BADAI Kelabu
segera menghentikan langkah karena ia mendengar suara napas orang
di belakangnya dalam jarak antara dua belas langkah. Badai Kelabu cepat
palingkan wajah ke belakang. Ternyata di sana tak ada satu orang pun. Hatinya
pun mulai curiga. Tapi Badai Kelabu kembali melangkahkan kaki dengan tenang.
"Aku merasakan gerakannya
bukan gerakan Suto atau Dewa Racun!" ucap Badai Kelabu dalam hati.
"Pasti orang lain yang punya maksud tak beres padaku. Hmmm... sebaiknya kudiamkan saja. Kupancing dia supaya
keluar dari persembunyiannya!"
Badai Kelabu kembali
langkahkan kaki dengan tenang, dan ia mendengar suara napas di belakangnya
mulai mendekat kembali. Kejap berikut ia buru-buru palingkan wajah ke belakang.
Suara napas orang itu lenyap bersama terhentinya langkah Badai Kelabu. Mata
perempuan berusia tiga puluh tahunan itu memandang sekeliling dengan jeli. Tapi
tak terlihat wujud orang yang mengikutinya.
Sekali ini Badai Kelabu
langkahkan kaki tanpa
berpaling sedikit pun. la
biarkan suara napas yang mengikutinya dari belakang. Kejap lain, Badai Kelabu
tersentak dan terhenti. Tubuhnya melengkung ke depan sambil pegang perutnya, ia
perdengarkan
suara erang lirih sebagai
tanda kesakitan. Tubuhpun oleng dan jatuh terkapar di tanah tak berumput.
Badai Kelabu tergolek di sana.
Pakaiannya yang hijau bertepian merah satin dibiarkan kotor, toh memang sudah
rusak akibat banyak luka yang diderita waktu bertarung dengan Tapak Baja dan
Hantu Laut di Pulau Kidung (Baca serial Pendekar Mabuk di dalam episode:
"Pusaka Tombak Maut"). Tubuh Badai Kelabu mengejang sebentar, lalu
tersentak dan melemas tak berkutik lagi.
Kejadian itu membuat sepasang
mata terkesiap dari suatu tempat yang tersembunyi. Cukup lama sepasang mata itu
menunggu gerakan Badai Kelabu, namun yang ditunggu tak juga bergerak. Sepasang
mata itu memendam kuat-kuat rasa cemasnya. Namun akhirnya tak mampu lagi sabar
menunggu. Sepasang mata itu cepat sentakkan kakinya dan melesat keluar dari
persembunyiannya.
Orang tersebut mengenakan pakaian kuning sebatas dadanya yang
sekal. Badannya terlihat elok dalam busana ketat seperti itu. Pinggangnya
tampak ramping karena mengenakan celana ketat warna kuning pula. Celana itu
hanya sebatas betis. Bentuk betisnya indah dan berkulit semulus kulit bayi.
Pakaiannya itu dirangkap pakaian jubah warna merah jambu yang tak terkancingkan
bagian depannya. Pakaian jubah merah jambu itu dari bahan sutera tipis hingga
menampakkan bentuk pantatnya yang sekal menggiurkan setiap lelaki.
Orang bersenjata trisula
kembar di pinggang kanan-kirinya itu punya wajah cantik jelita. Bertahi lalat
kecil di atas bibir kirinya, bangir hidungnya, memiliki bola mata indah, lentik
pula bulu matanya. Rambutnya yang panjang, hitam bersih, dan lembut
tergerai selewat punggung,
diikat dengan kain warna biru muda. Di atas telinga kirinya tersemat sekuntum
bunga kamboja warna putih kekuning-kuningan. Menambah manis paras wajahnya.
Jalannya melenggok saat ia
mendekati Badai Kelabu yang terkapar di jalanan. Tapi kejap berikut orang itu
tersentak kaget dan terlonjak ke belakang ketika Badai Kelabu tiba-tiba
membentak.
"Hiaaat...!" sambil
kakinya menyambar ke samping, dan tubuh pun berputar, tangan menyentak di
tanah, badan terangkat dan kini ia berdiri tegap di depan orang berjubah merah
jambu itu.
"Babi, monyet, kodok,
kuda, kambing...!" orang berjubah merah jambu
itu memaki dengan menyebutkan banyak
binatang karena rasa kagetnya tadi. Tangannya melambai-lambai gemulai setiap ia
bicara, bibirnya mencong sana-sini dengan genitnya. la menyambung kata dengan
suaranya yang besar bernada perempuan manja.
"Dasar kura-kura kamu,
ah! Kupikir kamu modar, tak tahunya hanya pura-pura saja! Sial!" ia
melengos dengan mulut cemberut manja.
"Apa maksudmu
mengikutiku, Tanjung Bagus?!" sentak Badai Kelabu dengan satu tangan
bertolak pinggang.
"Pasti ada
tujuannya!" "Sebutkan tujuanmu!"
"Biasalah... mau paksa
kamu serahkan peta itu!" "Dari dulu kau merayuku untuk mendapatkan
peta
itu, padahal sudah kubilang
bahwa aku tak memiliki peta tersebut!"
"Mana mungkin... mana
mungkin...!" bibirnya maju dan dicibir-cibirkan dengan genitnya.
"Kamu sudah pernah ke sana, pasti kamu simpan peta itu! Mana
mungkin kamu akan buang itu
peta!"
Sambil berbicara begitu, Tanjung Bagus melenggok-lenggok dan
tangannya memainkan tepian jubah merah jambunya. Badai Kelabu mendesis muak dan
berkata.
"Kau memang ingin cari
perkara! Sekarang apa maumu kalau kubilang aku tidak mempunyai peta Itu?!"
"Kita bertarung! Mungkin
kalau nyawamu sudah di ubun-ubun baru kau mau mengaku dan menyerahkan peta
itu!"
"Tanjung Bagus, kalau
itu maumu, kulayani tantanganmu!"
Di balik semak, Dewa Racun dan
Pendekar Mabuk saling berbisik dengan suara sangat pelan.
"Cantik sekali orang
berjubah merah jambu itu," bisik Suto. "Dia mirip seorang
bidadari."
"Tap... tapi...
sepertinya dia punya persoalan dengan Badai Kelabu. Kita lihat saja urusan
mereka sampai di man... man... mana!"
"Baik. Kita lihat saja
dari sini sambil menjagai
Badai Kelabu!"
Percakapan yang kasak-kusuk
tak membuat kedua orang yang saling berhadapan itu terganggu. Badai Kelabu
telah siap menerima serangan dari Tanjung Bagus. Kedua kakinya merenggang
kokoh, yang kanan ditarik sedikit ke belakang dan merendah keduanya. Tapi Tanjung
Bagus masih melenggak- lenggokkan
badan sambil memegangi tepian jubahnya.
"Tak sayangkah kamu
dengan nyawamu itu, Badai Kelabu? Daripada kamu korbankan nyawa buat
sembunyikan peta itu, lebih baik kau serahkan padaku dan nyawamu tetap utuh,
Badai Kelabu!"
"Peta itu ada di
nyawaku!" jawab Badai Kelabu. "Kalau kau mau ambil peta itu, ambil
pula nyawaku!"
"Aduuuh, sayang sekali
aku harus bertindak kasar padamu, Badai Kelabu! Bersiaplah untuk mati,
Sayang...!" sambil Tanjung Bagus melenggokkan badan dengan gemulai, mirip
orang mau menari. Tangannya diangkat merentang ke kiri-kanan, lalu tangan itu
meliuk pula ke arah depan dengan satu kaki diangkat sebatas lutut, tangan yang
kanan ditarik ke belakang, yang kiri maju ke depan, tubuhnya sedikit meliuk ke
belakang, wajahnya agak mendongak, tapi mata tetap tertuju ke depan.
Di balik semak, Dewa Racun
berbisik kepada Suto, "Men... men... menurutmu, dia mau bertarung atau mau
menari?"
"Memang begitulah jurus yang
dimilikinya, barangkali. Mirip orang menari. Lemah gemulai, tapi
seberapa besar tinggi ilmunya, kita masih belum bisa pastikan!"
"Dia desak Bad... Bad...
Badai Kelabu untuk minta peta. Menurutmu pet... pet... pet...!"
"Pete?"
"Peta! Menurutmu peta apa
yang diminta? Apakah peta harta karun atau peta penyimpanan harta pus... pus...
pus...."
"Pus meong?!"
"Pusaka!" sentak
Dewa Racun dalam suara bisik yang jengkel.
Suto tersenyum menahan tawa
dan ucapkan kata pelan, "Kita belum jelas peta apa yang diinginkan orang
itu. Lihat saja, nanti kita juga akan tahu sendiri, Dewa Racun!"
Orang kerdil itu diam, tak
lagi ajukan tanya. Mata orang kerdil terlempar pandang ke arah Badai Kelabu
yang sedang bergerak menunggu kesempatan menyerang lawannya.
"Majulah, Setan! Tak
segan-segan kuremukkan batok kepalamu dengan kedua tanganku ini!"
"Hmm...!" Tanjung
Bagus melenggokkan kepala sambil mencibir genit dengan tangan masih bergerak-
gerak seperti orang menari. Katanya lagi.
"Jangan hanya bisa
berkoar besar saja kau, Setan sawah! Tunjukkan kebolehanmu! Kulawan jurusmu
dengan pukulan 'Daun Melambai'!"
Tanjung Bagus meliukkan badan
dengan sangat lentur, hingga dadanya membungkuk hampir menyentuh tanah, kedua kakinya
merentang lebar- lebar, kedua tangan dan jemarinya meliuk ke sana- sini sebagai
upaya mengumpulkan tenaga dalamnya.
Tiba-tiba Badai Kelabu
setengah membungkuk lepaskan pukulan 'Cakar Kucing' dengan kaki rapat dan berjalan cepat mendekati lawan. Kedua tangannya membentuk
cakar kucing yang mencakar bagian di depannya secaramberganti-ganti. Wut wut
wut wut...!
Plak plak plak plak...!
Blakkk...!
Pukulan Badai Kelabu yang
menyerupai cakaran kucing beruntun itu selalu bisa ditangkis oleh gerakan cepat
tangan Tanjung Bagus. Kemudian, keduanya sama-sama memperoleh kesempatan untuk menghantamkan telapak tangannya.
Tanjung Bagus berhasil menghentakkan telapak tangannya di bawah
pundak kanan lawan, dan Badai
Kelabu berhasil
menghantam rahang Tanjung
Bagus dengan telak sekali.
Keduanya sama-sama terpental
jatuh di tanah. Tapi keduanya sama-sama cepat bangkitkan diri, dan
saling berdiri tegak siap
menyerang kembali.
"Hmm...! Aku tahu dada
kananmu memar!" kata Tanjung Bagus. "Aku bisa lihat warna biru di
dada kananmu, walau tertutup kain bajumu!"
"Hmm...!" Badai
Kelabu pun sunggingkan senyum sinis. "Aku juga tahu gigi rahangmu yang
belakang patah! Keluarkanlah dari mulutmu, tak perlu kau simpan, nanti tertelan!"
"Puih...!" Tanjung Bagus menggeram jengkel setelah meludah, karena memang
gigi gerahamnya patah,
dan bagian yang
patah itu baru saja diludahkan keluar. Sementara itu,
Badai Kelabu menggerakkan pundak kanannya, karena memang pukulan Tanjung Bagus
membekas biru di dada kanannya
dan terasa sakit bagai disengat kalajengking. Gerakan pundak itu
sebagai gerakan penahan rasa sakit di dada kanan.
Tiba-tiba keduanya sama-sama
sentakkan kaki dan melayang di udara. Tanjung Bagus melebarkan kedua tangannya
dengan telapak terbuka ke depan, Badai Kelabu meletakkan telapak tangannya yang
kanan ke bawah ketiak dengan jari mengarah ke bawah, sedangkan tangan kirinya
maju ke depan siap menangkis pukulan lawan.
Tubuh mereka saling berbenturan di udara. Tangan kiri Badai Kelabu
mengibaskan pukulan tangan kanan Tanjung Bagus, tapi tangan kiri Tanjung Bagus
berhasil menghantam dada kanan Badai Kelabu, dan tangan kanan Badai Kelabu
masuk ke tengah dada Tanjung Bagus.
Buhgg...! Behgg...!
Tubuh mereka saling dorong,
sama-sama terpental ke belakang. Lalu keduanya sama-sama mendaratkan kaki di tanah
dengan kaki merendah,
dan badan sama-sama sedikit
melengkung ke depan.
Badai Kelabu tampak memucat,
demikian pula Tanjung Bagus. Keduanya sama-sama tak bicara dalam tiga helaan
napas. Tapi mata mereka saling beradu pandang tanpa berkedip. Kejap berikut
terlihat ada darah keluar dari bibir Tanjung Bagus. Meleleh melalui sudut
bibir. Sesaat kemudian keluar juga darah dari mulut Badai Kelabu, mengalir
lewat pertengahan mulutnya.
"Cuih...!" Badai
Kelabu meludahkan darah ke samping.
"Cuih...!" Tanjung
Bagus pun meludahkan darah ke depan.
Badai Kelabu menyapu bibirnya
dengan lengan baju, Tanjung Bagus menyapu bibirnya dengan kain jubah. Beberapa
saat setelah mereka sama-sama diam mematung dan saling mengumpulkan tenaga
baru, Tanjung Bagus cepat serukan kata,
"Menyerahlah, Badai
Kelabu! Serahkan peta itu padaku sebelum kuputuskan untuk
mengakhiri riwayat hidupmu!"
"Jangan lagi bicara soal
peta! Sudah kukatakan, aku tak menyimpan peta itu! Tapi kalau kau berkeras hati
untuk mencabut nyawaku, mari kita tentukan siapa yang lebih dulu tercabut
nyawanya!"
"Manusia keras
kepala!" geram Tanjung Bagus, kemudian kedua tangannya cepat bergerak dari
samping kanan-kiri ke depan dan menyentak kuat. Wuuttt...!
Pukulan tenaga dalam terlepas
dari kedua tangan yang saling berhimpit pergelangannya itu. Pukulan tenaga
dalam itu berwarna kuning dan berasap tipis. Sasarannya tubuh Badai Kelabu.
Maka dengan cepat Badai Kelabu
sentakkan kaki,
tubuhnya melayang ke atas
melewati batas gerakan sinar kuning tingginya. Dari atas Badai Kelabu sentakkan
dua jarinya dan meluncurlah sinar merah ke arah Tanjung Bagus. Wuusss...!
Tanjung Bagus hanya miringkan
badan ke samping dalam sikap kedua kaki merapat, dan sinar merah lewat di
depannya, menghantam gugusan batu di kejauhan sana. Blarr...! Gugusan batu itu
pecah. Sementara sinar kuning
dari Tanjung Bagus menghantam sebatang pohon berukuran satu pelukan manusia dewasa. Pohon
itu tumbang dalam keadaan patah tak beraturan. Brukkk...!
Tetapi di luar dugaan, telapak
kiri Badai Kelabu bergerak cepat pada saat Tanjung Bagus berkelit ke samping
dengan merapatkan kaki tadi. Sebuah pukulan tenaga dalam tanpa sinar melesat
dan menghantam pinggang Tanjung Bagus. Buhggg...!
Tubuh Tanjung Bagus tersentak
naik dan oleng ke samping, lalu jatuh berguling-guling bagai mendapat dorongan
angin besar. Sampai di bawah sebuah pohon, Tanjung Bagus berdiri dengan satu
lutut dan ia memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Carilah peta itu ke
neraka, Banci kurap! Hiaaat...!" Badai Kelabu kembali melepaskan tenaga dalamnya melalui dua jari yang
disentakkan ke depan dalam posisi tangan tengadah ke atas. Dari jari itu
kembali keluar sinar merah bagaikan lidi panjang.
Zraaaat...!
Tanjung Bagus dalam keadaan
lemah dan tak bisa bergerak cepat. Bahkan ketika ia mau bergerak menghindar,
lututnya terpeleset dan ia jatuh bertumpu tangan di tanah. Saat
itu, sinar merah telah mendekat dan sangat dekat.
Tapi tiba-tiba, wesss...! Sesosok bayangan
berjubah hitam melesat dan
mengangkat tubuh Tanjung Bagus. Sinar merah itu akhirnya mengenai batang pohon,
dan pohon itu pun pecah. Blarrr...! Sedangkan Tanjung Bagus tahu-tahu sudah
berada di gugusan tanah yang lebih tinggi letaknya dari tempat Badai Kelabu
berdiri.
Seorang nenek keriput sudah
berdiri di samping Tanjung Bagus. Orang berusia sekitar enam puluh tahun itu
mengenakan jubah hitam dengan pakaian dalam dan celana berwarna putih kusam.
Rambut putihnya digulung kecil di tengah kepala, sisanya dibiarkan terurai
sebatas punggung. la menggenggam tongkat berujung lengkung mirip tanda tanya.
Tongkat itu berwarna hitam yang ukurannya kurang dari satu genggaman tangan. Mungkin hanya separo genggaman.
Badai Kelabu
mengenali nenek kurus
itu, karenanya dia segera menyapa dengan suara lantang.
"Kau ingin membela
muridmu juga, Nini Pasung
Jagat?!"
"Seorang Guru sudah
selayaknya menyelamatkan muridnya!" kata Nini Pasung Jagat dengan suara
tuanya yang kecil melengking itu.
"Jika kau ingin
selamatkan muridmu, cepatlah bawa pulang si Banci rapuh itu!"
"Hi hi hi hi...! Membawa
pulang adalah hal yang mudah, Badai Kelabu. Tapi kulihat dia belum dapatkan peta itu darimu!"
"O, jadi kau yang suruh
dia merebut peta dariku?" "Aku membutuhkan peta sebagai penunjuk
jalan
menuju gua itu, di mana
terdapat Kolam Sabda Dewa! Hi
hihi...! Kurasa bukan
hanya aku yang membutuhkan Kolam Sabda
Dewa, tapi murid
banciku ini juga
membutuhkannya, untuk mengubah nasibnya yang enggan menjadi laki-laki. Dia
ingin menjadi wanita sejati! Hi hi hi...!"
Kasak-kusuk di balik semak
kembali terdengar, yaitu bisikan Pendekar Mabuk dengan Dewa Racun.
"Rupanya perempuan cantik itu banci?! Dia seorang lelaki?!"
"Kkaau... kau... tertipu,
Suto! Kita berdua tertipu. He he...!"
"Ssst...!" Pendekar
Mabuk mengingatkan supaya tawa Dewa Racun diredam agar suara mereka tidak
terdengar.
"Apakah kau pernah dengar
Kolam Sabda Dewa, Dewa Racun?"
"Belum pernah! Ak... ak...
aku tak tahu apa kehebatan Kolam Sabda Dewa itu!"
"Pasti kolam yang sangat
penting dan punya nilai tinggi. Jika tidak, tak mungkin Tanjung Bagus dan
gurunya mempertaruhkan nyawa untuk merebut peta dari tangan Badai Kelabu!"
"Dan pas... pas...
pas...! "Pasar?!"
"Pasti! Dan pasti Badai
Kelabu mengetahui apa kehebatan kolam tersebut, Suto! Jadi, nanti kamu tanyakan
sendiri saja kepadanya!"
"Ya. Tapi aku tak sabar
menunggu pertarungan mereka yang tiada habisnya. Aku harus cepat menemui
gurunya Badai Kelabu untuk melakukan pengobatan, lalu kita kembali ke Pulau
Beliung
sebelum Hantu Laut mengamuk di
sana dengan
Pusaka Tombak Maut di
tangannya! Aku harus membantu
Badai Kelabu agar
cepat selesai
urusannya...."
"Ssst...! Jang... jang...
jang...."
"Jangkrik?!"
"Jangan! Maksudku...
jang... jangan dulu bertindak. Kita nanti jadi punya urusan dengan Nini Pasung
Jagat itu! Biarkan Badai Kelabu menyelesaikan urusannya sendiri. Kalau memang
dia terdesak, bolehlah kita kasih ban... ban... ban...."
"Bantai?"
"Bantuan!" sentak
Dewan Racun dengan gemas dan bersuara lirih.
"Menurutku Nini Pasung
Jagat itu tidak seimbang jika melawan Badai Kelabu. Perempuan tua itu berilmu
tinggi. Dari gerakannya menyambut Tanjung Bagus saja sudah terlihat dia berilmu
tinggi. Badai Kelabu bisa mati di tangannya. Aku harus segera
menolongnya!"
"Ya. Tapi lakukanlah
secara sem... sem... "Semut?"
"Sembunyi-sembunyi!"
geram Dewa Racun dengan kegagapannya sendiri. "Tap... tapi... lihatlah, di
atas pohon sana ada seseorang yang mengintai mereka!"
"O, ya! Aku melihatnya! Tapi... perempuan berpakaian merah di atas pohon
itu memihak siapa? Badai Kelabu atau Tanjung Bagus?"
*
* *
2
NlNI Pasung Jagat segera turun
dari tempat yang tinggi itu. Gerakan turunnya bersalto satu kali. Jubahnya berkelebat bagaikan hembusan angin gelap. Ketika ia
mendaratkan kakinya di tanah, jubahnya masih bergerak melambai turun bagaikan
sayap seekor garuda. la berdiri dengan tegak, sambil tetap berpegang pada
tongkat melengkung setinggi
telinganya.
Badai Kelabu pasang kuda-kuda
dengan penuh waspada. Tangan kanannya sudah terangkat di atas kepala, telapak
tangannya terbuka menghadap ke depan, tangan kirinya sedikit terlipat di depan
dada, sebagai persiapan menangkis serangan mendadak dari depan.
"Hi hi hi hi...,"
Nini Pasung Jagat tertawakan gaya siaga dari lawannya. "Untuk apa kamu
bersiap menggunakan kuda-kuda seperti itu, Badai Kelabu? Apakah kamu pikir kamu
bisa mengalahkan diriku? Apakah kamu pikir
kamu bisa mematahkan seranganku?"
"Majulah kalau kau ingin
mencoba ilmuku, Nini
Pasung Jagat!"
"Hi hi hi hi...! Gurumu
saja tunduk di depanku, apalagi kamu yang masih kemarin sore, Badai
Kelabu!"
"Omong kosong! Guruku tak
pernah berhadapan denganmu! Kau selalu lari terbirit-birit jika melihat
guruku!" ketus Badai Kelabu.
"Kalau perlu,
panggillah gurumu! Suruh dia menghadapiku sekarang juga! Kutunggu
dia di sini!"
"Cukup aku yang
menghadapimu, Nenek peot!"
Nini Pasung Jagat menggeram,
menahan amarah dikatakan sebagai
nenek peot. Tangannya menggenggam tongkat dengan
kuat-kuat. Giginya yang
sebagian ompong bagian depan
itu menggeletak.
Tiba-tiba rumput di bawah
telapak kakinya itu bergerak-gerak.
Warnanya berubah jadi kuning kecoklatan, lalu coklat tua dan
akhirnya kering dalam keadaan hitam. Asap mengepul dari telapak kaki Nini
Pasung Jagat, itu menandakan kemarahannya
terpendam kuat-kuat hingga tenaga
dalamnya tersalur lewat kaki dan membakar rumput yang diinjaknya. Jika
tenaga dalam itu disentakkan ke depan untuk memukul Badai Kelabu, belum tentu
Badai Kelabu bisa mengatasinya. Kelihatannya tenaga dalam itu muncul dari
ilmu yang cukup tinggi. Badai Kelabu sendiri sempat merasa gentar sedikit, tapi
cepat-cepat ia buang kegentaran hatinya.
"Badai Kelabu!"
geram Nini Pasung Jagat. "Aku merasa sayang jika harus melukai tubuhmu.
Kau perempuan yang cantik. Jadi, alangkah sayangnya jika kecantikan itu harus
kulukai. Ada baiknya kita berdamai saja. Kutukar peta Kolam Sabda Dewa itu
dengan sekotak perhiasan masa mudaku dulu!"
"Aku tidak butuh
perhiasan lagi! Aku sudah cukup banyak mempunyai perhiasan, Nini!"
"Bagaimana jika kutukar
peta itu dengan jurus
'Rembulan Berdarah'?! Jurus ini belum pernah kuturunkan kepada murid siapa pun
juga, karena merupakan jurus andalan yang paling berbahaya! Kau tak akan rugi
menukar peta Kolam Sabda Dewa dengan jurus 'Rembulan Berdarah'!"
"Aku tidak butuh jurus
murahanmu itu, Nenek
Peot!"
