Serial Pendekar Mabuk 48 Manusia Pemusnah Raga

Baca Cersil Indonesia Online: Serial Pendekar Mabuk 48 Manusia Pemusnah Raga
1
ENTAH siapa orangnya yang memasang jerat di
hutan itu. Mungkin seorang pemburu rusa yang ingin
menangkap binatang buruannya dengan cara memasang
jerat di tanah.
Jerat itu dihubungkan dengan pucuk dahan
pohon tinggi yang lentur dan bisa dilengkungkan ke
bawah. Jika kaki rusa masuk ke dalam  lingkaran
tambang dan menyamparnya, maka kaki rusa itu akan
langsung  terjerat tambang itu. Jika tambang tersentak,
maka penyangga ujung dahan yang melengkung itu akan
bergeser dan dahan itu akan naik ke atas. Lalu rusa yang
terjerat akan tergantung kakinya.
Namun agaknya sang rusa sudah hafal dengan polah
tingkah para pemburu. Sang rusa tidak mau melewati
bagian bawah pohon tersebut. Yang melewati pohon itu


adalah  seorang  lelaki  agak pendek bertubuh kurus,
rambut pendek, usianya sekitar empat puluh  tahun, ia
mengenakan pakaian serba hijau seperti daun berjalan.
Wajahnya bulat dengan kumis tipis di bawah hidung.
Kumis itu yang membuat wajahnya menjadi lucu.
Ketika ia berlari  melewati pohon tersebut, tiba-tiba
kakinya menyampar tambang dan tambang pun menjerat
kaki kirinya itu. Serrt...!
Wuuttt...! Tubuh pun melayang di udara karena dahan
pohon naik seperti semula. Kini tubuh orang berpakaian
hijau itu tergantung dalam keadaan kepala di bawah dan
kaki di atas, yang kiri terjerat tambang.
"Monyeeett...!" makinya dengan geram. "Siapa yang
menaruh jerat sembarangan?! Kurang ajar! Kaki mulus-
mulus jadi kena jerat begini. Uuh... mana susah sekali
melepaskannya?!"
Orang itu memaki dan menggerutu tiada habisnya, ia
berusaha membuka tali jerat dengan mengangkat badan
ke atas, namun selalu  gagal. Tangannya tak bisa
mencapai mata kaki yang terkena jerat itu. Akhirnya
orang itu hanya terayun-ayun di udara dengan hati
dongkol.
"Bajing tengik! Kalau sudah begini mau apa aku?
Melepaskan jerat tak bisa, turun tak bisa, mana dari tadi
hawanya kepingin buang air terus. Aduh...! Kalau
kupaksakan buang air, pasti akan tumpah menyiram
wajahku sendiri. Sial! Benar-benar terkutuk orang yang
memasang jerat ini!"
Dari pagi sampai siang ia tergantung di situ tanpa ada


orang yang mau menyapanya, karena memang tidak ada
orang  lewat  daerah hutan itu. Pikirnya, berteriak minta
tolong pun sia-sia, sebab hutan itu sepi dan jarang dilalui
orang karena banyak rawa dan lumpur hidupnya.
"Mati aku kalau  begini! Mati kelaparan  lebih
menyedihkan daripada mati ketiban kelapa!" pikirnya
dengan cemas dan waswas. Sementara itu, rasa  ingin
buang air semakin meningkat, membuat ia menyeringai
beberapa kali.
"Menyesal  sekali  aku, kenapa tadi tidak buang air
dulu  sebelum  tergantung begini, ya? Goblok  betul  aku
ini!"
Gerutuan itu pun akhirnya terhenti karena ia
mendengar suara langkah  kaki di semak-semak. Hati
orang itu berdebar-debar dengan mata melirik ke sana-
sini mencari suara langkah kaki tersebut.
"Moga-moga orang itu lewat di bawahku dan aku bisa
minta  tolong  padanya," ucapnya dalam  hati dengan
penuh harap.
Ternyata harapan itu pun terkabul. Seorang pemuda
tampan  lewat  di tanah bawahnya. Rupanya pemuda
tampan itu adalah Pendekar Mabuk, Suto Sinting, yang
menyandang bumbung tuak di punggungnya. Melihat
ada orang tergantung kakinya, Suto Sinting hentikan
langkah  dan mulai mendongak memperhatikan lebih
dekat lagi.
"Hei, jangan memandangiku terus!" hardik orang
yang tergantung dengan lagak galaknya.
"Kau tergantung kena jerat, Paman?!"


"Tidak. Aku sedang bertapa," jawab orang itu dengan
menutup rasa malunya, takut dianggap orang bodoh
yang mudah terkena jerat.
"Bertapa kok kaki kirinya yang digantung?"
"Ya ini namanya tapa gantung."
"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut  dalam
senyum dikulum. "Gunanya tapa gantung untuk apa,
Paman?"
"Untuk dapatkan jurus sakti..."
"Jurus apa itu?"
"Jurus... jurus 'Bintara Jingga', itu jurus sakti yang...."
Tiba-tiba ada sepotong kayu yang melayang  cepat
menghantam dada orang itu. Buuhg...!
Heeegh...?!" orang itu terpekik dengan suara tertahan,
matanya mendelik dan mulutnya ternganga bagai susah
bernapas. Sepotong kayu itu terasa seperti sebatang besi
beton yang menghantam meremukkan tulang dada.
Entah siapa pelempar kayu itu, yang jelas  Suto
Sinting melihat gerakan kayu dari timur. Suto Sinting
tetap tenang, memungut kayu itu dan memandanginya
sambil  tersenyum-senyum. Lalu melemparkan kayu itu
asal-asalan. Weess...!
Pletokk...!
"Aaauh...!"
Kayu yang jatuh di semak-semak belakang Suto itu
ternyata mengenai kepala  orang yang bersembunyi di
sana. Orang itu langsung  memekik dan keluar  dari
persembunyiannya  sambil  menghamburkan serangkai
makian.


"Dasar wedus!  Seenaknya  saja buang kayu! Lihat,
benjol kepalaku ini, tahu?!" Suto dimarahi.
"Oh, aku tidak tahu kalau  kau ada di situ, Paman.
Lain kali  kalau  mau menguntitku bilang  dulu, jadi aku
tidak buang kayu sembarangan," kata Suto Sinting yang
sebenarnya sudah tahu bahwa langkah kakinya dari tadi
dikuntit oleh seseorang.
"Kau yang melemparkan kayu itu, ya?!" bentak orang
yang digantung.
"Iya!" jawab orang berpakaian biru tua itu. "Memang
aku yang melemparmu. Mau apa kau?!"
"Kau yang memasang jerat ini, bukan?!"
"Bukan! Mau apa kau?!" orang berbaju biru dengan
usia sekitar empat puluh  tahun juga itu selalu  bersikap
menantang. Orang itu bertubuh agak gemuk dengan
hidung pesek tapi matanya lebar. Rambutnya pendek
mengenakan ikat kepala warna biru juga.
"Mengapa kau melemparkan kayu itu padaku?!"
"Karena ternyata kaulah yang memiliki jurus 'Bintara
Jingga' itu!"
"Apa maksudmu?" sela Suto Sinting. "Mengapa kau
bersikap memusuhi orang yang mempunyai jurus
'Bintara Jingga'? Apa salahnya?"
"Orang ituiah yang membuat penduduk desaku
menjadi lenyap dan desa menjadi sepi bagaikan kuburan.
Hanya aku yang masih hidup, sendirian! Aku kesepian
seperti anak yatim piatu, maka aku pun dendam kepada
pemilik jurus 'Bintara Jingga' itu!"
Dahi Suto Sinting berkerut mendengar penjelasan


yang disertai dengan luapan kejengkelan. Matanya
pandangi orang yang berpakaian biru, sementara orang
yang tergantung segera berkata kepada orang berpakaian
biru,
"Hei, aku baru ingin memiliki jurus itu. Bukan sudah
memiliki. Dengan bertapa gantung seperti ini, kata orang
kita bisa memiliki jurus 'Bintara Jingga'. Tapi nyatanya
baru akan mendapatkan jurus itu saja sudah sesak napas
dan dada menjadi bengkak begini!  Maka dari itu,
kubatalkan sajalah bertapaku ini. Tolong turunkan aku!"
Suto Sinting tersenyum geii. Akhirnya orang itu
mengaku secara tak langsung bahwa ia memang terkena
jerat. Namun permintaan tolong  itu sengaja diacuhkan
oleh  Suto. Ia malahan bicara dengan orang berpakaian
biru yang tinggi badannya sama dengan orang yang
tergantung.
"Benarkah penduduk desamu lenyap semua?"
"Benar. Justru aku berusaha mencari seseorang yang
bisa mengembalikan para tetanggaku."
"Lalu, apa hubungannya dengan sikapmu
menguntitku sejak dari lembah cadas tadi?"
Orang berpakaian biru itu tersipu-sipu. "Sial.
Rupanya ia tahu kalau kuikuti dari tadi? Hebat juga dia.
Tak  salah  lagi, pasti dialah orang yang bisa kumintai
bantuan."
Selesai membatin demikian, orang berpakaian biru itu
berkata, "Aku sengaja mengikutimu, karena aku punya
dugaan bahwa kau adalah Pendekar Mabuk, murid si
Gila Tuak yang bernama Suto Sinting."


"Jika benar begitu, lantas bagaimana?"
"Aku mau minta bantuanmu untuk membuat para
tetanggaku yang lenyap itu jadi muncui kembali."
"Enak saja. Kau sangka aku tukang sulap?!" gerutu
Suto Sinting. "Siapa namamu, Paman?!"
"Orang-orang memanggilku; Bagus Sepasar. Tapi
nama asliku sendiri; Wirusida."
Orang yang digantung berseru, "Hoi, tolong jeratanku
ini!"
Pendekar Mabuk tersenyum, ia menenggak tuaknya
sesaat. Orang berbaju hijau berkata membentak,
"Dimintai  tolong  melepaskan jeratan malah minum?
Huhh... dasar pemabuk!"
Brruuss...! Tiba-tiba sisa tuak di mulut  Suto
disemburkan dengan satu lompatan kecil. Walau
semburan itu hanya sedikit namun sempat mengejutkan
kedua orang itu. Mereka tidak tahu kalau semburan itu
adalah jurus 'Sembur Siluman' yang membuat tambang
itu menjadi lenyap seketika tanpa bekas. Orang yang
digantung pun segera jatuh tersungkur ke tanah.
Brrukk...!
"Aaauuh...!" ia mengerang kesakitan, dagunya
menjadi lecet akibat membentur akar yang mirip batu.
Tentu saja kedua orang itu menjadi tertegun bengong
dan terheran-heran melihat  tambang itu lenyap tak
berbekas.
"Sakti juga dia?" pikir orang yang tadi tergantung.
"Namamu siapa, Paman?" tanya Suto kepada orang
berbaju hijau.


"Hmmm... eeh... namaku; Mario Kere."
"Hmmm... nama yang bagus sekali,'" gumam Suto
memuji untuk membanggakan hati orang berbaju hijau.
"Apa benar kau sedang bertapa untuk dapatkan ilmu
'Bintara Jingga', Kang?" tanya Bagus Sepasar kepada
Mario Kere dengan nada agak sinis.
"Tidak. Aku tadi terjerat dan tergantung tanpa
kusengaja. Entah siapa yang memasang jerat itu."
"Lalu kau tahu tentang Jurus atau ilmu  'Bintara
Jingga' dari siapa?" Bagus Sepasar masih bernada
curiga.
"Aku pernah mendengar percakapan orang di sebuah
kedai, bahwa ada seorang yang  telah  berhasil
mempelajari jurus 'Bintara Jingga'. Kabarnya jurus itu
sangat sakti dan mampu melenyapkan manusia tanpa
setitik darah pun. Aku kagum dengan celoteh mereka
tentang jurus itu, lalu  nama jurus itu membekas dalam
ingatanku."
"Jangan-jangan memang kau pemilik jurus 'Bintara
Jingga' itu, Paman Mario Kere?!" kata Suto sekadar
iseng.
"Berani sumpah mati tanpa kenduri; aku tidak
mempunyai jurus itu!" kata Mario Kere dengan
sungguh-sungguh.
"Pendekar Mabuk, bisakah kau menolongku seperti
apa yang kukatakan tadi?" Bagus Sepasar memandang
Suto dengan penuh harap.
"Aku bukan tukang sulap, Paman Wirusida. Kalau
memang orang sedesa bisa dilenyapkan oleh jurus


'Bintara Jingga', berarti orang-orang itu telah mati tanpa
jasad. Aku bukan dewa yang bisa membuat orang mati
bisa hidup kembali, Paman."
Wirusida atau Bagus Sepasar tampak murung sedih.
"Soalnya, keluargaku juga ikut lenyap."
"Kalau  kau mau menemukan keluargamu  lagi,  aku
bisa membantumu," tiba-tiba Mario Kere berucap
dengan tegas.
"Kau bisa mempertemukan aku dengan keluargaku?"
"Yah, maksudnya dengan roh keluargamu. Kau bisa
bicara dengan mereka dan menanyakan siapa orang yang
melepaskan jurus 'Bintara Jingga' itu."
"Bagaimana caranya?!" Wirusida tertarik sekali.
"Kita pergi ke pondok Nyai Songket."
"Siapa itu Nyai Songket?!"
"Dukun pemanggil roh."
"Kalau  begitu, antarkan aku ke sana! Kau tahu di
mana pondoknya berada, bukan?"
"Tentu saja," jawab Mario Kere. "Tapi tentunya pula
ada upah tersendiri untukku."
"Aku punya empat ekor kambing yang tidak ikut
lenyap. Kau boleh  mengambilnya seekor sebagai
upahmu mengantarkan aku bertemu dengan Nyai
Songket."
"Oh, kau menyenangkan sekali, Kang! Baiklah, kita
berangkat sekarang saja supaya aku bisa lekas-lekas
ambil kambingmu itu! He, he, he...!" Mario Kere tertawa
kegirangan. Suto Sinting hanya tersenyum sambil
geleng-geleng  kepala  ketika mereka pergi


meninggalkannya. Namun setelah itu ia menjadi tertegun
dan berkata dalam batinnya sendiri.
"Benarkah ada jurus yang mampu melenyapkan orang
sedesa? Siapa pemiiik jurus 'Bintara Jingga' itu?"
Sambil  melangkah  pikiran Suto Sinting tertuju pada
jurus 'Bintara Jingga', ia menjadi penasaran dan ingin
tahu seperti apa kedahsyatan jurus itu.
"Atau jangan-jangan hanya dongeng belaka?" duga
hati Suto dengan sangsi. "Sayang sekali  tadi aku lupa
menanyakan nama desanya Paman Bagus Sepasar itu.
Seharusnya aku datang ke desa itu dan melihat
keadaannya, benarkah orang sedesa lenyap  semua atau
yang dimaksud 'lenyap'  adalah  pergi mengungsi ke
tempat lain?"
Pendekar Mabuk ingin kembali  mengejar Bagus
Sepasar dan Mario Kere, tapi langkahnya terhenti oleh
sekelebat bayangan yang melintas di sela-sela  pohon
sebelah barat. Suto Sinting menjadi curiga dengan orang
yang berkelebat cepat itu.
"Sepertinya orang itu sedang dikejar sesuatu atau
sedang mengejar sesuatu? Yang jelas ia dalam keadaan
tegang dan terburu-buru. Ada apa? Ah, kuikuti saja
gerakannya. Aku ingin tahu apa yang ia lakukan.
Jangan-jangan ada hubungannya dengan jurus 'Bintara
Jingga' itu."
Zlaapp...! Suto Sinting mengikuti arah pelarian
bayangan yang berkelebat tadi. Ia mampu menyusulnya
karena ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang
kecepatannya melebihi kecepatan anak panah terlepas


dari busurnya.
Rupanya sosok yang berlari cepat bagai bayangan itu
menuju ke sebuah bukit yang  tak seberapa tinggi dan
mudah didaki. Bukit itu mempunyai hutan tak seberapa
lebat, dan tampaknya sering digunakan orang untuk
memotong jalan menuju ke sebuah desa di seberang
barat bukit tersebut.
Namun Suto Sinting akhirnya terhenti sendiri dan
merasa terkejut karena orang yang diikutinya itu tahu-
tahu lenyap tak terlihat gerakannya. Mata anak muda itu
memandang dengan tajam ke alam sekelilingnya.
"Hmmm... dia menghilang atau lenyap  dihantam
jurus 'Bintara Jingga'? Atau jangan-jangan terperosok ke
sumur tua?!" pikir Suto Sinting sambil melangkah pelan-
pelan mencari orang tersebut.
Wuuutt...! Tiba-tiba kaki Suto menyentak pelan  ke
tanah dan tubuhnya melayang  di udara, akhirnya
hinggap di atas sebuah pohon. Dari sana ia melemparkan
pandangan lebih leluasa lagi.
"Kurasa ia bergerak ke arah puncak bukit. Coba
kuperiksa ke sana!" pikir Suto, kemudian segera melesat
melompati dahan demi dahan, hingga dari pohon ke
pohon tanpa menimbulkan suara gemerisik. Ilmu
peringan tubuhnya yang cukup tinggi itu membuat
pohon yang dihinggapi tak bergetar sedikit pun. Bahkan
ranting yang dipijaknya tak sempat gemertak patah
karena ringannya tubuh sang Pendekar Mabuk.
Sampai akhirnya langkah  itu pun terhenti karena
pandangan mata Suto beralih pada sesosok tubuh


berjubah kuning gading. Hatinya cepat berseru, "Seorang
gadis...?!"
Gadis itu bagai kebingungan mencari jalan karena
berada di antara kerimbunan semak ilalang.  Gadis itu
berambut panjang, sebagian disanggul.  Selain berjubah
kuning gading, juga mengenakan celana ketat dari
beludru hijau dan pinjung penutup dada warna hijau
pula.  Ia menyandang sebilah pedang di pinggang
kirinya. Dari kejauhan ia tampak cantik. Suto bergegas
turun untuk menemuinya. Tapi gadis itu melesat ke arah
yang tak diketahui Suto.
"Sial! Ke mana tadi si cantik perginya?!" Pendekar
Mabuk menyelusup di antara semak dan mencari
pemandangan elok yang tadi dilihatnya dari atas pohon.
Hatinya sempat membatin pula.
"Jangan-jangan peri penunggu hutan ini?! Oh, aku
bisa masuk perangkap peri jika kuikuti terus rasa
penasaranku ini?!"
*
*  *

