SEBUAH kedai berukuran agak
besar dikunjungi beberapa pembeli. Kedai itu terletak di sebuah desa yang
merupakan salah satu desa paling dekat dengan kotaraja. Tentu saja desa itu
berpenduduk padat, bahkan banyak orang buka usaha penginapan dan kost-kostan
untuk para buruh yang punya lapangan
kerja di kotaraja.
Jarak antara Desa Walikutu
dengan kotaraja hanya dua kilometer jika menggunakan ukuran zaman sekarang. Sarana angkutan umum juga
cukup banyak, dari dokar, pedati, gerobak sapi sampai ojek gendong. Karena pada
masa itu tidak ada sepeda atau motor, maka beberapa penduduk desa bisa mencari
nafkah melalui ojek gendong. Artinya, siapa yang mau ngojek dari desa ke
kotaraja, maka ia akan digendong oleh si pengojek dengan upah yang cukup untuk
membeli dua bungkus nasi pecel.
Tentu saja ojek tersebut
ber-AC dengan tempat duduk
pas untuk satu orang. Hanya
saja, pada masa itu istilahnya bukan ojek, melainkan andong, artinya: angkat
dan gendong. Pada akhirnya nanti, zaman yang berkembang membuat 'andong' yang
semula tenaga manusia menjadi bertenaga kuda dan mempunyai tempat duduk
sendiri, seperti dokar atau delman.
Pada umumnya 'tukang ojek' di
masa itu bertubuh kekar dan rata-rata tingginya satu tombak lebih sedikit.
Mereka berkalung untaian bunga aneka aroma untuk menghilangkan kesan bau badan
yang dapat membuat muntah pada penumpangnya. Maklum, pada masa itu belum ada
parfum, sehingga untuk mengatasi bau badan mereka menggunakan wewangian alami.
Salah satu 'tukang ojek' yang
terkenal bernama Puntung. Nama itu sesuai dengan kebiasaan pemuda 'tukang ojek'
itu yang gemar menyelipkan puntung rokok di telinganya. Walau tubuh si Puntung
tak begitu kekar, tapi dia 'tukang ojek' paling laris. Sepertinya dia memakai aji penglaris, sehingga banyak
orang yang menyewa punggungnya untuk dijadikan sarana angkutan dari desa ke
kotaraja atau sebaliknya.
Kala itu Pendekar Mabuk yang
dikenal dengan nama Suto Sinting, murid si Gila Tuak, sedang menikmati jagung
rebusnya. Ia duduk di bawah pohon tempat para pengojek mangkat. Sambil
menikmati jagung rebusnya ia
memperhatikan para pengojek yang menawarkan punggungnya kepada orang-orang yang
baru keluar dari pasar.
"Andong, andong,
andong...!" seru mereka mencari
penumpang. "Mari siapa
yang mau diangkat dan digendong ke kotaraja?! Ayo, ayo, ayo... jangan malu-
malu. Gendongan saya bermutu. Bebas panu dan bebas bau badan. Ayo, ayo, ayo...
siapa mau digendong. Tarif murah anti tabrakan "
Pendekar Mabuk tertawa sendiri
mendengar cara
mereka menawarkan jasa
gendongannya. Banyak juga perempuan tua yang sudah waktunya dipanggil 'nenek'
yang memanfaatkan ojek gendong untuk mengurangi rasa capeknya dalam berjalan ke
kotaraja. Ada pula yang hanya menyuruh si pengojek menggendong barang
belanjaannya, sementara si pemilik belanjaan berjalan di samping si 'tukang
ojek' itu.
Melihat pemuda tampan yang
membawa bumbung tuak tergantung di pundak itu sudah selesai makan jagung
rebusnya, Puntung mendekati dengan senyum ramah. Pendekar Mabuk sedang bergegas
berdiri. Ia bermaksud meneruskan perjalanannya
memburu Siluman Tujuh Nyawa yang melarikan diri dari pertarungan.
Siluman Tujuh Nyawa adalah tokoh super jahat yang dikenal sebagai tokoh paling
tersesat dan tersasar. Dia adalah musuh utama si Pendekar Mabuk, karena kepala
tokoh sesat itu akan dijadikan maskawin oleh Suto untuk melamar seorang putri
cantik dari Pulau Serindu, yaitu ratu negeri Pintu Gerbang Sur gawi yang
bernama Dyah Sariningrum.
Dalam catatan kitab takdir
kehidupan, Pendekar Mabuk berjodohan dengan Dyah Sariningrum, sehingga sampai
sekarang pemuda tampan bertubuh kekar
itu tidak mau menikah dengan perempuan mana pun kecuali hanya 'cuci
muka' alias cium sana cium sini sebagai selingan dalam perjalannya berpetualang,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").
Kembali pada masalah si
'tukang ojek' yang bernama Puntung itu, ia berharap Pendekar Mabuk akan
menggunakan jasa tenaganya dan mau digendong untuk perjalanan ke kotaraja. Maka
Puntung pun menawarkan punggungnya kepada Suto Sinting.
"Kang, butuh gendongan
apa?! Mari, kugendong ke kotaraja. Ditanggung nyaman, Kang. Biar tidur pules asal jangan ngiler."
Geli juga mendengar tawaran
bersifat merayu itu. Tapi untuk menjaga
agar tidak menyinggung perasaan si Puntung, maka tawa Suto pun hanya berbentuk
senyum lebar dan tanpa suara terbahak-bahak.
"Aku tidak sedang menuju
kotaraja, Sobat."
"Lho, jadi kau mau ke
mana, Kang?" "Mau ke mana saja mengikuti arah angin."
"Oo... edan orang
ini?" gerutu Puntung pelan,
sekalipun Suto mendengarnya
tapi ia tidak tersinggung. Justru kembali tersenyum geli mendengar gerutuan
yang tak sungguh-sungguh itu.
"Ayolah, Kang...
sebaiknya kau ke kotaraja saja," desak Puntung. "Di sana kan ada
sayembara, Kang. Apakah kau tidak tertarik dengan sayembara tersebut?"
"Sayembara apa?"
tanya Pendekar Mabuk.
"Makanya datang saja ke
kotaraja, nanti kau akan tahu sayembara apa yang sedang berlangsung di depan
istana kesultanan itu."
Sekali lagi Pendekar Mabuk
tertawa kecil, kemudian menenggak tuaknya dari bumbung bambu yang berukuran
satu depa itu.
"Boleh aku minta
minumanmu, Kang?" "O, silakan! Tapi jangan banyak-banyak."
"Ah, aku sudah biasa
minum tuak kok, Kang. Tak usah takut kalau aku akan mabuk."
"Maksudku jangan
banyak-banyak bukan takut kau mabuk, tapi takut tuakku habis."
Setelah minum tuak Suto
beberapa teguk, Puntung
merasakan badannya menjadi
segar. Kelelahannya dalam bekerja sebagai tukang ojek gendong bagaikan lenyap
begitu saja. Tapi pemuda berambut kucai itu tidak memperhatikan perubahan tubuhnya.
Cuek saja. Bahkan ia mendesak Suto Sinting lagi agar mau menggunakan jasa
gendongannya.
"Ayo, Kang... naiklah ke
punggungku. Kugendong sampai ke kotaraja. Tak usah membayarku mahal-mahal,
cukup dua sikal saja, Kang. Mumpung patas lho, Kang."
"Apa itu patas?"
"Tempatnya terbatas.
Hanya cukup untuk satu penumpang."
"Lha, iya... mana mungkin
kau akan menggendong dua penumpang. Ada-ada saja kau ini. O, ya... siapa
namamu?"
Ia menunjukkan dadanya.
Rupanya di dada si Puntung yang memakai baju putih kusam itu terdapat tulisan
dari getah pisang yang berbunyi:
ANDONG 'PUNTUNG' CEPAT, ANTAR
KOTA ANTAR DESA
"Ooo... namamu
Puntung?" gumam Suto Sinting sambil masih tersenyum geli. "Namamu
hampir sama dengan namaku, ya?"
"Namamu siapa,
Kang?" "Suto!"
"Wah, jauh sekali itu,
Kang. Mana ada kesamaannya
dengan nama Puntung?!"
"Maksudku sama-sama
jelek!" lalu mereka tertawa.
Seorang gadis berbaju hijau
mendekati mereka. Saat itu Suto Sinting sempat melirik ke arah si gadis yang
datang dari belakang Puntung. Pemuda berambut kucal dan berbaju putih kusam
dengan celana hitam itu belum mengetahui ada gadis mendekatinya. Tapi karena ia
melihat ada seorang perempuan yang membawa belanjaan berat, maka ia pun segera
bergegas menemui perempuan itu.
"Maat, Kang...
langgananku datang. Aku mau angkut dia dulu!"
"Silakan," ucap
Pendekar Mabuk sambil tersenyum memperhatikan si Puntung berlari menemui
perempuan pembawa barang belanjaan itu.
Kini gadis berpakaian hijau
yang cantik dan tampak sexy itu semakin dekat. Gadis itu tadi dilihat Suto sedang makan sendirian di dalam kedai.
Waktu Suto makan di sana ia memperhatikan gadis itu, tapi agaknya si gadis
tak pedulikan pandangan siapa pun yang
bermaksud melirik nakal kepadanya.
Gadis berpakaian hijau itu
membawa sebuah tongkat berukir yang tingginya sepundak lewat sedikit. Tongkat
itu terbuat dari sejenis kayu jati coklat tua, ujung atas dan bawahnya berukir
biasa, seperti tiang bendera atau seukuran tongkat pramuka. Tapi tentu saja
gadis itu bukan anggota pramuka dari Gugus Depan mana saja, karena pada masa
itu belum ada istilah pramuka.
Yang jelas si gadis berambut
dikuncir ke belakang itu
mengarahkan pandangan matanya
kepada Pendekar Mabuk. Saat itu Suto Sinting berlagak memperhatikan Puntung di
seberang sana yang sedang berusaha menaikkan barang belanjaan langganannya ke punggung. Suto berlagak tidak
mengetahui kedatangan si gadis cantik itu. Karenanya, ketika si gadis menegur, ia berpura-pura sedikit
terkejut.
"Ke kotaraja
berapa?!"
"Hmm, eehh... apanya yang
berapa, Nona?" "Ongkosnya!" gadis itu sedikit menyentak dengan
sikap angkuh. Pendekar Mabuk
segera nyengir geli, karena ia segera sadar bahwa dirinya dianggap tukang ojek
seperti si Puntung itu. Timbul niat konyolnya untuk menggoda gadis itu agar dapat
berkenalan lebih akrab lagi.
"Mengapa kau tanyakan
ongkos ke kotaraja, Nona?" "Aku mau ke sana! Bukankah kau butuh upah
untuk menggendong seseorang ke kotaraja?"
"Kau ingin kugendong ke
sana?"
"Cerewet kau ini!"
gertak si gadis. "Berapa ongkosnya, sebutkan saja."
"Oh, itu tergantung,
Nona." "Tergantung bagaimana?"
"Tergantung mau digendong
sebelah mana? Kalau digendong belakang ongkosnya lima sikal "
"Mahal amat?!"
"Kalau digendong depan,
hmmm gratis!"
"Gendong depan gratis?!
Artinya, tidak perlu bayaran?"
"Benar, Nona! Sekarang
mau pilih gendong depan atau gendong belakang?"
"Gendong depan
saja!"
"Baik!" Suto
bersemangat bersiap mau menggendong gadis itu.
"Ee, eh... tunggu dulu!
Bukan aku yang harus kau gendong."
"Lho, lalu siapa?!"
"Nenek yang baru keluar
dari kedai itu?!" sambil si gadis menunjuk seorang perempuan tua, bungkuk
dan jalannya tertatih-tatih, menggunakan tongkat sebagai penjaga keseimbangan
tubuhnya. Suto Sinting terperanjat dengan
langsung terbengong melihat nenek yang masih mengunyah sirih dan air sirihnya
berceceran di sekitar dagu. Langsung tubuh Suto bergidik merinding membayangkan
dirinya menggendong nenek itu dari depan.
"Hiiihh...!" ia
berjingkat mundur sambil mengusap tengkuk kepalanya yang merinding.
"Lho, kenapa? Katanya
kalau gendong depan itu gratis?!"
"Iya, tapi kalau untuk
nenek seperti dia aku tak menyediakan tempat duduk di depan. Di belakang pun
sudah penuh!" gerutu Suto Sinting dengan hati dongkol, lalu bergegas pergi
meninggalkan tempat sambil berseru, "Aku bukan tukang ojek, Non!"
"Hei, tunggu...!"
gadis itu mengejarnya dengan
lompatan. Wuk, wuk...!
Jleeg...!
Pendekar Mabuk terperanjat
lagi melihat gadis itu melayang di atas kepalanya dalam gerakan bersalto,
tahu-tahu berdiri di depan langkahnya.
"Aku hanya bercanda.
Bukan nenek itu yang harus
kau gendong, tapi diriku
sendiri. Aku capek, habis melakukan perjalanan sangat jauh. Aku butuh kendaraan
untuk sampai ke kotaraja. Maukah kau menggendongku di belakang?!"
"Hmmm, eeh... sebaiknya
kau cari tandu sewaan saja, Nona. Aku tak kuat menggendongmu."
"Ah tubuh kekar dan gagah
begitu masa' tak kuat menggendong tubuhku yang kecil begini?"
"Bukan tenagaku yang tak
kuat, tapi imanku menahan
getaran jantung saat tubuhmu
menempel di badanku." "Dasar otak mesum!" geram
gadis itu, lalu tiba-tiba ia
kibaskan tongkatnya menyambar
kepala Suto. Wuuut...! Suto Sinting menggeloyor mau jatuh, tapi tegak kembali
setelah tongkat itu meleset tak kenai kepalanya. "Tunggu, Nona...!"
Gadis itu penasaran atas
kegagalannya menghantam kepala Pendekar Mabuk. Dengan cepat tongkatnya
disodokkan ke perut Suto Sinting. Suuut...! Suto hanya berkelit ke kanan dengan
tubuh sedikit memutar. Sodokan datang lagi dengan cepat. Suuut...! Suto
berkelit ke kiri dengan tubuh memutar.
"Hiaah...!" gadis
itu menyodokkan tongkatnya secara beruntun dan cepat. Sut, sut. sut, sut!
Suto Sinting berkelit ke
kanan-kiri berkali-kali
sehingga mirip orang menari.
Hal itu bukan saja membuat sodokan tongkat selalu meleset, tapi juga membuat
beberapa 'tukang ojek' memperhatikan dengan tertawa-tawa. Bahkan mereka
bertepuk tangan memberi semangat ketika melihat Suto Sinting melompat-lompat
menghindari tebasan tongkat gadis yang mengarah ke kakinya.
Wut, wut, wut, wut...!
"Hentikan, Nona! Hentikan
seranganmu!" seru Suto Sinting sambil merunduk dua kali dan melompat tiga
kali. Wes, wes, wes, wes, wes...! Si gadis tetap menyerang dengan tubuh
berputar satu kali dan tongkatnya menyambar kian kemari.
Lama-lama hati
Suto menjadi jengkel.
Kali ini
sabetan tongkat si gadis
ditangkis dengan bumbung tuaknya. Trrang...! Suara yang timbul seperti tongkat
menghantam bumbung besi. Dan pada saat tongkat itu tertahan oleh
bumbung tuak, kaki
Suto Sinting berkelebat
menyambar betis si gadis. Wuut, plak, brruuk...!
"Huaaah, hah, hah, hah,
haa...!" mereka tertawa melihat gadis itu jatuh terpelanting tanpa ampun
lagi.
"Setan...!" geramnya
dengan mata makin
memancarkan permusuhan.
Pendekar Mabuk tak mau layani gadis itu. Ia segera berlari meninggalkan tempat.
Pelarian itu juga menimbulkan perasaan geli bagi para penontonnya. Tapi Suto
Sinting tak pedulikan suara tawa mereka. Ia tetap melarikan diri untuk jauhi
keramaian orang.
"Berhenti kau,
Jalang!" seru si gadis yang segera mengejarnya. Wees...! Gerakan cepat
dipergunakan oleh si gadis untuk menyusul Pendekar Mabuk. Tetapi si pemuda
tampan berambut panjang lurus tanpa ikat
kepala itu segera menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Zlaap...! Dalam waktu
kurang dari sekejap, Pendekar Mabuk sudah berada jauh dari si gadis. Gerakan
yang mirip menghilang karena kecepatannya menyerupai kecepatan cahaya itu
membuat si gadis terbengong melompong.
"Edan! Cepat sekali
gerakannya itu?! Hmmm... rupanya dia memang bukan pemuda biasa! Ia punya
ilmu cukup lumayan! Sebaiknya kukejar dengan memotong jalan! Pasti dia
akan lewat balik bukit sana!" pikir si gadis, kemudian ia berkelebat
mengejar Suto dengan memotong jalan.
Dugaannya tepat sekali. Suto
Sinting melintasi jalan di balik bukit
yang tak seberapa tinggi itu. Dan si gadis pun melompat dari tebing bukit itu
dengan gerakan bersalto dua kali. Wuk, wuk, jleeg...! Langkah Pendekar Mabuk
terhenti lagi karena tiba-tiba gadis itu muncul menghadang langkahnya.
"Bandel juga gadis
ini?!"
Suto Sinting menggeram jengkel
dalam hatinya. Tapi di wajah tampannya ia tak kelihatan menggerutu. Ia justru
tampak tenang dengan kedua mata memandang lembut ke arah gadis itu. Di balik
kelembutan pandangan matanya itu si gadis merasakan adanya ketajaman pandang
yang menjadi ciri-ciri orang berilmu tinggi. Dia belum tahu siapa pemuda yang
dihadapinya, sehingga hati si gadis pun bertanya-tanya serta memendam perasaan
kagum terhadap si murid sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu.
"Mengapa kau menjadi liar
begitu, Nona?!" tegur Suto Sinting saat si gadis melangkah ke samping
dengan memutar-mutar tongkatnya, bersiap untuk menyerang kembali.
Wajah cantik yang mengandung
keangkuhan itu
sekarang ada di samping kanan
Suto. Kuda-kudanya dipasang sedemikian rupa dengan tongkat diarahkan ke depan.
Satu kali sentakan diiringi lompatan cepat dapat membuat kepala Suto tersodok
tongkat tersebut. Supaya tidak terkena serangan mendadak, Pendekar Mabuk pun
segera memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan gadis berdada sekal itu.
"Dugaanku memang sempat
meleset, tapi pada mulanya dugaanku ternyata benar, bahwa kau bukan pemuda
sembarangan. Kau pasti berilmu lumayan, setidaknya satu tingkat di bawah
ilmuku!" ujar si gadis dengan nada ketus.
"Jika memang begitu
anggapanmu, lantas apa maumu terhadap diriku, Nona?!"
"Hampir saja aku terkecoh
dengan menyangkamu sebagai tukang ojek gendong!"
"Sekarang kau tak
terkecoh. Lalu apa maumu!" bentak Suto karena jengkel tak mendapat jawaban
yang pasti dari si gadis.
"Kau harus membantuku,
Manusia Jalang!" "Membantu dalam hal apa?!".
"Nanti kujelaskan!
Sekarang ikutlah aku ke kotaraja!
Kalau kau tak mau, aku akan
membuat wajahmu babak belur sehingga ketampananmu hilang!"
"Menjengkelkan betul kau
ini, Nona!" gumam Suto
Sinting setelah menarik napas
menahan kedongkolan hatinya.
"Dengar, Nona... kalau
kau mau meminta bantuan padaku, bukan begini caranya!"
"Persetan dengan cara!
Apa pun akan kulakukan agar aku tetap selamat!"
"Selamat...?!"