"Laknat kau!" sentak
Nini Pasung Jagat, hilang sudah
kesabarannya. Maka, dengan cepat ia sentakkan kakinya, dan tubuhnya
melayang terbang ke arah Badai Kelabu. Tongkatnya dikibaskan bagai ingin
menggaet leher lawannya. Tapi Badai Kelabu sudah siap menghindar atau
menangkis. Karena ia tahu tongkat itu bukan sembarang tongkat, maka Badai
Kelabu pun segera sentakkan kaki dan melompat ke arah samping.
Wuusss...! Tongkat itu menebas
tempat kosong.
Tapi angin tebasannya cukup
besar, hingga tubuh Badai Kelabu tersentak mundur tiga langkah dari tempatnya
berdiri.
Nini Pasung Jagat bergerak
memutar seperti orang mabuk. Cepat sekali gerakan tubuhnya memutar, hingga
jubahnya mengembang mekar mirip bunga matahari. Tongkatnya direntangkan siap
menyabet apa saja yang didekatinya.
Badai Kelabu cemas akan
dirinya yang terdesak di antara dua pohon. Maka dengan cepat, Badai Kelabu
pijakkan kakinya di dua pohon yang bersebelahan itu. Dengan berpijak pada
pohon, ia bergerak naik dengan cepat bersama kedua kaki tetap masing- masing
berpijak pada pohon yang berbeda. Sedikit tinggi dari letak semula, Badai Kelabu cepat sentakkan kedua kaki dan
tubuhnya melayang terbang di udara dengan berjungkir balik dua kali, Wutt
wuttt...!
Pada saat itu tongkat Nini Pasung Jagat menyambar dua batang pohon
pinus yang tadi digunakan
panjatan kaki Badai Kelabu. Begitu tongkat itu mengenai batang
pohon, terdengarlah suara ledakan yang cukup keras dua kali.
Blarrr... blarrr...!
Bukan hanya Badai Kelabu yang
tersentak kaget, tapi Tanjung Bagus yang masih duduk dengan bersimpuh itu pun
terkejut sehingga latah bancinya keluar.
"Eh, Ala... kuda, kucing,
babi, kambing, marmut...! Aduh, kaget aku! Jantungku mau copot rasanya!"
suaranya melenggok manja. la pun terbatuk-batuk dan mengeluarkan darah lagi
dari mulutnya. Darah itu adalah darah akibat luka pukulan Badai Kelabu tadi.
Badai Kelabu benar-benar tak
diberi kesempatan
menyerang oleh Nini Pasung
Jagat. Setelah Badai Kelabu melompat dan berguling untuk menghindari rubuhnya
dua pohon itu, Nini Pasung Jagat cepat melancarkan pukulan jarak jauhnya dengan menggunakan telapak
tangan kirinya yang berwarna hitam separo itu. Wusss...!
"Modar kau, Bocah
laknat!" teriak Nini Pasung
Jagat dengan murka.
Pukulan itu berubah-ubah wujudnya. Kadang seperti gulungan asap hitam,
kadang menyala merah seperti bara. Sasarannya adalah kepala Badai Kelabu. Gerakannya begitu
cepat, bahkan mengikuti ke mana pun perginya Badai Kelabu.
Perempuan muda itu kewalahan,
berjumpalitan ke sana-sini, tapi ia masih tetap dikejar oleh gumpalan asap yang
berubah-ubah bentuk itu. Kadang Badai Kelabu menghindari dengan sentakan kaki
yang membuat tubuhnya melenting di udara. Tapi gumpalan asap itu ikut melesat naik
memburu tubuh Badai Kelabu.
"Hi hi hi...! Tak akan
bisa kau menghindari jurus
'Rembulan Berdarah', Bocah
laknat! Itulah jurus yang akan
kuturunkan padamu, tapi kamu menyepelekannya! Dan, ini satu
lagi...! Hiaaat...!"
Wuussss....!
Kini dua gulungan asap hitam
yang sering berubah menjadi bara api mengejar Badai Kelabu. Gerakannya begitu
cepat, sehingga Badai Kelabu merunduk, menggeliat ke samping, melompat dan
bergerak apa saja untuk menghindari serangan dua gulungan asap tersebut. Bahkan
sampai Badai Kelabu berguling- guling di tanah, kedua gulungan asap itu masih
terus mengejarnya dari dua arah.
Kejap berikutnya Badai kelabu
sentakkan kaki dan
melesat tinggi. Tapi dari arah
bawah ia dikejar gulungan asap pertama, dari arah belakang ia dihampiri
gulungan bara kedua. Badai Kelabu benar- benar dalam bahaya. la sentakkan tangannya, mengirimkan pukulan bertenaga dalam yang memancarkan warna biru. Namun warna
sinar biru itu padam seketika begitu membentur gulungan asap. Dan ia masih
diburu oleh dua gulungan asap sebesar kepala manusia dewasa.
Blarrr…! Blarrr...!
Tiba-tiba dua gulungan asap
itu pecah dan menimbulkan ledakan yang mengguncang bumi. Pohon-pohon bergetar,
daunnya berguguran. Tubuh Badai Kelabu pun terhempas bagai dilemparkan oleh
tangan raksasa. Hampir saja ia membentur gugusan batu jika tidak segera
berkelit lalu berguling di rerumputan.
Di atas tanah tinggi, Tanjung
Bagus tersentak. Duduknya sampai terlonjak ke atas dan ia memekik latah.
"Kambing, kucing, kodok,
jangkrik, babi ngepet...! Suara apa itu tadi, ya...?!" ia menjadi tegang
dan ketakutan. Buru-buru ia menelungkupkan diri dengan kepala sedikit tersumbul
mencari tahu penyebab suara ledakan yang menggelegar itu.
Sedangkan Nini Pasung Jagat
terkesiap beberapa saat lamanya, ia terbungkam mulutnya dan berhenti bergerak
bagaikan patung. Tapi matanya memandang kepulan asap yang membubung tinggi
akibat dua ledakan jurus 'Rembulan Berdarah'nya itu Dalam hatinya ia membatin,
"Keparat mana yang
bisa meledakkan juru
'Rembulan Berdarah'-ku?! Baru
sekarang kulihat ada orang mematahkan jurus andalanku itu! Monyet
kering!' rutuknya tiada
berkesudahan.
Badai Kelabu
terengah-engah.
Terlalu letih tubuhnya bergerak menguras tenaga saat menghindari maut tadi. la masih terkulai
di bawah pohon. Ia tak tahu, Nini Pasung Jagat telah bersiap menghujamkan ujung
tongkat yang tumpul itu, namun tentunya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang
cukup tinggi.
Sebelum nenek keriput dan kurus itu menghujamkan tongkatnya, tiba-tiba
sebuah sinar hijau bening melesat ke arahnya. Wuttt..! Cepat-cepat Nini Pasung
Jagat hadangkan telapak tangan kirinya, dan sinar hijau bening itu menghantam
telapak tangan kiri yang belang separo itu. Blabbb...! Letupan teredam
mempunyai sentakan tenaga cukup kuat. Tubuh Nini Pasung Jagat terhempas ke
belakang, namun hanya terhuyung-huyung dan tak sempat jatuh. la kembali bisa
berdiri tegak, memandang ke arah kiriman sinar hijau tadi. "Babi kurap!
Kau ikut campur juga rupanya?!" geram Nini Pasung Jagat kepada perempuan
yang baru saja turun dari pohon.
Perempuan muda berusia sebaya
dengan Badai Kelabu itu
mengenakan rompi ketat
tertutup depannya berwarna merah tua, celananya hitam bersabuk kuning
kehitam-hitaman. la punya wajah lonjong, berambut panjang dikepang satu,
melilit di lehernya. Ia mengenakan ikat kepala dari tali putih halus,
sepertinya terbuat dari benang-benang sutera, ia menyandang pedang yang
panjangnya setengah depa, disematkan di punggung. Tali pedang yang coklat itu melintang di dadanya yang sekal. Perempuan itu adalah orang yang
dilihat Pendekar Mabuk dan Dewa Racun tadi.
Melihat kemunculan perempuan berambut
kepang, Nini Pasung Jagat yang
sudah mengenal siapa perempuan itu menjadi membatin sendiri dalam hatinya.
"Pukulan sinar hijaunya
tidak seberapa. Tapi sehebat itukah dia? Begitu tinggi ilmu yang dimiliki jika
benar dia yang telah menghancurkan jurus
'Rembulan Berdarah'-ku tadi?!
Mungkinkah dia mempunyai
kekuatan yang begitu hebat hingga bisa mematahkan jurusku? Tak disangka kalau dia ternyata mampu menandingi jurus 'Rembulan Berdarah', padahal
belum lama ini Tanjung Bagus pernah menghajarnya sampai hampir mati, walaupun
Tanjung Bagus sendiri juga hampir mati. Tapi, jika ia punya ilmu tinggi yang
bisa menghancurkan jurus
'Rembulan Berdarah'-ku tadi,
mestinya ia dengan mudah bisa membunuh Tanjung Bagus!"
Melihat kemunculan temannya,
Badai Kelabu merasa sedikit tenang. la cepat ucapkan kata,
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Melati Sewu! Kalau gumpalan asap tadi tidak kau hancurkan,
matilah aku. Sudah habis
tenagaku untuk
menghindarinya!"
"Bukan aku
pelakunya," jawab Melati Sewu dengan berbisik, lalu ia menolong Badai
Kelabu untuk bangkit. la kembali berbisik,
"Justru aku sedang
mencari siapa orang yang bisa menghancurkan jurus maut Nini Pasung Jagat
itu?"
"Kalau begitu...,"
Badai Kelabu tidak melanjutkan kata-katanya. la segera membatin, "Pasti
Pendekar
Mabuk yang melakukannya!
Hampir aku lupa kalau
aku membawa Suto dan Dewa
Racun. Tapi, sebaiknya biarlah
mereka berada di
tempatnya dulu.
Kubereskan dulu si tua peot ini dengan dibantu kekuatan Melati Sewu!"
Segera terdengar kata-kata
lepas dari Nini Pasung
Jagat,
"Melati Sewu! Kau datang
ke pertarungan ini untuk serahkan peta Kolam Sabda Dewa atau untuk serahkan
nyawa?!"
Tapi Melati Sewu berbisik
kepada Badai Kelabu, "Guru semakin parah! Apakah kau mendapatkan Batu
Galih Bumi dari tangan Ratu Pekat? Aku hampir saja menyusulmu ke pulau Beliung,
tapi terhenti di sini dan melihatmu bertarung dengan si tua edan itu!"
"Batu Galih Bumi tidak
kudapatkan, Melati Sewu! Tapi aku membawa seorang tabib muda yang ilmunya cukup
tinggi."
"Kalau begitu,
cepat kita bawa dia ke pesanggrahan biar Guru segera
dapat tertolong!"
"Ya. Tapi bereskan dulu
urusan ini, baru kita bawa dia ke sana!"
Nini Pasung Jagat membentak
dengan suara keras, "Melati Sewu! Jawab pertanyaanku!"
Tapi Melati Sewu sengaja
berbisik kepada Badai Kelabu supaya
kemarahan Nini Pasung Jagat menyerang diri sendiri.
"Kau istirahatlah, biar
aku yang maju! Tapi tetap waspada!"
"Baik! Aku akan
membantumu dari belakang!" Merasa disepelekan, Nini Pasung Jagat cepat
sentakkan tangan kirinya
dengan jari berbentuk cakar.
Wuttt...! Sebuah
pukulan tanpa wujud dilepaskan untuk menegur sikap kedua
perempuan
itu yang dianggap meremehkan
dirinya. Tetapi Melati
Sewu sudah siaga, Dengan cepat
ia pun sentakkan tangan kanan dan pukulan tanpa wujud itu saling berbenturan di
pertengahan jarak mereka.
Duhbb...! Wusss...!
Asap mengepul naik, lalu
hilang terbawa angin. "Keparat kau, Melati Sewu!" geram Nini Pasung
Jagat. "Jika kau memiliki
peta itu, serahkan padaku! Jika tidak, menyingkirlah biar tidak menjadi korban
sia-sia dalam pertarunganku ini!"
"Aku tak punya peta dan
tak punya niat untuk menyingkir!" kata Melati Sewu dengan lantang dan
berani.
"Kalau begitu,
terpaksa aku menghancurkan tubuhmu yang ramping keropos
itu! Hiaaat...!"
Melati Sewu sentakkah
tongkatnya. Nyala api biru melesat bagai bola kecil yang menerjang cepat. Tapi
Melati Sewu tak kalah sigap. la kibaskan kepalanya dan kepang rambut pun lepas
berkelebat menyabet bola biru itu. Tarr...!
Kepang itu melecut kuat, bola
biru dihantamnya dan hancur dalam kepulan asap biru. Kepang rambut itu segera
ditarik kembali dan bergerak melilit ke leher lagi dalam satu sentakan kepala
kecil. Wuttt... slleb!
"Hiaaaat...!"
tiba-tiba terdengar pekikan keras melayang melewati kepala Nini
Pasung Jagat. Rupanya Tanjung Bagus tak sabar melihat lagak Melati Sewu
yang beberapa waktu lalu hampir merenggut nyawanya dalam satu pertarungan di
tepi pantai.
Tanjung Bagus telah mencabut
dua trisulanya. Satu dimainkan dalam keadaan berputar, satu lagi cepat
ditusukkan ke dada Melati Sewu. Tapi dengan
cekatan Melati Sewu miringkan
badan sehingga
tusukan itu mengenai tempat
kosong. Seketika itu juga tangan Melati Sewu menghantam dalam gerakan
menyamping. Buhggg...!
Cukup kuat pukulan menyamping
dari Melati
Sewu. Kena telak di bawah
pundak kiri Tanjung Bagus. Pukulan itu membuat Tanjung Bagus memekik tertahan
dengan langkah tersentak mundur dua tindak. Tapi ia cepat tegakkan kepala dan
kedua trisulanya diadukan di atas kepala. Trangng...! Perpaduan dua
trisula itu menimbulkan loncatan api biru yang segera menyambar Melati Sewu.
"Hiaaat...!"
Melati Sewu mencabut pedang
sambil bersalto ke belakang menghindari kilatan cahaya biru itu. Cahaya
tersebut mengenai tempat kosong. Hanya membakar ilalang di belakang Melati
Sewu. Sedangkan Melati Sewu sendiri cepat sentakkan kakinya dan tubuhnya
melayang dengan pedang bergerigi di kedua sisinya itu ditebaskan ke arah
Tanjung Bagus. Cepat-cepat Tanjung Bagus berlutut satu kaki sambil menyilangkan trisulanya di atas kepala
untuk menahan tebasan pedang bergerigi. Trangng...!
Cahaya api memercik akibat
perpaduan pedang bergerigi dan trisula tersebut. Mereka sama-sama tidak peduli.
Mereka sama-sama jauhkan diri untuk cari peluang menyerang yang lebih baik
lagi.
Tapi pada saat Melati Sewu
pijakkan kakinya ke bumi, Nini Pasung Jagat kirimkan pukulan jurus
'Rembulan Berdarah' lagi ke
arah Melati Sewu
Wusss...!
Gumpalan asap hitam melesat
berganti-ganti wujud. Badai Kelabu berseru dengan cemas.
"Awas! Dia gunakan
pukulan itu lagi...!"
Melati Sewu cepat sentakkan
kaki dan berjungkir balik di udara. Gumpalan itu mengejarnya. Tapi tiba- tiba
meledak di pertengahan jarak. Blarrr...!
"E, ala... kadal, babi,
kambing, kucing, singa, semut...!" terlepas serapah latah dari mulut banci
Tanjung Bagus. Ledakan itu
sangat mengagetkan dan mengguncangkan bumi.
Melati Sewu terpental akibat
hentakan daya ledak tadi. la jatuh dengan kepala membentur tepian batu. Kepala
itu terluka dan lecet menimbulkan darah yang mengalir perlahan di keningnya.
Tapi ia cepat sigap berdiri dan siap menghadapi serangan lawan.
Saat itulah muncul Pendekar
Mabuk dengan bumbung tuak yang ada di punggungnya. Hanya Dewa Racun yang tahu,
bahwa ledakan yang mematahkan jurus 'Rembulan Berdarah' tadi adalah karena ulah
Pendekar Mabuk yang menggunakan jurus 'Jari Guntur'. Satu sentilan mempunyai
tenaga dahsyat yang mampu memecahkan pukulan 'Rembulan Berdarah' itu.
Melihat kemunculan Pendekar
Mabuk berwajah tampan itu, Tanjung Bagus jadi tertegun dengan mata
berbinar-binar. Nini Pasung Jagat terperangah heran, demikian pula Melati Sewu.
Mereka sama-sama belum pernah bertemu pendekar setampan itu dengan daya tarik yang
luar biasa menggetarkan hati.
Melati Sewu mundur sampai
mendekati Badai
Kelabu dan berbisik,
"Siapa dia?"
"Tabib muda yang
kusebutkan tadi," bisik Badai
Kelabu.
"Luar biasa
tampannya!"
"Lupakan hasratmu jika
kau ingin memilikinya. Dia pemuda yang dingin terhadap perempuan! Tak punya
minat bercinta sedikit pun!"
"Akan kucoba untuk
melupakannya!" bisik Melati
Sewu dengan masih memegang
pedang bergeriginya.
Mata Tanjung Bagus semakin berbinar-binar kegirangan. Tak
mau ia kedipkan mata barang
sekejap saja. Bahkan kini ia
masukkan trisulanya dan mendekati pendekar tampan itu sambil jalannya
melenggok-lenggok memancing daya tarik lawan jenisnya.
"Tanjung Bagus!" sentak Nini
Pasung Jagat. "Jangan dekati dia!"
"Aduh, Nini... jahat
amat! Aku cuma mau dekat ke situ kok!" sambil Tanjung Bagus bergaya manja.
"Kurasa dia yang
mematahkan jurus 'Rembulan
Berdarah'-ku! Berarti dia
musuh kita, Tanjung Bagus!" "Musuh ya tinggal musuh. Kalau cuma ingin
dekat
tak apalah!"
"Mundur kau!" bentak
Nini Pasung Jagat. Kali ini diiringi mata membelalak galak.
Tanjung Bagus terpaksa mundur
dengan wajah kecewa, menggerutu dengan bibir mencong sana-sini. "Uuh...!
Payah! Dasar orang tua pikun! Tak bisa bedakan mana musuh mana kekasih! Uuh...!
Benci
aku, benci aku...!"
Nini Pasung Jagat melirik
muridnya, sang murid tak berani
menggerutu lagi, tapi wajahnya tetap cemberut. Kemudian Nini
Pasung Jagat tatapkan mata kepada Pendekar Mabuk dan ia mulai angkat bicara
dengan nada ketus tak bersahabat.
"Apa maksudmu mematahkan
jurus Rembulan
Berdarah'-ku?!"
"Sekadar mengingatkan kau,
bahwa jurus berbahaya itu tak
pantas kau pakai untuk menyerang kedua perempuan itu!" jawab Suto Sinting,
lalu ia ambil bumbung tuak, dan menenggak seenaknya di depan Nini Pasung Jagat.
Beberapa teguk tuak cukup sudah sebagai pembasah tenggorokannya.
"Kau telah campur tangan
dalam urusanku!" Nini
Pasung Jagat mendekat dengan
langkahnya yang
masih tegas. Lalu, ia sipitkan
mata dan berkata dalam geram,
"Sekali lagi kau ikut
campur dalam urusanku, tak segan
aku merobek-robek wajah tampanmu! Mengerti?!"
"Aku kurang
mengerti," jawab Pendekar Mabuk sambil tersenyum-senyum.
"Manusia bodoh!"
"Bagaimana kau bisa
merobek wajahku kalau menamparku saja tak bisa kena?!"
"Siapa bilang! Nih,
rasakan...! Hiih...!"
Plakkk...! Keras sekali
tamparan itu mendarat di pipi Pendekar Mabuk. Hampir saja Badai Kelabu
sentakkan kaki untuk menyerang balas kepada Nini Pasung Jagat. Tapi melihat
Pendekar Mabuk hanya tersenyum tenang, niat itu dibatalkan.
"Tamparanmu terlalu ringan,
Nini! Mana bisa menghancurkan
wajahku?" kata Suto bagai memancing kemarahan nenek tua itu.
"Kurang ajar! Kalau kau
ingin yang lebih keras, terimalah pukulan 'Elang Rakus' ini! Hihh...!"
Nini Pasung Jagat sodokkan
tongkatnya dari bawah ke atas. Dagu Suto terkena telak. Keras sekali
sodokannya. Wajah Pendekar Mabuk sempat tersentak ke belakang.
Desss...!
"Aauh...!"
Bukan Pendekar Mabuk yang
memekik kesakitan, tapi Tanjung Bagus yang ada di belakang Nini Pasung Jagat.
Badai Kelabu dan Melati Sewu memandang heran melihat kepala Tanjung Bagus ikut
tersentak ke belakang. Mereka segera lupakan hal itu, karena Tanjung Bagus punya kebiasaan latah. Tapi seringainya menandakan seringai
kesakitan yang sungguh-sungguh. Aneh juga, jika gerakan itu hanya
karena latah, tak perlu
Tanjung Bagus menyeringai kesakitan, juga tak perlu mulutnya mengeluarkan darah
kental.
Pendekar Mabuk tetap
tersenyum kalem
memandangi Nini Pasung Jagat. Yang dipandangi heran juga dalam hatinya.
Pendekar Mabuk segera berkata,
"Mengapa tak kau gunakan
pukulan 'Rembulan Berdarah'?! Mungkin pukulan 'Rembulan Berdarah' bisa
membuatku bergeser dua tindak!"
"Manusia sombong! Untuk
membuatmu bergeser dua tindak, tak perlu menggunakan jurus 'Rembulan Berdarah'.
Cukup dengan menggunakan pukulan 'Iblis Menjilat Karang', kau akan terlempar
mundur lima tombak lebih jauhnya!"
Pendekar Mabuk tertawa pendek. "Pukulan macam apa itu?
'Iblis Menjilat Karang', jelas itu pukulan iblis kurang kerjaan!"
Merasa diremehkan, Nini Pasung
Jagat segera sentakkan tangan kirinya dengan gerakan cepat. Pukulan yang
menggunakan punggung pergelangan tangan itu menghantam telak dada Pendekar
Mabuk. Buhkkk...!
"Heggh...!"
Tanjung Bagus tersentak dengan
pekik tertahan dan mata mendelik. Tubuhnya terlempar ke belakang bagaikan
terbang dan jatuh dalam jarak lima tombak lebih, punggungnya membentur pohon
besar. Blugg...!
Nini Pasung Jagat terkejut.
Suto yang dipukul tapi muridnya sendiri yang terlempar jauh dan mulutnya
mengeluarkan asap. Berarti pukulan 'Iblis Menjilat Karang' diderita oleh
Tanjung Bagus. Nini Pasung Jagat
tak tahu bahwa
Pendekar Mabuk telah menggunakan ilmu 'Alih Raga' dia yang
dipukul, orang
lain yang merasakannya. Rasa
sakit itu dialihkan Pendekar Mabuk ke raga Tanjung Bagus, pada saat Tanjung
Bagus beradu pandang dengannya. Jika bukan murid si Gila Tuak, tak mungkin Suto
memiliki ilmu sehebat itu.
Nini Pasung Jagat segera
mundur dua tindak sambil tetap pandangi Pendekar Mabuk dengan dahi berkerut
tajam.
"Jahanam kau! Ternyata
kau memiliki ilmu 'Alih
Raga'! Setahuku hanya satu
orang yang memiliki ilmu
'Alih Raga', yaitu si Gila
Tuak dari tanah Jawa!" "Aku muridnya! Pendekar Mabuk julukanku!"
"Muridnya...?! Muridnya si Gila Tuak...?! Oh, tidak!
Aku tidak percaya! Tidak
percaya...!" sambil Nini Pasung Jagat menjauh dengan wajah tegang. la
hampiri Tanjung Bagus yang tak berdaya karena pukulan 'Iblis Menjilat Karang'
tadi, lalu ia panggul banci genit itu, dan ia pun segera lari sambi!
meninggalkan seruan,
"Aku tak percaya! Aku tak
percayaaaa...!"
Satu hal yang ada di dalam
otak Suto Sinting adalah sebuah pertanyaan, mengapa Nini Pasung Jagat tidak
percaya bahwa dia adalah murid si Gila Tuak.