2
HEMBUSAN angin menyapu rambutnya yang
panjang sepunggung meriap-riap. Sebagian rambut
sempat menyilang di wajah yang bermata cekung dan
berkulit  pucat itu. Pancaran mata cekungnya cukup
dingin, seakan mampu membekukan darah manusia
yang dipandangnya, ia mengenakan jubah lengan
panjang warna abu-abu tanpa dikancingkan bagian


depannya. Kain jubahnya itu pun melambai berkelebat
ditiup angin Bukit Ranjang Sotan.
Dengan tulang rahang yang tampak menonjol keras,
tulang  pipi juga bertonjolan kaku, wajah angker tanpa
kumis itu masih tidak bergeming dari tempatnya berdiri.
Sekalipun tubuhnya kurus, namun ia tampak tegak
dalam berdirinya, seakan tak pernah gentar menghadapi
lawan sehebat apa pun. Celana putih dan baju dalamnya
yang putih membuat keberadaannya di atas Bukit
Ranjang Setan tampak jelas meski dari kejauhan.
Ada sesuatu yang ditunggu oleh si wajah angker itu.
Dan sesuatu yang ditunggu itu pun akhirnya datang
menemuinya dalam bentuk kelebatan bayangan yang
melesat dari lereng menuju atas bukit tersebut. Wuuut...!
Kemudian bayangan berwarna  hitam itu berhenti di
depan si wajah angker dalam jarak empat langkah.
"Kusangka kau belum  datang, Demit Lanang!' ujar
bayangan hitam tadi. Wajah angker yang dipanggil
sebagai Demit Lanang itu tidak menggumam, ataupun
tersenyum sedikit pun. Hanya sorot pandangan matanya
yang tajam itulah yang bicara kepada orang di depannya.
"Maaf kalau aku membuatmu terlalu lama menunggu,
karena ada tiga orang yang harus kubantai  dulu di
selatan tadi."
Orang yang bicara memakai pakaian serba hitam
dengan  kepala  berambut pendek botak depannya.
Tubuhnya kekar walau  tak gemuk. Matanya besar,
bundar, dengan bibir tebal dan codet di pipi kanannya, ia
pun mempunyai pancaran sinar mata yang cukup tajam,


dengan tepian mata sedikit merah menandakan
keganasan jiwanya. Sebilah kapak lebar bergagang
panjang mirip tombak tergenggam di tangan kanan.
Mata kapak yang lebar  dan putih mengkilat itu masih
berlumur darah, menandakan habis dipakai untuk
membunuh lawannya. Bahkan darah itu masih menetes
membasahi rumput yang ada di bawahnya, ia berusia
empat puluh lima tahun, berarti lebih muda lima tahun
dari si Demit Lanang.
Setelah bungkam beberapa saat, Demit Lanang pun
mulai perdengarkan suaranya yang bulat dan besar,
menyeramkan.
"Apakah kau sudah siap untuk mati, Ladang
Bangkai?!"
"Setelah  membelah tubuhmu, aku baru siap mati,
Demit Lanang!"
"Baik," ucap Demit Lanang dengan suaranya yung
besar dan menggetarkan hati lawan yang bernyali kecil.
Namun bagi Ladang Bangkai yang punya nyali  lebih
besar dari seorang algojo, suara itu dianggap seperti
suara jangkerik di sela hutan.
Demit Lanang teruskan kata, "Jika memang kau
sudah siap mati, aku pun akan mengawali!"
Hembusan angin semakin meriapkan rambut Demit
Lanang hingga banyak yang menutup wajah. Wajah
angkernya bertambah semakin angker dalam  keadaan
diam tak bergerak dan bisu tak berkata lagi. Pandangan
matanya  tertuju lurus kepada si Ladang Bangkai.
Demikian  pula, Ladang Bangkai pun tak berkedip


pandangi Demit Lanang dengan pancaran  mata penuh
nafsu untuk membantainya.
Demit Lanang mengangkat tangan kirinya dengan
pelan  sekali. Jari-jarinya yang berkuku panjang
membentuk cakar yang makin lama semakin mengeras.
Tangan itu bergerak ke atas dengan dada semakin
dibusungkan pertanda menarik napas guna mengerahkan
tenaga dalamnya.
Ladang Bangkai segera menarik kaki kanannya ke
belakang dan mengambil  sikap miring, namun kapak
besarnya itu mulai diangkat dengan satu tangan.
Gagangnya yang panjang dikempit dengan ketiak, mata
kapaknya menghadap ke samping, tangan kirinya
melebar bagai sayap burung perkasa membentang kekar.
Tiba-tiba tangan si wajah angker memancarkan sinar
bergelombang warna biru. Sinar itu mengarah ke langit,
bukan ke lawannya. Bunyi denging menyebar bagai
ditujukan kepada sang matahari.
Duiiing...!
Gelombang sinarnya bergerak-gerak seperti
memanggil  bala tentara dari kayangan. Pada saat itu,
Ladang Bangkai melompat  ke samping kiri dengan
tubuh memutar dan kapak lebarnya menyabet dalam satu
putaran. Wuuung...!
Gerakan itu dilakukan oleh Ladang Bangkai, karena
ia tahu akan datang bahaya yang dapat menghancurkan
raganya. Ternyata perkiraan itu memang benar. Dari
langit melesat  sinar biru berkelok-kelok  yang
mempunyai daya luncur sangat cepat. Clap, clap, clap...!


Langsung menghantam tanah tempat Ladang Bangkai
tadi berdiri.
Jgaarrr...!
Tanah itu langsung retak lebar. Bukit Ranjang Setan
bergetar bagai ingin amblas ke bumi.
Sesuatu yang tak disangka-sangka Ladang Bangkai
terjadi  dalam  kejap berikutnya. Dari bongkahan tanah
yang retak itu melesat  pula  sinar biru berbentuk anak
panah yang langsung mengarah kepada Ladang Bangkai.
Slaappp...!
Ladang Bangkai melompat  menghindari sinar biru
berbentuk anak panah. Wuuttt...! Ia lolos dari sinar biru
tersebut. Sebuah pohon menjadi korban sasaran sinar
dari  dalam  bumi tadi. Blegarrr...! Pohon pun hancur
dalam keadaan menjadi arang.
Slaappp...! Muncul  lagi  satu sinar yang sama dari
dalam retakan tanah tadi. Sinar itu seakan tahu di mana
Ladang Bangkai berada sehingga segera mengarah
kepadanya.
Wuuuttt...! Ladang Bangkai kembali hindari sinar itu
namun kali ini dengan bersalto mundur satu kali. Sinar
seperti anak panah pun menghantam pohon lagi, dan
pohon hancur juga seperti tadi.
Slaapp...! Muncul lagi sinar yang sama dan mengejar
Ladang Bangkai dengan kecepatan tinggi. Ladang
Bangkai terdesak, sehingga terpaksa gunakan tangan
kirinya untuk melepaskan sinar merah seperti bola kecil
yang menghantam ujung sinar biru dari bumi.
Jlegaaarr...!


Sebelum  muncul  lagi  sinar biru seperti anak panah
dari dalam bumi, Ladang Bangkai segera lepaskan sinar
merah  kembali,  kali  ini berbentuk seperti bola yang
berukuran  sebesar  kepala  manusia dewasa. Wooosss...!
Sinar merah itu menghantam lubang tanah yang retak.
Blegaaarr...!
Bukit Ranjang Setan bagai mau kiamat.
Guncangannya cukup besar, membuat pohon-pohon
bimbang dan tanah di sekitar lereng menjadi longsor.
Bebatuan pun terguling dari tempatnya baik yang besar
maupun yang kecil. Namun sejak itu tanah yang retak
tidak mengeluarkan sinar biru seperti tadi.
Kemudian alam menjadi sepi, hanya hembusan angin
yang terdengar mendesah panjang, menyingkapkan
rambut Demit Lanang hingga meriap ke belakang.  Ia
tetap berdiri di tempat semula  tanpa gerakan apa pun.
Tangannya yang berkuku panjang sudah diturunkan
sejak tadi. Hanya  matanya yang masih bergerak
mengikuti gerakan Ladang Bangkai dengan sorot mata
setajam ujung pedang.
Ladang Bangkai pun berhenti dari gerakannya, ia
masih memasang kuda-kuda  walau  mulutnya lepaskan
tawa yang lantang, seakan melecehkan jurus lawan tadi.
"Ha, ha, ha, ha...! Permainan seperti itu ternyata
masih menjadi andalan bagimu, Demit Lanang!
Murahan sekali!"
Dengan masih bersikap dingin, Demit Lanang
berkata,
"Apakah kau mempunyai permainan yang tidak


murahan?! Jika memang kau memilikinya, tolong
tunjukkan kepadaku dan aku akan menilainya juga,
Ladang Bangkai!"
"O, jadi kau ingin menjajal kekuatanku? Baik, kurasa
kau akan menyesal  sesampainya di neraka nanti.
Heaaahhh...!"
Ladang Bangkai melompat dalam  satu gerakan
seperti bayangan berkelebat. Kapak lebarnya
dihantamkan bagai ingin membelah kepala Demit
Lanang. Wuukkk...
Laapp...!
Demit Lanang hilang, kapak itu menghantam tanah
bekas tempat berdirinya si Demit Lanang.  Jrruubb ..!
Dan begitu Ladang Bangkai menengok ke kiri, ternyata
Demit Lanang ada di sebelah kirinya dengan berdiri
tegak dan kedua tangan terlipat di dada,  ia tampak
tenang namun membangkitkan rasa penasaran hati si
Ladang Bangkai.
Tak heran jika Ladang Bangkai pun memutar tubuh
ke kiri, wuusss...! Lalu kapak lebarnya itu menyabet
dalam  satu putaran yang mampu memotong pinggang
lawan. Wuung...!
Laapp...!
Demit Lanang sudah ada di belakang Ladang
Bangkai, jaraknya sekitar delapan  langkah. Ladang
Bangkai berbalik  arah dan menggeram dengan gigi
menggelutuk dendam.
Kapak lebar yang ujungnya runcing membentuk mata
tombak itu segera ditancapkan ke tanah. Jrrrub...!


Kemudian tubuh Ladang Bangkai melambung ke atas
dengan menggunakan gagang tombak sebagai
tumpuannya. Wuuttt...!
Tubuh itu bersalto satu kali di udara dalam lompatan
tinggi. Tiba-tiba kedua kakinya sudah ada di  depan
Demit Lanang dan siap menjejak dada Demit Lanang.
Tapi dengan cepat pula  Demit Lanang
menghentakkan kedua tangannya ke depan, sehingga
telapak  tangan itu beradu dengan telapak kaki Ladang
Dangkal.
Plaaakk...! Blaarr...!
Sinar  merah berkerliap pecah menyebar dari
perpaduan tangan dan kaki itu. Ledakannya menggelegar
dan membuat tubuh Ladang Bangkai melambung balik,
kemudian turun ke bumi setelah  menyambar gagang
kapaknya lagi. Jlegg...!
Sedangkan Demit Lanang ternyata masih tetap tegak
di tempatnya dengan kedua kaki berdiri lurus sedikit
merenggang. Wajahnya menatap lurus  ke  depan dan
berkesan dingin. Angin menyapu rambutnya hingga
beberapa  lembar rambut melintang di wajahnya.
Ledakan tadi tidak membuatnya terluka sedikit pun, juga
tidak membuat Ladang Bangkai mengalami cedera apa
pun.
Gema  ledakan menghilang, dan hembusan angin
perdengarkan suaranya yang gemuruh samar-samar.
Kejap berikutnya, keduanya saling adu pandangan mata
dalam bisu.
Agaknya Ladang Bangkai merasa dongkol karena tak


mampu tumbangkan Demit Lanang. Kedongkolan itu
hanya dipendam sambil menarik napas dalam-dalam.
Kesunyian pun segera dipecahkan oleh suara Demit
Lanang yang mirip orang menggumam tapi terdengar
dengan jelas oleh lawannya.
"Hanya itukah andalanmu?!"
"Bangsat neraka!" geram Ladang Bangkai. "Jangan
dulu  merasa bangga, Demit Lanang. Tadi hanya
permainan kecilku yang sekadar untuk cuci mulut! Aku
belum mengeluarkan jurus andalanku yang sebenarnya."
"Hhmm...!  Kalau  begitu  keluarkanlah, aku siap
menerimanya!"
"Akan kuturuti permintaanmu, tapi sebelumnya  aku
ingin tahu dulu, apa maksudmu menantang pertarungan
denganku di bukit ini, Demit Lanang?!"
"Nah, ini yang kutunggu-tunggu dari tadi," kata batin
seseorang yang tadi mengintip pertarungan itu dari balik
semak-semak. Orang ini tadi hampir saja mati tertimpa
pohon  kalau  tak segera pindah tempat tanpa timbulkan
suara. Sang pengintai pertarungan itu mengenakan baju
coklat  tak berlengan, celananya putih kusam, ikat
pinggangnya warna merah. Rambutnya panjang sebatas
pundak tanpa ikat kepala, dan wajahnya begitu tampan,
sehingga sering membuat para gadis bergetar hati jika
memandang  senyumnya. Pemuda yang bersembunyi di
balik  semak  itu tak lain adalah si murid sinting Gila
Tuak dan Bidadari Jalang. Siapa lagi  jika  bukan Suto
Sinting,  sang Pendekar Mabuk, yang ke mana-mana
selalu membawa bumbung bambu isi tuak itu.


Sejak tadi Suto memang tidak mau ikut campur
dalam pertarungan itu. Ia hanya gemar menonton
pertarungan semacam itu, dan hanya akan berbuat
sesuatu jika dirasakan perlu. Sejak tadi dalam hati Suto
bertanya-tanya apa penyebab pertarungan tersebut,
namun agaknya baru sekarang pertanyaan batinnnya itu
akan mendapat jawaban dari mulut si Demit Lanang.
"Kau tak perlu berlagak bodoh, Ladang Bangkai."
kata Demit Lanang. "Kurasa hati kecilmu sudah cukup
tahu, apa sebabnya kita bertarung di bukit ini."
"Jelaskan selengkapnya, kecuali jika kau merasa takut
padaku, biarkan aku menerka-nerka sendiri  tujuanmu.
Jika kau memang merasa punya nyali cukup besar,
katakan apa maksudmu menantangku bertarung di bukit
ini!"
Demit Lanang diam sebentar, sepertinya menahan
gejoiak hati yang merasa terbakar karena dianggap
bernyali kecil oleh lawannya Setelah dua helaan napas,
Demit Lanang pun akhirnya berkata dengan suaranya
yang tetap menyeramkan.
"Kita bertarung untuk tentukan siapa yang berhak
bergelar Maha Guru dalam aliran silat kita, setelah Maha
Guru Teja Biru wafat!"
"Ha, ha, ha, ha...!" Ladang Bangkai tertawa lantang.
Badannya berguncang-guncang dengan kapak dipakai
sebagai  tongkat berdiri. Mulutnya tampak lebar  pada
saat tertawa.
Demit Lanang dongkol sekali, lalu ia menendang batu
kerikil sebasar kedondong. Tuuss...! Wuutt...!


Batu kerikil melesat  cepat mau masuk ke mulut
Ladang Bangkai. Tapi dengan cepat mulut itu terkatup
dan kapak bergerak ke depan mulut. Mata kapak
menutup bagian wajah.
Traang...! Batu itu menghantam mata kapak yang
lebar dan masih membekas merah karena darah. Hening
segera tercipta setelah  kejadian itu. Kejap berikutnya
Ladang Bangkai mulai bicara.
"Wasiat lisan dari Maha Guru Teja Biru sebelum
beliau wafat mengatakan, bahwa akulah orang yang
pantas menyandang gelar Maha Guru dalam perguruan
kita. Dengan begitu maka aku berhak mengawini Ratu
Jiwandani."
"Wasiat palsu!" ucap Demit Lanang bernada tajam.
"Maha Guru Teja Biru tidak pernah keluarkan wasiat
lisan seperti itu kepada siapa pun. Tapi dalam peraturan
yang tertulis pada Kitab Serat Merah, ynng berisi
peraturan bagi anggota Perguruan Darah Surga, bahwa
orang yang berhak menyandang gelar Maha Guru adalah
orang pertama yang menjadi murid Perguruan Darah
Surga. Sedangkan orang pertama yang masuk dalam
Perguruan Darah Surga adalah aku! Mengapa kau berani
merencanakan penobatan gelar Maha Guru untuk dirimu
sendiri, Ladang Bangkai?! Itu sama saja kau ingin mati
di tanganku!"
"Kau hanya mengarang-ngarang sebuah peraturan,
Demit Lanang. Kalau apa yang kau katakan itu memang
benar, tunjukkan padaku peraturan yang tertulis  dalam
Kitab Serat Merah itu!"


"Tentu saja aku tak bisa tunjukkan padamu karena
Kitab Serat Merah telah kau curi dan mungkin kau bakar
atau entah kau apakan! Hilangnya Kitab Serat Marah
membuatmu punya alasan untuk mengangkat diri
sebagai Maha Guru dalam aliran silat Darah Surga."
"Kau pikir aku yang mencuri kitab itu?!"
"Siapa lagi kalau bukan kau, karena kaulah yang
bernafsu untuk menjabat gelar Maha Guru! Kau memang
licik, Ladang Bangkai. Kau lenyapkan dulu Kitab Serat
Merah supaya tak ada orang yang menyangkal
penobatanmu. Tapi ketahuilah, aku masih hidup. Demit
Lanang  adalah  orang pertama yang  menjadi penganut
aliran silat Darah Surga. Siapa pun tak berhak bergelar
Maha Guru kecuali aku!"
"Rupanya kau menyatakan sebagai pihak yang akan
menentang calon Maha Guru, Demit Lanang! Jika begitu
maksudmu, aku tak akan segan-segan menghabisi
nyawamu sekarang juga! Heeeaaatt...!"
Ladang Bangkai berkelebat menerjang Demit Lanang
dengan satu lompatan teramat cepat. Weesss...!
Kapaknya menyambar kepala  Demit Lanang dalam
sekali tebas. Beettt...!
Laapp...!
Demit Lanang lenyap. Tahu-tahu sudah berada di atas
gugusan batu besar belakang Ladang Bangkai.
"Bangsat! Hadapi jurus 'Tebas Garang'-ku ini, jangan
lari kau!"
"Aku tak akan lari  darimu, Ladang Bangkai. Aku
hanya sekadar ingin lenyapkan jasadmu dari sini!"


