SEMILIR angin menghembus ke
permukaan telaga. Air telaga bergerak-gerak bagai digelitik jemari perawan.
Telaga yang tidak begitu luas itu dikelilingi oleh pepohonan rindang berbatang
tinggi. Teduh sekali suasana di sekeliling telaga.
Tiba-tiba tanpa angin tanpa
badai, air telaga berkecipak dan muncrat ke atas. Sesosok tubuh melesat keluar
dari kedalaman telaga. Tubuh itu segera bersalto ke depan dan kejap berikutnya
sepasang kaki kekarnya telah menapak tanah. Jliggg... !
Napas orang itu terhempas.
Sebagian air ikut menyembur keluar dari mulutnya. Matanya yang kecil tapi tajam
itu menatap sekeliling dengan penuh waspada. Orang berpakaian hitam dengan alis
kuning emas pada tepiannya itu segera kibaskan kepala. Rambut dan sekujur
tubuhnya yang basah siratkan air ke kanan-kiri. Ikat kepalanya dilepas dan
diperas.
Melihat dari bentuk kumisnya
yang sedikit tebal dengan cambang tipis, sebuah pedang sarung perak berukir
yang tetap tersemat di pinggang kirinya, ia cukup dikenal di rimba persilatan.
Para tokoh mengenalnya dengan nama: Datuk Marah Gadai. Ia tergolong salah satu
dari sekian tokoh sakti yang punya hasrat untuk menguasai rimba persilatan di
seluruh tanah Jawa. Ia punya harapan untuk menjadi penguasa tanah Jawa, hingga
tak segan-segan turunkan tangan dan cabutkan pedang untuk membunuh siapa pun
yang menjadi penghalangnya.
Datuk Marah Gadai memandangi
air telaga dengan perasaan dongkol. Matanya yang berkesan bengis itu semakin
tampak bengis, karena sebuah perasaan kecewa yang dikarenakan oleh sesuatu hal
semakin menggerogoti jiwanya. Datuk Marah Gadai menggeram dalam keraguan
bertindak.
"Kutinggalkan telaga
keparat ini, atau kucoba sekali lagi menyelam dan mencari di dasar telaga. Bila
perlu kuangkat semua tanah yang ada di dasar telaga ini!"
Belum sampai Datuk Marah Gadai
putuskan langkah, tiba-tiba ia mendengar suara tawa terkekeh dari atas pohon.
Cepat-cepat Datuk Marah Gadai palingkan wajah lemparkan pandangan ke atas.
"Turun kau, Monyet!"
sentak Datuk Marah Gadai dengan kasar.
"Tak perlu kau suruh aku
turun, aku memang sudah berniat turun sendiri. Karena kaulah orang yang kucari-
cari beberapa waktu ini dan ternyata kutemukan di sini! He, he, he...!"
Orang di atas pohon itu segera
melompat turun. Tubuhnya yang kurus kering bagaikan kipas dihembus angin.
Rambutnya yang putih panjang meriap panjang bagaikan serabut akar kering
melayang ke mana-mana. Orang yang bercelana hitam, berkain putih penutup dada,
dan menggenggam tongkat kayu putih itu tak lain adalah Peramal Pikun dengan
nama asli Renggono. Dia adalah kakak dari Cadaspati, murid Malaikat Tanpa
Nyawa, yang tempo hari telah dibunuh oleh Datuk Marah Gadai. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
Tokoh tua yang lebih banyak
cengengesan itu memang mempunyai kesaktian melebihi adiknya, tapi ia tidak
termasuk sebagai murid Malaikat Tanpa Nyawa. Bahkan dulu ia pernah bentrok
dengan Malaikat Tanpa Nyawa, dan ia segera kabur karena sang adik membela gurunya.
Namun sebagai seorang kakak, Peramal Pikun tak bisa tinggal diam melihat
kematian adiknya di tangan Datuk Marah Gadai. Untuk itulah ia merasa gembira
karena bisa bertemu dengan pembunuh adiknya di tepi Telaga Manik Intan.
Peramal Pikun hentikan tawanya
sejenak. Pandangan matanya menjadi lebih tajam. Kata-katanya terasa sedingin
es.
"Kau yang membunuh
Cadaspati, adikku!"
"Benar!" jawab Datuk
Marah Gadai bersikap menantang. "Apakah kau ingin menyusulnya? Aku
bersedia membantumu!"
"Kau yang akan kususulkan
ke sana untuk meminta maaf padanya!"
Datuk Marah Gadai sunggingkan
senyum tipis dan sinis, pertanda meremehkan gertakan Peramal Pikun.
"Rupanya biar tua kau
masih punya nyali juga, Peramal Pikun! Seharusnya kau bisa bayangkan, adikmu
yang terhitung lebih muda dan lebih lincah darimu itu bisa kubunuh tanpa ampun
lagi, apalagi kamu yang sudah tua renta tinggal tulang terbungkus kulit? Sama
saja aku melawan ranting kering yang sudah waktunya rengas!"
Peramal Pikun menyipitkan
pandangan matanya. Tangan kanannya yang menggenggam tongkat meremas kuat. Kejap
berikutnya ia sentakkan kepala tongkat ke depan, kaki merendah terbentang,
tangan terangkat ke atas.
Wuuugh ........... !
Sebuah gumpalan tenaga dalam
dilancarkan melalui kepala tongkatnya. Tenaga dalam itu melesat ke dada Datuk,
tapi dengan cepat tangan kanan Datuk terangkat di depan dada dengan dua jari
mengeras berdiri dan punggung tangan itu menghadap ke arah depan. Dari punggung
tangan itu keluar gelombang tenaga penangkis, sehingga di depan mereka
terdengar suara seperti dua benda empuk beradu.
Beggh... !
Kedua tubuh masih sama-sama
tegak. Hanya kain dan rambut Peramal Pikun yang tersibak bagai dihembus angin
balik. Sementara itu, Datuk Marah Gadai sunggingkan senyum karena ia pun merasa
sedikit terdorong oleh benturan tenaga dalam itu.
Peramal Pikun mengendurkan
urat-urat tangannya dan kembali bersikap seperti tadi. Tongkatnya ditapakkan ke
tanah. Seakan apa yang dilakukan tadi hanya untuk menguji kesigapan lawannya.
Sang lawan pun menurunkan
tangan dan berdiri dalam sikap tenang seperti semula. Datuk Marah Gadai
melangkah ke samping dua tindak. Sengaja ia berdiri bersandar pohon supaya
timbul kesan menganggap enteng kehadiran Peramal Pikun.
"Kalau kau menuntut
kematian adikmu itu kuanggap tuntutan yang wajar. Tapi aku sangsi, apa kamu
bisa mengungguli ilmuku, Peramal Pikun?"
Merasa diremehkan, Peramal
Pikun sentakkan tongkatnya ke tanah.
Duggg... !
Tak diduga-duga tubuh Datuk
Marah Gadai tersentak ke atas dan nyaris jatuh ke tanah. Rupanya Peramal Pikun
salurkan tenaga dalamnya melalui tongkat, dan tenaga dalam itu melesak masuk ke
tanah, lalu menyentak ke atas, membuat tubuh Datuk Marah Gadai tersentak naik.
Ada separo tombak tinggi sentakan itu. Kalau saja Datuk Marah Gadai tidak bisa
cepat kuasai keseimbangan, ia akan jatuh terduduk di tanah. Untung ia segera
kuasai keseimbangan tubuhnya yang sedikit gemuk itu, sehingga ia hanya
terhuyung- huyung dan berhasil berpegangan batang pohon.
"Datuk Marah Gadai!"
kata Peramal Pikun dengan tegas. "Perlu kau ketahui, kehadiranku menemui
dirimu bukan hanya menuntut balas atas kematian adikku, tapi juga ingin merebut
Pusaka Tuak Setan yang kau ambil dari Cadaspati, adikku itu."
"Pusaka apa yang bisa
diperoleh adikmu itu?! Tidak ada pusaka apa-apa yang bisa diperolehnya, karena
adikmu itu sebenarnya manusia tanpa isi, tak punya ilmu apa-apa, sehingga tak
bisa memperoleh pusaka apa pun! Menyesal juga aku telah bersusah payah
mengejarnya, buang-buang waktu saja, dan ternyata Pusaka Tuak Setan memang
tidak ada padanya."
"Hmmm... begitukah
pengakuanmu, Datuk Marah Gadai? Jika memang Cadaspati tidak memegang pusaka
itu, tentunya kau sekarang telah memegangnya! Aku lihat sendiri kau muncul dari
kedalaman telaga!"
"Ya. Memang aku muncul
dari kedalaman telaga ini. Lantas apa maksudmu?"
"Tentunya kau yakin jika
Pusaka Tuak Setan itu masih ada di dasar telaga, dan kau segera memburunya
setelah kau bunuh adikku itu. Tentunya juga kau sekarang sudah mendapatkannya,
Marah Gadai!"
Tawa Datuk Marah Gadai
terlepas keras. Pada saat yang sama, Peramal Pikun berkata dalam hatinya.
"Pasti dia sudah dapatkan
pusaka itu. Kalau dia tidak memperoleh Pusaka Tuak Setan dari Cadaspati, tak
mungkin dia menyelam di dalam telaga dalam keadaan tanpa melepas pakaian.
Sengaja dia menyelam dengan berpakaian lengkap, karena keadaan itu bisa
dimanfaatkan olehnya untuk menyembunyikan Pusaka Tuak Setan di balik baju atau
pinggangnya itu."
Datuk Marah Gadai hentikan
tawa. Tapi bibirnya masih sunggingkan sisa senyum sinisnya, sambil ia
perdengarkan suaranya yang sedikit besar itu.
"Lucu sekali buatku.
Dulu, sangkaku Cadaspati membawa Pusaka Tuak Setan dari dasar telaga, sebab aku
lihat dia muncul dari kedalaman telaga. Lalu aku kejar dia sampai akhirnya
kubunuh, dan ternyata dia tidak pegang pusaka itu. Sekarang, aku muncul dari
dasar telaga tanpa membawa pusaka itu, tapi disangka berhasil memperoleh pusaka
itu. Tentunya kau tidak percaya jika kukatakan bahwa aku tidak memperoleh benda
apa pun di dalam dasar telagaiItu! Satu pasir pun tidak kubawa naik ke
permukaan ini, Peramal Pikun. Harap kau mau percaya agar tak terjadi salah duga
yang berakibat buruk, seperti nasib adikmu itu!"
Peramal Pikun membatin,
"Apa benar dia tidak dapatkan pusaka itu? Jika benar, lantas ke mana
perginya pusaka itu? Siapa yang sudah berhasil membawanya pergi? Atau... masih
ada di dalam telaga ini?"
Sejurus setelah keduanya
sama-sama diam, Datuk Marah Gadai kembali perdengarkan suaranya,
"Peramal Pikun, kurasa
kau tak perlu curiga padaku. Pusaku itu memang tidak ada. Mungkin juga yang
namanya Pusaka Tuak Setan hanya merupakan kabar bohong saja. Pusaka itu tidak
pernah ada dari dulu sampai sekarang. Jadi, tak ada guna kita bersitegang memperebutkannya.
Dan, aku tak bisa terlalu lama tinggal di sini, karena aku punya banyak urusan
di tempat lain. Aku harus segera pergi!"
"Tunggu!" cegah
Peramal Pikun sambil melangkah satu tindak.
"Urusan kita belum beres,
Marah Gadai!"
"Sudah kukatakan, Tuak
Setan itu tidak ada!"
"Barangkali benar. Tapi
urusan soal kematian adikku belum selesai. Kau harus menebusnya dengan nyawa
pula, Marah Gadai!"
"Aku tidak tega jika
harus meremukkan tulang- tulang tuamu, Renggono!" kata Datuk Marah Gadai
menyebutkan nama asli Peramal Pikun. Tetapi agaknya orang berkumis putih dan
beralis tebal putih itu tidak mau membiarkan lawannya pergi begitu saja.
Saat Datuk Marah Gadai
balikkan badan dan siap melangkah, Peramal Pikun segera kibaskan tongkatnya ke
arah depan, dari kanan ke kiri. Wuuung...! Bunyi kibasannya mirip suara gasing.
Datuk Marah Gadai segera
balikkan badan untuk menangkis pukulan tenaga dalam itu. Tapi ia telat
bergerak. Tenaga dalam tanpa bentuk itu telah menghantam bagian punggungnya.
Bugg...! Tubuh orang berpakaian basah itu terjungkal ke depan tanpa ampun lagi.
Pakaian yang basah menjadi kotor karena tanah. Peramal Pikun melihat adanya
peluang emas untuk membunuh Datuk Marah Gadai. Maka, ujung tongkatnya yang
bawah disentakkan ke depan dengan mengerahkan tenaga dalamnya.
Zuuut...!
Crasss... !
Ujung tongkat itu keluarkan
cahaya merah yang membentuk seperti lempengan logam bundar. Sinar merah itu
melesat cepat ke arah Datuk Marah Gadai.
Melihat kelebatan sinar merah,
Datuk Marah Gadai tak punya kesempatan untuk menangkisnya, ia hanya tolakkan
kaki kanannya ke tanah, dan tubuhnya melesat naik dengan ringan dalam keadaan
masih berbaring. Tubuh yang terangkat bagaikan terbang itu selamat dari sasaran
sinar merah. Tetapi sinar itu menghantam bagian bawah pohon, memotong batang
pohon itu bagaikan gergaji yang luar biasa tajamnya.
Brukkk...! Pohon itu pun
tumbang dengan potongan rapi bak irisan kue lapis. Datuk Marah Gadai sempat
terhenyak melihat potongan serapi itu. Segera ia sigapkan diri kembali dan
palingkan wajah ke arah Peramal Pikun.
"Bersyukurlah kau bisa
selamat dari jurus 'Kepak Garuda'-ku. Andai tidak, tubuhmu akan terpotong
seperti pohon itu, Marah Gadai!"
Datuk Marah Gadai menggeram
sambil genggamkan dua tangannya kuat-kuat. Matanya menatap bengis tanpa senyum
sedikit pun.
"Tua pikun bikin penyakit
kau ini, Renggono! Jangan merasa bangga dengan jurus mainanmu seperti itu. Coba
kau terima jurus 'Tapak Dewa'-ku ini, hiat...!"
Kaki kanan Datuk Marah Gadai
menendang ke depan dalam satu sentakan keras. Dari telapak kaki itu keluar
sinar putih keperakan yang dulu nyaris melenyapkan nyawa Cadaspati di telaga
itu juga. Peramal Pikun pernah melihat kehebatan jurus 'Tapak Dewa' itu. Ia
tidak menghindar, karena ia mempunyai jurus tandingan sendiri.
Maka ketika sinar putih
keperakan itu melesat ke arahnya, Peramal Pikun sentakkan jari tengah dari
tangan kanannya. Jari yang menyentak ke depan itu keluarkan nyala pijar api
merah juga, dan menghantam sinar putih keperakan itu.
Duarrr...!
Benturan dua tenaga dalam
dahsyat itu timbulkan dentuman yang sempat membuat permukaan air telaga
berguncang. Tubuh Datuk Marah Gadai terpental ke belakang, membentur batang
pohon yang tadi tumbang. Sementara itu, tubuh Peramal Pikun hanya terdorong ke
belakang, dua langkah jaraknya.
Datuk Marah Gadai cepat
bangkitkan diri. Satu kaki sentakkan ke tanah dan tubuhnya melesat bagai
terbang disertai pekik kemarahan.
"Hiaaaaat...!"
Melihat Datuk Marah Gadai
melompat ke arahnya, Peramal Pikun tak mau tinggal diam, sehingga ia pun
sentakkan tumit sedikit dan tubuhnya melayang terbang menyongsong lawan. Mereka
beradu pukulan tenaga dalam di udara.
Plak plak plak...! Begg...!
Telapak tangan Datuk Marah
Gadai berhasil menghantam dada Peramal Pikun. Tak ayal lagi tubuh kurus kering
itu tersentak ke belakang dan jatuh berguling-guling.
Darah keluar dari mulut
Peramal Pikun. Kain putih yang menyilang dari pundak ke pinggang itu tampak
hitam, terbakar oleh pukulan telapak tangan Datuk Marah Gadai. Bekas pukulan
itu masih mengepulkan asap tipis dan menyebarkan bau hangus sebuah kain.
Datuk Marah Gadai sendiri
masih berdiri tegak tanpa luka. Ia memandang lawannya dengan senyum sinis
meremehkan. Jarak mereka antara tujuh langkah, tanpa penghalang benda apa pun.
Pada saat itu, tongkat Peramal
Pikun tergeletak di tanah akibat lepas dari pegangannya saat beradu pukulan di
udara tadi.
Melihat tongkat ada di dekat
kaki kanan, keadaan tubuh masih separo berbaring, secepatnya Peramal Pikun
jejakkan kakinya ke kepala tongkat. Dalam satu jejakan kaki, tongkat itu
melesat sendiri menuju arah lawan.
Wuuugh... !
Trak... trak...! Dua tangan
Datuk Marah Gadai sentakkan ke atas dari bawah tongkat yang hampir mengenai
dadanya. Sentakan keras tangan itu membuat tongkat membalik dan terlempar kuat,
hingga melayang tinggi sampai akhirnya jatuh tepat di depan mata Peramal Pikun.
Jlubh...! Tongkat itu jatuh
dalam keadaan berdiri dan menancap di tanah. Bagian kepala tongkat tetap
menghadap ke atas. Dengan sigap Peramal Pikun yang sudah terluka itu menangkap
tongkat dan berusaha untuk bangkitkan badan.
Tetapi Datuk Marah Gadai tak mau
diam saja. Ia segera sentakkan kakinya lagi bagai menendang udara kosong, dan
jurus 'Tapak Dewa' kembali dilancarkan ke arah Peramal Pikun. Sinar putih
keperakan itu melesat cepat menghantam Peramal Pikun,
Wuuush...!
Seperti dalam kisah Pusaka
Tuak Setan, jurus maut 'Tapak Dewa' itu pernah ditendangkan ke arah Cadaspati.
Tapi waktu itu Cadaspati bisa menghindar, dan yang menjadi sasaran adalah batu
di belakangnya. Batu itu lenyap begitu saja ketika terhantam sinar putih
keperakan. Batu itu tiba-tiba berubah menjadi bubuk hitam yang lembut sekali.
Begitu pula saat sinar putih
keperakan itu menerjang tubuh Peramal Pikun, tiba-tiba tubuh itu lenyap.
Bekasnya tak ada, bahkan tongkatnya pun ikut lenyap. Tapi batu besar yang
semula dipakai sandaran tubuh Peramal Pikun ikut lenyap. Hilangnya batu Itu
meninggalkan bekas bubuk hitam yang menggunduk kecil di tanah.
Datuk Marah Gadai heran dan
membatin, "Aneh. Mengapa lenyapnya tubuh Peramal Pikun tidak meninggalkan
bekas apa pun, kecuali bekas darahnya yang tadi keluar dari mulut? Mestinya
tubuh itu pun meninggalkan bekas debu seperti batu tersebut."
Ketika Datuk Marah Gadai
palingkan wajah ke seberang telaga, ternyata tubuh Peramal Pikun ada di sana,
bersandar pada sebatang pohon. Orang itu masih dalam keadaan duduk dan menahan
sakit di dadanya.
"Setan! Cepat sekali ia
berpindah tempat sejauh itu?" pikir Datuk Marah Gadai. Kemudian ia pun
serukan kata,
"Jangan harap kau bisa
lolos dari seranganku, Renggono!"
Tanpa menghampiri lawannya,
Datuk Marah Gadai kembali lancarkan tendangan mautnya yang dinamakan jurus
'Tapak Dewa'. Sinar putih keperakan kembali meluncur cepat melebihi anak panah
ke arah Peramal Pikun yang keadaannya semakin parah.
Wuuush...!
Pohon yang dipakai sandaran
Peramal Pikun itu ikut lenyap seketika karena dihantam sinar putih keperakan.
Pohon itu tinggalkan sisa serbuk putih kehijauan yang menggunduk di tanah. Tapi
tubuh Peramal Pikun lenyap tanpa bekas lagi.
Datuk Marah Gadai melebarkan
matanya mencari ke kanan-kiri, ternyata dia temukan tubuh lawannya sedang
terbaring di atas tanah, di depan dua gugusan batu cadas. Tongkatnya masih
tergenggam di tangan kanan. Wajahnya makin pucat pasi.
"Hebat sekali dia. Bisa
menghilang bagaikan siluman!" ucap batin Datuk Marah Gadai dengan nada
heran.
"Padahal keadaannya
separah itu, tapi ia masih bisa menghindari pukulanku dengan melesat cepat tak
terlihat oleh mataku.Agaknya, orang tua renta itu tidak bisa ditumbangkan
semudah menumbangkan adiknya. Kalau kugunakan pedangku, pastilah dia tak akan
bisa berkutik lagi. Tapi, haruskah aku menggunakan pusaka Pedang Lidah Iblis
ini untuk urusan seperti ini? Ah, tidak! Cukup dengan pukulanku yang melukai
bagian dalamnya, tua renta itu akan mati sendiri. Karena pukulan itu tidak akan
mudah terobati! Sebaiknya kutinggalkan saja dia, supaya aku tidak boros
tenaga!"
Tanpa tinggalkan pesan dan
pamit. Datuk Marah Gadai sentakkan kakinya dan melesat pergi dari Telaga Manik
Intan. Kepergiannya itu hanya bisa dilihat saja oleh Peramal Pikun, tak dapat
lagi ia cegah kepergian musuhnya karena luka dalamnya terasa semakin parah.
Peramal Pikun hanya bisa bicara dalam hatinya.
"Tukang gadai itu minggat
begitu saja! Setan! Aku tak bisa mencegahnya. Pukulan tenaga dalamnya ini
sungguh luar biasa tingginya. Hampir saja aku tak kuat menahan. Kalau saja
jurus 'Tapak Dewa'-nya tadi mengenaiku, habis sudah riwayatku di telaga ini.
Hanya saja... siapa orang yang telah memindahkan tubuhku dari tempat satu ke
tempat yang lain? Pastilah dia orang berilmu tinggi, sampai gerakannya tak bisa
terlihat oleh mataku sendiri!"
*TAMAN Perguruan Merpati
Wingit dibangun dengan berbagai keindahan, kenyamanan, dan keanehan. Selain air
mancur yang muncrat ke atas tapi tak pernah kembali ke kolamnya, juga terdapat
sebuah ayunan bertiang gawang. Ayunan itu mempunyai kursi tempat duduk untuk
dua orang dengan punggung kursi terbuat dari bahan kayu berukir yang mempunyai
bantalan empuk. Ayunan itu mempunyai atap tak terlalu lebar. Yang menjadi
keanehan dari ayunan tersebut adalah tempat duduk itu tidak mempunyai tali atau
besi pengait. Kursi itu bagaikan mengambang di udara, tapi bisa diayunkan maju
mundur.