*
* *
3
MELATI Sewu pasang lagak judes
di depan
Pendekar Mabuk. Hal itu ia
lakukan supaya tak ada yang tahu bahwa hatinya mengagumi ketampanan Pendekar
Mabuk. Juga ia tak ingin Badai Kelabu mengetahui bahwa ia tertarik dengan
Pendekar
Mabuk yang
sering bersikap acuh tak
acuh kepadanya itu.
"Aku sangsi,
apakah anak muda ini bisa menyembuhkan penyakit Guru atau
hanya mempercepat kematian Guru!" katanya kepada Badai Kelabu.
Sengaja suaranya diperkeras supaya Suto mendengarnya. Tapi Suto Sinting
berlagak tidak mendengar ucapan
itu. Dengan seenaknya ia menenggak tuak
dari dalam bumbung bambunya, setelah itu hembuskan napas lega dengan ringan.
"Apakah kau belum melihat
kehebatannya yang bisa mematahkan jurus maut Nini Pasung Jagat tadi? Apakah kau
masih belum menyadari bahwa dia berilmu tinggi, hingga bisa mengalihkan rasa
sakit ke tubuh orang lain, seperti yang dialami Tanjung Bagus tadi?"
"Hanya itu yang kulihat.
Mungkin memang hanya itu kehebatan yang ada padanya! Selebihnya ia tak memiliki
ilmu apa-apa!"
"Jangan bicara begitu!
Kubawa dia kemari dengan bertaruh nyawa, Melati Sewu! Kau sama saja meremehkan
usahaku dalam mencari kesembuhan bagi Guru! Sepanjang perjalanan aku selalu
terancam bahaya. Jika tidak bersamanya, mungkin aku tak akan sampai di pulau
ini lagi, Melati Sewu!"
Akhirnya wanita berkepang
panjang itu angkat bahu. "Terserah apa katamu! Kalau memang kau yakin dia
bisa sembuhkan Guru, kita lihat saja nanti seperti apa kehebatannya."
"Badai Kelabu!" panggil Suto
dengan mata memandang
sekeliling.
"Apa nama buah
yang warnanya merah itu?"
"O, itu buah Malagasi!
Kalau kau lapar, jangan kau makan buah itu, Suto. Sebab buah itu beracun
ganas!"
Pendekar Mabuk memandangi
pohon mirip pohon palem yang mempunyai buah warna merah segar sebesar satu
genggaman tangan. Ada banyak buah di pohon itu, tapi menurut keterangan Badai
Kelabu, semua buah Malagasi mempunyai racun yang mematikan.
"Seorang perampok yang
tertangkap oleh guruku dipaksa makan buah Malagasi. Baru tiga gigitan perampok
itu tubuhnya jadi membiru semua, dan akhirnya ia mati tak lebih dari dua puluh
hitungan sejak ia makan buah Malagasi."
Suto mendekati pohon buah
Malagasi itu, lalu pangkal pergelangan tangannya menghentak pohon tersebut.
Dugg...! Cukup pelan sentakan itu, tapi membuat satu buah jatuh ke bumi dan
cepat ditangkap oleh tangan Pendekar Mabuk. Tapp...!
"Pendekar Mabuk, apa yang
ingin kau lakukan dengan buah itu?!"
"Aku ingin mencoba
memakannya. Tergiur hati ku untuk mencicipi kesegaran buah ini!"
"Jangan! Sudah kubilang
buah itu beracun ganas yang mematikan! Kami sering menggunakannya untuk
merendam senjata tajam kami!"
Tapi Pendekar Mabuk nekat.
Buah itu dicuci dengan tuaknya. Sedikit tuak sudah cukup untuk mencuci buah
tersebut. Badai Kelabu kebingungan mencegahnya. la hanya memandangi Suto, sama
halnya dengan Melati Sewu, juga hanya memandangi Pendekar Mabuk, tapi Melati
Sewu berbisik,
"Tabib bodoh begitu kau
bawa kemari! Dia belum bisa membedakan mana makanan yang beracun dan yang tidak
beracun! Mampuslah dia sebentar lagi...!"
"Suto...!" Badai
Kelabu ingin mencegahnya, tapi
ragu-ragu. Dan Suto dengan
santainya menggigit buah Malagasi, lalu mengunyahnya dengan suara krus,
krus...! Tampak nikmat sekali.
"Hmm...! Enak sekali.
Buah ini rasanya seperti jambu sukun! Manis dan segar!" kata Pendekar
Mabuk sambil mengunyah buah Malagasi.
Dalam kecemasan yang
mendebarkan jantung, Badai Kelabu mendapat bisikan dari Melati Sewu,
"Hitunglah sampai dua
puluh kali. Belum mencapai hitungan kelima belas, dia akan jatuh ke tanah dan
mati terkapar seperti perampok yang dulu itu!"
Karena Badai Kelabu dicekam
kecemasan yang membingungkan, maka Melati Sewu sendiri yang menghitung dengan
suara pelan,
"Satu, dua, tiga,
empat...."
Badai Kelabu
bergegas
mendekati Pendekar Mabuk
dan berkata, "Pendekar Mabuk, kumohon buang buah itu! Jangan teruskan
makan buah itu, Pendekar Mabuk! Aku sudah cukup lama tinggal di pulau ini, aku
tahu mana buah yang bisa dimakan dan yang tidak! Percayalah padaku, Pendekar
Mabuk! Badanmu akan menjadi biru dan kamu akan mati!"
"Nyatanya sudah lebih
dari lima gigitan, badanku tidak biru!"
Mata perempuan itu memandang
dengan dahi tetap berkerut menandakan kecemasannya yang tinggi. Tubuh Suto
diperhatikan. Tak satu pun bagian tubuh Suto yang tampak membiru karena racun.
Sementara itu, Melati Sewu masih menghitung
dengan jantung berdebar-debar,
"Tiga belas, empat belas,
lima belas, enam belas...."
Pendekar Mabuk berkata kepada
Badai Kelabu, "Kalau temanmu itu kurang percaya dan
meremehkan kesanggupanku, sebaiknya kita batalkan saja rencana kita
untuk menyembuhkan gurumu!"
"Tidak! Jangan begitu,
Pendekar Mabuk! Jangan hiraukan ucapan Melati Sewu tadi! Dia tidak tahu siapa
dirimu!"
"Mungkin sebentar lagi
dia akan tahu!"
"Ya. Tapi, kumohon
buanglah buah itu dan... dan...!"
ucapan Badai Kelabu terhenti setelah menyadari Pendekar Mabuk
hampir habis memakan buah itu. Tapi tak kelihatan diserang racun berbahaya yang
mematikan. Bahkan samar-samar terdengar suara Melati Sewu menghitung.
"Empat puluh empat, empat
puluh lima, empat puluh
enam...!"
Melati Sewu pun
berhenti menghitung. Lalu, ia membatin,
"Mestinya ia sudah mati
seperti perampok tempo hari. Tapi sampai hitungan keempat puluh enam dia belum
mati! Aneh?! Manusia apa dia itu sebenarnya? Malagasi dimakannya begitu saja!
Bahkan… oh, bahkan sekarang ia sudah menghabiskan buah itu?! Edan! Tak pernah
ada orang bisa tetap hidup setelah makan buah Malagasi! Hmmm... ya, ya. Aku
tahu sekarang. Dia sedang pamer ilmu kesaktiannya karena mendengar ucapanku tadi
meremehkan dirinya! Ya, ya... aku akui dia memang berilmu tinggi! Kalau
bukan orang berilmu tinggi tak mungkin bisa tetap hidup setelah makan buah
Malagasi!"
Sementara itu,
Suto segera
berdiri dengan santainya, Badai
Kelabu berbisik,
"Bagaimana kau bisa tetap hidup
setelah memakan habis buah beracun ganas itu?!"
"Sebelumnya kucuci dulu
dengan tuakku!" "O, pantaaas...!"
Pendekar Mabuk
tersenyum menang, Badai
Kelabu tertawa geli sendiri.
Namun mendadak mereka
dikejutkan dengan suara pekik yang tertahan. Suara itu datangnya dari Melati
Sewu. Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu cepat menghampiri ke balik gugusan batu
tempat Melati Sewu berada.
"Melati Sewu...?!"
pekik Badai Kelabu dengan suara kaget, karena pada saat itu ia melihat Melati
Sewu terbungkuk dengan satu kaki berlutut di tanah. Mulutnya mengeluarkan darah
kental. Di bagian dadanya, tampak kulit dada yang hangus membekas tangan dengan
lima jari. Jelas ia terkena pukulan tenaga dalam yang cukup tinggi.
"Siapa yang
menyerangmu, Melati Sewu?!
Siapa...?!" Badai Kelabu menjadi gusar. Serta-merta ia mencabut pedangnya.
Srett...! Ia melompat dengan lincahnya, hinggap di gugusan batu bertanah itu.
Matanya memandang liar sekeliling tempat itu.
Pendekar Mabuk segera menolong
tubuh Melati Sewu yang lemas dan tersengal-sengal napasnya itu. Tubuh tersebut
dibaringkan. Tapi Melati Sewu masih ingin berontak, tak mau dibaringkan.
Matanya masih bisa memandang dengan sayu. Ia berusaha bangkit dan tak mau
dibantu oleh tangan Pendekar Mabuk.
Cemas hati Suto saat itu,
karena ia bisa menduga apa yang terjadi setelah itu. Ia langkahkan kaki ke
belakang dua tindak. la biarkan Melati Sewu berdiri dengan berpegangan pada gugusan batu yang
menjulang tinggi itu.
"Aku... tak butuh
pertolonganmu!" katanya kepada Suto, tapi Pendekar Mabuk tidak merasa
tersinggung. la hanya biarkan saja apa yang dilakukan Melati Sewu. Darah
kembali tersontak dari mulutnya.
Pendekar Mabuk hanya membatin,
bahwa pukulan itu pasti pukulan berilmu tinggi dan mempunyai kadar racun yang
cukup berbahaya.
"Diam di situ, Melati!
Biar kucari penyerang gelapmu!" seru Badai Kelabu, lalu cepat ia memeriksa
keadaan sekeliling dengan gerakan cepat dan lincah.
Tiba-tiba tangan Pendekar
Mabuk berkelebat di depan dada Melati Sewu. Perempuan yang matanya makin sayu
itu masih sempat mengibaskan tangan, seakan ingin menepiskan tangan Pendekar
Mabuk. la pun masih sempat berkata,
"Tak perlu kau anggap
lemah aku! Aku masih mampu... membalas serangan lawanku...."
"Aku hanya menangkap anak
panah yang tadi hampir saja menembus dadamu!" kata Pendekar Mabuk sambil
menunjukkan anak panah yang sudah tergenggam di tangannya itu. Rupanya lantaran
ada gerakan kilat dari anak panah yang mau menembus dada Melati Sewu itulah,
maka tadi Suto berkelebat tangannya di depan dada perempuan itu, hanya untuk
menangkap gerakan anak panah tersebut.
Bahkan kali ini, ketika Suto
Sinting memandang sekeliling, datang lagi anak panah berbulu merah bagian
ekornya. Anak panah itu melesat dengan cepat, hampir tak bisa terlihat. Tapi
gerakan mata Suto menangkap kelebatan benda kecil tersebut. Cepat-cepat Suto
melompat di depan Melati Sewu yang sedang kerepotan mencabut pedangnya dari
punggung. Lompatan Pendekar Mabuk begitu cepat, dan Melati Sewu tak mengerti
apa yang dilakukan Pendekar Mabuk dalam gerakan melompat begitu. Tapi ia segera
melihat ada anak panah lagi di tangan Pendekar Mabuk yang sama pendek ukurannya
dengan anak panah
pertama, kira-kira hanya
berukuran dua jengkal.
Brukk...! Tiba-tiba Melati
Sewu jatuh bagaikan cucian basah. Pucat sekali wajahnya. Lemas sekali tubuhnya.
Dan telapak tangannya pun terasa dingin bagaikan es. Napasnya terhirup dengan
tipis, hampir tak terlihat gerakan dadanya dalam menghirup napas.
Pendekar Mabuk buru-buru
memaksa mulut Melati Sewu agar terbuka. Pada waktu itu, Badai Kelabu
datang sehabis memeriksa sekeliling dan mengatakan,
"Tak ada manusia di
sekeliling sini!"
"Lupakan manusia itu!
Bantu aku membuka mulut temanmu ini, biar kupaksakan dia meneguk tuakku.
Lukanya sangat parah dan berbahaya!"
Badai Kelabu
memaksa mulut Melati
Sewu terbuka. Pendekar Mabuk mengucurkan tuak dari bumbungnya dengan
perlahan-lahan. Beberapa teguk tuak berhasil ditelan Melati Sewu. Setelah itu,
Pendekar Mabuk kembali menutup bumbung tuaknya.
"Biarkan ia berbaring
dulu!" kata Pendekar Mabuk sambil melangkah dengan pelan, seakan sedang
memikirkan sesuatu. Badai Kelabu tak mengerti ada anak panah yang terselip di
tangan Pendekar Mabuk. la tidak memperhatikan ke sana. la juga tidak tahu bahwa
Suto saat itu sedang gelisah dan sengaja menjauhinya. Sampai di bawah sebuah
pohon, Suto berhenti. la berdiri dengan pundak dan lengan
bersandar di pohon itu.
Tangannya mempermainkan
kedua anak panah tersebut.
Pendekar Mabuk berbicara
pelan, "Dewa Racun turunlah!"
Tak ada jawaban, tak ada
gerakan. Pendekar
Mabuk agak jengkel. Kaki
kirinya menendang pelan batang pohon yang disandarinya. Dugg...! Tiba-tiba
pohon itu berguncang, sesuatu jatuh dari atas Suto.
Grusakkk...! Brukk...!
Dewa Racun
menyeringai memegangi
pinggangnya. la jatuh dalam keadaan terduduk. Tulangnya terasa sakit membentur
tanah keras. la jatuh tepat di depan Pendekar Mabuk. Dan Pendekar Mabuk hanya
diam saja, tetap tenang sambil memandang was-was ke arah gugusan batu tempat
Badai Kelabui merawat Melati Sewu.
Kedua anak panah yang berhasil
ditangkap Suto itu dilemparkan tepat jatuh di pangkuan Dewa Racun. Orang kerdil
berkepala botak di bagian tengahnya itu segera mengambil anak panah itu setelah
Pendekar Mabuk berkata,
"Simpanlah anak panahmu
itu! Jangan gunakan lagi untuk menyerang teman sendiri!"
Dewa Racun berdiri di depan
Pendekar Mabuk. Karena ia kerdil, maka ia memandang Suto dengan mendongak. Raut wajahnya menampakkan kemarahan yang
terpendam. Kemarahan itu agaknya bukan kemarahan yang sekadar main-main.
Karena, Dewa Racun segera melangkah tinggalkan Suto setelah Pendekar Mabuk
bertanya,
"Mengapa kau lakukan hal
itu kepada Melati
Sewu?!"
Pertanyaan itu tak dijawab
oleh Dewa Racun. Pendekar
Mabuk terpaksa bergegas menyusul langkah Dewa Racun.
Agaknya orang kerdil itu melangkah ke tempat yang sepi dan agak jauh dari
tempat semula. Pendekar Mabuk terpaksa berseru kepada Badai Kelabu,
"Badai! Tetaplah di situ
bersama Melati Sewu! Aku
dan Dewa Racun akan periksa
tempat di sana, mencari penyerang gelap itu!"
"Hati-hati, Pendekar
Mabuk!" balas Badai Kelabu tanpa menaruh curiga kepada Dewa Racun.
Sebetulnya, sejak Suto melihat
bekas hitam akibat pukulan
telapak tangan dari jarak jauh
yang tergambar di dada Melati Sewu, Pendekar Mabuk sudah berani
memastikan pastilah bekas hitam itu adalah telapak tangan Dewa Racun. Ukuran
telapak tangan yang kecil membuat Suto yakin betul, bahwa itu adalah telapak
tangan Dewa Racun.
Tapi ia tak berani katakan
kepada Badai Kelabu, karena takut akan memancing kemarahan Badai Kelabu, dan
terjadi perselisihan antara Badai Kelabu dengan Dewa Racun.
Tentunya Dewa Racun mempunyai alasan sendiri, mengapa ia
melepaskan pukulan berbahayanya kepada Melati Sewu. Hal itulah yang ingin
diketahui oleh Pendekar Mabuk, sebelum ia membela di salah satu pihak. Sebab
setahu Pendekar Mabuk, Dewa Racun bukan orang yang suka usil, menjajal ilmu
orang lain dengan serangan membahayakan.
Dewa Racun sendiri masih
membungkam ketika ia duduk di salah satu batu yang tingginya sebatas pinggang
Pendekar Mabuk. Wajah orang kerdil itu antara duka dan marah. Sekalipun Suto
mempunyai ilmu lebih tinggi dari Dewa Racun, tapi ia tetap menaruh hormat
karena usianya jauh lebih muda dibanding Dewa Racun
yang saat itu sedang menyimpan kegundahan.
Dengan hati-hati, setelah
terdiam cukup lama
Pendekar Mabuk ajukan tanya
kepada Dewa Racun. "Persoalan apa yang membuatmu menyerang dia
sebenarnya?"
"Pribadi," jawab
Dewa Racun. "Bisa kau jelaskan?"
Dewa Racun tetap tidak
memandang Pendekar Mabuk. Matanya bagai menatap jauh dalam terai wang tak
pasti. Lalu, terdengar suaranya yang gagap mengatakan,
"Dia... dia... ternyata
orang yang kuu... kuyu... kucari!"
"Kau punya dendam
dengannya?"
"Ya," jawabnya
pendek. Diam sebentar, lalu bicara lagi,
"Ak... ak...
aku pernah mempunyai seorang kekasih. Nnnaam... naaam... namanya...
namanya Gayanti, dengan julukan Giwang Kencana! Tiga tahun yang lalu, Gayanti
diutus gur... gur... gurunya untuk menyampaikan Air Tuk Sewu kepada seorang begawan yang sedang
menderita sakit berat. Tapi di perjalanan
dihadang oleh Melati Merah, yang kemudian berhasil membunuh
Gayanti, meminum Air Tuk Sewu, dan mengubah nama menjadi Melati Sewu. Padahal
waktu itu, aku berada di belakang Gayanti, mengawasi dari kejauhan. Tapi aku terlambat datang. Ak...
ak... aku baru datang saat Gayanti
mau menghembuskan napasnya yang terakhir. Dan...
dan... dan ia ceritakan siapa pembunuhnya."
"Jangan-jangan bukan
Melati Sewu yang itu yang membunuh kekasihmu, Dewa Racun!"
"Pasti dia! Karena dia
dan Gayanti dulu adalah teman seperguruan. Aku sering melihat Gayanti berjalan
bersama dengan dia, tapi Gayanti selalu melarangku menemui dia jika ada orang
lain. Jadi, Melati Merah sampai sekarang tak pernah tahu bahwa aku adalah
kekasih Gayanti. Tapi aku tahu
bahwa dia adalah pembunuh
kekasihku!"
"Hmmm...!" Suto
manggut-manggut, seakan ikut merasakan keguncangan hati Dewa Racun saat itu.
Lalu, Pendekar Mabuk ajukan tanya,
"Lalu, apa
kelebihan Melati Sewu
setelah meminum Air Tuk Sewu itu, Dewa Racun?"
"Men... men... menurut
kabar yang kudengar, orang yang meminum Air Tuk Sewu akan mencapai usia sampai
seribu tahun, semasa ia tidak melakukan suatu tindakan yang amat ter... ter...
terlarang, yaitu zinah! Tapi kalau dia pernah melakukan zinah, dia kehilangan
kekuatan khasiat dari Air Tuk Sewu. Kec... kecuali ia lakukan dengan suami
sendiri, itu tak mengurangi khasiat Air Tuk Sewu!"
Pendekar Mabuk menarik napas
setelah bungkam beberapa saat, lalu ia ucapkan kata pelan,
"Mudah-mudahan Air Tuk
Sewu sudah tidak berguna lagi bagi hidup Melati Sewu!"
"Berr... berr... berguna
atau tidak, aku tak mau peduli. Tapi yang kutuntut adalah kematian
Gayanti!"
"Maksudmu bagaimana, Dewa
Racun?"
"Aku harus menuntut balas
atas kematian itu kepada Melati Sewu. Dan aku tidak mau ikut campur membantu
menyembuhkan gurunya!"
"Jangan begitu, Dewa
Racun...."
"Tidak! Dendamku belum
padam jika belum berhasil membunuh orang yang membuatku merana sampai sekarang
ini!"
"Peristiwa itu sudah
berlalu. Semuanya sudah telanjur terjadi. Itu namanya suratan takdir, Dewa
Racun! Kita tak bisa tentukan takdir kematian di tangan siapa atau sebab apa.
Tak bisa! Satu contoh, kalau ternyata kelak takdirku adalah harus mati di tangan
mu, aku tak bisa mengelak dari takdir itu!"
"Jik... jik... jika
kematian Gayanti di tangan Melati Sewu itu kau anggap takdir, maka kematian
Melati Sewu di tanganku juga sebaiknya kau anggap takdir! Mengapa kau mau
menghalangiku?!"
"Aku bukan menghalangimu,
tapi aku hanya mengingatkan
kamu, bahwa dendam itu tidak membawa perdamaian! Dendam itu
lingkaran setan yang akan terus-menerus menyita ketenangan hidup kita. Jika
orang masih berpatokan pada dendam dan mau diperbudak oleh dendam, maka
persoalan orang itu tidak akan ada habisnya. Dendam yang sudah terbalas akan
menimbulkan dendam baru lagi bagi pihak yang terbalas. Begitu seterusnya,
hingga tak ada lagi perdamaian dalam hidup kita, Dewa Racun!"
"Terserah apa kat... kat...
katamu! Tapi aku tidak mau ikut membantumu dalam
menyembuhkan gurunya Melati Sewu itu! Aku akan menyerangnya. Kau ada di
pihakku atau di pihaknya, Pendekar Mabuk?"
*
* *
4
SAMPAI mereka tiba di
pesanggrahan tempat gurunya Badai Kelabu bersemayam, baik Melati Sewu maupun
Badai Kelabu tidak mengetahui bahwa penyerang gelap yang telah memukul Melati
Sewu itu adalah Dewa Racun. Mereka sudah tidak mempermasalahkan penyerang gelap dengan pukulan maut yang hampir
menewaskan Melati Sewu, karena keadaan Melati Sewu telah sehat dan segar
kembali. Luka bakar yang membekas di dadanya itu
pun telah lenyap
karena pengaruh tuak yang diminumkan oleh Pendekar Mabuk.
Tetapi Dewa Racun masih
mempermasalahkan kematian Gayanti dan ia tetap mengincar Melati Sewu. Andai
Suto tidak membujuknya, Dewa Racun tidak akan ikut sampai
ke pesanggrahan itu. Kerasnya dendam yang bagai membeku di
darah Dewa Racun bisa menjadi sedikit lunak setelah Pendekar Mabuk berkata,
"Boleh kau lampiaskan
dendammu pada Melati Sewu setelah kita selesaikan tugas menyembuhkan gurunya
Badai Kelabu itu! Aku sudah terikat janji dan tak mau ingkar. Apa pun yang
terjadi aku harus tetap sembuhkan gurunya Badai Kelabu. Setelah itu, kau
mau lampiaskan dendammu atau tidak, itu urusanmu! Kau mau pakai saranku atau
tidak, itu hakmu! Tapi sebagai teman aku sudah ingatkan kamu, jangan turuti
kata hati yang menabur dendam ke mana-mana! Jangan mau
diperbudak oleh dendam.
Karena dendam tidak akan membawa kita damai sampai pada anak-cucu kita
kelak!"
Dendam yang telah membeku di
darah Dewa Racun lama-lama menjadi cair oleh kata-kata Suto. Tetapi, Dewa Racun
tetap berkata,
"Kuubb... kuubb... kubantu... kubantu kau menyembuhkan gurunya Badai
Kelabu itu. Tapi jangan pak... pak... paksa aku untuk bersikap baik kepada
Melati Sewu! Bila perlu, jangan suruh aku bic... bic... bicara dengannya!"
"Ya, itu terserah kamu!
Kalau dia ajak kamu bicara, soal kamu mau jawab atau tidak, itu terserah kamu!
Aku tak akan paksa kamu!"
Sepanjang perjalanan menuju pesanggrahan memang terjadi
sedikit ketegangan dan kekakuan.
