau hanya seorang sahabat
biasa bagimu?"
Suto melebarkan senyum, karena
ia tahu Sunting Sari mengalihkan pembicaraan sebagai penutup rasa kecewanya.
Namun, Pendekar Mabuk tetap melayani pertanyaan itu dengan kalem, walau
jari-jemari Sunting Sari merayap di dada terus dan sesekali turun hingga ke
perut.
"Panji Klobot hanya
seorang sahabat. Dia bahkan orang yang tidak mempunyai ilmu apa-apa kecuali
'Tendangan Cuci Perut' pemberian pamannya itu. Dia bocah lugu dan tidak
mengerti apa-apa di dunia persilatan ini, Sari."
"Mengapa si Selimut Senja
sangat marah kepadanya dan kabarnya Panji Klobot telah mencuri sebuah pusaka
milik Selimut Senja berupa panah emas."
Suto tertawa pendek mirip
gumam. "Apa lagi yang dikatakan oleh Selimut Senja?"
"Katanya, Panji Klobot
itu pemuda yang tampan, gagah, dan perkasa. Sebenarnya Selimut Senja sangat
bergairah pada Panji Klobot. Tetapi karena Panji Klobot berhasil memperdayanya
dan mencuri panah emas, Selimut Senja menjadi benci kepada Panji Klobot. Jika
kami bisa menangkap Panji Klobot hidup-hidup, maka Selimut Senja akan
memanfaatkan dulu sebagai budak pemuas gairahnya, setelah itu baru dibunuh.
Tapi jika kami pulang membawa kepala Panji Klobot, sang Ketua juga merasa
senang dan akan merebus kepala itu sebagai pelampiasan dendamnya."
Pendekar Mabuk tarik napas
dalam satu senyum menawan. Mata perempuan itu memperhatikan senyuman tersebut
tanpa berkedip, hatinya kian berdebar indah kala menikmati senyuman yang begitu
menawan hati itu.
"Sebenarnya yang diburu
Selimut Senja adalah diriku," ujar Suto Sinting membuat dahi Sunting Sari
berkerut. Tanpa menunggu pertanyaan Sunting Sari, Suto lebih dulu berkata
melanjutkan penjelasannya itu.
"Akulah orang yang masuk
ke kamar Selimut Senja dan membuat gairah Selimut Senja meluap-luap. Aku
mengaku bernama Panji Klobot, dia tidak tahu kalau aku adalah Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk. Aku bicara tentang 'Selaput Iblis' dan ia sempat keluarkan panah
emasnya sebagai imbalan akan menghancurkan 'Selaput Iblis' jika aku mau
melayani gairahnya...."
"Lalu kau melayaninya
dengan hangat, bukan?"
Suto tertawa pendek dan pelan.
"Aku sengaja membakar
gairahnya saja, dan tak mau melayaninya karena aku hanya membutuhkan panah emas
itu. Aku berlagak lari keluar dari kamar dan menjauhi pesanggrahan. Lalu dia
mengejarku demi dapatkan puncak cumbuan hangatku. Pada saat itulah, aku
berkelebat masuk kembali ke pesanggrahan dan ke kamarnya tanpa ada yang mengetahui.
Lalu kucuri panah emas itu dan kugunakan untuk menghancurkan 'Selaput Iblis'.
Setelah itu, panah emas itu kukembalikan kepada pemilik sebenarnya, yaitu
Begawan Parang Giri, kakeknya Selimut Senja."
"Kau sempat berciuman
dengannya?"
"Ya," jawab Suto sambil
menahan geli.
"Kau... kau menyukai
cumbuan itu?"
"Hmmm... sebagai seorang
lelaki, wajar saja kalau menyukai ciuman perempuan secantik dia."
"Apakah kau tak ingin
bercumbu dengan perempuan lain?"
Pertanyaan itu mulai
mendebarkan hati Suto sebab ia tahu arah pertanyaan tersebut. Tapi Suto mencoba
untuk bertahan dan hanya tertawa pelan ketika Sunting Sari menatapnya dengan
tangan masih meraba di sekitar dada sampai perut.
"Kau tak ingin bercumbu
dengan perempuan lain, Suto?" ulangnya dengan lirih.
"Jika ya kenapa, dan jika
tidak kenapa pula?"
"Jika ya... aku senang
sekali."
"Mengapa senang
sekali?"
"Karena aku... aku...
aku...."
Pendekar Mabuk sengaja
memandang dengan senyum menggoda. Perempuan itu salah tingkah karena deburan
keras mulai melanda dadanya, sebagai tanda bahwa gairahnya mulai
berkobar-kobar. Wajahnya sedikit tengadah dan disodorkan kepada Suto Sinting.
Tanpa ragu-ragu lagi, Suto
Sinting akhirnya mengecup bibir itu dengan kecupan lembut sekali. Sunting Sari
bagai diterbangkan tinggi-tinggi oleh kecupan itu hingga lidahnya mulai
menari-nari melawan kecupan tersebut.
Sunting Sari akhirnya melumat
bibir Suto dengan penuh gairah, tanpa rasa malu dan sungkan lagi. Bahkan
kecupan itu merayap sampai ke leher Suto dan mencekam beberapa kali di sana.
Sunting Sari semakin bergairah lagi. Kini dada Suto Sinting disapu habis oleh
kecupan bibirnya. Bahkan semakin lama semakin turun ke bawah dan perempuan itu
nekat memberikan kenikmatan dengan mulutnya agar Suto lebih buas melawan
asmaranya.
Hujan di luar gua justru
menjadi terang, dan suara Suto yang mengerang panjang itu terdengar jelas
karena tak ada gemuruh hujan lagi. Suara itu membuat Sunting Sari semakin
bersemangat menciptakan keindahan di tubuh Suto dengan mulutnya.
Sayang sekali tiba-tiba
terdengar suara ledakan menggelegar yang merontokkan pasir-pasir di
langit-langit gua tersebut. Kemesraan itu terputus seketika walau terasa
mengganjal sesak di ulu hati keduanya.
"Ada yang bertarung tak
jauh dari gua ini!" ujar Suto Sinting menegang, cepat melupakan kemesraan
yang baru saja diperolehnya dari kelincahan lidah Sunting Sari tadi.
"Biarkan mereka
bertarung, Suto. Kita bertarung sendiri di sini...," rengek Sunting Sari
sambil menggenggam tangan Suto agar tak pergi.
"Mana mungkin kita bisa
bertarung asmara di sini kalau nanti akan timbul ledakan yang akan meruntuhkan
atap gua ini? Kita bisa mati dalam keadaan gancet, kan memalukan itu!"
"Oh, Suto... kau mau ke
mana?"
"Mau melihat siapa yang
bertarung di sekitar tempat ini!" ujar Suto sambil segera bergegas pergi.
Tapi baru sampai pintu gua ia terhenti lagi karena seruan Sunting Sari.
"Suto... tunggu! Celanamu
ketinggalan...!"
"Wah, kacau!" sentak
Suto sambil merapatkan kaki dan memandang ke bawah.
Terdengar suara Sunting Sari
tertawa cekikikan karena berhasil mengejutkan Suto dengan tipuannya.
"Sial kau! Kupikir
celanaku benar-benar ketinggalan!" gerutu Suto Sinting sambil merapikan
ikat pinggangnya, karena celana itu sebenarnya sudah dikenakan hanya kurang
rapi sedikit.
*
* *
3
PERTARUNGAN itu terjadi di
tanah datar berpohon jarang. Pendekar Mabuk segera merapatkan diri di balik
persembunyiannya di atas pohon, karena
ia mengenali kedua tokoh yang bertarung itu. Sedangkan Sunting Sari yang segera
menyusul naik ke pohon dengan satu lompatan, segera berbisik di samping Suto
Sinting bernada tegang.
"Bukankah itu si Janda
Liar sendiri, alias Selimut Senja?!"
"Ya, aku tahu persis
tentang dia," ujar Suto Sinting sambil memandang ke arah seorang perempuan
cantik, montok, dan sexy yang mengenakan jubah kuning bunga-bunga merah-hitam.
Perempuan berkutang kuning dari kain tipis dengan bawahan kain kuning tipis
berbelahan dua kanan-kiri itu tampak bergerak dengan gemulai bagai sedang
menari di depan lawannya.
"Lawannya itu
siapa?" bisik Sunting Sari sambil berpegangan pundak Suto.
"Dia yang bernama Pangkar
Soma, yang tadi mendatangkan hujan darah sangat berbahaya bagi siapa saja
kecuali dirinya itu."
"Ooo.... Siapa Pangkar
Soma itu?"
Sambil memandang lelaki
berusia sekitar enam puluh lima tahun yang rambutnya telah putih, meriap tanpa
ikat kepala, badan agak gemuk ditutup jubah dan celana merah, Suto Sinting
jelaskan sedikit tentang Pangkar Soma.
"Pangkar Soma itu
muridnya mendiang Tengkuk Cadas. Ilmu yang diperolehnya dari Tengkuk Cadas itu
jika digabungkan dengan ilmunya tokoh penguasa Pulau Siluman yang bernama Nyai
Ronggeng Iblis, akan menjadi suatu kekuatan maha dahsyat. Pangkar Soma
seharusnya mendapat Ilmu dari Nyai Ronggeng Iblis, tapi karena Nyai Ronggeng
Iblis telah mati di tanganku, maka Pangkar Soma tak berhasil memiliki ilmu maha
dahsyat itu."
"Dia tokoh aliran
hitam?"
"Ya. Dan entah persoalan
apa yang membuatnya bermusuhan dengan Ketua Partai Janda Liar itu. Kita lihat
saja pertarungan ini."
"Barangkali hujan darah
tadi dikarenakan Pangkar Soma ingin hancurkan si Janda Liar dengan jurus
mautnya itu."
"Kurasa memang begitu.
Tapi agaknya ilmu 'Kulit Baja' yang dimiliki Selimut Senja itu membuatnya
selamat dari racun dalam hujan darah tadi."
"Kurasa...."
"Ssst...! Perhatikan,
jurus apa yang dipakai oleh ketuamu itu?!"
Selimut Senja menari-nari di
angkasa. Tubuhnya terangkat naik tanpa menyentuh tanah. Gerakan tangannya
seperti orang menari cepat, dan tiba-tiba dari kelima kuku jari tangan kanannya
keluar lima larik sinar kuning yang berasap. Wuuusss...!
Pangkar Soma menghindari lima
larik sinar itu dengan satu lompatan ke arah samping. Kakinya menjejak pohon,
dan tubuhnya melesat ke pohon yang satu. Lalu di sana menjejak pohon lagi, dan
melesat lagi ke arah pohon yang lain, sampai akhirnya bersalto dan tiba di
samping Selimut Senja.
Blegeaaaarrrr...!
Lima larik sinar kuning
menghantam pohon dan pohon itu hancur menjadi serbuk lembut dari akar, batang,
sampai pada daunnya.
Pada saat itu, Pangkar Soma
segera membalas dengan melepaskan pukulan sinar merah berkelok-kelok seperti
ular terbang. Claaap, lap, lap, lap...! Sinar merah itu menghantam pinggang
Selimut Senja.
Jgeeaaar...!
Selimut Senja terpelanting
dalam keadaan melambung naik, namun segera bersalto dan berhasil mendarat
dengan kedua kaki menapak ke tanah secara tegak. Jleeeg...! Lalu seulas senyum
sinis mengembang di bibir Selimut Senja.
"Gila! Ledakan sebesar
itu tidak membuat tubuhnya hancur! Bahkan jubahnya masih tampak utuh, tidak
robek atau hangus sedikit pun?!" gumam Suto Sinting pelan, dan Sunting
Sari segera berbisik pula di dekat telinga Suto.
"Itulah kehebatan ilmu
'Kulit Baja'-nya. Sampai barang apa pun yang menempel pada tubuhnya tak akan
bisa diputuskan atau dirobek."
"Kurasa, Pangkar Soma
sulit menumbangkan si Janda Liar."
Dugaan Suto memang benar.
Pangkar Soma segera menggunakan senjatanya berupa cambuk warna merah yang
diberi nama 'Cambuk Iblis' itu. Ia melecutkan cambuk tersebut ke punggung
Selimut Senja ketika Selimut Senja menari dengan bergerak memutar lamban.
Ctaaarr...! Cambuk itu
mengeluarkan sinar merah kecil dari ujungnya dan mengenai punggung Selimut
Senja. Tetapi perempuan cantik itu hanya tersentak sedikit ke depan, dan
punggungnya tetap dalam keadaan utuh walau kilatan sinar merah tadi mengepulkan
asap bagai membakar sesuatu. Bahkan kain jubah yang dikenakan Selimut Senja
juga masih tampak utuh tanpa robek atau hangus sedikit pun.
"Biadab betul kau, Janda
Liar!!" geram Pangkar Soma. "Rupanya kau sengaja pamer ilmu di
depanku, hah?!"
Selimut Senja masih
menari-nari pelan dan berseru dengan nada menghina lawan.
"Ilmu yang kau miliki
adalah ilmu bayi kemarin sore, Pangkar Soma! Mana mungkin bisa kau pakai untuk
melawanku. Sebaiknya kau urungkan niatmu untuk membunuhku, Pangkar Soma!"
"Keparat busuk! Jangan
bangga dulu kau dengan ilmumu itu, Selimut Senja! Bagaimanapun tingginya
ilmumu, kau tetap akan kuhancurkan sebagai pembalasanku terhadap kematian
adikku yang kau bunuh beberapa waktu yang lalu."
"Adikmu layak kubunuh,
karena dia mempermainkan hatiku dan menganggapku sebagai istri murahan! Jika
kau berpandangan seperti adikmu, maka kau pun layak kukirim ke neraka menyusul
adikmu, Pangkar Soma!"
"Jahanam tengik!
Terimalah jurus 'Cambuk Iblis' ini, hiaaah...!" Pangkar Soma lecutkan cambuk
ke atas. Ctaaarrr...! Dari ujung cambuk keluar sinar biru yang segera melebar
menyiram tubuh Selimut Senja. Zrrraaab...!
Selimut Senja terkurung sinar
biru itu. Tetapi dengan satu sentakan kedua tangan ke samping bagai sebuah
tarian sakral, tiba-tiba sinar biru itu pecah bersama bunyi ledakan yang
menggelegar.
Jegaaarrr...!
