1
PENGEJARAN Pendekar Mabuk
terhadap lawan utamanya; Siluman Tujuh Nyawa, terhenti di Pantai Karang Hantu.
Dikatakan 'Karang Hantu' karena pantai itu mempunyai beberapa gugusan batu
karang yang tinggi-tinggi dan berbentuk menyerupai sosok hantu beraneka bentuk.
Ada yang mirip hantu merentangkan tangannya, ada yang mirip hantu hendak
terbang, ada puia yang mirip hantu sedang duduk santai.
Kalau saja tokoh sesat yang
paling terkutuk itu tidak melarikan diri, maka nama Siluman Tujuh Nyawa sudah
tidak akan ada lagi di permukaan bumi ini. Pendekar Mabuk hampir saja berhasil
tumbangkan Siluman Tujuh Nyawa dengan jurus 'Manggala'-nya. Tapi sayang, tokoh
terkutuk itu mampu hindari jurus maut itu dan segera melarikan diri, masuk ke alam
gaib. Pengejaran Suto Sinting si Pendekar Mabuk itu pun dilakukan hingga ke
alam gaib, namun dari alam tersebut ia melihat sesuatu yang terjadi di Pantai
Karang Hantu. Maka pengejaran itu pun akhirnya tertunda entah sampai kapan lagi
akan dilanjutkan.
"Sampai kapan pun dia
tetap akan menjadi buruanku. Cepat atau lambat, kepalamu harus kupenggal,
Durmala Sanca! Karena kepalamu itulah maskawin yang harus kuserahkan untuk
meminang calon istriku, Dyah Sariningrum, pujaan hati!" ujar Suto Sinting
dalam hati, sebagai janji sang Pendekar Mabuk yang tetap akan ditepati pada
suatu saat nanti.
Pemuda berambut lemas lurus
sepundak tanpa ikat kepala itu sengaja diam di atas gugusan karang berbentuk
seperti hantu sedang merangkak. Pemuda tampan berbaju coklat tanpa lengan
dengan celana putih kusam dan sabuk merah itu menyempatkan diri untuk menenggak
tuaknya beberapa teguk. Tuak itu ada di dalam bumbung bambu yang menjadi
senjata sakti baginya, karena itu ke mana saja bambu bumbung tuak selalu
dibawa-bawa dan menjadi ciri yang dikenali beberapa tokoh di rimba persilatan.
Mata bening yang sering
menawan hati setiap wanita itu memandang lurus ke arah pertarungan di Pantai
Karang Hantu. Pertarungan itu dilakukan oleh seorang wanita cantik yang usianya
sekitar dua puluh lima tahun, berkutang hijau muda dengan celana sebetis warna
hijau muda juga, dilapisi kain pembalut pinggul warna merah tua. Gadis berdada
montok menggoda hati lelaki itu dengan gesitnya menghajar seorang nenek tua
disanggul yang mengenakan jubah abu-abu. Nenek berambut putih disanggul
acak-acakan itu telah dibuat terjungkal dan berguling-guling oleh pukulan
tenaga dalam yang dilepaskan dari tangan si gadis berambut pendek sepundak
dengan bagian depan diponi rata.
Melihat sang nenek yang sudah
babak belur hingga keluarkan darah dari hidung dan mulutnya, Pendekar Mabuk
menjadi iba hati dan tak tega membiarkannya. Maka ketika gadis itu ingin
menghantamkan pukulan tenaga dalamnya yang telah membuat telapak tangannya
menjadi merah membara, Pendekar Mabuk cepat lakukan tindakan penyelamatan
terhadap nenek bungkuk yang diperkirakan sudah berusia delapan puluh tahun
lebih itu.
Dengan pergunakan jurus 'Gerak
Siluman' yang mempunyai kecepatan gerak melebihi anak panah itu, Pendekar Mabuk
menyambar sang nenek bagai elang menyambar anak ayam. Wuuut...! Weeess...!
Dalam sekejap sang nenek sudah
berpindah tempat, tujuh tombak di belakang gadis, berkutang hijau itu. Pendekar
Mabuk berdiri di samping sang nenek yang terpuruk bersimpuh dengan napas
tersengal-sengal menyedihkan. Sang gadis segera kebingungan mencari si nenek
yang disangka menghilang ditelan bumi. Pukulan tenaga dalam yang membuat
tangannya memancarkan warna merah membara itu diurungkan. Matanya mencari ke
sana-sini sampai akhirnya menemukan di mana musuhnya berada. Gadis itu tampak
terkesiap memandang kemunculan pemuda tampan bertubuh kekar, tegap, dan gagah.
"Tindakanmu keterlaluan,
Nona. Bukan aku ingin mencampuri urusanmu dengan nenek itu, tapi aku hanya
sekadar menyelamatkan pihak yang lemah," ujar Pendekar Mabuk mengajukan
alasan lebih dulu sebelum menerima tuduhan dari sang gadis.
Sambungnya lagi,
"Kulihat, nenek ini tidak mempunyai ilmu yang seimbang untuk melawanmu,
Nona. Kuharap kau mau hentikan murkamu dan membebaskan nenek ini!"
Gadis cantik berhidung bangir
itu sunggingkan senyum dengan pandangan mata berkesan nakal. Senyum tipisnya
itu sempat membuat hati Pendekar Mabuk berdesir. Dari bibirnya yang tampak
legit dan pulen itu terdengar suara datar mirip orang menggumam.
"Pancinganku mengenai sasaran!"
"Apa maksudmu berkata
demikian, Nona?!" "Ternyata benar apa kata orang. Dia sangat tampan
dan menggairahkan!"
"Maksudmu, nenek-ini
sangat menggairahkan?!" tanya Suto Sinting dengan bingung.
Tiba-tiba tubuh gadis itu
bagaikan meletus, menyemburkan segumpal asap tebal warna putih
bergulung-gulung. Buusss...! Beberapa kejap berikutnya, asap itu lenyap tersapu
angin pantai dan tubuh gadis itu pun sirna tanpa bekas dan tanpa sisa bayangan
sedikit pun. Pendekar Mabuk hanya tersentak kaget tanpa suara, namun wajahnya
kelihatan terperangah tegang memandangi lenyapnya si gadis cantik bertubuh
sekal menggemaskan tadi.
"Setan cantik dari mana
dia itu?" gumam hati Pendekar Mabuk.
Si murid sinting Gila Tuak itu
akhirnya lepaskan diri dari rasa kagumnya, ia segera perhatikan si nenek yang
makin lama badannya semakin melengkung ke depan dengan lemas, akhirnya
keningnya membentur tanah bagai orang bersujud. Nenek tua itu keluarkan suara
erangan kecil sebagai tanda bahwa ia sangat menderita sakit pada bagian
tubuhnya.
"Nek, minumlah tuakku ini
untuk sembuhkan luka- lukamu itu! Ayo, minumlah walau hanya seteguk saja,"
bujuk Suto Sinting sambil membangunkan nenek berjubah abu-abu itu.
Dengan bantuan Suto Sinting,
tuak pun tertuang ke mulut sang nenek. Beberapa teguk tuak ditelannya. Sisanya
disemburkan hingga mengenai wajah tampan si Pendekar Mabuk. Bwweerrs...!
"Sial! Kenapa kau
semburkan ke wajahku?!" Suto Sinting agak menyentak dengan bergerak
mundur, ia segera mengusap wajah dengan baju tanpa lengannya. Sang nenek
terkekeh-kekeh melihat Suto Sinting basah wajahnya.
"Jangan-jangan yang
kutolong ini nenek gila?" pikir Pendekar Mabuk sambil mencoba
mengamat-amati nenek bungkuk itu.
"Tuakmu bikin
tenggorokanku gatal dan hatiku jadi tergeletik geli," ucap sang nenek
dengan suara tuanya.
"Tapi... tapi tuak ini
mempunyai khasiat menyembuhkan luka dalam waktu sangat singkat, Nek."
"Mungkin memang begitu,
Anak Muda. Tapi tanpa tuakmu pun aku sudah bisa sembuhkan lukaku menggunakan
hawa saktiku yang tidak kalah hebat dengan tuakmu, Nak."
Nenek itu telah berdiri walau
tetap membungkuk. Suto Sinting merasa dongkol karena tuak saktinya diremehkan.
Tapi kedongkolan itu hanya disimpan dalam hati dan ia bersikap tenang kembali.
"Siapa kau sebenarnya,
Nek? Dan siapa lawanmu tadi?"
"Lawanku tadi adalah Awan
Setangkai. Kau tak akan bisa kalahkan ilmunya Awan Setangkai, bahkan Pendekar
Mabuk pun tak akan mampu melawannya."
"Nek, aku inilah yang
bernama Pendekar Mabuk!" "Ah, bohong! Pendekar Mabuk kok jalannya tidak
sempoyongan?! Hmmm...
ngibul!" nenek itu mencibir menjengkelkan. Suto Sinting tarik napas
dalam-dalam.
"Pendekar Mabuk hanya
sebuah gelar yang diberikan oleh guruku. Jurus-jurusku seperti orang mabuk,
tapi aku tak pernah mabuk walau meminum segentong tuak ataupun arak."
"Omong kosong! Pendekar
Mabuk itu berjiwa mesra. Sedangkan kau tidak berjiwa mesra. Buktinya kau tak
mau memelukku."
Kata-kata itu cukup
menggelikan hati Suto Sinting. Pendekar tampan itu pun sunggingkan senyum
sambil berlagak buang muka. Hatinya malu dikatakan sebagai orang berjiwa mesra.
Tapi akhirnya ia pun berkata dengan lembut kepada si nenek, seakan menunjukkan
kemesraannya.
"Kalau kau masih muda,
mungkin kau akan kupeluk dan kucium, Nek. Tapi karena kau sudah tua, aku takut
terkena kutuk jika memeluk dan menciummu. Tapi sejujurnya kukatakan, akulah
Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang!"
Sang nenek memandang dengan
sikap kurang percaya. Suto Sinting masih diam, berdiri di depan nenek itu sambil mengumbar senyum tipis
yang memikat hati setiap perempuan muda.
Nenek itu hanya berkerut dahi, kemudian menyuruh Pendekar Mabuk berlutut di
depannya.
"Coba kemari, kuperiksa
ketampananmu. Sebab menurut kabar dari orang-orang yang kudengar, Pendekar
Mabuk itu berwajah tampan dan menawan."
Sambil berlutut di depan sang
nenek Suto Sinting berkata, "Apakah wajahku kurang tampan menurutmu,
Nek?"
"Mana kutahu, mataku
sudah rabun. Jadi sulit membedakan mana wajah tampan dan mana wajah buruk.
Hmmm...." Nenek itu manggut-manggut saat memeriksa wajah Pendekar Mabuk.
Tangannya yang kurus dan berkulit keriput itu meraba-raba wajah Suto Sinting.
Pendekar tampan itu berkata dalam sebuah gumam.
"Baru sekarang selama
jadi pendekar wajahku diobok-obok oleh perempuan seburuk ini "
Rupanya si nenek tidak
perhatikan ucapan yang menggumam itu. Atau mungkin juga ia tidak mendengar
gumaman lirih tersebut, sehingga kedua tangannya masih tetap sibuk meraba-raba
kepala dan wajah Suto Sinting.
"Apakah kau masih belum percaya
kalau wajahku ini tampan?" tanya Suto Sinting sengaja bernada konyol.
Sang nenek diam saja. Tetapi
secara tiba-tiba kesepuluh jari nenek bungkuk itu keluarkan kuku runcing
berwarna hitam. Zrraak...! Kesepuluh kuku runcing itu dengan cepat ditancapkan
di kedua pelipis Suto Sinting. Jrrraab. !
"Aaaah...!" Suto
Sinting memekik kesakitan. Bumbung tuak yang tadi ditentengnya kini dilepas.
Kedua tangannya digunakan untuk melepaskan cengkeraman tangan si nenek bungkuk
yang wajahnya berubah menjadi beringas dan liar itu. Matanya mendelik dengan
mulut meringis keluarkan geram memanjang.
"Gggrrmmrn. !!"
"Aaahhg...! Aaahhg
!"
Suto Sinting merasakan
kuku-kuku yang menancap di pelipisnya itu makin bergerak ke dalam seakan tumbuh
semakin panjang lagi. Wajah tampan itu mulai berlumur darah. Urat-urat di
lengannya mengeras karena berusaha mencabut kedua tangan nenek bungkuk itu.
Tapi agaknya tenaga Suto Sinting cepat menjadi lemah, sehingga ia hanya bisa
mengerang-erang sambil memegangi kedua tangan si nenek.
Pandangan mata Suto Sinting
mulai buram. Sekujur tubuhnya terasa panas. Tenaganya semakin terasa berkurang,
ia mulai menduga ada racun yang telah menyebar di dalam kepalanya melalui
kuku-kuku yang mencengkeramnya itu.
Wuuuut...! Brrruss...!
Sekelebat bayangan melesat dan
menerjang nenek berjubah abu-abu. Terjangan itu bertenaga besar, sehingga sang
nenek terpental dan jatuh berguling- guling di atas pasir pantai.
"Kampret busuk...!!"
maki sang nenek dengan geram kemarahan lebih membesar lagi.
Terjangan kuat itu ternyata
datang dari seorang pemuda berwajah tampan juga, mengenakan celana ungu dan
baju tanpa lengan warna ungu pula. Pemuda tampan itu berusia sekitar dua puluh
tahun, tampak lebih muda dari Pendekar Mabuk. Namun ia juga berbadan tegap dan
kekar. Rambutnya lurus dikuncir satu. Ia mengenakan gelang kulit macan loreng
di kedua tangannya. Pedang sarung perak terselip di pinggang. Bagian belakang
telapak tangannya terdapat tato gambar seekor burung mengepakkan sayapnya.
Pemuda itulah yang bernama Elang Samudera alias Adhiyaksa, adik dari Dewi
Cintani yang pernah diselamatkan Suto Sinting dari keganasan Selir Dewani,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Dendam Selir Malam").
Pendekar Mabuk belum menyadari
siapa orang yang telah berhasil melemparkan tubuh nenek keji itu. Ia sibuk kelojotan sambil pegangi luka lubang di
pelipis kanan-klrinya. Agaknya racun yang ada di sebuah kuku runcing si nenek
bungkuk tadi semakin mengganas di dalam tubuh Suto Sinting, menyebar melalui
darah dan menyerang bagian kepala, terutama bagian otak. Akibatnya ia tak mampu
berpikir lagi, bahkan tak mempunyai gagasan untuk mengambil bumbung tuak dan
menenggak tuak saktinya, ia hanya berguling-guling di pasir dengan mengerang
kesakitan.
Sementara itu, Elang Samudera
menjadi berang melihat sahabatnya dilukai sedemikian rupa. Nenek bungkuk itu
segera dihantam dengan pukulan tenaga dalam dari jarak lima langkah. Claaap...!
Sinar biru lurus melesat dari telapak tangan kiri Elang Samudera. Sasarannya
jelas ke arah dada si nenek bungkuk. Tetapi rupanya nenek itu tak kalah
tangkas, ia segera kibaskan tangannya dan dari kelima jari menyebarkan sinar
merah yang melebar. Sinar merah itu menjadi penangkis datangnya sinar biru.
Blaaap...! Blegaaarrr...!
Ledakan cukup dahsyat terjadi
akibat benturan kedua sinar tersebut. Gelombang ledakannya mempunyai daya
hentak cukup besar, membuat beberapa gugusan batu karang berguncang, bahkan ada
yang patah seketika, ombak pantai menyembur naik dan cukup tinggi.
Adhiyaksa sendiri terpental
bagai dilemparkan oleh sebuah tenaga yang sangat kuat. Tubuhnya jatuh
terbanting nyaris mengenai gugusan batu karang. Sedangkan nenek berjubah
abu-abu itu hanya terlempar sekitar dua langkah. Tubuhnya segera berdiri tegak,
dan tiba-tiba tubuh tua itu bagaikan meletus keluarkan asap hijau. Buuusss...!
Elang Samudera memandang
samar-samar dalam keadaan tengkurap. Asap hijau itu sirna dan sosok penampilan
nenek bungkuk itu berubah menjadi seorang gadis cantik berkutang hijau,
bercelana sebetis warna hijau pula dengan kain penutup pinggul warna merah.
Gadis itu berdada montok, berkulit kuning, berambut pendek diponi depan.
"Awan
Setangkai...?!" gumam hati Eiang Samudera yang rupanya sejak tadi
memperhatikan pertarungan si nenek dengan Awan Setangkai sampai datangnya Suto
Sinting, ia baru muncul setelah melihat Suto Sinting dalam keadaan bahaya.
"Kurasa tugasku sudah
cukup! Pendekar Mabuk sudah berhasil kulumpuhkan! Hi, hi, hi...!"
Blaaas...! Gadis cantik itu
pun pergi begitu saja. Elang Samudera tak bisa mengejarnya karena tulang-
tulangnya terasa remuk.
** *
2 SEBUAH pondok di lereng
bukit menjadi tempat persinggahan Elang Samudera. Ia membawa Suto Sinting ke
pondok itu, karena di situlah tempat tinggal Ki Palang Renggo dan istrinya;
Nyai Sedap Malam.
Ki Palang Renggo adalah
sahabat dari gurunya Elang Samudera. Lelaki berusia sekitar enam puluh tahun
yang gemar mengenakan jubah biru dengan baju dalam putih itu dulu pernah
diselamatkan nyawanya oleh Pendeta Darah Api, sehingga hubungan suami-istri itu
menjadi sangat akrab terhadap Pendeta Darah Api dan murid tunggalnya.
Ki Palang Renggo meski
berwajah jenaka, namun menyimpan kharisma tersendiri dalam setiap
penampilannya, ia berambut abu-abu sepanjang lewat pundak, mengenakan ikat
kepala kain biru tua, berjenggot dan berkumis abu-abu tipis. Lelaki kurus
dengan tinggi tubuh sedang itu mempunyai seorang istri cantik yang dikenal
dengan nama Nyai Sedap Malam.
Jika Pendekar Mabuk tidak
dalam keadaan terkena racun dan terganggu ingatannya, maka ia akan tertawa geli
melihat Ki Palang Renggo yang berusia enam puluh tahun itu mempunyai istri yang
usianya masih sekitar dua puluh tujuh tahun. Nyai Sedap Malam bukan saja
berwajah cantik dengan tahi lalat kecil di sudut dagu kirinya, tapi juga
bertubuh sekal dan berdada montok, ia gemar mengenakan jubah kuning garis-garis
merah dengan pinjung dan celana sebetis warna merah pula.
Sepasang suami-istri itu
mempunyai ilmu yang sejajar dan di
kalangan para tokoh rimba persilatan mereka dikenal sebagai ahli racun.
Sebenarnya tujuan Elang Samudera bukan ke pondoknya Ki Palang Renggo, melainkan
menemui seorang sahabatnya yang tinggal tak jauh dari Pantai Hantu. Tetapi demi
menyelamatkan jiwa Pendekar Mabuk, keperluan tersebut ditunda entah untuk
beberapa saat.
"Menurutku," ujar Ki
Palang Renggo,"... racun yang mengenai Pendekar Mabuk ini adalah racun
'Bayi Panggang', selain melumpuhkan semua urat juga melumpuhkan daya kerja otak
manusia. Dan racun seperti ini hanya dimiliki oleh orang-orang dari Selat
Bantai."
"Jangan ngomong
semba'angan, Renggo!" tukas istrinya yang bertampang cantik tapi judes.
Sambungnya lagi,
"Orang-orang Pulau Koyang
dan orang-orang Pegunungan Tibet juga mempunyai racun 'Bayi Panggang', hanya
saja namanya berbeda. Orang-orang Pegunungan Tibet menamakan racun itu adalah
racun 'Pucuk Pusar', karena penyembuhannya hanya bisa diiakukan dengan
menyalurkan hawa murni melalui pusar si penderita. Sedangkan orang-orang Pulau
Koyang menamakan racun itu racun 'Sawan Bayi', sebab bisa mengubah otak manusia
menjadi seperti bayi, artinya tidak bisa berbuat apa-apa."
"Jika begitu, sebaiknya
kita lakukan penyembuhan melalui pusar si Pendekar Mabuk ini. Tapi...," Ki
Palang Renggo termenung sebentar. Elang Samudera mengerutkan dahi dan ajukan
tanya dengan nada heran. "Tapi kenapa, Ki?"
"Seingatku... murid si
Gila Tuak ini tidak punya pusar."
"Menurut cerita
orang-orang memang begitu," timpal sang istri. Ki Palang Renggo menengok
ke arah istrinya dan berkata,
"Bagaimana jika meminjam
pusarmu saja, Sayang?" "Jaga bicaramu, Renggo!" sentak Nyai
Sedap Malam
dengan mata melotot. Sang
suami hanya tertawa terkekeh dan Elang Samudera sembunyikan senyum geli. Agaknya Nyai Sedap Malam tak pernah
punya rasa takut kepada suaminya, sehingga dalam bersikap pun ia tampak
seenaknya saja, seperti bersikap di depan teman sendiri. Namun walaupun Nyai
Sedap Malam lebih galak dari suaminya,
ia toh tetap saja ditaklukkan oleh sang suami. Buktinya si perempuan cantik itu
bisa menjadi istri Ki Palang Renggo dan punya rasa cemburu cukup besar.