Badai Kelabu mengajak Dewa
Racun untuk bercanda, tapi tak pernah ditanggapi seperti biasanya. Dewa Racun
lebih banyak diam ketimbang ikut bicara bernada kelakar. Bahkan sesekali ia
pandangi Melati Sewu dengan hasrat besar ingin cepat menyerangnya dengan
jurus-jurus mautnya. Tapi ia selalu ingat pesan dari
Suto, sehingga hasrat itulah yang membuatnya kaku dalam
menanggapi sapaan Badai Kelabu.
"Temanmu yang kecil itu agaknya mudah tersinggung. Aku tak berani
mengajaknya bicara," kata Melati Sewu kepada Pendekar Mabuk.
"Kalau begitu, tak perlu
kau ajak bicara jika tak penting. Dia memang sedang ada masalah dalam hatinyal
Dia punya kecemasan tersendiri yang kita tak tahu kecemasan macam apa yang
dimilikinya," kata Pendekar Mabuk mengambil jalan tengah supaya tidak
terjadi keributan antara Melati Sewu dan Dewa Racun.
Ketika mereka tiba di
pesanggrahan, beberapa rekan seperguruan Badai Kelabu menyambutnya dengan wajah-wajah
cerah penuh harap. Dewa Racun sengaja duduk di bawah pohon, di luar gerbang
pesanggrahan. la tak mau ikut masuk, dengan alasan ingin menikmati keindahan
alam sekeliling tempat itu. Sebab tempat itu ada di atas sebuah bukit yang tak
terlalu tinggi. Dari sana bisa memandang ke arah laut yang membiru indah.
"Kau di luar dulu, aku
mau masuk ke ruang istirahat Guru dan melaporkan kedatanganmu," kata Badai
Kelabu. "Melati Sewu, tolong temani dulu Pendekar Mabuk di pendapa!"
"Di mana pun aku
sanggup," jawab Melati Sewu yang sudah berbalik sikap, menjadi ramah dan
baik
kepada Pendekar Mabuk sejak ia
tertolong dari luka parahnya.
Di pendapa, Pendekar Mabuk
sempat ajukan tanya kepada Melati Sewu,
"Siapa sebenarnya Nini
Pasung Jagat itu?"
"Dia orang sesat!"
jawab Melati Sewu. "Dulu dia punya banyak murid, tapi semua muridnya lari
kepada kami, karena dia tak segan-segan menjatuhkan hukuman mati
kepada muridnya untuk satu kesalahan kecil. Kini dia hanya punya satu murid,
yaitu Tanjung Bagus itu. Apakah kau punya minat naksir Tanjung Bagus?"
Pendekar Mabuk tertawa dan
memancingnya dengan pertanyaan, "Kalau aku punya minat naksir dia, apakah
tak layak?"
"Sangat tak layak! Karena
dia itu sebenarnya lelaki. Dia seorang yang punya kelainan dalam jiwanya. Dia
merasa dirinya sebagai wanita, bukan sebagai lelaki. Padahal dia punya nama
asli Legowo! Bukan Tanjung Bagus. Kalau kau naksir dia, kau akan kecele."
Pendekar Mabuk kembali tertawa, walau sebenarnya dia sudah tahu
bahwa Tanjung Bagus itu banci, dan dia tak punya minat apa-apa kepada
Tanjung Bagus. Dia
hanya ingin menggiring pembicaraan itu sampai pada
masalah peta yang diinginkan Nini Pasung Jagat itu.
"Kudengar Nini Pasung Jagat sangat mengharapkan untuk mendapatkan
peta dari Badai
Kelabu. Kalau tak salah
dengar, peta itu adalah peta
Kolam Sabda Dewa."
"Ya. Mereka menyangka
Badai Kelabu mempunyai peta Kolam Sabda Dewa, karena memang hanya Badai Kelabu
yang pernah ke sana!"
"Apa yang dimaksud dengan
Kolam Sabda Dewa itu, Melati Sewu?"
"Kolam yang bisa mengubah
nasib sesuai dengan keinginan kita. Pada saat kita menyelam di dalam kolam
keramat itu, apa yang kita inginkan dalam hati kita bisa terlaksana secara
cepat dan gaib. Salah satu contohnya adalah Badai Kelabu...."
"Badai Kelabu? Ada apa dengan dirinya?" Pendekar Mabuk
semakin penasaran.
"Badai Kelabu...,"
Melati Sewu melirik sekeliling sebentar, setelah merasa aman, segera berbisik
kepada Pendekar Mabuk,
"Dulu, Badai Kelabu
adalah gadis yang cacat kakinya. Salah satu kakinya kecil dan pendek, hingga
jalannya pun terpincang-pincang dengan susah. Wajah Badai Kelabu tidak
secantik sekarang. Dulu wajahnya sangat buruk. Bahkan gigi taringnya yang kanan
panjang, sampai melebihi bibir bawahnya. Hidungnya pesek sekali, matanya besar,
kulitnya bersisik dan banyak borok gatal-gatal di sekujur tubuhnya. Dulu dia
lahir sebagai anak yang dikutuk oleh neneknya sendiri. Rambutnya pun trondol
sebelah kiri. Lalu, ia dirawat oleh Guru. Dan suatu saat, ia menemukan Kolam
Sabda Dewa. la mandi dan menyelam di dalam kolam itu. Ketika muncul dari dalam
air kolam, ia sudah berubah menjadi cantik seperti sekarang, banyak pemuda yang naksir kepadanya, banyak sesama wanita yang
mau berteman dengannya. Dulu, tak ada yang mau dekat dengannya!"
"Ooo...," Pendekar
Mabuk manggut-manggut. "Lalu, dia menyimpan peta menuju Kolam Sabda
Dewa?"
"Menurut pengakuannya
padaku, dia tak pernah membuat peta. Tapi dia masih ingat jalan menuju ke
sana. Aku tak pernah diberitahu
tentang jalan itu olehnya! la sangat merahasiakan tempat Kolam Sabda Dewa
itu!"
"Apakah menurutmu, Nini
Pasung Jagat ingin mengubah dirinya menjadi muda dan cantik dengan mandi di
kolam itu?"
"Jika bukan dengan
maksud-maksud seperti itu, maksud apa lagi yang ia punyai? Tentunya dia ingin
dirinya cantik, muda dan beberapa keinginan lainnya. Tanjung Bagus pun pasti
berkeinginan untuk menjadi wanita sejati setelah ia bisa mandi di dalam Kolam
Sabda Dewa itu! Karenanya ia sangat bernafsu sekali mendapatkan peta dari Badai
Kelabu!" tutur Melati Sewu dengan bersemangatnya, seakan ia merasa bangga
sekali jika bisa menjelaskan apa saja yang belum diketahui oleh Pendekar Mabuk.
"Apakah Kolam Sabda Dewa juga
bisa memberi kita umur panjang, jika di dalam hati kita meminta umur panjang
saat menyelam di kedalamannya?"
"Bisa! Bisa saja! Kita
minta ingin jadi raja pun mungkin
pulang dari sana ada rakyat yang mengangkat kita menjadi raja!"
"Apakah kita bisa minta
usia sampai seribu tahun lamanya?"
"Bisa! Itu sangat
bisa!"
"Apakah menurutmu, Air
Tuk Sewu berasal dari sana?"
Terperanjat Melati Sewu
mendengar Air Tuk Sewu disebutkan Pendekar Mabuk. Jantungnya menjadi
berdebar-debar. Menurutnya, hanya dirinya dan bekas gurunya yang
sudah almarhum itulah yang mengetahui adanya Air Tuk Sewu. Tapi
sekarang Pendekar Mabuk yang sejak tadi meneguk tuak berulang kali itu
mengetahui adanya air keramat
tersebut. Melati Sewu sempat
bingung memberikan jawabannya.
Pendekar Mabuk buru-buru
berkata, "Apakah kau tahu, bagaimana caranya supaya bisa mendapatkan Air
Tuk Sewu?"
Melati Sewu belum bisa
menjawab, tapi ia ganti bertanya, "Dari mana kau tahu ada air keramat yang
bernama Air Tuk Sewu?"
"Dari seorang teman
perempuanku yang bernama
Gayanti, atau si Giwang
Kencana!"
"Oh...?!" wajah
Melati Sewu jelas-jelas terkejut tegang.
"Satu purnama yang lalu
dia bicara padaku ingin meminum Air Tuk Sewu."
"Satu purnama yang lalu?!
Oh, tak mungkin!" sanggah Melati Sewu dengan hati gusar. "Tak mungkin
kau bicara dengannya satu purnama yang lalu!"
"Mengapa kau bilang tak
mungkin?"
"Ka... ka... karena...,
ah! Tak mungkin itu!" Melati Sewu bingung menjelaskan. Pandangan matanya
pun kelihatan nanar dan paras wajahnya pucat. Pendekar Mabuk tersenyum tipis,
tapi dalam hatinya sudah merasa lega, berarti memang Melati Sewu itulah yang
membunuh Gayanti. Dewa Racun tak salah duga.
Sebenarnya Pendekar Mabuk
ingin bicara lebih panjang tentang kematian Gayanti dan tindakan keji Melati
Sewu. Tapi Badai Kelabu telah lebih dulu menghampirinya dan berkata,
"Guru ingin bertemu
denganmu! Ikutlah aku ke kamarnya!"
Badai Kelabu menyerahkan kain
putih yang sudah terlipat rapi. Pendekar Mabuk heran memandangi kain itu. Namun Badai Kelabu
cepat-cepat
menjelaskan,
"Sebagai tutup hidung!
Karena di dalam kamar bau busuk amat menyengat hidung! Datangnya dari luka di
sekujur tubuh Guru!"
Pendekar Mabuk hanya
menggenggam kain putih menyerupai sapu tangan itu. Sebelum sampai di kamar yang
dimaksud, Suto menenggak tuaknya beberapa teguk. Lalu, ia ikuti langkah Badai
Kelabu yang masuk di sebuah ruangan lebar. Di situ bau busuk sudah tercium
tajam. Tapi Suto tetap tenang. Badai
Kelabu sudah mulai
tutupkan kain ke hidungnya. la memberi isyarat pada
Suto agar segera menutup hidung, tapi
Pendekar Mabuk hanya tersenyum, sepertinya tak pernah
merasakan bau busuk yang memualkan perut itu.
Sebuah pintu kamar dibuka,
Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu masuk. Tetap saja Pendekar Mabuk tidak menutup
hidungnya. la bisa bernapas dengan lancar, tanpa merasa terganggu bau busuk
yang lebih tajam itu.
"Guru," kata Badai
Kelabu. "Inilah tabib muda yang saya katakan tadi! Dia bersedia
menyembuhkan Guru!"
"Hmmm... ya, suruh dia
segera melakukan pengobatan
untukku!" ucap orang yang berbaring dengan sekujur tubuh membusuk hitam.
Hanya bagian wajahnya yang masih kelihatan kecoklat- coklatan.
Pendekar Mabuk tertegun
bengong memandang orang yang berbaring dalam keadaan amat menderita
itu. Orang itu bertubuh agak
gemuk, usianya sekitar enam puluh lima tahun. Matanya lebar, berkumis lebat.
Dari raut mukanya, Pendekar Mabuk bisa menilai kebengisan dan keganasan orang
itu semasa
mudanya. Bibirnya tebal,
hidungnya agak besar. Walau rambutnya sudah memutih, tapi Pendekar Mabuk dapat
membayangkan kalau rambut itu hitam dan lebat.
Sebilah pedang bergagang hitam
ada di dinding dekat pembaringan itu. Pendekar Mabuk berdebar- debar memandang
pedang itu. Darahnya bagaikan mendidih dan bergejolak tak tentu arah. Pendekar
Mabuk berusaha memendam kegusaran hatinya dengan menelan napas beberapa kali.
Tapi ia tak mampu menghentikan tangannya yang gemetaran, tak mampu menutup
wajahnya yang menjadi pucat pasi melihat guru Badai Kelabu yang terkapar tak
berdaya itu.
Wajah Guru tersebut
diperhatikan terus oleh mata Pendekar Mabuk, membuat dada Pendekar Mabuk terasa
mau pecah saat itu juga. Maka, segera ia bergegas keluar dari kamar itu dengan
terengah- engah. Badai Kelabu merasa heran dan segera menyusul Pendekar Mabuk
ke luar kamar.
"Suto, ada apa? Apa yang
kau tahu tentang penyakit Guru?"
"Tidak apa-apa!"
jawab Pendekar Mabuk sambil menggeletukkan gigi. la melangkah pelan dengan
sorot pandangan mata menerawang tajam.
"Apa yang terjadi,
Pendekar Mabuk? Katakanlah! Wajahmu begitu pucat! Tanganmu gemetaran! Ada apa
sebenarnya, Pendekar Mabuk?!"
*
* *
5
DEWA Racun masih termenung
sendirian atas batu besar. Pandangan matanya terlempar jauh di batas
cakrawala antara langit dengan
permukaan air laut. Dari tempatnya masih bisa dilihat samar-samar gerakan air
laut. Tetapi bukan air laut itu yang dilihat oleh mata hati si kerdil
berpakaian bulu putih itu. Bukan air laut yang dibicarakan oleh batinnya,
melainkan dendam yang nyaris membakar habis darahnya.
"Memang kadang kala
dendam bisa merusak jiwa sendiri, menyiksa perasaan dan merusak pikiran. Dendam
selalu menentang takdir, dan menentang takdir adalah pekerjaan yang amat bodoh.
Jika aku masih memburu dendam, seakan aku tidak mau menerima Keputusan dari Yang Maha Kuasa. Padahal aku ini hanyalah manusia
biasa yang semua garis hidupnya sudah ditentukan dari atas."
Si kerdil berkepala botak
bagian tengahnya itu menarik napasnya dalam-dalam, kemudian hatinya kembali
berkecamuk sendiri,
"Kematian Gayanti sesungguhnya merupakan pernyataan dari Yang Maha Kuasa,
bahwa bukan dia jodohku dalam hidup selanjutnya. Toh tanpa melalui pembunuhan
yang dilakukan Melati Merah, jika memang Gayanti bukan jodohku, tetap saja aku
dan dia akan berpisah. Bodoh amat aku ini jika masih memburu dendam untuk
menentang kodrat. Benar pula apa kata Suto, tak ada damai dan ketenangan di
hati orang yang masih memburu dendam. Tanpa sadar dendam itu telah merugikan
hidup orang yang mau
diperbudaknya.
Sebaiknya kulupakan saja
persoalan masa lalu itu.
Biarlah pembalasan datang
sendiri dari Yang Maha Kuasa.
Pembalasan itu milik
Dia, bukan milikku
sendiri...."
Gemuruh di dalam hati Dewa
Racun mulai mereda setelah ia berpikir begitu. Napasnya kembali lapang,
tidak sesak seperti tadi. la
bahkan bermaksud ingin menyusul Suto ke dalam pesanggrahan.
Tetapi, sebelum Dewa Racun
bergerak, ternyata Pendekar
Mabuk sudah muncul dari arah belakangnya. Suto diam tanpa
bicara, berdiri di sampingnya, memandang ke arah lautan lepas dengan wajah
pucat berubah menjadi kemerah- merahan. Napas Pendekar Mabuk terhela dengan
berat, sepertinya ada beban besar yang harus ditarik dalam tiap helaan
napasnya.
"Bagaimana? Sudah kau
obati gurunya Badai Kelabu itu?" Dewa Racun bertanya dengan suara lancar,
karena sudah terlalu lama membisu. Nada bicaranya itu pun terdengar lebih
ringan, lebih lepas tanpa ada ganjalan apa pun. Tidak seperti dalam perjalanan
tadi.
Suto menarik napas panjang-panjang dan menahannya di dada beberapa
saat. la masih belum mau memandang Dewa Racun yang berdiri di atas batu itu,
hingga tingginya mencapai sebatas pundak Suto. Dewa Racun menatap wajah
Pendekar Mabuk itu baik-baik, lalu mata hatinya menemukan adanya keganjilan
yang dirasakan Suto. Dewa Racun tahu, ada ganjalan yang tak bisa ditutupi oleh
Suto. Wajah merah itu jelas mencerminkan nafsu amarah yang mati-matian ditahan
oleh Pendekar Mabuk.
"Ad... ad... ada apa
sebenarnya, Suto?" tanya Dewa Racun dengan hati-hati. Pendekar Mabuk masih
diam dengan dahi sedikit berkerut tajam. la ajukan tanya lagi,
"Apakah racun itu
mengganas dan tak bisa kau atasi? Atau... barangkali kau gagal menyembuhkan
guru Badai Kelabu itu? Hmm... apakah dia mati karena pengobatanmu?"
Kini Pendekar Mabuk
melemparkan pandang pada Dewa Racun. Lama ia masih terbungkam. Sesuatu yang
ingin ia katakan tampak ragu dilepaskannya. Dewa Racun mendesak,
"Bi... biiic...
bicaralah, Suto!"
"Orang itu... orang itu
parah," Pendekar Mabuk mulai mau bicara.
"Par... par... parah
sekali?"
"Ya. Sekujur tubuhnya
telah membusuk. Tak ubahnya seperti mayat yang sudah dikubur berhari- hari tapi
masih bernapas. Dalam waktu dua atau tiga hari lagi, dia akan mati!"
Pendekar Mabuk menenggak
tuaknya saat Dewa Racun berkata, "Pantas Badai Kelabu ingin sekali merebut
Batu Galih Bumi dari tangan Ratu Pekat. Tapi... tapi., tapi apakah kau sudah
mencoba menawarkan racun itu memakai tuakmu?"
"Belum," jawab
Pendekar Mabuk pelan dengan satu kaki diangkat dan ditaruh di atas sebuah batu
setinggi lututnya. Suto sedikit membungkuk karena lengan kirinya bertumpu di
atas kaki yang ada di batu. Tangan kanannya masih bertolak pinggang, dahinya
masih berkerut memikirkan sesuatu yang membuatnya gundah gulana.
"Mengapa kau tidak mau
menn... menn... mencoba menggunakan tuak saktimu itu?" tanya Dewa Racun
sambil pandang wajah Suto.
"Aku tak bisa gunakan
tuak saktiku."
"Cobalah dulu, Suto.
Sebab aku sendiri merasa tidak sanggup menawarkan racun macam itu. Hanya Batu
Galih Bumi yang bisa tawarkan racun itu, dan... dan mungkin tuak saktimu!"
Pendekar Mabuk menarik napas, tangannya menggenggam kuat. Makin galau pikirannya,
makin
gundah hatinya, dan hal itu
sangat diketahui oleh Dewa Racun. Belum pernah Dewa Racun melihat Pendekar
Mabuk segundah itu selama ia ikut bersama Suto.
Kejap berikut, setelah mereka
sama-sama saling bisu, Dewa Racun berkata penuh hati-hati,
"Suto, cobalah kau
gunakan tuak saktimu untuk sembuhkan orang itu! Cob... cob... cobalah,
Suto!"
"Aku... tidak bisa!"
"Mengapa tidak bisa?"
"Dia musuhku!" jawab
Pendekar Mabuk datar dan dingin.
"Benarkah begitu,
Suto?"
"Ya. Masih kuingat
wajahnya dalam tiap tidurku! Masih terbayang kekejiannya, saat dia membantai
keluargaku! Dia adalah Kombang Hitam, ketua Begal Utara yang menghabisi nyawa
keluargaku, dan yang membuatku sebatang kara seperti saat ini! Dia yang
mengejar-ngejarku bersama Paman Dubang, sampai akhirnya Paman Dubang,
pengasuhku itu jatuh ke jurang, dan aku lari terus dalam pengejarannya! Aku
masih ingat, dia adalah Kombang Hitam!"
Nada bicara Suto makin lama
semakin meninggi. Wajahnya pun kian lama kian memerah. Tangannya menggenggam
kuat-kuat, hingga dari genggaman tangan itu mengepullah asap putih sebagai
tanda panasnya darah dendam yang sudah lama membeku.
Dewa Racun menjadi takut
melihat Pendekar Mabuk pancarkan mata menyala-nyala. Dewa Racun bisa rasakan
darah Suto yang kini mendidih karena bertemu dengan orang yang
membantai habis
keluarganya. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa
Pusar"). Dewa Racun tahu, betapa sulitnya menolong dan menyembuhkan
seseorang agar tetap
hidup, sementara yang disembuhkan itu adalah orang
yang membantai habis keluarganya. Sungguh hal itu adalah pekerjaan yang teramat
sulit menurut Dewa Racun. Menyembuhkan orang yang seharusnya dibunuh, lebih
sulit daripada menghancurkan gunung dengan tangan kosong.
Sekarang bukan saja tangan
yang berasap, tapi kaki Suto pun mengeluarkan asap, kulit tubuhnya semburat
merah bercampur keringat dingin. Cahaya matanya menjadi bening, tapi berwarna
merah samar- samar. Pendekar Mabuk meneguk tuaknya lagi agak banyak, lalu
hempaskan napas sebagai pelega kesesakan di dadanya.
Wuusss...!
Dewa Racun tersentak kaget.
Hembusan napas yang tak seberapa keras itu telah mendatangkan badai kecil.
Sekecil badai dari napas Suto, namun mampu membuat beberapa batuan besar
tumbang dan berguling-guling tersapu terbang. Beberapa pohon yang posisinya
ada di depan Suto menjadi meliuk-liuk hingga ujung-ujung pucuknya menyentuh
tanah. Bahkan banyak yang menjadi patah pada bagian pertengahan batangnya.
Krakkk...! Wuurrrr...! Brakkk...!
Suara-suara seperti itu
berbunyi saling bersahutan, seakan bumi mau kiamat, langit akan runtuh dan
tanah menjadi retak. Keadaan alam yang mengerikan itu membuat heboh beberapa
penduduk di sekitar tempat itu. Banyak yang memandang kagum dan terheran-heran,
tapi juga tak sedikit yang menjadi panik karena ketakutan.
"Suto... tahan
amarahmu...," bisik Dewa Racun, sangat pelan sekali, karena ia sendiri
takut kepada amarah Suto.
Menyadari apa yang terjadi di
depannya, Suto terperanjat.
la buru-buru menutup mulut dan hidungnya, ia sendiri jadi ketakutan
dan tegang. Wajahnya terlihat penyesalan yang tak tertutupi lagi.
"Aku telah mengeluarkan
napas Tuak Setan...," gumam Suto seperti bicara pada diri sendiri.
"Redakan murkamu it... it... itu, Suto! Redakanlah...!" bujuk Dewa
Racun masih tak berani menggunakan kata-kata tegas dan keras.
Pendekar Mabuk masih menutup
mulut dan hidungnya dengan sikap menyesal. la memandang ke langit, ternyata
mega-mega berkumpul menjadi satu dan bergulung-gulung mengikuti arah angin
badai.! Suara gemuruh terdengar jelas. Suara gemuruh itu adalah amukan ombak
laut yang tampak dari ketinggian tempat Pendekar Mabuk dan Dewa Racun berada.
Dewa Racun berulang kali
merinding dan bergidik. Baru sekarang ia melihat hembusan napas Tuan Setan yang
ada dalam diri Suto. Padahal napas yang keluar hanyalah napas kelegaan yang
pelan seperti layaknya orang menghembuskan napas setelah habis minum. Tapi
karena di dalam hati Pendekar Mabuk memendam amarah yang begitu besar; maka
satu hembusan kecil pun sudah mendatangkan badai yang cukup dahsyat, walau
tidak sedahsyat kala ia hembuskan kepada Nagadipa dan Putri Alam Baka
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pertarungan di Bukit Jagal").
Pusaka Tuak Setan telah
tertelan oleh Pendekar Mabuk. Padahal seharusnya pusaka itu dilenyapkan. Si
Gila Tuak, guru Suto, mengkhawatirkan hal-hal seperti ini. Karena siapa pun
orangnya yang menelan Tuak Setan, maka napasnya akan menghadirkan
badai yang sangat besar dan
berbahaya sekali bagi orang lain. Jika orang yang menelan Pusaka Tuak Setan
dalam keadaan marah, walau marah yang tertahan, satu hembusan napas bisa
menyalurkan seluruh tenaga dalamnya dalam wujud hembusan badai dahsyat, itulah
sebabnya si Gila Tuak sendiri tidak berani menelan Pusaka Tuak Setan, karena
merasa dirinya masih sering dihinggapi nafsu amarah, dan takut amarahnya itu
membawa korban tak bersalah. Tetapi, Pusaka Tuak Setan itu tertelan oleh Suto
tanpa sengaja, sehingga mau tidak mau Suto harus selalu mengendalikan nafsu
amarahnya agar napasnya tidak berubah menjadi badai yang membawa korban tak bersalah. (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
Badai Kelabu menyusul Pendekar
Mabuk sambil memanggil-manggil
dalam nada cemas.