Pendekar Mabuk berkerut dahi, kemudian mendekati gadis itu. Ujung tongkat si
gadis sengaja diulurkan ke depan. Langkah Suto berhenti ketika ujung tongkat
itu ada di depan lehernya, kurang dari setengah jengkal.
"Apakah ada orang yang
mengancam keselamatanmu, Nona?!" "Ada! Dan kau harus bantu aku
menyingkirkan orang itu!"
"Siapa orang
tersebut?!"
"Ayodya!" jawabnya
singkat tapi jelas dan tegas. "Siapa Ayodya itu, Nona?"
"Tak perlu banyak tanya!
Jawab dulu pertanyaanku: maukah kau menolongku atau tidak?!"
"Singkirkan dulu
tongkatmu!" tegas Suto Sinting.
"Tidak! Aku tetap akan
mengancammu dengan tongkat maut ini. Jika kau tak bersedia menolongku, tongkat
ini akan meremukkan kepalamu yang mungkin banyak kutunya itu!"
Pendekar Mabuk tersenyum.
"Sepertinya aku
berhadapan dengan gadis gila!
Minta tolong kok memaksa begini?!"
"Masa bodoh!!"
bentak si gadis dengan berang.
Tongkatnya menyodok leher
Suto. Tubuh si pemuda tampan itu sengaja bertahan di tempat, tak mau mundur,
sebagai bukti bahwa ia tak takut dengan ancaman si gadis. Akibatnya,
tenggorokan Suto seperti dicekik dengan tenaga cukup kuat. Rupanya tenaga dalam
si gadis tersalur melalui tongkat itu, sehingga dapat membuat jakun di leher
Suto bagai ingin dipecahkan secara pelan-pelan.
"Oo, rupanya tongkat ini
bukan sembarangan," pikir Suto Sinting. "Tapi bagaimana jika gadis
ini kuberi pelajaran sedikit biar tidak gendeng begini?!"
Tiba-tiba kaki Suto Sinting
menendang ke atas dengan badan melengkung ke belakang. Wuuut, trak...!
Tendangan kaki yang tiba-tiba itu mengenai tongkat, dan tongkat tersebut
terpental lepas dari pemegangnya. Tendangan itu beraliran tenaga dalam cukup
besar, sehingga genggaman kuat pada tangan si gadis tersentak dan terlepas.
Se dangkan jari tangan Suto
pun menyentil ke depan tak kentara. Sentilan yang melepaskan tenaga dalam cukup
besar itu telah mengenai perut si gadis.
Buuuhk...! Si gadis terpekik
sambil tubuhnya tersentak ke belakang.
"Uuhk...!"
Brruk...! Ia jatuh terhempas
dalam keadaan duduk. Jurus 'Jari Guntur' pendekar ganteng itu berhasil membuat
perut si gadis bagaikan ditendang seekor kuda jantan. Untung ia segera menahan
napas dan salurkan tenaga intinya ke perut sehingga tak sampai membuat isi
perutnya tersembur keluar melalui mulut. Namun ia sempat menyeringai kesakitan
dengan mata terpejam dan tangan memegangi perut.
"Maaf, itu hanya sebagai
pelajaran agar kau tak bersikap gendeng terhadap orang yang ingin kau mintai
bantuannya, Nona!"
"Keparat kau...!"
geramnya dengan nada berat.
"Ya, aku memang keparat!
Tapi aku punya hormat dan harga diri! Kau tidak bisa memperlakukan aku seperti
itu, Nona! Aku bukan musuhmu!"
"Aku tak suka caramu
bicara tadi. Kotor!" sambil si gadis bergeser untuk mengambil tongkatnya.
"Maaf kalau ucapanku tadi
kotor. Itu hanya sebuah canda. Kalau kau memang "
Weesss...! Tiba-tiba tongkat
itu dilemparkan dengan cepat sekali. Pendekar Mabuk sempat terperanjat. Ia
segera melompat ke kanan untuk menghindari tongkat itu. Begitu kakinya mendarat
ke tanah dan ia ingin lepaskan sentilan 'Jari Guntur'-nya lagi, tiba-tiba ia
mendengar suara orang terpekik di belakangnya.
"Aahk !!"
Pendekar Mabuk memutar kepala
memandang suara orang terpekik itu. Oh, ternyata orang yang terpekik itu
mendelik dengan mulut ternganga karena ulu hatinya terkena lemparan tongkat.
Punggung orang itu membentur pohon dalam keadaan ulu hati bagai didorong kuat oleh sebatang tongkat.
Pendekar Mabuk masih belum
hilang rasa kagetnya, tahu-tahu tongkat itu meluncur ke arah si gadis dan
ditangkap oleh tangan berjari lentik itu. Wees, taab !
Pendekar Mabuk makin
terbengong melihat kejadian yang tak disangka-sangka. Semuanya terjadi dengan
sangat cepat dan mengagumkan.
Rupanya si gadis melihat
seorang lelaki ingin menebaskan goloknya ke punggung Pendekar Mabuk. Ia segera
melemparkan tongkatnya itu dan kenai ulu hati si penyerang tersebut. Tongkat
segera memantul balik bagai habis
membentur karet, lalu dalam sekejap tongkat itu sudah ada di tangan si gadis,
sementara lelaki bersenjata golok itu masih mengangkat tangannya ke atas, namun
mulutnya melelehkan darah kental akibat sodokan tongkat tadi. Si lelaki
berpakaian serba hitam itu jatuh terpuruk di bawah pohon dengan tubuh kejang-
kejang. Sekarat.
"Ternyata dia bermaksud
menyelamatkan diriku?" gumam hati Pendekar Mabuk. "Tapi jurus
tongkatnya yang baru saja kulihat itu sungguh hebat. Kalau tongkat itu tak
mengenai orang berpakaian hitam, maka punggungku mungkin akan robek ditebas
goloknya!"
Gadis itu segera hampiri si
lelaki berpakaian hitam. Tongkatnya siap disodokkan ke wajah orang tersebut.
Tapi langkahnya terhenti ketika tahu-tahu Suto Sinting berkelebat dengan cepat,
menghadang di depannya dengan kedua tangan merentang.
"Cukup! Jangan lanjutkan
seranganmu. Dia sudah tak
berdaya!"
"Kau berhutang nyawa
padaku!"
"Benar, dan terima kasih.
Tapi ingat, kau juga berhutang padaku. Hutang jawaban!"
Si gadis yang berusia sekitar
dua puluh tiga tahun itu
melirik sinis, lalu mendengus
ketus. Pendekar Mabuk sunggingkan senyum, lalu berbalik pandangi orang baju
hitam yang masih kejang-kejang itu.
"Kau tahu siapa orang
ini?! Aku tidak mengenalnya, Nona!"
Si gadis masih diam, tapi
matanya memandang tajam dan bersikap memusuhi orang yang tadi hendak melukai
Suto Sinting itu. Suto juga diam, menunggu penjelasan dari gadis konyol itu.
*
* *
2
AKHIRNYA kekerasan hati si
gadis dapat ditundukkan dengan kesabaran Pendekar Mabuk. Gadis itu mengaku
bernama Ranggina. Sedangkan lelaki berpakaian hitam yang dilumpuhkannya itu
dikenal sebagai 'Begundal Pulau Darah'. Tentu saja Pendekar Mabuk terkejut
mendengar nama Pulau Darah, sebab ia memang bermusuhan dengan penguasa Pulau
Darah yang bernama Pawang Setan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Teror Pemburu Cinta").
"Tak mungkin ia orang
Pulau Darah. Setahuku orang
Pulau Darah punya ilmu tinggi
dan tak mudah dirobohkan dengan sesederhana itu!" ujar Pendekar Mabuk.
"Kubilang tadi, dia
Begundal Pulau Darah, artinya dia hanya orang yang memihak Pulau Darah. Tapi
dia memang bukan orang Pulau Darah. Pasti dia ingin membunuhmu hanya
semata-mata ingin dapat upah atau dapat kesempatan berguru kepada si Pawang
Setan."
"Oh, kau kenal dengan
Pawang Setan segala,
Ranggina?!"
"Aku pernah berurusan
dengan pihaknya. Jadi aku tahu persis siapa-siapa saja yang memihak Pawang
Setan."
Ranggina membuka baju orang
yang kini telah pingsan itu. Satu sentakan tongkat telah berhasil membuat baju
hitam itu tersingkap lepas dari pengikatnya. Breet...!
"Lihat tato di dadanya
ini!" ujar Ranggina. Pendekar Mabuk memperhatikan tato gambar
tengkorak di atas dua pedang bersilang.
"Ini ciri-ciri orang yang
bersekutu dengan Pawang
Setan!"
"Ooo...," Pendekar
Mabuk menggumam. "Kau punya masalah dengan Pawang Setan?!"
"Punya! Kau mau
minta?" jawab Suto Sinting dengan
konyol. Ranggina hanya
mendengus, tanpa senyum dan tawa sedikit pun.
"Hati-hati jika kau punya
masalah dengan Pawang Setan. Dia cukup kuat dan sukar ditumbangkan!" ujar
Ranggina, dan Suto Sinting sengaja
menggumam pendek, tak mau menceritakan hal yang sebenarnya. Mungkin
Ranggina tak akan percaya jika Pendekar Mabuk telah terlibat bentrokan dengan
pihak Pawang Setan, terlebih setelah ia berhasil membunuh adik Pawang Setan
yang bernama Delima Wungu. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Kematian Misterius").
Setelah sikap Ranggina mulai
tampak bersahabat, walau masih kelihatan kaku, mereka segera meninggalkan
Begundal Pulau Darah itu. Suto melarang niat Ranggina yang ingin menghabisi
nyawa Begundal Pulau Darah itu.
"Tinggalkan saja
dia! Biar nanti
celaka oleh
tindakannya sendiri
jika masih ingin
memburuku! Se baiknya
sekarang kita masuki
persoalanmu. Tolong jelaskan seluruh persoalanmu yang membuat kau nekat
memaksaku untuk dibantu!"
"Supaya kau tidak
menganggapku remeh dan mengecamku sebagai gadis yang lemah, aku harus lakukan
kekerasan seperti itu dalam mengharap pertolonganmu, Suto!" ujar Ranggina.
"Aku tak tahu siapa kau sebenarnya, sehingga aku harus jaga wibawa di depanmu!"
"Sekarang kau tahu bahwa
namaku Suto, tak punya tempat tinggal tetap, termasuk orang jalanan. Apakah kau masih ingin jaga wibawa dengan
sikap kasarmu itu?!"
"Bila kuperlukan, memang
harus begitu!" jawab si
gadis dengan tegas. Agaknya ia
benar-benar tak mau disepelekan oleh seorang pemuda tampan yang sebenarnya
membuat hatinya sering berdesir kagum itu.
Suto memang tidak memperkenalkan
dirinya sebagai Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak. Ia tak ingin gadis itu menertawakan
atau mencibirkan pengakuan
itu. Se bab menurut Suto, Ranggina bukan gadis yang mudah percaya dengan
nama besar seperti Pendekar Mabuk itu. Jadi percuma saja Suto mengaku sebagai
Pendekar Mabuk, nanti justru akan timbul masalah baru, misalnya dijajal ilmunya
oleh Ranggina. Suto malas melayani orang-orang yang sekadar ingin mengetahui
tingkat ketinggian ilmunya.
Dengan mengaku sebagai Suto,
orang jalanan, rasa- rasanya lebih mudah dipercaya dan mudah menjadi akrab dengan Ranggina. Terbukti gadis
itu mau menjelaskan persoalannya sambil mereka meninggalkan si Begundal Pulau
Darah. Suto tak tahu bahwa arah yang mereka tuju adalah jalan melingkari bukit
yang menuju ke arah kotaraja.
"Seperti kukatakan tadi,
aku mencari orang yang
dapat menyelamatkan jiwaku
dari ancaman Ayodya alias si Malaikat Gantung itu," ujar Ranggani
mengawali penjelasan yang sebenarnya.
"Kau belum jawab
pertanyaanku tadi tentang siapa Ayodya itu sebenarnya."
"Ayodya adalah kakak
seperguruanku. Tetapi ia
dianggap murid murtad oleh
Guru karena ia mendalami ilmu hitam dari tokoh lain."
"Siapa yang menjadi guru
ilmu hitamnya itu?" tanya Suto.
"Nyai Kembang
Kempis!"
"Ooh.. ?!" Suto
Sinting terkejut, sebab ia tahu nama Nyai Kembang Kempis adalah nama gurunya
Delima Wungu. Tokoh tua itu disebut juga sebagai Tabib Sesat yang berasal dari
dasar bumi. Kabarnya, Nyai Kembang Kempis memang seorang pelarian dari dasar
bumi.
"Kenapa terkejut? Kau
juga murid Nyai Kembang
Kempis?" sambil Ranggina
melirik curiga. Pendekar Mabuk tersenyum tenang sambil tetap melangkah.
"Kalau aku murid Nyai
Kembang Kempis, tentunya
kau sudah kuhancurkan sejak
tadi. Aku terkejut karena pernah mendengar nama Nyai Kembang Kempis sebagai
tokoh pelarian dari dasar bumi yang
berjuluk Tabib Sesat itu."
"Rupanya kau punya pengetahuan cukup lumayan tentang rimba persilatan,
Suto."
"Mungkin saja. Sayang
sekali pengetahuanmu tak sebanyak pengetahuanku," ujar Suto karena merasa
dirinya tidak dikenali sebagai Pendekar Mabuk.
"Hmmm, jangan merasa
tersanjung dulu oleh kata- kataku," ujar Ranggina.
"Aku tidak merasa
tersanjung, hanya saja... ah, sudahlah. Sebaiknya lanjutkan penjelasanmu
tadi."
Sambil tetap melangkah di
samping kiri Pendekar Mabuk, gadis itu melanjutkan penjelasannya tentang Ayodya
alias si Malaikat Gantung itu.
"Guruku bernama Eyang
Sampurna, dari perguruan silat Lintang Yudha "
"Yang ini memang tak ada
dalam pengetahuanku," sela Suto. "Teruskan !"
"Malaikat Gantung
menyusun kekuatan sendiri setelah ia
berhasil pelajari beberapa ilmu hitamnya Nyai Kembang Kempis. Kemudian ia
menyerang perguruan kami. Perguruan menjadi hancur. Ternyata Eyang Sampurna
juga berhasil ditewaskan oleh ilmunya si Malaikat Gantung. Aku sempat membawa
kabur Guru untuk mengobati lukanya, tapi tak berhasil. Guru pun tewas di
depanku. Tapi sebelum beliau wafat, sebuah amanat disampaikan kepadaku."
"Amanat apa?"
"Aku harus tetap
menghidupkan Perguruan Lintang Yudha! Tanah perguruan yang telah dikuasai oleh
Malaikat Gantung harus kurebut kembali. Namun aku merasa kalah ilmu dengan
Malaikat Gantung. Bahkan kini aku menjadi buronannya. Malaikat Gantung tak
ingin ada murid Eyang Sampurna yang tersisa. Selur uh murid telah dibantainya
habis. Tinggal beberapa orang yang melarikan diri menyebar entah ke mana,
termasuk diriku."
"Apakah kau tetap
bersikeras untuk melaksanakan amanat mendiang gurumu itu?"
"Ya. Aku harus merebut
kembali tanah perguruan
kami dan membuka kembali
Perguruan Lintang Yudha. Se bab itulah aku butuh bantuan seseorang yang kuat
dan bisa kuajak bersama-sama menumbangkan si Malaikat Gantung itu!"
"Hmmm, begitu...?!"
gumam Suto pelan. "Lantas, mengapa kau memaksaku ikut ke kotaraja?!"
"Kudengar Sultan
Jantrawindu sedang mengadakan
sayembara orang kuat. Aku
ingin melihat siapa yang unggul dalam sayembara orang kuat itu. Jika ternyata
orang kuat tersebut bisa didekati, maka aku akan meminta bantuan pula kepada
orang kuat itu untuk melindungiku."
"Apa upahnya?!" sela
Pendekar Mabuk sekadar ingin
tahu kesanggupan Ranggina
dalam memberi imbal balik kepada orang yang dimintai bantuannya. Gadis itu diam
sesaat, kemudian menjawab dengan pandangan mata berpaling ke arah lain. Seakan
ia tak berani menatap Pendekar Mabuk.
"Jika memang ada orang
yang mampu menyelamatkan jiwaku, melindungi nyawaku dari ancaman Malaikat
Gantung, seandainya orang itu wanita akan kuanggap sebagai kakak angkatku, tapi
jika dia seorang lelaki, mungkin aku akan pasrah padanya."
"Pasrah bagaimana?"
desak Suto Sinting dengan pertanyaan yang tergolong usil itu.
"Terserah orang itu! Dia
boleh memperistri diriku jika menurutnya
aku pantas menjadi istrinya, atau menganggapku sebagai adik. Singkatnya,
siapa yang bisa melindungiku aku akan
mengabdi kepadanya, asal bukan kepada si Malaikat Gantung."
Pendekar Mabuk tertawa pelan,
nyaris tak terdengar.
Ia tahu gadis itu tak mau
memandangnya karena malu terhadap kesanggupannya memberikan imbalan seperti
itu. Tetapi hati Pendekar Mabuk bisa memaklumi mengapa Ranggina sampai mau
berpasrah seperti itu kepada si penyelamatnya nanti. Hal itu dikarenakan ia tak mempunyai apa-apa yang bisa dijadikan
imbalan timbal balik, dan agaknya ia benar-benar tak ingin jatuh di tangan Ayodya. Demi menjalankan
amanat sang Guru, apa pun risikonya
Ranggina harus bisa menyingkirkan Ayodya dari tanah perguruannya yang terletak
di Bukit Palawa itu.
Menurut pengakuan Ranggina, ia
sudah tak mempunyai ayah dan ibu lagi. Bahkan dua adiknya telah tewas di tangan
musuh leluhurnya. Keterangan itu menimbulkan rasa iba di hati Pendekar Mabuk.
Hanya saja, rasa iba itu tak ditunjukkan di depan Ranggina, takut akan membuat
gadis itu semakin ngelunjak terhadap Pendekar Mabuk. Dengan tetap bersikap
kalem, Suto kelihatan tak begitu tergerak hatinya terhadap nasib Ranggina.
"Bagaimana jika orang
kuat yang unggul dalam sayembara nanti tidak mau membantumu menghadapi
Ayodya?" pancing Suto.
"Berarti aku harus
mencari teman lain yang mau membantuku! Sebelum kudapatkan orang yang mampu
melindungiku dan mampu kuajak kerja sama untuk menumbangkan Ayodya, aku akan
berusaha untuk tidak dilihat oleh Ayodya."
"Bagaimana jika sebelum
kau dapatkan orang
tersebut kau sudah tertangkap
oleh pihak Ayodya lebih dulu."
"Aku pasti akan
dibunuhnya. Dan kalau sudah begitu, ya sudah Itu namanya nasib!"
Pendekar Mabuk tersenyum geli.
Tapi langkahnya
semakin merapat ke samping
kanan Ranggina. Dengan pandangan wajah tetap lurus ke depan, Pendekar Mabuk
bicara dengan pelan seperti orang berbisik.
"Apakah kau mempunyai
seorang teman lelaki bertubuh kurus?"
"Tidak," jawab
Ranggina dengan mata memandang
penuh curiga.
"Atau... barangkali kau
mempunyai teman lelaki berambut panjang dikonde dengan tubuh agak kurus
juga?"
Ranggina makin berkerut dahi.
"Tidak. Kenapa kau bertanya begitu?!"
"Karena kita diikuti oleh
dua orang yang tidak sama- sama kita kenal." "Ooh...?!"
"Jangan menengok ke
belakang!" sergah Suto Sinting sambil tetap memandang lurus ke depan. Ia
menambahkan dalam bisikannya.
