GEMURUH yang terdengar adalah
suara curahan air sungai yang mengalir deras. Banjir datang dari kulon. Tiga
hari lamanya hujan turun di wilayah barat tanpa henti, sehingga mendatangkan
banjir yang melanda beberapa perkampungan penduduk. Ada pun air sungai dibagian
utara yang berlimpah-limpah itu adalah banjir kiriman dari barat.
Banjir bukan hanya mengirimkan
air saja, tapi juga mengirimkan bangkai ternak yang hanyut disapu sang banjir.
Selain bangkai ternak juga ada mayat manusia yang tak sempat tertolong oleh
ganasnya sang banjir.
Atap rumah juga terapung-apung
ikut hanyut bersama meja, bangku, almari, bakul nasi, centongnya tidak
kelihatan, lalu... tempayan juga Ikut hanyut ke muara. Tikar yang hanyut dalam
keadaan robek sana-sini, ada juga keranjang tempat rumput, dipan tanpa kasur,
celengan dan masih banyak barang-barang lain yang dihanyut-kan oieh sang
banjir.
Beberapa penduduk di
perkampungan dekat muara menyambut meriah acara banjir itu, karena mereka dapat
mengambll barang-barang yang bisa dlpakal. Ada yang mengambilnya menggunakan
galah panjang untuk meralh barang di tengah sungai, ada yang nekat berenang
memunguti barang-barang itu dengan tubuh diikat tambang dan tambangnya diikat
pada pohon, jadi ia tak bisa terbawa arus sungai yang kencang itu. Sebuah
jembatan bambu di pedalaman menjadi rendah karena permukaan air sungai naik
setengah tanggul.
Di jembatan bambu itu, berdiri
seorang kakel berusia sekitar dclapan puluh tahun lebih, mungkin juga sembilan
puluh tahun lebih. Pokoknya tua, renta dan kempot. Kakek itu berdiri
memperhatikan arus banjir yang menghanyutkan tetek-bengek. la geleng-geleng
kepala dengan wajah sedih memperhatikan bencana alam itu. Jubah putihnya
melambai-lambai disapu angin. Rambut putihnya yang panjang jatuh meriap-riap dipermainkan
angin. Untung bukan Angin Betina yanc mempermainkan rambut itu.
Sang kakek agaknya memang
menyukai warna putih. Selain jubahnya putih, celananya juga putih. Ikat
pinggangnya putih, ikat kepalanya putih. Tapi ikat kepala itu sudah dibuang
sejak muda, jadi sekarang ia tidak memakai ikat kepala. Alisnya putih, kuiitnya
putil pucat, matanya juga putih, tapi ada hitamnya di bagiai tengah. Mata itu
cekung, tulang pipinya tampak me iengkung. Kalau berjalan tertatih-tatih
menampakkan ketuaannya.
Saat ia lanjutkan langkah
sampai ke pertengaha. jembatan bambu, seorang pemuda tampan berpakaian coklat
tanpa lengan muncul dari ujung jembatan. Ia ingin melintasi jembatan itu, dan
terhenti sejenak karena melihat sang kakek yang serba putih itu.
Sang kakek memperhatikan ke
arah banjir. Pemuda berparas tampan, dengan bumbung tuak menyilang di punggung,
menjadi tertarik untuk ikut perhatikan banjir dan barang-barang hanyutannya
itu. Pemuda berambut panjang, lurus, lemas, sebatas lewat pundak itu tak lain
adalah si Pendekar Mabuk, murid sintingnya Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Dia itulah yang dikenal pula
dengan nama Suto Sinting.Tokoh tua itu pasti berilmu tinggi. Angin sekencang
ini tak bisa membuat tubuhnya yang kurus terpelanting terbang.
Setidaknya ia punya kekuatan
tenaga dalam yang sukar ditumbangkan," pikir Suto Sinting sambil
memperhatikan dan melangkah pelan-pelan mendekati sang kakek. Entah mengapa
tiba-tiba hati Pendekar Mabuk merasa dipanggil oleh sang kakek, padahal sang
kakek tidak memperhatikan ke arahnya.
Ada satu kekuatan aneh yang
membuat Pendekar Mabuk semakin mendekati sang kakek dan akhirnya ber-henti dua
langkah di samping sang kakek. Bahkan tiba-tiba Suto Sinting punya naiuri aneh
yang membuat-nya membungkuk memberikan hormat kepada sang kakek.
"Kenapa aku menghormat
kepadanya?' pikir Suto Sinting dengan bingung. Sang kakek sendiri acuh tak
acuh, seakan tidak tahu ada orang menghormat dl sampingnya. Anehnya lagi, Suto
Sinting bingung mengawali percakapannya. Apa yang harus diucapkan untuk menyapa
sang kakek, ia tidak tahu. Akhirnya Suto hanya diam, ikut pandangi arus banjir
yang deras itu.
Tiba-tiba mata Suto melihat
seseorang sedang hanyut dan tenggelam di sungai itu. Orang tersebut datang dari
arah belakang Suto, lewat kolong jembatan dan terus menuju ke arah muara. Orang
itu tak terlihat wajahnya. la menggapai- gapaikan tangannya yang muncul dari
permukaan air sungai. Anehnya sang kakek yang serba putih itu hanya melambaikan
tangannya dengan tenang. Saat ituiah timbul gagasan di benak Suto untuk menegur
sang kakek.
"Kenapa kau hanya
melambaikan tangan saja, Kek?!"
"Lho, dia orang ramah.
Biar tenggelam masih sempat melambaikan tangan kepadaku. Maka aku harus ramah
juga, harus membalas lambaian tangannya."
"Dia bukan melambai
karena ramah. Dia melambaikan tangan untuk minta tolong?!"
"Ooo... kalau begitu,
tolonglah dia," kata sang kakek tenang sekali, seperti tanpa perasaan
apa-apa.
Suto Sinting segera berkelebat
terjun ke sungai. Tapi badannya tidak amblas ke dalam air sungai. Kaki Suto
menapak pada papan-papan yang hanyut, melompat ke sana kemari dengan ilmu
peringan tubuhnya. Tab, tab, tab...! Wuuttt...! Tangan itu disambarnya, lalu
berkelebat cepat dan sulit diikuti oleh pandangan mata. Tahu-tahu Suto sudah
ada di atas tanggul sungai dan seorang pemuda direbahkannya di rerumputan
tanggul.
Kakek berpakaian serba putih
itu tepuk tangan sendiri dari jembatan. Seakan ia memuji kehebatan Pendekar
Mabuk dalam bergerak menyelamatkan pemuda yang tenggelam itu. Suto Sinting
memandang sang kakek dari tanggul. la tidak pedulikan lagi. la lebih pedulikan
pemuda yang terbatuk-batuk sambil menyemburkan air. Perutnya ditekan-tekan
hingga air yang terminum keluar semua.
Pemuda itu bercelana hitam,
mengenakan rompi merah dan berkalung ketapel. Ditaksir oleh Suto, usianya
sekitar delapan belas tahun. Masih sangat muda, tapi mempunyai wajah yang
tampan. Bulu matanya lentik dan lebat untuk ukuran seorang pemuda. Hidungnya
bangir, kulitnya coklat sawo matang. Rambutnya ikal bergelombang, agak panjang,
diikat dengan kain putih. Ikat kepala itu hampir sa«a ikut terbawa hanyut.
Untung masih sempat tersangkut di bawah telinga.
"Apakah dia
selamat?" tegur sebuah suara yang mengejutkan Suto, sebab suara itu datang
dari belakangnya. Ketika Suto palingkan wajah, ternyata kakek serba putih
ituiah yang menegurnya.
Suto Sinting yang heran itu
segera membatin, "Cepat sekali ia tiba di belakangku? Padahal jarak
jembatan dengan tempat ini cukup jauh. Apakah dia terbang melintasi permukaan
air sungai? Hmmm... tak salah dugaanku, dia pasti orang berilmu tinggi."
Kemudian Suto Sinting menjawab
sapaan tadi, "Dia selamat, Kek. Curna, napasnya masih terengah-engah dan
tubuhnya lemas."
"Berilah minum tuakmu
biar cepat segar kemball."
Suto Sinting terkejut, segera
bangkit dari jongkoknya dan menatap sang kakek. Yang ditatap acuh tak acuh,
memandangi pemuda yang masih terkapar dan terengah-engah itu. Suto Sinting
bertanya dengan suara pelan,
"Bagaimana kau tahu kaiau
tuakku bisa menyembuhkan keadaan seperti ini?"
"Hanya kira-kira saja.
Tubuhnya kedinginan. Tuak bersifat memanaskan badan. Jadi kalau dia minum tuak,
maka hawa dinginnya akan terusir dan tubuhnya akan menjadi segar," sang
kakek bertutur secara masuk akal.
Suto Sinting tak bisa
membantah atau berkata apa pun. la segera meminumkan tuaknya yang selalu
tersimpan dalam bumbung bambu warna coklat muda itu. Tuak tersebut adalah tuak
sakti yang mampu sembuhkan luka atau kembalikan tenaga yang lemah lesu. Tuak
dari mana pun jika sudah masuk ke bumbung bambu itu akan menjadi tuak mujarab,
sehingga Suto tadi terkejut mendengar kata-kata kakek serba putih itu yang
seolah-oiah mengetahui kemujaraban tuaknya.
Seperti apa kata sang kakek,
pemuda itu cepat menjadi segar kembali setelah meneguk tuaknya Suto Sinting.
Napasnya lega, badannya tak terasa lemas, bahkan wajahnya yang pucat pasi
menjadi cerah segar. Luka goresan di lengan kirinya, yang mungkin terkena benda
tajam pada waktu terbawa arus air tadi, tiba-tiba mengering dan kian lama kian
menutup. Luka itu menjadi hilang dan kulit tersebut menjadi halus bagai tak
pernah terluka. Itulah kesaktian tuak dari bumbung bambu milik Pendekar Mabuk.
Kakek tanpa kumis tanpa
jenggot itu berkata kepa-da anak muda berompi merah,
"Kau harus berterima
kasih kepada Pendekar Mabuk ini! Karena dialah yang selamatkan nyawamu. Jangan
bengong saja begitu. Nanti disambar lalat bisa te-was kau!"
"Pen... pendekar...
Pendekar Mabuk? Oh, maksudnya... kau yang bernama Suto Sinting itu, Kang?"
tanya pemuda yang berkesan masih sangat muda itu.
"Ya, aku Suto Sinting;
Pendekar Mabuk. Dari mana kau tahu namaku?"
"Oh, Kang... aku
merindukan ingin bertemu de-nganmu! Aku sering mendengar namamu dibicarakan
orang di kedai-kedai. Oh, terima kasih, Kang! Terima kasih kau telah
menyelamatkan nyawaku dari banjir. Padahal aku tadi hanya mengambil sebuah
pedang yang hanyut, tapi aku justru terseret oleh banjir. Terima kasih,
Kang...!"
Anak muda itu berlutut dan
mengangguk-angguk memberi hormat atas rasa terima kasihnya. Suto Sinting
menyuruhnya berdiri dengan menarik lengannya dan berkata,
"Tak perlu sampai
berlutut begitu. Menoiong itu sudah kewajiban semua orang. Menolong bukan saja
perbuatan dewa, tapi juga perbuatan kita semua yang cinta damal dan saling
menghormati sesama."
Kakek itu terkekeh-kekeh membuat
Suto Sinting segera menatapnya, sang anak muda juga ikut memandang dengan
heran.
"Kenapa tertawa,
Keek?" tanya Suto Sinting pelan.
"Kata-katamu lucu sekali,
Pendekar Mabuk. Lucu sekali."
"Di mana letak lucunya,
Keek?"
"Kau bilang cinta damai,
tapi kau sendiri jika dipukul orang pasti akan membalas! Apakah itu namanya
cinta damaf"
"Kita punya hak
mempertahankan hidup. Jika kita dipukul dan kita membalas itu hanya semata-mata
kita bertahan untuk tetap hidup, Kek!"
"Apakah kedamaian itu
bukan berarti suatu kehidupan?"
"Kedamaian bisa berarti
kehidupan atau kematian. Karena dalam kematian pun seseorang bisa merasakan
kedamaian di alam sana!"
"He, he, he, he...!"
kakek serba putih itu terkekeh lagi, kail ini sambil manggut- manggut.
"Boleh, boleh, boleh...l Pengetahuanmu tentang hidup dan kehidupan cukup
lumayan. Aku sengaja memancing pengetahuanmu untuk memastikan sejauh mana
kepandaian murid si Gila Tuak itu."
Suto Sinting kerutkan dahi
mendengar nama gurunya disebutkan. "Apakah Kakek mengenal guruku?"
"Sangat kenal,"
jawabnya sambii melengos, me-mandang ke arah banjir.
"Siapa sebenarnya dirimu,
Keek?"
"Carllah sendiri siapa
diriku. Kau pasti mampu mencarinya, karena kau murid sinting si Gila
Tuak."
"Apakah aku harus datang
kepada Guru hanya untuk menanyakan nama seseorang?"
"Tidak perlu! Murid si
Gila Tuak tidak dididik untuk menjadi sebodoh itu! Aku hanya merasa bangga
mendengar keharuman namamu, Pendekar Mabuk. Aku juga berterima kasih atas
bantuanmu yang telah menolong adikku."
"Siapa adikmu itu?"
tanya Suto Sinting dengan penasaran. Tapi kakek serba putih itu tiba-tiba
hentakkan kakinya ke bumi. Buukk...! Buuusss...! Asap mengepul sangat tebal.
Putih warnanya, membungkus sekujur tu-buh sang kakek. Ketika Itu Suto Sinting
dan anak muda yang tertolong segera sentakkan kaki untuk mundur. Bahkan anak
muda itu sempat berlari ke baiik pohon dengan rasa takut dan mata melotot.
Asap putih itu lenyap. Mata
Suto Sinting siap memandang apa yang timbul dari asap putih itu. Sosok seperti
apa yang akan dilihatnya dari perubahan si kakek serba putih tadi.
"Hilang...?" gumam
anak muda dari balik pohon. Suto Sinting hanya kerutkan dahi semakin tajam
meiihat sosok kakek tersebut lenyap bagaikan terbawa asap yang terbang entah ke
mana. Maka membatinlah hati sang Pendekar Mabuk,
"Tokoh sakti dari mana
dia sebenarnya? Dia bilang aku telah menolong adiknya? Siapa adiknya itu?
Apakah anak muda yang nyaris tenggelam itu?"
Suto Sirting segera dekati
anak muda itu, matanya memandang tajam penuh selidik. Batinnya berkata lagi,
"Sepertinya tak mungkin sekali. Jika kakaknya setua tadi, masa adiknya
semuda itu? Jauh lebih muda dari-ku."
Rasa penasaran Suto Sinting
akhirnya dinyatakan dalam bentuk pertanyaan,
"Apakah kau adik kakek
itu tadi?"
Anak muda itu gelengkan kepala.
"Aku tidak punya kakak hantu, Kang."
"Hantu...?"
"Kakek tua itu tadi pasti
hantu. Buktinya dia bisa berubah jadi asap dan lenyap begitu saja!"
katanya dengan wajah masih menegang.
"Tidak. Dia bukan hantu.
Dia orang berilmu tinggl," kata Suto Sinting.
"ilmu apa itu tadi,
Kang?"
Sambil membuka tutup bumbung
tuaknya Suto menjawab, "Itu namanya ilmu Lesu Diri," kemudian ia
meneguk tuak dengan santalnya.
"Hebat sekali?!"
gumam anak muda itu. "Apa artinya ilmu Lesu Diri Itu?"
"Lesu Diri artinya Lenyap
Susah Dicari!" sambii Suto sunggingkan senyum geli karena ia memang asai
ja-wab saja. Tapi anak muda itu menggumam sambii manggut-manggut seakan percaya
betul dengan jawaban Suto Sinting.
"Ooo... Lesu Diri...?
Lenyap Susah.... Dicari? Aneh juga namanya."
"Nama aneh karena kita
baru mendengarnya. Kalau sudah sering mendengar menjadi tidak aneh iagi. Sama
halnya dengan namaku; Suto Sinting. Kalau orang baru mendengarnya pasti merasa
aneh, tapi kalau sudah sering mendengarnya perasaan aneh itu sudah tidak ada
lagi. Hmmm... siapa namamu?"
"Pande Bungkus,
Kang."
Suto Sinting tertawa kecil.
"Setahuku yang ada Pande Besi, artinya tukang bikin senjata dari besi atau
perabot dari besi. Kalau Pande Bungkus itu apa?"
"Yaa... ya pandai
membungkus, Kang?" jawabnya dengan geli sendiri. "Soalnya dulu ibu
saya pedagang nasi bungkus, Kang. Dan saya membantunya, tugas saya membungkus
nasi-nasi itu."
"Aneh juga namamu."
"Karena masih baru, Kang.
Kalau sudah lama ya tidak aneh lagi," kata Pande Bungkus mengutip keterangan
Suto tadi. Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara. Baru saja Suto ingin berkata
lagi, tiba-tiba mulutnya terbungkam rapat dan tangannya berkelebat menarik anak
muda itu. Wuuuttt...! Anak muda itu terpelanting bersama Pendekar Mabuk, jatuh
ke tanah pada saat sebuah pisau melesat nyaris menancap di punggung anak muda
itu. Wess...!
Jreeb...!
Pisau itu menancap di pohon
yang tak jauh dari ka-ki Suto Sinting. Mata mereka memandang lebar ke arah
pisau itu, lalu kaki Suto Sinting menendang batang pohon dengan kekuatan tenaga
dalamnya. Duuug...! Claaak...! Pisau yang menancap terpental balik ke arah
datangnya. Weesss...! Gusraak...! Sebuah suara aneh terdengar dari semak bambu.
Lalu sekelebat bayangan tampak melesat dari sana, menghindari pisau tersebut.
Jleegg...! Bayangan itu menjadi wujud utuh di depan Suto dan Pande Bungkus.
Ternyata si pelempar pisau itu
seorang lelaki gemuk agak pendek berkumis lebat, bercambang tebal, rambutnya
ikal pendek berikat kepala kuning. Lelaki gemuk itu kenakan kalung dari tulang
tengkorak bu-rung yang dililit tali hitam.
Bajunya yang merah longgar
tidak dikancingkan, sehingga perutnya yang gendut itu tampak menonjol jelas ke
atas celana birunya. Di pinggang si gendut itu melingkar sabuk hitam penuh
dengan pisau seukuran satu jengkal.
Pande Bungkus tampak
terperangah meiihat orang itu, wajah takutnya kian jelas terlihat oieh Suto
Sinting. Sikapnya berdiri di belakang Suto menandakan niatnya berlindung dari
sesuatu yang menakutkan.
"Pande Bungkus!"
gertak orang gendut itu. "Mana pedang pusaka itu?!"
"Buk... bukan aku, Kang!
Bukan aku yang dapatkan pedang pusaka itu!"
"Bohong! Kulihat kau tadi
berenang mengejar pedang pusaka itu!" sentak orang beralis tebal
menyeramkan itu.
"Tapi... tapi aku tidak
berhasil mendapatkannya, Kang. Aku lupa bahwa diriku sebenarnya tidak bisa
berenang. Sumpah! Aku tidak dapatkan pedang pusaka itu, Kang Gembong
Alas!"
"Pasti kau serahkan
kepada orang itu! Mengakulah daripada kurobek jantungmu dengan pisau
terbangku!" hardik orang yang disebut Gembong Alas itu. la maju dua tindak
dengan berang, tapi tangan Suto memberi isyarat agar langkahnya dihentikan.
Pendekar Mabuk bicara dengan tenang.
"Sabar. Tahan amarahmu,
Sobat!"
"Kau mau meiindungi dia?
Kau mau jadi pahlawannya?! Kau belum tahu siapa si Gembong Alas ini,
hah?!" bentak orang gemuk itu.
"Aku memang belum tahu
siapa dirimu. Tapi aku hanya sarankan agar jangan mengumbar amarah yang belum
tentu benar," kata Suto Sinting. "Tadi aku melihat Pande Bungkus
hanyut dan hampir mati. Lalu dia kutolong, kuangkat kemari tanpa membawa pedang
atau barang apa pun kecuali barangnya sendiri!"
"Barang apa
maksudmu?!"
"Sebuah ketapel yang
dipakai buat kalung itu!" Suto menjelaskan sambil menuding ketapel di dada
Pande Bungkus. Tapi Gembong Alas menggeram penuh ke jengkelan dan
ketidakpercayaan.
"Omong kosong! Pedang itu
pasti sudah berhasil didapatkannya!"
"Berani sumpah serapah,
Kang! Pedang itu hanyut ke dalatm air sungai dan aku sendiri banyut tak
terkendali!" kata Pande Bungkus dengan takut.
"Aku tidak percaya dengan
murid Gelung Gesang! Kau rupanya haru kupaksa dengan"kekerasan, Pande
Bungkus! Heaaah...!'
Gembong Alas nekat melompat
hendak menerjang Pande Bungkus yang ada di belakang Suto. Tentu saja gerakan
itu ditahan oieh Suto Sinting dengan sentak kan tangannya yang menyentikkan
jemari. Tuuuss...! Buugh...! Terdengar suara benda besar menghantam perut
Gembong Alas. Orang itu terpental melayang ke belakang dan membentur pohon tak
seberapa besar. Beehg...! Bruukkk...!
Jurus 'Jari Guntur' yang
keluarkan tenaga dalam dari sentilan jari Pendekar Mabuk telah membuat Gembong
Alas mendelik sekejap, lalu setelah jatuh ia menyeringai menahan perut dengan
tangan. Berdiri pun tak bisa tegak lagi, sedikit membungkuk ke depan dan kedua
kakinya merapat.
"Kurang ajar! Uuh...
celaka kalau begini!" gumamnya penuh gerutu.
Pande Bungkus memandang penuh
heran kepada Gembong Alas yang clingak- clinguk dengan pantat songgeng ke
belakang. Bahkan.tiba-tiba ia berlari melesat menuruni tanggul, mencari tempat
yang enak untuk buang air besar.
"Kenapa dia tadi,
Kang?"
"Mules!" jawab Suto
Sinting. "Sebaiknya tinggalkan dia sekarang juga!"
"Aku tak tahu harus pergi
ke mana, Kang. Rumahku kebanjiran, hanyut sampai atap-atapnya segala, Kang.
Hmmm... bagaimana kalau aku ikut kau saja, Kang?"
"Ke mana arah pergiku
belum tentu sama dengan arahmu."
"Ke mana saja aku
ikutlah! Ibuku sudah tiada, ayahku juga sudah tiada. Aku tidak punya kakak tak
punya adik. Rumah pun sekarang sudah tak punya. Jadi ke mana saja aku pergi tak
ada yang melarang, tak ada yang kupikirkan lagi!"
"Terserah kau kalau mau
ikut aku!" Suto Sinting segera bergegas pergi dengan berjalan kaki
menyusuri tepian tanggul. Pande Bungkus mengikutinya Semen-tara itu terdengar
seruan Gembong Alas yang sedang nongkrong di tepi sungai dengan kesibukannya
yang tak bisa ditinggalkan lagi itu.
"Hoooiii...! Tunggu!
Jangan pergi kau! Kau harus menerima balasanku! Akan kubuat perutmu lebih mules
dari perutku iiiinni...!" sambii napas menghentak ba- gaikan menemukan
kelegaan. Pande Bungkus hanya tertawa geli.
Pendekar Mabuk sempat bertanya
dalam perja-lanannya, "Gembong Alas menuduhmu mendapatkan pedang pusaka.
Apa benar kau sedang mengejar pedang pusaka? Dan pedang apa itu namanya? Siapa
pemiliknya?"
"Memang benar, Kang.
Pedang itu bernama Pedang Panah Aji, milik seorang ketua perampok bernama si
Darah Hitam. Beberapa waktu yang lalu, kabarnya Darah Hitam sudah mati terbunuh
oieh orang-orang I Perguruan Pisau Kilat, yaitu perguruannya Gembong Alas.
