AWAN kelabu bergulung-gulung
bagai ingin menelan matahari. Sang matahari tetap tenang dan acuh tak acuh,
seakan yakin kalau dirinya tak akan dikalahkan oleh awan kelabu itu. Hanya
saja, sang matahari mulai waswas begitu melihat kabut hitam berarak-arak dari
selatan, bagai iring-iringan jenazah di atas langit.
"Firasat buruk,"
gumam seorang lelaki tua yang berdiri di atas bukit sambil pandangi arak-arakan
burung gagak itu. Wajah tuanya mulai memancarkan kecemasan walau tampaknya tenang-tenang
saja.
Langkah si tua berjubah ungu
itu sengaja dihentikan. Tongkatnya yang tinggi sepundak digenggam kuat-kuat,
bahkan sedikit ditekan ke tanah. Si tua berjubah ungu dengan pakaian dalamnya
warna putih itu sengaja membiarkan iring-iringan burung gagak melintas di
langit atas kepalanya.
"Firasat buruk apa itu,
Kek?" tanya seorang gadis bermata bundar bening.
"Akan terjadi musibah
besar yang menewaskan orang banyak," jawab si kakek berikat kepala ungu,
sama dengan warna jubahnya.
"Ih, ngeri!" ujar
gadis berpakaian serba Jingga, jubahnya tanpa lengan warna Jingga, kain penutup
bagian dada dan pinggulnya juga warna Jingga, bahkan pedangnya dari sarung
pedang sampai gagang dililit kain warna Jingga. la mengenakan kalung dan gelang
berbatu jingga. Entah batu apa namanya, yang jelas batu yang menghias sabuknya
juga berwarna jingga. Batu di sabuk itu cukup besar, bening, dan berbentuk
bulat telur pipih bagian belakangnya.
"Kira-kira musibah apa
yang bakal terjadi, Kek?"
"Sebentuk kematian yang
mengerikan. Daerah ini tak lama lagi akan dipenuhi oleh puluhan mayat yang
bergelimpangan di sana-sini. Karenanya, lebih baik kita harus cepat tinggalkan
tempat ini sebelum musibah melibatkan kita sebagai korbannya."
"Tapi kita harus
menemukan Puting Selaksa dulu, Kek. Sebelum menemukan Puting Selaksa aku tak
mau tinggalkan tempat ini," ujar si gadis cantik berambut lurus sepundak
tanpa ikat kepala itu.
"Kita cari di tempat lain
saja. Mungkin kakakmu si Puting Selaksa sudah tinggalkan tempat ini, Manggar
Jingga."
"Firasatku mengatakan,
Puting Selaksa masih ada di sekitar wilayah tanah Mentawai ini, Kek. Barangkali
ia disekap oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi. Kita harus menyerang
perguruan itu, Kek."
"Sebelum jelas dan pasti,
jangan lakukan tindakan gegabah, Manggar Jingga. Salah-salah kita jadi punya
banyak musuh hanya karena tindakan gegabah kita."
Sang kakek jubah ungu itu
bicara dengan nada bijaksana. Agaknya ia selalu memperhitungkan tiap langkah
dan tindakan yang akan diambil agar tidak menimbulkan petaka balik bagi dirinya
sendiri. Sikap seperti itu secara tak langsung diajarkan kepada muridnya yang
sudah dianggap cucu sendiri itu.
Tetapi si gadis yang ternyata
bernama Manggar Jingga itu kurang setuju dengan perhitungan sang Guru. Bahkan
menduga sang Guru kali ini bertindak ragu-ragu. Manggar Jingga agak kesal
dengan peringatan sang Guru tadi, sementara hati kecilnya telah yakin betul
bahwa kakak seperguruannya yang bernama Puting Selaksa itu hilang diculik oleh
orang Perguruan Tangan Besi.
Tiba-tiba si gadis berhidung
bangir dan berbibir mungil itu berbisik kepada gurunya.
"Kek, di belakangku
seperti ada orang yang sedang mengawasi kita."
"Sejak tadi aku sudah
tahu."
"Bagaimana kalau kugebrak
biar dia tahu kalau kita tak suka diintai begini?!"
"Gebrak saja, tapi
pelan-pelan."
"Itu namanya bukan
digebrak!" ujar sang murid sambil bersungut-sungut.
"Terserah kau sajalah,
asal jangan timbulkan permusuhan kepada orang yang belum tentu memusuhi
kita!"
Gadis itu berlagak tenang,
melangkah ke samping sambil bicara keras kepada sang Guru.
"Kek, pemandangan di sini
indah sekali. Aku senang berada di sini. Cuma sayang ada yang usil kepada kita,
Kek! Mungkin dia maling kurang kerjaan. Maling yang kurang kerjaan harus diberi
pelajaran begini.. ."
Wuuuut...! Tiba-tiba tangan
kanan gadis itu menyentak ke belakang dengan tubuh berputar separo lingkaran.
Dari tangan yang megar itu keluar angin kencang yang membuat semak-semak
tercabut dari tanah. Wuuus...! Bruuus...!
"Uuhhk. .!" suara
pekikan terdengar dari orang yang berada di balik semak. Orang itu terlempar ke
atas bagai diterbangkan oleh kekuatan besar.
Namun begitu merasa dirinya
terbang ke udara, orang itu segera bersalto dua kali dan daratkan kakinya ke
tanah tanpa bunyi, menandakan ilmu peringan tubuhnya cukup tinggi.
"Gila! Tenaga dalamnya
begitu besar, membuatku terlempar begitu saja. Sial!" gerutu orang yang
menjadi tersipu malu mirip maling tertangkap basah. Sedangkan si jubah ungu dan
muridnya sempat terkesip pandangi orang yang tertangkap basah itu.
Terutama si gadis, menjadi
berdebar dan resah setelah tahu pengintainya adalah seorang pemuda tampan
berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala dan mengenakan baju tanpa lengan
warna coklat dan celana putih kusam. Pemuda itu membawa bumbung bambu tempat
tuak yang kala itu digantungkan di pundaknya.
"Lho, kok malingnya
ganteng, Kek?" ujar si gadis dengan nada pelan tapi terdengar di telinga
si pemuda tampan bertubuh kekar itu. Pemuda tersebut hanya sunggingkan senyum
salah tingkahnya.
"Maling modal tampang
memang begitu, Manggar Jingga," ujar si jubah ungu.
"Aku bukan maling!"
bantah pemuda tersebut
"Ah, maling!" sentak
si gadis berlagak ketus.
"Bukan! Aku bukang
maling."
"Maling!" si gadis
makin keras. "Kalau bukan maling kenapa kau mengintai kami di balik
semak-semak? Itu namanya maling banci! Kalau bukan banci, mestinya kau berani
maling secara terang-terangan!"
Jubah ungu tertawa pelan
karena geli mendengar omelan sang murid yang sudah dianggap cucu sendiri itu.
"Maling itu macam-macam!"
sambung Manggar Jingga. "Ada maling harta benda, ada maling pusaka, ada
maling ilmu, ada maling hati, maling penglihatan, maling suara, dan...."
"Kok justru kau tahu
jenis-jenis maling?! Jangan-jangan kau sendiri pakar maling?!" ujar pemuda
berkulit sawo matang itu.
"Eh, sembarangan kau
bicara. Ya?! Rupanya mulutmu perlu kurobek biar tak bicara sembarangan
lagi!"
Sreet.. ! Si gadis mencabut
pedang yang dari tadi ditentengnya dengan tangan kiri. Baru saja ia akan
melangkah maju, kakek berjubah ungu itu menahan gerakannya dengan menyilangkan
tongkat ke depan.
"Tahan kemarahanmu,
Manggar Jingga!"
"Dia kurang ajar,
Kek!"
"Yah, nanti kalau kurang
ajar, biar aku yang menghajarnya," ujar si jubah ungu.
"Cucumu itu yang kurang
ajar mengatakan aku maling, Pak Tua!" sambil pemuda berdada bidang itu
menuding si gadis.
"Maklumilah ucapan
muridku itu, Kisanak. Dia memang paling tak suka diperhatikan secara
sembunyi-sembunyi. Setiap orang yang mencuri pandang kepadanya selalu dianggap
pencuri atau maling."
"Aku tidak bermaksud
mencuri pandang kepadanya," si pemuda agak cemberut. "Kebetulan saja
aku lewat sini dan mendengar percakapanmu tentang musibah besar yang akan
terjadi di daerah ini. Aku tertarik dan ingin mengenalmu, tapi aku harus selidiki
dulu siapa kau sebenarnya. Dari golongan hitam atau putih? Tentu saja hal itu
tak bisa kutanyakan begitu saja, takut menyinggung perasaanmu, Pak Tua!"
"Jangan terbujuk oleh
kelembutan katanya, Kek!" cetus Manggar Jingga dengan wajah cemberut. Si
kakek guru hanya tersenyum tipis sambil melirik si murid. Tapi kejap berikutnya
ia menatap pemuda tampan tersebut dan bicara dengan nada kalem.
"Kau tak perlu curiga
pada kami, Kisanak. Kami bukan orang jahat. Kami datang kemari untuk mencari
seseorang. Kami dari Teluk Sendu. Ini muridku yang sudah kuanggap cucuku
sendiri, bernama Manggar Jingga. Sedangkan aku dikenal dengan nama Resi
Parangkara."
"Apakah kau kenal dengan
Resi Pakar Pantun?"
"Itu sahabat
lamaku," jawab Resi Parangkara.
"Tapi ia tak pernah
menceritakan tentang dirimu, sehingga kami tak tahu siapa dirimu sebenarnya,
Anak Muda?"
"Aku bernama Suto
Sinting, murid si Gila Tuak dan...."
"Astaga! Jadi kau yang
bergelar Pendekar Mabuk itu, Nak?"
"Betul, Eyang
Resi...," sambil Suto membungkuk sebagai tanda hormat.
"Oooo...," Resi
Parangkara manggut-manggut.
"Pantas kau bisa hindari
pukulan 'Badai Lanang' dari muridku. Kalau bukan Pendekar Mabuk, dia akan
terlempar dan mengalami luka berdarah di dalam dadanya!" tambah Resi
Parangkara sambil melirik muridnya.
Sang murid ternyata tertegun
bengong bagaikan patung tanpa berkedip. Rupanya gadis itu mengalami sedikit
shock begitu tahu pemuda tampan yang dianggapnya maling itu adalah si Pendekar
Mabuk. Nama kondang itu sering didengarnya dan bahkan sering membuat Manggar
Jingga penasaran ingin bertemu dan melihat seperti apa wujud si Pendekar Mabuk
itu. Ternyata baru sekarang rasa penasarannya itu terlampiaskan sehingga tak
heran jika Manggar Jingga menjadi terbengong-bengong tanpa bisa berucap kata
sedikit pun. Sepertinya ia tak sadar bahwa matanya membelalak tak berkedip
pandangi Suto Sinting dengan bibir merekah bolong.
"Hi sy. .!" Resi
Parangkara menepiskan tangan di depan wajah Manggar Jingga, dan gadis itu
segera terkejut lalu menggeragap salah tingkah.
"Bunuh saja!"
"Apanya yang bunuh
saja?!"
"Hmm... eh... apa yang
kukatakan tadi, Kek? Bungkus saja?!"
"Hidungmu itu yang
dibungkus?!" gumam sang Resi sambil tertawa pelan. Gadis itu jadi tersipu
malu.
"Orang yang kau anggap
maling itu adalah Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak, Sahabatku yang sudah lama
tak pernah jumpa. Pemuda inilah yang namanya sering kau bicarakan dan kau
tanyakan kehebatan ilmunya padaku, Manggar Jingga!"
"Hmmm, eeh... jadi
bukan... bukan maling, Kek?!"
"Ya, bukan! Masa pendekar
kondang kok jadi maling?! Kalau toh jadi maling, pasti yang dicuri
hatimu!"
"Hmmm. .!" gadis itu
mencibir seakan tak sudi dicuri hatinya oleh si tampan Suto itu. Tapi raut
wajahnya tampak menjadi merah semu begitu membayangkan seandainya hatinya
benar-benar dicuri oleh si Pendekar Mabuk.
Sang Pendekar Mabuk sendiri
menertawakan kelucuan Manggar Jingga. Tapi tak berani terlalu lama, takut gadis
itu semakin berang karena rasa malunya. la segera mengalihkan suasana agar
menjadi serius lagi.
"Siapa orang yang kau cari
itu, Eyang Resi?!"
"Puting Selaksa, muridku
juga. Kakak seperguruan Manggar Jingga yang sudah seperti kakak kandungnya
sendiri."
"Dia pasti tertawan oleh
orang-orang Perguruan Tangan Besi yang berada di sekitar tanah Mentawai
ini!" timpal Manggar Jingga dengan masih bernada ketus.
"Apakah kau melihat orang
Perguruan Tangan Besi membawa si Puting Selaksa?!" tanya Pendekar Mabuk.
"Memang tidak kulihat
sendiri. Tapi terakhir kudengar Puting Selaksa bentrok dengan orang Perguruan
Tangan Besi di Pantai Karangawu. Dia terluka, lalu pulang ke Teluk Sendu dan
diobati oleh Kakek Guru. Hari berikutnya ia pergi tanpa pamit. Dugaanku
membalas dendam kepada orang Tangan Besi. Tapi sejak itu ia tak kembali sampai
sekarang."
"Sudah dua puluh hari
lebih ia tak kembali," timpal Resi Parangkara.
Pendekar Mabuk diam sebentar,
matanya memandang keadaan sekeliling dari atas bukit yang tak seberapa tinggi
itu. Kejap kemudian ia ingat ucapan Resi Parangkara tadi, maka sambil memandang
langit yang masih diselimuti awan kelabu itu, Suto pun segera ajukan tanya
kepada sang Resi.
"Apakah menurutmu
hilangnya Puting Selaksa ada hubungannya dengan musibah yang tadi kau
singgung-singgung itu, Eyang Resi?"
"Aku tak berani
memastikan. Namun firasatku mengatakan: Perguruan Tangan Besi akan menjadi
sumber musibah yang bakal terjadi itu. Setidaknya mayat yang akan
bergelimpangan di tanah Mentawai ini kebanyakan berasal dari orang Perguruan
Tangan Besi."
"Kakek, ada baiknya kalau
kita segera bergerak ke pusat Perguruan Tangan Besi dan menyelidiki tempat
itu!" sela Manggar Jingga.
"Menyelidiki tempat itu,
memang hal yang baik daripada harus menyerang tanpa alasan dan bukti yang kuat,
Cucuku!"'
"Kita harus berangkat
sekarang, Kek!"
"Aku setuju. Tapi
bagaimana dengan Pendekar Mabuk?"
Manggar Jingga melirik ketus,
"Persetan dengannya. Aku tak mau tahu apa yang akan dilakukan oleh si
maling nakal itu, Kek!"
Pendekar Mabuk tertawa pelan.
"Aku pun tak akan ikut campur urusanmu, Manggar Jingga. Kurasa kita memang
harus berpisah sekarang juga, sebab aku pun punya perjalanan sendiri."
"Maafkan sikap muridku
yang mungkin kurang berkenan di hatimu, Maling Nakal, eeh.... Pendekar
Mabuk," ujar Resi Parangkara sempat salah ucap.
"Tak ada masalah bagiku,
Eyang Resi. Kuharap, kau dan Manggar Jingga bukan penyebar musibah itu walau
ternyata nantinya si Puting Selaksa memang ada di sana."
"Kau jangan menggurui
guruku, Maling Nakal!"
"O, tidak! Aku hanya
berharap saja. Tapi kalau kau merasa pantas menjadi penyebab musibah di sana,
silakan saja. Itu bukan urusanku."
"Pendekar Mabuk,"
ujar Resi Parangkara dengan kalem dan bijaksana. "Percayalah, musibah itu
akan datang bukan dari pihakku, tapi dari pihak lain."
"Syukurlah! Sebaiknya,
aku mohon pamit lebih dulu sebelum kalian pergi ke sana!"
"Jaga dirimu baik-baik,
Nak! Sampaikan salamku kepada Kangmas Gila Tuak jika kau bertemu beliau!"
"Akan kusampaikan
salammu, Eyang Resi!" seraya Suto sedikit membungkuk dan menyatukan
telapak tangan di dada sebagai sikap berpamit.
Setelah itu, sang Pendekar
Mabuk langkahkan kakinya menuruti bukit tersebut. Resi Parangkara memandanginya
dengan senyum penuh kharisma. Sedangkan Manggar Jingga memandang dengan wajah
keruh dan tampak menyesali kepergian Pendekar Mabuk.
"Mestinya tadi Kakek
menahannya dan membujuknya agar ikut ke Perguruan Tangan Besi! Jangan malah
titip pesan segala!" Manggar Jingga menggerutu dan bersungut-sungut.
"Lhooo.. kau tadi tidak
ngomong begitu. Coba kalau kau ngomong, maka akan kubujuk dia agar ikut
membantu kita mencari si Puting Selaksa!"
"Ya malu kalau aku bicara
begitu. Hmmrn. .! Nanti dia meremehkan diriku dan menganggapku gadis
murahan!" ucap Manggar Jingga masih dengan bibir cemberut. Sang Guru hanya
tertawa pelan sambil mendekatinya, lalu menepuk punggung gadis itu.
"Kau menyesali
kepergiannya?"
"Hmmm. .!" Manggar
Jingga melengos. Sang Guru semakin geli melihatnya.
*
**
2
ESOK harinya, wilayah tanah
Mentawai benar-benar dilanda musibah menyedihkan. Perguruan Tangan Besi
diserang oleh orang-orang Pulau Boneng. Korban berjatuhan, para murid Perguruan
Tangan Besi banyak yang tewas baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Mayat
bergelimpangan di mana-mana, dan burung-burung gagak menghampirinya menjalankan
tugasnya sebagai burung pemakan bangkai.
Perguruan Tangan Besi dibumihanguskan
oleh orang-orang Pulau Boneng. Sebagian murid yang tersisa melarikan diri dan
bersembunyi, sementara Ketua Perguruan Tangan Besi ditemukan tewas dalam
keadaan tanpa nyawa sedikit pun.
Pada saat terjadi penyerangan
besar-besaran itu, Pendekar Mabuk sedang berada di sebuah desa di kaki Bukit
Walet. la singgah di situ untuk bermalam dan beristirahat. Ketika pagi
menjelang siang tadi, sang Pendekar Mabuk ingin lanjutkan perjalanannya menuju
Lembah Birawa, tiba-tiba ia dikejutkan dengan munculnya orang-orang bergigi
tonggos.
Delapan orang bergigi tonggos
itu memasuki desa tersebut dengan melakukan tindakan-tindakan yang meresahkan
penduduk. Merusak beberapa pagar, mengganggu para gadis, menyambar jemuran,
meludah di sembarang tempat (termasuk meludah di wajah orang), dan beberapa
tindakan kasar lainnya yang membuat para penduduk desa ketakutan.
Pendekar Mabuk masih duduk di
dalam kedai tempatnya bermalam, menikmati sarapan pagi yang sudah kesiangan
sambil menunggu bumbung bambunya dipenuhi tuak. Saat itu, di dalam kedai ada
beberapa pembeli, termasuk seorang wanita berparas cantik dengan bentuk wajah
oval dan bertahi lalat kecil di pinggir kiri bibir atasnya.
Perempuan itu berusia sekitar
dua puluh lima tahun, mengenakan pakaian silat lengan panjang warna hijau tua.
Rambutnya yang panjang disanggul sederhana dengan sisa rambut terjuntai seperti
ekor kuda. la mengenakan ikat kepala merah berbintik-bintik putih.
Badannya sedikit gemuk tapi
tinggi, sehingga tidak kentara kegemukannya. Bahkan cenderung kelihatan sekal,
kencang, berisi, dan kekar.
Perempuan itu dari tadi duduk
di sudut ruangan sendirian. Sebilah pedang bersarung kayu hitam digeletakkan di
atas meja samping kirinya. Caranya memandang cukup tajam, karena matanya agak
besar namun berbentuk indah. Tepian matanya berwarna hitam, seperti pakai
maskara. la memang berkesan galak dan angker, tapi Suto Sinting suka melihat
wajah seperti itu.
Wajah penuh keberanian dan
ketegasan itu membuat Suto sering mencuri pandang.