"Tahan...!" seru sebuah suara.
Tapi Demit Lanang sudah terlanjur lepaskan jurus
mautnya yang memancarkan sinar Jingga dari  telapak
tangan kanannya. Claapp...!
Sinar Jingga menerjang tubuh Ladang Bangkai begitu
cepatnya, tak mampu dihindari dan ditangkis lagi.
Laaabb...! Tubuh kekar yang dihantam sinar jingga itu
tiba-tiba  lenyap, tinggal  pakaian dan senjatanya yang
jatuh terkulai di tanah. Setetes darah pun tak tersisa di
tempat Ladang Bangkai berada. Tubuh  itu bagaikan
lenyap ditelan gaib tanpa suara sedikit pan.
Pendekar Mabuk yang mengintip dari celah dedaunan
semak menjadi tercengang tak berkedip melihat
kedahsyatan sinar Jingga itu. Dan orang yang baru
datang, yang tadi berseru itu pun ikut tercengang dengan
terpaku di tempat, mulut  melongo  dengan mata pun
melebar.
*
*  *

3
ORANG yang mencoba mencegah tindakan  Demit
Lanang dengan seruannya tadi adalah  seorang
perempuan muda, cantik dan menawan. Usianya sekitar
dua puluh tiga tahun.
Gadis itulah yang tadi dilihat Suto menerabas ilalang
dengan mengenakan jubah kuning gading dan pinjung
penutup dadanya yang montok berwarna hijau tua. Gadis
itu tampak kecewa sekali melihat Ladang Bangkai telah


lenyap karena sinar Jingga dari tangan Demit Lanang.
Pandangan mata yang kecewa akhirnya berubah menjadi
kebencian.
"Kau kejam, Demit Lanang!" cacinya dengan mata
menyipit menandakan kebenciannya. "Adikmu  sendiri
kau lenyapkan dengan cara seperti itu! Apa lagi orang
lain, pasti kau perlakukan lebih kejam lagi!"
Demit Lanang masih diam dengan sikap dingin.
Matanya memancarkan ketajaman yang membuat  bulu
kuduk si gadis sempat merinding. Namun jiwa si gadis
masih tiada gentar menghadapi sorot pandangan mata
seperti itu. Keberaniannya masih ada untuk melontarkan
kata kecaman yang membuat Demit Lanang akhirnya
bicara.
"Manusia berhati apa kau ini, Demit Lanang?!
Dengan  adik sendiri saja kau tega membunuhnya.
Apakah kau tak ingat bahwa Ladang Bangkai adalah
satu Ibu denganmu?!"
"Benar. Tapi lain  ayah denganku," ucap Demit
Lanang  dengan suaranya yang besar dan bulat. Jelas
sekali  didengar  oleh  Suto Sinting dari tempat
persembunyiannya.
"Aku tahu maksudmu membunuh Ladang Bangkai,
hanya semata-mata  ingin menggantikan lamaran Maha
Guru Teja Biru terhadap Ratu Jiwandani!"
"Kau bukan orang Perguruan Darah Surga. Sebaiknya
tak perlu ikut campur urusan kami, Kinanti!"
"Oo... gadis itu bernama Kinanti?" gumam Pendekar
Mabuk dalam hatinya, ia tetap diam di persembunyian


menyadap percakapan mereka.
"Aku memang bukan orang Perguruan Darah Surga,
tapi akulah yyang berhak memberi pertimbangan kepada
Ratu untuk memenuhi perjanjian dengan  pihak
Perguruan Darah Surga atau membatalkannya!"
Demit Lanang diam sebentar, seperti ada sesuatu
yang dipertimbangkan dalam  benaknya. Kejap
berikutnya ia baru ucapkan kata penuh wibawa.
"Perjanjian itu harus ditepati jika Ratumu tidak ingin
negerinya hancur! Camkan kata-kataku ini, Kinanti!"
Laaapp...!
Tiba-tiba tubuh kurus itu lenyap  dari atas gundukan
batu. Kinanti yang ingin ucapkan kata menjadi batal dan
mulutnya hanya bisa ternganga tanpa  suara. Matanya
memandang mencari Demit Lanang.  Ternyata yang
dicari sudah ada di kaki bukit. Kinanti  ingin
menyusulnya, namun Demit Lanang sudah lenyap  lagi
dan pindah tempat semakin jauh.
"Aku harus mengabarkan peristiwa ini kepada Gusti
Ratu Jiwandani!" pikir Kinanti, kemudian ia segera
melesat  pergi dengan satu lompatan yang tergolong
cepat. Pendekar Mabuk tidak mau tinggal  di
persembunyian terus, ia pun segera melesat  pergi
mengikuti Kinanti. Karena gadis itu diharapkan bisa
memberikan penjelasan tentang persoalan yang
sebenarnya.
Pendekar Mabuk sempat kehilangan jejak lagi karena
Kinanti melesat dengan berbelok-belok  arah. Tak aneh
lagi  jika Pendekar Mabuk keluarkan gerutuan karena


merasa gagal mengikuti gadis cantik tadi.
Namun ketika tiba di atas tanggul sebuah sungai lebar
berair deras, mata Pendekar Mabuk menemukan seraut
wajah cantik lagi, yaitu wajah Kinanti yang mempunyai
bibir menggemaskan itu. Tapi keadaannya sudah
berbeda. Kinanti tidak sendirian, ia berada di tepi sungai
dalam  keadaan sedang berhadapan dengan dua orang
lelaki bertampang ganas. Mereka mempunyai tubuh
yang besar, tinggi dan kekar.
Yang mengenakan baju abu-abu itu bersenjatakan
cambuk di pinggangnya, berkumis lebat dengan mata
lebar. Sedangkan yang mengenakan rompi hitam itu
bersenjatakan golok besar tergenggam di tangan kirinya
dalam  keadaan berada  dalam  sarungnya. Lelaki yang
berompi hitam itu mempunyai kumis kecil namun
melengkung ke bawah hingga mencapai dagu.
Kedua  lelaki  itu berambut panjang sepundak, yang
berbaju abu-abu agak ikal, yang berompi hitam lurus dan
tipis, ia mengenakan ikat kepala dari kulit macan tutul,
dan gelang lebar dari kulit macan tutul juga. Sedangkan
yang berbaju abu-abu hanya mengenakan gelang hitam
dari akar bahar besar.
"Dunia ternyata sangat sempit bagimu, Kinanti, jauh
kau  lari  akhirnya bertemu juga denganku!" kata yang
berbaju abu-abu lengan panjang.
"Kau pikir aku jera bertemu denganmu, Setan Bejat?!
Justru aku berharap bertemu dengan kalian  berdua
supaya bisa menyelesaikan urusan kita dengan cara
mengirim kalian ke akhirat!"


"Berani juga gadis itu," pikir Suto Sinting tetap
bersembunyi.
"Bicaramu setinggi langit, Gadis cantik," kata yang
berompi hitam. "Tapi kenyataannya lebih  rendah dari
tanah yang dipijak. Sekarang kau tak akan lolos dari
kami, Kinanti. Saatnya kami membalas kematian
saudara kami yang kau bunuh bulan lalu."
"Kapan pun kalian ingin membalas dendam aku
sudah siap, Hantu Sesat! Kau dan si Setan Bejat boleh
maju bersama untuk mempercepat urusan kita!"
Kedua wajah ganas itu mulai tampak gusar. Mereka
saling pandang sebentar, kemudian si Setan Bejat
berkata kepada Hantu Sesat,
"Habisi dia! Jangan buat mainan!"
"Sayang  sekali," gumam Hantu Sesat. "Bagaimana
kalau kita nikmati dulu kemulusan tubuhnya itu?"
"Kalau  kau mampu lumpuhkan, tanpa membuatnya
luka dan kehilangan nyawa, aku setuju dengan usulmu,
Hantu Sesat!"
"Mundurlah, biar kutangani sendiri gadis itu. Kalau
sudah memuaskan kita, baru kita cabut nyawanya!"
Setan Bejat menyingkir agak jauh, duduk di atas batu
besar yang ada di pinggir sungai. Hantu Sesat mulai
melangkah  mencari kesempatan untuk melepaskan
serangannya. Tapi Kinanti tampak tenang dan tak
bergerak dari tempatnya.
Hanya saja, ketika Hantu Sesat tiba-tiba melompat
ingin menerjangnya, tubuh gadis itu memutar cepat
dengan tangan bagaikan menghentak kuat. Wuusss...!


Wuukkk...!
"Heegh...!" Hantu  Sesat mendelik, ulu hatinya
bagaikan dihantam dengan batu sebesar anak sapi. Ia
tumbang ke tanah dan berguling-guling nyaris masuk ke
sungai.
"Bangsat!" geramnya sambil bangkit kembali.
Kinanti menggerak-gerakkan tangan dan kaki seperti
orang menari. Gerakannya sangat lemah gemulai dan
indah ditonton dari atas tanggul, sehingga Suto Sinting
tersenyum dan berdecak mengaguminya.
Wuuttt...! Hantu Sesat menerjang dengan lompatan
rendah. Kedua tangannya menghantam secara beruntun
ke dada dan wajah Kinanti. Tetapi tangan gadis itu
menangkis setiap pukulan dengan gerakan cepat, bahkan
akhirnya gadis itu yang berhasil menghantamkan telapak
tangannya ke wajah Hantu Sesat dengan satu lompatan
kecil.
Plookk...!
Wuutt...! Brruuk...!
Hantu Sesat jatuh terpental dalam jarak tujuh langkah
ke belakang. Tubuhnya bersandar pada sebongkah batu
yang ada di daratan tepi sungai itu. Wajahnya tampak
merah matang bagaikan habis dibakar, ia menyeringai
sambil berusaha memegangi wajahnya. Namun wajah itu
agaknya terlalu sakit jika disentuh dengan tangannya.
Setan Bejat terperanjat melihat temannya berdarah.
Darah itu keluar  dari sudut mata Hantu Sesat. Maka
dengan serta-merta Setan Bejat melompat dari atas batu
dan mengarahkan tendangan kakinya ke punggung


Kinanti.
"Heeeaaatt...!"
Kinanti berbalik  arah dengan cara memutar sambil
melayangkan kaki kanannya. Wuuuttt...! Tepat pada
waktu itu kaki Setan Bejat hampir menyentuh
punggungnya. Dengan begitu maka kaki Kinanti
membuang tendangan Setan Bejat dalam  satu sentakan
yang cukup kuat.
Akibatnya Setan Bejat terpelanting. Tubuh besarnya
jatuh ke tanah dalam keadaan leher terlipat. Blluukkk...!
"Aaaoou...!" ia memekik keras dalam keadaan jungkir
balik.
Anehnya  dalam  satu kejap ia sudah mampu bangkit
dan berdiri tegak di depan Kinanti. Kedua tangannya
merentang membentuk cakar. Matanya mendelik dengan
amat gusar.
"Heaahh...!" Lalu, tiba-tiba tubuhnya memutar dan
kakinya berkelebat  menyampar wajah cantik itu.
Plaakk...! Kinanti terpental  ke samping dan jatuh
berguling-guling.
Gerakan tubuhnya yang berguling  itu berhenti tepat
di depan Hantu Sesat. Kesadaran yang belum
sepenuhnya dikuasai oleh Kinanti membuatnya tak bisa
hindari tendangan kaki Hantu Sesat yang menggeram
penuh dendam itu.
"Heeaah...! Modar kau, Bangsat!"
Plook...! Wajah cantik itu menjadi sasaran kaki kasar
kembali. Tubuh yang sekal itu terbuang ke belakang dan
terguling-guling membentur batu besar.


"Habisi dia!" teriak Hantu Sesat kepada Setan Bejat,
karena keadaan Kinanti lebih  dekat dengan si Setan
Bejat.
Orang berkumis tebal  itu  segera mencabut
cambuknya yang melengkung di pinggang. Cambuk itu
kini terlepas  dari ikatannya dan segera dilecutkan ke
tubuh Kinanti yang masih tersandar di batu dengan
hidungnya yang mancung keluarkan darah segar.
Taarrr...!
Kinanti sempat berguling  ke  kiri. Cambuk itu
mengenai batu besar dan batu itu menjadi retak pada saat
cambuk menghantamnya dengan diiringi percikan bunga
api dari ujungnya.
Kinanti buru-buru bangkit dengan sedikit
sempoyongan. Tapi tiba-tiba Hantu Sesat lepaskan
pukulan jarak jauh yang memancarkan sinar hijau dari
telapak tangannya. Slaappp...!
Kinanti menggeragap dan mencoba menghadang
sinar hijau itu dengan telapak tangannya. Dari telapak
tangan gadis itu keluar  cahaya bara merah. Dan sinar
hijau itu menghantam cahaya bara merah di  telapak
tangan Kinanti.
Duaarr...!
Tubuh gadis itu terbang melambung tinggi dalam
keadaan tidak terjaga keseimbangannya. Pada saat itulah
cambuk Setan Bejat ingin menghabisi nyaws  Kinanti
dengan lecutan kuat ke arah kepala Kinanti.
Taarrr...!
Blaarr...!


Ternyata cambuk itu menghantam sekelebat
bayangan yang melintas melindungi  kepala  Kinanti.
Benda yang terkena cambuk itu adalah bumbung
tuaknya Pendekar Mabuk yang mampu kembalikan
serangan lawan. Akibat lecutan cambuk kenai bumbung
tuak, maka ledakan besar pun terjadi dengan gelombang
sentakan yang cukup kuat.
Setan Bejat terjungkal ke belakang akibat gelombang
ledakan tadi. Kepalanya membentur batu dengan cukup
keras. Untung kepala  itu tak sampai  bocor, namun
sempat membuat mata Setan Bejat berkunang-kunang
dan berdirinya tak bisa tenang. Sesekali menggeloyor ke
kanan atau ke kiri karena semua benda terasa berputar
dengan cepat.
Kemunculan Pendekar Mabuk membuat pertarungan
terhenti sejenak. Kedua orang buas itu sama-sama
memandang Suto Sinting dengan luapan  api amarah
semakin nyata. Sedangkan Kinanti berusaha memandang
dengan mata sedikit buram, ia bersandar pada batu tinggi
dalam  keadaan  lemas. Wajahnya pucat dan tangan
kanannya menjadi memar membiru akibat menangkis
sinar hijaunya Hantu Sesat tadi.
"Siapa dia? Mengapa tiba-tiba muncul memihakku?"
pikir si gadis dengan masih menahan rasa sakitnya.
Sementara itu, kedua orang bengis sudah berdiri
bersebelahan dalam jarak dua langkah. Keduanya sama-
sama menggeletukkan gigi bagai tak sabar ingin
lepaskan serangan lagi. Tapi Setan Bejat yang wajahnya
menjadi matang dan darah dari sudut matanya masih


merembas perlahan-lahan segera serukan kata liarnya.
"Siapa kau, Jahanam laknat?! Beraninya kau campuri
urusan kami dengan gadis itu. Apakah kau kekasihnya
Kinanti?!'
"Benar. Aku kekasihnya!" jawab Suto tegas membuat
Kinanti gelisah, menahan berbagai rasa yang tak bisa
dijelaskan.
"Sebagai seorang kekasih, aku berhak membelanya!"
kata Suto Sinting "Kalian keterlaluan. Sebagai lelaki
berbadan besar dan kekar hanya untuk melawan
perempuan. Sebaiknya kalian bermain dengan anak-anak
seusia delapan tahun saja."
"Kurobek mulutmu, haaah...!"
Suto Sinting yang pandangi wajah Setan Bejat hanya
diam saja ketika Hantu Sesat menghampirinya,
kemudian menghantam wajahnya dengan kepalan
tangannya yang besar itu. Plook...! Plookk...!
Rambut Suto Sinting dijambaknya, kemudian diadu
dengan lututnya. Prook...!
"Aaaa...!"
Hantu Sesat terkejut mendengar teriakan itu. Bukan
orang yang dihajarnya yang menjerit kesakitan,
melainkan temannya sendiri; si Setan Bejat. Wajah
temannya itu menjadi berlumuran darah dan sekarang
sedang menggeloyor  sambil  pegangi  kepalanya,
akhirnya jatuh terduduk sambil  kejang-kejang.  Giginya
rontok sebagian, bibirnya robek dan matanya biru
memar.
Sementara itu Suto Sinting masih diam dengan


senyum membayang di bibirnya. Tak ada luka sedikit
pun di wajah si tampan Suto itu. Sepertinya ia tak pernah
terkena pukulan sama sekali.
Kinanti terheran-heran walaupun ia masih berusaha
menahan rasa sakit di tubuhnya.
Mereka tak tahu kalau Suto Sinting menggunakan
jurus 'Alih Raga'. Dia yang dipukul tapi orang lain yang
kesakitan. Hal itu dilakukan saat ia pandangi Setan Bejat
tadi, segenap inti rasa sakit dipindahkan ke raga si Setan
Bejat. Karenanya ketika dia dihajar sekuat tenaga  oleh
Hantu Sesat, rasa sakitnya sudah terkirim ke tubuh Setan
Bejat.
"Kenapa kau yang kesakitan, Setan Bejat?! Sejak
kapan kau punya penyakit latah?!" kata Hantu Sesat.
"Mampus aku! Mampus aku! Kepalaku pecah.
Oooh... sakitnya!"
"Hmmm... aku tahu, anak muda itu punya jurus lain
dari yang lain!" gumam Hantu Sesat. "Jika dia yang
kupukul, maka kau yang kesakitan, Setan Bejat. Jadi jika
kau yang kupukul, maka dia yang akan kesakitan! Nih,
rasakan pembalasanku, Pemuda pongah! Haaahh...!
Heeeaahh...!"
Plak, brrukk...! Prak, prak, plok, buk, buuhg...!
"Aaauuuh...! Hentikan! Hentikan!" teriak Setan Bejat
yang semakin kesakitan dihajar Hantu Sesat.
"Aku tahu yang berteriak kesakitan bukan kau, Setan
Bejat, tapi si pongah itu! Rasakan pembalasan ini!
Haaaeh...! Hiaaah...! Modar kau!"
Wuuss...!  Tubuh Setan Bejat akhirnya terlempar


karena  pukulan  bertenaga dalam dari teman sendiri.
Rahangnya retak dan pelipisnya memar membuat
telinganya berdarah. Hantu Sesat kerutkan dahi pandangi
Setan Bejat yang terkapar tak berdaya itu.
"Celaka! Aku hampir membunuh teman sendiri!
Anak muda itu masih tetap tenang-tenang saja?"
Hantu Sesat serba salah, tak tahu harus bagaimana
melawan anak muda yang belum  diketahui sebagai
Pendekar Mabuk itu. Akhirnya ia memutuskan  ntuk
segera membawa pergi Setan Bejat dengan
meninggalkan ancaman kepada Suto Sinting.
"Kuakui sekarang kau unggul! Tapi tak berapa lama
lagi aku akan berhadapan denganmu tanpa membawa
teman satu pun. Kita berhadapan satu persatu! Dan kau,
Kinanti...! Hutangmu harus kau bayar secepatnya. Setiap
waktu aku akan datang mancabut nyawamu sebagai
ganti nyawa teman kami!"
Blaass...! Hantu Sesat pergi sambil  memanggul  si
Setan Bejat. Pendekar Mabuk hanya tersenyum, lalu
meneguk tuaknya.
*
*  *

4
BEBERAPA teguk tuak membuat Kinanti sehat
kekuatannya kembali seperti semula, ia bahkan merasa
badannya lebih segar dari sebelum melakukan
pertarungan.
"Sering kudengar namamu, sering kudengar pula


kesaktian tuakmu, tapi baru kali ini semuanya kualami,"
kata Kinanti dengan senyum tipis. Agaknya gadis yang
tidak suka mengumbar tawa dan senyum. Namun ia
masih bisa tampil dengan sikap bersahabat. Sikapnya itu
membuatnya lebih dikagumi Pendekar Mabuk, sehingga
sang pendekar tampan  itu lebih hati-hati dalam
bertindak, bersikap dan bercanda.
"Untung kau datang dan cepat bertindak. Andai tidak,
mungkin aku berhasil mereka bunuh demi membalas
dendam atas kematian Roh Gayung, teman mereka yang
kubinasakan sebulan yang lalu."
"Kulihat kau sebenarnya mampu menumbangkan
mereka. Hanya sayangnya kau tidak mau menggunakan
jurus-jurus mautmu. Aku yakin kalau kau menggunakan
jurus andalanmu, dalam sekali gebrak mereka tumbang
bersama."
"Kau terlalu yakin pada diriku," kata Kinanti sambil
membersihkan jubahnya yang sempat kotor itu. "Ilmuku
tak sehebat ilmumu, Suto."
"Ilmuku pun tak seberapa tinggi," ujar Suto
merendahkan diri. Tapi gadis  itu tahu, dan ia hanya
sunggingkan senyum tipis.
"Kalau kau bukan pendekar berilmu tinggi, tak
mungkin ratuku pernah punya rencana untuk
mengundangmu datang ke Lembah Birawa."
"O, jadi ratumu pernah ingin mengundangku? Kapan
itu?"
"Ketika kami diserang oleh orang-orang Pulau Teluh.
Hampir saja wilayah kami direbut dan dikuasai oleh


orang-orang Pulau Teluh."
"Lalu, akhirnya bisa selamat?"
"Ya. Berkat bantuan dari orang-orang Perguruan
Darah Surga."
Suto Sinting diam sebentar, mengingat nama
perguruan yang pernah didengarnya dalam percakapan
di Bukit Ranjang Setan. Karenanya Suto segera ajukan
tanya kepada Kinanti.
"Bukankah perguruan itu adalah perguruannya Demit
Lanang?"
"Memang benar. Apakah kau mengenal Demit
Lanang?"
Suto tersenyum kecil. "Aku memperhatikan
pertarungan Demit Lanang dan Ladang Bangkai. Sampai
kemunculanmu pun kuperhatikan. Kudengar apa saja
yang kalian bicarakan."
"Ooo... pantas kau bisa datang ke sini tepat pada saat
aku dalam keadaan terdesak?! Rupanya kau bukan saja
seorang pendekar, namun juga seorang pengintai, ya?!"
Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara. "Maaf,
kulakukan hal itu karena rasa ingin tahu tentang sebuah
ilmu yang sedang  ramai dibicarakan orang orang di
rimba persilatan," Suto sempat beralasan untuk menutupi
kenakalannya.
"Maksudmu, sebuah jurus maut yang bernama
'Bintara Jingga'?"
"Benar. Aku sangat penasaran dan ingin tahu siapa
pemiliknya."
"Kurasa kau sudah mengetahuinya, Suto."