Biasanya benda apa pun akan
menjadi serbuk halus jika terkena sinar biru jurus 'Cambuk Iblis' itu. Bahkan
puncak sebuah bukit pun pernah terkena lecutan jurus 'Cambuk Iblis' itu dan
puncak bukit tersebut menjadi rata separo bagian, berubah menjadi gundukan
pasir halus.
Tapi kali ini agaknya Pangkar
Soma mendapatkan lawan yang tangguh. Selimut Senja masih tetap utuh tanpa luka
sedikit pun walau telah ter-bungkus sinar biru tersebut.
Hal ini membuat Pangkar Soma
terbelalak kaget dan menjadi sangat tegang. Ia melangkah mundur dua tindak.
"Gila! Dia tidak terluka
sedikit pun?! Ilmu apa yang dimiliki si perempuan tengik itu?! Keparat betul
dia!" geram hati Pangkar Soma sambil berpikir mencari kelemahan lawannya.
Tiba-tiba Pangkar Soma
melenting ke atas dalam gerakan bersalto di udara, kemudian cambuknya menyabet
dengan cepat di ubun-ubun Selimut Senja. Ctaaarr...! Ujung cambuk itu keluarkan
sinar ungu berbentuk seperti anak panah. Claap...! Sinar ungu itu menghantam
kepala Selimut Senja dengan telak. Blaaarrr...!
Selimut Senja tersentak ke
depan dan hampir jatuh. Ia segera berlutut dengan kedua tangan mengeraskan dua
jarinya dan menyentak ke atas. Claaappp...! Sinar merah dari dua tangan itu
melesat dan menjadi satu lalu menghantam tubuh Pangkar Soma.
Dalam keadaan gerakan turun ke
bawah, Pangkar Soma cepat-cepat melecutkan cambuknya. Ctaaar...! Blegaaarrr...!
Pangkar Soma justru terjungkal
sendiri. Gelombang ledakan itu menyebarkan hawa panas yang menyentak kuat.
Wajah Pangkar Soma selain kotor karena berlumur tanah basah, juga menjadi merah
bagaikan babi panggang. Dari mulut dan hidungnya keluarkan darah hitam yang
mengerikan.
"Pangkar Soma
terluka!" ucap Suto Sinting bernada tegang.
"Tentu saja, sebab tak
ada orang yang bisa menahan jurus 'Lembayung Getih' yang dilepaskan Selimut
Senja tadi," ujar Sunting Sari dalam bisikan. "Seharusnya jurus
'Lembayung Getih' jangan ditangkis, kalau ditangkis kekuatannya menjadi lebih
besar, karena menyatu dengan kekuatan jurus penangkisnya tadi."
Suto tak jadi ucapkan kata,
karena tiba-tiba mereka mendengar suara Selimut Senja berseru kepada lawannya.
"Terimalah saat
kematianmu, Pangkar Soma!"
Blaaas...! Pangkar Soma
tahu-tahu sudah tidak ada di tempat. Ia menggunakan sisa tenaganya untuk
melarikan diri karena merasa keadaannya sangat berbahaya. Lukanya cukup parah
dan jika tetap lakukan pertarungan akan semakin membahayakan jiwanya. Karena
itulah maka Pangkar Soma pergi tanpa pamit.
Kepergian itu sempat dilihat
oleh Selimut Senja. Kelebatan gerak yang cepat membuat Selimut Senja
mengimbanginya dengan satu jurus gerakan cepat yang dimilikinya.
"Jangan lari kau,
Keparat!" seru Selimut Senja, kemudian berkelebat mengejar lawannya.
Blaasss...!
"Kita ikuti mereka! Aku
ingin tahu siapa yang akhirnya unggul dalam pertarungan ini!" kata Suto
Sinting.
"Jangan! Nanti kalau si
Janda Liar melihatmu, dia akan berubah arah ganti mengejarmu. Karena kalau
benar kaulah yang mengaku bernama Panji Klobot, maka ia akan mengutamakan
dirimu daripada si Pangkar Soma!"
"Aku tak peduli! Kalau
perlu kutumbangkan sekalian dia!" selesai berkata begitu, Pendekar Mabuk
segera melesat tinggalkan tempat persembunyiannya.
"Hei, tunggu...!"
seru Sunting Sari yang gerakannya tak secepat Suto Sinting.
Suto Sinting tak peduli dengan
seruan itu. Ia selalu penasaran dengan sebuah pertarungan sebelum jelas siapa
yang kalah. Bahkan kali ini ia lebih penasaran lagi sebab setahunya Pangkar
Soma berilmu tinggi dan Selimut Senja juga berilmu tinggi. Yang mana yang akan
tumbang dari kedua tokoh aliran hitam itu?
Pengejaran Suto mengalami
salah arah ketika menyeberangi sebuah sungai. Ia melihat sekelebat bayangan di
seberang sungai. Maka dikejarnya bayangan itu dengan jurus 'Gerak Siluman'.
Sangkanya bayangan itu adalah bayangan Selimut Senja. Ternyata setelah Suto
berhasil mengikuti dari jarak dekat. Orang yang dikejarnya bukan Selimut Senja.
Bahkan perempuan itu sendiri terhenti langkahnya karena dihadang oleh seseorang
di depannya.
"Wirayuda...?!"
gumam Suto Sinting dalam hatinya sambil memperhatikan lelaki berusia lima puluh
tahun yang menghadang seorang perempuan berpakaian merah bercorak bola-bola
kuning.
Lelaki yang menghadang
perempuan berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu pernah dijumpai Suto
ketika orang tersebut melawan Nyai Mata Binal. Suto masih ingat, lelaki
berpakaian serba hijau, berkumis melintang dan berbadan besar itu tak lain
adalah Wirayuda, yang kala itu menuntut Nyai Mata Binal, karena sang Nyai telah
melenyapkan ilmu adiknya Wirayuda, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Perempuan Jahanam").
"Tetapi siapa perempuan
berhidung mancung dan bermata sayu itu?" pikir Suto Sinting dari
persembunyiannya. "Agaknya dia tadi dikejar-kejar oleh Wirayuda dan tampaknya
ketakutan sekali menghadapi Wirayuda. Hmmm... sebaiknya kusimak saja keadaan
mereka berdua."
Perempuan berbaju merah
bola-bola kuning itu sudah pegangi gagang pedang di pinggangnya, siap
mencabutnya walau ia melangkah mundur pelan-pelan. Sedangkan Wirayuda semakin
menampakkan keberangannya dengan memandang tajam dan menyerukan suaranya yang
besar.
"Mau lari ke mana saja
tetap akan kutemukan kau, Rumbani!"
"Kejarlah aku dan kau
akan kehilangan nyawamu, Paman Wirayuda!" gertak perempuan yang ternyata
bernama Rumbani itu.
"Hah, hah, hah, hah....
Masih saja berani menggertakku kau, Rumbani?! Apakah kau tak tahu kalau ayahmu
saja mati di tanganku, apalagi hanya seorang bocah sepertimu, Rumbani!"
"Tentu saja ayahku tewas
karena kau menyerangnya dari belakang, Paman Wirayuda! Kau memang licik!"
"Itu adalah siasat! Yang
jelas, licik atau tidak licik, sekarang juga kuminta kau mau serahkan kitab itu
padaku! Keluargamu tidak berhak menyimpan kitab pusaka tersebut."
"Aku tidak tahu menahu
tentang kitab itu! Sudah kukatakan berulang kali, aku tidak peduli dengan kitab
warisan Eyang Subokarti itu!"
"Omong kosong!"
Wirayuda mencibir. "Rupanya kau masih belum jera menerima hajaran tadi,
hah?!"
"Paman... kalau Paman
berani menggangguku lagi, kali ini aku benar-benar akan membunuh Paman!"
"O, kau bisa membunuhku?
Cobalah... coba terima dulu jurusku ini, Rumbani! Hiaaah...!"
Wirayuda berkelebat sambil
memutar tubuh dengan cepat. Kakinya menyambar kepala Rumbani yang sedang
mencabut pedangnya. Ploook...! Perempuan itu terlempar dan terbanting tanpa
sempat mengaduh. Pelipisnya menjadi biru dan darah mengalir dari telinganya.
Namun ia menahan rasa sakitnya itu mati-matian dan cepat bangkit sambil
menghunus pedangnya.
Sebelum pedang sempat
digunakan, tiba-tiba Wirayuda lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar hijau
kecil ke arah dada Rumbani. Claaap...! Rumbani berkelit dengan satu lompatan ke
samping. Tapi gerakannya terlambat, dan sinar hijau kecil itu telah berhasil
menghantam lambungnya. Duuus...!
"Aaahk...!" Rumbani
terpekik dan jatuh terpuruk tanpa bisa menahan dirinya lagi. Perutnya
mengeluarkan asap dan kain bajunya yang berbelahan dada cukup lebar itu
mengepulkan asap. Rumbani menyeringai dalam keadaan telentang sambil
mengeluarkan suara erangan memberat.
"Di mana kitab itu,
Rumbani!"
Tak ada jawaban dari Rumbani
kecuali rasa sakit yang dideritanya. Bahkan sekarang Suto melihat mulut gadis
itu keluarkan darah kental akibat pukulan sinar hijau tadi.
"Kalau kau tak mau bicara
tentang kitab itu, kumusnahkan ragamu sekarang juga, Rumbani!" gertak
Wirayuda dengan mata melebar. Tangan kanannya diangkat ke atas dalam keadaan
menggenggam. Tangan kanan itu sepertinya sedang dipersiapkan untuk melepaskan
pukulan berbahaya yang akan menghancurkan raga Rumbani.
"Cepat, katakan di mana
kau simpan kitab itu!"
"Ak... aku... benar-benar
tidak... tid... tidak tahu. Suummm... sumpah, Paman...."
"Kasihan. Orang
benar-benar tidak tahu kok dipaksa harus tahu," gumam Suto dalam hati.
"Baiklah!" seru
Wirayuda. "Agaknya sia-sia saja aku mengejarmu sampai di sini! Terimalah
jurus 'Retak Seribu' ini...."
Suto Sinting lebih dulu
melepaskan jurus 'Jari Guntur' yang berupa sentilan-sentilan bertenaga dalam
tinggi, kekuatannya seperti tendangan seekor kuda jantan yang sedang murka.
Tes, tes, tes, tes...!
Wirayuda terpental ke belakang
dan berguling-guling. Ia merasa diterjang sepasukan kuda perang yang sukar
ditahan kekuatannya. Serangan itu bertubi-tubi dan membuat Wirayuda
terlempar-lempar hingga di kejauhan sana.
Zlaaap...! Wuuuut...!
Suto Sinting segera menyambar
Rumbani dengan 'Gerak Siluman'. Perempuan yang masih memegangi pedangnya itu
tak tahu bahwa dirinya sedang dibawa pergi dari tempat itu, karena pandangan
matanya menjadi buram, tak bisa mengenali siapa-siapa.
Sementara itu, Wirayuda yang
terengah-engah dalam keadaan luka memar di beberapa bagian tubuhnya masih
berusaha mencari Rumbani. Ia menyangka perempuan itu melarikan diri, sehingga
ia pun segera mengejar Rumbani ke arah yang berlawanan dengan kepergian Suto
Sinting.
Ia tak tahu bahwa Rumbani
dibawa lari oleh Suto Sinting sampai di sebuah bangunan bekas kuil yang sudah
tidak terpakai lagi itu. Bangunan bekas kuil di dalam hutan itu mempunyai ruang
pemujaan yang berlantai kering, terhindar dari hujan tadi. Di sanalah Suto
baringkan Rumbani dan segera memberinya minum tuak. Dengan meminum tuak, maka
rasa sakit Rumbani segera lenyap dan luka-lukanya pun sembuh dengan cepat.
Rumbani menjadi segar dan bisa memandang dengan jelas kembali.
Ia terkejut ketika mengetahui
di depannya tampak seraut wajah lelaki tampan berhidung mancung dan berbibir
ranum. Ia semakin tertegun ketika mengetahui bahwa orang yang menyelamatkannya
dari ancaman maut Wirayuda itu ternyata seorang pemuda gagah, berbadan kekar
dan mempunyai senyum yang menawan.
Hatinya berdebar-debar ketika
Suto Sinting melebarkan senyumannya sambil mengajaknya bicara.
"Sudah segarkah tubuhmu,
Rumbani?"
Rumbani masih terbengong dalam
keadaan duduk.
"Kau sudah aman dari
Wirayuda. Tenang, jangan cemas lagi."
"Siapa kau, sehingga kau
mau selamatkan aku dari ancaman maut Paman Wirayuda?!"
"Aku yang bernama Suto
Sinting. Kebetulan saja aku salah kejar, sehingga melihatmu nyaris mati di
tangan Wirayuda. Apakah dia pamanmu asli?"
"Dia adik perguruan mendiang
ayahku," jawab Rumbani. "Dari mana kau tahu namaku?"
"Aku mendengar Wirayuda
menyebutmu: Rumbani."
"Kau juga kenal dengan
Paman Wirayuda?"
"Aku pernah jumpa
dengannya ketika ia berhadapan dengan seorang tokoh wanita yang sedang kuincar
untuk kupelajari kelemahan ilmunya itu."
Rumbani mencoba berdiri dan
merasakan kesegaran badannya yang sepertinya tak pernah terluka sedikit pun.
Dalam hati ia mengagumi tuak sakti ini, sehingga semakin bertambahlah rasa
simpatinya kepada pemuda tampan yang menolongnya itu.
Saat itu alam mulai meremang,
karena matahari telah tenggelam ke ufuk barat. Tinggal bias cahayanya yang
masih tersisa menyinari langit di atas cakrawala.
"Aku harus segera pergi.
Maukah kau mendampingiku?" ujar Rumbani tanpa sungkan-sungkan lagi.
"Sebenta lagi hari akan gelap. Tidakkah kau ingin
bermalam di suatu tempat, misalnya di sini?"
Rumbani tersenyum berkesan
nakal. "Tempatku tak jauh dari sini. Bagaimana jika kau ikut bermalam
ditempatku saja?"
"Di mana tempatmu?"
"Di Lembah Liar."
Suto terperanjat dan mulai
berkerut dahi. "Kau... kau anggota Partai Janda Liar?"
"Benar," jawab
Rumbani dengan senyum melebar seakan bangga nama kelompoknya dikenal oleh Suto
Sinting.
