CAHAYA rembulan jatuh ke bumi,
menerpa seraut wajah tampan yang sedang telanjang dada. Wajah tampan itu tak
lain adalah milik seorang tokoh muda yang sudah dikenal kehebatan ilmunya,
yaitu murid si Gila Tuak yang bernama Suto Sinting; si Pendekar Mabuk.
Hembusan angin dingin tidak
dihiraukan oleh Pendekar Mabuk. Wajahnya pun tetap dingin berpejam mata, ia
duduk di atas sebuah batu datar, bersila dan bertegak dada. Kedua tangannya
yang ada di paha tiba- tiba mengencang, urat-uratnya tampak bertonjolan, itu
pertanda Suto Sinting sedang mengerahkan tenaganya dengan tarikan napas panjang
perlahan-lahan.
Tangan itu bergerak naik ke
dada keduanya. Gerakannya sangat pelan dan penuh getaran. Ketika kedua tangan
itu sampai di dada, telapak tangannya saling merapat. Kedua telapak tangan itu
seakan saling menekan kuat-kuat hingga getarannya bertambah nyata.
Lalu tiba-tiba kedua telapak
tangan itu disentakkan ke depan hingga kedua lengannya menjadi lurus. Suttt...!
Maka dari ujung perpaduan telapak tangan itu melesatlah selarik sinar sebesar
lidi berwarna ungu. Zlappp...! Sinar itu menghantam sebatang pohon besar.
Jrrubb...! Sinar itu tembus ke batang pohon besar, bahkan pada pohon di
belakangnya juga tembus, jrubb...!
Dan hingga empat pohon dalam
satu barisan tertembus semua oleh sinar ungu sebesar lidi itu. Clubb...! Sinar
itu pun padam setelah Pendekar Mabuk hembuskan napas dan kendorkan
urat-uratnya.
"Jurus 'Surya Dewata'
ternyata masih kukuasai!" pikir Pendekar Mabuk. "Berarti tenagaku
tidak berkurang selama ini! Mungkin kekuatan tuak saktiku inilah yang menjaga
keutuhan kekuatan tenaga dalamku! Jurus 'Surya Dewata' pemberian Bibi Bidadari
Jalang tak akan kugunakan bila keadaan tidak sangat memaksa! Sebab, pesan Bibi
Guru Bidadari Jalang memang aku harus menggunakan jurus ini jika lawan sudah
tak mempan lagi dihantam dengan jurus-jurus lainnya! Hmm... sebaiknya kucoba
ilmu 'Ambang Bayu' pemberian Kakek Guru Gila Tuak. Apakah masih ada pada diriku
atau sudah menipis karena jarang kulatih selama ini...!"
Suto gerakkan tangannya dari
atas ke bawah sambil menghirup napas. Kemudian tangan itu melemas di samping,
napas pun terlepas pelan-pelan. Kejap berikutnya, tangan sudah berada di dada.
Yang kanan telapak tangannya berdiri tegak, yang kiri telapak tangannya menyangga
pergelangan tangan kanan.
Jika jurus yang dilatihnya
tadi menggunakan kekuatan otot dan menahan napas kuat-kuat, kali ini keadaan
Suto Sinting lebih kelihatan santai. Napasnya terhela dengan biasa, uratnya
tidak mengeras. Matanya memandang redup ke depan. Dan tiba-tiba tubuhnya
bergerak sendiri naik. Kakinya masih bersila, dan tangannya tetap di posisi
dada.
Dalam keadaan bersila itu,
perlahan-lahan tubuh Pendekar Mabuk bergerak naik, sedikit demi sedikit. Dari
jarak satu jari, dua jari, tiga jari... sampai akhirnya jarak antara batu
dengan pantatnya mencapai satu jengkal.
Pelan-pelan tubuh itu bergerak
turun dan kembali merapat di permukaan batu. Tapi Pendekar Mabuk masih pejamkan
mata. Ia akan lakukan jurus 'Ambang Bayu' kedua yang dapat membawa dirinya
melesat ke depan walau dalam keadaan duduk. Tetapi, tiba-tiba di depannya
berkelebat sesosok bayangan yang melintas. Bayangan itu berhenti di kerimbunan
semak, lalu kembali lagi dan berhenti di depan Suto.
Orang itu berpakaian biru tua,
usianya sekitar empat puluh tahun, mengenakan rompi rangkap warna kuning. Orang
itu berambut pendek dan mempunyai senjata, cambuk yang melilit di pinggang.
Cambuk itu ujungnya tepat berada di pusar, berbentuk logam bintang segi enam.
Rupanya orang yang tadi
berlari cepat itu tertarik melihat Suto sedang berlatih sendirian di tengah
siraman cahaya sinar bulan purnama. Orang itu dekati Pendekar Mabuk, dengan
bertolak pinggang satu tangan ia berkata,
"Apa yang kau lakukan di
sini, Anak Muda?!"
"Saya sedang berlatih,
Paman," jawab Suto Sinting dengan tetap duduk bersila, tapi melepaskan
tangannya yang di dada.
"Berlatih apa? Lebih baik
kau pergi ke Gua Sekat Sembilan sana! Tontonlah pertarungan hebat para tokoh
sakti di sana!"
"Maaf, boleh saya tahu
siapa Paman sebenarnya, sehingga berani menyuruh saya pergi ke gua itu?"
"Aku si Cambuk Guntur!
Kalau aku menyuruhmu nonton pertarungan di sana, berarti aku ingin membagi
pengalaman denganmu, Bodoh! Jangan merasa tersinggung!"
"Terima kasih atas niat
Paman Cambuk Guntur untuk membagi pengalaman kepada saya. Tapi saya lebih suka
duduk sendirian di sini menikmati malam terang bulan yang bermandikan
kehangatan tersendiri di hati saya!"
"Kalau mau jadi pendekar,
harus punya banyak pengalaman, melihat pertarungan para tokoh sakti! Jangan
hanya belajar ilmu tapi tidak tahu seberapa tinggi ilmu yang sudah dimiliki
para tokoh sakti itu! Kalau kau hanya perdalam ilmu sendiri, kau akan menjadi
manusia yang pongah dan hanya mengenal ilmu sendiri!"
"Terima kasih lagi atas
saran Paman Cambuk Guntur! Tetapi, bolehkah saya tahu, mengapa Paman
bersemangat memberi saran pada saya?" Pendekar Mabuk tetap kalem dan tetap
menghargai orang itu.
"Terus terang saja, aku
tertarik dengan tubuh kekar dan gagah itu. Menurutku kau bisa menjadi seorang
pendekar perkasa dan berilmu tinggi! Tapi, ah... sudahlah, itu urusanmu
sendiri! Mau jadi pendekar atau jadi tukang jualan telur asin, itu bukan
urusanku! Kenapa aku jadi bodoh sendiri?" gerusnya sambil melangkah meninggalkan
Pendekar Mabuk. Dan tiba- tiba Cambuk Guntur berkelebat lari dengan cepat
setelah ia memandang ke arah belakang, dan seperti melihat sesuatu yang
menakutkan.
Pendekar Mabuk; Suto Sinting
itu, hanya tersenyum memandangi kepergian Cambuk Guntur, ia kembali ingin
berlatih jurus 'Ambang Bayu' kedua. Tetapi tak berapa lama kemudian, kembali ia
didatangi seorang tokoh persilatan yang pernah dilihatnya dalam satu perjalanan
pengembaraannya. Tokoh itu berhenti di depan Suto setelah menyadari bahwa ada
orang duduk di atas batu dalam keadaan mengambang. Suto pun buru- buru
menurunkan badannya, tak jadi melakukan latihan jurus ' Ambang Bayu' kedua.
Bau bangkai tercium, dan Suto
Sinting menahannya, ia pernah mencium bau busuk seperti saat itu dan yang ditemuinya
juga tokoh berpakaian kulit macan loreng. Rambutnya yang panjang diikat kain
merah. Matanya lebar, alisnya tebal, kumisnya juga lebat. Orang bersenjata
tombak trisula dan berbau busuk karena konon mandinya hanya setiap tanggal satu
Suro itu, dikenal oleh para tokoh lainnya dengan nama si Macan Bangkai. Dia
orang galak dan mudah tersinggung. Tapi Pendekar Mabuk belum pernah berselisih
dengan orang bahkan baru sekarang Suto beradu muka untuk bicara.
"Hei, Bocah
Hutan...!" sapanya kepada Suto dengan seenaknya. "Apakah kau melihat
orang berpakaian biru lewat sini?"
"Ya. Dia tadi lewat di
depanku," jawab Suto seenaknya juga.
"Ke mana arah tujuannya,
apakah kau tahu?"
"Tidak. Yang kutahu dia
ke arah depan! Dia menyuruhku ke gua! Nonton pertarungan orang sakti!"
"'Hmmm... pasti ke sana
dia!" gumamnya. "Kalau begitu, kususul dia ke sana!" dan Macan
Bangkai pun pergi secepatnya.
Suto merasa heran,
"Sedang apa mereka sebenarnya? Saling kejar-kejaran atau saling
dulu-duluan? Cambuk Guntur menyebutkan sebuah gua! Hmmm... gua apa tadi dia
bilang? Aku, aku lupa! Tapi ada apa di gua itu? Mengapa mereka sepertinya
saling berebut mencapai gua tersebut?! Ah, jadi tertarik juga aku! Sebaiknya
aku segera ke sana juga untuk melihat apa yang terjadi sebenarnya! Tapi... ke
mana arahnya?" Suto berkerut dahi, pertimbangkan langkah.
* * *
Langit malam tebarkan bintang
dan rembulan di sudut mega. Warna cerahnya menggiurkan pasangan muda-mudi untuk
taburkan kasih kemesraannya. Bahkan pasangan tua berhati muda pun tak
segan-segan lepaskan rayu dan canda menggelitik di sela-sela hati mereka.
Mendadak kabut berjingkat dari
celah bongkahan tanah perbukitan. Kabut tipis itu merayap makin menebal, lalu
membungkus setiap celah tanah berdaun rumput. Bukit mulai diselimuti kabut.
Langit sedikit dipulas rona hitam awan.
Rupanya tadi telah melesat
cahaya hijau berekor. Cahaya hijau di langit itu bagaikan berudu terbang yang
melintasi perbatasan langit bermega hitam. Warna hijaunya terang dan mencolok
mata para penghuni bumi.
Wuuuttt... !
Angin mulai menunjukkan
keperkasaannya, hembusannya tiba-tiba saja menjadi cepat dan berat. Warna hijau
cerah berekor panjang di langit bagai semakin dilemparkan dari sisi satu ke
sisi lainnya. Gerakannya mengikuti lengkung langit hingga menuju perbatasannya
yang tak pasti.
Para tokoh tua saling
berlompatan dari tempat mereka. Muncul dari setiap sudut rimba persilatan. Mata
mereka memandang tak berkedip pada warna hijau di langit. Sebagian dari para
tokoh tua berilmu tinggi itu terkesiap tak bicara saat mata mereka memandang
warna hijau yang melesat panjang itu.
Seolah-olah para tokoh tua itu
memberikan hormat menyambut datangnya sang dewa hijau. Wajah-wajah mereka
terbagi dua antara tegang dan gembira. Sekalipun dari tempat yang berbeda dan
berjauhan, namun hati mereka seakan serempak berkata,
"Saatnya telah tiba!
Harus segera bertindak sebelum terlambat!"
Di sisi lain, pada lereng
perbukitan bertebing curam, dua sosok tua saling bertaruh nyawa dari pagi
hingga petang, bahkan malam yang melintas sepi itu dibiarkannya. Seakan tiada
waktu untuk menghentikan pertarungan mereka. Seakan tiada saat yang mampu
menciptakan perdamaian, walau untuk dua-tiga helaan napas.
Dendam pribadi telah mengarang
keras di hati dan jiwa mereka. Yang ada dalam keputusan naluri mereka hanya
membunuh atau dibunuh. Tak peduli usia tua, semangat untuk menjatuhkan lawan
masih meluap-luap dalam jiwa mereka.
Blaarrr...! Brukk!
Sosok tua berjubah abu-abu
sunggingkan senyum melihat lawannya jatuh akibat beradu telapak tangan
bertenaga tinggi. Sekejap saja cahaya merah membara memercik dari adu telapak
tangan tadi. Kejap berikut lawannya yang berkain merah itu tumbang dua tindak
ke belakang. Tetapi orang yang tumbang itu cepat bangkit dari jatuhnya. Kini
berdiri tegak dan tegar bagai tak pernah alami sentakan kuat sedikit pun.
Lelaki berkain merah yang
menutup dada kanan dengan membiarkan sebagian dada dan pundak kiri terbuka itu,
mempunyai rambut panjang bergulung ke atas, warnanya abu-abu. Ia berbadan kurus
dan bermata cekung. Tangannya masih menggenggam sebatang kayu penumbuk padi
yang lazim disebut alu. Warnanya hitam, tingginya sebatas ketiak. Kayu itu
sering pula dijadikan tongkat olehnya, tapi sebetulnya alu itu adalah senjata
andalannya. Itulah sebabnya orang bersenjata alu itu mempunyai julukan si Alu
Amah.
Sedangkan lawannya yang
berjubah abu-abu itu bercelana kuning. Rambutnya abu-abu panjang sebatas
punggung tak berikat kepala. Badannya agak gemuk, brewok dan kumisnya warna
putih kelabu. Senjata kebanggaannya adalah tongkat berujung lengkung. Di dunia
persilatan orang itu cukup dikenal, karena pernah menumbangkan tokoh sakti dari
Mongolia. Orang itulah yang dikenal dengan nama Ki Cagar Nyawa.
Perselisihannya dengan si Alu
Amah merupakan persoalan kuno yang sampai setua itu belum tuntas. Usia mereka
seimbang, sekitar enam puluh tahun, sementara persoalan yang mereka sedang
selesaikan dengan beradu nyawa itu adalah persoalan semasa mereka berusia dua
puluh lima tahun.
Ki Cagar Nyawa pernah dituduh
menghamili kekasih si Alu Amah. Sementara itu Ki Cagar Nyawa sendiri tidak
merasa pernah berbuat tak senonoh dengan perempuan bernama Nyai Sukmi Gading.
Repotnya perempuan itu tidak mau membuka rahasia tentang siapa lelaki yang
telah menanamkan benih dalam rahimnya dan tak mau bertanggung jawab itu. Sampai
akhirnya Nyai Sukmi Gading bunuh diri dan mati dengan sangat menyedihkan. Si
Alu Amah tetap menuding Ki Cagar Nyawa sebagai penyebab kematian Nyai Sukmi
Gading.
Buat si Alu Amah, Nyai Sukmi
Gading bukan hanya sebagai perempuan yang dicintai, melainkan juga sebagai
perempuan yang dipuja dan dikagumi semenjak mereka berada dalam satu naungan
perguruan yang sirna. Sebab itulah si Alu Amah sangat benci kepada Ki Cagar
Nyawa. Kapan saja dan di mana saja mereka bertemu, pertarungan tak dapat
dihindari lagi. Dan agaknya kali ini pertarungan mereka adalah pertarungan
terakhir, sebab keduanya sudah sama-sama bosan hadapi hidup penuh bayangan
dendam.
Ki Cagar Nyawa sendiri sudah
tak mau lagi diburu tuntutan berdarah. Kebenciannya kepada si Alu Amah
membuatnya tak pernah merasakan ketenangan dalam hidup. Setiap mendengar nama
si Alu, dada Ki Cagar Nyawa selalu merasakan sakit yang amat dalam. Karena pada
saat ia mendengar nama si Alu Amah disebutkan orang, pada saat itulah terbayang
wajah adik perempuannya yang dibunuh oleh si Alu Amah berdasarkan dendam salah
alamat itu.
Kali ini agaknya si Alu Aman
benar-benar ingin dihabisi nyawanya. Ki Cagar Nyawa melepaskan jurus pukulan
'Bangau Neraka'-nya yang jarang dipakai itu. Sebuah sentakan tangan yang
menguncup mengeluarkan cahaya biru yang menyala sekejap, lalu padam. Tapi
sebenarnya nyala biru itu tetap melesat cepat ke arah lawan dan tak terlihat
gerakannya.
Jika si Alu Amah tidak
menggunakan indera keenamnya, maka ia tak dapat melihat adanya sinar biru yang
melesat ke arahnya. Cepat-cepat si Alu Amah putarkan alunya yang bergerak cepat
bagaikan baling- baling di depan dadanya. Suara gerakan alu berputar cepat itu
sempat bikin gendang telinga menjadi sakit. Wungngngng... !
Jika Ki Cagar Nyawa tidak
tinggi ilmunya, maka gendang telinga itu akan pecah mendengar suara gaung yang
keras dan berkekuatan tenaga dalam. Dan ternyata suara gaung yang keras itu
mampu menahan gerakan sinar biru yang tak terlihat. Sinar dan suara bertemu,
maka timbullah ledakan dahsyat yang menggelegar.
Blarrrr...!
Si Alu Amah bagai kapas yang
dilemparkan ke samping, ia terpental dan jatuh di bawah pohon berakar saling
bertonjolan. Sedangkah Ki Cagar Nyawa juga terlempar bagaikan daun kering,
lebih tinggi tubuhnya melayang dan jatuh tanpa bisa menjaga keseimbangan
badannya. Brukk...! Lalu cepat berdiri lagi. Kejap berikut Ki Cagar Nyawa sudah
kembali siap hadapi lawan seolah-olah tidak mengalami sentakan apa pun.
Sedangkan si Alu Amah sendiri sedikit lebih cepat berdiri tegap ketimbang Ki
Cagar Nyawa.
Keduanya saling berhadapan
dalam jarak delapan langkah.
"Rupanya kau pamer ilmu
barumu, Cagar Nyawa?! Hm...! Belum ada sekuku hitamnya dibanding dengan
ilmuku!" si Alu Amah mencibir sinis dan dingin. Tetapi dalam hatinya, si
Alu Amah membatin, "Kurang ajar! Rupanya dia telah kuasai jurus 'Bangau
Neraka'! Mestinya aku lebih dulu kuasai ilmu itu, tapi aku telat!"
Dari tempatnya berdiri memegang
tongkat, si Cagar Nyawa ucapkan kata kepada si Alu Amah, juga dengan nada
dingin dan sinis.
"Kalau kau punya ilmu
lebih tinggi dariku, tentunya sudah sejak tadi siang kau bisa bunuh aku, Alu
Amah! Tapi karena ilmumu masih di bawah telapak kakiku, maka sampai malam
begini kau masih belum bisa tumbangkan aku!"
Padahal di dalam hati Ki Cagar
Nyawa membatin, "Sial betul! Dia makin tua makin tambah kekuatannya! Jurus
'Bangau Neraka-ku bisa ditahannya dengan 'Alu Kipas Naga'-nya! Agaknya cukup
sulit tumbangkan dia, tak seperti lawan-lawanku yang lainnya."
Kemudian terdengar suara si
Alu Amah lebih lantang lagi,
"Cagar Nyawa! Jangan
sangka hanya kau yang punya jurus andalan. Aku pun punya jurus andalan yang
sudah waktunya kulepaskan untuk menjemput kematianmu! Terimalah jurus 'Siluman
Kera Api' dariku! Heaaahh...!"
Pada saat itulah sesuatu yang
telah membuat para tokoh dunia persilatan tertegun sambil dongakkan kepala ke
langit, dialami pula oleh kedua tokoh sakti ini. Cahaya hijau berekor panjang
melesat di langit atas kepala mereka. Ki Cagar Nyawa lebih dulu dongakkan
kepala ke atas, disusul si Alu Amah yang juga ikut arahkan pandangan matanya ke
langit. Mereka sama- sama diam, sama-sama bisu, sama-sama bagai terkesima
melihat cahaya hijau tersebut. Bahkan setelah cahaya hijau lenyap dari pandang
mata mereka, keduanya sama- sama saling pandang dengan curah perhatian mulai
sama-sama kabur.
Kejap berikutnya terdengar
suara si Alu Amah yang telah membatalkan memamerkan jurus baru andalannya,
"Cagar Nyawa! Malam ini
kau patut bersyukur, karena aku masih punya tenggang rasa untuk tidak mencabut
nyawamu secara terburu-buru! Kuberi kau kebebasan beberapa saat untuk menikmati
sisa hidupmu yang sudah bau tanah ini! Karena aku harus segera pergi untuk
selesaikan janji pertarunganku dengan tokoh lain yang lebih tinggi ilmunya dari
ilmumu!"
"Jangan tinggalkan
tempatmu, Alu Amah!" sentak Cagar Nyawa, ia merasa kecewa jika pertarungan
itu terhenti, tanpa tahu siapa yang mati. Namun agaknya Alu Amah punya rencana
tersendiri.
Tanpa ucapkan kata apa pun
lagi kecuali janji, "Kita pasti bertemu di lain kesempatan!," maka
Alu Amah pun sentakkan kakinya dan melesat pergi tinggalkan pertarungannya.
"Alu Amah! Selesaikah
dulu urusan pribadi kita ini!" sentak Ki Cagar Nyawa yang ingin melepaskan
pukulan jarak jauhnya. Tapi pukulan itu tak jadi dilepaskan karena si Alu Amah
cepat berkelebat pergi dan tak terjangkau oleh pandangan mata lagi.
"Hiiiah!"
Ki Cagar Nyawa jengkel
sendiri. Pukulannya akhirnya dilepaskan kepada sebatang pohon. Pukulan itu
membuat pohon tersebut terpotong rapi menjadi lebih dari tiga puluh potongan
dalam sekali gebrak. Kalau saja si Alu Amah melihat jurus yang terakhir ini, Ki
Cagar Nyawa berani pastikan diri, si Alu Amah akan gentar dan takjub melihat
kehebatan dan kedahsyatan jurus 'Belut Penebar Maut' itu.
"Kurang ajar! Dia lari
begitu saja! Tapi aku yakin bukan karena takut padaku dia melarikan diri, tapi
karena ada sesuatu yang dia ketahui dan harus dikerjakan! Ke mana larinya, aku
tahu! Pasti menuju Gua Sekat Sembilan! Ya, pasti tikus busuk itu menuju ke
sana, karena dia tahu perlambang jatuhnya bintang hijau tadi! Hmm...! Rupanya
bukan aku saja yang mengetahui perlambang dari bintang hijau yang jatuh tadi!
Ada baiknya kalau kususul dia ke Gua Sekat Sembilan dan bikin perhitungan baru
di sana!"
***2
HUTAN bertanah kabut adalah
tempat terdekat dengan Gua Sekat Sembilan. Sedekat-dekatnya tempat itu, punya
waktu perjalanan setengah hari untuk mencapai Gua Sekat Sembilan. Tanah di
hutan itu memang sering dibungkus kabut karena rembesan asap belerang sering
muncul di sela-sela bongkahan tanahnya. Jadi bukan karena tempatnya tinggi,
melainkan karena keadaan alam dari lapisan tanah tersebut.
Kabut belerang putih menurut
beberapa tokoh tua punya khasiat menyegarkan tubuh. Barangkali, karena itulah,
Ki Candak Sedo membangun persinggahannya di hutan kaki bukit tersebut. Mungkin
karena belerang putih berbentuk kabut itu pula yang membuat Ki Candak Sedo
tetap segar dan bagus tubuhnya walau sudah berusia delapan puluh lima tahun.
Ki Candak Sedo, pada masanya
pernah merajai dunia persilatan untuk separo tanah Jawa. Ia bukan orang rakus,
ia bukan tokoh sesat, ia sering mengadakan pertemuan dengan si Gila Tuak, guru
dari Pendekar Mabuk, Suto Sinting, yang namanya terdaftar di urutan paling atas
sebagai tokoh tua yang sukar ditumbangkan. Pada masanya dulu, Ki Candak Sedo
sering bertukar ilmu 'Kaweruh Urip', yaitu sebuah ilmu pengetahuan tentang
hidup dan kehidupan dengan si Gila Tuak.
Bagi Candak Sedo, si Gila Tuak
dianggap seperti kakaknya sendiri. Dan ia mendengar kabar bahwa si Gila Tuak
sudah turunkan ilmunya kepada seorang murid sinting yang diangkat dari bocah
tanpa pusar sejak si bocah berusia delapan tahun. (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar"). Candak Sedo pun kini telah
mengangkat satu murid sejak berusia sepuluh tahun yang bernama Karang Wesi.
Di persinggahannya yang penuh
damai tanpa pernah terjadi kericuhan itu, Ki Candak Sedo menurunkan ilmunya
kepada Karang Wesi, sebagai sarana menuju hidup sempurna dalam penyerahan diri
kepada Hyang Widi. Karena dulu, guru dari Ki Candak Sedo pernah berpesan
kepadanya, bahwa hidupnya tidak akan menjadi damai sebelum semua ilmu
diturunkan kepada seorang murid pilihannya. Dan bahwa hidupnya tak akan menjadi
bersih, sebelum ia bermandikan Minyak Darah Malaikat.
Menurut keterangan dari
gurunya Ki Candak Sedo, hidup bersih dan menjadi pertapa suci bisa dicapai
melalui dua tahapan itu, setelah menurunkan ilmu seluruhnya sebagai bekal bagi
pewarisnya, lalu mandi Minyak Darah Malaikat untuk melenyapkan ilmu-ilmu yang
mengarang keras dalam jiwa raganya. Konon menurut sang Guru, setiap manusia
mempunyai kotoran batin yang tak pernah disadari telah menjadi keras bagaikan
batu karang. Dan kotoran batin itu tidak bisa dihilangkan sebelum mandi Minyak
Darah Malaikat, untuk kemudian melakukan semadi menyepi sebagai langkah menuju
pusat hubungan dengan Yang Maha Kuasa.
