1
ASAP masih mengepul tipis pada
celah-celah bebatuan. Warna hitam menghiasi pemandangan sekitar celah berasap.
Warna hitam itu juga terdapat pada tubuh mayat-mayat yang bergelimpangan di
sana-sini. Para korban menderita mati hangus akibat suatu pukulan dahsyat.
Sudah tentu orang berilmu
tinggi yang mampu melakukan semua itu.
Di atas reruntuhan yang serba
hitam dan masih hangat itulah, sesosok pemuda tampan berambut lurus sepanjang
lewat pundak berdiri memandangi keadaan sekelilingnya. Pemuda yang mengenakan
baju coklat tanpa lengan dan celana putih kusam itu menahan haru di dalam
hatinya. Mata memandang ke sana-sini dengan sedih. Bambu bumbung tempat tuak
masih disandang di pundak kanan. Si tampan bertubuh tegap dan gagah itu tak
lain adalah Suto Sinting, Pendekar Mabuk, murid tokoh aliran putih kesohor; si
Gila Tuak.
Setelah menatap sekelilingnya
yang serba hitam itu, sang pendekar tampan melompat ke sana-sini untuk mencari
sosok korban yang dikenalnya. Sosok korban itu akhirnya ditemukan tergeletak hangus
di sela-sela reruntuhan kuil. Hati Suto kian trenyuh memandangi korban yang
hampir tak bisa dikenalinya lagi itu. Tetapi melihat bentuk wajahnya dan tasbih
batu hitam sebesar melinjo itu tergeletak tak jauh dari tangan korban, maka
Suto Sinting yakin betul bahwa mayat itu adalah mayat Pendeta Mata Lima.
Biara Damai hancur menjadi
arang. Guru di biara itu, Pendeta Mata Lima, ikut hancur bersama biaranya.
Mengenaskan sekali. Tak ada satu pun murid Pendeta Mata Lima yang bisa
tertolong dan diselamatkan. Pendekar Mabuk hanya mengeluh dalam hatinya,
"Terlambat. Aku terlambat
tiba di sini. Kurasa biara ini dihancurkan beberapa saat sebelum aku tiba di
sini. Siapa pelakunya?"
Keluh dalam renungan itu
terputus. Pendekar Mabuk merasa gelombang hawa panas hendak menerpa tubuhnya.
Buru-buru ia hentakkan kaki kirinya ketanah bebatuan yang dipijaknya.
Wuuuttt...! Tubuhnya melenting ke atas dalam gerakan cepat. Tak berapa lama ia
sudah mencapai sebuah dahan yang ada pada pohon berdaun lebar dan rindang.
Jleegg...! Kakinya mendarat di pohon itu tanpa timbulkan suara, bahkan tak ada
getar sedikit pun pada pohon tersebut. Ini menunjukkan ilmu peringan tubuh
Pendekar Mabuk sangat tinggi dan mampu membuat lawan kebingungan mencari
keberadaannya.
Rupanya gelombang hawa panas
itu tidak tertuju kepadanya, tapi ke permukaan tanah bekas biara tersebut.
Seberkas sinar kuning berbentuk bola seukuran genggaman tangan bayi melesat
bagai jatuh dari langit. Gerakannya lurus ke bumi dan menghantam tanah bekas
biara itu tanpa timbulkan suara gelegar apa pun. Hanya menyerupai suara besi
panas dimasukkan dalam air.
Joosss...!
Saat sinar kuning menghantam
bumi dan timbulkan suara aneh, asap mengepul dengan sedikit tebal dan berwarna
kuning indah. Asap kuning itu menyebar, semakin lama semakin tebal, semakin
lebar, sampai akhirnya menutupi reruntuhan bangunan biara tersebut.
Dari atas pohon tempat
persembunyiannya, Suto Sinting memandang dengan mata penuh keheranan. Kini yang
dapat dilihatnya hanyalah bentangan asap kuning yang kian menebal dan
bergulung-gulung. Semua warna hitam dari reruntuhan tak dapat terlihat lagi.
Mayat-mayat hangus yang bergelimpangan di sana-sini juga tak terlihat karena
tertutup ketebalan asap kuning yang menyerupai kabut aneh membungkus permukaan
tanah.
"Siapa pemilik sinar
kuning aneh itu?" pikir Suto Sinting, matanya memandang sekeliling dari
atas pohon, tapi ia tidak temukan sosok orang yang dicurigai. Tempat di sekitar
itu tampak sepi, seakan tak ada kehidupan apa pun kecuali kehidupan dirinya sendiri.
Ilmu lacak jantung dipergunakan oleh Suto, tapi ia tidak menangkap suara detak
jantung orang lain, kecuali jantungnya sendiri. Itulah sebabnya Pendekar Mabuk
merasa aneh, karena hati kecilnya merasa yakin adanya seseorang yang
mengirimkan sinar kuning tersebut. Tak mungkin sinar kuning itu jatuh sendiri
dari langit, itulah keyakinan Suto Sinting.
Keheranan Suto Sinting semakin
besar lagi setelah melihat asap kuning yang melapisi permukaan tanah dengan ketebalan setinggi lutut itu, ternyata
cepat sekali hilangnya bagaikan terserap ke dalam bumi. Hilangnya kabut kuning
itu bersamaan pula hilangnya reruntuhan biara tersebut. Semua benda, baik batu,
kayu, maupun mayat yang bergelimpangan tadi ternyata lenyap bagaikan ditelan
bumi.
"Ajaib sekali!' gumam
hati Pendekar Mabuk dengan mata tak berkedip. "Semuanya lenyap tak
berbekas?! Reruntuhan bekas pilar sebesar itu bisa hilang tanpa tersisa
serpihannya sedikit pun?! Luar biasa hebatnya sinar kuning tadi? Hampir-hampir
aku tak mempercayai penglihatanku sendiri!"
Memang sulit dipercaya. Tanah
di mana semula terdapat reruntuhan biara yang terbakar habis bersama
penghuninya itu kini menjadi rata. Rata dan berwarna coklat kehijauan, karena
ada rumput-rumput yang tumbuh pendek bagaikan baru saja bersemi. Tak terlihat
bekas reruntuhan sedikit pun, sehingga bagi orang yang baru datang akan
menyangka di tanah tersebut tak pernah ada bangunan biara dengan kuil
bertingkatnya yang telah hancur terbakar. Tanah tersebut seperti tanah lapang
yang mempunyai kesuburan tersendiri dan bersuasana tenang, hening, dan bersih
dari sampah dan kotoran apa pun.
Rasa heran yang begitu besar
telah menguasai hati Pendekar Mabuk, membuatnya tertegun bagaikan patung di
atas sebatang dahan pohon. Karena pada saat itu terbayang dalam benaknya, seandainya
ia tadi tidak cepat hindari sinar kuning yang datang dari langit, lurus ke
kepalanya itu, pasti saat ini ia sudah ikut lenyap bersama reruntuhan biara dan
para mayat korban. Pasti saat ini ia tidak bisa berdiri di atas dahan dan
menyaksikan keajaiban yang sulit dipercayai oleh siapa pun jika dituturkannya.
"Ternyata hari ini aku
hampir saja musnah dan berakhir masa hidupku," pikir Suto Sinting setelah
ia sadar dari ketertegunannya dan buru-buru menenggak tuaknya beberapa teguk.
"Apakah si pemilik sinar kuning tadi bermaksud melenyapkan diriku, atau
melenyapkan sisa reruntuhan biara? Jika ia bermaksud melenyapkan diriku,
berarti dia adalah musuhku. Jika bermaksud melenyapkan sisa reruntuhan biara,
berarti dialah orang yang menghancurkan biara itu!"
Baru saja Pendekar Mabuk ingin
turun dari pohon untuk mencari seseorang di sebelah timur, tapi niatnya itu
tertahan oleh kemunculan seseorang yang berlari dari suatu arah dan berhenti di
tengah tanah lapang bekas reruntuhan itu. Orang tersebut memandang ke sana-sini
dengan bingung, raut wajahnya penuh dengan perasaan heran yang membimbangkan
hatinya sendiri.
"Siapa perempuan
itu?" pikir Suto Sinting dengan hati sedikit berdebar karena perempuan
yang ada di tengah tanah lapang itu berpakaian seronok dengan wajah cantik dan
tubuh sangat elok menantang gairah lelaki.
"Aku merasa baru kali ini
melihatnya. Sepertinya perempuan itu
sedang mencari-cari biara yang lenyap. Mungkin ia merasa bahwa di situ dulunya
ia temukan sebuah biara, tapi sekarang tak berbekas sedikit pun. Pasti dia
terheran-heran, dan akan semakin heran jika kuceritakan apa yang terjadi pada
Biara Damai bersama para penghuninya."
Perempuan itu berambut
panjang, digelung sebagian, mengenakan tusuk konde dari logam putih anti karat
berbentuk bintang dengan satu sisinya runcing memanjang, ia kenakan pakaian
pinjung sebatas dada warna merah jambu, ketat sekali sehingga gumpalan dua
daging di dadanya sedikit tersumbul, menampakkan kemulusan kulit putihnya dan
kepadatan yang aduhai mendebarkannya. Pakaian pinjung merah jambu dengan celana
beludrunya yang sama warna itu dilapisi dengan jubah putih berhias benang emas
pada tepiannya, ia bukan saja tampak cantik, namun juga tampak anggun dengan
wajah bulat telurnya berhidung mancung dan bermata sedikit lebar, indah tapi
punya kesan tegas. Dilihat dari raut muka dan kecantikannya, perempuan itu
menampakkan usia matang yang mencapai sekitar tiga puluh tahun.
"Tak ada salahnya kalau
ia kutemui. Barangkali ia membutuhkan penjelasan dariku tentang Biara Damai dan
Pendeta Mata Lima," ucap Suto membatin. Sebelum bergegas menemui perempuan
cantik itu, Suto Sinting lebih dulu meneguk tuaknya beberapa kali sebagai
penyegar semangat.
Tetapi niat Suto untuk turun
dari atas pohon tertunda kembali, karena tiba-tiba ia dikejutkan dengan
munculnya tiga pisau terbang yang masing-masing berukuran satu jengkal. Tiga
pisau terbang itu melesat berjajar bersamaan menuju ke arah punggung perempuan
berjubah putih sutera itu. Hampir saja tangan Suto menyentak ke depan untuk melepaskan
pukulan penghancur tiga pisau terbang itu. Namun niat tersebut tertunda pula
karena tiba-tiba perempuan cantik itu berkelebat membalik dan tahu-tahu telah
menyambar tiga pisau terbang itu dengan pedangnya. Trang, trang, trang.
"Wow...! Gerakan
pedangnya cukup hebat. Lincah dan cepat!" puji Suto dalam hati sambil
mengantongi kelegaan. Sesungguhnya Pendekar Mabuk akan merasa kecewa jika
perempuan anggun itu terluka oleh salah satu dari tiga pisau terbang tersebut.
Maka ketika ia melihat pisau terbang mental kedua arah dan salah satunya
menancap di sebatang pohon, hati Pendekar Mabuk merasa senang dan lega sebab
perempuan anggun itu tak jadi terluka.
Sekelebat bayangan melesat
cepat bagaikan badai menerjang perempuan anggun. Wuuuttt! Terjangan itu kembali
disertai kilatan dua logam putih yang tak lain adalah dua pisau terbang sejenis
dan serupa dengan yang tadi. Mestinya kedua pisau itu menancap di dada
perempuan anggun, sebab jarak lemparnya lebih dekat lagi. Hati Suto Sinting
berdesir cemas.
Namun ternyata gerakan
perempuan itu tak bisa dianggap enteng oleh lawan, ia mampu bersalto ke
belakang dan menendangkan kakinya dengan tendangan tampar menggunakan telapak
kaki beralas kulit itu.
Tendangan tamparnya membuat
kedua pisau itu bagaikan dibuang ke arah samping dan keduanya menancap di
sebuah pohon kapuk randu. Jrab, jrab...! Perempuan itu terhindar lagi dari maut
yang membahayakan jiwanya. Jika ia tergores sedikit saja oleh pisau terbang
itu, maka tubuhnya yang putih mulus itu akan menjadi busuk, karena memang
demikianlah nasib sebuah pohon yang tertancap pisau terbang yang dilemparkan
pertama tadi. Pohon itu menjadi busuk sedikit demi sedikit.
"Racun berbahaya ada di
mata piaau terbang itu," pikir Suto sambil tak berkedip memperhatikan
keadaan di tanah lapang bekas reruntuhan biara tadi. Kini yang terlihat di
depannya adalah seorang perempuan cantik dan anggun, sedang berhadapan dengan
seorang lelaki tokoh tua berjenggot putih.
"Aku belum pernah melihat
tokoh tua itu?" pikir Suto Sinting. "Siapa orang itu dan ada
persoalan apa dengan si cantik berbibir merekah itu?"
Lelaki tokoh tua yang dimaksud
Suto berusia sekitar delapan puluh tahunan, ia mengenakan jubah abu-abu dengan
rambut putihnya yang sedikit panjang tanpa ikat kepala sehingga meriap-riap
diterbangkan angin yang berhembus agak kencang. Tubuhnya kurus, kulitnya
berkeriput, tapi masih tampak tegar dan kuat. Berdirinya tegak, tanpa bungkuk
sedikit pun. Di pinggangnya terselip senjata cambuk digulung berwarna hitam
kemerah-merahan.
Suto mendengar perempuan
cantik itu menggeram kepada lawannya dengan mata sedikit menyipit menandakan
benci.
"Manusia licik kau, Urat
Setan! Setua itu masih saja mau bertindak curang! Hmm...! Benar-benar orang tua
yang tak tahu malu, menyerang orang muda dari belakang. Sama halnya kau telah
mengakui bahwa ilmumu ternyata tak ada sekuku hitamnya dibandingkan ilmu-ku,
Urat Setan!"
Pendekar Mabuk membatin,
"O, rupanya dia yang berjuluk si Urat Setan? Aku pernah dengar namanya
ketika makan di sebuah kedai. Urat Setan atau Ki Brajalinu adalah ketua
Perguruan Hantu Terbang. Pantas jika di jubahnya terdapat gambar tengkorak
bersayap. Seingatku, orang-orang kedai pernah menyebutkan bahwa Urat Setan berilmu tinggi, tapi juga
termasuk tokoh pembunuh berdarah dingin, ia pernah ditolak menjadi pengikut
Siluman Tujuh Nyawa, musuh utamaku yang masih kukejar-kejar itu. Konon
penolakan itu dikarenakan Urat Setan tidak berhasil mencuri sebuah pusaka
sebagai syarat menjadi anggota Siluman Tujuh Nyawa. Sekarang ia berhadapan dengan
perempuan cantik itu, apakah karena dalam upaya memburu sebuah pusaka atau
karena ada persoalan lama yang perlu diselesaikan secara tuntas? Hmm...
sebaiknya kusimak saja percakapan mereka itu."
Menurut dugaan dan takaran
sepintas, perempuan itu akan tumbang di tangan ketua Perguruan Hantu Terbang.
Sebagai ketua perguruan, tentunya Urat Setan tidak berilmu pas-pasan. Dan
kemudaan usia perempuan itu jika dibandingkan dengan usia Urat Setan sangat
menyolok. Kemudian usia tersebut menggambarkan kerapuhan ilmu si perempuan yang
diduga mudah tumbang oleh ilmunya Urat Setan. Tetapi perempuan tersebut
tampaknya tak gentar sedikit pun menghadapi musuh tuanya, ia tetap berdiri
tegak dengan kedua kaki sedikit merenggang dan tangannya masih menggenggam
pedang perunggu.
Urat Setan perdengarkan
suaranya, "Perempuan binal, kalau kau meremehkan diriku sama saja kau
sedang menggali liang kuburmu sendiri. Serangan awalku tadi hanya sebuah
permainan iseng untuk mengganggumu. Kalau aku mau, sangat mudah menghancurkan
tubuhmu yang montok itu dari belakang."
"Kau tak akan mampu,
karena itu kau tak melakukannya, Urat Setan!"
Dengan sikap dingin Urat Setan
berkata, "Sangat mampu, Lancang Puri. Tapi aku tak ingin kau mati sebelum
kau serahkan benda itu padaku!"
"Hmmm...!" perempuan
itu mencibir dan mendesis benci.
Hati si tampan di atas pohon
itu membatin, "O, ternyata perempuan cantik itu bernama Lancang Puri.
Hmm... sebuah nama yang bagus dan mudah kuingat. Tapi siapa sebenarnya Lancang
Puri, aku belum tahu secara pasti. Tak pernah kudengar nama Lancang Puri
disebutkan oleh para tokoh di rimba persilatan. Mungkin dia tokoh dari pulau
lain yang jauh dari tanah ini?"
Terdengar lagi suara Lancang
Puri yang merdu itu berkata lantang sementara sikap bermusuhannya kian tampak jelas,
"Urat Setan! Perguruanmu
tak pernah punya persoalan dengan perguruanku. Selama ini kami selalu
menghindari bentrokan dengan perguruanmu, karena kita satu Eyang Guru, satu
aliran silat. Tapi jangan anggap hal itu disebabkan karena pihak perguruanku takut
kepadamu, Urat Setan! Jika sekarang kau membuat persoalan denganku, maka akan
kutumpas habis seluruh anggota perguruanmu yang kudengar mulai mempunyai aliran
menyimpang dari ajaran Eyang Guru Resi Demang Sudra!"
Pendekar Mabuk kembali
membatin, "Berani amat Lancang Puri mengancam seperti itu? Lagi pula, ia
membawa-bawa nama Resi Demang Sudra, apakah ada hubungannya dengan Eyang
Begawan Demang Budana atau Nyai Demang Ronggeng?" (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Keris Setan Kobra" dan "Tandu Terbang").
Tokoh tua yang benar-benar
tidak sebanding jika melawan perempuan semuda itu, ternyata masih tetap
berpenampilan dingin, seakan tak punya perasaan apa pun. Pandangan matanya
tampak datar dalam menatap Lancang Puri. Kedua tangannya terlipat di dada.
Berdirinya tetap tegak, bagaikan tonggak batu yang tak akan tumbang walau
diterjang badai besar.
"Tak perlu banyak
sesumbar Lancang Puri. Yang kuinginkan hanyalah pusaka itu. Serahkan padaku dan
aku tak akan mengganggumu lagi!"
"Pusaka apa?!"
Lancang Puri berkerut dahi walau bernada kesal. "Aku tak tahu arah
pembicaraanmu, Urat Setan!"
"Jika begitu, aku harus
membuatmu tahu dengan kekerasanku!"
"Sejak tadi sudah
kutunggu tindakan jantanmu, Urat Setan. Mengapa justru kau berhenti
menyerangku? Apakah kau ingin menyerangku dari belakang lagi?"
"Sungguh bocah dungu tak
tahu dikasih ampun kau ini!" geram Urat Setan, tiba-tiba ia sentakkan
kedua tangannya ke samping, membentang lebar-lebar, lalu telapak tangannya
saling beradu di depan dada. Plakkk...! Dari ujung perpaduan kedua telapak
tangan itu melesat sinar merah yang menerjang dada Lancang Puri. Claapp...!
Selarik sinar merah itu besarnya seukuran kelingking. Gerakannya sangat cepat,
walau ternyata masih kalah cepat dengan gerakan Lancang Puri yang bagai tanpa
menghentakkan kaki tahu-tahu sudah melesat ke atas dan bersalto maju dua kali.
Wuusss! Wut, wutt...!
Jlaabb...! Durrb...!
Sinar merah menghantam pohon besar, bunyi
ledakannya bagai punya peredam. Tak menggelegar, namun cukup membuat pohon besar
itu tumbang dalam terpotong-potong menjadi puluhan bagian. Beerrk...! Pohon itu
menumpuk tanpa menimbulkan suara keras.
"Maut juga sinar merahnya
itu!" gumam Suto dalam hati, namun matanya segera berpindah ke arah tubuh
Lancang Puri yang bergerak turun dari udara tepat di depan Urat Setan. Pedang
perempuan itu menebas cepat ke berbagai sisi sehingga tak terlihat gerakan mata
pedangnya. Yang terdengar hanya desing suara tebasan bagal hembusan angin
kencang terpotong-potong. Wus, wus, wus, wus!
Blaabb...!
Tiba-tiba seberkas sinar putih
lebar menghantam tubuh Lancang Puri. Rupanya tebasan pedang itu dapat dihindari
oleh gerakan kilat Urat Setan yang tidak bergeser dari tempatnya kecuali meliuk
ke kanan, kiri, dan belakang. Tak satu pun ada tebasan yang kenai sasaran.
Sebaliknya justru Urat Setan dapat memukul Lancang Puri dengan pukulan tenaga
dalam bersinar putih silau keluar dari telapak tangannya.
Akibat pukulan itu, tubuh
Lancang Puri tersentak kuat-kuat, melayang ke belakang bagaikan daun kering terhempas
badai, ia tak dapat menjaga keseimbangan tubuhnya, akhirnya jatuh terpuruk
tepat di dekat pohon yang terpotong menjadi beberapa puluh bagian itu.
Bruukk...!
"Wah, matilah perempuan
itu!" pikir Suto agak tegang.
Tapi ternyata dugaan hati
Pendekar Mabuk masih salah. Dalam beberapa kejap saja Lancang Puri sudah mampu
berdiri tegak walau mulutnya melelehkan darah tak seberapa banyak. Itu sudah
merupakan tanda, Lancang Puri terluka bagian dalamnya. Agaknya luka itu tak
dipedulikan dan tak mengurangi ketegarannya, ia berdiri dengan kedua kaki agak
renggang dan pedang masih di tangan kanannya.
Pedang itu segera disabetkan
ke depan. Wuusss...! Urat tubuhnya yang mengencang menandakan tenaga dalamnya
sedang disalurkan menyentak ke pedang tersebut. Dan dari pedang itu keluarlah
puluhan jarum emas yang menyerang ke tubuh Urat Setan. Jarum-jarum emas itu
bagaikan disemburkan dari ujung pedang yang runcing lurus itu. Zraabb...!
Entah berapa jumlah jarum yang
melesat dari ujung pedang itu, Suto Sinting tak sempat menghitungnya. Namun
yang jelas jarum-jarum emas itu menyambar lebar bagai hendak mengurung tubuh
Urat Setan. Apa yang terjadi jika jarum-jarum kuning emas itu mengenai tubuh
Urat Setan? Suto juga tak tahu, karena ternyata Urat Setan sudah berpindah tempat
dengan cepat dan nyaris tak terlihat gerakannya, sehingga jarum-jarum itu
menancap di beberapa pohon.
Jraabbb...!
Tiga pohon yang menjadi
sasaran jarum-jarum emas itu tiba-tiba berubah warnanya dari hijau menjadi
coklat, dan kian lama cepat berubah menjadi hitam. Daun- daunnya rontok dalam
keadaan kering garing. Tiga pohon itu dalam waktu dua helaan napas sudah
berubah menjadi kayu bakar yang berasap dan masih berdiri menunggu angin
kencang menumbangkannya.
"Gila! Pohon itu langsung
menjadi arang. Alangkah dahsyatnya jarum-jarum itu. Untung Urat Setan mampu
bergerak secepat kilat, sehingga selamat dari ancaman hangus jarum-jarum emas
itu!" pikir Suto terbengong kagum.
Gerakan Urat Setan yang amat
cepat itu membuat Lancang Puri nyaris terlambat bergerak, karena tiba-tiba dari
arah sampingnya melesat sinar merah berbentuk pisau terbang, jumlahnya tiga
sinar yang menerjang berjejeran. Sraabb...! Sinar merah berbentuk pisau terbang
itu keluar dari lengan berjubah longgar yang disentakkan ke depan. Wuuttt...!
Tubuh Urat Setan tahu-tahu
seperti menghilang, padahal bergerak sangat cepat dan kini sudah berdiri di
sebelah kirinya Lancang Puri. Pada waktu itu Lancang Puri sedang sibuk
menghindari sinar merah berbentuk pisau itu. Di luar dugaannya ia sudah diserang
lagi dari sisi yang berlawanan dengan sinar merah yang sama, berbentuk tiga
pisau terbang. Claapp...!
Boleh jadi Lancang Puri dapat
hindari sinar merah dari kanannya, tapi ia tak akan bisa hindari tiga sinar
merah dari sebelah kirinya yang mempunyai jarak lebih dekat dan kecepatan lebih
tinggi dari sinar sebelah kanan. Lancang Puri pasti terkena sinar dari sebelah
kirinya itu. Mungkin akan mati hancur atau hangus atau entah bagaimana saja
hasilnya, yang jelas menurut dugaan Suto perempuan itu akan mati di tangan Urat
Setan.
Merasa sayang melihat
perempuan cantik mati dalam keadaan terdesak, Suto Sinting beranikan diri
melepaskan pukulan jarak jauhnya yang bernama jurus 'Tangan Guntur'. Kedua
tangan disentakkan ke depan dari atas pohon, lalu melesat sinar biru bagaikan
kilat dan menyambar tiga sinar merah berbentuk pisau terbang itu. Claappp...!
Blaarr...!
