Sampai kapan pun, yang namanya
harta karun selalu saja akan menjadi bahan buruan. Meski ia berada di dasar
lautan, para pemburu harta karun merasa tak pernah putus asa. Bahkan jika harta
karun itu dinyatakan lenyap tanpa bekas, para pemburu justru menjadi penasaran.
Perburuan pun semakin ditingkatkan.
"Salah satu sifat manusia
adaiah selalu ingin ta...?" "Tahu.!"
"Terlebih jika sesuatu
yang diketahuinya itu dinyatakan lenyap tak berbekas, maka rasa penasarannya
menjadi lebih be...?'1
"Lebih besar, Guru!"
"Ya, menjadi lebih
besar," ujar sang guru sambil munggut-manggut. Sang murid masih bersifat
menunggu kata-kata gurunya yang mempunyai kebiasaan menggantung kata terakhir.
"Rasa penasaran dapat
membuat orang menjadi tldak te "
"Tenang " '
"Ya. Tidak tenang. Oleh
sebab itu, janganlah hatimu dlperbudak rasa penasaran, supaya hidupmu tidak
ge…?
"Geli banget, Guru!"
"Gelisah!" ralat sang guru.
Si murid segera ajukan tanya,
"tapi kalau hanya ingin tahu sambil lewat saja tidak apa-apa, Guru?"
"Kalau sambil lewat saja
memang tidak apa-apa. Asal jangan memaksakan diri untuk dapat mengeta ?"
"Mengetahui...!"
lanjut sang murid. Si guru mem benarkan
dengan anggukan.
"Maksudku, sambil menuju
ke Bukit Esa, aku mau lewat Lembah Seram untuk melihat kesibukan orang- orang
yang memburu harta karun itu, Guru." "Boleh saja. Tapi jangan
mencampuri urusan mereka. Biarlah mereka yang memburu harta karun bertinqkah
dengan lagaknya sendiri-sendiri. Tujuanmu te- tap menuju Bukit Esa, dan temui
kakakmu dengan segera. Kalau rasa kangenmu sudah terobati kau harus segera
pu..,?"
"Pusing...!"
"Pulang!" sentak
sang guru membetulkan maksudnya. "O, iya... aku harus segera pulang. Aku
mengerti guru!"
"Nah, berangkatlah sana!
Ingat pesanku, jangan mencampuri urusan harta ka...?"
"Kasur... eeh,
karun!"
Sang murid yang berusia
sekitar dua puluh dua tahun itu akhirnya berangkat ke Bukit Esa, yang menjadi
wilayah kekuasaan Nyimas Gandrung Arum. Perempuan itu semula adalah tokoh
aliran hitam. Tapi sejak ditundukkan oleh Pendekar Mabuk, ia justru berbalik
menjadi pengikut sekaligus pengagum Pendekar Mabuk. Kabar tentang Nyimas
Gandrung Arum yang sudah bergabung dengan aliran putih itu menyebar sampai
akhirnya didengar oleh tokoh tua dari Gunung Gandul.
Sang tokoh tua itulah guru
dari si murid yang punya kakak di Bukit Esa. Tokoh tua itu cukup lama tidak
menampakkan diri di rimba persilatan karena sibuk menurunkan ilmunya kepada
sang murid tunggal.
Kini agaknya sang murid mulai
diizinkan membaur di rimba persilatan, karena ilmu yang diturunkan kepada ariak
muda itu sudah cukup banyak.
Tetapi agaknya sang guru masih
merasa perlu membayang-bayangi muridnya. Maka ia pun segera turun gunung,
mengikuti langkah muridnya dari kejauhan.
"Bocah itu kalau kulepas
begitu saja, bisa-bisa tindakannya jadi ngawur! Kalau sampai dia bikin ulah
yang bukan-bukan, waah... nama baikku yang selama ini terpendam di hati para
tokoh rimba persilatan bisa hancur," ujar sang tokoh tua dalam hatinya.
Sebenarnya Pendekar Mabuk pernah
mendengar nama tokoh tua yang tinggal di Gunung Gandul. Pada waktu itu,
Pendekar Mabuk alias Suto Sinting sedang diwejang oleh gurunya yang terkenal
sebagai tokoh paling disegani di rimba persilatan. Gila Tuak adalah na- ma yang
tertera paling atas pada deretan nama-nama tokoh berilmu tinggi. Nama nomor dua
yang tergolong tokoh berilmu tinggi adalah Bidadari Jalang. Tentu saja deretan
nama-nama itu hanya berlaku untuk golongan putih. Sedangkan dalam golongan
hitam nama tokoh terkejam dan terkutuk adalah Siluman Tujuh Nyawa, alias
Durmala Sanca, yang kini menjadi musuh utama Pendekar Mabuk.
Gila Tuak pernah berkata
kepada murid tunggalnya yang tidak punya pusar itu. "Kelak, jika kau
bertemu dengan tokoh tua dari Gunung Gandul yang dikenal dengan nama si Dewa
Kubur, alias Ki Murcapana, berilah salam dan horrnat kepadanya. Sebab si Dewa
Kubur adalah sahabatku juga. Semasa muda, kami pernah berpetualang bersama,
saling menolong dan saling melihdungi. Jangan sekali-kali kau berani bertarung
dengan Dewa Kubur, sebab jika dia sudah marah dan benar-benar sakit hati, tanpa
banyak bicara kau akan dikirimnya ke liang kubur dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya."
Tapi selama pengembaraan Suto
dalam mengejar Siluman Tujuh Nyawa, ia belum pernah bertemu dengan tokoh dari
Gunung Gandul. Padahal si Gila Tuak dan Bidadari Jalang pernah menjelaskan
ciri-ciri tokoh dari Gunung Gandul itu.
"Perawakannya gemuk
seperti tokoh dalam pe-wayangan, yaitu Hanoman." "Hanoman itu
kera!" sahut Bidadari Jaiang. "Bukan seperti Hanoman, tapi
seperti Semar!"
"O, ya... seperti Semar.
Maaf, aku salah sebut"
"Maklum, kakek gurumu
sudah semakin tua. Jadi rada-rada pikun," bisik Bidadari Jaiang kepada
muridnya yang ganteng itu.
"Jangan ngomong soa! tua.
Aku tersinggung!" tegas si Gila Tuak. "Pokoknya, yang namanya Dewa
Kubur itu penampilannya seperti Semar. Rambut di kepalanya hanya ada di bagian
ubun-ubun dari sekarang kalau tak salcth berwarna putih rata, Betul begitu,
Nawang Tresni?"
"Ya, benar. Sekarang
sudah putih rata," jawab Bidadari Jaiang yang bernama asli Nawang Tresni.
"Beberapa bulah yang laiu aku pernah jumpa dengannya. Sekarang ia pun
mempunyai murid yang bernama Dimas Genggong."
"Nah, ingat nama muridnya
itu. Dimas Genggong. Jangan sarnpai kau bentrok dengannya, karena jika kau
bentrok dengan Dimas Genggong, sama saja mengi- barkan bendera permusuhan
antara aku dan Dewa Kubur. Mengerti?"
"Mengerti, Guru!"
"Dewa Kubur senang memakai jubah coklat bintik- bintik putih, tapi pakaian
dalamnya berwarna hijau," tambah Bidadari Jaiang yang masih tampak rnuda
dan cantik jelita itu. Gila Tuak tambahkan kata, "Dewa Kubur Juga se~ ring
tampak membawa tongkat besi putih berujung tri- sufa. Dan kalau bicara, sering
menggantung kalimat belakang. Paham?"
"Paham, Guru!" jawab
Suto Sinting dengan tegas.
Keterangan seperti itu
didengar oleh Suto Sinting beberapa waktu yang lalu. Sudah lama sekali.
Sebegitu lamanya ia tak pernah Jumpa dengan tokoh bernama Dewa Kubur, akhimya
ia lupa dengan ciri-ciri tersebut Yang ada dalam ingatan Pendekar Mabuk
hanyalah ciri-ciri Siluman Tujuh Nyawa. Sebab tokoh paling terkutuk di dunia
itu selalu dalam buruannya. Cita-cita Pendekar Mabuk hanya satu: memenggal
kepala tokoh terkutuk itu dan menghadiahkan kepala tersebut kepada Dyah
Sariningrum sebagai maskawin pinangannya.
Tapi sampai sekarang,
pertarunga'nnya dengan tokoh tertinggi ilmunya di kalangan aliran hitam itu
seialu draw alias seri. Siluman Tujuh Nyawa cepat- cepat iarikan diri jika
merasa kekuatannya mulai sedikit terlumpuhkan. Akibatnya, sampai sekarang
Pendekar Mabuk belum juga bisa melamar ratu cantik di negeri Puri Gerbang
Surgawi yang ada di Pulau Serindu itu, (Baca se- rial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Prahara Pulau Mayat"),
Ketika Suto bermaksud menemui
si Kusir Hantu yang tinggal di Lembah Seram, ia sempat bertemu dengan Siluman
Tujuh Nyawa. Bahkan pada waktu itu, si Kusir Hantu juga muncul membantu Nyai
Jurik Wetan yang nyaris mati di tangan Siluman Tujuh Nyawa. Kusir Hantu sendiri
juga hampir mati di tangan tokoh terkutuk seangkatan si Gila Tuak itu. Tetapi,
Suto Sinting segera turun tangan dan Siluman Tujuh Nyawa kabur sebelum berhasil
dipenggal kepalanya oleh Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Misteri Lembah Seram").
Bagi tokoh tua yang dikenal
dengan nama si Kusir Hantu, kabar tentang adanya harta karun milik kerajaan
Hastamanyiana yang disimpan di Goa Kembar itu bukan hal yang mengejutkan lagi.
Menurutnya, kabar itu hanya sebuah dongeng yang direkayasa oleh sekelompok
orang sehingga seolah-olah menjadi seperti nyata. Sebab, beberapa waktu yang
lalu, Lembah Seram pernah diserbu para pemburu harta karun. Tapi tak satu pun
dari mereka yang menemukan secuil emas dari harta karun.
Goa Kembar terletak di sebuah
tebing dari sebuah bukit yang ada di Lembah Seram. Tebing itu mempunyai dinding
terjal dan keras. Jaraknya antara bagian alas tebing dengan dasar tebing tidak
seberapa tinggi. Maaih memungkinkan untuk didaki. Tetapi kerasnya dinding
tebing yang menyerupai lapisan batu granit itu Membuat orang menjadi sangsi apakah
benar Goa Kembar terletak di situ.
"Para pemburu harta karun
yang dulu mengacak- acak Lembah Seram juga berhenti sampai di tebing ini!"
ujar si Kusir Hantu kepada Pendekar Mabuk yang kala itu minta diantar ke Goa
Kembar.
"Tetapi seperti kau lihat
sendiri, Goa Kembar sudah tidak ada. Atau memang tidak pernah ada di tebing
ini. Yang ada hanya dua cekungan besar bersebelahan itu. Aku sendiri tak tahu
dengan persis, apakah dua cekungan besar itu dulunya bekas goa yang berlorong
dalam lalu tertimbun bebatuan sekeras itu, atau memang hanya sepasang cekungan
yang terjadi akibat ki- kisan air hujan dan angin dari masa ke masa. Yang jelas
para pemburu harta karun yang du!u kemari merasa kecewa dan jengkel sendiri,
karena tak memperoleh apa-apa selama berbulan-bulan rnenyelidiki tempat ini.
Pepatah mengatakan: 'gajah mati meninggaikan gading, harimau mati meninggalkan
belang, manusia mati meninggalkan gajah dan harimau'."
Peribahasa yang diucapkan si
Kusir Hantu terasa janggal dan tak ada hubungannya dengan apa yang sedang
dibicarakan. Tapi memang begitulah penampilan si Kusir Hantu, gemar bermain
peribahasa dalam tiap ucapannya walaupun artinya berbeda dengan masalah yang
dibicarakan. Di situlah letak daya tarik si Kusir Hantu bagi Pendekar Mabuk dan
beberapa tokoh muda lainnya.
"Banyak orang sebutkan
tempat ini adalah tempat Goa Kembar berada. Tapi aku sendiri tak tahu apakah
sepasang rongga mirip mulut singa raksasa itu yang dimaksud Goa Kembar, atau
bukanl" ujar gadis cantik berbaju lengan panjang warna hijau garis-garis
benang emas. Gadis itu salab satu dari kedua cucu cantiknya si Kusir Hantu. ia
bernama Pematang Hati, sedangkn adiknya bernama Mahligai Sukma.
Kala itu Mahligai Sukma tidak
ikut ke tanah datar depan tebing. Keberadaan si Pematang Hati di situ lantaran
ia habis diculik oleh Berhala Murka tapi berhasil dibebaskan oieh Pendekar
Mabuk. Sebagai imbal baliknya, Pematang Hati tak keberatan mengantar Pendekar
Mabuk ke tempat yang oleh orang- orang tempo dulu disebut sebagai Goa Kembar.
Selain Kusir Hantu, Pematang
Hati dan Pendekar Mabuk, ada juga seorang pemuda berambut cepak yang kedua
matanya ditutup kain merah tebal seperti memakai ikat kepala. Kedua mata pemuda
itu sebenarnya buta, tapi untuk menutupi cacat di matanya itu, ia berlagak
mengenakan ikat kepala sampai menutup kedua matanya, Pemuda itu adalah si
Mangku Randa, dari teluk Borok, yang sedang memburu pembunuh ibunya.
Menurut keterangan dari
Kelambu Petang, orang yang membunuh Nyai Sindang Rumi, ibu si Mangku Randa,
adalah Ayundani alias si Ratu Sinden. Perempuan itu menjadi penguasa Tanah
Pasung. Sedangkan dalam peristiwa misteri harta karun di Lembah Seram itu,
orang-orang Tanah Pasung ikut ambil bagian juga. Diduga si Ratu Sinden sudah
sampai di Goa Kembar, sehingga Mangku Randa bernafsu untuk ikut ke Goa Kembar
agar dapat bikin perhitungan pribadi dengan si Ratu SInden
Tapi ternyata tempat itu
sepi-sepi saja. Hanya ada empat orang itulah yang berdiri di sekitar dua
cekungan besar mirip mulut singa itu. Pendekar Mabuk sendiri penasaran dan
memeriksa dua cekungan tersebut Ternyata berdinding sangat keras. Tak ada
tanda-tanda bekas sebuah goa. Cekungan itu hanya bisa untuk meneduh satu orang
jika daiam keadaan hujan.
"Menurutku di sini du!u
ada sepasang batu besar. Lalu entah karena gempa atau karena apa, batu besar
itu menggelinding atau terbang entah ke mana. Dan dua cekungan inilah
bekasnya," ujar Pendekar Mabuk kepa- da Mangku Randa.
"Tapi aku rnencium bau
wangi rempah-rempah, Suto!" bisik Mangku Randa yang seiafu rnengandalkan
ketajaman indera penciuman dan pendengarannya.
"Maksudmu... bau
wewangian yang dipakai oleh si pemhunuh ibumu?" "Ya. Apakah kau tidak
menium wewangian itu?"
Suto berbisik, "Aku
justru mencium bau keringatnya si Kusir Hantu.
Agak apek!"
"Yang kau cium itu mungkin
bau keringatku sendiri, Suto."
Pendekar Mabuk justru tertawa
geli, tapi hanya se perti orang raenggumam. Sementara itu, Pematang Hati tampak
sedang bicara serius dengan kakeknya yang berbaju biru dan bercelana hitam.
Tokoh tua berusia se- kitar enam puluh tahun yang mempunyai rambut merah jagung
itu tampak sedang memarahi Pematang Hati yang waktu itu ribut dengan adiknya.
Suto Sinting sendiri sengaja membiarkan Pematang Hati kena marah kakeknya. Ia
jjustru tertarsk memeriksa keadaan di sekitar dua cekungan yang disebut sebagai
Goa Kembar itu. Sesekali tuaknya dalam bumbung bambu itu diteguknya, sehingga
ia selalu tetap bersemangat dan berbadan segar.
"Suto, bau aroma wangi
rempah-rempah itu kadang tercium tajam, tapi sesekali bagaikan menjauh?!"
"Tapi di sini tak kulihat
ada orang lain kecuali kita berempat?!"
"Tolong periksa bagian
atas tebing, Suto. Siapa tahu si Ratu Sinden sedang mengawasi kita dari atas
nana."
Pendekar Mabuk memandangi
permukaan tebing dari depan dua cekungan itu. Taps ia tak melihat sesu- atu
yang mencurigakan di atas sana. Tentu saja si Mangku Randa tak mau ikut
memandang ke atas, sebab pekerjaan seperti itu dianggap pekerjaan yang sia-sia
bagi orang buta seperti dirinya.
Hanya saja, beberapa kejap
setelah ia diam dan menelengkan kepalanya ke sana-sini untuk mende- ngarkan
suara mencurigakan, tiba-tiba tubuhnya mela- yang naik dalam satu ayunantubuh
yang cukup ringan. Weesss...!
"Gila! Mau ke mana si
buta itu?" set u Pematang Hati kepada Pendekar Mabuk.
"Ada sesuatu yang
dicurigainya di atas sanaS"
Pematang Hati bukan hanya
heran melihat jurus peringan tubuh yang digunakan Mangku Randa, namun Juga
merasa kagum rnelihat pennuda bermata buta itu dalam sekejap sudah berada di
atas tebing dengan dua kali sentakan kaki. Pertama pada tanah ternpatnya
berpijak, kedua pada dindijng tebing yang sedikit menonjol.
"llmunya boieh juga itu
anak...," gumam Kusir Hantu sambil manggut-manggut pandangi Mangku Randa
yang mulai melangkah dengan meraba-raba.
. "Awas tergetincir
kau!" seru Pendekar Mabuk. Rasa khawatirnya itu membuat Pendekar Mabuk
terpaksa menyusul Mangku Randa.
Ziaaap, weess...!
Satu kali sentakan kaki, Suto
Sinting bagaikan lenyap setengah kejap. Tahu-tahu ia sudah berada dekat Mangku
Randa. Kecepatan dari jurus 'Gerak Siluman' dipadu dengan jurus 'Layang Raga'
membuat Kusir Hantu dan cucunya makin terbengong.
"Yang satu ini lebih gila
lagi!" gumam Kusir Hantu.
"Kalau yang itu memang
sinting, Kek!" timpal Pematang Hati.
"Anak muda zaman sekarang
ilmunya memang gila-gilaan. Seperti pepatah mengatakan: 'setinggi-tinggi bangau
terbang... dia tetap saja bangau' "
"Uhh... siapa bilang bisa
berubah jadi gajah?!" gerutu sang cucu sambil bersungut-sungut. Si kakek
cuek saja.
Ternyata kecurigaan Mangku
Randa ada benarnya dan ada tidak benarnya. Belum sampai sepuluh hitungan ia dan
Suto berada di atas tebing, tiba-tiba
sebatang tombak rrjelesat
ke arahnya dari
belakang. Wuuut !
Pendekar Mabuk melihat gerakan
aneh melaiui ekor matanya. la cepat berpaling,
dan tangannya segera
mendorong iengan Mangku
Randa. Wuut !
Brrukk ! Mangku Randa pun
terhempas jatuh.
Tapi ia lolos dari maut.
Tombak itu segera disarmbar oleh tangan Suto yang habis mendorong tubuh Mangku
Randa. Wuut, teeb,..! Tombak tergenggam erat di tangan Pendekar Mabuk.
"Suto, ada apa...?!"
Mangku Randa tidak marah, lapi firasatnya mengatakan ada bahaya yang sedang
dihadapi Pendekar Mabuk. Suara tangan Suto menangkap sesuatu didengarnya dengan
jelas dan dijadikan pertanyaan dalam hatinya.
Mangku Randa cepat berdiri, ia
mendengar suara langkah kaki orang yang jumlahnya lebih dari dua pasang kaki.
Mangku Randa iangsung berbisik kepada Suto Sinting.
"Siapa mereka?!"
"Empat orang berseragam
kuning."
"Oo... pasti orang Tanah
Pasung!" gumam Mangku Randa. "Biar kuhadapi mereka!"
"Jangan !"
