ANGIN kuburan berhembus
menyebarkan batu tanah basah. Hujan semalaman telah mengguyur tanah kuburan,
membuat lembek lahan yang ada di sekitarnya. Kadang angin kuburan menghembuskan
bau bangkai yang menusuk hidung, menyolok mata. Tentu saja mata orang penakut
yang tercolok oleh bayangan ngerinya sendiri.
Tetapi bau tanah kuburan itu
tidak mengganggu pernapasan seorang pemuda yang tengah beristirahat di atas
sebuah pohon. Pemuda itu menggunakan dahan berjajar sebagai tempat duduk dan
batang pohon sebagai tempat bersandar. Pemuda itu tampak santai sekali
menikmati tuaknya yang sebentar-sebentar ditenggak dari bumbung bambu tempat
penyimpanan tuak. Bumbung itu selalu dibawanya ke mana ia pergi, disandang di
punggung bagaikan pedang keramat.
Anehnya, sekian kali ia
meneguk tuak, tak ada rasa pusing di kepala. Tak ada ocehan mabuk dari
mulutnya. Pemuda itu tetap tegar dan berjalan tanpa sempoyongan, berdiri tanpa
limbung, berlari tanpa menabrak-nabrak. Dia bukan dewa, tapi dia lebih dikenal
sebagai Pendekar Mabuk, murid sinting si Gila Tuak.
Suto namanya. Karena ilmu yang
dimiliki itu gila- gilaan, tak tanggung-tanggung keampuhannya, maka sering ia
dikatakan sinting dalam segala tindakan. Gilanya ilmu yang dimiliki itulah yang
membuat ia dipanggil Suto Sinting. Gurunya sendiri yang mengawali panggilan
itu, sehingga sampai sekarang Suto pun tidak keberatan menggunakan nama kondang
itu; Suto Sinting, Pendekar Mabuk.
Suto memang Pendekar Mabuk.
Tapi ia tidak mabuk sembarang mabuk. Hanya dalam gerakan jurus-jurusnya saja
yang kelihatan seperti keadaan orang sedang mabuk. Kadang ia seperti orang mau
jatuh, tapi ternyata menyepak batu dan batunya mengenai lawan. Kadang seperti
mau tersungkur, ternyata justru melepaskan pukulan dahsyat. Sedangkan dalam
kehidupan sehari- harinya di luar pertarungan ia tidak pernah merasa mabuk dan
berjalan sempoyongan, ia tetap sebagai pemuda yang tegar, gagah, perkasa, dan
menawan.
Angin kuburan kembali
menghembuskan bau tak sedap. Tapi anehnya masih saja ada orang lewat di jalanan
tak jauh dari kuburan itu. Sesekali pedagang daun memikul dagangannya untuk
dijual ke pasar, atau pedagang kain mendorong gerobak tempat kainnya untuk
ditawarkan ke perkampungan terdekat. Dan kali ini yang dilihat Suto adalah
serombongan orang memikul tandu.
Empat orang pemikul tandu
tertutup berseragam pakaian kuning. Enam orang di belakangnya mengawal tandu
berseragam biru tua, lengkap dengan senjata dan perisai di tangan
masing-masing. Empat orang di samping kanan kiri tandu berseragam hitam, juga
menyandang pedang di punggung masing-masing. Empat orang lagi berjalan di depan
tandu berseragam merah. Di depan keempat seragam merah itu berjalan dua orang
yang mempunyai pakaian lebih bagus dengan warna masing-masing ungu dan hijau.
Mereka berdua adalah perempuan-perempuan cantik berambut disanggul, sisanya
dibiarkan terjulur ke samping.
Tandu tertutup itu berwarna
merah dengan hiasan ukir kuning emas. Tingginya seukuran pundak orang dewasa.
Dan agaknya orang yang ada di dalam tandu itu dalam keadaan duduk. Tandu itu
mempunyai dua buah pintu kanan-kiri yang dilapisi dengan kain tirai penutup
bagian atas pintunya itu. Tirai tersebut juga berwarna merah. Dari arah kanan
terlihat samar-samar orang yang duduk di dalam tandu itu, karena tirai
penutupnya berwarna merah transparan.
Ketika rombongan melewati
jalan di depan kuburan, suatu keajaiban terjadi. Tanah kuburan bergetar. Langit
menjadi gelap karena diselimuti awan hitam bergulung- gulung. Angin berhembus
semakin kuat, sesekali terjadi loncatan petir di langit yang memercikkan nyala
api biru bagai naga mengamuk.
Para pembawa tandu tetap
melangkah tanpa merasa gelisah. Tapi para pengawalnya mulai diliputi
kegundahan. Dua orang yang berjalan paling depan sering memandang ke langit
dengan cemas.
Dan tiba-tiba kuburan
mengepulkan kabut putih kehitam-hitaman. Kabut itu makin lama semakin memenuhi
tanah kuburan. Lalu, dengan mata kepala memandang jelas, Suto melihat tanah
gundukan di setiap makam itu bergerak-gerak, kemudian retak. Tangan- tangan
berbelatung warna hitam lumer mulai muncul dari dalam kubur.
Kejap berikutnya mereka yang
menjadi penghuni tanah kuburan melompat keluar menerabas gundukan tanah yang
menimbun jenazah mereka masing-masing. Ada yang sudah bertulang, ada yang sudah
dimakan rayap, ada yang baru sebagian saja tubuhnya digerogoti rayap, ada yang
masih baru dua-tiga hari dimakamkan. Semuanya menerobos keluar dari kubur
masing-masing. Brusss...!
Glegar guntur di langit
menyambut kemunculan mereka.
Blarrr...! Glur glur glur
glur...! Suara itu menghilang.
Blarrr...! Glur glur glur
glur....! Menghilang lagi. Kini mereka yang baru bangkit dari kubur melangkah
meninggalkan tempatnya, mereka mulai berdiri mendekati jalan yang akan dilewati
oleh para pengusung tandu itu. Begitu para pengusung tandu dan rombongan muncul
dari jalanan yang menanjak, para mayat yang bangkit dari kubur itu segera
menyerang mereka.
"Kkkrrr.J" Mereka
serukan suara tak jelas. Tapi langkah dan gerakan mereka terlihat jelas serba
pasti.
"Lindungi sang
putri.J" seru si baju ungu.
Mayat-mayat itu melompat
menerjang mereka. Jumlahnya dua kali lipat dari jumlah mereka. Bahkan menurut
dugaan Suto lebih besar dari jumlah penggandaan tersebut. Mereka menyerang
dengan jurus- jurus yang sulit dipelajari dan diingat. Kadang ada yang melayang
bagai singa mau menerkam. Kadang ada yang menukik seperti burung pemakan
bangkai. Ada pula yang merangkak dan menerkam leher lawannya bagai kan seekor
kucing liar.
Pendekar Mabuk
terbengong-bengong di atas pohon menyaksikan apa yang dianggapnya mimpi itu,
Suto lupa berkedip, lupa meneguk tuaknya, bahkan lupa bergerak, ia terpukau dan
terkesima oleh pemandangan mengerikan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
Langit semakin gelap. Petir
semakin bersahutan. Para rombongan tandu berjuang mempertahankan serangan lawan.
Tapi tebasan pedang ataupun tusukan tombak mereka tidak dihiraukan oleh para
mayat. Yang sudah terpenggal lengannya masih maju menyerang dengan kaki. Yang
sudah terpotong kepalanya, kepala itu sendiri melesat terbang dan menggigit
lawan. Bahkan yang tanpa kepala masih bisa mempermainkan jurus dan membuat
lawan tewas.
Malahan ada yang melepaskan
pukulan jarak jauh yang tentu saja dialiri tenaga dalam cukup tinggi. Sinar
merah, kuning, biru sering terlihat lepas dari tangan mereka, menghantam
rombongan tandu dan menyebabkan kematian.
Agaknya para pengusung tandu
maupun pengawalnya lebih mengutamakan menyelamatkan orang yang ada di dalam
tandu tersebut. Dan para mayat sendiri berusaha menyerang orang di dalam tandu
itu. Tangan-tangan mereka yang sudah terpotong melayang terbang dan berusaha
menerobos tirai tandu. Dalam waktu singkat, rombongan tandu itu tinggal
beberapa gelintir orang yang sama-sama terdesak.
Brakk...! Zlappp...!
Tandu hancur. Kayu-kayunya
pecah berantakan. Para mayat kebingungan. Mereka bagaikan melihat kekosongan di
dalam tandu. Kekosongan itu membuat mereka saling menggeram. Dua orang yang
masih hidup itu segera dibunuh secara beramai-ramai. Dengan begitu, habis sudah
orang-orang yang berada dalam rombongan tandu. Perempuan berpakaian ungu dan
hijau itu pun mati dalam keadaan mengerikan. Sementara itu, para mayat segera
kembali ke tempatnya masing-masing dengan tertib tanpa saling berebut.
Ke mana orang yang ada di
dalam tandu itu?
Sudah diselamatkan. Dibawa
pergi orang berpakaian coklat dan celana putih, berambut panjang lurus meriap
tanpa ikat kepala. Sang putri yang tadi dilindungi oleh mereka itu, sekarang
berada di atas pundak kiri seorang pemuda yang menyandang bumbung tuak. Siapa
lagi kalau bukan Pendekar Mabuk?
"Mau dibawa ke mana orang
ini?" pikir Pendekar Mabuk bingung sendiri setelah jauh dari tanah kuburan
itu.
Terkesiap mata Suto setelah
meletakkan orang yang dipanggulnya itu. Ternyata ia seorang perempuan cantik.
Sungguh cantik sekali. Disuruh sumpah apa pun Suto berani! Perempuan itu
cantik, mengenakan tusuk konde dari emas batangan sebesar sumpit. Ada dua tusuk
konde yang menjadi penghias rambutnya itu. Sayang sekali perempuan itu pingsan.
Mungkin takut melihat banyaknya mayat yang bangkit menyerangnya tadi. Bibir
perempuan itu, sungguh menggetarkan hati setiap lelaki. Lembut kelihatannya.
Merah segar, seperti buah yang ranum. Bentuknya pun sangat indah, tidak terlalu
lebar, tidak pula terlalu kecil. Tidak tebal, tidak pula terlalu tipis.
Hidungnya mancung, bulu
matanya lentik, alisnya tebal tapi teratur rapi. Kulit pipinya halus sekali,
seperti kulit bayi. Warnanya putih. Demikian pula warna kulit tubuh lainnya.
Suto memperhatikan perempuan yang dibaringkan di bawah pohon itu dengan takjub.
Perempuan itu mengenakan
pakaian yang tertutup sampai leher. Potongan baju Cina berwarna merah jambu itu
sungguh amat serasi dengan kecantikannya. Dalam sepintas saja Suto Sinting
sudah menduga bahwa perempuan itu pasti gadis dari negeri Cina. Di samping
terlihat dari bentuk pakaiannya, juga dari bentuk liontin kalungnya yang
berwarna hijau muda itu membentuk gambaran seekor naga. Sulaman benang emas
pada pakaiannya pun berbentuk seekor naga yang melilit dari kaki sampai ke
pertengahan dada.
Siapa dia? Siapa namanya? Ke
mana arah tujuannya? Mengapa diserang mayat-mayat kubur?
Semua itu tak bisa diketahui
Pendekar Mabuk karena gadis cantik jelita itu masih dalam keadaan pingsan.
Pendekar Mabuk ingin menyadarkan gadis itu melalui tuaknya, yaitu dengan
memasukkan tuak ke dalam mulut gadis itu, tapi tak bisa dilakukan karena mulut
itu terkatup rapat. Sebenarnya bisa juga dilakukan dengan cara menyemburkan
tuak di mulut Pendekar Mabuk ke dalam mulut gadis itu, tapi jelas ia harus
menempelkan mulutnya ke mulut gadis itu.
"Jangan! Aku tak berani.
Takut tak mau berhenti mulutku menempel terus di bibirnya! Tidak. Aku tidak
boleh begitu! Aku sudah punya kekasih sendiri. Aku tak mau mengkhianati
cintaku! Aku... aku... tapi ini demi pengobatan?! Apa salahnya? Yang penting
tujuanku baik, tidak punya niat ingin mengecup bibirnya!"
Pendekar Mabuk kerutkan dahi
dan berpikir beberapa saat. Lalu, segera diteguknya air tuak dalam bumbung itu.
Sisanya dibiarkan di mulut, tidak ikut ditelan. Pendekar Mabuk segera mendekati
mulut gadis itu. Tapi begitu memandang semakin dekat keindahan bibir tersebut,
tuak di mulut jadi tertelan sendiri. Glek...!
"Yah, habis
tuaknya!" gumam Suto. Ia buru-buru menenggak tuak lagi. Disisakan sedikit
di mulutnya. Cukup untuk disemburkan ke dalam mulut gadis itu.
Tangan Pendekar Mabuk gemetar
memegangi bibir gadis itu yang ingin dibukanya. Bibir pun akhirnya terbuka,
Pendekar Mabuk mendekatkan mulutnya. Tapi sekali lagi tuak dalam mulutnya
tertelan. Glek!
"Yah, habis
lagi...!"
Suto Sinting diam merenungkan
dirinya sendiri. Mengapa hanya menyemburkan tuak dari mulutnya ke mulut gadis
itu saja tak mampu dilakukannya? Padahal itu pekerjaan yang mudah.
"Hatiku berdebar-debar!
Itu soalnya, jadi tak bisa tenang sewaktu mau menuangkan tuak dari mulutku ke
mulutnya! Sebaiknya, kutunggu dulu beberapa saat supaya hatiku menjadi tenang
dan tidak berdebar-debar," pikir Pendekar Mabuk sambil menggaruk-garuk
kepalanya.
Kejap selanjutnya, Pendekar
Mabuk merasa hatinya sudah tidak berdebar-debar. Maka ia kembali meneguk
tuaknya, sebagian ditelan, sebagian disisakan di mulut. Pelan-pelan didekati
bibir gadis itu. Tangannya gemetar lagi ketika memegangi kepala gadis agar tak
bergerak waktu mendapat sentuhan nanti. Pelan-pelan sekali mulut Suto mendekati
mulut gadis itu. Mata memandang jelas-jelas bentuk keindahan dan kelembutan
bibir itu. Tiba-tibatuak di mulut kembali tertelan. Glek...!
"Ah, masa
bodohlah...!"
Akhirnya Pendekar Mabuk tidak
mau mengulangi hal itu. Ia tidak mau membuat gadis itu siuman melalui tuaknya.
Bahkan ia berkata sendiri,
"Cari air saja! Siram
air. Beres!"
Baru saja ia bangkit mau
mencari air untuk menyiram itu gadis, tiba-tiba ia melihat dua orang berkuda
menghampirinya dengan tampang tergesa-gesa. Wajah mereka menampakkan sikap tak
bersahabat. Yang berpakaian biru mempunyai kumis tebal melengkung ke bawah,
kurus, wajah lonjong, mata cekung, rambutnya kucai. Tapi dilihat dari pakaian
biru berompi putih dengan sulaman benang emas itu, agaknya orang tersebut
mempunyai suatu jabatan di suatu tempat. Sedangkan yang satunya lagi juga
mengenakan rompi bersulam benang emas, tapi warnanya hitam. Baju lengan panjang
dan celananya berwarna kuning kunyit. Wajahnya bundar, berkumis tipis,
rambutnya tak begitu panjang, diikat kain kuning.
Kedua orang itu segera
pelankan laju kudanya ketika mendekati Suto. Yang berompi putih bermata cekung
itu, segera meloncat turun dari kuda sebelum kuda berhenti total. Bahkan tali
kekang kuda dilepaskan begitu saja. Sikapnya menampakkan tak sabar ingin segera
melabrak Pendekar Mabuk. Sebilah pedang di pinggangnya dicabut, kemudian dengan
tanpa bilang ini itu, langsung saja ditebaskan ke dada Pendekar Mabuk.
Wusss... !
Pendekar Mabuk hanya mundur
satu langkah dengan gerakan kecil yang amat cepat. Kemudian ia berkata kepada
orang itu,
"Apa-apaan ini?!
Mengapakau menyerangku?!"
Orang itu menodongkan
pedangnya ke arah wajah Pendekar Mabuk. Bahkan ujung pedang itu berada di depan
leher persis, hanya berjarak kurang dari sejengkal.
"Jangan berlagak bodoh,
Anak muda!" geram orang berkumis melengkung ke bawah itu. "Kau telah
membunuh para prajurit dan pengawalku!"
"Prajurit yang
mana?" Suto bingung.
Pedang disentakkan sedikit
sebagai gertakan. Pendekar Mabuk sentakkan kepala ke belakang, takut tergores
pedang lehernya.
"Tak perlu banyak bicara
lagi! Serahkan saja bayinya!" kata orang itu. Dan Suto makin kerutkan
dahi.
"Bayi apa?! Kau pikir aku
habis beranak?!" Pendekar Mabuk agak menyentak.
"Kuhitung tiga kali, jika
bayinya tidak kau serahkan, kubunuh kau sekarang juga!"
"Bayinya siapa?!"
bentak Pendekar Mabuk jengkel sendiri.
"Satu...!" orang itu
mulai menghitung. Pedang semakin dekat.
"Tunggu dulu! Kau sangka
aku ini apa? Pencuri bayi? Hm... amit-amit! Untuk apa aku mencuri bayi?!"
"Dua...!" orang itu
menambah hitungannya. Wajahnya semakin tampak menggeram bengis. Matanya
memancarkan nafsu untuk membunuh. Dan Pendekar Mabuk merasa sangat terdesak
dengan hitungan itu.
Tiba-tiba jari tangan Suto
menyentil ke atas. Tapp...!
"Aou...!" orang itu
memekik kaget, pedangnya lepas dari tangan, ia buru-buru ingin memungutnya,
tapi kaki Pendekar Mabuk dengan segera menendang pedang itu. Beettt...!
Pedang ditendang Pendekar
Mabuk bagian sampingnya lalu melayang terbang dan menancap di sebuah batang
pohon. Jubb...! Hampir separo batang pedang amblas ke pohon itu.
Orang berwajah lonjong
terbengong. Temannya yang masih berada di atas kuda juga terbengong. Orang
berwajah lonjong masih pegangi bagian sikunya yang tadi terkena sentilan bertenaga
dalam dari jari tangan Pendekar Mabuk. Bahkan ia tampak terkesiap ketika
melihat sikunya memar, tulangnya bengkak.
Yang di atas kuda membatin,
"Gila orang itu! Tendangan pedangnya tadi tak seberapa keras, tapi bisa
menancap di pohon sebegitu dalam. Jika ia bukan orang berilmu tinggi tak
mungkin bisa lakukan hal itu!"
"Perwira Loyang...! Kita
laporkan saja hal ini kepada Laksamana!" seru orang di atas kuda kepada si
muka lonjong itu.
"Aku harus menghajar anak
ini dulu, biar dia tahu adat!" geram Perwira Loyang. Kemudian ia
menghantamkan pukulannya ke arah Suto dengan gerakan yang cukup berat.
Bettt....!
Wuttt... !
Perwira Loyang terkejut,
bingung mencari orang yang tadi dihantamnya. Matanya terbelalak ke sana-sini.
"Perwira Loyang anak itu ada di belakangmu!"
Begitu si muka lonjong itu
menoleh ke belakang, ia makin terkejut, karena ternyata orang yang dipukulnya
itu sudah ada di belakangnya dalam jarak dua langkah. Tapi orang itu tidak
balas menyerangnya.
"Jahanam Kupret! Kau mau
main-main denganku, hah?!" geram si muka lonjong. "Kubuat mampus kau
sekarang juga! Hiiih...!"
Wusttt...! Perwira Loyang
melancarkan tendangan kipas dengan berbalik melingkar kakinya menendang wajah
Pendekar Mabuk dengan sentakan keras. Tetapi apa yang ditendang itu ternyata
tempat yang kosong. Pendekar Mabuk telah lebih dulu melesat saat si muka
lonjong bergerak memutar.
Mata orang itu jelalatan
mencari lawannya. Bahkan ia sempat mencari sampai tubuhnya berkeliling. Tapi ia
tak melihat lawannya yang seharusnya tadi terkena tendangan jika tidak
menghindar.
"Perwira Loyang...
lawanmu ada di atas pohon!"
Mendongaklah si Perwira
Loyang. Terbengong ia melihat Suto sudah berdiri di sebuah dahan dan sedang
menenggak tuaknya.
"Turun kau, kalau memang
jagoan!" bentak Perwira Loyang.
"Perwira Loyang...."
"Diam!" bentak
Perwira Loyang kepada temannya yang ada di atas kuda. Kemudian ia memandang
Suto yang tahu-tahu sudah ada di atas pohon itu. Ia berseru,
"Kalau kau tak mau turun,
aku akan pergi!"
Tiba-tiba ada suara deru kuda
berlarian dari arah barat. Rombongan berkuda itu sedang menuruni lereng sebuah
bukit tak jauh dari tempat itu. Teman yang ada di atas kuda itu segera berseru,
"Mereka datang, Perwira
Loyang...! Lekas kita lari...! Tinggalkan tempat ini, Perwira! Ayo, ayo,
ayo...!"
Melihat rombongan berkuda
menuruni bukit, Perwira Loyang segera melompat dan hinggap di punggung kuda.
Lalu, bersama temannya ia memacu kuda secepat mungkin. Mereka tampak ketakutan
dan dengan cepat meninggalkan tempat itu.
"Kenapa mereka takut sama
rombongan berkuda itu?! Siapa sebenarnya rombongan berkuda itu?!" pikir
Suto Sinting. "Ah, sial! Belum sempat aku bicara baik-baik, menanyakan
siapa anak gadis ini, dan bayi apa yang dimaksud? Eh..., sudah pergi!
Sial!" Pendekar Mabuk garuk-garuk kepala.
* * *2
ROMBONGAN berkuda itu terdiri
dari delapan orang. Lima orang membelok ke arah kiri, tiga orang membelok ke
arah kanan untuk temui Suto Sinting. Pada saat itu, Suto sedang mendekati gadis
bergaun merah jambu yang masih dibaringkan di rerumputan bawah pohon, ia
sedikit mengeluh dalam tarikan napasnya begitu mengetahui tiga dari kedelapan
rombongan berkuda itu menuju ke arahnya. Dilihat dari wajah-wajah mereka, tak
satu pun yang tampak bersahabat.
"Bakal ada perkara lagi
kalau dilihat gelagatnya! Malas aku bermasalah dengan orang yang sebenarnya
tidak punya perkara apa-apa padaku," pikir Pendekar Mabuk sambil berlagak
tidak memperhatikan kedatangan tiga orang berkuda itu.
Ringkik kuda terdengar bagai
jerit perawan. Kuda berhenti setelah mengangkat kedua kakinya ke atas.
Penunggang kuda berbulu hitam berjambul coklat itu memandang Suto dengan wajah
angker, ia berada di tengah kedua temannya yang tetap di atas punggung kuda, di
kanan-kirinya.
Orang yang ada di punggung
kuda hitam berjambul coklat itu mengenakan pakaian hitam dengan sabuk merah dan
ikat kepala merah. Kepalanya gundul plontos, tampak seperti semangka warna
coklat. Matanya lebar dengan alis tebal dan berkumis lebat, ia mengenakan kalung
manik-manik seperti tasbih yang berbandul kulit kerang warna kuning kecoklatan.
Orang itu berseru kepada Suto
dengan suara kasarnya, "Cecunguk! Kau pilih kugantung secara baik- baik
atau kuseret sampai mati?!"
Pendekar Mabuk masih berlagak
sibuk menyadarkan gadis yang pingsan. Orang berkepala botak yang diikat kain
merah itu merasa semakin jengkel dengan sikap Suto. Maka ia pun lebih keraskan
lagi suaranya,
"Monyet kurap! Jawab
pertanyaanku!"
Seperti layaknya orang tuli,
Pendekar Mabuk justru menenggak tuaknya dengan santai. Sikapnya kian meremehkan
orang beralis tebal itu, sehingga orang itu menggeram dengan gemas, kemudian
dari atas punggung kudanya ia lepaskan pukulan jarak jauhnya melalui sentakan
tangan kiri ke depan. Wuttt...!
Suto segera turunkan bumbung
tuaknya setelah diangkat naik untuk dituangkan ke mulut. Pada saat itulah
tenaga dalam yang dilepaskan dari punggung kuda melesat dan menghantam bumbung
tuak itu. Beggh...! Wusssh...!
Pukulan tenaga dalam yang
bergelombang besar tanpa wujud itu membalik ke arah lawan dan menjadi lebih
besar lagi dari ukuran semula. Orang berpakaian hitam itu tak menyangka sama
sekali kalau pukulannya akan membalik arah, sehingga dengan serta-merta
terhempas ke belakang dan terjungkal dari atas kudanya.
"Uhg...!"
Bluggh...! Badannya jatuh
seperti kerbau terjungkal dari atas pohon. Kudanya terlonjak kaget dan
mengangkat kedua kaki depannya sambil meringkik. Sementara itu, kedua orang di
samping si kepala botak itu juga ikut terkejut yang membuat mereka hanya
terbengong saja menyaksikan orang itu jatuh terjungkal dari atas punggung
kudanya. Mereka tak bisa bilang apa- apa, karena mereka dicekam oleh perasaan
heran yang cukup besar.
