1
Selama tujuh hari tujuh malam
negeri Muara Singa mengadakan pesta besar-besaran. Berbagai pertunjukan hiburan
digelar dari alun-alun sampai ke pinggir pantai. Berbagai makanan lezat pun
dibeberkan pada tenda- tenda hidangan. Siapa saja, tanpa terkecuali, boleh
menikmati hidangan lezat itu tanpa dipungut biaya sedikit pun. Rakyat jelata
selain bisa menikmati hidangan lezat yang selama ini hanya bisa dinikmati oleh
orang-orang istana, juga mendapat santunan berbagai pakaian, kain maupun
keperluan dapur.
Pesta besar ini diadakan untuk
menyambut kedatangan ratu baru yang memang berhak memiliki kekuaaaan di negeri
Muara Singa. Ratu baru itu tak lain adalah Ratu Gusti Galuh Puspanagari. Dulu
dikenal sebagai Palupi, si gadis gila, yang punya julukan lebih
dikenal lagi sebagai si Tandu
Terbang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Tandu
Terbang"). Tampuk pimpinan diserahkan kepadanya dari Purnama Laras, karena
Purnama Laras merasa tidak memiliki hak atas negeri tersebut dikarenakan ia
hanya seorang anak angkat sang Penguasa Muara Singa. Pesta besar itu pun atas
saran Purnama Laras yang sama sekali tidak sakit hati ataupun sedih, namun
justru, bangga dan gembira melepas jabatannya sebagai ratu di negeri itu.
Pendekar Mabuk, Suto Sinting,
sengaja ditahan oleh Purnama Laras dan Palupi agar tidak meninggalkan Muara
Singa selama pesta berlangsung. Pendekar Mabuk termasuk orang berjasa dalam
pengembalian kekuasaan kepada Palupi. Tanpa munculnya Pendekar Mabuk pada waktu
itu, Tandu Terbang sudah merencanakan akan membabat habis orang Muara Singa
yang tidak mau akui dirinya sebagai alih waris negeri tersebut. Tetapi agaknya
orang dalam Tandu Terbang yang ternyata adalah Palupi itu, merasa terkesan oleh
penampilan Suto dan ketampanannya, ia tak berani lakukan kekerasan di istana
ketika berhadapan dengan Suto, dan akhirnya jalan damai pun bisa ditempuh.
Pada satu kesempatan, Purnama
Laras yang dikenal sebagai wanita berbudi luhur dan berjiwa besar itu, sempat
bicara empat mata dengan Pendekar Mabuk. Pada saat itu malam tiba dan mereka
bicara di sudut taman. Harum bunga sedap malam menyebar di sekeliling mereka.
Tetapi roncean bunga melati yang selalu segar dan menjadi penghias sanggul
Purnama
Laras lebih tajam tercium hidung
Pendekar Mabuk yang bangir itu.
"Sudah cukup lama aku
memendam hasrat ingin
bertemu denganmu," kata
perempuan berusia tiga puluh tahun itu. "Tetapi baru sekarang hasrat itu
terpenuhi dalam keadaan aku sudah tidak menjadi ratu lagi."
"Apakah kau menyesal?"
"Sama sekali tidak,"
jawab Purnama Laras. "Justru aku bertekad melindungi Galuh untuk
mempertahankan negeri ini. Aku sangat terharu jika ingat cerita hidupnya semasa
kecil, dibuang oleh ibu angkatnya hanya karena tak suka menerima bayi yang
dilahirkan dari madunya. Rasa ibaku ini terwujud dalam rasa kasihan, dan
akhirnya timbul rasa sayangku kepada Galuh Puspanagari."
"Aku bangga dan kagum
dengan sifatmu, Purnama Laras. Jarang kutemukan wanita sebijak dirimu,"
sanjung Pendekar Mabuk dengan mata memandang raut wajah ayu yang disinari
cahaya obor di sudut taman itu. Yang dipandang hanya tersenyum dan tundukkan
kepala merasa malu.
"Terlepas dari
kedudukanku yang dulu dan sekarang, sesungguhnya keinginanku untuk bertemu
denganmu punya alasan sendiri, Suto."
"Katakanlah urusanmu itu,
Purnama Laras."
"Aku butuh seorang
senopati. Aku banyak mendengar cerita tentang kesaktianmu dari mulut ke mulut,
lalu aku ingin mengangkatmu sebagai senopati dalam kepemerintahan Muara Singa
ini. Kami belum
mempunyai senopati atau
seorang panglima perang, itulah sebabnya aku pernah merencanakan mengundangmu
sebagai tamu agung untuk membicarakan tawaran ini. Dalam benakku hanya ada dua
pilihan, mengangkatmu sebagai panglima perang atau menemukan Pedang Kayu Petir."
Suto terkejut mendengar nama
pedang itu disebutkan, ia ingat kembali bahwa pedang tersebut pernah disebut-
sebutkan oleh Palupi yang sekarang menjabat sebagai ratu negeri Muara Singa
itu. Tetapi sampai malam itu, Suto belum pernah bicara dengan Palupi secara sungguh-sungguh
tentang Pedang Kayu Petir.
Dulu Suto pernah menyangka
bahwa pedang yang disebut-sebut sebagai pedang pusaka maha sakti itu dimiliki
oleh ratu Purnama Laras. Karena Palupi si gadis gila itu mengetahui tentang
rahasia pedang tersebut, maka Ratu Purnama Laras mengerahkan orang-orangnya
untuk menangkap Palupi dan membunuhnya, supaya rahasia pedang pusaka itu tidak
bocor dari mulut si gadis gila. Tapi dugaan Suto itu ternyata meleset. Purnama
Laras memang tidak tahu-menahu tentang pedang tersebut dan bahkan berminat
untuk mendapatkannya.
"Mengapa kau mempunyai
dua pemikiran seperti itu, Purnama Laras? Apa alasanmu ingin mengangkatku
sebagai panglima perang atau memiliki Pedang Kayu Petir?" tanya Suto
Sinting dengan rasa ingin tahu.
"Karena negeri ini
sebenarnya dalam ancaman bahaya tokoh sakti yang ilmunya tak tertandingi oleh
orang- orang Muara Singa. Tokoh sakti itu dapat dikalahkan
dengan kesaktian Pendekar
Mabuk, atau dengan menggunakan Pedang Kayu Petir sebagai pusaka pedang maha
sakti. Sebab itu, dulu aku menyuruh para pengawalku untuk menangkap Palupi
sebab ia sebut- sebutkan pedang tersebut. Aku ingin menangkap bukan dengan
maksud jahat, melainkan ingin mengorek keterangan darinya tentang Pedang Kayu
Petir itu."
Suto Sinting manggut-manggut,
diam sebentar lalu mulai perdengarkan suaranya yang lembut itu,
"Siapa tokoh sakti yang
kau maksud sebagai pengancam bahaya negeri ini?"
"Raja Tumbal, penguasa
Lumpur Maut."
"Raja Tumbal...? Bukankah
dia yang membunuh adik
Pendita Arak Merah, atau adik
gurunya Palupi?"
"Aku tak mendengar soal
itu. Yang kutahu, Raja Tumbal menghendaki negeri ini. Beberapa waktu yang lalu,
tepatnya lima purnama yang lalu, Raja Tumbal datang menemuiku dan ingin merebut
Muara Singa, ia adalah kakak dari ibu angkatku; Raden Ayu Indriakara. Ia merasa
bahwa negeri ini adalah negeri leluhurnya dan yang berhak menjadi penguasa
adalah dirinya. Aku diberi waktu sampai tiga purnama untuk meninggalkan negeri
ini, jika tidak maka semua penghuni istana akan dibantai habis olehnya dalam
waktu sekejap. Dan aku percaya ia sanggup membantai kami dalam sekejap, karena
ia memiliki pusaka yang bernama Seruling Malaikat."
Suto Sinting kerutkan dahi.
"Seruling Malaikat? Aku baru mendengar nama pusaka itu. Apa kehebatannya
sehingga kau tampaknya amat
ketakutan dengan pusaka
Seruling Malaikat itu?"
"Seruling Malaikat,
menurut para tokoh tua, adalah sebuah seruling yang jika ditiup dengan
sembarangan tanpa nada pun bisa membuat lawan yang dituju menjadi pecah raganya
bila mendengar suara seruling tersebut. Konon, getaran seruling dapat menyatu
dengan mata dan batin kita. Pada saat kita melihat musuh yang dituju oleh batin
kita untuk dimusnahkan, maka getaran suara seruling tersebut mengirimkan
gelombang tenaga dalam luar biasa besarnya hingga ketika masuk gendang telinga
lawan dapat membuat raga lawan meledak."
Suara gumam Pendekar Mabuk
sangat lirih, kepalanya terangguk-angguk sebagai tanda sangat
bersungguh-sungguh mempercayai cerita tersebut. Hatinya menjadi tertarik untuk
membicarakan tentang pusaka Seruling Malaikat itu.
"Dari mana Raja Tumbal
memperoleh pusaka sehebat itu?"
"Menurut cerita para
tokoh tua, Seruling Malaikat dulu milik seorang dewa yang terusir dari kayangan
dan menjelma menjadi seorang penggembala kerbau. Dewa itu bernama Bramujaya. Ia
menjalani masa hukuman menjadi manusia dengan dibekali Seruling Malaikat. Hukumannya
akan selesai jika menikahi seorang wanita yang berpenyakit kusta sangat parah.
Tetapi sebelum hal itu terjadi, Bramujaya sudah berhasil dikalahkan oleh
Siluman Tujuh Nyawa, ia mati dibunuh tokoh sesat itu. Tapi Siluman Tujuh Nyawa
tidak tahu bahwa Bramujaya
mempunyai pusaka sebuah
seruling. Seruling itu ditemukan oleh petapa sakti yang bernama Begawan Demang
Buwana...."
"Siapa?!" Suto
terpekik kaget, wajahnya menjadi tegang. "Begawan Demang Buwana?!"
"Benar. Kenapa kau tampak
terkejut sekali?" Purnama Laras merasa heran.
"Hmm... ya, aku sangat
terkejut, sebab... sebab ketika aku dalam perjalanan kemari bersama Dungu Dipo,
kami sempat bermalam di pondok sang Begawan di dalam hutan di tepi sebuah
telaga. Kami disambut baik oleh Eyang Begawan Demang Buwana. Bahkan kami sama-
sama minum tuak sebagai penghormatan dan...."
Purnama Laras tertawa kecil
sambil menepiskan tangan di depan wajah sebagai tanda meremehkan cerita
Pendekar Mabuk. Tentu saja cerita itu tak jadi dilanjutkan oleh Suto. Pendekar
tampan itu justru merasa heran melihat tawa wanita cantik yang lembut dan
bersahaya itu.
"Mengapa kau menertawakan
ceritaku?" "Karena aku tahu kau sedang membual."
"Ini sungguh-sungguh
terjadi," kata Suto agak ngotot. "Aku tidak percaya," Purnama
Laras gelengkan kepala sambil tersenyum. "Begawan Demang Buwana sudah
wafat lima puluh tahun yang lalu. Ia meninggal dalam usia sekitar seratus
tahun. Dan kematiannya itu disebabkan oleh perbuatan Siluman Tujuh Nyawa yang
terlambat mendengar tentang pusaka Seruling Malaikat. Pada waktu itu, Seruling
Malaikat sudah diturunkan
kepada murid sang Begawan, dan
terus turun-temurun sampai akhirnya ada kabar bahwa Seruling tersebut jatuh ke
Sumur Tengah Samudera. Cara mengambilnya harus dengan lakukan semadi rendam.
Dan Raja Tumbal telah lakukan semadi rendam hingga akhirnya berhasil memperoleh
Seruling Malaikat. Jadi kalau kau bercerita bertemu dan bermalam di pondok
Begawan Demang Buwana, itu adalah hal yang mustahil, apalagi hal itu terjadi
belum lama ini. Tak akan ada tokoh tua yang mau percaya dengan pengakuanmu
tadi, Suto."
Kini Suto Sinting termenung
lama dengan dahi masih berkerut. Dalam hatinya berkata, "Jadi siapa orang
yang kutemui bersama Dungu Dipo dalam hutan itu? Siapa orang yang memintaku
meminum tuak dalam mangkok sebagian dan sisanya diminum olehnya itu?"
Senyum perempuan yang suka
dengan bunga melati itu masih menampakkan rasa tidak percayanya kepada ucapan
Suto tadi. Suto Sinting sangat penasaran jadinya. "Kalau kau tak percaya,
kau bisa tanyakan sendiri kepada Dungu Dipo," kata Suto meyakinkan kata-
katanya. "Kami bermalam di pondok itu dan dijamu
dengan minuman tuak dalam
mangkok." "Kau berani bersumpah?"
"Sumpah apa pun aku
berani, bahwa aku dan Dungu Dipo bertemu dengan Eyang Begawan Damang Buwana.
Bahkan aku sempat bertanya tentang Padang Kayu Petir kepadanya, tapi beliau tak
tahu di mana pedang itu berada. Juga ketika kutanyakan siapa orang dalam tandu
merah itu, beliau hanya mengatakan, ada lapisan tenaga
dalam yang tak bisa ditembus
teropong indera keenamnya dan membuat tandu itu tak bisa diketahui siapa orang
yang ada di dalamnya."
Kini ganti Purnama Laras yang
tertegun bengong. Kejap berikutnya ia menggumam, "Aneh sekali. Jika benar
begitu, berarti kau dan Dungu Dipo telah bertemu dengan jelmaan sang Begawan.
Mungkin punya maksud tertentu, entah ingin menolongmu atau ingin sampaikan
pesan padamu."
"Pesan...? Rasa-rasanya
tak ada pesan apa-apa. Mungkin saja hanya ingin menolongku. Mungkin- mungkin
ada seseorang yang menyuruhnya menyediakan pondok untuk bermalam bagiku?"
kata Suto seperti bicara pada diri sendiri, lalu dalam benaknya terbayang wajah
Ratu Kartika Wangi sebagai orang yang menyuruh Begawan Demang Buwana untuk
sediakan pondok baginya. Karena dalam pembicaraan kala itu, sang Begawan
menyinggung-nyinggung nama Ratu Kartika Wangi, calon mertua Suto Sinting.
"Baiklah, kita lupakan
dulu tentang pertemuanku dengan sang Begawan itu," kata Suto.
"Sekarang bagaimana dengan Raja Tumbal?"
"Untuk mengalahkan
Seruling Malaikat-nya kupikir aku harus menggunakan Pedang Kayu Petir kalau
memang tak sanggup menandingi kesaktian pusaka tersebut. Persoalannya adalah,
saat ini sudah hampir masuk purnama ketiga, berarti aku dan para pejabat di
istana harus segera tinggalkan negeri ini. Raja Tumbal akan ganti menguasai
negeri ini."
"Apakah kau sudah
bicarakan kepada Palupi, termasuk tentang Pedang Kayu Petir yang saat menjadi
orang gila disebut-sebutkan itu?"
"Aku belum berani
membicarakan karena ia masih menikmati masa kegembiraan. Setelah pesta ini
usai, aku akan membicarakannya."
Tak ingin mengganggu
kebahagiaan dan kegembiraan yang sedang berlangsung pada diri seseorang,
sungguh merupakan sikap yang baik dan patut dikagumi. Suto Sinting mengerti
betul maksud hati Purnama Laras. Tetapi menurutnya, persoalan Raja Tumbal
adalah persoalan yang tak bisa ditunda. Secepatnya harus dicari jalan
keluarnya, mengingat Raja Tumbal memiliki pusaka Seruling Malaikat yang dapat
menjadi alat pembantai bagi orang-orang Muara Singa.
"Apakah menurutmu dengan
adanya Palupi menjadi ratu di negeri ini, Raja Tumbal merasa masih mampu
mengungguli kekuatan yang ada di sini?" Tanya Suto kepada Purnama Laras
seusai mereka lakukan santap malam bersama. Pertanyaan itu diucapkan secara
berbisik. Jawabannya pun cukup pelan, sehingga hanya Pendekar Mabuk sendirilah
yang mendengarnya.
"Kabarnya, suara Seruling
Malaikat tak bisa ditangkal dengan ilmu dan kesaktian apa pun. Jadi
sesakti-saktinya Galuh Puspanagari jika mendengar suara Seruling Malaikat ia
akan hancur juga."
Jawaban itu cukup dipakai
bahan pertimbangan bagi Suto. Pertimbangan itu akhirnya memperoleh keputusan
bahwa ia harus bicara empat mata dengan Galuh
Puspanagari yang lebih suka
dipanggilnya Palupi itu. Pendekar Mabuk merasa perlu menjajaki ketinggian ilmu
Palupi dalam menghadapi Seruling Malaikat nanti. Jika memang ternyata menurut
kesimpulan Suto ilmu yang dimiliki Palupi tidak mempunyai kesanggupan untuk
menghadapi Seruling Malaikat, maka ia harus memaksa Palupi untuk mengambil
Pedang Kayu Petir. Suto mempunyai dugaan bahwa Pedang Kayu Petir dimiliki oleh
Palupi dan disimpan di suatu tempat. Pedang itu pasti dibungkus oleh tenaga
pelapis yang sukar diteropong oleh kekuatan batin maupun mata indera keenam,
seperti halnya tandu merahnya yang tak bisa ditembus oleh mata batin orang
sakti, sehingga tak diketahui siapa penghuni tandu tersebut selama ini.
Hanya saja, Pendekar Mabuk
merasa tak enak hati, karena Palupi bersedia bicara di dalam kamarnya, ia tak
mau percakapannya didengar orang lain. Ia membawa Suto ke kamar tidurnya yang
mewah dan megah serta kedap suara itu. Suto Sinting justru menjadi kikuk berada
di tempat yang menimbulkan suasana hangat bagi hasrat cinta dua orang berlainan
jenis itu.
"Kau pucat sekali,"
kata Palupi sambil tersenyum- senyum. "Jangan takut, aku sudah berjanji
tidak akan memaksamu untuk memperkosaku seperti saat aku berpura-pura gila itu.
Duduklah dengan tenang."
Suto Sinting geli sendiri
membayangkan peristiwa lain.
"Karena itu jangan
diresapi kenangan masa laluku, nanti hasratmu berontak dan menuntutku,"
kata Palupi
masih bersikap sebagai teman,
bukan sebagai ratu. Hanya kepada Suto saja ia tak bisa bersikap sebagai ratu
yang mestinya penuh ketegasan dan wibawa, menjaga kharisma seperti Purnama
Laras dulu.
"Tapi seandainya memang
kau ingin menuntutku karena resapan kenangan itu, aku pun tak keberatan untuk
memenuhi tuntutanmu," kata Palupi penuh arti yang amat dalam bagi perasaan
seorang lelaki muda seperti Suto. Tapi hal itu hanya ditanggapi oleh Suto
dengan senyum menawan. Suto tak sadar, jika ia sering memamerkan senyumnya,
berarti menambah gejolak gairah memberontak di dalam batin Palupi. Untung
selama ini Palupi mampu menahan diri sehingga tidak berkesan sebagai wanita
murahan.
"Baiklah, Suto... apa
yang ingin kau bicarakan padaku? Pesta ini esok telah usai. Apakah itu berarti
esok kau akan tinggalkan negeriku? Apakah tak bisa tinggal lebih lama lagi atau
justru selama-lamanya saja?" "Jawabannya tergantung pembicaraan kita
nanti," kata Suto dengan tenang. Meski di dalam kamar tidur seorang ratu,
namun bumbung tuak selalu dibawanya, sehingga sewaktu-waktu Suto tak
segan-segan menenggak tuak dari bumbungnya. Padahal Palupi sudah siapkan sepoci
tuak dan cangkirnya, tapi Suto hanya sesekali minum tuak dari cangkir itu. Ia
merasa lebih mantap jika minum tuak dengan menenggak dan mengangkat bumbung
bambunya. Suatu kebiasaan yang sudah menjadi kesukaan memang sulit ditinggalkan
begitu saja.
"Apa yang ingin
kubicarakan memang ada kaitannya dengan semasa kau menjadi gadis gila,"
kata Suto Sinting.
"Soal... soal perkosaan?"
"Bukan!" jawab Suto
malu. "Pada waktu itu kau sebut-sebut Pedang Kayu Petir. Kau masih ingat,
bahwa kau bilang telah sembunyikan Pedang Kayu Petir di sebuah gua di Bukit
Tungkai?"
Palupi tersenyum dan
manggut-manggut. Senyumnya itu sukar dipastikan artinya, bisa senyum malu, bisa
senyum geli bisa juga senyum meremehkan. Tapi Suto tak peduli sehingga tetap
ajukan tanya lagi pada Palupi,
"Benarkah pedang pusaka
itu ada di salah sebuah gua di Bukit Tungkai?"
"Aku tidak tahu,"
jawab Palupi.
"Palupi, kita sama-sama
butuhkan pedang itu. Aku juga butuh, kau juga nantinya akan butuh pedang itu.
Tolong bicaralah jujur padaku."
"Aku benar-benar tidak
tahu tentang pedang itu. Memang aku pernah dengar namanya, pernah dengar
ceritanya, tapi aku tidak tahu di mana pedang itu."
"Mengapa kau waktu itu
selalu menyebut-nyebutkan
Pedang Kayu Petir?"
"Aku hanya memancing
perhatian bagi orang-orang yang bernafsu memiliki pedang tersebut. Tentu saja
bukan orang berilmu rendah yang menghendaki pedang itu, pasti orang berilmu
tinggi. Lalu, aku bisa kenali orang-orang berilmu tinggi itu, dan bisa tahu
apakah dia berpihak kepada Purnama Laras, atau berpihak kepada
orang lain. Sasaran utamaku
pada waktu itu adalah Purnama Laras dan orang-orangnya. Karena aku tak tahu
hati Purnama Laras ternyata amat mulia. Jika aku ingin lakukan penyerangan, aku
harus tahu siapa-siapa saja yang akan kuhadapi nantinya. Jadi kupancing mereka
dengan berita adanya Pedang Kayu Petir pada diriku. Sebab aku tahu pedang itu
pasti masih diminati oleh para tokoh sakti."
Napas Suto terhempas panjang
sebagai penghilang kedongkolan, ia segera bertanya, "Lantas apa
kesimpulanmu kala itu?"
"Ternyata Purnama Laras
sangat berhasrat untuk memiliki pedang itu, juga dirimu kulihat sangat bernafsu
untuk memilikinya, tapi tak kulihat kau ada di pihak Purnama Laras. Sementara
tokoh lain yang berhasrat dengan pedang itu tak kulihat ada di pihak Purnama Laras.
Jadi aku merasa akan berhadapan dengan Purnama Laras sendiri, tapi didukung
oleh pihak lain yang berilmu tinggi. Bahkan aku tak sangka kalau Nyai Paras
Murai ternyata ada di pihak Purnama Laras walau tak menghendaki pedang itu. Aku
sangat menyesal sekali telah bertarung dengan Nyai Paras Murai yang ternyata
justru orang pertama yang menyambut kelahiranku di muka bumi ini. Aku merasa
berdosa dengan beliau. Tapi aku sudah meminta maaf berulang kali dan menganggap
Nyai Paras Murai sebagai orangtua sendiri. Aku pun telah berdamai dengan Hantu
Tari yang ternyata adalah saudara sepupuku sendiri, walau sepupu tiri."
Kamar tidur menjadi hening
karena mulut Suto terbungkam dalam termenungnya. Matanya lurus ke satu sisi,
sementara mata Palupi menatapi Suto tiada henti, penuh debar-debar keindahan
dalam hatinya, penuh rasa kagum dan salut dengan sikap Suto. Batinnya
mengatakan, "Pendekar tampan ini biarpun punya wajah mampu melumpuhkan
wanita hingga bertekuk lutut di hadapannya, namun ia sama sekali tidak mau
berkurang ajar padaku. Sikapnya pun tak sombong, punya ketegasan dan kebijakan.
Aku suka padanya. Sangat suka!"
Untuk memecah kesunyian,
Palupi segera ajukan tanya kepada Suto dengan berpindah duduknya di samping
kiri Suto. Ia mencoba mengusap pundak dan lengan Suto seraya berbisik,
"Mengapa kau sangat
berharap mendapatkan pedang yang sudah bertahun-tahun dinyatakan hilang?"
"Demi keselamatan negeri
ini juga," jawab Suto dengan sikap duduk masih sedikit bungkuk, kedua
sikunya bertumpu pada kedua paha. Ia bicara sambil menoleh ke arah Palupi dan
tampak lebih gagah sikapnya seperti itu. Lengannya kelihatan lebih kekar,
ketampanannya tampak lebih jantan lagi.
"Apa maksudmu berkata
begitu?"
"Ada seorang musuh yang
ingin menyerang negeri ini dan merebutnya, ia berilmu tinggi dan mempunyai
pusaka yang hanya bisa ditandingi dengan Pedang Kayu Petir."
Palupi diam sesaat, tampak
tenang. Tak kelihatan
terkejut walaupun masih
dipandangi Suto. Kejap berikut, Suto mendengar suara gadis itu berkata lembut,
"Orang yang kau maksud
itu adalah Raja Tumbal!"
Suto menegakkan sikap
duduknya. "Dari mana kau tahu? Apakah Purnama Laras sudah menceritakan
ancaman Raja Tumbal?"
"Belum. Tapi aku pernah
menyadap pembicaraan Raja Tumbal dengan orang-orang kepercayaannya, itulah
sebabnya aku memusuhi orang Lumpur Maut. Di samping ingin membalaskan kematian
adik guruku, juga ingin melumpuhkan Raja Tumbal sebelum ia menguasai negeri
Muara Singa ini. Jika memang Purnama Laras sudah mendapat kabar tentang niat
Raja Tumbal, maka sekarang aku tahu mengapa Purnama Laras sangat bernafsu untuk
memiliki Pedang Kayu Petir."
"Apakah kau sudah tahu
bahwa Raja Tumbal mempunyai pusaka yang bernama Seruling Malaikat?"
"Sudah!" jawabnya
tanpa senyum.
"Bagaimana menurutmu?
Apakah perlu dihadapi dengan pedang pusaka itu atau cukup dengan ilmu dan
kesaktianmu saja?"
Wajah gadis berjubah ungu itu
tampak dingin. Matanya memandang lurus, menerawang tak tentu makna. Bibirnya
terkatup, napasnya teratur lembut. Sesaat kemudian barulah ia bicara dengan
mata masih memandang hampa.
"Apakah kau bersedia
membantuku?" "Maksudmu?"
Ia menatap Suto, wajahnya
penuh kesungguhan
dalam bicara.
"Aku tak akan sanggup
melawannya, apalagi ia mempunyai pusaka Seruling Malaikat," ia berhenti
sampai di situ, sepertinya ada sesuatu yang membuatnya sedih dan sulit
dikatakannya.
Pendekar Mabuk menatap penuh
perhatian dan bicara sangat pelan.
"Mengapa begitu? Bukankah
seorang Tandu Terbang adalah tokoh sakti yang cukup menggetarkan isi
dunia?"
"Kesaktianku sebagian
telah hilang jika aku menjadi ratu. Itu adalah perjanjian yang kubuat dengan
guruku; Pendita Arak Merah. Aku tak bisa lagi menjelma sebagai Tandu Terbang,
kekuatan tenaga dalamku juga tak setinggi semula. Kuperoleh kesaktian setinggi
itu hanya untuk merebut hak warisku, yaitu negeri ini. Jika aku telah memiliki
negeri ini, maka beberapa kesaktianku itu akan lenyap. Jadi pada waktu itu aku
dihadapkan dengan dua pilihan; tetap berilmu tinggi sebagaimana yang dimiliki
Tandu Terbang, atau menjadi seorang ratu yang adil dan bijaksana dengan
kehilangan beberapa kesaktian. Aku memilih menjadi ratu karena memang aku harus
mewarisi kekuasaan leluhurku. Dan jika aku menjadi ratu yang tidak adil dan
bijaksana, maka kesaktianku akan berkurang lagi."
"Aneh...?!" gumam
Suto Sinting sambil berkerut dahi dan manggut-manggut.
"Dalam keadaan seperti
dulu, aku sanggup menumbangkan Raja Tumbal. Sayang tak pernah berhasil kutemui
kecuali hanya begundalnya saja. Tapi
dalam keadaan setelah menjadi
ratu dengan penobatan resmi ini, aku merasa kalah ilmu dengan Raja Tumbal.
Tapi... hanya kau yang tahu hal itu. Kumohon jangan sampai bocor kepada siapa
pun."
Suto kian mengangguk-angguk.
"Aku paham maksudmu."
"Jadi, dalam menghadapi
Raja Tumbal nantinya aku
sangat membutuhkan bantuanmu.