"Biar mereka panggil
ketuanya dan menemuiku disini juga!" "Tampaknya mereka berilmu
tinggi, Mangku Randa!" "Kau pikir ilmuku rendah?"
"Baiklah. Kau hadapi dua
orang, dan aku hadapi sisanya."
Sebenarnya yang datang ke arah
mereka adalah tujuh orang. Tapi Suto Sinting sengaja mengatakan empat orang,
sebab ia sudah menduga Mangku Randa akan menghadapi mereka. Dengan membagi
jatah lawan dua kepada Mangku Randa, maka Suto akan menghadapi lima orang
lainnya.
Tujuh orang itu mengepung Suto
Sinting dan Mangku Randa. Posisi kedua pemuda itu membelakangi bibir tebing,
sementara ketujuh lawannya berjajar di depan mereka.
Pendekar Mabuk perdengarkan
suaranya bernada tenang. "Apa maksud kalian melemparkan tombak ke arah
kami?!"
Yang mengenakan ikat kepala
biru berseru dengan suara berat. "Daerah ini sudah kami kuasai!"
"Siapa bilang?? Ini
wilayahnya Kusir Hantu! Kalian orang-orang Tanah Pasung hanya sebagai
pendatang!"
"Bocah bodoh! Tengok ke
bawah sana!"
Pendekar Mabuk berpaling ke
belakang, memandang keadaan di tanah bawah tebing. la sempat terkesiap rnelihat
Kusir Hantu dan Pematang Hati telah dikurung oleh sekitar sepuluh orang
berpakaian serba kuning. Bahkan di punggungnya Kusir Hantu telah menempel
sebatang tombak runcing, siap tembus. Sernentara itu, ieher Pematang Hati telah
dikalungi sabit bergagang panjang. SeJkali tarik, kress...! Leher terpotong,
kepala gadis itu akan menggelinding seenak nya.
"Apa yang terjadi di
bawah sana, Suto?" bisik Mangku Randa dengan tatap penuh waspada.
"Kusir Hantu dan Pematang
Hati tertangkap mereka!"
"Jahanam busuk!"
geram Mangku Randa, lalu segera melolos pedangnya dengan kalem. "Kau
membohongiku, Suto! Aku mendengar napas terhempas dari sekitar tujuh hidung
yang ada di depan kita."
"Ingat, kita baru saja
sepakat bahwa jatahmu hanya dua orang, Mangku Randa!" "Kau
curang!"
"Hei, tak perlu
berkasak-kusuk lagi!" sentak yang berikat kepala biru.
Orang itu bertubuh kekar dan
berkumis melintang. "Buang senjata kalian!" tambahnya dalam bentakan.
"Aku tidak bersenjata.
Temanku ini yang bersenjata," ujar Suto. "Tapi aku tak tahu apakah
temanku tahu cara membuang senjata atau tidak?!"
Bangsat! Masih berlagak juga
kau, hah...?!"
Si ikat biru rnaju hampiri
Suto. Mangku Randa menghadang dengan pedang diacungkan ke depan. Maksudnya
diarahkan ke dada si ikat biru, tapi karena ia buta, maka arah pedangnya
sedikit meleset ke kiri.
"Hentikan langkahmu atau
kutembus lehermu dengan pedangku ini!" "Arah pedangmu meleset ke
kiri. Geser sedikit ke kanan," bisik Suto
Sinting seperti orang
menggerutu tak jelas. Tapi bagi Mangku Randa bisikan itu sangat jelas, karena
ketajaman telinganya setajam mata pedangnya. Hanya saja, Mangku Randa masih
diam, tak mau menggeser pedangnya ke kanan.
Si ikat kepala biru menggeram
dengan tetap me langkah hampiri Suto. "Aku
tahu kedua matamu
buta, Bocah gendeng!
Kau tak akan
bisa
melukaiku! Justru
kau yang akan
kubantai lebih dulu,
karena kau telah
menantang ketua kami melalui
tiga orang kami yang kau lukai itu! Hiaaat...!" Wees, breet...!
"Aaauh...!" si ikat
kepala biru memekik. Beeet, piook...!
"Ookkhhrr...!" si
ikat kepala biru terlempar ke bela- kang, menerjang teman yang hendak bergerak
maju. Mereka jatuh saiing tindih.
Rupanya pedang Mangku Randa
tidak ditusukkan ke depan, melainkan disabetkan ke kanan dengan gerakan cepat
sekali. Setelah itu, ia putar tubuhnya secepat gangsing dan kakinya berhasil
menjejak dada lawannya itu. Akibatnya, lengan dan dada si ikat kepala biru robek
seketika tersabet ujung pedang Mangku Randa. Tubuhnya terlernpar sejauh enam
langkah lebih. "Gila! Tak kusangka dia ingin sabetkan pedangnya ke kanan?!
Pantas dia diam saja, tak mau geserkan pedangnya sejak tadi?!" gurnam hati
Suto Sinting sambil matanya memandang secara cepat wajah lawan-lawan yang
bergegas maju untuk menyerang.
"Heeaaaah...!!"
Salah seorang berseru, yang
lainnya ikut berteriak dan bergegas maju menyerang Pendekar Mabuk dan Mangku
Randa. Hanya saja, sebelum mereka sempat menyerang, sebuah suara berseru lebih
keras lagi hing ga menggema di udara bagaikan memenuhi alam seki- tar tebing
tersebut.
"Tahaaaannn...!!"
Semua diam di tempat secara
serempak. Si pemilik suara tak teriihat di mana ia berada. Tapi suaranya terasa
mempunyai getaran yang menurunkan nyali setiap orang. Keberanian dan kernarahan
seseorang dapat menjadi kendor begitu mendengar suara tersebut.
"Bawa si tua itu dengan
cucunya ke tempat kita! Hiarkan dua pemuda ingusan itu kutangani sendiri!
Kerjakaaan...!!"
Suara menggema
itu menyentakkan orang-orang
horseragam kuning.
Mereka segera pergi tinggalkan
Suto Sinting dan Mangku Randa,
sementara yang ada di bawah tebing segera membawa Kusir Hantu dan Pematang Hati
yang sudah terlebih dulu sudah mereka lumpuhkan dengan totokan pada saat Mangku
Randa menyerang si ikat kepala biru tadi. Suto Sinting tak mengetahui keadaan
Kusir Hantu dan Pematang Hati sudah dilumpuhkan.
"Mereka mau membawa kabur
Kusir Hantu dan cucunya!" sentak Suto Sinting.
"Kita dalam bahaya besar,
Suto!" ujar Mangku Randa terkesan
mulai susut keberaniannya.
Tiba-tiba ia memekik pendek
dengan tubuh tersentak. "Uuhk...!!"
"Mangku Randa...?! Kenapa
kau... uuuhk!" Suto Sinting juga tersentak.
Tubuh mengejang sebentar, lalu
jatuh terpuruk seperti Mangku Randa.
Bruuuk...! Bruusk...!
Seseorang telah menotoknya dari jarak jauh. Hawa padat yang meluncur mernbentuk
totokan yang sangat tidak diketahui datangnya. Tahu-tahu Suto dan Mangku Randa
merasa seperti ditusuk lidi tengkuknya. Mereka masih sadar, tapi tak bisa
berbuat apa-apa. 2
Seekor capung merah terbang di
depan wajah Suto Sinting, memutar- mutar sebentar, menungging-nunggingkan
ekornya, lalu melesat entah ke mana. Seolah-olah capung merah itu jejingkrakan
melihat Suto Sinting terpuruk tanpa tenaga sedikit pun di samping Mangku Randa.
"Capung gendeng! Minggat
kau!" geram Suto Sinting dengan jengkel.
Posisinya yang tersangga batu
di punggung membuat Suto Sinting seperti duduk melonjor sedikit rebah. Mangku
Randa justru terbaring dengan kepala terganjal sebongkah tanah keras tanpa
rumput. Mereka masih bisa berpikir, masih bisa bicara, tapi tak bisa gerakkan
miggota badannya.
"Sutoo...! Suto, kau
masih hidup, Suto?!" "Sepertinya masih, Mangku Randa."
"Aku mencium bau wangi
rempah-rempah, Suto. Apakah ada orang di sekitar kita?"
"Hanya kita berdua yang
ada. Mungkin bau rempah- rempah yang kau maksud adalah bau kakimu sendiri,
Mangku Randa," jawab Suto agak kesal. "Dalam keadaan begini masih
saja ingat bau rempah-rempah terus?!" gerutunya dalam hati.
"Setan kucir! Apa yang
terjadi pada diriku ini, Suto?" suara Mangku Randa terdengar pelan, bagai
tanpa tenaga. Suto Sinting pun begitu juga.
"Jangan tanya padaku,
Mangku Randa. Tanyakan pada batu yang menyangga punggungku ini. Mungkin dia
tahu apa yang membuat kita jadi orang- orang jompo begini. Uuuhkk..,!"
Suto Sinting ingin gerakkan kakinya, namun tetap tak bisa bergerak sedikit pun.
"Apakah napasku masih
ada, Suto?"
"Kelihatannya sebentar
lagi habis, seperti napasku juga." Anehnya, mereka masih bisa
terengah-engah. Te- naga yang tersisa seolah- olah hanya khusus untuk ber-
napas saja. Itu pun tak bisa bebas. Napas mereka ba- gaikan dibanduli batu
sebesar anak sapi. Berat sekali.
"Seseorang telah menotok
kita dari jauh, Suto. Apakah kau melihat orang yang menotok kita tadi?l"
"Aku hanya melihat seekor
semut lewat di depan kakiku,' jawab Suto masih bernada konyol untuk menghibur
kedongkolannya sendiri.
Mereka diam beberapa saat,
saling mencoba menggunakan akalnya untuk mengatasi keadaan seperti itu. Tapi
tak satu pun yang mendapat gagasan untuk melepaskan diri dari totokan tersebut.
Pendekar Mabuk justru menggumam bernada gerutu.
"Mengapa yang mereka bawa
pergi Kusir Hantu dan Pematang Hati? Mengapa bukan kita orang, ya?!"
"Mungkin... mungkin Kusir Hantu dianggap sebagai kunci untuk dapat masuk
ke Goa Kembar, sedangkan Pematang Hati adalalh kunci juga untuk membuka mulut
si Kusir Hantu.1'
"Kalau begini caranya,
aku bisa "
"Ssst...!" potong
Mangku Randa dalam desah. "Ada orang datang kemari, Suto."
"Hahh ?! Siapa orang
itu?"
"Mataku buta, mana bisa
melihat?!"
"O, iya... maaf!"
Suto Sinting coba pandangi keadaan di depannya dengan gerakan mata lamban.
"Dia bertubuh besar dan
dan makin mendekat ke arah sini."
Pendekar Mabuk percaya dengan kata-kata
Mangku Randa walau ia tak melihat sepotong hidung pun yang mendekat ke arahnya.
la tahu ketajaman telinga Mangku Randa memang sangat hebat, jarang dimiliki
setiap orang. Mungkin karena kedua mata Mangku Randa buta, maka ia mempunyai
kelebihan pada indera pondengaran dan penciumannya, serta sering bermain
flrasat. "Berteriaklah minta tolong, Suto. Suaraku tak bisa koras. Napasku
lemah sekali."
"Kau pikir aku
sehat-sehat saja?" gerutu Suto dengan lirih.
Sekitar lima belas hitungan
kemudian, orang yang dimaksud Mangku Randa memang muncul dari arah kanan Suto
Sinting. Orang itu bertubuh sangat gemuk, lemak tubuhnya sampai bergelantungan
seperti balon diisi air. Kegemukannya yang mirip empat pemain sumo dijadikan
satu itu membuat langkah kakinya yang besar menggetarkan tanah. Getaran itu lah
yang sejak tadi sudah ditangkap oieh indera pendengaran Mangku Randa.
Orang tersebut terperanjat
setelah melihat Suto Sinting dan Mangku Randa terkulai tak bergerak.
"Suto...?! Kenapa kau
santai-santai saja di situ?! Huaa, haaa, haaa, haaa, haaa "
Orang gemuk itu berbaju tanpa
lengan warna hitam dengan celananya yang hitam puia. Kancing bajunya dari logam
emas. Gelang kanan-kiri dari lempengan emas berukir. Si gemuk itu tampak sekaii
sebagai orang kaya berwajah lucu-lucu sadis. Bibirnya tebal dan lebar, seperti
babat belum dipotong-potongi Suto Sinting mengenal orang itu ketika ditantang
kuat-kuatan minum arak di sebuah kedai. la tak lain adalah si Belatung Gerhana
dari Pulau Garong, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri
Lembah Seram").
"Apa yang kalian lakukan
di sini?! Kalian pikir di sini tempat untuk berjemur? Kalian mau mandi
matahari? Oohoo, hoo, hoo, hoo...! Bukan di sini tempatnya ber- mandi matahari.
Di pantai sana! Biar disangka ikan pada jemur diri. Haaa, haaa, haaa, haaa
!"
"Hei, mulut ember!"
ujar Mangku Randa. "Kalau tak bisa menolong kami, minggatlah yang jauh
sana! Na-pasku makin sesak mendengar suara besarrnu itu!"
"Hooo, hoo, hooo, hooo...
si buta ini marah padaku?! Ngomong jangan sembarang, Kucing rebus! Bisa
kulemparkan ke dasar tebing sana baru tahu rasa kau!" "Beiatung
Gerhana...," sahut Suto Sinting sebelum pertengkaran itu menjadi semakin
panas. ".... Kami terkena totokan dari jarak jauh. Entah siapa yang
menotok kami hingga begini. Yang penting bagi kami adalah lepas dari pengaruh
totokan ini. Dapatkah kau melepaskan totokan ini, Beiatung Gerhana?!"
"Haaah, haaa, haaa,
haaa... tentu saja itu hal yang amat mudah bagiku, Suto! Tapi kau harus
berjanji akan melayaniku sampai tumbang lagi! Setuju?!"
"Baik. Akan kulayani kau
minum arak ataupun tuak sampai perutmu busung lagi!"
"Bagus, bagus, bagus...!
Haa, haa, haa, haa..,."
"Berisik, Bebek!"
sentak Mangku Randa tapi dengan suara tetap Hrih.
Belatung Gerhana segera dekati
Suto. Kedua tangannya berjari menguncup. Lalu tangan kanannya menotok ubun ubun
Suto seperti seekor bangau mematuk ikan sepat. Truuk...!
"Nah, sekarang totokanmu
sudah bebas! Berdirilah…!" ujar Beiatung Gerhana.
"Bebas dengkulmu! Aku
masih belum bisa gerak- kan jempol kakiku!" "Lho, belum bebas...?!
Ohho, hoo, hoo...! Harus kuulangi lagi kalau
begitu." Trrok...
trrok... trrok...! "Oh, masih belum bisa bebas juga?!" geram Belatung
Gerhana, lalu tangannya menggenggam, sisi genggaman itu digebukkan ke
ubun-ubunnya Suto Sinting. Duuhk, duuhk, duuhk, duuhk, duuhk...!
Suto Sinting tersentak-sentak,
kepalanya terangguk-angguk, wajahnya menyeringai kesakitan. Pukulan menggunakan
sisi bawah genggaman itu membuat pandangan mata Suto Sinting lama-lama menjadi
kabur, kepala terasa pusing, dan telinga terasa jadi budek.
"Cukup, cukup...! Cukup,
Belatung Gerhana...!"
"Cukup...?! Naah...
sekarang kau sudah bebas dari totokan! Berdirilah!" Suto Sinting
terengah-engah dulu, baru memaki dengan suara pelan. "Setan gembrot! Kau
mau bebaskan totokanku apa mau memantek kepalaku?!"
"Lho, belum bebas
juga?!"
"Udelmu bodong itu yang
bebas!" jawab Suto jengkel sekali. "Ubun- ubunku sampai mau jebol,
tetap saja tak bisa bebas dari totokan ini?!"
Kaiau saja tidak dalam keadaan
tertotok begitu, Mangku Randa akan tertawa keras-keras mendengar gerutuan Suto
Sinting dan membayangkan keadaan Suto dipukul-pukul kepalanya oleh si gemuk
itu. Tapi karena keadaan yang amat lemah, Mangku Randa hanya bisa tertawa pelan
seperti orang bisik- bisik. Suto Sinting tambah dongkol mendengar tawa Mangku
Randa.
"Akan kuulangi satu kali
iagi, Suto," ujar Beiatung Gerhana.
"Sudah, sudah...! Cukup
begini saja." "Satu kali lagi pasti kau bebas dari totokan,
Suto!" "Tidak. Terima kasih atas bantuanmu, Beiatung Gerhana.
Kepataku bukan ceiengan dari tanah yang perlu digepuk-gepuk seperti tadi!
Rontok semua otakku kalau mengikuti caramu beg itu."
Tawa si Mangku Randa makin
berkepanjangan. "Kau kurang yakin dengan ilmuku, Suto," gerutu
Belatung Gerhana dengan nada kecewa.
"Aku sangat yakin dengan
ilmumu. Maksudku, yakin bakalan membuat otakku jadi kopyor kalau kelamaan kau
gepuk seperti tadi. Jadi menurutku, sebaiknya kau bantu aku untuk hal
lain."
"Apa maksudmu?!"
"Kau iihat bumbung bambu
di samping kananku Ini?"
"Ya, mau apa dengan
bumbung bambu tempat jangkrik itu?" tanya Beiatung Gerhana dengan nada
horan, sebab pada saat mereka bertemu pertama kali di kodai, Suto mengaku
sebagai penjual jangkrik aduan. Namanya pun tidak disebutkan secara lengkap, sehing-
U« Beiatung Gerhana tidak tahu bahwa yang ditantangminum waktu itu adalah
Pendekar Mabuk.
"Di dalam bambu itu ada
tuak. Tolong "
"Tuak ?!" sahut
Belatung Gerhana. "Katamu dulu bambu itu tempat jangkrik
buruanmu?"
"Aku bercanda waktu itu.
Bumbung bambu itu sebenarnya berisi tuak.
Tolong tuangkan tuak itu ke
mulutku. Aku haus sekali, Belatung Gerhana." "Tuak...?!" gumam
Belatung Gerhana antara percaya dan tidak. Lalu bambu panjang sedepa itu
diambilnya, dibuka tutupnya, diintip sebentar.
"Oh, iya...?! Benar-benar
berisi tuak?!" ujarnya dengan girang. "Kalau begitu kita pesta
mabuk-mabukan sekarang juga, Suto! Setuju...?!"
"Sebelas!" jawab
Suto sekenanya. "Yang penting tuangkan dulu tuak itu ke mulutku. Aku
benar-benar kehausan, Belatung Gerhana!"
"Baik! Tapi habis ini
kita pesta minum-minum lagi, ya?!"
Belatung Gerhana masih beium
sadar siapa orang yang dihadapinya itu. la menuangkan tuak ke mulut Suto. Tuak
mengalir pelan-pelan dan menyatu dengan darah di dalam tubuh. * Bruuusss...!
"Hup, hap, huaah...!
Kurangajar! Kenapa kau sembur mukaku?!" sentak Belatung Gerhana.
"Aku kehabisan napas,
tapi tuak masih kau tuang saja ke mulut! Bisa mati tenggelam air tuak kalau
kutu- ruti terus!" sentak Suto juga. Kali ini suaranya mulai agak keras.
"Kau kuanggap tidak
sopan, Suto! Sudah kutolong tapi balasanmu menyembur tuak ke mukaku! Kau kan
bisa katakan kapan aku harus berhenti menuang tuak?!"
"Mana bisa orang minum
sambil ngomong, Tolol!"
"Hei, hei... suaramu
sudah agak keras daripada yang tadi," ujar Belatung Gerhana dengan nada
rendah, tak peduli wajahnya basah dan air tuak masih menetes dari dagunya.
Mangku Randa yang tahu persis
siapa Suto Sinting mulai merasa lega. la yakin keadaan Suto akan secepat- nya
pulih seperti sediakala setelah minum tuak itu.
"Suto... sudah bereskah
keadaanmu?!" tanya Mangku Randa.
Wuut...! Suto Sinting bangun
dan duduk dengan togak. "Ya, sepertinya aku sudah cukup beres, Mangku
Randa!"