"Mantap sekali perempuan itu! Aku yakin
ia adalah perempuan yang tak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan hidup
apa pun. Jiwanya keras, keberaniannya tinggi, pendiriannya kokoh, dan. .
sepertinya ia tak mau diremehkan oleh siapa pun," pikir Suto Sinting
sambil berlagak memandangi anak perawan si pemilik kedai yang sedang melayani
tamu lain, namun ekor mata Suto tertuju pada si perempuan berpakaian hijau tua
itu.
"Aku yakin dia bukan
gadis desa ini, atau perempuan dari sini. Bukan. Dia pasti dari tempat jauh.
Kulihat caranya melangkah waktu masuk ke kedai ini agak terburu-buru. Tahu-tahu
mendekam tenang di pojokan sana. Hmmm. . pasti ada sesuatu yang membuatnya
harus berada di pojokan itu. Bagaimana kalau kudekati? Nyakar atau tidak,
ya?" sambil mulut Suto menikmati ketan bakar sedikit demi sedikit.
Ketika mata Suto sengaja
melirik ke arah perempuan itu, bertepatan dengan tatapan mata tajam si
perempuan yang mengarah kepada Suto. Pandangan mata mereka bertemu
terang-terangan, lalu Suto sunggingkan senyum keramahan, tapi tak mendapat
balasan seramah itu. Perempuan tersebutjustru buang pandangan ke arah lain
dengan wajah cantiknya yang kaku tanpa senyum.
Matanya tampak menatap arah
luar kedai dengan nanar. Ki Pulasoma, pemilik kedai tersebut, menyerahkan
bumbung tuak yang sudah terisi penuh kepada Suto. Saat itulah Suto sempatkan
diri bertanya dalam bisikan kepada Ki Pulasoma.
"Siapa perempuan itu,
Ki?"
"Entahlah, Nak. Aku baru
sekarang melihat perempuan itu. Sangar juga kelihatannya," kata Ki
Pulasoma dalam bisikan juga.
"Berarti dia memang bukan
perempuan desa ini," gumam Suto dalam hati.
Ki Pulasoma ajukan tanya,
"Kalau yang lebih cantik dari dia, di sini banyak, Nak. Anaknya Demang
Kawi juga cantik, malah tidak seangker dia. Kalau kau mau cari kekasih, aku
bisa mengenalkanmu kepada anak gadisnya Demang Kawi."
Pendekar Mabuk tersenyum.
"Aku sudah punya calon istri sendiri. Dyah Sariningrum, namanya. Lebih
cantik dari orang yang paling cantik di dunia."
"Lalu, apa maksudmu
menanyakan perempuan berbaju hijau itu?"
"Aku yakin dia punya
persoalan yang meresahkan jiwanya. Agaknya ia butuh orang untuk bertimbang
rasa. Katakan kepadanya, jika ia berkenan, aku akan datang membantunya."
"Baik, akan kusampaikan
kepadanya," Ki Pulasoma tersenyum, lalu melangkah mendekati perempuan itu
dengan berlagak membersihkan meja yang ada di samping si perempuan. Ki Pulasoma
sudah tua, usianya sudah mencapai sekitar enam puluh tahun. Tapi dia paling
hobi jika disuruh menjadi comblang.
Suto Sinting geli melihat
semangat si pemilik kedai yang kuat diajak ngobrol semalaman. Orang tua itu
dulu juga berkecimpung di rimba persilatan. Namun segera tarik diri dan alih
profesi menjadi pemilik kedai setelah seluruh teman seperguruannya mati di
tangan satu musuh. Hanya dia yang selamat.
Keselamatan itu diartikan
sebagai teguran dari Sang Pencipta agar dia harus tinggalkan rimba persilatan
dan berwiraswasta dengan modal pas-pasan. Ki Pulasoma kembali dekati Suto
Sinting dan berkata dalam nada pelan.
"Pesanmu sudah
kusampaikan, Nak. Tapi perempuan itu bilang, dia tidak butuh pembantu."
Suto tersenyum sambil
manggut-manggut. Matanya sengaja melirik ke arah si perempuan, dan si perempuan
menatapnya terang-terangan lagi.
"Kurasa dia butuh teman,
Nak. Bukan pembantu."
"Apakah dia bilang
begitu?"
"Tidak. Dia perempuan
yang tidak suka banyak omong. Tiga kali kutanya baru menjawab satu kali. Tapi
menurutku, cobalah kau dekati sendiri dia. Siapa tahu jika sudah berhadapan
denganmu, keangkuhannya sebagai perempuan tak banyak omong menjadi luluh."
"Maksudmu luluh?"
"Dia akan berteriak atau
menjerit sambil melayangkan pukulan ke wajahmu!"
Pendekar Mabuk tertawa tanpa
suara, sementara Ki Pulasoma juga tertawa dengan suara terkekeh samar-samar.
Waktu itu, orang-orang bergigi tonggos belum datang, jadi suasananya masih
tenang-tenang saja. Karenanya, pada saat perempuan itu menghembuskan napas
cepat satu sentakan dari hidungnya,
suara hembusannya terdengar jelas di telinga Suto. Fui h...! Wuuus...!
Tiba-tiba ikat kepala Ki
Pulasoma terbang bagai dihempas badai kecil. Cangkir-cangkir di meja jatuh
dengan isi tumpah berantakan. Baju lengan panjang Ki Pulasoma pun terhempas
menyambar wajah Suto Sinting. Mangkuk sambal tumpah tepat di piring Suto yang
masih terisi dua potong ketan bakar.
"Angin apa itu tadi,
Nak?" bisik Ki Pulasoma.
"Biasa. Dia mulai unjuk
gigi," Suto pun berbisik kalem.
"Kurasa tak perlu
melayani ulahnya, Nak," bisik Ki Pulasoma.
"Bagaimana kalau aku juga
unjuk gigi sebentar?" ujar Suto dengan tersenyum dan memandang Ki
Pulasoma, tapi jari tangannya menyentil cepat.
Tees...!
Beet, praang...! Gubrrak...!
Sentilan Pendekar Mabuk adalah
sentilan yang dapat keluarkan tenaga dalam berkekuatan seperti tendangan seekor
kuda jantan. Jurus 'Jari Guntur' itu diarahkan kepada si perempuan berbaju
hijau, sehingga apa saja yang ada di atas meja perempuan itu menjadi
berantakan. Bahkan perempuan tersebut tersentak ke belakang, bagaikan mendapat
tendangan kuat di atas dadanya, ia jatuh menabrak meja belakang dan meja itu
menjadi tumbang bersama bangkunya. Bahkan kaki meja patah satu dan bangku
panjangnya patah menjadi dua bagian.
Perempuan itu menggeram sambil
bersusah payah bangkit sambil menyentakkan meja-bangku di sekitarnya.
Braaak...! Wuuut...! Jleeg...!
Pedang di mejanya disambar,
wuuut. .! Gagangnya digenggam dengan tangan kanan, siap dicabut kapan saja.
Ki Pulasoma pejamkan mata saat
terjadi kegaduhan itu. Setelah si perempuan bangkit dan memandang Suto dengan
sangar, Ki Pulasoma membuka mata pelan-pelan seraya berkata kepada Suto.
"Unjuk gigi boleh saja
tapi tak perlu merusakkan kedai ini, Nak."
"Maaf, Ki. Aku akan
mengganti kerusakannya," ujar Suto tetap kalem. la memungut poci yang tadi
jatuh ke pangkuannya dalam keadaan tuak di dalam poci membasahi celana. la tahu
perempuan itu segera menghampirinya dengan wajah berang, sementara orang-orang
pandangi mereka dalam ketegangan, tapi Suto Sinting tetap kalem dan memunguti
arang-barang yang berantakan karena sentakan napas si perempuan tadi. Ki
Pulasoma segera ditarik oleh anak gadisnya yang ketakutan.
"Kenapa masih di situ
saja, Pak! Ayo, menyingkir.. ! Salah-salah perutmu dedel kena pedangnya!"
ujar anak gadis Ki Pulasoma.
"Apa maksudmu menyerangku
seperti itu, hah?! Mau bikin perkara denganku?!" hardik perempuan itu
dengan suara sedikit serak dan agak besar, hampir seperti suara lelaki.
Pendekar Mabuk memandang
dengan senyum kalem.
"Siapa yang mendahului
bikin ulah seperti ini menurutmu?"
Sreet...! Pedang dicabut dari
sarungnya, diangkat tinggi-tinggi dan siap ditebaskan untuk membelah kepala Suto
Sinting.
"Maaf, Nona. Kepalaku
bukan semangka," kata Suto tetap kalem, menjengkelkan perempuan itu,
bahkan menjengkelkan orang-orang di sekitarnya.
"Edan itu anak! Sudah
tahu mau dibelah kepalanya masih diam di tempat? Apa tak punya kaki buat
lari?!" gerutu salah seorang tamu kedai.
"Kau menggangguku lebih
dulu, Kunyuk! Jangan salahkan diriku jika kepalamu terbelah menjadi dua bagian!
Hiaaat...!" Teees, beet.. ! Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan kembali oleh
Pendekar Mabuk. Tenaga dalam yang keluar dari sentilan jari tangannya
menghantam pergelangan tangan hingga sebatas siku si pemegang pedang. Tangan
itu terpental ke belakang dengan kuat, pedangnya terlempar lepas dari
genggaman, perempuan itu terpelanting dan jatuh terduduk di atas bangku
panjang. Brruk. .!
Klontaang...!
Gigi perempuan itu menggeletuk
pertanda menahan sakit. Matanya memancarkan permusuhan yang lebih tajam lagi.
Tapi Pendekar Mabuk masih tetap sunggingkan senyum dengan tenang dan sekarang
ia bangkit berdiri sambil menenteng bumbung tuaknya.
"Kalau kau tak mau
disalahkan, sebaiknya kita bermain di luar kedai saja. Kalau kedai ini rusak,
kasihan Ki Pulasoma!"
Suto Sinting melangkah keluar
dari kedai lebih dulu. Setiap mata memperhatikan ke arahnya, termasuk perempuan
berbaju hijau itu. Suto Sinting tetap melangkah cuek sambil tetap sunggingkan
senyum keramahan. Sesekali ia menepuk punggung seorang tamu yang dilewatinya
sambil berkata pelan.
"Tenang, bisa
kuatasi!"
Suto Sinting sengaja berdiri
di bawah pohon depan kedai. la menunggu perempuan itu di sana. Si perempuan
segera keluar dengan beberapa lompatan dari meja ke meja dan terakhir
mendaratkan kakinya di depan Suto Sinting dengan pedang tergenggam di tangan
kanan dan sarung pedang ada di tangan kiri.
Jleeg...!
"Apa maumu sebenarnya,
hah?!" bentak perempuan itu dengan suara geram.
"Kulihat kau sedang resah. Kutahu kau
punya masalah. Lalu kucoba ingin mendekatimu untuk membantu memecahkan
masalahmu. Kurundingkan hal itu kepada Ki Pulasoma. Tapi kau justru pamer
kekuatan napasmu yang membuat makananku berantakan. Maka kucoba untuk menegurmu
dengan pamer kekuatan juga. Sekarang kedudukan kita satu sama. Terserah kau,
mau dilanjutkan dalam bentuk apa pun aku siap!"
"Kau telah mempermalukan
diriku di depan orang-orang kedai! Kau harus menerima hukumannya."
"Baik! Aku siap. Tapi
tunggu sebentar, aku harus bayar dulu biaya makanku ditambah uang pengganti
kerusakan barang-barang itu," kata Suto dengan santai sekali. Lalu ia
melambaikan tangan kepada Ki Pulasoma yang memperhatikan dari ambang pintu
kedainya. Ki Pulasoma mendekat, Suto bicara pelan dengan pemilik kedai itu,
lalu mengeluarkan uang dari sela-sela ikat pinggangnya. Sesaat kemudian ia
berkata kepada perempuan itu.
"Kurang dua sikal. Apakah
kau punya dua sikal untuk melunasi biaya makanku, biaya makanmu dan mengganti
kerusakan itu?"
"Hmmm. .!" dengus
perempuan itu dengan dongkol. Tapi ia segera mengambil sekeping uang dari sela
ikat pinggangnya yang terbuat dari kain merah, lalu uang itu disentilkan ke
depan dan ditangkap oleh Suto. Teeb.. !
"Oh, lima sikal?! Kalau
begitu, tolong kembalinya kau berikan kepada nona cantik itu, Ki!"
"Baaik. . baik. .!
Sebentar, akan kuambilkan kembaliannya," lalu Ki Pulasoma berlari masuk
kedai.
Perempuan itu berkata sambil
menuding Suto.
"Kalau kau bisa menahan
tiga jurusku, kau baru boleh membantuku! Hiaaat...!"
"Tunggu dulu!"
sergah Suto yang membuat perempuan itu hentikan gerakannya. Lalu, Suto
melanjutkan ucapannya dengan kalem.
"Uang kembalianmu belum
diberikan Ki Pulasoma! Nanti kau lupa kalau sudah asyik bertarung
denganku!" Setelah bicara begitu, Suto tersenyum lebar. Tenang sekali.
"Aku tak butuh uang
kembalian! Hieaaat.. !" Bet, bet, bet. .! Weess...!
Perempuan itu menyerang Suto
dengan tebasan pedang yang sulit dilihat gerakannya oleh mata orang biasa. Tapi
Pendekar Mabuk hanya bergerak meliuk-liuk bagai orang mabuk sempoyongan. Tapi
gerakan itu patah-patah dan mampu hindari tebasan pedang beberapa kali. Sampai
akhirnya Pendekar Mabuk sengaja berlutut satu kaki, telapak tangan kirinya
menyodok perut perempuan itu dengan telak. Wuut, buuhk. .!
"Heeehk. .!"
Perempuan itu terlempar mundur bagaikan kapas terbang, lalu jatuh membentur
dinding kedai. Braak. .! Dinding kedai itu jebol. la menyeringai menahan sakit
dengan menggigit bibirnya. Tapi ia segera bangkit dan menarik napas panjang.
Saat itu Ki Pulasoma datang menyerahkan uang kembalian sebanyak tiga sikal.
"Ini kembaliannya,
Non!"
"Tak perlu, Ki!"
seru Suto. "Anggap saja kembalian itu uang pengganti dinding kedaimu yang
baru saja jebol itu!"
"Tap... tapi...."
"Simpan saja untuk
pengganti dinding ini!" gertak perempuan itu.
"Iya, tapi... kurang
kalau cuma segini, Nona?"
Perempuan itu penasaran dan
tak pedulikan ucapan Ki Pulasoma lagi. la segera lakukan lompatan cepat menerjang
Pendekar Mabuk dengan pedang ditebaskan sebagai pemenggal leher.
Wes. .!
Traang. .! Suto Sinting
berhasil menangkis tebasan pedang menggunakan bumbung tuaknya. Bumbung bambu
itu tidak mengalami luka atau lecet sedikit pun. Bahkan benturannya dengan
pedang menimbulkan bunyi bagaikan pedang menebang besi, karena bumbung tuak itu
adalah bumbung sakti yang terbuat bukan dari sembarang bambu.
Sayangnya Suto Sinting sedikit
lengah. Siku kirinya naik saat menangkis pedang tadi. Dan kaki perempuan itu
berhasil menendang ke samping, tepat kenai tulang rusuk Suto.
Beet...! Buuhk...!
"Aaow. .!" Suto
memekik sambil terlempar jatuh berguling-guling. Tulang rusuknya terasa patah,
karena tendangan itu bertenaga dalam cukup besar.
la bangkit dengan
terhuyung-huyung. Si perempuan tak mau membuang kesempatan. Melihat lawannya
mulai lemah, perempuan itu segera lepaskan tendangan putar tiga kali.
Wut, wut, wut.. !
Sayang tendangannya tidak
kenai sasaran karena Suto Sinting telah berpindah tempat dengan menggunakan jurus
'Gerak Siluman', yang mempunyai kecepatan gerak seperti kecepatan cahaya itu.
Zlaaap. .! Tahu-tahu pemuda tampan itu sudah ada di bawah pohon lagi, menenggak
tuaknya dari bumbung itu dengan santai, tindakan tersebut membuat beberapa mata
yang menyaksikan menjadi tercengang kagum dan terheran-heran terhadap kecepatan
gerak si Pendekar Mabuk.
"Edan! Orang kok
gerakannya seperti setan lewat!" gumam salah seorang penonton yang ada di
samping kedai.
Pada saat itulah, perhatian
mereka segera beralih ke arah selatan. Karena di arah selatan terdengar suara
ribut-ribut, jerit para perempuan bersahutan dan ayam-ayam berkeok sambil
beterbangan.
"Ada apa di sana itu.
.?!" seru seseorang dari dalam kedai. Pendekar Mabuk dan perempuan itu
juga memandang ke arah selatan. Mereka melihat orang-orang berpakaian hitam
sedang bikin keonaran sambil tertawa-tawa.
Tiba-tiba perempuan itu segera
melompat masuk kedai melewati dinding kedai yang hanya separo badan itu.
Wuuut.. ! Pendekar Mabuk berkerut dahi dan mulai membatin.
"Mengapa dia kelihatannya
takut dengan orang-orang itu?!"
Suto penasaran, kemudian
ikut-ikutan melompat masuk kedai lagi. Wees. .! la memandang perempuan berbaju
hijau yang tampak terburu-buru menuju dapur.
"Hei, tunggu. .!"
seru Suto Sinting yang segera mengejarnya dengan beberapa lompatan. Teeb. .!
Tangan Suto berhasil mencekal pundak perempuan itu. Si perempuan mengibaskannya
dalam satu sentakan putar. Wuuut...! Plaaak...! Suto Sinting terpelanting dan
membentur dinding.
Pada saat itulah ujung pedang
perempuan tersebut sudah berada di depan leher Suto dalam jarak kurang dari
setengah jengkal. Keadaan itu membuat Suto tak berani bergerak, terlebih
setelah melihat mata perempuan itu memancarkan kemurkaan yang serius dan
suaranya menggeram saat keluarkan ancaman maut.
"Berani menggangguku
lagi, kurobek batang lehermu sekarang juga!"
"Oh, hmmm, anu,
eehh...," Suto agak gugup walau tersenyum malu dan salah tingkah.
"Kuharap hentikan ulahmu
yang memuakkan itu! Biarkan aku pergi hindari orang-orang Pulau Boneng
itu!"
"Oh, ya. . tentu saja
akan kubiarkan kau pergi. Tapi.. mengapa kau harus pergi?! Kulihat
jurus-jurusmu tadi cukup hebat. Kurasa mereka bisa kau tumbangkan dalam waktu
singkat."
"Aku tak mau terlibat
urusan dengan mereka, karena mereka terlalu lemah bagiku!"
"Lalu... lalu mengapa kau
takut kepada mereka dan harus menghindar? Apakah mereka mencarimu?" Suto
bicara dengan senyum kaku patah-patah, karena ia masih dalam ancaman pedang
runcing perempuan ter-sebut.
"Mereka menyangka aku
orang Perguruan Tangan Besi! Mereka akan membunuhku, karena mereka sedang
bermusuhan dengan orang-orang Perguruan Tangan Besi!"
"Oh, kurasa. . kurasa kau
memang takut kepada mereka dan mengaku bukan orang Perguruan Tangan Besi. Hmmm.
. hanya segitukah nyalimu?!"
Pedang lebih ditekan lagi
hingga ujungnya menempel dingin di kulit leher Suto.
"Aku bukan orang
Perguruan Tangan Besi, Kunyuk!" geram perempuan itu. "Aku orang Teluk
Sendu!"
Pendekar Mabuk terperanjat
dalam hati mendengar nama Teluk Sendu disebutkan. la segera ingat Resi
Parangkara dan si Manggar Jingga yang kemarin bertemu dengannya. Namun sebelum
Suto mengatakan sesuatu, perempuan itu segera turunkan pedangnya sambil
menghempaskan napas panjang-panjang.
"Sekali lagi kuingatkan,
jangan menahanku di sini kalau kau ingin panjang umur!"
Perempuan itu berbalik dan
ingin melangkah keluar melalui pintu dapur kedai. Tapi Pendekar Mabuk yang
masih tetap berdiri merapat dinding itu segera berseru kepada perempuan
tersebut.
"Apakah kau kenal dengan
Resi Parangkara dan Manggar Jingga?!"
Tiba-tiba langkah perempuan
itu terhenti bagaikan patung. la tak segera berpaling, namun seperti terkesiap
kaget mendengar ucapan Suto tadi.
"Kalau kau memang orang
Teluk Sendu, kau pasti kenal dengan Resi Parangkara!"