Lalu, pedang itu buat rebutan orang-orang Perguruan Pisau Kilat. Mereka
bertarung sendiri-sendiri sampai akhirnya pedang itu jatuh ke ngarai, hanyut
terbawa banjir. Aku melihatnya, lalu kukejar dengan cara menceburkan diri ke
sungai. Aku lupa kalau aku ini tidak bisa berenang. Maka pedang itu tenggelam
entah ke mana dan aku sendiri juga tenggelam entah bagaimana."
"Hmmm...," Suto
Sinting manggut-manggut. "Apa keistimewaan pedang itu?"
"Kabarnya, kalau pedang
itu disentakkan ke de-pan, bisa keluarkan panah dalam bentuk sinar merah. Kalau
kena orang bisa bikin orang itu hancur jadi debu. Cuma itu kehebatan Pedang
Panah Aji, tapi banyak yang ingin memiiikinya."
"Termasuk kau
sendiri?"
Pande Bungkus tersenyum malu.
"lya, Kang. Mak-sudku, kalau aku punya Pedang Panah Aji, aku bisa jadi
orang sakti, Kang. Tak takut melawan siapa pun."
"Apa kau pandai main
pedang?"
"Ah, Kang Suto ini
menghina apa menyindir? Mana bisa aku bermain pedang?"
"Apakah gurumu tidak
mengajarkan bermain pedang? Bukankah kudengar tadi kau adalah murid Gelung
Gesang?!"
"Memang guruku bernama
Gelung Gesang, tapi tak pernah ajarkan iimu silat apa-apa, Kang."
"Lho, jadi apa yang kau
pelajari dari si Gelung Gesang itu?"
"Aku belajar membaca,
Kangl" jawab Pande Bungkus polos sekaii. "Dan sekarang aku menjadi
pemuda yang sudah bisa membaca, Kang!" la tampak bangga.
Pendekar Mabuk manggut-manggut
sambii menahan tawa geli. Tawa itu terhenti bersama langkah Suto dan Pande
Bungkus, karena tiba-tiba di depannya sudah berdiri dua sosok tubuh yang
agaknya sengaja menghadang Suto. Tapi Suto bertanya dalam hatinya, "Siapa
yang dihadang? Aku atau Pande Bungkus?"KALI ini Pande Bungkus tidak merasa
takut sedikit pun walau dihadang oleh dua orang di depannya. Karena kedua orang
penghadang itu adalah gadis-gadis cantik yang punya bentuk tubuh aduhai dan
pakaiannya sangat membuat kepala nyut0nyutan.
Suto Sinting berbisik kepada
Pande Bunykus, "Kau kenal mereka?" "Belum, Kang. Tapi aku
sanggup kenalan dengan mereka lebih dulu."
Suto Sinting menggerutu tak
jelas, Pande Bungkus hanya cengar cengir malu, tapi matanya seakan tak mau
lepas dari pandangan ke depannya. Karena di depan sanalah sebentuk keindahan
yang mendebarkan hati bagaikan dipamerkan oieh kedua gadis cantik itu.
Mereka sama-sama mengenakan
pakaian jubah tipis membayang. Bentuk bagian dalam jubah itu terlihat
samar-samar, sebagai bagian penutup dada mereka hanya kecil saja. Hanya menutup
bagian yang membu-sung saja, sedangkan tali pengikatnya kain berukuran kecil.
Demikian pula penutup bawahnya kecil saja, seakan hanya menutup bagian yang
perlu saja. Semua penutup itu berwarna kuning. Bukan hanya bentuk tubuh mereka
yang tampak samar-samar tapi warna kulit mereka yang putih mulus pun terlihat
jelas.
Yang satu berambut panjang
warna kuning keemasan. Si rambut pirang itu kenakan jubah tipis warna merah
jambu. Rambutnya yang panjang lurus sebatas punggung itu dililit ikat kepala
dari tali sutera warna hitam, mempunyai bandul batu hijau giok di keningnya
sebesar biji sawo. ia bersabuk rantai emas lebar. Sa-buk itu digunakan untuk menyelipkan
pedang pendek. Gagang dan sarung pedang terbuat dari gading polos tanpa ukiran.
Ujung gagangnya dihiasi ronce-ronce benang sutera warna merah. Celana panjang
yang dikenakan seperti kain tipis karena berukuran longgar, komprang-komprang.
Satunya lagi berambut hitam
lembut dan tampak berkilauan, panjangnya selewat pundak, bagian depannya
diponi. Jubah tipisnya berwarna biru muda, celana tipisnya juga biru muda,
penutup bagian-bagian yang penting berwarna kuning, juga hanya tertutup
seperlunya saja. Pedangnya berwarna perunggu dengan ujung gagangnya
beronce-ronce benang biru. Kepalanya tanpa tali pengikat dan batuan giok.
Keduanya sama-sama berhidung
mancung, hanya saja yang berambut pirang berbibir sedikit tebal tapi menggoda
hati lelaki, yang berambut hitam berbibir mungi! menggemaskan hati lelaki. Yang
berambut pirang punya mata kebiru-biruan, yang berambut hitam punya mata hitam
bening dan mengenakan kalung dari tali sutera warna hitam dengan bandul batuan
giok hijau, seperti yang diikatkan di kepala si rambut pirang.
Tipisnya pakaian mereka
membuat Pande Bungkus sering lupa kedipkan mata. Secara jujur Pendekar Mabuk
akui bahwa hatinya bergetar meiihat penampilan dua gadis seronok berusia
sekitar dua puluh tiga tahun itu. Tubuh mereka tinggi, sesuai dengan sekalnya
tubuh, tapi tidak lebih tinggi dari Suto. Sejajar dengan tingginya badan
Pendekar Mabuk.Mereka tampil bersebelahan dengan kaki merenggang dan kedua
tangan dikaitkan pada sabuk rantai di depan pusarnya yang tampak samar-samar
itu. Gaya berdirinya yang tenang berkesan menantang hasrat lelaki, sehingga
Pande Bungkus berulangkali berdecak lirih, membuat telinga Suto menjadi risi.
"Jangan berdecak begitu!
Memalukan!" bisik Suto Sinting daiam hardikan.
Kemudian ia kembali menatap
wajah cantik dua gadis di depannya yang tampak kalem-kalem saja itu. Si pirang
segera berkata dengan mata tertuju pada Pendekar Mabuk.
"Siapa di antara kalian
berdua yang bergelar Pendekar Mabuk?"
Pande Bungkus menjawab,
"Terserah kalian. Yang mana saja boleh. Dia boleh, aku juga boleh!"
Suto menyikut rusuk Pande
Bungkus dengan gerakan tak terlihat. Pande Bungkus menyeringai dan undurkan
diri satutindak. Suto Sinting bertanya, "Ada perlu apa kau mencari
Pendekar Mabuk?"
"Ada suatu keperluan
penting yang tak perlu diketahui orang iainl" jawab si rambut pirang.
"Katakan saja, yang mana yang bernama Pendekar Mabuk?"
Si rambut hitam menyahut,
"Atau keduanya bukan Pendekar Mabuk?"
Suto Sinting diam sejenak dan
membatin, "Kellhat-annya mereka sangat penasaran dan ingin bertemu
denganku. Tapi apa perlunya? Kalau dilihat dari caranya bersikap yang sedikit
ketus walaupun kalem, agaknya dua orang itu punya masalah denganku. Tapi aku
tidak mengenal mereka? Hmm... sebaiknya kuakui saja siapa Pendekar Mabuk. Kalau
mereka ternyata macam-macam, kulumpuhkan juga nantinya. Tapi... rasa-rasanya
sayang sekali kalau harus memukul dua tubuh aduhai itu."
Kenakalan pikiran Suto Sinting
adalah kenakalan yang wajar terjadi pada pemuda seusianya. Namun kenakalan
pikiran itu akhirnya cepat-cepat disingkirkan dari benaknya, dan Suto Sinting
segera menjawab pertanyaan tadi.
"Aku yang bergelar
Pendekar Mabuk!"
Dua gadis cantik yang
menggiurkan hati itu sama-sama diam. Tidak ada gerakan apa pun kecuali saling
memandang satu arah, yaitu ke wajah Suto Sinting. Tentu saja Suto merasa aneh,
dan Pande Bungkus pun merasa heran. Baru saja Pande Bungkus mau berbisik kepada
Suto Sinting, tiba-tiba tangan kanan si rambut hitam menyodok ke depan dalam
keadaan empat jari merapat terbuka, telapak tangan menghadap tanah, jempolnya
terlipat ke samping. Suuuttt...!
Clap, clap...!
Dua sinar kuning emas melesat
dari ujung jari tangan tersebut. Keduanya sama-sama mengarah ke dada Suto
Sinting. Pande Bungkus cepat gulingkan badan ke samping dengan rasa takut dan kagetnya.
Tapi Pendekar Mabuk tetap berdiri di tempat. Tangannya berkelebat, bumbung
tuaknya tahu-tahu sudah meng-hadang di depan dada dalam genggaman satu tangan.
Dua sinar kuning emas itu menghantam bumbung tuak tersebut. Tuub, tuub...!
Sinar-sinar itu membalik arah dalam bentuk lebih besar dan lebih cepat.
Zraab, zraab...!
Kedua gadis cantik itu
tersentak kaget, lalu keduanya segera melesat ke samping kanan kiri dan dua
sinar kuning emas itu menghantam satu pohon besar yang tumbuh berjarak delapan
langkah dari mereka. Blegaarrr...!
Pohon besar itu hancur menjadi
serbuk coklat yang berhamburan. Tak sehelai daun pun yang tersisa utuh. Kedua
gadis itu memandang dengan mata melebar penuh rasa heran dan kagum, sebab
mereka tak menyangka kalau sinar kuning emasnya bisa membuat pohon besar
menjadi lembut dalam sekejap. Padahal biasanya sinar kuning emas itu jika
mengenai pohon hanya akan membuat pohon itu terbakar hangus seketika, menjadi
arang yang masih tegak menunggu hembusan angin kencang baru roboh.
Dua gadis itu segera berpaiing
kemball ke arah Suto Sinting. Wajah mereka masih menampakkan sisa ter-cengang.
Tapi sikap mereka sudah meiunak, tidak se- kaku tadi. Hanya saja, tiba-tiba si
rambut pirang berkelebat ke samping dalam satu lompatan dan tangannya menyambar
sesuatu yang meleset melayang dengan cepat menuju ke dada Suto Sinting
Wuuuttt...! Teebbb...!
Sebilah pisau terbang
tertangkap di tangan kirinya. Meiihat bentuk pisau yang berukuran satu jengkai
itu, Suto Sinting dan Pande Bungkus segera tahu bahwa si pelemparnya pasti
Gembong Alas. Mungkin orang gemuk itu sudah selesai dengan kesibukannya di tepi
sungai tadi, lalu menyusul mengejar Suto dan Pande Bungkus.
Si rambut poni berkata kepada
si rambut pirang, "Jarha rango tui!"
"Ngomong apa dia,
Kang?"
"Entah!" Suto
Sinting angkat bahu. Tapi mereka berdua sama-sama melihat si rambut pirang
menghentamkan kedua tangannya ke arah tanah semak belukar. Wuuusss...! Tenaga
dalam bergelombang besar dilepaskan dan membuat semak belukar itu bagaikan tercabut
dan tersentak ke atas. Terdengar pula suara orang memekik tertahan dari balik
semak.
"Uuhhg...!"
Kemudian terlihat sekelebat
tubuh gemuk terlempar dari semak itu, jatuh berguling di depan kaki si rambut
pirang. Gembong Alas tak bisa bersembunyi lagi. la terkapar di depan si rambut
pirang. Dan kaki si rambut pirang segera diangkat untuk menginjak dada Gembong
Alas.
"Tahan...!" seru
Suto Sinting yang membuat kaki berbetis indah itu tak jadi dihentakkan ke dada
Gembong Alas.
Pendekar Mabuk bergegas dekati
rambut pirang. Saat itu tangan si rambut pirang mencengkeram baju Gembong Alas
dan mengangkatnya dengan ringan sekali hingga Gembong Alas berdiri. Pande
Bungkus terperangah dan membatin,
"Gila! Dia angkat Gembong
Aias yang gemuk begitu seperti mengangkat jemuran jatuh saja?! Pakai tenaga apa
gadis itu, ya?"
Tangan kiri rambut pirang
ingin menghantam dada Gembong Alas, tapi Pendekar Mabuk segera cekal tangan itu
dari samping. Taab...! Mereka beradu pandang.
"Jangan!" kata Suto.
"Dia ingin
membunuhmu!"
Dia tidak sadar akan
kesalahannya. Lepaskan dia. Kalau masih membandel, biar kuberi pelajaran yang
lebih berat dari pelajaran pertamaku tadi."
Gembong Alas terengah-engah
dengan wajah pucat. la melirik si rambut pirang dengan cemas, kemudian melirik
Suto Sinting lebih cemas lagi. Suto Sinting hanya berkata,
"Kau ingin ke tepi sungai
lagi? "
Gembong Alas gemetar dan
geleng-geleng kepala dengan mulut melongo.
Kuharap kau tidak menggangguku
lagi, juga tidak mengganggu Pande Bungkus. Apa yang kau cari benar-benar tak
ada pada kami. Paham?l"
"Iiy... iya... paham
sajalah!" jawabnya sambii meng-angguk-angguk takut.
"Apa yang kau cari ada di
dalam sungai, mungkin hanyut, mungkin tenggelam di tempatnya jatuh. Cari saja
di sana I"
"Iiy... iya...
permisl...!" Gembong Alas menunduk-nunduk dalam langkahnya meninggalkan
tempat itu. Menengok ke arah dua gadis cantik sebentar, ketika didekati si
rambut pirang,
Gembong Alas jera dan cepat
larikan diri menerabas semak ilalang. Brruus...! Duugh...!
Aaauw...!" pekiknya dari
dalam semak ilalang. la tak tahu kalau di balik kerimbunan semak itu ada
gugusan batu setinggi tubuh Suto Sinting. Keningnya membentur gugusan batu itu
dan membuatnya membelok arah dengan serangkaian sumpah serapah tak jelas.
Kini sang pendekar tampan
memandang si pirang dengan wajah tetap tidak bermusuhan. Pendekar Mabuk
berusaha menenangkan getaran hatinya akibat pandangan matanya yang beradu
dengan si pirang ber-mata kebiruan itu.
"Siapa kalian sebenarnya?
Mengapa tadi menyerangku dan sekarang membelaku?" tanya Suto Sinting
sambii biarkan Pande Bungkus mendekatinya dari arah samping kanan.
"Aku bernama Jelita
Buleningtyas," kata si rambut pirang bermata biru. "Panggil saja
Jelita Bule. Dan dia temanku bernama...."
"Pesona Indah,"
jawab si rambut hitam yang tadi menyerang Suto. Pande Bungkus tertawa pelan dan
berkata takut-takut, "Namanya mirip nama perkampungan orang-orang
kadipaten. Pesona Indah. Hi hi hi hi "
"Siapa namamu, Bocah
Tampan?" tanya Pesona Indah kepada Pande Bungkus sambii tersenyum bagai
menyindir sinis.
"Namaku...? Hmmm...
namaku Arya Suteja Laksana."
"Kudengar tadi Pendekar
Mabuk memanggiimu Pande Bungkus?!"senyum Pesona Indah makin mengejek.
Pande Bungkus tersipu malu, sedikit tundukkan wajah.
"Hmmm... ya, memang. Tapi
itu nama kecilku. Nama yang sekarang...."
Pesona Indah cabut pedang
separo bagian. Mata Pande Bungkus membelalak seketika. Lalu dengan gugup ia
menjawab, "Iiiiy... iya! Memang namaku yang sekarang ya tetap Pande
Bungkus. Jangan marah dulu, Nona!"
Craakk...! Pedang perunggu
dimasukkan kembaii dalam satu sentakan diiringi senyum geli Pesona Indah. Anak
muda itu sangat malu dtertawakan oieh Jelita Bule dan Suto Sinting.
Kemudian terdengar suara
Pesona Indah berkata kepada Pendekar Mabuk,
"Maaf atas seranganku tadi.
Aku hanya ingin meyakinkan apakah kau benar-benar Pendekar Mabuk yang asli atau
palsu. Sebab kami tak mau terkecoh oleh tipuan beberapa orang yang pernah kami
temui."
Apakah kalian pernah temui
orang yang mengaku Pendekar Mabuk?"
"Ya," jawab Jelita Bule.
"Empat orang pemuda mengaku bernama Pendekar Mabuk, tapi sebenarnya bukan,
dan mereka hanya ingin melampiaskan hasratnya kepada kami. Ketika kami coba
dengan jurus "Kencana Lepas', mereka terluka dan kami terpaksa obati luka
mereka lalu meninggalkannya."
Pesona Indah menimpali,
"Kabar yang pernah kami dengar, Pendekar Mabuk bisa kembalikan serangan
dengan lebih cepat dan lebih dahsyat. Ketika kucoba menyerangmu, ternyata kau
bisa kembalikan jurusku dengan lebih dahsyat. Maka kami percaya bahwa kau adalah
Pendekar Mabuk. Ciri-cirimu pun persis seperti apa kata orang-orang yang kami
dengar di rimba persilatan Ini."
"Nyatater pantam
gaju!" kata Pesona Indah kepada Jelita Bule.
"Vangsa dakti tehbo taki
dago!"
"He-eh...," jawab
Pesona Indah sambii tersenyum kecil. Keduanya jika tersenyum sama-sama
bertambah cantik dan menjerat hati.
"Ngomong apa dia itu,
Kang?" bisik Pande Bungkus yang penasaran dengan bahasa kedua gadis itu.
"Mungkin mereka gunakan
bahasa Purba Kunol Aku tak tahu bahasa itu," bislk Suto Sinting pelan
sekali.
Kedua gadis itu memang punya
bahasa sendiri, yaitu bahasa yang berlaku di negeri mereka. Bahasa tersebut
sebenarnya tidak sulit dlartikannya, karena suku katanya hanya dibalik saja.
Sebuah kata 'Sayang' diucapkan menjadi 'Yangsa dan begitu seterusnya. Pendekar
Mabuk tidak menyangka kalau bahasa itu hanya bahasa pembalikan suka kata,
sehingga ia hanya diam saja ketika kedua gadis itu membicarakan ketam-panannya.
"Baik, sekarang apa mau
kalian setelah bertemu denganku?" tanya Suto agar tidak dijadlkan bahan
percakapan rahasia lagi.
Jelita Bule menjelaskan,
"Kami mendengar kabar bahwa Pendekar Mabuk adalah juga seorang tabib sakti
yang cukup ampuh dalam penyembuhannya."
Pendapat itu terlalu
berlebihan. Aku bukan tablb. Aku hanya seorang penegak keadilan dan pembela
kebenaran," kata Suto dengan senyum merendah diri.
"Aku tak percaya,"
kata Jelita Bule. Senyumnya mekar menylmpulkan sanjungan batln untuk Suto
Sinting. "Banyak orang berkata, Pendekar Mabuk adalah Tabib Darah Tuak.
Kesembuhannya dijamin cepat
dan mujarab. Kebetulan sekarang ratu kami sedang dalam ke-adaan sakit karena
terkena Racun Bulan Madu."
"Apa...?!" Pande
Bungkus menyela kata dalam nada heran.
"Racun Bulan Madu"
tegas Pesona Indah.
"Jangan-jangan ratu
kalian hanya terkena sawan pengantin?!" ujar Pande Bungkus dengan
sungguh-sungguh.
Suto segera memotong
percakapan Pande Bungkus dengan berkata kepada Pesona Indah,
"Siapa ratu kalian? Dan
dari negeri mana kalian berdua sebenarnya?"
"Ratu kami adalah Ratu
Rangsang Madu yang berkuasa dl Negeri Malaga."
"Di mana itu Negeri
Malaga?"
"Di Pulau Selayang,"
jawab Jelita Bule.
Suto Sinting berkerut dahi,
karena merasa asing dengan nama Pulau Selayang. Sementara itu, Pande Bungkus
yang selalu ingin terlibat pembicaraan dengan kedua gadis cantik itu menyela
kata kembali,
"Ratu Rangsang Madu
terkena Racun Bulan Madu? Wah, pas itu! Cocok sekali dengan namanya!"
"Bulan madu bukan berarti
madu yang harus diminum oieh sang rembulan!" gerutu Pesona Indah dengan
cemberut jengkel kepada Pande Bungkus. Anak muda itu hanya menghindari tatapan
mata sambii terki-kik pelan. Pesona Indah yang diam- diam sering mencuri
pandang terhadap ketampanan Pande Bungkus itu segera mengulum senyum dalam
kecemberutannya.
"Apa yang terjadi pada
diri seseorang yang terkena Racun Bulan Madu?" tanya Suto Sinting. Jelita
Bule yang menjawab dengan suaranya yang bernng,
"Racun Bulan Madu membuat
seseorang menjadi gila. Setiap malam tiba, sejak matahari tenggelam, ia selalu
bernafsu memakan tubuhnya sendiri. Apa yang ada di tubuhnya selalu ingin
dikunyah dan ditelannya. Karena itu setiap menjelang matahari tenggelam, kami
selalu memasung ratu kami agar ia tidak bisa berontak untuk memakan anggota
tubuhnya sendiri."
"lih...!" Pande
Bungkus bergidik sendiri.
Suto Sinting hanya berkerut
dahi, lalu bertanya, "Siapa pemilik Racun Bulan Madu Itu?"
"Tokoh sakti beraliran
hitam; Nyai Sunti Rahim."
Suto Sinting tersentak kaget
mendengar nama itu, sebab ia ingat bahwa Nyai Sunti Rahlm adalah guru dari
Perawan Maha Sakti yang memiiiki ilmu 'Darah Gaib' dan ilmu 'Bias Dewa'. Kedua
ilmu itu memang telah dilenyapkan oieh siasat Suto Sinting, tapi agaknya sang
Nyai sendiri membahayakan bagi orang lain. Ilmunya dapat membuat setiap orang
mati bunuh diri karena Racun Bulan Madu itu, (Baca serial Pendekar Mabuk
episode: "Perawan Maha Sakti").
"Apa yang membuat Ratu
Rangsang Madu diserang Nyai Sunti Rahim?"
"Nyai Sunti Rahim
mengincar para prajurit Negeri Malaga yang masih gadis. la ingin turunkan ilmu
yang hanya bisa dimiliki oleh para gadis yang benar-benar masih perawan "
"'Darah Gaib' dan 'Bias
Dewa'?!" sahut Suto. "Tepat sekali. Rupanya kau sudah mengenal kedua
jurus itu?!" kata Jeiita Bule.
"Hanya mengenal namanya
saja," kata Suto Sinting tak mau tonjolkan diri bahwa ia pernah
melenyapkan kedua jurus itu dengan sebuah siasat.
Pesona Indah menyambung kata,
"Pihak kami tak ada yang mau menjadi murid Nyai Sunti Rahim. Sang Ratu pun
menentangnya, hingga terjadi pertarungan yang membuat sang Ratu terkena Racun
Bulan Madu."
Jelita Bule menambahkan kata
lagi, "Racun itu tak bisa disembuhkan dengan cara apa pun. Menurut para
tabib yang pernah kami mintai bantuannya, juga para peramal yang kami temu,
Racun Bulan Madu kalahnya dengan darah seorang pendekar tanpa pusar. Yang kami dengar,
pendekar tanpa pusar itu berjuluk Pendekar Mabuk."
Suto Sinting terkesiap
memandang kedua gadis cantik yang berpakaian menggoda iman itu. Mulutnya
terbungkam sesaat. la dipandangl oleh Pande Bungkus. Kejap berikutnya
terdengar suara Pande Bungkus berbisik,
"Jangan mau ke sana,
Kang. Nanti kau mati diambil darahnya!"
Pendekar Mabuk masih diam
membisu, berdiri mematung dengan bumbung tuak menggantung di pundak kanan dan
kedua tangannya terlipat di dada. Lengan tangannya tampak kekar dan berotot. Kakinya
sedikit me-renggang bagaikan tak akan tergoyahkan walau terhempas badai.
"Dengan rendah hati kami
mohon kau mau datang untuk sembuhkan ratu kami," Jelita Buie memohon
dengan suara lembut.