Kecuali aku bisa memiliki Pedang Kayu Petir, mungkin aku berani hadapi sendiri
paman tiriku itu. Tanpa pedang tersebut, aku butuh berlindung di belakangmu,
Suto. Maukah kau menjadi panglima perangku?" tanya Palupi yang membuat
Suto bingung menjawabnya.
*
* *
2
SEBENARNYA Suto tidak ingin
mempunyai jabatan yang akan mengikat kebebasannya. Menjadi senopati atau
panglima perang adalah pekerjaan yang menyita waktu. Banyak kesibukan yang
harus dipersiapkan untuk menghadapi lawan, termasuk melatih bala tentaranya,
mengatur siasat perang nantinya. Suto enggan melakukan hal-hal seperti itu.
Tetapi dalam hatinya ia mempunyai suatu tekad untuk membantu Palupi
menyelamatkan negeri Muara Singa, sebab ia tahu memang Palupi-lah pewaris
negeri itu yang sebenarnya.
"Jika keadaan Palupi
memang sudah demikian,
berarti kemenangan akan ada di
tangan Raja Tumbal. Seruling Malaikatnya bisa digunakan seenak pusarnya sendiri
untuk membantai orang-orang Muara Singa. Kasihan Palupi, baru beberapa waktu
memiliki hak warisnya sudah harus dirampas lagi oleh orang lain. Agaknya aku
harus memihaknya dan memperkuat pertahanan negeri ini. Tapi aku harus tahu
bagaimana cara melawan kekuatan Seruling Malaikat itu?"
Pendekar Mabuk segera
membayangkan cara kerja pusaka Seruling Malaikat. Getaran maut akan tersalurkan
melalui gelombang suara. Mengatasi gelombang suara tidak bisa seperti mengatasi
sinar pukulan tenaga dalam yang bisa dilihat arah dan gerakannya. Apalagi
gelombang suara itu mempunyai hubungan erat dengan mata dan batin. Raja Tumbal
bisa saja menghancurkan lawannya dari jarak jauh asal masih bisa melihat sang
lawan dan batinnya menghendaki kehancuran orang tersebut. Gelombang suara
seruling dapat melesat masuk ke telinga lawan tanpa diketahui gerakan dan
bentuknya.
"Repotnya lagi, gelombang
suara itu bukan saja membuat gendang telinga pecah, melainkan raga pun bisa
pecah dan hancur berkeping-keping. Berarti kekuatannya lebih tinggi dibanding
jurus 'Siulan Peri' yang ada padaku. Jurusku itu hanya bisa memecahkan gendang
telinga saja. Jika diadu dengan suara Seruling Malaikat, maka 'Siulan Peri'-ku
akan kalah. Aku harus mencari tahu bagaimana melawan Seruling Malaikat, dan di
mana letak kelemahan pusaka tersebut. Yang
berbahaya adalah jika Raja
Tumbal ada di suatu tempat yang tak kuketahui, tapi ia bisa melihatku dari
tempat tersebut. Maka diriku pun akan hancur begitu Seruling Malaikat mulai
ditiupnya."
Menurut perhitungan, bulan
purnama akan tiba sebelas hari lagi. Apakah Raja Tumbal akan datang tepat pada
saat bulan purnama tiba atau lebih beberapa hari dari saat purnama tiba? Bagi
negeri Muara Singa sama saja, kehancuran akan segera tiba tepat malam purnama
atau lewat dari itu. Karenanya persiapan menghadapi serangan orang-orang Lumpur
Maut harus sudah disusun secara matang sejak sekarang.
"Aku akan menghadap
guruku," kata Suto kepada Palupi yang didampingi oleh Purnama Laras, Nyai
Paras Murai, Hantu Tari, Batu Sampang, dan Dungu Dipo.
Suto menyambung kata-katanya,
"Dalam waktu sesingkat ini, tak mungkin kita bisa dapatkan Pedang Kayu
Petir yang belum diketahui di mana tempatnya. Yang kulakukan adalah mencari
tahu di mana kelemahan Seruling Malaikat itu. Aku akan tanyakan kepada guruku tentang
hal itu. Aku harus pergi selama empat atau lima hari."
Nyai Paras Murai yang kini
dianggap keluarga Istana itu berkata, "Kurasa Gila Tuak juga tak tahu
bagaimana cara mengalahkan gelombang suara. Seingatku, sejak dulu tak pernah
ada lawan yang bisa kalahkan Seruling Malaikat."
Purnama Laras memotong,
"Tapi mengapa Begawan
Demang Buwana dapat dikalahkan
oleh Siluman Tujuh
Nyawa?"
"Karena Seruling Malaikat
telah diturunkan kepada muridnya," jawab Nyai Paras Murai. "Kabarnya,
sekarang pun jika Siluman Tujuh Nyawa melawan Raja Tumbal ia akan mampu
mengalahkannya, karena Siluman Tujuh Nyawa sudah kuasai ilmu yang bernama
'Redam Guntur', yaitu menutup
semua lubang tubuhnya agar tidak bisa dimasuki suara apa pun."
"Apakah kita perlu minta
bantuan kepada Siluman Tujuh Nyawa?" tanya Dungu Dipo yang ditanggapi
dengan ketus oleh Hantu Tari,
"Kalau kau mau jadi
pengikut sesatnya, silakan kau lari dan bergabung kepada Siluman Tujuh
Nyawa!"
Dungu Dipo bersungut-sungut
tak mau bicara lagi. Batu Sampang tetap diam memperhatikan tiap pembicaraan
tersebut. Sedangkan Palupi sejak tadi berkerut dahi walau tetap berlagak
tenang, namun sebenarnya bingung menghadapi lawannya nanti. Bahkan ketika Hantu
Tari ajukan tanya kepada Palupi,
"Apakah kau tak sanggup
menghadapinya dengan kesaktianmu?"
Suto tahu Palupi akan bingung
menjawabnya, karena itu Suto lebih dulu berkata sebagai wakil Palupi dalam
menjawab,
"Seorang ratu tak baik
jika turun tangan sendiri, kecuali keadaan sudah sangat terpaksa! Palupi memang
akan turun tangan, tapi sebelum ia turun tangan tentunya kita lebih dulu
menghadapi lawan tersebut. Yang kita bicarakan ini adalah seandainya kita
hadapi Raja
Tumbal, lantas dengan kekuatan
apa kita harus melawannya. Kalau kita mengandalkan kekuatan dan kesaktian Palupi,
lantas untuk apa kita diajak berunding di sini?"
Sebuah pembelaan telah
dilakukan Suto. Palupi merasa sedang ditutupi kelemahannya. Rupanya Suto
Sinting benar-benar menjaga rahasia kelemahan ilmu Palupi, sehingga pendekar
tampan itu merasa harus berpikir dan berjuang sendiri mencari jalan keluar dari
masalah yang masih buntu itu.
"Pembelaannya terhadapku
cukup membuat hatiku semakin bangga padanya," pikir Palupi. "Tapi
apakah pembelaan itu berarti awal tumbuhnya rasa cintanya pada diriku? Semoga
saja begitu. Seandainya tidak begitu, aku pun tak boleh sakit hati, karena
cinta bebas memilih dan tak baik dipaksakan. Aku hanya bisa berharap agar ia
dekat dengan hatiku, jauh dari hati perempuan lain. Mulai sekarang harus
kupahami bahwa tidak setiap harapan menjadi kenyataan. Jika harapan itu jauh
dari kenyataan, aku tak boleh terlalu kecewa. Untuk membendung rasa kecewa agar
tidak melukai hatiku, sebaiknya segalanya kuserahkan kepada garis kehidupanku
saja. Biar sang nasib yang menentukan perjalanan kasihku."
Termenungnya Palupi membuat
Suto curiga. Ketika yang lainnya meninggalkan tempat setelah Suto putuskan
untuk menunggu kedatangannya pulang dari menghadap Gila Tusk, maka Suto pun
berbisik kepada Palupi yang masih melamun itu,
"Palupi...!"
sentakan lembut mengguncang tubuh Palupi. Sang Ratu tersipu malu, apalagi
setelah Suto bertanya, "Apa yang kau lamunkan? Sepertinya bukan masalah
yang sedang kita bicarakan. Kau melamunkan soal lain, Palupi!"
Palupi kian melebarkan
senyumnya, namun ia menjawab dengan tegas, "Ya, memang soal lain. Soal
kepergianmu nanti,"
"Maksudmu
bagaimana?"
"Entahlah, tiba-tiba
kubayangkan Istana mewah ini akan menjadi sepi tanpa dirimu, Suto!"
Suto ingin tertawa, ia bahkan
menjawab dengan
konyol, "Kalau mau ramai,
bakar saja Istana ini. Pasti ramai!"
Palupi tertawa, tangannya
mencubit lengan Suto. Hatinya berbunga indah, dan Suto mulai paham dengan
gelagat itu. Maka ia segera berkata lebih bijak,
"Jangan menggantungkan
hidup pada seseorang. Gantungkanlah hidup pada dirimu sendiri dan seluruh
manusia di muka bumi ini. Jika kau terlalu menggantungkan hidup pada seseorang,
maka jiwamu akan mati pada saat orang itu pergi. Hidupnya jiwa tidak bisa
bergantung pada satu jiwa saja. Itulah yang kumaksud 'hidup' dalam artian jiwa
yang butuh semangat."
"Aku mengerti,"
jawab Palupi dengan senyum lebih wibawa lagi. "Aku harus mencoba
menghidupkan jiwaku tanpa harus bergantung pada jiwamu."
"Aku yakin kau mampu,
Palupi."
"Baiklah. Lalu..., kapan
kau akan berangkat temui gurumu?"
"Sekarang juga!"
jawab Suto dengan tegas.
"Perlu pendamping?"
"Tak perlu."
"Bawalah seekor kuda
supaya lebih cepat sampai dan kembali kemari."
"Pada waktu kuda sampai
di tempat guruku, aku sudah bisa kembali sampai di sini lagi. Kau mengerti
maksudku?"
Palupi mengangguk kalem.
"Artinya gerakanmu akan lebih cepat daripada gerakan seekor kuda
pacu!"
Seekor kuda bagi Pendekar
Mabuk merupakan perintang perjalanan saja. Ia akan dibuat lebih sibuk dengan
membawa kuda daripada pergi sendirian. Setidaknya soal makan saja harus
dipikirkan untuk sang kuda. Tapi jika pergi sendirian ia hanya memikirkan makan
untuk perutnya saja. Karenanya Suto tak pernah mau membawa seekor kuda dalam
bepergian ke mana saja, sebab ruang geraknya akan dibatasi oleh keberadaan kuda
tersebut.
Perjalanan Suto terpaksa
menyimpang arah karena mendengar denting suara pedang beradu. Rasa ingin tahu
siapa yang bertarung dengan mengadu pedang membuat Pendekar Mabuk berlari
menuju ke balik bukit gundul itu. Untuk menyingkat waktu, Suto Sinting
membatalkan niatnya untuk mengitari bukit gundul yang tak seberapa tinggi, melainkan
mendaki bukit itu dengan gerak silumannya yang secepat kilat itu. Zlaaap...
Seorang wanita cantik berusia
sekitar tiga puluh tahun dengan pakaian hijau dirangkap jubah merah jambu,
sedang berhadapan dengan perempuan usia sebaya dengan pakaian ketat warna hitam
dan rambut acak-acakan berkesan liar. Wanita berpakaian hitam itu mempunyai
gerakan yang sangat lincah dan cepat. Pedangnya bergagang hitam mampu
berkelebat nyaris tak terlihat mata. Tapi wanita berjubah merah jambu itu pun
mempunyai jurus pedang yang sering membuat lawan nyaris tertipu.
Suto Sinting sedikit
terperanjat melihat wanita berjubah merah jambu sebab ia sangat kenal dengan
wanita itu. Sebuah peristiwa terbayang dalam benak Pendekar Mabuk begitu
melihat wanita yang menjadi anak Adipati Suralaya. Wanita itu tak lain adalah
Delima Gusti, yang dulu pernah menolong Suto Sinting dalam keadaan terkena
racun 'Lebah Setan' dari Dewa Sengat. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Cambuk Getar Bumi"). Sedangkan wanita berambut acak-acakan
itu belum pernah dikenal Suto sama sekali, sehingga batin Suto bertanya-tanya;
siapa wanita yang mempunyai jurus pedang cukup hebat itu?
"Pakaiannya seperti dari
karet. Ketat sekali dengan tubuhnya yang meliuk-liuk penuh tantangan bercumbu
itu," pikir Suto. "Siapa sebenarnya perempuan berambut acak-acakan
itu? Sebenarnya dia cantik, sayang tak mau merawat kecantikannya sehingga tak
terlalu kelihatan menyolok. Hanya dadanya saja yang sangat menyolok karena
besar dan sesak itu. Agaknya ia mempunyai jurus
pedang yang cukup hebat,
terbukti Delima Gusti berulang kali terdesak dan hampir terpenggal lehernya.
Hmmm... kalau kubiarkan saja, Delima Gusti bisa mati di ujung pedang perempuan
berkulit kuning langsat itu."
Pandangan mata Suto Sinting
tersentak lebar ketika melihat perempuan itu berani lemparkan pedangnya ke dada
Delima Gusti. Wuuut...! Pedang itu kenai tempat kosong karena Delima Gusti
menghindar dengan lompatan ke samping.
Weess...!
Dan ternyata dengan sentakan
tangan yang terjulur bergerak ke belakang, pedang bergagang hitam itu bisa
kembali mundur dengan cepat. Wuuut!
Taab...!
Dalam sekejap pedang itu sudah
kembali ke tangan pemiliknya. Jurus itu belum pernah dilihat oleh Suto Sinting.
Tangan perempuan berpakaian hitam itu seperti mempunyai daya sedot yang mampu
membuat pedangnya yang sudah melayang lurus menjadi kembali ke tempat semula.
Tentu saja hal itu bisa dilakukan karena tenaga dalam yang tinggi dan sangat
terkendali.
"Bahaya sekali jurus
pedangnya itu," gumam Suto masih belum mau bertindak.
Tetapi di lain sisi, Delima
Gusti pun lakukan jurus yang memukau, ia tak mau mundur setapak pun ketika
lawannya maju menyerang. Pedangnya berkelebat cepat membuat tangkisan-tangkisan
sambil mencuri kesempatan untuk merobek perut atau dada lawannya. Bahkan dalam
satu keeempatan, Delima Gusti berhasil
lemparkan pedangnya lurus ke
depan, tapi tubuhnya segera melompat dan hinggap di pedang yang sedang
melayang. Wuuutt...!
Delima Gusti bagaikan terbang
dengan berdiri di atas pedangnya yang datar. Ujung pedang diarahkan ke leher
lawan. Bahkan ketika lawan menghindar ke kiri, Delima Guatl membelokkan arah
terbangnya pedang, sehingga pedang itu mengejar lawan ke kiri juga. Slaaap...!
Pedang menukik naik karena
lawan lakukan lompatan ke atas. Arah pedang tertuju ke perut lawan. Kaki Delima
Gusti seakan menjadi pengganti tangan yang hendak menghunjamkan pedang itu ke
tubuh lawan. Kibasan pedang perempuan berpakaian hitam itu ditangkis dengan
sentakan tenaga dalam yang keluar dari telapak tangan Delima Gusti, sehingga
tangan yang hendak menebaskan pedang tersentak ke belakang, tak jadi maju ke
depan. Tapi pedang di kaki Delima Gusti melesat naik dan berputar membuat
Delima Gusti berjungkir balik di udara dengan kaki tetap menempel pada pedang.
Untung saja perempuan yang menjadi lawannya cepat bersalto ke belakang, jika
tidak perutnya akan jebol ditembus oleh pedang Delima Gusti.
"Ternyata jurus pedang
Delima Gusti juga tidak bisa diremehkan?!" gumam Suto bicara sendiri.
"Mungkin itulah yang dinamakan jurus 'Pedang Terbang'."
Karena keenakan nonton jurus
pedang yang demikian hebat, Suto hampir saja lupa melerai pertarungan itu.
Kesadarannya timbul ketika Delima Gusti terdesak di bawah pohon setelah
menerima tendangan keras tepat di
ulu hatinya dari wanita
berambut acak-acakan itu. Duuhg...! Wuuus...!
Delima Gusti terkapar di bawah
pohon. Punggungnya
tadi membentur batang pohon
dengan keras. Darah keluar dari mulut Delima Gueti. Tapi ia masih berusaha
untuk segera bangkit, walaupun dalam keadaan sempoyongan. Kelemahan itu tidak
disia-siakan oleh lawannya. Lawan segera menerjang dengan pekik melengking
penuh hasrat membunuh.
Hiaaat...!"
Pedang bergerak cepat ke
sekeliling tubuh, tak tahu akan menebas melalui sisi mana. Delima Gusti pasti
tak mampu menangkis serangan itu. Maka, Suto Sinting segera kirimkan pukulan
ringan namun cukup melumpuhkan. Jurus 'Jari Guntur' digunakan. Sentilan jarak
jauh dari jari tangan kanannya melepaskan tenaga dalam tanpa sinar. Tess...!
Wuuud...!
Buuhg...! Pukulan tenaga dalam
itu mengenai dada perempuan berpakaian ketat tereebut. Gerakan majunya terhenti
seketika, tubuhnya melayang balik dengan terjungkir satu kali dan jatuh dalam
jarak tiga tombak dari tempatnya melompatnya tadi. Ia terengah-engah dengan
keadaan setengah merangkak. Dadanya dipegangi karena merasa sakit, merasa
seperti dijejak dengan dua kaki kuda.
Delima Gusti merasa heran,
namun cepat tanggap bahwa ada orang yang telah membantunya dari suatu tempat.
Delima Gusti segera sapukan pandangan mata ke segala arah. Lalu temukan sosok
seorang lelaki berdiri di
atas bukit gundul. Dari
bumbung tuak di pundak kanan, Delima Gusti segera mengenali bahwa lelaki di
atas bukit itu tak lain adalah Suto Sinting. Maka ia pun mendesah di sela
engahan napasnya, "Suto...?!"
Keadaan seperti itu adalah
kelengahan yang berbahaya bagi Delima Gusti. Perempuan berpakaian hitam ketat
itu ternyata memanfaatkan kelengahan tersebut dengan melepaskan seberkas sinar
yang disentakkan dari ujung jari tangan kiri. Claap...! Sinar merah terang
berkelebat menuju Delima Gusti.
Suto Sinting yang mengetahui
keadaan gawat itu segera menyentakkan jari tangannya juga setelah jari itu
disentuhkan di dahi. Wuuut...! Suto bagaikan membuang sesuatu di ujung dua
jarinya, lalu seberkas sinar ungu melesat melebihi kecepatan sinar merah
perempuan berpakaian hitam itu. Zlaaap...!
Sinar ungu itu tepat membentur
sinar merah sebelum mencapai tubuh Delima Gusti. Benturan tersebut hadirkan
gelombang panas yang meledak dan menghentak ke berbagai penjuru.
Blaaarr...!
Jurus 'Turangga Laga' telah
menyelamatkan Delima Gusti dari ancaman maut sinar merah lawannya. Namun daya
ledak yang menimbulkan gelombang panas menyentak kuat telah menerbangkan tubuh
Delima Gusti hingga terpelanting tak tentu arah. Demikian pula lawannya,
terpelanting membentur pohon menerabas semak belukar dan jatuh berdebum di
balik semak. Suto Sinting segera turun dari atas bukit untuk menolong
Delima Gusti.
"Su... Suto...!"
Delima Gusti semakin parah, darah keluar dari mulut semakin banyak. Wajahnya
sepucat mayat. Suto Sinting segera menyangga kepala Delima Gusti, lalu
meminumkan tuaknya. Dua teguk tuak masuk ke tubuh Delima Gusti. Suto Sinting
segera letakkan kembali kepala Deiirrta Gusti ke tanah. Karena pada waktu itu,
perempuan berambut acak-acakan itu telah melompat keluar dari balik semak dan
berseru dengan suara sedikit serak,
"Manusia licik! Siapa
kau, hah?! Apa urusanmu sehingga berani mencampuri pertarunganku ini?!"
"Maaf, Nona. Aku hanya
tidak menghendaki temanku ini mati di tanganmu!" kata Suto sedikit keras
namun tidak menampakkan sinar bermusuhan.
"Dia harus mati!"
sentaknya sambil menuding Delima Gusti pakai tangan kiri, sebab tangan kanannya
masih pegangi pedang. "Kalau kau mau ikut dia ke alam baka, sekarang juga
aku akan mengirimnya ke sana! Hiaaah...!"
Claaap...! Sentakan telapak
tangan kiri yang kuat melepaskan selarik sinar kuning lurus besarnya seukuran
gagang tombak. Suto Sinting segara menghadang sinar kuning itu dengan bumbung
tuaknya. Dees...! Wuuuk...! Sinar kuning itu berbalik arah, dua kali lebih
besar dari aslinya dan dua kali lebih cepat dari gerakan semula.
"Edan!" pekik
perempuan itu geram. Dia terkejut melihat sinar kuningnya berbalik arah. Ia
segera sentakkan kaki dan, wwwut...! Tubuhnya melesat ke
atas. Sinar kuning itu lewat
di bawah kakinya. Namun ila tak tahu kalau jaraknya dekat dengan pohon. Maka
ketika sinar kuning itu menghantam pohon, suara ledakan yang timbul menggelegar
itu hasilkan gelombang panas yang menyentak ke berbagai arah.
Blegaaar...!
Tubuh perempuan itu tersentak
ke depan dan jatuh tersungkur dengan keras. Wajahnya beradu dengan rumput.
Dadanya yang membusung montok itu pun bagaikan dibantingkan ke tanah. Bung...!
"Eegh...!" suaranya
tertahan karena hentakan itu. Kejap berikut terdengar suara erangan kecil, ia
menggeliat dan bangkit pelan-pelan. Matanya memandang ganas walau berdirinya
masih belum bisa tenang, limbung ke kiri-kanan. Suto Sinting sengaja dekati
perempuan itu.
"Maaf, itu seranganmu
sendiri," katanya dengan lembut.
Walau matanya menatap tajam
dan berkesan ganas, tapi hati perempuan itu berkata, "Tak pernah ada yang
bisa membalikkan pukulan 'Lancang Kuning'-ku itu. Jika dia bisa berbuat seperti
tadi, berarti ilmunya cukup tinggi. Uuh...! Punggungku terasa panas sekali. Kurasa
ada bagian tubuh yang hangus. Tulang punggungku pun terasa retak. Aku butuh
waktu untuk atasi luka dalamku ini. Hmmm... sayang sekali dia tampan, kalau
tidak, sudah kulepaskan jarum pamungkasku ke arahnya sekarang juga. Sial!"
Suto Sinting berkata dengan
lembut, senyumnya tipis
memikat hati wanita.
"Kalau kau tidak
menyerangku, kau tidak akan celaka, Nona!"
"Jangan banyak mulut!
Suatu saat kita pasti bertemu, dan akan kubalas kekalahanku ini!" Setelah
berkata demikian, Suto Sinting melihat perempuan itu mundur tiga tindak,
kemudian berbalik dan cepat pergi tinggalkan tempat. Gerakannya cukup cepat,
karena dalam kejap berikutnya sudah tidak terdengar langkah dan gerakan
larinya.
Delima Gusti menyusul Suto
dengan badan masih sedikit lemas, tapi rasa sakit di bagian dada sudah hilang.
Napasnya masih sedikit terengah-engah.
"Seharusnya jangan kau
biarkan dia melarikan diri!" kata Delima Gusti.
"Siapa dia
sebenarnya?" mata Suto masih
memandang ke arah kepergian
perempuan tadi.
"Dia dikenal dengan nama
Angin Betina. Murid Nini Pancungsari, tentunya kau masih ingat nama Nini
Pancungsari!"
"Ya, aku ingat. Nini
Pancungsari yang bekerja sama dengan Sri Maharatu untuk membunuh Bandar Hantu
Malam, tapi akhirnya mati sebagai bahan percobaan pusaka Cambuk Getar Bumi di
tangan Sri Maharatu."
"Benar. Dia berkelana
mencari pembunuh gurunya." "Lalu, mengapa seharusnya tak kubiarkan
melarikan
diri?"
"Dia mencarimu, mau
membunuhmu, karena ada kabar yang mengatakan bahwa pembunuh gurunya
adalah Suto Sinting."
"Mengapa terlibat
bentrokan denganmu?"
"Karena... karena ketika
kami sama-sama satu kedai, kudengar sesumbarnya yang memuakkan, yaitu akan
memotong-motong tubuhmu menjadi delapan bagian. Aku tak rela kau mati di
tangannya. Maka kuhadang dia di perjalanan dan kucoba untuk melumpuhkannya.
Ternyata ia cukup tangguh. Tapi aku yakin tak ada sekuku hitamnya jika
dibandingkan ilmumu."
"Berarti dia hanya tahu
nama tanpa tahu rupa?" "Kurasa begitu. Buktinya, dia justru pergi,
padahal
dia mencarimu. Dia tak tahu kalau
yang dihadapi adalah
Pendekar Mabuk; Suto
Sinting!"
Tawa Suto pendek saja. Kalem,
tak terpancing kemarahan, ia bahkan menenggak tuaknya beberapa teguk. Saat itu
Delima Gusti berkata,
"Kau mau ke mana,
Suto?"
"Menemui guruku untuk
suatu keperluan. Kau sendiri mau ke mana?"
"Menemui Resi Wulung
Gading, mau menanyakan ciri-ciri Pedang Kayu Petir."
Seketika itu juga Suto Sinting
tersentak kaget, matanya cepat memandang tajam pada Delima Gusti, lalu dia
ajukan tanya pada wanita cantik itu,
"Kenapa kau ingin
mengetahui ciri-ciri Pedang Kayu
Petir?"
"Seseorang ingin
melamarku dan memberiku maskawin Pedang Kayu Petir!"
"Hah...?!" Suto
terbelalak. "Siapa orang itu?
"Gandar Saka, dari Lumpur
Maut!"
Suto makin terkejut.
"Gandar Saka? Bukankah dia yang berjuluk Raja Tumbal?!"
*
* *
3
SUTO SINTING terpaksa menemani
Delima Gusti dalam perjalanan ke Lembah Sunyi, untuk menemui Resi Wulung
Gading. Hal itu dilakukan Suto demi memperoleh keterangan sejelas-jelasnya dari
Delima Gusti tentang kebenaran kata-katanya itu. Sebab, hati Pendekar Mabuk
kini diliputi kecemasan yang tersembunyi. Jika benar Pedang Kayu Petir akan
dijadikan maskawin bagi Raja Tumbal untuk melamar Delima Gusti, itu berarti
Pedang Kayu Petir sudah ada di tangan Raja Tumbal. Semakin sulit menumbangkan
orang yang telah memiliki pusaka Seruling Malaikat itu.
"Kabarnya memang begitu,
Gandar Saka sudah berusia banyak, tapi ia masih awet muda karena memang
mempunyai ilmu awet muda. Ia seperti lelaki berusia tiga puluhan," tutur
Delima Gusti.
"Kau pernah bertemu
dengannya?"
"Pernah, yaitu ketika ia
selamatkan ayahku dari ancaman orang-orang Pulau Dadap. Waktu itu kami masih
bermusuhan dengan Pulau Dadap. Setelah itu aku tak pernah bertemu lagi, karena
aku jarang ada di kadipaten. Belakangan kudengar dia menemui Ayah dan melamarku
dengan maskawin Pedang Kayu Petir."
"Lalu apa kata
ayahmu?"
"Ayah tertarik dengan
Pedang Kayu Petir itu. Kata Ayah, pedang itu sangat sakti, dapat lukai semua
orang berilmu setinggi apa pun, karenanya pedang itu ditakuti oleh semua orang
sakti dari golongan hitam maupun putih. Katanya pula, seluruh kekuatan lawan sesakti
apa pun jika matanya sudah memandang Pedang Kayu Petir, maka kekuatan itu akan
lumpuh tak akan bisa digunakan selama masih berada di sekitar pedang tersebut.
Karenanya mudah digunakan membunuh tokoh yang ilmunya setinggi langit pun.
Bahkan kabarnya pedang itu paling ditakuti oleh tokoh sesat terkenal, yaitu
Siluman Tujuh Nyawa."
Sebagian keterangan sudah
didengar Suto dari beberapa tokoh tua, termasuk Resi Wulung Gading. Tapi
agaknya sang Adipati, ayah Delima Gusti itu lebih banyak mengetahui tentang
pedang tersebut. Tak heran jika sang Adipati sangat tertarik untuk memiliki
Pedang Kayu Petir.
"Apakah waktu Gandar Saka
datang kepada ayahmu sudah membawa pedang tersebut?" tanya Suto bersifat
menyelidik.
