SUNGAI di tengah hutan itu
mempunyai air yang jernih. Kejernihannya membuat hati orang yang memandang
merasa segar, lalu tertarik untuk merasakan kesegaran air tersebut. Lebih-lebih
bagi orang yang selama dua puluh hari tak mandi, pasti ingin nyebur ke sungai
itu. Perkara itu bisa berenang atau tidak, itu urusan nanti. Yang penting rasa
tertarik ingin mandi di air jernih lebih dulu hadir menggoda hatinya.
Perasaan seperti itu dialami
oleh seorang perempuan muda yang berusia dua puluh lima tahun. Perempuan cantik
berwajah oval dengan tahi lalat di sudut kiri dari bibir atasnya itu hentikan
langkah ketika ingin seberangi sungai tersebut.
"Menyegarkan sekali air
sungai ini. Pasti badanku akan terasa nyaman jika habis mandi di sini. Oooh...
ada air terjunnya segala di sebelah sana! Sebaiknya kucoba memeriksa keadaan di
sekitar air terjun itu," ujar si perempuan muda yang berpakaian hijau tua
itu.
Guyuran air terjun yang tak
seberapa tinggi itu semakin memikat hatinya untuk merasakan kesejukan air
tersebut. Mata sedikit lebar berkesan galak dan mempunyai lilitan warna hitam
di tepian kelopaknya itu memandang sekeliling tempat tersebut dengan teliti.
Tiap pohon diperhatikan, ternyata tak ada orang di pohon-pohon tersebut. Tiap
semak diincar dengan ketajaman matanya, ternyata juga tidak ada sepasang mata
yang mengintai dari balik kerimbunan semak itu.
"Aman-aman saja
kelihatannya," pikir si perempuan muda berikat kepala merah bintik-bintik
putih itu. "Tempat ini sepi sekali, seperti hutan yang masih perawan,
belum terjamah tangan manusia. Kurasa aku bisa mandi dengan bebas tanpa takut
ada yang mengintipnya."
Perempuan berperawakan tinggi
dengan badan sekal dan kencang itu tidak tahu kalau di balik bebatuan seberang
ada sepasang mata yang memperhatikan. Celakanya, sepasang mata itu milik
seorang pemuda tanggung. Pemuda itu pada mulanya tidak sengaja ingin mengintip
orang mandi, ia hanya sekadar menunaikan tugas pribadi, yaitu buang hajat.
Pada waktu pemuda itu telah
selesai dengan hajatnya yang dibuang-buang dan ingin menaikkan celananya,
tiba-tiba ia melihat kedatangan perempuan berbaju hijau tua itu. Ia buru-buru
jongkok kembali karena malu jika perempuan itu melihatnya sedang merapikan
celana. Mau tak mau pemuda berambut pendek itu merapikan celana sambil jongkok
di balik batu tersebut.
"Sialan! Mau apa
perempuan itu datang kemari? Bikin repot orang pakai celana saja!" gerutu
pemuda tersebut sambil sibuk menempatkan celana pada posisi sebenarnya.
"Aduh! Pakai kejepit
segala, lagi?!" Ia meringis sebentar, setelah sesuatu yang terjepit dan
agak terpelintir itu dalam posisi yang tepat, ia pun segera mengencangkan ikat
pinggangnya yang terbuat dari kain warna merah.
"Oh, rupanya perempuan
itu mau mandi?!" mata si pemuda mulai menegang, hati pun kegirangan.
"Wah, wah, wah...
kebetulan sekali kalau begitu. Sebaiknya aku tak perlu berdiri dulu. Dengan
tetap jongkok begini, tubuhku terlindung oleh kedua batu besar ini, tapi
pandangan mataku bisa menyelinap di celah-celah bebatuan."
Mulailah si pemuda berbaju
kuning dan bercelana hitam itu sibuk mengatur posisi agar pas untuk menyaksikan
keindahan tubuh yang sudah mulai membuat hatinya berdebar-debar itu. Sepasang
matanya tampak berbinar-binar penuh semangat pengintaian.
Setelah meletakkan pedangnya,
si perempuan dengan cueknya melepaskan pakaian hijaunya di atas batu lebar di
tepian sungai. Ploos...! Kini perempuan itu telah polos. Pemuda yang
mengintainya nyaris berteriak kegirangan. Untung ia cepat-cepat membungkam
mulutnya sendiri dengan tangan, sehingga suara kegirangannya tak sampai
terdengar di telinga perempuan yang berkulit putih mulus itu. Si perempuan
melompat ke atas batu yang berada tepat di bawah curahan air terjun. Teeeb... !
Dan air bening yang sejuk itu pun mengguyur sekujur tubuhnya, hingga rambut
yang disanggul sederhana itu terlepas dan menjadi terurai.
"Edan! Mulusnya seperti
labu siam!" gumam si pemuda dengan kagum dan berdebar-debar. Sebentar-
sebentar ia memegangi sesuatu untuk menenangkan lututnya yang gemetar. Sesuatu
yang dipegang itu tak lain adalah tepian batu di depannya.
Tetapi beberapa saat kemudian
pemuda itu menjadi terkejut. Matanya terbelalak kian lebar dan tetap mengarah
kepada perempuan mandi itu. Sesuatu yang janggal telah dilihatnya sangat di
luar dugaan.
"Edan dua kali! Ternyata
dia mempunyai dada yang sangat montok, kencang, dan... woww! Bisa merobekkan
celanaku kalau begini caranya! Aduh, bagaimana, ya? Ditinggal pergi saja, ah!
Aku tidak kuat menahan detak jantungku yang keras dan cepat ini."
Pemuda itu tampak bingung
sendiri, memandang sekeliling dengan napas mulai memburu.
"Tapi kalau aku pergi,
pasti dia melihatku dan tentu aku disangkanya sengaja mengintipnya. Wah, repot
juga kalau begitu. Sebaiknya... sebaiknya... ah, lebih dekat lagi saja. Biar
lebih jelas. Hi, hi, hi...!" Pemuda itu melangkahkan kakinya pelan-pelan
sambil tetap merunduk. Kaki berhasil pindah ke batu yang lainnya. Hal itu
dilakukan beberapa kali, sehingga pemuda itu sekarang berada lebih dekat lagi
dengan tempat perempuan itu mengguyur tubuhnya. Maka apa yang dipandangnya pun
secara otomatis akan lebih jelas dari sebelumnya.
"Edan! Edan tiga
kali!" sentak hati si pemuda. "Ternyata bukan hanya dadanya saja yang
mempunyai sepasang bukit montok, tapi... oh, di pinggang kanan-kiri juga ada
tempat mimik bayi. Wah...?!"
Pemuda itu makin lebarkan
matanya lagi.
"Ternyata di dekat
perutnya juga ada satu tempat mimik, dan... dan... ya, ampun?! Di pangkal paha
kanan- kiri juga ada tempat minum bayi walau tak sebesar yang di dada?!"
Perempuan itu tetap mandi
dengan cuek, menggosok tubuhnya sebersih mungkin, menikmati kesejukan air
sepuas mungkin. Bahkan ia tak segan-segan membuka diri untuk membersihkan
bagian-bagian yang tersembunyi. Tentu saja si pemuda makin sesak napas, seperti
menelan sepotong bantal.
Pemuda itu lebih terbelalak
lagi, seolah-olah matanya ingin disentakkan keluar dari kelopaknya ketika
perempuan itu memunggunginya secara tak sengaja.
"Hualah, hualah...
ternyata di punggungnya juga ada sepasang tempat mimik bayi. Tidak terlalu
montok tapi tampak kencang dan ujungnya tampak menantang. Ya, ampuuun...
perempuan kok punya sembilan tempat minum bayi. Apa sekali beranak kembar
sembilan?!"
Pemuda itu makin gemetar,
bukan saja kagum dan heran, namun juga gairahnya telah terbakar oleh kepolosan
dan kesekalan tubuh si perempuan yang penuh tantangan itu. Napas yang terasa
semakin sesak membuat si pemuda sering buka mulut, menghirup udara
banyak-banyak untuk melegakan dadanya.
Pemandangan tabu yang berhasil
dimanfaatkan oleh sepasang matanya secara jelas itu membuat persendian
tulangnya gemeretuk. Akibatnya, pijakan kaki pun bergetar dan ia terpeleset
jatuh ke air.
Jebuuur...!
"Oooh...?!"
perempuan itu terpekik, lalu melompat ke daratan, menyambar pakaian serta pedangnya.
Wuuut...!
Tentu saja si pemuda menjadi
kecewa bercampur ketakutan, ia juga cepat-cepat tinggalkan sungai tanpa peduli
sekujur tubuhnya basah kuyup, ia akan malu sekali jika kepergok perempuan
tersebut. Sambil bersembunyi di balik pohon besar, pemuda itu menghabiskan sisa
gemetarnya. Tubuh itu bukan saja gemetar namun juga menggigil karena basah
kuyup.
"Sial! Pakai acara
kepeleset segala!" gerutu si pemuda. "Coba kalau tidak ada acara
terpeleset, pasti saat ini aku masih menikmati keindahan yang ganjil itu.
Iiih... payudara kok sampai sembilan biji?! Mau dijual ke mana sisanya itu, ya? Jangan-jangan ia
sengaja buka usaha penitipan payudara?! Uuh... merinding juga tubuhku kalau
membayangkan dipeluk perempuan macam dia!" Rupanya perempuan itu merasa
dirugikan oleh tingkah seseorang yang memanfaatkan pemandangan tubuhnya tanpa
permisi. Menurutnya, tindakan itu adalah tindakan pelecehan yang harus diberi
hukuman sebagai pelajaran. Maka perempuan itu pun segera mencari si pengintai
dengan wajah berang. Tentunya ia mencari si pengintai setelah mengenakan
pakaiannya.
Merasa sudah cukup lama
bersembunyi di balik pohon, pemuda itu menduga si perempuan sudah pergi jauh
dan tak akan mandi lagi. Maka ia pun segera keluar dari persembunyiannya. Namun
baru saja ia keluar dari balik pohon, tiba-tiba sesosok tubuh sekal
menerjangnya dari samping. Wuuut...! Bruuus...!
"Aaaoww...!" pemuda
itu memekik kesakitan, tubuhnya terlempar jauh, berguling-guling dan
berbantal-bantal. Orang yang menerjangnya itu segera berkelebat menghampiri,
kemudian mencengkeram baju si pemuda dengan kedua tangannya.
"Dasar mata tak pernah
dicolok! Rasakan upah kekurangajaranmu tadi! Hiiah...!"
Wuuus...! Pemuda itu
dilemparkan bagai membuang karung isi bangkai anjing.
"Aaa...!" pemuda itu
menjerit sambil melayang di udara. Tubuhnya membentur pohon dengan keras hingga
pekikannya meninggi. Brruk...! Ia pun jatuh terpuruk sambil menyeringai
kesakitan.
"Bangun kau,
jahanam!" bentak perempuan yang tadi diintipnya.
"Aaduuuh...!"
"Cepat bangun!" bentaknya lagi dengan mata melebar galak.
"Mana bisa bangun! Kakiku
patah!" sentak pemuda itu sambil menyeringai bagai ingin menangis.
Perempuan itu segera menjambak
rambut si pemuda, menariknya ke atas hingga si pemuda terpaksa berdiri dan
ketahuan kakinya tidak patah. Lalu dengan gerakan cepat perempuan itu menampar
wajah si pemuda berkali- kali.
Plak, plak, plak, plak, plak,
plak, plak...!
Si pemuda hanya bisa
geleng-geleng dengan cepat karena sentakan tangan yang menamparnya berturut-
turut itu. Begitu tamparan berhenti, wajah si pemuda seperti habis direbus.
Merah matang, ia tak bisa berteriak lagi. Tangan perempuan yang mencengkeram
rambutnya tadi dilepaskan, langsung tubuh si pemuda jatuh terkulai seperti
sarung kehilangan burung. Brrruk...!
"Lain kali tak akan
kuberi kesempatan bernapas lagi kalau kau berani mengintipku, Tikus got!"
geram si perempuan sambil menuding penuh ancaman.
Perempuan itu segera
meninggalkan si pemuda dengan wajah membendung kejengkelan. Tetapi si pemuda
juga merasa jengkel, sempat merasa sakit hati juga, sehingga ia kumpulkan sisa
tenaganya untuk bangkit dan lakukan pembalasan, ia berlari dari arah belakang
si perempuan dan melompat melepaskan tendangannya.
"Ciaaat...!"
Perempuan itu berbalik cepat
dengan tangan menyentak pendek. Wuuut...! Buuurk...! "Huuaahhk...!"
Si pemuda terlempar kembali
karena pukulan tenaga dalam dari perempuan tersebut. Tubuh yang tak seberapa
kurus itu terbanting tanpa ampun lagi, membuat tulang pundaknya terasa mau
patah, ia mengerang sambil berusaha untuk bangkit, setidaknya bisa duduk
bersandar pada pohon. Si perempuan terpaksa hentikan langkah dan ingin
menghajar pemuda itu lebih babak belur lagi. Tapi emosinya ditahan sesaat
begitu melihat ada darah keluar dari hidung pemuda itu.
"Agaknya ia tak punya
tenaga dalam pelindung tubuh. Untung saja kepalanya tak sampai remuk kuhantam
dengan tenaga dalamku tadi. Untung saja aku tadi tidak menggunakan jurus
berbahaya. Hm... percuma saja melayani pemuda yang tak berilmu, untuk apa aku
harus buang-buang waktu dan tenaga. Lebih baik waktu dan tenaga kugunakan untuk
mencari Pendekar Mabuk yang sudah lama belum kutemukan juga itu!"
Perempuan yang membatin
kata-kata tersebut segera teruskan langkahnya. Tapi baru saja ia mau melangkah,
pemuda yang sudah bonyok itu segera berseru sambil bangkit berdiri berpegangan
pohon.
"Tunggu...!"
Perempuan itu berpaling
kembali menatapnya dengan tajam.
"Kau pikir dapat pergi
begitu saja?! Wajahku sudah menjadi bonyok begini, kau harus menerima
balasannya!" "Apakah kau ingin lebih bonyok lagi?!" geram
perempuan itu.
"Kau yang harus dibuat
bonyok juga!" bentak si pemuda. "Siapa dirimu sebenarnya, sehingga
seenaknya memperlakukan seorang lelaki tanpa hormat sedikit pun begini,
hah?!"
Pemuda yang masih berlagak
galak itu didekati oleh si perempuan. Mau tak mau si pemuda mundur dua langkah,
siap-siap berlindung di balik pohon.
"Aku adalah perempuan
yang benci kepada lelaki tukang ngintip sepertimu!" ujar si perempuan
dengan pandangan mata menggigilkan nyali si pemuda.
Sambungnya lagi, "Kalau
kau ingin tahu diriku, akulah yang bernama Puting Selaksa, murid Resi
Parangkara! Jika kau ingin melawanku, sebutkan dulu namamu, supaya aku bisa
mencatat namamu dalam deretan orang-orang yang sudah kukirim ke neraka!"
"Sombong!" sentak si
pemuda dengan bersungut- sungut, ia sedikit menjauh dari pohon. Berdiri dengan
tegak dan menepuk dada dengan bangga.
"Perkenalkan, akulah yang
bernama Mahesa Gibas! Atau lebih lengkapnya lagi: Mahesa Gibas Wingit!"
sambil matanya dilebarkan dan wajah ditegangkan agar nama itu berkesan
menyeramkan.
Tetapi si perempuan yang
ternyata adalah Puting Selaksa itu tidak merasakan ada pengaruh yang
menyeramkan dari nama tersebut, ia justru tersenyum sinis berkesan meremehkan
nama itu. Ia melangkah lebih mendekat,
tapi Mahesa Glbas mundur sedikit dengan wajah tampak waswas.
"Ketahuilah, Tikus got...
kau sama sekali bukan tandinganku jika maksudmu ingin menantang pertarungan
denganku!"
"Memang bukan aku yang
akan melawanmu! Ilmuku terlalu tinggi untuk melawan perempuan berilmu pas-
pasan sepertimu. Tapi kalau memang kau seorang perempuan pemberani, lawanlah
saudaraku!"
"Siapa saudaramu itu?!
Suruh dia datang kemari!" "Betul, ya?!" tuding si Mahesa Gibas
bernada
mengancam. "Jangan kabur
ke mana-mana kau! Tunggu di sini, akan kupanggllkan saudaraku untuk
menghajarmu!"
"Aku bukan perempuan
pengecut! Akan kutunggu kalian di sini sampai batas matahari bergeser ke
barat!"
"Baik! Akan kupanggil
saudaraku itu sekarang juga! Awas, jangan lari! Kalau lari kuteriaki maling,
biar dikejar-kejar orang sekampung!" sambil Mahesa Gibas melangkah pergi,
kemudian berlari memanggil saudaranya. Puting Selaksa hanya tersenyum sinis,
sangat meremehkan ancaman tersebut.
Puting Selaksa adalah
perempuan yang beberapa waktu yang lalu mendapat kekuatan gaib dari dewata yang
dinamakan kekuatan 'Rona Dewaji'. Ia termasuk perempuan beruntung dari seluruh
perempuan yang ada di dunia. Karena kekuatan 'Rona Dewaji' itu akan membawa
keberuntungan besar dalam sepanjang sejarah hidupnya. Seluruh keturunannya akan
menjadi raja, dan perkawinannya nanti akan berlimpah kebahagiaan, kekayaan, dan
kehormatan.
Kekuatan gaib 'Rona Dewaji'
itu mulai akan bekerja setelah ia menikah secara sah dan mendapatkan darah
kemesraan dari suaminya. Tetapi jika sebelum melakukan pernikahan sah tubuhnya
telah dicemari oleh darah kemesraan seorang lelaki, maka kekuatan 'Rona Dewaji'
itu akan sirna dan keberuntungan tidak akan ada padanya.
Karenanya, banyak kaum lelaki
baik yang sudah beristri maupun yang belum, berhasrat sekali ingin menjadi
suami Puting Selaksa. Mereka yang bernafsu ingin menjadi suami Puting Selaksa
adalah mereka yang mengetahui bahwa perempuan itu memiliki kekuatan gaib 'Rona
Dewaji'.
Tetapi Puting Selaksa tidak
mau menikah sembarangan. Sekalipun ia dilamar oleh seorang adipati, ia
menolaknya dan lebih baik mati daripada bersuamikan sang adipati itu. Puting
Selaksa hanya mau menikah dan bersuami dengan seorang lelaki yang mampu membuka
pintu hatinya dan menghancurkan karang besi yang selama ini melapisi hatinya.
Satu-satunya orang yang dapat membuka dan menghancurkan pintu hati itu adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting, ia
sangat terkesan dengan kepribadian muridnya si Gila Tuak itu.
Sekalipun ia tahu, Pendekar
Mabuk; Suto Sinting sudah punya calon istri yang bernama Dyah Sariningrum, ratu
di negeri Puri Gerbang Surgawi alam nyata, tetapi Puting Selaksa bersikeras
untuk dapat menggeser hati Suto Sinting agar berpindah kepadanya. "Selain
ia gagah, tampan, dan berilmu tinggi, ia juga seorang lelaki yang tangguh dan
panas di ranjang!"
Begitulah penilaian Puting
Selaksa terhadap Suto Sinting, ia merasa, hanya Pendekar Mabuklah yang mampu
melayani hasrat cintanya. Hanya Suto Sintinglah yang mampu mengimbangi gairah
cumbunya yang cukup besar itu.
Meskipun Puting Selaksa belum
pernah menerima semburan darah kehangatan Suto Sinting, namun ia pernah
dilambungkan oleh Pendekar Mabuk hingga mencapai puncak keindahan cintanya
berkali-kali. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Wanita Keramat").