"Setahuku," kata Ki
Palang Renggo, "... hanya ada satu cara untuk menawarkan kekuatan racun
'Bayi Panggang' ini, yaitu melalui jalan pusar. Tapi agaknya kali ini
penyembuhan tersebut tidak bisa dilakukan begitu saja, karena anak muda ini tidak
mempunyai pusar. Jadi aku tak tahu bagaimana harus bertindak menyelamatkan jiwa
si murid sintingnya Gila Tuak ini? Padahal Gila Tuak adalah sahabatku juga
"
"Dan aku kenal baik
dengan si Bidadari Jalang, bibi gurunya anak muda ini!" sahut Nyai Sedap
Malam.
"Rasa-rasanya tak enak
hati jika kita tidak bisa tolong jiwa anak muda ini, Sayang."
Setelah merenung beberapa
saat, Nyai Sedap Malam segera berkata bagai menemukan gagasan baru yang dapat
diandalkan.
"Mengapa kita tidak coba
menuangkan tuak ke mulut si Suto ini? Bukankah tuak di dalam bumbung sakti itu
adalah tuak penyembuh segala macam luka dan penyakit?"
Elang Samudera memandang ke
arah bumbung tuak yang memang dibawa serta ketika ia memanggul tubuh Pendekar
Mabuk dari Pantai Hantu itu. Elang Samudera pun segera berkata,
"Kurasa itu gagasan yang
sangat bagus, Nyai.
Sebaiknya kita coba sekarang
saja!"
"Nanti dulu!" cegah
Ki Palang Renggo. "Sebaiknya kucoba dulu, apakah tuak ini masih bisa
diminum atau sudah basi."
"Sudah, sudah!"
sergah Nyai Sedap Malam, merampas bumbung tuak yang sudah di tangan suaminya.
"Kau sudah berjanji tak akan minum tuak atau arak lagi jika aku mau
menjadi istrimu, Renggo! Mengapa sekarang kau ingin meminum tuak ini?! Mau
ingkar janji, ya? Mau berlagak lupa janjimu, hmm...?!"
Ki Palang Renggo hanya
cengar-cengir dan membiarkan bumbung tuak direbut istrinya.
"Aku sekadar mau
mencicipi saja kok. Tidak ingin ingkar janji," ujarnya bernada tersipu.
"Tidak! Nanti kau mabuk
lagi!" gertak sang istri.
"Ya, sudah kalau tidak
kau izinkan, Nyai," kata Ki Palang Renggo dengan sikap mengalah dan sabar,
namun tetap cengar-cengir sambil melirik Elang Samudera.
Suto Sinting masih dibaringkan
di atas balai-balai bambu beralaskan tikar pandan. Tubuhnya terkulai lemas
bagai tanpa daya sedikit pun. Tapi matanya masih bisa berkedip-kedip pertanda
ia masih bernyawa. Hanya saja luka tusukan kesepuluh kuku runcing yang kenai
kepalanya itu masih mengeluarkan darah walau hanya merembas, seperti gentong
retak terisi air. Suto mendengar semua kata-kata mereka, tapi ia tak bisa
menimpali sedikit pun. Ia benar-benar seperti bayi yang baru delapan hari.
Nyai Sedap Malam segera
menuangkan tuak ke mulut Pendekar Mabuk. Tetapi mulut itu tidak bisa terbuka
lebar, akibatnya tuak tumpah ke mana-mana. Mau tak mau Nyai Sedap Maiam
meminumkan tuak itu menggunakan sendok dari daun pisang. Dengan pelan- pelan
Nyai Sedap Malam menyuapi Suto Sinting hingga tuak pun tertelan sedikit demi
sedikit.
Ki Palang Renggo berbisik,
"Kalau melihat dia begitu, aku suka merasa iri. Sebab sampai setua ini aku
belum pernah disuapi olehnya seperti itu. Kadang aku heran, Elang... aku ini
suaminya atau mertuanya?"
"Kurasa Ki Palang Renggo
pantas menjadi suami merangkap mertua!" Lalu, mereka berdua cekikikan.
Nyai Sedap Malam memandang kesal, mendengus dengan wajah cemberut.
Sementara mereka cekikikan, di
luar rumah ada dua lelaki berbadan gemuk mendekati pondok tersebut. Kedua orang
berbadan gemuk itu sama-sama berwajah sangar. Salah satu dari mereka mengenakan
pakaian serba merah, dan yang satu lagi mengenakan pakaian serba hitam. Rupanya
ia dua saudara kembar yang mempunyai wajah serupa. Brewokan, rambut botak
depan, mata lebar berkesan ganas, dan sama-sama bersenjata pedang lebar. Di
tepian pedang itu terdapat gelang-gelang besi sebesar tiga biji. Gagang pedang
tersebut mempunyai hiasan di ujungnya berupa ronce- ronce benang merah, Kedua
pedang itu sama-sama berada dalam genggaman tangan masing-masing.
"Kurasa inilah gubuk si
Palang Renggo!" ujar si baju hitam dengan suara menggeram besar
"Kalau begitu tunggu apa
lagi! Robohkan saja gubuk itu!" si baju merah tampak tak sabar. Pandangan
matanya kelihatan semakin nanar dan pedangnya mulai siap ditebaskan ke segala
arah. Ketika ia hendak melangkah maju, saudara kembarnya yang berpakaian serba
hitam itu mencekal pundaknya hingga langkah pun tertahan di tempat.
"Tunggu dulu, Mayat
Bagus! Selidiki dulu keadaan pondok itu. Jangan-jangan si Palang Renggo
memasang jebakan di sekeliling rumahnya ini!"
"Ah, tak mungkin! Palang
Renggo tak secerdas itu! Percayalah, sekarang adalah saat terbaik untuk
merajang habis tubuh si Palang Renggo itu, Setan Sewu!"
"Kau boleh sepelekan otak
si Palang Renggo, tapi ingat... dia punya istri yang berotak cerdas! Mungkin
saja si Sedap Malam, istrinya itu, memasang jebakan maut di sekeliling rumahnya
ini! Sebaiknya kita panggil saja agar mereka keluar!"
Di dalam pondok kayu jati itu,
mereka sedang perhatikan perubahan pada luka di kepala Pendekar Mabuk. Luka
tersebut bergerak-gerak dan keluarkan asap kebiru-biruan. Semakin lama luka itu
tampak merapat dengan sendirinya, karena beberapa teguk tuak telah ditelan Suto
Sinting. Wajah Ki Palang Renggo dan Elang Samudera tampak ceria. Tapi Nyai
Sedap Malam tetap tanpa senyum dan kelihatan tenang-tenang saja. Matanya memandang
perubahan luka yang menjadi rapat dalam
waktu singkat dengan hati menggumam kagum.
"Sakti sekali kekuatan di
dalam tuaknya itu. Pantas jika sebagian orang menjulukinya si Tabib Darah
Tuak." Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh seruan Mayat
Bagus yang lantang dan bernada
murka itu.
"Palang Renggo! Keluar
kau! Kami datang untuk bikin perhitungan denganmu! Keluar kau, Palang
Renggo!"
Elang Samudera memandang Ki
Palang Renggo dengan wajah tegang. Suaranya terdengar bergetar saat ia ajukan
tanya,
"Siapa yang berseru di
luar itu, Ki?"
Nyai Sedap Malam yang
menjawab, "Si Kembar dari Teluk Pare!"
"Siapa itu si Kembar dari
Teluk Pare? Aku baru kali ini mendengar namanya, Nyai." "Dia
musuhku!" sahut Ki Palang Renggo setelah menarik napas panjang-panjang.
Wajahnya tampak beku dan pandangan matanya memancarkan permusuhan yang
terpendam.
"Biar kutemui saja
mereka!" ujar Nyai Sedap Malam. "Jangan! Mereka berurusan denganku
dan...," kata- kata Ki Palang Renggo terhenti karena istrinya cepat- cepat
melesat keluar rumah. Weeess..! Ki Palang Renggo justru kelihatan semakin
gusar. Maka ia pun segera bergegas keluar menyusul istrinya dengan
perasaan cemas.
Dua wajah brewok undurkan diri
selangkah melihat kemunculan Nyai Sedap Malam. Keduanya sama-sama mulai angkat
senjata dengan mata memancarkan dendam dan kebuasan. Nyai Sedap Malam hanya
diam di tempat dalam jarak lima langkah dari kedua lawannya. Mata perempuan
cantik itu pun tak kalah tajam dalam menatap dua tamunya.
Ki Palang Renggo segera tampil
mendampingi istrinya dengan wajah dingin, seakan tak berperasaan apa pun. Ia tampak tenang sekali
menghadapi kegarangan dua lawannya yang kemunculannya sudah diperkirakan
sebelumnya.
"Bagus! Kalian memang
lebih baik muncul berdua untuk menyambut kematian bersama," ucap si Mayat
Bagus mengawali permusuhan hari itu. Ki Palang Renggo hanya sunggingkan senyum
sinis, namun sebelum ia perdengarkan suaranya, sang istri lebih dulu bicara
ketus kepada Mayat Bagus dan si Setan Sewu, "Apa yang kalian kehendaki
dari kami, Iblis Kembar?!"
"Hutang nyawa harus
dibalas dengan nyawa!" geram si Setan Sewu. Sementara itu si Mayat Bagus
menimpalinya,
"Kami ingin merenggut
nyawa suamimu itu yang telah membuat perguruan kami hancur dan kehilangan nyawa
beberapa anggota kami! Jika kau ingin ikut ke neraka bersama arwah suamimu,
kami siap mengirimkanmu sekarang juga. Perempuan Ganjen!"
Ki Palang Renggo segera
berkata, "Sudah selayaknya perguruan sesat kalian itu hancur, bahkan bila
perlu menjadi lebur bagaikan debu. Jika kalian datang bermaksud untuk menebus
kehancuran perguruan itu, maka yang akan terjadi adalah kebalikannya. Kalian
akan kehilangan nyawa dan aku tak akan menyisakan secuil pun nyawa
kalian!"
"Jahanam kau!
Heeeeaah...!"
Setan Sewu lakukan lompatan
cepat menerjang Ki Palang Renggo. Pedang lebarnya ditebaskan ke arah kepala
tokoh tua itu, seakan ingin membelah kepala bagai membelah semangka. Wuuut...!
Kelebatan pedang lebar menimbulkan hembusan angin panas dalam sekejap. Tetapi
hal itu tidak membuat Ki Palang Renggo terpojok, karena sebelum kelebatan
pedang lebar itu datang, orang berambut campur uban itu telah melesat dari
tempatnya, ia lakukan lompatan cepat dengan hanya sentakkan jempol kakinya ke
tanah. Weess...!
Dalam kejap berikut, Ki Palang
Renggo sudah berada di belakang Setan Sewu. Ia berdiri tenang sambil
menggenggam tongkatnya yang berkepala burung garuda, ia masih kelihatan tidak
ingin lakukan serangan balik, sehingga sang lawan yang gagal membelah kepalanya
tampak semakin bernafsu untuk membunuhnya.
"Heeaat...!" Setan Sewu
bergerak lagi. Tetapi gerakannya tiba-tiba dipatahkan oleh pukulan tenaga dalam
jarak jauh yang dilepaskan dari tangan kiri Nyai Sedap Malam. Wuuut...!
Buuuhk...! Tubuh gemuk itu pun terlempar ke samping dan jatuh mirip nangka
busuk. Bluuuhk...!
"Bangsat! Kubeset wajah
ayumu itu, Perempuan Laknat! Heeah!"
Wuuut...! Mayat Bagus
menerjang Nyai Sedap Malam dengan pedang berkelebat ke sana-sini. Gerakan
pedang itu amat cepat, sehingga sukar ditangkis atau dihindari oleh Nyai Sedap
Malam.
Namun ketika itu pula, Ki
Palang Renggo segera sentakkan tongkatnya ke depan dalam keadaan masih tegak
lurus. Weet! Claap...! Dari mulut kepala tongkat yang berbentuk kepala burung
garuda itu keluar selarik sinar hijau bening yang berkerilap menghantam
pinggang Mayat Bagus.
Sluuubs...!
"Aaahg...!" Mayat
Bagus jatuh terbanting dengan kerasnya. Pinggangnya menjadi hangus, bajunya
terbakar, dan ia mengerang kesakitan tak bisa bangkit lagi. Wajahnya menjadi
pucat bagaikan kehabisan darah. Matanya yang lebar mendelik menyeramkan, seakan
sedang kesulitan merenggangkan nyawanya.
"Bajingan tengik!"
geram Setan Sewu melihat saudara kembarnya terancam kematian. Ia segera lakukan
lompatan bersalto yang melintasi kepala Nyai Sedap Malam. Wuk, wuk...!
Jleeg..! Kedua kakinya mendarat
dengan mantap di tanah samping si Setan Sewu. Ia segera meludahi Setan Sewu
secara sembarangan saja.
"Cuih...!"
Plok! Ludah itu mengenai
lengan Setan Sewu. Dalam kejap berikut, luka hangus di pinggang Setan Sewu
tampak mengering, mengepulkan asap tipis, lama-lama luka berlubang itu merapat
sendiri. Tubuh si Setan Sewu menjadi sehat, dan cepat bangkit dengan tenaga
siap tanding kembali.
"Heeeeaaat...!!"
Setan Sewu lakukan serangan
kembali, demikian juga halnya dengan si Mayat Bagus. Mereka bagai mempunyai
jatah sendiri-sendiri; Setan Sewu menyerang Ki Palang Renggo, sedangkan Mayat
Bagus menyerang Nyai Sedap Malam.
Pertarungan itu terjadi cukup
seru, karena si kembar dari Teluk Pare itu sulit ditumbangkan. Jika salah satu
terluka, yang satunya meludahi dan luka itu dapat lenyap dalam waktu beberapa
kejap kemudian tubuhnya sehat kembali.
Mereka menggunakan paduan
jurus kembar yang sangat membahayakan keselamatan jiwa sepasang suami-istri
itu. Tebasan pedang mereka beberapa kali nyaris merobek perut dan punggung
pasangan suami- istri tersebut. Tapi karena suami-istri itu juga mempunyai ilmu
yang sama-sama hebatnya, maka serangan si Kembar dari Teluk Pare itu selalu
dapat dihindari.
"Heeaat...!
Cuiih...!" Setan Sewu lakukan lompatan bagai terbang, sasarannya adalah
punggung Ki Palang Renggo. Tetapi sambil lakukan lompatan melayang begitu, ia
pun meludahi saudara kembarnya yang terkapar dalam keadaan dadanya hangus
akibat pukulan telapak tangan Nyai Sedap Malam. Ludah itu kenai kaki si Mayat
Bagus, sehingga luka bakar yang seharusnya telah menamatkan riwayatnya itu
menjadi lenyap dalam beberapa kejap. Mayat Bagus bangkit kembali dan lakukan
serangan kepada Nyai Sedap Malam.
Perempuan cantik itu terdesak
karena mendapat serangan dari dua arah. Akibatnya, sebuah tendangan bertenaga
dalam cukup tinggi mendarat di perutnya. Buuhk...! Tubuh Nyai Sedap Malam
terlempar tujuh langkah jauhnya dan membentur sebatang pohon. Brruks...!
"Oohk...!" Nyai
Sedap Malam semburkan darah segar dari mulutnya dalam keadaan jatuh tersimpuli
di bawah pohon itu.
"Heeeaat...!"
"Heeeaah...!"
Dua manusia kembar itu segera
lakukan lompatan bersalto mundur. Tahu-tahu mereka sudah tiba di samping
kanan-kiri Ki Palang Renggo yang sedang terhenyak memandangi istrinya terluka.
Sebelum Ki Palang Renggo lakukan gerakan, kedua tokoh aliran hitam dari Teluk
Pare itu sudah lebih dulu lepaskan jurus pedang yang mempunyai gerakan sama dan
seirama. Wuut, wuut..! Cear, breet...!
"Aahkk...!" Ki
Palang Renggo tersentak, tubuhnya mengejang dengan kedua lutut sedikit
terlipat, matanya mendelik dengan mulut ternganga menahan napas. Kedua pinggang
kanan kirinya robek terkena tebasan pedang kedua lawannya. Darah pun memercik
dari dua luka yang cukup dalam itu.
"Keparat kalian...!"
Ki Palang Renggo menggeram dengan menggenggam tongkatnya kuat-kuat. Ia masih
berusaha berdiri walau sebenarnya sudah tak mampu lagi.
"Renggooo...!" suara
berat itu datang dari mulut Nyai Sedap Malam, ia melihat suaminya terluka parah
dan sangat kecil harapannya untuk selamat. Maka ia pun mencoba untuk bangkit
dan melepaskan pukulan ke arah lawan, sebab ia mendengar suara Setan Sewu
berseru,
"Habisi saja orang
ini!"
Namun ternyata Nyai Sedap
Malam sudah kehilangan seluruh tenaganya akibat lukanya tadi. Ia nyaris tak
mampu mengangkat tangan dan lakukan pukulan jarak jauh. Ia hanya bisa melihat
suaminya terbungkuk- bungkuk menahan sakit, sementara Mayat Bagus telah
mengangkat pedangnya kertas, demikian juga si Setan Sewu.
"Heeeaat...!" Mayat Bagus menebaskan pedangnya ke leher Ki Palang
Renggo, sedangkan pedang Setan Sewu pun diayunkan ke arah punggung Ki Palang
Renggo.
Clap, clap...!
Dua sinar merah seperti
potongan besi sejengkal telah melesat menghantam kedua pedang si Kembar dari
Teluk Pare. Sinar merah itu datang dari dalam rumah, yang segera menimbulkan
suara ledakan cukup mengejutkan si pemilik pedang.
Duar, duaar...!
Prrak, prrak ..! Dua pedang
itu segera hancur menjadi kepingan-kepingan sebesar kancing baju. Mayat Bagus
dan Setan Sewu sama-sama terbelalak lebar melihat tangan mereka kini hanya
menggenggam gagang pedang saja. Kedua mata lebar itu segera memandang ke arah
rumah, dan dari rumah itu melompatlah sesosok tubuh kekar berpakaian ungu.
Wuuut...! Jleeg...!
Elang Samudera tampil dengan
gagahnya. Sinar merahnya tadi membuat ia menjadi lebih percaya diri bahwa kedua
orang brewok itu akan mampu ditumbangkan. Karenanya ia tak segan-segan
melangkah lebih dekat lagi sambil bersiap hadapi serangan balasan.
"Biadab kau! Serang anak
babi itu! Heeaat...!"
Setan Sewu menjadi amat murka.
Melihat saudara kembarnya sangat murka, si Mayat Bagus pun mengimbangi amukan
tersebut, sehingga keduanya sama-sama lepaskan pukulan bersinar biru dari
tangan kanan sambil lakukan lompatan ke depan.
Wuuut, wuuut...! Kedua sinar
biru itu mengarah ke dada Elang Samudera. Tetapi anak muda itu pun telah siap
dengan jurus simpanannya, ia merenggangkan kakinya dengan sedikit merendah,
kedua tangannya menyentak ke depan dan dari telapak, tangan itu keluar selarik
sinar merah besar yang segera beradu dengan kedua sinar biru dipertengahan
jarak mereka. Slap, slaap...!
Blegaar, blaaarr...!
Ledakan dahsyat menggema
mengguncangkan bumi. Beberapa pohon
menjadi bergetar dan
daunnya berguguran. Atap rumah pun
tersingkap karena hembusan gelombang
daya ledak yang begitu kuat itu. Bahkan dua pintu rumah jati itu sempat
tersentak keras hingga menimbulkan suara
gaduh yang semakin menyeramkan.
Bumi bagai diguncang gempa, hanya saja tanah tak sampai terbelah membentuk
celah mengerikan. Setan Sewu dan Mayat Bagus terlempar jauh berpisah arah.
Elang Samudera sendiri terlempar hingga tubuhnya menabrak dinding rumah. Mayat
Bagus terkapar di bawah pohon, dari
lubang hidung dan
telinga mengeluarkan darah
kental, sedangkan mulutnya memuntahkan
darah yang berwarna merah kehitam- hitaman.
Keadaan saudara kembarnya
lebih mengenaskan; tersangkut di salah satu dahan dalam keadaan kepala
berlumur darah karena benturan yang
amat kuat tadi.
"Mayat Bagus... ooh...
tolong aku!" ia mengerang di sela keheningan. Mayat Bagus tak menjawab
selain berkata, "Tinggalkan tempat ini secepatnya!"
Elang Samudera diam tak
bicara, karena tulangnya terasa patah semua akibat benturan kuat tadi. Tapi
pada saat itu, seseorang muncul dari dalam rumah. Dia adalah Pendekar Mabuk.
*
* *
3
KEDUA orang Teluk Pare itu
saling meludahi. Dengan saling meludahi, maka kekuatan sakti pada ludah itu
menjadi saling menyembuhkan luka. Setan Sewu merasa kali ini menghadapi
lawan yang berbahaya, karena mereka telah
kehilangan senjata. Langkah terbaik baginya adalah melarikan diri. Mundur
beberapa waktu untuk mengatur siasat kembali dalam menghadapi Elang Samudera.
"Yang penting Palang
Renggo pasti mati akibat tebasan pedang kita tadi," ujarnya kepada si
Mayat Bagus. "Soal anak muda itu, agaknya kita perlu menyusun siasat dan
mengatur kekuatan lagi. Kelak kita pasti akan balas kekalahan kita tadi."