"Kalau begitu kau anak
buahnya Selimut Senja?"
"Ya, memang aku anak buahnya
Selimut Senja yang lebih suka dipanggil Janda Liar itu. Aku sedang mendapat
tugas darinya."
"Tugas apa?"
"Memburu seorang pemuda
tampan bernama Panji Klobot!"
"Celaka!" gumam Suto
Sinting dengan wajah sedikit tegang.
"Mengapa kau tampak
gelisah, Suto?"
"Hmmm... eeh.... Panji
Klobot itu berilmu tinggi. Jika kau tak bisa kalahkan Wirayuda, apalagi
mengalahkan Panji Klobot, jelas tak mungkin bisa. Kusarankan, urungkan saja
niatmu. Jangan memburu Panji Klobot, nanti kau kehilangan nyawa, sedikitnya
terluka parah."
"Begitukah
menurutmu?"
"Ya. Kukatakan hal ini
demi menyelamatkan jiwamu, Rumbani."
Rumbani diam sebentar, lalu
berkata sambil menatap Suto.
"Tetapi sang Ketua
menjanjikan sebuah hadiah istimewa untukku. Aku akan diizinkan mempelajari ilmu
'Kulit Baja' yang ada di sebuah kitab pusaka miliknya itu. Dan aku ingin sekali
pelajari ilmu itu, Suto."
"Untuk apa kau mengejar
hadiah yang belum tentu benar-benar diberikan oleh si Janda Liar itu jika
nyawamu menjadi taruhan sebelumnya?"
"Aku penasaran sekali!
Aku harus mencoba berhadapan dengan Panji Klobot!"
Suto menggeram jengkel dalam
hatinya. Kemudian ia menatap Rumbani dengan tajam dan berkata tegas.
"Panji Klobot itu adalah
aku!"
"Hahh...?!"
"Orang yang diburu
Selimut Senja, yang mencuri panah emasnya dan membakar gairah asmaranya tanpa
mau melayaninya itu adalah aku!"
Rumbani tertegun tegang dengan
mata menatap lurus pada Suto. Mereka pun saling bungkam dan saling beradu
pandang beberapa saat lamanya, hingga alam menjadi petang dan cahaya mentari
pun sirna sepenuhnya.
*
* *
4
UDARA dingin mulai menyelimuti
bumi bersama sang malam. Nyala api unggun yang dibuat Suto Sinting sedikit
mengubah suasana menjadi hangat. Namun jika angin bertiup, udara dingin masih
terasa meresap ke pori-pori.
"Susah payah aku memilih
kayu yang kering, ternyata angin malam masih mampu menyebarkan hawa dingin
begini," gerutu Suto seperti bicara pada diri sendiri.
Rumbani yang duduk bersandar
dinding menyahut dengan suaranya yang sedikit serak,
"Api unggun memang tidak
bisa mengalahkan udara dingin. Tapi api asmara sangat mampu
mengalahkannya."
Pendekar Mabuk tidak berpaling
memandang ke belakang, tapi ia sunggingkan senyum karena tahu maksud perempuan
berdada sekal itu.
"Sayang sekali di sini
tak ada api asmara, ya?" ucap Suto memancing reaksi Rumbani.
"Siapa bilang tak
ada?" ujar Rumbani, lalu ia mendekati Suto dari belakang, ikut duduk di
lantai batu yang kering itu. Ia duduk dalam jarak hanya sejengkal dari pendekar
tampan itu.
"Sudah satu tahun aku tak
disentuh oleh lelaki, sejak suamiku meninggalkan aku dalam keadaan sakit."
"Ke mana perginya suamimu
itu?"
"Tergiur perempuan lain
dan sampai sekarang tak kuketahui nasibnya. Seandainya kutahu di mana dia
berada, maka aku akan datang kepadanya dengan mengerahkan kekuatan Partai Janda
Liar. Kuhabisi dia bersama perempuan itu!"
"Dan sejak itu kau
benar-benar tak pernah merasakan kehangatan seorang lelaki?"
"Tak pernah."
"Bukankah Ketua Janda
Liar yang sekarang mengizinkan anggotanya untuk membawa lelaki ke
pesanggrahan?!"
"Memang. Tapi aku selalu
tak pernah mendapat bagian," jawabnya sambil semakin merapatkan tubuh ke
lengan Suto. Ia memandangi Suto dari samping, sementara yang dipandang masih
berlagak cuek, bermain api dengan sebatang ranting kering.
"Bolehkah aku merasakan
kehangatanmu, Suto?"
Pendekar Mabuk menjawab sambil
tersenyum, "Tak boleh."
"Uuh... jahat kamu,
ah!" Rumbani merajuk namun ia segera dekatkan wajahnya dan mencium pipi
Suto. Pendekar tampan itu diam saja, tetap bermain api dengan sebatang ranting.
"Kau lelaki yang
memancarkan gairah bagi perempuan seusiaku, Suto," bisik Rumbani.
"Aku tak merasa memancarkan
apa-apa," kata Suto lirih sambil tetap bermain api.
"Tapi malam ini aku
berdebar-debar terus seperti berada di pusaran arus cinta."
Rumbani mencium telinga Suto,
pemuda itu masih diam. Ciumannya semakin merayap ke tengkuk kepala. Kegelian
yang begitu nikmat menjalar ke seluruh tubuh Suto. Bahkan ketika Rumbani
menyapu tengkuk itu dengan lidahnya sambil disertai gigitan kecil, jantung Suto
seperti disentak-sentak cukup kuat. Hatinya berdebar-debar indah, tapi ia diam
saja berlagak tidak merasakan keindahan itu.
Rumbani merasa diberi
kesempatan, sehingga tangannya pun segera memeluk Suto dan meraba-raba dada
bidang yang kekar itu. Kepala Suto akhirnya tergolek, menggeliat dengan suara
desah kenikmatan mengikuti ke mana larinya kecupan bibir Rumbani. Semakin Suto
tak bereaksi, semakin berkobar hasrat bercumbu Rumbani. Tangannya semakin
merayap tak karuan, sesekali meremas gemas,
sesekali mengelus lembut.
Akhirnya bibir Suto menjadi
sasaran keganasan gairahnya. Bibir itu dilumat habis-habisan, dan Suto tetap
tidak memberikan reaksi apa-apa. Ia berlagak seperti pemuda yang tak bisa
bercinta dan menerima pasrah diperlakukan apa saja. Kepasrahan Suto itulah yang
membuat Rumbani semakin penasaran, semakin liar dan semakin menggebu-gebu
hingga napasnya terengah-engah sendiri.
"Sutoo...," ucapnya
bersama desah. Ia berlutut di depan Suto dan menempelkan kepala Suto ke dadanya
yang telah terbuka lebar-lebar itu.
"Sutooo... pagutlah
aku... oh, pagutlah aku, Sayang...."
Sesuatu yang dijejalkan ke
mulut Suto itu akhirnya disambar juga oleh bibir pemuda itu. Rumbani mengerang
panjang dengan kepala mendongak ke atas dan tangan meremas rambut Suto ketika
kenikmatan itu datang menghujam jiwanya. Suara erangan yang bercampur engahan
napas itu menciptakan malam bagai bertabur sejuta kenikmatan di antara mereka
berdua.
Mereka semakin hanyut, tak
peduli lagi dengan malam, tak peduli lagi dengan dingin, bahkan tak peduli lagi
dengan kabut yang merambah masuk ke ruang tersebut. Kabut itu bukan semata-mata
kabut udara dingin, melainkan kabut yang mempunyai racun berbahaya. Ketika
kabut itu terhirup oleh pernapasan mereka, tubuh mereka merasa lemas. Mereka
menyangka lemasnya tubuh akibat darah asmara yang bergolak.
Rumbani semakin menuntut
kehangatan lebih dari itu. Rumbani tak mampu berlutut lagi. Lututnya terasa
lemas. Bahkan Suto Sinting tak mampu menyangga tubuh Rumbani yang terkulai
lemas itu. Ia juga menyangka api gairah itulah yang membuatnya lemas.
Akhirnya mereka berbaring
sambil mulut Rumbani masih melontarkan erangan dan desah kenikmatan.
"Terus, Suto... terus... oh, aku suka sekali dengan kenakalanmu, Sutoo....
Oooh... jangan berhenti, Sayang.... Jangan berhenti...."
"Lama-lama suara 'jangan
berhenti' itu mengecil, demikian juga suara erangan Rumbani yang kian lirih,
lirih, kemudian hilang tak tersisa. Sementara Suto Sinting sendiri gerakannya
semakin lamban, lamban, lambaan... akhirnya ia terkulai di atas dada Rumbani.
Kemesraan belum mencapai
puncak teratas, tapi mengapa mereka sudah sama-sama terkulai lemas. Bahkan
ternyata mereka sama-sama tak sadarkan diri dan tak mengerti lagi apa yang
terjadi.
Kabut yang menelusup masuk di ruangan
itulah yang membuat mereka menjadi lemas serta tak sadarkan diri. Kabut itu
ternyata kiriman seorang perempuan yang mendengar percakapan mereka dan
mengintipnya dari suatu tempat. Melihat kemesraan Suto dengan Rumbani kian
genjar, perempuan itu mengirimkan kabut beracun yang mampu melemaskan seluruh
urat dan saraf, bahkan jantung pun bisa berhenti berdetak bagi mereka yang
memang punya penyakit lemah jantung.
Perempuan itu muncul di pintu
ruangan setelah Suto dan Rumbani terkulai saling bertumpuk. Wajah perempuan itu
memancarkan kebencian terhadap Rumbani, namun begitu menatap ke arah Suto,
kebencian itu berubah menjadi sinis-sinis bergairah.
"Kau memang menyakitkan
hatiku, tapi untuk sementara ini aku tak ingin memusnahkan dirimu. Kau harus
kumanfaatkan lebih dulu sebagai pelayan cintaku. Setidaknya kau harus tahu
seberapa tinggi kekuasaan dan ilmuku, Panji Klobot!"
Perempuan itu tak lain adalah
si Janda Liar yang secara tak sengaja melewati bangunan bekas kuil dalam
pengejarannya memburu Pangkar Soma.
"Pangkar Soma tak
kudapat, tapi justru kau yang kudapat, Panji Klobot. Rasa-rasanya kau memang
lebih berharga dari nyawa si Pangkar Soma. Kutangguhkan pengejaranku terhadap
Pangkar Soma, kulanjutkan setelah puas bercumbu denganmu, Sayangku. Hi, hi, hi,
hi, hi...!"
Janda Liar mengangkat kedua
tangannya, lalu dua berkas sinar hijau bening seperti telur burung melesat dari
kedua telapak tangan itu. Wees...! Kedua sinar itu kenai tubuh Suto dan
Rumbani. Tubuh mereka tiba-tiba menyala hijau bagaikan mengandung fosfor.
Tetapi tubuh itu segera bergerak melayang ke atas pelan-pelan, lalu menuju
keluar ruangan dalam keadaan tegak. Kedua mata mereka masih sama-sama terpejam
dan kepalanyaterkulai lemas.
"Pulang ke
pesanggrahan!" sentak Janda Liar dengan suara tertahan. Maka, kedua tubuh
lemas berwarna hijau bening itu pun berkelebat melayang meninggalkan tempat
itu. Janda Liar mengikutinya dari belakang dengan gerakan bagai kapas terhembus
angin. Sementara bumbung tuak Suto dibiarkan tertinggal di reruntuhan kuil.
Janda Liar tak mengetahui
bahwa perjalanan malamnya ada yang mengrkuti dari balik kegelapan. Orang yang
mengikutinya itu sebentar-sebentar berlindung di balik pohon dan mengatur
jaraknya sedemikian rupa hingga gerakannya tak tertangkap oleh kepekaan indera
yang diikuti.
Perjalanan malam tanpa
rembulan itu tidak menyulitkan bagi si penguntit, karena ia menggunakan pedoman
sinar hijau yang melapisi tubuh Rumbani dan Pendekar Mabuk. Sambil mengikuti
langkah Selimut Senja, si penguntit berpikir bagaimana caranya membebaskan Suto
dari kekuatan sihir si Janda Liar.
"Tanpa kekuatan sihir,
tak mungkin Suto terbang begitu saja dalam keadaan tidur," pikir si
penguntit.
"Kalau kuserang begitu
saja, mungkin saja si Janda Liar bisa tumbang, tapi membebaskan Suto dari
pengaruh kekuatan sihirnya itu aku tak bisa. Sebaiknya kuikuti saja dulu sampai
kekuatan sihir itu dilepaskan oleh si Janda Liar, baru aku menyerangnya dari
belakang."
Tapi ternyata sampai menuruni
lereng bukit menuju ke Lembah Liar, kekuatan sihir itu masih belum dilepaskan
oleh Selimut Senja. Bahkan ketika tiba di pesanggrahan Partai Janda Liar, Suto
Sinting dan Rumbani masih dalam keadaan tak sadar dan tubuh mereka memancarkan
sinar hijau fosfor. Mau tak mau si penguntit segera menyerang Selimut Senja
dari belakang sebelum Suto dan Rumbani dibawa masuk ke pesanggrahan. Seberkas
sinar merah melesat dari dua jari yang dikeraskan. Sinar itu menghantam
punggung Selimut Senja. Claaap...! Beeebss...!
Selimut Senja hanya tersentak
ke depan dan cepat balikkan tubuh sambil lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa
sinar biru melingkar-lingkar seperti spiral.
Weerrss...!
"Aaahk...!" pekik
suara dari balik kegelapan. Si penguntit terkena pukulan sinar biru
melingkar-lingkar itu. Tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh di kerimbunan
semak.
"Siapa itu?! Keluar dan
hadapi aku sekarang juga? Kutunggu kau, Setan!"
Tentu saja seruan Selimut
Senja itu tidak mendapat jawaban. Pada saat itu, gerakan Suto dan Rumbani juga
berhenti namun hanya bisa mengambang di udara dalam jarak tiga jengkal dari
tanah. Selimut Senja penasaran, ia segera melesat menuju ke tempat yang tadi
keluarkan suara pekik itu. Wuuut...!
Zraaak...!
Selimut Senja menerjang semak
belukar. Ia menghantamkan pukulan bertenaga dalam tanpa sinar ke sekelilingnya.
Semak dan pepohonan kecil saling berhamburan karena pukulan tenaga dalam itu.
Brruss...! Zraaak...!
Krraak...! Bruuuk...!