Kini perempuan itu berbalik
pelan-pelan dan memandang Suto dengan dingin. la melangkah lamban sampai
akhirnya beradu pandang dalam jarak satu langkah di depan Suto.
"Sejak kapan kau mengenal
guruku?"
"Gurumu yang mana? Aku
hanya kenal dengan Resi Parangkara dan Manggar Jingga."
"Itu nama guruku! Manggar
Jingga adalah adik seperguruanku!"
"O, kalau begitu kau
adalah. ." Suto berpikir sejenak, lalu menyambung kata-katanya lagi.
"Kau adalah si Puting Selaksa?!!"
Perempuan itu menghempaskan
napas lagi, seperti membuang gumpalan murka yang menyesakkan dada.
"Ya, aku memang Puting
Selaksa!" ucapnya dengan tegas. "Siapa kau sebenarnya?!"
"Sahabat baru Resi
Parangkara dan Manggar Jingga," jawab Suto dengan senyum dingin. Wajah
perempuan itu tetap datar tanpa perubahan sedikit pun.
Anak gadis Ki Pulasoma menegur
Suto dari belakang.
"Kang, kalau tarung mbok
jangan di dapur. Nasi liwetku bisa hangus kalau begini. Tarunglah di luar sana,
mumpung sedang ada keributan!"
Pendekar Mabuk dan Puting
Selaksa sama-sama pandangi anak gadis si pemilik kedai itu.
*
* *
3
KALAU saja Suto tidak berkata
kepada Putting Selaksa, "Tetaplah
di dalam kedai, aku akan mengusir orang-orang itu dulu. Kasihan penduduk desa
ini dibuat bulan-bulanan mereka. Nanti kita teruskan percakapan kita,"
tentunya Pusing Selaksa sudah tinggalkan desa itu melalui pintu dapur.
Tapi karena Pendekar Mabuk
berpesan begitu, maka Puting Selaksa tak jadi keluar dari kedai. la justru
menonton cara Suto menghadapi orang-orang bergigi mancung yang ternyata adalah
orang-orang dari Pulau Boneng itu. Puting Selaksa menyaksikan hal itu dari
belakang dua pengunjung kedai yang tadi sedang makan saat Puting Selaksa cekcok
dengan Pendekar Mabuk.
Tujuh orang berpakaian serba
hitam dan berbadan besar-besar itu mengepung Suto setelah salah seorang
temannya dilemparkan oleh Suto dengan satu tendangan kaki, hingga orang itu
terbang ke atas tinggi-tinggi dan jatuh terbanting bagaikan nangka busuk jatuh
dari pohon. Orang itu sempat mengalami patah tulang pada ujung pundak kanannya.
"Keparat busuk!"
sentak seorang berikat kepala kuning dengan gigi seperti centong nasi.
"Apa kesalahan temanku ini hingga kau berani memperlakukan dia dengan
seenak perutmu, hah?!"
"Apa kesalahan penduduk
desa ini sehingga kalian bertindak seenak tengkuk kalian sendiri?!" Suto
Sinting balas bertanya sambil melecehkan mereka.
"Sikat sajalah! Jangan
banyak tanya lagi!" seru seorang yang berada di samping kiri Suto. Mata
Pendekar Mabuk mulai pandangi mereka satu persatu dengan seulas senyum tipis
tetap mekar di bibirnya.
"Hei, Bocah Edan.
.!" seru yang berikat kepala kuning. Agaknya dia adalah ketua dari delapan
orang itu.
"Ketahuilah, Bocah Edan.
. kami datang ke sini karena mengejar buronan kami! Seorang perempuan
berpakaian serba hijau telah melarikan diri masuk ke desa ini! Tapi orang-orang
desa ini mengaku tidak melihat perempuan itu! Mereka harus dipaksa dengan cara
sekasar apa pun supaya mau tunjukkan di mana perempuan berpakaian serba hijau
itu."
"Kalau perlu, paksa juga
dia!" celetuk orang yang ada di belakang si ikat kepala kuning Itu. Suto
hanya melirik orang itu sekejap sambil menahan napas.
Kemudian orang berikat kepala
kuning itu berkata dengan suara lantang.
"Ya, kurasa kau pasti
tahu perempuan itu ada di mana!"
"Mengapa kau
mencarinya?" tanya Suto dengan kalem.
"Dia harus dibunuh!
Karena dia adalah orang Perguruan Tangan Besi!"
"Dia bukan orang Tangan
Besi. Kalian salah duga! Dia justru bermusuhan dengan orang Tangan Besi."
"Bohong!" bentak
yang berikat kepala biru sambil maju dengan mencabut golok besarnya dari
pinggang. Sraaang...!
"Kami pergoki dia
melarikan diri dari padepokan perguruannya!"
"Itu karena dia
pergunakan kesempatan untuk larikan diri dari padepokan itu!" bantah Suto
setelah sebelumnya mendapat penjelasan dari Puting Selaksa tentang nasibnya
yang tertawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi, karena ia akan dinikahi
oleh Ketua Perguruan Tangan Besi yang bernama Jagalawa itu. Puting Selaksa
ditawan di kamar bawah tanah, sehingga tak seorang pun bias menemukannya,
termasuk Resi Parangkara dan Manggar Jingga yang gagal menemukan dirinya di
padepokan perguruan tersebut.
"Bukoro, hajar anak
ingusan ini!" perintah orang berikat kepala kuning.
Orang yang bernama Bukoro itu
berbadan penuh tato di bagian dadanya. Baju hitamnya terbuka lebar, sehingga
bagian dada dan perutnya tampak jelas dipenuhi oleh tato aneka gambar, termasuk
gambar naga, kelabang, pedang, piring, sendok, serbet makan, dan sebagainya.
Bukoro bertubuh tinggi besar dan bermata lebar. Kumisnya lebat, tapi kepalanya
tandus alias gundul.
Dengan menggeram sangar Bukoro
menghantam wajah Suto kuat-kuat. Ceprooot.. ! Suto Sinting terpental dan jatuh
terpelanting. Tangan Bukoro mencengkeram punggung baju Suto, lalu mengangkatnya
dan menghantamkan kembali kepalan tangannya yang sebesar kepala bayi itu.
Ceprrot...! Buuhk...!
Plaak...! Buhk, buhk, buhk...!
Suto jatuh terkapar dan
diinjak dadanya dengan hentakan kaki kuat.
Baaahk...!
"Uuhk...!"
Wajah Suto diinjak oleh kaki
besar itu. Prrokk. .!
Lalu digilas-gilas kuat-kuat
seperti mematikan puntung rokok.
"Hhmmrr...! Modaaarr...
modaaar... modaaaaarr.. !!" geram Bukoro dengan wajah bengis.
Orang-orang yang menyaksikan
adegan itu saling terbengong melompong, termasuk Puting Selaksa sendiri. Mereka
melihat jelas Suto Sinting dihancurkan oleh Bukoro, sementara Suto tidak
memberi perlawanan atau tidak menghindar sedikit pun. Bahkan ketika Bukoro
menginjak perut Suto, lalu kaki kanannya menghentak-hentak di dada Suto, anak
muda yang tampan itu tetap tidak melakukan perlawanan.
Tetapi yang membuat para
penonton terkesima dan terbengong melompong tanpa suara adalah tingkah
orang-orang Pulau Boneng lainnya itu. Para pengepung Suto Sinting berjatuhan,
mengerang kesakitan, berlumur darah, terkapar dengan menghentak-hentak. Bahkan
ada beberapa orang yang menyemburkan darah segar dari mulutnya saat Bukoro
menjejakkan kakinya ke dada Suto berkali-kali. Orang berikat kepala kuning juga
mengalami nasib serupa; babak belur dan nyaris hancur.
"Aaahk, uuhk... heeehk...
aaooh...."
Seruan kesakitan yang
terlontar dari mulut para pengepung itu tidak dihiraukan oleh Bukoro. Orang
berdada penuh tato itu justru semakin bernafsu ingin meremukkan kepala Suto dan
jika bias menghancurkan sekujur tubuh anak muda tersebut.
la melonjak-lonjak di atas
perut dan dada Suto bagai anak kecil kegirangan setelah mendapat permen dari
ayahnya.
"Modar, modar, modar,
darmo, darmo, darmo. .!" geram Bukoro, lalu berhenti sendiri dan berkata,
"Lho, Darmo itu kan nama mertuaku?!"
Saat itulah Bukoro terkejut
melihat tujuh temannya terkapar dalam keadaan terluka parah. Wajah mereka bukan
saja memar, namun menjadi bonyok seperti mangga busuk terinjak-injak. Bahkan si
ikat kepala kuning giginya yang mancung itu sempat pecah dan berlumur darah.
Bukoro turun dari atas tubuh
Suto Sinting. Matanya memandang tegang ke sana-sini, dan segera menyadari bahwa
tinggal dirinya sendiri yang masih bisa berdiri tegak di antara ketujuh
temannya.
Sedangkan Pendekar Mabuk
segera bangkit dan berdiri dengan kaki sedikit merenggang. la tampak sehat,
segar, tak mengalami luka sedikit pun.
Bahkan ia sempat sunggingkan
senyum ketika melirik ke arah kedai, dan melihat Puting Selaksa memandang
tegang dari balik pohon. Puting Selaksa tadi nyaris maju menerjang Bukoro ketika
melihat Suto diinjak-injak dan dihajar habis-habisan tanpa memberi perlawanan.
Puting Selaksa sempat merasa
jengkel kepada Suto yang tak mau membalas serangan lawan. Tapi begitu ia
melihat tujuh orang Pulau Boneng itu mengalami luka parah, rata-rata pecah
gigi, maka Puting Selaksa tunda niatnya dan membatin dalam hatinya.
"Gila! Ilmu apa yang
dipakai oleh pemuda sinting itu?! Dia yang dihajar habis-habisan tapi justru
teman lawannya yang menjadi hancur dan babak belur begitu?! Benar-benar sinting
ilmu si kunyuk tampan itu!"
Tentu saja Puting Selaksa
ataupun siapa saja terheran-heran, sebab mereka tidak tahu bahwa Pendekar Mabuk
mempunyai ilmu 'Alih Raga' yang digunakan jika dalam keadaan terkepung lawan
lebih dari lima orang. Ilmu 'Alih Raga' itu digunakan pada saat Suto memandangi
para pengepungnya satu persatu. Pada saat itulah, seluruh rasa yang ada pada
raga Suto dialihkan ke raga lawan-lawannya.
Maka ketika Suto dipukul
keras-keras, yang merasa sakit adalah para pengepungnya. Begitu pula ketika
Suto Sinting di njak-injak Bukoro, yang merasa terinjak-injak adalah para
pengepungnya. Ilmu langka pemberian dari si Gila Tuak itu kini telah dicabut
kembali oleh Suto dengan cara memandangi lawannya satu persatu. Terakhir
kalinya, Suto memandang Bukoro yang wajahnya menjadi merah padam karena tujuh
temannya dalam keadaan bonyok dan luka parah. Bukoro mulai sadar bahwa ia telah
diperdaya oleh ilmunya si pemuda tampan itu. Bukoro menjadi semakin berang.
Maka ia pun berteriak melepaskan murkanya sambil menuding Suto.
"Kau telah menggunakan
ilmu setan keparat itu, hah?! Sekarang saatnya kau dan aku beradu nyawa sampai
mati! Heeaaaahh. .!!"
Bukoro berlari dua langkah
lalu melompat menerjang Suto. Tapi dengan gerakan jurus mabuknya yang
menggeloyor seperti mau tumbang, terjangan Bukoro berhasil dihindari oleh
Pendekar Mabuk. Tubuh orang tinggi besar itu nyelonong lewat atas pundak Suto.
Ketika kakinya mendarat di tanah belakang Suto, tiba-tiba ia dikejutkan oleh
datangnya sesuatu dari atas bagaikan turun dari langit. Sesuatu yang bergerak
itu tak lain adalah tubuh Pendekar Mabuk yang bersalto ke belakang.
Tubuh itu melambung dan kedua
kakinya hinggap di pundak kanan-kirinya Bukoro. Jleeg. .! Kemudian kepalan
tangan Suto menghantam ubun-ubun Bukoro dengan keras. Proook. .!
"Huaaaaaa. .!!"
Bukoro menjerit keras-keras, telinganya semburkan darah dan mulutnya pun
memuncratkan darah segar. la mendelik dalam keadaan berdiri kaku, sementara
Pendekar Mabuk lakukan lompatan bersalto ke depan satu kali.
Wuuuk. .! Begitu tiba di
tanah, kakinya menendang ke belakang dengan kuat. Wuuut, buuhk. .!
"Huaaahk. .!" pekik
Bukoro sambil tersentak.
Tubuh tinggi besar bertato
banyak itu tumbang mencium tanah bagaikan pilar runtuh. Brrrruuk. .!
"Oooooohhkk...!"
Bukoro mengerang-ngerang
seperti kerbau tak mampu telentang. Kedua tangan dan kakinya mengais-ngais
tanah, seakan tak mampu menopang tubuhnya untuk bangkit kembali.
Zlaaap...!
Tiba-tiba Pendekar Mabuk
bagaikan hilang dari tempatnya. Padahal ia bergerak cepat pindah tempat dengan
menggunakan jurus 'Gerak Siluman'- nya. Tahu-tahu ia sudah berada di belakang
Puting Selaksa dan membuka bumbung tuaknya, lalu menenggak tuak tiga tegukan.
Glek, glek, glek...!
Mendengar suara tegukan orang
minum, Puting Selaksa cepat palingkan pandang ke belakang. La terkejut melihat
Pendekar Mabuk sudah ada di belakangnya.
Namun rasa kagetnya itu disembunyikan rapat-rapat, sehingga ia tetap kelihatan
tenang, seakan tak mempunyai rasa kagum sedikit pun terhadap ilmu yang dimiliki
Pendekar Mabuk itu.
"Kurasa sudah saatnya
kita tinggalkan desa ini, Puting Selaksa."
Perempuan itu menarik napas
mempertenang dirinya agar tampak lebih tegar dan lebih mantap dalam bersikap.
"Bagaimana dengan
orang-orang itu?"
"Apakah kau inginkan aku
mengantar pulang mereka satu persatu?"
"Yang kumaksud, mereka
akan menuntut balas padamu! Sekarang kau menjadi punya urusan dengan
orang-orang Pulau Boneng itu."
"Lebih baik mereka
berurusan denganku daripada harus mengganggu penduduk desa yang tak berdosa itu!"
tegas Pendekar Mabuk yang membuat Puting Selaksa tarik napas lagi. Kemudian ia
melemparkan pandangannya kepada orang-orang Pulau Boneng itu.
Mereka saling berdiri dengan
mengerang kesakitan. Si pemakai ikat kepala kuning memerintahkan anak buahnya
untuk segera pergi.
Maka mereka pun segera pergi
dengan sempoyongan bagai tak bertenaga lagi. Bahkan Bukoro sebentar-sebentar
jatuh merangkak karena menahan luka parah yang nyaris melenyapkan nyawanya.
"Laforkan fada
ketua!" ucap orang berikat kepala kuning itu dengan bahasa yang kacau
karena kerusakan giginya membuat ia tak bias menyebutkan huruf P.
Ketika Puting Selaksa
berpaling ke belakang untuk bicara lagi dengan Pendekar Mabuk, ternyata pemuda
itu sudah berada jauh dari langkahnya. Suto sedang menuju ke perbatasan desa.
la ingin meninggalkan desa tersebut.
"Aku perlu bicara
dengannya!" ucap Puting Selaksa yang segera mengejar Suto dengan langkah
peringan tubuh yang cukup tinggi.
Wes, wes, wes...! Ketika
menengok ke belakang, Suto melihat perempuan berpakaian hijau sedang
mengejarnya.la pun segera menggunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk menguji
kecepatan gerak perempuan itu.
"Dapatkah ia
menyusulku?!"
Zlaaap, zlaaap. .! Wees, wees,
wees. J
Zlap, zlap, zlap. .!
"Tungguuu. .!"
teriaknya dari kejauhan.
Pendekar Mabuk tertawa
sendiri, merasa unggul dalam gerakan. Tanpa terasa mereka sudah berada jauh
dari desanya Ki Pulasoma. Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah di balik
gugusan batu sebesar rumah yang ada di kaki bukit cadas tak seberapa tinggi
itu. Bayangan batu besar itu menciptakan keteduhan tersendiri. Hembusan angin
dari pepohonan di sekitar tempat itu begitu semilir menyejukkan.
Beberapa saat setelah Suto
duduk di bawah batu besar itu, Puting Selaksa baru sampai dan segera hentikan
langkahnya begitu melihat Suto ada di tempat itu. la menghembuskan napas
panjang, sepertinya merasa lega karena Suto ada di situ. la tadi sempat
menyangka kehilangan jejak Pendekar Mabuk, sehingga ia sempat dibuat cemas oleh
dugaannya sendiri.
Pendekar Mabuk hanya
sunggingkan senyum ketika perempuan itu menatapnya tanpa seulas senyum sedikit
pun. Wajah si Puting Selaksa justru tampak dingin dan berkesan angkuh-angkuh
galak.
Tepian matanya yang berwarna
hitam itu sempat merentangkan bulu kuduk Suto saat dipandang selama dua helaan
napas.
"Mengapa kau memandangku
demikian?" tanya Suto pada akhirnya.
"Kau belum menyebutkan
namamu!" jawab Puting Selaksa dengan tegas.
Pendekar Mabuk tertawa pelan
sambil lemparkan pandangan ke arah lain.
"Panggil saja aku: Suto!"
"Suto siapa?!" desak
Puting Selaksa sambil mendekat. la masih berdiri di depan Pendekar Mabuk,
sehingga tubuhnya yang tinggi itu membuat Pendekar Mabuk terpaksa memandang
dengan sedikit mendongak.
"Apakah aku perlu
menyebutkan nama lengkapku?"
"Perlu!"
Suto tertawa pendek.
"Baiklah. Nama lengkapku: Suto Sandi Irawan Nayaka Teja Indra Nuri Gana. .
"
"Itu nama penduduk
kampung mana saja?"
"Itu nama lengkapku.
Cuma, orang-orang sering menyingkat nama belakangku itu menjadi Suto
Sinting."
"Hmmm. .," Puting
Selaksa manggut-manggut.
"Jadi kata Sinting tadi
adalah kependekan dari nama panjangmu itu?"
"Betul."
"Siapa tadi nama
panjangmu?"
"Hmmm. . ah, lupa!"
ujar Suto sambil tertawa sendiri. Puting Selaksa hanya tersenyum tipis berkesan
sinis.
*
* *
4
SEBUAH batu setinggi betis
dipakai duduk oleh Puting Selaksa. la duduk menghadap ke arah Suto dengan kaki
merenggang tegak. la tidak seperti layaknya seorang perempuan jika duduk
berhadapan dengan lelaki. la kelihatan mantap dan gagah, sedangkan Suto Sinting
duduk di batu yang lebih rendah dari tempat duduk Puting Selaksa.
"Lahiriahnya saja
perempuan. Jangan-jangan jiwanya lelaki tulen," pikir Suto Sinting dengan
usil, lalu ia tertawa sendiri dalam hatinya.
"Aku kagum dengan ilmu
yang kau pakai melawan delapan orang tadi," ujar Puting Selaksa
terang-terangan. Agaknya ia seorang perempuan yang sportif, selalu mengakui
keunggulan lawan dan tak malu mengakui kekurangannya. Sambungnya lagi dengan
siku menopang di pahanya.
"Berapa lama kau terjun
ke rimba persilatan?"
"Baru saja," jawab
Suto Sinting seenaknya.
"Mengapa kau tanyakan hal
itu?"
"Gerakanmu sudah bisa
dianggap sempurna."
"Tidak ada yang sempurna
bagi manusia," ujar Suto setelah tersenyum meremehkan pujian tak langsung
itu.
"Menang atau kalah,
bagiku tak penting. Sekarang yang sedang kupikirkan bukan dendam orang-orang
bergigi mancung itu, tapi justru keadaan dirimu."
"Keadaan yang bagaimana
maksudmu?" tanya Puting Selaksa dengan suaranya yang agak besar dan
sedikit serak itu.
"Mengapa kau sampai
ditawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi, sementara Manggar Jingga dan
gurumu kebingungan mencarimu?"