Di atas ayunan itu, duduklah
seorang pemuda bercelana putih dan berbaju coklat tanpa lengan. Rambutnya
riap-riapan dibiarkan begitu saja. Pemuda tampan yang selalu berada tak jauh
dari bumbung bambu tempat menyimpan tuaknya itu tak lain adalah murid sinting
si Gila Tuak, yaitu Suto Sinting!
Kala itu Suto duduk di ayunan
aneh dengan ke dua mata lurus memandang ke setangkai mawar ungu, tapi jelas
pikirannya tidak berada di ujung kuncup-kuncup bunga mawar itu. Suto masih tak
habis pikir mengapa orang-orang Perguruan Merpati Wangit itu bersikap begitu
baik padanya, namun juga begitu bodoh tindakannya.
Sejak Suto dirawat di
Perguruan Merpati Wingit akibat tubuhnya mengepulkan asap dan berkelejotan
bagaikan terbakar itu, ternyata banyak kejadian bodoh yang dilakukan oleh
murid-murid Merpati Wingit, yang pada umumnya perempuan itu.
Seperti dikisahkan dalam
episode : "Darah Asmara Gila", tubuh Suto menjadi seperti terbakar
saat cairan dari Tuak Setan itu tertelan masuk ke dalam mulutnya, ia terkapar
di atas bukit itu, ditinggalkan oleh lawannya si Mawar Hitam dari Pulau Hantu,
sedangkanPeri Malam yang waktu itu membela Suto dan menyerang gurunya sendiri,
dalam keadaan parah akibat pukulan sang Guru.
Pada saat itulah Nyai Guru
Betari Ayu datang dan terkejut melihat keadaan Suto yang mirip sedang sekarat
itu. Betari Ayu datang bersama Murbawati, muridnya, kemudian segera membawa
lari tubuh yang berasap itu ke Perguruan Merpati Wingit, tempat Betari Ayu
duduk sebagai Guru dan ketua perguruan tersebut.
Enam hari lamanya Suto dalam
perawatan Betari Ayu, demikian pula Peri Malam. Mereka dirawat berbeda kamar,
sebab Betari Ayu selalu mengistimewakan Suto dalam segala hal. Peri Malam yang
sudah dianggap murid murtad oleh Mawar Hitam itu dirawat di dalam ruang
penyembuhan, sedangkan Suto dirawat di dalam kamar pribadi Betari Ayu, yang
tentu saja jauh labih bersih, lebih indah, dan lebih wangi dari ruang-ruang
lainnya.
Sebenarnya bagi Suto sendiri,
tak perlu ia harus dirawat sedemikian khususnya. Karena Gila Tuak gurunya,
pernah jelaskan bahwa siapa pun orangnya yang pernah telan Tuak Setan, tubuhnya
akan menjadi seperti terbakar dan lemas tak berdaya selama satu hari penuh.
Hari berikutnya orang itu akan sehat kembali dengan mempunyai satu kekuatan
dalam maha dahsyat. Dan untuk pengendapan Tuak Setan di dalam tubuh orang yang
meminumnya itu dibutuhkan waktu satu hari penuh.
Tetapi, Nyai Betari Ayu tidak
mengetahui hal itu. Ia menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Suto, sebab
sangkanya Suto terluka dalam karena suatu pertarungan hebat. Tak disadari oleh
Betari Ayu yang ada di dalam raga Suto itu menjadi lebih besar dan punya
kekuatan tersendiri, yaitu membentuk gelombang tenaga yang dapat memancarkan
daya pikat luar biasa lewat sorotan matanya. Daya pikat itu hanya berlaku untuk
lawan jenisnya.
Selama dua hari Suto selalu
mendapat saluran hawa murni dari Nyai Betari Ayu. Sekalipun Suto sudah merasa
enak badannya, tapi Nyai Betari Ayu masih tetap mendesak Suto untuk tetap beristirahat
dan jangan banyak bergerak.
Empat hari lamanya Suto selalu
berada di kamar pribadi Nyai Betari Ayu. Selama empat hari itu pula sudah lima
orang murid perempuan di situ yang minggat karena mereka begitu terpikat
melihat ketampanan Suto, tak terkuasai amukan birahi dan cintanya, akhirnya
mereka pergi satu persatu, beda waktu dan beda tempat, tanpa kesepakatan.
Betari Ayu sendiri hampir saja
larut dalam kepicikan otaknya dan ingin pergi dari perguruan yang dipimpinnya.
Karena selama tiga hari ia berada
di dalam kamar bersama Suto, namun Suto tidak mau memberikan sebentuk kemesraan
yang diharapkan hatinya dan dituntut jiwanya. Pada hari ketiga itu, Nyai Betari
Ayu sempat berkata,
"Rasa-rasanya aku juga
ingin pergi karena tak kuat lagi menahan rasa sakit yang menyiksa hati."
"Apa yang membuat hatimu
sakit dan tersiksa, Nyai?"
"Sebentuk keinginan yang
tak tersampaikan."
"Apa keinginanmu itu,
Nyai?"
Lama sekali Betari Ayu yang
memang ayu itu terdiam dan tundukkan wajahnya. Suto memandangi dengan satu
keheranan yang tidak dimengerti. Bahkan keheranannya itu kian bertambah besar
setelah mengetahui Nyai Betari Ayu itu teteskan air mata. Perempuan itu
bagaikan tak mau ingat lagi kedudukannya, kewibawaannya dan kharismanya sebagai
guru yang sangat dihormati dan ditakuti di perguruan tersebut. Perempuan itu
menangis nyata- nyata di depan tamu istimewanya itu. Tak terpikir lagi rasa
malu, tak terpikir lagi akan jatuh harga dirinya, Nyai letari Ayu ucapkan kata
di sela tangisnya,
"Aku ingin bercumbu
denganmu, Suto...."
Betari Ayu seperti bukan orang
sakti lagi. Nyai Betari Ayu seperti bukan seorang Guru yang bijak dan
berkharisma lagi. Ia seperti tidak punya harga diri lagi. Ia menangis setelah
mengucapkan kata itu sambil menciumi telapak tangan Suto yang sejak tadi
digenggam dan diremas-remasnya.
Kala itu, Suto Sinting ucapkan
kata lembut, "Nyai, aku tidak ingin memberikan kehangatan tubuhku kepada
perempuan siapa pun juga. Karena guruku pernah bilang, setitik air yang
tersembur keluar dari kemesraanku, akan menghasilkan darah pendekar yang sukar
dicari tandingannya. Jadi aku tidak berani sembarangan memberikan setitik air
kemesraan kepada perempuan yang belum jelas kedudukannya di dalam hatiku."
"Ya. Aku percaya. Semua
ini memang kelemahanku. Aku tidak bisa bertahan lagi. Hasratku ingin bercinta
denganmu begitu besarnya, sehingga menutup kesabaranku, menutup kewibawaanku,
menutup perasaan maluku, dan yang lebih parah, melemahkan jiwaku serta meracuni
sukmaku!"
"Nyai, maafkan aku,"
ucap Suto sambil usapkan tangan ke rambut Nyai Betari Ayu dengan lembut sekali.
Air mata Betari Ayu kian deras, kian gemetar tubuhnya, kian berdebar hatinya
dan detak jantung terasa kian cepat mendobrak dada. Pada saat-saat seperti ini,
Nyai Betari Ayu merasa cemas, ingat bahwa dirinya sedang mengidap penyakit
laknat yang ditimbulkan akibat pukulan 'Renggangpati' dari lawannya.
Pukulan 'Renggangpati' itu
membuat sesak pernapasan jika Betari Ayu sedang dilanda birahi, dan membuat
tubuhnya bisa kejang-kejang. Pukulan 'Renggangpati' itu mengakibatkan
penyumbatan pada saluran jantung dan paru-paru.
Tapi anehnya, sejak bibirnya
pernah dikecup oleh Suto Sinting yang mempunyai bau aroma tuak (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila"), sesak napas dan
kejang-kejang tak pernah lagi dialaminya. Betari Ayu tak tahu, bahwa saat
bibirnya dikecup oleh Suto, pemuda itu merasakan adanya penyakit yang melanda
diri perempuan cantik itu. Pemuda itu segera salurkan kekuatan dalamnya untuk
penyembuhan melalui sisa aroma tuak dalam mulutnya. Pemuda tampan itu pun tak
pernah mengatakan hal itu, hingga sering membuat Betari Ayu terheran-heran
kepada dirinya sendiri.
Cemas akan penyakit
Renggangpati itu tetap saja ada, tetapi Betari Ayu tidak bisa menghilangkan
perasaan ingin bercumbu dengan Pendekar Mabuk yang punya daya pikat begitu
tinggi itu. Hanya tangis lembut yang bisa dilakukan oleh Betari Ayu. Hanya
meremas- remas jemari tangan Suto yang bisa diresapi oleh Betari Ayu. Tak ayal
lagi hal itu timbulkan iba di hati Suto.
"Besok, atau lusa, atau
malam nanti..., kalau aku tak mampu lagi bertahan dari tuntutan gairah ini,
biarkan aku pergi seperti murid-muridku itu, Suto," tutur Betari Ayu
begitu lirih dan mengharukan.
"Jangan, Nyai,"
bisik Suto yang menempelkan mulutnya di sekitar telinga dan pelipis Betari Ayu.
"Jangan lakukan kebodohan hanya karena nafsu birahi. Kau orang terhormat,
kau orang bijak, kau punya sikap dan watak yang dibutuhkan oleh manusia-manusia
lain, agar bumi ini tidak dikuasai oleh orang-orang bersifat angkara murka,
yang bergolongan hitam, yang sesat dan tidak tahu kehidupan manusiawi."
Betari Ayu bisikkan kata di
sela isak tangis, "Lebih baik aku bertarung dengan tokoh sakti yang
berilmu tinggi, daripada harus bertarung melawan nafsu sendiri, Suto."
"Ya. Memang lawan
terberat adalah nafsu diri sendiri. Tetapi seseorang tidak bisa mencapai
kesempurnaan dalam pertarungan ini. Setiap orang hanya bisa diwajibkan melawan
nafsu pribadinya, karena memang itulah syarat yang dibutuhkan agar layak dikatakan
atau dijuluki sebagai pendekar sejati. Dia harus bisa mengalahkan lawan
terberatnya jika ingin disebut oleh dirinya sebagai pendekar sejati,
Nyai."
"Aku mengerti, Suto. Aku
mengerti. Tapi hanya bisa mengerti, tak mampu lagi menjalani, Suto!"
Tangis itu semakin mengisak haru. Tangan Suto kini semakin sering
diremas-remasnya, juga diciumnya.
"Nyai, agaknya tak ada
jalan lain untuk menyelamatkan dirimu agar tidak pergi."
Terdongak wajah Betari Ayu.
Genangan air matanya ditembus oleh sinar mata yang berbinar-binar penuh harap.
Bibirnya yang lembut dan sangat menawan itu berucap kata,
"Kau mau menuruti
keinginanku, Suto?"
"Ya."
"Oh...!" cepat
sekali Betari Ayu memeluk tubuh Suto. Tangisnya terisak di sana. Terpeluk erat
tubuhnya oleh tangan pemuda tampan itu. Terdengar pula sebuah bisikan lembut di
telinganya.
"Akan kuberikan kemesraan
yang kau harapkan, tapi dengan caraku sendiri, Nyai...!"
"Terserah caramu, Suto.
Malu tak malu, aku memang pasrah padamu. Biarlah rendah kau pandang diriku ini,
yang penting aku tetap bisa membimbing murid-muridku seterusnya...!"
Suto sunggingkan senyum.
Betari Ayu menerima senyuman itu dengan jiwa bagaikan terbang dari raganya.
Indah sekali rasa yang ada di dalam hati. Betari Ayu sangat menyukainya.
"Kita duduk di lantai,
Nyai."
Betari Ayu anggukkan
kepalanya, lalu turun dari pembaringan mengikuti Suto. Sejenak terdengar suara,
klik .... klik ........ !
Pintu-pintu dikunci oleh Betari Ayu dari jarak jauh. Suto tahu hal itu, sebuah
cara mengunci pintu dari jarak jauh yang hanya dilakukan oleh orang- orang
berilmu tinggi. Lalu, Suto ucapkan kata,
"Duduklah bersila di
sana, saya duduk di sini, Nyai."
"Perlukah kubuka sanggul
rambutku?"
"Tidak perlu."
"Pakaianku?"
'Tidak perlu," jawab Suto
lembut. "Kita akan bercumbu dalam bayangan, Nyai. Tapi nikmatnya melebihi
kenyataan."
Betari Ayu desiskan tawa malu
namun penuh kegembiraan, ia segera duduk bersila. Badannya tegak, sama seperti
badan Suto yang duduk bersila tanpa jarak di depan Betari Ayu. Kedua lutut Suto
saling bersentuhan erat dengan lutut Betari Ayu.
Suto angkatkan kedua tangan
sebatas dada dengan telapak tangan terbuka, ia suruhkan demikian pula pada
Betari Ayu. Lalu, kedua telapak tangan saling bertemu. Jemari mereka saling
menelusup dan menggenggamlah tangan mereka.
"Pejamkan mata, Nyai.
Kosongkan pikiran agar aku bisa masuk dalam pikiranmu," ucap Suto lirih
sekali.
Betari Ayu lakukan perintah.
Lama ia pejamkan mata dan kosongkan pikiran. Makin lama makin terasa dirinya
disentuh hangat oleh jemari Suto. Terasa saat itu Suto menciumi wajahnya dengan
lembut. Kedua bibir itu saling berpagut mesra. Betari Ayu merasa menerima
lumatan bibir Suto yang cukup hangat dan nikmat. Kemudian ia pun merasa
dirayapi oleh ciuman mesra Suto di sekujur tubuhnya. Sampai akhirnya ia merasa
dibaringkan oleh Suto dan dipeluk erat-erat dalam satu irama cinta yang
menggelora.
Dalam sikap masih duduk
berhadapan dan lutut bersentuhan, Betari Ayu tak sadar ucapkan kata mendesah,
"Oh, Suto..!"
Betari Ayu tak sadar lontarkan
ratapannya. Betari Ayu tak sadar gigitkan bibirnya sendiri. Betari Ayu tak lagi
mampu bertahan, maka menjeritlah ia sekeras- kerasnya.
Lalu malam dibiarkan
melenggang dalam sepi.
Betari Ayu mulai buka matanya
pelan, tepat pada saat itu Suto pun buka matanya sedikit-sedikit. Kedua mata
yang seolah-olah selesai melakukan pelayaran cinta itu sama-sama memandang
lembut. Betari Ayu tersenyum, seolah memberi tanda bahwa ia telah mencapai
kepuasan dari kencan mesra dalam bayangan.
Napas Suto tetap tenang dan
teratur, ia seperti tidak melakukan satu gerakan pun. Tetapi napas Nyai Betari
Ayu terengah-engah. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat yang tercurah ruah.
Ketika tangan yang saling
genggam itu terlepaskan, Betari Ayu usapkan tangan menyapu keringatnya. Ia
tertawa malu, namun segera hamburkan diri memeluk Suto. Ia bisikkan kata di
telinga Suto.
"Aku lega. Aku puas,
Suto. Aku... aku seperti telah menerima apa yang kuharapkan darimu. Indah
sekali, Suto. Aku menyukainya walau itu dalam bayanganku. Aku ingin
mengulangnya entah nanti atau esok pagi."
"Tak bisa terlalu sering
bercumbu dalam bayangan, Nyai. Karena kekuatan yang kusalurkan lewat detak nadi
kita itu, dua kali lipat besarnya dengan kekuatanku bertarung melawan musuh
yang tangguh. Aku tak berani melakukannya terlalu sering, Nyai. Karena hal itu
akan cepat membuat kekuatanku semakin berkurang."
"Oh, kalau begitu kau
memang harus istirahat Suto.
Tapi, tentunya esok malam
kekuatanmu sudah kembali pulih, Suto," sambil Betari Ayu sunggingkan
senyum dan lirikkan mata yang punya makna tersendiri. Suto hanya tertawa kecil.
Dicubitnya pipi Betari Ayu, dan perempuan itu tidak mengelak, melainkan justru
bersandar rebah di dada Suto.
Bayangan itu sempat melintas
di pikiran Suto. Duduknya di atas bangku ayunan masih tetap tenang. Hatinya
membatin,
"Nyai Betari Ayu. memang
cantik, lembut, dan menggairahkan. Tapi sayang ia bukan Dyah Sariningrum.
Mengapa yang hadir dalam ingatanku hanya wajah Dyah Sariningrum, bukan wajah
Nyai Betari Ayu. Rasa rinduku begitu besar, ingin segera dapat menemukan wanita
idaman hatiku yang sering hadir dalam mimpi itu. Tapi di mana aku harus temukan
dia? Kalau kutanyakan pada Nyai Betari Ayu apakah pertanyaan itu tidak
menyinggung hatinya dan melukai cintanya? Aku tahu, Nyai Betari Ayu cinta sama
aku. Tapi Nyai tidak memaksaku untu membalas. Dia hanya memohon padaku agar aku
tidak melarang dirinya untuk tetap mencintaiku sepanjang masa. Ah, perempuan
itu sungguh aneh, namun menyenangkan sekali sikapnya."
Kala ia duduk di ayunan itu,
adalah hari ketujuh ia berada di lingkungan Perguruan Merpati Wingit. Mestinya
siang itu ia baringkan tubuh di atas ranjang berlapis kain lembut. Tapi ia
lebih suka duduk merenungi perjalanan hidupnya di taman yang berkesan teduh dan
damai itu.
Kejap berikutnya, mata Suto
melirik ke arah serambi, dan di sana tampak seorang perempuan ayu berjubah
kuning sutera mendekatinya. Perempuan ayu itu tak lain adalah Nyai Betari Ayu
sendiri. Langkahnya agak cepat, menandakan ada sesuatu yang amat penting untuk
segera dibicarakan.
"Suto," sapa Nyai
Betari Ayu dengan nada cemas tersembunyi.
"Ada apa, Nyai?"
"Seorang lagi muridku
telah pergi, baru saja tadi!"
"Oh...," Suto hanya
mengeluh dengan sikap turut prihatin atas langkah picik yang diambil oleh sang
murid.
Betari Ayu ucapkan kata lagi,
"Muridku yang pergi tadi, mengatakan kepada temannya bahwa ia ingin sekali
berdekatan denganmu. Sebagai bukti gairahnya begitu besar padamu, ia tunjukkan
dengan minggat dari perguruan."
"Kalau begitu, aku harus
cepat pergi dari sini, Nyai. Jangan kau tahan lagi diriku, supaya muridmu tak
pergi seluruhnya, gara-gara kehadiranku di sini."
"Haruskah begitu,
Suto?"
"Ya. Dan..., bagaimana
dengan Peri Malam? Apakah dia sudah sembuh dari luka dalamnya?"
"Sudah. Dan dia sudah
pergi tanpa pamit kemarin sore."
"Dia pergi tanpa pamit?
Tanpa berterima kasih padamu?"
"Dia bahkan menantangku
ingin mengadakan pertarungan pribadi di suatu tempat. Dia akan kembali untuk
menentukan waktunya. Karena
dia cemburu padaku, melihat kau berada dalam perawatanku dan
tidur di kamar pribadiku. Dia
cemburu, Suto!"
SEJAUH ini, Nyai Betari Ayu
masih belum tahu bahwa Suto adalah juga murid Bidadari Jalang. Padahal
perempuan yang menamakan dirinya Bidadari Jalang adalah lawan berat Nyai Betari
Ayu. Malah di dalam hati Betari Ayu masih menyimpan dendam kepada Bidadari Jalang,
sebab pukulan 'Renggangpati' itu diterimanya dari jurus maut Bidadari Jalang.
Dulu, Betari Ayu adalah
kekasih Datuk Marah Gadai. Tetapi sang kekasih digoda terus oleh Bidadari
Jalang, hingga akhirnya terpikat dan meninggalkan Betari Ayu. Perginya Datuk
Marah Gadai meninggalkan bekas luka yang sulit sembuh di hati Betari Ayu. Sejak
saat itu, Betari Ayu tidak mau turun ke dunia persilatan, dan ia lebih suka
mengasingkan diri dengan membentuk pasukan tersendiri, yaitu dengan cara
mendirikan perguruan yang kebanyakan muridnya adalah perempuan. Kelak, Betari
Ayu punya cita-cita untuk menyerang Bidadari Jalang dan Datuk Marah Gadai
dengan mengerahkan murid-muridnya yang dianggap pasukan tempurnya.
Andai saja Betari Ayu tahu,
bahwa Suto adalah juga murid Bidadari Jalang, entah apa jadinya. Mungkin Betari
Ayu akan memusuhi Suto dan menaruh benci pula pada pemuda tampan itu, atau
justru melenyapkan dendam dan cita-citanya karena terpikat oleh kemesraan Suto
Sinting. Dan karena Suto tahu dua hal itu akan terjadi salah satunya, maka Suto
tetap tidak mau menyebut-nyebut nama Bidadari Jalang di depan Nyai Betari Ayu.
Suto memang jarang menyebutkan
nama gurunya yang satu ini, sebab ada sedikit rasa malu menyebutkan nama yang
banyak cacat di kalangan para tokoh persilatan. Namun Bidadari Jalang seakan
selalu menjadi musuh dari tiap masing-masing tokoh, karena memang sebelum
bertemu dengan Suto, tingkahBidadari Jalang selalu menghadirkan perselisihan,
terutama urusan lelaki. Suto tak mau dikatakan sebagai murid jalang. Karenanya,
ia lebih dikenal sebagai murid si Gila Tuak, tokoh dari aliran putih yang
namanya tertera pada urutan paling atas dari nama-nama tokoh yang sulit
ditumbangkan itu.
Tak heran jika seseorang
menyebutkan nama: murid si Gila Tuak, maka orang yang satunya akan segera
terbayang wajah Suto Sinting, Pendekar Mabuk yang ke mana-mana membawa bumbung
tuaknya itu. Seperti halnya saat itu, saat sore mulai menua, seorang perempuan
berpakaian serba ungu muda yang ketat dengan tubuhnya, melesat bagaikan terbang
membawa lari Peramal Pikun.
Tiba di suatu gua, tubuh renta
Peramal Pikun yang habis terkena pukulan hebat dari Datuk Marah Gadai itu
diletakkan oleh perempuan itu. Kemudian, tangan perempuan itu saling terkatup
yang kiri dan yang kanan, ia duduk bersila di samping tubuh tua renta
bertongkat putih. Perempuan itu melakukan semadi beberapa saat, kemudian kedua
tangannya ditempelkan di dada Peramal Pikun.
Kejap berikutnya, tubuh
Peramal Pikun tersentak- sentak bagai meregang nyawa. Tapi asap kuning yang keluar
dari kedua telapak tangan yang menempel di dada Peramal Pikun itu ternyata
bukan asap beracun. Sebuah cara penyembuhan sedang dilakukan. Peramal Pikun
tersentak lagi dalam satu kejutan, lalu diam lemas dan terkulai. Ia bagaikan
orang tertidur dengan nyenyak.