Ki Candak Sedo kini telah
turunkan semua ilmunya kepada Karang Wesi. Segala kebaikan dan hal-hal yang
bersifat putih telah diberikan kepada sang murid tercinta. Tak heran jika
Karang Wesi pun tumbuh sebagai pemuda yang dua tahun lebih tua dari Suto Sinting,
si Pendekar Mabuk, dengan bekal ilmu sakti setingkat dengan gurunya. Barangkali
hanya ilmu pelebur kotoran batin saja yang belum diturunkan kepada Karang Wesi,
karena ilmu itu adalah akhir dari ilmu yang akan dimiliki Ki Candak Sedo.
Karang Wesi, seorang bocah
yatim-piatu dalam peristiwa bencana alam yang ditemukan oleh Ki Candak Sedo.
Ilmu-ilmu yang diturunkan kepada Karang Wesi dalam usia tiga puluh tahunan ini,
telah membuat Karang Wesi merasa tak pernah gentar menghadapi angkara murka
dari mana saja. Bahkan sekalipun ia sudah mempunyai ilmu cukup tinggi, namun ia
adalah pemuda yang tak pernah merasa puas dalam menuntut ilmu. Ia selalu ingin
mendapatkan ilmu apa pun dari gurunya, sehingga satu saat sang Guru pun
terpaksa berkata,
"Karang Wesi, kalau kau
ingin mendapatkan ilmu lagi dariku, itu tak mungkin bisa. Karena semua ilmuku
telah kuturunkan padamu. Tak ada ilmu yang kumiliki lagi yang bisa kuturunkan
kepadamu kecuali ilmu hidup sejati."
"Mengapa aku tidak
mendapat ilmu hidup sejati, Eyang Guru?!" tanya Karang Wesi seakan
menuntut.
"Batas usiamu belum
sampai untuk memiliki ilmu hidup sejati, karena batas pemikiranmu tidak bisa
sama denganku! Kelak jika kau sudah punya banyak pengalaman dalam hidup, sudah
punya banyak perjalanan dalam hidup, sudah pernah merasakan hitam- putihnya
suatu kehidupan, maka kau akan temukan sendiri bagaimana menggali ilmu hidup
sejati!" dengan sabar dan bijaksana Ki Candak Sedo menuturkan penjelasan
itu kepada muridnya. Lalu terdengar Karang Wesi berkata,
"Apakah setelah aku bisa
miliki ilmu hidup sejati, aku akan bisa hidup selamanya dan tak akan pernah
mati, Guru?"
Ki Candak Sedo sunggingkan
senyum geli, kemudian kembali paparkan maksud ucapannya tadi,
"Hidup sejati bukan
berarti hidup selamanya. Hidup sejati adalah hidup yang penuh pengabdian dan
sujud kepada Hyang Widi Wasa. Selama ini hidup kita adalah hidup pengabdian,
baik kepada diri sendiri, kepada sesama dan kepada Yang Maha Kuasa. Tetapi
pengabdian kepada Yang Maha Kuasa adalah pengabdian yang harus lebih banyak
kita lakukan daripada terhadap diri sendiri dan sesama manusia. Untuk mencapai
titik tertinggi dari pengabdian kepada Yang Maha Kuasa, diperlukan ilmu hidup
sejati, menemukan apa makna hidup dan kehidupan. Untuk menemukan makna itu
sendiri dibutuhkan satu kesucian yang lebih putih dari busa-busa salju, yang
lebih peka dari lapisan bola mata kita. Jadi tak bisa hal itu kau terima dalam
usia mudamu yang masih butuh kehidupan dan pengabdian kepada diri
sendiri!"
"Tapi aku ingin menjadi
orang paling sakti, Guru! Apakah semua Ilmu yang Guru turunkan kepadaku ini
bisa menjadikan aku sebagai manusia sakti?"
"Karang Wesi
muridku!" kata Ki Candak Sedo dengan senyum kesabarannya, "Tidak ada
orang paling sakti di dunia ini. Yang paling, sakti hanya Yang Maha Kuasa,
pencipta langit dan bumi, serta seisinya! Kita hanya bisa menjadi orang
berilmu, seberapa tinggi ilmu kita, tergantung seberapa rendah ilmu lawan kita!
Jangan kamu merasa paling sakti, karena di atasnya yang paling sakti ada yang
lebih paling sakti. Di atasnya yang lebih paling sakti ada yang sangat lebih
paling sakti. Begitu dan begitu seterusnya! Merasa tidak puas dalam menempuh
kesaktian pribadi itu tidak baik, tapi merasa tidak puas untuk berbuat baik
terhadap sesama itu cukup terpuji di mata Hyang Widi Wasa!"
Karang Wesi diam-diam merasa
heran melihat gurunya bicara sambil mengenakan pakaian kebesarannya, yaitu
pakaian serba putih, dengan rambut putih digelung ke atas, kumis dan alis serta
jenggotnya pun berwarna putih rata. Karang Wesi tahu, kebiasaan gurunya kenakan
pakaian serba putih seperti itu pasti akan melakukan satu perjalanan jauh yang
punya urusan penting. Maka Karang Wesi pun ajukan tanya,
"Kelihatannya Eyang Guru
mau mengadakan perjalanan jauh?"
"Benar, Muridku!"
"Kalau boleh aku tahu, ke
mana Guru mau pergi? Aku ingin mendampingi Guru!"
Ki Candak Sedo menatap
muridnya dan sunggingkan senyum kasih sayang. Lalu dengan polos ia katakan,
"Sudah waktunya aku
melakukan perjalanan terakhirku sebelum aku melakukan hidup sejati yang paling
tinggi. Tentunya kau masih ingat peristiwa semalam, saat kau berlatih pukulan
'Angin Lahar'?"
Karang Wesi kerutkan kening,
ia ingat-ingat peristiwa semalam saat ia melakukan latihan terakhir dari jurus
pukulan 'Angin Lahar'. Pukulan itu memang dahsyat dan mengagumkan menurut
Karang Wesi. Mula-mula ia hanya diperintahkan untuk menyalurkan pernapasannya
melalui telapak tangan berulang kali. Ia tidak tahu apa maksud gurunya itu.
Setelah tenaga dalam bisa
memantul balik dengan sendirinya dari ujung telapak tangan ke jantung, Karang
Wesi diperintahkan untuk menguasai hawa murninya di dalam pertengahan dada.
Getaran hawa murni itu disuruh rasakan sampai ujung kakinya. Lalu, Ki Candak
Sedo perintahkan agar getaran tersebut dikuasai dan disalurkan melalui
urat-urat nadi yang ada di pergelangan tangan hingga terasa pergelangan tangan
mau pecah.
Karang Wesi melakukan semua
itu dengan pemusatan batin cukup tinggi. Sampai akhirnya sang Guru perintahkan
untuk melepaskan getaran hawa murni itu hingga menguasai telapak tangannya tapi
jangan sampai keluar. Dan Karang Wesi telah melakukannya walau agak susah, sebab
getaran itu seakan mendesak ingin keluar dari telapak tangannya.
"Tahan dan biarkan
menguasai setiap urat nadi telapak tangan!" ujar Ki Candak Sedo.
Setelah melalui upaya yang
susah payah, yang membuat telapak tangan bagaikan ingin terbakar pecah, Ki Candak
Sedo perintahkan Karang Wesi untuk meraba sebatang pohon beringin.
"Usaplah pohon itu dengan
lembut!" kata Ki Candak Sedo.
Karang Wesi melakukan apa yang
diperintahkan gurunya. Tangannya mengusap pelan batang pohon beringin itu.
Pertama-tama ditempelkan dengan pelan, lalu mengusapnya ke bawah dengan lembut.
Setelah itu terjadi suatu keajaiban yang sungguh menakjubkan.
Terdengar suara aneh seperti
bara api masuk ke dalam air kolam secara pelan-pelan. Zzzrreessss...! Kejap
berikut mata Karang Wesi terkesiap, karena ia melihat pohon beringin yang
begitu besar dengan akarnya bergelantungan bagai rambut-rambut raksasa itu,
kini menjadi hangus seketika dari akar sampai daunnya.
Karang Wesi cepat mundurkan
langkah tiga tindak. Ia pandangi pohon yang menghitam hangus seluruhnya, tapi
belum tumbang dari tempatnya. Daun-daunnya hitam kaku bagaikan daun arang.
Ketika tertiup angin pelan, daun-daun itu tak lagi bisa bergoyang karena
kakunya. Tapi ketika kaki Ki Candak Sedo menendangnya dengan pelan, pohon itu rubuh
dan pecah menjadi serpihan arang.
"Ajaib sekali!"
gumam Karang Wesi dengan sangat kagumnya, ia pandangi telapak tangannya sendiri
yang ternyata masih tetap bersih dan putih.
"Itu namanya pukulan
'Angin Lahar'," kata Ki Candak Sedo. "Jika kau sering berlatih
kendalikan getar hawa murni ke telapak tanganmu, maka dengan sekali tahan napas
saja, kau bisa usap lawanmu atau pegang tangannya, maka dalam sekejap lawanmu
akan menjadi arang keropos, seperti pohon beringin besar itu!"
"Oh, alangkah hebatnya
ilmu ini, Eyang Guru!" Karang Wesi berseri-seri tanda amat gembira
hatinya.
"Hanya dalam keadaan
sangat terpaksa, gunakan ilmu itu! Tapi jika belum terpaksa sekali, hindari
penggunaan ilmu itu! Sangat berbahaya dan keji menurut pertimbanganku setelah
setua ini!"
"Baik, Guru! Aku mengerti
maksud Eyang Guru!"
"Itulah sebabnya aku
dijuluki oleh beberapa tokoh tua di rimba persilatan ini sebagai Candak Sedo.
Candak artinya pegang, Sedo artinya mati! Ketika aku masih gemar berkelana,
setiap lawan yang kupegang pasti mati. Baru kupegang atau kuajak salaman, dia
sudah menjadi hangus dan keropos seperti pohon itu! Tapi...."
Pada malam itu, ucapan Ki
Candak Sedo terhenti dengan wajah segera mendongak ke atas. Ki Candak Sedo
memandang gerakan bintang jatuh berwarna hijau pijar bening. Karang Wesi juga
pandangi langit, bahkan sempat ucapkan kata,
"Bintang timur jatuh,
Guru! Indah sekali warnanya!"
"Itu bukan bintang
sembarang bintang," jawab Ki Candak Sedo. "Bagi para tokoh tua, itu
suatu pertanda akan terjadinya suatu peristiwa yang sekian lama
ditunggu-tunggu."
"Peristiwa apa
Guru?"
Ki Candak Sedo sedikit ragu
untuk menjelaskan kepada muridnya. Lalu, cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan
ke jurus 'Angin Lahar' tadi.
"Jurus 'Angin Lahar',
jangan sampai kau lepaskan kepada orang tak bersalah! Karena jika kau lepaskan
kepada orang tak bersalah, maka perbuatanmu itu adalah perbuatan keji yang tak
patut menjadi murid Candak Sedo. Pukulan 'Angin Lahar' kuciptakan sendiri untuk
menghadapi tokoh sesat yang sulit dibunuh!"
"Ya. Aku mengerti. Guru!
Semua pesan dan nasihat Guru, akan kujalankan!"
"Bagus. Karena kulihat
kau sudah terlalu letih, sebaiknya segeralah beristirahat, Karang Wesi!"
"Baik, Guru!" Karang
Wesi tunjukkan sikap penurut, sebagai murid patuh yang sangat menggembirakan
hati gurunya.
Itulah peristiwa yang dikenang
Karang Wesi sebelum sang Guru melakukan perjalanannya. Bungkamnya mulut Karang
Wesi membuat sang Guru memandang dengan senyum kebanggaan, lalu ajukan tanya
pelan,
"Sudah ingatkah kau
dengan peristiwa tadi malam?"
"Sudah, Guru. Tadi malam
saya mempelajari ilmu pukulan 'Angin Lahar'!"
"Bukan itu maksudku, Wesi!
Kuingin kau mengingat tentang bintang jatuh warna hijau cerah berekor panjang
itu."
"O, ya! Aku ingat, Guru!
Lantas, apa hubungannya dengan rencana kepergian Guru ini?"
Ki Candak Sedo mendekati
muridnya yang masih duduk, bahkan kini Candak Sedo ikut duduk di bangku
sebelahnya, lalu ucapkan kata,
"Bintang jatuh seperti
itu, ada sembilan warna. Saat aku mengangkatmu menjadi murid yang pertama kali,
terjadi pula peristiwa bintang jatuh berwarna kuning terang. Dan itu adalah
bintang yang ke tujuh!
Karang Wesi segera menjawab
saat gurunya diam sejenak, "Seingatku, aku juga pernah melihat bintang
jatuh tapi siang hari, warnanya hitam, seperti gugusan asap yang berkelebat
cepat berekor panjang, Guru!"
"Ya. Waktu itu kau
berusia dua puluh tahun. Dan bintang hitam yang jatuh di siang hari itu adalah
bintang yang kedelapan. Sebelumnya ada bintang merah, biru, putih, ungu,
jingga, dan nila. Sedangkan bintang hijau semalam itu adalah bintang jatuh yang
kesembilan."
"Apa artinya, Guru?"
"Artinya, jika sudah ada
sembilan bintang dengan sembilan warnanya masing-masing jatuh ke bumi, walau
tak sampai menyentuh permukaan bumi, itu pertanda Gua Sekat Sembilan mulai
terbuka dengan sendirinya. Pintu gua itu tidak akan bisa dibuka dan didobrak
dengan senjata apa pun, selain menunggu jatuhnya kesembilan bintang."
Karang Wesi sangat
memperhatikan tiap ucapan Guru karena ia sangat tertarik dengan misteri Gua
Sekat Sembilan. Lalu, ia mendesak gurunya dengan pertanyaan.
"Apa yang terjadi jika
pintu Gua Sekat Sembilan telah terbuka, Guru? Apakah akan muncul seekor ular
naga?"
"Tidak," jawab Ki
Candak Sedo sambil sunggingkan senyum. "Saat ini, para tokoh tua yang tahu
rahasia sembilan bintang pasti akan saling berebut untuk temukan Gua Sekat
Sembilan. Karena di dalam gua itu terdapat Minyak Darah Malaikat!"
"Minyak Darah
Malaikat...?! Maksud Guru, minyak yang bisa meleburkan kotoran di batin kita
yang selama ini telah menjadi karang pengganjal kesejatian hidup?"
"Benar! Tapi para tokoh
itu bermaksud memiliki Minyak Darah Malaikat bukan untuk sekadar membersihkan
kotoran batin, namun untuk menambah kesaktian dirinya. Karena barang siapa
mandi minyak keramat itu, maka tubuhnya akan menjadi kebal senjata apa pun dan
tak bisa dihantam dengan ilmu tenaga dalam setinggi apa pun!"
Karang Wesi manggut-manggut.
"Ooo... begitu? Menurut dugaanmu, mereka pasti akan berebut minyak
tersebut, Guru!"
"Benar! Tapi mereka belum
tentu bisa temukan Gua Sekat Sembilan. Mereka hanya tahu arahnya, tapi tidak
tahu di mana letak gua itu secara persis."
Ki Candak Sedo melangkahkan
kaki sampai di depan gubuk persinggahannya, kemudian dari sana dia berkata
sambil palingkan wajah kepada Karang Wesi,
"Hanya akulah yang tahu
letak gua itu! Sebab dulu guruku pernah bertapa di depan pintu gua itu, dan aku
pernah diajaknya ke sana! Karena itu aku memilih tempat persinggahan di hutan
ini, supaya jika saatnya tiba, pintu gua terbuka, jarakku dengan gua itu
tidaklah jauh!"
Karang Wesi bangkit dengan
wajah ceria, lalu ucapkan kata,
"Kalau begitu kita
berangkat sekarang ke sana, Guru! Saya akan dampingi Guru, sampai mendapatkan
Minyak Darah Malaikat itu, Guru!"
Ki Candak Sedo kembali
sunggingkan senyum bangga terhadap kesetiaan muridnya, kemudian ia ucapkan kata
sambil mendekati Karang Wesi,
"Kesetiaan dan
kepatuhanmu selama ini adalah sesuatu yang menghibur hati tuaku, Karang Wesi!
Ternyata aku tak salah pilih murid!" sambil pundak Karang Wesi
ditepuk-tepuknya.
"Guru, jangan sanjung
saya nanti bisa lupa diri!" Tawa tua dari Candak Sedo terdengar pelan.
Kemudian ia melangkah lebih dulu tinggalkan persinggahannya. Karang Wesi segera
menyusul dan mendampingi gurunya. Langkahnya penuh semangat, bahkan berkesan
tak sabar, ingin segera sampai di Gua Sekat Sembilan.
Sambil melangkah, Candak Sedo
tuturkan kata kepada Karang Wesi,
"Genap sudah Gua Sekat
Sembilan tertutup rapat tak dijamah makhluk apa pun selama sembilan puluh
tahun. Karena jatuhnya bintang warna-warni itu hanya setiap sepuluh tahun
sekali. Gua itu ada sebelum aku lahir, Karang Wesi!"
"Siapa yang menaruh
Minyak Darah Malaikat di dalam gua itu, Guru?' tanya Karang Wesi.
"Goa Sekat Sembilan
mempunyai kekuatan gaib yaitu dapat menyerap darah setiap pendekar sakti dari
golongan putih. Walau hanya satu tetes darah, tapi pada saat tokoh sakti dari
golongan putih mati, maka darahnya akan terserap ke dalam gua itu. Selama
sembilan puluh tahun, gua itu menyerap satu tetes darah dari setiap pendekar
golongan putih yang mati. Maka terkumpullah menjadi banyak. Dan konon, menurut
cerita guruku sendiri darah itu sudah bukan merah lagi warnanya, sudah bukan
amis lagi baunya. Darah itu berubah menjadi putih bening dan berbau harum.
Darah itu ibarat zat kesaktian dari tokoh putih."
"Berarti Minyak Darah
Malaikat itu adalah kumpulan zat kesaktian dari sekian banyak zat yang ada pada
diri tokoh sakti, Guru?l"
"Benar! Sebab itulah
Minyak Darah Malaikat bisa menolak senjata setajam apa pun, dan bisa menolak
kekuatan tenaga dalam setinggi apa pun jika dipakai mandi oleh seseorang. Dan
pesan guruku adalah menurunkan ilmuku kepada seorang murid hingga tuntas, lalu
bermandi minyak itu sekujur tubuhku, setelah itu baru aku bisa menjadi pertapa
yang hanya mengabdi kepada Hyang Widi Wasa, jauh dari duniawi, jauh dari
keramaian, jauh dari nafsu angkara murka!"
"Saya akan dampingi Guru
untuk mendapatkan minyak itu, kalau memang minyak itu adalah syarat yang
dibutuhkan oleh Guru!"
"Terima kasih atas
kesetiaanmu, Karang Wesi! Kuharap kau menjaga mulut gua selama aku masuk ke
dalam dan mengambil Minyak Darah Malaikat itu!"
"Saya turut perintah,
Guru!" jawab Karang Wesi dengan tegas dan penuh kepatuhan yang mengagumkan
buat Ki Candak Sedo.
*
* *
PENDEKAR Mabuk tidak bisa
menemukan tempat yang disebutkan oleh Cambuk Guntur. Melacak pelarian Cambuk
Guntur dengan si Macan Bangkai pun mengalami salah arah. Dengan sedikit kecewa
Suto akhirnya tidak mau peduli lagi terhadap keanehan kedua tokoh yang
ditemuinya pada malam purnama itu.
Tetapi ketika pagi telah
berlalu, Pendekar Mabuk menangkap suara pekik seseorang dan ledakan yang
bergemuruh. Suara itu sepertinya datang dari balik bukit. Rasa ingin tahunya
membawa Pendekar Mabuk mendekati tempat itu. Melalui celah pepohonan rapat mata
Suto mengintai apa yang terjadi di seberang sana.
Ternyata di sana sedang
terjadi pertarungan yang membuat jantung Suto Sinting berdebar-debar antara
tegang dan kegirangan. Seorang nenek bungkuk berbadan kurus sedang menebaskan
tongkat lengkungnya dari akar rotan kuning ke arah lawannya. Nenek itu berjubah
biru dengan rambut abu-abu, berwajah kempot, mata cekung dan giginya tinggal
tiga. Usianya diperkirakan sudah lebih dari enam puluh tahun. Tapi gerakannya,
masih gesit.,
Hal yang membuat Pendekar
Mabuk menjadi berdebar girang bukan nenek tersebut, melainkan lawan si nenek
itu. Lawannya orang berjubah hitam dari atas sampai bawah berkerudung kain
hitam, wajahnya putih berbibir biru, menggenggam senjata tongkat El Maut, yang
ujungnya seperti sabit panjang. Orang berwajah dingin itulah yang diburu
Pendekar Mabuk selama ini.Dia adalah tokoh sesat yang tidak bisa tua walau
usianya sudah dua ratus tahun lebih. Dia adalah Durmala Sanca yang lebih
dikenal dengan julukan Siluman Tujuh Nyawa.
Melihat musuh utamanya sedang
bertarung dengan nenek tua itu, Pendekar Mabuk tidak langsung menyerangnya, ia
justru memperhatikan pertarungan itu dari balik pepohonan. Di dalam hatinya,
Suto Sinting berkata,
"Mungkinkah Durmala Sanca
sudah mempunyai kemajuan baru dalam ilmunya? Aku harus mempelajari dulu
sebentar dari sini! Jika aku langsung masuk ke pertarungan, barangkali hati
nenek tua itu akan kecewa karena urusannya kucampuri! Hmmm...! Sebaiknya
kutunggu saja bagaimana akhir pertarungan itu! Tapi yang jelas, kali ini
Siluman Tujuh Nyawa tidak akan lolos dari incaranku!"
Nenek bungkuk berbadan kurus
itu terpental saat ia melepaskan pukulan tenaga dalamnya bersinar kuning,
karena oleh manusia berkerudung hitam itu pukulan kuningnya dihantam dengan
sinar putih yang keluar dari ujung sabit panjangnya itu. Tapi agaknya si nenek
masih bersemangat dan segera bangkit tanpa cedera apa pun. Kejap berikutnya
terdengar suara Durmala Sanca berkata kepada nenek itu,
"Jangan harap kau bisa
menang melawanku, Nyai Pungkur Maut! Sebaiknya urungkan saja niatmu membalas
dendam atas kematian suamimu beberapa puluh tahun yang lalu!"
"Aku tidak akan biarkan
kau lolos lagi, Manusia iblis! Apa pun yang terjadi, aku harus bisa membunuhmu
sekarang juga. Karena baru sekarang kita bertemu lagi setelah sekian puluh
tahun yang lalu kau membunuh suami dan anakku di depan mataku sendiri!"
kala nenek yang ternyata bernama Nyai Pungkur Maut itu.
"Tidakkah kau sayang
dengan sisa hidupmu yang tinggal beberapa hari ini? Sebaiknya jangan kau sia-
siakan sisa hidupmu untuk memburuku, tapi gunakanlah untuk menyenangkan diri
sebelum kau mati!"
"Tutup mulutmu, Iblis
Keparat!" bentak Nyai Pungkur Maut. "Tak ada lagi kesenangan dalam
hidupku sebelum aku bisa membalas kematian suami dan anakku! Tak ada lagi yang
lebih berharga selain memenggal kepalamu dengan tongkatku ini! Hiaaah...!"
Nyai Pungkur Maut tampak
menyentakkan tongkatnya ke depan dengan sentakan yang cukup kuat. Tangannya
sampai lurus ke depan dan dari ujung tongkatnya itu keluar sekelebat sinar
warna merah. Sinar itu menghantam dada Siluman Tujuh Nyawa. Wuttt...!
Zlappp...!
Tapi tangan kiri Durmala Sanca
yang tidak memegang tongkat El Maut itu menghadang di depan dada. Sinar merah
itu membentur telapak tangan yang sudah membara kunipg kemerahan itu.
Duarrr...! Meledaklah benturan sinar merahnya Nyai Pungkur Maut dengan telapak
tangan Siluman Tujuh Nyawa.
Lalu dua jari tangan itu
bergerak cepat menghentak ke depan dan keluarlah sinar merah berkelok-kelok
bagai akar serabut dari percikan api yang membara.
Zrappp...! Kumpulan sinar
merah berkelok-kelok itu menghantam dada Nyai Pungkur Maut dan tak dapat
dihindari lagi karena kecepatan loncatnya luar biasa. Jrass...! Sinar merah itu
masuk ke dalam dada dan membuat tubuh Nyai Pungkur Maut terpental hingga empat
tombak j auhnya.
Tubuh Nyai Pungkur Maut tersandar
di bawah pohon dalam keadaan berasap. Matanya yang cekung itu mendelik dan
lehernya bergerak-gerak dengan kepala terdongak, sepertinya sukar bernapas.
Siluman Tujuh Nyawa segera berkelebat mengayunkan tongkat bergagang panjang
yang ujungnya mempunyai sabit lengkung panjang itu. Sabit itulah yang akan
dihantamkan ke dada Nyai Pungkur Maut.
Tetapi ketika tubuh Durmala
Sanca melompat, Pendekar Mabuk segera melepaskan pukulan jarak j auhnya dan
tepat mengenai punggung Durmala Sanca dengan telak sekali. Wuttt...! Buhgg...!
Tubuh yang terbungkus kain
hitam dari kepala sampai kaki itu terlempar ke samping dengan sangat kerasnya.
Andai tidak ada pohon besar, maka tubuh itu akan terlempar sangat jauh dari
tempat Nyai Pungkur Maut terkapar. Dengan gerak siluman yang cepatnya luar
biasa itu, Pendekar Mabuk melesat ke arena pertempuran tersebut. Zlappp... !