Selimut Senja diam sebentar,
matanya melirik tajam ke sekeliling. Telinganya bagaikan dibuka lebar-lebar
untuk menangkap suara yang mencurigakan. Tangannya siap melepaskan pukulan maut
untuk menghantam suara yang mencurigakan itu. Namun sampai beberapa saat ia tak
mendengar apa-apa dan tak ada tanda-tanda yang mencurigakan.
"Keluar kau,
Jahanam!" seru Selimut Senja sengaja memancing tantangan.
Selimut Senja tak tahu bahwa
si penguntit telah lebih dulu tinggalkan tempat karena pinggangnya terkena
pukulan sinar biru tadi. Ia berkelebat menjauh dan naik ke atas pohon dalam
satu sentakan tubuh yang ringan. Di sana ia diam memeluk batang pohon sambil
duduk di atas dahan. Tubuhnya gemetar karena menahan rasa sakit yang membakar
bagian dalam tubuh.
"Aku harus bertahan!
Harus bisa bertahan dan meminta bantuan kepada seseorang yang menurutku mampu
membantuku membebaskan Suto Sinting. Uuh...! Sekujur tubuh bagai dikelupas
semua. Perih dan sakit! Uuuh...! Napasku jadi ikut-ikutan sesak begini.
Mampukah aku bertahan sembunyi di sini?!"
Selimut Senja menghempaskan
napas, merasa kesal karena tidak menemukan lawannya. Akhirnya ia kembali hampiri
Suto dan Rumbani dan menjalankan kedua tubuh bercahaya hijau itu dengan
kekuatan batinnya yang dikatakan sebagai kekuatan sihir itu.
Si penguntit melihatnya dari
atas pohon, cahaya hijau itu bergerak menuju pesanggrahan. Tapi ia tak dapat
berbuat apa-apa kecuali hanya mempertahankan diri agar tak jatuh dari atas
pohon.
Selimut Senja sampai di depan gerbang pesanggrahan. Dua pengawal
gerbang mendekati cahaya hijau itu dan ingin melepaskan pukulan karena dianggap
sinar yang akan menghancurkan pintu gerbang.
"Tahan...!" seru
Selimut Senja.
"Oh, sang
Ketua...?!"
"Buka pintu gerbang dan
segera tutup rapat-rapat setelah kami masuk."
"Baik, Ketua!"
"Kalau ada orang yang
mengikutiku dari belakang, dengan alasan apa pun, hantam dia dan habisi sekalian!"
"Baik, Ketua! Kami akan
lakukan sesuai pesan Ketua!" jawab seorang pengawal mewakili empat penjaga
pintu gerbang lainnya. Mereka terdiri dari perempuan-perempuan masih muda namun
sudah menyandang gelar sebagai janda. Ada janda kembang, ada janda tak
berkembang, ada pula janda kembang kempis, artinya janda yang hidupnya susah.
Selang beberapa saat setelah si Janda Liar
masuk bersama Suto dan Rumbani, muncul seorang perempuan berambut dikuncir dan
menyandang pedang di punggungnya. Perempuan berpakaian biru berkelebat
mendekati pintu gerbang.
"Siapa itu?!",sentak
seorang pengawal sambil memandang orang yang baru datang dalam keremangan
cahaya obor pintu gerbang yang memancar sejauh lima tombak itu.
"Aku: Damayanti!"
"Pesan Ketua harus
dihabisi sekalian!"
"Baik! Serahkan
padaku!"
Damayanti yang sebenarnya
ingin melaporkan hasil kerjanya, terpaksa berhenti karena seorang pengawal
menghadangnya dengan sikap menantang.
"Apa maksudmu bersikap
begitu padaku, hah?!" sentak Damayanti yang merasa kedudukannya jauh lebih
tinggi dari pengawal itu.
"Tutup mulutmu dan terima
saja pesanan sang Ketua ini, hiaah...!"
Pengawal yang memegang tombak
itu menghujamkan tombaknya ke perut Damayanti. Tapi dengan cepat tangan
Damayanti menangkisnya. Krrak...!
Tombak itu patah seketika,
lalu Damayanti melancarkan tendangan putar dengan cepat. Wuut...! Buuhk...!
Pengawal itu terlempar hingga membentur pintu gerbang. Gubraak...!
"Aku harus menghadap
Ketua, karena ciri-ciri Panji Klobot tidak sesuai dengan wujud orangnya! Sang
Ketua salah duga dari...."
Tiba-tiba pengawal yang
satunya melemparkan pisau bagai membuang sesuatu yang cepat. Ziling...!
Jrrub...!
"Aaahkk...!"
Damayanti mendelik. Leher kirinya tertancap pisau, lalu ia pun tumbang tak
bernyawa lagi. Padahal dia bukan si penguntit. Si penguntit sedang berusaha
turun dari atas pohon untuk mencari bantuan.
Kasihan si Damayanti, nyawanya
jadi korban kesalahpahaman. Lalu, siapa si penguntit itu sebenarnya? Mengapa ia
bersikeras untuk membebaskan Suto Sinting? Tapi ia agaknya kenal dengan Selimut
Senja. Seorang perempuankah si penguntit itu? Atau justru si Panji Klobot
sendiri?
*
* *
5
EMBUN pagi mulai diserap oleh
sinar matahari. Rerumputan telah kering dan burung tak lagi berkicau. Di atas
rerumputan itulah sesosok tubuh tergeletak dalam keadaan wajahnya pucat pasi.
Napasnya masih ada, tapi tampak pelan sekali. Seakan ia menunggu saat-saat sang
ajal tiba merenggut nyawanya. Ia tak mampu berteriak karena kerongkongannya
bagaikan kering kerontang akibat hawa panas yang membakar bagian dalam
tubuhnya.
Tak jauh dari tempatnya
terkapar, sebuah pertarungan terjadi antara dua perempuan cantik yang saling
beradu pandang. Suara denting pedang terdengar menggema di sekeliling tempat
itu.
Dua perempuan cantik yang mengadu
jurus pedangnya itu salah satu berambut pendek diponi depan. Bajunya tanpa
lengan warna hitam berbintik-bintik putih logam. Pundak baju itu kaku dan
mempunyai krah pendek tapi tegak. Ia mengenakan kalung tali hitam berbandul
batuan merah segar dan giwang yang sama merahnya, kontras sekali dengan warna
kulitnya yang kuning. Ia tampak masih cantik dan muda, usianya sekitar dua
puluh tahun.
Sedangkan lawannya sudah cukup
umur, sekitar delapan tahun lebih tua dari si gadis berambut poni itu.
Perempuan yang satu itu mengenakan pakaian serba abu-abu dan rambutnya panjang
dibiarkan meriap sampai pundak. Ia mengenakan ikat kepala merah dan memakai
gelang di kanan-kirinya warna hitam dari kulit binatang.
Perempuan itu adalah anak buah
dari Janda Liar yang bernama Rana Sumping. Ia juga ditugaskan untuk menangkap
Panji Klobot. Ia tidak tahu bahwa yang di-maksud ketuanya itu adalah Pendekar
Mabuk; Suto Sinting. Maka yang diburu adalah pemuda bernama Panji Klobot.
Rana Sumping mendapat
keterangan dari seorang pencari kayu, bahwa di Lembah Seram ada pondok dan di
pondok itu ada yang bernama Panji Klobot. Pondok itu adalah milik tokoh tua
berilmu tinggi yang dikenal dengan nama Kusir Hantu. Rana Sumping tidak tahu
siapa pemilik pondok tersebut. Ketika ia mendekati pohon itu, tiba-tiba ia
bertemu dengan cucu si Kusir Hantu yang bernama Pematang Hati. Terjadilah
pertarungan antara Pematang Hati dengan Rana Sumping, karena Pematang Hati tak
mau serahkan Panji Klobot pada saat itu sedang menderita sakit beracun akibat
serangan Sunting Sari.
Pematang Hati terluka oleh
pedang Rana Sumping, adiknya melihat hal itu lalu menyerang Rana Sumping.
Ternyata adik Pematang Hati yang bernama Mahligai Sukma itu mempunyai
kelincahan lebih tinggi dari kakaknya. Ia berhasil hindari serangan Rana
Sumping, bahkan beberapa kali ia berhasil lukai Rana Sumping dengan pukulan
tenaga dalam jarak jauh.
Rana Sumping melarikan diri.
Mahligai Sukma penasaran, lalu mengejar Rana Sumping. Sepanjang malam
pengejaran itu tetap dilakukan, sampai akhirnya mereka bertemu di tempat yang
tak jauh dari sesosok tubuh yang terkapar dalam keadaan sekarat itu.
Rana Sumping sendiri menjadi
berang ketika dikejar terus oleh Mahligai Sukma, akhirnya ia memutuskan untuk
mengadu ilmu pedangnya. Mahligai Sukma tidak merasa gentar sedikit pun karena
ia belajar ilmu pedang bukan dari kakeknya saja, melainkan juga mendapat ilmu
pedang dari kakaknya sang kakek yang bernama Tua Bangka alias Ki Sanupati.
Mahligai Sukma berhasil
mendesak Rana Sumping dengan jurus pedangnya yang tiada pernah berhenti
berkelebat. Jurus pedang itu pemberian si Tua Bangka dan dinamakan jurus
'Pedang Linglung'. Tebasannya seakan tak menuju ke sasaran, tapi tiba-tiba
menyabet cepat ke arah lawan. Rana Sumping hanya bias menangkis dan menghindari
pedang Mahligai Sukma. Ia bagaikan tak diberi kesempatan untuk membalas
serangan Mahligai Sukma.
"Lincah sekali gadis ini,
seperti anak belalang saja!" pikir Rana Sumping sambil menangkis tebasan
pedang Mahligai Sukma yang datang secara beruntun.
"Kalau tak segera
melarikan diri, aku bisa mampus di tangan bocah kemarin sore ini!"
Trang, trang, trang, triing,
trang, triing...!
Breet...!
"Auh...!" Rana
Sumping memekik, pundaknya terkena tebasan pedang Mahligai Sukma. Luka koyak
itu sangat perih dan panas, bagai dibakar dengan api yang tak kunjung padam.
"Celaka! Racun pedang itu
berbahaya sekali!" pikir Rana Sumping, maka ia segera berjungkir balik
dalam satu lompatan ke belakang. Lalu, kakinya menyentak ke tanah dan tubuhnya
pun melambung ke atas. Suuut... !!
Ia hinggap di atas pohon,
setelah itu segera melarikan diri dengan lompatan-lompatan tangkas dari pohon
ke pohon.
"Jangan lari kau,
Keparat!" seru Mahligai Sukma yang segera mengejarnya dengan gerakan
cepat.
Wuuut...!
Namun kaki Mahligai Sukma tersandung
sesuatu dan membuatnya jatuh tersungkur.
Bruuuss...!
"Sial!" makinya
dalam hati. Ia segera bangkit dan lakukan pengejaran kembali. Tetapi tiba-tiba
kakinya tak jadi melangkah ketika ia melihat sesuatu yang membuat kakinya
tersandung itu mengeluarkan suara rintih sangat pelan. Ternyata kaki Mahligai
Sukma telah tersandung paha sesosok tubuh yang terkapar tanpa daya lagi itu.
Mahligai Sukma memandang
dengan dahi berkerut, lalu segera mendekati orang yang terkapar itu.
"Oh, kau terluka
parah...?!" ujarnya pelan sambil meneliti tubuh orang tersebut.
Mendengar suara seseorang
bicara, orang itu segera membuka mata walau hanya kecil saja. Mulutnya
bergerak-gerak berusaha keluarkan suara. Mahligai Sukma dekatkan telinga, dan
ia mendengar orang itu berkata dalam nada membisik.
"Selamatkan.... Suto....
Sinting...."
"Hahh...?!" Mahligai
Sukma terkejut. "Kau kenal dengan Suto Sinting??"
"Dddi... dia... tertawan
ooleh... oleh.... Janda.... Liar...."
"Suto tertawan oleh Janda
Liar?! Oh, kalau begitu kau perlu kubawa pulang agar kakekku mencoba
menyembuhkanmu!"
Mahligai Sukma memasukkan
pedangnya ke sarung pedang. Ia segera mengangkat tubuh orang tersebut. Baginya
lebih penting menyampaikan kabar dari mulut orang itu ketimbang mengejar Rana
Sumping, toh lawannya itu dengan tak langsung sudah mengakui
keunggulannya dan tak mampu
hadapi jurus pedangnya.
"Lain waktu bisa
kulanjutkan lagi pertarungan ini! Aku mengenali wajahnya walau tak tahu
namanya!" pikir Mahligai Sukma sambil memanggul orang yang sekarat itu.
Sampai di pondok, ia segera
menyerahkan orang itu kepada si Kusir Hantu. Saat itu luka Pematang Hati sudah
diobati oleh Kusir Hantu dan Panji Klobot sendiri mulai sehat.
"Orang ini terluka dan
membawa kabar tentang Suto!" kata Mahligai Sukma kepada kakeknya. Panji
Klobot kaget begitu melihat orang yang dibawa oleh Mahligai Sukma.
"Ini dia orangnya...! Ini
dia yang menyerangku dan mau menangkapku!" Ternyata orang yang sekarat itu
adalah si penguntit yang tak lain adalah Sunting Sari. Bertepatan dengan ucapan
Panji Klobot itu terlontar, muncul pula Tenda Biru yang semalam menyusul
Mahligai Sukma dan ikut mengejar Rana Sumping. Tapi agaknya ia salah arah dan
kembali pada pagi menjelang siang.
"Oh, jadi si keparat ini
sudah berhasil kau lukai? Untuk apa dibawa kemari, habisi saja dia!
Hiaaat...!"
"Tunggu!" cegah
Kusir Hantu.
Tenda Biru tak jadi mencabut
pedangnya.
"Dia membawa kabar
tentang Suto!" timpal Mahligai Sukma sambil memandang Sunting Sari.
"Apa yang kau ketahui
tentang Suto Sinting?" tanya Kusir Hantu.
"D... di.. bawa ke
Lembah.... Liar.... Terta... terta...."
"Tertawa?" sahut
Kusir Hantu.
"Tertawan... di ssssa...
saaanna...."
Mereka saling berpandangan.
Ada kecurigaan apa yang dikatakan Sunting Sari itu hanya sebuah siasat belaka.