"Kami tidak terlalu
banyak memohon kerelaanmu," ujar Pesona Indah. "Kami hanya memohon
darahmu. Toionglah ratu kami itu, Pendekar Mabuk yang budiman"
Suto Sinting masih diam. la
membatin, "Meinbutuhkan darahku berarti membutuhkan kematianku? ini sebuah
tantangan atau permohonan? Tak jelas maksudnya. Kalau hanya setetes dua tetes,
mungkin bisa kuberikan. Tapi kalau dia menginginkan semua darahku, sa-ma saja
dia menginginkan kematianku? Apakah aku harus turuti; berkorban demi ratu
mereka yang tidak punya hubungan apa-apa denganku itu?"
Renungan Pendekar Mabuk menjadi
buyar mendadak karena tiba-tiba dari arah belakang kedua gadis itu melesat
sebuah sinar merah bergelombang- gelombang. Sinar itu melebar sehingga satu
hantaman bisa kenai kedua gadis utusan Ratu Rangsang Madu.
Suto Sinting yang melihat
kelebatan sinar merah itu segera sentakkan napas ke perut, tubuhnya terbang
melayang ke atas dan bersalto satu kali melintasi kepala dua gadis itu.
Wuuukkk...!
Begitu tiba di belakang gadis
itu secara beradu punggung, Suto Sinting segera lepaskan pukulan 'Tangan
Guntur'-nya yang memancarkan sinar biru besar dari telapaknya itu.
Claaapp...! Blegaarrr...!
Dentuman hebat terjadi.
Gelombang panas meng-hentak kuat, membuat tubuh Suto Sinting tersentak ke
belakang menabrak tubuh dua gadis itu, dan tubuh dua gadis itu melayang jungkir
balik dengan cepatnya. Jleg, jleg...! Keduanya mampu kuasai keseimbangan dengan
cepat dan berdiri dengan tegak. Sedangkan Pande Bungkus terlempar jauh masuk ke
semak-semak dan mengerang di sana.
Suto Sinting terjungkal ke
tanah dengan wajah membiru dan darah keluar dari lubang hidungnya. ia mengerang
panjang saat berusaha untuk bangkit.
Rupanya sinar
bergelombang-gelombang tadi mempunyai kekuatan amat dahsyat sehingga jurus
'Tangan Guntur' tak mampu menahannya di pertengahan jarak. Gelombang ledakannya
masih mengandung kekuatan tenaga dalam cukup tinggi, sehingga Suto Sinting
terluka dalam, wajahnya pucat membiru.
Sebentar kemudian ia segera
memuntahkan darah kental dari mulutnya saat berusaha berlutut dengan satu kaki.
Bumbung tuaknya sendiri sempat terpentai lepas dari pundak dan tergeletak dalam
jarak dua jangkauan dari tempatnya berlutut.
"Rangse honpo bubam
tui!" (Serang pohon bamboo itu).
Maka Jelita Bule dan Pesona
Indah segera lepaskan jurus 'Kencana Lepas' yang berwarna kuning keemasan itu.
Slaaapp...! Blegaarrr...!Dari semak belukar itu muncul sesosok tubuh ramping
dengan pakaian kuning gading. Pakaian itu dilapisi jubah longgar berwarna
abu-abu. Seorang perempuan berambut putih uban merata berdiri tegak di depan
kedua gadis utusan Ratu Rangsang Madu. Wajahnya masih cantik, hidungnya kecii
bangir, bi-birnya mungil, tubuhnya sekai montok, tapi sebenarnya usia sudah
cukup banyak. Di atas tujuh puluh tahunan. Rambut uban rata yang meriap ituiah
bukti bahwa ia sudah berusia lanjut.
"Nyai Sunti Rahim!"
geram Pesona Indah. "Apa maksudmu menyerang Pendekar Mabuk, hah?!"
Nyai Sunti Rahim sunggingkan
senyum sinis. "Pancinganku mengenai sasaran," katanya.
"Kalau yang kuserang dia,
maka dia punya banyak waktu untuk bergerak dan bertimbang pikir dalam menangkis
seranganku. Tapi jika yang kuserang kalian berdua, maka dia akan berusaha
selamatkan kaiian dengan ge-rakan naluri yang tak sempat bertimbang pikir lagi.
Ter-nyata perhitunganku tidak meleset! Dia akan mati oieh 'Racun
Garang'-ku!"
"Kejam kau!" geram
Pesona Indah yang sangat bernafsu ingin membaiasnya.
Suto Sinting mendengar semua
ucapan itu walau pandangan matanya samar- samar karena sedang dihancurkan oleh
racun sinar bergelombang merah tadi. la berusaha meraih bumbung tuaknya. Tetapi
Nyai Sunti Rahim berkelebat cepat menendang bumbung tuak itu. Duuss...! Bumbung
tuak jatuh ke jurang, di mana dasar jurang itu adalah aliran sungai yang
membanjir tadi.
"Aaahhg...!" Suto
Sinting mengerang sambii ter-sungkur karena tangannya tak berhasii meraih
bumbung tuak itu. Wajahnya kian membiru dan matanya sudah mulai semburat merah.
Jelita Bule segera lepaskan
pukulan tenaga dalam tanpa sinar ke arah Nyai Sunti Rahim. Tetapi dengan cepat
Nyai Sunti Rahim sentakkan tangan kirinya bagaikan menepis sesuatu. Sentakan
itu mengeluarkan gelombang tenaga dalam tanpa sinar juga, sehingga kedua
gelombang tenaga dalam itu saling berbenturan di udara. Baangg...!
Tapi dua jari Nyai Sunti Rahim
segera disentakkan ke depan. Dua jari kanan itu melesatkan sinar merah lurus ke
arah Jelita Bule. Slaapp...! Pesona indah segera menerjang sinar merah itu
dengan tangan menyentak ke depan melepaskan sinar hijau lebar. Biaarrr...!
"Uuhg...!"
Pesona Indah terlempar ke
atas, melayang dl udara dalam keadaan tak berkutik lagi. Darah menetes dari
mulutnya. Jelita Bule segera sentakkan kaki dan melompat menyambar tubuh Pesona
Indah. Wuuusss...! Tetapi gerakan melesat naik ternyata lebih cepat dilakukan
oleh Nyai Sunti Rahim. Wuuutt...!
Dalam kejap berikutnya, tubuh
Pesona Indah sudah di tangan Nyai Sunti Rahim. Kaki Nyai Sunti Rahim yang masih
melayang Itu segera lepaskan tendangan ke arah dada Jelita Bule yang juga dalam
keadaan masih melayang tak berhasii menyambar tubuh temannya.
Deegh...!"Ahhg...!"
tubuh Jelita Bule tersentak ke belakang karena tendangan bertenaga dalam besar
itu. Begitu ia jatuh ke tanah terpuruk di bawah sebuah pohon, ia langsung
muntahkan darah segar dari mulutnya. Sementara Pesona indah sudah berada di
atas pundak Nyai Sunti Rahim.
"Lepaskan dia!"
Jelita Bule masih bisa berseru mengancam dengan mencoba bangkit dan
sempoyongan. ia segera jatuh terhuyung bagaikan tanpa tenaga.
"Aku tidak akan lepaskan
temanmu Ini! Aku yakin dia masih perawan dan akan kujadikan muridku untuk
menerima ilmu andalanku! Kalian nanti akan dlbunuh semua oleh gadis Ini. Dia
akan menjadi muridku yang menurut apa kataku!"
"Keparat kau, Sunti
Rahim!" geram Jelita Bule yang berusaha bangkit lagi, namun kakinya
bagaikan tak bertulang. Brruk...! la jatuh kembali dengan darah semakin banyak
yang keluar dari mulutnya.
"Dan kau, Pendekar
Mabuk...!" Nyai Sunti Rahim menuding Suto Sinting yang menggeliat
kesakitan. "Seharusnya kau mati di depan gurumu karena muridku Perawan
Maha Sakti Itu akhirnya tak tertolong juga karena ulahmu melenyapkan kedua ilmu
itu, dan melenyapkan nyawa muridku. Aku tak sabar meiihat lagakmu yang
seolah-olah tersakti dl seluruh jagat ini! Kau akan matl membusuk dalam waktu
singkat! Gurumu akan kukabari 'Jalur Batin', biar dia tahu bahwa Nyai Sunti
Rahim bukan orang selemah dulu! Kau tak akan bisa sembuhkan Ratu Rangsang Madu
jika darahmu sudah membusuk bersama ragamu!"
Slaaap...!
Nyai Sunti Rahim lenyap bagal
ditelan bum! sambii memanggul Pesona Indah. Gerakannya yang begitu cepat hanya
bisa dilihat oleh mata kebiruan si Jelita Bule sebagai sinar kuning yang lenyap
begitu saja.
"Kaaang...! Kang
Sutooo...!" ratap suara di semak-semak. Pande Bungkus merangkak keluar
dari semak-semak itu dengan wajah pucat. Hanya dia yang tidak keluarkan darah
dari bagian tubuhnya karena hanya terkena sisa hentakan gelombang berdaya ledak
tinggi tadi. la hanya merasakan mual, pusing, dan lemas di sekujur tubuh.
la merangkak mendekati Suto
Sinting bersamaan dengan gerakan Jelita Bule yang duduk merayap mendekati Suto
juga. Jelita Bule mencoba mengangkat kepala Suto Sinting yang kian membiru itu.
Napas Suto Sinting tinggal sedikit. Bau busuk mulai menyebar keluar dari
pori-pori tubuh Pendekar Mabuk.
Jelita Bule segera kerahkan
tenaga hawa murninya untuk sembuhkan luka parahnya Pendekar Mabuk. Tetapi
ketika ia lakukan hal itu, tiba-tiba kepalanya tersentak dan darah keluar dari
mulutnya lagi. Brruuss.,.! Arahnya tepat di depan wajah Pande Bungkus yang
merangkak itu. Akhirnya wajah Pande Bungkus tersembur darah dan menjadi merah
berlumuran
"Nasib...!" ucapnya
dengan sedih dan suara berat.
Agaknya Jelita Bule tak bisa
gunakan hawa murninya karena tendangan tadi tepat kenai jantung dan pernapasan.
la menjadi tambah bingung meiihat Suto Sinting semakin meredupkan mata. Bagian
telinganya mulai tampak menghitam.
"Celaka...!" ucap
Jelita Bule dengan nada sedih. "Dia... akan membusuk dan mati...!"
"Kaaang...!" rengek
Pande Bungkus dengan hati iba. "Jangan mati sekarang, Kang Suto.
Nanti-nanti saja...!"
Jelita Bule tarik napas
pelan-pelan dengan mena-han rasa sakit di dada. Kemudian ia berusaha memangku
kepala Suto Sinting yang sudah tak ingat apa-apa lagi itu. Napas yang
terengah-engah berat dipakainya untuk bicara pelan kepada Pande Bungkus.
"Lekas, cari obat
untuknya! Cari...!"
"Obat apa?" tanya
Pande Bungkus dengan nada suara sedih bagai mau menangis.
"Apa saja! Apa yang kau
tahu tentang pengobatan, cobalah untuk mengobati Pendekar Mabuk ini!
Lekas...!"
"Bagaimana... bagaimana
kalau daun jambu batu? Kulihat di sebelah sana tadi ada pohon jambu batu!
Pucuk-pucuk daun yang masih muda biasanya buat menyumbat orang yang sakit
buang-buang air. Siapa tahu bisa untuk menyumbat darah Kang Suto Sinting biar
tak keluar terus."
"Tidak bisa! Daun itu
tidak berguna. Dia akan membusuk karena racun itu!" Jelita Bule bicara
dengan susah payah. "Cari seekor uiar!"
"Apa?! Ular...?!
Hiii...!" Pande Bungkus bergidik dan gelengkan kepala. "Lainnya ular
saja, Nona!"
"Tak bisa, Pande! Harus
ular berbisa. Akan kuambil bisa ular itu dan kumasukkan untuk melawan racun
dalam tubuh Pendekar Mabuk ini!"
"Aku tidak berani pegang
ular, Nona. Tidak berani! Lainnya ular saja. Kalau... kalau ayam hutan
bagaimana?!"
"Cari ular,
iekaasss...!" Jelita Bule jengkel dan membentak sebisa-bisanya. Pande
Bungkus ketakutan, apalagi Jelita Bule mendelik dan menyemburkan darah lagi.
Maka Pande Bungkus pun segera pergi dengan langkah terhuyung-huyung masuk ke
rimbunan semak.
"Pendekar Mabuk...!
Pendekar Mabuk, sadarlah...!" Jeiita Bule tampak cemas sekali. la
menepuk-nepuk pipi Suto Sinting, tapi mata Suto Sinting hanya bisa terbuka
sedikit, lalu meredup lagi, tak bisa bicara atau mengerang.
Tiba-tiba dari arah jurang
melesat sesosok bayangan putih yang melenting tinggi dan bersalto satu kali.
Wuukkk...! Bayangan putih itu menapakkan kaki-nya ke tanah tanpa suara. Jelita
Buie memandangl dengan terpana. Hal yang membuatnya heran lagi adalah bumbung
tuak itu ternyata sudah ada di tangan orang tersebut.
Dia adalah seorang kakek
berpakaian serba putih. Kakek misterius itu muncul lagi membawa bumbung tuaknya
Suto yang tadi ditendang Nyai Sunti Rahim masuk ke jurang. Dari tempatnya
berpijak, kakek serba putih melangkah tertatih-tatih dengan lamban. Begitu tiba
di depan Jelita Bule, ia menyodorkan bumbung tuak itu sambii berkata,
"Berikan minuman ini
untuknya. Masukkan ke mulut, jangan ke mata...!" Jelita Bule bagaikan bisu
sejenak. ia hanya mengangguk-angguk dalam keadaan masih tertegun memandangi
kakek yang tak dikenalnya itu. Setelah menerima bumbung tuak, maka dengan
pelan-pelan Jelita Buie menuangkan tuak ke mulut Suto Sinting yang ternganga
sedikit untuk jalan napasnya itu.
"Siapa yang membuatnya
menjadi seperti ini?"
"Nyai Sunti Rahim,"
jawab Jelita Bule pelan dengan hentikan meminumkan tuak ke mulut Suto Sinting.
Kakek serba putih itu
melangkah ke belakang Jeiita Bule sambii berucap kata pelan, "Sunti
Rahim...?! Ternyata dia menjadi murka dan penasaran!"
Jelita Bule tidak hiraukan
ucapan itu karena ia coba memasukkan tuak lagi ke mulut Pendekar Mabuk. Seteguk
dua teguk tuak terminum oieh Suto.
Terdengar lagi suara kakek
misterius itu berkata di belakang Jelita Bule,
"Kau juga... minumlah
tuak itu. Tapt jangan banyak-banyak nanti kau mabuk." Gadis berambut
kuning pirang itu tidak menjawab, namun ia menuruti saran itu. la meneguk tuak
dengan menenggak beberapa saat. Selesal itu, ia merasakan kepala Pendekar Mabuk
yang ada di pangkuannya itu bergerak pelan. Jelita Bule buru-buru
memperhatikannya. la sedikit kaget meiihat daun telinga yang semula sudah
menghitam itu kini menjadi biru samar-samar. Dada Suto Sinting muiai tampak
bergerak lebih jelas lagi, sepertinya pernapasan agak lancar dari sebelum minum
tuak itu.
Kian lama terjadi perubahan
semakin nyata. Jelita Bule sendiri merasa dadanya yang tadi sesak dan sakit
jika dipakai bernapas kini tidak sakit lagi. Bahkan ber- tambah lama bertambah
enak dipakai untuk bernapas. Suto Sinting yang biru legam mulai pulih, dan
napasnya pun kian teratur. Bahkan ketika ia membuka matanya, ia terkejut
menyadari terbaring di pangkuan si gadis rambut pirang dan bermata kebiruan
itu. ia buru-buru bangkit, dan gerakan itu bisa dilakukan dengan cepat.
Wuuttt...!
"Jelita...? Apa yang
telah terjadi pada diriku tadi?"
"Apakah kau tak ingat
diserang Nyai Sunti Rahim?!"
"Sunti Rahim...?!"
Suto Sinting menggumam lirih dan mencoba mengingat- ingat. Peristiwa itu kini
terba-yang lagi dalam benak Pendekar Mabuk yang segera menggumam dan
manggut-manggut.
"Ya, aku ingat sekarang.
Tapi... seingatku bumbung tuak ini ditendang olehnya sampai jatuh ke jurang
sana!"
"Ada yang membawanya
kemari, muncul dari kedaiaman jurang itu."
"Siapa yang
membawanya?"
"Beliau ini
yang...," Jelita Bule terhenti kaget, gerakan tangan yang menunjuk ke
belakang diam tak bergerak lagi. Matanya memandang sekeliling dengan wajah
penuh keheranan.
"Orang itu tadi ada di
belakangku!"
"Seperti apa
orangnya?"
"Seomng kakek berpakaian
serba putih dengan rambut putih semua. Dia yang menyuruhku meminumkan tuak ke
mulutmu dan menyarankan agar aku memi- numnya pula. Tapi... aneh?! Ke mana perginya
si kakek serba putih tadi?"
"Kakek serba putih?"
renung Pendekar Mabuk yang segera ingat perjumpaannya dengan kakek misterius di
jembatan bambu tadi. Tubuh segar Jelita Bule membuat gadis itu mencari sang
kakek di beberapa tempat, lalu kembaii lagi dengan tangan hampa.
"Dia tak kutemukan. Tapi
menurutku dia belum jauh dari sini. Sebab tadi kulihat jalannya tertatih-tatih
lamban sekali." . Suto Sinting tarik napas panjang, iaiu berkata,
"Sudahlah. Tak perlu dicari lagi. O, ya... mana Pande Bungkus tadi?!"
Sebelum Jelita Bule menjawab,
Pande Bungkus keiuar dari semak-semak dengan wajah pucat. Tangan kirinya
pegangi siku kanan. Tangan kanan itu mengejang kaku dalam keadaan bengkak
membiru. Wajah tampan Pande Bungkus tampak sedih bercampur takut.
"Kenapa tanganmu, Pande
Bungkus?!" tegur Suto Sinting.
Sekalipun hati Pande Bungkus
sebenarnya kaget juga meiihat Suto Sinting sudah sehat seperti sediakala, tapi
la menjawab dengan nada sedih,
"Tanganku dipatuk ular,
Kang!"
"Kenapa bisa
begitu?"
"Ular sedang bertelur
dipegang ekornya, eeh... kepalanya mengibas. Pletuk! Kena jempol
tanganku."
"Ada-ada saja kau ini!
Minum tuakku, lekas!" Suto Sinting menyodorkan bumbung bambunya. Pande
Bungkus menenggak tuak dengan satu tangan.
"Aku yang menyuruhnya
mencari ular," kata Jelita Bule. "Kupikir, ular itu akan kuambil
racunnya dan akan kumasukkan ke tubuhmu biar bertarung melawan 'Racun
Garang'-ku Nyai Sunti Rahim. Sebab... keadaanmu sangat parah dan sudah hampir
membusuk."
"Pande Bungkus pemuda
yang tidak bisa apa-apa, jangan kau suruh lakukan hal-hal berbahaya. O, ya...
mana Pesona Indah?"
"Dibawa lari oieh Nyai
Sunti Rahim!"
Pendekar Mabuk terkesiap
sejenak, lalu menggumam, "O, benar. Aku ingat samar-samar saat ia bicara
padaku dengan memanggul Pesona Indah."
"Aku harus bebaskan
Pesona Indah sebelum dia dijadikan murid Nyai Sunti Rahim!"
"Itu tergantung Pesona
Indah. Dia bisa menolaknya dengan berbagai cara!"
"Aku... aku takut dia
dibunuh perempuan jahat itu!"
"Kenapa?"
"Sebab... sebab Pesona
Indah sudah tidak... tidak pantas dan tidak bisa menerima dua ilmu andalan
tersebut!" jawab Jelita Bule dengan bahasa halus. "Dia tidak sama
denganku," tambahnya lagi.
Suto Sinting paham betul
dengan bahasa halus tersebut. Pesona Indah sudah tidak perawan lagi. Berbeda
dengan Jelita Bule yang masih perawan. Begitulah klra- kira maksud si rambut
pirang.
"Kang, tanganku sembuh,
Kang...!" seru Pande Bungkus sesaat setelah minum tuak dan tangannya yang
bengkak menjadi kempes. la tampak girang.
"Tuak itu mujarab sekali,
ya Kang?"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum
tipis. Tapi pada saat itu ia tersentak kaget dengan berkelebatnya Jelita Bule
yang menerabas pepohonan kecil itu. Wrrrsss...! Mata Suto Sinting segera
terbelalak.
"Jelita! Mau ke mana
kau?!"
Tak ada jawaban yang didengar.
Suto Sinting hanya mengejar beberapa langkah, lalu berhenti karena merasa
sia-sia. Masih ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan olehnya.
Pande Bungkus berkata,
"Pasti dia lapor sama gurunya, Kang!"
"Tidak. Dia pergi
membebaskan Pesona Indah yang dibawa Nyai Sunti Rahim!"
"Lho... jadi si rambut
hitam itu dibawa kabur oleh... oleh siapa tadi?"
"Nyai Sunti Rahim!"
"O, penyerangnya seorang
perempuan?" Pande Bungkus memang tak meiihat kemunculan Nyai Sunti Rahim
karena ia terperosok jatuh ke semak belukar, tak bisa melihat apa-apa dalam
sejenak, tak ingat suara apa pun untuk sesaat.
"Sunti...
Rahim...?!" Pande Bungkus mengeja nama itu sambii berpikir.
"Sepertinya aku pernah dengar nama itu, Kang." "Dari
siapa?"
"Dari seseorang yang
bicara dengan temannya sewaktu ibuku masih hidup dan berjualan nasi di pintu
masuk pasar. Kalau tak salah... kalau tak salah nama itu pernah diucapkan oleh
mulut seorang pengemis, Kang. Hmmm... ya, benar. Aku ingat, seorang pengemis
yang mengucapkan nama itu."
"Lupakan saja.
Sebaiknya...."
Kata-kata Suto Sinting
terhenti karena melihat sekelebat bayangan kuning melesat di sela-sela
pepohonan. Suto Sinting tertegun sejenak. Gerakan mata mengikuti gerakan
bayangan kuning itu yang ternyata berbelok arah menuju ke tempatnya berdiri.
Wuutt...! Jleegg...!
Tokoh tua muncul di depan
kedua pemuda itu membuat Pande Bungkus terpekik kaget dan lari ke belakang Suto
Sinting. la menggeragap mencari batu dan setelah ditemukan sebutir batu
langsung dipasang di ketapelnya. Karet ketapel direntangkan ke arah tokoh tua
itu dengan wajahnya yang tegang.
Melihat yang muncul kali itu
adalah tokoh tua berambut putih digulung sebagian di tengah kepala, ber-dirinya
membungkuk dengan bertopang tongkat yang ujungnya berbentuk bola licin hitam, Suto
Sinting langsung berkata kepada Pande Bungkus dengan tegas.
"Turunkan ketapelmu,
Pande Bungkus!"
"Orang ini pasti bahaya
juga, Kang! Biar kuhajar pakal ketapelku. Pasti tepat di dahinya!"
"Turunkan!" hardik
Suto Sinting dengan memandang tajam. Pande Bungkus takut, ketapel pun
diturunkan dan dikendurkan.
Orang tua berpakaian kuning
lusuh hampir kecoklatan itu hanya tersenyum tipis sekali sambii pandangi Pande
Bungkus, lalu ia bertanya kepada Suto,
"Apakah dia muridmu,
Suto?"
"Bukan, Ki Bongkok Sepuh.
Dia seorang teman baru," jawab Suto Sinting dengan memanggil orang
tersebut Ki Bongkok Sepuh. Sebab orang tua itu memang si Bongkok Sepuh yang
oieh para tokoh persilatan dikenal dengan nama Setan Arak. Hanya Suto Sinting
yang mengenal nama Bongkok Sepuh, sebab pada waktu berkenalan dengan Suto
Sinting, ia sudah tidak doyan arak lagi dan ingin menghapus julukan Setan Arak,
di-ganti dengan si Bongkok Sepuh, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Perawan Maha Sakti").
Bongkok Sepuh masih pandangi Pande
Bungkus yang jadi salah tingkah itu.
