DARI ketinggian sebuah tebing
cadas, tampak sekelebat bayangan melintas di sela-sela pepohonan. Bayang itu
bukan tanpa sosok, tapi mempunyai sosok yang sedang berlari ketakutan.
Sosok orang yang berlari
ketakutan itu mengenakan baju kuning dan celana hitam. Dilihat dari parasnya
yang belum berkumis dan belum berkeriput, maka ia dapat digolongkan sebagai
anak muda yang berusia sekitar dua puluh tahun. Bukan rambutnya saja yang
pendek, tapi badannya juga tergolong pendek, walau bukan berarti kerdil.
Pemuda itu pernah mengintip
seorang wanita cantik bernama Puting Selaksa yang sedang mandi. Peristiwa
itulah yang membuatnya menjadi salah satu dari sahabat Suto Sinting; si
Pendekar Mabuk murid Gila T uak itu.
Pemuda yang punya kemahiran
ngibul itu tak lain adalah Mahesa Gibas, yang juga pernah menjadi pelayan
Adipati Jayengrana, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Buronan
Cinta Sekarat").
Sepasang mata yang mengikuti
pelariannya dari atas tebing cadas bertanya-tanya dalam hati, "Apa yang
membuat Mahesa Gibas berlari ketakutan seperti itu"
Dikejar anjing, dikejar
kucing, atau dikejar cacing?"
Beberapa kejap setelah Mahesa
Gibas mele wati gcrumbulan semak berduri, tampak seorang lelaki brewok berbadan
gemuk sedang berlari pula sambil berseru keras-keras. Orang itu berpakaian
serba abu-abu dengan ikat kepala kain merah. Melihat brewoknya yang lebat dan
penampilannya yang berperut buncit itu, dapat diduga ia berusia sekitar empat
puluh tahun.
"Berhenti! Hoii...!
Berhenti kau, Mahesa!"
Seruan orang gemuk berikat
pinggang kain merah itu membuat Mahesa Gibas menambah kecepatan larinya.
Namun orang brewok bersenjata
golok di pinggangnya juga menambah kecepatan larinya, seolah-olah ia tak ingin
kehilangan buronannya.
"Mahesaa...! Berhenti
kau, Setan T uli!" teriak orang brewok bermata lebar yang membuat
tampangnya menjadi cukup menyeramkan.
Melihat si Mahesa Gibas
membelok ke kiri, orang brewok itu memotong jalan dengan menerabas ilalang, ia
segera lakukan lompatan dari ketinggian tanah di ba wah tebing itu. Wuuut...!
Jleeg...! Tahu-tahu ia sudah
menghadang di depan Mahesa Gibas.
"Haahh..."!!"
Mahesa Gibas terpekik kaget dengan mata mendelik, wajah menegang, mulut terbuka
dan langkah terhenti. Jantungnya terasa kempes seketika.
Wuuus...! Orang brewok itu
menyambar baju Mahesa Gibas pada saat pemuda itu berbalik dan ingin melarikan
diri lagi. Mahesa Gibas semakin ketakutan. Maka ia pun berteriak keras-keras
untuk melampiaskan rasa takutnya.
"T oloong...! Toloong...!
Aku mau diperkosa! Tolooong...!" sambil kaki Mahesa Gibas bergerak seakan
sedang berlari, tapi sebenarnya menggantung di tempat karena orang brewok itu
menjinjing baju Mahesa Gibas hingga tubuh kurus itu terangkat seperti anak
kucing.
Sepasang mata yang ada di atas
tebing cadas tak seberapa tinggi itu melihat jelas adegan tersebut. Sepasang
mata itu milik pemuda tampan berambut panjang lurus sepundak tanpa ikat kepala,
ia memakai baju buntung warna coklat dan celana putih kusam. Di punggungnya
terdapat bambu yang dipakai untuk bumbung tempat tuak. Pemuda itu tak lain
adalah si Pendekar Mabuk yang dikenal pula dengan nama Suto Sinting; murid si
Gila T uak.
Melihat Mahesa Gibas dicekal
orang brewok, Suto Sinting segera kirimkan sentilan jarak jauhnya yang
dinamakan jurus 'Jari Guntur' itu. T ees...! Satu sentilan mempunyai kekuatan
tenaga dalam seukuran tendangan kuda jantan. Dan hawa padat yang berasal dari
sentilan jurus 'Jari Guntur' itu tepat kenai pinggang kanan si orang brewok.
Beehk...!
"Aaahkk...!" si
brewok memekik keras, tubuh gemuknya terlempar ke samping dalam jarak lima
langkah. Sentakan tubuh yang merasa seperti ditendang kuda jantan itu membuat
genggaman pada baju Mahesa Gibas terlepas. Breet...! Baju itu sempat robek di
bagian tepian tengkuknya. Mahesa Gibas sendiri juga jatuh terpental terbawa
hempasan tubuh si brewok.
Zlaaap...! Suto Sinting
berkelebat turun dari atas tebing yang tak seberapa tinggi Itu. Dalam sekejap
ia sudah berdiri di depan si brewok yang masih menyeringai kesakitan dengan
suara raungan kecilnya.
"Suto..."! Suto
Sinting"! Oooh... kebetulan sekali!" seru Mahesa Gibas. Ia se gera
berlari hampiri Pendekar Mabuk.
"Suto, tolong aku! Orang
itu mengejarku dari kemarin!" sambil Mahesa Gibas mengguncang-guncang
lengan Suto Sinting. Pemuda tampan itu hanya diam dengan kalem dan pandangi si
Mahesa Gibas. Hatinya tak percaya dengan pengakuan Mahesa Gibas tadi yang
mengatakan dirinya dikejar si brewok dari kemarin.
"Tolong selamatkan aku,
Suto! Selamatkan nyawaku dari orang berwajah mirip kuburan angker itu!"
Mahesa Gibas memohon-mohon dengan wajahnya yang pucat menandakan sangat
ketakutan. Suaranya yang beruntun menandakan bahwa ia sangat mengharap
pembelaan dari si Pendekar Mabuk.
"Mundurlah ke pohon itu.
Aku akan hadapi orang ini!" ujar Suto Sinting dengan suara tegas namun
berkesan kalem.
Tepat pada saat Mahesa Gibas
mundur ke bawah pohon yang berjarak lima langkah dari tempat Suto berdiri,
orang brewok berbaju abu-abu tanpa dikancingkan itu bangkit dari jatuhnya.
Rupanya ia mulai bisa atasi rasa sakit di pinggangnya akibat terkena sentilan
jarak jauh tadi. Pinggangnya sempat memar
membiru, namun dengan napas berat ia menahannya.
"Kebo jahil! Kaukah yang
menyerangku tadi"!" bentaknya. "Ya, memang aku yang menyerangmu
dari jauh!" jawab Suto Sinting tegas dan tetap tenang. Bumbung tuaknya
sudah dipindahkan, kini menggantung di pundak kanannya.
Si bre wok sangat berang,
matanya yang sebesar jengkol itu masih melotot, bagai hiasan yang enak dicolok.
Suaranya sengaja dikeraskan agar tampak galak.
"Mengapa kau menyerangku,
hah"!" bentak si orang brewok kepada Suto Sinting, ia belum tahu
siapa yang dihadapi saat itu.
Suto Sinting tidak menjawab,
tapi justru ganti bertanya, "Mengapa kau mengejar-ngejar sahabatku; si
Mahesa Gibas itu"!"
"Kalau kau tidak tahu
persoalannya, mengapa kau menyerangku dari jarak jauh"! Apakah kau tak
tahu kalau mendapat serangan seperti itu sangat sakit"! Lihat, pinggangku
sampai memar membiru begini!" Ia menyingkapkan bajunya dan perlihatkan
pinggangnya yang memar sebesar telapak tangan orang dewasa itu.
"Tadi kudengar teriakan
Mahesa Gibas yang mengatakan dirinya akan kau perkosa"!"
"Bohong! Apakah kau tak
tahu kalau aku seorang lelaki tulen"! Apa perlu kutunjukkan bukti
kelelakianku"!"
"Justru aku tahu kau
seorang lelaki, maka menurutku bisa saja kau memperkosa sahabatku yang juga
lelaki."
"Dasar bocah bodong! Kau
kira aku lelaki 'ganda campuran'"! Yang namanya lelaki tulen itu kalau mau
memperkosa ya memperkosa perempuan! Untuk apa memperkosa sesama lelaki"!
Tolol!"
Suto Sinting segera sadar.
"Mahesa Gibas pandai menipu, pandai ngibul, dan mahir bikin gosip yang
bukan-bukan. Jangan-jangan aku termakan tipuan si Mahesa Gibas seperti
dulu"!"
Pendekar Mabuk segera
memanggil Mahesa Gibas. Yang dipanggil mendekat pelan-pelan dengan rasa takut.
Sebentar-sebentar melirik si orang brewok yang napasnya masih ngos-ngosan dan
wajahnya masih tampak berang. Mahesa Gibas tak berani berdiri sejajar dengan
Suto. Ia berhenti di belakang Suto Sinting, berlindung di sana jika sewaktu-waktu
si orang brewok menyerangnya. Suto Sinting tetap di tempat, berpaling ke kanan
dengan mata melirik ke arah
Mahesa Gibas sambil ajukan
tanya,
"Kau mengenal orang itu,
Mahesa"!"
"Ya. Hmmm... dia yang
bernama Panca Longak Longok!"
"Panca Longok!" sergah
si brewok. "T idak pakai Longak! Longok saja!"
Suto Sinting menahan geli
dengan senyum kecilnya.
"Benarkah kau mau
diperkosa oleh si Panca Longok itu"!" tanya Suto, dan Mahesa Gibas
gelagapan sesaat.
"Hmmm... dia... dia
orangnya Ki Lurah Mugeni."
"Yang kutanyakan,
benarkah kau mau diperkosanya, seperti apa yang kau serukan tadi"!"
Suto Sinting agak menyentak dan Mahesa Gibas semakin grogi, ia tundukkan kepala
dengan cemberut, sebagai tanda bahwa pengakuannya tadi tidak benar. Panca
Longok segera menyahut, "Aku memang pesuruhnya Ki Lurah Mugeni!"
"Hmm...!" Suto
manggut-manggut memandang tak berkedip namun punya seulas senyum tipis yang
membuat wajahnya tampak simpatik.
"Aku disuruh Ki L urah
Mugeni untuk mencari Mahesa Gibas."
"Perlu apa Ki Lurah Mugeni
menyuruhmu mencari Mahesa Gibas"!"
"Menyerahkan hadiah buat
Mahesa berupa sejumlah uang!" sambil Panca Longok keluarkan kantong merah
dari lilitan ikat pinggangnya yang berwarna merah juga.
Kantong merah bertali
ditimang-timang dengan tangan kanannya. Gemerincing suara uang logam di dalam
kantong merah terdengar, menandakan jumlahnya tidak sedikit.
Suto Sinting buru-buru
memandang Mahesa Gibas. Yang dipandang terbelalak tak berkedip menatap kantong
merah di tangan Panca Longok.
Pesuruh Ki Lurah Mugeni segera
jelaskan masalah sebenarnya kepada Pendekar Mabuk. Wajahnya masih cemberut
menahan kedongkolan karena memar di pinggangnya masih terasa nyeri.
"Ki Lurah Mugeni sangat
berterima kasih kepada Mahesa Gibas yang telah menemukan kotak perhiasan dan
mengembalikannya kepada Ki Lurah."
Suto ajukan tanya dengan suara
pelan, "Benarkah kau telah menemukan kotak perhiasan itu"!"
"Hemm... iyy...
iya," jawab Mahesa Gibas dengan kaku.
Suto Sinting sempat berbisik
sambil tersenyum,
"T umben kau jujur!"
"Kemarin malam aku
menginap di rumah Ki Lurah Mugeni," tutur Mahesa Gibas.
"Lalu, malam itu ada
pencuri yang menggasak beberapa barang termasuk kotak perhiasan itu. Paginya
kotak itu kutemukan tergeletak di tepi sungai. Maka kukembalikan kepada Ki
Lurah Mugeni. T api... tapi isinya sudah tak ada. Aku hanya temukan kotaknya
saja, Suto! Sumpah! Aku tak mengambil isinya!"
Mahesa Gibas tampak ngotot,
seakan tak ingin dituduh sebagai orang yang mengambil isi kotak perhiasan itu.
Lalu, pesuruh Ki Lurah Mugeni se gera berkata,
"Kotak itu memang hanya
berisi sebuah cincin emas yang harganya tak seberapa. Cincin itu adalah cincin
perkawinan Ki Lurah Mugeni dengan mendiang istrinya yang pertama. Ki Lurah
sendiri mengiklaskan cincin itu, yang tentunya sudah diambil pencurinya dan
kotaknya dibuang di tepi sungai.
Namun ada benda paling
berharga yang tersimpan di lapisan bawah dari kotak tersebut."
"Benda..."! Aku tak
melihat benda apa"!" ujar Mahesa Gibas dengan ngotot.
"Kotak itu terdiri dari
dua lapis. Lapisan teratas berisi cincin kawin, tapi lapisan yang kedua berisi
benda berharga yang belum sempat diurus oleh Ki Lurah Mugeni!"
"Ooh..."!" Mahesa Gibas terperangah.
"Benda itu peninggalan
mendiang ayah Ki Lurah yang pernah menghancurkan kapal bajak laut dan menemukan
benda tersebut di kapal itu. T api karena Ki Lurah Mugeni masih banyak
kesibukan, maka beliau tak sempat mengurus benda tersebut."
"Maksudmu peta harta
karun?" tanya Suto menebak.
"Hmm.... Hmm... bukan.
Pokoknya ya... anu... berharga gitu." Orang itu jadi gugup, karena tebakan
Suto sebenarnya memang betul. Mahesa Gibas sempat tertegun bengong. Kini raut
wajahnya tampak menyimpan penyesalan. Rupanya cincin yang ada dalam kotak
perhiasan itu diambil sendiri oleh Mahesa Gibas sesaat setelah menemukan kotak
perhiasan yang jatuh dari bungkusan si pencuri.
Karena rasa takut dicurigai se
bagai orang yang mengambil cincin emas, maka Mahesa Gibas buru-buru pamit dari
rumah Ki Lurah Mugeni. Sampai sekarang cincin itu masih berada di selipan ikat
pinggang Mahesa Gibas. Ia tidak tahu kalau kotak itu terdiri dari dua lapis dan
berisi peta harta karun.
Ketika ia melihat Panca Longok
menyusulnya, ia menyangka sedang dikejar-kejar karena persoalan cincin itu.
Mahesa Gibas mengira akan dihajar oleh Panca Longok, sehingga ia berlari
sejadinya dan berteriak asal
saja. Rupanya ia
dibayang-bayangi oleh kesalahannya sendiri, sehingga batinnya sangat tersiksa
ketika rasa takut itu mencekamnya.
"Mahesa Gibas, terimalah
hadiah dari Ki Lurah Mugeni ini! Ki Lurah berpesan, kapan-kapan jika kau lewat
di desa kami, singgahlah walau hanya sebentar," ujar si Panca Longok yang
sudah kehilangan rasa jengkelnya kepada Mahesa Gibas.
Ia pun menyerahkan kantong
merah kecil bertali yang berisi uang kepada Mahesa Gibas. Pemuda berwajah penuh
sesal itu menerimanya tanpa senyum keceriaan.
"Kalau tahu begitu, lebih
baik kuserahkan kotak bersama cincinnya. Karena dengan panduan peta itu aku
bisa temukan harta karun tersebut dan aku bisa menjadi orang kaya!" gerutu
hati Mahesa Gibas.
Panca Longok pamit pulang ke
desanya setelah diberi minum tuak saktinya Suto. Tuak itu mempunyai khasiat
ajaib, yaitu menghilangkan rasa sakit dan warna biru memar di pinggang Panca
Longok.
"Mengapa kau masih tampak
murung, Mahesa?" tegur Suto Sinting setelah Panca Longok tak ada di antara
mereka berdua.
Mahesa Gibas diam saja. Ia
menyelipkan kantong merah berisi uang itu ke kain ikat pinggangnya. Pada saat
itu, tanpa disengaja cincin yang tersimpan di ikat pinggang itu jatuh ke tanah.
Pluuk...! Suto Sinting terperanjat dan segera memungutnya. Mahesa Gibas mulai
salah tingkah dan waswas. "Cincin siapa ini, Mahesa?" tanya Suto
sambil mengamati cincin tersebut.
"Hmm, eeh... cincin...
cincin nenekku yang... yang...."
"Oooo... sekarang aku
tahu...!" Suto Sinting manggut-manggut sambil pandangi Mahesa Gibas. Yang
dipandang semakin salah tingkah lagi.
"Rupanya kau salah
pengertian tadi. Kau menyangka si Panca Longok ingin menangkapmu, karena kau
merasa bersalah telah mengambil cincin dalam kotak itu. Dan sekarang kau sangat
menyesal setelah tahu kotak perhiasan itu ternyata berisi peta harta
karun"! Hmm, ya, ya, ya... pantas kau cemberut terus sejak tadi!"
Mahesa Gibas semakin tak bisa bicara. Malu sekali.
Tapi dasar tukang kibul, dasar
pula muka tembok, dalam sekejap ia sudah bisa nyengir dan segera alihkan
pembicaraan ke masalah lain.
"Aku disuruh Perawan
Sinting untuk mencarimu, Suto!"
"Jangan mengalihkan
pembicaraan dulu!" sergah Pendekar Mabuk dengan hati kesal. "Bereskan
dulu masalah cincin ini!"
Mahesa Gibas takut, ia
menunduk dengan wajah murung. "Baiklah. Kuakui... aku memang mengambil
cincin itu sebelum kotak tersebut kuserahkan kepada Ki Lurah Mugeni,"
ujarnya lirih.
"Pulangkan cincin
ini!" seraya Suto Sinting serahkan cincin itu kepada Mahesa Gibas. "Kuantar
kau ke rumah Ki Lurah Mugeni, dan mintalah maaf kepada beliau!"
"T api... tapi Perawan
Sinting ingin bertemu denganmu, Suto! Dia sangat membutuhkan dirimu!"
"Persoalan si Perawan
Sinting adalah persoalan kedua. Persoalan yang pertama, kau harus kembalikan
cincin itu dan meminta maaf kepada Ki Lurah Mugeni!" tegas Pendekar Mabuk.
Wajah si pembual itu semakin
mendung. "Aku takut kalau...."
"Kutemani kau ke
sana!" potong Suto Sinting.
Mahesa Gibas tak punya pilihan
lain. Akhirnya ia kembali ke desa tempat Ki Lurah Mugeni dipercaya oleh
penduduk sebagai sang kepala desa.
Dalam perjalanan ke desa
tersebut, ingatan Suto Sinting menerawang ke wajah cantik milik Perawan
Sinting. Gadis yang mempunyai kesamaan nama belakang dengan Suto itu sudah lama
tak dijumpainya.
Namun benak Suto masih ingat
tentang segala sesuatunya yang ada pada diri si Perawan Sinting itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Perawan Sinting").
"Mengapa Perawan Sinting
ingin bertemu denganku, hingga ia menyuruhmu mencariku"!" tanya Suto
sambil melangkah.
Namun sebelum Mahesa Giba s
menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba langkah mereka terhenti secara mendadak.
Mereka dikejutkan oleh
kemunculan seseorang yang turun dari atas pohon, melayang bagaikan seekor
burung perkasa.
Wuuut...! Jleeg...!
Suto Sinting memandang dengan
mata sedikit mengecil karena merasa asing dengan orang tersebut. Sedangkan
Mahesa Gibas hanya terbengong sambil mengusap dadanya yang nyaris kehilangan
jantung karena rasa kagetnya tadi.
* * *
2
RAUT wajah tampan beralis
tebal itu menatap Suto Sinting dengan sorot pandangan tajam. Pemuda itu
berambut sepanjang pundak, seperti Suto. Hanya bedanya, rambut pemuda itu
tampak bergelombang tidak selurus rambut Suto Sinting. Dengan alis tebal,
hidung mancung, mata sedikit lebih besar dari mata Pendekar Mabuk, pemuda itu
mempunyai ketampanan yang nyaris mendekati nilai ketampanan Suto. Kulitnya yang
berwarna lebih muda dari warna kulit Suto itu membuatnya tetap berkesan jantan.