Belatung Gerhana heran.
"Aduuh... cucuku sudah bisa berdiri?!"
"Cucu dengkulmu!"
gerutu Suto Sinting, lalu ia moncoba berdiri dan ternyata memang bisa tegak
seperti biasanya. Pengaruh totokan yang melumpuhkan noluruh urat-uratnya telah
dikalahkan oleh tuak sakti dari dalam bumbung tersebut. Belatung Gerhana masih
terbengong-bengong, memegang bumbung tuak yang tetap terbuka. Bumbung itu
segera diambil alih oleh Suto Sinting.
"Kau... kau sudah sehat?!
Aneh sekali?! Tadi kau lumpuh begitu, sekarang setelah minum tuak, tak sampai
seratus hitungan, kau sudah sehat kembali?!"
"Terima kasih atas bantuanmu,
Belatung!"
Plok, plok, plok...! Suto
tepuk-tepuk pipi tebal Beiatung Gerhana. Kemudian ia meminumkan tuak itu ke
mulut Mangku Randa. Beberapa kejap kemudian Mangku Randa pun pulih kembali.
Beiatung Gerhana semakin terbengong dengan mulut melongo mirip lubang tikus.
"Hei, minumlah tuak ini!
Katamu kau ingin minum sampai mabuk?!"
"Ooh, iiy... iya.J"
Beiatung Gerhana menggeragap. la menenggaktuak tersebut beberapa teguk. Suto
Sinting buru-buru hentikan tenggakan tersebut, khawatir tuaknya habis disedot
manusia seperti sumur itu.
"Uuaaahh...! Segar
sekali?!" sambil mata si Beiatung Gerhana terbelalak berbinar-binar
bersama se- nyuman yang sangat menakutkan dan bisa bikin bayi mati mendadak.
"Segar sekali
badanku?!" ujarnya lagi. "Kurasa tuakmu tak akan kalah jika
dibandingkan dengan tuaknya Pendekar Mabuk, Suto! Ibuku pernah bercerita
tentang Pendekar Mabuk yang ke mana-mana membawa bumbung tuak dan tuaknya itu
mempunyai kesaktian tersendiri. Selain bisa untuk sembuhkan orang sakit juga
bisa untuk "
"Untuk menyembur mukamu
tadi!" sahut Mangku Randa agak kesal mendengar kebodohan si Beiatung
Gerhana. Suto Sinting tenang-tenang saja, seakan tak pedulikan celoteh si
gendut bodoh itu. Mata Suto me- mandang keadaan di bawah tebing.
Beiatung Gerhana berkata peian
kepada Mangku Randa, "Tuaknya memang seperti milik Pendekar Mabuk! Kau
belum pernah dengar ceritanya, ya?! Begini... Pendekar Mabuk itu "
Tangan Mangku Randa mendorong
wajah Belatung Gerhana hingga kepala orang gemuk itu tersentak ke belakang.
"Dia memang Pendekar
Mabuk, Tolol!" sentak Mangku Randa.
"Beraninya kau
mengobok-obok mukaku, haah?! Aku hajar kau sekarang...," Beiatung Gerhana
hentikan ucapannya secara mendadak. Lalu ia mendekatkan wajah kepada Mangku
Randa. "Apa katamu tadi?! Dia memang Pendekar Mabuk?!"
Makanya punya badan jangan
gemuk-gemuk. Selalu bikin otak jadi tumpul, juga bikin kuping jadi budeg"
Belatung Gerhana dekati Suto
yang berjarak tujuh langkah darinya itu. "Suto... Suto, dia bilang kau
Pendekar Mabuk. Apa benar kau Pendekar
Mabuk yang kata ibuku bernama
SutO Sin " (
Pendekar Mabuk berpaling
memandang Belatung Gerhana dengan tersenyum ramah. Belatung Gerhana hentikan
ucapannya, sambil tertegun bengong, seakan baru ingat nama depan Suto.
"Oooh, celaka...!"
gumamnya pelan. "Kalau begitu kau memang Pendekar Mabuk! Ibuku bilang,
nama Pendekar Mabuk adalah Suto Sinting dan saat di kedai kau perkenalkan
dirimu dengan nama Suto. Maksudmu adalah Suto Sinting, bukan?"
"Benar. Aku memang Suto
Sinting. Aku memang Pendekar Mabuk. Kau mau menantangku minum arak lagi?"
"Biar mampus tak akan
sudi lagi aku minum denganmu!" Belatung Gerhana bersungut-sungut menjauh.
"Pantas kau menang! Pantas kau tak sampai mabuk dan tumbang sepertiku.
Rupanya kau si Pendekar Mabuk yang kondang kuat minum tanpa mabuk sedikit pun
itu?! Congor wedus kau !"
Pendekar Mabuk tertawa pelan
seperti orang menggumam.
"Sekarang lupakan saja
persoalan adu kuat-kuatan minum di kedai waktu itu. Yang sedang kupikirkan
adalah menyelamatkan si Kusir Hantu dan cucunya dari tangan orang-orang Tanah
Pasung! Aku harus segera mengejar mereka!"
"Aku ikut!" tegas
Mangku Randa.
"Oo, jadi orang Tanah
Pasung sudah sampai sini?! Apakah mereka temukan Goa Kembar itu, Suto?!"
"Mereka menawan
sahabatku; Pematang Hati dankakeknya! Tak kulihat mereka membawa secuil emas
pun dari sini!"
"Pasti mereka belum
menemukan Goa Kembar!" ujar iBelatung Gerhana dengan girang. "Goa
Kembar ada di bawah tebing ini, Suto!"
"Tidak ada!" sambil
kepala Suto menggeleng tegas- tegas. "Yang ada di bawah tebing ini hanya
dua cekungan mirip mulutmu itu, Belatung Gerhana." "Jangan
menyinggung soal mulut! Aku bisa marah!" geram Belatung Gerhana. "Aku
akan memeriksa bagian bawah tebing ini!"
Belatung Gerhana bergegas
menuruni tanah di samping tebing. Sedikit jauh dan agak memutar untuk mencapai
tanah depan tebing itu.
"Perlukah kita buktikan
ucapannya itu, Suto?"
"Sepertinya dia lebih
tahu dari yang lain. Tapi... apakah yang diketahuinya itu membawa hasil yang
benar?!"
"Tapi Pematang Hati akan
semakin jauh dibawa mereka jika kita rnelihat dulu hasil ucapannya itu,
Suto."
"Aku tahu. Tapi aku juga
tahu ke mana mereka membawa Pematang Hati dan Kusir Hantu. Pasti ke Pantai
Bejat. Kudengar mereka mendarat di sana. Mungkin si Kusir Hantu dan cucunya dibawa
ke kapal mereka!"
"Kalau begitu, Ratu
Sinden pasti ada di Pantai Bejat! Aku akan segera ke sana, Suto!" Mangku
Randa mulai berapi-api ingin lampiaskan dendamnya.
"Berangkatlah dulu. Nanti
akan kususul. Aku hanya ingin lihat bukti ucapan si Belatung Gerhana itu.
Sebelum melihat hasilnya, hatiku tak tenang diburu rasa penasaran!"
"Baiklah! Kita berpisah
dulu untuki sementara! Susul aku secepatnya, Suto!"
Pendekar Mabuk mengangkat
tangan, sebagai isyarat akan menyetujui langkah Mangku Randa untuk menuju
Pantai Bejat lebih dulu.
Setelah pemuda tunanetra itu
pergi, Pendekar Ma buk melompat turun dari atas tebing ke dasar tebing, tempat
Kusir Hantu dan Pematang Hati tertangkap tadi. Wuuut….! Suuuuut...! Tubuhnya
bergerak turun dalam posisitetaptegak. Deeb...! Kedua telapak kaki menepak di
tanah tanpa suara.
Pendekar Mabuk memandang ke
arah Beiatung Gerhana yang sudah mencapai kaki tebing sebelah sana. Orang gemuk
itu keluarkan peta dari seiipan ikat pinggangnya. la melangkah sambil
memperhatikan petunjuk pada selembar peta dari kain putih kusam. Tak sadar
langkah kakinya dekati Suto Sinting, dan ia tersentak kaget melihat Suto sudah
ada di depannya.
"Lho...?! Sudah sampai di
sini kau?! Lewat mana?!" Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis sambil me-
lirik ke atas, menunjuk jalan yang dilewatinya.
"Gila! Kau melompat dari
atas kernari?!"
"Rasa-rasanya memang
itulah jalan tersingkat, ketimbang harus lewat jalanan menurun yang kau lewati
tadi."
Belatung Gerhana perhatikan
kedua kaki Suto Sinting.,
"Ada apa...?!" tanya
Suto heran.
"Kakimu masih utuh?!
Tidak patah?! Padaha! kau melompat turun dari atas sana. Tinggi sekali tebing
ini, kan?!"
"Lebih tinggi langit dari
tebing ini!"
"Nenek jompo juga tahu
kalau langit itu lebih tinggi dari tebing ini!" gerutu Belatung Gerhana
sambil ber- sungut-sungut.
"Rupanya kau membawa peta
pemandu jalan, Belatung Gerhana?" "Ya. Ibu hanya membekaliku peta
ini. Ibu tahu per sis di maria harta
karun itu berada. Tapi beliau
tak dapat jalan kemari."
"Kenapa...?!"
"Kedua kakinya
buntung."
"Ooh, maaf...!" Suto
Sinting tampakkan rasa sesalnya. Pertanyaan tadi membuat raut wajah Belatung
Gerhana menjadi sedih.
"Waktu di kedai,
seingatku kau hanya disuruh membuktikan apakah benar di Lembah Seram ada harta
karun atau tidak. Tapi sekarang kau tampak sangat yakin, bahwa di Lembah Seram
ada harta karun terpen- dam. Bahkan kau tahu tentang Goa Kembar segala?!”
"Aku harus berpura-pura
begitu. Tapi sesungguhnya, aku ditugaskan oleh ibuku untuk merneriksa apakah
harta karun itu masih ada atau sudah diambil orang. Jika masih ada, aku harus
segera kembali dan mengabarkannya pada Ibu. Lalu, aku akan datarig kemari
bersama sejumlah pengawal untuk ambil harta karun itu dan membawanya pulang ke
Pulau Garong."
Suto Sinting manggut-manggut.
"Suto, kalau kau mau
bantu aku, kau akan dapat bagian tersendiri dari harta karun itu! Ibuku tidak
akan serakah. Pasti memberi bagian padamu." "Aku tidak berminat untuk
memiliki harta karun itu. Aku hanya ingin membuktikan apakah harta karun itu
ada atau hanya sebuah dongeng saja."
"Agaknya ibumu sangat
yakin kalau harta karun itu memang ada. Siapa ibumu sebenarnya, Belatung
Gerhana."
“Penguasa Pulau Garong,"
sambil Belatung Gerhana melangkah mengikuti petunjuk dalam peta.
"Bukankah waktu di kedai
sudah kusebutkan bahwa ibuku seorang penguasa di Pulau Garong?"
"Kau belum sebutkan
namanya, jadi yang kutanyakan tadi adalah namanya!"
"Oo... namanya Nini Desah
Bengi." "Nini Desah Bengi?!"
"Cantik Iho. Sudah janda
lagi." "Husyy...!"
"Sumpah...!" sambil
Belatung Gerhana tetap melangkah ikuti petunjuk pada peta, Suto Sinting
mengiringinya.
Langkah itu berhenti di depan
dua cekungan yang tadi diperiksa Suto
dan Mangku Randa.
"Nah, di sini!" ujar
Belatung Gerhana. "Menurut petunjuk dalam peta, di tempat kita berdiri
inilah ter- dapat Goa Kembar!"
"Mana buktinya...?!"
Belatung Gerhana memandangi
dua cekungan itu dengan mulut melongo heran. Rasa penasaran mendorong tubuhnya
yang gemuk sekali itu lebih mende- kati dua cekungan itu. la meraba dinding
cekungan yang keras bagaikan batu granit.
"Kenapa hanya dua
cekungan seperti ini yang ada di sini?! Mestinya dua goa bersebelahan!"
gumam Belatung Gerhana.
Pendekar Mabuk sengaja
pamerkan senyum dingin. Seakan mencibir kesalahan keyakinan Belatung Gerhana
dan ibunya. Belatung Gerhana garuk- garuk kepala sambil memandang
sekelilingnya, mencari kemungkinan tempat lain yang dimaksud dalam peta
tersebut. Tak jauh dari dua cekungan itu ada batu besar, tingginya hanya
sebatas paha. Belatung Gerhana duduk di sana sambil sesekali memperhatikan
peta. Wa- jahnya tampak murung pertanda memendam rasa kecewa.
Kurasa kau dan ibumu telah
terbuai oleh dongeng kuno tentang harta karun itu, Belatung Gerhana."
"Tidak. Ibuku bukan
tukang dongeng. Menurut Ibu, harta karun itu memang benar-benar disimpan di
salah satu dari dua goa kembar yang bersebelahan. Goa yang satu berisi
jebakan-jebakan maut, goa yang satunya lagi berisi harta karun itu!"
"Dari mana ibumu tahu hal
itu?"
"Semasa mudanya, ibuku
adalah prajurit wanita dari Kerajaan Hastamanyiana! Harta karun itu adalah
kekayaan dari negeri Hastamanyiana yang disembunyikan di sini agar tak dirampas
oleh musuh yang waktu itu sudah diduga akan menyerang negeri tersebut! Jadi
"
Wuiiz, teeb !
Ucapan si gemuk terhenti
seketika, karena tiba-tiba tangan Pendekar Mabuk berkelebat ke punggungnya.
Sesuatu telah berhasil ditangkap oleh Suto Sinting. Sesuatu yang terjepit di
sela jemarinya itu tak lain adalah sebilah pisau beracun. Sasarannya punggung
Belatung Gerhana. Ujung pisau tampak kebiru- biruan sampai di bagian
pertengahan mata pisaunya. Gagang pisau terbuat dari gading berukir.
"Pisau...?!" mata
'si gemuk mendelik lebar. "Wow keren!"
"Apanya yang keren?!
Pisau ini hampir merenggut nyawamu, Goblok!" "Tapi gagang pisaunya
keren, dari gading ukir dan "
Wuiiz...! Sekeiebat benda
muncul kembali dari arah yang berlawanan dengan kemunculan pisau tadi. Pendekar
Mabuk kelebatkan tangan lagi. Wees...! Meleset. la gagal menangkap benda
tersebut. Untung usaha me- nangkap benda itu disertai gerakan badan melintir ke
kanan, sehingga benda itu yang kali ini diarahkan ke lehernya itu lolos dan
menancap pada salah satu pohon tak jauh dari mereka. Benda itu ternyata juga
pisau beracun. Bentuk dan ukurannya sama dengan pisau pertama.
Belatung Gerhana makin
terperangah bengong memandangi pisau yang menancap di pohon. Kulit pohon itu
bergerak-gerak melipat. Daun-daunnya segera berubah menjadi kuning,makin lama
makin coklat dan kering. Dalam waktu sangat singat, pohon itu menjadi kering
tanpa air setetes pun.
"Gila! Ganas sekali racun
pada pisau itu?!" gumam Belatung Gerhana, sementara itu Pendekar Mabuk si
buk mencari si pelempar pisau dengan pandangan matanya yang tajam dan jeli. 3
Hati kecil Suto mengatakan,
sasaran utama penyerang geiap itu adalah Belatung Gerhana. Mungkin orang
tersebut ingin dapatkan rahasia harta karun dalam peta yang dibawa si gemuk.
Tetapi karena Suto selamatkan nyawa Beiatung Gerhana dari lemparan pisau
pertama, maka dia pun menjadi sasaran lemparan pisau kedua.
"Ada orang yang ingin
membunuhmu, Beiatung Gerhana?"
"Bangsat kurap!"
geram Beiatung Gerhana, seolah baru sadar bahwa nyawanya diincar orang. la
bangkit dari duduknya dan segera mencabut pedang bersarung perak ukir itu.
Dengan suara besarnya ia berteriak memandang kedua arah datangnya pisau
tersebut.
"Heei, pengecut...!
Keluarlah dari persembunyian kalian! Jika kalian berdua ingtnkan nyawaku,
hadapilah kami berdua di sini! Keluar kalian semuaaa...!!"
Dari arah datangnya pisau
pertama muncul dua orang berpakaian biru. Dari arah datangnya pisau kedua
muncul juga dua orang berpakaian hijau. Dari arah lain muncul lagi dua orang.
Muncul juga tiga orang. Dari atas tebing meluncur lima orang berpakaian
warna-warni yang melompat turun dengan gunakan ilmu peringan tubuhnya. Dari
sisi lagi, muncul juga empat orang. Juga dari sana-sini. Jumlah keseluruhan
sekitar lima belas orang lebih mengepung tempat itu.
"Walaaah...
banyaksekali?!" ujar Belatung Gerhana dengan mata mendelik dan wajah
menjadi tegang.
"Kau yang menyuruh mereka
muncul, bukan?"
"Yaaa, tapi yang kuminta
tidak sebanyak ini...," ujarnya bernada keluh. "Kau kenal dengan
mereka?"
"Mereka yang mengikutiku
sejak berangkat dari Pulau Garong!" "Jadi, siapa mereka?"
"Orang-orangnya Bandar
Santet, dari Selat Neraka," jawaban itu masih bernada keluh. "Waah...
mati aku kalau begini, Suto. Mereka banyak sekalil" Suto Sinting
sunggingkan senyum tipis. Pisau yang tadi ditangkapnya masih dimainkan dengan
tangan kiri, sementara itu tali bumbung tuak tergantung di pundak. Satu persatu
wajah-wajah angker mereka pandangi Suto Sinting dengan tatapan mata tajam.
"Yang mana yang bernama
Bandar Santet?!"
"Yang pakai jubah ungu
itu!" bisik Belatung Gerhana dengan gigi berusaha tetap rapat, biar tampak
tak berbisik.
Orang berjubah ungu itu memang
pantas mempunyai nama Bandar Santet. Rambutnya tipis panjang selewat
pundak.Tanpa ikat kepala. Wamanya abu-abu. Alisnya lebat agak naik. Kumisnya
turun ke bawah sampai dagu. Wajahnya lonjong dengan sepasang mata cekung sadis.
Wajah angker itu bertubuh
kurus sehingga tulang di wajahnya saling bertonjolan. Tangannya berkuku hitam,
tidak panjang tapi runcing. Kulit tubuhnya tampak kusam, sekusam celananya yang
berwarna ungu juga itu. la mengeriakan sabuk hitam dan menyelipkan sebilah
keris bergagang merah tua.
Wajah angker berusia sekitar
enam puluh tahun itu perdengarkan suaranya setelah melangkah lebih dekati Suto
dan Beiatung Gerhana. Dua anak buahnya ikut maju dari sisi kanan-kiri Suto.
Tapi mereka berhenti dalam jarak sekitar sepuiuh langkah, sedangkan si wajah
angker yang punya codet di bawah mata kirinya itu hen- tikan langkah setelah
berjarak sekitar dua tombak dari Suto dan Beiatung Gerhana.
"Serahkan peta itu
padaku, Beiatung Gerhana!"
Suara serak itu makin membuat
wajah Belatung Gerhana menjadi pucat. la memandang Suto Sinting, seakan minta
pendapat atas ucapan si Bandar Santet itu. Suto Sinting tetap kalem, seakan tak
merasa dipandangi Beiatung Gerhana. la justru menenggak tuaknya dengan santai.
"Serahkan peta itu!
Cepaat...!" bentak Bandar Santet yang membuat jantung Beiatung Gerhana
terasa merosot sampai ke lutut. Seeerrr...!
"Suto, bagaimana
ini?!" bisik Beiatung Gerhana. Pendekar Mabuk yang sudah menutup bumbung
tuaknya lagi itu hanya menjawab pelan sambil terse- nyum menampakkan
ketenangannya.
"Serahkan saja! Peta itu
tidak ada gunanya bagimu!"
"Tapi ibuku berpesan agar
peta ini tak boleh jatuh ke tangan orang lain!" "Kalau ibumu tahu
keadaan di sini, dia pasti tak akan berpesan begitu.
