ANGIN laut berhembus cukup
besar. Ini membuat peluang baik bagi kapal layar untuk bergerak dengan cepat.
Tapi kenyataannya kapal itu justru berhenti tak bergerak sedikit pun, kecuali
hanya timbul tenggelam dipermainkan oleh ombak.
"Aneh. Banyak angin, tak
ada karang penghalang, layar berkembang, tapi mengapa kapal ini berhenti
sendiri? Apa yang menghambat lajunya kapal ini? Kandas juga tidak, kedalaman
laut cukup. Kenapa kapal jadi berhenti?"
Nakhoda Salju terheran-heran.
Matanya yang lebar memandang sekeliling haluan lewat ruang nakhoda. Nakhoda
Salju adalah pengemudi kapal itu. Orangnya berbadan kekar, berwajah bengis tanpa
kumis. Rambutnya panjang bagian belakang, sedang rambut
depan botak mulus hingga
jidatnya kelihatan sangat lebar. Ia mengenakan anting bulat sebelah kanan.
Usianya sekitar lima puluh tahun, berpakaian biru laut, berikat pinggang merah
tua.
Sekalipun berwajah lonjong
tapi dia punya suara berat, namun gerakannya gesit. Dari depan ruang nakhoda
yang ada di bagian haluan, ia serukan suara ke arah geladak,
"Sumbing Gerhana! Sumbing
Gerhana...!"
"Ya. Aku di sini!"
teriak seseorang bertubuh kurus, berbibir sumbing bagian atasnya, sehingga ia
sulit mengucapkan huruf
'P'. "Ada afa, Nakhoda?!' sambungnya.
"Cepat kemari!"
Orang berpakaian rompi hitam
dan celana merah itu bergegas menuju ruang nakhoda. Rambutnya yang panjang
melewati pundak itu tidak diikat sehingga meriap-riap dipermainkan angin, ia
datang mendekati Nakhoda Salju sambil tetap menggenggam cambuk yang terlipat
ujungnya, tanda tidak sedang digunakan.
"Apakah ada yang turunkan
jangkar?" "Tidak ada! Kenafa...?"
"Bodoh! Tidakkah kau
rasakan bahwa kapal berhenti, tidak bergerak maju kecuali diayun-ayunkan ombak
dari tadi?!"
"Kafal werhenti?!"
ucap Sumbing Gerhana dengan heran, dengan kata-kata yang aneh bagi orang yang
baru mendengarnya, sebab ia tidak bisa menyebutkan huruf
'P' dan 'B'. Jika ia
menyebutkan huruf 'P' diganti 'F', dan
huruf 'B' diganti 'W', karena
bibir atasnya yang sumbing sukar dipertemukan dengan bibir bawahnya. Sekalipun
dia sumbing, tapi dia menjabat sebagai keamanan kapal tersebut, sehingga galak
sikapnya kepada para awak kapal lainnya.
Setelah Sumbing Gerhana memandangi sekelilingnya, barulah
ia berkata kepada Nakhoda Salju,
"Wenar juga afa katamu,
kafal tidak wergerak! Fadahal wanyak angin, layar fun werkemwang wagus!"
"Wagus, wagus!" omel
Nakhoda Salju. "Periksa sekitar kapal, siapa tahu ada yang lego
jangkar!"
"Waik, waik...!" kemudian Sumbing Gerhana
memeriksa buritan dan sekitarnya,
ia melihat jangkar masih ada di tempatnya, tidak bergerak turun.
"Dayuuung...!" teriak
Sumbing Gerhana.
"Dayuuung...! Kafal tidak
wergerak! Ayo, lekas dayuuung...!"
Tarr...! Tarrr...!
Sumbing Gerhana melecutkan
cambuknya. Maka, dua puluh budak tanpa baju segera mendayung kapal itu dengan
serempak. Mereka ada di kanan kiri kapal, duduk di tempat pendayung.
Para budak pendayung paling
takut jika Sumbing Gerhana marah. Cambukannya lebih sering ngawur. Sumbing
Gerhana tak pernah pikirkan cambukannya mengenai hidung atau mata mereka, yang
penting dengan melecutkan cambuk dan membentak-bentak, itu adalah tugas
utama baginya, disamping menjaga keamanan sekitar geladak
kapal.
Sumbing Gerhana kembali
menghadap Nakhoda
Salju dan berkata,
"Tak ada hamwatan! Para
fendayung sudah wekerja!" "Tapi kapal sudah bergerak apa belum?
Lihat!" sentak Nakhoda Salju yang lebih galak dari Sumbing
Gerhana.
Setelah diperhatikan baik-baik,
ternyata kapal masih belum bergerak. Padahal dua puluh tenaga budak pendayung
telah dikerahkan. Mereka juga mendayung dengan penuh semangat. Tapi kapal masih
belum mau bergerak.
"Iya. Kenafa welum
wergerak juga?" Sumbing
Gerhana garuk-garuk kepalanya
dengan bingung. "Periksa bagian bawah kapal. Jangan-jangan ada
karang menjepitnya! Terutama
periksa bagian buritan dan haluan!"
Sumbing Gerhana tidak segera
terjun ke laut untuk memeriksa bagian bawah kapal. Dia memerintahkan dua orang
anak buahnya untuk memeriksa keadaan dasar kapal. Kedua orang itu melakukan
tugas dan cepat kembali menghadap Sumbing Gerhana sambil memberi laporan, bahwa
tak ada satu karang pun yang menjepit dasar kapal. Maka, Sumbing Gerhana cepat
menghadap Nakhoda Salju lagi.
"Tidak ada karang
menjefit kafal ini! Keadaan di wawah kafal aman!"
"Hmmm... lalu, kenapa
kapal tidak mau bergerak?" "Mana aku tahu?"
"Di mana sang
ketua?"
"Ada di dalam kamarnya.
Sedang tidur!"
"Celaka! Kalau sang
ketua tahu, kita yang disalahkan!"
"Afa woleh
wuat...?!" Sumbing Gerhana angkat bahunya.
Kapal itu tergolong jenis
kapal besar. Mempunyai tiang layar tiga, yang utama ada di depan. Layar lebar
itu berwarna merah dengan gambar tengkorak dikelilingi tujuh mata rantai dan di
atas gambar tengkorak dari warna putih itu ada gambar mahkota yang juga
berwarna putih. Setiap ujung tiang layar mempunyai bendera segi tiga warna
hitam dengan gambar tengkorak dan mahkota warna putih. Warna lambung kapal juga
merah tua. Di ujung haluannya mempunyai balok panjang ke depan dengan hiasan
tujuh tengkorak bersusun dari atas ke bawah. Tiap tiang layar mempunyai tempat
pengintai dan di sana ditempatkan tiga petugas pengintai yang selalu berada di
pertengahan tiang layar.
Bagi para tokoh dunia
persilatan yang tergolong tua, mereka sangat kenal dengan kapal berciri-ciri
seperti itu. Mereka tahu, bahwa kapal itu adalah kapal Siluman Tujuh Nyawa,
yang menguasai perairan laut utara, ia mempunyai banyak sekutu yang menguasai
beberapa pulau dan wilayah tertentu. Bagi mereka yang tidak mau bersekutu atau
menolak kerja sama dengan Siluman Tujuh Nyawa, maka maut pun menjemput mereka
tanpa ampun lagi.
Tetapi kali ini kapal milik tokoh
sesat yang terkenal sakti dan berilmu tinggi itu terhenti tanpa sebab-sebab
yang pasti. Nakhoda Salju dan
Sumbing Gerhana merasa cemas. Sebab jika Siluman Tujuh Nyawa yang dipanggil
mereka dengan sebutan sang ketua itu mengetahui dan murka, habislah nyawa
mereka berdua. Selama ini sudah lebih dari dua puluh nakhoda berganti karena
mati di tangan Siluman Tujuh Nyawa. Hanya Nakhoda Salju itulah pengemudi kapal
yang punya masa jabatan cukup lama dibanding nakhoda lainnya.
"Afa yang harus kita
lakukan kalau wegini?" tanya
Sumbing Gerhana dengan hati
cemas.
"Jaga supaya
sang ketua jangan
bangun dari tidurnya!"
"Akan kusuruh felayannya
untuk tidak memwuat kegaduhan!" kata orang yang bergigi tonggos itu.
Tapi sebelum Sumbing Gerhana
bergerak masuk ke lambung kapal untuk menemui pelayan dan penjaga kamar Siluman
Tujuh Nyawa, tiba-tiba ia mendengar suara seruan dari petugas pengintai di
tiang layar belakang.
"Ada sesuatu yang
bergerak kemari! Ada yang mendekat kemari!"
Sumbing Gerhana bergegas ke belakang, ia tengadahkan wajah dan
berseru kepada
petugas pengintai di tiang itu,
"Afa wujudnya? Kafal atau
ferahu?!" "Tak jelas! Gerakannya cepat!"
"Ikan faus...?!"
"Tak jelas juga!"
Orang itu menutupkan tangannya untuk menghalau silau cahaya matahari agar bisa
memandang dengan jelas apa
yang dilihatnya bergerak, ia bahkan sempat kelihatan bingung pada waktu Sumbing
Gerhana bergegas menaiki tangga tiang yang terbuat dari anyaman tambang itu.
"Hilang...!" teriak
petugas pengintai. "Afanya yang hilang! Aku di sini, wodoh!"
"Bukan kamu yang hilang,
tapi sesuatu yang aneh dan
yang bergerak kemari itu yang
hilang!" seru petugas pengintai.
"Kenafa bisa
hilang?!" bentak Sumbing Gerhana. "Mana aku tahu?! Dia hilang
sendiri! Bukan aku yang
hilangkan!"
"Cari! Cari...!"
"Cari ke mana?!" sambil petugas pengintai memandang sekeliling,
diikuti oleh petugas pengintai di tiang kedua dan tiang pertama. Yang ada di
tiang kedua berseru,
"Tidak ada apa-apa!"
Yang di tiang pertama juga
berseru, "Mungkin hanya punggung ikan besar!"
"Ikan wesar?! Mengafa
ikan wesar kemari?!" seru
Sumbing Gerhana.
"Yang jelas bukan mau
menjadi anggota kapal kita!" jawab pengintai di tiang kedua.
Nakhoda Salju menyuruh anak
buahnya untuk
menjaga kemudi, ia bergegas
keluar dari ruang nakhoda. Tapi baru sampai di depan ruang nakhoda, tiba-tiba
matanya terkesiap melihat sesuatu yang melompat dari laut ke tepian geladak.
Jlegg...!
"Sumbing Gerhana! Ada
tamu tak diundang butuh cambukanmu!" seru Nakhoda Salju.
Semua mata tertuju pada tamu
tak diundang itu. Bahkan Sumbing Gerhana sempat ternganga mulutnya karena
bengong melihat sesuatu yang mengagumkan, juga para pengintai di atas tiang itu
memandang tak berkedip. Ada pula yang bersuit dan menggoda dari sisi lain. Para pendayung serentak hentikan gerakan dayungnya dan tertegun
memandang perempuan cantik yang muncul bagaikan setan.
Perempuan itu tampak cantik
luar biasa, ia berpakaian penutup dada warna hijau dengan hiasan benang emas
yang ketat dengan bentuk pinggang sampai dadanya yang montok itu. Ia juga
mengenakan celana hijau beludru
ketat berhias benang emas. Pakaian itu dirangkapi baju jubah warna
biru muda transparan terbuat dari sutera halus.
Rambutnya sebagian digulung
kecil di atas kepala, tapi bagian belakang dan sisanya dibiarkan terurai
panjang sebatas punggung, ia mengenakan mahkota emas kecil sebagai penghias
bagian depan rambutnya, juga mengenakan kalung lempengan emas berhias mutiara
susun dua, juga gelang keroncong yang jumlahnya lima buah tiap tangan. Tak lupa
senjata pedang bersarung
tembaga berukir
tersandang di punggungnya. Gagang pedang dari tembaga itu mempunyai hiasan benang warna
merah.
Hidungnya bangir, bibirnya indah dan
menggemaskan. Matanya tidak terlalu
lebar tapi membulat indah
dengan bulu mata yang lentik, alis mata yang tidak terlalu tebal tapi terlihat
hitam berbentuk indah. Kulitnya kuning langsat dengan potongan dada dan pinggul
yang sekal, menantang gairah lelaki.
Sumbing Gerhana cepat turun
tangga dan menemui perempuan cantik beraroma wangi bunga melati itu. Sumbing
Gerhana memperlihatkan senyumnya yang tak jelas karena
bibirnya sumbing. Perempuan itu memandang Sumbing Gerhana dengan
wajah ketus, tanpa senyum sedikit pun di bibirnya yang tampak merah ranum itu.
"Rufanya kaulah orang
yang tahan laju kafal ini!" kata Sumbing Gerhana sambil matanya memandang
penuh selidik, bertolak pinggang sebelah tangan, sedangkan tangan yang satu
masih memegangi cambuk hitam yang dilipat melingkar.
"Memang aku yang menahan
kapal ini!" sahut perempuan itu ketus.
"Mengata kau tahan kafal
ini? Wutuh hiwuran hangat, hah?!"
Ledekan dari Sumbing Gerhana
membuat awak kapal lainnya tertawa, tapi Nakhoda Salju diam saja sambil tetap
pandangi perempuan itu. Sementara itu, anak buah yang ditugaskan menjaga kemudi
kapal berbisik dari belakang,
"Kemudi tidak bisa
digerakkan dari tadi, Nakhoda!" "Tinggalkan dulu soal kemudi. Nikmati dulu
pemandangan indah yang jarang
kita temukan itu!" kata
Nakhoda Salju sambil tetap
pandangi perempuan itu, dan sang anak buah ikut memandang dengan senyum yang
gembira. Bahkan ia bersuit kecil tanda kagum, lalu berkata seperti bicara pada
diri sendiri.
"Luar biasa
cantiknya!"
"Ya. Tapi dia pasti
berilmu tinggi." "Dari mana Nakhoda tahu?"
"Dia yang menahan kapal
ini dan membuat kemudi tidak bisa digerakkan. Pasti dia bukan perempuan
sembarangan!"
Sementara itu, di geladak terdengar Sumbing
Gerhana berkata,
"Mana yang mau kau filih
untuk menghangatkan tuwuhmu? Aku lebih dulu, atau nakhoda di atas sana?"
"Kau lebih dulu!"
jawab perempuan itu. Sumbing Gerhana tertawa kegirangan. Tapi tawanya tiba-tiba
terhenti seketika.
Mereka heran melihat Sumbing
Gerhana mendelik sambil menahan rasa sakit. Hanya Nakhoda Salju yang tahu,
bahwa perempuan itu menggerakkan tangan kanannya ke samping, meremas
telunjuknya sendiri, tapi Sumbing Gerhana yang merasa diremas, ia tak bisa
memekik atau bersuara karena sangat
kesakitan. Wajahnya menjadi merah pertanda menahan rasa sakit yang luar
biasa. Wuttt wuttt...! Jlegg...!
Nakhoda Salju bersalto dari
depan ruang nakhoda. Dua kali berjungkir balik di udara, tubuhnya segera sampai
di depan perempuan itu, agak lebih ke belakang Sumbing Gerhana.
"Lepaskan dia! Aku tahu
kau telah meremasnya melalui remasan telunjuk jarimu itu!" kata Nakhoda
Salju.
"Kau cukup jeli ketimbang
Sumbing Gelhana," kata perempuan itu sambil melepaskan remasan tangannya
sendiri.
Sumbing Gerhana jatuh dan
terengah-engah. Sisa rasa sakit masih terasa menjalar di sekujur tubuhnya, ia
melirik perempuan itu dan bergeser menjauh. Tak berani untuk berdiri karena
masih terasa lemas di sekujur tubuhnya. Keringat pun jadi membersit di kening.
"Agaknya kau telah
mengenal kami, sehingga bisa sebutkan nama Sumbing Gerhana!" kata Nakhoda
Salju.
"Sangat kenal,"
jawab perempuan itu. "Bahkan aku kenal kamu sebagai manusia dingin yang
berjuluk Nakhoda Salju!"
Terkesiap mata Nakhoda Salju, merasa heran namanya bisa disebutkan oleh
perempuan yang belum dikenalnya. Kemudian Nakhoda Salju ajukan tanya,
"Siapa kau
sebenarnya?"
"Dayang Kesumat!"
jawab perempuan itu.
Makin berkerut dahi Nakhoda
Salju, karena merasa asing dengan nama Dayang Kesumat.
"Baru sekarang kudengar namamu, Dayang
Kesumat!"
"Memang balu sekalang
kusebutkan nama itu di depanmu!"
"Aneh," Nakhoda
Salju tertawa pendek berkesan sinis dan dingin.
Pada waktu itu, Sumbing
Gerhana sudah memperoleh kekuatannya kembali, ia cepat berdiri dan menggeram
sambil melepas ujung cambuknya, siap untuk dilecutkan. "Feremfuan setan!
Seenaknya saja kau remas aku,
hah?! Kau harus terima
walasanku, hiihh...!" Traepp...!
Cambuk yang dilecutkan melilit
di tangan Dayang
Kesumat yang digerakkan ke
atas. Dengan cepat cambuk itu digenggamnya. Sumbing Gerhana mencoba menarik
dengan kekuatan penuh, Dayang Kesumat makin kuat meremas cambuk. Dan tiba-tiba
tubuh Sumbing Gerhana tersentak ke belakang dengan kerasnya. Cambuknya terlepas
dari tangan, tubuhnya mental jauh hingga membentur dinding barak. Brakkk...!
Cambuk yang masih
digenggam oleh Dayang Kesumat itu segera dilemparkan ke
arah Sumbing Gerhana. Wusss...! Dan tiba-tiba cambuk itu terbakar dengan sendirinya. Beberapa pendayung segera memadamkan cambuk itu dan
mundur menjauhi Dayang Kesumat. Tetapi orang-orang kapal lainnya segera
mengurung Dayang Kesumat yang kini berhadapan dengan Nakhoda Salju.
Tetap tenang dan angker wajah
Nakhoda Salju walau ia mendengar
Sumbing Gerhana menggerutu berkepanjangan. Dayang
Kesumat pun belum bergerak dari tempat berdirinya semula. Padahal ia berada di
tepian geladak, satu kali dorong saja tubuhnya akan jatuh ke laut. Tapi Nakhoda
Salju tidak mau melakukan hal itu. Ia tahu, perempuan yang di depannya bukan
orang lemah yang bisa didorong
dan diceburkan ke laut dengan begitu saja.
"Apa maksudmu datang
kemari? Mau membuat
kekacauan di kapal ini? Apa
ingin mengadu nyawa dengan seseorang di sini?!"
"Mana Siluman Tujuh Nyawa
yang menjadi ketua kalian?! Aku mau beltemu dengan dia!" jawab Dayang
Kesumat dengan bahasa cadel, tak bisa sebutkan huruf
'R'.
"Ada perlu apa kau ingin
bertemu dengan sang ketua?"
"Itu ulusanku!"
"Aku harus tahu, karena
aku nakhoda di kapal ini! Aku bertanggung jawab atas keselamatan jiwa para
penumpang dan awak kapalku!"
"Jangan banyak mulut,
Nakhoda Salju! Kau tak akan bisa belnapas lagi jika kesabalanku habis!" ancam
Dayang Kesumat.
"O, kau mau menggertakku,
Dayang Kesumat?" kata Nakhoda Salju dengan mata tajam memandangnya.
"Ketahuilah, Dayang Kesumat... aku orang yang tidak pernah mempan dengan
gertakan ataupun ancaman! Aku tahu kau punya ilmu, tapi aku bisa ukur ilmumu
tak akan lebih dari ilmu yang kumiliki!"
Tiba-tiba Dayang Kesumat menggenggam jari tengahnya sendiri, sementara ketiga jari lainnya mengeras lurus. Jempol tangan
itu menekan kuat jari tengahnya, dan Nakhoda Salju cepat-cepat sentakkan
tangannya ke bawah. Kedua tangan ada di depan
pusarnya, menekan sesuatu yang
terasa ingin menggapai keluar. Dengan tenaga dikerahkan Nakhoda Salju menekan
tangannya ke bawah. Tubuhnya menjadi gemetar, ia tampak menguras tenaga melawan
kekuatan yang ditolaknya itu.
Tiba-tiba Dayang Kesumat
sentakkan jari tengahnya bagai disentilkan ke depan, dan wuttt...! Tubuh
Nakhoda Salju terlempar jauh hingga membentur dinding sebuah barak di bagian
buritan. Brakkk...! Tubuh itu memantul ke depan karena kerasnya dan jatuh tersungkur
di lantai geladak.
Kayu papan dinding barak jebol
sebagian karena benturan keras tubuh Nakhoda Salju. Sementara itu, Dayang
Kesumat hanya tersenyum tipis, dan orang- orang di sekitarnya memandang bingung
ke arah Nakhoda Salju. Para pendayung menjadi cemas dan segera menjauhkan diri
dari Dayang Kesumat.
*
* *
2
DUA orang pemuda berwajah
kembar keluar lebih dulu dari dalam lambung kapal. Matanya langsung menatap
Dayang Kesumat. Lalu kedua orang kembar itu berhenti di depan tangga yang
menuju ke dalam lambung kapal. Seperti ada yang ditunggu mereka untuk dikawal
jalannya.
Tak berapa lama, muncul
seorang berkerudung hitam dari atas kepala sampai kakinya. Orang itu membawa
senjata panjang berupa sejenis
tombak yang punya mata panjang membengkok sedikit dengan ujung yang runcing.
Panjang mata senjata itu antara dua jengkal. Ketajamannya berkilauan terkena
sinar matahari.
Melihat pakaian hitam yang
dilapisi jubah kerudung hitam dari atas kepala sampai kaki, dan memegang pusaka
El Maut, Dayang Kesumat tak salah duga lagi, dia adalah Siluman Tujuh Nyawa
yang selalu tampil di mana-mana dengan sosok sebagai El Maut.
Wajahnya pucat pasi, mirip
kertas putih. Hidungnya mancung, tampak masih muda belia. Bibirnya biru bagai
bibir mayat, matanya bertepian hitam kebiru-biruan, menambah kepucatan wajah
itu. Sebenarnya wajah pucat berlapis semacam bedak putih itu adalah wajah yang
tampan. Tapi kesan dingin dan keji terlihat jelas di wajah itu, sehingga
perempuan yang melihatnya akan menjadi merinding kehilangan rasa kagumnya.
Ketika orang berkerudung jubah
hitam itu muncul, semua yang ada di kapal membungkukkan badan, memberi hormat.
Dayang Kesumat makin yakin, orang itulah sang ketua yang bergelar Siluman Tujuh
Nyawa.
Durmala Sanca, nama asli
Siluman Tujuh Nyawa, sangat dikenal oleh Dayang Kesumat. Tak ada hormat sedikit
pun yang dilakukan oleh perempuan itu, walau ia sudah berhadap-hadapan dengan
Siluman Tujuh Nyawa yang didampingi pengawal pribadinya yang kembar rupa itu,
dan dikenal oleh Dayang Kesumat dengan nama Doma dan Damu. Sepasang pengawal
kembar itu sulit dibedakan jika mereka tidak berbeda rompi. Doma
mengenakan rompi kuning, dan
Damu memakai rompi merah. Keduanya sama-sama memakai celana hitam dan ikat
kepala sama dengan warna rompi masing-masing. Rompi itu panjang, mencapai bawah
perut dan diikat dengan kain hitam.
Siluman Tujuh Nyawa memandangi
wajah Nakhoda Salju dan Sumbing Gerhana yang tampak menahan sakit itu.
Pandangan mata orang berwajah putih itu sangat dingin, tak ada kesan heran,
sedih, marah, atau apa pun. Wajah itu adalah wajah datar yang beku bagai balok
salju. Sinar matanya pun bagai membekukan darah bagi orang yang dipandanginya.
Nakhoda Salju dan Sumbing Gerhana sama-sama tundukkan kepala.
"Apakah aku
mengenalmu?" tanya Siluman Tujuh
Nyawa kepada Dayang Kesumat.
"Telgantung kepekaan
nalulimu!" jawab Dayang
Kesumat.
"Sebutkan namamu!"
"Dayang Kesumat!"
"Nama yang aneh dan asing
bagiku. Mau apa kau bikin perkara di atas kapalku?"
"Aku menuntut ganti lugi
atas tindakan anak buahmu yang belnama Dadung Amuk!"
"Dadung Amuk...?!"
"Ya! Dia telah mempolak-polandakan
tempatku gala- gala menuduhku menyembunyikan Kitab Pusaka Wedal Kesuma! Aku
tidak melasa memiliki pusaka itu, tapi melasa banyak dilugikan oleh tingkah
lakunya yang konyol!"
"Apakah Dadung Amuk
mendapatkan kitab itu?" "Aku tidak tahu!"
Siluman Tujuh Nyawa
diam sebentar, lama
dipandanginya Dayang Kesumat.
Kejap berikut ia segera perdengarkan suaranya yang sedikit serak,
"Jadi, apa maumu
sekarang?"