"Kulihat ia punya harapan
untuk menjadi muridmu, Suto."
Pendekar Mabuk hanya melirik
Pande Bungkus sebentar sambii tersenyum tipis tak pedulikan ucapan itu,
kemudian ia kembali menatap Bongkok Sepuh.
"Bekas istrimu hampir
saja membunuhku, Bongkok Sepuh."
Mata si Setan Arak itu
terkesiap pandangi Suto Sinting, "Aku baru saja mau sampaikan berita
penting untukmu tentang Sunti Rahim, makanya aku mencari- carimu ke mana-mana.
dan kutemukan di sini."
"Berita apa?"
"Muridnya tak tertolong.
Sunti Rahim marah besar kepadamu. Dia mengancam nyawamu. Tapi dia kudengar
berusaha mencari murid baru untuk turunkan kedua ilmu itu. Yang menjadi sasaran
adalah orang-orang Negeri Malaga, karena para prajuritnya Ratu Rangsang Madu
pada umumnya berilmu tinggi, jadi Sunti Rahim hanya akan tambahkan dua iimu
dahsyat itu saja; 'Darah Gaib' dan 'Bias Dewa'. Tapi dia terhalang oieh
kekuatan Ratu Rangsang Madu, dan sang Ratu sekarang menderita Racun Bulan Madu
yang berbahaya bagi dirinya sendiri!"
"Semua sudah kudengar
dari dua utusannya yang mencariku, Ki Bongkok Sepuh. Tapi ketika Nyai Sunti
Rahim menyerang kami, ia berhasil membawa lari satu utusan Ratu Rangsang Madu
yang akan dijadikan muridnya."
Bongkok Sepuh melangkah ke
samping sambil berpikir. Kemudian ia kembali perdengarkan suaranya, "Kau
sudah berhadapan dengan Sunti Rahim?!" nadanya berkesan tidak percaya.
"Sudah. Bahkan seperti
kubilang tadi, aku hampir saja mati membusuk! Untung ada seorang kakek aneh
yang selamatkan aku."
"Kakek aneh siapa?"
"Entah. Dia tidak mau
sebutkan namanya."
Pande Bungkus menyahut,
"Rambutnya putih, alisnya putih, pakaiannya putih, pokoknya serba
putih!"
"Apakah jalannya
tertatih-tatih?"
"Benar!" kata Suto
Sinting bersemangat. "Kau mengenalnya, Ki?"
"Hmmm... ya, aku
mengenalnya. Dia yang bernama Setan Merakyat."
"Setan Merakyat? Aneh
sekali namanya?" gumam Suto Sinting.
"Kalau dulu aku dijuluki
Setan Arak, maka dia dljuluki Setan Merakyat, karena ramah dan baik kepada
siapa saja, sekalipun kepada petani desa. Dia adalah kakakku sendiri."
Pendekar Mabuk terperanjat.
Maka teringatlah Suto Sinting pada kata-kata kakek serba putih itu yang
mengucapkan terima kasih atas pertolongan Suto kepada adiknya. Rupanya si Setan
Arak alias Bongkok Sepuh itulah adiknya.
"Untuk apa dia muncul?
Ada masalah apa?" gumam Bongkok Sepuh bagai menyimpan teka-teki yang
mencemaskan hati menegangkan pikiran.Panorama pantai menjelang sore dihiasi
cahaya merah tembaga. Matahari yang mulai di ambang cakrawala menyiramkan cahayanya
bagai sedang melukis langit dengan warna merah lembayung.
Di atas gugusan batu karang
dalam ketinggian tebing yang cukup curam, sesosok tubuh berdiri tegak mematung,
pandangannya terlempar pada gugusan pulau nun jauh di sana hingga merupakan
sebuah titik hitam mendekati batas cakrawala. Angin pantai menerpa rambutnya
yang putih berpotongan model Suto Sinting. Rambut itu meriap hingga sebagian
menutup wajahnya. Jubah kuningnya yang sebagian membungkus ceiana biru tanpa
baju itu juga melambai bagaikan ben- dera sebuah kapal perampok. Sekalipun
sudah berusia lanjut, tapi berdirinya masih tegak, kedua kakinya masih tampak
kokoh berpijak.
Tokoh tua yang sesekali
terdengar batuknya ber bagai irama itu sempat membatin dalam kebisuannya.
"Kalau saja Raja Maut
tidak mengingatkanku untuk mengatur rencana lebih matang lagi, sudah
kuhancurkan Pulau Intan itu! Tapi agaknya aku harus bersabar menunggu waktu
yang baik untuk menyerang Tuanku Nanpongoh, menunggu kelengahan orang-orang
Pulau Intan yang biadab itu! Kasihan sekali adikku; si Cakradayu, kehilangan
istri dan anak-anaknya, belum lagi menghadapi nasib Dewi Angora, si anak
sulungnya yang hamil tanpa seorang ayah. Terlalu berat beban itu bagi seorang
lurah seperti Cakradayu. Keluhannya yang sering terlontar di depanku secara tak
sadar, telah membuatku semakin sayang kepadanya!"
Sesaat kemudian terdengarlah
suara batuknya yang aneh, "Uhuk, uhuk, ehek. uhuk, ihik, hik, hiiikkk...
hoek! Cuih!"
Irama batuk seperti itu hanya
dimiliki oleh tokoh sakti tingkat tinggi yang dikenal dengan nama Batuk
Maragam. Meski wajahnya sering berkesan cengengesan, tapi ia sebenarnya tokoh
tua yang punya wibawa tersembunyi di depan tokoh-tokoh seangkatan dengannya.
Sikapnyayang cenderung sebagai
pengasuh bagi yang muda, sering membuatnya menjadi dikagumi dan digemari oleh
para tokoh muda di rimba persilatan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Peri Sendang Keramat").
Ki Lurah Cakradayu, ayah dari
Dewi Angora, bermaksud membalas dendam atas kematian istri dan tiga anaknya di tangan
Tuanku Nanpongoh. Tetapi Batuk Maragam sebagai sang kakak selalu menahan hasrat
Ki Lurah Cakradayu. Begitu sayangnya ia kepada adiknya, sehingga ia bertekad
membalaskan seluruh sakit hati sang adik kepada Tuanku Nanpongoh yang
lamar-annya ditolak oieh Dewi Angora.
Tetapi banyak tokoh tua
seangkatan Batuk Maragam memberi saran agar tidak melakukan penyerangan ke
Pulau Intan dalam waktu dekat ini. Beberapa tokoh yang memberi saran seperti
itu adalah Raja Maut, Setan Arak, bahkan gurunya Suto Sinting pun menyarankan
demikian.
"Jika kau menyerang ke
Pulau Intan sekarang-sekarang ini, maka kau akan terjebak oieh maut yang sudah
dipersiapkan untukmu di sana. Tuanku Nanpongoh mempunyai sejumlah pasukan kuat
dan memegang pusaka Gada Rujak Pala, yang konon merupakan pusaka peninggalan
zaman pewayangan, milik Raden Bima. Entah kabar itu benar atau tidak, tapi
beberapa orang pernah menjadi korban pusaka Gada Rujak Pala itu. Jadi
hati-hatilah sebelum bertindak," tutuk Ki Sabawana yang dikenal dengan
nama si Gila Tuak.
"Apa kehebatan pusaka
Gada Rujak Pala itu?" tanya Batuk Maragam seusai menghadiri undangan Peri
Sendang Keramat di Bukit Rongga Bumi.
Gila Tuak yang dikenal tokoh
teratas di antara para tokoh itu menjawab dengan pelan dan tegas, "Gada
Rujak Pala dapat menghancurkan kepalamu dari jarak jauh dengan cara
menghantamkannya ke bekas telapak kakimu! Itu salah satu kehebatan pusaka Gada
Rujak Pala."
Saat saran-saran mereka
direnungkan, tiba-tiba mata tua Batuk Maragam meliihat sekelebat bayangan
muncul dari hutan pantai dan berhenti di tepian. Mata tua itu sedikit
terkeslap, kemudian membatin kata dl ha-tinya.
"Sunti Rahim! Mau apa dia
bawa-bawa tubuh seorang gadis di pundaknya? Hmmm... firasatku menangkap niat
tak beres pada diri Sunti Rahim!"
Slaapp...! Tubuh Batuk Maragam
bagaikan menghilang. Dalam sekejap ia sudah berada di belakang Nyai Sunti Rahim
tanpa suara. Maka terdengarlah suara batuknya yang sempat mengejutkan Nyai
Sunti Rahim.
"Uhuk, uhuk, ehek, ehek,
hhooek...l Cuih!"
Berpalinglah Nyai Sunti Rahim
ke belakang, berkerutlah kening perempuan tua yang masih berwajah cantik itu.
Lalu terdengar ia menyapa Batuk Maragam dengan suara bernada ketus.
"Mau membokongku, Batuk
Maragam?!"
"Apa kau suka diserang
dari belakang?" Batuk Maragam ganti bertanya dengan sikapnya yang tenang.
"Aku hanya ingin menyapamu saja, Sunti Rahim. Siapa gadis yang ada di
pundakmu itu?"
"Siapa pun dia ini bukan
urusanmu, Batuk Maragam!"
"Memang. Tapi jika sudah
menyangkut kedamaian orang banyak, mau tak mau aku terlibat secara tak langsung
dalam urusanku. Uhuk, uhuk, ahak, ahak, ahiiik... ahh!"
Nyai Sunti Rahim terpaksa
turunkan tubuh Pesona Indah karena dilihatnya Batuk Maragam bermaksud ingin
menahan langkahnya. Gadis itu dibaringkan di pasir pantai dalam keadaan tubuh
setengah bersandar pada sebongkah batu hitam.
"Apa maumu sebenarnya,
Brajamusti?!" Nyai Sunti Rahim sebutkan nama asli Batuk Maragam.
Tokoh tua yang separo lebih
dari usianya dihabiskan untuk bergu-ru di Pegunungan Sojiyama itu mendekati
gadis yang terbaring dan memandanginya. Lalu, ia menggumam tertuju kepada Nyai
Sunti Rahim.
"Cantik juga anak ini.
Apakah dia muridmu, Sunti Rahim?"
"Calon muridku."
"Calon...?!"
"Muridku yang asli;
Perawan Maha Sakti telah mati karena ulah Pendekar Mabuk."
"Ooo... ya, ya! Sekarang
aku ingat tentang itu," kata Batuk Maragam sambii manggut-manggut.
Gara-gara muridmu kau bekali ilmu 'Darah Gaib' dan ilmu 'Bias Dewa', hampir
saja Suto Sinting mati karena iimu itu. Aku pernah mendengar ceritanya dari yang
bersangkutan. Jadi, sekarang aku bisa menangkap maksudmu. Kau ingin turunkan
kedua iimu berbahaya itu kepada gadis ini!"
"Pikiran tuamu masih
lumayan juga, Brajamusti!" Nyai Sunti Rahim sunggingkan senyum sinis. Di
balik senyum itu terbias kesan bangga atas kehebatan dirinya yang mampu
turunkan dua ilmu dahsyat itu.
"Aku tidak setuju dengan
rencanamu, Sunti Rahim!" kata Batuk Maragam dengan tegas. "Kedua ilmu
itu hanya akan mengacaukan kehidupan di permukaan bumi."
"Lalu apa maumu?"
tantang Nyai Sunti Rahim yang merasa tak punya rasa takut sedikit pun kepada
Batuk Maragam, walau ia tahu Batuk Maragam tokoh berilmu tinggi.
"Hentikan niatmu itu,
tinggalkan gadis itu, biar kubawa pulang ke tempat asalnya. Uhuk, uhuk, uhuk,
ihiiik... aah!"
"Jika kau bermaksud menghalangi
niatku, sama saja kau ingin menjajagi ilmuku, Brajamusti!"
"Tidak. Tidak
begitu," jawabnya dengan sabar dan kalem. Aku hanya ingin sampaikan
kesepakatan para tokoh seangkatan kita setelah kami hadiri undangan di Bukit
Rongga Bumi itu, bahwa kami bersepakat agar kedua iimu itu tidak dipergunakan
lagi oieh satu orang. Boleh diturunkan dan dimiliki oieh seorang gadis, tapi
hanya salah satu saja. Tak boleh keduanya dimiliki oieh satu orang, karena hal
itu akan membuat orang tersebut menjadi seorang angkara murka yang bertindak
semena-mena."
"Persetan dengan
kesepakatan kalian! Aku tetap akan lakukan hal itu!"
"Berarti kau menentang
undang-undang persilatan!"
"Itu urusanku."
"Tak bisa. Jika kau
menentang undang-undang persilatan, kau akan berurusan denganku pula, Sunti
Rahim!"
"Aku tak merasa takut
jika harus bertarung denganmu, Brajamusti!"
Batuk Maragam memandang mata
Nyai Sunti Rahim dengan tajam. Yang dipandang juga memberi balasan serupa.
Tiba-tiba kedua mata Nyai Sunti Rahim melesat dua benda logam putih kemilau.
Slaaapp...! Batuk Maragam cepat menahan napas. Beesss...! la bagaikan lenyap,
dan tahu-tahu sudah ada di sisi lain.
Dua logam yang ternyata jarum
berkekuatan tenaga dalam sangat tinggi itu melesat tak kenai sasarannya,
melainkan menghantam dua gugusan batu karang yang berjarak sepuluh tindak dari
tempat Batuk Maragam berdiri semula.
Sraab...! Blaaarr...! Dua batu
itu pun pecah memercik ke berbagai arah. Menjadi serpihan- serpihan lembut yang
mempunyai panas api membara.
"Uhuk, uhuk,
uhuk...!" Batuk Maragam mulai beraksl. Suara batuknya mempunyai getaran
gelombang tenaga dalam yang segera mengguncangkan pepohonan hutan pantai dan
menggetarkan dinding tebing karang. Brrr...!
"Uhuk, ehek, ehek, ehek,
ehek, ehek...!"
Nyai Sunti Rahim menutup kedua
telinganya. Suara-batuk itu bagaikan menembus masuk kedua gendang telinganya
dan ingin memecahkan gendang telinga itu. Nyai Sunti Rahim menahannya dengan
mata terpejam kuat-kuat dan tubuh mulai limbung ke sana-sini.
"Ehek, ehek, ehek, ahaak...
ahak, ohok, ahak, ahok, ahak, ohooooeek...!"
Brrrukk...!
Nyai Sunti Rahim jatuh
berlutut dengan napas terengah-engah dan telinganya merembeskan darah. Wajah
menjadi pucat dan kedua tangan yang memegangi telinga itu gemetaran.
Suara batuk itu juga memecahkan
empat bongkah-an batu hitam sebesar kerbau, dan beberapa gugusan batu karang
yang ada di sekitar tempat itu menjadi re-tak. Bahkan ada yang terbelah menjadi
dua atau tiga bagian. Dinding tebing karang rontok, sebagian ada yang merekah
bagai ingin terbelah.
"Heeeaaatt...!" Nyai
Sunti Rahim kerahkan tenaga murkanya. la melesat dalam keadaan seperti terbang.
Tubuh Batuk Maragam yang masih terbungkuk-bungkuk dan keluarkan batuk lagi itu
diterjangnya. Breesss...! Wuut...! Tubuh tua itu terlempar jauh dan terbanting
menghantam batu karang runcing.
Tetapi sebelum tubuh itu
menyentuh batu karang runcing, tiba-tiba ada asap menyentak dari tangan Batuk
Maragam dan asap itu menguap tebal membungkus diri.
Buuusss...!
Tubuh Batuk Maragam tak
terlihat lagi begitu asap hilang terhembus angin. Nyai Sunti Rahim yang
kesa-kitan pada kedua telinganya mencoba mencari sosok Batuk Maragam. Ternyata
tokoh berambut abu-abu itu sudah berada di atas tebing karang, tempatnya
berdiri semula.
"Keparat kau,
Brajamusti!" teriak Nyai Sunti Rahim dengan amat murka. Karena dilihatnya
tubuh Pesona Indah sudah ada di pundak Batuk Maragam. Gerakan cepat Batuk
Maragam dalam menyambar tubuh Pesona Indah sempat tidak terlihat oieh mata Nyai
Sunti Rahim.
"Heeeaaat...!" Nyai
Sunti Rahim berkelebat bagaikan angin lewat.
Buusss...!
Asap putih mengepul lagi
dengan tebal membungkus tubuh Batuk Maragam sebelum Nyai Sunti Rahim tiba di
atas tebing karang itu. Ketika perempuan tersebut sampai di sana, ternyata
Batuk Maragam sudah lenyap bersama Pesona Indah. Nyai Sunti Rahim mencarinya
dengan napas terengah-engah. Ta-hu-tahu dilihatnya sosok Batuk Maragam sudah
berada di pantai tempat pertarungan mereka tadi.
"Uhuk, uhuk, hoooaaak...!
Hoooaaak...!"
Glegeeer...!
Guntur menggelegar, langit
berkerilap bagaikan mau pecah. Awan hitam menggumpal-gumpal di angkasa. Tanah
bergetar meruntuhkan dinding tebing karang. Dan saat ituiah tubuh Nyai Sunti
Rahim jatuh ter-jungkal ke jurang karang. Tubuh itu melayang-layang sambii
serukan teriakan liar,
"Kubalas kau,
Brajaaa...!"
Batuk Maragam diam dalam
pandangan ke arah dasar jurang yang penuh dengan bebatuan runcing itu. Alam
sudah tidak lagi bergetar karena Suara batuk bergelombang tenaga dalam tinggi
itu. Batuk Maragam berkata lirih,
"Aku tahu kau tak akan
mati di sana, Sunti Rahim! Tapi kalau kau masih nekat mau menerjang
undang-undang persilatan yang telah disepakati bersama oleh kami, kau tetap
akan berhadapan denganku dan mungkin akan menderita lebih parah lagi!"
Setelah berkata bagaikan bicara
sendirian itu, Batuk Maragam cepat tinggalkan tempat itu menyusuri pantai.
Langkah pertama yang dilakukan adalah membawa gadis yang terluka parah itu ke
pondoknya. Wajah sang gadis sudah sangat pucat, bibirnya membiru, tubuhnya
dingin.
Namun sebelum mencapai tempat
kediamannya yang kala itu ditunggui oleh bekas murid Peri Sendang Keramat yang
telah murtad dari ajaran sang Peri, yaitu Camar Sembilu, tiba-tiba langkah
Batuk Maragam terhadang oieh sebuah kilatan sinar kuning emas yang melesat dari
arah kirinya. Claaap...! Blaar!
Sinar kuning emas itu
dihindari Batuk Maragam dengan sentakkan kaki yang membuat tubuhnya melesat
naik dalam keadaan tetap memanggul Pesona Indah. Sinar tersebut menghantam
gugusan batu karang yang jauh dari pantai, dan batu karang putih itu mendadak
menjadi hitam dan berasap, bagai seonggok arang menunggu rapuh karena
terjangan ombak.
Batuk Maragam mencari
penyerangnya. Tiba-tiba dari belakang melesat sesosok tubuh yang berkelebat
cepat melancarkan tendangan miringnya. Wuuuttt...! Batuk Maragam cepat putar
badan dan kaki kanannya juga berkelebat bagai kipas.
Wuuusss...! Praakk...!
"Auhg...!"
Brrruk...!
Tubuh si rambut pirang jatuh
tersungkur. la menyeringai karena tulang kakilnya bagaikan patah ataupun remuk
sebagian. la merasa seperti menen- dang pilar besi sekencang-kencangnya.
"Mengapa kau menyerangku,
Nona Cantik?! Uhuk, uhuk uhuk...!" suara batuk itu tanpa saluran tenaga
dalam.
Jelita Bule berusaha bangkit
dengan terpincang-pincang. Matanya masih mencoba memandangi Batuk Maragam
dengan sikap bermusuhan.
"Serahkan gadis di
pundakmu itu!"
"Apakah kau anak buah
Nyai Sunti Rahim?!"
"Apakah kau ada di
pihaknya, Pak Tua?!" Jelita Bule ganti bertanya.
"Kalau kau ada
dipihaknya, kau layak menerima pembelaanku ini. Hiaaah.. I"
Claaap...!
Dari tangan yang disentakkan
melesat selarik sinar hijau lurus, arahnya ke dada kanan Batuk Maragam. Tetapi
tangan Batuk Maragam segera menghadang. Telapak tangannya dipakai sebagai
penghadang sinar hijau itu. Jeeeb...!
Rupanya Batuk Maragam ingin
kembalikan sinar hijau itu dengan tenaga dalamnya yang mendorong sinar tanpa
putus tersebut, sedangkan Jelita Bule berusaha menekan sinar itu agar tembus
ke telapak tangan lawannya. Mereka saling kerahkan tenaga, saling berusaha
menumbangkan, hingga akhirnya seberkas sinar merah melesat dari samping
bagaikan memotong sinar hijau lurus itu. Blaarr...!
Jelita Bule terpental terbang
ke belakang dan jatuh terpuruk di semak. Batuk Maragam hanya mundur dua tindak
dalam sentakan yang hampir membuatnya menggeloyor jatuh. Tapi tubuh Pesona
Indah masih ada di pundaknya, dipegang kuat-kuat. Batuk Maragam segera
memandang ke arah datangnya sinar merah kecil itu.
"Setan Arak...?!"
sapa Batuk Maragam yang segera terbatuk-batuk sesaat.
Bongkok Sepuh dan Suto Sinting
datang hampiri Batuk Maragam. Mata gadis berambut pirang memandang dengan hati
lega. Sebab ia merasa seandainya tidak dihentikan oleh kehadiran Suto Sinting,
ia akan kalah hadapi Batuk Maragam yang mampu menahan sinar hijaunya dengan
tangan telanjang dan tanpa luka sedikit pun. Bagi Jelita Bule keadaan itu sudah
menandakan bahwa lawannya berilmu lebih tinggi darinya.
Pande Bungkus datang menyusul
setelah beberapa saat Suto Sinting dan Bongkok Sepuh berada di tempat itu.
Bongkok Sepuh langsung menyapa Batuk Maragam,
"Mengapa kau lawan gadis
semuda itu, Brajamusti? Jelas dia bukan tandinganmu. Kalau tidak kupatahkan
dengan sinar merahku, bisa hancur tubuh gadis cantik itu, Brajamusti!"
"Dia ingin mengambil
orang yang kupanggul ini. Tapi dia terlalu kasar dan berani menyerangku. Aku
hanya bertahan saja, tidak memberi serangan balasan!"
" Pesona Indah...?"
gumam Pendekar Mabuk setelah memperhatikan gadis yang dipanggul Brajamusti.
"Apakah kau kenal dengan
gadis culikan Sunti Rahim ini, Suto?"
"Sangat kenal. Dia teman
gadis berambut kuning yang menyerangmu itu!"
"Ooo... pantas! He he he
he... uhuk, uhuk, uhuk, uhuk!"
"Hentikan tawamu supaya
lenyap batukmu, Brajamusti," kata Bongkok Sepuh.
Jelita Bule dekati Suto
Sinting dengan terpincang-pincang. Pande Bungkus meiihat Jelita Bule berjalan
dengan susah, maka ia segera membantu, memapahnya tanpa canggung-canggung lagi.
Jelita Bule tidak menolak, dan ia diantarkan untuk mendekati Suto.
"Beri aku tuak, sakit
sekali kakiku!"
Suto Sinting sunggingkan
senyum sambii sodor-kan bumbung tuaknya. la sempat berkata pelan,
"Hati-hati, jangan sampai ketagihan sepertikul"
Batuk Maragam bertanya kepada
Suto Sinting, "Siapa sebenarnya gadis ini, juga gadis rambut aneh
itu?"
"Utusan dari Ratu
Rangsang Madu," jawab Suto Sinting, dan jawaban itu membuat Batuk Maragam
berkerut dahi.
"Ada urusan apa sehingga
ia mengirimkan dua utusannya?"
"Dia terkena Racun Bulan
Madu, kiriman dari Nyai Sunti Rahim!"
"Gawat!" gumam Batuk
Maragam dengan cemas. Pesona Indah diletakkan di atas rumpun. "Tolong beri
dia tuak dulu biar tidak terlambat!"