Mungkin akan pesan nasi pecel
buat oleh-oiehmu nanti!"
"Ah, gila kau! Aku tetap
akan pertahankan. Kau bantu aku, ya?" "Keluarkan galakmu, seperti
waktu di kedai itu!"
"Mereka cukup banyak.
Kegalakanku tak akan mempan buat mereka. Apalagi si Bandar Santet sudah pernah
mati tiga kali dan hidup lagi, pasti dia tak akan takut dengan
kegalakanku!"
Bandar Santet tak sabar
rnelihat orang kasak-kusuk begitu. la segera berseru, perintahkan pada anak
buahnya yang ada di seberang kiri Suto Sinting.
"Gentopati….! Habisi
mereka!"
"Haaaaat...!" Gentopati
yang berpakaian hijau itu langsung melompat dengan golok terhunus. Sasaran
pertama kali adalah kepala Pendekar Mabuk, karena menurutnya pemuda itu lebih
berbahaya daripada Belatung Gerhana. Ketenangan Suto membuat mereka ber-
kesimpulan bahwa pemuda itu memiiiki nyali yang patut ditumpas lebih dulu.
Belatung Gerhana justru
terkejut dan pedangnya lepas dari genggaman. Tapi Pendekar Mabuk segera
menyambar bumbung tuaknya dan mengibaskan ke samping dengan cepat. Wuuut...!
Traang...! Bumbung bambu itu berhenti menangkis tebasan golok si Gentopati.
Tapi kaki orang itu menyodok
wajah Suto Sinting dengan tenaga kuat. Wuuut...! Tangan kiri Suto yang masih
pegangi pisau bergagang gading tadi dihadang- kan tepat di depan hidung dengan
ujung pisau meng- arah ke depan. Akibatnya, telapak kaki Gentopati tertancap
pisau itu tersebut. Jruub...! Tapi gagang pisau menyodok mulut Suto. Prook...!
"Aaaow...!"
Gentopati berteriak keras-keras dan jatuh dengan kaki terluka, sedangkan
Pendekar Mabuk terhuyung-huyung ke belakang dengan mulut berdarah. Bibir
atasnya robek akibat sodokan gagang pisau tadi.
Gentopati berkelojotan di
tanah. Tubuhnya yang terkapar berputar-putar, dan akhirnya mengejang kaku tak
bergerak selama-lamanya. Racun pada ujung pisau itu telah merenggut nyawanya
dalam waktu cukup singkat.
"Edan! Mati dalam waktu
singkat?! Ganas sekali racun pada pisau itu?" gumam Beiatung Gerhana sema-
kin tegang. Bandar Santet tetap tenang melihat anak buahnya tewas. Tapi
pandangan matanya semakin tajam dandingin, persuh dendarn terhadap Pendekar
Mabuk. Anak buah lainnya tak ada yang bergerak maju. Mereka menunggu perintah
dengan patuh sekali. Tapi senjata mereka sudah dihunus semua, siap serang kapan
saja perintah serbu terlontar dari mulut Bandar Santet.
"Su... Su... Suto, apa
yang harus kulakukan. Bicara lah padaku, Suto!" "Mau bicara apa?!
Bibirku robek begini?!" sentak Suto dengan hati
dongkol.
Bandar Santet berseru sambil
sentakkan kepala sedikit. "Bangorpati...!"
Rupanya sentakan kepala itu
isyarat agar si Bangorpati, adiknya Gentopati, ganti menyerang Pendekar Mabuk.
Tapi baru saja ia mau menerjang dengan sabit kembarnya, tangan kiri Suto lebih
dulu berkelebat membuang pisau itu.
Wuut...! Jeebs...!
"Ahkk...!"
Bangorpati mendelik, terbungkuk di samping Bandar Santet. Melihat keadaan
Bangorpati tak memungkinkan hidup lagi, Bandar Santet menendangnya dengan kuat.
Beet, wuus, bruuk...!
"Kejam...! Bukannya
ditolong malah percepat ke liang kubur?!" gumam hati Pendekar Mabuk yang
simpan penyesalan atas lemparan pisaunya tadi. Padahal lemparan pisau tadi
sudah sengaja dimelesetkan, tapi dasar apes, akhirnya bertengger juga di dada
Bangorpati.
Bandar Santet masih memandang
dingin ke arahPendekar Mabuk. Beberapa anak buahnya tampak sudah tak sabar
lagi. Sedangkan si Belatung Gerhana dicekam rasa takut yang membuat wajahnya
menjadi berantakan tak karuan bentuknya.
"Kurasa dua nyawa anak
buahku sudah cukup untuk menebus peta harta karun itu!" ujar Bandar
Santet, matanya mulai melirik Belatung Gerhana.
"Aku tidak berkuasa
memberikannya. Peta itu bukan milikku, Bandar Santet!" ujar Suto Sinting.
"Tapi aku sudah ikut
campur dalam perkara ini, Bocah tolol! Kau hutang nyawa denganku!"
"Aku membela diri!"
sanggah Suto. "Daripada aku yang mati lebih baik anak buahmu. Sebab aku
belum kawin, jadi masih malas untuk mati muda!" Mata sadis itu menatap
dingin sekaii. Pendekar Mabuk rasakan getaran jantungnya makin cepat. Bahkan
bertambah Sama dipandang, bertambah sesak na- pasnya.
"Ada apa ini?"
pikirnya dengan bingung.
Detak jantung bertambah kuat
lagi. Sentakannya membuat dada seperti ingin jebol ke depan. Pendekar Mabuk
tarik napas dalam-dalam dan kuasai keadaan itu dengan hawa murninya. Tapi napas
yang dihirupnya terasa panas. Bahkan sekarang hidung dan tenggorokannya menjadi
perih untuk lewat napas.
Tiba-tiba Suto Sinting
tersentak ke depan dengan tubuh terbungkuk. "Huuhk...!!" Ada sesuatu
yang terasa mendorong dari dalam ulu hatinya. Ada sesuatu pula yang terasa
meremat jantung dan teman-temannya.
"Uuhhueek...!"
Pyuuk...!
Hahh...?! Darah...?!"
Belatung Gerhana terbelaiak kaget lagi melihat Suto Sinting tahu-tahu
memuntahkan darah kental. Bahkan pemuda tegap itu kini berlutut satu kaki
karena sentakan yang kedua cukup keras.
"Uuhueeek...!"
Darah kentai keluar lagi dari
mulut Pendekar Mabuk. Sekujur badan menjadi terasa panas. Nyata betul rasa
panas itu, sehingga Suto Sinting segera membuka bumbung tuaknya sebelum
sentakan ketiga terasa mendesak dari dalam ulu hatinya.
Melihat seorang pendekar
kondang saja bisa rnemuntahkan darah kentai hanya dengan dipandang saja,
Belatung Gerhana semakin ngeri dan khawatir akan keselamatan nyawanya. Maka ia
pun buru-buru menyerahkan peta tersebut. Peta itu dilemparkan begitu saja dan
jatuh di depan kaki si Bandar Santet.
"Ambillah...!" sentak
si gemuk dengan wajah ngeri- ngeri dongkol.
Bandar Santet menyuruh anak
buahnya mengambil peta itu dengan isyarat mata. Pendekar Mabuk selesai
menenggak tuak. Rasa panasnya berkurang. Detak jantungnya mendekati normal
kembali.
"Brengsek! Kenapa baru
sekarang kau serahkan peta itu?! Mestinya sejak tadi, sebelum aku muntah
darah!" "Kusangka dia tak akan menggunakan jurus 'Pesona
Teluhnya," bisik si gemuk. "Ternyata di telah menggunakan ilmu itu
untuk menyerang!"
"Menyerangku...?!"
"Yang namanya jurus
'Pesona Teluh' adalah melukai bagian dalam tubuh lawan melalui pandangan
mata!" si gembrot semakin berbisik pelan„
Setelah memeriksa peta, Bandar
Santet berikan perintah tegas.
"Bedagul, bawa anak
buahmu melacak harta itu sesuai petunjuk dalam peta! Dan kau, Juru Jagal...
habisi kedua tikus itu! Kalau perlu suruh anak buahmu turun tangan!"
Blaas...! Bandar Santet
melesat dengan cepat. Tahu-tahu ia sudah ada di atas tebing, beberapa orangnya
ikut naik ke atas tebing, sementara orang yang dijuluki Juru Jagal segera
mengangkat pedang lebarnya. Juru Jagal mempunyai lima anak buah yang
masing-masing berikat kepala merah, seperti pasukan berani mati.
Juru Jagal yang bertubuh
tinggi, kekar dan berkulit hitam tanpa mengenakan baju kecuali celana hitam itu
mulai memberi isyarat kepada kelima anak buahnya yang rata-rata juga tidak
memakai baju dan bercelana hitam. Mereka segera melingkari Suto Sinting dan
Belatung Gerhana dengan pedang dimainkan pelan-pelan. Pedang mereka lebar-lebar
dan anti karat semua. Pada ujung gagangnya terdapat hiasan dari rumbai-rumbai
benang merah.
Belatung Gerhana memungut
pedangnya yang tadi jatuh karena terkejut. ia sedikit punya nyali karena yang
dihadapi hanya enam orang. la yakin mereka tidak berilmu tinggi seperti si
Bandar Santet. Terlebih ia ada bersama Pendekar Mabuk, rasa terlindungnya lebih
besar daripada ia sendirian menghadapi Juru Jagal dan anak buahnya.
"Letakkan saja
pedangmu," bisik Suto Sinting. "Aku masih sanggup melawan mereka,
Suto!"
"Kalau begitu
kutinggalkan kau sendirian di sini, ya? Aku akan mengejar si Bandar
Santet!"
"Walaah... jangan
begitu!" sergah Beiatung Gerhana dengan nada cemas. "Kau bilang masih
sanggup menghadapi mereka?!"
"Maksudku... maksudku
sanggup menemanimu menghadapi mereka berenam!"
"Memang payah kau!"
"Kalau sakit gigiku sedang kambuh memang suka payah begini."
Seet...! Pedang si Belatung
Gerhana direbut Suto dengan cepat. Sebelum si gemuk itu protes, Suto Sinting
sudah berseru lebih dulu kepada Juru Jagal yang hergerak mengelilingi lawan
bersama kelima anak buahnya.
"Aku akan melawan kalian
berenam dengan pedang di tangan kiri. Tapi izinkan temanku ini untuk keluar
dari kepungan!"
"Kalian tak akan bisa
lolos, Keparat!" geram Juru Jagal.
“Selain menggunakan pedang ini
dengan tangan kiri, aku berjanji tak akan menyerang selain hanya menghindar dan
bertahan dari serangan kalian. Kalau memang kalian bisa memenggal kepalaku, itu
namanya apes bagiku. Tapi kalau kalian tak bisa lakukan hal itu, kalian hanya
akan kehabisan tenaga. Tapi aku tetap tak akan mencabut nyawa kalian.
Bagaimana? Kalian se~ tuju dengan perjanjian ini?!"
Juru Jagal diam beberapa saat
sambil tetap ber- gerak pelan-pelan mengelilingi kedua lawannya, demi- kian
pula halnya dengan kelima orangnya. Mereka masih memainkan pedang lebar yang
biasa untuk meman- cung kepala musuh. Permainan pedang dilakukan dengan pelan
sambil menunggu saatnya menyerang.
"Kalian boleh membunuhku,
tapi aku tidak boleh membunuh dan melukai kalian. Ini perjanjianku!
Pertimbangkan, apakah kalian setuju atau tidak. Jika tidak, tak satu pun nyawa
kalian yang akan kusisakan! Semua kepala kalian akan kukirim kepada Bandar
Santet!"
Setelah mereka saling melirik
Juru Jagal, orang berkumis lebat dan berdada kekar itu berseru tegas.
"Baik! Kuizinkan si gembrot
itu keluar dari kepungan! Lekas...!" "Tunggulah aku di pohon besar
depan sana!" bisik Pendekar Mabuk
kepada si gemuk besar.
"Tapi... tapi "
"Lekas ke sana! Aku punya
cara sendiri untuk hadapi mereka!" desak Suto Sinting sambil menyilangkan
bumbung tuak ke punggung.
"Hat... hat "
"lya, aku tahu kau mau
bilang hati-hati! Aku akan
hati-hati. Sudah, sana !" Si gendut berlari keluar dari
kepungan. Lemak di sekujur tubuhnya berombak-ombak seperti karung ba sah dibawa
lari. Langkah kakinya berdebam di tanah. Bluuk, bluuk, bluuk, bluuk...!
Sampai di bawah pohon ia
melambaikan tangan seakan mengucapkan selamat berpisah. Suto Sinting tak sempat
membalas karena salah satu anak buah Juru Jagal sudah menyerang lebih dulu.
Serangan itu datang dari arah samping kiri. Sebuah lompatan yang disertai
tebasan pedang membuat Suto Sinting terpak sa harus cepat berlutut dan
menadahkan pedangnya ke atas. Traang...!
Pendekar Mabuk berguling ke
depan. Di depan ia disambut tendangan kaki Juru Jagal. Beet...! Plaak...!
Tangan kanan menahan tendangan itu saat Suto baru saja selesai berguling.
Gerakan cepatnya membuat Juru Jagal nyaris kecolongan langkah. la menyangka
Suto bergerak ke sisi kanannya, ternyata Pendekar Mabuk bergerak ke sisi kiri.
Wuut, jleeg...! Baru saja
berdiri tegak, dua penye- rang datang dari belakang. Mereka sama-sama iakukan
lompatan sejajar dan pedang mereka diayunkan dari atas ke bawah, sasarannya
pundak kanan-kiri Suto Sinting.
"Heeaaat...!"
Wuut, wuuut...!
Crass, craas...!
"Aaaahk...!"
Kedua pundak Pendekar Mabuk
jelas-jelas terkena tebasan pedang iawan. Walaupun ia segera melompat ke depan
dan berguiing dengan punggung tak menyen- tuh tanah, tapi semua mata rnelihat
bahwa tebasan kedua pedang Iawan tepat kenai kedua pundak Suto.
Tetapi anehnya yang memekik
keras tadi adalah si Juru Jagal sendiri. Bahkan orang tinggi berbadan kekar itu
rubuh ke depan dalam keadaan kedua pundak nyaris putus secara mengerikan. Darah
menyembur dari luka bacokan yang amat dalam dan panjang itu.
"Hahh...?! Kenapa yang
terluka si Juru Jagal?!" gumam hati kelima anak buahnya itu.
Mereka tak tahu bahwa sejak
tadi Suto Sinting sudah pergunakan jurus 'Alih Raga'. Jurus itu membuat Suto
Sinting tak akan terasa sakit walau dipukul beberapa kali. Tapi justru teman
Iawan yang akan merasakan sakit karena pukulan tersebut.
Demikian pula yang terjadi
dengan si Juru JagaL Ketika kedua pundak Suto terkena bacokan maut dua pedang
lawan, Pendekar Mabuk tak terluka sedikit pun. Rasa sakit dan luka sudah
dialihkan ke raga si Juru Jagal. Tak heran jika kedua pundak Juru Jagal
sekarang terluka parah dan tak mampu dipakai lanjutkan per-tarungan.
"Bangsaat! Habis sudah
riwayatmu! Heeeaah...!" salah seorang menyerang dengan murka. la lakukan
serangan dari belakang lagi. Tapi Pendekar Mabuk cepat berputar tubuh dan
pedangnya berkelebat dengan sangat cepat. Traang, taaang...!
Pedang itu berhasil ditangkis.
Taps si penyerang menyalurkan tenaga dalamnya melalui pedang tersebut, sehingga
pedang itu tak bisa bergeser dari arahnya kecuaii hanya tertangkis. Ketika
pedang dihujamkan ke depan, srring... jruub...!
"Aaahkk...!"
Ujung pedang masuk sebagian ke
tengah leher Suto Sinting. Pemuda itu segera berjungkir balik ke belakang.
Kakinya berhasil menendang tangan lawan yang memegangi pedang. Beet...!
Weerr...! Pedang di tangan lawan kini terlepas dan terpental melambung ke atas.
Tendangan kaki yang dilakukan sambil berjungkir balik itu rupanya juga
berkekuatan tenaga dalam pe- nuh, sehingga tulang lengan si pemegang pedang
terasa patah seketika. Genggamannya menjadi terlepas.
Wuuuk, jleeg...!
Pendekar Mabuk berhasil
tapakkan kedua kakinya di tanah dengan tegak dan kokoh sekali. Tapi salah
seorang dari anak buah Juru Jagal terkapar dengan leher berlumur darah. Orang
tersebut mengerang serak dan kejang- kejang, untuk kemudian diam tanpa gerakan
bersama napasnya yang terhembus lepas untuk seIama~!amanya.
Sekali lagi, jurus Alih Raga'
telah merenggut nyawa salah seorang anak buah Juru Jagal. Melihat kenyataan
seperti itu, Juru Jagal yang terluka parah memaksakan diri untuk berdiri dan
lepaskan pukulan bersinar merah dari telapak tangan kanannya.
"Hiiiaaah.,.!"
Claap„.J Jegaaarr..,!
Sinar merah itu tepat kenai
dada Suto Sinting dan sinarnya menyebar ke mana-mana bersama bunyi ledakan cukup
keras. Tetapi ledakan itu hanya membuat Pendekar Mabuk terlempar mundur tiga
langkah. Tubuhnya tetap utuh walau berselimut asap sepintas.
Namun di sisi lain, salah satu
dari Orang yang tadi menyerang pundak Suto kini dalam keadaan hangus. la tetap
berdiri daiani kebisuan tanpa suara dan gerak. Sekujur tubuhnya menjadi hitam,
termasuk rambutnya yang menjadi keriting bagai habis disambar petir.
Kejap berikut orang itu
tumbang tak bernyawa lagi. Brruuk...! Empat orang yang masih hidup, termasuk
Juru Jagal sendiri, menjadi tercengang tak berkedip. Mereka mulai mundur satu
persatu.
Tapi salah seorang yang ada di
belakang Pendekar Mabuk masih penasaran. la nekad menyerang secara tiba-tiba
dengan lompatan sangat cepat. Pedangnya disabetkan dari kiri ke kanan. Wuut,
craas...!
Leher Suto jadi sasaran telak.
Begitu terasa teng- kuknya disambar sesuatu, Suto Sinting melompat
danberjungkir balik di tanah. Wuut, wuuk.J Seet..J Dalam sekejap Pendekar Mabuk
sudah berdiri tegak dengan tangan mengangkat pedang di atas kepala.
"Mestinya kepalanya
terpenggal! Kenapa dia masih bisa berdiri?!" gumam salah seorang. Yang
diajak bicara diam saja. Tahu tahu ketika pundaknya disentuh temannya, kepala
orang itu jatuh bagaikan kelapa sawit dan darah muncrat ke atas dari lehernya. Tentu
saja hal itu tidak hanya mengejutkan orang yang tadi menyenggol lengan si
korban, taps juga membuatnya berteriak kaget tanpa sadar.
"Huaaaaaaww...!!" ia
berlari buru-buru menjauhi korban.
"Lariii...!" teriak
Juru Jagal yang merasa tak mampu lag! menghadapi iimu pemuda konyol itu. Tiga
orang termasuk Juru Jagal sendiri segera melarikan diri menyusul Bandar Santet.
"Hoii...! Aku hanya
bertahan! Tidak menyerang kalian sesuai perjanjian! Mengapa kalian lari?!"
seru Suto Sinting dengan berlagak bingung, tapi bibirnya mulai sunggingkan
senyum geli melihat mereka lari tunggang langgang. Juru Jagal diseret dua anah
buahnya ketika berusaha mendaki tanah yang meouju ke atas tebing. Belatung
Gerhana berseru kegirangan sambil melompat-lompat.
"Mampus kalian! Mampus
semua! Ayo, turun kalian kemari! Ayo, hadapi pedangku itu! Suruh si Bandar
Santet kemari! Lawan pedang pusakaku itu! Huaa,
haaa, haaa, haaa,
haaa...!" Jeebb...!
"Haakkh...!"
Belatung Gerhana tersentak dengan mata mendelik. Sesuatu telah menancap di
punggungnya.