"Belum. Kurasa Gandar
Saka tidak bodoh, membawa-bawa pedang pusaka tanpa jelas lamarannya diterima
atau tidak. Salah-salah direbut orang di tengah jalan," jawab Delima
Gusti.
"Menurutmu sendiri
bagaimana? Apakah kau mau menikah dengan Gandar Saka?"
"Ayah hanya mengatakan,
kesempatan mendapatkan
pedang maha sakti itu hanya
satu kali ini. Belum tentu tujuh turunan kita bisa punya kesempatan lagi. Jadi,
Ayah sarankan padaku agar jangan sia-siakan kesempatan ini. Aku didesak untuk
menerima lamaran Gandar Saka, toh pedang itu nantinya akan menjadi milikku.
Jadi kupikir-pikir, kuterima saja lamarannya demi dapatkan pedang itu. Sesakti
apa pun si Gandar Saka, kalau pedang itu sudah ada di tanganku, aku bisa
lepaskan diri dari tali perkawinan itu. Kalau dia melawan, aku punya senjata
untuk melumpuhkannya!"
"Jadi kau tidak
mencintainya?"
"Aku tahu orang Lumpur
Maut itu busuk-busuk hatinya! Untuk apa aku jatuh cinta pada lelaki berhati
busuk, kecuali untuk dapatkan pedang maha sakti!"
Terdengar suara tawa Suto
pendek saja, seperti orang menggumam. Sambil tetap melangkah menuju Lembah
Sunyi, hati Suto Sinting berkecamuk sendiri.
"Cerdik juga otak
perempuan ini. Rela menjadi istri Raja Tumbal hanya untuk dapatkan senjata
sesakti itu. Tetapi apa jadinya jika ternyata pedang itu palsu? Padahal Delima
Gusti sudah telanjur menjadi istri Raja Tumbal? Mau melawan tanpa pedang asli,
jelas ia tak akan mampu mengalahkan Raja Tumbal. Bahaya juga kalau Delima Gusti
tidak hati-hati. Dia bisa terjebak dalam lumpur mautnya Raja Tumbal!"
"Apakah kau keberatan
kalau aku menerima lamaran Gandar Saka?" pancing Delima Gusti. "Kalau
memang kau keberatan aku bersuamikan dia, kubatalkan niatku memperoleh pedang
pusaka itu, asal aku dapat pangganti
seorang suami yang serupa
persis denganmu."
Suto Sinting tertawa pendek.
"Agaknya perempuan ini menyimpan hati untukku tapi tak berani berterus
terang," pikir Suto. "Terserah, itu haknya untuk jatuh cinta kepada
siapa saja. Yang jelas aku tak boleh mengikatnya kalau aku tak siap membalas
cintanya."
"Jawablah, Suto,"
Delima Gusti sengaja hentikan langkah. "Jawablah apakah kau keberatan aku
menikah dengan Raja Tumbal?"
Suto tersenyum menawan. Lembut
dan meneduhkan hati.
"Yang membuatku kecewa
kalau kau terjebak
lumpurnya Raja Tumbal
itu!" "Maksudmu?"
"Pedang itu ternyata
palsu, tapi kau sudah terikat tali perkawinan dengannya. Kau tak akan bisa
memberontak. Kalau toh kau memberontak, kau akan kalah bertanding ilmu
dengannya. Ingat, dia punya pusaka Seruling Malaikat!"
Delima Gusti tarik napas
panjang-panjang, lalu melangkah lagi sambil berkata dengan pelan,
"Ituiah sebabnya perlu
kutanyakan dulu kepada Resi Wulung Gading tentang ciri-ciri pedang tersebut.
Bila perlu, akan kuminta Resi Wulung Gading datang pada saat penyerahan pedang
dan memeriksanya."
Gagasan itu dianggap cukup
bagus oleh Pendekar Mabuk. Tapi ia yakin, jika pedang itu asli, pasti akan
direbut oleh Resi Wulung Gading, sebab Pedang Kayu Petir adalah pedang milik
leluhurnya dan hanya sang
Resi yang berhak memegang
pedang tersebut. Sekalipun pedang tersebut sudah dinyatakan hilang puluhan
tahun, tetapi sang Resi pasti tetap merasa harus merebutnya jika ia tahu di
mana pedang itu berada.
Mereka tiba di padepokan sang
Resi ketika matahari mulai bergeser ke barat. Cahayanya masih terang benderang.
Kedatangan mereka disambut oleh dua murid sang Resi yang luput dari pembantaian
Dampu Sabang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bandar Hantu
Malam"). Kedua orang itu adalah Dul dan Sukat.
"Guru tidak ada di
tempat," kata Sukat
"Ke mana beliau?"
"Pergi ke Jurang
Lindu," jawab Dul.
"Ke Jurang Lindu?!"
Suto berkerut dahi.
"Ya. Beliau ingin temui
seorang tokoh sakti di sana bergelar si Gila Tuak!" kata Sukat tanpa
menyadari bahwa yang diajak bicara adalah murid si Gila Tuak. Hal itu membuat
Delima Gusti memandangi ke arah Suto, sebab ia tahu bahwa Suto Sinting adalah
murid si Gila Tuak. Tapi karena Suto berpikir beberapa saat, maka Delima Gusti
pun segera ajukan tanya kepada Sukat.
"Kapan beliau pulang
kemari?"
"Menurut hitungan, hari
ini Guru pulang. Mungkin sedikit sore baru tiba."
"Kalau begitu begini
saja," kata Suto kepada Delima
Gusti. "Kau tunggu sang
Resi datang di sini, aku akan bergegas ke Jurang Lindu, siapa tahu kepulangan
beliau ditunda. Aku akan ceritakan tentang dirimu yang ada di sini serta maksud
dan tujuanmu mencari beliau."
"Baik. Aku setuju. Aku
akan menunggumu juga walau sudah bertemu dengan sang Resi nanti. Jadi kuharap
dari temui gurumu kau kembali ke sini dan kita pergi bersama. Mungkin ada
beberapa hal yang perlu kita bicarakan."
Sambil berlari menggunakan
gerak siluman menuju Jurang Lindu, benak Suto selalu berkecamuk terutama
tentang dua hal yang disangsikan.
"Benarkah pedang itu
sudah ada di tangan Raja Tumbal? Serela itukah ia memberikan pedang maha sakti
itu hanya untuk mempersunting seorang wanita anak Adipati? Alangkah bodohnya
Gandar Saka jika hal itu benar-benar terjadi." j
Lalu pikiran Suto pun beralih
pada kesangsian kedua, "Benarkah Delima Gusti ingin dilamar Gandar Saka dengan
maskawin Pedang Kayu Petir? Jangan-jangan Delima Gusti hanya membual di depanku
untuk memancing perasaanku, apakah mencintainya atau tidak? Alangkah
beruntungnya Delima Gusti jika memang hal itu benar-benar terjadi."
Tepat menjelang petang, Suto
Sinting tiba di kediaman gurunya; si Gila Tuak. Tetapi tempat itu ternyata
kosong. Gila Tuak tak ada di tempat. Resi Wulung Gading juga tidak ada di
tempat. Tak pernah ada tanda ke mana Gila Tuak pergi. Hal itu membuat Suto
menjadi bingung sendiri.
"Kalau begitu aku harus
pergi ke Lembah Badai untuk temui Bibi Guru Bidadari Jalang. Siapa tahu Guru
ada di sana bersama Resi Wulung Gading! Setidaknya
aku bisa tanyakan kepada Bibi
Guru tentang kelemahan Seruling Malaikat. Pasti Bibi Guru mengetahuinya,
mungkin juga kenal dengan Raja Tumbal."
Zlaaap...! Dengan gunakan
gerak siluman Suto menuju Lembah Badai. Lembah itu adalah satu-satunya lembah
yang sering dilanda badai. Konon tak jauh dari pondok Bidadari Jalang terdapat
pusaran angin yang mampu menyedot benda apa pun yang melintas di atasnya,
itulah sebabnya lembah itu dinamakan Lembah Badai.
Sejak Bidadari Jalang
mengasingkan diri di Lembah Badai, membersihkan diri dari tindakan sesatnya
selama ini, ia tinggal di pondok itu bersama seorang pelayan wanita yang bernama
Biyung Supi. Usianya sekitar empat puluh tahun. Konon seorang janda yang nyaris
mati di tangan perampok, lalu diselamatkan oleh Bidadari Jalang dan akhirnya
mengabdi di sana. Biyung Supi orang yang pendiam, rajin bekerja, dan taat pada
perintah majikannya. Badannya kurus, rambutnya panjang tapi selalu digelung
rapi. Kulitnya sawo matang. Sisa kecantikannya masih terlihat lewat kebangiran
hidung dan keindahan bentuk mata serta bibirnya. Kegemarannya mengenakan kebaya
hijau muda dengan kain batik warna coklat cerah.
Perempuan ituiah yang
menyambut kedatangan Suto dan memberitahukan,
"Gusti Ayu Bidadari
Jalang sedang pergi, Tuan
Pendekar."
"Ke mana perginya,
Biyung?"
"Secara pasti saya tidak
tahu, Tuan Pendekar. Tetapi tadi Eyang Guru Gila Tuak dan Resi Wulung Gading
menjemputnya. Mereka pergi bertiga. Kalau tak salah dengar, mereka akan hadiri
pertemuan para tokoh tua yang akan membicarakan soal kemunculan Pedang Kayu
Petir."
Pendekar Mabuk terperanjat
sedikit, namun segera bersikap biasa kembali.
"Kapan mereka akan
pulang?"
"Saya tidak mendengar
percakapan tentang kapan beliau pulang."
"Apakah kau juga tidak
tahu di mana mereka
berkumpul?"
"Tidak mendengar nama tempat
disebutkan oleh beliau, Tuan Pendekar."
Petang mulai datang. Dengan
hati sedikit kecewa
karena tidak berhasil temui
guru-gurunya, Suto pun kembali ke Lembah Sunyi, ia perlu bicarakan tentang
pertemuan para tokoh tua itu kepada Delima Gusti. Siapa tahu perempuan cantik
itu mengetahui adanya pertemuan tersebut dan bisa sebutkan tempatnya. Jika Suto
tahu tempatnya, sudah pasti ia akan menyusul para gurunya ke tempat pertemuan
itu. Sebab pembicaraan yang dibahas sangat menarik perhatiannya, yaitu tentang
kemunculanTedang Kayu Petir.
"Ternyata pedang itu
memang benar-benar muncul lagi di permukaan bumi," pikir Suto dalam
perjalanannya. "Terbukti para tokoh tua berkumpul untuk membicarakannya.
Berarti apa yang dikatakan
Delima Gusti itu benar, bahwa
Pedang Kayu Petir ada di tangan Raja Tumbal dan akan dijadikan maskawin.
Barangkali para tokoh tua mendengar pedang pusaka maha sakti itu akan dijadikan
maskawin, sehingga hal itu perlu dibicarakan secara penuh perhatian. Mungkin
tindakan itu dianggap penghinaan terhadap pusaka maha sakti, atau mereka
berusaha selamatkan pedang itu dari tangan Raja Tumbal?"
Pendekar Mabuk hanya meraba
kemungkinan- kemungkinan yang bisa terjadi dan bisa dilakukan oleh para tokoh
tua. Diam-diam dia mempunyai kecemasan walau kecil sekali. Kecemasan itu berupa
bayangan kesaktian Raja Tumbal jika pedang maha sakti itu tak jadi diberikan
kepada orangtua Delima Gusti. Menurut Suto, kesaktian Raja Tumbal akan semakin
berlipat ganda; punya pedang maha sakti dan Seruling Malaikat. Siapa orangnya
yang bisa mengalahkan dua pusaka dalam satu tangan itu?
Suto sempatkan diri berhenti
sejenak, ia menenggak tuaknya. Ternyata tuak tinggal sedikit, ia harus mengisi
bumbung itu dengan tuak yang baru. Ia tak mau kehabisan tuak di perjalanan.
Gagasan yang terlintas adalah singgah di desa Pucangan, karena desa itulah yang
terdekat dari tempatnya berhenti.
"Aku akan mampir ke
kedainya Ki Rosowelas dan mengisi tuak di sana. Sekalian ingin melihat kabarnya
Sundari, anak gadis Ki Rosowelas itu," pikir Suto sambil segera melesat ke
arah desa Pucangan di kaki Gunung Keong Langit. Dari desa itu dapat ditempuh
jalan
menuju Lembah Sunyi lebih
dekat lagi asal mau melintasi lereng Gunung Keong Langit, bekas persinggahan
Bandar Hantu Malam yang bernama asli Ki Randu Papak itu.
Satu hal yang tak
disangka-sangka terjadi di kedai Ki Rosowelas. Kedai masih buka, pembelinya
cukup ramai karena salah satu warga desa ada yang punya hajat, mengawinkan
anaknya dengan menanggap ronggeng. Rumah yang sedang punya hajat itu tidak
seberapa jauh dari kedai Ki Rosowelas. Karenanya banyak pembeli ysng hilir
mudik ke kedai tersebut.
Suto Sinting sengaja muncul
dari pintu dapur. Sundari berteriak kegirangan, lalu tanpa sungkan- sungkan
memeluk Suto sebagai ungkapan rasa girangnya. KI Rosowelas pun tampak gembira
sekali menerima kedatangan Suto, bahkan sempat menceritakan keadaan Suto yang
waktu itu ditemukan seperti orang gila. Suto mengerti maksud Ki Rosowelas, dan
ia jadi malu membayangkan masa linglungnya karena terkena racun 'Lebah Setan'
itu. Temu kangen itu terjadi di dapur, sehingga tidak mengganggu orang lain dan
tidak terganggu oleh orang lain.
"Aku hanya ingin mengisi
bumbung tuakku yang hampir kering, Sundari. Setelah itu aku harus pergi ke
Lembah Sunyi."
"Mengapa buru-buru, Suto?
Bermalamlah di sini saja! Besok baru teruskan perjalananmu," bujuk Sundari
dengan penuh harap, karena gadis itu sebenarnya menyimpan cinta dan kekaguman
terhadap Pendekar
Mabuk.
Sambil mengisi tuak ke
bumbung, Ki Rosowelas juga menyarankan agar bermalam di tempatnya. Bahkan Pak
Tua itu tambahkan kata,
"Mumpung ada tanggapan
ronggeng semalam suntuk lho. Pasti seru dan sangat sayang kalau
dilewatkan."
"Kapan-kapan saja aku
bermalam lagi di sini, Ki.
Sekarang aku punya urusan yang
lebih penting daripada nonton ronggeng semalam suntuk," kata Suto. Ia
menerima bumbungnya kembali setelah bumbung itu penuh tuak.
"Ada makanan apa di
depan, Ki?"
"Biasa... ketan, singkong
rebus, ubi goreng, pisang goreng, jadah, dan... cobalah lihat sendiri
sana," kata Ki Rosowelas yang sudah menganggap Suto seperti anak sendiri.
Diam-diam Sundari persiapkan kamar untuk bermalam Suto. Ia yakin dengan bujukan
dan rengekan manjanya, Suto pasti akhirnya akan bermalam di kedainya itu.
Setidaknya akan terpaksa bermalam jika kamar sudah disiapkan oleh Sundari.
Ketika Suto ingin mengambil
makanan sebagai pengganjal perut, tiba-tiba matanya memandang ke arah bangku
sudut. Di sana duduk seorang wanita berambut acak-acakan, mengenakan pakaian
ketat warna hitam, wajahnya tampak angker walau sebenarnya cantik. Suto
terkejut memandang wanita itu yang tak lain adalah Angin Betina, lawan Delima
Gusti yang konon sedang mencari Suto untuk dibunuh.
Melihat si murid Nini
Pancungsari itu duduk
sendirian dalam keadaan sedang
termenung, Suto Sinting pelan-pelan mendekatinya dengan senyum tipis telah
mekar di bibirnya dan sepotong pisang goreng ada di tangannya. Wanita berwajah
liar itu terkejut ketika sadar ada lelaki telah berdiri di depannya. Ia
langsung pegang gagang pedang, namun segera batalkan niat mencabutnya setelah
matanya menatap jelas-jelas siapa pemuda yang mendatanginya itu.
"Kampret busuk! Si tampan
itu lagi yang muncul!" gumamnya dalam hati.
"Boleh aku duduk di
bangku depanmu ini, Nona
Cantik?"
Angin Betina diam saja,
berkesan angkuh dan sinis. Tapi ketika Suto duduk di bangku depan mejanya, ia
segera buang muka bagai tak ingin beradu pandang dengan Suto Sinting. Lagaknya
itu membuat Suto kian melebarkan senyum geli.
"Untuk apa kau berada di
desa ini, Angin Betina?" Seet...! Wajah sangar itu berpaling memandang
Suto.
"Dari mana kau tahu
namaku?!" ucapnya bernada ketus. "Banyak hal yang kuketahui tentang
dirimu.
Sesungguhnya kau berhadapan
dengan seorang peramal," kata Suto mulai membual dalam canda batinnya.
Mata Angin Betina terkesiap.
"Apa saja yang kau tahu tentang diriku?"
"Kau sedang dilanda
kemarahan yang tertunda, tapi juga menyimpan duka atas suatu musibah yang
terpaksa harus kau hadapi."
Angin Betina tidak memberikan pendapat.
Diam beberapa saat. Karena Suto pun diam agak lama dan mereka saling adu
pandang, Angin Betina tak kuat menahan debar-debar di hatinya, maka ia alihkan
perhatian hatinya dengan tanya,
"Apa lagi yang kau
tahu?"
"Kau... sedang berkabung
atas kematian gurumu." Suto memandang dengan sengaja tak berkedip supaya
kelihatan sedang meneropong
mata dan membaca pikiran wanita itu. Si wanita mulai tertarik dan mendesak
pertanyaan,
"Kalau kau memang
peramal, sebutkan nama guruku!"
"Hmmm... gurumu adalah
Nini Pancungsari, orang berilmu tinggi yang punya dendam dengan tokoh sakti
bernama Bandar Hantu Malam!"
Angin Betina mulai semakin
tertarik dengan gerak mata yang sedikit melebar tanda terperanjat. Padahal
semua keterangan itu sudah diperoleh Suto jauh sebelum ia bertemu dengan Angin
Betina.
"Apa kau tahu siapa
pembunuh guruku?"
"Hmmm... ya, tahu! Tapi
berbeda dengan alam pikiranmu."
"Jelaskan!"
"Gurumu bertarung melawan
Bandar Hantu Malam, bekerja sama dengan Sri Maharatu. Mereka berhasil membunuh
Bandar Hantu Malam, gurumu mengambil kalung pusaka Bandar Hantu Malam,
sedangkan Sri Maharatu mengambil pusaka Cambuk Getar Bumi. Tapi
Sri Maharatu orang kejam.
Gurumu dipakai bahan percobaan kesaktian cambuk itu. Sri Maharatu melecutkan
cambuknya dan gurumu pun mati. Sri Maharatu baru percaya bahwa cambuk itu
adalah cambuk pusaka yang mempunyai kesaktian tinggi."
"Sri Maharatu...?!"
gumamnya mulai berkerut dahi. "Aslinya memang dia pembunuh gurumu. Tapi...
sepertinya kau telah memperoleh
berita yang salah. Kau pasti sangka orang lain yang membunuhnya."
"Memang benar. Tapi
tahukah kau siapa orang yang kusangka membunuh guruku?"
"Menurut pikiranmu yang
kubaca saat ini, kau
menyangka Pendekar Mabuk yang
bernama Suto Sinting itulah orang yang kau anggap membunuh gurumu."
Keheranan Angin Betina mulai
terlihat jelas dari gumamnya, "Aneh! Tepat sekali!" sorot matanya pun
mempunyai nada keheranan cukup dalam. "Aku ingat, kala itu Guru memang
dihampiri oleh Sri Maharatu dari Pulau Dadap, dan mereka menyebut-nyebut cambuk
pusaka yang bernama...."
"Cambuk Getar Bumi!"
"Ya. Tepat. Rupanya ini
kelicikan Sri Maharatu?!" "Benar. Tapi dia sekarang sudah tiada.
Tewas
terpotong-potong di depan tiga
saksi, yaitu Delima Gusti, Resi Wulung Gading, dan Putri Kunang, adik tiri Sri
Maharatu."
"Siapa yang membunuh Sri
Maharatu?" "Pendekar Mabuk, Suto Sinting."
Angin Betina nyata-nyata
terkejut mendengar nama
itu disebutkan sebagai
pembunuh Sri Maharatu. Karena di dalam hatinya sudah mempunyai perubahan
dendam, ia ingin mencari Sri Maharatu untuk membalas kematian gurunya. Namun ia
sangat tak menyangka kalau Sri Maharatu justru telah mati di tangan orang yang
pertama kali dicurigai membunuh gurunya.
"Bagaimana kau bisa tahu
semua itu?"
"Karena aku seorang
peramal," jawab Suto dengan senyum tipis mengguncangkan hati Angin Betina.
Keketusan dan keangkuhannya mulai mengendor. Ia meneguk arak pesanannya dalam
cangkir kecil. Matanya masih memandang Suto dengan kesan nakal. Senyumnya pun
tipis punya arti jalang. Lalu ia berkata pelan,
"Terlalu tampan kau untuk
seorang peramal."
"Orang cantik sepertimu
yang menjadi dukun bayi juga banyak," kata Suto.
Angin Betina lebarkan senyum,
bernada geli mendengar kelakar Suto.
"Kau sudah tahu namaku.
Sekarang aku perlu tahu, siapa namamu?"
Suto diam sesaat
mempertimbangkan jawabannya. Karena terlalu lama membungkam, Suto kembali
didesak Angin Betina,
"Siapa namamu? Katakan
saja. Aku tak pernah menghina nama sejelek apa pun!"
"Namaku...
Pancawala!"
"Oh, nama yang bagus
sekali," ucap Angin Betina dengan lirih.
Suto sengaja tak mau sebutkan
namanya, takut kalau Angin Betina tidak mau percaya dengan ceritanya tadi. Ia
bergegas tinggalkan Angin Betina sebentar karena Sundari lambaikan tangan
kepadanya. Suto bergegas ke dapur dan mendengar Sundari berkata,
"Jangan dekati wanita
itu! Dia sedang mencarimu untuk dibunuh!"
Ki Rosowelas menyahut,
"Tidak apa-apa. Aku tadi sudah ceritakan banyak-banyak tentang dirimu.
Saat kau masuk dapur tadi, ia bertanya padaku mengapa kelihatannya di dapur
terjadi kegembiraan. Lalu kuceritakan secara singkat siapa dirimu. Apa yang
kudengar dari orang-orang tentang keberhasilanmu membunuh Sri Maharatu yang
mencuri cambuk pusakanya Bandar Hantu Malam juga kuceritakan dan...."
"Jadi dia... dia sudah
tahu namaku, Ki?"
"Sudah! Sudah tahu!"
jawab Ki Rosowelas dengan bangga. "Malah dia merasa menyesal telah
mengancam oang yang telah membalaskan kematian gurunya itu."
Suto Sinting tertegun bengong
dan menjadi tak enak hati. Jika begitu maka bualannya tadi sia-sia. Suto jadi
salah tingkah, namun segera punya niat meluruskan pengakuannya tadi. Ia segera
temui Angin Betina lagi dan berkata dengan lagak kikuknya.
"Hmmm... maaf,
kurasa...."
"Aku besok akan pergi ke
Bukit Lajang, apakah kau mau ikut Pancawala?"
"Hmmm... anu... namaku
bukan Pancawala. Namaku
Suto Sinting dan...."
"Ah, Pancawala!"
"Bukan kok. Namaku Suto
Sinting! Aku tadi...."
"Sekali Pancawala tetap
Pancawala. Jangan berubah- ubah!"
Suto mengendur, "Hmmm...
iyalah... Pancawala juga boleh...."
Angin Betina tersenyum.
"Aku mau ke Bukit Lajang, kau mau ikut?" ulangnya.
"Untuk apa ke sana?"
"Menyadap pembicaraan
tokoh sakti yang sedang membicarakan tentang munculnya Pedang Kayu Petir."
"Hahh...?!" Suto
terkejut, hal ini pun termasuk sesuatu yang tak disangka-sangka. Ternyata Angin
Betina justru mengetahui di mana tempat pertemuan para tokoh sakti itu. Padahal
Suto sedang berusaha mencari tahu dengan menghubungi Delima Gusti, itu pun
belum terlaksana karena harus singgah di kedai tersebut. Agaknya tawaran itu
tak bisa ditolak oleh Suto.
"Baiklah. Aku besok mau
ikut denganmu ke Bukit
Lajang."
"Kalau begitu, malam ini
kau pasti setuju jika kita bermalam di sini!"
"Bermalam. Mak...
maksudmu.... Eh, tapi di sini hanya ada satu kamar kosong!"
"Cukup untuk berdua,
bukan?" "Eh... tapi... tapi begini saja..."
"Kalau kau tak mau
bermalam denganku, aku tak mau mengajakmu ke Bukit Lajang," kata Angin
Betina.
Suto semakin bingung dan sulit
bicara.
*
* *
4
TiDUR bersama bagi Suto punya
dua pengertian; memang benar-benar tidur, atau justru tidak bisa tidur. Jika
memang benar-benar tidur, Suto tidak keberatan. Tapi jika ternyata justru tidak
bisa tidur, itu yang repot. Suto tidak berani lakukan yang begituan, karena
segala gerak-geriknya selalu dipantau oleh calon istrinya; Dyah Sariningrum.
Suto Sinting tak mau kecewakan sang kekasih, ia juga tak ingin nodai cintanya
yang seputih salju itu.
Angin Betina dibiarkan tidur
di kamar yang dulu pernah disewa oleh Suto. Ia sendiri tidur di bangku panjang
kedai. "Asal sekarang ia tidur, aku juga tidur, bukankah itu namanya juga
tidur bersama? Cuma beda tempat," pikir Suto. Ia sudah persiapkan alasan
untuk mengelak kekecewaan Angin Betina jika esok mereka sama-sama bangun dari
tidurnya.
Ternyata ketika Suto Sinting
bangun dari tidurnya di pagi hari, kamar tempat bermalam Angin Betina itu sudah
kosong. Sundari memberitahukan bahwa Angin Betina sudah pergi meninggalkan
tempat ketika ayam berkokok. Suto Sinting sempat tertegun di tempat. Dongkol
hatinya karena merasa ditinggalkan.
"Sial! Dia benar-benar
meninggalkan aku!" gerutu
Suto Sinting. "Rupanya
yang dikehendaki bukan tidur bersama tapi melek bersama. Ah, dasar perempuan.
Kalau sudah ada maunya dan tidak dituruti sering bikin ulah yang menjengkelkan.
Tapi sebaiknya kulacak kepergiannya. Pasti belum terlalu jauh."
Suto Sinting temui Sundari di
dapur. "Apakah kau tahu saat ia pergi?" "Ya. Aku sudah bangun
kala itu." "Ke mana arah kepergiannya?"
"Ke selatan," jawab
Sundari sambil merasa heran. "Kenapa kau tanyakan? Apakah kau ingin
menyusulnya? Susullah ke sana kalau kau ingin peluk dia!" Sundari bernada
cemburu, tapi hanya ditanggapi dengan senyum geli oleh Suto.
"Arah selatan, Bukit
Lajang?! Hmm...! Masa' iya aku tak bisa sampai di sana kalau sudah kudapatkan
arahnya?" pikir Suto Sinting yang akhirnya segera pergi ke arah selatan.
Untuk menyusul Angin Betina, Suto terpaksa gunakan gerak silumannya yang mampu
berlari secepat angin, melebihi kecepatan anak panah lepas dari busurnya.
Apa yang dibicarakan oleh para
tokoh tua mengenai pedang maha sakti itu sungguh membuat hati sangat penasaran.
Setidaknya mereka juga akan bicara tentang Raja Tumbal. Suto ingin tahu tentang
segala sesuatunya yang berhubungan dengan kesaktian Raja Tumbal, terutama
Seruling Malaikat-nya. Tanpa mengetahui seluruh kekuatan Raja Tumbal, tak
mungkin dapat diketahui kelemahan dan kekurangannya.
Hanya saja, menyusul Angin
Betina tidak semudah menyusul terbang sang garuda. Sudah beberapa saat Suto Sinting
lakukan perjalanan cepatnya ke arah selatan, tapi sosok Angin Betina tidak
dilihatnya. Bahkan tiba-tiba Suto Sinting menyadari bahwa dirinya sudah berada
di perbatasan sebuah desa yang pernah disinggahinya pula; desa Kukusan.
Desa itu adalah desa tempat
tinggai mendiang Empu Sakya, si pemilik Keris Setan Kobra. Di desa itu pula
Suto Sinting ingat tentang seorang bocah penggembala kambing yang akhirnya
sempat berkelana mengikutinya, namun bocah itu merasa menjadi murid Ki Gendeng
Sekarat karena mendapatkan satu ilmu dari si tukang tidur itu; ilmu 'Genggam
Buana'. Bocah berusia sepuluh tahun itu tak lain adalah Angon Luwak, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Keris Setan Kobra").