"Bagaimana jika ternyata
si Palang Renggo tidak mati?"
"Tak mungkin! Dia pasti
mati karena kita telah memotong beberapa ususnya. Apakah kau tak melihat
potongan ususnya akibat tebasan pedangku tadi? Sayang sekali kalau kau tak
melihatnya, Mayat Bagus." Mayat Bagus diam saja, berusaha menghilangkan
kesangsiannya. Ia merasa belum puas jika belum betul- betul melihat Ki Palang
Renggo menjadi bangkai di depan matanya.
Kesangsian Mayat Bagus itu ada
benarnya, sebab setelah mereka pergi, Pendekar Mabuk muncul dari rumah itu.
Keadaan Suto Sinting telah sehat bagaikan
tak pernah terkena racun apa pun, ia bergegas menolong Ki Palang Renggo
dan Nyai Sedap Malam. Tuak saktinya itu berhasil selamatkan nyawa Ki Palang
Renggo, walau memakan waktu sampai menjelang sore. Nyai Sedap Malam dan Elang
Samudera pun terhindar dari luka setelah meminum tuak saktinya Suto Sinting.
"Aku akan menuntut balas
atas perlakuan mereka terhadapmu," ujar Nyai Sedap Malam kepada suaminya
yang tua itu.
"Tak perlu cari penyakit.
Biarlah mereka menganggap aku telah binasa. Biar hati mereka puas dan tak bikin
ulah lagi."
"Aku setuju dengan
pendapat Ki Palang Renggo," kata Suto Sinting. "Dendam tidak akan
membuat hidup kita tenang. Dendam hanya akan hadirkan petaka dalam perjalanan
hidup kita."
Nyai Sedap Malam agaknya tak
mau ngotot dengan pendapatnya, ia menarik napas panjang-panjang untuk mengatasi
gejolak dendamnya dalam hati.
"Apa kau juga punya
dendam dengan orang yang melukaimu?"
"Maksudmu, dendam
terhadap Awan Setangkai? Oh, tidak!" Pendekar Mabuk gelengkan kepala
sambil tersenyum tipis. "Aku tidak perlu menaruh dendam kepada siapa pun,
Ki. Aku hanya perlu tahu, mengapa Awan Setangkai mencelakaiku sedemikian rupa,
sedangkan aku belum pernah kenal dengannya, bertemu pun baru kali ini."
Bayangan saat mengamati
pertarungan seorang nenek dengan seorang gadis masih melekat dalam ingatan Suto
Sinting. Pertarungannya dengan nenek jelmaan Awan Setangkai juga masih lekat
dalam benak Suto. Tak heran jika di hati pemuda tampan itu pun timbul rasa
penasaran, ingin mengetahui apa maksud tindakan si Awan Setangkai itu.
"Jangan coba-coba mencari
tahu tentang Awan Setangkai dan orang-orang Selat Bantai," ujar Nyai Sedap
Malam. Kata-katanya yang datar itu diiringi dengan sorot pandangan mata yang
datar pula. Seakan ia bicara dalam renungannya dan ditujukan pada dirinya
sendiri. Tetapi Elang Samudera pun tahu bahwa kata- kata itu ditujukan untuk si
Pendekar Mabuk.
"Mengapa kau melarangku
begitu, Nyai?" tanya Suto Sinting setelah ia melirik Ki Palang Renggo, dan
pak tua itu pun diam merenung bagai menyimpan sesuatu yang dirahasiakan dalam
hatinya.
Pertanyaan Suto Sinting itu
tidak segera mendapat jawaban yang diharapkan. Nyai Sedap Malam hanya katupkan
bibirnya yang pulen dan tak bergerak bagaikan patung bernyawa.
Elang Samudera ikut penasaran,
sehingga ia pun akhirnya ajukan tanya kepada Nyai Sedap Malam dengan sikap
hati-hati.
"Mengapa kau tidak
menjawab pertanyaan Suto Sinting, Nyai? Ada apa di balik himbauanmu tadi? Aku
sama sekali tak mengerti tentang si Awan Setangkai itu, Nyai. Tolong jelaskan
pula untukku."
Nyai Sedap Malam angkat
wajahnya pelan-pelan. Pandangan matanya tertuju pada Elang Samudera yang
berdiri di depannya dalam jarak empat langkah. Pemuda yang bahu kirinya
bersandar pada dinding kayu jati itu mencoba menatapnya dengan penuh harap, ia
ingin sekali mendengar penjelasan yang dimaksud. Tapi tiba- tiba ada dua orang
berlari mendekati rumah tersebut.
Mereka bergegas keluar dan
menemukan seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya kurus
dengan wajah bermandi peluh. Lelaki itu mengenakan baju putih celana hitam,
tanpa membawa senjata apa pun. Rambutnya pendek dan penampilannya berkesan
polos. Dari peluh dan helaan napasnya yang memburu, ia tampak habis menempuh
perjalanan yang melelahkan. Ki Palang Renggo dan yang lainnya memandangi lelaki
itu dengan perasaan asing, sebab tak satu pun yang mengenal lelaki itu.
Setelah sedikit membungkuk
sebagai tanda menghormat, lelaki kurus itu berkata kepada Ki Palang Renggo,
"Maaf, Kek... bolehkah
aku meminta seteguk air untuk menghalau kehausanku ini?"
Pendekar Mabuk segera
menyahut, "Minumlah tuakku ini!" seraya menyodorkan bumbung tuaknya.
Tanpa sungkan lagi orang tersebut segera meraih bumbung tuak dan menenggak tuak
beberapa teguk, ia bagai tak peduli lagi dengan pandangan mata mereka yang
tertuju lekat-lekat kepadanya.
"Terima kasih,
Kisanak," ucapnya sambil mengembalikan bumbung tuak. Napasnya masih
terengah-engah, namun wajahnya muiai tampak berseri, tak sekering tadi.
"Siapa kau
sebenarnya?" tanya Ki Palang Renggo setelah orang itu diajaknya masuk ke
rumah.
"Namaku.... Bawana, dari
Pulau Dulang," jawab lelaki polos itu. "Tadi aku berpapasan dengan si
Kembar dari Teluk Pare. Aku takut dibunuh oleh mereka, karena orang Teluk Pare
tak suka dengan orang Pulau Dulang. Mereka mengenaliku sebagai orang Pulau
Dulang. Karenanya aku segera melarikan diri sebelum mereka bernafsu untuk
membunuhku."
"Mereka memang dari
sini!" sahut Elang Samudera. "Mereka habis kuhajar dan segera
melarikan diri. Jika tidak, si Kembar dari Teluk Pare itu sudah kehilangan
nyawanya."
"O, pantas mereka tak mau
mengejarku ketika mereka lihat aku menuju kemari, Nak."
"Kurasa kau bisa
lanjutkan perjalananmu," kata Nyai Sedap Malam dengan nada angkuh, walau
sebenarnya tak angkuh hatinya.
"Biarkan ia beristirahat
sebentar, Sayangku," ujar Ki Palang Renggo. Sang istri hanya menarik napas
bagai tak peduli keputusan sang tamu nantinya.
"Sebentar lagi petang
akan datang. Bolehkah aku numpang bermalam di pondokmu ini, Kek?" kata
Bawana, pancaran matanya menampakkan harapan yang berbinar-binar.
Ki Palang Renggo pandangi
istrinya sebentar, setelah melihat sang istri tidak menampakkan rasa tak suka,
Ki Palang Renggo pun menjawab pertanyaan tamunya.
"Kami tidak mempunyai
tempat tidur yang layak untuk seorang tamu, Tetapi jika kau mau tidur di
sembarang tempat, kami tak keberatan menampungmu semalam dua malam. Asalkan kau
tak boleh mengintipku jika aku nanti tidur dengan istriku."
Bawana tertawa pelan "Itu
tak mungkin kulakukan, Kek. Aku pergi dari Pulau Dulang bukan untuk berbuat tak
senonoh seperti itu, melainkan untuk suatu tujuan yang suci."
"Apa tujuanmu pergi dari
Pulau Dulang?" tanya Elang Samudera yang masih pandangi Bawana dengan
sorot pandangan mata bersifat menyelidik.
Bawana menatap Elang Samudera
dengan dahi sedikit berkerut.
"Apakah... apakah kau
yang berjuluk Pendekar Mabuk, Kisanak?"
Ki Palang Renggo dan Nyai
Sedap Malam segera lemparkan pandangan matanya ke arah Suto Sinting. Elang
Samudera pun melirik Suto Sinting beberapa saat, sementara Suto Sinting sendiri
menatap Bawana dengan pandangan bernada heran. "Mengapa kau menyangka
diriku Pendekar Ma buk?" tanya Elang Samudera setelah lebih mendekat lagi.
"Karena... karena
kepergianku dari Pulau Dulang memang untuk mencari Pendekar Mabuk. Aku ingin
bertemu dengan beliau."
"Untuk apa?" tukas
Suto Sinting.
"Aku ingin meminta
bantuan Pendekar Mabuk untuk membunuh raksasa keji di pulau kami."
"Raksasa...?!" gumam
Pendekar Mabuk sambil melirik Ki Palang Renggo. Lelaki tua itu pun akhirnya
berkata,
"Aku tahu letak Pulau
Dulang, walau aku belum pernah singgah ke sana. Tapi setahuku, di sana tak ada
raksasa. Kau jangan mengarang cerita yang bukan- bukan, Bawana!"
"Aku bicara yang
sesungguhnya, Kek. Raksasa itu berbentuk hantu. Hmmm... maksudku, tak bisa
dilihat seperti apa wujudnya. Dalam perjalanan mencari Pendekar Mabuk ini, semula
aku bersama tiga temanku. Tetapi ketiga temanku hilang satu persatu saat
melintasi hutan menuju pantai. Bahkan yang seorang lagi lenyap tanpa bangkai
ketika kami menyeberangi lautan. Aku bersyukur sekali, karena aku berhasil
lolos dari ancaman maut hantu raksasa itu dengan cara menyelam beberapa saat
lamanya di dalam lautan. Penyeberanganku itu akhirnya kulanjutkan dengan
berenang sampai ke pantai Karang Hantu."
Melihat kesungguhan pada wajah
Bawana, Suto Sinting merasa yakin dengan cerita tersebut. Elang Samudera juga
menilai bahwa Bawana bicara jujur sebagai orang yang selamat dari ancaman maut.
Sedangkan Nyai Sedap Malam bagaikan tak peduli sedikit pun dengan cerita itu.
Ki Palang Renggo tampak merenung dalam keragu-raguan.
"Apakah orang Pulau Dulang
tak ada yang mampu menangkap hantu raksasa itu?" tanya Suto Sinting
beberapa saat kemudian.
"Kami sudah mencobanya
berulang kali, Kisanak. Tetapi setiap kami mengirimkan utusan untuk menangkap
hantu raksasa itu, selalu saja utusan kami tak pernah kembali. Kami hanya bisa
menemukan mayat utusan kami yang telah dalam keadaan mengenaskan. Hantu Raksasa
itu kadang juga mendatangi desa kami dan merenggut korban beberapa penduduk.
Akhirnya desa kami hanya tinggal beberapa gelintir manusia saja yang masih hidup,
termasuk aku sendiri. Maka kami bersepakat untuk meminta bantuan Pendekar Mabuk
yang kesaktiannya terbawa angin sampai ke telinga orang-orang Pulau
Dulang."
"Akulah yang berjuluk
Pendekar Mabuk," kata Suto Sinting setelah mereka saling membisu tiga helaan
napas. Bawana tampak terkejut, matanya memandang Suto Sinting dengan tajam,
berkesan antara percaya dan tidak.
"Benarkah kau
orangnya?!" ucap Bawana dalam nada gumam.
"Apa yang membuatmu
sangsi?" tanya Nyai Sedap Malam secara di luar dugaan. Namun ia tetap
berdiri di depan jendela memandang ke arah luar, seakan menikmati senja yang
akan tiba itu. Mau tak mau Bawana pun menatap perempuan tersebut sambil berkata
pelan,
"Semuda inikah tokoh
sakti yang kondang itu?" "Apakah kau kira Pendekar Mabuk itu berusia
sebayaku?" ujar Ki Palang
Renggo. Bawana menjadi tersipu sendiri, dan mulai kikuk dalam bersikap di depan
Suto Sinting.
"Kusangka memang berusia
di atas lima puluh tahun," katanya. "Tapi jika kulihat ciri-ciri anak
muda ini; baju coklat tanpa lengan, celana putih, bumbung tuak, rambut panjang
dan wajah tampan... sepertinya memang dialah orang yang kucari-cari selama lima
hari ini."
Suto Sinting menarik napas,
melangkah dekati Nyai Sedap Malam, ia berkata dalam nada bisik, tapi Ki Palang
Renggo yang berada tak jauh darinya mendengar bisikan itu.
"Bagaimana menurut
pendapatmu, Nyai?"
"Aku tak percaya dengan
ceritanya. Baru sekarang kudengar ada hantu raksasa yang bergentayangan."
Ki Palang Renggo menyahut,
"Kurasa ia memang dalam kesulitan, tapi agaknya bukan karena hantu
raksasa."
Nyai Sedap Malam berkata lagi
ketika Elang Samudera ikut bergabung dalam bisik-bisik itu.
"Kalau kau percaya dengan
ceritanya, terserah langkahmu. Kalau kau tak percaya, usir saja dia dan lupakan
tentang cerita hantu raksasa itu."
"Agaknya aku cenderung
percaya dengan kesulitannya," kata Suto Sinting, lalu ia melirik Elang
Samudera dan menyambung kata, "Pandangan matanya memancarkan harapan yang
mengibakan hati. Rasa- rasanya aku memang harus membantunya."
"Aku akan mendampingimu
jika memang itu keputusanmu, Suto."
"Elang Samudera, kurasa
kau mempunyai urusan sendiri yang belum selesai. Entah urusan apa, aku tak
tahu. Tapi yang jelas, kau tak perlu ikut ke Pulau Dulang."
"Semua urusanku bisa
kutangguhkan. Aku lebih memilih untuk ikut terlibat dalam urusanmu. Firasatku
mengatakan, kau membutuhkan seorang teman dalam menghadapi hantu raksasa
itu."
Nyai Sedap Malam segera
berkata, "Jangan bodoh, Elang Samudera! Berurusan dengan misteri di Pulau
Dulang sama saja bertarung nyawa secara sia-sia. Kalau kau mati, kau tak akan
mendapat penghargaan dari orang Pulau Dulang. Masyarakat di Pulau Dulang hanya
akan menghormati leluhurnya saja. Mereka tak akan peduli jasa orang lain.
Bahkan untuk berterima kasih pun sulit mereka lakukan untuk orang lain.
Masyarakat Pulau Dulang adalah masyarakat terasing, sehingga beberapa penduduk
di pulau lainnya ada yang mengatakan, penduduk Pulau Dulang adalah penduduk
terbuang yang tak pernah menjadi bahan pembicaraan baik di kedai- kedai maupun
di perjalanan." "Aku hanya ingin dampingi Pendekar Mabuk, Nyai. Bukan
untuk mencari sanjungan atau penghargaan dari siapa pun."
"Jika begitu maumu, aku
tak bisa melarangmu untuk pergi bersama si murid sinting Gila Tuak itu."
"Aku tetap tak setuju kalau
kau ikut denganku Elang Samudera!" kata Suto Sinting membuat Elang
Samudera menyimpan rasa kecewa dalam hatinya. Suto Sinting berkata lagi dengan
lebih tegas,
"Perjalananku ke Pulau
Dulang adalah perjalanan biasa. Tak perlu harus didampingi oleh seorang ksatria
gagah sepertimu!"
"Jika kau melarangku
ikut, sama artinya kau tak mau bersahabat lagi denganku, Suto! Aku pun akan
berusaha melupakan dirimu, Sobat!"
"Elang Samudera, kumohon
jangan tersinggung dulu.
Dengarkan penjelasanku. "
"Aku tak butuh
penjelasanmu. Hatiku telah mengambil keputusan; boleh atau tidak, aku tetap
akan ikut ke Pulau Dulang. Karena aku sendiri penasaran dengan cerita
kemunculan hantu raksasa itu."
Percakapan yang makin lama
sudah bukan merupakan bisik-bisik lagi itu didengar oleh Bawana. Maka sang tamu
pun segera menyela kata saat mereka sama-sama terbungkam.
"Jika memang kau
keberatan, aku pun tak akan memaksamu, Pendekar Mabuk. Mungkin memang nasib
kami harus berjuang melawan hantu raksasa yang sukar dilihat itu." Pendekar
Mabuk tarik napas dalam-dalam, kemudian melangkah dekati Bawana. Pundak lelaki
kurus itu ditepuknya pelan. Pluk...! Lalu, ia pun berkata dengan nada ramah.
"Jangan berkesimpulan
seperti itu, Kang. Kesimpulan yang salah dapat membuat hatimu terluka dan membakar
kebencian."
"Jadi... jadi maksudmu
kau bersedia untuk datang ke Pulau Dulang dan melawan hantu raksasa itu?!"
Pendekar Mabuk tidak segera
menjawab, namun matanya melirik ke arah Ki Palang Renggo dan Nyai Sedap Malam.
Suami-istri itu hanya diam, tanpa memberikan isyarat apa pun. Bawana menjadi
berdebar- debar karena merasa khawatir jika sampai Pendekar Mabuk tak mau ikut
ke Pulau Dulang.
*
* *
4
KABUT pagi mulai menipis. Pada
saat itulah Pendekar Mabuk bergegas meninggalkan pondok Ki Palang Renggo menuju
Pulau Dulang bersama Bawana dan Elang Samudera. Arah yang mereka tuju adalah
Pantai Karang Hantu sebelah timur. Sebab menurut Bawana, di sana ada
perkampungan nelayan dan ia mempunyai seorang kenalan yang memiliki perahu.
Mereka bersepakat untuk menyewa perahu tersebut untuk menyeberang menuju Pulau
Dulang.
Karena Bawana tidak mempunyai
ilmu peringan tubuh, gerakan larinya tak bisa secepat Elang Samudera dan Suto
Sinting, maka langkah mereka pun menjadi lamban. Untuk mencapai Pantai Karang
Hantu sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu kurang dari seperempat hari. Namun
karena gerakan mereka lamban, maka waktu yang mereka butuhkan untuk tiba di
Pantai Karang Hantu menjadi hampir setengah hari penuh.
Ketika mereka tiba di sebuah
lembah, tak berapa jauh dari Pantai Karang Hantu, tiba-tiba langkah mereka
terhenti oleh kemunculan seorang perempuan cantik berusia sekitar dua puluh dua
tahun. Perempuan yang tampak masih gadis itu mengenakan baju biru tanpa lengan,
sehingga kulitnya yang kuning mulus dapat terlihat dengan jelas. Rambutnya
lurus dengan poni di bagian depan. Matanya bundar, hidungnya mancung, mempunyai
bentuk wajah bulat telur. Gadis bersabuk hitam dari kulit binatang itu
menyelipkan pisau gagang tanduk rusa di pinggangnya. Pendekar Mabuk mengenal
gadis itu sebagai murid Galak Gantung yang bernama Kabut Merana alias
Murdaningsih, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bayi Pembawa
Petaka"). Sedangkan Galak Gantung adalah tokoh tua sahabat si Gila Tuak,
gurunya Suto Sinting (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka
Bernyawa").
Kabut Merana muncul dalam
keadaan terhuyung- huyung dengan dada terluka dan mengeluarkan darah, ia
menghamburkan diri dari pohon ke pohon sebagai upaya mempertahankan nyawa dan
menggunakan sisa kekuatan yang ada. Setiap pohon yang dipeluknya meninggalkan
bekas darah yang berlumuran. Pendekar Mabuk cepat hampiri gadis itu dan segera
menolongnya.
"Kabut Merana...?!"
sapa Suto Sinting dengan nada cemas. Tubuh gadis yang sekal itu segera
tertangkap dalam pelukannya. Mata sang gadis mulai terbeliak- beliak dengan
mulut ternganga sulit bicara. Wajah cantiknya telah pucat pasi seperti mayat.
"Baringkan dia, Suto.
Lukanya cukup dalam dan parah sekali," kata Elang Samudera. Kemudian ia
membantu Suto Sinting membaringkan tubuh Kabut Merana dan membuka mulut si
gadis, sehingga Suto Sinting dapat tuangkan tuaknya sedikit demi sedikit.
Tuak tertelan dan Kabut Merana
pun mulai memperoleh kekuatan kembali. Lukanya cepat mengering dan merapat,
sehingga dalam beberapa kejap saja luka itu telah menjadi rata dan dada pun
menjadi berkulit halus bagai tak pernah terluka oleh senjata tajam apa pun.
Untung luka itu tepat ada di bagian atas gundukan kedua bukit di dadanya,
sehingga mereka tak terlalu sungkan memandangi luka berlubang yang sepertinya
bekas tusukan senjata tajam itu.
Darah yang semula berlumuran
di sekitar dada Kabut Merana pun menguap dan lenyap bagaikan terhembus angin.
Kesaktian tuak sakti telah membuat Kabut Merana segera menyadari bahwa ia
berada di dekat Pendekar Mabuk.