Pendekar Mabuk segera
mengambil bumbung tuaknya dari punggung. Melihat kepala Nyai Pungkur Maut
terdongak dengan mulut ternganga mencari napas,
Suto segera mengucurkan
tuaknya ke dalam mulut nenek itu. Tuak tertelan dan asap yang mengepul dari
tubuh Nyai Pungkur Maut pun menjadi reda. Kejap berikutnya, Nyai Pungkur Maut
kembali bisa bernapas dengan lega.
Tetapi pada saat itu, Siluman
Tujuh Nyawa sudah siap melepaskan serangannya ke arah Pendekar Mabuk. Dengan
cepat Pendekar Mabuk balikkan badan dan menghadap ke arah Durmala Sanca.
Matanya memandang tajam ketika Durmala Sanca berkata dengan nada datar dan
dingin, sedingin wajahnya yang tak pernah tersenyum ataupun menyeringai
kesakitan itu,
"Apa urusanmu mencampuri
urusanku, Pendekar Mabuk!"
"Kita punya urusan
pribadi yang harus segera dituntaskan!" kata Suto sambil melangkah ke
samping dan memegangi tali bumbung tuaknya.
"Dan jangan coba-coba
melarikan diri lagi kau, Durmala Sanca!"
"Aku tak pernah lari dari
jiwamu! Kalau aku lari itu lantaran aku harus menunda pertarungan kita untuk
sesaat, karena banyaknya urusan yang harus kulakukan!"
"Baik. Kuterima alasan
apa pun yang kau ucapkan, Durmala Sanca! Tetapi kali ini kau tak akan bisa lari
lagi dari hadapanku! Sudah waktunya kematianmu tiba, dan orang sesat masuk
neraka!"
"Tak keberatan aku
melayanimu, Suto! Tapi minggirlah dulu, biar kuselesaikan dulu urusanku dengan
Nyai Pungkur Maut itu! Aku tak ingin seseorang menjadi gila karena tak bisa
membunuhku!"
"Urusan nenek itu akan
kuwakili!"
"O, baik kalau
begitu!"
Wuttt...! Tiba-tiba Durmala
Sanca sentakkan telapak tangannya ke depan, dan Suto Sinting pun juga sentakkan
telapak tangannya ke depan. Mereka saling adu kekuatan tenaga dalam dengan
badan sedikit merendah.
Tratt tratt tarr... tarr...! Brarr...
tam...!
Dua sinar berkelok-kelok
bagaikan petir saling sambar di pertengahan jarak. Dari tangan Durmala Sanca
keluar sinar hijau, dari tangan Pendekar Mabuk keluar sinar merahnya. Dua sinar
yang berkelok-kelok itu bagaikan sepasang naga yang beradu saling lilit di
pertengahan jarak mereka. Loncatan bunga api dan ledakan kecil terjadi beberapa
kali.
Agaknya keduanya sama kuat.
Durmala Sanca gemetar sekujur tubuhnya, dan keadaan berdirinya semakin
merendah. Sedangkan Pendekar Mabuk masih tampak tegak dan tegar walau tangannya
itu mulai mengucurkan keringat dan gemetar. Sinar merahnya masih berlompatan
dari telapak tangannya, menghantam sinar hijau dari telapak tangan lawan.
Nyai Pungkur Maut merasa heran
melihat penampilan anak muda yang menggenggam tali bumbung tuak itu. Ia merasa
belum pernah mengenal anak muda yang berwajah tampan itu. Tetapi ia sudah
merasakan kehebatan ilmunya, terutama ilmu Tuak Sakti-nya itu yang dapat
membuat tubuh Nyai Pungkur Maut menjadi segar. Padahal menurut perkiraannya, ia
akan mati karena terkena pukulan maut dari Durmala Sanca.
Melihat keadaan Siluman Tujuh
Nyawa terdesak dan sedikit kewalahan menahan serangan tenaga dalam Pendekar
Mabuk, Nyai Pungkur Maut menggunakan kesempatan untuk menyerang Siluman Tujuh
Nyawa, ia segera melompat dengan tongkatnya ditebaskan ke leher Siluman Tujuh
Nyawa dalam gerakan cepat.
"Heeeaaah...!"
Wuttt...! Trakk! Duarrr...!
Tongkat itu ditangkis dengan
ujung tongkatnya Siluman Tujuh Nyawa, sementara tangannya masih menahan pukulan
tenaga dalam Suto. Tongkat Nyai Pungkur Maut terpental lepas dari tangannya,
dan tiba- tiba tubuhnya tersodok bagian bawah dari tongkat El Maut itu.
Duhggg...!
"Uuhg....!" Nyai
Nyai Pungkur Maut tersentak dan terpekik, tubuhnya kembali terlempar dalam
jarak antara tiga tombak.
Pendekar Mabuk segera kibaskan
bumbung tuaknya ke arah Siluman Tujuh Nyawa. Bumbung tuak yang berkelebat itu
ditangkis dengan tongkat El Maut. Blarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi akibat
benturan dua benda tersebut dan mereka berdua sama-sama terpental. Sinar dari
telapak tangan padam. Pendekar Mabuk tersentak mundur tiga langkah, sedangkan
Siluman Tujuh Nyawa terpental ke belakang kira-kira empat tombak jauhnya, ia
hampir saja jatuh terkapar. Untung masih bisa menggunakan tongkatnya sebagai
alat penahan tubuhnya agar tak sampai jatuh.
"Nyai," kata Suto,
"Jangan ikut menyerang dulu! Biar kuhabisi nyawa si keparat itu!"
"Baiklah! Aku pun punya
urusan sendiri yang harus kukerjakan sebelum orang lain mengerjakannya!
Kuserahkan dia, Anak Muda. Bunuh dia dan jangan biarkan lolos darimu!"
Wusss...! Rupanya Nyai Pungkur
Maut benar-benar punya urusan penting tersendiri, sehingga ia rela menyerahkan
lawannya kepada Suto. Melihat kecepatan geraknya yang tampak terburu-buru itu,
Suto dapat menduga bahwa Nyai Pungkur Maut merasa takut ketinggalan waktu. Dan
jika bukan sesuatu yang teramat penting, tidak mungkin ia lepaskan musuhnya
yang telah membunuh suami dan anaknya itu.
Kini, di situ tinggal Suto
Sinting berhadapan dengan Durmala Sanca. Dua tokoh sama kuat dan sama berilmu
tinggi saling mengadu kesaktian. Siluman Tujuh Nyawa bergerak sangat cepat
bagai anak panah dilepaskan, ia menebas kepala Pendekar Mabuk dengan sabit
panjangnya. Tapi, Pendekar Mabuk juga mempunyai jurus gerak siluman yang mampu
membuatnya seperti menghilang. Gerakan cepatnya yang melebihi hembusan badai
mengamuk itu membuat Siluman Tujuh Nyawa selalu meleset menyabetkan senjatanya.
"Sudah kubilang, kau tak
akan bisa mengalahkan aku, Pendekar Mabuk! Kau bukan lawanku! Mestinya kau
melawan anak buahku, Suto!"
"Anak buahmu sudah
kubabat habis semua! Tinggal kamu yang belum kulenyapkan!" kata Suto masih
dengan penuh keberanian.
Dalam jarak empat tombak itu,
Siluman Tujuh Nyawa segera memutar-mutar tongkatnya di atas kepala. Wukkk...
wuukkk wukkk... ! Lalu lompatan sinar biru bagaikan petir itu menyambar tubuh
Pendekar Mabuk. Clappp...! Blarrr...!
Pendekar Mabuk bersalto ke
atas dua kali. Wuttt...! Dengan begitu sinar biru petir itu mengenai tempat
kosong. Dan kini Pendekar Mabuk pun ganti memutar- mutarkan bumbung tuaknya di
atas kepala. Wungngng... wungng... wungngng... ! Dua sinar ungu melesat dari
putaran bumbung tuak tersebut.
Clap... clapp...! Blarr...!
Blarrr....!
Satu sinar ungu bisa dihindari
Siluman Tujuh Nyawa, tapi yang satu hanya sempat ditangkis dengan kilatan sinar
putih dari ujung tongkatnya. Akibat benturan sinar putih itu, tubuh Siluman
Tujuh Nyawa terpental terbang, bagaikan daun kering dihempaskan badai. Cukup
jauh ia terpental, sehingga Suto Sinting segera memburunya dengan berlari
cepat. Ilmu gerak siluman-nya digunakan. Sehingga sebelum tubuh Siluman Tujuh
Nyawa mendarat, ia sudah berada di belakang orang berkerudung hitam itu.
Brukk...! Siluman Tujuh Nyawa jatuh terduduk dan cepat berdiri. Tapi ternyata
Suto sudah ada di belakangnya dan cepat sodokkan bumbung tuaknya ke punggung
dengan kuat. Baahggg...!
"Eeehgg...!" Sodokan
bumbung bertenaga dalam cukup hebat membuat tubuh Siluman Tujuh Nyawa terhempas
ke depan dengan darah menyembur dari mulutnya. Keadaan tubuh yang terhempas itu
hampir sama cepatnya dengan yang tadi, sehingga Pendekar Mabuk kembali gunakan
gerak silumannya dengan melesat cepat melebihi gerakan anak panah. Zlapp!
Tahu-tahu Pendekar Mabuk sudah
ada di depan Siluman Tujuh Nyawa yang jatuh berlutut. Kaki Pendekar Mabuk
bertenaga dalam tinggi itu dihempaskan ke depan menendang wajah lawan.
Wuttt...! Blakkk...! Terdongak kepala Siluman Tujuh Nyawa, terlempar kembali
tubuh itu.
Darah kembali tersembur dari
mulut Siluman Tujuh Nyawa. Pendekar Mabuk mengejarnya. Tapi tiba-tiba tubuh
lawannya itu menghilang dengan menggerakkan tangannya bagai membanting sesuatu
di tanah dan letupan kecil pun terjadi saat itu juga. Blupp...! Asap tebal
membungkusnya. Ketika asap itu hilang, tubuh Siluman Tujuh Nyawa itu telah
lenyap dari pandangan mata Suto Sinting.
"Jahanam! Jangan lari
kau! Hadapi aku!" teriak Pendekar Mabuk dengan mata memandang ke sana-
kemari. Dan tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada seraut wajah kurus,
tulang-tulangnya bertonjolan, ia seorang lelaki berpakaian hitam, mengenakah
ikat kepala merah dengan rambutnya yang putih rata. Kumisnya juga
berwarna-putih, serupa dengan jenggotnya yang panjang, ia membawa tongkat pula
sebagai pemandu, langkahnya yang sudah terbungkuk-bungkuk dan gemetaran jika
berjalan. Usianya sekitar hampir seratus tahun. Matanya sipit, seakan sudah tak
mampu lagi untuk dibuka kelopaknya.
Kakek tua yang kulitnya sudah
keriting dan tinggal tulang dibungkus kulit, itu berjalan mau melintasi
Pendekar Mabuk. Tentu saja mata Suto menjadi memandang penuh keheranan.
"Orang ini agaknya orang sakti!" katanya dalam hati, sebab memang
tahu-tahu dia muncul di situ dan memandangi Suto dalam langkahnya yang
terhuyung-huyung itu.
Bahkan ketika ia sudah berada
dalam jarak dekat, kakek tua itu segera menyapa Pendekar Mabuk dengan suaranya
yang gemetar,
"Mau cari burung ya,
Nak?"
"Burung?!"
"Atau... mau cari madu
hutan?"
"Tidak! Saya tidak cari
burung atau madu hutan, Kek!"
"Kok bawa-bawa bumbung
begitu?"
"Ini tempat tuak,
Kek!"
"Ooo... kamu jualan tuak,
ya?"
Pendekar Mabuk tersenyum
setelah menghembuskan napas panjang, ia terpaksa melayani orang tua renta itu,
karena merasa iba melihat keadaan serenta itu berjalan sendirian dengan susah
payah.
"Saya bukan jualan tuak,
Kek. Saya memang senang minum tuak! Jadi ke mana-mana saya membawa bumbung
tempat tuak ini!"
"Ooo...!" kakek itu
manggut-manggut. "Maaf saja, ya? Maklum Kakek sudah tua, sudah tidak bisa
membedakan mana penjual tuak, dan mana
peminumnya! He he he...!"
Suto Sinting pun ikut tertawa
walau tidak terlalu keras. Kemudian, Suto Sinting bertanya kepada kakek itu,
"Kakek mAu ke mana? Sudah
jalannya susah kok bepergian?''
"Aku mau cari
kekasih!" jawabnya polos, seperti tidak merasa ganjil terhadap
perbandingan usianya. Itu yang membuat Pendekar Mabuk akhirnya terkikik geli
sendiri.
"Sudah tua kok mau cari
kekasih, Kek?"
"Habis semasa mudanya aku
sibuk tarung ke sana- sini!"
"O, kakek bekas
pendekar?"
"Ya. Dulu, sebelum usiaku
dua ratus tahun lebih seperti sekarang ini!"
"Hah...?! Jadi usia kakek
sudah dua ratus tahun lebih?'
"Ya. Tapi semasa mudaku,
aku menjadi pendekar yang gagah seperti kamu, tapi lebih sakti dari kamu!"
"Sekarang apa masih
sakti, Kek?" pancing Suto yang tertarik dengan percakapan itu.
"O, masih! Masih sakti!
Benda apapun yang kupegang bisa dipakai untuk membunuh lawan! Seperti bumbung
tuakmu itu, kalau aku yang memegangnya bisa menjadi sebuah pedang pusaka yang
amat hebat!"
"Begitukah?"
"Ya! Kalau tidak percaya,
coba kupinjam sebentar bumbung tuakmu itu! Kau akan melihat sendiri hasilnya!"
Lalu, Pendekar mabuk
menyerahkan bumbung tuaknya kepada sang kakek. Setelah bumbung tuak diterima
oleh sang kakek, tiba-tiba kakek itu bergerak cepat. Berlari meninggalkan
Pendekar Mabuk dengan langkah tak selemah tadi. Suto terkejut dan segera mengejarnya.
"Hei, Kek...! Mau dibawa
ke mana bumbung tuakku itu!"
"Tanpa bumbung ini kau
tidak mempunyai kekuatan, Suto!"
"Hah...?! Suaranya
seperti suara Siluman Tujuh Nyawa? Celaka! Berarti dia jelmaan Siluman Tujuh
Nyawa!"
Zlappp...! Pendekar Mabuk
kembali gunakan gerak silumannya yang begitu cepatnya hingga tak bisa terlihat
oleh mata orang biasa. Tahu-tahu dia sudah menghadang di depan langkah sang
kakek, dan pada saat itu sang kakek sudah berubah menjadi Siluman Tujuh Nyawa.
"Hiaat...!"
Pendekar Mabuk hentakkan kedua
tangannya dan melesatlah dua sinar merah dan biru ke dada Siluman Tujuh Nyawa.
Blarrr...! Meledaklah sinar yang menghantam dada itu. Bumbung tuak terpental
jatuh di tanah. Suto segera melompat dan meraihnya.
Blabb...! Kembali asap putih
mengepul membungkus tubuh Siluman Tujuh Nyawa. Pendekar Mabuk tidak bisa
memandang dengan jelas keadaan di dalam kepulan asap tebal itu. Tapi secara
untung-untungan saja ia lepaskan kembali pukulan badai yang mampu menghembuskan
angin kencang dari telapak tangannya.
Wuttt...! Wosssss...!
Kabut berupa asap tebal itu
lenyap seketika, Tapi Siluman Tujuh Nyawa tidak ada di situ. Hanya saja, mata
Suto sempat melihat sosok bayangan hitam lari mendaki bukit di seberang jauh
sana.
"Setan kurap! Dia kabur
ke bukit itu! Akan kukejar dia!"
Zlappp...! Pendekar Mabuk pun
mengejar lawannya kembali dengan geram kemarahan atas dirinya yang hampir saja
tertipu dan kehilangan bumbung tuaknya.
*
* * 4
LETAK Gua Sekat Sembilan ada
di balik kerimbunan tanaman rambat yang melekat pada dinding tebing tak
seberapa tinggi. Di depan gua itu mempunyai tanah datar kira-kira dua puluh
langkah lebarnya dan tiga puluh langkah panjang ke depannya, lewat dari itu
adalah jurang yang amat dalam. Mirip sebuah jurang tanpa dasar.
Di tanah datar bertanaman
rumput pendek itu terdapat banyak pohon menjulang tinggi, menyerupai tanaman
pohon pinus yang mempunyai cabang dan dahan besar- besar. Jarak dahan satu
dengan yang lainnya jauh-jauh. Ada juga pohon sejenis mahoni yang tumbuh di
situ
dengan daunnya yang berwarna
kuning rata itu.
Pohon jati merah adalah
sebagai ciri atau tanda adanya Gua Sekat Sembilan. Hanya ada satu pohon jati
berdaun merah menyala itu. Konon, guru dari Ki Candak Sedo yang menanam pohon
tersebut ketika pintu gua belum tertutup, ketika baru satu bintang yang jatuh
ke bumi, yaitu bintang yang berwarna merah.
Ki Candak Sedo diam sebentar
di bawah pohon jati berdaun merah terang itu. Agaknya ia sempat mengenang
tanaman itu kala ia datang bersama gurunya ke situ, di mana tanaman pohon jati
merah masih belum setinggi dan sebesar sekarang. Ia sempat berkata kepada
muridnya,
"Di sini, banyak tanaman
aneh yang langka terdapat di hutan lainnya. Seperti pohon beringin biru yang
ada di sebelah sana!"
Karang Wesi memandang ke arah
yang ditunjuk gurunya. Ternyata memang benar, di sebelah sana terdapat pohon
beringin biru dari daun sampai kulit kayunya. Bahkan Karang Wesi juga melihat
pohon kenari kuning seluruh daun dan batangnya. Tak heran jika hutan di situ
disimpulkan sebagai hutan hias yang punya keindahan tersendiri.
"Sebenarnya pemandangan
di sini menyenangkan, Guru!"
"Ya. Tapi lebih
menyenangkan kalau kita berada di dalam Gua Sekat Sembilan itu."
Sambil berkata begitu, Ki
Candak Sedo menunjuk ke satu arah yang diikuti pandangan mata muridnya.
Karang Wesi melihat sebuah
mulut gua yang tak seberapa tinggi dan tak seberapa lebar. Tingginya hanya dua
tombak lebih sedikit, lebarnya tak sampai dua tombak. Sebuah lempengan batu
seperti cadas putih melekat di samping mulut gua dalam keadaan berlumut.
Lempengan batu itulah yang menurut Ki Candak Sedo adalah pintu penutup gua.
"Batu ini tadi malam
bergeser membuka sendiri," tambah Ki Candak Sedo. "Tak seorang pun
bisa melihat pergeseran batu ini saat membuka pintu gua. Batu ini akan bergeser
menutup sendiri apabila telah satu purnama dalam keadaan membuka begini."
Karang Wesi manggut-manggut.
Ia segera pandangi keadaan di dalam gua yang gelap itu. Sepertinya sebuah
lorong yang sempit dan tak berpenerangan sedikit pun itu mengundang gairah
siapa pun untuk masuk ke dalamnya. Sekalipun terbayang kengerian di dalam sana
karena gelapnya, tapi hati Karang Wesi sendiri berhasrat untuk masuk, sekadar
ingin tahu keadaan di dalam gua.
"Karang Wesi, sepintas
memang kelihatan keadaan di dalam gua ini menyeramkan dan gelap, tapi menurut
guruku dulu, gua ini mempunyai lorong yang membelok ke kiri dan membawa kita ke
arah sebuah ruangan. Ruangan itu sangat terang karena banyaknya tanaman lumut
yang menyerap sinar matahari dan menampungnya dalam tiap dinding batu gua
selama berpuluh-puluh tahun. Di sanalah terdapat sebuah tempat pertapaan yang
damai dan teduh. Di sana pula terdapat guci Darah Malaikat. Tapi tidak setiap
orang bisa menggunakan kesempatan yang sembilan puluh tahun sekali adanya
ini."
"Mengapa tidak setiap
orang bisa mendapatkan Minyak Darah Malaikat, Guru?"
"Karena di sana banyak
jebakan yang mematikan, baik berbentuk senjata rahasia maupun semburan gas
beracun. Gua ini mempunyai sembilan ruangan yang berbeda-beda jebakan mautnya.
Sebab itulah, dikatakan Gua Sekat Sembilan, karena dinding gua dari masing-
masing sekat pembatas bisa mengeluarkan jebakan maut yang sulit diatasi. Salah
memasuki lorong ruangan satu kali, orang tak akan bisa keluar lagi. Semua
lorong ruangan mempunyai cahaya yang berbeda, yaitu sembilan warna cahaya dari
sembilan bintang yang telah jatuh ke bumi."
"Lalu di ruangan yang
bercahaya warna apa yang menyimpan Minyak Darah Malaikat, Guru?"
Ki Candak Sedo cepat memandang
ke belakang, seperti merasa curiga terhadap hembusan angin yang baru saja
dirasakan aneh itu. Maka ia pun segera berkata kepada muridnya.
"Karang Wesi, aku akan
segera masuk untuk mengambil Minyak Darah Malaikat itu sebelum orang lain
mendahului kita!"
"Baik. Silakan, Guru!
Saya akan menjaga di luar gua!" jawab Karang Wesi, walau hatinya sedikit
kecewa karena tidak mendapat jawaban dari gurunya atas pertanyaan yang diajukan
tadi.
Angin memang berhembus agak
kencang. Dedaunan kering berjatuhan bagai menjauh dari depan gua tersebut.
Karang Wesi memandang sekelilingnya dengan mata sedikit menyipit menahan
hembusan angin.
Hanya deru angin itu yang ada
di sekeliling gua. Hanya deru angin itu yang meresap masuk di telinga Karang
Wesi. Pemuda bersenjata kapak tiga mata itu kini duduk di atas sebuah batu yang
melekat di bawah pohon samping gua. Pandang matanya yang mengitari keadaan
sekeliling itu makin lama makin kosong. Akhirnya mata itu memancang ke arah
mulut gua dalam terawang khayal batinnya. Terucap pula kecamuk di dalam hati
Karang Wesi yang ternyata punya bayangan kasih terpendam sekian lama.
"Kalau saja aku bisa
mandi Minyak Darah Malaikat, alangkah hebatnya aku bisa kebal senjata apa pun,
tak bisa ditembus oleh pukulan tenaga dalam dari jenis ilmu apa pun! Dan itu
berarti aku bisa kalahkan Siluman Tujuh Nyawa! Orang terkutuk itu memang sudah patut
mati di tanganku. Sayang sekali Guru tak memberikan Minyak Darah Malaikat itu
kepadaku, sehingga ilmuku masih belum seimbang dan tak bisa menandingi ilmunya
Siluman Tujuh Nyawa! Ah...! Andai aku bisa membunuh Siluman Tujuh Nyawa, maka
Gusti Mahkota Sejati yang bernama Dyah Sariningrum itu pasti akan mau
kupersunting menjadi istriku! Oh, betapa cantik dan mempesonanya perempuan itu!
Sungguh tak pernah akan bosan aku memandanginya sepanjang hari sambil
memangkunya dengan mesra...! Hmmm...! Rasa-rasanya tak ada ruginya aku
mengabdikan hidup dan matiku untuk perempuan secantik Dyah Sariningrum
itu!"
Seraut wajah wanita cantik
yang anggun dan bijaksana serta berkharisma tinggi itu menyelinap di relung
hati Karang Wesi. Perempuan itu adalah seorang ratu, penguasa Pulau Serindu, di
mana di pulau itu terdapat negeri yang bernama Puri Gerbang Surgawi. Dyah
Sariningrum adalah putri dari Gusti Ratu Kartika Wangi, yang menjadi penguasa
di negeri alam gaib, yang bernama Puri Gerbang Surgawi pula.
Karang Wesi mendapat
kesempatan bertatap muka dengan perempuan anggun dan sangat menawan hati itu,
ketika ia ikut Ki Candak Sedo berkunjung ke Pulau Serindu. Kunjungan Ki Candak
Sedo ke negeri Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu itu bukan sekadar
bertandang atau tersesat dalam perjalanan, tetapi karena dimintai bantuan oleh
kakak dari Dyah Sariningrum, yaitu Betari Ayu, yang sekarang menjadi bertapa di
Gunung Kundalini. Pada waktu itu, Dyah Sariningrum menderita sakit akibat
pukulan 'Candra Badar' dari Siluman Tujuh Nyawa (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Manusia Seribu Wajah" dan "Prahara Pulau
Mayat").
Ki Candak Sedo datang ke sana
dengan maksud mengobati pukulan 'Candra Badar'. Tetapi ia tak berhasil. Bahkan
sampai saat ini, Ki Candak Sedo maupun Karang Wesi belum mengetahui bahwa
seseorang telah sembuhkan penyakit ratu ayu itu. Orang yang berhasil
menyembuhkan dan melenyapkan pukulan 'Candra Badar' adalah murid si Gila Tuak
dari Jurang Lindu, yaitu Suto Sinting, si Pendekar Mabuk.
Bahkan Ki Candak Sedo maupun
Karang Wesi agaknya juga belum tahu, bahwa Dyah Sariningrum adalah kekasih dan
calon istrinya Suto. Hanya saja pernikahan mereka belum sempat terjadi karena
Pendekar Mabuk masih harus memburu musuh besarnya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa,
ia harus memenggal kepala Siluman Tujuh Nyawa sebagai mas kawin untuk melamar
Dyah Sariningrum. Padahal tanpa penggalan kepala tokoh sesat yang amat jahat
itu, sebenarnya Dyah Sariningrum tidak keberatan melangsungkan perkawinannya
dengan Suto Sinting. Namun penggalan kepala siluman itu bagaikan sebuah ikrar
dan janji Suto untuk selamatkan kehidupan di permukaan bumi sebelum ia
menginjak ke masa perkawinannya. Sebab jika Siluman Tujuh Nyawa masih
berkeliaran di mana-mana, maka permukaan bumi ini akan menjadi bara api neraka,
kehidupan menjadi saling baku hantam tak ada perdamaian. Dan kehidupan seperti
itu jelas akan mengancam kelangsungan hidup keturunan Pendekar Mabuk dan Dyah
Sariningrum nantinya.