"Barangkali Angon Luwak
bisa tunjukkan di mana letak Bukit Lajang itu," pikir Suto. "Tapi
apakah anak itu ada di rumah? Hmm... seandainya tak ada, mungkin aku bisa minta
bantuan keluarganya, atau kakaknya yang jualan legen dan pernah disangka
sebagai diriku itu, Sabani!"
Rumah keluarga Angon Luwak
akhirnya ditemukan setelah bertanya kepada salah satu penduduk desa. Seperti
dugaannya, Suto Sinting berhasil temui Sabani, kakak Angon Luwak yang
pekerjaannya jualan legen, yaitu air bunga kelapa yang bisa dibuat gula aren,
sejenis gula merah, yang pada umumnya dibawa dalam tempat tabung bambu seperti
tempat tuaknya Pendekar Mabuk
selama ini.
Sabani tampak girang sekali
melihat kedatangan Suto ke rumahnya, karena ia pernah ditolong dan diselamatkan
oleh Pendekar Mabuk ketika terancam maut dari tangan orang-orang perguruan
Lumbung Darah.
"Wah, mimpi apa aku
semalam, kok sekarang kedatangan tamu agung yang menjadi kebanggaan adikku.
Selamat datang, Kang Pendekar!" sambut Sabani. Ia sedikit membungkuk
sebagai tanda menghormat sopan kepada Suto Sinting.
Dengan keramahannya, Pendekar
Mabuk menepuk- nepuk punggung Sabani. Basa-basi terjadi sesaat, karena jika
terlalu lama bisa benar-benar basi. Suto Sinting segera menanyakan tentang
Angon Luwak.
"Bocah itu sudah beberapa
hari murung dan lesu karena kehilangan jejakmu, Kang. Baru sekitar dua-tiga
hari ia menjadi ceria setelah sering diajak bermain perang-perangan oleh
teman-temannya," kata Sabani.
"Di mana dia
sekarang?"
"Kalau tak salah ada di
tegalan, Kang. Kalau mau ketemu dia, biarlah kupanggilkan dulu. Kang Pendekar
di sini saja," sambil Sabani bergegas pergi. Tapi lengannya segera dicekal
Pendekar Mabuk hingga langkahnya tertahan.
"Biar kutemui saja di
tegalan. Aku mau bikin kejutan untuknya."
Pendekar Mabuk segera bergegas
ke tegalan atau ke ladang yang belum ditanami tanaman baru. Di sana
bocah-bocah seusia Angon Luwak
sedang bermain perang-perangan. Ada sekitar delapan anak yang bermain di sana.
Angon Luwak pura-pura menjadi pendekar, sedangkan teman-temannya ada yang
menjadi penjahat, ada yang berlagak menjadi guru sakti. Mereka
bertarung-tarungan menggunakan tombak dari pelepah pisang, ada yang pura-pura
membawa kapak dari pelepah daun kering, ada yang membawa pedang- pedangan dari
kayu, ada juga yang lemparkan senjata rahasia dari sabut dan tempurung kelapa.
Mereka berciat-ciat ramai sekali, membuat Suto tertawa-tawa sendiri dari kejauhan.
Suto sengaja biarkan mereka bermain dan hanya dipandangi dari bawah sebuah
pohon berdaun rindang.
"Angon Luwak...,"
gumamnya. "Kangen juga aku padanya. Jiwa pendekar ada di dalam darahnya,
ia memang butuh seorang guru untuk membimbing darah satrianya. Sayang sekali
aku tak punya waktu, sehingga tak bisa ajarkan ilmu silatku kepada Angon Luwak.
Aku suka kepada anak itu. Nakalnya adalah nakal sang ksatria yang tidak takut
menentang bahaya," kecamuk Suto dalam hati sambil tersenyum-senyum.
"Gayanya sudah seperti
seorang jago pedang saja," gumam Suto menertawakan gaya Angon Luwak yang
belum punya jurus silat sedikit pun tapi sudah sok berlagak bisa silat.
Pedang-pedangannya dimainkan asal tebas sana-sini membuat teman-temannya
terpaksa mati walau belum sampai terkena pedang-pedangannya. Teriakan Angon
Luwak melengking-lengking sambil
lompat sana-sini dan akhirnya
jatuh telentang sendiri karena salah satu temannya ada yang menyampar kakinya.
"Curang kamu, Din! Jangan
sampar kaki, ah!" Angon
Luwak menggerutu.
"Saladin benar, Wak! Main
silat itu boleh sampar kaki."
"Sampar mulut juga
boleh," kata Saladin.
"Ya, ya...!
Bolehlah!" kata Angon Luwak, "Tapi aku belum kalah lho!"
"Mana bisa?! Pendekar
kalau sudah jatuh ke tanah namanya sudah kalah!" seru teman di
belakangnya.
"Tapi kan belum
mati!" Angon Luwak ngotot.
"Harus mati! Sudah jatuh
kok tidak mau mati? Kamu sudah jadi mayat!"
"Tapi aku tidak kena
pusaka kok. Aku jatuhnya
karena disampar kakinya!"
"Kamu jadi mayat jangan
ngotot!" seru Saladin. "Kalau ngotot nanti liang kuburmu sempit
lho!"
"Ah, tidak bisa! Tidak
bisa! Aku masih gagah kok, belum kalah!" Angon Luwak masih tak mau
dianggap kalah.
Teman-temannya membela Saladin,
"Kamu sudah kalah! Sekarang pendekarnya ganti Saladin!"
"Tidak mau!"
"Kamu jadi penjahat
sakti!"
"Tidak, tidak! Penjahat
tidak ada yang sakti!" Angon
Luwak cemberut.
"Wong sudah kalah kok
marah!" kata Saladin.
"Terus maumu apa,
hah?!" Angon Luwak menantang. Saladin juga berani.
"Terserah, maumu apa? Mau
tarung denganku?
Boleh!"
"Huhh... tak bacok
kamu!" Angon Luwak berlagak mau menebaskan pedang-pedangannya. Saladin
maju dengan berani sambil busungkan dada.
"Mau bacok aku? Silakan!
Nih, bacok! Bacoklah dadaku! Nih...!"
Cras...! Angon Luwak
membabatkan pedang- pedangannya.
Teman-temannya terkejut
seketika. "Lho... terluka?!
Saladin terluka?!"
"Coba lihat! Wah, iya...
dia benar-benar terluka!" kata yang lain.
Angon Luwak tertegun bengong.
Suto Sinting pun
jadi kaget bukan kepalang.
Ternyata dada Saladin benar- benar terluka karena sabetan pedang-pedangannya
Angon Luwak. Lukanya memanjang dari ketiak kiri ke pinggang kanan, luka itu
menyala hijau berpendar- pendar seperti nyala kunang-kunang. Angon Luwak
ketakutan. Lebih takut lagi setelah teman-temannya menjauh dan tubuh Saladin
segera jatuh terkapar, kejang-kejang bagai ayam disembelih.
"Bagaimana ini, Wak?!
Kuadukan kakaknya Saladin lho! Pokoknya kamu yang melukai Saladin!"
"Jangan! Jangan bilang
siapa-siapa, Man!" Angon
Luwak ketakutan.
Teman-temannya juga ketakutan
dan lari
berhamburan. Angon Luwak pun
lama-lama ikut melarikan diri, karena tubuh Saladin memancarkan sinar hijau
seperti sinar pada lukanya. Tubuh Saladin terlonjak-lonjak dengan sentakan
keras, sehingga tubuh itu bisa bergeser sendiri ke sana-sini dalam keadaan terkapar.
"Celaka! Kenapa anak
itu?!" pikir Suto dengan tegang. Pada waktu itu, Angon Luwak masih belum
larikan diri, masih mundur pelan-pelan dengan wajah tegang. Suto segera melesat
menghampiri Saladin yang menurutnya dalam bahaya. Tapi gerakan Suto menjadi
lamban. Langkahnya terasa berat. Jaraknya dengan Saladin yang sekitar lima
belas langkah itu ditempuh dengan waktu lambat. Suto mencoba berlari
menggunakan gerak silumannya, tapi yang bisa dilakukan berlari biasa. Bahkan
ketika ia mencoba melompat untuk bersalto cepat supaya segera sampai di tempat
Saladin, ternyata ia tak bisa bersalto lagi. Ia justru jatuh berdebam seperti
pepaya matang.
"Aneh?! Kenapa aku tidak
bisa melenting di udara dan tak mampu lakukan gerakan salto?!" pikirnya
dengan heran.
Setelah Suto jatuh itulah,
Angon Luwak ikut-ikutan larikan diri seperti teman-temannya. Tapi Angon Luwak
lari ke arah hutan, karena takut kena marah kakaknya Saladin atau keluarganya
bocah itu. Ia lari untuk bersembunyi sebab merasa telah membunuh Saladin.
Kejutan-kejutan tubuh Saladin
mulai melemah. Biasanya jika sudah begitu pertanda kematian akan tiba.
Suto Sinting sangat cemas
melihat keadaan Saladin yang sekujur tubuhnya masih menyala hijau walau sudah
mulai redup.
"Benar-benar gawat anak
ini! Dia mau mati!"
Suto Sinting cepat-cepat
tenggak tuaknya, lalu tuak di mulut disemburkan ke tubuh Saladin. Itu yang
dinamakan pengobatan 'Sembur Husada', yaitu cara mengobati luka dengan semburan
tuak. Luka memang bisa sembuh cepat dan segera lenyap tanpa bekas, tetapi yang
diobati akan lupa ingatannya kepada Suto. Seandainya sebelumnya Saladin sudah
mengenal Suto, maka jika ia diobati dengan jurus 'Sembur Husada', setelah
lukanya kering ia akan lupa siapa Suto dan merasa seperti belum pernah mengenal
Suto, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka Tuak
Setan").
'Sembur Husada' berani
dilakukan oleh Pendekar Mabuk, sebab ia merasa seandainya Saladin lupa pada
dirinya tak jadi soal, toh memang sebelumnya tak pernah mengenal Suto, jadi tak
perlu mengembalikan ingatan bocah itu.
Brrwwesss...!
Tuak disemburkan. Biasanya
cukup satu kali. Tapi agaknya kali ini Suto harus mengulangi sampai tiga kali
semburan. Lalu, sinar hijau yang memancar dari tubuh Saladin itu padam.
Perlahan-lahan dada Saladin yang basah tuak itu mulai bergerak-gerak. Luka
memanjang menjadi mengatup kembali. Sinar hijau pada luka pun lama-lama hilang
bersama lenyapnya luka yang
mengoyak dada.
Saladin tampak mulai bisa
bernapas. Erangannya lirih sekali, tapi matanya mulai berkedip-kedip membuka
pelan. Suto Sinting membantu Saladin untuk bangun dan duduk. Napas Saladin
terhempas lepas seperti merasakan kelegaan. Ia memandangi sekeliling dengan
bingung, juga menatap Suto dengan heran.
"Teman-temanku pada ke
mana tadi, Kang?"
"Pulang," jawab Suto
juga masih menyimpan keheranan tersendiri.
Saladin bangkit, tengok
sana-sini, menggerutu pelan, "Uuh... payah! Mereka tinggalkan aku karena
tak ada yang mau akui kalau aku pantas jadi pendekar!"
Saladin langkahkan kaki tiga
tindak, lalu berhenti dan menengok ke arah Suto.
"Aku pulang, Kang!"
"Ya," jawab Suto
dengan masih tertegun bengong, bagai terkesiap melihat Saladin sehat dan segera
berlari pulang.
Tinggallah Pendekar Mabuk
sendirian di tegalan itu dalam keadaan dikerumuni keheranan yang tiada tara.
Keheranan itu meliputi masalah luka di dada Saladin, juga nyala sinar hijaunya,
juga tentang dirinya yang tak bisa bersalto lagi, tak bisa gunakan gerak
siluman, dan akhirnya Suto penasaran. Lalu ia coba kembali untuk gunakan gerak
silumannya, berlari cepat melebihi kilat. Napasnya mulai ditahan didada, kaki
pun menyentak pelan di tanah.
Deeg...! Wwweesas...!
Seet...! Suto berhenti dan
kembali tertegun bengong menyadari bahwa dirinya sudah mampu bergerak secepat
kilat seperti biasanya. Bahkan ketika dicobanya melenting di udara dan bersalto
mundur dua kali, ternyata hal itu mampu dilakukan dengan baik, seperti biasanya
pula.
"Luar biasa anehnya
diriku hari ini?! Tadi tidak bisa bergerak cepat. Melompat pun jatuh. Tapi
sekarang hal itu bisa kulakukan. Ada apa sebenarnya pada diriku? Sepertinya
tadi aku kehilangan ilmuku, dan sekarang ilmuku sudah kembali lagi?! Hmmm...
pasti ada orang usil di sekitar sini yang menggangguku! Aku ingin tahu siapa
orangnya?"
Suto Sinting segera gunakan ilmu
'Lacak Jantung', mendengarkan detak jantung seseorang yang bersembunyi di
sekitarnya. Tapi ternyata ia tidak mendengar detak jantung seseorang. Alam
menjadi sepi, hanya angin yang mendesah pelan.
Zlaaap...! Zlaaap...!
Zlaaap...!
Suto melesat ke sana-sini
dengan gerak silumannya untuk mencari kemungkinan orang sakti bersembunyi di
sekitarnya. Karena ia menduga orang yang mengganggunya tadi mampu menghentikan
detak jantung pada saat dilacak. Tetapi ternyata keadaan di sekitarnya
sepi-sepi saja. Tak ada manusia di sana-sini.
"Apakah dia sudah pergi?
Hmmm... pergi dengan anak itu! O, ya... ke mana si Angon Luwak tadi?"
pikir Suto sambil tengok sana-sini. Maka ia pun segera melangkah kembali menuju
rumah Angon Luwak,
karena ia menyangka anak itu
pulang ke rumah dan bersembunyi di kolong balai. Suto tersenyum membayangkan
bocah itu sembunyi di kolong balai dalam keadaan ketakutan karena merasa baru
saja membunuh teman sepermainan. Bayangan itu akhirnya membuat langkah Suto
Sinting terhenti dengan sendirinya. Senyum hilang, kerutan dahi jadi tajam.
"Iya, ya... kenapa
Saladin mengalami luka seaneh itu? Dia hampir saja mati. Padahal hanya terkena
goresan ujung pedang-pedangan si Angon Luwak. Mengapa sampai bisa menyala hijau
seperti kunang-kunang? Apakah Angon Luwak punya ilmu lain tanpa disadarinya?
Setahuku, Angon Luwak hanya punya ilmu
'Genggam Buana' dari Ki
Gendeng Sekarat. Ilmu itu tidak akan bisa membuat lawan menyala hijau seperti
tadi. Hanya bisa meremukkan sesuatu yang digenggam dengan napas tertahan."
Langkah dilanjutkan tapi
pelan-pelan, karena batin
Pendekar Mabuk masih terus
berkecamuk.
"Kenapa Saladin bisa
terluka separah itu? Padahal ia hanya ditebas dengan pedang-pedangan. Pedang
itu dari kayu biasa. Sepertinya dari kayu randu karena warnanya putih dan
tampaknya ringan dijinjing. Kayu itu juga kelihatan sudah lapuk, geripis
pinggirannya. Gagangnya coklat, juga tampak sudah lapuk. Tak ada kehebatan apa-
apa yang bisa diiihat dari pedang itu. Ah, sungguh mengherankan sekali,
sepertinya tak masuk akal jika tubuh Saladin bisa terluka seaneh itu hanya
ditebas dengan pedang-pedangan. Pasti Angon Luwak punya
ilmu baru yang bisa membuatnya
seperti memegang pedang asli."
Tiba-tiba langkah Suto
terhenti lagi. Dahi masih
berkerut dan memandang dalam
terawang keheranan. "Tunggu dulu!" katanya dalam hati. "Pedang
itu dari
kayu yang mudah patah.
Bentuknya sangat sederhana, berkesan dibuat secara kasar. Kayu itu tampaknya
lapuk dan memang geripis pinggirannya. Hmmm... lapuk? Lapuk berarti lama!
Jangan-jangan... jangan-jangan pedang-pedangan itulah yang dinamakan Pedang
Kayu Petir?!"
Wajah Pendekar Mabuk mulai
menegang. Hatinya berdebar-debar.
"Apa benar Pedang Kayu
Petir seperti itu? Ah, terlalu mengada-ada! Bukan! itu bukan Pedang Kayu Petir,
itu hanya pedang-pedangan milik seorang bocah yang dibuat secara kasar dan
menirukan bentuk pedang biasa. Berarti ada tenaga sakti yang tersalur di
pedang- pedangan itu. Entah dari tangan Angon Luwak atau dari kekuatan batin seseorang
yang punya niat jahil? Sebaiknya kutemui Angon Luwak dan kuperiksa diri anak
itu. Pedang-pedangannya pun perlu kuperiksa untuk meyakinkan bahwa pedang itu
bukan pedang berisi tenaga dalam!"
Sampai di rumah Angon Luwak,
Sabani justru merasa heran dan berkata,
"Angon Luwak belum
pulang, Kang Pendekarl
Apakah di tegalan tak
ada?"
"Ada. Tapi dia sudah
berlari pulang bersama teman-
temannya."
"Ah, belum! Sejak tadi
aku belum lihat dia pulang, Kang?!"
"Coba cari di kolong
balai, mungkin dia bersembunyi di sana atau di tempat yang pantas untuk
bersembunyi."
"Bersembunyi?! Kenapa
bersembunyi?! Apakah dia takut melihatmu, Kang?"
"Tidak. Hanya sekadar mau
main-main denganku. Cobalah cari dulu...!" desak Suto yang akhirnya
membuat Sabani terpaksa mencari adiknya di kolong balai, di belakang lemari, di
dapur, bahkan di kandang ayam.
"Tidak ada, Kang
Pendekar! Ibu saya juga bilang belum lihat dia pulang."
"Wah, ke mana anak itu,
ya?" gumam Suto Sinting. "Coba biar saya yang cari, Kang. Kang
Pendekar
diam di sini dulu."
Sabani sangat menghormati
kedatangan Suto, sehingga tak segan-segan bergerak cepat ke rumah teman-teman
adiknya. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan tangan hampa dan napas
terengah-engah pertanda habis lari.
"Tidak ada, Kang! Semua
rumah temannya sudah saya sambangi tapi Angon Luwak tidak ada di sana. Malah
beberapa temannya bilang, Angon Luwak habis membunuh Saladin! Saya jadi takut,
Kang!"
"Tidak. Angon Luwak tidak
sejahat itu. Apakah kau tidak bertemu Saladin?"
"Bertemu! Lalu saya
tanya, 'Apakah kau tadi dibunuh
sama Angon Luwak?', dan
Saladin bliang; 'tidak'. Lalu saya pikir, benar juga. Kalau dia sudah dibunuh
pasti dia tidak bisa menjawab 'tidak'."
Suto Sinting tersenyum tipis,
tertawa pendek dalam gumam. Lalu ia berkata, "Kalau begitu biar kucari
sendiri anak itu. Mungkin dia bermain di hutan."
"Mungkin malah sedang
nongkrong di Telaga Jompo, Kang."
"Telaga Jompo...?!"
Suto berkerut dahi dengan heran. "Telaga Jompo ada di atas bukit seberang
itu. Hampir dekati puncaknya. Telaga Jompo adalah telaga yang bisa sembuhkan
orang lumpuh, Kang. Airnya sangat berkhasiat untuk penyembuhan. Beberapa hari
yang lalu, kutemukan Angon Luwak duduk termenung di Telaga
Jompo dengan sedih karena
kehilangan jejakmu!"
"Apa benar dia ada di
sana?" pikir Suto Sinting, lalu bergegas pergi ke Telaga Jompo.
*
* *
5
BUKIT itu bernama Bukit
Kukusan, sama dengan nama desa di kakinya. Bukit tersebut berseberangan dengan
bukit yang dulu digunakan mendiang Empu Sakya untuk larikan diri dari kejaran
Iblis Naga Pamungkas. Bukit Kukusan mempunyai jenis tanaman jati dan cemara
liar. Hutannya tak terlalu lebat, semaknya juga tak terlalu rimbun, mudah untuk
dilalui.
Ketinggian bukit itu tidak
seberapa, artinya masih memungkinkan didaki oleh anak seusia Angon Luwak.
Tetapi Pendekar Mabuk merasa
baru kali itu
mendengar ada telaga di bukit
tersebut yang bisa sembuhkan orang lumpuh. Rasa penasaran Suto bukan terletak
pada khasiat air telaga, melainkan kepada keanehan Angon Luwak. Rasa
penasarannya itu begitu besar, sehingga Pendekar Mabuk merasa lebih penting
mengejar Angon Luwak ketimbang mengejar Angin Betina ke Bukit Lajang.
Di dalam hati Suto, pada sisi
hati yang terkecil, masih menyimpan dugaan tentang pedang-pedangan Angon Luwak
yang diduga adalah Pedang Kayu Petir. Harapan kebenaran atas pedang itu memang
sangat kecil, namun justru mengganggu ketenangan berpikir Pendekar Mabuk.
Itulah sebabnya, Suto merasa perlu memeriksa pedang-pedangan tersebut walau
sisi hati lainnya mengatakan;
"Pekerjaan yang gila dan
bodoh! Sudah tahu pedang- pedangan untuk bermain anak kecil masih diharapkan
sebagai Pedang Kayu Petir. Rasa-rasanya aku sudah tak waras lagi, terlalu
tergila-gila dengan pedang maha sakti itu!"
Sekalipun sisi hati lainnya
berkata begitu, kenyataannya Suto Sinting tidak mau hentikan langkah dan tetap
maju menuju Telaga Jompo. Namun kejap berikut langkah itu terpaksa dihentikan.
Kemunculan dua orang berpakaian seperti biksu membuat Suto Sinting terpaksa
hentikan langkahnya. Dua orang yang
secara tak sengaja berpapasan
dengan Suto ternyata berasal dari arah atas bukit. Mereka pun sama-sama
hentikan langkah karena melihat sosok penampilan pemuda tampan menyandang
bumbung tuak, pakaian baju coklat tanpa lengan, celana putih kusam dan rambut
panjang selewat pundak tanpa ikat kepala. Ciri-ciri itulah yang membuat dua
tokoh tua berusia sekitar delapan puluh tahun ke atas itu juga hentikan
langkah.
Wajah mereka wajah seorang
paderi, atau layaknya seorang imam agung sebuah aliran kepercayaan. Kepala
mereka gundul, sehingga raut wajah tenangnya terlihat dengan jelas. Tapi di
balik ketenangan itu, Pendekar Mabuk temukan kegelisahan yang tersembunyi, dan
kecurigaan yang sengaja ditutup dengan sikap wibawa kedua tokoh.
Mereka mengenakan kain
pembalut tubuh warna merah yang menyilang ke pundak kiri. Tapi baju longgar
yang dikenakan mereka berbeda warna, yang satu berwarna kuning, yang satu
berwarna biru. Mereka sama-sama beralis tebal putih. Yang satu berkumis dan
berjenggot putih, yang satunya tidak berkumis dan tidak berjenggot. Tubuh
mereka sedikit gemuk, yang berkumis lebih gemuk dari yang tidak berkumis.
"Salam damai dari kami
untukmu, Anak Muda. Kalau tak salah ciri-ciri yang kami lihat, kau adalah
Pendekar Mabuk; Suto Sinting!" kata yang berpakaian biru.
"Benar, Eyang,"
jawab Suto sopan. "Kalau boleh saya tahu, siapakah Eyang berdua ini? Sebab
saya baru sekarang melihatnya."
"Aku Pendeta Jantung Dewa
dari Biara Genta," kata yang memakai baju biru tanpa kumis dan jenggot,
matanya sedikit sipit. "Di sampingku ini adalah kakakku yang bernama
Pendeta Mata Lima dari Biara Damai."
Orang yang diperkenalkan
sebagai Pendeta Mata Uma itu diam saja, tak ada anggukan apa pun. Kesannya
lebih kaku dari Pendeta Jantung Dewa. Bola matanya tak sesipit si Jantung Dewa,
bahkan besar dan mempunyai pandangan tajam. Sekalipun demikian, Pendekar Mabuk
tetap tunjukkan sikap hormat dengan anggukkan badan dan wajah penuh keramahan.
"Sangat kebetulan sekali
kita bertemu di sini, Suto Sinting," kata si Jantung Dewa.
"Sesungguhnya adalah hal yang paling sulit menemui Pendekar Mabuk yang
sedang banyak dibicarakan oleh kalangan tokoh tua belakangan ini."
"Apakah Eyang berdua
memang bermaksud menemui saya?"
"Tidak utama!" sahut
Mata Lima.
Kata-kata selanjutnya
diteruskan oleh si Jantung Dewa, "Yang paling utama adalah melacak benda
pusaka itu."
"Benda pusaka apa
maksudnya?"
Pendeta Mata Lima yang
sebenarnya hanya punya dua mata, empat dengan mata kaki itu, segera menjawab
dengan suaranya yang agak besar dan berwibawa,
"Sebagil pendekar yang
sedang kondang namanya, tentunya kau sudah mengerti pusaka yang kami maksudkan.
Tak perlu lagi berlagak bodoh di depan
kami. Kau punya pikiran dan
angan-angan yang dipenuhi oleh pusaka itu."
"Pedang maha sakti itu,
maksudnya?"
"Nah, kau sudah menjawab
pertanyaanmu sendiri, Anak Muda!"
Tak ada gentar bagi Pendekar
Mabuk menatap bola mata si baju kuning itu. Hatinya membatin, "Sepertinya
dia punya maksud tertentu padaku yang kurang beres. Ada apa sebenarnya?"
Pendeta Jantung Dewa dari
Biara Genta pun segera berkata, "Pendekar Mabuk, jika kau tahu di mana
benda pusaka itu, tolong tunjukkan kepada kami, sebab kami sangat
membutuhkannya untuk memerangi lawan yang ingin memporakporandakan biara kami
berdua."
"Apa alasan Eyang menduga
saya mengetahui benda tersebut?"
"Hasil pertemuan kami
menyimpulkan bahwa benda itu ada di sebelah utara tempat kami berkumpul.
Tongkat penunjuk milik Resi Wulung Gading mengarah ke utara. Getarannya sangat
jelas, sehinga kami berlomba-lomba lari ke utara mengejar Pedang Kayu Petir
itu. Secara kebetulan, kami berdua temukan kau ada di sini, menyongsong
perjalanan kami. Sudah tentu kami yakin, bahwa kaulah orang yang mengetahui di
mana benda pusaka itu berada."
"Eyang salah! Justru saya
sedang kebingungan mencari benda tersebut," kata Suto sambil hatinya
berucap untuk diri sendiri, "Berarti pertemuan para tokoh tua di Bukit
Lajang telah usai. Apakah Angin
Betina sempat hadiri pertemuan
itu atau kecele, karena pertemuan sudah bubar pada saat ia sampai di Bukit
Lajang?!"
"Jangan berpikir soal
perempuan, Anak Muda," kata Pendeta Mata Lima secara tiba-tiba, membuat
Suto Sinting terperanjat dan menjadi malu.
"Agaknya ia tahu kata
hatiku dan bisa membaca jalan pikiranku," pikirnya.
Kemudian dengan sikap dibuat
tenang, Pendekar
Mabuk berkata kepada Pendeta
Mata Uma,
"Eyang Pendeta Mata Lima,
saya kagum mengetahui Eyang dapat membaca pikiran saya. Barangkali itu salah
satu kesaktian Eyang sebagai Pendeta Mata Lima, yang mampu memandang dengan
mata batin tentang pikiran seseorang. Sayang sekali Eyang punya pandangan batin
yang keliru dengan menyangka saya adalah orang yang mengetahui pedang maha
sakti itu."
"Mataku juga dapat
melihat apa yang kau lihat. Bola matamu menampakkan bayangan pedang maha sakti
itu, berarti kau sudah melihat pedang tersebut."
Senyum disunggingkan selebar
mungkin, namun tak mengurangi sikap sopannya. Suto merasa geli dengan tebakan tokoh
tua yang kaku itu.
"Eyang salah
pandang!" kata Suto. "Benar-benar salah pandang. Sebab saya merasa
belum pernah melihat pusaka tersebut."
"Jangan bertele-tele,
Anak Muda!" Pendeta Mata Lima tampak mulai tak sabar. "Sekali lagi
kuingatkan, kami benar-benar butuh pedang itu untuk memerangi
orang seaat yang ingin
memporakporandakan biara kami. Jadi tolong beritahukan kepada kami dimana benda
itu berada. Jangan membuat kami harus memaksamu dengan kekeraaan. Karena demi
selamatkan biara kami, jika sangat terpaksa kami tak segan-segan lakukan
kekerasan."