"Selahkan Dadung Amuk
padaku! Atau kau hukum gantung dia di depanku! Jika kau tetap sembunyikan dia,
akan kuhanculkan kapal ini!"
"Lancang mulutmu!"
sentak Doma, lalu ia kibaskan tangannya bagai menebarkan sesuatu. Dayang
Kesumat cepat sentakkan kaki dan melesat ke udara, pindah tempat di tengah
geladak. Sedangkan hasil tebaran tangan Doma itu melesat berupa serbuk berkerlip-kerlip
merah dan jatuh di lautan. Air laut tiba-tiba menyentak muncrat ke atas dengan
menimbulkan suara seperti api disiram air. Josss...!
Damu segera mengejar Dayang
Kesumat. Tapi Dayang Kesumat cepat-cepat menggenggam kelingkingnya yang ditekan
dengan ibu jari, sementara ketiga jari lainnya mengeras tegang. Tangan itu
tetap berada di samping, bagai setengah disembunyikan.
Damu terhenti langkahnya dan
lehernya terjulur-julur ke atas dengan suara tercekik. Mata Damu pun
mendelik-mendelik, sukar bernapas. Dan tiba-tiba tangan Dayang Kesumat
disentakkan ke depan sambil melepas kelingking yang diremasnya, kemudian tubuh
Damu terlempar jatuh di bawah tiang. Brukkk...!
Melihat saudara kembarnya
diperlakukan demikian,
Doma cepat bergerak maju. Tapi
tangan sang ketua cepat pula mencengkeram pundak Doma, lalu menyeretnya mundur.
Sang ketua maju dua tindak berhadapan dengan Dayang Kesumat.
"Cukup tinggi ilmu
'Jemari Mayat'-mu, Dayang Kesumat! Setahuku ilmu 'Jari Mayat' hanya milik
Pengemis Sakti, si Lalang Buana!"
"Sekalang sudah menjadi
milikku! Si Lalang Buana sudah tak ada!" jawab Dayang Kesumat dengan rasa
bangga.
Wajah Siluman Tujuh Nyawa
tetap dingin dan datar saat ia berkata,
"Tapi ilmu 'Jemari
Mayat'-mu itu tidak berlaku untukku, Dayang Kesumat. Jadi, sebaiknya cepatlah
minggat dari kapalku sebelum murkaku tiba dan mencelakakan jiwamu!"
"Aku tidak akan pelgi,
sebelum Dadung Amuk kau selahkan padaku, atau kaugantung dihadapanku!"
"Dadung Amuk tidak ada di
sini. Dia belum pulang!" "Kalau begitu, aku halus pastikan
kebeladaannya di
kapal ini dengan cala
menggeledahnya!"
"Bangsat!" teriak
Nahkdoa Salju yang cepat bergegas maju. Ia menuding Dayang Kesumat dengan geram
kemarahan.
"Tak kuizinkan kau
menggeledah kapal ini! Karena itu
sama saja
kau menginjak-injak wibawa dan kehormatan orang-orang di
kapal ini!"
Plakkk...! Tiba-tiba tangan
Damu berkelebat dan menampar mulut Nakhoda Salju. Orang berusia sekitar
lima puluh tahunan itu tak
berani membalas tamparan Damu. Ia bahkan menjadi takut dan cepat mundurkan
diri. Siluman Tujuh Nyawa hanya pandangi Nakhoda Salju sebentar, lalu kembali
palingkan wajah menatap Dayang Kesumat.
Tapi mata Dayang Kesumat
tertuju pada Nakhoda Salju, ia sempat merasa heran, mengapa Nakhoda Salju yang
terkenal galak dan bertampang angker itu tak berani melawan Damu yang jauh
lebih muda dari usianya. Apakah kedudukan pengawal kembar itu lebih tinggi
daripada Nakhoda Salju? Atau memang ilmunya yang lebih tinggi dari ilmu yang
dimiliki si nakhoda galak itu?
Cepat-cepat Dayang Kesumat
memandang Siluman Tujuh Nyawa, karena orang bertampang muda dan ganteng tapi
beku itu, segera ucapkan kata kepadanya,
"Di mana kau tinggal,
Dayang Kesumat?" "Kau tak pellu tahu, Dulmala Sanca!"
"Maksudku, kalau kutahu
di mana kau tinggal, jika Dadung Amuk pulang dan menghadapku, dia akan
kukirimkan kepadamu!"
"Dengan membawa puluhan
olang-olangmu? Dengan maksud menggempul pulauku? O, tidak! Aku tidak bisa telkecoh
oleh kelicikanmu, Dulmala Sanca! Aku kenal kau cukup lama, dan tahu pelsis tipu
muslihatmu. Tapi aku bukan olang yang mudah kau peldaya, Dulmala Sanca!"
Siluman Tujuh Nyawa
diam, mata tajamnya memandang mata Dayang Kesumat.
Perempuan itu balas
menatap mata Durmala Sanca.
Kain jubah mereka sama- sama dikibarkan oleh angin lautan. Mereka sama-sama
bungkamkan mulut beberapa saat lamanya. Tak ada orang yang berani bersuara
sedikit pun kala itu.
Tangan kanan Siluman
Tujuh Nyawa
itu menggenggam kuat-kuat tongkat berujung seperti sabit lengkung itu.
Senjata pusaka El Maut tetap berdiri tegang dalam genggamannya yang makin lama
semakin kuat. Sedangkan Dayang Kesumat menggenggamkan tangan kirinya dengan kuat
juga. Makin lama semakin keras genggamannya.
Semua mata memandang tegang
antara tangan Siluman Tujuh Nyawa yang menggenggam tongkat pusaka El Maut itu,
dan tangan Dayang Kesumat yang tanpa menggenggam benda apa pun. Makin lama
makin jelas ada sesuatu yang berubah. Mulut para penonton itu mulai ternganga.
Mereka melihat tangan Siluman
Tujuh Nyawa yang menggenggam tongkat El Maut itu mulai merembeskan darah, bagai
keluar dari telapak tangannya. Darah itu mengalir ke tongkat hitamnya. Jelas
terlihat oleh mereka warna
merah yang mengalir walau tak
banyak. Sedangkan dari genggaman tangan kiri Dayang Kesumat juga
terlihat darah merembes dan menetes di lantai geladak satu kali.
Rupanya kedua tokoh sakti itu
saling serang secara batin.
Keduanya kerahkan tenaga dalam
lewat pandangan mata, dan sama-sama bertahan hingga cucurkan darah dari
telapak tangan masing-masing.
Heningnya suasana yang
menegangkan itu tiba-tiba dipecah oleh suara petugas pengintai dari layar kedua
yang berseru,
"Perahu layar kuning
mendekat!"
Semua bergegas palingkan wajah
ke lautan. Saat itu pula, Siluman Tujuh Nyawa dan Dayang Kesumat melepaskan
diri dari serangan masing-masing. Mereka ikut pandangkan mata ke lautan. Dan
tampak perahu berlayar kuning dengan simbol tengkorak tujuh mata rantai mulai
mendekat. Terdengar suara Nakhoda Salju berseru,
"Tabib Akhirat...!"
Sumbing Gerhana ikut berseru,
"Tafi dia sendirian! Tidak wersama Gagak Neraka?!"
Sebelum perahu layar kuning
mendekat rapat, Tabib Akhirat segera sentakkan kaki, dan bagaikan terbang ia
melayang pindah ke kapal utama. Perahunya segera diurus oleh para budak
pendayung.
Tabib Akhirat datang dalam
keadaan kaki habis terluka, tapi sudah tampak mengering. Agaknya ia melakukan
pengobatan untuk luka kakinya itu selama dalam perjalanan di atas perahunya.
Tabib Akhirat yang berjubah hijau dengan pakaian hitam itu segera ditemui oleh
Sumbing Gerhana dan mendapat pertanyaan dari orang itu,
"Mengata tidak wersama
Gagak Neraka? Ke mana dia?"
"Mati," jawab Tabib
Akhirat yang segera
melangkahkan kaki menemui sang ketua, lalu sedikit
membungkuk hormat pada sang
ketua. Setelah itu, sang ketua ajukan tanya kepada Tabib Akhirat,
"Siapa yang bisa melukai
kakimu, Tabib Akhirat?"
"Hantu Laut, sang
Ketua!" jawab Tabib Akhirat dengan rasa takut.
"Hantu Laut itu budaknya
Tapak Baja! Kenapa kau sampai bisa dilukai oleh dia? Apakah kau sudah bosan
hidup denganku?"
"Perlu Ketua ketahui,
Tapak Baja pun mati di tangan
Hantu Laut!"
Nakhoda Salju terpekik,
"Apa...?! Tapak Baja mati di tangan si Hantu Laut?!"
"Betul, Nakhoda Salju!
Gagak Neraka pun mati di tangan Hantu Laut! Kalau aku tak cepat melarikan diri
untuk kasih laporan kepada sang Ketua, aku pun mati di tangannya!"
"Aku tak percaya dengan
penjelasanmu ini," kata sang ketua dengan suara pelan dan lembut. Tapi
tiba-tiba tangannya menyentak, punggung tangan itu menghantam dada Tabib
Akhirat. Begggh...!
Wussst...! Tabib Akhirat
terpental ke belakang bagaikan terbang. Tubuhnya yang kurus itu membentur dua
pendayung yang sedang menambatkan tambang perahu layar kuning ke tepian pagar
kapal itu.
Byurr...! Satu dari dua orang
yang tertabrak Tabib Akhirat itu terjungkal masuk ke laut. Untung ia bisa
berenang dan segera mencapai tepian perahu layar kuning. Sedangkan yang satu
lagi mendelik matanya karena seperti merasa ditabrak seekor banteng dalam
keadaan perut tergencet pagar
geladak.
Tabib Akhirat meringis
sebentar, lalu cepat-cepat bangkit dan kembali menghadap sang ketua. Wajah sang
ketua tetap tak ada perubahan, dingin dan datar. Seakan tak pernah memukul
Tabib Akhirat dengan kekuatan tenaga penuh. Wajah Tabib Akhirat pun menjadi
pucat.
"Jelaskan yang
sebenarnya!" perintah sang ketua dengan tegas.
"Tapak Baja berhasil mencuri
Pusaka Tombak Maut milik Jangkar Langit! Pusaka itu akhirnya berhasil direbut
Hantu Laut dan dipakai membunuh Tapak Baja dan Gagak Neraka. Semua orang
berilmu di Pulau Beliung, termasuk putri bungsunya Ratu Pekat juga dihabisi
Hantu Laut dengan Pusaka Tombak Maut itu, Ketua!"
"Pusaka Tombak
Maut...?!"
"Betul. Bahkan Hantu Laut
merencanakan untuk memberontak melawan kita. Dia bersekongkol dengan Dadung
Amuk dan berdiam di Pulau Beliung! Mereka mau membunuh sang ketua dengan
menggunakan Pusaka Tombak Maut itu!"
"Dadung Amuk dan Hantu
Laut bersekongkol mau bunuh aku?"
"Betul, Ketua!"
"Dan mereka sekarang
bercokol di Pulau Beliung?" "Tidak salah lagi, Ketua! Karena saya
dari sana, dan
Gagak Neraka pun mati di
sana!"
Siluman Tujuh Nyawa maju satu
tindak mendekati wajah Tabib Akhirat, ia tatap mata tabib tua itu dengan
tajam dan dingin. Lalu dengan
suara lirih sang ketua berkata datar,
"Lain kali kubunuh kau jika pulang
hanya
melaporkan kekalahanmu!"
"Ampun, Ketua. Pusaka di
tangan Hantu Laut itu sangat sakti dan...."
Buhgg...! Sang ketua sentakkan
pangkal telapak
tangannya ke depan. Dada orang
berambut abu-abu itu jadi sasaran hingga terdorong kuat ke belakang. Walau tak
sampai jatuh, tapi mulut Tabib Akhirat sentakkan napas dan keluar darah kental
dari mulutnya. Kepalanya merasa pusing, badannya jadi lemas tiba-tiba, kemudian
ia jatuh terduduk dengan bersandarkan dinding barak.
Siluman Tujuh Nyawa cepat
palingkan wajah ke arah Dayang Kesumat. Tetapi ternyata perempuan itu sudah
tidak ada di tempat. Di sekeliling kapal pun tak ada. Siluman Tujuh Nyawa
segera ajukan tanya kepada anak buah Nakhoda Salju yang masih berdiri di depan
ruang nakhoda,
"Ke mana perempuan itu
tadi?"
"Pergi, Ketua! Dia mengendarai
sebatang belarak pelepah daun kelapa!" jawab orang tersebut.
"Mengendarai pelepah daun
kelapa?!" kata Nakhoda
Salju.
"Betul, Nakhoda. Begitu
dia dengar Dadung Amuk bersekongkol dengan Hantu Laut dan bermukim di Pulau
Beliung, dia langsung melompat dari buritan, dan berdiri di atas pelepah daun
kelapa yang berjalan cepat di atas permukaan air, melebihi kecepatan kapal kita
ini,
dan... hei... Nakhoda, kapal
kita sudah mulai bergerak lagi!"
Memang, kapal mulai bergerak
lagi. Seolah-olah
kapal itu baru saja bebas dari
hambatan. Tapi Siluman Tujuh Nyawa tidak menghiraukan kata-kata anak buah
Nakhoda Salju itu. Ia cepat memanggil Sumbing Gerhana dan ajukan tanya,
"Kau percaya dengan
kata-kata Tabib Akhirat?"
"Yang saya tahu, kawar
tentang Tatak Waja memiliki fusaka Tomwak Maut itu memang wenar, Ketua! Dia
welum lama ini werhasil curi itu fusaka dari tangan Ki Jangkar Langit, saudara
seferguruan Dewi Kencana Langit, yang werkuasa di fesisir selatan tanah Jawa,
sang Ketua."
"Yang kutanyakan, apakah
kau percaya dengan kabar dari Tabib Akhirat tentang persekongkolan Hantu Laut
dengan Dadung Amuk itu? Bukan soal Tapak Baja!"
"Mmm... maaf, Ketua. Saya
kurang wisa fercaya. Karena waru Tawiw Akhirat yang wilang wegitu! Kalau
saja...."
Ucapan Sumbing Gerhana
terhenti karena seruan seorang pengintai yang berada di tiang layar pertama,
"Ada seseorang yang
berenang kemari! Dia mengejar kapal kita!"
Semua orang bergegas ke
lambung kiri, karena arah
yang ditunjuk oleh pengintai
itu ada di sebelah kiri. Mereka sama-sama picingkan mata menatap seseorang yang
berenang dengan lemas mendekati kapal yang sedang berjalan.
Siluman Tujuh Nyawa segera
perintahkan kepada Nakhoda Salju untuk hentikan kapal sebentar. Nakhoda Salju
segera perintahkan pada bagian jangkar untuk membuang jangkar ke laut. Orang
yang berenang dengan susah payah itu makin dekat. Lalu terdengar cetusan kata
dari mulut Nakhoda Salju.
"Sumbing Gerhana! Orang
itu sepertinya Loh Gawe!" "Loh Gawe...?! Loh Gawe...?!" semua
bergumam sebutkan nama Loh Gawe. Lalu, Siluman Tujuh Nyawa perintahkan Sumbing Gerhana untuk memberikan bantuan kepada Loh Gawe. Sumbing
Gerhana segera perintahkan kepada dua budak untuk menjemput Loh
Gawe.
Dalam waktu singkat, Loh Gawe
sudah diangkat dan dibaringkan di atas geladak. Napasnya terengah-engah,
wajahnya pucat pasi, kulit tubuhnya banyak yang terkelupas karena terlalu lama
di perairan. Setelah diberi minum arak sedikit oleh Sumbing Gerhana, Loh Gawe
mulai bisa bicara dan napasnya tidak terengah-engah lagi. Dengan bantuan
Sumbing Gerhana, Loh Gawe berdiri lalu menghadap sang ketua yang menunggunya
dengan wajah tanpa perubahan apa pun.
"Kau dan Golok Makam
kutugaskan menyusul Kapal Neraka dan menyuruh pulang Tapak Baja! Bagaimana hasilnya?"
"Tapak Baja telah tewas
di tangan Hantu Laut, sang
Ketua!"
Siluman Tujuh Nyawa tidak
terkejut, demikian pula yang lainnya, karena berita itu tadi sudah didengarnya
dari Tabib Akhirat. Siluman
Tujuh Nyawa hanya berkata,
"Teruskan bicaramu!"
"Hantu Laut berhasil
merebut Pusaka Tombak Maut dan membunuh kakak saya Tapak Baja. Hantu Laut juga
menguasai Kapal Neraka. Ketika Jangkar Langit hendak merebut pusaka itu, saya
dan Golok Makam datang membantu Hantu Laut, dan Jangkar Langit tewas oleh kami.
Tapi ternyata Hantu Laut justru menyerang kami. Dia tak mau menerima perintah
pulang, dan bersikeras pergi ke Pulau Beliung untuk menguasai pulau itu dan
mengawini Ratu Pekat! Bahkan, Hantu Laut berhasil membunuh Golok Makam dengan
senjata tombaknya. Dia juga mengancam akan menggulingkan sang ketua dengan
menggunakan tombak pusaka itu!" ucapnya panjang lebar.
Plakkk...!
Siluman Tujuh Nyawa menampar
wajah Loh Gawe keras-keras, hingga Loh Gawe memutar tubuhnya dua kali. Sambil
tahan napas dan tahan sakit, Loh Gawe kembali menghadap sang ketua, lalu sang
ketua berkata dengan suara pelan penuh murka yang tertahan.
"Mengapa kau tak bunuh
tikus gundul itu, hah?!" "Saya... saya sudah coba, tapi dia cukup
tangguh
dengan tombaknya itu, Ketua.
Lalu, saya melarikan diri
untuk kasih kabar
kemari!" Plakkk...!
Kembali tamparan itu melayang
cepat dan keras. Pipi
Loh Gawe merah membekas
telapak tangan Siluman
Tujuh Nyawa. Dengan tahan
napas dan tahan sakit, Loh Gawe kembali menghadap sang ketua. Tapi ia segera
rubuh, pingsan di depan sang ketua.
*
* *
3
TABIB Akhirat salah duga.
Sebenarnya Hantu Laut tidak bersekongkol dengan Dadung Amuk. Pada waktu
pertarungannya dengan Hantu Laut, Tabib Akhirat terpaksa melarikan diri karena
merasa terluka parah oleh Pusaka Tombak Maut di tangan Hantu Laut itu. Pada waktu
ia melarikan diri, ia melihat Singo Bodong ada di pulau itu juga. Singo Bodong
punya wajah persis Dadung Amuk, juga potongan tubuhnya, apalagi Ratu Pekat
mendandani Singo Bodong agar serupa betul dengan Dadung Amuk. Tujuannya untuk
membujuk Hantu Laut agar serahkan Pusaka Tombak Maut (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Tumbal Tanpa Kepala"). Tapi usaha itu tak
berhasil. Bahkan Pendekar Mabuk atau Suto Sinting dan Dewa Racun nyaris
terkecoh dengan penyamaran Singo Bodong yang mirip betul dengan Dadung Amuk.
Penglihatan Tabib Akhirat yang
salah duga itu membuat gelisah pikiran Siluman Tujuh Nyawa. Bahkan setiap mulut
awak kapal membicarakan persekongkolan Dadung
Amuk dengan Hantu Laut.
Karena pemberontakan seperti itu baru pertama kali terjadi selama
Siluman Tujuh Nyawa menjadi ketua kelompok
sesat yang ingin menguasai
lautan dan pulau-pulau di utara tanah Jawa. Kabar tersebut membuat mendidih
darah orang muda yang tampan namun pucat itu, yang sebenarnya usianya sudah
sangat banyak. Lebih tua dari Tabib Akhirat.
"Panggil Nakhoda
Salju!" perintahnya ketika manusia berwajah putih itu bangun di pagi hari.
Nakhoda Salju pun segera menghadap sang ketua di kamarnya.
"Putar haluan! Arahkan
kapal ke Pulau Beliung!' perintahnya.
"Baik, Ketua," jawab
Nakhoda Salju sambil sedikit bungkukkan badan. "Tapi bolehkah saya ajukan
usul, sang Ketua?"
"Apa usulmu?"
"Apakah untuk membunuh
dua kecoa, sang Ketua akan turun tangan sendiri?"
"Hantu Laut punya senjata
Pusaka Tombak Maut! Sudah lama kudengar pusaka itu memang sangat sakti! Kalau
tidak aku sendiri yang turun tangan memenuhi tantangannya, tak akan ada yang
bisa merampungkan nyawanya!"
"Begitu kecilkah
orang-orang di sekeliling sang Ketua, sehingga tidak ada yang mampu kalahkan
Hantu Laut? Bukankah Hantu Laut hanya budak kapal kesayangan Tapak Baja? Ia
tidak punya kedudukan apa- apa karena memang ia tidak punya kemampuan apa-
apa!"
Siluman Tujuh Nyawa diam dan
merenungkan diri beberapa saat. Nakhoda Salju berkata lagi,
"Untuk apa sang Ketua punya
banyak algojo dan anak buah kalau hanya untuk tangani Hantu Laut harus turun
tangan sendiri? Apakah itu tidak akan menjatuhkan wibawa dan harga diri sang
Ketua, sebagai tokoh sakti yang dikenal dengan sebutan Siluman Tujuh Nyawa? Apa
nanti kata orang-orang rimba persilatan jika mendengar kabar, seorang keroco
bernama Hantu Laut mati di tangan Siluman Tujuh Nyawa? Bukankah hal itu akan
menjadi bahan cemoohan mereka saja?"
"Kalau begitu, panggil
Tabib Akhirat, aku ingin dengar sarannya!"
"Baik, Ketua. Akan segera
saya panggilkan Tabib
Akhirat!" kemudian
Nakhoda Salju pun cepat tinggalkan kamar sang ketua yang tidak boleh sembarang
orang masuk, kecuali orang-orang berkedudukan tinggi di dalam kelompoknya itu.
Namun ketika Nakhoda Salju keluar
dari dalam lambung kapal, ia melihat Tabib Akhirat sudah terkapar di lantai
geladak tanpa nyawa lagi. Sehelai daun kecil menancap di leher belakang
telinganya. Daun kecil itu masih hijau, masih segar, tapi punya ketajaman
melebihi mata pisau cukur.
Dua puluh pendayung itu dengan
tekun mendayung kapal tersebut. Sumbing Gerhana sebentar-sebentar lecutkan
cambuknya ke tubuh para budak pendayung agar semakin bersemangat mendayungnya.
Sesekali terdengar bentakan Sumbing Gerhana yang membuat budak pendayung sangat
ketakutan.
"Sumbing Gerhana!"
sentak Nakhoda Salju. "Coba
lihat kemari!"
Dengan perasan heran, Sumbing
Gerhana hampiri Nakhoda
Salju, ia terkesiap dan berdebar-debar jantungnya melihat Tabib
Akhirat sudah terkapar beku tak bernyawa. Sumbing Akhirat melihat pula selembar
daun kecil menancap di leher mayat Tabib Akhirat, ia segera dongakkan kepala
memandang Nakhoda Salju sambil ajukan tanya,
"Siafa yang wunuh
dia?!"
"Seharusnya aku yang
bertanya begitu padamu, karena kau sebagai kepala keamanan di atas geladak
ini!" sentak Nakhoda Salju.
"Tafi aku tidak lihat dia
mati! Tadi dia masih werdiri di tefian geladak ini!"
Nakhoda Salju tarik napas
sambil kelilingkan pandangan
matanya. Lalu ia berkata kepada Sumbing Gerhana,
"Periksalah seluruh
geladak. Pasti ada orang asing yang datang dan lemparkan daun bertenaga dalam
ini!"
Tiba-tiba terdengar seruan
dari pengintai di tiang kedua, "Ada perahu layar biru mendekati
kita!"
Sumbing Gerhana kaget dan
menjadi dongkol kepada ketiga pengintai, karena perahu layar biru bergambar
tengkorak dengan tujuh mata rantai itu berada sudah dalam jarak yang sangat
dekat dengan kapal tersebut. Sumbing Gerhana segera serukan kata kemarahan,
"Wodoh! Kenafa waru
sekarang kau weritahukan tentang ferahu itu?!"
"Tadi tidak
kulihat. Baru saja kulihat
secara
mendadak!"
Nakhoda Salju bergumam,
"Panggil Loh Gawe, karena itu perahunya Loh Gawe! Aku akan perintahkan
petugas jangkar untuk turunkan jangkar. Siapa tahu yang ada di perahu itu
adalah Golok Makam!"
Loh Gawe segera dipanggil, dan
ia menjadi sangat terkejut melihat Tabib Akhirat mati tertusuk daun kecil yang
masih hijau segar. Lebih terkejut lagi ketika melihat perahu berlayar biru
mendekati kapal tersebut, sedangkan dia tahu perahu berlayar biru itu adalah
perahu miliknya.
Hantu Laut melepaskan perahu
itu setelah mayat Jangkar Langit dibuangnya ke dalam perahu tersebut. Itulah
sebabnya Loh Gawe pulang ke kapal itu dengan berenang, karena ia telah
kehilangan perahunya saat bertarung di atas Kapal Neraka. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Tumbal Tanpa Kepala").