Itu disebabkan karena Badai Kelabu melihat sendiri datangnya angin badai
yang tidak sewajarnya. Perempuan itu takut
Suto dan Dewa
Racun mengalami cedera akibat hembusan badai aneh tersebut.
"Pendekar Mabuk, kenapa
kalian ada di sini? Tidak tahukah kalian bahwa baru saja ada badai besar yang
bisa menerbangkan rumah atau kapal?"
Suto berbisik kepada Dewa
Racun, "Hadapilah dia, aku tak bisa bicara padanya! Dendam lamaku membakar
seluruh darahku, Dewa Racun!"
"Jangan begitu!
Bukankah... bukankah... bukankah kau sendiri yang bilang agar diriku jangan mau
diperbudak oleh dendam?"
"Hadapilah dia dulu. Aku
ingin tenangkan diri!" desak Pendekar Mabuk dalam bisik. Mau tak mau Dewa
Racun menyongsong kedatangan Badai Kelabu.
Suto duduk di batu setinggi
lututnya itu. Kedua lengannya
bertumpu pada paha.
Matanya memandang ke tanah dalam sikap merenung. Tiba- tiba ia sadari,
tanah di bawahnya menjadi cekung. Setiap ia bernapas, pasir-pasir di tanah itu
menyibak ke sekitar kakinya, semakin lama semakin dalam cekungan tanah
tersebut. Suto buru-buru menutup hidung dan mulutnya. Terasa panas telapak
tangan yang dipakai menutup hidung itu karena terkena hembusan napas, tapi Suto
menahan rasa panas itu ketimbang! Badai Kelabu mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi di tempat itu.
"Jang... jang... jangan
ganggu Suto dulu," kata Dewa Racun. "Di... dia... dia sedang
memikirkan cara pengobatan untuk gurumu!"
"Tapi dia tidak
apa-apa?"
"Tidak. Bbi... bii...
biarkan dia bersamaku. Kami perlu berembuk untuk melawan rraaa... raa... racun
yang menyerang gurumu."
Badai Kelabu
tampakkan kecemasannya.
Sebentar-sebentar ia pandang Pendekar
Mabuk dalam kebimbangan. Dewa Racun segera bertanya sambil menggandeng Badai
Kelabu menjauhi Pendekar Mabuk.
"Bbee... berapa usia
gurumu itu?"
"Lebih dari enam puluh
lima tahun. Mungkin tujuh puluh, mungkin juga lebih. Apakah hal itu perlu
kalian ketahui?"
"Ya. Unn... unnn... untuk
menakar obat yang harus diberikan kepada gurumu, kami harus tahu usia
gurumu."
Padahal di dalam hati Dewa
Racun bergumam, "Lebih dari enam puluh lima tahun?! Berarti sesuai dengan
usianya pada saat ia mengejar-ngejar Suto
yang masih kecil."
Kemudian, Dewa Racun kembali
ajukan tanya, "Sssi... siapa... siapa nama gurumu sebenarnya?"
"Manusia Seribu
Wajah," jawab Badai Kelabu.
Dewa Racun kerutkan dahi
bernada heran. la membatin, "Manusia Seribu Wajah? Kalau begitu, Pendekar
Mabuk salah duga!"
"Ben... benar namanya
itu?" tanya Dewa Racun menampakkan keraguan.
"Ya. Benar. Nama aslinya
aku tak tahu. Tapi dia dikenal dengan julukan Manusia Seribu Wajah. Hmmm...
dulu, dia memakai julukan Kombang Hitam, tapi setelah ia mampu mengubah diri,
ia memakai julukan Manusia Seribu Wajah."
"Kombang Hitam...,"
gumam Dewa Racun di dalam hatinya. "Kalau begitu, benarlah dugaan Suto,
orang itu adalah pembantai seluruh anggota keluarganya. Hmmm... benar-benar
Pendekar Mabuk dihadapkan pada satu persoalan yang sangat rumit dan
berat!"
"Apakah nama itu
perlu?"
"lyy... iyy... iya,"
jawab Dewa Racun. "Un... untuk membacakan mantera pengobatan, nama itu
perlu diketahui oleh aku dan Suto," Dewa Racun coba untuk senyumkan
bibirnya walau terasa kaku. Lalu, ia ucapkan kata lagi,
"Ting... ting...
tinggalkanlah kami. Nanti kami akan datang sendiri ke sana. Jagailah
gurumu!"
Bujukan itu berhasil. Badai Kelabu
segera tinggalkan Suto dan Dewa Racun. Cepat-cepat orang kerdil itu
mendekati Suto dan berkata dengan penuh hati-hati,
"Dugaanmu benar. Tap...
tap... tapi sikapmu sa. lah."
Suto Sinting palingkan wajah,
menatap orang
kerdil yang ada di depannya
itu. Sebelum Suto ajukan sanggahan ataupun bantahan, Dewa Racun sudah lebih
dulu ucapkan kata,
"Tak boleh kau berrr...
berrr... bersikap begini! Dia memang
pembantai
keluargamu, tapi tugasmu adalah menolong sesama manusia,
tanpa pandang bulu! Bukankah kau mengajarku untuk mengakui adanya takdir dalam
kehidupan kiiit... kiit... kita? Kematian Gayanti adalah takdir yang tak dapat
dihindari, tapi tidak perlu
diburu dendamnya.
Barangkali, kemmm... kemmmnu.. Kematian keluargamu juga takdir yang tak
dapat dihindari dan tidak perlu diburu dendamnya."
"Aku tahu. Tapi betapa
sulitnya menghindari dendam yang telah membeku di darah ini!"
"Sesulit itulah diriku
saat harus menerima saranmu. Tapi akk... akkk... aku
ternyata bisa mengikuti saranmu! Aku bisa meredakan dendamku untuk tidak
membunuh Melati Sewu. Ap... ap... apakah kau sendiri tak bisa melakukan seperti
apa yang kulakukan?"
Pendekar Mabuk tak bisa bicara
lagi. la mengakui kebenaran kata-kata Dewa Racun. Tadi ia banyak bicara tentang
dendam dan takdir, sekarang ia sendiri yang harus menjalankan semua
kata-katanya itu. Suto bertekad untuk menjadi orang yang tidak hanya bisa
bicara namun juga bisa berbuat. Maka, ia pun berusaha mati-matian menekan
dendamnya agar tidak mendidihkan darah lagi.
la membatin di dalam hatinya,
"Hidup, jodoh, dan
kematian, adalah bagian dari
kepastian yang sudah digariskan oleh Dia. Aku tak ingin menjadi penentang
kekuasaanNya. Sesulit apa pun, aku harus bisa belajar menerima garis
kehidupanku ini! Kalau toh
aku berhasil membunuh Kombang
Hitam lantaran dendamku, mungkin Badai Kelabu atau orang di pihaknya akan
menyimpan dendam pula padaku. Kalau aku berhasil dibunuh oleh mereka, mungkin
orang yang ada di pihakku juga menyimpan dendam pembalasan kepada mereka. Begitu
seterusnya, dan tak tahu kapan harus berakhir. Bukankah manusia hidup tidak
hanya untuk memburu dendam dan pembalasan? Tidak! Aku malu pada Dewa Racun.
Kalau Dewa Racun bisa meredam dendamnya, mengapa aku tidak?! Aku juga harus
bisa meredam dendamku!"
Akhirnya Suto memutuskan diri
untuk mengobati Manusia Seribu Wajah, yang dulu dikenal dengan julukan Kombang
Hitam. Dewa Racun tampak senang melihat Suto berhasil meredakan dendam dan
amarahnya, walau memakan waktu agak lama. Bahkan Pendekar Mabuk sempat melakukan
semadi sebentar ketika hari menjelang petang. Semadi itu dilakukan untuk
meredakan hawa nafsunya dan mengendalikan jiwanya.
Dua guci tuak disediakan untuk
pengobatan tersebut. Setiap tuak yang akan dipakai untuk pengobatan selalu
dimasukkan lebih dulu ke dalam bumbung bambu yang selalu ada di punggung
Pendekar Mabuk itu. Cara pengobatannya pun tidak hanya sekadar meminumkan tuak
kepada Manusia Seribu Wajah, tapi juga mengguyurkan ke sekujur badannya.
Tentang mengguyurkan tuak ke badan si sakiti itu adalah saran dari Dewa Racun,
yang diam- diam, telah mempelajari cara kerja tuak Pendekar Mabuk dalam setiap
pengobatan.
Suto juga melakukan pengobatan
dengan ilmu
'Sembur Husada'. Sekujur tubuh
Manusia Seribu
Wajah itu disembur dengan tuak
dari mulut Suto, seperti yang dilakukan kepada Peramal Pikun. Hal ini
dimaksudkan Pendekar Mabuk selain supaya penyembuhan cepat terjadi, juga
supaya Manusia Seribu Wajah yang dulu berjuluk Kombang Hitam itu akan lupa pada
diri Pendekar Mabuk. Karena Pendekar Mabuk itu merasa dirinya tak perlu
diingat- ingat lagi oleh Kombang Hitam.
Malam dibiarkan lewat oleh
mereka. Dan ketika pagi menjelang, ternyata sekujur tubuh Manusia Seribu Wajah
sudah tidak lagi membusuk. Bahkan secara mengagumkan sekali tubuh itu menjadi
bersih oleh luka, tanpa bekas dan menjadi seperti semula. Kesehatan Manusia
Seribu Wajah juga pulih, bahkan terasa badannya lebih segar dari biasanya.
Tentu saja hal itu menggembirakan murid-muridnya, termasuk Badai Kelabu dan
Melati Sewu.
Manusia Seribu Wajah pun
tampak gembira, ia menepuk-nepuk
pundak Badai Kelabu sambil ucapkan kata, "Tak sia-sia kau membawa
tabib muda itu kemarii Dia lebih ampuh dari Batu Galih Bumi!"
"Tak ada tabib yang
seampuh Suto, si murid sinting
Gila Tuak itu, Guru.
Karenanya...."
"Tunggu!" potong
Manusia Seribu Wajah. "Dia bernama Suto? Muridnya si Gila Tuak...?! Oh,
aku ingat! Aku ingat siapa dia kalau begitu! Aku ingat...! Mana dia
sekarang?!" sentaknya mulai geram.
*
* *
6
SUTO Sinting
baru saja selesai
memenuhi bumbung tuaknya dengan tuak sisa penyembuhan semalam. Dewa
Racun juga sudah siapkan diri untuk
keberangkatan pulang ke
Pulau Beliung untuk mengambil
Singo Bodong.
Tetapi ketika mereka berada di
pelataran untuk menemui Manusia Seribu Wajah, ia sudah dihadang oleh Melati
Sewu. Wajah perempuan Itu tampak tegang ketika ia ucapkan kata,
"Cepatlah pergi ke
pantai. Di sana sudah ada perahu
yang disiapkan untuk kalianl
Pergilah secepatnya!"
"Kami baru akan pamit
kepada gurumu, Melati
Sewu," kata Pendekar
Mabuk.
"Tidak perlu! Tidak perlu
temui Guru lagi!"
Dewa Racun dan Pendekar Mabuk
saling adu pandang, lalu Pendekar Mabuk lontarkan tanya kepada Melati Sewu,
"Mengapa kami tak diizinkan pamit kepada gurumu?"
"Beliau sedang marah! Beliau tahu
bahwa namamu Suto dan murid dari si Gila Tuak, beliau jadi berang! Pergilah cepat sebelum beliau membunuhmu, Pendekar
Mabuk!"
"Membunuhku?!"
Pendekar Mabuk berkerut dahi sangat tajam. Dewa Racun hanya memandang dalam
kebingungan. Lalu, Pendekar Mabuk ucapkan kata kepada Dewa Racun,
"'Sembur Husada' membuat
seseorang lupa pada diriku, tapi sembuh dari sakitnya."
"Ak... ak... aku tahu.
Dulu aku lihat sendiri hal itu terjadi pada Peramal Pikun. Tap... tapi mengapa
Kombang Hitam masih ingat
tentang dirimu?"
"Berarti ilmunya cukup
tinggi! Ingatannya sulit dihapus dengan ilmu pengobatan 'Sembur Husada'!"
"Lekaslah pergi!"
desak Melati Sewu. "Jangan sampai Guru temukan dirimu, Pendekar Mabuki
Nanti
dia membunuhmu!"
"Jang... jang... jangan
layani dia, Pendekar Mabuk. Sebaiknya kita memang harus cepat pergi!"
"Baiklah!" Suto
Sinting segera bicara pada Melati Sewu, "Sampaikan salam dan pamitku
kepada Badai Kelabu!"
"Ya. Akan kusampaikan!"
jawab Melati Sewu bagai tak sabar lagi menunggu kepergian Pendekar Mabuk.
Pesanggrahan itu tidak
seberapa jauh dari pantai. Banyak melewati jalanan menurun diselingi pohon-
pohon pinus yang bercampur dengan pohon jati dan sebagainya. Pendekar Mabuk dan
Dewa Racun menyusuri jalan itu tanpa banyak bicara. Mereka harus cepat tiba di
pantai dan segera meninggalkan Pulau Hitam itu.
Tetapi, tiba-tiba terdengar
suara memanggil dari arah belakang.
"Sutooo...! Tunggu
sebentar, Sutoooo...!"
Dewa Racun cepat palingkan
pandang ke belakang lalu berkata,
"Bad... bad... Badai
Kelabu, Pendekar Mabuk!" Mereka segera hentikan langkah. Badai Kelabu
berlari-lari menyusul Suto
dengan wajah tegang. Gerakannya lebih lincah dari biasanya. Ketika ia tiba di
depan Suto dan Dewa Racun, napasnya tidak terengah-engah. Hanya wajahnya yang
sedikit kaku, mungkin karena diliputi ketegangan.
"Ada apa. Badai
Kelabu?"
"Ada yang lupa, belum
kusampaikan padamu," jawab Badai Kelabu.
"Tentang apa itu?"
tanya Pendekar Mabuk berkerut dahi.
"Tentang ini…!"
Plokkk...! Tiba-tiba tangan Badai
Kelabu
menghantam kuat ke wajah
Pendekar Mabuk. Cepat sekali gerakan tangannya itu, hingga Suto tak sempat
menghindarinya.
Pendekar Mabuk tersentak ke belakang dua tindak.
Tentu saja Dewa Racun ikut
terperanjat melihat Badai Kelabu tiba-tiba menyerang. Bahkan menurut Suto
Sinting, pukulan Badai Kelabu bukan pukulan tangan kosong, tapi dengan
pengerahan tenaga dalam yang cukup besar. Kalau Pendekar Mabuk bukan orang
berilmu tinggi, pasti pecah bibirnya dan rontok giginya. Tapi karena Pendekar
Mabut punya ilmu yang tidak seharusnya diremehkan, maka pukulan keras bertenaga
dalam itu hanya membuat merah dagunya saja.
Badai Kelabu
cepat ambil sikap
menyerang kembali. Tapi Dewa Racun segera menengahi dengan menghadangkan
diri di antara Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu.
"Tahan...! Tah... tah...
tahan dulu, Badai Kelabu...." "Jangan ikut campur, Kerdil!"
bentak Badai Kelabu,
lalu kakinya berkelebat
menendang Dewa Racun.
Buhgg...! Wusss...!
Tubuh kecil Dewa Racun
terlempar lima langkah jauhnya. Badai Kelabu cepat putarkan badan dan
melayangkan tendangan kipas yang menyabet dada Pendekar Mabuk. Dugg...!
Pendekar Mabuk pun mundur tersentak dua tindak.
Bukan karena Suto tak mau
menangkis atau mengelak, tapi
ia ingin rasakan sebesar apa tendangan Badai Kelabu.
Ternyata cukup besar. Pendekar
Mabuk kerutkan dahi makin
tajam. Menurutnya, tendangan Badai Kelabu tak akan sebesar itu. Kendati
diiringi dengan pengerahan tenaga
dalamnya, tapi Pendekar Mabuk bisa
mengukur bahwa tendangan Badai
Kelabu tak akan sampai terasa di tulang belakang. Tapi kali ini, Pendekar Mabuk
merasakan tendangan itu bagai ingin mematahkan tulang punggungnya walau yang
ditendang adalah dadanya.
Dewa Racun bangkit dan mau
menyerang, tapi dihalangi tangan Pendekar Mabuk. Pada saat itu, Suto cepat
berbisik,
"Ada yang tak beres pada
dirinya!"
Dewa Racun cepat memandang
Badai Kelabu dengan dahi berkerut tajam. Dan tiba-tiba di kejauhan sana dua
manusia perempuan berlari mendekati mereka. Suara kecil memanggil Suto. Dewa
Racun makin terkesiap matanya memandang Melati Sewu sedang berlari bersama Badai
Kelabu. Sedangkan orang yang baru saja menendang Pendekar Mabuk itu juga Badai
Kelabu. Dewa Racun sempat dibuat bingung beberapa kejap.
Cepat-cepat Pendekar Mabuk melayangkan tendangan sampingnya ke arah
Badai Kelabu yang ada di depannya. Tapi tendangan itu tertangkis tangan lawan.
Gerakan menangkisnya begitu cepat dan mempunyai kekuatan cukup tinggi, hingga
tulang kaki Pendekar Mabuk merasa linu beradu tulang tangan lawan.
Pendekar Mabuk cepat putarkan
badan dengan merendah dan badan membungkuk. Kakinya yang kanan memanjang dalam putaran bawah dan menyapu kaki lawan.
Wusss...! Lawan melompat menghindarinya
dengan
melancarkan tendangan keras
ke arah wajah Pendekar Mabuk. Tapi Suto sudah siaga, gerak pancingannya
termakan lawan. Pada saat kaki lawan menjejak wajahnya itulah Suto segera
menotokkan dua jari tangannya ke mata kaki
lawannya. Ttebb...!
Satu kali totokan bertenaga
tinggi telah membuat lawan
mengerang panjang sambil tubuhnya mengejang. Dan tiba-tiba sosok
tubuh sebagai Badai Kelabu itu berubah wujud menjadi sosok tubuh lelaki
berwajah angker, berambut putih dan berkumis putih, badan sedikit gemuk dengan
pakaian hitam berjubah abu-abu, di punggungnya terselip sebuah pedang bergagang
hitam. Sosok itu tak lain adalah sosok si Kombang Hitam, alias Manusia Seribu
Wajah.
"Bangsat kau!" geram
Manusia Seribu Wajah. "Rupanya kau menguasai jurus 'Sekat Nadi' yang bisa
membuyarkan perubahan wujudku, hah?!"
Pendekar Mabuk yang sudah
menarik diri setelah wujud Kombang Hitam terlihat jelas itu, hanya
tersenyum tipis dengan tetap berdiri
agak menyamping. Matanya tajam menatap lawan tak berkedip.
Terdengar suara Badai Kelabu
yang asli berseru, "Guru! Jangan teruskan, Guru! Saya mohon jangan
teruskan perselisihan ini!"
Kombang Hitam memandang kedua
muridnya yang baru saja tiba dengan mata garang menyeramkan. Melati Sewu tak
berani lebih dekat lagi, sebab dia tahu jika gurunya sedang murka begitu, apa
saja yang ada di dekatnya bisa dijadikan sasaran kemarahannya. Tapi Badai
Kelabu yang merasa bertanggung jawab
atas kedatangan Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun ke pulau itu, memaksakan diri untuk mendekati gurunya dan
membujuk amarahnya.
"Guru, saya mohon dengan
hormat, jangan sakiti dia, Guru!"
Plokk...!
Tangan Kombang Hitam
berkelebat mengibas ke samping dan wajah Badai Kelabu yang menjadi sasarannya.
Tubuh perempuan itu terpental empat langkah jauhnya dengan tulang pipi menjadi
biru legam. la jatuh tak jauh dari Melati Sewu, dan segera ditolong untuk bangkit
berdiri. Melati Sewu bisikkan kata,
"Hati-hati, jangan
terlalu dekat dengan Guru jika beliau sedang begitu! Bisa mati kau!" '
Kombang Hitam yang sudah
berusia cukup banyak itu ternyata masih menyimpan semangat dendam seperti dulu
kala. Matanya memancarkan api membunuh begitu jelas,
sehingga napasnya pun terlihat cukup deras hembusannya.
"Suto! Kau masih ingat
siapa aku, hah?!" suaranya pun tegas.
"Ya. Aku masih ingat! Kau
yang membantai keluargaku!" kata Suto tak kalah tegasnya.
"Bagus! Bagus kalau kau
masih ingat, karena hanya kau satu-satunya orang yang lolos dari pembantaian
itu! Matiku tak akan tenang jika keluarga Wiseso yang tertinggal belum
kubunuh!"
"Kombang Hitam! Sejak
kulihat kau pertama dalam keadaan sekarat di dalam kamarmu, aku sudah mengenali
siapa dirimu! Kalau aku mau lakukan, mudah sekali membunuhmu dalam keadaan
seperti itu!"
"Itu menandakan kau anak
yang bodoh!" sentak
Kombang Hitam.
"Terserah caramu menilai.
Tapi yang jelas, aku tak mau diperbudak oleh dendam masa lalu! Ku lupakan masa
lalu itu, dan kusembuhkan luka parahmu yang hampir merenggut nyawamu! Tapi
seperti inikah pembalasanmu padaku, Kombang Hitam?"
"Ya!" jawab Kombang
Hitam dengan menyentak keras. "Kau pun seharusnya mati pada usia delapan
tahun! Tapi niatku membunuhmu terpaksa kutunda! Kuberi kau kesempatan untuk
hidup, menikmati masa remajamu, menikmati masa dewasamu, dan sekarang sudah
waktunya kau menikmati masa kematianmu, Sutol"
"Aku tidak bersedia
melayani dendammu, Kombang Hitam! Aku bukan budak nafsuku sendiri! Selamat
tinggal!"
Slappp...! Pendekar Mabuk
cepat sentakkan kaki dan pergi dengan begitu cepat bagaikan angin lewat.
Dewa Racun pun mengikutinya walau sedikit tertinggal oleh Pendekar
Mabuk.
"Jangan lari kau,
Sutooo...!" teriak Kombang Hitam. Ketika ia hendak mengejar Pendekar
Mabuk, Badai Kelabu cepat menyergap kedua kaki Kombang
Hitam.
"Guru! Jangan bunuh dia!
Ingatlah, Guru…! Dia telah menolong menyembuhkan luka parah yang Guru derita!
Dia telah menyelamatkan nyawa Guru! Kumohon, jangan bunuh dia, Guru!"
Badai Kelabu menangis sambil memeluk kaki gurunya.
Manusia Seribu Wajah itu
menggeram dengan sangat marahnya. Maka, ia pun sentakkan kakinya ke depan dan
tubuh Badai Kelabu terlempar kembali lebih jauh dari yang pertama. Tubuhnya
membentur batang pohon dan jatuh sambi! memekik tertahan.
Tanpa peduli tangis dan rintih
muridnya, Manusia Seribu
Wajah cepat tinggalkan tempat dengan gerakan seperti Suto.
Tubuhnya lenyap begitu saja, tak terlihat lagi bentuk dan wujudnya. Sedangkan
Badai Kelabu yang merasa sakit di bagian tulang punggungnya segera dibantu oleh
Melati Sewu untuk
berdiri.
"Melati Sewu, tolong...
cegah tindakan Guru! Kasihan Pendekar Mabuk dan Dewa Racun! Kau tahu sendiri,
mereka telah menyelamatkan nyawa Guru! Mereka bukan orang jahat! Mereka
bersikap baik kepada kita!"
"Iya, iya... aku tahu! Tapi
bagaimana cara mencegah
tindakan Guru? Kita tak bisa menahan amukan Guru! Melawan Guru sama saja
melawan liang kubur, Badai Kelabu!"
"Bagaimanapun caranya,
lakukan saja! Jangan sampai Pendekar Mabuk mati di tangan Guru! Oh, aku jadi
menyesal jika begini. Menyesal sekali mengapa aku membawa Pendekar Mabuk untuk
menolong Guru kalau akhirnya nyawa penolong itu terancam oleh murka
Guru?!"