Urat Setan terpelanting karena
sentakan gelombang ledak itu sampai
tubuhnya berputar empat kali dan menabrak pohon. Bruusss...! Sedangkan Lancang Puri
terpental dalam keadaan tubuh melayang dan jatuh terjungkal, hampir saja
pedangnya menembus perut sendiri. Di sana ia terkapar dan mengerang lirih.
"Jahanam kau, Lancang
Puri!" seru Urat Setan yang kini nyata-nyata tampak marah. "Rupanya
kau telah kuasai ilmu 'Pantulan Cakra' secara diam-diam! Tunggu aku di sini!
Akan kuambilkan Cermin Neraka untuk melawanmu!"
Wuuttt...! Urat Setan melesat
pergi dengan cepat. Namun Suto Sinting melihat jenggot orang itu terbakar
sebagian dan wajahnya pucat pasi.
*
* *
2
SETIDAKNYA Lancang Puri akan
menderita luka parah yang mengancam jiwa jika sinar merah itu tidak segera dipatahkan oleh Pendekar Mabuk.
Lancang Puri juga akan sekarat dan mati jika Pendekar Mabuk tidak segera muncul
dari persembunyiannya dan memberikan pertolongan dengan tuaknya. Karena
perempuan itu meneguk tuak dari bumbung dengan cara terpaksa, maka luka dalam
yang dideritanya itu lenyap dalam beberapa saat, tubuhnya menjadi segar
kembali.
Melihat siapa yang
menolongnya, Lancang Puri memandang dengan sikap ragu dan heran. Akhirnya
tercetus pula kata tanya yang mewakili keheranan dan keraguan dalam hatinya
itu,
"Apakah kau yang bernama
Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang kesohor itu?"
Dengan senyum ramah menawan
hati, pendekar tampan itu berkata, "Namaku memang Suto Sinting, gelarku
memang Pendekar Mabuk, namun aku bukan orang kesohor. Aku orang biasa-biasa
saja."
"Oh, syukurlah aku bisa
jumpa kau," ucap Lancang Puri dengan wajah kian menjadi cerah ceria.
Hatinya membatin, "Tak kusangka akhirnya aku akan berhadapan muka dengan
pendekar yang digembar-gemborkan ketampanannya itu. Dan ternyata memang tampan,
pantas jika para tokoh wanita di rimba persilatan banyak yang menyanjung dan
membicarakannya. Kuakui dia memang tampan dan
sangat menawan hati, tapi haruskah aku seperti wanita lain yang selalu
ingin berdekatan dengannya? Oh, tidak! Aku tidak boleh sama seperti
mereka!"
Hati membatin demikian, tapi
mulut berkata lain, "Apakah kau yang menolongku? Maksudku, kau yang
selamatkan aku dari serangan Urat Setan tadi?"
Dengan canda Suto menjawab,
"Bukan. Mungkin orang lain." Tapi tentu saja Lancang Puri tidak
percaya dan mengerti jawaban itu hanya sebuah kelakar. Lancang Puri membalas
kelakar itu dengan tawa kecil, senyum lembut yang tipis. Senyum itu yang
membuat kecantikannya terlipat ganda dan mendebarkan hati.
"Terima kasih atas
pertolongan dan penyelamatanmu ini. Aku tak tahu dengan cara bagaimana harus
membalas budi baikmu ini, Pendekar Mabuk."
"Kurasa dengan
menceritakan siapa dirimu, kau sudah membalas budi baik yang kau maksud itu,
Lancang Puri."
"Oh, aku baru saja mau
ceritakan siapa aku, tapi ternyata kau sudah tahu namaku? Bagaimana mungkin kau
bisa mengetahuinya, Pendekar Mabuk?"
"Kudengar percakapanmu
dengan si Urat Setan itu. Kudengar ia memanggilmu dengan nama Lancang
Puri."
Perempuan itu sempat membatin,
"Dia cukup cerdas. Kurasa aku harus hati-hati jika bicara dengannya."
Perempuan yang mempunyai
kecantikan matang itu berkata pula, "Aku memang punya persoalan sedikit
dengan Urat Setan. Repotnya, jika aku berhadapan dengannya, hatiku selalu tak
tega untuk membunuhnya. Bagaimanapun juga kami sebenarnya masih satu aliran
ilmu silat warisan Eyang Guru kami."
"Resi Demang Sudra?"
"Benar," jawab
Lancang Puri sambil membatin, "Ah, dia benar-benar tahu segalanya kalau
begitu."
"Siapakah Eyang Guru Resi
Demang Sudra itu?" tanya Suto Sinting dengan sorot pandangan mata lembut
penuh persahabatan tertuju ke wajah Lancang Puri. Tambah Suto lagi,
"Apakah ada hubungannya dengan Begawan Demang Buwana dan Nyai Demang
Ronggeng?"
Lancang Puri justru terkesiap.
"Kau mengenal nama mereka berdua?" katanya lirih bagai menggumam.
"Aku pernah bertemu
dengan mereka," jawab Suto dengan kalem. Jawaban itu membuat Lancang Puri
kian terkesiap dan merasa heran.
"Jika kau bertemu dengan
Nyai Demang Ronggeng, Itu hal yang wajar dan sangat memungkinkan, karena Nyai
Demang Ronggeng adalah adik bungsu dari delapan bersaudara. Tapi aku tak yakin
mendengar pengakuanmu, bahwa kau pernah bertemu dengan Eyang Begawan Demang
Buwana, sebab menurutku beliau sudah meninggal sebelum kau lahir. Eyang Guru
Resi Demang Sudra adalah adik kedua Eyang Demang Buwana. Ketika aku diangkat
sebagai murid dari Resi Demang Sudra, kakak beliau itu sudah tiada. Sudah lama
moksa."
"Aku tak begitu berharap
kau mempercayai pengakuanku itu, karena memang aku sendiri kaget ketika diberi
tahu bahwa Begawan Demang Buwana itu sebenarnya sudah lama meninggal sebelum
pertemuanku dengan beliau itu. Yang ingin kutanyakan, apakah Urat Setan itu memang
benar satu guru denganmu?"
"Ya. Tapi dia jauh lebih
lama menjadi murid Eyang Guru Resi Demang Sudra. Bahkan ketika ia murtad dan
terusir dari padepokan, aku belum menjadi murid Resi Demang Sudra, itulah
sebabnya kuakui ilmuku dibawah ilmu si Urat Setan, karena hampir semua Ilmu
Eyang Guru diwariskan padanya. Tapi ada beberapa ilmu andalan yang tidak
diwariskan kepadanya, melainkan diwariskan kepadaku. Jadi aku merasa berani dan
merasa mampu jika harus bertarung melawan Urat Setan."
"Kudengar ia menghendaki
sebuah pusaka darimu. Kalau boleh kutahu, pusaka apa itu?" tanya Suto
setelah diam beberapa kejap.
Lancang Puri tidak langsung
menjawab, ia memandang keadaan sekeliling, bagaikan ingin mencari letak biara
yang hilang. Bahkan ia perdengarkan suaranya yang mirip orang menggumam itu,
"Aneh sekali. Mengapa
tidak ada di sini?"
"Maksudmu... Biara
Damai?" sahut Suto.
Perempuan itu cepat palingkan
wajah pandangi Pendekar Mabuk.
"Apakah kau tahu tentang
Biara Damai?"
"Aku juga kenal dengan
Pendeta Mata Lima."
"Oh, kalau begitu...
kalau begitu kau tahu di mana kakekku itu berada?"
"Kakekmu? Maksudmu
Pendeta Mata Lima itu?"
"Benar. Beliau adalah
kakekku yang sudah lama tidak kutengok. Tapi ketika aku datang ke sini,
sepertinya aku salah alamat. Mengapa di sini tidak ada bangunan biara dengan
kuil-kuilnya? Padahal seingatku bangunan itu dulu ada di sini, di tanah lapang
ini. Seandainya pindah, setidaknya sisa petilasannya ada walau hanya berupa
tonggak batu. Mengapa kenyatasnnya tanah ini menjadi bersih tanpa jejak
petilasan biara itu?"
"Biara Damai telah
hancur, hangus menjadi arang, dan lenyap secara aneh bersama korban-korban yang
bergelimpangan di sana-sini, termasuk Pendeta Mata Lima."
"Oh...?! Benarkah itu,
Suto?!" Lancang Puri terbelalak kaget dengan mata melebar dan mulut
ternganga kecil.
"Waktu aku tiba di sini
beberapa saat sebelum kemunculanmu tadi, puing reruntuhan biara masih ada,
termasuk jenazah kakekmu. Tapi beberapa saat kemudian seberkas sinar kuning
datang dan menyebarkan kabut tebal, lalu kabut itu lenyap bersama petilasan
biara. Semua yang ada di atas tanah ini bagaikan tersedot ditelan bumi.
Seseorang telah melakukan hal itu dengan maksud yang tak kuketahui. Siapa
orangnya pun aku tak bisa menerkanya, karena setahuku musuh utama Pendeta Mata
Lima adalah Raja Tumbal. Tapi sekarang Raja Tumbal sudah tiada. Mengapa setelah
kematian Raja Tumbal justru bencana itu datang dengan sangat menyedihkannya
bagi Biara Damai? Aku turut berduka cita sedalam-dalamnya atas kematian kakekmu
itu, Lancang Puri."
Perempuan itu tundukkan kepala
dengan murung. Cukup lama ia membungkam mulut, bagaikan sedang meresapi sebuah
duka atas kematian seorang kakek.
"Lancang Puri," Suto
memecah kebisuan di antara mereka. "Kudengar tadi Urat Setan mau mengambil
Cermin Neraka, apa itu sebenarnya Cermin Neraka?"
Setelah menarik napas bagai
menyimpan duka, Lancang Puri menjawab, "Cermin Neraka adalah sebuah
senjata dari kaca yang dapat memantulkan serangan lawan sebelum serangan itu
melesat lebih jauh dari tangan lawan, ia menduga sinar biru tadi datang dari
pantulan mataku, sebab ia menyangka aku memiliki Ilmu 'Pantulan Cakra'. Padahal
Ilmu 'Pantulan Cakra' belum sempat diturunkan oleh Eyang Guru kepadaku, tapi
Eyang Guru sudah wafat lebih dulu."
Pendekar Mabuk menggumam lirih
sambil mangut-manggut. Lalu katanya, "Agaknya Urat Setan bernafsu sekali
ingin membunuhmu jika kau tidak serahkan pusaka yang dimaksud kepadanya. Aku
ingin tahu, pusaka apa itu?"
Perempuan itu menatap dengan
bibir terkatup. Sepertinya ada kebimbangan yang sedang dilawan dalam hatinya.
Sayang sekali sebelum ia menjawab pertanyaan yang sudah dua kali dilontarkan
Suto itu, tiba-tiba tubuhnya harus bergerak melesat. Tubuh berjubah putih itu
melenting di udara dan bersalto dua kali melintasi atas kepala Suto. Jleegg...!
Ia mendaratkan kedua kakinya tepat di belakang Suto, membuat pendekar tampan
itu cepat balikkan badan.
Ternyata Lancang Puri sedang
sentakkan tangan kirinya ke depan, sebuah sinar merah lebar melesat dari tangan
kanan itu. Sinar tersebut menyongsong datangnya sinar hijau lurus dari
segerombol semak ilalang.
Claapp...!
Blaarr...!
Sinar hijau itu dipecahkan
oleh sinar merah lebar, bunyi ledakannya cukup menggelegar pertanda kedua sinar
itu mempunyai tenaga dalam tinggi dan saling beradu di pertengahan jarak.
Hentakan gelombang ledaknya membuat tubuh Lancang Puri tersentak mundur. Hampir
saja jatuh kalau tidak segera diterima oleh kedua tangan Suto, sehingga
perempuan itu bagaikan jatuh dalam pelukan pendekar tampan.
Rupanya ada seseorang yang
ingin menyerang Pendekar Mabuk dari belakang. Kilatan cahaya hijau yang baru
sekelebat itu ditangkap mata Lancang Puri, lalu perempuan itu bergegas menahan
dan mematahkan sinar hijau yang ingin
membunuh Pendekar Mabuk. Menurutnya, jika ia tidak segera bertindak maka
Pendekar Mabuk akan dihantam sinar hijau itu, kecilnya akan terluka parah,
besarnya akan mati dalam keadaan tubuh hancur atau terbakar bagian dalamnya.
Lancang Puri merasa sayang jika pemuda tampan itu harus mati di depan matanya,
sehingga ia cepat lakukan penyelamatan sekaligus membalas hutang budinya
terhadap penyelamatan Suto atas dirinya tadi.
Padahal sebelum Lancang Puri
bergerak, Suto sudah rasakan ada sesuatu yang tak beres di belakangnya yang
membuat nalurinya memaksa untuk berpaling ke belakang. Hanya saja gerakan
berpaling ke belakang itu belum sempat dilakukan sudah didului oleh gerakan
terbang bersalto dari Lancang Puri. Maka Pendekar Mabuk pun hanya tersenyum
dalam hati, karena ia tahu perempuan tersebut bermaksud membalas budi baik yang
diterimanya tadi.
"Seseorang ingin
membunuhmu, ia berada di semak-semak sebelah timur itu!" kata Lancang
Puri. "Akan kupaksa keluar dengan caraku sendiri!" tambahnya.
Suto ingin mencegah, tapi
tangan Lancang Puri sudah lebih dulu bergerak cepat, menghentak ke depan
seperti tadi, dan sinar merah lebar melesat dari telapak tangannya. Sinar itu
menghantam semak ilalang rimbun.
Wuuttt...! Zaark!
Duaar...!
Wut, wut, wut...! Sesosok
tubuh melenting di udara dan bersalto tiga kali, keluar dari balik semak yang
kini sedang terbakar karena serangan sinar merah.
Seorang pemuda ganteng berdiri
di depan Suto dan Lancang Puri. Pemuda itu kenakan baju ungu satin, rapi, dan
bersih. Rambutnya yang ikal panjang dilapisi dengan ikat kepala dari lempengan
perak hias berwarna merah dan hijau. Pedang pendek di pinggang bersarung logam
kuningan ukir. Melihat kumis tipis pemuda itu, Suto merasa pernah bertemu
dengan orang tersebut. Setelah diingatkan sebentar, Suto pun segera tahu bahwa
pemuda itulah yang bernama Dewa Rayu, yang tempo hari diintip Suto hendak
bermesraan dengan gadis dari Ringgit Kencana, anak buah Rindu Malam yang
bernama Kusuma Sumi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Seruling
Malaikat").
"Apakah kau
mengenalnya?" tanya Lancang Puri berbisik di samping Suto.
"Namanya Dewa Rayu.
Putera raja Pengging yang dibuang, lalu menjadi muridnya Patih Janur Sulung di
Bukit Karangapus, tapi ia memihak perguruan Pasir Tawu karena setelah kematian
sang guru ia ikut dengan adik gurunya yang bernama Dwipajati alias si Jejak
Iblis."
"Jejak Iblis...!"
suara Lancang Puri menggeram bagai menyimpan dendam tersendiri. Suto segera
tambahkan bisikannya.
"Tapi orang yang bernama
Jejak Iblis itu sekarang sudah mati di tangan Rindu Malam, orang dari negeri
Ringgit Kencana."
Lancang Puri tampak
terperanjat sedikit dan cepat melirik Pendekar Mabuk. Tapi sang pendekar murid
Gila Tuak itu tetap tenang menatap Dewa Rayu yang juga berpenampilan tenang
namun bersikap sinis kepada Suto.
Terdengar Suto menyapa Dewa
Rayu yang pernah dibuatnya malu di depan Rindu Malam itu, "Apa maksudmu
menyerangku dari belakang, Dewa Rayu?"
"Biar kau mati!"
jawab Dewa Rayu dengan seenaknya, tapi segera lemparkan pandangan ke arah
Lancang Puri. Perempuan cantik yang selayaknya sudah bersuami itu menatap
dengan mata tak berkedip. Hatinya sempat membatin,
"Ganteng juga dia?! Aku
menyukai pria berkumis tipis seperti dia. Tapi... ah, lupakan saja dulu. Ada
hal lain yang harus kupikirkan dengan sungguh-sungguh.Tak mau tercampur aduk
oleh perasaan asmaraku."
"Mengapa kau inginkan
kematianku, Dewa Rayu?" tanya Suto setelah meneguk tuaknya beberapa kali.
"Karena kau adalah
satu-satunya orang yang menjadi penghalangku."
"Penghalang dalam hal
apa?"
"Jika tak ada kau, Rindu
Malam akan jatuh dalam pelukanku."
Suto Sinting sungglngkan
senyum geli. "O, rupanya kau punya
hati kepada Rindu Malam?"
"Aku mencintainya dan
ingin mengawininya."
"Bagus. Itu sikap seorang
lelaki yang jantan," kata Suto sambil menghabiskan sisa senyumnya.
"Karena itu," kata
Dewa Rayu, "Kita harus bertarung pertaruhkan nyawa untuk tentukan siapa
yang berhak menjadi suami Rindu Malam!"
"Tunggu...," Suto
belum selesai bicara, tahu-tahu Dewa Rayu berkelebat cepat menerjang Pendekar
Mabuk dengan gerakan tubuh memutar cepat. Kakinya menampar wajah Pendekar
Mabuk. Plookk...! Wuuttt...! Pendekar Mabuk nyaris terlempar bagaikan sehelai
daun kering. Tendangan itu cukup keras. Tapi urat di wajah Suto cepat
mengencang dan membuat tendangan keras itu tidak menyakitkan kecuali hanya
menyentak dan membuatnya terhuyung-huyung ke samping belakang.
Sebenarnya Pendekar Mabuk bisa
saja menangkis tendangan itu. Tapi ia merasa tak perlu lakukan karena sempat
melihat tangan Lancang Puri berkelebat menahan gerakan kaki Dewa Rayu. Suto tak
sangka kalau tangkisan Lancang Puri ternyata meleset dan akhirnya tendangan itu
kenai wajah Suto. Namun hati Pendekar Mabuk masih bersabar dan tak merasa sakit
hati, sebab ia tahu bahwa Dewa Rayu salah anggapan, menyangka Rindu Malam
kekasih Suto.
Tetapi agaknya tindakan itu
tidak bisa diterima di hati Lancang Puri. Serangan Dewa Rayu yang kenai wajah
Suto membuat Lancang Puri marah, karena merasa sayang jika Suto diserang orang.
Menurut Lancang Puri, ketampanan Suto sungguh lebih menawan dan seperti bola
kristal yang amat disayangkan jika disentuh dengan kasar. Sebab itulah Lancang
Puri segera membalaskan serangan yang mengenai wajah Suto itu dengan sebuah
tendangan kaki bergerak memutar cepat ke udara. Dengan melompat ke atas, tubuh
berputar cepat, kedua kakinya pun berhasil menampar wajah Dewa Rayu secara
berturut-turut. Plak, plak, plak!
Dewa Rayu terpelanting tak
tentu arah. Wajahnya bagai dihantam godam. Pandangan matanya sempat gelap
sesaat. Pada saat itulah Lancang Puri menerjang Dewa Rayu dengan tendangan
menyerupai seekor kuda betina mengamuk.
Bruusss...! Kuuuttt...!
Bluugh...!
Tubuh Dewa Rayu tahu-tahu
terkapar di bawah pohon yang jaraknya tujuh langkah dari tempatnya semula, ia
mengerang lirih sambil berusaha bangkit dengan wajah menyeringai. Dadanya
dipegangi karena merasa sakit, seolah-olah tulang dadanya remuk karena
tendangan terakhir tadi.
"Lancang Puri! Tahan
seranganmu!" seru Suto Sinting, karena ia melihat Lancang Puri bergegas
hendak lakukan serangan lagi kepada Dewa Rayu. Seruan itu berhasil menahan
gerakan Lancang Puri, sehingga perempuan itu hanya hempaskan napas panjang
sambil tetap pandangi Dewa Rayu.
"Dia salah pengertian,
Lancang Puri. Jangan layani serangannya."
"Aku jengkel
dengannya!" geram Lancang Puri.
"Setelah kutahu namanya, baru kuingat bahwa dia pernah
mempermainkan cinta anak buahku dan membuat anak buahku itu mati bunuh diri
karena cintanya dikhianati oleh tikus itu!"
"Tahan amarahmu,"
kata Suto pelan bernada sabar.
"Ingin rasanya aku meremukkan mulut dan
leher si mata keranjang itul"
Rupanya ucapan tersebut
didengar oleh Dewa Rayu yang sudah berdiri dan mengendalikan rasa sakit dengan
tarikan napasnya beberapa kali. Dewa Rayu pun segera berkata penuh kegeraman
dan kejengkelan,
"Jangan sesumbar di depanku,
Perempuan gatal! Aku bisa membuatmu bertekuk lutut di depanku dan mengemis
cinta padaku!"
"Semudah itukah kau
membayangkannya?! Hmm..., Justru kau yang akan merangkak di depanku dan
menangis-nangis memohon kehangatan dariku!"
"Kalau begitu kita buktikan
siapa yang akan mengemis cinta di antara kita! Hiaaatt...!" Dewa Rayu
melompat maju sambil menyentakkan tangan kirinya dalam keadaan telapak tangan
terbuka. Dari telapak tangan itu menyembur asap kuning tipis ke arah wajah
Lancang Puri.
"Racun Kuda Binal!"
seru Dewa Rayu pada saat asap kuning itu menyembur.
Rupanya Lancang Puri tak mau
kalah, ia pun segera sentakkan tangan kanannya yang berjari lurus dan rapat,
bagai menusukkan sebilah pedang. Wuuttt...!
"Racun Edan Cumbu!"
seru Lancang Puri bersamaan menyemburnya asap hijau dari ujung jari-jarinya.
Wuusss...! Asap itu menerpa asap kuningnya Dewa Rayu. Wajah pemuda itu bagaikan
disambar asap tersebut, sedangkan wajah Lancang Puri juga diterpa asap kuning.
Pada saat kedua asap itu saling bertabrakan di pertengahan jarak, memerciklah
bunga api berbintik-bintik mirip ratusan kunang-kunang, namun segera lenyap
setelah kedua asap itu tetap melesat ke arah masing-masing.
Suto Sinting berkerut dahi
dari tempatnya, ia sempat melompat mundur karena tak mau diterpa asap dari
siapa pun. Bahkan ia juga menahan napas beberapa saat supaya asap itu tidak ada
yang terhirup masuk ke pernapasannya. Sebab dalam benak Pendekar Mabuk segera
berpikir, "Kedua asap beracun, mungkin sangat berbahaya. Kalau aku ikut menghirup
asap itu, aku pun bisa jadi korban kedua racun tersebut."
Kini Pendekar Mabuk sengaja
berdiri di bawah pohon sambil menenggak tuak, sebagai sikap jaga-jaga
kalau-kalau ada uap racun yang terhirup maka tuaknya akan menawarkan racun
tersebut. Setelah itu, Pendekar Mabuk jadi berkerut dahi memandangi Dewa Rayu
dan Lancang Puri.
"Aneh...?! Kok mereka
jadi begitu?" pikir Suto Sinting.
Dewa Rayu berdiri tegak
memandangi lurus ke arah Lancang Puri. Perempuan itu pun berdiri tegak
menampakkan sikap tegasnya dan tak mau menyerah kalah. Tetapi kejap berikutnya,
mata Dewa Rayu menjadi redup, mata Lancang Puri menjadi sayu. Keduanya melangkah
pelan-pelan menempuh jarak yang sebenarnya bisa dicapai dalam empat langkah
saja.
Setelah jarak mereka kurang
dari satu langkah, mereka sama-sama berhenti. Suto Sinting melihat Dewa Rayu
mulai bernapas tidak teratur. Keringatnya mulai tersumbul berbintik-bintik di
kening, pelipis, dan sekitar hidung. Lancang Puri sendiri kelihatan menahan
sesuatu yang bergejolak dalam hatinya, ia tampak berjuang mengalahkan sesuatu
yang bergejolak itu sampai-sampai kedua tangannya menggenggam dengan gemetar.
Napasnya pun mulai tampak tidak teratur. Lalu, Pendekar Mabuk mendengar suara
pelan yang diucapkan oleh Dewa Rayu,
"Kau... kau menggairahkan
sekali, Sayangku."
Lancang Puri membalas dengan
ucapan lembut yang lebih lirih, "Kau pun... kau pun demikian. Oh...
peluklah aku. Peluklah, lekas...!" rintihnya pelan.
Tangan Dewa Rayu bergerak
pelan, ragu-ragu, sementara Lancang Puri memandang penuh gairah dengan
menggigit bibir beberapa kali. Akhirnya karena Dewa Rayu hanya menyentuh kedua
pundaknya saja, Lancang Puri menerkam tubuh pemuda berkumis tipis itu. Ia
memeluk dengan penuh ungkapan gairah. Pelukan itu disambut hangat oleh Dewa
Rayu. Wajah Lancang Puri diciuminya dengan penuh nafsu. Bibir perempuan itu
dilumat habis, dan perempuan itu pun melumat pula dengan lebih bersemangat
lagi. Tangan mereka mulai meremas apa saja yang bisa mendatangkan rasa nikmat,
sampai-sampai Lancang Puri membantu Dewa Rayu melepaskan jubah yang dipakainya.