Dalam penilaian Puting Selaksa, pemuda itu adalah pria yang pandai
membangkitkan selera wanita dan pandai memandu gairah wanita mencapai
puncaknya.
"Belum menggunakan 'jimat
lelaki'-nya saja dia sudah bisa
melambungkan gairahku mencapai puncak keindahan berkali-kali; cukup bermodal
tangan, bibir, dan lidahnya. Apalagi kalau sampai ia menggunakan 'senjata
pamungkas'-nya, wooow...! Tak terbilang lagi indahnya, tak terukur lagi
bahagianya hatiku!" pikir Puting Selaksa dalam setiap mengkhayalkan
cumbuan Suto Sinting.
Tetapi sudah beberapa waktu
lamanya Puting Selaksa gagal menemukan Pendekar Mabuk. Hatinya sering diguncang
rindu dan kesepian. Perasaan tersebut membuatnya mudah tersinggung dan jengkel
sendiri. Kadang ia meratap dalam hatinya, "Di manakah kau sebenarnya,
Pendekar Mabuk?"
*
* *
2
TIDAK seberapa jauh dari
sungai berair bening dan dingin itu, tampak sesosok tubuh kekar dan gagah
sedang berhadapan dengan seorang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun.
Pemilik tubuh kekar dan gagah itu tak lain adalah murid si Gila Tuak yang
kondang dengan nama Pendekar Mabuk atau Suto Sinting. Dengan bumbung tuak
menggantung di pundak, Pendekar Mabuk hadapi gadis yang sedang berang padanya
dengan sikap tenang.
"Seharusnya kau tak perlu
mengejarku sampai di sini, Lembah Wuyung!" ujar Suto Sinting kepada gadis
berpakaian biru satin Itu.
Lembah Wuyung mempunyai wajah
cantik mungil. Rambutnya dikepang ekor kuda. Tubuhnya sintal, dibungkus kain
ketat dan lentur, sehingga lekak-lekuk tubuhnya kelihatan jelas, ia tampak
sebagai gadis yang lincah dan gesit dari caranya melangkah yang tampak ringan
itu. Ketatnya pakaian membuat pinggulnya kelihatan meliuk sekal, dadanya juga
kelihatan padat berisi walau tak semontok Puting Selaksa.
Tapi dalam kecantikannya yang
berbibir ranum menggemaskan itu, Lembah Wuyung tak kelihatan ceria, bahkan
pandangan matanya yang tertuju pada Suto tampak bermusuhan sekali. Hal itu
disebabkan oleh ia ingin membalas dendam kepada Pendekar Mabuk.
"Tindakanmu harus dibalas
dengan lebih kejam lagi, Pendekar Mabuk! Jangan mentang-mentang kau berilmu
tinggi, lalu kau pikir tak ada orang yang bisa mengalahkan dirimu!"
"Kau salah duga Lembah
Wuyung," potong Pendekar Mabuk tetap dengan tenang. "Kalau aku
menghancurkan Istana Tengkorak dan menewaskan Pangeran Cabul, itu lantaran
pihakmu berada di tempat yang salah. Tapi sebenarnya aku tidak memusuhimu,
Lembah Wuyung!"
"Kau memusuhi kakak
angkatku; Pangeran Cabul! Kau juga memusuhi kakak angkatku; Ratu Lembah Girang.
Itu sama saja kau bermusuhan denganku Pendekar Mabuk!"
"Keliru! Anggapanmu
keliru, Lembah Wuyung. Bukan aku yang memusuhi kedua kakakmu, tapi merekalah
yang memusuhiku. Aku hanya bertahan, lebih baik membunuh daripada dibunuh. Itu
sudah hukum kejiwaan di mana pun manusia berada! Kalau aku tidak dimusuhi,
tentunya aku juga tidak memusuhi orang tersebut."
Pendekar Mabuk memang
dicari-cari oleh Ratu Lembah Girang untuk dibunuh. Karena pada waktu itu, Ratu
aliran hitam dari Pulau Swaladipa menggunakan kekuatan iblis untuk memalsu
kehadiran si Bocah Emas. Iblis yang menitis dalam sosok bocah yang sudah mati
itu menewaskan korban cukup banyak. Pendekar Mabuk sendiri nyaris menjadi
korban. Untung si Bocah Emas asli datang dan hancurkan bocah titisan iblis itu,
sehingga ia menjadi buronan sang Ratu Lembah Girang, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Bocah Titisan Iblis").
Ratu Lembah Girang segera
meminta bantuan saudara kandungnya: Pangeran Cabul yang berkuasa di wilayah
tenggara dalam sebuah istana yang bernama Istana Tengkorak, ia ditugaskan oleh
sang kakak perempuan untuk membunuh Pendekar Mabuk yang telah membawa lari
Bocah Emas yang asli. Pendekar Cabul bekerja sama dengan manusia muka badak
alias Rogana. Rogana mati di tangan Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Perawan Sinting").
Suto pun menyerang Istana
Tengkorak bersama Perawan Sinting. Selain Istana itu dibuat porak poranda oleh
Pendekar Mabuk dan Perawan Sinting, sahabat barunya, juga Pangeran Cabul
berhasil dibunuh oleh Perawan Sinting.
Lembah Wuyung, sebagai adik
angkat Ratu Lembah Girang, diutus sampaikan perintah penangkapan kepada
Pangeran Cabul. Pada saat terjadi pertempuran di Istana Tengkorak, gadis itu
ada di sana dan sempat ikut memperkuat pertahanan Istana Tengkorak. Tapi ia
terpaksa tak mampu lanjutkan pembelaannya terhadap Pangeran Cabul, karena Suto
Sinting berhasil menotok jalan darahnya sehingga Lembah Wuyung tak bisa
bergerak selama pertarungan berlangsung. Kini setelah salah seorang pengikut
Pangeran Cabul membebaskan totokan tersebut, maka Lembah Wuyung pun mengejar
Pendekar Mabuk. Padahal waktu itu Pendekar Mabuk sedang mencari Perawan Sinting
yang memburu sisa anak buah Pangeran Cabul lainnya. Suto ingin hentikan
pengejaran si Perawan Sinting dan menganggap urusan itu sudah selesai. Hanya saja,
langkah Suto segera terhenti oleh kemunculan Lembah Wuyung yang menghadang
penuh tantangan itu.
"Sekali lagi kuingatkan
padamu, Lembah Wuyung," kata Suto. "Jangan teruskan niatmu membela
kejahatan kakak-kakak angkatmu itu. Tinggalkan aliran hitam mereka, jadilah
tokoh beraliran putih. Soal kehilangan kakak angkat, itu soal mudah. Aku
bersedia mengangkatmu sebagai adik. Karena soal angkat- mengangkat itu sudah
hal biasa bagiku. Terus terang, aku sudah sering angkat-angkat batu atau barang
orang yang mau pindah rumah!" sambil senyum si pendekar tampan itu mekar
menawan.
Lembah Wuyung memandang dengan
tak berkedip. Diam-diam hatinya berdesir mengagumi senyum musuh tampannya itu.
Namun agaknya ia tetap bertahan dalam sikap bermusuhan, sehingga ia tak mau membalas
senyuman seulas pun.
"Aku tak butuh seorang
kakak angkat lagi! Yang kubutuhkan adalah pembalasan! Hiaaat...!"
Lembah Wuyung sentakkan
tangannya bagai melempar pisau. Beet...! Tapi yang keluar selarik sinar biru
berbentuk mirip kepala tombak. Zaaap...!
Pendekar Mabuk segera lakukan
lompatan miring, sehingga bambu tempat tuak seakan sengaja dipakai sebagai
penangkis sinar biru tersebut. Traab...! Sinar
biru menghantam bumbung tuak, tapi tidak timbulkan ledakan yang memecah
bumbung tuak itu, melainkan justru memantul balik. Zuuub...!
Lembah Wuyung kaget. Sinarnya
meluncur cepat sekali ke arahnya dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat dari
gerakan semula. Hampir saja Lembah Wuyung tak punya kesempatan untuk
menghindar, ia hanya bisa melompat ke samping bagai seekor harimau menerkam
mangsa. Wees...! Dan sinar biru itu, akhirnya menghantam gugusan batu hitam
jauh di belakangnya.
Blegaaarrr...!
Bumi bergetar, pohon-pohon pun
ikut gemetar. Dedaunan rontok dan bertaburan di sana-sini akibat gelombang
ledakan tersebut. Sementara batu yang dihantam sinar biru itu tiba-tiba lenyap
dan berubah menjadi seonggok bubuk hitam lebih lembut dari pasir.
Lembah Wuyung tercengang, ia
masih dalam keadaan setengah bangkit
dengan menopang salah satu sikunya.
"Luar biasa?! Kenapa bisa
jadi sedahsyat itu?! Biasanya hanya bisa bikin batu pecah menjadi beberapa
bagian, tapi sekarang jurus 'Bajing Biru'-ku bisa bikin batu sebesar itu
menjadi lembut?! Getaran dari ledakannya tadi juga terasa kuat, tanah di
sekitar sini bagai dilanda gempa yang menyeramkan. Biasanya tak begitu!"
Lembah Wuyung bangkit dengan
tetap tertegun penuh keheranan. Ketika ia berbalik untuk hadapi Suto lagi,
ternyata pemuda itu sudah tidak ada di tempat.
Pendekar Mabuk teruskan
mencari Perawan Sinting untuk lakukan pencegahan agar si Perawan Sinting tak
perlu hancurkan sisa pengikut Pangeran Cabul. Mencegah keganasan Perawan
Sinting lebih penting daripada menghadapi dendam Lembah Wuyung. Secara jujur
hati Suto tak tega jika harus melukai gadis cantik seperti Lembah Wuyung,
apalagi jika harus membunuhnya, Suto benar-benar tak sampai hati. Karena itu ia
segera meninggalkannya.
"Keparat! Ke mana larinya
si tampan memuakkan itu?!" geram Lembah Wuyung, kemudian ia berkelebat
tinggalkan tempat mencari Pendekar Mabuk menuruti instingnya.
Ledakan tadi menggema ke
mana-mana, membuat seorang gadis berompi ungu dengan pakaian bawahnya model
cawat berwarna ungu juga segera hentikan langkah. Gadis berusia sekitar dua
puluh lima tahun itu mempunyai badan tinggi, kekar, padat, dan montok. Rompinya
yang merawis-rawis tepiannya itu sangat pendek, hingga bagian perutnya tidak
sampai tertutup rompi tersebut. Namun kedua ujung rompi saling diikatkan di
perut, sementara belahan depan rompi terbuka lebar, hingga kemulusan sebagian
dadanya tampak jelas di mata siapa pun, kecuali di mata orang buta.
Gadis cantik berhidung mancung
dan mempunyai mata agak lebar tapi indah itu mengenakan kalung tali hitam
berbatu ungu sebesar mata kucing. Kalung itulah yang menjadi ciri khas bagi
murid mendiang Nyai Gagar Mayang yang bernama Perawan Sinting.
Dengan wajah memendam
kemarahan, Perawan Sinting memandang ke arah kepulan asap dari ledakan tadi.
Batinnya pun menggeram dengan dongkol.
"Jangan-jangan ketiga
orang yang melarikan diri dari Istana Tengkorak itu bikin ulah di sebelah sana!
Hmm...! Sebaiknya aku menuju ke sana untuk mengetahui siapa yang bertarung
itu!"
Namun sebelum Perawan Sinting
bergegas pergi, tiba-tiba muncul seorang pemuda berpakaian kuning dan celana
hitam. Mahesa Gibas sengaja melompat dari balik semak dan menghadang langkah
Perawan Sinting dengan hati membatin.
"Nah, perempuan ini tadi
kulihat mampu berlari dalam gerakan seperti kilat. Pasti berilmu tinggi.
Potongan tubuhnya pun tinggi, kekar, setanding dengan perempuan yang tadi
menghajarku'"
Begitu melihat kemunculan
Mahesa Gibas yang masih asing baginya, Perawan Sinting segera lepaskan
tendangan bertenaga dalam dari jarak tujuh langkah. Wuuuk...! Tendangan kaki
miring itu mengeluarkan gelombang tenaga dalam yang meluncur cepat tak bersinar
apa pun. Tahu-tahu Mahesa Gibas seperti diterjang seekor kerbau yang sedang
mengamuk. Brrruuussk...!
"Aaakh...!" Mahesa
Gibas terlempar ke belakang dan jatuh di sela-sela kerimbunan pohon bambu, ia
mengerang kesakitan, baik sakit karena hentakan tenaga dalam maupun sakit
karena punggungnya menghantam tonggak bambu. Untung tonggak bambu itu tak
runcing, seandainya runcing pasti Mahesa Gibas mengalami cedera berat.
Perawan Sinting yang
sedang menggeram-geram membendung kemarahan
itu cepat-cepat hampiri Mahesa Gibas dan mencengkeram baju pemuda itu, lalu
menariknya keluar dari sela-sela pohon bambu. Weeet...! "Kau juga begundal
dari Istana Tengkorak, bukan?!
Kau harus mati sekarang juga
menyusul atasanmu, si Pangeran Cabul itu! Hiaaaah...!"
"Eh, eh, tunggu...!
Tunggu...!" Mahesa Gibas mengangkat kedua tangannya, menghalangi tangan
Perawan Sinting yang ingin menghantam wajahnya dengan kepalan tinjunya yang
telah mengeras dan berisi tenaga dalam itu.
"Aku... aku bukan orang Istana
Tengkorak! Bukan!" "Jangan bohong kaul"
"Tidak! Aku tidak bohong,
Nona! Aku memang bukan anak buah Pangeran Cabul, seperti katamu tadi! Berani
sumpah apa saja! Sumpah palapa pun berani, bahwa aku bukan orang Istana
Tengkorak!" ujar Mahesa Gibas dengan suara memberondong. Perawan Sinting
kendurkan cengkeramannya namun belum melepas secara keseluruhan.
"Orang mana kau?!"
suara Perawan Sinting membentak mengagetkan jantung Mahesa Gibas.
"Aku orang barat!"
"Bohong! Orang barat tidak ada yang dekil sepertimu begini!"
"Maksudku, aku orang dari
daerah barat, tepatnya dari Desa Cipuser. Aku anak yatim piatu, Nona!"
"Aku tak tanyakan yatim
piatumu!" sentak Perawan Sinting.
"Tapi... tapi demi Dewa
Penguasa Alam, aku bukan orang istana Tengkorak. Sumprrah... sekali!"
"Apa itu sumprah?!"
"Sumpah yang paling
tinggi adalah sumprah...!" Maka cengkeraman baju itu dilepaskan oleh
Perawan
Sinting dalam sentakan rasa
kesal karena ternyata yang ditangkap bukan orang Istana Tengkorak. Mahesa Gibas
menyeringai dengan wajah masih merah akibat tamparan beruntun si Puting Selaksa
tadi. Ia merapikan pakaiannya sebentar sambil sesekali melirik ngeri kepada
Perawan Sinting.
"Yang ini malah lebih
galak lagi?! Datang-datang langsung hajar begitu saja!" gerutu Mahesa
Gibas dalam hatinya.
Melihat pemuda itu tak
bersenjata dan wajahnya polos bagai orang tak berilmu tinggi, Perawan Sinting
akhirnya menurunkan emosinya sendiri. Hanya saja, sikapnya masih tampak kaku
dan keras, berkesan galak. Tak ada senyum, tak ada keramahan. Semuanya serba
tegas.
"Siapa namamu?!"
pertanyaan ini juga terlontar dengan nada tegas dan keras.
"Mahesa Gibas!"
jawab si pemuda. "Nama lengkapku Mahesa Gibat Wingit! Tapi akrab dipanggil
oleh para penggemarku dengan nama Mahesa Gibas saja!"
"Penggemar?! Kau punya
penggemar?! Apa kehebatanmu, hah?!"
"Berjudi!" jawab
Mahesa Gibas seenaknya saja. "Apakah kau belum kenal diriku? Siapa kau
sebenarnya, Nona? Setahuku, para perempuan di sekitar tempat ini sudah
mengenali sosok penampilanku sebagai Mahesa Gibas. Sepertinya kau orang asing,
ya?"
"Justru kau yang orang
asing hingga tak mengenali penampilanku sebagai Perawan Sinting!"
"Ooo... namamu Perawan
Sinting?!" gumam Mahesa Gibas manggut-manggut sambil di wajahnya masih
mengandung sisa kesakitan. Nama itu digumamkan beberapa kali dalam batinnya
dengan maksud tertentu.
"Lalu, apa maksudmu
melompat dari semak tadi dan menghadangku?!" sentak Perawan Sinting yang
membuat pemuda itu terkejut dan menggeragap sesaat, pertanda ia tidak mempunyai
kesiapan mental sebagai orang berilmu tinggi.
"Aku habis dihajar oleh
orang Istana Tengkorak, anak buah Pangeran Cabul!" kata Mahesa Gibas mulai
membual. Padahal ia mendengar nama Istana Tengkorak dan Pangeran Cabul baru
sekarang, yang didengarnya dari mulut Perawan Sinting tadi.
Mendengar hal itu, Perawan
Sinting terkesip dan menjadi percaya setelah melihat bekas pukulan di wajah
Mahesa Gibas.
"Mengapa kau dihajar oleh
orang istana Tengkorak?" "Karena aku disuruh menyebutkan letak
persembunyian Perawan Sinting. Padahal aku tidak tahu namamu dan belum pernah
bertemu. Dia menyangka aku berbohong, lalu menghajarku. Akhirnya kuturuti
kemauannya, walau aku tidak tahu harus ke mana mencari Perawan Sinting."
"Siapa orang itu?!"
Mahesa Gibas diam sejenak dan
membatin, "Kalau kusebutkan namanya, dia tak akan percaya. Sebaiknya aku
berpura-pura tidak tahu nama perempuan mandi tadi, biar dia yakin kalau aku
benar-benar merasa asing terhadap perempuan mandi tadi."
Setelah berlagak
mengingat-ingat sebuah nama, Mahesa Gibas akhirnya berkata, "Wah, aku tak
sempat tanyakan namanya. Tapi aku sempat mendengar temannya memanggil dia,
hanya saja aku lupa siapa panggilannya itu."
"Apa maksudnya mendesakmu
untuk mencariku?!" "Kau disangka takut dan berlari sembunyikan diri.
Dia ingin menantangmu
bertarung sampai mati. Karenanya, aku disuruh mencarimu dan membawamu ke suatu
tempat, ia telah menunggumu di sana dan siap bertarung denganmu!"
"Kurang ajar!" geram
Perawan Sinting dengan kedua tangan mengeraskan genggamannya. Melihat si gadis
mulai terbakar oleh bualannya, Mahesa Gibas menambahkan bumbu agar hati Perawan
Sinting lebih panas lagi.
"Bahkan ia berkata
kepadaku akan membeset-beset kulit tubuhmu dan kulitmu akan dijadikan kerupuk
kulit olehnya!"
"Biadab!" gigi
Perawan Sinting menggeletuk. "Kubilang, dia akan kalah jika melawan Suto
Sinting,
sebaiknya urungkan saja niat
tersebut. Eeeh... dia bahkan berkata dengan sesumbar di depanku!"
"Apa yang ia katakan
dalam sesumbarnya?!"
"Kau dijuluki Perawan
Edan Birahi. Dia akan meremasmu menjadi satu genggaman dan diremas-remas lalu
akan dipakai campuran makanan babi!"
"Bangsat! Kubelah kepala
orang itu. Hiaaah...!"
"Eh, eh, eh...! Dia
menunggu di selatan! Kenapa kau mau lari ke timur?!"
"Tunjukkan di mana
tempatnya menungguku!" bentak Perawan Sinting.
Tentu saja Mahesa Gibas
bersemangat sekali. Hatinya girang dapat mencarikan lawan setanding bagi Puting
Selaksa, ia bersorak membayangkan Puting Selaksa babak belur melawan Perawan
Sinting.