Tanpa mau tahu siapa kekasih
Dyah Sariningrum, pemuda tampan berkumis tipis ini makin jauh melantur dalam
khayalannya tentang perasaan cinta dan kagumnya terhadap perempuan itu. Bahkan
dalam hatinya ia membatin kata,
"Harus kutundukkan
Siluman Tujuh Nyawa itu agar aku bisa memiliki Dyah Sariningrum! Siapa pun akan
kubunuh jika ingin merebut Dyah Sariningrum dari hatiku! Dan untuk menundukkan
mereka, sudah tentu tidak cukup dengan ilmu yang kumiliki sekarang ini! Siluman
Tujuh Nyawa dapat mengalahkan aku dengan kehebatan gerak tongkat El Maut-itu.
Jadi, kurasa ada baiknya jika aku merebut Minyak Darah Malaikat dari Eyang
Guru. Kalau aku hanya memintanya saja, biar sampai merengek-rengek pasti tak
akan diberikannya. Jadi aku harus merebutnya dari tangan Guru dengan cara apa
pun!"
Mendadak Karang Wesi sentakkan
kaki ke tanah dan melesat terbang, karena sekilas cahaya putih mengkilap
terlihat oleh ekor matanya sedang menyerang ke arahnya.
Wuttt...! Crakkk...!
Sebuah senjata kecil berbentuk
tusuk konde menancap di batu tempat Karang Wesi duduk. Batu itu kepulkan asap
putih kebiruan dan menjadi serbuk sedikit demi sedikit. Serbuk itu dihembus
angin sehingga makin lama batu itu menjadi habis bagai terkikis waktu. Kilatan
tusuk konde putih mengkilap dari bahan baja itu datang dari arah kanan Karang
Wesi. Maka secepatnya Karang Wesi pandangi keadaan sekeliling hutan di sebelah
kanannya. Ternyata tak jauh dari pohon beringin biru itu telah berdiri seorang
nenek bongkok berjubah biru. Rambutnya abu- abu, usianya sepertinya lebih tua
dari Ki Candak Sedo. Selain bongkok juga berbadan kurus, mata cekung dan
giginya tinggal tiga. Ia bersenjata tongkat pendek lengkung dari rotan kuning.
Karang Wesi segera dapat
mengenali perempuan kempot itu, yang dulu pernah tiga kali bertandang ke
persinggahan Ki Candak Sedo, untuk membicarakan satu masalah yang tak diketahui
Karang Wesi. Nenek itulah yang bernama Nyai Pungkur Maut. Kali ini bukan Karang
Wesi yang menghampiri Nyai Pungkur Maut, tapi nenek itu yang mendekati Karang
Wesi, sebab Karang Wesi sekarang sudah berdiri di depan pintu masuk gua. Nyai
Pungkur Maut segera ucapkan kata dengan suara tuanya yang kecil dan serak itu,
"Apa yang kau lakukan di
sini, Karang Wesi?"
"Apa pun yang kulakukan
itu bukan urusanmu, Nyai Pungkur Maut!" jawab Karang Wesi sengaja tak
ramah, karena ia merasa nenek yang baru datang itu bermaksud tidak baik.
Serangannya yang dapat dihindari Karang Wesi itu bukan sapaan yang ramah. Jelas
nenek itu punya maksud ingin membunuh Karang Wesi. Sebab itulah Karang Wesi
tidak mau bersikap ramah kepada Nyai Pungkur Maut.
"Heh heh heh heh...! Aku
tahu, pasti Ki Candak Sedo sudah masuk ke dalam gua itu, Karang Wesi!"
"Itu pun bukan urusanmu,
Nyai Pungkur Maut! Tak sepatutnya kau datang dan menyerangku dengan cara
begitu!" kata pemuda tampan berkumis tipis itu.
"Jika kau ingin selamat,
minggir dari tempatmu! Aku akan masuk ke dalam gua untuk mengambil Minyak Darah
Malaikat!"
Berdebar hati Karang Wesi
ketika Nyai Pungkur Maut menyebutkan minyak itu. Karang Wesi segera pandangi
nenek bungkuk itu dengan mata tajam. Tiap gerakannya tak lepas dari pandangan
mata Karang Wesi.
"Orang ini sangat
membahayakan," pikir Karang Wesi. "Dia termasuk tokoh tua yang
berilmu tinggi. Guru pernah menceritakan tentang Nyai Pungkur Maut padaku, yang
konon jika bertarung selalu membelakangi lawannya! Dan jika ia sudah
membelakangi lawannya, itu pertanda jurus-jurus mautnya siap dilepaskan! Aku
harus hati-hati dalam berhadapan dengannya!"
Suara Nyai Pungkur Maut
memekik keras, "Bocah budek! Kubilang minggirlah dari tempatmu, aku akan masuk!"
"Tak seorang pun
kuizinkan masuk gua ini, Nyai!"
"Apa ini gua milik nenek
moyangmu?! Sejak kapan nenek moyangmu membeli gua ini, sehingga kau berani-
beraninya melarangku masuk ke dalamnya, hah?! Cepat menyingkir dari tempatmu!''
"Kau yang harus tinggalkan
tempat ini!"
"Bocah Goblok! Jangan
bikin kesabaranku habis, Nak. Nanti kau bisa kehilangan nyawamu!" geram
Nyai Pungkur Maut.
"Kurasa akan terjadi
kebalikannya, Nyai! Nyawamu sendiri yang akan hilang jika tidak segera pergi
dari hadapanku, Nyai!"
"Bocah Bangsat!
Hiaaat...!"
Serta-merta Nyai Nyai Pungkur
Maut sentakkan tongkat rotannya lurus ke depan. Dari ujung tongkat itu melesat
jarum hitam lebih dari lima puluh jumlahnya. Karang Wesi segera sentakkan
tangannya, dan keluarlah asap merah bergulung-gulung. Asap merah itu membungkus
puluhan jarum beracun. Lalu terdengar ledakan teredam, blapp...! Jarum-jarum
itu pecah, asap merah seperti yang dimiliki Ki Candak Sedo itu mulai menipis
dan hilang dihembus angin.
"Kau benar-benar
menantangku jika sudah berani menggunakan jurus 'Kabut Berdarah' itu, Karang
Wesi! Heaaah...!"
Nyai Pungkur Maut tak
kelihatan sentakkan kakinya ke tanah, tapi tahu-tahu tubuhnya telah melayang
cepat ke arah Karang Wesi. Tongkatnya dikibaskan ke leher Karang Wesi.
Wuttt...! Karang Wesi merundukkan kepala, dan tongkat itu mengenai sebongkah
batu. Prakk... !
Batu pecah menjadi puluhan
bagian kecil-kecil. Karang Wesi cepat mencabut kapaknya, lalu dengan satu
pekikan keras ia pun menyerang Nyai Pungkur Maut.
"Hiaaat...!"
Wuttt wuttt wuttt... ! Tiga
kali Karang Wesi mengibaskan kapaknya ke arah dada dan pundak Nyai Pungkur
Maut. Tapi kibasan itu selalu ditangkis dengan ringan menggunakan tongkat rotan
tersebut,
Tak tak tak...!
Beggk...!" Tangan kiri Nyai Pungkur Maut menghentak ke dada Karang Wesi.
Terpental seketika tubuh Karang Wesi hingga lima langkah dari tempatnya berdiri
tadi. Ia berguling-guling sebentar, lalu segera berdiri dengan napas ditarik
dalam-dalam. Suatu penyembuhan terhadap luka dalam telah dilakukan dengan cepat
oleh Karang Wesi, caranya dengan hanya menarik napas dalam-dalam, menyalurkan
hawa murninya ke bagian yang terasa sakit.
Dalam sekejap Karang Wesi siap
menghadapi Nyai Pungkur Maut. Tapi nenek bungkuk itu tiba-tiba membalikkan
diri, memunggungi Karang Wesi. Seketika itu dari punggungnya yang bungkuk itu
keluar sinar biru di luar dugaan Karang Wesi. Sinar biru itu sebesar genggaman
tangan melesat cepat ke arah Karang Wesi. Jelas ini jurus yang berbahaya dan
tak mungkin bisa dihadang dengan jurus tenaga dalam lainnya. Maka, Karang Wesi
pun segera lompatkan diri menghindari sinar biru itu..
Zlapp zlapp zlapp zlapp
zlappp...! Sinar biru sebesar genggaman tangan itu menerjang lebih dari sepuluh
pohon di belakang Karang Wesi. Pohon itu lenyap tak berbekas sedikit pun bagai
ditelan bumi. Kurang dari dua kejap lebih dari sepuluh pohon yang lenyap
dihantam sinar biru besar dari punggung Nyai Pungkur Maut. Barangkali karena
jurus dahsyat yang keluar dari punggungnya itulah maka nenek kempot itu
bergelar Nyai Pungkur Maut. Memang maut yang terjadi jika ia telah memunggungi
lawan dan melepaskan sinar birunya itu.
Kepala Nyai Pungkur Maut
berpaling sebentar ke belakang. Agaknya ia ingin melepaskan kembali sinar
birunya. Karang Wesi segera berguling ke tanah menuju ke arahnya. Lalu, dengan
cepat kapaknya dikibaskan ke betis Nyai Pungkur Maut. Wutt...! Sattt...!
Dengan lincah Nyai Pungkur
Maut mengangkat kakinya itu dan menendang wajah Karang Wesi dengan cepat.
Wusss...! Tabb...! Karang Wesi berhasil menepak telapak kaki lawannya yang
hampir mengenai wajah.
"Uhg...!" Nyai
Pungkur Maut tersentak dengan suara tertahan. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah
sekejap lalu hitam kelam. Sekujur tubuhnya menjadi hitam, juga pakaiannya yang
mengeras hitam, dan rambutnya pun keras berwarna hitam bagaikan kawat.
Karang Wesi menendangnya
dengan pelan. Wuttt...! Brusss...! Tubuh Nyai Pungkur Maut ternyata sudah
menjadi arang karena Karang Wesi menggunakan pukulan 'Angin Lahar' yang cukup
dahsyat itu. Hanya dengan menepak telapak kaki, maka tubuh lawannya bisa
menjadi hangus dan menjadi arang, seperti pohon yang dipakai berlatih pada
malam kemarinnya itu.
Karang Wesi segera menendang
tumpukan arang itu hingga melayang jatuh ke jurang. Tetapi sisa rambut dan
pakaiannya masih tertinggal sebagian di tempat pertarungan. Karang Wesi lalu
menginjaknya menjadikan arang itu hancur lebur sambil ia menggeram gemas,
"Habislah riwayat
kesaktianmu, Nenek kempot! Hih...!"
Tapi tiba-tiba punggung Karang
Wesi bagai dilempar dengan sebongkah batu besar dari belakang. Bukk....!
Wrutt...! Karang Wesi hampir tersungkur dengan menyakitkan jika tidak segera
menggulingkan diri cepat-cepat.
"Uh, punggungku seperti
jebol rasanya. Siapa yang menyerangku? Mungkinkah arwahnya Nyai Pungkur Maut
yang kubuang ke jurang?"
Karang Wesi berdiri tegak
kembali, ia segera mencabut kapaknya. Matanya melirik sekeliling. Ternyata sepi
tak ada orang. Buru-buru ia melompatkan badan tinggi-tinggi dan bersalto satu kali.
Jlegg! Ia berada di depan pintu mulut gua. Siap melepaskan serangan kepada
siapa saja yang muncul di depannya.
Serta-merta Karang Wesi
sentakkan kapaknya ke samping kiri. Wuttt...! Tring...! Sebuah sinar merah
sebesar uang logam melesat ke arahnya dan tertangkis oleh mata kapak itu, lalu
sinar tersebut memantul balik ke arahnya semula. Blarr...! Brusss...!
Dahan sebuah pohon yang jadi
sasarannya langsung pecah. Dari pohon itu pula sesosok tubuh berkain merah
melompat turun dengan sebatang kayu penumbuk padi di tangannya. Jlegg...! Alu
Amah telah berdiri di depan Karang Wesi.
"Kuakui, hebat pula
serangan tangkismu itu, Nak!"
"Siapa kau?!" Karang
Wesi memandang dingin.
"Aku si Alu Amah. Gurumu
pasti kenal aku! Kau murid Ki Candak Sedo, bukan?!"
"Apa perlumu datang
kemari? Dan apa maksudmu menyerangku?!"
"Kau penjaga gua ini! Aku
yakin, Ki Candak Sedo ada di dalam sana! Aku harus masuk ke dalam juga!"
"Boleh. Asal kau bisa
bikin aku bersujud di hadapanmu!"
"Aih, kurang ajar betul
kau. Anak Muda! Tak kau dengarkah kesaktian si Alu Amah yang begitu ganas
itu?!"
''Tak ada orang sakti kecuali
Karang Wesi!" Ia menepuk dadanya.
Panas hati si Alu Amah
dikatakan begitu. Merasa disepelekan oleh anak semuda itu, Alu Amah pun segera
menggeram dengan matanya yang cekung memandang penuh kemarahan.
"Rupanya kau bocah yang
patut diberi pelajaran, supaya tidak mudah tepuk dada di depan orang tua!
Hiaaah...!"
Alu Amah melesat terbang
dengan senjata alunya meluncur cepat bagai ingin menggempur wajah Karang Wesi.
Dengan gerakan berputar cepat, Karang Wesi membabatkan kapaknya ke atas, tepat
membelah kayu penumbuk padi itu. Crakkk...! Kapak tiga mata menyala merah,
dalam gerakan cepat telah membelah kayu itu sampai ke bagian yang dipegang
tangan Alu Amah.
"Auh...!" Alu Amah
terpekik karena pergelangan tangannya terpotong oleh kapak Karang Wesi. Dengan
cepat Karang Wesi sentakkan telapak tangan kirinya ke telinga Alu Amah.
Dess...! Prakk...!
Terdengar tulang kepala patah
bagai tempurung buah kelapa yang dikeprak memakai senjata be si. Darah pun
mengalir dari telinga dan hidung Alu Amah. Dalam keadaan limbung begitu, kapak
Karang Wesi ditebaskan dari bawah ke atas dalam satu ayunan tangan yang kuat.
"Hiattt..!"
Crasss...! Kapak menebas leher
dan leher itu pun putus. Kepala Alu Amah menggelinding di tanah. Pluk...! Dan
raganya pun menyusul rubuh dalam kejap berikutnya.
Kembali tubuh lawannya yang
sudah tak berkepala itu ditendang dalam satu sentakan kuat dan menggelinding
jatuh ke jurang depan gua. Sementara itu kepalanya pun diangkat rambutnya dan
dilemparkan begitu saja sambil Karang Wesi menggeram,
"Jangan coba-coba melawan
Karang Wesi jika ilmumu tak melebihi ilmu guruku!"
Wusss...! Kepala Alu Amah
dilemparkan ke jurang. Tapi sebelum Karang Wesi membersihkan kapaknya,
tiba-tiba kepala Alu Amah kembali menggelinding di depan kaki Karang Wesi.
Pluk... !
"Hahh...?!" Karang
Wesi terkesiap dengan mulut terlongong. Segera ia lemparkan pandangan ke arah
jurang depan, dan ia makin terkesiap lagi, karena di sana sudah berdiri seorang
berjubah abu-abu yang menutup pakaian serba kuningnya itu. Orang itu sedikit
agak gemuk, berkumis, brewok dan berjanggut putih.
Karang Wesi menggumam,
"Setan mana lagi yang muncul ini?!"
Dengan kalem orang brewok
putih yang tak lain adalah Ki Cagar Nyawa maju tiga tindak. Kemudian dengan
suaranya yang masih cukup lantang untuk orang seusia dia, berserulah Ki Cagar
Nyawa dari tempatnya yang berjarak antara tujuh langkah dari Karang Wesi.
"Kau telah memenggal
musuh bebuyutanku, Anak Muda!"
"Apakah itu
salahku?"
"Memang tidak. Dan aku
berterima kasih padamu. Tapi aku sangsi apakah kau juga akan memenggalku jika
aku ingin masuk ke dalam gua
itu, Anak Muda?"
"Pandangilah kepala
musuhmu ini, Pak Tua. Nasibmu akan seperti dia jika kau nekat mau masuk ke
dalam gua ini!"
"O, ya?! Kau penjaga gua
yang sakti tentunya! Tapi belum tentu kau bisa menahan pukulan tongkatku yang
bernama 'Belut Penyebar Maut'! Hiaaah...!"
Wuttt...! Sinar merah melesat dari
tongkat lengkung itu. Sinar merah ini yang dilepaskan untuk menyerang si Alu
Amah kemarin malam, tapi akhirnya menghantam pohon, dan pohon itu menjadi
terpotong-potong menjadi tiga puluh bagian lebih. Kali ini sinar merah dari
jurus 'Belut Penyebar Maut' itu dilepaskan untuk menghantam tubuh Karang Wesi.
Tetapi dengan cepat Karang Wesi menghadangkah kapak tiga mata itu ke depan, dan
sinar merah tersebut menghantam kapak tiga mata, Trangngng... ! Zrrrubb... !
Sinar merah padam seketika.
Hilang entah ke mana. Sedangkan kapak tiga mata masih utuh dengan kilauan
cahaya logamnya yang terkena pantulan sinar matahari.
"Edan bocah ini!" Ki
Cagar Nyawa terbelalak matanya. "Kapaknya bisa menahan jurus 'Belut
Penyebar Maut'-ku! Ini sungguh-sungguh mengagumkan bagiku! Tak pernah ada yang
bisa menahan sinar merah itu, selain hanya menghindarinya! Tapi sekarang apa
yang ku lihat ini bukanlah mimpi!" ucap Ki Cagar Nyawa dalam hatinya.
Kapak itu terbagi tiga mata,
kanan-kiri dan tengah. Yang tengah sama lebarnya dengan mata kampak kanan-
kiri. Dan sekarang Karang Wesi menebaskan kapaknya dari kanan ke kiri, tapi
mendadak berhenti di depan dada. Zlappp...! Sinar hijau pijar melesat dari mata
kapak yang tengah dan menyerang Ki Cagar Nyawa dengan cepatnya.
"Hiaaat...!" Ki
Cagar Nyawa sentakkan kaki dan menghindari sinar hijau itu dengan tubuh
melompat ke atas. Tapi ia sedikit terlambat sehingga, crass...! Sinar itu
menyerempet bagian betisnya. Ki Cagar Nyawa segera memekik.
"Aaahg...!" matanya
terpejam kuat dan ia pun rubuh tak bisa berdiri. Betisnya koyak tanpa keluarkan
darah merah, melainkan mengeluarkan lendir hitam yang berbau busuk.
"Sebaiknya kau minggat
secepatnya dari sini, Pak Tua! Kuberi waktu kau tiga helaan napas, jika tidak
kubunuh kau seperti si Alu Amah itu! Mengerti?!"
"Baiklah! Kau unggul
sekarang, Anak Muda! Tapi sepergiku nanti, ingatlah... kau tak akan aman!
Karena banyak tokoh sakti yang sedang menuju kemari untuk perebutkan Minyak
Darah Malaikat di dalam gua itu! Ingatlah, lebih dari ratusan tokoh mungkin
akan datang, .dan kau tak akan sanggup menghadapi mereka satu persatu!"
Wuttt...! Setelah berkata
demikian, Ki Cagar Nyawa berkelebat pergi, tanpa pedulikan diri Karang Wesi
yang tertegun dan menggumam,
"Seratus tokoh sakti
harus kuhadapi...?!"
*
* * 5
SUNGAI yang mengalir melewati
relung celah dua tebing tinggi itu, konon berasal dari mata air di lereng
Gunung Kundalini. Air itu bening dan menyegarkan. Kesegaran airnya sungguh
menggiurkan para pengelana yang dipanggang terik matahari siang itu. Bebatuan
yang timbul di sana-sini dalam ukuran besar, merupakan tempat nyaman untuk
beristirahat. Karena di pinggiran sungai bening itu banyak terdapat pohon
berdaun rindang yang meliuk ke arah sungai. Bila angin datang menebarkan
dedaunan, seakan angin telah mengaturnya agar dedaunan tidak jatuh di air
sungai, melainkan di tepiannya. Bahkan lebih sering daun jatuh di dataran yang
menyerupai tanggul berhutan itu.
Di atas salah satu batu hitam
yang ada di pinggiran sungai, tampaklah seorang pemuda yang sedang mencuci
wajahnya dengan air tersebut. Pemuda itu berambut panjang tanpa ikat kepala,
wajahnya tampan mengagumkan setiap lawan jenisnya, ia menyandang bumbung tuak
di punggung, dengan mengenakan baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih.
Pemuda itu bertubuh tinggi, tegap dan tampak gagah jika berjalan.
Buat kalangan tokoh wanita di
rimba persilatan, pemuda itu sudah tak asing lagi bagi mereka, karena daya
pikatnya yang luar biasa sering membuat mereka terbuai oleh khayalan sendiri.
Pemuda tampan itu tak lain adalah murid sinting si Gila Tuak, yaitu Pendekar
Mabuk, yang punya nama panggilan Suto Sinting.
Dalam perjalanan pengejarannya
terhadap musuh utamanya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa, Suto agaknya merasa lelah
dan butuh istirahat beberapa waktu. Tepian sungai yang teduh menjadi
pilihannya, ia menenggak tuaknya beberapa kali. Lalu sandarkan duduknya ke batu
datar. Hatinya pun membatin.
"Siluman Tujuh Nyawa
kurasa tak jauh dari tempat ini! Kulihat ia tadi menghilang di ujung sungai
sana. Mungkinkah di sekitar sini tempat persembunyiannya?! Ah, tak perlu
terlalu memburu, nanti dia akan muncul sendiri atau akan kutemukan tempat
persembunyian manusia terkutuk itu! Aku butuh istirahat dulu, menyegarkan diri
agar tak terlalu tegang dalam pengejaranku nantinya!"
Tetapi tiba-tiba Suto
memiringkan kepalanya, ia seperti mendengar suara orang membentak. Dahinya
berkerut untuk menangkap suara itu. Hatinya kembali membatin,
"Sepertinya ada suara
orang di sekitar sini. Tak jauh dari tempat ini! Hmmm... seperti suara dua
orang perempuan bertengkar saling debat dan saling bentak! Di sebelah mana
kira-kira? O, di sebelah kiriku! Berarti arah menuju ke hulu sungai?! Sebaiknya
aku ke sana untuk melihat kejadian itu! Apa yang sedang mereka
pertengkarkan?"
Pendekar Mabuk memang sering
punya keusilan kecil yang tak merugikan orang lain. Kadang ia sering menguping
pertengkaran orang, lalu mengambil hikmahnya bagi hidupnya sendiri. Kadang ia
juga menggoda hati perempuan dengan senyumnya, lalu menyadarkan perempuan itu
agar tak mudah tergoda oleh ketampanan yang tidak semuanya mendatangkan bahagia
di hati mereka. Seperti halnya kali ini, Suto bermaksud mencuri dengar
pertengkaran dua perempuan yang sedang dicari sumbernya itu.
Kedua perempuan itu sebenarnya
baru saja tiba di tepian sungai, arah ke hulu. Bahkan tak seberapa jauh dari
Suto beristirahat. Tapi karena mereka berada di balik gugusan cadas tebing
rendah, maka Pendekar Mabuk tak sempat melihat kedatangan mereka di tempat itu.
Andai dinding tebing cadas itu tak ada, maka Suto bisa menyaksikan pertengkaran
dua gadis itu dari tempat duduk semula.
Dua gadis itu agaknya
berselisih dengan tegang. Yang berbaju ungu melepaskan serangan melalui pukulan
jarak jauhnya. Tetapi pukulan itu bisa dihindari dengan kelincahan gerak salto
gadis berpakaian hijau muda. Pakaian pinjung sebatas dada yang menampakkan
kemontokan buah dadanya itu tanpa dilapisi jubah apa pun. Dengan berpakaian
pinjung hijau sebatas dada dan celana ketat hijau bersabuk merah, gadis
bersanggul tinggi itu tampak lebih ramping dan menantang lekuk- lekuk tubuhnya.
Ia menyandang pedang di punggungnya. Usianya sekitar tiga puluh tahun,
sedangkan yang berbaju ungu longgar itu berusia dua tahun lebih muda.
Kali ini yang berbaju ungu
serukan kata, "Andini! Kalau kau nekat berangkat ke sana, terpaksa aku
bertindak lebih kasar lagi padanku! Jangan kau salahkan aku jika aku lebih
kasar bertindak padamu, Andini!"
"Apa hakmu melarangku
pergi, Gayatri?! Kita sudah dewasa dan punya urusan masing-masing!"
Gayatri, si gadis berbaju ungu
itu, memandang dengan wajah cemberut marah kepada Andini, yang menyandang
pedang di punggungnya. Gayatri berambut panjang sebatas lewat punggung sedikit
dan dilepas meriap begitu saja, sehingga sesekali rambut itu meriap di depan
wajahnya, membuat kecantikannya tampak samar-samar. Gayatri mempunyai
kecantikan lembut, berbeda dengan Andini yang berkesan cantik-cantik genit.
Yang jelas ia tidak kelihatan lembut seperti Gayatri. Tetapi melihat gerak
saltonya yang tadi menghindari pukulan lawan dapat dilihat bahwa ia berilmu
tinggi.
"Ingat, Gayatri! Sekali
lagi kau masih mengejarku, kuhabisi nyawamu di mana saja kita bertemu!"
"Aku tak takut dengan
gertakanmu!"