"Dua orang itu yang satu
berbadan kurus dengan rambut lurus sepundak, seperti rambutku, yang satu lagi
berbadan sedikit gemuk dari yang pertama, tapi rambutnya dikonde seperti
perempuan. Cuma dia punya kumis tipis."
"Di mana mereka
sekarang?"
"Di balik pohon belakang
kita. Mereka ada di sebelah kirimu dan di sebelah kananku. Keduanya sama-sama
bersenjata tombak berkepala pedang besar. Sinar kilatan pedangnya yang
memantulkan sinar matahari sempat kenai pohon depan kita itu!" sambil Suto
menuding pohon itu secara tak kentara. Ranggina segera menemukan kilatan
kemilau logam yang memantulkan sinar matahari.
"Tajam sekali
penglihatanmu?" bisik Ranggina.
Pendekar Mabuk tersenyum dan
tetap tenang. Tentu saja Ranggina memujinya demikian karena ia tak tahu bahwa
Suto sering menggunakan jurus 'Lacak Jantung'- nya dalam setiap perjalanan.
Sewaktu-waktu ia gunakan jurus itu dan menangkap suara detak jantung milik
orang lain. Ia segera curiga dan mencari cara untuk mengintai si pemilik detak jantung itu secaratak
kentara.
"Di depan ada serumpun
bambu yang tumbuh memanjang," bisik Ranggina. "Itu bukan tanaman
kebunku," jawab Suto iseng. "Lompatlah ke balik semak bambu itu. Akan
kuhadapi dua orang penguntit
kita itu."
"Tak akan berhasil.
Mereka pasti tak mau menampakkan diri menyusul kita jika kita bersikap
menunggu."
"Akan kupaksa
mereka!"
"Percuma. Sebaiknya
ikutlah belok ke semak-semak bambu itu. Lalu, tiba-tiba kita sergap langkah
mereka."
"Tapi janji, biar aku
yang mengurus mereka?!" "Dengan senang hati akan kuberikan kesempatan
ini
padamu, Ranggina!" bisik
Pendekar Mabuk sambil tertawa kecil seperti orang pacaran.
Rupanya Ranggina ingin
tunjukkan kemampuannya menangani dua lawannya itu. Pendekar Mabuk menghargai
maksud gadis itu. Sehingga ia tidak akan
ikut campur kecuali jika si gadis dalam keadaan bahaya. Maka ketika mereka
membelok ke semak-semak, Ranggina segera berbalik arah dan siap menunggu
langkah kedua penguntit itu. Pendekar Mabuk sentakkan kakinya ke tanah, deg...!
Wuuut...! Jurus 'Layang Raga' yang merupakan ilmu peringan tubuh itu digunakan.
Dalam sekejap Pendekar Mabuk sudah berada di atas ranting pohon bambu tanpa
membuat ranting itu patah. Ranggina sempat meliriknya sekejap dan terperangah
melihat Pendekar Mabuk mampu berdiri di atas ranting bambu sekecil kelingking.
"Edan! Rupanya dia punya
ilmu peringan tubuh cukup lumayan?!" gumam Ranggina pelan. Lalu
perhatiannya kembali pada dua penguntitnya.
Ternyata apa yang dikatakan
Suto Sinting memang benar. Ranggina segera melihat dua sosok tubuh kurus yang
bersenjata tombak berujung pedang. Dua orang itu mengendap-endap dari pohon ke
pohon. Yang satu berbaju merah dengan celana hitam, rambutnya dikonde. Yang
satunya lagi berompi biru dengan celana hitam, rambutnya lurus tanpa ikat
kepala. Masing-masing berusia sekitar tiga puluh tahun.
Ketika yang berambut lurus itu
berkelebat pindah tempat, Ranggina segera melesat menerjangnya dengan tongkat
disentakkan ke depan.
"Hiaaaat...!"
"Sambra,
awaaas...!!"
Weess...! Trang...! Tongkat
itu tertangkis oleh pedang di ujung tombak lawan. Tapi pedang itu menjadi patah
akibat tersodok ujung tongkat Ranggina.
"Hmmm... kekuatan tongkat
itu seperti baja?!" gumam Pendekar Mabuk yang kali ini sengaja menjadi
penonton dari atas pohon bambu.
Kalau saja orang berambut
panjang yang dikonde itu tidak berseru mengingatkan temannya yang bernama
Sambra, maka tongkat itu akan kenai tengkuk kepala orang tersebut. Pendekar
Mabuk mengecam Ranggina dalam hati, karena lakukan serangan dengan bersuara.
"Bodoh! Mau menyerang
pakai teriak segala! Yah, tentu saja ketahuan!"
Tetapi agaknya Ranggina tak
peduli serangannya diketahui pihak lawan. Patahnya pedang lawan membuat
Ranggina semakin bersemangat melepaskan serangan tongkatnya ke arah dada
Sambra. Wuuut, trak...! Serangan itu berhasil ditangkis juga oleh tombak Sambra. Kini sisa pedang di ujung
tombak itu dihujamkan ke wajah Ranggina. Wuut...!
Ranggina lompat ke belakang
dengan bersalto. Wuk, jleeg...! Begitu ia menapakkan kakinya ke tanah, pedang
di ujung tombak si lelaki berkonde itu membelah kepalanya. Wuung...!
Traang...! Ranggina berlutut
satu kaki dan menyilangkan tongkatnya di atas kepala dengan dipegangi dua
tangan. Tebasan pedang lawan tertangkis oleh tongkat itu. Ranggina segera
berguling ke tanah dengan tubuh memutar, kaki menyampar cepat. Wuuut, plaak...!
"Awas, Dempak!"
pekik Sambra mengingatkan temannya yang bernama Dempak itu. Tapi peringatan itu
terlambat. Kaki Ranggina sudah telanjur menyampar kaki Dempak dengan kuat.
Akibatnya, Dempak pun jatuh terpelanting
kehilangan keseimbangannya. Brruuk...!
Dengan cepat tongkat Ranggina
menghantam kepala Dempak. Beet...! Trok...!
"Aaoow...!!" teriak
Dempak dengan mengejang. Kepala itu langsung berlumur darah, bonyok pada bagian pelipisnya. Dempak menggelepar
kebingungan sambil meraung-raung.
"Bangsat kau. Gadis
Kunyuk!! Heeaah...!!"
Sambra makin mengamuk melihat
temannya terluka seperti itu. Ia melompat dengan sisa senjata dihantamkan ke
kepala Ranggina. Wuuut...! Ranggina berguling ke depan, sehingga hantaman
tombak itu tak mengenai sasaran. Tetapi tongkatnya segera menyentak ke atas.
Dees...!
"Uuhk...!" perut
Sambra menjadi sasaran empuk ujung
tongkat itu. Ternyata Ranggina salurkan tenaga dalamnya melalui tongkat itu,
sehingga sentakan ke perut Sambra membuat
lelaki itu terlempar ke udara dan berjungkir balik tanpa keseimbangan lagi.
Wuk, wuk, wuus...!
Brruuk...!
"Aaahk...!" Sambra
mengerang kesakitan, tulang punggungnya bagaikan dibanting di permukaan batu
sebesar kepala kerbau. Ia menyeringai kesakitan merasakan tulang punggungnya
bagaikan patah dan tak bisa dipakai bangkit dengan cepat.
"Hiaaah...!"
Ranggina merentangkan kedua
tangannya dengan tongkat
melilit di tangan kanan, kedua kakinya merendak ke samping. Jurus yang
dimainkan kala itu sungguh indah dan menimbulkan rasa kagum dalam hati Pendekar
Mabuk.
"Dia bukan saja
kelenturan tubuh, namun juga lincah dan tangkas." ujar hati Pendekar
Mabuk.
Tongkat itu pun diputar-putar
di sekitar tubuhnya.
Kelebatan tongkat itu
menimbulkan suara mendesau menandakan angin yang ditimbulkan dari gerakan
tongkat itu cukup kuat.
Dempak dan Sambra berhasil
bangkit dengan memaksakan diri. Padahal Suto tahu keduanya sudah kehilangan
tenaga cukup banyak akibat menahan rasa sakitnya. Dan pada saat itu mereka
bermaksud menggunakan jurus gabungan.
Tapi pada saat mereka masih
berdiri berjajar dalam
jarak tiga langkah, tiba-tiba
Ranggina melesat bersama tongkatnya. Tongkat itu ditancapkan ke tanah dan
tubuhnya memutar dengan tangan berpegangan pada tongkat tersebut.
Hiaaat...!!"
Plok, plok, des, des...!
Kedua kaki Ranggina menendang
secara beruntun. Entah berapa kali gerakan kaki itu menendang dengan cepat.
Yang jelas semua tendangan beruntun yang mirip orang berlari itu mengenai tubuh
lawannya. Mereka berdua sama-sama terpekik pelan karena suaranya tertahan rasa
sakit di tenggorokan. Kejap berikutnya mereka berdua tumbang ke belakang
setelah lebih dulu terpental ke arah yang berlainan.
Brrusk, brruk...!
"Uuggrr...!" Dempak
mengerang menyeramkan karena mulutnya semburkan darah kental. Sementara itu, Sambra
tak terdengar suaranya sedikit pun. Bahkan tubuhnya hanya bergerak sebentar,
lalu terkulai lemas dengan hidung dan telinga mengucurkan darah kental.
Ranggina berdiri dengan kedua
tangan merentang dan
tongkatnya melilit di tangan
kiri. Matanya memandang lawan dengan tajam. Posisi kakinya diangkat satu bagai
seekor burung bangau di tengah sawah. Ia tampak siap siaga menerima
serangan berikutnya. Tapi
ternyata berikutnya tak ada serangan, yang ada hanya desau angin
mengembus sunyi.
Beberapa saat kemudian,
Pendekar Mabuk turun dari atas pohon bambu. Ia memeriksa kedua orang yang
terkapar tanpa gerakan lagi itu.
"Dia tewas!" ujar
Suto Sinting setelah berdecak dan geleng-geleng kepala. Orang yang tewas itu
adalah Dempak. Sedangkan Sambra tampaknya hanya pingsan atau sedang sekarat,
yang jelas ulu hatinya masih tampak berdenyut-denyut pertanda napasnya masih
ada.
"Seranganmu terlalu kuat,
Ranggina. Akibatnya yang
satu mati dan yang satu lagi
setengah mati," ujar Suto Sinting sambil meninggalkan kedua orang itu.
"Itulah bodohnya mereka.
Mengincar nyawaku tapi tak melindungi nyawanya sendiri," ucap Ranggina
dengan nada ketus. Wajahnya yang cantik masih memancarkan kebencian terhadap
kedua lawannya itu.
"Apakah kau tahu siapa
mereka?"
"Dempak dan Sambra!"
"Iya, aku juga tahu kalau
cuma nama mereka," Suto bersungut-sungut. "Tapi tahukah kau dari
pihak mana mereka dan mengapa menguntit kita?"
"Mereka orangnya Ayodya!
Untuk apa lagi mereka menguntit kita kalau bukan menunggu kelengahanku. Pasti
mereka ditugaskan membunuhku!"
Suto Sinting manggut-manggut.
Ia semakin yakin bahwa gadis itu memang dalam ancaman bahaya. Rasa- rasanya tak
ada salahnya jika ia mulai bertindak menjadi pelindung Ranggina tanpa perlu
mengeluarkan pernyataan apa pun.
"Suto, kita lanjutkan
perjalanan kita ke kotaraja! Kurasa sayembara itu sudah dimulai. Aku ingin
melihat siapa orang kuat yang memenangkan sayembara di sana!"
"Tunggu! Aku melihat
seseorang berkelebat ke sana!" sambil Suto memandang ke arah bayangan yang
dilihatnya melesat dari arah lain ke arah ujung semak bambu tadi.
"Kurasa orang itu juga
tak mau ketinggalan tontonan gratis di alun-alun kesultanan!" ujar
Ranggina.
"Sepertinya aku mengenali
orang itu, Ranggina!" "Kalau begitu, mengapa kau hanya diam saja?! Siapa
tahu dia kenalanmu yang cukup
kuat dan bisa ikut membantuku menghadapi Ayodya?!"
Setelah bicara begitu,
Ranggina bergerak lebih dulu.
Seolah-olah ia ingin menyusul
bayangan yang berkelebat ke arah kotaraja itu. Pendekar Mabuk pun bergegas
mengikutinya tanpa menggunakan jurus Gerak Siluman', sehingga kecepatan
geraknya sejajar dengan kecepatan lari Ranggina.
*
* *
3
SEBUAH panggung dibangun di
tengah alun-alun. Panggung itu tak seberapa tinggi, tapi cukup luas. Lantainya
dilapisi karung-karung rami yang membuat lantai panggung menjadi tebal dan
empuk.
Panggung itu dikelilingi oleh
banyak orang. Mereka bukan ingin melihat karung-karung dibentangkan melainkan
untuk melihat suatu tontonan murah, meriah, dan bikin betah, kadang-kadang bisa
bikin muntah. Tontonan itu tak lain adalah pertarungan adu kekuatan tenaga
dalam.
Sultan Jantrawindu mengadakan
sayembara orang kuat dengan hadiah cukup tinggi. Sekantong uang emas akan
diberikan kepada si peserta yang dapat kalahkan lawannya dalam tiga kali berturut-turut.
Sekantong uang emas itu menjadi daya tarik bagi para peserta, walau kantongnya
berukuran kecil. Berisi sekitar empat sampai tujuh keping uang emas. Tapi nilai
itu sudah sangat tinggi untuk ukuran pada waktu itu. Oleh sebab itulah, banyak
dari luar kesultanan yang mendaftarkan diri sebagai peserta sayembara.
Salah satu orang dari luar
Kesultanan Tanahinggil adalah seorang pemuda berwajah tergolong tampan, ia
mengenakan baju tanpa lengan berwarna ungu dan celananya juga ungu. Rambutnya
panjang dikuncir ke belakang. Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun itu
bertubuh tinggi, tegap, mengenakan gelang kulit warna loreng hitam-putih.
Pemuda itu mempunyai tato kecil di punggung telapak tangannya bergambar seekor
burung elang biru mengepakkan sayapnya.
Pendekar Mabuk
nyengir geli sendiri
setelah tahu
siapa bayangan yang berkelebat
dan yang diikuti bersama Ranggina itu.
Ternyata dia adalah Adhiyaksa, murid Pendeta Darah Api.
Pemuda itu dikenal dengan nama Elang Samudera.
Wuut, teeb...! Suto Sinting
melemparkan sebongkah batu dari arah belakang pemuda berbaju ungu itu. Dengan cepat tangan pemuda itu menyambar
ke belakang bersama tubuh yang memutar cepat. Batu itu berhasil ditangkapnya,
wajah Elang Samudera tampak berang. Tapi begitu melihat Pendekar Mabuk tertawa
cengar-cengir dari jarak tujuh langkah di belakangnya, wajah ngototnya itu
segera mengendur. Napas terhempas lepas sambil geleng-geleng kepala.
Tapi tiba-tiba batu itu ganti
dilemparkannya dengan gerakan cepat. Wuuut...! Ranggina terkejut melihat batu
melayang cepat ke wajah Pendekar Mabuk. Ia segera menyodokkan tongkatnya.
Suuut...! Teeb...!
Sodokan tongkat itu melesat
karena kalah cepat
dengan lemparan batu itu. Tapi
tangan Suto Sinting berkelebat ke depan dan dalam sekejap batu itu sudah
dijepit dengan kedua jarinya; jari tengah dan jari telunjuk.
Ranggina terbengong melihat
batu itu sudah ada dalam jepitan jari tangan Suto. Pendekar Mabuk menyeringai
makin lebar. Tapi Ranggina tampak geram. Ia ingin melepaskan pukulan jarak jauhnya
ke arah Elang Samudera. Tetapi gerakan
tangannya ditahan oleh tangan Suto Sinting.
"Jangan...!"
"Dia melemparmu dengan
batu itu!" "Karena aku melemparnya lebih dulu!" "Tapi
"
"Dia sahabatku! Mari
kukenalkan dengan si konyol Elang Samudera itu!"
Elang Samudera sengaja
bertolak pinggang melihat dirinya dihampiri oleh Suto Sinting dan seorang gadis
cantik yang belum dikenalnya. Ketika mereka sudah berada dalam jarak dua
langkah di depannya, Elang Samudera segera perdengarkan suaranya yang bernada senang
karena berjumpa dengan sahabat karibnya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Dendam Selir Malam" dan "Kuil Perawan Ganas").
"Kalau saja kau tidak
bersama Nona cantik ini, sudah kuperbesar batu kirimanmu tadi, Suto!"
Pendekar Mabuk makin lebarkan senyum menanggapi kelakar
Elang Samudera. Ia segera memperkenalkan Elang Samudera kepada Ranggina, dan
sedikit menceritakan tentang nasib Ranggina.
"Oh, jadi Eyang Sampurna
sudah wafat?!" Elang
Samudera tampak kaget.
"Kau kenal dengan gurunya
Ranggina itu?!"
"Aku pernah jumpa beliau
satu kali ketika mengantarkan guruku dalam satu pertemuan di Selat Bantang.
Hanya satu kali, tapi aku cukup terkesan dengan sikap bijaknya beliau yang
penuh kesabaran itu," jawab Elang Samudera menyebutkan ciri-ciri sikap
mendiang Eyang Sampurna, sehingga Ranggina makin percaya bahwa Elang Samudera
memang mengenal mendiang gurunya.
"Bagaimana kabar kakakmu;
si Dewi Cintani itu?" tanya Suto yang mengenal kakak perempuan Elang
Samudera sebagai panglima dari Pulau Sangon.
"Baik-baik saja, Suto.
Ratu Remaslega juga dalam keadaan sehat-sehat saja. Juga si Bocah Emas dalam
keadaan sehat."
"Lalu, mengapa kau datang
kemari, Elang?"
"Mau mengikuti sayembara
itu," jawab Elang Samudera yang membuat Ranggina menatap tanpa berkedip.
Dahinya sedikit berkerut, seakan
menyangsikan kekuatan Elang Samudera.
"Kau ingin mengikuti adu
kekuatan itu? Ooh, aneh
sekali bagiku, Elang,"
ujar Suto sedikit bernada mengecam. "Apa yang kau cari dari kemenanganmu
nanti?"
"Hadiahnya!"
"Beberapa keping uang
emas, maksudmu?!"
"Bukan hanya itu,"
jawab Elang Samudera yang membuat Ranggina dan Pendekar Mabuk saling pandang
sebentar, tampak merasa aneh dengan jawaban Elang Samudera.
"Sebagian besar orang tak
tahu apa maksud Sultan Jantrawindu mengadakan sayembara ini," bisik Elang
Samudera, takut ucapannya didengar pihak lain.
"Apa sebenarnya maksud
Sultan Jantrawindu mengadakan sayembara ini?" desak Suto.
"Mencari orang tangguh
yang akan dipercaya untuk berkuasa di Tanah Sereal!"
Ranggina menyahut, "Tanah
Sereal memang dalam kekuasaan wilayah Kesultanan Tanahinggil, tapi bukankah
Tanah Sereal sudah dikuasakan kepada Panglima Tulang?!"
"Apakah kau belum dengar
bah wa Panglima Tulang sekarang bersekutu dengan salah seorang muridnya Nyai
Kembang Kempis yang berjuluk si Malaikat Gantung?!"
"Hahh...?!" Ranggina
terkejut, matanya yang bundar melebar indah namun berkesan tegang. Pendekar
Mabuk justru pertajam kerutan dahinya.
"Kau tak salah dengar
itu, Elang?"
Dengan senyum kalem Elang
Samudera menggeleng. "Sultan Jantrawindu adalah sahabat Ratu Remaslega.
Kabar itu datang dari utusan
Pulau Sangon yang kebetulan singgah kemari beberapa hari yang lalu."