"Gawat...?!" pikir
Suto dalam ketegangan. "Keduanya jadi bergairah?! Itu berarti keduanya
saling terkena racun masing-masing. Lancang Puri terkena asap Racun Kuda
Binal-nya Dewa Rayu, dan Dewa Rayu terkena asap Racun Edan Cumbu-nya Lancang
Puri. Akhirnya keduanya sama-sama bertekuk lutut dan saling bergairah. Ya,
ampuuun... mimpi apa aku semalam sehingga siang ini punya tontonan gratis
seperti ini?!"
Suto Sinting sendiri hanya
tersenyum-senyum geli dengan jantung berdebar-debar karena memandangi mereka
berdua sudah sama-sama berada di permukaan tanah berumput, saling bercumbu dan
bergulat walau
belum tiba pada puncak
keinginan. Mereka masih sama-sama kenakan pakaian walau sudah berantakkan tak
seperti semula.
"Mau dipisah, sayang.
Tidak dipisah, jalang. Ah, serba bingung kalau begini, serba salah aku
jadinya!" pikir Suto dengan jengkel sendiri.
Wuutt...! Tiba-tiba sesosok
bayangan hitam menyambar tubuh dan jubah Lancang Puri ketika Dewa Rayu berada
dibawahnya. Suto Sinting sempat kaget dan tak menduga kalau ada orang yang tega
lakukan hal itu. Tentu saja Dewa Rayu berteriak berang karena kemesraannya
terputus.
"Bangsat! Mau dibawa ke
mana kekasihku itu!"
Lancang Puri berteriak pula,
"Lepaskan aku! Aku ingin dalam pelukannya! Lepaskan aku, Bibi!"
Perempuan itu bagai ingin menangis.
Perempuan tua, berpakaian
serba hitam dan berusia sekitar lima puluh tahun itu segera mengenakan jubbah
putih ke tubuh Lancang Puri sambii membentak, "Ada tugas lain, Lancang
Puri! Kita harus cepat tangani!"
"Tidak! Tidak... mau! Aku
ingin dalam pelukan Dewa Rayu. Aku cinta kepadanya, Bibi! Lepaskan
aku...!"
Dewa Rayu pun bergegas merebut
Lancang Puri sambil berseru, "Lepaskan kekasihku atau kubunuh kau, Nyai
Gandrik! Hiaaat...!"
Wuutt...!
Claap...! Dess...!
Sinar merah kecil melesat dari
tangan orang yang dipanggil dengan nama Nyai Gandrik itu. Sinar tersebut membuat
Dewa Rayu tersentak ke tempat semula dan mengerang panjang dengan dada bagaikan
terbakar hebat bagian dalamnya.
"Aaaahh...! Lancang
Puri... peluklah aku! Peluklah aku, Puriii...!"
"Dewa Rayu... aku ikut!
Aku ikut kau! Ambillah aku, Sayang...!"
Lancang Puri yang
meronta-ronta saat dibetulkan letak pakaiannya itu akhirnya ditotok oleh Nyai
Gandrik.
Teess...!
"Racun Kuda Binal memang
berbahaya bagimu, Lancang Puri! Aku harus segera menawarkan racun itu dulu!
Ingat pusaka itu, Lancang Puri! Ingat!"
Weesss...! Lancang Puri
dipanggul dan segera dibawa pergi oleh perempuan bersanggul utuh dengan rambut
bercampur uban sebagian. Sementara itu Dewa Rayu masih menggeliat dan
mengerang-erang bagaikan merasakan luka bakar di dalam dadanya.
Suto Sinting hanya
geleng-geleng kepala memandangi kejadian itu sambil menggumam lirih,
"Siapa perempuan yang
dipanggil sebagai Bibi dan oleh Dewa Rayu dipanggil Nyai Gandrik itu? Ia juga
menyebut-nyebut pusaka. Hmm... pusaka apa sebenarnya? Aku jadi penasaran
sekali. Tapi, oh... hampir saja aku lupa. Dewa Rayu butuh pertolongan. Racun
Edan Cumbu itu agaknya akan semakin menghancurkan tubuhnya yang terkena pukulan
sinar merahnya Nyai Gandrik tadi!"
Pendekar Mabuk segera bergegas
hampiri Dewa Rayu. Tapi pemuda berkumis tipis itu justru mendelik dan berteriak
keras,
"Minggir kau! Kau bukan
Lancang Puri, tak pantas memelukku. Minggir!"
"Siapa yang mau
memelukmu?!" sentak Suto agak jengkel.
"Aku tak mau bercumbu
denganmu!"
"Aku juga tak mau! Kau
kira aku sudah gila?! Mau diobati malah menuduh yang bukan-bukan." gerutu
Suto sambil mencoba memaklumi keadaan yang terjadi.
*
* *
3
RACUN Edan Cumbu ternyata
cukup berbahaya. Sulit ditawarkan dengan tuaknya Suto. Sudah tiga kali Suto
berhasil paksa Dewa Rayu untuk meminum tuaknya, tapi Dewa Rayu masih berceloteh
menyebut-nyebut nama Lancang Puri. Bahkan Dewa Rayu sempat menangis seperti
anak kecil, duduk di tanah sambil menyentak-nyentakkan kakinya.
"Aku ingin dipeluk
Lancang Puri. Aku ingin dicium dia! Aku tidak mau dicium sapi, aku mau dicium
dia!' Lancaaang...! Lancang Puriii...! Aku rindu padamu, Sayangku. Oooh... di
mana kau sayang...?!"
"Celaka!" pikir Suto
Sinting. "Ternyata Racun Edan Cumbu sulit disembuhkan. Lebih berbahaya
dari Racun Kuda Binal-nya pemuda malang ini. Hmmm... bagaimana cara menawarkan
racun itu?"
Selagi Suto berpikir dalam
renungannya, tiba-tiba Dewa Rayu bangkit dan melepaskan bajunya. Suto Sinting
kaget dan buru-buru mencegah,
"Hei, mau apa kau melepas
baju?! Jangan dilepas! Memalukan!"
"Persetan dengan
laranganmu, Beruk Hitam! Aku mau tidur bersama Lancang Puri. Aku mau bercumbu
dengannya."
"Tapi di sini tidak ada
Lancang Puri!"
"Itu...! Itu dia ada di
situ!"
"Mana? Itu pohon kapuk
randu. Batangnya berduri. Kalau kamu memeluknya dan bercumbu dengannya, tubuhmu
bisa tercabik-cabik!"
"Omong kosong!"
bentak Dewa Rayu sambil menghindari jangkauan tangan Suto. "Nah, itu
dia...! Itu Lancang Puri lari ke sana!" sambil Dewa Rayu menuding seekor
landak jantan yang berkelebat masuk ke semak-semak. "Lancaaang...!"
Teriaknya sambil melompat masuk ke semak-semak. Bruusss...!
"Aaaa...!" Dewa Rayu
berteriak, keluar dari semak tubuhnya berdarah terutama bagian kedua lengannya.
Karena ketika ia menerkam makhluk yang dianggap Lancang Puri itu, ternyata yang
diterkam dan dipeluknya adalah seekor landak berduri tajam.
Sambil meraung kesakitan, Dewa
Rayu berlari-lari menuju tempat tak pasti. Gerakannya cepat sekali, sambil
sebentar-sebentar terdengar suaranya yang memanggil-manggil Lancang Puri. Suto
Sinting yang melihat keadaan itu menjadi sangat kasihan, maka ia segera
menyusul Dewa Rayu.
"Bocah itu harus
diselamatkan. Jika tidak, bisa-bisa ia menjadi seorang pemerkosa berdarah
dingin. Kebutuhan batinnya-yang menggila karena racun itu dapat membuatnya beranggapan
setiap wanita adalah Lancang Puri!"
Suto Sinting memang tidak
pergunakan gerak siluman yang mampu berlari dan bergerak secepat badai, dua
kali kecepatan anak panah yang melesat dari busurnya. Suto hanya berlari biasa,
karena menganggap Dewa Rayu tak akan berlari cepat. Tapi ternyata Suto
kehilangan jejak pemuda berkumis tipis itu, sehingga tiba di suatu tempat,
matanya memandang ke sana-sini dengan clingukan. Ia menyimak suara, tapi tak
ada seruan Dewa Rayu yang memanggil-manggil Lancang Puri.
"Ke mana bocah itu?"
pikir Suto sambil melangkah yang akhirnya membawanya tiba di sebuah pantai.
Pandangan matanya dilemparkan ke arah lautan. Tak ada siapa-siapa di lautan
sana. Dewa Rayu tak tampak di sela-sela karang atau di atas bebatuannya.
Tetapi tiba-tiba gelombang
panas datang dari arah belakang Suto Sinting. Dengan cepat Suto Sinting lakukan
lompatan ke atas dan bersalto satu kali. Wuuuttt...! Jleeg...! Dalam kejap
berikutnya ia sudah berdiri di atas gugusan batu karang yang permukaannya
datar. Gelombang hawa panas itu menghantam gugusan batu karang yang tumbuh di permukaan air
laut. Duaaarr...! Gugusan batu karang itu pecah menyebar dan tak terlihat lagi
wujudnya.
Ternyata penyerangnya itu
adalah Urat Setan yang segera muncul dari balik sebuah pohon besar. Rupanya
Urat Setan saat lari dari pertarungan dengan Lancang Puri tidak pergi jauh,
melainkan bersembunyi di suatu tempat untuk mengintai apakah Lancang Puri mati
atau luka parah. Ternyata Urat Setan semakin tertarik dengan pengintaiannya setelah
tahu bahwa sinar biru yang menghancurkan sinar merahnya itu ternyata berasal
dari tangan Pendekar Mabuk. Dan baru kali itu ia tahu sosok Pendekar Mabuk yang
dikenalnya dari mulut orang-orang persilatan. Rasa kecewanya atas ikut
campurnya Suto dalam pertarungan dengan Lancang Puri membuat Urat Setan mencari
kesempatan baik untuk membalas Dan ternyata di pantai itulah Urat Setan merasa
memperoleh kesempatan bagus untuk melepaskan pembalasannya.
"Tak perlu berbasa-basi
lagi, aku sudah tahu, bahwa kaulah orang yang mematahkan seranganku terhadap
Lancang Puri!" ucap Urat Setan dengan nada dingin.
"Aku hanya mencegah agar
di antara kalian jangan saling membunuh," kata Suto beralasan, lalu ia
cepat-cepat menenggak tuaknya.
Urat Setan merasa disepelekan
oleh sikap kalemnya Suto yang tidak punya rasa kaget dan takut atas
kemunculannya. Maka ketika Suto sedang menenggak tuaknya, sebuah pukulan
bersinar merah dalam bentuk pisau terbang dilepaskan. Claaapp...! Sinar merah
berbentuk pisau terbang itu menghantam pinggang Suto. Tetapi karena Suto
cepat-cepat turunkan bumbung tuaknya, maka sinar itu menghantam bumbung tuak
tersebut. Trak... deesss...!
Sinar merah itu berbalik arah
dengan gerakan lebih cepat. Bentuknya yang menyerupai pisau terbang itu menjadi
lebih besar, sehingga layak dikatakan berbentuk golok terbang. Hal itu sangat
mengejutkan Urat Setan, sehingga hampir saja orang itu mati karena sinarnya
sendiri kalau tak segera melompat ke samping dan berguling-guling di pasir
pantai.
Wuuuss...! Blegaarr...!
Dentuman keras menggema di
pantai itu. Dentuman tersebut terjadi karena sinar merah besar telah membentur
sebatang pohon di hutan pantai. Pohon itu pecah menjadi potongan-potongan
sebesar lengan bayi dan menumpuk di tempatnya. Kejadian itu membuat Urat Setan
tertegun memandanginya dan membatin,
"Gila! Bisa seperti itu
jadinya? Aku harus hati-hati melawan anak muda itu. Kalau perlu kutinggalkan
saja, karena tak punya urusan penting denganku!"
Tetapi agaknya Urat Setan
perlu mengatakan sesuatu kepada Suto Sinting,
sehingga dengan sikapnya yang kembali dingin itu, ia berseru dari tempatnya
yang berjarak sekitar tujuh langkah dari batu yang dipijak Suto.
"Pendekar Mabuk,
kusarankan agar lain kali kau tak perlu ikut campur dengan urusanku.
Pembelaanmu terhadap Lancang Puri adalah tindakan yang sia-sia. Kau akan kecewa
jika berada di pihaknya, karena Lancang Puri bukan perempuan baik-baik. Dia
perempuan keji yang mewarisi watak bibinya; Nyai Gandrik. Seperti kau ketahui
sendiri, Lancang Puri mempunyai Racun Edan Cumbu yang tak akan bisa disembuhkan
dengan obat penawar apa pun, seperti yang dialami pemuda yang tadi kau panggil
sebagal Dewa Rayu itu. Racun itu amat kejam. Dapat membuat penderitanya menjadi
gila cumbuan, gila gairah, tak segan-segan melampiaskan kepada siapa pun dan
apa pun. Dalam waktu kurang dari tiga hari Racun Edan Cumbu akan merusak urat
syaraf penderitanya. Bukan saja menjadi gila, namun juga menghancurkan hati,
jantung, paru-paru, dan limpanya!"
"Haruskah aku mempercayai
kata-katamu Urat Setan?!"
"Terserah dirimu! Tetapi
kau bisa buktikan kebenarannya. Tunggu tiga hari lagi, dan lihatlah nasib si
Dewa Rayu itu. Jika ia tidak terbunuh oleh orang lebih dulu, maka dalam tiga
hari kau akan temukan Dewa Rayu mati dalam keadaan membusuk dan berbelatung di
sekujur tubuhnya."
"Sebutkan obat
penawarnya. Kau pasti tahu, Urat Setan!"
"Tidak. Aku tidak tahu,
sebab Racun Edan Cumbu itu bukan milik guru kami, melainkan milik Nyai Gandrik,
bibinya Lancang Puri. Jika kau ingin mencari obat penawar racun itu, carilah
pada Nyai Gandrik. Tapi aku sangsi, mungkin kau tak akan mampu menghadapi
ilmunya yang lumayan tinggi itu."
Suto Sinting diam memandangi
lawannya dengan mata tajam tak berkedip. Ada beberapa pertimbangan yang
berkecamuk dalam benaknya. Namun sebelum ia sempat bicara, ternyata Urat Setan
lebih dulu berkata,
"Baiklah. Kita tak punya
urusan apa-apa. Jangan bikin persoalan lagi kepadaku, Pendekar Mabuk!"
"Tunggu!" sergah
Suto sambil lompat dari atas gugusan batu dan turun ke bumi. Langkah Urat Setan
yang ingin tinggalkan tempat itu menjadi terhenti, ia berpaling menatap Suto
kembali dengan sorot pandangan matanya yang dingin.
"Aku tahu kau dan Lancang
Puri memperebutkan sebuah pusaka. Aku ingin tahu, pusaka apa itu? Hanya sekadar
ingin tahu biar hatiku tak penasaran!"
"Aku bukan orang bodoh.
Kalau kau tahu, kau akan ikut memperebutkannya juga, Pendekar Mabuk. Aku tak
mau ada pihak lain yang ikut memperebutkannya!"
"Aku berjanji tidak akan
ikut memperebutkan pusaka itu jika kau memberitahukan padaku apa pusaka yang
kalian perebutkan itu?'
"Aku tak punya waktu
lagi! Aku harus segera susul Lancang Puri dan Nyai Gandrik sebelum mereka
kuasai pusaka itu secara nyata!"
Weesss...!
Setelah bicara begitu, Urat
Setan bagaikan menghilang. Gerakan kepergiannya disertai gerakan ilmu peringan
tubuh, sehingga ia seperti menghilang. Suto bisa saja mengimbangi gerakan itu,
tapi ia tak mau mengejar Urat Setan karena lebih tertarik merenungi kata-kata
Urat Setan tadi tentang Racun Edan Cumbu. Benarkah tak bisa ditawarkan?
Benarkah obat penawarnya hanya ada pada diri Nyai Gandrik?
Belum lama Urat Setan pergi,
muncul sekelebat bayangan dari arah berlawanan. Bayangan itu segera menjelma
menjadi sesosok tubuh gemuk dan beralis tebal. Seorang lelaki berwajah galak
itu mempunyai kumis lebat dengan kulit wajah hitam, bagaikan terlalu sering
terbakar sinar matahari. Matanya lebar dan rambutnya lebat, diikat dengan kain
biru separo selendang. Orang gemuk itu mengenakan pakaian serba hijau tua, tapi
bajunya tidak dikancingkan, sehingga dadanya yang berbulu tampak berminyak dan
membusung seperti sebongkah batu gunung yang amat keras, ia mengenakan gelang
akar bahar di tangan kirinya. Senjata yang ada di pinggangnya adalah sebilah
golok bergagang kepala singa. Usianya sekitar lima puluh tahun, tapi rambutnya
belum ada yang beruban.
"Angker sekali wajah
orang ini?" pikir Suto. "Kurasa dia orang yang galak dan berdarah
dingin. Mudah tersinggung dan mudah
mencabut nyawa orang. Wajahnya yang sadis itu dapat mengecilkan nyali lawan
sebelum bertarung dengannya. Hmm... tapi siapa orang ini? Aku merasa baru
melihatnya sekarang."
Mata lebar itu melirik ke
kanan-kiri sebentar, seakan memeriksa keadaan sekelilingnya demi keamanan jiwa.
Sebentar-sebentar ia mengusap kumisnya yang lebat dengan lagaknya yang
benar-benar menakutkan nyali orang awam.
"Apa maksudmu menemuiku
di sini, Paman?" Suto menyapa dengan sopan, walau penuh curiga dan waspada
terhadap orang tersebut.
"Aku mencari
seseorang," jawabnya. Dan Suto Sinting terkejut sekali serta menahan tawa
dalam hati.
"Ya, ampun...?! Suaranya
seperti suara perempuan manja?! Mirip gadis pingitan yang sedang kasmaran.
Idiih... amit-amit!" pikir Suto geli sendiri.
"Kenapa
tersenyum-senyum?" sambil orang itu mendekat dengan gaya perempuannya.
"Kenapa senyum-senyum terus, heh? Ih, benci aku!" lalu ia mencubit
lengan Suto Sinting. Cubitannya lembut, takterasa sakit, tapi justru sangat
menggelikan bagi Suto. Akhirnya Suto tak tahan dan ia pun tertawa dengan mulut
tertutup tangan sendiri.
Orang gendut berwajah sangar
itu cemberut, buang muka sebentar, dan melirik genit sambil tangannya bermain
ujung bajunya.
"Diajak bicara malah
cengengesan. Genit amat kau, Cah Bagus!" katanya sambil bersungut-sungut,
benar-benar mirip gadis yang sedang sewot.
Suto Sinting mencoba menahan
tawa, tapi senyum gelinya tak bisa hilang.
"Siapa namamu,
Paman?"
"Jangan panggil aku
paman, ah! Panggil saja... Bibi! katanya genit sekali. "Atau... kalau
tidak panggil saja; Sayang, gitu!"
Suto terpaksa buang muka,
memunggungi orang berwajah ganas namun bersikap selembut perawan pingitan itu.
Suto memunggunginya bukan lantaran muak, tapi mencoba sembunyikan tawanya tanpa
suara. Tawa itu hanya mengguncang-guncang badan, membuat orang gemuk yang
ganjen itu kian mendekat dan mencubit pinggang Suto lagi sambil berkata,
"Ada apa tertawa terus?
Suka, ya? Suka...?!"
Tentu saja Suto masih belum
bisa menghentikan tawanya. Bagi Suto perbedaan wajah dengan gaya dan suara itu
sangat menggelikan, karena baru sekarang ia bertemu orang berwajah angker,
sadis, tapi bergaya perempuan manja.
"Cah bagus, tataplah
aku," katanya. Suto memaksakan diri dengan menahan geli sekali, mencoba
memandang ke arah orang sadis itu.
"Kau tadi menanyakan
namaku, bukan?"
"Ya, benar. Sebab...
sebab kita baru kali ini berjumpa."
"Nama julukanku Harimau
Jantan."
"Harimau
Jantan...?!" Suto menggumam sambil membatin, "Apa dia bisa
mengaum?"
"Seram ya nama julukanku
itu?" katanya dengan suara kecil.
"Iya. Seram sekali. Tapi
nama aslimu siapa?" Suto sengaja menggoda.
"Nama asliku... Karina
Tosi Kusuma Sirna, disingkat Karto Kusir."
Bisa dibayangkan betapa
gelinya Pendekar Mabuk mendengar nama cantik yang disingkat menjadi Karto Kusir
itu. Tak aneh lagi kalau Pendekar Mabuk terkikik-kikik tak kuat menahan tawa
geli yang mengeraskan urat perut itu. Harimau Jantan hanya memandangi Suto yang
terbungkuk-bungkuk sambil memunggungi. Mungkin karena tak kuat menahan jengkel
akibat ditertawakan, Harimau Jantan menendang pantat Suto Sinting dengan keras.
Beet...! Buuhk...!
Wuuut...! Gubrass...!
Pendekar Mabuk terjungkal di
pasir pantai. Tawanya terhenti sejenak karena kaget mendapat tendangan keras.
Tulang ekornya sampai terasa ngilu. Suto Sinting cepat bangkit dan tak marah,
karena ia bisa memaklumi kejengkelan Karina Tosi Kusuma Sirna yang disingkat
Karto Kusir itu. Tapi senyum geli tersembunyi masih saja mekar di bibir Suto.
"Oh, senyumnya menawan
sekali," gumam Harimau Jantan dengan suara lirih yang didengar Suto.
Pandangan matanya berbinar-binar bagaikan merasakan debaran hati yang sedang
berbunga indah.
"Ganteng sekali kau, Cah
Bagus. Siapa namamu, Sayang?" tanyanya setelah mendekat dan menatap penuh
bunga-bunga kemesraan yang membuat Soto merinding.
"Namaku... Suto,"
jawab Pendekar Mabuk singkat saja.
"Oh, sebuah nama yang
bagus, sebagus berlian dari dasar bumi," puji Karto Kusir dengan gaya
seorang perempuan perayu, ia melangkah ke samping Suto dengan langkahnya yang
meliuk-liuk genit mirip perempuan gendut cari perhatian. Setelah di samping
Suto, Harimau Jantan yang tidak pantas menjadi harimau itu berkata dengan gaya
perempuannya,
"Suto, Sayang... apakah
kau tadi berbicara dengan seseorang yang berjuluk Urat Setan?"
"Dari mana kau
tahu?" dahi Suto mulai berkerut serius.
"Kulihat dikejauhan,
sepertinya orang yang bicara denganmu tadi adalah Urat Setan, dari Perguruan
Hantu Terbang."
"Ya, memang benar. Apakah
kau ada keperluan dengannya?"
"Sangat ada," jawab
Karto Kusir sambil meremas-remas jemarinya sendiri. "Aku sedang memburunya
untuk menagih hutang nyawa padanya. Eh, kau tahu ke mana perginya Urat Setan
itu, Sayang?" sambil ia mendekat, membelai rambut Suto.
Pendekar Mabuk mundur sedikit,
karena merinding dibelai orang sangar bergaya puteri raja itu. Lalu, Suto pun
menjawab,
"Arahnya ke selatan. Tapi
aku tak tahu ke mana tujuannya. Dugaanku mengatakan, Urat Setan pergi mencari Lancang
Puri dan bibinya yang bernama Nyai Gandrik."
"Hmm... memang tak salah
dugaanku. Sama persis dengan dugaanmu," kata Harimau Jantan sambil
melenggok manja. "Kalau begitu aku harus menyusulnya. Aku tahu ke mana ia
pergi. Pasti ke Biara Damai!"
Suto Sinting menyahut dengan
cepat, "Biara Damai telah musnah, hilang bagaikan tertelan bumi bersama
seluruh penghuninya yang telah menjadi mayat itu! Apakah kau belum
mengetahuinya, Harimau Jantan?"
"O, ya...?!" ucapnya
ganjen sekali. "Kalau begitu ia pasti pergi ke Biara Genta untuk temui
Pendeta Jantung Dewa, adik Pendeta Mata Lima!"
Hati sang pendekar tampan
tersentak kecil, ia baru ingat bahwa Pendeta Mata Lima yang menjadi guru di
Biara Damai itu memang mempunyai adik di Biara Genta, bernama Pendeta Jantung
Dewa. Jika sekarang Biara Damai telah lenyap, tentunya Pendeta Jantung Dewa
bisa menjelaskan apa penyebabnya dan siapa pelaku pembunuhan sadis di Biara
Damai itu.
"Aku akan pergi ke
sana," kata Harimau Jantan dengan suara wanitanya, kepalanya pun ikut
melenggok-lenggok jika bicara. Kemayu!
"Harimau Jantan, tahukah
kau mengapa Urat Setan pergi ke Biara Genta?"
"Yah, sebab ia mengejar
Lancang Puri dan Nyai Gandrik."
"Apakah kau yakin Lancang
Puri dan Nyai Gandrik pergi ke Biara Genta?"
"Yakin sekalilah
yaow...!" jawabnya ganjen. Suto menahan tawa.
"Mengapa kau yakin mereka
ke sana?"
"Kalau menurutmu tadi
Biara Damai sudah lenyap, berarti sasaran mereka ke Biara Genta. Sebab di
sanalah kemungkinan pusaka itu disimpannya. Tapi...."