Tapi melihat luka yang parah, si Kusir Hantu berkeyakinan bahwa ucapan itu
memang benar. Maka ia segera berkata kepada yang lain.
"Bawa masuk ke dalam akan
kuobati dulu lukanya biar dia bisa cerita lebih banyak lagi. Pepatah
mengatakan: 'Pikir dulu pendapatan sesal kemudian tak berguna'. Artinya, kalau
pendapatanmu rendah jangan beli barang yang mahal-mahal, nanti bisa...."
"Sudahlah, Kek! Pepatah
melulu, mending kalau artinya sesuai dengan keadaan yang berlaku!" gerutu
Mahligai Sukma yang dicekam kegelisahan sejak mendengar kabar Suto ditawan oleh
Janda Liar. Karena dalam benak gadis itu membayangkan Suto dalam pelukan Janda
Liar, setidaknya dengan Janda Liar akan memaksa Suto untuk melayani hasratnya
dengan cara bagaimanapun.
Bayangan Mahligai Sukma tak
meleset jauh dari kenyataan. Hanya saja, kemesraan itu belum sempat terjadi,
karena ketika Suto dilepaskan dari pengaruh sihir yang membuat cahaya hijaunya
padam, ia dalam keadaan pingsan.
"Jaga dia dan hati-hati,
esok pagi pasti dia sudah siuman karena kekuatan racun kabutku cepat hilang
jika berada di dalam tubuh orang bertubuh kekar!" perintahnya kepada
seorang anak buah.
"Baik. Saya akan tetap di
ruangan ini sampai dia sadar, Ketua!
"Jangan di dalam ruangan
itu. Di luar!" bentak Selimut Senja, dan sang anak buah itu menurut dengan
wajah kecut alias kecewa.
Rupanya ada sesuatu yang
dilakukan oleh Selimut Senja yang membuat sang anak buah berkeinginan sekali
menjaga Suto di dalam ruangan tersebut. Ruangan itu adalah ruangan bawah tanah
yang diterangi oleh obor-obor berbumbung tinggi seperti tiang. Bahan bakarnya
terbuat dari minyak kelapa sehingga tidak membuat hitam ruangan tersebut.
Ketika Suto sadar, ia terkejut
sekali mendapatkan dirinya dalam keadaan dirantai. Kedua tangannya direntangkan
dan terkait pada belenggu rantai yang menempel pada dinding kokoh. Kedua
kakinya juga direntangkan dalam keadaan dibelenggu dengan rantai besar yang
kokoh. Pendekar Mabuk menjadi lebih terkejut setelah mengetahui pakaiannya
telah lenyap dan tubuhnya tak mengenakan selembar benang pun.
Keadaan itulah yang membuat
sang anak buah ingin menjaga di dalam ruangan, namun dilarang oleh sang Ketua.
Craak...! Suto menggerakkan
kedua tangannya begitu sadar keadaan tubuhnya. Ia ingin menutupi bagian yang
sangat memalukan jika dipandang orang lain, terutama seorang wanita. Tapi
tangannya tak bisa dipakai untuk menutupi hal itu karena terbelenggu kuat.
"Wah, kacau banget kalau
begini caranya! Masa' aku ditawan dalam keadaan seperti ini?! Siapa yang
menawanku?! Rumbanikah yang menawanku?!"
Pendekar Mabuk berusaha
menarik rantai agar jebol dari dinding. Tapi ia bagaikan tak makan selama empat
puluh hari.
"Ooh... tenagaku seperti
hilang semua. Lemas sekali tubuhku. Tak kuat untuk menjebol rantai ini dari
dinding. Aduuuh... kenapa aku bisa jadi seperti ini, ya? Seingatku aku
dipancing bercumbu dengan Rumbani. Cumbuannya melelapkan sukma dan... setelah
itu aku tak ingat apa-apa lagi. Apakah... apakah dadanya Rumbani mengandung
racun yang membius kesadaranku?! Oh, kalau begitu... dada perempuan itu sangat
berbahaya. Seharusnya diremas saja, bukan dipagut dan...."
Klaaak...! Pintu ruangan
terbuka, seseorang masuk dan sunggingkan senyum kemenangan terhadap Suto
Sinting.
"Selimut Senja...?!"
ucap Suto dengan nada heran.
"Sudah kuduga kau telah
sadar dari racun kabutku, Panji!"
"Celaka! Rupanya aku
tertangkap oleh si Janda Liar. Ooh... kalau caranya menawanku begini, dia
memang benar-benar janda yang liar!" ucap Suto dalam hatinya.
Pintu ruangan itu segera
ditutup dan dikunci dari dalam, karena penjaga di luar pintu ikut menongolkan
kepalanya sambil senyum-senyum. Selimut Senja sempat membentaknya.
"Sekarang belum jadi
tontonan! Nanti setelah aku puas menikmatinya, kau boleh menontonnya dengan
teman-temanmu yang lain!"
Brraak...!
"Aaaaaoow...!" sang
penjaga menjerit karena tangannya tergencet ketika pintu ditutup oleh Selimut
Senja. Tangan itu segera dicabut ketika Selimut Senja membukanya sedikit,
sambil keluarkan perintah,
"Ambilkan buah anggur dan
seguci tuak! Aku akan berpesta dengannya!"
"Bba... baik,
Ketua," jawab si penjaga dengan masih menyeringai merasakan sakit. Ia
sempat menggerutu sambil melangkah meninggalkan pintu tersebut.
"Pesta ya pesta, tapi
apakah tanganku juga ikut dipakai pesta sampai gepeng begini! Aduuuh...
kebangetan sekali si Ketua. Melongok sebentar saja upahnya digencet pintu.
Apalagi kalau melongok sampai lama, mungkin kepalaku yang akan
digencetnya!"
Setelah pesanannya diserahkan,
Selimut Senja segera menutup pintu itu, lalu menguncinya dari dalam dengan
palang pintu dari kayu jati. Klaaak...!
"Aku tahu yang kau
inginkan! Panah emas itu, bukan! Aku sudah tidak memegang panah emas lagi,
Selimut Senja! Panah itu sudah kukembalikan pada kakekmu; Begawan Parang
Giri!"
"O, ya...?!" Selimut
Senja berjalan melenggok mendekati Suto Sinting. Seakan ia tak begitu tertarik
dengan ucapan Suto. Pandangan matanya menjadi sayu dan sering melirik nakal.
Senyumnya pun berkesan senyum perempuan jalang.
"Aku tak peduli panah itu
di mana! Aku memang kehilangan panah pusaka, tapi kau akan
menggantikannya dengan 'panah
pusakamu' ini, bukan?! Hi, hi, hi, hi...," sambil Selimut Senja
mencengkeram sesuatu yang terbuka lebar tanpa penutup itu. Suto hanya
menyeringai kaget, takut cengkeraman tangan itu memecahkan sesuatu yang selama
ini dijaga dan dirawatnya baik-baik itu.
Dengan wajah didekatkan,
Selimut Senja berkata pelan kepada Suto.
"Kesalahanmu dapat kuampuni jika kau mau
memenuhi keinginanku, Panji."
"Apa keinginanmu?"
"Hmmm...? Oh, kurasa kau
tahu... inilah keinginanku," sambil Selimut Senja meremas pelan 'jimat'
kesayangan Suto itu.
"Maaf, aku tidak
berselera dengan perempuan kasar dan memakai cara seperti ini. Lepaskan aku
dari belenggu-belenggu ini, maka kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan
dariku," bujuk Sulo.
"Oh, aku bukan perempuan
bodoh, Panji. Kau tak akan kulepaskan sebelum kudapatkan kenikmatan bercinta
denganmu."
"Tapi... tapi keadaanku
berdiri begini dan kau tak akan mendapatkannya, Selimut Senja!"
"Hi, hi, hi, hi... aku
sudah terlatih sambil berdiri, Panji! Jangan takut, kau pun akan merasakan
seperti kuterbangkan sampai di langit-langit surga."
"Gawat! Dia mudah mempermainkan aku
sementara aku tidak mempunyai kekuatan untuk meronta," pikir Suto Sinting
sambil melirik ke sana-sini mencari pakaian dan bumbung tuaknya.
Pakaian tidak kelihatan ada di
ruangan itu, tapi bumbung tuak tampak membayang tak jauh dari sebelah kanannya.
Bumbung tuak itu kadang kelihatan kadang hilang. Suto mulai paham bahwa bumbung
tuak akan muncul pada saat tertentu nanti.
Selimut Senja mengambil guci
tuak, lalu meminumkan kepada Suto dengan tangan tetap jahil ke arah itu-itu
saja.
"Lihat, betapa baik aku
padamu, aku tahu kau butuh minum. Teguklah tuak ini sebanyak-banyaknya, Panji,
biar kau menjadi lelaki yang panas dalam asmara. Hi, hi, hi...."
Pendekar Mabuk meneguk tuak
itu agak banyak. Selimut Senja menyangka jika Suto meminum tuak banyak-banyak,
maka ia akan menjadi mabuk dan gairahnya akan terbakar dengan sentuhan lembut
pun. Ia tidak tahu bahwa Suto adalah manusia yang nyaris tak pernah mabuk walau
meminum tuak sebanyak apa pun.
Justru tuak akan membuat
badannya segar dan kekuatannya pulih kembali. Tuak yang diminumkan ke mulut
Suto sengaja dicecerkan hingga membasahi bagian dada, perut, dan seterusnya.
"Oh, sayang sekali
tuaknya tercecer, padahal tuak ini tuak terbaik yang kupesan dari Majalegi.
Hmmm...!" Selimut Senja mengecupi tuak yang membasahi tubuh Suto itu. Dari
dada hingga ke perut disusuri memakai lidah dan bibirnya. Sapuan lembut yang
membakar gairah itu tetap dilakukan oleh Selimut Senja walau sampai melewati
batas perut Suto.
Mata Suto terpejam bukan
karena meresapi sentuhan hangat bibir Selimut Senja, melainkan menahan rasa
agar gairahnya tidak terbakar dan menjadi berselera. Usaha itu berhasil, gairah
yang mestinya berkobar karena disapu oleh kecupan hangat Selimut Senja,
ternyata hanya dingin-dingin saja. Selimut Senja merasa heran melihat keadaan
Suto yang tidak tergugah oleh cumbuannya.
"Mengapa kau tak bangkit
seperti malam itu, sebelum panah emasku kau curi?"
"Sudah kukatakan, aku
tidak berselera dengan perempuan kasar yang memperlakukan diriku seperti ini!
Aku tidak berselera padamu, Selimut Senja."
"Benarkah...?!"
sambil senyum perempuan itu dipamerkan penuh goda, pandangan mata sayunya pun
tampak menantang sekali.
Perempuan itu segera menari
gemulai di depan Suto Sinting. Tarian yang dibawakan adalah tarian yang
menggugah kejantanan seorang lelaki. Suto tetap kalem dan hanya sunggingkan
senyum sinis, seakan meremehkan godaan Selimut Senja.
"Aku tetap tidak
berselera padamu, Selimut Senja!"
Mulut perempuan itu tidak
berucap apa pun, tapi ia sunggingkun senyum yang cukup nakal. Bahkan sekarang
di sela gemulainya tarian, Selimut Senja melepaskan jubahnya pelan-pelan hingga
ia mengenakan penutup dada dan pakaian bawah saja.
"Aku tetap tidak
berselera padamu walau kau berbuat begitu!" ujar Suto dengan kalem,
berkesan meremehkan rayuan Selimut Senja. Lama-lama Janda Liar itu melepaskan
kain penutup dadanya. Kain itu terkulai di lantai dan tampaklah sebentuk
keindahan yang menyebarkan kehangatan dalam khayalan setiap lelaki. Tetapi Suto
Sinting tetap berkata dengan suaranya yang tegar.
"Ah, percuma saja kau
begitu. Aku tetap tidak berselera padamu, Janda Liar!"
Selimut Senja mengangkat kedua tangannya, lalu
pinggulnya meliuk-liuk dengan lidah menjilati bibirnya sendiri. Matanya semakin
sayu dan wajahnya menjadi semakin sensual. Bahkan kali ini ia melepaskan
pakaian bawahnya dengan pelan-pelan, dan pinggulnya masih meliuk-liuk membuat
pria mana pun panas dingin.
"Ak... aku... aku tetap
tidak bergairah pada... padamu...." Suto mulai bicara berpatah-patah.
Karena sebenarnya hati Suto mulai berdebar-debar ketika melihat perempuan
cantik itu tidak mengenakan selembar benang pun dan berliuk-liuk penuh bayangan
mesum.
Gerakan itu makin mendekati
Suto Sinting. Wajah Suto ditengadahkan. Ia tak mau melihat Selimut Senja, dan
mulutnya tetap melontarkan kata,
"Aku... aku tidak
bergairah padamu, Setan...."
"Benarkah...?" ucap
Selimut Senja dengan suara mendesah, semakin menggetarkan hati pendekar tampan
itu.
"Benarkah kau tidak
bergairah padaku?"
"Celaka! Aku tak bisa
menghindar lagi! Tenagaku masih lemah gara-gara kabut beracunnya itu! Ooh... apa
yang harus kulakukan jika begini! Dia pasti akan berhasil memperkosaku dalam
keadaan seperti ini!
Ooh... mana enak?! Eh...
anu... hmmm... apa, ya?!" Tiba-tiba pintu ruangan itu digedor-gedor oleh
seseorang. Gedoran itu cukup keras hingga mengejutkan si Janda Liar.
Dook, dook, dook...!
"Biadab! Siapa itu!"
Janda Liar menjadi berang karena khayalan asmaranya yang sudah melambung tinggi
itu terputus dan buyar oleh suara gedoran pintu. Ia buru-buru mengenakan
pakaiannya karena gedoran pintu itu terdengar lagi, bahkan semakin keras.
"Keparat! Siapa yang
berani mengganggu asmaraku ini?!" ujarnya dengan berang sambil hampiri
pintu tersebut.
*
* *
6
PENJAGA pintu yang tadi
tangannya tergencet itu segera ditampar oleh Selimut Senja. Plaak...! Si
penjaga pintu terpelanting membentur dinding. Pipinya menjadi merah membekas
lima jari.
"Beraninya kau mengganggu
kemesraanku, hah?!" bentak Selimut Senja.
"Mmaa... maaf, Ketua.
Dddi... di luar ada tamu yang mengamuk dan... dan...."