"Suto...?! Oh, syukurlah
kau menemukan diriku. Jika tidak, mungkin nyawaku telah melayang karena luka
tadi." "Apa yang terjadi pada dirimu, Kabut Merana?" tanya Suto
Sinting setelah ia memperkenalkan Elang
Samudera sebagai sahabat barunya, dan Bawana sebagai utusan dari Pulau
Dulang.
Namun gadis cantik itu segera
kerutkan dahi saat diperkenalkan kepada Bawana. Matanya memandang tajam ke arah
wajah polos Bawana, sehingga Suto Sinting menjadi tak enak hati dan segera
mengalihkan perhatian dengan pertanyaannya tadi. Kabut Merana alihkan
pandangannya ke arah Suto Sinting.
"Seseorang telah
melukaiku dengan pedangnya. Kalau aku tak melarikan diri, mungkin aku telah
mati di tangannya."
"Siapa orang itu?"
desak Suto Sinting menjadi penasaran.
Kabut Merana tampak kikuk.
Matanya melirik ke arah Elang Samudera
dan Bawana secara bergantian. Kebisuan mulutnya membuat Elang Samudera menjadi
curiga dan segera bicara,dengan nada suara yang lembut. "Jelaskan selengkapnya
kepada Suto tentang apa yang terjadi pada dirimu, Kabut Merana. Aku yakin kau
mendapat kesulitan dan tentunya kami tak akan tinggal diam, karena kau sahabat
Suto Sinting. Kami akan lindungi dirimu dari serangan siapa pun, Kabut
Merana!"
Gadis itu segera memandang
Suto dan berkata, "Aku perlu bicara empat mata denganmu, Suto."
Di dalam hatinya Pendekar
Mabuk merasa heran atas permintaan Kabut Merana itu. Ia pun tak enak hati
kepada Elang Samudera dan Bawana jika harus bicara empat mata bersama Kabut
Merana. Namun agaknya si gadis benar-benar tak mau pembicaraannya didengar oleh
kedua orang itu, sehingga Suto Sinting terpaksa menuruti kehendak si gadis.
Kabut Merana melangkah ke sudut semak-semak, dan Pendekar Mabuk mengikutinya.
Jarak mereka dengan Elang Samudera dan Bawana sekitar dua belas langkah.
"Siapa pemuda tampan
itu?" bisik Kabut Merana dengan pandangan mata tak tertuju pada Elang
Samudera. Namun Pendekar Mabuk tahu persis bahwa yang dimaksud adalah Elang
Samudera.
Senyum pun tersungging di
bibir Suto Sinting, kemudian disusul sebuah pertanyaan sindiran,
"Apakah kau
menyukainya?"
"Bukan soal itu! Aku
khawatir dia orang Selat Bantai."
Mendengar kata 'Selat Bantai',
Pendekar Mabuk cepat kerutkan dahi. Dalam hatinya berkata, "Mengapa Kabut
Merana menyinggung-nyinggung soal orang Selat Bantai? Apakah ia pun mengenal
Awan Setangkai, yang menurut Ki Palang Renggo adalah orang Selat Bantai
itu?"
"Suto, jawablah
pertanyaanku dengan jujur; apakah Elang Samudera itu adalah orang Selat
Bantai?"
"Bukan," jawab Suto
Sinting pelan sambil gelengkan kepala samar-samar. Katanya lagi,
"Elang Samudera adalah
muridnya Pendeta Darah Api dari Teluk Merah. Aku tak tahu apakah Teluk Merah ada hubungannya dengan Selat Bantai.
Yang jelas, kulihat Elang Samudera bukan dari aliran hitam." Kabut Merana
menarik napas, melirik ke arah Elang
Samudera yang sedang bicara
pelan dengan Bawana. Agaknya gadis itu menahan kecurigaannya untuk sementara
waktu.
"Lalu, siapa lelaki
berbaju putih dan bercelana hitam itu?"
"Bawana. Bukankah tadi
sudah kuperkenalkan padamu?"
"Maksudku, apakah dia...
ah, kurasa aku pernah melihatnya berkeliaran di wilayah Selat Bantai."
Suto Sinting kerutkan dahinya,
ia memandang dalam keraguan kepada Kabut Merana. Tetapi gadis itu seakan ingin
lebih meyakinkan anggapannya dengan berkata kepada Suto,
"Aku ingat, dia pernah
kulihat menyelinap di belakang puri pemujaan. Aku semakin yakin, dia orang
Selat Bantai, Suto!"
"Jika benar dia orang
Selat Bantai, apa pendapat mu selanjutnya, Kabut Merana?" tanya Suto
Sinting dengan rasa ingin tahu cukup besar dan menggelisahkan hatinya.
"Jika benar dia seorang Selat Bantai, sebaiknya
jauhilah dia, Suto! Jauhi
semua orang dari Selat Bantai." "Jelaskan alasanmu, Kabut
Merana."
"Kau sedang menjadi bahan
buruan orang-orang Selat Bantai. Penguasa Selat Bantai yang bernama Nyai Ratu
Cendana Sutera sedang membutuhkan darah ksatria muda. Sasaran utamanya adalah
dirimu, Suto. Sebab mereka tahu, kau adalah seorang pendekar muda yang berilmu
tinggi."
"Untuk apa dia mencari
seorang ksatria muda?" "Tepat malam bulan purnama yang kurang tiga
hari
lagi ini, dia harus bercumbu
dengan seorang ksatria muda, diutamakan yang berilmu tinggi. Menurut kabar yang
kudengar dari seorang sahabat yang menjadi prajurit di Selat Bantai, bulan ini
adalah bulan kesuburan bagi darah keturunan Selat Bantai. Pada bulan kesuburan
inilah Nyai Ratu Cendana Sutera mempunyai kesempatan untuk menanamkan bibit
keturunan dalam dirinya. Bulan kesuburan hanya terjadi setiap seratus tahun
sekali bagi darah keturunan Selat Bantai. Bibit yang akan berhasil membuahkan
keturunan adalah bibit seorang ksatria muda. Semakin tinggi ilmu ksatria muda
itu semakin cepat pembibitannya. Keturunan yang lahir dari Nyai Ratu Cendana
Sutera itulah yang nantinya akan menggantikan kekuasaan sang Ratu di wilayah
Selat Bantai."
Pendekar Mabuk menarik napas,
menenangkan jiwanya yang mulai bergolak karena mendengar penjelasan tersebut.
"Kedengarannya seperti
sesuatu yang tidak masuk akal," katanya. "Kurasa kepercayaan seperti
itu sekarang sudah tidak dianut lagi oleh mereka."
"Siapa bilang?! Mereka
adalah pengikut aliran hitam dari Selat Bantai. Dan mereka sangat percaya
dengan peraturan kuno tinggalan leluhur mereka."
"Alangkah bodohnya
mereka. Mengapa mereka tidak melakukan pembibitan di luar bulan kesuburan ini?
Apakah mereka tak berminat untuk mencobanya dengan seorang lelaki sebelum bulan
kesuburan itu tiba?"
Kabut Merana mendesah jengkel.
"Percayalah, Suto! Sebaiknya jauhilah orang Selat Bantai. Selain mereka
berilmu tinggi, mereka juga dari para wanita cantik yang punya daya pikat cukup
kuat. Orang-orang Selat Bantai adalah para wanita yang dikutuk menjadi mandul
sebelum bulan kesuburan tiba. Jadi tak satu pun dari wanita Selat Bantai yang
bisa hasilkan keturunan."
Suto Sinting menggut-manggut.
Kabut Merana berkata lagi, "Tapi pada bulan kesuburan nanti, semua wanita
Selat Bantai terlepas dari kutuk kemandulannya. Saat itulah kesempatan emas
bagi mereka, dari yang muda sampai yang tua, Untuk dapatkan benih lelaki demi
mendapatkan keturunan. Kudengar kabar dari sabahatku itu, Nyai Ratu Cendana
Sutera mengincarmu. Dia ingin mempunyai keturunan dari darah seorang pendekar
sejati. Tentunya kau akan diperbudak oleh mereka, disuruh membuahi para wanita
Selat Bantai satu persatu. Padahal jumlah mereka lebih dari seratus orang
wanita. Menurut kepercayaan para wanita Selat Bantai, jika mereka dapatkan
benih dari pria yang bekas dipakai ratu mereka, maka mereka akan berumur
panjang dan keturunan mereka pun akan dianggap keluarga Nyai Ratu Cendana
Sutera. Keturunan mereka diperlakukan sama dengan keturunan Nyai Ratu Cendana
Sutera."
Suto Sinting tertawa kecil
bernada geli,
"Jika begitu, tentunya
sang Ratu tidak akan membiarkan pria yang pernah membuahinya dipakai rebutan
oleh para bawahannya?"
"Tidak, Suto! Setiap pria
yang pernah menanamkan benih dalam diri Nyai Ratu, ia harus mati. Jika tidak
mati, maka benih itu tidak akan menjadi janin. Dan biasanya sebelum pria itu
dibunuh, maka ia akan digunakan sebagai pejantan bagi wanita-wanita pendukung
Nyai Ratu. Setelah semua wanita mendapat bibit dari pria tersebut, maka mereka
pun akan mengakhiri hidup pria itu."
Semakin geli sang Pendekar
Mabuk mendengar penjelasan tersebut, ia menggumam bagai bicara pada dirinya
sendiri.
"Aliran sesat macam apa
yang mereka anut sebenarnya? Kurasa semua itu hanya isapan jempol belaka, Kabut
Merana. Semua penjelasan yang kau dengar dari sahabatmu itu hanya rekayasa dan
kepalsuan belaka. Jangan mau percaya dengan cerita seperti itu, Kabut Merana.
Sebab. "
"Ini bukan rekayasa, Suto!
Kudengar kabar tentang mereka sudah cukup lama, sejak aku belum
mengenalmu."
"O, ya?!" Suto
Sinting kian lebarkan senyum dengan nada tak mau percayai hal itu.
"Satu lagi yang belum kau
dengar, Suto...!" ujar Kabut Merana dengan berapi-api, menampakkan
kesungguhannya dalam membeberkan rahasia perempuan Selat Bantai itu.
" jika pada bulan
kesuburan yang datangnya hanya
seratus tahun
sekali itu sang
Ratu tidak mendapatkan bibit
ksatria muda berilmu tinggi, maka selamanya ia tidak akan mendapat keturunan
lagi, kecuali ia mampu bertahan hidup sampai datangnya bulan kesuburan
berikutnya. Karena itu. "
Sebelum kata-kata Kabut Merana
selesai, tiba-tiba tubuh gadis itu tersentak ke depan dengan kepala terdongak
dan wajah menyeringai. Suara pekik tertahan terlontar dari mulutnya.
"Huuuggh. !"
"Kabut Merana?!"
seru Suto Sinting dengan terkejut. Seruan itu membuat Elang Samudera dan Bawana
lemparkan pandangan ke arah Kabut Merana. Kedua orang itu pun terperanjat
melihat tubuh gadis itu kepulkan asap putih buram. Tubuh sekal itu akhirnya
mengerut dan menjadi susut, lama-lama mengecil dan mengecil terus, hingga
akhirnya jatuh terkulai menjadi seperti bocah berusia lima tahun.
"Suto, apa yang terjadi
pada dirinya?!" Elang Samudera bernada tegang sambil bergegas menghampiri
Kabut Merana yang telah menyusut dan menjadi seperti bocah berusia lima tahun.
Pendekar Mabuk tak bisa
jelaskan apa yang sempat dilihatnya tadi, karena kala itu Pendekar Mabuk
terkesima dan terkunci mulutnya, kelu lidahnya, karena ia segera menyadari
bahwa Kabut Merana yang berubah seperti bocah berusia lima tahun itu ternyata
sudah tidak bernyawa lagi. Tak ada napas sedikit pun yang keluar dari mulut
maupun hidungnya. Tak ada denyut nadi atau detak jantung yang menjadi tanda
kehidupannya. Jika semua itu tak ada, maka Suto Sinting segera paham bahwa
gadis itu telah tewas oleh sebuah serangan dari tempat tersembunyi tadi.
Serangan tersebut berupa
seberkas sinar kecil warna pelangi yang menghantam punggung Kabut Merana dengan
sangat cepat. Pendekar Mabuk tak sempat menyingkirkan Kabut Merana, juga tak
sempat lakukan penangkisan dengan cara apa pun. Sinar berwarna pelangi itu
muncul dan melesat dalam keadaan sangat tiba-tiba. Kecepatan gerak sinar
pelangi itu nyaris tak bisa dilihat oleh mata kepala Suto Sinting sendiri.
"Dia... dia telah tiada,
Suto!" ucap Elang Samudera dengan nada sedih. Pendekar Mabuk segera tarik
napas dan buang pandangan ke arah datangnya sinar pelangi tadi. Kemudian dalam
kejap berikutnya, sosok Pendekar Mabuk telah lenyap dari depan Elang Samudera,
karena si Pendekar Mabuk segera lakukan pengejaran terhadap pelakunya dengan
menggunakan jurus 'Gerak Siluman yang mampu bergerak melebihi anak panah lepas
dari busurnya. Zlaaap...! Weess.. !
"Suto...! Suto, tunggu
dulu!" seru Elang Samudera, seperti anak kecil takut kehilangan kakaknya.
Sementara itu, Bawana hanya diam pandangi mayat kecil si Kabut Merana dengan
mulut melongo dan mata tak berkedip.
Orang yang melepaskan pukulan
dahsyat tadi ternyata tidak ada di tempat datangnya sinar pelangi kecil itu.
Pendekar Mabuk terpaksa mencarinya keliling tempat itu dengan masih pergunakan
jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaap, zlaap, zlaap...! Dan Elang Samudera mencari
berlawanan arah dengan Suto Sinting, agar ia bisa melakukan pengepungan
terhadap si pembunuh Kabut Merana itu.
Di suatu sisi tempat, kedua
pemuda tampan itu saling bertemu dan hentikan langkah mereka. Mata mereka masih
memandang nanar kepada keadaan sekeliling, karena keduanya sama-sama penasaran
tak menemukan siapa-siapa di tempat itu kecuali mereka sendiri.
"Aku melihat sinar
pelangi sekelebat dan menghantam punggung Kabut Merana. Datangnya dari arah
sini, tapi di sini tidak ada manusia sepotong pun kecuali kita berdua, Elang
Samudera."
"Dugaanku juga begitu,
pasti Kabut Merana terkena pukulan jarak jauh yang tersembunyi dan kau pasti
akan mengejarnya. Aku tak mau kehilangan kau, Suto. Sehingga walaupun aku tahu
pengejaran ini akan sia-sia, tapi aku tetap datang mendukungmu, Suto! Kalau
boleh kutahu, sebenarnya apa yang dibicarakan gadis itu kepadamu?"
Pendekar Mabuk akhirnya
ceritakan kecurigaan Kabut Merana terhadap diri Bawana. Seketika itu pula Elang
Samudera tampak terperanjat dan menjadi cemas. Lalu ia bergerak lebih dulu dari
Pendekar Mabuk.
"Celaka! Jangan-jangan
Bawana adalah mata-mata dari Selat Bantai?! Kita harus segera menemuinya dan
memaksanya bicara!"
Pendekar Mabuk bergerak ke
arah semula. Zlaaap...! Ia tiba di samping mayat Kabut Merana lebih dulu. Elang
Samudera sempat kaget melihat Suto sudah ada di tempat.
"Cepat sekali gerakan
larinya?! Aku tak mungkin bisa mengungguli kecepatan geraknya itu."
"Hei, mana orang yang
mencariku tadi?" ujar Suto Sinting sambil memandang ke sana-sini. Ternyata
Bawana tidak ada di tempat dan tidak diketahui ke mana kepergian orang
tersebut.
"Jangan-jangan dia memang
orang Selat Bantai yang... yang ingin menangkapmu, Suto!" kata Elang
Samudera setelah mendengar penjelasan singkat dari Suto tentang apa yang
dituturkan Kabut Merana tadi.
"Jika begitu, cari si
Bawana tadi dan paksa dia agar tunjukkan pada kita di mana letak Selat Bantai
itu."
Pendekar Mabuk diam termenung
menahan kemarahan dalam hatinya. Elang Samudera masih tetap berpaling ke
sana-sini sambil berseru keras-keras.
"Bawana! Bawanaaa...! Di
mana kau, Bawana...?!"
Suasana masih tetap sepi dan
mulut mereka pun tetap terkunci walau sudah lima kali masing-masing dari mereka
berteriak memanggil nama Bawana.
"Apa yang harus kita
lakukan jika begini, Suto?" tanya Elang Samudera dengan penuh rasa membela
pihak teman.
*
* *
5
DENGAN hati sedih, Pendekar
Mabuk mengangkat mayat Kabut Merana yang menjadi kecil itu. Ia sempat berkata
kepada Elang Samudera yang berdiri murung di sampingnya,
"Aku harus bawa mayat
Kabut Merana kepada Galak Gantung, gurunya. Ikutlah aku sebagai saksi atas
peristiwa ini, Elang."
"Aku tak keberatan
sedikit pun. Sebaliknya kita berangkat sekarang saja, dan menunda kepergian
kita ke Pulau Dulang. Tapi..., tapi bagaimana dengan hilangnya Bawana itu?
Apakah kita perlu mencarinya sampai ketemu?"
Pendekar Mabuk yang sudah
jongkok di samping mayat Kabut Merana hentikan gerakannya, ia tak jadi
mengangkat mayat Kabut Merana. Ada sesuatu yang perlu direnungkan sebentar,
yaitu tentang hilangnya Bawana.
Namun sebelum ia harus berkata
lagi, tiba-tiba mereka mendengar suara ledakan yang cukup dahsyat. Tanah tempat
mereka berpijak terasa bergetar kuat menandakan ledakan itu terjadi tak
seberapa jauh dari tempat mereka. Pendekar Mabuk cepat bangkit dan berwajah
tegang. Matanya memandang tajam ke arah datangnya suara ledakan.
"Ada sebuah pertarungan
di sebelah barat sana!" "Jangan-jangan orang yang membunuh Kabut
Merana
sedang bertarung melawan musuh
lainnya?" "Kita periksa sebentar ke sana, Elang!"
Dalam waktu sangat singkat,
Pendekar Mabuk dan Elang Samudera tiba di tempat pertarungan. Apa yang dilihat
oleh mereka sangat mengejutkan Pendekar Mabuk, sebab ia tahu persis siapa orang
yang saling mengadu kesaktian itu.
Elang Samudera pun terperanjat
melihat siapa yang bertarung dengan serunya itu, karena ia mengenal mereka.
Bahkan tanpa sadar mulutnya berkata dengan nada menggumam,
"Awan Setangkai?!"
"Benar. Ternyata
perempuan itu ada di sini. Mungkin juga perempuan itu yang membunuh Kabut
Merana."
Pandangan mata Suto Sinting
tertuju ke arah lawan perempuan itu yang berpakaian hitam dirangkap jubah tanpa
lengan warna putih. Lelaki tua yang menjadi lawan Awan Setangkai itu berusia
sekitar delapan puluh tahun, tapi gerakannya masih lincah dan gesit, ia
mempunyai rambut panjang warna uban diikat ke belakang, jenggotnya putih
pendek, tapi kumisnya lebat dan berwarna putih uban juga. Tokoh tua itu tak
lain adalah sahabat si Gila Tuak yang dikenal dengan nama si Galak Gantung.
Elang Samudera pernah bertemu Galak Gantung pada saat kakak perempuannya yang bernama
Dewi Cintani itu menjadi manusia separo hewan, (Baca serial "Pendekar
Mabuk dalam episode : "Dendam Selir Malam").
"Rupanya Ki Galak Gantung
sudah mengenal Awan Setangkai," ujar Elang Samudera, karena ia mendengar
suara Galak Gantung berseru saat sebelum lanjutkan serangannya,
"Akan kuhanguskan tubuh
licikmu itu. Awan Setangkai! Kau telah menyerang muridku dari belakang, tapi
aku akan menyerangmu dari depan sebagai langkah penebus kelicikanmu!"
Galak Gantung sentakkan
tangannya dalam satu lompatan. Dari telapak tangan itu melesat sinar merah yang
segera berubah menjadi kobaran api begitu sinar merah melewati pertengahan
jarak mereka. Wuuuss...!
Tapi dengan tenangnya Awan
Setangkai mengibaskan tangan kanan bagai
membuang segenggam daun. Kibasan itu ternyata hadirkan angin cukup besar dan
memadamkan kobaran api yang sedang menuju ke arahnya. Wuuut...! Weess...!
Tubuh Galak Gantung yang
melayang segera dihantam dengan pukulan jarak jauh berupa sinar kuning lebar.
Sinar kuning itu keluar dari ujung-ujung jari Awan Setangkai yang disentakkan
miring ke depan dalam keadaan keempat jarinya merapat. Suut...! Claaap...!
Galak Gantung menangkisnya
dengan sinar merah yang keluar dari ayunan tangan kiri dari belakang ke depan.
Wuut...!
Clap, jegaaarrr...!