Jelita Bule yang memberikan
tuak kepada Pesona Indah. Menuangkan ke mulutnya pelan-pelan. Sementara itu
Batuk Maragam berkata,
"Setan Arak, aku ingin
bicara denganmu sebentar!"
Suto Sinting berkerut dahi
walau tetap tersenyum. Matanya pandangi dua tokoh tua yang berkasak-kusuk di
bawah pohon, sekitar tujuh langkah dari orang- orang muda itu. Agaknya ada
pembicaraan rahasia yang dila-kukan oieh dua tokoh tua itu. Suto Sinting
mencoba mencuri dengar dengan iimu Sadap Suara' yang dimi- likinya dari
Bidadari Jalang.
"Apakah kau akan datang
ke Pulau Selayang?" tanya Batuk Maragam.
"Tidak. Aku tidak mau
ikut ke sana. Bukan karena aku tak kasihan kepada bekas kekasih lamaku sebelum
beristril Nyai Sunti Rahim, tapi... aku tidak mau mengulang kenangan lama. Kau
sajalah yang ke sana menengoknya. Mungkin kau bisa mengobatinya juga."
Aku tak pernah tahu apa obat
untuk Racun Bulan Madu itu! Dan lagi kalau aku ke sana, aku takut dia akan tahu
tentang diriku dan menuntut haknya!"
"Kasihan kalau dia tak
kau tengok. Sudah berapa lama kau tak menengoknya?"
"Hampir empat puluh tahun
lebih."
"Kurasa dia masih punya
hati padamu, karenanya sampai sekarang belum mau menikah dengan siapa
pun."
"Tidak, Setan Arak! Aku yakin
dia masih mengharapkan kau kembali padanya!"
"Aku tidak bersedia! Aku
sudah terlalu melukainya."
"Justru sekaranglah
saatnya kau mengobati lukanya."
Bongkok Sepuh diam termenung
beberapa saat. Suara bisik bisik mereka terdengar jelas di telinga Suto
Sinting, karena Pendekar Mabuk mempunyai iimu 'Sadap Suara'. Karenanya dahi
Suto pun berkerut kala mencoba menyimpulkan percakapan kedua tokoh tua itu.
Terdengar lagi Bongkok Sepuh
berkata, "Bagaimana kalau kita datang berdua?"
Itu akan melukainya, karena ia
tak bisa curahkan perasaan kepada kita secara bersamaan."
"Tapi... ah, tidak. Aku
tidak mau datang. Kau saja yang datang dan kupaksa agar datang menemuinya!
Setidaknya membantunya menyembuhkan Racun Bulan Madu!"
"Kau tak sakit hati kalau
aku datang?" bisik Batuk Maragam setelah mengerutkan keningnya beberapa
saat untuk mempertimbangkan langkah.
"Tidak. Kita sudah
sama-sama tua. Yang tersisa hanya kenangan masa muda! Datanglah kepadanya, dan
sampaikan salamku padanya. Kau memang lebih berhak menemuinya, karena kau
sampai sekarang pun belum beristri lagi, bukan?"
"Hmmm... ya. Terus terang
saja, karena aku masih terpaku oieh kenangan masa muda bersamanya."
"Bawalah Suto Sinting ke
sana. Mustikasari membutuhkan bantuan Suto!"
"Baiklah kalau kau memang
tak punya rasa apa-apa terhadapku."
Bongkok Sepuh tepuk-tepuk
pundak Batuk Maragam. "Aku sudah tak seperti dulu. Tak pernah punya rasa
cemburu kepada teman yang bisa dapat kekasih cantik. Lupakan semua masa lalu
kita yang buruk-bu ruk. Kenang saja yang indah-indah!"
Pendekar Mabuk berkata dalam
hatinya, "Sepertinya mereka berdua punya hubungan dekat dengan Ratu
Rangsang Madu? Agaknya hubungan mereka sangat pribadi dengan sang Ratu yang
punya nama asli... Mustikasari itu. Tapi hubungan yang bagaimana sebenarnya?
Hak apa yang akan drtuntut oieh sang Ratu jika Batuk Maragam datang menemuinya?
Aku jadi ingin tahu kisah lalu orang-orang seperti mereka Itu"Desakan Suto
Sinting membuat Batuk Maragam tak bisa sembunyikan rahasia masa lalunya. Dalam
perjalanan menuju Pulau Selayang, Suto Sinting sempat mengancam dalam candanya,
"Kalau Paman tidak mau
ceritakan masalah Ratu Rangsang Madu, saya akan loncat dari perahu ini dan
pulang ke Jurang Lindu. Tak mau ikut ke Pulau Selayang!"
"Kau sama nakalnya dengan
gurumu semasa mudanya, Suto!" gerutu Batuk Maragam.
Keduanya tetap berdiri dl
bagian buritan perahu.
"Semasa mudanya, Ratu
Rangsang Madu bernama Mustikasari. Dia adalah wanita tercantik di rimba
persilatan. Ketika ia berdekatan dengan Setan Arak, atau si Bongkok Sepuh, aku
merebutnya. Aku iatuh cinta pada Mustikasari. Aku juga mengadukan hubungan
cinta Setan Arak dengan Mustikasari kepada guru si Setan Arak, yaitu Nyai Sunti
Rahim sendiri. Akhirnya Nyai Sunti Rahim ikut mendukungku, menjauhkan Setan
Arak dengan Mustikasari. Setan Arak dikuasai oieh gurunya, lalu menikahlah
mereka sebelum akhirnya bercerai karena Setan Arak tergoda oieh rayuan Bidadari
Jalang."
"Lalu hubungan Paman
dengan Mustikasari tetap berlanjut?"
"Ya. Tapi waktu itu aku
masih nakal," Batuk Maragam tertawa sendiri, lalu terbatuk-batuk.
"Usia mudaku membuat aku nekat menghanyutkan diri dalam pelukan
Mustikasari, sampai akhirnya ia hamil dan punya anak. Tapi waktu itu aku sudah
telanjur meneruskan pelajaranku, pergi ke Pegunungan Sojiyamadi Negeri Matahari
Terbit itu. Kudengar Mustikasari melahirkan anak perempuan, yang kemudian
dibuang olehnya. Tugasku harus menemukan anak perempuan itu dan menyerahkan
kembali kepadanya jika aku ingin kembali hidup bersamanya."
"Lalu anak perempuan itu
sudah Paman temukan?" "Belum. Karena memang aku tidak mencarinya. Aku
berusaha melupakan Mustikasari, sebab aku merasa berdosa besar kepadanya.
Penyesalanku sudah kian menua, hingga tak terasa lagi menduka di hati."
Dalam hati Pendekar Mabuk
berkata,
"Ternyata kenakalan para
pendekar semasa mudanya sama saja. Tak jauh dari soal cinta. Dan karma itu
telah hadir menimpa Paman Batuk Maragam, yaitu dengan menyaksikan keponakannya
hamil tanpa suami.
Ah... itu cerita usang yang
memang abadi. Tak perlu terlalu dipikirkan. Hanya saja, apa yang harus
kuperbuat nanti jika berte-mu dengan Ratu Rangsang Madu yang membutuhkan
darahku? Kalau saja bukan karena mengikuti bujukan Paman Batuk Maragam, aku
tidak mau ikut ke Pulau Selayang. Sayang sekali tadi Paman Batuk Maragam memohon-mohon
dengan sangat agar aku mau datang, aku tak tega dengan orang yang bersikap baik
padaku ini, akhirnya aku mau ikut juga ke sana."
Suto Sinting sempat berkata
kepada Batuk Maragam, "Paman, kalau Racun Bulan Madu itu meminta tebusan
darahku, berarti aku harus mati untuk Ratu Rangsang Madu?! Padahal aku tidak
punya hubungan apa-apa dengan beliau."
"Aku ingin memeriksanya
dulu, sejauh mana darahmu dibutuhkan. Kalau toh itu akan membuatmu mati, aku
sendiri tak setuju. Tapi jika kau setuju aku pun tak melarangmu untuk mati demi
seseorang.""Kurasa itu tak mungkin, Paman Batuk Maragam!"
"Kalau memang tak mungkin
mati untuk orang lain, ya sudah. Tak usah mati. Kau akan kularikan dan
kulindungi kalau ada yang mencoba memaksa nyawamu!"
Kembali Suto Sinting membatin,
"Orang ini kalau ngomong enak saja. Seolah- olah tidak mempunyai beban
perasaan apa-apa. Tapi entah bagaimana aku jadi sangat percaya dengan janjinya
dan apa saja yang dikatakannya. Sedikit pun aku tak punya curiga jelek kepada
Paman Batuk Maragam ini! Aneh sekali. Apakah ini termasuk pengaruh kesaktiannya
yang membuat orang seialu percaya dengan apa saja yang dikatakan-nya?"
Di bagian haluan, Pande
Bungkus bicara dengan Jelita Bule dan Pesona Indah yang sudah segar bugar
seperti tak pernah terluka parah sedikit pun. Tuak Suto itulah yang membuat
Pesona Indah menjadi sesegar itu, melebihi segarnya saat belum meminum tuak
tersebut.
"Aku tak percaya pemuda
setampan dirimu dan de-kat dengan Pendekar Mabuk, tapi tidak punya ilmu
apa-apa!" kata Pesona Indah kepada Pande Bungkus.
"Aku hanya punya ilmu
membidik dengan ketapel."
"Tapi menurutku kau juga
pandai membidik hati wanita," kata Jelita Bule sambii tersenyum-senyum.
"Ah, tidak terlalu
pandai. Hanya selalu tepat sasar-an saja," kata Pande Bungkus dengan hati
berdebar bangga. la biarkan pipinya dicubit oieh Pesona Indah. la biarkan pula
wanita berpakaian sungguh menantang itu kian dekat dengannya. Lalu, la
mendengar suara Indah berbisik pelan di telinganya,
"Kamu sudah punya
kekasih?"
Belum. Masih kosong. Yang mau
masuk silakan saja. Tapi harus mau menerima apa adanya."
"Kamu menggemaskan
sekali!"
"Pesona, jangan kelewat
batas!" Jelita Bule mengingatkan.
"Aku tak menyentuh
batasnya, Jelita Bule. Jangan khawatir." Pesona Indah tertawa seiring dengan
tawa tampannya Pande Bungkus.
"Adi sabi lagiter-lagi
mudapa!" kata Jelita Bule.
"Arbijasa. Kua frasu
nyadapa."
Pande Bungkus ikut-ikutan
bicara seperti itu, "Su-pa musi-musi, muntah!"
"Apa Itu artinya?"
Kepalaku puyeng!" jawab
Pande Bungkus hadirkan tawa bagi mereka bertiga.
Tawa tersebut segera terhenti
ketika Batuk Maragam berseru, "Hei, lihat di sebelah timur sana, ada kapal
yang mendekati kita!"
Semua mata tertuju ke arah
timur. Ternyata apa kata Batuk Maragam memang benar. Sebuah kapal bertiang
layar dua dengan bendera merah di ujung tiap-tiap layarnya sedang bergerak ke
arah perahu mereka.
"Bajak taut!" teriak
Pande Bungkus dengan tegang.
Tetapi Batuk Maragam terdengar
menggumamkan sepotong nama yang tidak dikenal oleh mereka.
"Syakuntala!"
Gumam yang didengar mereka
membuat Batuk Maragam menjadi pusat perhatian semua mata. Pandangan mereka
membuat Batuk Maragam bagai dipaksa untuk menjelaskan siapa Syakuntala itu.
"Syakuntala adalah
Perwira Tanah Hindus berilmu tinggi. Dia musuh lamaku. Pernah kutumbangkan
dalam suatu pertarungan. Tapi pernah membuatku hampir mati kalau tidak ditolong
oieh seorang sahabat."
Pande Bungkus berkata,
"Kalau begitu, dia menghampiri kita untuk bikin perhitungan tersendiri
dengan Paman??"
"Aku tidak tahu apa
maksudnya. Kita lihat saja nanti."
Suto Sinting angkat bicara,
"Apakah tidak sebaik-nya kita hindari saja?"
"Ke mana pun kita
menghindar dia dapat mengejar dalam jarak seperti sekarang ini. Percuma saja
kita menghindar, uhuk, uhuk, uhuk, ihiiikk...!"
Kapal berwarna hitam kehijauan
karena lumut itu turunkan jangkarnya dalam jarak sekitar empat tombak dari
perahu berlayar satu. Orang-orang kapal tersebut berjajar di geladak dengan
senjata masing-masing. Mereka berkulit hitam dan masing-masing kenakan rompi
warna merah dan kuning. Celana mereka pada umumnya berwarna hitam. Kalaupun ada
yang kenakan ceiana biru, hanya beberapa orang saja yang mondar-mandir lakukan
kesibukan lain di atas kapal tersebut. Pandangan mata mereka yang bercelana
hitam tertuju ke kapal Suto Sinting yang tidak bisa bergerak bagai ditahan oieh
suatu kekuatan gaib.
Seorang berkepala gundul tapi
bercambang dan berkumis tebal muncul dari salah satu barak. Orang tersebut
bertubuh kekar, baju putihnya tanpa lengan. Ceiana putihnya terikat di bagian
bawah betisnya. la mengenakan anting-anting bundar di kedua daun telinga. la
mempunyai sepasang mata bundar lebar, mempunyai ketajaman sinar pandangnya dan
mempunyai kekuatan aneh yang membuat hati Jelita Bule, Pesona Indah, dan Pande
Bungkus bergetar hati.
Hanya Pendekar Mabuk dan Batuk
Maragam yang kelihatan tenang. Bahkan Pendekar Mabuk dengan santainya menenggak
tuak beberapa teguk bagai tidak hiraukan orang-orang di atas kapal tersebut.
"Masih ingat aku, Batuk
Maragam?!" seru orang gundul itu.
"Rasanya cukup sulit
melupakanmu, Syakuntala!" balas Batuk Maragam berseru juga. "Apa
maksudmu menahan perahu kami?!"
Kau masih berhutang satu
kelingking denganku, Batuk Maragam!"
Syakuntala angkat tangan
kirinya dan memperhatikan kelingkingnya yang hilang bagaikan bekas terpotong
lama itu. Batuk Maragam terkekeh panjang.
"Apakah kau ingin
menuntutku sekarang juga?! Kurasa kali ini aku tak akan sisakan lagi jari-jari
tanganmu jika memang kau menghendaki pertarungan dl tengah lautan ini!"
"Seharusnya memang
demikian. Tapi sayang sekali kali ini aku punya tugas lain. Kuselesaikan dulu
tugasku, baru kutuntut hutangmu!"
Jika begitu, silakan
selesaikan tugasmu dulu, Syakuntala. Aku siap menerima tuntutanmu kapan
saja!" lalu Batuk Maragam terbungkuk-bungkuk karena keluarkan batuknya.
Batuk itu membuat kapal besar tersebut tiba-tiba menjadi terguncang- guncang
dan dua-tiga prajurit yang berdiri di tepiannya jatuh terpelanting, bahkan ada
yang hampir tercebur ke laut. Rupanya Batuk Maragam keluarkan tenaga dalam yang
menyerang kapal itu melalui suara batuknya.
Syakuntala rapatkan telapak
tangan dl dada. Lalu kedua tangan itu bergerak mengembang dengan pelan-pelan.
Tiba-tiba sebuah getaran dirasakan pula oieh para penghuni perahu kecil
tersebut. Perahu tersebut bagaikan diguncang suatu kekuatan yang akhirnya
menjadi oleng tak karuan gerakannya. Batuk Maragam jatuh terduduk di buritan.
Jelita Bule dan Pesona Indah
pegangi tiang layar. Pande Bungkus nyaris terpelanting, tapi tubuhnya langsung
ditangkap Pesona Indah hingga pria itu bagai berada dalam pelukan si cantik
berambut hitam. Sementara itu, Suto Sinting hanya berdiri diam tanpa ikut
terguncang. la bagaikan pilar besi yang taktergoyahkan. Namun matanya memandang
tajam ke arah si Perwira Tanah Hindus itu. Dan tiba-tiba jari tangannya
menyentil.
Teeess... !
Brruukk...! Syakuntala jatuh
ke belakang dengan terkejut. la tak tahu kalau akan mendapat serangan tenaga
dalam yang cukup besar. Bahkan ia tidak melihat bahwa jari tangan pemuda tampan
yang membawa bumbung bambu tuak itu bergerak menyentil sebagai gerakan lepaskan
jurus 'Jari Guntur' yang mempunyai kekuatan sentak seperti kekuatan tendangan
kuda.
Syakuntala bergegas bangkit
dan melihat beberapa orangnya menarik busur panah, slap lepaskan panahnya ke
arah Batuk Maragam, karena mereka menyangka Batuk Maragam-lah yang menyerang
Syakuntala dengan kekuatan tenaga dalam.
"Tahan!" seru
Syakuntala kepada para pemanah itu. Kemudian ia berseru kepada Batuk Maragam
yang sudah berdiri tegak karena perahu sudah tidak oleng hebat seperti tadi.
Namun keadaan perahu masih tertahan oieh suatu kekuatan yang diduga datangnya
dari kapal besar itu.
"Batuk Maragam! Kau tak
perlu tunjukkan bahwa kekuatanmu masih ada. Aku bisa rasakan kau masih
mempunyai kekuatan seperti dulu, dan aku pun merasa dapat tumbangkan dirimu
dengan lebih mudah lagi dari yang dulu. Tapi aku punya kepentingan tersendiri
dengan dirimu, Batuk Maragam!"
"Apa kepentinganmu selain
menuntut balas pada-ku?!"
"Dari jauh kucium bau
tuak yang aneh. Kurasa salah satu dari orang-orangmu itu ada yang sedang
kucari-cari!"
"Apa yang kau, uhuk,
uhuk, ihiiik... ihiiik... heoik!" Batuk Maragam benar-benar terbatuk tanpa
sengaja. la terpaksa ulangi kata-katanya tadi.
"Apa yang kau cari,
Syakuntala?!"
"Seorang tabib ampuh yang
kondang dengan nama Tabib Darah Tuak!"
Bule terperanjat, demikian
pula Pesona Indah. Kedua gadis cantik itu memandang ke arah Pendekar Mabuk yang
masih diam berdiri tak jauh dari mereka. Pande Bungkus Ikut-ikutan memandang
Pendekar Mabuk, karena la pernah mendengar nama julukan Tabib Darah Tuak yang
disebutkan dua gadis itu kepada Suto Sinting. Sementara Suto Sinting sendiri
mulai merasa sedang diperhatikan oleh ekor mata Syakuntala, karena ia ingat
sebutan yang didengarnya dari mulut Jelita Bule tentang dirinya.
Syakuntala, kami tidak
mempunyai tabib di sini!" seru Batuk Maragam.
"Apakah aku harus percaya
dengan ucapanmu, Pendusta Tua?!" kata Syakuntala menandakan tidak percaya
dengan kata-kata Batuk Maragam. "Bagaimana dengan pemuda berbaju coklat
itu, Batuk Maragam?"
"O, dia hanya seorang
pedagang arak yang kebetulan menumpang perahuku!" jawab Batuk Maragam
bermaksud menutupi siapa diri Suto sebenarnya. Jelita Bule dan Pesona Indah
setuju dengan jawaban Itu. Tetapi Pande Bungkus yang ingin tetap bersama
pendekar kebanggaannya itu segera dekati Suto Sinting dan berseru kepada
Syakuntala,
"Kalian tidak bisa
membawa Kang Suto! Karena Pendekar Mabuk kami Ini bukan Tabib Darah Tuak!"
Namun ucapan Pande Bungkus itu
justru membuat Syakuntala serukan tawanya. Hati kedua gadis dan Batuk Maragam
sempat kesal atas seruan Pande Bungkus. Slkap itu justru menunjukkan bahwa Suto
Sinting adalah Tabib Darah Tuak.
"Batuk Maragam, orangmu
telah mengakul bahwa pemuda ini bukan seorang pedagang arak, melainkan dialah
Tabib Darah Tuak yang kami cari-cari itu!"
Jelita Bule segera menarik
Pande Bungkus dengan mencengkeram rompinya.
"Kau ternyata mata-mata
mereka, Pande Bungkus!" geram Jelita Bule. Tentu saja anak muda yang polos
itu menjadi bingung dan merasa takut melihat wajah Jelita Bule tampak berang.
Suto Sinting segera berkata
pelan, "Dia bukan mata-mata. Dia hanya melepas kepolosannya yang cenderung
berkesan bodoh."
"Tidak bisa! Dia pasti
orang kapal itu yang menyamar menjadi pemuda bodoh!" geram Jelita Bule
lagi tanpa memandang Suto melainkan menatap tajam ke wajah Pande Bungkus.
"Paman," kata Pesona
Indah. "Apa pun yang terjadi kami akan pertahankan Suto Sinting agar tak
berurusan dengan Syakuntala!"
"Tenanglah dulu kalian
ini. Jangan tampakkan ketegangan sendiri di depan Syakuntala. Nanti dia akan
manfaatkan ketegangan di antara kita," kata Batuk Maragam yang tak jadi
lanjutkan ucapannya karena Syakuntala telah berseru dengan suaranya yang
lantang.
"Aku akan membawa Tabib
Darah Tuak itu ke Tanah Hindus, Batuk Maragam! Beritahukan kepada orang-orangmu
agar tak menghalangi niatku jika mau selamat!"
"Orang-orangku tak akan
menghalangi, tapi akulah yang akan menghalangi niatmu itu, Syakuntala!"
"Batuk Maragam,"
geramnya keras sekali. "Jangan memancing kemarahanku saat ini! Kita punya
waktu sendiri untuk sallng lepaskan dendam. Sekarang kumohon kau tidak
mempersulit niatku agar perahumu itu tidak pecah dan perjalananmu tidak
terganggu!"
Paman, ini sebuah
ancaman!" kata Pesona Indah. "Saya akan hadapi ancaman Itu demi
kesembuhan sang Ratu!"
Jelita Bule pun menimpali,
"Kami berdua akan menyerangrrya, Paman!"
"Jangan! Tahan dulu.
Kalian tak perlu ikut berurusan dengannya!" kata Batuk Maragam dengan
suara pelan.
Akhirnya Suto Sinting bicara juga
setelah melihat orang-orang perahu saling bersitegang."
Pendekar Mabuk segera
melangkah ke tempat yang lebih tinggi dan berseru kepada Syakuntala,
"Apa maumu,
Syakuntala?!"
"Membawa Pendekar Mabuk
yang menjadi Tabib Darah Tuak ke Tanah Hindus. Raja kami dalam keadaan sakit
parah dan membutuhkan pertolonganmu, Tabib!"
"Aku bukan tabib! Aku
manusia biasa!"
Syakuntala diam saja, matanya
memandang tajam kepada Pendekar Mabuk. Tiba-tiba tangannya menyentak ke depan
bagai membuang sesuatu. Ternyata sekilas sinar hijau kecil melesat dari tangan
itu menghantam perut Pande Bungkus yang sedang kebingungan mencari tempat
berlilndung. Claapp...! Bllesss...!
"Aahg...!" Pande
Bungkus terpekik tertahan. Matanya sempat terbellak sebentar, lalu ia pun roboh
dl ba-wah tiang layar. Brrukk...! Semua mata memandang ke arahnya dan menjadi
tegang karena meiihat tubuh Pande Bungkus keluarkan asap putih dengan kullt
bergerak-gerak ingin mengelupas berwarna merah matang.
Syakuntala berteriak dalam
tawa,
"Ha, ha, ha, ha...! Anak
muda Itu telah terkena Racun Llur Naga-ku. Dalam dua puluh hitungan dia akan
mati terkelupas dan matang tubuhnya. Seperti kau ketahui, Batuk Maragam, bahwa
Racun Llur Naga tak pernah ada penangkalnya dan hanya bisa dlsembuhkan oieh
tuak sakti milik seorang tokoh tua yang tinggal di Jurang Lindu. Konon tokoh
tua itu adalah murid si Tabib Darah Tuak. Jika begitu, maka anak muda itu akan
tertolong nyawanya se-andainya Tabib Darah Tuak segera menyembuhkannya!"