"Jadi... maksudmu
Panglima Tulang telah meninggalkan Tanah Sereal dan "
"Dan diperkirakan akan
menguasai wilayah-wilayah
Kesultanan Tanahinggil yang
lainnya. Tentu saja wilayah Tanah Sereal akan dikuasai keseluruhannya, juga
daerah yang bernama Cadas Pitu, Lembah Tayub dan beberapa desa di kaki Bukit
Ratus itu."
"Daerah-daerah subur
semua?!" gumam Ranggina. "Rupanya kau cukup banyak tahu tentang
daerah
kekuasaan Kesultanan
Tanahinggil ini, Ranggina," ujar Elang Samudera berkesan memuji.
"Tapi aku yakin kau belum tahu siapa yang ada di belakang tindakan makar
si Malaikat Gantung dan Panglima Tulang itu!"
"Maksudmu... persekutuan
mereka ada yang
mendalangi?!" sela
Pendekar Mabuk.
"Benar. Dan tidak semua
orang tahu siapa dalang yang berdiri di belakang mereka?!"
"Nyai Kembang
Kempis?!" tebak Ranggina. Elang Samudera menggeleng dalam senyuman tipis.
"Lalu, siapa dalang dari
rencana persekutuan mereka itu, Elang?" desak Pendekar Mabuk.
"Siapa lagi kalau bukan
saudara kembarmu: Siluman Tujuh Nyawa."
"Setan!" maki Suto
Sinting dengan jengkel, tapi membuat Elang Samudera tertawa mirip orang menggumam
terputus-putus.
Wajah Suto sempat menjadi
semburat merah mendengar nama Siluman Tujuh Nyawa sebagai orang yang berada di
belakang persekutuan Ayodya dengan Panglima Tulang. Bara api permusuhan
bagaikan menyala berkobar-kobar dalam hati Pendekar Mabuk. Ia menggeram dan
menggenggam kedua tangannya kuat- kuat.
Tanah di depannya menyebar ke
kanan-kiri. Batuan
kecil sempat menggelinding
lari akibat hembusan napas Pendekar Mabuk. Dalam keadaan sedang memendam
kemarahan begitu, dengan sendirinya napas yang keluar dari hidung Suto adalah
suatu kekuatan maha dahsyat yang dinamakan Napas Tuak Setan. Hembusan napas
seperti itu sangat berbahaya, dapat mendatangkan badai yang mampu menggulung
habis sebuah desa.
"Tenang, tenang...!
Kendalikan dirimu, Suto," bisik Elang Samudera yang mengetahui bahayanya
napas Pendekar Mabuk jika sedang diliputi kemarahan. Tetapi Ranggina berkerut
dahi tampak terheran-heran melihat perubahan Suto Sinting.
"Sejak tadi ia tampak
kalem, kenapa sekarang menjadi gusar dan pandangan matanya kelihatan
liar?!" pikir Ranggina yang belum tahu-menahu pribadi Suto Sinting yang
sebenarnya.
Pendekar Mabuk pun segera
kuasai dirinya. Matanya sengaja dipakai memandang beberapa orang yang sudah tak
sabar menunggu sayembara dimulai. Perhatian Suto pun sengaja ditujukan kepada
seorang punggawa istana yang memimpin sayembara tersebut. Kini si ketua panitia
itu telah berada di atas panggung pertarungan, membacakan peraturan dan
tatatertib bagi para peserta.
"Saudara-saudara sebangsa
dan setanah air...," sang
panitia mengawali sambutannya.
Dari menara pengawas, tampak
Sultan Jantrawindu duduk di sebuah kursi khusus yang dijaga ketat oleh para
pengawal. Di kanan-kiri Sultan Jantrawindu berdiri beberapa keluarganya
termasuk seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang berwajah cantik, bermahkota kecil, namun jelas ia bukan
permaisuri sultan. Sebab menurut penjelasan Ranggina, sang Sultan sudah tidak
beristri lagi dan hanya hidup bersama tiga orang putri dan dua orang putra, serta
menantu-menantunya.
Setelah panitia bertubuh gemuk
itu memberi sambutan alakadarnya, termasuk menyebutkan tujuan sang Sultan
mengadakan sayembara dengan alasan memperluas persahabatan, maka sang panitia
pun membacakan tatatertib pertarungan tersebut.
"Pertama, para peserta pertarungan
persahabatan ini tidak boleh saling membunuh. Siapa yang terluka sedikit parah
akan disingkirkan dari arena pertarungan, supaya tidak menimbulkan korban nyawa
bagi siapa pun. Kanjeng sultan tidak berkenan memilih peserta yang sampai
membuat lawannya luka berat atau bahkan tewas. Kemenangannya dianggap batal!
Paham?!"
"Pahaaaaammm...!!"
seru mereka, bahkan yang bukan peserta pun ikut berseru sehingga suasana
menjadi cukup meriah.
"Kedua, pertarungan ini
tidak dibenarkan menggunakan senjata tajam maupun senjata tumpul. Ketiga,
peserta yang berdarah walau hanya sedikit akan diturunkan dari arena dan
pertarungan dihentikan. Keempat, peserta harus sudah siap di sekitar arena agar
mempermudah tampil jika gilirannya telah tiba. Kelima, peserta yang dipanggil
tiga kali berturut-turut tidak naik ke arena ini, dinyatakan... budek!"
"Huuuhhh...!!" seru
mereka sambil tertawa. "Selain budek juga dinyatakan mengundurkan
diri!" sambung panitia. "Keenam, peserta tidak diperkenankan main
keroyokan. Ketujuh, dilarang menggigit kuping. Sebab daun kuping itu sangat
tipis, kalau somplak susah nambalnya."
Para penonton dan peserta
lainnya saling tertawa. Kelakar itu sengaja dikeluarkan oleh sang ketua panitia
untuk menarik minat bagi mereka yang masih berada agak jauh dari alun-alun.
Buktinya tawa mereka memancing yang lain mendekat ke arah arena.
"Kedelapan, peserta harus
bisa menjaga diri baik- baik, karena barang rusak, hilang, risiko tanggung
peserta sendiri. Kesembilan, dilarang mengeluarkan anggota badan. Kesepuluh,
buanglah sampah pada tempatnya "
Elang Samudera menghilang dari
samping Ranggina.
Gadis itu mencari-cari,
sementara Suto Sinting sengaja diam tak berkata sepatah pun dengan mata
memandang ke arah orang yang berbicara di panggung. Ranggina mencoba berbisik
dengan hati-hati.
"Di mana sahabatmu tadi,
Suto?"
Barulah Suto memperdengarkan
suaranya yang datar. "Mungkin mendaftarkan diri."
Ranggina memandang ke arah
panitia lainnya, dan
ternyata Elang Samudera memang
sedang mendaftarkan diri. Pendekar Mabuk pun bergegas maju, mau menyusul Elang
Samudera. Ranggina menahan langkah Suto Sinting dengan mencekal lengannya.
"Mau ke mana?"
"Pipis," jawab Suto
seenaknya. Konyol sekali, bikin hati Ranggina menggeram. Tapi gadis itu yakin,
Suto tak mungkin benar-benar mau buang air kecil. Maka gadis itu pun
ikut-ikutan berkata konyol.
"Aku juga, ah!"
Langkah Suto di antara
orang-orang itu terhenti. "Jangan barengan!"
"Habis, siapa
duluan?!" tanya Ranggina makin berlagak konyol. Suto Sinting mendengus
kesal, lalu berjalan lagi menyelusup di antara kerumunan orang yang berada di
sekitar panggung arena. Pundaknya segera dicekal kembali oleh Ranggina.
"Sebaiknya segeralah
mendaftarkan diri supaya tidak terlambat!"
"Mendaftar ke mana?"
"Apakah kau tak ingin ikut
sayembara ini?!"
"Aku bukan orang kuat!
Sekali geprak akan rontok perabot dalam tubuhku!"
"Tapi... tapi bagaimana
dengan sahabatmu itu?! Elang Samudera yang tidak segagah dirimu, tidak sekekar
badanmu, itu saja berani ikut dalam sayembara ini. Mengapa kau tak
berani?!"
"Nyaliku kecil! Tak
seberapa nyalinya Elang Samudera."
"Lalu kau mau apa
mendekati meja pendaftaran?" "Mau bicara dengan Elang Samudera! Mau
pamit
pergi dari sini!"
"Kau sinting,
Suto?!"
"Aku Suto Sinting, bukan
Sinting Suto!" sambil pemuda itu terus mendesak kerumunan orang untuk
mendekati Elang Samudera. Ranggina mengikutinya dengan gerutu dan omelan yang
tak digubris lagi oleh Pendekar Mabuk.
Setelah berada di dekat Elang
Samudera, Pendekar Mabuk berkata kepada si petugas pendaftaran.
"Apakah aku bisa bertemu
dengan Kanjeng Sultan?!"
"Ada perlu apa?"
tanya prajurit yang mengamankansekitar tempat itu.
"Ada yang ingin
kubicarakan tentang "
Elang Samudera menyahut,
"Setelah acara ini selesai tentunya
kau bisa menghadap
Kanjeng Sultan! Se baiknya
sekarang mundurlah dulu dan tonton saja sayembara ini tanpa ikut campur!"
Pendekar Mabuk dan Elang
Samudera saling beradu pandang beberapa saat. Akhirnya Suto tanggap dengan
kata-kata Elang Samudera. Agaknya ia tak diizinkan bicara yang
menyinggung-nyinggung tentang si Panglima Tulang atau Malaikat Gantung.
Elang Samudera
pun berharap agar
Suto tidak ikut
tampil dalam arena nanti.
Bukan saja karena akan berhadapan dengannya, tapi Elang Samudera ingin unggul
dalam pertarungan itu, supaya dia dijadikan andalan untuk menangani masalah persekutuan maut itu.
Mau tak mau Suto memahami juga
hal itu, sehingga ia merasa lebih baik
berunding dengan Elang Samudera seusai acara tersebut. Tapi agaknya sikap Suto
yang tak mau ikut dalam sayembara itu mengecewakan hati Ranggina, sehingga
gadis itu diam saja dengan wajah cemberut.
"Tak peduli dia mau
kecewa atau tidak," ujar Suto dalam hatinya, "... kurasa memang ada
baiknya kalau aku tidak menampakkan diri dalam acara ini. Firasatku mengatakan
bahwa di sekitar sini pasti ada mata-mata dari pihak Malaikat Gantung atau
Panglima Tulang. Siapa yang akan unggul
dalam sayembara ini pasti akan sampai di telinga mereka. Paling tidak mereka dapat
menduga bahwa pemenang sayembara ini akan diandalkan oleh sang Sultan sebagai
penangkis serangan mereka. Hmmm Panglima Tulang dan sekutunya pasti
akan mempelajari kelemahan orang andalan
sultan!"
Pendekar Mabuk memperhitungkan
langkahnya masak-masak. Ia tak menyangka kalau akan menghadapi masalah segawat
itu. Persoalan persekutuan Panglima Tulang dengan Malaikat Gantung bukan
persoalan yang ringan baginya, karena di belakang mereka berdiri si tokoh
paling sesat yang menjadi musuh bebuyutannya: Siluman Tujuh Nyawa.
Dulu, Siluman Tujuh Nyawa
pernah ingin
mempersunting Dyah Sariningrum
secara paksa. Tapi Suto Sinting tampil dan mengacaukan segala rencana si tokoh
sesat yang paling ditakuti oleh para tokoh golongan hitam itu. Sebagai
sumpahnya, Pendekar Mabuk akan melamar
Dyah Sariningrum dengan maskawin kepalanya Siluman Tujuh Nyawa.
Tetapi tokoh yang sudah nyaris
hancur dan kehilangan banyak pengikut itu ternyata cukup licin. Setiap
pertarungan ia selalu menggunakan jurus
'Langkah Seribu', artinya melarikan diri jika keadaannya sudah terdesak. Ia
melarikan diri bukan saja dengan kedua kakinya, melainkan dengan ilmunya yang
tinggi, yang mampu menembus alam gaib dan sukar dilacak lagi.
Berkali-kali Suto Sinting
gagal menumbangkan Siluman Tujuh Nyawa. Orang terkutuk yang memang dikutuk oleh
leluhurnya untuk menjadi manusia sesat selama tiga ratus tahun itu memang
tampak kewalahan hadapi Pendekar Mabuk. Tapi Pendekar Mabuk pun sering dibuat
keteter dalam berhadapan dengan Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa.
Pengembaraan Suto selama ini adalah
dalam rangka mengejar si manusia kejam yang tempat persembunyiannya sukar
ditemukan. Jika sekarang diketahui ia berada di belakang Malaikat Gantung dan
Panglima Tulang, maka Suto sangat bernafsu untuk hadapi salah satu dari kedua
orang itu. Suto berharap dapat menangkap salah satu dari mereka secara hidup-
hidup, agar bisa dapatkan keterangan di mana letak persembunyian Siluman Tujuh
Nyawa.
Lamunan Pendekar Mabuk buyar
dan ia tersentak
kaget, sempat menggeragap
sebentar ketika pinggangnya disodok memaki siku oleh Ranggina. Gadis itu
bersungut-sungut melihat Suto Sinting menggeragap.
"Orang-orang bersorak kau
malah melamun! Lihatlah pertarungan itu! Kasihan temanmu terbanting berkali-
kali!"
Pendekar Mabuk baru sadar
bahwa ia sudah melamun cukup lama. Pertarungan di atas panggung arena itu sudah
berlangsung cukup lama. Peserta demi peserta telah dinyatakan tumbang. Kini
tinggal Elang Samudera melawan seorang lelaki bertubuh tinggi, kekar, dan
berkepala pelontos, walau bukan berarti gundul.
Orang itu mendaftarkan diri
dengan nama Wiro Geprak.
Tubuhnya tampak kenyal dan
sukar ditumbangkan. Elang Samudera berhasil menendangnya beberapa kali, tapi
Wiro Geprak tetap berdiri tegar bagai tiang pancang sebuah jembatan beton.
Dalam satu lompatan kecil, Elang Samudera berhasil menghantam pukulannya ke
arah perut Wiro Geprak. Tapi tangan Wiro Geprak justru mencekal genggaman Elang
Samudera. Teeb...! Genggaman itu dirematnya. Kreeerk...!
"Aaaaoow...!!" Elang
Samudera menggeliat sambil menyeringai kesakitan. Tulang-tulang jari tangannya
bagaikan remuk. Namun ia masih bisa menyilangkan tangan kiri ke atas kepala
ketika Wiro Geprak ingin menghantam kepalanya. Dees...! Tangkisan itu pun
terasa membuat tulang lengan Elang Samudera bagaikan patah. Tiga kali hantaman
tangan kanan Wiro Geprak berhasil ditangkis oleh Elang Samudera, namun untuk
hantaman keempat sepertinya Elang Samudera tak sanggup menangkisnya lagi, sebab
tulang lengannya sudah terasa remuk.
Namun ternyata hantaman Wiro
Geprak tidak seperti tiga hantaman yang tadi. Kali ini telapak tangan Wiro
Geprak menyodok ke depan. Kepala Elang Samudera disentakkan ke belakang untuk
hindari sodokan telapak tangan besar itu. Namun agaknya gerakan tersebut
terlambat, sehingga rahang Elang Samudera tersodok telapak tangan itu.
Deess...!
"Ooufw...!" wajah
Elang Samudera tersentak ke samping, air peluhnya memercik, rambutnya terhempas
lepas dari ikatannya.
"Gila! Besar sekali
tenaga orang itu?!" gumam Pendekar Mabuk dengan tegang.
Tangan kanan Elang Samudera
masih dalam cengkeraman Wiro Geprak, membuat Elang Samudera tak bisa terpental
jatuh. Padahal pandangan matanya telah menjadi buram akibat tulang rahangnya
terasa pecah.
Orang-orang berseru saling
melontarkan aneka
macam kata-kata.
"Hantam lagi! Hantam lagi
biar mulutnya mengsong!"
"Ayo, Elang... lawan
terus dia! Ayo... ayooooo, kamu
bisa...!"
"Genjot mukanya! Genjot
yang mantap, biar hidungnya somplak!"
"Awas, jangan gigit
kuping, nanti disidang!" seru
yang lain. Suto Sinting pun
gemas sendiri dan berseru dari tempatnya.
"Gunakan lututmu. Elang!
Lutut...! Lutut...!"
Rupanya Elang Samudera sempat
mendengar suara Suto samar-samar. Dalam keadaan pandangan mata semakin gelap,
Elang Samudera segera menyodokkan lututnya ke depan. Dess...! Prook...!
"Aaaaaoow...!!"
Wiro Geprak memekik
keras-keras. Tubuhnya langsung terbungkuk mundur. Genggaman tangannya pada
kepalan tangan Elang Samudera dilepaskan. Elang Samudera pun berhasil melangkah
mundur dengan sempoyongan, namun segera terhempas jatuh. Ia terengah-engah sebentar,
dan mendengar suara Wiro Geprak berteriak-teriak akibat 'anunya' tersodok lutut
dengan keras sekali. "Bangun! Cepat bangun...!" seru mereka kepada
Elang Samudera, karena mereka tahu keadaan Wiro Geprak sudah mulai lemah, makin
lama makin lemah.
"Ayo, bangun! Serang lagi
dia! Cepat, bangun... bangun!"
"Bangun tidur kuterus
mandi...!"
"Husy! Itu tembang
anak-anak!" gertak teman orang yang konyol itu.
Suto Sinting pun berseru,
"Pusatkan napas! Pusatkan
napas di dada!"
Ranggina ikut berseru dengan
kedua tangan di samping mulutnya.
"Di dada...! Dada...!
Pusatkan dada di napas, eeh...
pusatkan napas di dada!"
Seruan itu tak dihiraukan
Elang Samudera. Tak ada yang didengarnya sama sekali. Tapi jiwa dan semangat
pertarungannya tetap membara, sehingga dengan susah payah Elang Samudera pun
berusaha bangkit. Melalui pandangan mata yang memburam, tak segelap tadi. Ia
melihat Wiro Geprak terbungkuk-bungkuk mendekatinya dengan kedua kaki merapat.
Elang Samudera pun kerahkan tenaganya untuk lakukan satu lompatan berputar,
wuuut...! Kakinya berkelebat dalam satu tendangan seperti orang menampar. Wees,
plook...!
"Aaaaohk...!" Wiro
Geprak terpekik lagi, tubuhnya terlempar ke samping. Tendangan kaki itu seperti
sebatang pohon beringin menerjangnya dari kiri. Pelipis dan tulang
rahangnyaterasa mau pecah.
Brrrrukk...! Wiro Geprak
tumbang bagaikan nangka busuk jatuh dari pohon. Ia tak berkutik lagi. Pingsan.
Tak ada penantang atau peserta lain yang ingin mengadu kekuatan dengan Elang
Samudera, sehingga dengan demikian maka kemenangan mutlak berada di tangan
Elang Samudera.
Para penonton, termasuk
Pendekar Mabuk, bersorak kegirangan menyambut kemenangan Elang Samudera. Tetapi
Ranggina tidak ikut bersorak. Ia hanya diam dengan cemberut, sehingga
menimbulkan tanda tanya di batin Suto Sinting.
Akhirnya Suto pun bertanya,
"Mengapa kau tampak tak senang melihat kemenangan Elang Samudera?!"
"Aku sangsi apakah dia
bisa melindungiku atau tidak."
"Yang perlu kau sangsikan
adalah, apakah dia mau
melindungimu atau tidak!"
ujar Suto Sinting agak tersinggung karena kemampuan temannya disepelekan oleh
Ranggina.
"Sebaiknya aku pergi
saja."
"Hei, katamu kau mau
minta bantuan pada pemenang sayembara ini?!"
"Tak jadi!"
"Mengapa tak jadi?"