Dahi pemuda tampan itu berkerut sejenak.
"Maksudmu... Demit Lanang itulah pemiliknya?"
"Tepat  sekali. Demit Lanang pula yang membantu
kami mengusir orang-orang Pulau Teluh. Tapi semua itu
atas perintah mendiang ketuanya: Maha Guru Teja
Biru."
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut sebentar,
setelah itu kembali bertanya, "Sepertinya ratumu sedang
menjadi incaran si Demit Lanang dan Ladang Bangkai.
Apa benar begitu?"
"Kau bersedia datang ke Lembah Birawa dan bertemu
dengan Ratu Jiwandani?"
"Hmmm...." Suto mempertimbangkan sejenak.
"Sekadar bertemu saja. Karena menurut dugaanku,
kedatanganmu akan membuat sang Ratu bahagia sekali
dan pasti akan terjadi suatu pembicaraan penting antara
kau dan sang Ratu."
"Baiklah," akhirnya Suto menyetujui usul Kinanti.
Mereka melangkah menuju Lembah Birawa sambil
Kinanti jelaskan persoalan sebenarnya.
"Waktu pihak kami terancam orang-orang Pulau
Teluh, sang Ratu meminta bantuan Perguruan Darah
Surga. Sebab kami tidak tahu di mana mencarimu walau
sebenarnya ingin sekali meminta bantunmu.  Akhirnya
pihak Perguruan Darah Surga yang kami pilih untuk
mendukung kami. Namun Maha Guru Teja  Biru
mempunyai satu syarat."
"Apa syaratnya?" tanya Suto bagai tak sabar.
"Ratu Jiwandani adalah perawan suci yang tak pernah


dijamah oleh lelaki mana pun juga. Beliau mempunyai
perjanjian dengan leluhurnya, bahwa apabila  Lembah
Birawa masih dalam ancaman bahaya orang-orang Pulau
Teluh, sang Ratu tidak ingin menikah dengan pria mana
pun. Hati Ratu Jiwandani akan terbuka untuk seorang
pria jika Lembah Birawa tidak diganggu lagi oleh orang-
orang  Pulau Teluh.  Sebab  orang-orang  Pulau Teluh
selalu bermusuhan sejak Lembah Birawa dipegang oleh
nenek buyutnya sang Ratu."
Kinanti  bicara dengan sungguh-sungguh, kedua
tanganya ikut bergerak-gerak memperjelas
keterangannya. Pendekar Mabuk tampak berminat sekali
mengikuti cerita itu, hingga lebih banyak diam daripada
mengajukan beberapa pertanyaan.
"Mulia Guru Teja Biru mempunyai syarat, apabila
mereka berhasil menumbangkan Penguasa Pulau Teluh
dan membebaskan Lembah Birawa dari gangguan orang-
orang pulau itu, maka sang Ratu harus bersedia dinikahi
oleh Maha Guru Perguruan Darah Surga. Sang Ratu pun
menyetujui perjanjian tersebut, bahkan ditulis di
selembar lontar. Sayangnya  dalam  perjanjian itu tidak
ditulis nama Maha Guru Teja Biru. Yang tertulis hanya
nama Maha Guru Perguruan Darah Surga."
"Hmmm..., ya, ya... aku paham sekarang," gumam
Suto sambil manggut-manggut dan tetap berjalan pelan-
pelan.
"Maha Guru Teja Biru bermaksud menikahi Ratu
Jiwandani setelah ia selesai  lakukan  semadi selama
empat puluh hari menghadap sang Dewata. Tetapi


sesuatu telah terjadi secara mengejutkan. Ketika  Maha
Guru Teja Biru sedang menjalankan semadinya yang
kedua puluh hari, tiba-tiba beliau tewas terbunuh di
dalam ruang semadinya. Entah siapa yang
membunuhnya, yang jelas jabatan sebagai ketua
perguruan dan gelar Maha Guru menjadi kosong. Tetapi
perjanjian tidak bisa batal, sebab yang tertulis  bukan
nama Teja Biru. Mau tak mau sumpah dan  perjanjian
antara Perguruan Darah Surga dengan pihak sang Ratu
tetap berlaku. Dugaan kami, dan beberapa murid
perguruan itu sendiri, orang yang membunuh Maha Guru
Teja Biru adalah  Ladang  Bangkai, sebab dia segera
merencanakan upacara penobatan dirinya sebagai Maha
Guru yang menggantikan kedudukan Teja Biru."
"Masuk akal sekali," gumam Suto Sinting, ia diam
kembali. Kinanti lanjutkan penjelasannya sambil tetap
melangkah.
"Ladang Bangkai sendiri sudah menghadap Ratu
Jiwundani dan mengatakan bahwa dialah yang akan
menggantikan kedudukan Maha Guru Teja Biru, dan itu
berarti dia juga yang akan menjadi suami sang  Ratu
sesuai perjanjian tersebut. Tapi rupanya ada pihak lain
yang tidak suka dengan rencana itu."
"Demit Lanang maksudmu?"
"Ya. Demit Lanang menghadap ratu kami dan
mengatakan akan menyingkirkan siapa pun yang
menjadi  Maha Guru di perguruan tersebut. Bahkan
Demit  Lanang mengatakan akan secepatnya menikahi
sang Ratu sesuai dengan perjanjian. Dia tidak akan


mengulur waktu dengan lakukan semadi segala  seperti
Maha Guru Teja Biru."
"Lalu bagaimana pendapat Ratu Jiwandani?"
"Tentu  saja sang Ratu amat sedih. Beliau merasa
terjebak dalam perjanjian yang mematikan langkahnya.
Kini ia merasa dipakai sebagai bahan rebutan oleh
murid-murid Perguruan Darah Surga yang tergolong
beraliran sesat, walau sebenarnya Perguruan  Darah
Surga sendiri aslinya beraliran putih. Pada dasarnya sang
Ratu tidak keberatan jika harus menikah dengan Maha
Guru Teja Biru, karena mendiang Maha Guru Teja Biru
berjiwa bersih dan belum pernah  beristri. Tetapi jika
Ketua Perguruan Darah Surga  dipegang oleh Demit
Lanang atau yang lainnya, sang Ratu merasa keberatan.
Hanya saja, sang Ratu  tidak bisa mengelak dari bukti
tertulis itu."
"Apakah tak ada niat untuk menolak secara halus
maupun secara kasar?"
"Ratu Jiwandani merasa kalah tinggi ilmunya jika
harus menolak secara  kasar. Apalagi Demit Lanang
sudah menguasai jurus 'Bintara Jingga', jelas sang Ratu
merasa sangat kecil ilmunya dibandingkan Demit
Lanang. Karenanya aku segera diutus untuk menyelidiki
orang-orang perguruan itu dan mencari kelemahan
mereka. Tapi sampai sekarang yang  kutemukan hanya
kelemahan tak berarti, tak cukup  kuat sebagai alasan
membatalkan perjanjian tersebut."
Pendekar Mabuk berhenti sebentar untuk menenggak
tuaknya. Sambil melangkah kembali, dia berkata kepada


Kinanti.
"Jadi seandainya...," ucapan itu terhenti, karena tiba-
tiba Kinanti terpekik kaget dan hentikan langkahnya.
"Oooh...?!" mata yang berbulu lentik itu terbelalak
lebar. Pandangan mata bening itu tertuju ke rerumputan.
Di sana ada pakaian wanita dan sebilah  pedang yang
bentuk dan warnanya sama persis dengan pedang yang
terselip di pinggang Kinanti.
"Apakah kau mengenal pemilik pakaian dan pedang
itu?"
"Ya, aku sangat mengenalnya, ini pakaian Senja
Putih, temanku. Dia termasuk salah satu prajurit  duta
istana yang tugasnya diutus ke sana-sini oleh ratu kami."
"Hmmm... lalu, kenapa kau terkejut? Mungkin
temanmu sedang melakukan sesuatu di sekitar sini.
Misalnya mandi si sungai yang tadi kita seberangi  itu
atau...."
"Tidak. Tidak mungkin ia ada di sekitar sini. Ia pasti
telah lenyap terkena jurus 'Bintara Jingga'. Raganya
musnah tanpa bekas kecuali pakaian, perhiasan dan
senjatanya. Karena memang begitulah ciri-ciri orang
yang menjadi korban jurus 'Bintara lingga' seperti yang
kau lihat sendiri pada nasib  Ladang Bangkai"
"Hmmm... kalau begitu belum lama ini Demit Lanang
lewat daerah sini?!" gumam Suto Sinting seakan bicara
pada dirinya sendiri.
"Ya, aku yakin begitu. Seroja Putih terlibat bentrokan
dengan Demit Lanang, hingga Demit Lanang keluarkan
jurus andalannya. Sebab, Seroja Putih memang ilmunya


lumayan tinggi. Hanya saja, apakah pertarungan itu
dilakukan setelah Demit Lanang pergi dari Bukit
Ranjang Setan tadi, atau sebelumnya, yaitu saat ia
menuju ke Bukit Ranjang Setan untuk  bertarung
melawan adiknya sendiri."
Rona duka terlihat jelas  di  wajah Kinanti. Suto
Sinting  tak berani main-main. Bahkan sang Pendekar
Mabuk menampakkan raut wajahnya yang ikut berduka
atas kematian Seroja Putih itu.
Kinanti segera mengambil pakaian tersebut bersama
pedangnya. "Akan kutunjukkan kepada sang Ratu
mengenai  kekejaman Demit Lanang ini!" ucapnya lirih
dan bergetar karena membendung tangis.
"Aku setuju dengan rencana itu. Nanti aku akan ikut
memperkuat laporanmu kepada sang Ratu," kala Suto
Sinting dengan sikap tenang tapi dalam suasana hati ikut
berkabung.
Langkah mereka mulai dipercepat, karena nanti tak
sabar ingin segera menghadap ratunya dan menyerahkan
bukti kekejaman Demit Lanang dengan jurus 'Bintara
Jingga'-nya itu. Pendekar Mabuk tetap mendampinginya
dengan langkah disesuaikan kecepatan jalan Kinanti.
"Apakah kau tahu kelemahan jurus 'Bintara  Jingga'
itu, Kinanti?"
"Tidak ada yang tahu," jawab Kinanti agak datar.
"Jurus itu jurus yang termasuk dilarang dipelajari  oleh
para murid Perguruan Darah Surga. Namun  agaknya
Demit Lanang berhasil mencuri kitab perguruannya dan
menyalin pelajaran jurus 'Bintang Jingga', lalu kitab itu


dikembalikan ke tempat semula. Maha Guru Teja Biru
sendiri kaget ketika Demit  Lanang melenyapkan
beberapa orang Pulau Teluh  dengan sinar Jingganya.
Namun persoalan itu agaknya dipendam dulu oleh sang
Maha Guru Teja Biru  dan akan diurus  setelah beliau
lakukan perkawinan dengan Ratu Jiwandani. Tapi
sebelum  hal itu terjadi  beliau sudah lebih  dulu tewas
secara menyedihkan
"Hmmm...  kalau  begitu kesimpulanku mengatakan,
bahwa orang yang membunuh Maha Guru Teja Biru itu
adalah Demit Lanang sendiri."
"Apakah ada alasan lain yang tidak ada hubungannya
dengan ratuku?"
"Ada," jawab Suto. "Alasan lain itu adalah siasat
Demit Lanang menghindari hukuman dari sang Maha
Guru, karena ia merasa bersalah telah pelajari jurus itu
tanpa seizin gurunya."
Langkah itu pun terhenti kembali, dan mereka berdua
dikejutkan dengan seorang perempuan cantik berjubah
putih dengan pinjungnya yang berwarna ungu,  sama
dengan warna celananya. Gadis itu sangat mengejutkan
Suto Sinting, karena ia sangat dikenal oleh Suto.
Perempuan yang masih tampak muda dan cantik itu
tak lain adalah Salju Kelana, yang mula pertama bertemu
dengan Suto Sinting dalam keadaan gila, lalu setelah
diobati dengan tuak saktinya Suto, ia masih berpura-pura
buta. Suto Sinting tak bisa marah dengan perempuan itu,
sebab wajah Salju Kelana mirip  sekali dengan wajah
calon istri Suto Sinting yang menjadi ratu di Negeri Puri


Gerbang Surgawi, yaitu perempuan cantik yang bernama
Dyah Sariningrum. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode "Rencong Pemburu Tabib").
Salju Kelana yang ternyata adalah kakak dari Kelana
Cinta, mata-mata utusan Ratu Asmaradani dari  Negeri
Ringgit Kencana itu, kini menatap Kinanti dengan sorot
pandangan mata mengandung kecemburuan  yang
terpendam. Suto Sinting mulai was-was,  khawatir jika
kedua perempuan cantik itu saling  bertarung  gara-gara
kesalahpahaman. Sebab itulah, Suto  Sinting segera
menyapa dengan senyum menawannya kepada Salju
Kelana,
"Dari mana kau, Salju Kelana? Kebetulan sekali kita
bertemu di sini."
"Kau  dusta,  Pendekar Mabuk!" kata Salju Kelana
dengan nada ketus. "Kau bilang ingin menyusul kami ke
Pulau Jelaga, ternyata kau justru menempel pada gadis
itu dan membiarkan aku serta Tua Bangka
menumbangkan Gandapura, si pemakan manusia  itu!
Kami menunggumu sampai beberapa hari di Pulau
Jelaga. Tapi karena kau tidak datang juga, terpaksa aku
dan Tua Bangka yang menumbangkan Gandapura."
"Maafkan aku, setiap aku mau ke Pulau Jelaga selalu
saja ada hambatannya. Langkahku ke sana jadi tertunda-
tunda sampai saat ini. Maafkan aku, Salju Kelana." Suto
memang pernah berjanji akan Pulau Jelaga untuk
menggempur Gandapura. Salju  Kelana disuruhnya
berangkat lebih dulu bersama Tua Bangka, karena Suto
Sinting harus pamit kepada gurunya, si Gila Tuak. Tapi


perjalanan Suto menyusul ke Pulau Jelaga selalu
terhambat oleh masalah-masalah yang harus ditangani,
seperti misalnya masalah yang dihadapi saat ini. Tetapi
agaknya Salju Kelana tidak mau tahu akan hal itu.
"Tentu saja langkahmu tertunda karena  hatimu  tak
bisa berpaling jika melihat perempuan cantik.  Matamu
tak bisa berkedip jika memergoki seraut wajah yang
enak dipandang mata."
"Kau bicara apa, Salju Kelana?!" tiba-tiba Kinanti
yang memang sudah mengenal Salju Kelana sejak dulu
itu berkata dengan nada ketus dan bersikap menantang.
Salju Kelana tak pernah perlihatkan rasa takutnya, sebab
ia memang wanita cantik yang punya nyali cukup besar.
Suto Sinting buru-buru alihkan percakapan  setelah
melihat Kinanti dan Salju Kelana saling adu pandangan
mata. Itu gejala-gejala akan terjadi pertarungan  antara
mereka berdua jika alam pikiran mereka  tidak  segera
dialihkan.
Maka  Suto Sinting pun segera berkata kepada Salju
Kelana,
"Salju, bagaimana kabarnya Tua Bangka?"
"Baik!"  jawabnya singkat dengan wajah cemberut
tipis.
"Gandapura bisa ditumbangkan dengan Kapak Setan
Kubur?!"
"Kalau tak bisa aku dan Tua Bangka tak mungkin
bisa pulang kemari lagi, Tolol!"
Salju Kelana tampak semakin geram, sepertinya ingin
buru-buru melepaskan kemarahannya, baik kepada Suto


maupun kepada Kinanti. Namun tak jelas apa sebab
utama kemarahannya itu; masalah  janji Suto atau
masalah kecemburuannya terhadap Kinanti?
*
*  *

5
BAGAIMANAPUN juga Suto Sinting lebih memilih
Salju  Kelana  daripada Kinanti, seandainya  ia dipaksa
harus memilih. Sebab Salju  Kelana  yang mirip sekali
dengan Dyah Sariningrum itu  telah  berhasil mendapat
'kapling' di tepi hati Pendekar Mabuk. Andai saja Dyah
Sariningrum tidak ada, pasti Salju Kelana yang menjadi
pilihan utama bagi hati murid sintingnya Gila Tuak itu.
"Suto akan kubawa menemui Ratu Jiwandani."  kata
Kinanti saat ditanya Salju Kelana tentang tujuan mereka.
Kinanti menyambung kata,
"Ada persoalan yang akan diselesaikan Suto sana!"
"Tidak boleh!" tegas Salju Kelana.
"Apa hakmu melarang Suto datang ke istana Lembah
Birawa?!" hardik Kinanti.
"Dia punya urusan sendiri denganku secara pribadi!"
"Peduli amat dengan urusanmu, aku lebih dulu
menemukan Suto!"
"Aku kenal dia lebih dulu dari kau!"
"Persetan dengan perkenalanmu! Dia harus ku bawa
ke Lembah Birawa!"
"Tidak boleh!" bentak Salju Kelana.
"Aku akan nekat membawanya!"


"Aku akan menghalangi langkahmu!"
"Aku akan menyingkirkan nyawamu!"
"Tidak mungkin bisa karena nyawamu lebih dulu ku
kirim ke neraka!"
"Jadi mau apa kau, hah?!"
"Kau sendiri mau apa?!"
Mereka saling maju, bertolak pinggang, saling
pandang dengan sorot mata penuh tantangan. Pendekar
Mabuk hanya garuk-garuk kepala sambil cengar-cengir.
"Repot juga kalau begini," gerutunya dalam hati.
Wuttt...! Kinanti lebih dulu menyerang Salju Kelana
dengan  tendangan kakinya. Salju Kelana menangkis
memakai tangan kirinya. Plakkk...!
Kinanti  putar tubuh dan tiba-tiba sentakkan tangan
kanannya untuk menghantam dada lawan dengan telapak
tangan yang sudah dialiri tenaga dalam itu. Tapi Salju
Kelana tidak kalah cekatannya. Telapak tangannya pun
diadu dengan telapak tangan Kinanti.
Plakkk...! Wusss...!
Asap mengepul ketika mereka saling dorong, saling
lepaskan tenaga dalam untuk tumbangkan lawan.
Pendekar Mabuk segera melompat ke arah semak-
semak sambil berseru, "Hai... mau ke mana kau Demit
Lanang! Berhenti...!"
Seruan  Suto membuat kedua perempuan cantik itu
saling lepaskan serangan. Wajah mereka sama tegangnya
memandang ke arah kepergian Suto Sinting.
"Ada apa dengan Demit Lanang?!" tanya Salju
Kelana.


"Dia sudah kuasai jurus 'Bintara Jingga' dan sekarang
sedang menjadi buruan kami!"
"Celaka! Suto biaa lenyap di tangan Demit Lanang!
Aku harus membantunya!"
Blasss...!
"Aku juga akan membantunya!" Blasss...!
Kedua perempuan itu sangat khawatirkan
keselamatan Pendekar Mabuk. Mereka menyusul Suto
Sinting dengan penuh kegeraman terhadap Demit
Lanang. Sebab Salju Kelana sudah kenal siapa Demit
Lanang dan Perguruan Darah Surga itu.
Di tanah datar berpohon renggang, mereka
menemukan Suto Sinting sedang menenggak tuaknya.
Selesai menenggak tuak pendekar ganteng itu tersenyum
geli membuat kedua wanita cantik itu  terheran-heran.
Mata mereka sempat memandang alam  sekeliling
mencari Demit Lanang.
"Mana si Demit Lanang itu?!" tanya Kinanti siap
dengan pedang milik Seroja Putih.
"Maaf, kusangka tadi bayangan si Demit Lanang.
Tidak tahunya seekor babi hutan."
"Kampret jelek kau!" maki Salju Kelana dengan
bersungut-sungut.

"Siapa?! Demit Lanang?!"
"Babi hutan yang tadi!" jawab Suto Sinting.
Kedua perempuan cantik itu menjadi kesal kepada
Suto, lalu pemuda itu dihampiri bersama dari kanan kiri 
dengan tolak pinggang. 