Kala ia bangun di pagi hari,
badannya sudah kembali segar seperti sediakala. Napasnya longgar, nyeri di dada
sudah tak ada. Tapi perempuan yang menolongnya membawa ke gua itu tak diketahui
di mana dia berada. Peramal Pikun mencari-carinya sejenak.
"Seingatku dia seorang
perempuan cantik," kata hati Peramal Pikun. "Seingatku dia berpakaian
ungu muda, ketat dan badannya yang aduhai itu. Baju ungu tanpa lengan, tapi
rambutnya yang panjang sepunggung acak-acakan, seperti orang gila. Ia menyandang
pedang di punggungnya. Seingatku, sarung pedang dan gagangnya terbuat dari
gading berukir. Seingatku, di gagang pedangnya ada benang-benang berumbai warna
merah darah. Tapi, Siapa dia? Belum pernah kutemukan dirinya selama aku
berkelana di rimba persilatan. Mungkinkah dia siluman dari negeri
seberang?"
Peramal Pikun yakin, perempuan
berambut mirip orang gila itu pastilah orang berilmu tinggi. Gerakannya begitu
cepat saat memindahkan tubuh Peramal Pikun agar terhindar dari serangan jurus
'Tapak Dewa' milik Datuk Marah Gadai. Luka dalam yang berat dan mampu
disembuhkan dalam waktu cepat, merupakan ciri orang berilmu tinggi. Peramal
Pikun percaya, bahwa perempuan itu jelas punya maksud tertentu sehingga
melakukan pertolongan terhadap dirinya,
"Aku harus mencari perempuan
itu. Paling tidak aku harus mengucapkan terima kasih atas pertolongannya,"
pikir Peramal Pikun. Maka, ia pun keluar dari dalam gua yang bau oleh kotoran
kelelawar itu.
Peramal Pikun terkejut begitu
tiba di mulut gua, ternyata gua itu terletak di tebing curam, di bawahnya laut
yang bergolak dengan batu-batu karang runcing mirip gigi ikan raksasa. Meleset
sedikit, habis sudah nyawa orang dihujam karang-karang runcing.
"Kucing kudis!"
umpat Peramal Pikun. "Bagaimana caranya keluar dari gua ini? Tak ada jalan
setapak pun untuk ke tempat datar. Gua ini seperti menempel pada dinding karang
yang merupakan tebing curam. Gua ini seperti tembok raksasa yang berlubang.
Mencapai ke daratan di atasnya sungguh tinggi, mencapai ke laut juga dalam.
Lalu aku harus lewat mana?"
Peramal Pikun garuk-garuk
kepala. Matanya memandang sekeliling mencari jalan untuk memanjat tebing ke
atas atau menuruni tebing ke bawah. Tak ada jalan sama sekali. Dinding tebing
di samping kanan-kiri gua sangat licin berlumut. Kalau memang harus melompat ke
laut, ujung-ujung karang runcing belum tentu ramah kepada kakinya. Bisa jadi
tubuhnya yang tua renta itu menancap di salah satu karang runcing itu.
"Monyet monyong!"
Peramal Pikun umpatkan kata. "Orang itu menolongku, tapi juga membunuhku
kalau begini caranya. Mengapa ia taruh aku di gua ini? Apa gua-gua di tempat
lain sudah penuh penghuninya? Dan lagi, bagaimana caranya membawaku kemari?
Apakah ia membawaku dalam keadaan tubuhku disampirkan di pundak dan dia merayap
turun dari atas sampai mencapai mulut gua ini?"
Renggono sesalkan diri,
mengapa saat ia dibawa ke gua itu ia dalam keadaan pingsan? Padahal ketika
perempuan itu mendekatinya dan hendak mengangkat tubuhnya, ia masih bisa
memperhatikan ciri-ciri perempuan itu. Tapi ketika sudah berada di atas
gendongan perempuan cantik, ia malahan pingsan. Andai tidak pingsan, ia bisa
melihat bagaimana caranya perempuan itu membawanya ke gua bertebing terjal
lurus itu.
Wuusss...! Wuusss...!
Seekor kelelawar masuk ke
dalam gua. Kejap berikutnya, seekor lagi menyusul. Bahkan hampir menyambar
kepala Peramal Pikun. Mata tua itu memandang ke langit-langit gua. Tak ada
lubang keluar di sana. Yang ada hanya dua kelelawar agak besar menggantung dan
mencicit menjelang petang. Peramal Pikun gumamkan kata,
"Mati aku kalau begini!
Apa mungkin aku harus hidup bersama kampret-kampret ini?!"
Lelaki tua berkumis dan alis
serba putih itu termenung. Kejap berikutnya ia tersentak, karena tiba- tiba di
mulut gua telah berdiri sosok bayangan berambut mekar acak-acakan.
"Nah, ini dia!"
Peramal Pikun ucapkan kata bernada lega.
Perempuan berpakaian ketat
warna ungu muda itu datang. Pedang bergagang bentuk 'barang keramat' lelaki itu
terlihat jelas terselempang di punggungnya. Pedang bergagang dan bersarung dari
gading ukuran itu jelas menandakan bukan sembarang pedang.
Sisa cahaya sore masih
merambah masuk melalui mulut gua. Peramal Pikun sengaja tidak berdiri, masih
tetap duduk di tempatnya sambil memeluk tongkat putihnya. Perempuan itu
mendekat, memandang tanpa senyum sedikit pun. Pandangan matanya bening tapi
tajam, seakan mempunyai kekuatan tersendiri dalam dirinya.
"Terima kasih atas
pertolonganmu," kata Peramal Pikun setelah sempat salah tingkah dipandangi
lama tanpa diajak bicara.
"Aku tidak butuh terima
kasihmu!" kata perempuan berpedang gading. Suaranya serak-serak galak.
"Jadi apa yang kau
butuhkan dariku?" tanya Peramal Pikun.
"Aku mencari pemuda tanpa
pusar."
Peramal Pikun terkekeh geli
mendengarnya. Perempuan itu cepat sentakkan kaki kanannya, berkelebat menampar
pipi Peramal Pikun.
Plakkk... !
Peramal Pikun hentikan tawa.
Kalau ia tak ingat bahwa dirinya telah diselamatkan oleh perempuan itu dari
jurus mautnya Datuk Marah Gadai, pasti ia sudah membalas dan melawan saat itu.
Tapi ingat ke sana, Peramal Pikun tak mau kasih balasan. Ia hanya cemberutkan
wajah dan berkata,
"Kenapa kau menamparku?
Kenapa pakai kaki?"
"Karena kau menertawakan
diriku! Aku bertanya sungguh-sungguh!"
"Aku juga tertawa
sungguh-sungguh," balas Peramal Pikun. "Aku baru dengar ada pemuda
tanpa pusar. Itu sesuatu yang lucu bagiku!"
"Aku tidak sedang
melucu!" sentak perempuan itu. "Aku butuh pemuda tanpa pusar. Aku
mencarinya."
"Pemuda tanpa
pusar...?!" gumam Peramal Pikun. Diam-diam, ia segera membuka kain penutup
parutnya sendiri, meliriknya sebentar dan menggumam dalam hatinya,
"Hmmm... yang ini ada pusarnya!"
Perempuan itu kembali sentakkan
suara, "Kalau kau tak mau menunjukkan, aku terpaksa meninggalkanmu di gua
ini sendirian!"
"Mengapa kau mengancamku
begitu? Kau memaksaku harus menunjukkan pemuda tanpa pusar, sedangkan aku
sendiri tidak tahu. Setiap laki-laki punya pusar, Jabrik!" geram hati
Peramal Pikun.
"Aku tahu. Tapi aku
mencari yang tanpa pusar!"
"Aku tidak tahu! Aku
sendiri punya pusar! Apa harus ditutup supaya kelihatannya tanpa pusar?!"
Plakkk... !
Cepat sekali kelebatan kaki
itu menampar pipi Peramal Pikun menggunakan punggung telapakannya. Tangan
Peramal Pikun berkelebat namun telat. Dua kali sudah pipinya ditampar
perempuan. Ditamparnya pakai kaki. Jelas itu hal yang merendahkan dirinya
sendiri. Tapi Peramal Pikun tetap sabarkan diri. Bahkan ia sediakan diri untuk
satu kali tamparan lagi. Menurutnya, tiga kali tamparan pakai kaki sudah cukup
untuk membayar jasa pertolongan perempuan berambut jabrik itu.
"Mengapa kau bertanya
padaku, Jabrik? Mengapa kau seolah-olah yakin betul bahwa aku tahu di mana
adanya pemuda tanpa pusar?"
"Karena kulihat kau lebih
tua dari lawanmu di telaga itu. Kau tua renta, dan aku yakin kau memang tokoh
tua di rimba persilatan. Tentunya kau punya banyak pengalaman!"
"Pengalaman bertarung
memang banyak, tapi pengalaman memeriksa pusar orang belum punya," jawab
Peramal Pikun.
"Jangan kau coba
mendustai aku, Tua renta!"
"Aku tidak mendustaimu,
Jabrik! Aku benar-benar tidak tahu."
Perempuan jabrik itu menatap
mata Peramal Pikun lekat-lekat. Ia temukan kejujuran dari sorot pandangan mata
Peramal Pikun. Akhirnya ia mengalah, tak mau desak lagi orang tua renta itu. Ia
duduk di sebuah batu datar. Ia pandangkan mata ke arah luar, matahari makin
hilangkan sinarnya. Gelap bertambah pekat di dalam gua jika tidak segera ia
lakukan sesuatu.
Sebongkah batu diambilnya.
Batu itu agak runcing ujungnya. Lalu kedua telapak tangannya menggosok batu itu
dengan cepat. Mata Peramal Pikun hanya memperhatikan tanpa mau berucap kata.
Dan mata Peramal Pikun sedikit terperanjat melihat batu itu menyala dan
kepulkan asap api.
Gua menjadi terang. Batu itu
bagaikan obor besar yang tergeletak berdiri di tanah gua. Peramal Pikun cuma
sunggingkan senyum tipis. Segera ia angkat tongkat, ia sodokkan ujungnya ke
arah batu bernyala itu. Jarak sodokan antara dua depa dari batu menyala.
Blaap... !
Batu itu padam seketika bagai
ditiup angin kencang yang keluar dari ujung tongkat Peramal Pikun. Terdengar
suara perempuan jabrik itu menggeram. Terbayang dalam gelap sebuah kaki akan
bergerak menampar seperti tadi. Maka, Peramal Pikun cepat angkat tongkat dan
sodokkan ke arah tadi.
Buusss... !
Batu itu menyala kembali.
Tampak wajah perempuan jabrik menatap penuh kemarahan. Peramal Pikun nyengir.
Kemarahan di wajah perempuan itu pun reda setelah melihat batu nyala kembali.
"Agaknya kita harus
bermalam di sini," kata Peramal Pikun seperti bicara pada diri sendiri.
Perempuan jabrik tidak beri jawaban apa-apa. Ia panggangkan kedua tangannya di
atas batu berapi. Peramal Pikun pindah duduk agak dekat api. Lalu, ia
melontarkan pertanyaan dengan sikap baik-baik.
"Menurut ramalanku, kau
orang berilmu tinggi."
Perempuan cantik berambut
jabrik hanya menatap wajah Peramal Pikun sebentar, lalu kembali memandang api
yang menyala, panggangkan kedua tangannya.
"Menurut ramalanku, kau
perempuan yang keras, tegar, dan pemberani. Dan menurut ramalanku... kau tidak
punya suami!"
"Apakah kerjamu
meramal?" suara serak-serak galak itu terdengar tanpa irama. Datar-datar
saja.
"Dulu, kerjaku memang
meramal, itulah sebabnya aku punya julukan Peramal Pikun. Julukan itu muncul
dengan sendirinya, karena ramalanku selalu meleset. He he he...!"
Perempuan jabrik menatap
cepat. Tawa Peramal Pikun terhenti dalam sekejap. Ia tarik napas panjang dan
menghindar dari tatap mata si perempuan jabrik.
"Boleh aku tahu
namamu?" tanya Peramal Pikun tanpa pandang.
"Tak perlu kau tahu
namaku. Tapi kau perlu tahu julukanku."
"Siapa julukanmu?"
"Perawan Sesat!"
"He he he...!"
Plakk... !
Tamparan ketiga pakai kaki
mendarat tepat di pipi Peramal Pikun. Tangannya berkelebat tapi telat
menangkis. Peramal Pikun hanya tudingkan tangan ke arah perempuan itu sambil
ucapkan kata,
"Sudah tiga kali. Impas!
Aku tak punya hutang jasa lagi padamu! Kali ini kau tampar pipiku lagi, kubalas
dengan melemparkanmu ke laut sana!"
"Kalau kau bisa, lakukan
sekarang!"
"Nanti saja!" sambil
peramal sial itu bersungut- sungut. Tapi tiba-tiba ia ingat nama julukan tadi,
dan perlu menegaskan sekali lagi dengan sebuah tanya, "Apa benar julukanmu
Perawan Sesat?"
"Ya."
Peramal Pikun cepat tutup
mulutnya dengan telapak tangan, serta palingkan wajah membelakangi Perawan
Sesat. Hanya badannya yang tampak bergerak diguncang tawa geli. Perawan Sesat
tahu hal itu, tapi ia tidak ambil peduli.
"Dari mana asalmu,
Perawan Sesat?"
"Bukit Garinda,"
jawab Perawan Sesat tanpa memandang Peramal Pikun.
"Bukit Garinda...?!"
Peramal Pikun belalakkan mata sedikit. "Bukankah itu wilayah Partai
Perempuan Sakti?"
"Ya."
"O, jadi kau orang dari
Perempuan Sakti?"
"Ya."
"Aku kenal dengan salah
seorang anggota Perempuan Sakti. Dulu aku pernah bentrok dengannya karena salah
paham, tapi sekarang sudah tak ada masalah lagi. Orang itu bernama Nyai Lembah
Asmara! Apa kau kenal dengan nama itu?"
Perawan Sesat tatapkan mata
tajam-tajam ke mata cekung Peramal Pikun. Lalu, kejap berikutnya ia ucapkan
kata tegas-tegas.
"Itu nama guruku!"
"Ooo... jadi kau muridnya
Nyai Lembah Asmara?!"
"Betul!"
Peramal Pikun angguk-anggukkan
kepala dalam senyum kemenangan masa lalunya. Tak sadar dia ucapkan kata,
"Cantik sekali dia ......
"
Plakkk... !
Satu tendangan kaki menampar
kena di pipi Peramal Pikun. Cepat ia angkat tongkatnya. Tapi hasrat untuk
mengibaskan tongkat ke kepala Perawan Sesat terhenti dan hilang seketika,
karena ia ingat, Perawan Sesat murid Nyai Lembah Asmara. Perempuan cantik itu
dikenalnya sebagai perempuan berdarah dingin. Musuh tak pernah lolos dari
tangannya. Pasti mati sebelum minta ampun.
Peramal Pikun ingat, dulu ia
pernah terdesak melawan Nyai Lembah Asmara, hampir sepuluh tahun yang lalu.
Ilmu Ketua Partai Perempuan Sakti itu cukup tinggi. Menurut ukuran Peramal
Pikun, sangat tinggi. Ia dulu hampir mati di tangan Nyai Lembah Asmara. Ia jadi
jera bertemu dalam bentrokan dengan perempuan itu. Karenanya, saat ia akan
membalas tamparan Perawan Sesat, ia urungkan niat, karena tak mau punya urusan
dengan Nyai Lembah Asmara.
Peramal Pikun kendorkan
ketegangannya, dan lontarkan tanya,
"Apakah mencari pemuda
tanpa pusar itu utusan dari gurumu?"
"Ya."
"Hmmm...," Peramal
Pikun manggut-manggut. "Aku tahu sekarang maksudnya."
"Jika kau tahu, tunjukkan
di mana tempat pemuda tanpa pusar itu!"
"O, kalau tempat pemuda
tanpa pusar aku tidak tahu. Siapa orangnya pun aku tidak tahu. Aku cuma tahu
tujuan dari gurumu itu dan...."
"Kabar burung yang
didengar oleh Guru,!" sahut Perawan Sesat. "Pemuda tanpa pusar itu
telah diangkat murid oleh tokoh tua dari golongan putih yang bergelar si Gila
Tuak."
"Hah...?!" Peramal
Pikun sentakkan suara, belalakkan mata. Kaget ia mendengar nama si Gila Tuak
dibawa-bawa. Ia segera lontarkan tanya pada Perawan Sesat.
"Jadi, menurut gurumu,
pemuda tanpa pusar itu muridnya si Gila Tuak?"
"Betul! Apa kau kenal
dengan murid si Gila Tuak?"
"Kenal sekali. Dia yang
bernama Suto Sinting, bergelar Pendekar Mabuk. Tapi..., aku tidak tahu apakah
dia punya pusar atau tidak! Aku belum pernah memeriksa perutnya!"
"Suto Sinting...?!"
geram suara serak Perawan Sesat.
***
SINAR matahari pagi menerobos
mulut gua. Peramal Pikun terpaksa bersedia membantu Perawan Sesat mencari Suto
Sinting. Tapi orang tua renta itu tidak tahu ke mana arahnya. Suto bisa ada di
mana saja, menurutnya.
Satu hal yang membuat Peramal
Pikun bingung, bagaimana ia harus keluar dari gua bertebing tegak lurus itu.
Tapi hatinya segera merasa lega setelah dia ingat pada Perawan Sesat di
sampingnya, tentunya Perawan Sesat tidak akan tinggal diam.
"Naiklah ke
punggungku," kata Perawan Sesat.
"Aku...?!" Peramal
Pikun menepuk dadanya sendiri.
"Iya. Kamu naik ke
punggungku. Kugendong memanjat tebing terjal ini!" kata Perawan Sesat
sambil menyentak.
Sambil tetap memegangi
tongkat, Peramal Pikun mau tak mau naik ke punggung, digendong belakang oleh
Perawan Sesat.
"Pegang yang erat!"
"Ya," jawab Peramal
Pikun sambil membayangkan, mungkin dulu beginilah ia dibawa oleh Perawan Sesat
ke dalam gua itu.
"Hei, ada yang mengganjal
di punggungku dengan keras! Apa ini? Jangan main-main kamu, Tua renta!"
"Tongkatku yang
mengganjal!"
"Tongkat yang
mana?!"
"Tunggu kucabut
sebentar," dan Peramal Pikun membetulkan letak tongkat putihnya. Sebentar
diunjukkan kepada Perawan Sesat.
"Tongkat yang ini
maksudku!"
"Ya sudah! Pegangan yang
kuat. Jatuh tidak kutanggung!"Peramal Pikun sangka dirinya akan dibawa
terbang oleh Perawan Sesat. Tapi nyatanya tidak begitu. Dengan menggunakan ilmu
aneh, Perawan Sesat merayap dinding tebing bertegak lurus itu dengan cepat.
Kaki dan tangannya bagaikan mengandung perekat yang amat kuat. Ia merayap cepat
seperti seekor cicak menggendong makanannya.
Crap... crap... crap...
crap... !
Dalam waktu singkat, tubuh
mereka sudah sampai di dataran atas tebing. Perawan Sesat sentakkan punggungnya
ke depan, dan tubuh Peramal Pikun terlempar jatuh telentang dengan meringis.
"Uh...! Patah tulang
pinggangku kalau begini caranya!"
"Cepatlah bangkit! Jangan
seperti bayi yang belum disapih!" perintah Perawan Sesat dengan tegasnya.
Peramal Pikun berjingkat
bangkit dalam satu sentakan pinggang. Jleeg... ! Kejap berikutnya ia sudah
berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit merendah. Lalu, kedua kaki itu
ditegakkannya. Ia berkata kepada perempuan yang punya keahlian merayap dinding
itu.
"Aku tak tahu arah mana
yang pertama kali harus kita tuju. Seperti kataku tadi, Suto bisa ada di mana
saja. Artinya dia susah dicari dan ditentukan tempatnya."
"Baik. Kalau begitu kita
berpencar. Kau ke utara dan aku ke selatan!" kata Perawan Sesat.
"Kalau aku temukan Suto,
bagaimana aku harus menghubungimu?"
"Tahan napasmu, panggil
namaku tiga kali, hembuskan napas ke atas. Paham?"
"Paham. Kalau itu
kulakukan, kau pasti akan datang?"
"Kalau tidak, untuk apa
aku memberi tahu caranya!"
Setelah ucapkan kata itu,
Perawan Sesat melesat pergi bagaikan kilat menuju ke arah selatan. Peramal
Pikuh sempat terbengong dalam gerutuannya.
"Siapa saja kalau
mendengar namanya dipanggil ya akan datang!" sambil ia segera langkahkan
kaki ke arah utara.
Perawan Sesat tiba di sebuah
desa. Desa itu pernah disinggahi Suto. Bahkan Suto pernah bermalam di rumah
keluarga Kriyo Suntuk yang amat kagum dengan kisah kependekaran. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
Didesa itu ada kedai, dan di
kedai itu Suto pun pernah singgah untuk mengisi tuak dalam bumbungnya. Di sana,
ia pun pernah bertemu dengan lelaki berkumis tebal dan berbadan besar, tinggi,
jari tangannya sebesar pisang dalam arti kiasannya. Lelaki itu bernama Singo
Bodong.
Kedai itu sekarang dalam
keadaan ramai pembeli. Perawan Sesat sengaja datang bersinggah di kedai itu.
Sekadar minum adalah alasan yang tepat untuk bertanya ke sana-sini tentang Suto
Sinting. Ia duduk di bangku pojok, sementara di bangku sudut berseberangan ada
pula perempuan yang ikut nongkrong di situ, berpakaian serba hitam dengan
trisula terselip di pinggang kanannya.
Kehadiran Perawan Sesat
menjadi pusat perhatian para pembeli di kedai itu, karena rambut acak-acakan
dan wajah cantik sangat menarik perhatian setiap orang. Pedang gading berukir
itu pun membuat banyak mata mengaguminya.
"Minum...!"katanya
kepada pemilik kedai, seorang perempuan berbadan kurus.
"Kopi atau teh panas,
Nona?"
"Arak!" jawab
Perawan Sesat.
Wajah cantik yang sangar
sempat bikin gemetar pria muda yang ada di samping kirinya. Pria muda itu pun
segera pindah tempat duduk, dan mata Perawan Sesat memperhatikan dengan tajam,
berkesan liar dan ganas.
Minggirnya pria muda itu,
lelaki berikat kepala putih dengan baju merah lusuh menjadi orang terdekat
jaraknya dari Perawan Sesat. Kepada lelaki itu Perawan Sesat serukan tanya,
"Hei, kau kenal dengan lelaki
bernama Suto Sinting?! Kalau kenal, tunjukkan di mana tempatnya. Aku perlu
bertemu dengannya!"
"Hmmm... anu... saya...
saya tidak mengenalnya, Nona!"
"Bodoh!"
