ANGIN berhembus dari utara ke
selatan. Udara kering terasa membakar kulit manusia, seakan sang matahari ingin
mengelupas setiap kulit penghuni bumi. Tanah retak menjadi pertanda bahwa bumi
pun sebenarnya mengeluh menerima teriknya sang mentari yang merajai langit
raya.
Udara panas itu terasa semakin
panas ketika angin berhembus dan taburkan pukulan jarak jauh bertenaga inti
api. Pukulan jarak jauh dilepaskan dari telapak tangan orang yang berdiri di
atas sebuah pohon tak terlalu rindang. Pukulan itulah yang membuat seorang
perempuan berjingkat loncat sebelum hawa panas terasa ingin menerkam tubuhnya.
Wuttt...! Blabb...!
Rumput tempat berdirinya orang
itu terbakar. Jelas ini perbuatan orang yang kurang perhitungan. Perempuan itu
cepat melarikan diri ke balik pohon. Matanya memandang ke arah jalan yang habis
dilewatinya. Mata itu mencari sesosok manusia di sana. Tapi tak ditemukannya.
Jalan sepi, alam juga sunyi. Tapi perempuan itu yakin, di balik kesepian dan
kesunyian itu pasti ada sepasang mata yang menunggu kesempatan melepas maut
untuknya. Karena itu perempuan tersebut tak mau segera keluar dari pohon, ia
justru menggunakan ilmu 'Getar Bayu', yaitu mengirimkan suara aneh yang bisa
menyakitkan gendang telinga bagi manusia yang berada dalam jarak dua puluh
tombak dari tempatnya.
Perempuan itu pun mencakarkan
kukunya pada batang pohon yang digunakan untuk bersembunyi. Batang pohon itu
dicakar pelan-pelan sekali gerakannya, hingga timbulkan suara berderit kecil,
namun dapat diterima jelas di pendengaran orang lain. Derit kecil itu
menyerupai suara pintu yang engselnya berkarat.
Kriiit... kkkriiit...
kkkkrrriiiieett...!
Burung-burung beterbangan
sambil mencicit ketakutan. Ular-ular mendesis sambil cepat tinggalkan tempat
sekitar situ. Dan seorang lelaki yang berada di salah satu pohon, pada bagian
dahan yang atas, segera menutup telinganya dengan kedua tangan. Wajahnya
menyeringai menahan rasa sakit pada gendang telinganya. Seolah-olah gendang
telinganya bagai ditusuk-tusuk dengan jarum yang terpanggang api. Semakin
panjang deritannya semakin kuat rasa sakit yang dirasakannya.
Kriiiieeeet... !
Laki-laki di atas pohon itu
hampir saja menjerit untuk mengimbangi rasa sakit itu. Namun karena kedua
tangannya dipakai untuk menutup telinga rapat-rapat, akhirnya tubuh pun oleng
saat berdiri di atas dahan sebesar pahanya sendiri itu. Tubuh itu kehilangan keseimbangan
dan jatuhlah lelaki itu dalam keadaan terjungkal. Brasss...! Bukk!
Beruntung sekali ia bisa
berjungkir balik satu kali pada saat jatuh dan melayang dari atas, sehingga
posisi jatuhnya tepat di tanah tak berbatu, serta kedua kakinya yang menyentuh
tanah lebih dulu dalam posisi jongkok.
Mendengar suara bergedebuk,
perempuan yang mengenakan pakaian hitam berhias benang emas, rambut disanggul,
cantik, judes,dan berkesan kejam itu segera palingkan wajahnya ke arah
tersebut, ia hentikan mencakar pohon, kini ia hampiri orang yang jatuh itu
dengan satu lompatan bertenaga peringan tubuh cukup tinggi. Wussst! Dalam
sekejap, perempuan yang mengenakan kalung berlian, gelang ketat, dan berhias
mahkota kecil itu sudah berada di depan orang yang jatuh dari atas pohon.
"Siapa kau?!" hardik
Ratu Teluh Bumi.
"Namaku Prahasto!"
jawab pemuda berambut pendek dan rapi. Ia bersenjatakan keris yang terselip di
depan perutnya. Melihat dandanan yang rapi, wajah yang rupawan, dan senjata
keris di depan itu, Ratu Teluh Bumi dapat memperkirakan bahwa Prahasto bukan
masyarakat desa biasa, bukan tokoh dunia persilatan,melainkan anak muda yang
berdarah bangsawan.
Jika Prahasto tokoh di rimba
persilatan, setidaknya ia muncul manakala para tokoh memperebutkan pedang
pusaka di Kuil Swanalingga, yang membuat Ratu Teluh Bumi terpaksa menyepi untuk
beberapa waktu, karena menderita luka-luka dari serangan Pendekar Mabuk. (Baca
serial Pendekar Mabuk daiam episode: "Pedang Guntur Biru").
Dari sekian banyak tokoh yang
memperebutkan Pedang Guntur Biru itu, hanya Ratu Teluh Bumi yang mampu
selamatkan diri walau harus menerima kekalahan. Dan sekarang ia tampil kembali
untuk bikin perhitungan dengan seseorang, namun baru saja ia turun dari lereng
tempat peristirahatannya, tahu- tahu ia sudah mendapat serangan dari anak muda
yang bernama Prahasto itu.
"Aku tidak kenal siapa
kau. Aku baru tahu namamu Prahasto. Bukankah kita tidak punya persoalan apa-
apa?"
"Memang! Tapi aku
diperintahkan oleh seseorang untuk membunuhmu. Dan aku dapatkan upah cukup
besar untuk pekerjaan ini!"
Perempuan yang berusia sekitar
lima puluh tahun, tapi masih awet cantik, berkulit kencang, berdada montok, dan
berpinggul menggiurkan itu hanya sunggingkan senyum sinis kepada Prahasto.
Kejap berikut terdengar ia berkata,
"Jadi, kau seorang
pembunuh bayaran?"
"Anggap saja
begitu!"
"Kau yakin bisa
membunuhku?"
"Aku yakin ilmuku lebih
tinggi dari ilmumu!"
Prahasto tampak sengaja
menjatuhkan keberanian Ratu Teluh Bumi. Tapi perempuan itu hanya sunggingkan
senyum sinisnya yang berkesan keji, lalu berkata pelan,
"Apakah kau juga mampu
mengalahkanku dalam bercinta?"
Mata Prahasto sejak tadi
dipandangnya, kali ini berkedip bingung tanpa mengeluarkan jawaban. Mata itu
masih terus dipandang oleh Ratu Teluh Bumi dengan sorot pandangan mulai sayu
menantang gairah. Prahasto menjadi semakin kelimpungan. Hatinya berdebar-debar,
darahnya mendidih dan mengalir deras. Bukan amarah yang mencekam jiwanya, tapi
tuntutan gairah yang memaksa jantungnya berdetak-detak. Prahasto sendiri merasa
heran, mengapa tiba-tiba ia mempunyai tuntutan gairah dalam keadaan harus
membunuh lawannya.
"Apakah kau bisa
mengalahkan cumbuanku?"
Prahasto gemetar kedua
kakinya. Anak muda itu mulai sulit bernapas karena diburu tuntutan batin yang
ingin menggapai kemesraan hangat. Matanya tak bisa dibuang ke arah lain, karena
dengan menatap mata lawannya, Prahasto merasa diraba sekujur tubuhnya.
"Lepaskan pakaianmu jika
kau mampu mengalahkanku," kata Ratu Teluh Bumi yang membuat Prahasto makin
terengah-engah. Tanpa sadar tangannya telah melepasi pakaiannya sendiri.
Prahasto benar-benar tak sadar bahwa ia telah masuk dalam pengaruh kekuatan
teluh perempuan itu yang dipancarkan melalui matanya. Jiwanya terbuai. Jiwa
yang terbuai itu menjadi mudah dimasuki kekuatan batin.
Tiba-tiba tubuh Prahasto
tersentak ke depan, dari dalam tenggorokan seperti ada yang menyentak. Tak bisa
ditahan lagi, dan ia pun muntah di depan Ratu Teluh Bumi.
"Hoekkk...! Huek!"
ia membungkuk-bungkuk, dan matanya sendiri melihat apa yang dimuntahkan saat
itu. Cairan putih kental, mirip darah, tapi bukan darah. Tak terlalu banyak,
namun cukup bikin sekujur badan lemas, bagai orang habis mencapai puncak cumbuan.
Ada rasa nikmat pada diri Prahasto saat memuntahkan cairan tersebut. Ada rasa
kelegaan dari suatu tuntutan batinnya tadi. Bahkan sekarang ia muntah lagi
dengan bahan muntahan yang sama, dalam jumlah yang cukup banyak, delapan kali
lipat dari yang pertama. Dan apa yang dimuntahkan itu sepertinya suatu kekuatan
seorang lelaki yang makin banyak dibuang makin berkurang tenaganya.
Ratu Teluh Bumi sunggingkan
senyum kemenangan, ia geli sendiri melihat anak muda itu terkulai jatuh tak
lagi mampu berdiri. Napasnya terengah-engah seperti orang habis berlari
mengelilingi tanah Jawa. Wajahnya pucat pasi. Kedua kakinya gemetaran. Rasa
nikmat memang ada di dalam hati Prahasto, tapi rasa letih menghujam di sekujur
tubuh, membuat persendiannya menjadi ngilu.
"Siapa yang menyuruhmu
membunuhku, Prahasto...!"
"Aku... aku lupa..."
jawab Prahasto sambil ngos- ngosan. Sepertinya menggerakkan bibir saja tak
bisa, apalagi menggerakkan tangan untuk melepaskan pukulan.
"Hooekk...!"
Prahasto kembali muntah. Lebih
banyak lagi jumlah cairan yang dimuntahkan. Napasnya bagai tinggal sekuku
hitam. Tubuhnya makin lemas bagai tanpa urat dan tulang lagi. Rasa nikmat tetap
hadir, seperti halnya jika ia melakukan percumbuan dengan mesra. Ia tak tahu,
bahwa dengan cara begitulah Ratu Teluh Bumi melumpuhkan dirinya dan menyerang
habis kekuatannya.
"Siapa yang menyuruhmu
membunuhku, Prahasto ........ !"
Pernyataan ulang itu membuat
Prahasto mulai sadar, bahwa ia sedang dipaksa mengatakan hal yang sebenarnya.
Jika ia tidak mau katakan yang sebenarnya, maka ia akan dipaksa memuntahkan
sesuatu yang membuatnya semakin tak berdaya lagi itu.
Prahasto berpikir sejenak,
setelah itu baru menjawab dengan suara yang sangat pelan, hampir tak mudah
ditangkap oleh pendengaran,
"Dayang... Kesumat...!"
Ratu Teluh Bumi terkesiap.
"Dayang Kesumat?! Benarkah Dayang Kesumat yang menyuruhmu
membunuhku?!"
"Be... benar...!"
"Apa alasannya ingin
membunuhku? Dayang Kesumat tak pernah berselisih denganku, dan aku sendiri tak
pernah berbuat salah kepada Dayang Kesumat!"
"Entah... yang jelas aku
harus temui dia pada malam purnama nanti...!"
"Di mana kau mau temui
dia? Biar aku sendiri yang hadapi dia! Katakan di mana, atau kau muntah
kenikmatan lagi?"
"Di... di.... Di Bukit
Gelagah!"
"Bukit Gelagah?! Pada
malam purnama...?! Hmm..! Kurasa tak perlu aku membunuhmu, Cah Bagus! Yang
perlu kubunuh adalah Dayang Kesumat sebagai manusia lancang yang mau bikin
persoalan denganku! Dia tak tahu, Ratu Teluh Bumi yang sekarang bukan lagi Ratu
Teluh Bumi yang dulu!"
"Tapi... tapi...."
Wesss...! Ratu Teluh Bumi
melesat pergi dengan sangat cepat, ia tak pedulikan lagi keadaan Prahasto yang
terkulai lemas, gemetar seluruh tubuhnya bagai ingin menemukan ajalnya.
Akibatnya Prahasto hanya bisa
telentang di tempat itu tanpa bergerak-gerak, ia tak mampu lagi mengangkat
kepalanya. Sumsum dan darahnya bagaikan terkuras habis. Seolah-olah tak tersisa
sedikit pun di dalam tubuhnya. Matanya pun tak bisa dipakai memandang dengan
jelas. Buram dan berkunang-kunang.
Sampai matahari bergerak
memburu sore, Prahasto masih tetap tak bisa melakukan apa-apa. Dan seseorang
yang menunggu serta memperhatikan dari kejauhan sejak pertarungannya dengan
Ratu Teluh Bumi, akhirnya tampakkan diri kepada Prahasto. Mestinya orang itu
tak boleh menampakkan diri, tapi karena cemas akan keselamatan jiwa Prahasto,
maka ia pun segera menghampiri tubuh yang terkapar tanpa daya itu.
Prahasto samar-samar melihat
bayangan orang mendekat, ia merasa sedikit lega. Tapi ketika ia mempertegas
pandangan matanya untuk melihat orang itu dengan lebih jelas lagi, ia menjadi
kaget setengah mati. Hanya saja ia tak bisa tersentak seperti layaknya orang
kaget. Hanya hatinya yang memekik begitu melihat orang yang menghampirinya.
Orang itu berusia sekitar tiga puluh tahun.
Orang itu cukup dikenal oleh
Prahasto. Dia adalah Rakawuni, seorang anggota prajurit sandi dari kerajaan.
Orang itu tingkatannya lebih
tinggi dari Prahasto. Dalam jajaran keprajuritan di Istana Jenggala, Prahasto
masih tamtama sedangkan Rakawuni sudah termasuk perwira unggul, dan masuk dalam
jajaran prajurit sandi praja, artinya prajurit khusus untuk menangani masalah-
masalah berbahaya dalam keistanaan. Tidak setiap prajurit bisa menjadi prajurit
sandi praja. Mereka adalah orang-orang pilihan yang punya ilmu tinggi, punya
kepandaian menyamar, punya kepandaian mencuri, dan punya kepandaian menggunakan
semua jenis senjata.
"Rakawuni...," ucap
Prahasto, pelan sekali sehingga Rakawuni sempatkan diri untuk merendahkan
badan.
"Aku dengar ucapanmu,
Prahasto!"
"Aku... tak sadar telah
diserangnya."
"Ya. Aku tak bisa
membantumu tadi, karena aku tak boleh kelihatan. Ratu Teluh Bumi kenal betul
denganku!"
"Dia... sungguh tinggi
ilmunya. Bukan tandinganku!"
"Kau harus gunakan
otakmu, bukan kekuatanmu, Prahasto."
"Ya. Aku... aku sudah
gunakan otakku. Karenanya aku katakan hal yang tidak sebenarnya."
"Bagus. Apa yang kau
katakan kepadanya?"
"Aku disuruh membunuh
dia. Orang yang menyuruhku adalah Dayang Kesumat! Akan kuadu dia dengan Dayang
Kesumat, karena Dayang Kesumat lebih tinggi ilmunya dari Ratu Teluh Bumi."
"Mengapa kau mengadunya
dengan Dayang Kesumat?"
"Karena Dayang Kesumat
pernah menolak cintaku!"
***
Lelaki bertubuh agak gemuk dan
berwajah bundar itu mempercepat larinya. Gerakan kaki nyaris tak bisa dilihat
lagi mana yang kanan dan mana yang kiri. Lelaki sedikit pendek berpakaian
abu-abu dengan potongan rambut pendek bundar seperti topi tapi cukup tebal itu
dikenal dengan nama Wilduto.
Melarikan diri merupakan
pekerjaannya setiap hari. Dia adalah satu-satunya anggota Pencuri Terhormat
dari Gua Maksiat yang punya kecepatan lari paling jago. Tapi agaknya kali ini
Wilduto yang berwajah bulat dengan mata bundar jelek itu mengalami keanehan
dalam larinya.
Kaki sudah diayun dengan cepat
dan sangat cepat. Arah yang dituju adalah gugusan tanah tinggi yang mempunyai
tiga pohon kelapa berjajar itu. Di sana, ia bisa menghilang dari kejaran lawan,
karena di sana ada lorong kecil, mirip lorong ular yang bisa dipakai untuk
masuk tubuhnya. Lorong itu yang akan membawanya ke Gua Maksiat, tempat
teman-temannya yang pekerjaannya sebagai pencuri membagi hasil, berjudi, atau
membawa perempuan impiannya.
Tetapi secepat baling-baling
kaki itu bergerak, gugusan tanah tinggi bertanda tiga batang pohon kelapa
berjajar itu terasa masih jauh. Wilduto mempercepat lagi larinya, kerahkan
semua tenaga, bahkan keringatnya sampai bercucuran. Tapi anehnya pohon kelapa
berjajar tiga itu belum juga dicapainya.
Wilduto menoleh ke belakang,
ia terkejut. Memandang ke samping. Juga terkejut. Memandang ke bawah, semakin
terkejut. Karena tanah yang dipijaknya berongga, melesak ke dalam, rumput yang
dipijak menjadi rusak. Pohon di sampingnya tidak bergerak. Padahal dia sudah
lari sekuat tenaga sejak tadi maka Wilduto segera sadar bahwa ada kekuatan gaib
yang menahannya dari belakang.
Dan ketika ia memandang ke
arah belakang lagi, tiba- tiba matanya menangkap seraut wajah cantik yang amat
mengejutkan hati. Tersentak Wilduto seketika itu dan mundur tiga tindak dari
tempatnya.
"Celaka...!"
gumamnya sangat lirih sekali.
Perempuan cantik yang masih
tampak muda itu bertubuh ramping. Pakaian penutup dadanya berwarna hijau dengan
hiasan benang emas. Celananya yang ketat itu juga berwarna hijau, ia mengenakan
baju jubah tak dikancingkan, berwarna biru muda samar-samar, sehingga masih
tetap membayang wujud bentuk tubuhnya yang menggiurkan itu. Rambutnya diurai,
pakai mahkota emas kecil, ia juga mengenakan kalung lempengan emas bermata
intan susun dua. Ia mengenakan gelang kroncong, kiri lima, dan kanan lima.
Gemerincing suara gelang terdengar jika tangannya digerakkan.
Di pundaknya tersumbul gagang
pedang berbenang koncer merah. Pedang yang disematkan di punggungnya itu adalah
pedang bersarung merah tembaga berukir.
Wilduto merasa takut
berhadapan dengan perempuan cantik berhidung mancung dan berbibir bagus itu.
Bukan karena Wilduto tidak pernah bertemu dengan perempuan secantik itu, tapi
memang Wilduto berusaha untuk jangan sampai bertemu dengan perempuan tersebut.
Sebab ia tahu, perempuan itu adalah Dayang Kesumat, penguasa dari Pulau Hantu
yang terkenal cukup sakti. (Baca serial Pendekar Mabuk, dalam episode:
"Cermin Pemburu Nyawa").
"Mau lali ke mana kau,
Tikus Busuk!" seru Dayang Kesumat dengan suara cadelnya yang tidak bisa
sebutkan huruf 'R', ia berdiri dalam jarak tujuh langkah dari tempat Wilduto.
"Mengapa kau masih
mengejarku terus, Dayang Kesumat?! Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak
punya salah apa-apa padamu?!"
"Kalau tak punya salah,
kau tak akan lali, Wilduto!"
Dayang Kesumat maju tiga
tindak. Wilduto mundur dua langkah, ia berusaha menghindari pandangan mata
Dayang Kesumat yang tajam itu.
"Kembalikan gelangku,
atau kau kubunuh sekalang juga, Wilduto!"
"Sungguh aku tidak
mengerti apa maksudmu, Dayang Kesumat!"
Dayang Kesumat segera
menggenggam jari kelingkingnya. Wilduto segera tersentak dengan leher
memanjang, ia mendelik dan tak bisa bernapas. Lehernya bagaikan ada yang
mencekik dengan keras. Wajah Wilduto menjadi merah dan badannya bergerak-
gerak, seakan kedua tangannya ingin menarik sesuatu yang mencekik leher, tapi
tak ada tangan yang harus disingkirkan atau ditarik.
Ketika kelingking yang
digenggam Dayang Kesumat dilepaskan, maka Wilduto kembali bisa bernapas walau
diawali dengan terbatuk-batuk. Napasnya terengah- engah dan lehernya terasa
panas.
"Kau benal-benal maling
bodoh, Wilduto! Kalau kau mau menculi, jangan menculi balang-balangku! Itu sama
saja kau jual nyawamu dan kau tukal dengan balang- balangku!"
"Ak... aku tidak mencuri!
Uhuk uhuk uhukk...! Aku tidak ambil apa-apa darimu, Dayang Kesumat!"
"Lantas untuk apa kau
menyusup masuk ke pesangglahanku?"
"Aku tersesat!"
"Jika kau telsesat,
mengapa kau lali begitu melihatku?"
"Aku... hmm... aku takut
kalau...! Heggh...!"
Wilduto mengejang. Matanya mendelik
dengan badan setengah bungkuk ke depan. Kedua tangannya mendekap 'jimat lelaki'
yang dirasakan telah diremas oleh sebuah tangan. Pada saat itu, Dayang Kesumat
menggenggam jari telunjuknya sendiri. Yang digenggam jari telunjuknya, tapi
yang merasakan sakit adalah bagian bawah Wilduto.
Itulah jurus yang sering
ditakuti lawan. Jurus 'Jemari Mayat' merupakan jurus yang langka dimiliki
orang. Jurus itu bisa membunuh orang dengan mudah, dengan hanya menggenggam
salah satu bagian jari. Jika bagian jari kelingking yang digenggam, maka lawan
akan merasakan tercekik. Jika bagian telunjuk yang diremas, maka lawan akan
merasa diremas kuat bagian 'jimat'-nya itu. Begitu pula dengan jari-jari yang
lainnya, punya sasaran tersendiri untuk setiap jarinya.
"Lekas selahkan Gelang
Mata Setan-ku!" sentak Dayang Kesumat.
"Gelang itu... gelang
itu... jatuh ke laut, waktu kau menyerangku di perahu!"
"Apaaa...?!" seru
Dayang Kesumat sambil melangkah maju siap melepaskan murkanya.
"Coba sebutkan sekali
lagi!" sentaknya.
Makin takut Wilduto hadapi
wajah garang perempuan cantik itu. Tapi ia tetap sebutkan dengan suara
bergetar,
"Gelang itu... jatuh
ketika kau menyerangku di kapal. Jatuh ke laut dan...."
"Jahanam kau!"
Behggg...! Dayang Kesumat
lepaskan tendangan kuat ke arah dada Wilduto. Seketika itu Wilduto terlempar
jauh, bagaikan daun kering terlempar begitu saja. Wilduto tak sempat mengaduh
atau memekik, karena napasnya bagai terhenti sekian kejap.
Dayang Kesumat masih belum
puas, maka dengan satu sentakan tangan kirinya, melesatlah sinar merah
berbentuk bintang. Zlapp...! Sinar merah itu seharusnya menghantam pinggang
Wilduto, dan Wilduto akan pecah berkeping-keping.
Tetapi sebelum sinar merah itu
menghantam sasaran, terlebih dulu sekelebat sinar hijau melesat dan tepat
membentur sinar merah.
Blarrr...!
Meledaklah benturan dua sinar
itu. Gelombang ledakannya membuat Wilduto terlonjak terbang ke atas dan jatuh
bagaikan nangka busuk.
Blukkk...! Sedangkan Dayang
Kesumat tidak bergeming sedikit pun diterpa gelombang ledakan yang membawa
angin besar menyebar itu.
Dayang Kesumat tak
menghiraukan lagi keadaan Wilduto yang kini bisa mengerang kesakitan. Mata
Dayang Kesumat memandang nanar ke sekelilingnya, ia mencari si pemilik sinar
hijau tadi. Kemarahan semakin tampak nyata di permukaan wajah cantiknya yang
bermata jeli indah itu.
Tiba-tiba ia rasakan ada
hembusan hawa panas yang akan menyerangnya dari belakang. Dengan cepat Dayang
Kesumat berbalik arah dan lepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar itu.
Wussst...!
Blamm...!
Terjadi letupan kecil yang
memercikkan sinar putih keperakan. Itu pertanda pukulan hawa panas yang akan
menyerangnya berhasil dipatahkan di pertengahan jalan. Kemudian, dengan geramnya
Dayang Kesumat menghantam bagian atas sebuah pohon yang berdaun rindang.
Zlappp...! Sinar merah melesat
dan menuju ke pohon berdaun rindang itu. Dengan cepat, melompatlah sesosok
bayangan berwarna kuning. Wuttt..! Dan dalam kejap berikutnya, sosok yang
melompat itu telah berada di bawah pohon, lalu kembali melesat ke samping.
Pada saat itu, sinar merah
menghantam dahan pohon dengan timbulkan suara ledakan yang cukup kencang.
Duerrr...! Prasss...!
Semua daun di pohon itu
menyebar entah ke mana, menjadi serpihan-serpihan kecil. Batang dan dahannya
pun pecah menyebar ke mana-mana. Orang yang baru turun dari pohon itu terpaksa
lompat kembali untuk menghindari hujan serpihan kayu dari atasnya.
Wuttt... ! Wilduto menggunakan
kesempatan itu untuk melarikan diri. Dayang Kesumat melihatnya, lalu segera
berlari mengejar. Tapi tiba-tiba ia tersentak dan hampir saja tersungkur kalau
tidak segera berjungkir balik dengan lincah ke arah depan. Sebuah pukulan jarak
jauh dilepaskan dari lawan barunya dan mengenai punggungnya.