"Kau akan menyesal kalau
aku sudah melepaskan pukulan mautku!"
"Tak seberapa hebat
pukulanmu itu, Andini! Lakukanlah kalau memang kau mampu melukaiku!"
"Anak tak tahu diuntung
kau! Hiaaat...!" Andini melesat terbang ke arah Gayatri. Dengan satu
sentakan Gayatri melambung tinggi dan menyambut pukulan telapak tangan Andini
dengan cepat.
Plak plak plak plak...!
****
Pukulan itu saling beradu,
saling tangkis, cepat sekali kelebatan gerak tangan mereka, sehingga ketika
keduanya sama-sama mendarat di tanah berpasir sungai itu, mereka sudah
sama-sama menyelesaikan pertarungan satu jurus. Keduanya tak ada yang terluka.
Keduanya sama-sama pandangi lawan masing-masing dengan mata tak berkedip.
Tetapi tiba-tiba tubuh Andini
melesat lompat dan berputar cepat bagaikan pusaran angin beliung. Wuttt...
plokk! Rupanya Andini mengirimkan tendangan kipasnya dengan sangat kuat dan
tepat mengenai sasaran. Wajah Gayatri bagai tertampar kuat-kuat hingga ia
terlempar ke samping dan berguling-guling. Kepalanya menjadi pusing, pandangan
matanya gelap, ia berdiri dengan meraba-raba.
Serrt...! Pedang dihunus dari
sarungnya, Andini segera lompatkan diri ke arah Gayatri yang buta sejenak itu
dengan pedang siap ditebaskan. Tetapi pada saat pedang ditebas ke depan,
tiba-tiba sebuah kilatan sinar hijau melesat cepat dari arah samping dan
menghantam mata pedang itu. Trangng...! Pedang itu pun terpental jatuh ke air
sungai. Andini terkejut bukan kepalang. Lalu, cepat-cepat ia melompat dan
mengambil pedangnya di dasar air yang dangkal itu. Tinggi air hanya sebatas
mata kaki lewat sedikit.
Gayatri sendiri buru-buru
meraba permukaan air dan mencuci matanya dengan air bening tersebut. Kebutaan
akibat jurus 'Tendangan Gelap Sampar' itu memang bisa membutakan lawan, tapi
setelah mata dicuci dengan air biasa, maka pengaruh 'Tendangan Gelap Sampar'
sirna seketika, dan mata bisa kembali melihat dengan terang.
Sementara Andini masih bingung
mencari-cari pemilik sinar hijau, tiba-tiba datang serangan dari Gayatri yang
mencabut trisula dari pinggangnya. Trisula itu cepat ditusukkan ke dada Andini.
Trangng...!
Andini menahan trisula itu
dengan pedangnya, Pedang masuk ke sela-sela trisula dan Gayatri mendorongnya
lebih kuat lagi. Dalam kesempatan itu, Andini menggunakan kakinya untuk kembali
menendang lawannya dengan sasaran ulu hati. Bukk...!
"Ehhg...!" Gayatri
terpekik tertahan. Tubuhnya terbuang ke belakang dan jatuh terkapar dengan
susah bernapas. Andini segera mengayunkan pedangnya untuk menusuk perut
Gayatri. Tetapi tiba-tiba sebuah pukulan jarak jauh tanpa sinar menghantam kuat
lengan kanan Andini.
Buggh...! Brusss...!
Andini jatuh terpental, bahkan
sempat melayang dulu beberapa saat. Cukup jauh jatuhnya, antara tujuh langkah
dari tempat semula. Bahkan sekarang tubuh itu membentur batu besar dengan kuat.
Beggh!
"Uuh...!" Andini
mengeluh, meringis kesakitan. Tulang punggungnya bagai terasa patah, ia tak
bisa bangkit dalam waktu cepat, ia menggeliat-geliat dulu dalam keadaan duduk
sambil masih memegangi pedangnya. Sementara itu, Gayatri memandangi Andini
dengan dahi berkerut dan terheran-hefan.
"Pasti ada orang
ketiga!" pikir Gayatri. Lalu, ia berpaling ke belakang tempat diperkirakan
datangnya serangan itu. Dan ternyata di sana sudah berdiri seorang pemuda
tampan berpakaian coklat dan putih celananya.
Gayatri buru-buru bangkit
setelah merasakan kesesakan napasnya terkuasai. Suto Sinting sunggingkan
senyum. Rambut Gayatri tersirat ke depan sebagian. Matanya jelas menatap tajam
pada Suto dengan wajah sengit. Sedikit menyipit tanda bermusuhan.
Pendekar Mabuk melebarkan
senyum dan berkata, "Maaf, aku tidak bermaksud mengganggu kegembiraan
bertarungmu, tapi aku hanya menyelamatkan pedang itu jangan sampai melukai
tubuhmu, Nona!"
"Manusia lancang!
Hiaaat...!"
Gayatri bahkan menyerang
Pendekar Mabuk dengan pukulan tenaga dalam yang bisa keluarkan cahaya ungu dari
telapak tangannya itu. Suto menjadi kaget, dan cepat sentakkan bumbung tuaknya
ke depan dada untuk menghadang sinar ungu yang tidak disangka-sangka itu.
Wuttt...! Trasss...! Zlubb...!
Sinar ungu itu bagai benda
keras menghantam sebidang karet yang sangat lentur. Sinar itu berbalik ke arah
semula dengan ukuran lebih besar dan lebih cepat gerakannya. Hal itu membuat
Gayatri tercengang dalam sekejap, lalu cepat sentakkan kaki, tubuhnya tersentak
terbang ke atas dan bersalto satu kali di udara. Sedangkan sinar ungu itu akhirnya
menghantam sebuah batu besar. Blarrr...!
Batu itu pecah menjadi
bongkahan-bongkahan sebesar genggaman tangan. Padahal sebelumnya batu itu
berukuran sebesar kerbau gemuk. Hal itu membuat Gayatri makin melebarkan
matanya, tercengang- cengang, karena ia tidak merasa punya pukulan sinar ungu
yang bisa bikin batu besar pecah menjadi kecil- kecil seperti kepalan
tangannya. Biasanya jika sinar ungu itu menghantam batu, yang terjadi kemudian
batu itu pecah menjadi dua atau tiga bagian. Tapi mengapa sekarang sinar
ungunya itu menjadi lebih dahsyat dari biasanya?
Hal yang makin membuat Gayatri
tak bergeming dari tempatnya itu, ternyata pecahan batu sekepalan manusia itu
telah menjadi arang yang kropos. Mudah diremas, bahkan hancur begitu terbentur
batu lainnya. Gumpalan- gumpalan batu itu mengambang di permukaan air sungai
dan satu demi satu hanyut terbawa air sungai, bagaikan benda tanpa mempunyai
berat sedikit
Keadaan seperti itu membuat
Andini juga mendelik, ia sama sekali tak menyangka bahwa Gayatri mempunyai ilmu
sehebat itu. Sementara ilmu terhebatnya tidak bisa membuat batu besar pecah dan
pecahannya menjadi arang yang terapung-apung di atas permukaan air. Melihat hal
itu dalam hati Andini jadi bertanya, "Dari mana dia memiliki ilmu itu?
Sejak kapan Gayatri memilikinya?!"
"Mengapa kau menyerangku,
Nona Manis?!" tanya Pendekar Mabuk memecah kesunyian mereka bertiga.
Gayatri tidak menjawab, hanya memandang dengan wajah cemberut manis. Lalu,
tiba-tiba ia sentakkan kakinya ke samping dengan tinggi, arah tendangan kaki
itu menuju ke wajah Suto. Maka, dengan kibasan dua jari Suto menangkis
tendangan itu. Mata kaki si gadis terkena jari Suto. Takkk...!
"Auuhh...!" Gayatri
pejamkan mata sambil meringis kesakitan.
Tiba-tiba sebelum Suto
mendekat untuk menolongnya, Andini melompat tinggi-tinggi bagaikan terbang, dan
pedangnya berkelebat untuk ditebaskan ke leher Suto Sinting. Wuttt...!
Pendekar Mabuk sentakkan
bumbung tuaknya naik ke atas. Trang...! Pedang Andini bagai menebas sebatang
besi baja. Bahkan pedang itu terpental jatuh dari tangan Andini, karena pada
saat itu tangan Andini merasa seperti kesemutan. Seolah-olah pedangnya
menyentuh benda yang mempunyai getaran petir melumpuhkan persendian dan
urat-uratnya.
Andini jatuh, dengan buru-buru
pedangnya diambil oleh Gayatri, dan sekarang pedang itu ditodongkan ke leher
Suto Sinting seraya Gayatri berseru,
"Lepaskan bumbung keparat
itu atau kurobek lehermu dengan pedang ini!"
"Sabar, Nona...!"
"Lepaskan bumbung keparat
itu! Buang!" bentak Gayatri makin melotot matanya.
"Robeklah leherku kalau
kau memang tega!"
Andini berseru, "Robek
dia, Gayatri! Robek!"
"Diam...!" bentak
Gayatri kepada Andini. Matanya mendelik kepada wanita berpakaian hijau muda.
itu.
Pendekar Mabuk segera
sentilkan jarinya dari bawah ke atas. Tass...! Itulah jurus 'Jari Guntur'.
Sebuah sentilan bertenaga dalam mengenai pergelangan tangan Gayatri dan pedang
itu pun terlepas jatuh ketika tangan itu tersentak kesakitan. Plukk...!
Pendekar Mabuk segera
menendang pelan bagian ujung pedang, dan ternyata pedang melesat dengan cepat
melewati atas kepala Andini yang masih terduduk lemas di tanah. Zlappp...!
Crusss...!
Sekali lagi kedua perempuan
itu saling membelalakkan matanya. Pedang itu menancap hampir separo bagian pada
sebuah batu besar. Batu itu sepertinya sebatang pohon pisang yang empuk, bisa
ditancap dengan mata pedang mudah sekali. Dalam tiga helaan napas, mata kedua
gadis itu tak berkedip. Gayatri berkata dalam hatinya,
"Hebat sekali tendangannya!
Atau, barangkali pedang Andini telah menjadi pedang sakti yang bisa membelah
batu?"
Sementara itu, Andini segera
pula berucap dalam hatinya, "Sejak kapan pedangku bisa dipakai menembus
batu sekeras itu?!"
Suto Sinting menenggak tuaknya
dengan santai. Pada saat itu, Andini mulai pulih kekuatannya, ia segera bangkit
dan melompat ke samping batu besar, lalu mencabut pedangnya dengan mengerahkan
tenaga cukup besar. Breusss...! Tak disangka seberat itu mencabut pedang dari
dalam batu.
"Urus orang itu!" katanya
kepada Gayatri, lalu Andini melesat pergi tinggalkan Gayatri.
"Andini! Tahan...!"
seru Gayatri, tapi dianggap angin lalu saja.
Pendekar Mabuk menyahut,
"Apakah kau mau aku mengejarnya?!"
Gayatri bimbang memberi
jawaban, ia pandangi pemuda tampan berwajah bersih itu. Suto jadi kikuk
dipandangi dalam jarak hanya dua langkah, ia cuma tersenyum-senyum sambil
mengalihkan pandangan mata. Lalu, untuk menutup kekikukannya, Suto bertanya,
"Aku membelamu, tapi
mengapa kau menyerangku?"
"Karena kau mau
mencelakakan dia!" jawab Gayatri dengan ketus.
"Bukankah dia
musuhmu?"
"Dia kakakku!"
"Ooo... pantas!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Lalu mengapa kau melarangnya pergi? Akan
ke mana dia?"
Gayatri mendenguskan napas
lewat hidungnya. Kejap berikutnya terdengar suaranya melemah, tak seketus tadi.
Bahkan sekarang lebih bernada cemas.
"Aku tak ingin dia
terluka! Aku sayang kepadanya, dan takut ia celaka di sana!"
"Di mana maksudmu?"
"Di Gua Sekat Sembilan!"
Suto kerutkan dahi. Agaknya
nama Gua Sekat Sembilan pernah didengarnya, tapi entah dari siapa dan kapan
saat mendengarnya. Maka, Suto pun ajukan tanya,
"Ada apa dengan Gua Sekat
Sembilan?"
Gayatri berpaling memandang
Suto, rambutnya sebagian meriap di wajari cantiknya, kemudian ia berkata,
"Kau masih hijau di rimba
persilatan, rupanya!"
"Anggap saja begitu, Tapi
aku butuh jawabanmu, ada apa dengan Gua Sekat Sembilan?"
"Para tokoh rimba
persilatan sekarang pasti sedang menuju ke sana untuk mengambil minyak keramat
yang bernama Minyak Darah Malaikat! Minyak itu jika dipakai mandi bisa membuat
tubuh kita kebal senjata dan pukulan tenaga dalam apa pun! Bahkan minum racun
pun tak akan mati, sekalipun racun berkadar tinggi! Kakakku ingin mendapatkan
Minyak Darah Malaikat, tapi aku ingin mencegahnya. Sebab dengan begitu ia pasti
akan bertarung dengan tokoh sakti dari berbagai penjuru dunia. Dan aku tak mau
kakakku celaka!"
"O, begitu?!" Suto
manggut manggut. "Lalu, mengapa kau tidak mendampinginya saja supaya dia
tidak celaka oleh pertarungan di sana? Bukankah kau bisa menjadi pelindungnya
secara diam-diam?"
"Ilmu kami tak akan mampu
mengalahkan para tokoh sakti. Sebab gua itu pasti akan dipenuhi orang berilmu
tinggi, yang tidak tanggung-tanggung ilmunya."
"Hmmm...!" Pendekar
Mabuk manggut-manggut. "Bagaimana kalau kuantarkan kau pergi ke Gua Sekat
Sembilan, untuk melindungi kakakmu itu?"
Gayatri tertegun. Tak
menyangka Suto akan tawarkan diri begitu.
*
* *
6
SEPERTI yang dikatakan
Gayatri, para tokoh sakti pasti akan datang ke gua itu. Dan memang benar.
Mereka datang silih berganti. Mati satu, muncul satunya lagi. Pergi satu,
datang yang lainnya lagi. Sampai - sampai Karang Wesi merasa muak menghadapi
mereka secara berganti-gantian. Hampir-hampir Karang Wesi tak punya waktu untuk
beristirahat.
Berulangkali Karang Wesi
melontarkan keluh, "Mengapa jadi aku yang kerepotan sendiri menghadapi
mereka? Kalau hanya jumlahnya dua-tiga orang mungkin tak seberapa. Tapi ini...
mungkin sudah ada dua puluh orang yang kukalahkan, baik mati di tanganku atau
lari karena luka! Lantas sampai kapan serangan mereka akan berhenti?! Kapan aku
akan beristirahat?"
Mereka yang mati, langsung
dibuang oleh Karang Wesi ke jurang. Bahkan ada yang belum mati, tapi masuk
jurang karena terpeleset. Kapak bermata tiga itu tak pernah kering oleh darah.
Baru saja mau dikeringkan sudah datang mangsa lagi yang mendesaknya untuk
berkelebat merobek bagian tubuh lawan atau memenggal kepala lawan. Pada umumnya
mereka yang datang bukan berilmu rendah. Tapi beruntung sekali Karang Wesi,
karena semua ilmu milik Ki Candak Sedo telah diturunkan kepadanya, sehingga
mereka yang datang sama saja bertarung melawan kesaktian Ki Candak Sedo.
Bahkan kali ini kesaktian Ki
Candak Sedo berada di tangan orang perkasa dan lebih kekar lagi dari pemilik
aslinya.
"Lama sekali Guru berada
di dalam? Jangan-jangan dia mati karena salah masuk ruang bercahaya sembilan
itu?" pikir Karang Wesi. Maka, ia pun bergegas masuk ke dalam gua untuk
menyusul gurunya.
Tapi baru saja ia melangkahkan
kaki satu tindak, tiba- tiba sebuah pukulan jarak jauh telah melesat menghantam
punggungnya. Wuttt...! Buhgg...!
Karang Wesi terpelanting dan
membentur tepian mulut gua. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tapi dengan
menarik napas dalam-dalam rasa sakit itu terkuasai dengan segera. Itulah cara
pengobatan yang dimiliki oleh Ki Candak Sedo.
Cepat-cepat Karang Wesi
membalikkan badan dan memandang ke arah depan. Ternyata seorang berpakaian loreng
macan dan memegang senjata tombak trisula telah berdiri dengan sikap menantang
Karang Wesi. Sejenak hi dung Karang Wesi dienduskan karena mencium bau busuk
yang tadi tak ada, tapi sejak kemunculan tokoh berpakaian macan loreng itu hawa
busuk menjadi tercium. Itulah tanda bahwa si Macan Bangkai hadir di situ.
Setiap kehadiran si Macan Bangkai selalu didului oleh bau busuk dari tubuhnya.
Selalu ada udara tak sedap jika Macan Bangkai ada di suatu tempat. Dan hal itu
menggelisahkan orang-orang, termasuk Karang Wesi sendiri sekarang menjadi
gelisah karena terganggu bau busuk itu.
"Mayat dari mana kau,
datang-datang menyerangku, hah?!" bentak Karang Wesi sambil maju empat
tindak dari mulut gua.
"Tak perlu kau tanyakan
dari mana aku dan siapa aku! Yang jelas aku tahu kau adalah penjaga gua itu dan
tidak akan izinkan aku masuk, terbukti dari banyaknya mayat yang kau lemparkan
ke jurang itu, serta tanah yang berubah menjadi lembab karena darah!"
"Lantas apa maumu?"
Karang Wesi bersikap menantang, ia masih menggenggam kapaknya yang belum
dibersihkan dari darah itu.
"Sama seperti mereka, aku
ingin membunuhmu untuk masuk ke dalam gua itu! Karena aku ingin mendapatkan
Minyak Darah Malaikat!"
Karang Wesi menghempaskan
napas lagi, seperti orang kesal, namun juga seperti orang membuang bau tak
sedap yang terhirup hidungnya.
"Sebenarnya aku sudah
bosan membunuh orang," katanya. "Tapi kalau kau memaksaku, apa boleh
buat! Mungkin terpaksa aku harus melakukannya demi kebanggaanmu!"
"Manusia sombong!
Terimalah tombak 'Tiga Setan'- ku ini! Hiaah...!"
Wussst...!
Macan Bangkai melemparkan
tombaknya dengan gerakan cepat. Tombak itu melayang dengan kecepatan sama
dengan cepatnya anak panah yang melesat. Karang Wesi menghadangnya dengan
kampak yang segera ditebaskan ke depan. Wuttt...! Trangng...! Kapak itu masuk
di celah-celah tiga mata tombak. Tetapi tombak itu tak mau jatuh melainkan
punya kekuatan dorong yang sangat besar.
Karang Wesi segera kerahkan
tenaganya untuk menahan dorongan tombak tersebut. Tubuhnya sampai gemetar.
Ketiga mata tombak tepat ada di depan lehernya. Meleset sedikit pasti habislah
leher Karang Wesi diterobos mata tombak berkekuatan besar itu. Kaki Karang Wesi
merendah dan salah satunya dikebelakangkan. Ini untuk menahan daya dorong dari
tombak 'Tiga Setan' itu. Tapi daya dorong yang ada seolah-olah semakin besar
saja. Tubuh Karang Wesi sedikit mulai tergeser ke belakang. Srekk... srekk...!
Dengan kedua tangan ia bertahan memegangi gagang kapaknya. Tapi masih saja
tombak itu makin berat dan makin kuat daya dorongnya. Sementara pemiliknya di
seberang sana hanya terkekeh-kekeh menertawakan kepanikan Karang Wesi.
Bahkan sekarang Macan Bangkai
sentakkan tangan kirinya, ia melepaskan pukulan jarak jauh ke perut Karang
Wesi. Wuttt...! Buehgg!
"Ahg...!" Karang
Wesi tersentak ke belakang, perutnya seperti ditendang banteng mengamuk.
Akibatnya pegangan tangannya sedikit lemah. Tombak Tiga Setan makin mendesak
dan sekarang ujungnya ada persis di depan dagu Karang Wesi. .
"Bangsaaat...!"
Karang Wesi menggeram sambil kian kerahkan tenaganya, keringatnya membanjir di
perlukaan wajah.
"Kau tak bisa menghindari
Tombak Tiga Setan-ku, Kunyuk Bocah! Kau pasti mati, karena tombakku tak akan
mau berhenti menyerang jika sudah lepas dari tanganku! He he he he...!"
sambil berkata begitu, Macan Bangkai melangkahkan kaki mendekati Karang Wesi.
Tetapi tiba-tiba sebuah
bayangan berkelebat melintas di depan Karang Wesi. Wuttt...! Sett!
Tahu-tahu tombak itu telah
hilang dari depan Karang Wesi. Bahkan daya dorong Karang Wesi yang bertahan
tadi kini membuat Karang Wesi tersungkur jatuh ke depan. Burkk...!
Sementara itu Karang Wesi
segera mendengar suara orang memekik dengan suara tertahan. Jrubb...!
"Aaahg...!"
Cepat-cepat ia dongakkan
kepala memandang ke depan dalam keadaan masih telungkup jatuh. Dan mata Karang
Wesi pun terkesiap pandangi sesuatu yang di luar dugaan.
Tombak itu ada di tangan
seseorang yang telah dikenal oleh Karang Wesi, yaitu Cambuk Guntur. Tombak
tersebut diambil oleh Cambuk Guntur, lalu dihujamkan langsung ke dada Macan
Bangkai. Tentu saja Macan Bangkai tak mampu menghindar lagi karena hal itu terjadi
sangat di luar dugaan dan tak pernah terpikirkan sama sekali olehnya.
Akibatnya, ia terpaksa menerima ajal di ujung tombak senjatanya sendiri. Dan
itulah yang dikatakan senjata makan tuan.
Macan Bangkai sempat mengerang
ketika napasnya belum lepas dari raga. Bahkan ia masih berusaha ingin mencabut
tombak mata tiga yang menembus dadanya itu. Tapi oleh Cambuk Guntur ujung
tombak itu makin dihantam dengan telapak tangannya, membuat tombak makin masuk
ke dalam tubuh dan tembus ke belakang. Cambuk Guntur pandangi lawannya dengan
bengis, sementara sang lawan mendelik sambil muntahkan darah dan tak bisa
ucapkan kata lagi, lalu rubuh tanpa nyawa.
Dua kali Karang Wesi bertemu
dengan Cambuk Guntur, yaitu pada saat ia diajak pergi oleh Ki Candak Sedo ke
sebuah pertemuan orang-orang sakti di Bukit Jagal, dan ketika Cambuk Guntur
datang sendiri untuk satu keperluan dengan Ki Candak Sedo di persemayamannya.
Karang Wesi mengenal Cambuk Guntur sebagai pengelana tanpa tujuan yang pasti.
"Bagaimana keadaanmu,
Karang Wesi?" tanya Cambuk Guntur ketika Karang Wesi telah berdiri
kembali.
"Tak apa! Aku hanya
tersungkur karena tenagaku sendiri!"
"Kau memang melawan
tenagamu sendiri sejak tadi."
"Apa maksudmu?"
Karang Wesi kerutkan dahi.
"Tombak Tiga Setan itu
kalau semakin dilawan semakin punya kekuatan dorong semakin besar. Karena
sebenarnya yang keluar dari tombak itu bukan kekuatan tenaga dalam si Macan
Bangkai, melainkan kekuatan kita sendiri yang memutar balik ke arah kita
melalui tombak tersebut. Kalau kau tadi tidak mendorongnya, maka tombak itu
tidak akan sampai kepadamu."
"Setan Belang! Berarti
tadi aku telah bergelut melawan tenagaku sendiri?!"
"Benar!" Cambuk
Guntur tertawa dalam gumam. "Tapi sudahlah, dia sudah kulenyapkan!
Kebetulan aku juga punya masalah pribadi dengan manusia busuk itu!
Cuih...!" Cambuk Guntur meludah. Segera ia membuang mayat si Macan Bangkai
ke jurang dengan cara menyeretnya memakai ujung tombak yang masih menancap kuat
itu. Setelah membuangnya ke jurang, ia pun segera menemui Karang Wesi di depan
pintu gua yang sedang membersihkan kapaknya dari darah lawan sebelumnya.
"Bagaimana kabar Eyang
Guru Candak Sedo, Karang Wesi?"
"Beliau dalam keadaan
baik-baik saja!"
"Apakah beliau sekarang
ada di dalam gua?"
"Ya."
"Apakah aku bisa menemui
beliau, Karang Wesi?"
Dahi pemuda itu berkerut
dengan mata mulai curiga. Kemudian ia ajukan tanya,
"Untuk apa? Kau punya
keperluan dengan guruku?"
"Ya. Ada kepentingan yang
tak bisa kutunda karena sangat pentingnya! Aku pun tak mau berlama-lama
menunggu di sini, aku harus segera pergi untuk selesaikan satu masalah lagi,
Karang Wesi!"
Tertegun sejenak Karang Wesi mempertimbangkannya.
Setelah itu ia bertanya dengan nada bimbang,
"Kalau boleh aku ingin
tahu keperluan itu, supaya aku yakin kau bukan orang seperti si Macan Bangkai
itu!"
"Hmm... begini,"
kata lelaki berpakaian biru dengan dirangkap rompi kuning itu, ia sangat rapi
dalam berpenampilan, sehingga timbulkan kesan meyakinkan. Bicaranya pun tidak
kasar, bahkan bersikap penuh persaudaraan.
"Aku bertemu dengan Nyai
Sirih Wangsit beberapa hari yang lalu, dan beliau titip pesan padaku supaya
disampaikan kepada Eyang Candak Sedo. Soal isi pesannya, tak bisa kusebutkan,
karena memang Nyai Sirih Wangsit melarangku bicara kepada siapa pun kecuali
kepada Ki Candak Sedo. Jadi..., maaf saja, aku tak bisa sebutkan kepadamu
mengenai isi pesan itu! Yang jelas sangat penting dan berbahaya, jadi harus
secepatnya aku bertemu dengan Ki Candak Sedo dan berbicara langsung dengan
beliau!"