"Hmm..., dia mulai
mengancam! Sudah salah, ngotot lagi! Payah juga orang ini. Percuma jadi pendeta
kalau masih suka ngotot terhadap kesalahannya," pikir Suto Sinting, lupa
bahwa pikiran itu bisa dibaca lawannya. Tentu saja sang lawan tampakkan
perubahan wajah yang makin nyata. Pendeta Mata Lima mulai geletukkan giginya.
Tasbih hitam dari bebatuan bening yang sebesar-besar melinjo itu mulai
diremas-remasnya.
Pendeta Jantung Dewa berkata
masih dengan suara tenang, "Apa yang dikatakan kakakku itu memang benar,
Pendekar Mabuk. Kami tak peduli kau adalah murid dari si Gila Tuak, tapi jika
tak mau bantu kami dengan menunjukkan benda itu, kami akan tega memaksamu
menggunakan kekerasan. Barangkali memang itulah jalan yang kau kehendaki. Kami
maklum, karena darah pendekarmu masih muda, masih suka menguji ilmu
seseorang."
"Sama sekali tidak!"
bantah Suto dengan cepat. "Saya tidak menyukai kekerasan jika tidak
dipaksa dan didesak. Saya mengatakan kebenaran diri saya. Tapi jika Eyang-eyang
ini tidak mau percaya dan menganggap perlu gunakan kekerasan, dengan rendah
hati saya terpaksa melayaninya!"
"Di matamu ada bayangan
Pedang Kayu Petir!" sentak Pendeta Mata Lima. "Kau tak bisa bohongi
pandangan mataku, Suto Sinting!"
"Saya katakan sekali
lagi, pandangan Eyang salah!" "Tidak, Suto!" sahut Pendeta
Jantung Dewa dengan
kalem. "Apa kata kakakku
itu memang benar, karena aku sendiri melihat bayangan pedang ada di matamu,
ditambah lagi bayangan seorang wanita berambut acak- acakan dan berpakaian
hitam ketat dengan dada besar menggiurkan dan...."
"Ssst...! Yang itu jangan
dijelaskan!" sentak si Mata
Lima dengan geram.
"Maaf, semoga Sang Hyang
Widi mengampuni ucapanku tadi," ucap Jantung Dewa dengan lirih penuh
penyesalan.
Suto ingin berkecamuk lagi di
dalam hatinya, tapi ia batalkan karena kecamuknya akan diketahui oleh Pendeta
Mata Lima. Kini ia bahkan berkata dengan tegas dan lebih bersikap berani.
"Eyang-eyang Pendeta,
saya mohon maaf tidak bisa membantu maksud Eyang. Jadi, izinkan saya lewat
tanpa ada sikap memaksa!"
"Tidak bisa!" si
Mata Lima berkata dengan tegas juga. "Kami tak bisa lepaskan orang yang
tahu tentang pedang itu! Dengan menyesal dan sangat terpaksa, aku harus
tunjukkan padamu bahwa kami benar-benar membutuhkannya!"
"Apa maksud
kata-katanya?" pikir Suto Sinting setelah mereka bertiga sama-sama diam.
Tapi mata Suto
segera melihat bahwa tasbih
hitam yang ada di tangan Pendeta Mata Lima itu diremas-remas semakin kuat.
Remasan itu kepulkan asap putih, dan tiba-tiba Suto Sinting rasakan perutnya
bagai dipelintir sekuat tenaga, hingga akhirnya ia jatuh terbanting.
"Uuhg...!" Bruuk...!
"Gila! Rupanya dia telah
serang diriku dengan kekuatan batinnya melalui tasbih itu!" gerutu Suto
dalam hati. Ia pun segera bangkit.
Namun baru saja ia ingin
menegakkan badan, tiba- tiba Pendeta Mata Lima sabetkan tasbihnya ke udara.
Zraak...! Bunyi gemeresak akibat sabetan tasbih berbatu hitam itu seperti terlepasnya
ratusan jarum dari baskom lebar. Bunyi itu membuat Suto Sinting terpental ke
belakang karena merasa dihempas oleh gelombang hawa panas yang amat besar.
Bahkan Pendekar Mabuk sempat gelagapan dengan mata terpejam-pejam.
Bruuuk...!
"Edan! ilmu apa ini, aku
seperti dilanda seribu kuda?!" gerutunya lagi di dalam hati. "Aku
harus tunjukkan pembalasan supaya mereka tahu bahwa aku tidak bersalah."
Dalam keadaan duduk, Suto
Sinting segera sentilkan jarinya yang berarti jurus 'Jari Guntur' dilepaskan dari
tempatnya. Tesss...!
Wuuud...! Daahk...!
Seperti batu menghantam papan,
tubuh Pendeta Mata
Lima masih berdiri tegak tak
bergeming. Sedangkan Pendeta Jantung Dewa justru mundur dengan tenang, seakan
menyerahkan perkara itu kepada kakaknya.
"Jurus 'Jari Guntur'
tidak mempan untuknya! Luar biasa besar kekuatan orang tua itu?!" pikir
Suto sambil berdiri lagi. Ia segera membuka tutup bumbung dan menenggak tuak
beberapa teguk.
Pada saat Suto mendongak untuk
menenggak tuak, Pendeta Mata Lima segera lepaskan pukulan tasbihnya dengan
kibasan memutar di atas kepala dan menyentakkan ke depan. Crak...! Slaaap...!
Dari tasbih itu keluar sinar
merah pijar sebesar bola bekel. Sinar merah itu melesat menghantam Suto
Sinting. Tapi ekor mata Suto yang melihat kelebatan itu segera tanggap, ia
merendahkan badan dengan berlutut satu kaki. Bumbung tuaknya segera ditegakkan
dengan dipegang dua tangan. Tepat di depan wajahnya, bumbung tuak itu menghadang
laju sinar merah. Akhirnya sinar itu membentur bumbung tuak.
Blaaar...!
Suatu keanehan terjadi. Sinar
tidak membalik arah seperti biasanya, tapi meledak di tempat. Jika bukan ilmu
yang tinggi, tak mungkin tak bisa dikembalikan.
Hentakan daya ledak sinar
merah tadi membuat Suto Sinting terjungkal ke belakang dengan sekujur tubuh
terasa panas. Bahkan empat pohon di sekitarnya menjadi keriput. Kulit batangnya
mengelupas keriting, daun- daunnya menguning dengan cepat. Bahkan ada yang
langsung berwarna coklat kering. Tetapi Suto Sinting
hanya mengalami raaa panas
yang sekejap saja segera hilang tak berbekas.
Pendeta Mata Lima sendiri
terpental dan menabrak
adiknya yang berdiri di
belakang. Jika tidak tentunya ia akan terlempar membentur pohon cemara di arah
belakangnya. Akibat terpentalnya Pendeta Mata Uma yang tak diduga-duga itu,
Pendeta Jantung Dewa roboh dan jatuh telentang tertindih tubuh kakaknya yang
lebih gemuk darinya.
Buuhg...! Suaranya keras
bagaikan sebongkah batu besar jatuh ke tanah. Pendeta Jantung Dewa terpekik
dengan suara tertahan.
"Heegh...!"
Mereka berdua sibuk menjaga
keseimbangan dan buru-buru berdiri. Mereka sama-sama berpikir, harus cepat
berdiri sebelum dilihat anak muda itu. Akibat terburu-buru ingin cepat berdiri
lagi, mereka saling geret dan tindih, sehingga mirip orang berebut sesuatu yang
membuat jatuh mereka justru lama. Suto Sinting sudah berdiri tegak dan
memperhatikan mereka saling berebut kesempatan bangun.
"Bocah itu tidak bisa
dianggap enteng, Mata Lima!" kata Pendeta Jantung Dewa setelah keduanya
sama-sama berdiri dan selesai saling gerutu.
"Sudah kuduga dia memang
tangguh. Tapi tak kusangka setangguh ini, sehingga serangan tingkat tigaku
membuatnya masih setegar itu!"
"Kalau begitu, biar
kuhadapi dia. Jurus 'Jala Surga' bisa bikin dia jera dan mau membantu
kita."
Si Jantung Dewa segera maju
dua tindak. Wajahnya tetap kalem, matanya yang kecil menatap Suto berkesan
dingin. Suaranya terdengar jelas tanpa tekanan kemarahan sedikit pun.
"Kau boleh saja merasa
bangga karena bisa bertahan menghadapi pukulan tingkat tiga dari kakakku, Suto.
Tapi kau tak akan bisa bertahan melawan jurus 'Jala Surga'-ku ini, Nak!"
Sraaab...!
Tiba-tiba Pendeta Jantung Dewa
sentakkan tangan kirinya dengan telapak tangan membentuk cakar elang. Dari
telapak tangan itu melesat berlarik-larik sinar biru membentuk jala yang
menyerupai benang laba-laba. Sinar-sinar biru itu melesat ke arah tubuh Suto
Sinting dengan kecepatan tinggi, seakan tak mungkin bisa terhindari. Dan memang
menurut pengakuan hati si Jantung Dewa, jurus 'Jala Surga'-nya selama ini tak
pernah ada yang bisa menghindarinya. Namun ia tak tahu bahwa Suto punya gerak
siluman yang mampu bergerak melebihi kecepatan anak panah. Zlaaap...!
Tahu-tahu ia sudah pindah
tempat di belakang Pendeta Mata Lima dalam jarak hanya empat langkah. Sedangkan
sinar birunya Pendeta Jantung Dewa mengenai seonggok tanah keras. Jaaab...!
Tanah keras itu merekah, dari rekahannya keluar asap putih dan cahaya sinar
biru membara di dalamnya. Kejap berikutnya tanah itu kembali utuh, namun
rumput- rumputnya rontok dan mengering kecoklatan.
"Mana dia tadi?"
Pendeta Jantung Dewa mencari-cari
Suto tanpa menengok kepada
kakaknya. Pendeta Mata Lima juga menengok ke sana-sini dan begitu menengok ke
belakang terpekik kaget.
"Hahhh...!"
Wajahnya lucu. Wajah tua
berkumis dan berwibawa itu membelalakkan mata dan melebarkan mulut karena
kaget. Bahkan tubuhnya sempat terlonjak satu tindak ke samping. Tapi wajah itu
buru-buru dibuat tenang dan berwibawa, walau yang terlihat adalah wajah menahan
rasa malu dan jengkel. Sedangkan Pendeta Jantung Dewa tetap tenang memandangi
Suto yang tersenyum geli melihat kelucuan wajah Pendeta Mata Lima itu.
"Hebat sekali kau bisa
hindari jurus 'Jala Surga'-ku," kata Pendeta Jantung Dewa sambil
manggut-manggut. "Tapi dapatkah kau tetap bertahan dengan sabuk Telur
Naga'-ku ini?! Hiaah...!"
Sreet...! Wuuut...!
Sabuk dari batu-batuan merah
bening yang menyerupai rantai itu tahu-tahu dilepaskan dari pinggang dengan
satu kali tarik. Sabuk itu menyabet ke arah Pendekar Mabuk. Memang tidak
mengenai tubuh Suto, tapi lecutannya keluarkan sinar api merah yang mirip bunga
api menggerombol dan menghantam ke arah dada Suto Sinting. Bumbung tuak masih
di tangan Suto, sehingga dengan cepatnya Suto sentakkan bumbung tuak ke depan
dalam keadaan datar. Sodokan bumbung tuak itu keluarkan sinar kuning. Jurus
'Naga Sontok' menghantam bunga api dan menimbulkan ledakan dahsyat yang sempat
mengguncangkan tanah,
merontokkan bebatuan yang
dalam posisi miring, menumbangkan tiga pohon jati berukuran sedang.
Zlaap...!
Blegaaar...!
Tubuh kedua pendeta itu
terjungkal bagaikan dilemparkan badai besar. Mereka berguling-guling berbeda
arah. Hampir saja sebatang pohon yang roboh menindih perut Pendeta Mata Lima.
Bruus...!
"Uuhg...!"
Pohon itu hanya menjatuhi kaki
kanan Pendeta Mata Lima, sementara adiknya diam tak bergerak karena sebongkah
batu besar menggelinding dan menggencet tubuh itu dengan pohon yang masih
berdiri tegak. Hanya kakinya yang tampak bergerak-gerak kebingungan mencari
panjatan untuk mendorong batu besar itu.
Pendekar Mabuk hanya terpental
beberapa langkah dari tempatnya. Namun sempat meringis kesakitan karena
pinggulnya bagai retak karena saat terlempar pinggul itu menghantam sebatang
pohon cemara hingga daun-daun cemara berguguran. Suto Sinting masih bisa
berdiri walau penuh gerutu karena harus singkirkan daun-daun cemara dari
tubuhnya, ia lekas tenggak tuaknya untuk hilangkan rasa sakit di tulang
pinggulnya.
"Hiaaaah...!"
Suto kaget mendengar suara
teriakan besar. Ternyata Pendeta Mata Lima sentakkan kaki yang tertindih pohon
itu. Sentakan kaki ke atas membuat batang pohon terlempar terbang ke arah
belakang, lalu jatuh di semak- semak berjarak delapan langkah dari tempatnya.
Sebuah
kekuatan tenaga dalam yang
besar telah dilepaskan Pendeta Mata Lima demi singkirkan batang pohon yang
membuat tulang keringnya terasa patah itu.
"Hiaaah...!"
Suto kaget lagi mendengar
suara sentakan keras. Disusul dengan suara gemuruh sekilas. Ternyata suara itu
datang dari Pendeta Jantung Dewa yang berhasil pecahkan batu besar itu menjadi
serpihan kecil. Dengan begitu tubuhnya yang tergencet batu dapat bebas walau
tulang rusuknya masih terasa sakit, sepertinya ada yang patah.
"Kalau kulayani,
bisa-bisa salah satu ada yang mati konyol," pikir Suto. "Sebaiknya
kutinggal pergi menuju Telaga Jompo. Agaknya tak jauh lagi dari sini. Kalau
memang mereka mengejar, akan kuajak bermain kucing- kucingan! Tak mungkin
mereka bisa temukan aku."
Zlaaap...! Suto Sinting
sentakkan kaki dan lenyap bagaikan ditelan bumi. Padahal ia berlari cepat
melebihi kilat menuju ke puncak bukit. Pendeta Mata Lima bisa lihat gerakan
cepat itu karena ketajaman matanya, ia berseru kepada Pendeta Jantung Dewa,
"Anak itu lari ke puncak!
Kejar dia!"
Tanpa menunggu jawaban,
Pendeta Mata Lima bergerak cepat hampir menyamai gerakan Suto Sinting. Adiknya
menyusul dengan kecepatan sama. Jika mereka tidak berilmu tinggi, mustahil
mereka mampu bergerak cepat dalam keadaan tulang kaki dan tulang rusuk terasa
remuk. Mereka punya cara sendiri untuk hilangkan rasa sakit itu.
Sayangnya gerakan mereka
sengaja dipatahkan oleh pukulan seseorang yang menyerang dengan sinar putih
keperakan. Dua sinar putih keperakan itu menghantam lambung mereka dan sulit
dihindari atau ditangkis lagi.
Claap...! Des, des...!
"Aahg...!" keduanya
sama-sama mengerang pendek,
kemudian tumbang ke bumi.
Serangan itu belum membuat mereka mati, namun cukup membuat mereka tak berdaya.
Penyerangnya masih sembunyikan diri, memperhatikan keadaan mereka dari tempat
yang amat
terlindung.
6
TELAGA Jompo terletak di tanah
datar yang mendekati puncak bukit. Tanaman di sekelilingnya membuat rindang
tempat itu. Berbatu-batu dan tidak begitu lebar. Airnya sedikit keruh berwarna
kekuning- kuningan. Dilihat letaknya mendekati puncak bukit, sudah terbayang
keanehan telaga yang ada di situ. Airnya yang kekuning-kuningan mempunyai kesan
sebagai air yang punya khasiat penyembuhan. Entah mungkin bercampur belerang,
atau endapan tanahnya yang mengandung obat, yang jelas sebuah danau ada di
puncak bukit merupakan keajaiban tersendiri.
Pandangan Suto Sinting tertuju
ke beberapa tempat di sekitar telaga. Ternyata tak ada seorang pun di sana.
Angon Luwak tidak kelihatan,
orang lain pun tak ada. Benar-benar tempat yang sunyi, tanpa kicau burung dan
suara binatang apa pun kecuali desau angin.
"Luwaaak...!" seru
Suto memanggil. "Angon
Luwaaak...!"
Tak ada jawaban. 'Lacak
Jantung' digunakan. Ternyata memang tak ada suara detak jantung siapa- siapa
kecuali jantungnya sendiri. Akhirnya Suto Sinting duduk di salah satu tepi
danau itu. Ia menenggak tuaknya beberapa teguk. Setelah itu hatinya membatin,
"Ke mana anak itu? Jika
tak ada di sini, berarti dia berlari dan bersembunyi di tempat lain. Tapi di
mana kira-kira? Haruskah kutanyakan kembali kepada Sabani, kakaknya? Ah, capek
kalau harus bolak-balik ke sana."
Sesaat kemudian di hati
Pendekar Mabuk timbul kecemasan yang samar-samar.
"Jangan-jangan dia
terperosok di jurang sebelah timur tadi? Ah, mudah-mudahan tidak demikian.
Biarlah kedua pendeta bodoh itu yang terperosok di jalanan tepi jurang timur
itu. Kalau tidak terperosok pasti mereka sudah mengejar dan menemukanku di
sini. Seandainya mereka menemukanku di sini dan menyerangku, apakah aku harus
melumpuhkan mereka?"
Pikiran Suto sempat
melayang-layang tak tentu arah. Tapi segera dikembalikan pada pokok
persoalannya, ia masih merasa tak habis pikir, mengapa kedua pendeta itu yakin
betul bahwa dirinya telah melihat pedang maha sakti?
"Apakah benar di mataku
ada bayangan pedang maha
sakti itu? Jangan-jangan
mereka hanya cari gara-gara? Untuk apa dua orang itu menjadi pendeta di dua
biara jika kerjanya cari gara-gara? Kurasa... tak mungkin. Pasti mereka memang
punya kepentingan dengan pedang itu, hanya saja dugaan mereka terlalu mengada-
ada. Eh, tapi... kata mereka, tongkat penunjuk arah milik Resi Wulung Gading
mengarah kemari? Hmm... kalau begitu pusaka tersebut memang benar-benar muncul
kembali dan ada di sekitar sini? Lho, tapi... menurut Delima Gusti, Pedang Kayu
Petir itu ada di tangan Raja Tumbal dan akan diserahkan sebagai maskawinnya.
Ah, yang benar yang mana kalau begini?"
Suto Sinting garuk-garuk
kepala. Minum tuaknya lagi, dan melepaskan napas panjang sebagai tanda kelegaan
dan kepuasan minum tuaknya.
"Sebaiknya aku ke Lembah
Sunyi saja. Jika memang pertemuan para tokoh tua itu sudah usai, berarti Resi
Wulung Gading sudah sampai di Lembah Sunyi. Pasti terjadi pembicaraan dengan
Delima Gusti. Sebaiknya aku ikut dalam pembicaraan itu!"
Baru saja Suto Sinting
berdiri, tiba-tiba di samping kirinya telah muncul sesosok tubuh yang tak asing
lagi baginya. Perempuan cantik berkesan liar dengan rambut acak-acakan. Siapa
lagi kalau bukan Angin Betina yang kecewa karena gagal membujuk Suto untuk
tidur bersamanya.
"Hai, Tampan...!" sapa
Angin Betina dengan mata tajam menantang cumbuan. Tangan kirinya menggenggam
pedang bersarung. Kapan saja siap
dicabutnya.
"Dari mana kau tahu aku
ada di sini?"
"Aku tidak tahu kau ada
di bukit ini. Tapi aku sempat lihat dirimu diserang pendeta kakak-beradik
itu." Angin Betina mendekat.
Suto diam di tempat sambil
matanya perhatikan ke arah kaki kiri Angin Betina yang ditumpangkan di atas
sebuah batu setinggi satu betis. Kaki yang kanan tetap menapak di tanah, tangan
kirinya yang memegang pedang bertolak pinggang. Sungguh suatu sikap yang
menantang kemesraan dipamerkan dengan tonjolan dadanya yang benar-benar membuat
lelaki bisa sesak napas.
"Kusangka kau mati
digempur mereka berdua, ternyata kebalikannya."
"Apakah kau mengenal
mereka?"
"Cukup kenal, karena
perguruanku tak jauh dari Biara Genta," jawab Angin Betina dengan senyum
tipis dan mata memandang mesra.
"Kau juga bertemu dengan
mereka saat menuju kemari?"
"Ya. Tapi mereka sempat
kurobohkan dengan jurus
'Mustika Perak' yang sukar
ditandingi itu." "Maksudmu, kau membunuh mereka?"
"Tidak. Hanya sekadar
melumpuhkan mereka agar
tak mengejarmu sampai
sini," ia bersikap acuh tak acuh sebentar, memandang arah kedatangannya
dan kembali menatap Suto Sinting.
"Mengapa tak kau bunuh
saja mereka itu?" pancing
Suto.
"Aku punya niat lain. Aku
ingin berguru dengan salah satu dari mereka."
"Mengapa? Apa
keistimewaan mereka, sehingga kau ingin berguru pada mereka?"
"Mereka punya Kitab
Lorong Zaman. Aku ingin mempelajarinya."
Suto Sinting berkerut,
berjalan dekati Angin Betina hingga dalam jarak dua langkah di depan perempuan
itu baru berhenti.
"Apa itu Kitab Lorong
Zaman?" tanya Suto bersuara lirih.
"Ilmu yang membuat kita
bisa melompat dari zaman sekarang ke zaman yang lalu, atau zaman akan
datang."
Kerutan di dahi menghilang,
berganti senyum geli yang disertai pandangan tertuju ke arah air telaga. Senyum
itu berkesan meremehkan, sehingga Angin Betina terpaksa ngotot agar ucapannya
dipercaya.
"Mereka benar-benar punya
kitab tersebut! Guruku dulu pernah mau mencurinya, tapi selalu gagal. Sekarang
aku akan berguru kepada mereka sampai dapatkan ilmu- ilmu yang ada dalam Kitab
Lorong Zaman itu. Selama ini, hanya mereka berdua yang bisa mental ke zaman
lalu atau zaman mendatang seperti orang lakukan tamasya saja."
Tawa yang terdengar dari Suto
seperti gumam terputus-putus. Tetapi hati Angin Betina berkata, "Aku suka
dengan tawanya. Gila! Ada yang berdenyut-denyut di bagian tubuhku begitu
mendengar tawanya."
Sesaat kemudian, Suto Sinting
memandang ke arah
Angin Betina dan berkata,
"Kalau memang benar
mereka punya Kitab Lorong Zaman, dan kalau benar kau ingin jadi muridnya,
berarti kau harus menjadi seperti mereka. Artinya, harus berjalan di jalur yang
benar. Menjadi bagian dari tokoh aliran putih. Sebab aku yakin sebenarnya
mereka adalah tokoh sakti dari aliran putih. Hanya karena sedang hadapi masalah
bahaya, maka mereka paksa aku untuk tunjukkan benda itu. Kurasakan mereka
sangat terpaksa melakukannya demi selamatkan biara mereka."
"Tak keberatan bagiku
untuk masuk ke aliran putih, sebab selama ini naluriku kupaksakan untuk
mengikuti aliran hitam dari guruku; mendiang Nini Pancungsari. Dan... aku tahu
bahaya yang mereka hadapi. Sayang sekali aku tak akan mampu menolong
mereka."
"Apa bahaya itu?"
"Mereka terancam oleh
orang-orang Lumpur Maut." Suto berkerut dahi secepatnya. "Raja
Tumbal,
maksudmu?"
"Ya. Raja Tumbal
bermaksud menaklukkan kedua biara itu, sebab kedua biara itu dianggap perguruan
yang berbahaya jika sampai bersatu. Selama ini kedua biara itu tidak bisa
bersatu karena ada perbedaan pendapat mengenai aliran kepercayaan mereka.
Ancaman dari Raja Tumbal itulah yang membuat mereka harus bisa mendapatkan
Pedang Kayu Petir, sebab mereka tahu bahwa Raja Tumbal telah memiliki pusaka
Seruling Malaikat."
"Bukankah Pedang Kayu
Petir sudah ada di tangan
Raja Tumbal?"
Angin Betina gelengkan kepala
dengan tenang.
"Tidak mungkin, sebab
jika Raja Tumbal sudah memiliki pedang yang asli, tentunya kedua biara sudah
diserangnya, negeri Muara Singa sudah direbutnya, dan negeri-negeri lain sudah
ditumbangkannya. Sampai sekarang Raja Tumbal belum mau bergerak, sebab ia punya
firasat munculnya pedang maha sakti itu. Ia harus mencarinya lebih dulu agar
tak menjadi penghalang gerakan makarnya nanti."
Suto diam dan manggut-manggut.
"Agaknya kau cukup banyak mengetahui tentang Raja Tumbal."
"Guru pernah menugaskanku
untuk menyusup ke sana guna mencuri Seruling Malaikat-nya. Tapi sebelum niat
itu terlaksana, sudah kudengar kabar tentang kematian Guru, sehingga aku pun
meninggalkan Lumpur Maut!" jawab Angin Betina jujur tapi tegas.
"Perempuan itu jujur
sekali," pikir Suto. "Sepertinya dia tak pernah merasa takut sedikit
pun dengan kejujurannya. Tak punya malu dengan kesalahannya, ia berani
menghadapi akibat apa pun dari semua tindakannya, bahkan ia tampak sebagai orang
yang siap dikecam oleh siapa pun. Sikap itu sebenarnya sangat baik. Seandainya
dia benar-benar telah masuk sebagai tokoh beraliran putih, sikap itu pasti
lebih membantunya dalam merebut simpati dari para tokoh tua!"
Pendekar Mabuk kini tahu apa
yang ada pada Raja
Tumbal. Kabar tentang Pedang
Kayu Petir di tangan
Raja Tumbal hanya sebuah
kebohongan semata. Jelas bahwa Raja Tumbal sengaja memancing minat sang Adipati
dengan janji maskawin pedang pusaka hanya untuk merebut perhatian sang Adipati
dan dapat mengawini Delima Gusti. Berarti Delima Gusti akan tertipu
mentah-mentah oleh siasat Raja Tumbal. Hal ini harus dicegah, dan Suto harus
beberkan kepada sahabatnya itu; Delima Gusti.
Tetapi sebelumnya, Suto perlu
tanyakan sesuatu kepada Angin Betina yang mengaku pernah menyamar sebagai
anggota Lumpur Maut.
"Apakah kau tahu
kehebatan Seruling Malaikat?" "Sangat tahu. Sebab aku pernah lihat
sendiri Raja
Tumbal membantai
lawan-lawannya dengan Seruling
Malaikat itu."
"Dan kau tahu
kelemahannya?"
Angin Betina diam sebentar.
Matanya yang jeli itu memandang permukaan air telaga sebentar, lalu beralih ke
wajah Suto Sinting sambil menjawab,
"Tidak. Aku tidak tahu
kelemahannya. Dan kurasa... tak ada kelemahan pada pusaka itu, sebab
dihancurkan pun tak bisa."
"Dihancurkan pun tak
bisa?!" gumam Suto sambil manggut-manggut. Satu lagi kekuatan Seruling itu
diketahuinya. Paling tidak jika nantinya ia harus berhadapan dengan Raja
Tumbal, maka ia tidak akan mencoba menghancurkan Seruling itu, agar tidak
buang- buang waktu dan tenaga.
"Kurasa hanya bisa
dikalahkan dengan Pedang Kayu
Petir yang sudah kau temukan
itu, Suto."
Tentu saja Pendekar Mabuk
terkejut mendengar kata- kata Angin Betina yang diperdengarkan secara tiba-tiba
itu. Dengan cepat mata yang semula memandang ke tempat lain, kini menatap mata
jeli si rambut amburadul itu.
"Kau sangka aku telah
mendapatkan pedang maha sakti itu?"
"Apa yang dikatakan kedua
pendeta tadi kudengar jelas dari tempat persembunyianku. Sengaja aku mengikuti
langkah mereka dari kejauhan ketika kulihat mereka meninggalkan Bukit Lajang.
Aku memang terlambat tiba di sana. Mereka telah bubar. Tapi percakapan kedua
pendeta itu akan kujadikan sumber beritaku mengenai hasil pertemuan para tokoh
sakti tersebut. Dan kudengar dengan jelas bahwa pedang itu ada di arah bukit
ini, atau wilayah sekitarnya. Aku juga mendengar mereka melihat bayangan pedang
ada di bola matamu. Itu benar. Sebab setahuku, mereka bisa melihat apa yang
pernah dilihat seseorang sebelum lewat tengah malam."