"Bangsat!" geram
Dayang Kesumat dengan mata mulai memandang garang kepada lawan barunya yang tak
lain adalah Prahasto. Segera Dayang Kesumat mengirimkan pukulan jarak jauh
lagi, wusss...! Prahasto menghindarinya dengan melompat tinggi dan bersalto
satu kali di udara. Kemudian kakinya berhasil mendarat dengan tegap dan sigap.
Matanya memandang penuh waspada dalam keadaan badan setengah miring ke kanan.
"Plahasto! Mengapa kau
menyelangku? Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja?!"
"Ada sesuatu hal yang
membuatku terpaksa bersikap begini padamu, Dayang Kesumat!"
Hati Dayang Kesumat menjadi
benci melihat sikap Prahasto yang menyerang dengan sungguh-sungguh tadi. Karena
itu, Dayang Kesumat pun merencanakan untuk tidak segan-segan membunuh Prahasto,
walau sebenarnya ia sangat sayang, karena sewaktu-waktu ia bisa menggunakan
tenaga Prahasto untuk keperluan batiniahnya.
Selagi Dayang Kesumat
merenungkan diri, tiba-tiba Prahasto melepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui
genggaman tangannya yang menghantam ke depan. Kepalan tangan itu keluarkan
cahaya kuning yang nyaris tak terlihat jika dalam keadaan siang hari.
Wussst... !
Cepat-cepat telapak tangan
Dayang Kesumat dihadangkan ke dada. Dan sinar kuning itu menghantam telapak
tangan tersebut.
Debb...! Wuttt...!
Dayang Kesumat terlempar ke
belakang, ia tak sangka kekuatan pukulan bercahaya kuning itu sangat besar.
Tubuhnya sempat terbanting ke belakang dan membentur sebatang pohon. Bruss... !
"Dia benal-benal ingin
membunuhku!" pikir Dayang Kesumat. "Apa penyebab sebenarnya?"
Dayang Kesumat segera bangkit,
telapak tangannya terasa ngilu, tapi tidak ia perhatikan. Dengan cepat tangan
kanan itu meremas jari kelingkingnya. Sett...!
"Keehkkr...!"
Prahasto mendelik seketika
dengan tubuh kejang, ia memegangi lehernya sendiri, mencari tangan yang
mencekik keras-keras itu. Tapi ia tak mendapatkan tangan orang lain kecuali
tangannya sendiri. Prahasto kelabakan, sukar bernapas hingga mulutnya
ternganga, menjulurkan lidah dan kepalanya tersentak-sentak.
"Mengapa kau mau membunuh
aku, hah?! Sebutkan, mengapa kau mau membunuh aku?! Apa alasanmu, hah?!"
Dayang Kesumat melepaskan
jurus 'Jemari Mayat'- nya. Prahasto terbatuk-batuk dalam keadaan seperti
Wilduto tadi. Dayang Kesumat berkata,
"Kalau kau tak mau jawab,
aku akan lakukan lagi!"
Prahasto berusaha menjawab
dengan napas masih terengah-engah,
"Karena... karena... aku
disuruh oleh seseorang! Ada yang mengupahku untuk membunuhmu!"
"Siapa...?"
"Aku... aku tak
tahu!"
"Siapa?!" bentak
Dayang Kesumat sambil ia meremas jari tengah. Sekarang yang dirasakan Prahasto
adalah perut. Perut itu terasa diremas isinya dan dipulir kuat- kuat. Prahasto
kembali tidak bisa bernapas. Megap- megap dan mendelik sambil tubuhnya
gemetaran. Bahkan tubuh itu terangkat sedikit, kakinya menggantung, tidak
menyentuh tanah. Kejap berikut, ia dilepaskan dalam satu sentakan yang
membuatnya jatuh.
"Jawab kataku, siapa yang
suluh kamu bunuh aku?! Kalau tidak, kucekik kau dali sini sampai mati!"
"Ak... aku mau kasih tahu
orangnya, tapi... tapi kau harus berjanji untuk tidak bunuh aku!"
"Baik. Kau bisa kuampuni
jika kau kasih jawaban yang benal!"
Prahasto benar-benar merasakan
sakit. Bukan berpura-pura. Padahal kalau dia maju untuk serang Dayang Kesumat,
bisa saja ia lakukan. Tapi jelas dia akan dibunuhnya. Kalau toh dia lari, dia
juga akan dikejar dan dibunuhnya. Maka, segeralah Prahasto memainkan
rencananya,
"Aku disuruh oleh seorang
perempuan yang bernama Ratu Teluh Bumi! Dia yang menghendaki kematianmu!"
"Latu Teluh
Bumi...?!"'geram Dayang Kesumat dengan bahasa cadelnya. "Diam-diam
olang itu jahanam juga! Dia pelalian dali Jenggala! Dia satu-satunya olang
Jenggala pada masa pemelintahan laja sebelumnya yang masih hidup! Dulu dia lali
dali Jenggala, dan kutampung di Pulau Hantu. Tapi sekalang dia belbalik mau
membunuhku! Pasti dia mau kuasai Pulau Hantu untuk menyusun kekuatan balu, buat
menyelang Jenggala!"
"Soal itu, aku
benar-benar tidak tahu! Dia tidak pernah sebutkan alasannya memberi perintah
begitu padaku. Dia hanya menyebutkan sejumlah uang yang cukup menggiurkan
bagiku! Sebagai pengelana, aku selalu butuh uang dan segala pekerjaan pun
kuhalalkan! Yang penting aku bisa mendapatkan uang untuk menyambung
hidupku!"
"Sehalusnya kau kubunuh,
Plahasto... kalena kuanggap kau telah menodai pelsahabatan kita!"
"Tapi kau janji tidak
akan membunuhku tadi!"
"Ya, aku memang janji!
Tapi janjiku kucabut, kecuali kau mau kasih tahu padaku, di mana aku bisa temui
Latu Teluh Bumi itu?!"
"Aku tidak bisa sebutkan
sekarang. Entah dia ada di mana. Tapi aku bisa bertemu dengannya pada malam
purnama nanti. Aku harus temui dia di Bukit Gelagah untuk melaporkan hasil
kerjaku ini!"
"Bukit Gelagah?!"
gumam Dayang Kesumat. "Dua hali lagi adalah malam pulnama. Belalti aku
halus bikin pelhitungan dengannya dua hali lagi di Bukit Gelagah."
"Tapi aku tak berani ikut
mendampingimu! Aku takut dia mengetahui bahwa aku memihakmu!"
"Aku akan datang sendili!
Tapi kalau di sana tak ada dia, kau kucali untuk kubunuh!"
Dayang Kesumat bicara dengan
mata memancarkan dendam untuk membunuh. Agaknya dia benar-benar merasa benci
pada Prahasto jika pada malam purnama nanti tak ada Ratu Teluh Bumi di Bukit
Gelagah. Prahasto pun cemas, takut kalau-kalau Ratu Teluh Bumi tidak hadir di
bukit itu pada malam purnama nanti, pastilah dirinya akan jadi bahan buruan
bagi Dayang Kesumat.
Dan Prahasto tidak sanggup
menghadapi ilmu Dayang Kesumat, termasuk ilmu yang baru saja dipakai
menyerangnya, jurus 'Jemari Mayat'. Prahasto tak pernah tahu bahwa Dayang
Kesumat punya jurus seperti itu. Sama halnya Dayang Kesumat tak pernah tahu
kalau Prahasto adalah prajurit sandi dari Jenggala. Ia mengenal Prahasto
sebagai pengelana yang hidupnya dari upah demi upah.
***2
SEMILIR angin membawa
keteduhan di bawah pohon rindang itu. Pendekar Mabuk yang sedang melepaskan
lelah di bawah pohon tersebut mulai mengeluh dalam hati. Perutnya terasa lapar
sekali, tapi tak tahu ke mana ia harus mencari tempat untuk makan.
Dari ketinggian lereng itu,
Pendekar Mabuk memandang ke arah utara, dan samar-samar ia melihat persawahan
membentang dengan tanaman padinya yang masih menghijau. Dalam hatinya Suto
Sinting pun berkata membatin,
"Kurasa tak jauh dari
persawahan di sana pasti ada sebuah desa. Dan kurasa di desa itu ada kedai
untuk makan. Sebaiknya aku segera ke sana saja. Perutku terasa perih jika diisi
tuak terus-menerus. Kebetulan tuakku tinggal sedikit, ada baiknya kalau aku
bukan hanya mengisi perut, tapi juga mengisi bumbung tuakku ini!"
Maka bergegaslah Suto Sinting,
si Pendekar Mabuk itu melangkah menuruni lereng perbukitan. Namun beberapa saat
sebelum ia mencapai pematang sawah di seberang sana, langkahnya menjadi
terhenti akibat kehadiran seseorang yang muncul dari balik sebatang pohon besar
berdaun rimbun.
Orang tersebut adalah pemuda
sebaya dengannya, berambut panjang yang diikat ke belakang, tubuhnya tinggi,
tegap, dan mempunyai wajah lumayan ganteng.
Pemuda itu mengenakan baju
hijau tua dan menyandang empat pisau terbang di pinggangnya. Dilihat dari caranya
memandang, Suto sudah dapat menduga, pemuda tersebut punya maksud tak baik
padanya. Setidaknya ada sesuatu yang membuatnya curiga terhadap Suto. Tetapi
saat itu Suto Sinting tetap tenang dan menyunggingkan senyum keramahan, ia
berhenti antara tujuh langkah di depan pemuda berbaju hijau itu.
Karena pemuda itu sejak tadi
hanya memandang dengan tajam dan tidak membalas senyum keramahan Pendekar
Mabuk, maka si Pendekar Mabuk itu menyapa pemuda tersebut lebih dulu.
"Agaknya kau punya
masalah yang ingin kau sampaikan padaku, Sobat! Katakanlah apa masalahmu. Tapi
tolong sebutkan dulu namamu!"
"Namaku Jarum
Lanang," jawab pemuda itu bernada ketus.
"Itu nama yang
bagus!" kata Suto sambil tetap tersenyum kalem. "Setelah itu, apa
masalahmu?"
"Tak usah berpura-pura
ramah padaku! Serahkan Sumping Rengganis sekarang juga, atau aku terpaksa
membunuhmu?!"
"Apa...?!" Pendekar
Mabuk berkerut dahi dengan heran.
"Serahkan Sumping
Rengganis padaku!"
Pendekar Mabuk diam sebentar,
berpikir beberapa saat lalu bertanya dengan wajah lugu.
"Sumping Rengganis itu
apa? Nama pusaka atau nama makanan?!"
Wajah Jarum Lanang semakin
tampak marah, ia maju dua tindak dari tempatnya menggeram, kemudian berkata
dengan mata makin tajam memandang Pendekar Mabuk,
"Kau benar-benar
memuakkan! Jangan berlagak bodoh di depanku, Jahanam!"
"O, namaku Suto! Suto
Sinting! Ya, itu namaku dan bukan Jahanam!" kata Suto sambil
menyunggingkan senyum yang berkesan tidak merasa gentar sedikit pun dengan
gertakan pemuda berambut panjang itu. Sikap tersebut membuat Jarum Lanang
menjadi semakin dongkol, maka dengan cepat tangannya berkelebat ke depan untuk
melepaskan pukulan jarak jauhnya. Dan pukulan itu oleh Suto hanya dibalas dengan
gerakan
telapak tangan kiri yang
terbuka menghadap ke depan.
Wubbb...! Pukulan jarak jauh
tanpa sinar itu bagaikan diredam oleh tangan kiri Pendekar Mabuk, lalu
dibelokkan arahnya ke samping. Wursss...! Berubah menjadi hembusan angin yang
menerjang semak.
"Apa kau ingin unjuk
permainan padaku, Jarum Lanang?!"
Jarum Lanang membentak,
"Aku hanya ingin meminta kembali kekasihku yang bernama Sumping
Rengganis!"
"Ooo... Sumping Rengganis
itu nama kekasihmu?!" Suto membuka mata lebar-lebar sambil tertawa kecil
dan akhirnya manggut-manggut.
Tetapi Jarum Lanang sudah tak
sabar lagi, maka dengan cepat ia mencabut salah satu pisaunya dan dilemparkan
ke arah Pendekar Mabuk dengan kelebatan cepat, hampir tak terlihat.
Zingngng...!
Tebb...! Pendekar Mabuk
kembali kelebatkan tangannya di depan, dan ternyata saat itulah ia bergerak
menangkap pisau yang dilemparkan oleh Jarum Lanang. Pisau itu tahu-tahu
menancap di sela-sela dua jemari tangannya, tanpa luka dan tanpa darah sedikit
pun.
Pendekar Mabuk tersenyum lagi,
tapi Jarum Lanang terkesiap matanya melihat kecepatan lawan dalam menangkap
pisau terbangnya. Dalam hatinya Jarum Lanang membatin,
"Agaknya dia bukan pemuda
sembarangan, bukan sekadar pemuda tampan tanpa isi! Aku yakin dia punya ilmu
yang lumayan. Buktinya dia bisa menangkap lemparan pisauku dengan jemarinya!
Hmm...! Aku tak boleh sembarangan menghadapi pemuda ini!"
Lalu Jarum Lanang segera
terperanjat dan terpaksa sentakkan kaki ke tanah, tubuhnya melompat ke atas
karena Suto Sinting mengembalikan pisaunya dengan satu gerakan yang
hampir-hampir tak terlihat kelebatan geraknya. Wussst...! Kalau bukan karena
ada pantulan sinar matahari yang membuat mata pisau berkerilap sekejap tadi,
Jarum Lanang tak bisa melihat bahwa benda itu meluncur ke arahnya.
Pisau tersebut bisa lolos dari
dirinya. Jarum Lanang merasa lega. Ia memandang ke belakang sebentar, melihat
di mana menancapnya pisau tersebut untuk nanti dicabutnya kembali. Rupanya
pisau itu menancap di batang pohon tak terlalu besar tak begitu jauh darinya. Jarum
Lanang kembali lega. Tapi tiba-tiba terperanjat kaget karena pisau itu ternyata
tidak menancap, melainkan juga menembus batang pohon itu. Ploss...!
Keluar dan menembus pohon
depannya lagi. Ploss! Pada batang pohon ketiga pisau itu berhenti menancap.
Jrabb... !
Melihat kehebatan lemparan
pisaunya Pendekar Mabuk, Jarum Lanang hampir saja tak bisa menelan ludahnya
sendiri, ia tak bisa bicara apa pun, selain hanya membatin,
"Luar biasa! Pisau itu
bukan hanya menancap tapi menembus, dan bukan saja menembus pada batang pohon
pertama, namun juga menembus pohon kedua dan berhenti di pohon ketiga! Tanpa
tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin hal itu bisa dilakukan! Ternyata pemuda
itu punya kehebatan melempar pisau lebih tinggi dariku. Gawat kalau begini!
Agaknya aku tak boleh gegabah dalam menghadapinya! Benar-benar harus pakai
perhitungan!"
Kemudian terdengar suara
Pendekar Mabuk berkata, "Jarum Lanang, sebaiknya kita tak perlu
berselisih! Jujur saja kukatakan padamu, kau akan kalah jika melawanku! Dan aku
tidak suka menyerang orang yang tidak punya kesalahan apa pun kepadaku. Jika
itu hanya kesalahpahaman, kita harus luruskan bukan dengan perselisihan atau pertarungan!
Perlu kau percayai, bahwa aku tidak tahu menahu tentang kekasihmu itu.
Mendengar namanya saja baru kali ini!"
"Omong kosong! Sewaktu
aku di lereng sana, aku melihat Sumping Rengganis masih menungguku di sini! Dan
ketika kau tiba di sini, dia sudah tak ada! Kejap berikutnya kau muncul dengan
langkah terburu-buru! Dugaanku mengatakan, kau telah sembunyikan kekasihku itu
dan entah kau bunuh atau kau apakan dia di tempat persembunyiannya, lalu kau
ingin buru-buru pergi dari sini!"
"Oh, salah besar itu,
Jarum Lanang! Salah besar! Aku melangkah terburu-buru karena ingin segera
mencapai desa seberang sana untuk mencari kedai! Aku lapar sekali dan ingin
segera mengisi perut!"
"Bohong! Wajahmu lebih
tampan dariku, pasti Sumping Rengganis lebih terpikat dengan senyumanmu!"
"Terima kasih atas
pengakuanmu itu! Tapi sungguh mati aku tidak menculik atau menyembunyikan
kekasihmu, Jarum Lanang! Sebaiknya, kau percaya saja padaku, supaya di antara
kita tidak terjadi pertarungan!"
"Kau kira aku takut
melawanmu?!" sentak Jarum Lanang sambil melangkah dua tindak ke depan.
"Tentu saja kau tidak
takut padaku! Kau punya ilmu tinggi mestinya, terbukti kau berani menyerangku
dengan lemparan pisau. Tapi aku pun juga tidak akan gentar melawanmu, hanya
saja aku tidak suka berselisih karena kesalahpahaman!"
"Rupanya kau perlu
dipaksa, Suto! Heaaah...!"
Jarum Lanang segera melompat
dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya bercahaya kuning. Suto Sinting hanya
menghindar ke samping tanpa berpindah dari tempatnya berpijak. Wuttt...! Sinar
kuning itu melesat tak mengenai Pendekar Mabuk, melainkan mengenai pohon di
belakangnya. Blarr...! Pohon itu pun rubuh dan hancur di pertengahannya.
Pada saat itu, kaki Jarum
Lanang sudah menapak di tanah depan Suto dalam jarak satu langkah persis.
Tangannya segera menghantam lurus ke wajah Suto. Dengan cepat tangan Pendekar
Mabuk berkelebat menangkisnya. Plakk...! Kemudian dua jarinya menusuk kuat ke
arah ulu hati Jarum Lanang. Tubb...!
"Heggh...!" Jarum
Lanang terpekik tertahan sambil tubuhnya tersentak terbang ke belakang dan
jatuh dalam jarak empat langkah.
Pendekar Mabuk mengambil
bumbung tuaknya dan meneguk tuak beberapa kali. Ia tetap bersikap santai dan
tenang tanpa nafsu menyerang. Sementara itu, Jarum Lanang yang jatuh terduduk
di tanah itu berusaha bangkit dengan wajah menyeringai menahan sakit pada ulu
hatinya, ia pun membatin,
"Gila betul sodokan jari
pemuda itu! Ulu hatiku terasa bengkak! Uhh... sakitnya bukan main! Hanya dua
jari yang menyodok, tapi rasanya seperti sebatang kayu kelapa yang menghantam
dadaku!"
Suto mendekati Jarum Lanang
dan menyodorkan bumbung tuaknya dengan berkata,
"Minumlah tuakku ini,
supaya kau tak terlalu merasa sakit!"
Plakk...! Jarum Lanang
mengibaskan tangannya, menghantam bumbung tuak yang disodorkan kepadanya.
Biasanya benda seperti itu jika dihantam dengan kibasan tangan akan terpental.
Tapi kali ini ternyata tidak. Benda itu tetap di tempatnya tanpa gerak sedikit
pun. Padahal tangan Jarum Lanang cukup keras mengibaskan dan menghantam bumbung
itu. Tapi justru terasa kesemutan sekujur tubuh Jarum Lanang ketika memukul bumbung
tersebut.
"Kalau kau tak biasa
minum tuak, ya sudah! Aku tidak memaksanya!" kata Suto dengan kalem.
Kemudian ia gantungkan bumbung tuak itu di pundaknya.
"Maaf, aku harus segera
meninggalkanmu! Aku tak kuat menahan lapar terlalu lama! Kalau ingin
menyusulku, aku ada di sebuah kedai di desa seberang itu!"
Tanpa menunggu jawaban dari
Jarum Lanang, Pendekar Mabuk itu pun segera melangkah meninggalkan tempat
tersebut. Tapi agaknya Jarum Lanang masih penasaran dan merasa yakin bahwa
Sumping Rengganis, kekasihnya itu, disembunyikan oleh Pendekar Mabuk. Maka,
diam-diam Jarum Lanang mencabut pisaunya lagi dan melemparkannya ke arah Suto.
Wusss... !
Suto tidak berpaling. Tapi
ketika pisau itu mendekat ingin menancap di punggungnya, bumbung tuak didorong ke
belakang hingga melintang di punggung. Pisau itu mengenai bumbung tuak tersebut
trangng... ! Seperti membentur besi baja suaranya, dan anehnya lagi pisau itu
memantul balik ke arah Jarum Lanang.
"Haahh...?!" Jarum
Lanang membelalakkan matanya lebar-lebar. Jarum Lanang juga melompat dan
bersalto di udara karena pisau itu bergerak ke arahnya lebih cepat dari gerakan
lemparannya tadi. Wutt..!
Duarrr... !
Makin terbelalak mata Jarum
Lanang melihat pisaunya menancap di salah satu pohon, bukan tembus seperti tadi
namun membuat pohon itu meledak dan hancur pada bagian tengahnya, kemudian
rubuh menimpa pohon yang lainnya.
Dalam hatinya Jarum Lanang
berkata, "Luar biasa orang itu. Dia punya ilmu tidak tanggung-tanggung.
Sinting juga ilmunya itu! Pantas ia diberi nama Suto Sinting! Dia bisa
mengembalikan pisauku dan pisau itu mempunyai tenaga dalam sangat tinggi,
hingga mampu meledakkan sebatang pohon. Padahal aku tak pernah menyalurkan
tenaga dalam sebesar itu ke dalam batang pisau terbangku! Bumbung itu sungguh
merupakan bumbung yang ampuh dan punya kesaktian tersendiri!"
Pendekar Mabuk membalikkan
badan, memandang Jarum Lanang dengan tersenyum, lalu segera berkata,
"Masih belum puas
menjajalku?"
Jarum Lanang tak bisa bicara.
Untuk meminta maaf pun ia tak mampu mengucapkan lewat mulutnya. Lidahnya terasa
kaku dan kelu. Pendekar Mabuk itu bahkan berkata,
"Cobalah cari dulu
kekasihmu itu di tempat lain! Jangan menuduh orang sembarangan, nanti kau akan
diadili oleh tuduhanmu sendiri!"
"Hmmm... eh... iya!
Aku... aku bersalah. Tapi... tapi bolehkah aku tahu siapa gurumu, Suto?"
"Guruku?! Oh, ya...
rupanya kau belum kenal pada guruku! Aku murid sinting si Gila Tuak, gelarku
Pendekar Mabuk!"
"Hahh...?! Si... si Gila
Tuak...?!" Jarum Lanang terperanjat sekali hingga matanya melebar.
"Kau pernah dengar nama
itu, Jarum Lanang?!"
"Gila Tuak adalah sahabat
guruku dan... dan nama Pendekar Mabuk sudah lama kudengar, tapi... tapi aku tak
sangka kalau kaulah orangnya, Suto! Oh, maaa... maafkan aku! Maafkan
aku...!" Jarum Lanang membungkuk dengan kaki rapat ketika meminta maaf
begitu. Pendekar Mabuk tak terdengar suaranya. Ketika Jarum Lanang mengangkat
badan dan mendongakkan kepalanya dari sikap membungkuk, ia menjadi terkejut
lagi melihat Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu, sudah tidak ada di depannya.
Pandangan mata Jarum Lanang terarah di tempat jauh, dan ia melihat Pendekar
Mabuk sudah ada di pematang sawah yang jauh di seberang sana. Jarum Lanang
geleng-gelengkan kepala sambil menggumam,
"Luar biasa hebatnya
dia...!"
***3
BUKIT Gelagah mempunyai jurang
yang cukup curam. Tak ada orang yang selamat jika tergelincir ke dalam jurang
itu. Itulah sebabnya jurang itu dinamakan Jurang Petaka.
Pada waktu terang bulan,
permukaan bukit itu cukup terang, karena tidak memiliki pepohonan tinggi,
selain jenis rumput dan bebatuan yang menjulang. Ada batu besar yang melebihi
tinggi tubuh manusia dewasa, ada juga yang melebihi atap sebuah gubuk. Tapi
kebanyakan permukaan bukit itu dihiasi oleh bebatuan setinggi perut atau
setinggi lutut.
Seseorang yang menjerit dari
atas Bukit Gelagah, suaranya akan memantul cukup lama, karena Jurang Petaka
mempunyai dinding tebing yang mengurung jurang itu, hingga pantulan suara bisa
berbalik ke sana- sini sampai beberapa kali.
Di seberang Bukit Gelagah ada
bukit lagi yang bernama Bukit Menara Tunda. Bukit itu hanya terdiri atas cadas
dan lumut tanpa ada pepohonan tinggi. Sulit mencapai Bukit Menara Tunda karena
tempatnya licin, dan selalu berair. Tebing Bukit Menara Tunda itulah yang
menjadi tempat utama memantulkan suara jerit seseorang dari atas Bukit Gelagah.
Rembulan yang kini tampak
penuh sebagai mata langit di waktu malam, tak tanggung-tanggung pancarkan
sinarnya ke atas Bukit Gelagah, sehingga sosok bayangan seseorang yang berdiri
di sana terlihat jelas, dari warna pakaiannya sampai lekuk tubuhnya.
Orang yang berdiri di sana
berjubah biru muda dari bahan kain tipis semacam sutera. Siapa lagi orang
berjubah biru muda dengan rambut diurai lepas sebatas punggung jika bukan
Dayang Kesumat? Agaknya murka di dalam hati mendengar tantangan secara tak
langsung dari Ratu Teluh Bumi telah membuat Dayang Kesumat tak sabar menunggu
saat pelampiasan murkanya. Karena itu Dayang Kesumat datang lebih dulu, ketika
Bukit Gelagah masih kosong tanpa penghuni ataupun pengunjung lainnya.