Suara pekikan tertahan dan
tawa terputus si Belatung Gerhana memancing perhatian Suto Sinting untuk
menengok ke arah si gemuk. Pelan- pelan kepalanya memutar ke belakang bersama
tubuhnya yang ikut memutar juga. Kejap berikut mata Suto Sinting terbelalak
melihat Belatung Gerhana jatuh tengkurap di rerumputan. Bluuumb...!
"Belatung...?!!"
pekik Suto begitu kagetnya. Zlaaap...! Dalam sekejap ia sudah berada di samping
tubuh gemuk yang kali ini tengkurap di tanah seperti prasasti tanpa sejarah.
"Belatung...! Belatung
Gerhana! Hooi... hoooi...!" Suto Sinting mengguncang-guncang badan gemuk
besar itu dengan dua tangan. Satu tangan tanpa tenaga dalam tak cukup
mengguncang tubuh besar si Belatung Gerhana. Tapi guncangan itu tidak membuat si
Belatung menjawab sepatah kata pun. 4
Mata Suto Sinting terbelalak
ketika melihat sekeping logam tertancap di punggung Belatung Gerhana. Benda itu
tepatnya menancap di bawah tengkuk, mengenai urat nadi yang sangat berbahaya.
Pendekar Mabuk buru-buru
mencabut benda tersebut. Sleeb...! Ternyata sekeping logam putih berbentuk
segitiga. Logam putih dengan tepian kehiru- biruan itu jelas mengandung racun
yang cukup berbahaya. Karena menancap pada urat nadi yang sangat rawan, maka
Belatung Gerhana pun tumbang dalam waktu tiga hitungan.
"Celaka! Kalau tidak
segera kutolong dengan tuakku, bisa tewas si gendut tolol ini!" gumarn
Suto Sinting dalam hati. Lalu ia berusaha membalikkan tubuh gemuk besar yang
tengkurap itu. Terpaksa menggunakan tenaga dalam sedikit, biar tidak terlalu
berat. Wuut, gu- bruuk...!
Mata si gemuk besar itu
mendelik dengan mulut tornganga.
"Untung mulutnya menganga
seperti lubang belut, jadi mudah kutuangi tuak."
Karena sangat gemuk, badan
Belatung Gerhana tampak membusung tinggi. Suto Sinting terpaksa naik ke leher
dan duduk di dada, lalu mengucurkan tuak ke mulut itu. Krucuk, krucuk,
krucuk...!
Tuak tinggal sedikit. Kurang
dari separoh bumbung. Pendekar Mabuk segera menutup bumbung tuak dengan
tutupnya yang berupa tempurung bersejarah. Baru saja ia akan turun dari atas
dada si Belatung, tiba-tiba dari arah belakangnya meiuncur sekeping logam putih
yang sama persis dengan yang menancap di punggung Belatung Gerhana.
Ziiing...! Trraang...! Bumbung
tuak yang masih digenggam di tangannya itu segera dipakai menangkls benda
tersebut. Benda itu memantul dengan gerakan lebih cepat lagi. Secara tidak
sehgaja pantulannya mengarah pada sebatang pohon. Jeeb...! Tampak oleh Suto
benda itu menancap dalam bentuk segitiga yang salah satu sudutnya tenggelam ke batang
pohon.
Zlaap, zlaap...!
Pendekar Mabuk berpindah
tempat dengan cepat. Arah gerakannya justru mendekati datangnya senjata rahasia
tersebut. Tampak olehnya seorang lelaki berdiri di balik dua pohon yang tumbuh
merapat. Pohon itu dirimbuni oleh semak-semak pada bagian bawahnya. Suto
Sinting berada di beiakang orang tersebut dalam jarak sekitar tujuh langkah.
"Eheem...!" Suto mendehem satu kali. Orang itu terkejut dan segera
berpaling ke belakang.
Suto Sinting menyapanya dengan
tenang. "Haai...! Sedang beternak apa di situ, Mbah.,.?!"
Tentu saja sapaan itu berkesan
menghina bagi lelaki berusia sekitar lima puluh tahun itu. la menggeram dengan
mata melotot menampakkan kegalakan- nya. Tapi pendekar muda itu hanya
sunggingkan senyum dengan sikap berdiri santai, pundak kirinya disandarkan pada
pohon, hingga tampak sedikit miring. Kedua tangannya bersidekap di dada,
sedangkan matanya memandang tajam penuh waspada.
"Rupanya kau ingin pamer
iimu di depanku, hah?!" gertak orang kurus kerempeng berambut kucai
sepundak.
"Bukankah kau yang
memamerkan ilmu di depanku? Kau telah melukas temanku dan melemparkan senjata
rahasiamu padaku. Apa maksudmu meiukai teman gemukku itu, Mbah?!"
"Dia pernah menyerang
kapaiku dengan orang- orangnya! Hampir saja kapaiku hancur gara-gara
ulahnya!"
"Ooo, begitu...?!"
Suto Sinting manggut-manggut dengan santainya. "Jadi kau punya dendam pada
si Belatung Gerhana itu?!"
"Juga kepadamu, Pendekar
Mabuk!"
"Lho...?!" Suto
Sinting sedikit kaget. "Kau sudah mengenalku rupanya!" "Sudah
waktunya menangkapmu!"
"Aneh...?!" gumam
Suto pelan sambil memperhatikan orang tersebut. la merasa baru kali itu bertemu
dengan orang yang mengenakan ikat kepala dari lem- pengan emas berhias
batu-batuan. Sambil melangkah ke samping kiri, mengimbangi lawannya yang
melangkah ke samping kiri juga, Suto Sinting mencoba mengingat-ingat siapa
tokoh berpedang bagus di pinggang- nya itu.
Dilihat dari kumisnya yang
meiengkung ke dagu, alisnya yang naik dan wajahnya yang berkesan sadis, Suto
Sinting menduga orang tersebut adalah salah satu anak buah si Bandar Santet.
Tapi jubah birunya yang berlengan panjang itu tampaknya terbuat dari kain
berharga mahal.
"Padahal pakaian
orang-orangnya Bandar Santet tak ada yang sebagus dia punya?!" gumam Suto
dalam hati.
"Mengapa kau ingin
menangkapku?! Siapa kau sebenarnya, Mbah?!"
"Buka matamu yang rabun
itu lebar-lebar! Akulah yang pernah diserbu oleh para pendukungmu di Pantai
Karang Hantu."
"Pantai Karang
Hantu...?!" Suto Sinting menggumam bernada heran.
Dahinya berkerut cukup tajam.
"Akulah yang bernama
Perwira Tombala!"
"Ooo... yaaa, yaaa,
yaaa...! Kau orang Mangol yang mencari pemuda tanpa pusar untuk dijadikan
tumbal pembangunan kuil di negerimu sana, bukan?!"
"Biar sinting tapi kau
punya otak lumayan cerdas, Bocah kunyuk!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum makin lebar. la sama sekali tak menduga bakal bertemu dengan Perwira
Mangol yang diutus oleh kaisarnya untuk mencari pemuda tanpa pusar. Tapi
kedatangannya ke Tanah Jawa bersama atasannya yang bemama Laksamana Tanduk Naga
itu disambut oleh para pengikut dan pengagum Pendekar Mabuk dengan uluran
pedang. Pertempuran di Pantai Karang Hantu membuat Perwira Tombala dan
Laksamana Tanduk Naga yang bernama Maharani itu menghilang setelah kapainya
hancur. Sejak itu, kedua orang tersebut tak diketahui berada di ma na, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pemburu Tumbal").
"Kudengar kau adalah
pengawal kepercayaan si Laksamana Tanduk Naga?!" ujar Suto menjadi tenang
kembaii. "Di mana atasanmu itu sekarang berada? Mengapa tak ikut denganmu?
Apakah dia mati di laut dan dimakan ikan-ikan cucut?! Begitukah, Cut?!"
ejek Suto Sinting, semakin membuat Perwira Tombala menyeringai penuh kebencian.
"Tugasku hanya
menangkapmu! Jika kau ingin tahu di mana Laksamana Tanduk Naga, menyerahlah
padaku! Kau akan kubawa menghadap beliau sekarang juga!"
"Oh, jadi kau tidak
mencari Goa Kembar seperti mereka?!"
"Kau mau menyerah secara
halus atau memaksaku bertindak kasar?!" bentak Perwira Tombala dengan
garang. Rupanya orang Mangol itu tidak tahu menahu masalah harta karun dan Goa
Kembar. Secara kebetulan, ketika ia melewati tempat tak jauh dari situ, ia
mendengar suara ledakan. Ledakan itu adalah cahaya merah yang datang dari
tangan Juru Jagal tadi. Ledakan itu memancing minatnya untuk melihat apa yang
terjadi di tempat tersebut.
Tapi ketika ia tiba di situ,
Juru Jagal dan dua anak buahnya sedang mendaki untuk larikan diri. la tak
sempat melihat pertarungan Pendekar Mabuk dengan keenam lawannya tadi. Namun ia
melihat Beiatung Gerhana yang diingatnya pemah mencoba-coba menyerang kapalnya
ketika kapa! bertiang layar tiga itu sedang menuju ke Tanah Jawa.
Kebenciannya kepada si
Beiatung Gerhana dilam- piaskan dengan keji. ia bermaksud membunuh manusia
gemuk itu.
la baru sadar bahwa Belatung
Gerhana ada bersama Pendekar Mabuk, setelah Pendekar Mabuk tuangkan tuak ke
mulut Belatung Gerhana. Tugas menangkap pemuda tanpa pusar itu pun segera
dilakukan dengan mencoba melemparkan senjata rahasianya kearah Suto SInting.
"Perwira Tombala...,"
ujar Suto Sinting, "Sebelum aku menyerahkan diri padamu, dan mau kau
jadikan tumbal demi pembangunan kuil keramat di negeri Mangol sana, aku ingin
mengetahui sesuatu dari dulu. Kuharap kau mau menjelaskannya dengan benar dan
jujur!"
"Keparat! Apa yang ingin
kau ketahui, hah?!"
"Siapa yang menyuruhmu
mencari tumbal seorang pemuda tanpa pusar seperti diriku ini?! Siapa pula yang
memberitahukan pada pihakmu, bahwa di Tanah Jawa ini ada pemuda tanpa pusar
yang bergelar Pendekar Mabuk alias Suto Sinting, lengkap dengan
ciri-cirinya!"
Tombala berdiri merenggang
kaki, tegak dan berkesan gagah walaupun kerempeng. Kedua jempol tangannya
disangkutkan pada ikat pinggang di depan perut. Matanya memandang penuh
perhitungan.
"Apa perlumu kau
mengetahuinya?!"
"Supaya aku ikhlas
menjadi tumbal kuil keramatmu itu! Jika aku tak ikhlas menjadi tumbal, maka
kuil keramatmu akan runtuh. Bahkan arwahku akan menjungkir balikkan
negerimu!" jawab Suto Sinting beralasan cukup kuat menurut perhitungan
Perwira Tombala. "Baik. Kukatakan yang sesungguhnya, saran itu datang dari
seorang pendita yang berkelana dan singgah di Mangol. Kami sangat menghargai
beliau karena beliau adalah sahabat ayah kaisar kami!"
"Siapa nama pendita
itu?!" "Pendita Amor...!"
"Ooo...," Suto Sinting
menggumam tenang. Tapi sebenarnya hatinya tersentak kaget.
Pendita Amor adalah musuh
gurunya. Musuh si Gila Tuak, Berkali-kali Pendita Amor mencoba membunuh Gila
Tuak, tapi tak berhasil. Bahkan percobaan yang terakhir dilakukan oleh Pendita
Amor aliran sesat itu pada saat si Gila Tuak sedang sakit parah. Namun Pendekar
Mabuk sebagai murid tunggalnya berhasil memukul mundur Pendita Amor, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri Tuak Dewata').
Pendita aliran hitam itu
menaruh dendam bukan saja kepada Gila Tuak, melainkan juga kepada muridnya si
Gila Tuak. la merasa malu, sekaligus sakit hati, sebab kesaktian ilmunya bisa
dikalahkan oleh anak kemarin sore seperti Suto Sinting itu. Rupanya segala
macam cara dipergunakan oleh Pendita Amor untuk membunuh Pendekar Mabuk
sekaligus melenyapkan kebesaran nama si Gila Tuak. Salah satu cara yang
ditempuhnya adalah dengan mempengaruhi Kaisar Mangol agar memburu Pendekar
Mabuk dengan memberi saran konyol dan memuakkan bagi Suto Sinting sendiri.
"Perwira Tombala, perlu
kau ketahui, bahwa Pendita Amor adalah pendita sesat dari golongan hitam yang
menyimpan dendam guruku, juga kepada diriku. Pihakmu dan pihakku diadu domba
oleh Pendita Amor. Berulang kali dia gagal membunuh guruku karena aku selalu
menggagalkan usahanya itu. Maka ia menggunakan akal liciknya dengan meminjam
kekuatan orang-orang Mangol."
"Simpan saja celotehmu
buat dongeng menjelang tidur kucingmu!
Sekarang aku harus menangkapmu
dan membawamu pulang ke Mangol!"
Suto Sinting hembuskan napas panjang,
membu- ang rasa kesal atas sikap perwira kapal yang ngotot itu! Akhirnya ia pun
berkata dengan nada tegas.
"Kalau aku menolak,
bagaimana?!"
"Aku terpaksa menggunakan
kekerasan!"
"Kalau aku mau melayani
kekerasanmu, bagaimana?" "Kau pasti akan mati dan yang kubawa pulang
adalah mayatmu!" "Kalau ternyata kau yang mati, bagaimana?!"
"Biadab! Makin lama
kata-katamu makin memanaskan telingaku, Pendekar Mabuk!" geram Perwira
Mangol, tampak tak bisa bersabar lagi.
Sreet... pedang mewah itu
dicabut dari sarungnya. Cahaya berkilauan karena sinar matahari sesekali
memantul melalui mengkilapnya pedang anti karat itu. Perwira Tombala
memainkannya pelan-pelan sambil bergerak lambat ke arah kiri. Pendekar Mabuk
tetap tenang, bergerak ke arah kiri membentuk lingkaran dengan senyum tipis
tetap menghias bibirnya.
"Agaknya orang ini pandai
menggunakan pedang. Ilmu pedangnya pasti cukup hebat. Aku harus hati-hati
dengan jurus tipuan pedangnya," pikir Suto Sinting sambil mata jelinya
mengawasi tiap gerakan tangan dan kaki lawannya.
"Kau akan menyesal
berhadapan dengan Perwira Tombala, Bocah bebal! Perlu kau ketahui, jika satu
hari pedangkutak merenggut nyawa manusia, maka ia akan berjalan sendiri mencari
mangsa! Kali ini agaknya walaupun aku tak mau melakukan pertarungan denganmu,
maka pedangku akan berjalan sendiri merenggut nyawamu, Pendekar Mabuk!"
"Perlu kau ketahui juga,
Tombala... pedangmu itu terlalu lamban. Nyawaku sudah menunggu terlalu lama,
tapi baru sekarang ia muncul di depanku, seperti perawan tua menunggu pangeran
tertampan di dunia!"
"Ghhhrrm...!"
Perwira Tombala bertambah geram. Matanya memicing penuh kebencian. Suaranya pun
makin merendah tapi bernada berat, seakan terbebani nafsu untuk membunuh yang
begitu besar.
"Buktikan sesumbar
busukmu itu, Nak! Heeaaah...!"
Perwira Tombala berlari
menyeruduk dengan gerakan! cepat. Ujung pedangnya yang runcing itu dihujamkan
ke perut Pendekar Mabuk. Wuuurt, suuut...!
Zlaaap...! Pendekar Mabuk
pindah tempat dalam waktu ter'amat singkat. Gerakannya yang mengguna kan jurus
Gerak Siluman' itu tak sempat dilihat oleh Perwira Tombala, sehingga pedang
sang perwira terpaksa hanya bisa menembus udara kosong. Dengan wajah angker
mata sadis, Perwira Tombala clingak-clinguk sebentar. Kemudian segera
berpalirig ke belakang dengan cepat setelah mendengar suara lawannya bernada
melecehkan.
"Cari apa, Tom...?!"
Seet...! Begitu ia berpaling
menatap ke arah Pendekar Mabuk, tiba-tiba jurus 'Jari Guntur' dilepaskan oleh
Suto. Sentilan jari yang keluarkan hawa padat seberat tendangan kuda jantan itu
diarahkan ke dada Perwira Tombala. Tees...!
Perwira Tombala tak kalah
cepat. Telapak tangan kirinya disentakkan ke depan. Deeb...! la terdorong
mundur ketika tenaga dalamnya yang keiuar dari telapak tangan itu terhantam
hawa padatnya jurus Jari Guntur'.
Perwira kurus itu masih tetap
berdiri dengan sedikit membungkuk, karena sentakan yang mendorongnya ke
belakang tadi tidak membuatnya jatuh. la justru segera memainkan pedangnya di
sekeliling tubuh. Tiba-tiba kaki kirinya diangkat dan, blaas...! Tubuhnya
melesat dengan cepat menerjang Pendekar Mabuk.
Wuiiz, wuiiz...! Dua kelebatan
pedang itu disabetkan sebagai penggoda perhatian Iawan. Setelah itu pedang
tersebut menyentak ke depan dengan sangat cepat. Suuut...!
Traang...! Bumbung tuak Suto
menangkisnya. Ujung pedang memercikkan bunga api ketika berben- turan dengan
bumbung tuak.
Trang, trang, tring...! Wuiiz,
trang, wuiiz...! Crass...!
"Aahk...!" Suto
Sinting melompat mundur sambil terpekik peian. Lengannya robek akibat tebasan
pedang beruntun. Salah satu tebasan meleset dari tangkisan bumbung tuak
sehingga merobekkan kulit dan daging lengan, dekat pergelangan tangan.
"Gila! Sabetan pedangnya
nyaris tak bisa kuterka ke mana arahnya!" geram Suto Sinting dalam hati
sambil pandangi lukanya sebentar. Luka itu cukup dalam dan membuat darah
menjadi berbusa.
"Celaka! Pedangnya
ternyata beracun juga. Aku harus mengatasi racun ini dulu sebelum menyebar ke
seluruh tubuhku." Tak ada kesempatan bagi Suto untuk menenggak tuaknya.
Mau tak mau ia mengatasi luka itu dengan salurkan hawa murninya melalui
peredaran darah. la sengaja mengulur waktu dengan memutar ke sana-sini untuk
mengatasi lukanya itu.
Sayang sekali waktu itu
Pendekar Mabuk sudah tidak memegang pedangnya Belatung Gerhana. Pedang itu
digeletakkan di samping si gemuk saat ingin menuangkan tuak. Ketika melesat
mencari si pelempar senjata rahasia, pedang itu tidak ikut terbawa.
Kini pedang tersebut sudah ada
di tangan si Beiatung Gerhana. Nyawa orang gemuk besar itu tertolong oleh tuak
Suto. Tapi ketika ia melihat Suto Sinting bertarung dengan Perwira Tombala, ia
ingat siapa orang itu. la pun tahu bahwa ilmunya tak akan bisa dipakai
menggulingkan si tua bertubuh kerempeng.
"Gawat! Dia si pemilik
kapal yang tempo hari mau kuganggu itu! Kurasa dia tadi ingin membunuhku,
tapi... tapi sepertinya Suto menyelamatkan nyawaku dari sesuatu yang
diiemparkan si kerempeng itu. Ooh, kalau begitu aku harus segera lari jauh-jauh
agar si kerempeng tak menemukan diriku lagi!"
Belatung Gerhana tak
segan-segan melarikan diri. Sekali pun iarinya tak bisa cepat, tapi ia tetap
berusaha menyembunyikan tubuhnya yang besar itu sebelum pertarungan Suto dengan
si kerempeng usai.
Belatung Gerhana tak melihat
saat Perwira Tombala kerahkan ilmunya dalam melawan Pendekar Mabuk. Sebuah ilmu
langka digunakan Perwira Tombala. Pedangnya yang ditebaskan ke kanan-kiri
dengan cepat itu memancarkan sinar merah pada bagian ujungnya. Ketika tubuhnya
bermaksud menerjang Pendekar Mabuk dan pedangnya ditebaskan, sinar merah di
ujung pedang itu keluarkan asap tipis dan kecil sebesar lidi. Asap itu adalah
asap merah yang bergerak bagai- kan benang di ujung pedang.