Ia juga berbadan tegap,
gempal, dan ketinggiannya sebaya dengan Suto, sehingga kegagahannya pun nyaris
senilai dengan kegagahan Pendekat Mabuk.
Pemuda yang berusia se baya
Suto itu mengenakan celana biru muda, sabuk hitam, rompi cekak biru muda juga,
dan berkalung hitam dengan bandul berbentuk bintang segi enam yang terbuat dari
logam putih metal.
Di bagian tengah bintang segi
enam itu terdapat batu ungu sebesar kelereng.
"Apa maksudmu menghadang
langkahku, Sobat"!" tegur Suto Sinting dengan sikap bersahabat.
"Benarkah kau yang berjuluk
Pendekar Mabuk"!" tanya pemuda berpedang pendek di pinggang kiri itu.
"Aku bukan Pendekar
Mabuk. Aku bernama Mahesa Gibas Wingit!" jawab Mahesa Gibas dengan lagak
tengil.
"Aku tidak bertanya
padamu, Orang-orangan Sawah!" geram pemuda itu.
"Aku hanya mengumumkan
diri!" balas Mahesa Gibas, memuakkan sekali lagaknya. Suto Sinting
sunggingkan senyum kalem, kemudian menatap pemuda sebayanya yang masih berada
dalam jarak enam langkah di depannya itu.
"Benar. Akulah si
Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Dari mana kau mengenaliku?"
"Ciri bumbung tuakmu
itu!"
Suto menggumam lirih, lalu
ajukan tanya kembali,
"Kau sendiri siapa,
Sobat"!"
"Aku.... Buyut Batara,
utusan dari Tanah Leluhur!"
"T anah
Leluhur..."!" Mahesa Gibas menggumam
dengan nada tegang, lalu wajahnya
tampak tegang juga.
Ia bergeser ke belakang Suto
dengan pandangan mata dibayangi rasa takut. Hal itu mengundang kecurigaan dan
rasa heran si Pendekar Mabuk.
"Aku ingin bicara
denganmu sebentar, Suto!" bisik Mahesa Gibas, setelah itu ia menjauh dan
Pendekar Mabuk mengikutinya. Sementara itu, si Buyut Batara memandang dengan
curiga dan perasaan tak enak.
Namun ia tetap berdiri di
tempatnya dengan gagah. Dadanya yang keras dan bidang itu tetap tampak
membusung tegar.
"Ini ada sangkut pautnya
dengan Perawan Sinting, Suto!"
"Apa
maksudmu"!" bisik Suto juga.
"Perawan Sinting
menyuruhku mencarimu, karena ia ditemui oleh sekelompok orang dari T anah
Leluhur. Orang-orang itu menduga Perawan Sinting adikmu, dan mereka mencarimu.
Mereka tak percaya dengan kata-kata Perawan Sinting yang tidak mengetahui di
mana kau berada. Bahkan Perawan Sinting hampir saja mengambil tindakan keras,
sebab mereka tidak mau pergi dan selalu mengikuti ke mana kami pergi. Sampai
akhirnya, ketika aku dan Perawan Sinting ada di sebuah kedai, Perawan Sinting
menyuruhku pergi mencarimu secara diam-diam."
"Apa maksud orang-orang T
anah Leluhur itu mencariku"!"
"Aku tak tahu. Seingatku,
mereka juga tidak menjelaskan kepada Perawan Sinting. Kalau tak ada aku, mungkin Perawan Sinting sudah dibunuhnya.
Mereka tampak segan terhadapku."
Pendekar Mabuk tahu, kata-kata
terakhir jelas bualan Mahesa Gibas sendiri. Bukan kenyataan. Suto tak heran
lagi, karena Mahesa Gibas punya kebiasaan selalu menambahkan bualannya jika
sedang menjelaskan sesuatu hal. Bualan itu dimaksud untuk mengangkat namanya
agar tak dipandang remeh di depan siapa saja.
"Agaknya ada yang tak
beres pada diri orang-orang T anah Leluhur," gumam Suto Sinting dalam
hati. "Aku sendiri belum pernah tahu di mana dan siapa penguasa Tanah
Leluhur itu. Hmmm... sebaiknya kubereskan saja teka-teki ini dengan menghadapi
si Buyut Batara itu!"
Maka, Suto pun bergegas
kembali temui si Buyut Batara yang tampak menunggu dan tak mau mengganggu
perundingan tadi. Sikapnya yang tak mau mengganggu perundingan tadi membuat
Suto Sinting sedikit heran, karena sikap itu adalah sikap yang baik dan bertata
krama tinggi. Padahal penjelasan Mahesa Gibas tadi menimbulkan kesan bahwa
orang-orang
T anah Leluhur itu bermaksud
buruk kepada Perawan Sinting. Pendekar Mabuk jadi serba salah menilai si Buyut
Batara dalam hatinya.
"Buyut Batara, benarkah
orang-orangmu telah menemui sahabatku yang bernama Perawan Sinting"!"
"Ya, benar!" jawab
Buyut Batara dengan tegas.
"Kami mencarimu, dan
menghubungi adikmu; si Perawan Sinting untuk menanyakan di mana kau berada dan
meminta bantuannya mencari dirimu."
"Perawan Sinting bukan
adikku!" ujar Suto dengan tegas. "Tapi dia lebih dari seorang adik
bagiku."
"O, kalau begitu kami tak
salah jika meminta bantuannya mencarikan dirimu, Suto Sinting"!" "Jika dilakukan
dengan kasar itu sama saja menantang permusuhan denganku!"
"Kurasa tak ada perintah
untuk menemui Perawan Sinting dan meminta bantuannya secara kasar! Sama halnya
sikapku terhadapmu saat ini, Pendekar Mabuk ! Apakah kau menilaiku bersikap
kasar kepadamu"!"
Pendekar Mabuk diam sesaat. T
api dalam hatinya ia mengakui bahwa sikap yang ditunjukkan Buyut Batara di
depannya pada saat itu tidak mempunyai kekasaran sedikit pun. Jika suara si
Buyut Batara agak keras, itu lantaran ia punya sikap yang tegas dan ingin
menegakkan wiba wanya.
"Jika begitu kau tentunya
tak keberatan jika jelaskan apa perlunya kau mencariku, Buyut
Batara"!"
"Aku ingin membawamu ke T
anah Leluhur. Rakyat kami sangat membutuhkan dirimu, Pendekar Mabuk."
"Hmmm.... Perlu apa aku
dibawa ke T anah Leluhur"!'"
"Kami...."
"Ssst...!" tiba-tiba
Suto Sinting memotong kata-kata Buyut Batara sebelum pemuda itu bicara lebih
lanjut.
Suto mendengar suara gemerisik
semak terinjak. Lirikan mata Pendekar Mabuk segera dipahami oleh Buyut Batara.
Pemuda itu pun segera menyimak suara yang mencurigakan. Suara kaki melangkah
pelan itu datang dari arah belakangnya, sehingga ia perlu bergeser sedikit
memutar tubuhnya dengan lirikan mata tegang.
Sedangkan Mahesa Gibas mulai
bersiap-siap mencari tempat berlindung, karena ia tahu akan terjadi sesuatu
yang membahayakan dirinya jika tak segera berlindung.
T iba-tiba dua buah logam yang
memantulkan sinar matahari berkelebat ke arah Buyut Batara. Wuuus, wuuuss...!
Dua pisau terbang melesat dari arah samping kiri Buyut Batara. T api sebelum
pemuda itu menghindarinya, dua pisau serupa muncul la gi dan mengarah ke
punggung Buyut Batara. Wuus, wwuusss...! Buyut Batara sentakkan kakinya dan
dalam sekejap tubuhnya sudah melambung ke atas. Wees...! Sedangkan Suto Sinting
segera bergerak cepat dalam satu lompatanyang sulit dilihat orang. Zlaap...!
Teb, teeb...!
Kedua pisau yang mengarah di
punggung Buyut Batara berhasil ditangkapnya dengan dua tangan. Kedua pisau itu
terjepit di sela jari tangan kanan-kiri Pendekar Mabuk.
Buyut Batara daratkan kakinya
kembali ke tanah setelah dua pisau dari arah kirinya menancap di sebatang
pohon.Jreb. Jreeb..! T angan pemuda itu segera merenggang, penuh siaga.
Matanya yang tajam melirik
Pendekar Mabuk. Kedua tangan Suto sedikit diacungkan, memperlihatkan kedua
pisau yang berhasil ditangkapnya itu. Wajah Suto tidak setegang Buyut Batara.
"Aku dapat dua!"
ujar Suto sambil tersenyum, ia menampakkan ketenangannya.
Buyut Batara masih tegang. Baru
saja ia ingin membalas senyuman Suto, tiba-tiba matanya melihat dua orang
menerjang Suto dari belakang dengan satu lompatan sama-sama cepat.
"Awas di belakangmu,
Suto!" pekik Buyut Batara.
T api senyum Pendekar Mabuk
masih tetap mekar tanpa rasa kaget.
"Aku tahu...," ujar
Suto dengan kalem, lalu cepat membalikkan badan dan kedua tangannya mengayun ke
depan, sambil berlutut satu kali. Wuut, wuut...!
Kedua pisau di tangan Suto itu
melesat dan menancap mengenai kedua orang tersebut. Jeb, jeb...!
"Aaahk...!" keduanya
terpekik dan jatuh terjungkal kehilangan keseimbangan tubuh. Satu pisau
menancap di paha salah seorang, satu pisau lagi menancap di bawah pundak kanan
orang yang satunya lagi.
Kemunculan dua orang yang
telah berhasil dirobohkan Suto itu disusul dengan munculnya tiga orang lagi.
Mereka melompat dari balik kerimbunan semak sebelah kiri Buyut Batara dan
sebelah kanannya.
Wuuut...! Jleg, jleg...!
Brruk...! Salah seorangyang baru muncul itu terpeleset dan terpelanting jatuh.
Memalukan sekali. T api ia segera berdiri dan memaksakanwajahnya supaya tampak
angker.
Kini kedua pemuda itu
berhadapan dengan empat orang mengenakan rompi zirah, atau pakaian perang anti
senjata tajam. Merekamengenakan topi besi yang mirip bakul nasi. Lengan mereka
juga dibungkus dengan kain berlapis besi agar tak mempan jika terkena pedang.
Mahesa Gibas semakin merunduk,
berlindung semak-semak rimbun di balik pohon.
Dari sela-sela batang semak,
ia masih bisa melihat apa yang terjadi di depan sana. Pendekar Mabuk merasa heran
melihat empat orang berpakaian Kerajaan seperti itu.
Dua orang yang sempat
dirobohkan dengan pisau terbang tadi juga berpakaian sama.
Hanya saja, bagian paha mereka
tak terlindung baju besi, se dangkan bawah pundakorang yang terkena pisau itu
kebetulan robek sehingga pisau lemparan Suto dapatkenai tubuhnya.
Pisau beracun itu membuat
kedua orang tersebut tak bisa berdiri lagi, tapi keadaannya masih bisa
bernapas.
Rupanya pisau itu mempunyai
racun yang melumpuhkan korbannya, sehingga kedua orang tersebut hanya bisa
mengerang kesakitan karena tak bisa mencabut pisau yang masih menancap di tubuh
mereka.
Empat orang bertopi besi mirip
bakul nasi itu segera berjejer tegak dengan masing-masing tangan pegangi gagang
pedang. Namun pedang mereka belum sempat dicabut. Salah seorang mewakili mereka
maju dua langkah dari barisan.
Pendekar Mabuk melirik Buyut
Batara. Pemuda itu sedang memperhatikan wajah-wajahangker keempat orang
tersebut.
"Siapa mereka" Aku
tak punya kenalan seperti mereka," bisik Suto Sinting masih kelihatan
tenang, karena bumbung tuaknya sudah berpindah di tangan kanannya begitu
keempat orang tadi muncul dari semak-semak. "Mereka adalah para prajurit
dari Istana Kematian," jawab Buyut Batara dalam bisikan. "Mereka
menghendaki diriku. Bukan dirimu. Karena merekalah yang selama ini menculik
para pemuda T anah Leluhur dan sering bikin kacau di tempat kami!"
"Jadi, bagaimana kalau
sudah begini"!"
"Akan kucoba menangani
mereka. Tapi ... kurasa mereka juga akan menangkapmu!"
"Aneh. Belum kenalan
sudah mau menangkap?" gumam Suto Sinting.
"Karena kau termasuk
pemuda bertubuh kekar dan gagah."
"Apa
hubungannya"!"
Buyut Batara tak sempat
menjawab, karena suara orang yang maju dua langkah dari barisannya itu telah
lebih dulu berseru dengan suaranya yang kasar, keras, dan serak.
"Menyerahlah Buyut
Batara, ketimbang kepalamu kupenggal di tempat ini! Jangan terlalu berharap
dapat bantuan dari pemuda sebelahmu itu, karena ia pun akan segera kami
lumpuhkan. Bilamana perlu akan kami cincang di sini juga!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum mendengar dirinya terancam
juga. Ia justru membuka tutup
bumbung tuaknya dan menenggak tuak dengan tenang, tanpa rasa takut diserang.
Keempat orang Istana Kematian itu memperhatikan Suto dengan hati dongkol.
"Hei, kau... yang minum
tuak! Dengar perhatikan
kata-kataku!" bentak
orang yang tadi mengancam. Orang itu hampiri Suto Sinting
dengan pedang dicabut dari
sarungnya dan bermaksud ingin mengancam memakai
pedang tersebut.
T etapi suara bentakan itu
dimanfaatkan Suto untuk alasan tersedak. Minumnya
terhenti, kepalanya tersentak
ke depan, tuak di mulutnya menyembur ke arah orang
tersebut sambil berlagak
terbatuk-batuk.
Bwrruus...! "Uhuk, uhuk,
uhuk, uhuk...!"
"Haah..."!"
orang yang mau mengancamnya itu kaget.
Semburan tuak Suto itu bukan
semata-mata semburan biasa, namun memercikkan bunga api yang segeramembakar
tubuh orang tersebut.
"Ooh, hhahh..."!
Hhaaa... haaaaaa...!!"
Pendekar Mabuk telah mengawali
perlawanannya. Jurus ' Sembur Bromo Wiwaha" digunakan dalam keadaan yang
tepat sekali, tampak seolah-olah tidak sengaja, namun sebenarnya sangat
sengaja. Jurus 'Sembur Bromo Wiwaha' itu membuat semburan tuak dari mulut
Pendekar Mabuk berubah menjadi bara api dan segera membakar tubuh orang
tersebut.
Semua mata terbelalak kaget,
termasuk mata Buyut Batara. Mata mereka tak berkedip, tubuh mereka tak
bergerak. Shock dalam beberapa helaan napas. Merekahanya memandangi orang yang
pakaiannya terbakar itu berguling-guling di rerumputan, berusaha memadamkan api
yang membungkusnya.
"T oloong...! Keparat!
Toloong...! Aaow...! Tolong aku, Jangan bengong saja, Setaann...!!"
Jeritnya kepada ketiga prajurit lainnya. Barulah ketiga prajurit itu berusaha
memadamkan api dari tubuh orang tersebut.
Ada yang menggunakan baju zirahnya
dikebut-kebutkan untuk memadamkan api, ada yang menggunakan segenggam rumput
ilalang disabet-sabetkan.
Salah seorang lari sana-sini
dengan bingung mencari air untuk padamkan api tersebut.
Suto Sinting tertawa seperti
orang menggumam. Pelan tapi jelas merasa geli. Matanya pandangi kesibukan para
prajurit itu. Ia berdiri berdekatan dengan Buyut Batara. Pemuda dari T anah
Leluhur itu akhirnya tersenyum juga melihat ketiga prajurit kebingungan
memadamkan api yang membungkus tubuh temannya itu. "Panaaas...!
Panaaaass...! Aaoow...! Aaaaaiiir...!"
Mahesa Gibas ikut keluar dari
persembunyiannya, ia berlari-lari membawa daun talas berisi air. Air itu segera
disiramkan ke tubuh orang tersebut! Namun karena jumlahnya sedikit, maka air
itu tak dapat memadamkan api yang makin lamasemakin berkobar besar.
T anpa sadar seorang prajurit
yang berusaha memadamkan api dengan menaburkan tanah ke tubuh korban itu
berseru kepada Mahesa Gibas. "Cari lagi yang banyak! Cepat, ambil air yang
banyak seperti tadi!"
"Mana bisa! Aku sudah
tidak bisa buang air lagi!"
"Hahh..."! Jadi yang
kau siramkan tadi air senimu"!"
"Habis tak ada air
lainnya"!" Mahesa Gibas ngotot.
"Kurang ajar! Wajah
ketuaku disiram dengan air begituan"!"
Mahesa Gibas ketakutan, lalu
segera lari ke arah Pendekar Mabuk dan Buyut
Batara. T erdengar suara gerutu Pendekar Mabuk saat Mahesa Giba s berada
di belakangnya. "Kau ini bikin ulah yang bukan-bukan saja! Untung mereka
tak segera memenggal lehermu!" "Habis, aku sendiri juga bingung. T ak
ada air terdekat dari sini. Kebetulan aku sedang kebelet... lalu, yah...
kumanfaatkan saja. Siapa tahu bisa memadamkan api itu," ujar Mahesa Gibas
dengan suara seperti orang menggumam.
Buyut Batara sendiri tidak
segera lakukan serangan terhadap orang-orang istana Kematian itu. Pendekar
Mabuk merasa heran dan akhirnya ajukan tanya kepada BuyutBatara. "Mengapa
kau tak menyerangnya saat mereka banyak kelengahan begitu"!"
"Hmmm... menurutmu
bagaimana" Haruskah aku menyerangnya"!"
"Hei, mengapa kau
menunggu perintah dariku"!" ujar Suto Sinting heran. Buyut Batara
bingung menjawabnya.
Akhirnya Suto Sinting lakukan
sesuatu setelah melihat Buyut Batara tampak ragu-ragu untuk bertindak. Pendekar
Mabuk melesat dengan cepat ke arah mereka yang sibuk memadamkan api.
Zlaaap...! Jurus 'Gerak
Siluman'-nya yang mempunyai kecepatan seperti kecepatan cahaya itu
dipergunakan. Kakinya merentak saat menerabas ketiga orang yang sibuk
mengerumuni sang ketua prajurit itu.
Brruus...!
"Aaahhh...!!" ketiganya memekik keras. Ketiganya juga terpental ke
tiga arah dalam keadaan tubuh mereka melayang cepat. Mereka jatuh terhempas
dengan kuat.
Ada yang terbanting di
rerumputan, ada yang masuk ke semak berduri, ada yang membentur pohon. Yang
paling parah yang membentur pohon. Dua tulang rusuknya patah seketika, ia
mengerang kesakitan.
Sekalipun memakai rompi besi,
tapi rompi yang membentur pohon dengan kuat itu justru membuat tulang iganya
bagaikan dihantam dengan sebatang besi.
Pendekar Mabuk segera dekati
orang yang terbakar. Orang itu masih mengerang dalam keadaan sekarat. Api masih
berkobar-kobar.
Pendekar Mabuk segera
menenggak tuaknya, sebagian ditelan, sebagian lagi disemburkan ke arah kobaran
api tersebut. Bwweerrs...! Wuuuubbbh...!
Api padam seketika. Dua
prajurit yang tadi terkena pisau itu bisa memandang keadaan tersebut, dan
diam-diam mereka tercengang kagum, namun masih tetap harus menyeringai menahan
rasa sakit dalam keadaan lemas bagai tak bertulang sedikit pun. Sang ketua
prajurit seperti babi panggang. Hangus dan berasap. T api ia masih bisa
merintih walau pelan sekali, ia belum sempat mati. Jika api tak dipadamkan
dalam waktu lima hitungan napas lagi, maka orang tersebut akan tewas tanpa bisa
tertolong lagi.