Batuk Maragam tampak tegang
walau tetap berusaha ditutup-tutupi. Tapi kedua gadis utusan Negeri Malaga itu
tak bisa menutupi kecemasan dan ketegangannya. Mata mereka tertuju kepada Suto
Sinting seakan ingin meiihat apa yang akan dilakukan Suto Sinting terhadap
Pande Bungkus.
Suto Sinting hanya membatin,
"Dia menjebakku! Pandai sekali caranya membuktikan kebenaran dugaannya
tentang diriku. Sial! Mau tak mau aku harus sembuhkan Pande Bungkus agar anak
muda itu tak menjadi korban sia-sia."
Pendekar Mabuk bergegas dekati
Pande Bungkus, tapi langkahnya dihadang oieh Jelita Bule. Gadis itu pegangi
dada Suto Sinting dan berkata,
"Jangan lakukan apa-apa
terhadap Pande Bungkus, nanti dia tahu kalau kau adalah Tabib Darah Tuak!"
"Aku tak pedull dia tahu
atau tidak, tapi Pande Bungkus tak boleh mati sia-sia. Dia tidak bersalah
kepada kita atau kepada mereka. Kasihan kalau dia harus jadi korban."
"Kumohon jangan lakukan
demi sembunyikan jati dirimu!" Pesona Indah menimpali dalam ucapan
bisik-blsik.
Tetapi Suto Sinting agaknya
tidak mau pedulikan cegahan mereka. Tubuh Jelita Bule segera disingkirkan
dengan menepiskan tangan penahannya. Lalu tubuh itu didorong ke samping dengan
sentakan kecil, Suto Sinting dekati Pande Bungkus yang kulit tubuhnya mulai
terkelupas di sana-sini. Anak muda itu mengerang kesakitan dengan suara lirih.
Suto Sinting buru-buru tuangkan tuaknya ke mulut Pande Bungkus hingga tuak
tertelan dan Pande Bungkus terbatuk-ba-tuk. Sementara itu Batuk Maragam jadi
ikut-ikutan batuk karena mendengar suara Pande Bungkus yang ter-sedak dan terbatuk-batuk.
Syakuntala dan orang-orang
kapal memusatkan pandangan mata ke arah Suto Sinting. Mereka meiihat asap yang
mengepul dari tubuh Pande Bungkus mulai berkurang. Warna merah matang pada
tubuh Pande Bungkus pun mulai pudar. Sementara itu, Pendekar Mabuk segera temui
Batuk Maragam dan berkata,
"Maafkan aku, Paman! Aku
harus lakukan penghajaran kepada Syakuntala!"
"Dia berbahaya,"
bisik Batuk Maragam bernada tegang. "Bisa-bisa yang lain menjadi korban
murka. Tapi kuharap kau tidak turuti keinginannya untuk membawa- mu ke Tanah
Hindus. Sebab jika sudah sampai sana mustahil kau dllepaskan dan bisa kembali.
Mereka akan menawanmu dan memaksamu menjadi Tabib Darah Tuak yang akan
mendampingi Raja setiap saat. Raja Kulana Baham mempunyai tiga puteri cantik-cantik,
salah satunya mirip dengan kekasihmu; Dyah Sari-ningrum, yang pernah kulihat
melalui teropong batinku itu. Kau akan terpikat dengannya karena mereka
dibekali ilmu pemikat hati yang amat tinggi."
"Jika begitu aku harus
gunakan siasat untuk me-nundukkannya," gumam Pendekar Mabuk seperti bicara
dengan diri sendiri. Gumaman itu didengar oleh Jelita Bule dan Pesona Indah.
Kedua gadis itu hanya saling pandang tanpa bicara apa pun.
Pande Bungkus tampak segar, ia
sudah bisa bangkit dan duduk dalam keadaan tubuhnya pulih seperti sediakala.
Keadaan itu membuat senyum Syakuntala kian lebar, wajah para anak buahnya juga
tampak cerah ceria.
"Tak salah dugaanku,
ternyata memang Tabib Darah Tuak ada di perahu itu!" seru Syakuntala
kepada anak buahnya, tapi maksud seruan itu ditujukan kepada Batuk Maragam.
Sambungnya lagi,
"Sebaiknya sekarang juga
jemput pemuda tampan itu dan pindahkan ke kapal kita! Lakukan...!"
"Tunggu...!* seru
Pendekar Mabuk yang membuat dua orang yang ditugaskan menjemput Suto itu
menjadi berhentl tak lanjutkan gerak. Syakuntala memandang Pendekar Mabuk
dengan jumawanya.
Syakuntala! Aku mau kau bawa
ke Tanah Hindus jika kau bisa kalahkan diriku dalam pertarungan satu lawan
satu!"
"Kau hanya membuang-buang
waktu, Tabib Darah Tuak!"
"Kalau kau tak berani
menghadapi tantanganku, berarti kau berilmu rendah dan tak pantas dihormati
oleh para anak buah! Aku mau dibawa ke Tanah Hindus asalkan dijemput orang
tersakti di Tanah Hindus."
"Akulah penjemputmu,
Tabib Darah Tuak!"
Syakuntala kelihatan mulai
terpancing oleh keangkuhannya sendiri. Pendekar Mabuk sengaja membangkitkan
kemarahan Syakuntala untuk mengatur siasat. Suto pun berseru kembali,
"Raja Kulana Baham salah
pilih. Mestinya dia mengutus orang yang bisa unggul dalam pertarungan melawan
Pendekar Mabuk, bukan orang yang besar mulut tapi tak mempunyai kemampuan
menundukkan Pendekar Mabuk"
"Kau pikir aku perwira
biasa, hah?! Aku adalah Panglima Pasukan Tanah Hindus, bukan sekadar manusia
berderajat perwira biasa!" nada bicara Syakuntala mulai meninggi dengan
mata mulai mendelik lebar.
Itulah yang diharapkan Suto
Sinting sehingga Suto pun berseru lagi,
"Jika benar kau seorang
panglima terpercaya, tentunya kau bersedia menerima tantangan kesatriaanku,
Syakuntala! Kurasa kau hanya mengaku-aku sebagai panglima biar disegani dan
dihormati oieh orang-orang di sekelilingmu itu. Buktinya kau berusaha
menghin-dari pertarungan denganku." Syakuntala menggeram penuh kemarahan
karena pada saat itu beberapa orang yang menjadi prajuritnya memandang ke arahnya,
seakan ingin mengetahui ke putusan Syakuntala dalam menghadapi tantangan
tersebut. Dengan wajah semburat merah karena menahan malu dan marah, Syakuntala
pun berseru,
"Baikl Kuterima
tantanganmu, Tabib Darah Tuak! Tentukan di mana tempatnya kita lakukan
pertarungan, dan kapan waktunya?!"
Pendekar Mabuk berbisik kepada
Batuk Maragam yang bersebelahan dengan Jelita Bule, sedangkan Pande Bungkus
dalam pengawasan Pesona Indah.
"Berapa lama kita akan
tiba di Negeri Malaga dan berapa hari kita akan berada di sana, Paman??"
"Perjalanan akan sampai
tujuan esok pagi," jawab Jelita Bule. Batuk Maragam menimpali,
"Tentang waktu di sana
kau bisa perkirakan sendiri."
Setelah diam sesaat, Pendekar
Mabuk berseru kepada Syakuntala, "Syakuntala! Lima hari lagi kita bertemu
di Bukit Mata Laut, yang ada di pesisir utara tanah Jawa! Kurasa kau dapat
temukan bukit itu dengan mudah jika kapalmu berlayar lurus ke arah
selatan."
"Baik. Kubuktikan
kemampuanku menundukkan dirimu di bukit itu!"
PELAYARAN menjelang matahari tenggelam
sung-guh merupakan pelayaran yang sangat indah. Mentari berubah menjadi merah
dan sinarnya membentuk cahaya indah juga yang memancar mero-nai langit dengan
warna-warna tembaga berkilauan. Cakrawala kelihatan menghitam bagaikan bibir
raksasa yang siap menelan sang mentari. Pelayaran senja membuat para penghuni
perahu kecil itu memandang terpesona ke arah cakrawala, kecuali Batuk Maragam.
Tokoh tua Ini justru diam dan menyendiri di buritan dengan berlipat tangan di
dada, rambutnya meriap-riap dipermainkan oieh hembusan angin laut.
Batuk Maragam ituliah orang
pertama yang meiihat sebuah titik bergerak menuju ke perahunya dengan kecepatan
tinggi. Titik hitam itu makin lama semakin jelas bentuknya. Ternyata ia adalah
seorang perempuan yang berdiri di atas selembar daun kelapa hijau. Daun kelapa
hijau bergerak cepat bagaikan dikendalikan oieh kekuatan tenaga dalamnya yang
terpancar dari kedua kaklnya. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin daun
kelapa yang masih hijau itu mampu digu-nakan alas berdiri dan tidak tenggelam
menahan beban tubuh si perempuan tersebut.
Pandangan mata Batuk Maragam
semakin dipertajam untuk mengenali siapa perempuan yang seolah-olah unjuk
kesaktiannya di atas daun kelapa hijau itu. Pakaiannya ketat warna ungu muda
model angkin sampai dada, celana beludrunya berhias benang emas pada tepiannya.
Jubah yang dikenakan adalah jubah ungu tua. la adalah seorang gadis yang
usianya sekitar dua puluh lima tahun, tapi sebenarnya sudah lanjut usia. la
menyandang pedang yang dibalut kain ungu di punggungnya. Rambutnya disanggul
sebagian sisanya me-riap-riap dihembus angin kecepatan geraknya. Semakin dekat
semakin terlihat bentuk kecantikannya yang berhidung mancung dan bermata indah
tapi berkesan galak.
Gemuruh ombak yang ditimbulkan
dari gerakan laju daun kelapa itu menimbulkan daya tarik sendiri bag! Suto
Sinting dan dua utusan Negeri Malaga itu untuk berpaling memandang ke arah
depan perahu. Suto Sinting terkesiap dalam pandangan herannya, sedangkan dua
gadis utusan Ratu Rangsang Madu itu segera ke-rutkan dahi dan bergegas dekati
arah buritan perahu.
Jelita Bule ucapkan kata
kepada Pesona Indah dengan tetap pandangi gadis yang menuju ke perahu mereka
itu,
"Rasa-rasanya kita kenal
dengan wanita itu, Pesona Indah!"
"Ya. Aku tidak lupa dengannya.
Dia adalah Pelangi Sutera, orang andalan Ratu Asmaradani dari Negeri Kencana
Ringgit yang ada di dasar laut!"Memang benar, wanita itu adalah Pelangi
Sutera yang mempunyai nama asli Sumbaruni, bekas istri Jin Kazmat. Suto Sinting
kenal betul dengan perempuan cantik itu, sebab perempuan cantik itu pernah
nyatakan cinta kepada Suto dan ingin bersuamikan Pendekar Mabuk.
Suto juga tahu bahwa Pelangi
Sutera dulu memang panglima negeri dasar laut yang dipimpin oieh seorang ratu
cantik bernama Ratu Asmaradani, tapi sekarang Sumbaruni sudah tinggalkan negeri
itu dan tidak menjadi panglima lagi. la membaur dalam kancah persilatan sebagai
tokoh yang sering membantu Pendekar Mabuk dalam menghadapi kesulitan demi
cintanya dan rasa tak ingin kehilangan murid sinting si Gila Tuak itu. (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu Tanpa Tapak").
"Ada apa dia menyusulku
kemari? Apakah Guru sedang sakit?" pikir Suto, karena ia tahu bahwa
Sumbaruni belakangan ini memang sering adakan pertemuan dengan gurunya; Gila
Tuak dan Bidadarl Jalang. Barangkali pendekatan terhadap gurunya Suto Sinting
itu mempunyai maksud agar Sumbaruni dapat membujuk sang Guru supaya memaksa
muridnya mengawini Sumbaruni. Tapi hal seperti itu hanya merupakan dugaan
semata yang terlintas di benak Suto Sinting.
Kehadiran Sumbaruni memang
menimbulkan pertanyaan batin bagi Batuk Maragam. Wajah cantik perempuan itu
tampak muram dan memendam kemarahan. Ketika sudah mendekati perahu, tubuh
Sumbaruni segera melompat dan bersalto satu kali di udara, lalu dengan sigap
kakinya menapak di atas atap barak pe-lindung yang ada di perahu itu, sehingga
ia berada di-ketinggian tempat. Daun kelapa hijau dibiarkan tera-pung-apung
dipermainkan ombak sore; tapi tak hanyut terbawa ombak, melainkan bagaikan mengikutl
laju perahu layar putih itu. Sepertinya Sumbaruni tanamkan satu kekuatan pada
daun kelapa satu pelepah utuh itu sebuah kekuatan yang dapat menglkutinya ke
mana pun ia pergi bersama perahu tersebut.
"Sumbaruni, apa maksudmu
datang kemari?!" sapa Batuk Maragam dari tempatnya. Perempuan cantik itu
diam saja, pandangi wajah Jelita Bule dan Pesona Indah. Sikap memandangnya itu
berkesan penuh permusuhan, walau sebenarnya antara Negeri Malaga dengan Negeri
Kencana Ringgit tak punya masalah apa-apa. Tapi agaknya kali ini Sumbaruni
pribadi merasa punya masalah dengan kedua orangnya Ratu Rangsang Madu itu.
"Apa maksudmu
memandangiku begitu, Pelangi Sutera?!" sapa Jelita Bule dengan nada
menghardik.
"Aku hanya ingin melihat
wajah orang lancang, yang berniat mengorbankan jiwa tak bersalah sebagai tumbal
kesembuhan orang lain!" kata Sumbaruni dengan ketus.
"Apa maksudmu berkata
begitu?!" sentak Pesona Indah yang tampak siap menyerang sewaktu-waktu.
"Aku tak Izinkan Pendekar
Mabuk pergi ke Pulau Selayang! Aku mendengarnya dari Setan Arak, bahwa ratu
kalian terkena Racun Bulan Madu milik Nyai Sunti Rahim. Aku bisa mengetahui
kekuatan racun itu, tak akan bisa disembuhkanoleh siapa pun kecuali oieh darah
Pendekar Mabuk. Itu sama saja kalian menghendaki kematian Suto Sinting sebagai
tumbal kesembuhan ratu kalian! Aku tak rela kalau Pendekar Mabuk kalian jadikan
tumbal. Bila perlu aku akan hadapi ratu kalian dengan caraku sendiri untuk
menegur perintah ke-jinya itu!"
Sraangng...! Pesona Indah
cabut pedang lebih dulu.
Sraang...! Sumbaruni juga
mencabut pedangnya. Sementara itu Jelita Bule masih belum menghunus pedangnya,
tapi tangan sudah menggenggam gagang pedang. la mundur dua langkah seakan
berikan tempat buat Pesona Indah untuk lakukan serangan terhadap Sumbaruni yang
dianggap berani menantang ratu mereka itu.
Tapi Suto Sinting segera
melompat dan kini ada diatas atap barak juga.
"Sumbaruni, tahan
kemarahanmu!"
"Kau pendekar
bodoh!" geramnya dalam sentakan pelan. "Kau mau dijadikan tumbal
kesembuhan Ratu Rangsang Madu, mengapa kau tidak menolak dan melawan niat
mereka?!"
"Aku datang ke sana hanya
untuk melihat sejauh mana kekuatan Racun Bulan Madu, dan dengan cara apa bisa
disembuhkan tanpa menggunakan darahku! Kalau toh harus gunakan darahku,
sebanyak apa yang dibutuhkannya. Jika hanya setetes dua tetes, apa sa-lahnya
jika aku menoiong seseorang dengan memberikan darahku?"
"Darah yang dibutuhkan
untuk memusnahkan racun itu adalah separo dari jumlah darah yang ada dalam
tubuhmu. Dan itu berarti kau akan mati kehabisan darah, Suto!"
"Dari mana kau
mengetahuinya?"
"Aku mempunyai iimu
'Getar Sukma' yang bisa mengukur kekuatan ilmu seseorang dan jenis-jenis iimu
itu dengan hanya mendengar namanya saja. Tidak- kah kau ingat tentang iimu
'Getar Sukma'-ku itu, Suto Sinting?!"
Pendekar Mabuk segera tarik
napas dalam-dalam. la terbungkam sesaat merenungi kata-kata itu. Jelita Bule
berbisik kepada Pesona Indah,
"Rangse jasa, arbi dakti
kinbi bibta bahru rankirpi!"
"Gutung ludu. Hatlih
nyasantuspu."
Sementara itu Sumbaruni
berkata kepada Suto, "Pikirkanlah langkahmu yang bodoh itu. Jangan kau
ke-cewakan guru-gurumu hanya karena kematian murid bodohnya. Sebaiknya pulang
saja, jangan mau peduli lagi tentang mereka!"
"Aku penasaran, ingin
meiihat seperti apa kekuatan Racun Buian Madu di tanganku. Benarkah harus
dengan cara mengorbankan jiwaku atau...."
"Pulang saja!"
potong Sumbaruni dengan tegas, "Atas perintah gurumu, aku harus memaksamu
pulang, Suto Sinting!"
"Sumbaruni!" seru
Batuk Maragam. "Aku yang bertanggung jawab tentang keseiamatan Pendekar
Mabuk selama di Pulau Selayang!"
"Kau tak tahu banyak
tentang kekuatan Racun Bulan Madu itu, Brajamusti!" geram Sumbaruni dengan
berani karena sebenarnya ia berusia sama dengan Batuk Maragam yang bernama asli
Brajamusti itu.
"Tahu ataupun tidak tahu,
aku yang bertanggung jawab atas keselamatan murid si Gila Tuak! Jadi kurasa kau
tak perlu memaksanya untuk puiang!"
"Aku diperintahkan oieh
si Gila Tuak!" sentak Sumbaruni. "Kalau kau mau berurusan dengan si
Gila Tuak silakan saja! Aku tak mau ikut campur! Kalau kau tetap ingin bawa
Suto Sinting ke Pulau Selayang, kau harus meminta izin kepada Gila Tuak dan
Bidadari Jalang lebih dulu, Brajamusti!"
"Waktunya terlalu
sempit," Brajamusti beralasan, setelah itu terbatuk-batuk sebentar, lalu
berkata lagi, "Aku akan berurusan dengan Gila Tuak dan Bidadari Jalang
sepulang kami dari Pulau Selayang!"
"Aku tetap tidak izinkan
kalian membawa Suto ke sana!"
"Kaiau begitu aku harus
memaksamu puiang sendiri dengan kekerasan, Pelangi Sutera!" ujar Pesona
Indah dengan mata menyipit penuh tantangan.
Sumbaruni menatap Pesona
Indah, tajam sekali tatapannya itu. Ternyata tatapan mata tersebut mempunyai
gelombang tenaga dalam yang terpancar dan membuat Pesona indah bagai dibakar
sekujur tubuhnya. Panas dan menyakitkan. Tetapi Pesona Indah sadar akan hal
itu, maka ia segera kerahkan tenaga hawa dinginnya secara diam-diam untuk
meiawan gelombang hawa panas itu. Tubuh Pesona Indah menjadi gemetar dan
urat-urat iengannya tampak mengencang.
Jelita Bule tahu bahwa
temannya sedang diserang. Maka dengan cepat ia lepaskan sinar kuning emasnya ke
arah Sumbaruni. Ciaapp...! Suto Sinting yang meiihat kiiatan cahaya kuning
emas mengancam nyawa Sumbaruni. ia sendiri tak mau Sumbaruni menjadi korban perkara
itu. Maka dengan sentakan cepat ia mendorong tubuh Sumbaruni hingga terjatuh,
sementara Suto sendiri mundur dalam satu sentakan cepat.
Wuuuttt...!
Brruukk...!
Sumbaruni jatuh terpelanting
tepat sinar kuning emas melintas di tempat berdiri semula, sedangkan Pendekar
Mabuk yang menyentak mundur itu tak perhitungkan langkah hingga ia jatuh ke
laut. Byuuurr...!
Sumbaruni yang merasa telah
diserang terang-te-rangan segera lepaskan pukuian peiumpuh yang beru-pa sinar
kuning berbentuk seperti bintang dengan cara melemparkannya menggunakan tangan
kiri. Slaapp...! Slaapp...! Sinar kuning itu bergerak dengan cepat. Jika bukan
orang berilmu tinggi seperti Batuk Maragam atau Pendekar Mabuk, tak bisa
meiihat bentuk sinar kuning itu. Ternyata sinar kuning tersebut tepat kenai uiu
hati dan pinggang kedua utusan tersebut. Jeebs, jleebs...!
Brruukk...! Kedua utusan Pulau
Selayang roboh di tempat bagaikan kehilangan seluruh tenaganya. Tak satu jari
pun bisa digerakkan oleh Jelita Bule maupun Pesona Indah. Bahkan ketika mereka
mengerang, suara mereka lirih sekali karena seluruh tenaganya bagaikan lenyap
seketika itu. Brruss...!
Sesosok tubuh melompat dari
kedalaman air dan hinggap di tepian lambung perahu. Sosok tubuh itu adalah
Pendekar Mabuk yang tadi terjatuh karena bergerak mundur tanpa perhitungan.
Kemunculan Suto dari dalam laut sebenarnya ingin mencegah terjadinya
pertarungan yang membahayakan kedua utusan tersebut. Sebab Suto Sinting tahu
bahwa Sumbaruni mempunyai ilmu lebih tinggi daripada ilmu yang dimiliki Jelita
Bule dan Pesona indah. Tetapi agaknya dia sudah terlambat. Kedua utusan itu
telanjur lumpuh mendadak bagai kehilangan seluruh ilmunya.
"Sumbaruni!" sentak
Suto. "Aku tak setuju kau mempergunakan pukulan 'Anak Rembuian'-mu itu!
Kau curang!"
"Aku tak peduli! Tugasku
hanya membawa kau pulang dan menghadapkan kepada kedua gurumu yang sekarang
berkumpul di Jurang Lindu!" kata Sumbaruni hanya sekadar mempengaruhi
pikiran Suto, padahal ia tidak mempunyai perintah apa-apa, bahkan bertemu
dengan Gila Tuak pun tidak, selain hanya bertemu si Setan Arak alias Bongkok
Sepuh.
Pande Bungkus yang melihat
Pesona Indah jatuh lumpuh segera mencari simpanan batu kerikiinya yang sudah
dipersiapkan sebelum perahu berlayar dari pantai. Batu itu ada yang
disembunyikan di buritan, galang-an, bawah tiang layar dan di beberapa tempat
iainnya. Batu itu segera diambilnya salah satu, lalu dipasang pa- da
ketapelnya. Dengan berlindung tiang layar, Pande Bungkus melepaskan ketapelnya
ke arah Sumbaruni. Breeett...! Weess...!
Sumbaruni menyangka mendapat
serangan berbahaya, ia segera kibaskan pedangnya ke samping. Trrrilng...! Batu
Itu berhasil dibelah dengan pedangnya sambii tubuh meliuk ke samping untuk
hindari batu tersebut. Karena tak ada ledakan apa pun, maka Sumbaruni tahu batu
itu hanyalah batu biasa tanpa tenaga dalam. Matanya segera memandang tajam ke
arah Pande Bungkus yang ketakutan dan bersembunyi di balik tiang. Sumbaruni
melompat turun ke geladak dan ingin hampiri Pande Bungkus. Tetapi Batuk Maragam
segera lompat ke depan dan tegak dl hadapan Sumbaruni. Langkah wanita cantik
berkesan galak itu pun terhenti dan mata menatap tajam pada Batuk Maragam.
"Jangan sangka aku mundur
walau kau yang maju, Brajamusti!" geram Sumbaruni. "Bagaimanapun juga
aku akan berusaha membawa puiang Suto Sinting!"
"Agaknya memang harus
begitu; kita berhadapan dan saling pertahankan pendirian masing-masing,
Sumbaruni!"
Setelah berkata demikian,
Brajamusti pun lepaskan suara batuknya yang mengandung kekuatan tenaga dalam,
"Uhuk, uhuk, ehek, ohok, ihuk, Ihuk, ihiikk!"
Tubuh Sumbaruni terpental ke
sana-sini bagai menghindarl gelombang getaran tenaga dalam yang memekakkan
telinganya dan menyambar tubuhnya kian kemari. Telinga Sumbaruni hampir saja
pecah jika ia tidak imbangi dengan suara siulan dari mulutnya yang dinamakan
jurus 'Siulan Hantu' itu.