"Aku... aku tak berani
memberikan upah yang pernah
kukatakan padamu itu! Aku tak
mau jadi istrinya jika ia berhasil kalahkan Ayodya!"
"Jangan kegedean rasa
dulu! Elang pun belum tentu mau memperistri dirimu, Ranggina! Dia sudah punya
kekasih sendiri."
"O, ya...?! Benarkah dia
sudah punya kekasih?!" Ranggina tampak terperanjat dan sedikit tegang.
Suto Sinting hanya memandang dalam keheranan.
"Kenapa sekarang ia
justru tampak tegang?!"
*
* *
4
MENURUT penilaian Suto,
Ranggina adalah gadis munafik. Suka tapi berlagak tak suka, senang tapi berlagak
tak senang. Begitu seterusnya. Karena dilihat dari ketegangan wajah Ranggina,
sebenarnya gadis itu tertarik kepada Elang Samudera, tapi di mulut ia berlagak tidak tertarik, keberatan, sinis,
dan sebagainya.
"Mungkin juga ia suka
padaku, tapi berlagak ketus dan judes begitu. Hiii... takut, ah!" ujar
Suto dalam hati dengan konyol, kemudian tertawa sendiri.
Terlepas dari bagaimana isi
hati Ranggina sebenarnya, pertemuan itu bagi Pendekar Mabuk membawa hikmah
tersendiri. Tanpa melalui pertemuannya dengan Ranggina, mungkin Suto tak akan
tahu bahwa ada dua pihak yang telah bersekutu dan didalangi oleh Siluman Tujuh
Nyawa. Menurutnya ini suatu kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Mungkin
saja kali ini Pendekar Mabuk akan melakukan pertarungannya yang terakhir
melawan Siluman Tujuh Nyawa. Kemenangan yang diperoleh Elang Samudera semakin
memperlebar kesempatan bagi Pendekar Mabuk untuk ikut menangani kasus ancaman
Panglima Tulang dan Malaikat Gantung. Sehabis memberikan minum tuaknya kepada
Elang Samudera, mereka sempat berunding secara bisik-bisik
tentang rencana selanjutnya. "Aku dipanggil menghadap Sultan. Agaknya
sultan bukan saja ingin memberikan hadiah sekantong uang padaku, tapi juga ada
yang ingin dibicarakan," ujar
Elang Samudera. "Libatkan
aku!"
"Ya, aku akan bilang
kalau aku tidak sendirian, melainkan berdua bersama "
"Bertiga!" sahut
Ranggina dengan ketus.
"O, ya... bertiga,"
ralat Elang Samudera sambil nyengir malu.
Elang Samudera, Pendekar Mabuk
dan Ranggina diterima pihak Sultan Jantrawindu sebagai tamu kehormatan. Karena
hari sudah senja, mereka mendapat dua kamar untuk bermalam di dalam istana
kesultanan. Dua kamar itu yang satu untuk Suto dan Elang Samudera, yang satu lagi untuk
Ranggina. Kamar itu bersebelahan dan mempunyai pintu tembus dari kamar yang
satu ke kamar yang lain. Hal itu membuat mereka mudah berhubungan
sewaktu-waktu.
Se belum acara makan malam
bersama keluarga istana, Ranggina sempat menemui Elang Samudera di kala
Pendekar Mabuk sedang mandi. Gadis itu nekat mendekati Elang Samudera bukan
untuk suatu keperluan cinta, melainkan karena ingin menyampaikan ganjalan
hatinya selama ini.
"Elang, apakah sudah kau
pertimbangkan baik-baik untuk melibatkan Suto dalam rencana menghadapi Malaikat
Gantung itu?!"
Sambil mengikat rambutnya yang
panjang, Elang Samudera memandang Ranggina melalui pantulan cermin rias yang
ada di kamar itu. Ia tersenyum geli, namun bukan dalam bentuk tawa bersuara.
"Kelihatannya kau
menyangsikan kemampuan Suto, Ranggina."
"Sebab setahuku dia tidak
mempunyai nyali sebesar nyalimu. Terbukti ia tidak berani tampil dalam
pertarungan di arena itu."
Senyum Elang Samudera semakin
lebar. "Sudah berapa lama kau kenal dengannya?"
"Baru setengah hari lebih
sedikit," jawab Ranggina. "Pantas kau sangsi padanya," ujar
Elang Samudera
dengan kalem. Ia berpaling
menatap Ranggina yang ada di belakangnya dalam jarak tiga langkah.
"Tidakkah kau lihat
wajahnya memancarkan kemarahan ketika kusebutkan nama Siluman Tujuh
Nyawa?!"
"Ya, aku melihatnya. Dia
tampak gusar sekali tadi. Mungkin karena belum-belum ia sudah ketakutan
mendengar nama tokoh sesat yang sangat kejam itu."
Elang Samudera mendekat. Kini
jaraknya hanya satu langkah dari Ranggina.
"Dia bukan takut. Dia
gusar karena terbakar api dendam dan murkanya. Perlu kau ketahui, Siluman Tujuh
Nyawa adalah musuh utamanya dalam hidup ini!" "Musuh utamanya?!
Hmmm...!" Ranggina mencibir. "Mana mungkin dia berani melawan Siluman
Tujuh Nyawa jika untuk melindungiku dari ancaman Ayodya saja dia
tak punya kesanggupan?! Juga,
tak punya
keberanian tampil di arena
pertarungan seperti tadi." "Keberanianku belum ada sekuku hitamnya
keberanian Suto.
Ilmuku juga belum
ada sejengkalnya
ilmu yang dimiliki Suto."
"Ah, kau terlalu
berlebihan menilainya di depanku, Elang."
"Tidak, Ranggina. Aku
berkata yang sebenarnya.
Se bab itulah ia bernafsu
sekali untuk berhadapan dengan Siluman Tujuh Nyawa."
"Tentu saja Siluman Tujuh
Nyawa tak akan mundur
jika berhadapan dengannya,
bukan?! Menurut cerita guruku sebelum kami diserang Ayodya, Siluman Tujuh Nyawa
hanya mundur jika berhadapan dengan Pendekar Mabuk."
"Guru benar!" ujar
Elang Samudera sambil melebarkan senyum. "Dan perlu kau ketahui, Siluman Tujuh
Nyawa juga selalu melarikan diri jika bertarung melawan Suto."
Ranggina memandang dengan
mencibir tak percaya.
"Mengapa Siluman Tujuh
Nyawa melarikan diri jika bertarung melawan Suto? Apa alasannya?!"
"Karena Suto itulah
Pendekar Mabuk."
"Ah, kau...!"
Ranggina bersungut-sungut tak percaya. Ia ingin meninggalkan Elang Samudera,
tapi pundaknya segera dicekal pemuda itu. Badannya pun berbalik menghadap Elang
Samudera lagi.
"Nama aslinya Suto
Sinting, dia murid dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang yang bergelar Pendekar
Mabuk! Lihatlah ciri-cirinya, bumbung tuak yang selalu dibawa-bawa ke mana pun
ia pergi. Itulah ciri-ciri yang jelas untuk mengenali Pendekar Mabuk."
"Ah, ngibul,
ngibul...!" gerutu Ranggina, kemudian
gadis itu bergegas kembali ke
kamarnya. Elang Samudera berkerut dahi dengan sedikit terbengong melihat
Ranggina tidak mempercayai penjelasannya.
Elang Samudera tidak tahu
bahwa Ranggina di dalam kamarnya segera duduk termenung tak bergerak sedikit
pun. Benak dan batinnya berkecamuk sendiri sambil membayangkan wajah Suto dan
mengingat kembali kata-kata Elang Samudera itu.
"Edan! Kalau benar apa
kata Elang Samudera tadi,
berarti benar-benar edan!
Entah dia yang edan atau aku yang edan! Orang pongah-pongah begitu dikatakan
sebagai Pendekar Mabuk?! Ooooh... untung mendiang Guru tak mendengarnya. Jika
sampai mendengarnya mayat Guru pasti hidup kembali, khusus untuk membahas
tentang pemuda konyol itu!"
Jantung Ranggina
berdebar-debar. Ia berusaha menenangkan, tapi tak berhasil. Batinnya masih
terus berkecamuk memperdebatkan tentang jati diri Suto Sinting. Ranggina memang
sering mendengar cerita tentang kehebatan Pendekar Mabuk, tapi tak pernah
dengar nama asli Pendekar Mabuk.
"Jika benar ia Pendekar
Mabuk, tentunya dia dapat dengan mudah melindungi nyawaku dari ancaman maut si Ayodya itu. Mengapa ia tak menyatakan
kesanggupannya sebagai pelindung ku?! Ah, kurasa Elang Samudera membual terlalu
berlebihan. Toh orang yang membawa bumbung tuak bukan hanya Pendekar Mabuk
saja. Seorang penjual 'legen' pun kalau pergi ke mana-mana membawa bumbung
seperti itu."
Kebimbangan Ranggina
membuatnya menjadi jengkel sendiri. Kebimbangan itu menjadi semakin susut dan
menipis setelah mereka mengikuti perjamuan makan malam dengan keluarga istana.
Dalam perjamuan makan malam itu Elang Samudera yang sudah diketahui oleh mereka
sebagai pemenang sayembara, memperkenalkan kedua sahabatnya dengan diawali dari
Ranggina.
"Barangkali Kanjeng
Sultan perlu mengetahui, bahwa sahabat hamba yang wanita itu bernama Rengginang,
eeh.... Ranggina, berasal dari Perguruan Lintang Yudha, murid mendiang Eyang
Sampurna "
"Ooh...?!" Sultan
Jantrawindu yang sudah berusia sekitar enam puluh lima tahun itu terperanjat. Rupanya ia mengenal nama
Eyang Sampurna.
"Jadi... gadis itu adalah
murid sahabatku sendiri; Kakang Sampurna?!"
"Benar, Kanjeng,"
jawab Ranggina dengan sopan dan penuh hormat. Kemudian ia menceritakan nasib
perguruannya secara singkat. Sang Sultan tertegun duka mendengar kematian Eyang
Sampurna. "Aku turut berduka atas wafatnya gurumu, Ranggina."
"Terima kasih,
Kanjeng," jawab Ranggina pelan, karena hatinya ikut dicekam kesedihan
juga.
"Kemudian...,"
sambung Elang Samudera,"... satu
lagi sahabat hamba yang sejak
tadi diam saja ini bernama Suto Sinting.
Barangkali Kanjeng perlu mengetahui juga, bahwa Suto Sinting adalah murid si Gila Tuak dan ia bergelar Pendekar
Mabuk."
"Hahhh...?!" semua
orang yang berada mengelilingi meja makan besar itu terperanjat, wajah mereka
tampak tegang namun berseri-seri. Suto Sinting berdiri dan membungkuk satu
kali, kemudian duduk kembali. Ia bagaikan tak mempedulikan pandangan mata
Ranggina yang juga terperangah tak berkedip.
"Aku seperti sedang
bermimpi dapat jumpa denganmu. Pendekar Mabuk," ujar Sultan Jantrawindu.
Suto memberikan senyuman yang lembut dan menawan, enak dipandang, indah
dikhayalkan.
"Aku ingin bicara
denganmu nanti. Kumohon kau
tidak keberatan, Pendekar
Mabuk."
"Aku bersedia,
Kanjeng!" jawab Suto tegas.
"Dan sebelumnya hamba
mohon maaf, Kanjeng Sultan...," sambung Elang Samudera yang masih berdiri
di tempatnya."... hamba sedikit berbohong kepada pihak Kesultanan
Tanahinggil ini. Pada saat hamba mendaftarkan diri menjadi peserta sayembara,
hamba mengaku bernama Elang Samudera dari Teluk
Merah. Se benarnya... memang benar hamba dari Teluk Merah, sebab Guru
hamba tinggal di sana, Kanjeng. Tetapi kedatangan hamba kemari mewakili rakyat
Pulau Sangon. Hamba diutus oleh junjungan hamba, yaitu Gusti Ratu Remaslega
untuk tampil sebagai pemenang dalam sayembaratadi."
"Ooh... jadi kau... kau
adalah utusan Ratu Remaslega, sahabatku itu?!"
"Benar, Kanjeng Sultan.
Dan hamba telah dibekali banyak pengetahuan tentang keadaan di Kesultanan
Tanahinggil ini. Sejujurnya saja hamba telah mengetahui alasan yang sebenarnya
bagi Kanjeng dalam mengadakan sayembara tadi."
"Oooh.... Remaslega
benar-benar curang! Dia
mengirimkan utusannya tanpa
bilang-bilang padaku. Aku jadi malu sendiri sekarang. Dia mencuri rahasia
kegentingan negeriku. Ooh, Remaslega... harus dengan cara apa aku membalas
budimu selama ini?!" gumam sang Sultan merasa gembira sekali mendapat
perhatian dari sahabatnya yang berkuasa di Pulau Sangon itu. Kemudian sang
Sultan menghendaki pembicaraan diputus sampai di situ dulu, mereka diwajibkan
menikmati jamuan makan malam dengan tanpa malu- malu. Tak heran jika Pendekar
Mabuk segera menyambar sepotong ayam
panggang dan melahapnya sesuai perintah sultan, yaitu tanpa malu-malu.
Rupanya sejak tadi baik
Pendekar Mabuk maupun Elang Samudera mendapat sorotan sepasang mata yang memandangi
mereka tiada hentinya. Sepasang mata berbulu lentik dan sedikit besar namun
indah itu datang dari tempat duduk di depan mereka, berseberangan meja.
Sepasang mata yang menatap penuh ungkapan rasa kagum yang terpendam dalam hati
itu ternyata milik seorang perempuan berusia tiga puluh tahun, berwajah cantik
oval, bermahkota kecil di bawah rambutnya yang disanggul. Perempuan yang tadi
tampak berdiri di samping Sultan Jantrawindu saat sang Sultan menyaksikan
pertarungan dari menara pengawas, sejak tadi memang tidak banyak bicara. Tetapi
gerakan matanya, pandangan mata itu, merupakan ucapan kata yang hanya bisa
dipahami oleh batin Pendekar Mabuk. Oleh sebab itu, Pendekar Mabuk
berkesempatan membisikkan kata di telinga Elang Samudera tanpa menimbulkan kecurigaan
siapa pun.
"Siapa perempuan yang ada
di depan kita ini?"
"Ooh, dia putri sulungnya
Kanjeng Sultan. Kalau tak salah, dialah yang disebut-sebut oleh kakakku sebagai
janda cantik bermata indah. Kata kakakku, dia bernama Gusti Ayu Rara
Padwi."
"Kau sudah kenal?"
"Belum. Tapi kalau kau
berminat aku bisa memperkenalkan diri dulu, baru kuperkenalkan padamu. Tapi...
bagaimana dengan kutilang cantikmu yang satu ini?!" Elang Samudera melirik
Ranggina.
Pendekar Mabuk
tersenyum menahan geli.
Pertanyaan itu sengaja tak
dijawabnya, sebab ia sendiri memang tidak tahu harus bersikap bagaimana
terhadap Ranggina. Menurutnya, gadis munafik akan sulit diselami
jiwanya, sehingga jika
dituruti akan membuat kaum lelaki
menjadi serba bingung, salah tingkah, serba salah, akhirnya bisa bunuh diri.
Suto tak mau mengalami nasib seperti itu.
Rupanya perempuan cantik
bernama Rara Padwi itu selalu mendampingi ayahandanya ke mana pun sang ayah
pergi. Pendekar Mabuk punya dugaan, Rara Padwi bukan sekadar janda cantik yang
setia kepada ayahnya, tapi juga punya ilmu walau kecil-kecilan. Ilmu itulah
yang dipakai mengawal sekaligus melindungi keselamatan ayahnya yang sudah tua.
Dilihat dari pandangan matanya yang punya unsur ketajaman, perempuan itu pasti
punya keberanian dan ketegasan dalam bersikap, sehingga tak sembarang lelaki
bisa mendekatinya.
Dalam perundingan yang
dilakukan di ruang khusus bernama Sasana Pura, sang Sultan juga didampingi oleh
putri sulungnya yang sering melemparkan pandangan kepada Pendekar Mabuk dan
Elang Samudera. Namun kedua pemuda itu bersikap wajar dan berlagak tidak
mengetahui curian pandang itu. Hanya saja, hati Ranggina sempat memendam
keresahan karena ia sering memergoki Rara Padwi mencuri pandang ke arah Suto
dan Elang Samudera.
Di dalam Sasana Pura itu
mereka hanya berlima. Para pengawal lainnya berjaga-jaga di luar Sa sana Pura.
Pintu ruangan yang setebal dua jengkal itu ditutup rapat-rapat. Tak seorang pun
boleh masuk tanpa seizin Rara Padwi.
"Aku memang mencari orang
yang dapat kupercaya untuk menjadi penguasa di Tanah Sereal," ujar Sultan
Jantrawindu dalam sidang rahasia itu.
"Maaf, Kanjeng... jadi
sekarang siapa yang ditugaskan
mempertahankan Tanah Sereal itu?" tanya Elang Samudera.
"Secara resmi belum ada.
Tapi untuk sementara ini,
putraku Harya Sentanu
kutugaskan menjaga Tanah Sereal. Rencanaku, siapa yang unggul dalam sayembara
ini akan kujadikan pengganti Panglima Tulang, berkuasa di Tanah Sereal. Apakah
kau punya kesanggupan untuk mempertahankan Tanah Sereal dari jarahan tangan
siapa pun, Elang Samudera?"
"Hamba sanggup,
Kanjeng!" tegas Elang Samudera. "Bagus! Jika begitu, kau harus segera
pergi ke Tanah
Sereal, sebab putraku Harya
Sentanu masih lemah dan tak sebanding jika harus berhadapan dengan Panglima Tulang."
Sultan Jantrawindu pun bicara
tentang kabar dari mata-matanya yang menyebutkan adanya persekutuan antara
Panglima Tulang dengan Malaikat Gantung alias Ayodya. Menurutnya, persekutuan
itu akan menjadi persekutuan berdarah dan dapat merenggut banyak korban nyawa
dari pihak mana pun.
"Lumpuhkan persekutuan
itu sebelum berkembang menjadi neraka berjalan!" tegas sang Sultan.
"Jika kalian dapat melumpuhkan persekutuan itu, maka kalian akan kuberi
hadiah berupa wilayah di Lembah Tayub. Terserah akan kalian apakan tanah di
Lembah Tayub itu. Tapi kalian tetap menjadi bagian dari kesultanan ini.
Keselamatan kalian di Lembah Tayub merupakan tanggung jawab Kesultanan
Tanahinggil."
Secara tak resmi, ketiga tamu
kehormatan sang Sultan itu sudah menjadi orang andalan bagi pihak Kesultanan
Tanahinggil. Tapi tanpa berpikir tentang hadiah atau upah yang ditawarkan
Sultan Jantrawindu, ketiga tamu istimewa itu sudah mulai mempersiapkan diri,
mental dan semangat untuk menghancurkan persekutuan maut itu.
"Aku tidak ingin gadis
konyol itu ikut terlibat terlalu
dalam," ujar Suto kepada
Elang Samudera ketika mereka berdua ada di dalam kamarnya, sementara itu
Ranggina ada di kamar sebelah.
"Gadis itu akan
merepotkan ruang gerak kita jika ikut tampil menghadapi persekutuan itu,
Elang."
"Yah, itu terserah kau
saja. Bukankah kau yang membawanya kemari?"
"Aku yang dibawanya
kemari. Bukan dia yang kubawa!" ralat Suto Sinting. "Aku akan bicara dengannya dulu!"
"Bicaralah baik-baik,
jangan sampai dia meledak!" Elang Samudera tertawa tanpa suara, kemudian
berbisik di telinga Suto.
"Gadis itu mudah meledak,
baik amarahnya maupun gairahnya!"
"Dia tak suka bicara
kotor!"