Awan Setangkai terlempar
akibat gelombang ledakan dari perpaduan dua sinar tadi. Galak Gantung sendiri
juga terlempar ke belakang dan jatuh berjungkir balik. Karena ledakan lebih
dahsyat dari yang didengar Suto tadi telah membuat beberapa pohon tumbang serta
gugusan batu pecah berhamburan. Bahkan Pendekar Mabuk dan Elang Samudera pun
terlempar ke samping dalam jarak tiga langkah dari tempat pengintaian mereka
itu. "Edan! Jurus apa yang dipakai mereka ini? Rasa- rasanya bumi mau
kiamat, langit mau runtuh dan. "
Elang Samudera tak bisa
lanjutkan ucapannya karena mulutnya segera dibekap oleh Suto Sinting. Pendekar
Mabuk bisikkan kata di telinga Elang Sa-mudera.
"Jangan bicara sekeras
ini, nanti mereka mendengar dan mengetahui kehadiran kita di sini, Tolol!"
Elang Samudera menarik tangan
yang menutup mulutnya dengan sedikit jengkel, ia ingin ucapkan sesuatu, namun
tak jadi karena perhatiannya lebih tertarik pada apa yang akan dilakukan oleh
Awan Setangkai. Perempuan itu tampaknya tidak mengalami luka parah walau
terlempar tujuh langkah jauhnya, ia berdiri tegak dalam waktu singkat,
sementara Galak Gantung justru memuntahkan darah dari mulutnya saat merangkak
berusaha untuk bangkit lagi.
Awan Setangkai mengangkat
kedua tangannya dalam keadaan telapak tangan menghadang ke depan dan bagian
belakang telapak tangan itu menempel di kening. Kedua kaki perempuan itu
sedikit merenggang dan badannya tampak tegak. Matanya terpejam beberapa saat,
dan tiba-tiba kedua tangan itu berkelebat ke depan bagai melemparkan pisau.
Wut, wut !
Slaaap. !
Dua sinar merah berbentuk
pisau kecil melesat dari kedua tangan Angin Setangkai. Sinar merah itu mengarah
lurus ke tubuh Galak Gantung. Tokoh tua tersebut terperanjat begitu sadar bahwa
ada dua sinar merah berbentuk pisau mendekatinya, ia terlambat menghindar dan
menangkis sinar tersebut. Sekalipun sudah berusaha mengelak ke samping kiri,
tapi salah satu sinar merah itu berhasil
menembus bagian bawah pundak kirinya.
Claasss...!
"Uaahk...!" Galak
Gantung terpekik dengan tubuh mengejang sedikit melengkung ke belakang, ia
dalam keadaan berlutut saat mendekap luka di bawah pundak kirinya. Luka
tersebut berasap merah dan dalam sekejap tubuh Galak Gantung terjungkal ke
belakang. Brruk...!
"Aaahk...!"
terdengar suaranya mengerang menahan sakit, seperti sedang mengalami sekarat.
Melihat hal itu, Suto Sinting
merasa heran. Hatinya berkata, "Jika Galak Gantung saja bisa ditumbangkan
oleh Awan Setangkai, berarti ilmu perempuan itu memang tinggi dan tak bisa
diremehkan. Gila! Aku harus segera
menolong Galak Gantung sebelum nyawanya melayang tinggalkan raga."
Lalu, ia berbisik kepala Elang
Samudera, "Alihkan perhatian Awan Setangkai. Pancing dengan seranganmu
agar ia tak memperhatikan Galak Gantung. Aku akan menolong Pak Tua itu sebelum
ia mencapai ajal."
Tanpa banyak bicara Elang
Samudera segera melemparkan sesuatu ke arah Awan Setangkai. Ternyata sebuah
senjata rahasia berupa lempengan logam berbentuk bintang segi enam. Ziing...!
Benda itu melayang ke punggung Awan Setangkai.
Tetapi agaknya Awan Setangkai
mempunyai ketajaman rasa yang cukup tinggi, ia tahu ada benda yang melayang
cepat di belakangnya. Maka ia segera balikkan badan sambil cabut pedangnya dan
mengibas cepat. Semua gerakan memang dilakukan serba cepat dan tepat, sehingga
senjata rahasia Elang Samudera berhasil ditangkis dan dibuang ke arah lain
menggunakan pedangnya. Trringg...! Juurb...! Senjata itu menancap pada sebatang
pohon agak jauh dari tempat Awan Setangkai berdiri.
Pendekar Mabuk sudah pergi
sejak Elang Samudera melemparkan senjata rahasianya tadi. Jurus 'Gerak Siluman'
membuat Suto Sinting tahu-tahu sudah berada di dekat Galak Gantung yang
terkapar di bawah pohon tak berdaun, karena daunnya rontok semua akibat
gelombang ledakan tadi. Pendekar Mabuk segera menyeret tubuh Galak Gantung ke
balik pohon untuk menjaga kemungkinan diserang sewaktu-waktu, ia segera
menuangkan tuak ke mulut Galak Gantung.
Suto Sinting tak hiraukan dulu
keadaan Elang Samudera. Ia tak tahu bahwa Elang Samudera pun kini telah
mencabut pedangnya dan lakukan serangan ke arah Awan Setangkai.
Trang, trang, duaar...! Trang,
tring, duaar...!
Perpaduan kedua pedang itu
memercikkan bunga api yang sesekali timbulkan suara letusan cukup keras.
Elang Samudera terdesak oleh
serangan jurus pedang Awan Setangkai yang sukar dilihat gerakannya itu. Dalam
hati Elang Samudera sempat berkata,
"Ternyata jurus pedangnya
cukup hebat! Jurus pedangku tak berhasil menembus kecepatan geraknya. Setan!
Aku harus lakukan perlawanan dari jarak jauh saja!"
Wuut! Elang Samudera sentakkan
kaki dan melayang mundur, kemudian ia bersalto, balik dua kali. Plak, plak...!
Tapi begitu kakinya mendarat dari gerakan saltonya, tiba-tiba Awan Setangkai
sentakkan pedang ke depan, dan dari ujung pedang keluar sinar biru lurus sebesar
lidi. Claap...!
"Aaahg...!" Elang
Samudera terpekik karena sinar biru itu menembus ulu hatinya dengan telak.
Tubuhnya segera bergetar dan kejap berikutnya jatuh terkulai bagai tak
bertenaga lagi. Lubang kecil yang ada di ulu hatinya itu makin lama semakin
melebar dan menampakkan warna hitam hangus bercampur darah yang merah
kehitam-hitaman. Luka berlubang itu seolah-olah semakin lebar jika terkena
hembusan angin, dan rasa sakit yang terasa di sekujur tubuh menjadi sangat luar
biasa.
"Aaaahhkk.,.!" Elang
Samudera mengerang panjang, suaranya terdengar sampai di telinga Pendekar
Mabuk. Si murid sinting Gila Tuak itu segera berkelebat mengarah ke tempat
Elang Samudera. Zlaaap...!
Pada waktu itu Awan Setangkai
sedang bergerak maju dekati Elang Samudera dengan pedang siap dihujamkan penuh
kemarahan. Tetapi langkah perempuan itu menjadi terhenti ketika tahu-tahu ia
dihadang seorang pemuda yang membawa bumbung tuak. Wajah si cantik ganas itu
terperanjat jelas.
"Kkau... kau masih bisa
hidup?!" gumamnya bernada heran. "Tak seorang pun bisa lolos dari
racun 'Bayi Panggang'-ku, tapi mengapa kau sekarang masih tetap hidup?!"
"Hentikan keganasanmu,
Awan Setangkai! Jangan paksa aku turun tangan menghancurkan tubuh mulusmu
itu!" gertak Pendekar Mabuk tapi masih tampak tetap kalem.
"Kau harus kubunuh! Kau
harus kulenyapkan sebelum "
"Kalau begitu kita
tentukan pertarungan pribadi di suatu tempat! Jangan libatkan orang lain hingga
menjadi korban keganasanmu, Awan Setangkai!"
Perempuan cantik yang masih
tampak muda dan menggairahkan itu diam sesaat, menarik napas dalam- dalam.
Kemudian ia perdengarkan suaranya bernada datar.
"Baik. Kutunggu kau di
Pantai Karang Hantu sebelum matahari terbenam. Kuharap kau berani melayani
tantanganku ini!"
Blaaass. ! Perempuan cantik
itu melesat pergi seperti
menghilang dalam sekejap.
Gerakannya sangat cepat, ilmu peringan tubuhnya cukup tinggi. Jika Suto Sinting
tidak terbiasa melihat gerakan angin, maka ia tidak akan tahu bahwa perempuan
cantik itu sebenarnya lakukan lompatan jarak jauh yang amat cepat dan menuju ke
arah pantai.
"Memang tinggi
ilmunya!" gumam hati sang Pendekar Mabuk, ia tidak perhatikan lagi
kepergian Awan Setangkai, kini yang menjadi pusat perhatiannya adalah nyawa
Elang Samudera.
Pemuda tampan yang berusia
lebih muda darinya itu dalam keadaan sedang merenggang nyawa. Sebentar lagi
nyawa Elang Samudera akan lepas dari raganya akibat luka yang amat parah. Luka
itu menjadi hebat hingga tampak menganga hampir memenuhi dada. Pendekar Mabuk
tak banyak berpikir lagi, ia segera membuka mulut Elang Samudera dengan paksa
dan mengucurkan tuaknya, tanpa peduli tuak itu menghambur membasahi wajah Elang
Samudera. Tanpa lakukan tindakan seperti itu, Elang Samudera akan kehilangan
nyawanya dan luka tersebut akan memakan seluruh bagian rongga dadanya.
"Ke mana perginya
perempuan binal itu?!"
Tiba-tiba terdengar suara
bernada geram. Oh, ternyata si Galak Gantung sudah menjadi sehat kembali berkat
tuak sakti Suto yang tadi diminumkan dengan paksa juga itu. Pendekar Mabuk
segera bangkit berdiri, karena ia merasa sudah cukup menuangkan tuak ke mulut
Elang Samudera. Ia biarkan Elang Samudera menunggu kesembuhannya dalam keadaan
terkapar di tanah bersampah daun kering.
"Dia sudah pergi,
Ki," ujar Suto Sinting dengan sikap sungkan terhadap sahabat gurunya itu.
"Biadab dia! Mengapa kau
biarkan perempuan itu pergi?! Apakah kau telah berhasil melukainya dan menjamin
dia akan mati di suatu tempat?"
Pendekar Mabuk agak bingung
memberi jawaban. Jika ia katakan yang sebenarnya, pasti Galak Gantung akan
mengejar Awan Setangkai ke Pantai Karang Hantu. Hai itu sangat membahayakan
jiwa Galak Gantung, sebab agaknya ilmu yang dimiliki Awan Setangkai mampu
imbangi kesaktian Galak Gantung. Karenanya, Suto Sinting segera putuskan
niatnya untuk tidak memberi jawaban yang sebenarnya demi keselamatan Galak
Gantung.
"Dia memang pergi dalam
keadaan terluka. Tapi aku tak berani pastikan apakah ia mampu mengobati lukanya
atau tidak. Jika tidak, maka ia akan mati sebelum matahari terbenam
nanti."
Agaknya jawaban itu kurang
melegakan hati Galak Gantung yang berwajah berang, memancarkan sinar kemurkaan
dari pandangan matanya yang dingin itu.
"Ke mana arah
kepergiannya?*
"Ke... ke selatan,"
jawab Suio Sinting, padahal Awan Setangkai pergi ke arah utara.
"Aku harus menyusulnya
untuk buktikan apakah ia benar-benar telah mati atau masih hidup!"
"Tapi... tapi tunggu
dulu, Ki Galak Gantung. Ada beberapa hal yang ingin kuketahui tentang Awan
Setangkai itu," sergah Pendekar Mabuk yang membuat Galak Gantung menunda
gerakannya yang ingin tinggalkan tempat itu. Mata dingin si Galak Gantung
memandang tajam ke arah Suto Sinting, terasa begitu dingin membekukan setiap
denyut nadi di sekujur tubuh Suto Sinting. Namun dengan tarikan napas pelan dan
memanjang, Pendekar Mabuk masih mampu tampilkan sikap tenang, kalem, dan sopan.
"Kurasa kau mengenal
betul siapa si Awan Setangkai itu, Ki."
"Hmmm! Yang jelas, ia
mengancam nyawamu. Hindari pertemuan dengan perempuan binal itu!" ujar
Galak Gantung penuh wibawa.
"Akan kuturuti saranmu,
Ki. Tapi aku ingin tahu siapa dia sebenarnya? Mengapa ia mengancam
nyawaku?"
Elang Samudera mulai bisa
menggeliat. Agaknya luka yang ada di dadanya telah lenyap dan mengatup rapat,
kulit tubuhnya menjadi halus seperti sediakala, seakan tak pernah mengalami
luka yang amat membahayakan jiwanya itu. Ia mencoba bangkit dengan
perlahan-lahan.
Galak Gantung tak begitu
peduli, perhatiannya tertuju kepada Pendekar Mabuk yang menunggu jawaban
darinya itu.
"Awan Setangkai adalah
orang kedua di wilayah Selat Bantai, ia
tangan kanannya Ratu Cendana Sutera."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dengan gumam lirihnya.
"Kulihat beberapa waktu
sebelum tadi, ia bentrok dengan muridku, si Kabut Merana, ia lakukan kelicikan
dalam serangannya, hingga kabut Merana terluka bagian dadanya. Aku segera
mengalihkan perhatiannya dan berhasil memancingnya berlari mengejarku. Tapi aku
tak tahu di mana Kabut Merana sekarang. Kurasa. "
"Dia telah tewas,
Ki!" sahut Elang Samudera nyeplos begitu saja. Galak Gantung terkesiap,
matanya mengecil memancarkan murka yang tertahan. Pendekar Mabuk menyesali
ucapan Elang Samudera yang dianggap gegabah itu. Namun Suto tak berani menegur
saat itu juga. Ia hanya melirik menampakkan rasa kesal lewat pandangan matanya.
Elang Samudera segera paham maksud lirik Suto Sinting, sehingga ia menjadi
salah tingkah sendiri.
"Jika benar muridku
tewas, di mana mayatnya?"
"Tak jauh dari sini,
Ki," jawab Suto Sinting yang akhirnya bicara apa adanya, karena Galak
Gantung sudah telanjur mendengar ucapan Elang Samudera Padahal Suto Sinting
bermaksud tidak memancing murka si Galak Gantung lebih besar lagi, sehingga
tokoh tua itu tidak memburu Awan Setangkai. Sebab jika tokoh tua itu memburu Awan Setangkai, hal itu
sangat mencemaskan hati Suto Sinting. Cemas jika nyawa Galak Gantung lenyap di
tangan Awan Setangkai, cemas pula jika nyawa Awan Setangkai pergi dari raganya
sebelum Suto Sinting mendapat keterangan banyak- banyak tentang alasan
perempuan itu memburunya.
Akhirnya Suto Sinting dan
Elang Samudera membawa Galak Gantung ke tempat di mana mayat Kabut Merana
tergeletak di antara semak. Galak Gantung terkesiap dan menahan napas begitu
melihat mayat muridnya menjadi kecil seperti mayat anak berusia lima tahun.
Wajah tuanya memancarkan warna merah sebagai tanda murka yang paling tinggi.
Namun agaknya Galak Gantung masih tetap berusaha menahan luapan murkanya
sebelum bertemu dengan Awan Setangkai, ia berdiri pandangi mayat Kabut Merana
dengan mulut terkatup membisu. Bebeberapa saat kemudian barulah terdengar suaranya
yang bernada geram itu.
"Pasti si Awan Setangkai
yang membunuhnya, ia mempunyai jurus 'Suryapati' yang dapat membuat tubuh
lawannya menyusut dan menjadi sekecil ini."
"Adakah kemungkinan
orang lain yang melakukannya, Ki?" lanya Suto
Sinting dengan hati-hati. "Tidak. Hanya si perempuan binal; Awan Setangkai
saja yang memiliki jurus
'Suryapati' peninggalan mendiang
neneknya; Nyai Pintal Sukma, bekas sahabatku semasa
muda," jawab Galak Gantung dengan suara berat sebagai tanda menahan murka mati-matian, ia bicara
tanpa memandang yang diajak bicara, karena sorot pandangan matanya tertuju
lurus ke mayat muridnya. Pandangan mata itu memancarkan berbagai
rasa, antara dendam dan duka,
benci dan haru.
"Aku harus segera
memakamkan jenazah muridku sebelum menjadi bangkai," ucapnya pelan sekali,
nyaris tidak terdengar. "Setelah selesai memakamkan muridku, akan kucari
perempuan itu untuk kukirim ke neraka!"
"Aku sependapat denganmu,
Ki. Tapi aku masih belum tahu, mengapa Kabut Merana terlibat pertikaian dengan
Awan Setangkai?"
"Kabut Merana pernah
membunuh adik si Awan Setangkai. Dendam itulah yang membuat Awan Setangkai
mengejar Kabut Merana setelah muridku keluar dari istana Selat Bantai sehabis
menghadiri perkawinan sahabatnya di sana. Sejak ia pamit padaku hendak
menghadiri perkawinan sahabatnya di Selat Bantai, aku menjadi tak enak hati,
karenanya kubayang- bayangi muridku itu dari kejauhan. Ternyata firasatku
memang benar, ia menemui ajal sepulangnya dari Istana Selat Bantai."
Sebenarnya masih banyak hal
yang ingin ditanyakan oleh Suto Sinting. Tetapi agaknya Galak Gantung tak sabar
lagi, ingin segera memakamkan jenazah muridnya di tempat kediamannya; di puncak
Bukit Wangi. Maka Pendekar Mabuk pun membiarkan Galak Gantung pergi membawa
mayat Kabut Merana dengan terlebih dulu berkata kepada si tokoh tua itu,
"Maaf, aku tak bisa ikut
menghadiri pemakaman Kabut Merana karena ada urusan yang sangat penting,
Ki!"
Tokoh tua itu seolah-olah tak
mendengar ucapan Pendekar Mabuk, ia mengangkat mayat muridnya, kemudian melesat
dalam satu sentakan kaki. Ia bagaikan lenyap ditelan bumi karena kecepatan
geraknya.
Elang Samudera mulai berani
dekati Suto Sinting dan ajukan tanya dengan suara pelan,
"Apakah kita tetap akan
lanjutkan perjalanan ke Pulau Dulang? Atau mau mencari Bawana lebih dulu?"
"Ada sesuatu yang harus
kukerjakan, Elang Samudera. Aku ingin kau mencari Bawana di sekitar sini, dan
aku menyelesaikan urusanku. Kita bertemu di Pantai Karang Hantu nanti
malam."
*
* * 6
TEBING curam, berdinding tegak
lurus menjadi tempat penantian Awan Setangkai. Di atas tebing itu, perempuan
cantik bermata galak itu lepaskan pukulan jarak jauh berupa cahaya biru sebesar
jeruk purut. Weess...! Cahaya biru itu melesat dan menghantam seonggok batu
karang di pertengahan pantai. Blaaarr...!
Tujuannya hanya ingin memberi
tahu Pendekar Msbuk yang sedang kebingungan mencarinya, bahwa ia ada di atas
tebing curam itu menunggu menyelesaikan tantangannya. Pendekar Mabuk segera
memandang ke arah tebing, lalu dalam sekejap ia pun lenyap, tahu-tahu sudah
berada di atas tebing datar tersebut.
Awan Setangkai segera
palingkan badan hingga berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Sorot pandangan
matanya memancarkan permusuhan yang masih merupakan tanda tanya bagi hati
Pendekar Mabuk sendiri. Mereka saling beradu pandang dalam jarak enam langkah.
Masing-masing memperlihatkan ketenangan dan keberanian yang tanpa gentar
sedikit pun.
"Kau sudah siap mati di
tanganku, Pendekar Mabuk?!" ucap Awan Setangkai sengaja menggertak untuk
ciutkan nyali Suto Sinting. Tapi gertakan itu
hanya ditertawakan oleh murid si Gila Tuak melalui senyum lebar yang
memancarkan daya pikat mengagumkan setiap wanita. Hati perempuan cantik itu
berdebar saat menyadari bahwa senyuman Suto Sinting itu ternyata begitu mengagumkan
dan enak dipandang mata.
"Kapan pun aku siap mati
di tanganmu, Nona Cantik," ujar Suto Sinting mulai gunakan 'aji rayuan
gombal'-nya. Kata-kata seperti itu dilontarkan hanya untuk meremehan tantangan
lawannya. Awan Setangkai merasa diremehkan, namun ia tetap menjaga luapan
kemarahannya agar tetap terkendali dan tetap tenang. Ia sunggingkan senyum
tipis yang sangat dingin, sedingin salju kutub utara.
"Tapi sebelum kau
berhasil membunuhku," kata Suto Sinting, "... kumohon lebih dulu kau
jelaskan apa alasanmu memusuhiku, Awan Setangkai? Baru sekarang aku merasa
benar-benar dimusuhi oleh gadis secantik kau."
"Kau tak perlu tahu
alasan itu. Tetapi percayalah dengan kata-kataku, kematianmu mempunyai manfaat
sendiri bagi pihak lain. Terutama pihakku!"
"Tapi merugikan pihak
lain juga, terutama pihak kekasihku: Dyah Sariningrum."
"Aku tak kenal perempuan
itu, sehingga aku tak perlu peduli dengannya. Yang jelas, aku tak ingin kau
hidup lebih dari satu hari lagi."
"Agaknya nyawaku sangat
menggairahkan bagi murkamu," ujar Suto Sinting sambil tersenyum kalem.