"Begitu?"
"Ya. Kalau bukan pesan
penting, aku tak akan mampir kemari! Karena aku harus segera temui seseorang di
pesisir!" jawab Cambuk Guntur dengan bersungguh-sungguh. Bahkan ia
tambahkan kata,
"Kalau memang sekiranya
aku tak bisa temui beliau, ya sudahlah, aku pergi saja sekarang dan tak perlu
sampaikan pesan itu!"
Bingung juga Karang Wesi
mengambil keputusan. Nyai Sirih Wangsit adalah bekas kekasih Ki Candak Sedo
semasa mudanya. Mereka berpisah karena Nyai Sirih Wangsit mempunyai penyakit
yang sangat menular, dan perempuan itu tak mau Ki Candak Sedo menjadi tertular
penyakit itu. Tetapi sampai sekarang, sebenarnya mereka masih saling mencintai,
hanya saja Nyai Sirih Wangsit sudah tidak mau bertemu dengan Ki Candak Sedo,
takut tersiksa batinnya. Tentang di mana persembunyian atau tempat tinggal Nyai
Sirih Wangsit, tak seorang pun tahu, sehingga Ki Candak Sedo tak pernah bisa
berkunjung menemui kekasihnya itu.
Mungkin saja sekarang keadaan
sudah lain. Mungkin Nyai Sirih Wangsit ingin memberitahukan kepada Ki Candak
Sedo tentang tempat tinggalnya melalui mulut Cambuk Guntur. Atau mungkin saja
Nyai Sirih Wangsit rindu ingin berjumpa Ki Candak Sedo di suatu tempat, dan
beliau menyuruh Cambuk Guntur merahasiakan pertemuan tersebut. Atau mungkin ada
urusan pribadi lainnya yang tak bisa diduga siapa pun, kecuali Cambuk Guntur
sebagai si pembawa dan penyampai berita itu.
Karang Wesi benar-benar dalam
kebimbangan. Jika ia izinkan Cambuk Guntur masuk ke gua dan temui gurunya,
nanti Karang Wesi disalahkan oleh sang Guru, mungkin kehadiran Cambuk Guntur
justru mengganggu upayanya menemukan Minyak Darah Malaikat itu. Tapi jika tidak
diizinkan, jangan-jangan Karang Wesi juga yang dimarahi oleh Ki Candak Sedo
karena menahan pesan dari Nyai Sirih Wangsit? Sedangkan pesan itu tidak bisa
disampaikan melalui murid Ki Candak Sedp, sehingga mau tak mau Cambuk Guntur
harus bertemu langsung dengan Ki Candak Sedo dan bicara empat mata.
Dalam kebimbangannya itu,
Cambuk Guntur segera memberi keputusan kepada Karang Wesi,
"Begini saja! Aku akan
segera tinggalkan tempat ini untuk mengurus kepentinganku sendiri! Tapi kuminta
jangan sampai Ki Candak Sedo marah padaku karena pesan dari kekasihnya ini
tidak kusampaikan! Kau harus bertanggung j awab, Karang Wesi!"
"Eh, jangan begitu!"
sergah Karang Wesi. "Jangan kau limpahkan kesalahan kepadaku!"
"Habis kelihatannya kau
keberatan jika aku masuk untuk temui Ki Candak Sedo! Sedangkan urusanku bukan
soal pesan ini! Kalau toh tidak kusampaikan, bukan aku yang rugi!"
"Baiklah," Karang
Wesi menghembuskan napas kesal "Masuklah dan temui dia. Tapi kalau dia
merasa terganggu dan marah, kau yang bertanggung jawab! Jangan aku yang menjadi
pelampiasan kemarahan Guru!"
"Baik. Aku yang
bertanggung jawab!"
"Masuklah!" Karang
Wesi menyingkir dan mengizinkan Cambuk Guntur masuk ke dalam gua untuk menemui
Ki Candak Sedo.
Tetapi tiba-tiba ada sesuatu
yang membuat Karang Wesi tersentak kaget. Lekas-lekas ia menahan lengan Cambuk
Guntur seraya berkata dengan nada pelan,
"Cambuk Guntur, aku mau
bicara sebentar tentang seseorang, kuharap kau tidak keberatan!"
"Tentang seseorang siapa
maksudmu?" Cambuk Guntur kerutkan dahi.
Sambil menuntun lengan Cambuk
Guntur, Karang Wesi berkata,
"Kapan kau bertemu Nyai
Sirih Wangsit?"
"Kira-kira satu bulan
yang lalu, di Lembah Cupu Hasta?"
Keadaan Cambuk Guntur sudah
berada di luar gua, bahkan mereka bicara di bawah pohon berwarna kuning dari
batang sampai daunnya.
"Apakah kau bisa temukan tempat
tinggal Nyai Sirih Wangsit?"
"Tidak. Aku bertemu
beliau di jalan."
"Benar satu bulan yang
lalu?"
"Ya. Benar! Kira-kira
satu bulan yang lalu. Ada apa?"
"Tak apa-apa. Aku hanya
ingin tahu tempat tinggal beliau."
"Pesan ini tidak
menyangkut masalah tempat tinggal beliau."
"Oo...!" Karang Wesi
manggut-manggut. "Ya sudah, masuklah sana!"
Cambuk Guntur mulai
melangkahkan kaki menuju pintu mulut gua., Tapi tiba-tiba Karang Wesi mencabut
kapaknya dan ditebaskan ke punggung Cambuk Guntur. Crasss... !
"Heggh...!"
Terhenti dan terpekik Cambuk
Guntur seketika itu juga. Punggungnya menjadi sasaran empuk bagi kapak tiga
mata itu. Salah satu sisi mata kapak menancap masuk hampir seluruh bagian.
Karang Wesi segera mencabutnya dengan satu sentakan kaki menjejak. Brukk..!!
Tubuh Cambuk Guntur rubuh dengan mulut ternganga-nganga,
"Modarlah kau, Penipu!
Hampir saja aku terkena tipu muslihatmu! Untung aku segera ingat bahwa Nyai
Sirih Wangsit sudah meninggal enam bulan yang lalu!" geram Karang Wesi
sambil pandangi wajah sekarat Cambuk Guntur.
Di sela napas terakhirnya
Cambuk Guntur sempat ucapkan kata pelan, "Hampir saja kudapatkan minyak
itu tapi sayang... kau cerdas dan... dan....
"Dan tak mudah kau
kelabuhi dengan bualanmu!" sentak Karang Wesi. Tapi pada saat itu Cambuk
Guntur telah menghembuskan napas yang terakhir. Untuk selanjutnya ia diam tak
berkutik sampai selama-lamanya.
***7
DUA hari dua malam, Karang
Wesi menjaga mulut gua itu dengan melayani pertarungan setiap orang yang datang
kepadanya. Sementara dalam hatinya sendiri penuh kesangsian, apakah gurunya
masih ada di dalam atau sudah pergi lewat jalan lain? Apakah sang Guru masih
hidup atau mati terkena jebakan? Kesangsian itu toh tetap dipendamnya karena
tak berani mengambil keputusan sendiri. Setiap Karang Wesi ingin menengok masuk
ke dalam gua, selalu saja ada tamu yang mengancam jiwanya. Mau tak mau Karang
Wesi harus melayani mereka.
Lebih dari tujuh kali nyawa
Karang Wesi hampir saja melayang karena menghadapi musuh yang tangguh. Empat
kali sudah, Karang Wesi menghadapi tipuan yang nyaris membuatnya kebobolan.
Anehnya dari mereka tak ada yang bersatu menyerangnya. Seandainya ada yang
bersatu menyerangnya, Karang Wesi sendiri sudah perkirakan bahwa dirinya tidak
akan mampu membendung kekuatan yang bersatu. Karena selama dua hari dua malam
ia bertarung terus, kerahkan tenaga terus, sehingga ia merasakan kekuatannya
mulai menurun. Apalagi selama dua malam ia tak tidur, rasa kantuknya mulai
menyerang mata secara bertubi-tubi. Namun Karang Wesi tetap berusaha agar tidak
jatuh tertidur.
Tapi pagi itu, wajah lesu dan
kuyu yang ada pada Karang Wesi menjadi segar kembali. Rasa kantuknya pun
menjadi hilang. Malahan hati Karang Wesi pun menjadi lega bercampur gembira,
sebab Ki Candak Sedo sudah keluar dari dalam gua. Orang itu keluar sambil
membawa sebuah guci hitam tak terlalu besar.
"Karang Wesi, lihatlah
apa yang kubawa ini?!" katanya dengan tersenyum bangga.
"Guru...?! Bagaimana?
Jadi Guru sudah mendapatkan minyak itu?"
"Sudah! Di dalam guci
inilah Minyak Darah Malaikat tertampung."
"Oh, syukurlah...! Saya
khawatirkan keadaan Guru di dalam sana. Mengapa sampai selama ini, Guru?"
"Aku harus menundukkan
seekor ular sebesar pahamu! Ular itu tak bisa ditembus dengan pukulan tenaga
dalamku. Bahkan kugunakan pukulan 'Angin Lahar', tapi ular itu tidak bisa
hangus dan menjadi arang seperti yang lainnya."
"Lantas bagaimana cara
Guru mengalahkannya?"
"Dengan kekuatan batin
aku menundukkan dia, dan ternyata ular itu lenyap begitu saja. Kemudian aku
dihadapkan pada pilihan yang membuatku bimbang."
"Pilihan apa itu,
Guru?" desak Karang Wesi ingin tahu banyak tentang pengalaman memperoleh
Minyak Darah Malaikat itu.
"Sebelumnya aku sudah
tahu bahwa dari kesembilan ruang bersekat itu, hanya ruang yang memiliki cahaya
hijau yang menyimpan minyak ini! Tetapi ternyata sembilan ruang itu memancarkan
sinar hijau semuanya. Mau tak mau aku harus memilih mana yang punya sinar hijau
asli. Aku hampir saja mati terjebak gas beracun yang ternyata ruangan itu
adalah ruangan bersinar gelap alias tanpa sinar. Aku juga hampir mati dihujam
seratus tombak, dan ternyata ruangan itu bersinar kuning. Sampai empat kali aku
hampir mati di dalam sana, lalu akhirnya kutemukan ruangan hijau yang asli,
maka aku harus melakukan semadi beberapa waktu sampai guci ini muncul sendiri
di depanku!"
"Hebat sekali! Kalau
bukan Guru yang mengambil minyak itu, tak mungkin orang lain bisa melakukan
seperti apa yang dilakukan Guru!" ujar Karang Wesi dengan pujian yang
membanggakan hatinya sendiri.
"Mari kita pulang,
Muridku! Aku akan mandi minyak ini!"
Belum lagi mereka sempat
melangkahkan kaki, tiba- tiba sekelebat bayangan menyambar tangan Ki Candak
Sedo dengan cepat. Wutt! Guci Minyak Darah Malaikat hampir saja berpindah
tangan. Untung dengan cepat Ki Candak Sedo segera kelebatkan tangannya yang
memegang guci itu, sehingga terhindar dari sambaran 'maling' tak
disangka-sangka.
"Bangsat!" suara
besar terdengar dari arah bawah pohon jati merah itu. Suara tersebut milik
orang berkumis tebal, bermata lebar, rambutnya panjang dibungkus kain merah,
wajahnya angker dan hidungnya tergolong besar. Orang itu tidak memakai baju,
celananya hitam dengan sabuk hitam besar mempunyai tempat keris sendiri. Orang
itu berkulit hitam, dan kulitnya tampak tebal. Badannya tinggi, kekar dengan
kuku jarinya runcing-runcing.
"O, kau rupanya, Warok
Kober?!" ucap Ki Candak Sedo.
"Syukur kalau kau masih
mengenaliku, Candak Sedo!" katanya dengan suara besar.
"Aku memang mengenalmu,
tapi tak menyangka kau ingin merebut minyak ini dariku, Warok Kober!"
"Ha ha ha ha... ! Kau
memang perlu memperhitungkan kehadiranku, Candak Sedo. Memang selama ini kita
berhubungan baik, tak pernah ada perselisihan apa pun. Tapi untuk kali ini,
demi minyak yang sudah hampir seratus tahun itu, aku terpaksa buka perkara
denganmu, Candak Sedo!"
Karang Wesi bergegas maju,
tapi dicegah oleh Ki Candak Sedo. Karang Wesi menggeram. Setahu dia, Warok
Kober memang tidak pernah berselisih dengan gurunya. Tapi sekarang Warok Kober
merusak hubungan baik hanya gara-gara ingin memperebutkan pusaka Minyak Darah
Malaikat itu. Karang Wesi jadi berpikir, alangkah amat berharganya minyak
tersebut, sehingga seseorang sampai berani mengorbankan persahabatan demi
mendapatkan minyak keramat itu. Jelas ini sebuah pengorbanan yang amat luar
biasa.
"Candak Sedo! Kalau kau
masih ingin menjaga persahabatan denganku, sebaiknya, serahkan saja minyak itu
padaku. Jujur saja, aku ingin memiliki minyak itu! Aku ingin mandi minyak itu,
Candak Sedo! Kuharap kau tidak keberatan menyerahkannya padaku, daripada
persahabatan kita menjadi hancur karena berebut minyak!"
"Tak semudah itu, Warok
Kober!" Ki Candak Sedo menggeleng-gelengkan kepala sambil sunggingkan
senyum tipis, ia masih kelihatan tenang, tapi muridnya sudah gusar sejak tadi.
Sambung Ki Candak Sedo lagi,
"Ingat-ingatlah, Warok...
perkara minyak ini tetap akan menjadi perkara panjang selama manusia masih
dikuasai oleh nafsu angkara murka. Perkara minyak tetap akan menjadi bahan
pertarungan antara kedua belah pihak atau lebih. Tentunya minyak seperti yang
kubawa ini jauh lebih berharga dari segala minyak, dan aku pun siap mati untuk
minyak ini, Warok Kober!"
"Ggrrr." Warok Kober
menggeram bagaikan seekor singa. Matanya melotot lebar menyeramkan. Kemudian ia
berkata,
"Jadi kau siap bertarung
denganku untuk beradu nyawa, Candak Sedo?! Kau siap bela pati demi
minyak?!"
"Aku yang siap!"
sahut Karang Wesi.
"Ha ha ha ha...!"
Warok Kober tertawa terbahak- bahak. Ini membuat Karang Wesi semakin panas
hati, karena merasa diremehkan. Apalagi Warok Kober segera ucapkan kata,
"Kamu bocah yang masih
hijau, Karang Wesi! Perkara ini bukan perkara bocah ingusan seperti kamu!
Pergilah main sana, tak perlu ikut campur urusan orang tua!"
"Kalau kau menghadapiku
sama saja dengan menghadapi guruku, Ki Warok! Kalau kau bisa menggulingkan aku,
sama saja bisa menggulingkan Eyang Guru Candak Sedo ini! Tapi kalau melawanku
saja kau lari terbirit-birit, bagaimana mungkin kau bisa kalahkan eyang
guruku?!"
"Grrr...! Kurobek mulutmu
jika sekali lagi omong besar, Karang Wesi!" mata Warok Kober semakin
angker memandang.
"Sebelum merobek mulutku,
tentunya aku lebih dulu merobek dadamu, Ki Warok!"
"Bangsat! Aku jadi
bernafsu untuk memecahkan kepala sombongmu itu, Bocah Gendeng!" Warok
Kober mulai mengangkat kedua tangannya untuk melakukan satu pukulan.
'"Guru, sebaiknya Guru
agak menjauh, biar saya hadapi orang ini!"
"Baiklah. Hati-hati, dia
punya jurus maut pada kerisnya!"
"Terima kasih, Guru!
Keris itu akan saya patahkan dengan kapak saya ini!" kata Karang Wesi
dengan angkuhnya. Kemudian ia segera mencabut kapaknya dan berseru kepada Warok
Kober,
"Majulah kalau kau memang
bisa merobek mulutku!"
"Setan! Hiaaah...!"
Warok Kober tiba-tiba melesat
tanpa terlihat sentakan kakinya ke tanah. Tubuhnya yang besar itu siap
melepaskan pukulan dalam keadaan terbang, sedangkan Karang Wesi melakukan hal
yang sama. Tapi ia melompat tinggi menyerang maju sambil siap-siap
menghantamkan kapak bermata tiga itu.
"Hiaaat...!' pekik Karang
Wesi.
Dess...! Tiba-tiba belum
sempat mereka saling berbenturan, tangan Warok Kober telah menyentak ke depan
dan sebuah pukulan bertenaga dalam cukup tinggi dilepaskan. Wuttt...! Nyala
sinarnya biru kekuning- kuningan. Berpendar-pendar dalam bentuk seperti bunga
atau bintang yang pecah. Sinar itu menghantam dada Karang Wesi, tapi dengan
cepat kapak yang ingin dihantamkan itu menutup bagian dadanya, menangkis sinar
biru kekuning-kuningan itu.
Zrang...! Sinar itu padam
seketika membentur mata kapak. Tapi pada saat itu kaki Warok Kober menendang
dengan sentakan kuat.
Dugg... !
"Uuah...!" Karang
Wesi bagai diseruduk kerbau tujuh. Tubuhnya terlempar seketika, bahkan kapaknya
pun jatuh sebelum kakinya berpijak pada bumi.
Brukk...! Karang Wesi jatuh
tersungkur setelah bersalto dua kali dan kehilangan keseimbangan badan.
Buru-buru Warok Kober pijakkan kakinya ke tanah, dan mencabut kerisnya dengan
ganas. Sratt!
Keris itu bagai dikelilingi
oleh kilatan petir. Cahaya biru memercik-mercik ke sekeliling keris. Segera
Warok Kober menghujamkan keris ke dada Karang Wesi yang baru saja berdiri. Tapi
oleh Karang Wesi, pergelangan tangan Warok Kober lebih dulu mendapat tendangan
kuat dari bawah ke atas. Plokk...! Wuttt...!
Tangan itu tersentak kuat
sekali, dan keris tersebut terlempar ke belakang dan masuk ke jurang. Dan tiba-
tiba terdengar suatu ledakan dahsyat dari dalam jurang.
Jlegarrr... !
Rupanya keris itu telah
timbulkan ledakan pada saat menyentuh bangkai manusia yang dikalahkan Karang
Wesi sebelum peristiwa itu. Mayat orang tersebut tersangkut pada sebuah dahan
pohon, lalu keris itu jatuh menancap di mayat tersebut dan timbulkan ledakan
maut.
"Hiaaah...!"
Wuttt... ! Plakkk... !
Zerrbb...! Kedua telapak
tangan itu beradu. Karang Wesi telah menggunakan pukulan 'Angin Lahar'-nya.
Maka ketika beradu dengan telapak tangan Warok Kober, terjadilah percikan api
sekejap berwarna merah.
Beberapa saat kemudian, tubuh
Warok Kober berdiri mematung tak bergeming lagi. Ia telah berubah menjadi
seonggok arang keras. Semua yang ada padanya jadi terbakar dan membentuk
onggokan karang. Tentu saja Warok Kober tak lagi bisa ucapkan sepatah kata pun
karena sudah tak bernyawa lagi.
"Hiih...!"
Prasss...! Tubuh yang berubah
menjadi arang itu ditendang oleh Karang Wesi, lalu tubuh itu terlempar ke
jurang dalam keadaan sudah pecah tak karuan. Cepat- cepat Karang Wesi menghadap
gurunya dan berucap kata,
"Maaf, Guru! Terpaksa
jurus itu kugunakan, karena ia sangat tangguh menurut ukuranku!"''
"Seharusnya kau bisa
menggunakan jurus 'Salju Hitam' saja! Tak perlu menggunakan jurus itu! Dengan
kamu lepaskan jurus 'Salju Hitam', Warok Kober tidak akan mampu menahan
seranganmu!"
Karang Wesi berkata,
"Maaf, saya tak sempat menggunakan jurus 'Salju Hitam', karena dia
mendesak terus, Guru!"
"Seharusnya tak perlu
membunuh, biar dia cedera dan lari sendiri, Karang Wesi!"
Karang Wesi diam menunduk, ia
takut kena murka sang Guru. Tapi dalam hati Karang Wesi menggerutu
berkepanjangan,
"Dia memang enak, tinggal
ngomong saja bisa! Aku ini yang merasakan tendangannya dan hampir mati, bisa
lebih tahu bagaimana seharusnya mengalahkan dia!
Sudah capek-capek melawan dan
mengalahkan lawan, eh... masih saja dikecam salah! Uuh, sepertinya Guru tidak
suka aku menggunakan ilmu andalan untuk mempercepat kerjaku!"
Kemudian, Ki Candak Sedo
segera perintahkan Karang Wesi untuk cepat tinggalkan tempat tersebut. Karang
Wesi pun melompat dengan gerakan jurus peringan tubuh, ia menyusul gurunya yang
sudah melesat lebih dulu.
Tak seberapa jauh dari gua
itu, mereka sudah harus menghentikan langkah karena kemunculan seorang lelaki
botak berpakaian longgar. Lelaki botak ini berpakaian hitam dan menggenggam
pedang besar. Ki Candak Sedo mengenal lelaki itu berjuluk Setan Gunung.
Badannya juga besar, bahkan lebih besar lagi dari Warok Kober. Ki Candak Sedo
dan muridnya sudah bisa menduga apa yang diinginkan oleh Setan Gunung. Maka
dengan cepat Karang Wesi berdiri di depan gurunya dan segera hadapi Setan
Gunung.
"Sebelum kau sebutkan
niatmu, aku dan Guru sudah mengetahui maksudmu menghadang kami, Setan
Gunung!" kata Karang Wesi.
"Ha ha ha ha...! Bagus,
bagus! Itu berarti kalian akan serahkan minyak itu padaku, bukan?!"
"Ya, tapi dengan satu
syarat, Setan Gunung!"
"Apa syaratnya?"
"Cabut dulu nyawaku, jika
kau bisa, kau berhak mendapatkan minyak dalam guci yang dibawa Eyang
Guruku!"
"Setan kurap kau!
Hiaaah...!"
Wuuut... !
Pedang besar itu menebas leher
Karang Wesi. Tapi kepala Karang Wesi seketika itu menunduk, dan ia berguling di
rerumputan. Lalu betis Setan Gunung ditepak dengan tangannya. Plakk...!
Sekali lagi jurus 'Angin
Lahar' digunakan oleh Karang Wesi. Maka tak dapat disangkal lagi, Setan Gunung
segera terbakar tanpa api dan tahu-tahu berubah menjadi arang hitam
bersama-sama pedang besarnya itu. Zerrb...! Seluruh tubuhnya tak tertolong
lagi. Hitam dan kaku. Namun jika ditendang pelan, tubuh itu akan rubuh sebagai
onggokan arang yang hitam keling.
"Karang Wesi!"
sentak Ki Candak Sedo, "Mengapa kau gunakan lagi jurus itu, sedangkan
kulihat kau belum terdesak sekali!"
"Untuk mempercepat
pekerjaan harus begitu, Guru!"
"Tidak! Aku tidak suka
dengan caramu seperti itu! Kau terlalu mengumbar ilmu andalan! Nantinya kau
akan celaka sendiri karena ulah seperti itu! Lain kali, jika belum terdesak
jangan menggunakan jurus pukulan itu, tahu?!" .
"Baik. Saya tahu,
Guru!" Karang Wesi anggukkan kepala.
"Teruskan perjalanan
pulang kita!" Ki Candak Sedo bersungut-sungut.
Karang Wesi membatin,
"Orang tua ini memang banyak mulut tanpa bisa meresapi beratnya menjadi
seorang penjaga keselamatan jiwa! Sudah dibela, tapi masih mengecam!
Uuh...!"
Selain rasa jengkel yang
bermukim di hati Karang Wesi, ada pula nafsu serakahnya yang sejak hari-hari
kemarin disembunyikan rapat-rapat di dasar hatinya. Maka, dengan serta-merta
Karang Wesi mencabut kapaknya dan menghantam kuat-kuat tubuh gurunya sendiri
dari belakang. Crasss... !
Ki Candak Sedo tak sempat
terpekik. Bahkan untuk terkejut pun tak punya kesempatan. Tahu-tahu kepalanya
tergelinding jatuh dari leher yang ditebas memakai kapak tiga mata oleh
muridnya sendiri.
"Kalau tak begini, tak
kudapatkan minyak itu! Aku hanya akan mendapatkan amarah dan hukuman
darinya!"
Sekejap Karang Wesi terkesiap,
mulutnya ternganga. Sekalipun hatinya pada saat itu juga timbul rasa sesal yang
amat besar, karena ia telah membunuh gurunya sendiri dengan keji, tapi rasa
sesal itu berusaha dilenyapkan dari lubuk hatinya. Namun hal yang membuat
Karang Wesi terkesiap dan mematung di tempat setelah berhasil mengambil alih
guci Minyak Darah Malaikat itu, adalah sesuatu yang sangat tidak
disangka-sangka sebelumnya.
Tubuh Ki Candak Sedo tiba-tiba
lenyap. Mengepul asap putih di bagian kepalanya yang terpenggal dan raganya
yang rubuh tengkurap itu. Asap tersebut bagai membakar habis jasad sang Guru,
tapi darahnya masih membekas dan membanjir di tanah itu. Darah tersebut
bergerak-gerak bagaikan mendidih, kemudian Karang Wesi mendengar suara dari
darah itu yang berkata,
"Muridku, sayang sekali
kau dikuasai oleh nafsu setanmu. Tapi ketahuilah, tak sampai satu minggu, walau
kau mandi minyak itu, kau tetap akan mati dan menyusulku ke alam kelanggengan!