Sejak tadi Dayang Kesumat
berdiri bagai mematung memandang ke arah jurang. Remang-remang cahaya rembulan
tampakkan lekak-lekuk jurang dengan beberapa tanaman di tebingnya yang
merimbun. Dasar jurang terlalu jauh untuk dilihat dan terlalu gelap, karena tak
sepenuhnya mendapatkan sinar rembulan bila malam hari.
Hati Dayang Kesumat pun
membatin, "Rasa-rasanya jurang ini sangat cocok untuk membuang bangkai si
Ratu Teluh Bumi nanti! Jerit suaranya yang menggema panjang akan menjadi
kepuasan hatiku, ketimbang ia mati tanpa pekik tanpa jerit!"
Baru berpikir begitu, Dayang
Kesumat merasakan ada getaran tanah yang terjadi akibat pijakan kaki orang
berjalan. Cepat-cepat Dayang Kesumat palingkan wajahnya ke belakang. Beberapa
kejap kemudian sesosok bayangan telah melesat, kemudian mendarat di tanah
depannya. Sesosok bayangan itu adalah perempuan berpedang pendek di
pinggangnya. Dia tak lain dari Ratu Teluh Bumi.
Mereka saling pandang sejenak.
Sama-sama tajam dalam memandang, sama-sama membisu mulut mereka, sama-sama
membara murka hati mereka. Keduanya sama-sama membatin,
"Rupanya apa yang
dikatakan Prahasto memang benar! Buktinya dia ada di sini. Bukan siap untuk
bertarung denganku, melainkan menunggu kedatangan Prahasto!"
Karena keduanya sama-sama
membatin seperti itu, maka mereka tidak perlu saling mencari tahu penyebab
kehadiran mereka di situ. Mereka hanya perlu mengetahui berapa jurus yang harus
mereka mainkan dalam pertarungan itu. Dayang Kesumat yang mendahului bicara,
"Kau minta aku memainkan
betapa julus untuk kematianmu?"
Ratu Teluh Bumi justru ganti
bertanya,
"Kau siap berapa jurus
untuk malam ini? Tak perlu kita suruh orang lain melakukannya, kita sendiri
yang menjadi pelaku sang pencabut nyawa!"
Ratu Teluh Bumi bermaksud
menyindir Dayang Kesumat yang dianggap hanya berani menyerang dengan meminjam
tangan orang lain. Tapi Dayang Kesumat merasa Ratu Teluh Bumi mengakui
kelicikannya dan merasa dirinya tidak perlu meminjam tangan orang lain untuk
membunuh. Karenanya Dayang Kesumat pun menjawab,
"Bagus! Kalau memang kau
sudah siap, memang tak ada pellunya kita meminjam tangan olang lain! Tentukan
saja siapa yang halus mati di sini, kau atau aku!"
"Bersiaplah, Dayang!
Jemputlah ajalmu dengan baik!" Ratu Teluh Bumi membuka jurus pertama
dengan menarik kakinya ke belakang, sedangkan yang kanan masih di tempat, lutut
kanannya sedikit terlipat. Kedua tangannya mulai mengembang bagaikan seekor
elang ingin terbang menangkap lawannya.
Dayang Kesumat hanya diam
saja. Tapi kedua tangannya sudah tidak lagi terlipat di dada. Kedua tangannya
itu telah turun ke samping kanan-kiri dan siap melakukan gerakan menyerang.
Matanya tak lepas memandang permainan jurus yang dibawakan Ratu Teluh Bumi di
mana semua gerakan dilakukan dalam keadaan tubuh merendah.
Tangan kanan Dayang Kesumat
mulai menggenggam kelingkingnya. Srett...! Dan Ratu Teluh Bumi cepat- cepat
sentakkan dua jarinya dari depan dada ke atas.
Suttt...! Tebb...! Jari itu
seperti memotong segumpal daging yang tak terlihat. Totokan itu bertenaga dalam
cukup besar, sehingga tiba-tiba tangan kanan Dayang Kesumat tersentak ke
belakang, lalu lepaskan genggaman kelingkingnya.
"Edan! Dia tahu
kelemahanku," pikir Dayang Kesumat. "Dia gunakan indela keenamnya
untuk menyodok tanganku! Sial! Pelgelangan tanganku telasa ngilu sekali!"
Ratu Teluh Bumi bergerak terus
dengan permainan rendah badan. Kakinya melangkah panjang-panjang namun pelan
dan pasti. Bahkan kini ia putarkan badan dengan cepat dan sentakkan tangannya
ke tanah. Cepat- cepat Dayang Kesumat melompat pindah tempat. Lalu dari
tempatnya berdiri tadi muncul serbuk hitam menyembur dari dalam tanah.
Wrusss...!
"Hmm... 'Lacun Hitam'
digunakan!" pikir Dayang Kesumat sambil sunggingkan senyum dingin yang
amat tipis, ia merasa telah selamat dari racun yang amat membahayakan itu.
Sementara di dalam hatinya,
Ratu Teluh Bumi berkata sendiri,
"Sial! Dia tahu jurusku!
Tak bisa ditipu dengan gerakan!"
Dayang Kesumat memandang terus
mata Ratu Teluh Bumi. Dan tiba-tiba Ratu Teluh Bumi tersentak. Tubuhnya cepat
tegak. Matanya tak bisa berkedip. Tapi kedua tangannya menggenggam kuat-kuat.
Kedua tangan Dayang Kesumat juga menggenggam kuat-kuat.
Dan masing-masing tangan itu
mengepulkan asap putih yang samar-samar.
Tubuh Ratu Teluh Bumi bergetar
seluruhnya. Tapi Dayang Kesumat hanya pada bagian tangannya saja yang bergetar.
Tangan itu pelan-pelan bergerak naik sampai di dada dalam keadaan tetap
mengepal dan berasap. Mereka adu tenaga dalam melalui pandangan mata. Tapi
sayang, Dayang Kesumat buru-buru sentakkan kedua tangannya itu ke depan. Wussst...!
Tangan itu terbuka, dan sebuah tenaga berasap merah keluar dari telapak
tangannya. Wuhkkk...!
Beggh...! Sentakan tenaga
dalam itu mengenai dada Ratu Teluh Bumi. Sentakan itu sangat kuat. Kuat sekali.
Sehingga, tubuh Ratu Teluh Bumi pun terlempar dengan cepatnya bagaikan segumpal
kapas tertiup badai. Wuuusssh...! "Aaaa....!"
Ratu Teluh Bumi terlempar ke
jurang. Tubuhnya melayang-layang. Jeritannya menggema berkepanjangan. Makin
lama makin kecil suara gemanya itu, sampai pada akhirnya tak terdengar lagi
sedikit pun bunyi jeritan itu. Seakan jeritan histeris hilang ditelan mulut
jurang yang rakus dan lahap terhadap mangsanya itu.
Dayang Kesumat tetap diam,
cantik tapi angker, ia menghembuskan napas kelegaan melihat lawannya terlempar
ke jurang, ia pandangi jurang gelap itu sesaat, kemudian sunggingkan senyum
tipis sebagai senyum kemenangan. Setelah itu, ia tinggalkan tepian jurang
dengan langkah yang terlihat tegas, tegap dan meyakinkan.
"Selamat tinggal, Latu
Teluh! Mudah-mudahan nyawamu tidak telsesat mencali jalan menuju nelaka!"
kata Dayang Kesumat di dalam hatinya, ia pun segera melesat tinggalkan Bukit
Gelagah itu .
Tanpa diketahui oleh Dayang
Kesumat, suara jeritan Ratu Teluh Bumi itu telah memudarkan semadi seseorang
yang tinggal di dasar Jurang Petaka itu. Terpaksa orang tersebut lepaskan masa
semadinya walau tetap duduk di tempatnya yang berbatu datar. Tanpa memandang ke
atas, orang tersebut menadahkan kedua tangannya di atas kepala. Lebih dari dua
helaan napas tangan itu menadah dengan pandangan mata tetap lurus.
Kira-kira empat helaan
napasnya setelah itu, kedua tangan yang menadah itu dijatuhi tubuh Ratu Teluh
Bumi. Anehnya, gerakan jatuhnya tubuh itu menjadi pelan ketika mendekati tubuh
orang yang sedang duduk bersila itu. Bahkan ketika menempel di tangan yang
tengadah, tubuh Ratu Teluh Bumi tak sempat mengguncangkan sehelai pun rambut
orang itu. Tak ada suara, tak ada gerakan. Semuanya terjadi dengan sangat
pelan. Tetapi kejap berikutnya, terdengar suara kasar, brukk... ! Itu suara
tubuh Ratu Teluh Bumi yang dilemparkan ke arah belakang oleh orang yang sedang
semadi itu.
"Uhhg...!
Monyet...!" maki Ratu Teluh Bumi dalam hati.
Perempuan itu tidak mati.
Perempuan itu hanya mengalami luka dalam akibat pukulan berasap dari Dayang
Kesumat itu. Tapi seandainya tubuhnya tidak disangga dan gerakannya tidak
diatur oleh orang yang sedang duduk bersila itu, maka tubuh Ratu Teluh Bumi
sudah pasti hancur tak berbentuk lagi. Ketinggian jurang itu sangat mengerikan
jika dipandang dari bawah.
Orang yang menyelamatkan Ratu
Teluh Bumi itu duduk bersila tanpa peduli dengan keluh dan raungan kecil di
belakangnya. Orang itu berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki. Matanya
memandang ke satu arah tak berkedip. Di depannya itu, ada sungai kecil dengan
lebar antara dua tombak. Celah-celah bebatuannya mempunyai tanaman setinggi
mata kaki. Di sela-sela tanaman jenis rumput merah itu, tersumbul sebatang
tanaman bunga yang tingginya satu betis.
Tanaman yang paling tinggi
dari semua tanaman di depan orang itu mempunyai daun berbentuk segi tiga sama
sisi. Daunnya tak lebat, lebarnya sama dengan daun beringin. Warnanya hijau
kehitam-hitaman. Tanaman itu hanya mempunyai satu batang yang meluncur ke atas
sebatas betis. Sedangkan orang yang memandangi tanaman itu duduk di atas batu
datar yang tingginya sebatas betis orang dewasa, sehingga tanaman itu
seolah-olah ada di bawahnya. Jarak tempat bersila dengan tanaman itu hanya satu
langkah.
Di ujung tanaman ada kuncup
bunga yang masih kecil. Kecil sekali, kira-kira sekecil biji kapas. Ujung
tanaman itulah yang menjadi pusat pandangan mata tak berkedip itu. Entah sudah
berapa lama orang itu pandangi tanaman bunga aneh tersebut Entah dengan maksud
apa hal itu dilakukan. Yang jelas, ia tak pernah berpaling sedikit pun dari
pandangannya. Jika ada sesuatu yang mendekat ia dapat menghalaunya dengan
gerakan tangan tanpa melihat sasaran. Seperti halnya saat ia menopang tubuh
Ratu Teluh Bumi, tanpa memandang ke arah atas ia sudah bisa membuat tubuh itu
tepat jatuh di kedua tangannya.
Di samping orang itu
mengenakan kerudung dari kepala sampai kaki, ia juga mempunyai senjata berupa
tongkat berujung sabit panjang. Mata sabit yang menyerupai paruh burung itu
sangat tajam dan berkilauan. Senjata itu dinamakan pusaka El Maut. Dan orang
yang bersenjata El Maut dengan pakaian kerudung kair hitam, dengan wajah putih
bagai berbedak tebal, dengan bibir biru bagai bergincu mayat, dengan hidung
bangir mencipta ketampanan tersendiri, dengan pandangan mata dingin bersama
raut mukanya yang dingin bak manusia berwajah salju, tak lain dan tak bukan
adalah Siluman Tujuh Nyawa, ia mempunyai nama asli Durmala Sanca.
Orang ini adalah tokoh sesat
yang amat sakti. Selain terkenal sakti, juga terkenal keji dan ganas. Usianya
sudah sangat tua, lebih dari dua ratus tahun, tapi raut mukanya masih seperti
pemuda berusia dua puluh tujuh tahun. Itulah Siluman Tujuh Nyawa, yang menjadi
musuh utama bagi Pendekar Mabuk.
Ratu Teluh Bumi pernah
mendengar nama itu, tapi belum pernah jumpa dengan orangnya. Karena itu, ia
tidak tahu siapa orang yang telah menolongnya, namun juga bagai tak peduli akan
dirinya itu. Ratu Teluh Bumi mencoba membangunkan semadi orang itu dengan
merayap mendekati orang tersebut dari arah belakang. Badan Ratu Teluh Bumi
sangat lemah. Dadanya terasa panas sekali. Pernapasannya menjadi sangat sesak,
berat untuk dihela. Darah yang keluar dari mulutnya saat mendapat pukulan
Dayang Kesumat tadi sekarang sudah hampir mengering dihembus angin jurang.
Dengan suara berat Ratu Teluh Bumi berkata dari belakang Siluman Tujuh Nyawa.
"Aku terluka di dalam.
Tolonglah aku...l"
Siluman Tujuh Nyawa diam saja.
Matanya tetap tak berkedip pandangi ujung tanaman hijau kehitaman itu. Ia
seperti orang tuli, tak mendengar ucapan lirih itu.
"Tolonglah aku... Aku tak
kuat..!"
"Kau sudah
kutolong," kata Siluman Tujuh Nyawa dengan suara datarnya yang terkenal
dingin itu.
"Aku... masih
sakit..."
"Kau berhutang nyawa
padaku."
"Biarlah... biarlah aku
berhutang dua nyawa denganmu. Pertama kau selamatkan aku dari ketinggian jurang
ini, kedua... tolong selamatkan aku dari luka di dalam dadaku ini.... Aku
percaya, kau bisa mengobati lukaku!"
"Apa upahnya untuk
pertolongan dua nyawa?"
"Ter... terserah... apa
maumu, aku akan lakukan!"
"Kumau kau mati
saja!"
Suara datar dan dingin itu
menyakitkan hati Ratu Teluh Bumi. Kalau tidak dalam keadaan sedang sakit begitu
berat, Ratu Teluh Bumi sudah menyerang orang itu karena ucapan yang seenaknya
saja itu. Tapi demi mendapatkan pertolongan, Ratu Teluh Bumi akhirnya berkata,
"Aku... aku masih ingin
hidup...."
"Untuk apa kau
hidup?"
"Untuk... membalas
dendamku kepada lawan yang mengirimku ke j urang ini...!"
Sepi kembali tercipta dan
mencekam. Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa diam saja. Tak ada gerak, tak
ada kedipan mata. Sementara itu, Ratu Teluh Bumi semakin memperdengarkan
engahan tarik napasnya yang memberat dan tampak tersiksa sekali. Kejap berikut,
barulah Siluman Tujuh Nyawa berkata,
"Aku tidak punya
pelayan."
"Biarlah... aku saja yang
menjadi pelayanmu. Aku bersedia .......... "
"Kau beijanji?"
"Ya. Aku berjanji, jika
kau tolong aku, aku bersedia menjadi pelayanmu. Ooh... semakin panas sekujur
tubuhku rasanya ........ "
"Peganglah jubahku!"
kata Durmala Sanca.
Ratu Teluh Bumi tak paham
maksud kata-kata itu. Tapi kemudian ia melakukan apa yang diperintahkan orang
berjubah hitam sekujur tubuhnya itu. Ratu Teluh Bumi memegang jubah tersebut
dengan kedua tangannya. Kemudian, ia melihat sendiri kulit tubuhnya menjadi
menyala. Seperti ada sinar biru yang berpendar- pendar mengelilingi seluruh
tubuhnya.
Pada saat sinar biru itu
menyala di tubuhnya, Ratu Teluh Bumi merasakan ada kesejukan yang meresap ke
dalam tubuhnya. Kesejukan itu seakan begitu damai dan menyenangkan hati. Ratu
Teluh Bumi meresapi kesejukan itu dengan mata terpejam pelan-pelan. Sedangkan
Siluman Tujuh Nyawa tidak bergerak sedikit pun. Bahkan berpaling pun tidak.
Napasnya pun terdengar biasa-biasa saja, tidak ditahan, tidak dihembuskan
kencang. Matanya masih tetap tertuju pada bunga yang belum tumbuh itu.
Setelah beberapa saat, Ratu
Teluh Bumi merasakan hawa panas di dalam dadanya hilang sama sekali. Otaknya
pun terasa menjadi terang, urat-uratnya menjadi segar kembali, dan peredaran
darahnya terasa sangat lancar.
"Lepaskan
jubahku..!" perintah Durmala Sanca dengan tetap bernada dingin, bagai
manusia tanpa perasaan.
Ratu Teluh Bumi lepaskan jubah
hitam itu, dan ternyata tubuhnya kembali segar. Tak ada rasa sakit, tak ada
rasa letih, tak ada rasa lemas, yang ada hanya sebentuk kehidupan yang penuh
semangat. Ratu Teluh Bumi hembuskan napas dengan lega sambil ia berdiri dan
menggerak-gerakkan badannya untuk mencari sesuatu yang masih terasa mengganggu,
ternyata tak ada yang terasa mengganggu tubuhnya.
"Sekarang kau adalah
pelayanku! Kau harus turut dengan perintahku, Ratu Teluh Bumi...!"
Terkesiap mata Ratu Teluh Bumi
mendengar namanya disebutkan, ia sangat heran mengetahui orang itu bisa
sebutkan namanya. Lalu, ia bertanya, "Siapa dirimu sebenarnya? Mengapa kau
bisa tahu namaku?"
"Karena aku menyukai tindakanmu
yang tegas dan tidak pandang bulu! Kau berani membunuh siapa saja yang
menentangmu tanpa ragu-ragu lagai"
Ratu Teluh Bumi
berdebar-debar, merasa disanjung seseorang atas segala yang dilakukannya selama
ini. Ia semakin yakin bahwa ia benar dalam bersikap selama ini.
"Lalu, satu lagi
pertanyaanku belum kaujawab, siapa kamu?"
"Kau pernah dengar
namaku, tapi mungkin baru kali ini kau bertemu denganku. Kau pasti pernah
mendengar Siluman Tujuh Nyawa!"
"Ya. Betul. Aku pernah
dengar nama orang sakti itu!"
"Akulah Siluman Tujuh
Nyawal"
"Kau...?!" Ratu
Teluh Bumi terpekik. Lalu cepat- cepat ia bergeser ke depan dan pandangi wajah
orang itu baik-baik. Ia pandangi tombak El Maut yang ditancapkan di tanah samping
kanan batu datar yang dipakainya duduk itu. Tetapi yang dipandangi tetap diam
tak bergerak, matanya tetap lurus ke arah tanaman aneh tersebut.
"Oh, benar! Kau memang
Siluman Tujuh Nyawa! Oh, senang sekali hatiku bisa bertemu denganmu!"
"Jangan sentuh aku
lagi!" katanya dengan cepat dan tetap dingin. "Selimut racunku telah
kupasang. Kalau kau sentuh aku, kau akan mati dalam tiga hitungan!"
Ratu Teluh Bumi yang ingin
menggenggam tangan Siluman Tujuh Nyawa sebagai ungkapan rasa gembiranya,
terpaksa terhenti seketika, ia justru menjadi kagum mendengar selimut racun
dikenakan oleh orang itu dan akan mematikan jika disentuh. Padahal sejak tadi
Ratu Teluh Bumi tahu, tak ada gerakan atau jurus yang dilakukan Siluman Tujuh
Nyawa kecuali diam memandangi tanaman.
"Kalau boleh aku tahu,
tanaman apa yang kau pandangi itu!"
"Namanya bunga Sukma
Weling."
"Nama yang aneh, pasti
punya arti besar! Boleh aku tahu?"
"Bunga itu mempunyai
kekuatan gaib yang sangat ampuh. Di dalam bunga itu, tersimpan satu kekuatan
yang bernama ilmu 'Sabda iblis'!"
"Ilmu 'Sabda Iblis'...?!
ilmu macam apa itu?" tanya Ratu Teluh Bumi semakin tertarik untuk
mendengarkan penjelasan Siluman Tujuh Nyawa.
"Ilmu 'Sabda Iblis'
adalah ucapan yang bisa menjadi kenyataan. Orang yang makan bunga itu, akan
langsung mempunyai ilmu 'Sabda Iblis'. Orang yang mempunyai ilmu 'Sabda Iblis',
maka apa yang dikatakannya pasti menjadi kenyataan!"
"Hebat sekali kekuatan
ilmu itu? Lalu, mengapa kau pandangi terus bunga itu?"
"Dia baru bisa mekar
setelah seratus tahun usianya! Tetapi jika selalu disiram dengan hawa murni
maka pertumbuhannya menjadi cepat sekali. Jika penyiramannya dilakukan secara
terus-menerus tanpa henti, maka bunga itu akan cepat tumbuh dan berkembang
dalam waktu satu bulan lamanya!"
"Satu bulan?! Hmmm...
Lantas kau sendiri telah melakukan penyiraman dengan hawa murni selama berapa
hari?"
"Dua puluh tujuh
hari!"
"Selama itukah kau duduk
di sini dan memandangi bunga itu?!"
"Ya," jawab Siluman
Tujuh Nyawa tak beralih pandang sedikit pun. Hal itu membuat Ratu Teluh Bumi
menjadi terheran-heran dan kagum. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin
sanggup melakukan semadi seperti yang dilakukan Siluman Tujuh Nyawa itu. Selama
dua puluh tujuh hari, diam tak bergerak dan tak berkedip. Sungguh itu suatu
perbuatan semadi yang cukup berat.
"Aku sangat kagum
padamu," bisik Ratu Teluh Bumi dengan nada mendesah lirih, sepertinya
punya arti sendiri bagi jiwa perempuan itu.
***4
RATU Teluh Bumi merasa sangat
beruntung dapat bertarung dengan Dayang Kesumat. Bahkan kalah dalam pertarungan
ternyata bukan berarti harus mati selamanya. Kalah dalam pertarungan mempunyai
sisi baik tersendiri yang kadang tak disadari oleh si penderita
kekalahan.
Andai dia menang melawan
Dayang Kesumat, ia tidak akan temukan sesuatu yang sangat berharga dalam
sejarah hidupnya, pertama bisa bertatap muka dengan tokoh sakti yang namanya
cukup kondang dan ditakuti setiap orang itu, kedua bisa mendengar cerita tentang
bunga ajaib yang bernama bunga Sukma Weling. Bahkan dari kekalahannya itu, Ratu
Teluh Bumi punya keberuntungan, yaitu dapat melihat bentuk tanaman bunga yang
tumbuhnya seratus tahun sekali itu. Konon tanaman seperti itu hanya ada di
tanah Jawa.
Memperhatikan pertumbuhan
bunga aneh itu, merupakan pengalaman yang amat mahal harganya. Apabila siang,
tanaman bunga itu berubah warnanya menjadi kuning berkilauan, seperti tanaman
dari logam emas mulia. Tapi jika malam tiba, tanaman itu berubah menjadi hijau
kehitam-hitaman. Sebelum itu, pada senja hari menj elang matahari tenggelam,
tanaman itu bentuknya tetap tapi wujudnya berubah, yaitu menjadi transparan,
bagai tanaman dari kaca yang bisa tembus pandang. Kuncup bunganya pun menjadi
seperti batu giok berwarna hijau kecoklat-coklatan.
"Mendengar kedahsyatan
ilmu 'Sabda Iblis' saja aku sudah terkagum-kagum, apalagi melihat keampuhannya
secara langsung!" pikir Ratu Teluh Bumi dalam kesendiriannya.
Selama dia berada di Jurang
Petaka itu, dia memang seperti seorang diri. Siluman Tujuh Nyawa hampir- hampir
tak pernah mengajak bicara pada hari berikutnya.
Hanya pada malam perjumpaan
mereka saja Siluman Tujuh Nyawa mau diajak bicara. Tapi esok harinya, ia
bungkam seribu bahasa. Hanya satu kali ia berkata,
"Jangan bicara denganku
sebelum aku mengajakmu bicara!"
Manusia berdarah dingin itu
benar-benar punya kharisma tinggi. Hanya satu kali dia berucap kata demikian,
Ratu Teluh Bumi tidak pernah berani mengajaknya bicara lagi. Sekalipun
demikian, diam- diam Ratu Teluh Bumi punya rasa kagum yang cukup tinggi
terhadap Siluman Tujuh Nyawa, ia melihat dengan mata kepala sendiri, sikap
duduk orang itu tak pernah berubah. Helaan napasnya pun tetap, pandangan
matanya juga tak sedikit pun berubah.
Melalui cara penyembuhannya
yang sungguh ajaib itu, Ratu Teluh Bumi bisa membayangkan sebegitu tinggi ilmu
yang dimiliki Siluman Tujuh Nyawa, sehingga andai saja Batu Teluh Bumi menjadi
muridnya, jelas dia bisa melalap habis Dayang Kesumat. Diam- diam pula Ratu
Teluh Bumi menaruh harapan, selama ia menjadi pelayannya Siluman Tujuh Nyawa,
semoga ia bisa mendapat ilmu orang sakti itu walau hanya sebagian kecil saja.
Barangkali secara mencuri-curi pun bisa ia lakukan, dan jelas ilmu kesaktiannya
akan bertambah hebat lagi. Jika ia menjadi sakti seperti Siluman Tujuh Nyawa,
maka orang-orang Jenggala itu dengan mudah dapat digulung habis.