Suto Sinting yang mau bertanya
tak jadi bersuara karena kata-kata Harimau Jantan bagaikan sulit diputus.
"Tapi aku ke sana bukan
karena ingin merebut pusaka itu. Aku ke sana untuk selesaikan urusan
perguruanku dengan perguruannya si Urat Setan itu. Dia harus membayar tiga nyawa
muridku yang dibantai seenaknya oleh Urat Setan!"
"Apakah...."
"Aku tidak takut kepada
Urat Setan! Aku berani adu nyawa. Dan aku merasa akan unggul melawannya."
"Ya. Tapi bolehkah
aku...."
"Ilmunya tak terlalu
tinggi menurutku. Walaupun perguruanku hanya perguruan kecil dengan jumlah
murid empat orang, tapi aku merasa sanggup menumbangkan si Urat Setan."
"Begini,
maksudku...."
"Aku punya dua jurus
andalan yang sanggup menumbangkan Urat Setan. Bahkan jika Lancang Puri dan Nyai
Gandrik ikut membelanya, kuhancurkan juga mereka berdua dengan jurus 'Lamunan
Sakti'-ku itu."
Harimau Jantan berhenti
berceloteh. Tapi Suto tidak mau bicara lagi. Hatinya sedang dongkol karena
setiap perkataannya selalu dipotong oleh celoteh Harimau Jantan, sehingga ia
selalu gagal mengutarakan maksudnya. Kini mereka sama-sama diam. Harimau Jantan
memandang ke arah lautan. Sebentar kemudian melirik Suto Sinting dan
menghampirinya dengan gaya seorang wanita penuh kemesraan dan kesetiaan.
Rambutnya dikibaskan ke belakang dengan sentuhan tangan gemulai.
"Bocah bagus, susullah
Bibi ke sana jika kau rindu. Jangan bertahan memendam rindu, karena memendam
rindu sama saja memendam borok yang tak akan pernah sembuh kalau belum jumpa
dengan orang yang kau rindukan. Bibi akan menunggumu di sana. Dan kau akan
lihat sendiri bagaimana Bibi melawan Urat Setan. Kau pasti kagum dengan jurus
mautku yang bernama 'Lamunan Sakti' itu, Sayang."
Rasa-rasanya Suto Sinting
ingin meludah pada saat itu karena jijik dengan sentuhan tangan genit si
Harimau Jantan itu. Tapi tentunya hal itu tak mau dilakukan oleh Suto karena
takut menyinggung perasaan lelaki banci itu. Suto hanya tersenyum-senyum tawar
sampai akhirnya membiarkan Harimau Jantan pergi menyusul Urat Setan untuk bikin
perhitungan pribadi.
"Selamat jumpa lagi. Dah,
Sutooo...!" ucapnya seraya berjalan melenggok-lenggok seperti bebek
keberatan pantat, lalu tahu-tahu melesat cepat bagaikan kapas terhembus angin
pantai. Wuuuttt...!
"Tinggi juga ilmu
peringan tubuhnya," pikir Suto.
"Tapi benarkah Urat Setan
ada di Biara Genta? Pusaka apa yang ingin diperebutkan oleh mereka?"
*
* *
4
RASA penasaran membuat
Pendekar Mabuk segera menuju ke Lembah Canang, tempat Biara Genta berada.
Ketika ia pulang dari negeri dasar laut untuk membantu Pendeta Agung Dewi
Rembulan yang terkena kutuk itu, ia sempat mampir ke Biara Damai dan Biara
Genta. Sebab itulah Suto tahu ke mana arah Lembah Canang, tempat berdirinya
bangunan dengan dua kuil yang cukup luas dan lebar, berpagar tembok kokoh warna
kuning bertepian merah. Pendeta Jantung Dewa adalah ketua sekaligus guru di
biara tersebut. Jumlah muridnya konon ada tujuh puluhan lebih. Aliran silat
mereka sangat terkenal di kalangan Lembang Canang dan sekitarnya.
Perjalanan ke Lembah Canang
ditempuh dalam waktu satu malam, karena Suto harus bermalam di sebuah desa
sekaligus mengisi bumbung tuaknya dengan tuak baru hingga penuh. Pagi hari Suto
lanjutkan perjalanan itu dengan hati tenang sebab bumbung tuaknya terisi penuh,
tak merasa takut kehabisan.
Namun perjalanan pagi itu
sempat terhenti karena melihat sekelebatan sosok seorang wanita yang sudah
dikenalnya. Wanita itu berlari dengan cepat sepertinya terburu-buru. Bergerak
dari lereng bukit menuju ke hutan yang ada di sebelah timur, berarti yang ada
di depan Pendekar Mabuk. Maka Pendekar Mabuk pun buru-buru menyusul perempuan
itu dengan rasa ingin tahu.
"Lancang Puri," ucap
Suto dalam hati. "Ada apa dia? Kelihatannya terburu-buru dan tegang
sekali?"
Untuk sesaat Suto sempat
kehilangan jejak Lancang Puri yang agaknya sudah dibebaskan oleh Nyai Gandrik
dari pengaruh Racun Kuda Binal-nya Dewa Rayu. Beberapa saat kemudian, Lancang
Puri ditemukan Sutokembali tapi dalam keadaan tidak sendirian. Perempuan cantik
berjubah putih itu sedang berhadapan dengan orang tinggi besar berkulit hitam
dan hanya mengenakan cawat. Pendekar Mabuk terkejut melihat sosok tinggi besar
dan berkulit hitam itu.
"Logo...?! Anak jin itu
ada di sini?!"
Orang tinggi besar berkepala
botak tapi mempunyai kuncir di tengahnya itu memang anak jin hasil perpaduan
cinta antara Sumbaruni dengan Jin Kazmat yang kala itu menjelma menjadi
manusia. Tetapi seingat Suto, Logo dikabarkan jatuh ke Jurang Petaka. Mengapa
sekarang masih hidup dan dalam keadaan ganas, tidak seperti biasanya? (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu Tanpa Tapak" dan "Bandar
Hantu Malam").
Anak jin itu mempunyai ilmu
silat cukup tinggi, tentunya ilmu itu diperoleh dari ibunya; Sumbaruni, yang
pernah menjadi panglima perangnya negeri Ringgit Kencana di dasar laut dengan
nama Pelangi Sutera. Menurut dugaan Suto, Lancang Puri akan tumbang jika
berhadapan langsung dengan Logo. Tenaga yang dimiliki anak jin itu sangat
besar, apalagi sekarang kelihatan menjadi liar dan ganas. Berulangkali
terdengar suara geramnya yang menggetarkan pepohonan di kanan-kiri mereka.
Namun agaknya Lancang Puri
tidak merasa takut atau gentar sedikit pun. Dengan keberaniannya yang luar
biasa ia melompat dan menyabetkan pedangnya di udara. Pedang yang disabetkan
itu menyebarkan asap kehitaman. Asap itu membentuk semacam jala yang segera
menyergap tubuh Logo.
Tetapi sebelum Logo
terperangkap asap kehitaman itu, kedua pipinya segera mengembung dan
dihebuskanlah napas dari mulutnya itu. Wuuusss...! Yang keluar angin besar
mengguncangkan pepohonan, mematahkan beberapa dahan. Asap kehitaman itu lenyap
dalam sekejap, sedangkan tubuh Lancang Puri sendiri terpental tujuh langkah
jauhnya.
Buuuhg...! Tubuh perempuan
cantik itu jatuh terpuruk tanpa bisa menjaga keseimbangan badan. Logo segera
menerjang dengan satu lompatan kaki yang telapakannya satu setengah lebih besar
dari telapak kaki manusia biasa. Kaki besar itu ingin menginjak tubuh Lancang
Puri. Sekali injak pasti remuk tulang-tulang di tubuh Lancang Puri.
Melihat keadaan seperti itu,
Pendekar Mabuk segera bertindak. Berkelebat dengan pergunakan gerak silumannya
dan menyambar tubuh yang terpuruk itu. Wuuusss...! Zlaapp...! Dalam sekejap
saja Suto Sinting sudah berada di sisi lain, sekitar enam langkah dari Logo.
"Oh, kau lagi yang
selamatkan aku, Suto?!" ucap Lancang Puri setelah dilepaskan dari pelukan
Pendekar Mabuk.
"Jangan hadapi dia.
Larilah. Dia anak jin yang berilmu tinggi."
"Tapi...."
"Larilah, lekas! Biar
kujinakkan anak jin itu! Aku kenal dengannya!"
Lancang Puri segera melesat berlari
melalui jalan ke belakang Suto Sinting. Logo berteriak dengan suaranya yang
menggema memenuhi hutan itu.
"Jangan lari kau! Jangan
lari....!"
Bluk, bluk, bluk, bluk...!
Langkah Logo mengejar Lancang Puri mengguncangkan bumi, walau hanya berupa
getaran-getaran kecil, namun terasa jelas bagi manusia yang ada di sekitarnya.
Suto Sinting segera melompat menghadang langkah anak jin itu.
"Hentikan pengejaranmu,
Logo! Pandanglah aku!"
"Gggrrr...!" Logo
memandang dengan liar dan buas. Mulutnya menggeram dengan menganga, seakan
memamerkan giginya yang besar-besar dan kuning itu.
"Siapa kau?! Aku tidak
mengenalmu, Monyet!"
Suto Sinting terkesiap.
"Tak biasanya ia berlaku sekasar itu padaku; bahkan sampai tak
mengenaliku?
Ada apa pada dirinya?"
"Minggir kau! Atau
kuremukkan seluruh tulangmu, Monyet!"
"Logo!" sentak
Pendekar Mabuk bermaksud menyadarkan kemarahan Logo. "Ingatlah padaku! Aku
Pendekar Mabuk! Suto Sinting, teman dari ibumu!"
"Aku tak punya ibu!
Minggat kau, heaaaah...!"
Tangan Logo menampar wajah
Pendekar Mabuk dengan gerakan cepat. Wuuuss...! Pendekar Mabuk bermaksud
menghindar dengan menarik kepala ke belakang. Tapi tarikannya itu kurang cepat,
sehingga wajahnya pun terkena tamparan tangan kanan Logo yang bergerak dari
kiri ke kanan. Ploookk...!
Bruus...! Suto Sinting
terlempar ke semak-semak, ia buru-buru bangkit sambil kibaskan kepala.
Pandangan matanya sempat berkunang-kunang. Tamparan tangan besar itu sungguh
keras. Jika orang tak berilmu yang terkena tamparan itu, pasti seluruh giginya
akan rontok dan orang tersebut langsung kelenger. Untung Suto punya lapisan
tenaga dalam, sehingga ia hanya terjungkal dan merasa pening sedikit.
"Edan! Bocah itu
benar-benar menyerangku. Kupikir hanya main-main?!" pikir Pendekar Mabuk.
"Tamparannya seperti kayu
balok menghantam pipi kananku. Oh, jangan-jangan rahangku pecah?"
Suto segera memeriksa
rahangnya, menggerak-gerakkan dengan ternganga-nganga. Pada saat itu Logo
mendekatinya dengan suara geram menggetarkan pepohonan. Suto Sinting kaget, dan
segera mundur dua tindak lalu bersiap siaga jika sewaktu-waktu tamparan keras
itu datang lagi.
"Tahan amukanmu,
Logo!"
"Setan! Kau membuatku
kehilangan buronan! Kau harus bertanggung jawab, Monyet...! Heaaah...!"
Logo melepaskan pukulan
bersinar merah dari telapak tangan kirinya. Claapp...! Sinar merah itu segera
dikembalikan oleh Pendekar Mabuk dengan menghadangkan bumbung tuaknya yang
terbuat dari bambu sakti itu. Dees...! Zlaap...! Sinar itu berubah lebih besar
dan berbalik arah lebih cepat. Akibatnya mengenai perut besar Logo dengan
telak. Buuuhg...!
Wuuuss...! Tubuh Logo
terlempar bagai diseruduk banteng. Tubuh itu melayang dalam keadaan telentang
dan jatuh berdebam di bumi bagai sebatang pohon besar yang rubuh. Blaaamm...!
Daun-daun pohon berguguran sebagian karena terguncang oleh getaran jatuhnya
Logo itu.
"Gggraaaoww...!"
Rupanya ia jatuh dalam keadaan yang menyakitkan hingga menggeram dengan mulut
terbuka, mengerang kesakitan. Tetapi perutnya yang terkena sinar merah itu
tidak menjadi jebol, hanya saja dari mulut itu keluar darah merah kehitaman.
Matanya terbeliak-beliak walau tetap berusaha untuk bangkit dengan sempoyongan.
Suto Sinting membiarkan hal
itu terjadi sambil membatin setelah menenggak tuaknya beberapa teguk untuk
menghilangkan rasa sakit di wajahnya.
"Ada perubahan yang tak
beres dalam jiwa anak itu. Dia menjadi liar dan ganas, tak mengenaliku dan tak
mengenali ibunya. Hmm... apakah Sumbaruni sudah mengetahui keadaan Logo yang
sekarang?"
Kabar terakhir yang diterima
Suto setelah ia dan Sumbaruni melawan Raja Tumbal demi selamatkan negeri Muara
Singa, konon Sumbaruni masih kebingungan mencari anaknya itu. Sekarang waktu
sudah lewat beberapa purnama, apakah Sumbaruni masih belum bertemu dengan
anaknya, atau memang sang anak sudah dididik untuk menjadi liar dan ganas? Suto
Sinting tak berani lakukan penyerangan yang berbahaya, karena jika ia membunuh
Logo maka urusannya akan panjang. Sumbaruni pasti akan menuntut kematian Logo
dan bisa jadi perempuan sakti itu akan membencinya seumur hidup.
Suto Sinting mencoba
menyadarkan keganasan Logo lagi dengan mendekatinya penuh kewaspadaan. Sikapnya
masih tidak bermusuhan, hal itu dilakukan demi memperlihatkan sikap bersahabat
kepada Logo agar kemarahan Logo berkurang. Tetapi agaknya anak jin yang bermata
lebar dan berhidung lebar pula itu masih memancarkan sinar permusuhan dari
pandangan matanya dan geraman mulutnya.
"Mengapa kau mengejar
perempuan itu, Logo? Ada persoalan apa?"
"Kau tak perlu tahu,
Monyet!"
"Namaku Suto, bukan
Monyet."
"Tidak. Aku lebih suka
memanggilmu Monyet!" geram Logo penuh nafsu membunuh.
"Biasanya ia tak bicara
sekasar itu dan sebanyak itu. Pasti ada sesuatu yang membuat jiwanya menjadi
tak beres. Aku harus menyadarkannya. Rupanya aku perlu melumpuhkan dia agar
bisa menjinakkan kembali," pikir Suto sambil pandang segala gerakan tangan
dan kaki anak jin itu.
"Logo, sadarlah. Jangan
turuti dorongan murka yang menguasai jiwamu. Kuasailah dorongan murka itu
supaya...."
"Heaaahh...!"
Suto belum selesai bicara,
tahu-tahu Logo sudah melompat bagaikan singa raksasa ingin menerkam Suto.
Wuutt...! Suto terpaksa bersalto ke belakang dua kali. Plak, plak...! Dengan
sikap berdiri sedikit merendah dan miring jari tangan Pendekar Mabuk menyentil
ke depan dua kali. Tes, tes...! Jurus 'Jari Guntur' dipergunakan.
Sentilan itu keluarkan tenaga
dalam cukup besar. Deeb, deeb...! Pukulan tenaga dalam dari sentilan itu tepat
kenai ketiak kanan-kiri. Tubuh Logo yang sedang melayang berjumpalitan di udara
dan jatuh dengan tengkuk membentur tanah lebih dulu.
Bluukk...!
Wwrrr...! Daun-gaun berguncang
dan bergetaran kembali akibat jatuhnya tubuh besar itu. Seandainya bukan Logo
yang bertulang leher keras dan besar, pasti tulang leher itu sudah patah karena
terjungkal keras. Tapi agaknya tulang leher Logo tidak mengalami cedera. Hanya
saja, ia terkapar tak berkutik karena ternyata sentilan bertenaga besar itu
telah menotok jalan darah anak jin tersebut.
"Gggrr...!
Ggrrr...!" Logo hanya bisa mengerang dengan mulut terbuka, dan mulut itu
agaknya sudah sulit tertutup. Persendian tulang rahangnya mengunci dalam
keadaan ternganga. Matanya membelalak liar ke sana-sini, seakan ingin luapkan
amarah karena tubuhnya dibuat lemas seperti tak bertulang dan tak berurat lagi.
Tiba-tiba seberkas sinar hijau
berkelebat dari balik semak-semak. Sinar hijau itu mengarah ke dada Logo.
Dengan cepat Pendekar Mabuk melompat melintasi tubuh besar yang telentang tak
berdaya itu. Bumbung tuaknya disodokkan ke depan sehingga sinar hijau itu
membentur bumbung tuak dan membalik arah dengan lebih cepat dan lebih besar.
Zlaapp...! Blegaaarrr...!
Semak-semak itu langsung
hancur dan menyebar kemana-mana. Tempat yang rimbun itu menjadi terang
benderang tanpa tanaman semak sedikit pun. Tapi orang yang lepaskan sinar hijau
itu tidak terlihat ada di sana.
"Seseorang kehendaki Logo mati dalam
keadaan seperti ini. Hmm... siapa orang itu? Di mana dia sekarang. Kudengar
detak jantung orang lain masih ada di sekitar sini."
Mata Pendekar Mabuk melirik ke
sana-sini penuh selidik. Lalu ia merasakan datangnya gelombang panas yang
bergerak dengan cepat bagaikan tertuju ke arah kepalanya. Dengan cepat Pendekar
Mabuk mendongak dan sentakkan tangan kanannya hingga melepaskan pukulan tenaga
dalam cukup besar tanpa sinar.
Wuuukkk...!
Blegaarr...!
Gelombang itu membentur
pukulan tak bersinar dan menimbulkan ledakan yang dahsyat. Jika gelombang hawa
panas itu tidak besar dan tak seberapa hebat, ledakannya tak akan membuat pohon
tumbang. Tapi karena kedua pukulan tenaga dalam itu ternyata sangat besar, maka
tiga-empat pohon segera tumbang bagaikan dihempas badai maha dahsyat. Bahkan
pohon-pohon lainnya ada yang mengalami patah dahan dan ada pula yang miring ke
salah satu sisi dalam keadaan akarnya tercongkel naik.
Ledakan itu membuat tubuh Suto
terjungkal ke belakang, namun segera berdiri tegak kembali dengan satu sentakan
pinggul, ia berdiri di samping tubuh besar yang terkapar, sengaja menjaga
keselamatan Logo. Sedangkan dari atap pohon yang tumbang itu segera meluncur
sesosok bayangan hitam yang kemudian mendarat di tanah seberang Suto.
Seseorang yang mengenakan
kerudung kain hitam dari kepala sampai kaki berdiri tegak dengan menggenggam
tongkat berujung sabit lengkung. Itulah yang dikenal dengan nama senjata pusaka
El Maut. Wajah dingin, pucat pasi dengan bibir membiru tampak tersumbul dari
balik kain kerudung hitamnya. Melihat kehadiran tokoh yang tak asing lagi bagi
Suto itu, sang Pendekar Mabuk sempat terperanjat namun segera bersiap untuk
lakukan penyerangan, sebab tokoh itu tak lain adalah Siluman Tujuh Nyawa.
"Durmala Sanca...!
Akhirnya kau muncul juga dari tempat persembunyianmu selama ini!" ucap
Suto dengan nada dingin, wajahnya memancarkan semangat untuk menumbangkan tokoh
sesat yang ditakuti oleh para tokoh golongan hitam itu.
Di hati Suto sempat membatin,
"Pantas pukulan tenaga dalamnya besar sekali! Rupanya dia yang menghendaki
kematian Logo. Atau... oh, ya! Aku tahu sekarang. Dialah orang yang membuat
jiwa Logo menjadi liar dan ganas. Entah dengan cara bagaimana, maka ia bisa
mengendalikan jiwa Logo menjadi sejahat itu. Hmm... sayang sekali saat ini aku
tak membawa Pedang Kayu Petir. Tapi akan kucoba untuk memancingnya dengan
caraku sendiri."
Saat itu terdengar Siluman
Tujuh Nyawa perdengarkan suaranya yang tenang, kalem, tanpa perasaan. Wajahnya
datar dan dingin. Nada bicaranya tak bisa jelas dipahami, apakah marah, benci,
senang, atau kecewa.
"Sepak terjangmu selama
ini sudah membuatku semakin benci padamu, Suto! Namamu semakin dikenal dan
menjadi kebanggaan para gadis cantik di mana pun berada. Agaknya memang
sekaranglah saatnya kuhancurkan seluruh kehidupanmu dengan ilmu baruku!"
"Kalau kau merasa mampu, lakukanlah
sekarang juga, Durmala Sanca!"
Tantangan itu bagaikan tidak
mendapat balasan. Wajah putih berkesan muda dan tampan tapi pucat dan bengis
itu tetap datar-datar saja. Matanya menatap bagai ingin membekukan darah.
Pendekar Mabuk sudah siap hadapi serangan lawannya, karena Siluman Tujuh Nyawa
adalah musuh utama Suto yang dikejar-kejarnya selama ini. Kepala manusia paling
sesat dan kejam itu adalah maskawin bagi Suto untuk diberikan kepada Ratu di
negeri Puri Gerbang Surgawi yang selama ini menjadi kekasih Suto dan calon
istrinya; Gusti Mahkota Sejati yang bernama asli Dyah Sariningrum.
Saling bungkam dan saling
beradu pandang ternyata merupakan pertarungan batin mereka dalam kadar ilmu
tinggi. Suto merasakan hawa panas mulai mengalir bersama darahnya. Semakin lama
darahnya terasa semakin mendidih dan menyengat anggota dalam tubuhnya. Jantung
menjadi lemah dan pernapasan menjadi sesak. Suto mulai sadar bahwa Siluman
Tujuh Nyawa telah melepaskan serangan melalui pandangan matanya. Maka Suto
Sinting pun tak mau kalah serang.
Pertama-tama yang dilakukan
adalah menyalurkan hawa murni agar menguasai tubuhnya. Hawa es mulai meresap ke
dalam darah dan memadamkan rasa panas yang nyaris melumerkan jantung,
paru-paru, hati, limpa dan sebagainya. Hawa panas itu juga hampir saja
memutuskan seluruh otot dan urat nadi. Tapi segera kuat serta kokoh kembali
setelah Suto menyalurkan hawa es sebagai tandingannya.
Dengan kekuatan pandangan mata
pula, hawa es itu disalurkan oleh Suto dan menyerang Siluman Tujuh Nyawa. Tubuh
orang berkerudung hitam itu tampak bergerak-gerak menggigil. Bibirnya pun mulai
kelihatan bergetar. Tetapi genggaman tangannya pada tongkat tampak kian kuat,
pertanda Siiuman Tujuh Nyawa juga melawan kekuatan hawa es yang nyaris
membekukan semua cairan dalam tubuhnya itu.
Tiba-tiba dari kedua mata
dingin itu keluar dua berkas sinar merah yang melesat cepat menuju ke tubuh
Suto. Dua berkas sinar merah itu sangat pendek, dan ketika melintasi perbatasan
jarak warna sinarnya hilang, berubah menjadi dua mata pisau tanpa gagang. Mata
pisau itu bagaikan terbuat dari logam anti karat yang ujungnya runcing dan
gerakannya cepat.
Suto Sinting tak mau kalah
gertak, ia segera berkelebat, tangannya yang sudah berkuku merah bara itu
bagaikan memercikkan air ke depan. Ternyata yang keluar adalah percikan bunga
api warna merah bintik-bintik, itulah jurus 'lintang Kesumat' yang jarang
digunakan oleh Pendekar Mabuk. Percikan bunga api yang keluar dari ujung-ujung
kuku itu menyergap dua benda runcing. Seketika itu kedua benda tersebut meledak
dengan keluarkan gelombang ledakan yang cukup besar, sentakan anginnya membuat
tubuh Pendekar Mabuk terjungkal ke belakang dan tubuh Siluman Tujuh Nyawa
terpelanting mundur tiga tindak.
Blegaaar...!
Pendekar Mabuk jatuh
terguling-guling. Rupanya daya sentak lebih kuat ke arahnya daripada ke arah
Siluman Tujuh Nyawa. Akibatnya, tokoh sangat kejam dan berdarah dingin itu
lebih dulu berdiri tegak ketimbang Suto Sinting. Pada saat Pendekar Mabuk
bangkit setengah badan, Siluman Tujuh Nyawa segera angkat tongkat El Maut-nya
dan dari ujung mata sabit tajamnya itu memancarkan tiga larik sinar biru
berkelok-kelok bagaikan tiga benang yang menyergap tubuh Pendekar Mabuk. Clap,
crat, crat, crat...! Jraab...!
Kilatan cahaya biru kenai
tubuh Suto. Pendekar Mabuk pejamkan mata kuat-kuat dengan tubuh kejang
berlutut. Kepalanya mendongak dan mulutnya mengerang.