"Iya. Hmmm... memang
bodoh saya ini!" lelaki berbaju merah itu merendahkan diri dengan wajah
pucat. Baru disentak dengan kata 'bodoh' saja wajahnya sudah langsung serupa
dengan mayat.
Arak pesanan disediakan oleh
pemilik kedai. Perawan Sesat meneguknya dengan rakus. Dua orang pemuda
berseberangan arah dengannya saling ber- kasak-kusuk,
"Sayang sekali,
cantik-cantik tapi rakus, ya?"
"Ssst...! Bukan begitu.
Yang benar, sayang sekali rakus-rakus tapi cantik. Itu tidak akan menyinggung
perasaannya kalau dia mendengarnya."
"Ih, eh... rambutnya
habis terkena racun apa ya, kok bisa awut-awutan begitu? Jangan-jangan dia
habis diperkosa?"
"Ssst... ! Jangan bilang
begitu. Yang benar, rambutnya habis memperkosa siapa. Itu tidak akan
menyinggung perasaannya...."
Wuuut...! Sepotong jadah atau
ketan bakar tiba- tiba melesat cepat masuk ke mulut orang yang sedang bicara.
Jruub...! Orang itu jadi mendelik, tak lagi bisa berucap kata apa pun kecuali,
"Uhmm... uhhmmm...
uuhmmm...!'' sambil tuding- tuding mulutnya sendiri. Maksudnya minta bantuan
temannya untuk mencopotkan ketan bakar yang melesak masuk ke mulut. Tapi
temannya berlagak tidak mendengar, berlagak tundukkan kepala tak berani
berkutik.
Perawan Sesat serukan kata,
"Siapa di antara kalian yang tahu lelaki bersama Suto?! Ada atau
tidak?!"
Tak ada yang menjawab. Semua
diam dan ketakutan. Perawan Sesat lemparkan pandangan ke pemilik kedai.
Perempuan tua yang kurus kering itu buru-buru gelengkan kepala sebelum ditanya.
Perawan Sesat sentakkan suara
kepada lelaki yang tertunduk di samping kirinya orang yang tersumbat ketan
bakar di mulutnya.
"Hai, kau tahu tentang
Suto Sinting?! Hei... aku tanya padamu, Baju kuning!"
Orang itu merasa ditanya, tapi
tak berani jawab apa pun. Tak berani juga dongakkan wajah atau tatapkan matanya
ke arah perempuan berambut awut- awutan itu. Sikap takutnya bikin hati Perawan
Sesat makin jengkel. Sepotong pisang goreng dicomot, lalu dilemparkan ke orang
itu. Wuuttt... !
Tapp... !
Ada tangan yang bisa menangkap
lemparan cepat pisang goreng tersebut. Tangan itu milik perempuan berpakaian
hitam dan bermata sedikit lebar. Sekarang perempuan itu tatap mata Perawan
Sesat dengan berani.
Entah apa yang ada di benak
Perawan Sesat, yang jelas ia tidak ulangi lagi lemparan tersebut. Ia diam dan
meneguk arak pesanannya. Tetapi pada saat itu perempuan yang pegang pisang
goreng lemparan Perawan Sesat tadi mengibaskan tangannya cepat- cepat. Pisang
itu berubah jadi busuk dan mengeluarkan belatung menjijikkan. Beberapa orang di
dekatnya tersentak sampai ada yang menumpahkan makanan.
Perawan Sesat hanya melirik
sekejap sambil bangkit berdiri. Ia lemparkan sekeping uang kepada pemilik
kedai, lalu ia tinggalkan kedai itu dengan langkah-langkah tegasnya.
Perempuan yang berpakaian
hitam segera mengikuti Perawan Sesat secara diam-diam. Bulu kuduknya merinding
sebentar membayangkan gumpalan belatung yang terpegang oleh tangannya tadi.
Jelas belatung itu bikinan dari perempuan berambut jabrik. Ia tahu hal itu,
sehingga ia makin penasaran mengikutinya.
Perawan Sesat bukan tidak tahu
dirinya diikuti. Ia sengaja memancing di satu tempat sepi. Penguntitnya
sebentar-sebentar bersembunyi di balik pohon. Perawan Sesat pura-pura tak tahu.
Tapi pada satu tikungan jalan,
penguntitnya terperangah karena kehilangan jejak. Orang yang diikutinya itu
hilang bagaikan asap tersapu angin begitu membelok di gugusan cadas yang
menjadi bagian dari salah satu lereng bukit kapur. Penguntit itu layangkan
pandangan mata ke mana-mana sampai ke atas bukit kapur itu.
"Oh, dia sudah di
sana?!" gumam hati perempuan bersenjatakan trisula putih berkilauan itu.
Perawan Sesat sengaja berdiri
di atas bukit kapur menghadap ke arah penguntitnya. Ia gerakkan telunjuknya
memanggil si penguntit dengan sikap menantang. Perempuan berpakaian serba hitam
merasa ditantang dan segera sentakkan kaki.
Wesss...! Tubuhnya melompat ke
salah satu lereng pendek, melompat lagi ke lereng yang lebih tinggi, sampai
akhirnya sama-sama berdiri di atas puncak bukit kapur yang tak seberapa tinggi
itu.
"Sejak dari warung matamu
sudah menguntitku terus!" kata Perawan Sesat dengan nada dingin. "Apa
perlumu mengikutiku?!"
"Aku tak suka kau
menyebutkan nama kekasihku!"
"Siapa kekasihmu?"
"Suto Sinting!"
Wajah dingin Perawan Sesat
sunggingkan senyum yang amat kaku. Ia perdengarkan ejekannya.
"Suto Sinting amat bodoh
kalau mau jadi kekasih orang macam kau! Masih banyak perempuan cantik di dunia
ini, mengapa dia pilih seekor kambing gunung untuk menjadi kekasihnya?"
"Bangsat kau! Jaga
mulutmu, Perempuan busuk! Di dunia ini tidak ada perempuan lain yang pantas
jadi kekasih Pendekar Mabuk kecuali Dewi Murka."
Perawan Sesat perdengarkan
tawanya yang mengikik penuh kesan hinaan. Perempuan yang berpakaian serba hitam
itu geletukkan giginya. Perawan Sesat tak tahu, bahwa Dewi Murka saat itu
sebenarnya dalam keadaan rapuh. Mudah dilumpuhkan. Karena, Dewi Murka baru
beberapa hari yang lalu terkena pukulan hebat dari Selendang Kubur, teman
seperguruannya.
Mereka bertarung di sebuah
pantai karena perasaan iri Dewi Murka melihat Selendang Kubur tampak mesra
bersama Suto. Keduanya sama-sama menaruh hati pada Suto Sinting. Sampai-sampai
Dewi Murka tega memfitnah teman seperguruannya dan mendesak Selendang Kubur
untuk segera pulang ke padepokan dengan alasan dipanggil oleh gurunya, yaitu
Nyai Betari Ayu. Padahal tujuan Dewi Murka hanya untuk menyingkirkan Selendang
Kubur dari sisi Suto Sinting. Pertarungan itu membuat keduanya sama-sama
terluka berat. Keduanya sama-sama saling menghindar untuk menunggu waktu
penyembuhan tiba. Setelah itu keduanya sama-sama akan bertarung lagi sampai mati.
(Untuk jelasnya baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara
Gila").
Kini dalam perjalanan
pulangnya, Dewi Murka memerlukan waktu beristirahat beberapa hari. Dan ia
mendapat tumpangan di sebuah rumah salah satu penduduk desa tadi. Mestinya Dewi
Murka masih harus beristirahat dua hari lagi, sambil melakukan penyembuhan
terhadap dirinya. Tapi, kehadiran Perawan Sesat membuatnya panas hati dan
merasa tidak rela jika Suto dicari perempuan berambut acak- acakan itu.
Pikirnya,
"Perempuan ini harus
kusingkirkan juga, supaya kelak hubunganku dengan Suto tak ada yang mengganggu
lagi!"
Itulah sebabnya dia menguntit
Perawan Sesat dan melayani tantangan di atas bukit kapur. Sekalipun
kesehatannya belum pulih, Dewi Murka tak pernah merasa gentar beradu tanding
dengan Perawan Sesat.
"Dewi Murka! Tak peduli
siapa dirimu, yang jelas kau tahu di mana Suto Sinting! Tunjukkan padaku
tempatnya atau kau kutelan habis di bukit ini juga!"
"Jangan anggap diriku
kecil, Perempuan Jabrik! Gunung pun bisa kuhancurkan apalagi kepalamu yang
mirip landak itu!"
"Jahanam!" geram
Perawan Sesat dengan kedua tangan telah menggenggam kuat-kuat. "Boleh kau
berkoar di depan orang lain, tapi jangan sekali-kali berkoar di depan Perawan
Sesat!"
"Berkoar di depanmu sama
saja berkoar di depan orang gila! Kenapa harus takut?!" sambil Dewi Murka
tersenyum sinis.
Panas hati Perawan Sesat tak
bisa dikendalikan lagi. Ia segera menggeram panjang bagaikan seekor macan, lalu
kakinya menghentak satu kali ke tanah. Duuggg... !
Buurrr... !
Bukit kapur itu bergetar.
Bagian bawahnya rontok sebagian. Bongkah-bongkah tanah kapur yang ada di bagian
bawah melesat ke sana-sini. Dewi Murka merasakan bukit kapur itu sedikit rendah
dan menyusut dari ketinggian semula. Itu pertanda bagian bawah bukit itu
melesat ke dalam tanah atau hancur di beberapa bagian.
Dewi Murka berkata dalam
hatinya, "Gila! Bukit ini menjadi rendah sedikit dari semula. Hentakan
kakinya terasa dahsyat walaupun mungkin berlaku hanya untuk seonggok bukit
kapur seperti ini. Tapi aku tak perlu gentar menghadapinya. Dia belum tahu
jurus-jurus dahsyatku!"
Terdengar suara Perawan Sesat
menghentak, "Tunjukkan kesaktianrnu kalau kau benar-benar bisa meruntuhkan
sebuah gunung!"
Dewi Murka tersenyum tipis.
Berkesan lebih kalem dari Perawan Sesat. Lalu, ia pun menghentakkan kaki
kanannya ke tanah dengan keras. Duugg...!
Krakk...! Tanah bagian atas
bukit terbelah retak. Terpisah bagian tengah jarak antara Dewi Murka dengan
Perawan Sesat. Dengan satu hentakan kaki pula, Perawan Sesat kembalikan posisi
retaknya tanah itu. Duug...! Kreep...!
Terkesiap mata Dewi Murka
melihat keretakan kembali merapat dan pulih seperti sediakala. Sepertinya tak
pernah terjadi keretakan.
Di sisi lain, jauh di bawah
bukit kapur itu, sepasang mata mengawasi peristiwa itu dari balik semak pohon.
Sepasang mata itu berulang kali terbelalak melihat kedua perempuan tersebut
beradu kesaktian ilmunya. Sepasang mata itu milik seorang lelaki berkumis yang
memperkenalkan dirinya kepada Suto beberapa waktu yang lalu dengan nama: Singo
Bodong.
Percakapan Perawan Sesat di
kedai itu didengarnya, karena kebetulan ia sedang buang air kecil di belakang
kedai. Mestinya ia ada di kedai itu. Tapi karena ingin buang air kecil, ia
minta izin kepada pemilik kedai untuk ke kamar mandi. Ketika ia mau keluar
kembali, ia dengar suara Perawan Sesat menyebutkan nama Suto Sinting. Ia tak
jadi keluar, karena ingin tahu apa yang dilakukan perempuan berambut jabrik
itu. Dan diam-diam ia pun menguntit kepergian Perawan Sesat yang diikuti oleh
Dewi Murka sampai di bukit kapur.
Dari tempat persembunyiannya
Singo Bodong membatin, "Kedua perempuan itu manusia atau iblis sampai
punya kekuatan tenaga dalam seperti itu. Aku saja yang berbadan sebegini besar
belum tentu bisa gerakkan bukit kapur itu, eh... mereka yang jenisnya perempuan
dengan badan selangsing itu bisa bikin bukit retak dan menjadi rendah sedikit
dari asalnya. Gila itu dua perempuan."
Mata Singo Bodong yang lebar
itu kembali mengikuti peristiwa di atas bukit kapur. Agaknya kali ini Perawan
Sesat sudah merasa cukup pamer ilmunya. Melihat lawannya tidak merasa gentar
sedikit pun, Perawan Sesat segera sentakkan kedua kakinya dan tubuhnya pun
melesat terbang bagaikan seekor harimau hendak menerkam mangsanya.
Pada saat itu Dewi Murka pun
melompat menyambut tubuh lawan yang melayang. Kedua perempuan itu saling beradu
kecepatan pukulan di udara.
Plak, plak, plak...! Buugh,
bugh...!
"Heegh...!"
terdengar suara Dewi Murka memekik tertahan. Tubuhnya terlempar ke belakang dan
jatuh bagai karung basah.
Brukkk...!
Perawan Sesat sudah sejak tadi
daratkan kakinya dengan sigap di tanah berkapur itu. Ia berdiri tegak dengan
tegarnya, memandang lawannya yang jatuh terkulai dan memuntahkan darah hitam
dari mulutnya. Bahkan dari telinga dan hidung Dewi Murka juga mengeluarkan
darah hitam kemerah-merahan.
Dewi Murka berusaha untuk
bangkit. Ia mencabut trisula dari pinggangnya. Matanya memandang dengan sedikit
membeliak. Tetapi sebelum ia sempat bangkit, ia sudah kembali jatuh terkulai.
Tubuhnya terjajar di tanah berkapur. Telantang menghadap langit.
Semburan darah hitam kemerahan
itu kembali keluar dari mulutnya bersama tubuh yang menyentak kejang satu kali.
Perawan Sesat hempaskan napas
lega, lalu tinggalkan tempat itu tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia tampak
tidak peduli sekali dengan keadaan lawannya. Cepat ia melompat, cepat pula ia
melesat hilang.
Singo Bodong kehilangan
jejaknya. Bingung mencari ke mana perginya Perawan Sesat, sebagai sosok
perempuan yang dikagumi ilmu dan kecepatan gerak tangannya tadi. Karena tak
bisa mengejar dan mengikuti jejak kepergian Perawan Sesat, lelaki berkumis
tebal melintang itu segera naik dengan susah payah ke bukit kapur. Tepat ketika
ia sampai di sana, Dewi Murka hembuskan napasnya yang terakhir.
* *
HANYA Singo Bodong yang tahu
persis mengenai kematian Dewi Murka. Hanya Singo Bodong yang melihat jelas
Perawan Sesat telah membuat jiwa Dewi Murka benar-benar nungging. Tapi siapa
yang kenal Dewi Murka di antara penduduk desa itu? Toh pada saat Dewi Murka
menginap beberapa hari di rumah keluarga Gito Gepuk, ia memperkenalkan diri
sebagai Wulansih, nama aslinya.
Kalau saja mereka tahu nama
Dewi Murka, maka kematiannya akan tersebar ke mana-mana sebagai kematian murid
Perguruan Merpati Wingit. Kalau kematian Dewi Murka tersebar, maka seorang
pemuda berparas ganteng berpakaian hitam-hitam dengan senjata kapak dua mata
itu tidak akan terus-menerus mencarinya. Pemuda yang memiliki senjata kapak
Kebo Geni ini tidak lain adalah Manusia Sontoloyo, yang dikenal dengan nama
panggilan Dirgo Mukti.
Mengapa Dirgo mencari Dewi
Murka beberapa hari ini?
Itu adalah tugas. Tugas yang
turun dan dikeluarkan dari mulut Selendang Kubur, Selendang Kubur bersedia
memberikan kehangatan tubuhnya kepada Dirgo, jika Dirgo Mukti sudah kembali
memengal kepala Dewi Murka.
Kala itu, pertempuran
Selendang Kubur dengan Dewi Murka sama-sama mengakibatkan luka dalam di kedua
belah pihak. Mereka saling berpisah untuk lakukan pengobatan masing-masing.
Selendang Kubur bertemu dengan Dirgo, lalu ditolong dari keadaan parahnya,
dibawa ke dalam gua tempat tinggal Dirgo, di pesisir pantai Karang Siru.Sebagai
lelaki yang normal, Dirgo bisa menilai kecantikan dan kemulusan tubuh Selendang
Kubur yang tidak jauh berbeda nilainya dengan Peri Malam.
Sekalipun hati Dirgo terbakar
cinta kepada Peri Malam, namun melihat kemontokan dada Selendang Kubur dan daya
tarik lainnya, Dirgo tidak menolak untuk mengulurkan tangannya mencari pelepas
dahaga.
Selendang Kubur kala itu dalam
keadaan pingsan, lalu segera dibawa masuk ke dalam gua dan dirawatnya.
"Lukanya terlalu
parah," gumam Dirgo Mukti sambil memperhatikan tubuh Selendang Kubur yang
dibujurkan di atas pembaringannya.
"Dia terkena pukulan
tenaga dalam yang tinggi di dua tempat, jantung dan ulu hati. Terlambat sedikit
pengobatannya, melayang sudah nyawa si cantik yang menggairahkan ini. Hmmm...
aku harus segera menolongnya. Dengan begitu, dia berhutang nyawa padaku dan
setidaknya tidak keberatan membayar hutangnya dengan kehangatan tubuhnya
beberapa kali."
Tetapi Manusia Sontoloyo itu
sedikit ragu setelah mempertimbangkannya. Ia membatin kembali,
"Pengobatan ini tidak
cukup dengan penyaluran hawa murni ke dalam tubuhnya. Ia harus mendapat resapan
getar nadi dari sekujur tubuhku. Dan resapan getar nadi ini belum pernah
kulakukan kepada siapa pun. Guru pernah berpesan untuk tidak melakukan
pengobatan melalui resapan getar nadi jika tidak benar-benar terpaksa. Karena
jika aku gagal melakukan resapan getar nadi, maka nyawaku sendiri akan melayang
pergi dari ragaku. Tapi..., keadaan perempuan cantik ini mempunyai dua luka
yang berbahaya dan harus cepat penanganannya. Hmmm... wajahnya makin pucat dan
membiru. Agaknya pukulan tenaga dalam yang tepat mengenai sudut jantungnya ini
mengandung kekuatan racun berbahaya...!"
Manusia Sontoloyo akhirnya
memutuskan untuk melakukan pengobatan resapan getar nadi. Tanpa ragu- ragu ia
melepas pakaian Selendang Kubur. Kalau saja Selendang Kubur tidak dalam keadaan
pingsan lama, tentu ia akan memberontak dan menolak. Justru karena keadaan
pingsan itulah Manusia Sontoloyo berani melakukan pengobatan cara resapan getar
nadi.
"Wah, indah sekali tubuh
perempuan ini...?!" gumam Dirgo. Matanya tak berkedip menatap kemulusan
tubuh yang sudah tanpa selembar benang pun itu. "Kalau saja tak ada luka
membiru di bagian ulu hati dan dada kirinya, sudah pasti tubuh ini akan mulus
dan menggiurkan. Hmmm... dadanya begini montok dan kencang. Benar-benar
sepasang dada yang menantang untuk bertanding cinta. Sayang sekali dia dalam
keadaan terluka parah. Setidaknya kusalurkan dulu hawa murniku melalui telapak
tanganku!."
Pada umumnya orang melakukan
penyaluran hawa murni ke dalam tubuh si sakit dengan cara menempelkan kedua
telapak tangan ke bagian yang terluka. Tetapi Manusia Sontoloyo membalikkan
tangannya, ia menggunakan punggung telapak tangan untuk menyalurkan hawa
murninya ke dalam tubuh Selendang Kubur.
Beberapa saat lamanya hal itu
ia lakukan, hingga akhirnya detak jantung Selendang Kubur kembali normal. Tapi
Selendang Kubur masih belum siuman! Tentu saja, sebab masih ada luka berat di
ulu hatinya. Luka itu memang berhubungan dengan luka dibagian jantung, sebab
mempunyai saluran darah yang membawa racun. Racun itu menyebar di seluruh tubuh
dan menjadi beku pada bagian ulu hati yang terluka. Ini bisa menyebabkan
pembusukan segera terjadi pada bagian ulu hati tersebut. Pembekuan racun pada
luka itulah yang harus disembuhkan dengan resapan getar nadi.
Maka, Manusia Sontoloyo pun
segera melepaskan seluruh pakaiannya. Kini ia telungkupkan badan ke tubuh
Selendang Kubur. Kedua kakinya diusahakan menggapit bagian paha dan betis
Selendang Kubur.
Kedua tangannya memeluk bagian
dada sampai punggung. Mulutnya mengatup rapat ke mulut Selendang Kubur. Lalu,
pelukan dan gapitan itu diperkuat.
Beberapa helaan napas
berikutnya, tubuh Dirgo Mukti mulai tampak berkeringat. Tubuh itu menjadi pucat
sedikit demi sedikit. Keringatnya semakin bertambah. Bahkan pada bagian betis
kakinya yang berbulu itu pun mengeluarkan butiran keringat. Sampai pada telapak
kakinya pun berkeringat pula. Dan tubuh perempuan yang dipeluk erat dalam
keadaan seperti itu, mengeluarkan keringat berwarna kekuning- kuningan dari
tiap lubang pori-pori tubuhnya.
Setelah keringat yang keluar
dari pori-pori kulit tubuh Selendang Kubur itu berubah menjadi bening, maka
Dirgo pun segera menghentikan resapan getar nadinya. Ia terengah-engah dan
jatuh lemas begitu turun dari ranjang. Sementara perempuan yang habis menjalani
pengobatan aneh itu dalam keadaan seperti tertidur nyenyak. Wajah pucatnya
mulai surut, warna legam di dada dan ulu hati pun mulai memudar.
Dirgo membiarkan perempuan itu
masih telentang tanpa selembar benang pun. Beberapa saat setelah itu, manakala
napas Dirgo sudah kembali teratur, keletihannya lenyap sudah, maka Dirgo Mukti
segera ambil kain dan air tawar untuk membersihkan tubuh Selendang Kubur.
Dengan penuh gairah Dirgo
membasuh tubuh yang kini benar-benar tampak mulus, karena warna legam di kedua
lukanya sudah hilang. Tetapi Selendang Kubur masih belum bisa siuman walau
napasnya telah teratur. Ketika ia dibasuh dengan kain basah sekujur tubuhnya,
ia masih diam saja.
"Indah sekali tubuh ini.
Semuanya serba kencang, sampai ke bagian pantatnya. Hmm, hmm, hmm...!"
gemas Dirgo dengan nakal, ia remas gumpalan- gumpalan yang bisa menimbulkan
birahi itu.
Semakin lama kenakalannya
semakin bertambah jalang. Bukan hanya diremas saja bagian-bagian yang
menggumpal penuh tantangan itu, namun juga dipagut- pagutnya beberapa saat.
"Selagi pingsan kurasa ia
tak akan tahu kalau aku telah menikmati tubuhnya," pikir Dirgo dengan
binal. Maka, ia pun bergegas kembali melepas apa saja yang melekat di tubuhnya.