"Tapi percayalah, Awan Setangkai... membunuh orang seperti diriku memang
sangat mudah. Yang sulit adalah melumpuhkan ilmuku sebelum nyawaku melayang.
Kalau tak percaya, cobalah bertanya pada arwah orang- orang yang memaksaku
membunuhnya." "Bicaramu semakin lama semakin membakar darahku,
Pendekar Mabuk! Sebaiknya, kita mulai saja pertarungan ini dan bersiaplah untuk
mati dalam satu gebrakan!"
"Kau perempuan yang
terlalu yakin dengan diri sendiri," ujar Pendekar Mabuk dalam bingkai
senyum ketenangannya. Awan Setangkai melangkah ke samping pelan-pelan dengan
mata memandang tajam, penuh waspada. Suto Sinting justru sempatkan diri
menenggak tuaknya tanpa rasa takut diserang.
Rupanya Pendekar Mabuk sudah terbiasa
memancing lawannya dengan cara berlagak lengah meminum tuak. Awan Setangkai tak
tahu kalau sedang dipancing, sehingga ketika ia gerakkan tangannya untuk
melepaskan pukulan jarak jauh, tiba-tiba tangan kiri Suto Sinting melepaskan
sentilan yang bernama jurus 'Jari Guntur' itu. Tes, tes...!
Behg, behg...!
"Uuhg...!" Awan
Setangkai tersentak mundur dua langkah karena tenaga dalam yang keluar dari
sentilan tangan Suto Sinting itu mempunyai kekuatan sebesar tendangan kuda
jantan. Ulu hati gadis itu menjadi sakit dan pernapasannya terasa sesak sekali.
"Setan! Aku
kecolongan!" geram Awan Setangkai dalam hatinya. "Uuh... sakitnya
bukan main. Tulang igaku seperti ada yang patah dan ulu hatiku bagai dihantam
balok besar. Kurang ajar betul dia! Awas, akan kubalas dengan caraku
sendiri!"
Pendekar Mabuk sengaja
pamerkan senyum kemenangan saat Awan Setangkai tegak kembali setelah menghirup
udara banyak-banyak. Sikap yang ditampilkan gadis itu adalah sikap tenang,
seakan tidak merasa heran dengan serangan Suto Sinting tadi. Ia bahkan berlagak
melengos ke samping kanan.
Tetapi tiba-tiba kepalanya
menyentak ke kiri dengan pandangan mata tak berkedip. Wuuut...! Dan seketika
itu pula Suto Sinting terlempar ke samping bagai ada tenaga besar yang
membantingnya. Brruuk...!
"Edan! Rupanya ia punya
kekuatan tenaga dalam melalui pandangan matanya?!" pikir Suto Sinting
sambil bergegas bangun. "Hmmm... boleh juga. Tapi dia belum tahu kalau aku
pun mempunyai jurus 'Pranasukma' yang dapat melemparkan tubuh manusia sebesar
apa pun dengan kekuatan pandangan batinku. "
Jurus 'Pranasukma' adalah
jurus yang mengandalkan kekuatan batin untuk memindahkan atau menghancurkan
benda apa pun. Jurus ini pemberian dari tokoh sakti sahabat si Gila Tuak yang
bernama Setan Merakyat. Menurut keterangan Setan Merakyat, jurus 'Pranasukma'
hanya bisa digunakan sebanyak seratus kali. Ketika itu, jurus tersebut sudah
digunakan oleh Setan Merakyat sendiri sebanyak empat kali, sedangkan setelah
diturunkan kepada Suto Sinting, jurus itu sudah digunakan tujuh belas kali.
Berarti jurus itu sekarang tinggal tujuh puluh sembilan kali lagi, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Setan Rawa Bangkai").
Pendekar Mabuk berdiri tegak
kembali, ia masih tampak kalem dengan senyum tipis menghias bibirnya. Tatapan
matanya tertuju lekat-lekat ke wajah Awan Setangkai. Gadis itu sunggingkan
senyum sinis sebagai tanda penghinaan atas serangan balasannya tadi.
"Kau pikir hanya kau
sendiri yang bisa lakukan serangan licik seperti tadi? Hmmm... kau lihat sendiri
aku pun bisa menyerangmu tanpa beranjak dari tempatku!" ujar Awan
Setangkai dengan rasa bangga. Bahkan ia menambahkan kata ketika Suto Sinting
hanya diam saja dan tetap sunggingkan senyuman yang menjengkelkan hati itu,
"Sekarang apa lagi yang
ingin kau lakukan? Aku sudah siap menerima seranganmu walau. "
Brruk...! Tiba-tiba tubuh Awan
Setangkai terlempar ke belakang dan jatuh terbanting dalam keadaan telentang.
Suto Sinting telah gunakan jurus 'Pranasukma' untuk mengecohkan sikap angkuh si
gadis cantik itu. Dengan begitu, kini jurus 'Pranasukma' hanya bisa digunakan
sebanyak tujuh puluh delapan kali lagi. Karena agaknya Suto Sinting tidak akan
lakukan serangan kepada Awan Setangkai dengan jurus itu lagi. Cukup satu kali
untuk membuat si gadis agar tak terlalu besar kepala.
"Setan kurap!" geram
hati Awan Setangkai. "Rupanya ia
memiliki kekuatan pandangan mata seperti yang kumiliki. Hmmm kalau begitu aku
harus hati-hati
melakukan tindakan kepadanya.
Aku tak boleh lengah sedikit pun."
Pendekar Mabuk bicara dengan
tawa kecilnya, "Kalau kumau, aku bisa melemparkan tubuhmu sampai ke tengah
samudera sana, atau kusangkutkan pada tepian matahari yang ingin tenggelam di
cakrawala itu!"
"Hmmm...!" Awan
Setangkai mencibir sinis sekali.
Suto Sinting berkata,
"Tapi aku tak mau lakukan kekejian seperti itu, karena gadis secantik kau
tak layak diperlakukan seperti itu. Gadis seperti kau lebih layak diperlakukan
dengan lemah lembut dan penuh kemesraan."
"Tutup mulutmu,
Biadab!" sentak Awan Setangkai dengan berang. "Kau tak perlu
coba-coba merayuku dengan ungkapan yang menjijikkan seperti itu!"
"Kau menganggap ungkapan
itu menjijikkan karena kau belum pernah merasakan betapa indahnya kemesraan
dalam pelukan yang damai. Jika kau pernah merasakan, maka kau tidak akan berkata
'menjijikkan' tapi akan berkata 'melenakan'. Percayalah kau. ?"
"Diaaamm...!" teriak
Awan Setangkai sambil menutup kedua telinganya, ia tampak tegang sekali dan
wajahnya menjadi sangat berang. Suto Sinting sembunyikan perasaan herannya
dalam hati melihat perubahan sikap lawannya.
"Mengapa ia tampak
seperti tersiksa sekali mendengar kemesraan yang kukatakan? Mengapa ia
kelihatannya sangat ketakutan mendengar ucapan lembutku? Ada apa di balik
kekuatan ilmunya itu? Akan kucoba bicara tentang kemesraan lagi!"
Awan Setangkai berkata keras,
"Jangan buang-buang waktu lagi! Bersiaplah untuk mati di tanganku,
Pendekar Mabuk!"
"Kau akan kehilangan
kasih sayang dan kehangatan jika sampai aku mati di tanganmu. Kau tak akan tahu
bahwa ada sekerat hati yang mengagumi kecantikanmu dan ingin memelukmu dengan
penuh kasih sayang dan keindahan yang dapat
menerbangkan khayalanmu. Kau. "
"Diam, diam,
diaaam...!" teriaknya dengan semakin keras, lebih pantas dikatakan sebagai
jeritan.
"Kuhancurkan mulut
busukmu, Setan Kurap!
Hiaaah !"
Wuuut...! Awan Setangkai
menerjang Suto Sinting dengan satu lompatan cepat. Pendekar Mabuk segera
menyingkir dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman'- nya. Zlaaap. Akibatnya
gadis itu menerjang tempat kosong, sedangkan orang yang dituju sudah berada
jauh di belakangnya. Dari sana Suto Sinting berseru melontarkan kata-kata
bernada mesra.
"Kau tak pantas
menyerangku, Awan Setangkai! Karena kau akan kupeluk dan kucium dengan penuh
kelembutan dan cinta yang membara. Barangkali kau akan kuterbangkan ke
puncak-puncak keindahan cinta yang akan berkesan sepanjang hidupmu. "
"Tidaaaakk...!"
teriaknya sambil lakukan lompatan lagi dan seberkas cahaya merah keluar dari
telapak tangannya. Claaap...! Weeess !
Blegaaar !
Ledakan dahsyat terjadi begitu
hebatnya, mengguncangkan tebing, merontokkan bebatuan karang yang menjadi kulit
dinding tebing itu. Bahkan ombak lautan yang berjarak sepuluh langkah dari
ketinggian di atasnya pun menyemburkan kekuatan getar hingga ombak itu
melambung tinggi bagaikan ingin ikut murka.
Ledakan itu timbul karena
sinar merah tersebut ditangkis oleh Suto Sinting menggunakan bumbung tuaknya.
Biasanya bumbung tuak itu bisa memantul- balikkan sinar pukulan lawan. Tetapi
kali ini sinar itu justru meledak setelah kenai bumbung tuak. Berarti sinar
merah itu mempunyai kekuatan maha dahsyat yang mungkin dapat meleburkan raga
Suto Sinting menjadi debu jika sampai kenai tubuh Suto Sinting. Namun karena
sinar mengenai bumbung tuak sakti, dan bumbung itu tidak lecet sedikit pun, maka
yang terjadi adalah ledakan sedahsyat tadi.
Awan Setangkai masih menutup
telinga dengan kedua tangannya. Napasnya terengah-engah dan kepalanya sedikit
menunduk, ia bagaikan menyembunyikan ketakutan yang terpampang di wajahnya.
Pendekar Mabuk semakin heran melihat kenyataan itu, dan berniat usil untuk
menggunakan kalimat-kalimat mesra lagi. Dengan melangkah lebih mendekat lagi,
Pendekar Mabuk pun gunakan kata-kata lembut yang merdu merayu.
"Jangan biarkan murkamu
membunuh asmara yang timbul di batinku, Awan Setangkai. Asmara ini meratap
ingin merenggut jiwamu untuk bersatu menjalin cinta dan keindahan. "
"Tidak! Tidak ! Hentikan
ucapanmu itu! Hentikan!" "Tak ada kemesraan yang bisa dihentikan jika
sudah berhadapan denganmu, Awan Setangkai. Kau adalah ratu kemesraan yang sangat mengagumkan dan
patut dimuliakan. Rasa-rasanya sekarang pun hatiku telah meremas penuh
keindahan pada tepian hatimu. Aku terkulai lemas dalam pelukanmu, Sayang "
"Tidaaaakk...!
Hentikaaaan...! Hentikaaaan...!" teriak gadis aneh itu. Ia bagai mengalami
rasa sakit yang begitu besar di telinganya, ia menahan kuat-kuat sambil
berteriak-teriak hingga tubuhnya berkeringat dan jatuh terkulai berlutut.
"Remaslah jariku.
Genggamlah tanganku. Semua menjadi milikmu, Awan Setangkai. Semua keindahan dan
kemesraanku menjadi milikmu. Rasakan kehangatan bibirku yang merayap di
lehermu, Awan Setangkai "
"Ooooh,
tidaaaakk...!" Awan Setangkai akhirnya menangis terisak-isak bagai
ditinggal mati neneknya. Kalimat-kalimat mesra itu seakan melumpuhkan kekuatan
dan kegalakannya. Pendekar Mabuk diam terbengong memandangi Awan Setangkai
terisak-isak sambil cucurkan air mata dan tetap menutup kedua telinga
menggunakan kedua tangannya.
"Tolong hentikan...!
Hentikan kata-katamu itu. Ooh...
aku tak sanggup lagi
menerimanya...," pinta gadis itu dalam tangis.
"Gadis ini gila apa
sinting sebenarnya? Mendengar rayuan mesra menjadi lumpuh tak berdaya. Aneh
sekali?! Padahal rayuanku tidak menggunakan tenaga dalam dan ilmu apa pun
kecuali ilmu 'menggombal' yang sejak kecil sudah ada padaku," pikir Suto
Sinting sambil tetap pandangi tangis Awan Setangkai.
Gadis cantik itu masih
berlutut dan tundukkan kepala, mendekap kedua telinganya sambil perdengarkan
suara tangis samar-samar. Pendekar Mabuk justru menjadi bingung sendiri; antara
ingin membujuk atau membiarkan semangat membunuh si gadis timbul kembali?
Akhirnya ia berkata kepada
Awan Setangkai depan suara pelan dan berkesan lembut,
"Apakah kita jadi
bertarung mengadu nyawa? Mari sudah hampir gelap, cepat cabut pedangmu dan bunuhlah aku jika kau mampu, Awan
Setangkai!"
Tiba-tiba gadis itu tegakkan
badan, memandang dengan penuh nafsu membunuh, ia segera bangkit dan mencabut
pedangnya. Namun sebelum pedang tercabut, Suto Sinting segera berkata,
"Kalau kau tega membunuh
orang yang merindukan dirimu, mencintaimu dan berhasrat sekali mencium
keningmu, maka bunuhlah sekarang juga. Biarlah kerinduan dan hasrat cintaku
terkubur bersama jasadku. Aku rela mati di tangan gadis yang telah kupeluk
mesra dalam khayalanku. "
"Oooh...! Setaaan...!
Hentikan kata-katamu itu! Hentikaaan...! Oh, jangan lagi bicara kemesraan di
hadapanku. Aku... aku tak mampu menerimanya "
Gadis itu menangis lagi,
berlutut kembali, dan kekuatannya bagai sirna dalam beberapa waktu. Pendekar
Mabuk hanya berucap dalam batinnya. "Kurasa dia asli gila! Baru sekarang
kutemukan seorang gadis yang bagaikan lumpuh begitu mendengar rayuan mesra.
Hmm... jangan-jangan memang ia edan dari sananya."
Tangis itu tiba-tiba terhenti
secara mengejutkan, berganti pekikan tertahan yang dibarengi gerakan tubuh
tegak mengejang, wajah merenggang tegang, mulut ternganga dan mata mendelik
lebar.
"Aaahk...!" .
"Awan
Setangkai...?!" sentak Suto Sinting dengan rasa kagetnya. Dahi pendekar
tampan itu segera berkerut penuh keheranan. Awan Setangkai roboh ke depan tak
berdaya lagi.
Pada saat tubuh itu roboh ke
depan Suto Sinting melihat sebilah pisau kecil menancap di punggung Awan
Setangkai. Pisau itu berukuran panjang setengah jengkal. Gagangnya terbuat dari
logam kuning emas. Mata pisaunya terbenam seluruhnya di punggung Awan
Setangkai.
Hal yang membuat heran Suto
Sinting adalah asap merah yang keluar dari luka tusukan pisau tersebut. Asap merah itu bercampur dengan
busa kehitam-hitaman yang merembas keluar dari luka sekeliling pisau.
"Racun ganas...?!"
gumam Suto Sinting dengan tegang. "Siapa pemilik pisau itu? Siapa orang
yang telah menyerang Awan Setangkai? Tak kulihat ada bayangan di sebelah sana.
Hmmm... jurus 'Lacak Jantung'-ku pun tak bisa menangkap detak jantung orang
lain di sekitar sini? Gila! Pasti orang itu berilmu tinggi, hingga bisa
sembunyikan detak jantungnya hingga tak tertangkap oleh jurus 'Lacak
Jantung'-ku."
Pendekar Mabuk memandang
dengan mata liar ke arah sekeliling tempat itu. Namun ia benar-benar tidak
dapat melihat tanda-tanda kehidupan manusia lain di sekitar tempat tersebut.
Sementara itu, luka di punggung Awan Setangkai semakin menyemburkan busa-busa
hitam dan bau busuk menyebar ke mana-mana. Suto Sinting dalam kebimbingan
antara membawa pergi Awan Setangkai untuk diselamatkan di tempat lain, atau
memburu si penyerang' gelap itu?
*
* *
7
TEBING karang itu ternyata
berongga bagian bawahnya. Lorong yang tercipta secara alami membentuk goa
bermulut lebar. Air laut dapat masuk sampai ke dalam lorong itu apabila sedang
pasang. Beruntung sekali petang itu air laut tak pasang, sehingga lorong
tersebut bisa digunakan sebagai tempat berteduh untuk sementara waktu.
Dalam cahaya api unggun yang
sengaja disusun di tengah lorong itu oleh Suto Sinting, wajah cantik Awan
Setangkai tampak bagai memancarkan sinar kecantikannya. Gadis itu baru saja
siuman dari pingsannya. Racun yang mengganas di tubuhnya telah berhasil
dilumpuhkan oleh kesaktian tuak Suto sebelum berhasil merenggut jiwa gadis itu.
Luka bekas tusukan pisau kecil pun hilang. Tak membekas walau seujung jarum
pun. Kini pisau setengah jengkal bergagang emas sedang diperhatikan oleh Awan
Setangkai. Tangannya yang memegangi pisau tersebut masih tampak gemetar
pertanda kesehatannya belum pulih sepenuhnya. Namun beberapa saat kemudian,
getaran pada tangan pun hilang, dan tubuh Awan Setangkai terasa sangat segar.
Lebih segar dari saat-saat sebelum itu.
Suto Sinting sengaja tidak
membuka suara, ia pandangi wajah cantik berbibir menggemaskan itu. Sekalipun tanpa
senyum, namun tetap saja mempunyai daya pikat cukup besar. Pendekar Mabuk
berdecak kagum dalam hati beberapa kali.
"Rupanya dia sudah
mengetahui tindakanku."
Tiba-tiba Awan Setangkai
bicara pelan bagai orang menggumam. Pendekar Mabuk mulai tertarik dengan ucapan
kata itu, walau ia tak tahu persis kepada siapa ucapan kata itu ditujukannya.
Tapi ia mencoba melebarkan percakapan di ujung petang itu dengan ajukan sebuah
pertanyaan sederhana.
"Dia siapa
maksudmu?"
Tanpa memandang Suto Sinting,
Awan Setangkai menjawab, "Pemilik pisau ini!"
"Kau mengenal
pemiliknya?" "Si Penyamun Senja!"
Suto Sinting sedikit merasa
heran mendengar nama Penyamun Senja. Baginya nama itu cukup unik. Tapi ia tak
ingin membahas keunikannya, ia hanya ingin tahu, siapa si Penyamun Senja itu.
Karenanya ia segera ajukan tanya kepada Awan Setangkai.
"Siapa orang yang bernama
Penyamun Senja itu?
Musuh lamamu atau lawan
barumu?"
Awan Setangkai tarik napas
panjang, wajahnya yang sejak tadi tertunduk pandangi pisau bergagang emas itu
kini terangkat, sehingga tatapan matanya tertuju lurus ke mata Suto Sinting.
Sejenak kemudian ia pun perdengarkan suaranya yang masih bernada ketus namun
tak terlihat getar permusuhannya.
"Penyamun Senja adalah
adik sepupu dari Nyai Ratu Cendana Sutera, namun juga sebagai pengawal pribadi
sang Ratu."
Kini Stito Sinting terbungkam
merenungi jawaban tadi. Jika benar pisau itu milik adik sepupu Ratu Cendana
Sutera, berarti pisau itu salah sasaran. Tujuannya ke arah tubuh Suto Sinting,
tapi mengenai punggung Awan Setangkai.
"Bukankah Awan Setangkai
orang kepercayaan Ratu Cendana Sutera?" ujar Suto Sinting dalam hatinya.
Lalu, Suto terngiang kata-kata
Nyai Sedap Malam saat sebelum ia, Elang Samudera dan Bawana meninggalkan rumah
Ki Palang Renggo itu. Saat itu Nyai Sedap Malam bagai memberi pesan khusus
untuk Suto Sinting karena bicaranya berbisik pelan seakan takut didengar Elang
Samudera maupun Bawana.
"Jika bertemu dengan Awan
Setangkai, hindarilah perempuan ganas itu. Ilmunya cukup tinggi. Dia adalah orang
kepercayaan penguasa Selat Bantai yang paling berbahaya dari seluruh pengawal
pribadi dan prajurit sang Ratu Cendana Sutera "
"Mengapa harus
kuhindari?" potong Suto dengan rasa ingin tahu sekali. Nyai Sedap Malam
pun menjelaskan dengan berbisik,
"Jika ia telah
menyerangmu, berarti ia tak ingin bertemu denganmu dalam keadaan hidup, ia
tetap akan memburu nyawamu sampai kapan pun. Itulah sifat orang-orang Selat
Bantai."
Maka, setelah mendengar
pengakuan Awan Setangkai tentang si pemilik pisau itu, Suto Sinting yakin betul
bahwa pisau itu salah sasaran, ia berkata kepada Awan Setangkai.
"Orang yang bernama
Penyamun Senja itu ternyata bukan orang yang tangkas, ia masih bisa salah
sasaran dalam melemparkan pisau mautnya. Seharusnya ia bisa mengarahkan ke dadaku,
karena saat itu keadaanku sangat terbuka tanpa pelindung apa pun. Tapi mengapa
dia bisa salah lemparkan pisau itu ke punggungmu? Sungguh memalukan ketangkasan
orang Selat Bantai itu rupanya."