"Aaahg...!" kulit
tubuh Pendekar Mabuk mulai merah, makin lama makin matang, bahkan berwarna
kebiru-biruan. Tubuh itu bergetar kuat, dan Suto berusaha menahannya, ia meraih
bumbung tuaknya yang sempat jatuh di tanah dekat lututnya. Ia ingin meminum
tuaknya, namun tiba-tiba tubuh Siluman Tujuh Nyawa berkelebat menerjangnya.
Wuuutt...! Praak...! Bumbung tuak itu disamparnya dan terlempar ke belakang
Suto Sinting, jauh dari jangkauan.
"Sudah saatnya kau mati
di tanganku, Bocah Dungu!" kata Siluman Tujuh Nyawa dengan suara datar,
bagai tak mempunyai tekanan kebencian. Tetapi senjata pusaka El Maut segera
diangkat dan diayunkan untuk menebas leher Suto.
Wuuutt...!
Duaaar...! Tiba-tiba sinar
perak berkelebat menghantam ujung senjata El Maut. Sinar perak itu yang membuat
gerakan tongkat yang diayunkan menjadi terhenti dan memantul balik, menyentak
kuat sekali sehingga tubuh Siluman Tujuh Nyawa terpelanting ke belakang.
Sekelebat bayangan melintas di
atas tubuh Logo yang masih terkapar tak berdaya. Bayangan yang berkelebat cepat
sekali itu menerjang tubuh Siluman Tujuh Nyawa. Braass...! Entah dengan
tendangan atau pukulan, tak terlihat dengan jelas serangan yang dilancarkan.
Yang bisa dilihat jelas, tubuh Siluman Tujuh Nyawa terlempar beberapa tindak
dari tempatnya berdiri. Namun tokoh sesat itu tak sampai jatuh terkapar, ia
hanya jatuh berlutut dan menyangga tubuh dengan berpegangan pada tongkat El
Maut-nya.
Kaki orang yang berkelebat itu
segera menendang bumbung tuak, dan bumbung tuak itu meluncur di permukaan tanah
berumput lalu membentur lutut Suto. Deeg! Dengan susah payah Suto berusaha
gerakkan tangannya untuk ambil bumbung tuaknya dan menenggak tidak beraturan.
Air tuak meleleh ke mana-mana membasahi wajah dan sebagian tubuhnya. Tapi
beberapa bagian tuak sudah bisa diteguknya.
Siluman Tujuh Nyawa segera
tegakkan kepala, pandangi tokoh yang baru datang itu. Tapi ia sempat
terperanjat melihat tokoh itu ternyata sudah bergerak amat dekat dengannya
dengan menebaskan pedangnya dalam gerakan yang nyaris tak bisa terlihat.
Secepatnya tongkat El Maut dihadangkan sebagai jurus penangkis pedang lawan.
Dan pedang itu tiba-tiba tersentak mental sebelum menyentuh dan beradu dengan
senjata pusaka Ei Maut.
Wuuttt...! Gelombang sentakan
dari senjata El Maut begitu besar, membuat pedang itu lepas dari tangan
pemiliknya dan melayang jatuh di seberang sana. Dengan cepat Siluman Tujuh
Nyawa bangkit dan sodokkan tongkatnya ke arah depan. Keluarlah segepok jarum
merah dari ujung tongkat bersabit lengkung panjang itu. Gerombolan jarum merah
itu menerjang tubuh lawan. Namun dengan gerakan cepat sang lawan menghindar.
Tiba-tiba ia telah melompat dan berada di atas pohon. Jarum-jarum merah yang
menggerombol itu menerjang pohon di seberang, dan pohon itu lenyap menjadi
debu-debu coklat yang berserakan. Zrrrub...! Jraab...
Jraasss...! Debu-debu coklat
berhamburan, mengerikan jika dibayangkan seandainya tubuh manusia yang terkena
jarum-jarum merah tadi. Tetapi tokoh yang ada di atas pohon itu tak mau terlalu
lama membayangkan hal itu, maka secepatnya ia lepaskan pukulan bersinar putih
perak lagi ke arah Siluman Tujuh Nyawa. Clap, clap...! Kali ini dua sinar putih
perak dilepaskannya.
Siluman Tujuh Nyawa hanya
menudingkan satu jari telunjuk kirinya. Jari itu keluarkan gelombang getar yang
tak terlihat wujudnya. Gelombang getar menangkap dua sinar putih, lalu
mengadukan di udara sehingga dua sinar tersebut saling berbenturan sendiri.
Blaarr...!
Akibatnya ledakan dahsyat
kembali terdengar berkat benturan dua sinar sejenis itu. Gelombang ledaknya
membuat tubuh si tokoh di atas pohon terpental dan jatuh ke tanah dalam keadaan
hilang keseimbangan. Siluman Tujuh Nyawa segera menyambarnya dengan tebasan
sabit lengkung di ujung tongkat El Maut-nya. Tetapi gerakan tersebut menjadi
berbeda arah Karena Suto kirimkan pukulan jarak jauhnya yang dinamakan jurus
'Pecah Raga'. Sinar hijau melesat dari telapak tangan Suto. Sinar itu tepat
kenai lambung Siluman Tujuh Nyawa.
Tubuh berkerudung hitam itu
terjungkal hingga membentur pohon dan kayu pohon itu menjadi retak sampai di
bagian atas, di persimpangan dahan.
Duuurr...! Kraakk...!
Biasanya jurus 'Pecah Raga'
adalah jurus yang membuat lawan menjadi pecah raganya jika terkena sinar hijau
itu. Tetapi tokoh yang satu ini memang kuat dan alot, sukar dikalahkan.
Tubuhnya masih utuh, bahkan masih mampu berdiri dengan sedikit libmung. Tentu
saja ia mempunyai lapisan tenaga dalam yang amat tebal dan besar sehingga bisa
menjadi perisai bagi serangan bersinar seperti tadi. Namun keadaannya sudah tak
setegar tadi. Agaknya ia mengalami luka dalam akibat sinar hijau dari tangan
Suto Sinting tadi. Mulutnya yang berbibir biru itu melelehkan darah kental
walau bibir tersebut tetap terkatup.
Suto Sinting yang sudah segar
kembali akibat minum tuaknya segera persiapkan jurus 'Manggala' untuk menyerang
Siluman Tujuh Nyawa. Jurus 'Manggala' adalah gerakan tangan menyentak ke depan
dalam keadaan miring dan mampu keluarkan pisau-pisau kecil yang jumlahnya
tergantung hentakan napas pada saat itu.Jurus 'Manggala' dapat membuat lawan
mati berdiri dalam keadaan tubuh sudah menjadi gumpalan debu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Bandar Hantu Malam" dan "Cermin
Pemburu Nyawa"). Jurus itu adalah jurus sakti pemberian Ratu Kartika
Wangi, calon mertua Pendekar Mabuk yang menjadi ratu di negeri alam gaib.
Tetapi gerakan Suto itu
terlambat setengah kedipan. Siluman Tujuh Nyawa lebih dulu sentakkan kakinya
dan melesat pergi. Gerakannya begitu cepat, lalu hilang bagai memasuki lapisan
udara yang tak bisa terlihat mata manusia biasa. Pendekar Mabuk menggeram
kesal.
"Dia masuk ke alam gaib!
Aku harus mengejarnya!"
Sebenarnya Pendekar Mabuk bisa
mengejar masuk ke alam gaib, karena ia mempunyai tanda merah di keningnya yang
hanya bisa dilihat oleh tokoh berilmu tinggi. Dengan mengusap tanda merah di
keningnya menggunakan tangan kanannya. Tetapi niat itu tertunda karena suara
erangan lirih yang terdengar menyayat kalbu. Erangan itu datang dari tokoh yang
tadi sempat jatuh dari atas pohon dan kini sedang terkapar dengan mulut dan
hidung berdarah.
"Dia telah selamatkan aku
dari kematian yang mengerikan. Jika bumbung tuakku tidak ditendangnya, aku tak bisa meraihnya lagi dan tak mungkin
bisa terhindar dari luka dalam yang amat parah tadi. Sebaiknya aku harus
selamatkan dulu jiwanya sebelum kukejar kembali Durmala Sanca, si manusia sesat
itu!"
Tokoh yang punya keberanian
tinggi, dan berhasil membuat Siluman Tujuh Nyawa nyaris tumbang tadi, terpaksa
mau meneguk tuak dari bumbungnya. Sebab keadaan tokoh itu sangat parah. Jika
tidak menenggak tuak maka diperkirakan nyawanya akan lenyap dari tubuh dalam
waktu dua puluh helaan napas lagi.
Rupanya pertarungan itu ada
yang mengintainya. Orang yang mengintai pertarungan tersebut hanya bertanya
dalam hati, "Siapa tokoh yang berani menyerang Siluman Tujuh Nyawa itu?
Hampir saja ia mati kalau Suto tidak segera lepaskan sinar hijaunya tadi.
Dan... ternyata Pendekar Mabuk memang mempunyai kesaktian tinggi, dapat sembuh
dari luka separah itu dengan meminum tuaknya. Sungguh-sungguh mengagumkan.
Lalu... orang hitam yang hanya bercawat itu bagaimana? Apakah dia sekarang
sudah mati karena serangan Suto tadi?" Lanjut ke bagian 2
** *
5
BUKAN hanya si penolong saja
yang mendapat pengobatan melalui tuak Suto, melainkan Logo juga mendapatkannya.
Mulutnya yang ternganga tak bisa terkatup lagi karena totokan jalan darahnya
itu membuat Suto mudah menuangkan tuaknya ke mulut itu, seperti menuang air
dalam selokan kecil. Krucuk, krucuk, krucuk...! Glek, glek, glek...!
Mau tak mau tuak itu terminum
dengan sendirinya. Setelah beberapa saat, Suto pun membebaskan totokannya pada
Logo. Sementara orang yang tadi menyelamatkan Suto dari pancungan senjata
Siluman Tujuh Nyawa itu segera mengambil pedangnya yang terlempar jauh. Pedang
itu kini dimasukkan ke dalam sarung pedang dan digenggam dengan tangan kirinya.
Sang pengintai yang tadi
mengikuti pertarungan itu segera pergi, karena menurutnya tak ada sesuatu yang
perlu disimak lagi. Jurus-jurus maut yang dikeluarkan dalam pertarungan tadi
sudah dicatat dalam benaknya, ia merasa lebih penting melanjutkan perjalanannya
daripada menyimak percakapan antara Suto Sinting dengan tokoh perempuan
berambut acak-acakan yang gemar kenakan pakaian seperti terbuat dari karet yang
ketat sekali dengan tubuhnya dan berwarna hitam. Perempuan itu berwajah cantik,
namun berkesan liar karena rambutnya tak pernah tertata rapi dan selalu acak
acakan seperti perempuan gila. Perempuan itu tak lain adalah Angin Betina,
orang yang terang-terangan mencintai Suto Sinting dan tak pernah rela melihat
Suto disakiti orang lain. (Tentang Angin Betina, baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Pedang Kayu Petir").
Wanita berhidung kecil tapi
mancung, berbibir sedikit tebal tapi indah itu segera dekati Pendekar Mabuk
yang sedang bicara dengan Logo, anak jin. Orang gundul berkuncir dan kenakan
anting satu di sebelah kiri itu duduk bersandar pada sebatang pohon yang belum
sempat tumbang akibat pertarungan tadi. Keadaan Logo sudah kembali seperti
semula; polos, jujur, dan kekanak-kanakan.
"Kau ingat siapa
diriku?" tanya Suto mencoba ingatan Loga. "Suto Sinting," jawab
Logo dengan polos, matanya memandang lugu.
"Siapa ibumu?"
"Ibu Sumbaruni,"
jawabnya lagi.
"Bagus. Kau sudah
memperoleh jati dirimu kembali," kata Suto sambil berdiri dari jongkoknya,
ia segera memandang Angin Betina dan bertanya,
"Bagaimana
keadaanmu?"
"Tak apa. Sudah segar
kembali berkat tuakmu."
"Sepertinya aku tak
percaya kalau ada perempuan yang berani menyerang Siluman Tujuh Nyawa dalam
keadaan sedang murka seperti tadi. Kupikir tadi bukan kau yang datang
menolongku. Sungguh aku kagum dengan keberanianmu, Angin Betina."
Wanita tanpa senyum itu hanya
menghela napas satu kali dan berkata, "Aku sendiri tak sangka kalau punya
keberanian seperti itu. Padahal aku tahu persis ilmuku tidak ada sekuku
hitamnya dengan Siluman Tujuh Nyawa. Dulu mendiang guruku; Nyai Pancungsari
berpesan wanti-wanti padaku agar hindari pertemuan dengan Siluman Tujuh Nyawa.
Tapi sekarang justru aku hampiri tokoh sesat itu dan menyerangnya. Kurasa ini
karena hatiku tak rela jika melihat kau disakiti orang lain, dan aku sudah
berjanji pada dirimu akan melindungimu. Jika kau mati, pada saat itulah aku
sudah menjadi bangkai. Aku tak ingin kau
mati lebih dulu dariku, Suto."
Suto Sinting hanya tersenyum,
diam-diam merasa kagum dengan kesetiaan cinta Angin Betina yang sudah
berulangkali ditolak tapi masih saja ngotot ingin mencintai Suto Sinting.
Sebaris kalimat yang pernah diucapkan Angin Betina selalu terbayang dalam
ingatan Suto;
"Kau boleh menolak
cintaku tapi jangan larang aku untuk tetap mencintaimu!"
Ungkapan hati itu sekarang pun
terngiang kembali di hati Suto Sinting. Ada keharuan yang membersit di tepian
hati, namun Suto Sinting tak mau hanyut dalam keharuan itu, sehingga ia segera
alihkan percakapan ke masalah lain.
"Bagaimana kau tahu kalau aku ada di
sini?"
"Aku baru saja pulang
dari pondoknya Resi Wulung Gading. Kudengar suara gelegar ledakan dari sini,
lalu aku penasaran dan ingin melihat siapa orang bertarung. Ternyata kau dan
Siluman Tujuh Nyawa. Aku tak tahu orang hitam keling ini ada dipihakmu atau di
pihak Siluman Tujuh Nyawa. Yang kutahu, aku harus selamatkan dirimu dari
pancungan si raja sesat itu!"
Logo bangkit dan berkata dengan
nada protes, "Aku bukan hitam keling. Kata ibu aku hitam manis!"
"Iya, benar. Kau hitam
manis. Angin Betina salah ucap!" kata Suto yang segera menenangkan Logo
kembali. Angin Betina hanya sunggingkan senyum tipis. Matanya melirik Suto pada
saat Pendekar Mabuk itu berkata,
"Dia anaknya Sumbaruni
yang sedang dicari-cari."
Angin Betina manggut-manggut
samar, nyaris tak terlihat gerakan kepalanya, ia hanya berkata dengan nada
ketus karena dipengaruhi rasa cemburu,
"Maksudmu, Sumbaruni yang
jatuh cinta padamu itu?"
Suto tidak menjawab. Hanya
tersenyum kecil, karena ia tahu jika pertanyaan itu dijawab dengan sanggahan
akan menghadirkan perang mulut saat itu juga. Suto Sinting bahkan segera
alihkan pembicaraan lagi ke arah Logo.
"Logo, apakah kau ingat mengapa
kau mengejar-ngejar perempuan tadi?"
"Karena disuruh."
"Siapa yang
menyuruh?"
"Siluman Tujuh
Nyawa."
"Bagaimana kau bisa
mengenalnya?"
"Ditolong dia."
"Sejak kapan?"
"Sejak jatuh dari atas
jurang."
"Hmmm...?!" Suto
manggut-manggut sambil menggumam.
Rupanya saat Logo dikabarkan jatuh terpeleset di Jurang Petaka, ia segera
diselamatkan oleh Siluman Tujuh Nyawa. Lalu hidup bersama tokoh sesat itu
selama beberapa waktu. Agaknya Logo mendapat pengaruh buruk dari tokoh sesat
itu, atau jiwanya berhasil dipecundangi oleh Siluman Tujuh Nyawa, sehingga Logo
menjadi pengikutnya yang setia dengan perintah dan tugas-tugasnya. Pantas jika
Siluman Tujuh Nyawa ingin membunuh Logo, sebab ia takut Logo buka rahasia
tentang tempat persembunyiannya selama ini. Tentunya Siluman Tujuh Nyawa tahu,
bahwa kesadaran Logo bisa dipulihkan kembali oleh Suto, sehingga anak jin itu
akan ingat tentang dirinya dan tentang hal-hal yang dilakukan di Jurang Petaka
bersama si tokoh sesat itu.
Logo mengaku pernah mendapat
siraman cahaya dari sepasang mata dinginnya Siluman Tujuh Nyawa, sehingga ia
merasa semua orang adalah musuhnya. Yang dianggap sahabat atau orang baik
hanyalah Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa itu.
"Lalu, mengapa Siluman
Tujuh Nyawa menyuruhmu mengejar-ngejar perempuan itu? Apa yang ia harapkan?
Apakah kau tahu?"
"Tahu," jawab Logo,
tapi setelah itu diam saja, tak menjelaskan apa yang diketahuinya. Pada saat
itu Angin Betina merasa kurang tertarik dengan percakapan tersebut, sehingga ia
memotong dengan kata-kata,
"Resi Wulung Gading
menyuruhku menengok Biara Genta. Menurut firasat beliau, ada bahaya di sana.
Aku sekarang mau ke Biara Genta, apakah kau mau ikut denganku atau mengantar
bocah itu sambil memadu rindu kepada ibunya?"
Suto sengaja tak menanggapi
sungguh-sungguh, karena hanya akan memancing pertengkaran mulut. Nada cemburu
itu hanya dibiarkan saja, kecuali sepatah kata melintas,
"Sebentar...," setelah itu Suto kembali bicara kepada Logo.
"Jika kau tahu apa yang
diharapkan Siluman Tujuh Nyawa, tolong jelaskan!"
"Aku disuruh
merebut."
"Merebut perempuan itu
tadi?"
Logo menggelengkan kepala
dengan mulut melongo.
"Lantas disuruh merebut
apa?"
"Pusaka."
"Pusaka apa?"
"Kitab!" jawab Logo
pendek-pendek, karena memang itu kebiasaannya bicara. Begitulah keadaan Logo
aslinya, bicara selalu pendek dan apa perlunya saja.
Tapi mendengar Logo disuruh
merebut pusaka dan pusaka itu adalah sebuah kitab, kening Suto menjadi
berkerut. Angin Betina juga memandang penuh perhatian, karena merasa tertarik
ingin mengetahui tentang kitab yang dimaksud Logo itu. Maka Angin Betina pun
segera ajukan pertanyaan.
"Kitab pusaka apa? Kau
ingat namanya?"
"Tidak," jawab Logo
sambil menggeleng iugu.
"Coba ingat-ingat... apa
nama kitab itu?" kata Suto.
Logo berkerut dahi, tundukkan
kepala beberapa saat, lalu ia pandangi Suto dan menggeleng.
"Jadi, kau tak ingat nama
kitab itu?"
"Tidak."
"Apakah Siluman Tujuh
Nyawa tak sebutkan nama kita itu?"
"Memang tidak."
"Pantas," gerutu
Angin Betina. "Biar disuruh mengingat satu tahun penuh tak akan ingat
namanya, sebab memang nama kitab itu tak disebutkan."
"Siluman Tujuh Nyawa
hanya suruh aku rebut kitab yang ada pada perempuan itu," kata Logo agak
panjang setelah diam beberapa saat dan menyusun kalimat seperti itu dalam
benaknya.
"Aku akan menuju Biara
Genta. Kalau kau tak mau ikut, akan kutinggalkan," kata Angin Betina yang
mulai tidak tertarik dengan kebodohan Logo lagi.
"Aku juga akan ke
sana," kata Suto. "Perjalananku terhenti karena melihat Lancang Puri
bertarung melawan Logo."
"Lancang Puri...?!"
gumam Angin Betina dengan dahi berkerut.
"Dia adalah cucunya
Pendeta Mata Lima."
Kerutan dahi Angin Betina kian
tajam. "Cucu...?!
Setahuku Pendeta Mata Lima dan
Pendeta Jantung Dewa tidak pernah kawin. Bagaimana mungkin dia bisa punya
cucu?"
"Hmmm... yah, mungkin
cucu angkatnya?!"
"Aku curiga!" kata
Angin Betina. "Aku kenal Lancang Puri, keponakan dari tokoh berdarah
dingin yang menguasai Pulau Lanang, hidupnya tergantung dari kemesraan seorang
lelaki. Nama perempuan itu adalah Nyai Gandrik!"
"Tepat sekali dugaanmu.
Lancang Puri memang bersama Nyai Gandrik."
"Hati-hati jika bertemu
dengan Nyai Gandrik. Kesaktian dan kekuatannya ada pada cumbuan asmara seorang
lelaki. Kau akan dibuat jatuh berlutut jika sudah berhadapan dengannya. Karena
dia punya penyakit kutukan, dalam satu purnama tak bergumul dengan lelaki, ia
akan mati lemas."
Pendekar Mabuk menjadi sangat
tertarik dengan cerita itu, terutama tentang pengakuan Lancang Puri, sebagai
cucu Pendeta Mata Lima. Atas persetujuan
Angin Betina, akhirnya Logo diizinkan ikut ke Biara Genta, karena Suto
Sinting merasa khawatir jika Logo disuruh pulang ke gua pantai Bukit Semberani
sendirian. Takut dikuasai oleh Siluman Tujuh Nyawa lagi. Maka sambil melangkah
menuju Biara Genta, Suto Sinting mendesak agar Angin Betina lanjutkan ceritanya
tentang Nyai Gandrik dan Lancang Puri.
"Percayalah padaku,
Lancang Puri bukan cucunya Pendeta Mata Lima. Tak ada hubungan apa pun dengan
pendeta kakak beradik itu. Mendiang guruku sangat kenal dengan Nyai Gandrik,
beberapa kali aku pernah ikut dalam pertemuan mereka. Lancang Puri mempunyai
perguruan sendiri yang bernama Perisai Sakti. Aliran silatnya merupakan aliran
silat gabungan antara jurus-jurusnya Resi Demang Sudra dan jurus-jurus Nyai
Gandrik. Sebab di dalam perguruan itu, Nyai Gandrik adalah sesepuh dan guru
agung."
"Kau pernah jumpa dengan
Lancang Puri?"
"Pernah satu kali, tapi
ia tidak kenal diriku. Akupun tak berminat mengenalnya karena kesombongannya
sebagai guru di antara para muridnya."
"Masih semuda itu sudah
menjadi guru?"
"Sebenarnya yang banyak
berperan dalam perguruan Perisai Sakti adalah Nyai Gandrik. Jabatan guru
disandangnya sebagai bahan kebanggaan dan angkuh- angkuhan saja. Sebenarnya
Lancang Puri ilmunya belum seberapa. Aku masih sanggup menumbangkannya."
"Apakah kau juga tahu
tentang Urat Setan?"
Langkah perempuan berwajah
cantik tapi berkesan liar itu terhenti sesaat. Matanya menatap lurus kepada
Suto Sinting.
"Kau mengenal Urat Setan
juga?"
"Kulihat Lancang Puri
bertarung melawan Urat Setan gara-gara rebutan sebuah pusaka."
"Urat Setan satu
perguruan dengan Lancang Puri, tapi beda masa. Urat Setan sudah pergi dari
perguruan dan diusir oleh Resi Demang Sudra, lalu beberapa saat barulah sang
Resi mengangkat murid lagi yaitu Lancang Puri. Jika mereka berebut pusaka,
pastilah pusaka peninggalan gurunya itu."
"Kalau begitu, pusaka
tersebut adalah kitab, dan kitab itu sekarang ada di tangan Lancang Puri.
Buktinya Logo diperintahkan Siluman Tujuh Nyawa untuk merebut kitab
tersebut."
"Kurasa memang begitu.
Tapi sebaiknya kita tak perlu ikut campur karena itu urusan perguruan
mereka."
"Aku setuju. Tapi aku
masih merasa heran, mengapa Lancang Puri harus mengaku sebagai cucu dari
Pendeta Mata Lima. Ia sangat sedih ketika mengetahui Biara Damai lenyap tak
berbekas dan...."
"Lenyap...?!" Angin
Betina memotong dengan nada heran. Langkahnya terhenti lagi, dan telinganya
menyimak baik-baik cerita dari Suto tentang nasib Biara Damai dan Pendeta Mata
Lima yang bagaikan ditelan bumi setelah reruntuhan itu terbungkus asap kuning.
Wajah cantik berkesan ganas
itu menjadi tegang. Kecemasan tersembunyi di balik sikap diamnya itu.
Lalu, ia segera berkata,
"Kalau begitu kita harus lekas-lekas tiba di Biara Genta. Mungkin hal
itulah yang diterima firasat Resi Wulung Gading sebagai firasat tak baik
tentang kedua biara tersebut."
Gerak langkah mereka kian
dipercepat, sepertinya sangat terburu-buru. Ternyata dalam waktu lebih singkat
lagi mereka sudah sampai di Lembah Canang. Tetapi mereka sama-sama tertegun
bengong mencari Biara Genta. Mereka berdiri di atas tanah lapang berumput tipis
tanpa pohon kecuali di tepian jauh sana, wajah Angin Betina kian menampakkan
kecemasannya.