Ia kembali bersikap seakan hendak melakukan resapan getar nadi.
Tetapi lelaki yang bergelar
Manusia Sontoloyo itu mulai dilanda rasa kecewa.
"Kurang ajar! Dia mengunci
kedua pahanya hingga tak bisa dibuka sedikit pun!" geram Dirgo Mukti.
Rupanya ia menjadi penasaran.
Dirgo sentakkan tangannya dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam untuk
mendorong sesuatu yang berat. Tetapi kedua paha Selendang Kubur terkunci rapat,
tetap saja tak bisa direnggangkan sedikit pun. Dirgo mencobanya sekali lagi
dengan jurus 'Sigar Jambe'. Kedua tangannya merapat pada bagian pergelangan,
lalu disentakkan ke depan dengan bergerak membuka tanpa menyentuh paha itu.
Tapi ternyata kedua paha tetap merapat kuat. Hanya sedikit terguncang tubuh
Selendang Kubur, namun tidak membuat terpisah kedua kakinya.
"Edan!" sentak
Dirgo, yang akhirnya menyerah kalah. Ia tak bisa lakukan apa yang ia inginkan.
Tanpa sadar hasratnya kala itu sudah hilang karena kedongkolan hati dan
lelahnya tenaga untuk membuka paha. Bahkan penggunaan jurus 'Sigar Jambe' itu
telah menguras tenaganya karena selalu membalik masuk ke dalam dirinya.
Hari berikutnya, saat
Selendang Kubur telah lama sadar dari pingsannya, Dirgo mencoba mendekati
dengan kenakalan tangannya. Tetapi Selendang Kubur berkelit dan menepisnya
dengan perasaan tak suka kepada tindakan itu.
"Jangan begitu, Selendang
Kubur. Aku telah bersusah payah menolongmu, menyelamatkan nyawamu dari luka
parah itu, jika aku meminta upah satu kali saja, bukankah itu tindakan yang
bijaksana?"
"Aku tidak mempunyai
kebijakan seperti itu."
"Tapi aku telah
menyembuhkan lukamu, Selendang Kubur!"
"Aku tak keberatan kau
kembalikan diriku seperti keadaan semula," jawab Selendang Kubur dengan
keras kepala.
Terdengar helaan napas Dirgo
dalam kejap berikutnya, "Nasibku selalu buruk jika sudah berurusan dengan
perempuan!"
Selendang Kubur tetap tegak
terbujur dengan kedua tangan terlipat di dada. Ia dengarkan apa pun yang Dirgo
Mukti ucapkan.
"Berulang kali aku jatuh
cinta pada perempuan, berulang kali cintaku selalu ditolak."
"Urusan pribadi seperti
itu sulit sekali dijajaki maknanya. Barangkali kau sangka aku benci padamu.
Barangkali kau sangka aku menghinamu. Dan barangkali kau sangka aku jijik
padamu. Tapi menurutku memang begitulah sikap pribadi yang harus kumiliki."
Selendang Kubur geserkan
langkah dan duduk di atas batuan karang. Ucapannya berlanjut dari sana, tertuju
untuk Dirgo yang ada tepat di samping kirinya.
"Manusia punya pendirian
dan sikap, punya penilaian dan anggapan, yang belum tentu satu dengan lainnya
sama. Kalau kau lebih banyak berpikir dengan gairahmu, aku lebih banyak
berpikir dengan dendamku. Kalau kau lebih bangga dengan kemesraanmu, aku lebih
bangga kalau dapatkan kepala Dewi Murka. Semua punya alasan masing-masing yang
tak mudah dipahami orang lain."
Dirgo Mukti geserkan langkah
dan bungkukkan badan, lalu ia berucap, "Kau sungguh simpan dendam kesumat
dengan Dewi Murka?"
"Ya. Aku ingin penggal
kepalanya. Siapa pun dapat hadiahkan penggalan kepala Dewi, akan kuanggap
sebagai orang yang patut dihormati!"
Termasuk aku?"
"Tak peduli dirimu atau
gelandangan mana pun juga, jika ia persembahkan hadiah padaku berupa penggalan
kepala Dewi Murka, ia adalah manusia yang patut kuhormati dan kudekati
hatinya."
Kata-kata itu punya pengertian
lain buat Manusia Sontoloyo. Ia anggap dirinya mendapat tugas dan perintah
langsung dari mulut Selendang Kubur. Ia merasa, dengan menghadiahkan penggalan
kepada Dawl Murka, maka Selendang Kubur akan pasrah menyerahkan kehangatan
tubuhnya yang makin lama makin menantang gairah membakar birahi itu.
Dengan modal anggapan itu,
Manusia Sontoloyo memburu Dewi Murka ke arah selatan, sesuai keterangan dari
Selendang Kubur tentang arah pelarian Dewi Murka. Tak heran jika Manusia
Sontoloyo itu merambah ke pesisir selatan untuk mencari seorang perempuan
berbaju serba hitam, bersenjata trisula, dan bernama Dewi Murka.
Tapi ketika langkahnya hendak
beralih dari menyusuri pantai ke kedalaman hutan, mendadak langkah itu
terhenti. Dirgo Mukti melompat mundur dalam satu sentakan kaki yang melenting
tinggi di udara. Sebuah pohon kelapa rubuh tepat di depannya halangi
langkahnya.
"Tak mungkin pohon itu
rubuh sendiri. Batang dan daunnya masih segar. Pasti ada orang yang hendak
berbuat jahat padaku, atau ingin menghadang langkahku! Hemmm... mana orang
itu?" pikir Dirgo.ORANG yang dicari Dirgo muncul di belakangnya.
Kehadirannya tanpa hawa dan tanpa suara, Dirgo sempat terperanjat sebentar
melihat munculnya perempuan jabrik berpakaian ungu muda ketat. Bukan rambut
yang bikin Dirgo kaget, tapi bentuk tubuh yang begitu menggiurkan yang bikin
Dirgo terkesiap tak berucap.
Hati Dirgo jadi berdebar-debar
memandang belahan dada perempuan itu yang tampak mulus, menonjol dan
sekal-sekal montok. Sungguh suatu pemandangan yang harus diperhatikan tanpa
kedipan mata barang sejenak.
Tapi wajah perempuan itu tetap
tanpa senyum. Kecantikan itu bagai gunung batu tersaput gumpalan es. Dingin
sekali. Walaupun Dirgo sunggingkan senyum, perempuan berhidung kecil bangir dan
bermata bundar itu tak tertarik untuk membalas senyuman Dirgo.
"Luar biasa...,"
gumam Dirgo di dalam hatinya. Ia pandangi perempuan yang berpinggul meliuk
indah dengan pantat menonjol sekal itu. Ia nikmati kemolekan yang begitu langka
itu sambil langkahkan kaki kelilingi tubuh perempuan tersebut. Yang di pandang
tak bergerak sedikit pun kecuali matanya yang melirik dengan liar. Wajah
bekunya sedikit tegak terdongak naik dagunya, menampakkan sebentuk keangkuhan
yang angker.
"He he he...!" Dirgo
perdengarkan tawanya yang pelan mirip orang menelan minuman. Tiba di depan
perempuan cantik berambut jabrik, Dirgo Mukti hentikan langkahnya. Jarak mereka
hanya tiga langkah.
"Kaukah yang rubuhkan
pohon itu?" tanya Dirgo dengan kedua tangan selipkan jempol ke ikat
pinggang di depan perutnya. Perempuan itu sedikit miringkan wajah dalam pandang
sipitnya. Semakin tajam mata itu bak ujung tombak yang baru diasah dengan
gerinda.
"Kaukah yang tumbangkan
pohon untukmenghadang langkahku?" ulang Dirgo.
Perempuan itu menjawab dengan
suara serak-serak angker namun menggairahkan.
"Ya. Aku yang lakukan!
Mau apa kau?!"
Dirgo Mukti lebarkan senyum.
"Justru aku yang seharusnya bertanya begitu mau apa kau menghadang
langkahku dengan cara begitu?"
"Mau memastikan
dirimu!" jawab perempuan yang kemudian mengaku bernama Perawan Sesat itu.
"Apa yang perlu kau
pastikan dari diriku, Perawan Sesat?"
"Apakah benar kau yang
bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak itu?!"
"Mengapa kau tanyakan hal
itu?"
"Aku mencarinya."
"Untuk apa?"
"Suatu keperluan
penting."
"Menyenangkan atau
menyusahkan?!"
"Sangat
menyenangkan."
Dirgo manggut-manggut dalam
senyuman, melangkah ke samping tiga pijak sambil membatin,
"Perempuan ini boleh
juga. Cantik tapi berkesan liar. Merangsang tapi berkesan angker. Perempuan
seperti ini pasti punya gairah besar dalam bercinta. Tubuhnya serba kencang dan
itu menunjukkan jaminan kenikmatan yang luar biasa. Perempuan ini jauh lebih
menggiurkan dari Selendang Kubur atau pun Peri Malam. Hmmm... dia mencari Suto
Sinting. Dia punya kepentingan yang menyenangkan. Apakah dia punya kencan
dengan Suto Sinting? Atau barangkali dia ingin membuat kencan dengan murid si
Gila Tuak itu?"
Perawan Sesat ikuti gerakan
langkah Dirgo. Matanya bagai tak mau lepas dari wajah Dirgo Mukti. Ia membatin
pula di dalam hatinya,
"Kurasa memang ini
orangnya. Peramal Pikun itu memberi ciri ketampanan. Suto orang yang tampan,
gagah, dan perkasa. Orang ini punya ciri seperti itu. Tapi apakah benar dia
yang bernama Suto?"
Kejap berikutnya keduanya
saling pandang lagi. Lalu, Dirgo Mukti lontarkan tanya,
"Dari mana asalmu,
Perawan Sesat?"
"Jawab dulu pertanyaanku
tadi, kaukah yang bernama Suto?!" sentak perempuan berpedang gading.
"Ya. Aku Suto
Sinting!" jawab Manusia Sontoloyo dalam tipuannya.
******
Perawan Sesat hembuskan napas
lepas, seperti mengalami perasaan lega. Wajah dinginnya sedikit mencair.
Keangkerannya mulai surut. Keangkuhannya kian menipis.
Kekakuan sikapnya pun menjadi
berubah sedikit santai.
"Ada kepentingan apa kau
mencariku?!" tanya Dirgo.
"Aku harus membawamu ke
Bukit Garinda, Suto!"
"Untuk apa aku ke
sana?"
"Guru ingin
menemuimu."
"Perlu apa gurumu
menemuiku?" Dirgo ganti berlagak angkuh.
"Itu urusan pribadi Guru.
Sebaiknya ikut saja perintahku, jangan bikin aku paksa dirimu dengan
kekerasan."
"Bagaimana jika aku ingin
kekerasan itu?" goda Dirgo Mukti.
"Kau akan menyesal
nantinya, Suto!"
"Bagaimana jika aku ingin
menyesal lebih dulu?" sambil Dirgo mendekati Perawan Sesat. Senyumnya
makin mekar, membuat Perawan Sesat menganggap kata-kata Dirgo tadi tidak
bersungguh-sungguh. Karenanya perempuan itu tidak cepat tunjukkan kekerasan
sikapnya, ia diam saja ketika Suto palsu berdiri jarak satu langkah di
depannya. Ia pandang terus lelaki tampan itu.
"Aku mau kau bawa
menghadap gurumu, tapi aku inginkan sesuatu darimu sebagai syarat utama."
"Apa yang kau
inginkan?"
"Kemesraan." jawab
Manusia Sontoloyo itu.
Perempuan berbibir
menggemaskan itu tampak gelisah. Dirgo pegang kedua pundak Perawan Sesat. Hati
perempuan itu makin resah. Dirgo melihat sikap pasrah yang bergumul rasa
gelisah. Dirgo gunakan kesempatan itu untuk mencium pipi Perawan Sesat.
"Jangan...," bisik
perempuan itu. Tapi Dirgo nekat lakukan.
Ciumannya mendarat penuh
semangat di wajah kanan Perawan Sesat. Perempuan itu berusaha mengelak walau
tak banyak.
"Jangan, Suto .....
"
Perempuan itu menggelinjangkan
kepala samping. Lehernya terbuka, dan Manusia Sontolo merenggut leher itu
dengan sebuah kecupan memburu.
"Jangan...,"
bisiknya lagi, lalu berlanjut, "Jangan di sini, Suto!"
Mendengar lanjutan kata
Perawan Sesat, Dirgo justru hentikan ciumannya. Ia tarik kepala ke belakang dan
pandang mata perempuan itu sambil tersenyum dalam tawa terkulum.
"Apakah syarat itu harus
kupenuhi?" bisik Perawan Sesat sambil biarkan tangan Dirgo menelusuri
masuk ke belahan dadanya.
"Ya. Harus kau sendiri
yang penuhi. Kalau kau tidak penuhi syarat itu, aku tak mau menghadap
gurumu."
"Aku takut kau laporkan
pada Guru."
"Aku tak akan bilang apa
pun padanya nanti."
"Kau berani
berjanji?"
"Aku berjanji dengan
berbagai sanksi."
"Apakah kau berani
kehilangan nyawa jika sampai bocorkan rahasia?"
"Ambillah nyawaku jika
aku dusta padamu!"
Tap ..! Tangan Dirgo
ditangkapnya kuat, lalu disentakkan lepas dari belahan dadanya yang membengkak
itu. Tanpa berucap kata apa pun, Perawan Sesat sentakkan ujung kakinya.
Tubuhnya melenting ke udara dan bersalto dua kali untuk mencapai bawah pohon
rindang. Dirgo pun mengikutinya dengan satu lompatan ringan dan bersalto dua
kali di udara.
Kejap berikut tubuh mereka
sudah saling berhadapan. Tangan Dirgo mulai meraih lengan Perawan Sesat. Tubuh
itu tertarik ke depan dan terpeluk Dirgo. Kepala perempuan itu sengaja tengadah
dengan bibir yang merekah. Dirgo segera melumat bibir itu dengan tangan
meremasi punggung Perawan Sesat.
Mulut perempuan itu terlepas
dan lontarkan desah bersuara serak. Ia biarkan Dirgo menjamah sekujur tubuhnya.
Karena ia sendiri merasa tidak bisa menghindar dari gairah yang kian
memberontak dan melonjak-lonjak itu.
Kejap berikut, keduanya
sama-sama berpeluh. Kejap lain lagi, mereka telah siap berdiri untuk tentukan
langkah. Pakaian mereka sudah kembali rapi. Dan saat itu senyuman manis Perawan
Sesat tampak mekar disuguhkan di depan Dirgo Mukti dengan sinar kepuasan.
"Sudah kuduga, kau memang
galak dalam bercinta," kata Manusia Sontoloyo dengan senyum kemenangan.
Perawan Sesat tersipu malu,
namun ia lontarkan kata lirih.
"Memang begitulah aku.
Tak boleh tersenggol kemesraan sedikit saja."
******
Manusia Sontoloyo serukan
tawanya, membuat Perawan Sesat makin tersipu namun penuh bangga diri.
Tanpa terpikir oleh mereka,
sepasang mata mengintai sejak lompatan tubuh mereka mencari tempat bercumbu
tadi. Sepasang mata itu mengikuti terus gerak-gerik dan suara mereka dari balik
semak belukar.
Sepasang mata itu menahan
napasnya kuat- kuat agar tidak didengar oleh kedua pasang insan yang tadi
dilihatnya begitu bergelora mencapai puncak birahinya.
"Syarat sudah
kupenuhi," kata Perawan Sesat "Sekarang kau harus mau menghadap Guru,
Suto."
"Ya. Aku akan menghadap gurumu!"
"Guru akan senang melihat
aku datang bersamamu Suto Sinting!"
"Karena kau telah
menyenangkan hatiku, maka aku harus menyenangkan dirimu, juga menyenangkan
gurumu!"
"Aku kagum pada sikap
ksatriamu, Suto. Dan...," ucapan itu terhenti.
Menandakan adanya sesuatu yang
membuatnya ragu. Dan mendadak tangan perempuan berambut makin awut-awutan itu
berkelebat ke belakang sambil balikkan badan. Rupanya lemparkan selembar daun
yang tadi sempat dipetiknya sebelum melangkah pergi dari ranjang alamnya. Daun
itu kini melesat terbang bagaikan lempengan logam dan menancap tepat di batang
sebuah pohon bersemak bawahnya.
Jruub... !
"Ada apa?!" tanya
Dirgo Mukti kaget.
Pertanyaan itu belum terjawab,
tiba-tiba dari semak bawah pohon yang tertancap daun itu melesat sesosok
bayangan kuning. Kejap berikutnya telah berdiri seorang perempuan berpakaian
kuning kunyit dengan dada yang sekal juga, walau kalah montok dengan Perawan
Sesat.
Perempuan yang baru hadir dan
keluar dari persembunyiannya itu berambut lurus sebatas pundak lewat sedikit.
Rambutnya itu dililit rantai emas kecil melingkar kepala. Di bagian tengah
kening rantai itu mempunyai batuan hias merah delima sebesar kacang tanah.
Perempuan itu mempunyai tahi lalat di ujung dagu kanannya. Siapa lagi dia jika
bukan Peri Malam,murid si Mawar Hitam yang sudah dianggap murtad itu.
"Peri Malam...!"
desis Manusia Sontoloyo mulai cemas.
Perawan Sesat tatap wajah Peri
Malam dengan sikap bermusuhan. Sedangkan yang ditatap hanya senyum-senyum sinis
dengan lagak berkesan meremehkan keangkeran wajah cantik Perawan Sesat.
"Apa maksudmu mengintip
dari semak sana?!" geram Perawan Sesat.
"Hanya ingin melihat
orang bodoh bercinta!" jawab Peri Malam.
"Sekali lagi kau bilang
begitu, tak kuberi ampun dirimu!" sambil si jabrik sipitkan mata.
Peri Malam tertawa lepas
terkikik-kikik. "Lucu sekali kau ini. Kudengar namamu Perawan Sesat.
Pantas jika kau bernafsu besar hanya karena tersesat kemesraan lelaki dungu di
sampingmu itu, sebab kau berotak udang, alias bodoh!"
Wuuttt...! Tangan Perawan
Sesat sentakkan ke depan dengan gerakan cepat. Pukulan tenaga dalam jarak jauh
melesat ke arah Peri Malam. Namun Peri Malam sempat hantamkan tangan kanan ke
kiri sambil liukkan badan menyamping. Wuusss...! Greebb...!
Kedua pukulan tenaga dalam
saling beradu dan terbuang ke gundukan tanah dekat pohon rindang yang tadi
dipakai payung kencan.
"Perawan Sesat, jangan
layani dia!" kata Dirgo Mukti dalam kecemasan yang tersimpan. Ia berusaha
menarik lengan Perawan Sesat, tapi dikibaskan oleh perempuan itu.
"Aku harus menghajar
perempuan itu biar tahu sopan!" geram Perawan Sesat sambil angkat kedua
lengan ke atas dengan tenaga terkerahkan.
Peri Malam segera serukan
kata, "Jangan salah sangka! Aku datang hanya untuk mengatakan bahwa kau
salah memilih orang!"
Cepat-cepat Dirgo kembali
menarik lengan Perawan Sesat dan berkata, "Lekaslah, jangan buang-buang
waktu! Gurumu pasti sudah menunggu lama!"
"Tunggu!" Perawan
Sesat sentakkan lengan, mata tetap arahkan tajam ke arah Peri Malam. Lalu ia
serukan tanya,
"Apa maksud kata-katamu,
Perempuan Burik?!"
"Kau sangka lelaki di
sampingmu itu Suto Sinting?" Peri Malam segera tertawa lepas.
Dirgo cepat hentakkan suara,
"Tutup mulutmu, Peri Malam!"
"Oh, oh... lihat, dia
ketakutan! Dia bentak aku karena dia takut aku bocorkan siapa dirinya di
depanmu! Lihat... ! Hi hi hi...!"
Tangan Peri Malam menuding ke
arah Dirgo Mukti, membuat Perawan Sesat memperhatikan wajah Dirgo dengan
curiga. Dirgo jadi gemas dan segera lancarkan pukulan jarak jauhnya. Wuugh...!
"Woww...!" teriak
Peri Malam sambil tertawa ia lompatkan badan, melesat tinggi dan kembali jatuh
berpijak kaki tegap. Tawanya dilanjutkan seraya ia serukan kata,
"Suto Sinting bukan dia!
Suto Sinting sekarang ada di Perguruan Merpati Wingit! Dia dalam perawatan
lukanya di sana. Sedangkan orang yang ada di sampingmu itu adalah Dirgo Mukti,
alias Manusia Sontoloyo!?"
"Bohong! Aku Suto
Sinting!" sentak Dirgo dengan mata melotot.
Perawan Sesat kian kerutkan
dahi dalam tatap matanya ke arah Dirgo. Sementara itu, Dirgo masih tampakkan
kegusarannya seraya membentak Peri Malam.
"Jangan turut campur
urusanku, Peri Malam! Jangan kau fitnah Perawan Sesat dengan kelicikanmu.
Akulah Suto Sinting!"
"Dirgo...!" seru
Peri Malam. "Setahuku, Suto Sinting lebih tampan dan lebih memikat
daripada dirimu. Suto Sinting tidak mau bertindak ceroboh kotor seperti yang
kau lakukan di bawah pohon tadi. Setahuku, Suto Sinting itu lelaki tanpa pusar
yang bergelar Pendekar Mabuk, murid sinting si Gila Tuak. Sedangkan kau, hmm...
murid siapa kau?Gelar mu saja Manusia Sontoloyo! Jangan mengaku-aku nama Suto
Sinting hanya untuk memperoleh kemesraan dan kenikmatan tubuh seorang
perempuan. Kau bisa mati di tangan Perawan Sesat itu!"
"Diam...!" teriak
Dirgo. Ia hendak lepaskan pukulan jarak jauh kepada Peri Malam. Tapi, dengan
kasar pundaknya ditarik ke belakang oleh Perawan Sesat hingga ia tersentak dan
berpaling ke arahnya.
"Sontoloyo...!"
geram Perawan Sesat. Tajam matanya memandang.
"Jangan hiraukan
kata-kata itu. Aku Suto Sinting murid sinting si Gila Tuak. Akulah orang yang
kau cari, Perawan Sesat!"
Tiba-tiba tangan Perawan Sesat
bergerak cepat bagaikan kilat. Tak mampu terlihat oleh mata Dirgo.
Wuusss...! Bret, breett...!
Perawan Sesat membuka baju
Dirgo. Tampak ada pusar di perut lelaki itu yang tadi tak sempat diperhatikan
Perawan Sesat. Seketika itu, Dirgo cepat raih bajunya dan dekap pusarnya sambil
sedikit membungkuk malu.
"Apa-apaan ini...?!"
Dirgo berlagak sewot.
"Jahanam kau!" geram
Perawan Sesat.
"Aku Suto Sinting. Bukan
jahanam!"