"Mengapa harus lapor
padaku?! Apakah kau dan yang lain tak bisa mengatasi?! Goblok! Mau mengatasi
orang mengamuk saja harus pakai minta izin dulu padaku!"
"Buk... bukan soal minta
izin, Ketua. Tapi... tapi kami semua kewalahan menghadapi mereka!"
"Mereka...?! Berapa orang
yang bikin ulah itu?!"
"Tig... tiga orang!"
sambil tangannya yang tadi tergencet mengacungkan tiga jari.
"Siapa mereka?!"
geram Selimut Senja mulai menanggapi laporan itu.
"Saya tidak jelas, Ketua.
Tapi... tapi mereka menuntut dibebaskannya Suto Sinting."
"Di sini tidak ada Suto
Sinting! Siapa itu Suto Sinting?!"
"Kami sudah jelaskan
begitu, Ketua. Tapi... tapi tiga orang itu masih ngotot dan melukai beberapa
orang kita, Ketua! Hutami gigi depannya rompal, Ketua."
"Gara-gara dihajar tiga
orang itu?"
"Gara-gara dia tadi pagi
terpeleset di sumur, Ketua!"Plaak...! Penjaga itu ditampar lagi.
"Kalau tidak ada
hubungannya jangan ikut dilaporkan, Tolol!"
"Ampun, Ketua...,"
ujarnya sambil menyeringai kesakitan. Kini pelipisnya menjadi merah membekas
jari tangan Selimut Senja.
Rupanya setelah mendapat
keterangan lebih lengkap dari Sunting Sari yang berhasil ditolong oleh Kusir
Hantu, mereka segera menyerang ke Lembah Liar. Tenda Biru, Mahligai Sukma, dan
Pematang Hati mengamuk di depan gerbang pesanggrahan. Bahkan mereka berhasil
menjebol pintu gerbang dan menerjang orang-orang Partai Janda Liar yang
bermaksud membendungnya.
Pasir Putih, yang selama ini
dipercaya untuk mewakili keberadaan Selimut Senja jika Selimut Senja tidak ada
di tempat, mencoba menahan gerakan ketiga orang cantik itu. Pasir Putih
mempunyai ilmu yang cukup dapat diandalkan untuk mengatasi keributan yang
terjadi di pesanggrahan Partai Janda Liar. Tetapi kali ini ia harus berhadapan
dengan Tenda Biru yang sangat berang mendengar Suto tertawa oleh si Janda Liar.
Mereka segera membentuk
lingkaran pengepungan. Mahligai Sukma dan Pematang Hati saling beradu punggung
dengan pedang terhunus dan mata memandang penuh waspada. Sementara itu, Tenda
Biru menghadapi si Pasir Putih dengan wajah memancarkan kemurkaan.
"Kalau kalian tak mau
melepaskan Suto Sinting, akan kuhancurkan tempat ini dalam sekejap!" ancam
Tenda Biru.
"Kau mengigau, Setan
Belang! Di sini tak ada Suto Sinting! Kalian hanya cari mampus saja datang
kemari!" ujar Pasir Putih sambil segera menghunus pedangnya dengan
pelan-pelan. Ia melangkah ke samping kiri dan Tenda Biru ke samping kanan.
"Panji Klobot!"
sentak Mahligai Sukma. "Menurut orang yang memberi keterangan pada kita,
orang-orang di sini mengenal Suto dengan nama Panji Klobot!"
"Hmmm... ya!" ujar
Tenda Biru, kemudian berkata kepada Pasir Putih. "Kami mau membebaskan
Panji Klobot! Kau pasti mengenalnya!"
"O, jadi yang kalian cari
adalah Panji Klobot?!"
"Benar! Bebaskan dia
sebelum kesabaranku hilang sama sekali!"
"Kau boleh membawa pergi
Panji Klobot jika bisa melangkahi mayatku, Perempuan Iblis!'
"Kulangkahi betul
mayatmu, Keparat! Hiaaat...!"
Tenda Biru menerjang dengan
gerakan secepat kilat. Pedangnya berkelebat menebas leher Pasir Putih. Tetapi
dengan gerakan cepat pula Pasir Putih menangkis tebasan pedang itu.
Trraaang...!
Sayang tangan kirinya
terlambat bergerak, sehingga kaki Tenda Biru menjejak telak pundaknya.
Duuuk...! Pasir Putih terpelanting jatuh, Tenda Biru mengejarnya dengan pukulan
tenaga dalam bercahaya biru kecil seperti ujung anak panah. Claaap...!
Pasir Putih bangkit dan
berlutut dengan satu kaki. Ia pun melepaskan sinar merah besar dari tangan
kirinya. Wuuut...!
Blaaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi saat
sinar biru berbenturan dengan sinar merah. Pasir Putih terjungkal akibat
gelombang ledakan itu, sedangkan Tenda Biru hanya terdorong mundur dua langkah.
Pematang Hati mau menerjang
Pasir Putih dengan pedang diarahkan ke punggung Pasir Putih. Tetapi Tenda Biru
segera berseru dari tempatnya.
"Jangan! Biar
kutumbangkan sendiri si mulut besar itu!"
Pematang Hati tak jadi lakukan
penyerangan, ia kembali berjaga-jaga di belakang adiknya; Mahligai Sukma.
Tenda Biru segera bersalto di
udara saat Pasir Putih sudah mulai bangkit kembali. Wuk, wuk, wuk...!
Tubuhnya meluncur turun dengan
pedang siap dihujamkan ke tubuh Pasir Putih. Namun tiba-tiba Pasir Putih
melompat ke samping dengan gerakan begitu cepat, hingga hujaman pedang Tenda
Biru kenai tempat kosong.
Pasir Putih segera lepaskan
pukulan tangan kirinya yang bersinar merah itu. Wuuut...! Tenda Biru menebaskan
pedangnya ke samping dengan kecepatan tinggi hingga terdengar suara, wuuung...!
Lalu pedang itu memancarkan sinar hijau yang membentur sinar merahnya Pasir
Putih.
Bleegaaarrr...!
Kali ini Tenda Biru terlempar
walau tak seberapa jauh. Pasir Putih hanya terhuyung-huyung ke belakang dan
dalam sekejap telah berdiri tegak kembali.
Tiba-tiba Tenda Biru
melemparkan pedangnya ke arah Pasir Putih. Wuuut...! Pedang itu terbang dan
Tenda Biru lompat ke atasnya. Kini kedua kaki Tenda Biru berada di atas pedang
tersebut dan ikut terbang bersama sang pedang. Weess...!
Sambil berada di atas
pedangnya, Tenda Biru melepaskan sinar biru patah-patah dari ujung kedua jari
yang dikeraskan itu. Clap, clap, clap, clap...!
Pasir Putih kebingungan
hindari sinar biru itu. Ia melompat ke kiri, tapi Tenda Biru segera mengarahkan
pedangnya yang melayang itu ke kiri dengan gerakan kakinya. Wees...!
"Hiaaat...!" Tenda
Biru melompat turun dari altas pedang dengan gerakan bersalto. Kakinya sempat
menendang gagang pedang dan pedang itu meluncur lebih cepat lagi. Wees...!
Jruub...!
"Aaahk...!"
Pasir Putih tak bisa hindari
pedang itu lagi, karena perhatiannya menjadi kacau oleh sinar biru patah-patah
itu. Akibatnya, pedang itu menembus leher depannya hingga sampai ke belakang.
Dalam beberapa kejap berikutnya, Pasir Putih tumbang dan tak bernyawa
lagi.Tenda Biru segera mencabut pedangnya dengan kasar, menampakkan murkanya
yang semakin berkobar.
Pada saat Tenda Biru mencabut
pedang dari leher Pasir Putih, seraut wajah cantik mesum milik si Janda Liar
muncul dan memergoki kematian Pasir Putih.
"Jahanam kau...!"
teriak Selimut Senja sambil melompat memasuki lingkaran para pengepung itu.
Wuuut...! Jleeeg...!
Kedua kaki Selimut Senja
segera merendah dan tangannya disodorkan ke depan dengan jari-jari lurus.
Suuut...! Maka lima larik sinar kuning melesat dari tiap ujung jari tersebut.
Slaaap...!
Tenda Biru memutar pedangnya
dalam satu gerakan tebas sangat cepat. Wuuut...! Gerakan pedang memutar itu
memancarkan sinar biru yang menjadi perisainya.
Bleegaarrr...!
Ledakan lebih dahsyat terjadi
hingga mengguncangkan bangunan pesanggrahan tersebut. Tenda Biru terpental ke
belakang dan jatuh terbanting dengan keras, sementara itu Selimut Senja juga
terjungkal tapi tak separah Tenda Biru. Dalam sekejap saja Selimut Senja sudah
bangkit kembali dan melepaskan pukulan bersinar hijau lurus ke arah Tenda Biru.
Claaap...! Blaaar...!
Sinar itu dipatahkan oleh
pukulan Mahligai Sukma yang bersinar putih hingga ledakan dahsyat kedua terjadi
cukup mengguncangkan tanah sekitar mereka.
"Hiaaatt...!"
Pematang Hati melayang bagaikan seekor camar menyambar mangsanya. Pedang
ditebaskan dalam gerakan bersalto pada saat tepat di atas kepala Selimut Senja.
Beet, traak...!
Pedang itu bagaikan menebas
sebongkah baja yang sulit dilukai. Pundak yang ditebas itu hanya memercikkan
bunga api sedikit, tapi si pemilik pundak tetap tegar tanpa rasakan sakit
sedikit pun. Ilmu 'Kulit Baja' si Janda Liar benar-benar sukar ditembus senjata
apa pun.
Kalau saja Pematang Hati
sehabis menebaskan pedangnya tidak lekas-lekas lakukan lompatan bersalto
miring, maka ia akan terkena pukulan tenaga dalam Selimut Senja yang keluar
dari ujung jarinya berwarna hijau patah-patah itu. Cap, cap, cap, cap...!
"Aaahk...!" seorang
anak buah Janda Liar memekik karena dadanya terhantam sinar kuning patah-patah
itu. Orang tersebut tumbang dan berasap, sekujur tubuhnya menjadi hitam hangus,
bau daging terbakar pun menyebar ke mana-mana. Orang tersebut tentu saja tak
bernapas lagi. Sedangkan orang di belakangnya terpaksa berguling-guling sambil
berteriak dengan histeris, karena gelombang panas dari sinar hijau patah-patah
tadi menyambar wajah tubuh depannya hingga menjadi merah, seperti kepiting
rebus pakai saos.
"Setan busuk! Kau bikin
aku melukai anak buahku sendiri, hah! Rasakan pembalasanku ini, Bangsat!
Hiaaaaaaaaahh...!"
Janda Liar keluarkan jurus
'Lembayung Getih' untuk menyerang Pematang Hati. Masing-masing tangannya
mengeraskan dua jari dan dari masing-masing dua jari itu keluar sinar merah
yang segera menyatu menjadi satu kekuatan sinar merah cukup dahsyat, seperti
yang dipakai untuk melukai Pangkar Soma itu. Claaaapp...!
Tetapi sebelum segalanya
terjadi, Mahligai Sukma telah berguling-guling di tanah seperti bola dan
tiba-tiba kakinya menyambar kaki Selimut Senja dengan kuat.
Plaaak...! Selimut Senja
terpelanting ke kanan, akibatnya sinar merah dari jurus 'Lembayung Getih'
melesat ke arah atas, seakan ingin menghantam matahari.
"Hiaaat...!"
Mahligai Sukma segera menghentakkan tumitnya bagai ingin menumbuk dada si Janda
Liar.
Tetapi tangan si Janda Liar
segera menangkapnya dan tulang kering kaki itu dihantamnya dengan pukulan
bertenaga dalam.
Krrrakk...!
"Aaaau...!!"
"Mahligai...?!"
pekik Pematang Hati menjadi semakin marah melihat adiknya disakiti oleh Selimut
Senja. Dengan cepat ia lepaskan jurus pukulan bersinar putih ke kepala Selimut
Senja. Claaap...!
Blaab, blaab...!
Tenda Biru juga menghantamnya
dengan sinar biru bundar sebesar jeruk peras. Kedua sinar itu kenai kepala dan
leher Selimut Senja.
Blaar, duaarrr...!
Selimut Senja terguling-guling
dengan keras. Tetapi ia segera bangkit kembali dengan segar tanpa terluka
sedikit pun. Bahkan jubahnya pun tak ada yang robek, sehelai rambutnya pun tak
ada yang terbakar. Ia berdiri kembali sambil sunggingkan senyum sinis kepada
ketiga lawannya.
"Cepat mundur dulu
kau!" teriak Tenda Biru kepada Mahligai Sukma yang dibantu Pematang Hati
untuk menyingkir.
"Kakiku patah," ucap
Mahligai Sukma kepada Pematang Hati.
"Salurkan hawa sucimu
untuk kurangi rasa sakitnya. Akan kubalas mematahkan leher perempuan itu!"
ujar Pematang Hati sambil menuntun adiknya jauhi Selimut Senja.
Melihat keadaan Mahligai Sukma
tampaknya lemah, salah seorang anak buah Selimut Senja segera melemparkan
pisaunya ke arah leher Mahligai Sukma.
Ziiing...!
Teeb...! Pisau itu ditangkap
oleh Mahligai Sukma dengan jepitan jarinya. Dalam keadaan duduk, Mahligai Sukma
melemparkan kembali pisau itu kepada pemiliknya sambil berguling satu kali.
Zzziing...!
Lemparan ini lebih cepat
daripada lemparan si pemilik pisau. Hampir saja gerakan pisau terbang tak
terlihat oleh mata siapa pun.
Juub...!
"Aaahk...!" si
pemilik pisau memekik dengan mata mendelik, ulu hatinya tertancap pisaunya
sendiri, ia pun tumbang dan tak mau bernapas lagi.
"Jahanam kauuu...!"
teriak Selimut Senja begitu melihat anak buahnya mati tertancap pisau. Ia
segera melompat menyerang Mahligai Sukma. Tetapi gerakannya segera ditabrak
oleh Tenda Biru dari arah samping.
"Hiaaat...!"
Plak, plak, beet, wess,
buuhk...!
Adu kecepatan tangan di udara
terjadi beberapa kejap saja. Selimut Senja jatuh terbanting, Tenda Biru
terpental dengan pedang tak berhasil lukai tubuh lawannya. Kini Tenda Biru
justru keluarkan darah dari mulutnya karena terkena hantaman telapak tangan si
Janda Liar itu.