Ketika perahu itu merapat, Loh
Gawe semakin tambah kaget, juga yang lainnya menjadi terperangah, karena perahu
itu ternyata kosong tanpa penumpang satu pun. Mayat Jangkar Langit tidak ada di
perahu itu. Lantas siapa yang mengemudikan perahu itu hingga merapat ke kapal
utama tersebut? Begitulah pikiran mereka saat itu.
"Periksa bagian bawah
perahu itu! Pasti ada orang yang bersembunyi di sana sambil mendorong perahu
untuk merapat kemari!" perintah Nakhoda Salju kepada Sumbing Gerhana. Dan
segera Sumbing Gerhana perintahkan kepada dua anak buahnya untuk memeriksa
bagian bawah perahu berlayar
biru itu. Tapi mereka tidak menemukan siapa-siapa di bawah perahu tersebut.
Bahkan bagian dalam perahu diperiksa dengan teliti ternyata tidak ada benda
lain yang mencurigakan, kecuali sekumpulan daun kecil yang menyerupai daun
beringin. Daun-daun kecil itulah yang salah satunya menancap di leher Tabib
Akhirat dan membuatnya mati tanpa secuil nyawa pun.
"Berarti perahu biru ini
ada penunggangnya. Orang yang berada di perahumu itu, pasti orang yang
melemparkan daun bertenaga dalam ke leher Tabib Akhirat," kata Nakhoda Salju
kepada Loh Gawe.
"Jika benar
begitu, lantas siapa
orang yang menggunakan perahuku
sampai datang kemari?"
Tiba-tiba terdengar jawaban
dari arah buritan, "Aku penumpang perahu itu!"
Semua mata memandang ke arah
buritan, termasuk Loh Gawe. Dan entah untuk yang keberapa kalinya Loh Gawe
tersentak kaget melihat orang tua berambut uban rata dikonde kecil di tengah
kepala, sisanya dibiarkan meriap, berjenggot dan berkumis putih rata pula.
Orang itu mengenakan pakaian biksu warna putih, bertubuh kurus, membawa tongkat
kayu yang masih segar. Tongkat itu bercabang dua di bagian atasnya dengan dua
helai daun segar berukuran kecil ada di cabang tongkat tersebut. Daun itu sama
ukuran dan jenisnya dengan daun yang menancap di leher Tabib Akhirat, juga yang
terkumpul di perahu berlayar biru itu.
Loh Gawe hampir-hampir tak
bisa bicara lagi, karena
dia tahu, bahwa orang
misterius yang tahu-tahu muncul di buritan itu tak lain ialah Jangkar Langit,
pemilik Pusaka Tombak Maut. Pada awalnya, Loh Gawe hampir tak mempercayai
penglihatannya sendiri. Karena setahu dirinya, Jangkar Langit sudah tewas di
tangannya. Bahkan sudah hancur tubuh mayat Jangkar Langit karena dikeroyok oleh
Golok Makam, Hantu Laut, dan Loh Gawe sendiri. Tapi mengapa orang tua yang
serba putih itu kini muncul lagi dalam keadaan segar bugar tanpa ada bekas luka
atau noda darah sedikit pun di pakaiannya yang putih bersih itu?
Tentu saja Loh Gawe
terheran-heran, sebab dia tidak tahu bahwa Jangkar Langit mempunyai aji 'Banyu
Jiwa'. Apabila dia mati, dan terkena air, maka dia akan hidup lagi dan semua
lukanya akan sembuh secara gaib. Dan pada waktu mayatnya dibuang di perahu
tersebut, perahu itu terombang-ambing tanpa kendali. Hujan turun di waktu
malam. Hujan membasahi tubuh Jangkar Langit, dan Jangkar Langit pun hidup
kembali dalam keadaan segar bugar. Lalu, ia pergunakan perahu itu untuk mencari
lawannya, memburu pencuri Pusaka Tombak Maut yang memang miliknya itu.
Nakhoda Salju cepat maju
mendekati Jangkar Langit. Wajahnya tampak menahan kemarahan, ia berkata dengan
suara beratnya,
"Tua bangka tak tahu
sopan! Datang tanpa permisi! Apa maksudmu bertingkah semaunya di atas kapalku,
hah?!"
"Aku mau bertemu dengan
Hantu Laut!" jawab
Jangkar Langit dengan tenang,
tapi matanya bergerak memandang dengan tajam.
"Hantu Laut tidak di
sini!"
"Suruh keluar Durmala
Sanca, aku mau bicara dengannya!"
"Sumbing Gerhana! Hadapi
dia!" sentak Nakhoda Salju
sambil menyingkir beberapa langkah dari tempatnya, lalu Sumbing
Gerhana maju, menggantikan tempat Nakhoda Salju tadi. Dengan cambuk terjulur di
tangan kanan, Sumbing Gerhana berdiri tegak di depan Jangkar Langit, kedua
kakinya sedikit merenggang, berkesan siap menghadapi pertarungan.
"Kau funya hutang nyawa
fada kami! Sewelum kau wayar nyawa Tawiw Akhirat itu, jangan haraf kau wisa
wertemu dengan sang ketua!"
"Bukan salahku, karena temanmu itu mau menyerangku dari jarak jauh! Maksudku
mau datang secara baik-baik, tapi dia memulai pertarungan lebih dulu! Terpaksa
aku membela diri!"
Dengan tangan kiri menunjuk
dan mata sedikit menyipit, Sumbing Gerhana ucapkan kata,
"Sekarang kau werhadafan
denganku!"
"Aku ke sini bukan untuk
cari musuh, aku hanya ingin minta kembali pusakaku, Pusaka Tombak Maut! Ketua
kalian yang harus bertanggung jawab, karena pusakaku dicuri oleh anak
buahnya!"
"Kau wisa wertemu dengan
sang ketua kalau sudah langkahi mayatku!"
"Dengan senang hati akan
kulangkahi tujuh kali
mayatmu!"
"Hiaat...!"
Tarrr...! Cambuk dilecutkan, Jangkar Langit
miringkan badan sehingga
cambuk menghantam lantai geladak dengan keras. Darrr...!
Sekali lagi Sumbing Gerhana
melecutkan cambuknya yang panjang itu ke badan Jangkar Langit. Dengan sedikit
angkat kaki dan miringkan badan, Jangkar Langit menghindari cambuk itu. Cambuk
kembali menghantam lantai geladak di samping kaki Jangkar Langit. Dengan cepat
kaki itu menginjak ujung cambuk. Tapp...!
Sumbing Gerhana menarik cambuk
itu sekuatnya agar terlepas dari injakan kaki Jangkar Langit. Tapi sampai semua
uratnya menegang, Sumbing Gerhana tak berhasil menarik cambuknya. Bahkan dengan
satu sentakan keras dan tenaga tinggi, Sumbing Gerhana mencoba lagi menarik
cambuknya itu.
"Hiaaah...!"
Tapi cambuk tetap tak dapat
lepas dari pijakan kaki Jangkar Langit. Padahal Jangkar Langit tidak sampai
kerahkan tenaga dalam menginjak cambuk itu. Jangkar Langit tetap kelihatan
tenang, seakan berdiri seperti biasa tanpa menginjak cambuk. Tapi sampai wajah
Sumbing Gerhana memerah karena ngotot, cambuk itu tetap tidak dapat ditarik dari
pijakan kaki Jangkar Langit.
Melihat Sumbing Gerhana bagai
dipermainkan oleh lawan, Loh Gawe cepat mencabut senjatanya, yaitu rantai
berbandul bola berduri dari baja keras, ia sentakkan kaki hingga
tubuhnya melayang dan
menghantamkan rantai bandulnya
dengan kuat ke arah kepala Jangkar Langit. Wussst...!
Dengan cepat Jangkar Langit
sentakkan tongkat
bercabangnya ke
samping kiri, tempat
datangnya pukulan itu. Zrappp...! Rantai bandul berduri itu ditangkis
dengan cabang yang ada di ujung tongkat. Rantai tersebut menyangkut di cabang
tongkat dan sukar ditarik kembali. Loh Gawe kerahkan tenaga untuk menarik
rantai bandulnya, tapi hingga matanya terpejam kuat-kuat rantai bandul itu tak
bisa lepas dari sela-sela cabang tongkat. Sedangkan Sumbing Gerhana sejak tadi
masih berusaha menarik cambuknya, tapi tak pernah berhasil.
"Tua bangka pamer ilmu
kau, hah!" bentak Nakhoda Salju. Lalu ia cepat kirimkan pukulan jarak
jauhnya melalui sentakan tangan kanannya. Pukulan itu dihantam pula oleh
Jangkar Langit dengan sentakkan tangan kirinya. Wusss...! Debb...! Blarrr...!
Suara ledakan mengguncangkan kapal. Tubuh Nakhoda Salju terlempar ke belakang
akibat gelombang hentakkan kedua pukulan yang bertabrakan tadi. Tubuh Nakhoda
Salju seperti didorong kuat-kuat hingga keseimbangannya tak terjaga lagi. Ia
jatuh terduduk, lalu terjungkal ke belakang. Tapi segera cepat bangkit dan
berdiri tegak menatap lawannya.
"Bangsat kau, Tua
Bangka!" geram Nakhoda Salju. Sementara itu, Loh Gawe yang berusaha
melepaskan
rantai bandul berduri itu
masih belum berhasil, demikian pula halnya dengan Sumbing Gerhana. Tapi mereka
berdua masih tetap berusaha
dan pantang menyerah. Sampai akhirnya, Loh Gawe gunakan rantai bandul yang
menyangkut di cabang tongkat itu untuk bergelayutan dan tubuhnya menerjang
Jangkar Langit dengan kaki direntangkan ke depan.
Wuttt...!
Tendangan itu sedikit
dihindari Jangkar Langit, lalu kaki Jangkar Langit menyepak ke kiri dengan
kuat. Plokk...! Wajah Loh Gawe terkena telak sepakan kaki Jangkar Langit,
membuat tubuh Loh Gawe terpelanting berputar sambil masih pegangi gagang rantai
bandulnya. Lalu rantai bandul itu disentakkan dengan tongkat bercabang. Wett...!
Rantai bandul lepas dari
cabang tongkat, tapi membuat tubuh Loh Gawe ikut tersentak kuat bagai terbawa
angin lemparan bandul berduri itu. Akhirnya Loh Gawe terjungkal dan jatuh ke
laut. Byurr...! Tak berapa lama terdengar suara maki-makinya yang tak
dihiraukan lagi oleh Jangkar Langit. Sedangkan cambuk Sumbing Gerhana masih ada
dalam pijakan kakinya dan sulit ditarik lepas oleh pemiliknya.
Kegaduhan di atas membuat
Siluman Tujuh Nyawa keluar
dari dalam kamarnya dengan didampingi pengawal
kembarnya Doma dan Damu. Melihat Jangkar Langit berdiri dengan tenang di
buritan, Siluman Tujuh Nyawa segera mendekati orang tersebut. Tongkat pusaka El
Maut tetap ada di tangan kanannya dan dipakai bertumpu di lantai geladak, sehingga
bila berjalan terdengar duk duk duk duk...!
"Selamat datang di
kapalku, Jangkar Langit! "sapa Siluman Tujuh Nyawa tanpa senyum sedikit
pun, tapi juga tidak menampakkan wajah sinisnya. Wajah berlapis putih itu
terlihat datar-datar saja.
"Cukup lama kita tidak
bertemu, sekali bertemu kau buat gaduh suasana di kapalku," lanjut Siluman
Tujuh Nyawa.
"Karena anak buahmu bikin
ulah di depanku!" jawab
Jangkar langit.
Siluman Tujuh Nyawa
mengalihkan pandang sebentar
kepada Sumbing Gerhana yang masih berusaha menarik lepas cambuknya dari pijakan
kaki Jangkar Langit. Lalu, dengan cepat dan hampir tak terlihat, Siluman Tujuh
Nyawa tebaskan ujung tongkat El Maut- nya kebawah. Wuttt...!
Tass...!
Cambuk sebesar ibu jari kaki
itu putus dalam sekejap. Sumbing Gerhana terpental karena tenaganya sendiri.
Gubrakkk...! Sedangkan sisa cambuk yang ujung masih dalam pijakan kaki Jangkar
Langit. Sisa cambuk itu tiba- tiba berubah dari hitam menjadi abu-abu, lalu
berserakan tertiup angin. Ternyata sisa cambuk itu telah menjadi abu, dan abu
itu terjadi dari tenaga dalam Jangkar Langit yang baru saat itu disalurkan
melalui telapak kakinya.
Sumbing Gerhana kaget melihat
sisa cambuknya menjadi abu halus. Tak terbayangkan olehnya jika tenaga dalam
itu tersalur pada saat ia berusaha menarik cambuk itu. Sudah tentu tubuhnya
akan ikut menjadi abu seperti sisa ujung cambuknya itu. Sedangkan sisa
cambuk yang masih bersama
gagangnya itu tetap utuh tanpa ada perubahan, kecuali bertambah pendek sekitar
tiga jengkal.
Siluman Tujuh Nyawa hanya
pandangi sisa cambuk yang jadi abu itu, tanpa ada senyum meremehkan atau rasa
kaget. Lalu, ia cepat tatapkan mata pada Jangkar Langit dan ucapkan kata,
"Aku tahu kau datang
kemari untuk mencari pusakamu. Tapi
ketahuilah, Jangkar Langit, bahwa aku tidak tahu-menahu tentang pencurian pusaka itu! Apalagi sekarang Tapak Baja
kabarnya telah mati!"
''Tombak itu ada di tangan
Hantu Laut!?''
"Tapi Hantu Laut belum
pulang bersama Kapal
Neraka-nya."
"Aku harus mendapatkan
pusakaku, dan kau harus bertanggung jawab atas ulah anak buahmu!"
"Jangkar Langit,"
kata Siluman Tujuh Nyawa dengan melangkahkan kaki ke tepian pagar
geladak, ia
memandang cakrawala yang masih ada sisa merah pada langitnya sambil ucapkan
kata,
"Yang bisa kubantu hanya
memberitahukan padamu, bahwa Hantu Laut sekarang ada di Pulau Beliung. Dengan
modal pusakamu itu, dia bersekongkol bersama Dadung Amuk untuk memberontak
padaku. Dia susun kekuatan di Pulau Beliung! Kalau kau mau dapatkan pusakamu,
pergilah ke Pulau Beliung. Kuserahkan padamu apa pun nasib Hantu Laut di
tanganmu! Jika kau mau bunuh dia, bunuhlah. Aku tidak akan menuntut balas
padamu, Jangkar Langit!"
"Baik. Tapi bagaimana
jika Dadung Amuk turut campur?"
"Kau bunuh pun dia, aku
tak akan banyak bicara!"
"Jadi kau rela anakmu si
Dadung Amuk itu mati di tanganku?"
"Jika ia ingin menentang
kekuasaanku, sebagai ayah aku harus tega membunuh anak sendiri!" Siluman
Tujuh Nyawa palingkan pandang ke arah Jangkar Langit, lalu ucapkan kata lagi.
"Mulutmu terlalu sembrono
ucapkan kata itu, Jangkar Langit. Tapi biarlah, toh Dadung Amuk akan mati,
entah di tanganmu atau di tanganku. Tak apalah orang-orangku kini tahu siapa
Dadung Amuk dan siapa diriku! Supaya mereka yang ada di sini pun menjadi tahu,
sekalipun Dadung Amuk sebenarnya anakku, tapi jika sikapnya menentangku, dia
akan kubunuh juga!"
Mata dan mulut orang-orang
kapal itu terlolong bengong. Mereka baru tahu bahwa Dadung Amuk itu ternyata
anak dari Durmala Sanca, atau Siluman Tujuh Nyawa. Tak pernah ada yang
menyangka sama sekali bahwa kedua orang itu ternyata punya tali darah keturunan
yang kuat. Sebagai anak dan sebagai bapak. Walaupun sang Bapak kelihatan jauh
lebih muda dari wajah sang awak, tapi kenyataan itu tak bisa dipungkiri
lagi.
*
* *
4
DAPAT dibayangkan suasana di
Pulau Beliung. Dayang Kesumat, tokoh perempuan sakti yang sepertinya baru muncul di rimba
persilatan itu sedang dalam perjalanan menuju Pulau Beliung. Jelas dia akan
mengamuk disana untuk membuat perhitungan dengan Dadang Amuk. Juga tokoh tua
yang yang dikenal sakti dan usianya masih di bawah usia Durmala Sanca itu,
Jangkar Langit juga pergi ke Pulau Beliung dan akan mengamuk ke sana kepada
Hantu Laut. Setidak- tidaknya,
Pulau Beliung akan diguncang dua pertempuran hebat yang mungkin
akan memakan korban pihak lain.
Ditambah lagi, Siluman Tujuh
Nyawa merasa geram terhadap perkara Pusaka Tombak Maut itu. Maka di depan
orang-orangnya yang
dikumpulkan di atas geladak, Siluman Tujuh Nyawa
berkata,
"Pusaka Tombak Maut sebaiknya
ada di tanganku saja, supaya tidak
ada pihak lain yang berani menentangku dengan mengandalkan
pusaka itu!"
Sumbing Gerhana menyahut,
"Jadi, sang ketua mau sufaya tomwak fusaka itu jatuh ke tangan
kita?!"
"Betul! Karena itu aku
akan mengutus orang untuk merebutnya dari tangan Hantu Laut! Lebih baik merebut
pusaka itu dari tangan Hantu Laut, ketimbang dari tangan Jangkar Langit. Karena
jika pusaka itu sudah sampai di tangan Jangkar Langit, maka kita akan lebih
sulit lagi merebutnya!"
"Jika begitu, kita harus
lebih cepat sampai di Pulau
Beliung sebelum Jangkar Langit
tiba di sana, Ketua!"
kata Nakhoda Salju.
"Ya. Kita bisa potong
jalur pelayaran melalui celah- celah Samudera Karang!"
"Samudera Karang...?!" Sumbing Gerhana menggumam sendiri, lalu
berkata kepada sang ketua, "Itu jalur yang werwahaya untuk dilewati sewuah
kafal, Ketua!"
"Kita tidak mengenal
jalur berbahaya!"suara Siluman Tujuh Nyawa menyentak sambil hentakkan
kakinya ke lantai geladak! Kapal terguncang, beberapa orang yang berdiri sempat
terpelanting jatuh. Kemudian mereka saling tundukkan kepala dengan rasa takut.
Siluman Tujuh Nyawa ucapkan
kata lagi dengan nada lebih tenang,
"Kita juga harus
selamatkan Pulau Beliung agar tidak dikuasai oleh siapa pun kecuali oleh kita
sendiri. Di sana sudah ada istana, dan bisa dijadikan pos pertahanan bagi kita
di wilayah barat!"
'"Saya sangat
setuju," kata Nakhoda Salju, ia berusaha ambil hati agar tak kena bentak
dan murka sang ketua.
"Untuk itu aku akan
tugaskan orang ke sana!"
Kini semua mata pandangi
Siluman Tujuh Nyawa. Masing-masing hati bertanya siapa gerangan yang akan
diutus untuk merebut Pusaka Tombak Maut dan mempertahankan Pulau Beliung. Mata
Siluman Tujuh Nyawa pun memandangi orang-orangnya satu persatu. Kejap berikut
Siluman Tujuh Nyawa lontarkan kata,
"Aku akan mengutus Doma
dan Damu!"
Kedua pengawal kembar itu saling pandang. Wajahnya tidak kelihatan kecewa
atau gembira. Wajah itu wajah kaku dan datar. Mungkin terbawa sikap orang yang
dikawalnya setiap hari itu.
Siluman Tujuh Nyawa
melangkahkan kaki menjauhi dua pemuda kembar yang semula ada di kaan-kirinya.
Setelah itu, Siluman Tujuh Nyawa pan-dangi wajah kembar itu sambil ucapkan
kata,
"Kalian yang kuutus
merebut Pusaka Tombak Maut dari tangan Hantu Laut. Jika Hantu Laut dan Dadung
Amuk melawan, bantai mereka!"
"Baik, Ketua!" jawab
Doma dengan tegas.
"Ingat, jangan sampai
keduluan Jangkar Langit atau orang lain. Kalian harus lebih cepat merebut
pusaka itu dari tangan Hantu Laut, dan tetaplah di sana untuk pertahankan
Istana Cambuk Biru! Beri kabar lewat ilmu
'Rambah Angin' jika kalian
sudah berhasil kuasai pusaka dan
pulau itu! Kami
akan datang memperkuat pertahanan kalian!"
"Kami paham, Ketua!"
jawab Doma lagi dengan sedikit membungkuk.
"Kalian akan kubekali
Pusaka Cermin Benggala Kembar!
Pergunakan cermin kembar
itu untuk
menghancurleburkan siapa saja yang menghalangi langkah kalian! Jangan
tanggung-tanggung, dan jangan ragu-ragu! Tak boleh ada lawanmu yang lari dalam
keadaan hidup-hidup. Siapa pun yang halangi kalian harus dibunuh! Tak ada kenal
ampun sedikitpun, sekalipun terhadap lawan perempuan! Mengerti?"
"Mengerti, Ketua!" jawab Doma
dan Damu bersamaan.
Lalu, sepasang pusaka yang
dinamakan Cermin
Benggala Kembar diserahkan
oleh Siluman Tujuh Nyawa kepada Doma dan Damu. Cermin itu berupa bola kaca
yang bertangkai satu
jengkal warna hitam tangkainya.
Bola kaca itu licin, mulus dan dapat untuk bercermin. Pada bagian atas tengah
bola kaca sebesar satu genggaman tangan orang dewasa itu mempunyai lubang. Dari
lubang itu bisa keluarkan senjata seperti mata tombak yang jika melesat dan
mengenai lawan akibatnya sangat berbahaya. Cermin Benggala Kembar itu juga bisa
keluarkan sinar maut apabila mendapat saluran tenaga dalam dari pemegangnya.
Dan jika kedua bola kaca itu diadukan, maka bola kaca itu tidak akan pecah
melainkan mengeluarkan cahaya pelangi yang membias lebar dan jika terkena tubuh
lawan, bisa membuat orang tersebut berubah menjadi patung batu untuk
selama-lamanya.
Semua anak buah Siluman Tujuh
Nyawa tahu, bahwa sang ketua memiliki pusaka-pusaka hebat, satu di antaranya
adalah Cermin Benggala Kembar. Tapi baru kala itu, saat diserahkan kepada Doma
dan Damu, mereka melihat wujud Pusaka Cermin Benggala Kembar, yang
konon hanya bisa digunakan oleh orang yang lahir kembar saja.
"Dulu aku anak kembar
seperti kalian," kata Siluman Tujuh Nyawa kepada Doma dan Damu. "Tapi
kakakku tewas di tangan gurunya sendiri, dan gurunya segera
tewas di tanganku. Karena aku
sudah kehilangan saudara kembarku, maka Cermin Benggala Kembar ini tak bisa
kugunakan. Hanya bisa kusimpan untuk suatu keperluan di kemudian hari. Dan
ternyata keperluan itu datang juga, kalianlah yang berhak menggunakan Cermin
Benggala Kembar ini!"
"Terima kasih, Ketua," jawab Damu
sambil tundukkan kepala penuh hormat. Siluman Tujuh Nyawa menyukai sikap
hormat itu, hingga kedua bocah kembar itu ditepuk-tepuk punggungnya seraya
Siluman Tujuh Nyawa ucapkan kata,
"Berangkatlah! Aku percaya kalian pasti
akan berhasil, karena kalian
pasti tak ingin pulang menghadapku untuk serahkan
nyawa!"
Kata-kata itu mempunyai arti
yang membuat bulu kuduk merinding. Semua orang-orangnya Siluman Tujuh Nyawa
tahu arti kata-kata tersebut, bahwa Doma dan Damu harus berhasil merebut Pusaka
Tombak Maut dari tangan siapa pun pemegangnya. Jika mereka tidak berhasil dan
pulang kepada sang ketua, maka sang ketua akan membunuh mereka berdua. Itu
berarti tugas tersebut taruhannya nyawa mereka.
Sehari setelah keberangkatan
Doma dan Damu, kapal berbendera hitam itu berpapasan dengan perahu berlayar
hijau. Perahu itu juga memakai lambang gambar tengkorak dengan tujuh mata
rantai mengelilingi kepala tengkorak tersebut.
Mereka terkejut, bahkan wajah
mereka menjadi tegang, karena saat itu Nakhoda Salju berseru kepada
orang-orang di geladak.
"Perahu berlayar hijau
mendekat! Siapkan semua senjata!"
Anak buahnya segera berkata,
"Mengapa siapkan senjata, Nakhoda? Bukankah perahu itu bersimbol seperti
simbol layar kita? Berarti perahu itu adalah sekutu kita juga, teman kita
juga...!"
Plakkk...! Nakhoda Salju
menampar keras wajah anak buahnya, lalu lontarkan bentak keras, "Bodoh!
Itu perahunya Dadung Amuk!"