"Bicara memang tidak
suka, tapi mungkin saja berbuat kotor ia suka."
Elang Samudera tertawa sedikit
keras, Pendekar Mabuk meninggalkannya dengan senyum tertahan. Ia mengetuk pintu
tembus ke kamar sebelah. Ranggina membukakannya dan Pendekar Mabuk segera
berkata kepada gadis itu.
"Aku ingin bicara empat
mata denganmu! Kau bersedia?!"
Ranggina tidak menjawab, tapi
ia segera menyingkirkan dari depan pintu pertanda memberi jalan agar Suto masuk
ke kamarnya. Suto pun menutup pintu tembus itu lagi, karena ia tak ingin
diganggu oleh kekonyolan Elang Samudera pada saat lakukan pembicaraan serius
dengan Ranggina nanti.
Se benarnya Elang Samudera
memang punya niat usil. Tapi niat itu tak jadi dilaksanakan, batal akibat malam
itu seorang pengawal istana datang ke kamarnya.
"Gusti Ayu Rara Padwi
memintamu datang menghadapnya sekarang juga, Elang Samudera."
"Ada persoalan apa?!
Sekarang sudah hampir larut malam."
"Aku hanya diperintahkan
untuk membawamu menghadap Gusti Ayu!"
Dengan hati ingin tahu dan
sedikit tegang, Elang Samudera pun bergegas menghadap Rara Padwi. Pedang
peraknya ditenteng sebagai sikap siaga dalam menghadapi bahaya kapan saja.
Elang Samudera tak sempat pamit kepada Pendekar Mabuk, karena pikirnya
keperluan tersebut hanya sebentar.
Rupanya putri sulung sang
Sultan sudah menunggu di taman keputrian. Taman bercahaya nyala api obor di
setiap sudut itu membuat Elang Samudera sedikit curiga dan kewaspadaannya
dipertajam. Sang pengawal yang menjemputnya segera pergi setelah Rara Padwi
memberi isyarat dengan tangannya agar orang tersebut keluar dari taman.
"Ada masalah apa, Gusti
Ayu?!" tanya Elang
Samudera dengan sikap tenang,
tapi kelihatan gagah dan penuh keberanian.
"Ada sesuatu yang ingin
kubicarakan padamu tentang Panglima Tulang."
"Haruskah semalam ini
kita bicarakan?"
"Malam bukan penghalang.
Apa yang ingin kusampaikan padamu itu sangat penting, dan Ayah tidak
mengetahuinya. Jadi, kuharap kau pun tidak bicara pada Ayah atau kepada
temanmu; si Pendekar Mabuk dan kekasihnya itu tentang pertemuan kita ini!"
Rara Padwi menyangka Ranggina
adalah kekasih
Pendekar Mabuk, karena ke
mana-mana Ranggina tampak berdekatan terus dengan Pendekar Mabuk. Elang
Samudera ingin jelaskan bahwa hubungan mereka bukan sebagai kekasih. Tapi
agaknya Rara Padwi punya persoalan lebih penting dari penjelasan tersebut,
sehingga Elang Samudera membatalkan niatnya. Kini ia justru mengikuti langkah
Rara Padwi yang memerintahkan agar langkahnya diikuti.
Perempuan cantik berjubah
kuning sutera dengan dalaman warna biru menyala itu menuju ke sudut taman. Di
sana ada serumpun bambu hias yang daunnya kecil- kecil dengan batang bambunya
yang berwarna kuning. Serumpun bambu hias itu tumbuh berjajar seperti pagar,
tertata rapi dan punya keindahan tersendiri.
Namun ternyata di balik
deretan bambu hias yang rimbun itu ternyata ada sebuah pintu dalam posisi ke
tanah. Pintu kayu jati itu segera dibuka, ternyata di balik pintu itu ada
tangga menuju ke bawah. Elang Samudera masih belum banyak tanya mengenai
keadaan di sekitarnya. Namun ia cepat mengambil kesimpulan bahwa Rara Padwi
membawanya ke ruang bawah tanah yang terdiri dari lorong-lorong dan kamar-kamar
bertirai kain tebal.
"Ini ruang bawah tanah,
jalan rahasia untuk melarikan
diri jika kami terancam bahaya
sewaktu-waktu," ujar Rara Padwi sambil memperlambat langkah supaya sejajar
dengan langkah Elang Samudera.
Cahaya terang dari obor-obor
yang ada di sana-sini membuat mata Elang Samudera dapat melihat jelas keadaan
di ruang bawah tanah. Rupanya ruang bawah tanah itu bukan saja jalan rahasia
yang dapat tembus di suatu tempat, namun juga merupakan tempat perlindungan dan
persembunyian yang cukup aman. Karena di dalam ruang bawah tanah itu terdapat
pula beberapa kamar yang lengkap dengan perabotnya, sehingga memungkinkan
sekali seseorang tinggal di ruangan tersebut sampai beberapa hari.
Ruangan itu dijaga oleh dua
prajurit bertubuh tinggi, besar, mengenakan baju rompi merah dan celana merah,
berkulit hitam keling mirip algojo dengan senjata pedang dan tombak bermata
kapak lebar. Kedua pengawal itu hanya memberi hormat ketika Rara Padwi menuruni
tangga, setelah itu mereka tetap berada di sekitar tangga masuk. Mereka tak
ikut menyusuri lorong bersama Rara Padwi dan Elang Samudera.
Rara Padwi membawa masuk Elang
Samudera ke sebuah kamar yang berpenerangan api obor samar- samar. Kamar
tersebut menyerupai kamar tidur yang dilengkapi dengan ranjang kayu, meja
minuman, almari pakaian dan sebagainya. Tempat buah dari logam kuningan itu
terisi buah-buahan segar. Sepertinya sudah disiapkan sebelumnya. Kamar itu
menyebarkan aroma wangi mawar yang begitu lembut dan menenteramkan jiwa.
"Mengapa Gusti Ayu
membawaku kemari?"
"Pembicaraan ini sangat
rahasia!" jawab Rara Padwi sambil melepaskan mahkota kecil di sanggulnya. Bahkan gulungan sanggul pun
dilepaskan. Kini rambut janda cantik berbibir menggemaskan itu terurai lepas sepanjang
pinggang kurang. Elang Samudera duduk di sebuah bangku dari batu berlapis
bantalan empuk warna merah. Ia memandang dengan heran saat Rara Padwi
melepaskan seluruh perhiasannya, termasuk giwang mutiara dan gelang berhias
batuan merah delima itu.
"Panglima Tulang bukan orang
yang mudah ditumbangkan," ujar Rara Padwi saat melepasi perhiasannya.
"Dia mempunyai ilmu andalan yang berbahaya bagi lawan-lawannya. Ilmu itu
bernama jurus 'Lidah Geni'. Mulutnya bisa menyemburkan api seperti lidah naga,
panjang dan sangat berbahaya. Terkena hawa panasnya saja kulit kita bisa
melepuh, apalagi sampai terkena kobaran apinya, kulit kita bisa hangus
seketika."
Elang Samudera sengaja tak
berkomentar. Ia memperhatikan janda cantik bermata indah itu sambil merekam
seluruh keterangan dalam otaknya.
"Jurus Lidah Geni' itu
sangat buas dan ganas. Jika
tanganmu terkena semburan api
dari mulutnya, maka dalam sekejap tanganmu akan kehilangan kulit dan daging,
yang tersisa hanya tulang hangus dan mengerikan."
"Benarkah Kanjeng Sultan
belum mengetahui ilmu andalan itu?!"
"Untuk ilmu itu, Ayah
memang mengetahuinya. Tapi ada satu hal yang tidak diketahui oleh Ayah."
Rara Padwi mendekat. Ia
berdiri dengan pinggang bersandar tepian meja marmer. Persis di depan Elang
Samudera. Hidung Elang Samudera dapat mencium aroma wangi mawar pada tubuh
janda cantik berkulit putih mulus itu. Hati pemuda berusia dua puluh tahun itu
berdebar-debar karena berada dalam jarak kurang dari satu jangkauan dari Rara
Padwi. Aroma wangi mawar yang tercium terasa menggelitik kenakalan jiwanya.
"Ayah tidak mengetahui
hubungan isi hati Panglima Tulang terhadap diriku," sambut Rara Padwi.
"Panglima Tulang sangat mencintaiku. Semangat pengabdiannya dari dulu
berkobar-kobar karena ingin tunjukkan rasa cintanya yang besar pada
diriku."
"Jadi... jadi maksud
Gusti Ayu dia "
"Panggil aku: Padwi!
Jangan pakai sebutan Gusti Ayu, kecuali jika kita berada di depan umum,"
potong Rara Padwi. Pandangan matanya begitu tajam dan mengandung getaran yang
mengusik hati Elang Samudera, sehingga pemuda itu menjadi tersipu-sipu untuk
sesaat. Rara Padwi melanjutkan
kata-katanya tanpa pedulikan sikap kikuknya Elang Samudera.
"Cintanya yang begitu
besar membuatnya patuh terhadap segala perintah Ayah, juga segala permintaanku
diturutinya. Tetapi belakangan ini aku mengecewakan hatinya. Dia tahu kalau aku
tak mencintainya dengan sungguh-sungguh. Ia menjadi sangat kecewa dan marah.
Lalu kutegaskan sekalian bahwa aku memang tidak mencintainya. Aku hanya suka
bersahabat dengannya, atau bersaudara dengannya. Kekecewaannya itulah yang
membuatnya pergi meninggalkan Tanah Sereal dan bersekutu dengan Malaikat
Gantung."
Elang Samudera manggut-manggut
dengan gumam kecil. Pedangnya diletakkan di atas meja marmer. Saat itu paha
kiri Rara Padwi diletakkan di meja itu juga, sehingga perempuan itu nyata-nyata
duduk di tepian meja dengan kaki kiri ditekuk di atas meja. Belahan jubahnya
tersingkap, dan kemulusan pahanya terpampang jelas menggoda hati Elang
Samudera. Dada pemuda itu bergemuruh karena gejolak hasratnya yang
melonjak-lonjak begitu disuguhi paha mulus tanpa cacat itu.
Dengan tarikan napas panjang
yang pelan-pelan, Elang Samudera berusaha mengendalikan gejolak hasratnya. Ia
pun mengurangi kenakalan matanya untuk tidak melirik ke arah paha, melainkan
sedikit mendongakkan wajah memandang kecantikan Rara Padwi.
"Sebenarnya kalau
sekarang aku mau menerima cinta Panglima Tulang, maka ia akan kembali memihak
kesultananku dan meninggalkan persekutuan itu."
"Mengapa tidak kau
lakukan?"
Rara Padwi menggeleng, "Hatiku
tak bisa menerima cinta lelaki macam dia. Pernah kucoba untuk menerimanya, tapi
batinku selalu menolak dan aku merasa tersiksa."
"Mengapa demikian?"
tanya Elang Samudera sedikit
parau.
"Dia tidak memiliki apa
yang dibutuhkan batinku sebagai seorang wanita. Dia hanya jantan di
pertarungan, perkasa di medan laga, tapi berbeda jauh jika berada di dalam
kamar seperti ini."
Elang Samudera berkerut dahi.
"Aku tak mengerti maksud kata-katamu, Rara Padwi."
Perempuan itu tersenyum.
Elang Samudera merasakan senyuman itu
bukan sekadar senyuman biasa. Senyuman itu mengandung tantangan dan harapan.
Pandangan matanya juga bukan sekadar sorot mata seorang sahabat, melainkan
mengundang ajakan untuk bercumbu dalam kemesraan. Naluri Elang Samudera tak
bisa dibohongi. Dia mulai mengerti apa sebabnya Rara Padwi membawanya ke ruang
rahasia tersebut.
"Kau sudah punya kekasih,
Elang?" tanya Rara Padwi dengan suara lirih dan sedikit parau. Tangannya
membelai-belai rambutnya sendiri yang dikedepankan. "Mengapa kau tanyakan
hal itu?"
"Hanya sekadar ingin
tahu," jawab Rara Padwi, tapi pahanya itu semakin melebar, sehingga
belahan jubah kuningnya kian terbuka. Sesuatu yang ada di balik jubah itu
tampak jelas di mata Elang Samudera. Bahkan yang paling dalam pun terlihat
jelas dari tempat duduk Elang Samudera. Pemandangan itu membuat pemuda bertubuh
tegap itu menjadi bergetar dan deg-degan. Keringat dinginnya mulai tersembul di
bagian kening dan leher.
"Jika kau sudah punya
kekasih, aku tak ingin mengganggu kemesraan kalian. Tapi jika kau belum punya
kekasih "
Rara Padwi sengaja berhenti
bicara, bikin hati Elang Samudera penasaran. Maka pemuda itu pun mendesaknya
dengan sebuah pertanyaan.
"Jika belum,
kenapa?!"
"Mungkin kau tahu aku
seorang janda yang sudah sekian lama tak disentuh oleh seorang lelaki. Aku haus
kemesraan. Perasaan ini tak bisa kututupi lagi sejak aku melihatmu bertarung di
arena. Aku berusaha menahan mulutku agar tak bicara, tapi gairahku mendesak
batinku agar mengatakannya padamu."
Rara Padwi membungkuk, meraba
pipi Elang Samudera dengan sentuhan lembut. Elang Samudera diam, memandang tak
berkedip dengan jantung berdetak-detak.
"Jika kau tak bisa
memenuhi tuntutan batinku, jangan
katakan pada siapa pun tentang
hal ini. Tapi jika kau merasa mampu memenuhi
keinginan batinku, mampu mengobati siksaan batinku, lakukanlah
sesuatu pada diriku. Sentuhlah aku, Elang...," suara Rara Padwi semakin
berbisik lirih.
Cukup lama mereka saling
pandang. Cukup lama jemari tangan Rara Padwi mengusap lembut di sekitar wajah
Elang Samudera.
Rupanya gairah pemuda itu pun
menjadi terbakar total. Ia tak mampu mengendalikan hasrat pribadinya. Maka
tangannya pun mulai meraba paha mulus di depannya. Rabaan pelan itu menjalar
sampai di kedalaman jubah. Rara Padwi memajukan duduknya. Kini ia nyata-nyata
duduk di depan Elang Samudera. Kedua kakinya berada di kanan kiri tempat duduk
pemuda itu.
Rara Padwi mendekatkan
wajahnya dengan kedua tangan mengusap pipi Elang Samudera. Pelan-pelan bibirnya
disentuhkan di kening anak muda yang tampak masih ingusan dalam hal bercinta
itu. Cuup...! Ciuman itu pun merayap turun ke mata Elang Samudera yang
terpejam, menikmati kecupan hangatnya.
"Elang...," bisik
Rara Padwi, "Sentuhlah lebih dalam lagi "
Jari-jari tangan Elang
Samudera semakin merayap ke dalam. Rara Padwi memberi kesempatan lebih leluasa,
sehingga jari tangan itu kini berhasil menyentuh pusat kehangatan yang
menghadirkan rasa nikmat jika dijamah pelan-pelan.
"Oooh...," keluh
janda cantik itu. "Ooh, indah sekali sentuhan lembutmu, Elang. Uuuh...
mmmhh!" Rara Padwi tak bisa bicara lagi karena bibir Elang Samudera
mengecup bibirnya. Bahkan pemuda yang tampak masih ingusan dalam bercinta itu
ternyata pandai melumat bibir lawan jenisnya, pandai pula menari-narikan lidahnya
hingga menimbulkan debar-debar keindahan dalam hati Rara Padwi.
"Oooh, benar-benar indah,
Elang... oooh, mau apa kau, hmm?! Mau apa kau, oouh... yaah... yaaaah,
lakukanlah, Elang "
Rara Padwi mengerang setelah
tahu mulut Elang Samudera merayapi pahanya. Paha mulus itu dipagut lembut oleh
Elang Samudera.
"Oooouhkk...!" Rara
Padwi mengerang keras, seperti merengek. Rambut dan kepala Elang Samudera
diremasnya, ditekan agar mencapai tempat lebih dalam lagi.
"Sssshhh... aaah!
Ternyata kau... kau nakal, Elang. Oouh, kau nakal... uuuhkkk ssssh,
aaaah!" Rara Padwi
kegirangan sekali mendapatkan
kemesraan seperti itu. Ia belum pernah mendapatkannya dari mantan suaminya atau
dari lelaki mana pun. Bahkan dari Panglima Tulang pun tak pernah ia temukan
sapuan lidah seindah itu.
"Oooouuuh !!!"
Rara Padwi memekik keras
dengan tubuh mengejang, karena jiwanya bagaikan terbang lebih tinggi lagi
ketika ia merasakan 'mahkotanya' dipagut lembut oleh bibir Elang Samudera.
Kedua mata terpejam kuat-kuat, tubuh pun menggeliat nikmat, karena pagutan
bibir Elang Samudera semakin nakal. "Oooooh, luar biasa indahnya, Elang.
Lakukan lagi... lagi... ooouh, yaaaah "
Apa yang ada di atas meja
menjadi berantakan. Elang Samudera menjadikan meja itu sebagai arena
pertarungan yang amat disukai si janda cantik itu.
*
* *
5
BERSAT UNYA Panglima Tulang
dengan Malaikat Gantung dianggap suatu persekutuan iblis oleh pihak kesultanan.
Dalam hal ini, Ranggina tetap ngotot ingin ikut dalam upaya menghancurkan
persekutuan iblis itu. Pendekar Mabuk tak mampu lagi membujuk gadis itu,
akhirnya hanya bisa angkat tangan dengan satu perjanjian.
"Aku tak menjamin
keselamatanmu!"
"Aku yang akan menjamin
keselamatanmu!" balas gadis cantik itu dengan angkuhnya, padahal dalam
hatinya ia ingin menjerit jengkel
karena Pendekar Mabuk tak mau
melindunginya.
Suto Sinting sempat berang
menunggu Elang Samudera sampai hampir fajar, tapi pemuda itu belum juga kembali
ke kamarnya. Pendekar Mabuk sampai tertidur di atas bangku panjang. Ketika ia
bangun, Elang Samudera sudah ada di kamar. Pemuda itulah yang membangunkan Suto
Sinting dengan wajah sedikit tegang. "Brengsek kau!" sentak Suto
bersungut-sungut. "Kemana saja kau semalaman?!"
"Sekarang belum sempat
kujelaskan. Tapi sebaiknya segeralah berkemas. Sultan memanggil kita
bertiga."
"Sepagi ini?!"
"Ada seorang mata-mata
datang membawa kabar buruk. Kita harus segera menghadap sultan! Bangunkan
Ranggina!"
"Bangunkan sendiri!"
jawab Suto dengan suara parau. Ia segera mengambil bumbung tuaknya dan
menenggak tuak beberapa teguk. Badan pun menjadi segar, kantuk pun hilang.
Kabar yang dibawa mata-mata
kesultanan itu cukup
mengejutkan ketiga tamu
istimewa itu.
"Hari ini, Lembah Tayub
sudah dikuasai oleh Panglima Tulang!" ujar sang Sultan menyampaikan kabar
dari mata-matanya. "Beberapa orangku tewas dibunuh, Gerdanala yang
kuserahi tugas menjaga Lembah Tayub juga tewas di tangan Panglima Tulang."
"Apakah Malaikat Gantung
tampak ikut campur
tangan dalam perebutan wilayah
itu, Kanjeng?" tanya Ranggina.
"Benar. Bahkan mata-matamu
sempat melihat Siluman Tujuh Nyawa muncul di sana."
"Kalau begitu sekarang
juga kami akan berangkat ke
Lembah Tayub!" tegas Suto
penuh semangat. Ia bagaikan tak sabar lagi; ingin segera berhadapan dengan
Siluman Tujuh Nyawa.