Dalam hati, lelaki yang
bercelana hijau dan memakai rompi hijau itu membatin, "Kenapa dia jungkir
balik begitu? Dia yang melepaskan pukulan ke arah anak muda itu, tapi dia
sendiri yang jatuh dari atas kuda?! Jangan-jangan aku salah lihat?!"
Orang bermata lebar itu
cepat-cepat bangkit dan membentak kedua penunggang kuda tersebut,
"Mengapa kalian melotot
saja?! Lekas turun! Turun dan hajar si cecunguk tuli itu!" Jlegg,
jlegg...!
Kedua orang itu turun dari
atas punggung kuda hampir bersamaan. Mereka melompat dan mendarat di samping
kuda masing-masing dengan sigap. Mata mereka sama tajamnya pandangi Suto
Sinting yang sudah berdiri menghadap ke arah mereka.
Kedua orang itu segera
sentakkan kaki dan melompat ke atas dengan jurus tendangan layang yang siap
menerjang Pendekar Mabuk secara bersamaan. Tetapi Pendekar Mabuk cepat kibaskan
bumbung tuaknya dari kanan ke arah kiri. Wuttt...!
Kibasan cepat itu menimbulkan
gelombang pukulan tenaga dalam yang disalurkan melalui bumbung tersebut.
Gelombang pukulan itu menghempas kuat dua tubuh yang sedang melayang ke
arahnya. Akibatnya ke dua tubuh itu terpental kebelakang bagai diterjang badai
besar. Wusss...! Brukk...! Masing-masing jatuh terjungkal di samping kuda
masing-masing.
"Agaknya kau memang
memaksa kami melakukan pencabutan nyawa sekarang juga, Cecunguk!" sentak
orang berkepala gundul yang diikat kain merah bagaikan pita sebuah bingkisan
itu. Ia maju dua tindak dan tak pedulikan dua temannya yang sedang berusaha
bangkit kembali. Mata orang itu makin nanar, seakan mata itu sendiri ingin
menelan Suto. Tetapi tatapan mata nanar itu dibalas oleh Pendekar Mabuk dengan
sorot pandangan mata yang tenang dan damai. Senyum Pendekar Mabuk itu pun mekar
tanpa kesan permusuhan.
"Mengapa kalian
menyerangku? Apakah aku punya urusan dengan kalian? Padahal aku tidak kenal
siapa kalian!" kata Suto tenang sekali.
"Jangan pura-pura bodoh
di depanku, Cecunguk!" gertak orang berpakaian hitam itu.
"Namaku Suto, bukan
Cecunguk" sanggah Pendekar Mabuk.
"Persetan dengan namamu!
Yang jelas kau adalah cecunguknya si keparat itu!"
"Si keparat siapa"
"Laksamana Cho
Yung!" sentak orang berpakaian abu-abu.
Pendekar Mabuk melepaskan tawa
pelan namun berkesan kegelian. Dikibaskannya rambutnya yang meriap ke depan,
lalu dengan tetap kalem ia ucapkan kata,
"Aku malahan tidak tahu
siapa itu Laksamana Cho Yung!"
"Terlalu banyak bicara
dia, Ki!" kata si rompi hijau.
"Hantam saja dia!"
"Memang bangsat dia!
Haiiit...!"
Wesss... ! Orang gundul itu
cepat melompat dan menerjang Suto dengan sebuah tendangan kaki besarnya.
Lompatan itu cukup cepat, kakinya dalam sekejap sudah sampai di depan mata
Suto. Maka dengan cepat pula Suto sedikit merendahkan badan dengan kaki
merentang ke samping kanan-kiri, lalu kedua tangannya bergerak cepat menyodok
bagian kemaluan lawannya. Begg...!
Tidak persis kena sasaran,
tapi cukup membuat lawan tersentak ke atas dan terjungkir balik di udara tanpa
keseimbangan. Brukk...! Orang gundul itu jatuh dalam posisi miring. Tangannya
tertindih dan terasa ngilu di pangkal lengannya. Sedangkan bagian dekat pangkal
paha pun terasa panas-panas sakit akibat sentakan kedua tangan Pendekar Mabuk
yang bertenaga tak begitu besar tadi. Orang itu mencoba berdiri dengan mendekap
kemaluannya, dan berjalan mendekati kedua temannya sambil tertatih-tatih.
"Bunuh dia sekarang juga!
Bunuh!" sentak si kepala gundul yang agaknya menjadi pimpinan orang-orang
berkuda itu.
Yang berpakaian abu-abu cepat
mencabut tombaknya dari selipan pelana kuda. Tombak itu berujung clurit tajam
mengkilap. Sedangkan yang bercelana hijau cepat mengambil senjatanya berupa
cangkul kecil bergagang sekitar tiga jengkal panjangnya.
Mereka segera berlari
menyerang Pendekar Mabuk.
Tetapi jari tangan Pendekar
Mabuk lebih cepat dari gerakan kedua orang tersebut. Jari tangan itu bergerak
menyentil dua kali ke arah depan. Tebb... tebb...!
Sentilan itu tentu saja bukan
sembarang sentilan. Suto Sinting mempunyai jurus sentil jari yang dinamakan
jurus 'Jari Guntur'. Sentilan 'Jari Guntur' mengenai punggung tangan para
pemegang senjata. Seketika itu mereka berteriak kaget dan kesakitan.
"Aoow...!"
"Auh...!"
Tubuh mereka sendiri
terpelanting ke belakang bagai ditendang kuda dari arah dada kanan
masing-masing. Badan yang melintir itu menabrak perut kuda, bahkan ada yang
jatuh persis di bawah kaki kuda. Hampir saja wajah orang yang jatuh itu diinjak
kaki belakang kuda kalau saja ia tidak cepat berguling hindarkan diri dari
gerakan kaki kuda yang melompat sambil menyentak.
Melihat kedua temannya atau
anak buahnya mudah dirubuhkan begitu saja, si kepala gundul semakin marah.
Maka, dengan cepat ia sentakkan kedua tangannya ke depan. Pukulan tenaga dalam
berkekuatan besar dihempaskan ke arah Pendekar Mabuk. Wugggh...!
Suto terkejut, ia tak sempat
menghindarkan diri hingga gelombang pukulan itu menghantam tubuhnya, terasa
bagai ditabrak tembok besar sekujur tubuh Suto. Buggh...! Wuttt.!
Hampir saja Pendekar Mabuk
terjungkal ke belakang akibat hempasan tenaga besar tersebut. Untung ia cepat
sigap dan walau terhempas ke belakang dalam jarak lima langkah, namun ia bisa
kuasai keseimbangan tubuh. Bagaikan bersalto Pendekar Mabuk mendaratkan kakinya
dengan sigap kembali.
Kedua orang yang tadi
senjatanya terlepas dari tangan itu segera meraih kembali senjata
masing-masing. Mereka cepat berlari untuk menyerang Suto dengan senjata
tersebut. Namun, Suto Sinting lekas hentakkan
suaranya, "Tahan!"
Bentakan itu membuat kedua
orang yang akan menyerangnya menjadi terhenti seketika. Mereka bahkan mundur
satu tindak dengan mata masih memandang tajam pada Suto Sinting. Sedangkan
orang botak di belakang mereka berseru,
"Serang dia! Bunuh
sekarang juga!"
"Tahan!" bentak Suto
lagi. Kedua orang itu lebih menurut dengan seruan Suto ketimbang dengan seruan
si gundul. Mereka tidak tahu bahwa Pendekar Mabuk telah melepaskan jurus
'Sentak Bidadari' yang bisa bikin keberanian orang surut dan menjadi penurut
jika orang itu tidak berilmu tinggi, itulah ilmu warisan dari bibi gurunya,
Bidadari Jalang.
Si baju hitam berkepala gundul
itu membatin, "Hebat juga si cecunguk ini?! Kurasakan ada getaran
tersendiri dalam batinku kala kudengar dua kali sentakannya tadi! Sentakan itu
agaknya mampu membuat keberanian Cangkul Lahat dan Tayub Jali menjadi hilang
atau berkurang! Agaknya aku tak boleh sembrono berhadapan dengan dia!"
Kemudian, dengan suara masih
bernada keras orang gundul itu berseru kepada Tayub Jali dan Cangkul Lahat,
"Tayub Jali, mundur
kau...! Biar kuhadapi sendiri bocah ingusan itu!"
Orang berpakaian abu-abu yang
bersenjatakan tombak berujung clurit itu segera mengundurkan diri. Tapi
temannya masih tetap diam di tempat.
"Cangkul Lahat, mundur
juga kau!" seru si kepala gundul.
Orang bersenjatakan cangkul
kecil yang tajam itu pun segera mengundurkan diri, tak jauh dari depan kudanya.
Setelah itu, si kepala gundul maju dua tindak dari tempatnya dan segera ucapkan
kata kepada Pendekar Mabuk.
"Cukup lumayan
permainanmu, Bocah Ingusan! Tapi jangan harap dengan modal permainan itu kau
bisa tundukkan aku si Pawang Jenazah yang tak pernah kenal ampun kepada
lawannya!" Ia tepuk dadanya sendiri, sombongkan diri. Dari ucapannya itu
Suto tahu bahwa si kepala botak itu bernama Pawang Jenazah. Jelas itu hanya
nama julukan saja. Siapa nama aslinya, Pendekar Mabuk tak berminat untuk
mengetahuinya. Suto hanya berkata,
"Aku tak bermaksud
menundukkan kamu, Pawang Jenazah! Aku hanya menahan seranganmu dan mengembalikannya,
karena aku bukan orang bersalah!"
"Kau memang tidak
bersalah, tapi juraganmu itu manusia yang penuh dengan kesalahan!"
"Aku tidak punya juragan!
Aku juga tidak punya pimpinan!"
"Kau mau mengelak karena
takut berhadapan denganku?! Kau mau pungkiri diri dan mengaku bukan anak
buahnya Laksamana Cho?!"
"Memang bukan! Kau salah
sangka, Pawang Jenazah!"
"Mataku belum bolong,
Cecunguk! Kulihat kau tadi berunding dengan Perwira Loyang!"
"Aku tidak kenal dengan
Perwira Loyang!" sanggah Pendekar Mabuk dengan tetap kalem. "Kalau
yang kau maksud Perwira Loyang adalah orang berkuda yang tadi berada di sini
bersamaku itu, berarti kau salah duga, Pawang Jenazah! Aku bukan berunding atau
berteman dengannya. Justru aku mencoba bertahan diri dari serangannya! Aku
sendiri tak tahu, mengapa dia menyerangku dan menanyakan soal bayi?!"
"Omong kosong! Kau pandai
berkilah dengan tujuan selamatkan diri dari jurusku yang sebenarnya,
Cecunguk!"
"Kalau hanya untuk
menyelamatkan diri, tak perlu aku berkilah menjelaskan duduk perkara
sebenarnya, Pawang Jenazah! Sudah kubilang tadi, apa susahnya menundukkanmu
dalam sekejap, seperti orang menarik uban dari kepalanya! Tapi bukan itu
tujuanku bicara denganmu! Aku hanya tak ingin di antara kita ada salah
pengertian, Pawang Jenazah!"
Pawang Jenazah yang berusia
sekitar lima puluh tahun itu melirikkan matanya ke perempuan muda yang masih
pingsan itu. Ia sedikit sipitkan mata, dan segera melebar kembali, sepertinya
ia baru sadar siapa perempuan yang tergeletak pingsan itu.
"Bagaimana dengan gadis
itu?!" tanyanya, kepada Suto, dan dahi Suto semakin berkerut karena tidak
jelas apa maksud pertanyaan itu.
"Apa yang kau tanyakan
sebenarnya?"
"Bukankah kau bersama
gadis itu?!"
"Ya. Dia kuselamatkan
dari serangan para mayat yang bangkit dari kuburan!"
"O, jadi kau yang
selamatkan dia?! Jahanam...!" geram Pawang Jenazah. "Berarti kau
sudah terlalu dalam turut campur dalam urusanku, Cecunguk Busuk!"
Pawang Jenazah semakin tambah
marah kelihatannya. Suto Sinting merasa heran dengan kemarahan Pawang Jenazah.
Tapi segera paham setelah Pawang Jenazah ucapkan kata,
"Sia-sia kubangkitkan
mayat-mayat itu jika hanya untuk membunuh orang-orang Cho, tanpa bisa membunuh
gadis itu pula! Lancang sekali kau, Cecunguk! Mestinya gadis itu sudah mati
diterkam habis oleh pasukan mayatku!"
"Kasihan dia! Melihat
mayat sebanyak itu saja sudah pingsan, apalagi jika harus diterkam ramai-ramai
oleh pasukan mayat! Pasti dia akan mati, bukan hanya pingsan!"
"Memang itu yang
kumau!" bentak Pawang Jenazah. "Sekarang serahkan perempuan muda itu
padaku!"
"Siapa perempuan itu,
sehingga kau ingin membunuhnya?"
"Tak perlu tahu! Serahkan
perempuan itu jika benar kau bukan anak buahnya Laksamana Cho!" suaranya
makih meninggi, menandakan kemarahannya kian bertambah tinggi pula.
Pendekar Mabuk
mempertimbangkan langkah sesaat. Jelas jika ia menyerahkan gadis cantik yang
amat lembut itu, sama saja ia membunuh gadis itu. Tapi jika tidak, maka ia akan
dianggap sebagai anak buah Laksamana Cho Yung. Agaknya antara Pawang Jenazah
dan Laksamana Cho Yung telah terjadi perselisihan sengit yang membuat Pawang
Jenazah harus membunuh orang- orangnya Laksamana Cho Yung. Jika Pawang Jenazah
mau membunuh gadis bersumpit emas itu, berarti gadis tersebut adalah anak
buahnya Laksamana Cho Yung. Tapi gadis itu belum tentu bersalah.
"Pawang Jenazah,
sebenarnya apa yang terjadi sehingga kau ingin membunuh semua orang-orangnya
Laksamana Cho?"
"Kau tak perlu tahu!
Serahkan saja perempuan itu padaku dan cepatlah minggat dari hadapanku! Jangan
paksa aku bertarung denganmu seperti aku menghadapi Laksamana Cho!"
"Aku harus tahu perkara
yang sebenarnya, supaya aku tidak memihak ke mana-mana! Setidaknya aku perlu pertimbangan
supaya aku bisa tentukan langkah, apakah aku harus serahkan perempuan itu
kepadamu atau kupertahankanl"
"Babi Burik!" umpat
Pawang Jenazah. "Jangan sekali-kali kau punya niat untuk selamatkan
perempuan itu, jika kau masih ingin hidup lebih lama lagi, Cecunguk! Sebaiknya
cepatlah minggat dan tinggalkan perempuan itu!"
"Aku tidak bisa!"
kata Pendekar Mabuk dengan tegas. "Sebelum kutahu perkara yang sebenarnya
antara kau dengan Laksamana Cho, aku tidak akan tinggalkan gadis itu!"
"Persetan dengan tekadmu!
Rupanya tak ada waktu lagi bagimu untuk pertimbangkan langkah! Sebaiknya
kulenyapkan juga kau, Cecunguk!"
Pawang Jenazah segera
mengangkat tangannya dengan tenaga dikerahkan. Tangan yang berada di depan dada
kanan-kiri itu mulai bergetar. Agaknya kali ini Pawang Jenazah tak mau
main-main seperti tadi. Ia siap melepaskan jurus-jurus mautnya yang mematikan
lawan. Matanya pun sudah mulai semburat merah bagai dibakar amukan amarah.
Suto tetap tenang, tapi penuh
dengan kewaspadaan, ia sempat ucapkan kata kepada lawannya,
"Jelaskan dulu
persoalannya, supaya kalau toh aku mati, dapat mati dengan mata terpejam!"
"Persetan mau terpejam
atau mendelik matamu nanti! Yang jelas, terimalah pukulan mautku ini!
Hiaaah...!"
Wuttt... ! Cahaya merah
melesat dari kedua telapak tangan Pawang Jenazah. Cahaya itu berbentuk seperti
uang logam yang menyala-nyala dan bergerak cepat ke arah Suto Sinting.
Oleh Pendekar Mabuk cahaya itu
dapat dihindari dengan satu sentakan kaki secara pelan ke tanah dan tubuhnya
terangkat melesat ke atas dan berjungkir balik satu kali di udara. Cahaya merah
itu akhirnya menghantam pohon yang jauh di belakang Suto.
Duarr...! Duarr...!
Pohon itu pecah bagai disambar
petir. Pawang Jenazah menggerakkan tangannya dengan cepat, wut wut wut...! Dua
jari tahu-tahu sudah ada di dahinya. Dua jari yang ada di dahi itu disentakkan
ke depan dan melesatlah sinar merah kecil seperti ranting panjang yang menuju
ke arah tubuh gadis pingsan itu.
"Celaka! Dia mau menghancurkan
gadis itu!" pikir Suto. Maka, dengan cepat Suto lompatkan diri menghadang
sinar merah itu di samping tubuh gadis yang terbaring. Suto Sinting berguling
sambil hadangkan bumbung tuaknya. Sinar merah seperti ranting mengenai bumbung
tuak, dan memantul balik ke arah semula. Zrubbb...! Wusss...!
"Bangsat!" teriak
Pawang Jenazah sambil melompat menghindari sinar merah yang berubah menjadi
lebih besar dan lebih cepat dari keadaan semula. Dubb...! Blarrr...!
Ledakan itu amat mengejutkan.
Seekor kuda milik Tayub Jali pecah tubuhnya tanpa sempat memekik lagi. Sempalan
tubuh kuda itu menghantam ke kanan kiri, membuat Tayub Jali dan Cangkul Lahat
terpental berlainan arah dan berguling-guling dalam jarak delapan langkah dari
tempat berdirinya semula.
"Aku harus melarikan
gadis itu, supaya tahu perkara sebenarnya!" pikir Pendekar Mabuk. Maka
dengan cepat ia menyambut tubuh pingsan itu, ia panggul ke pundaknya dan cepat
pergi bagaikan angin berhembus. Wuttt...! Pawang Jenazah terbengong sekejap,
tak percaya dengan sebuah gerakan secepat yang dilihatnya.
***
KALAU saja Pawang Jenazah bisa
melihat arah larinya Pendekar Mabuk dan gadis itu, pasti ia akan mencegat
dengan segala cara. Sayangnya, Pawang Jenazah hanya melihat Suto berkelebat
pergi. Wesss...! Begitu saja, dan tak bisa dilacak ke mana arah perginya.
Seandainya ia melakukan pencegatan, harus ke arah mana ia mencegatnya?
"Ke mana orang itu tadi,
Ki Pawang?" tanya Cangkul Lahat, ia baru saja sadar dari
terguling-gulingnya tadi. Tubuhnya bermandi darah kuda. Merah sekujur tubuh
Cangkul Lahat, demikian pula tubuh Tayub Jali.
Pawang Jenazah tidak menjawab
pertanyaan itu, karena hatinya masih berkecamuk,
"Sehebat itukah anak buah
Laksamana Cho? Mudah- mudahan dia memang bukan anak buah Laksamana Cho! Ilmunya
cukup tinggi, itu terlihat dari caranya pergi dari depanku. Dia jelas sulit
dikalahkan, sekalipun aku mampu menumbangkannya tapi harus dengan susah payah!
Hmm... aku bisa kerahkan pasukan mayatku untuk melumpuhkan orang itu! Tapi itu
soal nanti! Mudah saja! Sekarang yang penting aku harus temukan di mana kapal
laksamana bersandar! Akan kuhancurkan kapal itu, dan kuhancurkan pula si
keparat itu! Kalau perlu kujadikan dia bubur manusia yang pertama di jagad raya
ini! Hmm...!"
Lalu ia melompat dengan satu
sentakan kaki ketanah, tubuhnya melayang dan berjungkir balik ke belakang.
Kejap berikutnya Pawang Jenazah sudah bertengger diatas punggung kudanya.
"Kita susul teman-teman
kita ke pantai! Kita susuri pantai sampai kitatemukan kapal si keparat
itu!" katanya kepada kedua anak buah tersebut. Tayub Jali terpaksa
berboncengan satu kuda dengan Cangkul Lahat, karena kudanya telah pecah binasa
tak berbentuk lagi.
Nun jauh di sisi sebelah sana,
terdapat sebuah bangunan besar yang keadaannya sudah sebagian hancur. Bangunan
itu konon dulunya bekas sebuah gedung perguruan silat aliran keluarga Sanjaya
Laga. Keluarga tersebut cukup kesohor pada masanya. Kabar- kabarnya jurus-jurus
yang dipakai dalam aliran silat Sanjaya Laga merupakan pengembangan dari
jurus-jurus 'Shaolin'.
Hampir seratus tahun lewat,
keluarga Sanjaya Laga dikalahkan oleh golongan hitam dari Tanah Tibet. Mereka
berhasil menggempur habis kekuatan keluarga Sanjaya Laga, menjagal semua
penghuni gedung kuno itu tanpa menguburkannya satu pun. Dan sejak itulah aliran
silat Sanjaya Laga punah dari permukaan bumi, tanpa ada penerusnya.
Sejak itu, gedung beratap
tinggi itu menjadi saksi bisu yang tinggal dalam kesunyian abadi. Temboknya
menjadi hitam dan berlumut. Lantainya sudah ditumbuhi oleh rumput liar. Atap
depan rubuh ke bawah, menutup jalan masuk gedung tersebut. Tapi melalui sisi
samping ada lorong yang menuju bagian belakang gedung tersebut. Bagian belakang
itu sendiri jarang terkena sinar matahari sehingga tempatnya menjadi lembab dan
kotor.
Menurut kabar burung, gedung
itu sering mengeluarkan suara aneh bila malam hari. Seperti suara orang
berlatih jurus-jurus silat, atau seperti orang memekik kesakitan. Tak ada
manusia yang mau lewat dekat-dekat situ bila malam hari. Selain gedung itu
gelap tanpa sinar, juga sering menyebarkan bau bangkai membusuk. Orang-orang
menamakannya sebagai Rumah Busuk.
Tak jauh dari gedung itu ada
sebuah perkampungan. Tetapi Pendekar Mabuk tidak mau membawa gadis Cina yang
masih pingsan itu ke perkampungan tersebut. Sekalipun Suto yakin akan mendapat
tumpangan untuk bermalam di perkampungan tersebut, tapi ia memilih gedung kuno
itu yang menjadi tempat menyembunyikan si Sumpit Emas tersebut.
Di dalam gedung kuno itu, Suto
merasa heran setelah menemukan sebuah ruangan yang agaknya dulu bekas sebuah
kamar. Kamar besar itu lain dari ruangan- ruangan yang ada di Rumah Busuk
tersebut.
Kamar besar itu berlantai
bersih, berdinding putih, mempunyai empat tempat pelita yang menempel di
dinding. Juga terdapat selembar tikar walau sudah rusak bagian tepinya. Kamar
itu jelas ada yang merawat dan menempatinya. Walau tanpa jendela atau lubang
angin satu pun kecuali pintu setinggi tiga tombak, tapi kamar itu tidak
mengandung udara lembab seperti kamar-kamar lainnya.
Gadis berpakaian merah jambu
itu dibaringkan oleh Suto di atas tikar tersebut. Hari sudah remang petang,
sehingga Pendekar Mabuk terpaksa menyalakan keempat pelita dengan bantuan
ranting kering yang dibakar oleh tenaga dalamnya dari ujung jari telunjuk.
Ruangan itu menjadi terang, tapi tetap tak bisa terlihat dari luar rumah cahaya
terangnya itu.
"Siapa penghuni kamar
ini?" pikir Pendekar Mabuk sambil melangkah memeriksa seluruh ruangan
Rumah Busuk itu. "Tak mungkin kamar itu bersih dengan sendirinya jika
tidak ada penghuninya! Pasti ada orang yang bersembunyi di kamar itu, entah
sudah berapa lama! Apa yang dilakukan orang itu selama bersembunyi di rumah
yang terkesan angker ini, tak bisa kuterka. Tak ada tanda-tanda bekas makanan,
berarti kamar itu tidak digunakan untuk makan. Tak ada tanda-tanda bekas
gempuran, berarti kamar itu tidak dipakai untuk berlatih silat! Dan tak kucium
bau wewangian, berarti tempat itu tidak dipakai untuk bermesraan! Lalu, ke mana
orang yang menghuni kamar itu sekarang ini? Aku mau minta izin untuk
menempatinya beberapa saat!"
Berulang kali Suto
mengelilingi Rumah Busuk itu untuk mencari seseorang yang diduga menjadi
penghuni kamar bersih itu, tapi ia tidak temukan apa-apa, kecuali seekor ular
yang dapat segera dihancurkan kepalanya dengan pukulan jarak jauhnya. Pendekar
Mabuk pun segera kembali masuk ke kamar itu dengan harapan gadis tersebut sudah
siuman. Tapi ternyata gadis itu masih tetap terbujur bagai tidur nyenyak. Suto
Sinting jadi berpikir,
"Mengapa gadis itu pingsan
begitu lama? Umumnya orang pingsan tak sampai setengah hari sudah siuman! Tapi
gadis ini sampai malam tiba masih saja belum siuman! Apa penyebabnya sampai ia
bisa pingsan lama begini?"