Buyut Batara tetap diam di
tempat bersebelah dengan Mahesa Gibas. Ia sempat menggumamkan kata kagum
terhadap kemampuan Pendekar Mabuk dalam memadamkan kobaran api tersebut.
"Luar biasa sekali!"
Mahesa Gibas menyahut,
"Memang ini tindakan di luar biasanya."
Dahi pemuda T anah Leluhur itu
berkerut saat melihat Pendekar Mabuk menenggak tuak lagi. Rupanya kali ini tak
ada tuak yang ditelan. T uak itu segera disemburkan ke sekujur tubuh si ketua
prajurit yang sudah seperti babi panggang itu. Bwwrreeess...! T ak ada yang
paham dengan tindakan itu.
Mereka tak tahu bahwa Suto Sinting
telah menggunakan jurus penyembuhan yang dinamakan jurus ' Sembur Husada'itu.
Luka apa pun dapat disembuhkan dengan tuak yang disemburkan ke tubuh si
penderita. T etapi akibatnya si penderita akan kehilangan ingatan tentang diri
Pendekar Mabuk. Seandainya si ketua prajurit sebelumnya sudah kenal baik dengan
Suto, maka ia akan sembuh tapi lupa siapa diri Suto Sinting.
Jurus seperti itu jarang
dipergunakan oleh Pendekar Mabuk. Biasanya Suto lakukan penyembuhan dengan cara
meminumkan tuak dari bumbung saktinya itu.
T etapi agaknya kali ini ia
tak memungkinkan dapat meminumkan tuak ke mulut orang yang sudah separo matang
itu. Maka jurus 'Sembur Husada' dipergunakan, seperti saat ia mempergunakannya
kepada seorang gadis yang terluka di masa lalu, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Darah Asmara Gila").
Tiga prajurit yang tadi
terpental hanya bisa terbengong di tempat melihat asap mengepul dengan tebal
membungkus si ketua prajurit. Ketika asap itu pudar sedikit demi sedikit,
tampak si ketua prajurit menggeliat bangun. Tubuhnya yang hangus dan terluka
bakar itu menjadi bersih seperti sediakala. Si ketua bisa berdiri dengan tegak,
seperti tak pernah mengalami luka apa pun. Ia sendiri merasa heran dan
memperhatikan tubuhnya.
Tetapi ketika ia memandang
Suto Sinting, orang itu tampak heran dan merasa baru kali ini jumpa dengan
seorang pemuda berbaju buntung warna coklat. Dan bagi Suto, hal itu tidak
merugikan dirinya. T oh tanpa terkena pengaruh dari jurus'Sembur Husada' ketua
prajurit itu tetap saja tak mengenal siapa Suto.
Dua orang prajurit yang
terjerembab di semak dan terbanting di rerumputan tadi segera hampiri si ketua.
Mereka pandangi keadaan tubuh
si ketua, memeriksa dengan teliti. Lalu salah seorang berseru kepada dua orang
yang terkena pisau dan satu orang yang patah rusuknya. "Ketua sembuh!
Ketua tak punya luka sedikit pun! Ajaib sekali!"
Pendekar Mabuk melangkah kalem
ke arah Buyut Batara. Setibanya di samping pemuda itu, ia berkata pelan sambil
pandangi si ketua prajurit yang sedang kebingungan.
"Katakan kepada mereka,
jika masih mau coba-coba mengganggu kami, aku akan bertindak lebih kasar lagi.
Tapi jika mereka bersedia pulang ke Istana Kematian, akan kusembuhkan kedua
orang yang terkena pisau itu dan seorang yang meraung di bawah pohon itu!"
Buyut Batara bagai seorang
prajurit yang patuh kepada komandannya, ia pun berseru seperti apa yang
dikatakan Suto Sinting tadi.
"Kami bukan orang-orang
yang mengenal kata menyerah atau kalah, Buyut Batara!" seru si ketua
prajurit masih ngotot juga.
Sambungnya lagi, "Tetapi
kami hanya bisa menunda waktu untuk satu tugas! Sekalipun sekarang kami pulang
ke Istana Kematian, bukan berarti melepaskan ancaman untukmu dan... dan untuk
temanmu itu! Aku hanya ingin buktikan kemampuan temanmu mengobati ketiga anak
buahku itu!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum. Buyut Batara berbisik sambil meliriknya. "Dia masih keras
kepala!"
"Itu hanya sekadar jaga
harga dirinya sebagai seorang prajurit. Kata-katanya sudah membuktikan dia tak
akan berani berhadapan dengan kita lagi!"
Pendekar Mabuk akhirnya obati
ketiga prajurit yang terluka itu dengan meminumkan tuaknya. Ketiganya menjadi
sehat dan badan mereka terasa segar tanpa luka apapun. Bahkan dua prajurit yang
tadi terbanting dan menyerusuk ke semak berduri itu juga ikut minta minum tuak
tersebut. Suto Sinting tak keberatan memberikan tuaknya. Setidaknya sikap itu
telah mencerminkan kemenangan besar pada pihaknya.
"Lain waktu kita pasti
bertemu!" kata si ketua prajurit dengan suara keras sambil menuding Suto
Sinting.
Seruan itu hanya dijawab
dengan lambaian tangan kecil oleh Suto dan senyum lebar yang berkesan
melecehkan mereka. Mereka pun segera pergi tinggalkan tempat itu.
"Itulah mereka,"
ujar Buyut Batara. "Hampir setiap empat hari sekali mereka datang ke Tanah
Leluhur dan membuat kekacauan, membunuh, merampas harta kami, dan... menculik
beberapa pemuda yang berbadan sepertiku."
"Untuk apa mereka
menculik pemuda-pemuda sepertimu?"
"Entah. Kami tak tahu
dengan pasti. T api menurut dugaan kami, teman-temanku itu akan dijadikan
prajurit di Istana Kematian, memperkuat Istana Kematian dalammenghadapi lawan.
Sementara itu, T anah Leluhur sendiri diharapkan tidak mempunyai kekuatan lagi
setelah semua pemuda sepertiku diangkut ke IstanaKematian!"
"Hmmm...," Suto Sinting
manggut-manggut dan menggumam pelan.
"Karenanya, aku dipilih
oleh rakyat T anah Leluhur sebagai utusan yang bertugas mencari Pendekar Mabuk
sampai dapat!"
"Maksudnya..."!"
"Kami ingin meminta
bantuanmu untuk memperkuat T anah Leluhur, mengusir orang-orang Istana
Kematian, syukur bisa membebaskan rekan-rekanku yang diculik oleh pihak Istana
Kematian itu! Kami menaruh harap sekali padamu, Suto! Karena itulah, beberapa
orang kami yang mengetahui tentang perempuan bernama Perawan Sinting segera
menghubungi perempuan itu dan mendesak agar diberi tahu di mana Suto Sinting
berada. Mungkin desakan kami itu mencurigakan, sehingga Perawan Sinting merasa
terganggu."
"Kurasa Perawan Sinting
dapat memahami keadaan kalian jika sudah dijelaskan seperti ini."
"Lalu, keputusanmu
sendiri bagaimana, Suto" Maukah kau menyelamatkan sisa nyawa yang ada di T
anah Leluhur itu?"
Pendekar Mabuk menarik napas,
memandang jauh. Ia mempertimbangkan langkahnya, karena ia tak ingin masuk dalam
jebakan yang membahayakan jiwanya.
* * *
3
MENIMBANG serangan enam
prajurit Istana Kematian yang mengincar Buyut Batara, akhirnya Pendekar Mabuk
bergegas pergi ke Tanah Leluhur.
Sebelumnya ia perintahkan
Mahesa Gibas untuk menghubungi Perawan Sinting, karena sejak kematian Peri Kahyangan
alias si Bayangan Setan itu, Mahesa Gibas selalu bersama Perawan Sinting,
sementara Suto menyelesaikan urusan lainnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Rahasia Bayangan Setan").
"Mahesa, cari Perawan
Sinting dan beri tahu bahwa aku ada di T anah Leluhur. Suruh gadis itu
menyusulku di T anah Leluhur!"
Mahesa Gibas tak bisa menolak
perintah itu, karena sejak ia keluar dari jabatannya sebagai pelayan sang
Adipati, hanya Suto Sinting dan Perawan Sinting yang mau menampungnya. Kedua
orang itulah yang selalu dapat dijadikan pelindungnya jika terjadi bahaya
mengancam keselamatannya. Pendekar Mabuk sendiri memerintahkan hal itu bukan
semata-mata meminta bantuan Perawan Sinting, tapi sebagai tindakanberjaga-jaga
bagi dirinya sendiri. Seandainya permintaan Buyut Batara itu merupakan jebakan
maut yang akan merepotkan dirinya, setidaknya Perawan Sinting akan segera
mengetahui danmelakukan penyelamatan.
T api melihat wajah Buyut
Batara berlagak tenang, tanpa kecemasan sedikit pun, hati kecil Suto mengatakan
bahwapihak T anah Leluhur memang terancam kehancuran oleh tindakan orang-orang
Istana Kematian.
Buyut Batara tampak berharap
sekali datangnya bantuan dari Pendekar Mabuk, sehingga apa pun yang ditanyakan
Suto selalu dijawab apa adanya tanpa ada keraguan.
"Dulu T anah Leluhur
diperintah oleh Bapa Resi Burnawa. T etapi sejak tewasnya Bapa Resi di tangan
Ratu Kehangatan yang bernama asli Indudari itu, kekuatan Tanah Leluhur menjadi lemah. Sampai sekarang
kami tak punya penguasa tunggal. Kami hanya mempunyai beberapa sesepuh yang
untuk sementara ini menjadi pengatur kehidupan di T anah Leluhur."
Buyut Batara menjelaskan hal
itu, karena Suto Sinting ajukan tanya masalah penguasa T anah Leluhur.
Dalam otak Pendekar Mabuk
mulai mencatat nama penguasa Istana Kematian yang agaknya lebih dikenal dengan
nama Ratu Kehangatan ketimbang nama asli Indudari itu.
"Sudah berapa orang
pemuda yang diculik dan diba wa ke Istana Kematian"!" tanya Suto
Sinting. "T iga belas orang," jawab Buyut Batara. "Sebetulnya mereka
pemuda-pemuda tangguh. Boleh dikata, mereka adalah prajurit pilihan kami yang
mempunyai kepandaian bertempur, berilmu tinggi, dan berjiwa ksatria. T etapi
sekalipun kami mengunggulkan mereka, toh pihak Ratu Kehangatan masih bisa
melumpuhkan kami satu persatu dan menculiknya, entah siang ataupun malam."
"Ada berapa pemuda
tangguh di T anah Leluhur"!"
"T ak banyak. Sisanya
hanya sedikit, termasuk aku. Dan agaknya para penculik itu mempunyai ilmu lebih
tinggi dari kami."
"Hmmm...," Suto
menggumam, lalu diam sesaat. Ia tetap melangkah di samping Buyut Batara bagai
dua ksatria sedang menuju ke medan pertempuran.
Mereka berdua sama gagahnya,
sama gantengnya, dan sama-sama berbadan kekar.
T ak heran jika langkah mereka
diikuti oleh sepasang mata yang secara diam-diam mengintai dari balik celah
bebatuan besar di depan mereka. Bebatuan besar itu berada di atas bukit cadas
yang tak seberapa tinggi, puncaknya dapat dicapai dengan satu kali sentakan
kaki Suto Sinting.
"Selain para pemuda,
adakah kaum wanita yang diculik mereka, Buyut?"
"Sejauh ini, belum
ada," jawab Buyut Batara dengan kesan jujur. "Padahal kami juga punya
beberapa gadis berilmu yang tergabung dalam kelompok para prajurit Tanah
Leluhur."
"Hmmm...!" Suto
manggut-manggut lagi.
Mereka melewati jalanan di
bawah bukit cadas berbatu-batu itu. Suto Sinting sempat ajukan tanya kepada
Buyut Batara.
"Apakah mereka yang
hilang itu benar-benar dibawa ke Istana Kematian untuk dijadikan prajurit di
sana"! Bagaimana jika ternyata mereka dibunuh?"
"Sejauh ini kami belum
pernah menemukan mayat mereka. Jadi kami yakin mereka masih hidup dan berada
dalam benteng Istana Kematian."
"Jauhkah letak Istana
Kematian dengan T anah Leluhur itu"!"
"Jika ditempuh dengan
berjalan kaki biasa, memakan waktu satu hari satu malam. Tapi jika kita berlari
cepat menggunakan ilmu petingan tubuh, kira-kira hanya memakan waktu satu malam
atau satu siang."
"T ermasuk dekat
menurutku. Apakah pihakmu pernah menyerang ke Istana Kematian?"
"Belum pernah. Sebab kami
sadar kekuatan kami tak seimbang jika berhadapan dengan pihak Istana Kematian.
T etapi dalam...."
"Ssst...!" Suto
Sinting memotong pembicaraan itu dengan mencekal lengan kekar Buyut Batara. T
indakan itu mengherankan bagi Buyut Batara, sehingga ia berpaling memandang Suto
dengan dahi berkerut.
"T etap saja melangkah
biasa," bisik Pendekar Mabuk.
"Ada apa
sebenarnya?"
"Ada yang mengikuti
kita."
"Ada di mana orang
itu"! Di belakang kita?"
Suto Sinting tersenyum menahan
rasa geli.
"Namanya mengikuti ya
tentu dari belakang, tidak mungkin dari depan! Kalau dari depan namanya
menuntun kita! Bukan mengikuti!"
Buyut Batara malu dengan
pertanyaan bodohnya tadi.
Ia ingin menoleh ke belakang,
tapi Suto Sinting buru-buru melarangnya.
"Jangan menoleh. T etap
saja seperti biasa, seolah-olah kita tak tahu kalau dia mengikuti dari
belakang."
"T api... tapi dari mana
kau tahu kalau dia mengikuti kita" Aku tak mendengar suara langkah
kakinya," bisik Buyut Batara.
"Suara langkah kakinya
memang tak terdengar.
Kurasa dia mempunyai ilmu
peringan tubuh yang cukup lumayan, sehingga langkah kakinya bisa tak terdengar.
T api aku mendengar detak jantungnya."
"Ooh..."!"
Buyut Batara terperanjat dan merasa kagum. Baru sekarang ia tahu ada orang yang
bisa mendengar suara detak jantung di kejauhan. Buyut Batara memang tak tahu
bahwa Pendekar Mabuk juga mempunyai ilmu 'Lacak Jantung' yang membuatnya dapat
mendengar detak jantung seseorang di tempat yang tersembunyi.
Mereka akan melewati tikungan
jalan. Kerimbunan pohon bambu yang tumbuh merapat dapat dijadikan tempat
bersembunyi bagi kedua pemuda tersebut. Suto Sinting segera membisikkan rencana
kepada Buyut Batara.
"Jika kita nanti sudah
membelok di balik pepohonan bambu itu, lekaslah naik ke pohon. Kau bisa lakukan
lompatan cepat ke atas pohon, bukan?"
"Bisa!" jawab Buyut
Batara.
"Bagus. Carilah tempat
bersembunyi di atas pohon nanti, agar jangan sampai kauterlihat dari bawah. Aku
akan berhenti dan menghadang si penguntit kita itu!"
"Baik. Hati-hatilah,
Suto!"
"Sekarang jangan kelihatan
tegang dulu. Santai saja!" bujuk Suto Sinting karena Buyut Batara mulai
menggenggamkan kedua tangannya. Hal itu bisa dilihat dari belakang dan tampak
mereka bersiap menghadapi seseorang. Karenanya, Buyut Batara segera melepaskan
genggaman tangannya, ia ikut tertawa pelan ketika Suto Sinting membuat lelucon
lewat celotehnya. Bahkan Suto Sinting sempatkan diri menenggak tuaknya sesaat.
Gerakan menenggak itu dimaksud
juga untuk memeriksa apakah ada bahaya di atas pohon sekitar mereka.
"Aman...," ucap Suto
membatin. Langkah mereka pun berlanjut, membelok di tikungan, di balik serumpun
pohon bambu hijau yang tumbuh rapat. T ak jauh dari tikungan ada sebuah pohon
dengan cabangnya menaungi jalanan yang dilewati mereka berdua. Pendekar Mabuk
berikan isyarat lewat angukan kepalanya.
Buyut Batara segera sentakkan
kaki ke tanah.
Wuuus...! T ubuhnya meluncur
naik dan hinggap di salah satu dahan. Jleeg...!
Suto Sinting memandang
sebentar, kemudian ia tersenyum sambil menatap kearah tikungan itu. Ia sengaja berbalik
arah dengan sikap menunggu datangnya si penguntit.
"Aku yakin dia berilmu
tinggi, karena suara langkah kakinya tak terdengar sedikit pun," ujar Suto
Sinting membatin sendiri. "T api ia tidak bisa sembunyikan suara detak
jantungnya, sehingga ia tak akan menduga kalau kuhadang di sini dan akan
kupergoki siapa dia sebenarnya!"
T ernyata sampai beberapa saat
lamanya, dari arah tikungan itu tidak muncul siapa pun juga. Padahal hati Suto
sudah tak sabar. Rasa penasaran ingin mengetahui siapa penguntitnya membuat
Suto menjadi jengkelsendiri. "Apakah dia tahu kalau sedang kujebak di
sini?" pikir Suto, lalu segera menggunakan jurus 'Lacak Jantung'-nya lagi
untuk mengetahui di mana orang itu bersembunyi. Namun sesaat setelah jurus itu
dipergunakan, wajah Suto Sinting mulai berubah.
Dahinya berkerut dan matanya
melirik sekitarnya. Ada kecemasan yang mulai dirasakan oleh si murid sinting
Gila T uak itu.
"Aneh! T ak ada suara
detak jantungnya lagi" Apakah dia pergi ke lain arah dan jadi
menguntitku" Hmm... tapi... tapi suara detak jantung Buyut Batara juga tak
kutangkap dengan indera pendengaran gaibku"! Aneh sekali. Yang kutangkap
hanya suara detak jantungku sendiri"!"
Pendekar Mabuk semakin cemas,
ia mendongak ke atas, memandang pohon berdaun rindang tempat Buyut Batara
bersembunyi tadi.
"Ooh..."! Tak
kulihat bayangan seseorang di atas sana. Apakah Buyut Batara pindah
tempat"! Sialan kalau pindah tempat!" ujar Suto membatin. Lalu, ia
pun memanggil Buyut Batara dengan suara setengah tertahan. "Buyut...! Hei,
menjawablah, Buyut! Yuut...! Buyut Batara"! Ssst...! Buyut, kau dengar
suaraku"!"
T ak ada jawab apa pun dari
atas pohon. Pendekar Mabuk semakin bertambah cemas lagi. Wuuut...! Ia pun
menyusul naik ke atas pohon dengan satu sentakan kakiringan. T ubuhnya melayang
dengan cepat dan menerabas daun-daun kecil yang rimbun itu. Brruuss...!
"Edan! Ke mana bocah
itu"!" geramnya dengan hati kesal, karena Buyut Batara ternyata tak
ada di pohon tersebut.
T api ketika ia memandang ke
arah selatan, tampak sekelebat bayangan merah tembaga yang melesat dari pohon
ke pohon. Bayangan itu sepertinya sedang memanggul sesuatu yang berwarna biru
muda.
"Kurang ajar! Rupanya
seseorang telah berhasil membawa lari Buyut dari pohon ini"!"
Zlaaap, zlaaap...! Pendekar
Mabuk segera mengejar bayangan merah jambu itu dengan hati semakin kesal, ia
merasa telah kebobolan.
Bahkan lebih parah lagi,
niatnya menjebak justru ganti terjebak. Hal itu membuat Pendekar Mabuk sangat
jengkel dan bertambah penasaran, ia harus berhasil menangkap orang itu dan
membebaskan Buyut Batara, karena tertangkapnya Buyut Batara karena gagasannya
sendiri.