"Akan kusuruh orang-orangku
mempersiapkan kuda untuk kalian. Dan pilih sendiri beberapa prajurit untuk
membantu kalian merebut kembali Lembah Tayub!"
"Kami cukup bertiga,
Kanjeng," ujar Elang Samudera.
"Dan kami tak butuh
kuda!" sahut Pendekar Mabuk.
"Aku hanya butuh tuak.
Bumbung tuakku ini harus diisi penuh sebagai bekal di perjalanan nanti, Kanjeng
Sultan!"
"Padwi, suruh pelayan
membawa tuak kemari dan mengisi penuh bumbung itu!" perintah sang Sultan.
Se belum matahari meninggi,
mereka sudah berangkat
tinggalkan Kesultanan
Tanahinggil. Dua prajurit istana ikut dalam perjalanan itu sebagai pemandu
arah. Mereka masih muda, sebaya dengan usia Elang Samudera. Mereka adalah
Parerang, si jago panah, dan yang satu lagi bernama Wisena, si jago pisau
terbang.
"Berapa lama perjalanan
menuju ke Lembah Tayub?" tanya Elang Samudera kepada Wisena.
"Setengah hari jika
ditempuh dengan jalan kaki biasa," jawab Wisena. "Tapi kami biasa
menempuhnya dalam waktu kurang dari setengah hari dengan menggunakan
kuda."
Suto Sinting menyahut,
"Derap kaki kuda hanya akan memancing pendengaran mereka, sehingga mereka
dapat bersiap-siap menghadapi kedatangan kita! Itulah sebabnya kupilih untuk
tidak menunggang kuda."
"Aku mengerti
maksudmu," ujar Wisena. Tapi
sebelum ia melanjutkan kata-katanya,
tangkah kakinya tiba-tiba berhenti. Dari sorot matanya ia tampak tegang.
"Ada apa?" tanya Elang Samudera.
"Aku mendengar suara
langkah kaki di belakang kita."
"Biarkan saja,"
sahut Suto. "Itu hanya langkah kaki anak kecil. Mungkin sedang mencari
kayu."
Rupanya Pendekar Mabuk sejak
tadi sudah mengetahui ada langkah kaki yang mengikuti mereka. Ia juga tahu
bahwa langkah kaki itu milik seorang bocah berusia sekitar delapan tahun. Dari
tekanan suara kakinya saat menginjak rumput kering, Suto dapat memperkirakan
usia bocah itu.
Saat mereka memandang ke arah
belakang, ternyata memang ada seorang bocah yang mengenakan baju rompi merah
dengan kalung kain hitam. Bocah itu pun tampak tidak mempedulikan mereka. Ia
sibuk mencari burung dengan ketapel siap di tangannya. Rombongan Pendekar Mabuk
segera meneruskan langkah mereka.
"Gunakan langkah cepat,
agar lekas sampai di tujuan!" ujar Suto Sinting yang secara tak langsung
dianggap oleh mereka sebagai pimpinan rombongan.
Maka mereka pun menggunakan
jurus peringan tubuh agar dapat berlari cepat. Wisena dan Parerang ternyata
mempunyai kecepatan gerak yang lumayan, sama cepatnya dengan Ranggina.
Mereka bertiga berada paling depan, sementara Pendekar Mabuk
dan Elang Samudera mengikuti dari belakang, menyesuaikan kecepatan tiga orang
itu.
Namun tiba-tiba terdengar
suara gemuruh seperti pasukan guntur lewat. Gluuuurrr...! Tanah terasa
bergetar. Ranggina dan yang lain menyangka ada gempa. Mereka sempat
clingak-clinguk kebingungan. Suara gemuruh itu berkepanjangan bagai tiada
henti.
"Elang, lompat ke sisi
kanan!" seru Pendekar Mabuk sambil menunjuk ke gundukan tanah membukit.
Seruan itu mengisyaratkan
adanya bahaya. Elang Samudera segera lakukan lompatan zig-zag ke atas gundukan
tanah itu. Tab, tab, tab...! Wees...! Parerang dan Wisena bergegas mengikuti
gerakan Elang Samudera. Tapi Ranggina masih kebingungan karena tak paham
mengapa Suto berseru dengan tegang.
"Bodoh!" sentak
Pendekar Mabuk, kemudian ia segera berkelebat menggunakan jurus 'Gerak
Siluman'. Zlaap...! Tubuh Ranggina disambarnya. Wees...! Dalam sekejap saja
mereka sudah berada di atas gugusan tanah yang membukit.
"Oooh...?!" Ranggina
terkejut, matanya terbelalak. Bukan saja karena tubuhnya telah disambar Suto,
tapi juga karena melihat tanah tempatnya berdiri tadi telah retak lebar seakan
bumi ingin terbelah. Seandainya Suto terlambat menyambar Ranggina, maka gadis
itu akan mati terkubur dalam celah keretakan tanah yang amat dalam. Asap tipis
mengepul dari keretakan tanah tersebut.
Krraak, kraaak, duuuurrr...!
Kini keretakan tanah bercabang
menjadi lima tempat. Keretakan tanah itu bergerak cepat bagaikan lima ekor naga
ke lima penjuru.
"Elang, lari ke bukit
itu! Lekas...!!" Wuut, wuut, wees...!
Tanpa banyak kompromi lagi,
mereka berkelebat mendaki bukit. Memang tak terlalu tinggi, tapi cukup lumayan
sebagai tempat berlindung sementara. Ketika mereka tiba di puncak bukit tandus,
getaran bumi semakin kuat. Pepohonan tumbang tanpa angin badai. Banyak tanaman
dan batu yang tenggelam ke dasar bumi. Dari puncak bukit itu mereka dapat melihat kiamat kecil yang melanda kawasan
bawah bukit. Mengerikan sekali. Seakan bumi menjadi murka dan ingin menelan
hidup-hidup siapa saja yang ada di atasnya.
Beberapa saat kemudian,
getaran bumi menjadi reda. Keadaan normal kembali. Di mana-mana tampak tanah
menganga, membentuk celah-celah yang mengerikan dengan semburan asap
samar-samar dari kedalamannya. Angin pun bertiup dengan kecepatan sedang.
"Bencana alam apa ini?!
Mengapa terjadi di sekitar
sini saja?!"
"Kurasa ini bukan bencana
alam," ujar Pendekar Mabuk menimpali suara gumam Parerang tadi.
"Firasatku mengatakan, gempa ini kiriman
dari seseorang yang ingin membuat kita celaka bersama!"
"Firasatku juga berkata
demikian," sahut Elang Samudera.
"Kurasa...,"
Ranggina ingin ikut bicara tapi tak jadi, karena tiba-tiba mereka mendengar
suara jeritan seorang bocah yang memilukan hati.
"Toloooong...!!
Maaaak...! Maaaak...!! Tolooong...!" Elang Samudera berwajah tegang.
"Suto, bocah di belakang kita tadi masuk ke dalam salah satu celah tanah!
Ia terperosok ke dalam!"
"Suaranya dari arah
sana!" sahut Wisena sambil menuding ke suatu arah.
"Yang lain di sini
saja!" tegas Pendekar Mabuk, kemudian ia berkelebat cepat ke arah
datangnya suara teriakan itu. Zlaap, zlaap...!
Ternyata dugaan Elang Samudera
memang benar. Bocah berompi merah dan berkalung kain tali hitam itu terperosok
dalam keretakan bumi. Ia tersangkut pada tonjolan tanah di dinding celah itu,
di kedalaman sekitar tujuh tombak. Bocah itu menangis ketakutan mengulurkan
tangan kirinya ke atas, sementara tangan kanannya sempat memegangi tepian batu
celah.
"Tolooong...!
Tolooong...!"
Wuuus...! Pendekar Mabuk
segera terjun ke dalam celah yang menyerupai jurang itu. Bocah itu ingin
disambarnya, namun tiba-tiba kaki si bocah menghentak pada tempat berpijak dan
tubuhnya melenting tinggi. Wuuus...!
Jleeg...! Suto Sinting kecele.
Ia berhasil tapakkan
kakinya di tempat bocah itu
tadi tersangkut. Tapi ia segera terperanjat kaget melihat bocah itu sudah
melenting ke atas dan kini berada di tepian celah.
"Heehk, heek, heehk,
heehk...!"
Bocah itu tertawa kegirangan
memandangi keadaan Suto di bawah sana. Ia pun melesat bagaikan seekor tupai.
Wuuut, jleeg...! Sebatang pohon yang tidak ikut tumbang dipakaitempat bertengger.
Tiba-tiba tanah bergetar
kembali. Keretakan yang membentuk celah bergerak cepat, seakan digeser oleh
tangan raksasa hingga bergerak menutup rapat seperti semula.
"Sutooo...!" teriak
Ranggina ketika melihat Pendekar Mabuk tergencet dua sisi belahan tanah. Ia
ingin bergegas menyelamatkan Suto, tapi Elang Samudera menahan lengannya.
"Jangan ke sana!
Berbahaya!"
"Tapi dia tergencet
belahan tanah! Ia akan terkubur hidup-hidup!"
"Pendekar Mabuk tak
mungkin sebodoh dugaanmu!
Aku akan mengejar bocah keparat
itu!"
Blaas...! Elang Samudera
berkelebat menghampiri bocah bermata tajam itu. Sementara si Pendekar Mabuk
yang nyaris mati tergencet dua lapisan tanah itu segera menyilangkan bumbung
tuaknya. Wut, krep...! Gerakan dua lapisan tanah yang ingin menggencet
tubuh Pendekar Mabuk terhenti akibat tertahan bumbung tuak yang
melintang. Celah sempit itu segera dimanfaatkan oleh Pendekar Mabuk untuk
meluncur ke atas menggunakan jurus 'Layang Raga' yang digabung dengan jurus
'Gerak Siluman'-nya. Zlaap, wuuut...!
Pada saat tubuh Suto meluncur
ke atas, tangannya menyambar tali bumbung tuaknya. Dees...! Bumbung tuak pun
ikut terbawa terbang dengan cepat. Seketika itu pula dua lapisan tanah tadi
mengatup menjadi rapat seperti sediakala. Zeeerb...! Jleeg...! Pendekar Mabuk
berhasil daratkan kakinya di atas tanah
datar. Parerang dan Wisena menghembuskan napas lega melihat Pendekar Mabuk
selamat dari gencetan tanah. Ranggina tampak lebih lega lagi, sampai-sampai ia
tertunduk melemas sambil bergelayutan pada tongkatnya yang diberdirikan di
tanah itu.
"Syukurlah dia
selamat!" gumamnya di sela engahan napas sisa ketegangannya.
Blaaar...! Suara ledakan cukup
keras membuat mereka yang ada di atas bukit segera memandang ke timur. Ternyata
di sana Elang Samudera sedang dibuat berjungkir balik ke belakang akibat
pukulannya beradu dengan tangan bocah liar itu. Si bocah tak mau ditangkap. Ia
bermaksud melarikan diri. Tapi ia ingin diterjang oleh Elang Samudera, maka ia
pun melepaskan pukulan tenaga dalam dari kedua tangannya yang membuat Elang
Samudera terlempar ke belakang. Berarti tenaga dalam bocah itu lebih besar
daripada tenaga dalam Elang Samudera.
"Bocah setan!" geram
Pendekar Mabuk. "Siapa pun dirimu, kau sudah bertindak melebihi
setani"
Zlaap, zlaap...! Pendekar Mabuk
mengejar bocah itu dari sisi lain. Dalam sekejap, si bocah terhadang oleh
langkah Pendekar Mabuk. Mereka sempat saling kejar dari pohon ke pohon. Si
bocah ingin hindari tangkapan Pendekar Mabuk. Tapi karena tahu-tahu Pendekar
Mabuk meluncur dari arah depannya, maka si bocah pun segera lepaskan pukulan
tenaga dalamnya dengan kedua tangan disentakkan ke depan. Blaab...! Seberkas
sinar putih menyilaukan menerjang Suto Sinting. Pada saat itu Pendekar Mabuk
segera mengibaskan bumbung tuaknya dalam gerakan memutar.
Wuuut...! Jurus 'Kipas
Malaikat' dipergunakan oleh
Pendekar Mabuk untuk
menandingi sinar putih menyilaukan itu. Jurus tersebut hadirkan angin kencang
dan semburan busa salju yang segera menghantam sinar putih lebar itu.
Blegaaarr...!
Ledakan dahsyat terjadi,
gelombang ledakannya menyentak ke berbagai penjuru, mematahkan empat pohon di
sekitar tempat itu. Si bocah pun terlempar jatuh, demikian pula Pendekar
Mabuk. Brruk, brruuss...!
Rupanya bocah itu bukan
sembarang bocah. Pendekar Mabuk merasa seperti diterjang oleh uap panas yang
membuat kulit tubuhnya menjadi merah matang. Perih semua. Tapi ia masih mampu
menahan rasa panas dan perih, sehingga dalam sekejap Pendekar Mabuk sudah
bangkit berdiri dan memasang kuda-kudanya.
Bocah itu pun seperti terbuat
dari karet. Begitu jatuh terbanting ke tanah dari ketinggian pohon, tubuhnya
membal ke atas, menabrak dahan pohon dan
membal lagi ke arah lain. Dalam satu gerakan salto yang cukup lincah,
bocah itu sudah berhasil berdiri di atas
sebongkah batu hitam yang tadi nyaris ikut terperosok dalam keretakan tanah.
Jleeg...!
"Bocah gendeng! Siapa kau
sebenarnya!" seru Suto Sinting dari jarak lima langkah.
"Kau tak perlu tahu siapa
aku. Tapi aku tahu rencana kalian ingin merebut Lembah Tayub! Kudengar percakapan
kalian dalam perjalanan tadi!" seru bocah itu dengan suara cemprengnya.
Sreeet...! Elang Samudera
mencabut pedangnya. Dengan sekali sentak kedua kaki, tubuhnya melayang tinggi
dan meluncur ke arah bocah itu. Pedang tersebut ditebaskan ke leher si bocah
dari arah belakangnya. Namun sebelum pedang itu diayunkan, si bocah segera
berbalik arah dan sentakkan tangannya dengan telapak tangan terbuka. Wut,
claap...!
Se berkas sinar merah panjang
melesat dari tengah
telapak tangan itu. Sinar
tersebut langsung kenai dada Elang Samudera. Tapi karena tangan Elang Samudera
mengayunkan pedang, maka tubuhnya pun miring dan sinar itu menyerempet lengan
kiri Elang Samudera.
Craas...!
"Aaaahk...!" Elang
Samudera memekik. Sekujur tubuhnya bagaikan tersengat kilatan petir yang
membuat seluruh ototnya seperti putus dan mengendur. Elang Samudera pun jatuh
tanpa bisa menjaga keseimbangannya. Brrruk...!
"Edan!" geram Suto
Sinting. Serta-merta ia melayang cepat menerjang bocah itu dengan kecepatan
'Gerak Siluman'-nya. Zlaap...! Bruss...!
"Oouf...!" Suto
terpekik sendiri. Bocah itu melompat juga dan menghadangkan kedua kakinya.
Tabrakan kaki dengan dada membuat seluruh tulang Pendekar Mabuk bagaikan remuk
seketika itu juga.
Bruuuk...!
Pendekar Mabuk jatuh telentang.
Si bocah justru terpental dalam keadaan melayang di udara. Punggungnya
membentur pohon, deel...! Tubuh itu pun memantul bagaikan karet membentur benda
keras.
Pada saat tubuh itu memantul
balik, Pendekar Mabuk
sedang kerahkan tenaga
cadangan untuk bangkit. Dalam keadaan setengah duduk, tahu-tahu tubuh bocah itu
menerjangnya dari depan.
"Hiaaaaah...!!"
Teriakan melengking itu
membuat Pendekar Mabuk segera sadar akan datangnya bahaya, ia segera berguling
ke kiri dan cepat bangkit terduduk dengan tangan berkelebat ke samping. Tangan
yang menguncup itu mematuk seperti seekor ular. Gerakan cepat itu tepat kenai
mata kaki si bocah. Dees...!
"Aaaook..!" bocah
itu memekik dengan tubuh melayang ke arah lain, kemudian berguling-guling
bersama suaranya yang mengerang kesakitan. Pendekar Mabuk sendiri segera roboh
kembali setelah melepaskan jurus totokan 'Delapan Penjuru Sarat' yang apabila
mengenai mata kaki seseorang akan berubah menjadi totokan pemudar gaib.
"Haaarrh...!!" suara
mengerang itu menjadi besar.
Pendekar Mabuk yang rasakan
lemas sekujur tubuhnya sempat memandang ke arah datangnya suara tadi. Ternyata
suara itu berasal dari si bocah yang segera bangkit dan berbentuk bayang-bayang, lalu berdiri
tegak dalam sosok seorang pemuda seusia
Suto Sinting. "Sudah kuduga,
bocah itu hanya bocah jadi-jadian!"
geram hati Suto Sinting sambil
memperhatikan ke arah lawannya yang sudah berubah menjadi pemuda dewasa
berambut panjang dikuncir ke belakang seperti Elang Samudera.
Pemuda itu segera membuka jurus
dengan kuda-kuda
yang cukup kokoh. Tubuhnya
yang gempal tampak berotot. Matanya tajam berkesan bengis.
"Panglima
Tulang...!!" seru Wisena sambil berlari menuruni bukit. Pendekar Mabuk
mendengar seruan itu.
"Oh, rupanya dia yang
bernama Panglima Tulang?!" gumam hati Suto sambil berusaha mencari
kesempatan untuk menenggak tuaknya.
Wisena mencabut pisau
terbangnya. Ranggina ikut bergegas turuni bukit dengan gerakan lincahnya yang
cukup cepat. Teb, teb, teb, teb...! Sementara itu, Parerang melepaskan anak
panahnya ke arah Panglima Tulang. Zaaab... zaaab...! Dua anak panah dilepaskan
sekaigus dan berkelebat sangat cepat.
Panglima Tulang menghindari
anak panah itu dengan berseru berang. "Bangsat kau, Parerang...!!"
Wut, wut...! Tapi baru saja
kakinya mendarat ke tanah, dua pisau terbang Wisena melayang ke arahnya. Wwest,
wesst...! Panglima Tulang terpaksa melompat ke belakang berjungkir balik dua
kali untuk hindari pisau beracun itu.
Saat itulah Pendekar Mabuk
gunakan kesempatan untuk menenggak tuaknya. Dengan menenggak tuaknya, maka
kekuatannya pulih kembali. Sayang ia tak sempat meminumkan tuak kepada Elang
Samudera, sehingga Elang Samudera masih tetap terkapar tak berdaya dalam
keadaan urat-uratnya bagaikan putus semua.
Namun dalam keadaan seperti itu,
Elang Samudera
masih punya sisa tenaga
sehingga ia bisa keluarkan suara keras yang ditangkap oleh pendengaran Suto
Sinting.
"Hati-hati, mulutnya
dapat keluarkan api yang berbahaya!"
"Hiaaaat...!!"
Ranggina ikut menyerang Panglima Tulang dengan jurus tongkat mautnya. Sodokan
tongkat itu keluarkan sinar merah berkelok-kelok seperti cahaya petir. Sinar
merah beruntun itu menyerang Panglima Tulang, membuat pemuda itu kewalahan
menghindarinya.
Blarr, blaar, blaar...!
Ledakan terjadi secara beruntun juga setiap sinar merah itu kenai benda keras
apa pun.
"Bangsat tengik! Kalian
benar-benar memuakkan
semua! Heeahhh...!"
Sentakan napas dari mulut
Panglima Tulang menyemburkan lidah api yang mengarah kepada Ranggina.
Woooss...! Ranggina melompat dalam gerakan bersalto mundur. Wuuk...!
Sementara itu, Wisena dan Parerang menghujani Panglima Tulang dengan panah dan
pisau mereka. Panglima Tulang makin dibuat sibuk dan tak punya kesempatan untuk
menyerang. Zaab, zaab, weest, wesst...! Wuut, wuuut, wuut...!