"Siafa yang
datang?!" Sumbing Gerhana cepat muncul dari dalam lambung kapal.
"Dadung Amuk! Perahunya
mendekati kita!" seru
Nakhoda Salju.
Sumbing Gerhana memandang
baik-baik perahu berlayar hijau itu. Setelah yakin betul bahwa perahu itu
adalah perahunya Dadung Amuk, dan terlihat Dadung Amuk berdiri di haluan, maka
Sumbing Gerhana segera kerahkan anak buahnya untuk siap-siap melawan Dadung
Amuk.
"Cefat amwil senjatamu!
Jangan wengong saja!" bentak Sumbing Gerhana. Orang itu menggeragap dan
cepat-cepat ambil tombak serta perisai di tempatnya.
Kepada bagian urusan senjata
Sumbing Gerhana membentak pula, "Mengafa kamu tidak
fegang senjata?!"
"Saya tidak dapat bagian,
Tuan. Kehabisan senjata!" "Jadi kamu welum dapat senjata?"
"Welum!"
Plokk...!
"Jangan ikut-ikutan
wicaraku, Setan! Cefat cari senjata afa saja! Lindungi dirimu dari amukan
Dadung Amuk itu!"
"Waik, Tuan!"
Plokk...!
"Kuwilang, jangan ikut-ikutan wicaraku! Wisa
kuwunuh kau!"
Dadung Amuk segera melompat ke
kapal dengan hanya satu kali hentakan kecil kakinya. Jleg...! Ia tiba di tepian
geladak, tapi segera dikurung oleh mereka yang sudah siap dengan senjata
masing-masing. Dadung Amuk asli menjadi heran dan pandangi mereka masing-
masing dengan tajam. Orang yang mudah tersinggung itu segera membentak salah
satu anak buah Sumbing Gerhana,
"Apa-apaan ini?! Kau
pikir aku ini maling?! Pakai dikepung segala?! Ayo bubar...! Bubar...!"
Tapi tak satu pun ada yang mau
bubar. Dadung Amuk menggeram.
"Sumbing Gerhana?! Apa
maksudmu menyuruh
orangmu mengepungku,
ha?!" Mata Dadung Amuk mendelik menyeramkan.
"Aku yang wertanggung
jawaw atas keamanan di kafal ini!"
"Aku tahu! Tapi kenapa
sikap kalian menyerangku?!" "Jangan werfura-fura wodoh, Dadung Amuk!
Ini menunjukkan wahwa kami lewih siaf dari fada kamu! Sewelum kamu wertindak,
kami sudah lewih dulu
tangkaf kamu!"
"Tangkaf, tangkaf...!
Gundulmu itu yang ditangkaf!" sentak Dadung Amuk dengan mata makin
melotot. "Bubar semua! Bubar!"
"Tangkaf...!" teriak
Sumbing Gerhana. "Bubar!"
"Tangkaf dulu waru
wuwar...!"
Melihat orang-orang pengepung
mulai bergerak, Dadung
Amuk cepat meraih
tali tambang yang digantungkan di pundak
kirinya. Werrt...! Tali tambang tiga gulungan itu segera digelar siap
disabetkan ke arah siap saja yang bergerak maju.
Orang-orang pengepung itu tahu
betul seberapa tinggi ilmunya Dadung Amuk. Mereka sempat gentar juga melihat
mata Dadung Amuk jelalatan ke mana-mana, penuh nafsu untuk membunuh siapa pun
yang mendekati dirinya. Tapi mereka ngeri juga jika kena labrak Sumbing Gerhana
yang tidak pernah pandang bulu itu. Akibatnya, para pengepung hanya bergerak
memutar, memutar, memutar, dan begitu seterusnya sambil siap- siap dengan senjata
masing-masing.
"Ayo, maju!" bentak
Dadung Amuk dalam ancamannya. "Majulah kalau ada
yang ingin pecah kepalanya!"
Mereka terus bergerak memutar
setindak demi setindak, berganti-ganti jurus siaga, berganti-ganti sikap
kuda-kuda, memandangkan matanya penuh keragu- raguan. Sebagian besar para
pengepung itu berharap Sumbing Gerhana batalkan perintah menangkap Dadung
Amuk, sebagian lagi berharap
agar sang ketua cepat menengahi ketegangan itu.
Tapi agaknya Sumbing Gerhana
tidak mau mencabut
perintahnya, ia bahkan makin
keraskan suaranya yang tak beres dalam pengucapannya itu,
"Tangkaf...! Cefat
tangkaf!"
Salah seorang memberanikan
diri segera melompat dengan satu tebasan golok ke arah pundak Dadung Amuk.
Wuttt...!
Tapi Dadung Amuk lebih cepat
gerakan tangannya menyabetkan tambang sebesar ibu jari kakinya itu, dan tambang
tersebut menghantam tepat di pertengahan kepala orang tersebut. Plakkk...!
Trakk...!
Terdengar suara kepala pecah
bagai dihantam dengan besi baja. Lalu disusul suara berdebam dari jatuhnya
tubuh orang itu ke lantai geladak yang terbuat dari papan tebal itu. Bruakk...!
Semua mata tertuju ke arah
orang yang jatuh itu. Semua mata terkesiap melihat orang itu tak mau berteriak
sedikit pun, hanya menggelepar sebentar untuk kemudian diam tak bergerak lagi.
Kepalanya remuk tanpa bentuk, bagai semangka jatuh dari pucuk pohon yang paling
tinggi.
"Siapa lagi yang mau
seperti dia?!" sentak Dadung Amuk sambil mata lebarnya melirik ke
sana-sini dengan buas.
"Jangan takut!" seru
Sumbing Gerhana kepada para pengepung. "Serang dia wersama-sama!
Serwu...!"
"Apa itu serwu?"
bisik seseorang.
"Serbu, Goblok!"
jawab temannya. Tapi perintah serbu itu tetap hanya sekadar perintah. Tak satu
pun para pengepung yang berani maju satu tindak dari batas lingkar kepungan.
Karena Dadung Amuk mulai putar- putarkan tambangnya di atas kepala bagai ingin
menjerat seekor banteng liar. Putaran tambang itu menimbulkan percikan-percikan
api di bagian ujung tambang, pertanda kekuatan tenaga dalam telah siap
menggempur lebih hebat dan lebih dahsyat lagi dari yang tadi.
"Lepaskan tambangmu, atau
kau menghadapi aku!" Suara datar tanpa tekanan itu terdengar jelas. Dadung
Amuk segera palingkan wajah.
Ternyata Siluman Tujuh Nyawa telah berdiri di belakangnya, masuk dalam
lingkaran kepungan tersebut, ia berdiri dengan tegak, wajah mudanya yang putih
berbibir biru itu terlihat jelas walau tetap mengenakan kerudung jubah hitam
dari atas kepala sampai kaki. Tongkat Pusaka El Maut ada di tangan kanannya, berdiri sebatas tinggi tubuh pemegangnya.
Melihat kemunculan sang ketua,
Dadung Amuk surutkan kemarahannya, ia tak berani menentang wajah beku itu.
Tambangnya pun berhenti berputar, tapi masih dalam genggamannya. Kebuasan sorot pandangan matanya pun redup, bagai lilin
tertiup badai.
"Kataku tadi, lepaskan
tambangmu atau kau hadapi aku!" ulang sang ketua tetap dengan nada dingin.
Dadang Amuk belum melepaskan
tambang, tapi sudah kendor pegangannya. Mulutnya sulit untuk
mengucapkan sesuatu di dapan sang
ketua. Sinar mata dingin dari sang ketua bagaikan membekukan darahnya, membuat
kejang urat-urat di mulutnya. Lidah pun terasa sangat kaku, sulit untuk
digerakkan.
Kejap berikutnya, Dadung Amuk
tersentak kaget. Sang ketua melompat ke arahnya begitu cepat. Bergerak
mengelilinginya bagai kilasan cahaya petir. Wu wu wu wu wuttt...!
Sang ketua segera kembali ke
tempatnya tanpa napas terengah. Tetap tenang dan dingin. Tetapi tubuh Dadung
Amuk telah terjerat tambangnya sendiri. Tambang itu melilit dan mengikat kedua
tangannya sehingga tak bisa digerakkan lagi. Bahkan kedua kakinya pun jadi
merapat dan terikat kuat.
Bukan hanya
Dadung Amuk yang terbengong
melompong dalam keheranan yang amat tinggi, tetapi para pengepung, termasuk
Sumbing Gerhana dan Nakhoda Salju, juga tertegun bagai tak percaya dengan apa
yang dilihatnya. Nakhoda Salju membatin di hatinya,
"Edan betul! Begitu cepat
gerakan sang ketua. Tak sempat aku berkedip dua kali, tahu-tahu tubuh Dadung
Amuk sudah terikat tak bisa bergerak sedikit pun! Sungguh merupakan gerakan
tercepat dari seluruh gerakan manusia yang pernah kulihat!"
Dadung Amuk gemetar setelah
mengetahui tubuhnya telah terikat. Wajah buasnya menjadi pucat bagai selembar
kertas putih. Karena ketika ia mencoba untuk bergerak melepaskan tambang pengikat dengan
hentakkan tenaga dalamnya,
ternyata tambang itu tak bergeming dari tempatnya. Tambang itu mengikat
sekujur tubuh bagai
ingin menembus
kulit dan dagingnya.
"Apa salahku, sang Ketua?
Mengapa aku diikat begini?!"
Sang ketua tidak menjawab,
tapi justru memerintah
kepada Sumbing Gerhana,
"Siapkan tali gantungan!"
"Waik, Ketua," jawab
Sumbing Gerhana, lalu cepat- cepat ia perintahkan kepada anak buahnya untuk
menyiapkan tali gantungan.
Dadung Amuk makin tersentak
kaget. Kakinya gemetaran sehingga mulutnya tak bisa dipakai bicara dengan
lancar.
"Ap... ap... ap... apa
salah... saa... saya...? Meng... mengapa saya mau di... di... digantung?
Sssa... saya... saya tidak bersalah apa-apa. Kal... ka lau... kalau memang saya
ada salah, mohon di... di. diadili secara adil!"
"Pengadilanku hanya ada
di atas tiang gantungan!" kata sang ketua dengan cepat dan tegas. Lalu
segera perintahkan kepada
para pengepung yang masih melingkari Dadung Amuk,
"Seret dia!"
"Ketua...!" teriak
Dadung Amuk, tapi tubuhnya sudah lebih dulu rubuh didorong tiga pengepung,
kemudian tubuh itu diseret ramai-ramai mendekati tali gantungan yang sudah
disiapkan. Tali gantungan yang sudah biasa
untuk menggantung orang itu
berada di atas sebuah kotak papan. Kotak papan itu mempunyai penutup yang
sewaktu-waktu bisa terbuka turun ke bawah jika besi pengaitnya disentakkan ke
bawah. Dengan begitu orang yang berdiri di atasnya akan tergantung karena tidak
mempunyai lantai berpijak lagi.
Di atas peti penggantungan, di
bawah tali gantungan, Dadung Amuk masih mencoba membela dirinya dengan berkata,
"Ketua, saya... saya
memang belum mendapatkan Kitab Wedar Kesuma itu dan... dan memang belum
membunuh Suto Sinting. Tapi... tapi saya sudah tahu di mana adanya kitab itu!
Saya sudah tahu, siapa orang yang bernama Suto Sinting itu! Tugas akan saya
jalankan secepatnya setelah saya minta izin kepada Ketua untuk mencegatnya ke
Pulau Serindu!"
Tali gantungan segera
dikalungkan dileher Dadung Amuk. Namun masih saja Dadung Amuk membela diri
dengan suara ngotot.
"Saya bukan tidak mampu
menjalankan tugas yang diberikan oleh Ketua. Saya cuma mau minta izin dulu
dalam menentukan langkah saya. Jadi, mohon Ketua tidak gegabah dalam mengadili
saya. Saya...."
"Tutup mulutmu!"
bentak sang ketua, dan Dadung Amuk diam seketika bagaikan suara jangkrik terinjak
kaki manusia.
"Sayang sekali Hantu Laut
tidak ikut menyaksikan penggantungan ini. Kalau Hantu Laut ikut saksikan
hukumanmu ini, maka dia akan berpikir dua kali untuk
mencoba melawanku!"
"Saya... saya tidak tahu
maksud kata-kata ketua. Saya tidak tahu tentang Hantu Laut, dan...!"
Jrekk...! Sang ketua sentakkan
besi pengait kebawah. Lantai yang diinjak Dadung Amuk itu terbuka. Kaki Dadung
Amuk tidak mendapatkan tempat berpijak, sedangkan tali yang melingkar di
lehernya itu tersentak membentuk jeratan yang amat kuat. Kaki Dadung Amuk
menggelinjang-gelinjang beberapa saat, setelah itu diam tak bergerak lagi
dengan mulut sedikit terbuka dan lidah terjulur keluar. Dadung Amuk mati di
tiang gantungan karena wajahnya mirip dengan Singo Bodong yang pongah, lugu,
dan tidak mempunyai ilmu apa-apa itu.
*
* *
5
ORANG pertama yang melesat menuju Pulau Beliung bertolak dari
kapal Siluman Tujuh Nyawa adalah Dayang Kesumat. Perempuan cantik jelita itu
mengarungi samudera lepas dengan mengendarai sebatang pelepah
daun kelapa. Jika bukan orang berilmu tinggi, hal itu sangat tidak mungkin bisa
dilakukan.
Pelepah daun kelapa itu
bergerak dengan cepat. Baju jubah sutera warna biru transparan itu
berkelebat-kelebat menyingkap bagai selembar bendera indah, atau bagai sayap
kupu-kupu cantik. Hal itu sangat mengagumkan bagi orang yang melihatnya. Apalagi
pelepah daun kelapa itu membawa sosok perempuan cantik yang
wajah dan potongan tubuhnya
menggiurkan setiap lelaki.
Dan laki-laki yang terkesima
dan kagum dengan keindahan itu berada di sebuah kapal berbendera naga warna
merah. Kapal itu sama besarnya dengan kapal Siluman Tujuh Nyawa, tetapi hanya
mempunyai dua tiang layar. Setiap satu tiang layar mempunyai dua lembar layar
dengan warna putih kusam. Di atas layar- layar itulah terpancang dua bendera
merah bergambar naga. Itulah kapal yang dikenal oleh tokoh rimba persilatan
sebagai Kapal Bajak Naga.
Kapal itu dipimpin oleh
seorang lelaki yang usianya sekitar enam puluh tahun dengan rambut abu-abu
tanpa ikat kepala. Rambut itu pendek dan lurus lemas. Orang itu berpakaian
serba hitam, badannya sedang, matanya lebar, kumisnya turun sampai ke dagu.
Orang itulah yang dikenal dengan julukan si Tua Rakus.
Di antara jajaran tokoh tua
rimba persilatan, nama Tua Rakus sudah bukan hal asing lagi bagi mereka. Dia
tokoh yang paling menyebalkan. Matanya hanya satu, yang kiri ditutup dengan
sesobek kulit warna hitam. Tapi matanya yang masih utuh itu sangat liar dan
rakus jika melihat harta, wanita, dan kejayaan. Tua Rakus punya sifat iri yang
berlebihan, sehingga dalam memimpin rombongan bajak laut itu, Tua Rakus selalu
berusaha untuk lebih kondang dari Siluman Tujuh Nyawa. Pelayarannya dan
keganasannya hanya semata-mata untuk mencari nama, agar ia lebih dikenal dan
lebih ditakuti dari Siluman Tujuh Nyawa.
Wilayah jelajahnya meliputi
perairan laut timur tanah
Jawa. Tetapi kali ini agaknya
ia sengaja berlayar di perairan laut utara. Sejak berusia enam belas tahun, si
Tua Rakus sudah mempunyai kesenangan memperkosa perempuan. Sampai seusia
sekarang, kegemaran itu masih berkelanjutan. Cukup banyak perempuan di wilayah
timur yang menjadi korban keganasan nafsu si Tua Rakus itu. Dan agaknya ia
sedang melarikan diri dari kejaran dendam seseorang yang merasa dirugikan oleh
kegemaran memperkosa nya itu.
Bukan hal aneh lagi jika si
Tua Rakus tak mau kedipkan matanya ketika melihat Dayang Kesumat melesat di
atas belarak, atau pelepah daun kelapa kering. Bukan ketinggian ilmu Dayang
Kesumat yang menjadi pusat perhatian si Tua Rakus, melainkan kecantikan dan bentuk
tubuh Dayang Kesumat yang membuat mata si Tua Rakus lupa berkedip. Bahkan
lidahnya beberapa kali menyapu bibirnya yang sudah mulai dihinggapi keriput
pada bagian sudut dan tepiannya.
"Waduuuk...!"
serunya memanggil sang anak buah. Orang kurus yang berjuluk Waduk Kebo itu
cepat menyahut dari samping haluan dan segera berlari menghadap si Tua Rakus.
"Saya di sini, Yang
Mulia!"
"Waduk, coba kau
perhatikan perempuan yang melintas di sebelah sana itu! Apakah menurutmu dia
cantik?!"
"Cantik, Yang Mulia!"
jawab Waduk Kebo dengan cepat.
Si Tua Rakus mendorong kepala
Waduk Kebo
dengan keras sambil sentakkan
kata, "Dilihat dulu baru dijawab...!"
Waduk Kebo tersentak
kepalanya, kemudian ia
sipitkan matanya ke arah yang
dituding Tua Rakus, setelah itu dia menjawab ulang,
"Cantik, Yang
Mulia!" "Menggairahkan?"
"Sangat menggairahkan,
Yang Mulia!"
"Bagus! Kalau begitu,
panggil dia supaya kemari!" perintah si Tua Rakus.
Waduk Kebo cepat berdiri
dengan kaki merapat. Matanya terpejam, kedua tangannya bersidekap di dada.
Cukup lama Waduk Kebo mengheningkan cipta. Tua Rakus menunggu dengan rasa tak
sabar, hingga ia terpaksa berjalan mondar-mandir di belakang Waduk Kebo.
Dayang Kesumat bukan tidak
tahu ada kapal di dekatnya. Ia sangat paham, kapal itu adalah Kapal Bajak Naga
yang diketuai oleh si Tua Rakus. Tapi Dayang Kesumat tidak mau mengusik kapal
itu. Ia lebih mementingkan diri untuk cepat temui Dadung Amuk di Pulau Beliung,
ia tidak tahu bahwa Dadung Amuk yang asli sudah mati digantung sang ketua.
Laju pelepah daun kelapa itu
terasa tersendat-sendat. Dayang Kesumat mulai curiga, ia semakin kerahkan ilmu
'Lancang Bumi', yaitu ilmu yang mendorong telapak kakinya untuk bergerak
sendiri dengan satu dorongan kuat. Tetapi ilmu 'Lancang Bumi" itu bagaikan
tidak berguna lagi. Laju pelepah daun kelapa justru
terhenti, bahkan sekarang
bergerak mundur, dari lambat makin lama makin cepat.
"Setan alas! Pasti
orang-orang di Kapal Bajak Naga
itu yang menggangguku dengan
menggunakan ilmu
'Rantai Batin'!"
Dayang Kesumat bergerak
mundur. Tapi ia segera pejamkan mata dengan menarik napas dalam-dalam dan
menahannya. Kedua tangannya menggenggam kuat- kuat. Gerakan mundurnya terhenti,
tapi tak bisa maju lagi. Sepertinya telah terjadi saling tarik-menarik melalui
kekuatan batin yang membuat tubuh Dayang Kesumat tak bisa bergerak. Waduk Kebo
menarik ke belakang, Dayang Kesumat mendorong diri agar maju ke depan.
Makin lama sikap berdiri Waduk
Kebo makin bergeser maju. Telapak kakinya yang merapat di lantai geladak itu
bagaikan terseret maju sedikit demi sedikit. Si Tua Rakus terkesiap ketika
melihat keadaan Waduk Kebo. Bahkan semakin lama tubuh Waduk Kebo semakin
mendekati pagar pembatas geladak.
Dayang Kesumat tetap pejamkan
matanya dengan kedua tangan menggenggam kuat di samping kanan-kiri. Ia
membelakangi Kapal Bajak Naga. Ia berusaha bertahan diri agar tidak tertarik
oleh kekuatan ilmu
'Rantai Batin'.
Pagar pembatas geladak terbuat
dari kayu jati. Kayu itu retak ketika tubuh Waduk Kebo semakin terseret ke depan
dan menekan kayu pagar. Hampir saja tubuhnya terjungkal ke lautan jika ia tidak
segera kembangkan tangannya. Tangan yang semula bersidekap di dada itu
kali ini dilepaskan, lalu
keduanya menghadap ke depan dengan telapak tangan terbuka. Kedua tangan itu gemetar
dan bergerak ke belakang sedikit demi sedikit. Keringat Waduk Kebo mulai
bercucuran di bagian kening, pelipis, dan lehernya.
Pada saat itu, Dayang Kesumat
semakin tertarik ke belakang dalam keadaan mundur. Makin lama makin dekat
dengan lambung kapal. Menyadari kekuatan
'Lancang Bumi'-nya kalah
dengan kekuatan 'Rantai Batin' milik lawan, Dayang Kesumat cepat sentakkan
ujung jempol kakinya ke pelepah daun kelapa, dan tiba- tiba tubuhnya melenting
ke atas dengan bersalto dua kali. Wuhgg...! Wuhhg...! Jlegg.....I
Dayang Kesumat hinggap di
kedua pundak Waduk Kebo.
Lalu, dengan sentakan keras tangannya menghantam ubun-ubun Waduk Kebo.
Bett...! Waduk Kebo cepat menadahkan satu tangannya ke kepala. Tapp...!
Pukulan Dayang Kesumat
ditangkap cepat oleh Waduk Kebo, lalu tangan itu disentakkan ke atas dan
Dayang Kesumat bagaikan terpental naik. Tapi perempuan itu dengan lincahnya
berjungkir balik di udara dua kali, tahu-tahu hinggap di lantai bawah tiang
layar.
Jlegg...!
Para anak buah si Tua Rakus
terkagum-kagum melihat gerakan lincah dan kekuatan batin perempuan cantik itu.
Tapi mereka merasa lega setelah melihat jelas bahwa Waduk Kebo bisa mengatasi
perlawanan yang
diberikan oleh Dayang Kesumat.
"Cukup hebat pula ilmumu,
Nona manis," sapa si Tua Rakus, ia tersenyum penuh rasa bangga, karena
Waduk Kebo, anak buahnya, mampu mengalahkan kekuatan batin Dayang Kesumat.
Bahkan si Tua Rakus tambahkan kata,
"Tapi betapapun hebatnya
ilmumu, tak akan bisa mengalahkan kekuatan yang ada pada anak buahku yang satu
itu!"
Si Tua Rakus memuji sekaligus
membanggakan Waduk Kebo. Tapi pada saat ia menuding Waduk Kebo dalam pujiannya,
tiba-tiba mata si Tua Rakus terkesiap melihat Waduk
Kebo jatuh berlutut. Kepalanya tertunduk, tangannya
terjuntai lemas. Dan orang-orang kapal yang ada di sekelilingnya juga terkejut
melihat Waduk Kebo tertunduk, jatuh berlutut dalam keadaan badan tetap tegak.
"Kenapa dia?" tanya
si Tua Rakus.
Salah seorang dari mereka yang berkerumun menjawab, "Mungkin
mengantuk!"
Memang keadaan Waduk Kebo
seperti orang
mengantuk. Tunduknya kepala
dengan terkulai lemas, juga kedua tangannya yang bagai tak bertulang lagi itu.
Tetapi mata si Tua Rakus segera menyipit curiga. Ia melihat ada kepulan asap di
kedua pundak Waduk Kebo. Cepat-cepat ia memeriksa pundak itu dengan membuka
sebagian baju Waduk Kebo.
"Jahanam...!" si Tua
Rakus menggeramkan suara dengan mata terbelalak lebar, ia melihat kulit pundak
kanan-kiri Waduk Kebo itu
melepuh biru. Bagian tengahnya sedikit mengeluarkan busa yang berasap.
Tiba-tiba tubuh Waduk Kebo itu
rubuh ke depan.
Brukk...! Semua
orang yang memandang segera sentakkan badan mundur ke
belakang. Waduk Kebo terkulai tak berkutik. Si Tua Rakus semakin belalakkan
mata dengan dahi berkerut kuat. Lalu, ia cepat berdiri dan palingkan wajah
beringasnya setelah memeriksa sebentar keadaan Waduk Kebo. Dengan suara berat
ia ucapkan kata yang membuat semua orang di kapal itu bergumam serempak,
"Kau telah membunuh Waduk
Kebo...!" "Hahhh...!" seru semua orang serempak.
Suara mereka berubah saling
kasak-kusuk dan bergemuruh seperti sejuta lebah. Si Tua Rakus serukan kata
keras-keras,
"Perempuan Iblis kau
rupanya, hah?!"
Seruan itu membuat suara
gemuruh diam seketika. Sepi tercipta selama tiga helaan napas. Dayang Kesumat
sunggingkan senyum sinis kepada si Tua Rakus yang memancarkan kemarahan besar.