WuUiz, wuiiz, wuuiz...!
si perwira kapal bukan
bermaksud menerjang Suto, tapi hanya bergerak mendekat dan memutari Pendekar
Mabuk dengan gerakan sangat cepat dan membingungkan. Pendekar Mabuk ingin
lepaskan pu- kulan tenaga dalamnya, tapi pukulan itu tak bisa diarahkan ke
lawannya dengan tepat.
Gerakan memutar sernakin
cepat. Perwira Tombala seperti ada sepuluh orang lebih. Sekeliling Suto mulai
dipenuhi asap merah. Wajah pemuda tampan itu sempat menjadi tegang. "Dia
mengurungku dengan asap merah. Pasti asap berbahaya! Aku harus keluar
secepatnya!"
Zlaaap...! Craass...!
"Aaouh...!" Suto
terpekik dengan suara tertahan.
Pada waktu ia melesat keluar
dari asap merah yang mengurungnya, pedang lawan berhasil menyabet perut dan
membuat luka cukup panjang di bagian perutnya. Luka itu segera keluarkan darah
bercampur asap merah.
Pendekar Mabuk mengerang
dengan tubuh kejang, karena asap merah yang mengepul dari luka terhirup dalam
pemapasanriya. Paru-paru terasa terbakar. Panas sekali. Dada bagaikan
dipanggang di atas kobaran api. Pandangan mata pun mulai buram. Urat-urat yang
mengejang kaku dipaksakan untuk melangkah dan jauhi lawan.
Tapi waktu itu Perwira Tombala
sempat berseru dengan bangga.
"Kau tak akan bisa
selamat jika sudah tergores oleh pedangku, Bocah sinting! Asap merah dari 'Hawa
Iblis'- ku sudah merasuk dalam pernapasanmu, menyatu pula dengan darahmu. Tak
lama lagi Hawa Iblis' itu akan merenggut nyawamu tanpa ada penangkalnya!"
Pendekar Mabuk kerahkan tenaga
untuk bisa melangkah. Tapi sekujur tubuhnya bagaikan terbuat dari besi. Berat
dan kaku sekali. Di samping itu, hawa panas yang ada di dalam dada semakin
menyengat, seakan mengeroposkan bagian dalam tubuh sedikit demi sedikit.
Pendekar Mabuk ingin menenggak
tuaknya. Melihat gelagat demikian, Perwira Tombala segera menerjang tangan
Pendekar Mabuk agar bumbung tuak terlepas dari genggamannya.
Wuuut...!
Bruuus...!
Perwira Tombala teriempar ke
samping kiri. Rupanya saat tubuhnya melayang mau menerjang Suto, ada sekelebat
bayangan yang menerjangnya pula dari arah kanan. Terjangan itulah yang membuat
Suto Sinting terpelanting, sebab bayangan yang berkelebat menerjang Perwira
Tombala itu keluarkan angin yang menyentak dan membuat tubuh Suto Sinting
terhempas limbung.
"Ooh, uuhk...! Siapa
orang itu? Siapa dia yang menolongku?!" tanya Suto dengan batinnya
sendiri. Suto sempat perhatikan seorang lelaki gemuk berjubah coklat bintik-
bintik putih. Orang yang kini berdiri berhadapan dengan Perwira Tombala itu
memang gemuk, tapi tidak sebesar Belatung Gerhana.
Melihat rambut orang itu hanya
di bagian ubun- ubun saja dan berwarna putih rata, ingatan Suto Sinting masih
sempat melayang pada kata-kata gururiya tentang seorang tokoh yang sosok
penampilannya mirip Semar, dalam cerlta pewayangan. Seketika itu juga hati Suto
Sinting menyebut nama si tokoh yang baru datang itu.
"Eyang... Dewa
Kubur...?!" sambil langkah Suto sernakin kaku dan terhuyung-huyung ke
belakang. Tangannya bagaikan tak kuat untuk membuka tutup bumbung tuak. Matanya
pun semakin buram dan mengecil.
"Awas, ada dua sumur di
belakangmu, Nak!" seru si kakek berusia sekitar delapan puluh tahun yang
memegang tongkat besi dengan ujung trisula itu. la memang si Dewa Kubur dari
Gunung Gandul.
Dewa Kubur ingin menyambar
Pendekar Mabuk yang sudah berada di tepi lubang yang disebut sumur. Tapi si
perwira dari Mango! itu menggeram murka dan segera lakukan terjangan dengan
pedang berasap merah.
"Heeaaat...!"
Weess...!
Dewa Kubur angkat tongkat
trisulanya, lalu menyentakkan tongkat itu ke depan dalam jarak pen- dek.
Dees...!
Blaab, blaab...! Sinar biru
menyebar sekejap. Ketika sinar itu diterjang Perwira Tombala, terjadilah
ledakan yang cukup mengguncangkan alam sekitarnya.
Blegggaaarr...!
Tombala terlempar ke belakang,
melayang- layang kehiiangan keseimbangan badan. Sementara itu, Suto Sinting
justru jatuh terpelanting karena gelom- bang ledakan tadi mengguncangkan tanah
yang dipijaknya. la pun tak bisa menjaga keseimbangan badannya lagi, sehinga
akibatnya pemuda itu terlempar masuk ke salah satu dari dua lubang besar yang
disebut sumur tadi.
Brooossk...!
"Haah...?! Ooh...?!
Aaaaaaa...!" ia hanya bisa memekik sambil tubuhnya melayang masuk ke dalam
salah satu sumur kering itu. Wuuurrss...! Gema suaranya masih terdengar dari
tempat si Dewa Kubur sentakkan tongkatnya tadi. Tokoh tua yang terlambat
bergerak itu segera melesat dalam satu sentakan. Tahu-tahu ia sudah berada di
tepi lubang bergaris tengah sekitar dua tombak. Ada dua lubang yang ukurannya
hamper sama. Jaraknya hanya satu langkah. Tapi karena rimbunnya rumput yang
tumbuh di sekitarnya, maka lubang tersebut tak sempat terlihat Pendekar Mabuk.
Dewa Kubur mengetahui lubang
itu, karena waktu ia dekati tempat terjadinya ledakan besar tadi, ia hampir
saja terjeblos masuk ke lubang tersebut.
Lubang itu sangat dalam dan
gelap. Makin ke dalam makin tak bisa terlihat isinya. Lubang itu menyerupai
sumur tanpa dasar. Bahkan suara terjakan Suto pun menghilang, suara jatuhnya
tubuh Suto pun tak terdengar. Dewa Kubur hanya bisa tarik napas memendam rasa
penyesalannya akibat tak bisa menyambar tubuh anak muda yang tadi didengarnya
dipanggii Pendekar Mabuk oleh Perwira Tombala.
Dewa Kubur ingat, Pendekar
Mabuk adalah murid sahabatnya. Sebab itulah ia bermaksud selamatkan Pendekar
Mabuk.
Penyelamatan itu terlambat.
Suto Sinting masuk ke dalam sumur tua yang kedalamannya tak bisa diduga. Dengan
begitu, maka nasib si Pendekar Mabuk pun tak dapat diterka oleh Dewa Kubur.
Satu-satunya anggapan yang ada dalam benak Dewa Kubur, murid sahabatnya itu
tewas dan mayatnya tak bisa ditemukan. 5
Hawa dingin terasa meresap
melalui pori-pori, bagaikann rnenembus sampai ke dasar tulang. Hawa dingin itu
membuat kelopak mata sulit dibuka jika tidak dipaksakan.
Pada muianya yang dirasakan
Pendekar Mabuk adalah sebentuk keheningan tanpa suara apa pun. Keheningan yang
bercampur hawa dingin membuat debar-debar ketegangan tersendiri di dalam hati
anak muda itu. Batin pun berbicara kepada sang jati diri, bertanya dan bertanya
dengan nada yang sama.
"Di mana aku ini?"
"Di alam kematian."
"Mengapa begitu
sunyi?"
"Tentu saja. Karena kau
berada di alam kematian. Kalau suasananya ramai, pasti kau berada di tengah
pasar malam."
"Jadi, sekarang aku sudah
mati?"
"Sudah. Kau bertarung
dengan Perwira Tombala, lalu terluka dan
terperosok masuk ke sumur tua."
"Aku mau hidup lagi,
ah!"
"Tidak bisa. Kau sudah
waktunya mati." "Tapi aku kan belum kawin?"
"Salahnya kenapa tidak
mau kawin dari dulu?"
"Lalu, bagaimana nasib
kekasihku; Dyah Sariningrum itu?" "Menjadi janda kembung."
"Husy...! Setahuku yang
ada hanya istilah janda kembang. Kalau janda kembung itu janda yang
bagaimana?"
"Janda kembang itu sudah
cerai tapi belum punya anak. Kalau janda kembung sudah cerai tapi belum sempat
menikah!"
"Ooo... kasihan,
ya?"
"Kasihanilah dirimu
sendiri sebelum kau dikasihani orang lain!" lya, maksudku yang kasihan itu
diriku. Belum kawin sudah mati.
Mendingan belum mati tapi
sudah kawin, ya?"
"lya...! Sudah, sekarang
bersiaplah untuk menghadap pengadilan terakhir!" "Lho, mati kok
diadili?!"
"Mempertanggungjawabkan
segala tingkah laku mu selama hidup di dunia.
Semua orang akan begitu!"
"Ooo... lalu, aku nanti
dihukum?"
"Tergantung budi baikmu
selama kau hidup di dunia. Kalau kau sering berbuat jahat, ya dihukum. Kalau
kau sering berbuat baik, ya tidak dihukum."
"Tapi... tapi aku mau
minum tuakku dulu, ah!"
"Tidak bisa. Orang mati
tidak boleh minum tuak! Kau harus jadi orang mati yang patuh."
"Ah, siapa bilang orang
mati tidak boleh minum tuak?"
"ingatlah semasa hidupmu.
Teman atau kerabatmu yang sudah mati itu, apakah mayatnya mau minum tuak?"
"Hmmm, yaa... memang
belum pernah ada orang mati minum tuak."
"Nah, itu lantaran mereka
patuh dengan tata tertib kematian. Salah satu tata tertib itu berbunyi: 'barang
siapa telah mati dan menjadi mayat, dilarang minum minuman keras'. Makanya
mereka tidak ada yang minum tuak atau minum arak, bukan?"
"Waah... kok begitu
ya...?"
Percakapan batin dan sang jati
diri berhenti sesaat. Hawa dingin mulai terasa melonggarkan dada. Seakan ada
semacam kabut dingin yang menggumpal- gumpal di ulu hati, lalu menyebar ke
segala penjuru, mencip- takan kelegaan tersendiri.
"Aku mau buka mata,
ah!"
"Husy! Orang mati tidak
boleh melek!" "Memangnya kalau melek, kenapa?" "Kelilipan
tanah, Goblok!"
"O, iya, ya...?!"
"Sudah, merem saja!" "Tapi aku ingin tahu pemandangan di alam
kubur Ini. Ngintip sedikit tidak apa-apa, kan?"
"Ya, sudah. Tapi sedikit
saja ngintipnya, ya? Jangan buka mata lebar lebar.' "Kalau lebar-iebar,
kenapa?"
"Dicolok setan,
Iho...!"
"O, iya, ya...? Kalau
begitu aku mau buka mata sedikit saja, ah!"
Bulu mata yang tergolong lebat
untuk ukuran seorang lelaki itu bergerak- gerak pelan. Sedikit demi sedikit
garis kelopak mata Suto Sinting dibuka. Seet...! Pemandangan masih buram,
mungkin terlalu lama memejam, masih perlu menyesuaikan jarak pandang. Lama
kelamaan tampaklah oleh sang mata kiri sebentuk cahaya yang berpijar-pijar.
Cahaya apa itu, ya?"
jati diri menjawab, "Itu
cahaya kehidupanmu yang kini telah kau tinggalkan."
"Ooo... kok seperti
lilin?"
"Karena semasa hidup kau
rela berkorban demi menolong orang lain. Lilin kan begitu. Berani meleleh demi
menerangi orang lain."
"Ooo... kalau selama
hidupku aku tak mau berkorban untuk menolong orang lain, cahaya kehidupanku
seperti apa?"
"Seperti kunang-kunang.
Cahayanya mana bisa dipakai untuk cari uang jatuh di tempat gelap? Tidak bisa,
kan?!"
Kelopak mata terbuka semakin
lebar lagi. Cahaya yang dilihatnya bertambah jelas. Lebih lebar lagi kelopak
mata dibuka, lebih jelas lagi bahwa yang dipandang itu adalah memang sebatang
lilin.
Byaak...! Kedua mata Suto
Sinting terbuka semua.
"Lhoo... kenapa aku
berada di antara lilin-lilin? Di mana aku ini?! Oooh... kedua tanganku
terikat?! Kedua kakiku juga terikat? Siapa yang merentangkan tangan dan kakiku
sebegini rupa?!"
Pendekar Mabuk memandang
sekeliling. Ternyata ia berada di sebuah ruangan besar berdinding batu.
Tubuhnya direntangkan pada sebidang batu rata yang berposisi miring, agak
merebah setengah berdiri. Tangan dan kaki yang direntangkan itu diikat dengan
rantai putih. Rantai itu disentakkan, ternyata tak mudah le pas. Hanya suara
gemericiknya yang membuat Suto menjadi jengkel sendiri.
"Benarkah aku di alam
kematian?" batin Suto menjadi sangsi. Dipandangnya lilin-lilin
yang ada di sekitarnya. Nyala api lilin itu menari-
nari dengan gemulai lembut
menandakan hembusan angin sangat pelan. Jumiah
lilin yang ada di ruangan itu
tak bisa dihitung. Yang paling banyak menggerombol di sudut kanan-kiri tempat
Suto terikat rantai.
Aneh…! Lilin-lilin merah itu
tidak ada yang meleleh?! Ooh, mungkin lilin itu adalah lilin abadi. Dulu aku
pernah mendengar cerita tentang lilin abadi dari Bibi Guru Bidadari Jaiang.
Lilin itu dibungkus dengan sejenis kayu yang keluarkan getah terus-menerus
walau sudah dipotong, Lalu kayu itu dibungkus dengan lilin. Maka jadilah lilin
abadi. Jika meleleh, ia bersatu dengan getah kayu itu dan terjaga
keutuhannya."
Pendekar Mabuk hembuskan napas
panjang. la sedikit kaget. "Lho, kok aku masih ada napasnya?!"
la menyentakkan napas lewat
mulut beberapa kali.
"Hahh, hahh, hahh,
hahh...! Oh, aku masih punya napas. Berarti aku belum mati?! Berarti ini bukan
di alam kematian. Lalu... di alam apa? Mengapa sepi sekali? Ruangan apa
ini?!"
Setelah diperhatikan lebih
cermat lagi, ternyata ruangan itu berdinding batu. Batu tak halus tapi
membentuk permukaan dinding. Di sela-sela batu itu tampak tumbuh lumut berwarna
putih, seperti salju.
Ruangan itu sendiri
berlangit-langit agak tinggi. Permukaan langitlangitnya juga tak rata. Ukuran
ruangan itu cukup lebar. Bisa untuk berlatih jurus-jurus siiat yang tidak
keluarkan tenaga dalam bersinar. Di sudut seberang ada lorong membelok ke
kanan, ada juga yang membelok ke kiri. Pada kedua lorong itu masing-masing
diterangi nyala api lilin berjumlah sekitar dua puluh batang.
Udara di ruangan itu sedikit
lembab. Mungkin jika tanpa nyala api lilin-lilin itu, udaranya sangat lembab
dan tak bagus untuk pernapasan.
"Sepertinya aku berada di
ruang bawah tanah," gum am Suto dalam hati. "Hmmm... siapa yang
membawaku kemari?! Bukankah... bukankah aku jatuh ke dalam sumur saat bertarung
melawan Perwira Tombala? Oh, ya... aku juga sempat melihat tokoh tua yang..
." Kata-kata hati itu terhenti seketika, karena dari arah lorong yang
membelok ke kanan tampak sesosok bayangan muncul dari sana. Bayangan itu
melangkah dengan tegap dan menghampiri Pendekar Mabuk. Pada saat itu pandangan
mata Suto Sinting terkesip karena hatinya kaget menatap sosok wujud orang yang
mendekatinya.
Temyata ia seorang wanita muda
berusia sekitar dua puluh lima tahun. Tubuhnya selain tinggi juga sekal dan
berisi. Rambutnya pendek sepundak lewat sedikit. Bagian depannya diponi tanpa
ikat kepala.
Gadis itu mempunyai wajah yang
cantik walau sedikit seperti anak lelaki. Hidungnya mancung, matanya bundar
bening dan terkesan tajam. Bibimya sedikit tebal tapi terkesan mungil. la
berkulit kuning bersih.
Ia mengenakan baju buntung
tanpa lengan dari kain berserat tembaga.
Warnanya coklat
kehitam-hitaman.
Kain bawahnya seperti rok tapi
mini sekali, bagaikan mempunyai rempel bersusun yang membuatnya menjadi tebal.
Kain itu juga berserat tembaga, coklat kohitam-hitaman. la mengenakan sabuk
lebar warna hitam. Pada sabuknya itu terdapat kantong kantong pisau sejumlah
enam buah, lengkap dengan pisaunya yang bergagang hitam.
Seiain itu, sebilah pedang
dari kristai. Baik gagang- nya, mata pedangnya dan sarung pedangnya terbuat
dari kristai. Pada gagang dan sarung pedang diberi hiasan batu-batuan merah dan
hijau.
Si gadis bertubuh sekal dan
tampak kekar itu mengenakan lapisan lengan dari lempengan logam seperti
perunggu. Lempengan berukir itu membungkus perge- langan tangannya sampai
mendekati siku. Jadi yang terlihat mulus hanya batas pundak sampai siku dan
batas paha sampai kaki. Alas kaki yang dikenakan mempunyai tali melilit-lilit
rapat di sepanjang betisnya.
Melihat sosok penampilan
seperti itu, Pendekar Mabuk teringat penampilan seorang gadis yang dikenalnya
dengan nama Pandawi, mantan pengawal Istana Kematian yang sudah menjadi
sahabatnya itu. Agaknya gadis yang tinggi tubuhnya sedikit melebihi tinggi
badan Suto itu juga seorang prajurit dari sebuah negeri. Mungkin saja dia
penjaga bawah tanah itu.
Wajah cantiknya yang berkesan
angkuh dan galak itu sengaja dipamerkan di depan Pendekar Mabuk, menunjukkan
sikap permusuhannya. Tetapi wajah Pen- dekar Mabuk tetap menampakkan sikap
bersahabat, ramah, tenang, tapi juga punya kesan sedikit wibawa.
Sriing...! Pedang kristai
dicabut dari sarungnya. Ujungnya sangat runcing. Sepertinya mudah pecah, tapi
sebenarnya keras dan kuat seperti baja. Ketajaman kedua sisinya tak terlihat
nyata. Sepertinya tidak tajam, tapi sebenarnya melebihi ketajaman samurai.
Ujung pedang runcing itu
diacungkan di depan leher Suto Sinting. Mata gadis itu memandang dengan tajam
dan berkesan gaiak. Pada saat itu, Pendekar Mabuk mendengar suara yang
menyapanya dengan nada tak ramah.
"Jawab pertanyaanku
dengan jujur jika ingin selamatkan nyawamu sendiri!
Berapa orang temanmu yang
masuk kemari?!"
Pendekar Mabuk diam saja,
matanya memandang heran ke wajah cantik itu. Sangat heran. Sebab ia mendengar
gadis cantik itu bicara, tapi ia tak melihat bibir gadis itu bergerak-gerak
saat mengucapkan kata. Bibir indah menggemaskan itu tetap terkatup rapat, tapi
sua- ranya terdengar jelas.
Sengaja Suto tak menjawab
karena ia sempat sang- si, benarkah ia mendengar suara gadis itu atau hanya halusinasi
saja. Maka dipandanginya terus bibir si gadis saat suara kedua terdengar
menyentak dengan ujung pedang terasa menempel dingin di tengah Ieher.