Panglima Tulang menghindari
mundur dengan lompatan zig-zag. Tak satu pun panah dan lemparan pisau mereka
yang mengenai tubuh Panglima Tulang. Sementara itu, Pendekar Mabuk sejak tadi
sudah berkelebat ke arah lain. Ia mengepung Panglima Tulang dari balik semak-semak
berduri. Ketika Panglima Tulang berhasil menjauhi para
penyerangnya. Ia kepergok oleh Pendekar Mabuk.
"Ooh...?!" sentaknya
kaget, karena pada saat itu kaki Pendekar Mabuk segera menendangnya dengan
tendangan berputar. Weet, dees...!
"Ahhk...!" Panglima
Tulang terlempar ke samping akibat rahangnya terkena tendangan Pendekar Mabuk.
Ia buru-buru bangkit sebelum serangan berikutnya menyusul.
Tab, tab, tab, wwuut...!
Lompatan cepatnya membuat
Panglima Tulang dalam sekejap sudah berada di atas dahan pohon. Hidung dan
mulutnya tampak berdarah akibat tendangan Pendekar Mabuk tadi. Tapi dari atas
pohon ia sempat berseru.
"Biadab! Kalian telah
membuatku tak jadi melihat
keadaan Rara Padwi! Tunggu
pembalasanku nanti!" Blaaas...! Panglima Tulang cepat-cepat melarikan diri
sebelum Parerang melepaskan anak panahnya lagi. Ranggina tampak mau mengejar
pelarian Panglima Tulang, tapi Pendekar Mabuk segera menahannya.
"Jangan kejar dia!
Biarkan dia lari dan mengadu kepada Siluman Tujuh Nyawa!"
Pendekar Mabuk bermaksud
memancing musuh utamanya itu agar keluar dari persembunyiannya dengan
membiarkan Panglima Tulang melarikan diri. Yang lain pun tak jadi mengejar
Panglima Tulang setelah mengerti maksud Pendekar Mabuk.
Elang Samudera segera ditolong
dengan meminumkan tuak dari bumbung sakti Pendekar Mabuk itu.
"Dia bergerak ke arah
Lembah Tayub!" ujar Parerang. Lalu,
suara Wisena terdengar seperti orang menggumam.
"Tak kusangka ilmunya
menjadi sehebat itu?!"
"Pasti dia telah berguru
kepada Malaikat Gantung atau orang yang lebih tinggi ilmunya!"
"Kita ikuti saja
dia!" ujar Suto Sinting memberi
komando, membuat mereka pun
segera bergegas ke arah Lembah Tayub.
*
* *
6
MEREKA melanjutkan perjalanan
dengan saling memasang kewaspadaan tinggi. Percakapan demi percakapan terjadi.
Mereka berkesimpulan sama, bahwa kiamat kecil yang nyaris mengubur Suto
hidup-hidup itu tak lain adalah perbuatan si bocah iblis jelmaan Panglima Tulang. Terbukti si bocah hampir
saja berhasil menjebak Suto ke dalam celah lapisan tanah itu.
Elang Samudera sempat
menceritakan pertemuannya dengan Rara Padwi kepada Suto Sinting. Sekalipun Suto
menggerutu mendengar kemesraan Elang Samudera dengan Rara Padwi, namun ia
merasa beruntung karena dapat mendengar ilmu andalan Panglima Tulang. Suto pun
mengingatkan kepada yang lain agar waspada dengan semburan api dari mulut
Panglima Tulang.
Tapi mendengar nama Siluman
Tujuh Nyawa disebut-sebut sebagai dalang persekutuan iblis itu, Parerang dan
Wisena menjadi ciut nyali. Mereka berdua sering mendengar kehebatan ilmu tokoh
sesat itu. Mereka juga sering mendengar cerita kekejaman Siluman Tujuh Nyawa.
Akhirnya, Wisena berkata kepada Pendekar Mabuk.
"Kurasa aku dan Parerang
tak perlu mengantar kalian
sampai Lembah Tayub. Nanti
jika sudah sampai balik bukit itu, kami harus segera kembali ke istana karena
ada tugas lain yang harus kami selesaikan."
Elang Samudera tersenyum sinis
mendengar. "Mengapa kalian berubah pikiran?! Kalian takut karena Panglima
Tulang dibantu oleh Siluman Tujuh Nyawa?!"
"Bukan begitu, tapi
"
"Kalau jadi pengecut
memang sebaiknya tak perlu ikut!" sahut Ranggina dengan ketus membuat
kata-kata Wisena tak jadi diteruskan.
Elang Samudera berkata kepada
Wisena, "Siluman Tujuh Nyawa bukan tandingan kalian. Pendekar Mabuk yang
akan menghadapinya. Jadi kalian tak perlu takut akan berhadapan dengan Siluman
Tujuh Nyawa."
Pendekar Mabuk sendiri segera
menimpali, "Gagasan Wisena tidak buruk, Elang! Ada baiknya jika mereka
segera kembali ke istana setelah kita berada di dekat Lembah Tayub. Kita hanya
butuh panduan mereka agar tak salah arah, bukan?!"
"Terima kasih atas
pengertianmu, Pendekar Mabuk," ujar Parerang dengan hati lega.
Tapi di luar dugaan, mereka
berdua ternyata tetap terlibat dalam perkara tersebut. Karena ketika mereka
hampir mendekati Lembah Tayub, Parerang dan Wisena tak jadi pulang ke istana.
Mendadak mereka dikepung oleh sejumlah orang berwajah angker yang rata-rata
mengenakan pakaian serba hitam. Orang-orang itu muncul dari berbagai arah
dengan senjata terhunus siap tarung.
"Celaka! Kita terkepung
mereka, Suto!" ujar Ranggina dengan tegang.
"Uuhk...!" tiba-tiba
Parerang memekik sambil
tubuhnya jatuh terpelanting.
"Hei, kenapa kau,
Parerang?!" seru Elang Samudera dengan heran.
Wisena segera mendekati
temannya. "Parerang, kau...
oaaahk...!"
Wisena sendiri terpekik dengan
kepala terdongak. Tubuhnya terpental mundur
dan berguling-guling. Ketika ia
merangkak, ternyata ia memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Hooeek...!"
"Gawat! Bersiaplah!
Mereka menyerang dari jarak jauh!" seru Pendekar Mabuk dengan mata terbuka
tegang. Dees, dees, dees...!
"Aaahk, uuuhk,
aaahk...!"
Ranggina seperti disodok ulu
hatinya dengan sebatang kayu balok. Ia
terlempar ke belakang dan jatuh terkapar dengan mata mendelik sukar bernapas.
Elang Samudera seperti
dihantam dengan tangan besi pada bagian pinggangnya. Ia roboh ke depan dalam
keadaan tulang punggung bagaikan remuk. Sedangkan Pendekar Mabuk terlempar
sejauh empat langkah. Bumbung tuaknya terpental lepas dari genggamannya, karena
ia merasa seperti diterjang seekor banteng yang sedang mengamuk. Telinganya
menjadi berdarah.
Serangan tanpa wujud itu
datang kembali dan
menghajar mereka satu persatu.
Des, des, des, des, des! Mereka saling terpekik dan bergelimpangan. Tanpa
diketahui dari mana datangnya serangan itu, tiba-tiba mereka merasa rahangnya
seperti mau copot, dadanya bagaikan mau jebol, kepalanya seperti dihantam kayu
besar, dan macam-macam rasa sakit
yang tak tertahankan lagi.
Dalam empat hitungan saja
mereka sudah saling bergelimpangan, berdarah dan keluarkan erangan kesakitan
yang memanjang. Pendekar Mabuk sendiri tak bisa atasi serangan tanpa wujud itu.
Karena ketika ia menduga serangan itu datang dari arah kiri, ternyata serangan
berikut datang dari depannya persis. Dagunya bagaikan mau pecah karena seperti
ditendang dengan kaki baja.
Prook...!
"Aaahk...!" Kepala Suto tersentak ke belakang. Ia pun tumbang dengan
mulut mengucurkan darah. Namun ia masih berusaha mengerahkan tenaga simpanannya
untuk menahan melapisi sekujur tubuhnya dengan tenaga dalam.
Beet, beet, beet, prook,
ceprot...!
Serangan tak diketahui dari
mana asalnya itu seakan mengincar Pendekar Mabuk. Ia dihajar tanpa ampun lagi
sampai tubuhnya terbanting-banting dan terjadi luka di beberapa tempat.
Termasuk luka hangus pada dadanya.
"Edan! Tenaga dalamnya
tinggi sekali! Siapa yang
menyerangku dengan cara licik
ini?!" geram hati Pendekar Mabuk yang sudah mulai kehilangan banyak
tenaga. Ia mencoba bangkit dan merangkak mendekati bumbung tuaknya.
Sraak...! Bumbung tuak itu
terpental dengan
sendirinya, bagai ada yang
menyampar dengan kaki. Jaraknya semakin jauh dari Suto Sinting. Bumbung tuak
itu tergeletak dalam satu jangkauan dari tempat Elang Samudera terkapar
berlumur darah pada bagian kepalanya.
"Suto...," suara
Ranggina terdengar mengerang berat.
"Ini... perbuatan....
Malaikat Gantung! Seperti... yang dilakukan... pada... pada mendiang Guru dan
teman- temanku. Oohk... cari dia! Serang ddii... dia, agar tak menggunakan...
jurus 'Lamunan Iblis'-nya. Uuuhk...!"
Suto Sinting
melihat para pengepung
semakin
berdatangan. Dalam keadaan
tubuh tergeletak dengan kepala
miring ke kanan.
Ia melihat dua orang mendekatinya. Salah satu dari
kedua orang itu adalah si Panglima Tulang. Rupanya orang itu telah berhasil
memberi tahu para sekutunya tentang rencana Pendekar Mabuk dan kawan-kawannya
yang akan menyerang Lembah Tayub.
Ayodya alias si Malaikat
Gantung segera kerahkan orang-orangnya untuk menghadang mereka di kaki bukit. Usaha itu berhasil. Bahkan si
Malaikat Gantung dengan mudahnya melumpuhkan lima orang dari Kesultanan
Tanahinggil itu.
Pendekar Mabuk melihat sosok
lelaki berusia sekitar
tiga puluh tahun yang berambut
panjang dengan ikat kepala dari logam perak berukir. Lelaki itu mengenakan
jubah merah tua dan di pinggangnya terdapat se-gulung tambang yang menyerupai
cambuk. Hati kecil Suto mengatakan bahwa orang berjubah merah itu pasti si
Malaikat Gantung. Pandangan matanya begitu tajam, seakan dapat membutakan orang
yang beradu pandang dengannya.
"Panglima Tulang...! Kini
saatmu menghancurkan si keparat yang nyaris membuatmu mati itu!" ujar
Malaikat Gantung.
"Akan kuremukkan
kepalanya tanpa ampun lagi!" geram Panglima Tulang yang kala itu membawa
senjata berupa gada besi berduri.
Dalam keadaan tergolek tanpa
daya, Pendekar Mabuk hanya bisa memandangi langkah Panglima Tulang yang
mendekatinya dengan penuh nafsu membunuh. Gada besinya yang cukup besar dan
berat itu digenggam kuat- kuat.
"Modarlah kau sekarang
juga! Heeah...!"
Gada besi itu diangkat, ingin
dihantamkan ke kepala Pendekar Mabuk. Tetapi pada saat itu satu-satunya
kekuatan yang dimiliki Suto adalah kekuatan pada matanya. Ia memandang
sebongkah batu sebesar kepala sapi. Batu itu dilemparkan dengan kekuatan pandangan
matanya. Wuuut...! Batu itu melayang cepat menerjang gada besi dari samping.
Prraak...! Crrooook...!
"Aaaah...!!"
Panglima Tulang memekik keras-keras.
Akibat diterjang batu sebesar
kepala sapi, gada besi berduri itu membentur kepala Panglima Tulang sendiri.
Tentu saja sebagian wajah dan kepala Panglima Tulang menjadi berlumur darah
karena duri-duri pada gada itu menancap dan merobek kulit wajah.
Gada itu terlepas dari tangan
Panglima Tulang. Orang
tersebut terbungkuk-bungkuk
kesakitan sambil memegangi lukanya. Suto Sinting segera menggunakan ilmu
'Pranasukma' yang dapat membuat benda bergerak sendiri dengan kekuatan
pandangan matanya. Dengan mata melebar jelas, Malaikat Gantung melihat gada itu
melayang sendiri dan menghantam tengkuk kepala Panglima Tulang. Wuuut,
ceprooot...!
"Aaahk...!" pekikan
Panglima Tulang itu lebih pendek, karena kepalanya menjadi hancur akibat
hantaman gada besi berduri. Panglima Tulang pun jatuh tersungkur, menggelepar
sesaat, kemudian menghembuskan napas terakhir dalam keadaan kepala rusak berat.
Hancur. "Panglima Tulaaang...!!" teriak Malaikat Gantung begitu sadar
bahwa Panglima Tulang telah tak bernyawa lagi.
Para pengepung menjadi tegang
dan mundur selangkah melihat Panglima Tulang tewas karena serangan lawan yang
aneh itu. Malaikat Gantung menjadi murka sekali. Matanya
memandang makin tajam. Namun langkahnya yang ingin dekati mayat Panglima Tulang
itu terhenti karena ia melihat Parerang berusaha bangkit berlutut dan ingin
menarik anak panahnya dari busur.
Dengan cepat tangan Malaikat
Gantung menyambar tambang yang menyerupai cambuk panjang itu. Seet...! Tambang
tersebut segera dilecutkan. Jedaaarr...! Lecutan itu timbulkan suara keras dan
menyentak. Tahu-tahu tambang itu menjerat leher Parerang. Sert...!
"Aahkkkr, hhkkr...!"
Parerang tak bisa bersuara lagi. Tambang segera ditarik dalam satu sentakan
tenaga dalam. Wuuut...! Seert...! Leher Parerang terjerat kuat. Tubuh Parerang
pun terlempar ke atas dalam keadaan tetap dijerat tambang. Pada saat melayang
di udara itu, jeratan itu semakin kencang dan membuat Parerang mendelik,
lidahnya terjulur, lalu jatuh menggelepar sesaat. Kurang dari dua hitungan,
nyawa Parerang pun pergi tanpa pamit dari raganya. Ia seperti mati digantung
lawannya. Barangkali senjata tambang maut itulah yang membuat Ayodya
menggunakan julukan Malaikat Gantung.
Tanpa setahu Ayodya, Elang
Samudera kerahkan sisa tenaganya yang tinggal sedikit itu untuk dekatkan kepala
ke bumbung tuak Suto. T utup bumbung itu terbuka sedikit, sehingga tuaknya
mengalir keluar. Elang Samudera tahu betul kesaktian tuak tersebut, maka ia pun
berusaha meminum tuak itu walau sedikit saja. Dengan menjulurkan lidah seperti
seekor anjing sedang minum, tuak tersebut berhasil ditelan oleh Elang Samudera,
membuat kekuatan Elang Samudera mulai pulih kembali.
Pada saat tubuh Parerang jatuh
dan menghembuskan napas terakhir, Elang Samudera telah mempunyai separuh lebih
dari kekuatannya semula. Maka dengan cepat ia meraih pisau terbang milik
Wisena. Pisau itu dicabut dari pinggang Wisena yang ada di sisi kanannya.
Seet,..! Elang Samudera bangkit terduduk dan pisau itu dilemparkan ke arah
Malaikat Gantung. Wees...! Jrruub...!
"Aaahk...!" Ayodya
alias Malaikat Gantung terkejut sekali. Ia tak menyangka akan ada serangan dari
lawannya. Pisau itu tak sempat hindari karena kecepatan lemparannya yang nyaris
tak terlihat oleh mata awam itu.
Akibatnya, pisau itu menancap
di dada Malaikat Gantung. Pisau itu terbenam seluruhnya, tinggal bagian
gagangnya saja. Malaikat Gantung mengeluarkan darah kental dari mulutnya dalam
keadaan mata mendelik dan badan sedikit bungkuk.
I buru-buru berusaha
melepaskan jurus 'Lamunan Iblis'-nya untuk menyerang Elang Samudera. Tetapi
ternyata Pendekar Mabuk lebih dulu menggunakan jurus 'Pranasukma'-nya,
melemparkan tubuh Malaikat Gantung
dengan kekuatan pandangan mata.
Wuuut...! Tubuh itu terlempar
ke arah pohon dengan keras. Padahal di pohon itu ada bekas dahan yang patah dan
berbentuk runcing. Tak ayal lagi tubuh Malaikat Gantung itu tertancap pada
keruncingan dahan tersebut dari punggung tembus ke perut. Jrruub...!
"Aakkh...!!"
Malaikat Gantung mendelik, tak
bisa berkutik. Tubuhnya kelojotan sesaat, setelah itu diam tak bergerak
selama-lamanya.
"Gawat! Sang ketua tewas
juga?!" seru seorang pengepung. "Lariiiii...!!"
Para pengepung lari tunggang
langgang. Mereka dapat bayangkan, betapa mengerikan lawan yang mereka kepung
itu. Jika ketuanya yang dianggap sakti itu berhasil dibunuh oleh lawan, apalagi
diri mereka yang masih berilmu pas-pasan. Oleh sebab itu mereka memilih melarikan diri sebagai
satu-satunya obat panjang umur.
Elang Samudera segera
mengucurkan tuak ke mulut
Pendekar Mabuk. Dengan begitu,
kekuatan Pendekar Mabuk berangsur-angsur pulih dan luka-lukanya terobati. Hal yang sama
dilakukan pula kepada Ranggina dan Wisena. Tapi Parerang tetap Parerang,
maksudnya tetap menjadi mayat Parerang, tak dapat dihidupkan kembali dengan
tuak saktinya Pendekar Mabuk itu.
"Persekutuan iblis itu
telah kita lumpuhkan!" ujar Elang Samudera setelah memandangi mayat
Panglima Tulang. Sambungnya lagi,
"Apakah kita akan kembali
menghadap sultan untuk mengambil hadiahnya?"
"Aku bukan memburu
hadiah?" tegas Suto Sinting.
"Aku memburu si keparat
Durmala Sanca! Sial! Kenapa dia tak muncul di sini?!"
Suto tampak sedikit kecewa
karena musuh utamanya tak berhasil ditemuinya. Namun Elang Samudera bisa
menghibur kekecewaan itu dengan berkata pelan,
"Suatu saat dia pasti
akan muncul di hadapanmu, dan saat itulah kau punya kesempatan memancung
kepalanya!"
Ranggina berkata kepada kedua
pemuda tampan itu. "Kalian telah menyelamatkan nyawaku dari ancaman
maut Ayodya.
Siapa dari kalian yang ingin mengambil
hadiahnya?!"
"Hadiah apa?!" tanya
Elang Samudera.
"Menikah dengannya atau
bersaudara dengannya!" jawab Suto, lalu Elang Samudera memandangi Ranggina
beberapa saat. Setelah itu menatap Suto Sinting sambil berkata.
"Ambillah
hadiahnya."
"Aku...?! Ooh, aku sudah
punya Dyah Sariningrum.
Kau belum ada yang punya,
kan?"
"Hmmm... kalau begitu
kita bersaudara saja!" kata Elang Samudera, membuat Ranggina tersenyum
manis dan berkata lirih.
"Terima kasih " Lalu
mereka membawa pulang mayat Panglima Tulang dan mayat Malaikat Gantung ke
istana, sebagai bukti bahwa mereka sudah berhasil melumpuhkan persekutuan iblis
itu. Sedangkan Wisena membawa pulang mayat Parerang, sebagai bukti kejamnya
persekutuan iblis.
SELESAI