Pendekar Mabuk tak tahu bahwa
keadaan Buyut Batara di atas pohon merupakan hal yang sangat menguntungkan bagi
pihak si penguntit. Orang tersebut bermaksud mengikuti Suto dan Buyut Batara
melalui atas pohon, agar tak menimbulkan kecurigaan bagi keduapemuda tersebut.
Namun ketika ia tiba di pohon berdaun rindang itu, ternyataBuyut Batara muncul
dan hinggap di sebuah dahan membelakangi orang tersebut.
Buyut Batara sendiri tak tahu
ada orang di belakangnya, ia hanya rasakan sentuhan keras di bagian tengkuknya.
Sentuhankeras di bagian sekitar tengkuk itu adalah sebuah totokan dua jari
tangan si penguntit. T entu saja Buyut Batara tersentak, namun tak bisa keluarkan
suara, ia segera menjadi lemas, terkulai hampir jatuh.
Orang tersebut menyambar tubuh
Buyut Batara sebelum pemuda itu jatuh dari atas pohon. Keadaan Buyut Batara
masih sadar dan mengetahui apa yang sedang terjadi atas dirinya. Hanya saja, ia
kehilangan kemampuan bersuara dan bergerak. Orang tersebut agak kerepotan
sebentar menahan tubuh Buyut Batara yang gempal itu. Namun dengan kekuatan
tenaga dalamnya, ia berhasil meletakkan Buyut Batara di pundaknya seperti
handuk basah. Kemudian ia berusaha tinggalkan pohon itu tanpa suara sedikit
pun.
Mulanya langkah dan gerakannya
dilakukan sangat pelan, setelah agak jauh baru ia berlari melompati pohon ke
pohon dengan ilmu peringan tubuhnya.
Orang tersebut ternyata
mempunyai kecepatan gerak yang membuat Suto Sinting kewalahan. Jurus 'Gerak
Siluman' yang digunakan si Pendekar Mabuk tak berhasil memburunya, karena orang
tersebut mempunyai gerakan berbelok-belok membingungkan. Bahkan Suto sempat
salah arah. Ia tak melihat orang tersebut membelok ke arah timur. Suto masih
mengejarnya ke arah selatan.
Setelah sadar ia salah arah,
ia pun kembali ke arah semula. Tapi sudah terlambat; orang itu sudah membelok
lagi entah ke arah mana. Suto Sinting mencari ke berbagai penjuru dalam radius
sekian kilometer. T api orang yang membawa lari Buyut Batara tetap tidak
berhasil ditemukan.
Kesimpulan batin Suto
mengatakan, "Pasti orang Istana Kematian! Entah siapa namanya, yang jelas
bukan salah satu dari keenam prajurit tadi!"
T entu saja Suto tak berhasil
temukan orang tersebut, karena ia tidak melihat adanya sebuah gua kecil di
salah satu lereng bukit tak jauh dari tempat ia salah arah itu. Gua tersebut
selain kecil, hanya cukup untuk masuk satu orang dalam keadaanmerunduk, juga
bagian depan gua tumbuh ilalang setinggi pundak orang dewasa.
Ilalang itu menutupi mulut
gua, sehingga tidak kelihatan jelas dari jalanan seberang semak tersebut,
Orang tersebut meletakkan
Buyut Batara di mulut gua itu. Setelah ia masuk ke dalam gua, ia segera menarik
tubuh Buyut Batara hingga ikut masuk ke dalam guatersebut. Jika bukan orang
yang pernah masuk ke gua itu, tak mungkin gua itu mudah ditemukan oleh orang
berpakaian merah tembaga itu.
Keadaan di dalam gua ternyata
cukup lebar. Banyak bebatuan yang berserakan di sana-sini, tapi banyak pula tempat
datar yang kering. Langit-langit gua itu mempunyai tiga lubang tembus ke atas
bukit. Cahaya matahari masuk melalui tiga lubang tersebut, membuat suasana di
dalam gua cukup terang tapi aman.
Gua itutidak punya jalan
tembus ke mana-mana, selain celah-celah sempit pada dinding gua yang tidak bisa
dipakai lewat seseorang. Celah sempit itu juga membiaskancahaya matahari,
sehingga jika matahari condong ke barat atau baru terbit daritimur, gua itu
tetap mendapat penerangan cahaya.
Buyut Batara dibaringkan di
atas tanah datar yang dilapisi daun-daun ilalang kering. Ilalang kering itu
disusun se demikian rupa, sehingga dapat digunakanuntuk tidur dengan empuk. Hal
itu menandakan bahwa orang tersebut pernah tiduratau istirahat di gua itu
beberapa kali.
Suara sebuah ledakan yang
samar-samar mengubah arah pengejaran Pendekar Mabuk. Suara itu berasal dari
utara. Tampaknya cukup jauh dari tempatnya berdiri saat itu.
"Jangan-jangan suara
ledakan itu adalah pertarungan Buyut Batara dengan orang berpakaian merah tembaga
tadi"!" duga hati murid sinting si Giia T uak. Maka takada langkah
lain bagi Suto Sinting kecuali hampiri suara ledakan tersebut.
T ernyata suara itu memang
datang dari sebuah pertarungan. Pertarungan itu terjadi di hutan berpohon
renggang, sehingga banyak tempat kosong yang memberi kebebasan bagi sebuah
pertarungan. Pada waktu Suto Sinting tiba di atas salah satu pohon, ia sempat
kecewa sesaat, karena pertarungan itu bukan pertarungannya Buyut Batara.
Namun hatinya segera tergugah
melihat salah satu pihak yang bertarung itu adalah seorang wanita berusia
sekitar dua puluh lima tahun. Wanita itu mempunyai paraswajah yang cantik walau
berkulit sawo matang.
Rambutnya disanggul seba gian,
sisanya meriap sampai menutupi bahunya.
Tubuh sekal yang tampak padat
berisi dan berurat kencang itu dibungkus dengan jubah kuning gading tanpa
lengan. Jubah itu terbuka bagian depannya. Tapi si wanita cantik berhidung
mancung itu mengenakan kain penutup dada ber warna hijau tua, sama dengan kain
penutup bagian bawahnya yang berbelahan dua kanan-kiriitu. Sebuah sa buk dari
kulit binatang dikenakan untuk menyelipkan pedang bergagang putih berkilauan
dari logam anti karat.
"Siapa wanita cantik
itu"!" tanya Suto dalam hatinya.
"Gerakannya cukup gesit
dan lincah. Jurus yang dimainkan... boleh juga! Ia punya gerak tipuan yang
bagus. Hmmm... baru sekarang kulihat wanita bermata penuh keberanian itu. T api
yang jelas, lawannya pastiorang istana Kematian, sebab pakaian besi dan topi
besinya sama dengan keenam prajurit yang tadi. Namun dia bukan salah satu dari
mereka. Aku ingat betul, wajah mereka tak ada yang seperti lelaki ini!"
Lelaki yang kini mencabut
pedang panjangnya itu berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mempunyai kumis
lebat dan berwajah ganas, ia mempunyai tubuh yang tinggi dan besar, melebihi
keenam prajurit yang tadi berurusan dengan Suto.
Orang mata lebar itu bukan
saja pandai bermain jurus pedang, namun ia juga mempunyai jurus pukulan jarak
jauh bercahaya merah. Ketika pedangnya menebas dan tertangkis oleh pedang si
wanita cantik, ia sempat terpental karena wanita itu segera memutar tubuh dan
melayangkan tendangan kuatnya ke arah perut lawan.
Begitu orang itu bangkit dari
jatuhnya yang berjarak delapan langkah dari tempat si wanita cantik itu
berdiri, tangan kirinya segera melepaskan sinar merah bundar seperti telur
burung. Claaap...!
Sinar merah dari telapak
tangan kirinya itu melesat ke arah wanita berjubah kuning. Namun dengan lincah
wanita itu melenting ke udara, bersalto maju dua kali dengan gerakan putar yang
cepat. Wes, wes...! Sinar merah itu akhirnya padam begitu saja karena menerjang
rumput ilalang lebat. Buuuss...! Asap mengepul dari tengah kelebatan semak
ilalang itu.
"Kalau ilalang itu
tanahnya tidak basah, pasti akan terbakar karena sinar merah tadi," pikir
Suto Sinting, namun perhatiannya segera berpindah ke pertarungan.
Wanita berjubah buntung warna
kuning berdiri dalam jarak empat langkah dari lawannya, ia diserang dengan
juruspedang yang berkesan membabi-buta tapi mempunyai gerakan cepat.
Trang, trang, trang, trang...!
Wanita itu terdesak, karena
setiap tebasan pedang yang ditangkisnya berkekuatan besar dan membuat tubuhnya
terdorong mundur. Rupanya orang istana Kematian itu mempunyai tenaga cukup
besar, sesuai dengan postur tubuhnya, sehingga tangkisan pedang si wanita
selalu nyaris mengenai tubuhnya sendiri. Sabetan pedang lawan di ba gian ba wah
bisa dihindari oleh si wanita dengan lompatan. T api di luar dugaan, lelaki itu
juga melompat dan memutar tubuhnyadengan cepat sambil lepaskan tendangan kaki
besarnya. Wuuut, buuhkk...!
"Aahk...!" wanita
itu terpekik karena pinggangnya terkena tendangan kuat. Tubuhnya terpental
sejauh lima langkah ke samping kanan. Ia jatuh terbanting, kepalanya nyaris
pecah karena batu besar yang ada di sampingnya dalam jarak tiga jengkal itu.
"Aahhhkk.... Uuuhk...!"
Rupanya tendangan kaki tadi
mengandung tenaga dalam cukup besar, sehingga si wanita akhirnya mengeluarkan
darah kental dari mulutnya. Selain rasa sakit di pinggangnya, rasa panas pun
bagai membakar tubuh bagian dalam. Darah itu keluar cukup banyak dan membuat
wanita tersebut
menjadi pucat. "Berakhir
sudah riwayatmu, Perempuan Jalang! Heeaah...!"
Prajurit berwajah angkeritu
melompat dengan pedang terangkat ke atas, siap memenggal leher si wanita yang
sedang bersimpuh dan membungkuk.
T etapi ketika tubuhnya
melayang di udara, tiba-tiba ia merasaditerjang sesuatu yang datang dari arah
depannya. Angin padat berhembus cepat dan kuat, membuat tubuh si prajurit
berwajah angker itu terlempar ke belakang dan berjumpalitan di udara.
Baaahk ..! Wuuusss...! Wuuk,
wuuk, wuuk...!
Praaang...!
"Aahk...!" ia memekik dengan kepala terdongak karena jatuh terbanting
dalam posisi tengkurap. T ersangga batu sebesar anak sapi .
Untung saja ia mengenakan
rompi besi, sehingga tubuhnya tak mengalami luka, hanya saja dadanya terasa
sakit sekali karena bagaikan membentur besi baja.
Angin padat yang menabraknya
tadi tak lain adalah jurus 'Jari Guntur' Suto yang disentilkan dari atas pohon.
Pendekar Mabuk akhirnya keluar
dari persembunyiannya. Zlaaap...! Dalam waktu singkat ia sudah berada di depan
wanitayang terluka, matanya memandang lurus ke arah prajurit berwajah angker
itu.
"Bangsat! Rupanya kau mau
cari mampus juga, hah "!" orang itu paksakan diri untuk berteriak, ia
pun memaksakan diri untuk bangkit walau sambil menahan rasa sakit di dada.
"Heeeaah...!"
teriaknya sambil mengacungkan pedang lurus ke depan dan tubuhnya meluncur di
udara dengan cepat bagaikan terbang. Pedang itu tepat mengarah ke dada Suto
Sinting.
Dengan cepat Suto Sinting pun
meluncur ke depan bagaikan terbang, namun setelah bumbung tuaknya disodokkan.
Bumbung tuak itu bagaikan menarik Suto hinggaterbang mengikutinya. Jurus
'Bangau Mabuk' digunakan oleh Suto Sinting, sehingga ketika ia bertabrakan dengan
prajurit itu, ujung pedang si prajurit beradu dengan ujung bumbung tuak Suto.
Duaaar...! Ledakan cukup keras
terjadi. Prajurit itu terpental mundur dan melayang-layang.
Pedangnya pecah patah menjadi
beberapa keping, ia tak tahu bambu bumbung tuak itu bukan sembarang bambu dan
mempunyai kesaktian dahsyat yang sulit dilawan.
Suto Sinting berdiri tegang
setelah terjadinya ledakan tadi. Ia sunggingkan senyum, memandang tajam pada si
prajurit yang terbatuk-batuk dan memuntahkan darah dari mulutnya. Rupanya
ledakan tadi juga menyebarkan kekuatan tenaga dalamyang menghantam leher
prajurit itu.
"Celaka! Kurasa dia bukan
tandinganku! Uuhkk...! Se baiknya kutinggalkan saja mereka! Lukaku harus
kusembuhkan dulu!" pikir si prajurit.
Prajurit itu segera melarikan
diri dengan sisa tenaganya. Pendekar Mabuk hanya memperhatikan dengan bertolak
pinggang dan tersenyum. Bumbung tuaknya sudah digantungkan dipundak kanan.
Setelah prajurit itu menghilang dari pandangan mata, Suto segera berbalik
arahdan hampiri wanita berjubah kuning gading itu. T etapi ia terkejut melihat
wanita tersebut sudah terkapar dengan pedang tak bisa digenggamnya lagi.
"Celaka! Jangan-jangan
nyawanya sudah melayang sebelum berkenalan denganku"!" ujar hati Suto
dengan cemas, ia pun mempercepat langkahnya untuk sampai di tempat wanita
cantik itu.
* * *
4
WANIT A cantik itu akhirnya tertolong juga. T
uak yang dituangkan ke mulut wanita itu secara sedikit demi sedikit membuat
kesembuhan yang mujarab. Wanita cantik itu kebingungandan terheran-heran ketika
menyadari badannya menjadi segar, lebih segar daripada sebelum lakukan
pertarungan. Ia pun terperanjat memandang seraut wajah seorang pemuda tampan
yang punya senyum mendebarkan itu.
Ketika wanita itu bebas dari
maut akibat luka dalamnya, Suto Sinting berada di ba wah pohon teduh, sandarkan
pundak kirinya sambil kedua tangan terlipat di dada. Bumbung tuaknya
menggantung di pundak kanan.
Senyumnya mekar indah dengan
tatapan mata yang lembut. T ak heran jika wanita cantik beralis tebal namun
tertata rapi itu sempat terbengong menatap Pendekar Mabuk.
"Siapa dia"!"
pikirnya, mencoba mengingat-ingat masa sebelum pingsan tadi.
"Seingatku...
seingatku... orang Istana Kematian tadi menyerangkudengan tendangan yang luar
biasa beratnya. Kemudian... kemudian aku jatuh, darahku keluar dari mulut
dan... dan... dan kulihat samar-samar orang Istana Kematian tadi ingin
mengakhiri hidupku dengan satu lompatan. Lalu... lalu bagaimana, ya?"
Wanita itu masih diam
mengingat-ingat pertarungannya tadi.
"O, iya... kemudian
lawanku tiba-tiba terpental sebelum pedangnya menghujam ke tubuhku. Dan...kalau
tak salah, aku sempat melihat sekelebat bayangan melompati kepalaku, lalu
berdiri di depanku, setelah itu... bayangan itu pingsan. Eh, aku yang pingsan.
Hmmm.... Lalu ke mana si muka iblis tadi" T ak ada bangkainya di sini. Berarti
si muka iblis tadi melarikan diri setelah pemuda itu membelaku. Hmmm...
begitukah kejadiannya"!"
Suto Sinting tetap tidak
menyapa lebih dulu. Ia ingin tahu, seperti apa sikap wanita cantik itu setelah
lolos dari maut. Suto hanya memandanginya dengan seulas senyum indah tetap
menghiasi bibirnya.
Wanita cantik masih membatin,
"Jangan-jangan pemuda ini berkomplot dengan si muka iblis itu"! Lalu
ia pura-pura... eh, tapi dia membawa bambu panjang. Apakah itu bumbung
tuak"! O, ya... ia mengenakan baju coklat celana putih! Bukankah...
bukankah itu ciri-ciri si Pendekar Mabuk yang sering kudengar dari mulut
orang-orang itu" Aduh, deg-degan juga aku jadinya. Apa benar dia Pendekar
Mabuk"! Kalau melihat ketampanannya, gagahnya, ciri rambutnya tanpa ikat kepala,
memang dia sesuai dengan ciri Pendekar Mabuk.
T api siapa tahu dia hanya
seorang penjual tuak dalam bumbung yang kebetulan nyasar kemari"!"
Dengan lagak membetulkan letak
pakaian, membersihkan tanah dan memasukkan pedangnya ke sarung pedang, wanita
cantik itu masih berkecamuk dalam hatinya. Setelah itu, ia pun segera tentukan
sikap untuk menyapanya lebih dulu. Wajah ketus dan angkuh dipasang supaya tidak
dinilai sebagai wanita seribu tiga alias wanita murahan.
"Mengapa kau memandangiku
terus"!"
Pendekar Mabuk semakin
lebarkan senyum, ia tahu wanita tersebut sedang salah tingkah dan tak mengerti
harus berbuat apa. Karena sudah ada teguran pertama,
Pendekar Mabuk akhirnya dekati
wanita cantik bertubuh sekal itu.
"Kebetulan aku lewat
daerah sini. Aku sedang mencarisahabat baruku yang dibawa lari oleh
seseorang."
"Aku tidak membawa lari
sahabatmu!" ketus si wanita cantik.
"Memang bukan kau
orangnya. Orang itu mengenakan pakaian merah tembaga. Oh, ya..."!"
tiba-tiba Suto Sinting ingat sesuatu. Hati pun mulai bicara sendiri.
"Pakaian merah tembaga
seperti pakaian besi para prajurit Istana Kematian! Orang yang tadi melawan
perempuan ini juga mengenakan rompi anti senjata tajam yang berwarna merah
tembaga. Kalau begitu, Buyut Batara memang dibawa lari oleh prajurit Istana Kematian! Atau... atau orang tadikah
yang membawanya lari"!"
Dengan ketegangan sedikit
membias di wajah tampannya, Suto Sinting bur u-buru ajukan tanya kepada wanita
cantik itu.
"Apakah... apakah kau
tadi melihat prajurit muka angker itu memanggul
seseorang?"
"T idak!" jawabnya
tegas. "Aku hanya melihat dia menenteng pedangnya. Ketika berpapasan
denganku, dia segera menyerangku, karena dia tahu aku adalah orang Tanah
Leluhur."
"Ooh..."!" Suto
Sinting terkejut mendengar si wanita cantik adalah orang T anah Leluhur. T api
wanita itu semakin angkat dagu menampakkan kesombongannya.
Kesombongan itu bukan asli
dari dalam jiwanya, melainkan sengaja dipaksakan timbul untuk menjaga harga
dirinya di depan pemuda tampan itu. "Benarkah kau orang Tanah Leluhur"!"
"Ya! Kenapa"!"
ia melirik sinis. "Kau mau menangkapku seperti orang-orang istana Kematian
itu"!
T angkaplah kalau kau
bisa!" tantangnya sambil tangannya mulai meraih gagang pedang, namun
belummencabutnya. Suto Sinting buru-buru nyengir. "Hmmm, bukan begitu
maksudku. Hmmm... begini, aku sendiri sedang...sedang mencari sahabatku. Dia
orang T anah Leluhur juga dan...."
"Siapa
namanya"!" potong wanita cantik itu dengan pandangan mata tertuju
tegas-tegas ke wajah Suto Sinting.
"Namaku... Suto Sinting
dan aku...."
"Yang kutanyakan siapa
nama sahabatmu itu"!"sergah si wanita.
"Oh, nama
sahabatku"! Hmmm... dia mengaku bernama Buyut Batara! Kami baru
saja...."
"Siapa..."!"
wanita itu terbelalak. "Buyut Batara"! Benarkah kau telah bertemu
dengan adikku; si Atmajaya alias Buyut Batara itu"!" Kini mata Suto
Sinting juga menatap nanap pada wajah wanita cantik itu.