"Di kedai itu sudah
kujelaskan, Ketua Perguruan Tangan Besi yang bernama Jagalawa sangat bernafsu
sekali untuk memperistriku. Tapi aku menolak dan menyatakan lebih baik mati di
tangannya daripada menjadi istrinya yang keempat!"
"Yang keempat? Wow.
.?!" Suto mendelik sambil tertawa pendek.
"Tapi rupanya Jagalawa
tetap bersikeras berusaha memperistriku. Dia sengaja menyiksaku dalam kamar
tahanan di bawah tanah. Aku tak diberi makan selama tujuh belas hari, tak
mendapat cahaya selama tujuh belas hari, dan selama itu pula aku tak diizinkan
tidur. Setiap aku mau tertidur, pintu terali yang dilapisi tenaga dalam itu
dipukul keras-keras oleh penjaganya, sehingga aku tersentak bangun."
"Sebesar itukah cinta si
Jagalawa kepadamu?"
"Dia tidak
mencintaiku!" ujar Puting Selaksa setelah tersenyum pendek dan sinis
sekali itu.
"Kalau tak mencintaimu,
mengapa ia bersikeras memperistrimu? Apakah ketiga istri Jagalawa tak ada yang
secantik dirimu?"
Puting Selaksa melirik
sebentar, kesannya seolah-olah ia tak suka dipuji kecantikannya secara tak
langsung. Namun Suto yang sudah berpengalaman menelusuri seluk-beluk hati
perempuan itu yakin betul, bahwa Puting Selaksa berdebar-debar saat dirinya
dipuji sebagai perempuan yang cantik.
"Ketiga istri Jagalawa
mempunyai kecantikan yang lebih tinggi dariku," kata Puting Selaksa sambil
memainkan ranting kering sepanjang satu jengkal.
"Tetapi anehnya, ketiga
istri Jalagavva itu ikut membantu membujukku agar mau diperistri oleh
Jagalawa."
"Aneh. .?!" gumam
'Suto Sinting. "Mengapa mereka sampai begitu?"
"Jika aku mau menjadi
istri Jagalawa, maka aku akan diberi hak dan kuasa lebih tinggi dari ketiga
istrinya itu, dan aku akan diangkat menjadi ketua dua dalam perguruan tersebut.
Bahkan Jagalawa bersedia turunkan seluruh ilmunya kepadaku."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
sambil menggumam pelan.
"Sepertinya ada sesuatu
pada dirimu yang dipandang sangat istimewa oleh Jagalawa."
"Memang begitu,"
jawab Puting Selaksa. "Dan orang yang berniat memperistriku seperti
Jagalawa sudah ada empat lelaki. Salah satu di antaranya adalah Adipati
Wijanarka."
"Baru kudengar nama
itu," gumam Suto.
"Adipati Wljsnarka
bersedia menyerahkan separo bagian dari wilayah kadipatennya menjadi tanah
milikku jika aku mau menjadi istrinya. Bahkan separo kekayaan sang Adipati akan
menjadi hak milikku, ia bersedia menceraikan kedua istrinya dan hanya
beristrikan satu perempuan saja, yaitu aku seorang. Tapi... lamaran itu pun
kutolak."
"Hebat! Hebat sekali
bualanmu," ucap Suto lirih.
"Aku tidak membual. Tapi
kalau kau merasa sedang kubohongi, sebaiknya keteranganku cukup sampai di sini
saja!" tegas Puting Selaksa yang tersinggung dengan gumam Pendekar Mabuk
tadi.
"Aku hanya
bercanda," kata Suto sambil nyengir.
"Teruskan ceritamu itu.
Aku suka mendengar cerita seperti itu."
Puting Selaksa melirik dingin,
karena ia tahu ucapan Suto itu tidak tulus, dan hanya sebagai pujian pemancing
semangat belaka. la membiarkan Pendekar Mabuk menenggak tuaknya, bahkan sempat
terbungkam sambil merasakah semilir angin di keteduhan itu.
"Aku menyimaknya dengan
sungguh-sungguh, Puting Selaksa. Teruskan ceritamu itu," bujuk Pendekar
Mabuk sambil pandangi wajah cantik yang mempunyai bibir agak tebal namun
sensual itu.
"Seorang saudagar dari
tanah seberang juga ingin melamarku dan memberi jaminan kekayaan yang tak habis
dimakan tujuh turunan. Saudagar Itu sempat memaksaku dengan menyuruh orang
kepercayaannya untuk melumpuhkan ilmuku. Orang kepercayaan saudagar ini sampai
sekarang masih mengejar-ngejarku terus. Tapi tentunya ia kehilangan jejakku
ketika aku tertawan oleh Jagalawa."
Sehelai daun melayang jatuh di
pangkuan Suto Sinting. Pendekar Mabuk memungutnya dan daun itu dipermainkan
secara iseng sambil mengomentari ucapan Puting Selaksa tadi.
"Secara jujur saja dan
jangan tersinggung, menurutku kau perempuan yang wajar-wajar saja. Tak kulihat
ada sesuatu yang istimewa pada dirimu, kecuali bentuk tubuhnya yang tinggi, kekar
dan mengagumkan. Kecantikanmu adalah kecantikan yang wajar. Secara sepintas aku
tadi mengukur ilmumu, juga termasuk wajar-wajar saja. Artinya, ilmu yang kau
miliki memang cukup tinggi, tapi tidak mempunyai keistimewaan. Misalnya saja,
kau bisa menembus matahari atau bisa membuat rembulan runtuh ke bumi. Tidak
begitu!"
"Aku suka dengan caramu
menilai!" kata Puting Selaksa dengan tegas sambil matanya menatap dengan
berani kepada Pendekar Mabuk.
"Tapi yang kuherankan,
mengapa seorang adipati, seorang saudagar, seorang ketua perguruan, dan yang
lainnya. . begitu bernafsu sekali ingin memperistrimu?! Apakah mereka terkena
'aji pengasihan' darimu?"
Puting Selaksa tampakkan
senyum sinisnya.
"Tak ada dalilnya dalam
hidupmu untuk menggunakan 'aji pengasihan' seperti dugaanmu. Lelaki kalau
diberi 'aji pengasihan' kelak akan menjadi kekasih yang ngelunjak!"
"Heh, heh, heh. .! Kurasa
tidak semua lelaki berani ngelunjak padamu. Kau perempuan yang keras, tegar,
berani, dan keras kepala!"
"Itu kuakui, karena
mereka yang bernafsu sekali untuk memperistriku juga menilaiku begitu. Hanya
saja, menurut mereka, aku adalah Wanita Keramat yang harus bisa mereka
nikahi."
"Wanita Keramat
bagaimana?!" tanya Suto Sinting dengan dahi berkerut.
Puting Selaksa memandang
Pendekar Mabuk tak berkesip. Pandangan itu begitu tajam, sempat membuat hati
Suto bergetar. Getaran tersebut sukar diartikan, sehingga Suto sendiri hanya
bias membatin dalam hatinya,
"Baru sekarang aku
menerima pandangan mata seperti ini. Apa arti getaran dalam hatiku ini?! Oh,
aku jadi resah sendiri. Gila! Kenapa aku menjadi takut kepadanya setelah
ditatap sedemikian rupa? Takut tapi suka. Aneh sekali perasaanku kali
ini?!"
Bibir sensual itu
bergerak-gerak mengucapkan kata pelan, namun berwibawa.
"Saat bulan purnama yang
lalu, ketika aku melintasi puncak sebuah bukit yang bernama Bukit Taman Langit,
tiba-tiba cahaya rembulan bersinar merah seperti bara...."
*
* *
Puting Selaksa terkejut ketika
cahaya rembulan tampak merah membara. la sempat hentikan langkahnya dan
memandangi rembulan yang berubah menjadi merah itu. Tapi cahaya di sekelilingnya masih terang selayaknya bulan
purnama.
"Aneh. Mengapa rembulan
menyorotkan cahaya merah? Cahaya itu seolah-olah hanya tertuju untuk diriku.
Padahal.. oh, di tempat lain cahayanya masih terang, kuning keperakan,"
pikir Puting Selaksa kala itu. la memandangi alam sekeliling, kemudian menatap
tangannya sendiri.
"Oh, tanganku menjadi
merah. Kulitku merah seperti buah ranum? Apa yang terjadi pada diriku
ini?"
Cahaya merah itu makin lama
semakin terang. Cahaya tersebut berbentuk seperti lampu sorot yang khusus untuk
menyinari tubuh Puting Selaksa.
Ketika ia mencoba bergerak ke
belakang, cahaya merah itu mengikutinya. Ke mana pun ia bergerak, cahaya merah
tetap menyinarinya. Puting Selaksa memandang kepada rembulan.
"Nyata-nyata dari
rembulan datangnya. Oh, cahaya apa ini? Dari sana berbentuk kecil makin lama
semakin melebar dan menyinariku dalam bentuk sinar bulat. Tiga langkah maju ke
depan, aku akan keluar dari cahaya merah ini. Akan kucoba lagi."
Puting Selaksa melangkah empat
langkah, ia memang keluar dari lingkaran cahaya merah. Tetapi lingkaran cahaya
itu segera bergerak dan Putting Selaksa berada di tengah lingkaran cahaya lagi.
Hati perempuan itu
berdebar-debar. Jantungnya sempat berdetak cepat, ia diliputi rasa takut yang
menegangkan. Tetapi rasa ingin tahu keanehan itu mendesak hatinya terus untuk
tetap mengikuti perkembangan selanjutnya,
"Biarlah aku terlambat
pulang, kurasa Guru tak akan marah jika kuceritakan pengalaman aneh ini. Bahkan
mungkin Kakek Guru dapat menjelaskan makna sinar merah dari rembulan ini.
Sebaiknya. . "
Ucapan batin itu terhenti,
karena tiba-tiba cahaya merah jambu itu berubah menjadi kehijau-hijauan.
Tiga helaan napas kemudian,
cahaya hijau itu semakin terang dan semakin nyata. Puting Selaksa semakin
takut, sebab sekarang kulit tubuhnya menjadi hijau. Makin lama warna hijaunya
semakin bening, dan tubuh Puting Selaksa
seluruhnya pun menjadi hijau bening seperti kristal. Tentu saja menjadi sangat
tegang dan panik.
"Ooh...?! Kakiku...?
Kakiku tak bisa terangkat lagi? Celaka!"
Puting Selaksa mencoba
mengerahkan tenaga dalam untuk mengangkat kakinya, tetapi kaki itu bagai
tertanam kuat ke dalam tanah, sukar diangkat atau digeser sedikit pun.
"Hei ...?! Ke mana
pakaianku? Mengapa aku jadi tidak berpakaian? Dan. . dan... hei, di mana
pedangku? Ooh... celaka! Jurusnya siapa ini yang menyerangku?!"
Makin berusaha mengangkat
kaki, makin sesak pernapasan Puting Selaksa. Pandangan matanya pun mulai buram.
Pada awalnya, apa yang dipandang menjadi serba hijau; tanah hijau, batu hijau,
batang pohon hijau, daun. . memang hijau dari dulu. Tapi rembulan juga
ikut-ikutan berwarna hijau.
Bahkan langit, awan dan
bintang pun tampak berwarna hijau indah. Sekalipun segalanya tampak indah,
namun Puting Selaksa tetap diliputi rasa takut terhadap keanehan tersebut.
Beberapa saat, pandangan yang
serba hijau itu memburam. Makin lama semakin buram, akhirnya gelap. Gelap sama
sekali.
"Ooh..,?! Aku telah
menjadi buta?! Tapi... tapi napasku... aduh, sesak sekali. Haaahk...
hhaaahk...!"
Pada saat napas terasa semakin
sesak, dada bagai dibakar api, darah bagaikan mendidih, Puting Selaksa
mendengar suara bergema samar-samar.
"Malam keberuntunganmu
tiba, Anakku. Kau telah melintasi jalur keramat pada tempat dan waktu sangat
tepat. Bersiaplah menjadi wanita yang penuh keberuntungan, bertabur cinta dan
takhta. Tetapi ingat, jangan kau cemari kesucianmu dengan darah kemesraan
lelaki yang bukan suamimu. Jika kau cemari, maka Rona Dewaji akan pergi darimu. Darahmu hanya boleh
bercampur dengan darah lelaki yang memperistri dirimu secara sah. Tapi
kuberikan kebebasanmu untuk memilih seorang suami yang sesuai dengan hatimu.
Jika sudah kau dapatkan, menikahlah dengannya maka seluruh keberuntungan akan
menjadi milik keturunanmu. Ingat, jangan sampai Rona Dewaji hilang karena
pencemaran itu. Ingat, Rona Dewaji ada padamu, Rona Dewaji ada padamu, Rona
Dewaji...."
Seterusnya Puting Selaksa tak
bisa mendengarnya lagi. Perempuan itu tak sadarkan diri, sukmanya bagai
melayang-layang di sela-sela awan berwarna-warni. Awan-awan itu bergumpal
membentuk keindahan tersendiri. Seakan ia terbang di atas taman langit. Rasa
bahagia, rasa senang, rasa gembira, semua bercampur menjadi satu menyelimuti
hatinya. Perasaan itu tak bisa diuraikan dengan kata-kata lagi.
Ketika ia siuman, ternyata ia
sudah berada di tepi pantai. Pantai itu tak jauh dari Teluk Sendu, tempat
kediaman gurunya; Resi Parangkara. Keadaan tubuhnya telah normal kembali.
Pakaiannya tetap rapi, seakan tak pernah ada yang melepasnya.
Badannya pun terasa segar,
tanpa mengalami luka dan rasa sakit sedikit pun. Namun ingatan Putting Selaksa
tentang bulan bersinar hijau itu masih jelas dan jelas sekali. Seakan peristiwa
itu tak akan bisa dilupakan seumur hidupnya.
Peristiwa tersebut segera
diceritakan kepada sang Guru pada saat Manggar Jingga tidak ada di tempat. Resi
Parangkara sempat terkejut saat mendengar turunnya cahaya hijau dari tengah
rembulan itu. Sang Guru yang biasanya kalem, saat itu menjadi tegang dan sangat
antusias mendengarkan cerita Puting Selaksa.
"Apakah aku bermimpi pada
saat itu, Guru? Atau aku sedang diguna-guna oleh seseorang yang berilmu
tinggi!"
"Tidak, Muridku!"
jawab sang Guru dengan tegas.
"Kau telah terpilih oleh
Dewata untuk menerima Rona Dewaji."
"Apa itu Rona Dewaji,
Guru?" Puting Selaksa memandang dengan dahi berkerut.
"Rona Dewaji adalah 'gaib
kekuatan kasih' yang dimiliki para dewa di kayangan sana yang akan membawa
keberuntungan, kebahagiaan, dan kesehatan bagi siapa pun yang
mendapatkannya."
Puting Selaksa
manggut-manggut, tampak serius sekali mendengarkan penjelasan sang Guru,
sampai-sampai ia tak sadar kalau bibirnya agak memble dan air liurnya hampir
jatuh.
"Dalam perhitungan
leluhur kita, turunnya Rona Dewaji itu dinamakan 'Malam Anggoro Asin'. Dan
istilah malam itu dipakai untuk sepasang pengantin baru. Artinya, seluruh
kebahagiaan, keberuntungan dan kesehatan menjadi milik kedua mempelai tersebut."
"Apakah ada bahayanya
bagi hidupku, Guru?"
"Sama sekali tidak ada.
Satu-satunya bahaya akan datang dari sesama manusia sendiri. Jika hal ini kau
ceritakan kepada perempuan lain, maka kau bisa dibunuh olehnya, terutama bagi
perempuan yang berjiwa sirik dan merasa iri dengan keberuntunganmu," jawab
Resi Parangkara dengan jelas sekali. "Karenanya kuminta jangan kau
ceritakan peristiwa itu kepada adikmu: si Manggar Jingga. la akan merasa
menjadi perempuan yang tidak beruntung dan minder kepadamu."
"Baik, akan kurahasiakan
hai ini dari para perempuan mana pun juga."
"Bahaya itu juga bisa
datang dari kaum lelaki yang bernafsu ingin memperistrimu, terutama jika lelaki
itu tahu bahwa kau adalah perempuan yang memiliki Rona Dewaji."
"Tapi pada waktu itu tak
ada siapa pun, Guru. Apakah mungkin ada lelaki yang bisa mengetahui keadaan
diriku?"
"Menurut penglihatanmu
memang begitu. Tapi ketahuilah, jika pada malam itu ada seorang lelaki yang
melakukan semadi, sekalipun di seberang samudera atau di ujung dunia, maka
kepekaan batinnya akan dapat melihat dan mendengar peristiwa itu. la akan
melihat apa yang kau lihat, dan mendengar apa yang kau dengar. Bisa-bisa lelaki
itu akan memburumu atau membujukmu untuk dijadikan istrinya. Dan jika ia kecewa
atas penolakanmu, bisa-bisa jiwa sesatnya akan muncul, lalu ia akan berusaha
membunuhmu, supaya lelaki lain pun tidak mendapatkan keuntungan darJmu."
"Sepertinya tak masuk
akal sama sekali, Guru."
"Jangan menerima
kenyataan ini dengan akal dan pikiran, karena peristiwa yang kau alami hanya
bisa diterima oleh kekuatan batin," ujar Resi Parangkara dengan penuh
kesabaran. "Siapa pun lelaki yang mengetahui bahwa kau mempunyai kekuatan
Rona Dewaji, maka ia akan berusaha keras untuk dapat memperistrimu. Sebab,
seluruh keturunanmu kelak akan menjadi raja atau penguasa dan hidupnya akan
berlimpah kebahagiaan, kekayaan, kedamaian, serta berderajat tinggi. Kau pun
bersama suamimu akan begitu."
Puting Selaksa menarik napas
dalam-dalam. Ada keceriaan membias di wajah cantiknya. Tapi batinnya masih
diliputi keraguan dan menganggap hal itu suatu falsafah kuno peninggalan
leluhur mereka.
Resi Parangkara tambahkan
penjelasannya lagi.
"Tapi kau harus
benar-benar tetap suci. Ingat, kau harus benar-benar tetap suci."
"Jadi, aku tak boleh
bermesraan dengan seorang kekasih?"
"Bermesraan boleh, tapi
jangan sampai darah kemesraan lelaki itu tumpah dan membaur dalam tubuhmu. Itu
yang dinamakan pencemaran. Seratus kali kau memeluk lelaki, seratus kali kau
dicium oleh seratus jenis lelaki, itu tidak apa-apa. Tapi jika setetes darah
kemesraan lelaki itu tumpah dan masuk dalam tubuhmu, maka kekuatan Rona Dewaji
hilang seketika itu juga. Tapi jika lelaki itu sudah sah menjadi suamimu, mau
tumpah seember pun bebas. Tak akan membuat Rona Dewaji hilang dari dirimu.
Jelas?"
"Jelas, Guru!"
sambil Puting Selaksa mengangguk tegas.
"Ingat, godaan cinta akan
datang beruntun padamu. Kau harus pandai-pandai membawa diri, pandai-pandai
mengendalikan nafsu batinmu...,"
Sejak itu, Puting Selaksa
selalu berusaha menjauhi lelaki. la hanya ingin memilih lelaki calon suaminya
dari jarak jauh saja. Sikap menjauhi lelaki adalah sikap berjaga-jaga agar tak
terjebak dalam godaan cinta.
Tetapi ternyata godaan itu
timbul bukan dari orang lain, tapi juga dari dalam diri Puting Selaksa sendiri.
Godaan dari dalam dirinya itu berupa membaranya sang gairah. Hasrat ingin
bercumbu selalu meletup-letup dalam dada Puting Selaksa, sampai-sampai ia
sering mimpi bercinta dengan seorang lelaki dan mencapai puncak keindahannya.
Untuk mengatasi berkobarnya
gairah cinta, Putting Selaksa sering menyibukkan diri dengan kegiatan yang
bersifat menguras tenaga. Bahkan setiap hari ia berlatih jurus-jurus yang
pernah diajarkan oleh sang Guru agar pikiran dan khayalannya tidak tertuju pada
kencan dengari lelaki.
"Ternyata melawan godaan
dari dalam diri sendiri lebih berat dibandingkan bertarung melawan orang
lain," pikir Puting Selaksa kala merenungkan hal itu.
Walaupun sejauh ini, Puting
Selaksa masih mampu bertahan untuk tidak bercumbu dengan seorang lelaki, tetapi
setiap tidur mimpinya selalu tentang bercumbu dengan lawan jenisnya.