Ratu Teluh Bumi benar-benar
ingin menjadi murid Siluman Tujuh Nyawa. Sebab, hidupnya tidak akan tenang jika
Jenggala belum berhasil direbut kembali ke tangannya. Ratu Teluh Bumi dulu
adalah putri seorang Raja Jenggala. Tapi dengan adanya penggulingan kekuasaan,
keluarganya menjadi hancur. Ayah, ibu, dan dua adiknya mati karena pembunuhan
yang tak dapat dibuktikan.
Tapi menurutnya, raja baru di
Jenggala itulah yang menjadi dalang serangkaian pembunuhan terhadap sanak
saudaranya, termasuk bibi dan pamannya sekeluarga. Tinggal dia yang masih
hidup, dan segera melarikan diri untuk pertahankan hidupnya. Jika ia tidak bisa
bertahan hidup, maka ia tak akan punya kesempatan untuk merebut Keraton
Jenggala lagi.
Musuh utama Ratu Teluh Bumi
mempunyai nama asli Ajeng Prawesti. Adapun musuh keduanya adalah Suto Sinting,
si Pendekar Mabuk. Karena pemuda peminum tuak itulah yang pernah membuatnya
hampir mati akibat satu pertarungan di Kuil Swanalingga. Sampai sekarang
kekalahan itu masih timbulkan dendam di hati Ratu Teluh Bumi. Dan musuh
ketiganya adalah Dayang Kesumat. Jika musuh yang lain lolos, tak jadi masalah.
Tapi ketiga musuh itu tak boleh lolos secara hidup-hidup.
Ratu Teluh Bumi bahkan punya
rencana untuk minta bantuan Siluman Tujuh Nyawa untuk menumpas habis
musuh-musuhnya itu. Tetapi permohonan itu tak bisa dilakukan sekarang, karena
Siluman Tujuh Nyawa masih punya tugas mempercepat berkembangnya bunga Sukma
Weling itu.
Tetapi, agaknya bunga Sukma
Weling sudah mulai mau berkembang. Pada hari kedua Ratu Teluh Bumi tinggal di
Jurang Petaka di sebuah rumah gubuk tak jauh dari tempat Siluman Tujuh Nyawa
bersemadi, tiba-tiba ia telah dikejutkan dengan ukuran bunga yang sudah menjadi
sebesar kacang tanah yang masih berkulit. Padahal malam harinya baru separo
dari ukuran yang ada pagi itu. Dan pada malam berikutnya, bunga itu mulai
membuka kelopaknya, ada sinar biru indah muncul dari tepian kelopak bunga.
Begitu indahnya bunga itu,
sehingga Ratu Teluh Bumi tiada hentinya memandangi bunga tersebut. Tanpa sadar,
ia telah salurkan hawa murni melalui pandangan matanya, dan disiramkan ke
tanaman aneh itu. Akibatnya, pertumbuhan bunga tersebut menjadi lebih pesat.
Ratu Teluh Bumi ikut menyiram bunga dengan hawa murninya sampai pagi
menyingsing. Semestinya, bunga itu mekar pada menjelang sore nanti. Tapi pagi
itu kelopaknya telah mekar.
Warna bunga itu merah bening,
seperti kaca. Seolah- olah dari dalam benang sarinya tersembur sinar kecil
warna merah, dan biru, sehingga bunga itu berwarna aneh. Merah bukan, biru
bukan, ungu pun bukan. Tiga perpaduan warna itulah yang membuat indah bunga
berkelopak bening itu.
Semakin siang, semakin menarik
warnanya. Semakin menyenangkan untuk dipandangi tanpa kedip. Ratu Teluh Bumi
berdiri di samping Siluman Tujuh Nyawa sejak kemarin malam dan ia tak merasakan
jenuh atau capek sedikit pun. Rasa kantuk juga tak ada pada dirinya. Suatu hal
yang aneh, sebab biasanya Ratu Teluh Bumi tak bisa tahan berdiri begitu lamanya
tanpa kedip.
Tiba-tiba di dalam hati Ratu
Teluh Bumi tercetus gagasan sederhana. Hati itu mengatakan,
"Jika orang memakan bunga
itu, apa yang dilontarkan dalam ucapan, pasti terjadi. Sabda Pendita Ratu! Apa
yang dikatakan, itulah yang terjadi. Berarti bunga itu bisa dipakai untuk
mengutuk seseorang. Dan dengan menyebar kutukan, tentunya aku pasti akan bisa
melampiaskan dendamku kepada musuh-musuhku hanya melalui ucapanku! Oh, kenapa
bunga itu tidak kumakan saja...?!"
Begitu terpetik gagasan
demikian, maka dengan berkelebat cepat Ratu Teluh Bumi menyambar bunga itu.
Tess...! Kemudian ia segera membawanya lari menjauhi Siluman Tujuh Nyawa. Tentu
saja perbuatan itu sangat mengejutkan Durmala Sanca. Begitu kagetnya Siluman
Tujuh Nyawa hingga ia terlonjak kaget, tubuhnya naik ke atas bagaikan terbang.
Dalam keadaan melesat naik, ia sempat menyambar tongkat El Maut- nya.
Wuussst..!
Ratu Teluh Bumi terus
melarikan diri dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya, ia melompat ke sana
kemari, dan tahu-tahu tercegat Siluman Tujuh Nyawa di depannya.
"Perempuan gila! Serahkan
bunga itu!"
"Maaf, aku
membutuhkannya, Durmala Sanca! Jadi kumohon...."
Wutt... ! Tombak El Maut itu
dikibaskan ke leher Ratu Teluh Bumi. Untung datangnya sempat diketahui dengan
ekor mata Ratu Teluh Bumi, sehingga kibasan senjata yang ingin memenggal
kepalanya itu bisa dihindari dengan cara merundukkan badan, berguling ke
samping dan sentakkan kaki, lalu melesat pergi lagi.
"Perempuan tak tahu
diuntung! Kembalikan atau kuhabisi nyawamu dari sini!" Orang berjubah
hitam dari kepala sampai kaki itu tetap berdiri di tempatnya. Tetapi Ratu Teluh
Bumi berlari terus dan mencari jalan ke mana saja yang bisa dilewati.
Melihat pencuri bunga itu
terus berlarian tanpa mau berhenti, Siluman Tujuh Nyawa menjadi murka. Cukup
lama ia tekuni menyiram bunga itu, begitu tumbuh dan berkembang disambar oleh
perempuan yang telah diselamatkan dari maut itu. Sakit sekali hati Siluman
Tujuh Nyawa kepada Ratu Teluh Bumi. Karena itu ia tak segan-segan lepaskan
pukulan mautnya ke arah Ratu Teluh Bumi.
Senjata El Maut itu
dilemparkan dari jarak jauh. Wuungng...! Senjata itu bergerak memutar-mutar
bagai ingin membabat apa saja yang ditemuinya. Arah lemparan tertuju kepada
Ratu Teluh Bumi. Sementara itu, Siluman Tujuh Nyawa sendiri berkelebat mengejar
Ratu Teluh Bumi dengan jurus silumannya. Zlappp...!
Tahu-tahu ia sudah menghadang
di depan Ratu Teluh Bumi. Senjata El Maut itu menebas leher atau apa saja yang
ada pada diri Ratu Teluh Bumi. Tapi perempuan itu sempat berlindung di balik
bebatuan besar, sehingga senjata itu luput dari kepalanya, dan tahu-tahu
senjata itu sudah kembali hinggap di tangan Siluman Tujuh Nyawa. Ratu Teluh
Bumi segera teruskan langkah, tapi tak jadi karena ia dihadang oleh orang
berkerudung hitam berwajah putih itu.
"Jangan bodoh kalau mau
berumur panjang, Ratu Teluh Bumi! Kau telah mencuri bungaku itu, dan kau harus
berikan padaku jika tak ingin melihat murkaku padamu!"
Tiba-tiba Ratu Teluh Bumi
melihat gugusan batu menonjol di tebing itu. Tanpa mau layani kata-kata Siluman
Tujuh Nyawa, Ratu Teluh Bumi pun segera sentakkan jempol kakinya ke tanah dan
tubuhnya telah melayang cepat ke atas, lalu hinggap pada gugusan batu yang
menempel di dinding tebing itu. Jlegg...!
"Keparat! Kau benar-benar
memancing murkaku, Ratu Teluh!" seru Siluman Tujuh Nyawa. Kemudian ia
lepaskan pukulan yang memancarkan selarik sinar merah yang keluar dari ujung
sabit tongkat itu. Zlapp...! Sinar merah itu seperti tali yang memanjang dan
terarah ke tubuh Ratu Teluh Bumi.
Jlarrr...! Batu tempat
berpijak Ratu Teluh Bumi pecah seketika terkena sinar merah itu. Sementara Ratu
Teluh Bumi sendiri telah melesat naik ke salah satu pohon jenis ilalang tebing,
ia hinggap di ujung ilalang. Sementara itu juga, Siluman Tujuh Nyawa
menggunakan jurus silumannya untuk berkelebat cepat mendului gerakan naik Ratu
Teluh Bumi. Wuttt...!
Blarrr...! Tangan Siluman
Tujuh Nyawa disentakkan dan cahaya ungu berkelebat keluar dari jari
telunjuknya. Cahaya itu menghantam dinding tebing dan meledak, timbulkan
gelombang hawa panas dari ledakannya itu yang menghempaskan tubuh Ratu Teluh
Bumi. Perempuan itu terlempar tak terkendalikan lagi. Tubuhnya melayang turun
kembali dan tahu-tahu tersangkut pada semak pepohonan tebing. Bruss!
"Uuh...!" Ratu Teluh
Bumi terpekik sebentar. Lalu cepat-cepat hatinya berkata, "Kenapa bunga
ini tidak segera kumakan saja? Kalau bunga ini bisa untuk mengutuk orang,
berarti bisa juga untuk menghentikan pengejaran Siluman Tujuh Nyawa!"
Maka dengan cepat Ratu Teluh
Bumi melahap bunga itu. Zubb...! Bunga dimasukkan ke mulut. Tapi serangan
Siluman Tujuh Nyawa muncul lagi. Ratu Teluh Bumi tepaksa menghindari dengan
satu lompatan. Namun tubuhnya bagai tersedot ke belakang, ia pun akhirnya
terpelanting dan menerabas semak tebing hingga sampai ke depan gubuk Siluman
Tujuh Nyawa itu.
Brukk... !
Ratu Teluh Bumi ingin memekik,
tapi mulutnya sibuk mengunyah bunga Sukma Weling dan segera menelannya. Pada
waktu itu, Siluman Tujuh Nyawa sudah menyerang lagi dengan tubuhnya yang
melayang bagaikan terbang. Senjatanya siap diayunkan ke depan untuk melukai
tubuh Ratu Teluh Bumi.
Mau tak mau Ratu Teluh Bumi
kerahkan tenaganya untuk bangkit dengan cepat, kemudian melompat ke arah yang
aman dengan bersalto satu kali di udara. Wukkk...!
Crass...! Senjata El Maut
menancap pada sebuah batu tempat Ratu Teluh Bumi tadi terkapar jatuh. Batu itu
langsung menjadi merah seperti tersiram lahar, kemudian retak perlahan-lahan
dan kepuikan asap putih kehitam-hitaman.
Melihat Ratu Teluh Bumi sudah
bersiap larikan diri, Siluman Tujuh Nyawa segera sentakkan tangan kanannya, dan
dari kuku-kuku runcing itu keluar lidah sinar merah berkelok-kelok yang tiada
putusnya. Sinar itu segera menyergap tubuh Ratu Teluh Bumi. Zrruppp...!
Tiba-tiba tubuh tersebut tak bisa bergerak lagi, bagai terikat benang merah
yang panas rasanya.
"Hentikan!" bentak
Ratu Teluh Bumi sambil menahan sakit.
Seketika itu Siluman Tujuh
Nyawa menghentikan serangannya, ia menjadi seperti orang bingung yang tak tahu
harus berbuat apa dalam waktu begitu cepat.
Ratu Telah Bumi terkejut
melihat tubuhnya telah berubah menjadi hitam seluruhnya. Tapi sebelum rasa
kagetnya itu habis, warna hitam itu kembali hilang, dan menjadi biasa. Mungkin
itulah pengaruh menelan bunga Sukma Weling, yang membuat bentakannya itu
dituruti oleh Siluman Tujuh Nyawa.
"Diam di situ dan jangan
kejar aku lagi! Mengerti?!"
"Mengerti!" jawab
Siluman Tujuh Nyawa. Ratu Teluh Bumi justru kaget melihat tokoh sesat yang
teramat sakti itu menjadi diam dan menurut dengan perintahnya. Maka timbullah
pertanyaan di dalam hati Ratu Teluh Bumi.
"Apakah ini berarti aku
telah menguasai ilmu "Sabda Iblis'?!"
***5
BISA dibayangkan betapa
kecewanya hati Siluman Tujuh Nyawa. Hampir seluruh kekuatannya dicurahkan untuk
menyirami bunga itu siang malam, tanpa makan, tanpa minum, tanpa bergerak, dan
tanpa berkedip, juga tanpa buang air segala, semua dilakukan demi tumbuh dan
berkembangnya bunga Sukma Weling. Ia juga menguras perhatian, menguras hawa
murni, demi mencapai satu ilmu yang akan menjadi kebanggaannya. Namun ketika
bunga itu berkembang dan ilmu itu datang, ternyata orang lain yang menunai dan
memakan hasilnya.
Cukup lama Siluman Tujuh Nyawa
terpaku di tempat karena perintah gaib dari Ratu Teluh Bumi. Ia tak bergerak
mengejar sedikit pun kecuali memandangi kepergian si pencuri bunga dengan mulut
tetap terkatup dan wajah tetap dingin. Setelah ia sadari keadaannya yang di
luar kemauan pribadi, meledaklah murka sang tokoh sesat itu. Dihancurkannya
batu sebesar rumah di depannya dengan satu pukulan dahsyat. Dibakarnya gubuk
persinggahannya sendiri dengan satu ilmu api yang sangat hebat. Dihantamnya
pohon besar dengan tenaga dalam penuh kebencian, hingga pohon itu lenyap dan
tinggal serbuk-serbuknya saja. Lalu wajah putihnya itu berubah menjadi merah
dan mata dinginnya berubah menjadi bara. Ia berteriak sekeras-kerasnya di dalam
jurang maut itu,
"Ratu Teluuuh...! Kubunuh
seluruh keturunanmu untuk menebus kekecewaanku saat ini! Kucari kau ke mana pun
kau berada, Bangsaaat...!" Lalu napasnya terengah-engah, giginya
menggeletuk. Tanah yang dipijaknya keluarkan asap dan menjadi cekung, tongkat
yang dipegangnya membekas hitam hangus membentuk kelima jari yang menggenggam.
Zlappp... Siluman Tujuh Nyawa
masuk ke alam gaib. Tubuhnya menghilang dan gerakannya tak bisa dilihat lagi
oleh mata telanjang, ia mengejar Ratu Teluh Bumi dari sisi lapisan kehidupan
lain. Hal ini dilakukan supaya ruang geraknya lebih leluasa, lebih cepat dan
membuat Ratu Teluh Bumi tidak merasa dikejar, ia sudah siapkan satu rencana
untuk menguliti Ratu Teluh Bumi dalam keadaan hidup-hidup, kemudian
menyayat-nyayat dagingnya selama satu bulan penuh tanpa henti.
Tetapi agaknya keberuntungan
tetap berada di tangan Ratu Teluh Bumi. Siluman Tujuh Nyawa mengejar berlawanan
arah dengan pelarian Ratu Teluh Bumi. Tentu saja hal itu membuat Ratu Teluh
Bumi bagaikan menemukan kemenangan yang kedua kalinya.
Arah utama yang dituju Ratu
Teluh Bumi adalah negeri Jenggala. Ia ingin hancurkan negeri itu dengan ilmu
'Sabda Iblis'-nya, untuk kemudian membangunnya lagi dan duduk sebagai pewaris
penguasa kerajaan itu melanjutkan kejayaan leluhurnya.
Tetapi langkah itu terhenti
karena kemunculan seorang gadis berpakaian merah bata. Gadis itu bermata bundar
dan berhidung mancung, kulitnya kuning langsat, ia mempunyai rambut lurus lemas
sepanjang batas pundak, diikat dengan kain warna hijau. Sebilah pedang
disandang di punggungnya. Dan ia bergerak cepat menghadang langkah Ratu Teluh
Bumi dengan satu pukulan jarak jauh lebih dulu yang dilepaskan ke sebuah pohon.
Pohon itu rubuh tepat di depan Ratu Teluh Bumi. Ini membuat Ratu Teluh Bumi
lompat mundur kira-kira tiga tindak. Setelah itu baru gadis itu tampakkan diri
dengan wajah tanpa senyum, dengan sorot pandangan mata yang bermusuhan.
"Sumping
Rengganis...?!" gumam Ratu Teluh Bumi ketika mengenali siapa penghadang
langkahnya itu.
Gadis yang bernama Sumping
Rengganis segera menghampiri Ratu Teluh Bumi dengan sikap siap tempur, ia pun
membalas sapaan dengan sinis dan bersuara lantang.
"Mau lari ke mana kau,
Pencuri?! Sepandai-pandai kau sembunyi suatu saat pasti akan kutemukan juga,
Ratu Teluh! Sekarang tiba saatnya kita bikin perhitungan!"
"Baiklah. Apa maumu
sekarang, Sumping Rengganis?!"
"Pulangkan Kitab Pusaka
Triwindu milik kakekku itu! Kau telah mencurinya dan karena itu kau harus mau
kuserahkan kepada kakekku untuk diadili sesuai dengan ketentuan
perguruannya!"
"Kau masih muda, Sumping
Rengganis! Kau masih bau kencur, sehingga belum bisa memahami mengapa aku harus
mencuri kitab pusaka itu. Jadi sebaiknya kau tak perlu ikut campur, Sumping
Rengganis. Lebih baik kau urus dirimu yang sudah menjadi perawan tua dan butuh
pendamping hidup yang setia!"
"Bicaramu mulai melantur,
Ratu Teluh! Aku tahu kau terkejut saat melihat kemunculanku! Karena pasti kau
menyangka aku tidak akan bisa mengejarmu! Wajahmu mulai pucat karena ketakutan,
dan itu adalah wajah polos seorang pencuri yang tertangkap tak berkutik!"
Ratu Teluh Bumi sengaja
sunggingkan senyum tipis sebagai kesan meremehkan kata-kata Sumping Rengganis.
Ia juga melangkah dua tindak sehingga jaraknya menjadi empat langkah dari Sumping
Rengganis. Mata Ratu Teluh Bumi memandang lekat- lekat wajah gadis ayu yang
menurutnya sudah layak menyandang gelar perawan tua, karena usianya sudah
mencapai tiga puluh tahun lebih.
Tetapi Sumping Rengganis tidak
mau buang-buang waktu, ia segera mencabut pedangnya, srett...! Dan bersiap
menyerang Ratu Teluh Bumi. Sementara lawannya terlihat tenang-tenang saja,
seolah-olah tidak merasa gentar sedikit pun dengan pedang yang terhunus itu.
"Ratu Teluh Bumi,
putuskan pilihanmu sekarang juga! Serahkan kitab yang kau curi itu, atau
serahkan nyawa pencurimu?!"
"Silakan pilih sendiri
sebatas kemauanmu, Sumping!"
"Kau memang manusia
terkutuk, Ratu Teluh! Heaah...!"
Sumping Rengganis melompat ke
arah Ratu Teluh Bumi dan menebaskan pedangnya dengan cepat bagai hembusan angin
badai. Wuuttt...! Pedang itu melintas miring dari depan wajah Ratu Teluh Bumi
ke samping kanan. Tapi tak sampai menggores bagian tubuh Ratu Teluh Bumi karena
dengan satu sentakan ringan, tubuh Ratu Teluh Bumi telah melompat mundur untuk
menghindari tebasan pedang lawannya.
"Heeaat...!" Sumping
Rengganis menusukkan pedang ke arah dada Ratu Teluh Bumi dengan gerakan cepat
dan tak disangka-sangka. Brett! Baju hitam Ratu Teluh Bumi terkena tusukan itu
dan menjadi robek.
Tetapi tangan yang memegang
pedang dalam keadaan menusuk lurus itu segera dapat dibuang oleh Ratu Teluh
Bumi dengan tendangan berputar cepat satu kali. Plakkk...! Tendangan itu tepat
mengenai bagian siku dari Sumping Rengganis. Karena kuatnya, tubuh Sumping
Rengganis pun terbuang ke kiri dalam keadaan memutar. Dan kakinya cepat
berkelebat sewaktu tubuhnya terputar. Wuttt... !
Hampir saja kaki itu menampar
kuat wajah Ratu Teluh Bumi jika kepala Ratu Teluh Bumi tidak segera ditariknya
ke belakang. Wess...!
Tapi tanpa diduga-duga kaki
Sumping Rengganis yang satu pun bergerak cepat menyusul tendangan pertamanya
yang meleset sasaran itu. Tendangan kedua ini lebih tidak disangka-sangka lagi
oleh Ratu Teluh Bumi, sehingga kejap berikutnya wajahnya terdongak karena
tendangan itu menyentak telak di bawah dagunya. Dess... !
Ratu Teluh Bumi hampir
terkapar saat itu. Untung ia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya dengan
terhuyung-huyung ke belakang. Tetapi dalam hatinya ia cepat membatin,
"Jurus tendangan dan pedangnya
memang cukup tinggi! Kalau aku tidak siap melapisi tubuhku dengan tenaga dalam
yang tersalur menyeluruh, bisa remuk daguku oleh tendangannya tadi!"
Wukk! Wukkk...! Ratu Teluh
Bumi bersalto ke belakang dua kali untuk menjaga jarak dengan lawannya. Tapi
sang lawan cepat mengejar dengan satu lompatan, lalu pedangnya menebas lagi
dari kiri ke kanan, menyilang dari pinggang ke arah dada. Wuttt... !
Ratu Teluh Bumi hanya melompat
mundur satu kali, lalu begitu melihat dada Sumping Rengganis membuka, satu pukulan
tenaga dalam dilepaskan melalui telapak tangannya. Suttt..! Cahaya merah
melesat dari tapak tangan itu. Tapi Sumping Rengganis agaknya juga sudah siap,
sehinga dengan cepat tangan kirinya menyentak maju dan seberkas sinar hijau
menghantam kecepatan gerak sinar merah itu.
Duesr... !
Gelombang ledakan berhawa
panas menyentak sebar, membuat Sumping Rengganis terjajar mundur tiga tindak
dalam keadaan limbung, sedangkan Ratu Teluh Bumi hanya tersentak satu tindak ke
belakang.
Napas segera ditahan oleh Ratu
Teluh Bumi, kemudian ia berucap kata,
"Lumpuh kau,
Sumping...!"
Brekk...!
Secara tiba-tiba Sumping
Rengganis jatuh terkulai di tanah bagai cucian basah. Tak ada tenaga untuk
bangkit sedikit pun. Kedua kakinya seolah-olah tidak lagi memiliki tulang dan
urat sedikit pun. Sumping Rengganis menjadi kebingungan, ia masih bisa
menggerakkan tangannya untuk menopang badan, tapi kedua kakinya tidak berdaya
untuk berdiri. Sama sekali lemas dan tak mampu digerakkan. Bahkan kedua kaki
itu seperti mati rasa. Andai dipotong pun tak akan merasakan sakit sedikit pun.
Sumping Rengganis belum tahu
kekuatan ilmu 'Sabda Iblis' yang dimiliki Ratu Teluh Bumi. Ia sama sekali tak
menyadari bahwa jika Ratu Teluh Bumi menahan napas lalu ucapkan satu atau dua
kata, maka apa yang diucapkannya itu menjadi kenyataan. Sumping Rengganis telah
dikutuk oleh Ratu Teluh Bumi untuk menjadi lumpuh. Tetapi gadis cantik bermata
indah itu tak mudah menyerah, ia segera lepaskan jurus 'Pedang Penjilat Nyawa'
itu dalam keadaan terduduk di tanah.
Pedangnya itu disentakkan ke
depan dalam gerakan menusuk dengan dua tangan, kemudian selarik sinar biru
melesat dari ujung pedang. Sinar biru itu meluncur cepat secara bertubi-tubi.
Jrab jrab jrab jrab...!
Ratu Teluh Bumi sentakkan kaki
dan melenting di udara dalam gerak berjungkir balik satu kali. Sinar biru yang
melesat secara berturut-turut itu mengenai sebuah pohon dan pohon itu segera
berlubang antara lima atau enam tempat. Sedangkan tubuh Ratu Teluh Bumi segera
dapat mendarat dengan aman setelah sebuah pukulan bercahaya sinar biru juga
dilepaskan dari tangan kanannya dan menghantam pedang Sumping Rengganis.
*****
Trangng...! Pedang itu
terbuang jatuh karena hantaman sinar biru. Dan tiba-tiba pedang itu berasap
lalu melelehkan logamnya. Pedang tersebut telah meleleh dan tak berwujud pedang
lagi. Tinggal bagian gagangnya yang telah menjadi hangus bagaikan habis
disambar petir tanpa ampun lagi.
Sumping Rengganis terkesiap
melihat pedangnya bernasib malang. Matanya tak berkedip, mulutnya ternganga
bengong, sementara itu kakinya masih belum bisa dipakai untuk berdiri, ia
segera alihkan pandang kepada Ratu Teluh Bumi. Orang itu sunggingkan senyum
sinis yang membakar amarah di dalam hati Sumping Rengganis, membuatnya semakin
terengah- engah bagai orang habis melakukan pelarian jauh.
"Kau memang nakal, Bocah
Kencur! Sudah lumpuh masih saja bandel dan berani menyerang!"