Lalu dengan suaranya yang tenang, Dayang Kesumat ucapkan kata,
"Aku tahu, Waduk Kebo
adalah anak mas bagimu, olang unggulanmu dalam soal memanggil pelempuan! Waduk
Kebo adalah tangan kananmu dalam hal menjinakkan pelempuan. Dia punya segudang
ilmu pelet dan penyilep sukma, sehingga setiap pelempuan mau tunduk padamu dan
mau melayani nafsumu. Tapi jangan samakan aku dengan kolban-kolbanmu, Tua
Lakus! Kau
salah alamat jika ingin
mempelkosaku, seperti kau mempelkosa pelempuan-pelempuan lainnya!"
Diam-diam si Tua Rakus
membatin, "Aneh betul
perempuan ini! Dia tahu
namaku! Dia juga tahu nama Waduk Kebo dan jabatannya. Dia juga tahu bahwa
selama ini Waduk Kebo-lah yang bertugas menjinakkan perempuan yang ingin
kutiduri! Siapa dia sebenarnya? Aku merasa belum pernah melihatnya?! Bertemu
pun rasanya baru kali ini!"
Dua orang ingin membuktikan
kebenaran kata-kata si Tua Rakus tentang kematian Waduk Kebo itu. Mereka lalu
memeriksanya. Salah satu ada yang menyentuh busa di tengah luka memar membiru
itu. Tiba-tiba orang tersebut memekik kesakitan. Jari telunjuknya melepuh.
Orang itu melompat-lompat seperti tersundut api yang amat panas. Bahkan ketika
diperiksa oleh si Tua Rakus, ternyata
jari telunjuk orang itu menjadi hitam, membusuk pada bagian ujungnya.
Cepat sekali gerakan busuknya itu, sehingga dalam beberapa kejap jari itu putus
dalam satu ruas. Pluk...! Jatuh di lantai geladak, membuat semua mata yang
memandangnya tersentak lebar-lebar.
Si Tua Rakus merasa semakin
dilecehkan dengan kejadian itu. Ia cepat pandangi Dayang Kesumat dan menggeram
kata,
"Rupanya kau murid dari
si Jejak Setan! Aku tahu, hanya si Jejak Setan yang mempunyai ilmu beracun
seperti ini, yang dinamakan jurus 'Tapak Peri'!"
"Aku Dayang Kesumat,
bukan mulid si Jejak Setan!"
"Bohong! Kau pasti murid
si Jejak Setan!" bentak si
Tua Rakus.
"Jejak Setan sudah mati
dalam peltalungan dengan
Swaladipa!" kata Dayang
Kesumat.
Makin berkerut-kerut dahi si
Tua Rakus mendengar perempuan muda yang cantik jelita itu mengenal nama
Swaladipa, penguasa Tanjung Keramat itu. Hanya tokoh-tokoh tua saja yang
mengenal nama Swaladipa. "Jadi, murid siapa perempuan cantik menggairahkan
itu?" pikir Tua Rakus dalam ketermenungannya.
"Persetan murid siapa kau
sebenarnya, yang jelas kau telah berhutang nyawa kepadaku atas kematian anak
buahku ini!"
"Siapa yang mengawali
pelsoalan ini? Kau yang bikin pelkafa lebih dulu! Pasti kau yang suluh Waduk Kebo
untuk menalik diliku!"
"Aku hanya ingin
mengajakmu bersenang-senang di atas kapal ini! Bukan untuk maksud jahat!"
sangkal Tua Rakus.
"Belsenang-senang sambil
mempelkosaku?" "Kalau kau bersedia, aku tidak keberatan!"
"Galilah celmin dan
mengacalah. Tua Lakus!" ejek Dayang Kesumat. "Aku masih bisa cali
hibulan dan kehangatan dali plia yang muda dan lebih tampan lagi dali
cecongolmu!"
Seorang berpakaian merah
dengan kumis melintang tebal membentak Dayang Kesumat.
"Hei, bicara yang sopan
dengan Yang Mulia! Jangan seenak bacotmu saja!"
Dayang Kesumat hanya
sunggingkan senyum tipis dan sinis, ia segera ucapkan kata, "Jangan
coba-coba menghaldikku, Laja Tebas! Jika Waduk Kebo saja bisa kubunuh secepat
itu, apalagi kamu. Aku tahu, ilmumu masih di bawah Waduk Kebo, Laja Tebas! Kau
hanya unggul di pelmainan pedangmu saja! Tapi ilmu tenaga dalammu masih
nol!"
"Setan kurap!" geram
Raja Tebas. Cepat-cepat ia mencabut pedangnya untuk menebas kepala Dayang
Kesumat. Tapi, Tua Rakus angkat tangannya tanda melarang Raja Tebas menyerang
Dayang Kesumat.
Dalam hati Tua Rakus pun
berkata, "Aneh sekali. Dia juga tahu nama Raja Tebas dan kekuatannya dalam
bermain pedang. Dia bisa mengerti seberapa tinggi ilmu Raja Tebas dibandingkan Waduk
Kebo! Siapa perempuan ini
sebenarnya? Aku benar-benar tak bisa menerkanya!"
Terdengar Dayang Kesumat
bicara dengan Tua Rakus, "Jika kau memang punya niat mau pelkosa aku,
sebaiknya batalkan saja niatmu itu, Tua Lakus. Bialkan aku teluskan peljalanan. Jangan
bikin pelsoalan denganku.
Nanti anak buahmu habis di tanganku!"
"Tidak bisa! Kau harus
menebus nyawa Waduk Kebo dengan
menyerahkan kemesraanmu dua
malam bersamaku di kapal ini!"
"Aku kebelatan!"
"Aku tidak peduli!
Tinggal pilih, kau layani aku di kapal ini dua malam atau kau mati di
tanganku?"
"Kupilih, kau yang mati
di tanganku, Tua Lakus!"
"Keparat!" geram Tua
Rakus sambil menggeletakkan giginya. Lalu, ia keluarkan perintah kepada anak
buahnya, "Serang dia...! Bunuh!"
"Heaaa...!" Mereka
cepat mencabut senjata masing- masing dan melompat menyerang Dayang Kesumat.
Wuurrr...!
Dayang Kesumat segera lompat
dengan berpegangan pada seutas tambang layar yang menggantung. Dengan tambang
itu, ia laksana terbang di atas kepala orang- orang yang menyerangnya secara
bersamaan.
Dalam keadaan melayang begitu,
Dayang Kesumat kelebatkan tangannya seperti orang menaburkan sesuatu dengan
cepat. Lalu dari tangan itu keluarlah ratusan ekor kunang-kunang. Kunang-kunang
itu jatuh dan hinggap di kepala mereka, sehingga kepala mereka menjadi
berpijar-pijar nyala hijau kekuningan. Mereka seperti memakai mahkota, dan kelihatan indah. Namun beberapa kejap berikutnya mereka
saling menjerit, berteriak kesakitan, bahkan saling berguling-gulingan di
lantai geladak.
Ratusan kunang-kunang itu
meresap masuk di kepala mereka bagai bersarang ke dalam kepala. Setiap satu
kepala, jumlahnya lebih dari lima puluh kunang-kunang. Dan kepala mereka
menjadi bengkak, kulitnya bergerak- gerak bagaikan ada binatang yang saling
berdesak menggerogoti apa saja yang ditemukan di dalam kepala itu. Mereka
menggelepar-gelepar dalam tujuh hitungan, kemudian mengejang dan selanjutnya
terkulai lemas tak berkutik lagi. Mereka mati dengan kepala bagian dalam
bagaikan digerogoti binatang
aneh itu.
Dayang Kesumat sudah berdiri
di atas atap barak. Ia menyaksikan mereka yang meregang nyawa dengan senyum
sinis kemenangan. Sebagian dari mereka, termasuk Tua Rakus, cepat melarikan
diri masuk ke dalam barak, atau bersembunyi di dalam tong-tong kayu. Mereka
yang bersembunyi, lolos dari maut. Raja Tebas dan beberapa orang yang ilmunya
sejajar dengannya, juga lolos dari maut.
Mereka yang sempat mendengar
Tua Rakus berteriak, "Awaaas...! Racun Mahkota...!" segera cepat
mengerti adanya bahaya. Tapi bagi yang tidak mendengar, tidak mengerti adanya
bahaya maut yang tak bisa ditangkis kecuali dihindari dengan cara sembunyikan
kepala. Sebab, Tua Rakus tahu, bahwa jurus ilmu 'Racun Mahkota' berbentuk
ratusan bahkan bisa ribuan kunang- kunang yang hinggap di kepala dan memakan
habis isi kepala orang yang dihinggapi. Tapi Tua Rakus sama sekali tidak
menduga bahwa Dayang Kesumat juga mempunyai jurus 'Racun Mahkota', yang sebenarnya
hanya dimiliki oleh seorang tokoh sakti yang berjuluk Permeswari Bayangan.
Lebih dari lima belas anak
buah Tua Rakus tergeletak mati dengan kepala keropos. Tua Rakus semakin murka
kepada Dayang Kesumat, tapi ia tak mau gegabah menyerang, ia hadapi kembali
Dayang Kesumat dan cepat berseru dalam suara marahnya,
"Perempuan liar...!
Rupanya kau memang bukan murid si Jejak Setan, tapi murid Permeswari Bayangan!
Karena aku tahu, jurus 'Racun
Mahkota' hanya dia yang memilikinya!"
"Pelmeswali Bayangan
telah dilobohkan oleh Ki
Gendeng Sekalat, penguasa
Pulau Mayat itu!"
"Hah...?!" Tua Rakus
terkejut. "Kau kenal pula dengan Ki Gendeng Sekarat yang menguasai Pulau
Mayat itu?!"
Bibir indah itu hanya
sunggingkan senyum sinis dan berkesan angkuh. Lalu, ia ucapkan kata sombongnya.
"Aku sangat kenal
dengannya, kalena aku masih punya ulusan yang belum selesai dengan Ki Gendeng
Sekalat itu! Tak lama lagi, dia pun akan mati di tanganku, semudah aku
membunuhmu, Tua Lakus!"
Tiba-tiba Dayang Kesumat terdiam, matanya memandang tajam ke mata
kanan Tua Rakus. Pandangan mata itu jelas beraliran tenaga dalam, seperti kala
dilakukan terhadap Siluman Tujuh Nyawa. Dayang Kesumat ingin robohkan Tua Rakus
lewat kekuatan matanya, tapi tiba-tiba ia tersentak mundur. Tua Rakus buka mata
kirinya yang tertutup kulit hitam itu, dan mata kiri itu memancarkan sinar biru
dengan cepat. Zuttt...! Arahnya ke bola mata kanan Dayang Kesumat. Tapi
Dayang Kesumat segera sadar
bahwa lawannya menggunakan
kekuatan ilmu 'Sinar Naga Birawa'. Maka, cepat ia melesat ke atas untuk
menghindari sinar biru dari lubang mata yang bolong tanpa bola mata itu.
Wuttt...! Jebbb...!
Gerakannya kurang cepat. Sinar
biru dari lubang mata yang sejak tadi tertutup itu mengenai lambung Dayang
Kesumat. Tubuh itu pun
terpental jatuh dari atap barak. Dayang Kesumat segera menarik napasnya dengan
cemas. Ternyata mulai terasa panas di bagian perut dan dadanya. Itu pertanda
kekuatan daya hancur dari sinar biru itu mulai bekerja.
"Bisa mati kalau tidak
segera kuobati sendiri!" pikir Dayang Kesumat setelah menyadari bahaya
yang dapat merenggut nyawanya dalam waktu singkat itu. Maka, tanpa ragu-ragu
lagi, Dayang Kesumat cepat melompat dan meceburkan diri ke laut.
Brasss...!
Ia jatuh di atas pelepah daun
kelapa yang menjadi kendaraannya itu. Maka secepat kilat ia sentakkan tenaga
dari ilmu 'Lancang Bumi'. Pelepah daun kelapa kering itu bergerak dengan cepat
membawa lari Dayang Kesumat yang menderita luka cukup parah itu.
Sekalipun Tua Rakus mempunyai
jurus handal yang dinamakan 'Sinar Naga Birawa' itu, tetapi ia tidak bisa
mengejar Dayang Kesumat. Karena tenaga dalam Dayang Kesumat yang dilancarkan
melalui pandangan matanya itu telah membuat Tua Rakus keluarkan darah hitam dan
mulut dan hidungnya, sekejap setelah Dayang Kesumat melarikan diri.
Raja Tebas cepat membawa masuk
Tua Rakus ke kamar dan memanggil Wisoguno, tabib unggulan rombongan Kapal Bajak
Naga itu. Tapi bisakah Wisoguno sembuhkan Tua Rakus jika tenaga dalam Dayang
Kesumat itu telah menghanguskan paru-paru Tua Rakus?
*
* *
6
GELOMBANG lautan
cukup tenang, walau bergulung-gulung namun
tidak sampai segunung. Di atas sebuah perahu berlayar satu, tapi mempunyai dua
barak, yaitu di buritan dan haluan, tiga penumpangnya terasa nyaman menikmati
pelayaran tersebut. Ketiga orang itu adalah murid sinting si Gila Tuak yang
bernama Suto Sinting, atau yang dikenal dengan julukan Pendekar Mabuk, kemudian
utusan dari Pulau Serindu yang pernah mendapat kehormatan dan gelar Duta
Terpuji dari Ratu Kartika Wangi, dan orang itu dikenal dengan nama Dewa Racun.
Bertubuh kerdil tapi berjiwa besar.
Dan, satu lagi penumpang
perahu itu yang bertubuh gemuk, besar, berkepala gundul mengkilap, bermata
besar dengan hidung bulat dan perut buncit yang tidak pernah mau pakai baju,
yaitu Hantu Laut. Orang agak budek ini, adalah bekas anak buah Siluman Tujuh
Nyawa. Dialah yang menimbulkan banyak korban sejak berhasil merebut Pusaka
Tombak Maut dari tangan nakhoda Kapal Neraka, yaitu Tapak Baja. Dialah yang
membunuh Tapak Baja sendiri dan mengobrak-abrik Pulau Beliung dengan Pusaka
Tombak Maut itu. Tetapi, pada akhirnya ia ditaklukkan oleh Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk yang ke mana-mana selalu membawa bumbung tempat tuak di
punggungnya. Tombak pusaka
itu sirna begitu saja setelah
Suto menerjang Hantu Laut dengan menggunakan jurus tuak yang bernama jurus
'Sembur Siluman'. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam
episode: "Tumbal Tanpa
Kepala" dan "Pusaka Tombak
Maut").
Hantu Laut ditaklukkan
Pendekar Mabuk, dan kini justru menjadi pelayannya Suto, yang siap membantu
dalam perjalanan laut. Karena Hantu Laut memang lebih menguasai tentang
kelautan ketimbang Pendekar Mabuk dan Dewa Racun.
Sedangkan Singo Bodong, orang
yang selama ini digembar-gemborkan
sebagai kembarannya Dadung
Amuk, lebih memilih tinggal di Pulau Beliung, karena Ratu Pekat ingin
mengangkat Singo Bodong sebagai muridnya. Singo Bodong yang polos
dan tidak mempunyai ilmu
kanuragan sedikit pun itu, merasa lebih senang mendapat ilmu dan menjadi muridnya
Ratu Pekat, ketimbang mengikuti Pendekar Mabuk ke Puri Gerbang Surgawi di Pulau
Serindu, tanpa ada kepastian kapan ia akan bisa menjadi seorang pendekar. Singo
Bodong memang sangat berkeinginan untuk menjadi seorang pendekar seperti Suto
Sinting.
Karena di Pulau Beliung ada
Hantu Laut yang mengamuk dengan Pusaka Tombak Maut, dan ada Singo Bodong yang
mirip Dadung Amuk, maka Tabib Akhirat memberi kabar yang salah tentang Dadung
Amuk. Itu sebabnya, Siluman Tujuh Nyawa menggantung Dadung Amuk karena dianggap
akan menggulingkan kekuasaan dan memberontak bersama Hantu Laut.
Sejak Hantu Laut tidak lagi
memiliki Pusaka Tombak Maut, niatnya untuk memberontak dan mengalahkan Siluman
Tujuh Nyawa menjadi batal. Bahkan ia selalu dibayang-bayangi perasaan takut bertemu dengan Siluman Tujuh Nyawa.
Merasa dirinya berilmu tak seberapa tinggi dibandingkan orang-orang utusan dan
sekutunya Siluman Tujuh Nyawa, Hantu Laut sering berada tak jauh dari Pendekar
Mabuk. Maksudnya, jika sekali waktu ia bertemu dengan orangnya Siluman Tujuh
Nyawa, maka Suto Sinting pasti akan membelanya.
Pelayaran yang tenang dan
damai itu tiba-tiba saja dikejutkan oleh teriakan Hantu Laut yang melompat
tinggalkan haluan.
"Dadung Amuk...! Dadung
Amuk datang...!" Ia buru- buru mendekati Suto yang sedang
berbincang-bincang dengan Dewa Racun di bagian buritan. Mata Hantu Laut menjadi
tegang, napasnya terengah-engah, dan ia kembali sebutkan,
"Daung, eh... Dadung...!
Dadung Amuk datang!" "Mana
dia?" tanya
Suto sambil memandang
sekelilingnya, ia tak melihat
ada perahu atau kapal
mendekat.
"Mana Dadung Amuk?!"
tanya Pendekar Mabuk agak menyentak.
"Ada... ada di haluan. Di
bawah sana...!"
Dewa Racun cepat sentakkan
kakinya dan melesat pindah tempat ke haluan. Ketika ia menengok ke bawah, ke
perairan yang biru bening itu, matanya terkesiap sekejap. Suto Sinting pun
segera datang mendekatinya.
"Mayat...!" gumam
Pendekar Mabuk, ia menatap mayat Dadung Amuk yang habis digantung dibuang
begitu saja oleh Siluman Tujuh Nyawa. Wajahnya masih tampak membuka mulut dan
menjulurkan lidah. Matanya
putih. Tubuhnya masih terikat tali tambangnya sendiri. Mayat itu belum membusuk
dan masih tampak segar.
Dewa Racun picingkan mata
menatapi mayat yang mengambang itu.
Lalu, ia berkata dengan suara
gagapnya,
"Sep... sep... sepertinya
dia mati digantung. Ad... ada bekas jerat tali memerah di lehernya!"
"Ya. Dia mati
digantung," jawab Suto. "Tapi oleh siapa dan mengapa dia
digantung?"
"Apakah dia benar-benar
sudah mati?" tanya Hantu
Laut. "Sudah!"
"Matinya dengan
meludah?!" Hantu Laut salah dengar.
"Sudah...!" suara
Suto diperkeras, barulah Hantu Laut paham maksud Pendekar Mabuk itu.
"Meng... meng... meng...
mengapa kau takut kepada Dadung Amuk? Bukankah waktu Singo Bodong kau anggap
Dadung Amuk, kau bilang bahwa Dadung Amuk orang yang paling baik denganmu, dan
kebaikannya seperti saudara sendiri? Bahkan kau mau ajak kerja sama
menggulingkan Siluman Tujuh Nyawa. Lalu, mengapa sekarang kkka... kaaau... kau
ketakutan melihat Dadung Amuk yang ternyata sudah menjadi bangkai itu?"
"Dadung Amuk memang baik
padaku. Tapi jika aku menentang kekuasaan sang ketua, belum tentu dia bersikap
baik padaku. Sebab...."
"Sebab apa?" desak
Suto setelah Hantu Laut berhenti bicara dan agak ragu melanjutkannya.
"Sebab... menurut kabar
kasak-kusuk tak pasti... katanya Dadung Amuk adalah anak dari Siluman Tujuh
Nyawa."
Suto dan Dewa
Racun kernyitkan alisnya, memandangi Hantu Laut.
Kemudian Suto ajukan tanya,
"Dari mana kau pernah
mendengar kabar itu?"
"Dari seorang tokoh tua,
teman baiknya Jangkar Langit yang bernama Begawan Sangga Mega. Dalam
percakapannya dengan Tapak Baja, sebelum Begawan Sangga Mega akhirnya dibunuh
Tapak Baja sendiri, Begawan Sangga Mega mengatakan tentang hubungan anak dan
bapak antara Dadung Amuk dengan Siluman Tujuh Nyawa."
"Mengapa Begawan Sangga
Mega menceritakan hal itu kepada Tapak Baja?" tanya Suto yang merasa
tertarik sekali dengan kabar tersebut.
"Karena...," kata
Hantu Laut sambil mengingat-ingat peristiwa lama yang pernah dialami bersama
Tapak Baja. "Karena..., pada waktu itu Tapak Baja ingin hak waris atas pusaka
Pedang Guntur Biru. Tapi Begawan Sangga Mega tidak mau memberikan pusaka Pedang
Guntur Biru kepada Tapak Baja. Sebab, menurut Begawan Sangga Mega, pedang itu
memang warisan dari leluhurnya Siluman Tujuh Nyawa, dan akan
diserahkan kepada Siluman Tujuh
Nyawa jika ia sudah genap berusia tiga ratus tahun. Sekarang usianya baru dua
ratus lima belas tahun...."
"Edan...!" cetus
Dewa Racun terheran-heran. Ia geleng-gelengkan kepala mendengar usia Siluman
Tujuh Nyawa. "Ternyata sud... dah... sudah sangat tua Durmala Sanca
itu."
"Berarti usia guruku, si
Gila Tuak, kurang lebih segitu!"
"Ck ck ck...?!" Dewa
Racun berdecak keheranan. Perahu tetap melaju seirama angin lautan. Mereka
bicara di haluan sambil Hantu
Laut pegang kemudi.
Mayat Dadung Amuk sudah ditinggalkan
oleh mereka, tak diurusnya lagi. Mereka lebih tertarik dengan keterangan yang
diperoleh Hantu Laut kala masih menjadi orang bawahannya Tapak Baja.
"Teruskan ceritamu
itu!" kata Pendekar Mabuk setelah meneguk tuaknya tiga kali. Maka, Hantu
Laut pun melanjutkan ceritanya lagi.
"Setahuku, Tapak Baja
mencoba membujuk Begawan Sangga Mega untuk bisa mendapatkan Pedang Guntur Biru
itu. Tapi Begawan tetap tidak berikan, dan tidak kasih tahu di mana dia simpan
Pedang Guntur Biru itu. Menurut Begawan, jika bukan Durmala Sanca atau Siluman
Tujuh Nyawa yang terima pedang itu, harus keturunannya Durmala Sanca. Menurut Begawan, Durmala Sanca mempunyai
dua anak, walau bukan anak kembar, tapi dia punya dua anak dari dua perempuan
yang tidak dikawininya secara resmi."
"Apakah Begawan Sangga
Mega juga sebutkan nama anak itu?"
"Seingatku, Begawan
Sangga Mega menyebutkan
nama anak itu ialah Sugolo
yang kemudian dikenal dengan nama Dadung Amuk, dan Sugali, yang tidak diketahui
di mana tinggalnya."
Tiba-tiba Pendekar Mabuk dan
Dewa Racun serempak kerutkan
dahi serta saling pandang bernada heran. Kejap berikutnya, Suto berkata kepada
Dewa Racun,
"Seingatku, Sugali itu
nama asli Singo Bodong! Ingatkah kau pada saat Singo Bodong ceritakan siapa
namanya, siapa ibunya, dan mengapa ia disebut Singo Bodong, serta...."
"Iiyyy... iya, iya... aku
ingat!" jawab Dewa Racun dengan bersemangat. "Sugali itu nama asli
Singo Bodong, dan... dan... dan dia bilang ibunya sering sebut- sebut nama
Arjuna sebagai ayah Singo Bodong, dan dijuluki Siluman oleh ibunya Singo
Bodong, karena sang Arjuna itu tak pernah punya waktu tetap untuk menjenguk ibu
Singo Bodong yang bekas... beka... bekas sinden zaman dulu!" (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Utusan Siluman Tujuh Nyawa").
"Kalau begitu, Singo
Bodong itu kakak beradik dengan Dadung Amuk, hanya lain ibu tapi satu
bapak?!" ujar Suto menyimpulkan keterangan itu.
"Tap.... tapi mereka
seperti anak kembar saja?" kata
Dewa Racun.
Hantu Laut segera menyahut,
"Menurut keterangan
Begawan Sangga Mega, Durmala
Sanca adalah anak kembar. Ia mempunyai kakak yang namanya aku tak ingat, tapi
yang jelas dia sendiri yang bunuh kakaknya! Dia tak mau ada orang yang
menyamainya, baik ilmunya maupun ketampanannya."
"O, bisa jadi darah
keturunan kembarnya ada di wajah Singo Bodong dan Dadung Amuk!" kata
Pendekar Mabuk.
"Jaa... ja... jadi, kalau
Siluman Tujuh Nyawa mati, yang berhak menerima pusaka warisan leluhur berupa
Pedang Guntur Biru itu Dadung Amuk atau Singo Bodong?"
"Ya," jawab Hantu
Laut. "Tapi jika Siluman Tujuh Nyawa belum mati, hak waris masih ada di
tangan Siluman Tujuh Nyawa!"