"Jawab pertanyaanku,
Tuli!"
Pendekar Mabuk hanya berujar
dalam batinnya, "Luar biasa gadis ini! Dia bicara tanpa membuka mulut. Dia
merigirimkan suara batinnya padaku hingga tertangkap oleh indera pendengaranku!
Baru sekarang kutemukan seorang gadis cantik yang mampu mengirimkan suara
batinnya."
"Kalau kau sudah tahu
tentang suara batin itu, Sekarang jawablah pertanyaanku tadi!" ujar si
gadis. Suto semakin terperanjat heran dalam hatinya. Ternyata gadis itu juga
mampu mendengarkan ucapan batin seseorang. Mungkin bisa dilakukan dalam jarak
tertentu, mungkin juga bisa dilakukan dalam jarak sejauh apa pun. Yang jelas,
hal itu sangat menarik bagi Pendekar Mabuk.
"Kau mendengar suara
batinku?" tanya Suto dalam hati. Tapi ia mendengar si gadis menjawab tanpa
gerak- an bibir.
"Kudengar dengan jelas
sekali!"
"Baiklah, akan kujawab
pertanyaanmu tadi. Aku tidak punya teman." "Bohong!" bentak si
gadis dengan mata sedikit melebar tapi bibir tetap terkatup rapat.
"Kalau kau tak mau
menjawab dengan benar, ku~ tembus lehermu dengan pedang ini! Ayo,
jawab...!"
"Kau boleh membunuhku
sekarang juga, sebab aku tak punya jawaban lain. Aku sendiri masih bingung, di
mana aku sekarang ini. Kau bisa jelaskan, Nona cantik?!"
Kali ini Suto bicara dengan
suara. la merasa lebih enak bicara dengan suara daripada dengan batin. Si gadis
memandanginya tanpa kedip, seakan ingin melihat raut kejujuran di wajah tampan
Pendekar Mabuk itu. Sekitar sepuluh hitungan kemudian, ujung pedang sedikit
ditarik ke belakang. Ketegangannya agak mengendur.
"Kau berada di
wilayahku!" gadis itu pun bicara dengan suara mulut. Bibirnya
bergerak-gerak, nada suaranya terdengar sedikit besar dan agak parau. Tidak
sejernih suara gadis keraton.
"Di wilayah mana aku
sekarang, Nona?! Tolong jelaskan padaku. Sebab, seingatku aku sedang bertarung
dengan Perwira Tombala, dan terperosok jatuh ke lubang. Setelah itu aku tak
ingat lagi. Begitu aku sadar, aku sudah terikat begini!"
"Siapa namamu?!"
"Suto Sinting...!"
sebut Suto dengan jelas dan tegas. Si gadis tampak tenang, seperti tak mau
peduli dengan nama itu. Rupanya ia belum tahu bahwa Suto Sinting itu adalah nama
asli Pendekar Mabuk.
"Nama asliku Suto
Sinting, tapi gelarku adalah Pendekar Mabuk!" tambah Suto untuk memancing
tanggapan si gadis. Ternyata gadis itu hanya menggumam pelan dan pendek. Tak
merasa heran dan kagum sedikit pun. Hanya saja, pedangnya semakin ditarik
mundur dan turun ke bawah.
"Kau orang Dataran
Salju?!"
"Dataran Salju...?!"
Suto Sinting menggumam bernada heran. Dahinya berkerut tajam, menandakan masih
merasa asing dengan nama Dataran Salju.
"Aku baru sekarang
mendengar nama Dataran Salju. Maukah kau jelaskan di mana letak Dataran Salju
itu?!"
Si gadis tidak langsung
menjawab. la melangkah mundur satu kali. Mata masih menatap penuh curiga.
Rupanya ia sedang menyimak suara batin Suto yang terheran heran disangka
sebagai orang Dataran Saiju. Suara batin Suto itulah yang dijadikan modal
kepercayaan atas jawaban-jawaban tawanannya.
"Nona, apakah kau
bermusuhan dengan orang Dataran Salju?!"
"Akan kujelaskan nanti
jika kau mau sebutkan dari mana asalmu, siapa rajamu dan apa jabatanmu?!"
Suto Sinting sunggingkan
senyum geli.
"Aku berasal dari Jurang
Lindu dan Lembah Badai. Aku tidak punya raja. Aku bukan prajurit, oleh
karenanya aku tidak punya jabatan. Satu-satunya jabatan yang kumiliki,
mungkin... gelar kependekaranku saja! Pendekar Mabuk!"
"Terserah, kau mau mabuk
atau mau teler itu urusanmu! Tapi aku ingin tahu kau ada di pihak mana?'
"Ak... aku semakin
bingung menjawab pertanyaanmu. Aku tidak punya pihak. Aku orang bebas! Termasuk
bebas tanyakan siapa namamu, Nona?"
Si gadis masih memandang
sedikit angkuh. Setelah diam beberapa saat, ia pun sebutkan namanya dengan
jelas.
"Citra Bisu "
"Itu itu namamu?"
"Nama asiiku Citra
Mandagi. Tapi karena aku jarang bicara melalui mulutku, maka beberapa temanku,
termasuk Gusti Ratu, menjulukiku: Citra Bisu."
"Sebuah nama yang cantik,
secantik orangnya, gumam Suto Sinting dalam hati. la lupa bahwa suara batinnya
bisa didengar oleh Citra Bisu.
Tiba-tiba saja Citra Bisu
tebaskan pedangnya empat kali ke arah Pendekar Mabuk. Wiiz, wiiz, wiiz, wiiz...!
Tentu saja tebasan pedang itu sangat mengejutkan Pendekar Mabuk. Pemuda itu
dibuat menggeragap dan terheran- heran. Tak ada bagian tubuhnya yang terluka
atau tergores seujung rambut pun. Pendekar Mabuk hanya merasakan angin tebasan
tadi sangat dingin dan mendengar suara aneh empat kali.
Triik, triik, triik, trrik...!
Brruk...! Tiba-tiba Suto
Sinting jatuh berlutut dalam sentakan kaget. Kejap berikut ia baru sadar bahwa
tebasan pedang tadi telah memutuskan rantai pengikat pada kaki dan tangannya.
Citra Bisu mundur dua langkah, lalu memasukkan pedang ke sarungnya.
"Getaran batinmu
kutangkap bukan sebagai getaran musuh, melainkan memang sebagai getaran batin
orang yang tersesat!" ujar Citra Bisu, tapi diucapkan melalui batin. Suara
batin itu sengaja dikirimkan kepada Suto, sehingga telinga Suto bagai mendengar
bisikan jelas suara tersebut.
Terima kasih kau telah
mempercayaiku," jawab Suto menggunakan suara batin juga. la segera bangkit
dan menghembuskan napas lega.
"Aku haus sekali. Apakah
kau melihat bumbung tuakku?" "Kusimpan di Ruang Penangkal."
"Ruang Penangkal.?!
Ruangan untuk apa itu?!"
"Ikut aku!" tegas
Citra Bisu tetap gurtakan suara batin.
Gadis itu melangkah lebih
dulu. Langkahnya sangat tegap dan menampakkan ketegarannya sebagai gadis yang berjiwa
pemberani. Pendekar Mabuk ikuli langkah yang membelok ke kanan, ke lorong
tempat kemunculari Citra Bisu tadi. Tapi Suto sempatkan berhenti dan memandang
ke lorong sebeiah kiri. Lorong itu cukup dalam dan ujungnya membelok ke kiri.
Tampak ada sinar merah pijar di ujung lorong tersebut, seperti cahaya api
merabara yang membuat lorong tersebut menjadi temaram.
"ikut aku, Suto Sinting!
Jangan coba-coba jalan ke lorong merah itu!" tegur Citra Bisu tanpa
gerakan bibir.
"Mengapa aku tak boleh ke
sana?"
"Maut ada di sana.
Kutemukan dirimu di sana, hampir saja menggetsndsng masuk ke kuburan
lahar."
"Kuburan lahar?!"
"Kubangan besar yang
penuh dengan lahar panas!" "Kau... kau temukan aku di sana?!"
"Saat aku lakukan
pengawasan keliling, kuiihat tubuhmu melayang dan jatuh di bibir kuburan lahar.
Sebelum kau masuk ke kuburan lahar, kusambar dirimu dan kuperiksa keadaanmu.
Ternyata kau bukan temanku. Oleh
karenanya kau kesembuhkan dari lukamu dan kurantai sampai aku tahu dengan jelas
siapa dirimu."
"Oor jadi kau telah
menyelamatkan nyawaku?!" ikuti iangkahku sekarang juga, Suto!" Citra
Bisu melangkah lagi tanpa peduli pemuda itu masih tertegun bengong merenungi
ceritanya. Pendekar Mabuk segera menyusul langkah Citra Bisu karena ada yang
ingin ditanyakan dengan segera.
“Apakah... apakah kita berada
di penjara bawah tanah?" “Anggap saja begitu"
“Di.. di mana tepatnya?”
“Mendekati dasar bumi."
“Ooh...?! Ja... jadi kau
siapa? Maksudku... mehgapa kau ada di sini dan rnenyangkaku sebagai orang
Dataran Salju?!”
Citra Bisu tidak langsung
menjawab. la justru membawa Suto membelok ke kanan lagi, lalu kekiri. Mereka
sampai di sebuah ruagan bercahaya biru.
Pendekar Mabuk terkesima
melihat semua batu dan dinding yang ada di ruahgan tersebut memancarkan oahaya
biru pijar.
Ruangan itu juga penuh dengan
senjata aneka jenis, dari tombak, perisai, golok, kapak, dan lain-lainnya.
Senjata-senjata itu diietakkah dalam keadaan berdiri diatas tanah tanpa
penyangga apa pun. Bahkan sebagian senjata tampak ada yahg melayang- layang di
udara tanpa menyentuh tanah atau bebatuan yang ada di situ, Salah satu benda
yang melayang di udara adalah bumbung tuaknya Pendekar Mabuk; "Oh, itu dia
bumbungku!" sentak Suto girang.
"Ambillah...!"
perintah Citra Bisu dengan suara batin. Setelah Suto Sinting dapatkan bumbung
tuaknya, Citra Bisu menyambung ucapannya lagi.
"Ternyata benda itu tak
pernah kau gunakan untuk kejahatan." "Dari mana kau tahu?"
"Semua senjata yang ada
di sini akan mengambang di udara jika tak pernah
dipakai untuk kejahatan. Tapi
jika benda tersebut punya kekuatan gaib hitam, sering dipakai membunuh demi
kejahatan, maka senjata itu tak bisa mengambang, melainkan menempel pada tanah.
Kekuatan gaibnya tersedot habis oleh tanah dan bebatuan di sini. Termasuk
dirimu "
"Termasuk diriku
bagaimana?"
"Kalau kau berhati jahat,
penuh dengan ilmu hitam, maka tanah dan bebatuan di sini akan menghisap
tubuhmu, menyerap habis seluruh ilmu kejahatanmu melalui telapak kakimu. Tapi
jika kau berhati baik, maka kau akan mengambang di ruangan ini."
"Oh, kalau begitu aku
berhati jahat, karena ..." "Lihat telapak kakimu!"
Pendekar Mabuk memandang
telapak kakinya. la sangat terkejut melihat
kedua telapak kakinya tak
menyentuh tanah.
"Ooh, ternyata telapak
kakiku tak menyentuh tanah?! Dan... dan kau juga...?!"
Telapak kaki Citra Bisu juga
tidak menyentuh ta nah. Kedua telapak kaki itu mengambang sekitar sete- ngah
jengkai dari permukaan tanah. Tapi Suto Sinting merasa kakinya seperti
menginjak tempat yang padat.
"Ajaib sekali ruangan ini?!"
gumam hati Pendekar Mabuk yang didengar oleh tetinga batin Citra Bisu.
"Memang ajaib sekali
ruangan ini. Karenanya kunamakan sebagai Ruang Penangkal."
Pendekar Mabuk rnenggumam dan
manggut-manggut. Hasratnya ingin meminum tuak jadi lupa karena memandangi
senjata-senjata yang mengambang di sana-sini. Sekitar lima puluh senjata ada di
ruangan tersebut. Delapan di antaranya mengambang di udara, sisanya berdiri
tegak di tanah. Tidak menancap, tidak bersandar pada benda apa pun.
Citra Bisu yang sejak tadi
pandangi Suto Sinting, kali ini melolos pedangnya. Pedang diambil bersama
sarungnya, lalu dslemparkan ke arah Suto. Pemuda itu sempat kaget karena tak
mengerti maksud Citra Bisu. la berusaha menangkap pedang kristai tersebut.
Tetapi sebelum tersentuh tangannya, pedang itu ternyata melayang diam di udara
setinggi perut.
Suto segera paham arti
tindakan itu. Citra Bisu ingin tunjukkan pada Suto bahwa pedangnya juga bukan
pedang untuk kejahatan. Dengan lain kata, Citra Bisu ingin tunjukkan pada Suto
bahwa ia bukan orang jahat yang patut dicurigai.
"Ada beberapa orang yang
datang kemari dengan membawa senjata, dan senjata mereka memang tidak pernah
dipakai untuk kejahatan. Tetapi pada saat mereka masuk kemari, hati mereka
diliputi kejahatan dan keserakahan. Maka ketika ia berada di ruangan ini, kedua
kakinya menapak di tanah dan kekuatan iimu hitamnya tersedot habis. Saat itulah
aku segera lenyapkan nyawa orang tersebut sebelum ia mencabut nyawaku,"
ujar Citra Bisu dengan suara batin. Sambungnya lagi, "Dan.., baru sekarang
ada orang yang masuk kemari dengan kaki bisa mengambang di atas permukaan tanah
ruangan ini. Orang itu adalah kau!"
"Apakah itu berarti aku
adalah orang baik-baik?" pancing Suto dalam senyum.
"Tidak menutup
kemungkinan hatimu akan berubah mehjadi jahat jika kau sudah melihat isi
ruangan «sebefah kanal'1''-
"Ikuti aku lagi!” tegas
Citra Bisu sambil menyambar fjedangnya, lalti melangkah menuju sebuah lorong
yang jalan masuknya harus mendaki tiga baris anak tangga dari batu bercahaya
biru.
Lorong yang akan dilewati
mempiinyai bias cahaya kuning. Lorong itu- juga akan membelok ke arah kiri pa
da bagiaan ujuhgnya. Bias cahaya kuning itu datang dari lorong yang membelok ke
kiri.
"Kau berada di sini
bernama siapa, Citra?" tanya Suto Sinting rnencoha bicara batin sambil
melangkah di belakang Citra Bisu. Ternyata pertanyaan batin mendapat jawaban
batin pula dari Citra Bisu.
"Pada mulanya aku berdua
dengan temanku, sesama prajurit, Tapi ia tak kembali lagi sejak kusuruh melihat
keadaan di sekitar istana. Aku sendiri tak tahu bagaimana kabar temanku yang
bernama Desah Bengi itu."
"Desah Bengi...?!"
Suto bernada kaget, sebab ia ingat nama Desah Bengi adafah nama dari ibunya si
Beiatung Gerhana.
"Maksudmu... Nini Desah
Bengi, si Penguasa Pulau Garong yang kedua kakinya buntung itu?!"
Citra Bisu hentikan langkahnya
secara mendadak. Menatap Suto juga secara mendadak. Hal itu membuat Suto
menjadi kikuk dan safah tingkah.
"Hmm, eeh... kudapatkan
keterangan tentang kedua kaki Nini Desah Bengi yang buntung itu dari anaknya
yang bertubuh sangat gemuk itu. Aku kenal dengan anaknya Nini Desah Bengi yang
dikenal dengan nama si Belatung Gerhana itu. Bukan... bukan aku yang membuat
kedua kakinya menjadi buntung. Sumpah!"
"Sejak kapan Desah Bengi
menjadi penguasa sebuah pulau?"
"Ak... aku tidak tahu!
Aku juga belum kenal dengan Nini Desah Bengi, sebab " "Dia sudah
punya anak?!"
"Aku tak tahu secara
pasti, tapi si Belatung Gerhana merigaku sebagai anak Nini Desah Bengi, Aku tak
tahu apakah Belatung Gerhana menipuku atau memang ber-kata yang
sebenarnya."
Citra Bisu merenung dan
berkerut dahi. Suto sengaja biarkan gadis itu diam beberapa saat, memberi
kesempatan berpikir. Sesaat kemudian, tanpa bicara melalui bibir atau batin,
Citra Bisu teruskan langkahnya dan Suto Sinting mengikuti dari belakang.
Ketika lorong berbelok ke
kiri, Pendekar Mabuk terpaksa kecilkan kedua kelopak matanya dan menadahkan
tangan di atas mata karena merasa silau de- ngan cahaya kuning yang membias
sampai di tempatnya. Namun si cantik yang meiangkah dengan tegar dan tegap itu
tak merasa silau sedikit pun.
Cahaya kuning itu ternyata
berasal dari sebuah ruangan sama besarnya dengan ruangan berlilin banyak tadi.
Tetapi kali ini Suto Sinting sudah mulai ter- biasa dengan cahaya kuning kemilau
itu. Bahkan matanya terbelalak lebar sekali saat mengetahui dari mana asal
cahaya kuning kemilau.
Ternyata di depan Suto Sinting
terdapat tumpukan emas yang membukit dan dikeliling dengan liiin-iilin kecil di
bagian tepi onggokannya itu. Selain setumpuk emas yang memantulkan cahaya
kuning menyilaukan itu, di sisi lain terdapat tumpukan permata aneka jenis dan
aneka warna. Bias cahayanya memancar bergaris- garis ke sana-sini, sampai
membuat mulut Pendekar Mabuk tak bisa berucap sepatah pun. Mulut itu hanya bisa
terperangah bengong dan bola mata seakan sullt dipakai berkedip.
"Harta karun...?!!"
hanya dalam hati Suto Sinting bisa berkata demikian, itu pun tak bisa serentak
keras karena jantungnya berdetak-detak sangat cepat.
"Kuharap pikiranmu tak
berubah menjadi manusia serakah seperti beberapa orang yang terpaksa kuhan-
curkan itu," ujar Citra Bisu seraya menatap Suto Sinting.
"Aap... apa... apakah
ini... ini harta karun yang... yyaaang diburu oleh meerr... merreka
itu...?!" Suto sampai suiit bicara lisan karena gugupnya melihat emas
permata sebanyak itu.
"Aku tak tahu siapa
'mereka' yang kau maksud itu. Aku juga tak tahu apakah mereka masih berusaha
mencari pintu kedua goa yang sudah kututup dan kubeukan hingga menjadi batu
sekeras baja itu. Yang jelas, tugasku bersama Desabh Bengi adalah menjaga harta
kekayaan negeri kami!"
"Ja.,.. ja... janda,
eeh... jadi, kau adalah prajurit dari kerajaan Hastamanyiana?!"
"Kurasa kau bisa dapatkan
penjelasan dari Desah Bengi, bahwa kami berdua adalah pengawal kepercayan Ratu
yang ditugaskan menjaga harta di persembunyian ini! Kami berdua harus rela
pertaruhkan nyawa demi menjaga agar harta ini tidak dijarah oleh orang- orang
Dataran Salju maupun dari pihak mana pun!"
"Kalau begitu aku sudah
masuk ke Goa Kembar...?!" ujar Suto dalam hatinya. "Apa yang
dikatakan Kusir Hantu ternyata salah. Harta karun ini bukan sebuah khayalan
dari sebuah dongeng, melainkan kenyataan yang dijadikan sebuah dongeng oleh
anggap- an orang-orang seperti si Kusir Hantu?!"
Citra Bisu mendengar ucapan
batin Pendekar Mabuk. la pun segera berkata dengan ucapan batin yang
dikirirnkan ke telinga hati Pendekar Mabuk.
"Lorong ini memang lorong
dari Goa Kembar. Tapi pintu kedua goa itu sudah kututup mati sejak Oesah Bengi
tak kembali lagi kemari dan aku hampir kewalahan menghadapi para pemburu harta.