"Itu dia orangnya!"
bisik Mahesa Gibas ketika mereka tiba di tanggul sungai.
"Hmmm... rupanya seorang
perempuan juga?!" geram Perawan Sinting.
"Memang perempuan. Tapi
gerakan dan tenaganya seperti lelaki. Aku tak berani mendekatinya, nanti kena
kepret lagi, tambah bengkak wajahku!"
"Diamlah di sini dan
tonton saja, siapa yang unggul dalam pertarungan ini! Hmmmmm...! Kebetulan aku
sudah tak tahan ingin habisi semua anak buah si Pangeran Cabul itu!"
Wees...! Perawan Sinting
melesat turun dari tanggul sungai. Puting Selaksa sedang pandangi curahan air
terjun yang tadi dipakainya mandi itu. Tiba-tiba la seperti disambar kelelawar
dari belakang. Brress...!
Brrruk...! Puting Selaksa
terjungkal ke depan dan berguling-guling. Terjangan Perawan Sinting yang datang
dari belakang itu membuat Puting Selaksa bagai mengalami patah tulang
punggungnya. Rasa sakit menghujam sampai ulu hati. Pernapasan menjadi sesak,
sekujur tubuhnya bagai memar, ia buru-buru menarik napas dan salurkan hawa
murni penahan rasa sakitnya.
Mahesa Gibas tertawa
cekikikan. Hatinya girang melihat Puting Selaksa jungkir balik diterjang
Perawan Sinting.
"Mampus kau! Inilah saat
pembalasanku tiba!" geram Mahesa Gibas dalam kegirangannya.
Puting Selaksa bangkit,
agaknya Perawan Sinting memang sengaja biarkan lawannya berdiri dulu dan lakukan
pertarungan secara ksatria.
"Bangun kau, Kecoa
Busuk!" sentak Perawan Sinting dengan keras, sengaja menjatuhkan mental
lawannya lebih dulu.
Tapi Puting Selaksa bukan
orang yang lemah mental dan miskin keberanian. Puting Selaksa yang juga berjiwa
keras dan tegas itu segera bangkit. Matanya terkesip sejenak memandang orang
yang belum dikenalnya.
"Siapa kau?!" suara
Puting Selaksa terdengar datar dan dingin. "Kau tak perlu banyak tanya
lagi! Akulah orang yang kau tunggu di sini!"
"Hmmm...! Mahesa Gibas?!"
"Ya, aku si Perawan
Sinting yang datang bersama Mahesa Gibas!"
"Jadi ini saudaranya si
Mahesa Gibas?!" ujar Puting Selaksa dalam hatinya, ia menjadi sangat
bernafsu untuk menghajar Perawan Sinting yang dianggap saudara Mahesa Gibas.
"Berdoalah dulu sebelum
nyawamu kukirim ke neraka! Itu pun kalau sampai di neraka. Kalau nyasar di
sarang iblis, bukan tanggung jawabku!" ujar Perawan Sinting dengan
kekonyolannya.
Puting Selaksa tak mau banyak
bicara. Memang begitulah wataknya. Tahu-tahu ia melompat dan melepaskan
tendangan kaki kanannya dengan cepat dan beruntun. Wees...!
Bet, bet, bet, bet, bet,
bet...!
Perawan Sinting menghindar ke
kiri-kanan beberapa kali. Tak satu pun tendangan Puting Selaksa yang kenai
sasaran. Sampai akhirnya, tangan Perawan Sinting berhasil menangkap kaki itu
dan tulang kaki dihantamnya kuat-kuat.
Praaak...!
"Auh...!" Puting
Selaksa langsung jatuh berlutut sambil menahan tulang kaki yang terasa remuk
itu.
Bettt...! Perawan Sinting
menendang wajah Puting Seiaksa. Yang ditendang terjungkal ke belakang dan
berguling-guling. Perawan Sinting belum puas, ia segera melompat untuk lepaskan
tendangan mautnya yang akan mematahkan leher lawan.
"Heeaaat...!"
Tapi tiba-tiba Puting Selaksa
sentakkan tangan ke atas bersama terlepasnya gelombang tenaga dalam yang cukup
besar. Wuuut...!
"Heeeekh...!"
Perawan Sinting mendelik. Perutnya bagai diterjang batu separuh gunung, ia
terlempar jauh dan berguling-guling di sana. Begitu bangkit dengan kaki
berlutut, mulutnya melelehkan darah kental. Matanya memandang bengis, penuh
nafsu membunuh.
Mahesa Gibas yang tadinya
kegirangan melihat Puting Selaksa dihajar, kini jadi cemas melihat Perawan
Sinting melelehkan darah dari mulut.
"Wah, sepertinya Perawan
Sinting akan kalah! Aku harus cepat-cepat lari, supaya tidak menjadi sasaran
kemarahan si Puting Selaksa!"
Weees...! Mahesa Gibas segera
larikan diri.
*
* *
3
BELUM jauh dari tanggul
sungai, Mahesa Gibas yang berlari sambil sebentar-sebentar menengok ke belakang
itu akhirnya menabrak perut Suto. Brruk...!
"Oouh...!" Mahesa
Gibas jatuh terduduk. Wajahnya terasa panas menabrak perut Pendekar Mabuk.
Untung kepalanya tak kenai bumbung tuak. Jika sampai kenai bumbung tuak, maka
kepala itu akan langsung retak, karena bambu tempat tuak itu adalah bambu yang
mempunyai kekuatan sakti, sehingga menjadi senjata andalan Pendekar Mabuk.
"Setan kau!" maki
Mahesa Gibas. "Ada orang lari bukannya menyingkir malah diam saja di
depannya!"
"Aku hanya ingin beri
pelajaran padamu, Kawan... agar lain kali kalau jalan atau lari harus lihat
arah depan, biar tak menabrak pohon," kata Suto dengan senyum tipis
sebagai penghias ketampanannya.
Mahesa Gibas bangkit berdiri
dan bertolak pinggang dengan petentang-petenteng.
"Kau memang manusia tak
pakai otak!" tuding Mahesa Gibas sok galak. "Mana ada orang lari
ketakutan melihat ke depan terus? Kalau tahu-tahu musuhnya sudah dekat di
belakangnya, bagaimana dia bisa menghindar?!"
Pendekar Mabuk tertawa pendek.
Kalem-kalem saja. "Apakah kau dikejar seorang musuh, Kawan?" "Belum!"
jawabnya tegas tapi menggelikan hati Suto.
"Tapi dalam rencananya
pasti aku akan dikejar, karena itu sebelum dia mengejar aku sudah lari.
Bukankah pepatah mengatakan: sedia payung sebelum hujan?"
"Artinya kau takut dengan
musuhmu itu?"
"Siapa bilang aku
takut?!" Mahesa Gibas makin nyolot. "Aku tidak takut dengan siapa
pun. Cuma terhadap perempuan itu, aku agak sungkan! Wajahnya mirip ibuku,
sehingga hatiku tak tega untuk membalas pukulannya." "Ooo... jadi kau
dikejar oleh seorang perempuan?!" Suto tertawa pelan.
"Hei, kau orang mana,
hah? Siapa kau sebenarnya sehingga berani menertawakan Mahesa Gibas!"
pemuda itu melotot sok galak.
"O, namamu Mahesa
Gibas?!"
"Mahesa Gibas Wingit,
lengkapnya! Angker kan?!" "Ya, ya... cukup angker, mirip nama juru
kunci
kuburan," goda Suto.
"Eh, jaga bicaramu!"
Mahesa Gibas mendekat dan menuding wajah Suto dengan kaki berjingkat karena ia
lebih pendek dari Suto.
"Sekali lagi kau berkata
begitu, kurobek mulutmu, kujadikan dompet tembakau. Ngerti?!"
"Ya, ya... maafkan aku.
Aku hanya bercanda," ujar Suto mengalah.
"Siapa namamu,
hah?!" "Namaku Suto Sinting, Kawan."
"Oh, kalau begitu kau
saudaranya Perawan Sinting?!" Mahesa Gibas terperanjat.
"Hmmm... bukan,
eh... Iya, tapi...
begini sebenarnya "
"Kebetulan sekali aku
bertemu denganmu! Saudaramu; si Perawan Sinting, sekarang sedang dihajar
habis-habisan oleh. oleh orang Istana Tengkorak!"
"Hahh. ?!" Pendekar
Mabuk terperanjat tegang.
"Orang dari Istana
Tengkorak itu menginjak-injak Perawan Sinting," tambah Mahesa Gibas.
"Bahkan ia menyuruh Perawan Sinting memanggilmu. Kalian berdua akan
dicacah-cacah dan akan dipakai campuran sayur buncis!"
"Kau jangan membakar
kemarahanku, Mahesa Gibas!"
Blaaar...! Tiba-tiba terdengar
ledakan menggelegar dari pertarungan Puting Selaksa dengan Perawan Sinting.
Suara ledakan itu semakin membuat tegang Pendekar Mabuk.
"Nah, itu pasti suara
kepala Perawan Sinting yang pecah akibat pukulan orang Istana Tengkorak!"
Makin gemetar tangan Suto
membayangkan sahabatnya dihancurkan orang Istana Tengkorak. Maka serta-merta
Pendekar Mabuk menenteng lengan Mahesa Gibas sambil membawanya pergi.
"Tunjukkan di mana mereka
bertarung!"
"Iya, iya... tapi jangan
main tenteng begini! Kau pikir aku sandal yang penuh lumpur?! Lepaskan, jangan
tenteng aku!"
Brrruk...! Pemuda berpakaian
kuning-hitam itu tersungkur jatuh.
"Kurang ajar! Mengapa kau
membantingku?!" "Katamu minta dilepaskan?!"
"Iya, tapi pelan-pelan!
Jangan main taruh begitu saja! Memangnya aku keranjang sampah?!" Mahesa
Gibas bersungut-sungut sambil membersihkan pakaiannya yang kotor oleh tanah
kering, ia pun segera membawa Pendekar Mabuk ke pertarungan di tepi sungai itu.
"Lihat, perempuan
berpakaian hijau tua itulah yang tadi kubilang sebagai orang Istana
Tengkorak!" sambil Mahesa Gibas menuding ke arah Puting Selaksa dari atas
tanggul.
Suto Sinting terkejut begitu
melihat Puting Selaksa bertarung dengan Perawan Sinting, ia diam sejenak karena
rasa kagetnya dan bingung mengambil sikap.
"Perempuan berpakaian
hijau itulah yang tadi kudengar berteriak menyuruh Perawan Sinting memanggil
saudaranya; Suto Sinting. Dia bilang, mulutmu akan dijadikan tempat jamban bagi
orang- orang Istana Tengkorak!"
"Kurang ajar!" geram
Suto Sinting.
Mahesa Gibas menimpali,
"Wah, memang kurang ajar sekali omongan si perempuan itu!"
"Kau yang kurang
ajar!" bentak Suto dalam nada menggeram marah.
"Lho, kok aku...?!"
"Kau membohongiku! Aku
tahu, perempuan itu adalah Puting Selaksa!"
"Naaah... benar! Memang
dia bernama Puting Selaksa!" ujar Mahesa Gibas dengan penuh semangat.
"Tadi pun kudengar dia "
Creeep, wuuut...! Suto Sinting
mencengkeram baju Mahesa Gibas bagian tengkuk. Pemuda itu ditentengnya dan Suto
Sinting melesat turun ke bawah tanggul seakan seperti seekor elang menenteng
anak ayam. Wuuut !
Puting Selaksa sedang
memainkan pedangnya dengan kaki terpincang-pincang. Ia akan lakukan serangan
dengan pedang itu. Sementara di pihak lain, Perawan Sinting masih tampak segar
walau di sudut mulutnya ada bekas darah yang tak bersih waktu menghapusnya.
Perawan Sinting belum mau mencabut pedangnya, dan masih menggunakan tangan
kosong untuk melawan Puting Selaksa.
Wuuut, bruuuk...! Pendekar
Mabuk muncul dan menyentakkan tentengannya. Mahesa Gibas tersungkur di
pertengahan jarak pertarungan dua perempuan itu.
"Lho, eh, eh... apa-apaan
ini?!" Mahesa Gibas mulai menggeragap ketakutan.
"Hentikan pertarungan
ini!" sentak Pendekar Mabuk. "Suto...?!" sapa Puting Selaksa
dengan terperanjat
kecil, ia sembunyikan
kegirangannya.
"Mengapa kau hentikan,
Suto?!" sentak Perawan Sinting bernada protes. Tetapi ia segera memandang
Puting Selaksa dan Puting Selaksa pun segera menatap Perawan Sinting.
"Oh, rupanya dia mengenal
Suto?!" hati kedua perempuan itu sama-sama berkata demikian.
"Aku tak ingin kalian
bermusuhan!" kata Suto Sinting sambil tangannya segera menyambar lengan
Mahesa Gibas dan menarik pemuda itu untuk berdiri.
"E, e, eh...!
Pelan-pelan, nanti tanganku copot kalau ditarik sembarangan, Suto!"
"Seharusnya kepalamu yang
copot!" ujar Suto dengan pandangan menciutkan nyali Mahesa Gibas.
"Perawan Sinting, mengapa
kau bermusuhan dengan Puting Selaksa?!"
"Hahhh...?! Puting
Selaksa?!" Perawan Sinting terkejut mendengar nama itu. Karena ia pernah
mendengar nama Puting Selaksa sebagal murid Resi Parangkara, dan Resi
Parangkara adalah sahabat si Tulang Geledek. Tulang Geledek adalah sahabat
gurunya yang sudah dianggap sebagai kakek sendiri, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode "Perawan Sinting").
"Bukankah... bukankah dia
orang Istana Tengkorak?!" Perawan Sinting menuding lawannya.
"Siapa bilang aku orang
Istana Tengkorak?!" sergah Puting Selaksa. "Jaga mulut bangkaimu
itu!"
"Mahesa Gibas yang
mengatakan padaku, bahwa kau orang Istana Tengkorak dan menantang pertarungan
sampai mati di sini!"
Mahesa Gibas salah tingkah
dipandangi Pendekar Mabuk, ia ingin pergi sambil berkata, "Maaf, aku ada
pertemuan penting dengan para tokoh silat tingkat tinggi. Lain waktu kita
bertemu lagi, Suto!"
"Eh, tidak bisa...!"
Pendekar Mabuk menyambar baju kuning itu. Berrrt...!
Puting Selaksa berkata kepada
Perawan Sinting. "Tadi aku menghajarnya, karena ia melakukan tindak tak
senonoh padaku. Lalu dia bilang ingin memanggilkan saudaranya yang ilmunya
setanding denganku. Tahu- tahu kau datang, dan aku langsung menganggapmu
sebagai saudara si Mahesa Gibas itu!"
" "Puih...! Kalau
aku punya saudara seperti dia sudah kurebus dari dulu!" ujar Perawan
Sinting, lalu dekati Mahesa Gibas yang masih ditenteng Suto.
"Manis betul mulutnya,
ya?!" geram Perawan Sinting. "Hmm, eehh... yah, termasuk manis juga,
soalnya banyak gadis yang sering mencicipinya. Heh, heh, heh...!"
"Kalau begitu aku ingin
mencicipinya juga." Ploook...!
"Huadoow...!" teriak
Mahesa Gibas begitu mulutnya ditampar keras-keras oleh Perawan Sinting. Pemuda itu
menangis kesakitan, mau melarikan diri tak bisa karena masih dalam genggaman
Suto.
"Aku semakin ketagihan
dengan bibirmu, Manusia keparat! Kucicipi sekali lagi, hiaaah...!"
Teeeb...!
"Huadooooww...!"
Padahal tangan Perawan Sinting
yang ingin menampar itu sudah dicekal Pendekar Mabuk lebih dulu, tapi Mahesa
Gibas memekik lebih keras karena membayangkan tamparan kedua pasti akan lebih
sakit.
"Cukup, Perawan
Sinting," ujar Suto pelan. "Bibirnya sudah pecah. Kurasa sudah layak
sebagai hukuman bagi orang yang gemar mengadu domba!"
"Aku tidak suka adu
domba!" sentak Mahesa Gibas sambil menangis. "Aku hanya sering adu
ayam! Kau jangan menyebar fitnah di depan kedua perempuan ini, Suto!"
Creeep...! Tangan Perawan
Sinting menjambak rambut Mahesa Gibas dengan menggeram.
"Hei, jangan sekali lagi
membentak Pendekar Mabuk di depanku! Kau akan kehilangan gusi jika membentaknya
lagi!" "Jangan, jangan... ampun! Aku tak akan mem- bentaknya lagi.
Aku tak ingin kehilangan gusi. Kehilangan gigi saja sudah cukup menderita
apalagi sampai kehilangan gusi, oooh... tak bisa kubayangkan seperti apa
menderitanya," ujar Mahesa Gibas sambil mengangkat tangan dengan rasa
takut.
Pendekar Mabuk bukan saja
meluruskan perkara itu, juga mengobati mereka yang terluka dengan tuaknya.
Bumbung tuak itu sempat diisi lebih dulu sebelum ia dan Perawan Sinting
mendatangi Istana Tengkorak. Mereka melewati sebuah desa kecil dan kebetulan di
situ ada kedai penjual tuak. Sekalipun tuak itu sudah berkurang banyak untuk
pertarungan dengan Pangeran Cabul, tapi sisanya masih cukup untuk sembuhkan
luka mereka dan sebagai persediaan sampai petang nanti. Sebelum petang tiba,
Suto harus bisa dapatkan kedai penjual tuak dan mengisi bumbungnya lagi.
"Rupanya diam-diam kau
mempunyai seorang saudara yang cantik jelita seperti dia, Suto," ujar
Puting Selaksa sambil melirik ke arah Perawan Sinting.
"Hmmm...," Suto
berpikir sebentar, ia harus hati-hati bicara dengan Puting Selaksa, sebab ia
tahu Puting Selaksa menaruh hati padanya.
"Hmmm... ya, aku sendiri
baru tahu kalau aku punya saudara bernama Perawan Sinting. Dia memang
saudaraku, tapi saudara jauh."
"Mengapa tidak kau ajak
singgah ke Teluk Sendu sekarang juga? Aku butuh bicara denganmu di depan
guruku, Suto." "Tentang apa itu?" Suto berlagak tak mengetahuinya.
"Perkawinan kita!"
"Kau bercanda,"
gumam Suto Sinting dengan pelan sekali takut didengar Perawan Sinting, sebab
Suto tahu Perawan Sinting juga menaruh hati padanya.
"Aku bersungguh-sungguh,
Suto. Tidakkah kau melihat kesungguhan dalam sikapku ini?"
Pendekar Mabuk jadi serba
salah. Senyumnya serba kaku. Pandangan matanya dilemparkan ke arah Perawan
Sinting yang sedang mendengarkan penjelasan Mahesa Gibas dengan acuh tak acuh
sebagaimana sikapnya terhadap seorang laki-laki. Entah apa yang dibicarakan
Mahesa Gibas dengan Perawan Sinting di sebelah sana, yang jelas kesempatan itu
digunakan oleh Suto untuk mengatasi tawaran Puting Selaksa.
"Ada saatnya sendiri aku
bicara tentang rencanamu itu, Puting Selaksa. Tapi kurasa bukan sekarang. Aku
baru saja memporakporandakan Istana Tengkorak. Beberapa orang Istana Tengkorak
masih banyak yang ingin membalas dendam padaku. Kurasa aku harus selesaikan
dulu masalah ini sampai tuntas. Sebab aku yakin, Ratu Lembah Girang akan
mengirimkan orang- orang andalannya untuk menyerangku."
"Aku akan berada di
paling depan!" ujar Puting Selaksa.
"Aku tidak izinkan kau
ikut campur dalam perkara ini."
"Kenapa?!" sergah
Puting Selaksa.