"Apa maksudmu mengganggu pertarungan kami,
hah?!" bentak  Salju  Kelana. Pendekar Mabuk hanya
cengar-cengir dengan kepala menengok ke kanan dan ke
kiri.
"Aku hanya tidak ingin kalian berselisih," jawab Suto
di sela cengirannya. Sekalipun hanya sebuah  cengiran
namun dianggap oleh hati perempuan sebagai senyum
yang menawan. Itulah kehebatan Suto.
"Sebenarnya dari tadi memang tidak ada apa-apa.
Babi hutan pun tidak ada. Aku hanya ingin mengalihkan
perhatian kalian agar jangan tertuju kepada
perselisihan," sambung Suto menjelaskan, "Kalau  kalian
berselisih, aku sedih dan tak bisa mengambil sikap."
"Sebagai  laki-laki kau harus bisa mengambil sikap
dan ketegasan!" kata Kinanti. "Kau mau ikut ke Lembah
Birawa seperti janjimu semula, atau mau  ikut Salju
Kelana?! Tentukan sekarang juga!" Kinanti  bernada
menuntut ketegasan.
Salju Kelana mencoba pengaruhi jalan pikiran  Suto
dengan kata, "Kalau kau ke Lembah Birawa, aku pergi
sekarang juga dan mungkin kita tidak akan  bertemu
lagi."


Suto berkata kepada Salju Kelana, "Sebenarnya apa
yang  membuatmu melarangku bertemu dengan  Ratu
Jiwandani?"
"Ratu itu cantik dan masih perawan!" 
"Kau pikir aku akan terpikat padanya?!" 
Kinanti yang menjawab, "Kuharap demikian!"
 "Kurobek mulutmu, Kinanti!" bentak Salju Kelana.
"Akan kuputuskan sendiri!" Suto berkata agak
menyentak, sehingga kedua gadis itu saling bungkam
dan memandang Suto Sinting.
"Aku akan menghadap Ratu Jiwandani, karena 
agaknya ia dalam kesulitan. Aku mau datang ke Lembah
Birawa asal bersama Salju Kelana. Jika Salju  Kelana
tidak diizinkan ikut, aku tak jadi menemui Ratu
Jiwandani."
Kedua makhluk cantik itu sama-sama terbungkam
lagi untuk beberapa saat. Kinanti mondar-mandir untuk
menentukan keputusannya. Salju Kelana  sendiri juga
mempertimbangkan sikap yang harus diambilnya seraya
melangkah ke sana-sini bagai orang gelisah.
Kinanti akhirnya berkata, "Baiklah. Salju Kelana
boleh ikut tapi tidak boleh mencampuri pembicaraanmu
dengan sang Ratu!" 
"Aku hanya akan mengawasinya!" kata Salju Kelana
bernada ketus.
"Tampaknya kau takut kehilangan Pendekar Mabuk,
Salju Kelana?"
"Memang!" jawab Salju Kelana dengan tegas, tanpa
basa-basi sedikitpun.


Kinanti hanya mencibir sinis. Saat mereka melangkah
menuju Lembah Birawa, Kinanti sempat ceritakan
masalah sebenarnya kepada Salju Kelana. Cerita itu
meluncur dari mulut Kinanti setelah  Salju  Kelana
menceritakan pengalaman mesranya dengan Suto
Sinting ketika di dalam gua dan ketika duduk di depan
Suto Sinting yang mandi dalam keadaan polos  karena
menyangka Salju Kelana buta, padahal tidak. Kinanti
sempat terkikik geli mendengar  cerita itu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode  "Rencong Pemburu
Tabib"). Sedangkan Pendekar  Mabuk sengaja sedikit
menjauh  supaya tidak terlalu merasa malu
membayangkan kebodohannya didepan Salju Kelana
yang kala itu berpura-pura masih buta.
Bahkan Suto berusaha mengalihkan percakapan
kedua wanita itu dengan sedikit berseru, "Tak bisakah
kalian  lebih  cepat lagi?! Aku tak ingin kemalaman di
perjalanan!"
"Sstt... dia malu!" bisik Salju Kelana sambil
tersenyum geli.
Perjalanan  mereka tak menemui hambatan lagi,
sehingga  mereka tiba di Lembah Birawa pada saat
petang hampir tiba. Lembah berudara sejuk itu membuat
kesegaran tersendiri bagi Suto Sinting, hingga wajahnya
tampak ceria dan berseri-seri. Ia baru kali itu datang ke
Lembah Birawa yang subur dan penuh dengan tanaman
bunga bagai kehidupan surgawi.
Seperti kata Salju Kelana yang sudah mengenal Ratu
Jiwandani, ternyata ratu itu memang cantik bagai boneka


yang sangat elok dipandang mata. Selain  cantik, ia
mempunyai tubuh yang sekal, meliuk indah penuh daya
pikat bagi setiap pria yang memandanginya. Tak heran
jika Demit Lanang sampai tega  singkirkan adiknya
sendiri demi dapatkan Ratu Jiwandani. Karena menurut
Suto,
"Siapa pun yang menjadi suami Ratu Jiwandani  tak
akan sempat menghitung hari. Bahkan mungkin tak akan
tahu siang atau malam, karena ia betah mengurung diri
di dalam kamar bersama sang Ratu  sampai rambut
beruban pun tetap akan betah."
Ratu Jiwandani bukan ratu yang seronok, pakaiannya
cukup rapi dan sopan dengan rangkapan  jubah merah
jambu berbintik-bintik emas. Rambutnya  sedikit terurai
alsanya tersanggul dililit dengan  mahkota dari butiran
permata yang sangat indah. Ia  tampil sebagai sosok
perempuan yang anggun dan punya kharisma tersendiri.
Namun manakala ia berhadapan dengan Pendekar
Mabuk, matanya yang indah itu tak mampu berkedip
walau sekejap. Mata itu memandang penuh sorot pesona
yang mungkin hanya Salju Kelana yang mengetahuinya.
"Luar biasa sekali pria ini, daya tariknya begitu kuat
hingga hatiku berdebar-debar  sejak tadi," kata Ratu
Jiwandani dalam hati. "Ternyata kabar yang selama ini
kudengar tentang sang Pendekar Mabuk yang tampan itu
tidak meleset sedikit pun. Sayang aku menjadi seorang
ratu, seandainya aku bukan seorang ratu aku berani
mengejar pria ini demi mendapatkan keindahan yang ada
padanya. Siapa orangnya yang tak merasa bahagia hidup


menjadi istrinya, sudah sakti, tampan lagi. Ck, ck, ck...
benar-benar layak menjadi idaman setiap wanita."
"Ratu...," sapa Kinanti. "Mengapa hanya diam saja!
Bicaralah tentang kesulitan kita, Ratu."
Menyadari ketermenungannya Ratu Jiwandani segara
tersipu-sipu. Salju Kelana tampak mencibir sambil
buang muka. Suto Sinting tetap sunggingkan  senyum
keramahan yang diterima sebagai senyum pemikat oleh
sang Ratu. Karenanya hati sang Ratu menjadi gelisah
dan  ia terpakaa menenangkan kegelisahannya mati-
matian.
Sang Ratu segera menceritakan kesulitannya yang
berkaitan dengan perjanjian bersama pihak Perguruan
Darah Surga. Tapi yang menjadi titik berat  saat  itu
adalah keberadaan Demit Lanang yang telah menguasai
Jurus 'Bintara Jingga' itu.
"Sudah  dapat kupastikan seandainya aku menolak
pinangannya, ia akan menggugat melalui perjanjian yang
tertulis itu. Jika aku menyangkal perjanjian itu, ia akan
murka dan menggunakan jurus 'Bintara Jingga' untuk
melenyapkan diriku. Mungkin bukan
( Halaman 62 dan 63 nya tidak ada...)
tanya yang tak berkedip itu menikmati ketampanan
Suto hingga ia biarkan hatinya bergetar-getar dijamah
oleh keindahan yang sukar digambarkan.
"Tak ada jalan lain kecuali memerangi Demit Lanang
secara terang-terangan, Ratu."
"Dan kau sanggup melawannya? Jika kau sanggup
akan kuberikan hadiah padamu yang boleh kau pilih


sendiri, hadiah apa yang kau inginkan dariku."
"Itu soal nanti," kata Suto. "Tapi keluarkan
perintahmu untuk mengutusku dan Salju Kelana sebagai
utusan yang punya wewenang mengusir dan menerima
tamu siapa pun yang ingin menghadapmu, Ratu."
"Salju Kelana ikut juga?" sela Kinanti bernada kurang
setuju.
"Salju Kelana akan menghadapi murid Perguruan
Darah Surga yang lain, aku akan menghadapi Demit
Lanang!"
"Apakah Salju Kelana mampu menghadapi mereka?
Ilmu mereka tinggi dan tak mudah ditumbangkan."
Salju Kelana akhirnya bicara juga, "Sebaiknya kita
buktikan dulu apakah aku mampu menumbangkan kau
atau tidak, Kinanti!"
Tantangan itu dilontarkan di depan sang Ratu
membuat Kinanti naik pitam, ia bangkit dengan
keberaniannya dan berseru sambil bergerak maju,
"Kita tentukan kau atau aku yang kehilangan nyawa!
Tak perlu di luar, di sini saja cukup!"
Suto Sinting menahan gerakan Kinanti dengan
memegangi pundaknya dan menghalangi langkahnya.
Suasana menjadi agak panas karena tantangan tersebut.
"Kinanti...!" sergah Ratu Jiwandani. "Kendalikan
dirimu, Kinanti! Hormati mereka, karena mereka adalah
tamu di tempat kita. Lebih dari itu, mereka bermaksud
menolong kita."
"Tapi saya tidak setuju jika Salju Kelana ikut campur
dalam masalah ini. Suto Sinting sudah cukup mampu


mengatasi orang-orang Perguruan Darah Surga tanpa
bantuan siapa pun."
"Aku setuju dengan keputusan Suto Sinting!" ucap
sang Ratu dengan nada tegas yang membuat Kinanti
terbungkam dan menatap ratunya dengan sorot
pandangan kecewa.
*
* *
6
SEORANG prajurit bernama Pinasih datang
menghadap sang Ratu dalam keadaan wajah memar dan
lengan tergores luka yang masih berdarah. Kedatangan
Pinasih membuat sang Ratu menjadi tersentak bangun
dari tempat duduknya. Yang lain pun memandang
Pinasih dengan tegang, terutama Kinanti.
"Pinasih, apa yang terjadi?!" sambil Kinanti
menyambar tubuh Pinasih yang nyaris rubuh karena
luka-lukanya.
Suto Sinting memandang dengan dahi berkerut. Salju
Kelana mendekati Suto dan berbisik, "Ada sesuatu yang
tak beres."
Suto hanya menggumam lirih. Lalu mereka
menyimak penjelasan dari Pinasih yang menjadi salah
satu petugas penjaga perbatasan.
"Sisa orang-orang Pulau Teluh datang, Gusti Ratu!"
Pinasih bicara dengan terengah-engah. "Mereka
dipimpin oleh Lodang Balak, adik dari Penguasa Pulau
Teluh yang telah berhasil dibunuh oleh Demit Lanang
Itu."


"Lodang Balak...?!' Salju Kelana menggumam
dengan nada heran. "Seingatku Lodang Balak adalah
Penguasa Pulau Gaib. Ilmu gaibnya lebih tinggi  dari
Penguasa Pulau Teluh."
Suto Sinting berkata kepada sang Ratu, "Benarkah
Lodang Balak adik dari Penguasa Pulau Teluh?"
"Memang. Tapi kusangka ia tidak akan ikut campur
urusan kakaknya, karena antara dia dan kakaknya ada
perang dingin."
"Berapa kekuatan mereka, Pinasih?" tanya Kinanti.
"Sekitar tiga puluh orang," jawab Pinasih yang
membuat sang Ratu kian tegang. Kinanti pun cepat
lemparkan pandangan kepada sang Ratu seakan
menunggu perintah.
Sebelum sang Ratu bicara, Suto Sinting segera
memberikan tuak  kepada Pinasih. Tuak diminum oleh
Pinasih dan beberapa saat kemudian luka-luka Pinasih
menjadi sembuh. Luka koyaknya merapat, darah yang
keluar dan membasahi lengannya itu bagai menguap
sirna tanpa bekas lagi. Sang Ratu memperhatikan
kesaktian tuak tersebut dengan hati penuh kekaguman.
"Kinanti," katanya kepada Kinanti. "Siapkan prajurit
tamtama yudha seluruhnya. Prajurit berkuda dan para
pemanah juga perlu dikerahkan."
Salju Kelana beranikan diri berkata, "Apakah tak
sebaiknya menghemat tenaga saja, Ratu Jiwandani?"
"Apa maksudmu menghemat tenaga, Salju Kelana?"
"Izinkan aku dan Suto mewakili pihakmu ke
perbatasan."


Suto Sinting segera berkata, "Gagasan itu cukup baik.
Barangkali dari sinilah awal kerja kami, Ratu."
Ratu Jiwandani diam sebentar, sesaat kemudian
berkata kepada Kinanti, "Pilih beberapa prajurit untuk
mendampingi Suto dan Salju Kelana!  Berangkat ke
perbatasan!"
Agaknya memang tak ada pilihan lain bagi sang Ratu
yang  ingin membuktikan kebanggaan hatinya kepada
sang Pendekar Mabuk. Maka berangkatlah mereka ke
perbatasan menyongsong kedatangan Lodang Balak
yang ingin menuntut balas atas kematian kakaknya;
Penguasa Pulau Teluh. Sementara itu, Pinasih
diperintahkan untuk menjaga Ratu, dan Kinanti
pemimpin pasukan pilihan yang akan didampingi Suto
Sinting dan Salju Kelana.
Mereka menunggang kuda, tapi Suto Sinting dan
Salju Kelana tidak. Cukup dengan menggunakan kedua
kakinya mereka mengikuti pasukan berkuda yang
berjumlah sepuluh orang terhitung dengan Kinanti.
Derap kaki kuda lain terdengar di kejauhan. Debu
mengepul ke udara membuat langit bagaikan keruh.
Melihat kepulan debu di kejauhan, para pasukan berkuda
makin mempercepat gerakan. Namun ternyata Suto
Sinting dan Salju Kelana sudah tiba di depan lebih dulu
daripada mereka yang berkuda.
"Edan!  Mereka sudah sampai lebih dulu dan
menghentikan gerakan lawan?!" gumam Kinanti antara
dongkol dan bangga.
Kinanti hentikan pasukan berkuda dalam jarak sekitar


dua puluh tombak dari tempat Suto dan Salju Kelana
berdiri. Sementara itu orang-orangnya Lodang Balak
membentuk barisan berjajar dengan kuda-kuda mereka
yang tampak kekar-kekar itu. Mereka dalam jarak sekitar
lima tombak dari Suto dan Salju Kelana.
Orang yang masih duduk di atas punggung kuda
hitam dan berambut panjang diikat dengan ikat kepala
warna ungu itu memandangi Suto dan Salju Kelana.
Pada saat itu, Salju Kelana berbisik kepada Pendekar
Mabuk.
"Yang memakai ikat kepala ungu itulah Lodang
Balak! Hati-hati menatap matanya, kekuatan sihirnya
cukup tinggi."
"Aku akan memandang batas telinganya saja,"  bisik
Suto pelan.
Lodang Balak mengenakan jubah merah dengan
celana merah, badannya yang kekar tapi tidak gemuk itu
sengaja tidak mengenakan baju sehingga gambar tato
naga di dadanya terlihat jelas manakala jubahnya
menyingkap tertiup angin, ia menyandang  sebilah
pedang besar yang disematkan di punggungnya.
Matanya yang besar memancarkan sinar dendam yang
membuatnya tampak buas dan ganas.
"Kalau tak salah pandang," kata Lodang Balak yang
bersuara serak itu. Kata-katanya itu ditujukan kepada
Salju Kelana,"... kau adalah penguasa Pulau  Serindu
yang dikenal dengan nama Dyah Sariningrum!"
Salju Kelana berkerut dahi dan memandang Suto
sesaat, kemudian berseru dengan suara lantang.


"Aku Salju Kelana! Siapa itu Dyah Sariningrum?
Penjual jamu mana dia itu? Aku tak kenal dengannya!"
Suto Sinting agak tersinggung mendengar Dyah
Sariningrum dikatakan penjual jamu. Ia memang belum
pernah ceritakan kepada Salju Kelana bahwa Dyah
Sariningrum adalah calon istrinya yang menjadi
penguasa Pulau Serindu dan mempunyai wajah mirip
dengan Salju Kelana. Suto Sinting akhirnya memaklumi
ucapan itu, karena Salju Kelana tidak tahu hubungan
Suto dengan Dyah Sariningrum yang bergelar Gusti
Mahkota Sejati itu.
"Siapa pun dirimu, Perempuan ganjen... aku tetap
tidak akan pandang bulu! Jika kau menghalangi
langkahku untuk membalas dendam kepada Ratu
Jiwandani, kau pun akan kehilangan kepala, Perempuan
ganjen! Jadi kusarankan kau tak perlu berlagak menjadi
jagoan di depanku. Lodang Balak tak pernah segan
memenggal kepala perempuan secantik apa pun!"
"Turun dari kudamu dan buktikan sesumbarmu itu!"
sentak Salju Kelana dengan berani.
"Ha, ha, ha, ha...! Jangan melawanku kau, Gadis
ingusan! Sebaiknya kau melawan muridku saja."
Lodang Balak yang berusia sekitar empat puluh tahun
itu menengok ke kiri, seorang berpakaian abu-abu
berkepala gundul dipandanginya. Lalu ia berseru kepada
orang yang berusia sekitar tiga puluh tahun dan bertubuh
kekar tanpa kenakan baju itu.
"Balada, turun dan mainkan kepunyaanmu di depan
perempuan itu!"