"Aku tak akan berhenti
menyerangmu sebelum kau kembalikan kitab kakekku yang kau curi itu,
Jahanam!"
"O, jadi kau ingin yang
lebih parah lagi...?" Ratu Teluh Bumi melebarkan senyum dengan tenangnya.
Lalu, ia segera tarik napas dan menahan napasnya sambil mengucapkan kata
kutukan,
"Kalau begitu, jadilah
kau seekor serigala!"
Blarrr...! Petir di langit
menyambar bumi. Tak ada hujan tak ada mendung, petir itu seakan terkejut
mendengar kutukan yang dilontarkan Ratu Teluh Bumi, karena dalam sekejap saja,
tubuh Sumping Rengganis telah berubah menjadi seekor serigala berbulu hitam.
"Aaauuu...!"
Serigala itu meraung panjang, sebagai tanda raung kesedihan Sumping Rengganis
setelah melihat tubuhnya berbulu, mulutnya maju dan mempunyai ekor di belakang.
Serigala itu mempunyai mata merah, taring yang runcing, dan tajam, serta kuku
yang tajam-tajam juga.
Ratu Teluh Bumi tertawa
terkekeh-kekeh kegirangan. Ternyata ia mampu mengubah manusia menjadi seekor
serigala. Hatinya sangat bangga terhadap ilmu baru yang dimilikinya. Ilmu
'Sabda Iblis' itu digunakan untuk yang kedua kalinya, sebagai sasaran korban
adalah Sumping Rengganis. Maka segeralah ia berkata,
"Kalau sudah begini mau
apa kau, Sumping Rengganis?! Kau sudah bukan manusia lagi! Kau seekor serigala!
Kau tak mungkin bisa menuntut kitab itu lagi! Sebaiknya segeralah kau pergi ke
lereng bukit dan bergabunglah dengan kawanan serigala lainnya!"
"Gggrrr...!"
serigala itu menggeram sambil menyeringai pamerkan gigi dan taringnya yang
tajam- tajam itu. Ratu Teluh Bumi hanya tersenyum-senyum penuh kemenangan yang
memuaskan hatinya.
Tetapi, tiba-tiba tubuhnya
terpental dan jatuh terguling-guling ke samping. Sebuah pukulan jarak jauh
bertenaga besar dilepaskan. Ratu Teluh Bumi sibuk mengagumi hasil kutukannya,
sehingga tak tahu kalau ada serangan dari arah samping.
Jatuhnya Ratu Teluh Bumi
membuat serigala itu segera melompat dan menerkamnya dengan raung geram
kebuasannya. Ratu Teluh Bumi berusaha menghindari setiap cabikan kaki serigala
dan gigitan binatang itu. Ia berguling-guling, sampai tubuhnya membentur pohon
dan tak bisa bergerak lagi karena serigala itu sudah berada di depannya. Maka
ia sentakkan pukulan tenaga dalam bercahaya kuning dari tangan kiri. Wuttt...!
Behgg... !
"Aiiik...!" binatang
itu memekik, kemudian tubuhnya tersentak melayang ke belakang, ia terkena
pukulan kuat. Dan ketika bangkit lagi, binatang itu segera larikan diri tanpa
berpaling ke belakang.
Ratu Teluh Bumi bangkit, ia
segera ingat ada musuh yang menyerangnya dari samping. Ketika ia memandang ke
arah barat, ternyata seorang pemuda sedang berdiri terlolong bengong pandangi
kepergian Sumping Rengganis yang sudah berubah menjadi seekor serigala. Pemuda
itu seakan ragu dengan apa yang dilihatnya.
Melihat ciri-ciri pemuda
berambut panjang yang diikat ke belakang dengan tubuh yang tinggi, tegap,
berpakaian hijau tua, dan menyandang empat pisau terbang di pinggangnya, Ratu
Teluh Bumi segera kenali siapa pemuda itu.
"Jarum Lanang...!"
ucap Ratu Teluh Bumi sebagai sebuah sapaan. Pemuda yang berjuluk Jarum Lanang
itu cepat palingkan wajah dan pandangi Ratu Teluh Bumi. Sang Ratu Teluh Bumi
sunggingkan senyum ketusnya dengan mata menatap tajam, menyembunyikan kemarahan
akibat diserang secara tiba-tiba.
"Bb... benarkah...
benarkah serigala itu adalah Sumping Rengganis yang bertarung denganmu
tadi?!" tanya Jarum Lanang dengan wajah memerah semu. Itu tandanya ia pun
menahan kemarahan yang menegangkan jiwa, membakar darahnya.
"Ya. Itu adalah Sumping
Rengganis, kekasihmu!"
"Biadab kau, Ratu
Teluh!" geram Jarum Lanang.
"Terpaksa aku lakukan hal
itu, karena ia menyerangku tiada hentinya, seperti seekor serigala yang
buas!"
"Tentu saja dia
menyerangmu, karena kamu mencuri kitab pusaka milik kakeknya!"
"Kalau kau sudah tahu
begitu, lantas mau apa?" tantang Ratu Teluh Bumi.
"Harus membunuhmu dan
menjadikan kamu daging cincang makanan para serigala!" sentak Jarum Lanang
tak lagi bisa menahan diri. Kemudian dengan serta-merta ia melepaskan dua pisau
terbangnya ke arah Ratu Teluh Bumi.
Wuttt wuttt...!
Ratu Teluh Bumi sentakkan kaki
dan melenting naik ke atas. Ketika bergerak turun, ia lepaskan satu pukulan
tenaga dalam dari telapak tangannya, yaitu pukulan yang memercikkan sinar biru.
Sinar itu melayang cepat ke arah Jarum Lanang, membuat si Jarum Lanang melompat
ke kiri dan berguling satu kali di tanah, kejap berikutnya ia sudah berdiri
lagi dengan tegap.
"Ratu Teluh! Aku harus
melawanmu sampai mati untuk menuntut ucapanmu yang membuat Sumping Rengganis
menjadi seekor serigala!" teriak Jarum Lanang dengan garangnya.
Ratu Teluh Bumi tenang-tenang
saja. Tapi segera ia tarik napas dan menahan napasnya itu sambil berucap kata,
"Kalau begitu, kau pun
layak menjadi seekor tikus sebagai calon santapan serigala itu, Jarum
Lanang!" Blarrr... !
Petir kembali terkejut.
Kilatan cahaya peraknya membakar langit. Dan seketika itu tubuh tegap Jarum
Lanang pun lenyap. Yang ada hanyalah seekor tikus wirok berwarna abu-abu.
Mencicit hendak menggigit kaki Ratu Teluh Bumi. Tapi dengan cepat kaki itu
menendang dan tikus wirok itu pun terpental sambil serukan cicit yang menjerit.
Kemudian tikus itu pun pergi dengan berlari bagai keberatan ekornya yang
panjang. Gerakan tikus berlari ketakutan itu membuat Ratu Teluh Bumi menjadi
tertawa kegelian untuk yang kedua kalinya.
Hati Ratu Teluh Bumi semakin besar,
ia telah memiliki ilmu ampuh yang sangat jarang dimiliki oleh para tokoh di
dunia persilatan baik dari kalangan tokoh tua maupun tokoh muda. Bahkan dalam
hatinya Ratu Teluh Bumi berucap kata,
"Mana Dayang Kesumat?
Mana Suto Sinting itu? Biar kukutuk mereka dengan ilmu 'Sabda Iblis'-ku untuk
menjadi seekor cacing! Biar mudah bagi siapa saja yang ingin membunuhnyal Ha ha
ha ha...I"
Sambil tertawa Ratu Teluh Bumi
pun melanjutkan langkahnya. Arah tujuan tetap ke Kerajaan Jenggala yang sudah
cukup lama ditinggalkan.
Ketika ia melintasi sebuh
desa, dan menemukan kedai, Ratu Teluh Bumi sempatkan diri untuk mengisi
perutnya dan membasahi tenggorokannya. Namun baru saja ia ingin masuk ke kedai
itu, tiba-tiba ia melihat sosok Prahasto dan seorang lagi yang cukup
dikenalnya, yaitu Rakawuni.
Tanpa setahu mereka, Ratu
Teluh Bumi berada di balik tenda penutup panas dari bahan kain kumal. Dari
balik tenda penutup itu Ratu Teluh Bumi mendengar percakapan Prahasto dengan
Rakawuni,
"Jadi, Dayang Kesumat
sudah bertemu denganmu dan mengatakan bahwa Ratu Teluh Bumi telah
dibunuhnya?"
"Ya. Dayang Kesumat
bilang, Ratu Teluh Bumi jatuh ke jurang dan bilamana perlu kita disuruh
mencarinya sendiri! Maksudku, mencari bangkai si Ratu Teluh kampret itu! Ha ha
ha ha...!"
"Bagus-bagus...! Rupanya
kau layak menjadi prajurit sandi praja! Nanti akan kuusulkan kepada senopati
untuk mengangkatmu menjadi prajurit sandi praja, dan akan kuceritakan kepada
beliau, bagaimana kau punya akal untuk membunuh Ratu Teluh Bumi!"
"Aku tak keberatan,
Rakawuni! Dan ceritakan pula kepada sang Senopati, bahwa Ratu Teluh Bumi yang
berilmu tinggi itu akhirnya mati dalam tugasku. Kalau aku tidak melakukan adu
domba begitu, aku tak akan sanggup membunuh Ratu Teluh Bumi. Ha ha ha...!"
Dari tempatnya berdiri, Ratu
Teluh Bumi segera sadar bahwa ternyata selama ini ia telah diadu domba untuk
bertarung melawan Dayang Kesumat. Dan ternyata pula Prahasto itu adalah orang
Jenggala yang ditugaskan untuk membunuhnya. Maka, Ratu Teluh Bumi pun
mengencangkan kedua tangannya, menggenggam kuat-kuat sambil menggeram lirih,
"Jahanam! Licik dia!"
***6
SENGAJA Ratu Teluh Bumi
menghadang di tikungan jalan sepi. Dadanya sudah megap-megap mau jebol menahan
amarah kepada Prahasto. Yang membuatnya menyesal adalah kebodohannya sendiri.
Ratu Teluh Bumi menjadi merasa sangat bodoh, karena sudah berusia lima puluh
tahun tapi masih bisa diadu domba oleh anak berusia sekitar dua puluh lima
tahun. Sungguh sangat memalukan dan menjengkelkan. Dan yang membuatnya lebih
berang lagi adalah, bahwa ternyata Prahasto adalah orang Jenggala yang
ditugaskan membunuhnya. Ini sungguh suatu tantangan yang mendidihkan darah Ratu
Teluh Bumi.
Tak lama kemudian terlihatlah
dua orang melangkah seiring sambil sesekali tertawa. Mereka itu adalah Rakawuni
dan Prahasto. Melihat tawa Prahasto, jantung Ratu Teluh Bumi bagaikan dirogoh
dengan paksa dan ingin meledak dalam remasan dendam. Sebetulnya sejak di kedai
itu Ratu Teluh Bumi sudah ingin melampiaskan marahnya. Tapi ia tak ingin banyak
orang tahu tentang kebodohannya yang telah berhasil diadu domba oleh Prahasto.
Karenanya ia memilih menghadang mereka berdua di tikungan jalan sepi itu.
Sengaja Ratu Teluh Bumi tidak
menegur mereka dan tetap berdiri di bawah pohon rindang dengan punggung
bersandar pada batang pohon. Kedua tangannya bersidekap di dada, tapi matanya
tetap mengawasi langkah kedua orang itu.
Tiba-tiba langkah Rakawuni
terhenti setelah ia memandang ke arah samping. Maksudnya ingin bicara kepada
Prahasto sambil memandang yang diajak bicara, tapi matanya menembus pemandangan
seberang sehingga tertangkaplah sosok Ratu Teluh Bumi oleh pandangan mata
Rakawuni.
Prahasto heran melihat
Rakawuni berhenti dengan mata terbelalak. Kemudian ia bertanya, "Ada apa,
Rakawuni? Kau seperti melihat setan saja?!"
Rakawuni memang tidak
menjawab, tapi Prahasto segera palingkan wajah ke arah seberang dan ia pun
menjadi terkejut melihat Ratu Teluh Bumi berdiri tenang di bawah pohon.
Prahasto segera bergumam dengan nada penuh keheranan,
"Dayang Kesumat bilang
dia sudah mati?!"
"Lalu, siapa yang di sana
itu? Apakah arwahnya Ratu Teluh Bumi?"
"Hm...! Rakawuni,
jagailah aku! Aku akan mendekatinya!"
"Baik! Aku pun sudah
telanjur dipergoki olehnya sedang bersama kamu. Pasti dia tahu bahwa kamu
adalah orang utusan dari Jenggala! Kita hadapi bersama saja apa yang ingin ia
lakukan terhadap diri kita, Prahasto!"
Kemudian mereka berdua segera
menghampiri Ratu Teluh Bumi. Perempuan itu tetap tenang saja. Sebab ia tahu,
dalam sekejap ia bisa mengutuk mereka berdua sekehendak hatinya.
"Ratu Teluh...?!"
Benarkah kau Ratu Teluh Bumi?" Prahasto berlagak heran dan cemas.
"Aku Ratu Teluh
Bumi!" jawab perempuan itu.
"Oh, syukurlah kalau kau
masih selamat! Bagaimana dengan Dayang Kesumat? Sudah berhasil kau bunuh?"
"Dayang Kesumat juga
selamat. Sebentar lagi dia menemuimu, dia ingin kasih upah padamu, yaitu
siksaan yang membuatmu menderita seumur hidup. Tapi sebelum itu, aku yang
berhak menyiksamu lebih dulu!" Ratu Teluh Bumi bicara dengan tenang walau
dadanya bergemuruh hebat. Sementara itu, Rakawuni memandang dengan penuh
waspada. Bahkan kali ini dia ikut angkat bicara menegur Ratu Teluh Bumi,
"Lama kita tidak jumpa,
Ajeng Prawesti!"
"Ya, dan sekali jumpa
kita akan saling bunuh, Rakawuni!"
"Kenapa begitu? Kita dulu
sahabat baik, Ajeng!"
"Dulu memang sahabat,
tapi sejak kau ikut memberontak menggulingkan kekuasaan ayahku, kau sudah bukan
lagi sahabat, melainkan musuh bagi diriku, Rakawuni!"
"Ah, itu urusan negara!
Jangan campur adukkan urusan negara dengan persahabatan, Ratu Teluh Bumi!"
kata Rakawuni berusaha untuk tidak tampakkan permusuhan. Tapi agaknya Ajeng
Prawesti tak bisa menahan sikap permusuhan itu, bahkan dengan ketusnya ia
berkata,
"Kalian mau maju bersama
atau satu persatu?!"
Prahasto menyahut, "Hei, apa-apaan
ini? Maksudmu bagaimana, Ratu Teluh Bumi?"
"Jangan berpura-pura
bodoh, Prahasto!" geram Ratu Teluh, kini ia berdiri tegak, tanpa bersandar
di pohon itu. Lanjutnya lagi,
"Aku sudah tahu semua
kedok yang kau pakai! Kau orang Jenggala, prajurit sandi yang bertugas
membunuhku! Tapi kau tak mampu tandingi ilmuku, sehingga kau mengadu domba
antara aku dengan Dayang Kesumat!"
Prahasto ingin ajukan
sanggahan tapi ia tak bisa melakukan, karena ia tak punya alasan lain untuk
menutupi kenyataan dirinya. Akhirnya Prahasto pun berkata,
"Ya, memang aku orang
Jenggala! Tapi aku cukup puas bisa mengadu domba kamu dengan Dayang Kesumat!
Hanya saja aku tidak tahu, mengapa Dayang Kesumat mengatakan bahwa kau telah
dibunuhnya dan dilemparkan ke jurang!"
"Dayang Kesumat tidak
tahu kalau aku orang sakti yang melebihi dirinya! Bahkan dalam waktu sekejap
akan kuhabisi orang-orang Jenggala, dan akan kurebut kembali takhta kerajaan
yang menjadi warisan leluhurku itu!"
"Jaga bicaramu, Ratu
Teluh!" geram Prahasto dengan nada mengancam, ia pun mundur dua tindak
untuk bersiap melakukan serangan. Tapi pada saat itu, Ratu Teluh Bumi menarik
napas dan menahannya, lalu ia berkata kepada Prahasto,
"Jangan berlagak pahlawan
di depanku, Prahasto! Kau bukan seorang pahlawan, melainkan seekor ular
berkepala dua!"
Zlappp...! Blarrr...!
Bukan Rakawuni saja yang
terkejut, tapi sang petir juga ikut kaget. Tubuh Prahasto seketika itu berubah
wujud menjadi seekor ular hitam berkepala dua. Rakawuni sempat melompat karena
kagetnya, dan ular berkepala dua itu menggelosor-gelosor dengan lemas, bagai
menangisi perubahan wujud dirinya. Ular itu sebesar jempol kaki orang dewasa.
Panjangnya kira-kira satu tombak.
"Gila kau, Ajeng!"
gumam Rakawuni bernada gemas. Setelah lama pandangi ular itu, ia segera menatap
mata Ratu Teluh Bumi yang sering dipanggilnya Ajeng Prawesti. Rakawuni berkata,
"Kejam sekali kau, Ajeng!
Ilmumu cukup tinggi, itu kuakui! Tapi kau menjadi manusia berhati binatang jika
begini caranya!"
"Ya, daripada kamu
binatang yang berpura-pura menjadi manusia! Bagaimanapun juga ia tetap
binatang! Kau sama juga dengan Prahasto! Rupanya kau pun lebih bagus jika
kukutuk menjad...."
Wuttt...! Prokk...!
Sebelum Ratu Teluh Bumi
ucapkan kutuknya, kaki Rakawuni sudah lebih dulu menyerang dengan satu
tendangan kuat. Tendangan itu berkelebat cepat dan tak disangka-sangka
datangnya. Tepat mengenai mulut Ratu Teluh Bumi, membuat perempuan itu
tersentak mundur dan menggeloyor hampir jatuh. Untung tangannya segera memegang
batang pohon sehinggga tubuhnya tak sempat jatuh.
Sementara itu, ular berkepala
dua jelmaan dari Prahasto itu seperti mengalami ketakutan. Ular itu bergerak
cepat melarikan diri masuk ke semak-semak dan menghilang di sana.
"Ucapan Ajeng sangat
berbahaya!" kata Rakawuni dalam hatinya. "Jadi sebaiknya yang kucecar
adalah mulutnya, dan jangan kasih kesempatan dia untuk bicara!"
Wutt...! Tubuh Rakawuni cepat
melompat dan dalam sekejap sudah berada di depan Ratu Teluh Bumi. Ia sedikit
melompat dan menendang dalam satu putaran tubuh cepat. Wuesss...! Plokk...!
Ratu Teluh Bumi kembali
terkena tendangan putar dari kaki Rakawuni. Wajah yang terkena tendangan itu
tersentak ke samping kiri dan tubuhnya pun terlempar ke kiri. Ia jatuh tersungkur
dalam keadaan berdarah mulutnya. Rakawuni masih mencecarnya lagi dengan sebuah
pukulan bertenaga dalam dari jarak jauh. Wussttt..!
Segera tangan Ratu Teluh Bumi
berkelebat melihat sinar putih terlepas dari telapak tangan Rakawuni. Kelebatan
sebuah tangan Ratu Teluh Bumi itu memancarkan cahaya hijau terang, dan
membentur cahaya putih tersebut. Blarrr...!
Gelombang ledakan terjadi
dalam jarak dua jangkauan tangan dari depan Ratu Teluh Bumi. Akibatnya Ratu
Teluh Bumi tersentak lagi dan terguling- guling di tanah, sementara Rakawuni
hanya mundur dua tindak akibat hempasan angin gelombang panas itu.
"Aku harus kabur!"
tiba-tiba hati Rakawuni berkata demikian. "Kalau aku tidak melarikan diri
untuk pulang ke Jenggala, maka tak ada orang yang tahu bahwa Ratu Teluh Bumi
atau Ajeng Prawesti akan menyerang istana dan merebut kekuasan sang Prabu! Aku
yakin, Ajeng Prawesti akan berhasil memporak-porandakan Jenggala dengan ilmu
kutuknya yang cukup tinggi dan berbahaya itu! Maka, selagi ia kesakitan, aku
harus cepat-cepat melarikan diri pulang ke Jenggala...!"
Rakawuni bertindak penuh
perhitungan, ia cepat melesat pergi tinggalkan Ratu Teluh Bumi. Sebenarnya bisa
saja ia menyerang perempuan itu lagi. Tapi perhitungan dia, jika serangan itu
meleset dan Ratu Teluh Bumi melepaskan kutuknya, maka tak akan ada orang yang
melaporkan keadaan Ajeng Prawesti dan bahaya yang mengancam Jenggala.
Melihat Rakawuni kabur, Ratu
Teluh Bumi segera tahan napas dan berseru keras-keras,
"Rakawuni...! Ingat,
Jenggala akan hancur dalam waktu singkat!"
Rakawuni tidak melayani seruan
itu. Ia terus saja melarikan diri. Tapi Ratu Teluh Bumi masih penasaran walau
ia telah lepaskan kutukannya itu. Ia pun bergegas dan berkelebat mengejar
Rakawuni. Ia pun punya perhitungan bahwa Rakawuni akan menyebar kabar tentang
rencana penyerangannya. Jika rencana kedatangannya ke Jenggala sudah diketahui
penguasa setempat, maka setidaknya Ratu Teluh Bumi akan menghadapi banyak
perintang. Untuk memperlancar rencananya, Rakawuni harus dibunuh lebih dulu.
Itulah sebabnya ia harus bisa mengejar dan menangkap Rakawuni.
Hanya beda beberapa saat saja,
Siluman Tujuh Nyawa tiba di tempat itu setelah Ratu Teluh Bumi mengejar
Rakawuni. Siluman Tujuh Nyawa datang dari semak belukar dan tidak tahu bahwa di
bawah pohon itu beberapa saat yang lalu berdiri orang yang dikejarnya. Mata
dingin itu memandang sekeliling sambil menggeram dalam hati. Lalu, batinnya pun
mengucap kata,
"Ke mana aku harus
mencarinya? Ingin rasanya aku segera menemukan dia dan membeset-beset kulit
tubuhnya! Tapi perempuan itu termasuk licin seperti belut! Hmm...! Sebaiknya
kucari dia ke utara sana, siapa tahu dia tinggal di perkampungan itu!"
Siluman Tujuh Nyawa mencari
berlawanan arah lagi, ia justru menuju ke perkampungan, tempat di mana ada
sebuah kedai besar yang tadi dipakai makan oleh Rakawuni dan Prahasto. Namun
ketika ia tiba di perbatasan desa, mendadak langkahnya terhenti dan ia harus
melesat ke suatu gugusan tanah untuk sembunyikan diri.
Ia melihat seorang pemuda
berjalan tinggalkan desa itu. Pemuda tersebut berpakaian baju coklat tanpa
lengan dan celana putih. Pemuda itu menyandang bumbung tuak di punggungnya dan
rambutnya panjang meriap tanpa diikat. Siluman Tujuh Nyawa mengenali betul
wajah tampan pemuda itu, yang tak lain adalah si Pendekar Mabuk, Suto Sinting.
Pemuda itulah yang memburunya selama ini dan membuat Siluman Tujuh Nyawa
bersembunyi di Jurang Petaka.
Agaknya Pendekar Mabuk baru
saja mengisi perutnya di kedai tersebut, ia juga mengisi penuh bumbung tuaknya
yang tak pernah ketinggalan selalu ada di sebelah kirinya itu. Tetapi ketika
Suto melewati gugusan tanah yang membentuk gundukan bukit kecil itu, tiba- tiba
langkahnya terhenti. Ada sesuatu yang tak beres dirasakan oleh firasatnya, ia
mencium darah amis. Bau amis darah itu sangat samar-samar, dan ia tandai
sebagai keadaan yang tak seberapa jauh dari tokoh sesat yang tangannya berlumur
darah orang tak berdosa itu.
"Sepertinya dia ada di
sekitar sini?" pikir Suto. Kemudian ia mengusap keningnya dengan tangan
kiri.
Slapp...! Keningnya itu
mempunyai tanda merah kecil, pemberian Gusti Ratu Kartika Wangi dari alam gaib.
Jika diusap memakai tangan kiri, maka Suto bisa melihat kehidupan di alam gaib.
Apa yang tak tampak di mata orang awam akan tampak di mata Suto Sinting.
Tetapi Suto tetap tidak
menemukan sosok manusia sesat yang diburunya. Hanya saja, sebuah cahaya
terlihat membias dari balik gundukan tanah sebesar gajah bergandeng dua itu.
Cahaya itu berwarna merah ber- pendar-pendar. Suto pandangi cukup lama gundukan
tanah yang bagai menyembunyikan cahaya merah itu.
"Cahaya merah, jelas
cahaya kemaksiatan dan kekuatan ilmu hitam," pikirnya. "Jika tidak
dilihat dengan mata gaib, maka cahaya merah itu tidak akan kelihatan oleh mata
biasa. Jika di balik gundukan tanah itu ada cahaya merah, berarti di sana ada
kekuatan ilmu hitam yang cukup besar. Hmmm...! Apa yang ada di balik gundukan
tanah itu sebaiknya kupaksa keluar saja dia...!" Maka serta-merta Pendekar
Mabuk sentakkan tangannya ke depan dan melesatlah sinar hijau mirip piringan
bergerigi. Sinar hijau itulah yang dinamakan sinar 'Pecah Raga' yang biasnya
jika mengenai lawan, maka tubuh lawan bisa pecah menjadi serpihan-serpihan
kecil. Kali ini sinar hijau itu dihantamkan pada gundukan tanah tersebut. Tanah
cadas itu pun pecah dalam satu dentuman menggelegar. Blarrr...! Brrasss...!