Melati Sewu mengerti perasaan
Badai Kelabu. Melati Sewu diam-diam juga mengecam tindakan gurunya yang tidak
tahu berterima kasih kepada orang yang telah menolongnya. Seketika Melati Sewu
menjadi kurang suka dengan gurunya. Tapi semua itu hanya bisa dipendamnya di
dalam hati, tak berani dilampiaskan dalam bentuk apa pun, karena Melati Sewu
tak ingin mati akibat murka sang Guru.
"Begini saja," kata
Melati Sewu, "Kita ikuti terus mereka, sambil kita menjaga Suto. Jika Suto
dalam keadaan terdesak dan Guru mau merenggut nyawanya, kita ganggu serangan Guru dengan membuat ulah yang menghambat
gerakan Guru!"
"Baik," jawab Badai
Kelabu sambil mengakhiri isak tangisnya. "Kita susul mereka, Melati
Sewu!"
Maka, kedua perempuan yang
sudah memihak Pendekar Mabuk secara tak langsung itu segera melesat pergi.
Kecepatannya masih belum sebanding
dengan kecepatan Pendekar
Mabuk dan Manusia
Seribu Wajah.
Sampai di pantai, langkah Suto
terhenti karena ia melihat seseorang berdiri di depannya. Orang itu mengenakan
jubah kuning dengan pakaian dalamnya berwarna hijau. Rambut dan jenggotnya putih, menggenggam tongkat di tangan
kanannya. Suto Sinting sangat terkejut melihat orang itu berdiri menghadangnya,
karena orang itu adalah si Gila Tuak, gurunya sendiri.
"Eyang Guru...?!"
sapa Pendekar Mabuk sambil sedikit
membungkuk memberi hormat kepada gurunya.
"Apa yang terjadi.
Suto?" tanya si Gila Tuak dengan dingin.
"Kombang Hitam masih
menaruh dendam pada saya dan ingin membunuh saya, Guru!"
"Menyingkirlah ke
belakangku! Biar kuhadapi dia!" Tapi, Guru...."
"Pergilah ke belakangku!
Lekas!" sentak si Gila
Tuak.
Suto pun bergegas pergi ke
belakang si Gila Tuak yang tak disangka-sangka datang ke pulau itu. Ketika
Pendekar Mabuk berada di belakang si Gila Tuak, hatinya merasa sedikit tak enak
melihat si Gila Tuak mengenakan gelang akar bahar warna hitam. Seingat Suto
Sinting, gurunya tak pernah memakai gelang akar bahar.
Kecurigaan itu terlambat.
Tiba-tiba si Gila Tuak sodokkan
tongkatnya ke belakang dan tepat mengenai ulu hati Pendekar Mabuk.
Buhgg...!
"Huggh...?""
Pendekar Mabuk terbungkuk
seketika. Sodokan tongkat itu begitu kuat dan dialiri tenaga dalam yang
cukup besar. Mata Suto
mendelik dan berkunang- kunang. Napasnya bagai terhenti di pertengahan dada.
Si Gila Tuak segera balikkan
badan sambil kakinya berkelebat naik dan menendang wajah Pendekar Mabuk dengan
kerasnya. Plokkk...! Wajah Pendekar Mabuk tersentak ke samping, bersamaan
dengan itu tubuhnya terlempar oleng hingga jatuh di pasir pantai.
Cepat-cepat Pendekar Mabuk
kibaskan kepalanya membuang pandangan yang berkunang-kunang itu. Jari tangan
bagian telunjuk kanan mulai mengeras, lalu ia sentilkan telunjuk itu ke depan
dalam keadaan masih rebah miring di tanah. Sentilan jurus 'Jari Guntur' itu
tidak mempunyai wujud ataupun warna, namun gelombang tenaga dalam yang
dikeluarkan cukup tinggi. Sentilan itu diarahkan di mata kaki si Gila Tuak.
Dubb...!
Mata kaki itu tepat terkena
sentilan 'Jari Guntur'.! Si Gila Tuak meraung keras sambil mengangkat kakinya
yang tersentil itu. la berjingkat-jingkat dengan satu kaki, dan pada saat itu
wujud si Gila Tuak pun pudar, berganti ujud Manusia Seribu Wajah alias Kombang
Hitam.
"Baru sekarang aku
menghadapi lawan setangguh ini!" gumam Pendekar Mabuk di dalam hati, dan
demikian pula gumam Kombang Hitam di batinnya.
Keduanya saling berhadapan
siap menyerang lagi. Tapi dalam hati Suto selalu berusaha agar tidak melakukan
penyerangan. la tidak ingin membunuh karena dendamnya yang telah membeku selama
dua puluh tahun itu. la hanya ingin menghindari dan memberi pelajaran kepada
orang berilmu tinggi yang tak tahu balas budi itu.
"Bocah sinting! Semakin
lama kau membuatku semakin bernafsu untuk melenyapkan nyawamu, tahu?!"
"Kombang Hitam! Kuasailah amarahmu. Kendalikan nafsumu! Untuk apa
kita saling membunuh jika
persoalan itu sudah lama berlalu!"
"Tutup bacotmu, Bocah dungu!"
sentak Kombang Hitam. "Sebelum kulenyapkan sisa keturunan Ronggo Wiseso,
tak akan tenang arwahku bersemayam di alam baka nanti!"
"Kau benar-benar telah
diperbudak oleh dendam, Kombang Hitam! Kau selalu memaksaku untuk membunuhmu!
Padahal hal itu tak perlu terjadi. Kurang
puaskah kau telah membantai semua keluargaku?!"
"Belum semuanya! Masih
ada yang tersisa, yaitu kau!" sentak Kombang Hitam sambil tangannya
dihentakkan ke depan dengan jari telunjuk mengeras. Dari ujung jari itu keluar
sinar merah berkelok-kelok bagai lidah petir. Wuttt...!
Gerakan sinar yang cepat itu
menghantam tubuh Pendekar Mabuk. Namun pada saat itu Pendekar Mabuk cepat ambil
bumbung tuaknya dan dipakai untuk menghadang kilatan sinar merah itu. Tubb...!
Sinar itu membentur bumbung tuak dan memantul balik menjadi lebih besar serta
lebih cepat. Wussss...!
Crasss...!
"Aaahg...!" Kombang
Hitam terpekik dengan mata mendelik. Karena ia tak menduga sama sekali bahwa
sinar merah dari jarinya itu akan memantul balik dalam keadaan lebih besar dan
lebih cepat. Kombang Hitam tak punya kesempatan mengelak karena jaraknya dengan
Pendekar Mabuk hanya antara lima langkah. Akibatnya, sinar merah itu mengenai
ujung
pundak kirinya. Pundak kirinya
itu menjadi bolong dari bagian depan di atas dada sampai ke belakang, di sudut
punggung.
"Jahanam kaaauu...!" geram Kombang Hitam segera mencabut pedangnya. Srett...! Lalu, ia melompat bagaikan harimau
terbang dengan pedang siap ditebaskan dari atas ke bawah.
Pendekar Mabuk berdiri agak
merendah. Tabung tuaknya
dipegang dengan
dua tangan dan dihadangkan melintang ke atas kepala.
Pedang itu pun ditebaskan sekuat tenaga dan berbenturan dengan bumbung bambu
tempat menyimpan tuak itu.
Trasss...! Nyala api merah
memercik ke mana- mana akibat benturan pedang baja dengan bumbung bambu itu.
Dan yang membuat Kombang Hitam makin mengganas adalah setelah ia melihat bahwa
ternyata pedangnya itu patah menjadi beberapa bagian, tinggal bagian kecil yang
menancap di bagian gagangnya.
"Bangsat kau! Pedang
pusakaku kau buat begini, hiiaaaat...!"
Begggh...! Kombang Hitam
berhasil menendang lengan Suto. Tendangan keras dan bertenaga dalam itu membuat
Pendekar Mabuk terlempar ke samping dalam jarak tiga langkah. la menjadi
limbung dan bergerak oleng bagaikan orang mabuk
parah. Tubuhnya meliuk ke kiri dan ke kanan dengan kepala ikut terayun
lemas.
Melihat lawannya sempoyongan,
Kombang Hitam tak mau gunakan kesempatan secara sia-sia. Dengan cepat ia
sentakkan kedua tangannya yang beradu rapat pada pangkal pergelangan tangan
itu. Sentakan kedua tangan ke depan membuat cahaya biru melesat. Padahal
jaraknya dengan Suto Sinting hanya
antara empat sampai lima
langkah. Tentu saja cahaya biru itu dengan cepat tiba di tempat Pendekar Mabuk.
Tetapi, Pendekar Mabuk yang
disangkanya sempoyongan
karena lemah itu,
sebenarnya menyiapkan
diri untuk menghadapi serangan berikutnya. Jurus mabuknya
memang sering menipu lawan,
sehingga pada saat cahaya
biru itu menghantamnya,
Suto sudah siap menangkis dengan bumbung tuaknya.
Behgg...! Woosss...!
Cahaya biru itu membalik arah
dan menjadi lebih besar serta lebih cepat. Kombang Hitam terkesiap dan terpaku
di tempat. Akibatnya sinar biru dari pukulan mautnya itu menghantam telak
dadanya. Blarrr...!
Tubuh Kombang Hitam tidak
tersentak sedikit pun. Tetap berdiri tegak. Tapi sekujur tubuhnya menjadi hitam
bagai habis disambar petir. Matanya merah, mengucurkan darah, ia masih sempat
menggeram benci sambil mulutnya mengucurkan darah merah kehitaman.
Pada saat Badai Kelabu dan
Melati Sewu tiba di tempat,
Kombang Hitam rubuh
ke tanah tak bernyawa lagi.
"Guruuu...!" teriak
Badai Kelabu sambil berlari-lari. Dewa Racun hanya diam saja, berdiri di bawah
pohon sejak tadi. Tapi ia siap
melancarkan serangan jika Badai Kelabu atau Melati Sewu diam-diam melepaskan
pukulan kepada Pendekar Mabuk.
*
* *
7
KALAU saja ada pilihan lain,
Pendekar Mabuk akan memilih jalan lain. la sudah berusaha menghindar, ia sudah
berusaha tidak menyerang, tapi toh akhirnya Kombang Hitam itu mati pula di
tangannya. Itulah suratan takdir!
Sambil mendayung perahunya
yang mati karena tak ada angin, Suto masih merenungi kematian Kombang Hitam.
Peristiwa itu telah mengingatkan dirinya bahwa dendam tak perlu diburu, bahwa
pembalasan akan tiba sendiri
pada saatnya.
Sekalipun ia sudah mengelak dari dendam, sekalipun ia sudah berusaha agar tidak
membalas kematian keluarganya yang dibantai habis oleh Kombang Hitam, tapi di
pihak lawan justru serahkan nyawa sebagai penebus dan pembalasan atas
pembantaian itu.
"Tak kusangka kematian
Kombang Hitam akhirnya ada di tanganku juga, walau secara tidak sengaja,"
pikir Suto. Lalu, terbayang wajah bapaknya yang dihajar habis oleh anak buah
Kombang Hitam, terbayang pula wajah ibunya yang dengan penuh kasih sayang
sering menciumi kepalanya.
Terbayang pula wajah kakaknya,
yang sering mengatakan Suto sebagai anak bandel. Terbayang pula wajah
pembantunya, yang sering merasa jengkel karena ulah kenakalan Suto. Pembantu
itu pun mati terpenggal kepalanya oleh anak buah Kombang Hitam. Suto pun
terbayang wajah Paman Dubang yang dengan setia mengasuhnya, bahkan waktu
peristiwa itu terjadi, Suto sedang diajar naik kuda oleh Paman Dubang.
Terngiang di telinga Suto jerit kematian Paman Dubang yang terperosok jatuh ke
jurang dalam pengejaran Kombang Hitam,
Hati Suto tergores pedih,
namun ditahannya dengan cara menarik napas dalam-dalam,
"Aku sudah membalaskan
kematian kalian, walau sebenarnya
aku tidak menghendaki adanya pembalasan," kata Pendekar
Mabuk di dalam hatinya yang seolah-olah bicara kepada roh para korban.
"Namun pembalasan itu akhirnya datang juga, dari Yang Maha Kuasa, melalui
perantara tanganku sendiri! Semoga kalian tenang di alam kelanggengan sana.
Semoga Bapak dan Ibu bangga melihat anaknya menjadi seperti saat ini. Sehebat
apa pun aku sekarang ini, tak akan mungkin bisa menjadi begini jika tanpa
kalian; pengasuhku, perawatku, pembimbingku, semasa aku masih bocah
kecil!"
Glegar...!
Kilat menyambar di langit. Mendung mulai menutupi mentari. Air laut
bergelombang, makin lama terasa semakin meninggi ayunannya. Dewa Racun yang
berada di haluan segera berseru,
"Akan tur... tur... turun
hujan, Suto!"
"Ya! Cepatlah masuk ke
barak, biar aku yang kemudikan perahu ini!" balas Suto Sinting dengan
suara keras.
Angin menderu kencang. Hujan
mulai turun rintik- rintik. Sebentar lagi tak akan ada sisa cahaya matahari
karena senja semakin menua. Sekarang pun alam sudah menjadi gelap, langit bagai
diselimuti kain hitam raksasa. CIap… claaap...! Glegaaar...! Guntur bersahutan di
langit, seakan mengancam sebuah
perahu berlayar
tunggal yang sedang
terombang-ambing dipermainkan ombak samudera. Kadang perahu meninggi, kadang
jatuh terhempas menjadi rendah. Kadang meliuk ke kiri, kadang meliuk ke kanan.
Hujan mengguyurnya semakin kuat
dan deras. Tapi Suto tatap
berada di haluan dan Dewa Racun tak mau tinggal diam di dalam barak beratap
rendah Itu.
"Suto» tul.. tu... tul..
tutup layar supaya badai tidak melemparkan perahu ini!"
"Ya! Tutuplah!"
Hanya berdua mereka di atas
perahu dalam perjalanan menuju
Pulau Badung. Rencananya, mereka hanya ingin
mengambil Singo Bodong sambil memeriksa apakah Hantu Laut sudah sampai di sana
atau belum. Tetapi, keduanya kini berada di tengah amukan badai laut. Dewa
Racun menduga perahu akan pecah seperti saat mereka tinggalkan tanah Jawa
beberapa waktu yang lalu.
Tatapi rupanya perahu yang
mereka gunakan kali ini lebih kokoh dan lebih tegar. Tamparan ombak dan
hembusan badai bisa ditahannya. Sayang sekali tak ada cukup minyak di dalam
perahu itu, sehingga perjalanan malam menjadi gelap gulita. Hanya ada sedikit
minyak untuk menyalakan pelita kecil sebagai penerang barak dan sering dibawa
ke sana-sini bila hujan mereda.
Tapi hujan datang silih
berganti. Kadang terang kadang deras. Akibatnya, Suto dan Dewa Racun
membiarkan perahunya terapung-apung di atas lautan bergelombang.
Mereka cukup lelah menguras air yang
masuk ke perahu yang tadi hampir menenggelamkan mereka. Keduanya tertidur di dalam barak, dan bangun di pagi
hari dalam cuaca tak seburuk tadi malam.
Cuaca pagi itu sangat cerah.
Matahari bersinar dengan terang sekali. Langit putih bersih tanpa setitik
mendung pun di sana. Tetapi Dewa Racun segera kerutkan dahi melihat sebuah
pulau kecil berbentuk
seperti garpu dua mata. Perahu
itu terseret ombak sampai ke relung perairan di tengah pulau kecil itu.
"Sssuu... suuu…
Suto!" panggil Dewa Racun yang ada di luar barak. "Per... perahu kita
kandasl"
Suto bergegas bangun dan
keluar dari barak. la memeriksa bagian lambung kapal, ternyata keadaan perahu
sedang terjepit di kedua tonjolan batu karang. Lambung kapal robek sedikit,
namun tak sampai membuatnya bocor.
"Perahu kita hanya robek
Sedikit bagian lambungnya!"
kata Suto. "Aku akan turun melihat batu karang itu!"
"Tap... tap... tapi
mengapa perahu kita miring dan... dan... banyak air di buritan!"
Suto terkesiap, cepat
memeriksa bagian buritan. la terbengong, ternyata perahu bocor besar di bagian
buritan. Suto menarik napas beberapa saat, lalu berkata,
"Kita harus menambal
perahu ini, Dewa Racun!" "Kit... kita... kita tidak punya per...
per... per...." "Perawan?!"
"Peralatan!" sentak
Dewa Racun. "Kita tidak punya peralatan untuk menambal perahu, sedangkan
Pulau Beliung masih cukup jauh. Kita bel... bel... bel...,"
"Beling?!"
"Belum! Kita belum
melewati gunung karang yang runcing seperti waktu kita berangkat tempo hari.
Ber... ber... ber...."
"Beranak?!"
"Berarti! Berarti kita
masih jauh dari Pulau
Beliung!"
"Kalau begitu, kita temui
penduduk pulau ini dan minta bantuannya. Kita pinjam peralatan untuk menambal
perahu ini!"
Pulau kecil itu memang penuh
dikelilingi oleh karang.
Pantainya sangat dangkal. Semestinya perahu tak bisa masuk
ke celah di tengah pulau berbentuk garpu mata dua atau berbentuk huruf U itu.
Hanya saja, semalam agaknya air laut pasang, sehingga perahu bisa masuk ke
relung itu, ketika air laut surut, perahu dalam keadaan terjepit dua gugusan
karang yang tersumbul sedikit di permukaan air laut. Mau tak mau Pendekar Mabuk
dan Dewa Racun menghubungi penduduk di pulau yang tak diketahui namanya oleh
mereka itu.
Tetapi Suto menjadi sangsi
setelah menyadari pulau kecil itu sunyi dari suara. Sesekali ada kicau burung,
tapi tak ada suara kehidupan manusia di dalam kerimbunan hutan di bagian
tengahnya. Bekas sisa makanan atau perahu yang pernah ditambatkan pun tak ada.
"Pulau ini kosong,"
kata Suto. "Tak berpenghuni kecuali burung dan binatang lainnya."
"Jad... jad... jadi kita
terdampar di pulau kosong?" "Mestinya begitu!"
"Wah, lila... laa... lalu
kita mau minta bantuan kepada siapa? Kita mau pinjam peralatan buat tambal
perahu kepada siapa?''
"Kepada burung,"
jawab Pendekar Mabuk sambil tertawa pendek. "Tapi coba kita periksa bagian
pantai sebelah sana!"
Keduanya melangkahkan kaki
melalui semak belukar. Tapi tiba-tiba tubuh Suto bagaikan tersedot bumi.
Bruuussss...!
"Sut... Sut...
Sutoooo...!" teriak Dewa Racun dengan suara gagapnya. Wajah kerdil itu
menjadi tegang. la sangka ada seseorang yang menarik kaki Suto dari dalam
sebuah lubang. Capat-cepat Dewa Racun
memandang sekeliling sambil
pegang busur dan anak panahnya. Gerakannya cepat dan penuh selidik. Anak panah
siap dilepaskan kapan saja terlihat ada yang mencurigakan.
"Dewa Racuuun...!"
Terdengar suara Suto Sinting
dari kedalaman lubang. Dewa Racun segera memeriksa lubang tempat terperosoknya
Suto Sinting. Ternyata lubang itu adalah sumur tua yang sudah tidak terpakai
lagi. Sumur itu tertutup oleh tanaman liar hingga tak terlihat lubangnya. Sumur
itu sudah tidak berair lagi. Tapi masih tampak lembab dindingnya, mungkin
karena hujan semalaman.
"Sutooo...! Baag... baaag... bagaimana keadaanmu?!"
"Cepatlah turun! Di sini
ada ruangan lebar!"
Dewa Racun tak tanggung-tanggung
lagi, ia segera ceburkan diri ke dalam sumur tua itu. Wuuus...! Prass,
bruuk...! la Jatuh di gundukan tanah berpasir. Anehnya tanah itu kering bagai
tak pernah terkena curahan air hujan dari atas lubang sumur tersebut.
"Dewa Racun kita..."
"Ssst...!" Dewa
Racun kasih isyarat agar Pendekar Mabuk diam sebentar. la cepat pejamkan mata
dan letakkan telunjuknya di pelipis kanan-kiri. la sedang sadap suara
percakapan. Tapi beberapa saat kemudian la lepaskan telunjuk
itu.
"Sep... sepertinya ada
orang di atas sana!" "Kau dengar percakapan di atas sana?"
"Tid... tid... tid...."
"Tidur?"
"Tidak! Tidak ada
percakapan. Hmmm... mungkin hanya perasaanku saja! Sepertinya tadi kita tidak
menemukan gerakan manusia sedikit pun. Lupakan
soal perasaanku ini! Sek...
sek... sekarang kita ada di mana ini, Suto?"
"Di dasar sumur!"
jawab Pendekar Mabuk. "Tapi lihatlah, ada lorong seperti kamar di sebelah
sana. Atapnya cukup tinggi!"
"Ad... ada cahaya hijau
juga. Mung... mungkinkah ada orang yang menyalakan lampu warna hijau di dalam
kamar itu?"
"Mari kita periksa ke
sana!"
Suto Sinting melangkahkan kaki
lebih dulu. Ruang yang diibaratkan seperti kamar itu ternyata sebuah lorong
panjang. Cahaya hijau semakin terang di ujung sana. Lorong itu makin lama makin
lebar. Dindingnya berlumut, dan lumut itu mengeluarkan sinar hijau bagai
mengandung fosfor. Cahaya hijau itu semakin ke dalam semakin luas dan membuat
ruangan lebar tersebut dipenuhi oleh cahaya hijau.
"Tem... tem... tempat apa
ini, Pendekar Mabuk?" "Kalau kutahu sudah kukatakan padamu sejak
tadi," jawab Suto
Sinting. "Justru aku sedang berpikir, tempat apa ini? Kelihatannya tempat
ini belum pernah dijamah manusia. Lumut-lumut yang memancarkan
cahaya hijau itu belum ada yang menyentuhnya, keadaannya masih tumbuh secara
alami. Tonjolan-tonjolan batu di dinding itu menampakkan bahwa ruangan ini
terjadi secara alam, bukan buatan manusia! Hmmm... tapi lorong ini cukup
panjang rupanya!"
"Kit... kit... kita ikuti
saja sampai di mana ujung lorong ini!"
Mereka melangkahkan kaki tidak
dengan terburu- buru. Selain merasa kagum melihat tanaman lumut bercahaya,
mereka juga menikmati keindahan lekuk- lekuk langit lorong yang mirip lukisan
alam. Ada yang
bergelembung bagai bisul besar
mau pecah, ada yang lonjong mirip hidung raksasa, ada yang pipih dan
berbuku-buku. Semakin mereka melangkah jauh di kedalaman semakin mereka
menemukan banyak keindahan.
Di sela tanaman lumut yang
menyala itu, terdapat bebatuan
yang berwarna-warni. Ada yang menggerombol berbentuk bulat-bulat berwarna kuning terang, ada yang dalam
bentuk satu bongkahan besar berwarna merah bening, bahkan ada yang
berbintik-bintik kecil mirip butiran biji salak berwarna coklat tua yang
bening, dapat memantulkan sinar hijau dari tanaman lumut itu.
"Ap... ap... apakah ini
surga, Pendekar Mabuk?" "Entahlah! Aku tak bisa bicara apa pun
rasanya.
Begitu indah pemandangan di
dalam gua panjang ini. Aku merasa berada di dalam sebuah istana yang tak pernah
ada di permukaan bumi mana pun juga. Lihat...!" Suto menunjuk ke satu
arah. "Batuan itu berdiri seperti pilar penyanggah langit-langit gua, tapi
jelas bukan buatan tangan manusia! Pasti terjadi secara alami!"
Dewa Racun terkagum-kagum
melihat batuan bening yang besarnya satu pelukan anak kecil, berdiri bagai
menopang langit-langit goa. Bentuknya tak beraturan, tapi warna merah lembayung
begitu cerah dan indah. Sangat menakjubkan. Dewa
Racun mendekatinya pelan-pelan
dengan mulut terperangah.
Tapi ketika ia mau memegang,
tiba-tiba tangannya
buru-buru ditarik mundur. la
terkejut dengan mata terbelalak lebar. Suto heran melihat Dewa Racun terkejut,
lalu ajukan tanya,
"Ada apa? Kenapa kau tak
jadi memegangnya?"
"Batu ini mempunyai racun
yang berbahaya. Jang... jang.. jangan coba-coba menyentuhnya!"
"Dari mana kau
tahu?"
"Getarannya kurasakan. Te...te...te... telapak tanganku baru mau menyentuh sudah
terasa gatal!"