"Sasaran pisau ini memang
bukan dirimu. Sasarannya adalah nyawaku!" ujar Awan Setangkai dengan nada
dingin.
Raut wajah Suto Sinting
menampakkan keheranannya.
"Apakah... apakah kau
bermusuhan dengan Penyamun Senja? Bukankah kau dan Penyamun Senja sama-sama
orang Selat Bantai dan sama-sama memburuku?"
"Memang. Tapi
masing-masing punya tujuan yang berbeda."
"Bisa kau jelaskan
mengapa bisa berbeda tujuan?"
Awan Setangkai tidak segera
berikan jawaban, ia diam beberapa saat, memandangi pisau itu kembali. Lalu,
pisau dilemparkan ke arah belakang bagai dibuang begitu saja. Tapi rupanya
gerakannya punya tekanan jurus tersendiri, sehingga pisau itu dapat menancap
kuat di sela-sela dinding karang.
Craaak...!
Suto Sinting terbengong
melihat pisau itu menancap di dinding karang. Semakin terbengong lagi ketika
Awan Setangkai menuding pisau itu dengan telunjuknya dan dari telunjuk keluar
sinar putih perak kecil sekali. Sinar itu menghantam gagang pisau lalu pisau
pun meledak. Duaar...! Pisau hancur bersama serpihan dinding karang. Mulut
melompong Pendekar Mabuk segera dikatupkan karena malu dipandangi gadis cantik
itu. Sang gadis segera ajukan tanya yang membuat Suto
Sinting sedikit menggeragap.
"Mengapa kau selamatkan
nyawaku dari racun pisau itu?!"
"Hmmm... ehh... aku...
aku tak sengaja menyelamatkan nyawamu. Aku hanya... hanya menyangka kau
kehausan, lalu kuberi minum tuakku, dan... entah mengapa kau tak jadi
mati."
Awah Setangkai mencibir sinis.
Tapi dalam hatinya tahu bahwa jawaban Suto Sinting hanya sekadar menutupi
kenyataan yang ada. Ia tetap merasa diselamatkan oleh Pendekar Mabuk.
"Apakah jika sudah begini
aku harus batalkan rencanaku menghabisi nyawanya?" ujar Awan Setangkai
dalam hati. "Dia telah selamatkan nyawaku dari racun amat ganas itu. Dia
telah mengetahui kelemahanku jika mendengar rayuan. Apakah aku masih bisa
membunuhnya seperti rencana semula?"
Pendekar Mabuk menengok
tuaknya yang tinggal sepertiga bumbung itu. Awan Setangkai memperhatikan tiada
berkedip dengan dada berguncang tak menentu rasa. Suto Sinting tahu dirinya
sedang diresahkan oleh Awan Setangkai, dan ia berlagak acuh tak acuh terhadap
pandangan gadis itu.
"Katakan, mengapa kau
selamatkan nyawaku dari racun itu?!" desak Awan Setangkai.
"Sudah kukatakan tadi;
aku tidak sengaja menyelamatkanmu!"
"Hmm...!" Awan
Setangkai mencibir lagi. "Kalau begitu kau pendekar yang bodoh."
"Mungkin memang
begitu."
"Sementara kau selamatkan
nyawaku, kau sendiri terancam oleh kematian dariku. Apakah kau tak perhitungkan
hal itu?"
"Kalau kau mau
membunuhku, kurasa sudah sejak tadi kau menyerangku. Tapi mengapa tidak kau
lakukan?"
Awan Setangkai salah tingkah
sendiri, ia berkata sekenanya, "Aku sedang malas membunuh," sambil ia
palingkan wajah tak berani menatap Suto Sinting yang memandangnya dengan
pancaran sorot mata menggetarkan hati.
Pendekar tampan itu tersenyum,
bahkan tertawa kecil tanpa suara. Tangannya meraih ranting kering dan bermain
api unggun.
"Kurasa kau seorang
manusia, bukan seekor binatang. Kau pasti punya perasaan manusiawi, yang tidak
akan membunuh seseorang yang telah menyelamatkan nyawamu dari maut. Aku percaya
kau bukan iblis betina yang menjelma menjadi Awan Setangkai. Kau wanita yang
punya kelembutan tersembunyi dan. "
"Cukup!" sentak Awan
Setangkai merasa takut mendengar rayuan lagi. Matanya yang bening bundar itu
memandang tajam kepada Suto Sinting, dan oleh Suto hanya dilirik sebentar
bersama senyum yang melebar geli.
"Jangan coba-coba
merayuku lagi. Aku semakin muak padamu!"
"Aku tahu kelemahanmu
sekarang," ucapan lirih Suto Sinting itu menggelisahkan hati Awan
Setangkai.
"Tapi aku tak akan
lakukan hal yang membuatmu sakit. Aku tak akan merayumu lagi," kata Suto
dengan tenang. "Aku hanya ingin tahu, mengapa kau tampak menderita bila
mendengar rayuan? Jelaskanlah padaku, setidaknya sebagai bekal sebelum rohku
kau kirim ke neraka nanti."
Setelah diam beberapa saat,
Awan Setangkai menjawab, "Aku dikutuk oleh bibiku sendiri karena dituduh
berbuat tak senonoh dengan pamanku. Kutukan itu membuat seluruh tubuhku menjadi
sakit dan tenagaku lenyap jika mendengar
rayuan seorang lelaki yang menggetarkan hatiku. Sampai sekarang aku tak bisa hindari kutukan tersebut, sementara
bibiku sendiri sudah tewas."
"Menyedihkan
sekali," gumam Suto Sinting dengan seulas senyum lembut mekar di bibir dan
membuat hati Awan Setangkai berdesir indah. Tapi sang hati mendesah jengkel
karena sebenarnya ia tak ingin merasakan desiran itu.
"Desiran ini hanya
membuatku tak tega membunuhnya," ujar batin si gadis yang merasa serba
salah itu.
"Lalu, mengapa kau ingin
sekali membunuhku. Apakah aku punya salah padamu? Atau kau punya dendam
padaku?"
"Apakah kau tak bersedia
untuk mati?" Awan Setangkai justru ganti bertanya, dan Suto Sinting
tertawa pelan, cukup berwibawa.
"Siapa orangnya yang
bersedia mati sebelum menikmati keindahan cintanya? Kurasa kau sendiri tidak
bersedia mati semuda ini, bukan?"
"Kematianmu demi
menyelamatkan berkembangnya darah keturunan sesat. Jika kau tetap hidup, maka
kemaksiatan, kekejian dan kebiadaban tetap akan berlangsung di Selat
Bantai."
Kening si murid sinting Gila
Tuak itu berkerut menandakan bingung mengartikan penjelasan Awan Setangkai.
Bahkan kini suara Suto Sinting pun terdengar bagai orang menggumam,
"Aku tak jelas dengan
keteranganmu itu."
"Pakai otakmu, jangan
pakai dengkulmu!" katanya dengan ketus.
"Setahuku kau orang Selat
Bantai, dan menurutmu orang yang bernama Penyamun Senja itu juga orang Selat
Bantai. Lalu, apa hubungannya antara rencanamu dengan tindakan Penyamun Senja
itu. Awan Setangkai?" Gadis cantik itu bangkit, memandang petang dari
ambang mulut gua, kemudian kembali lagi ke dalam dan mendekati gugusan api
unggun, ia tetap berdiri memandangi nyala api yang membuat suasana di dalam
lorong gua itu menjadi
temaram.
"Kalau kau tidak kubunuh,
maka kau akan menjadi pria pembenih bagi Ratu Cendana Sutera dan orang-
orangnya. Karena pada malam purnama nanti, bulan kesuburan telah datang. Nyai
Ratu akan menangkapmu dan memaksamu dengan berbagai cara untuk membuahi
kandungannya. Pada malam bulan kesuburan itulah, Nyai Ratu dan orang-orang
Selat Bantai bebas dari kemandulan. Mereka akan hamil dan mempunyai anak.
Semakin tinggi ilmu orang yang menanamkan bibit keturunan kepada mereka,
semakin panjang pula usia mereka, juga anak mereka kelak akan menjadi ksatria-
ksatria tangguh. Sebab itulah maka kau diburu oleh Nyai Ratu Cendana Sutera dan
orang-orangnya. Mereka sepakat memilih kau sebagai pria penanam keturunan. Kau
akan dipaksa melayani mereka dalam waktu tujuh hari."
"Alangkah indahnya,"
canda Suto Sinting yang merasa tak kaget lagi karena sudah mendengar keterangan
dari Kabut Merana.
"Ya, memang indah. Tapi
ketahuilah, setelah tujuh hari nanti kau harus dibunuh sehingga rohmu akan
menitis pada bayi-bayi yang mereka kandung itu."
"Lalu, mengapa sekarang
belum ada tujuh hari, bahkan belum dimulai pembenihan, kau sudah ingin
membunuhku?"
"Karena aku ingin
menggagalkan rencana mereka yang hanya mempunyai kesempatan seratus tahun
sekali itu. Aku tak ingin mereka berkembang baik, karena tingkat kekejaman
mereka sudah melampaui batas. Aku sebagai orang terdekat Nyai Ratu pun merasa
tak setuju dengan kekejian mereka. Sebab itulah, dengan membunuhmu maka aku
berarti menggagalkan kemunculan orang-orang sesat yang akan menjadi penerus
sifat mereka."
"Jadi, singkat cerita,
kau menjadi pembangkang kekuasaan Nyai Ratu Cendana Sutera?"
"Terserah apa kata
mereka; pembangkang atau penentang, aku tak pernah peduli. Yang terpikir olehku
adalah menghancurkan kekuasaan lalim di Selat Bantai itu."
"Mengapa kau ingin
menghancurkan kekuasaan ratumu sendiri?" desak Suto Sinting menandakan
rasa ingin tahunya kian bertambah besar lagi. "Selat Bantai dulu merupakan
kekuasaan dari nenekku. Tetapi nenekku ditumbangkan oleh ibunya Nyai Ratu
Cendana Sutera. Sekarang aku ganti akan merebut kekuasaan itu dan menggunakan
malam bulan kesuburan sebagai jembatan menuju kehancuran kekuasaan Nyai Ratu
Cendana Sutera. Aku harus bisa membunuh ksatria tangguh yang akan menjadi
tumbal keturunan mereka. Kebetulan, ksatria tangguh itu adalah kau. Jadi,
kumohon kau memaklumi jika aku berniat membunuhmu."
"Niat membunuh kok harus
dimaklumi? Yang benar saja kau!" Pendekar Mabuk bersungut-sungut membuat
Awan Setangkai terpaksa salah tingkah kembali.
"Jadi, kau ingin aku
merelakan diriku kau bunuh?"
Awan Setangkai menjawab,
"Itu hanya untuk menggagalkan kemunculan keturunan mereka."
"Apa pun alasannya. Jelas
aku tak akan merelakan diriku kau bunuh atau dijadikan tumbal mereka."
Awan Setangkai menarik napas
panjang, terasa sulit mengambil sikap di depan Pendekar Mabuk. Sebagian hatinya
menyalahkan rencananya sendiri, sebagian hati lagi membenarkan.
Ia hanya bisa berkata,
"Yang jelas, rencanaku menghancurkan ksatria pilihan mereka ternyata sudah
diketahui Nyai Ratu, sehingga Nyai Ratu mengutus Penyamun Senja itu membunuhku.
Itulah sebabnya maka ia tidak menyerangmu, melainkan menyerangku dengan pisau
beracun ganas tadi."
Kini si Pendekar Mabuk
manggut-manggut. Ia mulai jelas terhadap persoalan yang dihadapinya. Jika ia
tidak dibunuh Awan Setangkai, maka ia akan dijadikan pembenih Ratu Cendana
Sutera dan orang-orangnya setelah itu baru dibunuh. Baginya, semua sama saja;
sama-sama mengancam nyawanya. Tapi agaknya ia punya pilihan lain dalam
bersikap.
"Bagaimana menurutmu,
jika aku datang menemui Ratu Cendana Sutera? Apakah kau setuju?"
"Aku setuju setelah kau
datang ke sana tanpa nyawa!" jawab Awan Setangkai tegas dan ketus.
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kalemnya, ia masih duduk di atas batu
setinggi betis.
"Aku ke sana bukan untuk
melayani mereka."
"Lalu mau apa kau ke
sana? Melawan mereka?! Hmmm...! Kau tak akan mampu melawan kesaktian Nyai Ratu
Cendana Sutera. Melawanku saja kau hampir terteter, apalagi melawan
ratuku?!" Awan Setangkai tampak berang, karena hatinya diliputi kecemasan
yang cukup besar.
"Tapi jika kau harus
membunuhku, itu tindakan yang kurang bijaksana, Awan Setangkai. Kurasa ada
langkah yang lebih bijaksana dari niatmu membunuhku itu."
"Rencana apa?!"
"Misalnya, dengan cara
menyembunyikan diriku sampai batas bulan kesuburan itu berakhir baru aku muncul
kembali. Bukankah itu lebih bijaksana daripada harus membunuhku?" Suto
bicara dengan bersungut- sungut pula seperti orang memohon belas kasihan.
Padahal dalam otaknya ia sudah mempunyai rencana sendiri yang mungkin akan
mengejutkan Awan Setangkai.
"Kau tak akan bisa
bersembunyi ke mana pun juga. Walau kau berada di liang semut yang paling
dalam, atau berada di perut bumi. Ratu
Cendana Sutera tetap dapat menemukan dirimu, karena ia mempunyai ilmu 'Kelana
iblis', yang dapat menunjukkan di mana orang yang dicarinya berada."
Pendekar Mabuk diam termenung,
ia membatin, "Jika benar begitu, memang tak ada tempat lagi bagiku untuk
bersembunyi."
Awan Setangkai lanjutkan
kata-katanya yang tadi, "Sebab itulah Penyamun Senja mengetahui di mana
aku berada saat kita di Pantai Karang Hantu. Nyai Ratu pun dapat mengetahui
rencanaku membunuhmu untuk menggagalkan malam bulan kesuburan itu, sehingga ia
mengutus Penyamun Senja untuk membunuhku di Pantai Karang Hantu."
"Kalau begitu," Suto
Sinting bangkit dan melangkah sedikit jauhi api unggun. Sambungnya lagi,
"... berarti tak ada
tempat lagi bagiku untuk bersembunyi. Lalu, untuk apa harus lari ke sana-sini
jika akhirnya tertangkap juga? Lebih baik kutemui ratumu itu dan kutantang
beradu nyawa dalam pertarungan!"
Awan Setangkai memandang
sambil geleng- gelengkan kepala.
"Sama saja kau bunuh diri
jika menantang pertarungan pribadi dengan Nyai Ratu."
"Tapi aku akan mati
secara terhormat. Bukan mati sebagai budak birahinya, bukan mati sebagai tumbal
keturunannya! Aku seorang pendekar, aku harus mati secara terhormat, Awan
Setangkai!" ucap Suto Sinting semakin tegas lagi.
"Bagaimana jika kau mati
di tanganku dalam pertarungan pribadi tanpa gunakan rayuanmu?"
"Mati di tanganmu itu
tidak terhormat, Awan Setangkai! Tak beda dengan mati konyol!"
Awan Setangkai hembuskan
napas. Dalam hatinya berkata, "Seandainya kau setuju dengan pertarungan
kita, belum tentu aku tega membunuhmu, karena kau ternyata bukan pria yang
pantas dibunuh tanpa kesalahan besar. Bukan kau yang salah sebenarnya, tetapi
semua itu kulakukan demi menggagalkan rencana Nyai Ratu. Sementara itu, aku tak
berani bertarung melawan Nyai Ratu secara pribadi. Aku tahu bahwa aku akan
hancur dalam satu gebrakan saja jika melawan Nyai Ratu."
*
* *
8
MENGINGAT Ratu Cendana Sutera
mempunyai ilmu 'Kelana Iblis', maka tak ada jalan lain kecuali dengan menantang
pertarungan sang Ratu Cendana Sutera. Meskipun Awan Setangkai tidak setuju dan
menentang keras rencana itu, tapi Suto Sinting tetap ngotot ingin lakukan
pertarungan di suatu tempat bersama Ratu Cendana Sutera.
Di ujung pagi, ketika mereka
bangkit dari tidur yang saling berjauhan itu, Awan Setangkai bagaikan menemukan
kesegaran dalam pikirannya, ia menyatakan sikap setujunya terhadap rencana Suto
Sinting untuk lakukan pertarungan melawan Nyai Ratu Cendana Sutera.
"Tapi jika kau mati dalam
pertarungan itu, aku akan menggantikanmu dan akan bertarung sampai mati
pula."
"Mengapa begitu?"
tanya Suto Sinting setelah meneguk tuaknya beberapa kali.
"Karena aku tak sudi mati
di tangan para pengawal Nyai Ratu. Lebih baik aku mati di tangan Ratu, karena
itu lebih terhormat bagiku ketimbang mati di tangan bawahannya."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
sambil sunggingkan senyum tipis, kemudian terdengar suaranya berkata bagai
menggumam,
"Aku salut dengan tekad
dan keberanianmu! Kau gadis cantik yang punya perhitungan matang, dalam
menyambut kematian!"
Awan Setangkai hanya
sunggingkan senyum tipis berkesan sinis. Tapi senyum itu justru menambah
kecantikannya semakin memancar menggoda hati setiap lelaki, termasuk si
Pendekar Mabuk sendiri. Sampai akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke Selat
Bantai dan menantang pertarungan dengan Nyai Ratu Cendana Sutera. Dalam hal
ini, Awan Setangkai bersedia sebagai pihak perantara yang akan menghadap sang
Ratu dan menyampaikan tantangan Suto Sinting.
Tetapi langkah mereka segera
terhenti ketika mereka menuruni lembah dan melihat sekelebat bayangan berlari
melintas di hutan depan mereka. Bayangan itu tampak sebagai sosok seseorang
berpakaian putih-hitam yang mempunyai kecepatan gerak cukup tinggi, walau tidak
seperti gerakan Suto Sinting jika berlari gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Di belakang orang yang berlari
cepat itu tampak seseorang mengejarnya dengan gerakan yang sama cepat. Namun
agaknya si pengejar segera meningkatkan kecepatan larinya, hingga dalam
beberapa kejap saja ia dapat memburu lawannya. Orang berpakaian putih-hitam
terjungkal saat diterjang dari belakang oleh lawannya. Brrruus...!
"Aaahg...!" orang
itu terpekik tertahan, namun tampak segera bangkit kembali dengan memasang
kuda- kudanya.
Pendekar Mabuk segera ambil
tempat untuk bersembunyi. Awan Setangkai mengikutinya dengan dahi
berkerut-kerut. Lalu ia berbisik kepada Suto Sinting dari balik semak-semak
itu,
"Kalau tak salah lihat,
orang berbaju ungu itu adalah sahabatmu yang kala itu menerjangku saat kita di
Pantai Karang Hantu. Aku masih punya perhitungan tersendiri dengannya"
Suto Sinting hanya nyengir
pendek. "Dia memang sahabatku. Namanya Elang Samudera. Tapi kumohon
lupakan tentang perhitungan itu. Jangan coba-coba melawannya, nanti aku menjadi
tak simpati lagi padamu. Lebih baik bersahabatlah, seperti halnya diriku yang
tak membalas racunmu waktu itu." "Ssst...! Sudah, sudah! Perhatikan
saja percakapan mereka. Agaknya sahabatmu itu menuduh Bawana sebagai "
"Hei, kau tahu nama
lelaki berpakaian putih-hitam itu, rupanya?" potong Suto Sinting.
"Tentu saja, aku
mengenalnya. Bawana adalah orang Pulau Dulang yang sudah bersekutu dengan Ratu
Cendana Sutera. Dia orang kuat di Pulau Dulang. Tapi demi upah besar dari sang
Ratu, dia mau lakukan kerjasama, mengerjakan apa pun perintah Ratu Cendana
Sutera."
"Ooo.. jadi dia memang
benar sebagai orang Pulau Dulang? Tapi ia juga bekerja untuk Ratu Cendana
Sutera?"
Awan Setangkai mengiyakan
dalam gumam. Pendekar Mabuk rnanggut-manggut, lalu tak bicara lagi, sebab suara
Bawana terdengar menyentak keras kepala Elang Samudera.
"Kalau benar aku orang
Selat Bantai, kau mau apa?!" "Nah, begitu lebih bagus. Kau telah
mengaku secara
tak langsung!" kata Elang
Samudera. "Kita tinggal main perhitungan saja; mengapa kau membawaku dan
Pendekar Mabuk keluar dari pondok Ki Palang Renggo?"
"Yang ingin kubawa bukan
kau, Bocah Kencur! Yang ingin kubawa adalah Pendekar Mabuk, ia akan kujebak
masuk dalam perangkap Nyai Ratu Cendana Sutera. Sebab memang aku diupah oleh
beliau untuk menangkap Pendekar Mabuk dalam keadaan hidup-hidup. Aku terpaksa
harus merendah dan menggunakan siasat supaya di antara kami tak terjadi
pertarungan yang membahayakan nyawa si Pendekar Mabuk. Tapi rupanya si murid
Galak Gantung, musuh lamaku itu, mulai membuka rahasia dengan berkasak-kusuk
kepada Pendekar Mabuk, ia pernah melihatku berada di istana Selat Bantai. Aku
jadi waswas, dan terpaksa pergi untuk mengatur siasat baru."