Pendekar Mabuk kembali meneguk
tuaknya. Sempat ia berpikir ingin semburkan tuak ke dalam mulut gadis itu
supaya siuman, tapi kembali hatinya bergemuruh jika memandang bibir perempuan
itu, sehingga ia batalkan niatnya itu. Bahkan untuk memandang si baju merah
jambu terlalu lama, Suto tak berani. Karena gemuruh dalam dadanya begitu kuat
dan makin lama memandang makin menyentak-nyentak, sehingga ia berpikir lebih
baik meninggalkan dulu gadis itu. Ia segera keluar rumah, memandang kegelapan
malam yang sepi dan sunyi, menikmati suara derik jangkrik di kejauhan sana.
"Mungkinkah gadis itu
terkena pukulan maut yang mematikan segala urat kesadarannya?! Seingatku, dia
masih tetap di dalam tandu pada saat mayat-mayat itu menyerangnya. Belum sempat
ia terjamah oleh mayat, aku sudah lebih dulu menyelamatkan nya! Jadi, apa yang
membuat dia pingsan selama ini? Rasa kaget! Rasa takut melihat mayat bangkit?
Atau karena sesuatu hal yang belum kuketahui?"
Sambil bicara sendiri dalam
hatinya, Suto Sinting meneguk tuaknya sesekali. Alam yang dibungkus malam gelap
itu sama sekali tak timbulkan penglihatan apa pun. Nyamuk menyerang Suto.
Nyamuk di situ besar-besar, sehingga terasa menepak seekor lalat yang menclok
di pL
"Bisa mati dikeroyok
nyamuk kalau aku di luar rumah terus. Sebaiknya aku ikut beristirahat sebentar
di dalam kamar itu!" pikir Suto Sinting sambil melangkah masuk melalui
lorong kecil menuju bagian belakang rumah. Tempat itu sedikit becek, namun
punya bebatuan kering yang bisa digunakan sebagai tempat berpijak.
Pintu kamar yang tetap
dibiarkan terbuka itu membuat bias cahaya lampu pelita menyorot ke luar. Dan
karena pintu kamar terbuka, maka dari depan pintu saja Pendekar Mabuk sudah
bisa melihat keadaan di dalam kamar.
Langkah Suto Sinting terhenti
dan matanya terkesiap dengan hati terperanjat kaget. Tubuh gadis itu sudah
tidak ada di atas tikar.
"Hilang...?!" gumam
Suto dalam keheranannya, lalu cepat-cepat ia melangkahkan kaki memasuki kamar itu.
Tertegun sejenak ia memandang tikar yang kosong.
Tiba-tiba punggungnya terasa
ditabrak oleh benda besar dan keras. Beggh...! Benda yang terasa menyentak
punggung itu tidak mengenai bumbung bambunya, sehingga tubuh Suto tiba-tiba
saja terpental ke depan dan terasa bagai dilemparkan oleh tenaga yang cukup
besar. Pendekar Mabuk terjungkal dan membentur dinding dekat tikar. Dugg...!
Buru-buru Pendekar Mabuk
palingkan wajahnya ke arah pintu yang tadi dipunggunginya. Ternyata di sana
sudah berdiri gadis bergaun merah jambu. Si Sumpit Emas memandang Suto Sinting
penuh hasrat permusuhan. Sikap berdirinya yang sedikit renggang kaki itu
menampakkan bahwa dirinya telah siap menyerang, atau diserang sewaktu-waktu.
Sedangkan Pendekar Mabuk saat
itu diam terpana melihat kecantikan gadis itu jika tidak dalam keadaan pingsan.
Pelan-pelan ia bangkit dengan mata tak berkedip. Tetapi, tiba-tiba gadis
bersumpit emas itu kelebatkan tangannya yang bergaun lengan panjang lebar itu,
wuttt...! Gerakannya seperti orang mengusir nyamuk di depannya. Lalu, terasa
jelas ada gelombang berkekuatan besar menghantam badan Suto. Buggh...!
Suto sengaja tidak menangkis
dan tidak menghindar, ia ingin tahu kekuatan apa yang bisa dikeluarkan oleh
gadis bersumpit emas di rambutnya itu. Ternyata cukup besar. Suto sampai
terhempas kuat-kuat dalam keadaan terlempar membentur dinding lagi bagian
lengannya. Pandangan matanya sempat gelap sebentar saat menerima gelombang
pukulan yang dilepaskan gadis itu. Suto segera kejap-kejapkan mata dan kibaskan
kepala sebentar untuk membuang pandangan gelapnya itu.
Ketika ia memandang kembali ke
arah pintu, ternyata gadis itu telah melompat ke dinding, lalu dengan cekatan
sekali ia berlari merayapi dinding seperti seekor cecak. Plak plak plak plak!
Dalam waktu singkat sudah mendekati langit-langit kamar tersebut.
"Gila itu bocah!"
gumam Pendekar Mabuk dalam hati sambil mendongakkan kepala, memandangi tingkah
gadis itu. "Rupanya dia punya ilmu cukup lumayan! Di samping bisa merayap
seperti seekor cecak, juga punya tenaga dalam cukup besar! Jika orang kosong
menerima pukulan tenaga dalamnya tadi pasti sudah rontok bagian dalam dadanya.
Tapi... mengapa dia menyerangku begitu? Apakah dia belum tahu bahwa akulah yang
menyelamatkan jiwanya dari ancaman serangan mayat- mayat tadi siang di
kuburan?"
Mata bundar yang bening dari
gadis itu memandang nanar pada Pendekar Mabuk. Dari caranya memandang, Suto
tahu gadis itu ketakutan dan tak mau diserang. Ia berjaga diri dari ancaman
maut yang disangkanya akan datang dari tangan Pendekar Mabuk.
"Turunlah!" kata
Suto tanpa suara membentak, melainkan kalem.
Gadis itu diam saja, masih
berpaling memandangi Suto dengan keadaan tangan dan kakinya menempel pada
dinding. Melihat gadis itu diam saja, Suto melangkahkan kaki, maju dua tindak
dari tempat berdirinya, kemudian berkata,
"Turunlah, aku mau bicara
denganmu!"
Tapi tiba-tiba tubuh gadis itu
bagaikan terbang, ia melesat ke arah Pendekar Mabuk dengan sentakan kedua
tangannya pada dinding, ia memekik saat menyerang terbang,
"Hiaaat...!"
Sambil terbang, tangannya
bergerak-gerak cepat memainkan jurus aneh yang sulit diikuti pandangan mata
Pendekar Mabuk. Agaknya jurus itu cukup handal dan akan mencelakakan jiwa
Pendekar Mabuk jika tidak segera menghindar. Maka, Pendekar Mabuk pun cepat
menghindar dengan cara menggulingkan badan ke lantai dua kali. Wutt, wutt...!
Gerakan terbang cepat itu tak
mengenai sasarannya. Akibatnya, tubuh yang terbang itu membentur dinding yang
tadinya dipunggungi oleh Suto Sinting. Brukk...!
"Auh...!" gadis itu
memekik karena tubuhnya bagai dihajarkan pada dinding, ia jatuh setelah itu dan
menyeringai kesakitan. Keningnya diusap-usap karena terasa sakit diadu dengan
dinding.
Pendekar Mabuk tertawa pelan
melihat kejadian tersebut, ia dapat membayangkan alangkah sakitnya tubuh yang
menabrak dinding dengan kecepatan lumayan keras itu. Suto Sinting sengaja tidak
menolong gadis itu selain menertawakan.
Mendengar suara tawa Suto,
gadis bersumpit emas itu cepat-cepat menahan diri untuk tidak meringis dan mengerang
kesakitan, ia bahkan lekas bangkit dan menghadap Suto dengan tangan terangkat
siap melepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauhnya.
"Tunggu, tunggu...!
Jangan serang aku!" Pendekar Mabuk menahannya dengan terburu-buru, ia
melangkahkan kaki mendekati gadis itu. Tapi gadis itu nekat melepaskan pukulan
dari tangan kanannya yang telah terangkat di atas kepala itu.
"Kiaat...!"
Wusss... !
Buhgg...! Gubrak...!
Suto terjengkang ke belakang.
Jatuh dengan telentang. Punggungnya terganjal tabung tuak. Ia menyeringai
menahan sakit, lalu dengan ayunan pinggulnya ia melenting ke atas, bangkit
dengan kaki menapak sigap di lantai. Jlegg...!
"Jauhi aku, atau kubunuh
kau!" ancam gadis itu.
"Keduanya tak ada yang
kupilih! Aku hanya ingin jelaskan, bahwa aku bukan musuhmu!"
"Omong kosong!"
sentak gadis itu. "Kau pasti orangnya Pawang Jenazah! Kau pasti salah satu
dari mayat hidup yang menyerangku di dalam tandu!"
"Aha, kau salah duga,
Nona Manis," jawab Suto Sinting sambil pamerkan senyumnya yang menggoda.
Tapi nona manis itu masih saja tampilkan wajah cemberut.
Pendekar Mabuk melanjutkan
kata, "Kau memang tadi siang diserang oleh pasukan mayat di jalan depan
kuburan itu. Tapi aku bukan salah satu anggota dari pasukan tersebut!"
"Baumu busuk. Bau
bangkai! Kau pasti sesosok mayat!"
Pendekar Mabuk tertawa masam,
"Itu bukan bauku. Itu bau rumah ini, Nona Manis! Kau tahu, sekarang kau
kubawa ke Rumah Busuk ini, karena tak ada pilihan lain untuk sembunyikan
dirimu!"
"Bohong! Kau dustapadaku!
Hiaaat...!"
Tangan gadis itu berkelebat
dengan cepat bagai simpang-siur di depan wajahnya, lalu tiba-tiba ia melayang
dengan tubuh berputar. Kain gaunnya sampai tampak mengembang indah. Tapi
punggung telapak tangannya menghantam dada Suto dengan gerakan cukup cepat.
Duggh... !
"Auh.„!" Suto
terpekik karena menahan napas saat mendapat pukulan tersebut, ia mundur dua
tindak. Gadis itu berkelebat memutar lagi, lalu tangannya yang kiri kembali
menyodok ulu hati Suto memakai punggung telapak tangan yang menguncup.
Dess... !
Suto menahan pukulan kedua
dengan telapak tangan kanannya. Sambil menahan pukulan, ia kerahkan sedikit
tenaga dalamnya untuk mendorong tangan lawan. Wuttt...! Gadis itu terpelanting
dalam keadaan lari mundur dan sempoyongan. Tubuhnya membentur dinding tak
seberapa keras, tapi membuat ia berhenti dari terpelantingnya.
"Hiaaat...!" kembali
ia segera menyerang dengan gerakan cepat. Kali ini dua jari tangannya melepaskan
sinar kuning yang mengarah ke dada Suto Sinting. Wesss... !
"Kalau kutangkis dengan
bumbung tuak, bisa membalik mengenai dirinya! Bahaya!" pikir Pendekar
Mabuk, maka segera ia sentakkan kaki dan melompat ke atas tanpa bergerak maju.
Sinar kuning itu melesat lewat bawah kaki Suto dan menembus dinding
belakangnya. Bluss... !
"Edan! Dinding itu bolong
tanpa semburkan debu sedikit pun?! Sakti juga sebenarnya gadis ini?! Tapi
mengapa dia tadi tidak keluar dari tandu dan ikut menyerang mayat-mayat
tersebut?" pikir Suto Sinting lagi setelah melihat dinding jadi bolong
tanpa timbulkan semburan debu sedikit pun. Bolongnya dinding itu sebesar uang
logam. Tepiannya berwarna hangus.
"Hiaaat...!" gadis
itu kembali menyerang Pendekar Mabuk. Kali ini dengan sebuah tendangan beruntun
yang punya kecepatan cukup tinggi menurut ukuran kecepatan tendang seorang
berilmu sedang.
Tendangan beruntun ke arah
wajah Pendekar Mabuk itu dihindari dengan meliuk-liuk kepala beberapa kali. Tak
satu pun tendangan beruntun yang mampu mengenai wajah Suto. Tetapi dengan cepat
bagaikan kelebatan anak panah, jari tangan Pendekar Mabuk menotok mata kaki
gadis itu. Takkk...!
"Aauuuh...!" gadis
itu langsung mengerang panjang sambil terbungkuk-bungkuk memegangi mata
kakinya.
Pendekar Mabuk membiarkan
gadis itu menahan sakit, ia jauhi gadis itu, dan kini berada di sudut kamar
kosong tanpa benda apa pun itu sambil menenggak tuaknya.
"Jahanam kau!" geram
gadis itu sambil tetap membungkuk pegangi mata kakinya. Suto yang berdiri memandang
gadis itu hanya tersenyum. Gadis itu tampak makin menggeram, ia ingin melompat
dan menyerang Suto, Tapi ia tak mampu gerakkan tangan, kaki ataupun punggungnya
yang tetap membungkuk, ia telah tertotok dan menjadi tak bisa bergerak kecuali
kepalanya.
"Sudah kukatakan, aku
bukan musuhmu!" kata Suto Sinting.
"Bebaskan aku jika kau
bukan musuhku!" bentak gadis itu.
"Kau berjanji tak akan
menyerangku lagi?'
"Itu tergantung
keputusanku nanti!"
"Kalau begitu kau tidak
akan kubebaskan! Dan, sepertinya aku sudah kehabisan waktu! Aku harus pergi
sekarang juga untuk suatu urusan!"
Pendekar Mabuk melangkahkan
kakinya menuju ke pintu. Gadis itu memekik dengan suara kecilnya,
"Hai, bebaskan aku
dulu!"
"Permisi! Sampai jumpa
lagi di lain waktu!" Pendekar Mabuk keluar dari kamar itu, dan sang nona
manis itu memekik keras,
"Bebaskan aku dulu!
Jangan pergi kau, Gila!"
Sang nona manis mencoba
gerakkan tubuhnya untuk melompat-lompat dalam keadaan membungkuk pegangi mata
kakinya. Tapi tubuhnya bagaikan terpaku di lantai kamar itu. Ia berseru lebih
keras lagi,
"Hai...! Gilaaa...!
Jangan pergi! Jangan tinggal aku sendirian di tempat ini! Gilaaa...! Gila!
Kuremukkan kepalamu kalau kau tak mau kembali! Haaai...! Kembali...!"
Suto sunggingkan senyum ketika
mendengar teriakan gadis itu di luar rumah. Suara kecilnya yang melengking
bagai pisau tajam merobek sunyinya malam. Segala sumpah serapah dan cacian
terlontar karena kepanikan hati sang nona manis. Dan Pendekar Mabuk itu semakin
tertawa geli dengan suara ditahan.
***
TIDAK setega itu Pendekar
Mabuk terhadap gadis bersumpit emas. Meninggalkan sendirian di Rumah Busuk
merupakan tindakan yang tergolong keji, karena sama saja menyiksa hati yang
dicekam perasaan takut terhadap hantu-hantu Rumah Busuk.
Tetapi agaknya gadis itu bukan
seorang yang mudah menyerah. Setelah ia dibebaskan totokannya oleh Pendekar
Mabuk, ia kembali menyerang dengan berbagai jurus, ia tetap mencurigai Suto
sebagai komplotan Pawang Jenazah.
Sampai pada kejap berikutnya,
Pendekar Mabuk berhasil menangkap tangan gadis itu yang hendak memukulnya dari
belakang. Tangan itu ditariknya hingga tak sengaja gadis itu telah memeluk
Pendekar Mabuk.
Suto sengaja menjebaknya
begitu, sehingga gadis berkulit putih itu menjadi merah wajahnya karena malu.
Suto Sinting menertawakannya, si gadis bertambah garang. Kemudian ia menyerang
Pendekar Mabuk dengan pukulan bercahaya kuning lagi. Tetapi cahaya kuning itu
memantul balik setelah ditangkis oleh Pendekar Mabuk menggunakan tabung tempat
tuaknya.
Wuttt...!Wess...!
Gadis itu melompat dan
bersalto di udara dua kali. Sinar kuning kembali menembus dinding dan bolonglah
dinding itu tanpa keluarkan debu sedikit pun. Lebar bolongan dinding itu lebih
besar dari lobang dinding yang pertama. Dengan begitu, si gadis terbengong dan
terheran-heran melihat kenyataan di depan mata. Mau tak mau di dalam hati nona
manis itu mengakui kehebatan ilmu yang dimiliki Pendekar Mabuk. Apalagi kala
itu Suto pun berkata,
"Jangan serang aku lagi,
Non! Karena ilmu yang kau serangkan padaku bisa membunuh dirimu sendiri!"
"Apakah kau tak punya
ilmu apa-apa, sehingga sejak tadi kau tidak menyerangku?!" ucapnya dengan
ketus.
"Tidak. Aku memang tidak
punya ilmu apa-apa, tapi dapat membunuhmu dengan mudah kalau kau memaksanya
terus!"
"Bunuhlah!" sentak
gadis itu. "Bunuhlah aku! Itu lebih baik daripada kau biarkan aku tetap
hidup!"
"Hidup itu indah,
Nonal"
"Tidak! Hidup itu tidak
ada indahnya sama sekali bagiku! Lekas, bunuhlah aku! Bunuhlah sekarang
juga!"
Gadis itu menangis, ia duduk
bersandar dinding sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya makin
lama semakin tampak menjadi. Agaknya gadis itu benar-benar menangis, dan bukan
hanya berpura-pura saja. Pendekar Mabuk jadi serba kikuk menghadapi gadis
cantik yang menangis terisak- isak begitu. Tak mengerti Suto harus berbuat
bagaimana meredakan tangis gadis itu.
Yang dapat dilakukan Pendekar
Mabuk hanya menenggak tuaknya sendiri beberapa teguk, kemudian berdiri di pintu
memandang kegelapan, ia tunggu suara tangis itu hingga mereda dan makin lama
menjadi semakin hilang. Setelah itu, Suto mendekat nona manis itu dengan
hati-hati dan tak berani menggodanya lagi.
Ada duka yang tersekap di hati
nona manis itu. Suto tahu duka tersebut sangat menekan batin dan menyiksa jiwa.
Pendekar Mabuk semakin tertarik untuk mengetahui duka yang tampak sangat
menyiksa itu. Karenanya, ia segera lontarkan kata dengan suara pelan dalam
jarak berdiri empat langkah di samping gadis itu,
"Jika ada orang lewat tak
jauh dari rumah ini, ia akan lari terbirit-birit karena menyangka mendengar
suara tangis hantu dari Rumah Busuk ini! Dan menurutku, sebuah tangis tanpa
alasan adalah tangis orang gila. Tapi aku yakin kau pasti punya alasan mengapa
kau menangis sesedih itu, Nona Manis?"
Ucapan itu bagai tak dilayani
oleh si nona manis Ketika Suto tampak makin mendekat, nona manis itu berdiri
dan menjauh. Terdengar Suto bicara bagaikan bicara pada diri sendiri,
"Sungguh bukan maksudku
membawamu ke tempat ini dan bermaksud jahat kepadamu! Yang kutahu, kau terjebak
dalam tandu dari serbuan pasukan mayat itu. Kupikir kau perlu mendapat
pertolongan karena semua pengawalmu mati dibantai oleh pasukan mayat tersebut.
Maka aku pun bertindak menyelamatkan kamu dari ancaman maut pasukan mayat kubur
itu. Di perjalanan, aku kebingungan membawa dirimu yang pingsan. Lalu datang
Perwira Loyang dan segera menyerangku! Ia menghendaki bayi, yang menurutnya ada
pada diriku!"
Gadis itu cepat palingkan
pandang kepada Pendekar Mabuk, dan yang dipandang pun makin tertarik untuk
teruskan penuturannya.
"Aku tidak tahu bayi apa
yang dicarinya! Aku juga heran, mengapa ia menanyakan bayi dan tidak
menyelamatkan kamu jika memang ia adalah orang- orangmu! Lebih heran lagi
melihat Perwira Loyang cepat tinggalkan diriku setelah melihat rombongan Pawang
Jenazah menuju ke arah kita! Lalu, terpaksa pula aku berhadapan dengan Pawang
Jenazah karena ia sangka aku anak buah Laksamana Cho Yung! Bahkan ia ingin agar
aku menyerahkan dirimu untuk dibunuhnya, karena dia tahu kau orangnya Laksamana
Cho Yung. Maka, demi keselamatan jiwamu, aku segera melarikan diri dari hadapan
Pawang Jenazah dan sembunyikan kamu di sini!"
Gadis itu berdiri dengan
pundak bersandar dinding, ia tampak merenung karena sejak tadi yang dipandangi
adalah lantai. Tapi Suto yakin apa yang dibicarakannya itu meresap dalam benak
gadis itu.
Kini Pendekar Mabuk mencoba
untuk lebih mendekat lagi sambil berkata,
"Sampai di sini amanlah
keadaan, tapi bingunglah pikiran. Kau menyerangku, bahkan kau memintaku
membunuhmu! Kau menangis dan tak mau tahu siapa diriku sebenarnya. Sungguh ini
merupakan pengalaman pahit bagiku, menolong orang, justru diserang. Menghindari
serangan, justru diminta untuk membunuh! Sementara itu aku butuh keterangan
darimu, siapa Laksamana Cho Yung itu sebenarnya? Siapa dirimu sendiri
sebenarnya? Siapa bayi yang dimaksud Perwira Loyang itu? Ada masalah apa antara
Laksamana Cho Yung dengan Pawang Jenazah, sehingga kau pun ingin dibunuhnya?!
Jika kau orangnya Cho Yung, lantas mengapa Perwira Loyang tidak mempedulikan
dirimu yang terkapar pingsan tak jauh dariku? Dan... semua itu merupakan
teka-teki yang menuntut jawaban di dalam hati kecilku. Bahkan aku sendiri tidak
tahu siapa namamu, Nona manis!"
Gadis itu menarik napas dan
penuhi rongga dadanya dengan udara. Kejap berikut itu lepaskan napas itu bagai
ingin melegakan sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya, ia lemparkan pandang
matanya kepada Suto beberapa saat lamanya, ia biarkan Pendekar Mabuk pun
menatapnya dalam jarak tiga langkah dari tempatnya berdiri, kemudian ia merasa
ada debaran kuat di dalam hatinya yang memaksa pandang matanya harus dilempar
jauh-jauh, tak berani terlalu lama menatap sorot mata pemuda tampan yang
menyandang bumbung tuak itu.
Kejap lanjutnya lagi,
terdengar suaranya yang bening kecil dan berkesan manja itu ucapkan kata,
"Namaku Bunga
Bernyawa."
Sekalipun hanya pendek saja
ucapan tersebut, namun cukup membuat Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kelegaan.
Bahkan Suto mengulang nama itu dengan perasaan kagum.
"Bunga Bernyawa. Hmmm...
indah sekali nama itu. Tapi aku yakin itu nama julukan saja."
"Ya. Ayahku yang
menjuluki aku dengan nama Bunga Bernyawa!"
"Siapa ayahmu?"
"Kaisar Siauw-ong!"
Terkesiap mata Pendekar Mabuk
mendengarnya. Tertegun pula ia sejenak sambil pandangi gadis yang juga
menatapnya itu.
"Jadi kau putri seorang
kaisar?"
"Benar. Laksamana Cho
Yung adalah panglima laut yang memberontak kepada kaisarnya, yaitu ayahku
sendiri. Agar ia tidak dikejar-kejar oleh tentara ayahku, ia menyandera aku
sebagai jaminan keselamatannya, ia bawa aku berkeliling tanah Jawa
bertahun-tahun lamanya."
Bunga Bernyawa bagai mengenang
masa lalunya sambil melangkahkan kaki menjauhi Suto. Ia sekarang berada di
pintu, memandang ke arah luar sebentar dengan penuh curiga. Tapi kejap
berikutnya ia sudah kembali pandangi Pendekar Mabuk dengan tangan menopang pada
dinding pintu.
"Laksamana Cho Yung bukan
saja menjadikan aku sandera, namun juga sebagai gundiknya! Kapan saja ia
membutuhkan kehangatan tubuhku aku harus siap melayaninya!"
"Mengapa kau tidak
melawannya dengan ilmumu yang kurasa cukup tinggi itu?" tanya Suto sambil
tetap berdiri di tempatnya.
Bunga Bernyawa gelengkan
kepala. "Tidak mudah mengalahkan Laksamana Cho Yung. Dia berilmu tinggi,
hampir setara dengan tingkat ilmu yang dimiliki mendiang kakaknya, yaitu Dewa
Maut, yang sudah lebih dulu dan lebih lama berkelana di tanah Jawa ini! Dulu,
bersama adiknya dan kakaknya yang telah meninggal. Laksamana Cho Yung dikenal
sebagai Thian-San Sam- Sian di negeriku. Artinya, Tiga Dewa dari Gunung Tian-
San. Sejak mereka berpisah, Cho Yung masuk keprajuritan di negeriku, dan diangkat
sebagai laksamana yang bertugas menguasai lautan sebagai panglima tempur laut.
Jika ilmunya tidak tinggi, tentu saja ia tidak diangkat sebagai panglima laut
oleh kaisar."
"Lalu, ia memberontak
kepada pemerintahan kaisar?"
"Ya. Dia bersama beberapa
anak buahnya melarikan diri dari negeriku. Dan akulah perisai ampuh baginya
agar tidak diburu oleh tentara kaisar lainnya, karena jika itu dilakukan maka
ia akan membunuh aku kapan saja. Ayahku sangat kebingungan dan sampai saat ini
tak pernah lagi kudengar bagaimana nasib negeriku."
"Mengapa kau tak coba
melarikan diri? Mengapa kau mau saja jadi gundik dan jadi budak nafsu Laksamana
Cho Yung terus-terusan?"