"Kau tak boleh menempuh
bahaya apa pun sebelum resmi menjadi seorang istri. Ingat, kekuatan 'Rona
Dewaji' harus kau nikmati, sehingga kau tak boleh mati sebelum menikah."
"Bagaimana dengan rasa
sepiku jika sedang sendirian? Bagaimana jika batinku tersiksa manakala
kemesraanmu hadir dalam bayanganku?"
"Kurasa kau cukup mampu
untuk menguasai perasaan seperti itu," kata Pendekar Mabuk memberi
semangat kepada Puting Selaksa.
"Tunggulah aku di Teluk
Sendu. Selesai urusan ini aku akan ke sana!"
"Kau janji...?!"
"Ya, aku janji akan
datang ke Teluk Sendu menemuimu, menemui Resi Parangkara dan menemui adik
perguruanmu; si Manggar Jingga itu."
"Kalau sampai "
Ucapan itu belum selesai, tapi
terpaksa harus diputus, karena Perawan Sinting dekati mereka bersama Mahesa
Gibas. Langkah mereka terburu-buru dan wajah Perawan Sinting tampak tegang
sedikit.
"Suto...!" sapa
Perawan Sinting berkesan tegang. Setelah berada di dekat Suto Sinting, gadis
itu lanjutkan sapaannya lagi.
"Ada berita penting yang
perlu kau dengar!" "Berita tentang apa?!" Suto masih tetap
tenang.
"Seorang adipati akan
digantung di depan rakyatnya!"
Berkerutlah dahi Pendekar
Mabuk mendengar kabar aneh itu.
"Adipati
digantung?!" ulang Suto bagai tak yakin dengan pendengarannya sendiri.
"Adipati mana itu'!" "Adipati Jayengrana dari Kadipaten
Madusari!" "Hahh...?!" hidung Suto bagai disengat kalajengking,
ia tersentak kaget mendengar
nama sang adipati itu. "Siapa
yang akan menggantungnya jika
ia seorang
adipati; pimpinan tertinggi di
suatu wilayah?!" tanya Puting Selaksa.
"Si Bayangan Setan!"
jawab Mahesa Gibas dengan cepat.
Pendekar Mabuk menarik napas
panjang. Tersenyum getir kepada Perawan Sinting, melirik sinis kepada Mahesa
Gibas, lalu menatap Puting Selaksa.
"Sejak kapan pendusta
menjadi orang jujur?!"
Puting Selaksa mengerti maksud
Pendekar Mabuk. Kabar dari Mahesa Gibas itu dianggap suatu tipuan yang tak
perlu dibahas lagi. Puting Selaksa sendiri akhirnya ikut tersenyum sinis dan
tipis, ia menepuk pundak Suto dan sambil ucapkan kata pelan.
"Jangan ingkari janjimu.
Kurasa Eyang Resi Parangkara sangat menunggu kehadiranmu di Teluk Sendu!"
Pendekar Mabuk anggukkan
kepala, Puting Selaksa pandangi Perawan Sinting.
"Lakukan yang terbaik
untuk saudaramu ini!" "Hei, apa maksudmu berkata begitu?"
Puting Selaksa tak menjawab,
justru bergegas pergi tinggalkan mereka.
"Hei, Puting Selaksa...!
Apa maksud ucapanmu itu?
Tunggu...!" Teeeb...!
Lengan Perawan Sinting disambar Suto. "Biarkan dia pergi!"
"Tapi aku merasakan ada
nada sumbang di balik kata- katanya tadi!"
"Jangan berlebihan dalam
menafsirkan ucapan seseorang," ujar Suto dengan kalem.
Mahesa Gibas menyela kata,
"Kurasa ia tak mau terlibat urusan dengan Bayangan Setan, ia memang
perempuan pengecut. Dari tadi sudah kunilai, ia "
"Hentikan mulutmu, atau
kusumbat pakai bumbung tuak ini?!" hardik Pendekar Mabuk.
Mahesa Gibas sendiri segera
diam, karena ia melihat pandangan mata Suto Sinting tampak serius dalam
ancamannya. Hati pemuda berbaju kuning itu hanya menggerutu tanpa didengar
siapa pun.
"Enak saja, mulut mau
disumbat pakai bambu sebesar itu. Apa dikiranya mulutku ini lubang ular?!"
Perawan Sinting segera berkata
setelah hempaskan napas mencari kelegaan hati. Rupanya ia punya kegelisahan
yang bisa membuatnya marah jika kegelisahan itu disepelekan oleh Suto.
"Adipati Jayengrana
adalah kenalan mendiang guruku, Suto. Agaknya aku harus lakukan sesuatu agar
sang Adipati tak jadi digantung di alun-alun!"
"Lupakan kata-kata si
pendusta itu! Tukang tipu kau ikuti kata-katanya, bisa-bisa kau mati karena
menderita tekanan batin!" ujar Suto Sinting lalu membuka bumbung tuaknya
untuk menenggak tuak beberapa teguk. "Kali ini aku tidak bohong,
Suto," kata Mahesa Gibas. "Aku berani sumpah disambar petir bertiga,
jika keteranganku tadi sekadar tipuan belaka! Aku sendiri orang sana,
Suto."
Suto tetap cuek. Setelah
menenggak tuak tiga tegukan, ia menyodorkan bumbung tuak kepada Perawan Sinting, "Minum...?!"
Perawan Sinting tak pedulikan
tawaran itu, ia bahkan bicara lagi tentang sang adipati.
"Suto, kurasa apa kata
Mahesa Gibas ada benarnya, sebab ia termasuk salah satu rakyat Kadipaten
Madusari yang melarikan diri, karena takut pada Bayangan Setan." "Dia
penipu, Perawan Sinting! Jangan mudah percaya
dengan ucapannya!" tegas
Pendekar Mabuk.
"Kali ini aku jadi orang
jujur, Sutol" sergah Mahesa Gibas. "Aku orang Desa Cipuser yang masuk
wilayah kekuasaan Kadipaten Madusari. Beberapa warga desaku sudah banyak yang
menjadi korban keganasan si Bayangan Setan! Aku terpaksa melarikan diri, karena
kakekku sendiri sudah tewas di tangan si Bayangan Setan."
"Mungkin kakekmu berlagak
jadi anak muda, maka dibunuh oleh si Bayangan Setan!" ujar Suto tetap
meremehkan pengakuan Mahesa Gibas. Pemuda bercelana hitam itu cemberut dan
bersungut-sungut.
"Giliran aku berkata
jujur kau tak mau percaya, nanti kalau aku berkata bohong, kau percaya sekali!
Dasar sinting!"
Serrrt...! Baju pemuda itu
segera diremas gadis berompi ungu.
"Jangan menyinggungku,
Mahesa!"
"Eh, hmm... maksudku, dia
yang sinting, bukan kau!" "Tapi aku juga Perawan Sinting, dan bukan
hanya dia yang punya nama Sinting!" bentak gadis itu dengan
galak.
"Iy, iya... Iya aku tahu.
Kau juga sinting. Eh, maksudku... maksudku kau juga punya nama Sinting. Tapi
"
"Dengar, Mahesa!"
gertak Perawan Sinting. "Jika kali ini kau menipuku, tak akan kubiarkan
lehermu utuh menyangga kepala! Kupenggal habis saat itu juga!"
"Boleh! Aku berani
bertaruh kepala; penggal leherku kalau apa yang kukatakan tadi hanya tipuan
belaka. Istana kadipaten sekarang sudah dikuasai oleh si Bayangan Setan. Sang
Adipati akan digantung setelah malam purnama lewat."
Perawan Sinting pandangi Suto
dengan tajam.
"Dia telah menjadikan
kepalanya sebagai jaminan kejujurannya, Suto. Masihkah kau tidak
mempercayainya?!"
"Tentu saja, sebab dia
merasa kepalanya sudah tidak berarti!"
"Kalau begitu aku akan
berangkat ke Kadipaten Madusari sendiri. Aku harus tiba di sana sebelum malam
bulan purnama!"
"Pergilah! Aku tak ikut,
karena aku tak mau tertipu oleh pemuda berbakat sesat ini!" kata Suto
tegas-tegas.
"Sudahlah, Perawan
Sinting," ujar Mahesa Gibas. "Kalau dia tak mau ikut ke sana, biarlah
aku yang menemanimu sepanjang perjalanan."
"Aku tak butuh
teman!" sentak Perawan Sinting. "Tapi kalau sampai malam tiba,
bagaimana? Kalau
kau kedinginan dan tak ada
selimut, lantas siapa yang menghangatkanmu? Pikirkanlah hal itu, Perawan
Sinting," kata Mahesa Gibas.
"Kau pikir aku akan minta
dipeluk oleh pemuda tengil macam kau?!" geram Perawan Sinting.
"Kalau tidak ya tak
apa-apa. Tapi tak perlu marah- marah begitu," sambil Mahesa Gibas
garuk-garuk kepala dan bersungut-sungut. Sementara itu, Pendekar Mabuk masih
tetap diam walau dalam hatinya masih diliputi keragu-raguan.
"Benarkah kali ini Mahesa
Gibas berkata yang sebenarnya?! Jika ternyata ia memperalat diriku dan Perawan
Sinting, maka aku akan menjadi orang yang lebih bodoh dari dirinya! Hmmm, tak
mau aku dibodohinya! Tapi jika kubiarkan, jangan-jangan sang Adipati
benar-benar mau digantung?!"
*
* *
4
JIKA memang Adipati Jayengrana
terancam keselamatannya, Pendekar Mabuk tak segan-segan akan turun tangan.
Sebab ia kenal baik dengan sang Adipati, ia pernah selamatkan rakyat Kadipaten
Madusari dari ancaman maut Penguasa Teluk Neraka. Apalagi Suto Sinting kenal
baik dengan putri sang Adipati yang bernama Telaga Sunyi alias Muria Wardani
yang kini telah menikah dengan Rama Jiwana, tentu saja Suto tidak akan tinggal diam saja jika kabar
tersebut memang benar, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Asmara
Berdarah Biru" dan "Penguasa Teluk Neraka"). Tapi Suto belum
bisa mempercayai Mahesa Gibas sejak ia hampir tertipu mentah-mentah tadi.
Bahkan Suto meragukan asal usul Mahesa Gibas. Ia sempat berkata pelan kepada
Perawan Sinting sambil menarik gadis itu
jauhi Mahesa Gibas.
"Apa benar ia orang
Kadipaten Madusari? Bahkan apa benar ia berasal dari Desa Cipuser?! Apa buktinya
kalau dia orang Desa Cipuser yang masuk dalam
wilayah Kadipaten Madusari?!"
"Raut mukanya kulihat
penuh kejujuran," bisik Perawan Sinting.
"Pada saat ia menipumu,
mengatakan kau ditantang oleh orang Istana Tengkorak, bukankah saat itu kau
juga melihat kejujuran di wajahnya?"
"Aku... aku terpengaruh
oleh kemarahanku kepada orang-orang Istana Tengkorak, sehingga tak sempat
kuperiksa wajahnya!"
Pendekar Mabuk tarik napas
panjang lagi. Ia tak tega jika Perawan Sinting pergi sendiri hadapi si Bayangan
Setan, kalau ternyata berita itu memang benar. Tapi ia juga tak ingin Perawan
Sinting kecewa berat jika ternyata kabar itu tak benar. Untuk menguji kejujuran
Mahesa Gibas, Pendekar Mabuk akhirnya memanggil pemuda itu agar mendekatinya.
"Jika kau memang orang
Desa Cipuser, pernahkah kau mendengar peristiwa penting yang amat berbahaya dan
pernah dialami oleh seluruh wilayah kadipaten itu?!" Mahesa Gibas diam
sejenak merenungkan pertanyaan tersebut. Sesaat kemudian ia bicara dengan nada
agak
ragu.
"Apakah yang kau maksud
peristiwa penting itu adalah saat sang Adipati menderita sakit itu?"
Pendekar Mabuk diam sebentar,
lalu berbisik kepada Perawan Sinting.
"Ada benarnya juga.
Adipati Jayengrana memang pernah menderita sakit berbahaya."
Tapi agaknya Suto belum yakin,
sehingga ajukan tanya lagi kepada Mahesa Gibas.
"Kalau kau memang
rakyatnya Kanjeng Adipati Jayengrana, tentunya kau tahu mengapa sang Adipati
kala itu menderita sakit parah?"
"Yang jelas bukan karena
menelan biji durian!" Jawab Mahesa Gibas mendongkolkan hati Perawan
Sinting. Tapi Mahesa Gibas menambahkan jawabannya dengan serius.
"Dulu kabarnya sang
Adipati pernah terancam maut, berupa penyakit kiriman, semacam
teluh, yang dikirimkan dari jarak
jauh oleh Penguasa Teluk Neraka." "Hmmm...," Suto
manggut-manggut membenarkan jawaban itu.
"Mengapa Penguasa Teluk Neraka menyerang sang Adipati?"
"Karena ia ingin
mengawini putri sang Adipati." "Siapa nama putri sang Adipati?"
"Raden Ayu Muria
Wardani." "Siapa nama istri sang Adipati?" "Gusti Ayu Windurini!"
"Siapa nama menantu sang
Adipati?" "Raden Rama Jiwana."
"Siapa nama pelayannya
yang paling cantik?" "Senduk!"
"Dari mana kau tahu
namanya Senduk?"
"Karena aku pernah naksir
dia tapi ditolak. Aku pernah mengintip dia masak di dapur, tapi disiram air
panas. Dan... aku pernah mimpi mau dicium Senduk, tapi segera terbangun. Begitu
aku tidur lagi, Senduk telah pergi dari mimpiku."
Perawan Sinting berkata kepada
Suto, "Apakah kau juga kenal dengan pelayannya yang bernama Senduk
itu?"
"Tidak. Baru sekarang
kutahu kalau Adipati punya pelayan cantik bernama Senduk."
"Mengapa tadi kau
tanyakan pada Mahesa Gibas?" "Sekadar ingin tahu saja."
"Maksudmu, nanti kau akan
menemui pelayan cantik itu secara diam-diam?!"
"Ah, mana sempat?!"
Suto bersungut-sungut.
"Kalau ternyata ada
kesempatan?" pancing Perawan Sinting bernada cemburu.
"Yaaah... itu lain
persoalan," jawab Suto. "Dasar mata keranjang!"
Plaak...! Suto ditampar,
Perawan Sinting cemberut, Mahesa Gibas segera berkata kepada Pendekar Mabuk.
"Jangan coba-coba berani
mengganggu Senduk kalau tak ingin melihatku murka di depanmu, Suto."
"Apakah kau kekasihnya
Senduk?" "Ya!" jawab Mahesa Gibas tegas. "Kau mencintai
Senduk?"
"Cinta sekali!"
"Senduk juga cinta?" "Tidak sama sekali!"
"Mengapa tak kau culik
saja si Senduk itu?!" "Terlambat!"
"Terlambat
bagaimana?"
"Dia sudah meninggal
empat puluh hari yang lalu!" "Ooo...," Suto dan Perawan Sinting
saling pandang,
sembunyikan senyum.
"Mengapa dia tidak
mengajakmu meninggal juga?" tanya Perawan Sinting dengan kesal.
"Itulah tandanya kalau
dia tidak cinta padaku!" jawab Mahesa Gibas serius sekali, seakan tak
merasa bicara konyol sedikit pun.
Akhirnya Suto Sinting percayai
berita tersebut, ia putuskan akan bebaskan Adipati Jayengrana bersama- sama
Perawan Sinting. Tetapi kala itu, senja mulai menua, sebentar lagi petang akan
datang.
"Kita berangkat esok pagi
saja," usul Perawan Sinting. "Malam bulan purnama masih tiga hari
lagi"
Mahesa Gibas berkata,
"Aku tadi melihat tempat yang nyaman untuk bermalam. Sebuah bangunan bekas
Istana yang sudah porak poranda."
"Baik. Kita akan bermalam
di sana saja, esok pagi teruskan perjalanan ke kadipaten," ujar Suto.
"Di sebelah mana bangunan yang kau lihat itu?"
"Di balik bukit itu! Di
depannya ada kuil pemujaan yang sepertinya sudah tidak dipakai lagi."
"Goblok!" sentak
Perawan Sinting. "Bangunan itu adalah Istana Tengkorak!"
"Ooh...?!" Mahesa
Gibas terkejut, lalu wajahnya mulai ngotot. "Tapi tak kulihat ada
tengkorak sepotong tulang pun di sana!"
"Kalau toh ada kau pasti
tak akan bertemu dengan kami!" ujar Suto Sinting. "Mati digerogoti
tengkorak!"
Perawan Sinting akhirnya
memandu mereka menuju ke sebuah bangunan tua bekas biara kecil yang sudah
hancur. Biara itu mempunyai ruangan-ruangan tak seberapa lebar tanpa pintu.
Ruangan itu dulu digunakan sebagai ruang semadi para biksu yang menempati biara
tersebut. Sebagian ruangan masih ada, sisanya sudah rata dengan tanah atau
hancur separuh bagian.
"Menurut cerita
guruku," kata Perawan Sinting. "Biara ini dulu dipakai untuk
menggembleng murid- murid Perguruan Bunga Seroja. Aliran silat mereka berasal
dari Pegunungan Tibet. Namun perguruan itu hancur setelah dipimpin oleh ketua
baru yang berjuluk Peri Kahyangan. Aliran silat mereka menjadi sesat walau ilmu
mereka tinggi-tinggi. Karena mereka akhirnya beraliran hitam, maka banyak
dimusuhi oleh para tokoh aliran putih. Sampai pada suatu saat, biara ini
diserang oleh orang-orang yang mengaku dari dasar bumi. Maka habislah riwayat
Perguruan Bunga Seroja, hancur pula biara ini! Sedangkan Peri Kahyangan lenyap
tanpa bekas. Diduga melarikan diri ke alam gaib!"
"Tunggu," sergah
Pendekar Mabuk. "Tadi kau menyebut-nyebut orang dasar bumi. Apakah itu
nama perguruan atau benar-benar orang dari dalam tanah?!"
"Dalam cerita guruku,
orang-orang itu memang datang dari perut bumi, dipimpin oleh seorang gadis
sakti bernama... hmmm... o, ya,
bernama Nirwana Tria "
"Siapa...?! Nirwana
Tria?!" Suto terkejut, karena nama Nirwana Tria bukan nama asing lagi
baginya, ia pernah bertemu gadis cantik itu pada saat berada di perbatasan alam
gaib dan alam nyata, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu
Maksiat").
"Jangan sok kenal!"
cibir Perawan Sinting. "Nirwana Tria itu tokoh sakti dari dasar bumi,
bukan dari Desa Cipuser atau tempat lainnya di permukaan bumi ini. Berlagak
kaget kau! Hmmm !"
Pendekar Mabuk membiarkan
cibiran Perawan Sinting. Tapi wajah cantik yang sempat membekas di hatinya itu
kini muncul lebih nyata lagi dalam ingatan. Hanya saja, Pendekar Mabuk memang
tak ingin tonjolkan dirinya bahwa ia kenal dan pernah bertemu dengan Nirwana
Tria, cucu dari Dewa Tanah, yang menjadi penguasa tertinggi di alam mereka itu.
Sementara mereka berdua asyik
berbincang-bincang di depan ruang semadi beranak tangga empat baris itu, Mahesa
Gibas tidur di dalam ruangan itu, mendengkur dan tampak nyenyak sekali. Cahaya
rembulan yang belum sepenuhnya menyinari permukaan bumi telah membuat suasana
lebih hangat dan lebih romantis lagi. Mereka sengaja tidak menyalakan api
unggun, karena cahaya rembulan dianggap sudah cukup menjadi penerang alam
sekitar mereka itu.