"Siiuutt... ! siuuttt...
siiuuutt...!"
Krrraaak... ! Braaakk... !
Tiang layang patah dan tumbang
ke buritan. Hampir saja tubuh Pande Bungkus terhimpit tiang layar itu. Siulan
tersebut hadirkan kekuatan tenaga dalam cukup besar hingga dapat patahkan tiang
layar. Tentu saja Batuk Maragam merasakan sentakan kuat di telinganya kala
siulan itu melengking tinggi.
Suto Sinting yang baru saja
mau tuangkan tuak ke mulut Jelita Bule menjadi terkejut dan tersentak mendengar
siulan itu. ia bahkan sempat mundur selangkah dari jongkoknya dan segera tahan
napas untuk kerahkan tenaga pembendung suara itu. Dengan demikian Pendekar
Mabuk bisa atasi gelombang suara bertenaga pemecah gendang telinga. Telinganya
tidak mengalami luka, namun ia segera meiihat darah mengaliir dari lubang
telinga Jelita Bule, juga lubang telinga Pesona Indah. Sedangkan Pande Bungkus
sibuk membebaskan diri dari layar yang membungkus tubuhnya dan robek di
beberapa tempat itu.
"Bahaya! Sumbaruni mengamuk
kepada Paman Batuk Maragam yang jadi korban pihak lain! Kutunda dulu pengobatan
kepada Jelita Bule dan Pesona indah...!" pikir Suto segera bangkit dan
menutup bumbung tuaknya.
Batuk Maragam lepaskan pukuian
tanpa sinar dari jarak jauh ke tubuh Sumbaruni yang sudah berada di atas atap
barak lagi itu. Wuuutt...! Pukuilan dari sodokan empat jari tangan kanannya itu
segera ditahan dengan tangan kiri Sumbaruni yang merentangkan telapak tangannya
tepat di ulu hati. Deeb...! Telapak tangan itu langsung berasap dan melepuh
karena tak kuat menahan hawa panas tinggi dari pukulan jarak jauh Batuk
Maragam.
Sumbaruni buru-buru
mengibaskan tangannya sambil sentakkan kaki dan meienting di udara. ia
ber-saito satu kali, hingga di tepian lambung, menyentak-kan kaki lagi sehingga
tubuhnya melesat bagaikan ter-bang sambii mengibaskan pedangnya ke arah Batuk
Maragam. Weesss...! Trang, trang, trang...!
Tiga kali tebasan pedang
Sumbaruni hanya ditang-kis dengan kelebatan tangan kanan-kiri. Lengan Batuk
Maragam bisa mengeras seperti baja yang mampu memercikkan bunga api ketika
beradu dengan pedang Sumbaruni.
Plaakk ..! Tangan itu
berkelebat menampar wajah Sumbaruni dan dalam satu tamparan saja wajah
perempuan cantik itu menjadi biru legam separo bagian. Tubuhnya terlempar,
jatuh membentur dinding barak. Braakk...! Dinding barak dari kayu jati pecah
sebagian akibat benturan tubuh Sumbaruni.
"Celaka! Dia benar-benar
kerahkan tenaga untuk membunuhku?" pikir Sumbaruni dengan mengibaskan
kepalanya karena pandangan matanya menjadi buram dan rasa panas menyengat
sekujur kepala. Sumbaruni ingin lepaskan tenaga daiamnya dari tangan kiri,
tetapi tangan kirinya sudah telanjur meiepuh dan berwarna merah matang. Namun
ia segera bangkit dan masih berusaha menghadapi Batuk Maragam dengan pedang di
tangan kanannya.
Batuk Maragam bergerak tak
terlihat. Tahu-tahu sudah berada di belakang Sumbaruni. Naiuri perempuan itu
terpasang dengan peka, sehingga ketika ia rasakan ada hembusan udara panas dari
arah belakang, ia segera putarkan tubuh dan kakinya berkelebat menendang.
Wuuu...! Wuuuss...! Plookk...!
Wajah Batuk Maragam tertampar
oleh tendangan kaki Sumbaruni. Sementara pukulan tenaga dalam yang keluar dari
telapak tangan Batuk Maragam melemparkan tubuh Sumbaruni jatuh ke perairan
laut. Byuurrr...! Batuk Maragam sendiri teriempar ke samping, membentur dinding
barak dengan keras. Braakkk...!
"Celaka kalau
begini!" gumam Suto sendirian. "Bagaimana aku harus meleraikan
pertarungan mereka?! Mereka tampak menggunakan jurus-jurus maut! Salah-salah
nyawaku bisa jadi korban kemurkaan mereka."
"Kang, tolong aku,
Kang!" terdengar suara Pande Bungkus sedang berkutat keblngungan keluar
dari kain iayar yang membungkusnya. Suto Sinting terpaksa membantunya keluar
dari selubung kain layar itu. Perahu itu terapung-apung dipermainkan ombak yang
kian membesar akibat senja semakin tua, matahari tinggal mengintip separo
bagian dl cakrawala merah sana.
Brruusss...! Sumbaruni
melompat dari kedalaman laut, langsung hinggap di tepian perahu. Kemunculan-nya
segera disambut oleh Batuk Maragam dengan gerakan tubuh yang melayang
menerjang cepat. Wuusss...! Tetapi tubuh itu pun segera disongsong oieh jurus
pedang Sumbaruni yang membuat tubuhnya Ikut melayang menerjang lawan.
Akibatnya, ujung pedang Sumbaruni dihujamkan ke dada Batuk Maragam dengan telak
sekali dan terlihat jelas oleh Pendekar Mabuk.
Suutt...!
Traaang...!
Telapak tangan Batuk Maragam
menghadang tepat di ujung pedang. Telapak tangan itu pun berubah bagaikan baja
yang tak mampu ditembus ujung pedang Sumbaruni. Benturan ujung pedang dengan
telapak tangan membuat Sumbaruni terpental mundur kembali, demikian pula tubuh
Batuk Maragam. Tapi keduanya mendaratkan kakinya di tepian lambung perahu
saling berseberangan.
"Sumbaruni! Hentikan
pertarungan ini! Hentikan...!" teriak Pendekar Mabuk. "Paman, jangan
teruskan pertarungan ini! Berhentilah kalian!"
Rupanya teriakan Suto Sinting
tak dihiraukan oleh mereka. Terbukti tubuh mereka saling melesat sama-sama
melayang di udara dan saling berbenturan kembali. Kali ini tangan Batuk
Maragam menyala merah bara keduanya. Berkelebat dengan cepat memainkan jurus
dalam keadaan melayang, sedangkan Sumbaruni sendiri mempunyai pedang yang juga
menyala merah bara karena disaluri tenaga dalam yang tinggi. Bau besi terbakar menyebar
karena arah angin menuju ke tempat Suto Sinting berdiri.
Ketika keduanya saling beradu
kecepatan tangan dl udara menimbulkan suara denting bergemerincing, Pendekar
Mabuk menerjang dengan satu gerakan melompat cepat ke arah mereka bagaikan
angin berkelebat. Wuusss...!
Beeenggg...!
Tubuh Suto Sinting terlempar
sebelum menyentuh tubuh mereka. Gelombang tenaga dalam terpancar dari tubuh
kedua tokoh yang bertarung itu. Rupanya gelombang tenaga dalam yang terpancar
itu sama-sama besar dan kuatnya, sehingga ketika tubuh Pendekar Mabuk
menerjangnya bersama bumbung tuak di pundak kiri, kekuatan terjang Suto Sinting
itu menimbulkan benturan keras dengan gelombang tenaga dalam itu.
Byuuurrr...! Pendekar Mabuk
jatuh ke lautan dalam jarak tiga tombak dari perahunya. Bumbung tuaknya
teriempar lepas dari tangan.
"Kang Sutooo...!"
teriak Pande Bungkus sekuat tenaga. Teriakan itu membuat Batuk Maragam dan
Sumbaruni yang berdiri di tepian lambung perahu setelah sama-sama tersentak
mundur itu memandang dengan kaget. Mereka sama-sama hentikan serangan dan
memperhatikan arah jatuhnya Pendekar Mabuk.
"Kalian jahat! Kalian
membuat Kang Suto tenggelam!" teriak Pande Bungkus kepada Batuk Maragam
dan Sumbaruni yang terengah-engah dengan wajah ha-ngus sebelah. Mereka tetap
membisu dan memandang cemas ke arah jatuhnya bumbung bambu dan ke arah jatuhnya
tubuh Pendekar Mabuk.
Mereka semakin lebih cemas
lagi karena sampai sekian lama Pendekar Mabuk tidak muncul, bumbung tuaknya pun
tenggelam tak terlihat kemunculannya lagi. Sumbaruni sempat membatin,
"Ada apa di dasar laut
sana? Mengapa Suto tidak muncul lagi? Apakah ia tenggelam atau sengaja
bersembunyi di bawah sana? Tapi sudah sangat lama ia sembunyi di sana, mampukah
ia menahan napasnya selama ini?"
Batuk Maragam pun membatin,
"Jangan-jangan ia tergencet celah karang dan tak bisa keluar dari sana?
Hmm...! Bumbung tuaknya terpisah darinya. Tapi mengapa tenggelam terus?
Mestinya bumbung tuak itu muncul lagi di permukaan air. Ah, aku jadi curiga
dengan nasibnya! Aku bisa celaka kalau dia benar-benar dalam bahaya besar di
sana! Gila Tuak pasti akan murka kepadaku dan aku tak akan sanggup menandingi
ilmunya Gila Tuak!"
Wajah cemas Batuk Maragam kian
jelas. la bergegas ke buritan, Sumbaruni pun ke sana. Keduanya berdiri berjajar
menunggu kemunculan Pendekar Mabuk.SAMPAI tengah malam mereka menunggu
kemunculan Pendekar Mabuk dan mencarinya berulang kali, tapi Pendekar Mabuk dan
bumbung tuaknya tidak ditemukan oieh mereka. Hampir saja Sumbaruni beradu nyawa
dengan Batuk Maragam karena saling salah-menyalahkan. Untung keduanya segera
sadar bahwa pertengkaran mulut mereka tidak membawa hasil yang diharapkan,
yaitu kemunculan Suto Sinting kembali.
"Baiklah kita akui semua
ini kesalahan kita berdua!" kata Batuk Maragam. "Sebaiknya kita pula
yang ber-tanggung jawab atas hilangnya Pendekar Mabuk!"
"Kalau sudah begini apa
yang harus kita lakukan?!" tanya Sumbaruni sambii hempaskan napas
kekesalan hatinya. ia sudah berhasil sembuhkan luka meiepuh di tangannya itu,
dan luka hangus di sebagian wajahnya pun mampu disembuhkan sendiri dengan
mengerah-kan hawa murninya ke bagian yang terluka. Bahkan atas bujukan Batuk
Maragam, Sumbaruni sembuhkan Jeiita Buie dan Pesona indah dari kelumpuhan
dengan menggunakan jurus 'Lidah Mentari' yang berupa sinar putih dari
telunjuknya itu.
Hampir saja Jelita Buie marah
besar mendengar Suto Sinting hilang bagaikan tertelan ombak lautan. Untung
Batuk Maragam segera berkata,
"Kalian tak perlu
khawatir, tak akan disalahkan oleh Ratu Rangsang Madu. Aku akan bicara
dengannya dan bertanggung jawab atas hilangnya Tabib Darah Tuak itu! Kalau ratu
kalian mau marah, biarlah marah kepadaku!"
"Itu bisa saja
diatur," kata Jelita Bule. "Tapi bagaimana dengan nasib ratu kami
yang terserang Racun Bulan Madu itu?!"
"Beliau akan kecewa
sekali karena hanya darah Tabib Darah Tuak yang diharapkan dapat menawarkan
racun tersebut," timpal Pesona Indah dengan melirik dongkol kepada
Sumbaruni. "Gara-gara kau semuanya jadi kacau!"
"Aku hanya tak rela kalau
ia mati!" kata Sumbaruni dengan nada dingin.
Ada dua pihak yang kehendaki
hadirnya Suto Sinting; Ratu Rangsang Madu dan Raja Kulana Baham dari Tanah
Hindus. Keduanya sama-sama membutuhkan penyembuhan yang hanya bisa dilakukan
oleh Pende-kar Mabuk. Keduanya sama- sama mendengar nama Tabib Darah Tuak dari
mulut orang-orang yang kagum kepada cara penyembuhan Pendekar Mabuk itu.
Sementara Pendekar Mabuk sendiri menolak dirinya dikatakan sebagai tabib.
Tetapi agaknya ada pihak lain
yang membantu Ratu Rangsang Madu. Pihak lain itu tentunya punya maksud
tersendiri untuk kepentingan pribadi atau kepentingan perguruannya. Maksud
tersebut tak jelas dan tak mudah dipahami, karena Suto merasa habis mengalami
masa pingsan yang panjang. Begitu sadar ia sudah berada di depan gerbang sebuah
istana megah.
"Siapa yang membawaku
kemari?" pikirnya dengan heran dan memandang ke sana-sini.
Pemandangan pagi di sebuah
tempat yang asing baginya itu telah membuat Suto Sinting seperti pemuda bodoh
yang clingak-clinguk sambil garuk-garuk kepala. la pun terkejut ketika melihat
bumbung tuaknya ada di balik pohon itu, disandarkan dalam keadaan berdiri.
Padahal seingatnya ketika ia terlempar dari perahu, bumbung tuaknya terlepas
dan terlempar entah ke mana.Mata Pendekar Mabuk terkesiap ketika memandang ke arah
bangunan megah berbenteng putih dan berpintu gerbang warna hijau muda. Bangunan
itu jelas sebuah istana. Jaraknya dengan tempat tersebut sekitar lima puluh
langkah. Bangunan istana itu tampak asing bagi Pendekar Mabuk, sehingga
terdengar gumam dari mulutnya yang seolah-olah bicara dengan diri sendiri.
"Istana Muara Singa? Oh,
bukan! Istana Negeri Kencana Ringgit? Juga bukan! Lalu aku ini ada di depan
istana apa?"
Bluub...! Tiba-tiba segumpal
asap berhembus dari sebuah letupan yang terjadi di tanah samping kiri Suto
Sinting. Kala itu Pendekar Mabuk baru saja selesai menenggak tuak dan menutup
bumbung bambunya. Asap itu lama-lama memudar dan sesosok tubuh tua dengan
keadaan serba putih terlihat jelas berdiri di sana. Suto Sinting berkerut dahi
dengan rasa kaget dan heran.
"Kakek serba
putih...?!" ucapnya dalam hati. "Aneh. Orang tua ini sepertinya
seialu mengikutiku. Apa maksudnya?"
Kakek serba putih yang tak
lain adalah Setan Merakyat, kakak dari si Bongkok Sepuh itu, tampak sunggingkan
senyum tuanya dan berjalan pelan, tertatih-tatih dekati Pendekar Mabuk.
"Akhirnya kau sampai juga
kemari, Anak Muda."
"Kaukah yang selamatkan
aku dari laut dan membawanya kemari?" tanya Suto dengan nada pelan karena
masih tercekam rasa heran.
"Aku sekadar selamatkan calon
muridku saja," kata Setan Merakyat yang membuat dahi Suto kian berkerut.
"Aku tak paham maksud
kata-katamu, Kakek Setan Merakyat."
"Oho, ho, ho, ho...
rupanya kau sudah mengetahui namaku, Suto?"
"Ki Bongkok Sepuh atau si
Setan Arak yang mem-beritahukan namamu."
"Bagus sekali! Sudah
kuduga kau akan mengetahui namaku tanpa mendengar dari mulutku sendiri!"
Setan Merakyat kian dekat, lalu pundak Suto ditepuk-te- puknya. la memaparkan
wajah bangganya.
"Maukah kau menjelaskan
apa maksudmu membawaku kemari, Keek?"
"Aku membawamu kemari
karena di sinilah tempat tujuan perjalananmu."
"Maksudnya perjalanan
apa?"
"Bukankah kau dan
Brajamusti sedang menuju Pulau Selayang, untuk menemui Ratu Rangsang
Madu?"
"Benar. Apakah ini Negeri
Malaga, tempat sang Ratu Rangsang Madu bertakhta?" tanya Suto dengan nada
bimbang. Setan Merakyat manggut-manggut.
'Kau cerdas menyimpulkan
perkataan seseorang, Anak Muda. Aku sengaja membawamu kemari ketika kau pingsan
di dalam lautan, karena aku pun inginkan kau sembuhkan Ratu Rangsang Madu dari
cekaman Racun Bulan Madu itu."
"Mengapa kau menginginkan
demikian pula?"
"Ratu itu adalah anak
angkatku."
"Maksudmu, Mustikasari
adalah anak angkatmu?"
"Yang menjadi ratu di
negeri ini sekarang bukan Mustikasari, tetapi anaknya yang bernama Indriani
Puspita Dewi."
Suto Sinting tertegun sejenak,
mengingat-ingat cerita yang dituturkan oleh Batuk Maragam tentang anak gadis
Mustikasari yang dibuang itu. Bahkan Pendekar Mabuk berani membantah kata-kata
Setan Merakyat atas dasar cerita itu.
"Bukankah anak itu sudah
dibuang oieh Mustikasari, dan menjadi tugas Batuk Maragam untuk menemu-kannya
kembali jika hubungan mereka ingin berlanjut?" "Memang dibuang. Dan
akulah yang menemukan anak itu, lalu tanpa setahu siapa pun kubesarkan anak Itu
di Puncak Gunung Kemuning, kudidik sebagai muridku, namun tak sampai tamat ia
sudah telanjur ingin menemui ibunya. Ketika kuantarkan kemari, Mustikasari
dalam keadaan sakit parah. Anak itu sempat hidup bersama Ibunya selama delapan
bulan. Setelah ibunya meninggal, ia mewarisi takhta kerajaan dan diminta untuk
tetap menggunakan nama Ratu Rangsang Madu. Karena kedua perempuan itu ternyata
sama-sama menyukai madu lebah hutan. Wajah mereka tidak jauh berbeda, tapi
beberapa slfatnya memang ada yang berbeda."
Pendekar Mabuk
angguk-anggukkan kepala menandakan telah mengerti keadaan sang Ratu yang
sebenarnya. Setan Merakyat kelihatan senang sekali melihat Suto Sinting
memahami ceritanya. Sedangkan Suto sendiri segera ajukan tanya,
"Apakah Setan Arak juga
mengetahui siapa Ratu yang sekarang?"
"Tidak," jawab Setan
Merakyat. "Selama aku mendidik anak itu aku tak pernah keluar dari
pesanggrahan. Tak seorang pun yang tahu aku mendidik anak itu, karena tak
seorang pun yang bisa temukan diri kami di Puncak Gunung Kemuning itu."
"Mengapa segalanya
bersifat rahasia?"
"Karena aku takut adikku
tersinggung dan meng-anggapku ikut campur urusan pribadinya. Tentunya kau sudah
mendengar bahwa Mustikasari hamil tanpa suami?"
"Benar. Aku sudah
mendengarnya."
"Waktu itu Setan Arak bermusuhan
dengan Batuk Maragam. Jika aku merawat anaknya Batuk Maragam maka Setan Arak
akan menganggapku memihak Batuk Maragam. Padahal hal itu kulakukan semata-mata
karena kasihan kepada sang bayi. Jadi untuk menghindari pertengkaran antara aku
dengan adikku, maka terpak-sa segalanya kulakukan secara diam-diam."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
kembali. Setan Merakyat berkata,
"Sekarang secara pribadi
aku memohonmu menyembuhkan anak angkatku itu dari keganasan Racun Bulan Madu.
Jika dia takterkena Ra-cun Bulan Madu, mungkin aku masih diam di pertapa-anku
itu."
Setelah diam sesaat, Pendekar
Mabuk pun berkata, "Kakek Setan Merakyat, benarkah racun itu hanya bisa
dipunahkan oleh darah tuakku?"
"Benar."
"Apakah itu akan membawa
kematianku?"
"Tidak, Anak Muda. Memang
pada dasarnya racun itu hanya bisa disembuhkan oleh darahmu, tetapi
se-sungguhnya bukan karena darah racun itu menjadi ta-war, melainkan karena
darahmu sudah mengandung tuak sakti, sehingga tuak itulah yang sebenarnya
menyembuhkan atau menawarkan racun tersebut. Jadi, mereka agaknya punya salah
penafslran. Bukan darahmu yang menyembuhkan sang Ratu nantinya, melainkan
tuakmu. Siapa pun orangnya yang telah pernah meminum tuak saktimu ia akan
mempunyal darah ber-jenis darah tuak. Darah mereka bisa menawarkan racun itu
jika diminum sang Ratu. Dan hanya itu kelebihan orang yang punya darah
mengandung tuak saktimu, tak bisa untuk kepentingan yang lain. Tetapi siapa
orangnya yang mau berkorban diminum darahnya agak ba-nyak walau darahnya itu
mengandung tuak racunmu. Dia akan mati."
"Jadi... sebenarnya
tuakku inilah yang dlbutuhkan untuk menawarkan Racun Bulan Madu I tu?"
" Benar! Sebaiknya
pergilah sekarang juga dan te-muilah sang Ratu. Aku tak bisa mengantarmu sampai
ke istana."
"Apa sebabnya?"
tanya Suto yang selalu ingln tahu.
"Aku sudah dilupakan oleh
Indriani Puspita Dewi," jawabnya dengan nada sedikit sendu. "Sejak ia
menjadi ratu, ia tak pernah menengokku, tak pernah kirlm utus-an padaku atau
mengundangku untuk datang. Aku me-rasa telah dilupakan olehnya, dan aku tak
akan datang jika tidak diundangnya."
Hati Pendekar Mabuk seketika
menjadi haru, seakan ia dapat rasakan kesedihan Setan Merakyat pada saat itu
juga. Barangkali Setan Merakyat klrimkan rasa ke kalbu sang pendekar, sehingga
sang pendekar lang-siing menangis dalam hatinya.
"Mengapa kau masih mau
mempedulikan kesela-matan anak yang melupakan dirlmu itu, Kakek Setan
Merakyat?"
"Rasa kasih tidak
mengenal pembalasan. Rasa kasih hanya mengenal kasih dan sayang tanpa benci dan
murka di dalamnya. Karena sifat bumi yang ada padaku sangat menyatu dengan
sifat air yang selalu ingin kucurahkan padanya."
"Apa maksudnya sifat bumi
dalam ucapanmu, Kek?"
"Bumi adalah kedamaian.
Pernahkah kau melihat bumi melawanmu ketika ia kau injak atau kau cangkuli?
Bukankah bumi justru tetap memberikan kehidupan pada saat ia dicangkuli hingga
hancur?"
"Lalu sifat air yang kau
maksudkan?"
"Air adalah kesejukan. la
mampu memadamkan api yang ada di dalam diri kita, yaitu api kemarahan dan api
murka. Jika kesejukan dan kebeningan itu berkuasa dalam dirimu, maka kau hanya
akan mengenal kasih dan sayang yang senantiasa ingin kau curahkan kepada setiap
orang."
Pendekar Mabuk segera
menunduk, sedikit membungkuk sebagai rasa hormat atas pelajaran baru yang
diterimanya diluar dugaan. la merasa bangga menerima pelajaran tersebut,
sehingga mengerti bagaimana seharusnya mengendaiikan hidup di padang kehidupan
ini. Pelajaran yang sederhana itu diterimanya sebagai pelajaran yang amat
berharga, melebihi sebuah jurus dahsyat pelebur gunung.
"Manusia adalah bagian
dari keempat sifat; bumi, air, angin, dan api. Jika sifat api dan angin lebih
besar, maka kau akan dikuasai oieh tindak angkara murka yang membahayakan bagi
kepentingan hidupmu mau-pun kepentingan orang lain. Hendaknya memang keempat
sifat Itu tumbuh dalam jiwamu secara bersama-an, karena manusia yang kehiiangan
sifat apinya, ia tidak mampu mempertahankan kehidupannya. Di dalam api itu ada
kehidupan, tapi di dalam kehidupan Itu ter-dapat banyak ragam api yang membahayakan
jika tidak terkendali secara baik."