"Tiga kali aku melarikan
diri tapi selalu berhasil ditangkap kembali. Laksamana Cho Yung mengancam akan
membunuh aku jika sekali lagi aku melarikan diri!"
"Dan kau takut untuk
melarikan diri lagi karena ancaman itu?'
"Bukan ancaman itu yang
membuatku takut, tapi soal lain."
"Soal lain apa?"
desak Suto semakin ingin tahu.
"Soal kakakku."
"Apakah kakakmu juga
dijadikan sandera oleh Laksamana Cho?"
"Memang tidak. Tapi jika
aku tidak mati di tangannya, maka ia mengancam akan kembali ke negeriku dan
menculik si Daun Bernyanyi, kakakku itu. Sedangkan aku tak mau kakakku ikut
jadi korban kekejian Cho Yung. Biarlah aku sendiri yang korban, tapi saudaraku
yang lain jangan."
Saat Bunga Bernyawa berkata
begitu, tampak ada genangan air yang mulai menggenang di matanya. Genangan air
itu membuat hati Pendekar Mabuk tersentuh iba, lalu cepat memaklumi keadaan
Bunga Bernyawa. Suto pun segera mengalihkan percakapan itu,
"Bagaimana dengan bayi
yang dicari oleh Perwira Loyang itu?"
Bunga Bernyawa tarik napas
lagi dalam-dalam, kemudian melangkah mendekati Suto dan bersikap tegap berdiri
di depan Suto dengan kaki sedikit renggang. Seolah-olah begitu mendengar soal
bayi, ia ingin tunjukkan diri di depan Suto bahwa ia perempuan yang tegar dan
tak mau menangis lagi.
"Aku mendapat tugas untuk
mencuri bayi."
"Bayi siapa?"
"Bayi seorang perempuan
bernama Mayang Suri! Cho Yung tugaskan aku mencuri bayi itu dengan berpura-pura
menjadi tabib, karena bayi itu dalam keadaan sedang sakit saat ini. Tapi
setelah kulihat lucunya bayi itu, tampannya wajah bayi itu, aku tak tega melakukan
penipuan terhadap ibu si bayi. Aku tak sampai hati menculik bayi itu!"
Suto kerutkan dahi saat ajukan
tanya, "Untuk apa Laksamana Cho Yung menyuruhmu mencuri bayi?"
"Bayi itu adalah anak
dari Dewa Maut. Dan menurut kepercayaan yang diterima Cho Yung dari seorang
peramal sakti, Dewa Maut adalah lelaki mandul yang tak bisa punya keturunan.
Apabila suatu saat Dewa Maut bisa punya keturunan, maka ia akan mati dan semua
ilmunya pindah ke diri bayi itu. Laksamana Cho Yung ingin memiliki semua ilmu
mendiang kakaknya itu. Menurut keterangan seorang sakti yang ditemuinya, ia
dapat memiliki semua ilmu milik mendiang kakaknya itu dengan cara memakan
jantung dan hati bayi tersebut. Karenanya ia perintahkan aku untuk mencuri bayi
itu dengan mengaku sebagai tabib. Dia akan memakan jantung dan hati bayi itu
untuk menambah kekuatan ilmu yang sudah dimilikinya! Pada dasarnya, Laksamana
Cho Yung tidak rela jika ilmu yang dimiliki mendiang kakaknya jatuh ke tangan
orang lain. Karena ia percaya betul, bocah bayi itu bisa mengalahkan ilmu yang
dimiliki Laksamana Cho Yung, jika usianya sudah mencapai sekitar delapan tahun.
Sekarang bayi itu baru berusia tiga bulan! Ia tinggal bersama ibunya di lereng
gunung."
Terdengar gumam kecil dari
mulut Pendekar Mabuk yang terkatup sejak mendengarkan penjelasan itu. Kemudian
Pendekar Mabuk mengangkat bumbung tuaknya dan meneguk tuak beberapa kali. Saat
itu terdengar Bunga Bernyawa melanjutkah kata-kata,
"Aku tak tega untuk
menculik bayi itu, karenanya aku pulang bersama rombongan. Aku ingin ajukan
alasan lain agar bukan aku yang ditugaskan menculik bayi tersebut. Tapi di
tengah jalan, rombonganku diserang oleh orang-orang berkuda. Aku tertotok dari
jarak jauh dan lumpuh sekujur tubuhku. Namun orang-orang berkuda itu bisa
dibuat lari oleh anak buahku atau orang- orang yang ditugaskan mengawalku itu.
Tapi mereka tak bisa melepaskan totokan yang membuatku lumpuh di dalam tandu.
Sampai suatu saat kami melewati jalan dekat kuburan, dan mayat-mayat itu
bangkit menyerang kami dengan liar. Aku masih bisa melihat pengawalku jatuh
tunggang-langgang tak bernyawa lagi karena serangan mayat-mayat ganas itu.
Tetapi tiba-tiba kepalaku terasa membentur sebuah bambu atau benda keras, yang
membuat aku tak sadarkan diri dan tahu-tahu sudah ada di sini!"
Pendekar Mabuk
manggut-manggut, lalu sunggingkan senyum kecil. Ternyata Bunga Bernyawa pingsan
akibat terbentur gerakan cepat Suto saat menerabas masuk ke dalam tandu. Ujung
bambu tuaknya membentur kepala Bunga Bernyawa dan membuatnya pingsan, namun
membuat totokan itu terbebaskan. Pantas jika Bunga Bernyawa pingsan begitu
lama, karena ia terkena benturan benda keramat yang punya kekuatan gaib dari
bumbung tuak itu.
"Sekarang aku bingung,
tak tahu harus berbuat apa," ujar Bunga Bernyawa seperti bicara pada dirinya
sendiri, ia tundukkan kepala dengan raut wajah sendu.
Katanya lagi, "Kalau aku
harus pulang kepada Laksamana Cho Yung, jelas dia akan marah besar padaku.
Apalagi kau telah melawan Perwira Loyang dan itu akan membuatnya makin marah.
Dia amat cemburu dan tak suka tubuhku disentuh oleh lelaki lain. Bisa jadi aku
pulang kepadanya hanya untuk dipancung leherku karena sudah dianggap perempuan
yang menjijikkan. Jika aku harus pulang ke negeriku, aku tak punya kapal. Jika
aku harus menetap di tanah Jawa, aku tak punya sanak saudara di sini! Jadi,
menurutku ada baiknya jika aku mati saja! Dibunuh orang atau dimakan binatang
hutan yang ganas, itu lebih baik daripada aku harus membunuh diriku
sendiri."
"Masih banyak jalan lain
yang bisa kau tempuh," kata Suto menenangkan hati Bunga Bernyawa.
"Selain kamu, ada aku di sini!"
Bunga Bernyawa alihkan pandang
menatap sorot mata Pendekat Mabuk. Ada kebeningan di mata Pendekar Mabuk itu
yang terasa menyejukkan hati dan membuat debar-debar aneh yang menggelisahkan.
Sekali pun kegelisahan itu menggoda jiwa, namun punya keindahan yang hanya bisa
dirasakan oleh Bunga Bernyawa sendiri. Sukar sekali Bunga Bernyawa hindari
debaran indah itu, sampai akhirnya ia berkata tanpa sadar,
"Aku perempuan yang sudah
kotor. Tak pantas didampingi pria tampan berbudi baik seperti dirimu."
"Aku mendampingi kamu
hanya untuk selamatkan jiwamu!" jawab Pendekar Mabuk sambil mendekati
wajah Bunga Bernyawa. Pelan-pelan kepala Bunga Bernyawa tertunduk, pelan-pelan
juga tangan Suto menyentuh dagu Bunga Bernyawa dan ditengadahkan. Kini mata
mereka kembali saling pandang dengan lembut.
"Aku tahu kau bukan
penjahat," kata Suto pelan sekali. "Aku tahu kau putri seorang kaisar
yang tersesat di tanah Jawa ini. Kau terancam bahaya, baik dari Laksamana Cho
Yung maupun dari Pawang Jenazah. Persoalannya dengan Laksamana Cho Yung sudah
jelas kutahu, tapi persoalan dengan Pawang Jenazah belum kutahu. Mengapa dia
bernafsu sekali untuk membunuhmu atau membunuh Laksamana Cho?"
"Laksamana Cho Yung telah
membunuh istri Pawang Jenazah dan kedua anaknya! Pawang Jenazah menuntut
kematian istri dan anaknya dengan tekad membantai habis semua orang-orangnya
Laksamana Cho Yung. Siapa yang berada di pihak Laksamana Cho Yung, berarti
menjadi lawannya. Dia sangka aku adalah orangnya Laksamana Cho, karena itu dia
berkeras hati untuk bisa membunuh aku juga. Apalagi kulitku putih, mataku
kecil, wajahku serumpun dengan wajah Laksamana Cho Yung. Ia makin benci melihat
wajahku."
"O, ya! Aku paham
sekarang," kata Suto masih dengan lembut seperti orang bicara soal cinta
dari hati ke hati. Lanjutnya lagi, "Sekarang yang belum kupahami,
bagaimana kau bisa siuman dari pingsan lamamu?'
"Seseorang telah
menendangku," jawab Bunga Bernyawa.
"Aku tidak menendangmu
tadi."
"Tapi kurasakan
pinggangku ditendang perlahan dan membuatku kaget, lalu melompat bangun!"
"Aneh," ucap
Pendekar Mabuk dalam desah lembut. "Kuperiksa sekeliling rumah ini tak ada
manusia lain kecuali kita berdua!"
"Bagaimana dengan manusia
berjubah putih tadi?"
Suto makin kerutkan dahi.
"Si jubah putih yang mana?"
"Yang berkelebat keluar
dari kamar ini sebelum kau masuk tadi!"
Terbungkam mulut Suto Sinting.
Bingung ia menjawabnya. Lalu, cepat ia pergi memeriksa seluruh ruangan Rumah
Busuk itu sampai pada bagian luarnya. Tapi tetap saja tak ia temukan manusia
berjubah putih seperti yang dilihat Bunga Bernyawa saat baru siuman tadi.
"Bunga, aku tak temukan
siapa pun di sini! Tak ada manusia berjubah putih seperti yang kau katakan
tadi!" kata Pendekar Mabuk setelah kembali ke kamar bersih itu.
Bunga Bernyawa sendiri jadi
kerutkan dahi dan merasa heran, ia mulai melirik penuh kecemasan dan ketegangan
batin.
"Kurasa arwah tokoh sakti
yang pernah menempati rumah ini bermaksud menolongku. Dia pasti arwah tokoh
beraliran putih!' kata Bunga Bernyawa dalam hatinya. Suto buru-buru berkata
alihkan pikiran Bunga Bernyawa agar tak merasa takut.
"Kau masih ingat jalan
menuju rumah bayi itu?"
"Masih. Apa
maksudmu?"
"Kita ungsikan bayi itu
bersama ibunya! Kita sembunyikan mereka sebelum orang-orangnya Laksamana Cho
Yung lebih dulu menculik sang bayi!"
"Itu berarti kau akan
berurusan dengan Laksamana Cho Yung!"
"Lebih baik aku berurusan
dengan Laksamana Cho Yung daripada membiarkan bayi itu mati dibunuh pikiran
sesat, dan daripada aku biarkan kau dipancung oleh manusia keji itu!" kata
Suto yang membuat hati Bunga Bernyawa menjadi kian berdebar indah. Tapi ia pandai
menutupi perasaannya itu.
"Jika kau punya tekad
begitu, aku akan bawa kau kepada Mayang Suri dan bayinya! kata Bunga Bernyawa.
"Baiklah. Itu kita
lakukan besok saja. Malam ini kau harus beristirahat. Tidurlah dengan nyenyak
dan aku akan menj agamu!"
Bunga Bernyawa sunggingkan
senyum manisnya. Jantung Suto menjadi berdetak kencang. Resah menjerat jiwa
saat Bunga Bernyawa ucapkan kata,
"Sayang sekali tak
selamanya kau mau menjaga hatiku. O, ya... siapa namamu, Pendekar tampan?"
"Suto...!"
"Oh, nama sederhana yang
mudah diingat namun juga mudah dilupakan. Aku tak tahu harus pilih yang mana,
mengingat atau melupakan?"
"Kusarankan untuk memilih
melupakan saja! Biar hatimu tidak gelisah seperti malam ini!"
Semburat merah wajah cantik
itu. Seperti pencuri yang ketahuan sedang sembunyikan barang curiannya di balik
baju. Bunga Bernyawa malu karena Pendekar Mabuk mengetahui kegelisahannya, tapi
ia bersikap tetap sembunyi rasa.
Esoknya mereka terbangun
kaget. Pertama-tama Suto yang terkejut, karena ia sadar bahwa dirinya telah
tertidur dalam keadaan duduk bersandar dinding. Kedua ia terkejut karena
melihat keadaan kamar seperti hutan belukar.
Kamar yang bersih dan terang
tanpa benda apa pun kecuali tikar dan pelita, ternyata pagi itu sudah berubah
menjadi kamar yang dipenuhi oleh rumput liar. Kotor dan lembab seperti halnya
kamar-kamar lain di Rumah Busuk itu. Dan di situ, bau busuk masih samar-samar
menjadi satu dengan bau tanah lembab pada lantainya.
"Bunga, bangun!"
sentak Suto sengaja keras dan membuat gadis yang tidur di rerumputan itu
terlonjak kaget, ia cepat bangkit dengan memainkan jurus sekejap.
Setelah mengetahui dirinya
berada di tengah rimbun ilalang, Bunga Bernyawa mulai kendurkan kuda- kudanya,
ia menjadi kebingungan sendiri melihat kamar sudah berubah menjadi hutan
belukar. Hanya ada sinar kecil dari atap yang bocor. Sinar itu adalah sinar
matahari yang menerobos masuk ke dalam kamar berdinding lumut.
"Suto, mengapa keadaan
kamar menjadi seperti ini?"
"Entahlah! Aku sendiri
sejak tadi sedang pikirkan jawabannya."
"Jika begitu, semalam
kita sudah berada di dalam kamar misterius, Suto! Kamar itu seakan disediakan
untuk bermalam kita dan hanya satu malam, tak boleh lebih dari satu
malam."
"Siapa yang menyediakan
kamar sebersih tadi malam untuk kita. Rumah Busuk ini sudah tidak berpenghuni
puluhan tahun lamanya. Keluarga Sanjaya Laga sudah terbantai habis oleh
musuhnya."
"Mungkinkah orang
berjubah putih yang menyiapkan kamar bersih itu untuk kita?"
"Seandainya benar dia,
lantas siapa dia dan di mana dia sekarang?"
Bunga Bernyawa angkat bahu
tanda tak bisa menjawab. Tapi ia katakan pula, "Roh penghuni rumah ini
melihat ketulusan hatimu dalam menolongku, maka ia membantu kamu dengan
memberikan tumpangan di kamar ini!"
"Aku tak yakin. Tapi...
sudahlah, lupakan soal kamar ini! Ayo kita lekas tinggalkan rumah ini dan pergi
ke rumah Mayang Suri!"
* * *
5
ORANG berambut kepang satu
panjang itu mengenakan topi persegi khas topi perwira pasukan Cina. Orang itu
berkumis hitam, melengkung ke bawah bagai ingin memagari bibirnya. Jenggotnya
pendek dan tipis. Usianya sekitar lima puluh tahun. Pakaiannya dari bahan
sejenis satin berkilap warna biru muda dengan celana putih. Baju birunya itu
berlengan panjang dengan lis merah mengkilap juga. Baju itu dirangkap dengan
jubah tanpa lengan warna merah darah berhias sulaman benang emas bergambar naga
bersayap.
Siapa lagi orang berwajah keji
dan berkesan galak itu jika bukan Laksamana Cho Yung, raja di atas kapal
bertiang layar tiga itu. Matanya yang sipit itu memandang tajam kepada dua
orang di hadapannya yang tundukan kepala dengan rasa takut dan hormat. Kedua
orang itu adalah Perwira Loyang dan Jowala, si baju kuning yang saat bertemu
dengan Suto tak mau turun dari punggung kuda.
"Memalukan sekali!
Seorang perwira kapal semegah ini tak becus mengalahkan bocah ingusan seperti
itu! Percuma kuangkat kau sebagai perwira di sini, tahu?!"
Plokk... !
Wajah lonjong bermata cekung
itu hampir terlempar jauh karena tamparan kuat dari tangan Laksamana Cho Yung.
Perwira Loyang kembali tundukkan kepala dengan menahan rasa panas pada pipinya.
"Lalu bagaimana dengan
Bunga Bernyawa?!" sentak Laksamana Cho Yung dalam nada tanya.
Perwira Loyang menjawab,
"Bunga Bernyawa terkapar pingsan, Tuan Laksamana!"
"Mengapa tak kau bawa
pulang perempuan itu?"
Agak menggeragap Perwira
Loyang menjawab, "Hmm... eh... anu... saya pikir, tugas saya hanya membawa
pulang bayi Mayang Suri, bukan membawa pulang Nona Bunga Bernyawa, Tuan
Laksamana!"
"Bodoh amat kau ini,
hah?!"
Plokk... !
Kembali tamparan keras
diterima Perwira Loyang pada pipi yang sama. Wajah kempotnya terasa mau lepas
dari kepala. Perwira Loyang hanya kedip-kedipkan mata menahan rasa sakit di
wajahnya. Jowala melirik sebentar, lalu tak berani melirik lagi karena Perwira Loyang
juga meliriknya dengan rasa geram.
"Jadi Bunga Bernyawa
bersama pemuda itu?"
"Betul, Tuan
Laksamana!"
"Apa yang dilakukan
pemuda itu terhadap Bunga?"
"Saya tidak tahu, Tuan
Laksamana!"
Plokk... !
"Bodoh kau! Seharusnya
kau tahu, apakah pemuda itu menyentuh tubuh Bunga Bernyawa, atau dipeluknya,
atau diciuminya atau bahkan diajak tidur!"
"Disentuhnya, saya lihat,
Tuan Laksamana!"
"Dan kau diam
saja?!"
"Saya... saya... saya
menanyakan bayi itu lalu..."
Plokk... !
Pipi yang sama yang mendapat
tamparan keras. Perwira Loyang sampai merasakan sesak napas tua-nya. Wajahnya
terasa dibakar dengan nyala api yang sangat panas. Tapi lagi-lagi yang bisa
dilakukannya hanya tunduk kepala dan tak berani menatap mata Laksamana Cho Yung
yang berbadan agak gemuk itu.
"Dengar, Perwira
Loyang...!" kata Laksamana Cho Yung menahan rasa panas di dadanya akibat
cemburu mendengar Bunga Bernyawa disentuh-sentuh oleh lelaki lain. Lalu,
lanjutnya dalam suara geram yang tegas,
"Kuperintahkan padamu,
curi bayi itu dari Mayang Suri, lenyapkan Bunga Bernyawa, dan bunuh pemuda itu!
Penggal kepalanya lalu bawa kemari kepala bocah ingusanitu! Mengerti?!"
"Mengerti, Tuan
Laksamana!"
"Jika kau pulang tanpa
membawa bayi Mayang Suri dan kepala anak muda itu, kuperintahkan agar kau menggantung
dirimu sendiri di depan kapalku ini! Jelas?!"
"Jelas, Tuan
Laksamana?!"
"Bawa beberapa orang
untuk berjaga-jaga jika kalian kepergok Pawang Jenazah, habisi mereka sekalian!
Jangan sisakan satu pun!"
"Baik, Tuan
Laksamana!"
"Jalan!"
Plokkk... !
Satu tamparan sebagai ucapan
selamat jalan diterima oleh Perwira Loyang. Tamparan keras itu juga sebagai
ucapan selamat berjuang dan tunaikan tugas. Setiap kali akhir perintahnya,
laksamana selalu memberikan tamparan keras kepada orang-orangnya. Karena itu,
Perwira Loyang menganggap tamparan tersebut adalah belaian kasih sayang seorang
atasan kepada bawahannya.
Mungkinkah hal itu membuat
Jowala merasa iri? Tidak. Jowala tidak merasa iri. Baginya, lebih baik ia tidak
mendapat belaian kasih sayang dari Laksamana Cho Yung, ketimbang harus tebal
wajahnya karena sering dipakai bahan tamparan si orang bertangan besar itu.
Lebih baik tak perlu mendapat ucapan selamat jalan atau selamat berjuang,
daripada giginya rontok lagi seperti tempo hari, Ketika Jowala mendapat ucapan
selamat jalan dari sang laksamana.
Tugas mencuri bayi sekarang
ada di tangan Perwira Loyang. Hanya orang-orang terpilih dan dipercaya yang
mendapat tugas penting seperti itu, sehingga walaupun kulit pipinya memar
merah, tapi Perwira Loyang merasa bangga dalam hatinya karena dipercaya
mengemban tugas penting itu.
Ia membawa sepuluh orang
berkuda. Tapi yang terpilih akhirnya hanya tiga orang termasuk Jowala sendiri,
sisanya ditinggalkan karena kurang bisa menunggang kuda. Mereka melaju
menyusuri pantai menuju kaki bukit di mana ada desa yang menjadi tempat tinggal
bayi anak mendiang Dewa Maut itu.
Empat orang berkuda itu
tiba-tiba menghentikan langkah kuda masing-masing ketika dilihatnya dari arah
depan muncul lima orang berkuda. Lima orang itu adalah anak buah Pawang Jenazah
yang memisahkan diri sejak Pawang Jenazah menemui Suto dan Bunga Bernyawa yang
pingsan hari kemarin.
"Jowala, kau hadapi
kelima orang itu bersama Rompa dan Gandra!"
"Itu soal mudah, Perwira
Loyang! Asal jangan ada Pawang Jenazah!"
"O, jadi kau takut kepada
Pawang Jenazah?"
"Bukan takut, tapi jijik!
Aku tak bisa menyentuh kulit orang yang hidupnya bergaul akrab dengan
mayat-mayat hidup itu! Jijik sekali!"
"Sudah jangan banyak
dalih! Hadapi mereka dan habisi sekarang juga!" bentak Perwira Loyang
dengan galak, ia memang selalu tampil galak jika di belakang Laksamana Cho
Yung. Tapi jika ada di depan Laksamana Cho Yung, kegalakannya itu bagai lenyap
tanpa bekas.
Sengaja Perwira Loyang mencari
tempat teduh. Semilir angin dinikmatinya dengan santai sekali. Sementara
matanya sesekali memandang ke arah kira- kira sepuluh tombak lebih, di mana
terjadi pertarungan antara ketiga anak buahnya melawan lima orang anak buah
Pawang Jenazah. Sesekali Perwira Loyang melepaskan tawa terkekeh-kekeh melihat
lawannya dibuat berjungkir balik oleh Jowala atau Rompa.
Pedang dan golok anak buah
Perwira Loyang berkelebat cepat dan memenggal beberapa kepala lawan. Yang sudah
terlihat jelas menggelinding adalah dua kepala lawan. Kepala itu terpental saat
dipenggal oleh pedang Gadra, menggelinding bagaikan bola dan berhenti tak jauh
dari tempat Perwira Loyang yang tetap berada di atas punggung kuda.
"He he he he...! Kalau
saja Pawang Jenazah melihat kepala itu, pasti dia akan lari terkencing-kencing
menghindari seranganku! Dia belum pernah melihat kalau aku dan anak buahku
sudah mengamuk, gunung pun tak mampu membendung amukan kami!" kata Perwira
Loyang, bicara sendiri seperti orang gila.
"Ah, sayang sekali
pedangku tak sempat kuambil! Pedang itu masih tertancap di pohon ketika aku
menyerang anak muda itu! Brengsek! Siapa anak muda itu sebenarnya? Gatal
tanganku ingin segera melawannya."
Derap kaki kuda mendekati
Perwira Loyang. Tiga anak buahnya telah merampungkan tugas dengan cepat. Kelima
orangnya Pawang Jenazah telah tak bernyawa semua.
****
"Perwira Loyang, keadaan
sudah aman!"
"Mati semua?"
"Mati semua,
Perwira!"
"Bagus! Mari kita
lanjutkan langkah kita!"
"Arah mana yang lebih
dulu kita tuju, Perwira?" tanya Gadra.
"Desa Karang Tunda! Kita
curi bayi si Mayang Suri itu!" jawab Perwira Loyang. Jowala menyahut.
"Mengapa kita tidak cari
pemuda yang membawa lari Nona Bunga Bernyawa dulu?'
"Kita tak tahu tempatnya
secara pasti, Jowala!"
"Tapi Nona Bunga harus
cepat diselamatkan dari tangan pemuda itu, sebelum pemuda itu sempat meniduri
Nona Bunga, Perwira!"
"Kurasa hari ini pemuda
itu sudah berhasil tiduri Nona Bunga!"
"Ya. Tapi mungkin baru
satu atau dua kali!"
"Ah, lupakan dulu soal Bunga
Bernyawa!" kata Perwira Loyang.
"Lebih baik kita pusatkan
perhatian kita pada Desa Karang Tunda. Soal perempuan itu, soal kecil. Toh kita
ditugaskan membunuh perempuan itu jika ketemu!"
"Justru itu sebelum kita
bunuh kita manfaatkan dulu untuk menikmati kehangatan tubuhnya," kata
Jowala. "Sudah lama aku sering mengincarnya, aku sangat berselera padanya.