"Adikmu..."!"
gumam Suto dengan nada sangsi.
"Buyut Batara adalah
adikku! Dia mengenakan rompi biru dan celana biru, memakai kalung berbentuk
bintang, mempunyai batu ungu di tengah bintang logam putihitu"!"
"Benar! T epat
sekali!" sahut Suto Sinting bersemangat. "Apakah kau
melihatnya"!"
"Justru aku sedang
mencarinya! Sudah tujuh hari dia tak pulang karena tugas mencari Pendekar
Mabuk. Aku mencemaskan keselamatannya, maka kususul dia. Namun sudah dua hari
ini aku tak bisa menemukan Buyut! Aku khawatir ia telah ditangkap oleh orang
Istana Kematian!"
Wanita itu mulai menampakkan
kecemasan aslinya. Matanya memandang ke sana-sini, seakan tak sabar ingin
segera bertemu dengan Buyut Batara. "Pantas kecantikan wajahnya sedikit
mirip dengan Buyut Batara, terutama hidungnya," ujar Suto Sinting dalam
hati setelah membandingkan wajah wanita itu dengan wajah Buyut Batara.
"Siapa kau
sebenarnya?" tanya wanita cantik itu.
"Bukankah tadi sudah
kusebutkan namaku"!"
Gadis itu bingung
mengingatnya. Suto menyambung lagi, "Namaku adalah Suto Sinting...."
"Oh, tak kuhiraukan nama
itu tadi disebutkannya?" pikir si wanita. Lalu ia memandang Suto dengan
sorot mata berbinar-binar.
"Kalau begitu... kalau
begitu kaukah yang bergelar Pendekar Mabuk itu"!"
"Buyut Batara mengenaliku
sebagai Pendekar Mabuk. Mengapa kau tak mengenaliku?"
"Hmmm, eeh, hmmm,
eehh...!" wanita cantik itu salah tingkah sendiri dengan senyum yang serba
salah juga. Ia merasa malu karena tak merasa kalah cerdas dengan adiknya. Untuk
menutupi rasa malunya, ia justru perkenalkan namanyasendiri. "Hmmm, ehh,
iya... anu, namaku... namaku: Rembulan Senja."
"Nama yang bagus
sekali," gumam Suto Sinting lirih, sampai di telinga wanita cantik itu. T
etapi di dalam hatiSuto ada gerutu yang tersembunyi.
"Sial! Buyut tak pernah
bilang kalau punya kakak secantik ini"! Apa dia takut kalau kakaknya
kubawa kabur"! Hmmm... kurasa Buyut Batara belum tahu kalau akuadalah
calon suami Ratu negeri Puri Gerbang Surga wi yang bernama Dyah Sariningrum
itu! Calon istriku juga cantik, tapi... tapi Rembulan Senja punya kecantikan
yang berbeda dengan Dyah Sariningrum.
Nilai kecantikannya sama,
hanya coraknya yang berbeda...."
Gerutuan yang hanyut ke dalam
sebuah renunganpanjang itu segera buyar, karena Rembulan Senja segera
perdengarkan suaranya yang sudah tak seangkuh tadi, namun masih punya nada-nada
tegas. Mungkin nadategas itu sudah menjadi bagian dari sifatnya sebagai wanita
cantik yang punya keberanian cukup besar.
T erbukti ia berani melawan si
wajah angker bertubuh tinggi besar tadi.
"Mengapa adikku bisa diba
wa lari orang"! Apakah kau tidak bersamanya?"
"Kami sedang dalam
perjalanan ke T anah Leluhur. Tiba-tiba kutahu ada orang yang menguntit
kami...," ujar Suto Sinting, kemudian menceritakan peristiwa yang membuat
hatinya dongkol sekali itu.
Rembulan Senja menarik napas,
menekan kesedihan ke dasar hatinya. Wajah cantiknya memang tampak bersedih,
namun tak begitu kentara jika tak diperhatikan dengan cermat. "Dugaanku,
salah satu dari prajurit Istana Kematian yang punya ilmu lebih tinggi dari
prajurit yang melawanmu tadi, telah melarikan Buyut Batara ke Istana
Kematian," ujar SutoSinting. "Karenanya, aku ingin menuju ke Istana
Kematian, tapi aku tak tahu di mana tempat itu berada!"
Rembulan Senja memandang ke
arah selatan dengan mata sedikit menyipit karena menyimpan kemarahan
membayangkan adiknya menjadi tawanan Ratu Kehangatan. Mulut wanita yang
berbibir sensual itu tetap terkatup rapat, membuat Suto Sinting terpaksa
perdengarkan suaranya lagi setelah meneguk tuaknya beberapa kali. "Maukah
kau menjadi pemanduku menuju istana Kematian itu"!"
Kejap berikut terdengar suara
Rembulan Senja yang sedikit datar itu.
"T erlalu berbahaya jika
hanya berdua!"
"Oh, jangan khawatir. Aku
bukan pemuda kurang ajar. Kujamin kau tak akan terganggu oleh keusilanku, baik
tanganku maupun mataku. Aku sangat...."
"Yang kumaksud, berbahaya
dalam menghadapi orang-orang Istana Kematian itu!" potong Rembulan Senja
sedikit dongkol kepada Suto karena salah tanggap.
"Ooo...," Suto
Sinting nyengir malu. Pandangan matanya dibuang ke arah lain.
"Ratu Kehangatan
mempunyai prajurit-prajurit pilihan. Jika kita hanya berdua dan terkepung para
prajurit pilihan itu, maka nyawa kita tak akan lama di tangan mereka!"
"Kalau begitu, kau
sebagai penunjuk jalan saja. Setelah dekat dengan Istana Kematian, aku akan
masuk sendiri ke istana itu untuk membebaskan Buyut Batara, syukur bisa
membebaskan para tawanan lainnya. Kau bisa langsung pulang sebelum aku
mendekati istana itu!"
"Kau akan masuk ke sana
sendirian"!" ujar Rembulan Senja bernada tak percaya. "Itu sama
saja kau mengantarkan nyawa secara cuma-cuma, Suto Sinting. Mereka tak bisa
diserang dengan satu orang saja! Mereka harus diserang secara serentak dari
berbagai penjuru! Menembus bentengpertahanannya saja sangat sulit, apalagi
sampai membongkar tembok-tembok penjara"!"
Pendekar Mabuk tarik napas, ia
mencoba memaklumi pendapat Rembulan Senja yangbelum tahu persis setinggi apa
ilmu yang dimiliki Pendekar Mabuk.
Sekalipun Suto merasa mampu
menghadapi orang-orang Istana Kematian dengan hanya seorang diri, tapi wanita
cantik itu tak bisa dipaksa untuk percaya. Mau tak mau Pendekar Mabuk menyimpan
rencana itu di dalam hatinya, dan akan bertindak sendiri setelah tahu di mana
letak Istana Kematian itu. "Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan,
Rembulan Senja"!"
"Kita menyusun rencana
dengan rekan-rekanku di T anah Leluhur!" jawab Rembulan Senja dengan mata
memandang tegas kepada Suto Sinting.
Rasa-rasanya tak ada jeleknya
jika mengikuti gagasan Rembulan Senja itu. Pendekar Mabuk juga memperhitungkan
waktu. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Setidaknya ia butuh tempat untuk
beristirahat sambil menyusun rencana untuk gerakannya sendiri. Maka ia pun
mengikuti langkah Rembulan Senja yang menuju ke Tanah Leluhur.
Untuk sementara, masalah Buyut
Batara mereka singkirkan dulu. Rembulan Senja merasa yakin bahwa adiknya masih
hidup, hanya saja di bawah pengaruh dan kekuasaan hukum Ratu Kehangatan. Jika
kesepakatan hasil rundingan orang-orangnya dengan Pendekar Mabuk sudah
didapatkan, Rembulan Senja pun yakin adiknya akan berhasil dibebaskan. Ia tak
tahu bahwa Buyut Batara bukan berada di dalam Istana Kematian, melainkan berada
di dalam sebuah gua. Seseorang yangmembawanya lari ke dalam gua tersebut
ternyata seorang perempuan muda, berusia sekitar dua puluh empat tahun.
Perempuan itu berambut cepak seperti lelaki, tapi mempunyai raut wajah yang
cantik, berhidung mancung, bermata tajam, bulu matanya lentik, bibirnya sedikit
tebal tapi menggairahkan sekali, ia dikenal dengan nama: Denaya.
Ia mengenakan gaun bawah
semacam rok yang sangat pendek, hanya sebatas separo paha. Rok itu bersulam
benang tembaga, sehingga mempunyai berat cukup lumayan. Tapi cukup lemas,
seperti kain tebalbiasa. Rok itu berwarna merah tembaga.
Sa buknya juga terbuat dari
serat besi anti senjata tajam. Bagian atasnya adalah baju tanpa lengan, juga
terbuat dari bahan yang sama dan anti senjata tajam.
Baju itu dilengkapi dengan
pisau-pisau kecil yang sewaktu-waktu dapat dicabut dan dilemparkan. Karena pada
umumnya prajurit Istana Kematian dilengkapi dengan pedang dan pisau beracun
berukuran kira-kira satu jengkal.
Denaya yang bertubuh sintal
dan mempunyai dada montok namun tidak membengkak besar itu memang prajurit
wanita dari Istana Kematian. Ilmunya lumayan tinggi, karena sejak usia tujuh
tahun ia sudah berguru pada seorang pendeta dari T ibet. Ditambah lagi, ia
memperoleh beberapa ilmu dari Ratu Kehangatan dan berhasil diangkat menjadi
prajurit pilihan sang Ratu.
Kulitnya yang berwarna sedikit
gelap itu, membuatnya tampak alot dan bertulang keras. Dari pandangan matanya,
seseorang dapat menilai, Denaya adalah gadis cantik yang punya keberanian
tinggi dan tahan bantingan. Karenanya, ia berani berhasil melumpuhkan pemuda
bertubuh kekar dan berhasil membawanya lari. Agaknya memang Buyut Batara yang
diincarnya, bukan SutoSinting. Sebab ia belum tahu siapa orang yang berjalan
bersama Buyut Batara.
Tetapi terhadap Buyut Batara,
ia sudah mengenalnya. Denaya melepaskan totokannya tanpa merasa takut dengan
datangnya perlawanan dari Buyut Batara. Ketika totokan itu sudah dibebaskan,
Buyut Batara sedikit tegang pandangi wajah cantik Denaya itu. Napasnya
terengah-engah dah pemuda itu mencoba untuk segera bangkit dengan penuh
waspada.
"Kau....
Denaya..."!" ucap Buyut Batara dengan suara sedikit bergetar, ia
melangkah mundur jauhi gadis
itu.
Si gadis tetap tenang. Seulas
senyum tipisnyatersungging di bibir menggemaskan itu. Senyum tersebut memang
berkesan sinis, tapi begitulah senyum yang dimiliki Denaya sebagai seorang
prajurit pilihan sang Ratu. Sreet...! Buyut Batara mencabut pedang pendeknya.
Pedang itu lebih pendek dari
pedang milik Denaya, juga berukuran lebih kecil dibandingkan pedangnya Denaya.
Tetapi agaknya Buyut Batara
punya andalan sendiri dengan pedangnya itu dan tak merasa gentar berhadapan
dengan orang-orang berpedang panjang.
Denaya tidak mencabut
pedangnya, ia justru melemparkan pedang yang masih bersarung itu ke tanah
samping susunan ilalang kering itu. Prrang...! Wajahnya tetap memandang lurus
dan tajam ke arah Buyut Batara. T api senyumnya semakin menampakkan sikapnya
yang tidak akan melakukan perlawanan apa-apa jika Buyut Batara menyerang dengan
pedangnya.
Sikap itu membuat Buyut Batara
heran dan berkerut dahi tajam-tajam. Tubuh yang sedikit membungkuk, otot lengan
yang mengeras, kedua tangan yang terangkat penuh siaga, akhirnya mengendur
sedikit demi sedikit.
Badan pemuda itu menjadi tegak
kembali, kedua tangannya diturunkan, otot lengannya tampak tak sekeras tadi. T
api pandangan mata Buyut Batara masih setajam tadi.
"Ambil pedangmu, Denaya!
Kita tentukan siapa yang mati di antara kita berdua, selagi tak ada pihak yang
membantuku dan tak ada pihak yang membantumu!" ujar Buyut Batara dengan
suara menggeram. Napasnya masih memburu, dadanya naik turun, semua itu akibat
ia menaruh dendam kepada pihak Istana Kematian, dan iatahu bahwa Denaya adalah
orang Istana Kematian.
T etapi tantangan itu tidak
dilayani oleh Denaya. Gadis itu melangkah ke sisi lain, mendekati batu setinggi
pinggul, ia pun dudukdi tepian batu setinggi pinggul dengan kaki kirinya
dinaikkan ke batu sampingnyayang setinggi betis itu. Ia duduk dengan tegak dan
gagah, seperti seorang lelaki. Satu tangannya bertolak pinggang, sedangkan
tangan yang satunya lagi jatuh di pahanya.
"Kalau aku mau, kau sudah
mati sejak tadi, Buyut! T ak perlu kulepaskan totokanku, langsung saja
kupenggal lehermu. Apa susahnya"! Dan kau tak perlu kubawa ke gua ini.
Mayatmu yang tanpa kepala itu akan kubuang di sembarang tempat, kalau bisa di
jalanan yang kau lewati tadi setelah kugoreskan namaku di dadamu dengan ujung
pedang. Dengan begitu, orang-orang Tanah Leluhur yang menemukan mayatmu akan
tahu bahwa Denaya adalah orang yang memenggal kepalamu!"
"Mengapa tak kau
lakukan"!"
"Carilah jawabannya dalam
hatimu!" tegas Denaya sambil menatap tajam tak berkedip. Kejap berikut,
Denaya melangkah ke satu sisi lagi. Ia mendekati tiga batu besar berhimpitan,
ia ke belakang batu besar itu. Sesaat kemudian kembali tempat ilalang kering
yang disusun dijadikan alas tidur itu.
Dari balik batu tadi, ia
membawa sebuah tempat minum dari kulit binatang. T empat minum itu berisi air
bening, ia menenggaknya sedikit, sebagai pembasah kerongkongannya.
"Minum..."!" ia
menawarkan kepada Buyut Batara.
Pemuda itu hanya hembuskan
napas panjang sambil memasukkan pedangnya ke sarung pedang. Karena tak ada
jawaban dari Buyut Batara, maka tempat minum itu ditutupdan diletakkan di
samping kanannya.
Buyut Batara memandang ke arah
pintu gua. Ia mendekati pintu itu. Denaya diam saja. Hanya memandang sekilas,
lalu tundukkan kepala dengan posisi duduk sedikit melebarkan kaki, seperti
duduknya seorang lelaki.
Buyut Batara hentikan langkah
sampai di pintu gua. Se benarnya ia bisa saja lolos, melarikan diri. Tapi
kesempatan itu tak dilakukan, karena Denaya sendiri tampak tidak berusaha
menahannya.
"Sepertinya kalau aku
lari, dia tak akan mengejarku," ujar Buyut Batara dalam hati. "Lalu,
apa maksudnya membawaku ke gua ini"!"
Akhirnya pemuda itu kembali
mendekati Denaya. Ia berdiri di depan Denaya dengan kedua kaki sedikit
merenggang dan posisi tubuh tegak. Tampak gagah dan perkasa.
Jaraknya yang hanya empat
langkah dari Denaya membuatnya dapat menatap wajah cantik Denaya yang datar
tanpa senyum dan tanpa kemarahan sedikit pun. Sesaat setelah mereka saling
bungkam, dan Buyut Batara cukup lama pandangi Denaya, prajurit wanita itu
segera mengangkat wajahnya dan menatap Buyut Batara dengan mata mulai berisi,
tidak sehampa saat merenung tadi.
"Mengapa kau tidak
melarikan diri"! Mengapa kau kembali menemuiku"!"
Buyut Batara tak bisa
menjawab, karena ia sendiri tak tahu, mengapa ia tidak melarikan diri, padahal
kesempatan itu sangat memungkinkan. Kini Buyut justru duduk di tanah bertangga
yang dipakai membaringkannya tadi. Ia duduk di samping kiri Denaya dalam jarak
satu setengah jangkauan. Jarak itu sengaja dijaga agar sewaktu-waktu ada bahaya
dari Denaya, ia dapat segera menghindarinya.
"Masih ingat pertempuran
di Pantai Ladam?" tanya Denaya dengan nada datar, sepertinya ia bicara
pada diri sendiri. T api Buyut Batara tahu, kata-kata itu ditujukan padanya.
"Ya, aku ingat kala itu
kita berhadapan saling beradu pedang. Kau melukai lenganku. T api segera
meninggalkan diriku, padahal kau punya kesempatan membunuhku saat aku jatuh
tengkurap!"
Sambil berkata demikian, Buyut
Batara teringat pertempuran di Pantai Ladam. Ketika itu, Buyut Batara dan tiga
orang kawannyasedang mengejar seorang pencuri pusaka yang bernama Barak Soca.
Mereka berpapasan dengan orang-orang Istana Kematian, lalu terjadilah
pertarungan antara empat orang Tanah Leluhur melawan tujuh orang Istana
Kematian, termasuk Denaya sendiri. Karena pada saat itu, Barak Soca meminta
perlindungan kepada kakaknya yang menjadi prajuritnyaRatu Kehangatan.
Dua orang Tanah Leluhur itu
tewas di ujung pedang mereka. T etapi Buyut Batara dan seorang temannya lagi,
berhasil meloloskan diri setelah membunuh Barak Socadan merampas kembali keris
pusaka yang dicurinya.
Padahal waktu itu Denaya punya
kesempatan emasuntuk membunuh Buyut Batara, namun gadis itu justru
meninggalkannya denganalasan menyelamatkan Barak Soca yang terluka parah, walau
akhirnya Barak Soca tewas setelah diangkat oleh kakaknya sendiri.
Lamunan masa lalu itu
terputus, karena Denaya segera perdengarkan suaranya lagi sambil melirik ke
arah kirinya, menatap Buyut Batara yang sedang menerawang itu.
"Apakah kau juga masih
ingat peristiwa di Bukit Merah?"
Ingatan pemuda itu segera
melayang ke masa dua tahun yang lalu, ketika terjadi pertarungan di Bukit
Merah. Pertarungan itu terjadi antara Buyut Batara dengan sang penantang yang
dikenal dengan nama IblisDarah Hitam. Dendam si Iblis Darah Hitam kepada
keluarga Buyut Batara akan berakhir jika salah satu dari anggota keluarga
tersebut melayani tantangan pertarungan di Bukit Merah. Semula Rembulan Senja
yang akan tampil sebagaila wan Iblis Darah Hitam. Tetapi segera digantikan
Buyut Batara, karena Rembulan Senja sedang sakit.
Pertarungan itu disaksikan
dari berbagai pihak, termasuk orang yang tidak berkepentingan. Beberapa tokoh
rimba persilatan pun hadir di Bukit Merah, dan Denaya ada di sana juga bersama
seorang teman, sesama prajurit wanita juga.
Waktu itu, Buyut Batara nyaris
tewas di tangan Iblis Darah Hitam, karena pedangnya terpental dan jatuh di
depan kaki Denaya. Pedang si Iblis Darah Hitam juga telah lepas dari tangannya.
Buyut Batara terpental jatuh akibat tendangan lawan. Lawan segera menerkam
dengan pisau simpanannya.
Pada saat itu, pedang Buyut
Batara meluncur mendekati tangannya. Pedang itu segera disambar, dan se gera
dihujamkan ke perut lawan. T anpa pedang itu, Buyut Batara kemungkinan sudah
mati di tangan lawannya.
Pedang itu meluncur akibat
ditendang oleh Denaya yang berpura-pura didorong temannya. Buyut Batara menarik
napas panjang setelah membayangkan pertarungan di Bukit Merah itu. Hatinya
mulai menyadari tentang sikap Denaya yang mempunyai maksud-maksud tertentu
padanya. Dengan tanpa menatap Denaya, pemuda itu mulai perdengarkan suaranya
kembali yang juga bernada datar.