"Dusta! Di perutmu ada
pusar. Aku tahu itu pusar bukan kerupuk mentah! Dan itu berarti kau bukan Suto
Sinting!"
Plookkk...!
Begitu cepat dan kuat tangan
Perawan Sesat menghantam telak wajah Dirgo Mukti. Pukulan itu membuat Dirgo
menggeragap sambil terhuyung mundur tiga tapak.
Wuuut...! Plokkk...!
Sebuah tendangan samping
dilancarkan ke depan oleh Perawan Sesat. Dirgo tak sempat menangkis karena
kecepatannya yang luar biasa. Akibatnya, wajah yang belum sempat menemukan
titik sakitnya akibat tonjokan tadi, sekarang menjadi semakin panas sekujur
kepala.
Tendangan dan pukulan itu
kosong tanpa kekuatan tenaga dalam. Tapi sudah cukup bikin pandangan mata Dirgo
berkunang-kunang. Ia cepat kibaskan kepala untuk membuang kunang-kunangnya.
Sedangkan Perawan Sesat kali ini siap hantamkan pukulan jarak jauhnya bertenaga
dalam. Dirgo pun bergegas bangkit dan siap menghadapi pukulan itu. Dengan satu
gerakan jarinya ia sentakkan gelombang pelapis yang tak mudah ditembus oleh
pukulan siapa pun, kecuali pukulan dari Suto Sinting.
Tetapi, ketika pukulan Perawan
Sesat dihantamkan, ternyata Dirgo terpental ke belakang dengan mata terpejam.
Jatuh telentang setelah mendengar suara ledakan keras. Blarrr...! Itu pertanda
gelombang pelapisnya mampu didobrak oleh pukulan tenaga dalam Perawan Sesat.
Dirgo Mukti berdarah di bagian
hidungnya. Ia bergegas bangkit lagi. Perawan Sesat sudah siapkan pukulan
kembali. Tapi Peri Malam segera berseru,
"Tahan! Dia punya urusan
pribadi dengan Suto Sinting pada dua purnama mendatang. Mereka akan bertarung
sampai mati di Bukit Jagal! Beri kesempatan dia hidup biar buktikan
kehebatannya dalam pertarungan nanti! Sebaiknya...," kata-kata itu henti,
karena tiba-tiba tubuh Perawan Sesat bagaikan lenyap karena kecepatan lompatnya
yang begitu tinggi.
Dirgo tak sempat berseru
menahan kepergian perempuan yang liar dalam bercinta itu. Ia hanya mengeram
dongkol pada Peri Malam. Peri Malam tertawa cekikikan melihat wajah Dirgo
bonyok.
***
PERAWAN Sesat bukan hanya
tajam mata namun juga tajam ingatannya. Ucapan Peri Malam sempat lekat dalam
ingatan, bahwa Suto ada di Perguruan Merpati Wingit dalam perawatan lukanya.
Ini suatu kesempatan baik buat Perawan Sesat untuk membawa Suto ke Bukit Garinda.
Tetapi, ke mana arah Perguruan
Merpati Wingit? Perawan Sesat tak pernah tahu arah perguruan itu. Satu-satunya
jalan ia harus mencari sebuah desa dan menanyakan kepada beberapa orang di
sana.
Perawan Sesat kembali
berkelebat ke satu arah. Tujuannya adalah kaki bukit yang tampak dari tempatnya
singgah di atas pohon. Namun baru beberapa kejap ia bergerak, telinganya
menangkap suara deru kaki kuda. Perawan Sesat telengkan kepala untuk menyimak suara
kaki kuda itu. Setelah jelas arahnya, Perawan Sesat sentakkan kaki dan melesat
pergi menuju arah derap kaki kuda.
Tiga orang berkuda melaju
melintasi kaki bukit. Dua dari mereka adalah perempuan berparas manis, satu
penunggang kuda lainnya seorang pemuda berparas imut-imut. Pemuda itu tampak
bersemangat pula dalam memacu kudanya walau tetap tertinggal dari kedua
perempuan yang berpakaian ungu dan putih.
Perempuan yang berpakaian ungu
adalah Murbawati, murid Perguruan Merpati Wingit yang mendapat tugas untuk
mencari Dewi Murka dan Selendang Kubur. Ia membawa dua anak buahnya, yaitu
Widarti, yang berpakaian putih dan Sungko, pemuda berpakaian hitam.
Laju kuda mereka terpaksa
berhenti, karena seorang perempuan berambut acak-acakan menghadang di depan
mereka dengan rentangkan tangan, Widarti sempat berbisik,
"Terus saja. Dia pasti
orang gila!"Tapi Murbawati membantah, "Belum tentu. Siapa tahu dia
habis diperkosa dan butuh pertolongan kita. Lihat saja rambutnya acak-acakan
begitu!"
Sungko menyahut, "Temui saja
dia. Akan kuawasi dari atas kuda."
Kuda tunggangan Widarti
melonjak naik sambil meringkik ketika mendekati Perawan Sesat. Widarti
kebingungan menenangkan kudanya, sampai akhirnya ia jatuh dari punggung kuda.
Beruntung ia tak cedera apa pun, sehingga bisa cepat bangkit dan menemui
Perawan Sesat. Pada saat itu, Murbawati yang ilmunya lebih tinggi dari kedua
teman atau anak buahnya itu, juga turun dari punggung kuda.
"Apa maksudmu menghadang
kami, Sobat?" tanya Widarti.
"Aku mencari arah
Perguruan Merpati Wingit!" jawab Perawan Sesat dengan tegas, tanpa ada
keramahan sedikit pun. Matanya sempat layangkan lirikan ke wajah Sungko yang
ganteng imut-imut itu. Sungko cepat alihkan pandang karena hatinya berdesir
aneh ketika beradu pandang dengan mata indah itu.
Widarti saling bertatap
pandangan dengan Murbawati. Kemudian, Murbawati maju setindak dan bertanya
dengan kalem.
"Ada perlu apa kau
mencari arah Perguruan Merpati Wingit?"
"Itu urusanku. Kalau
kalian tahu, lekas tunjukkan saja dan jangan banyak bertanya!"
Murbawati segera membatin,
"Orang ini agaknya tidak bisa diajak bersahabat. Tapi ada apa dia mau
menuju ke perguruanku? Apakah dia musuh Nyai Guru yang ingin membalas
dendam?"
Perawan Sesat menyentak keras,
"Lekas jawab pertanyaanku!"
Dari atas punggung kuda,
Sungko berseru agak lantang, "Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit!
Mau apa kau, hah?!"
"Bagus!" seru
Perawan Sesat. "Pucuk dicinta ulam pun tiba! Berarti kalian bisa tunjukkan
dimana letak perguruan kalian itu!"
"Tidak bisa!" seru
Murbawati supaya Sungko pun mendengar suaranya dan tahu maksudnya, "Kami
tidak akan tunjukkan di mana tempat perguruan kami, sebelum kamu sebutkan apa
keperluan mencari perguruan kami!"
Perawan Sesat menatap liar
pada Murbawati. Mulutnya tampak menggeletakkan gigi gerahamnya. Kedua tangan
mulai mengepal keras dalam sikap tetap berdiri tegak dan kaki sedikit
merenggang.
"Kalian tidak perlu tahu
apa perlunya aku ke sana, karena ini urusan pribadiku! Kalian hanya menunjukkan
arahnya saja, dan jangan memancing kemarahanku!"
"Sekalipun kau marah,
kami tetap tak akan tunjukkan sebelum kami tahu maksud dan tujuanmu ke
sana!" kata Widarti dengan berani.
"Kalian ini benar-benar
mencari mampus di sini! Hiihhh...!"
Perawan Sesat sentakkan tangannya,
layangkan pukulan jarak tujuh langkah itu. Widarti segera melompat dengan
ringan dan pukulan tenaga dalam itu mengenai pohon di belakang Sungko. Pohon
itu tumbang dalam keadaan patah besar di bagian tengahnya. Sungko sempat
terkejut melihat pohon tumbang di belakangnya dalam jarak sepuluh langkah
darinya.
"Murbawati, biar
kutangani kunyuk satu ini!" kata Widarti sambil melangkah maju dua tindak.
Lalu, di situ ia berseru,
"Manusia landak! Kami
tidak bikin perkara denganmu, tapi kalau kamu jual perkara kami siap
membeli!"
"Hah...!" Perawan
Sesat mendesis meremehkan ucapan Widarti. "Mestinya kalian sayang nyawa
sendiri dan tidak coba-coba membakar kemarahanku. Aku tak pernah kasih ampun
pada orang yang sengaja menantangku, tahu?!"
"Sikapmu sendiri yang menantangku!"
sentak Widarti yang sudah siap mencabut pisau-pisau terbang yang berjajar
melingkari pinggangnya itu.
"Rupanya kalian memang
perlu bukti!"
Setelah menggeramkan kata itu,
Perawan Sesat jejakkan kaki, tubuhnya pun jadi melayang bagaikan terbang.
Widarti menyambutnya dengan satu lompatan ringan. Mereka beradu kecepatan
pukulan udara sambil saling membenturkan diri.
Plak, plak...! Beegh...!
Tubuh Widarti tersentak ke
belakang, melayang jatuh di kaki kuda yang ditunggangi Sungko. Mata pemuda itu
terbeliak kaget lihat temannya mengucurkan darah dari mulutnya. Darah merah
kental itu keluar bagai tersontak kuat dari dalam.
Murbawati pun merasa cemas. Ia
segera berlari mendekati Widarti dan menolongnya bangkit. Widarti sempat
berkata,
"Aku tidak apa-apa. Aku
masih sanggup kalahkan dia!"
"Hati-hati, dia berilmu
tinggi. Kulihat caranya melompat tanpa banyak hentakan kaki. Itu menandakan dia
berilmu tinggi. Juga kecepatan pukulannya luar biasa. Jangan lawan dia dari
jarak dekat, Widarti."
"Ya, ya! Aku mengerti.
Minggirlah, biar dia kuhadapi lagi!"
Widarti perempuan yang pantang
menyerah. Sekalipun dadanya terasa sakit, ia masih bisa bangkit dan melangkah
beberapa tindak ke depan. Tangannya segera berkelebat cepat mengambil dua pisau
terbangnya dan melemparkannya ke arah Perawan Sesat.
Pisau itu meluncur searah
sejajar dengan cepat. Perawan Sesat hanya sunggingkan senyum tipis tanpa
meremehkan. Lalu, ia kibaskan tenaga dalamnya melalui kelebatan tangan kanan
yang seperti membuang sesuatu dari bawah ke atas. Wusss...!
Kedua pisau terbang itu
terpental berlainan arah dan melesat ke tempat kosong. Kibasan angin tenaga
dalamnya membuat tubuh Widarti berguncang sesaat. Kesempatan itu digunakan oleh
perempuan bermata buas untuk melompat dan bersalto dua kali. Gerakannya itu
begitu cepat dan tak terlihat, sehingga tahu-tahu ia sudah berada di depan
Widarti jarak satu jangkauan. Widarti terkesiap melihat lawannya sudah ada di
depannya.
Ia tak sempat bergerak karena
Perawan Sesat lebih dulu menghentakkan pukulannya memakai pangkal pergelangan
tangan ke dada Widarti.
Begh... begh... beg...!
"Heeghh...!" Widarti
tersentak kejang dengan kepala terdongak ke atas dan kaki berjingkat naik.
Lalu, pukulan Perawan Sesat yang menggunakan punggung telapak tangannya itu
mengakhiri pertarungan tersebut.
Kuat sekali pukulan itu,
membuat Widarti kembali tersentak ke belakang dan terbang sejauh lima langkah.
Tubuhnya rubuh di samping
kudanya sendiri dengan mulut memuntahkan darah merah kehitaman. Dari telinga
dan hidung pun mengucurkan darah merah kehitaman. Mata Widarti mendelik dengan
mulut masih ternganga.
"Widarti...!" Sungko
melompat turun dan buru-buru menolong temannya. Tapi ketika kepala Widarti
diangkatnya, napas perempuan itu menghempus panjang dan lepas tanpa helaan
lagi.
"Biadab!" geram
Murbawati melihat Widarti hembuskan napas terakhir. Cepat-cepat ia palingkan
wajah yang memerah karena marah. Matanya memandang tajam pada lawannya yang
berdiri dengan sikap siap bertarung kembali.
"Jangan buang-buang
nyawa!" seru Perawan Sesat. "Cepat tunjukkan arah perguruan kalian,
dan dua nyawa kalian akan tertolong!"
"Persetan dengan
ancamanmu! Kau telah membuka pintu permusuhan dengan orang-orang Perguruan
Merpati Wingit!"
"Terpaksa kulakukan
karena kalian mengharap kan sikap seperti itu! Kuingatkan pada kalian, bahwa
sebenarnya aku bisa mempercepat kematian temanmu itu. Tapi kalian perlu melihat
permainanku tadi. Barangkali dengan begitu kalian mau jawab pertanyaanku!"
"Tak ada jawaban untuk
manusia sekeji kamu!" sentak Murbawati sambil mencabut pedang panjang dari
pelana kudanya. Sreet...! Ia berdiri dengan kuda- kuda kokoh sambil memegang
pedang panjang memakai kedua tangannya. Pedang itu lebih tepat jika disebut
samurai. Hanya sayang tidak berujung lengkung, dan tidak ada istilah samurai
buat orang-orang Perguruan Merpati Wingit.
"Kau pikir aku akan ciut
nyali melihat pedang panjangmu itu?" ejek Perawan Sesat sambil melangkah
ke samping, mencari celah.
"Tak peduli kau takut
atau tidak, kalau kau tidak minta ampun di depan kami atas pembunuhan terhadap
teman kami, kutebas batang lehermu sekarang juga!"
"Pohon pisang boleh kau
tebas, tapi Perawan Sesat adalah perawan yang keras. Sekali kau tebas, sekali
pula nyawamu amblas!"
"Banyak mulut!"
geram Murbawati sambil melangkah satu tindak, lalu memutar mencari
kesempatan untuk menyerang.
Perawan Sesat pun bergerak mengitar,
tak mau kecolongan celah bagi lawannya. Sambil bergerak mengitar, ia masih bisa
serukan kata,
"Kau benar-benar manusia
yang tak bisa merawat nyawamu! Kau akan menyesal di alam kubur jika tetap
melawanku, Monyet Bunting!"
"Aku ke alam kubur untuk menyusulmu!
Cabut pedangmu yang bergagang jorok itu! Kita percepat siapa yang harus pergi
ke alam kubur di antara kita berdua"
"Cabut pedang? O, tidak
untuk sekarang! Membasmi tikus busuk macam kamu tidak perlu dengan pedang!
Cukup dengan satu kedipan mata kau akan tak bernyawa!"
"Manusia sombong!
Buktikan sesumbarmu itu. Hiaaat...!"
Murbawati sentakkan kakinya
dan tubuhnya melayang cepat dengan pedang siap tebas ada di atas pundak
kanannya.
Perawan Sesat tidak ikut
melompat, tapi lebih bersikap menunggu datangnya serangan. Begitu pedang
ditebaskan ke arah depan oleh Murbawati, badan Perawan Sesat segera berbalik
memunggungi lawannya dengan sedikit melompat ke samping kanan.
Wuuusss...!
Pedang menebas tempat kosong.
Secepat kilat tangan Perawan Sesat disentakkan ke samping, telapak tangannya
yang sudah mengepulkan asap menghantam ketiak kiri Murbawati. Beeegh...! Lalu
sikunya bergerak menyodok kuat ke pinggang Murbawati. Deeg...!
Murbawati pekikkan suara
tertahan dengan mata terbelalak tak mampu berkedip. Saat ia mendaratkan
kakinya, ia menggeloyor ke depan. Perawan Sesat melompat mengangkangi tubuh
Murbawati, dua pukulan telapak tangannya menghantam bagian tengkuk kepala
lawan.
Duub... ! Duub... !
"Hooeek...!"
Seketika itu darah segar
sontak ruah dari mulut Murbawati. Lubang telinga dan hidung pun semburkan darah
segar pada saat tubuh itu roboh dan muka menciumi tanah. Tubuh Murbawati
berkelojot sebentar, kemudian menyentak kuat satu kali. Setelah itu lemas.
Tubuh Murbawati tak lagi berkutik akibat pukulan beruntun dari perempuan
bertenaga dalam tinggi itu.
Sungko membelalakkan mata
melihat Murbawati mati di tangan perempuan bermata liar itu. Mulai ciut
nyalinya saat itu. Tapi demi membela perguruan, Sungko segera sentakkan
tumitnya dan melesat di udara dengan berjungkir balik satu kali. Kaki itu pun
mendarat tanpa suara di depan Perawan Sesat dalam jarak tiga langkah.
"Temanmu mati," kata
Perawan Sesat dengan nada mengejek.
"Ya. Tapi aku belum
mati!" jawab Sungko memaksakan keberaniannya.
"Kau ingin
menyusulnya?"
"Aku ingin menyusulkan
nyawamu agar bertemu dengan kedua nyawa teman seperguruanku itu!"
"Hah...!" Perawan
Sesat senyumkan kesinisan. "Bocah bawang, bocah bawang...! Tidakkah kau
lihat gerakanku menghabisi nyawa si baju ungu ini?! Apa kau pikir kau punya
gerakan lebih cepat dari si baju ungu?"
"Ya!"
"Dan kau punya senjata
sepanjang senjata baju ungu?"
"Ya!"
"Boleh kulihat
senjatamu?" seraya Perawan Sesat tersenyum nakal. Arti kalimatnya juga
berkesan nakal.
Sungko yang masih tampak
ingusan itu mulai gundah dan gusar tatap matanya. Bibirnya yang ranum dan
kemerahan-merahan tampak segar itu pandangi oleh Perawan Sesat. Lalu, terucap
kata dari mulut Perawan Sesat yang berbibir mesum itu.
"Tak tega aku harus
membunuhmu. Hmmm... , sebaiknya kutanyakan siapa namamu? Mungkin kalau aku
memaafkan kamu, aku bisa mengenang nama pemuda tampan yang ingusan ini?"
"Namaku Sungko!"
jawab Sungko dengan tegas.
"Sungko?! Oh, itu nama
yang bagus. Sayang kalau harus dihias di batu nisan dalam usia semuda
ini!"
"Persetan dengan
kata-katamu! Aku menuntut kematian kedua teman perguruanku ini?!"
"Dengan apa kau mau
menuntutnya, Sungko? Hmm...?!"
"Dengan nyawamu, Bodoh!"
"Dengan nyawaku? O, boleh
saja! Tapi jangan sekali-kali kamu menyentuh tubuhku, Sungko. Sebab kalau
tubuhku tersentuh lelaki macam kamu, gairahku berkobar dan kita tak jadi
bertarung dengan permusuhan, tapi akan bertarung dengan kemesraan. Hi hi hi...!"
Perawan Sesat perdengarkan tawa seraknya.
Ia lebih puas mempermainkan
pemuda itu ketimbang harus cepat melenyapkan nyawanya. Perawan Sesat paham
betul, pemuda seusia Sungko itu mudah sekali goyah pendiriannya. Juga mudah
untuk membunuhnya. Karena itu, Perawan Sesat tetap memandangnya dan sesekali
membuang lirikan mesumnya ke arah Sungko. Pemuda itu kian salah tingkah.
Di dalam hatinya Sungko
berkata, "Apa yang harus kulakukan jika begini? Dia cukup tinggi ilmunya.
Aku hanya mempunyai dua pisau di pinggang belakang. Tak mungkin bisa untuk
mengalahkan perempuan nakal ini. Haruskah aku menyerah kalah? O, tidak! Guru
selalu berpesan lebih baik mati daripada menyerah kalah.
Kita akan terhina tujuh
turunan jika menyerah kalah. Apa pun yang terjadi, aku harus melawan perempuan
ini!" geram hati Sungko timbulkan semangat dalam jiwanya.
Tetapi ketika ia kembali
menatap ke arah lawannya, mata itu tak mampu lagi berkedip. Perawan Sesat telah
melebarkan belahan bajunya yang tanpa lengan itu. Kedua bukit mulus dipamerkan
sebagian. Tapi justru karena sebagian itulah maka debar jantung Sungko menjadi
kiat cepat detakannya.
Perawan Sesat sengaja
melangkah ke arah pepohonan rindang sambil sesekali mengerlingkan mata dalam
tatap pandangnya. Sungko mengikuti dengan pandangan mata yang tak bisa
dikedipkan lagi itu. Jemari tangan Perawan Sesat berkutik memanggil Sungko saat
ia berdiri dan bersandar di bawah pohon rindang.
"Tidak. Aku tidak boleh
mendekatinya!" kata Sungko kepada dirinya sendiri. "Aku harus tetap
di sini. Aku tak boleh tergoda!"
Kata hati berucap begitu, tapi
kaki tetap melangkah mendekati Perawan Sesat. Sungko bagai terkena kekuatan
gaib yang membuat dirinya melangkah tanpa disadari. Ketika ia sadar, ia sudah
berada di depan Perawan Sesat dalam jarak satu langkah ke depan.
Sungko makin terpaku di tempat
ketika belahan baju itu kian dilebarkan oleh tangan Perawan Sesat. Suara tawa
pelan dari Perawan Sesat menghadirkan nada serak-serak menantang birahi. Tentu
Sungko bertambah gemetar kedua lututnya.
"Lepaskan pakaianmu,
Sungko," kata Perawan Sesat dalam desah serak yang enak didengar di
kesunyian tempat itu.
"Tidak," kata hati
Sungko. "Aku tidak boleh melepaskan pakaianku. Ini godaan! Aku harus tahan
godaan! Aku tak boleh hanyut dalam rayuannya! Aku murid Perguruan Merpati
Wingit! Aku harus tunjukkan belapatiku kepada perguruan!"
Hati berkata begitu tapi tangan
tetap saja bergerak melepasi pakaiannya. Sampai akhirnya Sungko menyadari bahwa
dirinya telah polos tanpa selembar benang pun. Ia buru-buru menutup bagian
tertentu dengan kedua tangan, wajah pucat, mata melebar dan mulut melongo.
Kepalanya celingak-celinguk ke kiri kanan dengan malunya,
"Lepaskan...! Lepaskan
tanganmu, Sungko...!"
"Aku tidak mau!"
sentak Sungko. Matanya menatap pandangan Perawan Sesat. Dan mata Perawan Sesat
berkerling satu kali. Sungko tertegun bengong sambil melepaskan kedua tangannya.
"Aku tahu, kau inginkan
sesuatu dariku!" kata Perawan Sesat sambil menarik pelan tangan Sungko,
dan pemuda imut-imut itu menurut saja. Ia usap-usap rambut kepala Sungko sambil
bicara.
"Kau butuh kenikmatan
saat ini juga, Sungko?!"
Pemuda itu tak bisa menjawab
tapi ia anggukkan kepalanya.
"Akan kuberi kau
kenikmatan segunung besarnya. Tapi ke mana arah perguruanmu itu? Aku butuh
mengantarmu pulang."
"Ke... ke arah barat.