"Llla... la...
la...." "Lama?"
"Bukan! Llla... lalu,
Begawan Sangga Mega itu sebenarnya siapa?"
"Paman dari Siluman Tujuh
Nyawa!" jawab Hantu Laut. Tambahnya lagi, "Tapi Begawan Sangga Mega
tidak suka dengan tingkah laku keponakannya yang sesat itu, sehingga ia tidak
mau akui Durmala Sanca adalah keponakannya, ia malu kepada tokoh putih di rimba
persilatan!"
"Hmmm...," Dewa
Racun manggut-manggut sebentar. "Ter... terr... terus, apakah sampai
sekarang tak ada yang tahu, di mana Pusaka Pedang Guntur Biru itu disimpan oleh
Begawan Sangga Mega?"
"Seingatku, Begawan
Sangga Mega tidak sebutkan di mana letaknya kepada Tapak Baja, yang membuat
Tapak Baja menjadi marah dan membunuhnya. Seingatku, Begawan hanya katakan,
bahwa Pedang Guntur Biru tak bisa dilihat oleh sembarang orang. Letaknya jauh
dari hati pewarisnya!"
Dewa Racun termenung sambil
menggumam,
"Jauh dari hati
pewarisnya? Tak bisa dilihat oleh sembarang orang...?" Lalu, ia segera
menegur Suto yang seperti orang melamun sejak tadi,
"Ada se... se... sesuatu
yang teringat di benakmu tentang arti kata-kata Begawan itu, Suto?"
"Entahlah," jawab
Suto. "Yang kupikirkan, sekarang Dadung Amuk
sudah mati, entah
siapa yang menggantungnya,
tak jelas buat kita. Lalu, kalau suatu saat nanti, aku berhasil membunuh
Siluman Tujuh Nyawa karena urusan pribadiku yang menyangkut calon istriku dan
yang menjadi ratumu itu, berarti tinggal Singo Bodong ahli waris yang berhak
menerima Pedang Guntur Biru...."
Dewa Racun bertanya kepada
Hantu Laut, "Apakah menurutmu ber... ber... berarti Singo Bodong harus
berusia tiga ratus tahun juga?"
"Setahuku, Begawan Sangga
Mega mengatakan bahwa umur tiga ratus tahun itu hanya berlaku untuk Durmala
Sanca, karena dikutuk oleh kakeknya untuk menjalani hidup sesat selama tiga
ratus tahun."
"Meng... mengapa... mengapa ia dikutuk oleh kakeknya begitu?" tanya
Dewa Racun semakin ingin
tahu.
"Katanya... ini menurut
cerita Begawan...! Katanya, Durmala Sanca telah memperkosa neneknya
sendiri."
"Ooo...?!" Dewa
Racun manggut-manggut.
"Karena itu, ilmu
kesaktian dari kakek dan neneknya tidak pernah diturunkan kepada Durmala Sanca.
Satu pun tak ada yang diturunkan, kecuali Pedang Guntur Biru yang memang sudah
warisan turun-temurun dari kakek buyutnya!"
"Sssi... si... siapa
kakek dan neneknya Durmala Sanca itu?"
"Hmmm... namanya, kalau
tidak salah... hmm...
Eyang Purbapati dan Nini
Galih!"
Duaarrr...! Kilat menyambar di
angkasa bagaikan merobek langit. Suara petir yang menggelegar bagai
mengguncangkan alam semesta itu, membuat Suto Sinting tersentak kaget dan
terbelalak matanya. Wajah Pendekar Mabuk menjadi tegang dan memerah.
"Suto, tahan...! Tahan
napasmu...! Kuasai amarahmu, Suto!" kata Dewa Racun dengan cemas dan
ketakutan. Sebab dia tahu, Pendekar Mabuk pernah menceritakan tentang Pusaka
Tuak Setan yang terminum olehnya dan bisa mengakibatkan napas Suto menjadi
badai topan jika sedang diliputi kemarahan. Seperti yang terjadi di Pulau
Hitam. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu
Wajah").
Kalau saja Suto belum pernah
menceritakan tentang Pusaka Tuak Setan kepada Dewa Racun, maka Dewa Racun tidak
akan membujuk Suto untuk menahan napas
dan menguasai diri dari
kemarahan. Kalau saja Pendekar Mabuk tidak pernah menceritakan siapa gurunya
dan siapa guru dari gurunya sendiri, Dewa Racun tidak akan tahu bahwa saat itu
Pendekar Mabuk menjadi terbakar kemarahannya.
Mata Pendekar Mabuk yang
memandang Hantu Laut itu cepat-cepat dipejamkan, ia tenangkan diri dengan
bernapas hati-hati. Hantu Laut menjadi ketakutan melihat wajah Suto merah padam
begitu, ia bingung, mengapa Pendekar Mabuk memandangnya dengan suatu kemarahan
yang besar. Apalagi langit menjadi mendung, cahaya petir berkilap di angkasa
bagai memburu mangsa dengan liar. Angin pun berhembus lebih kencang, seperti tanda-tanda
akan datangnya badai topan yang amat dahsyat. Hantu Laut jadi pucat wajahnya.
Pendekar Mabuk tinggalkan
haluan, ia berdiri di samping barak yang ada di bagian buritan. Matanya
memandang jauh ke cakrawala yang sudah menghitam karena mendung dan hujan
badai. Sementara itu, Hantu Laut punya kesempatan membisikkan kata kepada Dewa
Racun,
"Mengapa dia sepertinya
marah padaku?" "Kar... kar... karena kamu sebutkan...."
"Diam, Dewa Racun!"
sentak Suto dari tempatnya, ia kembali tundukkan kepala dan pejamkan mata. Dewa
Racun tak berani melanjutkan kata-kata apa pun kepada Hantu Laut.
Gemetar sekujur tubuh Suto
Sinting mendengar
Purbapati dan Nini Galih
adalah kakek dan neneknya
Siluman Tujuh Nyawa. Padahal
Eyang Purbapati dan Nini Galih adalah gurunya si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Sedangkan Pendekar Mabuk adalah murid dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Tapi selama menjadi murid mereka, Suto tidak pernah mendengar cerita tentang
kutukan hidup sesat dari Purbapati kepada Durmala Sanca. Apakah si Gila Tuak
merahasiakannya, atau memang tidak tahu? Jika si Gila Tuak tidak tahu, mengapa
Hantu Laut yang sebagai budak Kapal Neraka, orang bawahannya Tapak Baja, bisa
mengetahui urutan silsilah tersebut? Mengapa Hantu Laut bisa hafal semua nama
dan kejadian leluhur Siluman Tujuh Nyawa? Benarkah ia mampu mengingat segala
yang pernah didengarnya dari Begawan Sangga Mega?
Hantu Laut berdebar cemas
ketika Pendekar Mabuk melangkahkan kaki mendekatinya. Kemudian Pendekar Mabuk
menepuk-nepuk pundak Hantu Laut sambil ucapkan kata,
"Lupakan tentang sikapku
baru saja tadi! Aku tidak bermaksud marah kepadamu! Aku hanya kaget karena kamu
sebutkan nama Eyang Purbapati dan Eyang Nini Galih."
"Eyang... Eyang
siapa?!" Hantu Laut ajukan tanya dengan heran.
"Eyang Purbapati dan
Eyang Nini Galih!"
Hantu Laut tampak bingung,
lalu bicara pada Dewa
Racun, "Apa aku tadi
sebutkan kedua nama itu?'
Dewa Racun kerutkan dahinya
lalu bertanya, "Apa... apa... apakah kamu tidak ingat, bahwa kamu telah
menyebutkan kedua nama
itu?"
"Ak... ak... aku hanya
katakan, bahwa menurut kabar kasak-kusuk yang tak pasti, Dadung Amuk itu adalah
anak dari Siluman Tujuh Nyawa. Aku hanya bilang begitu!"
Suto dan Dewa Racun kembali
saling pandang bernada heran. Ada sesuatu yang aneh yang mereka temukan pada
perubahan wajah Hantu Laut. Wajah itu tampak polos dan mengakui apa yang
diingatnya.
"Kau tadi sebutkan pula
tentang pusaka leluhur Siluman Tujuh Nyawa," kata Pendekar Mabuk mencoba
ingatkan kembali kata-kata Hantu Laut tadi.
"Pusaka apa?" tanya
Hantu Laut benar-benar bingung.
"Sebuah pedang,"
jawab Dewa Racun.
"Pedang...?! Pedang
apa?!" Hantu Laut tambah bingung.
Dewa Racun dan Suto Sinting
saling pandang sekejap, lalu Suto berbisik pelan di telinga Dewa Racun,
"Tadi sepertinya ada yang tak beres pada dirinya."
Hantu Laut berkata,
"Aku... aku sungguh tak bilang soal pedang pusaka. Aku cuma bilang, Dadung
Amuk anak Siluman Tujuh Nyawa. Setelah itu aku diam, karena kulihat bumbung
tuakmu keluarkan sinar putih melesat masuk menyilaukan mataku."
"Sinar...?!"
Pendekar Mabuk sedikit tegang. "Sinar dari mana?"
"Dari ujung bumbung
tuakmu itu!" sambil Hantu
Laut menuding bumbung tuak di
punggung Suto dengan
rasa takut, ia ucapkan kata
lagi,
"Sinar itu kecil tapi
menyilaukan mataku. Aku jadi takut. Lalu, aku diam saja tak berani bicara
padamu! Tapi... tiba-tiba aku mendengar suara ledakan petir, dan kutemukan wajahmu sudah memandangku dengan marah! Aku tak tahu
salahku!"
"Bbe... benar,"
bisik Dewa Racun pada Suto. "Pas... pasti ada yang tak beres pada dirinya,
sehingga dia bicara di luar kesadarannya. Tap... tap... tap... tapi, siapa yang
bicara melalui mulutnya tadi jika bukan dia?"
Suto diam tertegun,
memperhatikan gerakan air yang menyibak karena dibelah perahu, ia jadi teringat
tentang cerita bocah kecil telanjang yang menemui si Gila Tuak sewaktu Gila
Tuak masih muda dan bernama Sabawana. Bocah itu ternyata jelmaan dari gurunya Eyang Purbapati yang bernama
Wijayasura, dan bocah itulah yang menjelma menjadi bumbung dari sebuah pohon
bambu di dalam gua tempat Sabawana tersesat. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pusaka Tombak Maut").
"Apakah Eyang Buyut
Wijayasura yang berbicara melalui mulut Hantu Laut tadi?" pikir Pendekar
Mabuk. "Dengan
maksud apa Eyang Buyut Wijayasura membeberkan sejarah
Siluman Tujuh Nyawa melalui mulut Hantu Laut? Apakah aku ditugaskan untuk
mencari Pedang Guntur Biru? Untuk diriku sendiri atau untuk kuserahkan kepada
Singo Bodong? Atau untuk mengalahkan Siluman Tujuh Nyawa?"
Suto terpaku diam karena
tenggelam dalam renungan
misteriusnya.
*
* *
7
TIBA-TIBA perahu berguncang
ketika melewati sebuah pulau kecil bertanah tandus. Guncangan itu terasa aneh,
karena Suto dan kedua temannya tahu, bahwa air laut tidak bergelombang besar.
Ombaknya mengalun dengan tenang. Tapi mengapa perahu bagai ada yang mengguncangnya
dari bawah? Bahkan Hantu Laut sempat terpelanting nyaris terlempar keluar dari
kapal. Untung Dewa Racun cepat menangkap lengan Hantu Laut.
Dewa Racun yang berdiri di
atas barak untuk memandang keadaan di pulau tandus yang mereka lewati itu segera
berkata kepada Suto,
"Ad... ad... ada yang
mengganggu kita!"
"Sial! Mungkin badai akan
datang, sehingga gelombang besar terjadi di bawah permukaan laut,"
kata Hantu Laut.
"Buk... bukan karena
gelombang lautan! Ada yang sengaja mengguncangkan perahu kita!"
"Apa? Mengencangkan
celana kita?!"
"Mengguncangkan perahu
kita!" seru Dewa Racun memperjelas ucapannya, dan Hantu Laut yang tuli
segera angguk-anggukkan kepala dengan wajah mulai tampak cemas.
"Jangan-jangan kita
berpapasan dengan orangnya
Durmala Sanca!" katanya
dengan rasa waswas.
"Kita tak perlu bikin
perkara jika memang berpapasan dengan mereka. Tapi kalau mereka mengganggu
kita, aku tak akan tinggal diam!" kata Suto Sinting sambil membuka tutup
bumbungnya, lalu menenggak tuaknya beberapa kali.
"Bagaimana jika mereka
mengancam nyawaku?" kata
Hantu Laut memancing perasaan
Pendekar Mabuk.
"Tak akan sempat mereka
mengancammu, aku akan bertindak lebih cepat dari mereka!" jawab Suto.
"Mengapa kau mau
membelaku, Suto?" tanya Hantu
Laut lagi setelah ia
bungkamkan mulut beberapa kejap, lalu Pendekar Mabuk pun menjawab,
"Karena kau sudah
berjanji untuk menjadi Hantu Laut yang sekarang, bukan Hantu Laut yang dulu!
Dulu memang kau jahat dan sesat, tapi sekarang kau punya niat untuk bertobat!
Niat itulah yang kulindungi dan kubelai"
Hantu Laut diam, merasa
bersyukur menemukan lawan
seperti Suto, yang
bukan hanya bisa menundukkan kekerasannya, namun
juga bisa menundukkan
hatinya hingga kini ia menjadi seorang sahabat. Andai ia menemukan lawan bukan
Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang bijaksana itu, sudah tentu ia akan
mati dikalahkan lawannya
atau hancur tak berbentuk lagi. Tak
akan ia punya kesempatan untuk membuktikan niat tobatnya di mata dunia.
Suto ucapkan kata lagi kepada Hantu Laut,
"Seharusnya kau memang
menjalani hukuman mati karena dosamu terlalu banyak. Tapi menurutku, lebih baik
mati kejahatanmu daripada mati jiwamu. Karena mati jiwa tidak bisa menebus dosa, tapi
mati kejahatanmu bisa membuatmu punya
kesempatan menebus dosa! Dan sekarang ini kau sebenarnya sedang
menjalani hukuman dari dosamu, yaitu menjadi pembela kebenaran dan pelindung
kebaikan, itulah hukuman yang harus kau jalani seumur hidupmu, Hantu
Laut!"
Belum selesai Pendekar Mabuk
bicara, perahunya kembali terasa diguncangkan oleh suatu kekuatan tenaga dalam
yang membuat ketiga orang itu hampir terlempar ke laut. Suto Sinting cepat
perintahkan kepada Dewa Racun.
"Lacak suara yang ada di
sekitar sini, Dewa Racun!" Maka, Dewa Racun yang punya keahlian menyadap
pembicaraan dari jarak jauh
itu segera pejamkan mata dan kedua telunjuknya menekan pelipis kanan kiri. Si
kerdil berpakaian putih bulu itu berdiam diri beberapa saat. Kejap berikutnya
dia serukan kata kepada Suto,
"Akkk... akkk...
akkk...." "Akik...?!"
"Bukan!" sentak Dewa
Racun kepada Hantu Laut. "Ak... aku hanya bisa mendengarkan suara napas
yang berat. Tak ada suara percakapan orang!"
Pendekar Mabuk diam sekejap,
dan tiba-tiba Hantu Laut tudingkan tangan ke arah pulau tandus itu sambil
serukan kata,
"Lihat, ada seseorang
yang terkapar di pantai sana!"
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun
cepat lemparkan pandang ke arah pantai pulau tandus. Mereka melihat sesosok
tubuh terkapar di pantai sana dengan kepala sedikit terangkat karena
bersandarkan sebuah batu setinggi mata kaki. Suto segera perintahkan Hantu Laut
untuk mengarahkan perahu ke pantai.
Makin dekat makin jelas orang
yang terkapar itu adalah seorang perempuan berpakaian hijau ketat berhias
benang emas. Terlihat pula warna jubahnya yang biru muda membayang tipis.
"Siapa perempuan itu,
Dewa Racun?"
"Entahlah. Ak... ak...
aku masih belum jelas dengan raut wajahnya," jawab Dewa Racun. Kemudian ia
segera melompat turun dari perahu setelah Pendekar Mabuk mendului turun dari
perahu itu. Hantu Laut mencari tambatan
untuk tambang perahunya. Setelah mendapatkan batu runcing untuk
tambatan tali
perahunya, ia segera menyusul dua rekannya yang sudah mendekati perempuan yang
terkapar itu.
Dayang Kesumat gagal sembuhkan
luka dalamnya akibat pukulan "Sinar Naga Birawa' dari si Tua Rakus itu.
Tubuhnya sangat lemas dan wajah cantik-nya memucat pasi. Matanya yang indah
berat untuk dibuka kelopaknya. Namun ia paksakan membuka kelopak mata setelah
tahu ada yang mendekatinya.
"Kau mengenalinya, Dewa
Racun?" tanya Pendekar
Mabuk pelan.
"Tid... tid...tid...
tidak!" jawab Dewa Racun sambil pejamkan mata karena sukar sekali menyebut
sepotong
kata itu. Lalu ia buka matanya
kembali dengan rasa lega dan sambungkan jawabannya,
"Aku hanya kenali dia
sebagai perempuan muda yang
cantik jelita, walau tak
secantik calon istriku sang Ramu. Tap... tap... tapi aku tidak tahu siapa
namanya. Baru sekarang aku melihat wajah cantik ini."
"Aku juga! Kau
mengenalinya, Hantu Laut?"
Mata Hantu Laut yang terbuka
lebar dengan mulut bengong
karena kagum melihat kecantikan dan kebesaran dada perempuan itu, segera berkedip menggeragap saat mendapat
pertanyaan dari Pendekar Mabuk. Lalu, cepat ia menjawab,
"Tidak... tidak! Aku
tidak mengenalinya."
"Hmmm... tampaknya ia
terluka parah di bagian dalam!" kata Suto seperti bicara pada diri
sendiri.
Dayang Kesumat ucapkan kata
lemah dan lirih,
"Tolong aku...!"
"Kau terkena pukulan
bertenaga dalam tinggi, Nona?" "Ya. Uuh...!" Ia berusaha
menggeliat tapi tak mampu
banyak berbuat, ia hanya
ucapkan kata lirih, "Sakit...!" Suto bersiap menuangkan tuak ke dalam
mulut
Dayang Kesumat, tapi lebih
dulu ia ajukan tanya, "Kau bisa minum tuak?"
"Ya," jawab Dayang
Kesumat pendek.
"Kalau begitu, bukalah
mulutmu dan minumlah tuak ini...!"
Pelan-pelan Dayang Kesumat
membuka mulutnya. Mulut ternganga kecil dan Suto Sinting tuangkan tuak
pelan-pelan. Tuak mengucur masuk ke dalam mulut
berbibir indah itu. Diteguk
beberapa kali oleh Dayang
Kesumat. Sete1ah itu, Suto
ucapkan kata,
"Jangan banyak bergerak
dulu, Nona. Diamlah beberapa saat biar tuak saktiku ini melawan kekuatan yang
merusak bagian dalam tubuhmu. Jika memang bisa, usahakanlah untuk tidur. Kami
akan menunggumu di sini sampai kau sembuh."
Dewa Racun melangkahkan
kakinya mendekati gundukan batu
yang menjulang tinggi hingga bisa menjadi peneduh pada bayangannya. Di sana
Dewa Racun duduk di bongkahan cadas yang ada di bawah batu itu.
Saat Pendekar Mabuk mendekati
batu itu, Dewa
Racun ucapkan kata,
"Pu... pu... pu... pu...." "Puser!"
"Pulau!" sahut Dewa
Racun, sebab jika belum
disentakkan arti kata yang
ingin diucapakan, Dewa
Racun masih kesulitan ucapkan
kata yang dimaksud. "Pulau ini tandus, seperti padang pasir. Tak mungkin
perempuan itu asli penduduk
pulau ini. Setahuku, pulau ini tidak berpenghuni. Karen... ka-ren... karena
tidak ada yang didapat dari pulau ini!"
Suto pandangi sekelilingnya.
Pulau itu memang tandus. Perbukitan cadas membentang di tengahnya tanpa tanaman
jenis pohon, kecuali tanaman jenis rumput yang termasuk jarang tumbuhnya.
Disana-sini banyak bongkahan batu cadas dan
karang yang menjulang bagaikan pilar-pilar hias
alami. Tanah berpasir, lebih ke dalam lebih berbatu cadas. Apabila
seseorang berjalan dari pantai
seberang sana melewati pertengahan pulau, akan kelihatan jelas dari tempat Suto
berdiri karena tak ada banyak penghalang dari tanaman.
"Pulau apa ini namanya,
Dewa Racun?"
Hantu Laut yang ada di
belakang Suto menyahut, "Namanya Pulau Padang Peluh!"
Pendekar Mabuk palingkan wajah
kepada Hantu
Laut, "Kau pernah datang
ke pulau ini?"
"Ya. Sewaktu mengantar
pertarungan Tapak Baja dengan Nagadipa, murid Iblis Pulau Bangkai. Tapak Baja
berhasil hancurkan Nagadipa hanya dengan tiga jurus."
"O, jadi Nagadipa telah
mati?"
"Mungkin saja mati,"
jawab Hantu Laut. "Sebab, sebelum jelas kematiannya, Nagadipa telah diserobot
oleh tokoh tua yang punya ilmu lebih tinggi dari Tapak Baja, lalu Nagadipa
dibawanya lari. Tapi menurut Tapak Baja, lawannya itu pasti mati karena ia
menyebarkan racun ganas di dalam tubuh Nagadipa!"
Tertegun Suto mendengar kabar
itu. Ia sangat kenal dengan Nagadipa, karena orang itu memang musuhnya.
Nagadipa sebenarnya musuh bebuyutan Bidadari Jalang, bibi guru-nya Pendekar Mabuk. Nagadipa selalu berusaha membalas
kematian gurunya Iblis Pulau Bangkai, yang dikalahkan oleh Bidadari Jalang.
Bahkan ia pernah berhadapan muka dengan Pendekar Mabuk ketika hendak membalas
kekalahan Putri Alam Baka, bekas istrinya itu. Tetapi, Nagadipa terkena pukulan
napas Tuak Setan yang membuatnya terlempar ke sana
kemari dalam keadaan luka
parah. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode:
"Pertarungan di Bukit Jagal").
Tetapi pada waktu itu,
Nagadipa masih bisa bernapas sedangkan Putri Alam Baka mati karena dilemparkan
badai maut dari napas Pendekar Mabuk. Nagadipa diselamatkan oleh Maharani,
teman dari Putri Alam Baka. Dan sejak itu tak terdengar lagi kabarnya. Baru sekarang
Pendekar Mabuk mendengar nama Nagadipa disebutkan oleh Hantu Laut. Tapi siapa
tokoh sakti yang waktu itu menyelamatkan Nagadipa dari pertarungannya dengan
Tapak Baja? Hantu Laut tidak mengenalnya, karena waktu itu Hantu Laut hanya
memandang dari haluan Kapal Neraka yang dijaganya.
Sekarang yang menjadi
pertanyaan mereka adalah, siapa perempuan yang terluka dalam itu? Menurut Dewa
Racun, perempuan itu bukan berasal dari Pulau Padang Peluh. Pasti dari tempat
lain. Tetapi, mereka tidak melihat sebuah perahu terdampar di pantai.
"Apakah ia dibuang dari
sebuah perahu atau kapal?" duga Hantu Laut sambil memandang perempuan yang
berjarak sepuluh langkah dari tempat mereka berkumpul itu.
"Di... di... di...
ddiiii...." "Dicolok?"
"Aaah, bukan!
Dddi... dilihat! Dilihat
dari
pakaiannya, sepertinya dia
bukan perempuan biasa. Dia perempuan yang punya kedudukan di dalam sebuah
perkumpulan. Paling tidak dia perempuan ter... terrr... terrhormat. Ya. Dia
perempuan terhormat. Bukan
sekadar seorang murid atau
anak buah tingkat rendahan." "Pedang di punggungnya menampakkan
dia perempuan yang punya ilmu," kata Suto. "Tapi seberapa
tinggi ilmunya kita belum tahu
pasti."
Dayang Kesumat mulai bisa
menangkap pembicaraan ketiga lelaki itu walau samar-samar. Agaknya luka dalam
akibat pukulan 'Sinar Naga Birawa' mulai membaik. Dayang Kesumat sempat
membatin dalam hatinya, memuji kehebatan tuak Pendekar Mabuk yang mampu
menyembuhkan luka dalam dengan sangat cepat.
Kejap berikutnya, Dayang
Kesumat sudah mampu berdiri dan pandangkan mata ke arah Suto Sinting yang
mendekat bersama Dewa Racun serta Hantu Laut. Badannya terasa mulai segar
kembali, bahkan makin lama terasa semakin lebih segar dari biasanya.
"Keadaanmu sudah membaik,
Nona?" tanya Pendekar
Mabuk basa-basi.
"Sudah! Kau yang
mengobati lukaku?" "Ya, aku."