"Hilang...?!" gumam
Suto Sinting seperti bicara pada diri sendiri.
"Tak mungkin. Kurasa kita
salah alamat."
"Tidak, Angin Betina! Aku
ingat betul, di sinilah letak bangunan Biara Genta berdiri. Aku masih ingat
patokannya, yaitu, tiga pohon pinang tinggi yang tumbuh di kaki bukit itu. Tiga
pohon pinang tinggi itu tumbuh tepat membentuk garis lurus dengan pintu gerbang
biara tersebut. Dan di sinilah letak garis lurus itu, Angin Betina."
"Ya," jawab Angin
Betina pelan sekali dengan wajah tegang. "Berarti nasib Pendeta Jantung
Dewa dan biaranya sama persis dengan nasib Pendeta Mata Lima dan biaranya
juga?!"
"Maksudmu, seseorang
telah membantai habis penghuni biara beserta Pendeta Jantung Dewa, lalu orang
itu memusnahkan reruntuhan dan korbannya dengan cara seperti yang kulihat di
Biara Damai itu?"
"Tepat! Kurasa
begitu."
"Lalu, menurutmu siapa
yang melakukanpemusnahan seperti ini?!"
Bingung juga menjawab
pertanyaan itu. Angin Betina hanya diam sambil matanya memandang ke sana-sini
dengan tegang, ia sedang berpikir, siapa pelakunya? Dan pada saat hening itu, tiba-tiba
Logo berkata kepada Suto,
"Aku mendengar suara
orang merintih di kejauhan sebelah utara sana!"
"Orang merintih? Hmmm...
mari kita periksa, Logo!"
Suto Sinting dan Logo bergerak
ke arah utara. Angin Betina masih terpaku heran di tempat berdirinya, ia
hampir-hampir tak percaya melihat bangunan biara sekokoh dan sebesar itu bisa
lenyap dengan ajaib sekali. Tak bisa dibayangkan ilmu apa sebenarnya yang
dipergunakan untuk melenyapkan bangunan sebesar itu bersama para penghuninya?
Apakah para penghuninya dibunuh dulu semuanya, baru dilenyapkan?
Angin Betina bergegas menyusul
Suto dan Logo. Ternyata kedua orang itu telah menemukan seorang korban yang
terjepit di sela-sela dua batu. Entah terjepit secara tak sengaja atau memang
sengaja bersembunyi di dua batu besar lalu tak bisa keluar karena dadanya
terluka parah, yang jelas orang itu masih hidup. Dilihat dari pakaiannya yang
serba kuning dan kepalanya polos tanpa rambut, orang berusia sekitar empat
puluh tahun dan bertubuh kurus itu pasti murid dari Biara Genta yang sempat
larikan diri. Luka di dadanya itu menghitam bekas torehan pedang atau senjata
tajam lainnya. Luka itu tidak hanya menghitam, namun juga membusuk sehingga
tumbuh belatung yang merayap ke sekitar luka, bagaikan menggerogoti sisa daging
yang masih ada.
Keadaan orang itu sudah parah.
Sangat pucat, menyerupai kertas putih. Tapi Suto Sinting segera menuangkan tuak
ke mulut orang itu, meminumkannya beberapa teguk. Logo diperintahkan
menyingkirkan salah satu batu besar yang menghimpit tubuh kurus itu. Orang
tersebut akhirnya berhasil diangkat dari celah- celah dua batu besar, ia
dibaringkan di bawah pohon. Tapi keadaannya bukan semakin sembuh namun semakin
parah. Napasnya tersengal-sengal dengan mata mulai terbeliak-beliak.
Ia hanya sebutkan kata,
"Kitab... Lorong Zaman...dicuri... orang...."
Wajah Angin Betina tersentak
kaget dan kian tegang. Padahal kitab itulah yang membuatnya ingin masuk ke
perguruan salah satu dari dua pendeta kakak-beradik itu. Ia ingin pelajari isi
Kitab Lorong Zaman.
"Mengapa ia menjadi
bertambah parah setelah minum tuakku?" gumam Suto seperti bicara pada diri
sendiri. Rupanya gumaman itu sempat didengar oleh si sakit, dan si sakit
berkata terputus-putus.
"Aku... telah...
bersumpah... tidak akan... minum tuak lagi. Jika aku minum... tuak... maka
aku... akan mati.... Dan, sekarang... aku meminumnya...."
"Ya, ampun...?! Maafkan
aku, aku tidak tahu kalau kau punya sumpah seperti itu. Maafkan aku!" kata
Suto penuh sesal karena telah meminumkan tuaknya dengan maksud mengobati orang
tersebut. Tetapi justru orang tersebut sekarang menghembuskan napas terakhirnya
tanpa memberi penjelasan siapa orang yang datang menyerang biara dan mencuri
Kitab Lorong Zaman.
Angin Betina diam dalam
keadaan murung di kejauhan sana. Suto Sinting tahu, Angin Betina sangat kecewa.
Sebab ketika ia utarakan maksudnya kepada Suto untuk menjadi murid salah satu
dari kedua pendeta itu, Suto sarankan agar Angin Betina tinggalkan jalan
sesatnya. Dan ternyata wanita itu sudah menuruti kata-kata Suto. Ia tidak lagi
menjadi tokoh silat beraliran hitam, ia bahkan menjadi prajurit di istana Muara
Singa, kepala pengawal Ratu dan termasuk orang andalan Ratu Galuh Puspanagari.
Tapi keinginannya untuk
pelajari isi Kitab Lorong Zaman cukup besar, sehingga ia mengundurkan diri dari
jabatan itu dan ingin bergabung dengan salah satu pendeta kakak-beradik itu.
Sebelumnya ia perlu meminta saran kepada Resi Wulung Gading, tapi justru Resi
Wulung Gading menyarankan agar Angin Betina selekasnya datang ke Biara Genta, karena
firasat sang Resi mengatakan ada sesuatu yang membahayakan Biara Genta.
Karenanya Angin Betina segera menuju ke Biara Genta dan bertemu Suto di
perjalanan tadi.
Kitab Lorong Zaman itu
ternyata telah dicuri oleh seseorang. Biara Genta dan Biara Damai telah lenyap
bagaikan tak pernah ada di permukaan bumi. Semua penghuninya ikut lenyap
kecuali seorang korban yang baru saja menghembuskan napas terakhir. Hati Angin
Betina sangat sedih memendam kekecewaan. Padahal Kitab Lorong Zaman itu
mempunyai ilmu yang istimewa dan sangat menarik untuk dipelajari. Kitab itu
yang membuat seseorang bisa mempunyai ilmu 'Tembus Waktu' sehingga bisa
melompat ke kehidupan masa lalu atau masa mendatang.
"Siapa pencurinya?
Lancang Puri-kah? Tapi sehebat itukah ilmu Lancang Puri?" pikir Angin
Betina dalam kesendirian.
*
* *
6
PELARIAN Lancang Puri tertahan
karena rubuhnya dua pohong menghadang langkahnya. Brruuk, gusraak...! Andai
saja Lancang Puri tidak hentikan langkah secara mendadak, tubuhnya akan
tertimpa dua pohon yang tumbang dari kanan-kirinya. Secepat kilat Lancang Puri
sentakkan kaki, melenting ke atas dan bersalto mundur dua kali. Wuk, wuuk...!
Jleg! Hati perempuan itu mulai curiga, dan kecurigaannya ternyata benar.
Tumbangnya pohon itu disebabkan ulah seseorang yang pasti sudah dikenalnya.
Orang tersebut tak lain adalah si Urat Setan. Wajah tuanya muncul dari sisi
kiri dengan tenang dan dingin. Tapi Lancang Puri tampak sedikit tegang. Tidak
setenang waktu berhadapan di petilasan Biara Damai itu.
"Kali ini kau tak bisa
menyangkal anggapanku lagi, Lancang Puri. Kulihat sendiri Biara Genta telah kau
lenyapkan bersama Nyai Gandrik, bibimu! Tentunya Kitab Lorong Zaman telah ada
di balik jubahmu itu!"
Sambil berkata demikian, Urat
Setan melangkah tenang dekati Lancang Puri hingga jaraknya mencapai tiga
tombak. Lancang Puri memandang sengit kepada Urat Setan. Mulutnya masih
terbungkam dengan sikap berdiri sedikit merenggang.
"Demi keselamatan
nyawamu, Lancang Puri, sebaiknya serahkan saja kitab pusaka itu padaku!"
"Kitab itu tidak ada
padaku! Kalau kau menginginkannya, kejarlah bibiku yang menuju Pulau Lanang
itu!"
"Aku bukan anak kecil
yang mudah kau bodohi, Lancang Puri. Jika kitab itu ada pada bibimu, kau tak
akan beri tahukan hal itu padaku. Jadi, aku semakin yakin bahwa kitab pusaka
itu ada padamu!"
"Kau tak akan memperoleh
apa-apa jika mendesakku. Mungkin malah akan memperoleh celaka yang membuatmu
menyesal seumur hidup, Urat Setan!"
Mata Urat Setan memandang
penuh selidik. Dilihatnya Lancang Puri tidak membawa benda apa pun. Tapi Urat
Setan masih curiga dengan keadaan di balik jubah putih Lancang Puri.
"Setidaknya kitab itu
disembunyikan di pinggang belakang," pikirnya dengan mulut terkatup rapat.
"Aku harus bisa memastikan adakah sesuatu di pinggang belakangnya
itu?"
Sesaat kemudian, Urat Setan
perdengarkan suaranya, "Jika kau masih bersikeras sembunyikan kitab itu di
pinggang belakangmu, maka aku pun tak akan ragu-ragu lagi untuk mengakhiri
riwayat hidupmu, Lancang Puri!"
"Gertakanmu tidak
membuatku ciut nyali, Urat Setan! Bertindaklah sekehendak hatimu, aku akan
melayani dengan tanpa ragu pula!"
"Keparat kau!" geram
Urat Setan mulai tak bisa bersabar lagi. Tiba-tiba tubuhnya tersentak maju dan
melayang di udara. Wuuuttt...!
Lancang Puri tidak menghindar,
melainkan justru menyambut serangan itu dengan gerakan melesat ke depan, kedua
tangannya siap dihantamkan lawan.
Wuuuttt...!
Plak, plak, plak, duaarr...!
Beradu kecepatan pukulan
tangan di udara menghasilkan bunyi ledakan yang membuat mereka sama-sama
terpental. Bunyi ledakan tadi terjadi ketika telapak tangan mereka beradu dan
memercikkan sinar merah terang. Rupanya mereka sama-sama pergunakan jurus
serupa dan mempunyai kekuatan yang seimbang. Perpaduan dua jurus serupa hanya
membuat tubuh mereka sama-sama terpental tanpa luka sedikit pun. Dalam kejap
berikutnya, mereka sudah sama-sama terpental berdiri sigap dan siap lakukan
serangan berikutnya.
Urat Setan mengambil sikap
berdiri tegak, keduakakinya merenggang dan sedikit merendah. Lalu kedua tangannya
bertelapak mengembang, tapi ibu jarinya terlipat sementara jari-jari lainnya
merapat lurus. Kedua tangan itu berada di masing-masing pinggang dalam keadaan
telapakannya terbuka ke atas. Dengan sentakan tak bernapas, kedua telapak
tangan itu disodokkan lurus ke depan, namun tak sampai membuat sikunya tegak.
Suuutt...!
Clap, clap...! .
Dua sinar merah lebar melesat
dari kedua tangan tersebut. Sebelum mencapai pertengahan jarak, sinar itu
bergabung menjadi satu dan membentuk wujud gumpalan asap merah membara sebesar
bola. Gumpalan sinar merah membara itu melesat lebih cepat lagi ke arah
sasaran.
Lancang Puri segera berlutut
satu kaki. Kemudian tangan kanannya membentuk cakar dan disentakkan di atas
kepala. Dari tengah cakar itu melesat sinar hijau lebar membentuk piringan.
Penampang sinar itulah yang bagaikan tangan raksasa menangkap bola asap merah
membara. Zluubb...! Sinar hijau menggulung gumpalan asap merah sesaat, kejap
berikutnya kedua sinar yang bertarung sendiri itu sama-sama meledak.
Blegaarr...!
Ledakan itu melepaskan angin
badai ke berbagai arah. Menghentak begitu kuatnya, sehingga tubuh Urat Setan
terlempar membentur gundukan batu cadas di belakangnya, sedangkan tubuh Lancang
Puri buru-buru tiarap, namun terdorong pula oleh hembusan angin membadai hingga
ia bagaikan diseret dari belakang. Untung kedua kakinya segera menemukan akar
pohon yang menonjol besar, sehingga ia bisa bertahan menghadapi dorongan angin
badai itu. Brruuukk...! Blaaammm...!
Dua pohon tumbang lagi karena
dihempas angina badai yang keluar dari ledakan dua sinar tadi. Lancang Puri
tidak pedulikan tumbangnya dua pohon itu. Ia cepat-cepat berdiri dan berlari
menuju lawannya sambil mencabut pedang. Sraang...! Wuuttt...! Tubuhnya melompat
ketika berjarak lima langkah dari si Urat Setan yang baru saja berdiri. Pedang
pun ditebaskan dengan gerak tipuan ke arah pundak kiri lawan. Wuuss...!
Slaap...! Urat Setan bagai
menghilang seketika. Pedang itu mengenai tempat kosong. Sedangkan Urat Setan
tahu-tahu sudah berada di belakang Lancang Puri. Sebuah pukulan tangan kanan
yang menyodok ke depan dilakukan dengan kaki menghentak ke bumi. Jluugh...! Dan
tiga pisau terbang melesat dari tangan itu, bagaikan keluar dari dalam kain
jubah yang membungkus lengannya secara longgar itu. Slap, slap, slap...!
Punggung Lancang Puri menjadi
sasaran paling empuk bagi tiga pisau terbang itu. Sayang sekali seberkas sinar
lurus lebar meluncur dari arah samping berbentuk seperti bambu tanpa ruas.
Sinar hijau tua itu menghantam tiga pisau terbang tersebut. Prakkk...!
Blaarr...!
Tiga pisau terbang hancur
menjadi berkeping-keping, menyebar ke arah samping. Tak satu pun bagian
kepingan itu yang kenai tubuh Lancang Puri. Perempuan itu cepat balikkan badan
dan sedikit terperanjat setelah mengetahui bahwa dirinya tadi nyaris mati jika
tidak tertolong oleh melesatnya sinar hijau tua itu. Ia segera berpindah tempat
dengan satu lompatan menyamping. Keadaannya sekarang sedikit terhadang gugusan
batu cadas.
Urat Setan dongkol sekali.
Semestinya ia sudah bisa membunuh Lancang Puri, tapi karena ada yang ikut
campur dalam pertarungannya, maka Lancang Puri masih berdiri tegar di depannya.
Bahkan perempuan itu kini sudah berada di atas gugusan batu cadas dengan pedang
tergenggam penuh tantangan. Jubahnya yang putih melambai-lambai tertiup angin.
"Laknat! Busuk! Siapa
yang berani ikut campur urusanku, hah?!" teriak Urat Setan dengan berang
sambil matanya memandang ke sana-sini, bagai tak pedulikan keadaan Lancang Puri
yang bisa menyerangnya sewaktu-waktu itu.
Tiba-tiba dahan pohon yang
tepat berada di atas kepala Urat Setan itu patah dalam keadaan meruncing. Ujung
runcingnya meluncur ke bawah bagaikan ingin memantek kepala Urat Setan.
Krak...! Wuuusstt...!
Urat Setan sigap, ia segera
berguling ke samping dan cepat cabut cambuknya dari pinggang. Dengan satu kaki
berlutut ia lecutkan cambuk itu ke arah dahan besar yang meluncur ke bawah itu.
Taarr...! Dahan tersebut terkena cambukan satu kali, pecah menjadi
serpihan-serpihan sebesar kelingking.
"Siapa yang membantuku? Tak
kulihat gerakan orangnya?" pikir Lancang Puri. "Yang jelas jurus itu
bukan milik Bibi Gandrik. Gaya menyerangnya tidak menyerupai penyerangan Bibi
Gandrik. Pasti ada orang lain. Apakah pendekar tampan itu yang menolongku? Ah,
aku jadi serba salah kalau berhadapan dengan Suto, si pendekar tampan
itu."
Terdengar seruan Urat Setan
yang sudah semakin marah itu, "Keluar kau, Bangsat! Maju ke depanku kalau
kau ingin menjajal ilmuku!"
Dari semak belukar muncul
sesosok tubuh berbadan tegap dan berparas tampan. Lancang Puri sempat terkejut
melihat kemunculan orang itu. Hatinya mulai membatin, "Celaka! Pemuda itu
lagi! Dia pasti masih terkena pengaruh Racun Edan Cumbu-ku!"
Dewa Rayu sengaja tampakkan
diri dan dekati gugusan batu cadas tempat berdirinya Lancang Puri. Tapi
pandangan matanya tertuju ke arah Urat Setan. Pemuda yang masih dalam pengaruh
Racun Edan Cumbu itu sudah dalam keadaan tidak serapi dulu. Kain bajunya
membuka hingga menampakkan dadanya yang bidang. Letak sabuknya pun tidak
mengikat baju lagi. Letak ikat kepala dari lempengan perak pun sudah tidak
lurus dan rapi seperti semula, ia tampil dalam keadaan kusut, seperti orang
tidak tidur dua hari dua malam.
"Bocah edan! Jangan
coba-coba menjadi satria di depanku kau!" geram Urat Setan dengan mata memandang
lurus penuh kemarahan. Cambuknya masih tergenggam di tangan kanan dan siap
lecut kapan saja dibutuhkan.
Dewa Rayu tidak banyak bicara.
Matanya memandang Lancang Puri yang ada di atas gugusan batu. Sekejap saja ia
memandang, lalu pandangan itu ditujukan kepada Urat Setan, dan suaranya
terdengar lantang penuh pada permusuhan.
"Aku tak peduli akan
menjadi satria atau menjadi setan seperti kau, Pak Tua. Tapi kuingatkan satu
kali saja, jangan ganggu kekasihku itu jika kau ingin panjang umur dan cepat dapat
jodoh!"
"Bangsat! Kusingkirkan
penghalang ini dengan jurus 'Cambuk Ular Kadut'! Terimalah, Bocah
bodoh!Heaaah...!"
Cetaaarr...!
Cambuk melecut di udara,
ujungnya melepaskan sinar merah bagaikan kawat berkelok-kelok. Sinar merah itu
bergerak cepat mirip gerakan seekor ular terbang. Ketika sudah dalam jarak dekat, barulah Dewa
Rayu melompat dan bersalto ke belakang,
lalu kedua tangannya meliuk bagai memutar pergelangan tangan dan menyentak ke
depan pada saat telapak tangan menghadap ke depan. Wuuuttt...! Claapp...! Sinar
hijau tua terlepas dari telapak tangan tersebut. Kedua sinar bergabung
membentuk wujud seperti sebatang bamboo tua. Sinar itu menghantam sinar merah
berkelok-kelok bagaikan ular.
Zraasb...!
Tak ada bunyi ledakan apa pun.
Tetapi kedua sinar itu sama-sama berhenti di udara. Sinar merah yang lebih
kecil bagaikan mendekam di dalam sinar hijau. Dewa Rayu terkesiap memandangi
sinar hijaunya tidak pecah dan tidak bergerak lagi, diam di udara dengan
gerakan-gerakan kecil seperti sedang mengunyah sinar merah.
Tetapi mendadak sinar hijau
itu bergerak berkelok-kelok pula seperti ular dan melesat menuju Dewa Rayu.
Melihat sinar hijaunya yang ditumpangi sinar merah kecil tadi bergerak ke
arahnya, Dewa Rayu segera sentakkan kaki hingga tubuhnya melenting di udara.
Wuuuttt...! Kakinya segera menjejak sebatang pohon, dan tubuhnya menjadi
meluncur deras ke arah Urat Setan. Sementara itu sinar hijau berkelok-kelok
kembali diam di tempat, bagai mencari ke mana arah kepergian mangsanya.
Pedang dicabut dari pinggang
Dewa Rayu. Sraang...! Tubuhnya yang meluncur bagaikan terbang itu segera
dihadang oleh cambuk Urat Setan. Cambuk itu dilecutksn satu kali dengan satu
hentakan suara keras.
"Heeaaah...!"
Taarr...! Ujung cambuk keluarkan sinar merah
lagi seperti ular terbang. Tapi kali ini Dewa Rayu kibaskan pedang ke samping,
dan sinar merah itu menyambar ujung pedang, lalu memantul ke arah Urat Setan
menjadi tiga sinar memanjang berwarna merah berkelok-kelok. Zzraasap...! Tiga
sinar merah yang memanjang tiada putus dari ujung pedang tersebut menghantam
tubuh si Urat Setan. Traat... dueer...! Tubuh Urat Setan yang bermaksud
menghindar menjadi terjungkal bersama cambuknya. Kaki kirinya terbakar, api
menyala membungkus kaki itu. Tapi dengan satu kali hembusan napas tenaga dalam
berhawa dingin, api itu padam kembali.
"Puiih...!"
Sedangkan pedang Dewa Rayu
masih memancarkan kilatan-kilatan cahaya merah kecil-kecil dan memanjang.
Sebenarnya cahaya itu akan diarahkan kembali ke tubuh si Urat Setan. Tetapi
sinar hijau besar yang berkelok-kelok karena ditumpangi sinar merah pertama
tadi sedang meluncur ke arah Dewa Rayu. Mau tak mau pemuda tampan itu
mengarahkan percikan tiga sinar dari ujung pedangnya.
Traatt... blaaarr...!
Kini sinar hijau itu meledak dengan dahsyat.
Gelombang ledaknya menghentak
dan menaburkan hawa panas yang tinggi. Kulit pohon mengelupas dan dedaunan
menjadi keriting karena hawa panas itu. Sedangkan tubuh Dewa Rayu cepat-cepat
bersembunyi di balik batang pohon besar yang juga ikut terkelupas kulitnya di
bagian yang mengarah ke ledakan tadi. Sedangkan Urat Setan sempat berlompatan
penuh makian menghindari hawa panas yang menyengat kulit tubuhnya.
"Bocah Edan! Jurus apa
yang digunakan itu?!" rutuk Urat Setan sambil berlindung di balik pohon
besar juga.
Ketika gelombang hawa panas
hilang, kedua tokoh yang bertarung itu sama-sama keluar dari pohon. Tapi pedang
Dewa Rayu yang terbuat dari logam kuningan mengkilap mirip emas itu masih
memercikkan tiga larik sinar berkelok-kelok. Pedang itu tetap terangkat lurus
dan tiga sinarnya menjilat bumi sekitar tempatnya berpijak.
Lancang Puri ternyata sudah
lenyap dari atas gugusan batu cadas. Tentunya kesempatan itu dipergunakan untuk
melarikan diri daripada harus melayani pertarungan dengan Urat Setan. Melihat
hilangnya Lancang Puri, Urat Setan sempat terperanjat, lalu dilihatnya teriakan
perempuan itu sudah berada di tempat yang jauh, menyelinap di sela-sela jajaran
pohon hutan.
"Lancang Puri! Jangan
lari kau! Tunggu...!" teriak Urat Setan sambil bergegas melarikan diri
mengejar Lancang Puri. Tetapi Dewa Rayu berkelebat dengan gerakan saltonya dan
tahu-tahu sudah menghadang jangkah Urat Setan.
"Tak kuizinkan kau
mengejar kekasihku, Pak Tua!"
"Kurajang habis tubuhmu
kalau tak mau minggir dari depanku, Bocah dungu!" sambil cambuknya
siap-siap mau dilecutkan. Tapi Dewa Rayu tak merasa takut sedikit pun.
Pedangnya yang masih memercikkan tiga larik sinar kecil menjilat-jilat bumi itu
segera ditebaskan ke depan. Wuutt...! Srraaat...! Tiga sinar merah menyambar
tubuh si Urat Setan. Namun orang itu mampu bergerak cepat bagaikan menghilang,
tahu-tahu sudah berada di belakang Dewa Rayu. Ia melecutkan cambuknya di udara
dengan kibasan tangan bolak-balik. Ujung cambuk itu melecut berkelok-kelok dan
menaburkan sinar-sinar merah kecil.
Tar, tar, tar, tar, tar,
tar...!
Hujan sinar merah kecil mirip
gerakan ular ganas segera menyerang Dewa Rayu. Jumlah sinar tersebut lebih dari
dua puluh larik berukuran masing-masing satu atau dua jengkal panjangnya. Dewa
Rayu sempat kebingungan menghindari sinar merah sebanyak itu. Ujung pedangnya
sudah tak bisa menyerap sinar itu lagi karena tiga larik sinar masih memercik
dari ujung pedang tersebut.
Dalam keadaan terdesak seperti
itu, sesosok tubuh tiba-tiba menyambar Dewa Rayu dari arah belakang. Wuuttt...!
Tubuh Dewa Rayu bagaikan diajak terbang ke tempat seberang, sementara hujan
sinar merah segera mengejar ke arah seberang juga. Sinar-sinar itu bergerak
bagai rombongan ular terbang yang tak mau biarkan lawan atau mangsanya lolos
dari pengejaran.