Gundukan tanah cadas yang
begitu besarnya pecah seketika, serpihan tanahnya menyembur ke segala arah.
Bahkan sampai setinggi pohon kelapa tanah itu menyembur naik. Dan dari pecahan
cadas itu muncul sekelebat bayangan hitam yang melompat tinggalkan tempat.
Bayangan hitam itu berlari cepat bagaikan angin setan. Tapi Suto pun segera
mengejarnya dengan kecepatan lebih tinggi lagi, sehingga dalam waktu singkat,
Suto sudah menghadang di depan Siluman Tujuh Nyawa. Wujud Suto sudah bisa
tampak di mata telanjang, karena ia sudah mengusap kembali keningnya dengan
tangan kanan, itu artinya ia menampakkan diri.
Tujuh langkah sebelum mencapai
Suto, orang berkerudung hitam yang menggenggam pusaka El Maut itu menghentikan
langkahnya. Pendekar Mabuk memandang tajam wajah dingin itu, dan wajah dingin
itu juga menatap lebih dingin lagi.
"Kau tak akan bisa lari
lagi, Durmata Sanca!" kata Suto Sinting dengan suara tenang.
Durmala Sanca membalas,
"Kau menyerahkan nyawa, Pendekar Mabuk! Jangan menyesal kalau saat ini
adalah saat terakhirmu menghirup udara di permukaan bumi!"
"Aku tak akan menyesal!
Tapi pastikanlah dirimu untuk tidak lari lagi dari hadapanku, Durmala
Sanca!"
"Aku tak akan lari
darimu! Ini pertemuan kita yang terakhir! Aku sudah cukup kuat dan bisa
kalahkan luka yang kudapat darimu!"
"Bagus! Aku pun sudah
lama menunggu saat-saat seperti ini, Durmala Sanca!"
Tangan Siluman Tujuh Nyawa
mulai meremas tongkatnya sendiri. Pendekar Mabuk merasa ada yang meremas
jantungnya. Mulai terasa sesak pernapasannya. Tetapi Suto tahu, gerakan tangan
meremas tongkat itu adalah kekuatan tenaga dalam yang disalurkan lewat mata dan
menembus ke mata Suto, lalu meremas kuat jantungnya agar pecah.
Suto pun kerahkan tenaga
dalamnya, membuat jari tangannya berkuku terang. Kuku itu menyala merah
membara, lalu Suto sentilkan jari tengah itu dengan satu sentakan pelan.
Tess... Sentakan pelan itu melepaskan kekuatan tenaga dalam yang bernama jurus
'Lintang Kesumat'. Kekuatan dahsyat dari sentilan itu mengenai punggung tangan
Durmala Sanca. Crasss...!
Punggung tangan yang memegangi
tongkat itu pun robek dan berdarah, seperti habis terbacok ujung clurit. Maka
genggaman tangan itu melemah, bahkan tongkat tersebut hampir terlepas jika
tidak segera berpindah ke tangan yang kiri.
Siluman Tujuh Nyawa segera
kibaskan tangan yang berdarah, ia merasakan sakit, tapi wajahnya tetap kaku dan
dingin, tanpa menampakkan perubahan wajah yang kesakitan. Luka-luka itu segera
dijilatnya. Slappp...!
Dalam waktu kurang dari satu
helaan napas, luka di punggung tangannya itu telah merapat kembali, menjadi
kering dan menjadi seperti semula.
Keduanya masih sama-sama
berdiri dengan kedua kaki merenggang. Suto tampak lebih tegap karena dadanya
terbusung kekar. Mereka sama-sama saling membungkam mulut, tapi sebenarnya
saling melepaskan serangan dan saling tangkis.
Tiba-tiba dari mata Siluman
Tujuh Nyawa pancarkan selarik sinar merah seperti lidi yang melesat ke dada
Pendekar Mabuk. Tetapi sebelum sinar itu mengenai dadanya, Pendekar Mabuk telah
lebih dulu menggerakkan bumbung tuaknya maju ke depan dada. Akibatnya sinar
merah itu menghantam bumbung tuak dari bambu itu. Trass...! Clappp...!
Sinar itu membelok arah,
membentuk sudut kecil dan membalik ke dada Siluman Tujuh Nyawa. Dengan cepat
Siluman Tujuh Nyawa menghadang sinar yang membalik itu dengan tongkatnya.
Gagang tongkat itu menjadi sasaran ujung sinar yang masih seperti lidi.
Clapp...! Sinar itu juga membelok membentuk sudut kecil dan mengarah ke perut
Pendekar Mabuk. Melihat gerakan sinar yang tidak bisa ditangkis lagi dengan
bumbung tuak, karena bumbung tuak sedang menahan sinar pertama, maka Pendekar
Mabuk cepat-cepat sentakkan tangannya ke perut. Sinar itu ditangkis dengan jari
kuku tengahnya yang telah menyala hijau. Sinar sebesar lidi itu membentur kuku
jari yang menyala hijau lalu membalik membentuk sudut sedikit lebar. Clappp...!
Kini keadaan sinar itu seperti
rentangan benang ke sana-sini membentuk huruf 'M' dalam keadaan miring. Dan
pembalikan sinar dari jari tangan Suto itu tidak sempat ditangkis lagi oleh
Siluman Tujuh Nyawa. Sinar itu tepat mengenai pahanya. Crasss...!
"Ahg...!" Siluman
Tujuh Nyawa terpekik. Sinar dari matanya padam seketika. Dengan begitu, padam
pula semua sinar yang bersimpang siur tadi. Tapi keadaan paha Siluman Tujuh
Nyawa cukup parah. Luka pada paha itu tembus ke belakang dihantam sinar
merahnya sendiri. Paha itu berlubang dan mengucurkan darah. Lubang tembusan
sinar merah itu sebesar tutup botol. Siluman Tujuh Nyawa menjadi samar-samar
biru wajahnya. Matanya makin mendelik tak bisa berkedip.
Pendekar Mabuk segera lepaskan
pukulan jurus 'Manggala'-nya. Tapi sebelum hal itu terjadi, zlappp...! Tubuh
Siluman Tujuh Nyawa menghilang, ia lari melalui sisi alam gaib. Suto Sinting
penasaran dan segera menghilang pula dengan mengusapkan tangannya ke kening.
Zlapp...! Di alam gaib itu ia mengejar Siluman Tujuh Nyawa yang jelas sudah
terluka cukup parah.
***7
SATU keunggulan yang dimiliki
Siluman Tujuh Nyawa adalah pandai melarikan diri dan bersembunyi. Pendekar
Mabuk mengakui keunggulan itu. Karena setiap kali ia mengejar Siluman Tujuh
Nyawa, ia selalu kehilangan jejak orang sesat itu. Padahal Suto sudah
mengejarnya sampai ke alam gaib, tapi masih saja Siluman Tujuh Nyawa berhasil
loloskan diri dari pengejaran tersebut.
"Sial! Lolos lagi
dial" geram Pendekar Mabuk, yang segera meneguk tuaknya untuk mengobati
kekecewaan hatinya itu.
Tiga teguk tuak ditelan Suto
Sinting. Kepalanya yang mendongak untuk menerima tuangan air tuak itu kini
kembali tegak. Dan ia sangat terkejut melihat tiba-tiba ada seorang perempuan
cantik berdiri di depannya dalam jarak delapan langkah. Suto kerutkan dahi
sebentar, mengingat-ingat seraut wajah cantik yang sepertinya pernah
dijumpainya. Kemudian ingatannya kembali melayang pada peristiwa di Pulau
Padang Peluh (Baca serial Pendekar Mabuk, dalam episode: "Cermin Pemburu
Nyawa"). Dan Suto pun segera ingat, bahwa perempuan itu adalah Dayang
Kesumat, tokoh sesat dari Pulau Hantu yang juga menjadi lawan bagi bibi
gurunya, yaitu Bidadari Jalang.
Pendekar Mabuk tahu, bahwa
Dayang Kesumat seperti orang yang baru lahir kembali ke dunia. Dulu, perempuan
cantik itu adalah seorang nenek peot, bungkuk, dan bersenjatakan tongkat
berkepala tengkorak kambing. Suto pernah adu kesaktian dengan Dayang Kesumat
ketika perempuan itu menjadi nenek kempot, guru dari Peri Malam. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
Ketika itu, Dayang Kesumat
memakai nama Mawar Hitam. Dan ia selalu saja menyelamatkan orang berilmu tinggi
yang nyaris mati. Ia bawa ke Pulau Hantu, dan di sana rupanya ia melakukan
sesuatu yang sangat luar biasa. Mawar Hitam berhasil menyerap semua ilmu
orang-orang sakti itu dengan menggunakan Ilmu 'Serap Kawekas', sehingga seluruh
kesaktian orang-orang yang ditolongnya dari suatu pertarungan itu menjadi
miliknya.
Dan Mawar Hitam pun berhasil
mempelajari ilmu 'Rias Renggana', yang bisa menyedot kecantikan beberapa orang,
sehingga dirinya menjadi muda dan cantik. Dalam keadaan diri sudah berubah
cantik dan muda itulah, si Mawar Hitam pun mengubah namanya menjadi Dayang
Kesumat.
Satu hal yang membuat Suto
selalu ingat dan bisa mengetahui bahwa perempuan cantik itu adalah Mawar Hitam,
yaitu melalui percakapannya. Dayang Kesumat tidak bisa bilang 'R', dan hal itu
terjadi sejak Dayang Kesumat masih menjadi sosok si Mawar Hitam. Dialah
satu-satunya tokoh sakti yang cadel.
Kali ini Pendekar Mabuk merasa
heran, mengapa Dayang Kesumat menemui dirinya seperti suatu pertemuan yang
disengaja. Karena itu, setelah menghampiri perempuan cantik itu, Suto pun
segera ajukan tanya,
"Sepertinya kau sengaja
menemuiku, Dayang Kesumat? Ada apa?"
"Aku tidak sengaja
menemuimu. Tapi begitu kulihat kau ada di sini, aku jadi punya gagasan lain,
sehingga aku pun menemuimu, Suto!"
"Untuk apa?"
"Aku kehilangan pusaka
Gelang Mata Setan, sehingga aku tidak bisa melihat di mana gulumu belada."
"O, kau ingin temui
guruku si Gila Tuak?"
"Bukan si Gila Tuak! Aku
ingin temui Bidadali Jalang!"
"O, kau ingin ketemu Bibi
Guru Bidadari Jalang?"
"Ya! Tolong kasih tahu di
mana dia belsinggah asingkan dili?"
Suto tidak mau sembarangan
memberikan tempat tinggal Bidadari Jalang. Bagaimanapun juga, Bidadari Jalang
adalah guru Suto juga (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah
Tanpa Pusar"). Sekalipun dulu Bidadari Jalang bekas tokoh sesat, tapi
sejak dia angkat murid Suto Sinting bersama-sama si Gila Tuak yang menjadi
saudara seperguruan itu, Bidadari Jalang mulai insaf dan tak mau leburkan diri
dalam kesesatan lagi. Ia ingin menjadi seorang pertapa untuk menebus
dosa-dosanya yang selama ini dilakukan dengan sangat sengaja.
Si Gila Tuak, saudara
seperguruan Bidadari Jalang itu, selalu membimbing dan mengawasi sikap Bidadari
Jalang. Si Gila Tuak sengaja kasih kesibukan Bidadari Jalang untuk pelajari
ilmu 'Kasampurnan Urip', sehingga Bidadari Jalang benar-benar meninggalkan
segala tindak kemaksiatannya. Tekadnya adalah menjadi pertapa suci jika ia
telah berhasil melebur dosa-dosanya selama ini.
Sebagai murid, Pendekar Mabuk
perlu curigai maksud pertanyaan Dayang Kesumat itu, sehingga ia pun segera
ajukan tanya,
"Apa maksudmu mencari
bibi guruku, Dayang Kesumat?!"
"Sudah saatnya aku
membalas dendamku kepada dia, Suto!"
Terkesiap mata Pendekar Mabuk
mendengar jawaban polos seenaknya itu. Terlalu sembrono Dayang Kesumat berkata
menurut Suto. Karenanya Pendekar Mabuk pun segera berkata,
"Jadi kau ingin balas
dendam dan membunuh bibi guruku?"
"Betul!"
"Itu sulit, Dayang
Kesumat!" Suto sunggingkan senyum tipis.
"Mengapa sulit?"
"Seperti kau ketahui,
Bidadari Jalang punya murid, tentunya muridnya tidak akan rela jika gurunya
dibunuh orang seenaknya saja! Jadi sebaiknya kau harus bunuh dulu muridnya,
baru kau temui gurunya dan lawanlah gurunya!"
Dayang Kesumat tertawa pelan
bernada meremehkan. "Itu altinya aku halus membunuhmu dulu, Suto!"
"Kurasa memang sebaiknya
begitu, Dayang Kesumat," jawab Suto dengan tenang, sepertinya tidak merasa
dalam ancaman maut perempuan sakti itu.
"Sayang sekali kalau
wajah tampanmu mati di tanganku, Suto!"
"Lebih sayang lagi kalau
wajah cantikmu berubah menjadi tua dan kempot seperti saat kau dalam wujud si
Mawar Hitam!"
"Suto...!" sentak
Dayang Kesumat dengan mata tegas dan tajam. Rupanya ia mulai tersinggung jika
ada yang membicarakan masa lalunya.
"Sekali lagi kau bicala
sepelti itu, kuhabisi nyawamu saat itu juga!" ancamnya dengan
sungguh-sungguh, tapi Suto menertawakannya.
"Kalau kau tersinggung,
kau tak usah mengancamku segala, Dayang Kesumat! Kalau kau memang berani
melabrak bibi guruku, kau harus berani menghadapiku!"
"Tak ada yang membuatku
tak belani menghadapimu, Suto Sinting! Sekalipun dulu kau pelnah menolongku,
menyelamatkan lukaku akibat setangan dali si Tua Lakus di Pulau Padang Peluh,
tapi semua itu kuanggap tidak pelnah teljadi. Buatku tak ada balas budi. Sekali
aku beltekad membunuh olang, tak peduli olang itu punya kebaikan padaku atau
tidak, maka olang itu tetap halus kubunuh!"
"Aku tak menuntut balas
jasa dari perbuatanku tempo hari! Aku pun sudah lupa, dan tak pernah
ingat-ingat tentang kebaikanku! Yang kuingat hanyalah, pembelaan terhadap
Guru!"
"Gulumu itu olang sesat
dan jahat! Untuk apa kau bela?!"
"Kau sendiri apakah orang
baik-baik, Dayang Kesumat?!" balas Suto Sinting sambil tersenyum kalem.
"Membela orang yang ingin bertobat dari kesesatan hidupnya di masa lalu
itu adalah hal yang baik, daripada membela orang sesat yang tidak pernah mau
bertobat seperti dirimu, Dayang Kesumat!"
"Bocah kemalin sole sudah
belani gului aku, kamu ya?! Lupanya kau memang pellu dikasih pelajalan bial
tahu adat, Suto! Hihh...!"
Dayang Kesumat segera
mencengkeram jari telunjuknya sendiri, itu pertanda Dayang Kesumat mencengkeram
'seekor burung' peliharaan Suto. Namun dengan cepat Pendekar Mabuk sentakkan
napasnya dan tertahan beberapa saat, sehingga ia masih tetap bisa tersenyum dan
berdiri dengan tenang, sementara itu Dayang Kesumat kerutkan dahi dengan wajah
heran. Jari telunjuk itu diremas-remas, bahkan dipelintirnya sendiri dengan ibu
jari. Tapi Dayang Kesumat seperti tidak menemukan apa-apa yang dicari.
Suto bahkan bertanya dengan
nada geli, "Apa yang kau cari, Dayang Kesumat?!!"
Perempuan itu belum mau
menjawab, tapi masih mencari-cari lewat jari telunjuknya yang diremas-remas.
Kejap berikutnya Dayang Kesumat berucap kata pelan seperti bicara pada dirinya
sendiri.
"Tak ada...?! Apakah...
apakah kau memang tak punya?"
Semakin geli Suto Sinting
menghadapi tingkah perempuan cantik yang agaknya punya kegemaran meremas-remas
'peliharaan' orang itu. Lalu, Pendekar Mabuk pun berkata,
"Kau tak akan temukan apa
yang kau cari, Nyai Mawar Hitam! Aku telah menariknya ke dalam dan tak akan
bisa dijamah oleh siapa pun!"
"Jahanam!" geram
Dayang Kesumat antara malu dan jengkel. Maka, segera ia meremas jari
kelingkingnya, itu pertanda Dayang Kesumat mencekik leher Pendekar Mabuk.
Segera Pendekar Mabuk menahan
napasnya dan Dayang Kesumat bagai mencekik tempat kosong. Dalam bayangan batin
tangannya menggapai-gapai leher Suto, namun tidak pernah sampai pada tujuan,
karena ada hawa yang membatasi dan membuat tangan tak bisa menembusnya.
"Setan!" geram
Dayang Kesumat, lalu cepat-cepat ia meremas jari tengahnya. Terasa ia meremas
tempat kosong juga. Tak bisa menyentuh bagian perut Pendekar Mabuk. Dan ia
meremas jempol tangannya sendiri. Itulah remasan untuk jantung. Tapi ia kembali
tidak menemukan sesuatu dalam bayangan batinnya. Jantung itu seakan berpindah
tempat. Padahal Suto Sinting melapisi tubuhnya dengan tahanan napas Tuak Setan
yang membuat dirinya tidak bisa dijangkau oleh kekuatan batin siapa pun.
"Kau sungguh-sungguh
membuatku mulka, Suto! Kau pamelkan kehebatan ilmumu di depanku! Sekalang
telimalah julus 'Gempul Sukma'! Hiaaah...!"
Prokk...! Dayang Kesumat
bertepuk tangan satu kali dengan sentakan kuat. Jurus 'Gempur Sukma' itu bisa
membuat lawan pecah kepalanya dalam satu tepukan tangan yang membutuhkan
kerahan tenaga dalam sangat besar. Tetapi ternyata Pendekar Mabuk segera menggenggamkan
kedua tangannya kuat-kuat, sehingga kekuatan batin itu membalik dan tenaga
dalam yang dikerahkan itu mengamuk dalam diri Dayang Kesumat sendiri.
Wengng...! Bruss...!
Grusak...!
Tubuh Dayang Kesumat bagai
terlempar tinggi-tinggi dan jatuh di sembarang tempat. Kali ini ia jatuh di
semak-semak dalam keadaan punggung menyentuh tanah lebih dulu. Tubuh Dayang
Kesumat dibanting oleh kekuatan batin dan hawa murninya sendiri. Terasa sakit
sekujur tubuhnya, tak mampu ia memekik karena napas terasa menggumpal di ulu
hati, kerongkongan terasa mau pecah akibat sentakan balik tenaga dalamnya itu.
Pendekar Mabuk tersenyum, ia
cepat ambil bumbung tuaknya dari punggung, kemudian menenggaknya beberapa teguk
dengan santai. Glek glek glek...!
Dayang Kesumat bergegas
bangkit dengan menahan rasa sakit. Suto Sinting sedikit berkerut dahi melihat
wajah Dayang Kesumat menjadi merah kebiru-biruan. Itu pertanda Dayang Kesumat
dihajar oleh kekuatannya sendiri hingga babak belur begitu.
"Urungkanlah niatmu,
Dayang! Karena jika kau nekat, maka kau akan mati di tanganku!"
Dayang Kesumat menggeram
dengan napas terengah- engah. Tapi tiba-tiba Suto Sinting merasakan ada gerakan
cepat meluncur dari arah belakangnya. Gerakan cepat itu adalah sesuatu yang
akan mengancam bahaya jiwa Pendekar Mabuk. Maka dengan tanpa menoleh ke
belakang, Pendekar Mabuk segera kelebatkan bumbung tuaknya ke punggung.
Blehkk...!
Tak lama kemudian terdengar
suara, crap crap...!
Suto Sinting tersenyum kepada
Dayang Kesumat dan berkata,
"Rupanya kau tidak
sendirian, Dayang Kesumat!"
"Aku sendilian!"
"Tapi ada yang
menyerangku dari belakang!"
Pendekar Mabuk memperlihatkan
bumbung tuaknya.
Di bumbung tuak itu terdapat
senjata rahasia berbentuk lingkaran bergerigi, bentuknya pipih, menancap kuat
di bumbung tuak itu. Warna benda tersebut hitam legam. Pasti dimaksudkan oleh
pemiliknya agar benda itu tak terlihat mata jika dilemparkan dari kejauhan.
Logam yang dipakainya adalah baja murni dengan mengandung kadar racun yang
berbahaya.
"Lihat, temanmu
menyerangku dari belakang dengan senjata rahasia ini!" kata Suto kepada
Dayang Kesumat. "Rupanya, meskipun kau merasa orang sakti, kau masih suka
main keroyokan, Dayang Kesumat!"
"Setan! Jangan
melendahkan aku begitu, Suto! Aku bukan olang belwatak pengecut! Tak pelnah aku
main keloyokan dalam peltalunganku! Jangan kau bicala seenaknya, Suto!"
"Kalau begitu ada orang
lain yang membelamu!"
"Aku tak peduli! Yang
penting hadapilah aku, sebagai jalan kematian buat gulumu!"
"Kau masih belum jela...
eh, jera?!"
Tiba-tiba dari arah belakang
Suto terdengar suara,
"Dayang Kesumat, biarkan
aku yang menghadapi dia! Kau beristirahatlah!"
Baik Pendekar Mabuk maupun
Dayang Kesumat sama-sama memandang ke arah orang yang berseru dalam jarak
sepuluh langkah di belakang Suto itu. Keduanya sama-sama heran karena tidak
kenal dengan orang itu. Maka ketika orang itu menghampiri Suto dan berhenti
dalam jarak lima langkah, Suto segera bertanya,
"Siapa kau? Dan ada
hubungan apa dengan Dayang Kesumat?"
Sedangkan Dayang Kesumat berseru,
"Aku tak kenal siapa kamu, untuk apa kamu mau membelaku? Pelgilah
sana!"
Orang berbadan tegap dan
lumayan tampan itu berkata, "Aku teman dari Prahasto, Dayang. Namaku
Rakawuni! Aku salah satu orang yang sering perhatikan dirimu, Dayang Kesumat.
Dan aku memendam kebanggaan akan kecantikanmu, ketinggian ilmumu dan caramu
bersikap tegas! Tak rela hatiku jika kau dilukai oleh siapa pun, Dayang
Kesumat!
Hati Dayang Kesumat menjadi
berdebar-debar mendapat pujian seperti itu. Ia tak jadi menggeram dan mengusir
orang itu. Tapi Suto tertawa terkekeh-kekeh dengan mulut ditutup tangan.
"Wahai, rayuan yang
begitu maut, sungguh melebihi sebilah pedang tajam! Dapat untuk memotong
sehelai benang kasur!"
"Tutup mulutmu! Sudah
bukan waktunya kau berhadapan dengan Dayang Kesumat, tapi hadapilah aku,
Rakawuni dari Jenggala!" ujar Rakawuni dengan beraninya.
Rupanya dalam pelariannya
menuju Jenggala, ia sempat bertemu Dayang Kesumat dan Suto Sinting. Sejak ia
bertemu dan melihat Dayang Kesumat bertarung melawan Prahasto, hatinya mulai
tertarik dengan kecantikan dan keindahan tubuh Dayang Kesumat. Bahkan sebelum
itu, ia pernah bertemu dengan Dayang Kesumat dalam satu pertemuan tokoh sakti,
tapi Dayang Kesumat tak pernah memperhatikan dirinya.
Semakin Rakawuni melihat dari
dekat wajah itu, semakin hatinya tertarik. Lalu dia gunakan satu kesempatan
baik saat itu untuk menunjukkan rasa bela patinya terhadap Dayang Kesumat,
sekalipun ia tahu bahwa Dayang Kesumat sudah berusia banyak. Sikapnya ini
mempunyai dua tujuan, pertama memiliki kecantikan Dayang Kesumat dan kedua
berlindung dari kejaran Ratu Teluh Bumi di balik Dayang Kesumat. Rakawuni pun
segera lepaskan serangan kepada Pendekar Mabuk berupa pukulan jarak jauh tanpa
sinar. Wukk...! Suto Sinting segera melesat naik dengan satu sentakan kaki. Ia
menghindari pukulan jarak jauh itu. Akibatnya, Dayang Kesumat yang di
belakangnya menjadi terpental melayang ke belakang karena terkena pukulan yang
dihindari Suto itu.
Buhgg...! Bruss...! Dayang
Kesumat kembali terpelanting jatuh di semak-semak yang tadi. Ia menjadi geram
kepada Rakawuni dan Rakawuni menjadi terbengong menyesal.
"Jahanam kau,
Iblis!" bentak Dayang Kesumat yang merasa seperti dipermainkan oleh
Rakawuni.
"Maaf, maafkan aku...!
Aku tak sengaja menyerangmu, Dayang!"
Rakawuni menjadi kebingungan
sendiri. Tapi segera ia menyerang Suto kembali dengan jurus bersinar merah dari
ujung kedua jarinya. Suitt...! Sinar itu melesat, panjangnya satu jengkal dan
lebarnya seukuran jari kelingking. Sinar itu menghantam dada Pendekar Mabuk.