*
* *
Pendekar Mabuk menarik napas
begitu Puting Selaksa hentikan penuturan kisah tersebut. Bahkan pemuda tampan
itu sempat menenggak tuaknya lagi sambil merenungkan seluruh cerita tersebut,
"Karenanya, ketika aku
berada dalam penjara bawah tanah dan mengalami siksaan kasar dari Jagalawa, aku
merasa punya keuntungan sendiri dalam menerimanya. Aku tak pernah tidur, dan
dengan begitu tak pernah bermimpi tentang cumbuan. Aku merasa sakit hati,
sehingga hasrat ingin bercumbu hilang,"
Suto tersenyum mendengarnya,
tapi Puting Selaksa tak pedulikan senyum yang bernada mengejeknya itu. la tetap
bicara walau tanpa memandang Pendekar Mabuk.
"Begitu aku berhasil lolos dari penjaranya
si Jagalawa, aku dikejar-kejar orang Pulau Boneng. Tapi aku sempat bersembunyi
dan tertidur cukup lama. Mimpi itu hadir lagi dan membuat hasratku
menyala-nyala kembali. Oleh sebab itulah, ketika di kedai aku tak ingin
ditemani oleh pria mana pun juga, karena aku takut tergoda oleh hasratku
sendiri."
"Tapi...," potong
Pendekar Mabuk. "Apakah Jagalawa, Adipati Wijanarka dan orang-orang yang
bernafsu ingin memperistrimu itu juga tahu bahwa kau adalah perempuan yang
mendapatkan Rona Dewaji?"
"Tentunya mereka tahu,
sebab mereka menyebutkan Wanita Keramat. Mungkin pada waktu itu Jagalawa sedang
lakukan semadi, sehingga ia melihat dan mendengar dengan batinnya tentang
peristiwa yang kualami itu. Atau seorang petapa yang menjadi kenalan mereka
memberi tahukan keadaanku, sehingga mereka berusaha ingin memperistri
diriku."
Pendekar Mabuk menggumam
panjang dan manggut-manggut. Puting Selaksa membuang pandangan jauh-jauh sambil
berdiri. la melangkah jauhi Suto. Seolah-olah ia tak berani memandang Suto
terlalu lama, karena takut gairahnya tergoda.
"Puting Selaksa,"
panggil Suto sambil berdiri juga.
"Kalau boleh kutahu,
apakah sampai sekarang kau belum punya pilihan tentang lelaki yang akan menjadi
suamimu?"
"Belum!" sahut
perempuan itu dengan cepat dan tegas, wajahnya dipalingkan memandang Suto
Sinting.
Suto mendekatinya. "Kau.
. kau benar-benar belum punya kekasih?"
Puting Selaksa gelengkan
kepala sambil tetap menatap lekat-lekat pada Suto.
"Dulu aku pernah punya
kekasih. Tapi aku dikhianati. Setelah dia merenggut kesucianku, setelah dia
puas menikmati tubuhku, dia pergi dan menikah dengan putri seorang raja. Hatiku
sakit sekali, dan sejak itu hatiku sulit menerima kehadiran seorang lelaki?'
Sekali lagi kepala Suto
manggut-manggut sambil perdengarkan gumamnya yang lirih. Tapi batin pemuda itu
mulai berkecamuk antara percaya dan tidak.
"Jika aku kawin dengan
perempuan ini, tentunya hidupku akan berlimpah kebahagiaan sampai pada
keturunan-keturunanku. Tapi bagaimana dengan Dyah Sariningrum? Oh, kasihan dia.
Hatinya pasti akan hancur selama-lamanya. Dan lagi. . benarkah apa yang
diceritakannya itu? Jangan-jangan cerita itu hanya untuk mempengaruhi
pendirianku dan membuatku terpikat padanya? Hmmm. . aku harus hati-hati
berhadapan dengan perempuan yang satu ini!"
Puting Selaksa tersenyum sinis
ketika mata Suto kepergok sedang menatapnya. Suto sempat salah tingkah dan tak
enak hati. Lebih tak enak lagi setelah Puting Selaksa berkata dengan nada
dingin.
"Aku tahu kau meragukan
kebenaran ceritaku tadi. Tapi kuharap jangan punya prasangka bahwa aku
mengincarmu sebagai calon suamiku. Aku tidak berselera, dengan lelaki yang
punya wajah tampan dan gagah sepertimu."
"O ya...?! Mengapa kau
tidak berselera?"
"Karena lelaki sepertimu
pasti lelaki buaya, doyan selingkuh dan mata keranjang!" jawab Putting
Selaksa dengan nada ketus yang membuat wajah Suto menjadi semburat merah
menahan rasa malu.
"Aku memburumu kemari
karena ada yang ingin kutanyakan padamu!" sambung Puting Selaksa.
"Tentang apa?" Suto
masih bisa pertahankan sikap kalemnya, walau dirinya penuh gairah dan mengecam
kata-kata Puting Selaksa tadi.
"Di mana guruku dan
Manggar Jingga sekarang?!"
"Aku tak tahu. Tapi
sebelum kami berpisah, kudengar mereka merencanakan untuk mencarimu ke
Perguruan Tangan Besi. Mereka akan menyelidiki keadaan di sana. Jika benar kau
ditawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi, maka mereka akan menyerang
perguruan itu!"
"Tapi aku tidak melihat
mereka ada di antara kobaran api pertempuran antara orang-orang Pulau Boneng
dengan orang-orang Perguruan Tangan Besi!"
Suto angkat bahu. "Kalau
begitu mereka tidak ke sana, atau mungkin sudah menjadi mayat di antara
tumpukan para korban itu?!"
Mata bertepian hitam itu
sempat melebar sekejap. Wajah cantik angkuh itu menjadi tegang.
"Kalau begitu aku harus
kembali ke tanah Mentawai dan memeriksa para mayat yang bergelimpangan di
sana!"
"Silakan saja. Jangan
berharap aku akan mendampingimu untuk pergi ke sana!" ucap Suto Sinting
bernada ketus, setajam ucapan Putting Selaksa tadi. Wajah perempuan itu menjadi
merah menahan malu dan marah.
"Satu sama!" ucap
Suto sambil tersenyum nyengir. Puting Selaksa tampak menggeletukkan giginya
dengan pandangan mata setajam ujung tombak. Pendekar Mabuk sempat merinding
dipandang demikian, walau wajahnya tetap cengar-cengir konyol.
*
* *
5
TERNYATA bukan hanya mereka
berdua yang ada di tempat teduh itu. Sepasang mata dan telinga telah menyadap
pembicaraan mereka dan memperhatikan gerak-gerik Pendekar Mabuk serta Puting
Selaksa. Orang ketiga itu sengaja tak mau tampakkan diri sebelum mengetahui
akhir dari percakapan tersebut.
Agaknya pengintaian si orang
ketiga itu dilakukan tanpa disengaja. Perjalanannya te rhenti ketika melihat
Suto Sinting berteduh di balik batu. Rasa penasarannya semakin bertambah
setelah kemunculan Puting Selaksa yang juga telah dikenalnya sebagai murid Resi
Parangkara. Maka si orang ketiga itu mengambil tempat yang sama dan sangat
tersembunyi, namun bisa mendengarkan percakapan yang dilakukan oleh dua orang
tersebut.
Pohon berdaun rindang yang
tumbuh di belakang batu besar adalah tempat aman yang dipilihnya sebagai tempat
persembunyian. Lompatan geraknya dari dahan ke dahan yang tidak menimbulkan
suara itu dapat dikenali sebagai lompatan tokoh berilmu tinggi. Cara berdirinya
di dalam kerimbunan daun yang hanya berpijak pada satu ranting kecil menandakan
tokoh tersebut menguasai ilmu peringan tubuh dengan baik.
Pada saat ia mendengar Suto
berkata kepada Puting Selaksa,
"Namun sebagai sahabat
baru Resi Parangkara, aku berkewajiban mencari tahu juga nasib beliau di antara
mayat-mayat orang Perguruan Tangan Besi. Jadi tak ada jeleknya jika kita
berangkat bersama ke puing-puing reruntuhan perguruan tersebut."
Puting Selaksa hanya
sunggingkan senyum dingin yang tipis, lalu ia melangkah lebih dulu dan Pendekar
Mabuk bergegas menyusulnya. Pada saat itulah, si orang ketiga segera melompat
turun dari atas pohon bagaikan seekor elang ingin menyambar mangsanya.
Wuuus...!
Seandainya Puting Selaksa
kurang peka terhadap hembusan angin di sekitarnya dan ia tidak segera tundukkan
kepala, maka kepala itu akan tersambar tendangan kuat dari orang ketiga itu.
Sambil bergerak tundukkan kepala dan rendahkan badan, Puting Selaksa segera
mencabut pedangnya karena gerakan refleksnya terhadap datangnya bahaya
sewaktu-waktu. Sreet...!
Jleeeg...!
"Tahan. .!" seru
Suto sambil rintangkan tangan di depan Puting Selaksa begitu si orang ketiga
daratkan kakinya di tanah depan mereka. Terkesip mata si Pendekar Mabuk
pandangi orang itu, terbelalak nanar mata si Puting Selaksa begitu tahu siapa
yang tadi ingin menyambarnya dari arah belakang.
"Bara Perindu...?!"
sapa Pendekar Mabuk bernada heran. Gadis itu tidak menyapa namun memandang
Puting Selaksa penuh permusuhan. Suto sempat salah tingkah sendiri melihat cara
kedua perempuan itu dalam beradu pandang.
"Agaknya kalian sudah
saling kenal," ujar Suto mengisi kebungkaman di antara mereka.
Puting Selaksa bicara kepada
Suto dengan mata tetap memandang tajam kepada Bara Perindu.
"Rupanya kau sudah
mengenal gadis tolol itu, Suto!"
"Hmmm... iiy... iya, aku
sudah mengenalnya. Bara Perindu adalah prajurit kehormatan dari istana
Kadipaten Mancanagari. Hmmm... kami pernah bertemu dan saling membantu pada
saat geger ilmu 'Lintah Tambak Cumbu' yang dimiliki putri angkat Kanjeng
Adipati Purwatahta itu," jawab Suto sambil mengenang peristiwa munculnya
tokoh jalang bernama Nyai Mata Binal, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode
: "Perempuan Jahanam").
Bara Perindu yang mengenakan
baju ketat berbelahan dada lebar warna merah itu masih bungkam dengan sikapnya
yang penuh keberanian itu. Gadis cantik berambut sepundak dengan poni bagian
depan itu juga kelihatan sama judes dengan Puting Selaksa. Tangan kanannya
sudah pegangi gagang pedang yang sewaktu-waktu siap cabut bila lawan menyerang. Suto Sinting mencoba
meredakanketegangan itu dengan senyum kaku yang lebih terlihat sebagai
cengar-cengir salah tingkah.
"Kalian berdua sahabatku,
sebaiknya tak perlu saling bersitegang begini."
Tapi rupanya kedua perempuan
itu bagai tak mendengar ucapan Suto Sinting. Bahkan gadis pemberani berusia dua
puluh dua tahun itu mulai lontarkan kata ketusnya kepada Puting Selaksa dengan
keras.
"Muslihat apa lagi yang
akan kau lakukan di depan Pendekar Mabuk, Perempuan Licik!"
"Aku tak punya urusan
lagi denganmu!" ucap Puting Selaksa dengan datar dan berkesan dingin.
"Tapi jika kau masih
ingin teruskan perkara lama, aku siap mencabut nyawamu sekarang juga!"
"Hei, hei... tunggu
dulu!" sergah Suto Sinting.
"Jangan buru-buru main
cabut nyawa, sebab nyawa berbeda dengan singkong, yang sekali cabut, batangnya
ditanam lagi bisa tumbuh kembali. Tapi nyawa manusia sekali cabut, bangkainya
ditanam, tidak pernah akan tumbuh lagi, bukan?!"
"Suto...!" seru Bara
Perindu. "Jangan mau termakan oleh tipu muslihat perempuan jalang itu!
Cerita yang dibuatkan panjang lebar tadi hanya siasat untuk menjebak gairahmu
belaka! Tak ada Rona Dewaji. Apa itu Rona Dewaji? Tahi kucing!" sentak
Bara Perindu.
"Suto, menyingkirlah dan
biarkan gadis pongah itu mencium ujung pedangku dulu agar tak bicara
sembarangan di depan siapa saja!" ujar Puting Selaksa dengan nada ketus
menyeramkan. Bola matanya tak pernah bergerak, kelopaknya tak mau berkedip,
seakan seluruh perhatian dipusatkan kepada Bara Perindu.
"Cabut pedangmu, Bara
Perindu! Buktikan bahwa ketajaman mulutmu lebih tajam dari pedangmu
sendiri!" tantang Puting Selaksa.
Pendekar Mabuk bagai orang
terhipnotis saat memperhatikan sorot pandangan mata tajamnya Puting Selaksa. la
menjadi berdebar-debar dan undurkan langkah beberapa kali.
"See. . sebaiknya. .
sebaiknya ini tak perlu terjadi, Puting Selaksa... Bara Perindu...."
Sreet. .! Bara Perindu mulai
mencabut pedangnya. Suto Sinting bertambah cemas dan bingung. Kedua perempuan
itu sama-sama pemberani dan sukar dibujuk jika sudah naik pitam begitu.
"Puting Selaksa, jangan
harap kau bias mengelabui sahabatku; Suto Sinting itu, jika Bara Perindu masih
dapat mencabut pedangnya! Tak akan kubiarkan Pendekar Mabuk itu jatuh dalam
pelukanmu hanya sekadar pemuas nafsumu semata!"
"Gadis beracun tikus!
Rupanya kau merasa iri melihat pemuda itu bersimpati kepadaku. Apakah kau tak
sadar bahwa kau mempunyai kecantikan yang memuakkan bagi setiap lelaki,
sehingga tak ada lelaki yang mau jatuh dalam pelukanmu?!"
"Mulut busukmu akan
hancur sekarang juga, Puting Selaksa. Hiaaah...!"
Wees, wees. .!
Kedua perempuan itu saling
lompat, saling menerjang, dan saling beradu kecepatan pedang di udara.
Pendekar Mabuk terpaksa makin
mundur karena takut menjadi salah sasaran dari sabetan pedang yang sama-sama
berkecepatan tinggi itu.
Trring, tring, trrang, trring. .!
Sampai keduanya turun ke
darat, pedang mereka masih saling beradu dengan cepat. Gerakan mereka pun
sama-sama lincah dan penuh nafsu untuk membunuh. Rupanya persoalan lama mereka
melatarbelakangi kebencian Bara Perindu kepada Puting Selaksa. Sebab ia dulu
pernah hampir dibuat mati oleh Puting Selaksa ketika berebut sebuah kitab milik
Eyang Sagawira, kakak dari Resi Parangkara. Sedangkan Eyang Sagawira adalah
gurunya Bara Perindu.
Sementara itu, pikiran
Pendekar Mabuk mulai terpengaruh oleh ucapan Bara Perindu tadi. Batin pun
akhirnya berkecamuk sambil pandangi permainan jurus pedangnya Puting Selaksa.
"Puting Selaksa tampak
marah sekali kepada Bara Perindu. Mungkinkah karena Puting Selaksa takut jika
muslihatnya terbongkar di depanku? Oh, apa benar ucapan Bara Perindu tadi bahwa
Rona Dewaji itu tidak ada dan hanya sekadar tahi kucing belaka? Gawat kalau
begini. Mana yang benar? Masuk akal juga dakwaan Bara Perindu tadi yang mengatakan bahwa Puting Selaksa hanya ingin
memikatku dengan cara membual panjang lebar. Tapi. . tampaknya Puting Selaksa
bersungguh-sungguh dalam menuturkan kisah Rona Dewaji tadi?!"
Pendekar Mabuk garuk-garuk
kepala. Saat itu ia segera melompat ke samping karena sabetan pedang kedua
perempuan itu semakin mendekati tempatnya berdiri. Agaknya jurus pedang mereka
sama-sama kuat, sehingga sejak tadi tak ada yang tergores luka sedikit pun.
"Pada saat aku bertemu
dengan Resi Parangkara, sang Resi tidak menceritakan tentang keistimewaan yang
ada pada diri Puting Selaksa. Apakah karena takut didengar Manggar Jingga?!
Atau karena keistimewaan itu memang tidak ada?" pikir Suto Sinting lagi
sambil tetap memperhatikan jurus-jurus yang dipakai Puting Selaksa. Sebab ia
merasa perlu mencari kelemahan jurus-jurus tersebut, sehingga sewaktu-waktu berhadapan dengan Puting
Selaksa ia dapat melumpuhkan perempuan itu dengan cepat.
Rupanya semakin lama Puting
Selaksa semakin penasaran karena tak bisa melukai Bara Perindu. Perempuan itu
pun segera berkelebat melambung ke udara dan bersalto ke belakang dua kali.
Wuk, wuk...! Jleeg...!
Begitu kakinya mendarat ke
tanah, pedangnya segera disentakkan ke depan pada saat Bara Perindu ingin
mengejarnya. Suuut.. ! Maka dari ujung pedang itu keluar selarik sinar biru
sebesar lidi yang menghantam dada Bara Perindu. Claaap. .!
Bara Perindu segera hentikan
pedangnya di depan dada, sehingga sinar biru tersebut akhirnya menghantam
pedang putih berkilauan milik Bara Perindu.
Zaaaang...!
Sinar ungu membias dari
benturan sinar biru dengan pedang Bara Perindu. Sinar ungu itu sangat
menyilaukan bagi Puting Selaksa, sehingga perempuan itu merunduk dan
menghadangkan tangannya untuk melindungi mata.
Pada saat Puting Selaksa
merunduk dan kebingungan hindari sinar yang amat menyilaukan dan bisa
membutakan mata itu, Bara Perindu segera melompat lakukan satu terjangan dengan
pedang berkelebat. Wees. .!
Trang, craaas...!
Satu tangkisan pedang berhasil
dilakukan oleh Puting Selaksa. Tapi tangkisan kedua melesat dan pundak Puting
Selaksa pun terluka oleh tebasan pedang Bara Perindu.
"Aah. .!" Puting
Selaksa terhuyung-huyung. Pedang beracun telah membuat tubuhnya menjadi panas
dan lemas. Tapi sebelum serangan Bara Perindu datang lagi, Puting Selaksa berhasil
menyentakkan tangan kirinya dan dari tangan kiri itu melesat sinar jingga
sebesar ibu jari. Wuuus...!
Bara Perindu tak menyangka
lawannya akan menyerang dengan sinar jingga. Maka ia segera menghadang sinar
itu dengan pedangnya lagi.
Blaaab, blegaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi
menggetarkan pepohonan sekeliling mereka. Bara Perindu terlempar keras oleh
gelombang ledakan tersebut, ia jatuh membentur batu besar yang tadi dipakai
berteduh Suto Sinting itu. Brruk...!
"Aaahk..." Bara
Perindu memekik kesakitan sambil mulutnya semburkan darah kental. la segera
jatuh terbanting yang membuat pedangnya terlepas dari genggaman.
"Hoooek. .!" Bara
Perindu muntahkan darah lebih banyak lagi. Wajahnya menjadi pucat
kebiru-biruan. Pendekar Mabuk cemas melihat keadaan Bara Perindu. Namun ketika
itu juga Puting Selaksa jatuh berlutut karena luka di pundaknya semakin
melumpuhkan urat-urat di sekujur tubuh. La terengah-engah sambil pegangi luka
di pundak. Pendekar Mabuk bingung, mana dulu yang harus ditolongnya, la hanya
bisa menggerutu bernada keras,
"Kalian perempuan memang
payah! Di ngatkan agar jangan bertarung masih tetap ngotot. Dasar dua-duanya
keras kepala! Kalau sudah begini, siapa dulu yang harus kuselamatkan dengan
tuakku ini?! Uuuh...! Dasar perempuan!"
Bara Perindu bangkit dengan
limbung dan pegangi dadanya, sementara tangan kanannya sudah menggenggam pedang
lagi. Tapi wajahnya pucat semakin menyerupai mayat yang terlambat dikubur.
"Bara Perindu. . jangan
bergerak dulu!" seru Suto Sinting segera menghampirinya. Tapi Bara Perindu
telanjur jengkel kepada Pendekar Mabuk yang hanya diam saja dan tidak
memihaknya dalam pertarungan tersebut.
Wuuut.. ! Bara Perindu sempat
sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya meluncur ke atas, lalu hinggap di pucuk
batu besar itu.