Ikuti saja sungai berbatu-batu dan kau akan temukan bangunan besar berpagar
tembok tinggi. Itulah Perguruan Merpati Wingit," jawab Sungko bagai tak
sadar.
"O, bagus sekali! Kalau
begitu, sekarang tiba saatnya kuberikan kenikmatan itu padamu. Nah, pejamkan
matamu, Sungko!"MANUSIA Sontoloyo sengaja menghajar Peri Malam dengan
tangan kosong. Sebuah tendangan disentakkan miring ke arah wajah Peri Malam.
Tangan perempuan bertahi lalat di sudut dagu kanannya itu mengibas sentak ke
arah samping. Tendangan itu meleset dari sasaran. Tapi kejab berikutnya Dirgo
Mukti berbalik dan kaki satunya lagi berkelebat ke belakang.
Plook...!
Wajah Peri Malam telak-telak
terkena tendangan keras itu. Walau tak bertenaga dalam, namun sempat membuat
Peri Malam terhuyung-huyung tiga tindak. Setelah berhasil menendang wajah Peri
Malam, Dirgo segera hentikan gerakan. Napasnya tetap teratur walau ia telah
lakukan banyak gerakan.
"Ini sebuah pelajaran
berharga untukmu, Peri Malam!" kata Dirgo Mukti dengan menahan kedongkolan
hatinya. "Lain kali, jangan suka ikut campur urusan orang!"
"Aku tidak rela kau
mengaku-ngaku sebagai Suto!"
"Apa urusanmu?!"
sanggah Dirgo dengan kerutkan dahi.
"Nama itu nama terhormat.
Tak pantas dipakai oleh orang berpenyakit kudis seperti kamu!" ejek Peri
Malam.
"Heh...," Dirgo
tertawa satu sentakan. "Nama Suto Sinting kok dikatakan nama terhormat!
Menurutku namaku lebih terhormat daripada nama Suto Sinting!"
"Tutup bacotmu!"
sentak Peri Malam dengan kasar. Serta-merta ia jejakkan kaki dan melayang
menyerang dengan tendangan bertenaga dalam. Tendangan itu dihindari oleh Dirgo
Mukti dengan cara merundukkan kepala. Tubuh Peri Malam lewat di atas kepala
Dirgo, dan tangan Dirgo bergerak nakal ke atas bagai mencomot buah
jambu."Aaauw...!" jerit Peri Malam kaget karena sesuatu yang
disembunyikan selama ini tercomot oleh tangan Dirgo.
"Sontoloyo kotor!"
sentaknya marah.
Kemudian tangan kirinya
disodokkan ke depan dalam keadaan menggenggam. Pukulan bertenaga dalam melesat
tanpa menyentuh sasaran. Gelombang tenaga itu meluncur kuat ke arah Dirgo.
Secepatnya Dirgo melompat menghindari, tapi sentakan tangan kedua dari Peri
Malam berhasil mengenai sasaran.
Beegh... !
Tubuh Dirgo Mukti tersentak ke
belakang dan kedua kakinya sempat terangkat sedikit dari tanah. Ia merasa seperti
diseruduk seekor banteng mabuk. Dadanya sedikit terasa sesak dan tubuhnya jatuh
terhempas di pasir pantai.
"Ini sebuah pelajaran
berharga untukmu, Dirgo," kata Peri Malam mengutip kata-kata Dirgo tadi.
"Lain kali jangan coba-coba berani memegang bagian terlarang dari
tubuhku!"
Dirgo bangkit dengan menarik
napas panjang- panjang. Ia sunggingkan senyum meremehkan dan berkata,
"Kalau begitu, aku boleh
pegang tubuhmu yang tidak terlarang!"
"Semua tubuhku terlarang
dipegang oleh tanganmu!" sentak Peri Malam dengan bersungut-sungut
cemberut. Ia palingkan wajah kembali menatap Dirgo dan berkata,
"Hanya Suto yang boleh
memegangnya!"
Benci sekali Dirgo jika
mendengar nama murid sinting si Gila Tuak itu disebutkan oleh Peri Malam.
Rasa-rasanya ia menjadi sangat rendah jika dibandingkan dengan Suto. Panas hati
mendengar ucapan Peri Malam tadi membuat Dirgo ucapkan kata pedas,
"Lelaki hina macam dia
tak patut disebut namanya di depanku!"
"Aku akan menyebutnya
setiap saat. Karena Suto memang seorang pendekar tanpa tanding yang layak
namanya diagungkan!"
"Dia tidak pantas
bergelar pendekar!"
"Dia lebih pantas dari
pada kamu!" bantah Peri Malam dengan nada makin tegas dan keras.
Mulut Manusia Sontoloyo
mencibir, "Hanya kebetulan saja dia pernah belajar silat dari si Gila
Tuak, lantas orang kasih gelar pendekar padanya! Sebenarnya dia tidak punya isi
apa-apa! Kosong melompong seperti rumah keong!"
Peri Malam tidak suka
mendengar Suto diremehkan. Ketus nadanya ia bicara pada Dirgo Mukti.
"Kau bilang dia kosong,
tapi kau tak bisa memukulnya! Hmm...! Pendekar tidak bisa memukul lawan, itu
namanya bukan pendekar, pendekar, yang kerjanya tarik dokar ke mana-mana!"
"Aku bukan kusir!"
"Iya. Tapi kau
kudanya!" sentak Peri Malam.
Wuug...! Sebuah tendangan
bertenaga dalam kali ini dilancarkan oleh Dirgo. Secepatnya Peri Malam
sentakkan tangan kanan menyamping dengan kekuatan tenaga dalam juga.
Breeg... !
Kedua tenaga dalam itu
bentrok. Peri Malam berhasil membuang ke arah samping kanannya. Di sana ada
batu, dan batu itu pecah menjadi empat bagian.
Peri Malam palingkan pandang
ke arah Dirgo. Ternyata kedua tangan Dirgo sudah angkatkan sampai batas
pundaknya. Jari-jarinya mekar mengeras, kedua kakinya merendah. Lalu tangan
kanan berkelebat ke depan dengan membengkokkan pergelangan tangannya. Melalui
punggung telapak tangan itu, Dirgo lepaskan pukulan bertenaga dalam yang lebih
besar lagi.
"Haiit...!" Peri
Malam sentakkan tangannya ke depan dada dalam keadaan jari-jari lurus ke atas.
Dari sisi telapak tangan keluar cahaya kebiru-biruan. Cahaya itu melesat dan
meledak di pertengahan jarak. Duaaar... !
Dirgo Mukti berguncang
tubuhnya akibat sentakan ledakan tadi. Tapi Peri Malam terlempar dua langkah
jauhnya akibat sentakan ledakan tersebut. Ia jatuh dalam posisi miring, lalu
segera berguling.
Kemarahan Dirgo Mukti karena
dibandingkan oleh Suto belum habis. Ia masih ingin menghajar Peri Malam yang
menurutnya dianggap sebagai perempuan lancang mulut.
Pada saat Peri Malam bergegas
bangkit, sebuah pukulan bertenaga tinggi melesat melalui dua totokan jari
tangannya. Pukulan itu mempunyai cahaya sinar merah api. Wuuusss...!
Slaaap..! Duaar...!
Peri Malam terkesiap mendapat
serangan sinar merah api. Ia baru saja ingin melompat menghindari. Tapi sinar
api itu meledak di pertengahan karena datangnya sinar hijau bening dari arah
pepohonan tepi pantai.
Dirgo Mukti cepat palingkan
wajah memandang ke arah pepohonan, begitu pula halnya dengan Peri Malam. Lalu,
keduanya sama-sama lihat kemunculan seorang lelaki berpakaian serba coklat
dengan menenteng bumbung tuaknya. Siapa lagi dia kalau bukan Suto Sinting,
murid si Gila Tuak?
"Suto...!" pekik
Peri Malam kegirangan.
Suto melangkah dengan santai
dan tersenyum- senyum kepada Dirgo. Tapi arah langkahnya menuju ke Peri Malam,
membuat Dirgo menjadi semakin dongkol.
"Suto...! Syukurlah kau
tahu aku di sini..!" Peri Malam memeluk tanpa canggung-canggung lagi. Suto
pun memeluk Peri Malam karena ingat perjuangannya mempertahankan Tuak Setan
dari tangan si Mawar Hitam.
"Jahanam!" geram
Dirgo Mukti dengan pelan. Kemudian ia segera kirimkan kembali pukulan bertenaga
tinggi melalui kedua jari tangan yang disentakkan ke depan. Sinar merah api
menyala lagi dan melesat ke arah Suto dan Peri Malam yang masih berpelukan
hangat.
Walau dalam keadaan sedang
berpelukan, namun mata Suto bisa melihat kilasan sinar merah api menuju ke
arahnya. Ia tidak melepaskan pelukan itu, melainkan hanya menggeser bumbung
tuaknya ke samping kiri Peri Malam, dan sinar merah api itu menghantam bumbung
tuak dengan suara lirih, deeg...! Lalu, melesat kembali ke arah semula tanpa
padamkan sinarnya.
Melihat sinar merah api
kembali ke arahnya, Dirgo tercengang kaget dan buru-buru melompat ke arah
samping dengan satu sentakan ujung jempol kakinya. Wuuttt...!
Sinar merah api itu lewat ke
tempat kosong. Tapi pada akhirnya membentur tebing karang yang agak jauh dari
tempat mereka. Benturan itu membuat karang meledak.
Blaarr... !
Sebagian tebing karang
menyembur dalam pecahan, sisanya berguguran jatuh di perairan laut. Ombak
menelan guguran karang tersebut, membuat mata Dirgo masih terasa memandanginya.
"Dari mana kau tahu aku
di sini?"
"Ada kemungkinan kau
rindu pada gurumu dan berusaha menatap Pulau Hantu dari sini," jawab Suto
dengan tenang, seakan ia tidak melihat keberadaan Dirgo Mukti di sebelah sana,
dalam jarak tujuh langkah.
"Memang aku rindu pada
guruku, tapi aku tak berani pulang ke sana. Itu sama saja aku menyerahkan nyawa
kepada Guru!"
Makin panas hati Dirgo melihat
tangan Peri Malam merapi-rapikan pakaian Suto. Ia segera mengirim pukulan
bertenaga tinggi dari jarak jauh tanpa rupa. Pukulan itu diarahkan ke bagian
kaki. Karena Dirgo Mukti sengaja ingin membuat kemesraan itu jadi berantakan
dengan tubuh berjungkir balik tak karuan. Maka, tangan kirinya pun menyentak ke
depan dengan telapak tangan terbuka dan jari-jarinya mengarah ke bawah.
Gelombang pukulan jarak jauh
itu bagai merayap di atas permukaan tanah. Pada saat itu, Suto sedang mencubit
pipi Peri Malam dan berkata,
"Kupikir kau mati kena
pukulan gurumu sendiri. Ternyata kau masih hidup dan semakin nakal!"
Duug...! Kaki Suto menghentak
pelan ke tanah. Gelombang pukulan jarak jauh milik Dirgo itu berbalik arah dan
lebih cepat serta lebih besar kekuatannya. Dirgo Mukti merasakan kembalinya
pukulan itu, hingga ia perlu secepatnya berkelit pindah tempat.
Namun ia terlambat bergerak.
Pukulan itu sudah lebih dulu menghantam bagian kakinya hingga membuat tanah
menyembur naik. Dirgo Mukti terpelanting bagai dilemparkan ke atas. Ia kurang
menjaga keseimbangan tubuhnya akibat rasa kagetnya tadi. Maka, mau tak mau ia
pun jatuh bergedebuk di atas tanah berpasir.
Suara bergedebuk itulah yang
membuat Peri Malam sadarkan diri dan cepat palingkan wajah ke arah Dirgo. Suto
pun palingkan wajah ke sana sambil tersenyum. Peri Malam merasa heran melihat
Dirgo bagai orang pontang-panting tanpa sebab. Perempuan itu pun bertanya
pelan, tujuannya kepada Suto.
"Kenapa dia?"
"Entahlah! Mungkin
encoknya kambuh!"
Dirgo yang mendengar jawaban
itu segera menyentak dengan segunung kedongkolan di dalam hatinya.
"Encok gundulmu!"
"Hei, sopan sedikit
bicara dengan seorang pendekar!" Peri Malam bernada galak mengingatkan
Dirgo Mukti. Makin panas hati Dirgo jadinya.
"Kalian yang tidak tahu
sopan! Main peluk di depanku!"
Peri Malam maju setindak
dengan tolak pinggang kiri, "Ih, kami mau main peluk atau main mata itu
hak kami? Tak perlu harus hiraukan kamu! Kenapa kamu marah? Kalau merasa kurang
terima, majulah sini...! Biar kuremukkan seluruh gigimu itu!"
Dirgo mendengus kesal dan
membatin "Hmmm...! Terang saja dia berani bilang begitu karena di
belakangnya ada Suto.
Pemuda itu benar-benar
bangsat! Kuserang dua kali dengan sembunyi-sembunyi masih juga bisa membalikkan
seranganku. Kurasa memang dia punya ilmu sedikit lebih tinggi dariku.
Rasa-rasanya aku perlu memperdalam juru jurusku lagi, dan mempelajari jurus
'Cakar Naga' secepatnya. Akan kulawan ilmunya dengan 'Cakar Naga'-ku pada
pertarunganku kelak di Bukit Jagal!"
Tanpa mau bikin perkara lagi,
Dirgo segera angkat kaki dari tempat itu. Ia melesat tanpa pamit dengan
cepatnya. Peri Malam mau mengejar, tapi tangannya ditahan oleh Suto. Dan ia
senang sekali mendapat sentakan menahan dari Suto. Hatinya bangga, seakan
dirinya sangat dikhawatirkan oleh Suto.
"Biar kukejar dia!"
Peri Malam memancing sikap.
"Jangan. Tak perlu!"
kata Suto dengan kalem.
"Kalau tidak kukejar dan
kuremukkan dia masih tetap akan menggangguku terus!"
"Jauhi dia supaya tidak
diganggu olehnya," kata Suto yang kedengaran lebih kalem sekarang dari
pada dulu. Sebab sekarang Suto memang menyadari bahwa di dalam tubuhnya sudah
bermukim Pusaka Tuak Setan. Kalau dia mengumbar nafsu kemarahan, bisa-bisa
napasnya menyemburkan badai yang sangat dahsyat dan membawa korban tak
bersalah.
Sikap tenang dan kalem itu
membuat Peri Malam semakin menyukai Suto. Menurut pandangannya, Suto semakin
menarik saja. Hatinya kian ditumbuhi bunga rimbun jika bertatap pandang dengan
pendekar tampan itu. Rasa-rasanya pelukan yang tadi dilakukan Suto akan
membekas selamanya dan meresap hangat sepanjang masa di dalam hati.
Tiba-tiba Manusia Sontoloyo
itu tampakkan diri kembali dengan sebuah seruan dari atas batu karang berjarak
antara lima belas langkah di belakang Suto.
"Sutooo...!"
Peri Malam dan Suto sama-sama
memandang. Peri Malam denguskan napas tanda kesal hatinya.
"Hah...! Dia lagi, dia
lagi...!"
"Dengar, Suto...!"
seru Manusia Sontoloyo. "Ada seorang perempuan cantik mencarimu. Dia
bernama Perawan Sesat! Sekarang sedang menuju ke Perguruan Merpati Wingit
karena menyangka dirimu ada di sana! Dia membutuhkan kamu dan ingin membawamu
pergi!"
"Jangan dengarkan
omongannya!" sentak Peri Malam mulai cemburu dan waswas. Ia sentakkan pula
tubuh Suto agar berpaling memandang ke arahnya. Tapi kepala Suto masih kembali
palingkan pandang ke arah Dirgo Mukti, sebab Dirgo masih lanjutkan seruannya.
"Hati-hati, dia berilmu
tinggi! Mungkin akan membabi buta mengamuk jika kamu tidak mau ikuti dengannya!
Satu lagi, dia adalah perempuan cantik yang menggairahkan! Dia lebih cantik
dari Peri...!"
Wuuus...! Duaar..!
Kata-kata Dirgo tak
terlanjutkan karena Peri Malam mengirimkan pukulan jarak jauhnya yang lebih
bertenaga dalam tinggi lagi. Pukulan itu bersinar biru dan melesat jauh ke
tempat Dirgo. Tapi Dirgo cepat menghindar dan menghilang, hingga sinar biru itu
mengenai batu yang dipakai pijakan kaki Dirgo Mukti. Batu itu pun meledak
menjadi serpihan-serpihan lembut.
"Jangan dengarkan celoteh
si Gila Sontoloyo itu!" ucap Peri Malam dengan cemberut kesal.
"Perawan Sesat...?!"
gumam Suto dengan kerutkan dahi.
"Lupakan tentang
perempuan itu!"
"Apa kau kenal dia?"
"Tidak. Tapi aku tadi
melihat dia bercumbu di sebelah sana dengan Dirgo. Tadi kudengar Dirgo mengaku
sebagai dirimu. Lalu, aku keluar dan membeberkan rahasianya. Dirgo ditinggalkan
oleh Perawan Sesat. Aku salah ucap tadi. Untuk meyakinkan perempuan itu, kukatakan
bahwa Suto yang asli ada di Perguruan Merpati Wingit. Lalu dia bergegas kesana
mencarimu dengan meninggalkan kemarahan kepada Dirgo Mukti! Sudahlah, jangan
pikirkan tentang dia!" Peri Malam merajuk manja.
"Aku tidak memikirkan
dia, tapi memikirkan orang- orang Perguruan Merpati Wingit! Mereka bisa jadi
korban tak bersalah jika benar perempuan itu mengamuk karena tidak menemukan
aku di sana!"
"Itu urusan orang-orang
Merpati Wingit! Bukan urusanmu!"
"Aku pernah ditolong oleh
mereka. Kau pun diselamatkan dari luka dalammu oleh mereka! Tak bisa kita
berdiam diri begini saja!"
"Aku tak setuju kalau kau
kembali ke Merpati Wingit!"
"Aku harus kembali ke
sana!" Suto bergegas melangkah, tapi segera Peri Malam melompat dan cepat
menghadang langkah Suto.
"Jangan ke sana,
Suto!"
"Aku hanya ingin melihat
apa yang dilakukan perempuan yang tak kukenal itu!"
"Kau pasti akan kembali
kepada Betari Ayu!" nada cemburu makin tampak jelas dari raut muka Peri
Malam.
"Aku memang harus kembali
kepada Nyai Betari Ayu untuk menjelaskan bahwa aku tidak ada hubungan apa- apa
dengan perempuan yang bernama Perawan Sesat itu!"
"Tidak! Kamu tidak boleh
ke sana! Betari Ayu akan semakin kegirangan jika kau datang. Aku tahu dia
mencintaimu, Suto!"
"Itu hak dia! Aku tak
bisa melarang!"
"Tapi kau melayaninya!
Kau tidur dengannya dan "
"Cukup! Urusan itu kita
bicarakan nanti saja! Sekarang aku mau ke sana dan jangan halangi aku!"
"Tidak boleh!" Peri
Malam rentangkan kedua tangannya.
Suto nekat sentakkan kaki dan
melesat pergi menabrak tubuh Peri Malam. Akibatnya perempuan itu terjengkang ke
belakang dan jatuh di atas tanah berpasir. Ia segera bangkit begitu melihat
Suto sudah lenyap dari pandangan matanya. Ia berseru,
"Sutooo...! Tunggu! Aku
ikut...!"
Karena pada saat itu terlintas
dalam pikiran Peri Malam, jika ia tidak ikut mengawasi Suto, bisa-bisa hubungan
Suto dengan Betari Ayu semakin lengket. Ini membuat ia kehilangan kesempatan
untuk menempatkan cintanya di samping hati Suto. Ia harus mencegah hubungan itu
agar tidak selengket karet.
Kelebatan Suto memang susah
diikuti. Tapi Peri Malam masih bisa menggunakan penciumannya melalui udara. Bau
keringat Suto telah melekat dalam ingatannya. Bau keringat Pendekar Mabuk yang
mengandung tuak itulah yang menjadi penuntun Peri Malam untuk menyusul
kepergian Suto.
Suto sendiri tidak peduli
apakah dia diikuti Peri Malam atau tidak. Tetapi yang jelas firasatnya
mengatakan ada yang tak beres di Perguruan Merpati Wingit. Firasat itu semakin
kuat setelah di perjalanan Suto menemukan tiga kuda tanpa penunggang. Bahkan ia
menemukan mayat Murbawati dan Widarti terkapar di sekitar kuda itu.
"Gila! Ini pasti
perbuatan Perawan Sesat. Mungkin mereka bertemu dan didesak mengenai tempat
perguruan mereka namun tidak mengaku, akibatnya mereka dibunuh secara keji!
Hmmm...! Siapa perempuan yang mengaku berjuluk Perawan Sesat itu? Tak pernah
kudengar namanya!" kata Suto sambil matanya memandang ke sana-sini.
Saat itu Peri Malam datang
menyusul. Ia ikut terperanjat kaget melihat dua nyawa amblas dari raga dua
orang dari Merpati Wingit yang kala itu dikenal pula olehnya. Peri Malam
memandang Suto dan berkata dengan nada pelan.
"Ada tiga kuda. Tapi
mengapa hanya ada dua mayat? Pasti ada satu lagi yang menjadi korban!"
"Ya. Benar. Lihatlah ke
arah bawah pohon sana...!"
Peri Malam terkejut melihat
mayat Sungko dalam keadaan tanpa selembar benang di tubuhnya. Mayat Sungko biru
legam sekujur tubuhnya, pertanda dihantam dengan pukulan tenaga dalam cukup
tinggi.PERAWAN Sesat sungguh perempuan yang ganas. Dia ibarat iblis cantik
berdarah dingin. Siapa pun yang menghalangi langkahnya, dibabatnya habis.
Repotnya lagi, dia memang punya ilmu cukup tinggi. Sukar dijatuhkan lawan.
Ketika ia menemukan Perguruan
Merpati Wingit, ia dihadang oleh dua penjaga di pintu gerbang. Kedua penjaga
itu melarang dia masuk. Tanpa banyak berdebat, kedua penjaga pintu gerbang itu
dihantam secara bersamaan hingga keduanya terkapar tak bernyawa.
Brakkk...! Pintu gerbang Itu
didobraknya dengan sebuah tendangan berkekuatan tinggi. Pintu gerbang itu bukan
hanya membuka, namun juga terlepas dari engselnya dan sempat terbang sampai
tujuh langkah jauhnya dari pintu.
Suara gaduh itu membuat mata
para murid Merpati Wingit terperanjat dan terbelalak kaget. Sosok penampilan
yang berambut awut-awutan dengan pedang gading di punggung, mata tajam, wajah
angker, jelas melambangkan suatu permusuhan yang harus segera diatasi.
Beberapa murid mengepung
Perawan Sesat. Tak ada gentar sedikit pun di hati Perawan Sesat. Ia bahkan berseru,
"Mana yang namanya Suto!