Kau tetap akan mati, Karang Wesi, muridku tersayang...!"
Tertegun Karang Wesi, gemetar
sekujur tubuhnya mendengar kutuk yang keluar dari darah gurunya sendiri itu.
***8
KARANG Wesi kembali masuk ke
gua tersebut. Kali ini ia masuk ke dalam gua bukan untuk mencari siapa- siapa,
melainkan untuk melepas seluruh pakaiannya dan bermandi Minyak Darah Malaikat
yang diidam-idamkan itu.
Untuk melepas seluruh
pakaiannya, Karang Wesi terpaksa memilih tempat yang lebih dalam sedikit,
supaya jika ada yang datang sewaktu-waktu tidak melihat keberadaannya di situ.
Seperti yang pernah dikatakan Ki Candak Sedo, sebuah lorong yang menuju ke
ruang sekat sembilan punya cahaya penerang dari sinar kesembilan sekat itu.
Memang tak terlalu terang, tapi cukup untuk menjadi penuntun langkah manusia.
Dan lorong itu kini ditemukan oleh Karang Wesi. Di lorong itulah Karang Wesi
melepaskan seluruh pakaiannya, sampai pada cincin, perak penghias jari pun
dilepaskan.
Setelah Karang Wesi berhasil
polos seperti bayi baru lahir, ia segera membuka penutup guci. Guci hitam itu
disumpal lubangnya memakai sepotong kayu randu. Karang Wesi pun mencabut kayu
penyumbat mulut guci. Tetapi ternyata tidak semudah mencabut penyumbat tutup
guci seperti biasanya. Penyumbat itu sangat kuat, seakan menjadi satu dengan
mulut gucinya. Dengan kerahkan tenaga Karang Wesi mencabut penyumbat itu, namun
tetap tidak bisa terlepas. Bahkan kali ini dengan kerahkan tenaga dalamnya
Karang Wesi mencabut kayu penutup itu, namun sampai tubuhnya gemetar dan
menjadi merah, masih saja tutup itu tak bisa dilepaskan.
Sementara itu, di luar gua
terdengar suara percakapan dua-tiga orang yang agaknya mau masuk ke dalam gua
namun merasa sangsi. Karang Wesi sedikit gugup karena keadaannya masih
telanjang, sedangkan tutup guci masih belum bisa dibuka.
Terdengar suara gemuruh dari
kedalaman lorong. Bias cahaya yang sampai di tempat Karang Wesi mulai surut.
Terkesiap Karang Wesi memandang ke dalam. Mengapa bias cahaya menjadi surut,
dan terdengar suara gemuruh? Apakah ada sesuatu yang terjadi di lorong bersekat
sembilan itu?
Suara gemuruh kini disusul
dengan guncangan kecil. Gempa kecil itu membuat batuan dan pasir di atap gua
mulai berhamburan. Sementara itu, Karang Wesi masih belum berhasil mencabut
penutup guci walau sudah mengerahkan tenaga dalamnya sebesar mungkin. Dari luar
gua makin jelas percakapan yang dilakukan oleh dua-tiga orang yang bertekad mau
masuk ke dalam gua itu.
"Celaka! Sulit sekali
membuka penutup guci ini! Bagaimana kalau mereka masuk bersama dalam keadaan
aku masih telanjang begini? Setidaknya aku harus melarikan diri untuk
menghindarkan guci ini dari tangan mereka! Haruskah aku lari dalam keadaan
telanjang begini! Hmm... barangkali cara membuka guci ini tidak melalui kayu
penutupnya. Mungkin dari bagian pantat guci...?"
Karang Wesi memeriksa bagian
guci itu dengan mata menyipit karena kurang mendapat cahaya, ia meraba- raba
guci tersebut dan tidak menemukan lubang apa pun yang memungkinkan untuk
keluarnya minyak tersebut
"O, ya...! Kenapa tidak
kulubangi saja bagian bawah guci ini, biar bisa mengucur minyak di dalamnya,
dan kurasa memang harus dengan cara begitu?!"
Karang Wesi segera mencari
alat untuk melubangi guci. Disodok dengan gagang kapak, terlalu besar. Guci
bisa pecah berantakan. Tak ada kayu, juga tak ada besi yang pas untuk melobangi
guci tersebut.
"Ah, mengapa tidak
kugunakan jurus 'Jari Baja'- ku?!"pikirnya. Kemudian Karang Wesi
mengeraskan jari tangannya yang tengah. Jari itu menjadi tegak keras dan
membara merah bagian kukunya. Lalu dengan satu sentakan pelan, jari itu
menyodok guci tersebut pada bagian bawahnya. Tres...! Crubb...!
Gemuruh dari dalam gua semakin
kuat, tanah berguncang bagai dilanda gempa. Guci itu bolong dan memancarkan
cahaya terang, lalu mengalirlah cairan bening dari dalam guci. Cairan bening
itu membuat suasana lorong menjadi semakin terang. Baunya harum menyertakan ke
seluruh lorong.
Dengan tawa kegembiraan,
Karang Wesi mengucurkan minyak bening itu ke sekujur tubuhnya. Dari atas kepala
sampai kaki dimandikan dengan Minyak Darah Malaikat. Semua tempat, semua tekuk
tubuhnya mendapat guyuran minyak tersebut. Tak ketinggalan bagian telapak
kakinya juga diusapi dengan minyak tersebut.
Suara percakapan orang semakin
terdengar jelas. Makin lama makin mendekati lorong tempat Karang Wesi bermandi
Minyak Darah Malaikat. Sedangkan cahaya di ruangan itu semakin menjadi terang.
Seolah- olah keharuman minyak tersebut pancarkan cahaya terang ke mana-mana.
Hal ini membuat mata Karang Wesi semakin bisa melihat dengan jelas, bagian
tubuh yang mana yang belum dimandikan dengan minyak tersebut.
Pada saat Karang Wesi sudah
yakin semua tubuhnya sudah basah oleh Minyak Darah Malaikat itu, maka muncullah
seseorang berpakaian serba putih dari arah mulut gua. Orang tersebut memandangi
Karang Wesi dengan wajah dingin mata memandang datar. Karang Wesi tersentak
kaget dan bingung dengan keadaannya yang masih telanjang, ia hanya menyapa
dengan mulut gemetar,
"Hmm... oh... eh...
Guru...?!" Karang Wesi menyapa orang itu dengan sebutan Guru, karena
memang yang dilihatnya adalah Ki Candak Sedo. Pakaiannya, putih dalam bentuk
jubah dari atas kepala sampai kaki. Bersih tanpa luka dan darah sedikit pun.
Kemudian muncul pula orang
lain yang berpakaian seperti itu, kerudung jubah dari atas kepala sampai kaki,
warnanya putih bersih tanpa kotoran sedikit pun. Wajah itu juga membuat Karang
Wesi terperanjat kaget. Ia kenal betul wajah angker itu, yang tak lain adalah
wajah Warok Kober.
"Ki Warok...?!"
gumam Karang Wesi masih tertegun di tempat.
Setelah itu muncul dua sosok
berpakaian kerudung putih dari kepala sampai kaki hingga kelihatan wajahnya
saja. Di wajah mereka juga terbentang kebekuan dan sorot pandangan mata yang
datar. Dan Karang Wesi pun mengenali wajah mereka itu, hingga tak sadar ia
sebutkan kata,
"Setan Gunung...?! Cambuk
Guntur...?! Oh, ada pula di belakangnya si Macan Bangkai...?! Oh, apa yang
terjadi sebenarnya?"
Ternyata bukan hanya mereka
yang muncul, melainkan semua korban yang mati dibunuh oleh Karang Wesi
bermunculan dengan mengenakan kain kerudung dari kepala sampai kaki warna putih
bersih. Mereka memenuhi lorong itu hingga Karang Wesi tak punya jalan untuk
lari keluar dari gua tersebut.
Ia segera berpaling ke
belakang untuk mencari jalan menuju Sekat Sembilan. Tetapi dari arah sana pun
muncul sosok berpakaian putih dari kepala sampai kaki. Jumlah mereka pun cukup
banyak. Satu di antara wajah yang .sempat dikenali oleh Karang Wesi adalah
wajah Nyai Sirih Wangsit, Kidung Sentanu, dan Eyang Danujaya, Talang Sukma,
serta Permeswari Bayangan, yang semua itu adalah teman baik dari Ki Candak
Sedo. Juga tokoh-tokoh lain yang tidak dikenali oleh Karang Wesi.
Tetapi anehnya, Ki Candak Sedo
juga ada di rombongan orang-orang golongan putih yang telah tiada, jadi bukan
hanya ada pada rombongan orang-orang yang menjadi korban pembunuhan Karang Wesi
saja. Wajah Ki Candak Sedo yang ada dalam rombongan para tokoh putih itu dalam
keadaan tersenyum berseri, bagai mencerminkan suatu keramahan dan keceriaan.
Sama dengan wajah mereka yang berada di golongan tersebut.
Mereka mendekati Karang Wesi
dengan langkah pelan. Karang Wesi jadi terkurung antara dua rombongan aneh
berpakaian sama semua.
Sedangkan suasana menegangkan
itu membuat Karang Wesi tak sempat mengenakan pakaiannya. Belum lagi getaran
tanah gua yang masih terus berguncang bagai mau runtuh atapnya itu, makin
membuat Karang Wesi tak sempat berpikir lain kecuali meloloskan diri dari
kepungan mereka, yang menurut hati Karang Wesi mereka bermaksud tak baik
kepadanya, terutama rombongan si Macan Bangkai, Warok Kober dan yang lainnya
itu. Anehnya mereka tak ada yang bersuara satu pun.
Mereka melangkah pelan juga
tanpa timbulkan suara gaduh di lantai gua. Hanya pancaran mata dari rombongan
Warok Kober saja yang seolah-olah berkesan menuntut balas atas kematiannya,
sedangkan pandangan mata yang ada dalam rombongan Nyai Sirih Wangsit tidak
berkesan menuntut apa-apa selain berkesan keramahan yang damai.
"Kalau aku tidak segera
keluar dari gua ini, aku bisa mati terkubur di sini!" pikir Karang Wesi.
"Aku harus cepat-cepat keluar dengan menerobos jalan yang ditutup oleh
rombongan Warok Kober itu! Tapi mungkinkah akan bisa kuterobos?!"
Gemuruh dari dalam gua
bertambah jelas suaranya, jelas pula guncangannya. Reruntuhan pasir dan kerikil
makin berjatuhan dari langit-langit gua tersebut. Karang Wesi bertambah tegang.
Maka, dengan segera ia sentakkan kedua tangannya ke depan. Wussst...!
Sebuah pukulan tenaga dalam
yang bernama 'Sapu Jagat' itu dilepaskan oleh Karang Wesi. Gulungan angin bagai
topan menghempas lepas, membuat rombongan Warok Kober terhempas tanpa suara,
masing-masing bagai terbawa arus angin kencang ke luar gua. Tak ada suara
sakit, mengeluh, mencaci atau bahkan suara bergedebuk dari kaki dan tubuh
mereka yang saling bersentuhan juga tak terdengar.
Karang Wesi tertegun di
tempat. Orang-orang yang terkena sapuan jurus 'Sapu Jagat" itu bagai
menembus dinding gua dan menghilang di sana, sebagian juga tampak ada yang
terlempar membelok lorong menuju mulut gua. Sedangkan rombongan Nyai Sirih
Wangsit itu diam tak bergerak maju lagi, namun juga tak segera lenyap.
Wajah-wajah mereka tetap ramah berseri tanpa suara apa pun. Glurrr...!
Terdengar suara menggelegar
kecil di bagian dalam lorong ruang Sekat Sembilan itu. Tampak mulai ada debu di
sana, seperti atap gua mulai runtuh. Suara itu semakin bertambah keras dan
mengguncangkan tanah dengan kuat. Tubuh Karang Wesi pun terlempar di dinding
kanan-kiri. Sementara orang-orang rombongan Nyai Sirih Wangsit segera terlihat
melambaikan tangan kepada Karang Wesi. Mereka tokoh-tokoh sakti dari golongan
putih yang darahnya dipakai mandi oleh Karang Wesi.
Sedangkan Karang Wesi sendiri
tak mengerti apa maksud lambaian tangan mereka yang berkesan mengucapkan
selamat tinggal itu. Karang Wesi hanya tahu, atap sebelah sana mulai runtuh, ia
tak boleh terpaku di tempat, ia cepat melarikan diri ke arah luar dengan suara
gemuruh tambah keras, guncangan tambah hebat, seakan suara gemuruh runtuhnya
langit-langit gua itu semakin mengejar ke arahnya. Karang Wesi pun tak perlu
memandang ke belakang lagi, ia percepat langkahnya hingga dalam waktu singkat
sudah sampai di luar gua.
Gemuruh suara runtuhnya atap
gua semakin jelas. Guncangan tanahnya kian memburu ke luar juga. Dan ketika
Karang Wesi mulai melarikan diri menjauhi gua tersebut, keadaan pintu gua pun
tertutup oleh runtuhnya atap gua. Debu asap, dan bebatuan kecil tersembur
keluar bagai mulut seekor naga semburkan racun dari dalam badannya. Semburan
itu cukup kuat dan keras sentakannya, hingga timbulkan suara yang merindingkan
bulu kuduk manusia.
Wooosss...! Wooourrsss..!
Glegarrr...! Suara itu
menggema bagai terbawa angin ke seluruh penjuru dunia. Karang Wesi sudah cukup
jauh dalam pelariannya. Ketika ia berpaling sebentar ke belakang, ternyata ada
batu putih sebesar seekor banteng yang menggelinding mengejarnya. Semakin lama
batu itu menggelinding semakin bertambah besar wujudnya. Agaknya batu itu
menggelinding mengikuti arah pelarian Karang Wesi.
"Batu setan! Pohon-pun
diterjang habis! Aku harus lebih cepat melarikan diri agar tak bernasib seperti
pohon itu!" pikir Karang Wesi. Ia menjadi ngeri karena melihat pepohonan
besar diterjang habis oleh batu yang makin lama makin menjadi sebesar rumah
itu. Tak ada tanaman yang selamat dan bisa menahan gulungan batu besar
tersebut.
Karena panik, Karang Wesi tak
pikirkan arah larinya, tak pikirkan keadaan dirinya, hingga akhirnya ia
terjebak di mulut jurang, ia terhenti di sana tak bisa lari lagi, sementara
batu itu menggelinding cepat ke arahnya dalam ukuran lebih besar dari sebuah
rumah. Sedangkan untuk melompat ke jurang sudah tak mungkin bisa selamat,
karena jurang itu bertebing licin tanpa tanaman apa pun selain rumput lumut.
"Mati aku kalau begini?!
Kutukan darah Eyang Guru agaknya menjadi kenyataan!" pikir Karang Wesi.
Batu semakin dekat. Karang
Wesi tak punya kesempatan lolos, akhirnya ia menggunakan pukulan tenaga dalam
yang bersifat sebagai pukulan penghancur. Sinar merah, hijau, kuning melesat
berulang kali silih berganti, menghantam batu yang masih menggelinding dalam
jarak sepuluh langkah itu. Tapi batu tidak bisa hancur.
Akhirnya, ketika batu itu
hampir menggilas tubuhnya, Karang Wesi segera kerahkan pukulan 'Angin Lahar'.
Tepat pada saat batu besar mendekatinya, kedua tangannya yang telah mengandung
pukulan 'Angin Lahar' itu digunakan untuk menahan gerakan batu.
Gluduk gluduk gluduk...!
Plakk...! Gluduk gluduk..!
Ternyata batu tetap
menggelinding dan menggilas tubuh Karang Wesi yang tak mampu menghindar lagi
itu.
"Aaaa...!" suara
jerit ketakutannya hilang seketika sewaktu batu menggilasnya tanpa ampun lagi.
Kemu dian alam pun menjadi sepi, bumi bagaikan mati. Hening tercipta panjang
tanpa suara hembusan angin sekalipun.
Matikah murid keji Ki Candak
Sedo itu?
Tidak, ia tidak mati. Ia masih
hidup dan membuka matanya pelan-pelan. Mengerjap-ngerjap sebentar sambil pulihkan
kesadaran dan keyakinan dalam hatinya bahwa ia belum mati. Ia memang terkapar,
namun masih bisa bernapas dan bergerak.
"Oh, di mana aku?
Sepertinya aku tidak mati! Aku masih bisa bernapas dan... tulangku tidak remuk!
Oh, tak ada luka sedikit pun pada tubuhku, padahal batu besar itu menggilas aku
tanpa ampun lagi! Aneh...! Apakah ini semua akibat aku sudah mandi Minyak Darah
Malaikat?!" Karang Wesi memeriksa tubuhnya, ia sudah berdiri, dan ia mulai
tersenyum gembira setelah yakin betul tak ada luka di tubuhnya. Goresan sekecil
jarum pun tak ada. Tubuhnya masih berkilauan minyak, rambutnya pun masih basah,
dan Karang Wesi tersentak sangat kaget setelah ia sadar, bahwa dirinya masih
belum kenakan pakaian apa pun. Buru-buru ia menangkap seekor burung untuk
melindungi rasa malu jika ada yang melihatnya. Kekhawatirannya itu ternyata
menjadi kenyataan, ada yang melihatnya telanjang.
Seorang gadis berpakaian hijau
muda sebatas dada, berdiri di balik pohon. Gadis itu menyandang pedang di
punggung, matanya yang cantik berkesan nakal. Sesekali sengaja melirik Karang
Wesi sambil menahan senyum dikulum. Gadis itu tak lain adalah Andini, yang
lebih dulu tiba di pelataran gua sebelum Gayatri menyusulnya.
"Jangan memandangku!
Pandang arah lain!" kata Karang Wesi membentak karena panik, tak ada
pakaian siapa pun yang bisa dipinjamnya, tak ada kain apa pun yang bisa dipakai
sebagai penutup tubuh. Mata Karang Wesi memandang jelalatan ke sana-sini, mencari
sesuatu yang bisa dimanfaatkan untuk menutupi tubuhnya.
Lalu ia melangkah pada semak
berdaun kecil sambil tetap menangkap seekor burung hingga jalannya mirip seekor
bebek yang pantatnya melenggak-lenggok demi selamatkan rasa malunya. Daun-daun
semak diambilnya beberapa helai dan dijadikan alat penutup sementara untuk
bagian tertentu saja. Sedangkan dari balik pohon itu terdengar suara Andini
berseru di sela tawa yang mengikik geli,
"Sayang sekali aku tidak
mengenakan jubah. Kalau aku kenakan jubah akan kusembunyikan kau di dalam
jubahku!"
"Diam!" bentak
Karang Wesi marah sendiri karena kepergok bugil begitu dan tak mampu menghadapi
rasa malu.
"Kalau kau mau, akan
kucarikan selembar daun pisang untuk menutupi tongkat wasiatmu itu!" goda
Andini.
"Tinggalkan aku! Pergi
sana! Tak ada yang perlu kau tunggu dariku, Perempuan Nakal!"
"Ada yang kuharap darimu,
Pendekar Cabul!" ejek Andini dengan menyebut Karang Wesi sebagai Pendekar
Cabul. "Aku akan berdiri memandangmu terus di sini jika kau tidak serahkan
Minyak Darah Malaikat padaku!"
Terkesiap mata Karang Wesi
memandangi perempuan bandel itu keluar dari balik pohon. Matanya
terang-terangan memandang ke arah Karang Wesi, membuat Karang Wesi bertambah
gusar.
"Pergilah! Aku tak
memiliki Minyak Darah Malaikat!"
"Tak mungkin!"
Andini sunggingkan senyum menggoda. "Kulihat kau keluar dari gua itu dalam
keadaan bugil begitu! Kau berlari-lari seperti menggenggam sesuatu di bagian
depanmu. Mungkin Minyak Darah Malaikat yang kau genggam sejak tadi!"
"Bukan! Aku menggenggam
burung rajawali, dan bukan guci Minyak Darah Malaikat!"
"Ha ha ha ha...!"
Andini tertawa lepas. "Jadi kau bukan menggenggam guci Minyak Rajawali,
eh... guci Minyak Darah Malaikat?"
"Sudah kukatakan aku
tidak tahu soal itu! Pergilah sana!"
"Aku tak akan pergi
sebelum kau memberikan minyak itu. Aku yakin kau telah mendapatkan minyak itu.
Jika kau belum mendapatkannya, tak mungkin kau lari sampai secepat itu tanpa
ada yang mengejarmu!"
"Apakah kau tak melihat
sebongkah batu menggelinding mengejarku sampai di sini?!"
"Tak ada batu, tak ada
daun yang mengejarmu, Pendekar Cabul!" Andini memandang sambil geleng-
geleng kepala, tetap sunggingkan senyum menggoda.
Karang Wesi kerutkan dahi.
"Benarkah tak ada yang mengejarku?"
"Kau lari seperti pencuri
yang kepergok, Pendekar Cabul!"
"Aneh...?!" lalu
mata Karang Wesi memandang keadaan sekeliling, ternyata tak ada pohon tumbang
sepanjang jalur pelariannya tadi, rumput rusak tergilas batu besar pun tak ada.
Karang Wesi benar-benar bingung dan segera bertanya kepada Andini.
"Apakah... apakah kau
melihat gua itu semburkan reruntuhannya?"
"Reruntuhan apa?! Gua itu
masih utuh tapi aku yakin minyaknya ada pada dirimu, Pendekar Cabul!"
"Masih utuh?! Lantas...
apa yang kualami tadi?!" Karang Wesi terbengong-bengong semakin bingung.
"Aneh semuanya! Dan... aduh, daun ini rupanya punya getah yang bikin
gatal! Uuh... tak tahan aku dengan rasa gatalnya! Mau digaruk, malu. Tidak
digaruk, gatal sekali?! Aduh, bagaimana ini!" Karang Wesi semakin salah
tingkah, Andini bertambah nakal memandang.
***9
KARANG Wesi penasaran, ia
ingin membuktikan kata-kata gadis yang belum dikenalnya itu. Menurut pengakuan
Andini, ia hanya melihat Karang Wesi keluar dari gua dengan berlari
terbirit-birit dengan sangat ketakutan. Andini mengikuti larinya Karang Wesi
dari tempat tersembunyi. Dan ia melihat Karang Wesi sering berpaling ke
belakang dengan wajah makin cemas.
Andini hanya melihat keadaan
Karang Wesi yang lari sendirian tanpa melihat batu besar mengejar pria itu.
Bahkan Andini sempat merasa heran melihat Karang Wesi tiba di bibir jurang,
lalu sentakkan tangannya melepas pukulan tenaga dalam, dan akhirnya menjatuhkan
diri sampai beberapa saat baru bangkit, Andini menyangka orang yang telanjang
itu adalah orang gila.
Pengakuan Andini itu didukung
dengan keadaan pohon yang pernah dilewati Karang Wesi dalam keadaan utuh.
Padahal tadi Karang Wesi melihat pohon itu tumbang lebih dari tiga puluh pohon
jumlahnya yang terhantam batu besar. Ternyata pohon-pohon itu tetap utuh, dan
yang lebih mengherankan, ternyata mulut gua itu pun tetap utuh, terbuka tanpa
ada bekas reruntuhan sedikit pun. Maka timbullah pertanyaan-pertanyaan di dalam
hati Karang Wesi tentang apa yang dialaminya sebenarnya.
"Suatu khayalan atau gangguan
penglihatan karena aku mandi Minyak Darah Malaikat? Barangkali Minyak Darah
Malaikat ingin membuktikan padaku, bahwa tubuhku telah menjadi kebal dan tak
mampu digilas batu sebesar itu! Atau mungkin semua yang kualami ini hanya
impian mata melek saja? Tapi bagaimana dengan wajah-wajah berkerudung kain
putih dari kepala sampai kaki itu? Apakah itu juga mimpi?"
Karang Wesi termangu-mangu di
depan gua, memikirkan keanehan itu sambil tak sadar menggaruk- garuk bagian
yang ditutup daun itu. Ia juga tak sadar kalau daun itu rontok satu persatu
akibat garukan tangannya. Sementara itu, Andini menunggu di belakang Karang
Wesi di balik sebatang pohon jati merah. Perempuan yang kenakan pakaian pinjung
hijau sebatas dada itu bukan menunggu untuk melihat kepolosan tubuh Karang
Wesi, tapi menunggu untuk mendapatkan janjinya. Janji dari Karang Wesi, yang
ingin membagi dua minyak tersebut, jika Andini mau palingkan wajah dan tidak
sering memandangnya selama Karang Wesi berjalan kembali ke gua tersebut. Andini
setuju untuk syarat ringan itu. Bahkan sekarang Karang Wesi berkata,
"Tunggulah di sini, aku
akan masuk ke dalam gua!"
"Kau mau main
licik?!"
"Bukan! Bukan itu
maksudku! Pakaianku tertinggal di dalam gua! Minyak itu memang sudah
kudapatkan, dan ingin kupakai untuk mandi, tapi kejadian-kejadian aneh itu
terjadi menakutkan sekali, sehingga minyak dan pakaian tertinggal di dalam
sana! Aku harus mengambilnya, lalu kita bagi dua!" "
"Harus kuantar kau masuk
untuk mengambil minyaknya!"
"Baiklah. Tapi jangan
terlalu dekat, aku tak enak dengan pandangan matamu! Aku belum pernah dalam
keadaan seperti ini di depan seorang perempuan!"
"Masuklah! Aku mengawalmu
dari kejauhan. Kalau kau licik dan curang, aku menyerangmu untuk satu jurus
saja, dan kau tak akan bisa bernapas lagi!"