Perawan Sinting yang semula
berdiri dengan kedua tangan bersedekap itu, kini ikut-ikutan duduk di tangga
seperti yang dilakukan Suto. Salah satu kaki Suto melonjor lurus, satunya lagi
ditekuk hingga lututnya bisa untuk menaruh tangan, sedangkan bumbung tuak ada
di samping kaki yang lututnya tegak itu. Perawan Sinting duduk di tangga
bawahnya, dekat dengan kaki Suto yang melonjor lurus, ia meminta tuak, lalu
meneguknya beberapa kali, setelah itu bumbung dikembalikan pada tempatnya.
"Sejak kapan biara ini
runtuh?" tanya Suto setelah berhasil menghilangan bayangan Nirwana Tria
sejenak.
"Menurut mendiang Guru,
biara ini runtuh sekitar lima puluh tahun yang lalu."
"Ooh...? !" Suto
sedikit terperanjat, ia pun membatin, "Kalau begitu Nirwana Tria itu
sebenarnya sudah tua sekali? Tapi tampaknya masih muda."
"Kata Guru, beliau pernah
bentrok dengan Peri Kahyangan, dan sama-sama terluka. Guru nyaris terdesak
kalau tidak segera menggunakan akal untuk memancing kelengahan Peri
Kahyangan," tutur Perawan Sinting melanjutkan kisahnya.
"Bagaimana cara memancing
kelengahan Peri Kahyangan itu?"
"Guru tak sebutkan. Tapi
secara jujur Guru akui, Peri Kahyangan berilmu tinggi dan cukup tangguh."
"Sayang sekali cerita itu
tak lengkap."
"Memang. Tapi aku
mendapat cerita lain dari Eyang Tulang Geledek tentang si Peri Kahyangan
itu."
"Apakah beliau pernah
bentrok juga dengan Peri Kahyangan?"
"Bukan hanya pernah,
bahkan nyaris mati di tangan Peri Kahyangan. Namun pada waktu itu Eyang Tulang
Geledek segera melepas bajunya dan memandang dengan sayu. Peri Kahyangan
langsung lemas dan menjadi tak mampu membunuh Eyang Tulang Geledek."
"Mengapa begitu?"
"Katanya, Peri Kahyangan
luluh jika melihat lelaki bertelanjang dada. Gairahnya segera timbul dan
berkobar-kobar, lalu seluruh kemarahannya lenyap, ia harus segera mendapatkan
keindahan dari seorang lelaki untuk meredakan gairahnya itu."
Pendekar Mabuk tertawa pelan.
"Tapi itu kata Eyang
Tulang Geledek. Aku tak yakin sepenuhnya, sebab Eyang Tulang Geledek gemar
bercanda. Yang jelas menurut beliau, pada saat seperti itu sebenarnya Peri
Kahyangan mudah untuk dibunuh oleh siapa pun, terutama lelaki yang membuat
gairahnya terbakar. Hanya saja, pada waktu itu Eyang Tulang Geledek dalam
keadaan terluka parah dan memilih larikan diri daripada berusaha membunuh Peri
Kahyangan, karena ia lebih penting menyelamatkan nyawanya yang tinggal seujung
rambut. Itu menurut cerita Eyang Tulang Geledek! Aku tak menjamin kebenarannya."
"Kurasa memang
benar," kata Suto Sinting dengan suara pelan. "Perempuan kalau sudah
dituntut oleh gairah kemesraannya, ia akan lemas dan tak mampu berbuat apa-apa
lagi. Segalak apa pun seorang perempuan, jika sudah dibuai oleh keindahan, maka
ia akan menjadi jinak!"
"Hmmm!" Perawan
Sinting mencibir. "Lagakmu seperti penjinak perempuan saja!"
"Buktinya, keangkuhanmu
luntur ketika kau mulai terbuai oleh kecupan bibirku, saat kita berada di dalam
gua?!"
Perawan Sinting sunggingkan
senyum malu.
"Itu lantaran aku sudah
bosan bersikap angkuh padamu," ujarnya menutupi kenyataan.
Suto tertawa pelan sambil
mencubit pipi Perawan Sinting. Gadis itu menepiskan tangan Suto, seakan tak
ingin disentuh.
"Jangan kurang ajar kau!
Kutampar jika sekali lagi berani mencubit pipiku!" gertaknya dengan pelan.
Mata lebar berbentuk indah itu menatap Suto tajam-tajam. Bibir sedikit tebal
namun sangat menawan hati itu tampak cemberut, membuat hati Suto semakin
berdebar tergoda oleh ingatan masa di dalam gua persembunyian si manusia badak
itu. "Tamparlah sekarang, agar aku nanti boleh mencubitmu lagi," kata
Suto sambil sodorkan pipinya. "Tamparlah sekarang juga!"
Perawan Sinting pandangi wajah
itu beberapa saat. Hati pun berdebar-debar, batin tergoda tuntutan gairah. Maka,
tiba-tiba bibir Perawan Sinting mencium pipi Suto. Cup...!
"Begitukah caramu
menampar?"
"Aku lupa cara menampar
seorang lelaki yang mengguncang hatiku setiap saat," ucapnya pelan sedikit
datar.
"Apakah aku mengguncang
hatimu?"
Perawan Sinting anggukkan
kepala sambil matanya mulai sayu.
"Mengapa hatimu
terguncang?" pancing Suto. "Entahlah. Baru sekarang aku merasa
benar-benar
terguncang oleh penampilan
seorang lelaki yang pandai memberikan puncak keindahan bercinta tanpa
menggunakan 'pusaka'-nya."
Gadis itu tersenyum malu.
Makin cantik dan makin menggairahkan jika sedang tersenyum begitu. Pendekar
Mabuk tak mau memutus suasana romantis itu dengan suasana lain, sehingga ia
lakukan desakan dengan beberapa pertanyaan.
"Kau suka dengan cumbuan
seperti waktu itu?" "Sangat suka! Kau jantan sekali. Kau dapat
lumpuhkan lawan kencanmu
sebelum pertarungan yang sebenarnya dimulai."
"Kau ingin mendapatkannya
lagi?" "Jangan bertanya begitu," jawab Perawan Sinting sambil
tetap memandang semakin sayu, dan kini jarinya bermain di bibir Suto, mengusap
pelan dan sentuhannya bagai mengambang di permukaan kulit bibir Suto.
"Mengapa aku tak boleh
bertanya begitu?" "Pertanyaanmu semakin menggoda hasratku."
"Kau tak suka digoda, hah?!"
Perawan Sinting makin sulit
menjawab, karena saat itu bibir Suto dibuka sedikit, lalu jari telunjuk yang
bermain di bibirnya itu digigit pelan. Jantung gadis itu semakin
menyentak-nyentak. Terlebih setelah jari tangannya disambar mulut Suto, maka
jantung Perawan Sinting nyaris berhenti karena ditikam perasaan nikmat.
Pendekar Mabuk tetap memandang
gadis itu, walau kini mulutnya menghisap-hisap jari si gadis dengan kepala maju
pelan-pelan dan mundur kembali pelan- pelan. Perawan Sinting semakin
berdebar-debar. Matanya kian mengecil seakan menikmati tiap gerakan lidah Suto
dalam menghisap jari tangannya itu.
"Sss..., ahhh...!"
Perawan Sinting mendesah dengan kepala sedikit mendongak dan bibirnya merekah.
Tangan itu akhirnya
dikecup-kecup lembut oleh bibir Suto, dari telapak tangan merayap ke lengan,
sampai ke siku lidah Suto menari-nari di sana. Perawan Sinting sengaja
meluruskan tangannya itu.
Kecupan Suto merayap lagi
pelan-pelan dengan disertai pagutan-pagutan kecil. Sampai di pangkal pundak,
lidah Suto menari kembali dan menggigit-gigit pelan, menimbulkan desiran nikmat
di sekujur tubuh Perawan Sinting.
Akhirnya gadis itu mengerang
bersama desah yang dihamburkan ketika kecupan Suto sampai ke lehernya, ia
sengaja memiringkan kepala agar Suto lebih leluasa menyapukan lidahnya ke leher
kiri itu.
"Ouh... oouh..., indah
sekali, Suto! Oooh... ambillah ini, Suto. Ambil...!" rintihnya sambil
menuntun tangan Suto ke dadanya. Dengan mudah tangan Suto mencapai dada yang
kencang dan berujung ranum itu, karena rompi tersebut tidak dikancingkan
sehingga mempunyai kelonggaran yang membuat tangan Suto bebas bergerak.
"Ooh, indah sekali,
Suto...! Ooh... teruskan,
Sayang "
Tangan Perawan Sinting
akhirnya ikut-ikutan menjelajahi dada Suto. Bahkan tangan itu berani bergerak
turun dan menelusup, lalu menemukan kebanggaan yang telah menantang penuh
keberanian itu, ia menggenggamnya sambil menggeram gemas.
"Hhhhmmm... aaah...! Luar
biasa, Suto! Luar biasa ini, Suto!"
"Ini apa maksudmu?"
"Malam ini luar biasa
indahnya, Suto. ooh, kubalas
kau. kubalas kau, Suto!"
Perawan Sinting benar-benar
membalas. Ciumannya mengganas, lidahnya menari dengan liar. Dan, huup !
Ia menyambar kebanggaan Suto,
membuat Suto memekik ditikam keindahan yang luar biasa.
"Uhuk, uhuk, uhuk !"
Mahesa Gibas terbatuk-batuk.
Mereka terkejut, bergegas
rapikan diri. "Sial!" gerutu si gadis dengan cemberut kesal.
*
* *
5
PERJALANAN diteruskan di awal
pagi. Kalau saja mereka tidak bersama-sama Mahesa Gibas, perjalanan akan lebih
cepat lagi, karena Suto Sinting dan Perawan Sinting akan menggunakan gerakan
cepatnya agar lekas sampai tujuan. Tetapi karena Mahesa Gibas tak mampu
bergerak cepat, maka perjalanan pun terasa lamban.
"Bagaimana kalau Mahesa
Gibas kita tinggal saja?" bisik Perawan Sinting kepada Suto.
"Jangan, ah! Kasihan
dia!"
"Aku tak sabar ingin
lekas sampai ke kadipaten dan bertemu dengan si Bayangan Setan itu!"
"Aku pun demikian. Tetapi
yang selalu kupikirkan sejak tadi adalah; seandainya Adipati Jayengrana dalam
keadaan baik-baik saja dan tokoh yang berjuluk Bayangan Setan itu tidak ada,
lantas apa yang akan kita lakukan terhadap Mahesa Gibas?"
"Aku tak akan segan-segan
memancung kepalanya!" tegas Perawan Sinting, tampaknya ia sangat mengancam
perjanjian itu tanpa ampun lagi.
Tiba-tiba mereka mendengar
suara Mahesa Gibas terpekik di belakang mereka. "Aaaakh...!"
Mereka berpaling ke belakang
secara serentak. Ternyata Mahesa Gibas telah tumbang dan terkapar tanpa gerakan
lagi. Hal itu sangat mengejutkan dan menegangkan Pendekar Mabuk serta Perawan
Sinting.
"Apa yang terjadi?!"
"Jangan-jangan ia hanya
berpura-pura saja?!" gumam Pendekar Mabuk agak sangsi. Perawan Sinting
segera memeriksa keadaan Mahesa Gibas.
"Dia tidak main-main,
Suto!" "Dari mana kau tahu?"
"Kutemukan luka kecil di
leher kirinya! Lihatlah sendiri!"
Pendekar Mabuk memeriksa leher
kiri Mahesa Gibas. Ternyata memang ada luka kecil sebesar satu titik, seperti
bekas tusukan jarum. Perawan Sinting pandangi keadaan sekeliling dengan penuh
siaga. Sementara itu, Suto memeriksa denyut nadi Mahesa Gibas yang wajahnya
dalam sekejap telah menjadi sepucat mayat.
"Denyut nadinya lemah
sekali! Dia akan mati, Perawan Sinting!"
"Urus dia, Suto! Aku akan
mencari seseorang di sekitar sini!"
Slaaap...! Perawan Sinting
melompat sangat cepat. Gerakannya seperti kilat kebingungan, ia menjejak pohon
hingga tubuhnya melesat ke pohon lain. Di pohon lain itu ia menjejakkan kakinya
lagi dan melesat ke pohon lain. Begitu dilakukan secara terus menerus
sehingga gerakannya yang luar biasa cepat itu
sulit dilihat oleh mata manusia biasa.
Wut, wut, wut, wut, wut, wut,
wut...!
Pendekar Mabuk tak hiraukan
gerakan Perawan Sinting yang hampir menyamai jurus "Gerak Siluman'- nya
itu. Ia sibuk berusaha membuka mulut Mahesa
Gibas untuk menuangkan tuaknya agar bisa tertelan oleh pemuda berkulit
sawo matang itu. Repotnya, gigi Mahesa Gibas terkatup rapat, rahangnya sukar
direnggangkan. Bisa direnggangkan jika menggunakan kedua tangan Suto. Tetapi
tak ada yang menuang tuak ke mulut yang direnggangkan itu.
"Aauh...!" Suto
Sinting memekik tak seberapa keras, karena ketika ia merenggangkan mulut itu
dengan kedua tangannya, lalu tangan kiri melepaskan dan mengambil bumbung tuak,
tiba-tiba gigi itu terkatup lagi dan jari tangan kanan tergencet gigi itu.
"Susah-susah amat...?!"
gerutu Pendekar Mabuk, kemudian ia mengambil sepotong kayu setinggi satu jari
telunjuknya. Mulut itu dicangar dan diganjal memakai sepotong kayu itu.
"Nah, kalau begini
mulutmu baru bisa terbuka terus. Hmmm... minum tuak ini, Nak!" ujar batin
Suto sambil mengucurkan tuak ke mulut Mahesa Gibas secara sedikit demi sedikit.
Tuak itulah yang membuat
denyut nadi pemuda itu menjadi normal kembali. Wajah pucatnya mulai tampak
segar, dan luka kecil di leher Mahesa Gibas pun hilang. Kejap berikut, Mahesa
Gibas siuman, namun ia menjadi terkejut dan ketakutan.
"Hahh, hhahh...! Haaah,
ha, hahh...?!"
"Ssst...! Tenang-tenang,
kau baru saja terkena bencana. Tapi sudah kuatasi. Kau selamat. Tenang saja,
Mahesa!"
"Hah, hah...?!
Hhahhh...?!"
"Oo, oo... maaf, aku lupa.
Mulutmu masih terganjal kayu! Pantas kau ketakutan, kau kira mulutmu tak bisa
dikatupkan kembali, ya?" sambil Suto Sinting tertawa kecil, lalu
melepaskan kayu pengganjal mulut.
"Uuh, aaah... sialan! Aku
takut sekali. Kupikir mulutku menjadi cacat!" ujar Mahesa Gibas sambil
terengah-engah dan merasa lega.
"Kenapa kau tadi?"
"Entahlah. Tiba-tiba aku
merasa seperti digigit nyamuk di leherku. Kutampel satu kali, lalu tak terasa
apa-apa lagi. Tiga langkah kemudian, tubuhku seperti disengat petir. Panas sekali.
Aku terpekik, setelah itu tak ingat apa-apa lagi."
Perawan Sinting kembali
bergabung dengan mereka. Wajahnya tampak gusar, napasnya sedikit lebih cepat
dari sebelumnya.
"Tak ada siapa-siapa di
sekitar sini!"
"Kalau begitu, dia tadi
memang digigit nyamuk yang mempunyai racun sangat berbahaya," ujar Suto
Sinting.
"Tapi aku tadi seperti
melihat bayangan berkelebat di sebelah kiriku," kata Mahesa Gibas.
"Kurasa dia si Bayangan Setan!"
"Kau jangan mengada-ada,
Mahesa!" ancam Pendekar Mabuk.
"Tidak. Aku tidak
mengada-ada!" Mahesa Gibas ngotot.
"Aku tak menemukan
bayangan apa pun di sekitar tempat ini!" Perawan Sinting agak ngotot juga.
"Lupakan saja tadi soal
bayangan itul Kita jalan terus!" tegas Pendekar Mabuk. "Kau jalan
lebih dulu, Mahesa!"
"Baik. Kalau aku pingsan
lagi, usahakan jangan sampai jatuh ke tanah."
"Kenapa begitu?"
"Pakaianku nanti kotor!"
Perawan Sinting menendang
pantat Mahesa Gibas dengan kesal.
"Jangan berlagak kau!
Ayo, jalan.... Aaauh!" Tiba- tiba Perawan Sinting tersentak dalam pekikan
pendek sambil menepak lehernya sendiri. Pendekar Mabuk pandangi Perawan Sinting
dengan dahi berkerut.
"Ada apa, Perawan
Sinting?!"
"Tak apa. Nyamuk
nakal!" ujar Perawan Sinting melegakan hati Pendekar Mabuk, kemudian
mereka teruskan perjalanan.
Sekitar tujuh langkah
kemudian, Perawan Sinting terpekik lagi. "Uukh...!" Tiba-tiba
tubuhnya oleng, matanya terbeliak kemudian gadis itu tumbang tanpa malu-malu
lagi. Brrrruk...!
"Perawan
Sinting...?!" Pendekar Mabuk sangat kaget. Lebih kaget lagi melihat wajah
Perawan Sinting cepat menjadi pucat pasi, tangannya dingin, denyut nadinya
lemah. Di leher gadis itu ada luka merah sebesar jarum seperti yang dialami
Mahesa Gibas tadi.
"Kurasa ini bukan
nyamuk!" gumam Suto Sinting dengan waswas. "Nyamuk tak akan selalu
menggigit leher. Bisa saja di lengan, pundak, kaki, atau yang lainnya."
Mahesa Gibas hanya diam dengan
mata menegang. Wajahnya ikut-ikutan pucat, bukan karena terluka lagi, tapi
karena dihantui perasaan takut yang cukup besar.
"Pasti... pasti si
Bayangan Setan itu ada di sekitar sini, Suto! Oh, celaka kalau dia ada di sini.
Bisa mati semua kita, Suto!"
"Bantu aku menuang tuak
ke mulut Perawan Sinting!" perintah Suto sambil membuka mulut Perawan
Sinting dengan kedua tangannya, karena keadaan mulut gadis itu sama dengan
mulut Mahesa Gibas tadi, keras, kaku, dan sukar dibuka.
Tuak berhasil diminumkan
secara paksa. Tangan gadis itu mulai hangat kembali. Pendekar Ma-buk merasa
lega. Namun ia segera berdiri pandangi keadaan sekeliling mereka dengan tajam
dan teliti.
"Suto, kalian tetap saja
di sini. Aku akan memeriksa ke semak-semak sebelah sana! Sepertinya tadi
kulihat ada sekelebat bayangan di sana!"
"Hati-hati, Mahesa.
Jangan gegabah kau!"
"Ti...ti... tidak! Aku
tidak akan gegabah. Kalau ada apa-apa aku akan berteriak dan segeralah datang
membantuku!"
Setelah berkata begitu, Mahesa
Gibas segera lari menerobos semak-semak yang ada di depan langkah mereka.
Pendekar Mabuk sesekali perhatikan keadaan Perawan Sinting sambil pandangi
sekitarnya dengan penuh selidik.
"Daripada aku kena
sasaran lagi, nyawaku melayang, lebih baik aku menghindar dulu!" pikir
Mahesa Gibas. Rupanya ia pergi untuk cari selamat, ia naik ke atas pohon
rindang, dan bersembunyi di sana.
"Kalau keadaan sudah aman
dan mereka tampak ingin lanjutkan
perjalanan, barulah aku turun dan bergabung lagi dengan mereka!" pikir
Mahesa Gibas. "Aman...! Kalau sudah di tempat rindang begini, mau apa
lagi? Biarlah penyerang gelap itu dihadapi oleh Suto dan Perawan Sinting.
Jangan sampai aku jadi sasaran empuk bagi si penyerang gelap itu."