"Sudah dua kali kau
biarkan aku punya kesempatan hidup. Sekarang ketiga kalinya. Kau tak membunuhku
selagi aku tertotok olehmu. Padahal kau adalah musuhku dan aku musuhmu!"
"Adakah seorang musuh
yang membiarkan lawannya tetap hidup?" suara Denaya agak parau, walaupun
ia bicara juga tanpa memandang Buyut Batara. T api kali ini pemuda itu sengaja
berpaling menatap Denaya. Tatapan itu membuat Denaya tertarik dan ikut
berpaling melemparkan pandangan matanya yang tidak berkesan bermusuhan.
Pandangan mata itu dirasakan Buyut Batara sebagai pandangan seorang sahabat,
bahkan lebih dari seorang sahabat.
Gadis itu berkata lirih, namun
masih bernada tegas.
"Sekarang kuberi kau
kesempatan untuk membunuhku."
Buyut Batara diam saja, masih
memandang.
"Lakukanlah sekarang
juga!" desak Denaya.
"Aku tak sanggup,"
jawab Buyut Batara dengan suara pelan.
"Mengapa tak
sanggup" Bukankah aku musuhmu dan kau lawanku"!" sambil Denaya
bergeser mendekat, kini jaraknya tinggal setengah jangkauan lagi. Adu pandangan
mata itu semakin lekat, namun punya ketajaman tersendiri. Seakan ketajaman itu
tidak menggores hati, melainkan menciptakan desir-desir aneh yang terasa indah
untuk dinikmati. "Mengapa kau menatapku begitu?" tanya Buyut Batara
dengan suara lirih.
Denaya juga menjawab dengan
lirih, "Inilah gunanya kuberi kesempatan hidup padamu. Aku ingin dapat
memandangmu."
Buyut Batara mulai sunggingkan
senyum walau canggung, ia tak tahan beradu pandang, kemudian alihkan pandangan
matanya ke arah pintu gua. Denaya akhirnya ikut-ikutan alihkan pandangan mata
ke arah pedangnya yang masih tergeletak di tanah.
"Aku memang seorang
prajurit," suara Denaya memecah kebisuan mereka. "Tapi kali ini aku
terpaksa memberontak terhadap ratuku yang gila darah itu."
"Gila darah"!"
Buyut Batara melirik Denaya.
"Melihat pertarungan
berdarah hingga salah satu ada yang mati, merupakan hiburan yang amat disenangi
Ratu Kehangatan. Kami diperintahkan untuk menculik para pemuda Lembah Badar,
termasuk kaum lelakinya yang kekar dan perkasa. Mereka diadu dalam satu arena.
Salah satu harus ada yang
mati, tak peduli mereka sahabat atau saudara. Mau tidak mau mereka saling
bunuh. Kematian salah satu dari mereka merupakan kepuasan tersendiri bagi Ratu
Kehangatan."
Denaya menuturkannya dengan
pandangan mata menerawang, seakan membayangkan pertarungan berdarah yang hampir
setiap hari terjadi di Istana Kematian itu. Buyut Batara sengaja diam, tanpa
tanya sedikit pun, karena ia ingin menyimak apa sebenarnya yang terjadi di
dalam Istana Kematian itu.
"Orang-orang Lembah Badar
akhirnya habis, terutama kaum lelakinya. Mereka mati semua dalam arena
pertarungan. Saling bunuh sesama teman sendiri.
Demikian pula nasib
orang-orang Bukit Sabang. Kaum lelakinya nyaris habis diadu, dipakai tontonan
untuk menghibur hati sang Ratu."
Denaya menarik napas. Kini
pandangan matanya lurus ke arah di depannya.
"Namun ketika tiba
giliran orang-orang T anah Leluhur yang dijadikan mangsa Ratu Kehangatan, aku
mulai berpikir untuk memberontak. T api itu tak mungkin kulakukan. Apalah
artinya diriku yang sendiri jika harus
memberontak menentang perintah sang Ratu. Akhirnya aku melarikan diri dari
Istana Kematian."
"Mengapa kau melarikan
diri?" sela Buyut Batara.
"Karena aku tak setuju
jika orang T anah Leluhur dijadikan korban pemuas hati sang Ratu. Aku tak
setuju jika orang Tanah Leluhur diculik dan mereka diadu diarena sampai salah
satu ada yang mati."
"Mengapa kau tak
setuju?" kejar Buyut Batara.
"Karena di T anah Leluhur
ada seseorang yang menggetarkan hatiku dan membuatku ingin sekali memilikinya.
Pemuda itu, cepat atau lambat akantertangkap dan diadu di arena sampai akhirnya
ia akan mati juga. Daripada akumelihat kematiannya, lebih baik aku lari dari
pemerintahan sang Ratu. Aku harusmenyelamatkan pemuda itu, sebelum darahnya
dijadikan pemuas hati Ratu Iblisitu!" "Siapa pemuda yang kau maksud
itu?"
"Kau...!" tegas
Denaya tanpa ragu-ragu, dan pandangan matanya pun segera menatap ke arah mata
Buyut Batara.
"Untuk apa kubiarkan dua
kali kau hidup kalau akhirnya kematianmu dijadikan hiburan bagi ratuku"!
Untuk apa aku mengabdi penuh kesetiaan kepada Ratu Indudari, kalau akhirnya
pemuda yang menjadi buah impianku harus mati demikepuasan batin sang Ratu"
Lebih baik aku keluar dari
pemerintahannya, bergabung dengan orang yang kucintai untuk lakukan
pemberontakan terhadap kekuasaan di Istana Kematian Itu"!"
Buyut Batara diam membisu.
Hatinya seakan semakin terbuka oleh ketukan-ketukan halus yang nyaris tak
didengarnya, ia sama sekali tak menduga kalau dirinya diperhatikan oleh seorang
gadis dan gadis itu adalah lawannya sendiri. Sekerat hati yang keras seperti
baja sedang menaruh harapan pada dirinya. Buyut Batara rasakan harapan itu
lebih murni daripada datang dari seorang gadis berhati lembut dan menyukai
rayuan.
Denaya perdengarkan suaranya
kembali.
"Sejak sang Ratu
keluarkan perintah pertama kali kepada para prajurit untuk pindah sasaran ke T
anah Leluhur, aku sudah lari darinya dan hidup di dalam gua ini. Aku tak berani
bergabung dengan orang-orangmu, karena mereka tahu aku adalah musuh mereka.
Ucapanku tak akan mudah dipercaya. Bisa-bisa justru aku mati di Tanah Leluhur
tanpa dapat selamatkan dirimu dari keganasan Ratu Indudari! Karenanya, setelah
kupertimbangkan beberapa hari di dalam gua ini, maka kuputuskan untuk
menculikmu demi kepentinganku sendiri. Lebih baik aku kehilangan ratuku,
jabatanku, kesejahteraanku, daripada aku harus kehilangan impianku."
Pemuda bertubuh kekar itu
menatap Denaya lagi. Mereka saling beradu pandang kembali. Sorot pandangan mata
Denaya semakin menguasai hati Buyut Batara. Ingin rasanya tak mudah mempercayai
kata-kata itu. T api hati kecil Buyut Batara tak bisa mengingkari rasa
percayanya kepada Denaya. Sorot pandangan mata itu merupakansebentuk ketulusan
yang tak bisa dibantah lagi.
Buyut Batara akhirnya
sentuhkan jemarinya di pipi Denaya. Sentuhan itu merayap hingga ke tepian
rambut di kening si gadis. Mata si gadis tampak berkaca-kaca.
Ada tangis di hatinya. Ada
haru di kalbunya. Denaya akhirnya pejamkan mata, resapi sentuhan lembut yang
menggetarkan seluruh tubuhnya itu. Pada saat kelembutan itu hadir menguasai
dirinya, seakan ketangguhannya sebagai prajurit wanita lumpuh seketika.
Denaya tak ubahnya seperti
gadis tanpa senjata dan ilmu apa-apa. Ia hanya bisa menahan debar-debar
kebahagiaan yang selama ini hanya ada dalam impiannya. Se bagai seorang wanita,
akhirnya mata yang terpejam itu melelehkan butiran air bening. Air mata itu
semakin menghancurkan darah permusuhan Buyut Batara.
Rasa iba dan haru timbulkan
rasa kasih di hati Buyut Batara. Sebagai ungkapan rasa kasihnya, pemuda itu
akhirnya mencium kening si gadis dengan pelan-pelan.
Cuup...! Ciuman itu membekas
sampai di dasar hati Denaya. T angan gadis itu pun mulai meraih lengan Buyut
Batara. Diremasnya lengan itu ketika bibir Buyut Batara merayapi batang hidung
si gadis, kemudian menyentuh bibir yang menggemaskan itu.
Dikecupnya bibir Denaya dengan
pagutan pelan sekali. Terasa deras darah Denaya mengalir di seluruh tubuhnya.
Kerinduan yang selama ini
hadir dalam impian, ternyata mampu terwujud dalam kenyataan. Denaya ingin
wujudkan mimpinya tentangcumbuan hangat dengan Buyut Batara. Maka, seperti yang
dilakukannya dalam mimpi, kecupan bibir Buyut Batara dibalasnya.
Kini bibir pemuda itu dilumat
oleh Denaya dengan kedua tangan merayap dan meremas ke mana saja sebagai
curahan rasa rindu dan hasrat yang menggebu.
Denaya menekan kepala Buyut
Batara ke lehernya. Kepala gadis itu menggeliat sambil keluarkan erangan dan napas
mendesah manakala bibir pemuda itu memagut-magut kulit leher dengan hangat
sekali.
"Aaah.... Buyut,
ooouuh...," erangan itu bagai tangis yang terbendung di ujung lidah. Hati
Denaya disiram oleh segunung kebahagiaan, sehingga gadis itu memberi kecupan
balasan di sekitar leher Buyut Batara. Bahkan kecupan itu lebih berani, yaitu
merayap ke dada Buyut Batara dan memagut-magut dada bidang itu dengan kedua
tangan menelusup di balik rompi dan merayapi punggung si pemuda.
Kehangatan itu memancing
hasrat, dan hasrat itu membakar gairah. Buyut Batara tak mampu memendam gairah
bercintanya, karena Denaya memberikan sentuhan yang luar biasa nikmatnya
menggunakan bibir dan lidahnya.
Akhirnya Buyut Batara tak
mampu menolak segala kehangatan yang diberikan oleh Denaya. Pemuda itu
terbaring pasrah, sementara Denaya membuktikan cinta kasihnya dengan
ciuman-ciuman yang menggelora.
* * *
5
KEDAT ANGAN Pendekar Mabuk ke
Tanah Leluhur disambut hangat oleh masyarakat T anah Leluhur. Wilayah yang tak
begitu luas itu menjadi gempar dengan adanya berita tentang Rembulan Senja
pulang membawa Pendekar Mabuk, Suto Sinting.
Mereka bersorak kegirangan
mengelilingi Pendekar Mabuk. Ada yang hanya sekadar bersorak, ada yang sambil
lonjak-lonjak, lalu berteriak karena kakinya terkena beling. Mereka yang
bersorak dan melonjak pada umumnya adalah masyarakat awam yang terlalu sering
berandai-andai membayangkan kehebatan Pendekar Mabuk. Se dangkan bagi mereka
yang berilmu, hanya menyambut dengan senyum keramahan dan tegur sapa penuh persahabatan.
Se buah rumah panggung menjadi
tempat pertemuan para sesepuh dan orang-orang yang menjadi benteng pertahanan T
anah Leluhur. Kebanyakan mereka yang menjadi benteng bagi masyarakat T anah
Leluhur masih tergolong muda. Paling tua berusiatiga puluh dua tahun, menurut
ingatan ibunya.
Rembulan Senja pun mendapat
pujian dari masyarakat Tanah Leluhur. Karena dari sekian banyak orang yang
mencoba mencari Pendekar Mabuk, justru Rembulan Senja yang berhasil membawa
pulang si pendekar tampan dan gagah perkasa itu. Rupanya Suto Sinting merupakan
sosok pendekar yang menjadi Idola mereka, sehingga kehadirannya di T anah
Leluhur bagaikan seorang aktor kondang singgah di sebuah perkampungan kumuh.
"Kang minta cap jempolnya
buat kenang-kenangan," ujar seorang remaja sambil membawa kulit kitab
bersampul kulit lontar. Dengan menggunakan getah pohon pisang, Pendekar Mabuk
akhirnya memberikan cap jempol di atas kitab tersebut, yang merupakan kitab
pelajaran silat kelas rendah.
Seperti halnya pendekar tampan
jika berkunjung ke sebuah kota selalu dikerumuni penggemar cewek, demikian pula
Pendekar Mabuk yang lebih banyak dikerumuni para gadis daripada para pemuda.
Maklum, para pemudanya banyak yang diculik oleh pihak Istana Kematian.
Hati si wanita cantik;
Rembulan Senja, menjadi dongkol melihat banyak gadis dan kaum wanita lainnya
mengerumuni Pendekar Mabuk. Bahkan ada yang mencolek-colek lengan atau pinggang
Suto dengan maksud menggelitik dalam canda.
Rembulan Senja bagaikan
seorang bodyguard yang selalu memberibatasan kepada kaumnya agar tak berlebihan
meluapkan kegembiraannya kepada Pendekar Mabuk.
"Biarkan kami bercanda
sebentar dengan pemuda tampan itu, Rembulan Senja. Apakah kau tak pernah semuda
kami?" ujar seorang gadis yang kesehariannya menjadi teman dekat Rembulan
Senja.
Seorang wanita lain pun
berkata, "Iya. Kami cuma ingin bercanda dan sekadar hanya ini-itu kok,
bukan mau macam-macam. Kau kan sudah pernah bercanda dengan pria yang menjadi
idaman hatimu, ketika suamimu masih hidup. Sekarang berilah kami kesempatan
seperti itu, Rembulan Senja."
"Iya, ya..."!
Pokoknya kujamin wajah pemuda itu tak akan ringsek, karena kami tak akan
meremas-remasnya," ujar yang lain.
Kegembiraan mereka menjadi
surut ketika Pendekar Mabuk menceritakan nasib Buyut Batara. Malam itu mereka
membuat api unggun dan membentuk lingkaran.
Suto Sinting menceritakan
pertemuannya dengan Buyut Batara sampai hilangnya pemuda yang menjadi utusan
mereka itu.
"T api percayalah, aku
akan membebaskan Buyut Batara secepatnya! Esok aku akan berangkat ke Istana
Kematian dan menantang pertarungan antar pribadi dengan RatuKehangatan!"
Suara gemuruh terdengar bagai
pasukan lebah. Mereka berkasak-kusuk dengan suara gemuruh. Ada yang memuji
keberanian Suto, ada yang mengungkapkan rasa kagumnya, ada pula yang
mencemaskan rencana Suto itu.
"T etapi aku butuh
seorang pemandu untuk sampai ke Istana Kematian! Pemandu itu tak perlu harus ikut sampai ke Istana
Kematian, cukup sampai di perjalanan saja. Asal tempat itu sudah kuketahui,
maka aku akan datang sendiri menemui Ratu Kehangatan dan pemandu itu boleh
pulang atau menunggu di tempat yang jauh dan tersembunyi!" ujar Suto
membuat suara gemuruh itu terhenti seketika.
"Kurasa itu akan
berbahaya, Nak!" ujar seorang sesepuh yang memang sudah 'sepuh' alias
sudah tua. Usianya sekitar tujuh puiuh tahun. T api ia bukan seorang tokoh
berilmu tinggi, ia hanya dikenal sebagai seorang ahli siasat pertempuran.
"Ratu Kehangatan atau si
Indudari itu bukan perempuan lemah yang mudah dilumpuhkan, ia cukup tangguh dan
sukar ditumbangkan, karena ilmunya termasuk tinggi juga."
"Sebaiknya," ujar
sesepuh lain yang berkepala botak,
"Beberapa orang kita
mendampingi Pendekar Mabuk dari belakang dan secara sembunyi-sembunyi. Panah,
pisau, jarum, bisa dijadikan senjata yang bersifat melumpuhkan mereka dari
kejauhan. Ratu Kehangatan tak mungkin turun tangan sendiri. Pasti mengajukan
prajurit-prajuritnya."
Suto Sinting menyahut,
"Aku ingin menantang pertarungan pribadi. Kurasa Ratu Kehangatan mengerti
arti pertarungan pribadi. Jika ia menolak, maka ia akan malu di hadapan para
prajuritnya. Harga dirinya, martabatnya, akan jatuh di depan anak buahnya jika
ia menolak pertarungan pribadi denganku."
Banyak yang tidak setuju
dengan rencana pertarungan duel antar pribadi itu. Mereka tidak setuju karena
pertarungan itu dianggap sangat membahayakan jiwaPendekar Mabuk. Sedangkan
mereka tidak ingin Pendekar Mabuk binasa dengan hanya lakukan pertarungan
pribadi.
Sementara itu, hati Suto
Sinting sendiri tak setuju jika lakukan penyerangan bersama. Karena hal itu
akan menimbulkan korban baru bagi masyarakat TanahLeluhur, ia ingin melumpuhkan
pihak Istana Kematian tanpa timbulkan korban barubagi T anah Leluhur.
Karenanya, pertarungan duel antar pribadi merupakan alternatif yang diandaikan dan
dianggapnya baik.
"Beri kami waktu untuk
berunding, Nakmas Pendekar. Sekarang sudah malam. Kami persilakan Nakmas
Pendekar beristirahat dulu. Esok kita sambung lagi perundingan ini," ujar
sesepuh yang berkepala botak itu. Pendekar Mabuk dibawa ke rumah Rembulan
Senja.
Sebuah kamar telah disiapkan
oleh Rembulan Senja yang ternyata sudah menjandaselama tiga tahun itu.
Rupanya para sesepuh pun tak
keberatan jika Pendekar Mabuk beristirahat di rumahRembulan Senja, karena hal
itu dianggap sesuatu yang menyenangkan bagi si Rembulan Senja yang telah
berhasil mendapat bantuan dari Pendekar Mabuk.
"Aku belum ingin tidur,
Rembulan Senja," ujar Suto Sinting dibawa masuk ke sebuah kamar tidur.
"Kau harus beristirahat
jika esok ingin pergi ke Istana Kematian," ujar Rembulan Senja. "Kau
harus menjaga tubuhmu agar tak lelah dan tetap segar."
"T uakku cukup mampu
mengatasi hal itu, Rembulan Senja."
"Jangan membantah. Ini
demi kesehatanmu," sergah Rembulan Senja sambil merapikanseprai penutup
ranjang berkasur itu.
"Selamat beristirahat,
Pendekar T ampan!" ucap Rembulan Senja, lalu melangkah keluar kamar. Tapi
langkahnya terhenti di pintukamar begitu mendengar seruan Suto Sinting.
"Mau ke mana kau?"
"Aku tidur di kamar
adikku, di sebelah!"
"Dan aku tidur sendirian?"
"Aku juga tidur
sendirian. T ak usah takut, rumah warisan ini bukan rumah angker."
"Barangkali keangkerannya bukan dalam bentuk kengerian," ujar Suto
sambiltersenyum menggoda, karena senyuman wanita cantik itu juga sejak tadi
sudah menggoda. "Kalau bukan angker kengerian, lalu angker
bagaimana?"
"Kesepian," jawab
Suto semakin tebarkan senyum.
Mata si Rembulan Senja semakin
berbinar-binar, ia tahu maksud Pendekar Mabuk, tapi ia tak mau mudah terpikat
oleh kenakalan seperti itu.
Rembulan Senja baru saja ingin
berbalik untuk melangkah keluar, tapi Suto Sinting sudah lebih dulu maju
mendekatinya. Kini mereka saling pandang dalam jarak satu jengkal. Aroma wangi
mawar tercium Suto.
Aroma wangi mawar itu menyebar
dari tubuh Rembulan Senja yang mungkin waktu mandi pakai sabun capMawar, atau
berendam dalam bak mandi berisi air bunga mawar. Yang jelas aroma wangi mawar
itu menggoda hati, membangkitkan hasrat kemesraan si Pendekar Mabuk.