Tapi aku tak berani berbuat apa-apa karena dia masih jadi gundiknya Laksamana
Cho Yung! Sekarang dia sudah seperti dibuang oleh laksamana. Rasa-rasanya
sangat bodoh jika aku tak manfaatkan kesempatan emas ini untuk melampiaskan
impianku selama ini, Perwira! Tidakkah kau sendiri punya gairah untuk menikmati
kehangatan dan keindahan tubuh Nona Bunga, Perwira?"
"Aku sudah tak pernah
punya gairah lagi kepada perempuan!"
"Ha ha ha ha...!"
tawa Jowala yang segera diikuti oleh tawa Gadra dan Rompa.
Tapi tiba-tiba tawa Rompa
terhenti dengan satu sentakan suara tertahan.
"Huhhg...!"
Tubuh Rompa segera limbung dan
jatuh terjungkal dari atas kuda. Cepat-cepat semua temannya memandang
sekeliling, karena mereka melihat sekelebat pisau melayang dan menancap di dada
kiri Rompa, tepat di bagian j antungnya.
Mereka sudah berada di hutan,
sehingga mereka segera menyusuri tiap pohon yang ada di sekelilingnya. Mereka
juga pandangi bagian atas pohon untuk mencari penyerang gelap. Tapi sampai
beberapa lama mereka tidak temukan di mana letak persembunyian penyerang gelap
itu.
"Bangsat...! Keluar
kau!" teriak Perwira Loyang dengan mata galaknya mulai menjadi liar dan
buas. Gadra memeriksa mayat Rompa dan segera berkata,
"Rompa mati,
Perwira!"
Plokk... !
Tangan Perwira Loyang menampar
keras mulut Gadra hingga orang itu mengerang kesakitan. Dengan geram Perwira
Loyang ucapkan kata,
"Jangan anggap aku orang
bodoh, tahu?! Tanpa kau katakan begitu, aku sudah tahu kalau Rompa mati! Yang
penting bukan mencari nyawa Rompa, tapi cari penyerang gelapnya!'
Gadra segera melesat pergi
untuk mencari penyerang gelap, ia menerabas tiap semak-belukar untuk
membuktikan kepada Perwira Loyang bahwa ia telah melakukan tugas mencari
penyerang gelap itu. Jowala sendiri juga melesat pergi berpencar, mencari ke
arah lain. Kini tinggal Perwira Loyang sendirian di dekat kuda-kuda yang mereka
tambatkan secara asal-asalan itu.
"Di mana orang itu
kira-kira?" pikir Perwira Loyang, "Tak mungkin pisau itu melayang
sendiri tanpa ada yang melemparkannya! Hmm... sepi sekali hutan ini! Suara
binatang pun tak kudengar sejak tadi. Jangan-jangan hutan ini angker?!"
Sambil berkata begitu bulu
kuduk Perwira Loyang berdiri. Matanya jelalatan ke mana-mana dengan tegang.
Gerakannya lebih sering merapat dekat kudanya. Di tengah sepinya suasana hutan
itu, tiba-tiba terdengar suara jerit yang menggema,
"Aaaa...!"
Hati Perwira Loyang tersentak
kaget. Jerit itu berasal dari tempat perginya Gadra. Perwira Loyang bergumam
lirih,
"Suara Gadra itu tadi!
Ada apa dengan dia?"
Kemudian, Perwira Loyang
serukan suaranya, "Gadra...?! Ada apa di sana?! Kau baik-baik saja,
bukan?!"
Tak ada jawaban yang
terdengar. Sepi tetap sunyi, dan hati Perwira Loyang menjadi makin jengkel
karena waswas, ia menggerutu sendiri dengan suara lepas.
"Dasar orang bisu!"
Tanpa senjata apa pun, Perwira
Loyang masih bersiap menunggu lawan di tempat. Badannya memutar ke sana- sini,
takut ada serangan mendadak dari penyerang gelap, ia sempat melirik mayat
Rompa, lalu timbul gagasan untuk mencabut pisau ukuran sejengkal dari dada
mayat Rompa. Pisau itu akan digunakan untuk melempar atau menyerang siapa pun
yang tahu-tahu menyerangnya dari belakang.
Sunyinya hutan kembali dirobek
oleh suara jeritan yang memanjang.
"Aaaa...!"
Dalam hati Perwira Loyang
berkata dalam keluh. "Wah, itu suara Jowala! Apakah dia dalam bahaya? Oh,
sebaiknya aku segera mencari
Jowala ke arah kiri sana!"
Baru saja Perwira Loyang mau
bergerak pergi tinggalkan tempat, tiba-tiba terdengar suara, krosak...! Ia
berpaling ke belakang. Pisau hampir saja dilemparkan. Ternyata Gadra yang
keluar dari rimbunan semak di sebelah kanannya itu. Gadra berdiri dengan mata
memandang Perwira Loyang, membuat yang dipandang berseru membentak,
"Mengapa kupanggil tak
menyahut, hah?! Sudah tuli dan bisukah kamu, Gadra?!"
Gadra diam saja. Perwira
Loyang makin jengkel tak mendapat jawaban dari anak buahnya, ia segera
menghampiri anak buahnya itu dan ditamparnya keras- keras. Plokkk... !
"Lain kali kau harus
jawab setiap seruanku, mengerti?!"
Tiba-tiba tubuh Gadra meliuk
dan rubuh ke depan. Brukk... !
"Hah...?!" Perwira
Loyang terbelalak kaget. Ternyata di punggung Gadra telah menancap sebuah pisau
yang lebih besar dari pisau yang menancap di dada Rompa itu. Pisau yang
bergagang besar wama hitam itu menancap hampir habis. Tinggal sisa sedikit
bagian tajamnya yang terlihat di punggung Gadra.
"Jahanam! Rupanya anak
ini telah mati sejak tadi!" geram Perwira Loyang dengan rasa sesal akibat
tamparannya tadi, dan rasa jengkel akibat tindakan seseorang yang telah
menewaskan Gadra.
Tubuh Gadra yang tengkurap
dengan kepala miring, wajahnya tampak pucat dan matanya mendelik itu, akhirnya
hanya dilangkahi oleh Perwira Loyang. Karena kejap berikutnya ia melihat Jowala
muncul dari balik pohon, tempatnya pergi tadi.
Jowala hanya berdiri dengan
mata memandang Gadra tak berkedip, ia berdiri tak bergerak, sehingga Perwira
Loyang semakin tegang dan cemas. Hatinya membatin,
"Yaah... mati juga Jowala
akhirnya !"
Perwira Loyang menghampiri
Jowala dan dengan hati sedih ia berkata di depan orang itu,
"Siapa yang membunuhmu?
Katakan! Akan kubalaskan supaya arwahmu tidak penasaran di alam baka sana,
Jowala! Siapa yang membunuhmu?"
"Tidak ada,
Perwira!" jawab Jowala dengan datar dan lemas.
Perwira Loyang kerutkan dahi,
lalu cepat meraih pundak Jowala dan memutar tubuh orang itu. Ia periksa bagian
punggungnya, ternyata tak ada pisau menancap seperti tubuh Gadra tadi. Maka,
Perwira Loyang bertanya tanpa sadar,
"Tak ada pisau di
punggungmu? Kapan kau mencabutnya?!"
"Aku tak tertancap pisau
seperti Gadra, Perwira! Tapi aku berhasil membelah dada orang itu!"
"Orang itu siapa? Seperti
apa ciri-cirinya? Kau mengenalnya?'
Jowala menjawab, "Siapa
lagi jika bukan anak buahnya Pawang Jenazah, Perwira!"
Dan tiba-tiba dari arah
belakang Perwira Loyang, dari tempat munculnya mayat Gadra tadi, muncul pula
seorang bersenjata cangkul kecil. Orang itu segera melemparkan cangkulnya dalam
gerakan berputar. Sambil melepaskan cangkulnya, ia juga melepaskan pukulan tenaga
dalam dari tangan kirinya berupa sinar hijau melesat cepat.
"Awas!" seru Jowala
seketika itu, tangannya segera singkirkan Perwira Loyang hingga orang itu jatuh
ke samping. Jowala cepat kibaskan pedang besarnya untuk menangkis cangkul yang
membahayakan itu.
Trakk... !
Zrubb...!
"Aahg...!"
Sinar hijau itu menghantam
dada Jowala sekalipun ia berhasil menyingkirkan cangkul kecil itu. Sinar hijau
membuat dada Jowala membiru seketika. Tapi pada saat itu, Jowala sempat
kibaskan tangan kanannya dalam gerakan memutar dari belakang ke depan, dan
pedang besarnya itu melesat cepat ke arah Cangkul Lahat.
Jrubb... !
"Nghh...!" Cangkul
Lahat tak mampu berteriak. Pedang besar itu menancap di perutnya. Hampir separo
bagian yang terbenam di perut. Dan hal itu membuat Cangkul Lahat tak sanggup
berdiri lebih lama lagi. Ia pun rubuh dengan bersimbah darah dan mata tak
berkedip walau sudah tak bernyawa seujung kuku pun.
"Jowala! Lain kali kau
tak boleh singkirkan aku begitu saja! Kau harus... harus...!" Perwira
Loyang tak melanjutkan kata, karena ia melihat dada Jowala makin membiru, dan
Jowala mendelik tak bergerak. Setelah diperiksa, ternyata ia telah mati dalam
keadaan berdiri.
"Jowala...? " gumam
Perwira Loyang pelan, penuh sesal dan kesedihan, ia tepuk-tepuk pipi orang itu.
Jowala tetap tak mau bernapas lagi. Bahkan tepukan pelan itu membuat tubuh tak
bernyawa itu jatuh berdebam seperti jatuhnya tubuh mayat Gadra tadi.
"Bangsat! Habis sudah
anak buahku!" geram Perwira Loyang dengan darah makin mendidih dan murka siap
terlepaskan. Tapi ia tak punya sasaran untuk melepaskan murkanya, sehingga
hanya napasnya yang terengah- engah melawan nafsu amarahnya sendiri.
Tetapi, tiba-tiba ia melihat
mayat Rompa pelan-pelan bangkit berdiri dengan mata membelalak putih. Mayat itu
pun kini menjadi tegak. Perwira Loyang merasa lega, ternyata ada satu anak
buahnya yang masih bisa diharapkan bantuannya.
"Rompa...! Oh, syukurlah
kalau kau masih hidup!" Perwira Loyang mendekati Rompa. Tapi tiba-tiba
tangan Rompa bergerak mencakar wajah lonjong berkumis turun itu. Crass...!
"Edan!" pekik
Perwira Loyang. Untung ia cepat kibaskan tangan untuk menangkis cakaran tangan
Rompa yang tiba-tiba, sehingga kulit lengannya koyak sedikit terkena cakaran
itu.
"Gggrrr...!" Rompa
menyeringai, menampakkan giginya dengan mengeluarkan suara geram keganasan.
Matanya yang putih terasa lebih mengerikan dalam keadaan melangkah pelan,
setindak demi setindak.
Mendadak, Perwira Loyang
dikejutkan kembali dengan bangkitnya mayat Gadra. Pelan gerakannya, putih
matanya, menyeringai, dan mengeluarkan geram dengan tangan sedikit terangkat,
siap menerkam dan mencakar lawannya.
"Pasti ini pekerjaan si
Pawang Jenazah! Bangkai busuk dia itu!"
Disusul kemudian bangkitnya
mayat Jowala yang sama seramnya dan sama ganasnya dengan mayat Rompa dan
Gandra. Kini, Perwira Loyang telah dikepung oleh mayat temannya sendiri. Ia
menjadi tegang dan kebingungan menghadapinya.
***6
MAYANG Suri perempuan yang
lugu, anak seorang kepala desa yang sudah almarhum. Dia merupakan anak bungsu
dari tiga bersaudara. Dia perempuan yang punya ilmu, namun tak terlalu tinggi.
Dia perempuan cantik berkulit hitam manis. Banyak pemuda desa yang terpikat
oleh kecantikannya, tapi hanya bertepuk sebelah tangan.
Ketika desa itu diserang oleh
perampok-perampok dari kulon, muncul seorang penolong yang sudah cukup banyak
usianya tapi masih kelihatan awet muda. Penolong itu adalah Dewa Maut. Dalam
pengelanaannya itulah, Dewa Maut terpikat oleh Mayang Suri, lalu mereka saling
jatuh cinta dan menikah. Tapi hanya tiga bulan pernikahan itu berlangsung.
Ketika benih dalam kandungan Mayang Suri berubah menjadi janin, Dewa Maut pun
mati dibunuh oleh seorang musuh lamanya. Pada saat benih itu berubah menjadi
janin, saat itulah hilang semua ilmu yang dimiliki oleh Dewa Maut.
Di sebuah rumah warisan
orangtuanya, Mayang Suri tinggal bersama bayinya, juga tinggal bersama istri
kakaknya yang belum mempunyai keturunan itu. Sekalipun Mayang Suri hidup
sebagai janda, tapi kecantikannya masih mengundang selera banyak lelaki. Tak
jarang Mayang Suri harus menghindari niat lelaki yang bermaksud mendekati dan
mempersuntingnya.
Karena itu, kedatangan
Pendekar Mabuk ke rumah Mayang Suri sempat dicurigai sebagai pria yang ingin
memperistri Mayang Suri. Kedatangan Suto itu jadi bahan perhatian para tetangga
dan jadi bahan kasak- kusuk di antara mereka.
Kedatangan Suto bersama Bunga
Bernyawa disambut oleh Sulasih, istri dari kakaknya Mayang Suri. Sulasih masih
muda, sebaya dengan Mayang Suri. Sulasih tak berkedip saat pertama menerima
kedatangan Suto. Matanya memandang kagum terhadap ketampanan dan daya tarik
yang terpancar dari mata Pendekar Mabuk itu.
Dalam hatinya, Sulasih
membantin, "Kalau Mayang Suri menolak lamaran pemuda tampan ini, sungguh
bodoh otaknya! Dalam kurun waktu sepuluh tahun lagi, belum tentu Mayang bisa
bertemu dengan pemuda setampan tamu yang satu ini! Dia sangat menawan dan
mendebarkan hati. Kalau saja aku belum bersuami, tak menolak jika aku dilamar
oleh pemuda ini! Oh, sungguh beruntung Mayang Suri bisa mendapatkan pemuda
tampan sebagai pengganti suaminya. Jujur saja hatiku mengatakan, pemuda ini
jauh lebih gagah, lebih tampan dan lebih mendebarkan hati dibanding Dewa Maut,
bekas suami Mayang itu!"
Bunga Bernyawa merasa tak enak
melihat Pendekar Mabuk dipandangi terus-menerus oleh Sulasih. Maka, dengan
sedikit ketus Bunga Bernyawa segera ajukan pertanyaan kepada Sulasih,
"Kami ingin bertemu
dengan Mayang Suri! Jika dia ada tolong panggilkan, jika tidak ada tolong
sebutkan kemana perginya!"
"Oh, hmmm... ya, ada!
Mayang Suri ada di belakang. Dia sedang menyusui anaknya! Sebentar, saya
panggilkan dia!" kata Sulasih, tapi matanya tidak memandang Bunga
Bernyawa, melainkan menatap ke arah Suto Sinting, ia pun bergegas pergi dengan
perasaan sayang meninggalkan Suto di serambi depan.
Sesampai di kamar Mayang Suri,
Sulasih segera menceritakan ketampanan Pendekar Mabuk dengan sangat berapi-api
dan tertawa-tawa penuh riang, ia katakan,
"Tak rugi kau bersuamikan
dia! Sudahlah, lekas temui pemuda itu. Dia datang bersama tabib yang kemarin
hari datang ingin mengobati bayimu itu!"
"Tabib...?! Tabib cantik
itu? Ah, aku curiga sama tabib itu!" kata Mayang Suri dengan dahi
berkerut.
"Mengapa curiga?"
"Adakah seorang tabib
secantik itu?"
"Dia tabib dari negeri
Cina, tempat asal bekas suamimu itu!"
"Sekalipun dari negeri
Cina, tapi aku sangsi dan curiga dengan tabib itu. Caranya memandangku, caranya
memandangi bayiku ini, sepertinya dia punya maksud- maksud lain yang
tersembunyi di balik kebaikannya! Perasaanku jadi tak enak."
"Kalau begitu, lupakanlah
tentang tabib itu, curahkan perhatianmu pada pemuda tampan itu! Dia bukan hanya
tampan, tapi kelihatannya berilmu tinggi juga, Mayang! Kuharap kau tidak
menolaknya jika ia ingin melamarmu sebagal istrinya!"
"Ah, kau ini!"
Mayang Suri menjadi tersipu malu sendiri. Tapi hatinya jadi berdebar-debar
kendati ia belum melihat setampan apakah pemuda yang diceritakan kakak iparnya
itu.
Dengan mengenakan baju kebaya
panjang warna hijau tua dan kain coklat muda, angkin warna kuning, Mayang Suri
menemui tamunya di serambi depan. Seperti apa kata Sulasih, pemuda itu memang
tampan menurut penilaian Mayang Suri. Tampan dan punya daya tarik yang
menggetarkan hati. Lebih tampan dan lebih menarik dari bekas suaminya.
Tapi seperti apa kata Sulasih
juga, pemuda itu datang bersama tabib cantik yang kemarin ingin membawa anaknya
untuk diobati. Mayang Suri cemas saat matanya beradu pandang dengan Bunga
Bernyawa, ia juga sedikit heran, mengapa sekarang tabib cantik itu datang tanpa
diusung dengan tandu kehormatan?
"Mayang, aku datang lagi
bersama... bersama seorang temanku ini yang bernama Suto, Pendekar Mabuk!"
kata Bunga bernyawa.
"Anakku sudah sembuh.
Panasnya sudah turun. Kurasa tak perlu seorang tabib lagi!" kata Mayang
Suri sambil menggendong bayinya.
"Kedatangan kami bukan
untuk melakukan pengobatan," kata Suto, "Kami datang untuk menolongmu
dan bayi itu, Mayang Suri."
"Kami tidak butuh
pertolongan kalian! Jadi sebaiknya kalian segera tinggalkan aku dan bayiku ini!
Jangan ganggu kami lagi."
Bunga Bernyawa segera
menyahut, "Ini demi keselamatanmu dan keselamatan bayimu, Mayang
Suri!"
"Hmm... aku... aku merasa
dalam keadaan baik-baik saja! Bayiku juga baik-baik saja! Tak ada yang perlu
kalian perbuat untuk kami!"
"Kamu belum tahu yang
sebenarnya. Bayimu dalam ancaman bahaya, Mayang Suri! Kami harus selamatkan
bayimu!" kata Bunga Bernyawa lagi.
"Terima kasih! Tapi aku
merasa masih mampu menyelamatkan bayiku!"
Suto segera menyahut dengan
suara lembut, "Ada bahaya yang mengancam bayimu. Bahaya itu tidak kau
ketahui datangnya, tapi aku dan Bunga Bernyawa tahu persis, bahwa bahaya itu
mengancam keselamatan bayimu, Mayang Suri. Jadi, sebaiknya ikutlah kami pergi,
tinggalkan rumah ini untuk bersembunyi di tempat yang aman untuk bayimu!"
Mayang Suri berdiri dan mundur
mendekati pintu arah dalam, "Tidak! Aku tak mau pergi bersama kalian! Aku
tak mau serahkan bayi ini!"
"Mayang Suri,
percayalah...!" Pendekar Mabuk berdiri dan maju setindak. "Percayalah
padaku, aku tidak akan mencelakai bayimu sedikit pun!"
"Tidak! Sebaiknya
tinggalkan saja kami, dan kalian tak perlu datang lagi kemari!"
Dari arah luar halaman rumah
itu terdengar seseorang berseru,
"Mayang...! Ada
apa...?!"
Lelaki berpakaian biru tua itu
bergegas mendekati Mayang Suri. Sulasih pun muncul dari dalam dengan perasaan
heran melihat ketegangan tersebut. Lelaki yang menyandang golok di pinggang,
berwajah kaku, keras, rambut ikal badan besar itu segera ajukan tanya kepada
Pendekar Mabuk dengan sikap tidak bersahabat,
"Siapa kau? Mau apa
datang kemari?"
"Aku Suto, dan itu
temanku, Bunga Bernyawa dari negeri Cina!"
"Apa perlumu kemari?
Katakan!" bentak lelaki berbaju biru yang ternyata adalah kakak Mayang
Suri bernama Wicaksono, suami Sulasih.
"Jangan kasar-kasar,
Kang," bisik Sulasih dan terdengar di telinga Pendekar Mabuk.
"Kamu tak perlu ikut
bicara!" kata Wicaksono kepada istrinya.
"Kulihat dia punya
gelagat tak baik terhadap Mayang Suri!"
Mayang Suri segera berkata,
"Mereka ingin membawa bayiku, Kang!"
"Apa...?! Ingin membawa
bayimu?! Apa mereka pikir kita ini orang gila?! Seenaknya saja mau bawa pergi
bayi ini?! Tidak! Aku tidak izinkan bayimu dibawa pergi oleh siapa pun!"
Suto berkata dengan sabar,
"Bayi itu akan dicuri orang! Percayalah! Cepat atau lambat, akan ada orang
datang mencuri bayi itu!"
"Kalianlah
pencurinya!" bentak Wicaksono dengan mata melotot kepada Pendekar Mabuk.
Sesekali memandang ke Bunga Bernyawa.
Bunga Bernyawa berkata dengan
nada tersinggung, "Jangan menuduh kami begitu! Itu namanya kamu pancing
bentrokan dengan kami!"
"Kalian yang memancing
bentrokan! Kalian yang mencari-cari masalah!" sambil Wicaksono menuding-
nuding Suto dan Bunga.
Bunga Bernyawa mulai panas
hati melihat sikap Wicaksono. Suto tahu, Bunga Bernyawa menggeletakkan giginya
dan ingin melepaskan pukulan kepada Wicaksono, tapi Pendekar Mabuk menggeleng
kecil tak kentara. Hanya Bunga Bernyawa yang tahu gerakan geleng kepala yang
berarti larangan untuk berbuat kasar.
"Keluar kalian dari
rumahku ini! Keluar!" bentak Wicaksono semakin berani, ia bahkan
mendorong- dorong Pendekar Mabuk, sehingga Pendekar Mabuk terdesak mundur.
"Jangan paksa aku
bertindak kasar terhadap kalian! Keluar sana!" tambah Wicaksono. Mayang
Suri dan Sulasih hanya pandangi tindakan Wicaksono dengan hati berdebar-debar.
"Kang Wicaksono, jangan
kasar begitu terhadap tamu!" Sulasih akhirnya coba mengingatkan suaminya.
Tapi sang suami tambah berang karena mulai ada unsur kecemburuan melihat sikap
istrinya seperti membela Suto yang tampan itu.
"Terhadap tamu macam dia
tak perlu kita bersikap sopan! Kalau kau mau ikut dia, keluarlah juga
sana!"
"Bukan begitu,
Kang!" Sulasih mulai takut.
"Wicaksono," kata
Pendekar Mabuk kemudian. "Izinkan aku menjelaskan duduk perkaranya masalah
bayi itu!"
"Aku tidak butuh
penjelasan muslihatmu, Setan! Hiih...!"
Behgg... !
Pendekar Mabuk terpental
keluar dari serambi dan jatuh di halaman karena pukulan telapak tangan
Wicaksono. Pukulan itu menghentak kuat ke dada Suto dengan secara tiba-tiba.
Tak sempat Suto menghindar dan menangkisnya, karena tidak menyangka Wicaksono
akan melepaskan pukulan sekeras itu. Akibatnya, Pendekar Mabuk bagai terlempar
dengan tubuh terbang, ia jatuh terduduk di pelataran.
Wicaksono segera mengejar
dengan bernafsu untuk menghajar tamunya. Tapi Bunga Bernyawa segera melompat
dan bersalto satu kali. Dalam kejap berikut ia sudah berada di arah kanan
Wicaksono yang mau melepaskan tendangan ke arah Pendekar Mabuk. Bunga Bernyawa
cepat berseru,
"Jangan sekali lagi
sentuh dia, Wicaksono!"
Berpaling cepat Wicaksono
kepada Bunga Bernyawa. Wajahnya menampakkan geram kemarahan yang tertahan.
Dengan garang ia berkata,
"Kalau kalian tak mau aku
bertindak kasar, cepatlah pergi dari rumahku ini! Sekarang juga, pergi
kalian!"
Pendekar Mabuk bangkit dan
tarik napas dalam- dalam untuk menahan kesabaran di dalam hatinya. Lalu, ia
berkata,
"Kau akan menyesal jika
tak mau turuti saran kami. Wicaksono!"
"Persetan dengan saranmu!
Hiaaat...!"
Wicaksono melepaskan pukulan
jarak jauhnya walau sebenarnya jarak mereka hanya empat langkah. Tetapi sebelum
tangannya berkelebat maju dalam satu sentakan, tubuh Bunga Bernyawa sudah lebih
cepat bergerak menyerang. Satu lompatan ringan bertenaga berat dilakukan oleh
Bunga Bernyawa. Tendangan kaki dalam lompatan itu tepat mengenai lengan
Wicaksono. Tapi karena tendangan itu bertenaga berat maka tubuh Wicaksono pun
terhempas ke samping dan terguling- guling.
Bukk...! Brukkk...!