Tapi dengan cepat bumbung tuak yang masih dengan kuat digenggam Pendekar Mabuk
itu dihadangkan ke depan dada. Sinar merah yang mirip tongkat kecil itu
menghantam bumbung tuak, dan membalik arah menjadi lebih besar dan lebih cepat
bergeraknya. Wutt...!
Duarrr... !
Rakawuni terlempar ke samping
dan berguling-guling ketika sinar merahnya dihindari dan menghantam sebongkah
batu. Batu itu menjadi pecah, memercik lembut ke segala arah. Rambut Rakawuni
menjadi kotor, sementara Pendekar Mabuk sendiri cepat menjauhi percikan yang
sudah diperkirakan akan sampai ke dirinya.
"Keparat kau, Kunyuk!
Pandai kau kembalikan seranganku! Tapi demi orang yang kukagumi, terimalah
jurus 'Gentar Gundala' ini! Hiaaat...!"
Suto buru-buru menghentakkan
tangannya memukul bumbung tuaknya. Bumbung tuak itu masih dipakai menancap dua
senjata bergerigi. Dan ketika disentakkan, dua senjata bergerigi milik Rakawuni
itu melesat cepat ke arah Rakawuni. Zingng, zingng...!
Crass...! Senjata itu
dihindari oleh Rakawuni yang tak jadi melepaskan jurus 'Gentar Gundala'-nya.
Tetapi gerakannya kurang cepat sehingga lengan kirinya terserempet senjata
bergerigi itu, dan koyaklah lengan itu. Brett...! Kain pun robek, darah pun
keluar, sedang senjata itu tetap melesat menghantam tempat kosong.
Rakawuni mengerang dengan mata
memejam kuat. Lukanya itu kelihatan mengeluarkan busa. Itulah racun yang
berbahaya, yang dipasang oleh Rakawuni sendiri pada senjata rahasianya. Suto
Sinting tidak segera menyerang Rakawuni, karena dilihatnya Dayang Kesumat telah
menghilang. Timbul kecemasan di hati Suto, takut kalau Dayang Kesumat pergi ke
persinggahan gurunya, si Gila Tuak, dan memaksa si Gila Tuak untuk menunjukkan
tempat pengasingan Bidadari Jalang. Suto tahu bahwa Dayang Kesumat pasti
mengetahui tempat tinggal si Gila Tuak, karena dari dulu hingga sekarang, si
Gila Tuak tidak pernah berpindah tempat tinggal, yaitu di sebuah gua di balik
air terjun yang ada di Jurang Lindu.
"Rakawuni...! Perempuan
yang kau bela itu pergi meninggalkanmu! Itu tandanya kamu tidak disukai dan
tidak dianggap ada di bumi ini! Pembelaanmu hanya sesuatu yang sia-sia saja!
Sebenarnya saat ini bisa saja aku membunuhmu dengan mudah! Tapi sengaja
kubiarkan kau hidup, supaya kau bisa menarik hikmah dari peristiwa ini, agar
bisa berguna untuk hidupmu di masa mendatang. Aku terpaksa harus pergi juga dan
tak akan melayanimu lagi...!"
Zlapp...! Pendekar Mabuk pergi
berkelebat. Rakawuni sempat tertegun melihat gerakan Pendekar Mabuk yang begitu
cepat, mirip angin setan lewat. Tak sempat mata Rakawuni melihat ke mana dan
sampai di mana gerakan lari Suto itu. Sehingga di dalam hati Rakawuni pun
berkata,
"Manusia atau setan dia
itu sebenarnya?! Melihat gerakan dan perlawanannya dalam menghadapi jurus
jarinya Dayang Kesumat, dia pasti lebih tinggi ilmunya dari Dayang Kesumat!
Hmm...! Bagaimana jika aku minta bantuan dia untuk menghadapi Ratu Teluh Bumi?
Kira-kira apakah dia bersedia kujadikan pembunuh bayaran demi membela rakyat
Jenggala?"
*
* * 8
SERAUT wajah bundar berhidung
bulat dan mata besar itu tampak kebingungan menghadapi tebasan kapak panjang
yang begitu cepatnya. Wajah bundar bertubuh sedikit gemuk dan agak pendek itu
cepat melompat dengan satu kali sentakan kaki ke tanah. Wutt...! Dan kapak
bergagang panjang itu melesat cepat di bawah kakinya. Andai si mata besar tidak
cepat melompat, maka kakinya akan menjadi santapan lezat bagi kapak bergagang
panjang.
Orang bersenjata kapak gagang
panjang itu menggeram gemas karena pukulannya meleset terus. Orang itu
mengenakan pakaian serba hitam, ia berdiri dengan mata cekungnya yang memandang
angker. Tubuhnya yang kurus dibiarkan dihempas angin lereng gunung, membuat
rambutnya yang panjang terlepas disapu angin sampai meriap di depan matanya, ia
masih menunggu kesempatan menyerang lagi. Orang itu dikenal dengan nama Campak
Garang.
"Majulah kalau kau memang
masih merasa tangguh di depanku, Mahesa Lola!" ujar Campak Garang kepada
si wajah bulat yang bernama
Mahesa Lola itu.
"Jangan merasa menang
dulu, Campak Garang! Aku sedang pelajari jurus-jurusmu!"
"Kalau kau mau bertarung,
bertarunglah dengan ksatria. Kalau mau pelajari jurus-jurusku, datanglah
sebagai muridku!"
"Mana aku sudi menjadi
murid pencuri sebusuk kamu!"
"Hei, jaga bicaramu kalau
tak ingin kubelah kepalamu, Mahesa!"
"Nyatanya sejak tadi kau
tak bisa lakukan angan- anganmu! Mana kau bisa membelah kepala orang sakti
seperti aku!" ejek Mahesa Lola semakin tampak masih berani, walau nyalinya
sudah ciut sebenarnya.
"Hiaaat...!" Campak
Garang melompat bagaikan terbang. Mahesa Lola hanya bersifat menunggu, untuk
kemudian segera berguling ke samping dalam satu lompatan. Campak Garang kecele
lagi. Kapaknya membelah udara kosong.
Satu kesempatan bagus pada
saat itu karena Campak Garang dalam posisi membelakangi Mahesa Lola. Maka
segera Mahesa Lola melepaskan pukulan tenaga dalamnya yang tak seberapa besar
itu. Wutt...!
Beggh... !
Campak Garang tersentak, namun
tak sampai jatuh. Hanya melengkung sedikit tubuhnya, kemudian segera berbalik
dengan pandangan mata angkernya. Tiba-tiba tangannya berkelebat dan kapak
panjangnya itu terbang dengan cepat ke arah kepala Mahesa Lola.
Mahesa Lola terkesiap melihat
kapak begitu cepat melayang ke arahnya, ia baru akan menghindar dengan harapan
tipis, tapi tiba-tiba kapak itu berbelok arah dan tahu-tahu menancap ke sebuah
pohon. Beloknya arah kapak itu sungguh tidak masuk akal. Kapak yang terbang
datar itu tahu-tahu melesat naik dengan sendirinya. Tinggi sekali sampai
menancap pada dahan pohon. Dan keadaannya sekarang jelas tak terjangkau lagi
oleh pemiliknya. Campak Garang hanya bisa terbengong memandangi kapaknya karena
tak tahu bagaimana cara mengambilnya lagi.
Campak Garang yakin ada orang
yang membela Mahesa Lola dalam pertarungannya itu. Pembela Mahesa Lola, pasti
orang berilmu tinggi. Jika bukan karena kekuatan orang berilmu tinggi, tak
mungkin kapak bisa melesat ke atas dan menancap di dahan pohon yang begitu
tinggi.
Campak Garang segera menyusuri
sekelilingnya dengan pandangan mata cekung yang angker itu. Lalu, ia temukan
seraut wajah cantik yang berdiri di belakangnya dengan sikap tenang namun
dingin. Campak Garang segera melompat ke samping, dan kini ia bisa memandang
antara Mahesa Lola dan sang pembelanya yang berwajah dingin itu.
"Apa yang teljadi, Mahesa
Lola?!" tanya orang itu yang agaknya sudah cukup kenal dengan Mahesa Lola.
"Dia pencuri! Dia yang
bantu Ratu Teluh Bumi mencuri kitab pusaka milik pamanku, yaitu kakeknya
Sumping Rengganis!"
"Aku hanya membantu
menunjukkan arah rumah Ki Bayan saja! Bukan ikut mencuri kitab itu, Goblok!"
sentak Campak Garang.
"Kalau tidak salah kau
yang belnama Campak Galang!" kata Dayang Kesumat. "Aku kenal kau
sebagai anggota kawanan Penculi Gua Maksiat! Kau teman Wilduto, bukan?!"
"Aku tidak punya urusan
denganmu, Perempuan cadel!"
Terkesiap mata Dayang Kesumat.
Marah hatinya dihina seperti itu. Maka dengan cepat ia meremas jari
kelingkingnya. Srett...! Dan tiba-tiba Campak Garang mendelik. Kepalanya
bergerak-gerak ke belakang dengan kedua tangan memegangi lehernya. Campak
Garang tercekik kuat-kuat. Wajahnya menjadi merah. Mulutnya ternganga dengan
lidah mulai terjulur keluar. Bahkan sekarang tubuhnya terangkat, kedua kakinya
tidak menyentuh tanah lagi.
Mahesa Lola terbengong-bengong
memandanginya, ia menatap Dayang Kesumat juga menatap Campak Garang, begitu
terus bergantian karena ia bingung. Apa yang dilakukan Dayang Kesumat tak dapat
dimengerti oleh Mahesa Lola. Ia hanya melihat Campak Garang terangkat tubuhnya
dalam keadaan tercekik. Sampai akhirnya kaki Campak Garang tersentak-sentak
beberapa saat, kemudian diam tak bergerak lagi. Dan tubuh Campak Garang pun
segera roboh ke tanah, seakan dilepaskan oleh pencekiknya. Sementara itu,
Dayang Kesumat tampak hembuskan napas lega dengan mengembangkan tangannya yang
dari tadi menggenggam kuat-kuat.
Mahesa Lola semakin tertegun
bingung melihat Campak Garang ternyata mati dalam keadaan mata mendelik dan
mulut ternganga. Batin Mahesa pun berkata,
"Pasti Dayang Kesumat
yang mencekiknya dengan ilmu tinggi yang dimiliki! Ck ck ck...! Benar-benar
hebat ilmu perempuan itu!"
Dayang Kesumat menghampiri
Mahesa Lola, lalu ucapkan kata, "Kulasa ulusanmu dengan olang itu sudah
selesai, Mahesa! Pulanglah dan aku akan teluskan peljalananku membulu musuh
lamaku!"
"Eh, hmm... tunggu
sebentar, Dayang Kesumat! Kau masih punya janji padaku yang belum kau
penuhi!"
"Janji apa?"
"Aku sudah membantumu
membangun istana di Pulau Hantu. Aku ikut membangun istana itu tanpa upah. Tapi
kau berjanji akan mengangkatku menjadi muridmu, Dayang Kesumat! Lupakah
kau?"
Dayang Kesumat diam sebantar.
Ia memang pernah keluarkan janji seperti itu kepada Mahesa Lola. Tapi setelah
dipikir-pikir hatinya merasa berat jika ada orang yang memiliki ilmu sama
dengannya. Karena itu, Dayang Kesumat bermaksud membatalkan janjinya. Dayang
Kesumat pun segera berkata kepada Mahesa Lola,
"Aku belum punya waktu
untuk angkat mulid, Mahesa!"
"Aku bersedia
mendampingimu ke mana saja sambil kau menjadi guruku. Aku bersedia pelajari
ilmu darimu sambil jalan ke mana saja, Dayang Kesumat"
"Tak bisa, Mahesa! Aku
tak belsedia jadi gulumu sambil jalan ke mana-mana! Kalau aku tulunkan ilmu
kepada mulidku, aku halus punya tempat dan diam di tempat itu, tanpa ada ulusan
lain-lain!"
Mahesa Lola bersungut-sungut
dengan nada kecewa. "Dari dulu kau selalu bilang belum ada waktu. Lantas
kapan kau punya waktu untuk mengangkatku sebagai murid?"
"Aku tidak bisa pastikan,
Mahesa!"
Mahesa Lola tundukkan kepala
dengan wajah sedihnya, "Sudah lama aku mengagumi ilmu kesaktianmu. Sudah
lama aku mengidam-idamkan untuk menjadi muridmu. Tapi sampai sekarang harapan
itu bagaikan sebuah mimpi rakyat jelata saja!"
Kasihan wajah Mahesa Lola
sebenarnya. Tapi Dayang Kesumat segera ingat pengalaman pahitnya, ia pernah
punya murid tunggal, yaitu Peri Malam. Tetapi akhirnya sang murid menjadi
murtad hanya gara-gara jatuh cinta kepada Pendekar Mabuk. Peri Malam menjadi
memberontak dan menentang segala keputusan gurunya. Hal itu sungguh menyakitkan
buat Dayang Kesumat, ketika ia masih menjadi perempuan bungkuk bernama Mawar
Hitam, ia tak ingin mengulangi pengalaman pahitnya itu, sehingga ia tak pernah
punya niat untuk mempunyai seorang murid lagi.
"Kalau waktunya telah
tiba aku akan cali kamu dan akan angkat kamu sebagai mulidku, Mahesal"
"Nanti aku keburu mati,
Dayang Kesumat!"
"Belalti memang bukan
jodoh kita menjadi gulu dan mulid!"
Mahesa Lola berdecak dan
semakin tampakkan rasa kekecewaannya. "Harapanku siang dan malam hanya
ingin menjadi muridmu, Dayang Kesumat. Tapi sekarang harapan itu rasa-rasanya
pudar dan meninggalkan luka di hatiku, Dayang Kesumat...!"
Wusss... !
Tiba-tiba melesat sinar merah
membara berbentuk bola kecil. Sinar itu melesat dan menghantam punggung Dayang
Kesumat. Jrubb!
"Ahhg...!"
"Dayang...?!" pekik
Mahesa Lola dengan kaget, ia terbelalak melihat Dayang Kesumat mendelik dengan
tubuh melengkung ke depan dan akhirnya rubuh. Punggungnya menjadi hangus dan
kepulan asap tampak jelas dari luka hangus sebesar buah duku itu.
Mahesa Lola ingin membantu
Dayang Kesumat, tapi perempuan itu mengibaskan tangan Mahesa Lola. Ia berdiri
dengan sempoyongan. Lalu berbalik memandang ke belakang. Wajahnya telah pucat
pasi, menandakan ia dalam keadaan luka berat.
Dengan geram Dayang Kesumat
sentakkan dua tangannya berturut-turut yang memancarkan sinar biru dan merah
secara bergantian. Yang jadi sasaran adalah semak-semak, kerimbunan pohon, dan
gundukan batu atau tanah yang bisa dipakai untuk bersembunyi.
Blarr.. blarrr... blarrr...
blarrr..!
Lebih dari sepuluh pukulan
hebat dilepaskan oleh Dayang Kesumat, ia bagaikan melepaskan serangan secara
membabi buta. Pohon tumbang dan batu pecah terjadi beberapa kali, sehingga bumi
bagai mengalami gempa yang begitu mengerikan. Sebagian tanaman semak terbakar
dengan kobarkan api yang cukup besar.
Apa yang dicarinya ternyata
berhasil ditemukan. Seseorang melesat dari salah satu pohon terakhir yang mau
dihantam dengan sinar biru. Orang itu berkelebat dalam gerakan salto yang
ringan dan cepat. Tahu-tahu ia sudah berdiri di depan Dayang Kesumat dalam
jarak antara lima tombak.
"Ratu Teluh
Bumi...!" geram Dayang Kesumat dengan mata menyipit.
Mahesa Lola berseru, "Itu
dia pencuri kitab pamanku yang dibantu oleh Campak Garang!"
Tapi Dayang Kesumat tidak
melayani ucapan itu. Matanya menyipit dan sedikit cemas, karena Ratu Teluh Bumi
yang dianggapnya telah mati di dasar Jurang Petaka itu, ternyata masih hidup
dan segar bugar. Dayang Kesumat berpendapat, kalau bukan orang berilmu tinggi
sekali, tak mungkin dapat lolos dari kematian Jurang Petaka.
Wajah Dayang Kesumat makin
pucat karena luka dalamnya itu. Mahesa Lola memandang cemas kepada Dayang
Kesumat, ia berbisik,
"Kau makin pucat, Dayang!
Pasti lukamu parah!"
"Hadapi dia, Mahesa. Aku
akan menjauh untuk sementala. Aku pellu waktu untuk mengobati luka dalam ini!
Kau akan segela kuangkat jadi mulidku setelah hadapi dia!"
"Sungguh?"
"Aku beljanji!"
"Baik. Pergilah sana!
Biar kuhadapi dia, Dayang Kesumat!"
Zlapp...! Dayang Kesumat pergi
dengan gerakan cepat. Ratu Teluh Bumi segera mengejarnya. Tapi Mahesa Lola
cepat cabut pisaunya dan melemparkan pisau itu ke arah Ratu Teluh Bumi.
Zingng...! Jrubb...!
Langkah Ratu Teluh Bumi
terhambat oleh pisau yang menancap di betisnya. Ratu Teluh Bumi pun jatuh
tersungkur. Pisau itu segera dicabut dengan cepat, kemudian dilemparkan kembali
ke arah Mahesa Loia. Zingng... !
Mahesa Lola melompat
tinggi-tinggi, dan pisau itu melesat di bawah kakinya dalam jarak kurang dari
sejengkal. Kemudian pisau itu menancap kuat di dahan sebuah pohon yang rubuh
akibat amukan Dayang Kesumat. Jrabb... !
"Keparat kau, Mahesa
Lola!" geram Ratu Teluh Bumi dengan mata memandang angker. Mahesa Lola
justru merasa bangga karena bisa menghambat pengejaran Ratu Teluh Bumi, juga
bisa melukai perempuan itu dengan senjatanya yang kini tinggal dua di pinggang.
"Sakit?" ejek Mahesa
Lola dengan sikap seakan sudah memperoleh kemenangan.
Ratu Teluh Bumi menggeram sebentar
memandangi Mahesa Lola. Lalu ia menahan napas dan memandangi lukanya di betis
sambil berkata,
"Sembuh...!"
Blarrr...! Petir menyahut
dengan satu sentakan kuat. Mahesa Lola kerutkan dahi dan matanya memandang luka
di betis Ratu Teluh Bumi tanpa berkedip sedikit pun. Mahesa Lola hampir tak
percaya melihat luka itu bergerak-gerak dan darahnya menyebar hilang, lalu
dalam kejap berikutnya luka tersebut sudah kembali mengatup, dan hilang bagai
tak pernah ada luka sedikit pun. Bekas sebesar jarum pun tak terlihat lagi.
Rasa sakit di betis pun tidak lagi terasa oleh Ratu Teluh Bumi.
Mahesa Lola melangkah mundur
tiga tindak sambil masih termangu-mangu melihat keajaiban yang di luar dugaan
sama sekali itu. Ratu Teluh Bumi berdiri tegak dengan mata tertuju tajam kepada
Mahesa Lola.
"Berani kau melukaiku,
Mahesa? Apakah kau sudah bosan hidup menjadi manusia terburuk sejagat ini,
hah?!"
Mahesa Lola tak berani
menyahut atau menjawab apa pun. Ia ketakutan dan merasa sedang berhadapan
dengan seorang siluman.
"Jangan kamu, Mahesa...,
Dayang Kesumat pun lari terbirit-birit melihat kemunculankul Karena dia tahu,
aku mempunyai kesaktian yang lebih tinggi dari dirinya!"
Kemudian, Ratu Teluh Bumi
memperlihatkan kesaktiannya, ia pamerkan kehebatan ilmu barunya yang bisa
menyebar kutuk ke mana-mana, dengan cara menuding sebatang pohon besar yang
masih berdiri dengan kokohnya, kemudian dengan menahan napas ia ucapkan kata,
"Rubuh...!"
Blarrr...! Petir menyambar di
siang hari. Angin besar datang, dan pohon yang kokoh itu bagaikan diguncang
gempa yang hebat pada bagian tanah di bawahnya. Lalu, tiba-tiba pohon itu pun
rubuh dengan tidak tanggung- tanggung lagi. Brrukkk...! Akarnya terangkat naik,
tanahnya memercik ke satu arah. Pohon itu kini dalam keadaan rebah di tanah
bagai seorang ksatria tangguh yang lumpuh secara mendadak.
Mahesa Lola mulutnya ternganga
bengong dengan mata besarnya yang melotot, lupa untuk berkedip. Ia berdiri di
tempatnya tanpa bergerak sedikit pun, menjadi patung hidup yang tak punya seni
keindahan sedikit pun.
Plakk...! Tangan Ratu Teluh
Bumi menampar kuat wajah Mahesa Lola. Menggeragap Mahesa Lola dibuatnya sambil
terlempar jatuh ke samping karena kerasnya tamparan itu. Di pipi Mahesa Lola
membekas empat jari Ratu Teluh Bumi yang habis menamparnya. Tentu saja tamparan
itu disertai kekuatan tenaga dalam sehingga bisa membekas memar cap telapak
tangan. Wajah Mahesa Lola bagai dibakar api dalam sekejap, terasa sangat panas
dan perih di sekujur kepalanya.
"Ingat, kalau kumau,
sekarang juga kau bisa kubunuh seperti aku menumbangkan pohon itu, Mahesa! Tapi
terlalu murah ilmuku jika membunuhmu! Tanpa kubunuh pun kau sebentar lagi akan
mati sendiri!"
Napas ditariknya, lalu ditahan
di dada, Ratu Teluh Bumi pun ucapkan kata kutukan kepada Mahesa Lola.
"Ingat, setelah
kepergianku, kau akan mati bunuh diri!"
Blarrr...! Kembali sang petir
terkejut mendengar kutukan itu. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, Ratu Teluh
Bumi segera tinggalkan tempat itu, mengejar ke arah kepergian Dayang Kesumat.
Kebetulan arah itu adalah arah yang akan ditempuhnya menuju ke Jenggala.
Mahesa Lola hanya diam saja
pandangi kepergian Ratu Teluh Bumi. Ia merasa sedih, sebagai manusia tak
berilmu tinggi, sehingga dapat dikalahkan dengan mudah oleh orang-orang seperti
Ratu Teluh Bumi. Ia pun segera membatin dalam hatinya,
"Beginilah nasibnya jadi
orang berwajah buruk. Tak pernah ada yang mau perhatikan aku. Untuk mengangkat
murid saja tak ada yang mau. Bahkan pamanku sendiri menolak untuk mengangkat
murid. Sampai kubela-bela mengabdi jadi pelayannya, mencuri-curi ilmunya
mengejar pencuri kitabnya, tapi sampai sekarang paman tak mau mengangkatku
sebagai muridnya! Ia lebih sayang kepada cucunya Sumping Rengganis! Mengapa aku
dilahirkan jika menjadi bahan bencian manusia lain. Dayang Kesumat yang sudah
kubantu sedemikian banyak, masih saja tak berminat menurunkan separo ilmunya
untuk diriku. Sepertinya Dayang Kesumat malu mempunyai murid seburuk aku! Oh,
apakah setiap orang pandai dan sakti selalu malu mempunyai murid seperti aku?"
Mahesa Lola melangkah
pelan-pelan mendekati pohon berakar seperti rambut-rambut raksasa itu. Jenis
pohon beringin tapi bercabang renggang dan mempunyai dahan yang besar, serta
akar yang alot. Di sana Mahesa Lola diam, pandangi pohon itu dengan mata
berkaca- kaca ingin menangis, dan hati terus berucap kata,
"Rupanya aku memang tak
pantas hidup! Memalukan bagi orang lain! Jadi ada baiknya kalau aku mati saja,
biar tak jadi beban orang lain. Karena memang sudah tak ada lagi orang yang
punya rasa kasihan kepadaku selain kedua orangtuaku, Sedangkan kedua orang-tuaku
telah meninggal dunia sejak dulu. Ada baiknya kalau aku menyusul mereka dan
menemukan kasih sayang di sana! Aku yakin, mereka tak akan merasa malu hidup
bersamaku...!"
Mahesa Lola segera memanjat
pohon itu. Ia menarik satu akar gantung yang tidak terlalu besar, kemudian
membuat jerat ia mengikat lehernya sendiri dengan akar itu. Dengan air mata
meleleh di pipi, segera Mahesa Lola melompat dari dahan pohon itu, jregg...!
Kkkrrrk...!
Tergantunglah Mahesa Lola
dengan kaki berkelejotan meregang nyawa. Matanya terbeliak-beliak, mulutnya
ternganga dengan lidah menjulur. Untuk beberapa saat kemudian, tubuh itu pun
menjadi lemas. Diam tak bergerak. Tergantung-gantung tanpa napas sedikit pun.
Biru wajahnya karena darah terputus di bagian leher.
Maka, seperti apa yang
dilontarkan Ratu Teluh Bumi dalam kutukannya, Mahesa Lola pun mati bunuh diri
setelah Ratu Teluh Bumi pergi tinggalkan tempat itu. Sang petir di langit
tertegun bengong memandangi mayat Mahesa Lola yang tergantung bukan akibat
keinginannya sendiri.
***9
PENDEKAR Mabuk berhenti dari
langkahnya ketika melihat seorang lelaki pendek tergantung di pohon.
Dihampirinya mayat Mahesa Lola yang tergantung itu, ia perhatikan dari bawah,
sambil pandangi keadaan sekeliling di mana batuan hancur, semak terbakar,
pohon-pohon tumbang.