Ketika mata indah si Rembulan
Senja mulai meredup, Suto Sinting segera dekatkan wajah dan bibir ranum itu
dikecupnya dengan sejuta kelembutan. Bibir itu dilumatdengan penuh sentuhan
mesra dan remasan tangan kekar yang punya kehangatanmembakar gairah.
Rembulan Senja tidak nolak,
karena kemesraan seperti itu sudah lama
tak dirasakan. T angan perempuan cantik itu segera melingkar di pinggang Suto
Sinting, kemudian merayap ke punggung, meremas-remas lembut dengan bibir
memberi balasan tak kalah hangat.
Pendekar Mabuk ingin
melepaskan kecupan bibir, tapi agaknya Rembulan Senja masih betah menikmatinya
dan gerakan tubuh Suto yang ingin mundur ditekan maju lagi hingga semakin rapat
dengan tubuh sekal si Rembulan Senja. Tangan perempuan itu merayapi tubuh Suto
Sinting, bahkan sempat menelusup masuk ke dalam baju tanpa lengan itu dan
meraba kulit punggung Suto dengan remasan-remasan berkesan lembut. Bukan
berkesan liar.
Sementara itu, Suto Sinting
juga menelusupkan kedua tangannya ke balik jubah kuning dan menemukan kulit
punggung yang halus. Lumatan bibir Rembulan Senja mendapat balasan lagi dengan
tarian lidah Suto yang sangat mendebarkan hati. Rembulan Senja memburu
agarmemperoleh desiran indah lebih banyak lagi.
Namun akhirnya napas mereka
mulai memberat. Mereka harus melepas kecupan, entah sesaat atau sekian lama.
Rembulan Senja danSuto Sinting sama-sama hembuskan napas panjang, saling
menatap, lalu saling tersenyum. Rembulan Senja tampak malu. Mencubit hidung
Suto sambil mendesahkansepatah kata. "Nakal...!" kemudian ia
buru-buru melepaskan pelukannya dan bergegas keluar tanpa pedulikan Suto
Sinting yang tertegun di tempat, kejap kemudian baru tersenyum sambil
geleng-geleng kepala.
"Panas, haus, tapi tak
mau mengakuinya, itulah Rembulan Senja!" ujar SutoSinting dalam hatinya.
Rembulan Senja merasa tak
yakin dengan apa yang telah dilakukan terhadap seorang pemuda tampan. Bahkan
hatinya bertanya-tanya dalam keadaan berbaring di ranjangnya.
"Benarkah itu tadi
Pendekar Mabuk yang kesohor sebagai pendekar penakluk hati wanita itu"!
Jangan-jangan dia Pendekar Mabuk palsu"! Andai benar ia Pendekar Mabuk
asli, ooh... alangkah beruntungnya aku pada malam ini"! Aku diciumnya,
dipeluk, dan... dan...aduhai, indah sekali kecupan bibirnya. Sungguh tak bisa
kupercaya bahwa diriku ternyata berhasil mendapat kecupan hangat dan menggelora
dari seorang pendekar yang namanya sangat dikenal di seluruh pelosok penjuru
dunia ini. Aduuh... mimpi apa aku malam ini, belum-belum sudah mendapat kecupan
seindah itu. Sampai sekarang bibirku masih merasa dilumatnya dengan lembut.
Aaiih... indah sekali!"
Kesan indah yang amat
membanggakan hati itulah yang akhirnya membuat Rembulan Senja mendukung rencana
Suto Sinting, ia sendiri yang akan menjadi pemandu perjalanan Pendekar Mabuk
menuju ke istana Kematian. Dalam benaknya terbayang akan selalu bersama Suto
Sinting dengan segala keindahannya jika ia menjadi pemandu tunggal si Pendekar
Mabuk itu.
Perjalanan yang memakan waktu
cukup lama dapat membuat kemungkinan terulangnya keindahan seperti malam itu.
Di balik debar-debar
kebahagiaan berjalan bersama Pendekar Mabuk, ternyata Rembulan Senja masih
menyelipkan kecemasan di relung hatinya. Kecemasan itu tak bisa hilang, karena
ia tahu siapa orang yang akan ditantang oleh Pendekar Mabuk, ia khawatir
jikaPendekar Mabuk tewas di tangan Ratu Kehangatan.
Karena jika hal itu terjadi,
maka keindahan yang baru malam itu didapatkan sepanjang hidupnya, tentu akan
lenyap pula dan tak mungkindiperolehnya lagi. Rembulan Senja yakin, tak akan
ada keindahan seperti malam itu yang dapat diperolehnya dari lelaki lain.
"Itu baru kecupan bibir,
belum kecupan... kecupan yang lainnya. Hiik, hiik, hiik, hik...!" Rembulan
Senja tertawa sendiri dalam batinya.
Tiba-tiba ingatan Rembulan
Senja terlempar kembali ke wajah adiknya; Buyut Batara, setelah ia mendengar
Pendekar Mabuk berkata kepadanya. "Pertama-tama akan kulihat dulu apakah
Buyut Batara dan tawanan lainnya dalam keadaan selamat. Jika mereka masih
dalamkeadaan selamat, maka aku akan lakukan tantangan pribadi dengan sang Ratu.
Tapijika para tawanan telah tewas, termasuk Buyut Batara pun tewas, maka
IstanaKematian itu akan kuhancurkan tanpa peduli siapa pun yang menjadi
korbankehancuran itu!"
Kekhawatiran akan keselamatan
jiwa adiknya membuat Rembulan Senja kehilangan keceriaan. Alangkah pedih dan
menderitanya hati yang telah ditinggal kedua orangtua jika harus ditinggalkan
oleh seorang adik tunggalnya itu" Rembulan Senja tak inginhal itu terjadi,
sehingga ia sangat menaruh harap kepada Pendekar Mabuk agar mengutamakan
menyelamatkan Buyut Batara begitu tiba di Istana Kematian.
Padahal saat itu Buyut Batara
berada di dalam gua keindahan bersama Denaya. Setelah mereka menikmati
pelayaran cinta yang membuat tubuh mereka bercucuran keringat, akhirnya Buyut
Batara ajukan gagasan kepada Denaya.
"Kita harus pulang ke
Tanah Leluhur dan menyusun kekuatan dari sana!"
"Aku... aku tak berani!
Karena orang-orangmu akan membunuhku. Mereka tahu kalau aku prajurit Istana
Kematian," ujar Denaya dengan polos.
"Nyawamu adalah nyawaku,
Denaya! Kau tak perlu takut," Buyut Batara berkata dengan suara lirih
sambil menciumi pipi Denaya.
Gadis itu menerima ciuman
tersebut dengan hati bertaburan bunga indah. Tangannya ikut mengusap lembut
kepala si pemuda yang dicintainya. "Jika mereka akan membunuhmu, mereka
harus membunuhku lebih dulu, Denaya!
"Benarkah kau siap mati
untuk membelaku, Buyut"!"
"Bukan kau yang kubela,
tapi cintamu yang kurasakan begitu tulus padaku, namun kau sembunyikan sekian
lamanya."
Denaya mendesah dalam tawa
lirih ketika Buyut Batara menciumi lehernya dan merayap ke dada, lalu menyambar
pucuk-pucuk yang merentang penuh tantangan itu. "Buyut, sudahlah! Kita
bicarakan dulu persoalan kita tadi. Setelah kita peroleh kesepakatan dan
kebulatan tekad, kau dapat menikmati seluruh tubuhku sepertitadi."
"Tekadku hanya satu, pulang ke Tanah Leluhur bersamamu, dan susun rencana
penyerangan!"
Denaya meraih wajah Buyut
Batara. Wajah itu sengaja dihadapkan kepadanya, ditatap dalam-dalam. Lalu,
sebaris kata diucapkan penuh ketegasan, "Aku siap mati bersamamu,
sekalipun mati di tangan ratuku sendiri!"
Hati Buyut Batara kian
berbunga indah. Lalu gadis itu pun dipeluknya kuat-kuat, seakan ia ingin
membenamkan dirinya menjadi satu raga dengan Denaya. * * *
6
PADA mulanya orang-orang T
anah Leluhur memandang Denaya penuh kebencian. Salah seorang pemuda mulai
mencabut pedang ketika melihat Denaya hendak memasuki pintu gerbang Tanah
Leluhur itu. Sreet...! Buyut Batara mencabut pedangnya juga. Sreet...!
Pemuda temannya sendiri itu
dipandang dengan sorot mata yang tajam.
"Apa maumu,
Sambawa"!" seru Buyut Batara.
"Apakah kau tak sadar
telah membawa penyakit sebesar itu, Buyut
Batara"! Dia harus dimusnahkan!
Dibunuh!" "Silakan!
Tapi kau harus membunuhku lebih dulu!"
tegas Buyut Batara.
Orang-orang mulai berkumpul dengan tegang. Denaya tetap
berada di belakang Buyut
Batara. Gadis itu tidak menunjukkan sikap perlawanan,
ia diam, tak mencabut senjata,
namun tetap penuh kewaspadaan.
Salah seorang sesepuh T anah
Leluhur muncul dan berseru kepada Buyut Batara.
"Apa yang kau lakukan,
Buyut Batara"! Kau ingin membunuh kami semua dengan membawa
perempuanitu"!"
"Pak T ua! Denaya bukan
musuh kami. Dia inginbergabung untuk melawan Ratu Kehangatan!"
"T api dia orang Istana
Kematian, Buyut! T idakkah hal itu kau sadari"!"
"Dia sudah keluar dari
Istana Kematian sejak keluarnya perintah penangkapan orang-orang kita. Dia
satu-satunya prajurit yang tidak ingin orang Tanah Leluhur dijadikan pemuas
hati sang Ratu! Dia mencintaiku, Pak T ua! Karenanya dia lebih baik tinggalkan
segala yang dimilikinya di Istana Kematian itul"
Suasana sempat ricuh sesaat.
Mereka saling berkasak-kusuk dan sepakat untuk membunuh Denaya. Parasesepuh pun
agaknya terbagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama setuju untuk
menghabisi nyawa Denaya, kelompok kedua tidak setuju. Samba wa, wakil Buyut
Batara selama Buyut Batara tidak berada di tempat, tampakbernafsu sekali untuk
membunuh Denaya. Dengan pedangnya ia menuding Denaya sambil berseru kepada
Buyut Batara.
"Buyut! Kalau kau ingin
mati bersama perempuan itu, dengan sangat terpaksa kami merelakan
kematianmu!"
"Baik! Bunuhlah kami
berdua!" seru Buyut Batara lalu membuang pedangnya. Denaya pun mencabut
pedang bersama sarungnya, lalu pedang itu dibuang ke tanah. Praang...! Mereka
berdua saling berpegangan tangan, saling menggenggam, dan saling menatap ke
arah Sambawa. "Bunuhlah kami bersama-sama, Sambawa! Kami sudah tidak
membawa senjata lagi!" seru Buyut Batara.
Sesepuh berkepala botak itu
berseru, "T unggu...!"
Sesepuh itu maju ke
pertengahan Sambawa dan Buyut Batara. "Apalah artinya nyawa perempuan itu
jika dibandingkan nyawa Buyut Batara"! Kematian Buyut Batara sama halnya
kematian sepuluh orang kita! Lalu apakah seimbang jika diganti dengan nyawa
perempuanini"!"
"Apa maksudmu,
Paman"!" seru seorang pemuda lain yang juga sudah menghunus pedang.
"Cinta dapat mengalahkan pedang setajam apa pun!
Cinta dapat memadamkan kobaran
api gunung berapi! Layakkah sebuah cinta hancur karena kepicikan kita
semua"!" Suasana menjadi sepi. Sepi sekali. Seperti tak punya napas
semua. Suara batukatau bengek pun tak ada.
Sesepuh botak itu berkata
lagi, "Beri dia kesempatan untuk membuktikan cintanya kepada Buyut Batara!
Jika benar perempuan ini mencintai Buyut, maka ia akan berangkat sekarang juga
untuk membunuh Ratu Kehangatan!"
Denaya cepat menyahut dengan
suara keras, "Akan kulakukan sekarang juga!" Pedangnya segera
disambar dan ia bergegas pergi tanpa Buyut Batara. Tetapi pemuda itu segera
berseru dan mengejarnya.
"Denaya! Kau tak bisa
mati sendirian, baik di sini maupun di sana! Kita akan hadapi ratumu
bersama-sama!"
"Buyut!" bentak
Sambawa yang tak setuju jika Buyut Batara ikut ke IstanaKematian. "Kalian
hanya punya dendam!" teriak Buyut Batara.
"Kalian hanya punya
murka, tapi tak punya nyali! T ak ada yang berani menyerang Istana Kematian
sampai saat ini juga! Tapi aku dan Denaya akan tunjukkan bahwa kami lebih punya
nyali daripada kalian!"
"Siapa bilang tak ada
yang punya nyali"!" seru Samba wa. "Salah satu dari kami sudah
ada yang berangkat ke Istana Kematian!"
"Siapa"!"
sentak Buyut Batara.
"Rembulan Senja;
kakakmul"
"Hahh..."!"
Buyut Batara mendelik. T egang sekali.
"Mengapa tak ada yang
melarang kakakku berangkat ke sana"! Kalian ingin korbankan kakak
perempuanku itu, hah"!"
Sesepuh botak segera dekati
Buyut Batara dan menepuk pundak pemuda itu.
"Kakakmu pergi bersama
Pendekar Mabuk!"
"Suto
Sinting"!" pekik Buyut Batara lebih keras dan lebih mendelik.
Plook...! Sesepuh itu menampar
pelan wajah Buyut Batara, ia bersungut-sungut.
"Diberi tahu malah
melototi orang tua dan membentak-bentak! Kurang ajar!"
"Maaf, Paman...!"
suara Buyut Batara gemetar. "Aku dan Denaya pamit sekarang juga!"
Sungguh merupakan kabar yang benar-benar mengejutkan bagi Buyut Batara, ia sama
sekali tak pernah berpikir bahwa Pendekar Mabuk akhirnya sampai juga di T anah
Leluhur, bahkan menjadi akrab dengan kakak perempuannya. Sepanjang perjalanan
menujuIstana Kematian, tiada habisnya Buyut Batara bercerita tentang Pendekar
Mabuk dan Rembulan Senja kepada Denaya.
"Kita harus bisa menyusul
mereka sebelum mereka tiba di perbatasan LembahPrahara!" ujar Denaya,
karena Istana Kematian itu berada dalam wilayah LembahPrahara. Denaya berkata
lagi, "Temanmu, si Pendekar Mabuk itu, harus diberi tahu bahwa Ratu
Kehangatan mempunyai banyak jebakan yang sulit ditebak di dalam istananya.
Setiap orang tak dikenal mencoba masuk ke istana Kematian, maka ia akan
kehilangan nyawa,termakan jebakan itu!"
"Pendekar Mabuk mempunyai
kecepatan yang sulit dikejar! Aku pernah melihat kecepatan geraknya yang
membuatku hanya bisa tercengang."
"Kalau begitu aku harus
menotokmu supaya mudah kubawa lari! Huup...!"
"Eh, eh, eeh...! Jangan
main totok sembarangan!" sentak Buyut Batara sambil melompat mundur, ia
tertawa geli ketika Denaya pun akhirnya tersenyum.
"Sekarang aku ada di
tanah, bukan di atas pohon! Jadi kau tak boleh menotokku, Denaya!"
"Kalau begitu, naiklah ke atas pohon!" ujar Denaya menggoda. Kemudian
ia menyerang dengan jurus
totokan. "Hei, hei...!
Denaya! Aku tak mau, Denaya...!" Buyut Batara melarikan diri, Denaya
mengejar. Begitu seterusnya, sehingga tanpa sadar mereka saling kejar dan
saling beradu kecepatan lari. Sebenarnya Denaya dapat menangkap Buyut Batara
dengan mudah, karena ia mempunyai jurus peringan tubuh yang dapat berlari lebih
cepat lagi jika tenagadalamnya dipusatkan ke kakinya. Tapi Denaya tetap
berlagak tak bisa menyusul Buyut Batara, supaya pemuda itu tetap berlari lebih
cepat dan lebih cepat lagi.
Wees, wees, wees, wees...!
Zlaaap...! Sebuah bayangan
melintas di depan Buyut Batara. Langkah pelarian Buyut Batara terhenti karena
kaget. Denaya sendiri juga hentikan langkah danmatanya memandang sekeliling
dengan curiga.
"Kita sudah berada di
perbatasan wilayah Lembah Prahara," bisik Denaya. "Kurasa sekelebat
bayangan tadi adalah gerakan si Bragawa, penjaga perbatasan!"
"Kalau begitu, bersiaplah
hadapi Bragawa! Kau lebih tahu tentang dia."
Zlaap...! Brruus...!
Bayangan itu tiba-tiba
berkelebat lagi dan menerjang Buyut Batara. Pemuda tersebut terpental dengan
berguling-guling di tanah. Denaya terperanjat dan segera mencabut pedangnya
untuk bikin pembalasan kepada si bayangan cepat tadi.
"Buyut..."! Buyut,
kau cedera"!" Denaya segera menolongkekasihnya dengan mata liar mulai
menampakkan keganasannya.
"T idak. Aku tidak cedera
apa-apa. Lenganku yang tersambar dan ditendangnya. T api... tapi kurasa
tendangannya tidak terlalu berat, ia tidak menggunakan tenaga dalam saat
menendangku!"
"Jaga dirimu! Akan kucari
orang itu!" geram Denaya sambil membungkuk, memegangi pedang dengan kedua
tangan, matanya jelalatan ke mana-mana.
"Setan! Iblis! Keluar
dari persembunyianmu! Hadapi aku!" teriak Denaya dengan berang. Zlaap...!
Jleeg...!
Bayangan itu muncul dari balik
semak di belakang Buyut Batara dan Denaya. Ternyata dia adalah seorang pemuda
yang tampan, gagah, dan bertubuh kekar seperti Buyut Batara. Senyumnya segera
mekar setelah Buyut Batara dan Denaya memandangnya. "Suto..."!"
sentak Buyut Batara sambil melebarkan senyum juga.
"Heeeaaat...!"
Denaya memekik dengan pedang ingin diayunkan ke tubuh Pendekar Mabuk. Tapi
tangan Buyut Batara segera mencekal lengan gadis itu. "T ahan! Dia
temanku; Pendekar Mabuk!"
Denaya segera hembuskan napas
panjang dan kendurkan ketegangannya. T api hatinya masih merasa dongkol karena
sempat naik darah melihat Buyut Batara tadi terjungkal.
"Kalian masih kurang
waspada!" ujar Suto Sinting.
"T erbukti aku masih bisa
membuatmu jungkir balik, Buyut!"
"T entu saja, sebab kau
punya gerakan gila!" geram
Buyut Batara sambil menahan
senyum.
"Mengapa kau lakukan
terhadap kekasihku"! Salah-salah kau bisa kehilangan nyawamu, Pendekar
Mabuk!" ketus Denaya melampiaskan kekesalannya. Pendekar Mabuk hanya
tertawa.
Namun dari semak-semak
seberang terdengar suara yang segera berseru dengan lantang. "Aku yang
menyuruhnya menyerang adikku!"
"Rembulan..."!"
sapa Buyut Batara dengan wajah berseri melihat kakaknya dalam keadaan sehat. T
etapi sang kakak menatap benci kepada Denaya, dan Denaya sendiri juga memandang sinis kepada Rembulan
Senja.
"Siapa perempuan itu,
Buyut"!"
"Denaya! Prajurit pilihan
Ratu Indudari yang keluar dari Istana Kematian hanya untuk selamatkan nyawaku!
Sekarang dia ada di pihak kita dan siap membantu kita, Rembulan."
"Jangan mudah tergiur
oleh mulut manis perempuan! Lidah perempuan bisa berubah menjadi pedang yang
memenggal lehermu, Buyut!"