Wicaksono semakin garang, ia
cepat bangkit dan memandang angker kepada Bunga Bernyawa. Nona manis itu hanya
sunggingkan senyum sinis dengan wajah angkuhnya, ia berdiri sigap dan siap
menghadapi serangan dari Wicaksono. Sementara itu, Pendekar Mabuk tak mau
mencegah Bunga Bernyawa, karena menurutnya Wicaksono memang perlu diberi
pelajaran sedikit dari Bunga Bernyawa. Tak perlu dirinya sendiri yang turun
tangan. Cukup Bunga Bernyawa saja sudah bisa bikin Wicaksono jera. Suto yakin,
Wicaksono tak bisa mengungguli ilmu Bunga Bernyawa.
Buktinya, ketika Wicaksono
melepaskan pukulan tenaga dalamnya dari jarak sepuluh langkah, Bunga Bernyawa
juga melepaskan pukulan jarak jauhnya sebagai tandingan pukulan Wicaksono.
"Heaaah...!" Bunga
Bernyawa bertahan dalam posisi berdiri tegak dan kakinya sedikit merenggang,
tangannya yang satu di depan dada keluarkan tenaga hingga sedikit bergetar.
Sementara itu Wicaksono menggunakan kedua telapak tangannya untuk bertahan
melawan tenaga jarak jauh yang terasa ingin mendorong tubuhnya dengan kuat.
Tiba-tiba Wicaksono menyentak
pendek kedua tangannya itu.
"Hiaat...!"
Wuttt...!
Bunga Bernyawa nyaris
terpelanting jika tak segera melepaskan pertahanannya dan ia melenting di udara
sambil bersalto satu kali. Jika Bunga Bernyawa masih mempertahankan sikapnya
maka ia akan terdorong keras ke belakang dan mungkin tubuhnya akan membentur
tembok halaman yang berjarak lima langkah di belakangnya itu.
Suto sedikit terkejut melihat
kekuatan Wicaksono. "Rupanya dia punya isi cukup lumayan!" pikir
Pendekar Mabuk. "Dilihat dari sentakan tangannya yang pendek saja tapi
bisa membuat Bunga Bernyawa hampir terpental, itu tandanya Wicaksono tak boleh
dianggap ringan oleh Bunga Bernyawa. Kalau Bunga Bernyawa meremehkannya,
Wicaksono bisa melukainya!"
Rupanya Bunga Bernyawa pun
membatin demikian. Karena itu, Bunga Bernyawa mulai tak mau menganggap remeh
Wicaksono dan lebih berhati-hati lagi.
"Jangan paksakan diri
melawanku jika ilmumu baru seujung rambut, Nona! Kau bisa kubunuh dalam waktu
sekejap!" seru Wicaksono.
"Majulah kalau memang kau
mampu membunuhku!" tantang Bunga Bernyawa.
"Kurang ajar!
Hiaaat...!"
Wicaksono berlari menyerang,
Bunga Bernyawa pun berlari maju menyambut serangan lawan. Mereka sama- sama
lompat dan melesat di udara. Keduanya saling adu pukulan dengan menggunakan
kedua telapak tangan mereka.
Blapp...! Benturan telapak
tangan mereka timbulkan nyala api putih berpendar sekejap. Kemudian, Bunga
Bernyawa terpental ke belakang dan Wicaksono pun demikian. Bunga Bernyawa
bersalto balik dan mampu mendarat dengan tepat, sedangkan Wicaksono terlempar
dengan hilang keseimbangan badan, ia jatuh membentur sebuah pohon dengan kerasnya,
hingga dedaunan pohon berguncang dan sebagian ada yang rontok.
"Aaahg...!"
Wicaksono sentakkan napas dan keluar darah dari mulutnya.
"Kaaang...!" seru
Sulasih dengan tegang, ia segera lari mendapatkan suaminya dan menolongnya
untuk berdiri. Wicaksono sontakkan darah kembali dari mulutnya. Wajahnya
menjadi pucat pasi. Mayang Suri juga cemas. Sambil menggendong bayinya ia
bergegas mendekati kakaknya.
Sementara itu Bunga Bernyawa
dipandangi Pendekar Mabuk dengan tajam, seakan menerima teguran keras dari Suto.
Bahkan ketika Suto mendekat terdengar suaranya berbisik,
"Terlalu lepas kendali
kau!"
"Aku jengkel sekali
padanya!"
Terdengar Mayang Suri berseru
dari tempat kakaknya yang lemas itu,
"Kalian harus bertanggung
jawab atas luka dalam Wicaksono!"
Pendekar Mabuk bergegas
hampiri Mayang Suri. "Suruh minum tuak ini sedikit, luka dalamnya akan
sembuh! Percayalah! Ini bukan racun!"
Bunga Bernyawa tambahkan kata,
"Kalau kami bermaksud jahat, mudah sekali membunuh kakakmu sekarang juga.
Tak perlu Suto kasih minum tuak untuk obat luka dalam itu!"
Wicaksono terpaksa meneguk
sedikit tuak bumbung Pendekar Mabuk, karena ia tak tahan lagi merasakan panas
di dalam dada dan perutnya yang seperti dibakar oleh semburan api lahar. Dan
setelah ia teguk sedikit tuak itu, ia merasakan ada perubahan yang melegakan.
Rasa panas seperti semburan api lahar itu menjadi dingin. Sekujur tubuhnya
justru merasa segar dalam waktu yang amat singkat.
Suto segera berkata di depan
Mayang Suri dan Wicaksono yang masih didampingi Sulasih,
"Maafkan kami. Jika
maksud baik kami dianggap jahat, kami akan pergi secepatnya. Tapi perlu kalian
ketahui, bayi itu diincar oleh orang sesat bernama Laksamana Cho Yung. Dia
adalah adik dari Dewa Maut!"
"Itu nama almarhum
suamiku!" sahut Mayang Suri. "Benar. Aku tahu hal itu. Tapi kau tak
tahu kalau bayimu telah menjadi bayi sakti, karena semua ilmu Dewa Maut ada di
dalam diri bayi itu. Dalam usia delapan tahun bayi itu bisa menumbangkan orang
berilmu tinggi seperti Laksamana Cho Yung. Karena itu, Laksamana Cho Yung
mengincar bayimu, dia ingin memiliki semua ilmu mendiang kakaknya, dan dia tak
rela jika ilmu itu jatuh ke tangan orang lain, sekalipun ke tangan keponakannya
sendiri!"
"Dengan cara apa dia mau
mengambil ilmu yang sudah menitis di dalam bayi itu?l" kata Wicaksono
mulai mau mengerti keadaan sebenarnya, dan oleh Bunga Bernyawa dijawab,
"Bayi itu akan diambil
hati dan jantungnya untuk dimakan Laksamana Cho Yung. Dengan begitu, semua ilmu
milik Dewa Maut telah menyatu di dalam diri Laksamana Cho Yung."
"Jadi bayiku akan
dibunuhnya untuk diambil jantung dan hatinya?" Mayang Suri menjadi tegang.
"Kalau kau tak percaya,
tunggulah beberapa waktu lagi, pasti akan datang utusan dari Laksamana Cho Yung
untuk mengambil bayimu, entah secara tipu muslihat atau secara paksa!"
kata Suto, kemudian Bunga Bernyawa tambahkan kata,
"Utusan pertama adalah
aku! Ingat, kemarin aku datang dengan menyamar sebagai tabib. Tapi hatiku tak
tega melihat bayi itu harus kuserahkan kepada Laksamana Cho Yung. Maka
kubatalkan niatku walau untuk itu aku harus pertaruhkan nyawaku sebagai
gantinya!"
Pendekar Mabuk tambahkan kata
juga, "Lalu, kami sepakat untuk menyelamatkan bayi itu dengan membawanya
lari dari rumah ini! Bukan hanya bayi itu yang harus lari dan bersembunyi, tapi
tentunya bersama ibunya juga. Bila perlu seluruh penghuni rumah ini mengungsi
dulu untuk sementara! Aku akan tangani sendiri kekejian Laksamana Cho Yung
itu!" ,
"Mengungsilah demi
keselamatan kalian, toh hanya sementara! Jika keadaan sudah aman kembali,
kalian bisa tinggal di rumah ini lagi!" sahut Bunga Bernyawa. Suto pun
kembali berkata,
"Tapi jika kalian menolak
uluran tangan kami, kami tak keberatan untuk tinggalkan kalian sekarang
juga!"
Mayang Suri dan Wicaksono
saling pandang dalam kebimbangan.
***7
RUPANYA nama Laksamana Cho
Yung sudah bukan nama asing lagi bagi telinga Wicaksono. Ia tahu, Laksamana Cho
Yung sedang berurusan dengan Pawang Jenazah karena telah membunuh anak dan
istri Pawang Jenazah. Wicaksono juga tahu, Laksamana Cho Yung orang berilmu
tinggi yang sudah cukup lama berkelana di tanah Jawa tanpa tujuan yang jelas.
Tapi Wicaksono tidak tahu bahwa Laksamana Cho Yung ternyata adik dari Dewa
Maut, bekas iparnya itu.
Mendengar penjelasan dari
Bunga Bernyawa dan Pendekar Mabuk, Wicaksono pun akhirnya putuskan untuk
menyerang Laksamana Cho Yung. Mayang Suri disarankan untuk melarikan bayinya,
bersembunyi di suatu tempat dalam penjagaan Suto dan Bunga Bernyawa.
Tempat persembunyian sudah
disepakati. Mayang Suri mempunyai kakek Eyang Juru Taman, yang tinggal di
sebuah pegunungan bernama Pegunungan Mahagiri. Eyang Juru Taman adalah adik
dari kakek Mayang Suri. Menurut Wicaksono, tempat yang paling aman untuk sembunyikan
bayi itu adalah di Pegunungan Mahagiri, karena tempat itu cukup jauh dari
pantai, jauh dari jangkauan orang-orang rimba persilatan. Bahkan Sulasih pun
disarankan untuk ikut mengungsi ke Pegunungan Mahagiri.
"Sebaiknya kau tak perlu
temui Laksamana Cho Yung. Dia berilmu tinggi dan sangat mudah mencabut nyawa
orang. Dia merasa dirinya seperti dewa, sehingga segala tindakannya dianggapnya
benar!" kata Bunga Bernyawa kepada Wicaksono. Tapi Wicaksono tak pernah
gentar dan takut dengan kekuatan manusia mana pun juga. Wicaksono beranggapan,
jika Laksamana Cho tidak segera dilenyapkan maka bayi Mayang Suri tetap akan
menjadi incaran maut terus-menerus.
"Aku dengar kabar ada dua
orang kuat di pihak Laksamana Cho, yaitu Perwira Loyang dan si Ular Setan!
Hanya dua orang itu yang tergolong kuat, sisanya hanya cecunguk biasa yang
hanya dengan dua-tiga jurus mudah ditumbangkan!" kata Wicaksono. "Dan
aku sudah ukur kekuatan Perwira Loyang serta si Ular Setan! Aku merasa mampu
menumbangkan mereka berdua! Bahkan untuk tumbangkan Laksamana Cho Yung, aku
punya jurus simpanan tersendiri! Jadi kalian tidak perlu cemaskan diriku! Pergi
dan bersembunyilah sebelum mereka menjamah bayi itu!"
Bayi itu akan menjadi orang
sakti menurut pemikiran Wicaksono. Jika sampai bayi itu mati, Mayang Suri tak
punya kekuatan apa pun dimasa tuanya nanti. Wicaksono berpikir sampai ke situ,
sehingga dengan penuh semangat ia harus bisa membunuh Laksamana Cho Yung.
Sebenarnya Wicaksono mempunyai
tiga sahabat baik yang sering bantu membantu dalam beberapa hal. Mereka juga
orang-orang berilmu tinggi. Tetapi dalam masalah ini, Wicaksono tidak mau
melibatkan ketiga temannya itu. ia merasa mampu bergerak sendiri untuk tandingi
Laksamana Cho Yung. Seandainya dia harus mati, dia cukup bangga bisa mati demi
membela nyawa keponakannya. Wicaksono sangat sayang kepada bayi Mayang Suri
itu, karena sekian lama ia menikah dengan Sulasih tapi belum dikaruniai
keturunan. Jadi bayi Mayang Suri itu sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri
yang harus dibela dengan selembar nyawanya.
Wicaksono segera gunakan aji
'Bayu Gegana', yaitu ilmu yang bisa membuatnya bergerak secepat angin.
Sasarannya adalah Pantai Gelagah, karena Wicaksono pernah melihat kapal besar
bersandar di sana. Kapal itu mempunyai hiasan pada haluannya, yaitu seekor naga
bermahkota. Menurut dugaan Wicaksono, kapal itu pasti milik Laksamana Cho Yung,
karena punya ciri budaya Cina. Kapal itulah yang jadi sasaran utama Wicaksono.
Dan dengan menggunakan aji 'Bayu Gegana' ia dapat menempuh waktu setengah hari
untuk mencapai Pantai Gelagah.
Tetapi baru mencapai separo
perjalanan, tiba-tiba ia terhenti karena melihat seorang penunggang kuda melaju
ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Dalam sekelebat pandang, Wicaksono dapat
mengenali si penunggang kuda yang mengenakan pakaian biru berompi putih. Tak
salah lagi dugaan Wicaksono, bahwa orang itu adalah Perwira Loyang. Dulu
Wicaksono pernah bertemu dengan Perwira Loyang dalam bentrokan kecil di sebuah
kedai. Tetapi Perwira Loyang tidak mau melayani tantangan Wicaksono, karena ia
punya urusan penting yang harus diselesaikan.
"Barangkali aku harus
mengawali dari sini," kata Wicaksono dalam hatinya. "Perwira Loyang
harus kubunuh, selagi ia sendirian! Tapi, mengapa ia pacu kudanya begitu cepat?
ia seperti dikejar setan yang membuatnya ketakutan. Hmmm... siapa orang yang
mengejarnya itu? Tak tampak ada kuda di belakangnya!"
Perwira Loyang memang sedang
melarikan diri. Kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri, ia akan habis
dirajang oleh mayat teman-temannya sendiri. Mengalahkan mayat-mayat yang
dibangkitkan dengan ilmu pembangkit mayat bukan hal yang mudah. Sebab
mayat-mayat itu tak bisa dibunuh begitu saja. Satu- satunya cara terbaik adalah
meloloskan diri dari serangan para mayat tersebut. Dan Perwira Loyang berhasil
meloloskan diri, hingga walaupun sudah jauh dari maut ia masih memacu kudanya
dengan kecepatan tinggi.
Tetapi kuda itu tiba-tiba
meringkik dan melonjak ke depan. Kedua kakinya diangkat naik dan mengais-ngais
udara. Perwira Loyang hampir saja terlonjak dan terjungkal ke belakang kalau
tidak kuat-kuat memegang tali kekang kudanya.
"Ada apa ini?! Mengapa
kudaku jadi seperti ketakutan?!" pikir Perwira Loyang. Kuda itu melonjak-
lonjak terus sambil meringkik panjang. Seakan kuda tersebut tak mau bergerak maju
dan ingin menghindari sesuatu. Bahkan sesekali sang kuda melompat ke sana
kemari tanpa tujuan, bagai orang yang menahan rasa sakit akibat terbakar api
pantatnya.
Perwira Loyang segera
mengendalikan amukan kuda, ia berusaha mengatasi gerakan kuda yang menjadi liar
itu dengan tetap bertahan duduk di pelananya.
"Hhrrr... hiah hiah
hiah...! Ckckck...! Ck ck ck...!"
"Iiieeehhkkk...!"
Kuda makin meringkik keras dan
panjang, ia melompat-lompat liar. Sentakannya sangat keras, sehingga Perwira
Loyang hilang keseimbangan dan jatuh terjungkal dari atas punggung kuda.
Brukk..! Sedangkan sang kuda segera lari tinggalkan Perwira Loyang, melaju
cepat ke tempat asal kedatangannya.
"Monyet Kudis!"
geram Perwira Loyang sambil bangkit dan membersihkan tanah yang melekat di
pakaiannya. "Kenapa kuda itu lari terbirit-birit? Apakah di depan sana ada
pasukan mayat yang dikendalikan oleh ilmunya si Pawang Jenazah?!"
Perwira Loyang tak tahu, bahwa
di balik semak- belukar tak jauh dari depannya itu, Wicaksono bersembunyi
rapat-rapat dan ingin mencelakakan lawannya. Wicaksono menggunakan sebatang
ilalang yang direntangkan, lalu ditiup bagian tepian ilalang itu. Tiupan
tersebut menimbulkan suara yang tak bisa tertangkap oleh pendengaran manusia,
namun cukup jelas diterima pendengaran hewan.
Tiupan itu menghadirkan suara
melengking tinggi bagi kuda dan menusuk-nusuk gendang telinga hingga kuda
tersebut merasa kesakitan. Itulah sebabnya kuda tunggangan Perwira Loyang
berjingkrak-jingkrak dengan liar, karena ia memberontak tak mau maju lebih ke
depan lagi. Telinganya terasa sakit sekali jika semakin mendekati rimbunan
semak di depannya.
Wicaksono tersenyum melihat
kuda itu lari terbirit- birit. Bahkan beberapa burung yang ada di pepohonan
sekitarnya juga beterbangan dan merasa sakit mendengar bunyi yang tak
tertangkap telinga manusia itu. Wicaksono merasa menang dalam satu jurus, walau
ilmu meniup tepian ilalang itu tidak membutuhkan tenaga dalam sedikit pun,
kecuali hanya pengetahuan tentang getaran suara. Salah tiup pun tak akan
hasilkan suara aneh bagi para binatang.
Perwira Loyang baru saja ingin
melangkah tapi tiba- tiba ia mendengar suara gemuruh dari samping. Suara
gemuruh itu membuat Perwira Loyang berpaling memandang, dan begitu mengetahui
apa yang terjadi, ia segera melentingkan tubuh, melayang di udara dan bersalto
ke belakang satu kali. Kakinya baru saja menapak di tanah namun sudah harus
dljejakkan lagi, dan bersalto lagi ke belakang dengan gesit.
Brukkk...!
Sebuah pohon berbatang lurus,
besar dan tinggi, tiba- tiba roboh melintang di depan Perwira Loyang. Kalau
saja Perwira Loyang tidak cepat melentingkan tubuh ke udara dan bersalto dua
kali, pasti tubuhnya akan gepeng tergencet batang pohon besar itu.
"Monyet Miskin!"
seru Perwira Loyang dengan marahnya. "Siapa yang berani mengganggu
perjalananku, hah?! Keluar dan tampakkan batang hidungmu!"
Kejap berikutnya, Perwira
Loyang curiga pada rimbunan semak di seberang pohon tumbang itu. Maka dengan
cepat ia sentakkan tangannya dan terlepaslah pukulan tenaga dalam bersinar
putih melesat cepat menghantam rimbunan semak itu.
Wuttt...! Crasss...!
Brusss...!
Rimbunan semak itu terbakar
dalam sekejap. Nyala apinya cepat padam dan kepulan asapnya cepat hilang. Tapi
rimbunan semak itu menjadi hangus berdebu hitam tanpa ada ilalang yang tumbuh
lagi.
Pada saat sebelum sinar putih
menghantam rimbunan semak, terlebih dulu sesosok tubuh melesat tinggi dan
bersalto ke arah samping pohon tumbang. Wutt...! Tubuh itu tahu-tahu bertengger
di atas akar pohon yang terdongkel keluar dari tanahnya. Dan orang yang baru
muncul itu segera memperdengarkan tawanya. Walau tak terbahak-bahak, namun
memanjang dan berkesan menantang.
"Monyet Rabun! Rupanya
kau yang mengganggu perjalananku?!" geram Perwira Loyang yang sudah
mengenal Wicaksono. Ia segera teringat pertentangan dengan Wicaksono di dalam
kedai beberapa waktu yang silam.
"Apa maksudmu mengganggu
perjalananku, Wicaksono?! Apakah kau ingin melanjutkan persoalan di kedai
beberapa waktu yang lalu?!"
"Ada persoalan lain yang
perlu kuselesaikan!" kata
Wicaksono dengan tetap
bertolak pinggang. "Sebelumnya aku ingin tahu, ke mana arah tujuan
pergimu, Perwira Loyang?!"
"Kepergianku tidak punya
urusan denganmu, Wicaksono!"
"Mungkin aku bisa bantu
kamu jika tahu arah dan tujuanmu! Seperti kau ketahui, aku tak segan-segan
turun tangan membantu kesulitan orang jika ada upahnya!"
Perwira Loyang diam berpikir,
"Kalau memang dia mengharapkan upah, tak ada jeleknya jika dia kusuruh
membantuku dalam melakukan tugas dari laksamana. Aku sudah kehilangan anak
buah. Aku perlu orang yang bisa menolongku, terutama untuk menghadapi Pawang
Jenazah, sementara aku menculik bayi Mayang Suri. Aku butuh perisai untuk
menahan gerakan Pawang Jenazah, setidaknya menghambat serangannya yang
diarahkan kepadaku! Dan agaknya, Wicaksono punya ilmu lumayan tinggi,
bisakujadikan perisai sementara!"
"Tua Pikun...! Mengapa
diam saja?!" seru Wicaksono.
"Berapa upah yang harus
kubayarkan kepadamu, Wicaksono?!"
"Tergantung apa tugas
yang harus kulakukan? Itulah sebabnya, sebutkan ke mana tujuanmu dan apa tugas
yang ingin kau lakukan?"
"Aku ingin pergi ke rumah
perempuan bernama Mayang Suri untuk mencuri bayinya! Kau kenal nama Mayang
Suri?!"
Wicaksono mendidih darahnya
seketika itu. Tapi ia berusaha untuk menahan luapan amarahnya untuk sesaat.
Tangannya yang telah menggenggam kuat-kuat itu kembali dikendurkan. Lalu,
dengan suara keras dan datar, Wicaksono berseru,
"Aku sangat kenal dengan
nama itu dan tahu persis di mana diatinggal!"
"Bagus! Lalu, berapa upah
yang kau minta?"
"Hanya sekeping
nyawa!" jawab Wicaksono.
"Nyawa siapa?"
Perwira Loyang kerutkan dahi.
"Nyawa siapa lagi kalau
bukan nyawamu, Perwira Loyang!" geram Wicaksono, dan jawaban itu membuat
Perwira Loyang terkesiap. Karena Perwira Loyang belum tahu bahwa Wicaksono
adalah kakak dari Mayang Suri, maka ia merasa sangat heran mendengar jawaban
tersebut.
"Apa maksudmu bicara
begitu, Wicaksono!"
"Karena untuk mencuri
bayi Mayang Suri, kau harus bisa melangkahi dulu mayatku!"
"Oh, rupanya Mayang Suri
itu kekasihmu?!"
"Aku kakaknya! Aku paman
dari bayi itu!"
"Heh heh heh
heh...!" Perwira Loyang tertawa, merasa geli sendiri. Bagimana mungkin dia
mengajak Wicaksono kerja sama untuk mencuri bayi Mayang Suri jika ternyata
Wicaksono adalah kakak dari Mayang Suri alias paman dari bayi itu sendiri?
Perwira Loyang menertawakan kebodohannya sendiri.
"Kalau begitu," kata
Perwira Loyang, "Kaulah orang pertama yang harus kusingkirkan,
Wicaksono!"
"Bukan aku orang pertama
yang harus kau singkirkan, tapi akulah orang pertama yang akan singkirkan
nyawamu dari raga! Hiaaat...!"
Wicaksono melepaskan serangan
lebih dulu. Ia hantamkan pukulan jarak jauhnya dari atas batang pohon tumbang
itu dengan satu sentakkan tangan kanannya yang berkelebat dari atas kepala ke
depan.
Begggh...! Pukulan tanpa sinar
itu tepat mengenai dada Perwira Loyang. Orang itu terjungkal ke belakang bagai
semangka yang dilemparkan begitu saja. Sementara itu, Wicaksono terus mencecar
dengan sentakkan tangan yang melepaskan pukulan tenaga dalamnya. Perwira Loyang
berulang kali gagal untuk bangkit dan balas menyerang, ia terguling-guling
bagai bola yang dipermainkan anak kecil.
"Hiaaah...!" dalam
kejap berikut, Perwira Loyang berhasil sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya
melenting di udara, bersalto satu kali dan hinggap di tempat kosong, bebas dari
incaran Wicaksono.
"Wicaksono! Rupanya kau
memang cari mampus dan perlu kulenyapkan sebelum kucuri keponakanmu itu!"
"Kau tak akan bisa temui
keponakanku! Dia sudah berada di tempat yang aman! Kau tak akan bisa mencari
Pegunungan Mahagiri, bahkan mencapai ke sana pun tak akan bisa, sebab Bunga
Bernyawa dan Suto Sinting menjaga ketat bayi itu! Kau tak akan bisa kalahkan
kedua penjaga tersebut, Perwira Loyang!"
"Bunga
Bernyawa...?!" gumam Perwira Loyang. "Ternyata dia justru melindungi
bayi itu! Keparat betul
perempuan cantik itu!"
Wusss...! Tiba-tiba Wicaksono
melepaskan jurus mautnya dari telapak kaki yang ditendangkan ke depan. Jurus
maut itu berupa cahaya merah membara sebesar tampah yang melesat menghantam
Perwira Loyang. Tetapi, Perwira Loyang hanya terkesiap sejenak, lalu cepat
menghindarkan diri dan membuat cahaya merah besar itu menghantam pohon di
belakang Perwira Loyang.
Dubb...! Wesss...!