"Sekali lagi kuingatkan
padarnu, Suto.. kalau kau mau selamat, hindari perempuah pendusta itu! Jangan
percaya dengan bualannya tadi!"
"Bara Perindu, kau
terluka parah!"
Tapi gadis itu justru berseru
dengan suara berat dan sambil menyeringai menahan sakitnya.
"Puting Selaksa. .!
Pertarungan ini belum berakhir! Kelak akan kita lanjutkan lagi sampai ada yang
harus dikubur! Tapi percayalah, racun dalam pedangku ini cukup mampu membuatmu
kehilangan nyawa dalam beberapa waktu lagi."
Wees. .! Bara Perindu segera
pergi tinggalkan tempat tersebut melalui pohon demi pohon. Agaknya ia tak mau
bicara lagi dengan Pendekar Mabuk yang menurutnya cenderung berpihak kepada
Puting Selaksa.
Sementara itu, luka di pundak
Puting Selaksa membuat leher dan wajah perempuan itu menjadi memar; merah
kebiru-biruan, pertanda racun yang terdapat pada luka tersebut mulai mengganas.
Puting Selaksa pun jatuh
terduduk, lalu bergeser ke samping untuk dapat bersandar pada sebatang pohon.
Melihat hal itu, kecemasan Suto semakin bertambah dan ia segera hampiri Puting
Selaksa.
"Minumlah tuakku sekarang
juga, Puting Selaksa!
Minumlah, biar racun dalam
lukamu itu tidak menjalar ke mana-mana!"
"Per. . percuma! Aku tahu
pedang itu menggunakan racun 'Darah Peri' yang hanya dimiliki oleh Eyang
Sagawira, gurunya Bara Perindu. Racun ini... tidak bisa disembuhkan
oleh...."
"Minumlah dulu tuak ini,
dan jangan banyak bicara!" sentak Suto Sinting sambil sodorkan bumbung
tuak. la tinggal menuang bumbung itu jika mulut Puting Selaksa terbuka. Tapi
perempuan itu justru rapatkan gigi dan menyeringai karena rasa sakitnya semakin
bertambah.
"Puting Selaksa!'"
bentak Suto dengan dongkol.
"Kalau kau masih ingin
hidup dan menikmati kejayaan Rona Dewaji, minum tuak ini! Lekas, buka
mulutmu!"
Puting Selaksa akhirnya mau
membuka mulut dengan bibir gemetar. Suto Sinting menuang tuak pelan-pelan
sehingga Puting Selaksa meneguknya beberapa kali.
"Sudah kuingatkan agar
jangan lakukan pertarungan, tapi kalian masih tetap ngotot. Akhirnya ya begini
ini!" omel Suto Sinting sambil bersungut-sungut, tapi akhirnya ia
menenggak tuaknya sendiri.
"Aku tak berani memihak
siapa pun, karena aku belum tahu siapa yang benar!" gumam Suto dalam
hatinya.
Puting Selaksa terengah-engah.
Pedangnya dimasukkan ke dalam sarung pedang dengan tangan gemetar. Tapi hati
perempuan itu mulai membatin dalam kekaguman yang tersembunyi.
"Aneh sekali. Rasa sakit
ini menjadi berkurang. Sekarang tinggal perih saja. Tapi urat-uratku terasa
mulai mengencang kembali. Hmmm.. tuak apa yang kuminum tadi? Apakah benar dia
bernama Suto Sinting alias si Pendekar Mabuk yang sering dibicarakan Manggar
Jingga itu? Oh, alangkah beruntungnya aku jika dia benar-benar Pendekar Mabuk
yang terkenal berilmu edan-edanan itu?!"
Mata bertepian hitam dengan kesan
galak itu melirik Suto yang sedang berdiri sambil mengencangkan tali bumbung
tuaknya. Pemuda itu menggerutu, tapi tak jelas apa yang digerutukan. Hanya
saja, Puting Selaksa mulai merasa berdebar-debar lagi jika terlalu lama
memandangi Suto Sinting dari arah mana pun, terlebih dari bawah.
"Benar. Kurasa dia memang
benar Pendekar Mabuk yang juga disebut-sebut sebagai Tabib Darah Tuak. Buktinya
sekarang rasa perih ini hilang sama sekali dan, ooh... kurasakan ada sesuatu
yang merayap di pundakku. Sepertinya. . sepertinya lukaku mulai bergerak
merapat sendiri. Oh, sungguh ajaib. Ternyata apa yang sering diceritakan
orang-orang tentang kesaktian tuak si Pendekar Mabuk itu bukan sekadar dongeng
belaka. Aku merasakan buktinya. Padahal dulu kusangka mereka terlalu
membesar-besarkan kesaktian si Pendekar Mabuk," ujar Puting Selaksa dalam
hati.
Beberapa saat kemudian, luka
itu benar-benar mengering dan merapat. Bahkan sekarang sudah tidak terlihat
lagi. Kulit pundak menjadi halus seperti tak pernah terluka sedikit pun.
"Bagaimana? Sudah bisa
dipakai untuk melanjutkan perjalanan?!" tanya Pendekar Mabuk begitu
melihat Puting Selaksa berdiri dan menarik napas panjang-panjang. Perempuan itu
anggukkan kepala tanpa senyum sedikit pun. la segera merapikan pakaiannya dan membersihkannya
dari tanah dan daun kering yang menempel di celana.
"Aku tetap akan memeriksa
mayat-mayat di padepokan Perguruan Tangan Besi itu," kata Puting Selaksa.
"Aku harus meyakinkan diri bahwa guruku dan Manggar Jingga tidak termasuk
korban keganasan orang-orang Pulau Boneng."
Pendekar Mabuk anggukkan
kepala. "Baik. Kurasa kita harus segera sampai ke sana sebelum petang
tiba. Matahari mulai condong ke barat, sebentar lagi akan tenggelam. Kita harus
bergerak cepat!"
Setelah memutuskan begitu,
Pendekar Mabuk sempatkan diri menenggak tuaknya lagi. Tetapi di luar dugaan,
tiba-tiba seberkas sinar merah kecil seukuran lidi melesat dari belakangnya dan
menghantam bahu kanan dengan telak.
Slaaap...! Jraaasss...!
"Aaaahk. .!" pekik
Suto Sinting sambil tubuhnya tersentak dan bumbung tuaknya terlempar ke depan.
"Sutooo. .?!!" pekik
Puting Selaksa dengan sangat terkejut. Lalu ia segera menyambar tubuh Suto yang
limbung dan mau jatuh itu. Sementara bumbung tuaknya sudah telanjur jatuh ke
tanah, tuaknya tumpah karena bumbung itu tidak dalam keadaan tertutup.
*
* *
6
SINAR merah itu melubangi bahu
Suto hingga tembus ke dada kanan. Lubang kecil itu kepulkan asap, selain
berwarna hitam juga melelehkan cairan hitam pula. Pendekar Mabuk menjadi
terkulai lemas bagai tanpa tulang dan tenaga sedikit pun. Sekujur tubuhnya
terasa sedang disayat-sayat dengan pisau tajam. Namun ia tak mampu mengerang
atau merintih karena tak punya tenaga lagi. Wajah pun segera berubah sepucat
mayat, mencemaskan hati Puting Selaksa.
Perempuan yang telah
memperoleh kekuatannya kembali itu menjadi berang melihat Suto dilukai dengan
cara licik. la segera memandang ke arah datangnya sinar merah tadi. Matanya
yang nanar berkesan liar itu segera temukan seraut wajah milik seorang lelaki
berkumis lebar dan berbadan gemuk.
"Rupanya kau yang berbuat
licik itu, Gobang Garu?!' geram Puting Selaksa sambil meletakkan Suto
pelan-pelan dalam keadaan sedikit bersandar akar pohon. Sutb Sinting sebenarnya
masih sempat pandangi wajah penyerangnya itu. Bahkan hatinya sempat berkecamuk
dengan detak jantung melemah.
"Siapa lelaki itu? Oouh.
. sepertinya riwayat hidupku hanya sampai di sini. Tubuhku terasa dingin
sekali. Pandangan mataku menjadi buram. Napas pun terasa tipis, tak bisa
menghirup udara banyak-banyak. Oooh. . jurus apa tadi yang mengenaiku hingga
aku kehilangan tenaga dan kekuatan separah ini?!"
Dengan mata sulit dipakai
untuk berkedip, telinga Suto masih sempat mendengar ucapan-ucapan lelaki
berkepala botak tengah namun mempunyai rambut ikal di bagian sekitar telinga ke
belakang.
Dengan suara berat, lelaki
berpakaian merah tua itu lepaskan tawa terlebih dulu. Badannya yang gemuk
terguncang-guncang oleh tawanya.
"Rupanya kau masih belum
lupa dengan diriku, Puting Selaksa! Aku memang si Gobang Garu, utusan Adipati
Wijanarka yang sudah berapa hari ini kebingungan mencarimu! Ternyata kau ada
bersama cecunguk ingusan itu, Puting Selaksa. Hah, hah, hah, hah...!"
"Jahanam kau, Gobang
Garu!" geram Puting Selaksa. "Rupanya saat ini adalah hari terakhirmu
menghirup udara di permukaan bumi. Bersiaplah untuk mati demi menebus
kelancanganmu yang berani melukai pemuda ini, Gobang Garu!"
"Hoh, ha, ho, ho...
jangan mengancamku, Nona Manis! Bagiku ancaman adalah angin yang berhembus di
senja hari. Ada baiknya jika kau menurut saja padaku, supaya aku tidak
melukaimu.
Aku tak enak hati kalau sampai
menyerahkan dirimu di depan Kanjeng Adipati Wijanarka dalam keadaan terluka.
Tapi kalau memang terpaksa, yaah... apa boleh buat. Hah, hah, hah,
hah...!"
Fuih. .! Puting Selaksa
lepaskan jurus napasnya yang mampu hadirkan angin kencang dari hidung. Tetapi,
angin kencang Itu hanya membuat Gobang Garu mundur selangkah dan rendahkan kaki
dengan pakaian dan kalung manik-manik hitam terhembus ke belakang.
"Huah, hah, hah, hah. !
Untuk apa kau bermain napas denganku, Wanita Keramat?! Gobang Garu sudah sering
masuk angin, jadi tak akan goyah walau kau hadirkan sejuta badai di
depanku!" ujar Gobang Garu sambil memanggul senjatanya berupa gobang besar
yang salah satu sisinya bergerigi seperti garu pembajak sawah.
Puting Selaksa maju dua
langkah. Tapi Gobang Garu berkata lebih dulu kepadanya.
"Wanita Keramat, kumohon
dengan segala hormat. Ikutlah aku dan jangan melawanku. Aku takut kau akan mati
di tanganku, Wanita Keramat!"
"Persetan dengan
hormatmu!" geram Puting Selaksa, lalu ia melepaskan pukulan jarak jauh
dari tangan kirinya yang menggenggam dan menyentak ke depan. Wuuut...!
Bruuuuss...!
Pukulan tanpa sinar itu
menerjang tubuh Gobang Garu yang berperut buncit. Tapi orang itu tak bergeming
bagaikan prasasti tanpa sejarah. Hanya saja, pohon-pohon yang ada di
belakangnya, di samping kanan-kirinya, mengalami keretakan begitu terkena
pukulan tenaga dalam Puting Selaksa.
Bahkan dua pohon langsung
tumbang dalam keadaan akarnya terdongkel ke atas dan tanah pun
berhamburan.
"Semakin ganas, Kanjeng
Adipati semakin suka padamu, Puting Selaksa! Apa pun yang kau inginkan pasti
akan dituruti oleh sang Adipati! Karena itu, ikutlah aku menghadap Adipati
Wijanarka sekarang juga, Cah Ayu!"
Sreet....! Puting Selaksa
segera mencabut pedangnya tanpa mau bicara lagi. Dalam sekejap tubuhnya telah
melesat bagaikan terbang dengan cepat dan menyabetkan pedang ke leher Gobang
Garu. Wees...!
Traang.. ! Gobang Garu
menangkis dengan mengibaskan gobang besarnya ke arah depan. Tubuh gemuknya
bergeser ke kanan, lalu tangan kirinya menyentak dengan dua jari mengeras.
Wuuut. .! Claaap. .! Sinar biru bagaikan bintang pecah menghantam paha Puting
Selaksa.
Namn perempuan itu cepat
gerakkan pedangnya yang gagal kenai sasaran itu. Pedang tersebut menutup
pahanya sehingga terhantam oleh sinar biru tersebut.
Blaaarr...!
Tubuh Puting Setaksa terlempar
dan jatuh berguling-guling. Gobang Garu masih tetap diam di tempat sambil
menertawakan jatuhnya Putting Selaksa.
"Hah, hah, hah, hah...!
Sudah kubilang, kau tak akan mampu melumpuhkan diriku, Wanita Keramat! Percuma
saja kau lakukan unjuk rasa bela pati di depan pemuda itu, rohnya nanti justru
akan mencibir kebodohanmu!"
Gobang Garu melangkah dekati
Suto, sementara Puting Selaksa berhasil bangkit kembali dengan pedang siap
menyerang.
"Apakah pemuda ini
kekasihmu?! Oh, kalau begitu tak perlu terlalu lama ia menderita luka itu.
Sebaiknya biar gobangku yang mencabut nyawanya sekarang juga. Heaaah...!!"
Wuuut, brrus...! Traaang...!
Puting Selaksa menerjang
Gobang Garu sewaktu senjata besar itu diangkat dan ingin dihantamkan ke kepala
Suto. Senjata tersebut sempat tertahan oleh pedangnya Puting Selaksa, jika
tidak pasti akan membuat kepala Suto terbelah menjadi dua bagian.
Ketika pedang berhasil menahan
gobang besar itu, kaki Puting Selaksa menjejak mulut si Gobang Garu. Prrook...!
"Oouhf...!" Gobang
Garu hanya terayun ke belakang, tapi kedua kakinya tetap menapak di tempat, ia
bagaikan pilar yang sukar ditumbangkan. Bahkan kini senjatanya yang tersentak
ke belakang karena tangkisan pedang tadi segera berkelebat dalam satu putaran
dan langsung menyambar dalam gerakan memotong dada Puting Selaksa. Wuuung...!
Senjata besar yang menyeramkan
itu tak sempat kenai dada Puting Selaksa, karena saat di udara, kaki Puting
Selaksa berhasil menjejak batang pohon yang menaungi Suto itu. Jejakan kaki
tersebut membuat tubuh Puting Selaksa melejit balik dalam gerakan bersalto.
Jika tidak lakukan salto balik, maka senjata besar itu akan memotong tubuh
Puting Selaksa secara menyedihkan.
Pendekar Mabuk masih bisa
melihat adegan itu. Dalam hatinya ia hanya bisa berucap, "Selamat,
selamat, selamat.... Moga-moga aku dan Putting Selaksa selamat dari ancaman
maut orang mirip celengan Semar ini!"
Jleeg...! Puting Selaksa tiba
di samping Gobang Garu. Tapi kaki orang gemuk itu segera diangkat dan menendang
ke samping. Beet. .! Dees. .!
Puting Selaksa menahan
tendangan kaki itu dengan lengan kiri diangkat ke atas. Pada saat itulah
pedangnya berkelebat cepat sekali.
Wees, craas...!
"Aahhrrrk...!"
Gobang Garu mendelik, kini
tubuhnya oleng ke belakang. Lehernya koyak lebar karena terkena sabetan pedang
Puting Selaksa. Seketika itu pula tubuh Gobang Garu menjadi merah seperti
kepiting rebus, karena pedang Puting Selaksa dilapisi racun yang mampu membakar
kulit tubuh manusia secara cepat.
Cras, cras...!
Puting Selaksa kembali
tebaskan pedangnya dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Dua tebasan itu
membuat dada Gobang Garu robek dan perutnya pun jebol. Akhirnya orang gemuk itu
tumbang tanpa ampun lagi. Tubuhnya semakin merah bagai habis direbus sampai
matang, dan luka tebasan pedang itu mengeluarkan busa-busa kuning. Gobang
Garuakhirnya diam, cuek terhadap apa saja yang dilakukan lawannya, karena ia
sudah tidak bernyawa lagi.
Darah berlumuran di pedang
Puting Selaksa. Tapi dalam beberapa kejap darah itu menguap dan hilang tanpa
bekas. Pedang itu menjadi putih bersih berkilauan seperti tak pernah dipakai
untuk melukai lawan mana pun. Pendekar Mabuk sempat memperhatikan hal itu dan
berkata dalam hatinya,
"Pedang yang bagus! Tak
kusangka pedang itu mempunyai keajaiban seperti itu! Hanya saja. . ouh, tubuhku
sendiri bagai semakin dibakar dengan bara api yang membuat bagian dalam tubuhku
sepertinya telah menjadi arang. Tuakku, oh. . tuakku tumpah semua,
Mudah-mudahan masih ada sisa sedikit saja dan Puting Selaksa menuangkannya ke
mulutku.. "
Puting Selaksa masih berwajah
ganas, menyeramkan. Mayat lawannya dipandangi bagai tiada habis kebenciannya.
Napasnya tampak memburu seakan ingin lampiaskan sisa murkanya kepada mayat itu.
Namun ketika ia melirik ke
arah Suto, ketegangan di wajahnya segera berkurang, la buru-buru hampiri
Pendekar Mabuk dan memeriksa luka di dada kanannya.
"Celaka! Luka ini akan
semakin parah kalau tidak segera terobati!" ujarnya dalam suara menggeram.
"Bertahanlah, Suto!
Bertahanlah...!"
Suto Sinting sempat rasakan
jengkel dalam hatinya, karena ia tak bisa berkata apa-apa. Padahal ia ingin
mengatakan bahwa luka itu bisa diatasi dengan meneguk sisa tuak dari dalam
bumbungnya.
Namun harapan itu sangat
sia-sia. Puting Selaksa memang mengambil bumbung tuak dan tutupnya, tapi
bumbung itu justru ditenteng agak miring ke bawah sehingga sisa tuak mengucur
habis membasahi tanah.
"Oooh. . perempuan bodoh
yang malang. Untung aku dalam keadaan tak berdaya begini, kalau aku masih bisa
bergerak sedikit saja kulempar kepalamu pakai batu yang mengganjal pantatku
ini! Tuak tinggal sedikit malah dibiarkan tumpah semua. Dasar perempuan
goblok!" omel Suto Sinting dalam hati dengan pandangan mata makin lama
semakin buram.
"Aduh, mataku sudah mulai
tak bisa melihat. Aku akan buta, karena sekarang pun apa yang kulihat serba
remang-remang," keluh Suto Sinting, tanpa menyadari bahwa saat itu memang
matahari sudah mulai tenggelam dan petang akan tiba. Walau tak terluka pun alam
sekitarnya memang menjadi remang-remang.
"Aku harus segera
menyelamatkannya! Ooh, tubuhnya terasa sedingin es. Celaka! Kelihatannya jika
terlambat sedikit saja dia akan kehilangan nyawanya," ujar Puting Selaksa
dalam hati, "Harus kubawa ke mana dia? Hmmm. . sebaiknya kubawa ke desa
itu lagi. Kelihatannya dia akrab dengan si.. pemilik kedai. Mudah-mudahan si
pemilik kedai bisa carikan obat untuk menyelamatkan nyawanya!"
Dengan menggunakan tenaga
dalam tersendiri, Puting Selaksa akhirnya memanggul tubuh kekar Pendekar Mabuk
itu. Bumbung tuak ditenteng di tangan kiri, pedang diselipkan di pinggang,
pundak kanan memanggul tubuh Suto, perempuan itu pun segera melesat menuju ke
desa tempat Ki Pulasoma buka kedai itu. Dengan pergunakan tenaga peringan
tubuh, Puting Selaksa berlari cepat bagai berpacu dengan datangnya malam.
Ki Pulasoma terkejut melihat
Puting Selaksa memanggul tubuh kekar Pendekar Mabuk. Bahkan si pemilik kedai
itu sempat gugup melihat Suto dalam keadaan sepucat mayat. Para tamu yang
sedang makan di kedai itu ikut menjadi tegang dan segera memberi bantuan
sebisanya, sebab mereka telah merasa ditolong oleh Pendekar Mabuk dari keonaran
orang-orang Pulau Bonang tadi siang.
"Genduk!" panggil Ki
Pulasoma kepada anak gadisnya. "Cepat bantu Nona ini mempersiapkan kamar
untuk merawat Suto!"