"Aku tidak tertarik untuk
mempercayai kata-kata itu." "Karena kau belum tahu persis siapa
mereka," sergah Angin Betina sambil turunkan kakinya yang nangkring di
atas batu itu. Bahkan ia sengaja dekati Suto kurang dari satu langkah. Beradu
pandang dengan tegar, berkata
dengan suara bisik yang
memiliki nada tegas.
"Kau memang pernah
melihat pedang itu. Kau pasti merahasiakannya!"
"Percakapan ini semakin
tidak menarik bagiku, sebab aku makin tak tahu harus bilang apa padamu jika
kebenaranku kau sanggah, Angin Betina!"
"Aku tidak bermaksud
merebutnya. Percayalah, aku hanya bermaksud membantumu menjaga pedang itu asal
kau jujur padaku!"
"Maaf, kejujuranku sudah
kau remehkan. Tak ada lagi kejujuran. Aku harus segera pergi. Sampai jumpa
lagi, Angin Betina!"
"Tunggu...!"
Wuuut...!
Tangan perempuan itu cepat
sekali mencekal lengan
Suto yang keras dan kekar itu.
Suto Sinting tak jadi bergerak. Wajahnya kembali menatap dalam jarak sangat
dekat. Angin Betina berkata lirih,
"Ada satu hal yang ingin
kukatakan padamu." "Tentang apa?"
"Kau tampan!"
Pegangan tangan dilepaskan,
seakan Angin Betina sudah tak keberatan jika terpaksa ditinggal pergi Pendekar
Mabuk. Tapi si Pendekar Mabuk sendiri justru diam bagaikan terpaku di tempat.
Ucapan itu pelan, penuh kesungguhan dalam mengungkapkan penilaian hatinya.
Diamnya Suto dimanfaatkan oleh Angin Betina untuk berkata lagi,
"Aku suka padamu, dan
berjanji akan melindungimu!"
"Berani sekali kau
berkata begitu padaku. Apakah kau tak merasa malu, sebagai perempuan menyatakan
isi
hatimu di depanku?"
"Aku lebih malu jika kau
yang menyatakan rasa suka padaku lebih dulu!"
"Aneh!" Suto Sinting
tertawa, tapi tiba-tiba Angin
Betina menyentak lirih,
"Jangan tertawa!"
"Kenapa? Aku tertawa
pakai mulutku sendiri?!"
"Tawamu makin memancing
gairahku," jawabnya dalam desah yang menggiring khayalan kepada sebentuk
kehangatan. Suto Sinting hanya tersenyum, matanya sempat melirik nakal ke dada
Angin Betina. Perempuan itu pun berkata lirih lagi,
"Jangan hanya melirik
kalau kau berani! Lakukanlah! Tunjukkan keberanianmu sebagai seorang lelaki
yang mestinya mampu tundukkan wanita sepertiku!"
Suto kian lebarkan senyum dan
menggeleng. "Tidak. Anggap saja aku pengecut untuk urusan ini! Selamat
tinggal!"
Zlaaap...! Weesss...!
Suto Sinting segera pergi, tak
mau memperpanjang percakapan dan pertemuan dengan Angin Betina. Hati kecilnya
mulai tergelitik. Darah asmaranya mulai terbakar. Suto takut tak mampu menahan
tuntutan batinnya yang ingin memegang dada itu, sekadar mengukur seberapa
kebesarannya.
"Melawan nafsu lebih
sulit daripada melawan Siluman Tujuh Nyawa. Daripada aku mati berdiri dengan kaku,
lebih baik kutinggalkan saja si penggoda yang pemberani itu!" pikirnya
dalam perjalanan kilatnya
menuju Lembah Sunyi, ia tak
tahu bahwa Angin Betina mengikuti dari belakang dengan gerakannya yang juga
menyerupai angin badai, sehingga ia berjuluk Angin Betina.
Sampai di pondok Resi Wulung
Gading, ternyata Suto Sinting sudah tidak bertemu dengan Delima Gusti. Menurut
Sukat, Delima Gusti pergi ke Jurang Lindu mencari Suto. Ia berangkat tadi pagi,
setelah ayam berkokok karena gembira melihat matahari lagi.
"Apakah Resi Wulung
Gading sudah tiba di tempat?" "Sudah," jawab Sukat. "Guru
sedang murung, sekarang duduk sendirian di taman belakang. Mari
kuantar menemui Guru."
Memang benar apa kata Sukat,
wajah sang tokoh tua keponakan dari Nini Galih, gurunya Bidadari Jalang itu
sedang murung. Tapi ketika ia mengetahui kedatangan Suto Sinting, kemurungan
tersebut segera ditekan dalam-dalam dan disembunyikan di belakang paru- parunya.
Wajah tenang dan berkharisma kembali terlihat nyata.
"Menyesai sekali Delima
Gusti pergi selang beberapa saat sebelum aku pulang dari Bukit Lajang,"
kata Resi Wulung Gading. "Pasti anak itu punya masalah yang ingin
dibicarakan denganku. Kudengar dari Dul, kau yang mengantarnya."
"Benar. Memang saya yang
mengantarnya kemari...," lalu Suto menceritakan masalah yang dihadapi
Delima Gusti. Cerita itu membuat Resi Wulung Gading tersenyum tipis sekali.
"Tidak. Pusaka itu tidak
ada di tangan Raja Tumbal," katanya sambil melangkah, tongkatnya berwarna
hitam kecoklatan itu digunakan sebagai penopang tubuh pada saat berjalan pelan.
Suto Sinting menyertainya dari samping. Mereka mengelilingi taman yang tidak
terlalu luas namun ditata rapi oleh Sukat.
"Pedang itu masih tetap
tidak bisa diteropong di mana letaknya. Tapi tongkatku ini sejak tadi menunjuk
ke arah kedatanganmu. Aku yakin pusaka itu ada di utara. Dan aku yakin, kau
sudah melihat pusaka itu."
Suto Sinting diam, tapi
batinnya menggumam heran, "Mengapa Resi Wulung Gading berpendapat seperti
kedua pendeta itu? Aku lagi yang jadi sasarannya. Padahal aku merasa tidak
pernah melihat pedang sesakti itu. Andai kukatakan yang sebenarnya, apakah Resi
Wulung Gading mau percaya?"
Langkah sang Resi terhenti, ia
sengaja memandang
Suto dan berkata,
"Mengapa pedang itu tidak
kau ambil?"
"Resi, sesungguhnya apa
yang terjadi pada diri saya, sehingga Pendeta Jantung Dewa dan Pendeta Mata
Lima juga berpendapat seperti itu? Padahal saya merasa belum pernah melihat pedang
pusaka itu."
Resi Wulung Gading tertegun
sejenak, setelah itu berkata, "Jantung Dewa dan Mata Lima menduga hal yang
sama denganku? Berarti benarlah dugaanku, karena Mata Lima bisa melihat
bayangan yang ada di mata seseorang, demikian pula adiknya; si Jantung Dewa.
Cuma...," Resi Wulung Gading diam sebentar.
Langkahnya diteruskan dengan
pelan-pelan.
"Apakah menurutmu kedua
pendeta itu menghendaki pedang tersebut?"
"Benar, Resi!"
"Bahaya!" gumam Resi
Wulung Gading. "Mereka bisa membawa lari pedang itu ke masa akan datang di
saat aku telah tiada. Mereka punya ilmu 'Tembus Waktu' yang tidak dimiliki
orang lain."
"Mereka memerlukan pedang
itu untuk melawan Raja Tumbal, sebab biara mereka terancam oleh Raja Tumbal,
Resi."
"Hmmm...!" Resi
Wulung Gading manggut-manggut. "Kalau begitu mereka tidak bermaksud jahat.
Mereka hanya membutuhkan keamanan dan keselamatan, baik keselamatan jiwa maupun
keselamatan biara mereka! Mengapa tak kau bantu, Suto?"
"Bagaimana saya harus
membantu, saya tidak punya pedang itu, Resi! Raja Tumbal punya Seruling
Malaikat yang dapat menghancurkan raga saya dari kejauhan, atau dari tempat
yang tersembunyi."
Langkah sang Resi terhenti
lagi. "Percayalah, apa yang dikatakan mereka itu benar. Mata Lima memang
sedikit galak, tapi hatinya baik. Kau pasti sudah melihat pedang itu."
Suto Sinting tarik napas.
"Baiklah kalau anggapan itu memang benar. Tapi tolong jelaskan seperti apa
ciri-ciri pedang itu, Resi Wulung Gading?"
"Pedang itu bergagang
coklat kusam, seperti mau keropos. Mata pedangnya terbuat dari kayu warna putih
kusam, seperti lapuk.
Tepiannya geripis, dan... pokoknya bentuknya tidak menarik. Semua terbuat dari
kayu sederhana dan kasar. Seperti pedang buat mainan anak- anak!"
Seketika itu pula Suto
terperanjat kaget. "Angon Luwak...?!" gumamnya dalam hati, karena
yang terbayang di otaknya adalah pedang yang dipakai perang-perangan oleh Angon
Luwak. Pedang itulah Pedang Kayu Petir. Suto gemetar dan berdebar-debar sambil
bertanya dalam hati, "Di mana anak itu berada
sekarang?!"
*
* *
7
RESI Wulung Gading mengatakan,
bahwa Seruling Malaikat tidak mempunyai kelemahan. Satu-satunya cara menghadapi
Seruling Malaikat adalah, "Jangan beri kesempatan Raja Tumbal meniup
Seruling itu!"
Pendekar Mabuk punya
kesimpulan, "Harus menyerang lebih dulu sebelum diserang. Karena jika Raja
Tumbal diserang lebih dulu, maka ia tidak punya persiapan untuk meniup
serulingnya. Syukur bisa membuat dia tidak punya kesempatan untuk mengambil
pusaka itu!"
Itu berarti Suto Sinting harus
lakukan penyerangan mendadak ke Lumpur Maut. Padahal ia tidak mengetahui di
mana wilayah Lumpur Maut. Maka,
hatinya pun membatin,
"Aku harus minta bantuan
Angin Betina! Di mana perempuan itu sekarang?"
Pendekar Mabuk dihadapkan pada
beberapa persoalan yang memusingkan kepala. Pertama, ia harus mencari di mana
Angon Luwak, agar Pedang Kayu Petir yang ada di tangan anak itu tidak jatuh ke
tangan orang sesat. Kedua, ia harus temukan Delima Gusti dan memberi tahu
tentang siasat Raja Tumbal yang ingin memperistrinya dengan maskawin Pedang
Kayu Petir palsu. Sebab Suto yakin, jika sampai Raja Tumbal serahkan sebuah
pedang yang menurutnya adalah Pedang Kayu Petir, maka pedang tersebut adalah
pedang palsu.
Selain itu Suto Sinting juga
harus segera temukan Angin Betina. Perempuan itulah yang bisa membawanya ke
Lumpur Maut, dan perempuan itulah yang akan digunakan sebagai pancingan. Sebab
Suto percaya bahwa Angin Betina pasti benar-benar pernah menyusup ke Lumpur
Maut, karena ia tahu banyak tentang rencana- rencana Raja Tumbal. Kekuatan Angin
Betina pun dapat dimanfaatkan untuk menggempur kekuatan Raja Tumbal.
Jika usaha itu berhasil, Raja
Tumbal berhasil ditumbangkan, maka negeri Muara Singa akan bebas dari ancaman
maut penguasa Lumpur Maut. Di samping itu Biara Damai dan Biara Genta juga akan
terbebas dari ancaman kehancuran tangan keji Raja Tumbal.
Tetapi agaknya kedua Pendeta
kakak-beradik itu
terpaksa harus berhadapan
dengan utusan Lumpur Maut sebelum berhasil mendengar rencana Pendekar Mabuk.
Karena Raja Tumbal diam-diam mengikuti perkembangan gejolak dunia persilatan
yang meributkan kemunculan pedang maha sakti itu. Orang yang diutus itu bukan
lagi Ki Wirogo, yang kini justru telah dibunuh oleh Raja Tumbal sendiri karena
gagal melawan Tandu Terbang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Tandu Terbang"). Orang yang diutus Raja Tumbal kali ini mempunyai
tingkat ilmu yang lebih tinggi dari Ki Wirogo. Tentu saja nyawa tetap menjadi
jaminan bagi keberhasilan tugas.
Rajang Lebong dan Pangkas
Caling adalah dua orang Lumpur Maut kepercayaan Raja Tumbal. Mereka berdua
mempunyai ilmu 'Ludah Iblis', sebuah ilmu yang membuat mereka sulit dibunuh.
Jika salah satu mati, yang satunya lagi meludahi mayat temannya itu, maka sang
mayat akan bangkit dan hidup kembali. Hanya mereka berdua yang menekuni ilmu
'Ludah Iblis', sehingga dari sekian banyak anak buah Raja Tumbal, hanya
merekalah yang memiiiki ilmu tersebut. Biasanya mereka ditempatkan di
kanan-kiri Raja Tumbal sebagai orang kepercayaannya. Tapi kali ini agaknya Raja
Tumbal merelakan mereka pergi dari sampingnya demi mendapatkan Pedang Kayu
Petir itu.
Tugas Rajang Lebong dan
Pangkas Caling adalah mencari tahu di mana Pedang Kayu Petir itu berada. Jika
memungkinkan untuk merebut dan membawa pulang Pedang Kayu Petir, mereka akan
diberi wilayah
kekuasaan sendiri. Setidaknya
mereka mengetahui siapa pemegang Pedang Kayu Petir sekarang, sehingga Raja
Tumbal bisa menghadapinya dengan siasatnya sendiri dan tentu saja menggunakan
Seruling Malaikat-nya. Tapi jika mereka gagal membawa pulang Pedang Kayu Petir
dan tidak mengetahui siapa pemiliknya, tugas ketiga bagi mereka adalah bunuh
diri dengan cara sendiri-sendiri.
Mereka berdua berhasil
menyadap pembicaraan para tokoh di Bukit Lajang, sehingga mereka tahu ke mana
harus bergerak, yaitu ke arah utara. Dalam perjalanan menuju utara itulah
mereka berpapasan dengan dua pendeta dari Biara Damai dan Biara Genta. Pada waktu
itu, Pendeta Mata Lima dan Pendeta Jantung Dewa baru saja selesai sembuhkan
diri akibat serangan sinar perak yang tak diketahui pemiliknya. Mereka tak tahu
bahwa pemiliknya adalah Angin Betina. Mereka hanya berlari menuju ke puncak
bukit, melintasi Telaga Jompo, sampai menuruni bukit dari puncaknya. Jalan itu
adalah jalan yang mereka tempuh semula saat datang dari arah Bukit Lajang.
Melihat kedua pendeta itu
tampak terburu-buru, Rajang Lebong segera hentikan langkah, tangan kanannya
direntangkan sedikit yang berarti menyuruh Pangkas Caling berhenti pula.
"Ada apa?" tanya
Pangkas Caling yang berbadan kurua, berpakaian hijau dengan wajah layak
dikatakan runcing karena dagunya lancip.
"Jantung Dewa dan Mata
Lima baru saja dari bukit
itu! Mereka tampak tergesa-gesa.
Ada apa kira-kira?" "Hmmm...!" Pangkas Caling mengusap-usap
kumisnya yang panjang
melengkung ke bawah. Lalu
berkata dengan suara mirip
orang menggumam,
"Pasti mereka sudah
dapatkan keterangan tentang di mana pedang pusaka itu dan siapa pemegangnya!
Pasti mereka sedang mengejar si pemilik pedang itu!"
Rajang Lebong yang berpakaian
merah, berikat kepala merah dengan rambut botak depan dan sisanya panjang lewat
pundak itu segera berkata,
"Hadang mereka! Paksa
supaya buka mulut!" Wuss, wuus...!
Keduanya segera berkelebat
menghadang langkah kedua pendeta itu. Sapaan kedua utusan Lumpur Maut yang
pertama kali adalah melesatnya selarik sinar kuning ke arah punggung Pendeta
Jantung Dewa. Claaap...! Tetapi Pendeta Jantung Dewa ternyata mempunyai gerak
naluri yang cukup peka, karena dalam keadaan penuh waspada. Tak mau kecolongan
lagi seperti tadi.
"Awas...!" serunya
sambil jejakkan kaki dan tubuhnya melenting di udara. Wuuus...!
Pendeta Mata Lima mendengar
seruan itu tanpa banyak tanya lagi, sentakkan kakinya dan, wuuut...! Wuk,
wuuk...! Bersalto di udara dua kali masih merupakan kelincahan yang dimiliki
orang setua dia.
Kini keduanya sudah kembali
mendarat di tanah dan langsung menghadang lawannya, tak pedulikan sinar kuning
tadi kenai pohon itu langsung kering dari pucuk sampai akarnya.
"Rajang Lebong dan
Pangkas Caling, mau apa kalian menyerang kami!" tegur Pendeta Jantung Dewa
dengan kalem.
Senyum Pangkas Caling
diperlihatkan kesinisannya, tapi bagi Pendeta Jantung Dewa, yang dipamerkan
adalah dua gigi taring yang sedikit lebih panjang dari barisan gigi lainnya.
Pangkas Caling menyeringai mirip hantu tersipu malu.
Sekalipun yang menyeringai Pangkas
Caling, tapi yang bicara adalah Rajang Lebong yang punya badan agak gemuk,
bersenjata golok lengkung terselip di depan perutnya. Beda dengan Pangkas
Caling yang bersenjata parang panjang di pinggang kirinya.
"Kulihat kalian berdua
tadi ada di Bukit Lajang!" "Memang benar!" jawab Pendeta Jantung
Dewa.
Tegas dan jujur.
"Tentunya kalian telah
berhasil peroleh keterangan tentang pedang pusaka itu. Terbukti kalian berbalik
arah dan sangat terburu-buru."
"Jika benar, mau apa
kalian?" sahut Pendeta Mata Lima. Ia bersikap lebih tegas lagi, dan
sikapnya langsung menentang tanpa basa-basi.
"Beri tahu kami, di mana
pedang itu dan siapa pemegangnya yang sekarang!" Pangkas Caling segera
menyambar percakapan sebelum Rajang Lebong bicara.
"Kami hanya melihat bayangan
pedang itu saja," kata Pendeta Jantung Dewa. "Kami tak tahu persis di
mana pedang itu dan siapa sekarang yang memiiikinya!"
"Apakah aku harus memaksa
mulut kalian agar
bicara?!" ujar Rajang
Lebong dengan nada sinis. Pendeta
Mata Lima tak sabar dan
berkata sinis juga, "Apakah kalian mampu?"
"Rajang Lebong!"
sentak Pangkas Caling, "Kita disepelekan! Hajar dia!" Wuuut...!
Craaak...!
Pendeta Mata Lima mendahului
gerakan Rajang Lebong yang sudah siap-siap lakukan serangan. Pendeta Mata Lima
kibaskan tasbihnya ke depan dan memerciklah bunga api warna hijau terang yang
langsung menerjang tubuh Rajang Lebong. Tetapi tangan Pangkas Caling
cepat-cepat menyentak ke depan dan menghembuslah angin badai kecil yang
berkecepatan tinggi. Wuuussss...!
Cahaya hijau yang
memercik-mercik itu menyingkir arah dan terhempas badai dari tangan Pangkas
Caling. Sinar itu menghantam gugusan batu. Praak...! Gugusan batu hancur
menjadi butiran-butiran sebesar biji pepaya.
Seperti biasa, jika terjadi
pertarungan, Pendeta Jantung Dewa menyingkir lebih dulu. Seakan memberikan
kesempatan kepada kakaknya untuk menangani lawan mereka dan mempercayakan
perlawanan kepada sang kakak. Pendeta Jantung Dewa diam di bawah pohon dengan tenang,
memperhatikan kakaknya menghadapi kedua utusan Lumpur Maut itu.
"Kalian memang pendeta
yang bodoh! Kalian pikir usia kalian masih mampu melampau batas dua tahun lagi?
Tidak! Usia kalian tinggal sejengkal. Untuk apa kalian paksakan diri melawan
kami? Lebih baik kalian katakan di mana pedang itu daripada kami percepat
kematian kalian berdua!"
kata Rajang Lebong.
"Jangan banyak bicara!
Buktikan saja kemampuanmu."
"Keparat! Benar-benar
orang tua tak bisa diberi ampun kau! Heaaah..!"
Rajang Lebong segera melompat
sambil cabut golok lengkungnya. Wees...! Golok ditebaskan ke wajah Pendeta Mata
Lima. Tapi orang yang mau ditebas wajahnya lompat mundur satu kali. Suuut...!
Jauhnya bisa empat langkah. Lalu dari mata kirinya melesat sinar biru lima
larik kecil-kecil seperti benang.
Slaaap...! Jraab...!
Lima sinar itu menghantam
tubuh Rajang Lebong. Melesatnya lima sinar biru adalah sesuatu yang sangat
tidak diduga-duga, sehingga Rajang Lebong sempat terkejut. Namun belum selesai
rasa kagetnya ia sudah harus terjungkal ke belakang dan jatuh di depan kaki
Pangkas Caling. Bruuuhk...!
"Uuhhgg...! Rajang Lebong
mengerang. Matanya yang lebar mendelik. Tubuhnya menjadi merah matang. Demikian
pula wajahnya. Alisnya lenyap terbakar, demikian pula rambut belakangnya.
Tinggal sisa bagian belakang, itu pun menjadi keriting bagai disambar petir.
Tubuh itu mengejang sesaat, untuk kemudian terkulai lemas dengan napas
terhempas. Tapi selanjutnya Rajang Lebong bagai orang malas bernapas karena
nyawanya melayang meninggalkan raga.
"Bangsat kau, Mata
Lima!" geram Pangkas Caling
dengan mata melebar penuh
amukan dendam. Sebelum ia lakukan serangan balasan, lebih dulu mayat Rajang
Lebong itu diludahi satu kali. "Cuih...!"
Plok! Ludah menempel di wajah
mayat. Segera Pangkas Caling melompat tak seberapa jauh. Maju ke depan dengan
kedua tangan yang saling merapat segera disentakkan membuka ke kanan-kiri.
"Heaah...!"
Dari dada kurus Pangkas Caling
melesat sinar lebar warna merah terang. Sinar itu menyembur ke arah Pendeta
Mata Lima sampai merangkup ke tempat berdirinya Pendeta Jantung Dewa.
Plaaass...!
Seketika itu pula dua pendeta
lepaskan jurus pukulan yang sama tanpa berunding lebih dulu. Tangan kiri mereka
terangkat ke atas dan tangan kanan mereka menghentak ke kiri bagaikan mendorong
sesuatu dari kanan ke kiri.
Wuuut...!
Secara bersamaan pula dari
lengan kanan mereka melesat sinar lebar pula berwarna hijau bening. Wuuus...!
Kedua sinar hijau bening itu
menghantam sinar merahnya Pangkas Caling, dan akibatnya sungguh dahsyat. Kedua
sinar itu pecah dan timbulkan ledakan besar.
Bleeng...!
Gemanya memenuhi hutan lereng
bukit. Tanah yang dipijak mereka berguncang. Bukit itu bagaikan gunung yang
akan meletus. Lebih dari lima pohon tumbang.
Batu-batu yang ada di atas
berhamburan bergulir saling kejar-kejaran. Gemuruh suara yang timbul bagaikan
suara langit mau roboh. Angin datang, berhembus menyerupai badai. Awan di
angkasa yang semula terang menjadi gelap. Menggumpal hitam dan bergulung-
gulung. Karena benturan dua jenis sinar itu tadi menyebarkan asap hitam yang
membumbung tinggi bagaikan mendung tanpa petir.
Tubuh Pangkas Caling tak
kelihatan setelah terjadi kilatan cahaya terang warna ungu akibat benturan
tadi. Tubuh kedua pendeta itu terjungkal lima langkah dari jarak tempat berdiri
mereka tadi. Hidung mereka sama- sama keluarkan darah, dan wajah mereka
sama-sama menjadi pucat. Mereka sendiri tak sangka kalau akan terjadi ledakan
sedahsyat itu.
"Jantung Dewa, apakah
kita masih hidup atau sudah di nirwana?"
"Kukira kita masih ada di
bumi, Mata Lima," jawab Pendeta Jantung Dewa dengan suara berat dan napas
sesak.
Getaran bumi terhenti, angin
membadai hilang. Gemuruh bebatuan yang longsor bersama tanahnya pun tinggal
sisanya. Kedua pendeta itu sudah tegak berdiri walau sesak napasnya belum
teratasi. Tapi pandangan mata para orang tua itu sudah cukup terang untuk
memandang alam sekitarnya.
Pada waktu itu, keadaan Rajang
Lebong yang sudah mati ternyata bisa bernapas dan bangkit lagi. Sebab sebelum
Pangkas Caling menyerang, terlebih dulu
meludahi wajah Rajang Lebong.
Tetapi ia menjadi bingung melihat keadaan sekeliling yang rusak bagai dilanda
kiamat setempat. Lebih bingung lagi ia mencari- cari di mana Pangkas Caling
berada.
Bagi kedua pendeta tua itu,
kebangkitan Raja Lebong dari kematian bukan sesuatu yang aneh. Sebab mereka
berdua sudah mengetahui kekuatan ilmu mereka. Tapi bagi sepasang mata yang
mengintai dari kejauhan dan ikut terkena percikan tanah saat terjadi ledakan
dahsyat tadi, sungguh heran melihat Rajang Lebong bangkit kembali.
"Pangkas Caling...!"
seru Rajang Lebong dengan terbungkuk-bungkuk karena masih sempoyongan.
"Pangkas Caling, di mana kau?!"
"Di sini...!" seru
sebuah suara dari arah timur. Bukan hanya Rajang Lebong yang berpaling ke
timur, melainkan kedua pendeta dan sepasang mata pengintai itu juga memandang
ke arah timur. Rajang Lebong kaget melihat keadaan Pangkas Caling yang hanya
kelihatan kepaianya saja, sekujur tubuhnya terkubur tanah longsor. Kepala itu
berwajah kotor penuh tanah, nyaris tak dapat dikenali sebagai kepala manusia,
karena mirip dengan kelapa kering yang terkelupas sabutnya secara acak- acakan.
"Maling kuntet!"
geram Rajang Lebong. "Kenapa kau diam saja di situ?! Lekas bangun! Lawan
kita masih tegar!" sambil Rajang Lebong bergegas menghampiri Pangkas
Caling. Begitu ia mendekat, Pangkas Caling yang jengkel karena dikecam itu
segera meludah.
Cuih...! Plok!
"Monyet!" sentak
Rajang Lebong memaki sambil mengusap wajahnya yang kena ludah lagi itu.
"Aku sudah hidup. Tak perlu kau ludahi lagi!"
"Aku tahu! Tapi kau
jangan mengecamku! Cepat bantu aku keluar dari timbunan tanah longsor
ini!" sentak Pangkas Caling. Matanya mau mendelik tapi buru-buru
berkedip-kedip karena tanah di alisnya rontok dan masuk ke mata.
Sementara Rajang Lebong
membongkar timbunan tanah untuk keluarkan tubuh Pangkas Caling, di sisi lain
Pendeta Mata Lima berkata kepada adiknya,
"Kita serang mereka saat
begitu biar mati bersama. Jika mereka mati bersama maka tak ada yang bisa
saling meludahi!"
"Tentu saja, sebab tak
pernah ada mayat yang bisa saling meludahi. Tapi itu licik namanya. Beri
kesempatan mereka bangkit dan berhadapan kembali dengan kita! Seandainya mereka
harus mati bersama, biarlah mati secara ksatria, dan kita menang pun dengan
hormat!"
Rajang Lebong menarik tubuh
Pangkas Caling. Bruuus...! Tubuh itu terangkat ke atas dan berhasil keluar dari
timbunan tanah. Tetapi keduanya sama-sama kaget, matanya memandang ke bawah.
Ternyata kaki kiri Pangkas Caling terpotong sebatas lutut.
Pangkas Caling menyeringai
memandangi Rajang Lebong, antara menahan sakit, marah, dan sedih. Rajang Lebong
salah pengertian dan berkata,
"Jangan tersenyum!"
"Matamu itu yang
tersenyum!" makinya dengan kasar. "Lihat... kakiku ketinggalan di
dalam sana!" Pangkas Caling ingin menangis.
Rajang Lebong bingung.
"Mau diambii percuma juga, nyambungnya bagaimana?!" ucapnya pelan dan
hati- hati.
"Balas! Buntungi kepala
dua pendeta itu! Balas...!" teriaknya dengan marah bercampur sedih.