Ternyata sinar merah besar itu
tidak menghancurkan pohon tersebut, melainkan membalik mengejar Perwira Loyang,
ia sempat menggeragap sebentar melihat sinar merah itu memantul balik ke
arahnya. Maka, dengan cepat ia sentakkan dua jarinya ke depan, dan dari dua
jari itu melesat sinar biru bagaikan tombak panjang. Sinar biru itu menghantam
laju kecepatan terbang sinar merah besar itu. Blarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi akibat
benturan kedua sinar tersebut. Dua pohon rubuh seketika karena terhantam
gelombang ledakan itu. Sementara tubuh Perwira Loyang masih tegar berdiri dan
tubuh Wicaksono terlempar tiga tombak jauhnya dari tempat ia berdiri semula.
Melihat lawannya jatuh
terguling-guling, Perwira Loyang segera berseru, "Sekarang saatnya
menghabisimu, Wicaksono! Hiaah...!"
Clappp... !
Kedua tangan Perwira Loyang
menyilang di dada lalu ditarik ke kanan-kiri bersamaan. Keluarlah sinar biru
bagai meteor yang melesat dari mata kanannya. Sinar itu bergerak cepat dan
menghantam tubuh Wicaksono yang baru saja bergegas untuk bangkit berdiri.
Blarrr...!
Sinar biru dari mata yang
mirip meteor jatuh itu menghantam telak tubuh Wicaksono, dan dalam seketika itu
juga tubuh Wicaksono retak dari batas pertengahan kepala sampai ke bawah
perutnya. Tubuh itu bagaikan ingin terbelah menjadi dua bagian. Seluruh isi
perutnya tersembur keluar, dan Wicaksono pun menghembuskan napas terakhir dalam
keadaan terkapar di tanah.
Tubuh mayat Wicaksono sangat
mengerikan dilihat orang. Bahkan Perwira Loyang sendiri buru-buru palingkan
wajah tak kuat pandangi tubuh yang terbelah itu. Ia segera tarik napas dan
menahan rasa ingin muntah melihat isi perut Wicaksono berhamburan. Perwira
Loyang merasa malu jika sampai dilihat orang dirinya muntah akibat jurus
mautnya mengenai lawan.
"Aku harus cepat pergi ke
Pegunungan Mahagiri! Ya. Seingatku tadi Wicaksono sebutkan Pegunungan Mahagiri
sebagai tempat persembunyian Mayang Suri dan bayinya! Persetan dengan Bunga
Bernyawa dan Suto, kuhajar habis mereka kalau menghalangiku, biar nasibnya
seperti Wicaksono!"
Perwira Loyang bicara sendiri
sambil tinggalkan tempat itu. Ia tak tahu ada orang yang mendengar kata-
katanya tersebut. Orang itu berkerudung jubah hitam dari atas kepala sampai
kaki. Orang itu berwajah putih, tampan, dan membawa senjata El Maut, berupa
tongkat berujung sabit panjang.
Kelebatan orang berjubah hitam
sempat tertangkap oleh ekor mata Perwira Loyang. Karenanya Perwira Loyang cepat
palingkan pandang ke arah kirinya. Di sana tadi ia seperti melihat kelebatan
hitam. Tapi tiba- tiba dari sebelah kanannya muncul orang berpakaian hitam
pula, bajunya tak berlengan, sabuknya merah, kepalanya gundul, tapi alisnya
tebal. Siapa lagi kalau bukan si Pawang Jenazah yang rupanya sejak tadi sudah
memperhatikan pertarungan Perwira Loyang dengan Wicaksono. Pada saat Pawang
Jenazah tiba di tempat pertarungan, keadaan Perwira Loyang sedang kebingungan
menghadapi sinar merah dari Wicaksono tadi. Dari situlah Pawang Jenazah
mengikuti pertarungan itu. Jadi ia tak sempat mengikuti tawar-tawaran upah
antara Wicaksono dengan Perwira Loyang, sehingga Pawang Jenazah tak tahu bahwa
Wicaksono adalah kakak dari Mayang Suri.
Melihat kemunculan Pawang
Jenazah, mata Perwira Loyang segera melirik kanan-kiri dan sekelilingnya. Ia
takut tahu-tahu disergap pasukan mayat dari berbagai arah. Gerak mata takutnya
itu ditertawakan oleh Pawang Jenazah.
"Ha ha ha ha...! Kali ini
aku sengaja menghadangmu sendirian, Perwira Loyang! Tak perlu takut dengan
pasukan mayatku! Belum saatnya aku kerahkan pasukan mayat untuk melawanmu!
Karena membunuhmu tak perlu kerahkan pasukan mayat! Membunuhmu cukup dengan
membalikkan tanganku sudah selesai! Aku sudah tak berminat mempermainkan
nyalimu seperti di sana! Aku akan mencabut nyawamu sekarang juga."
"Ha ha ha ha...!"
"Tutup bacotmu, Setan
Kubur!" bentak Perwira Loyang. "Apa kau ingin menerima nasib seperti
Wicaksono, lawanku itu?!"
"Oh, mengerikan sekali!
Aku takut! Hiii...!" Pawang Jenazah mengejek sambil tertawa.
Tapi tiba-tiba Perwira Loyang
melepaskan pukulan jurus lain yang melesat dari punggung kedua telapak tangannya.
Sinar hijau pendar-pendar berkelebat ke arah Pawang Jenazah. Wuttt...!
Tetapi Pawang Jenazah segera
kibaskan tangannya dengan lemas. Dari kuku-kuku tangannya memancar asap
bagaikan kabut putih menggumpal. Dan kabut itu menjadi perisai dirinya dari
serangan sinar hijau. Kabut itu membungkus sepasang sinar hijau tepat di depan mata
Pawang Jenazah.
Rupanya ia tahu apa yang akan
terjadi, sehingga ia cepat sentakkan kaki dan melesat menjauhi gumpalan kabut
itu. Kejap berikut terdengar letupan kecil bagai teredam gumpalan asap
tersebut.
Blabbb... !
Rupanya sinar hijau itu pecah
bersamaan, dan asap putih pun menyebar buyar, lalu hilang terbawa angin.
Sementara itu, Perwira Loyang terbengong kecewa karena serangannya mudah
dibekap dengan gumpalan kabut putih.
Pada saat ia terbengong
itulah, Pawang Jenazah melepaskan satu pukulan mautnya ke arah Perwira Loyang.
Pukulan itu keluar dari tangan kanannya, berupa gelombang bercahaya merah
melingkar-lingkar membungkus tubuh Perwira Loyang.
Zrrrub...!
"Aaagh...!" Perwira
Loyang mengejang tubuhnya dan menggerinjal-gerinjal kelojotan. Ia bagai
dikurung dalam kobaran api yang amat panas. Rambutnya menjadi rontok. Bahkan
sebagian rambut menjadi susut, dan kepala mulai botak tak teratur. Kumis dan
alisnya pun terbakar hangus, hilang sebagian. Tinggal sisanya yang memendek.
Untung ia cepat bisa
melepaskan diri dari kurungan sinar merah bergelombang-gelombang itu dengan
sentakan tenaga dalam yang disalurkan lewat kakinya. Tubuh itu melesat keluar
dari kurungan sinar maut, dan berjungkir balik di tanah. Tapi sebagian tubuh
sudah mulai melepuh. Melihat keadaannya cukup parah, Perwira Loyang merasa
perlu selamatkan diri lebih dulu. Maka ia pun segera melesat lari dan
meninggalkan Pawang Jenazah. Tetapi lawannya tak mau melepaskan dia begitu
saja. Pawang Jenazah pun cepat mengejarnya.
*
* * 8
LAKSAMANA Cho Yung terbengong
melihat Perwira Loyang datang menghadap dalam keadaan seperti tikus kebakaran.
Wajahnya menjadi lucu karena rambutnya yang diplontos keriting dan berbau
sangit. Kumisnya menjadi plontos, bahkan alisnya pun habis. Kulit tubuhnya hitam
mengkilat bercampur warna merah matang.
"Apakah kau Perwira
Loyang?!" ucap Laksamana Cho Yung dalam keraguan hati. Dan Perwira Loyang
menjawab sambil tundukkan kepala.
"Benar, Tuan Laksamana!
Sayalah Perwira Loyang!"
Plokk... !
Bonyok sudah pipi Perwira
Loyang mendapat tamparan Laksamana Cho Yung yang sudah seperti langganan itu.
Laksamana Cho Yung membentak,
"Mengapa kau sampai
seperti ini, hah?! Siapa yang membuatmu mirip kambing guling begini,
hah?!"
"Pawang Jenazah,
Tuanku!"
Plokk... !
"Mengapa kau biarkan dia
membuatmu sampai seperti ini? Bodoh! Seharusnya kau lawan dia dan jangan mau
dibuat seperti babi panggang begini!" bentak Laksamana Cho Yung lagi.
Dongkol sekali hati Perwira
Loyang mendengar ucapan seperti itu. Siapa orangnya yang mau dibuat seperti
babi panggang jika bukan karena kalah ilmu? Sudah nasibnya seperti babi
panggang, masih saja kena gampar seenaknya. Pipi yang sudah matang karena
terbakar itu menjadi bonyok dan lembek.
"Sekarang di mana Pawang
Jenazah itu?"
"Sedang menuju kemari,
mengejar saya, Tuan Laksamana!"
"Mengapa kau izinkan,
tolol!"
Plokk... !
Bentakan itu makin keras,
demikian pula tamparan itu juga semakin keras. Mata Perwira Loyang berkunang-
kunang seketika itu juga. Tapi ia sempat ucapkan kata,
"Saya... saya hanya mau
kasih tahu kepada Tuan, bahwa Mayang Suri menyembunyikan bayinya di Pegunungan
Mahagiri. Ia dijaga oleh Nona Bunga Bernyawa dan Suto, si pemuda yang menolong
Bunga Bernyawa dari serbuan mayat-mayat di kuburan itu, Tuanku. Dan... dan...."
Brukk...! Perwira Loyang rubuh
karena tak tahan lagi. Kepalanya semakin sakit, matanya kian buram, ia jatuh
pingsan di depan Laksamana Cho Yung. Sialnya lagi, Laksamana Cho Yung justru
menjadi geram dan mengangkat tubuh yang pingsan itu dengan cengkeraman tangan
kirinya lalu berteriak membentak di depan wajah Perwira Loyang,
"Sudah tahu bayi itu
dibawa lari ke sana, mengapa kau tak mengejarnya dan justru pulang ke kapal?
Bodoh! Bodoh sekali kau!"
Plokkk...! Brukk...!
Wajah pingsan itu makin
bonyok. Makin pingsan juga nasib Perwira Loyang. Kalau saja ia tak pingsan maka
ia akan terpekik keras karena tamparan yang paling keras yang terakhir
diterimanya itu telah membuat pipinya jadi terkelupas.
"Ular Setan...!"
panggil Laksamana Cho Yung dengan berang.
Segera muncul dari ruang
nakhoda seorang berpakaian kuning berhias sulaman benang merah bergambar seekor
ular kobra. Orang itu membawa pedang besar yang tak bisa diselipkan di
pinggang. Gagang pedangnya mempunyai kuncer-kuncer benang merah sutera. Orang
itu berambut botak bagian depan, tapi bagian belakangnya panjang sampai
melewati pundak. Alisnya tebal bagai mau menyambung antara yang kiri dengan
yang kanan. Matanya liar dan dahinya selalu berkerut, giginya agak tonggos,
sehingga ia tampak selalu cemberut. Dialah yang dijuluki oleh Laksamana Cho
Yung sebagai si Ular Setan!
"Hadang serangan Pawang
Jenazah yang sedang menuju kemari mengejar Perwira Loyang!" perintah
Laksamana Cho dengan tegas.
"Baik!" jawab Ular
Setan dengan pendek, karena memang ia termasuk orang yang tak suka banyak
bicara. Tanpa menunggu perintah lagi ia segera melompat dari geladak dan
pijakan kakinya ke pasir pantai dengan meniti tambang penambat kapal yang diikatkan
di pohon kelapa yang ada di pantai. Pedang besarnya yang bermata lebar dengan
ujung sedikit lengkung itu berkuatan terkena pantulan sinar matahari.
Tetapi baru saja Ular Setan
pijakkan kakinya di pasir pantai, tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh bagai
puluhan kaki berlarian menuju ke arahnya, ia memandang ke belakang, ternyata
benar dugaannya, ada puluhan kaki berlari menuju ke kapal berlayar tiga itu.
"Apa itu...?!"
gumamnya dengan mata terkesiap.
Semakin dikecilkan matanya
semakin tajam ia memandang.
Rombongan orang berpakaian
compang-camping dengan rambut acak-acakan, bahkan ada yang bertubuh somplak
sana-sini sedang bergegas bagai pasukan yang siap menyerbu. Ular Setan makin
terkesiap setelah ia sadari bahwa puluhan orang yang berlari mendekati kapal itu
adalah mayat-mayat yang berlumur tanah kuburan.
"Celaka...!"
gumamnya tegang. Lalu, dengan sedikit gugup Ular Setan berseru kepada awak
kapal yang ada di geladak,
"Celakaaa...! Eh,
bahayaaa...! Bahaya...!" Sejenak para awak kapal di sana saling bingung, saling
tak mengerti apa yang dimaksud bahaya oleh Ular Setan. Mereka segera pandangi
sekeliling, lalu melihat rombongan mayat sedang menuju ke arah kapal. Mereka
segera serukan tanda bahaya, sehingga Laksamana Cho Yung keluar dari kamarnya
dan ikut memandang ke arah pantai.
Dengan cepat ia serukan
perintah, "Serang mereka! Lenyapkan!" Maka saling berebutan para awak
kapal mencari senjatanya. Mereka turun dari geladak dan bergabung dengan Ular
Setan.
Salah seorang dari mereka
berseru, "Lihat...! Dari barat juga ada!" sambil orang itu menuding
ke arah barat.
Ternyata dari arah sana datang
juga serombongan mayat yang sudah dibangkitkan oleh ilmu pembangkit mayat.
Mayat itu bukan hanya bisa bangkit dan berjalan, tapi sebagian besar ilmu yang
dimiliki Pawang Jenazah disalurkan kepada mayat-mayat tersebut, sehingga para
orang mati itu bisa memainkan jurus-jurus maut seperti layaknya orang berilmu
tinggi. Padahal di antara mereka ada pula yang masih bocah, yang perempuan, dan
yang sudah menjadi nenek pikun. Begitu bangkit langsung menjadi liar dan ganas,
mampu memainkan jurus silat berilmu tinggi.
Pertarungan antara para mayat
dengan para awak kapal terjadi dengan sengitnya. Ular Setan berhasil tetaskan
pedangnya beberapa kali ke leher para mayat. Banyak yang terpenggal kepalanya,
tapi masih bisa hidup dan menyerang dengan gigih. Mereka saling mengerang dan
seringaikan wajahnya hingga suara hiruk-pikuk memenuhi sekitar kapal mirip
sekali dengan keramaian suasana di pasar.
Suara riuh itu diselingi jerit
dan pekik dari anak buah Laksamana Cho Yung yang mati diterkam mayat. Satu
orang dipakai rebutan lima atau enam mayat. Tubuh mereka dicabik-cabik habis
tanpa peduli apakah tubuh itu sudah mati lebih dulu atau belum.
Sebagian pasukan mayat itu
memanjat ke kapal melalui tambang pengikat, atau ada yang menggunakan ilmu
peringan tubuh dengan sekali sentak sudah bisa melayang dan hinggap di tepian
geladak. Mereka menyerang masuk ke kamar-kamar dan memporak- porandakan keadaan
di atas kapal itu.
Laksamana Cho Yung ikut menyerang
para mayat dengan pedangnya yang sering pancarkan sinar hijau itu. Tapi semakin
banyak yang dipenggal, semakin bertambah jumlah penyerangnya. Karena kepala
yang dipenggal bisa melayang sendiri dan tubuh tanpa kepala bisa menyerang
sendiri. Tangan yang terpotong putus pun bisa bergerak menyerang lawannya
dengan liar.
Tubuh Perwira Loyang yang saat
itu masih jatuh pingsan di geladak menjadi sasaran empuk bagi para mayat rakus.
Tubuh Perwira Loyang habis dikoyak- koyaknya, hingga tak lagi berbentuk jasad
manusia tanpa nyawa. Lebih mirip seonggok daging busuk yang mengerikan.
Melihat banyaknya jumlah mayat
dan keganasannya yang mengerikan, Laksamana Cho Yung segera menyingkir dari
kapal dan berlari ke pantai. Tapi di pantai pun ia dihadang oleh tujuh mayat,
satu di antaranya sudah tidak berkepala lagi. Laksamana Cho Yung terpaksa
menghadapi mereka untuk buka jalan. Sementara itu, Ular Setan pun tampak masih
gigih menghadapi mayat-mayat yang mengeroyoknya tanpa ampun lagi itu. Pedangnya
berkelebat ke sana-sini, malah kadang-kadang hampir membabat kakinya sendiri
karena simpang-siur gerakan pedang.
"Ular Setan...! Cepat
lari...!" teriak Laksamana Cho Yung ketika melihat kapalnya digulingkan
oleh mayat- mayat yang semakin banyak menyerang ke arah kapal itu. Kapal besar
tersebut seperti kotak tempat wayang kulit, yang dapat dengan mudah
dijungkir-balikkan. Brakkk...! Brrrusss...! Krakkk...!
Serangan tak tanggung-tanggung
itu membuat Laksamana Cho Yung merasa perlu melarikan diri. Apalagi dari sekian
banyak orang, hanya dia dan Ular Setan yang masih bertahan hidup, sedangkan
jumlah penyerang semakin bertambah saja rasanya, walau hanya berupa potongan
tangan atau kepala. Jelas hal itu tidak mungkin mampu dibereskan hanya dengan
dua orang saja.
Laksamana Cho Yung berlari
cepat diikuti oleh si Ular Setan yang sudah terluka di bagian punggungnya. Tapi
luka itu tak dihiraukan. Bahkan luka koyak di bagian kepala yang tidak
ditumbuhi rambut itu pun dibiarkan saja, walaupun ada darah yang mengalir
sampai ke sela-sela cuping hidungnya.
Cukup jauh Laksamana Cho Yung
melarikan diri tanpa berhenti, sementara Ular Setan sudah hampir kehabisan
napasnya. Tapi karena patuh, ia tetap ikuti ke mana pun larinya Laksamana Cho
Yung.
Mereka memang selamat dari
serbuan mayat-mayat rakus yang bersikap ganas melebihi setan itu. Tapi mereka
lupa bahwa pawangnya masih belum muncul dalam pertarungan di kapal. Orang yang
memiliki ilmu pembangkit mayat seperti yang dimiliki Ki Gendeng Sekarat dari
Pulau Mayat itu, ternyata sengaja mengejar Laksamana Cho Yung dari arah lain.
Sampai pada suatu tempat, di kaki sebuah bukit, Pawang Jenazah menghadang
langkah Laksamana Cho Yung dengan sangat mengejutkan, ia muncul dari balik
kerimbunan pohon bambu dan langsung melepaskan pukulan bersinar merah dari
tangannya.
Wusss... !
Sinar merah berbentuk percikan
bintang besar itu melesat ke arah kepala Laksamana Cho Yung. Melihat kilatan
sinar merah itu, Laksamana Cho Yung cepat merundukkan kepala lalu menggulingkan
badan ke tanah.
Wuttt...! Sinar itu lolos dan
dapat dihindari. Tapi Ular Setan yang mengikuti Laksamana Cho Yung dari
belakang itu tak tahu adanya sinar yang melesat. Ketika ia mengetahuinya, sinar
yang sudah ada di depan mata Ular Setan itu memang mengincar kepala si Ular
Setan.
Blarrr...!
Meledaklah sinar merah itu,
karena meledak pula kepala Ular Setan hingga tinggal bagian tubuhnya saja.
Tubuh itu masih bergerak-gerak membabatkan pedang besarnya ke sana-sini dengan
ngawur. Lama-lama berhenti, dan rubuh tak bergerak lagi.
"Ular Setan...?!"
pekik Laksamana Cho Yung dalam ketegangannya, ia mendelik melihat kepala Ular
Setan menjadi serpihan kecil.
"Bodoh kau!" maki
Laksamana Cho dengan menyesal sekali dan marah tak terlampiaskan. "Sudah
tahu ada sinar merah mengapa tidak segera menundukkan kepala, Tolol! Kalau ke
sini cuma mau mati, kenapa harus repot- repot ikut lari! Diam saja di kapal
sana, kau juga akan mati sendiri dihancurkan mayat-mayat itu! Oh, Ular
Bodoh...! Kenapa kau mati dengan sia-sia, hah?!"
Terdengar suara Pawang Jenazah
menyahut dalam tawanya,
"Kau pun akan mati dengan
sia-sia, Laksamana Cho!"
Melihat lawannya berdiri
dengan tegak dan tampak jumawa sekali, Laksamana Cho Yung segera bangkit dan
menggeram sampai kepalanya gemetar.
"Kematian ini harus kau
tebus dengan nyawamu. Pawang Jenazah!"
"Aku sudah siap. Tapi
apakah kau sudah siap juga. Laksamana?"
"Babi buntung kau! Sudah
sejak dari dulu aku siap melawanmu!"
"Bagus! Berarti kematian
istri dan anakku hampir selesai kutebus! Tak kuizinkan siapa pun orangmu hidup
menikmati udara segar di permukaan bumi ini! Gundikmu pun akan kucari dan
kulumat habis, seperti aku melumat daun sirih!"
"Hiaaat...!"
Laksamana Cho Yung tebaskan pedang ke depan. Pedang itu keluarkan sinar merah
menyebar dalam bentuk pipih. Sinar itu menghantam tubuh Pawang Jenazah. Tetapi,
tangan Pawang Jenazah lebih dulu berkelebat dan keluarkan kabut yang
menggumpal. Kabut itu menerkam sinar merah dan terjadi letupan kecil, blaab...!
Kemudian kabut menyebar pecah dan lenyap bersama angin. Sinar merah dari pedang
itu pun tak kelihatan lagi.
"Jahanam...!" geram
Laksamana Cho Yung melihat sinar merahnya bisa diredam dengan kabut. Maka,
segera ia memutar-mutarkan pedangnya dengan cepat di samping kanan. Dan
tiba-tiba pedang itu disentakkan ke atas, lalu dari ujung pedang itu keluar
sinar hijau melesat ke arah Pawang Jenazah. Zlabbb...!
Kilatan cahaya hijau begitu
cepat. Pawang Jenazah tak sempat menangkis, ia hanya bisa menghindar dengan
melayang bagaikan seekor singa hendak menerkam mangsanya. Lompatan itu sedikit
telat, karena sinar hijau tersebut membentur batu besar di belakang Pawang
Janazah, batu itu pecah menjadi serpihan dan beberapa bagian melesat cepat
menghantam betis dan paha Pawang Jenazah. Jrusss...! Crapp...!
"Aaahg...!" Pawang
Jenazah berguling di tanah dengan kesakitan. Rupanya sinar hijau dari pedang
itu bisa membuat benda padat yang terkena sasaran menjadi pecah dan pecahannya
pasti berbentuk runcing, dan masih mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup hebat.
Terbukti, dua pecahan batu itu menjadi runcing dan menancap di paha dan betis
Pawang Jenazah. Dua pecahan batu itu sepertinya telah mengandung kekuatan hawa
panas yang membuat daging betis dan paha menjadi terbakar pada bagian lukanya.
Hitam hangus seketika.
"Bangsat kau,
Cho...!" geram Pawang Jenazah sambil menahan rasa sakitnya. Lalu, ia
melepaskan pukulan bergelombang merah yang pernah membungkus tubuh Perwira
Loyang. Pukulan itu dilepaskan dalam keadaan sedikit merebah di tanah.
Wuttts... !
Laksamana Cho Yung segera
sentakkan pedangnya ke depan seperti menusuk udara. Dan pedang itu keluarkan
sinar merah juga yang berbentuk seperti api terbang' Sinar merah itu menembus
lingkaran sinar merah bergelombang. Akibatnya, timbul satu perpaduan keras
antara dua tenaga dalam berkekuatan tinggi yang sama-sama meledak di
pertengahan jarak.
Blarrr...!
Laksamana Cho Yung tersentak
bagai terbarg ke belakang. Brasss...! Tubuhnya bagai dilemparkan dengan kasar
ke arah rimbunan batang bambu. Empat batang bambu itu patah seketika terkena
benturan tubuh Laksamana Cho Yung. Sedangkan Pawang Jenazah pun terpental jauh,
berguling-guling sampai membentur gugusan batu cadas.
"Dia memang cukup
tangguh," pikir Laksamana Cho Yung. "Ledakan tadi membuat dadaku
terasa panas. Berbahaya kalau kugunakan untuk melawannya lagi. Aku harus cepat
lari untuk temukan bayi itu! Aku harus segera makan jantung dan hati bayi itu,
supaya ilmu Dewa Maut meresap dalam diriku dan bisa kupakai untuk kalahkan
pawang bangsat itu!"
Maka dengan cepat Laksamana
Cho Yung tinggalkan tempat pertarungannya. Terdengar suara Pawang Jenazah
berseru,
"Hoi...! Mau ke mana kau,
Bajingan! Ke liang semut pun akan kukejar kau...!" Pawang Jenazah bergegas
mengejarnya, tapi ia jatuh tersungkur karena rasa sakit di kaki kirinya sangat
menyiksa. Sekali pun demikian, Pawang Jenazah tak mau menyerah, ia mencoba bangkit
lagi dan berusaha mengejar Laksamana Cho Yung.