"Terima kasih atas
wejanganmu, Kakek Setan Merakyat! Seperti mimpi aku menerima wejangan yang amat
berharga seperti ini," tutur Suto penuh hormat.
"Apakah gurumu tak pernah
menjabarkan makna keempat unsur dalam diri kita itu, Anak Muda?"
"Tidak segamblang ini,
Kakek Setan Merakyat!"
"Barangkali Gila Tuak
belum sempat menjabarkan secara gamblang tapi kau sudah lebih dulu turun gunung
menembus belantara kehidupan," kata Setan Merakyat dengan sikap menutupi
keiemahan gurunya Suto Sinting. Dan sikap itu pun mendapat pujian di hati sang
murid.
Pendekar Mabuk akhirnya
melangkah menuju istana Malaga. Seorang penjaga gerbang mengantarkan Pendekar
Mabuk sampai ke serambi istana. Dari sana Suto diantar memasuki bangsal
pertemuan setelah seorang pengawal lainnya memberitahukan kedatangan Suto
Sinting kepada sang Ratu.
Rasa risi menggeluti hati.Suto
Sinting ketika menunggu kemunculan sang Ratu, karena para pengawal maupun
pelayan istana yang pada umumnya terdiri dari gadis-gadis cantik itu saling
membisikkan kata kepada temannya, memandangi Suto Sinting sambii berkasak-kusuk
cekikikan. Bahkan ada yang tertawa lepas hingga mengundang perhatian Suto
Sinting untuk menoleh kepadanya, dan prajurit pengawai istana itu menjadi malu,
menyembunyikan wajahnya di punggung teman sendiri.
"Apakah kau tidak datang
bersama Jelita Bule dan Pesona Indah?" tanya seorang pengawal istana yang
bertugas menerima setiap tamu sebelum Ratu mene- mui tamu tersebut.
"Tidak. Pada mulanya aku
bersama mereka, tapi kami berpisah di perjalanan."
"Mengapa?"
"Aku bergerak lebih cepat
dari mereka berdua," jawab Suto menutupi keadaan yang bisa membuat
orang-orang istana Malaga akan marah jika disebutkan tentang rintangan yang
datang dari Sumbaruni.
Seorang wanita cantik berusja
sekitar dua puluh deiapan tahun, berwajah bulat telur tapi bermata sayu
menggemaskan, muncul dari salah satusisi. Wanita itulah yang bernama Ratu
Rangsang Madu atau Indriani Puspita Oewi. Tak heran jika para pejabat istana dan
para pengawal lainnya segera menghaturkan sembah kepada si cantik bermahkota
emas.
Suto Sinting lupa tak
memberikan hormat karena terpukau memandang penampilan sang Ratu yang melebihl
para prajurit atau pengawalnya. Jika para pengawalnya berpakaian seperti Jelita
Bule dan Pesona Indah, maka sang Ratu lebih tipis lagi pakaiannya.
"Bisa mati kehabisan
getaran jantung jika aku terlalu lama ada di sini," pikir Pendekar Mabuk
dengan mata tak berkedip.
Sang Ratu berambut putih
perak, lembut, dan halus. la mengenakan jubah hijau muda tertutup depan
beiakang, tapi sangat tipis hingga bagian dalamnya terlihat jelas-jelas.
Padahal bagian dalamnya hanya ditutup dengan kain secukupnya saja dari bahan
kain emas. Dadany a mempunyai bentuk yang amat bagus, dan kain emas menutup
hanya di ujung-ujungnya saja.
Demikian pula bagian bawahnya
hanya tertutup kain emas secukupnya. Sangat kecil penutup itu, dan dihubungkan
dengan tali benang emas yang juga tipis serta kecil. Padahal kulit tubuhnya
putih mulus tanpa cacat dan mempunyai bentuk yang gempal tapi indah,
mem-bangkitkan hasrat setiap lelaki yang memandangnya, termasuk Suto.
Karenanya Suto Sinting segera
menyadari sikapnya dan tak berani terlalu sering memandang sang Ratu, sebab
jubah hijau tipis itu mempunyai belahan setinggi hampir mencapai pinggul. Bila
duduk, belahan kain itu menylngkap dan tampaklah paha yang dapat membuat kepala
Suto menjadi berkunang-kunang. Sang Ratu sendiri sebenarnya dapat membawa diri
sehingga tampH dengan tenang, penuh kharisma dan cahaya anggun yang memukau.
Lehernya yang jenjang dan berkulit putih itu mengenakan kalung batuan ber-warna
bening dalam bentuk seperti tetesan air. Ukuran batu bening itu sebesar ujung
jarinya.
Batu itu bernama Batu Combong
Raos. Warnanya bisa berubah-ubah tergantung perasaan si pemakainya. Kali Ini
batu itu berwarna hijau, menandakan perasaan tertarik atau kasmaran bagi hati
sang Ratu. Jika batu itu berwarna putih, berarti perasaan sang Ratu tenteram
atau bahagia. Jika batu itu berubah warna biru, menandakan sang Ratu sedang
sedih hatinya. Warna merah, sedang memendam kemarahan dalam hatinya.
Dalam beberapa saat setelah
sang Ratu pandangi Suto Sinting, batuan itu berubah warna dari hijau menjadi
ungu. Menurut cerita Setan Merakyat sebelum me- lepas kepergian Suto Sinting ke
istana, jika batuan itu berwarna ungu, Suto harus cepat-cepat aiihkan
pandangan matanya, sebab warna ungu menandakan hati sang Ratu sedang dicekam
rasa bergairah ingin bercumbu. Tatapan mata sang Ratu dapat meluluhkan hati
lelaki sekeras apa pun, jadi harus segera dihindari. Karenanya Suto Sinting
buru-buru tundukkan pandang-annya, menatap bagian kaki indah sang Ratu yang
mengenakan gelang kaki dari emas murni.
"Benarkah kau datang
tanpa bersama Jelita Bule dan Pesona Indah, Pendekar Mabuk?" tanya sang
Ratu dengan suara sedikit serak, bagai suara pemancing gairah lelaki.
"Benar," jawab Suto
seraya memandangi wajah-wajah para pengawal dan pejabat istana yang
mengelilinginya. "Aku datang tanpa mereka. Karena aku merasa ada orang
yang sangat membutuhkan diriku. Aku harus cepat tiba di sini."
"Aku tak menyangka kalau
kau mempunyai perasaan setajam itu, Pendekar Mabuk," kata sang Ratu.
"Hanya saja, aku ingin tahu bagaimana caramu bisa sampai ke pulau ini dan
langsung tiba di istanaku?"
"Seseorang memanduku
datang kemari."
"Siapa orang
tersebut?"
"Tokoh berusia lanjut
yang sangat sayang kepadamu dan mendesakku agar cepat lakukan penyembuhan
terhadap dirimu, Ratu."
Ratu Rangsang Madu yang memang
pantas mempunyai nama itu, segera berkerut dahi mencari jawaban yang pasti.
Tetapi karena ia tak punya jawaban yang pasti tentang seseorang yang amat
sayang padanya itu, maka ia pun ajukan tanya,
"Siapa orang yang sayang
sekali kepadaku itu?"
"Orang yang sayang
kepadamu adalah orang yang membuatku menjadi mau mengorbankan apa saja demi
kesembuhanmu, demi melepaskan dirimu dari Racun Bulan Madu yang berbahaya
itu."
"Sebutkan siapa
orangnya!" sang Ratu tak sabar, sehingga warna batunya berubah menjadi
merah samar-samar.
Suto Sinting baru berani
menatap karena batu sudah berubah merah samar- samar. Lalu dengan tegas ia
berkata,
"Aku ingin kau mengingat
dan mengenang seseorang yang amat berjasa dalam hidupmu. Jika kau tidak
mengingatnya, aku tidak akan melakukan penyembuhan apa-apa pada dirimu,
Indriani Puspita Dewil"
Ratu Rangsang Madu terkejut
mendengar nama aslinya disebutkan oieh Suto Sinting. Seketika itu pula ia
terbayang wajah tua seseorang yang berambut putih dan tinggal di Puncak Gunung
Kemuning. Batu yang menjadi hiasan kalungnya itu berubah warna menjadi biru,
menandakan hati sang Ratu sedang sedih.
"Bapa Guru Murdawira?
Alias... si Setan Merakyat?"
"Kurasa ingatan seorang
anak angkat masih cukup tajam untuk mengenang nama ayah angkatnya."
"Ya...," jawab sang
Ratu semakin duka hatinya karena batu di kalungnya semakin berwarna biru.
"Aku... aku selama ini
memang telah melupakan beliau. Tak pernah kirim kabar atau menjenguknya.
Lalu... lalu di mana beliau?"
"Ada di luar, jauh dari
gerbang istana."
"Mengapa tidak kau ajak
datang bersamamu kemari?"
"Ki Setan Merakyat tak
mau datang sebelum kau mengundangnya."
Ratu Rangsang Madu segera
tarik napas, lalu memandang kepada pengawalnya dan ucapkan perintah, "Cari
orang berambut putih dan berpakaian serba putih. Bawa beliau kemari, pergunakan
tandu emas untuk menjemput beliau!"
Suto Sinting pun ikut
hempaskan napas sebagai kelegaan dan rasa senang melihat sikap sesal sang Ratu.
Ketika para pengawal pergi tunaikan tugas, sang Ratu pun berkata kepada Suto
Sinting dengan mata kian sayu.
"Aku lalai. Aku memang salah.
Kupikir Bapa Guru tidak mau menikmati kehidupan di istana yang masih bersifat
duniawi ini. Aku tak pikirkan bahwa undangan-ku memang tak terlalu penting,
tapi kehadiranku men-jenguk beliau di Puncak Gunung Kemuning adalah se-suatu
yang amat berharga dalam hidup beliau."
"Aku bersyukur dan merasa
senang melihat penye-salanmu. Kurasa memang sudah waktunya aku melihat kau
tersenyum menyambut kedatangan Ki Setan Merakyat itu, Ratu Rangsang
Madu."
"Barangkali untuk awalnya
aku perlu tersenyum padamu sebagai ucapan terima kasih atas teguran halusmu
tadi, Tabib Darah Tuak," ujarnya sambil menyunggingkan senyum dan Suto
Sinting membalas dengan senyumannya yang biasa membuat hati wanita
berdebar-debar itu. Terbukti batu di kalung sang Ratu berubah warna menjadi
hijau kembali, sebagai lambang hati yang kasmaran.
"Ah, kenapa hatiku
menjadi gundah dalam keindahan?" pikir Suto Sinting. "Mungkinkah
karena aku telah memandang sorot matanya dalam keadaan ia sedang tersenyum?
Celaka! Kalau sampai aku terpikat pada-nya, lalu mau dikemanakan calon istriku
tercinta Dyah Sariningrum itu?"
Seorang pengawal gerbang
datang menghadap dengan terburu-buru. Telinganya terpotong satu, darah pun
bercucuran dari luka tersebut. Tentu saja kehadiran pengawal itu mengejutkan
mereka yang tergabung dalam ruang pertemuan. Sang Ratu pun terperanjat te-gang
walau sikapnya tetap tenang.
"Gusti Ratu... orang gila
itu datang lagi dan mende-sak masuk kemari!" ujar si pengawal yang menahan
rasa sakit akibat telinganya terpotong itu.
"Orang gila siapa
maksudmu?!"
"Nyai Sunti Rahim."
Pendekar Mabuk terperanjat
lagi. Sang Ratu segera bangkit berdiri dan serukan perintah kepada para
pengawal pilihannya, "Tangkap dia hidup atau mati! Ja-ngan biarkan lolos
lagi!"
"Biar aku yang
menghadapinya!" sahut Suto Sinting. "Jangan korbankan rakyat dan
prajuritmu terlalu banyak untuk menghadapi orang itu."
Kalung itu berubah warna
menjadi merah. Mata Ratu Rangsang Madu memandang Suto dengan berbagai perasaan
tak menentu, sedangkan Pendekar Mabuk segera berkata sambil menatapnya
lekat-lekat,
"Izinkan aku
menghadapinya!"
" Baik. Kuizinkan!"
menunggu lebih lama lagi, Suto
Sinting segera melesat keluar dari paseban dan tahu-tahu sudah ada di luar
benteng istana. Padahal pintu gerbang dalam keadaan tertutup rapat, hanya
beberapa prajurit yang berhamburan keluar menahan amukan Nyai Sunti Rahim,
setelah mereka berhamburan keluar gerbang ditutup kembali. Tapi ternyata
Pendekar Mabuk bisa lekas sampai luar gerbang, karena tak seorang pun melihat
gerakan Pendekar Mabuk melompati tembok benteng, melintas di atas kepala
penjaga di sana.
Ratu Rangsang Madu menjadi
cemas.
"Seharusnya ia tidak
kuizinkan menghadapi Nyai Sunti Rahim. Seharusnya kutahan tabib itu agar tak
terjadi apa-apa pada dirinya," pikir sang Ratu. "Jika ia sampai mati
melawan Sunti Rahim, lalu bagaimana dengan racun yang mengancamku setiap malam
ini?"
Lalu ia berseru,
"Pengawal, dampingi aku keluar untuk membantu Tabib Darah Tuak agar tak
celaka melawan Sunti Rahim!"
Kehadiran Suto Sinting
ditandai dengan terlepasnya tenaga dalam dari jurus 'Jari Guntur' yang membuat
Nyai Sunti Rahim terpelanting berjungkir balik ke belakang pada saat hendak
lepaskan serangannya kepada dua prajurit.
Beehg...! Wuuurrt...!
Brrukk...!
Nyai Sunti Rahim tak sempat
jaga keseimbangan tubuh sehingga ia jatuh bersimpuh. Melihat hal itu para
prajurit menjadi heran. Tapi segera menyingkir setelah mereka meiihat Pendekar
Mabuk yang mereka kenal sebagai Tabib Darah Tuak muncul dengan gagahnya.
Sepuluh prajurit yang mengepung Nyai Sunti Rahim segera melebarkan kepungannya.
Mereka tetap berjaga-jaga dengan senjata masing-masing di tangan.
Nyai Sunti Rahim yang masih
kelihatan cantik dan mungil itu segera bangkit dari jatuhnya. la sunggingkan
senyum tipis begitu meiihat Suto Sinting tampil sebagai lawan tandingnya.
Pendekar Mabuk menghadapi dengan tenang, bahkan sempat menenggak tuaknya
beberapa teguk.
"Sudah kuduga kau ada di
sini, karena kucium bau darah tuakmu, Suto!" ucap Nyai Sunti Rahim sambii
hentikan langkah dalam jarak enam tindak di depan Suto Sinting.
"Kudengar kau telah mati
masuk ke jurang karena melawan Brajamusti, Nyai!" kata Suto dengan kalem,
senyumnya membayang tipis di wajah membuat beberapa prajurit pengepung merasa
kagum atas ketenangan sikap Suto dalam menghadapi lawan yang mereka anggap
sangat berbahaya itu.
"Kau kira Brajamusti
mampu tumbangkan diriku? Hemm...!" Nyai Sunti Rahim mencibir angkuh.
"Brajamusti bukan orang tandinganku. Dengan tipuan penyelamat diri seperti
itu saja ia sudah terkecoh olehku!"
"Barangkali akulah orang
yang menjadi tandingan-mu jika kau masih nekat mengacau kehidupan di Pulau
Selayang ini, Nyai. Tapi kita bisa menjadi sahabat jika kau mau tinggalkan
sikap angkaramurkamu itu!"
"Bocah kemarin sore sudah
berani menasihati orang tua?! Hmm...! Agaknya kau perlu dihajar agar tahu adat
bicara dengan orang tua, Suto Sinting! Hiah!"
Sentakan cepat terjadi pada
tangan kiri Nyai Sunti Rahim yang ada di samping. Tangan kiri itu menyentak
pendek, tapi hasilkan gelombang tenaga dalam jarak jauh yang tak diduga-duga
oieh Pendekar Mabuk. Wuuss...! Beeehg...!
Suto Sinting teriempar
melambung ke atas. Keseimbangan tubuhnya nyaris hilang karena sentakan itb amat
mengejutkan dan perut Suto menjadi mual ingin muntah. Tapi Pendekar Mabuk cepat
kuasai diri ketika tubuhnya bergerak turun, sehingga ia mampu menangkis pukuian
kedua dari Nyai Sunti Rahim yang keluar dari telapak tangan kanan berupa sinar
hijau lurus. Claaap...!
Traakk...! Sinar hijau kenai
bumbung tuak, memantul balik lebih cepat dan lebih besar, sehingga Nyai Sunti
Rahim terkejut dan berjumpalitan meninggalkan tempatnya berpijak.
Daarrr...! Sinar itu
menghantam tanah, tanah menyembur ke atas dan membentuk lubang besar berwarna
hitam dan mengepulkan asap putih tebal. Suto Sinting segera kejar Nyai Sunti
Rahim dengan lompatan secepat kilat. Ziaap...! Tapi pada saat itu rupanya Nyai
Sunti Rahim juga gunakan gerakan cepatnya untuk menerjang Pendekar Mabuk.
Slaapp...! Breess...! Mereka bertabrakan di udara. Keduanya sama-sama terpental
ke belakang dan saling jatuh tanpa keseimbangan ba-dan. Namun dalam sekejap
keduanya sama-sama berdiri lagi.
Nyai Sunti Rahim sunggingkan
senyum sinis sambil berkata, "Pulanglah, Nak. Tak perlu kau tawarkan racun
itu karena bukan urusanmu!"
"Urusanku adalah urusan
perdamaian. Jika kau mau berdamai aku pun akan meninggalkan tempat ini, Nyai!''
"Kau akan kehilangan masa
depan jika tetap ngotot melawanku!"
"Aku sudah siap
kehilangan apa saja demi membela kebenaran!" ujar Pendekar Mabuk dengan
kalem namun bernada tegas.
"Apakah kau tak melihat
di dadamu telah membekas dua totokan jari tanganku yang menghitam itu? Sebentar
lagi kau pun akan terkena Racun Bulan Madu, Suto! Rasakanlah akibatnya setelah
matahari terbenam," sambil senyum sinisnya diperlebar sedikit.
Suto Sinting sedikit
terperanjat ketika melihat bekas totokan dua jari di dada kirinya yang
menghitam,agak kebiru-biruan. Berarti pada waktu berbenturan di udara tadi Nyai
Sunti Rahim berhasil totokkan dua Jarinya ke dada Suto dan totokan itu
mengandung Racun Bulan Madu. Tapi Suto Sinting tak terlalu cemas karena sudah
mengetahui penangkal racun itu. Kini Pendekar Mabuk berkata,
"Aku tak pernah gentar
dengan racun apa pun yang kau miliki, Nyai Sunti Rahim. Tapi perhatikaniah
dirimu sendiri yang sebentar lagi akan membusuk karena pukulanku yang membekas
di tengah dadamu itul"
Nyai Sunti Rahim segera
memperhatikan dadanya. Ternyata kain penutup dada montoknya bolong dan membekas
bentuk telapak tangan. Bekas telapak tangan itu terlihat membiru legam di permukaan
kulit dada, tepat di pertengahan gumpalan besarnya, Nyai Sunti Rahim
jelas-jelas terbelalak kaget karena ia tak merasakan pukulan tersebut,
tahu-tahu membekas sehebat itu.
"Kurang ajar!" geram
Nyai Sunti Rahim dengan ke-marahan yang meluap. "Dasar murid binal
Bidadari Jalang! Kulumatkan seluruh tubuhmu sekarang juga! Heaaah...!"
...! Kaki Nyai Sunti Rahim
menghentak bumi, dan dari matanya keluar beberapa jarum beracun yang mampu
menghancurkan batu karang dan sangat berbahaya bagi nyawa manusia. Jarum itu
jumlahnya lebih dari sepuluh batang. Menerjang ke arah Pendekar Mabuk secara
bersamaan. Zraab...! Pada waktu itu Pendekar Mabuk baru saja menenggak tuaknya.
Begitu melihat jarum-jarum itu menyerangnya, langsung tuak dalam mulut
disemburkan sambil tubuhnya melenting ke atas dan melampaui ketinggian
jarum-jarum itu.
Brruusss...!
Tar, tar, tar, pletar,
traak... taar... tar, taaar...!
Jarum-jarum itu saling meletus
hingga timbulkan suara berisik karena terkena semburan tuak Pendekar Mabuk. Hal
itu membuat Nyai Sunti Rahim semakin jengkel, maka dilepaskanlah pukuian
berbahaya yanng mampu membuat tubuh manusia hilang lenyap seketika jika terkena
sinar merah yang melebar dari atas ke ba-wah. Wuuuttt...! Slaaapp...!
Pendekar Mabuk segera lepaskan
jurus pukuian 'Guntur Perkasa' yang mampu menembus dan sekaligus memadamkan
sinar merah lebar itu. Claapp...! Weerrb! Sinar hijau dari tangan Suto Sinting
itu berkelebat menghantam dada Nyai Sunti Rahim walau sudah memadamkan sinar
merahnya lawan. Blaarrr...! Suara gelegar aneh terdengar bagaikan kilat
mengamuk dalam pelariannya.
Pukulan itu tak bisa dihindari
lagi oieh Nyai Sunti Rahim, sehingga perempuan itu diam mematung di tempat.
Wajah dan beberapa tubuhnya tampak menghitam, yang lainnya kelihatan biru
legam. la jatuh terkulai lemas dalam keadaan bersimpuh. Lama-lama jatuh
terpuruk tak berdaya lagi. Kian lama bau busuk pun menyebar dan tubuh Nyai
Sunti Rahim pun mulai ditumbuhi beiatung sebagai tanda bahwa tubuh itu cepat
menjadi busuk dan tak bernyawa.
Para pengepung bersorak
serentak sebagai tanda kemenangan di pihak pendekar tampan itu. Pintu gerbang
pun dibuka, dan beberapa prajurit, pejabat, dan pengawal istana menghambur
keluar menyambut kemenangan Pendekar Mabuk. Ratu Rangsang Madu sendiri ikut
keluar dengan wajah ceria dan kebanggaan yang tiada tara. Batuan di kalungnya
berwarna putih, menandakan hatinya sedang senang atau bahagia.
"Terima kasih, kau
sungguh telah berbuat sesuatu yang amat besar bagi kehidupanku," kata sang
Ratu setelah Pendekar Mabuk mengajarinya meneguk tuak dari bumbung. Walau
sempat terbatuk-batuk, dan ditertawakan para abdinya, tapi sang Ratu merasakan
kelegaan yang damai karena yakin bahwa Racun Bulan Madu akan lenyap dalam
beberapa waktu lagi.
"Aku tak tahu harus
bagaimana membalas jasamu, Tabib Darah Tuak!"
"Balaslah dengan bersikap
baik kepada orang yang sedang diusung dengan tandu emas dan menuju kemari
itu," kata Pendekar Mabuk seraya menunjuk ke arah selatan. Ternyata para
pengusung tandu emas telah berhasil temukan Setan Merakyat dan sedang
membawanya mendekati sang Ratu yang masih ada di depan pintu gerbang.
Ratu Rangsang Madu langsung
bersujud di depan Setan Merakyat dengan air matanya berlinang sebagai tanda
penyesalan dan duka. Tak berapa lama kemudian duka mengalir itu harus ditahan
dan disimpan oleh sang Ratu, karena dari arah pantai muncul empat orang
berlari-lari mendekatinya. Mereka adalah Jelita Bule, Pesona Indah, Batuk
Maragam, dan Pande Bungkus. Di belakangnya melesat sesosok tubuh yang melintasi
mereka dan lebih dulu tiba di samping Suto. Orang itu adalah Sumbaruni yang
segera berkata,
"Syukurlah kau selamat!
Hampir saja aku mati kekeringan air mata karena kupikir kau mati tenggelam di
lautan."
Pande Bungkus yang
terheran-heran meiihat Suto sudah sampai di situ lebih dulu hanya bisa
terbengong memandangi Suto, lalu berbisik,
"Kapan kau bertarung
dengan Syakuntala, Kang? Sebaiknya biar aku saja yang melawannya! "
Suto hanya tersenyum geli dan
menepuk-nepuk pundak anak muda polos itu.
SELESAI