Entah sudah berapa lama aku berada di goa ini. Yang jelas, goa ini tidak ikut
mengalami perubahan waktu seperti yang ada di luar goa. Lilin-lilin itu sejak
kunyalakan sampai sekarang masih dalam keadaan hidup dan tidak berkurang. Ini
menandakan goa ini mempunyai geiombang pengikat waktu, yang membuat segala
sesuatunya menjadi abadi. Termasuk beberapa cadangan makanan yang kusimpan di
ruang gudang, sampai sekarang masih segar dan tidak menjadi basi."
"Ajaib sekali!"
Banyak para penjarah harta
bermaksud memasuki goa ini dari dua lubang yang menyerupai cerobong asap itu,
tapi aku telah memasang jebakan di dasarnya, termasuk membelokkan arah lorong
ke kuburan lahar. Siapa pun yang masuk melaiui lubang itu akan terperosok ke
kuburan lahar atau mati dirajang jebakan mautku!"
"Maksudmu... sumur tua
yang membuatku terperosok kemari itu?!"
"Aku tak tahu apakah itu
sumur tua atau bukan. Tapi yang jelas saat aku memeriksa di sana, kudengar
suara jeritan seseorang. Kuhadang dirinya dan kusambar ke tempat yang aman.
Ternyata orang itu adalah pemuda tampan yang punya hati bersih!" seraya
pandangan matanya semakin tajam, mendekat pelan- pelan bagaikan ingin semakin
melekatkan hatinya ke hati Suto Sinting.
Yang dipandang dan yang
didekati semakin deg-degan. Gadis itu lebih tinggi darinya, tapi punya pesona
kecantikan yang berdaya tarik sangat kuat. Suto Sinting nyaris kehilangan
seluruh bahasanya saat Citra Bisu membelai rambutnya.
"Kau jantan sekali
kelihatannya," ujar Citra Bisu dengan bahasa batin. "Kurasa sang Ratu
tak akan keberatan jika menerimamu sebagai pengawal istana. Maukah kau melamar
menjadi panglima Kerajaan Hastamanyiana?!"
"Ker... kerajaanmu itu
sudah lama hancur, Citra."
"Hahh...?!" Citra
Bisu terperanjat, tampak kaget sekali. Sentakan rasa kagetnya membuatnya mundur
satu langkah.
"Kau mendustaiku,
Suto?!"
"Aku hanya mendengarnya
dari penjelasan seorang kenalanku yang sudah lama hidup di Lembah Seram.
Belatung Gerhana sendiri juga mengatakan be- gitu. Tapi... jika kau tak
keberatan, aku akan coba menyelidiki sendiri apakah benar negerimu sudah lama
hancur dan siapa yang menghancurkannya!"
"Memang harus dibuktikan.
Tapi kita mau keiuar lewat mana?!" keluh gadis itu sangat pelan.
"Jadi... goa ini tidak
punya jalan keiuar lagi?!"
"Jalan itu sudah kututup,
seperti yang kukatakan tadi."
"Celaka! Lalu.. . lalu
bagaimana caranya keiuar dari sii)i?l Haruskah aku di sini selamanya, bersama
harta karun ini?!"
"Sedang kupikirkan jalan
keluarnya. Tapi dari dulu hingga sekarang hanya bisa menjadi buah pertanyaan
saja. Aku tak pernah mendapatkan jawaban yang tepat mengenai jalan keiuar dari
tempat ini!"
Pendekar Mabuk pun tertegun
bengong menyadari berada dalam lorong goa yang buntu. 6
Ruang penyimpanan harta karun
itu ternyata mempunyai beberapa lorong sempit dan tak terlalu dalam.
Lorong-lorong kecil itu digunakan oleh Citra Bisu sebagai tempat untuk tidur,
bersemedi dan tempat pemujaan terhadap Hyang Maha Dewa. Salah satu lorong
lainnya mempunyai rembasan mata air yang menggenang menjadi seperti telaga
kecil.
Di bagian sisi telaga kecil
beratr bening itu terdapat lubang yang mengaiirkan air entah ke mana. Lubang
itu digunakan sebagai pengganti parit. Citra Bisu membangun parit dengan
batu-batu yang ada di sekitar tempat tersebut.
Citra Bisu juga membentuk
kamar tidurnya sendiri dengan batu-batu yang dipotong sedemikian rupa sehingga
berbentuk tata seni ruang tersendiri. Bahkan di dalam ruang tidur itu juga
terdapat ranjang batu dilapisi kain tebal menyerupai permadani. Berbulu lembut
dan hangat. Tentu saja barang-barang seperti permadani dibawanya dari Kerajaan
Hastamanyiana pada saat harta karun itu disembunyikan di goa tersebut.
Satu hal yang mengherankan
lagi bagi Pendekar Mabuk adalah bentuk potongan batu-batu yang menjadi tata
letak ruang tidur itu selalu berpotongan rata. Seperti agar-agar dipotong
dengan benang. Halus sekaii potongannya.
"Dengan alat apa dia
memotong batu-batu ini se- hingga sampai bisa sebegini rapi dan halus?"
tanya Suto dalam batin. Ternyata gadis itu ada di pintu ruang tersebut dan
mendengar pertanyaan batin Suto.
"Bagiku bukan hal sulit
memotong baja atau batu sdrata itu selama pedangku ada di tangan."
"O, jadi kau memotongnya
dengan pedang kaca itu?!" Citra Bisu tersenyum dan mendekati Suto Sinting.
"Tak ada senjata lain
yang bisa memotong batu sebegini rapi kecuali Pedang Lidah Dewa-ku,"
sambil pedang itu dilolos dari pinggang bersama sarungnya. la memamerkan di
depan Pendekar Mabuk dengan penuh rasa bangga.
"Karenanya, kuharap kau
jangan coba-coba bermaksud jahat padaku. Dalam sekejap pedang ini dapat
memenggal lehermu dengan sangat mudah," tambahnya pelan tanpa gerakan
bibir. Bibir itu tetap sunggingkan senyum tipis, namun terkesan lembut dan
indah sekaii.
"Mengagumkan
sekaii!" gumam Suto Sinting membatin, tapi mata nya memandang ke arah
wajah Citra Bisu yang sedang memperhatikan pedangnya dengan bangga.
"Siapa pun yang
mengetahui kesaktian pedang ini, pasti akan mengaguminya."
"Bukan pedang itu saja
maksudku."
Citra Bisu meiirik ke wajah
Suto. Mata mereka saling beradu pandang.
"Kecantikanmu, senyummu,
mata indahmu, bibirmu, ooh... semua yang ada
padamu sungguh mengagumkan
bagiku, Citra!"
Gadis itu meletakkan pedang di
atas meja batu di sampingnya, lalu bertolak pinggang dengan penuh keberanian,
sikapnya bagaikan orang yang tersinggung. Suto Sinting menjadi grogi lagi
rnenghadapi sikap seperti itu.
"Bicaramu mulai melantur,
Suto!"
"Oh, hmmm, hmmm... maaf.
Tapi apakah bicaraku termasuk sesuatu yang kau anggap jahat?"
"Bisa menjadi jahat
apabila kau tidak membuktikan rasa kagummu itu." Dahi pemuda tampan itu
berkerut. "Mak... maksud- mu...?!"
"Pujianmu membangkitkan
macan betina yang selama ini tidur dengan nyenyak."
"Ma... macan...?! Di...
di mana ada macan betina?!"
"Di dalam dadaku!"
jawab Citra Bisu dengan tegas walau tanpa ucapan
bibir.
"Aku... aku tidak
mengerti maksudmu, Citra Bisu!" "Jika kau ingin tahu
maksudku, dengarkan degub
jantungnya di balik dada ini."
Citra Bisu sedikit sodorkan
dadanya. "Dengarkan dengan cara menempeikan telingamu ke dadaku ini!
Dengarkan, Suto " Suara gadis itu makin lirih, sedikit membisik. Pendekar
Mabuk hanya tertegun memandang sambil menerka-nerka maksud hati si prajurit
cantik itu.
Tempelkan telingamu...!"
sambil tangan Citra Bisu meraih kepala Suto dengan gerakan lembut. Suto Sinting
menurut, menempelkan telinga di permukaan dada si gadis. Terasa hangat
permukaan dada yang masih berpenutup dari kain serat tembaga itu.
"Kau dengar detak
jantungku, Suto?" "Ku... kurang... kurang jelas."
Citra Bisu segera melepaskan
pinjung penutup dada itu dengan menarik pengait di punggungnya. Bahkan bajunya
pun ikut dilepaskan pula. Kini telinga Suto menjadi lebih lekat lagi dengan
kulit dada yang halus dan berwarna kuning langsat itu.
Dub, dub, dub, dub, dub....
"Kau dengar detakannya
yang keras, Suto?"
"Ya. Tapi... tapi detak
jantung keras yang kudengar ini adalah detak jantungku sendiri, Citra."
Pruuk...! Kain penutup dada
dilepas total, jatuh terpuruk di lantai bersama kain bajunya. Kini gadis itu
tak mengenakan pelapis sedikit pun di bagian dada hingga perut. Kepala Suto
justru dipeluk, ditekan lebih merapatlagi dengan dadanya. Suto Sinting justru
bingung mengatasi gemuruh dadanya sendiri, karena di depan matanya persis tersumbul
salah satu dari kedua bukit sekal berujung tegak menantang siap mengarungi
samudera.
Tapi sebelum mereka berlayar
mengarungi samudera kenikmatan yang sebenarnya, tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh suara gemuruh yang menggetarkan lorong goa tersebut. Duuuuunrrrr...!!
Citra Bisu cepat bangkit tak jadi menerima pelukan Suto Sinting yang ingin
tengkurap di atasnya. Wajah gadis itu tampak tegang sekaii. la buru-buru
menyambar pakaiannya.
"Cepat kenakan pakaianmu!
Cepat, Suto !"
"Hei, tenang saja! Itu hanya
getaran kecil!"
"Kau belum tahu, Suto....
Goa ini tidak boleh terkena getaran sedikit pun. Jika sampai terjadi getaran,
maka langit-langlt goa akan runtuh. Lorong- idrong di sini akan tersumbat oleh
keruntuhan langit-langitnya."
"O, ya ?! Dari mana kau
tahu ha! itu?!" "Sudah lama hal itu kupelajari dan aku tahu persis
kelemahan lorong ini!
Cepat kenakan pakaianmu!"
Suara gemuruh itu terdengar
untuk yang kedua kalinya. Duuuurrrrrrrr...!
Krutuk, krutuk, krutuk,
krutuk...!
Langit-langit muiai meruntuhkan
serpihan batu dan cadas. Pendekar Mabuk menjadi percaya dengan ucap-an Citra
Bisu itu. ia pun segera kenakan pakaiannya kembali, tanpa pedulikan kemesraan
yang tertunda. Lorong yang penuh kehangatan cinta itu dapat berubah menjadi
lorong maut dalam waktu singkat jika getaran yang timbul semakin kuat.
Ternyata getaran yang timbul
akibat suara gemuruh tadi sampai sepuluh hitungan lebih belum berhenti juga.
Langit-langit lorong mulai banyak meruntuhkan sorpihannya. Citra Bisu membawa
Suto Sinting keluar dari ruang tidur, dan berlari ke arah ruangan bercahaya
biru tadi.
Deeuuurrrr...!
Suara gemuruh semakin kuat.
Ketika mereka tiba di ruangan bercahaya biru, ternyata keadaannya sudah menjadi
parah. Ruangan itu sudah penuh dengan rerun- tuhan langit-langitnya. Bahkan
lorong yang menuju ruang tempat Suto dirantai pertama kalinya itu tertutup oleh
bongkahan batu besar. Semeritara itu, guncangan yang timbul semakin kuat.
Dinding-dinding lorong mulai retak dan membentuk iapisan-lapisan yang mudah
rubuh menutup jalan lorong.
"Citra ..! Bagaimana
caranya supaya sampai ke lorong tempat aku jatuh pertama kali itu?!"
"Jalannya sudah tertutup
batu!" seru Citra Bisu dengan suara paraunya,
Gleeerrr...! Suara menggelegar
itu timbul dari langit-langit lorong yang runtuh seluruhnya. Bagian
langit-langit yang runtuh seluruhnya adalah langit- langit yang menuju ruang
penyimpanan harta karun itu. Mereka menjadi semakin panik, karena tak punya
jalan untuk meiangkah ke tempat lain.
"Lorong maut ini akhirnya
akan membuatku terkubur hidup-hidup di sini!" geram Suto Sinting dalam
hati. "Sebaiknya kugunakan jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' untuk hancurkan
batu-batu besar yang menutupi lorong sebelah sana!" "Jangan!"
suara menyentak itu didengar oleh telinga batin Suto Sinting. Rupanya gadis itu
mendengar rencana batin Suto, sehingga ia buru-buru mencegah- nya.
"Jika kau gunakan jurus
macam itu, maka ledakannya akan semakin meruntuhkan langit-langit di atas
kita!"
"Celaka! Lalu bagaimana
ini...?! Semua lorong sudah tertimbun batu. Atau... bagaimana jika kau gunakan
pedangmu untuk membelah batu-batu itu?!"
"Sia-sia! Geterannya akan
mempercepat langit-langit di atas kita runtuh semua!"
"Lalu, apakah kita harus
diam saja?!"
Citra Bisu mendekat, kemudian
memeluk Suto Sinting tanpa canggung- canggung lagi.
"Mungkin memang benar apa
yang sering kude- ngar dalam mimpiku," bisik Citra Bisu.
"Tentang apa,
Citra?!"
"Bahwa aku akan mati di
sini bersama seorangteman yang masih asing bagiku!"
"Aah...! Itu mimpi ngaco!
Jangan percaya dengan suara mimpi! Lawan dengan kenyataan! Kita harus bisa
keluar dari sini! Aku tak mau mati di sini, Citra!"
"Tak ada jalan keiuar,
Suto. Jalan utama sudah kututup dan kupadatkan dengan batu baja. Sukar untuk
dihancurkan."
"Di mana...?! Di mana
jalan utama itu?!"
"Kita sedang bersandar
pada batu baja buatanku itu, Suto!"
Pendekar Mabuk segera
berpaling ke belakang. Dinding lorong yang menjebaknya itu ternyata memang
halus dan rata, seperti bikinan manusia. Citra Bisu mengaku telah menutupnya
dengan sebuah iimu yang dapat membuat bebatuan menjadi lumer dan mengeras
sekeras baja. Tapi ketika Suto mendesak agar Citra Bisu melumerkan dinding itu
kembali, ternyata ilmunya tak bisa melumerkan kembali sesuatu yang semula sudah
dilumerkan. Sampai gadis itu bercucuran keringat, benda yang sudah mengeras
seperti baja itu tak mampu dilumerkan kembali.
"Minggirlah, biar
kuhancurkan sekaiian!"
"Tapi langit-langitnya
akan runtuh dan kita akan mati terkubur, Suto!" "Apa bedanya dengan
diam saja, toh kita tetap akan mati terkubur di sini!" ujar Suto Sinting
sambii mundur beberapa langkah. Sementara itu, suara gemuruh dari reruntuhan
langit sisi lain terdengar kembali, membuat bagian atas ruangan yang membuat
Suto terperangkap itu semakin menaburkan bebatuan. Duuurrr...! Gruuuutuk,
grutuk, grutuk, grutuuk...!
"Citra, jika dinding ini
berhasil kujebol, cepatlah melompat. Tak perlu tunggu perintah dariku.
Paham?"
"Ya, aku paham!"
seru Citra Bisu dengan suara keras untuk mengimbangi suara gaduh yang
membisingkan itu.
Sebuah jurus yang jarang
dipergunakan, kali ini sengaja dipakai oleh Pendekar Mabuk. Jurus itu bernama
jurus 'Lintang Kesumat'. Dengan kedua tangan bergerak mengeras di atas, lalu
turun perlahan-lahan dengan otot mengeras bertonjolan di lengan, maka jari-jari
Pendekar Mabuk mulai tampak menyala merah membara di bagian kuku-kukunya. Kedua
tangan itu segera menyiiang di dada, lalu diangkat pelan-pelan ke atas kepala
dalam keadaan tetap menyiiang.
Kejap kemudian, kedua tangan
itu mengibas ke samping bagaikan memercikkan air dari jari-jari tangan- nya.
Wuuut...! Yang memercik bukan air, melainkan kilatan cahaya merah dari tiap
kuku jari-jari tersebut. Cralaap...! Sepuluh kilatan cahaya merah itu menghan-
tam dinding tersebut.
Jegaaaarrrrr...!
Binding itu jebol dan menjadi
berlubang besar.
"Lompat keluar!"
teriak Suto Sinting, dan Citra Bisu pun melompat keluar dengan gunakan kekuatan
tenaga dalamnya.
Blaasss...!
Zlaaap...!
Pendekar Mabuk pun menggunakan
jurus 'Gerak Siluman', sehingga dalam sekejap ia sudah sampai di luar lorong.
Berdiri di depan langkah Citra Bisu yang segera terperanjat melihat Suto sudah
ada di depannya.
"Tebing akan
runtuh!" seru Suto Sinting dengan tegang.
Tanpa memikirkan bahwa ia
sudah berada di luar goa, tempatnya bertarung me Iawan Juru Jagal dan
orang-orangnya, Suto Sinting segera menyambar tubuh Citra Bisu dengan jurus
'Gerak Siluman'~nya juga. Zlaaap, wuuut...!
Zlaap, zlaap, zlaap...!
Gleeerrrrr...!
Tebing itu runtuh ke bawah.
Tentu saja lorong goa itu tertimbun padat oleh bebatuan tebing dan sukar digali
lagi. Tapi pada saat itu, Pendekar Mabuk dan Citra Bisu sudah berada di tempat
yang jauh. Dari ketinggian tempat mereka berada, Citra Bisu hanya bisa
memandang runtuhnya tebing itu hingga beberapa saat lamanya. Suto Sinting pun
segera menyadarkan keterpakuan Citra Bisu dengan ucapan lirih ditelinga gadis
itu.
"Pasti ada orang yang
mengadu iimu dan membuat ledakan dahsyat hingga mengakibatkan getaran hebat
sampai ke lorong maut itu!"
"Ooh, Suto...!"
Citra Bisu memeluk Suto Sinting. "Untung aku bersamamu. Jika saat itu aku
tak bersamamu, maka aku akan terkubur hidup-hidup di dalam lorong maut
itu!"
"Jangan anggap aku
berjasa padamu, tapi anggaplah aku terlibat dalam petualanganmu."
"Petualangan...?!"
"Ya, petualangan kencan
di dalam lorong maut itu! Hampir saja kita berdua mati bersama, Citra!"
"Apakah seiamanya kita
akan berdua sampai mati?"
Suto Sinting tarik napas
panjang-panjang dan tak tahu harus memberi jawaban apa kepada prajurit cantik
itu. Kini yang terpikir olehnya, siapa orang yang bertarung hingga timbuikan
ledakan dahsyat itu? Dan bagaimana nasib orang-orang yang memburu harta karun
tersebut.
Satu hal yang tiba-tiba
menjadi buah pikiran Suto adalah bau wangi rempah-rempah yang sejak tadi
tercium olehnya. Bau wangi rempah-rempah itu sebenarnya berasal dari tubuh
Citra Bisu. Tetapi Suto baru menemukan pertanyaan batinnya setelah lolos dari
lorong maut.
"Gadis ini berbau wangi
rempah-rempah. Mungkin bau wanginya dia itulah yang tercium oleh Mangku Randa
saat aku dan Mangku Randa memeriksa cekungan kembar itu? Atau... atau
jangan-jangan Citra Bisu ini malah si Ratu Sinden?! Ooh, celaka betul nasibku
kalau sampai ternyata gadis ini adalah si Ratu Sinden."
Tiba-tiba Citra Bisu bertanya
dengan suara batinnya, "Siapa si Ratu Sinden itu?!"
Suto Sinting terbengong dan
tak bisa menjawab lagi. ia baru sadar bahwa ia tak boleh bicara sembarangan
dalam batinnya, terutama tentang gadis itu. Sebab suara batinnya bisa didengar
oleh si gadis yang sempat membuat Suto menaruh cunga itu.
SELESAI