Orang gundul yang bernama Balada itu segera
melompat dari punggung kudanya. Wuuttt...!
Lompatannya cukup tinggi, hingga ia bisa bersalto dua
kali di udara dan mendarat dengan tegak di samping
Salju Kelana. Saat itu Suto Sinting berbisik,
"Biar kutangani saja, Salju Kelana."
"Jangan. Ini bagianku. Mundurlah sedikit!" Salju
Kelana tak kelihatan gentar sedikit pun. Matanya
memandang tajam kepada calon lawannya yang tampak
sangar itu.
Balada yang bercelana hitam dengan ikat pinggang
kain merah itu mulai melangkah ke samping dengan
mata melirik ganas. Salju Kelana bersikap tenang,
sedikit mengangkat dagu hingga tampak angkuh dan
penuh keyakinan.
Balada menyentakkan kedua tangannya ke depan
dengan kaki merendah dan salah satu kakinya ditarik
mundur. Tubuhnya yang merendah itu membuat
tangannya berada di atas kepala dalam bentuk cakar
tanpa kuku.
Wuukkk...!
Angin berhembus dengan kencang. Rupanya Balada
keluarkan tenaga dalam berbentuk gumpalan angin besar
yang membuat Salju Kelana terpelanting ke belakang
hampir jatuh. Perempuan itu segera rendahkan badan,
dan merentangkan tangannya, satu ke depan dengan jari
telunjuk berdiri lurus, satu lagi ada di belakang
kepalanya.
Ia menahan hembusan angin kencang itu dengan


mengerahkan tenaga dalam ke bagian kaki, sehingga
ketika Balada melompat dengan berjungkir balik di
tanah beberapa kali, Salju Kelana segera memutar
tubuhnya dan menyampar lawan dengan kaki kanannya
yang berkelebat bagai baling-baling. Weesss...!
Plakkk...!
Wajah sangar itu bagaikan ditampar dengan kaki
perempuan berjubah putih. Tamparan kaki yang
bertenaga dalam membuat tubuh kekar itu terpental ke
samping dan jatuh tersungkur. Namun ia cepat bangkit
dan menggeram dengan buas. Wajahnya menjadi hitam
sebelah akibat tendangan kaki Salju Kelana tadi.
"Gawat juga si Salju Kelana itu?" pikir Kinanti dari
atas punggung kudanya. "Sekali tendang wajah orang
dibuat hangus begitu?!"
Salju Kelana berdiri tegak dengan kedua kaki
merapat. Tangannya segera direntangkan kembali
dengan kaki rapatnya merendah kokoh. Tetapi tiba-tiba
Balada menghentakkan tangan kanannya yang berjari
rapat, bagai  menusukkan sesuatu ke arah tanah yang
dipijak Salju Kelana. Tiba-tiba tanah itu pun amblas ke
dalam. Bless...!
Tanah yang amblas itu membentuk lingkaran selebar
sumur. Tubuh Salju Kelana bagaikan terhisap dengan
kuat masuk ke dalam tanah sampai hilang dari
pandangan mata. Suto Sinting terkejut dan mulai
bergerak. Tapi sebelum Pendekar Mabuk bergerak, tiba-
tiba dari dalam tanah yang berlubang besar itu
melesatlah tubuh Salju Kelana dengan memutar cepat


seperti gangsing. Wuusss...!
Lodang Balak dan Balada terperangah melihat
perempuan berjubah putih itu mampu melesat ke udara.
Padahal biasanya lawan yang telah dikubur hidup-hidup
dengan cara seperti itu tak akan bisa lolos dari liang
tersebut.  Sampai di udara,  tubuh Salju Kelana bersalto
dua kali dan segera mendaratkan kakinya dengan kokoh
ke tanah samping Balada.
"Keparat kau!" geram Balada sambil berpaling dan
siap melepaskan jurus barunya. Tapi agaknya
gerakannya terlambat. Salju Kelana lebih dulu lepaskan
pukulan berbentuk bola sinar putih menyilaukan.
Slaappp...! Sinar putih itu pun menerjang tubuh Balada
yang terlambat menghindar ke samping.
Wueerrss...!
Tubuh Balada berasap tebal bergumpal-gumpal.
Ketika gumpalan asap itu menipis dan lenyap, mata
mereka sama-sama terbelalak lebar, termasuk Suto
Sinting dan Lodang Balak. Mereka terkejut melihat
Balada berubah menjadi patung es yang bening dan
mencair sedikit demi sedikit.
"Tak kusangka Salju Kelana mempunyai jurus
sedahsyat itu?!" pikir Kinanti dengan hati bergetar.
"Untung tadi aku tidak jadi bertarung melawannya.
Kalau sampai aku tadi bertarung melawannya, bisa-bisa
aku berubah menjadi es batu seperti orang itu."
Melihat murid andalannya menjadi patung es batu,
Lodang Balak segera lepaskan sinar biru dari ujung jari
telunjuknya. Claapp...! Sinar biru yang panjang lurus


tanpa putus itu mengenai patung es batu itu. Maksudnya
memberikan hawa panas untuk mencairkan es batu yang
membungkus tubuh Balada, ia tidak tahu bahwa pada
saat itu Balada sudah tidak ada, berubah menjadi es dan
tak bisa dikembalikan seperti wujud aslinya. Maka sinar
biru itu justru memecahkan patung es batu tersebut
dengan mengeluarkan dentum ledakan yang cukup keras.
Jgaarr...!
Patung es itu pecah berantakan menjadi serpihan
yang menyembur ke mana-mana, bahkan butiran es itu
sampai ada yang jatuh di pangkuan Kinanti.
Lodang Balak semakin kaget melihat kenyataan itu.
Akhirnya ia melompat turun dari atas kudanya dan
berseru dengan suara serak.
"Bangsat!  Kau telah bunuh murid andalanku,
Perempuan lacur! Kuhancurkan pula ragamu sekarang
juga, heeeaaahhh...!"
Tangan kanannya menyentak ke depan. Tak ada sinar
yang keluar, tapi tiba-tiba tubuh Salju Kelana sudah
dibungkus oleh klatan-kilatan cahaya biru yang
mengelilinginya. Semakin lama semakin rapat hingga
tubuh Salju Kelana nyaris terjerat kilatan-kilatan sinar
biru yang saling memercikkan api dan letupan kecil itu.
Claappp...! Sinar ungu keluar dari tangan Suto
Sinting yang saling merapat dan disentakkan ke depan.
Sinar ungu itu menghantam kilatan-kilatan cahaya biru
yang hampir menjerat dan menghancurkan tubuh Salju
Kelana.
Blaarr...!


Salju Kelana terlempar melambung ke udara dan
jatuh dalam keadaan tak bisa menjaga keseimbangan.
Buuuhgg...!
"Auuh ..!" gadis itu mengerang kesakitan. Suto
Sinting  tak terlalu menyesal karena hal itu lebih baik
terjadi daripada tubuh Salju Kelana hancur oleh 'jala
petir'-nya Lodang Balak.
Orang berikat kepala ungu itu segera menatap Suto
Sinting dengan beringas, ia pun menggeram penuh
dendam.
"Jahanam! Sekarang kau ikut campur dan itu berarti
kau akan berhadapan denganku!" bentak Lodang Balak.
"Memang aku melawanmu!" kata Suto Sinting
dengan tenang, ia segera meneguk tuaknya sebentar
tanpa pedulikan sesumbar yang dilontarkan Lodang
Balak.
"Bocah keong!  Kau pikir mudah  menumbangkan
Lodang Balak, hah?! Apakah kau belum dengar kabar
bahwa Lodang Balak baru saja membunuh senopati dari
Kerajaan Bogasa, dan membantai semua  anggota
Perguruan Ciung Dewa?!"
"Aku tak butuh sesumbarmu. Aku butuh bukti
keampuhanmu! Tapi kita bertarung dengan jantanl"
"Apa maksudmu? Kau pikir aku takut dengan
tantangan yang membawa-bawa kejantanan itu?!"
Senyum Suto Sinting mekar dengan kalem, ia
melangkah pelan sampai di pertengahan jarak. Bambu
tuaknya menggantung di pundak.
"Kita bertarung secara  ksatria. Kulihat kau


mempunyai pedang, gunakanlah senjatamu itu. Aku pun
akan meminjam pedang temanku. Siapa yang terluka
lebih dulu berarti dia yang kalah. Jika aku yang terluka,
maka kubuka jalan, kusingkirkan para pengawal istana
yang berkuda itu, dan kau kuizinkan menemui Ratu
Jiwandani. Tapi jika kau yang terluka lebih dulu, kau
harus mengakui kekalahanmu, dan membawa anak
buahmu pulang ke tempat asal! Apakah kau takut
dengan tantangan seperti itu?" pancing Suto Sinting.
"Lodang Balak tak pernah punya  rasa takut kepada
siapa pun. Tantanganmu kulayani!"
Sreett...!  Pedang di punggung segera dicabut. Suto
Sinting berseru kepada Kinanti,
"Pinjam pedangmu, Kinanti!"
Kinanti melompat dari punggung kuda. Weesss...!
Gerakannya cukup cepat, tahu-tahu sudah ada di
samping Suto Sinting, ia menyerahkan pedangnya. Suto
Sinting mencabut pedang itu, gagang pedang masih di
tangan Kinanti.
"Hati-hati... dia jago pedang," bisik Kinanti.
"Baik. Menjauhlah secepatnya, dan bantu Salju
Kelana yang terluka itu."
Bumbung tuak disilangkan ke punggung. Pendekar
Mabuk mulai menebas-nebaskan pedang sebagai  cara
membiasakan gerakan dengan pedang tersebut. Lalu ia
mengambil jarak enam langkah dari depan Lodang
Balak.
"Apakah kau sudah siap tumbang, Bocah keong?!"
"Aku belum siap tumbang sebelum bisa melukai


dadamu!" kata Suto Sinting tak mau kalah gertak.
"Biadab kau!  Belum pernah merasakan Pedang
Halimun-ku ini kau, hah?!"
Lodang Balak bersiap-siap dengan memainkan jurus
pedang pembuka. Suto Sinting masih ingat pelajaran
pedang dari Ki Argapura, di mana jurus 'Pedang Cakar
Maut', 'Pedang Ekor Petir', dan 'Pedang Batu' adalah
jurus-jurus pedang yang sukar ditangkis dan dihindari
lawan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Ladang Pertarungan").
Lodang Balak sudah tak sabar lagi.  Ia  segera
melompat maju dalam gerakan bersalto  satu kali, lalu
tiba di depan Suto Sinting dan menebaskan pedangnya
meliuk-liuk berserabutan membingungkan. Suto Sinting
hanya mundur selangkah. Ketika pedang lawan
membabat lehernya, Suto hanya menangkisnya dengan
menggenggam pedang memakai kedua tangannya.
Trang...! Trang...! Weesss...! Trang...!
Suto Sinting hanya bersikap menahan serangan
lawan. Walaupun Lodang Balak mampu memainkan
pedang dengan kecepatan tinggi, tapi mata Suto Sinting
tak pernah berkedip, sehingga mengetahui arah gerakan
pedang lawan, ia pun bermain dengan kecepatan tinggi,
sehingga selain pedang lawan berhasil ditangkisnya
terus, juga gerakan mereka tak bisa dilihat oleh orang-
orang di sekitar mereka.
Trrang, trang, trang, ziing...! Trang...!
Buuhg...!
Tiba-tiba Pendekar Mabuk tampak terpental ke


belakang karena sebuah tendangan yang mengenai
lambungnya. Suto kehilangan keseimbangan, akibatnya
ia terguling-guling karena tendangan itu mengandung
kekuatan tenaga dalam cukup besar.
Jaraknya yang menjadi tujuh langkah dari Lodang
Balak itu membuat Lodang Balak maju menyerang
dengan liarnya. Pada saat itu, Suto Sinting baru saja
bangkit dan pandangan matanya masih terasa buram, ia
tak bisa melihat gerakan lawan yang menebaskan
pedangnya kembali.
Akhirnya ia memejamkan mata rapat-rapat dan
menggerakkan pedangnya menuruti desing angin yang
datang menghampirinya. Desing angin itulah gerakan
pedang lawan, sehingga Suto Sinting mampu
menangkisnya dengan tepat.
Trang, trang, trang, trang... wesss...! Deesss...!
Kali ini pukulan telapak tangan kiri Lodang Balak
menghantam dada Suto Sinting dengan telak. Pendekar
Mabuk tersentak mundur tiga langkah namun hanya
sempoyongan, tak sempat jatuh seperti tadi.
"Modar kau sekarang, Bangsat! Heeaaat..!"
Lodang Balak kian garang. Pedangnya ditusukkan di
depan, dan mata Suto yang masih terpejam itu berhasil
merasakan angin padat menghampirinya. Dengan cepat
ia melompat bersalto ke udara. Wuuss...! Lalu dalam
keadaan berjungkir balik di udara pedangnya berkelebat
membabat lawan. Wuuuttt...! Craasss...!
"Aahg...!" terdengar pekik tertahan si Lodang Balak.
Punggungnya robek digores ujung pedang.


Suto Sinting berdiri tegak, kini ia membuka mata
memandang lawannya yang menyeringai dengan berang.
Sekalipun dada Suto tampak membiru bekas pukulan
tadi, namun ia masih kelihatan gagah, mampu berdiri
dengan tegar.
"Kau sudah terluka, Lodang Balak! Kau harus
mundur sesuai peraturan yang kita sepakati tadi."
"Setan bangsat...! Tak ada kata mundur selama aku
masih mampu berdiri! Heaaatt...!"
Suto Sinting memegang pedang dengan kedua
tangan. 'Gerak Siluman' dipergunakan. Zlaapp...!
Gerakan yang luar biasa cepatnya itu bukan saja tak bisa
dilihat orang sekelilingnya, namun juga tak bisa dilihat
oleh lawan. Tahu-tahu Suto Sinting sudah pindah tempat
ke belakang Lodang Balak. Zebb...!  Ia masih
memunggungi Lodang Balak dengan pedang tetap
tergenggam dua tangan. Tapi mata pedangnya semakin
berlumur darah.
Lodang Balak diam tak bergerak dengan sedikit
membungkuk, ia bagaikan tak berani memutar tubuh
untuk berhadapan dengan Suto Sinting. Keadaan diam
itu sempat berlangsung selama dua helaan napas,
membuat mereka yang menyaksikan pertarungan itu
menjadi tegang.
Pendekar Mabuk akhirnya menoleh ke belakang.
Pada saat itu lawannya mulai limbung, dan akhirnya
tumbang dalam keadaan terkapar. Semua anak buah
Lodang Balak terperanjat kaget. Mata mereka terbuka
lebar-lebar dengan wajah kian tegang.


Lodang Balak tak berkutik lagi. Nyawanya melayang
pada saat ia jatuh ke tanah dalam keadaan terkapar,
kedua tangan membentang sehingga semua orang dapat
melihat bahwa perut Lodang Balak robek lebar, isi
perutnya sempat tersumbul dan sangat mengerikan.
Melihat Lodang Balak tak bernyawa lagi, orang-
orangnya segera melarikan diri ke berbagai arah. Mereka
ketakutan ketika mendengar Pendekar Mabuk berseru,
"Siapa lagi yang ingin menyusul Lodang Balak ke
neraka?!"
Mereka yang merasa ngeri menghadapi pemuda
tampan itu tak tanggung-tanggung memacu kudanya,
bahkan ada yang terjungkal jatuh bersama kudanya dan
diinjak-injak kuda lainnya. Sementara itu, pihak prajurit
Kinanti tersenyum-senyum, bahkan sebagian ada yang
bertepuk tangan dan berseru,
"Hidup Pendekar Mabuk...! Ha, ha, ha, ha...!"
Kinanti segera menghampiri Suto Sinting bersama
Salju Kelana. Tapi Kinanti tak berani memegang tubuh
Suto karena Salju Kelana langsung memeluknya dengan
hati girang.
"Aku sudah cemas saat kau terkena pukulannya dua
kali," kata Kinanti mengalihkan rasa jengkelnya karena
melihat Suto dipeluk Salju Kelana.
Setelah pelukan itu dilepaskan, Suto pun serahkan
pedang kepada Kinanti.
"Terima kasih atas pinjaman pedangmu. Sayang
sekali beratnya kurang seimbang. Masih berat sebelah
kiri!" kata Suto Sinting menunjukkan kejeliannya dalam


menimbang pedang walau dengan cara memainkannya.
Salju Kelana berkata, "Kupikir kau tak semahir itu
dalam memainkan jurus pedang. Aku sempat kaget saat
kau menantangnya bertarung dengan pedang."
"Sengaja kutantang begitu supaya ia tidak punya
kesempatan untuk melepaskan jurus-jurus ilmu gaibnya
yang kata Kinanti cukup berbahaya itu," kata Suto.
Salju Kelana tersenyum, mencubit pipi pendekar
tampan yang sudah dikelilingi oleh para prajuritnya
Kinanti itu.
"Akalmu ada-ada saja untuk memancing kelemahan
lawan," kata Salju Kelana setelah mencubit.
"Boleh saja kau memujiku, tapi minum dulu tuakku.
Kau tadi terluka!" kata Suto sambil serahkan bumbung
tuak kepada Salju Kelana. Perempuan yang mirip Dyah
Sariningrum itu menenggak tuak beberapa teguk.
Setelah itu mereka bergegas kembali ke istana.
Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan
seekor kuda yang dipacu cepat. Penunggang kuda itu tak
lain  adalah  Pinasih. Gadis itu datang dengan wajah
tegang dan langsung  menemui Kinanti dengan masih
tetap berada di atas kuda.
"Ratu Jiwandani dibawa lari oleh Demit Lanangi"
"Hahhh...?!" semuanya terpekik kaget dengan wajah
menjadi tegang.
"Demit Lanang datang dan tak bisa ditahan oleh
prajurit gerbang, ia masuk dan bicara sebentar dengan
Gusti Ratu, lalu  ia menotok Gusti Ratu dan
membawanya pergi!"


"Kau sendiri bagaimana?! Apa tugasmu di istana?!"
bentak Kinanti.
"Aku dilumpuhkan lebih dulu, tak bisa bergerak apa-
apa, namun aku melihat perbuatan itu, dan aku berteriak-
teriak namun semua prajurit rupanya sudah dibungkam
dengan ilmu getaran batin si Demit Lanang!"
"Ke mana arah kepergiannya?!" tanya Salju Kelana.
"Ke selatan...!"
"Suto, cepat kita bergerak ke sana! Pasti sang Ratu
dibawanya ke benteng Perguruan Darah Surga!"
Kinanti berseru kepada Pinasih, "Tetaplah di istana,
siapkan prajurit tamtama untuk menyerang Perguruan
Darah Surga! Kami berangkat lebih dulu!"
*
* *
7
BARU menginap semalam di Lembah Birawa,
esoknya Suto sudah dihadapkan dengan dua masalah
besar; penyerbuan Lodang Balak dan menghadapi
hilangnya sang Ratu sendiri, ini sebuah tantangan bagi
Pendekar Mabuk untuk menunjukkan kepiawaiannya
dalam  mengatasi berbagai kesulitan. Karenanya
semangat Suto Sinting dalam mengejar Demit Lanang
cukup tinggi. Apalagi ia didampingi Salju Kelana, serasa
didampingi Dyah Sariningrum yang amat dirindukan itu.
Tak heran lagi  jika Suto cukup menggebu-gebu untuk
segera sampai di Perguruan Darah Surga.
Perguruan itu terletak di dekat pantai, sebuah bukit
yang cukup luas, sebagian lerengnya dibangun benteng


kayu sebagai tempat menempa murid-murid perguruan
tersebut.
Tetapi ketika mereka sampai di benteng perguruan
tersebut, ternyata keadaannya sangat sepi. Tak satu pun
murid Perguruan Darah Surga yang terlihat  mondar-
mandir di depan pintu gerbang. Kinanti mengajak
mereka untuk mengintai dari kejauhan, dan Kinanti pula
yang berbisik kepada Salju  Kelana  serta Suto Sinting
sambil menyatakan keheranan hatinya.
"Biasanya tidak sesepi ini. Paling tidak empat-lima
orang berjaga-jaga di depan gerbang, ini satu pun tak
ada? Ke mana mereka sebenarnya?"
"Mungkin mengadakan pertemuan penting di dalam
benteng," kata Salju Kelana.
"Sekalipun ada pertemuan penting mestinya di
menara ada penjaganya. Tapi keempat menara itu
tampak kosong. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana."
"Sepertinya ada sesuatu yang terjadi sebelum  kita
sampai sini," kata Suto Sinting. "Agaknya  kita  perlu
selidiki lebih dekat lagi."
Mereka pun bergerak mendekati benteng kayu yang
tampak kokoh itu. Tak lupa Pendekar Mabuk
mengingatkan agar Kinanti dan Salju  Kelana  tetap
menjaga kewaspadaannya.
Di  balik  jajaran pohon-pohon kelapa, mereka
bersembunyi memperhatikan keadaan benteng kayu itu.
Suto Sinting berkata kepada kedua wanita tersebut,
"Tunggu beberapa saat, siapa tahu ada yang lewat di
depan gerbang atau naik ke menara mengintai suasana di


sekitar sini."
Namun sampai beberapa saat lamanya mereka di
tempat persembunyian dengan perhatian terpusat ke
benteng kayu, ternyata tak ada seorang pun yang lewat
atau terlihat di sekitar benteng tersebut. Kinanti
mendekati Suto Sinting dan berkata penuh kecurigaan,
"Biasanya papan nama perguruan tergantung diatas
pintu gerbang. Tapi kali ini papan nama itu tidak ada."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi memikirkan
keterangan tersebut.  Salju  Kelana berkata setelah
beberapa saat diam.
"Aku penasaran ingin menyusup masuk ke sana."
"Jangan gegabah! Siapa tahu keadaan seperti ini
adalah jebakan bagi kita," kata Suto Sinting. "Mungkin
mereka tahu kalau  pihak Ratu Jiwandani akan datang
menyerang guna merebut sang Ratu. Mereka buat
suasana seperti ini untuk menjebak. Kita perlu hati-hati
sekali  dalam  melangkah. Pertimbangkan masak-masak
setiap gerakan!"
Setelah sekian lama mereka tidak menemukan tanda-
tanda kehidupan di benteng itu, Kinanti mengusulkan
untuk bergerak lebih dulu menyelidiki keadaan di dalam
benteng. Suto Sinting setuju asal  ia dan Salju  Kelana
sudah berada di balik gugusan batu, lebih dekat dengan
sisi samping benteng.
Pendekar Mabuk sudah tiga kali menenggak tuaknya
sebagai persiapan menyimpan tenaga. Matanya tak
berkedip memandangi Kinanti yang mendekat ke arah
pintu gerbang benteng, ia siap lepaskan  pukulan  jarak