"Manusia licik!" geram
Elang Samudera.
"Tanpa kelicikan, siapa
pun akan binasa dimakan kebodohannya sendiri!"
"Hemm...!" Elang
Samudera mendengus sinis. "Sekarang apa maumu, hah?!" bentak Bawana
bernada menantang.
"Selagi tak ada Pendekar Mabuk, aku tak keberatan melenyapkan nyawamu
sekarang juga, jika memang itu maumu!"
"Kau tak akan berhasil
membawa Pendekar Mabuk kepada Ratu Cendana Sutera! Selagi aku masih ada dan
masih bisa bernapas, kau akan sia-sia menggunakan siasat dan kelicikanmu untuk
menjebak Pendekar Mabuk!"
"Kalau begitu, berarti
aku harus melenyapkan dirimu lebih dulu. Dan terimalah awal kehancuranmu ini,
Bocah Dungu! Heeaah...!"
Bawana menyerang lebih dulu
dengan tangan kosong. Suatu lompatan cepat dilakukan menerjang Elang Samudera.
Sambil melompat, ia melepaskan jarum- jarum hitam dari tangannya.
Weeerrss...! Elang Samudera
segera hindari jarum-jarum hitam itu dengan melenting tinggi ke atas dan
melepaskan pukulan bercahaya hijau mirip bintang berekor. Claaap...! Sinar
hijau itu menghantam kepala Bawana. Sayang, sebelum kenai kepala, Bawana Sudah
lebih dulu menghentakkan tangan kirinya, dan seberkas sinar merah melesat
menghantam sinar hijaunya Elang Samudera itu. Claap...!
Blegaaar...!
Ledakan cukup dahsyat terjadi
dan mengguncangkan beberapa pohon di sekitar tempat itu. Tetapi agaknya kedua
orang yang bertarung itu tidak hiraukan ledakan tersebut. Bawana yang semula
tampak polos dan seperti orang tak berilmu itu tiba-tiba melambung tinggi ke
udara dalam gerakan bersalto beberapa kali. Wuk, wuk, wuk...! Lalu, ia segera
mendaratkan kakinya ke bumi. Jleeg...!
"Gila!" sentak Suto
Sinting dengan suara tertahan, ia sangat terkejut, sama seperti Elang Samudera.
Karena pada saat Bawana menapakkan kakinya kembali ke tanah, orang kurus itu
berubah menjadi manusia tinggi, besar, dan berwajah lebar. Bawana menjadi
raksasa yang tingginya dua kali lebih tinggi dari Pendekar Mabuk. Kakinya
besar, tangannya besar, mulutnya lebar. Matanya membelalak besar menyeramkan.
Perubahan badannya yang kurus itu kini menjadi gemuk seperti badan dua kerbau
dijadikan satu.
Elang Samudera segera mencabut
pedangnya sambil bergerak mundur. Saat itu, Awan Setangkai berbisik kepada Suto
Sinting,
"Temanmu itu akan tumbang
diinjak-injak Bawana. Jika ia sudah menjadi raksasa seperti itu, ilmunya lebih
tinggi lagi dan sukar ditumbangkan lawan."
"Seandainya kau yang
melawannya, apa yang akan kau lakukan?"
"Akan kuhantam mata
kakinya, karena di situlah letak kekuatannya. Jika mata kakinya pecah, walau
cuma salah satu, maka ia akan lemah dan berubah kembali menjadi manusia
biasa!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum kecil. Tapi Awan Setangkai segera sadar bahwa ia telah terjebak oleh
pertanyaan Suto Sinting, sehingga tanpa sadar ia mencubit pinggang Suto Sinting
dan menggerutu di dekat telinga pemuda tampan itu.
"Setan kau! Pandai sekali
lidahmu membuat jebakan seperti itu! Aku sampai tak merasa telah terpancing
membeberkan rahasia yang seharusnya hanya aku dan orang-orang tertentu yang
mengetahuinya."
"Kau sendiri mengetahui
rahasia itu dari Bawana, bukan?"
"Bukan! Aku mengetahui
rahasia itu dari Nyai Ratu. Semua orang Selat Bantai mengetahui rahasia
tersebut. Karenanya, Bawana ciut nyali jika harus bentrok dengan orang Selat
Bantai," tutur Awan Setangkai sambil memperhatikan Elang Samudera yang
tampak kewalahan menghadapi serangan ganas si raksasa Bawana itu.
"Kalau kau tak turun
tangan, temanmu itu sebentar lagi pasti akan menjadi mayat yang
mengerikan!" bisik gadis itu.
Baru saja Awan Setangkai
berkata demikian, tiba-tiba Pendekar Mabuk melihat jelas tubuh Elang Samudera
dibanting kuat-kuat oleh raksasa Bawana. Pedang yang ditebaskan Elang Samudera
berhasil dihindari. Tangan Elang Samudera disambar, oleh raksasa Bawana,
kemudian disabetkan di pohon. Buuurrk...!
"Aauh...!" pekik
Elang Samudera. Kemudian tubuh itu dibanting ke tanah berbatu. Brrus...!
"Aauuh...!" teriakan
itu lebih keras dari yang pertama, sebab kepala Elang Samudera mulai bocor,
darah mengalir berlumuran membasahi wajah dan tubuhnya. Ditambah lagi kaki
raksasa Bawana segera menginjak kepala itu dengan sentakan keras, bagai
seseorang menginjak seekor semut.
Zlaaap...! Duuk...!
Pendekar Mabuk cepat bertindak
melihat temannya terancam mati di kaki raksasa Bawana. Ia berkelebat dan
bergulingan melewati celah kedua kaki raksasa itu. Bumbung tuaknya segera
menyodok ke depan dan tepat kenai mata kaki si raksasa Bawana.
Praaak...!
"Aaaaoow...!"
teriakan keras bersuara besar itu menggetarkan pepohonan. Mata kaki raksasa itu
pecah akibat sodokan bambu tuak yang mempunyai tenaga dalam cukup besar. Tubuh
raksasa itu segera tumbang dan berguling-guling sambil perdengarkan suara
meraung panjang. Ketika gerakan tergulingnya berhenti, raksasa Bawana sudah
tidak ada lagi. Kini Bawana berubah menjadi manusia biasa seperti sediakala.
"Elang, minum tuakku
sedikit saja! Jangan semuanya!" kata Suto Sinting sambil serahkan bumbung
tuaknya, ia biarkan Elang Samudera berusaha menenggak tuak sendiri, sementara
matanya memperhatikan Bawana yang dikhawatirkan menyerang secara mendadak.
"Suto, untung kau datang
tepat waktu. Kalau terlambat sedikit, kepalaku sudah menjadi tepung
diinjaknya!" kata Elang Samudera yang sudah mulai tampak sehat kembali,
lukanya telah mengering, dalam kejap berikutnya akan lenyap tanpa bekas.
Bumbung tuak sudah dikembalikan
ke tangan Suto Sinting. Tetapi pada saat itu, seberkas sinar merah melesat
menghantam Elang Samudera dari samping kiri. Claap...! Suto Sinting segera
menendang perut Elang Samudera hingga pemuda itu terjungkal ke belakang. Dengan
gerakan menggeloyor seperti orang mabuk, bumbung tuak Suto Sinting dihadangkan
dan menjadi sasaran sinar merah tersebut.
Blegaaar...!
Sinar merah tidak memantul
balik, melainkan justru pecah dengan menimbulkan ledakan bergelombang kuat. Itu
pertanda orang yang memiliki sinar merah tersebut bukan orang sembarang,
setidaknya berilmu cukup tinggi. Suto Sinting terpelanting dan jatuh berguling-
guling membentur akar pohon besar. Pada saat itu, Bawana bangkit dengan satu
lutut dan melepaskan pukulan bersinar hijau ke arah Suto Sinting sebagai
ungkapan kemarahannya. Wuuut...!
Tapi sinar hijau itu segera
meledak di pertengahan jarak karena kemunculan sinar putih perak dari dalam
semak belukar. Claap...! Blaaarr...!
Sinar putih itu milik Awan
Setangkai yang segera muncul dalam satu lompatan langsung menyerang Bawana.
Lelaki kurus itu terkejut dan tak sempat hindari serangan Awan Setangkai yang
tak diduga-duga itu. Maka dalam keadaan terperangah kaget, dada Bawana terkena
tendangan bertenaga dalam tinggi. Buuuhk...!
"Hoaaaeek..!" Darah
segar menyembur dari mulut Bawana yang terpental ke belakang. Darah itu bukan
saja menyembur dari mulut, namun juga menyembur dari hidung dan telinga.
Agaknya tendangan Awan
Setangkai merupakan tendangan maut yang tak pernah ingkar janji dari kematian lawan.
Terbukti setelah Bawana terkapar dan tersentak-sentak tiga kali, napas
terakhirnya pun dihembuskan lepas. Tubuh Bawana terkulai lemas dan tak bergerak
untuk selama-lamanya.
"Awas...!" seru
Elang Samudera yang berada di belakang Awan Setangkai. Pekikan keras itu timbul
karena ia melihat datangnya sebilah pisau yang melesat dan mengarah ke punggung
Awan Setangkai. Maka secara gerak naluri, Awan Setangkai putarkan badan dan
sentakkan kaki ke tanah. Tubuh gadis cantik berkutang hijau itu meluncur naik ke
atas dalam gerakan berputar indah. Wuuusss...! Akibatnya pisau yang mengarah
kepadanya tidak menemui sasaran, dan justru menancap pada sebatang pohon jauh
di samping mayat Bawana.
Elang Samudera segera lepaskan
pukulan tenaga dalamnya berupa sinar hijau lagi ke arah semak-semak tempat
datangnya pisau dan sinar merah yang nyaris mengenainya tadi. Claap...!
Gusrrak...! Blaaar...!
Dari semak itu melesat sesosok
tubuh ramping berambut panjang terurai, mengenakan jubah tak berlengan warna
kuning bintik-bintik merah, ia adalah seorang wanita muda, yang usianya masih
sekitar dua puluh lima tahunan. Jika ia tidak lakukan lompatan keluar dari
semak, maka ia akan terhantam sinar hijaunya Elang Samudera.
Wuuut...! Jleeg...!
Mata beningnya memandang tajam
sekeliling tempat itu tanpa gerakan kepala sedikit pun. Elang Samudera sempat
terperangah memandang kecantikan gadis berjubah kuning bintik-bintik merah itu.
Demikian pula halnya dengan Suto Sinting yang nyaris lupa berkedip memandang
bagian dada si gadis yang tampak montok dan sedikit terbuka bagian atasnya.
Kemulusan kulit dada itu bagai sebuah tantangan yang sulit dihindari bagi
setiap lelaki.
Melihat Pendekar Mabuk tampak
bersahabat dengan Awan Setangkai, maka Elang Samudera pun segera bergabung
dengan mereka, ia sempat mendengar Suto Sinting ajukan tanya dalam bisikan
pelan,
"Siapa orang itu, Awan
Setangkai?!" "Dia yang bernama Penyamun Senja!"
"Ooo...." Suto
Sinting manggut-manggut kecil. "Kurasa lebih cocok lagi kalau bernama
penyamun cinta!"
Awan Setangkai tidak
mendengar, tapi Elang Samudera mendengar ucapan Suto Sinting yang lirih mirip
orang menggumam itu, sehingga ia menambahkan kata,
"Akan lebih pantas jika
bernama Penyamun. "
"Ssst...!" Suto
Sinting menghardik lirih, membuat Elang Samudera agak kecewa karena tak jadi
lanjutkan ucapannya.
"Mundurlah kalian,"
bisik Awan Setangkai. "Biar kutangani sendiri gadis itu!"
Pendekar Mabuk dan Elang
Samudera saling pandang sejenak. Elang Samudera sentakkan pundak, tanda
terserah kepada Pendekar Mabuk; harus mundur atau ikut menyerang. Tetapi
Pendekar Mabuk beri isyarat agar mereka berdua mundur dan menjadi penonton yang
baik saja. Maka kedua pemuda tampan itu pun mengambil tempat di bawah pohon
berakar besar. Sementara itu, Awan Setangkai maju dua langkah, dan Penyamun
Senja juga maju dua langkah, hingga mereka menjadi berjarak sekitar enam
langkah.
"Sudah siapkah kau
menjadi pengkhianat, Awan Setangkai?!"
"Yang perlu kau ketahui,
aku sudah siap mati membela Pendekar Mabuk!" jawab Awan Setangkai membuat
Elang Samudera terbelalak geli memandang Pendekar Mabuk. Si Pendekar Mabuk
sengaja mencibir sambil busungkan dada seakan merasa bangga. Kekonyolan itu
membuat Elang Samudera tertawa tertahan sambil melengos ke arah lain.
"Hei, lihat...! Apa yang
mereka lakukan itu?!" bisik Suto Sinting bernada tegang. Elang Samudera
segera lemparkan pandangan ke arah dua wanita cantik itu.
Elang Samudera juga
terperanjat dan wajahnya menegang saat melihat tubuh Penyamun Senja bergerak-
gerak melebar bagaikan kerupuk sedang mekar di penggorengan. Tangannya
membengkak, kakinya, wajahnya, semuanya membengkak besar sampai akhirnya
Penyamun Senja menjadi sosok perempuan bertubuh tinggi besar menyerupai raksasa
perempuan. Wajah cantiknya sudah berganti menyeramkan karena pembengkakan itu.
Sedangkan Awan Setangkai juga
mengalami perubahan. Tubuhnya mulai keluarkan bulu yang makin lama semakin
lebat. Wajahnya membengkak dengan mulut maju ke depan. Kaki dan tangannya
keluarkan kuku panjang berwarna hitam. Bulu-bulu itu semakin lama semakin
lebat, demikian pula bulu di daun telinganya yang menjadi lebar dan tinggi.
Sampai akhirnya Awan Setangkai berubah total menjadi seekor serigala besar yang
bertaring dan bermata merah.
"Gggrrr.,.!"
serigala itu mengerang dan tetap berdiri dengan dua kaki. Raksasa di depannya
juga mengerang dengan melebarkan mata dan membuka mulutnya lebar- lebar.
"Gila! Benar-benar gila mereka itu!" gumam Suto Sinting
terheran-heran. Elang Samudera berbisik pula padanya,
"Persis seperti kata Nyai
Sedap Malam kepadaku tempo hari, bahwa orang-orang Selat Bantai ilmunya
tinggi-tinggi. Jika anak buah Ratu Cendana Sutera saja bisa berubah seperti
itu, bagaimana ratunya sendiri, ya? Pasti lebih sakti dari mereka!"
"Elang, mundurlah sedikit
lagi. Agaknya pertarungan ini akan melebar sampai ke mana-mana!"
"Mengapa kau tak turun
tangan saja, biar urusannya cepat selesai?" ujar Elang Samudera sambil
berlindung di balik pohon.
"Awan Setangkai akan
kecewa jika aku turun tangan sekarang."
Kedua pemuda itu segera hentikan
kasak-kusuknya, karena Awan Setangkai yang berubah menjadi manusia serigala itu
segera melompat menyambut terjangan raksasa Penyamun Senja. Wuut...!
"Grrraaow...!"
"Grrraaa...!"
Brus, brus, braass...! Buuhk,
crak, bruus...!
Kedua makhluk aneh itu bertarung
dengan liar dan buas. Sekalipun dalam wujud seperti itu, mereka masih mampu
bergerak dengan cepat, lincah, dan tangkas. Kadang mereka melambung tinggi, dan
salah satu melepaskan sinar dari mata atau tangan mereka, lalu sinar itu saling
beradu di udara dan timbulkan ledakan yang menggelegar. Pertarungan itu membuat
pepohonan rusak, ada yang tumbang dan ada pula yang patah karena hantaman
tangan si raksasa Penyamun Senja. Bebatuan terbang ke mana-mana diterjang
amukan mereka. Semak belukar rusak dan morat-marit tak karuan. Tanah bergetar
terus bagai dilanda gempa yang tiada hentinya. Suara gaduh membuat telinga
terasa seperti ditusuk-tusuk dengan lidi. Pendekar Mabuk dan Elang Samudera
berulang kali pejamkan mata karena terkena hembusan angin gerakan mereka yang
sesekali mengandung udara panas. Tapi pada saat berikutnya, mata Suto Sinting
tak mau berkedip karena melihat serigala itu dihajar habis- habisan oleh
raksasa Penyamun Senja. Darah mulai
mengucur dari mulut panjang
serigala Awan Setangkai.
Namun kejap berikutnya,
raksasa Penyamun Senja berhasil ditumbangkan oleh serudukan kepala serigala
yang agaknya mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar. Raksasa itu tumbang
dan diterkam oleh serigala. Kemudian mereka bergulat di tanah hingga menyebarkan debu-debu yang mengepul bagaikan
asap. Raksasa itu pun tampak berdarah karena gigitan mulut serigala. Dan pada
kejap berikut, keduanya sama-sama bangkit lalu sama-sama mengadu pukulan.
Plaak...! Blegaaar..!
Kedua makhluk besar itu saling
terpental. Tubuh mereka sama-sama berasap. Ketika asap hilang terhembus angin,
tubuh mereka telah berubah menjadi seperti semula sebagai wanita-wanita cantik
yahg mengagumkan kaum pria. Tetapi agaknya Awan Setangkai mengalami luka parah
di bagian dalamnya. Darah kental keluar dari mulut dan hidung. Wajahnya menjadi
pucat dan memar membiru.
Tetapi Penyamun Senja sendiri
juga mengalami luka cukup parah. Wajahnya rusak karena cakaran kuku serigala
tadi. Bagian bawah leher koyak bagai bekas gigitan binatang buas. Dadanya menjadi
hitam di sebelah kiri, pertanda bekas pukulan tenaga dalam cukup tinggi, ia
juga keluarkan darah dari mulutnya, namun tampak masih punya tenaga untuk
lanjutkan pertarungan.
"Awan Setangkai kehabisan
tenaga. Tampaknya ia akan diserang lagi oleh Penyamun Senja. Bahaya! Aku harus
segera turun tangan jika begitu!" pikir Pendekar Mabuk.
Penyamun Senja cabut salah
satu pisau yang ada di pinggangnya. Pisau bergagang kuningan bagaikan emas itu
dilemparkan ke arah Awan Setangkai dengan gerakan cepat dan nyaris tak
terlihat. Wuuut...! Kala itu Awan Setangkai sedang terengah-engah dalam keadaan
setengah merangkak, ia tak tahu bahwa pinggangnya sedang dijadikan sasaran
pisau beracun ganas itu. Gerakan pisau yang mirip anak panah tak akan bisa
dihindari lagi oleh Awan Setangkai.
Zlaaap...! Pendekar Mabuk
bergerak lebih cepat dari gerakan anak panah. Tahu-tahu dia sudah berdiri
dengan satu lutut di depan Awan Setangkai.
Pisau yang menuju ke arahnya
segera ditangkis dengan bumbung tuaknya. Traang...! Weess...! Pisau itu
berbalik arah dan bergerak lebih cepat dari gerakan semula.
Weeess...! Jruub...!
"Uuhg...!" Penyamun
Senja mendelik, ia bagai tak percaya dengan apa yang dialami saat itu; pisaunya
sendiri menancap di dada kiri, tepat di bagian jantungnya.
Penyamun Senja mencoba untuk
bertahan, tangannya ingin mencabut pisau yang masuk sampai separo gagangnya
ikut terbenam pada dada tersebut. Tapi kekuatan Penyamun Senja segera lenyap
termakan racunnya sendiri, ia akhirnya limbung, lalu tumbang dalam keadaan telungkup.
Bruuuk...! Gagang pisau semakin terbenam ke tubuh Penyamun Senja akibat beradu
dengan tanah. Dan tubuh Penyamun Senja tak bisa bergerak lagi. Akhirnya ia
menghembuskan napas terakhir tanpa mengalami sekarat lebih lama lagi.
"Tamat sudah riwayatnya,"
gumam Suto Sinting, lalu ia segera ingat dengan Awan Setangkai dan memberinya
minum tuak.
"Cepat minum! Cepat,
sebelum lukamu merenggut jiwa!" desak Pendekar Mabuk, ia membantu
menuangkan tuak ke mulut Awan Setangkai. Akhirnya tuak tersebut berhasil diteguk
Awan Setangkai. Luka yang nyaris menewaskan itu bisa terobati, Awan Setangkai
pun mulai tampak segar kembali.
"Hei, ke mana si Elang
Samudera? Tadi dia kutinggalkan di balik pohon itu?!" ujar Suto Sinting
dengan bingung, mencari Elang Samudera yang tidak terlihat di sekitar tempat
itu.
"Mungkin dia pergi karena
punya urusan sendiri," kata Awan Setangkai sambil membantu memeriksa
keadaan sekitar tempat itu.
Tiba-tiba ia berkata bagai
berbisik di samping Pendekar Mabuk, "Aku punya firasat lain."
"Firasat apa?"
"Jangan-jangan Elang
Samudera diculik utusan Nyai Ratu Cendana Sutera. Biasanya Nyai Ratu selalu
mengirimkan utusan berjumlah dua orang. Penyamun Senja pasti ada temannya, dan
temannya itu telah menotok Elang Samudera lalu diculiknya."
"Benarkah begitu?!"
gumam Suto Sinting dengan dahi berkerut menandakan keragu-raguannya.
SELESAI