Aku butuh bertemu dengan Suto!"
Salah seorang dari wakil para
murid itu berkata, "Di sini tidak ada Suto Sinting! Pemuda itu sudah
pergi!"
"Dusta!" sentak
Perawan Sesat. "Kudengar dia berada di sini dalam perawatan lukanya!"
"Tidak ada! Keluar kau
atau kami rajang-rajang tubuhmu!" bentak salah satu wakil dari para murid.
"Aku tak akan pergi
sebelum membawa Suto!"
"Bedebah kau!
Seraaang...!"Serentak para pengepung menyerang Perawan Sesat. Mulanya
mereka belum menggunakan senjata. Namun, ketika kedua tangan Perawan Sesat
disentakkan ke samping dengan satu kekuatan tinggi, para penyerang itu
berjumpalitan. Ada yang terlempar sejauh tujuh langkah, ada yang tersentak naik
ke atas dan jatuh dalam keadaan patah lehernya. Ada pula yang langsung
menyemburkan darah kental dari mulutnya. Pendek cerita, satu kali gebrakan
delapan nyawa melayang.
Melihat delapan korban jatuh
akibat gebrakan Perawan Sesat, seorang berpakaian biru dengan rambut pendek
sebahu dan dililit kain ikat kepala warna merah maju ke depan. Ia memberi
isyarat agar para murid tidak menyerang. Orang itu adalah wakil dari Murbawati
selama Murbawati pergi. Mereka tak tahu bahwa Murbawati, dan dua temannya sudah
menjadi mayat akibat ulah perempuan berambut jabrik itu. Perempuan yang tampil
lebih kalem itu adalah Suryadani, ilmunya setingkat dengan Murbawati.
"Siapa kamu dan mengapa
mengamuk di wilayah kami?"
"Tak perlu kau tahu siapa
aku! Yang penting, aku harus pergi membawa Suto Sinting, murid si Gila Tuak
itu!"
"Suto sudah tidak ada.
Dia sudah pergi. Memang mulanya dia kami rawat di sini, tapi setelah sembuh dia
pergi dari sini! Dia memang bukan murid perguruan kami," tutur Suryadani
dengan lebih kalem dan sabar.
"Aku perlu
membuktikannya!" kata Perawan Sesat dengan mata memancarkan kesan angker.
"Dengan cara apa kau mau
membuktikannya?""
"Menggeledah tempat
ini!"
"O, ini tempat terhormat!
Tak bisa seenaknya kau mengacak-acak tempat ini!"
"Kalau begitu aku harus
memaksa untuk menggeledah tempat ini!" sentak Perawan Sesat.
"Kalau kau memaksa
begitu, maka aku pun memaksa bertindak keras!" Suryadani tak mau kalah
gertak.
"Bagus!" Perawan
Sesat melangkah ke samping dengan mata melirik liar. Ia berkata dengan suara
semakin bermusuhan,
"Menyingkirlah, aku akan
menggeledah tempat ini. Atau berikan Suto supaya aku cepat pergi dari
sini!"
"Tak ada Suto. Tak mau
menyingkir!"
"Berarti kau memang cari
mampus! Hiaaat...!"
Perawan Sesat hanya membentak
dengan kaki menghentak kuat ke tanah, tangan terangkat ke atas. Belum lagi ia
maju menyerang, Suryadani sudah tumbang karena gelombang bentakannya yang
mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar itu.
Suryadani segera bangkit
berdiri dan membatin, "Suaranya tak seberapa keras, tapi gelombang
kekuatan tenaga dalamnya begitu hebat! Oh, telingaku berdarah...?!"
Suryadani memegangi cairan
yang mengalir ke pipi kiri. Ternyata memang darah yang keluar dari telinganya.
Kemudian dia memegang bagian depan hidung. Darah juga mengalir walau tak
banyak.
"Aku harus hati-hati
dengannya," pikir Suryadani.
"Majulah kalau kau memang
ingin mengusirku!" sentak Perawan Sesat. Maka, Suryadani pun melompat maju
tiga langkah. Ia segera mencabut keris yang terselip di pinggang kiri.
Srettt... !
Baru saja keris dicabut,
Perawan Sesat menghantamkan pukulannya dari jarak jauh melalui sentakan tangan
kirinya.
Wuusss...!
Krak... !
Keris itu patah tiga tempat.
Suryadani terperangah kaget. Keris itu keris pusaka yang sekali sabet bisa
bikin lawan terbeset perutnya. Tapi mengapa sekarang semudah itu dipatahkan
oleh lawannya tanpa disentuh sedikit pun.
Keris yang tinggal sisa
gagangnya yang digenggam itu segera dibuang. Suryadani sentakkan ujung kakinya
dan melesat naik ke udara. Bertepatan dengan itu, Perawan Sesat pun sentakkan
kakinya tanpa suara, dan melesat naik tanpa maju. Ia hanya menunggu serangan di
atas.
Suryadani lancarkan pukulan
gandanya. Wuuttt, wuuttt... !
Plak, plak...! Pukulan ganda
bisa ditangkis oleh telapak tangan Perawan Sesat. Sebelum mereka bergerak
turun, tangan Perawan Sesat menghantam kuat di dada Suryadani. Bagh... !
"Aahg...!" terpekik
Suryadani dengan suara tertahan.
Ia jatuh ke tanah, rubuh tak
berkutik selain hanya mengucurkan darah kental dari mulutnya. Pukulan di dada
itu membekas hangus bagai habis terbakar api yang maha panas. Perawan Sesat
segera sentakkan kaki menendang tubuh Suryadani yang sudah parah itu. Tubuh
tersebut terjerembab dan telentang, kemudian meregang nyawa. Mati.
Melihat Suryadani tak bernyawa
lagi, para murid sempat terbelalak kaget. Salah seorang memberi aba- aba.
"Kepuuung...!"
Lebih dari lima belas murid
mengepung Perawan Sesat berkeliling. Namun, sebelum mereka melakukan penyerangan
serempak, terdengar suara bijak berseru dari depan bangunan joglo itu.
"Minggir semua...!"
Perintah pelan itu ditaati
oleh para murid Merpati Wingit. Mereka menyingkir ke samping, dan Perawan Sesat
menatap seraut wajah ayu berjubah kuning dengan ikat kepala dari kain merah
berbintik-bintik kuning emas. Tali itu agak panjang, di kedua ujungnya mempunyai
logam seperti mata tombak ukuran kecil. Perempuan ayu itu tak lain adalah Nyai
Betari Ayu, guru dan ketua di situ.
"Selamat datang di
perguruan kami!" sapa Nyai Betari Ayu dengan lebih tenang lagi ketimbang
Suryadani tadi. Ia langkahkan kaki maju dua tindak. Matanya teduh memandang
mata liar Perawan Sesat.
"Tak perlu basa-basi
padaku! Yang kubutuhkan adalah Suto!"
"Kalau tak salah
penglihatanku," kata Betari Ayu, "Kau adalah murid Nyai Lembah Asmara
yang berjuluk Perawan Sesat."
Terkesiap mata Perawan Sesat.
Sedikit menyipit dia memandang Betari Ayu. Tangan yang sudah diangkat ke atas
itu diturunkan dan sedikit mengendur. Namun sikapnya masih jelas bermusuhan.
"Kau kenal dengan
guruku?"
"Jelas kenal! Apa gurumu
tak pernah bercerita tentang Nyai Betari Ayu...?"
"Ya. Pernah. Beliau
pernah punya teman bernama Nyai Betari Ayu!"
"Itulah aku!"
"Oh...?!" semakin
mengendur kekerasan urat tangan Perawan Sesat. Semakin surut kebengisan di
wajahnya. Tapi kewaspadaannya masih tetap tinggi. Terbukti ketika salah seorang
murid membokongnya dengan melemparkan pisau terbang ke arah punggung, Perawan
Sesat segera sentakkan jempol kakinya dan ia melesat ke atas lalu putarkan
tendangan dengan cepat. Tendangan itu membuat pisau terbang melesat balik
dengan cepat sekali, dan menancap di leher pemiliknya.
"Aaahg...!"
terdengar suara pekik tertahan dari si pembokong.
Untuk beberapa saat suasana
hening kembali setelah suara rubuhnya si pembokong. Perawan Sesat kembali
berdiri sigap berhadapan dengan Nyai Betari Ayu. Kala itu Betari Ayu hanya
sipitkan mata melihat anak muridnya rubuh tertancap pisau. Betari Ayu hanya
tarik napasnya dan menghembuskan pelan-pelan.
"Perawan Sesat, pulanglah
dan sampaikan salamku kepada gurumu, Nyai Lembah Asmara!"
"Guruku akan menerima
salammu kalau aku pulang bersama Suto Sinting, pemuda tanpa pusar itu!"
"Suto tidak ada di sini,
Perawan Sesat!"
"Aku belum percaya jika
belum menggeledahnya!"
"Gurumu pasti
percaya!" seraya Betari Ayu sunggingkan senyum.
"Guru boleh percaya, tapi
aku tidak semudah itu mempercayaimu!"
"Aku keberatan jika kau
menggeledah tempat ini!"
"Kalau begitu aku harus
memaksanya!"
"Aku akan bertahan!"
"Kau akan kehilangan
nyawamu, Betari Ayu!"
"Apa boleh buat demi
pertahankan martabat perguruan!"
Perempuan berpedang gading itu
mendengus kesal. Ia membatin, "Hmm... kalem-kalem tapi nyalinya besar juga
orang ini! Kalau kuserang dia, apakah Guru akan menyalahkan aku? Ah, kurasa
tidak! Karena tugasku adalah merebut Suto dari tangan siapa pun!"
Betari Ayu sendiri sedang
mencari jalan agar tidak terjadi pertumpahan darah lagi. Tetapi, agaknya
Perawan Sesat ini orang yang sulit diajak damai. Mungkin karena didikan dari
gurunya yang pantang melepaskan lawan jika sudah beradu pandang.
"Perawan Sesat, apakah
artinya kau mengobrak- abrik tempatku ini jika kau tidak menemukan Suto? Kau
hanya memperburuk keadaan hubunganku dengan gurumu! Padahal aku sudah bertahan
sabar untuk tidak merampas tanah Bukit Garinda yang sebenarnya kusewakan kepada
gurumu, tapi sekarang agaknya mau dimiliki oleh kalian! Jadi menurutku,
sudahlah... jangan kita bersitegang untuk masalah yang tidak penting!"
"Kehadiran Suto di depan
Nyai Guru Lembah Asmara adalah hal yang sangat penting!" jawab Perawan
Sesat.
"Apakah gurumu dalam
keadaan sakit?"
"Tidak. Tapi Guru
membutuhkan keturunan. Dia butuh pembibit yang hanya bisa dilakukan oleh lelaki
tanpa pusar!"
"Aneh!" Betari Ayu
kerutkan dahi.
"Memang aneh. Tapi itu
bukan urusanmu. Itu urusan pribadi Guru. Jadi jangan coba-coba kamu halangi urusan
pribadi guruku!"
"Aku tidak menghalangi.
Kalau di sini ada Suto, silakan bawa sendiri pemuda Itu. Tapi kurasa Suto akan
menolak, sebab dia sudah punya kekasih sendiri. Dyah Sariningrum
namanya...!"
Perawan Sesat diam termenung
sebentar. Lalu, matanya kembali terkesiap memandang Betari Ayu. Ia berkata
bagaikan menggumam,
"Jangan kau dustai
diriku, Betari Ayu!"
"Tidak ada dusta dalam
mulutku, Perawan Sesat! Suto Sinting sangat mencintai perempuan itu sehingga
tak pernah mau bercinta dengan perempuan lain!"
"Omong kosong! Tak ada
lelaki yang tak terpikat oleh kecantikan Nyai Guru Lembah Asmara. Suto pasti
akan bergairah kepada beliau dan mau menjadi pembibit keturunan Nyai Guru
Lembah Asmara!"
"Terserah. Itu urusanmu
dengan Suto. Tapi urusanku dengan kamu kurasa sudah selesai. Suto tidak ada di
sini!"
"Aku curiga kau menyimpan
di dalam kamar pribadimu!"
"Itu tidak benar!"
"Kalau begitu aku harus
masuk ke sana dan membuktikan!"
"Kau harus melewati aku
dulu, Perawan Sesat!"
"O, kau
menantangku?!"
"Karena kau menghendaki
pertarungan denganku!"
"Baik! Jangan menyesal
kalau nyawamu kucabut dalam tiga helaan napas, Betari Ayu!"
"Yang kusesali kalau
nyawaku tak bisa kau cabut!"
"Bersiaplah untuk mati sekarang
juga!"
"Aku sudah bersiap sejak
tadi!"
Perawan Sesat merasa semakin
ditantang. Maka dengan cepat ia sentakkan tangannya ke depan kedua- duanya.
Wuuttt...! Sebuah gelombang pukulan tenaga dalam yang amat besar menghantam
tubuh Nyai Betari Ayu.
Tapi dengan gerakan seperti
menari, Betari Ayu hadangkan tangan kanannya ke depan dada. Gelombang pukulan
yang besar tak berbentuk itu tertahan di depan dada. Betari Ayu tetap berdiri
dengan kedua kaki merapat dan tangan kanan menahan di depan dada. Wajahnya tak
ada kekerasan sedikit pun. Bahkan berkesan senyum tipis yang membikin Perawan
Sesat menjadi tambah penasaran.
Kedua tangan perawan gila itu
mendorong ke depan agar gelombang pukulan tenaga dalamnya tidak membalik arah.
Ia bagaikan mendorong sebongkah batu sebesar gajah. Sekujur tubuhnya menjadi
keras. Berkeringat di sekitar kening dan lehernya. Tangannya gemetar jelas
karena dorongan yang memerlukan pengerahan tenaga itu. Sementara yang menahan
hanya tenang-tenang saja. Tangan kirinya berada di belakang, tangan kanannya
tetap tegak dengan jari menghadang ke atas.
Dalam satu kesempatan, Nyai
Betari Ayu melihat letak kaki Perawan Sesat dalam keadaan lemah satu sisi.
Maka, tangan kanannya itu disentakkan ke depan seperti gerakan orang menari.
Dan, tubuh perempuan jabrik itu tersentak ke belakang, terpental lima langkah
jauhnya. Di sana ia rubuh dan terguling-guling bagai dihempas badai besar.
Murid-murid yang memperhatikan
adu tenaga dalam itu menjadi tertegun bengong melihat kehebatan gurunya. Tetapi
murid yang ada di belakang gurunya menjadi cemas karena tangan kiri Betari Ayu
menjadi berdarah. Tangan kiri itu semenjak tadi menggenggam menahan kekuatan
dorongan tenaga dalam lawan, sampai kuku-kukunya masuk ke dalam kulit telapak
tangan. Maka basahlah tangan kiri itu oleh darah merah segar.
Perawan Sesat merasa mendapat
lawan yang cukup tangguh. Ia segera bangkit dan mencoba menghantamkan pukulan
jurus lain yang lebih berbahaya dari yang pertama tadi. Tetapi dengan badan
sedikit merendah dan tangan melambai bagai menebarkan bunga, pukulan Perawan
Sesat dapat dihantam balik.
Untuk kedua kali Perawan Sesat
terpental ke belakang dan jatuh berguling-guling. Ia pun segera menggeram
kasar,
"Bangsat! Tak boleh
dibuat main-main orang itu!"
Perawan Sesat terpaksa
mencabut pedang gadingnya itu. Srettt...! Tiba-tiba angin badai datang bertiup
di sekeliling wilayah perguruan itu. Pedang tersebut ternyata bukan terbuat
dari logam, melainkan terbuat dari gading tanpa ukuran. Bentuknya pipih dengan
bagian kedua sisinya tipis bak pedang logam yang tajam.
Beberapa murid perguruan
berkerut dahi dan menyangsikan ketajaman pedang gadis itu. Sebagian dari mereka
sempat mencibir dan merasa aneh melihat pedang gading. Tetapi ketika pedang itu
ditebaskan ke depan, badai besar datang dengan cepatnya. Bukan hanya tubuh
manusia yang terpental, namun atap bangunan joglo itu pun somplak ke atas dan
berantakan sebagian. Salah satu tiang penyangga atap patah. Tubuh Nyai Betari
Ayu juga terpental hingga membentur dinding bangunan lainnya.
"Maju kau, Betari
Ayu...!" teriak Perawan Sesat dengan kedua tangan menggenggam gagang
pedang yang siap diayunkan lagi. Ia berdiri di tengah arena, memandang
orang-orang yang mengucurkan darah lewat lubang telinga, hidung, dan mulut.
Pada umumnya mereka mengerang kesakitan dan tak mampu berdiri lagi.
Darah juga keluar dari lubang
hidung, mulut, dan telinga Nyai Betari Ayu. Tapi ia masih mampu berdiri dan
melepaskan ikat kepalanya yang terbuat dari tali sutera itu. Ia memutar-mutar
tali kepala yang mempunyai logam runcing di ujungnya itu. Wuung...! Wuung...!
Bunyinya mendengung bagai jutaan lebah bergaung.
Tali sutera itu segera
dilepaskan dan meluncur ke arah Perawan Sesat. Ujung logamnya memercik-
mercikkan api melayang dengan berputar-putar. Namun semua itu segera ditebas
oleh pedang gading Perawan Sesat. Wuuussh... !
Tali itu terpental membalik
dalam putaran cepat. Badai datang dari angin tebasan pedang gading. Tubuh-
tubuh yang sedang berusaha bangkit kembali terpental dan mengeluarkan darah
pada tiap lubangnya.
Nyai Betari Ayu sempat
bertahan berdiri sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Pada saat itu tali ikat
kepalanya itu meluncur ke arahnya. Dengan sigap tangan diajukan ke depan dan
segera menyambar tali yang melesat cepat itu.
"Pusaka Jerat Petir ini
tidak mampu mengalahkan pedang gading tersebut! Luar biasa kekuatan pedang
gading itu!" pikir Nyai Betari Ayu. Ia tetap bertahan berdiri. Tapi
kelemahan kakinya tak tertahankan hingga ia pun jatuh. Banyak darah yang keluar
dari mulutnya.
"Keluarkan Suto atau
kuporak-porandakan tempat ini!" teriak Perawan Sesat. Ia siap kibaskan
pedang gadingnya lagi.
Tetapi pada saat itu,
sekelebat bayangan melintas di atas kepala Perawan Sesat. Hampir saja Perawan
Sesat menusukkan pedangnya ketika ia segera terperanjat melihat sosok pria
berpakaian coklat, menenteng tabung tuak di tangan kiri. Orang itu menatap
Perawan Sesat dengan pandangan lembut dan senyum indah.
"Kau mencariku, Perawan
Sesat?"
Tak bisa cepat Perawan Sesat
menjawab, karena matanya segera terpaku pandang ke arah wajah tampan itu.
Hatinya bergetar lemas bagai terhisap daya pikat Suto yang sungguh membuat
tangannya gemetar. Namun, rupanya Perawan Sesat mencoba menentang batinnya
sendiri. Ia masih berusaha untuk bersikap keras dan ganas.
"Kaukah yang bernama Suto
Sinting?!"
"Tak salah dugaanmu,
Perawan Sesat."
"Kau harus ikut aku
menghadap guruku sekarang juga!"
"Aku tidak bisa sebelum
kau sembuhkan orang- orang ini dan sebelum kau bangkitkan mereka yang
mati!"
"Kalau begitu aku perlu
menyeretmu, Suto!"
"Jika itu yang terbaik
bagimu, lakukanlah!" Suto angkat bahu seakan pasrah.
"Kau tidak takut dengan
pedangku ini, Suto?!"
"Pedang apa?! Kau tidak
memegang pedang!"
Perawan Sesat mendongak ke
atas memandang pedangnya. Ia terperanjat setengah mati melihat pedang itu
hilang lenyap tanpa bekas. Yang tinggal hanya bagian gagangnya yang masih
dengan kuatnya digenggam memakai kedua tangan. Seketika itu wajah Perawan Sesat
pucat pasi merasa kehilangan pedang. Ia tak menyadari saat Suto melompati atas
kepalanya, Suto sempat semburkan tuak dari mulutnya. Memang hanya sedikit, tapi
punya kekuatan ilmu yang mampu menghilangkan benda yang tersentuh percikan tuak
itu. Benda tersebut adalah pedang gading yang kini hilang tak berbekas.
Pada saat mata Perawan Sesat
memandang terkesiap melihat pedangnya hilang, Suto menyentakkan bumbung tuaknya
ke depan. Bumbung itu melayang cepat dan tubuh Suto terbawa melesat. Bumbung
itu menyodok dada Perawan Sesat dengan kerasnya.
Buueeggh...!
'Heegh....'"
Perawan Sesat memekik tertahan,
tubuhnya terpental jauh ke belakang hingga mencapai tempat pintu gerbang jatuh.
Di sana tubuh itu rubuh tertindih tubuh Suto yang tidak bisa mengendalikan
tenaga dalam dari dalam bumbung tuaknya. Bruukkk...!
"Heeegh...!" Perawan
Sesat makin memekik tertahan karena tertindih tubuh Suto. Dan pada saat itu
meleleh darah dari mulut Perawan Sesat yang memejamkan mata menahan sakit.
Suto bergegas bangkit. Perawan
Sesat mengerang menahan rasa sakit di dadanya. Suto memperdengarkan suara.
"Pulanglah dan jangan
coba-coba temui aku lagi di tempat ini!"
"Aku... harus pulang
bersamamu, Suto!"
"Tidak bisa!"
"Kau harus bertemu dengan
guruku!"
"Siapa gurumu itu?"
Perawan Sesat diam sebentar,
lalu menjawab lirih.
"Dyah
Sariningrum...."
"Hah...?!" Suto
terpekik tertahan karena kaget. Jantungnya pun berdetak-detak, kakinya gemetar
mendengar nama itu disebutkan.
"Beliau menunggumu sekian
lama. Ingin sekali bertemu denganmu!"
"Baik! Aku akan ke sana!
Aku harus berikan beberapa tuak dulu kepada Betari Ayu untuk mengobati mereka
yang terluka. Lalu, bawalah aku ke tempat gurumu!"
Segera Suto melompat cepat dan
menemui Betari Ayu. Ia meninggalkan beberapa tuak dalam sebuah cawan dan
menyuruh Nyai Betari Ayu meminumkan tuak itu kepada mereka yang terluka. Betari
Ayu bertanya,
"Kau sendiri mau ke mana,
Suto...?"
"Urusan pribadi,
Nyai!" jawab Suto menyembunyikan tujuannya.
Segera ia menemui Perawan
Sesat dan mengajaknya pergi. Tapi karena Perawan Sesat dalam keadaan luka parah
di bagian dalam, maka Suto terpaksa menggendong tubuh itu dan melesat bagaikan
anak panah menuju sasarannya.
"Sutooo...!" teriak
Peri Malam yang baru tiba di perguruan itu. Ia pun bergegas mengejar Suto walau
harus tertinggal beberapa jauh.
SELESAI