"Heaaat..!" Rajang
Lebong berlari dengan geram kemarahan terpancing. Tab, tab, tab...! ia melompat
dengan gerakan jungkir balik yang cepat. Jleeg! Tiba di depan kedua pendeta itu
dengan napas terengah-engah. Golok lengkungnya ketinggalan di tempat timbunan
tanah yang mengubur tubuh Pangkas Caling. Tapi hal itu tidak jadi masalah buat
Rajang Lebong. Niatnya membalaskan kebuntungan kaki temannya sangat besar,
sehingga dengan geram ia berkata, "Sudah saatnya kaki dibalas kepala!
Heaaat...!" Rajang Lebong keluarkan sinar dari kedua telapak tangan yang
selesai digosokkan dan disentakkan ke depan. Sinar biru itu melesat
terputus-putus bagaikan senjata yang dilepaskan dari tempatnya. Clap, clap, clap,
clap...!
Duaaar! Blaar! Daaar..!
Taar...! Blaar...! Sinar biru itu terus-terusan keluar dari telapak tangan
Rajang Lebong. Pemiliknya bersalto ke sana-sini, melompat kian kemari. Kedua
pendeta itu dihujani sinar biru yang bagaikan peluru tanpa ada habisnya. Teriakan
Rajang Lebong bagai orang kesurupan yang mengamuk ganas.
"Heaaat...! Hiaaah ..!
Heeeaaah. .!' Clap, clap, clap...! Gerakan memutari kedua pendeta membuat
Rajang
Lebong sulit diserang baiik.
Bahkan sinar biru yang
berbenturan dengan sinar sinar
dari kedua pendeta itu hanya hasilkan ledakan-ledakan yang tak mampu membuat
tubuh Rajang Lebong terpental. Jraab...! Dees...!
Dua sinar biru itu akhirnya
berhasil kenai punggung Pendeta Jantung Dewa, dan mengenai pinggang Pendeta
Mata Lima. Keduanya sama-sama jatuh dengan tubuh mengejang dan menjadi hitam.
Tetapi agaknya Rajang Lebong belum puas. Lebih-lebih Pangkas Caling berseru
dari tempatnya yang agak jauh,
"Hancurkan! Jadikan
mereka debu dengan jurus 'Pasir
Neraka'! Cepaaat...!"
Tetapi tiba-tiba sekelebat
sinar hijau dari telapak tangan sang pengintai melesat lebih dulu sebelum
Rajang Lebong lepaskan jurus 'Pasir Neraka' andalannya. Zlaaap...! Sinar hijau
yang dinamakan jurus
'Pecah Raga' itu tepat kedai
dada Rajang Lebong. Deeub...! Blaaarrr...!
Apa yang terjadi sungguh tak
diduga-duga oleh Pangkas Caling. Tubuh Rajang Lebong hancur. Pecah menjadi
serpihan-serpihan daging dan tulang yang menyebar ke mana-mana. Bahkan darahnya
sendiri tak bisa terkumpulkan. Ada yang membasahi batu, pohon, daun, ilalang, dan
ke mana saja tak jelas bentuknya, hanya warna merah yang membuat alam
sekitarnya bagai berbunga indah. Sedangkan Pangkas Caling
gemetar antara takut dan
memendam murka, ia sempat berkata pada dirinya sendiri,
"Kalau begini matinya,
bagaimana aku bisa meludahi
Rajang Lebong? Apanya yang
harus kuludahi?! Celaka! Ada orang yang membantu kedua pendeta itu! Ilmunya
pasti lebih tinggi! Sebaiknya aku harus lekas-lekas kabur saja!"
Pangkas Caling larikan diri
dengan satu kaki. Sedikit lambat, tapi termasuk cepat bagi orang awam. Sentakan
kakinya mengayunkan tubuh dengan ringan bagaikan terbang. Wuus...! Wuuuus...!
Wuuus...! Dalam beberapa waktu saja ia sudah tidak kelihatan.
Sang pengintai segera muncul.
Gerakannya sangat cepat. Zlaaap...! Tahu-tahu ia sudah berada di samping dua
pendeta yang masih sekarat dalam keadaan tubuh hangus tapi pakaian tidak
terbakar sedikit pun. Pengintai itu tak lain adalah Pendekar Mabuk, Suto Sinting,
yang bertujuan menemui Sabani, kakak Angon Luwak melalui bukit itu seperti
perjalanan saat menuju Lembah Sunyi.
"Agaknya masih bisa
kutolong. Mereka masih punya napas!" kemudian Suto Sinting segera
meminumkan tuaknya ke mulut kedua pendeta itu dengan sedikit susah payah karena
kedua pendeta itu bergigi rapat, menggigit kuat menahan rasa sakit yang luar
biasa.
Setelah keduanya berhasil
diminumi tuak, beberapa saat kemudian kulit yang hangus terbakar itu mulai
pudar, kian lama kian kembali ke warna aslinya. Napas mereka pun mulai teratur.
Tapi badan mereka masih lemah. Mereka didudukkan oleh Suto Sinting.
Kedua pendeta itu terkejut
setelah menyadari orang yang menolongnya adalah Suto Sinting, yaitu orang yang
sedang dikejar-kejar untuk didesak agar memberitahukan letak benda pusaka itu.
Mereka jadi tertegun beberapa saat memandangi Pendekar Mabuk. Hati mereka
gundah karena bingung harus bersikap bagaimana terhadap Suto Sinting.
Akhirnya Pendeta Jantung Dewa
berkata, "Terima kasih atas pertolonganmu. Sempat kulihat sinar hijaumu
kenai dada Rajang Lebong dan pecahlah raga orang itu. Tapi ketahuilah, ini
sebuah kesempatan emas bagi Raja Tumbal untuk menyerang biara kami dengan
alasan pembalasan terhadap kematian Rajang Lebong!"
"Jangan takut, saya akan
membantu memperkuat biara!" kata Suto Sinting.
"Apakah kau akan serang
Raja Tumbal dengan
pedang pusaka itu?"
"Ya. Tapi aku harus cari
pedang itu dulu. Eyang! Aku tahu siapa yang membawa pedang itu. Dan aku tak
sadar kalau aku telah melihat pedang pusaka itu!"
Pendeta Mata Lima berusaha
bangkit dengan pelan- pelan. Ia berhasil berdiri tegak setelah dibantu oleh
Suto Sinting.
"Sebaiknya katakan pada
kami siapa yang membawa pedang itu!" kata Pendeta Mata Lima. "Jangan
bikin persoalan lagi dengan kami, Suto Sinting."
Suto Sinting tarik napas
menahan rasa jengkel. Pendeta Jantung Dewa pun bangkit berdiri dan berkata
kepada kakaknya,
"Dia sudah selamatkan
jiwa kita! Mengapa kau masih mendesaknya dengan cara seperti itu, Mata
Lima?!"
"Karena kita butuh pedang
itu!"
"Serahkan saja semuanya
pada Pendekar Mabuk, tentunya dia tidak akan tinggal diam melihat orang sesat
ingin hancurkan kita!"
"Bagaimana kalau dia
ingkar janji setelah dapatkan pedang itu?"
"Kalau dia mau ingkar
janji, dia tidak akan mau tolong kita saat ini!"
Akhirnya sang kakak mengalah
dan tarik napas dalam-dalam. "Baiklah, kuserahkan kepadamu tentang
keganasan Raja Tumbal itu!" katanya kepada Suto. "Tetapi izinkan kami
membantumu mencari pedang itu, supaya jika kau temui kesulitan kami bisa
membantu."
"Eyang berdua sebaiknya
beristirahat saja. Biar aku yang mencarinya!" Suto tetap bicara dengan
ramah.
Tiba-tiba terdengar suara
tepuk tangan bernada mengejek. Plok, plok, plok, plok, plok, plok...! Lalu
sesosok tubuh muncul dari balik pohon yang tumbuh miring dan hampir roboh
akibat amukan badai tadi. Kedua pendeta itu dan Suto Sinting segera memandang
kemunculan tokoh sakti yang sudah mereka kenal sebelumnya. Mereka sedikit
terkejut karena ternyata tokoh itu hadir pula di bukit tersebut, seakan ingin
ikut campur urusan Suto dan dua pendeta.
*
* *
8
TOKOH yang baru muncul itu
berpakaian serba merah, sabuknya hitam. Di sabuknya itu terselip kipas putih.
Rambutnya putih, sedikit ikal. Ia mengenakan ikat kepala warna hitam. Kumis dan
jenggotnya tak begitu banyak, tapi berwarna putih rata. Usianya sekitar tujuh
puluh tahun. Kulitnya agak hitam dengan badan sedikit gemuk.
Ketika berjalan mendekati Suto
dan dua pendeta itu, kepalanya terkulai miring, matanya terpejam. Tak ada
gambaran apa pun di wajahnya itu, sebab ia dalam keadaan sedang tidur. Siapa
lagi yang bisa tidur sambil lompat sana-sini kalau bukan Ki Gendeng Sekarat,
bekas pelayannya si Gila Tuak. Pendeta Jantung Dewa dan kakaknya tidak heran
melihat Ki Gendeng Sekarat berjalan dalam keadaan tidur, sebab mereka sudah
lama mengetahui ketinggian ilmu Ki Gendeng Sekarat.
"Apa maksudmu bertepuk
tangan, Gendeng Sekarat?" tegur Pendeta Mata Lima.
Dengan suara parau karena
dalam keadaan tidur, KI Gendeng Sekarat menjawab,
"Aku memuji kehebatan
Gusti Manggala-ku ini!" seraya tangannya menuding Suto dengan lemas.
"Masih muda, tapi justru akan menjadi pelindung kalian yang sudah tua dan
berilmu tinggi!"
"Jaga bicaramu agar
jangan menyinggung perasaanku, Gendeng Sekarat!" hardik Pendeta Mata Lima.
Ki Gendeng Sekarat tertawa pendek, seperti orang mengigau, ia menepuk pundak
Suto dan berkata,
"Pendeta yang satu ini
memang cepat panas hati dan mudah tersinggung!"
"Ki Gendeng Sekarat, apa
maksud Ki Gendeng
Sekarat datang menemuiku di
sini? Apakah ada utusan dari Puri Gerbang Surgawi?"
Mendengar nama Puri Gerbang
Surgawi disebutkan, kedua pendeta itu tetap tenang. Sebab mereka tahu, bahwa
Suto Sinting adalah orang Puri Gerbang Surgawi. Noda merah di kening Suto sudah
dilihat sejak awal jumpa. Semestinya mereka merasa sungkan, karena mereka tahu
siapa penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi baik yang di alam gaib maupun yang
di alam nyata, yaitu di Pulau Serindu. Tapi karena terpaksa sekali, demi pedang
pusaka itu, maka kedua pendeta tersebut melupakan tentang siapa Suto
sebenarnya.
Ki Gendeng Sekarat menjawab
pertanyaan Suto tadi, "Aku datang bukan karena tugas dari calon istrimu;
Dyah Sariningrum. Aku datang karena aku dengar ribut- ribut tentang Pedang Kayu
Petir yang sudah puluhan tahun dianggap lenyap tak berbekas itu. Tentunya
kepergianku atas seizin Ratu Gusti Mahkota Sejati, ya calon istrimu itu."
Pendeta Mata Lima berkata,
"Apakah kau juga ingin memiliki pedang pusaka itu, Gendeng Sekarat?"
"Pedang itu milik Resi
Wulung Gading," jawab Ki
Gendeng Sekarat sambil
bersandar di pohon samping Suto supaya tidurnya enak. Tapi ia tetap bicara
walau masih tertidur.
"Untuk apa aku memiliki
pusaka yang bukan hakku?
Kalau aku punya keperluan
dengan pusaka itu, lebih baik aku meminta izin kepada yang memilikinya, dan
meminjam dengan kerelaan hati si pemilik. Tidak dengan mencari dan merebut
sendiri pedang itu!" .
Pendeta Jantung Dewa yang
kalem itu menatap kakaknya. Mereka tahu sedang disindir. Tapi mereka memang
mengakui kesalahan langkah mereka, sehingga Pendeta Mata Lima hanya tarik napas
memendam penyesalan.
Ki Gendeng Sekarat sedikit
melorot sandarannya. Dengkurnya terdengar pelan sekali. Sepertinya ia tak ingin
bicara lagi dan lelap dalam mimpi. Namun ketika Suto Sinting buka mulut untuk
ucapkan kata, Ki Gendeng Sekarat buru-buru berkata,
"Wulung Gading adalah
temanku. Aku tahu persis bahwa pusaka itu adalah pusaka leluhurnya. Gunanya
untuk membantai keangkaramurkaan yang sulit dimusnahkan. Wulung Gading
persiapkan pedang itu untuk melawan Siluman Tujuh Nyawa. Tapi pedang itu
tahu-tahu lenyap secara gaib, dan sejak itu kami pun tak mau membicarakannya
lagi."
Ki Gendeng Sekarat makin
melorot, akhirnya duduk di rumput dan bersandar santai dengan kaki melonjor
kepala kian miring ke kiri, sedikit agak ke depan. Dengkurnya terdengar lirih
sekali.
"Tapi...," Suto mau
bicara dipotong lagi oleh suara KI Gendeng Sekarat,
"Tapi sekarang kudengar
pedang maha sakti itu muncul lagi. Entah siapa yang menemukannya, yang
jelas kemunculan pedang itu
punya makna sendiri bagi kehidupan orang banyak. Bukan bagi kepentingan
pribadi."
"Sejak tadi kau menyindir
kami terus!" sambar Pendeta Mata Lima. "Apa maksudmu sebenarnya,
Gendeng Sekarat?!"
"Maksudku, mengingatkan
kalian. Yah, namanya saja sudah pada tua-tua begitu, maklum kalau lupa dan kami
yang muda perlu mengingatkan," jawabnya dengan nada seenaknya walau masih
bersuara parau. "Kalau kalian ingin menggunakan pedang itu, pinjamlah
kepada Wulung Gading. Minta izin dulu kepada pemiliknya! Setidaknya jika memang
kalian berhasil menumbangkan lawan dengan pedang itu, tidak akan timbul salah
pengertian di pihak Wulung Gading!"
"Saranmu itu memang
benar," kata Pendeta Jantung Dewa. "Kami salah langkah karena keadaan
panik. Tapi kami akan segera ke Lembah Sunyi sekarang juga untuk bicara dengan
Wulung Gading!"
Kemudian Pendeta Jantung Dewa
bicara kepada kakaknya, "Kita berangkat sekarang saja. Biarkan masalah
pencarian pedang itu kita percayakan kepada Pendekar Mabuk!"
"Dan urusan kita dengan
Raja Tumbal?"
"Kutangani secepatnya,
Eyang!" sahut Suto Sinting. "Baiklah!" akhirnya Pendeta Mata
Lima menyetujui
rencana adiknya. Mereka pun segera
pergi setelah Suto berkata,
"Begitu pedang itu
kudapatkan, sudah tentu
kuberikan dulu kepada Resi
Wulung Gading. Atas seizin beliau aku berani gunakan pedang itu!"
"Semoga kita bertemu di
Lembah Sunyi, Anak
Muda!" kata Pendeta
Jantung Dewa.
Setelah kedua pendeta itu
pergi, Suto berkata kepada
Ki Gendeng Sekarat,
"Ada sesuatu yang ingin
kubicarakan denganmu, Ki. Sangat rahasia sekali. Karena itu, aku butuh tempat
aman yang tak tersadap oleh telinga siapa saja."
"Mudah saja, Gusti
Manggala!" kata Ki Gendeng Sekarat dengan sebutan terhormat kepada Suto,
karena kedudukan Suto lebih tinggi darinya jika mereka berada di negeri Puri
Gerbang Surgawi.
Ki Gendeng Sekarat segera
keraskan dua jari tangannya. Dua jari tangan itu disentakkan ke langit.
Wuuut...! Melesatlah sinar hijau memercik-mercik seperti kumpulan kembang api.
Sinar itu melesat di udara tak seberapa tinggi, hanya sekitar lima jengkal dari
kepala mereka. Sinar itu memecah, menjadi lebar dan akhirnya bergerak turun
dalam bentuk kabut putih. Wuuuss...! Kabut itu membungkus sekeliling mereka
berdua. Kejap berikut kabut itu lenyap. Kedua tubuh mereka pun lenyap. Tak
terlihat oleh mata siapa pun.
"Kita lenyap dari pandang
mata siapa pun, Gusti Manggala. Suara kita pun tak akan didengar oleh siapa pun
walau orang itu berilmu tinggi."
Suto memandangi alam
sekeliling dengan kagum, sebab dalam pandangannya alam sekeliling bercahaya
hijau semua. Mulut Suto pun menggumam heran. "Luar
biasa! Hebat sekali! Ilmu apa
namanya, Ki?" "Namanya ilmu... jurus 'Surya Kasmaran'."
"Aneh sekali namanya itu?"
"Jurus ini untuk menutupi
kita jika sewaktu-waktu kita ingin bermesraan dengan kekasih."
Gelak tawa Suto terlepas tak
terlalu panjang. "Agaknya jurus ini adalah jurus baru. Aku baru sekarang
tahu kau memiliki ilmu ini, Ki!"
"Memang jurus baru! Calon
istrimu itulah yang menghadiahkan jurus ini padaku sebagai hadiah kesetiaanku
yang menjadi penghubung antara kau dan dia!"
"Menakjubkan sekali! Aku
akan minta jurus ini darinya jika aku pulang nanti."
"Itu urusan nanti.
Sekarang bicaralah dulu hal yang ingin kau bicarakan!"
"Soal Pedang Kayu Petir
itu, Ki!"
"Apa yang ingin kau
ketahui? Kesaktiannya?"
"Ya. Pertama-tama aku
ingin tahu sejelas-jelasnya tentang kesaktian Pedang Kayu Petir itu."
Ki Gendeng Sekarat menguap
setelah tubuhnya
bagaikan tersentak kaget, ia
juga menggeliat dengan tangan direntangkan. Satu tangan yang merentang keatas
nyaris kenai pipi Suto kalau Suto tak segera undurkan kepala.
'Hati-hati, Ki...!"
"Lain kali kalau ada
orang menggeliat jangan di sampingnya!" gerutunya.
Ki Gendeng Sekarat mengusap
wajahnya.
Tampaknya ia telah selesai
tidur dan puas menikmati kenyenyakannya. Pandangan matanya terasa segar. Tapi
segera berkerut dahi.
"Lho... kok semuanya
serba hijau?"
"Kau yang bikin semuanya
jadi hijau dengan jurus barumu itu!"
"O, iya!" ia
manggut-manggut sambil garuk-garuk
kepala. "Hmm... kau tanya
apa tadi? Oh, kesaktian pedang itu?!"
"Benar, Ki. Aku ingin
tahu semuanya yang ada pada pedang itu."
"Pedang itu sebenarnya
roh dari Eyang Agung
Ciptamangkurat!"
"Siapa itu Eyang Agung
Ciptamangkurat?" "Kakeknya... hmmm... kakeknya manusia tanpa pusar
yang menjelma menjadi pohon
bambu dan bambu itu
menjadi bumbung tuakmu yang
sekarang. Aku tak berani sebutkan namanya, karena jika namanya kusebutkan akan
terjadi hujan badai dan hujan petir!"
Pendekar Mabuk
manggut-manggut, ia mengerti maksud Ki Gendeng Sekarat, bahwa Pedang Kayu Petir
adalah jelmaan kakeknya Wijayasura, manusia tanpa pusar, guru dari Purbapati
dan Nini Galih, kakek gurunya si Gila Tuak. Padahal Suto sendiri adalah bocah
tanpa pusar juga, sehingga seluruh ilmu Wijayasura mengalir dengan sendirinya
ke tubuh Suto walau melalui si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Nama Wijayasura
memang tak boleh disebut sembarangan karena bisa datangkan hujan petir dan
badai, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode :
"Pedang Guntur Biru", "Bocah
Tanpa Pusar", dan
"Pusaka Tombak Maut"). "Terus letak keampuhannya, Ki?"
"Orang sesakti apa pun
bisa dilukai oleh pedang itu. Sebab siapa pun orangnya, jika melihat pedang
itu, maka seluruh kesaktiannya lenyap seketika dan menjadi orang polos tanpa
ilmu secuil pun. Tapi jika ia jauh dari pedang itu dan tidak melihatnya, maka
kesaktian orang tersebut muncul kembali seperti sediakala."
Suto kembali manggut-manggut,
lalu terbayang saat ia melihat Angon Luwak bermain pedang-pedangan bersama
Saladin dan teman-teman lainnya. Saat itu, Suto ingin menolong Saladin yang terluka,
tapi gerakannya menjadi lamban, ia tak bisa gunakan gerak siluman, bahkan untuk
bersalto pun tak mampu, malah jatuh tersungkur memalukan. Rupanya saat itu ilmu
Suto hilang seketika karena melihat Pedang Kayu Petir. Buktinya setelah Angon
Luwak lari ketakutan karena menyangka dirinya telah membunuh Saladin, Suto
mampu lakukan gerakan bersalto dan gerak silumannya pun bisa digunakan kembali
sebagaimana mestinya.
Ki Gendeng Sekarat berkata
lagi, "Menurut cerita Wulung Gading, pedang itu jika digoreskan ke kulit
tubuh manusia, maka lukanya akan menyala hijau pendar-pendar, si korban
kejang-kejang, tubuhnya menjadi hijau berpijar-pijar, sesaat kemudian sinar itu
lenyap bersama hilangnya nyawa korban."
"Persis," gumam Suto
sambil membayangkan keadaan Saladin.
"Jika pedang itu
disentakkan ke langit, keluar puluhan petir berpencar ke segala arah dari ujung
pedang. Langit menjadi merah menggelegar bagaikan mau pecah. Jika di langit ada
bulan dan pedang itu disentakkan ke arah rembulan, maka rembulan akan menjadi
semerah saga. Jika disentakkan ke arah matahari, maka matahari akan redupkan
sinarnya dan tampak merah sehari penuh."
"Luar biasa...?!"
Suto penuh kekaguman dalam decaknya.
"Pedang itu dari kayu
biasa. Sepertinya kayu rapuh. Tapi itulah kayu petir. Tanaman kayu petir sudah
tidak tumbuh lagi di masa sekarang. Sekalipun dari kayu, tapi pedang itu tak
bisa patah. Pedang itu sangat enteng, baunya wangi cendana campur pandan. Bisa
untuk memotong baja setebal apa pun. Jika ditebangkan pada satu pohon, maka
dua-tiga pohon di kanan-kirinya ikut terpotong dengan sendirinya. Pedang itu
tanpa sarung pedang. Konon, para leluhur Wulung Gading membungkusnya dengan
sarung pedang dari kain biasa." "Pantas para tokoh di rimba
persilatan menginginkan
pedang itu?!" kata Suto
bagai bicara sendiri.
"Satu lagi keistimewaan
pedang itu, jika ditusukkan keluar sinar ungu dari ujungnya. Sinar itu bisa
menembus empat atau lima pohon sekaligus! Jadi kalau ditusukkan ke tubuh lawan
harus hati-hati. Bisa-bisa mengenai teman sendiri yang kebetulan ada dalam satu
arah tusukan dengan lawan."
Gumam lirih Suto memanjang
dengan kepala manggut-manggut. Kini kelihatannya Ki Gendeng
Sekarat mulai memperhatikan
segala sikap Suto yang tadi terjadi saat ia menceritakan kehebatan pedang maha
sakti itu. Ki Gendeng Sekarat bertanya pada pemuda tanpa pusar itu,
"Tadi kudengar kau
mengatakan 'persis', maksudnya persis bagaimana?"
"Aku melihat pedang itu
ada di tangan muridmu."
Ki Gendeng Sekarat kerutkan
dahi, pandangi Suto penuh curiga dan keheranan.
"Aku tak punya murid.
Semua muridku sudah mati ketika Pulau Mayat diobrak-abrik oleh Durmala Sanca
atau Siluman Tujuh Nyawa!"
Suto tersenyum. "Kau
mempunyai murid baru yang hanya mempunyai satu ilmu, yaitu ilmu 'Genggam
Buana'. Apakah kau sudah tak ingat lagi?"
Segera raut wajah Ki Gendeng
Sekarat berubah tegang. "Maksudmu... maksudmu pedang itu ada di tangan
Angon Luwak, bocah penggembala kambing itu?"
"Benar!" lalu Suto
Sinting pun ceritakan kembali tentang apa yang dilihatnya saat Angon Luwak
bermain perang-perangan dengan Saladin dan yang lainnya. Ki Gendeng Sekarat
jadi terbengong-bengong dengan mulut melompong. Dalam hatinya timbul kesangsian
antara percaya dan tidak. Tapi Suto Sinting mencoba meyakinkan Ki Gendeng
Sekarat, sehingga orang bermata agak sipit karena kebanyakan tidur itu berkata,
"Kalau begitu Angon Luwak
pasti dalam bahaya. Sebab pada umumnya, para tokoh tua mengenali ciri-ciri
pedang tersebut. Pasti mereka
berusaha merebutnya dari
Angon Luwak."
"Justru aku sampai di
sini karena sedang mencari
Angon Luwak!"
"Kalau benar
begitu," kata Ki Gendeng Sekarat serius sekali. "Aku akan menarik
bocah itu agar datang kemari."
"Caranya bagaimana,
Ki?"
"Menarik ilmu 'Genggam
Buana' yang ada padanya. Kekuatan batinku masih tetap bertalian dengan ilmu
'Genggam Buana'. Jika kekuatan
batinku menariknya, maka bocah itu akan melangkah sendiri kemari tanpa
disadarinya!"
"Bagus!" Suto
menyambar dengan cepat dan penuh semangat. "Lakukan sekarang juga,
Ki!"
"Tapi kita harus keluar
dulu dari lapisan jurus 'Surya
Kasmaran' ini!"
Suto hanya angkat bahu
pertanda tidak keberatan. Ki Gendeng Sekarat sentakkan dua jarinya ke langit.
Jari itu menjadi merah memercik-mercik seperti bunga api. Sinar merah yang
mengumpul itu naik lima jengkal di atas kepala mereka, kemudian turun berbentuk
asap yang menyebar membungkus diri mereka. Asap lenyap dan mereka berdua dalam
keadaan wujud kembali, bisa dilihat dan didengar orang lain. Pandangan mata
Suto pun sudah tidak serba hijau lagi. Seperti biasa saja. Itu pertanda mereka
sudah keluar dari pengaruh jurus 'Surya Kasmaran' yang dikagumi Suto Sinting.
"Aku akan lakukan semadi
beberapa saat," kata Ki
Gendeng Sekarat. "Tolong
jaga aku, jangan sampai ada yang mengganggu keheningan batinku!"
"Ada baiknya kalau kita
di bawah pohon sana, Ki.
Letaknya lebih
tersembunyi!" kata Suto sambil menunjuk tempat yang dimaksud.
"Baik. Kita ke
sana!"
Di bawah pohon yang tak
menjadi korban angin badai pertarungan tadi, Ki Gendeng Sekarat bersila di
rerumputan. Kedua tangannya siap-siap untuk saling merapat di dada. Namun baru
saja tangan digerakkan, Suto Sinting segera terkejut memandang ke arah lereng
bukit lebih tinggi lagi.
"Tunggu, Ki! Bukankah
bocah yang berlari-lari itu
Angon Luwak?!"
Ki Gendeng Sekarat cepat
berdiri. Matanya sedikit mengecil. Pandangannya tertuju ke arah lereng di mana
seorang bocah sedang berlari menuruni bukit.
"Benar! itu dia
anaknya!"
Suto tampak ceria. Bahkan tak
sadar menepuk-nepuk pundak Ki Gendeng Sekarat sambil berkata, "Hebat
sekali ilmumu, Ki. Baru duduk bersila saja sudah bisa panggil anak itu!"
"Ini hanya kebetulan
saja! Aku belum memulai semadiku!" Ki Gendeng Sekarat bersungut-sungut.
"Hei, lihat...! Ternyata
dia dikejar seseorang, Ki!"
kata Suto tegang.
"Ya. Ada yang
mengejarnya. Bukan seseorang, tapi... lihat di seberang sana, ada yang ingin
menghadang Angon Luwak."
"Hmmm... benar! Satu,
dua, tiga... empat! Sepertinya empat orang yang mengejarnya, Ki!"
"Kurang ajar! Tak
kuizinkan siapa pun menyentuh
muridku itu!" Ki Gendeng
Sekarat bergegas pergi untuk menolong Angon Luwak, tapi tangannya segera
dicekal oleh Suto Sinting.
"Tunggu sebentar! Kau
lindungi bocah itu, aku akan hadapi mereka!"
"Baik! Kita bergerak
sekarang!"
Suto Sinting segera berlari
sambil berseru, "Luwak...! Angon Luwak...!"