Pendekar Mabuk segera
menyahut. "Kalau begitu, aku pun harus hati-hati terhadapmu, Rembulan!
Jangan-jangan karena terlalu percaya dengan kata-katamu, leherku menjadi
buntung mendadak!"
Buyut Batara dan Suto Sinting
sama-sama tertawa.
Rembulan Senja dan Denaya
masih bersitegang dalam beradu pandangan. Akhirnya Suto Sinting berhasil
meredam permusuhan batin di antara kedua perempuan itu, terutama setelah Buyut
Batara menceritakan alasan Denaya menculiknya saat berjalan bersama Suto Sinting.
"Denaya mendesakku agar
menyusul kalian," kata Buyut Batara. "Karena Denaya tak ingin
Pendekar Mabuk masuk ke dalam Istana Kematian sebelum mendapat penjelasan
tentang jebakan-jebakan yang ada disana!"
"T erlalu sulitkah
mempelajari jebakan-jebakan itu, Denaya"!" tanya Suto Sinting.
"Cukup sulit! Yang jelas butuh waktu untuk mempelajarinya. Tergantung
kecerdasanmu dalam mengingat dan mengatasi jebakan tersebut," jawab Denaya
dengan nada sudah tidak bermusuhan lagi.
"Bagaimana kalau sang
Ratu kupancing keluar"!" tanya Pendekar Mabuk. "Aku akan
meledakkan Istana Kematian itu dari luar benteng!" "Bagaimana nasib
para tawanan yang masih hidup?" sela Rembulan Senja.
Denaya segera berkata,
"Kalau begitu, alihkan perhatian mereka ke bagian depan. Aku akan masuk
lewat belakang dan menjebol pintu rahasia. Para tawanan yang ada di ruang ba
wah tanah akan kubebaskan dan kubawa lari keluar istana lewat pintu rahasia
itu! Setelah para tawanan kubawa menjauhi benteng istana, aku akan bergabung
denganmu dan ledakkan semua bangunan yang ada di sana!"
Buyut Batara menimpali,
"Itu gagasan yang bagus!"
"Ya, kurasa memang harus
begitu!" gumam Suto Sinting.
"Jika berhadapan dengan
Ratu Kehangatan jangan memandang di bagian tengah keningnya, diantara kedua
alisnya itu."
"Mengapa harus
kuhindari?"
"Bagian di antara kedua
alisnya itu dapat keluarkan cahaya merah kecil, seukuran benang jahit. Jika kau
terkena sinar merah kecil itu, kau akan bergairah dan pasrah kepada sang Ratu.
Kau akan tergila-gila dan hasrat bercumbumu berlebihan!" ujar Denaya.
Rembulan Senja memandang arah
lain sambil berkata, "Aku ingin punya cahaya merah itu. Bagaimana caranya,
ya?"
Buyut Batara menjawab dengan
bersungut-sungut,
"Rendam tubuhmu di kawah
gunung berapi selama delapan tahun!"
"Bonyok, Tolol!"
Rembulan Senja cemberut. Denaya dan Suto Sinting sunggingkan senyum geli.
Mereka pun akhirnya bergegas menuju ke benteng Istana Kematian. Tanpa setahu
Rembulan Senja dan Buyut Batara, Denaya dan Suto Sinting bersepakat untuk menotok
kedua orang itu. Ketika keduanya sudah tertotok dan menjadi lemas, Denaya
memanggul Buyut Batara, dan Suto Sinting memanggul Rembulan Senja.
Wees, wess...! Zlaaaap...!
Mereka berkelebat dengan
kecepatan tinggi. Walaupun Denaya masih kalah cepat dibanding gerakan Suto
Sinting, namun ia tertinggal tak terlalu jauh.
Mereka bahkan mampu menerobos
pertahanan Bragawa dengankecepatan tinggi masing-masing, sehingga Bragawa dan
anak buahnya yang mengetahui gerakanmereka tak dapat mengejarnya. Bragawa dan
anak buahnya tertinggal jauh di belakang Denaya.
Benteng batu hitam akhirnya
terlihat dari kejauhan. Saat itulah Denaya dan Suto Sinting sepakat untuk
melepaskan totokan kakak-beradik itu. "Setan kurap! Kau apakan aku,
hah"!" bentak Buyut Batara kepada Denaya. Denaya hanya menjawab,
"Suto yang menyuruhku
begitu. Marahlah kepadanya!"
Rembulan Senja pun menggerutu
berkepanjangan.
Namun Suto Sinting segera
memutus gerutuan itu.
"Lihat, benteng hitam itu
sudah berada di depan kita. Bersiaplah menghadapi bahaya sewaktu-waktu. Aku
akan melepaskan pukulan jarak jauhku untuk hancurkan pintu gerbang dan bagian
depan Istana!"
"Tunggu, biarkan aku
sampai ketiga pohon cemara berjajar itu. Aku akan
menghancurkan pintu rahasia di
belakang benteng! Setelah aku tiba di tiga pohoncemara, segeralah lakukan
penghancuran di bagian depan, supaya perhatian mereka beralih ke depan!"
ujar Denaya, lalu ia bergegas pergi setelah Suto Sinting anggukkan kepala.
"Rembulan, bantulah dia!
Aku akan membantu Suto di bagian depan!" ujar Buyut Batara. Rembulan Senja
kurang setuju usul adiknya. T api karena Suto Sinting membenarkan usul itu, mau
tak mau Rembulan Senja berlari mengikuti Denaya, membayang-bayangi gadis itu.
Karena ia tahu, jika gadis itu celaka, maka Buyut Batara akan marah besar kepadanya.
"Kita maju sampai di batu
tinggi itu se belum Denaya tiba di tiga pohon cemara tersebut!" Buyut
Batara ajukan usul lagi. Pendekar Mabuk setuju, kemudian mereka bergegas maju
sampai ke batu besar yang menjulang tinggi melebihi tinggi tubuh mereka.
"Kau punya jurus
penghancur"!" tanya Suto.
"Ya, tentu saja aku
punya!"
"Pergunakan jurus
penghancur itu! Arahkan ke pintu gerbang. Aku akan mengarahkan jurus 'Pecah
Raga'-ku ke atap bangunan istana itu. Jika para prajurit berhamburan keluar,
hantam terus dengan jurus penghancurmu!"
"Baik! T api bagaimana
dengan para penjaga di menara sudut benteng itu"!"
Baru saja kedua pemuda itu
memandang ke arah menara di sudut benteng, tiba-tiba menara yang kiri meledak
karena sinar kuning berkelok-kelok dari bawah.
Blegaaarr...! "Sial!
Siapa yang menghancurkan menara itu"!" gerutu Suto Sinting.
"Itu jurus ' Surya T
idar'-nya Rembulan Senja!" ujar Buyut Batara.
"Berarti Denaya sudah
sampai di belakang benteng! Kita bergerak sekarang juga, Buyut!"
Zlaaap...! Wuuus...!
Kedua pemuda itu berkelebat ke
arah tanah lapang di depan benteng. Pada saat itu, beberapa prajurit keluar
dari gerbang yang pintunya segera dibuka. T etapi sinar biru dari tangan Buyut
Batara menyerang mereka bertubi-tubi. Claaap, claap, claap, claap...!
Blegaar...! Blaaar...!
Jegaaar...! Glaaarr...!
Pendekar Mabuk sentakkan
tangannya dan dari tangan itu keluar sinar hijau yang dapat memecahkan raga
lawan, karenanya inamakan jurus 'Pecah Raga' alias 'Lebur Jiwa'. Sinar hijau
itu mengarah ke bagian atap istana yang tampak mencuat melebihi tembok benteng.
Clralap...!
Bleggggaaarrr...!
Istana itu hancur bagian
depannya. Suto Sinting melepaskan jurus yang sama lagi. Kali ini diarahkan ke
menara sebelah kiri. Clraaap...!
Bleggaaarrr...!!
Suasana menjadi gempar, kacau
balau. Para prajurit berpakaian anti senjata tajam itu menyebar ke mana-mana
dalam keadaan tidak bernyawa. Namun sebagian besar tampak panik dan saling
tabrak sendiri karena dihujani sinar birunya Buyut Batara. Ledakan dahsyat
terjadi berkali-kali membuat tanah sekitar mereka bergetar terus, sampai
akhirnya benteng depan roboh dalam keadaan hancur terhantam jurus 'Pecah
Raga'-nya Pendekar Mabuk.
Beberapa prajurit menyerang
dari arah samping dengan pedangnya. Buyut Batara menghadapi dengan tebasan
pedang pendeknya yang dapat keluarkan cahaya putih berkilauan dan menghanguskan
lawan yang terkena cahaya tersebut. Suto Sinting juga menghadapi serangan lawan
dengan bumbung tuaknya. Sesekali tangannya menyentak dan keluarkan sinar
penghancur ke arah munculnya para prajurit itu.
T iba-tiba di sela ledakan
demi ledakan, terdengar suara perempuan yang menjerit lengking dan menggeram ke
mana-mana. Suara itu jelas dilontarkan dengan bantuan tenaga dalamnya.
"Hentikaaaaaann...!! Hentikaaaaann...!!"
Para prajurit mundur walau
tetap bersi aga lakukan penyerangan sewaktu-waktu. Pendekar Mabuk dan Buyut
Batara saling beradu punggung.
Tiba-tiba angin panas datang
menerjang mereka tanpa diduga-duga. Angin panas itu datang dari arah samping
mereka. Pendekar Mabuk terlambat menghadang anginpanas itu dengan kibasan
bumbung tuaknya. Akibatnya ia pun terhempas danmenjerit kepanasan. Demikian
juga Buyut Batara yang memekik bagai tersiram cairan besi panah.
"Aaaaaa...!!"
Pendekar Mabuk jatuh
berguling-gulingdalam keadaan tubuhnya menjadi merah matang. Rasa panas
menyelimuti seluruh tubuhnya, ia buru-buru sempatkan diri menenggak tuaknya
walau hanya satu teguk.
"Buyut, cepat minum tuak
ini!" sambil Suto menyodorkan bumbung tuak ke mulut Buyut Batara.
Dengan gerakan cepat dan
terburu-buru, Buyut Batara akhirnya berhasil meneguk tuak tersebut, sehingga
rasa panas dan luka bakarnya pun lenyap dalam beberapa kejap kemudian.
Wuuus...! Jleeeg...!
Seorang perempuan bertubuh
sekal dan berdada montok muncul dari kobaran api yang membakar bagian depan
istana serta pintu gerbangnya. Perempuan itu mengenakan jubah merah jambudengan
parasnya yang ayu menawan hati. Tetapi kedua bola matanya memandang tajam penuh
dendam dan murka.
"Siapa kalian,
hah"!" bentaknya dengan suara nyaring. "Dia yang berjuluk Ratu
Kehangatan!" bisik Buyut Batara.
"Menjauhlah!" balas
Suto Sinting, lalu segera maju beberapa langkah.
"Aku si Pendekar Mabuk,
sengaja datang mewakili orang-orang T anah Leluhur untuk bikin perhitungan
sendiri denganmu! Aku menantang pertarungan satu lawan satudenganmu,
Ratu!"
Beberapa saat setelah mata
sang Ratu memandangi Suto Sinting, terdengarlah suara tawanya yang mengikik
serak.
"Pertarungan yang mana,
Pemuda T ampan"! Pertarungan di atas ranjangkah, maksudmu"!"
"Lebih baik aku bertaruh
nyawa di sini daripada bertaruh keringat di atas
ranjang denganmu, Ratu!"
"Ooh..."! Hebat
sekali tantanganmu! T api coba dulu hadapi pengawalku!"
"T idak!" sergah
Suto Sinting. "Pertarungan dengan pengawalmu hanya membuang-buang waktu
saja! Kalau kau tak mau menghadapi tantanganku, berarti kau adalah seorang Ratu
yang tak punya nyali! Kau hanya berani mengajukan prajuritmu, tapi kau sendiri
tidak punya keberanian menghadapi pertarungan! Mungkin jugadengan orang lain
kau tak akan berani melakukan pertarungan! Sungguh seorang Ratu pengecut kau
sebenarnya, Indudari!"
Hinaan tersebut sengaja
dilontarkan oleh Suto untuk memancing kemarahan Ratu Kehangatan. T ernyata
pancingan Suto Sinting berhasil. Sang Ratu menggeram dengan menampakkan wajah
bengisnya. "Mulut lancanganmu harus kurobek sampai ke tengkuk, Bocah
Ingusan! Jika kau ingin menantangku, terimalah dulu jawa ban dariku ini!
Hiaaah...!"
Ratu Kehangatan lakukan
lompatan ke atas. T angan kirinya menyentak ke depan dan mengeluarkan cahaya
Jingga menyerupai pedang pemenggal leher. Wuuus...!
Cahaya Jingga itu menyerang
Pendekar Mabuk, makin dekat makin besar, dan ketika ditangkis dengan bumbung
tuak, cahaya Jingga itu sudah berubah tiga kali lebih besar dari pedangnya
Denaya. Blegaaaarrr...!
Benturan itu menimbulkan
ledakan yang sangat dahsyat. Pendekar Mabuk terlempar dan jatuh
berguling-guling dalam jarak sepuluhlangkah. Tetapi bumbung tuaknya masih utuh,
tak mengalami lecet sedikit pun.
Hanya saja, wajah Pendekar
Mabuk menjadi memar membiru dengan sudut mata keluarkan cairan merah kental.
Darah.
"Edan! T enaganya besar
sekali! T enaga manusia atau tenaga jin tadi"!" gerutu hati Suto
Sinting sambil menahan rasa sakit di seluruh wajah dan dadanya.
Rupanya dada Suto pun menjadi biru
legam akibat gelombang ledakan dahsyat tadi.
"Hupp, haap,
hiaaah...!"
Ratu Kehangatan memainkan
jurusnya, lalu satu kakinya menghentak ke bumi.
Bruuus...! T ubuh perempuan
itu lenyap bagaikan ditelan bumi. Pendekar Mabuk kebingungan mengarahkan pukulan
jarak jauhnya.
Namun tiba-tiba dari dalam
tanah yang dipijak Suto, keluar sepasang tangan yang menyentak dan menarik
kedua kaki Suto Sinting.
Bruuuusss...! Zruuuubb...!
"Aaaahk...!" Suto
Sinting bagai ditenggelamkan ke bumi. T arikan kedua tangan Ratu Kehangatan itu
cukup keras dan kuat. Pendekar Mabuk akhirnya terbenam sebatas perut. Tapi
bumbung tuaknya masih di atas dan menjadi penyangga tubuh.
"Aaahk...!" Suto
Sinting mengerang dengan wajah menyeringai kuat-kuat. Sesuatu yang menarik
tubuh Suto dari dalam tanah itu nyaris sukar dilawan. Bahkan pergelangan kaki
Suto terasa dijepit dengan tang besi sangat kuat.
"Heeahh...!"
Akhirnya Suto Sinting
sentakkan bumbung tuaknya ke tanah. Duuh...! Sentakan itu mengeluarkan tenaga
besar yang mendorong tubuh Pendekar Mabuk melesat ke atasdengan kecepatan
tinggi. Wuuus...! Brruull...!
T ernyata tubuh Ratu
Kehangatan ikut terbawa terbang ke atas dalam keadaan kedua tangan berpegangan
pada kedua kaki Pendekar Mabuk. Semua mata yang memandangnya menjadi kagum.
"Heeeeaaahhh...!!" teriak Ratu Kehangatan mengencangkan kedua
genggamannya.
"Aaaaahk...!" Suto
Sinting memekik keras, karena tulang kakinya terasa menjadi remuk oleh
genggaman kedua tangan bertenaga dalam itu.
T ubuh mereka melayang turun.
Pada saat itu Suto Sinting memutarkan bumbung tuaknya dan menyabet ke bawah
kakinya dalam keadaan membungkuk.
Wuuus...! Prrraak...!
Suara berderak keras terdengar
oleh semua prajurit yang menyaksikan pertarungan itu. Suara tersebut datang
dari benturan bumbung tuak dengan kepala Ratu Kehangatan. Kepala itu berhasil
dihantam dengan bumbung tuak. Kepala tersebut pecah, menyemburkan darah ke
mana-mana. Genggaman kedua tangan itu pun terlepas, dan Suto Sinting jatuh
terjungkal karena tak mampu lagi menjaga keseimbangan dan rasa sakit. Kedua
kakinya tak bisa dipakai berdiri lagi. Bruuuk...!
" Aaaaaaaaahhhkk...
!"
Pendekar Mabuk meraung
panjang, ia buru-buru menenggak tuaknya untuk atasi rasa sakit. T api keadaan
Ratu Kehangatan sudah terkapar tak bernyawa lagi karena kepalanya pecah
dihantam bumbung tuak yang kerasnya melebihi besi baja.
"Ratu tewas...! Ratu
tewaaass...!" teriak seorang prajurit, lalu prajurit yang lain pun
berhamburan melarikan diri. Mereka takut menghadapi Pendekar Mabuk, takingin
mengalami nasib seperti ratunya.
"Heeeaaah...!!"
T eriakan itu berasal dari
Denaya yang baru saja muncul bersama Rembulan Senja, ia menyerang para prajurit
dengan pedangnya secara membabi-buta. Rembulan Senja melepaskan cahaya
penghancur ke arah para prajurit yang bertebaran. T api tindakan mereka
buru-buru dicegah Suto, hingga tak telanjurmakan korban. Kemudian Istana
Kematian pun segera dihancurkan oleh Pendekar Mabuk dengan jurus-jurus maut
bersinar warna-warni itu, pada saat sudah ditinggal oleh paraprajurit.
Bleggaaaaarrrrrr...!!
Istana Kematian itu meledak
dan api berkobar membubung tinggi seba gai pertanda berakhirnya masa kekejaman
Ratu Kehangatan.
Suara ledakan itu menggema
sampai ke mana-mana dan mengguncangkan tanah dengan keras, seakan bumi akan
kiamat dalam waktu dekat. "Denaya!" seru Buyut Batara, lalu ia segera
berlari hampiri gadis itu dan memeluknya. Rembulan Senja berharap Suto Sinting
berseru seperti adiknya.
Tapi ternyata Pendekar Mabuk
hanya sunggingkan senyum sambil melangkah mendekati Rembulan Senja. Langkahnya
masih sedikit pincang karena proses penyembuhan pada tulang kaki belum
sempurna.
"Kita harus segera
pulang. Ada beberapa tawanan yang menderita sakit akibat tebasan pedang
temannya sendiri," ujar Rembulan Senja.
"Aku setuju dengan
usulmu!"
Maka mereka pun bergegas
pulang ke Tanah Leluhur. Ternyata dari sekian pemuda yang diculik oleh pihak
Ratu Kehangatan, hanya tujuh orang yang masih selamat. T iga di antaranya
terluka akibat pertarungan di arena.
"Kami dipaksa bertarung
dengan teman sendiri sampai ada yang mati. Darah kami merupakan hiburan dan
kepuasan bagi Ratu Kehangatan itu!" tutur salah seorang tawanan.
"Jika kami tidak mau membunuh lawan yang sudah kalah, kami berdua akan
dibunuh oleh para pengawalRatu. Jadi mau tidak mau kami membunuh teman sendiri
demi mempertahankan nyawa kami masing-masing."
"Menyedihkan
sekali!" gumam Suto Sinting dengan lirih, lalu la pun menundukkan kepala.
T ernyata ketika mereka tiba di Tanah Leluhur, dua orang tamu sedang berada
disana. Mereka adalah Perawan Sinting dan Mahesa Gibas. Walau kedatangan
Perawan Sinting termasuk terlambat, tapi Suto tetap menyambutnya dengan senyum
kemenangan. Senyum itu membuat Rembulan Senja cemberut dan tak mau menatap Suto
yang tel ah berada dalam genggaman tangan Perawan Sinting.
"Repot! Serba salah kalau
be gini jadinya!" gumam Pendekar Mabuk dalam hatinya dengan mata sesekali
melirik Rembulan Senja, sesekali melirik Perawan Sinting yang sudah
terang-terangan menyimpan cinta kepadanya.
SELESAI