Orang yang menyambar tubuh
Dewa Rayu itu segera sentakkan tangan kanannya, dan gumpalan asap hitam
bagaikan awan mendung menyembur dari telapak tangan itu. Kian lama kian tebal
dan menyergap rombongan sinar merah yang menghujani Dewa Rayu tadi. Kejap
berikutnya, terdengar gelegar ledakan yang cukup dahsyat sempat membuat tanah
bergetar hebat, blegaaarrr...!
Beberapa pohon yang tumbang
tak dihiraukan oleh mereka. Bagian tanah yang retak pun tak diperhatikan lagi.
Kini sasaran orang yang menyambar Dewa Rayu adalah Urat Setan. Dipandanginya
Urat Setan dengan mata angker penuh gairah untuk membunuh.
"Jahanam kau, Harimu
Jantan! Rupanya kau ingin ikut modar juga dengan bocah dungu itu, hah?!"
Harimau Jantan tertawa
terkikik-kikik. "Hik, hik, hik, hik...!" Tawanya itu mirip
kuntilanak, sehingga Dewa Rayu menjadi terheran-heran memandangi orang yang
menyambarnya itu. Harimau Jantan berkata kepada
Dewa Rayu dengan suara
perempuannya,
"Diamlah di sini, biar
kuhadapi si Urat Setan! Lihatlah bagaimana membunuh urat yang hidup dengan
liar! Hik, hik, hik...!" Lalu tangannya sempat mencubit pipi Dewa Rayu
dengan gemas. "iiih... gantengnya!" ia melenggok manja. Tapi
tiba-tiba tubuhnya melesat cepat. Walau gemuk, namun mampu berkelebat secepat
daun kering diterbangkan angin badai. Weesss...!
"Mati kau, Urat
Setan...!" teriaknya dalam suara kecil dan golok pun dicabutnya. Golok itu
segera berkelebat menebas ke depan pada saat cambuk hitam kemerahan itu mau
melecut tubuhnya. Traakkk...! Cambuk melilit di mata golok putih, dan golok itu
tiba-tiba bersinar membara warna merah, bagaikan terpanggang api.
Harimau Jantan menyentakkan ke
samping. Wuuuttt...! Teess...! Tapi cambuk itu putus seketika. Urat Setan
terbelalak melihat cambuknya putus.
"Hiaaah...!" pekik
Harimau Jantan dengan sentakkan tangan kiri yang membentuk cakar harimau. Dari
tangan kirinya keluar asap hitam seperti tadi, namun sebelum menjadi gumpalan
besar sudah dihantam oleh pukulan tenaga dalam Urat Setan. Blaarr...! Pukulan
tanpa sinar itu justru menghasilkan sinar ledak warna putih ketika membentur
asap hitamnya Harimau Jantan.
Dewa Rayu yang telah
memasukkan pedang ke sarungnya segera
berkelebat pergi ke arah pelarian Lancang Puri. "Aku tak bisa berpisah
terlalu lama denganmu, Kasih! Lancang Puriii....! Peluklah aku,
Sa-yaaang...!" serunya sambil melesat pergi, dan seruan itu didengar oleh
kedua tokoh yang sedang bertarung itu, tetapi mereka tak bisa hiraukan Dewa
Rayu karena keduanya saling serang dengan sengit.
Pada saat itu Suto Sinting
tiba di tempat tersebut bersama Logo. Ia berpencar dengan Angin Betina untuk
mencari Lancang Puri yang diduga keras telah mencuri Kitab Lorong Zaman.
Pendekar Mabuk menahan gerakan langkah Logo dan menyuruh Logo bersembunyi di
balik dua pohon yang tumbuh merapat itu.
"Siapa mereka?"
tanya Logo.
"Urat Setan dan Harimau
Jantan. Keduanya punya dendam yang harus diselesaikan secara jantan. Tapi aku
sangsi apakah Harimau Jantan itu benar-benar jantan, sebab gerakannya seperti
gerakan seorang putri raja memainkan jurus golok dengan gemulai."
"Apakah aku perlu turut
campur?"
"Jangan, Logo! Itu bukan
urusan kita. Kita tonton saja seperti apa keunggulan jurus mereka," kata
Suto Sinting dengan mata tertuju ke arah pertarungan.
Gerakan Harimau Jantang memang
lebih mirip gerakan silat seorang wanita malu-malu kucing. Kadang ia berlindung
di balik pohon dan menampakkan kepalanya sambil tersenyum-senyum malu tapi
kejap berikut tangan kirinya melepaskan pukulan tenaga dalam yang bergerak
dengan cepat. Wuutt...!Dees! Pukulan itu terkena telak di dada Urat Setan,
sukar ditangkis dan dihindari.
"Uuuhg...!" Urat
Setan terbungkuk, dadanya terasa mau jebol. Namun ia segera sigap kembali dan
membalas dengan melepaskan pukulan jarak jauh.
Clap, Clap, Clap,..!.
Tiga sinar merah berbentuk
tiga pisau terbang melesat ke arah Harimau Jantan. Tapi tiga sinar itu mampu
dipatahkan dengan kibasan goloknya yangbergerak cepat nyaris tak terlihat
kecuali kilatan cahaya logamnya terkena pantulan sinar matahari.
Harimau Jantan akhirnya
memutar tubuh bagaikan sedang menari, dan goloknya dilemparkan pada saat tubuh
berputar. Lemparan golok itu sama sekali tidak diduga-duga oleh lawan, sehingga
Urat Setan terperanjat, tahu-tahu ulu hatinya telah ditancap oleh golok tersebut.
Jruub...!
"Aahg...!" mata Urat
Setan mendelik, kaku sebentar, lalu tumbang dalam keadaan tengkurap. Bluuss...!
Tentu saja golok itu semakin menembus tubuhnya karena membentur tanah.
"Goblok, goblok,
goblok...!" seru Harimau Jantan dengan langkah melenggok-lengok dekati
Urat Setan. "Sudah tahu golok ada di depannya kok jatuhnya ke depan.
Uuh... payah! Lain kali pakai cara sendiri kalau mau jatuh, biar... lho, sudah
mati?!" katanya sambil menggulingkan tubuh Urat Setan yang tidak bernapas
lagi itu.
"Ya, ampuuun... mau mati
kok tidak bilang dulu. Kalau begini aku tidak bisa titip pesan sama nenek
moyangku di alam baka sana. Ah, masa bodohlah!" golok pun dicabut dengan
gerakan gadis ganjen mencabut sesuatu dengan jijik.
"Eh, ke mana tadi si
tampan berkumis tipis?! Aduh, pasti bersembunyi cari tempat untukku! Hmmm...
awas nanti kalau tertangkap, kusekap dia semalam suntuk, biar tahu rasa
bagaimana nikmatnya bercumbu denganku. Hik, hik, hik...!"
Harimau Jantan pergi searah
dengan kepergian Dewa Rayu. Arah yang diambil secara untung-untungan itu
membuat Suto Sinting berkerut dahi dan berkata, "Pasti yang dimaksud si
Dewa Rayu. Hmm... mau diapa-kan anak muda itu?".
*
* *
7
PENGEJARAN Dewa Rayu tanpa
disengaja berhasil menemukan Lancang Puri. Sebenarnya Dewa Rayu sudah salah
langkah, salah arah, tapi justru arah yang dituju itu adalah jalan pintas
menuju jalanan yang dipergunakan Lancang Puri. Maka ketika Dewa Rayu melihat
Lancang Puri berlari dari arah samping kanannya, ia segera mendaki bukit cadas
yang tak seberapa tinggi itu dan melompat turun dengan gerakan bersalto tiga
kali. Wuk, wuk, wuk...! Jleeg...!
Kedua kaki pemuda tampan yang
terpengaruh Racun Edan Cumbu itu mendarat di tanah dengan sigap. Tepat ketika
itu kaki Lancang Puri mencapai tanah di sampingnya. Langkah perempuan itu pun
terhenti dengan suara dengus kedongkolan melalui lubang hidungnya yang mancung
itu.
"Sial! Ketemu dia
lagi!" gerutunya dalam hati. "Lancang Puri, mengapa kau tinggalkan
aku, Sayang?!" rayu pemuda tampan setengah gila itu. "Dekatlah aku,
pelukiah aku erat-erat! Kalau kau tak mau, biarlah aku memelukmu,
Sayang...!"
Dewa Rayu mendekat dengan
kedua tangan merentang siap memeluk. Namun Lancang Puri tiba-tiba hantamkan
telapak tangan kanannya ke dada Dewa Rayu.
Deeegh...!
"Pergi kau dan jangan
ganggu aku lagi!" bentaknya.
Dewa Rayu diam bagaikan patung
dengan kedua tangan masih merenggang seperti hendak memeluk. Matanya tak
berkedip, mulutnya terkatup rapat. Tetapi dari mulut itu segera merembas keluar
lelehan darah kental warna merah segar. Pukulan di dadanya telah membuat luka
di bagian dalam, luka itulah yang menyemburkan darah naik ke mulut dan membuat
pandangan mata mulai kabur.
Pemuda yang sudah kasmaran itu
akhirnya limbung ke samping. Namun ia masih berusaha untuk tetap berdiri dan
bersuara parau,
"Lancang Puri... ciumlah
aku seperti kemarin. Ciumlah dengan penuh cinta, Sayangku...!" sambil ia
berusaha mendekat. Lancang Puri semakin benci melihat lelaki yang terlalu mudah
mengobral rayuan. Maka ditendangnya dada pemuda itu dengan tendangan lurus ke
depan, ujung kakinya menyodok ulu hati Dewa Rayu.Wuutt...! Duuhg...!
"Eeehg...!" Dewa
Rayu terpekik tertahan. Tendangan itu bukan sembarang tendangan. Tenaga dalam
disalurkan melalui kaki, sehingga tak heran jika tendangan itu mampu membuat
tubuh Dewa Rayu tersentak naik, darahnya kian mucrat dari mulut. Matanya mulai
terbeliak-beliak pertanda nyawa mulai siap-siap pergi dari raga tampan itu.
Namun tiba-tiba sekelebat
bayangan berjubah hitam melintas dan menyambar tubuh Dewa Rayu. Wuuut...! Dalam
waktu sekejap tubuh pemuda itu sudah ada di pundak orang tersebut. Terkulai
lemas di pundak itu.
"Kalau tak suka, jangan
bunuh dia! Biar kurawat di Pulau Lanang!"
"Bibi...?!"
"Aku membutuhkan dia
sebelum purnama tiba!"
"Jika itu kehendak Bibi,
silahkan saja. Aku tak akan mengganggunya lagi."
"Cepat ke pantai, ambil
kitab itu di sana, pada tempat yang sudah kujanjikan. Aku akan langsung menuju
Pulau Lanang bersama pemuda ini!"
Sepasang mata yang mengintai
dari balik celah batu hanya membatin, "O, kitab itu ada di pantai?
Sebaiknya aku ke sana sekarang juga. Tapi... di sebelah mana kitab itu
disembunyikannya? Pantai itu luas, tak mungkin aku harus menggali pasir pantai
seluas itu?!"
Si pengintai menjadi tertarik
dengan kemunculan orang gemuk berpakaian serba hijau itu. Rupanya si pengintai
mengenali orang gemuk berwajah angker, sehingga ia membatin,
"Harimau Jantan?! Apakah
ia juga ikut merebutkan kitab pusaka itu?!"
Suara Karto Kusir yang
menjuluki dirinya Harimau Jantan terdengar cempreng dan kecil, mirip seorang
istri yang cerewet. Matanya memandang ke arah Nyai Gandrik yang memanggul tubuh
Dewa Rayu dan hendak dibawanya pergi.
"Hei, Gandrik?! Mau
dibawa ke mana si tampan itu?! Dia bagianku! Lepaskan dia, biar kudekap semalam
suntuk baru kuberikan padamu, Gandrik!"
"Hancurkan mulut kotor
itu, Lancang Puri!" perintah Nyai Gandrik dengan nada tegas dan berkesan
bengis. Lancang Puri hanya anggukkan kepala tipis. Lalu ia biarkan bibinya
pergi membawa Dewa Rayu yang terluka parah.
"Hei, tunggu...! Kurusuh
meletakkan pemuda itu kok malah dibawa lari?! Gandrik...! Gandrik...! Aduuuh...
itu orang kenapa jadi tuli, ya?"
Wuuttt...! Harimau Jantan yang
banci itu segera melesat mengejar Nyai Gandrik yang berlari cepat sambil memanggul
Dewa Rayu. Tapi gerakan Harimau Jantan terhalang karena serangan tenaga dalam
dari tangan kanan Lancang Puri. Tenaga dalam itu melesat tanpa warna dan
menghantam rusuk kiri Harimau Jantan. Buuugg...!
"Uuhg...!" Harimau
Jantan mengejang dalam keadaan terlempar dan jatuh berdebam di tanah cadas, ia
mengerang sejenak dengan wajah menyeringai. Sementara itu Nyai Gandrik sudah
semakin jauh dalam pelariannya.
"Kalau kau nekat mengejar
bibiku, kau akan lebih menderita lagi, Harimau Banci!" kata Lancang Puri
yang sudah mengenal lelaki itu.
"Bibimu mencuri
kekasihku!" kata Harimau Jantan sambil berdiri. "Aku sedang naksir
pemuda itu, tapi dibawanya lari. Tentu saja aku marah. Mengapa kau melarangku
mengejarnya?"
"Dewa Rayu akan menjadi
obat bagi bibiku! Kau jangan mengganggunya lagi! Carilah pria lain yang pantas
menjadi pasangan cinta edanmu itu, Karto Kusir!"
"Aku tidak mau! Aku
kepingin pemuda itu!"
"Kalau kau masih nekat
mengejar bibiku, aku terpaksa bertindak lebih kasar lagi padamu, Karto
Kusir!"
"Eh, kau kira aku takut
padamu? Kau kira aku takut? iya?" sambil mulutnya maju,
dimonyong-monyongkan dengan genit, ia meliuk ganjen dengan bersungut-sungut.
Lalu bibirnya mencos sana-sini ketika berkata,
"Biar kamu muridnya Resi
Demang Sudra, aku tak gentar melawanmu. Kecantikanmu pun tak sebanding dengan
kecantikanku. Bagaimanapun juga lelaki akan mengatakan aku lebih ayu, lebih
manis darimu. Hmmm...! Kusosor baru kapok kau!"
Kemudian Harimau Jantan nekat
berlari mengejar Nyai Gandrik. Tetapi Lancang Puri segera lepaskan pukulan
seperti tadi dan tepat kenai punggung Harimau Jantan. Buuhg...! Gasruuuk...!
Harimau Jantan tersungkur ke tanah.
"Eh, copot...!
Aauh...!" pekiknya bernada genit-genit menjijikkan. Hampir saja kumisnya
menyapu tanah kalau kedua tangan tak segera bertumpu dan menyentak naik dengan
cepat. Tak heran jika dalam sekejap kurang ia sudah berdiri dan berpaling
kepada Lancang Puri. Orang itu walaupun berbadan gemuk, tapi kelincahannya
melebihi orang yang berbadan kurus.
"Kurangajiiiaar...!"
umpatnya dengan bibir miring tajam hampir mirip gagang centong nasi.
"Tindakanmu sudah keterlaluan, Lancang Puri. Aku harus memberi pelajaran
baru untukmu! Hiaaah...!"
Harimau Jantan melompat dan
menerjang Lancang Puri. Oleh perempuan itu terjangan tersebut justru disambut
dengan terjangan lebih cepat lagi. Tubuh mereka saling beradu di udara.
Bruuuss...! Des, des...! Pangkal telapak tangan Lancang Puri berhasil menyodok
dagu Harimau Jantan dua kali. Tetapi kedua tangan Harimau Jantan pun berhasil
mencakar dada Lancang Puri yang hanya tertutup pinjung sebatas belahan dadanya.
Breet...!
Ketika mereka sama-sama
terpental dan bangkit berdiri kembali, Harimau Jantan meludahkan darah dari
mulutnya. Rupanya mulutnya berdarah karena hantaman telapak tangan Lancang Puri
tadi. Dua giginya tanggal, dua lagi hampir ikut rontok, hanya goyang sedikit.
Sedangkan dada mulus Lancang Puri menjadi terluka. Luka goresan itu sangat
dalam, karena tiba-tiba saja tadi jari-jari Karto Kusir yang banci itu dapat
keluarkan kuku runcing yang tak begitu tajam, mirip kuku seekor harimau.
Dengan napas terengah-engah
karena menahan sakit di dagunya yang terasa remuk, Harimau Jantan berkata
setelah melihat dada lawannya koyak tiga baris.
"Tak akan ada obatnya!
Jurus 'Cakar Harimau Siang' akan membusukkan sekujur tubuhmu. Sampai tengah
malam nanti kau akan mati dalam keadaan membusuk sekujur tubuh tanpa kecuali.
Racun itu sulit ditawarkan, sama halnya dengan Racun Edan Cumbu-mu itu. Hik,
hik, hik...!"
"Jahanam kau, Karto
Kusir!" geram Lancang Puri dengan mata menyipit dendam dan kedua tangan
menggenggam kencang, ia merasakan panas luar biasa pada luka-lukanya, namun
berusaha ditahannya kuat-kuat.
"Kau akan menjadi wanita
terbusuk di dunia. Hik, hik, hik, hik...! Jika kau mau sembuh, kau harus
dapatkan kembali pemuda tampan itu untukku, maka aku akan memberikan obat
penawar racun 'Cakar Harimau Siang' itu!"
"Persetan dengan
ucapanmu! Kubalas dengan kematianmu, Karto Kusir! Hiaat!" Pedang pun
segera dicabut dari sarungnya. Sraang...! Lancang Puri memainkan jurus
kembangan sebentar dengan menebas-nebaskan pedang ke sekelilingnya. Harimau
Jantan hanya menyeringai sambil melangkah ke samping, membentuk lingkaran untuk
pelajari kelemahan Lancang Puri.
"Pakailah sepuluh pedang
biar hatimu puas. Kau tak akan bisa menggoreskan pedang itu ke tubuhku, Lancang
Puri! Kau tak akan bisa kalahkan aku!"
"Lihat saja jurus
pedangku, Manusia kotor!" geram Lancang Puri makin merasa tersinggung
karena ejekan itu. Maka dengan cepat ia segera melompat maju dan pedangnya
ditebaskan ke samping kanan-kiri, lalu berkelebat miring dari kanan ke kiri.
Wuuutt....' Weesss...! Tubuh lawan lompat mundur tepat pada waktunya. Akibat
lompatan mundur itu, pedang Lancang Puri selalu temui tempat kosong.
Tetapi Harimau Jantan sama
sekali tak menduga kalau tebasan pedang menyamping itu telah lepaskan sinar
kuning melebar dan langsung menyergap dadanya. Jlaaab...! Beegh...!
Sinar kuning dari tepian
pedang bagaikan menghantam dada dengan sangat kuat. Tubuh gemuk berdada keras
bagai batu gunung itu tersentak mundur dan terlempar jauh ke belakang.
Blaaak...! Tubuh gemuk itu jatuh terkapar dengan kedua tangan terentang.
"Aaahhg...!" suara
kecil meraung kesakitan. Tapi toh nyatanya Harimau Jantan masih bisa bangkit
berdiri dengan terbatuk-batuk sesaat.
Dada itu tidak jebol, bahkan membekas merah atau biru juga tidak. Hal itu
membuat mata Lancang Puri terkesiap heran.
"Biasanya jurus 'Pedang
Belerang' bisa menjebolkan dada orang, tapi kenapa dada itu masih utuh tanpa
luka membekas sedikit pun? Luar biasa lapisan tenaga dalamnya! Tanpa lapisan
tenaga dalam yang kuat tak mungkin dada itu menjadi sekokoh gunung batu,"
pikir Lancang Puri sambil memainkan pedangnya sekadar menunggu saat menyerang
selanjutnya.
Sementara itu, orang yang mengintai
dari balik celah batuan cadas itu berkata dalam hatinya, "Sebaiknya
kutunggu Lancang Puri pergi ke pantai dan kuikuti secara diam-diam. Kalau dia
kuserang sekarang juga, maka aku tidak bisa mengetahui di mana kitab pusaka itu
disembunyikan."
Suto Sinting dan Logo tiba di
tempat itu dari arah seberang si pengintai. Pada waktu Suto tiba di sana,
Harimau Jantan sedang lakukan serangan dengan goloknya. Lompatannya yang
menyerupai lompatan seekor harimau menerkam mangsa itu tidak dihindari oleh
Lancang Puri. Tetapi tiba-tiba Lancang Puri sentakkan pedangnya ke depan bagai
dihujamkan. Bertepatan dengan itu, dari ujung pedang melesat jarum-jarum emas
yang banyak jumlahnya. Zraab...!
Jarum-jarum emas itu menerjang
tubuh Harimau Jantan. Golok segera ditebaskan dengan cepat untuk singkirkan
jarum-jarum itu. Percikan api terlihat saat golok menyala merah dan membentur
jarum-jarum emaa. Tetapi gebasan golok itu tidak mampu menyingkirkan semua
jarum yang jumlahnya cukup banyak itu. Sebagian jarum ada yang menerjang ke
tubuh Harimau Jantan baik di dada maupun di pundak atau tempat lainnya.
Jraabb...!
"Aaaahg...!" Harimau
Jantan terpekik lagi. Tapi kali ini ia berhasil berdiri dengan tubuh mengejang.
Tubuh itu akhirnya berlutut, kepala terdongak ke atas menahan sakit. Asap mulai
keluar dari tubuh itu. Tampak perubahannya begitu nyata, tubuh tersebut segera
menghitam, rambut-rambut rontok, alis dan kumis yang tebal juga rontok.
"Tak lama lagi kau akan
mati hangus seperti para pendeta itu, Karto Kusir!" geram Lancang Puri tak
sadar di belakangnya ada Suto dan Logo.
Zlaaap...!
Pendekar Mabuk berkelebat
cepat melebihi anak panah setelah menenggak tuak sebentar. Lalu tubuh yang
mengepulkan asap dan nyaris menjadi hangus itu disembur dengan tuak dalam mulut
Suto.
Brrruuss...!
Jurus 'Sembur Husada'
dilakukan oleh Pendekar Mabuk demi selamatkan Harimau Jantan dari ancaman mati
hangus seperti Pendeta Mata Lima itu. Kehadiran Suto ternyata sempat
mengejutkan Lancang Puri. Ia segera memasukkan pedangnya. Sementara itu matanya
kembali memandangi Harimau Jantan dan kejadian aneh kembali membuat mata
perempuan cantik itu terperanjat heran.
Tubuh Harimau Jantan yang
nyaris mati terbakar hangus itu berubah menjadi kecoklat-coklatan. Kulitnya
yang semula mulai mengelupas menjadi terkatup rata kembali. Harimau Jantan tak
jadi mati terbakar hangus, bahkan ia menjadi sehat walau terpaksa terkulai
lemas beberapa saat. Tapi dilihat dari keadaan kulit tubuhnya, jelas kekuatan
api dahsyat di dalam tiap jarum emas itu telah mampu dipadamkan oleh semburan
tuak Suto Sinting.
"Mengapa kau menolongnya?
Dia orang jahat! " kata Lancang Puri. Suto Sinting menjawab diiringi
senyum tipisnya,
"Sejahat-jahatnya dia,
kurasa lebih jahat wajah cantikmu, Lancang Puri! Rupanya kaulah yang membunuh
Pendeta Mata Lima dan Pendeta Jantung Dewa!"
Lancang Puri diam, lidahnya
bagaikan kelu sesaat. Tapi batinnya berkata,
"Sial, dia sudah
mendengar ucapanku tadi! Sekarang ganti aku yang diintainya. Kemarin dia yang
kuintai saat melawan Siluman Tujuh Nyawa. Rahasia jurusnya sempat kuketahui
tapi rahasia kekejianku sekarang justru diketahui olehnya. Tentu saja rahasia
jurus 'Jarum Emas'-ku juga diketahuinya. Apa boleh buat, kurasa aku harus
mengakuinya daripada dia mengecamku sebagai wanita pembohong. Kurasa dengan
mengakui perbuatanku, dia punya peniiaian baik tersendiri padaku."
"Apakah kau juga yang
menenggelamkan kedua biara itu ke dalam bumi, Lancang Puri!" tanya Suto
ingin tahu.
Perempuan cantik itu akhirnya
menjawab, "Tidak. Bukan aku yang melenyapkan reruntuhan biara dan para
mayatnya. Aku hanya membantai mereka karena ingin kuasai ilmu yang ada di dalam
Kitab Lorong Zaman. Tentang menghancurkan biara dan melenyapkannya itu tugas
dari bibiku; Nyai Gandrik!"
"Tak kusangka kau sekejam
itu, Lancang Puri."
"Aku terpaksa
melakukannya karena Kitab Lorong Zaman sulit dicuri sebelum kedua pendeta itu
mati!"
"Berarti tindakanmu itu
tidak terpuji."
"Terserah apa anggapanmu.
Kubutuhkan jurus-jurus di dalam Kitab Lorong Zaman, karena ada sesuatu yang
ingin kuambil dari masa lalu guruku."
"Sesuatu apa?"
"Panji-panji Mayat!"