Ki Pulasoma telah mengenal
nama Suto Sinting dan tahu persis bahwa Suto adalah si Pendekar Mabuk, karena
malam sebelumnya mereka ngobrol panjang-lebar sampai menjelang fajar. Rupanya
Ki Pulasoma dan orang-orang desa tersebut adalah penggemar berat Pendekar
Mabuk, sehingga keadaan yang genting itu segera menjadi bahan pemikiran oleh
mereka.
Kamar sewaan khusus untuk tamu
terhormat diberikan oleh Ki Pulasoma sebagai tempat merawat Pendekar Mabuk.
Malam sebelumnya, Suto tidak tidur di kamar tersebut, karena kamar itu memang
disediakan untuk disewa oleh para bangsawan atau saudagar kaya. Kamar itu lebih
besar, lebih bersih dan lebih rapi dari kamar-kamar sewaan lainnya.
"Adakah seorang tabib di
desa ini, Ki?" tanya Puting Selaksa.
"Hmmm,.. eeh... tidak
ada, tapi kalau dukun bayi, ada."
"Dukun bayi?! Untuk apa?
Kau pikir Suto mau melahirkan?!" sentak Puting Selaksa seakan tak suka
jika luka-luka Suto diremehkan, padahal Ki Pulasoma tidak bermaksud meremehkan
keadaan Suto Sinting.
Beberapa saran dari penduduk
desa dicoba untuk obati luka Pendekar Mabuk. Namun tubuh pemuda itu semakin
dingin, wajahnya semakin pucat, helaan napasnya kian pelan, nyaris tidak
bernapas lagi. Hal ini sangat menegangkan Puting Setaksa. "Dia tak boleh
mati! Aku tak mau kalau dia sampai mati!
Ooh. . apa yang harus
kulakukan jika begini?!" gusar Puting Selaksa di dalam kamar itu.
"Sudah kucoba salurkan hawa murniku, tapi tak membawa hasil sedikit pun.
Atau. . haruskah kucurahkan semua kekuatan hawa murniku ke dalam
tubuhnya?!"
Pendekar Mabuk dibaringkan
agak miring ke kiri dengan menggunakan bantal sebagai pengganjal, ia berada di
atas ranjang berkasur yang biasa dipakai tidur para bangsawan atau saudagar
kaya. Baju coklatnya sudah dilepaskan oleh Puting Selaksa, beberapa ramuan
tumbuk telah diborehkan di sekitar luka. Tapi ramuan itu tak membuat luka
mengalami pengeringan. Bahkan lubang luka itu makin lama tampak semakin
membesar.
Puting Selaksa sangat cemas
dan baru kali ini dia merasa tegang menghadapi luka seseorang. Sampai larut
malam, ia tak bisa tidur dan sebentar-sebentar memeriksa denyut nadi Suto.
Denyut itu dirasakan kian pelan. Puting Selaksa benar-benar tersiksa batinnya;
cemas, tegang, jengkel, geram, semuanya bercampur menjadi satu dalam
kebingungan yang menyesakkan pernapasannya sendiri.
Ki Pulasoma juga ikut gelisah
dan sangat prihatin melihat keadaan Suto.
"Seorang tetangga kami
sedang pergi ke Lembah Tirta untuk memanggil seorang tabib ahli racun,"
kata Ki Pulasoma.
"Bagus! Kapan tabib itu
bisa dibawa kemari?"
"Hmmm. . perjalanan ke
Lembah Tirta pulang pergi memakan waktu dua hari."
"Celaka! Dua hari bukan
waktu yang tepat untuk menyelamatkannya, Ki!"
"Tapi setidaknya kita
sudah berusaha sekuat tenaga, Nona!"
Anak gadis Ki Pulasoma muncul,
"Pak, bumbung tuaknya Kang Suto sudah kuisi penuh tuak. Sebaiknya simpan
saja di kamar ini kalau sewaktu-waktu Kang Suto kepingin minum tinggal nyedot!"
"Nyedot bagaimana?
Bernapas saja susah kok memikirkan minumnya segala!" gerutu Ki Pulasoma.
"Sana taruh di dekat rak
piring saja!"
"Tunggu!" sergah
Puting Selaksa, ia segera meraih bumbung tuak dari tangan anak gadis Ki
Pulasoma. Ingatannya kembali pada saat ia terluka dan meminum tuak dari bumbung
tersebut.
"Lukaku cepat sembuh dan
lenyap tanpa bekas secara ajaib begitu menelan tuaknya." Puting Selaksa
bicara kepada Ki Pulasoma.
"Tapi. . bukankah menurut
cerita Nona tadi tuak mujarab itu telah tumpah semua?"
"Ya, memang begitu. Dan
itulah yang kusesali."
"Mungkin., mungkin
sekarang dia memang butuh minum untuk membasahi tenggorokannya. Sebaiknya
dulangkan saja tuak itu pelan-pelan ke mulutnya, Nona,"
"Hmmm. .," Puting
Selaksa manggut-manggut tipis sambil termenung sesaat. Setelah itu ia meminjam
sendok kepada Ki Pulasoma.
"Coba pinjam
sendoknya!"
Malam dibiarkan merayap terus.
Kedai pun tutup. Puting Selaksa menyendok tuak dari dalam bumbung bambu itu.
Untung keadaan tuak telah penuh sehingga mudah diambil dengan sendok kayu. Tuak
tersebut didulangkan ke mulut Suto pelan-pelan. Mulut itu sedikit menganga
karena ikut digunakan untuk bernapas.
Sedikit demi sedikit tuak itu
masuk ke tenggorokan dan tertelan. Hanya empat sendok yang dituangkan ke mulut
Suto, itu pun memakan waktu cukup lama, karena tuak tersebut masuk ke
tenggorokan bagaikan setetes demi setetes.
"Mengapa aku mau
melakukan begini segala?!" pikir Puting Selaksa, merasa heran atas apa
yang dilakukan terhadap Suto, sebab selama ini ia tak pernah bersikap seperti
itu terhadap pria mana pun, bahkan terhadap kekasihnya yang dulu menggores di
hati.
"Aku gelisah sekali
memikirkannya. Seharusnya tak perlu kupikirkan nasibnya ini! Aah. . sebaiknya
kutinggal mandi dulu, biar badanku segar dan kegelisahanku berkurang. Aku penat
sekali!" keluh batin Puting Selaksa. Tak peduli malam berudara dingin,
perempuan itu tetap mengguyur tubuhnya sebagai cara mengusir kelelahan yang
sering dilakukannya selama ini.
Beberapa saat selesai mandi,
badan memang terasa segar dan kelelahan pun berkurang. Putting Selaksa segera
masuk ke kamar.
"Ooh. .?!" mata
perempuan itu mendelik, karena Suto Sinting tidak ada di pembaringan. Wajah pun
menegang dan jantung berdetak-detak membuat darah bagai mulai mendidih.
"Ke mana dia?!"
geram hati Puting Selaksa diburu kepanikan.
la bergegas turun dari lantai
atas, menggedor-gedor kamar Ki Pulasoma. Tapi sebelum pintu digedor, telinga
perempuan itu menangkap suara langkah di loteng. la bergegas ke loteng kembali.
Jalanan depan kamar-kamar
tampak sepi, karena memang malam itu yang bermalam di situ hanya mereka berdua.
Tak ada tamu lain. Dengan mata melirik penuh waspada, Puting Selaksa dekati
kamarnya kembali. Samar-samar ia mendengar suara hembusan napas memanjang.
Hati Puting Selaksa menjadi
semakin tegang. Maka pintu kamar pun segera dibukanya dengan tangan kanan siap
lepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi.
*
**
7
PUTING Selaksa tertegun di
depan pintu melihat sosok kekar tanpa baju sedang meletakkan bumbung tuak pertanda
habis menenggak isi bumbung itu. Mata tajam perempuan itu tak berkedip pandangi
wajah tampan yang kini menatapnya dalam senyum.
"Aku ke kamar mandi di
sebelah kamar mandi yang kau pakai tadi," ujar Suto Sinting dengan suara
jelas. Rupanya luka pendekar tampan itu telah lenyap tanpa bekas sejak ia
menelan tuak dari bumbungnya. Puting Selaksa tak tahu bahwa tuak dari mana pun
jika sudah masuk ke bumbung tuak tersebut maka akan mempunyai khasiat
penyembuhan yang sangat ajaib, sehingga tak heran walau hanya setetes dua
tetes, seseorang yang terluka parah akan segera sembuh jika meneguk tuak
tersebut.
Ketika Puting Selaksa mandi,
proses penyembuhan luka di tubuh Pendekar Mabuk itu berjalan dengan cepat.
Tubuh Suto Sinting menjadi segar dan seperti tak pernah terluka apa pun
beberapa saat setelah ia didulang tuak oleh Puting Selaksa.
Melihat keadaan Pendekar Mabuk
telah sehat kembali, Puting Selaksa tampak gembira sekali. Wajahnya tak
setegang tadi. Bahkan di bibirnya ada seulas senyum yang memancarkan rasa damai
dari dalam hati perempuan itu. Sayangnya senyum dan keramahan itu hanya
sebentar, karena beberapa kejap kemudian
Puting Selaksa mulai menjaga sikapnya agar tak diremehkan oleh seorang lelaki,
sehingga keketusan dan keangkuhannya terpampang kembali.
"Tuakmu memang
dahsyat!" ujarnya bernada datar. "Kusangka kau tadi diculik orang
atau. . "
"Memangnya kalau diculik
orang kenapa?" pancing Suto Sinting dengan senyum tipis menawan. Puting
Selaksa tak membalas senyuman itu.
"Lain kali jangan
membuatku menjadi tegang seperti tadi."
"Aku hanya ikut-ikutan
mandi karena badanku lengket sekali."
Puting Selaksa percaya dengan
pengakuan itu, karena di tubuh Suto masih tampak butiran air yang belum
terhapus oleh baju coklatnya sebagai ganti handuk. Pendekar Mabuk mengguyur
tubuhnya agar memperoleh kesegaran lebih nyaman lagi, namun rambutnya dibiarkan
kering, karena malam hari terasa tak enak jika harus mencuci rambut segala.
"Terima kasih atas
bantuanmu yang membawaku sampai ke sini. Kalau tidak, dalam waktu beberapa saat
lagi nyawaku akan melayang."
"Ya, aku tahu persis hal
itu," jawab Puting Selaksa datar-datar saja. la duduk di tepian ranjang
sambil melepaskan gulungan rambutnya. Kini rambut itu meriap kering sepanjang
punggung.
"Ooh. .?!" gumam Suto
Sinting dengan mata berbinar-binar memandangi Puting Selaksa.
"Ada apa?" tanya
Puting Selaksa heran.
"Kau tampak semakin
cantik dalam keadaan rambut diriap begitu."
"Hati-hati
bicaramu!" ucapnya bernada mengancam. Tapi Suto justru melebarkan senyum
dan tak ragu-ragu dalam memandangnya. Putting Selaksa menggerai-geraikan
rambutnya dengan tangan seakan tak peduli dengan tatapan mata Pendekar Mabuk.
"Gobang Garu telah
kuhabisi. Aku terpaksa menghabisi nyawanya karena aku tak ingin dikejar- kejar
oleh orangnya Adipati Wijanarka lagi."
"Ya, aku masih sempat
melihat bagaimana kau bertarung melawannya. Jurus-jurusmu hebat dan
mengagumkan. Hanya saja, apakah setelah Gobang Garu binasa, berarti kau bebas
dari kejaran Adipati Wijanarka?"
"Kurasa masih ada satu
orang lagi yang harus dibinasakan. Dia dikenal dengan nama: Dewa Tumbal.
Ilmunya tinggi dan kejam sekali."
"Siapa itu Dewa
Tumbal?"
"Penjaga manusia
peliharaan Adipati Wijanarka. Biasanya Dewa Tumbal dikeluarkan jika keadaan
sangat terpaksa. Dengan matinya Gobang Garu, aku yakin Adipati Wijarnaka akan
mengutus Dewa Tumbal untuk membunuhku."
"Membunuhmu? Mengapa kau
yakin dia akan membunuhmu?"
"Karena dia tak ingin aku
diperistri lelaki lain. Rasa iri dan
sirik ada pada jiwa Adipati Wijanarka."
"Tapi apakah dia akan
tahu bahwa kaulah orang yang membunuh Gobang Garu?"
"Pasti tahu, karena mayat
Gobang Garu menjadi merah. Itulah ciri orang yang menjadi korban
pedangku."
"O, ya. Aku ingat
kehebatan pedangmu juga. Sayang waktu itu aku tak bisa memujimu."
"Aku tak butuh
pujian!" ucapnya datar dan tawar sekali.
"Apakah ada pihak lain
yang menurutmu berbahaya bagi keselamatan jiwamu?"
"Tak ada. Jagalawa telah
tewas di tangan orang-orang Pulau Boneng. Dua lelaki lainnya yang juga ingin
memperistriku bukan orang berilmu tinggi. Aku bisa atasi mereka sambil tidur
nyenyak. Tapi Adipati Wijanarka harus kuhadapi dengan sungguh-sungguh. Orang
simpanannya itu yang berbahaya sekali. Jika aku bisa membunuh Dewa Tumbal, maka
kekuatan sang Adipati akan lenyap. Dia tak akan berani menggangguku lagi. Dewa
Tumbal sudah dianggap manusia paling sakti yang tak mungkin ada yang bisa
mengalahkan, menurut sang Adipati."
"Hmmm. . kalau
begitu," Suto berdiri di depan Puting Selaksa yang masih duduk di tepian
ranjang.
". . jika Dewa Tumbal
memburumu, biarlah aku yang menghadapinya."
"Tak perlu," jawab
Puting Selaksa seperti orang menggumam. "Aku tak ingin melibatkan dirimu
terlalu jauh dalam perkara ini."
Pendekar Mabuk segera duduk di
samping kiri Puting Selaksa, "Kau sudah melibatkan diriku. Tak mungkin aku
berhenti di tengah jalan. Sekalipun kau melarang, aku akan memaksa!"
Puting Selaksa berpaling
pandangi Suto Sinting. Tatapan matanya yang selalu tajam dan berkesan angker
namun punya nilai kecantikan tersendiri itu membuat hati Suto bergetar kembali.
"Mengapa kau bertekad
begitu?" tanya Puting Selaksa. "Kalau kau mati, apa untungmu? Kalau
kau menang, apa pula untungmu?"
Pendekar Mabuk angkat bahu.
"Aku tak mencari keuntungan, karena aku bukan pembunuh sewaan. Aku hanya
ingin membuktikan kebenaran kata-katamu tentang Rona Dewaji itu."
"Sebaiknya tak perlu
dipercaya lagi. Anggap saja aku tak pernah bercerita tentang Rona Dewaji. Aku
wanita biasa, bukan Wanita Keramat."
"Tapi kau punya
keistimewaan."
"Tidak. Aku tidak punya
keistimewaan."
"Punya...," jawab
Suto tetap ngotot tapi dengan nada lembut, membuat Puting Selaksa semakin
enggan membuang pandangan matanya ke arah lain.
"Apa keistimewaanku
menurutmu?"
Suto tersenyum tipis.
"Cantik, berani, galak, dan..."
"Jinak," sahutnya
seraya mulai ada senyum yang membayang di sudut bibirnya.
"Apanya yang jinak?
Galakmu seperti singa lapar habis ditipu sang kancil!"
"Siapa pun bisa menyentuh
hatiku, dia akan bisa menjinakkan keangkuhanku."
"O, begitukah?" Suto
melebarkan senyum.
"Bagaimana cara
menjinakkanmu?"
"Mengerti pribadiku,
mengerti tabiatku, dan mengerti seleraku."
Makin lama beradu pandang,
semakin berdebar-debar hati Pendekar Mabuk. Debaran itu mengandung sejuta bunga
indah yang sukar dilukiskan dengan kata. Tak ada rasa bosan walau memandang
wajah cantik berkesan galak itu selama sepuluh helaan napas.
Malam yang bisu akhirnya
diusik oleh suara lirih Suto yang terlontar bagai di luar kesadaran.
"Cantik sekali....."
Mata perempuan itu tak
berubah, ekspresi wajahnya pun tetap dingin.
"Kau marah jika kupandang
begini?"
"Tidak!" jawabnya
pelan sekali, bahkan suara paraunya terdengar jelas.
"Kau. . kau percaya kalau
aku mengagumi kecantikanmu?"
"Tidak...."
"Aku... benar-benar
mengagumimu. Sayang sekali kau. . galak," Pendekar Mabuk tersenyum, tapi
perempuan itu tidak sama sekali. Lalu mereka saling bungkam lagi dengan tetap
saling beradu pandang.
"Kau suka padaku?"
"Tidak," jawab
Puting Selaksa semakin lirih.
"Kau tahu aku bergairah
sekali melihat bibirmu?"
"Tidak," suara itu
lebih pelan dari yang tadi.
"Tapi.. kau tidak
keberatan jika aku mengecup bibirmu?"
Malam hening, kamar menjadi
sepi, Puting Selaksa tak menjawab. Suto menunggu penuh harap.
"Jawablah...," bisik Suto.
"Ti... dak...."
Siir.. ! Hati Suto berdesir
begitu indah mendengar jawaban yang nyaris tak terdengar itu. Maka ia pun
segera menempelkan bibirnya ke bibir Puting Selaksa. Seeerr.. ! Sekujur tubuh
bagai disiram air hangat ketika bibir itu saling sentuh. Pendekar Mabuk
merenggangkan bibirnya, lalu bibir Putting Selaksa dipagutnya pelan-pelan.
Cuuuup. .! Semakin hangat rasa di sekujur tubuh Suto pada saat itu.
Sayang sekali perempuan
tersebut masih diam tanpa reaksi apa pun. la hanya memejamkan mata ketika
bibirnya dipagut-pagut buat mainan bibir Suto. la juga tetap diam tanpa gerakan
sedikit pun ketika lidah Suto menyapu permukaan bibir itu. Namun ketika lidah
Suto mendesak lebih dalam dan bibir itu pun dipagut agak kuat, perempuan itu
mulai bereaksi kecil, menyodorkan lidahnya agar bertemu dengan lidah Pendekar
Mabuk.
Ketika lidah itu dipagut Suto,
bendungan keangkuhan itu tak tertahankan lagi. Puting Selaksa segera membalas
kecupan lembut itu. Bahkan kini ia melumat bibir Suto dengan ganas. Tangannya
meremas rambut kepala bagian belakang pemuda itu, seakan ia ingin agar bibir
itu lebih lekat lagi dalam lumatannya.
Sesaat kemudian, tiba-tiba
Puting Selaksa lepaskan kecupan dan menarik kepala ke belakang. Wuuut.. ! la
terengah-engah sambil pandangi Suto Sinting yang bibirnya masih merekah menandakan
masih ingin dilumat lagi itu.
"Kenapa berhenti?!"
"Kau terlalu berani
membakar gairahku," jawab Puting Selaksa.
"Tak bolehkah aku sedikit
berani padamu?"
"Kau akan kewalahan
nantinya."
"Mengapa harus
kewalahan?"
"Tuntutan gairahku akan
lebih besar dari gairahmu."
"Kalau aku merasa sanggup
menuruti keinginanmu, bagaimana?"
Kali ini bola mata yang tepian
kelopaknya berwarna hitam itu bergerak-gerak karena gelisah.
Pendekar Mabuk sengaja tetap
memandang dan mendekatkan wajah pada jarak tetap. Terlalu lama memandang Suto,
Puting Selaksa terlalu rapuh mempertahankan keinginannya. Maka dengan cepat ia
segera menyambar bibir Pendekar Mabuk dan melumatnya dengan lebih ganas dari
yang tadi.
Tangan meremas dan gerakan
menjalar ke mana-mana. Pelukannya diperkuat, seakan ia ingin membuat tubuh Suto
agar terbenam dalam tubuhnya. Punggung Suto yang tidak berbaju itu menjadi
sasaran remasan tangan menahan gejolak keindahan.
Pendekar Mabuk sempat
gelagapan ketika ciuman itu makin memburu, menyapu ke pipi, ke telinga, dan
mengelilingi leher dengan pagutan-pagutan hangat.
Pendekar Mabuk tak mau tinggal
diam. Tangannya mulai bergerilya, menelusup ke dalam belahan baju perempuan
itu. Belahan diperlebar, sehingga tangan semakin bebas. Maka tertangkaplah apa yang
dicari tangan Suto di permukaan dada Puting Selaksa itu.