Andini sengaja tidak mau masuk
gua sendiri, ia bisa menduga di dalam gua banyak jebakan. Menurutnya lebih baik
membiarkan Karang Wesi masuk dan mengambil minyak itu, sambil Andini memberi
umpan kepada jebakan melalui diri pemuda itu. Jika terjadi sesuatu yang
berbahaya, maka Karang Wesi-lah yang mati. Andini bisa mempelajari kelemahan
jebakan tersebut, ia belum tahu bahwa minyak itu sebenarnya sudah dipakai mandi
oleh Karang Wesi.
Karena itu di dalam hati
Karang Wesi tertawa kegelian sendiri. Andini mudah ditipu, ia segera kenakan
pakaian secepatnya dan ia mengambil guci kosong itu dengan menutup lubangnya
agar tidak dilihat Andini. Semua yang dilakukan Karang Wesi itu dalam
pengawasan Andini dari jarak jauh. Ketika Karang Wesi mengangkat tangan yang
memegang guci dengan tersenyum, Andini pun sunggingkan senyum kegembiraan.
Setidaknya ia bisa mendapatkan separo bagian dari minyak itu. Tetapi dalam
hatinya ia berkata,
"Kalau perlu kutebas
batang lehernya biar minyak itu menjadi milikku semua! Tapi kalau kelihatannya
tidak memungkinkan, jangan kulakukan, karena itu akan membuat aku tak memiliki
minyak sedikit pun nantinya!?"
Tetapi tiba-tiba hati Andini
kembali bertanya-tanya tentang beberapa kejanggalan yang ditemuinya, dan hal
itu membuatnya semakin curiga kepada Karang Wesi.
"Mengapa ia lari dalam
keadaan telanjang? Tubuhnya basah oleh cairan, dan cairan keringatkah itu?
Mengapa sampai pada rambutnya juga basah? Mengapa dia berbau harum mempesona?
Bukankah menurut cerita mendiang Guru, siapa pun yang memakai atau mandi Minyak
Darah Malaikat, tubuhnya akan selalu berbau harum? Dan mengapa ia dengan mudah
sepakati perjanjian untuk menyerahkan separo minyak padaku? Jangan-jangan dia
sudah pakai itu minyak untuk mandi? Oh, celaka kalau begitu! Bisa kutebas tanpa
ampun dia kalau benar telah menggunakan minyak itu dan mengelabuiku?"
Karang Wesi melangkah keluar
dari gua tersebut sambil menggenggam guci tempat minyak yang tak seberapa besar
itu. Sampai di depan gua, tiba-tiba suaranya dibuat menyentak kaget,
"Wah, guci ini bocor
berlubang...! Lihatlah...?!"
Andini diam memandang dengan
dada semakin cemas.
"Celaka! Minyaknya habis
dan tak ada setetes pun di sini! Periksalah sendiri...! Periksalah...!"
sambil Karang Wesi menunggingkan guci, menunjukkan bahwa tak ada setetes minyak
yang keluar dari lubang dibawah guci itu.
"Bagaimana ini? Tak ada
minyak dalam guci ini. Andini?"
"Tentu saja, karena
minyak itu telah kau pakai untuk mandi, Karang Wesi!"
Tak sadar tangan Karang Wesi
menggaruk-garuk lagi tempat yang tadi dibungkus daun bagai lontong tanpa isi.
Getah daun atau bulu daun itu timbulkan rasa gatal melebihi daun talas. Sambil
menggaruk-garuk tempat yang gatal, Karang Wesi sunggingkan senyum dan berkata,
"Syukurlah kalau kau
sudah tahu semua itu! Tapi kau masih beruntung, karena kau bisa menikmati
keadaanku tanpa selembar benang pun, dan kau bisa mendapatkan guci bekas tempat
Minyak Darah Malaikat ini. Kuberikan padamu, siapa tahu suatu saat berguna
untuk satu keperluan! Mungkin bisa kau gunakan sebagai celengan?!"
"Setan kau, Karang
Wesi...!" geram Andini tak sabar lagi. Kemudian ia tebaskan pedangnya ke
leher Karang Wesi dengan satu sentakan kebencian, "Heahh...!"
Bettt...! Wuttt...!
Pedang itu meleset dari
sasaran. Kepala Karang Wesi lebih cepat bergerak merendah dan segera tegak
lagi. Ia belum berani mengambil sikap untung-untungan dan mencoba-coba terhadap
keampuhan minyak yang dipakainya mandi. Sebab jika ternyata keampuhan minyak itu
cuma bohong, tidak memberikan kekebalan, maka lehernya pun pastikan putus jika
ditebas oleh pedang Andini. Maka, Karang Wesi masih berusaha menghindar, namun
belum lepaskan satu serangan pun.
"Hiaaat...!" Andini
makin penasaran, dua kali serangannya meleset. Kali ini ia kibaskan pedangnya
untuk memenggal lengan Karang Wesi. Kibasan itu sangat cepat dan kencang.
Bettt...! Trangngng...!
Mata Karang Wesi terkesiap
melihat tangannya tetap utuh tanpa luka dan lecet sedikit pun. Ketika pedang
tadi memenggal tangan, terjadi percikan api sekejap, seolah- olah pedang itu
membentur besi baja yang amat keras.
Berdebar bangga dan girang
hati Karang Wesi melihatnya. Untuk selanjutnya, Karang Wesi sengaja tidak
menghindari serangan jurus pedang Andini yang makin membabi buta itu;
Trang trang trang... sreng...!
Trangngng...!
Andini semakin jengkel dan
penasaran. Jurus pedangnya bukan sekadar jurus biasa, tapi mempunyai saluran
tenaga dalam yang cukup tinggi. Bukan hanya percikan api saja yang keluar dari
penggalan dan tebasan pedangnya, tapi sinar bertenaga dalam itu pun ikut keluar
bersama tebasan pedangnya. Hanya saja, sinar- sinar itu pun tak bisa melukai
kulit tubuh Karang Wesi. Bagian tangan, kaki, kepala, perut, punggung, semuanya
sudah dicoba oleh Andini untuk dilukai, tapi tak berhasil. Bahkan untuk
memotong daun telinga pun pedang itu tak mampu melakukannya.
"Ha ha ha ha...!"
Karang Wesi tertawa kegirangan terbahak-bahak. Sementara itu, Andini melesat
mundur empat tindak.
"Jangan merasa bangga
dulu, Karang Wesi! Terimalah jurus 'Pedang Langit Pitu' ini! Hiaaah...!"
Pedang itu dibabatkan ke
samping kanan-kiri dengan cepat, lalu tiba-tiba disentakkan ke depan dengan
tangan kiri Andini ke atas lurus dan satu kakinya ke belakang lurus, kaki
satunya sedikit merendah. Maka, zlappp...! Seberkas sinar biru tanpa putus
melesat cepat menembus dada Karang Wesi. Sinar itu jelas-jelas menghantam
pertengahan dada, namun dada itu tak bisa bolong. Sinar itu hanya melesat
mengitari tubuh Karang Wesi, berlarian ke sana-sini, tanpa bisa melukai.
Padahal cukup lama sinar biru tanpa putus itu menerpa dada lawannya, bahkan
berpindah ke pusar segala, tapi tetap tak bisa menembus atau membakar tubuh
Karang Wesi. Bahkan pakaiannya pun tak bisa robek atau terbakar.
"'Pedang Sukma Matahari'!
Hiaaah...!"
Zllubb...!
Sinar merah melesat dari ujung
pedang yang dipegang dua tangan itu. Sinar merah tersebut sedikit lebih besar
ukurannya dari sinar biru tadi. Gerakannya juga lurus tanpa putus membentur
tengah kening Karang Wesi. Tapi kepala itu tak merasakan panas sedikit pun,
karena memang sinar merah hanya bisa berloncatan ke sana-sini tanpa bisa
melukai sedikit saja.
"Ha ha ha ha ha...!''
makin terbahak-bahak Karang Wesi melihat kenyataan yang dialaminya. Semakin
bangga dia akan dirinya sendiri yang tak mempan di tembus sinar bertenaga dalam
ataupun senjata setajam pedangnya Andini.
"Aahg...!" Andini
terpental jatuh terguling-guling. Pedangnya sendiri sampai lepas dari tangan
dan terpisah jauh dari dirinya. Mata Andini terbeliak-beliak ketika dihampiri
Karang Wesi. Mulutnya keluarkan darah kental, juga dari lubang hidungnya. Wajah
Andini menjadi pucat pasi dalam waktu singkat.
"Ini hukuman bagi
perempuan yang suka pandangi tubuhku dalam keadaan polos! Kau harusnya tahu,
Andini, aku paling benci dipandangi perempuan dalam keadaan polos, sebab itu
sama saja perempuan tersebut telah tahu seluruh rahasia hidupku! Kau layak untuk
mati, Andini! Dan barangkali aku harus mempercepat kematianmu, sebelum aku
meninggalkan kau untuk memburu Siluman Tujuh Nyawa! Heaaah...!"
Karang Wesi mengangkat kakinya
untuk dihentakkan ke dada Andini. Hentakan kaki itu diperhitungkan akan
mempercepat kematian Andini, karena Karang Wesi menyalurkan tenaga dalamnya ke
telapak kaki. Tapi sebelum hal itu-terjadi, tiba-tiba tubuhnya tersentak ke
depan dan jatuh melompati tubuh Andini. Karang Wesi merasa mendapat dorongan
tenaga yang cukup kuat dari belakang, sehingga kekokohan kakinya yang saat itu
hanya satu yang dipakai berdiri itu menjadi berkurang. Maka ia pun terlempar ke
depan.
Tenaga besar yang menyentaknya
dari belakang itu tak lain adalah pukulan jarak jauh Gayatri yang datang tepat
pada waktunya. Gayatri segera menghampiri kakaknya sambil berseru cemas,
"Andini...?!"
Ia ingin merunduk untuk
menolong kakaknya, tapi tiba-tiba Karang Wesi menghampirinya dengan langkah
cepat, lalu menendang wajah perempuan yang rambutnya meriap ke depan itu.
Plokk...! Wutt!
Tubuh Gayatri terlempar ke
belakang dan jatuh berguling. Tapi ia segera bangkit walaupun merasa sakit pada
bagian dagunya, ia segera mencabut senjata trisulanya sambil menggeram,
"Kau telah melukai
kakakku, kau harus tebus dengan nyawamu!"
"Ha ha ha ha...! Kakakmu
pakai pedang tadi! Dia tebas seluruh tubuhku, tapi tak ada yang bisa melukai
tubuhku! Apalagi kau, hanya bersenjata trisula seperti itu, aah... pulang
sajalah! Ambil pusaka milik bapakmu biar kau bisa melukai tubuhku, atau pusaka
itu sendiri yang nantinya akan hancur?!"
"Setan jahanam kau!
Hiaaah...!"
Gayatri sentakkan trisulanya
ke perut Karang Wesi dengan kuat. Wuttt...! Trakk...! Trisula itu patah
seketika, kulit dan baju Karang Wesi tidak luka atau robek sedikit pun. Gayatri
makin panas hatinya. Kemudian ia menggunakah pukulan dari jurus 'Tapak Gledek'.
Tangan kanannya menggenggam kuat-kuat dan disentakkan ke depan, begitu hampir
tiba di dada lawan genggaman itu terbuka dan cahaya biru pendar-pendar melesat
bersama hantaman telapak tangan di dada, lawan. Blarrr... !
belakang, jatuh
berguling-guling membentur pohon di belakangnya, ia sendiri yang segera
muntahkan darah dari mulutnya walau tak banyak. Sedangkan Karang Wesi hanya
tertawa terbahak-bahak, lalu menghampiri Gayatri.
Rambut Gayatri dijambaknya,
diangkat ke atas sehingga tubuh itu terpaksa ikut berdiri. Terdengar suara
Andini berseru dengan tertahan, "Lepaskan dia! Jangan lukai dia dan jangan
sentuh dia lagi! Lawanlah aku...!"
Plakkk...! Karang Wesi
menampar keras wajah Gayatri hingga gadis itu terlempar dengan sebagian rambut
berodol di tangan Karang Wesi. Kemudian Karang Wesi membalikkan badan dan
melihat Andini sedang berusaha untuk bangkit namun tak bisa.
"Kalau dia adikmu, maka
sepantasnya dia menerima pelajaran itu, supaya dia tahu bahwa aku orang yang
tidak boleh diremehkan! Dia dan kamu harus tunduk padaku!"
"Hiaaat...!" Gayatri
bangkit dan menyerang dengan satu lompatan ke arah Karang Wesi. Dengan cepat
pula Karang Wesi melepaskan pukulan dalam sinar kuning. Sinar kuning itu
melesat cepat sebelum Gayatri mendekatinya, tapi tiba-tiba sinar kuning itu
pecah di udara karena berbenturan dengan sinar hijau yang datang dari arah
samping.
Blarrr...! Gayatri terpental
lagi akibat gelombang ledakan dan angin kencang yang ditimbulkannya dari
benturan dua sinar itu. Gayatri jatuh terpuruk dengan napas terengah-engah, sedangkan
Karang Wesi hanya mundur satu tindak, sedikit guncang. Tapi ia segera palingkan
pandang ke arah datangnya sinar hijau tadi. Dan ia terkesiap memandang seorang
pemuda sebayanya sedang meneguk tuak dengan santainya tanpa hiraukan pandangan
mata orang lain.
Pendekar Mabuk terlambat
muncul. Ini karena ia sempat mengejar Siluman Tujuh Nyawa yang dilihatnya
melesat dalam satu jarak pandang saat bersama Gayatri di perjalanan. Suto
mencoba mengejar Siluman Tujuh Nyawa, sementara Gayatri tak mau menunggu, ia
langsung menuju ke Gua Sekat Sembilan. Andai ia mau menunggu Suto Sinting, maka
kehadirannya akan membuat Andini terlambat mendapat pertolongan darinya, tapi
ia sendiri tak akan lama terluka dalam akibat pukulannya sendiri tadi.
"Siapa kau?! Mengapa turut
campur urusan kami, hah?!" gertak Karang Wesi dengan mata tajam memandang.
"Namaku Suto Sinting! Aku
tidak ikut campur urusanmu yang sedang memperebutkan Minyak Darah Malaikat itu!
Aku hanya ingin mengambil dua gadis itu untuk kubawa pulang! Mereka terluka!"
"Suto!" seru
Gayatri. "Pergilah, tinggalkan kami! Minyak itu telah dibuat mandi oleh
bangsat itu! Pergilah, jangan hadapi dia, Suto!"
Karang Wesi tertawa pelan
kepada Suto, dengan angkuhnya ia berkata, "Kau dengar apa katanya? Kurasa
ada baiknya kau pergi secepatnya dari sini, sebelum murkaku jatuh untukmu,
Suto! Jangan coba-coba melawanku! Siluman Tujuh Nyawa saja akan lari kalau
kuburu apa lagi kau! Kau kenal Siluman Tujuh Nyawa?"
"Sangat kenal,"
jawab Pendekar Mabuk kalem. "Dia tokoh sesat yang sakti dan berilmu sangat
tinggi!"
"Itu pun akan
kuhancurkan! Dia tak akan bisa melukaiku dengan senjata El Maut-nya atau tenaga
dalamnya setinggi apa pun! Tak akan bisa! Tapi aku akan dengan mudah
menghancurkan kepalanya!"
"Bagus!" ucap Suto
sambil sunggingkan senyum tipis. "Tapi apa sebab kau ingin membunuh dia?
Kau punya dendam?"
"Dendam pribadi, tidak!
Tapi aku harus bisa membunuh dia, supaya lamaranku diterima oleh Dyah
Sariningrum!"
Srappp... ! Darah Pendekar
Mabuk naik ke kepala dengan cepat dan dalam keadaan panas mendidih, karena ia
mendengar nama kekasihnya disebut-sebut. Suto masih berusaha untuk tenang
walaupun wajahnya menjadi merah.
"Apakah kau ingin
mempersunting Dyah Sariningrum?"
"Ya! Siapa pun yang
menghalangi niatku akan kubunuh dan mereka tak akan bisa mengalahkan aku,
karena aku sudah mandi Minyak Darah Malaikat! Siluman Tujuh Nyawa itu musuh
utamaku, karena dia yang ber-ulang kali ingin memperistri Dyah Sariningrum
dengan berbagai cara kelicikannya! Jadi dialah musuh utamaku!"
"Bukan dia musuh utamamu,
tapi aku!" kata Pendekar Mabuk dengan jelas dan tegas, membuat Karang Wesi
terkesiap dengan mulut terbengong.
"Apakah kau murid Siluman
Tujuh Nyawa?"
"Bukan. Tapi akulah calon
suami Dyah Sariningrum, Gusti Mahkota Sejati yang berkuasa di negeri Puri
Gerbang Surgawi, di Pulau Serindu! Jelas?! Nah, sekarang bersiaplah menghadapi
musuh utamamu!"
"Edan!" geram Karang
Wesi sambil melangkah pelan mengikuti gerakan kaki Suto Sinting. "Kau akan
mati, dan harus mati kalau begitu. Hiaah...!"
Sinar kuning melesat, Suto
menangkisnya dengan kibasan tabung bumbung tuaknya. Wuttt...! Tubuhnya
menggeloyor bagai orang mabuk, tapi sebenarnya dia sedang memainkan jurus tipuan
gerak.
Trass...! Wosss...!
Sinar kuning membalik, lebih
besar dan lebih cepat. Dada Karang Wesi terhantam sinar kuning, ia hanya
tersentak ke belakang tiga tindak, tapi tidak merasakan sakit sedikit pun. Ia
hanya tersenyum dari membuat Suto mengakui bahwa kali ini ia berhadapan dengan
lawan
yang kebal senjata.
Maka, Pendekar Mabuk pun
mencoba dengan melepaskan 'Guntur Perkasa' yang membuat lawan menjadi memar dan
cepat membusuk. Class...! Sinar hijau melesat dari tangan kiri Pendekar Mabuk.
Tapi ketika sinar membentur tubuh Karang Wesi, tubuh itu tetap utuh tanpa luka.
Karang Wesi tersenyum menantang.
Pendekar Mabuk cepat menenggak
tuaknya, lalu melompat ke arah Karang Wesi dan semburkan tuak itu ke badan
Karang Wesi. Brusss..."! Semburan tuak menjadi percikan bunga api keluar
dari mulut Pendekar Mabuk. Percikan itu biasanya langsung membakar benda atau
orang yang terkena percikan walau setetes. Tapi nyatanya tubuh Karang Wesi
tetap berdiri tegak tanpa terbakar sedikit pun. Bahkan ia melepaskan pukulan
dari kedua telapak tangannya yang berwarna hijau pula dan menghantam bumbung
tuak yang dikibaskan Pendekar Mabuk ke depan. Bagggh...! Pendekar Mabuk
terpental jatuh sedangkan sinar hijau itu memantul balik dan mengenai tubuh
Karang Wesi. Tapi tubuh itu tidak hancur sedikit pun.
"Ha ha ha ha...!
Keluarkan semua ilmumu, Suto Sinting! Aku siap menerimanya dengan dada
terbuka!" ledek Karang Wesi.
Suto justru diam. Hatinya
berucap kata, "Tidak! Tidak semua ilmuku harus kulepaskan untuk
membunuhnya! Akan sia-sia saja rupanya, karena dia dilapisi kemukjizatan
tersendiri! Agaknya aku harus menggunakan otot dan otak. Jika ia mandi Minyak
Darah Malaikat, tentunya sampai ke bagian telapak kaki segala, Lalu, bagian
mana yang tidak terkena minyak...?!"
Pendekar Mabuk melintangkan
tali bumbung tuak ke dada, kini ia bertangan kosong. Masih bergerak memutar
pelan-pelan membentuk lingkaran, untuk mencari kelengahan lawan yang juga ikut
memutar itu.
Tiba-tiba kaki Suto menyambar
pedang milik Andini. Pedang itu segera diambilnya dengan satu gerakan kaki
cepat, dan tiba-tiba pedang melayang lalu ditangkap tangan.
"Ha ha ha ha...! Pedang
itu lagi?! Percuma, Suto! Itu bukan pedang pusaka! Buang saja!" ledek
Karang Wesi, ia sempatkan diri untuk menggaruk-garuk bagian yang gatal itu.
Mata Suto memandang ke sana ke bagian yang digaruk itu, lalu timbul gagasan
untuk menyerang bagian yang gatal itu. Suto tak tahu bahwa bagian yang gatal
itu pun terkena minyak juga.
"Sebaiknya kita adu
senjata!" kata Karang Wesi, lalu cepat ia mencabut kapaknya. Dan
serta-merta ia melompat bagaikan terbang dengan kapak siap dihantamkan ke
depan. Pendekar Mabuk pun berkelebat secepat kilat, tahu-tahu sudah melesat
menyerang dengan pedang dikibaskan. Wusss...! Trangng...!
Jlegg...! Pendekar Mabuk sudah
berdiri di tanah dengan memunggungi lawannya. Gerakan secepat setan itu membuat
Gayatri dan Andini yang hanya jadi penonton menjadi kian bengong. Tak menyangka
Suto mampu bergerak secepat setan. Kalau saja Karang Wesi tidak kebal, pasti
sudah terpenggal oleh jurus pedang Suto. Karang Wesi pun mengakui hal itu.
Pendekar Mabuk menggenggam
pedang itu dengan dua tangan, tubuhnya sedikit merunduk, matanya tajam
memandang dengan lincah. Dan tiba-tiba Karang Wesi melepaskan jurus maut dari
kapaknya, Kapak itu ditebaskan dari kanan ke kiri, tapi mendadak berhenti di
depan. Lalu kapak itu keluarkan cahaya merah seperti mata kapak itu sendiri.
Wussst...!
Zlappp...! Suto pun melepaskan
cahaya ungu berbintik-bintik putih dari ujung pedangnya. Cahaya ungu itu
membentur cahaya merah dan terjadi ledakan yang amat dahsyat.
Jlegarrr...! Pendekar Mabuk
terpental jatuh karena gelombang hawa ledakan tadi. Karang Wesi hanya tersentak
mundur tiga tindak. Sedangkan Andini yang tak begitu jauh dari Pendekar Mabuk
terguling-guling hampir masuk ke jurang.
"Hieaat...!" Karang
Wesi melompat untuk menghantamkan kapaknya, karena ia melihat Pendekar Mabuk
masih terkapar. Karang Wesi punya kesempatan emas untuk menebaskan kapaknya di
kepala Suto. Tetapi ketika tubuhnya sampai di atas Suto, si Pendekar Mabuk itu
cepat berguling ke samping. Wuttt...!
Jrabb... ! Kapak menghantam
tanah dengan kuat. Secepatnya Suto sentakkan pinggulnya dan bangkit setengah
berdiri, lalu ia sentakkan pedang di tangannya ke arah depan. Jrusss... !
"Aahhk...!" Karang
Wesi memekik keras dengan mata mendelik.
Pendekar Mabuk telah menemukan
titik rawan Karang Wesi sejak ia melihat tangan Karang Wesi sering
menggaruk-garuk tempat di mana ia pelihara seekor burung perkutut itu. Di sekitar
itulah pasti terdapat titik kerawanan Karang Wesi. Di sekitar itulah pasti tak
terkena Minyak Darah Malaikat. Dan ternyata dugaan Suto memang benar, ia
sengaja memancing agar diserang dalam keadaan terbaring begitu. Karena tanpa
pancingan tersebut, Pendekar Mabuk sulit menusukkan pedang ke bagian dubur
lawannya.
Pedang itu kini melesak masuk
separo bagian di lubang dubur. Karang Wesi menggeliat ingin berbalik
menghantamkan kapaknya. Tapi telapak tangan Suto. menyentak ke depan,
menghantam ujung gagang pedang itu dengan makin kuat. Jrubbb...!
"Uhg...!" Karang
Wesi terkulai, pedang itu masuk seluruhnya, hingga bagian gagangnya yang
terlihat dari luar. Tak ayal lagi Karang Wesi pun rubuh dan tak bernyawa
sedikit pun. Maka terbuktilah bahwa apa yang diserukan oleh darah Ki Candak
Sedo adalah benar. Kutukan itu mengatakan, sebelum purnama, Karang Wesi akan
mati walau sudah mandi Minyak Darah Malaikat.
Pendekar Mabuk segera menolong
Andani dan Gayatri dengan meminumkan tuak kepada mereka. Tuak itulah obat mujarab
yang sering digunakan Pendekar Mabuk untuk menolong mereka yang terluka. Bahkan
juga sebagai penolong racun yang cukup hebat.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Suto," ucap Andini yang mulai terasa segar setelah minum
tuaknya Suto. "Kalau kau tak datang, aku pasti mati lebih dulu, setelah
itu Gayatri, adikku, juga akan mati di tangan Karang Wesi!"
"Aku juga berterima kasih
padamu," kata Suto. "Karena kau biarkan aku menggunakan pedangmu
untuk membunuhnya. Apakah kau mau mengambil pedangmu itu untuk digunakan
lagi?"
"Biar saja mendekam
hangat di tempatnya sana!" jawab Andini sambil tertawa cekikikan. Gayatri
hanya tersenyum-senyum.
"Jurus pedangmu sungguh
hebat dan semuanya di luar dugaan!" kata Gayatri memuji Suto. Pendekar
Mabuk hanya tersenyum. Lalu Andani menyahut,
"Memang benar. Tapi...,
apakah benar kau calon suami Dyah Sariningrum, orang yang diincar Karang Wesi
itu?"
"Ya. Benar. Kenapa?"
jawab Suto sambil sunggingkan senyum.
"Tak apa-apa. Kalau saja
kau bukan calon suaminya, mungkin...!"
"Kau pikir hanya kau yang
bisa bilang mungkin?!" sahut Gayatri.
Pendekar Mabuk jadi tertawa
melihat keduanya saling bersungut cemberut.
Kemudian ia meninggalkan
keduanya untuk melanjutkan petualangannya.
SELESAI