Bukan Suto Sinting saja yang
berkerut dahi, tapi orang yang bersembunyi di celah batuan cadas itu juga
berkerut dahi. Bahkan orang itu berkata dalam hatinya,
"Kalau tak salah,
mendiang guru pernah ceritakan tentang pusaka bernama Panji-panji Mayat. Benda
itu adalah sebuah bendera. Siapa yang membawa benda Panji-panji Mayat, ia akan
menjadi orang yang mampu membangkitkan mayat di mana pun berada dan mempunyai
sejumlah pasukan mayat yang tunduk pada perintahnya. Konon pusaka Panji-panji
Mayat pernah dimiliki oleh seseorang yang menjadi raja dengan jumlah rakyat
terdiri dari orang yang pernah mati. Bahkan ilmu orang yang pernah mati itu
dapat disedot dan diambil menjadi milik si pemilik Panji-panji Mayat. Tapi...
apakah Suto Sinting mengetahui hal itu?"
Suto Sinting menyimpan
pertanyaan dalam hatinya. Kini yang dilontarkan adalah pertanyaan lain,
"Apakah kitab itu sekarang ada padamu, Lancang Puri?"
"Tidak ada!" jawab
Lancang Puri dengan tegas.
"Jujurlah padaku. Kitab
itu perlu diselamatkan agar tidak menjadi bahan incaran para tokoh sesat dan
dipergunakan untuk keperluan yang dapat mengacaukan kehidupan di muka
bumi."
"Kalau kau kehendaki
kitab itu juga, sama saja kau kehendaki nyawaku, Suto. Bagaimanapun juga aku
tak akan berikan kitab itu pada siapa pun! Kupertaruhkan dengan selembar
nyawaku, Suto!"
"Aku tidak menghendaki
pertarungan denganmu, Lancang Puri. Tetapi barangkali kau perlu belajar dari
pengalaman. Aku siap memberimu pelajaran."
"Tantanganmu cukup halus, Suto!" kata Lancang Puri
dengan tersenyum sinis. "Tapi percayalah, aku tak akan menghindari
tantanganmu. Akan kulayani tantangan itu apa pun jadinya nanti!"
Pada saat itu Suto Sinting
hanya tersenyum, tak mau mengawali serangan lebih dulu. Bahkan ia bermaksud
membujuk dengan kata-kata saja. Tapi mendadak Harimau Jantan bangkit dan
langsung lepaskan serangan jarak jauh berupa sinar biru dari telapak tangannya.
Claapp...!
Lancang Puri Tangkas dan
sigap, ia segera kibaskan tangan kanannya berkelebat ke kiri. Dari lengan
jubahnya keluar sinar merah lebar dan menjadi perisai bagi sinar birunya
Harimau Jantan. Blaarr...!
"Tahaan...!" seru
Suto seraya berdiri di pertengahan jarak antara Harimau Jantan dan Lancang
Puri. Harimau Jantan memandangi Suto dengan heran dan segera menyapa dengan
suara perempuannya,
"Siapa kau? Berani betul
kau menahan seranganku, hah?!"
Suto Sinting memaklumi jika
Harimau Jantan tidak mengenalinya lagi, sebab setiap orang yang disembuhkan
dengan jurus 'Sembur Husada' setelah sembuh akan lupa tentang siapa Suto.
Kenangan dalam otaknya ikut lenyap bersama penyakit yang disembur memakai tuak,
karenanya ia tidak akan mengenali Suto lagi. Mau tak mau Suto menjelaskan dari
awal siapa dirinya dan kapan pertemuannya, barulah orang tersebut mengenali
Suto dan teringat kembali hal-hal yang pernah dialami bersama Suto.
Tetapi kali ini Suto Sinting
tidak sempat berikan penjelasan kepada Harimau Jantan karena serangan dari
pihak Lancang Puri datang secara beruntun. Serangan itu berupa kibasan pedang
yang memancarkan sinar kuning ke mana-mana, sehingga Suto dan Harimau Jantan
bagaikan dihujani sinar kuning yang dapat menjebolkan dada manusia itu. Clap,
Clap, Clap, Clap, Clap...!
Suto Sinting dan Harimau
Jantan menghindarinya saling berlompatan. Tapi pada satu kesempatan, sinar itu
menghantam pinggang kiri Suto ketika Suto menangkis sinar kuning lainnya dengan
bumbung tuak. Dees..! Pendekar Mabuk jatuh terpental ke arah bebatuan cadas,
sedangkan tubuh gemuknya Harimau Jantan juga terlempar karena hantaman sinar
kuning yang berserabutan itu.
Melihat Suto jatuh, Logo tak
mau diam saja. Ia segera melompat dan berkelebat menendang punggung Lancang
Puri. Buuhg...! Tendangan itu sangat telak dan keras. Lancang Puri bukan saja
jatuh tersungkur namun juga terseret maju hingga berguling-guling. Jika tidak
terhalang dua batu besar setinggi lutut, tubuh Lancang Puri masih
terguling-guling karena hentakan keras tendangan itu. Dan melihat Lancang Puri
terkapar di sana, Logo segera berlari dengan dua lompatan besarnya, lalu kaki
kanannya siap-siap menginjak kepala Lancang Puri. Pada saat itu Suto Sinting
terperanjat dan berseru,
"Jangan...!"
Tapi agaknya Logo mau nekat
memecahkan kepala Lancang Puri dengan kaki besarnya. Hanya saja, sekelebat
sinar perak kecil melesat dan menghantam lengan anak jin itu. Dess...!
Sekalipun bentuknya sinar perak kecil tapi rupanya mempunyai tenaga dorong yang
luar biasa besarnya.
Tubuh anak jin yang marah
melihat Suto diserang itu segera terlempar bagaikan daun yang terhempas badai.
Wuuusss...! Lalu ia jatuh terpelanting mendekati sebuah pohon besar yang tumbuh
dengan daunnya yang rindang. Brruk.! Anak jin itu menggeram jengkel. Kakinya
menendang batang pohon besar itu.
Duuurr...!
Daun-daun berguguran nyaris
menimbun tubuhnya yang masih terkapar di tanah. Sementara itu orang yang
melepaskan pukulan jarak jauh berupa sinar putih perak itu segera muncul dari
persembunyiannya. Orang itulah yang mengintai dari celah bebatuan cadas sejak
tadi.
"Angin Betina!" sapa
Suto Sinting sambil bergegas menghampiri wanita berpakaian hitam ketat dan
berambut acak-acakan itu. "Untung kau mampu menyingkirkan Logo. Apakah kau
sudah sejak tadi bersembunyi di sana?"
"Ya, dan aku juga
mendengar di mana kitab itu disembunyikan. Tapi secara tepatnya belum
kuketahui. Sebaiknya biarkan perempuan itu melarikan diri, kita ikuti dari
belakang saja. Dia pasti mengambil kitab itu di pantai."
"Di pantai?" Suto
balas bersuara bisik. Anak jin itu berdiri dan hendak menyerang Lancang Puri
yang sudah bangkit dengan mulut berdarah sedikit. Lancang Puri sendiri siap
lepaskan serangan.
Tapi Pendekar Mabuk segera
berseru,
"Tahan! Jangan lakukan
serangan apa pun, Logo! Tahan amarahmu!"
Logo diam bagaikan patung,
tapi matanya mendelik lebar menyeramkan dengan mulutnya meringis menyeringaikan
suara geramannya. Lancang Puri mundur dengan siap-siap lepaskan jurus 'Jarum
Emas'-nya jika Logo maju menyerang. Tanpa bilang apa-apa, Lancang Puri segera
melesat pergi larikan diri. Hatinya hanya membatin,
"Sebaiknya menyelamatkan
diri daripada melawan mereka! Mereka bukan orang tandinganku jika menyerang
secara keroyokan. Pasti aku akan mati konyol dan akhirnya tak jadi pelajari
ilmu di dalam kitab itu! Apa kata mereka, biarlah. Yang penting aku harus
segera lari dan membawa kitab itu dari tempat persembunyiannya!"
"Biarkan dia lari,"
ulang Angin Betina dalam bisikannya kepada Suto.
Pendekar Mabuk perhatikan
Harimau Jantan, takut kalau Harimau Jantan menyerang Lancang Puri dari jarak
jauh. Tapi rupanya Harimau Jantan justru sedang berlutut dan kakinya gemetaran
melihat sosok hitam Logo yang bertubuh lebih besar dan lebih tinggi darinya
itu. Wajah Harimau Jantan menjadi pucat ketika Logo melangkah dekati Suto yang
berarti harus melewati depannya. Tubuh itu kian gemetaran, sisa kumisnya yang
masih menempel namun sudah telanjur terbakar jarum emas tadi menjadi rontok
kembali.
Melihat Harimau Jantan
ketakutan, Suto Sinting dekati orang itu dan menepuk pundaknya seraya berkata,
"Jangan takut!. Dia bukan makhluk jahat!"
"Tap... tapi... tapi dulu
aku pernah ditendang jin waktu buang air di bawah pohon. Aku jera dan takut
ditendang lagi. Dulu aku tak bisa buang air besar selama tujuh hari gara-gara
ditendang jin...!"
"Dia anak jin, tapi tidak
segalak dugaanmu. Dia anak yang baik semasa kita bersahabat baik
dengannya."
Logo perdengarkan suaranya
yang besar tapi masih bernada bocah, "Aku mau kejar dia!"
"Jangan!" cegah
Angin Betina. "Kita ikuti saja dia dari kejauhan!"
Suto menyahut, "Kau saja
yang mengikutinya, Angin Betina. Aku akan potong jalan menuju pantai secepatnya
bersama Logo. Aku akan menyusuri pantai untuk menghadangnya sewaktu-waktu lolos
darimu."
"Baik!"
Harimau Jantan yang takut
melihat Logo segera menyahut, "Aku pulang saja! Toh aku sudah membalas
kematian ketiga muridku dari tangan Urat Setan!"
"Bagaimana dengan pemuda
yang dibawa lari Nyai Gandrik itu?" tanya Angin Betina kepada Harimau
Jantan.
"Hmmm... eh..biarlah. Aku
cari pemuda ganteng lainnya. Yang ini juga boleh," sambil tangannya
mencubit dagu Suto Sinting.
Bertt...! Buuhk...! Angin
Betina berkelebat memutar tubuh dan menendang dada Harimau Jantan. Dada sekeras
batu itu berhasil terguncang keras dan tubuh Harimau Jantan tumbang ke
belakang. Angin Betina menghampirinya dan dengan tegas ia mengancam,
"Jangan mengusik dia kalau kau tak ingin hancur di tanganku!"
*
* *
8
PANTAI yang dituju Lancang
Puri adalah pantai berdinding tebing karang pada sebelah timur dan barat. Di
pantai itu terdapat sebuah makam kuno yang menurut cerita para tokoh tua adalah
makam seorang tokoh sakti bernama Ki Balantara. Makam itu sudah puluhan tahun
ada di pantai tersebut. Sebagian tanahnya sudah membatu. Konon jika air laut
sedang pasang, makam itu tak pernah terendam air. Bahkan jika ombak menyapu
sampai tepian hutan, makam itu tak pernah terkena ombak, sehingga keadaannya
selalu kering.
Lembayung senja mulai menua.
Matahari di cakrawala kian tenggelam. Tapi suasana senja tidak membuat Lancang
Puri lupa dengan tempat itu. Bibinya telah membawa lari Kitab Lorong Zaman dari
Biara Genta dan menyimpannya di sela-sela bebatuan bagian kiri makam Ki Balantara.
Sementara Nyai Gandrik membawa
lari kitab pusaka itu, Lancang Puri pun disuruhnya lari berbeda arah untuk
memancing Urat Setan yang juga menghendaki kitab tersebut. Dengan cara begitu
Nyai Gandrik dapat membawa lari kitab pusaka itu dengan bebas tanpa penghadang
satu pun. Justru orang akan terkecoh dan menyangka kitab ada di tangan Lancang
Puri. Tetapi mereka sebelumnya sudah sepakat untuk menyimpan kitab di tempat
itu, untuk kemudian akan diambil Lancang Puri jika keadaan sudah aman dan dibawanya
lari ke Pulau Sabung, tempat Perguruan Perisai Sakti berada. Pulau Sabung
letaknya tak seberapa jauh dengan Pulau Lanang, sehingga sewaktu-waktu Nyai
Gandrik bisa berkunjung ke perguruan milik keponakannya itu. Tetapi alangkah
kecewanya Lancang Puri ketika mengetahui kitab itu tidak ada di tempat yang
dijanjikan dan disepakati dengan bibinya. Batu-batu dibongkarnya semua, pasir
dikeruknya, tapi kitab tersebut tetap tidak ditemukan. Lancang Puri menjadi
berang dan jengkel sekali.
"Bibi menipuku!"
geramnya penuh kemarahan. "Kitab itu pasti dibawanya ke Pulau Lanang untuk
dipelajari sendiri! Jahat!" Lancang Puri menendang bongkahan batu yang
segera melayang dan pecah di udara. Prakk! Gemuruh kemarahan di dalam dada
semakin ingin meledakkan seluruh tubuhnya. Napas pun terengah-engah karena tak
bisa lampiaskan kemarahan kepada bibinya. Lancang Puri sama sekali tak menduga
kalau bibinya akan berkhianat.
"Aku harus melabrak Bibi
ke Pulau Lanang! Tak peduli dia bibiku sendiri jika menghalangi niatku pelajari
ilmu Kitab Lorong Zaman, akan kulawan dengan pertaruhkan nyawaku!"
Sepasang mata Angin Betina
yang mengintip dari atas pohon memperhatikan gerakan-gerakan Lancang Puri,
sehingga ia dapat menyimpulkan apa yang terjadi pada diri Lancang Puri.
"Ternyata ia ditipu oleh
bibinya sendiri. Hmm...! Berarti kitab itu sekarang ada di tangan Nyai Gandrik!
Aku harus merebutnya dengan cara bagaimanapun. Mungkin aku memang harus
menyusulnya ke Pulau Lanang!"
Angin Betina masih di atas
poon berdaun lebat. Keadaannya di atas pohon tak mudah diketahui orang dari
bawah, karena dahan pohon itu sendiri tumbuh bersilang-silang dengan rapat.
Dari atas pohon itu juga,
Angin Betina melihat gerakan seseorang yang berlari menembus hutan. Pandangan
mata yang tak sengaja itu membuatnya tercengang, dan segera mengejar orang
tersebut dari pohon ke pohon bagaikah seekor kelelawar betina. Angin Betina
lakukan pengejaran terhadap orang itu karena dilihatnya tangan kiri orang itu
menentang sebuah kitab berwarna hijau dan berukuran sedikit besar serta tebal.
Dalam waktu singkat, Angin
Betina mampu menghadang langkah orang yang membawa kitab berwarna hijau tua
itu. Jleeg...! Orang itu kaget melihat Angin Betina tahu-tahu sudah berada di
depan langkahnya. Angin Betina menyapa lebih dulu dengan nada ketus dan sinis.
"Ternyata kau yang
mencuri Kitab Lorong Zaman itu, Harimau Jantan?!"
Dengan suara genitnya Harimau
Jantan menjawab, "Kebetulan saja. Saat kucari Urat Setan, kutemukan
Lancang Puri dan Nyai Gandrik sedang berembuk tentang kitab ini. Lalu kulihat
Nyai Gandrik sembunyikan kitab ini di dekat makam Ki Balantara. Lalu kuikuti
dia, ternyata dia mau colong kekasihku, si tampan yang dihajar Lancang Puri
itu. Aku sakit hati sekali. Sakiiit... sekali! Maka kucuri saja kitab ini
sebagai ganti dibawanya si tampan itu!"
"Sekarang kitab itu
serahkan padaku."
"Tak bisalah,
ya...?!" ia melengos ganjen. Kitab didekap. "Aku juga mau pelajari
ilmu yang ada di dalamnya."
Tiba-tiba sekelebat benda
kuning emas menyerang Harimau Jantan dari belakang. Zraabb...! Ternyata benda
kuning emas itu adalah sekumpulan jarum
beracun milik Lancang Puri. Rupanya Lancang Puri mendengar suara orang berlari
dan ia mengikutinya sampai tempat tersebut.
Jarum beracun ganas yang
mematikan itu tak bisa dihindari lagi oleh Harimau Jantan. Tubuhnya mengejang
dan dalam sekejap ia telah tumbang menjadi hangus seperti nasib kedua pendeta
kakak-beradik itu. Semua pakaian dan goloknya juga ikut terbakar. Tetapi Kitab
Lorong Zaman tetap utuh tanpa bekas hangus sedikit pun.
Melihat Harimau Jantan mati
hangus, Angin Betina segera menerjang mayat itu sebelum rubuh. Wuuutt...!
Bresss...! Mayat itu terpental dan Kitab Lorong Zaman sudah berada di tangan
Angin Betina.
Lancang Puri berang.
"Jahanam! Serahkan kitab itu!" teriaknya keras-keras.
Angin Betina hanya memandang
dengan mata galaknya tapi dengan senyum kemenangan. Sementara itu kitab
diselipkan di sabuk hitam yang melilit pada pinggangnya. Pedang masih bersarung
tetap digenggam di tangan kiri, kapan saja siap dicabut.
"Cepat serahkan kitab itu
atau kuakhiri masa hidupmu?!" bentak Lancang Puri dengan mata mendeiik
penuh kecemasan-bercampur kemarahan.
"Kau yang pantas
mengakhiri masa hidup karena tanganmu berlumur darah! Dua biara kau bantai
sedangkan mereka tidak bersalah kepadamu. Sungguh tindakan yang menyerupai
naluri seekor binatang."
"Setan kau! Tak perlu
banyak bicara! Kubuktikan ancamanku tadi. Hiaaah...!"
Angin Betina cepat cabut
pedangnya ketika pedang Lancang Puri berkelebat ingin membelah kepalanya.
Trangng...! Pedang itu ditangkisnya. Suaranya menggema ke mana-mana. Trang,
trang... traang...! Wut, wut, wut... trang!
Kedua perempuan itu beradu
kecepatan bermain pedang. Gerakan jurus pedang mereka begitu cepat, sehingga
sulit diikuti oleh mata manusia biasa. Tetapi Angin Betina ternyata mampu
bergerak menyamai gerakan angin. Dalam kejap berikutnya, pedangnya berkelebat
dalam gerak tipuan. Lancang Puri salah hindar, akibatnya pinggangnya tersabet
pedang Angin Betina. Craass...!
"Aaahg...!" Lancang
Puri tersentak mundur dan melayang jatuh karena setelah tersabet pedang, kaki
Angin Betina menendangnya dengan kuat. Brrukk...!
Angin Betina sedikit
terperanjat melihat tubuh Lancang Puri jatuh tepat di depan kaki seorang
perempuan berjubah hitam. Perempuan itu tak lain adalah Nyai Gandrik, Bibi
Lancang Puri yang disangka telah berkhianat.
"Kau memang punya jurus
pedang hebat, Angin Betina! Tapi tetap saja harus menebus kekalahan keponakanku
dengan nyawamu!"
"Nyai Gandrik, sekalipun
kau sahabat mendiang guruku, tapi aku tidak akan mundur demi pertahankan kitab
ini!"
"Bagus! Bersiaplah untuk
menerima akibatnya, Angin Betina!"
Selesai bicara begitu, kedua
tangan Nyai Gandrik bergerak mempertemukan ujung jari tengah kiri dan kanan.
Dari ujung jari tangan itu melesat sinar kuning ke atas, lalu jatuh ke bawah
tepat di atas kepala Angin Betina. Tentu saja Angin Betina tidak mau pandangi
sinar kuning yang melesat ke atas itu, karena takut kehilangan kewaspadaan dan
dapat dicuri kesempatannya pada saat ia memandang ke atas. Nyai Gandrik dapat
lepaskan pukulan mautnya saat Angin Betina mendongak ke atas.
Tetapi rupanya gerakan sinar
kuning yang seperti bola itu dilihat oleh Suto Sinting dari pantai. Pendekar
Mabuk menghantam sinar kuning itu dari kejauhan dengan pukulan 'Surya Dewata'
yang bersinar ungu itu.
Blaarrr...! Sinar kuning itu
meledak di udara sebelum jatuh ke kepala Angin Betina. Itu pun tak membuat mata
Angin Betina mendongak ke atas. Matanya tetap tertuju kepada Nyai Gandrik yang
terkejut melihat sinar kuningnya meledak di angkasa.
"Pasti itu pekerjaan
Pendekar Mabuk yang berada di pihakmu, Angin Betina!"
"Aku tak peduli pekerjaan
siapa, yang jelas kalau kau nekat menyerangku maka aku pun akan menyerangmu,
Nyai Gandrlki"
"Persetan dengan
kata-katamu! Hiaaah...!"
Nyai Gandrik sentakkan kedua
tangannya ke samping, dan tiba-tiba tubuhnya bercahaya merah membara. Cahaya
merah itu melesat bagai membentuk kepingan ke arah Angin Betina. Angin Betina
melawan kepungan itu dengan tebasan pedangnya yang mampu bergerak sangat cepat
dan hadirkan angin kencang berhawa panas. Namun sinar-sinar merah itu agaknya
tak bisa ditembus oleh kekuatan ilmu lain, sehingga akhirnya tubuh Angin Betina
dihantam cahaya merah lebar membungkus diri. Zlaapp...! Wuuurrb...!
"Aaaahg...!"
Angin Betina mengejang dengan
wajah menyeringai kesakitan. Tubuhnya berubah menjadi merah membara bagaikan
tanpa kulit lagi. Pada saat itu Suto Sinting, berkelebat dari arah samping.
Sinar merah dari tubuh Nyai Gandrik itu dihantam dengan kibasan bumbung tuaknya.
Wuuukk...! Blaarr...!
Sinar merah itu bagaikan
membalik arah karena terkena bumbung tuak. Kini tubuh Nyai Gandrik terhempas
dan membentur pohon. Tubuh Angin Betina sudah padam, tak menyala merah lagi.
Tapi keadaannya terkulai lemas dengan napas kian menipis.
Suto Sinting segera tuangkan
tuak ke mulut gadis berwajah cantik liar itu. Ia lakukan hal itu agar tak
terlambat kehilangan nyawa Angin Betina. Entah berapa teguk tuak diminumkan ke
mulut Angin Betina. Yang jelas mata Suto memandangi Nyai Gandrik yang terlempar
dalam keadaan kulitnya terkelupas itu. Perempuan tersebut menggeram panjang.
Ingin lakukan penyerangan lagi namun segera bimbang. Akhirnya ia segera
menyambar Lancang Puri yang masih bernapas namun terluka parah itu. Dalam
keadaan wajah dan tubuh melepuh dan terkelupas, Nyai Gandrik menggeram
tinggalkan ancaman,
"Suatu saat akan kubalas
kekalahanku ini! Tunggu saat yang baik, Suto!"
Wuuuttt...! Ia masih mampu
bergerak cepat dan pergi membawa Lancang Puri. Rupanya ia menyimpan perahu di sebelah
timur tebing. Di perahu itu terdapat tubuh Dewa Rayu yang masih terluka parah.
Dengan perahu itu ia membawa pergi kedua orang tersebut ke Pulau Lanang,
sementara Suto Sinting segera membantu Angin Betina yang mulai sadar dan
memegangi Kitab Lorong Zaman. Logo hanya diam saja, memandangi keadaan Angin
Betina dengan wajah menampakkan kelegaannya. Sebenarnya Logo ingin ajukan usul
untuk mengejar Nyai Gandrik, tapi belum-belum Suto sudah berkata,
"Biarkan dia lari. Siapa
tahu dia jera dan tak mau menjadi pencuri lagi!"
Angin Betina meraih pundak
Suto, lalu dibimbing untuk berdiri. Napasnya masih terengah-engah walau tak
terlalu memburu. Kitab Lorong Zaman dicabut dari pinggangnya. Dipandanginya
beberapa saat, lalu ia berkata kepada Suto,
"Aku akan minta pendapat
Resi Wulung Gading dulu, bolehkah pelajari isi kitab ini sementara pemiliknya
sudah dibunuh oleh mereka?"
"Itu langkah yang baik!
Tak ada jeleknya kalau sekarang kita singgah dulu ke Muara Singa, esok baru
pergi menghadap Resi Wulung Gading."
"Kau akan mendampingiku,
Suto?"
"Kalau kau tak
keberatan."
Senyum Angin Betina mekar
dengan indah dan manis sekali. Ia berkata dalam bisik, "Sepanjang masa
pun, aku tak akan pernah keberatan didampingimu."
"Kalau sepanjang masa,
itu namanya ngelunjak!" canda Suto Sinting yang membuat mereka tertawa
kecil. Tapi Logo tidak mau tertawa dan bahkan berwajah cemberut. Sepertinya ada
yang tidak berkenan di hati anak jin itu.
Suto heran dan bertanya,
"Kenapa kau tidak ikut tertawa, Logo?"
Anak jin itu menjawab,
"Katanya kau ingin kawin dengan ibu, tapi kenapa sekarang berkasih-kasihan
dengan Angin Betina?!"
Suto diam, saling pandang
dengan Angin Betina yang langsung kehilangan senyum cerianya begitu mendengar
kata-kata Logo.
SELESAI