Bocah itu berhenti, memandang
ke arah Suto, lalu
berseru sambil berlari ke arah
Suto Sinting. "Kaaang...! Tolong, Kang...! Guruuu...!"
Wuuut...! Ki Gendeng Sekarat
berkelebat cepat, lalu menyambar bocah itu. Wuus...! Dibawanya salto bocah itu
dan mereka telah tiba di bawah pohon yang mau dipakai untuk bersemadi tadi.
Sementara itu, Suto Sinting berdiri tegak, menenggak tuak sebentar, lalu siap
hadapi empat orang pengejar itu. Dilihat dari penampilannya yang berwajah
dingin, mereka jelas tokoh sakti dari berbagai penjuru. Dilihat dari ketuaan
usianya, mereka tentunya para guru dari beberapa
perguruan.
*
* *
9
JUBAH hitam berambut putih
panjang terurai sebatas punggung adalah tokoh sakti dari Nusa Garong. Biar
badannya kurus, wajahnya bengis, matanya cekung, tapi kesaktiannya tak
diragukan lagi. Ia dikenal sebagai ketua perguruan aliran hitam, yaitu
Perguruan Lumbung Darah. Namanya cukup dikenal di kalangan aliran sesat sebagai
Tengkorak Liar.
Anak buahnya pernah berhadapan
dengan Suto Sinting ketika Suto selamatkan Sabani, kakak Angon Luwak dalam peristiwa
Keris Setan Kobra. Orang kurus bersenjata cambuk pendek warna merah itu berdiri
tepat berhadapan dengan Suto. Usianya diperkirakan sama dengan orang yang
berpakaian serba hijau, sampai ikat kepalanya juga hijau, sabuknya hijau,
gagang rencongnya hijau dan pakaian dalamnya hijau lebih tua dari jubah lengan
panjangnya. Orang itu dikenal dengan nama Tongkang Lumut, dari Perguruan Tambak
Wesi. Dalam usia sekitar delapan puluh tahun ke atas ia masih mempunyai mata
tajam dan rambut serta kumisnya abu- abu. Badannya masih tegap, walau tak
seberapa gemuk.
Orang ketiga adalah seorang
perempuan tua berusia sekitar sembilan puluh tahun, sedikit bungkuk, peot,
keriput. Rambutnya putih rata. Jubahnya biru tua dengan pakaian dalam hitam.
Membawa tongkat yang ujungnya berbentuk kepala bayi. Dia penguasa Teluk Dukun,
yang menghasilkan banyak dukun santet kelas berat. Namanya dikenal di rimba
persilatan sebagai tokoh sesat berjuluk si Tongkat Bayi.
Sedangkan orang keempat seusia
dengan Ki Gendeng Sekarat. Termasuk lelaki berbadan tegap walau tak berarti
gemuk. Berambut abu-abu dibungkus kain merah. Pakaiannya coklat muda, tapi
jubahnya hijau tua. Tenang, tapi dingin. Konon ia penguasa Hutan Cadas berjuluk
Beruang Tebing.
"Kalau tak salah
penglihatanku," kata si Tongkat Bayi, "Kau adalah murid si Gila Tuak
yang bergelar Pendekar Mabuk! Sebab kulihat ciri-ciri bumbung tuakmu itulah
yang jadi pembicaraan para tokoh di rimba persilatan!"
"Benar. Aku adalah murid
si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!" jawab Suto dengan tegas. Lalu suara tua
si Tongkat Bayi terdengar lagi,
"Namamu dan kesaktianmu
memang sedang jadi bahan pembicaraan para tokoh. Tapi aku tak peduli. Kalau kau
halangi niatku mengambil bocah itu, kucabut nyawamu sekarang juga."
"Bukan kuasamu mencabut
nyawa orang, Tongkat Bayi! Jangan bicara semudah itu!" ujar Tongkat Lumut
yang bernada sepelekan ilmu si Tongkat Bayi.
"Diam mulutmu, Lumut
Jamban!" hardik sang nenek. "Kalau kau merasa bisa kalahkan dia,
majulah sana! Hadapi dia, biar kuhadapi si Gendeng Sekarat yang mau ikut campur
urusan orang itu!"
Ki Gendeng Sekarat hanya
tersenyum kecil, ia memang sudah mengenal keempat tokoh itu. Dia pula yang
menjelaskan satu persatu tentang keempat tokoh itu kepada Pendekar Mabuk,
sementara Angon Luwak
selalu ada tak jauh darinya.
Tengkorak Liar juga sangat kenal dengan Ki Gendeng Sekarat karena beberapa
tahun yang lalu pernah terlibat bentrokan antara perguruannya dengan
murid-murid Ki Gendeng Sekarat yang kala itu belum dibantai habis Siluman Tujuh
Nyawa. Karenanya, Tengkorak Liar berseru seenaknya kepada Ki Gendeng Sekarat,
"Gendeng Sekarat!
Serahkan bocah itu padaku dan akan kulupakan kekalahanku waktu itu! Tak kan
kutuntut nyawamu untuk gantikan kematian istriku!"
Dari bawah pohon berjarak
delapan langkah di belakang Suto Sinting, Ki Gendeng Sekarat berseru,
"Kalahkan dulu Pendekar Mabuk, baru ambil anak ini! Siapa yang mampu
kalahkan dia, berarti berhak memiliki anak ini! Karena aku tahu kalian
mengincar Pedang Kayu Petir yang dimiliki bocah ini!"
"Memang!" sahut
Tongkat Lumut. "Bocah itu licin seperti belut. Tapi aku melihatnya sendiri
ia membawa- bawa Pedang Kayu Petir yang sekarang disimpannya entah di mana!
Jika memang kehendakmu begitu, akulah orang pertama yang akan tumbangkan
Pendekar Mabuk ini! Apa susahnya menumbangkan bocah kemarin sore yang masih
ingusan ini?!"
"Biar aku dulu yang maju
melawannya," kata Beruang Tebing dengan tenang, tapi wajahnya, sorotan
matanya, melebihi es kutub utara dinginnya.
"Tidak bisa! Aku dulu
yang hadapi bocah kencur itu!" sentak Tengkorak Liar sambil maju dua
langkah.
Ki Gendeng Sekarat berseru,
"Begini saja! Siapa yang
menang dialah musuh kalian
yang harus kalian tumbangkan untuk dapatkan bocah ini!"
"Baik. Aku setuju!"
seru Tongkat Bayi. "Siapa pun
yang menang melawan murid Gila
Tuak, dialah yang harus ditumbangkan oleh penantang berikutnyal"
Rupanya keempat tokoh itu
sama-sama melihat Angon Luwak memegang Pedang Kayu Petir. Mereka diam-diam
ingin menangkap anak itu, tapi ingat kekuatan pedang yang dapat lumpuhkan semua
ilmu, maka dicari kesempatan yang baik, menunggu bocah itu simpan pedangnya
lalu baru disergap. Mereka lakukan hal itu di luar rencana, bahkan saling tidak
tahu. Mereka saling mengetahui setelah Angon Luwak dikejar-kejar oleh Tengkorak
Liar, lalu Tongkang Lumut, Beruang Tebing, dan terakhir yang muncul ikut
mengejar adalah si Tongkat Bayi. Sedangkan Angon Luwak hanya andalkan
kelincahan berlarinya, sehingga mereka sulit menangkap hidup-hidup. Tentu saja
mereka tak mau lepaskan pukulan karena takut membuat bocah itu mati dan tak
bisa dikorek keterangannya tentang pedang itu.
Tapi rupanya nasib mujur masih
mengikuti Angon Luwak. Para pengejarnya terpaksa berhadapan dengan Pendekar
Mabuk yang selalu dibangga-banggakan itu. Lebih gembira lagi setelah Angon
Luwak bertemu dengan gurunya, rasa aman bocah itu lebih besar lagi karena ia
pun mengagumi ilmu silat Ki Gendeng Sekarat.
Orang pertama yang menghadapi
Suto Sinting adalah
Tongkang Lumut yang bersenjata
rencong terselip di
depan perutnya. Yang lain
mundur, memberikan tempat untuk pertarungan maut itu. Tongkang Lumut mulai buka
kuda-kudanya, tapi Suto Sinting malahan menenggak tuaknya dengan seenaknya
saja. Ketenangan itu sengaja dipamerkan Suto untuk membuat ciut nyali lawannya,
sekalipun hanya sedikit saja kedutan nyali itu dialami oleh lawan, tapi punya
sisi menguntungkan bagi Suto Sinting.
Tongkang Lumut rendahkan
kakinya. Kedua tangan terangkat, yang kanan ada di atas kepala dengan bergetar
pertanda tenaga dalam mulai disalurkan pada tangan tersebut. Tangan kirinya
menghadang di depan dada. Menggenggam keras dan kuat sekali.
Slaaap...! Tiba-tiba Tongkang
Lumut bagai menghilang dari hadapan Suto. Tahu-tahu dia sudah berpindah tempat
di belakang Suto dalam jarak satu jangkauan tangan. Tentu saja punggung
Pendekar Mabuk dijadikan sasaran tangan yang sudah berasap itu.
Menyadari hal itu, Suto
Sinting cepat robohkan badan. Dua tangannya menapak di tanah dalam keadaan
rendah, dua kakinya masuk di sela-sela langkah lawannya. Lalu secepat kilat,
kedua kaki itu merentang dalam satu sentakan kuat Wuuut...! Prak...!
Kedua kaki Suto Sinting yang
jatuh mirip orang mabuk berat itu berhasil menendang kedua kaki Tongkang Lumut.
Akibatnya kaki Tongkang Lumut sama-sama merenggang dengan sentakan kuat
bagaikan dirobek ke kanan dan ke kiri.
"Auhh...!" Tongkang
Lumut mendelik, langsung
pegangi 'Jimat Lelakinya' yang
terasa robek itu. Ia memang masih sempat berdiri setelah kedua kaki tersentak
lebar-lebar ke samping kanan-kiri, tapi tak mampu bertahan lama. Karena Suto
Sinting berguling cepat satu kali, dan kakinya menjejak ke atas dalam keadaan
masih berbaring di rumput. Wuuut...! Deegh...!
Dada Tongkang Lumut jadi
sasaran tendangan kaki Suto yang bertenaga dalam tinggi itu. Akibatnya tubuh
Tongkang Lumut terpental bagai dilemparkan badai. Wuuus...! Bruuk...! Ia jatuh
di semak-semak. Jatuhnya tak membuat parah, tapi tendangan itu membuat dadanya
bagaikan pecah. Napasnya seakan terhenti seketika. Namun toh ia masih berusaha
untuk bangkit walau dengan satu lutut, lalu lepaskan pukulan dari telapak
tangan kanannya. Wuuut...! Slaaap...!
Sinar biru sebesar jempol
kakinya melesat lurus ke arah Suto Sinting. Panjang sinar yang hanya satu depa
itu ditangkis dengan bumbung tuak. Traak! Sinar itu berbalik arah dengan lebih
lebih cepat dan lebih besar.
Tentu saja si pemilik pukulan
maut itu amat terkejut, ia segera menghindar dengan satu lompatan dengan lutut.
Wuuut...! Tapi terlambat, karena saat itu sinarnya lebih cepat menghantam
tulang rusuk kirinya. Jraab...!
Tubuh Tongkang Lumut kepulkan
asap. Kulitnya mulai bergerak-gerak mengelupas. Sekalipun demikian, Tongkang
Lumut tak mau segera lari, melainkan berusaha berdiri dengan sempoyongan dan
segera cabut rencongnya. Seet!
Dengan terhuyung-huyung ia
hampiri Suto Sinting
yang berdiri tegak itu. Dalam
jarak empat langkah rencong itu dikibaskan ke depan bagai merobek udara dari
kanan ke kiri. Wuuut...!
Suto rasakan ada gelombang
panas yang mampu mendidihkan baja berkelebat ke arahnya. Tanpa sinar dan tanpa
wujud apa pun. Pendekar Mabuk cepat tanggap. Itu adalah gelombang hawa sakti
yang lepas dari rencong tersebut. Maka dengan cepat Suto Sinting sentakkan kaki
dan melesatlah tubuhnya ke atas.
Wuuut...!
Gelombang hawa panas itu
menerabas tempat kosong, hampir saja kenai Tongkat Bayi kalau saja nenek itu
tak segera ikut lompat ke atas seperti Suto. Sementara itu, sebelum tubuh
bergerak turun, Suto Sinting lepaskan pukulan dari atas yang dinamakan
'Pukulan Gegana'. Dua jarinya
dikibaskan ke depan dan keluarkan sinar kuning patah-patah yang langsung
menghantam bagian bawah pundak kiri lawan. Zraaab...! Sinar patah-patah itu
bagaikan masuk dalam satu titik, membuat tubuh lawan terdorong mundur satu
tindak, tapi untuk kemudian diam tak bergerak. Matanya menatap tajam ke arah
depan. Kulit tubuhnya mulai kian terkelupas dengan sendirinya. Rambut rontok
semua, demikian pula rambut alis dan kumis abu-abunya. Pakaiannya pun ternyata
cepat berubah menjadi abu keputih-putihan. Pada akhirnya, Tongkat Lumut tumbang
dalam keadaan tubuh kering tanpa darah setetes pun.
Melihat Tongkang Lumut tumbang
dan menjadi
sekering itu, mirip kayu
bakar, si Tongkang Bayi segera berseru dengan suaranya yang cempreng,
"Aku lawanmu berikutnya,
Anak Ingusan!"
Wuuut...! Si Tongkat Bayi maju
bagaikan masuk dalam arena. Suto Sinting berbalik arah dan pandangi mata si
Tongkat Bayi yang buram itu. Batin Suto berkata, "Tak tega aku melawannya.
Terlalu tua untuk kutandingi. Tapi... apa boleh buat kalau memang ini pilihan
yang tak bisa dibatalkan lagi!"
Tongkat Bayi menunggungikan
kepala tongkatnya dan menghentakkan ke tanah. Duuhg...! Seketika itu tubuh
Pendekar Mabuk bagaikan terlempar terbang. Sepertinya ada tenaga yang amat
besar menyodok keluar dari dalam tanah dan melemparkan tubuh Pendekar Mabuk.
Tubuh yang terlempar tinggi
itu hampir-hampir kehilangan keseimbangan. Oleh si Tongkat Bayi kesempatan itu
digunakan untuk melemparkan tongkatnya dengan sentakan tenaga dalam yang
tinggi. Wuuus...! Tongkat pun melayang dengan cepat seperti laju kecepatan anak
panah. Hampir saja mengenai kepala Pendekar Mabuk jika bumbung tuak tidak
segera berkelebat di depan wajah dan tongkat berkepala tengkorak bayi itu
menghantam bumbung tuak tersebut.
Blaaar...!
Gelombang ledakan menghentak
sangat kuat membuat tubuh Pendekar Mabuk sebelum sempat mendarat sudah
terlempar lagi bagaikan terbuang ke arah belakang. Wuuus...! Brrukk...!
Benturan tersebut bukan saja
hasilkan gelombang ledakan tinggi, namun juga kerliapan cahaya merah yang lebar
dan menyilaukan. Tongkat itu sendiri pecah dan terpotong-potong tidak
beraturan. Pandangan mata Suto Sinting menjadi gelap bagaikan menemui kebutaan.
Ketika ia jatuh terpuruk dan
mencoba untuk bangkit, ia tak melihat apa-apa kecuali kegelapan yang pekat.
Tetapi bumbung tuak masih ada di tangannya, talinya masih melilit di telapak
tangan kanan, sehingga Suto Sinting buru-buru menenggak tuaknya dua teguk.
Glek, glek...! Maka dalam beberapa kejap saja pandangan matanya sudah kembali
seperti semula. Kesesakan dadanya mulai lancar, dan rasa sakit pada sekujur
tubuh serta tulang-tulangnya yang merasa patah telah pulih segar seperti
semuia.
"Edan! Kekuatannya begitu
tinggi. Hampir saja aku celaka!" pikirnya sambil berdiri tegak memandang
si Tongkat Bayi. Hatinya teperanjat melihat si Tongkat Bayi ternyata masih
memegang tongkatnya.
"Bukankah tongkat itu
tadi pecah bersama ledakan dahsyat itu? Tapi mengapa ternyata masih ada di
tangan si nenek ganas itu? Hmm... jelas ini permainan ilmu sihirnya yang
agaknya cukup tinggi!"
Pendekar Mabuk langkahkan kaki
maju dekati lawan. Si Tongkat Bayi segera hadang langkah itu dengan melepaskan
pukulan bersinar kuning panjang dan lurus dari sodokan tongkatnya ke depan.
Wuuut...! Slaaap...! Sinar kuning lurus mengarah ke dada Suto Sinting.
Dengan cepat Suto Sinting
segera sentakkan
bumbung tuaknya sambil
tubuhnya miring bagai orang mabuk yang menggeloyor. Tubuh yang miring itu
akhirnya terbawa terbang oleh sodokan bumbungnya. Wuuueeess...! Sinar kuning
itu membentur pangkal bumbung yang disodokkan ke depan. Blaaar...! Ledakan pun
terjadi sedahsyat tadi. Tapi kali ini tubuh Suto Sinting masih tetap menembus
asap ledakan dan akhirnya bumbung itu menghantam kepala tongkat. Duaar...!
Bersamaan dengan itu Suto
Sinting liukkan badan ke depan dan bersalto pendek dan kakinya menendang wajah
si nenek dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Dees...!
"Auuhg...!"
terdengar pekikan pendek yang tertahan. Wajah si nenek tersentak amat kuat
bersama-sama terbangnya tubuh ke belakang. Tubuh yang terlempar itu membentur
sebatang pohon kering dan, kraaak...! Brrruk...! Pohon itu patah di pertengahan
batang, lalu roboh berdebum di bumi. Bersamaan dengan itu tubuh si Tongkat Bayi
jatuh terpuruk, hidungnya mengucurkan darah, demikian pula lubang telinga dan
mulutnya yang memuntahkan darah hitam kemerahan.
"Mati aku," pikir sang
nenek. "Kepalaku retak, mataku bagaikan pecah. Ohh... berat! Berat sekali
lukaku ini. Aku tak bisa memandang dengan jelas. Makin lama makin buram dan
gelap. Aku harus segera keluar dari pertarungan ini untuk bikin perhitungan
sendiri di lain waktu!"
Tak ada pilihan lain bagi si
Tongkat Bayi. Ia segera
melesat pergi tanpa tinggalkan
pesan apa pun, karena kepalanya berderak- derak bagai ingin pecah ke berbagai
penjuru. Wajahnya biru legam, pandangan matanya kian suram. Bahkan ketika ia
berlari untuk tinggalkan tempat, sebatang pohon ditabraknya lagi.
Bruuss...!
"Mati lagi aku,
Mak!" keluhnya sambil terpental dan jatuh ke belakang, lalu bangkit lagi
dan larikan diri. Di seberang sana ia menabrak pohon lagi. Brus...!
"Mati juga akhirnya aku,
Mak...!" ia bangkit lagi, lari lagi, dan menabrak pohon lagi. Begitu
seterusnya sampai akhirnya Tongkat Bayi hilang dari pandangan mata Suto.
Ki Gendeng Sekarat dan Angon
Luwak tertawa melihat nasib si Tongkat Bayi yang melarikan diri. Sementara itu
Suto Sinting hanya tersenyum tipis, kemudian menenggak tuaknya lagi. Dan pada
saat menenggak tuak itulah, Beruang Tebing tanpa berkata- kata langsung
menyerang Suto dengan kedua tangan membentuk cakar. Kedua tangan berjari
menyala merah bara itu dihantamkan ke dada Pendekar Mabuk, bersamaan dengan itu
tubuhnya melompat cepat dan menerjang Suto Sinting.
Tetapi tiba-tiba sekelebat
bayangan melintas di depannya. Weess...! Bayangan bagai angin badai itu
mengejutkan Suto Sinting, juga Tengkorak Liar dan Ki Gendeng Sekarat. Karena
kejap berikutnya, tubuh Beruang Tebing ternyata telah roboh, terpotong menjadi
dua bagian di atas perutnya.
Bayang itu berhenti di sisi
kanan Tengkorak Liar.
Ternyata seorang perempuan
yang diam di tempat dengan kuda-kuda kokoh, menggenggam pedang dengan kedua
tangan. Pedang itu masih dalam keadaan miring ke samping karena habis
ditebaskan. Darah yang melumuri pedang itu masih menetes satu persatu.
"Angin Betina!"
gumam Suto Sinting merasa kaget dan kagum melihat kecepatan gerak pedang yang
benar- benar menyerupai angin itu. Beruang Tebing yang baru saja mau bergerak
tahu-tahu sudah roboh terpotong dua bagian. Tentu saja sejak saat itu Beruang
Tebing enggan bernapas lagi karena nyawanya pergi entah ke mana.
"Istirahatlah, Suto! Biar
kutangani sisanya yang satu ini!" kata Angin Betina sambil mata tajamnya
berkesan liar itu menatap tajam ke arah ketua Perguruan Lambung Darah yang
ternyata sudah mengenalnya pula.
"Angin Betina! Rupanya
kau pun bermaksud ingin memiliki pedang pusaka itu! Hemm...! Apa kau
mampu?!"
"Bagiku lebih berharga
memiliki Pendekar Mabuk daripada pedang pusaka itu!"
"O, jadi kau membela Suto
dengan pertaruhkan
nyawamu untuk
melawanku?!"
"Ya. Karena aku mencintai
Suto!" jawabnya tegas, jelas, keras. Suto sendiri sampai tersipu malu
seraya melirik sekejap ke arah Ki Gendeng Sekarat yang tersenyum-senyum.
"Bocah bodoh kau! Gurumu
saja tak mampu kalahkan aku, apalagi kau yang hanya muridnya!" geram
Tengkorak Liar.
"Mendiang Guru tidak
mempunyai ilmu 'Pedang Bintang', tapi aku punya jurus itu dari seorang guru
pedang tersohor: Ki Argapura alias si Penggal Jagat! Tentunya kau kenal,
Tengkorak Liar!"
"Persetan dengan
Argapura!" geram Tengkorak Liar. "Buktikan kehebatannya di depanku!
Hiaaah...!"
Tengkorak Liar sentakkan kedua
tangannya ke depan.
Dua larik sinar merah yang
melingkar-lingkar pada ujungnya bagaikan mata bor itu melesat ke arah Angin
Betina. Kecepatannya amat tinggi, membahayakan sekali bagi Angin Betina.
Dihindari akan terlambat, ditangkis akan telat.
Untung Suto Sinting selalu
siap siaga. Begitu sinar merah itu terlepas, sinar birunya pun keluar dari
sentakan kedua tangan Suto. Claaap...! Jurus 'Tangan Guntur' yang biasanya
membuat lawan hangus dan keropos itu menghantam sinar merahnya Tengkorak Liar.
Blegaaarrr...!
Dentumam itu menggelegar.
Kedua sinar yang beradu pecah menjadi satu warna jingga dalam sekejap saja.
Sentakan gelombang ledaknya menjungkirbalikkan Tengkorak Liar, karena ia tak
menyangka akan ada yang mampu lebihi kecepatan gerak sinar merahnya. Angin
Betina sendiri juga terjungkal ke belakang dengan jatuh berlutut dan setengah
merangkak. Kepalanya yang berambut acak-acakan itu dikibaskan dua kali. Ia
menghilangkan rasa pusing dan pandangan mata yang berkunang-kunang. Setelah itu
bangkit bersamaan
berdirinya Tengkorak Liar yang
berwajah merah matang. "Memang jahanam busuk kalian semua!" geram
Tengkorak Liar sambil mencabut cambuk pendeknya yang hanya empat jengkal kurang
itu. Cambuk itu segera dilecutkan di udara. Taaarrr...! Seberkas sinar biru
melesat menuju ke tubuh Suto
Sinting.
Bumbung tuak disilangkan
dengan kedua tangan dan kakinya berlutut satu. Sinar biru berkerliap itu
menghantam bumbung tuak. Duaar...! Ternyata sinar tersebut kembali ke arah
semula dengan lebih besar lagi dan masuk melalui ujung cambuk pendek.
Jraaab...!
"Aaahg...!"
Tengkorak Liar memekik. Tangannya menjadi hangus seketika karena kekuatan
dahsyat mengalir masuk melalui cambuknya.
Wuuusss...!
Kembali sekelebat bayangan
melintas cepat menerjang Tengkorak Liar yang sedang sibuk menahan rasa sakit
pada tangannya. Sekelebat bayangan itu tak lain adalah Angin Betina yang
lancarkan jurus 'Pedang Bintang' dengan tebasan lima sisi yang bisa dilihat
oleh mata orang biasa. Lima tebasan dalam sekelebatan itu telah membuat
Tengkorak Liar tumbang berlumur darah. Salah satu luka terparahnya adalah
bagian dada yang terbelah. Tentu saja nyawa pun segera minggat dan pertarungan
pun berhenti saat itu juga.
"Angin Betina, kuakui
cukup hebat ilmu pedangmu. Tapi seharusnya kau tak perlu ikut campur urusanku
ini!" kata Suto Sinting sambil mendekati perempuan yang wajahnya masih
tampak angker-angker cantik itu.
"Sudah kubilang, aku akan
melindungimu karena aku suka padamu!" katanya terang-terangan. Suto
Sinting memberi tanggapan dengan senyum ramah yang amat menawan dan membuat
hati Angin Betina berdenyut- denyut lagi. Mereka segera hampiri Ki Gendeng
Sekarat dan Angon Luwak yang merasa puas menyaksikan tontonan hebat secara
gratis. Wajah bocah itu berseri- seri saat memuji Suto.
"Hebat sekali kamu, Kang.
Nenek ini juga hebat," tudingnya pada Angin Betina. Si perempuan menggeram
dongkol.
"Nenek?! Gundulmu itu
yang pantas dibilang nenek!" Suto tertawa selintas, lalu berkata kepada
Angon Luwak, "Kulihat kau bermain pedang-pedangan dengan
Saladin dan...."
Angon Luwak kaget,
"Aku... aku tak sengaja membunuh Saladin, Kang. Sumpah!"
"Saladin tidak
mati!" kata Suto. "Aku telah berhasil obati lukanya itu. Cuma, aku
ingin tahu di mana kau peroleh pedang-pedanganmu itu?"
"Di... di Telaga Jompo,
Kang. Ketika aku duduk merenungimu karena kehilangan jejakmu, tiba-tiba pedang
kayu itu muncul dari dalam telaga dan mengambang. Lalu kuambil dan kugunakan
untuk bermain pedang-pedangan. Ak... aku tak menyangka kalau orang-orang setua
lawan-lawanmu tadi juga masih kepingin mempunyai pedang-pedangan dari kayu,
Kang."
Ki Gendeng Sekarat menyahut,
"Itu bukan sekadar
pedang dari kayu biasa, Angon
Luwak! itu pedang pusaka bertenaga hebat. Sangat sakti."
"Benar kata gurumu, Angon
Luwak," kata Suto.
"Pedang itulah yang
menjadi rebutan para tokoh berilmu tinggi. Pedang itulah yang dinamakan Pedang
Kayu Petir. Kesaktiannya sudah kau lihat sendiri saat kau melukai
Saladin."
Bocah itu terbengong
melompong. Ki Gendeng
Sekarat bertanya lagi,
"Sekarang di mana pedang
itu?"
"Pedang itu...,"
Angon Luwak berhenti bicara, memandang Suto, Ki Gendeng Sekarat, Angin Betina,
dan kepada Suto lagi. Sepertinya ada keraguan yang membuatnya bingung untuk
mengatakannya.
"Kau simpan di mana
pedang itu?" desak Suto dengan nada pelan.
"Pedang itu... jatuh,
Kang." "Jatuh di mana?"
"Di sana... di tempat kau
membuang asap Iblis Naga
Pamungkas."
"Hahhh. .?!
Jadi...?!" Suto Sinting terbelalak kaget, ia segera menatap Ki Gendeng
Sekarat yang tak mengerti maksud Angon Luwak. Suto jelaskan dengan suara lemah
bagaikan kehilangan harapan.
"Pedang itu jatuh ke...
Sumur Tembus Jagat!"
"Gila! Sumur itu tak ada
dasarnya!" Ki Gendeng Sekarat pun menjadi tegang. Suto Sinting tarik napas
dalam-dalam, sementara Angon Luwak tundukkan kepala dengan rasa takut dan
bersalah.
Terdengar gumam Suto bagaikan
diliputi kecemasan. "Lantas, bagaimana caranya aku menandingi Raja Tumbal
nanti? Seruling Malaikatnya tak bisa dilawan kecuali dengan Pedang Kayu Petir
itu."
Angin Betina memandang Suto,
kemudian mendekatinya dan menepuk-nepuk pundak Suto. Apa artinya, Suto sendiri
tak mengerti.
SELESAI