Perawan Sinting tampak mulai
siuman. Gadis itu bangkit dan mengejap-ngejapkan mata sebentar. Pendekar Mabuk
segera membantunya untuk dapat berdiri tegak.
"Bagaimana keadaanmu,
Perawan Sinting?" "Tak apa, aku sudah sehat kembali!"
Dari tempat persembunyiannya,
Mahesa Gibas pun tampak lega dan sunggingkan senyum kegirangan.
"Untung tuak itu bisa
pulihkan keadaan Perawan Sinting, kalau tidak... oh, kasihan sekali, gadis
secantik dia terpaksa harus mati disengat bahaya dari orang yang tak berani
menampakkan diri itu! Hmmm... kalau saja aku mempunyai ilmu setinggi mereka
berdua, akan kucari orang itu dan kuhajar habis-habisan." Kecamuk batin
Mahesa Gibas tiba-tiba terhenti karena mendengar teguran seseorang. "Mau
apa kau kemari?!"
Mahesa Gibas kaget, kemudian
memandang ke dahan di atasnya. Ternyata di dahan itu ada seorang gadis yang
duduk santai sambil pandangi Mahesa Gibas.
"Hahhh...?!" Mahesa
Gibas terpekik kaget. Karena kagetnya, ia tergelincir dan jatuh dari pohon itu.
"Aaaa...!"
Krrrak, gruzaaak...!
Brrruk...!
Perawan Sinting dan Suto
Sinting sama-sama terkejut, kemudian tanpa bicara sepatah kata pun mereka
berkelebat menuju ke tempat jatuhnya Mahesa Gibas. Mereka sama-sama tahu bahwa
suara itu tadi adalah suara Mahesa Gibas. Dalam sekejap saja mereka sudah
menemukan Mahesa Gibas terkapar di bawah pohon, tak sadarkan diri lagi.
"Agaknya ia jatuh dari
atas pohon ini, Suto! Lihat dahan yang patah itu!" sambil Perawan Sinting
menuding dahan pohon yang patah tertimpa gerakan jatuh Mahesa Gibas tadi.
Mereka segera pandangi atas
pohon. Bahkan Perawan Sinting sentakkan kakinya dan tubuhnya melesat lurus
dengan ringannya. Wuuut...! Ia hinggap di sebatang dahan besar, lalu lakukan
pemeriksaan di sekitar pohon itu.
"Bagaimana...?!"
tanya Suto dalam seruan dari bawah pohon.
"Tak ada yang
mencurigakan!" balas Perawan Sinting berseru juga. Ia memang tidak
menemukan siapa-siapa di sana. Bahkan bau keringat atau wewangian juga tak ada.
Suto berseru iagi,
"Periksa pohon sekitarnya, siapa tahu... aauuw!" Suto terpekik dan
cepat menepak lehernya. Plaaak...!
Mendengar pekikan pelan dan
suara tepakan tadi, Perawan Sinting langsung curiga ada sesuatu yang terjadi
pada diri Pendekar Mabuk, ia segera turun dari atas pohon dengan satu lompatan
bersalto. Wuuuk...! Jleeg...!
"Ada apa, Suto?!"
"Leherku seperti digigit
nyamuk!"
Perawan Sinting memeriksa
leher Pendekar Mabuk. Ternyata ada noda merah dari darah yang tersumbul setitik
dari pori-pori kulit leher Suto. Perawan Sinting menjadi semakin tegang.
"Celaka! Lekas minum
tuakmu! Lekas...!"
Pendekar Mabuk buru-buru
menenggak tuaknya. Dengan begitu, luka seujung jarum yang ada di leher Pendekar
Mabuk segera lenyap. Pemuda tampan bertubuh kekar itu tak sampai jatuh pingsan seperti
Perawan Sinting dan Mahesa Gibas tadi. Kini pandangan mata Pendekar Mabuk
menjadi nanar dan tampak mulai marah, ia segera berkelebat memeriksa keadaan
sekeliling dengan pergunakan 'Gerak Siluman'-nya, karena jurus itu dapat
membuatnya bergerak menyamai kecepatan cahaya. Zlaaap, zlaap, zlaaap...!
Beberapa saat kemudian, ia
kembali tanpa membawa hasil apa-apa. Suto tak melihat tanda-tanda yang
mencurigakan di sekitar tempat itu. Mahesa Gibas segera disadarkan dari
pingsannya, lalu pemuda itu menjelaskan
apa yang dilihatnya di atas pohon tadi.
"Seorang gadis berwajah
cantik," katanya. "Cantik sekali! Saking cantiknya aku sampai jatuh
pingsan!"
"Hmm...," Pendekar
Mabuk agak sangsi dengan pengakuan Mahesa Gibas.
"Kurasa dialah orang yang
menyerang kita, Suto," ujar Perawan Sinting.
"Kurasa juga
begitu," timpal Mahesa Gibas. "Bagaimana ciri-ciri gadis itu?"
tanya Suto.
"Cantik, montok,
menggairahkan, bibirnya indah. "
"Selain soal
kecantikannya! Apa lagi ciri-ciri yang bisa kau ingat!" sentak Perawan
Sinting.
"Hmmm... hmmm...
pinggulnya "
"Jangan pinggulnya! Yang
lain; warna pakaian atau senjatanya?!" potong Perawan Sinting.
"Ak... aku tak sempat
mengenali warna pakaian. Bahkan menurutku... menurutku dia tak mengenakan
pakaian apa-apa."
"O, ya?! Di mana dia
sekarang?!" tanya Pendekar Mabuk.
Perawan Sinting cepat
mencengkeram baju Suto. "Hei, kenapa kau jadi bersemangat mencarinya
begitu
mendengar gadis itu tak
mengenakan pakaian?!"
"Kau pikir untuk apa
kalau bukan untuk membalas serangannya tadi?! Pasti dia telah menyerang kita
dengan senjata berupa jarum!" "Dan kau juga akan balas menyerangnya
dengan 'jarum'-mu itu?!" Perawan Sinting melirik nakal, Suto menjadi kikuk
dan salah tingkah.
"Kita lari saja dari
sini! Jangan terlalu lama, nanti dia datang lagi!" usul Mahesa Gibas
dengan nada cemas. "Aku yakin, orang itu adalah si Bayangan Setan!"
Perawan Sinting segera berkata
tegas, "Suto, totok dia dan bawa lari dengan pergunakan jurus kecepatan
gerak kita!"
Tiba-tiba ada orang yang menyahut
pembicaraan itu. "Percuma saja kalian berlari secepat apa pun!" Kini
mereka bertiga berpaling ke
arah selatan. Ternyata di atas sebatang pohon tak terlalu tinggi, telah berdiri
sesosok tubuh ramping berwajah cantik jelita. Gadis itu berambut kepang kuda
dengan pedang di punggungnya, ia mengenakan pakaian ketat warna biru mengkilap
yang membentuk lekak-lekuk tubuh sexy-nya itu.
"Turun kau,
jahanam!" seru Perawan Sinting. Ketika itu Pendekar Mabuk menggumam kaget
di samping telinga Perawan Sinting.
"Lembah Wuyung...?!"
"It... itu dia! itu dia
gadis yang... yang "
Mahesa Gibas tak jadi teruskan
ucapannya karena tangan Pendekar Mabuk segera meremas mulutnya, menyuruhnya
untuk diam dan segera mencari tempat aman bagi dirinya sendiri.
"Kalau kau tak mau turun,
kuhajar dari sini, Keparat!" teriak
Perawan Sinting dengan berang. Tapi ia segera berkata lirih kepada Suto.
"Biar kuhadapi sisa-sisa orang istana Tengkorak itu!
Jangan ikut campur!"
Sambil bergerak mundur, Suto
sempat menggerutu pelan, "Kau dendam atau cemburu?!"
Perawan Sinting tak sempat
tanggapi gerutuan tersebut, karena pada saat itu Lembah Wuyung segera
melepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar kecil sebesar jarum jahit yang
keluar dari ujung jari tengahnya. Claaap...! Sinar itu berkelebat cepat, nyaris
tak kelihatan karena begitu kecilnya. Tapi agaknya mata Perawan Sinting sudah
terbiasa melihat kilatan cahaya sekecil itu, sehingga ia tahu dirinya sedang
terancam sinar merah kecil itu.
"Rupanya dengan
melepaskan sinar merah seperti itu, si Lembah Wuyung menyerang kita
bertiga," ujar Suto Sinting kepada Mahesa Gibas. Pemuda itu tak memberi
jawaban apa pun karena sibuk mengagumi gerakan cepat Perawan Sinting.
Slaaap...! Gerakan itu
sepertinya hanya melompat ke samping dengan pelan, tapi kenyataannya Perawan
Sinting bagaikan menghilang dari tempat berdirinya. Akhirnya sinar merah dari
Lembah Wuyung hanya mengenal sebatang pohon. Suuurp...! Pohon itu tetap tenang
tanpa gerakan apa pun kecuali daunnya yang bergoyang karena angin.
Perawan Sinting ganti
melepaskan pukulan bersinarnya dari tangan kiri. Claaap...! Seberkas sinar
kuning berbentuk seperti meteor kecil melesat dan menghantam dahan tempat
berpijak Lembah Wuyung. Jegaaar...!
Ledakan keras terdengar
mengejutkan Mahesa Gibas. Ia semakin terperangah melihat dahan itu hancur
berkeping-keping, sementara Lembah Wuyung hilang dari pandangan. Laaap...!
"Ke mana gadis
itu?!" ujar Mahesa Gibas tak jelas ditujukan kepada siapa. Tetapi Pendekar
Mabuk memberi jawaban lirih.
"Dia ada di pohon sebelah
timur!"
Mahesa Gibas memandang ke arah
yang dimaksud. "Oooh... benar juga apa katamu. Dia sudah pindah di sebelah
sana!"
Perawan Sinting berkelebat
menuju ke timur. Gerakannya gila-gilaan; zigzag dengan sangat cepat dan
menggunakan pohon-pohon di sekitarnya sebagai tempat menjejakkan kakinya.
Wut, wut, wut, wut, wut...!
Gerakan itu sangat
membingungkan lawan, sehingga Lembah Wuyung tak sempat lepaskan serangannya.
Namun tiba-tiba ia diterjang Perawan Sinting dari arah samping. Brruuuussk...!
"Ouh...!" pekik
Lembah Wuyung, kemudian tubuhnya melayang jatuh dari pohon dalam keadaan
seperti terlempar kuat.
"Keparat kau, Perempuan
jalang!" teriak Lembah Wuyung setelah bangkit kembali dengan luka memar di
tulang pipi kanannya. Sreeet...! Ia segera mencabut pedangnya dengan wajah
berang. Perawan Sinting melangkah menyamping dengan tenang tapi pandangan
matanya sangat tajam.
"Hei, lihat pohon
itu?!" seru Mahesa Gibas menuding pohon yang tadi terkena sinar merahnya
Lembah Wuyung.
"Gila...?!" gumam Suto
Sinting lirih sekali.
"Kenapa pohon itu
tiba-tiba merengas dan menjadi hitam begitu, Suto?"
"Pohon itu telah menjadi
arang. Hangus akibat sinar merah si Lembah Wuyung tadi."
"Oh, kalau begitu tubuh
kita bisa menjadi seperti pohon itu jika tak buru-buru meminum tuakmu?!"
"Yah, kira-kira
begitu," jawab Suto masih dengan kalem, karena ia yakin Perawan Sinting
tak mungkin tumbang di tangan Lembah Wuyung.
Dugaan Suto Sinting itu memang
benar. Ketika Lembah Wuyung menyerang dengan pedangnya, Perawan Sinting hanya
menghindar beberapa kali tanpa mencabut pedangnya sendiri. Tebasan pedang
Lembah Wuyung tak ada yang kenai tubuh Perawan Sinting sedikit pun.
Bahkan ketika Lembah Wuyung
hunjamkan pedangnya ke dada Perawan Sinting yang terdesak merapat pada sebatang
pohon, pedang itu hanya dihindari dengan gerakan merendah secepat kilat.
Suuut...! Jrrub...! Pedang itu menghunjam pohon. Sebelum ditarik kembali oleh
pemiliknya, tangan Perawan Sinting segera menghentakkan ke depan, telapak
tangan itu tepat kenai perut Lembah Wuyung. Buuukh...! "Heeekh...?!"
Lembah Wuyung mendelik sambil tubuhnya terpental ke belakang membuat pedangnya
tercabut dari pohon. Wees...!
Gadis berpakaian ketat itu
jatuh tunggang langgang dalam jarak sepuluh langkah dari tempatnya menghunjamkan
pedang tadi. Ia mencoba bangkit, namun segera memuntahkan darah kental.
"Hoeek...!"
Perawan Sinting berkelebat
hampiri lawannya. Wuuut...! Namun tiba-tiba Perawan Sinting terpental balik
bagaikan menabrak dinding kaca. Duuub...! Weees...! Brrruk...!
"Ouuuwh...!" erang
Perawan Sinting sambil berguling-guling. Rupanya saat ia berkelebat hampiri
lawannya, sang lawan segera kibaskan pedang dari kanan ke kiri dalam keadaan
berlutut satu kaki. Kibasan pedangnya itu menyebarkan lapisan tenaga dalam yang
sukar diterabas musuh. Lapisan tenaga dalam itulah yang ditabrak Perawan
Sinting dan membuatnya terpental ke belakang.
"Haaaiah...!"
Perawan Sinting cepat sentakkan pinggulnya dan dalam satu sentakan saja ia
sudah bisa melejit ke atas, lalu berdiri tegak kembali. Jleeg...! Matanya
memandang semakin buas ke arah lawan.
"Habis riwayatmu
sekarang, Perempuan liar!" seru Lembah Wuyung sambil sentakkan pedangnya
lurus ke depan. Suuut...! Dari ujung pedang itu keluar tiga cahaya merah
berbentuk menyerupai pedang tersebut. Zraaaap...! Tiga pedang cahaya merah itu
menyerang Perawan Sinting dalam formasi berjajar ke samping. Gerakan sinarnya
sangat cepat dan menyilaukan pandangan mata lawannya.
Namun Perawan Sinting segera
sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melesat naik dengan cepat sambil mencabut
pedang dari punggungnya. Slaaap...!
Pedang si Perawan Sinting
menyala hijau pijar-pijar. Pedang pusaka yang bernama Pedang Galih Petir itu
segera digunakan untuk menebas tiga cahaya pedang warna merah itu dalam gerakan
tubuh Perawan Sinting menukik secara tiba-tiba. Wees...!
Traaat, tat, tat, tat,
blaab...! Blegaaarr...!
Tiga cahaya pedang merah itu
hancur seketika bersama menyebarnya cahaya hijau lebar yang mengeluarkan
gelombang ledakan cukup besar. Bumi menjadi terguncang bagai dilanda gempa.
Tanah retak di beberapa bagian. Pohon-pohon pun ikut bergetar hebat hingga daun
dan rantingnya berguguran.
Sedangkan tubuh Perawan
Sinting yang belum menapak ke tanah itu sudah terlempar kembali ke atas dan
berguling-guling di udara. Namun agaknya ia bisa mengendalikan keseimbangan
tubuhnya, hingga akhirnya ia mendarat bagaikan seekor burung perkasa yang
hinggap ke atas sebongkah batu tanpa guncangan sedikit pun. Namun batu itu
ternyata sudah telanjur retak karena gelombang ledakan tadi, sehingga akhirnya
batu itu pun rompal berbongkah-bongkah dan Perawan Sinting jatuh terduduk.
Brrruk...! Di pihak lain, Lembah Wuyung sedang berusaha bangkit dengan mulut
berdarah lagi. Gelombang ledakan tadi membuatnya terlempar dan terbanting keras
sekali, sehingga punggungnya terasa patah dan dadanya menjadi panas, ia terluka
dalam akibat gelombang ledakan dahsyat tadi.
Wuuut...! Lembah Wuyung
melambung ke atas dan hinggap di atas sebatang pohon. Jleeg...! Perawan Sinting
memandanginya dengan ganas. Pedang yang memancarkan cahaya hijau pijar-pijar
itu diarahkan kepada Lembah Wuyung. Tetapi gadis berpakaian biru ketat itu
segera pergi tinggalkan tempat setelah tinggalkan ancaman.
"Tunggu pembalasanku,
Keparat!"
Laaap...! Lembah Wuyung lenyap
bagai ditelan angin. Perawan Sinting mengejarnya, namun segera hentikan
pengejaran setelah mendengar seruan Suto.
"Biarkan dia pergi! Kita
punya tujuan lebih penting lagi!"
Perawan Sinting hampiri Suto
dan berkata dengan ketus, "Tampaknya kau khawatir kalau sampai dia mati di
tanganku, ya?!"
Pendekar Mabuk tersenyum
tenang dan berbisik, "Hilangkan kecurigaan pribadi itu!"
"Hmmm...!" Perawan
Sinting mencibir sinis sambil buang muka.
"Pusatkan perhatianmu dan
simpan tenagamu untuk hadapi si Bayangan Setan!" tambah Suto sambil
menatap gadis itu lekat-lekat. *
* *
6
MEREKA melewati Desa Cipuser,
desa kelahiran si Mahesa Gibas. Namun keadaan desa itu telah menjadi sepi. Desa
itu bagaikan telah mati. Hanya beberapa gelintir manusia yang masih menempati
desa tersebut, sisanya mengungsi ke tempat lain, atau mengungsi ke alam kubur.
"Beginilah keadaan
desaku," ujar Mahesa Gibas. "Kehilangan kepercayaan penduduknya yang
merasa tak aman tinggal di desa ini. Entahlah bagaimana jadinya desa ini nanti.
Mungkin akan kujual saja kepada seorang penguasa yang masih membutuhkan
desa."
"Jual...?! Apa hakmu
sehingga mau menjual desa seperti menjual sarung bekas saja?!" gerutu
Perawan Sinting.
"Yah, kalau tak laku
kujual, akan kugadaikan saja!" kata Mahesa Gibas semakin mengacau.
Wajahnya tampak sedih, sepertinya ia bicara di luar kesadarannya.
"Gila! Apa yang terjadi
dengan warga desa ini sebenarnya, Mahesa?!" tanya Pendekar Mabuk sambil
pandangi rumah-rumah yang sebagian besar rusak dan kotor.
"Dulu desa ini ramai dan
penduduknya padat. Gadisnya cantik-cantik, jandanya montok-montok, tiap kamar
mandi punya lubang khusus untuk mengintip. "
"Siapa yang
melubangi?" sergah Suto dengan menahan senyum geli.
"Sebagian aku, sebagian
lagi... aku juga," jawab Mahesa Gibas dengan ekspresi duka tapi
menjengkelkan hati Perawan Sinting, ingin rasanya Perawan Sinting menabok wajah
itu, namun ia tak mau terkena keringat pemuda konyol itu.
Mahesa Gibas membawa mereka ke
sebuah kedai yang sudah tidak menjual makanan lagi itu. Kedai tersebut milik Ki
Ranowo, sahabat kakeknya Mahesa Gibas yang telah tiada itu. Mahesa Gibas
membawa mereka masuk ke kedai yang pintunya terbuka lebar namun tak ada
penghuninya.
"Kalau mau makan atau
minum, ambil saja! Soal pembayarannya biar kutanggungi" ujarnya sambil
melangkah ke dapur.
"Apa yang mau dimakan dan
diminum? Kedai ini gersang!" ketus Perawan Sinting yang membuat Suto
tertawa pelan.
"Hei, ada tuak dalam
guci!" seru Perawan Sinting setelah memeriksa gerobok di bawah meja
jualan. Tuak itu segera dituang ke dalam bumbungnya Suto. Bumbung itu menjadi
penuh tuak kembali, sisa tuak dalam guci dihabiskan oleh Perawan Sinting.