"Bagus!" kata Dayang
Kesumat mulai tampak sikap angkuhnya, ia tak mau ucapkan terima kasih,
melainkan justru berkata,
"Kau pantas jadi tabib
saja, Suto!"
Terkesiap Suto mendengar
namanya disebutkan. Terkesiap pula Dewa Racun dan Hantu Laut karena ucapan
perempuan itu.
"Kau tahu namaku? Dari
mana kau mengetahuinya, Nona? Sedangkan aku sendiri tidak tahu namamu?!"
"Dayang Kesumat,
namaku!" jawabnya dengan mata
tajam memandang Pendekar Mabuk, bercampur perasaan kagum dan
terpikat oleh ketampanan Pendekar Mabuk. Sementara yang dipandang hanya
gumamkan nama itu sambil kerutkan dahi, merasa asing dengan nama tersebut.
Demikian pula hal yang dialami oleh Dewa Racun dan Hantu Laut.
Dayang Kesumat bahkan ucapkan
kata, "Hantu Laut ada denganmu, Suto! Itu tandanya kau buka tantangan adu
nyawa dengan Siluman Tujuh Nyawa!"
"Kau mengenal Hantu Laut
juga, rupanya? Hmm... lantas mengapa kau berkata begitu jika Hantu Laut ada
padaku?"
"Dia sedang dalam ancaman
mati oleh Siluman Tujuh Nyawa. Sang Ketua sudah tahu Hantu Laut mau membunuh
dia dengan tombak pusaka!"
"Tap... tapi...
tapi aku sekarang sudah tidak
mengancam mau membunuh dia lagi, Nona! Ak... aku sudah tidak punya tombak
pusaka itu dan... dan...!"
"Itu masalahmu!"
sahut Dayang Kesumat, lalu sunggingkan senyum tipis melihat Hantu Laut cemas.
Kembali ia menyambung.
"Yang ingin kutahu kini,
di mana temanmu Dadung
Amuk?! Aku akan mencabut
nyawanya cepat-cepat!" "Da... Da... Dadung Amuk sudah mati!"
sahut Dewa
Racun.
"Omong kosong!" Dayang Kesumat sedikit menggeram dan mulai
tampak sikap permusuhannya. Dewa Racun berbisik kepada Suto,
"Dddii... dia bersikap
tak bersahabat dengan kita."
Rupanya Dayang Kesumat
mendengar bisikan itu dan ia menjawab,
"Memang! Yang kutahu,
Hantu Laut sekongkol
dengan Dadung Amuk untuk
melawan Siluman Tujuh Nyawa. Jika Dadung Amuk tidak ada di sini, itu tandanya
kalian menyembunyikan Dadung Amuk. Hantu Laut pasti tahu di mana Dadung Amuk
belada!"
"Sum... sumpah! Dadung
Amuk sudah mati, Nona!" kata Hantu Laut agak ngotot. "Kami temukan
mayatnya mengapung di laut sebelah sana!"
"Aku bukan bocah bodoh!
Dadung Amuk lebih tinggi ilmunya ketimbang kamu, Hantu Laut! Tak mungkin dia
mati, sedangkan kamu masih hidup! Itu sebabnya aku tadi menyedot kekuatan
kalian supaya datang ke sini, sebab kusangka kalian belsama Dadung Amuk!"
Suto segera
bicara setelah meneguk tuaknya, "Dayang Kesumat,
kami sudah tolong kamu dari lukamu, jadi tak perlu ada perselisihan tanpa arti
di antara kita!"
"Hantu Laut pasti mau
sebutkan di mana Dadung Amuk belada. Kalau tak mau sebutkan, mulutnya akan
kupaksa bicala dengan pedangku!"
"Mulutnya akan kau
apakan?" pancing Pendekar
Mabuk.
"Akan kupaksa bicala
dengan pedangku!" sentak Dayang Kesumat. Tapi Suto dan Dewa Racun saling
memandang. Lalu Suto bergumam,
"Bicala...?!"
"Mmmung... mungkin
maksudnya bicara!"
"Ya, aku tahu. Tapi
mengapa dia bilang bicala dua kali?!"
Dayang Kesumat cepat serukan
kata, "Hantu Laut,
katakan di mana Dadung Amuk
belada?!"
"Aku sudah katakan tadi,
Dayang Kesumat!"
"Katakan yang sebenalnya!" bentak
Dayang
Kesumat.
Hantu Laut kebingungan, ia
memandang ke arah Pendekar Mabuk, tapi waktu itu Pendekar Mabuk dan Dewa Racun
sedang kasak-kusuk.
"Sebenalnya! Maksudnya,
sebenalnya!"
"Diii... dia... dia
ternyata cadel! Tak bisa sebutkan huruf 'R'."
"Tapi mengapa baru
sekarang dia cadel? Sejak tadi bicaranya lancar-lancar saja."
"Kar... kar... karena
omongannya sejak tadi tidak
memakai huruf 'R'. Dia bisa hindari
huruf 'R', sehingga tak kelihatan cadelnya!"
"Tunggu, aku sepertinya
pernah bertemu dengan tokoh cadel. Hmmm... kalau tak salah ingatanku, Peri
Malam pernah punya guru yang cadel bicaranya, yaitu Mawar Hitam. Penguasa Pulau
Hantu! Tapi... dia tidak secantik dan semuda ini, Dewa Racun!"
Dayang Kesumat mendengar
kasak-kusuk itu, lalu ia serukan kata,
"Ya. Telnyata ingatanmu
masih tajam, Pendekat
Mabuk! Akulah si Mawal Hitam
dali Pulau Hantu!" Terkejut Suto mendengar pengakuan itu. Terpana ia
tatap wajah cantik yang sulit
dipercaya pengakuannya
itu. Tapi Dewa Racun cepat
ucapkan kata, "Kkka... kkka... kakkk... kal."
"Kalang kabut?!"
sentak Pendekar Mabuk.
"Bukan! Kal... kalau
begitu, kau telah kuasai ilmu
'Rias Renggana', Dayang
Kesumat?! Aku tahu ilmu 'Rias Renggana' bisa membuat wajah tua menjadi cantik
jelita seperti kau sekarang!"
"Bukan hanya ilmu 'Lias
Lenggana' yang kukuasai, melainkan kugunakan pula ilmu 'Selap Kawekas' untuk
menyedot semua ilmu olang-olang sakti, hingga bisa kumiliki dalam waktu singkat
dan cepat, tanpa susah payah menempuhnya dengan latihan. Ha ha ha...!"
Tawa itu memberi kesempatan
bagi Suto untuk membatin kata, "Luar biasa perubahannya! Kalau saja
bicaranya tidak cadel, aku tidak mungkin bisa tahu bahwa dia adalah si Mawar
Hitam, musuh bebuyutan dari Bibi Guru Bidadari Jalang!"
Dewa Racun bisikkan kata
kepada Pendekar Mabuk, "Ber... ber... berbahaya! Dia sudah kuasai ilmu
'Serap Kawekas'!"
"Apa itu ilmu 'Serap
Kawekas'?" tanya Hantu Laut yang mendengarnya.
"Sebuah ilmu yang dipakai
untuk menyerap ilmu milik orang lain, sehingga ilmu milik orang lain itu
menjadi miliknya, dan... dan... orang itu kehilangan semua ilmunya. Berr...
berr... berarti di dalam dirinya banyak tersimpan ilmu milik orang-orang sakti
yang nyaris mati. Sebelum mati diserapnya ilmu oor... orang itu!"
"Hantu Laut!" seru
Dayang Kesumat. "Aku tak punya kesabalan lagi menunggu pelundingan kalian!
Akan kupaksa mulutmu membeli tahu di mana Dadung Amuk belada! Heaaah...!"
"Tahan dulu!" cegah
Pendekar Mabuk tiba-tiba. "Ada sebuah kapal menuju kemari! Barangkali
Dadung Amuk ada di kapal itu!" Pendekar Mabuk sengaja mengulur waktu agar
tidak terjadi bentrokan antara dirinya dengan Dayang Kesumat.
Tapi memang benar, ada sebuah
kapal bergerak merapat ke pantai Pulau Padang Peluh itu. Beberapa
orang-orangnya turun menyerbu ke pantai. Wajah mereka tampak buas dan tidak
bersahabat.
*
* *
8
KAPAL berbendera naga itu
ternyata dalam sebuah kejaran perahu berlayar hijau yang mempunyai gambar
tengkorak bermata rantai tujuh butir itu. Hantu Laut mengenali perahu berlayar
hijau itu sebagai perahu milik Dadung Amuk. Ia sempat menjadi takut, karena menurutnya
Dadung Amuk sudah ditemukan dalam keadaan mati dan mayatnya mengambang di
lautan lepas. Tapi mengapa sekarang perahunya bisa mengejar kapal besar milik
Bajak Naga?
Suto Sinting segera
perintahkan Dewa Racun dan Hantu Laut untuk sembunyikan diri. Ternyata Dayang
Kesumat ikut pula sembunyikan diri, setelah dia tahu
kapal Bajak Naga sedang dalam
pengejaran perahunya Dadung Amuk. Ia mengincar Dadung Amuk, tapi juga
membiarkan terjadi pertempuran antara kedua awak kapal tersebut.
Si Tua Rakus tampak melompat
tinggalkan kapalnya, melewati pundak demi pundak anak buahnya yang berlarian ke
pantai. Rupanya Wisoguno telah berhasil menyembuhkan luka pukulan dalam Tua
Rakus, sehingga manusia yang bermata satu itu dapat bergerak dengan
lincah. Dari sekian banyak anak buahnya, tinggal sepuluh orang yang tersisa.
Dan kesepuluh orang itu pun sedang dalam pelariannya untuk menghindari maut
yang mengancam atau karena suatu hal lain.
"Pancing mereka supaya
bergerak ke pulau ini!" teriak si Tua Rakus kepada anak buahnya yang masih
tertinggal di dekat kapal.
"Saya mau serang mereka
dari atas menara intai, Yang Mulia!" kata Raja Tebas.
"Jangan bodoh kau! Bisa
rusak kapal kita oleh serangan balik dari mereka! Cepat giring mereka kemari,
supaya kapal kita tidak rusak seperti tempo hari!"
Rupanya si Tua Rakus bukan
lari karena takut serangan musuhnya, melainkan sengaja memancing pertarungan di
daratan supaya kapalnya tidak ikut rusak akibat pertarungan mereka. Tetapi
agaknya musuh Tua Rakus itu tidak bodoh seperti dugaan si Tua Rakus. Sebelum
mereka mencapai pantai, lebih dulu mereka menggempur kapal Bajak Naga itu
dengan kekuatan tenaga dalam hingga tiang layar patah dan tumbang
menghancurkan geladak. Lambung
kapal dihantam pula dengan kekuatan tenaga dalam yang cukup dahsyat hingga
kapal menjadi bolong. Bunyi ledakan dan percikan api berkali-kali datang dari
kapal Bajak Naga, hingga akhirnya kapal itu sendiri meledak terbakar oleh satu
pukulan yang maha hebat.
"Bangsat kurap!"
teriak si Tua Rakus. "Hancurkan kembali perahu mereka! Kita bisa lari
memakai perahu yang ada di sebelah sana!" sambil Tua Rakus menuding
perahu milik Suto yang
ditambatkan jauh dari tempatnya. Dan di sana, di balik gundukan
batu-batu serta bukit cadas tak seberapa tinggi, Pendekar Mabuk serta kedua
sahabatnya bersembunyi memperhatikan pertarungan tersebut. Dayang Kesumat
berada tak jauh dari mereka, antara tujuh langkah di samping kanan Pendekar
Mabuk.
Anak buah Tua Rakus bermaksud
menghancurkan perahu layar hijau, tetapi usaha mereka selalu dapat digagalkan.
Dan satu hal yang membuat Dewa Racun, Hantu Laut, serta Suto Sinting
terheran-he-ran adalah kemunculan lawan Tua Rakus dari perahu layar hijau.
Ternyata bukan sosok Dadung Amuk seperti dugaan Hantu Laut, melainkan dua anak
muda kembar rupa, yaitu Doma Damu. Mereka menggunakan perahu milik Dadung Amuk
dalam perjalanan menuju Pulau Beliung. Tetapi bertemu dengan kapal Bajak Naga
di perjalanan dan terjadilah pertempuran itu, sebab kapal Bajak Naga memang
bermusuhan dengan kapal Siluman Tujuh Nyawa. Entah apa yang menyulut api
pertarungan lebih
dulu, yang jelas mereka
bertarung dengan sengit, walau dengan jumlah tak seimbang, dua melawan lebih
dari sepuluh.
"Siapa dua anak kembar
itu?" tanya Pendekar Mabuk kepada Dewa Racun. Tetapi, Hantu Laut yang
segera beri jawaban,
"Mereka Doma dan Damu,
pengawal pribadi sang ketua yang ilmunya paling tinggi dari sekian banyak anak
buah sang ketua. Tapak Baja pun takut jika berhadapan dengan kedua anak kembar
itu!"
Dalam hati
Pendekar Mabuk membenarkan keterangan Hantu Laut. Karena
dengan mata kepalanya sendiri Pendekar Mabuk melihat gerakan Doma dan Damu
begitu cepat dan gesit, pukulannya tak ada yang lolos dari sasaran. Sekali
pukul pasti mengenai lawan dan lawan pasti mati seketika. Tak heran jika Doma
dan Damu dijadikan pengawal pribadi Siluman Tujuh Nyawa yang dihormati dan
disegani anak buah lainnya.
Dalam waktu singkat
pertarungan di pantai itu membuat enam anak buah si Tua Rakus terkapar tanpa
nyawa. Tinggal beberapa gelintir anak buah Tua Rakus yang punya ilmu cukup
lumayan dibandingkan yang sudah lebih dulu mati itu.
Raja Tebas mengamuk dengan
ilmu pedangnya yang punya kecepatan tebas melebihi kilatan cahaya petir. Tetapi
sayangnya kedua lawan cukup gesit dalam bergerak sehingga sulit ditebas
tubuhnya. Apalagi dari mulut Doma dan Damu selalu menyemburkan nyala api bagai
semburan gunung murka, Raja Tebas dan yang
lainnya sering dibuat terdesak.
Dalam satu kesempatan baik,
Tua Rakus sempat kirimkan pukulan 'Sinar Naga Birawa' dari matanya yang
tertutup itu, dan sinar biru melesat cepat ke arah Damu. Zuuttt...! Debb...!
Sinar biru itu tepat mengenai tengkuk kepala Damu. Anak muda berpakaian rompi
merah itu tersentak melengkung ke depan dan akhirnya rubuh dalam sekejap.
Sementara itu, Doma masih menyerang Wisoguno menggunakan pukulan jarak jauhnya.
Wisoguno berhasil menghindari serangan sinar kuning dari Doma, tapi seorang
anak buah lainnya yang berdiri di belakang Wisoguno menjadi sasaran berikut.
Sinar itu memecahkan isi perut orang yang sedang berdiri di belakang Wisoguno
itu.
"Hancurkan dia! Tinggal
satu, hancurkan dia!" teriak Tua Rakus dengan garangnya, penuh nafsu untuk
membunuh Doma.
Tetapi pada kejap lain, Doma
sempat menyerang Raja Tebas dengan menggunakan Cermin Benggala Kembar itu. Dua
hal terjadi dengan sangat mengejutkan bagi mata para penonton gelapnya itu.
Sebuah lompatan Doma di atas
tubuh Damu telah membuat Damu yang mati menjadi hidup kembali. Senjata cermin Doma mengeluarkan sinar putih menyilaukan, melesat ke arah Raja
Tebas. Dengan kegesitannya Raja Tebas bersalto ke samping kanannya, membuat
sinar itu menghantam nakhoda kapal Bajak Naga yang dikenal dengan nama Wiloka.
Wettt...! Sreppp...!
Wisoka tersentak diam tak bergerak. Kejap selanjutnya, tubuhnya jatuh
menjadi serpihan-serpihan tanpa bentuk lagi. Prolll...! Wujud dari Wiloka
hilang, yang ada hanya gundukan daging-daging kecil dari tubuh yang hancur itu.
Hantu Laut terbelalak lebar
matanya dengan perasaan ngeri
di hatinya. Sementara itu, Dewa Racun terbengong-bengong
memperhatikan Damu yang mati menjadi hidup kembali. Bahkan dalam pertarungan
berikutnya, Doma berhasil ditebas punggungnya oleh pedang andalan Raja Tebas.
Punggung itu koyak besar, menyemburkan darah. Doma jatuh tersungkur dan diam
untuk selamanya. Melihat Doma mati, Damu cepat melangkahi mayat Doma. Lalu,
kejap selanjutnya Doma telah bangun kembali. Hidup dengan lebih ganas dan
segera menyerang Wisoguno yang ada di depannya.
"Or... or... orang itu
bisa hidup lagi dengan luka menjadi rapat kembali?!" gumam Dewa Racun
terheran- heran. Hantu Laut berkata,
"Itulah kehebatan Doma
dan Damu. Si Kembar itu sulit dibunuh. Jika yang satu mati, maka yang satunya
segera berusaha melangkahi mayat saudaranya. Dan mayat yang dilangkahinya itu
akan hidup kembali. Berapa kali pun mereka mati, jika masih saling melangkahi
akan bisa hidup kembali!"
Pendekar Mabuk menggumam,
"Ilmu 'Bayang- bayang
Hantu' itu namanya."
"Ya, benar," jawab
Hantu Laut. "Dan hanya Doma dan Damu yang mempunyainya."
Sekarang kedua anak kembar itu
sama-sama sudah menggenggam cermin bertangkai yang bentuknya seperti bola kaca
itu. Dewa Racun yang merasa heran segera bertanya kepada Hantu Laut,
"Senjata apa yang mereka
pegang itu?"
Tapi yang menyahut Dayang
Kesumat, sepertinya ia bicara kepada diri sendiri, bukan kepada Dewa Racun.
"Celmin Benggala
Kembal...?!"
"Betul," kata Hantu
Laut kepada Dewa Racun, "Mereka dijamin tak akan sabar!"
Dewa Racun kerutkan dahi,
"Apa hubungannya omonganmu
de... de... dengan jawaban Dayang Kesumat? Dia bilang
Cermin Benggala Kembar! Bukan bicara tak sabar!"
"O, kalau begitu aku
salah dengar. Tapi memang benar, senjata itu bernama Cermin Benggala Kembar,
milik Siluman Tujuh Nyawa. Biasanya, jika seorang utusan pergi dengan dibekali
pusaka dari sang ketua, itu berarti utusan tersebut tak boleh pulang tanpa
membawa hasil. Dia hanya boleh pulang dengan membawa hasil, jika tidak punya
hasil, dia boleh pulang raganya saja! Nyawanya harus cepat pergi tinggalkan raga!"
"Kkka... kalau begitu,
Doma Damu dapat tugas yang amat penting sekarang ini, sehingga dibekali pusaka
tersebut?"
"Ya. Mestinya begitu.
Tapi tugas sepenting apakah sampai Doma dan Damu dibekali pusaka seperti itu?
Dengan dibekali pusaka saja, sudah menandakan ciri yang amat penting dari tugas
yang diembannya, apalagi
sekarang yang turun tangan
adalah Doma Damu sendiri, itu berarti ada tugas yang maha penting dari seluruh
tugas lainnya!"
Percakapan mereka terhenti
karena melihat Doma semburkan api panas membara kepada salah seorang anak buah
Tua Rakus. Orang tersebut menjadi terbakar sekujur tubuhnya dan
berteriak-teriak kelimpungan. Walau sudah merendam dalam air laut, tapi nyala
api masih berkobar, ia akhirnya mati hangus seperti empat orang lainnya.
"Bah... bah... bahhh...
bahaya sekali! Bahaya sekali mulut kedua anak kembar itu!" kata Dewa Racun
entah kepada siapa.
Kini tinggal empat orang
berdiri menghadapi Doma dan Damu. Mereka adalah Raja Tebas, Wisoguno,
Dampu Samak, dan Tua Rakus sendiri. Mereka menghentikan pertarungan
sejenak, karena Tua Rakus serukan kata kepada ketiga orangnya yang tersisa,
"Mundur kalian!
Munduuur...!"
Tua Rakus berdiri di depan
ketiga anak buahnya yang tersisa itu. Doma Damu masih siap dengan senjata
pusaka Cermin Benggala Kembar. Cermin pemburu nyawa itu siap digunakan
sewaktu-waktu.
Terdengar Tua Rakus serukan
kata, "Doma Damu...! Sesungguhnya
aku malas turun
tangan dalam pertarungan ini!
Karena lawanku bukanlah kalian, melainkan Siluman Tujuh Nyawa! Tetapi, karena
kalian telah membantai habis anak buahku, terpaksa aku turun tangan menghadapi
kalian, kecuali jika kalian merasa
sudah puas dan mau pergi
tinggalkan kami! Kuberi kesempatan pada kalian untuk menghindari maut dari
tanganku!"
Damu yang menjawab, "Kami
akan tinggalkan kau, jika kau tinggal raga tanpa nyawa, Tua Rakus! Jangan
bermimpi dapat mengungguli kekuatan orang-orang dari Kapal Siluman!"
"Kekuatan tahi kucing
yang dimiliki Kapal Siluman!" geram Tua Rakus, lalu Damu menjawab,
"Buktinya kapalmu
sekarang hancur! Bukan lagi sebagai Kapal Bajak Naga, tapi Kapal Bajak
Cacing!"
"Grmrr...!" Tua
Rakus makin terbakar amarahnya,
sehingga ia cepat-cepat
sentakkan kedua tangannya ke arah perahu berlayar hijau itu. Kedua tangannya
mengeluarkan cahaya merah menyala bagaikan piringan yang melesat ke perahu
layar hijau.
Wuutttt...!
Tetapi Doma cepat sentakkan
Cermin Benggala Kembarnya
hingga mengeluarkan sinar
putih menyilaukan. Sinar putih itu melesat lebih cepat dari sinar merah
bagai piringan itu. Lalu, sinar tersebut menghantam sinar merah itu di udara.
Blarrr...! Terjadi ledakan
yang timbulkan gelombang angin
cukup kencang. Perahu layar hijau sempat terguncang sejenak.
Pada saat semua mata tertuju
pada benturan kedua sinar tadi, diam-diam Dampu Samak melemparkan pisau
terbangnya ke arah Damu. Wuttt...! Tetapi pisau itu segera ditangkis dengan
kibasan Cermin Benggala Kembar. Trringngng...! Pisau itu melesat ke arah lain.
Tapi Damu cepat sentakkan
Cermin Benggala Kembar di depan. Dari cermin itu keluar sinar merah yang
membuat Dampu Samak tersentak mundur, lalu tubuhnya tiba-tiba jatuh satu
persatu menjadi potongan tiap ruasnya. Telinga jatuh, jari jatuh, pergelangan
tangan jatuh, pangkal lengan pun jatuh, dan akhirnya Dampu Samak mati dalam
keadaan terpotong-potong menjadi banyak, termasuk kepalanya sendiri yang
menggelinding dalam keadaan mata tetap terbelalak kaget.
"Bangsat kau!"
bentak Raja Tebas. "Kau bunuh adikku dengan sekeji itu! Sekarang giliranmu
yang harus kubunuh, Babi Kurap! Heaah...!"
Raja Tebas sentakkan kaki dan
melesat terbang di udara dengan pedang siap menebas leher lawan. Tetapi dengan
gerakan gesit Damu segera bersalto ke belakang satu kali. Jlegg...! Kemudian ia
sentakkan Cermin Benggala Kembar ke arah Raja Tebas.
Zlaappp...!
Bagian lubang di tengah bola
kaca itu mengeluarkan semacam mata tombak yang pipih berwarna putih
mengkilap. Begitu cepat
gerakannya tak sempat dihindari Raja Tebas. Maka, leher kiri Raja Tebas
menjadi sasaran empuk senjata tersebut. Crapp...! Logam putih mengkilat itu
masuk terbenam habis di leher Raja Tebas.
Tua Rakus memandang Raja Tebas
yang berdiri dengan oleng dan tidak bisa bicara apa pun walau mulutnya telah
ternganga. Bahkan sekarang Raja Tebas berdiri dengan bersandarkan batu tinggi.
Tapi kejap
berikutnya tangannya menjadi
panjang, jari-jarinya mulur ke bawah bagaikan lem kental yang ingin jatuh.
Plukk...! Akhirnya jari-jemari itu jatuh ke tanah, dan tubuh Raja Tebas menjadi
lumer menjijikkan. Warnanya hitam kehijau-hijauan.
"Llu... luar... luar
biasa ganasnya Cermin Benggala Kembar itu," ucap Dewa Racun, entah siapa
yang diajaknya bicara.
Dengan matinya Raja Tebas,
kini kedudukan mereka menjadi seimbang. Dua melawan dua. Tua Rakus menghadapi
musuhnya dibantu dengan Wisoguno. Tapi Suto cepat berkata kepada Dewa Racun,
"Kasihan Tua Rakus.
Temannya yang satu itu tidak akan mampu bertahan satu jurus pun dari kesaktian
Doma Damu."