jauhnya jika terjadi sesuatu pada diri Kinanti. Namun
sejauh ini agaknya Kinanti aman-aman saja, sehingga
gadis itu memberi isyarat kepada Suto dan Salju Kelana
agar ikut mendekat menyusulnya.
"Tak ada sepotong orang pun," kata Kinanti pelan.
"Pintu gerbang ini juga dalam  keadaan tidak dikunci.
Mudah didorong dengan kaki."
"Tunggu, jangan sentuh dulu pintu gerbang ini!" kata
Suto Sinting yang berfirasat tak enak dalam hatinya, ia
segera memeriksa sekeiiling pintu gerbang,
memperhatikan tiap pasangan kayu-kayunya, ia
mendongak ke atas, dan memandangi rangkaian kayu
yang menjadi dinding bagian atas. Rangkaian kayu itu
meruncing ke bawah dan mempunyai tali pengait yang
dihubungkan dengan bagian belakang pintu gerbang.
"Mundurlah  dulu... mundur...!" kata Suto Sinting
dengan tenang. Mereka mundur empat langkah.
Kemudian Suto Sinting menyentilkan jarinya,
menggunakan jurus 'Jari Guntur' yang mampu
menghadirkan kekuatan menendang melebihi tendangan
tenaga seekor kuda jantan. Tebb...!
Drakkk...! Pintu gerbang terbuka dalam satu sentakan
kuat akibat sentilan 'Jari Guntur'. Dan pada saat pintu
terdorong ke dalam membuka, tiba-tiba pasangan kayu
runcing yang berjajar itu meluncur turun dengan
cepatnya. Zrabbb...! Jrrubb...!
Kayu-kayu itu menancap di tanah secara serempak.
Seandainya ada orang yang membuka pintu gerbang,
maka orang tersebut sudah tentu akan mati tertusuk


kayu-kayu runcing itu.
"Sebuah jebakan?!" gumam Kinanti dengan mata
membelalak lebar.
"Itulah  sebabnya tadi kuperingatkan agar jangan
menyentuh pintu gerbang. Aku curiga ada sesuatu yang
tak beres di depan pintu tersebut."
Kinanti menghela napas dan menghempaskan-nya
panjang-panjang. "Untung kau waspada sekali, kalau
tidak nyawaku sudah melayang saat ini."
"Bersiaplah jika ada yang keluar  dari  dalam  sana.
Mereka pasti melepaskan serangan beruntun!" kata Suto
Sinting yang membuat kedua wanita itu bersiaga
menghadapi serangan sewaktu-waktu.
Ternyata serangan yang ditunggu tidak kunjung tiba.
Keadaan masih tampak sepi-sepi saja. Hembusan angin
menerbangkan dedaunan kering terhempas masuk ke
dalam  benteng. Setelah merasa tak ada yang datang,
Suto memberi isyarat agar mendekati pelan-pelan.
Kayu-kayu runcing yang menancap di tanah itu
disingkirkan oleh Suto dan Kinanti. Jalan masuk terbuka
lebar, keadaan  di  dalam  terlihat  jelas, bangunan-
bangunannya kosong dan pendopo pun tampak sepi.
Kinanti melangkah  maju  lebih  dulu. Tapi tiba-tiba
tangan Suto Sinting segera menyambarnya dengan
memeluk pinggang Kinanti dan membawanya melompat
ke belakang.
"Mundur...!" sentak suara Suto yang membuat Salju
Kelana ikut-ikutan menyentak ke belakang.
Ternyata Kinanti telah menginjak pasangan batu yang


ditanam dalam tanah. Pasangan itu membuat munculnya
jebakan berupa papan-papan berbesi runcing yang
menghantam ke arah pintu gerbang dari bagian dalam.
Wuusss...! Prakkk...!
Sebagian papan ada yang menancap di pintu
sebelahnya, sebagian lagi mengenai tempat kosong.
Kinanti berdebar-debar memandang keadaan tersebut.
Terbayang kengerian yang nyaris membuatnya mati
terpaku besi-besi  runcing pada papan-papan tersebut.
Kalau saja Suto Sinting tidak segera menyambarnya, ia
akan mati dihujam puluhan besi runcing yang
menyerupai paku-paku di papan itu.
Salju  Kelana  berkata, "Agaknya tempat ini sengaja
dipenuhi jebakan maut. Kita harus lebih  hati-hati  lagi,
Suto."
"Ya. Dan melihat suasana di dalam tampak sepi-sepi
saja, aku curiga, jangan-jangan mereka sudah pergi!"
"Maksudmu, pergi meninggalkan tempat ini
selamanya?"
"Bisa selamanya, bisa pula hanya untuk sementara."
Salju  Kelana manggut-manggut dengan gumam
kecilnya. Akhirnya mereka sepakat untuk memeriksa
bagian dalam benteng. Ternyata keadaannya benar-benar
kosong tanpa manusia satu pun. Tapi tempat itu penuh
dengan jebakan beraneka ragam. Salju Kelana  hampir
saja mati dihantam sekeranjang tombak yang
membentuk seperti bola besar dan menghempas dari sisi
kanan ke sisi kiri. Untung ia segera disambar oleh Suto
Sinting dan berguling-guling  di  lantai hingga selamat


dari ancaman maut itu.
Seluruh ruangan diperiksa, seluruh ruangan pula
mempunyai jebakan yang mematikan. Siapa pun yang
masuk ke benteng itu tanpa meningkatkan kewaspadaan
dan hati-hati, ia akan mati secara mengerikan. Namun
berkat kewaspadaan tinggi sang Pendekar Mabuk,
mereka bertiga tetap selamat, bahkan selamat  pula  dari
semburan asap beracun yang sangat berbahaya itu.
"Berapa banyak jebakan yang terpasang di sini
sebenarnya?" gumam Salju  Kelana  sambil  memandang
sekelilingnya dengan penuh keheranan.
"Yang kupikirkan adalah, mengapa tempat ini
ditinggalkan oleh orang-orang Perguruan Darah Surga?"
ujar Pendekar Mabuk.
"Mungkin karena Demit Lanang membawa lari sang
Ratu," kata Kinanti.
"Apakah hanya karena itu mereka harus
meninggalkan tempat ini? Mengapa tidak bertahan saja?
Bukankah katamu mereka orang-orang yang sulit
ditumbangkan?!'
Salju Kelana menyahut, "Kurasa ada sebab lain yang
membuat mereka pergi dari tempat ini. Sebab lain itulah
yang tidak mudah kita mengerti."
Setelah  memeriksa setiap jengkal tanah di dalam
benteng itu, akhirnya Suto Sinting memutuskan untuk
meninggalkan tempat tersebut.
"Kita tidak akan memperoleh  apa-apa jika masih
tetap di sini!" katanya sambil  bergegas keluar dari
benteng kayu.


Sesampainya di iuar Kinanti berkata dengan wajah
cemas, "Lantas bagaimana nasib Ratu Jiwandani?
Kemana kita harus mencarinya, Suto?"
"Itu yang kupikirkan sejak tadi, Kinanti. Tapi
barangkali kau ingat bahwa Demit Lanang mempunyai
tempat  lain  yang cocok untuk menyembunyikan sang
Ratu?"
"Aku tidak pernah tahu tentang dia. Sang Ratu yang
tahu banyak tentang Demit Lanang, karena Maha Guru
Teja Biru pernah menceritakan tentang pribadi Demit
Lanang kepada sang Ratu."
"Kurasa ada baiknya kalau  kita menyusuri pantai,
mencari jejak mereka," kata Salju Kelana. "Setidaknya
kita periksa keadaan tanah di sekeliling tempat ini, siapa
tahu kita bisa temukan jejak kepergian mereka."
"Itu gagasan yang baik!" kata Suto Sinting. "Kita
awali dari hutan di belakang dan samping bangunan ini."
Mereka baru saja bergerak, tiba-tiba terdengar suara
derap kaki kuda menuju ke tempat itu. Pada mulanya
Kinanti menyangka derap kaki kuda itu adalah
kedatangan orang-orangnya yang siap memberi bantuan
tenaga. Tetapi setelah derap kaki kuda itu terdengar tak
begitu banyak, mungkin hanya dua-tiga kuda yang
berlari  cepat, mereka menjadi curiga dan menyangkal
pendapat Kinanti.
"Kurasa bukan orang-orang Lembah Birawa," kata
Salju Kelana. "Jumlah kaki kuda itu tidak banyak. Dan
agaknya mereka dalam keadaan terburu-buru. Mungkin
karena hati mereka dibakar kemarahan yang meluap-


luap."
"Dari mana kau tahu kalau  mereka dibakar
kemarahan?"
"Kudengar jantung mereka berdetak cukup cepat,"
jawab  Salju  Kelana  yang memang pendengarannya
sudah terlatih untuk menyimak suara apa pun, hingga
sangat peka terhadap suara detak jantung seseorang.
"Ada tiga orang yang menuju kemari," kata Suto
Sinting.
"Kau yakin hanya tiga orang?!" tanya Kinanti.
"Yakin sekali, karena yang kudengar hanya tiga detak
jantung!"
Kinanti heran mendengar Suto dan Salju  Kelana
bicara tentang detak jantung, ia tidak tahu bahwa
Pendekar Mabuk juga mempunyai jurus 'Lacak Jantung'
yang mampu mendengarkan detak jantung orang selain
dirinya dan teman-temannya. Bahkan denyut nadi pun
bisa didengar oleh  Suto Sinting jika jurus 'Lacak
Jantung' itu sedang dipergunakan.
Dugaan Suto memang benar. Tiga orang penunggang
kuda datang ke benteng kayu itu. Mereka berwajah
dingin, semuanya memancarkan murka yang
tersembunyi di balik  sikap dinginnya. Tiga orang itu
rata-rata berusia lima puluh  tahun lebih. Tubuhnya
kurus-kurus, matanya cekung-cekung, rambutnya ada
yang panjang sepunggung, ada yang sebatas tengkuk,
ada yang hanya sepundak lewat sedikit. Mereka sama-
sama memakai ikat kepala dari kain merah.
Pakaian mereka rata-rata berwarna gelap. Satu orang


memakai jubah berlengan panjang warna abu-abu, satu
lagi mengenakan jubah tak berlengan warna hitam, dan
yang satu lagi  mengenakan jubah belahan  samping
warna hijau tua. Jubah belahan samping itu seperti kain
yang dilubangi untuk masuk kepala, tanpa ada bentuk
dan potongan model apa pun.
"Celaka! Rupanya mereka yang membuat Demit
Lanang buru-buru pindah dari tempat ini?!" bisik
Kinanti kepada Pendekar Mabuk. Bisikan itu juga
didengar oleh Salju Kelana.
"Siapa mereka itu, Kinanti?"
"Mereka musuh utama Maha Guru Teja Biru yang
dikenal dengan nama: Tiga Malaikat Batu."
"Aku baru mendengar julukan itu," bisik Salju
Kelana.
"Mereka adalah; Denawa, Sogar, dan Brada. Mereka
orang-orang Teluk Sangar, ilmunya tinggi-tinggi, kebal
senjata dan tak mampu ditembus sinar apa pun.
Barangkali Demit Lanang sudah mengetahui rencana
kedatangan mereka, sehingga segera memindahkan pusat
Perguruan ke tempat lain."
"Bukankah Demit Lanang mempunyai jurus 'Bintara
Jingga' yang cukup dahsyat itu?"
"Jurus tersebut tak akan bisa mengenai Tiga Maiaikat
Batu. Demit Lanang pasti tahu hal itu dan karenanya ia
memilih kabur dari tempat ini."
Tiga Malaikat Batu turun dari kudanya. Pendekar
Mabuk memandang dengan tenang, tapi hatinya berkata
penuh keheranan.


"Gila! Mereka tidak punya bayangan, padahal
matahari bersinar cukup terang, mengapa mereka sampai
tidak punya bayangan? Hmmm... kurasa mereka bukan
manusia biasa, mungkin masyarakat negeri siluman?!"
"Mana si keparat Demit Lanang itu?!" hardik Sogar
yang memakai jubah hitam.
"Kami sendiri mencarinya, tapi kami temukan tempat
ini kosong," jawab Suto Sinting dengan kalem.
"Jangan berlagak menjadi orang asing di perguruan
sendiri! Aku tahu kalian adalah murid Perguruan Darah
Surga!"
"Kau keliru," Suto sunggingkan senyum tipis. "Kami
dari pihak lain yang ingin menyerang Demit Lanang."
Brada yang matanya lebih kecil dan lebih dingin itu
berkata datar. "Apakah ini sebuah siasat banci Demit
Lanang?!"
"Bukan, ini keadaan yang mengecewakan. Kita sama-
sama kecewa karena menemukan tempat ini kosong.
Kalau kalian tak percaya, silakan masuk dan memeriksa
keadaan di dalam. Tapi hati-hati, banyak jebakan yang
dapat mematikan orang. Kami hampir saja mati karena
jebakan-jebakan maut yang dipasangnya."
Denawa yang memakai jubah abu-abu itu berkata,
"Mereka perlu dipaksa, Brada!"
Brada mengacungkan tangannya ke arah Suto
Sinting. Dari ujung jarinya yang lemas itu melesat sinar
putih menghantam dada Suto Sinting. Clapp...! Suto
Sinting kaget dan segera berkelit ke samping sambil
menghadang sinar itu dengan bumbung tuaknya.


Trabb...! Wuuttt...!
Sinar putih itu berbalik  arah menjadi lebih  besar.
Namun arahnya segera membelok naik ketika hampir
kenai tubuh Brada. Slapp...! Sinar itu pun melesat  ke
langit dan lenyap tanpa suara.
Suto Sinting terkesiap melihat  sinar itu membelok
arah, seakan membentur dinding kaca yang
melambungkan arah gerakan sinar. Sedangkan Tiga
Malaikat Batu itu terkesiap melihat  bumbung tuak itu
mampu membalikkan gerakan sinar menjadi lebih besar
dan lebih cepat lagi.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?!"
"Aku yang bernama Suto Sinting."
"Hmmm... muridnya si Gila Tuak itu?" sahut Sogar.
"Benar! Aku murid si Gila Tuak," jawab Suto Sinting
dengan tegas.
Ketiga orang berwajah dingin itu manggut-manggut.
Mereka saling pandang sebentar, lalu Denawa berkata
kepada Sogar,
"Setahuku murid Gila Tuak adalah bocah tanpa
pusar! Bisa saja anak itu mengaku-aku murid si Gila
Tuak."
Suto Sinting mendengar dan tersenyum geli. Ia
berkata dalam senyumnya,
"Apakah perlu kutunjukkan perutku bahwa aku tidak
punya pusar?!"
Salju Kelana buang muka menyembunyikan senyum,
demikian pula Kinanti yang menatap Salju  Kelana
dengan senyum dikulum.


"Tak perlu kau tunjukkan perutmu, Anak muda," kata
Sogar, "Cukup kau tunjukan sekali  lagi  jurus warisan
Gila Tuak, sebab kami mengenai jurus-jurusnya."
"Apakah kau tak akan menyesal  jika sampai
kugunakan jurus yang menjadi ciri aliran silat  Gila
Tuak?!"
"Aku yang akan melayanimu, Nak," kata Denawa
sambil melangkah maju, jaraknya menjadi lima langkah
dari Suto Sinting. Sikap berdirinya menampakkan
keangkuhan seorang berilmu tinggi.
"Seranglah aku dengan jurus warisan Gila Tuak."
Tanpa banyak pertimbangan lagi, Suto Sinting segera
gunakan jurus 'Gerak Siluman', menerjang Denawa
dengan kecepatan yang tak bisa dilihat mata siapa pun.
Zlaappp...! Brruss...!
Tahu-tahu Suto Sinting sudah berada di belakang
mereka  dalam  jarak cukup  jauh. Denawa sendiri
terpental  dalam jarak sepuluh  langkah dari tempatnya.
Hidung orang itu keluarkan darah yang membuat Sogar
dan Brada terperangah kaget.
Zlaappp...! Suto Sinting tahu-tahu sudah ada di
tempat semula, bersebelahan dengan Salju Kelana. Tiga
Malaikat Batu kembali  terperangah memandangi
kehadiran Suto Sinting yang ternyata telah
menggenggam dua kain merah. Dua kain merah itu
adalah  ikat  kepala  Denawa dan Sogar yang sempat
disambar dengan kecepatan tinggi sekali.
Suto Sinting tersenyum menunjukkan dua kain merah
di kanan kirinya. Denawa segera datang dengan


menghapus darah dari hidungnya memakai lengan jubah,
ia berkata kepada kedua temannya namun matanya
tertuju pada Suto Sinting.
"Dia memang murid Gila Tuak."
"Ya, dia gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang tidak
kita miliki," kata Brada. "Pantas dia bisa mengembalikan
sinar putihku tadi."
Sogar berkata kepada Suto, "Kembalikan ikat kepala
kami. Aku tak pernah bermusuhan dengan gurumu,
Suto!"
Dengan sikap baik, Suto Sinting mengembalikan ikat
kepala mereka. Permusuhan pun mereda, bahkan Brada
bertanya kepada Pendekar Mabuk,
"Urusan apa kau ada di sini bersama dua kekasihmu
itu?"
Salju  Kelana  dan Kinanti tersenyum masam. Suto
Sinting justru tertawa tanpa suara. Tapi ia segera
menjelaskan perkara sebenarnya, dituturkan dengan
sejelas-jelasnya, sehingga ketiga orang yang berjuluk
Tiga Malaikat Batu itu menggumam lirih.
"Kami pun ada persoalan dengan Demit Lanang.
Delapan murid kami dilenyapkan dengan sinar 'Bintara
Jingga'-nya itu. Terlepas dia tahu itu murid kami atau
tidak, tapi kami akan menuntut balas atas kematian
delapan murid kami."
"Kita sama-sama kehilangan buronan," kata Suto
Sinting. "Tapi aku yakin dalam  waktu tak lama  dapat
menemukan di mana Demit Lanang bersembunyi."
"Kita berlomba," kata Brada. "Siapa yang


menemukan Demit Lanang lebih dulu, dia yang berhak
membunuhnya!"
"Asal  Ratu Jiwandani jangan sampai cedera oleh
serangan  kalian. Jika sang Ratu cedera, aku akan
menuntut kalian!" Suto menggertak secara halus.
"Aku paham!" ucap Denawa pendek, ia segera naik
ke punggung kuda, diikuti oleh  Sogar dan Brada.
Kemudian mereka pergi tanpa pamit lagi. Kinanti dan
Salju  Kelana memandang dengan hati menyimpan rasa
kagum kepada Suto Sinting. Tapi Kinanti tak kuasa
memendam kekagumannya, sehingga la iontarkan lewat
kata.
"Demit Lanang saja lari terbirit-birit karena tak
sanggup melawan Tiga Maiaikat Batu, namun kau justru
membuat mereka secara tak langsung menaruh hormat
padamu, Suto! Kau benar-benar luar biasa!"
"Siapa  dulu  pendampingnya," kata Salju  Kelana
membanggakan diri. Kinanti mencibir namun tak berani
seketus kemarin.
"Sekarang yang kita pikirkan bukan siapa
pendampingku, tapi di mana Ratu Jiwandani dibawa
oleh  Demit Lanang. Ke mana kita harus mencari si
Demit Lanang itu?!"
Salju Kelana dan Kinanti sama-sama diam termenung
memikirkan langkah berikutnya.
*
*  *




8
PENCARIAN itu memakan waktu sehari semalam,
mereka sampai bermalam  di hutan. Selama perjalanan
Salju  Kelana  tak pernah mau jauh dari Suto Sinting,
sehingga Kinanti sering merasa iri. Namun rasa iri itu
tidak berani diungkapkan secara terang-terangan, karena
dalam hatinya ia mulai takut melawan Salju Kelana
setelah  melihat kehebatan Salju Kelana saat melawan
Balada.
Di ujung pagi, perjalanan mencari Demit Lanang
dilanjutkan. Namun mereka  terperanjat kaget saat
menuruni sebuah lembah. Mereka temukan dua pakaian
yang tergeletak di rerumputan. Mereka tahu, pakaian itu
tidak sengaja digeletakkan di situ oleh pemiliknya, sebab
di samping pakaian mereka juga terdapat sebilah golok
dan cambuk. Kinanti amat mengenali senjata dan
pakaian tersebut.
"Ini pakaian Setan Bejat dan Hantu Sesat!" Pendekar
Mabuk jadi ingat saat perkenalan dengan Kinanti yang
kala itu terdesak serangan Hantu Sesat dan si Setan
Bejat. Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis
mengenang perkenalan itu, lalu ia berkata kepada
Kinanti.
"Agaknya musuhmu sudah terlibat bentrokan dengan
Demit Lanang."
Salju Kelana berkerut dahi, "Dari mana kau tahu?"
"Pakaian ini seperti ditinggalkan oleh raganya begitu
saja. Pasti mereka terkena jurus 'Bintara Jingga'. Aku tak
sangsi lagi, mereka dilenyapkan oleh si Demit Lanang!"