Dada berbukit sekat dan
membengkak bagai ingin meledak itu mulai menjadi pusat kenakalan tangan Suto.
"Aaah. .!" Puting
Selaksa mendesah pendek, lalu mendesis dengan gemas. la bahkan menyentakkan
bajunya sendiri hingga belahannya terlepas dari ikat pinggang...."
"Ambil. ! Ambil .
.!" sentaknya dalam bisik sambil menekan kepala Suto hingga terbenam di
dadanya. Maka pemuda tampan itu pun menyambar ujung-ujung bukit dengan
kehangatan mulutnya.
"Oouh...! Terus!
Terus!" geram Puting Selaksa. la meronta digelitik keindahan. la mengamuk
meremasi tubuh dan rambut Suto. Amukannya tak sadar telah membuat pembungkus
tubuhnya terlepas, dan ia tak marah ketika tangan Suto membantu melepaskan seluruhnya.
"Terus! Semuanya, Suto!
Semuanya. .!" perintahnya dengan suara menggeram, lalu napas pun
tersentak-sentak.
Pendekar Mabuk sempat hentikan
seluruh gerakannya sambil matanya memandang lebar ke bentangan hangat di
depannya itu. Puting Selaksa memandang
sayu, bahkan sengaja membuka segalanya agar menjadi lebih jelas bagi Pendekar
Mabuk.
"Gila. .? Kau punya. .
kau punya bukit tujuh buah?!" ujar Suto membisik penuh keheranan.
"Sembilan," jawab
Puting Selaksa.
Pendekar Mabuk berdebar-debar
memperhatikan bukit-bukit yang berujung menantang itu. Dua bukit paling besar
dan montok ada di dada seperti lazimnya seorang perempuan. Tapi di samping dua
bukit di dada, ternyata ada lagi dua bukit di pinggang kanan-kiri, hanya saja
tak sebesar yang di dada. Tapi ujungnya tampak jelas sebagai ujung perbukitan
seorang wanita.
Selain di pinggang, ada juga
sepasang bukit di samping perut, tepat pangkal paha kanan-kiri. Namun hanya
tampak sedikit menggunduk dan berpuncuk kecil. Sedangkan tepat di bawah pusar,
hampir berhimpit dengan pusar, juga ada bukit kecil yang mempunyai ujung
seukuran dengan di dada.
"Luar biasa. .?!"
gumam Suto Sinting penuh keheranan.
Puting Selaksa segera
tengkurap sambil berkata,
"Dua lagi di
sini...."
"Oh, gila. .!!" Suto
Sinting hampir terpekik melihat dua bukit di bahu kanan-kiri, hanya saja tidak
semenonjol yang di dada. Namun mempunyai ujung-ujung yang sama besarnya dengan
yang di dada.
Pendekar Mabuk mencoba
mendekati salah satu bukit yang di bahu kiri, ia menyapunya dengan kecupan lembut.
"Ooh, teruskan...!
Teruskan, Suto!"
"Kau... kau suka?"
"Indah sekali! Teruskan.
.!" perintahnya setengah membentak. Maka Suto pun segera menyambar kedua
bukit di bahu kanan-juri itu secara bergantian.
Ternyata Puting Selaksa
merasakan keindahan seperti saat dadanya dipagut Suto. ini Suto diperintahkan
menjelajahi kesembilan bukit itu. Ternyata kesembilan bukit itu mempunyai
keindahan yang sama jika berada dalam pagutan.
"Pantas dia bernama
Puting Selaksa. Ternyata memang mempunyai jumlah bukit yang lebih banyak dari
para wanita lainnya," pikir Suto sambil memberikan pagutan dan kecupan
lembut di sekujur tubuh Puting Selaksa. Perempuan itu mengerang dan
mendesah-desah, karena setiap jengkal tubuhnya bagaikan menghadirkan; sejuta
keindahan dan kebahagiaan jika disentuh dengan apa pun.
"Terus, Suto...! Terus ke
bawah! Ooh... aku suka sekali, Suto! Aoow. .!" pekiknya dengan ganas
ketika Suto mencapai tempat yang dimaksud Puting Selaksa. Perempuan itu pun tak
kuasa menahan diri hingga meliuk dengan ganasnya.
Setelah memekik beberapa kali
karena mencapai puncak keindahan, walau perahu belum berlayar, perempuan itu
pun menarik Suto agar wajah mereka saling berpadu lagi.
"Aku ingin sekarang,
Suto! Oh, sekarang! Harus sekarang! Ayo, Suto! Ayooo.. !" '
Tapi tiba-tiba pintu kamar
diketuk oleh Ki Pulasoma. Suara Pak Tua itu pun terdengar jelas hingga
menghentikan semua gerakan di atas ranjang.
"Nona Puting Selaksa. .
ada tamu yang mencari namamu, Nona!"
"Oh...?!" Puting
Selaksa memandang Suto dengan tegang.
"Cepat berkemas!"
sentak Puting Selaksa membuat Suto menggeragap dan saling merapikan diri
kembali.
"Setan alas!" gerutu
Puting Selaksa dengan hati kesal.
Rasa heran Puting Selaksa
membuatnya lebih cepat bergerak daripada Pendekar Mabuk. la segera menemui Ki
Pulasoma di ujung tangga bawah.
"Siapa yang
mencariku?"
"Aku belum tanyakah
namanya. Tapi dia datang ke desa ini langsung menemui kepala desa kami, dan ia
datang diantar oleh pesuruh lurah kami."
Semakin penasaran sekali
Puting Selaksa, sehingga langkahnya dipercepat tanpa menggubris seruan Pendekar
Mabuk yang sedang mengencangkan ikat pinggang kain merahnya itu.
Tak lupa Suto pun menyambar
bumbung tuaknya karena ia memang kehausan. Sambil berjalan menuju ke ruang
kedai, ia menenggak tuak beberapa teguk, sehingga badannya terasa segar
kembali. Pada daat itu ia melihat Puting Selaksa keluar dari kedai dan bicara
di balik pintu kedai. Pendekar Mabuk mempercepat langkahnya.
Rupanya Puting Selaksa menemui
pelayan kepala desa yang berbadan kurus itu.
"Seorang tamu datang
kepada Ki Lurah dan menanyakan nama Puting Selaksa. Kami tidak tahu dan tidak
merasa punya warga bernama Putting Selaksa. Setelah dia memberitahukan
ciri-cirinya, kami baru ingat bahwa ciri-ciri itu adalah ciri-cirimu, Nona. Beberapa
tetangga memberitahukan bahwa kau bermalam di sini bersama Pendekar Mabuk. Maka
kucoba untuk membawanya kemari."
"Di mana orang itu
sekarang?"
"Itu. . di bawah pohon
sana. Beliau menunggu Nona di sana. Entah mengapa beliau malu untuk hampiri
Nona kemari."
Dalam keremangan cahaya
rembulan separo bagian. Puting Selaksa tak bisa melihat jelas siapa orang yang
ada di bawah pohon seberang kedai itu.
Pendekar Mabuk segera
mengusulkan agar mereka menghampiri orang tersebut. Puting Selaksa pun akhirnya
melangkah ke seberang kedai didampingi Suto.
"Mencurigakan
sekali!" gumam Suto lirih. Puting Selaksa mendengar tapi tak pedulikan
gumaman tersebut, Perhatiannya terpusat ke arah bawah pohon.
Tiba-tiba langkah perempuan
itu terhenti setelah orang yang ada di bawah pohon itu melangkah maju beberapa
kali. Cahaya rembulan yang samar-samar itu segera menerangi wajah orang
tersebut. Puting Selaksa tampak terkejut.
"Celaka!" gumamnya
menegang.
"Kenapa?" tanya
Suto. "Kau kenal dengannya?"
"Dia yang bernama Dewa Tumbal!"
"Ooh, dia. .?!" Suto
tampak tenang. Tapi Puting Selaksa sempat cemas dan kebingungan.
"Pedangku kutinggal di
kamar!"
"Tenang saja. Biar
kuhadapi dia!"
Orang berpakaian serba hitam
dengan tepian putih itu semakin dekat dengan mereka. Penampilannya sangat
tenang. Wajahnya tak berkesan angker. Usianya sekitar empat puluh tahun. la
bertubuh tinggi, tegap, sebaya dengan Pendekar Mabuk. Di pinggangnya terselip
sebilah pedang perak yang memantulkan cahaya matahari.
"Maaf mengganggumu,
Puting Selaksa," ujar si Dewa Tumbal dengan nada dingin. "Kuikuti
kepergian Gobang Garu setelah kudengar gurumu sedang mencarimu. Tapi aku
terlambat. Kutemukan ia telah menjadi mayat dalam keadaan tubuhnya merah
matang. Kukenali kematian seperti itu adalah kematian di ujung pedangmu. Maka
kucari tempat terdekat di sekitar sini. Kutemukan desa ini dan kutanyakan
kepada lurah di sini, ooh. . ternyata dugaanku tak meleset. Kau ada di desa ini
bersama oh, siapa dia, Puting Selaksa?"
Tutur kata yang lembut itu
seolah-olah tidak menampakkan sikap permusuhan. Tetapi Putting Selaksa dan
Pendekar Mabuk sudah dapat menduga apa akhir dari tutur kata yang lembut itu.
Karenanya, Puting Selaksa segera ajukan tanya bernada ketus.
"Singkatnya saja, apa
maksudmu mencariku, Dewa Tumbal?"
"Adipati Wijanarka sudah
tak sabar dengan cara kerja di Gobang Garu. Sang Adipati segera mengutusku
untuk mencarimu dan membawanya pulang ke kadipaten. Tapi sang Adipati juga
memberi wewenang padaku, jika kau menolak aku boleh membunuhmu! Maka sekarang
terserah pilihanmu; ikut ke kadipaten, atau pergi ke neraka bersama pemuda
itu?!"
Hati Suto Sinting bagai
dibakar sembilan obor saat dirinya dituding oleh Dewa Tumbal. Tanpa basa-basi
lagi akhirnya Suto pun berkata kepada Dewa Tumbal.
"Kau dan seluruh prajurit
kadipaten, termasuk sang Adipati sendiri, sebaiknya maju bersama untuk merebut
Puting Selaksa ini! Karena jika aku belum menjadi bangkai, kalian tak akan
sanggup memaksa Puting Selaksa untuk menjadi istri sang Adipati itu!"
"Oh, kau telah membuka
arena pertarungan denganku, Anak Muda! Jika begitu, kuperkenalkan lebih dulu
jurus pembukaanku ini!"
Dewa Tumbal hentakkan kakinya
ke tanah dengan pelan. Duuuhk!
Weees. .! Pendekar Mabuk
terlempar ke atas, meluncur dengan cepat bagai ingin menembus langit. Puting
Selaksa terperanjat dan segera lepaskan pukulan jarak jauhnya ke tubuh Dewa
Tumbal.
Wuuut...! Baaaahk...!
Dewa Tumbal mengadu pukulan
tenaga dalamnya yang tanpa sinar. Gelombang padat yang dikirimkan Puting
Selaksa justru membalik arah dan menerjang tubuh perempuan itu sendiri.
Buuhk...! Weeers...!
Brrruk...!
Puting Selaksa terjungkal lima
langkah ke belakang.
"Huuahk. .!" Puting
Selaksa memuntahkan darah segar.
Pada saat itu Suto dalam
keadaan turun dari ketinggian terbangnya. Tapi ia telah mampu menjaga
keseimbangan tubuhnya, sehingga ia dapat mendaratkan kakinya ke tanah dengan
baik, bahkan tanpa suara.
Seet...!
"Cukup lumayan juga jurus
perkenalanmu," ujar Suto Sinting dengan tenang. Tapi Dewa Tumbal terkesip
memandang Suto mampu daratkan kakinya tanpa suara. la tahu hal itu hanya bisa
dilakukan oleh orang yang sudah kuasai ilmu peringan tubuh cukup tinggi.
"Bagaimana dengan jurus
perkenalanku ini?" kata Suto, lalu ia menghentakkan kakinya ke tanah
dengan pelan juga. Duuuhk. .!
Brruuuusss...!
Dewa Tumbal amblas ke bumi
akibat kekuatan jurus 'Telan Bumi'-nya Pendekar Mabuk. Orang berjubah hitam itu
sempat menggeragap karena tubuhnya terbenam di tanah sampai batas dada.
Sebelum ia lakukan sesuatu,
Pendekar Mabuk sentakkan kakinya lagi ke tanah. Duuuhk...!
Brrruuusss...!
"Oohk. .!" Dewa
Tumbal terbenam seluruh tubuhnya bagai ada yang menarik dari dasar bumi.
Permukaan tanah pun menjadi rata kembali, walau tak serata semula. Puting
Selaksa memandang kagum walau ia harus menahan rasa sakit di dadanya. Pendekar
Mabuk tersenyum kepada Puting Selaksa. Tapi senyum itu hilang setelah tiba-tiba
Dewa Tumbal melesat dari dalam tanah, menjebol permukaan tanah yang menjadi
rata itu. Bruuul l...! Brrrus...!
Tubuh itu melayang cepat di
udara bersama tanah yang berhamburan. Kemudian ketika ia bersalto satu kali,
sebuah pukulan bercahaya merah dilepaskan dari tangannya. Claaap. .!
Cahaya itu berbentuk bintang
berekor yang segera menerjang Suto. Dengan cepat bumbung tuak dihantamkan ke
arah cahaya merah tersebut.
Blegaaaarrr..!
Ledakan dahsyat membangunkan
penduduk desa, karena rumah-rumah bergetar, genteng merosot, dan beberapa
tanaman pun terguncang karena bumi menjadi bergetar menerima gelombang ledakan
tadi.
Sreet. .! Dewa Tumbal mencabut
pedangnya.
Wees. .! la melesat bagaikan
kilat menerjang Pendekar Mabuk. Trang, trang.. ! Pedang pun beradu dengan
bumbung tuak. Percikan bunga api menyebar ke mana-mana.
Pada mulanya Pendekar Mabuk
mampu hindari tebasan pedang Dewa Tumbal dengan jurus mabuknya yang menggeloyor
ke sana-sini bagai mau tumbang. Tapi kejap berikut, Dewa Tumbal pergunakan
jurus pedang andalannya yang kecepatannya seperti pusaran arus angin.
Wut, wut, wut, wut, wut.. !
Pendekar Mabuk sempat
kewalahan hindari pedang yang kecepatannya tak bisa dilihat mata itu. Bahkan
Dewa Tumbal bagaikan hilang dari pandangan mata siapa saja. Akibatnya, Pendekar
Mabuk terpaksa keluar dari lingkaran gerak si Dewa Tumbal itu dengan pergunakan
jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlaaap...!
Cras, cras...!
"Aaahk....!"Pendekar
Mabuk terpekik, tahu-tahu tubuhnya muncul dalam keadaan dada terbelah dan
lengannya luka. Darah mengucur dari kedua luka itu.
Pendekar Mabuk benar-benar
sempoyongan menahan luka yang amat berbahaya itu. Sedangkan Dewa Tumbal masih
mengitari tempat tadi, karena ia tak melihat Pendekar Mabuk sudi pergi dari
tempat tersebut,
"Suto...! Tuak! Lekas
minum tuak!" seru Puting Selaksa sambil berlari menghampiri Suto Sinting.
la tampak cemas sekali.
Keadaan Dewa Tumbal yang masih
memutari tempat tersebut sambil menebaskan pedangnya itu dipergunakan Suto
untuk meneguk tuaknya beberapa kali. Dengan begitu, luka tersebut cepat menjadi
rapat dan rasa sakitnya pun lenyap.
"Bangsat!" teriak
Dewa Tumbal setelah menyadari dirinya kecele dan memandang Suto sudah berada di
tempat jauh. Maka Dewa Tumbal pun menjadi berang dan melesat bagaikan terbang
ke arah Pendekar Mabuk.
"Heaaaat...!
"Keparat kudis orang
ini!" geram Suto Sinting, akhirnya ia melepaskan jurus yang tak bisa
ditangkis dan dihindari oleh lawan mana pun. Jurus 'Yuda' pemberian calon ibu
mertuanya: Ratu Kartika Wangi itu dilepaskan untuk mengakhiri pertarungannya
dengan Dewa Tumbal.
Clap, clap, clap, clap. .!
Dari tangan Suto keluarkan sinar cahaya perak dalam bentuk bintang segi lima.
Sinar itu melesat cepat dan jumlahnya lebih dari sepuluh bintang perak. Sinar
tersebut menerjang Dewa Tumbal dan gerakan Dewa Tumbal terhenti seketika.
Juuurrrb...!
Jreeeg....!
la diam mematung dalam keadaan
mengangkat pedangnya. Sampai lama sekali Dewa Tumbal tak bergerak. Puting
Selaksa melihat jelas sinar perak berbentuk bintang segi lima itu menghantam
kuat dada Dewa Tumbal.
Pada saat itu, seluruh luka
Pendekar Mabuk telah lenyap dan keadaannya pulih seperti sediakala. la segera
menenggak tuak lagi. Setelah itu hampiri Puting Selaksa yang tertegun bengong
pandangi Dewa Tumbal yang tak bergerak lagi.
"Sudah selesai sekarang.
.," ujar Suto dalam bisikan.
"Tapi.. tapi Dewa Tumbal
belum tumbang dan agaknya ia sedang menahan rasa sakitnya akibat sinar perakmu
tadi."
"Sebentar lagi
tumbak!" kata Suto Sinting dengan kalem.
Sebelum Puting Selaksa ajukan
tanya lagi, tiba-tiba matanya menjadi terbelalak karena melihat Dewa Tumbal
mengalami keanehan. Satu persatu anggota tubuhnya berjatuhan. Setiap ruas
tulang, setiap persendian, terlepas, dan saling berjatuhan ke tanah, sampai
akhirnya lengannya jatuh sendiri ke
tanah. Disusul kemudian kepala si Dewa Tumbal menggelinding bagai bola, dan
paling akhir adalah sendi lututnya terlepas dan robohlah si Dewa Tumbal dalam
keadaan terpotong-potong setiap persendiannya.
"Luar biasa.. !"
gumam Puting Selaksa dengan nada mendesah penuh kekaguman.
Dengan demikian, maka lega
sudah hati Putting Selaksa, karena tak ada lagi yang ditakuti yang akan
mengejar-ngejarnya dalam urusan perkawinan.
Puting Selaksa kini
sunggingkan senyum kepada Suto Sinting dengan disinari cahaya rembulan pucat.
Namun senyum itu tetap tampak indah dan mendebarkan hati Pendekar Mabuk.
"Apa lagi yang harus
kulakukan untukmu?" tanya Suttfl
"Melanjutkan pelayaran
cinta kita yang tertunda tadi?"
"Oh, jangan! Sebaiknya
jangan lakukan demi Rona Dewaji yang ada padamu agar tak hilang. Itu
keberuntunganmu selama tujuh turunan lebih! Jangan sia-siakan dengan pencemaran
cinta seperti tadi."
Puting Selaksa akhirnya hanya
bisa tarik napas panjang-panjang.
"Sebaiknya malam ini kita
istirahat saja. Esok kita cari gurumu dan si Manggar Jingga!"
"Terima kasih atas
ketulusanmu!" ucap Puting Selaksa sambil memeluk Suto dalam siraman cahaya
rembulan.
Dua hari kemudian, mereka
bertemu dengan Resi Parangkara dan Manggar Jingga dalam sebuah perjalanan
menuju Teluk Sendu. Ketika Suto menanyakan tentang Rona Dewaji kepada Resi
Parangkara, sang Resi pun menganggukkan kepala dan menjawab dalam bisikan.
"Memang benar. Karena itulah
aku mencari-carinya, karena aku tahu ada beberapa orang yang mengincar Puting
Selaksa. Perlu kau ketahui, Nak....Rona Dewaji hanya akan turun pada
orang-orang yang mempunyai kelainan dalam tubuhnya.
Misalnya, berjari sebelas,
berpusar dua, atau.,. "
"Termasuk berpayudara
sembilan. .?!"
Resi Parangkara terkejut dan
matanya terbelalak.
"Kalau begitu kau telah.
. "
"Hanya sebatas mandi
saja, Eyang Resi. Percayalah, Rona Dewaji masih ada dalam diri Puting Selaksa
alias si Wanita Keramat itu!"
Resi Parangkara menghempaskan
napas lega. Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara sambil lemparkan pandangan ke
arah lain.
SELESAI