"Apakah kita akan
membantu Tua Rakus?" tanya
Hantu Laut.
Tiba-tiba Dayang Kesumat ucapkan kata, "Kulemukkan tengkolak
kepala kalian kalau ada yang membela meleka!"
Pendekar Mabuk palingkan
wajahnya kepada Dayang Kesumat,
"Maksudmu, kau keberatan jika kami membela Tua Rakus?"
"Sangat kebelatan jika
kalian membela salah satu pihak. Kedua pihak itu memang layak untuk hancul! Tua
Lakus tukang pelkosa, halus hancul, dan Doma Damu anak buah Siluman Tujuh
Nyawa, memang ada baiknya juga hancul! Jika dia tidak hancul, aku yang akan
hanculkan meleka! Dengan begitu kekuatan Siluman
Tujuh Nyawa akan semakin
belkulang! Suatu saat nanti akulah yang akan kuasai lautan utala ini!"
"Itu ulusanmu...!"
ledek Dewa Racun.
Merasa diledek dengan
ikut-ikutan cadel, Dayang Kesumat cepat meremas kelingkingnya sendiri.
Tiba-tiba Dewa Racun tersentak dengan kepala terdongak, suaranya tak bisa keluar, matanya
mendelik. Pendekar Mabuk segera tanggap bahwa Dewa Racun sedang dicekik oleh
Dayang Kesumat melalui gerakan tangan yang meremas itu. Takkk...!
Pendekar Mabuk tidak tinggal
diam. Lalu, ia sentilkan tangannya ke arah tangan yang meremas itu. Takkk...!
"Ahhg...!" Dayang
Kesumat tersentak dan terpekik lirih sambil melepaskan genggaman tangannya.
Lalu tangan itu dikibas-kibaskan karena terasa sangat sakit mendapat pukulan
'Jari Guntur' dari Pendekar Mabuk itu. Ia segera memandang Pendekar Mabuk
dengan cemberut.
Suto hanya ucapkan kata,
"Jangan coba-coba ganggu kami!"
Dayang Kesumat tidak ucapkan
kata apa pun. Ia kembali palingkan pandang ke arah pertarungan Doma, Damu, dan
Tua Rakus.
"Heaaat...!"
Wisoguno bersalto di udara sambil kibaskan senjata goloknya yang lebar itu.
Tapi Damu yang diserangnya bersalto mundur dua kali, kemudian dengan lutut
merendah satu ke tanah Damu sentakkan cerminnya dan dari cermin itu keluar
sinar hijau bertubi-
tubi. Hantaman terlihat jelas
ke tubuh Wisoguno. Sinar hijau
itu membungkus Wisoguno yang
telah mendaratkan kakinya di atas sebuah batu. Sinar hijau itu membuat
si Wisoguno tidak bisa bergerak maupun berteriak.
Kejap berikut, sinar hijau itu
lenyap. Tapi Wisoguno telah menjadi putih bagai diliputi salju. Salju itu makin
lama makin mencair bersama hilangnya bentuk wujud Wisoguno.
Di sisi lain, Tua Rakus
berhasil menghantamkan pukulannya ke arah dada Doma. Dada itu menjadi berasap
dan Doma jatuh dengan tubuh kejang-kejang. Sebelum menghembuskan napas terakhir, saudara kembarnya segera melompati tubuh
Doma.
Kejap lainnya, Doma kembali
bangkit berdiri dalam keadaan segar seperti semula, ia berdiri berdampingan
dengan Damu, siap menghadapi Tua Rakus. Saat itu, Damu berbisik,
"Serang dia
bersama!" "Baik...!"
Baru saja selesai bicara bisik
mereka, tiba-tiba Tua
Rakus membuka penutup matanya
dan sinar biru melesat ke arah perut mereka.
"Pergi kau ke neraka
sana, hiaaaah...!"
Suttt...! 'Sinar Naga Birawa'
menyerang berturut- turut. Tapi Doma Damu cepat sentakkan kaki mereka dan
melesat naik ke atas dengan cukup tinggi. Kedua cermin itu segera mereka adu di
udara. Trringngng...! Gemanya berdenging memenuhi pulau itu. Beradunya
dua cermin kembar itu
memancarkan sinar warna pelangi yang indah dipandang mata. Sinar itu melesat
tanpa putus-putus langsung mengenai tubuh Tua Rakus yang sempat berlari mundur
tiga tindak. Zzzrrubbb...!
"Aaaahhg...!" Masih
sempat terdengar suara pekik
Tua Rakus. Selanjutnya sepi.
Sinar pelangi itu hilang, yang
ada hanya kepulan asap membungkus Tua Rakus. Kepulan asap itu berwarna- warni.
Memang sangat indah menakjubkan dipandang mata, namun sangat berbahaya bagi
orang yang menerimanya.
Angin laut membawa pergi asap
tebal warna-warni itu. Dan segera terlihat nasib Tua Rakus yang diam, berdiri
sambil memegang penutup matanya yang tadi akan dibuka lagi namun tak sempat
itu. Tua Rakus berdiri dengan tegak dan kekar, tapi membuat Dewa Racun dan
Hantu Laut terperangah bengong melihatnya. Sebab, kulit Tua Rakus menjadi hitam
keabu-abuan.
Tua Rakus menjadi patung batu
untuk selama-
lamanya!
*
* *
9
"CERMIN Benggala Kembar,
merupakan sepasang pusaka yang amat berbahaya bagi orang-orang yang tidak tahu
cara mengatasinya. Bahkan Dayang Kesumat pun mengakui kehebatan pusaka itu,
terbukti dengan kagetnya wajah cantik jelita tersebut ketika melihat
Doma Damu mengeluarkan Cermin
Benggala Kembar.
Cermin itu bukan hanya
mengeluarkan sinar saja, namun juga memburu lawan ke mana pun dia lari. Itulah
bahaya cermin pusaka tersebut. Kalau cermin itu sinarnya tak bisa memburu,
pasti Tua Rakus terhindar dari maut yang membuatnya berubah menjadi batu. Karena
saat sinar pelangi yang melesat dari hasil perpaduan dua cermin itu, Tua Rakus
sudah melompat mundur beberapa tindak, namun masih saja terburu oleh sinar
pelangi maut itu.
Doma Damu
merasa sudah menyelesaikan
permusuhan besar selama ini antara pihak kapal Siluman Tujuh Nyawa dengan kapal
Bajak Naga. Mereka tampak cukup bangga dengan hasil pertarungan itu. Tetapi,
langkah mereka tertahan karena sesosok tubuh segera menyerangnya dari belakang.
Dengan dua tendangan sekaligus, Dayang Kesumat berhasil membuat Doma Damu
terguling ke depan dengan menggeragap.
"Bangsat!" geram
Doma yang berdiri lebih dulu. "Rupanya kau lagi yang cari perkara!"
"Pelkalaku belum selesai
dengan olangmu si Dadung
Amuk!" kata Dayang
Kesumat dengan mata indahnya yang pancarkan permusuhan. Sekali lagi ia ucapkan
kata, "Aku tahu, pelahu itu adalah pelahu layal hijau yang ditunggangi
oleh Dadung Amuk dali Pulau Hantu. Pasti Dadung Amuk kalian sembunyikan!
Selahkan dia, dan
selesai sudah pelkala
kita!"
"Dayang Kesumat," kata Doma
setelah ia meredamkan
kemarahannya akibat serangan tadi.
"Ketahuilah, bahwa orang
yang kau cari itu telah mati digantung oleh sang ketua di atas kapal
kami!"
"Omong kosong!"
"Tidak! Ini bukan omong
kosong!" sahut Damu. "Beberapa saat setelah kami berdua diutus untuk
mencari Dadung Amuk dan Hantu Laut, kami terpaksa kembali lagi ke kapal, karena
perahu yang kami pakai dalam keadaan bocor. Saat kami tiba kembali ke kapal,
ternyata sang ketua baru saja selesai menggantung Dadung Amuk. Dadung Amuk
datang sendiri ke kapal kami tanpa Hantu Laut. Lalu, kami pun segera pergi
kembali dengan menggunakan kapal milik Dadang Amuk, setelah kami melihat
sendiri mayat Dadung Amuk dibuang ke laut!"
Doma tambahkan kata, "Dan
ketika kami mengejar kapal Bajak Naga tadi, kami melihat mayat Dadung Amuk yang
masih terikat tubuhnya dan terapung-apung dibawa gelombang di perairan sebelah
timur pulau ini. Carilah sendiri dan kau akan temukan mayat itu!"
Dayang Kesumat diam sesaat,
menghubungkan pengakuan dua kembar itu dengan pengakuan Hantu Laut. Ia
menemukan titik kebenaran, mengingat Hantu Laut dan Suto tidak punya hubungan
dengan Doma Damu. Jadi tidak ada kesepakatan untuk sama-sama membual cerita
seperti itu.
"Sampai petang akan
kucali mayat itu. Jika tidak kutemukan, aku akan kembali temukan kalian untuk
menghanculkan mulut kalian!" ancam Dayang Kesumat, lalu cepat sentakkan
kaki pergi dengan mengendarai
pelepah daun kelapanya yang
sejak tadi ada di pasir pantai.
Mendengar kata-kata Doma Damu,
Hantu Laut
menjadi ciut nyalinya.
Walaupun dia mempunyai senjata yoyo sakti, yang bisa menggores tubuh lawan
dengan gerigi beracunnya, tapi dia merasa tidak akan bisa menghadapi Doma Damu.
Melihat wajah Hantu Laut pucat, Pendekar Mabuk pun segera berkata.
"Cepat kita tinggalkan
pulau ini! Setelah...."
Belum selesai Pendekar Mabuk
bicara Hantu Laut cepat-cepat tinggalkan tempat persembunyian, ia berlari
menuju perahunya. Padahal Suto bermaksud mengatakan akan pergi dari pulau itu
setelah Doma Damu tinggalkan pulau itu lebih dulu. Tapi rasa takut yang
meliputi diri Hantu Laut begitu besar, maka ia ingin menghindar lebih dulu dari
kedua temannya itu.
Dikarenakan dia lari di tempat
terbuka tanpa ada pohon membuat sepasang mata Damu melihat Hantu Laut menuju
perahu sebelah sana. Ia segera berkata,
"Doma, lihat...! Dia
Hantu Laut yang kita buru!"
"O, benar! Pucuk dicinta
ulam pun tiba. Tak perlu jauh-jauh memburunya, ternyata dia ada di sini!"
"Mungkin sedang mencari
tempat untuk perlindungan diri sewaktu-waktu ia terdesak oleh kita!"
"Cepat, kejar dia sebelum
mencapai perahunya!"
Hantu Laut semakin ketakutan
melihat Doma Damu mengejarnya. Dewa Racun menggeram gemas sambil pukulkan
tangannya ke paha.
"Bod...! Boood...! Bodoh!
Bodoh amat anak itu!"
"Cepat kita bertindak,
dia dalam bahaya!" kata Pendekar Mabuk sambil lebih dulu melesat, lalu
Dewa Racun menyusulnya.
Gerakan lari Doma Damu pun
cukup cepat. Dalam waktu singkat keduanya sudah sampai di belakang Hantu Laut.
Damu berseru,
"Berhenti! Atau kusembur
kau dengan 'Bromo Seribu
Api'!"
Mendengar jurus 'Bromo Seribu
Api' yang amat ganas itu disebutkan, Hantu Laut pun cepat hentikan langkahnya,
ia merasa tak akan mungkin bisa berlari jauh jika 'Bromo Seribu Api' itu telah
disemburkan. Karena sifat jurus 'Bromo Seribu Api' itu berupa gumpalan hawa
panas yang keluar dari mulut Doma Damu dan bersifat mengejar lawan sampai
dapat. Kabarnya, gumpalan hawa panas itu bisa mendidihkan baja dalam waktu dua
helaan napas.
Hantu Laut
balikkan badan, memaksakan
diri menghadapi Doma Damu. Ia sembunyikan rasa takutnya itu dengan
berkata,
"Untuk apa kau
mengejarku, Doma Damu?!" "Membunuhmu!"
"Membasuhku?"
"Membunuhmu, Tuli!" sentak
Doma Damu bersamaan. Itu pun
secara tak sengaja. Hantu Laut sebenarnya kaget, tapi ia bisa tahan diri.
Matanya melihat ada Dewa Racun berdiri lima belas langkah di belakang Doma
Damu. Hantu Laut menjadi lega, rasa takutnya terhenti, sebab Dewa Racun sudah
mulai
mengacungkan anak panahnya
yang siap lepas ke arah
Doma Damu.
Sementara itu, Suto berjalan
pelan sambil menenggak tuaknya dari arah kanan Doma Damu. Waktu itu Doma Damu
belum melihat Suto dan Dewa Racun, sehingga mereka tak tahu apa yang membuat
Hantu Laut berdiri tegar di depannya tanpa memegang Pusaka Tombak Maut.
"Siapa yang suruh kalian
membunuh aku?"
"Sang Ketua!" jawab Damu.
Lalu, Doma menambahkan.
"Tapi jika kau serahkan
Pusaka Tombak Maut, sang
ketua akan ampuni kamu!"
"Tidak ada tombak pusaka
di tanganku! Kau lihat sendiri!" Hantu Laut
menggembangkan kedua
tangannya.
"Kau pasti telah
sembunyikan Pusaka Tombak Maut itu!" geram Damu dengan tak sabar.
"Aku memang tidak
mempunyai tombak pusaka itu!" sanggah Hantu Laut.
"Bohong!"
"Dia bicara dengan
sebenarnya!" tiba-tiba Pendekar Mabuk menyahut. Doma Damu cepat palingkan
wajah ke kanan. Mereka memandang heran.
"Siapa kamu?!" tanya
Doma kepada Pendekar
Mabuk.
Hantu Laut yang menjawab
dengan rasa bangga, "Dia Pendekar Mabuk yang punya ilmu lebih tinggi dari
kalian berdua!"
"Betul apa kata Hantu
Laut itu?" tanya Damu kepada
Suto.
Suto menjawab dengan santai,
"Tidak. Ilmuku tidak lebih tinggi dari kalian. Hanya tak seimbang dengan
ilmu kalian!"
Panas hati Damu mendengar
jawaban merendah yang sebenarnya tinggi itu. Maka Damu pun segera ucapkan kata,
"Kuingatkan sebelumnya,
kau jangan ikut campur urusanku
dengan Hantu Laut! Kami
orang-orang Siluman Tujuh Nyawa!"
"O, mengerikan sekali
julukannya!" kata Pendekar Mabuk. "Dulu aku punya sapi juga kunamakan
Siluman Tujuh Nyawa!"
Semakin mendidih darah Doma
Damu mendengar ejekan halus dari mulut Pendekar Mabuk itu. Doma segera berkata
kepada saudaranya,
"Jangan hiraukan dia! Dia
pasti sedang mabuk! Desak saja Hantu gundul itu agar mau serahkan tombak pusaka
itu!"
Lalu, Damu segera membentak
Hantu Laut, "Kau pilih serahkan tombak itu, atau mati di tangan
kami?!"
"Makan jerami?!"
"Mati di tangan kami,
Budek!" bentak Doma.
"O, tentu saja aku tidak
pilih keduanya, karena aku memang tidak pegang tombak itu! Mintalah pada
Pendekar Mabuk!"
"Jangan alihkan persoalan antara kita!
Sudah kudengar kau mau bersekongkol dengan Dadung Amuk
untuk mengadakan pemberontakan
terhadap sang ketua! Sang ketua hanya kasih kamu kesempatan untuk mencabut
hukuman mati dengan menyerahkan tombak pusaka itu!"
"Sudah kukatakan berulang
kali, aku tidak punya!" bentak Hantu Laut dengan berani.
"Berani-beraninya kau
membentak kami, hah?!
Kurang ajar! Hiaah...!"
Damu melancarkan pukulan
tangan kanannya ke arah wajah Hantu Laut. Tapi oleh Hantu Laut ditepiskan dan
ia cepat mencabut senjata yoyonya. Serrr...! Trak...! Gerigi tajam keluar dari
tepian yoyo yang berputar dan melayang ke wajah Damu. Tapi Damu cepat mencabut
cermin, lalu dihantamnya yoyo tersebut dengan cermin itu. Trangng...!
Wurrsss...!
Tiba-tiba Doma menyemburkan napasnya yang berupa gumpalan api menyerang
Hantu Laut. Dengan cepat pula Pendekar Mabuk yang baru saja menenggak tuaknya
segera disemburkan ke arah api itu. Bruss...!
Sssrrrappp...! Jrrasss...!
Api padam seketika. Asap
mengepul, menyentak ke atas. Doma terperanjat melihat Suto ikut campur. Ia
menggeramkan kata,
"Apa boleh buat, kau pun
terpaksa kumusnahkan! Hiaaat...!"
Cermin Benggala Kembar sudah
ada di kedua orang kembar itu. Doma mau sentakkan cermin itu kepada Hantu Laut.
Tapi Dewa Racun mendului melepaskan
anak panahnya dari kejauhan.
Zuitt...! Jebb! Anak panah itu menancap di leher Doma. Padahal yang diincar
Dewa Racun adalah lengan Doma. Tapi karena gerakan Doma begitu cepat, sehingga
yang terkena justru lehernya. Padahal anak panah itu berbulu merah, pertanda
beracun ganas.
Doma pun
akhirnya rubuh dengan keadaan mengejang kaku, matanya
mendelik dengan mulut ternganga.
Cepat sekali wajahnya menjadi biru, walaupun sebelumnya
ia sudah sempat menarik anak panah yang menancap di lehernya. Dalam kejap
berikutnya, ia sudah tidak bernapas lagi. Tergeletak dalam jarak lima langkah
dari Hantu Laut. Tapi hanya tiga langkah dari belakang Damu.
Melihat saudaranya mati
membiru, Damu segera melompati mayat tersebut. Kejap selanjutnya, mayat Doma
mulai bergerak-gerak dan ia pun hidup kembali, kemudian sama-sama melompat
mundur untuk mengatur jarak dengan lawannya.
"Tahan semua
serangan!" seru Suto Sinting, baik ditujukan kepada kedua temannya maupun
kepada kedua lawannya. Ia bermaksud membicarakan masalah itu secara baik-baik,
tanpa melalui pertarungan.
Buat kedua teman Pendekar
Mabuk hal itu bisa diterima, tapi bagi kedua musuh kembarnya, hal itu tak bisa
diterima. Damu segera sentakkan cermin ke atas dan keluarkan sinar hijau ke
arah Suto, sedangkan Doma juga sentakkan cerminnya ke atas dan memantulkan
sinar merah menyerang Pendekar Mabuk. Pendekar
Mabuk agak kebingungan
menghindarinya. Badannya limbung ke kanan dan ke kiri seperti orang mabuk. Tapi
dalam kejap berikutnya ia sudah terpental terbang ke atas dan bersalto dua kali
ke arah depan hingga melintasi kepala Hantu Laut. Dua sinar itu menghantam
batu, dan batu setinggi dua tombak itu hancur menjadi kepingan- kepingan salju.
"Cepat sembunyi!"
sentak Suto kepada Hantu Laut. Maka dengan lompatan kuatnya, Hantu Laut
mencapai celah dua batu besar. Pendekar Mabuk juga berseru kepada Doma Damu,
"Jangan serang aku! Aku
ingin bicara secara damai!" Damu berseru, "Tidak ada ampun bagi
penghalang
kami! Hiaaah...'"
Clappp...! Sinar hijau kembali
menyerang Pendekar Mabuk, tapi segera Pendekar Mabuk melimbungkan badannya
hingga nyaris jatuh, seperti orang mabuk kehilangan keseimbangannya. Namun
sebenarnya Suto menghadapkan bumbung tuaknya ke arah datangnya sinar hijau. Dan
sinar itu pun mengenai bumbung tuak, lalu membalik ke arah datangnya tadi
dengan lebih cepat dan lebih besar lagi.
Ssszzruuppp...!
Sinar hijau membungkus tubuh
Damu. Tubuh itu menjadi es yang beku, bagai patung manusia yang dilumuri salju.
"Damu...?!" Doma
berseru kaget melihat saudaranya menjadi patung es yang sebentar lagi mencair.
Maka, segera ia mendorong patung es itu dan melangkahinya.
Wusss...!
Warna putih pudar. Kini Damu
mulai tampak sebagai sosok manusia utuh. Kemudian bangkit dengan satu sentakan
kaki ringan dan berdiri kembali menghadap Pendekar Mabuk.
"Ha ha ha ha...! Kau tak
akan bisa membunuhku. Pendekar Mabuk! Lebih baik kau menyingkir dari urusan
ini, atau serahkan diri untuk kami penggal kepalamu!"
"Kalian salah anggapan.
Aku perlu meluruskan anggapan kalian!" kata Suto.
"Serang bersama! Jangan
kasih kesempatan hidup!"
kata Doma kepada saudara
kembarnya. Lalu, mereka sama-sama melesat naik dengan satu sentakan kaki
lembutnya, dan kedua Cermin Benggala Kembar itu diadukan di udara.
Trringngng...!
Zzzuesss...! Sinar pelangi
indah melesat menghantam Pendekar Mabuk. Dengan cepat Pendekar Mabuk melompat
ke udara dan bersalto hingga mencapai puncak batu tinggi. Tapi sinar pelangi
itu masih saja mengejarnya dengan berkelok ke arah Suto Sinting. Cepat-cepat
Pendekar Mabuk melompat dari batu ke batu yang lainnya.
Tiba di tempat datar, Pendekar Mabuk cepat mengambil bumbung tuaknya
dan dihadangkan ke arah datangnya sinar pelangi itu. Dubbb...! Blarrr...!
Sinar Pelangi menghantam
tabung bumbung tuak. Sinar itu tidak memantul balik seperti sinar lainnya jika
terkena bumbung tuak. Sinar itu pecah dan menimbulkan
ledakan yang membuat Pendekar
Mabuk terpental tujuh langkah jauhnya. Bumbung tuaknya terlepas dari tangan.
Dewa Racun tegang dan terkejut
melihat bumbung
lepas dari tangan Suto. Ia
cepat mengambil anak panahnya lagi untuk melancarkan serangan dari jauh.
Tetapi, niatnya itu terhenti, sebab ia melihat Doma Damu berlari bersamaan
memburu Pendekar Mabuk dan siap menyentakkan Cermin Benggala Kembar itu. Hanya
saja, gerakannya terlambat.
Suto sudah lebih dulu
sentakkan tangan kanannya yang bertato pedang kecil dan bintang itu. Tangan
kanan itu terbuka telapaknya, miring posisinya dengan jari merapat. Menyentak
ke depan dengan satu tekanan napas tertentu. Maka dari telapak tangan itu
melesatlah sinar emas yang membentuk pedang kecil berkecepatan tinggi. Sinar
emas itu melesat berturut-turut dan memecah menjadi dua jurusan. Satu ke arah
dada Doma, satu lagi menjurus ke arah Damu.
Jrabb jrab jrab jrab...!
Masing-masing lawannya
tertusuk pedang kecil berwarna emas. Itulah jurus 'Manggala' pemberian Ratu
Kartika Wangi, sebagai tanda kehormatan Pendekar Mabuk yang diangkat menjadi
Manggala Yudha Kinasih di Puri Gerbang Surgawi, yaitu istana di alam gaib.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").
Jurus 'Manggala' itu mengenai
Doma dan Damu. Kedua orang itu tidak segera rubuh. Pedang kecil-kecil berwarna
emas yang masuk ke dalam tubuh mereka
tidak membuat luka dan darah
mengucur. Mereka hanya diam memandang Suto dengan tidak berkedip dan tidak bergerak
sedikit pun.
Tapi ketika angin pantai
berhembus sedikit lebih kuat, tubuh mereka berhamburan dan akhirnya buyar.
Ternyata pada waktu mereka diam tak bergerak memandang Suto, mereka telah
menjadi debu yang sangat halus. Sehingga ketika angin pantai menyapunya, debu
itu pun beterbangan dan lari dari susunannya.
Hantu Laut tak habis rasa
herannya melihat jurus yang digunakan Pendekar Mabuk. Baru sekarang ia melihat
seseorang terkena pukulan maut menjadi habis tanpa sisa apa pun kecuali debu
yang sudah bertebaran ke mana-mana itu. Bahkan pusaka Cermin Benggala Kembar
yang sebagai cermin pemburu nyawa itu, ikut lenyap menjadi debu.
Pendekar Mabuk ucapkan kata
ketika Dewa Racun dan Hantu Laut mendekatinya,
"Aku sudah mengajak dia
untuk damai, tapi keduanya tidak mau damai, apa boleh buat dia kukirim ke alam
kedamaian abadi di sana!"
Hantu Laut hanya bisa pandangi
Suto tak berkedip dengan sejuta rasa kagum dan terheran-heran tiada habisnya.
Hanya dalam hatinya Hantu Laut membatin,
"Pendekar Mabuk ini benar-benar
sinting ilmunya...! Edan-edanan! Sulit aku mempercayai kenyataan ini!"
sambil ia melangkah mengikuti Pendekar Mabuk dan Dewa Racun menuju perahunya.
SELESAI