"Babi...! Cuiih...!"
Tenda Biru memaki dan meludah.
"Dadaku seperti dihantam
pilar beton! Sialan!" Ia segera bangkit lagi ketika Pematang Hati
menyerang Selimut Senja dengan tendangan
beruntun.
Bet, bet, bet, bet, bet...!
Selimut Senja hanya bisa
menangkis karena cepatnya tendangan yang datang ke arahnya. Ia sempat terdesak
mundur dan tak bisa memberi balasan apa pun.
Ketika Selimut Senja terdesak
sampai ke barisan pengepung, tiba-tiba salah seorang pengepung maju menyerang
Pematang Hati dengan pedangnya. Weees...! Sambil masih lakukan tendangan
beruntun Pematang Hati menangkis pedang itu dengan pedangnya sendiri.
Kemudian dengan cepat
pedangnya menghujam perut si pengepung.
Traang.... Juub...!
"Heegh...!" orang
itu mendelik, lalu segera tumbang tak bernyawa setelah pedang dicabut oleh
Pematang Hati. Pedang itu kini ganti ditebaskan ke leher Selimut Senja.
Traaak...! Ujung pedang yang berhasil kenai leher Selimut Senja itu hanya
memercikkan bunga api kecil, seperti pedang menghantam pilar baja. Sementara
Selimut senja tak terluka sedikit pun, bahkan ia berhasil putar tubuhnya dan
mengirimkan tendangan cepat ke dada Pematang Hati.
Buuhk...!
Weeeess...!
Pematang Hati terpental ke
belakang, melayang bagai seonggok kapas terbawa angin. Brrruk...!
"Auuh...!" Pematang
Hati mengaduh saat jatuh di depan Tenda Biru.
"Jaga adikmu, aku akan
mendesaknya sepenuh tenaga!" ujar Tenda Biru kepada Pematang Hati.
"Dia lemah jika jarak
dekat!" Pematang Hati sempat berseru sambil duduknya mundur, kemudian
bangkit dengan pegangi pinggangnya.
"Kuingatkan kepada
kalian, lebih baik kalian pergi dari sini daripada nyawa kalian terbuang
sia-sia!" seru si Janda Liar.
"Kami tidak akan pergi
jika tidak bersama Suto Sinting!"
"Aku tidak menyembunyikan
orang bernama Suto Sinting, Tolol!" bentak Selimut Senja.
"Panji Klobot itulah Suto
Sinting, si Pendekar Mabuk!" balas Tenda Biru dengan suara membentak.
Selimut Senja diam sebentar.
"Benarkah dia Pendekar Mabuk?" gumamnya dalam hati. "Aku pernah
dengar nama itu, tapi belum pernah bertemu dengan orangnya. Ooh... jika benar
si Panji Klobot itu adalah Pendekar Mabuk, akan kupertahankan lebih kuat lagi,
karena aku ingin serap seluruh ilmunya!" Tenda Biru berseru melontarkan
ancamannya.
"Jika dia tidak kau
bebaskan, semua anggota Partai Janda Liar ini akan kukirim ke neraka, termasuk
kau!" ia menuding Selimut Senja dengan pedangnya.
"Apa maksudmu mengatakan
Panji Klobot adalah Pendekar Mabuk?! Pria tawananku itu bukan Pendekar
Mabuk!"
"Buka matamu lebar-lebar,
Perempuan Picak! Per- hatikan wajahnya, perhatikan ciri-cirinya.... Dia adalah
Pendekar Mabuk, bukan Panji Klobot! Panji Klobot adalah muridku yang belum bisa
apa-apa!"
"Oh, kalau begitu memang
benar, dia adalah Pendekar Mabuk," pikir Selimut Senja. "Alangkah
beruntungnya aku bisa dapatkan pendekar kondang yang terkenal kesaktiannya itu!
Jika begini caranya, nyawa pun siap kukorbankan untuk pertahankan Pendekar
Mabuk! Hmmm... bodoh sekali mereka! Sebenarnya tak perlu memberitahukan padaku
bahwa pemuda tampan itu adalah Pendekar Mabuk. Padahal kalau dia memang Panji
Klobot, aku tak keberatan untuk melepaskannya kalau sampai nyawaku
terancam."
Lalu ia berseru kepada Tenda
Biru,
"Dengar, Gadis Peot...!
Sebenarnya aku tidak tahu kalau pemuda itu adalah Pendekar Mabuk. Tapi karena
kau memberitahukan padaku dengan penuh keyakinan, maka asmaraku pun semakin
meluap-luap padanya. Kupertaruhkan nyawaku untuk mempertahankan Pendekar Mabuk
itu! Dan aku tak akan segan-segan hancurkan orang yang berniat memisahkan aku
dengan Pendekar Mabuk!"
"Sial! Dia semakin
berkeras kepala?!" gumam hati Tenda Biru sambil mata tetap memandang tajam
kepada Selimut Senja dan pedangnya siap digunakan untuk menyerang. Kali ini
Tenda Biru sudah mulai kumpulkan tenaganya ke tangan. Pedangnya akan beraksi
lebih dahsyat lagi, diperkirakan akan dapat menjebolkan dada si Janda Liar itu.
Tiba-tiba seorang perempuan
berpakaian kuning gading dan bajunya tanpa lengan itu datang dengan
terengah-engah, sepertinya ia baru saja datang dari bepergian. Ia menyelinap di
antara para pengepung yang membentuk pagar melingkar lebar itu.
"Ketua...! Jangan percaya
dengan kata-kata mereka! Mereka penipu semua! Aku baru saja bertemu dengan Pendekar
Mabuk dan dia sedang dalam perjalanan menyeberang pulau. Jadi pemuda yang ada
di sini itu memang benar-benar Panji Klobot!"
"Sunting Sari..., dari
mana saja kau!" geram Selimut Senja.
"Aku mengejar si Tenda
Biru itu, Ketua! Rupanya dia adalah kekasih Panji Klobot yang ingin mengamuk di
sini. Aku tak berhasil mencegahnya, Ketua! Sebaiknya, hati-hati melawan dia dan
dua sahabatnya itu! Mereka licik dan penuh tipu muslihat! Pertahankan terus si
Panji Klobot yang sudah Ketua tawan itu!"
"Dari mana kau tahu kalau
aku sudah menawan Panji Klobot?!"
"Kantani memberitahukanku
di depan gerbang sana! Kurasa Ketua tak perlu ragu-ragu untuk membunuh mereka
bertiga! Karena mereka sangat membutuhkan Panji Klobot sebagai pemuas gairah
mereka!"
"Sunting Sari...?!" gumam
Mahligai Sukma dengan heran.
"Ssst...!" Pematang
Hati memberi isyarat agar mereka tetap berlagak tidak mengenal Sunting Sari.
Karena saat Sunting Sari bicara tentang pertemuannya dengan Pendekar Mabuk,
mata kirinya sempat berkedip dua kali, menandakan agar mereka tetap berlagak
tidak saling kenal.
Sunting Sari yang telah sembuh
akibat pengobatan Kusir Hantu itu semakin menampakkan sikap permusuhannya
dengan Tenda Biru dan kedua kakak-beradik itu.
"Kalian tak akan mampu
melawan Ketua kami! Kau pikir Ketua kami ini bocah kemarin sore?!"
"Buktikan saja siapa yang
terkirim ke neraka nantinya!" seru Tenda Biru yang juga memahami kedipan
isyarat dari Sunting Sari tadi.
"Sunting Sari, kalau
begitu kau jaga pemuda itu dan pertahankan dengan nyawamu!"
"Baik! Di mana dia
sekarang, Ketua?!"
"Di ruang
penyiksaan!" jawab Selimut Senja pelan.
"Pertahankan dia jangan
sampai lolos jika tak ingin nasibmu seperti Rumbani."
"Bagaimana dengan
Rumbani?"
"Kupenggal tadi pagi,
karena ia justru mau bercumbu dengan pemuda itu di sebuah kuil! Laksanakan
tugasmu sekarang juga, cepat!"
"Baik! Akan kupertahankan
dia sampai titik darah penghabisan!"
Kemudian Sunting Sari pergi
tinggalkan lingkaran pengepungan itu. Selimut Senja sempat bimbang,
"Benarkah Pendekar Mabuk
sedang dalam perjalanan menyeberang pulau? Kalau begitu, yang ada di sini
memang benar-benar Panji Klobot?!"
Si Janda Liar itu menjadi
gelisah diliputi kebimbangan. Tetapi matanya tetap tertuju kepada ketiga lawan
yang agaknya sangat bernafsu sekali untuk bebaskan pemuda tersebut. Tangan
Tenda Biru mulai bergetar bersama pedangnya, pertanda tenaga dalam yang
terkumpul dalam genggaman sudah mulai disalurkan melalui pedangnya itu. Ia
menunggu kesempatan bagus untuk melepaskan jurus pedang bertenaga dalam tinggi
itu.
"Janda Liar... sekarang
tiba saatnya kita tentukan siapa yang harus mati dalam pertarungan ini!"
tantang Tenda Biru dengan lantang. Selimut Senja hanya tersenyum tipis bernada
sinis.
"Tentu saja yang harus
mati adalah kalian bertiga! Karena ilmu kalian masih ada di telapak kakiku!
Belum ada sekuku hitamnya dibanding ilmuku!"
"Kita buktikan saja,
jangan hanya bisa berkoar, Janda Liar!"
"Baik! Bersiaplah
membayangkan kuburan yang
penuh belatung dan lintah
untuk menguburkan mayatmu, Keparat!"
Tenda Biru bergerak ke kiri
dengan pedang tetap iangkat sebatas pundak dan diarahkan kepada Selimut Senja.
Sementara itu Selimut Senja juga bergerak ke kanan dengan jurusnya yang mirip
sebuah tarian gemulai itu. Masing-masing mencari kesempatan untuk lepaskan
serangan maut yang akan mematikan salah satu pihak.
*
* *
7
KERIBUTAN di pelataran depan
ternyata dimanfaatkan oleh dua perempuan
yang bertugas menjaga keamanan bagian dalam. Dua perempuan itu adalah Suyuti
dan Warih, si penjaga pintu ruang tawanan itu. Suyuti dan Warih masuk ke ruang
penyiksaan dan saling cekikikan pandangi Suto Sinting yang terbelenggu kuat
dalam keadaan kaki merentang dan tangan merentang. Mata mereka berbinar-binar
penuh gejolak api gairah saat memandang keperkasaan Pendekar Mabuk.
"Wow...! Besar sekali,
ya?"
"Apanya?" tanya
Warih.
"Perawakannya. Besar.
Gagah, tegap, ganteng, dan...banyak bulunya, ya?"
"Yang mana
maksudmu?"
"Betisnya itu lho! Hi,
hi, hi...!"
Pendekar Mabuk menahan
kemarahan dalam hati. Ia sebal sekali dijadikan tontonan dua perempuan berusia
sekitar dua puluh tujuh tahun itu. Kalau saja tenaganya telah pulih, tuak dari
bumbung saktinya telah terminum, maka dengan sekali sentak saja rantai belenggu
itu dapat lepas dari tembok. Tapi karena tak mendapat minuman tuak dari bumbung
saktinya itu, maka tenaga Suto hanya separo kurang dari kekuatan biasanya.
"Eh, Suyuti... kau pernah
mendapatkan burung jalak?"
"Hmmm... mendapatkan
belum pernah tapi kalau melihat burung jalak terbang memang pernah."
"Di sini ada kakeknya
burung jalak Iho."
"Mana...?"
"Itu...! Hi, hi,
hi...!"
Kedua perempuan tersebut
saling cekikikan membuat hati Suto semakin malu dan jengkel.
"Hei, kau pikir aku anak
monyet, kok dipakai tontonan?!" sentak Suto Sinting:
Sentakan tersebut tak
dihiraukan. Bahkan Suyuti berani lebih kurang ajar lagi. Namun tiba-tiba
seorang perempuan segera masuk bagai menyelinap, langkahnya pelan-pelan dan ia
segera memberi isyarat pada Suto agar diam saja. Perempuan itu segera mendekati
Warih dan Suyuti, kemudian kedua kepala perempuan itu dijambaknya kuat-kuat dan
kedua kepala pun diadu keras-keras. Prraaak...!
"Uhk...!" Suyuti
sempat terpekik pelan ketika darah muncrat dari kepalanya. Tapi ia segera jatuh
pingsan dengan kepala retak. Warih sudah tak bergeming lagi, ia lebih dulu tak
sadarkan diri ketika kepalanya dibenturkan dengan kepala Suyuti.
"Sunting Sari...?! Lekas
buka belenggu rantai ini!"
Sunting Sari diam, berdiri
memandang sambil tersenyum geli. Kepalanya sempat geleng-geleng sambil mulutnya
berdecak penuh rasa kagum.
"Ck, ck, ck, ck...
perempuan mana yang tak ngiler kalau melihatmu polos seperti ini. Mana... ih,
kenapa itu, kok bengkak?!" Sunting Sari menuding 'kakeknya burung jalak'
tadi. Suto Sinting malu sekali, akhirnya membentak berang sebagai penutup rasa
malunya.
"Buka belenggu ini!
Jangan melotot saja, nanti matamu kucolok baru kapok!"
"Apakah kedua perempuan
ini sudah memakaimu?"
"Belum! Sudah jangan
banyak tanya, buka belenggu ini!"
"Ssst...! Jangan
teriak-teriak nanti didengar penjaga lainnya! Pejamkan matamu!" kata
Sunting Sari. Suto pun memejamkan mata. Lalu dari ujung jari tangan Sunting
Sari yang disentakkan ke depan itu keluar sinar merah panjang sebesar lidi.
Claap...! Deer...! Craaak...!
Rantai belenggu bagian tangan kiri putus. Sunting Sari lakukan hal yang sama
untuk belenggu tangan kanan, juga kedua kaki. Kini Suto bebas dari lilitan
belenggu walau kulit lengannya sedikit terluka bakar karena sinar merah dari
ujung jari Sunting Sari itu.
Pertama-tama yang dilakukan
Suto adalah mengambil bumbung tuaknya yang seolah-olah sudah menunggu tuannya
di sudut ruangan. Tuak diteguk beberapa kali, Tubuh Suto menjadi segar,
kekuatannya pulih kembali.