"Hmmm...," Suto
menggumam sambil manggut- manggut. "Jelas sudah!"
"Ap... apanya yang
jelas...?!"
Suto belum menjawab. Matanya
tertarik pada batuan merah yang mirip buah anggur menggerombol di lorong depan.
la segera dekati batuan itu, Dewa Racun mengikutinya. Dewa Racun cepat bicara,
"lt... itu... itu batu
mirah delima! Woow, bann... ban...
banyak sekali?!"
Dewa Racun mendului mendekat. Memandang lebih jelas.
Ketika tangannya mau menyentuh, tiba-tiba tangannya ditarik kembali seperti
tadi. Wuuut...!
"Bat... bat...
bat...." "Batuk?"
"Batu ini! Batu ini
juga beracun. Jangan menyentuhnya!"
"Semakin jelas,"
gumam Pendekar Mabuk.
"Apanya yaaang...
yaaang.. jelas?!" tanya Dewa
Racun makin penasaran dengan
maksud Suto. "Semua keindahan ini hanya boleh dinikmati
dengan mata. Boleh dilihat,
tapi tak boleh dipegang. Boleh dinikmati tapi tak boleh dimiliki!"
Mengapa beg... beg...
begitu?"
"Ajaran dari alam
kehidupan," jawab Suto. "Di sekeliling kita banyak hal yang menarik
dan memikat hati, tapi tidak semuanya bisa kita miliki. Terutama jika bukan
milik sendiri, kita tidak bisa mengambil barang itu! Agaknya gua ini punya
ajaran kehidupan sendiri yang punya makna besar bagi manusia,
bahwa apa yang sering kita
anggap indah menawan hati, belum tentu menguntungkan bagi kehidupan kita. Barangkali
gua ini mengajarkan kita agar jangan mudah tergiur oleh keindahan dan
kemegahan. Gua ini juga mengajarkan pada manusia agar selalu waspada, bahwa di
balik keindahan dan kemegahan terdapat maut yang tersimpan!"
Dewa Racun
angguk-anggukkan kepala
dan tambahkan kata, "Mung... mung... mungkin kita juga bisa belajar
dari gua ini, yaitu belajar mengendalikan nafsu pribadi agar tidak gegabah
dalam bertindak. Buktinya, kalau... kalau... kalau kita gegabah dan mengambil
salah satu batu yang indah di sini, maka kita akan mati direnggut racunnya yang
berbahaya itu!"
"Ya. Benar pendapatmu,
Dewa Racun!"
Mereka melangkah semakin ke
dalam. Mereka tidak merasakan letih sedikit pun. Mereka tidak sadarkan diri,
bahwa mereka telah cukup lama berada di dalam gua keindahan itu dan melangkah
sudah cukup jauh pula. Yang ada dalam hati mereka adalah ketenangan
batin, kegembiraan dan kedamaian.
Ruangan yang lebarnya lebih
dari sepuluh tombak itu mempunyai pilar-pilar alam yang berwarna-warni dan
memancarkan kebeningan yang indah. Pilar-pilar itu seperti sesuatu yang kental
menetes dari atas dan mengeras. Letak dan bentuknya tidak beraturan. Ada yang
berongga, ada yang seperti dua tangan terjuntai, ada yang mirip buah labu, ada
yang seperti mata tombak
raksasa,
semuanya mengandung seni keindahan yang mahal dan sukar didapatkan
di permukaan bumi.
"Seee... semua pilar itu
ber... ber... beracun!
Jangan sampai tubuh kita
tersentuh sedikit pun!" Dewa Racun mengingatkan.
Pilar-pilar itu semakin
banyak, jaraknya semakin sempit. Langkah mereka semakin hati-hati. Dan pada
satu sisi tertentu, Pendekar Mabuk hentikan langkah sambil berkata,
"Dewa Racun...! Aku
mendengar suara gemercik air di depan sana!"
"Aaa... air...
air?!" Dewa Racun pejamkan mata dan tempelkan telunjuk di pelipis, lalu
berkata lagi, "Ya, ad... ad... ada air di depan sana. Air yang tertampung
dalam satu tempat!"
"Jangan-jangan... Kolam
Sabda Dewa?!" Pendekar
Mabuk berkata dengan tegang.
*
* *
8
LANGKAH demi langkah mereka
susuri gua aneh yang penuh dengan keindahan itu, sampai pada satu langkah yang
memaksa mereka harus berhenti. Dewa Racun yang berjalan paling depan yang
pertama kali menghentikan langkahnya, sehingga Suto Sinting pun turut berhenti
dan tertegun sebentar di situ.
Pilar-pilar indah sudah tak
ada. Tapi lumut yang memancarkan
cahaya hijau masih
ada, hanya letaknya tidak
lagi di dinding kanan kiri gua, melainkan di langit-langit gua tersebut.
Lumut-lumut berdaun panjang itu menggantung bagai lampu- lampu hias yang
memancarkan sinar hijau indah.
"Sut... Sut... Suto,
haruskah kita tetap terus melangkah?"
"Pertimbangkan dulu
sebelum melangkah," jawab
Pendekar Mabuk.
Jelas Dewa
Racun bimbang melanjutkan langkahnya, karena
lantai gua bagian depan mereka bukan lagi dari tanah atau bebatuan biasa,
melainkan dari kaca yang jernih dan bening sekali. Karena bening dan jernihnya,
lumut-lumut di atas pun terpantul jelas, hingga lantai gua itu bagaikan
memancarkan cahaya hijau bening yang sangat terang. Sedangkan pada dinding
kanan kiri gua, masih terdapat aneka bebatuan yang punya warna- warna cerah dan
berkilap.
"Meng... meng... mengapa
lantainya jernih sekali, Suto? Begitu jernihnya hingga sep... sep... seperti
air yang bening. Ak... aku takut menginjaknya!" kata Dewa Racun.
"Gua ini benar-benar
penuh arti kehidupan," kata Pendekar
Mabuk sambil matanya memandangi bebatuan yang ada di
dinding lorong berikut. "Lantai ini jernih, merupakan peringatan bagi kita
untuk memperhitungkan setiap langkah yang akan kita lalui, memperhitungkan
setiap tindakan yang akan kita lakukan.
Jika kita berhati bersih, bening, dan berpikiran jernih,
maka setiap langkah kita pasti membawa kemenangan tersendiri."
"La... lalu... lalu
mengapa lumut-lumut itu sekarang tumbuh di atas kita?" tanya Dewa Racun.
"Hmmm...," Suto diam
sejenak, kemudian berkata, "Lumut itu menerangi kita, Dewa Racun. Dalam
falsafah hidup, kiranya kita tak boleh selalu merasa rendah diri dan minder.
Sekalipun kita nilainya hanya seperti lumut, tapi jika bisa menjadi penerang
bagi sesama, hendaknya terang
kita tetap menjadi penuntun kaki mereka agar tidak
terperosok ke dalam lubang. Sekecil apa pun pengetahuan dan ilmu kita,
hendaknya kita bagikan kepada mereka yang
membutuhkannya."
"See... se... sesuatu
yang rendah belum pasti harus di bawah. Ada sisi lain yang kita bisa ambil dari
yang paling rendah itu, se... se... sehingga bisa kita angkat menjadi sejajar
atau lebih tinggi dari diri kita. Barangkali begitulah makna lain dari
lumut-lumut yang memberi penerangan langkah kita di langit- langit gua
ini!"
"Benar pendapat mu, Dewa
Racun. Dan menurutku, kita tetap
saja melangkah selama kita mempunyai hati bersih dan pikiran sebening lantai
kaca ini!"
Maka, Dewa Racun pun mengawali
langkahnya. Mereka mulai menapak di lantai jernih itu. Satu hal yang membuat
mereka heran, tak ada bekas telapak kaki mereka sedikit pun. Lantai kaca tetap
menjadi lantai yang bersih, jernih, dan bening. Tapi hal yang membuat mereka
lebih heran lagi adalah adanya bayangan diri mereka di dalam lantai kaca itu.
Bayangan tersebut bukan berbentuk wujud asli mereka, seperti jika mereka
berdiri di depan cermin biasanya, melainkan membentuk bayangan hitam, seperti
bayangan mereka jika terkena sinar matahari. Bayangan itu juga tidak berada
dalam satu garis lurus dengan telapak kaki mereka, namun sedikit tertinggal di
belakang mereka, sepertinya mereka mendapat sinar dari arah depan.
"Pendekar Mabuk, ken...
ken... kenapa bayangan kita di cermin berbentuk hitam dan mengikuti kita?"
Setelah diam berpikir beberapa
kejap, Suto pun menjawab dengan suaranya yang tenang.
"Bayangan hitam...?
Sesuatu yang hitam biasanya simbol dari kejelekan atau keburukan. Ini pun
merupakan ajaran dari sisi kehidupan, bahwa
kemana pun kita pergi selalu
diikuti oleh sifat-sifat buruk yang ada pada diri kita. Sifat buruk itu
membayangi kita senantiasa. Tergantung dari diri kita sendiri, apakah kita mau
memakai sisi buruk itu atau meninggalkannya? Tetapi pada awalnya, kebaikan
pasti datang paling depan, setelah itu baru diikuti keburukan yang merupakan
hal-hal yang bersifat rencana untuk berbuat licik, rencana untuk berbuat tamak,
rencana untuk mementingkan diri sendiri dan sebagainya. Lantai cermin
berbayangan hitam ini merupakan peringatan bagi manusia, agar selalu ingat dan
waspada, bahwa keburukan atau kejelekan selalu membayang-bayangi hidup kita.
Jangan sampai kita lengah dan terkuasai oleh bayangan hitam diri kita
sendiri!"
Dewa Racun melepaskan tawa
pelan. "Luuu... luar... luar biasa cerdasnya otakmu, Suto! Tak rugi
berteman denganmu walau sampai berusia seribu tahun lagi!"
Pendekar Mabuk pun membalas
tawa dengan hati terasa sangat bahagia. Kemudian ia melanjutkan langkah yang membuat Dewa Racun segera mengikuti dari belakang.
Pandangan mata Suto Sinting berseri-seri memperhatikan bebatuan indah yang
beraneka ragam bentuk dan warnanya.
Suara gemercik air semakin
jelas. Pendekar Mabuk ingin cepat sampai ke sumber suara gemercik air itu. Tapi
lagi-lagi langkahnya terhenti karena suatu hal.
Dua orang perempuan berwajah
cantik sekali
datang dari arah depan Suto
dan Dewa Racun. Dua orang perempuan yang masih muda itu sama-sama mengenakan
pakaian semacam jubah putih dari bahan kain sutera lembut Rambut mereka lurus
panjang, yang satu sebatas
pinggang, satu lagi sebatas punggung. Rambut itu begitu lembut dan hitam
sehingga ketika dipakai berjalan gerakan rambut tampak gemulai sekali.
"Sssi... si... Siapa
mereka itu?" bisik Dewa Racun sambil menyentak lembut tangan Pendekar
Mabuk.
"Entahlah, kita tanyakan
saja siapa mereka!" Baru saja Suto ingin mendekati langkah mereka, tapi
ternyata mereka sengaja berjalan mendekati Pendekar
Mabuk. Senyum mereka mengembang dengan sangat indahnya. Begitu menawan hati
sehingga Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sama- sama merasakan kebahagiaan yang
tak dimengerti apa artinya.
Satu dari perempuan cantik
berhidung mancung itu membawa gulungan kain merah, seperti angkin atau kemben.
Yang tidak membawa gulungan kain segera menyapa Pendekar Mabuk dengan suaranya
yang lembut dan enak didengar,
"Selamat datang di Puri
Gerbang Surgawi...."
Tentu saja hal itu sangat
mengejutkan Pendekar Mabuk dan Dewa Racun. Dewa Racun adalah orang Puri Gerbang
Surgawi, dan ia merasa bukan di dalam gua itu letak Puri Gerbang Surgawi, melainkan
di Pulau Serindu. Justru kedatangannya menemui Suto karena Dewa Racun diutus
penguasa Puri Gerbang Surgawi, yaitu Gusti Mahkota Sejati yang mempunyai
nama asli Dyah Sariningrum, untuk
membawa Pendekar Mabuk ke Puri Gerbang Surgawi. Tapi mengapa sekarang
perempuan bergaun putih itu mengatakan:
"Selamat datang
di Puri Gerbang Surgawi?"
Sementara Suto dan Dewa
Racun saling terbengong
kebingungan, perempuan pembawa kain
gulungan itu menebarkan
kainnya. Warna merah beludru
dibentang ke arah jalan selanjutnya. Gulungan itu kecil, tapi
ketika tangan berjari lentik itu menyentakkan gulungan tersebut, kain merah beludru menebar panjang dan berjalan sendiri mengikuti arah jalan berlantai
kaca itu.
"Silakan berjalan di atas
kain merah ini, jangan keluar dari atas kain merah," kata perempuan yang
tadi membawa gulungan kain.
Perempuan yang
satunya
berkata,
"Silakan melangkah Tuan-tuan Pendekar, Gusti Ratu sudah menanti
kedatangan Tuan-tuan Pendekar."
Pendekar Mabuk mengawali
langkahnya di atas bentangan
kain merah, Dewa Racun
ada di belakangnya. Dua
perempuan itu mengawal di kanan- kiri mereka, tidak menginjak kain merah
bludru. Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk memberanikan diri untuk
mengajukan pertanyaan kepada perempuan di sebelah kanannya,
"Siapa kalian
sebenarnya?"
"Namaku Sang Wengi, dan
yang di sebelah kirimu itu bernama Sang Ramu."
"Namaku..."
"Suto Sinting, Pendekar
Mabuk, murid si Gila Tuak,"
sahut Sang Ramu dengan cepat. "Dan temanmu adalah Dewa Racun, yang
punya nama asli Gatra Laksana?!"
"Dari mana kalian tahu
namaku dan nama temanku itu?"
"Gusti Ratu yang
memberitahukannya." "Gusti Ratu siapa?"
"Gusti Ratu Kartika
Wangi," jawab Sang Ramu. Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sama-sama hentikan
langkah karena kaget dan merasa bingung.
Dewa Racun segera berkata,
"Apa... apa... apakah
sekarang penguasa Puri
Gerbang Surgawi sudah
diganti?"
Sang Wengi yang menjawab,
"Belum. Sebaiknya, mari kita melangkah lagi. Gusti Ratu jangan sampai
menunggu terlalu lama."
Mereka kembali melangkah dengan diliputi keheranan yang tiada
kunjung reda. Ingin sekali Suto menanyakan mengapa nama Ratu Puri Gerbang
Surgawi bukan bernama Dyah Sariningrum? Tapi lidahnya terasa kelu, pikirannya
bercampur aduk, sehingga yang terlontar pelan dari mulutnya hanyalah sebuah
kalimat,
"Tak kusangka di gua
indah ini ada penghuninya." Sang Wengi segera berkata, "Hanya
orang-orang
yang bisa mengartikan makna
keindahan di dalam gua ini yang bisa melihat kami."
Suto memperlambat langkah dan
menatap wajah Sang Wengi. Perempuan yang dipandangnya itu mengatakan,
"Selama ini baru kalian
berdua yang bisa mengartikan
apa makna keindahan di dalam gua ini. Baru kalian berdua yang bisa menjabarkan
falsafah kehidupan yang terpajang sepanjang lorong goa ini. Dan baru kalian berdua orang yang
berhasil berperang melawan musuh yang paling berat."
"Musuh...? Siapa
maksudmu?"
"Nafsu diri sendiri!"
jawab Sang Wengi dengan senyum bijak yang menawan hati. "Kalian berdua
yang telah memenangkan pertarungan dendam di dalam batin dan jiwa kalian
masing-masing."
"Pertarungan
dendam?!" Suto menggumam sambil tetap melangkah. "O, ya. Aku mengerti
maksudmu. Aku dan Dewa Racun sama-sama telah berhasil
menahan diri agar tidak
melampiaskan dendam kepada musuh-musuh kami itu. Tapi..., aku telah membunuh
musuhku, yaitu Kombang Hitam. Dia telah mati di tanganku."
"Dia telah mati oleh
dendamnya sendiri, bukan oleh tanganmu. Jika dia bisa berperang melawan
dendamnya seperti kamu, maka ia tidak akan menyerang kamu, dan kekuatannya
tidak membalik mengenai dirinya sendiri, hingga dia mati hangus begitu."
"Dari mana kau tahu kalau
Kombang Hitam mati hangus?"
"Kami melihat semua
kehidupan yang kami perlukan dari sini!" jawab Sang
Ramu dengan wajah ceria.
Sang Wengi menyambung kata,
"Bagi orang-orang yang tidak memiliki hati bersih, gua ini tidak mempunyai
keindahan sama sekali. Mereka tidak akan menemukan istana Puri Gerbang
Surgawi."
Dewa Racun ingin bertanya
tentang Puri Gerbang Surgawi, tetapi mulutnya sudah telanjur terperangah
melihat lorong itu berakhir di sebuah ruangan besar yang sangat indah dan
megah. Pilar-pilarnya terbuat dari susunan batu mirah delima, safir, zamrut dan
sebagainya. Lantainya bagai bentangan kaca lebar dan luas yang sangat bening
dan jernih. Dindingnya terbuat dari lempengan-lempengan batu putih yang
memancarkan cahaya terang, serupa betul dengan lempengan intan berukuran lebar
dua tombak dan
panjangnya mencapai lima
tombak tiap lempengnya.
Itulah sebabnya istana
tersebut berpendar-pendar cahaya menyilaukan, tapi setelah beberapa saat ada
dalam cahaya itu, mata sudah terbiasa memandang tanpa rasa silau.
Kain merah yang tadi
digulirkan itu ternyata sangat panjang. Kain tersebut sampai ke tengah
balairung istana yang berlangit-langit tinggi dan mempunyai delapan pilar besar
itu. Kain tersebut pecah menjadi dua bagian, ke kiri dan ke kanan, seolah-olah
terpisah begitu sampai di depan singgasana berlapiskan batuan putih intan itu.
Orang-orang berwajah cantik
seperti Sang Ramu dan Sang Wengi berdiri menyambut kedatangan Suto Sinting dan
Dewa Racun. Senyum mereka ramah sekali, sehingga Suto Sinting dan Dewa Racun
merasa damai dan bahagia yang tak bisa dilukiskan.
Sang Wengi dan Sang Ramu
membawa Pendekar Mabuk dan Dewa Racun berdiri terpisah. Suto ke kanan, Dewa
Racun ke kiri. Mereka naik di atas lantai bundar yang ada di depan singgasana.
Tinggi lantai itu kurang dari setengah jengkal, tapi merupakan tempat khusus
untuk menghadap Ratu. Lantai yang menyerupai piringan tebal itu tanpa tempat
duduk, lebarnya
seukuran perisai lima
jengkal. Ketika
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun naik ke atas lantai itu, kain merah sebagai alas
berjalan mereka tadi hilang lenyap begitu saja. Wuuut...!
Muncul pula
perempuan-perempuan cantik yang punya tinggi sama rata dengan pakaian serba
kuning gading. Mereka muncul dari satu pintu yang ada di lantai atas, yang
mengelilingi bentuk istana yang bundar itu. Mata Suto dan Dewa Racun memandangi
bagian atas. Rupanya istana itu mempunyai tiga lantai. Lantai bawah tempat Suto
Sinting dan perempuan berpakaian putih berada, lantai kedua tempat perempuan-perempuan
berpakaian kuning gading berjajar mengelilingi dengan rapi. Lantai atasnya lagi, muncul serombongan perempuan
berambut cepak berikat kepala
seperti makhota emas kecil dan menyandang pedang merah di punggung. Jumlahnya
lebih dari dua puluh lima orang. Mereka mengenakan celana ketat sebatas betis
warna merah, mengenakan tutup dada merah juga, dan dilapisi rompi panjang
sebatas perut berwarna merah pula. Sepertinya mereka adalah prajurit- prajurit
istana pilihan. Mereka berjajar dengan rapi seperti yang lainnya.
Terdengar suara bergaung
menggema seperti genta bertalu, Wuung...! Gema itu panjang, tapi tidak membuat
berisik di telinga. Bersamaan dengan suara itu, muncul seorang berpakaian serba
ungu, termasuk jubahnya yang berwarna ungu muda. Rambutnya disanggul,
mengenakan mahkota besar, kalung susun tiga berhias batuan putih semacam
mutiara dan intan, giwangnya tak terlalu besar tapi jelas terbuat dari berlian.
Perempuan itu cantik, masih muda, wajahnya oval, atau lonjong, bibirnya ranum
indah, hidungnya mancung, kulitnya putih.
Semua orang dari lantai bawah
sampai lantai atas menundukkan kepala dengan satu kaki berlutut. Melihat
semuanya begitu, Pendekar Mabuk dan Dewa Racun pun ikut-ikutan menunduk dengan
satu kaki berlutut,
yaitu kaki kanan, tangan
kanan menggenggam ditempelkan lantai.
"Damai dan sejahtera buat
kalian!" terdengar perempuan yang berdiri di depan singgasana itu berkata
memberi salam. Lalu, mereka kembali bersikap biasa. Suto dan Dewa Racun pun
berdiri lagi.
Rupanya perempuan berpakaian
ungu itulah yang disebut Gusti Ratu Kartika Wangi. Buktinya ia duduk di dampar
kencana berhias batuan intan berlian, lalu dengan senyum anggunnya ia menyapa
Suto Sinting.
"Selamat datang di Puri
Gerbang Surgawi, Suto
Sinting!"
Suto diam saja, tak tahu harus
membalas dengan kata apa. la hanya menundukkan kepala sekejap tanda menghormat.
"Selamat datang pula Dewa
Racun, abdi pilihan, Duta Terpuji!"
Dewa Racun bingung dikatakan
Duta Terpuji. Lebih bingung lagi ketika ia melihat semua orang yang
mengelilinginya bertepuk tangan menyambut kata: Duta Terpuji.
"Apa maksudnya, Gusti
Ratu? I" tanya Dewa Racun dengan bahasa yang lancar, tanpa tergagap-gagap.
"Gelar itu untukmu, Dewa
Racun! Kau adalah utusan yang setia menemani Pendekar Mabuk, membantu tiap ada
kesulitan, mengarahkan pandang pikirannya, dan menenteramkan hatinya jika
sedang gundah. Maka kuanugerahkan kepadamu sebuah gelar kehormatan: Duta Terpuji!"
"Mohon ampun sebelumnya,
Gusti Ratu," kata Dewa Racun. "Siapa yang mengutus saya sebagai
utusan menjemput Suto Sinting ini sebenarnya, Gusti Ratu?"
"Aku," jawab Ratu
Kartika Wangi. "Aku yang mengutus kamu melalui mulut putriku, yaitu Dyah
Sariningrum, yang bergelar Gusti Mahkota Sejati, berkuasa di Pulau Serindu, di
Puri Gerbang Surgawi Nyata!"
Pendekar Mabuk menggumam dalam
hati, "Oooo... jadi Gusti Ratu Kartika Wangi ini adalah ibu dari Dyah
Sariningrum dan Betari Ayu. Jadi ternyata ada dua Puri Gerbang Surgawi, yang
nyata dan yang tidak nyata!"
Tiba-tiba Ratu Kartika Wangi
berkata kepada Suto,
"Benar apa kata batinmu,
Suto Sinting! Ada Puri
Gerbang Surgawi yang nyata dan
yang tidak nyata!" Terkejut
sekali Pendekar Mabuk mendengar
ucapan Ratu. Ternyata kata
batinnya bisa didengar oleh
sang Ratu. Tak
berani Pendekar Mabuk membatin hal yang
bukan-bukan.
Ratu berkata lagi, "Aku adalah
calon ibu mertuamu, Suto
Sinting. Karenanya
aku ingin bertemu denganmu
dan memberimu tanda sebagai orang kehormatanku dan yang harus dilindungi kapan
saja, di mana saja kau berada. Aku mengenal jiwamu yang polos, tegas, berani,
dan bijaksana. Aku tahu, kau sudah
siapkan Kitab
Wedar Kesuma di punggungmu untuk mas kawin
melamar putriku; Dyah Sariningrum. Tapi ketahuilah, Suto... karena ke mana-
mana kau selalu membawa kitab itu, maka semua ilmu dan jurus yang pernah kau
pakai telah tertulis dengan sendirinya di dalam kitab itu!"