"Gila kau! Tuak tersisa
masih banyak begitu dihabiskan semua?!" gerutu Pendekar Mabuk dengan
bersungut-sungut.
"Aku haus," jawab Perawan
Sinting sambil melangkah ke dapur juga. Ia berpapasan dengan Mahesa Gibas yang
menghempaskan napas bagai melepas keluhan.
"Ada apa, Mahesa?"
"Ki Ranowo tak ada!"
jawab Mahesa Gibas sambil duduk di sebuah bangku yang sudah berdebu, pertanda
sudah beberapa waktu kedai itu dikosongkan.
"Apakah Ki Ranowo itu
pemilik kedai ini?" tanya Suto.
"Ya, biasanya kalau aku
datang langsung dia menyuguhkan minuman kopi, teh, atau tuak. Tapi sekarang
kedatanganku tak disambut."
"Mungkin Ki Ranowo sudah
tidak menempati kedai ini lagi."
"Seingatku tempo hari dia
ikut mengungsi ke timur." "Kenapa kau cari!" sentak Perawan
Sinting dengan
jengkel. "Dasar bocah
edan!"
"Maksudku, siapa tahu Ki
Ranowo datang lagi, kan bisa kita mintai tolong untuk menyediakan makanan,"
ujar Mahesa Gibas.
"Rumahmu di mana,
Mahesa?"
"Di belakang rumah
beratap miring itu. Tapi sudah rata dengan tanah."
"Karena diratakan oleh si
Bayangan Setan?"
"Karena memang sudah
rapuh bangunannya. Kena angin sedikit, ambruk!"
"Apakah semua desa di
wilayah Kadipaten Madusari mengalami nasib seperti ini?" tanya Perawan
Sinting sambil ikut nimbrung duduk di dekat Suto. "Sepertinya memang semua
desa mengalami nasib begini. Tapi menurutku hanya desaku ini yang paling parah.
Kalau begini keadaannya, aku tak mau diangkat menjadi lurah di desa ini!"
"Oh, apakah kau
rencananya akan diangkat menjadi lurah di desa ini?"
"Belum ada rencana itu.
Tapi siapa tahu akan ada!" "Konyol!" Perawan Sinting menggeram
gemas. "Sejak si Bayangan Setan
menguasai kadipaten, desa
ini seolah-olah dijadikan
sasaran utama keganasannya." "Apa saja yang dilakukan si Bayangan
Setan terhadap
warga desa ini, Mahesa?"
"Menangkap penduduk
satu-persatu, membunuhnya, dan memakan dagingnya."
"Oooh .?!" Perawan
Sinting dan Pendekar Mabuk sama-sama terkejut. Tapi Suto sempat sangsi dengan
kesungguhan kata-kata itu, sehingga dengan nada setengah mengancam, Pendekar
Mabuk berkata kepada Mahesa Gibas.
"Kau jangan
membesar-besarkan kenyataan, ya?!" "Aku tidak membesar-besarkan
kenyataan, Suto.
Memang begitulah keganasan si
Bayangan Setan. Bahkan...," Mahesa Gibas tundukkan wajah dengan sendu,
sepertinya ada duka yang sedang ditahan dalam hatinya.
"Bahkan... kakekku
sendiri menjadi korban keganasan itu. Bayangan Setan itu masuk ke rumahku pada
malam hari, pada saat itu aku sedang main dadu di Desa Pucang Wetan sampai
pagi. Ketika aku pulang, aku terkejut melihat kakekku telah terkapar di ruang
tamu dalam keadaan berlumur darah.
Jantungnya hilang dan. "
"Siapa yang menghilangkan
jantungnya?" tanya Suto memotong kata-kata Mahesa Gibas.
"Siapa lagi kalau bukan
si Bayangan Setan. Dia gemar memakan jantung manusia. Menurut desas-desus yang
kudengar, dengan memakan jantung manusia maka kekuatan si Bayangan Setan itu
akan selalu terjaga."
"Ceritamu itu
sungguh-sungguh?!"
"Sumpah! Berani disambar
bakiak satu keranjang kalau memang aku berkata bohong pada kalian!" Mahesa Gibas ngotot, membuat Suto Sinting
menarik napas lalu menggumam datar.
"Kejam !"
"Kurasa si Bayangan Setan
itu sesosok iblis yang menjelma sebagai manusia," ujar Perawan Sinting
seperti bicara pada diri sendiri.
"Kami memang
menganggapnya iblis!" timpal Mahesa Gibas. "Tak ada manusia yang
doyan makan jantung manusia lainnya. Kalau makan jantung pisang, memang ada.
Aku sendiri suka makan jantung pisang direbus atau dibuat sayur. Tapi makan
jantung manusia belum pernah."
"Seperti apa ciri-ciri si
Bayangan Setan itu?!" tanya Pendekar Mabuk.
"Cantik, montok "
"Oh, dia seorang
perempuan?!" sergah Perawan Sinting. "Menurut pengamatanku selama
ini, dia memang seorang perempuan. Tapi, entah kenyataannya, karena aku tak
pernah melihat sampai di kedalaman tubuhnya," jawab Mahesa Gibas.
"Yang kutahu, dia berdada montok, seperti ini...," sambil menuding
dada Perawan Sinting.
Plaak...! Tangan itu ditampar
oleh Perawan Sinting. "Kupatahkan jarimu kalau berani menudingnya
lagi!" "Maaf, aku tidak akan menudingnya lagi, kecuali
melirik!"
"Kucolok matamu kalau
berani melirik!" sergah Perawan Sinting sambil berdiri.
"Sudah, sudah...!" lerai
Suto. "Makanya rapatkan pakaianmu itu, biar tidak jadi bahan lirikan
orang." Lalu, Suto berbisik setelah gadis itu duduk lagi. "Rapatkan,
tapi sisakan sedikit untuk mataku. Boleh, kan?!"
"Hmmm...!" Perawan
Sinting mencibir dan melengos. "Jangan jual mahal, nanti kutawar murah
kau!" canda Pendekar Mabuk, kali ini berhasil membuat si gadis
galak menjadi tersenyum agak
lebar.
"Teruskan ceritamu
tentang si Bayangan Setan itu, Mahesa."
"Teruskan sambil jalan
saja!" ujar Perawan Sinting, lalu ia mendahului bangkit dan langkahkan
kakinya.
Mahesa Gibas berjalan di
tengah; antara Pendekar Mabuk dan Perawan Sinting. Pemuda berambut pendek itu
menceritakan apa yang ia tahu tentang si Bayangan Setan itu dengan penuh
semangat, kedua tangannya ikut bergerak-gerak seakan ingin memperkuat tiap kata
yang diucapkan.
"Sesuai dengan
julukannya, si Bayangan Setan datang tidak diketahui dan pergi pun tak terlihat
orang. Tapi ia bisa muncul sewaktu-waktu di depan kita atau di belakang
kita."
"Apakah ia tak bisa dipukul?
Maksudku, raganya tak bisa disentuh?"
"O, bisa! Kalau sedang
berhadapan dengan kita, ya bisa disentuh. Dicium pun bisa, asal hati-hati,
jangan sampai bibir kita dikunyah olehnya. Dia bukan saja suka makan jantung
manusia, tapi gemar pula memakan daging mentah, termasuk daging manusia. Karena
itu kalau kita ciuman beradu bibir, hati-hati... jika kecupannya semakin kuat,
itu pertanda ia akan menggigit bibir atau lidah kita, lalu diku-nyah-kunyah
seperti makan sate kambing."
"Kalau begitu aku harus hati-hati,"
gumam Suto. Perawan Sinting menyentak berang.
"Jadi kau ingin mencoba
berciuman dengannya?!" mata gadis itu pun melotot galak.
"Maksudku, harus
hati-hati jangan sampai tergoda oleh rayuannya."
"O, ya. Itu bagus!"
kata Perawan Sinting, lalu segera lanjutkan langkahnya.
Mahesa Gibas tertawa kedi,
tapi segera hentikan tawanya karena takut melihat tatapan mata Perawan Sinting
yang sangar itu. Ia justru lanjutkan ceritanya dengan lagak seperti tak pernah
tertawa sedikit pun.
"Si Moneng, temanku,
matinya menyedihkan sekali. Dia bukan saja kehilangan bibirnya, namun juga
kehilangan 'pusaka'-nya."
"Lho, kenapa bisa
begitu?"
"Dia memang rakus
perempuan. Wajahnya memang ganteng dan badannya tegap seperti kau," kata
Mahesa Gibas kepada Suto. "Tapi sayang, dia tidak punya otak, sehingga
perempuan mana saja yang mengajaknya kencan selalu dilayani. Akibatnya ia kena
batunya. Perempuan yang mengajaknya kencan adalah si Bayangan Setan. Tentunya
mereka bergumul dulu mencari puncak keindahan masing-masing. Tapi ketika si
Bayangan Setan menciumi sekujur tubuh Moneng, tahu-tahu Moneng menjerit
keras-keras ketika 'pusaka'- nya dimakan oleh si Bayangan Setan."
"Maksudnya dimakan
bagaimana?" tanya Perawan Sinting. Suto yang menjawab,
"Seperti kau semalam
itulah! Cuma, kalau si Bayangan Setan memang benar-benar memakannya sampai
habis. Bukan sekadar di "
"Sudah, sudah...!"
potong Perawan Sinting sambil mengulum senyum dan membuang pandangan ke arah
lain.
"Karena itulah aku tak
pernah mau kencan dengannya," kata Mahesa Gibas.
"Karena kau takut dimakan
seperti Moneng?" "Karena aku tak pernah diajak kencan olehnya!"
sahut Mahesa Gibas. Perawan
Sinting alihkan pembicaraan agar lebih menjurus pada kekuatan si Bayangan
Setan. "Lalu, apakah si Bayangan Setan itu hanya sendirian?"
"O, dia punya anak
buah!" ujar Mahesa Gibas penuh semangat. "Entah berapa jumlah anak
buahnya, yang jelas ada dua orang yang dianggap sebagai orang kepercayaan si
Bayangan Setan. Kedua orang itu adalah Melon dan Gober! Kekuatannya dahsyat-dahsyat
mereka itu. Sekali menendang bikin kita melayang-layang bagai tak bernyawa
lagi."
"Kau pernah bertemu
dengan Melon dan Gober?!" "Pernah melihatnya, tapi tak pernah
bertarung dengan
mereka, karena kelihatannya
mereka sungkan jika berhadapan denganku!"
Pendekar Mabuk dan Perawan
Sinting sama-sama mencibir sinis mendengar kesombongan Mahesa Gibas.
"Lagakmu seperti jagoan
saja, disungkani orang- orang seperti mereka. Hmmm... nanti kalau kita
berhadapan dengan mereka, kau maju lebih dulu!"
"Jangan begitu,"
ujar Mahesa Gibas dengan murung. "Aku sudah bertekad untuk tidak ikut
campur di rimba persilatan lagi. Aku sedang berusaha untuk mengasingkan diri
dan sengaja membuang ilmu-ilmuku. Jangan kalian bujuk aku untuk terjun kembali
ke kancah persilatan ini."
Perawan Sinting dongkol
mendengar kata-kata Mahesa Gibas yang bermuluk-muluk itu. Rasa-rasanya ia ingin
meremas mulut pemuda itu sampai giginya rontok semua. Tapi Perawan Sinting
segera memaklumi, ucapan bermuluk-muluk itu biasanya dilakukan oleh seseorang
untuk menutupi kelemahannya. Justru orang yang bicaranya bermuluk-muluk kentara
sekali kalau dia orang yang kosong, tanpa isi apa pun dalam dirinya.
"Apakah kau tahu, mengapa
si Bayangan Setan menguasai kadipaten ini? Mengapa bukan kadipaten lain yang
diganggunya?" tanya Suto dengan serius.
"Kudengar dari
orang-orang yang tinggal di sekitar alun-alun kadipaten, katanya si Bayangan
Setan menyimpan dendam kepada leluhur sang Adipati Jayengrana. Ditambah lagi,
si Bayangan Setan itu dulu naksir berat sama Raden Rama Jiwana. Si Bayangan
Setan pernah membantu Rama Jiwana saat menyerbu Kerajaan Siluman Berhala. Raden
Rama Jiwana kala itu menjadi panglima kadipaten yang amat diandalkan oleh sang
Adipati."
"Hmmm... ya, ya... aku
ingat! Rama Jiwana memang pernah menjadi panglima Kadipaten Madusari dan pernah
lakukan penyerbuan ke kerajaan Siluman Berhala. Memang benar itu!" kata
Suto Sinting.
"Nah, antara Raden Rama
Jiwana dan si Bayangan Setan ternyata telah saling terikat perjanjian bahwa
Raden Rama Jiwana akan bersedia menjadi suami si Bayangan Setan apabila
Bayangan Setan membantunya menghancurkan kerajaan Siluman Berhala. Tapi setelah
kerajaan itu hancur dengan bantuan si Bayangan Setan, kenyataannya Raden Rama
Jiwana dianggap ingkar janji, karena menikah dengan putri sang Adipati yang
bernama Muria Wardani alias Telaga Sunyi."
"Ooo... jadi singkatnya
cerita, si Bayangan Setan menuntut Rama Jiwana untuk memenuhi janjinya?"
ujar Perawan Sinting.
"Benar! Dan ia memberi
batas waktu sampai pada malam bulan purnama nanti. Jika sampai malam bulan
purnama Raden Rama Jiwana tidak muncul dan menolak dibawa pergi oleh si
Bayangan Setan, maka sebagai gantinya, sang Adipati Jayengrana akan digantung
di depan umum!"
"Hmmm..., begitu?"
Pendekar Mabuk menggumam sambil manggut-manggut. Perawan Sinting pun menggumam
tapi tidak manggut manggut, karena matanya memandang ke arah depan penuh
waspada. Mereka sama-sama terbungkam beberapa saat, sampai akhirnya suara
Pendekar Mabuk memecah kebisuan mereka bertiga.
"Apakah sampai sekarang
Rama Jiwana belum mau menemui si Bayangan Setan?"
"Aku tak jelas akan hal
itu, karena aku bukan si Bayangan Setan," jawab Mahesa Gibas. "Kabar
terakhir yang kudengar sebelum aku meninggalkan desaku adalah kesediaan Raden
Rama Jiwana untuk mengadakan pertarungan pribadi dengan si Bayangan Setan. Tapi
dari pihak keluarga sang Adipati dan terutama istrinya sendiri; Telaga Sunyi
itu, tidak mengizinkan Raden Rama Jiwana beradu kesaktian dengan si Bayangan
Setan. Sebab mereka tahu bahwa kekuatan si Bayangan Setan jauh lebih tinggi
dibanding kesaktian yang dimiliki Raden Rama Jiwana."
"Lalu tindakan apa yang
diambil sang Adipati?" tanya Perawan Sinting.
"Secara diam-diam,
Kanjeng Adipati mengutus beberapa orangnya untuk mencari bantuan kepada para sahabat
sang Adipati. Tapi sebagian para utusan itu dibunuh di perjalanan oleh anak
buah si Bayangan Setan. Sebagian lagi
berhasil mendapat sang penolong. Namun para penolong itu berhasil "
"Berhasil kalahkan si
Bayangan Setan?!" "Berhasil dibunuh oleh Melon dan Gober!"
Pendekar Mabuk pindah tempat,
kini berjalan di samping Perawan Sinting, ia sempat berbisik kepada si Perawan
Sinting.
"Aku curiga padanya.
Bagaimana dia bisa tahu panjang lebar tentang kekuatan dan tujuan si Bayangan
Setan menguasai kadipaten ini?! Selengkap itukah pengetahuannya tentang
hubungan si Bayangan Setan dengan Rama Jiwana?!"
Perawan Sinting diam tertegun
walau masih tetap melangkah dengan pandangan mata mulai menerawang kacau.
Kesadarannya bagaikan baru saja dibangkitkan oleh bisikan Pendekar Mabuk,
sehingga hati kecilnya ikut bertanya-tanya, "Mengapa si Mahesa banyak
mengetahui tentang persoalan ini?!"
*
* * 7
PERJALANAN mereka terhadang
oleh dua orang berkuda yang bertugas menjaga perbatasan kotaraja. Dua orang
berkuda itu hentikan langkah Pendekar Mabuk, Perawan Sinting, dan Mahesa Gibas.
Kedua penunggang kuda itu
adalah laki-laki berusia sebaya, sekitar empat puluh tahun, dan mempunyai
tampang bengis. Mereka sama-sama berkumis lengkung sampai ke dagu dan bermata
kecil dengan wajah lonjong. Tetapi yang satu berambut panjang sepundak dengan
ikat kepala kuning, yang satunya berambut pendek, bahkan botak bagian
tengahnya. Yang berikat kepala kuning dan berambut panjang itu mengenakan
pakaian serba hitam, sedangkan yang botak mengenakan pakaian serba coklat tua.
Mereka sama-sama bersenjata pedang besar yang tak bisa diselipkan di pinggang
atau di punggung.
"Berhenti kalian!"
bentak si kepala botak. "Siapa kalian dan mau ke mana tujuan
kalian?!"
Pendekar Mabuk yang menjawab
dengan tenang. "Kami ingin beranjangsana kepada sang Adipati.
Kami adalah sahabat lama
beliau!"
"Tidak bisa! Adipati
Jayengrana sedang sakit, tak bisa ditengok siapa pun."
"Bagaimana kalau kami
nekat menengok beliau?!" "Kalian akan kehilangan nyawa." sentak
yang
berambut panjang, lalu ia
turun dari kudanya sambil mencabut pedang yang digantungkan di pelana kuda.
"Hei, Parsonto!"
seru yang berpakaian coklat tua kepada temannya yang berpakaian merah itu.
"Ada apa, Wiguro?!"
"Lihat pemuda berbaju
kuning dan bercelana hitam itu. Bukankah dia yang bernama Sukron; pelayan sang
Adipati yang melarikan diri beberapa hari yang lalu?!" sambil Wiguro
menuding Mahesa Gibas. Yang dituding menjadi pucat dan bersembunyi di balik
punggung Perawan Sinting,
Parsonto menggeram dengan mata
semakin dikecilkan pandangi Mahesa Gibas.
"Benar, dia adalah
pelayan kadipaten yang melarikan diri tempo hari! Rupanya dia mencari bantuan
dan sekarang datang bersama dua manusia bangkai ini!" ujar Parsonto sambil
pandangi Suto dan Perawan Sinting dengan sinis.
"Usir mereka dari wilayah
ini, Parsonto!" seru Wiguro yang masih berada di punggung kuda.
"Sabar dulu, Paman,"
ujar Pendekar Mabuk dengan kalem.
Perawan Sinting menggerutu di
samping Suto. "Terlalu lama dan bertele-tele!"
Wuuut...! Claaap, crrasss...!
"Aaaakh...!"
Parsonto mendelik ketika tiba-tiba sekali tangan Perawan Sinting menyentak ke
depan dan seberkas sinar hijau lurus dari kedua tangannya melesat cepat
menembus leher Parsonto. Leher itu menjadi bolong, berwarna hangus dan kepuikan
asap putih. Parsonto pun tumbang dan berkelojot sesaat, lalu diam tak bergerak
selamanya. Melihat keadaan Parsonto tak bernyawa lagi, Wiguro segera melompat
dari punggung kuda dan menyambar Perawan Sinting.
"Jahanam kau, Perempuan
busuk! Heeeaat...!" "Hiaaah...!" Perawan Sinting berkelebat
cepat dalam
satu sentakan kaki. Tubuhnya
melesat bagaikan panah yang menerjang tubuh Wiguro di udara. Breeess...!
Blaaap, claaap...! Sinar hijau bagaikan menyebar pecah dalam sekejap.
"Uuuaakh...!" Wiguro
terlempar ke belakang, jatuh berdebam tanpa ampun lagi. Wajahnya menjadi hitam
hangus karena dihantam telapak tangan Perawan Sinting saat bertabrakan di udara
tadi.