Tapi ia segera sadar akan
keadaannya yang polos tanpa busana dan menjadi bahan perhatian mata indah si
Sunting Sari itu. Maka ia buru-buru merapatkan kedua pahanya dan mendekap
tangannya di paha.
"Carikan pakaianku!"
"Terlalu lama. Nanti
saja! Sekarang bantu mereka di luar!"
"Mereka siapa?"
"Tenda Biru, Pematang
Hati, dan Mahligai Sukma. Mereka sedang bertarung dengan Selimut Senja menuntut
dibebaskannya dirimu."
"Oh, siapa yang memberi
tahu mereka kalau aku di sini?"
"Aku...!" jawab
Sunting Sari dengan tersenyum bangga. "Kelihatannya mereka tak mampu
tumbangkan sang Ketua. Cepatlah bantu mereka!"
"Mana mungkin aku bisa
bertarung dalam keadaan telanjang begini?!" sentak Suto dengan jengkel.
"Hmmm...," Sunting
Sari mencari akal. Lalu, dilihatnya kain pembalut tubuh Suyuti yang berwarna
merah itu terhampar di lantai. Sunting Sari pun memungut kain tersebut dan
dilemparkan kepada Suto.
Wuuus...!
"Pakailah kain ini
dulu!"
"Mana enak dipakai untuk
bertarung! Ribet!"
"Dililitkan sebatas paha
saja, Tolol! Yang penting 'jimatmu' tidak kena angin, biar tidak kembung!"
ujar Sunting Sari sambil tertawa cekikikan. Maka Suto Sinting pun segera
kenakan kain itu. Kain dipakai seperti mengenakan cawat, melilit di sela kedua
pahanya dan melingkar di pinggang. Dengan begitu, 'jimat' Suto tidak kelihatan
tapi tubuhnya yang kekar itu masih tampak jelas tanpa baju dan celana.
"Kau seperti orang
pedalaman kalau begitu! Cuma pakai cawat dan... menggairahkan sekali. Hi, hi,
hi...."
"Ah, kau!" Suto
menepiskan tangan, kemudian bergegas keluar dengan terburu-buru sambil
menenteng bumbung tuaknya.
"Hei, jangan ke kiri! Itu
jalan ke kamar mandi!"seru Sunting Sari. Suto berbalik arah dan mengikuti
langkah Sunting Sari.
Di pelataran depan, Tenda Biru
sedang memuntahkan darah kental karena pukulan dahsyat dari jurus tarian si
Janda Liar itu. Ia baru saja tersentak ke belakang dan jatuh terduduk.
Pedangnya terlepas dari tangan karena sekujur tubuhnya bagai tak bertulang lagi
sejak mendapat hantaman dahsyat dari Selimut Senja.
Pematang Hati sendiri sudah
babak belur. Wajahnya pucat, banyak luka memar dan hidungnya berdarah. Ia
sedang berlutut satu kaki sambil terengah-engah, menandakan habis menguras
tenaga untuk melawan si Janda Liar. Mahligai Sukma pun tampak terkapar terpisah
dari kakaknya dalam keadaan pucat pasi.
Mulutnya melelehkan darah kental
kehitam-hitaman pertanda habis terkena pukulan Selimut Senja. Saat itu adalah
saat-saat penghabisan bagi tiga gadis tersebut. Selimut Senja sedang memainkan
jurusnya yang mirip tarian itu untuk menghancurkan tubuh Tenda Biru lebih dulu.
Zlaaap...!
Brrrruus...!
Tiba-tiba Selimut Senja merasa
diterjang badai kuat dan tubuhnya terpental dan berguling-guling. Ia segera
bangkit sambil tarik napas dan memandang ke arah sesuatu yang menerjangnya
tadi. Ternyata Pendekar Mabuk telah berdiri tegak di sana dalam keadaan tanpa
baju dan celana selain hanya cawat kain merah tebal itu.
"Woow...!" para
pengepung menyerukan ungkapan kagumnya terhadap ketampanan Suto dan
perawakannya yang sering menjadi buah khayalan perempuan kasmaran.
"Biadab! Mana si Sunting Sari?!
Mengapa kau sampai bisa keluar dari ruangan itu, hah?!"
"Aku di sini,
Ketua!" seru Sunting Sari lalu muncul dari sela-sela pengepung dan berdiri
di sebelah Suto.
"Kau yang melepaskannya,
Sunting Sari?!"
"Ya, aku yang
melepaskannya!" tegas Sunting Sari.
"Pengkhianat kau!"
"Sama halnya dengan
dirimu yang juga pengkhianat, sehingga tega membunuh kakekku, mantan ketua
partai ini!"
"Hhmmmm...!!"
Selimut Senja menggeram, matanya memancarkan kemarahan total.
"Kuhancurkan kau sekarang
juga, Sunting Sari!
Hiaaat...!
Selimut Senja keluarkan jurus
'Lembayung Getih'. Sinar merah melesat dari kedua jarinya. Suto Sinting segera
berkelebat bersama bumbung tuaknya. Bumbung itu yang dipakai untuk menangkis
sinar merah tersebut.
Tuub...! Weess...!
Sinar itu berbalik arah lebih
besar dan lebih cepat. Selimut Senja kaget, karena baru sekarang ada orang bisa
membalikkan jurus 'Lembayung Getih'-nya. Rasa kaget terkesima itu membuat
Selimut Senja terlambat menghindar. Akhirnya punggungnya terhantam sinar itu
sendiri.
Blegaaarrr...!
Mestinya benda sekuat apa pun
terkena sinar itu akan hancur, bahkan biasanya jurus 'Lembayung Getih' membuat
benda apa pun menjadi serbuk halus. Tetapi pengaruh dari ilmu 'Kulit Baja'
membuat Selimut Senja hanya terpental dan tak mengalami luka sedikit pun baik
pada tubuhnya maupun pakaiannya. Selimut Senja terbanting tanpa rasa sakit. Ia
cepat bangkit dan segera melayang menyerang Suto Sinting.
Gerakan itu disambut dengan
satu lompatan cepat oleh Suto sambil menyodokkan bumbung tuaknya. Wuuut...!
Ujung bumbung tuak itu beradu dengan dua telapak tangan Selimut Senja yang
sudah membara merah dan mengepulkan asap.
Prrak...! Blegaaarrr...!
Pendekar Mabuk terlempar ke
belakang dan jatuh berguling-guling. Selimut Senja juga terlempar ke belakang,
namun kali ini kedua tangannya menjadi hitam akibat terbakar.
"Jahanam kau,
Panjiii...!" geramnya masih menganggap Suto sebagai Panji Klobot.
Sementara itu, beberapa anak
buahnya, termasuk Sunting Sari terbelalak kaget melihat tangan Selimut Senja
menjadi hangus.
"Aneh! Rupanya bambu tuak
itu punya kesaktian tinggi juga. Kedua tangan Selimut Senja bisa menjadi
hangus. Berarti jika kenai dadanya, maka dadanya juga akan menjadi hangus.
Bumbung tuak itu bisa kalahkan ilmu 'Kulit Baja' yang dimilikinya!" ucap
Sunting Sari dalam hatinya.
"Kuberi kesempatan
menyerahlah, Panji! Jangan nekat melawanku. Sayangilah nyawamu dan kita bias
bercumbu setiap saat! Kau akan ketagihan kalau sudah merasakan surga dalam
pelukanku, Panji...."
Kata-kata itu tak dihiraukan
Suto Sinting. Ia justru menenggak tuaknya yang tinggal separo kurang itu.
Sedikit tuak ditelan, sisanya ditampung di mulut.
Suto Sinting membuka jurus
tantangan yang menggeloyor seperti orang mabuk mau jatuh. Selimut Senja merasa
ditantang, lalu segera menari dengan cepat.
Tiba-tiba kedua tangannya
merapat di dada dan disentakkan ke depan.
Suuut...! Slaaap...!"
Sinar ungu lurus seperti
tombak melesat dari ujung kedua tangan itu dan menghantam ke arah Suto Sinting.
Kali ini Pendekar Mabuk tak ingin menangkisnya, karena dalam sekelebat ia
melihat keadaan di belakangnya tak ada teman-temannya, selain para pengepung
itu. Maka dengan satu lompatan peringan tubuh, Pendekar Mabuk melesat ke atas,
bersalto beberapa kali dalam ketinggian.
Sinar ungu itu menghantam dua
pengepung sekaligus dan... jegaaaarr...! Mereka hancur berkeping-keping, sulit
dikenali lagi. Gerakan Suto yang melambung itu segera mendarat di tepian
lingkaran pengepung. Salah seorang pengepung berusaha menghujamkan tombaknya ke
atas agar kenai pantat Suto. Tetapi ujung tombak itu justru dipakai pijakan
kaki Suto yang segera menyentak dan membuat tubuhnya melambung kembali dalam
gerakan bersalto.
Teb...! Wuuut...!
Gerakan bersalto dua kali
melewati atas kepala Selimut Senja. Maka dalam keadaan kepala berbalik ke
bawah, Suto Sinting semburkan sisa tuak yang ada di mulutnya sejak tadi itu.
Bwwruuuusss...!
Jurus 'Sembur Bromo Wiwaha'
dipergunakan oleh Pendekar Mabuk. Tuak yang disemburkan itu memercikkan bunga
api ke mana-mana, dan bunga api itu menghujani kepala serta tubuh Selimut
Senja.
Buuull...! Api pun membakar
tubuh Selimut Senja dari kepala sampai kaki.
"Aaaaaa...!!"
Selimut Senja kebingungan memadamkan api tersebut. Jubahnya mulai terbakar dan
hampir habis. Rambutnya pun keriting seketika lalu rontok sebagian. Tapi nyala
api masih berkobar seakan makin lama semakin besar.
"Aaaaa...! Aaaa...!"
ia berguling-guling kebingungan memadamkan api tersebut. Sementara Suto Sinting
sudah mendarat di dekat Tenda Biru dengan tegak dan tenang.
"Minum tuakku dulu, yang
lain juga!"
Tenda Biru segera menerima
bumbung tuak dan menenggaknya beberapa teguk. Setelah itu, tuak diberikan
kepada Pematang Hati, dan Pematang Hati pun meneguknya beberapa teguk, lalu ia
meminumkan tuak ke mulut adiknya: Mahligai Sukma. Dengan meminum tuak tersebut,
keadaan mereka menjadi segar dan luka-lukanya sembuh total dalam waktu singkat.
"Tenagaku terasa terkuras
habis setiap tendanganku kenai tubuhnya," ujar Pematang Hati sambil
memandang si Janda Liar yang masih dibungkus api itu.
"Dia punya ilmu yang bisa
menyerap tenaga lawan!" ujar Suto mengutip keterangan Sunting Sari.
Beberapa anak buah si Janda
Liar melarikan diri, yang lain sibuk tak karuan. Karena api itu tak bias
dipadamkan oleh siraman air. Suasana panik meliputi mereka. Selimut Senja
kelabakan, tubuhnya meleleh bagai logam terkena panas. Ia masuk ke kamar-kamar
dan membuat api semakin berkobar membakar kain, papan atau apa saja, sehingga
dalam waktu singkat pesanggrahan itu terbakar separo bagian.
Akhirnya, si Janda Liar itu
tergeletak di serambi samping dalam keadaan sudah tak bernyawa dan tubuhnya
yang hitam hangus itu masih dibungkus api walau tak berkobar sebesar tadi. Para
anggota Partai Janda Liar saling berwajah tegang dan merasa takut dekati Suto
Sinting. Mereka mengakui keunggulan Suto yang mampu tumbangkan sang Ketua,
"Ternyata ilmu 'Kulit
Baja' masih bisa kau kalahkan dengan ilmu tuakmu, Suto," ujar Sunting Sari
dengan tersenyum bangga.
"Namanya jurus 'Sembur
Bromo Wiwaha'," ujar Suto menjelaskan.
"Kita pulang ke Lembah
Seram sekarang juga, Suto!" ajak Tenda Biru seakan tak ingin Suto bicara
dengan Sunting Sari lebih lama lagi.
"Baiklah, Sunting Sari...
kini kau bisa menggantikan kedudukan Selimut Senja sebagai Ketua Partai Janda
Liar. Tapi aku punya satu permintaan padamu."
"Katakanlah...."
"Jadikan Partai Janda
Liar sebagai kekuatan yang bertujuan menghancurkan kekejaman dan
keangkara-murkaan. Jadikan kelompok ini sebagai kelompok aliran putih yang
berguna bagi sesama."
"Akan kuturuti
permintaanmu sebagai janjiku waktu kita di gua itu!" ujar Sunting Sari.
"Terima kasih atas bantuan kalian semua," tambah Sunting Sari kepada
yang lain. "Selamat jalan, Suto!" Sunting Sari memeluk Suto, dan Suto
pun memberikan pelukan perpisahan yang hangat.
"Jaga dirimu baik-baik,
Sunting Sari," ucap Suto saat memeluk.
"Akan kuperhatikan semua
nasihat dan saranmu, Suto."
Pematang Hati agak kesal dan
berkata menyindir, "Lama sekaliiii...!"
Suto pun melepaskan
pelukannya. Ia melangkah bersama tiga gadis cantik yang semuanya saling
memendam rasa kepada Suto Sinting. Tapi mereka saling akur karena saling
membantu dalam setiap kesulitan.
Langkah Suto yang menjauhi
pesanggrahan itu terhenti karena seruan Sunting Sari.
"Sutoooo...!"
"Mau apa lagi perempuan
itu?" gerutu Mahligai Sukma.
"Ada apa...?!" Tenda
Biru yang menjawab dengan seruan sedikit ketus.
"Sutooo... celanamu
ketinggalan!" sambil Sunting Sari mengangkat pakaian Suto dan
melambai-lambaikan.
Suto terperanjat dan baru
menyadari bahwa dirinya hanya mengenakan cawat darurat saja. Ia segera tertawa
sendiri dan bergegas mengambil pakaiannya. Tapi Pematang Hati menahan tangan
Suto.
"Biar aku saja yang
mengambilnya!" ucapnya rada ketus, lalu ia pergi mengambil pakaian itu.
Suto Sinting hanya tertawa kecil dan melambaikan tangan kepada Sunting Sari.
"Cup, cup, uuah...!"
Cium jauh untuk Sunting Sari
dari Pendekar Mabuk.
SELESAI