"Jelas habis ada
pertempuran hebat di tempat ini," pikir Suto Sinting. "Tapi siapa
yang melakukan pertempuran hebat itu? Apa Dayang Kesumat? Siapa lawannya. Apa
orang yang tergantung ini...?"
Suto hanya menduga apa yang
terjadi di situ. Tapi yang menjadi sasaran pemikirannya adalah arah kepergian
Dayang Kesumat, ia harus bisa menahan perempuan itu agar jangan sampai datang
ke Jurang Lindu dan berhadapan dengan si Gila Tuak. Suto tak mau gurunya
kerepotan menghadapi Dayang Kesumat.
Ketika Suto sedang tertegun,
tiba-tiba seekor serigala berbulu hitam melompat ke arahnya. Suto terkejut dan
ingin melepas serangan bertenaga dalam ke arah serigala bertelinga panjang itu.
Tapi binatang tersebut segera rendahkan kepala, kakinya terlipat, kepalanya
merapat dengan tanah, satu kaki depannya bagai menutup kepala. Serigala itu
sepertinya merasa takut, bahkan seakan ia berkata,
"Jangan serang saya,
Tuan...!"
Pendekar Mabuk tak jadi
lepaskan pukulan yang mematikan untuk serigala itu. Ia bahkan menaruh rasa iba
hati ketika serigala itu menggeram-geram dengan suaranya yang kecil bagai
menangis. Dan satu hal lagi yang membuat Suto terkejut, ternyata binatang itu
memang melelehkan air mata. Mulanya binatang itu memandang mayat Mahesa Lola
sebentar, lalu pandangi wajah Suto, setelah itu merendahkan kepala lagi hingga
menempel di tanah, dan melelehkan air matanya.
"Serigala aneh,"
gumam Pendekar Mabuk. "Biasanya jenis serigala bertelinga panjang begini
sangat buas dan galak, ia punya keberanian menyerang manusia, apalagi jika
bersama rombongannya! Tapi serigala yang ini justru kelihatannya jinak, ia bisa
melelehkan air mata! Mungkinkah dia mengalami kesedihan yang dalam? Atau merasa
kasihan melihat orang yang digantung itu?"
Pendekar Mabuk meneguk tuaknya
sejenak. Kemudian membatin lagi, "Kalau serigala saja tahu belas kasihan
melihat orang digantung, mengapa sesama manusia tak punya belas kasihan,
sehingga tega menggantung sesamanya?!"
"Aauuuu....!"
Serigala itu meraung. Raut wajahnya terlihat memelas. Suara raungannya mengiris
hati. Setelah ia melolong, ia kembali merundukkan kepala dan melelehkan air
mata lagi.
"Apa maksud binatang
ini?" pikir Suto mencoba menerka-nerka kemauan binatang tersebut. Suto pun
jongkok dan memberanikan diri mengusap-usap kepala binatang itu. Ternyata
tangan Suto tidak digigit atau dicakarnya. Binatang itu justru melelehkan air
mata semakin banyak. Semakin sering tengkuknya diusap- usap oleh Suto
sepertinya semakin terharu hati binatang itu.
Tiba-tiba terdengar derap
suara langkah kuda yang berlari dengan cepat. Suto Sinting segera berpaling ke
belakang. Ternyata seekor kuda tanpa penunggang sedang berlari ke arah sekitar
tempat itu. Suto agak heran melihat kuda lari sendiri tanpa penunggang. Sementara
tali kekang kuda juga tak kelihatan. Mungkinkah kuda liar itu sedang mengamuk
mencari betinanya?
"Oh, sepertinya kuda
itu... kuda itu...," Suto menjadi ragu meneruskan ucapannya, ia bergegas
meninggalkan bawah pohon itu untuk melihat lebih jelas lagi kuda yang akan
lewat. Sebab Suto mengalami penglihatan yang meragukan dirinya sendiri.
Derap kaki kuda makin
mendekat. Suto Sinting makin terperangah melihat keanehan pada kuda tersebut.
Bahkan batinnya pun tak mampu ucapkan satu kata untuk keanehan yang dilihatnya
itu.
Kuda itu berhenti di depan
Suto. Makin jelas lagi apa yang membuatnya terpaku di tempat. Kuda itu ternyata
berkepala manusia. Dan manusia itu dikenal oleh Suto. Tanpa sadar mulut Suto
Sinting segera berucap kata menyebut nama orang itu,
"Rakawuni...?!"
Ya. Kuda berkepala manusia itu
adalah Rakawuni.
Orang yang hampir membunuh
Suto karena membela Dayang Kesumat. Segera Rakawuni menunduk sedih ketika sudah
beradu pandang dengan Suto beberapa helaan napas. Suto pun segera mendekati kuda
berbadan coklat dan berekor hitam itu. "Kaukah Rakawuni...?"
"Ya, aku
Rakawuni...!" jawab kuda berkepala manusia itu. Suaranya sangat lirih,
seakan bercampur dengan segumpal tangis yang dipendamnya kuat-kuat di dalam
dadanya.
"Mengapa kau menjadi
begini, Rakawuni? Bukankah saat kutinggalkan kau dalam keadaan luka oleh
senjata rahasiamu sendiri?"
"Luka itu bisa kuatasi.
Karena aku punya penawar racun tersebut. Tapi... aku segera bertemu dengan Ratu
Teluh Bumi."
"Siapa? Ratu Teluh
Bumi...?!" Suto segera teringat peristiwa di Kuil Swanalingga. Terbayang
wajah tua yang masih cantik dan tampak kencang kulitnya itu. Ratu Teluh Bumi
sempat dikenal Suto pada saat perempuan itu berhadapan dengan Raja Nujum
almarhum. Itulah saat pertama Pendekar Mabuk mengenal Ratu Teluh Bumi. Tapi ia
tidak tahu kalau perempuan itu bisa membuat seseorang berubah wujud menjadi
seperti Rakawuni saat itu. Ia tak sangka kalau perempuan itu mempunyai ilmu
teluh yang sebegitu tingginya, sehingga Rakawuni yang gagah dan tegap itu bisa menjadi
Rakawuni yang berbadan kuda.
"Apa yang dilakukan oleh
Ratu Teluh Bumi?"
"Dia sengaja menyiksaku
dengan ilmu kutuknya! Dia bermaksud menyerang Jenggala. Padahal aku prajurit
sandi praja dari Jenggala. Ia punya maksud, jika aku kembali ke Jenggala, maka
orang-orang Jenggala akan jatuh nyalinya lebih dulu sebelum ia datang dengan
melihat perubahanku seperti ini."
"Aku benar-benar tak
sangka kalau dia bisa mengubah wujudmu menjadi seperti ini, Rakawuni!"
"Dia mempunyai ilmu
kutuk, yang sekali diucapkan bisa menjadi kenyataan!"
"Setahuku dia mempunyai
ilmu teluh saja!"
"Tidak. Dia juga
mempunyai ilmu kutuk yang aku sendiri baru mengetahui belakangan ini! Entah
belajar dari siapa, dia bisa mempunyai ilmu kutukan sedahsyat itu!"
Kemudian Rakawuni pun
menceritakan bagaimana ia melihat Prahasto temannya berubah menjadi seekor ular
berkepala dua. Karena ia menceritakan Prahasto, maka ia pun menuturkan kisah
adu dombanya Prahasto antara Ratu Teluh Bumi dengan Dayang Kesumat, ia juga membeberkan
siapa sebenarnya Ratu Teluh Bumi dan hubungannya dengan Kerajaan Jenggala.
"Maksudmu, Jenggala di
tanah Jawa Wetan itu?"
"Bukan. Yang kumaksud
Kerajaan Jenggala Medang! Dulu ayahnya Ajeng Prawesti adalah Raja Jenggala,
yang terlalu banyak memeras keringat rakyat dengan meninggikan pajak dan
terlalu menekan kehidupan rakyat jelata. Karena itu, ia ditumbangkan oleh
kelompok kami. Sekarang ia sedang berusaha menuju ke Jenggala untuk menyerang
dengan ilmu kutukannya itu.
Aku merasa, Jenggala tidak
bisa berbuat banyak jika diserang oleh kutukan itu. Karenanya, terus terang
saja aku butuh pertolongan darimu, Suto!"
"Apa yang bisa kubantu,
sehingga kau minta pertolongan padaku?"
"Aku tahu kau bukan orang
sembarangan. Saat kau berhadapan dengan Dayang Kesumat, aku bisa mengukur
ilmumu dan kudengar semua percakapanmu. Aku percaya, kau punya kesaktian yang
bisa kalahkan Ajeng Prawesti, Pendekar Mabuk!"
"Jangan terlalu berharap
padaku, Rakawuni!"
"Sebagai prajurit sandi
praja, aku sangat bertanggung jawab atas segala serangan dari pihak luar
istana, Suto! Aku harus bisa menahan serangan itu. Tapi aku merasa tidak bisa
mengalahkan Ratu Teluh Bumi, sehingga usaha yang kulakukan adalah mencari
bantuan dari pihak yang mau membantuku!"
Pendekar Mabuk kembali
menenggak tuaknya beberapa teguk. Kemudian ia diam termenung mempertimbangkan
langkahnya, ia bayangkan kekuatan dahsyat dari ilmu kutukan yang dimiliki Ratu
Teluh Bumi itu. Dalam waktu sekejap, perempuan itu bisa menjadi orang paling
kejam di seluruh permukaan bumi. Bahkan dengan sekali ucap bisa jadi kenyataan,
berarti Ratu Teluh Bumi bisa menjadi seorang pembunuh yang mendatangkan bencana
alam dan malapetaka lainnya dari satu ucapannya saja. Sungguh membahayakan ilmu
kutukan yang dimilikinya. Sebab itu, Suto Sinting pun akhirnya berkata,
"Kau tahu ke mana arah
perginya Ratu Teluh Bumi itu?!"
"Pasti ke arah
Jenggala!"
"Baiklah, Raka, kita
kejar dia!"
"Naiklah ke punggungku,
Pendekar Mabuk!"
"Apakah tak terlalu
memberatkan dirimu?"
"Tidak. Aku mempunyai kekuatan
sebagaimana seekor kuda biasa! Yang membuat berat adalah hatiku. Tapi demi
membawamu ke Jenggala, hatiku tak merasa keberatan jika kau menunggang ke
punggungku!"
Rakawuni rendahkan kaki
belakangnya, seakan mempersilakan Suto untuk menunggang ke atas punggungnya.
Maka, Suto pun segera menunggang kuda tersebut tanpa berpegangan tali kekang
kuda yang memang tidak ada itu. Suto mampu duduk di atas kuda tanpa merasa
terganggu walau kuda berlari cepat dan ia tidak memegang tali kekang kuda
sebagai keseimbangan. Dengan memegangi bumbung tuaknya, ia merasa sudah seperti
mempunyai keseimbangan sendiri dalam menunggang kuda.
Seekor serigala yang tadi
melelehkan air mata ternyata mengikuti lari kuda tersebut. Suto memandang ke
belakang, memperhatikan serigala itu, ia merasa aneh dan tak enak hati diikuti
serigala itu. Tapi akhirnya ia biarkan binatang tersebut mengikutinya selama
tidak mengganggu kuda berkepala Rakawuni itu.
"Rakawuni!" seru
Suto. "Cobalah membelok ke arah kanan, kulihat di sana ada seseorang yang
sedang berkelebat bersembunyi di balik gundukan tanah!"
"Aku juga melihatnya.
Tapi kurasa dia bukan Ratu Teluh Bumi, karena kelebatan sosok bayangannya bukan
berwarna hitam!"
"Kita tengok dulu saja,
Rakawuni!"
"Baik!"
Kuda berkepala Rakawuni
membelokkan arah ke kanan. Kecepatan larinya dikurangi. Dan apa yang dikatakan
Suto memang benar, ada seseorang yang tergolek di bawah pohon rindang, di balik
gugusan tanah. Orang itu dalam keadaan pucat membiru wajahnya. Rakawuni
tersentak kaget dan buru-buru palingkan wajah, tak berani memandang orang itu.
Ia merasa malu dan makin sedih hatinya, karena orang itu adalah Dayang Kesumat.
Perempuan tersebut dalam
keadaan terengah-engah, matanya terpejam karena merasakan sakit yang hebat di
sekujur tubuhnya akibat serangan Ratu Teluh Bumi tadi.
"Suto, kalau bisa tak
usah menghampiri orang itu."
"Kenapa?"
"Aku malu, keadaanku
seperti ini! Sebaiknya kita teruskan perjalanan kita memburu Ajeng
Prawesti!"
Suto mempertimbangkan
keputusan sejenak. Agaknya usul Rakawuni memang benar. Toh seandainya ia datang
dan menolong Dayang Kesumat, maka keselamatan bibi gurunya akan terancam.
Setidaknya tempat tinggal gurunya si Gila Tuak, akan disambanginya dengan
ketidaksopanan. Dengan menderita sakit begitu, setidaknya Pendekar Mabuk punya
waktu luang untuk ke Jenggala dan tidak perlu
cemaskan keadaan kedua
gurunya.
Kuda berkepala Rakawuni pun
kembali berlari dengan derap kakinya yang perkasa. Rakawuni membawa Pendekar
Mabuk menyusuri jalan menuju Kerajaan Jenggala dengan harapan dapat temui Ratu
Teluh Bumi di perjalanan.
Tetapi keadaan justru
sebaliknya. Ratu Teluh Bumi berpapasan dengan rombongan berkuda yang membawa
panji-panji Kerajaan Jenggala Medang. Rombongan berkuda itu dipimpin oleh dua
orang perwira istana yang usianya sama-sama sekitar lima puluh tahun. Dua orang
perwira itu adalah Rumakso dan si Tangan Syiwa.
Rumakso berpakaian biru dengan
rompi putih. Rambutnya pendek, berikat lempengan logam kuning emas sebagai
tanda keperwiraannya. Badannya besar, kumisnya tebal.
Tangan Syiwa juga mengenakan
ikat kepala logam kuning emas seperti yang dikenakan Rumakso. Rambutnya
panjang, berpakaian abu-abu tanpa rompi. Tangan Syiwa berbadan kurus, matanya
cekung berkesan angker, kumisnya melengkung ke bawah, ia bersenjata pedang di
punggung, sedangkan Rumakso bersenjata pedang di pinggangnya. Sementara itu,
sejumlah lebih dari tiga puluh orang lainnya mengenakan pakaian campur-baur,
karena mereka ada yang menjabat sebagai prajurit istana, ada yang menjadi
masyarakat biasa.
Tangan Rumakso diangkat ke
atas ketika melihat seorang perempuan berdiri menghadang di depan langkah
mereka. Sekalipun jaraknya masih cukup jauh, tapi Rumakso menangkap adanya
gelagat tak beres dengan perempuan itu.
Melihat tangan Rumakso
diangkat, kuda mereka pun diperlambat larinya, kemudian mereka berhenti tepat
dalam jarak tujuh tombak dari tempat perempuan berpakaian hitam itu berdiri.
"Kalau tak salah lihat,
dia adalah Ajeng Prawesti, Tangan Syiwa!"
"Ya. Kau tak salah lihat!
Tapi apa maksudnya menghadang langkah kita! Coba kau yang ajukan tanya pada
perempuan itu!"
Rumakso tetap di atas punggung
kuda. Kudanya bergerak dua langkah, lalu terdengar suaranya berseru lantang dan
besar,
"Kaukah itu, Ajeng
Prawesti...?!"
Ratu Teluh Bumi menjawab,
"Kau tak salah lihat, Rumakso! Apa pangkatmu sekarang?!"
"Aku seorang
perwira!"
"Hmm...!" Ratu Teluh
Bumi mencibir. "Perwira penjilat, maksudmu?!"
"Hei, Perempuan Iblis...!
Hati-hati kau bicara di depan kami!" seru Tangan Syiwa. Kemudian ia segera
melompat turun dari kudanya dan menghampiri Ratu Teluh Bumi dengan nafsu untuk
menghajar. Rumakso menyusulnya untuk menahan temannya yang tak bisa tersinggung
sedikit pun. Tangan Syiwa adalah perwira istana yang paling galak dan kejam
terhadap musuh. Tak boleh tersentuh sedikit perasaannya.
"Tahan, Tangan
Syiwa...!" ucap Rumakso sambil tangannya sendiri memegang pundak Tangan
Syiwa.
"Aku akan hancurkan mulut
perempuan itu, Rumakso!"
"Tahanlah! Ingat, kita
sedang dalam keadaan berkabung, Tangan Syiwa. Jangan mengumbar nafsu
murkamu!"
Ratu Teluh Bumi mendengar
percakapan itu, maka segera ia ajukan tanya dengan nada tetap sinis,
"Apa yang terjadi,
Rumakso? Mengapa kau pergi secara rombongan begitu?! Apakah ada bencana alam di
Kerajaan Jenggala?"
"Ya. Ada bencana di
negeri kami! Orang-orang Atas Angin menyerang. Raja tertawan, dan rakyat
dibantai habis! Istana dikuasai oleh orang-orang Atas Angin! Kami melarikan
diri untuk cari bantuan. Mungkin kau bisa membantu kami untuk mengusir orang-oraang
Atas Angin itu, Ajeng Prawesti!"
Ratu Teluh Bumi lepaskan tawa
terkikik-kikik. Lalu katanya, "Kalian dan orang-orang Atas Angin adalah
sama. Artinya, sama-sama pihak yang akan kumusnahkan!"
"Keparat kau,
Ajeng!" geram Tangan Syiwa. Srett...! Ia mencabut pedangnya dari punggung.
Tapi tangan Rumakso menghadang, pertanda tidak izinkan Tangan Syiwa menyerang
Ajeng Prawesti.
"Tahan dulu, Tangan
Syiwa...!" kata Rumakso. "Ajeng, kau adalah orang Jenggala juga.
Seharusnya kau tidak bicara begitu kepada kami!"
"Dalam keadaan terdesak
lawan begini kalian mengakui aku sebagai orang Jenggala! Tapi ingatkah kalian
saat mengusirku dari Jenggala, mengejar-ngejarku untuk dibunuh, hah?! Tidak!
Aku bukan orang Jenggala yang ada dalam kekuasaan kalian! Aku orang Jenggala
asli yang tidak mengenal kalian! Karena itu, kalian datang kemari adalah suatu
hal yang sangat kebetulan, karena aku memang akan menyerang ke sana untuk
melenyapkan kalian semua!"
"Kau seorang diri, kami
cukup banyak, Ajeng! Kau cari mati kalau menentang kami!"
"Majulah semua, aku tak
akan mundur setindak pun!" tantang Ratu Teluh Bumi. Maka dengan geram
Tangan Syiwa segera maju dengan memainkan pedangnya. Begitu cepat ia memainkan
jurus pedang hingga tangannya seperti terlihat ada empat, dan suara gerakan
pedangnya menggaung mengerikan. Kapan ia menebas lawan, tak bisa dipastikan.
Karena dengan memainkan kibasan-kibasan cepat pedangnya yang berpindah tangan
terus-terusan itu, lawan dibuat bingung dan tak bisa melihat gerakan pedang
yang menyerang secara tiba-tiba itu.
Tetapi Ratu Teluh Bumi hanya
diam, pandangi gerakan pedang Tangan Syiwa yang melangkah mengelilinginya.
Napas segera ditarik dan ditahan di dada oleh Ratu Teluh Bumi, kemudian ia ucapkan
kata,
"Buntung tanganmu, Tangan
Syiwa!"
Blarr...! Petir memekik
mengagetkan mereka. Dan semakin kaget lagi setelah mereka melihat Tangan Syiwa
tahu-tahu kehilangan tangannya. Kedua tangan itu bagai terpotong oleh kibasan
pedangnya sendiri dan jatuh ke tanah tanpa darah sedikit pun.
"Tanganku...?! Tanganku?!
Gggrrr...!" Tangan Syiwa menggeram dengan mata melotot tegang.
"Ilmu setan apa yang kau
pakai, Jahanam!" geram Rumakso yang segera mendidih darahnya melihat
Tangan Syiwa buntung kedua tangannya, ia segera mencabut pedang dari
pinggangnya, lalu menyerang Ratu Teluh Bumi dengan satu lompatan murka.
"Heaaah...!"
Ratu Teluh Bumi melompatkan
diri, melenting di udara dan bersalto dua kali untuk jauhi lawan. Jleggg...! Ia
mendaratkan kakinya di atas sebuah batu besar. Dari sana ia sebarkan kutuk
kepada Rumakso dengan berseru,
"Buntung pula tanganmu,
Rumakso!"
Blarr...! Petir menjerit.
Tangan Rumakso pun terpotong keduanya tinggal bagian pundaknya saja. Tangan itu
tergeletak di sana dengan sangat menyedihkan. Lalu, mata liar Ratu Teluh Bumi
memandang ke arah para prajurit yang menggarang geram sambil cabut senjata
masing-masing. Ratu Teluh sebarkan kutukannya,
"Hancur semua kepala
kalian!"
Blarrr...!
Kejap berikutnya, suatu
pemandangan mengerikan terjadi. Kepala mereka, para prajurit dan orang-orang
pengungsi, pecah secara bersamaan. Memercikkan darah ke mana-mana, sehingga
jalanan itu menjadi kuburan masal yang amat mendirikan bulu roma. Hanya Tangan Syiwa
dan Rumakso yang masih kelihatan berkepala utuh, tapi sudah tidak mempunyai
tangan lagi. Mereka hanya tertegun bengong melihat apa yang terjadi di depan
mata.
"Tangan Syiwa dan
Rumakso...! Kalianlah yang dulu memerintahkan orang-orangmu untuk mengejarku
dan membunuhku. Tapi aku bisa melarikan diri dengan cepat. Dan sekarang, kalian
tak akan bisa melarikan diri seperti aku dulu!" Ratu Teluh Bumi menarik
napas dan berkata,
"Sekarang, buntung semua
kaki kalian, dan kalian akan mati dimakan anjing!"
Blarrr...! Terdengar bunyi
petir menggelegar, dan saat itu pula Rumakso dan Tangan Syiwa kehilangan kaki
masing-masing. Makin terkejut mereka melihat keadaan diri yang begitu
mengenaskan. Namun toh mereka tak bisa berbuat apa-apa.
Derap suara kuda datang dari
arah munculnya Ratu Teluh Bumi tadi. Dari kejauhan sana, seberkas sinar hijau
telah melesat dengan cepatnya. Sinar hijau itu bukan hanya satu bias, namun
memancar menjadi lebih dari sepuluh larik yang membentuk seperti kipas raksasa.
Sinar hijau yang dahsyat itu keluar dari lengan kanan Suto yang ada di atas
punggung kuda Rakawuni.
Brrrasss...! Melesatlah
percikan sinar membentuk kipas besar itu, dan Ratu Teluh Bumi tak sanggup
menghindarinya. Tiga sinar hijau mengenai tubuhnya. Menghantamnya dengan telak,
membuat tubuh itu terlempar tinggi dan jauh sekali, membentur sebuah pohon di
tepi mulut jurang, lalu tubuh itu pun jatuh ke jurang dengan suara jerit yang
menggema panjang.
"Aaaa...!"
Kuda Rakawuni segera mendekati
Rumakso dan Tangan Syiwa. Keduanya terkejut melihat kuda berkepala Rakawuni.
"Rakawuni...! Tolonglah
aku dan Tangan Syiwa ini!" kata Rumakso.
"Bagaimana aku mau
menolong kalian. Aku sendiri dalam keadaan seperti ini! Perempuan itu telah
mengutukku. Tapi aku telah membawa seorang penolong. Pendekar Mabuk, Suto
Sinting namanya...! Dia orang berilmu tinggi!"
"Aku melihat serangannya
yang dahsyat tadi, tapi... apakah dia bisa pulihkan keadaan kita ini?!"
Saat itu, Pendekar Mabuk
sedang memeriksa ke tepian jurang. Dari sana dia berseru, "Rakawuni...!
Aku akan turun ke jurang untuk pastikan apakah Ajeng Prawesti mati atau
melarikan diri!"
"Hati-hati,
Suto...!" teriak kepala kuda itu.
Suto Sinting melesat turun ke
jurang dengan lompatan tenaga peringan tubuhnya. Hilangnya Suto, muncul seekor serigala
berbulu hitam. Serigala itu meraung, melolong panjang di tepi jurang, seakan
mengkhawatirkan keadaan Pendekar Mabuk. Lalu, serigala itu nekat turun ke
jurang dengan merayapi tanaman di tebingnya.
Tetapi lolongan serigala itu
telah mendatangkan rombongan serigala lainnya. Jumlahnya lebih dari sepuluh
serigala. Mereka tampak buas, rakus, dan ganas. Rombongan serigala itu langsung
menyerang Rumakso dan Tangan Syiwa, sedangkan Rakawuni segera melarikan diri
setelah ia tak herhasil menghalau rombongan serigala lapar itu.
Maka habislah Rumakso dan
Tangan Syiwa dimakan dan dicabik-cabik oieh serigala liar dengan tanpa ampun
lagi. Dengan begitu, genap sudah kutukan Ratu Teluh Bumi, bahwa mereka mati
dimakan anjing.
Sungguh berbahaya mulut
perempuan itu. Banyak orang yang akan bersyukur jika perempuan itu mati.
Tapi apakah benar Ratu Teluh
Bumi mati di dasar jurang ?
Bagaimana jika ia belum mati ?
Bagaimana jika Suto yang
terkena kutukan seperti mereka ?
Apakah Suto mampu menghindari
atau melawan ilmu 'Sabda Iblis' ?
SELESAI