Pendekar Mabuk terkejut, tapi
tak bisa berbuat apa-apa. Sang Ratu pun berkata lagi,
"Aku juga tahu kau
menyimpan kasih sayang kepada putri sulungku, yaitu Betari Ayu. Dia sangat sayang
kepadamu. Tapi dia lebih rela jika kau mencurahkan segala cinta dan kesetiaanmu
kepada adiknya; yaitu Dyah
Sariningrum. Aku melihat ketulusan hatimu dalam
mencintai anakku, Suto. Aku terkesan dengan keperwiraanmu dan kependekaranmu. Sebab itu, pejamkan
matamu sebentar, Suto. Juga kau, Dewa Racun, pejamkan matamu sebentar. Aku
ingin memberimu tanda merah di tengah kening!"
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun
pejamkan mata. Lalu, telunjuk Ratu Kartika Wangi diacungkan. Claap...! Keluar
sinar merah jambu dari ujung telunjuk
itu, masuk ke kening Pendekar
Mabuk. Demikian juga dilakukan kepada Dewa Racun. Kini kedua kening itu telah
bertanda merah bulat sebesar biji jagung. Rasa dingin ketika sinar itu menerpa
dahi.
"Buka mata kalian,"
perintah sang Ratu. "Suto, angkat telapak tanganmu yang kanan dan hadapkan
kemari!"
Pendekar Mabuk membuka telapak
tangannya dan dihadapkan kepada Ratu Kartika Wangi. Lalu, jari tengah Ratu
Kartika Wangi menunjuk, dan claap...! Sinar biru melesat dan menancap di
telapak tangan kanan Suto. Sinar biru itu membentuk tato kecil di tengah
telapak tangan Pendekar Mabuk. Tato itu bergambar pedang kecil yang ujung
gagangnya terdapat bintang segi lima.
Ratu Kartika Wangit berkata
kepada Suto, "Nah, Suto Sinting... tato di tangan kananmu itu adalah
lambang bahwa mulai hari
ini, sebagai calon
menantuku yang berhasil memadamkan dendamnya sendiri dengan kebajikan, maka aku
mengangkatmu sebagai Manggala Yudha Kinasih yang akan menjadi panglima terdepan
dari seluruh jajaran prajurit dan rakyat Puri Gerbang Surgawi...!"
Prok prok prok...! Mereka
bertepuk tangan. Tepuk tangan itu hilang dan mereka segera memberi hormat
seperti hormat yang dilakukan kepada sang Ratu Kartika Wangi. Pendekar Mabuk sendiri
masih bingung dan tak tahu harus berbuat apa. la hanya memandangi
orang-orang yang memberi hormat
kepadanya, termasuk Dewa Racun
sendiri, dan lama
sekali mereka tidak kembali
dalam posisi semula.
Maka, Suto pun segera ucapkan
kata menirukan ucapan Ratu Kartika Wangi tadi,
"Damai dan sejahtera buat
kalian...!"
Mereka baru berhenti
menghormat, kembali ke posisi semula. Ratu Kartika Wangi tertawa pelan dari
tempat duduknya.
"Itu ucapan khusus
dariku, Pendekar Mabuk. Kau harus bikin ucapan salam kepada mereka dengan
bahasamu sendiri."
"Maaf, Ibu Ratu, saya
belum tahu!"
"Pikirkanlah nanti saja.
Yang jelas, kau dan Dewa Racun sudah menjadi warga Puri Gerbang Surgawi di
bawah kekuasaanku. Jika kau ingin pergi dari sini, hapuslah keningmu dengan
tangan kanan, maka kau akan berada di alam kasatmata. Demikian juga dari alam
kasatmata ingin masuk kemari, hapuslah keningmu dengan tangan kanan. Tapi jika
ingin melihat alam kasatmata di tempat lain, untuk menembus alam siluman atau
alam gaib lainnya, untuk melihat sesuatu yang tak bisa dilihat mata telanjang,
hapuslah keningmu dengan tangan kiri. Untuk menghilangkannya juga dengan
menghapus kening memakai tangan kiri. Hal yang sama bisa dilakukan pula oleh
Dewa Racun!"
Dewa Racun membungkuk penuh
rasa hormat dan berterima kasih, Suto
mengikutinya. Karena dianggapnya,
Dewa Racun lebih banyak tahu tentang adat bersikap di lingkungan Puri Gerbang
Surgawi.
"Tanda warna merah di
kening kalian tidak akan bisa dilihat oleh siapa pun, kecuali oleh orang-orang
berilmu sangat tinggi, seperti gurumu; si Gila Tuak itu, Pendekar Mabuk. Dan
juga orang-orang kita sendiri yang bisa melihat tanda merah di kening kalian
berdua."
Dewa Racun membungkuk lagi.
Hanya sedikit gerakannya, dan Pendekar Mabuk mengikuti pula. Agaknya Ratu
Kartika Wangi semakin senang hatinya
melihat sikap hormat Pendekar
Mabuk dan Dewa
Racun.
"Untukmu, Suto..., tanda
tato di telapak tangan kananmu itu memang bergambar pedang kecil dengan
bintang, karena itu simbol dari jabatan dan kehormatan sebagai Manggala Yudha
Kinasih; artinya Panglima Perang yang siap mati demi membela kebenaran di mana
pun juga adanya! Tapi dengan menyentakkan tenaga dalam yang kau salurkan lewat
telapak tanganmu dalam keadaan terbuka miring, kau akan bisa melepaskan
pisau-pisau gaib yang jumlahnya bisa ratusan, dan juga bintang-bintang sebagai
senjata rahasia yang jumlahnya juga bisa kau atur dari napasmu yang tertahan.
Jika kau lepas napasmu maka pisau atau bintang yang keluar dari telapak tanganmu itu akan berhenti dengan sendirinya. Adapun untuk
jenisnya yang keluar dari tanganmu itu; apakah pisau atau bintang, tergantung
sentakan napasmu yang pertama. Jika pelan, akan keluar bintang, jika sentakan
napasmu berat akan keluar pisau. Gerakan kedua benda tersebut tidak bisa
dilihat dan dihindari, kecuali oleh orang-orang berilmu tinggi. Jurus Itu
kunamakan jurus 'Tapak Manggala', untuk pisaunya, dan untuk bintangnya adalah
jurus 'Tapak Yudha'! Pergunakan dalam keadaan terpaksa dan sangat
berbahaya!"
Pendekar Mabuk membungkukkan
badan lalu berkata, "Terima kasih atas semuanya ini, Ibu Ratu. Saya tidak
keberatan mengemban tugas sebagai Manggala Yudha Kinasih, yang bertugas membela
kebenaran."
"Aku senang dan terkesan
pada kesucian budimu, juga ketulusan jiwa Dewa Racun dalam menjalankan tugas
sebagai utusan! Untukmu, Dewa Racun, aku
mempunyai hadiah khusus yang
mudah-mudahan kau mau menerimanya!"
Trak trak...! Ratu
menjentikkan jari tengah dan telunjuknya. Lalu dari salah satu barisan
perempuan berpakaian putih itu muncul satu orang yang sudah tidak asing lagi
bagi Pendekar Mabuk dan Dewa Racun.
Sang Ramu
mendekati Ratu Kartika
Wangi, memberi hormat sebentar lalu berdiri dengan wajah menunduk. Sang
Ratu berkata,
"Dewa Racun, perjalananmu
dari Pulau Serindu dan sampai ke Pulau Hitam selalu diikuti oleh Sang Ramu ini.
Dia tahu kau menyimpan dendam kepada Melati Sewu akibat kematian Gayanti. Tapi
kau bisa kalahkan dendammu dengan hati yang tulus dan ikhlas. Sang Ramu sangat
berkesan kepadamu dan ia tertarik untuk menjadi istrimu. Maukah kau menerima
cintanya, Dewa Racun?!"
"Haah...?!" Dewa
Racun terbengong kebingungan. Matanya memandang Pendekar Mabuk bagai minta
pertimbangan. Suatu kerlingan mata dengan senyum menggoda. Lalu, Dewa Racun
berkata kepada Ratu Kartika Wangi, "Terlalu cantik buat saya, Gusti Ratu.
Kalau ada yang agak jelek sedikit tak apalah...!"
Ratu Kartika Wangi tertawa,
demikian pula semua orang dalam ruang istana yang megah itu tertawa geli. Sang
Ramu pun tertawa tapi tertahan dan tundukkan kepala. Dewa Racun berkata pelan
ke pada Pendekar Mabuk, "Bodoh amat aku ini kalau menolaknya...!"
Pendekar Mabuk semakin geli
mendengar ucapan itu.
*
* *
9
SEPERTI Ratu Kartika Wangi,
jika ingin keluar dari alam kehidupannya, cukup dengan mengusap dahi dengan
tangan kanan. Maka Pendekar Mabuk dan Dewa Racun pun melakukannya. Begitu
mereka mengusap dahi memakai telapak tangan kanan, kemewahan istana itu lenyap
dalam sekejap. Yang ada hanya dinding gua berbatu lumut biasa, cadas, dan air.
Tak ada lagi lantai kaca bening atau tanaman hijau menyala.
Tapi suara air semakin jelas
didengar oleh mereka. Bias cahaya ada di lorong sebelah kanan. Mereka pun
melangkah menyusuri lorong tersebut. Semakin mendekati tempat terang,
semakin jelas suara gemericik air. Langkah Suto dan Dewa Racun bertambah cepat.
Tiba di sebuah tikungan
lorong, langkah Dewa Racun terhenti. Pendekar Mabuk ikut-ikut berhenti. Dewa
Racun memberi isyarat dengan tangan agar Pendekar Mabuk merundukkan kepala.
Pendekar Mabuk mengikuti isyarat itu. Rupanya ada sesuatu yang diintai Dewa
Racun dari balik tikungan lorong. Pendekar Mabuk ikut mengintainya.
"Oh, rupanya gemercik air
itu berasal dari kolam itu!" bisik Suto. Dan Dewa Racun menjawab dengan
suara yang kembali gagap,
"Koo... ko... ko... Kolam
Sabda Dewa!"
"Hah...?l Kelihatannya...
ya, kelihatannya memang Kolam Sabda Dewa. Rupanya letak istana Puri
Gerbang Surgawi tak jauh dari Kolam
Sabda Dewa...?!'
Dugaan mereka memang benar. Kolam
itu berbentuk lingkaran yang berair jernih. Ada pancuran di tengahnya.
Pancuran itu berupa curah air dari atas,
tapi tak diketahui sumbernya.
Sebab di bagian atas air yang mengucur ke bawah, terdapat langit-langit gua
yang kering. Sepertinya air itu tidak tercurah dari atap gua melainkan dari udara
bebas tanpa hambatan benda apa
pun.
Sorot matahari masuk dari dua
celah yang menjadi dinding gua retak, dan pintu masuk gua. Keadaan itu menjadi
terang karena sorot matahari. Mulut gua atau pintu masuk gua terletak sedikit
miring ke atas, dan jalannya becek. Tapi sekeliling kolam yang bertepian
batu-batu bongkahan tanpa tersusun rapi itu, keadaannya kering tanpa percikan
air sedikit pun. Bahkan tanah itu berkesan tandus dan berdebu.
Di tengah kolam bergaris
tengah tiga tombak itu ada bunga teratai. Hanya satu bunga teratai yang ada di
situ, berwarna ungu. Warna ungu mengingatkan pakaian Ratu Kartika Wangi,
sehingga Pendekar Mabuk berpendapat,
"Jangan-jangan kolam ini
adalah pemandian Gusti Ratu Kartika Wangi?! Sebab, kalau dihubungkan dengan
langkah kita yang belum mencapai lima puluh langkah tadi, sepertinya kolam ini
berada di belakang istana, sebagai tempat pemandian Gusti Ratu!"
"Dugaanku pun mengatakan
begitu. Tap... tap... tapi kalau se...."
"Ssst...!" Pendekar
Mabuk cepat menepis ucapan Dewa Racun dan ia berkelebat pergi dari situ,
bersembunyi di balik bongkah batu besar.
"Ad... ad... ada
apa?" bisik Dewa Racun. Suto tidak menjawab hanya menuding ke arah pintu
masuk gua. Dewa Racun pun memandang ke arah sana, dan matanya segera terkesiap.
Badai Kelabu datang bersama
Melati Sewu. Kedatangan mereka bukan hanya berdua, melainkan
bersama mayat guru mereka,
yaitu Kombang Hitam, alias Manusia Seribu Wajah. Mereka bergotongan membawa
mayat Kombang Hitam yang telah hangus itu. Sampai di tepi kolam, di tanah yang
kering, mayat yang dibawa memakai usungan bambu itu diletakkan. Badai Kelabu dan Melati Sewu
sama-sama hempaskan napas dan menghapus keringat di dahi mereka.
"Kuharap Kolam Sabda Dewa
bisa juga dipakai menghidupkan Guru!" kata Badai Kelabu.
"Aku sangat berharap
begitu! Aku lebih baik ikut mati jika Guru tidak bisa hidup kembali!" kata
Melati Sewu.
"Buatku, Guru adalah
bapakku sendiri! Dia yang menolong aku dari hinaan banyak orang. Cuma dia yang
mau mendekatiku dan memberi makan ketika aku masih menjadi gadis yang cacat dan
jelek rupa!"
"Ya, aku ingat itu!"
jawab Melati Sewu.
Dewa Racun berbisik,
"Mer... mer... mereka sama- sama inginkan Guru mereka hidup. Badai Kelabu
punya alasan yang masuk akal, tapi Melati Sewu tidak memberikan alasan mengapa
dia mau ik... ik.. ikut mati jika gurunya tidak hidup kembali?"
"Entahlah. Yang jelas
mereka mau coba-coba menentang kodrat dengan membawa mayat gurunya ke kolam
itu!"
Dalam hati Suto Sinting pun
membatin, "Jika kolam itu adalah tempat pemandian Gusti Ratu Kartika
Wangi, maka masuknya mayat Kombang Hitam ke dalam kolam berarti suatu
pencemaran air kolam. Gusti Ratu Kartika Wangi sama saja mandi dengan air yang
dipakai untuk memandikan sesosok mayat. Ini harus kucegah!"
Maka, tanpa bicara apa-apa
kepada Dewa Racun,
Pendekar Mabuk pun
segera muncul dari persembunyian.
Waktu itu, Badai Kelabu dan Melati Sewu ingin menceburkan mayat Kombang Hitam.
Suto cepat berseru,
"Tahan...!"
Badai Kelabu dan Melati Sewu
terkejut sekali. Lebih terkejut lagi setelah ia tahu bahwa Pendekar Mabuk dan
Dewa Racun ada di situ.
"Suto...?! Oh, bagaimana
mungkin kau bisa sampai di Kolam Sabda Dewa ini?! Kau tahu dari mana jalan
menuju kemari, Suto?!"
"Secara kebetulan saja
aku terperosok! Ternyata lorong sebelah sana itu tembusnya ke sini!"
"Kkka... kalian mau
menceburkan mayat ini?" tanya Dewa Racun.
"Ya!" jawab Melati
Sewu. "Sebab kau telah membunuh guru kami!" Sikap
Melati Sewu bermusuhan kepada
Suto. Bahkan semakin jelas permusuhannya karena ia segera mencabut pedang dari
punggung.
Sreet...! Pedang bergerigi itu terlepas dari sarungnya.
"Melati Sewu, apa yang
ingin kau lakukan?!" Badai
Kelabu mencegah langkah Melati
Sewu.
"Aku harus membalas
kematian Guru!" katanya dengan ketus.
"Jangan! Jangan menyerang
dia, Melati Sewu!" Badai Kelabu mencoba menahan, tapi tangannya dikibaskan
oleh Melati Sewu. Tersentak Badai Kelabu dan jatuh dalam jarak dua tindak dari
tempatnya.
"Hutang nyawa balas
nyawa, Pendekar Mabuk!" geram Melati Sewu.
Suto cepat menahan dengan
kata-kata, "Melati
Sewu, dia mati karena
dendamnya sendiri. Aku tidak
menyerangnya. Kau tahu aku
telah mengalah dan melarikan diri, tapi dia masih memburuku!"
"Tapi karena kesaktianmu
itu maka Guru menjadi tewas!"
Melati Sewu bergerak mendekati
Pendekar Mabuk. Dewa Racun mau bertindak, tapi Pendekar Mabuk memberi isyarat
dengan tangannya agar tak perlu bertindak. Suto sendiri hanya diam saja,
sekalipun jarak Melati Sewu dengan dirinya sudah tinggal tiga langkah. Pedang
sudah diangkat dan siap ditebaskan. "Ingat, Melati Sewu...!" seru
Badai Kelabu. "Aku hanya setuju jika Guru dihidupkan kembali, tapi tidak
setuju jika kau membalas kematian Guru.
Bagaimanapun juga, Guru yang
salah dalam hal ini!" "Kalau kau membela dia, kau pun akan kubunuh,
Badai Kelabu!"
"Cobalah!" teriak
Badai Kelabu. "Jangan kau menyerang Pendekar Mabuk, tapi seranglah aku!
Kalahkan aku dulu baru kau boleh menuntut kematian Guru!"
"Jangan membuat
permusuhan denganku, Badai
Kelabu!"
"Aku tidak membuat
permusuhan denganmu! Aku cuma ingin ingatkan kamu, jangan menyerang Suto!"
"Dan tak perlu menentang kodrat
dengan menghidupkan Guru kalian!" sambung Suto menyahut kata.
"Guru harus hidup!"
teriak Melati Sewu. "Guru harus hidup lagi! Dan kau harus kubunuh,
Sutooo...!" sambil berteriak begitu, Melati Sewu sentakkan kaki, melompat
dengan pedang mengarah ke dada Pendekar Mabuk. Tetapi mendadak gerakannya berubah arah.
Heeegh...! Badai Kelabu
melepaskan pukulan jarak
jauhnya, tepat mengenai
pinggang Melati Sewu. Pukulan itu begitu berat dan keras, sehingga Melati Sewu
tersentak dan oleng ke samping, Suto sendiri cepat melompat menghindari tebasan pedang bergerigi.
Wuut...!
Bruuk...! Melati Sewu jatuh
telentang. Badai Kelabu segera lompatkan tubuh dan
hendak menjejakkan kakinya ke dada Melati Sewu. Tapi tubuh itu segera
tersentak dan mental. Rupanya Suto berkelebat cepat menyambut tubuh Badai
Kelabu; membawanya ke tepi dinding,
"Kenapa kau larang aku
menghajarnya?! Dia mau membunuhmu!" sentak Badai
Kelabu kepada Pendekar Mabuk
dengan hati dongkol sekali.
"Kalian satu
perguruan. Tak baik
saling bermusuhan!"
"Tapi dia menuntut
kematian Guru, Suto! Dia inginkan nyawamu juga!" Badai Kelabu semakin
keras bicaranya.
Tanpa setahu Pendekar Mabuk
dan Badai Kelabu, Melati Sewu telah bangkit dan segera menerjang dengan
pedangnya.
"Mampuslah kalian berdua
Hiaaat...!"
Dewa Racun segera melompat
dengan sentakkan kaki pelan tapi menghasilkan gerakan cepat. Wuut...!
Plaaak...! Kakinya menendang pergelangan tangan Melati Sewu. Setelah itu, Dewa
Racun segera melompat menjauhinya. Pedang di tangan Melati Sewu telah terpental
ke seberang kolam. Gerakannya terlihat oleh Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu.
Pedang itu terbang melayang dan menembus curahan air di tengah kolam.
Tiba-tiba, claap...! Pedang itu lenyap tak berbekas sedikit pun.
"Jahanam kau!" geram
Melati Sewu kepada Dewa Racun begitu tahu pedangnya lenyap secara gaib. la
segera melompat menyerang Dewa Racun bagai singa betina yang buas. Wuus...!
Dewa Racun tak mau menghadapi
serangan itu. la melompat menjauhi. Melati Sewu mendarat di tempat yang
kosong. la menggeram dengan mata memandang tajam kepada Dewa
Racun. Napasnya terengah-engah dibakar amarah karena pedangnya hilang.
la segera bergegas mengangkat
mayat Kombang Hitam untuk diceburkan ke dalam kolam tersebut. Tapi secara ajaib
air kolam menjadi surut. Gemercik air yang tercurah dari atas tanpa tahu di
mana letak sumbernya itu menjadi padam. Kolam cepat menjadi kering kerontang
tanpa setetes air pun kecuali tanah berlubang besar yang dalamnya antara satu
ukuran tombak. Tanpa air, tanpa kelembaban. Hanya ada bebatuan dan kerak lumut
kering di bagian dasarnya. Hai itu membuat Melati Sewu menjadi semakin marah.
"Tidak! Tidaaaaak...!
Guru harus hidup! Guru harus dimandikan ke dalam Kolam Sabda Dewa ini! Oh, mana
airnya...? Mana airnya?!"
Dewa Racun
diam saja di seberang sana, memandangi Melati Sewu yang
menangis terisak- isak. Suasana menjadi sepi beberapa kejap, hanya tangis
Melati Sewu yang terdengar di dalam gua itu.
"Mengapa dia sampai begitu
menderitanya terhadap
kematian Guru?"
pikir Badai Kelabu. "Apakah... apakah Guru itu
adalah ayahnya?"
Heningnya suasana membuat
Melati Sewu segera sadar dari tangisnya. la telah kehilangan pedang, kehilangan
gurunya dan kehilangan sebentuk
harapan dari Kolam Sabda Dewa
itu. Sepertinya ada sesuatu yang selama ini dipendamnya di dalam hati dan tak ada tempat untuk mencurahkannya.
Sekarang inilah saatnya mencurahkan isi hatinya itu, dengan membakar kebenciannya
kepada Suto, dan membulatkan tekadnya untuk membunuh Suto.
"Biadab kau, Pendekar
Mabuk! Hidupkan guruku atau kubunuh kau dengan seluruh ilmuku!"
Badai Kelabu mencoba
menenangkan amukan
Melati Sewu dengan berkata,
"Melati Sewu..., kenapa
kau masih belum mau menyadari kesalahan Guru kita itu?! Akuilah bahwa
beliau memang terlalu mengumbar nafsu dan dendamnya. Jangan salahkan
Pendekar Mabuk!"
"Aku tidak bicara padamu
murid murtad! Aku bicara pada Pendekar Mabuk! Hidupkan guruku! Cepaaat...!'
Dengan tenang Pendekar Mabuk
menanggapinya. "Kenapa kau berkeras hati agar gurumu tetap hidup, Melati
Sewu? Ada apa di balik niatmu? Katakanlah alasanmu, kalau jelas alasanmu, aku
akan berusaha sebisakul Katakan alasanmu, Melati Sewu!"
"Karena aku tak mau
anakku nanti lahir sebagai anak tanpa Ayah!"
"Ooh...?I" Badai
Kelabu tersentak kaget, bahkan sempat terpekik. Matanya mendelik mulutnya ternganga. "Ja...
jadi... kau...?!"
"Iya! Aku hamil, gurulah
yang menanam benih ini di dalam kandunganku! Aku tak mau anakku lahir tanpa
Ayahl Guru harus hidup, supaya... supaya... anakku lahir dengan memiliki
Ayah...!" Melati Sewu menangis terisak-isak. Badai Kelabu ingin mendekat,
tapi ia justru terkena tendangan Melati Sewu. Untung hanya lengannya saja.
"Guruuu...!" Melati
Sewu segera menangisi Kombang Hitam. Memeluk mayat yang
telah hangus itu. "Kita akan mandi di kolam keramat ini bersama- sama,
Gurul Kita akan mandi bersama supaya bisa hidup bersama, Guru...!"
"Melati Sewu...?!"
pekik Badai Kelabu ketika melihat Melati Sewu mengangkat mayat gurunya, lalu
menceburkan diri ke dalam kolam yang menurut penglihatannya masih berair jernih
itu. Bluuss...!
"Ooh...?!" pekik
Badai Kelabu.
"Dia hilang! Dia...
dia... dia dan mayat Guru hilang, Suto!"
Tertegun Pendekar Mabuk dan
Dewa Racun melihat kegaiban dari Kolam Sabda Dewa. Kolam itu kering, tapi
ketika tubuh Melati Sewu dan mayat Kombang Hitam masuk ke dalamnya, mereka
lenyap tak berbekas. Pendekar Mabuk hanya bisa berkata,
"Mungkin mereka ditelan
oleh suratan takdir yang tak bisa ditentang siapa pun!"
Badai Kelabu menangis dalam
pelukan Pendekar Mabuk,
dan Pendekar Mabuk memberinya ketenangan dalam pelukan seorang
sahabat.
SELESAI