Namun tiba-tiba di depannya
telah berdiri seorang berpakaian hitam, berkerudung hitam dari kepala sampai
kaki, berwajah putih dengan bibir biru dan tepian mata hitam. Tampak masih muda
namun berwajah dingin. Tanpa senyum sedikit pun. Ia menggenggam tongkat El Maut
yang berujung sabit panjang melengkung.
Dialah orang yang diburu
Pendekar Mabuk selama ini, yaitu, Siluman Tujuh Nyawa. Pawang Jenazah tak kenal
orang itu, hanya pernah mendengar nama julukan tersebut disebutkan beberapa
orang di kedai makan. Itulah sebabnya Pawang Jenazah kerutkan dahi saat
berhadapan muka dengan orang paling keji di dunia itu.
"Jangan kejar dia
sekarang!" kata Siluman Tujuh Nyawa. "Kau bisa temui dia, juga Bunga
Bernyawa, si putri Cina yang cantik itu, juga Mayang Suri dan bayinya... mereka
ada di Pegunungan Mahagiri! Di sana ada pula Pendekar Mabuk yang bernama Suto
Sinting! Bunuh Pendekar Mabuk itu, karena dia yang akan menjadi penghalangmu
untuk melenyapkan Bunga Bernyawa. Aku akan membantumu, Pawang Jenazah!"
Tiba-tiba dari jari tangan
Siluman Tujuh Nyawa keluarkan sinar putih menembus luka di kaki Pawang Jenazah.
Kejap berikutnya luka itu menjadi kering, bahkan pulih seperti sediakala. Tak
ada bekas dan tak ada sisa sakit sedikit pun. Pawang Jenazah terheran- heran.
* **
PEGUNUNGAN Mahagiri mempunyai
tebing-tebing curam, jurang yang dalam dan udara dingin yang membekukan darah.
Perjalanan yang sudah ditempuh oleh rombongan Mayang Suri sudah memakan waktu
tiga hari. Pesanggrahan Eyang Juru Taman tinggal separo hari lagi dari tempat
istirahat mereka.
Pendekar Mabuk tiba-tiba
ajukan usul, "Bagaimana jika bayi itu kubawa lebih dulu untuk mencapai
pesanggrahan Eyang Juru Taman? Aku takut bayi itu menjadi sakit karena udara yang
begini dingin!"
"Tidak. Bagaimanapun aku
harus tetap bersama anakku," kata Mayang Suri. Ia mendekap anaknya yang
dibungkus kain tebal.
"Kau masih curiga padaku,
Mayang Suri?"
"Aku tidak curiga! Tapi
sebagai seorang ibu, aku harus tetap mendampingi bayiku! Kalau dia mati, harus
mati bersamaku!"
Bunga Bernyawa cepat ucapkan
kata kepada Suto Sinting, "Sebaiknya memang bayi itu tetap ada dalam
pelukan ibunya! Barangkali dia butuh minum sewaktu- waktu."
"Baiklah, aku mengerti!
Kalau begitu, bungkus dia dengan kain yang lebih tebal lagi! Udara sedingin ini
bisa bikin dia mati membeku kalau tak dihangatkan!" kata Suto.
"Sebaiknya kita teruskan
perjalanan, supaya sampai di pesanggrahan masih ada sisa matahari!" kata
Sulasih yang membawa kain pembungkus pakaian-pakaian bayi."Aku
setuju," jawab Bunga Bernyawa. "Terlalu lama beristirahat bisa bikin
urat-urat kita kaku membeku!"
Maka, mereka pun kembali
teruskan langkah menyusuri tebing.
Tanpa diduga-duga, sebuah
benda melesat dari arah belakang mereka. Sebatang ranting kering berukuran
kecil menghantam punggung Mayang Suri. Deggg...!
"Ahhg...!" Mayang
Suri tersentak dengan mulut ternganga dan mata terpejam merasakan sakit.
Tubuhnya jadi limbung dan kakinya lemas, ia terkulai jatuh ke jurang di sebelah
kirinya.
"Mayaaaang...!"
teriak Sulasih dengan tegang. Tubuh Mayang Suri terlihat jelas melayang dan
tetap memeluk bayinya.
Melihat hal itu, Pendekar
Mabuk cepat sentakkan kaki lalu melompat ke jurang itu dengan gerakan cepat ia
mendahului tubuh Mayang Suri dan bayinya, ia menghadang gerakan tubuh Mayang
Suri yang melayang menerabas semak dedaunan.
Debbb...! Tubuh Mayang Suri
tertahan tangan Pendekar Mabuk. Bayinya nyaris terlepas dari gendongan. Untung
tangan Suto cepat meraih selimut bayi dan berhasil ditarik kembali ke gendongan
Mayang Suri. Kini tubuh Mayang Suri dan bayinya ada dalam topangan kedua tangan
Suto Sinting. Mayang Suri tampak mengerang kesakitan. Wajahnya menjadi biru. Ini
pertanda pukulan tenaga dalam beracun telah mengenainya. Pukulan beracun itu
disalurkan melalui ranting kering yang mengenai punggung Mayang Suri.
Pendekar Mabuk menahan
napasnya beberapa saat, ia hanya berdiri di atas sebatang ranting pohon hijau
yang besarnya seukuran kelingking. Jika bukan dengan menggunakan ilmu peringan
tubuh cukup tinggi, sudah tentu ranting hijau kecil itu tak akan mampu
menyangga tubuh Suto dan Mayang Suri bersama bayinya.
Dengan satu sentakan kaki
pelan, tubuh Suto sudah bisa melesat naik, dan kaki itu menjejak lagi sebatang
dahan kecil, lalu tubuh makin naik lagi, akhirnya tiba di permukaan tebing.
Jleggg... !
"Suto, oh... syukurlah!
Syukurlah Mayang dan bayinya selamat!" kata Sulasih. "Oh, tapi
mengapa wajahnya menjadi biru begini?'
"Dia terkena pukulan
beracun!" kata Suto sambil berusaha meletakkan tubuh Mayang Suri, dan
Sulasih cepat mengambil bayi yang menangis sejak berada dalam topangan tangan
Suto tadi.
"Mana Bunga...?!"
Suto mencari Bunga Bernyawa yang tak kelihatan di antara mereka. Sulasih
menjawab dengan tegang juga,
"Bunga mengejar orang di
balik gugusan tanah itu!"
"Orang siapa?"
"Entahlah! Sepertinya
orang itu dari negeri Cina juga!"
"Laksamana Cho...?!"
gumam Pendekar Mabuk, ia ingin cepat menyusul Bunga Bernyawa, tapi keadaan
wajah Mayang Suri makin membiru. Maka, cepat-cepat ia membuka mulut perempuan
hitam manis itu dan ia tuangkan tuak ke dalam mulut itu. Glek glek glek...!
Tuak terminum oleh Mayang
Suri.
"Jaga bayi itu dan
Mayang, aku menyusul Bunga!" kata Suto kepada Sulasih. Ia merasa lega jika
Mayang Suri sudah minum tuaknya, karena tuak itu adalah penangkal racun yang
paling ampuh.
Benar dugaan Suto, Laksamana
Cho Yung sedang berhadapan dengan Bunga Bernyawa. Tentunya orang itulah yang
melemparkan ranting dan sengaja mencelakai Mayang Suri supaya ia bisa merebut
bayinya dengan mudah. Dan jika bukan dengan ilmu tinggi, tak mungkin Laksamana
Cho Yung bisa menyusul rombongan Mayang Suri hanya dalam waktu satu hari satu
malam. Tentunya ilmu tinggi yang digunakan dapat mempercepat gerakan larinya
tanpa harus menguras tenaga terlalu berlebihan.
Tapi agaknya Laksamana Cho
Yung sudah membulatkan tekadnya untuk membunuh gundiknya itu. Bunga Bernyawa
segera kirimkan jurus maut yang pernah membuat dinding kamar berlubang tanpa
semburkan debu. Namun agaknya jurus maut itu masih bisa ditangkis oleh pedang
laksamana dan membalik arah kepada Bunga Bernyawa sendiri.
Bahkan dalam jurus
selanjutnya, Bunga Bernyawa terdesak dan terpental dalam keadaan keluarkan
darah dari lubang hidung dan mulutnya. Laksamana Cho Yung segera pergunakan
pedangnya untuk menebas leher Bunga Bernyawa. Tetapi tiba-tiba lelaki itu
dikejutkan oleh melesatnya sinar hijau kecil yang menghantam pedangnya.
Trakkk...! Pedang itu patah menjadi dua bagian. Sinar hijau itu melesat dari
jari tangan Pendekar Mabuk yang disentilkan dalam jarak delapan langkah.
Mata Laksamana Cho tak
berkedip memandang pedang pusakanya yang patah begitu saja. Geram kemarahannya
begitu tinggi hingga wajahnya menjadi merah. Matanya membelalak tajam dan buas
saat memandang Suto. Pada saat itu, Pendekar Mabuk dengan tenangnya menenggak
tuak dalam bumbung beberapa teguk.
"Setan kumal!" geram
Laksamana Cho Yung. "Jadi kaulah budak nafsu perempuan lacur itu,
hah?!"
Suto Sinting tetap diam, hanya
memandang dengan senyum tipis di bibirnya. Melihat sikap begitu, Laksamana Cho
Yung semakin geram, darahnya bagaikan mendidih.
"Kalau kau mau awet
hidup, jangan campuri urusanku!"
"Kalau kau sendiri mau
awet hidup, jangan ganggu Bunga Bernyawa ataupun Mayang Suri dan bayinya!"
"Setan Kudis! Aku adalah
paman dari bayi Mayang Suri!"
"Kau bukan paman,
Laksamana! Kau adalah iblis bagi bayi itu!"
"Rupanya kau bocah
ingusan yang tak mau turuti nasihat orang tua, hah?! Bagus! Dengan begitu aku
tak segan-segan membunuhmu!"
"Apakah kau akan
menyambung pedangmu lagi, Laksamana Cho?!" sindir Suto sambil sunggingkan
senyum mengejek. Laksamana Cho tak bisa tahan amarah lagi. Maka dengan cepat ia
angkat tangannya ke atas kepala, kemudian ia sentakkan kedua tangan itu ke
depan bagai mencakar udara secara bersamaan. Wrusss...!
Percikan bintang-bintang hijau
menebar dalam kecepatan laju mengarah kepada Pendekar Mabuk. Kecepatannya itu
sangat tinggi, sehingga Suto hanya bisa menghindar dalam satu lompatan ke
samping. Percikan bintang hijau itu melesat di depan Pendekar Mabuk, lalu
bumbung tuaknya dihadangkan. Percikan bintang mengenai bumbung tuak. Zrriipp...
!
Kali ini tenaga dalam yang
berbentuk percikan bintang kecil-kecil itu menyerap masuk ke bumbung tersebut.
Suto sendiri sepertinya sempat terkejut walau disembunyikan. Tak pemah ada
pukulan bersinar yang bisa meresap menembus bumbung tuak. Biasanya memantul
balik. Sementara itu, Laksamana Cho Yung juga terheran-heran melihat pukulan
mautnya terserap masuk ke dalam bumbung tuak bambu itu. Biasanya akan
melenyapkan benda apa pun yang dihantamnya.
Terjadi getaran hebat di dalam
bumbung tuak. Suara air mendidih bagai terjadi di dalam bumbung. Getaran itu membuat
tangan Suto yang memeganginya ikut berguncang-guncang. Rasa penasaran membuat
Suto akhirnya membuka tutup bumbung bambu itu dalam posisi dihadapkan ke arah
Laksamana Cho. Wosss...!
Ternyata dari dalam bumbung
menyemburlah kobaran api yang cukup dahsyat. Kobaran api itu bukan hanya besar
namun juga cepat. Api yang menyembur segera menerkam tubuh Laksamana Cho Yung.
Orang itu tak sempat menghindar karena terperangah kaget mengetahui bumbung
tuak menyemburkan api begitu besarnya, bisa untuk membakar hutan.
Akibatnya, tubuh Laksamana Cho
terbakar seluruhnya. Mula-mula Laksamana Cho diam saja, bersemadi dan kerahkan
hawa dingin dari dalam dirinya. Tapi api itu semakin lama bukan semakin padam,
melainkan semakin besar. Pakaian Laksamana Cho mulai terbakar, demikian pula
kumis dan rambutnya. Akhirnya Laksamana Cho Yung jejingkrakan dengan panik, ia
berteriak-teriak sambil mengguling-gulingkan badan di semak dan rerumputan.
Gulingan badan itu membuat api bertambah besar kobarannya.
"Aaa...! Woaaa!
Huaaa...!" Laksamana Cho Yung berteriak-teriak dengan kelojotan. Badannya
mulai menjadi hangus, semua pakaian dan rambut sudah habis terbakar. Kini ia
bergelimpangan seperti mengenakan seragam hitam. Api masih terus membungkusnya
sampai akhirnya tubuh itu tak bergerak lagi. Menjadi hangus seluruhnya, dan
tetap dibungkus api. Sampai akhirnya tubuh Laksamana Cho Yung menjadi tinggal
arang, api itu masih tetap membungkus mayat Laksamana Cho Yung.
"Api itu menjadi api
abadi yang akan membungkus jasadnya sampai habis tak berbekas lagi," kata
Suto kepada Bunga Bernyawa.
"Ilmumu memang
gila-gilaan. Sinting!" kata Bunga Bernyawa sambil terbatuk-batuk. Suto
memandang kepucatan wajah Bunga Bernyawa, ia menjadi cemas. Cepat ia mengangkat
dagu gadis itu dan memandangi dengan tajam, lalu ia ucapkan kata,
"Kau terkena pukulan
tinggi! Lekas minum tuakku ini!"
Pendekar Mabuk memeriksa
bumbung tuaknya, ternyata masih berisi tuak separo bumbung. Tuak itu diminumnya
dulu, karena takut beracun setelah dipakai merendam jurus pukulan laksamana
tadi. Ternyata tuak itu tidak beracun, maka segera diminumkan kepada Bunga
Bernyawa.
"Kita lanjutkan
perjalanan, Bunga!"
"Bagaimana dengan Mayang
Suri?"
"Dia aman bersama
bayinya!"
Kemudian Suto dan Bunga
Bernyawa bergegas ke tempat Sulasih dan Mayang Suri beristirahat. Tetapi
alangkah terkejutnya ia ketika melihat ternyata di sana sudah ada Pawang
Jenazah yang menggendong bayinya Mayang Suri. Sedangkan Sulasih dan Mayang Suri
tertotok tak dapat bergerak sedikit pun kecuali hanya mencucurkan air mata.
Bunga Bernyawa juga
membelalakkan matanya dengan kaget. Bayi itu digendong oleh Pawang Jenazah
dengan satu tangan, siap dilemparkan ke jurang. Tegang dan berdebar-debar hati
Bunga Bernyawa. Suto pun sebenarnya juga merasa tegang, tapi ia bisa
sembunyikan perasaannya dan tetap berpenampilan kalem.
"Hei, Cecunguk! Aku tahu
kau melindungi perempuan itu! Kulihat kau sudah membunuh Laksamana Cho, dan itu
adalah kelancangan yang paling kubenci!" kata Pawang Jenazah. "Kau
telah membuat aku kecewa, karena nyawa Laksamana Cho Yung adalah milikku!
Akulah yang berhak membunuhnya! Tapi kau telah menduluinya! Sekarang, serahkan
perempuan itu, atau kulemparkan bayi ini ke jurang?"
Bunga Bernyawa memandang Suto
setelah sampai sekian lama Suto tidak kasih jawaban apa-apa. Suto bahkan
menenggak tuaknya lagi sedikit. Santai sekali caranya menanggapi ancaman Pawang
Jenazah. Hal ini membuat Pawang Jenazah semakin garang.
"Kuhitung tiga kali kalau
kau tidak mau serahkan perempuan itu, bayi ini kulemparkan ke jurang!"
gertak Pawang Jenazah, sementara itu sang bayi masih tetap menangis memilukan
hati.
"Untuk apa kau kehendaki
perempuan ini?!" tanya Suto kalem.
"Dia harus mati juga,
karena dia gundiknya Laksamana Cho!"
"Dia sudah bukan
gundiknya lagi! Dia justru menjadi orang yang menentang kekejian Laksamana Cho
Yung!"
"Aku tahu! Tapi saat
Laksamana Cho Yung membunuh anak dan istriku, perempuan itu masih menjadi istri
gelapnya!"
"Apakah dia ikut andil
membunuh anak dan istrimu?!"
"Memang tidak! Tapi dia
adalah bagian dari Cho, karenanya tak akan kubiarkan satu pun orangnya
Laksamana Cho Yung yang bisa hidup!"
"Kau tak adil, Pawang
Jenazah!"
"Persetan dengan kesimpulan
dan penilaianmu! Kumulai menghitung ancaman tadi. Satu...!"
Bunga Bernyawa menatap
Pendekar Mabuk, lalu Ia bisikkan kata, "Biar kuhadapi dia! Yang penting
selamatkan bayi itu!"
"Tenang. Sabar saja dan
jangan panik. Aku akan segera melompat ke jurang pada saat ia lemparkan bayi
itu!" bisik Suto Sinting.
Terdengar suara Pawang Jenazah
tak sabar diri lagi, "Dua...!"
"Pawang Jenazah...!"
kata Suto. "Kalaupun kuserahkan perempuan ini kepadamu, mana mungkin kau
bisa membunuhnya?!"
Berdiri telinga Pawang
Jenazah, merah daun telinga itu.
"Kau pikir sulit membunuh
perempuan itu?!"
"Kecuali ilmumu tinggi,
tentu saja mudah membunuh Bunga Bernyawa! Tapi kupikir ilmumu tak sebanding
dengan ilmu yang dimiliki putri kaisar ini!"
"Setan!" geram
Pawang Jenazah. "Cecunguk ingusan macam kalian menganggap berilmu lebih
tinggi dariku?!"
"Kalau memang kau berilmu
tinggi, hadapilah perempuan ini dengan ksatria! Aku berani bertaruh nyawa, dua
jurus saja nyawamu sudah melayang dan mungkin hinggap di nyawa seekor kambing
gunung!"
"Bangsat! Sesumbarmu
bikin dadaku mau jebol! Kulayani tantangan kalian!" bentak Pawang Jenazah.
Dan pada saat itu, Suto
melepaskan sentilan 'Jari Guntur' yang mengarah di bawah ketiak lawan.
Debb... ! Srekk... !
Terkunci sudah semua
persendian Pawang Jenazah. Orang itu tak dapat menggerakkan anggota tubuhnya,
kecuali hanya bisa berkedip-kedip dan bicara lewat gerakan mulutnya.
"Bangsat! Kau telah totok
aku rupanya!" geram Pawang Jenazah.
Tess, tess...! Suto membebaskan
totokan pada tubuh Mayang Suri dan Sulasih. Kedua perempuan itu kembali bisa
bergerak bebas. Mayang Suri segera merebut bayinya dari tangan Pawang Jenazah.
Orang itu tak bisa berbuat banyak, tak bisa mempertahankan bayi itu, karena
jarinya pun sulit digerakkan.
"Oh, anakku...!"
Mayang Suri menangisi anaknya sambil memeluknya. Bayi itu menangis beberapa
saat, lalu diam karena disusui oleh ibunya. Sambil menyusui bayinya ia dibawa
pergi oleh Bunga Bernyawa dan Sulasih.
"Pergilah sampai ke
pesanggrahan Eyang Juru Taman, biar aku yang menghadapi orang ini!" kata
Pendekar Mabuk kepada Bunga Bernyawa.
Kemudian, Bunga Bernyawa pun
membawa mereka meneruskan perjalanan setelah ia berbisik dalam harapan yang tak
tertahan lagi,
"Kau harus menyusulku ke
sana! Jangan dustai aku!"
Suto hanya sunggingkan senyum
dan anggukkan kepala. Kemudian Bunga Bernyawa pun merasa lega.
Cepat-cepat ia membawa Mayang
Suri ke tempat tujuan. Sementara itu, Suto masih membiarkan Pawang Jenazah
tertotok jalan darahnya dan tak bisa menggerakkan badannya sedikit pun.
Pendekar Mabuk tenang-tenang saja sambil sesekali menenggak tuaknya.
Tapi di luar dugaan, ada
seseorang yang melepaskan totokan itu dari jarak jauh. Orang itu berkerudung
kain hitam dari kepala sampai kaki, berwajah putih dan membawa senjata El Maut.
Siapa lagi jika bukan Siluman Tujuh Nyawa. Akibatnya, dengan terlepasnya
totokan itu, Pawang Jenazah merasa bebas bergerak, lalu melepaskan serangan
mautnya ke arah Pendekar Mabuk. Suto sendiri jadi menggeragap tak siap.
Wusss... !
"Mampuslah kau seperti
laksamana keparat itu!" sentak Pawang Jenazah. Cahaya merah bergelombang
menyerang Pendekar Mabuk. Cahaya itu yang dipakai membungkus Perwira Loyang dan
membuat orang itu jadi terbakar rambutnya. Kali ini akan digunakan membakar
tubuh Suto, tetapi Pawang Jenazah tak tahu bahwa gerakan Pendekar Mabuk yang
mirip orang mabuk itu merupakan jurus maut yang membahayakan lawan.
Bumbung tempat tuak berkelebat
ke depan secara tak sengaja. Dan gelombang merah itu menghantam bumbung, lalu
membalik menjadi lebih besar lagi. Pawang Jenazah terkejut dan terpaku di
tempat melihat gerakan gelombang sinar merah membalik ke arahnya, bahkan kini
membungkus dirinya sendiri dalam suara
gemuruh seperti deru api
terhembus angin.
"Aaah...! Aaah...!
Bangsat...! Auuh...!"
Pawang Jenazah kebingungan
mengatasi gelombang panas yang melebihi lahar gunung berapi itu. Ia oleng ke
sana-sini, sampai akhirnya tak sengaja kakinya tergelincir dan masuk ke jurang
yang dalam itu.
"Aaaa...!" Pawang
Jenazah menjerit keras-keras, menggema memenuhi dinding tebing, makin lama
semakin mengecil suaranya.
Wuttt... !
Sekelebat bayangan hitam
terlihat Pendekar Mabuk melintas di belakangnya. Tongkat El Maut terlihat pula
olehnya. Cepat ia berseru,
"Durmala Sanca! Berhenti
kau!"
Siluman Tujuh Nyawa tetap
melesat pergi. Arahnya ke pesanggrahan. Pendekar Mabuk cemas, takut kalau-
kalau bayi itu diculik dan direbut oleh Siluman Tujuh Nyawa. Bunga Bernyawa tak
mungkin bisa menghadapi siluman itu. Karenanya, Suto pun segera menggunakan
gerak siluman juga, yang bisa melesat pergi dengan cepat bagaikan angin badai.
Wesss...!
"Celaka! Jangan sampai
aku terlambat tiba di samping Bunga!" pikir Pendekar Mabuk dalam
pelariannya.
Rombongan Bunga Bernyawa belum
tiba di pesanggrahan. Bahkan dari ketinggian tempat yang mereka lalui, mereka
masih bisa melihat pertarungan Pendekar Mabuk dengan Pawang Jenazah.
Tetapi tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh kemunculan seorang berkerudung hitam dan berwajah putih. Siluman Tujuh
Nyawa sudah menghadang di depan Mayang Suri. Ia langsung berkata,
"Serahkan bayi itu
padaku!"
Mendadak tubuhnya tersentak.
Siluman Tujuh Nyawa terkena pukulan 'Guntur Perkasa' dari Pendekar Mabuk, ia
terpental ke belakang dan tak sempat melepaskan pukulan balasan. Karena pada
saat itu, Pendekar Mabuk telah melepaskan jurus pukulan 'Manggala'-nya.
Tetapi Siluman Tujuh Nyawa
masih bisa menghindar, dan cepat melarikan diri bagaikan petir yang melesat
pergi. Karena pukulan 'Guntur Perkasa' itu akan membuat tubuhnya cepat membusuk
jika tidak segera terobati. Semakin banyak terkena angin semakin cepat tubuh
itu menjadi busuk, itulah sebabnya Siluman Tujuh Nyawa merasa perlu menghilang
lagi untuk sembuhkan lukanya yang mengancam j iwa itu.
"Suto, mau ke mana
kau?!" teriak Bunga Bernyawa ketika Suto bergegas pergi mengejar Siluman
Tujuh Nyawa.
"Aku harus kejar dia! Dia
musuh utamaku!"
"Aku... aku
bagaimana?!" Bunga Bernyawa berseru dalam kebingungannya.
Akhirnya Pendekar Mabuk
menghampiri nona manis itu. Suto pandangi gadis itu, lalu berkata dengan
lembut,
"Untuk sementara,
tinggallah bersama Mayang Suri. Jagalah dulu bayinya! Jangan ke mana-mana!
Nanti aku datang lagi kepadamu!"
"Aku... aku ingin pulang
ke negeriku!"
"Aku akan atur perjalanan
pulangmu! Tapi aku harus, kejar Siluman Tujuh Nyawa itu! Percayalah, aku akan
jemput kamu nanti!"
Pendekar Mabuk terburu-buru
pergi, karena takut kehilangan jejak musuhnya. Sementara itu, Bunga Bernyawa,
Mayang Suri, dan Sulasih hanya geleng- gelengkan kepala sambil sunggingkan
senyum kebanggaan terhadap diri Pendekar Mabuk.
SELESAI