"Hooohk...!" Wiguro
ingin memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Tapi kaki Perawan Sinting segera
mengakhiri masa hidupnya yang baru empat puluh tahun lewat sedikit itu dengan
tendangan samping bertenaga dalam besar.
Deess...! Krraak...!
Tendangan itu tepat kenai
leher kiri Wiguro. Suara tulang berderak terdengar sebagai tanda patahnya tulang
leher Wiguro. Kejap berikutnya, Wiguro tumbang terkapar tanpa nyawa lagi.
Perawan Sinting tampak
berwajah sangar memandangi kedua lawannya. Setelah ia yakin keduanya sudah tak
bernyawa lagi, ia berkata tegas kepada Pendekar Mabuk.
"Cepat kita menuju istana
kadipaten!"
"Gila!" gumam
Pendekar Mabuk di samping Mahesa Gibas. "Gerakannya cepat sekali. Dalam
sekejap dua nyawa telah dicabutnya. Benar-benar perempuan elmaut kau, Perawan
Sinting!"
"Tak ada waktu buat
basa-basi kepada orang seperti mereka!"
"Tapi, tunggu
dulu...," ujar Suto, kemudian menarik lengan Mahesa Gibas.
"Ternyata kau pelayan
sang adipati, Mahesa!" "Hemmm, eehhh, hmm...." Mahesa Gibas
salah
tingkah dan wajahnya menjadi
pucat ketakutan. Terlebih setelah Perawan Sinting mendekatinya dengan wajah
sangar, Mahesa Gibas semakin gemetar dan rasa takutnya kian tinggi.
"Mengakulah, siapa kau
sebenarnya, hah?!" bentak Perawan Sinting sambil mencengkeram baju Mahesa
Gibas dan menentengnya ke atas.
Pemuda itu bertambah
menggeragap, akhirnya ia hanya bisa anggukkan kepala dan berkata pelan.
"Iyya... iya, aku pelayan
sang Adipati. Aak... aku... aku memang melarikan diri karena takut kalau suatu
saat tiba giliran jantungku yang dimakannya. Ak... aku hanya mempunyai satu
jantung. Sumpah! Hanya satu jantung!" "Bukan soal jantung!"
sentak Perawan Sinting. "Kau
telah membohongiku lagi,
Keparat!" Plaaak...!
"Aauw...!" Mahesa
Gibas terpelanting jatuh karena tamparan keras Perawan Sinting. Gadis itu marah
sekali karena merasa ditipu oleh pengakuan Mahesa Gibas. Kalau saja ia tidak
segera dicegah oleh Pendekar Mabuk, maka Mahesa Gibas akan babak belur,
setidaknya gigi gerahamnya akan copot semua dihajar Perawan Sinting.
"Cukup, cukup...!
Kebohongannya bukan merupakan hal yang membahayakan bagi kita. Tak perlu
menghukumnya lebih dari ini, Perawan Sinting!"
"Sekali lagi kutahu kau
berbohong padaku, kubedah perutmu dan kumasukkan sekeranjang tikus lalu kujahit
lagi perutmu! Mengerti?!"
"Ngeriii...!"
"Mengertiiii...?!"
"O, ya... mengerti!"
jawab Mahesa Gibas dengan gemetaran.
"Makanya jadi orang
jangan suka bohong! Kau bisa terpenggal oleh lidahmu sendiri, Mahesa!"
ujar Pendekar Mabuk sambil teruskan langkah bersama-sama.
"Aku toh tidak membohongi
kalian. Aku memang berasal dari Desa Cipuser itu! Kakekku memang mati dibunuh
si Bayangan Setan. Hanya saja, kalian tak menanyakan apa pekerjaanku, maka aku
tidak ceritakan kalau aku bekerja sebagai pelayan di Istana kadipaten
ini," ujar Mahesa Gibas sambil bernada gerutu yang menghiba.
"Apa maksudmu melarikan
diri dari istana kadipaten?" tanya Suto.
"Pergi jauh-jauh dan tak
perlu kembali lagi daripada harus kehilangan jantung, seperti Senduk dan
beberapa pelayan lainnya."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dengan gumam tipis, ia merasakan kewajaran dalam pelarian Mahesa Gibas.
Tentunya sebagai pelayan ia tak mau mati sesadis itu. Sikap pengabdiannya hanya
sebatas pelayan sang Adipati, bukan pengawai yang harus berani pertaruhkan
nyawa demi keselamatan sang Adipati.
"Gajiku kecil kok harus
sampai korbankan nyawa? Enak amat?!" gerutu Mahesa Gibas seperti bicara
pada diri sendiri.
Trang, trang, trang,
blaaarr..!
Pendekar Mabuk dan Perawan
Sinting spontan hentikan langkah dan saling pandang dengan tegang. Mereka
mendengar suara pertarungan di arah kanan mereka. Tanpa banyak bicara, Pendekar
Mabuk anggukkan kepala, maka Perawan Sinting berkelebat lebih dulu ke arah
pertarungan. Pendekar Mabuk menyusul setelah berkata kepada Mahesa Gibas,
"Jangan jauh-jauh dariku,
supaya kau tidak mati mendadak!"
Rupanya pertarungan itu
dilakukan oleh seorang pemuda berpakaian perak yang punya wajah tampan dan
rambut bergelombang sepanjang pundak. Pemuda tampan itu mengenakan ikat kepala
dari logam putih berukir dihiasi bebatuan warna merah dan hijau.
Perawan Sinting tidak segera turun
tangan karena ia merasa belum mengenali kedua orang yang bertarung dengan
serunya itu. Bahkan ia sama sekali merasa asing kepada seorang lelaki
berpakaian serba kuning yang bertubuh tinggi, tegak, dan kekar. Walau usianya
sudah mencapai sekitar lima puluh tahun, tetapi lelaki itu masih tampak gagah dan tangkas, ia berkumis
lebat dan bermata tajam.
"Siapa mereka itu?"
bisik Perawan Sinting saat Suto dan Mahesa Gibas mendekatinya.
"Ooh...?! Rama Jiwana
muncul?!" gumam Suto Sinting.
"Yang mana yang namanya
Rama Jiwana?"
"Yang berpakaian perak itu!
Aku kenal baik dengannya."
"O, maksudmu dia si
menantu sang Adipati?" "Benar! Dia bekas panglima sang Adipati."
"Lalu, siapa yang memakai
pakaian warna kuning itu?"
"Melon Kuning, adiknya
Melon Hijau!" jawab Mahesa Gibas dengan cepat. "Dia salah satu orang
andaian si Bayangan Setan!"
"Kalau begitu, akan
kulumpuhkan si Melon Kuning itu. Kelihatannya Rama Jiwana terdesak dan terlalu
lamban menumbangkan lawannya."
Perawan Sinting tampak tak
sabar melihat pertarungan yang menurutnya terlalu lamban itu. Sementara si Rama
Jiwana sendiri berusaha menangkis jurus-jurus pedang Melon Kuning yang tampak
liar dan ganas. Perawan Sinting segera melesat ke tengah pertarungan dengan
beraninya. Weess...! Jleeg...!
"Nekat sekali saudaramu
itu, Suto!" bisik Mahesa Gibas.
"Begitulah
kesintingannya!" jawab Suto asal cuap saja, tapi ia segera bergegas dekati
Rama Jiwana. Pria muda menantu sang Adipati itu terkejut girang melihat
Pendekar Mabuk muncul di tempat itu. Sambil mendekap luka di pundak kirinya, ia
segera menyapa Suto dan menyambut kedatangan si Pendekar Mabuk itu.
"Suto...?! Oh, syukurlah kau ada di sini juga
rupanya!"
"Bagaimana dengan
lukamu?! Minum tuakku ini!" "Hmmm, tapi "
"Biar si Melon Kuning
dihadapi oleh Perawan Sinting. Dia murid sahabat Kanjeng Adipati!"
Melon Kuning terkejut melihat
tampilnya perempuan cantik berdandanan seronok. Tapi ia tak punya rasa tertarik
untuk bercumbu, yang ada hanya perasaan heran, karena merasa asing terhadap
perempuan montok itu.
"Siapa kau dan mengapa
mencampuri urusanku, hah?!" bentak si Melon Kuning bernada galak.
Sreeet...! Perawan Sinting tak
banyak bicara, ia mencabut pedangnya. Pedang yang menyala hijau pijar itu
membuat mata Melon Kuning terkesiap, ia mundur satu langkah dengan tetap
menggenggam pedangnya dengan kedua tangan dalam posisi berdiri tegak di samping
kanan. Sebelum Melon Kuning ajukan tanya lagi, Perawan Sinting sudah lebih dulu
menyerangnya dengan satu lompatan cepat yang membuat Melon Kuning geragapan.
Wuuut...! Trang, craas !
"Aauh...!" Melon
Kuning memekik, lengan kirinya terkena sabetan pedang. Lukanya menjadi hitam
dan berasap. Melon Kuning menjadi gemetar setelah tahu lawannya punya jurus
pedang yang tak bisa ditangkis karena kecepatannya tak bisa tertangkap oleh
penglihatannya.
"Hiaaah...!" Perawan
Sinting sentakkan pedangnya ke depan dengan kaki kiri terangkat ke belakang dan
tangan kanan merentang. Suuut...! Dari ujung pedang itu keluar petir hijau yang
jumlahnya empat larik dan berkelebat zigzag membingungkan si Melon Kuning.
Clap, clap, clap...!
Melon Kuning hanya bisa
menebaskan pedangnya ke kanan-kiri dengan cepat. Wung, wung, wung...! Dan
keluarlah asap putih samar-samar. Asap itu diterjang oleh empat petir hijau
tersebut. Cralap...!
Blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi
mengguncangkan bumi. Melon Kuning terlempar sejauh lima langkah ke belakang dan
jatuh berguling-guling, ia cepat bangkit sambil menahan luka di lengan kirinya.
Ternyata luka itu telah mengeluarkan belatung yang menjijikkan.
Belatung-belatung itu mengerogoti daging hingga ke tulangnya. Rasa sakit nyaris
membuat Melon Kuning berteriak meraung-raung seperti anak kecil.
Wuuut, brruuss...!
Perawan Sinting terlempar
secara tiba-tiba. Ternyata dari arah belakangnya muncul sekelebat bayangan
hijau yang menerjangnya dengan kuat membuat Perawan Sinting terlempar di udara,
ia segera bersalto dan dengan menggunakan pedangnya yang disentakkan ke tanah,
tubuh Perawan Sinting dapat hindari kilatan cahaya biru besar yang menerjangnya
dari seorang lelaki gemuk berpakaian hijau. Claap, wuuut...!
Jegaaar...! Cahaya biru itu
menghantam sebatang pohon. Pohon itu lenyap tanpa bekas, tanahnya rata bagai
tak pernah dipakai tumbuh pohon besar tadi.
"Bahaya...!" gumam
Pendekar Mabuk pandangi si lelaki gemuk berpakaian hijau dengan kepala
mengenakan topi kain yang ujungnya melengkung ke samping. Ujung topinya itu
mempunyai bundaran dari kain halus. Topi itu berwarna abu-abu biru.
"Siapa dia?!" gumam
Pendekar Mabuk. Mahesa Gibas menjawah dengan nada tegang.
"Si Gober! Oh, celaka! Si
Gober muncul, pasti sebentar lagi Melon Hijau, adik Melon Kuning akan muncul
juga!"
"Kalau begitu aku harus
segera bertindak!"
"Biar aku saja yang
bertindak, Suto!" ujar Rama Jiwana.
"Jangan! Kau di sini saja!
Akan kubereskan mereka secepatnya, lalu kita membebaskan mertuamu dari ancaman
si Bayangan Setan!"
Zlaaap...! Pendekar Mabuk
berkelebat lebih menyerupai gerakan cahaya. Tahu-tahu ia telah menerjang Gober
dengan tendangan kakinya yang menjejak secara beruntun cepat itu.
"Bangsaaaat...!"
Gober berteriak dengan kasar
dan liar. Matanya yang agak besar itu segera pandangi Pendekar Mabuk yang sudah
bergabung dengan Perawan Sinting. Saat itu si Perawan Sinting berkata lirih
kepada Suto Sinting. "Siapa orang itu?" "Si Gober!"
"Hmmm... kau ambil si
Gober, aku akan ambil nyawa si Melon Kuning. Hati-hati, keduanya mempunyai
tendangan yang berbahaya, menurut kata Mahesa Gibas tadi!"
Gober segera melompat dalam
keadaan tubuhnya memancarkan sinar hijau kebiru-biruan, ia menerjang Pendekar
Mabuk yang saat itu segera lakukan lompatan ke samping. Kemudian ia segera
memutar bumbung tuaknya, dan menghantamkan ke tubuh si Gober dengan kuat.
Wuuut, blegaaarr...!
Gober terpental dalam keadaan
tubuhnya tidak bercahaya lagi. Ia terguling-guling dalam jarak lima belas
langkah dari Suto. Tubuhnya menjadi hitam dan berasap tipis, ia mengerang
dengan suara mengerikan.
Sementara itu, Melon Kuning
yang mencoba melepaskan pukulan bersinar kuning lurus itu telah dipatahkan oleh
pedang hijaunya Perawan Sinting. Sinar kuning tersebut menghantam pedang dan
pecah menyebar ke arah datangnya sinar tersebut. Blaaar...! Sraaap...!
Melon Kuning kaget, sinarnya
menyebar menjadi bias-bias runcing yang mengarah kepadanya. Firasatnya mengatakan,
ia akan mati jika tetap di tempat. Maka, Melon Kuning pun lakukan sentakan dan
ia melambung tinggi dengan cepatnya. Wees...!
Di udara ia berjungkir balik
berkali-kali dan tiba-tiba berubah menjadi gulungan asap. Bluub...! Kejap
kemudian asap itu buyar tertiup angin, sosok si Melon Kuning pun menghilang
dari pandangan mata lawannya. Pada saat itu Gober juga keluarkan jurus mautnya
dalam bentuk semburan asap biru dari kedua tangannya. Kedua tangan itu
disentakkan ke depan, tubuhnya melayang cepat bagai seekor kelelawar. Wees...!
Bersamaan dengan itu, asap biru tadi menyebar ke mana-
mana. Wuuuss...!
Asap itu semakin tertiup angin
semakin menjadi banyak dan memenuhi alam sekitar tempat mereka. Udara terasa
kering dan menggatalkan hidung. Bau tak sedap pun tercium oleh mereka.
"Uhuk, uhuk,
uhuk...!" Pendekar Mabuk terbatuk- batuk. Ia sempatkan diri berseru kepada
Perawan Sinting.
"Tahan napas! Udara
beracun!"
"Uhuk, uhuk,
uhuk...!" Perawan Sinting sudah telanjur menghirup udara bercampur asap
biru itu. Sementara itu, Mahesa Gibas berlari-lari ketakutan sambil berseru di
sela batuknya.
"Sutooo...! Raden Rama
hilang...! Raden Rama hilaaang...!"
Pendekar Mabuk terkejut
pandangi tempat Rama Jiwana berada tadi. Ternyata tempat itu telah kosong.
Perawan Sinting pun terperanjat kaget dan menjadi tegang. Tapi tubuh mereka
semakin terasa lemas karena menghirup udara beracun.
Sementara itu, Gober yang
telah menapakkan kakinya ke tanah, terpaksa urungkan niatnya untuk melepas
pukulan penghancur ke tubuh Perawan Sinting, karena pada saat itu ia mendengar
seruan seorang perempuan yang menggema ke mana-mana.
"Buronan cinta telah
tertangkap! Hatiku tidak sekarat lagi! Karena itu, semuanya segera pulang...
pulang... pulang "
Pendekar Mabuk melihat si
Gober berubah menjadi asap putih yang tebal. Tapi asap itu segera lenyap
tersapu angin, dan sosok si Gober tak terlihat lagi, sepertinya halnya Melon
Kuning tadi.
Suara perempuan yang bergema
itu terdengar kembali.
"Tinggalkan mereka! Apa
yang kucari sudah kudapatkan! Kita pulang ke Samudera Kubur! Pulang semuaaa...!
Bebaskan Adipati dan yang lainnya, karena Rama Jiwana sudah ada dalam
pelukanku!"
"Suara siapa itu?!"
"Siapa lagi kalau bukan
si Bayangan Setan...!" seru Mahesa Gibas, lalu terbatuk-batuk lagi. Akhirnya
ia jatuh dengan napas sesak dan seperti tak mempunyai tulang lagi. Hal yang
sama dialami oleh Pendekar Mabuk dan Perawan Sinting.
"Racun ini ganas sekali,
Suto... uhuk, uhuk, uhuk !"
Perawan Sinting berusaha
dekati Suto sambil merangkak. Pada saat itu, Suto buru-buru menenggak tuaknya
untuk kalahkan keganasan racun yang bercampur dengan udara itu.
Tanpa tuak tersebut, mungkin
Suto dan Perawan Sinting dalam waktu dekat akan mati membiru, demikian juga
dengan Mahesa Gibas. Beruntung Mahesa Gibas ada bersama Suto, sehingga setelah
meminum tuak sakti tersebut, pernapasannya menjadi longgar dan rasa panas di
dada telah hilang secara berangsur-angsur.
"Adipati telah dibebaskan
oleh si Bayangan Setan, tapi menantunya diculik dan dibawa lari!" ujar
Perawan Sinting.
"Sebaiknya kita menghadap
sang Adipati dulu!" kata Suto Sinting. Lalu, mereka bertiga bergegas ke
istana kadipaten.
Namun alangkah terkejutnya
mereka begitu melihat sepanjang perjalanan menuju istana kadipaten, mereka
melihat mayat-mayat yang bergelimpangan di sana-sini dalam keadaan biru legam.
Mereka adalah para penduduk yang menjadi korban udara beracun tadi.
Sampai di istana kadipaten,
ternyata sang Adipati sendiri sedang dalam keadaan sekarat. Beberapa orang
lainnya pun demikian, saling terkapar di sana-sini bagai diserang wabah
penyakit yang amat ganas. Suto Sinting terpaksa sibuk memberikan minum tuaknya
kepada mereka, sehingga mereka pun akhirnya selamat, termasuk sang Adipati dan
permaisurinya. Namun yang sudah telanjur tewas tak bisa diselamatkan dengan
tuak Suto. Setiap tuak dalam bumbung mau habis, Perawan Sinting menuangkan tuak
baru lebih dulu ke dalam bumbung sakti tersebut, baru bisa dipakai untuk
mengobati mereka yang terluka dan terancam racun ganas.
"Beruntung sekali kau
datang, Suto," ujar sang Adipati. "Tapi kita semua mendengar suara
menggema tadi, itulah suara si Bayangan Setan. Dia telah membawa lari
menantuku, sementara putriku sendiri: Muria Wardani sedang berada di tempatnya,
ia sedang melahirkan bayi pertama mereka!"
"Kasihan...," gumam
Suto Sinting.
"Tolong, Suto...! Tolong
ambilkan kembali menantuku; Rama Jiwana agar Muria Wardani tidak menderita
terlalu lama!" pinta sang Adipati di depan Perawan Sinting juga.
"Kanjeng Adipati, apakah
Kanjeng tahu di mana kami bisa temukan si Bayangan Setan?!"
"Mereka tinggal di sebuah
negeri yang bernama Samudera Kubur! Letaknya di Pulau Blacan!"
Maka, berangkatlah Suto
Sinting dan Perawan Sinting ke Samudera
Kubur untuk berhadapan dengan si Bayangan Setan. Namun si Bayangan Setan bukan
orang berilmu pas-pasan. Mampukah mereka berdua kalahkan kekuatan si Bayangan
Setan dan membawa pulang Rama Jiwana?
SELESAI