"Pendapatku pun begitu," kata Kinanti. "Apakah ini
berarti kita sudah mendekati tempat persembunyian
Demit Lanang?"
"Belum  tentu," kata Salju  Kelana. "Tapi setidaknya
kita tidak salah  arah. Mungkin di balik  gunung  itulah
mereka bersembunyi."
Suto Sinting memandang ke arah gunung yang
menjulang tinggi di depannya. Letaknya cukup jauh,
namun untuk mencapai kaki gunung tidak sampai
memakan waktu setengah hari jika menggunakan jurus
'Gerak Siluman'.
"Haruskah aku mendului mereka ke sana? Hmmm...
mungkin  Salju  Kelana  bisa menyusul  tak berapa lama,
tapi Kinanti akan tertinggal jauh," pikir Suto Sinting.
Langkah berikutnya menjadi terhenti lagi karena
suara gaduh di semak-semak sebelah  selatan mereka.
Salju  Kelana yang menahan langkah  mereka, karena
dialah yang mempunyai pendengaran paling tajam.
"Ada sesuatu yang gemerisik di sebelah selatan kita,"
bisik Salju Kelana.
"Periksalah, siapa tahu salah  satu dari murid
Perguruan Darah Surga." Suto bicara kepada Kinanti.
Maka gadis itu segera berkelebat  ke  selatan. Pendekar
Mabuk menunggu di tempat bersama Salju  Kelana.
Namun perhatian mereka tidak lepas dari Kinanti karena
khawatir gadis itu mendapat serangan berbahaya dari
arah lain.
"Dia cemburu sekali kalau aku bermanja denganmu,"
kata Salju Kelana tanpa memandang Suto Sinting.


"Aku tidak merasakan kecemburuannya," Suto
berlagak tidak tahu.
"Aku merasakan betul. Sepertinya dia ingin kau
menjadi suami Ratu Jiwandani."
"Menurutmu bagaimana?" pancing Suto Sinting.
"Terserah kau. Kau lelaki, bebas memilih," jawab
Salju Kelana bernada sedikit sinis. Suto Sinting tertawa
seperti orang menggumam.
"Aku tidak akan memilih Ratu Jiwandani untuk
menjadi istriku."
"Kenapa?" pancing Salju  Kelana  lagi. "Apakah dia
kurang cantik bagimu?"
"Cukup cantik. Tapi sayang aku sudah punya calon
istri sendiri."
Salju  Kelana  berkerut dahi. "Siapa perempuan yang
kau maksud itu?"
"Dyah Sariningrum, Ratu di Negeri Puri Gerbang
Surgawi yang bergelar Gusti Mahkota Sejati."
"Dyah Sari.... Ohh...?!" Salju Kelana terkejut. "Jadi...
ketika Lodang Balak menyangkaku Dyah Sariningrum
itu yang dimaksud adalah... adalah...."
"Calon Istriku," sahut Suto, kemudian menceritakan
secara singkat tentang Dyah Sariningrum  yang
merupakan perempuan yang sudah ditakdirkan menjadi
istrinya oleh garis perjalanan hidup mereka. Salju
Kelana tundukkan kepala dan merasa sedih.
"Tapi selama kau belum mendapatkan seorang suami,
aku tetap akan mendampingimu. Karena wajahmu persis
sekali dengan Dyah Sariningrum. Kita memang bisa


bersama-sama, tapi tidak bisa bersatu dalam kemesraan
abadi."
Salju Kelana menarik napas  berusaha menenangkan
gemuruh yang ada di hatinya, ia tidak bicara apa pun,
sampai Kinanti akhirnya datang sambil  menenteng
seorang  lelaki  agak pendek berpakaian biru, badannya
agak gemuk dan rambutnya pendek mengenakan ikat
kepala biru juga.
"Aku tak tahu murid siapa dia, tapi kutemukan dalam
keadaan mengintip kalian berdua," kata Kinanti sambil
melemparkan tubuh itu bagai melemparkan sarung
basah. Brruk...!
Suto memandang dengan dahi berkerut heran. "Bagus
Sepasar...?!" gumamnya lirih.
"Siapa orang ini? Kau kenal dengannya?" tanya Salju
Kelana.
"Ya, aku pernah kenal dengannya. Dia bernama
Bagus Sepasar, tapi nama aslinya Wirusida. Kami
berkenalan saat aku menemukan seseorang yang
tergantung kakinya karena terkena jerat yang dipasang
pemburu."
"Ak... aku dari tadi mau mendekatimu, tapi aku takut,
Suto."
"Apa yang kau lakukan di sini, Paman Bagus
Sepasar?!"
"Aku melarikan diri, Suto," jawab Wirusida dengan
wajah menyedihkan. "Aku tak berani tinggal di desaku
yang dulu kuceritakan telah kosong itu."
"Kenapa kau tak berani menempati desa itu?"


"Karena desa itu sekarang sudah dikuasai oleh Demit
Lanang."
"Ooh...?!"  Salju  Kelana  dan Kinanti terpekik kaget
dan menjadi tegang.
"Benarkah Demit Lanang ada di desamu?"
"Benar, Suto. Berani sumpah ketiban janda, aku
melihat sendiri Demit Lanang bersama orang-orangnya
menempati desa itu. Dan di sana kulihat dia membawa
seorang wanita cantik, mungkin calon istrinya."
"Dia  adalah  ratuku!" sahut Kinanti dengan penuh
semangat.
"Kalau  begitu keteranganmu tak salah lagi, Paman
Wirusida. Terima kasih atas keterangan ini, karena kami
sedang  sibuk mencari Demit Lanang yang ternyata
pindah ke desamu!"
"Apakah kau ingin datang ke sana, Suto?"
"Benar, Paman! Kami akan merebut Ratu Jiwandani."
"Kalau  begitu,  ikutlah aku. Kita jangan lewat
persawahan, nanti kedatangan kalian diketahui para
penjaga di sana. Kita melewati punggung bukit saja. Di
sana keamanannya lemah. Kau bisa langsung menuju ke
bekas rumah lurah kami!"
"Apakah Demit Lanang menempati rumah itu?" tanya
Salju Kelana.
"Benar, karena rumah itu besar dan bagus.
Perempuan cantik itu juga ada di situ bersamanya!"
"Kita bergerak sekarang juga sebelum sang Ratu
menjadi korban kebiadabannya!" kata Suto Sinting, lalu
kedua wanita cantik yang bersamanya itu pun bergegas


mengikuti langkah Bagus Sepasar. Mereka tak bisa
berlari cepat, karena Bagus Sepasar akan tertinggal dan
mereka bisa salah arah. Mau tak mau mereka mengikuti
kecepatan lari Bagus Sepasar yang dirasakan oleh Suto
Sinting seperti larinya seekor bekicot.
Matahari mulai tampak memerah di sisi barat,
pertanda sore mulai tiba dan senja sebentar lagi akan
datang. Sisa cahaya masih menguntungkan bagi mereka
karena mereka sudah tiba di punggung bukit. Atap-atap
rumah mulai kelihatan menghitam di sana-sini.
Bagus Sepasar berhenti, yang lain pun ikut berhenti.
Mereka berlindung di balik pohon besar berdaun rimbun.
Bagus Sepasar berkata kepada Suto Sinting.
"Aku tak berani ikut mendekat ke desa itu, karena
takut ditangkap oleh mereka. Kalian saja yang ke sana!"
"Baiklah. Kau diam dan bersembunyi di sini saja.
Tapi tunjukkan yang mana atap bekas rumah kepala
desamu itu?!"
"Itu... yang atapnya panjang dan mempunyai empat
pohon kelapa di belakang rumah! Kelihatan dari sini,
bukan?"
Mereka memandang ke arah yang ditunjuk oleh
Bagus Sepaaar. Atap rumah tersebut tampak jelas dari
tempat mereka. Maka, Pendekar Mabuk pun segera
berkata kepada Salju Kelana,
"Aku akan menerobos masuk ke sana, kau di sini
saja."
"Tidak, aku harus ikut denganmu. Aku tak ingin kau
celaka!" kata Salju Kelana menampakkan kesetiaannya.


"Aku juga harus mendampingimu, karena yang akan
kau selamatkan adalah ratuku," kata Kinanti yang punya
rasa pengabdian tinggi kepada ratunya.
Suto Sinting tak dapat menolak kemauan mereka.
Akhirnya ia berkata,
"Kalian boleh ikut, tapi hindari pertemuan dengan
Demit Lanang. Biar aku yang hadapi Demit Lanang. Jika
ada kesempatan menerobos masuk, cepat cari tahu di
mana Ratu Jiwandani, lalu bawa lari kemari dan tunggu
aku menyelesaikan urusan dengan Demit Lanang."
Kedua wanita cantik yang tidak punya rasa takut
maupun gentar itu segera anggukkan kepala. Kemudian
mereka bergegas menuruni bukit itu dengan menyelinap
ke balik pepohonan.
Ternyata rumah yang dituju mereka dijaga ketat oleh
beberapa orang yang berkeliling dengan senjata masing-
masing. Suto Sinting menyuruh kedua perempuan itu
merendahkan badan agar tak terlihat oleh penjaga.
"Lakukan penyerangan yang melumpuhkan lawan
tapi tidak timbulkan suara gaduh," bisik Suto Sinting.
"Akan kugunakan jurus 'Darah Beku' untuk membuat
mereka tak bergerak selama satu malam," bisik Salju
Kelana.
"Kalau begitu aku akan menggunakan jurus 'Surya
Pembius' yang membuat mereka akan tertidur cukup
lama," timpal Kinanti seakan ingin tunjukkan kebolehan
melumpuhkan lawan tanpa suara.
Mereka makin bergerak mendekati rumah tersebut.
Arah gerakan mereka berpencar. Suto berada di sisi


kanan, menuju ke jalan samping rumah.
Dua penjaga sedang bicara dengan kelengahan yang
menguntungkan Salju Kelana. Perempuan berjubah putih
itu segera lepaskan jurus 'Darah Beku' berupa sinar
bintik-bintik putih seperti serbuk beling yang melesat
dari ujung jari telunjuk dan jari tengah yang merapat.
Class...! Srrubb...!
Kedua penjaga itu tetap berdiri dengan keadaan saat
bicara. Tapi mereka sudah tidak bisa bergerak lagi.
Bahkan berkedip pun tak bisa. Darahnya membeku dan
lama-lama kulit tubuhnya mengeluarkan busa salju.
Seorang penjaga lain menghampiri orang yang telah
dibungkus salju samar-samar itu. Ia menyangka kedua
temannya masih bisa diajak bicara.
"Hei, kalian ini jaga kok malah ngobrol? Kalau ada
bahaya bagaimana?! Lho...?! Lho...?.!"
Saat orang itu bingung melihat keadaan kedua
temannya,  Salju  Kelana cepat lepaskan jurus 'Darah
Beku' kembali. Class...! Maka orang itu pun bernasib
sama dengan kedua temannya.
Sementara itu, Kinanti bergerak makin mendekati
pintu  belakang  rumah. Di sana ada dua penjaga yang
matanya bergerak penuh waspada. Kinanti segera
muncul  terang-terangan. Namun sebelum kedua orang
itu berseru dan bergerak, tiba-tiba dari punggung
tangannya keluar sinar kuning bercampur asap. Wuss...!
Sinar itu menyebar dan menerpa wajah kedua penjaga.
Mereka memaksakan diri untuk bergerak dengan
gelagapan, namun kejap berikut mereka jatuh terpuruk di


tempat dan tak berkutik lagi bagaikan orang tertidur
dengan nyenyak. Mereka menjadi korban jurus 'Surya
Pembius' yang hanya dimiliki oleh orang-orangnya Ratu
Jiwandani. Jurus itu hanya bisa digunakan secara
sembunyi-sembunyi. Karena jika ditangkis dengan
tenaga  dalam  lain akan menimbulkan ledakan cukup
keras.
Beberapa orang dilumpuhkan oleh Salju Kelana dan
Kinanti. Pendekar Mabuk belum lepaskan jurusnya satu
pun, ia hanya menyelinap menyusuri sisi rumah. Namun
tiba-tiba seseorang yang ada di rumah seberang
melihatnya dan berseru keras,
"Hoi...! Mau apa kau?!"
Orang tersebut hendak lepaskan pukulan jarak jauh,
tapi oleh Suto dilumpuhkan dengan jurus 'Jari Guntur'-
nya, berupa sentilan tangan yang mengandung kekuatan
tenaga dalam seperti tendangan kuda. Tess...! Dubb...!
Brraakkk...!
Orang itu terjengkang ke belakang  dan menabrak
pintu. Suara gaduh menjadi pusat perhatian yang lain.
Akibatnya kemunculan Pendekar Mabuk  di situ segera
diketahui oleh mereka.
"Ada orang menyusup! Ada orang masuk ke wilayah
kita!" teriak salah seorang dari mereka.
Pendekar Mabuk segera dikepung oleh beberapa
orang bersenjata. Namun pemuda tampan itu tetap
tenang. Setiap wajah dipandanginya. Saat itulah ia telah
pergunakan jurus 'Alih Raga', seperti yang digunakan
saat melawan Setan Bejat dan Hantu Sesat. Maka ketika


beberapa orang maju menyerang Suto dengan golok dan
senjata tajam lainnya, Suto hanya diam saja. Tapi teman-
teman mereka menjerit kesakitan, dan saling berjatuhan.
Bahkan beberapa orang tampak melepaskan napas
terakhir untuk kemudian tidak bernyawa lagi. Semakin
banyak Suto diserang dengan senjata tajam, semakin
banyak  pula  orang-orangnya Demit Lanang berjatuhan
tanpa nyawa.
"Hentikan! Dia menggunakan jurus gaib!" seru salah
seorang. "Panggil Maha Guru kita!"
"Aaaa...!"  salah seorang memekik karena ada yang
menyerang Suto dengan tombak dari belakang. Tombak
itu menancap di tubuh Suto, namun segera jatuh ke tanah
dan orang di depannya yang memekik sambil rubuh, lalu
tak bernyawa lagi.
Suara gaduh itu membuat Demit Lanang melompat
keluar dari dalam  rumah dengan menendang pintu.
Brrakk...! Dalam sekejap ia sudah berada di depan Suto
Sinting.
"Siapa kau, Anak ingusan?!" ucapnya dengan nada
datar dan wajah dingin. Pandangan matanya pun
sedingin es.
"Aku utusan dari Lembah Birawa!" kata Suto tegas
sekali. "Tujuanku adalah mengambil Ratu Jiwandani!"
"Hmmm... kau harus melangkahi mayatku jika ingin
mengambil caion istriku itu!"
"Kusanggupi syarat itu!" kata Suto Sinting dengan
tetap tenang.
Wuuttt...!  Demit Lanang menerjang Suto dengan


gerakannya yang seperti orang menghilang itu. Suto
Sinting pun menghindar dengan menggunakan jurus
'Gerak Siluman'.
Zlapp...!
Di  dalam  rumah terjadi suara ledakan. Kemudian
Kinanti keluar dengan memanggul Ratu Jiwandani yang
agaknya dalam keadaan tertotok.
"Sutooo...!" teriaknya.
"Cepat lari...!" balas Suto.
"Kejar dia!" perintah Demit Lanang dengan wajah
mulai gusar.
Salju  Kelana  muncul  menghadang para pengejar,
sementara itu Kinanti membawa lari Ratu ke bukit.
"Jahanam kau, Bocah! Rupanya kau belum tahu jurus
'Bintara Jingga'-ku ini, hah?!"
Merasa dirinya terancam bahaya sinar Jingga yang
tak bisa dihindari, Suto Sinting segera lepas-kan jurus
'Napas Tuak Setan' dari mulutnya. Amarahnya
dibangkitkan, dan mulut pun menganga lebar.
"Heaaah...!"
Tepat pada waktu itu Demit Lanang lepaskan sinar
Jingga dari tangannya dan sinar itu membalik arah
mengenai dirinya sendiri karena hembusan badai yang
datang secara tiba-tiba. Begitu kuatnya badai 'Napas
Tuak Setan' sehingga mampu membalikkan sinar Jingga
kepada pemiliknya. Akibatnya, tubuh Demit Lanang
sendiri lenyap tinggal pakaiannya.
Namun angin badai tetap mengamuk merusak alam
dan lingkungannya. Rumah-rumah hancur, pohon-pohon


tumbang, beberapa anak buah Demit Lanang terhempas
dan terbanting tak bisa terselamatkan lagi. Pakaian
Demit Lanang ikut melayang entah ke mana. Desa
menjadi rusak, langit menjadi hitam bergulung-guiung
mendung tebal. Kilatan cahaya petir menyambar-
nyambar bagai mau klamat.
Tetapi orang yang ada di belakang Suto tetap selamat,
karena badai hanya menghempas ke arah depan Suto.
Mereka yang ada di belakang Suto selain sisa anak buah
Demit Lanang, juga Salju Kelana dan Kinanti yang
menghentikan larinya sambil memanggul Ratu
Jiwandani.
Jurus maut 'Bintara Jingga' itu akhirnya dikalahkan
oleh jurus 'Napas Tuak Setan' yang jarang digunakan
Pendekar Mabuk jika ia tidak dalam  keadaan sangat
terpaksa. Merasa rumah-rumah di desa itu sudah tidak
dihuni  oleh  pemiliknya  lagi, maka Suto Sinting pun
berani  lepaskan 'Napas Tuak Setan', yang berarti
menggulung habis para pengikut Demit Lanang.
Dengan begitu, berakhirlah riwayat kejayaan  Demit
Lanang bersama jurus 'Bintara Jingga'-nya, sedangkan
sisa anak buah yang masih hidup melarikan diri
ketakutan, dan Ratu Jiwandani pun selamat dari
cengkeraman Demit Lanang.
"Tak akan kulupakan peristiwa ini sepanjang
hidupku," kata Ratu Jiwandani kepada Suto Sinting.
"Seharusnya perjanjian di atas lontar itu kutulis dan
kusepati bersamamu, bukan bersama Maha Guru Teja
Biru."


"Lupakan soal perjanjian itu, karena aku sendiri
punya perjanjian dengan Ratu Puri Gerbang Surgawi;
Dyah Sariningrum," kata Suto mengakhiri
perjumpaannya dengan Ratu Jiwandani. Ia segera pergi
meninggalkan Lembah Birawa bersama Salju Kelana,
perempuan cantik yang mirip dengan Dyah Sariningrum.

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar