Serial Pendekar Mabuk-03 Darah Asmara Gila

Suto Sinting, Baca Cersil Indonesia Online: Serial Pendekar Mabuk-03 Darah Asmara Gila ANGIN mendung berhembus dari puncak gunung membawa udara dingin. Hembusannya bagai sengaja tercipta untuk menerpa dua sosok manusia...
ANGIN mendung berhembus dari puncak gunung membawa udara dingin. Hembusannya bagai sengaja tercipta untuk menerpa dua sosok manusia yang saling berhadapan. Satu mengepalkan tangan dengan kuat, satu lagi merenggangkan jemari tangan dengan keras. Wajah mereka saling bertatap pandang menyemburkan api permusuhan.

Agaknya mereka sudah sejak tadi saling berbaku hantam, terbukti dari basahnya tubuh-tubuh mereka oleh keringat kemarahan. Batu-batu besar di sekitar mereka sudah banyak yang berhamburan, pecah karena pukulan mereka yang salah sasaran. Bahkan di satu sisi lereng bukit itu, tampak sebatang pohon yang masih berasap akibat terbakar oleh suatu pukulan dahsyat bertenaga dalam.

Dari kejauhan orang akan menduga mereka dua pendekar sakti yang gagah perkasa. Tetapi setelah didekati ternyata mereka adalah dua perempuan bertubuh sekal dengan sikap dan wajah sama garangnya. Kedua perempuan itu sama-sama mempunyai dada montok yang bergerak naik turun akibat napas yang terengah-engah dari suatu pertempuran sengit. Namun agaknya keduanya masih mencoba bertarung dengan tangan kosong, tanpa menggunakan senjata andalan mereka masing-masing.

Perempuan yang berambut lurus sepanjang pundak lebih sedikit itu berkata dengan nada menggeram.

"Kuingatkan sekali lagi, jangan coba-coba halangi aku kalau kau masih ingin melihat rembulan muncul petang nanti!"

"Justru aku yang perlu mengingatkan kamu agar hati- hati menjaga nyawamu, karena sebentar lagi aku tak segan-segan mencabutnya!"

Perempuan jelita yang berambut lurus dan mengenakan ikat kepala dari semacam logam emas kecil dengan batuan merah delima sebesar kacang tanah di tengah dahinya itu, kembali berkata setelah perdengarkan tawanya yang bernada sumbang.

"Kau pikir mudah menerjang jurus-jurusku?! Kalau saja aku tak ingin berurusan panjang dengan perguruanmu, aku sudah merajang habis raga dan nyawamu sejak tadi, Selendang Kubur!"

Rupanya perempuan yang satu itu adalah Selendang Kubur, orang Perguruan Merpati Wingit yang sedang terlibat urusan dengan murid si Gila Tuak yang bernama Suto Sinting alias Pendekar Mabuk itu. Dialah perempuan yang sedang dicari-cari oleh Suto Sinting karena persoalan hilangnya guci kecil yang disebut Pusaka Tuak Setan (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").

Jika perempuan yang berpakaian merah dadu dengan selendang putih melilit di pinggangnya itu adalah Selendang Kubur, lantas siapa perempuan yang berambut lurus dan berpakaian kuning kunyit itu? Tokoh muda jelita itu ternyata tidak mudah ditumbangkan oleh Selendang Kubur.

Jelas dia punya ilmu cukup tinggi juga. Berulang kali dia mampu menghindari pukulan jarak jauhnya Selendang Kubur. Berulang kali dia sengaja mengadu pukulan tenaga dalamnya dengan pukulan jarak jauh Selendang Kubur, walau untuk itu ia terpaksa tersentak ke belakang dan Selendang Kubur pun mengalami hal yang sama.

Tapi tokoh cantik bertahi lalat di sudut dagunya yang kanan itu bukan orang asing lagi bagi Selendang Kubur. Beberapa waktu yang silam Selendang Kubur pernah bentrok dengan perempuan itu. Dan Selendang Kubur masih mengingatnya, bahwa perempuan bermata mesum itu tak lain adalah Peri Malam, yang konon mempunyai nama asli Sundari.

Dulu mereka terlibat bentrokan karena seorang pemuda yang bernama Trenggono. Pemuda yang punya mulut setajam pisau itu telah menyebar fitnah asmara, sehingga Selendang Kubur dan Peri Malam saling beradu kekuatan ilmunya. Tetapi setelah diketahui bahwa Trenggono seorang pemuda yang gemar melihat perempuan saling adu kekuatan, maka mereka berdua segera menyerang Trenggono, dan tubuh pemuda itu hancur di tangan mereka sendiri.

Tetapi, apakah sekarang mereka bertarung gara-gara seorang pemuda juga? Termakan fitnah asmara juga?

"Selendang Kubur! Aku tak punya banyak waktu untuk melayanimu!" seru Peri Malam. "Kalau memang kau masih punya dendam padaku dengan persoalan masa lalu kita, sebaiknya sekarang juga kulenyapkan raga dan nyawamu!"

Selendang Kubur cepat menyahut sebelum Peri Malam melepaskan satu pukulan tenaga dalam yang pasti lebih berbahaya dari yang sudah-sudah.

"Peri Malam! Urusan kita kali ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan kita tempo hari! Harap kau ketahui, kalau kali ini aku terpaksa menghadang langkahmu itu karena aku ingin memaksamu agar mengembalikan barang curianmu itu kepada pemiliknya! Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan Trenggono!"

Peri Malam kendurkan urat tangan yang telah mengencang, ia tersenyum sinis bermakna bengis.

"Kau pun harus sadar, apa yang kulakukan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan pribadimu, Selendang Kubur!"
"Ada!" sentak Selendang Kubur.
"Apakah karena asmara kau melakukannya?!"
"Itu urusanku, kau tak perlu tahu, Peri Malam!"

"Hi hi hi hi...! Sudah kuduga, kau menaruh hati pada pemuda itu secara diam-diam! Kau ingin berjasa di hadapannya! Kau ingin tunjukkan rasa cinta dan kesetiaanmu kepadanya dengan merebut kembali benda pusaka ini dari tanganku! Tapi ketahuilah, Selendang Kubur, tanganku tidak akan bisa mekar kembali jika sudah telanjur menggenggam benda yang kudapatkan! Jangan kau mimpi dapat merebut Pusaka Tuak Setan ini dari tanganku, Selendang Kubur. Bisa jadi nyawamulah yang menjadi tebusannya!"

"Pikiranku tak akan bisa berubah, Peri Malam! Sekali aku ingin menghancurkan kepalamu, harus kulaksanakan secepatnya! Hiaaat..!"

Sentakan mendadak dari tangan kanan Selendang Kubur membuat kain putih panjangnya berkelebat ke depan. Dari ujung selendang keluarlah percikan api seperti lidah-lidah petir yang mengarah ke tubuh Peri Malam. Tak ayal lagi Peri Malam segera melompat ke atas batu di belakangnya. Wussst..!

Peri Malam berdiri di atas batu tinggi. Tapi percikan lidah petir itu menghantam batu tersebut. Blarrr...!

Batu itu terhantam sejenak, kemudian pecah berhamburan pada saat dipakai sentakan kaki Peri Malam yang meloncat di udara sambil melepaskan pukulan ganda dari jarak jauh. Duub... dub...!

Pukulan itu membuat Selendang Kubur terpaksa berguling di tanah untuk menghindarinya. Pukulan ganda itu mengenai pohon yang berjarak antara delapan tombak di belakang Selendang Kubur. Dan, pohon itu pun bergetar nyaris tumbang.

Ranting-ranting keringnya berjatuhan, sebagian daun gugur terbawa angin. Suara gemuruh akibat guncangan dedaunan membuat hati Selendang Kubur menjadi lebih tegang lagi. Ia bergegas bangkit ketika Peri Malam sudah berdiri dengan kaki sedikit merentang tegar.

Pada saat itulah, tangan Peri Malam mengambil sesuatu dari celah gundukan dadanya yang sekal dan tampak sedikit menonjol mulus pada bagian atasnya. Sesuatu yang diambilnya itu adalah sebatang bambu berukuran satu jengkal. Bambu itu kecil, sebesar kelingkingnya. Kemudian, bambu itu dimasukkan sedikit ujungnya ke mulut. Peri Malam sentakkan napas melalui bambu berlubang itu.

Sluupp...! Zeett...!

Ada sesuatu yang melesat cepat dari dalam bambu kecil itu. Selendang Kubur menggeragap karena kurang siap. Sesuatu yang melesat itu amat kecil, tak mudah terlihat. Tetapi dalam sekejap hati Selendang Kubur berseru,

"Jarum beracun...?!"

Karena ia pernah melihat jarum itu melesat dari semak dan menancap di leher Pujangga Kramat, pelayan si Gila Tuak itu. Maka, serta merta Selendang Kubur melompat dan berguling di tanah menghindari jarum beracun itu. Tetapi alangkah terkejutnya ia setelah tahu, arah jarum itu membelok dan kembali mengejar ke arahnya. Mau tak mau Selendang Kubur pun kembali melompat dan berguling di tanah. Ternyata jarum itu
juga ikut membelok bagai memburu sasarannya.

Peri Malam perdengarkan tawanya yang mengikik sambil berseru, "Tak akan mampu kau menghindari jarum iblis-ku,

Selendang Kubur! Ke mana pun kau lari akan diburunya! Kik kik kik kik...!"

Mau tak mau Selendang Kubur gunakan ilmu peringan tubuhnya secara penuh. Dalam satu hentakan kaki ia telah melesat terbang ke atas dan berjungkir balik satu kali untuk mencapai sebuah batu setinggi tubuhnya sendiri, ia hinggap di atas batu itu. Ia melihat kelebat jarum iblis itu menuju ke arahnya. Lalu, ia kibaskan selendang dengan cepat. Wuuttt... !

Blaarrr...!

Ujung selendang menghantam benda kecil yang amat berbahaya itu. Rupanya benda tersebut punya kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi, sehingga ketika disabet ujung selendang menimbulkan ledakan cukup keras. Namun jarum itu pun hancur tak berbentuk lagi.

Mata si Peri Malam terperanjat melihat jarumnya bisa dihancurkan oleh selendang setipis itu. Maka, ia pun segera membatin,
"Edan! Selendang itu mampu menghancurkan jarum iblisku?! Hebat sekali kekuatan selendang itu! Ternyata ilmu Selendang Kubur sudah jauh lebih maju dari dua tahun sebelum ini!"

Sisa ledakan itu masih menggema samar-samar. Gema itu pun segera hilang. Kemudian sunyi tercipta mencekam di lereng bukit berbatu itu. Kedua sosok perempuan tangguh berdiri dalam jarak sepuluh pijak.

Mata mereka saling pandang, mulut mereka saling bungkam. Masing-masing hati mereka berkecamuk memuji kehebatan ilmu lawan.

Sejurus kemudian, Peri Malam perdengarkan suaranya yang masih bernada ketus dan bermusuhan.

"Kuakui kau punya jurus selendang yang cukup lumayan, Selendang Kubur. Tapi itu tidak membuatku kagum. Tidak pula membuatku jera untuk kemudian menyerahkan benda pusaka ini. Sebaliknya, justru aku semakin kuat mempertahankannya dan siap mengorbankan nyawa demi tugas dari guruku!"

"Aku pun siap korbankan nyawa demi merebut pusaka yang menjadi milik murid si Gila Tuak itu!"
"Bodoh!" ucap Peri Malam yang segera disusul dengan tawa mengikik pendek. Lalu, katanya lagi.

"Gunakanlah otak sehatmu, Selendang Kubur. Sekalipun kau korbankan nyawamu untuk merebut Pusaka Tuak Setan ini, tapi belum tentu murid si Gila Tuak tahu berterima kasih padamu! Sangkamu dia menaruh hati padamu juga? Hmmm...! Belum tentu!" Peri Malam mencibir, memuakkan Selendang Kubur. Lanjutnya lagi.

"Ingat, kita pernah mempertaruhkan nyawa demi seorang pria. Tapi apa nyatanya? Pria itu hanya mempunyai kebusukan. Dan setiap pria memang tak lebih dari seonggok daging busuk yang patut dilenyapkan!"

Selendang Kubur hanya membatin, "Dendamnya kepada lelaki masih membekas di hati, sehingga wajar dia berkata begitu. Tapi apakah benar pengorbananku ini akan sia-sia di mata Suto? Apakah benar Suto tidak akan tahu balas budi padaku, walau aku siap mati untuk merebutkan pusaka yang menjadi hak miliknya itu?"

Renungan itu segera dibuang jauh, karena kejap berikutnya Selendang Kubur telah melihat Peri Malam berkelebat dan hinggap di atas gugusan batu yang lebih tinggi dari batu-batu yang ada di situ. Perempuan berpakaian kuning kunyit itu serukan kata,

"Pertimbangkan langkahmu, Selendang Kubur. Sudah benarkah kau siap korbankan nyawa untuk lelaki yang mau membalas cintamu?! Sudah benarkah kamu siap mati untuk sesuatu yang sia-sia ini? Pertimbangkanlah sebelum kau mengejarku, Selendang Kubur! Jangan kita menjadi korban laki-laki lagi!"

Setelah berkata begitu, Peri Malam sentakkan kaki, melesat pergi bagaikan angin senja. Hal itu membuat Selendang Kubur terkesiap, ia tak mau kehilangan jejak orang yang membawa Pusaka Tuak Setan. Maka, ia pun sentakkan kaki dan berkelebat pergi mengejar Peri Malam.

***2***

SETELAH semburkan tuaknya dari mulut ke bekas luka di leher Pujangga Kramat, pelayan si Gila Tuak itu sedikit demi sedikit mulai sadarkan diri. Suto sunggingkan senyum lega di hatinya.

"Untung aku tidak terlambat," pikirnya. "Kalau saja aku sedikit telat muncul dari dasar telaga itu, pasti nyawa Paman Giri tidak akan tertolong. Racun ini cukup ganas, sama dengan racun yang masuk ke tubuh Dewi Murka, teman seperguruan Selendang Kubur itu."

Pakaian Suto masih basah kuyup, demikian pula rambutnya. Tapi saat Pujangga Kramat, orang yang tidak bisa bicara dengan bahasa yang benar itu, kejapkan mata lalu melek menyipit, Suto berhenti kibaskan rambutnya yang basah.

"Apa ada aku?" tanya Pujangga Kramat yang maksudnya; ada apa dengan diriku.

"Paman habis tertidur," jawab Suto sengaja tidak mengatakan yang sebenarnya, supaya Pujangga Kramat tidak menaruh dendam yang penasaran kepada orang yang telah menyerangnya memakai jarum beracun.

"Benar tertidur aku apa?"
"Benar, Paman."
"Di mana lalu Guci Pusaka Setan Tuak itu?"
"Tuak Setan!" Suto membetulkan kalimatnya.
"Ya. Tuak Setan! Pergi ke mananya?"
"Ke mana perginya!"
"Ya. Ke mana perginya, itu Setan, eh... itu Tuak!"
"Entah. Hilang dibawa orang," jawab Suto kalem, ia membuka bumbung tuak dan menenggak beberapa teguk.
"Orang siapa yang bawa itu pusaka?"
"Aku tidak tahu."

Pujangga Kramat kerutkan dahi, sipitkan mata. Ia renungkan diri bagai ada yang berusaha diingat- ingatnya. Lama ia termenung sampai akhirnya ia berkata, "Celaka! itu pusaka dicari harus."

"Dicari ke mana? Sudah telanjur dibawa orang!"
"Perempuan!" sentak Pujangga Kramat tiba-tiba.
"Apa maksud Paman?"

"Ingat-ingatku, perempuan ada bersama aku. Di mana tapi dia? Siapa pula perempuan orang itu. Aku ingat tidak!"

Badannya yang semula pucat membiru, kini cepat berubah segar. Cara pengobatan dengan semburkan tuak telah membuat Pujangga Kramat bisa berdiri tegak. Dengan dahi masih berkerut dia bicara pada Suto yang kenakan bumbung tuak ke punggungnya.

"Itu pusaka cari kamu harus! Kalau tidak dicari harus, itu gurumu marah harus! Dan kalau dia marah harus, bahaya harus...."
"Harus, harus...!" sentak Suto rada jengkel. "Sudah, sekarang Paman pulang ke Jurang Lindung. Kasih tahu sama Guru, aku sedang mengejar orang yang mencuri Pusaka Tuak Setan."

"Baik. Kamulah hati-hati, Suto!" Pujangga Kramat tepuk pundak Suto kasih semangat, "Itu orang curi yang pusaka, pasti ilmu orang tinggi. Sebab bisa dia rubuhkan aku sekejap dalam."

"Ya ya ya...!" potong Suto merasa lelah sendiri mengartikan kata-kata pelayan gurunya.
"Beijuang selamat, Suto!"

"Ya," jawab Suto pendek. Kemudian ia segera melesat pergi tinggalkan Pujangga Kramat di tepi telaga. Orang yang ditinggalkan memandang dengan mata berkedip bingung, karena Suto telah lenyap begitu saja bagai tertelan bumi. Kalau bukan murid Gila Tuak, tak mungkin bisa lari sekejap itu.

Ke mana ia harus mencari Pusaka Tuak Setan, tak tahu dengan pasti. Satu sasaran yang dimiliki Suto adalah Selendang Kubur. Sebab pada waktu ia titipkan pusaka itu kepada Pujangga Kramat, dan dia menyelam kembali ke dalam telaga untuk mengambil Cincin Manik Intan, Selendang Kubur ada bersama Pujangga Kramat, walau jarak mereka tidak berdekatan (Untuk jelasnya mengenai hal ini baca serial Pendekar Mabuk episode: "Pusaka Tuak Setan").

Dan begitu Suto muncul di permukaan sendang, Pujangga Kramat telah terjajar di tanah dalam keadaan tubuh pucat membiru tak berkutik. Pusaka Tuak Setan tak ada di tangan Pujangga Kramat. Selendang Kubur hilang dari tepian telaga. Tentu saja Suto mencurigai Selendang Kubur.

Satu arah yang memungkinkan bisa bertemu dengan Selendang Kubur adalah menuju perguruannya. Suto menduga Selendang Kubur pulang ke Perguruan Merpati Wingit. Sewaktu Suto masih kecil, ia pernah melihat perguruan itu di tengah hutan yang mempunyai sungai bertanggul tinggi. Di atas tanah tanggul itulah Perguruan Merpati Wingit berada. Tetapi letak pintu gerbang perguruan tidak menghadap ke arah sungai berbatu-batu itu. Perguruan itu mempunyai bentuk bangunan yang membelakangi sungai.

Tiga hari Suto menyusuri sungai berbatu-batu, sampai akhirnya ia temukan bangunan besar berpagar susunan batu tembok tinggi. Sebenarnya sangat mudah buat Suto untuk melompat terbang melintasi pagar tinggi itu dari atas sebuah batu besar di sungai. Tapi ia tidak mau mendapat penilaian jelek, masuk rumah orang lewat belakang. Maka, Suto pun segera menuju ke arah pintu gerbang.

Di sana ia dihadang oleh dua penjaga pintu gerbang. Kedua penjaga itu adalah perempuan berpakaian serba putih, masing-masing bersenjatakan tombak. Suto melangkah perlahan. Senyumnya berkembang indah di bibirnya, ia memang tampan.

Hati kedua penjaga perempuan itu sama-sama mengagumi, sama-sama berdebar menerima senyumannya. Tapi mereka sama- sama berlagak acuh tak acuh, buang muka dan saling berlagak tak peduli. Padahal mestinya mereka akan menegur setiap kemunculan orang asing di sekitar wilayah perguruannya. Tetapi karena hati mereka takut lebih tergoda oleh ketampanan Suto, keduanya justru tidak menyapa apa pun kepada Suto.

Suto nekat melangkah masuk ke pintu gerbang itu. Namun tiba-tiba kedua tombak penjaga beradu menyilang di depan langkah Suto. Kaki pemuda tampan itu diam. Mata memandang ke kiri dan ke kanan. Kedua penjaga itu bertampang angkuh, berlagak acuh tak acuh dengan ketampanan pria asing. Suto tahu kepura-puraan itu. Suto tertawa tanpa suara. Kedua penjaga itu pun tetap acuh tak acuh.

"Bolehkah aku masuk?" sapa Suto bersikap ramah.
"Tidak!" tanpa disengaja kedua penjaga itu menjawab serentak.
"Mengapa aku tak boleh masuk? Aku punya niat baik!"

Penjaga berambut panjang berkata ketus, "Sebutkan niatmu!"

"Aku ingin bertemu Selendang Kubur."

Sejurus kedua perempuan itu saling pandang, lalu kembali bersikap angkuh dan berlagak tegas. Yang berambut pendek bertanya,

"Ada hubungan apa kau dengan Selendang Kubur?"
"Teman," jawab Suto dengan tegas tapi suaranya menawan.
"Teman baik atau teman jahat?" tanya yang berambut pendek lagi.
"Teman baik."
"Teman jauh atau teman dekat?" timpal yang berambut panjang.
"Teman dekat."
"Dekat sekali," jawab Suto sengaja memancing penasaran.
"Kekasih atau bukan?"

"Pilih sendiri salah satu. Aku tak punya banyak waktu. Izinkan aku bertemu dengan Selendang Kubur."

"Tidak ada!" jawab yang berambut pendek bernada judes.
"Kalau begitu, aku mau bertemu dengan gurumu."
"Tidak ada!"
"Harus ada!" desak Suto.

"Beraninya kau mendesak kami, hah?" sentak yang berambut panjang berlagak galak, matanya dilebar- lebarkan biar angker wajahnya. Tapi Suto hanya tersenyum tipis, ia bahkan membuka tutup bumbung tuak dan menenggaknya beberapa teguk.

Bumbung kembali ditutup dan diletakkan di punggung.

"Singkirkan tombak kalian. Biar aku masuk menemui guru kalian!"
"Siapa kamu sebenarnya, hah?!" bentak si rambut panjang lagi.
"Suto Sinting!"

"Hahh...?!" kedua perempuan itu terbelalak matanya, namun buru-buru meredupkan kembali. Tak mau kelihatan kaget. Yang berambut pendek menggumam sambil menatap temannya di seberang.

"Pendekar Mabuk...?!"

Suto ganti bertampang angkuh dibuat-buat. Matanya lurus ke depan, dadanya kian dibusungkan, dagunya sedikit terangkat naik. Suaranya dibuat lebih tegas berwibawa.
"Buka pintu gerbang!"

Tanpa menjawab, kedua perempuan itu berebut membukakan pintu gerbang. Kemudian, Suto melangkah masuk dengan gagahnya. Pintu gerbang kembali ditutup oleh dua penjaga. Lalu, kedua perempuan itu sama-sama menghempaskan napas panjang-panjang. Mereka ngos- ngosan, seperti habis menahan napas beberapa saat lamanya. Mereka sama-sama bersandar di pinggir pintu kanan kiri dengan badan lemas.

"Tak kusangka...! Tak kusangka dia murid si Gila Tuak yang belakangan ini dikabarkan sangat tampan itu," kata si rambut pendek.

"Iya. Aku juga tak menyangka. Hampir saja mulutku tadi berteriak keras karena kegirangan bisa bertemu dengan Suto Sinting. Oh, lututku jadi gemetar keduanya."

"Lututku juga. Kepalaku jadi pusing. Pandangan mataku berkunang-kunang...."
"Apakah karena rasa kagumku terhadap ketampanannya?"

"Kurasa bukan. Kurasa mataku berkunang-kunang karena sejak tadi pagi aku belum sarapan. Tapi... tapi begitu habis melihat Pendekar Mabuk itu, perutku jadi kenyang!" Keduanya mengikik geli.

Kehadiran Suto Sinting di Perguruan Merpati Wingit menjadikan suasana menjadi heboh. Kasak-kusuk terdengar di sana-sini seperti angin pagi menghembus dedaunan rumpun bambu. Mereka saling membicarakan pria tampan yang melintas menuju ruang pertemuan yang berbentuk joglo itu. Setiap murid membentuk kelompok kasak-kusuk sendiri-sendiri.

Bahkan ada yang tertegun diam bagaikan patung bernyawa dengan mata melotot tak berkedip memandangi Suto Sinting. Ada pula yang sedang membawa piring berisi makanan sampai jatuh piringnya tak terasa karena rasa kagum dan terpikatnya hati orang itu kepada kegagahan dan ketampanan wajah Suto.

Sepuluh orang murid lainnya yang berseragam hitam- hitam segera mengepung Suto ketika hendak mencapai mulut joglo. Perintah mengepung itu keluar dari gerakan tangan Dewi Murka yang memberi isyarat kepung. Rupanya Dewi Murka sudah sampai di perguruan dua hari sebelum Suto sampai di situ. Rupanya pula Dewi Murka menunjukkan sikap wibawa dan tegas terhadap sesuatu yang mencurigakan keselamatan perguruannya.

Dua orang murid berpakaian hitam-hitam itu menepi ke kanan dan ke kiri. Dewi Murka diberi jalan untuk mendekati Suto dari arah joglo ke pelataran di depannya.

Suto tersenyum kepada perempuan berpakaian hitam dan bersenjata trisula di pinggangnya. Suto mengenali perempuan yang bernama Dewi Murka itu, karena dia pernah bertemu saat perempuan itu mengeroyok Pujangga Kramat, dan saat perempuan itu ditolongnya karena racun dari jarum penyerang gelap.

Tetapi, Dewi Murka merasa asing kepada Suto, sebab setelah dia sembuh dari pengaruh racun yang nyaris merenggut nyawanya itu, ingatannya tentang Suto menjadi hilang. Itulah sebabnya dia ngotot ingin bertemu dengan si Gila Tuak untuk menyampaikan permintaan maaf atas sikap Murbawati yang dianggap sebagai orang yang dicurigai (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").

Karena ingatannya lemah tentang Suto, Dewi Murka hanya membatin, "Sepertinya aku pernah melihat orang
tampan ini. Tapi di mana dan kapan, aku tidak tahu!"

Dewi Murka menyipitkan mata dalam memandang Suto. Wajahnya dibuat angkuh, supaya tidak diremehkan oleh tamu asingnya. Bahkan suaranya pun dibuat sedikit ketus berwibawa.

"Sebutkan dirimu dan apa keperluanmu masuk ke perguruan kami?!"

"Aku mau bertemu dengan Selendang Kubur," jawab Suto dengan kalem, ia pun sadar bahwa Dewi Murka telah lupa pada dirinya akibat pengobatan memakai cara sembur tuaknya itu. Kalau bukan orang dekat dan berilmu tinggi, orang itu akan lupa pada Suto jika habis diobati memakai pengobatan sembur tuak.

"Siapa dirimu!" Dewi Murka setengah membentak, karena merasa pertanyaannya hanya dijawab salah satu saja.

"Aku Suto, Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak. Jelas?!" tandas Suto berkesan mengejek.

Mulut Dewi Murka terperangah. Seakan ia baru sadar sedang berhadapan dengan siapa dirinya saat itu. Mendengar suara Suto menyebutkan namanya, samar- samar ingatannya tentang peristiwa jarum beracun itu mulai menggerayangi pikirannya. Sejurus kemudian, ingatan itu kembali sempurna. Apa saja yang dialaminya bersama Selendang Kubur dan Suto waktu di atas Jurang Lindu itu kembali teringat jelas dalam bayangannya.

Tak heran jika hati Dewi Murka menjadi berdebar- debar dan membatin.

"O, ya... ! Pemuda ini yang dulu membuatku penasaran ingin melihat wajahnya. Pemuda ini yang dulu diceritakan Murbawati tentang ketampanannya. Pemuda ini pula yang dulu pernah menyembuhkan lukaku dari serangan sebuah jarum beracun. Aduh..., kenapa aku baru ingat sekarang bahwa aku pernah jatuh rubuh di dadanya? Oh, indah sekali kala itu. Sekarang pun hatiku berbunga indah berhadapan dengannya. Tapi... mengapa yang ia cari Selendang Kubur? Mengapa bukan aku? Atau Nyai Guru Betari Ayu...?!"

Dari satu sudut muncul seorang perempuan dengan badan selangsing Selendang Kubur, tapi masih agak sekal tubuh Selendang Kubur. Suto menatap ke arah perempuan itu. Sangkanya perempuan itu Selendang Kubur. Namun begitu perempuan itu makin mendekat, Suto yakin bahwa perempuan itu bukan Selendang Kubur.

Tetapi perempuan itu terperanjat belalakkan matanya. Bahkan saat itu ia berteriak bagai tak sadar.

"Oooh...?! Dia...?! Dia datang...!"

Perempuan yang kegirangan namun salah tingkah itu tidak lain adalah Murbawati. Dialah perempuan pertama dari orang Perguruan Merpati Wingit yang tergila-gila dan penasaran dengan ketampanan Suto. Tak heran jika ia melonjak dan kehilangan sikapnya sebagai pendekar perempuan yang dua tingkat di bawah Dewi Murka ilmunya.

"Ssst...!" Dewi Murka segera mendesis keras memberi peringatan kepada Murbawati yang berucap kata tak beraturan karena salah tingkah kegirangannya.

Kemudian, dengan tetap berusaha menenangkan hatinya yang bergemuruh indah, Dewi Murka bertanya,

"Ada apa kau mau bertemu dengan Selendang Kubur?"

"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan," jawab Suto, sengaja tidak menjelaskan maksud kedatangannya yang berhubungan dengan hilangnya Pusaka Tuak Setan, supaya hal itu tidak menyebar ke mana-mana dan menjadi bahan buruan setiap orang.

"Selendang Kubur tidak ada. Dia belum pulang," kata Dewi Murka.
"Kalau begitu, aku mau bicara dengan gurumu!"

"Tidak perlu. Cukup kau bicara padaku!" Dewi Murka semakin memperbesar ketegasannya untuk menutupi hatinya yang berbunga-bunga saat itu.

"Tak bisa aku bicara denganmu. Aku perlu bicara dengan ketua perguruan ini!"
"Nyai Guru sedang sakit! Semua urusan diserahkan padaku!"

Tetapi, tiba-tiba dari arah belakang Dewi Murka terdengar suara yang lebih bernada tegas dan berwibawa.

"Biarkan dia menemuiku, Dewi!"

Malu hati Dewi Murka melihat gurunya sudah ada di belakangnya. Nyai Guru Betari Ayu kelihatan tenang berkharisma tinggi. Dewi Murka menyisih, membuat pandangan mata Suto ke arah Betari Ayu menjadi lebih jelas dan lebih langsung lagi. Dalam hati Suto membatin,

"O, ini guru mereka? Cantik juga. Tapi tidak sebegitu menarik dengan kecantikan Dyah Sariningrum, idaman
hatiku itu!"

Betari Ayu memerintahkan kepada Dewi Murka dan Murbawati untuk membubarkan kepungan. Kemudian ia berkata kepada Suto Sinting.

"Kalau tidak salah dengar telingaku, tadi kau mengaku murid si Gila Tuak."
"Benar. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan padamu sebagai ketua perguruan di sini."
"Silakan masuk! Jangan bicara di pelataran."
"Harus di mana kita bicara? Di dalam kamar?"

Betari Ayu yang memang ayu itu tersenyum malu. Ada bunga indah juga yang tumbuh di hatinya. Namun segera ia memangkasnya, ia melangkah dan diikuti oleh Suto. Dari kejauhan Dewi Murka dan Murbawati memperhatikan antara curiga, iri, dan terpesona.

Rupanya Betari Ayu mengajak Suto ke taman di bagian belakang bangunan joglo itu. Rupanya Betari Ayu membangun taman indah di sana, yang cukup luas untuk ukuran taman pribadi, dan mempunyai aneka macam bunga warna-warni serta sebuah kolam ikan berpancuran di bagian tengahnya. Satu hal yang menakjubkan pada taman itu terletak pada kolam berpancuran airnya.

Air yang mancur dari tengah kolam itu tidak jatuh kembali ke kolam, namun lenyap bagai berubah menjadi uap dan terbang terbawa angin. Padahal bentuk air yang memancur itu seperti bunga terompet yang melengkung pada bagian tepiannya. Mestinya pada bagian lengkung itu air jatuh ke kolam lagi, tapi ternyata air menghilang lenyap.

Suto tersenyum memandang air mancur itu. Betari Ayu pun tersenyum bangga, melihat Suto senang melihat air mancurnya. Karena memang air mancur itulah yang dibanggakan oleh Betari Ayu jika ada tamu yang diajak ke tamannya. Namun kedatangan tamu ke taman itu belum tentu lima tahun sekali terjadi. Biasanya Betari Ayu hanya menerima tamunya sampai di bangsal patemon, sisi samping dari ruang joglo itu. Jika ada seorang tamu yang diajak bicara di taman tersebut, itu pertanda Betari Ayu menganggap tamu itu adalah tamu istimewanya. Sejauh mana keistimewaan tamu itu, hanya Betari Ayu yang bisa mengukurnya.

Di taman rindang bersuasana teduh itu ada empat bangku marmer putih yang terletak di beberapa sudut. Tapi Betari Ayu tidak mengajak Suto duduk di salah satu bangku tersebut, ia berjalan menyusuri tanaman rumpun mawar yang beraneka warnanya sambil mengajak Suto bicara.

"Aku tak sangka kalau akan kedatangan tamu agung hari ini," sambil Betari Ayu sunggingkan senyum dan menatap indah sekilas.

"Aku terpaksa datang kemari," kata Suto polos-polos saja.
"Bagaimana kabar gurumu?"
"Sehat-sehat saja. Kau kenal dengan guruku?"

"Sangat kenal. Hubunganku dengannya cukup baik. Sayang sekali baru sekarang ini aku mendengar dia punya murid tampan yang gagah dan menawan."

Betari Ayu menatap sambil hentikan langkah.

Senyumnya kembali mekar bak bunga-bunga di taman, termasuk di taman hatinya. Suto pun pamerkan senyum indahnya. Tapi segera ia meraih bumbung bambu tuaknya dan ia menenggak tuak itu beberapa teguk, ia lakukan hal itu tanpa malu dan sungkan-sungkan.

"Aku yakin si Gila Tuak menurunkan semua ilmunya padamu, termasuk kebiasaannya minum tuak dan mabuk," kata Betari Ayu sambil melangkah lagi dengan santainya. Suto perdengarkan tawa mirip orang menggumam. Tapi suara tawanya itu cukup lembut menyentuh hati.

"Aku datang kemari bukan untuk pamer ilmu, juga bukan untuk jualan tuak," kata Suto. "Aku ingin bertemu dengan salah satu muridmu yang bernama Selendang Kubur!"

Langkah kaki berbetis indah itu terhenti. Perempuan berambut panjang dengan ikat kepala tali merah berbintik-bintik kuning emas itu memandang sedikit heran kepada Suto.

"Apakah kau punya urusan pribadi dengan Selendang Kubur?"
"Ya," jawab Suto.
"Sangat pribadi?'
"Sangat pribadi."
"Menyangkut cinta?"
"Bukan."

Tampak perempuan berpakaian biru dengan jubah sutera kuning itu menghela napas dengan lega. Ia bagaikan terhindar dari satu ketegangan yang menghimpit hatinya sesaat tadi.

"Selendang Kubur belum pulang sejak ia menyusul Dewi Murka untuk kuutus meminta maaf pada gurumu."

"Apakah dia pergi ke suatu tempat?'
"Aku tak bisa pastikan tempat itu. Mungkin saja dia terpikat seorang lelaki dan pergi bersama lelaki itu."

"Apakah dia punya kekasih?'

"Di sini tidak. Tapi di tempat lain, mungkin saja. Karena dia seorang perempuan cantik yang tentu saja bisa mempunyai perasaan cinta kepada seorang lelaki. Kurasa kau tahu setiap perempuan punya perasaan tertarik dan jatuh cinta pada seorang lelaki. Aku bisa berkata begitu, karena aku pun seorang perempuan yang sama seperti Selendang Kubur."
"Juga punya kekasih di tempat lain?"

Senyum sipu mekar di bibir manis Betari Ayu, yang meski sudah berusia tapi tetap awet muda dan cantik. Hanya perempuan-perempuan berilmu tinggi yang punya ilmu awet muda dan tetap cantik. Suto tahu hal itu dari bibi gurunya, Bidadari Jalang.

Betari Ayu memetik setangkai mawar warna ungu. Sebuah jenis mawar yang langka ada di setiap tempat. Mawar ungu itu diserahkan kepada Suto sambil perdengarkan kata lirihnya,

"Terimalah...."

Suto tersenyum sambil menerima setangkai mawar ungu. Ia memandangi bunga itu dengan mengagumi warnanya yang bagus. Bau harum mawar itu pun terasa lebih lembut dari mawar lainnya.

"Terima kasih, Nyai Guru Betari Ayu," ucap Suto mengutip nama yang didengar dari kasak-kusuk tadi. "Tapi apa artinya kau memberikan setangkai mawar ungu itu padaku?"

Betari Ayu alihkan pandang. Tangannya merapikan letak ranting mawar yang kurang rapi sambil menjawab.

"Sebagai jawaban dari pertanyaanmu tadi, Suto. Kalau aku menyerahkan setangkai bunga pada seorang pria, itu berarti aku berkata bahwa aku belum punya kekasih di tempat lain, maupun di sini. Dan kalau bunga itu berwarna ungu, itu pertanda pernyataanku sangat jarang kuberikan kepada seorang pria. Karena, auh...!"

Betari Ayu sentakkan tangan. Jari telunjuknya tertusuk duri mawar. Jari itu berdarah dan Betari Ayu gigitkan bibir menahan sakitnya.

"Ah, kau kurang hati-hati, Nyai...," kata Suto seraya raih tangan itu dan menyedot darah yang keluar dari luka di jari telunjuk Betari Ayu. Perbuatan itu dilakukan Suto tanpa ragu-ragu. Dan Betari Ayu tak bisa menolak, karena ketika jari itu masuk ke mulut Suto untuk disedot darahnya, yang timbul hanya rasa nikmat di sekujur tubuh Betari Ayu. Rasa nikmat itu tak bisa ditahan, sampai akhirnya Betari Ayu desiskan napas lewat mulut dengan mata terbeliak nikmat. Jantungnya kian berdetak cepat dicekam rasa nikmat.

* * *

SEMAK belukar di dalam hutan bagai dihempaskan oleh angin ribut, sementara alam berdiam tenang. Hembusan angin sepoi-sepoi menghadirkan semilir segar. Tapi dedaunan belukar itu menjadi rontok dan rubuh bagai dilanda topan sejurus.

Kecepatan seseorang berilmu tinggi dalam larinya mampu membuat dedaunan gugur. Kecepatan orang yang berlari ini ternyata masih ditambah lagi kecepatan orang yang mengejar di belakangnya. Napas-napas terengah berat terdengar jelas. Engahan napas itu berhenti ketika orang yang berlari cepat tiba di tepian sungai berbatu-batu terjal.

Tubuh kurus bermata cekung dengan rambut panjang acak-acakan itu akhirnya melompat dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Sungai yang lebar itu dilaluinya dengan sekali bersalto, hingga di salah satu pucuk batu, melenting lagi dan bersalto kembali, hinggap di batu yang lain. Begitu seterusnya sampai orang kurus kering berjenggot kelabu itu tiba di seberang sungai. Sampai di sana tubuhnya rubuh juga karena kelelahan.

Sementara itu dari tempat munculnya orang kurus itu muncul juga orang sedikit gemuk, berkumis tebal dengan cambang tipis. Orang itu bermata kecil agak sipit, namun berkesan bengis. Dia tak lain adalah Datuk Marah Gadai yang sedang mengejar musuhnya yang kurus kering itu, tak lain adalah Cadaspati.Dari seberang sungai Datuk Marah Gadai berseru lantang,

"Cadaspati! Ke mana pun kau lari pasti akan kukejar dan kudapatkan! Ingat, kau terluka oleh pukulanku dan tak akan sanggup berlari lebih jauh lagi! Sebaiknya, serahkan saja benda itu padaku supaya aku bisa menyembuhkan lukamu!"

Cadaspati yang disangka telah berhasil membawa lari Pusaka Tuak Setan itu hanya menggeram dari tempatnya, ia mencoba bangkit dengan terhuyung- huyung karena menahan luka. Lalu, ketika ia melihat Datuk Marah Gadai memetik dua lembar daun jati muda, mata Cadaspati semakin tegang.

Dua lembar daun jati yang masih muda itu dilemparkan ke sungai. Datuk Marah Gadai segera menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, dan melompat ke arah daun itu. Kini dua telapak kakinya berdiri di atas dua lembar daun jati yang tetap mengambang di air walau mendapat beban seberat tubuh Datuk Marah Gadai.

"Hiaaat...!" Datuk Marah Gadai sentakkan kaki kanannya dengan kedua tangan mengeras diangkat ke atas. Dua lembar daun jati itu meluncur terbang melintasi sungai dengan membawa tubuh Datuk Marah Gadai di atasnya. Wuusss...!

Melihat lawannya terbang cepat ke arahnya, Cadaspati mengerahkan sisa tenaganya. Satu tangannya yang tidak ikut terluka, yaitu tangan kirinya, merapat di ketiak dan telapak tangan itu menghadap ke depan.

Tangan tersebut dihentakkan dengan sebuah teriakan.

'"Guntur Colok Sukma'...!"

Dari telapak tangan itu meluncur keluar sinar merah membara yang sebenarnya kumpulan dari jarum-jarum yang menyala bara. Ratusan jarum merah itu melesat ke arah Datuk Marah Gadai. Secepatnya kaki Datuk Marah Gadai sentakkan diri di atas lembar daun jati, lalu tubuhnya melenting tinggi dan berjungkir balik di angkasa. Wuugh, wuugh... !

Gerombolan jarum merah itu melesat menghantam dua lembar daun jati yang telah kosong itu. Daun tersebut hanya bergerak sedikit, lalu berubah menjadi serpihan-serpihan kering tak berwarna hijau lagi, melainkan abu-abu.

Ilmu 'Guntur Colok Sukma' milik Cadaspati melesat dengan sia-sia. Sebab kejap berikutnya tubuh Datuk Marah Gadai sudah berdiri di depan Cadaspati dengan berangnya. Meski kecil tapi mata itu memandang setajam pisau cukur, membuat Cadaspati yang menyadari keadaannya terluka menjadi sedikit waswas.

"Cadaspati!" kata Datuk Marah Gadai dengan suara geram angker. "Tak akan ada orang yang bisa menyembuhkan lukamu selain aku. Jadi, sekarang juga serahkan Pusaka Tuak Setan itu padaku. Kau akan kusembuhkan!"

"Persetan dengan omonganmu, Datuk Marah Gadai! Berulangkali sudah kukatakan, aku tidak memiliki pusaka itu!"

"Kau telah menyelam di dalam Telaga Manik Intan!"
"Aku mandi di sana!"

"Adakah orang mandi tanpa melepas pakaian?!" senyum sinis Datuk Marah Gadai membuat Cadaspati menjadi semakin benci. Orang berpakaian abu-abu itu hanya membatin,

"Sial amat nasibku! Menyelam di telaga mencari sampai lama tapi pusaka itu tidak kudapat. Sekarang malahan aku dituduh membawa Pusaka Tuak Setan itu! Repotnya lagi, orang kuat ini tidak mau percaya dengan kata-kataku. Sepertinya aku memang harus bertempur habis-habisan dengannya untuk membuktikan bahwa aku tidak membawa Pusaka Tuak Setan!"

Maka dari kantong jubahnya di bagian belakang, Cadaspati pun mengeluarkan senjatanya yang berupa cambuk tiga lidah.

Cambuk itu terdiri dari tiga tali satu gagang. Setiap tali mempunyai ujung bersenjata. Dua tali berujung senjata seperti pisau kecil, satu tali berujung bola besi berduri berukuran sebesar jeruk peras. Panjang masing-masing tali sama, tapi warna talinya berbeda, yaitu merah, hitam, dan putih. Cambuk yang bertali putih itulah yang berujung bola besi baja berduri.

"Datuk Marah Gadai!" geram Cadaspati dengan mata dinginnya. "Untuk membuktikan kebenaran kata-kataku, aku siap bertarung denganmu sampai habis nyawaku!"

"Bagus!" kata Datuk Marah Gadai sambil tersenyum sinis. "Jangan sangka aku takut melihat cambuk sapimu itu! Buktikan dengan nyawamu bahwa kau memang tidak memiliki pusaka itu, biar puas hatiku."

"Bersiaplah menerima kematianmu sendiri, Datuk Busuk!" geram murid Malaikat Tanpa Nyawa yang telah kehilangan ilmu 'Inti Neraka'-nya itu (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar").

Dengan gerakan amat cepat, tangan kiri yang memegangi cambuk itu melecut ke depan, ke arah tubuh Datuk Marah Gadai. Satu kali lecutan, tiga cambuk mengeluarkan nyala api yang berbeda-beda. Nyala api itu memercik dan menimbulkan suara menggelegar bagai hendak meruntuhkan langit. Blaarrr...! Glegeerrr... !

Tepian sungai berguncang bagai dilanda gempa sekejap. Bebatuan retak dalam jarak sepuluh langkah dari tempat lecutan cambuk. Tubuh Datuk Marah Gadai pun terpental ke samping membentur batu. Lengan kirinya koyak dan berdarah. Bukan karena terkena lecutan cambuk, melainkan karena robek terkoyak pecahan batu runcing yang dijadikan tempat benturan tubuhnya.

"Jahanam...!" geram Datuk Marah Gadai dengan semakin beringas, ia pun segera mencabut pedangnya yang bersarung logam perak berukir itu. Pedang sepanjang ukuran lengan orang dewasa itu dihunus dengan gerakan cepat. Srettt...!

Duueerr... !

Lepasnya pedang dari sarungnya saja sudah menimbulkan suara ledakan menggelegar. Gerakan mencabut pedang itu menimbulkan gelombang bertenaga dalam cukup dahsyat, sehingga sebongkah batu berukuran sebesar bocah usia sepuluh tahun itu terlempar ke arah Cadaspati bersama batu-batu kecil lainnya.

Cambuk tiga lidah dilecutkan di udara, kilatan cahayanya yang keluar dari masing-masing ujung cambuk membentur batu yang melayang dan membuat beberapa batu besar itu pecah tanpa suara. Tinggal bebatuan kecil yang terus melayang dan menghujani tubuh Cadaspati.

Orang kurus murid Malaikat Tanpa Nyawa itu terdorong ke belakang beberapa tindak, karena batu-batu itu rupanya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang lumayan, dan selain menerpa tubuh juga mendorong tubuh ceking itu dengan satu sentakan beruntun. Tetapi dorongan itu tidak membuat tubuh kurus Cadaspati menjadi tumbang, ia masih bisa berdiri dan memandang ke arah pedang Datuk Marah Gadai.

Pedang itu seperti baru diangkat dari perapian. Berpijar merah membara, dengan disertai bau hangus di sekelilingnya. Pedang yang menyerupai besi mau ditempa itu segera bergerak menebas ke arah leher Cadaspati walau masih dalam jarak antara lima langkah. Tapi sekalipun pedang itu tidak sampai menyentuh tubuh Cadaspati, lelaki bermata cekung itu berjumpalitan menghindari gelombang panas yang menyerangnya dengan cepat. Wuuus...

"Ahgh...!" Cadaspati terpekik tertahan. Kakinya sempat tersapu hawa panas dari kibasan pedang tersebut. Kaki itu menjadi lembek bagai habis tersiram bubur besi panas. Cadaspati menyeringai. Kekuatannya semakin berkurang.

"Kau masih tidak mau menyerahkan pusaka itu, Cadaspati?!" Datuk Marah Gadai mengancam.

"Aku sudah tidak menganggap berurusan dengan Pusaka Tuak Setan lagi. Aku sudah menganggap berurusan denganmu karena aku harus menuntut balas luka-lukaku, Bangsat! Hiaaat...!"

Blaaarrr...!

Kembali tepian sungai diguncang gempa sekejap, karena cambuk tiga lidah dilecutkan ke arah tubuh Datuk Marah Gadai. Tubuh itu juga kembali terpental lima tindak ke samping belakang. Brukkk...! Datuk pun rubuh dengan tangan masih mencoba menopang badan di atas sebuah batu hitam.

Keadaan Datuk Marah Gadai yang setengah tengkurap itu membuat Cadaspati mempunyai kesempatan emas untuk melecutkan cambuknya ke punggung Datuk Marah Gadai, Maka, dengan cepat Cadaspati lecutkan cambuk itu ke arah punggung dalam satu pekikan membunuh.

"Hiaaaht...!"
Wuuuttt...! Blaarrr...!
Glegaarrr... !

Gemuruh suara gempa di tepian sungai. Batu-batu pecah dengan sendirinya, karena pada saat cambuk melesat, Datuk Marah Gadai kibaskan pedangnya ke atas. Tiga cambuk ditangkisnya. Benturan dua senjata itu menimbulkan gelegar keras yang mengguncang bumi.

Tiga cambuk itu putus seketika oleh pedang milik Datuk Marah Gadai yang jarang digunakan jika bukan dalam keadaan sangat terpaksa. Putusnya cambuk tiga lidah itulah yang membuat timbulnya gemuruh mengguncang bumi.

Tubuh kurus kering itu terlempar ke atas bagai mendapat sentakan kuat sekali dari dasar bumi. Tubuh itu melayang dan berusaha mendarat ke tanah dengan kedua kakinya. Tetapi, Datuk Marah Gadai berteriak keras dan panjang.

"Hiaaat...!"

Ia jejakkan kaki ke tanah, dan tubuhnya pun melenting tinggi ke arah turunnya tubuh Cadaspati. Dalam keadaan mengadu raga itu, Datuk Marah Gadai sentakkan pedangnya ke depan. Wuuutttt...! Crasss...!

"Aaahg...!" terdengar suara pekik tertahan dari Cadaspati.

Bluukk...! Tubuhnya jatuh ke tanah seperti nangka busuk jatuh dari atas pohon. Tubuh itu menyala merah bagaikan terpanggang api yang amat panas. Bekas luka tusukan pedang di dadanya tampak menganga lebar dan membara. Cairan yang keluar bukan seperti darah, namun seperti magma gunung berapi.

Tubuh murid Malaikat Tanpa Nyawa itu tersentak- sentak di tanah tanpa suara. Nyala bara yang bagai membakar bagian dalam tubuh itu lama-lama meredup. Lalu, hilang sama sekali. Yang tinggal hanya sisa bangkai tak bernyawa, mengepulkan asap sisa pembakaran. Namun pakaiannya masih utuh, tak ikut terbakar atau terpanggang api sedikit pun.

Datuk Marah Gadai berdiri tegak di samping mayat Cadaspati. Napasnya terengah satu kali. Pedangnya yang merah membara masih digenggam di tangan kanannya. Kemudian pedang itu segera dimasukkan ke dalam sarungnya. Sreett...! Wuugh...! Bunyinya cukup menggidikkan.

Tanp menunggu lama-lama, Datuk Marah Gadai segera menggeledah pakaian mayat yang hitam berasap itu. Sampai beberapa saat ia menggeledah, akhirnya menyentakkan makian dengan nada kemarahan.

"Jahanam busuk! Ternyata dia tidak mempunyai Pusaka tuak Setan! Babi buntung! Kalau tahu dia benar- benar tidak membawa Pusaka Tuak Setan, tak sudi aku mengejar-ngejarnya sampai mencabut pedang pusakaku! Puih...!"

Datuk Marah Gadai berdiri tegak sambil bertolak pinggang dengan wajah memendam sejuta kekecewaan yang bercampur kedongkolan hati. Ia memandang sekeliling sambil berkata dalam batinnya.

"Kalau begitu, Pusaka Tuak Setan benar-benar masih ada di dalam telaga tersebut. Atau, mungkinkah sudah diambil oleh murid si Gila Tuak yang masih ingusan itu?! Hmmm... kalau begitu aku harus mencoba mencarinya di dalam dasar telaga itu. Jika memang tidak kutemukan Tuak Setan di sana, aku akan memburu murid si Gila Tuak yang konyol itu!"

Datuk Marah Gadai melirik ke satu arah. Ada sesuatu yang ia curigai di balik tiga batang pohon pisang di bagian atas tanggul sungai, ia yakin di sana ada orang. Maka, ia sentakkan tangannya ke sana, ia kirimkan pukulan jarak jauhnya yang membuat tiga batang pisang itu jebol dan tumbang berentakan dalam sekejap.

Dari balik tiga batang aisang yang tumbang itu muncul sesosok tubuh yang melesat dengan lincahnya menghindari pukulan tadi. Tubuh itu mendaratkan kakinya tak jauh dari Datuk Marah Gadai, berjarak antara tujuh langkah, ia berpakaian kuning kunyit dan berparas cantik menarik. Siapa lagi kalau bukan paras cantik milik Peri Malam.

"Rupanya kau yang mau membokongku dari belakang, Peri Malam!" tuduh Datuk Marah Gadai yang sudah mengenal perempuan itu.

"Jaga mulutmu, Datuk!" sentak Peri Malam. "Tak ada watak dalam diri Peri Malam untuk membokong seseorang dari belakang!"

"Jadi kau minta dari depan?" sambil senyum nakal Datuk Marah Gadai terlihat jelas. Tapi mendapat sambutan sinis dari Peri Malam.

"Tua bangka tak tahu adat!" geram Peri Malam tak takut sedikit pun. Mungkin karena ia tahu, Datuk Marah Gadai pernah lari terbirit-birit ketika melawan gurunya, jadi sikap Peri Malam pun menjadi sangat berani pada lelaki yang usianya jauh lebih tua darinya itu.

"Lantas apa maksudmu mengintai dari balik pohon itu?"

"Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi di sini, sampai timbulkan guncangan hebat pada bumi. Rupanya kau sedang pamer ilmu dan kesaktianmu pada tikus ceking ini!"

"Jadi, kau tak ada urusan apa-apa denganku?"

"Ada baiknya kita mengurus diri kita masing-masing, Datuk. Itu pun belum tentu kita becus, apalagi mau mengurus diri orang lain!" kata Peri Malam dengan ketusnya.

"Kalau begitu, aku pun harus pergi secepatnya, sebelum segalanya menjadi terlambat!" Datuk Marah Gadai pun menjejakkan kakinya ke tanah dan kejap berikutnya ia telah melesat bersalto naik dan sampai di tepi tanggul. Kemudian ia melompat hilang tanpa peduli dengan seruan Peri Malam yang mengecamnya dengan kalimat.

"Tak akan bisa kau menguasai tanah Jawa, Marah Gadai...!"

Peri Malam mencibir sinis, ia tahu, bahwa Datuk Marah Gadai sangat bernafsu sekali untuk menjadi penguasa rimba persilatan di seluruh tanah Jawa. Tetapi Peri Malam yakin, cita-cita Datuk Marah Gadai itu tak akan berhasil, karena lelaki itu belum bisa mengalahkan gurunya. Apalagi sebentar lagi Peri Malam akan menyerahkan Pusaka Tuak Setan kepada gurunya. Sudah pasti semua orang sakti di rimba persilatan tanah Jawa ini akan disapu habis oleh gurunya dengan kekuatan maha dahsyat yang dinamakan kekuatan 'Napas Tuak Setan'.

Sebenarnya perempuan berhidung bangir dengan tahi lalat di sudut dagu kanannya yang membuatnya cantik itu ingin segera meninggalkan mayat hangus itu. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti karena tahu-tahu seorang lelaki tua berselempang kain putih dengan rambut panjang putih meriap, telah berdiri dan menghadang langkahnya.

Orang tua renta berbadan kurus itu memandang sedih pada mayat Cadaspati, kemudian memandang dendam pada Peri Malam. Tongkatnya digenggam kuat-kuat ketika ia berkata dengan nada datar.

"Perawan kencur! Cukup tinggi ilmumu sampai bisa menewaskan adikku Cadaspati!"

Peri Malam kerutkan dahi. Ia tidak kenal siapa orang itu. Ia tidak tahu, bahwa orang tua berkumis tipis dengan badan kurus kering itu adalah kakak dari Cadaspati yang bergelar Peramal Pikun. Peri Malam hanya tahu, bahwa orang yang dihadapannya jelas tokoh tua yang tidak enteng ilmunya. Namun Peri Malam tidak merasa gentar jika harus bertarung dengan tokoh tua itu.

"Siapa kau, Bandot?! Mengapa sikapmu bermusuhan denganku? Tidak tahukah kau bahwa aku adalah murid si Mawar Hitam yang tersohor itu?!"

"Aku tahu! Aku kenal si Mawar Hitam yang diam di Pulau Hantu. Dan aku tahu kau adalah muridnya yang bernama Sundari, yang berjuluk Peri Malam!"

"Bagus kalau kau tahu semuanya!" kata Peri Malam. "Lalu, apa maksudmu menghadang langkahku. Bandot Tua?!"

"Menuntut balas kematian adikku!"

"Buka matamu lebar-lebar, Bandot Tua! Buka juga telingamu yang kopok itu! Jangan salah kau menuntut balas atas kematian tikus sawah itu padaku!"

"Jaga mulutmu jika tak ingin kutumbuk dengan tongkat ini! Hih...!"

Cepat sekali Peramal Pikun sentakkan ujung tongkatnya ke mulut Peri Malam. Tapi tangan perempuan itu pun tak kalah cepat kibaskan ke samping untuk menangkis tongkat itu. Trrak...! Terdengar bunyi bagaikan kayu besi saling beradu.

"Boleh juga kekuatan tenaga dalamnya, sampai suara tongkatku gemeretak ditangkisnya," batin Peramal Pikun. "Tangannya sudah terlatih menjadi baja dalam serentak. Tak sia-sia gadis kencur ini menjadi murid si Mawar Hitam!"

Sementara itu, Peri Malam pun membatin, "Tinggi juga ilmu tenaga dalamnya. Pasti yang ia salurkan lewat tongkatnya tadi hanya sebagian kecil. Kalau tidak ada tenaga dalam tersalur di tongkatnya, pasti tongkat kayu itu telah patah! Tanganku sempat merasakan linu sedikit di bagian pergelangannya."

Peramal Pikun masih tetap memandang dingin dengan wajahnya yang biasanya cengar-cengir menjadi bengis. Itu pasti disebabkan hatinya berkabung atas kematian adiknya. Bahkan dengan datar pula ia berkata kepada Peri Malam.

"Jangan kau mengelak dari tuntutan dendamku, Peri Malam! Hutang nyawa harus dibalas dengan nyawa. Hutang darah dibalas dengan darah. Tak ada sempat lagi untuk tertawa, karena sebentar lagi nyawa dan ragamu
akan terpisah."

Kata-kata itu disepelekan oleh Peri Malam. Bibir manis itu mencibir, bikin hati Peramal Pikun makin getir.

"Jangan bikin persoalan denganku, kalau raga tuamu tak ingin dipatah-patahkan oleh guruku!"

Genggaman tangan Peramal Pikun pada tongkatnya semakin kuat dan gemetar, ia pun menggeram,

"Persetan dengan gurumu! Kalau perlu kutumbuk lumat sekalian dengan tongkatku, hiaah...!"

Wuusss...! Tongkat dikibaskan menghantam kepala Peri Malam. Tapi dengan cepat perempuan itu tundukkan kepala.

Tongkat menebas udara bebas. Peri Malam segera hantamkan tangannya ke wajah Peramal Pikun.

Taapp...! Pukulan menggenggam yang dialiri tenaga dalam oleh Peri Malam itu ditahan dengan telapak tangan Peramal Pikun. Telapak tangan itu akan patah jika tanpa dialiri tenaga dalam yang cukup tinggi.

Satu tangan Peramal Pikun yang memegang tongkat siap menyodokkan tongkatnya ke perut Peri Malam. Tapi tiba-tiba sekelebat bayangan coklat menerabas di pertengahan kedua tangan yang saling beradu kekuatan tenaga dalam itu. Prasss...!

Kedua orang tersebut terjengkang ke belakang bagai sama-sama habis diseruduk kerbau liar. Mereka sama- sama bergegas bangkit dan siap saling adu tenaga dalam lagi. Tapi sebuah suara berseru dari sisi samping mereka.

"Tahan!"

Keduanya saling palingkan wajah memandang pemuda berpakaian coklat itu. Peri Malam terperanjat, namun cepat sembunyikan rasa kaget. Peramal Pikun menyipitkan mata dan berkata, "Lagi-lagi kamu mau ikut campur urusanku, Suto!"

Suto Sinting tersenyum menyeringai, lalu berkata, "Mana imbang, tokoh tua seperti kamu melawan dara cantik macam dia, Peramal Pikun?!"

"Peduli apa dengan cantiknya dia! Aku harus menuntut balas atas kematian adikku di tangan dia, Suto!"

Peri Malam menukas kata, "Bukan aku pembunuhnya!"

"Kalau bukan kau, siapa?! Yang ada di sini hanya kau dan mayat adikku!" sentak Peramal Pikun.

"Datuk Marah Gadai yang membunuh adikmu, Bandot Tua! Aku hanya menjadi penonton saja! Dia pergi ke selatan sebelum kau datang dari utara!" suara Peri Malam terdengar lantang juga.

"Nah, kau dengar sendiri, Peramal Pikun!" kata Suto.

Peramal Pikun agak sangsi, ia masih menatap tajam pada Peri Malam. Lalu, ia perdengarkan suaranya yang kembali datar.

"Jangan kau coba-coba mengelabui pikiranku, Peri Malam!"
"Bangunkan mayat adikmu, dan tanyalah sendiri padanya!"

Setelah berkata begitu, Peri Malam sentakkan kaki. Tubuhnya melesat tinggi dan bersalto satu kali. Dalam kejap berikutnya dia sudah ada di atas tanggul sungai, kemudian melesat pergi dengan satu lompatan bertenaga dalam yang membuatnya cepat menghilang dari pandangan mata Peramal Pikun maupun Suto Sinting.

Setelah meneguk tuaknya dua kali, Suto pun berkata,

"Kurasa apa yang dikatakan memang benar, Peramal Pikun! Bukankah Datuk Marah Gadai sejak dari tepi telaga sudah mengejar adikmu yang kini jadi bangkai ini? Aku yakin bukan perempuan itu yang membunuh adikmu, Peramal Pikun."

"Kalau begitu, akan kucari Datuk Marah Gadai untuk bikin perhitungan pribadi denganku!"

"Terserah kau, Peramal Pikun. Tapi tolong jelaskan padaku, siapa perempuan beringas tadi, Peramal Pikun? Kau pasti mengenalnya."

"Peri Malam," jawab Peramal Pikun. "Dia murid nenek peot yang bergelar si Mawar Hitam, yang menguasai Pulau Hantu. Dia tokoh tua yang sedang menunggu saat terbaik untuk membalas dendam dengan musuh bebuyutannya yang bergelar Bidadari Jalang."

Suto terperanjat sekejap. Tapi ia bisa lekas tenangkan diri begitu mendengar nama bibi gurunya disebutkan.

"Mengapa ia bermusuhan dengan Bidadari Jalang?" tanya Suto dengan rasa ingin tahu.

"Bidadari Jalang melukai hati si Mawar Hitam semasa nenek itu masih muda dan jelita. Suami dari Mawar Hitam yang berjuluk Pendekar Tanduk Dewa direbut oleh Bidadari Jalang. Perkawinan itu menjadi hancur karena ulah Bidadari Jalang. Itu sebabnya,

Mawar Hitam punya dendam pada Bidadari Jalang. Tapi dendam itu tidak pernah kesampaian, karena ilmu yang dimiliki Bidadari Jalang cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dibanding ilmu Mawar Hitam. Maka, Mawar Hitam pun menyingkirkan diri dari rimba persilatan, ia hanya akan muncul lagi jika sudah mendapatkan kesaktian yang bisa menandingi Bidadari Jalang."

"Lalu, bagaimana dengan Pendekar Tanduk Dewa itu?"

"Dia patah hati, merasa dipermainkan cintanya oleh Bidadari Jalang, ia sudah tak mau lagi kembali pada Mawar Hitam, ia mengasingkan diri di Gunung Tujuh Batu, sampai sekarang tak pernah lagi muncul di permukaan bumi."

Suto manggut-manggut mendengarkan penjelasan itu. Semakin hari semakin banyak yang ia tahu tentang kejelekan bibi gurunya, yang pada umumnya bertitik tolak dari masalah cinta dan lelaki. Bahkan ia pun tahu bahwa bibi gurunya itu punya urusan dengan Nyai Guru Betari Ayu yang pernah menceritakan penyakitnya dan mendendam kepada Bidadari Jalang. Betari Ayu menyebut bibi gurunya Suto dengan julukan Racun Biadab! Tapi Suto tetap berlagak tidak tahu menahu tentang Bidadari Jalang.

"Suto, tak ada waktu lagi bagiku untuk berbincang- bincang denganmu. Aku harus mengejar Datuk Marah Gadai!"

"Tunggu sebentar, Peramal Pikun...!" cegah Suto. "Aku tahu kau pandai meramal dengan bekal pengetahuan dan pengalamanmu yang banyak. Tapi bisakah kau mengetahui siapa perempuan yang bernama Dyah Sariningrum itu?"

Peramal Pikun sentakkan mata, jadi melebar tegas. Wajahnya yang tampak terkejut itu tiba-tiba segera mengendur dan berkata, "Aku tidak tahu siapa dia!"

Suto tersenyum. "Aku tahu kau dusta padaku, Peramal Pikun. Tolong sebutkan di mana orang yang bernama Dyah Sariningrum itu berada, Peramal Pikun!"

Wajah tua itu tampak menggeragap, walaupun pada akhirnya ia bersikap tenang dan berkata,

"Aku tak kenal nama perempuan itu. Aku tak tahu di mana dia berada. Jangan tanyakan padaku, Suto!"

"Tapi mengapa telingamu berdarah!"

Peramal Pikun semakin kaget, ia pegang telinganya. Ternyata dari lubang telinganya itu mengalir darah kental yang segar. Tak begitu banyak, tapi cukup membuat wajahnya makin pucat. Ada rasa takut yang bersembunyi di balik wajah tuanya itu. Peramal Pikun pun segera berkata, "Sekali waktu kita akan bertemu, Suto!"

Setelah berkata begitu, Peramal Pikun melompat ke atas tanggul sungai melalui pijakan batu di sampingnya. Sebelum Suto bicara lagi, Peramal Pikun lenyapkan diri dalam pengejarannya terhadap Datuk Marah Gadai.

Suto hanya membatin, "Apa sebab telinga Peramal Pikun berdarah? Apakah ia mendapat serangan tenaga dalam dari seseorang yang bersembunyi di sekitar sini? Tapi menurut inderaku, tak ada orang di sekitar sini.

Hmmm... aku yakin, Peramal Pikun tahu persis siapa dan di mana Dyah Sariningrum itu. Haruskah aku mendesaknya? Oh, tidak! Aku tidak perlu mengejarnya dulu. Aku lebih tertarik mengejar Peri Malam yang cantik dan berdada sekal itu. Tapi... untuk apa aku mengejarnya? Hanya sekadar menggoda kecantikannya atau ingin bersahabat dengannya? Ah, tak tahu aku,
kenapa aku ingin mengejarnya!"

***4***

GEMURUH ombak di Pantai Karang Saru terdengar bagai nyanyian pagi. Dinamakan Pantai Karang Saru, karena di sana ada tebing karang yang memiliki gua dengan lubang mulut yang memanjang ke atas. Di samping lubang mulut gua itu ditumbuhi lumut-lumut hijau kehitaman. Lumut itu tumbuh hanya di tepian mulut gua, sedang di tempat lain tidak terdapat lumut sedikit pun. Itulah sebabnya pantai itu dikenal dengan nama Pantai Karang Saru, alias karang kotor.

Di salah satu celah karang-karang tak jauh dari mulut gua itu, sebuah perahu telah disembunyikan beberapa waktu lamanya, dan ditutup dengan belarak pelepah daun kelapa. Menilik keadaan perahu yang disembunyikan sebegitu rupa, pastilah seseorang telah menyiapkan perahu itu untuk suatu keperluan penting.

Sebelum matahari sempat meninggi, belarak daun kelapa itu disingkirkan oleh sepasang tangan berjari lentik dan berkulit sawo matang. Tangan itu milik seorang perempuan berambut lurus yang dililit rantai emas dengan batu merah delima dibagian keningnya. Siapa lagi perempuan yang bertahi lalat di dagu kanannya kalau bukan Peri Malam, murid nenek keriput yang berjuluk Mawar Hitam.

Gerakan tangan menyingkirkan daun kelapa penutup perahu itu tampak cepat, menandakan Peri Malam harus terburu-buru melakukan hal itu. Pandangan matanya yang sedikit nanar menandakan ada cemas yang tersimpan di hati Peri Malam.

"Memang sinting pemuda itu," katanya dalam hati. "Begitu kutatap dia punya mata, jantungku terasa terhenti sekejap. Pantas jika Selendang Kubur mempertaruhkan nyawa untuk merebutkan Pusaka Tuak Setan ini. Rasa-rasanya memang tak rugi mati untuk pria setampan itu. Bukan hanya tampan saja, tapi juga mempunyai daya tarik yang bisa bikin hatiku kembali tertarik pada seorang lelaki. Sejak tadi aku berusaha melupakannya, tapi tak pernah bisa."

Rupanya itu pula yang membuat hati murid Mawar Hitam menjadi gelisah. Kecemasan yang hadir menggelisahkan hati bukan karena rasa takut disusul oleh Selendang Kubur atau Peramal Pikun, tapi takut jumpa lagi dengan pemuda berpakaian coklat tampan itu.

Maka, perahu pun segera didorongnya memasuki perairan laut yang saat itu dalam keadaan surut. Dengan satu kekuatan dari dalam, Peri Malam berhasil mendorong perahu itu seperti mendorong sebatang pelepah daun pisang.

Begitu perahu mulai meluncur di permukaan air laut yang bergelombang tak terlalu besar itu, Peri Malam segera lompatkan diri ke dalamnya. Dalam satu kali sentakan kaki, ia sudah berhasil berada di dalam perahu dan segera raih kayu pendayung.

Sempat pula Peri Malam membatin, "Kalau debaran hati ini semakin parah, aku akan minta izin kepada Guru untuk temui pemuda itu lagi. Kalau tuntutan indah di jiwaku semakin tinggi, aku akan culik pemuda itu untuk kubawa lari ke Pulau Hantu. Kurasa Guru akan izinkan hal itu sebagai hadiah dari keberhasilanku mencarikan Pusaka Tuak Setan ini untuk beliau."

Peri Malam segera dayungkan perahunya. Cepat- cepat tangannya mendayung seakan ingin segera sampai pada sang Guru dan segera mintakan izin rencananya itu. Dalam waktu singkat perahu itu sudah mencapai kejauhan, sudah tinggalkan pantai lewat dari lima puluh tombak. Namun gerakan tangan Peri Malam masih tetap cepat dalam mendayung, seakan tak mau lambat sedikit pun.

Untuk hindarkan sorot matahari yang terasa menyengat kulit, Peri Malam mengambil tempat membelakangi pantai dalam duduknya. Itu sebabnya Peri Malam tidak menyadari kalau gerakan perahunya makin lama semakin mendekati pantai, bukan semakin menjauh. Ketika Peri Malam tengokkan kepala ke belakang, ia terperanjat heran melihat perahu bukan
berjalan maju, tapi berjalan mundur.

"Sial! Perahu ini semakin mengikuti alunan ombak. Terlalu ringannya perahu ini, sampai sang ombak dengan mudah menahan dayungku dan mengalunkan perahuku makin ke tepian. Harusnya perahu ini jangan dibuat dari kayu kapuk randu, biar tak terlalu ringan dan terlalu mudah dipermainkan ombak!"

Peri Malam ambil satu dayung lagi. Dayung kedua dimasukkan ke dalam kolong besi di tepian perahu. Dengan cara begitu, ia dapat dayungkan perahu dengan gunakan dua dayung kanan-kiri. Gerakannya tambah dipercepat. Peri Malam kerahkan tenaga buat membawa pergi perahunya. Tapi perahu bergerak makin dekati pantai.

"Apakah gerakan dayungku salah?" pikir Peri Malam. "Kurasa tidak salah. Justru kalau kubalik gerakannya, perahu ini akan melaju mundur."

Lebih cepat lagi Peri Malam gerakkan tangannya untuk mendayung, lebih cepat juga perahunya menuju ke tepian pantai. Sampai satu kejap berikutnya, terdengar suara, kraakkk...! Dayung kanan membentur batuan karang di dalam air. Dayung itu menjadi patah. Ini menandakan bahwa perahu mulai mencapai tempat dangkal. Peri Malam palingkan wajah ke belakang, ternyata pasir pantai tinggal beberapa langkah dari perahunya.

"Konyol!" sentak Peri Malam keras, ia marah pada perahunya sendiri. Peri Malam segera bangkit dan melompat turun.

Perahunya ditarik ke tepian sambil menggerutu, "Kurasa aku harus menunggu air pasang dulu dan arah angin menuju ke barat. Jika arah angin menuju barat, maka gelombang ombak akan mendorong perahuku ke arah barat pula."

Perahu kembali dimasukkan di celah bebatuan karang. Talinya ditambatkan di salah satu bebatuan yang agak meruncing.

Peri Malam pun segera pergi ke bawah sebuah pohon mahoni yang berdaun rindang. Di sana ada jajaran batu yang enak untuk duduk dan beristirahat.

"Haus sekali aku," pikirnya sebelum mencapai bawah pohon rindang itu. Peri Malam dongakkan kepala memandang buah kelapa hijau yang ada di pucuk pohon. Kejap berikutnya ia dekati pohon kelapa itu dan dengan pejamkan mata sejenak, Peri Malam hantamkan tangannya memakai pangkal pergelangan tangan ke pohon itu. Duugg...!

Maka satu buah kelapa yang dipilihnya dari bawah itu meluncur jatuh dari atas pohon. Peri Malam senyumkan bibirnya sambil memandang jatuhnya buah kelapa itu.

Kejap berikut ia terperanjat karena buah kelapa itu pecah di udara sebelum mencapai tanah. Praak...! Airnya muncrat ke mana-mana, serabut dan tempurungnya pun terpental tak tentu arah.

Cepat-cepat Peri Malam palingkan wajah dengan mata nanar. Pandangannya menyapu sekeliling sambil ia membatin,

"Rupanya ada orang usil ingin menggangguku. Hmm... tahu aku sekarang. Gerakan perahuku yang mundur ke pantai pasti bukan karena gerakan ombak, tapi karena ada yang sengaja menariknya dengan kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi. Bedebah! Siapa orang yang berani betul mempermainkanku?"

Peri Malam kembali hantam pohon kelapa untuk memancing persembunyian orang yang memecahkan kelapa saat buah itu melayang turun. Tapi kali ini buah kelapa segar itu tidak pecah di udara. Buah kelapa segar itu tetap meluncur ke bawah dan jatuh ke tanah berpasir.

Bluukkk... !

Peri Malam kerutkan dahinya. Aneh melihat kelapa tak lagi pecah di udara. Segera ia dekati kelapa itu. Saat Peri Malam mau ambil kelapa itu, tiba-tiba benda tersebut bergerak menggelinding dengan cepat. Gerakan itu diikuti oleh pandangan mata. Ternyata kelapa tersebut berhenti karena terhadang satu kaki yang cepat menginjaknya.

Taapp... !

Peri Malam pandangkan matanya mengikuti kaki itu. Sedikit demi sedikit ia naikkan pandangan mata dari betis sampai ke paha, naik ke perut, naik ke dada, dan akhirnya Peri Malam temukan seraut wajah lelaki di sana.

Melihat wajah pemuda berhidung bangir dan beralis sedikit tebal itu, Peri Malam segera desiskan suara.

"Dia lagi...!"

Pemuda berpakaian serba hitam dengan ikat pinggang hitam berukuran besar itu masih sunggingkan senyumnya yang cukup menawan. Mata pemuda berikat kepala kuning dan rambut sedikit panjang itu menatap dengan lembut wajah Peri Malam. Di pinggang pemuda itu terselip senjata berupa kapak dengan dua mata kanan- kiri. Kapak itu mempunyai bagian ujung yang runcing berupa mata tombak. Gagang kapak itu tidak panjang, kira-kira hanya berukuran dua jengkal tangan dewasa. Peri Malam kenali kapak itu sebagai pusaka si pemuda yang konon bernama Kapak Kebo Geni.

"Kita jumpa lagi, Peri Malam," ucap pemuda itu sambil memungut kelapa yang tadi diinjaknya.
"Rupanya kaulah orangnya yang sejak tadi menggangguku, Dirgo!"
"Benar. Karena aku ingin bicara denganmu, Peri Malam."

"Mengapa harus menahanku di pantai ini? Kau bisa datang ke Pulau Hantu dan bicara denganku di sana, Dirgo Mukti."

Pemuda itu menggeleng sambil mendekat. Tiga tindak sebelum sampai di tempat Peri Malam berdiri, Dirgo Mukti hentikan langkahnya.

"Kalau aku datang ke Pulau Hantu, sama saja aku melanggar larangan dari guruku. Aku tak berani melanggar larangan Guru. Jadi aku selalu tunggu kemunculanmu di Pantai Karang Saru ini. Sebab di sinilah aku jadi penguasa. Pantai Karang Saru adalah wilayah kekuasaanku, Peri Malam. Siapa pun orangnya yang melewati daerah ini harus berurusan denganku, tapi bukan berarti harus mengadakan pertarungan denganku."

Kalau tidak ingat larangan gurunya juga, Peri Malam sudah labrak pemuda itu dengan garangnya. Sayang sekali Mawar Hitam pernah wanti-wanti agar Peri Malam jauhi Dirgo Mukti yang bergelar Manusia Sontoloyo itu. Peri Malam tidak boleh bikin bentrokan dengan Manusia Sontoloyo. Apa alasan sang Guru mengeluarkan larangan itu, sampai saat terakhir Peri Malam berangkat, tak pernah ada jawaban yang pasti.

Dirgo Mukti masih sunggingkan senyum manis bagai seorang lelaki berwajah bersih itu. Buah kelapa hijau yang segar tetap ada di tangannya. Dengan gerakan cepat, Dirgo Mukti tusukkan jari telunjuknya ke permukaan kulit kelapa beraerabut tebal itu. Cruuss...! Dalam satu sentakan jari menusuk, kelapa itu telah berlubang dan bisa dipakai untuk mengeluarkan air di dalam kelapa tersebut. Dirgo Mukti pun segera serahkan kelapa kepada Peri Malam.

Peri Malam terima kelapa itu dengan wajah sinis dan hati muak. Kejap berikutnya, Peri Malam menenggak habis air kelapa muda itu. Saat kepalanya mendongak ke atas untuk menerima curahan air kelapa, mata Dirgo Mukti memperhatikan bentuk leher yang tampak halus dan bersih tanpa luka sedikit pun. Ia tersenyum, ingin mencium leher Peri Malam. Tapi saat ia bergerak setindak, Peri Malam segera hentikan gerakan meminum. Cepat ia memandang Dirgo Mukti dengan sorot pandangan mata yang tidak bersahabat.

"Cantik sekali kau, Peri Malam!" kata Dirgo Mukti pelan.
"Aku tak butuh rayuanmu," ketus Peri Malam.

Dirgo Mukti tertawa agak keras. "Suatu saat kau akan membutuhkannya, Peri Malam. Kau wanita yang punya gairah. Jadi kapan saja kau bisa punya kebutuhan cinta. Dan akulah satu-satunya orang yang siap melayani cintamu nantinya, Peri Malam."

Makin muak hati Peri Malam. Terasa perut mual dan ingin muntah mendengar ucapan Dirgo Mukti. Dia sendiri merasa aneh, mengapa dia tak bisa tertarik dengan pemuda yang cukup tampan dan gagah itu. Hatinya seperti gunung es yang sulit mencair oleh rayuan atau sikap Manusia Sontoloyo itu.

Malah ingin rasanya Peri Malam menghajar habis mulut pemuda itu. Ingin rasanya ia mengadu ilmu dan kesaktian dengan Dirgo Mukti. Tapi pesan dari gurunya membuat ia takut melakukan pelanggaran. Pernah ia mendesak gurunya untuk minta diizinkan menyerang Dirgo Mukti, tapi sang Guru tetap tidak mengizinkan.

"Apakah Dirgo Mukti lebih sakti dariku, Guru?" tanya Peri Malam waktu itu. Sang Guru menjawab,

"Mungkin sama kuatnya kau dengan dia. Tapi bukan itu yang jadi masalah. Jika kau berselisih dengan Dilgo, maka dunia akan kembali dilanda gegel besal," kata Mawar Hitam yang cadel.

"Tapi aku muak sekali dengan keusilannya, Guru. Aku ingin sekali menghajar mulutnya yang selalu bicara memuakkan!"

"Jangan. Kalau kamu ketemu dia, hindali saja dia. Jangan sampai kamu teljadi bentlok sama dia."

"Izinkan aku menghajarnya satu kali saja, Guru. Satu kali saja!"

"Tidak. Ada saatnya kalau toh telpaksa halus bentlok sama dia. Tapi... sebaiknya jangan. Usahakan jauhi Dilgo dan jangan ada pelselisihan sama dia!"

Geram hati Peri Malam bila ingat larangan itu. Apa lagi sekarang Dirgo Mukti semakin usil, mulai berani mau memegang pundak Peri Malam. Cepat-cepat Peri Malam kibaskan tangan menampik pergelangan tangan Dirgo Mukti. Sebenarnya ia bisa menghindari saja, tapi untuk melampiaskan perasaan dongkolnya yang sudah lama terpendam, ia sengaja tepiskan tangan Dirgo Mukti dengan satu sentakan keras. Tulang lengan beradu dengan pergelangan tangan Dirgo. Trakkk...! Sama-sama keras bagai dua besi baja saling beradu.

"Jangan coba-coba bertindak lebih konyol lagi, Dirgo!" sentak Peri Malam dengan mata menatap tajam, penuh sinar permusuhan.

"Sesungguhnya mulai hari ini kau tak bisa lepas lagi dariku, Peri Malam," kata Dirgo Mukti dengan mata menahan kejengkelan hati.

"Apa maksudmu, hah?!" sentak Peri Malam.
"Hari ini juga kau harus kumiliki, Peri Malam. Aku tak sanggup lagi berjauhan denganmu."

"Cuih...!" Peri Malam meludahi wajah Dirgo Mukti. Tapi ludah itu sebelum sampai tempatnya sudah membalik dan mengenai wajah Peri Malam sendiri. Makin geram kemarahan Peri Malam. Makin merasa dipermainkan dirinya.

"Hiaaat...!"

Peri Malam hantamkan tinjunya ke arah wajah Dirgo Mukti. Tapi tubuhnya terpental pada saat kepalan tinjunya bagai menghantam suatu lapisan yang bisa memantulkan tenaga.

"Hup...!" Peri Malam cepat ambil sikap melompat, dalam kejap berikutnya sudah berdiri tegap dalam jarak lima langkah dari Dirgo Mukti. Ia bungkamkan mulut untuk sesaat, karena hatinya berkata,

"Dia punya lapisan menolak kekerasan. Pukulanku belum menyentuh wajahnya, tapi terasa sudah menyentuh sesuatu yang menahan balik. Hampir saja tubuhku terjungkal karena pukulan itu. Malu aku kalau sampai terjungkal akibat tindakanku sendiri. Hmmm... baiknya kucoba pakai pukulan jarak jauh saja!"

Wuuugh...! Tenaga dalam sedikit besar dilontarkan dari telapak tangannya. Dan, orang yang diserangnya hanya tersenyum tipis dengan kedua tangan terlipat di dada.

Weeeung... !

Pukulan tenaga dalam itu membalik arah. Tubuh Peri Malam tersentak dan terpelanting hingga berputar dua kali. Untung ia cepat kendalikan keseimbangan tubuhnya, hingga dalam kejap berikutnya Peri Malam telah kembali berdiri tegak menghadap ke arah Dirgo Mukti. Jaraknya menjadi delapan langkah dari Dirgo Mukti. Saat itu, Dirgo berkata dengan sedikit berseru.

"Jangan melawan aku, Peri Malam. Kau akan mati oleh kekuatanmu sendiri. Percayalah!"

"Persetan dengan kata-katamu, Dirgo! Kau telah mempermainkan aku dan memancing kemarahanku!" geram Peri Malam yang tambah penasaran itu. Maka, serta-merta ia lancarkan pukulan tenaga dalamnya lebih besar lagi.

Wuungh... !
Weuung... !

Cepat sekali pukulan itu memantul balik. Tubuh Peri Malam terpental hingga dua kakinya terangkat dari tanah. Tubuh itu melesat ke belakang dan jatuh membentur bongkahan batu karang.

"Uhhg...!" Peri Malam menyeringai sakit pada punggungnya. Napas Peri Malam tertahan beberapa saat untuk menghalau rasa sakit. Setelah itu, napasnya terhempas lepas.

Peri Malam bangkitkan tubuh dengan hati membatin, "Tangguh juga gelombang pelapis dirinya itu. Pukulanku tak mempan mendobraknya. Bangsat! Terhina aku jadinya diperlakukan seperti ini di depannya! Rupanya aku harus menggunakan salah satu jurus intiku!"

Saat pemuda itu tertawa bagai mengejek ilmu Peri Malam, perempuan itu segera angkat kedua tangannya dengan urat-urat mengeras. Kakinya merenggang ke samping belakang dengan sedikit merendah. Kemudian, membalikkan tangannya dengan telapak tangan menghadap ke mukanya. Tangan itu pun menyentak keduanya ke arah depan. Dari punggung telapak tangan itu melesatlah sebuah sinar kuning berbentuk bola sebesar kelereng. Sinar kuning itu melesat cepat ke arah Dirgo Mukti.

Tapi pemuda, itu tetap diam dan tersenyum-senyum.

"Hiaaat...!" Peri Malam lompatkan diri, berjungkir balik di udara, karena pada saat itu bola kuning berpijar- pijar itu memantul balik ke arahnya. Bentuknya dua kali lebih besar dari saat meluncur ke arah Dirgo tadi.

Wuuuooss... !

Blaar...! Benda itu menghantam gugusan batu hitam yang ada di belakang tempat Peri Malam tadi berdiri. Gugusan batu hitam sebesar kuda duduk itu menjadi putih seketika. Dan angin laut menaburkan serbuk- serbuk putih itu sampai akhirnya batu sebesar kuda bersimpuh itu tinggal tersisa sebesar katak.

"Edan!" geram hati Peri Malam, "Alot sekali pelapis dirinya itu. Sukar ditembus oleh tenaga intiku. Tapi bagaimana jika kugunakan jurus 'Seribu Naga'? Apakah masih tak mampu menembus gelombang pelapis dirinya itu?"

Dari tempatnya, Dirgo Mukti berseru dengan jelas sekali, "Peri Malam! Simpanlah tenagamu. Sia-sia kau menyerangku. Jangan sampai aku bertindak keras dan membalas kesombonganmu, Peri Malam!"

"Aku sengaja menunggu balasanmu, Dirgo!"

Belum sekejap suara Peri Malam hilang, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan yang menggelegar guncangkan bumi. Blaarrr...!

Tubuh Dirgo Mukti terjungkal dan berguling-guling di pasiran. Peri Malam lebarkan mata karena kaget dan heran, ia merasa belum menyerang lagi, tapi Dirgo Mukti sudah terjungkal dan itu berarti ada satu kekuatan tenaga dalam yang cukup dahsyat dan mampu menembus gelombang pelapis diri Dirgo Mukti.

"Jahanam!" sentak Dirgo mulai tampak kemarahannya, ia tidak memandangi Peri Malam, tapi menatap sekeliling dengan bingung. Matanya itu memancarkan kemarahan yang tak bisa terbendung lagi.

"Siapa yang berani campuri urusanku ini, hah?!" sentaknya lagi.

Peri Malam juga lirikkan mata ke sekeliling, mencari penyerang gelap yang sudah pasti berilmu tinggi itu. Sementara, di sebelah gundukan batu, Dirgo Mukti berdiri dengan mendekap dada kirinya. Tampak ada cairah merah yang mengalir dari hidung. Tidak banyak, namun sempat membuat Peri Malam tersenyum kegirangan.

"Mampuslah kau, Biadab!" geram Peri Malam kepada Dirgo Mukti dengan suara tak terdengar, sebab saat itu Dirgo berseru,
"Siapa yang berani menyerangku, hah?! Keluar kau, Kunyuk! Tampakkan batang hidungmu, Bangsat!"

Dirgo Mukti benar-benar marah, ia sama saja dibuat malu di depan perempuan yang sedang ditaksirnya. Maksud hati unjuk kebolehan ilmunya di depan Peri Malam, tak tahunya terpental dan berjungkir balik dengan hidung berdarah. Rasa malu yang amat besar itu yang membuat Dirgo Mukti benar-benar marah pada orang yang mengganggunya.

"Kalau kau benar-benar berilmu tinggi, tampakkan batang hidungmu dan hadapilah aku, Manusia Sontoloyo!" teriaknya keras. Dirgo Mukti sengaja salurkan tenaga dalamnya lewat teriakan itu, hingga batu-batu karang bergetar, Peri Malam tutupkan tangan ke telinganya.

Kejap berikutnya, dari celah bebatuan karang di belakang Dirgo Mukti melompatlah sesosok tubuh berpakaian coklat, berwajah tampan dan menggendong bumbung tempat tuak. Seketika itu hati Peri Malam terpekik kaget.

"Oh...?! Rupanya dia! Murid sinting si Gila Tuak!"

*******
DIRGO Mukti segera kibaskan tangan kanannya ke arah Suto. Dengan cepat Suto meraih bumbung dari punggung dan halangkan bumbung ke depannya. Craap...!

Sebuah pisau kecil bertali rumbai merah dari benang sutera menancap di bumbung tersebut. Pisau itu kepulkan asap sedikit. Setelah itu Suto cabut pisau kecil itu dan membuangnya dengan seenaknya ke samping.

"Untuk apa kau pamerkan mainan anak kecil itu? He he he...!" Suto melompat turun dari atas batu, melangkah dengan sedikit limbung. Bukan karena pengaruh pisau kecil tadi, tapi karena sejak tadi rupanya ia sudah cukup banyak minum tuak dan sedikit mabuk. Tapi matanya belum sayu, hanya sedikit merah di tepiannya.

Dirgo Mukti terkejut melihat kenyataan yang ada. Rasa herannya makin bertambah setelah melihat pisau itu dibuang seenaknya oleh Suto ke samping kanan dan mengenai sebongkah batu. Batu itu pecah dengan menimbulkan bunyi yang pelan.

"Bisa menangkis lemparan pisauku saja sudah termasuk hebat, apalagi bisa mengisi pisau itu dengan tenaga dalamnya hingga bikin batu itu pecah tanpa suara, jelas lebih hebat," kata Dirgo di dalam hatinya yang terkagum-kagum. "Mestinya bambu itu pecah meledak ketika tertancap pisauku, tapi mengapa kali ini tidak? Hmmm... siapa sebenarnya orang ini?! Aku belum pernah jumpa dengannya."

Lain lagi kata hati Peri Malam saat melihat kenyataan itu.

"Pemuda tampan itu benar-benar hebat. Rasa-rasanya inilah kesempatan yang baik untuk menghajar Dirgo Mukti. Kuadu saja Dirgo dengan murid sinting Gila Tuak itu. Pasti Dirgo tak akan berani menggangguku lagi, dan aku tak perlu terlibat bentrokan dengan Dirgo, sesuai pesan Guru."

Langkah gontai Suto menuju ke arah Peri Malam. Perempuan itu sengaja mendekat untuk memancing kemarahan Dirgo.

"Siapa kau sebenarnya, sehingga berani mengusik urusanku dengan Peri Malam, hah?!" Dirgo Mukti menyentak dengan melangkah setindak ke samping kirinya. Kini Suto dan Peri Malam sama-sama berdiri berjajar menghadap Dirgo Mukti.

Saat itu, Suto menyuruh Peri Malam untuk menjawab pertanyaan Dirgo itu, "Jelaskan padanya siapa aku. Kau
pasti tahu!"

Tanpa banyak ragu, Peri Malam pun berkata dengan suara jelas.

"Dia adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak yang punya julukan Pendekar Mabuk."
"Nah, sudah jelas?" tanya Suto pada Dirgo Mukti dengan mengejek sinis.

Dirgo Mukti diam. Tapi batinnya berkata,

"Murid Si Gila Tuak...?! Oh, ya... aku kenal nama si Gila Tuak, tapi belum pernah bertemu satu kali pun. Guru memang pernah cerita tentang si Gila Tuak, tokoh sakti yang namanya ada di papan atas dunia persilatan. Lalu, apa urusannya Suto Sinting ini dengan Peri Malam? Apakah dia kekasihnya Peri Malam? Kalau begitu, dia adalah musuh utamaku dalam merebut hati Peri Malam!"

Sebenarnya hati Dirgo Mukti mulai ciut begitu mendengar Suto adalah murid si Gila Tuak. Tapi karena ia menganggap Suto adalah kekasih Peri Malam, keberaniannya kembali menyala-nyala. Bahkan dengan beraninya dia berucap kata kepada Suto.

"Kita perlu beradu nyawa, Suto! Jangan kamu sangka Manusia Sontoloyo tak berani menghadapi murid sinting si Gila Tuak. Demi mempertahankan kehormatan cinta, mari kita tentukan nyawa siapa yang berhak hidup berdampingan dengan Peri Malam!"

"Kau menantangku, Dirgo?!"
"Ya!"

Dirgo Mukti segera mencabut senjatanya, kapak dua mata. Sambil cabut senjata Dirgo Mukti berseru,

"Lekas, cabut senjatamu, Suto! Aku ingin tahu apakah senjatamu bisa mengalahkan Kapak Kebo Geni- ku ini!"
"Jangan...."

Peri Malam menyahut, "Ya, jangan di sini! Memang sebaiknya jangan di pantai ini."

Suto terbengong lagi dan ingin berkata kepada Peri Malam, tapi selalu didahului oleh Dirgo Mukti.

"Baik. Di mana tempatnya terserah dirimu, Sutol Di mana pun tempatnya aku siap mengadakan pertarungan berdarah denganmu, demi mendapatkan cinta Peri Malam!"

Suto tarik napas, tahan rasa dongkol atas kesalahpahaman itu. Kali ini ia ingin bicara lagi tapi selalu disahut Peri Malam.

"Maksudku begini, Dirgo...."

"Soal tempat pertarungan, silakan kau yang menentukan," kata Peri Malam. "Kapan waktunya, silakan pilih sendiri. Karena kau yang menantang pertarungan, maka kau yang tentukan segalanya."

"Baik! Aku suka dengan ketegasan seperti itu!" kata Dirgo Mukti. "Kita tentukan pertarungan kita di Bukit Jagal, dua purnama mendatang! Jika kau memang murid si Gila Tuak, kau pasti datang dalam dua purnama mendatang di Bukit Jagal. Di sana aku sudah menunggumu!"

Selesai bicara begitu, Dirgo Mukti jejakkan kaki dan melesat pergi secepat kilat. Suto tak sempat lagi ucapkan kata apa pun. Ia hanya pandangi gerakan Dirgo Mukti yang melesat lincah bagaikan terbang dari batu ke batu lainnya.

Peri Malam juga ikut pandangi kepergian Dirgo Mukti sambil hamburkan tawa mengikik geli bagaikan kuntilanak pulang pagi.

"Kik kik kik..,, hatinya pasti robek tercabik-cabik olah kemunculanmu, Suto! Biar tahu rasa dia. Berulang kali dia ganggu aku dengan rayuan-rayuan yang bikin aku muak dan mau muntah, seperti orang habis telan anak tikus. Hik hik hik...!"

Suto tidak ikut hamburkan tawa. Senyum pun tersimpan dalam sisi kejengkelan hati. Sekarang saatnya dia bisa bicara apa yang ingin dia bicarakan sejak tadi.

"Apa maksudmu menyambung ucapanku dengan yang tidak benar begitu?"
"Apakah maksudmu bukan seperti yang kukatakan tadi?" Peri Malam berlagak bodoh.
"Aku tidak ingin bertarung melawannya!"
"O, kalau begitu aku salah duga tadi!"
"Memang salah!"

"Maaf kalau begitu!'' ucap Peri Malam berlagak ketus sambil melangkahkan kaki menuju bawah pohon mahoni yang rindang itu.

Sampai di sana ia duduk. Matanya memandang Suto yang masih berdiri dalam jarak sepuluh langkah. Berdebar hati Peri Malam setiap menatap mata murid si Gila Tuak itu. Gelisah jiwanya menerima rasa indah yang mekar berbunga-bunga di dalam hatinya.

"Luar biasa daya pikatnya. Ingin aku tenggelam dalam pelukannya. Ah, setan! Sulit sekali aku menolak kehadiran bayangannya!" gerutu resah hati Peri Malam.

Suto menghentikan langkah tiga tindak ke depan Peri Malam. Pandangan matanya tetap tertuju ke wajah Peri Malam. Perempuan itu pun menatapnya dan berkata,

"Duduklah," sambil ia tepuk batu di sampingnya, seakan menuntun agar Suto duduk di batu sebelahnya itu.

"Aku sedang memikirkan tantangan Dirgo."
"Apakah kau takut?"

Suto masih berdiri. Kali ini ia tersenyum indah mengarah pada wajah Peri Malam. Darah Peri Malam bagai disedot naik ke ubun-ubun kepalanya hingga dirinya terasa melayang-layang nikmat melihat senyuman itu.

"Aku bukan takut kepadanya. Aku hanya benci kesalahpahaman ini. Seharusnya kau tidak menyambung kata-kataku seperti tadi. Aku tak mau bertarung melawan orang yang tidak punya salah padaku."

"Tapi kau tadi menyerangnya."
"Itu sekadar mengingatkan sikapnya. Aku tak suka melihat perempuan dibuat mainan, seperti kau tadi."

"Benar. Aku juga tidak suka dipaksa untuk menjadi istrinya. Lebih tepat lagi, dia akan paksa aku melayani nafsu birahinya. Apakah kau suka melihat perempuan menderita begitu?"

"Tidak."
"Itulah sebabnya aku menyambung kata-katamu sejak tadi."
"Apa maksudmu? Jelaskan!"
"Kalahkanlah dia, biar tidak semena-mena mengejar cintaku karena merasa berilmu tinggi."
"Jadi aku harus bertarung dengan Dirgo?"
"Tak ada jalan lain untuk menyingkirkan cintanya."
"Kenapa tidak kau hadapi sendiri?"
"Pesan guruku, aku tak boleh memancing keributan dengan Dirgo."
"Kenapa?"
"Tak dijelaskan oleh Guru," jawab Peri Malam.
"Kalau begitu, carilah pendekar lain untuk menyingkirkan cintanya. Jangan aku!"
"Tak ada pendekar lain yang bisa membuat hatiku terpikat. Tak ada lelaki lain yang bisa menumbuhkan cinta di hatiku."
"Tapi aku juga tidak mempunyai cinta padamu."

Peri Malam bangkit dari duduknya, ia melangkah lebih dekat. Jaraknya kurang dari satu langkah dari depan Suto. Pandangan matanya lebih dalam menatap, dan ucapannya lirih berkata,

"Anggap saja kau punya cinta padaku, supaya kau mau singkirkan cinta Manusia Sontoloyo itu!"

"Mana bisa...?!" Suto angkat bahu. "Aku mempunyai idaman hati sendiri."

"Untuk saat ini saja, anggap kau mencintaiku. Singkirkan cintanya supaya kita bebas memadu kasih, Suto."
"Mana bisa?! Aku tak pernah tahu hangatnya pelukanmu."

Peri Malam dibuat gemas-gemas mesra. Kemudian, dengan tanpa ragu dan tak mampu menahan gejolak hatinya, ia dekatkan wajah ke pipi Suto. Lalu, sebuah ciuman hangat melekat di pipi murid sinting si Gila Tuak itu.

Ciuman yang kedua dari Peri Malam mendarat saat Suto sedikit palingkan wajah. Karena Suto palingkan wajah maka ciuman itu tidak melekat di pipi, melainkan menyentuh di bibir Suto.

Crupp...!

"Oh...?!" Peri Malam cepat undurkan wajah.
"Kenapa?"
"Terlalu hangat," jawab Peri Malam dalam bisik tersekat. Lalu, ia sunggingkan senyum malu dan tundukkan wajahnya.

Terdengar suara tawa Suto mirip gumam satria pujaan negara. Rambut perempuan itu diusapnya dengan lembut. Terasa usapannya sampai melingkupi permukaan hati Peri Malam. Begitu indah dan mendebarkan.
Pelan-pelan Peri Malam angkatkan wajahnya, lalu berucap lirih.

"Tak inginkah kau mengulang ciuman tadi?"
"Mana bisa?"
"Kenapa tidak bisa?"
"Karena ada sepasang mata yang memperhatikan kita."

Terkesip Peri Malam seketika, ia segera palingkan muka ke belakang, dan ternyata di sana sudah berdiri seorang perempuan berpakaian merah dadu dengan rambut digulung naik ke atas.

Cepat-cepat Peri Malam jauhkan jarak dengan Suto Sinting. Wajah Peri Malam menjadi berang, ia layangkan pandang mata bencinya ke wajah perempuan yang berdiri antara sepuluh tindak darinya itu.

"Keparat!" geram Peri Malam, ia naikkan suara, "Kau belum jera juga mengusik pribadiku, Selendang Kubur?!"

"Justru sekarang urusan kita sudah lebih pribadi, Peri Malam!" kata Selendang Kubur dengan suara dingin memercikkan benci. Sikapnya berdiri menandakan dirinya telah siap bertempur mengadu nyawa dengan Peri Malam.

***6***

MATAHARI pantai semakin tinggi, tapi dua perempuan itu tak peduli sengatan panas dari langit itu. Mereka berhadap-hadapan dengan masing-masing sinar mata memancarkan permusuhan.

Murid sinting si Gila Tuak hanya duduk di atas gundukan batu, di tempat yang teduh dengan sesekali menenggak tuaknya. Suto merasa tak perlu ikut campur urusan perempuan. Biarlah perempuan-perempuan itu menyelesaikan urusan mereka, dan Suto hanya menjadi pihak penonton saja.

Suto tidak tahu, bahwa perselisihan kedua perempuan itu adalah karena kecemburuan terhadap dirinya. Suto tidak tahu bahwa dirinya itulah yang menjadi penyebab perselisihan Selendang Kubur dengan Peri Malam. Suto hanya membatin,

"Kebetulan sekali aku tidak perlu susah-susah mencari Selendang Kubur. Selesai urusan dengan Peri Malam, baru dia harus selesaikan urusan denganku tentang Pusaka Tuak Setan itu. Tapi bagaimana kalau Selendang Kubur mati di tangan Peri Malam? Aku tidak bisa mendapatkan Pusaka Tuak Setan. Pastilah Tuak Setan sudah ia sembunyikan di suatu tempat dan hanya dia yang tahu. Hmm... kalau begitu aku harus menjaganya jangan sampai ia mati dan jangan sampai ia kabur lagi!"

Kedua perempuan itu sama-sama berdiri dengan kaki tegak dan sedikit melebar. Dada mereka sama-sama membusung ke depan, karena memang keduanya sama- sama montok. Wajah mereka sama-sama keras, karena mereka sama-sama menahan rasa cemburu.

"Selendang Kubur!" kata Peri Malam dengan ketus dan tegas. "Tinggalkan tempat ini atau kuhabisi riwayat hidupmu?"

"Aku mau pergi dari sini kalau kau serahkan kedua hal yang kucari itu!" jawab Selendang Kubur tak kalah ketus dan tegas.

"Tak perlu kau banyak bicara, Selendang Kubur! Yang jelas kau telah mengganggu kemesraanku dengan Suto Sinting!"

Peri Malam sengaja batasi omongan, supaya Selendang Kubur tidak menyebut-nyebut tentang Pusaka Tuak Setan. Sebab, jika Selendang Kubur melontarkan keinginannya untuk meminta Pusaka Tuak Setan, maka Suto yang ada di bawah pohon itu akan mendengar, dan tentunya Suto menjadi tahu bahwa Pusaka Tuak Setan ada di tangan Peri Malam. Ini yang dihindari Peri Malam. Karena menurutnya, Suto belum mengetahui di mana Pusaka Tuak Setan itu berada.

"Peri Malam! Kau tidak layak mendapatkan kemesraan darinya, karena kau seorang perempuan hina. Kau durjana dan kotor!"

"Tutup mulutmu Selendang Kubur!" sentak Peri Malam memotong. "Jangan sangka dirimu bukan perempuan kotor! Aku tahu kau sudah bukan perawan lagi. Aku tahu kau sudah serahkan kehormatanmu kepada Trenggono!"

"Jahanam! Kaulah yang telah menyerahkan kesucianmu kepada Trenggono, lima purnama sebelum dia kita hancurkan!"

Peri Malam sengaja serukan suara ketika berkata begitu, supaya didengar oleh Suto, dan supaya Suto tahu bahwa Selendang Kubur sudah tidak perawan lagi. Ini adalah siasat Peri Malam untuk meruntuhkan minat yang menurut dugaannya ada di dalam hati Suto.

Siasat itu diketahui oleh Selendang Kubur, maka ia pun membalas tuduhan serupa dengan suara lebih keras lagi, walau apa yang dikatakan itu tidak benar. Tapi ia berharap agar Suto pun mendengar dan mempertimbangkan keputusannya untuk tetap mendekati Peri Malam atau meninggalkannya.

Sementara itu, Suto yang duduk santai sambil memperhatikan perselisihan kedua perempuan itu hanya manggut-manggut dan membatin, "Ooo... ke-duanya sudah sama-sama blong. He he he...!"

Mata Selendang Kubur melirik sekejap ke arah Suto. Ia melihat Suto tertawa kecil. Hatinya semakin panas dan geram kepada Peri Malam, karena menurutnya tawa kecil Suto itu adalah menertawakan dirinya yang dianggap sudah tak perawan lagi itu.

Sebaliknya, Peri Malam juga lirikkan matanya ke arah Suto dan ia juga melihat senyum tipis Suto. Hati Peri Malam bertambah benci kepada Selendang Kubur, karena sangkanya senyuman Suto itu sebagai senyuman ejekan yang menganggap dirinya sudah bukan gadis lagi.

Tak heran jika kejap berikutnya kedua perempuan itu sama-sama sentakkan kakinya dan melesat di udara dengan cepat. Pukulan mereka beradu di udara dalam gerakan yang cukup cepat. Plak, plak!

Keduanya sama-sama bersalto ke belakang. Kejap berikut keduanya telah sama-sama mendaratkan kaki ke tanah. Peri Malam berdiri dengan kaki tegak sedikit melebar. Napas tertarik dan terhempas lepas dengan dada tetap membusung.

Selendang Kubur berdiri dengan kaki tegak, tapi tangan kanannya memegangi dada kiri, dan wajahnya tampak menahan sakit. Dari sudut mulutnya tampak darah kental keluar tak seberapa banyak, itu pertanda ia terkena pukulan langsung dari tangan Peri Malam. Pukulan itu sudah tentu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang dapat meremukkan tulang dada. Kalau saja Selendang Kubur tidak melapisi dirinya dengan kekuatan tenaga dalam juga, maka tulang dadanya saat itu sudah jebol dan mungkin ia tak lagi melihat matahari pantai.

Selendang Kubur membatin, "Jahanam itu punya kecepatan yang luar biasa! Berat juga pukulannya. Dadaku seperti terbakar bagian dalamnya. Tapi aku tak boleh menyerah. Aku harus membalasnya. Malu kalau harus menyerah di depan Suto. Rendah sekali harga diriku!"

Melihat Peri Malam maju dua tindak, Selendang Kubur pun segera melangkah maju dua tindak juga. Tangan kanannya sudah tidak lagi memegangi dada yang terkena pukulan tadi.

"Selendang Kubur! Sayangilah nyawamu. Jangan paksakan diri melawanku, karena ilmumu masih cetek. Kau masih perlu berguru lagi selama belasan tahun untuk menyamai ilmuku!"

"Pukulanmu belum seberapa berat buatku, Peri Malam! Seratus pukulan seperti itu masih sanggup kuterima dengan dada terbuka. Tapi coba kau rasakan pukulan 'Merpati Puber' dariku, hiaaat....!"

Tubuh berpakaian merah dadu itu meluncur cepat di udara dan berputar bagaikan baling-baling hendak menerobos gunung.

Begitu cepat putarannya sampai mata Peri Malam tak bisa melihat gerakan tangan Selendang Kubur, ia coba sentakkan kaki kanannya dalam gerak tendangan berputar. Tapi belum sempat kaki itu mengenai sasarannya, Selendang Kubur sudah lebih dulu menghantam punggung Peri Malam dengan satu pukulan telapak tangan bertenaga dalam cukup besar. Buugh...!
"Ahhg...!"

Bruuk...! Peri Malam tersentak jatuh dalam keadaan tengkurap. Wajahnya hampir-hampir beradu dengan batu di hadapannya. Tapi pada saat itu Peri Malam sentakkan kepala ke atas karena rasa sakit di punggung, sehingga wajahnya tak jadi terbentur batu.

Selesai lancarkan pukulan 'Merpati Puber', Selendang Kubur pijakkan kakinya di tanah. Kedua tangan siap direntangkan ke atas. Satu pukulan lagi akan dilancarkan dan itu pasti akan membuat tubuh Peri Malam hancur lebur. Karena pukulan yang mau dilancarkan adalah pukulan andal yang menjadi simpanan ilmunya dari ketiga jurus sakti simpanannya itu.

"Tahan!" tiba-tiba terdengar suara Suto serukan kata. Mau tak mau Selendang Kubur palingkan muka ke arah Suto Sinting.

Saat itu Suto berdiri, mau mendekat, tapi langkahnya sedikit limbung.

"Apa maksudmu menahan pukulanku, hah?!" bentak Selendang Kubur.

Suto nyengir lalu perdengarkan suara sumbangnya, "Membunuh itu hal yang mudah, tapi mengampuni lawan adalah hal yang sulit! Dulu kudapatkan wejangan seperti itu dari guruku."

"Mungkin benar kata gurumu. Tapi tahukah kau, tak ada ampun lagi buat perempuan macam dia, hah?!"

Peri Malam sudah berusaha bangkit. Mulutnya semburkan darah segar saat tadi terkena pukulan 'Merpati Puber'. Tapi ia masih bisa menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. Kalau saja ia teruskan pertarungan itu, ia masih sanggup menumbangkan Selendang Kubur dengan jurus-jurus maut yang belum sempat dikeluarkan.

Tetapi ia menangkap adanya bahaya dari percakapan Suto dengan Selendang Kubur. Rahasia Tuak Setan akan terbongkar dari mulut Selendang Kubur. Sudah tentu Suto akan berada di pihak Selendang Kubur dan segera menyerangnya jika Suto tahu pusaka itu ada padanya.

Demi menyelamatkan pusaka dari tangannya, juga demi menyelamatkan hubungannya dengan Suto di kelak kemudian hari, Peri Malam terpaksa harus menghilang sementara dari depan kedua manusia itu. Tanpa ragu sedikit pun. Peri Malam sentakkan kakinya dan melesatlah tubuh sekalnya itu. Dalam satu lompatan ia telah mencapai dahan di atas sebuah pohon.

Dari sana ia serukan kata,

"Kutangguhkan niat membunuhmu, Selendang Kubur! Aku harus menghadiri pertemuan penting dengan para tokoh tua. Tapi ingat, suatu saat kita bertemu, kita harus tentukan siapa yang berhak hidup lebih lama lagi di antara kita berdua!"

Selesai berkata begitu, tubuh Peri Malam melenting lebih tinggi lagi. Mencapai dahan berikutnya dengan satu putaran salto. Kemudian secepat kilat ia menghilang pergi dari pandangan Suto dan Selendang Kubur.

"Jahanam! Pencuri! Jangan lari kau...!" teriak Selendang Kubur.

Dengan satu hentakan kaki, tubuh Selendang Kubur pun segera melesat cepat. Tujuannya mengejar Peri Ma! am. Tapi Suto segera mengibaskan tangan kirinya seperti menghalau ayam. Dan tiba-tiba tubuh Selendang Kubur terjungkal di udara, lalu jatuh di samping batu besar. Brukkk...!

Satu gerakan tangan yang sepertinya tidak bertenaga itu telah membuat pengejaran Selendang Kubur tertunda. Perempuan itu semakin dongkol hatinya, ia cepat-cepat berdiri dan menatap Suto dengan mata melotot garang.

"Mengapa kau halangi aku yang mau mengejarnya?! Rupanya kau memang ada di pihaknya, Suto!"

"He he he...," Suto tertawa dengan mata sedikit sayu karena pengaruh tuaknya. "Siapa bilang aku ada di pihaknya?"

"Lalu, mengapa kau menahanku dan tak rela jika aku mengejarnya?"

"Karena kau punya urusan pribadi denganku, Anak Cantik!" Suto kembali tertawa sambil memegangi bumbung tuak.

Begitu mendengar Suto menyebutkan adanya urusan pribadi, hati Selendang Kubur jadi berdebar-debar. Hatinya membatin.

"Apakah dia bermaksud bicarakan masalah perasaanku dan perasaannya? Apakah dia sebenarnya tidak menaruh hati pada Peri Malam? Tapi tadi kulihat mereka berciuman, iih... jijik aku mengenangnya!"

Wajah itu semakin cemberut. Selendang Kubur singkapkan rambutnya yang terjurai ke depan wajah. Hidungnya yang bangir dengan bibir bak kuncup mawar itu terpasang jelas menantang sorot pandangan mata Suto. Ia berdiri dengan satu kaki naikkan ke atas permukaan batu yang agak tinggi, ia biarkan Suto dekati dirinya sampai jarak tiga langkah.

"Urusan pribadi apa maksudmu, hah?!" tanyanya dengan ketus. "Bukankah kau punya urusan pribadi dengan setan genit tadi?! Bukankah kau telah puas bermesraan dengan peri bobrok tadi?! Masih kurang puaskan kau memperoleh kemesraan darinya?!"

Suto tahu nada cemburu meluncur lewat kata-kata itu, Suto tertawa karena ada salah anggapan di antara dirinya dan Selendang Kubur. Suto juga tahu, Selendang Kubur menyangka urusan pribadi itu berkaitan dengan masalah dari hati ke hati, padahal yang dimaksud Suto adalah urusan Pusaka Tuak Setan.

Sengaja Suto duduk di batu agak tinggi, hingga kakinya tetap menapak di tanah tapi pantatnya diletakkan di tepian batu itu. Ia berada di samping kanan Selendang Kubur dalam jarak hanya satu langkah.

Selendang Kubur layangkan pandangan matanya ke arah laut dengan sedikit menyipit, karena saat itu ia berkata,

"Tak kusangka kau jatuh cinta pada durjana! Hal seperti inilah yang dulu kumaksudkan, bahwa aku ingin menjagamu. Dari sentuhan tangan dan pelukan perempuan lain itulah aku menjagamu. Karena pelukan dan sentuhan tangan perempuan lain itu lebih tinggi bahayanya dari ilmu kesaktian mana pun juga!"

"He he he..., kau benar-benar lucu, Selendang Kubur. Sekian waktu aku mencarimu, sampai kudatangi perguruanmu, ternyata setelah kutemukan dirimu, kau curahkan kecemburuan itu! Aku tak sangka kalau akan mendapat curahan kecemburuan sebanyak ini darimu!"

"Aku tidak cemburu!" sentaknya munafik, sambil ia palingkan wajah menatap Suto dengan mata tajam.

Lalu ia katupkan mulut dan diam, tak peduli dengan suara tawa Suto yang sudah dipengaruhi oleh tuak yang memabukkan itu. Tetapi di hati perempuan itu terjadi suatu percakapan kecil.

"Benarkah dia datang ke Perguruan Merpati Wingit? Untuk apa dia ke sana? Oh, dia bilang tadi untuk mencariku? Benarkah sampai sebegitu repot dia mencariku? Oh, tak kusangka jika hal itu benar dilakukannya. Tak mungkin ia tak memiliki hasrat padaku jika sampai memburuku ke sana. Sayang dia tak mau tunjukkan hasratnya secara terang-terangan padaku, sehingga aku tak bisa mengerti dengan jelas dan pasti. Sebab aku sendiri tak mau tunjukkan hasratku lebih dulu. Aku malu."

Suto perdengarkan suaranya setelah ia meneguk dua kali tuak dari bumbungnya.

"Aku bertemu dengan Dewi Murka, juga bertemu dengan gurumu Nyai Guru Betari Ayu. Bahkan aku sempat bicara panjang lebar dengan gurumu di taman yang indah itu."

"Apa...?! Kau bicara dengan Guru? Kau diajak ke taman itu?!"
"Ya," jawab Suto polos. "Aku kagum sekali."
"Kagum pada guruku?"

"Kagum pada taman yang indah itu," jawab Suto mengalihkan sangkaan, karena ia tahu arah pertanyaan Selendang Kubur itu.

Selendang Kubur kembali katupkan mulutnya. Kembali pula hatinya berkata, "Kalau dia dibawa oleh Guru ke taman itu, berarti Guru punya perhatian istimewa padanya. Oh, apakah Guru juga mempunyai rasa suka pada Suto?"
"Bahkan aku sempat bermalam di sana. Satu malam," tambah Suto.

Selendang Kubur semakin terperanjat. "Kau bermalam di sana?! Hmmm... dengan siapa? Dengan siapa kau tidur di sana?'
"Dengan seseorang," jawab Suto menggoda, membuat hati Selendang Kubur semakin penasaran.

"Siapa orang itu?! Sebutkan namanya! Dewi Murka?"
"Bukan."
"Murbawati?"
"Bukan."
"Lalu... lalu siapa? Siapa orang yang tidur denganmu, Suto?"
"Pembayun!" jawab Suto.

"Oooh..," Selendang Kubur menghempaskan napasnya dengan lega. Pembayun adalah lelaki yang paling rajin dan mencintai pekerjaannya sebagai perawat kuda. Usianya sudah empat puluh lima tahun, dan sangat setia merawat kuda milik Betari Ayu.

"Sangkamu aku tidur dengan perempuan?"

"Jangan lagi kau datang ke sana!" Selendang Kubur tak sadar berkata bagai seorang ratu memberi perintah larangan kepada bawahannya. Suto menertawakan dengan suara pelan. Selendang Kubur jadi malu sendiri setelah menyadari larangannya itu.

"Kehadiranmu di sana hanya akan mengganggu perhatian para murid yang sedang belajar dan berlatih memusatkan pikiran," Selendang Kubur menutupi kecemasannya.

"Ke mana aku harus mencarimu jika tidak ke sana, Selendang Kubur. Aku benar-benar bingung saat itu. Aku tak tahu kau ada di mana. Karena ketika aku muncul dari Telaga Manik Intan itu, kau sudah hilang dan Paman Sugiri dalam keadaan terkapar luka."

Hati Selendang Kubur masih berdebar indah mendengar Suto bingung mencarinya. Bahkan ia sangka dirinya dapat membuat Suto mabuk kepayang karena rindu ingin bertemu. Tapi untuk memastikan sangkaan indahnya itu, Selendang Kubur pun menanyakannya kepada Suto.

"Untuk apa kau mencariku sampai kebingungan begitu?"
"Karena aku harus meminta Pusaka Tuak Setan darimu."
"Apa...?!" Selendang Kubur terkejut dan segera kerutkan dahi, belalakan matanya yang indah itu.

Suto hanya tersenyum kalem dengan mata seperti orang mengantuk karena mulai mabuk, ia pandangi mata Selendang Kubur yang tak berkedip itu, lalu ia tertawa geli sendiri sambil berkata, "Matamu itu enak dicolok. He he he...!"

"Suto!" sentak Selendang Kubur. "Jadi kau mencariku ke mana-mana hanya untuk mendapatkan Pusaka Tuak Setan?"
"Ya. Benar."

"Kau kira akulah orang yang merampas Guci Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat itu?'

"Siapa lagi kalau bukan dirimu, Selendang Kubur. Karena saat itu yang ada di tepi sendang hanya kau dan Paman Sugiri."

Kecewa hati Selendang Kubur. Bunga-bunga indah yang mekar di hati karena dugaan mesra tadi, kini menjadi layu dan sebagian rontok berguguran, ia pun sedikit jauhkan diri dari Suto dan berkata dengan dahi masih berkerut tegang.

"Ketahuilah, Suto..., bukan aku pencuri Pusaka Tuak Setan itu. Kalau kau ingin merebut Tuak Setan, kejarlah Peri Malam sekarang juga! Dialah orang yang merampas Pusaka Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat pada saat kau menyelam ke dalam telaga untuk yang kedua kalinya."

"Jangan bergurau. Selendang Kubur!"

"Aku tidak bergurau!" sentak Selendang Kubur. "Peri Malam itulah orang yang mempunyai senjata jarum beracun, yang juga mengenai tubuh Dewi Murka beberapa waktu yang lalu. Pada saat dia menyerang Pujangga Kramat dengan jarum beracunnya, aku ada di atas pohon. Sangkanya tak ada orang lain di situ, karenanya ia mudah saja mengambil Pusaka Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat. Ia tidak tahu aku ada di atas pohon. Dan begitu kutahu ia membawa lari Tuak Setan, maka kukejar dia sampai ke mana pun larinya. Dan yang terakhir kutemukan dia di sini sedang berpelukan denganmu! Itulah sebabnya aku tadi sempat benci padamu. Kau bercinta dengan pencuri pusaka yang menjadi hak milikmu sebagai murid sinting si Gila Tuak, sementara susah payah aku berusaha merebut pusaka itu untuk menyelamatkannya dari tangan orang-orang tak bertanggung jawab, seperti halnya Peri Malam dan gurunya."

Suto terbengong sejenak, kemudian bertanya, "Apa hubungannya Tuak Setan dengan gurunya Peri Malam?!"

"Dia mencuri Pusaka Tuak Setan bukan untuk dirinya, tapi untuk gurunya! Dia lakukan hal itu hanya sekadar patuh pada perintah sang Guru! Kalau kau tak percaya, mari kita buktikan!"
Suto tertegun. Matanya semburat merah karena mabuk.

* * *

MENURUT Suto, mereka tidak perlu mengejar Peri Malam. Sebab tadi ia melihat ada perahu di celah bebatuan karang. Suto ingat cerita Peramal Pikun tentang gurunya Peri Malam, yaitu seorang tokoh tua yang sedang menunggu saat terbaik untuk melawan Bidadari Jalang. Suto ingat, bahwa Guru dari Peri Malam adalah Mawar Hitam yang tinggal di Pulau Hantu. Tentunya menjadi penguasa di Pulau Hantu tersebut. Menurut perhitungan Suto, cepat atau lambat pasti Peri Malam akan kembali datang ke pantai itu dan menuju ke Pulau Hantu memakai perahu tersebut.

Tetapi, Selendang Kubur mempunyai pemikiran lain lagi.

"Mungkin saja dia akan pulang ke Pulau Hantu menyerahkan Pusaka Tuak Setan kepada gurunya. Tapi bagaimana jika ia nekat menjadi murid murtad?!"

"Apa maksudmu?"

"Karena dia tahu kekuatan dahsyat di dalam Tuak Setan itu, maka dia meminum sendiri tuak tersebut. Bukankah dengan begitu dia bisa kalahkan gurunya sendiri?"

"Hmmm... ya. Memang bisa saja terjadi begitu!" kata Suto sambil menutup bumbung yang habis diteguk isinya. Kemudian ia bertanya kepada Selendang Kubur.

"Apa dia berani menjadi murid murtad?"
"Aku lihat dia mulai jatuh cinta padamu."

"Hei, apa hubungannya murid murtad dengan jatuh cinta?""Dia bernafsu ingin mendapatkan kau. Dia harus singkirkan banyak saingannya, termasuk diriku. Untuk itu dia perlu ilmu yang lebih hebat dan lebih dahsyat. Tak heran jika ia paksakan diri untuk menjadi murid murtad dengan meminum Tuak Setan itu. Dengan minum Tuak Setan, dia akan berilmu tinggi dan dapat menyingkirkan saingannya, lalu dia dapat memiliki dirimu."

"He he he... aku tidak cinta sama dia, juga sama yang lainnya. Aku sudah punya kekasih sendiri."

"Kau akan dipaksanya bertekuk lutut di hadapannya, dan dipaksa juga agar mau menerima cintanya, agar mau melayani dirinya dan... kau tak akan berkutik karena kau kalah sakti dengannya, jika dia meminum Tuak Setan itu."

Suto kerutkan dahi setelah mencerna kata-kata Selendang Kubur. Lalu, dia bertanya dengan suara semakin sumbang.

"Apa dia tahu kekuatan yang ada pada Tuak Setan itu?"

"Tahu atau tidak, yang penting sekarang kejarlah dia. Rebut kembali Tuak Setan itu. Aku akan mendampingimu dan menjagamu!"

Suto tertawa parau, "He he he he... aku mau kau mendampingiku, tapi jangan sering-sering memandangi tubuhku. Karena aku tahu kau punya kekuatan pandang yang bisa menembus pakaianku dan bisa melihat bagian dalamku. Aku malu jika kau begitu, Selendang Kubur! He he he he...!"

"Kututup kekuatan itu dari tadi. Jika tidak, aku tak akan bisa menahan gejolak birahiku."

Sambil ucapkan kata begitu, Selendang Kubur melangkah ke celah-celah karang. Rupanya ia mencari perahu yang disembunyikan Peri Malam. Begitu perahu itu ditemukan, Selendang Kubur segera sentakkan tangannya ke arah perahu itu.

Melesat seberkas sinar kuning, dan meledaklah perahu itu terkena kilatan sinar kuning. Blaarrr...! Praakkk...!

"Hei, mengapa kau ledakkan perahu itu?!" seru Suto.
"Biar dia tidak bisa lari ke Pulau Hantu!" jawab Selendang Kubur.
"Dia bisa pakai ilmu peringan tubuhnya untuk menyeberangi lautan ini!"

"Tak mungkin bisa. Buktinya dia siapkah perahu, itu artinya dia tak bisa menyeberangi lautan dengan mengandalkan ilmu peringan tubuhnya."

"Yah, bisa juga dia buat lagi!"
"Kita berangkat sekarang, Suto!"
"Boleh saja!" kata Suto dengan mata sedikit merah.

Mereka bersiap untuk meninggalkan Pantai Karang Saru. Tapi tiba-tiba terdengar suara orang berseru dari belakang mereka.

"Tunggu!"

Serta-merta mereka palingkan wajah. Selendang Kubur terperanjat melihat orang yang baru saja datang dan menahan langkahnya.

"Dewi...?!" desis Selendang Kubur dengan perasaan tak suka.
"O, ya! Dia yang bernama Dewi Murka. Aku ingat!" kata Suto sambil cengar-cengir karena mabuk.

"Untuk apa kau menahanku, Dewi! Dan untuk apa kau datang kemari menemui kami?!" suara Selendang Kubur bernada ketus,

"Jangan ikut campur urusan orang lain, Selendang Kubur! Suto punya urusan sendiri dan kau juga punya urusan sendiri!"
"Apa hakmu melarangku?"

"Aku telah diangkat resmi menjadi wakil Guru. Tugasku kemari untuk menjemputmu. Kau dipanggil oleh Nyai Guru, Selendang Kubur!"

Selendang Kubur bingung sejenak, ia membatin, "Apa benar Guru memanggilku? Apa benar Dewi diangkat menjadi wakil Guru secara resmi? Jangan- jangan dia hanya ingin mengelabuhiku, supaya aku meninggalkan Suto dan dia sendiri akan menggantikan kedudukanku di samping Suto!"

Terdengar Dewi Murka keluarkan perintah tegas, "Cepat pulang sekarang juga, Selendang Kubur!"

"Bagaimana dengan dirimu sendiri?"

"Aku akan ke tempat lain, karena ada tugas dari Guru!"

Selendang Kubur sunggingkan senyum dingin. "Tadi kau bilang mau menjemputku, itu berarti kau dan aku pulang bersama. Sekarang kau bilang ada tugas ke tempat lain, itu berarti aku harus pulang sendiri. Aku tahu jalan pikiranmu, Dewi Murka! Kau ingin menggantikan diriku sebagai pendamping Suto!"

"Jaga bicaramu dengan wakil Guru, Selendang Kubur!"
"Persetan dengan kedudukanmu yang sekarang! Kurasa kududukan itu pun palsu adanya, Dewi!"
"Kau harus segera pulang! Guru memanggilmu!" sentak Dewi Murka.

"Persetan juga dengan panggilan Guru!" Lalu, Selendang Kubur menarik tangan Suto sambil berkata, "Jangan hiraukan dia, Suto! Kita harus berangkat sekarang juga!"

"Larasati..!" seru Dewi Murka memanggil nama asli Selendang Kubur, ia melangkah beberapa tindak. "Jangan memaksa diriku berlaku kasar padamu, Larasati!"

Selendang Kubur terpancing kemarahannya dan membalikkan badan serta memisahkan diri dari Suto. Ia melesat lompat ke tempat yang datar dan bersuara lantang.

"Dewi, apa maumu sebenarnya, hah?!"
"Menyuruhmu pulang!"
"Kalau aku tak mau, apa tindakanmu?!"
"Terpaksa aku harus menyeretmu pulang, Larasati!"

"Apa kau kira mampu, hah?!" tantang Selendang Kubur yang merasa kedamaiannya bersama Suto diganggu oleh kemunculan Dewi Murka.

Kejap berikutnya tubuh Dewi Murka melesat dan hinggap di atas gundukan batu. Ia berdiri dengan tegak dan tampak menantang juga. Kejap lain, Selendang Kubur pun melompat ke atas gugusan karang dan berdiri dengan sigap, siap menghadapi serangan Dewi Murka.

Sejurus kemudian, Dewi Murka perdengarkan suaranya yang tegas.

"Dengar, Larasati...! Guru telah perintahkan aku untuk memaksamu pulang. Tak bisa hidup, mati pun tak apa! Guru telah tugaskan aku untuk membawamu pulang dalam keadaan hidup atau mati! Paham?!"

"Tak mungkin Guru keluarkan tugas begitu untukmu! Aku bukan murid bersalah. Aku tidak melanggar peraturan perguruan!"

"Siapa bilang?!" sergah Dewi Murka, "Kau menjadi murid bersalah dan dianggap telah murtad!"
"Hei, apa salahku?!" Selendang Kubur kian keras kerutkan keningnya karena heran.

"Jangan berlagak bodoh, Larasati! Sejak kepergianmu tempo hari dari perguruan, ternyata kau telah berhasil mencuri Kitab Wedar Kesuma!"

"Gila kau!"

"Kitab Wedar Kesuma telah hilang dari tempatnya. Siapa lagi pencurinya jika bukan kau, Larasati! Karena sejak saat itu kau tidak berani pulang ke perguruan!"

"Itu fitnah! Itu praduga yang kau timbulkan sendiri, karena kau takut Guru akan memilihku sebagai penggantinya!" sanggah Selendang Kubur sambil menuduh balik kepada Dewi Murka.

"Jika kau tidak merasa bersalah, kau pasti pulang, Larasati!"

"Aku akan pulang, tapi tidak sekarang! Aku masih harus menemani Pendekar Mabuk untuk satu persoalan
yang amat penting!"

"Tidak bisa. Sekarang juga kau harus pulang atau kuseret dalam keadaan sudah menjadi bangkai?!''
"Kalau kau memang mampu, lakukanlah!" sentak Selendang Kubur dengan berani.

"Baik. Akan kulakukan tugasku!" geram Dewi Murka. Rupanya ia tidak main-main dan bukan sekadar menggertak. Terbukti ia segera mencabut trisulanya dari pinggang.

Diam-diam Suto juga punya dugaan yang sama dengan kata hati Selendang Kubur tadi.

"Tak mungkin Dewi Murka dapat tugas dari Guru untuk menyuruh Selendang Kubur pulang. Kudengar tadi dia mau pergi ke tempat lain. Mana mungkin dia akan melepaskah pencuri kitab pulang sendiri tanpa pengawalan ketat? Bohong dia! Aku tahu dia punya maksud ingin mendekatiku. Karena waktu aku ada di perguruannya, dia sempat dekati aku dan berbisik saat gurunya jauh dariku. Ia bilang ingin membantuku mencari Selendang Kubur, ia bilang, dirinya siap menjadi pendampingku ke mana saja aku pergi. Jelas dia punya urusan pribadi dengan Selendang Kubur. Dan juga kepentingan pribadi padaku. Pasti dia iri melihat Selendang Kubur dekat denganku."

Suto tertawa pelan sambil geleng-gelengkan kepala. Sejenak ia menjadi penonton pertarungan Selendang Kubur dengan Dewi Murka. Saat berikutnya hatinya berkata,

"Aku tahu, kedua perempuan itu ingin mendapat tempat di hatiku. Tapi mereka tidak tahu bahwa hatiku hanya tersedia tempat untuk Dyah Sariningrum. Mereka tak bisa menyingkirkan bayangan Dyah Sariningrum dari ingatanku. Jadi sebaiknya, kutinggalkan saja kedua perempuan itu."

Maka, tanpa setahu Selendang Kubur maupun Dewi Murka, Suto melesat pergi dari Pantai Karang Saru. Sekalipun keadaan mabuk, tapi Suto tetap mampu melesat bagaikan kilat. Bahkan lebih cepat dibandingkan gerakannya jika ia tidak sedang mabuk.

Sampai di tengah hutan, Suto berhenti untuk membuka bumbung tuaknya, ia meneguk beberapa kali, sedikit-sedikit tuak itu ditelannya. Kemudian, hati Suto sempat ucapkan kata,

"Aku harus temui Peramal Pikun. Aku yakin dia tahu tentang Dyah Sariningrum. Dia merahasiakannya dariku. Tapi nanti aku harus bisa mendesaknya dengan berbagai cara."

Tapi tiba-tiba hatinya diguncang kebimbangan. "Mencari si tua Peramal Pikun atau mencari Peri Malam?" kata hati Suto.

"Keduanya sama-sama penting. Menurutku dugaan Selendang Kubur tadi memang bisa saja terjadi. Tuak Setan diminum oleh Peri Malam. Kalau tuak itu sudah telanjur diminumnya, tentu aku akan mengalami kesulitan untuk mengalahkan Peri Malam. Bisa jadi pertempuranku dengannya membawa korban lain yang tak bersalah. Jika begitu, sebaiknya kucari lebih dulu Peri Malam untuk menyelamatkan Pusaka Tuak Setan itu!"

Kepak sayap seekor burung hinggap di atas pohon yang dipakai beristirahat oleh Suto. Kepak sayap burung lainnya, hinggap juga di pohon satunya lagi. Makin lama kepak sayap burung semakin banyak beterbangan di atas Suto. Itu menandakan petang sebentar lagi tiba. Dan hati Suto berucap kata,

"Aku harus cari desa. Aku mau menumpang tidur di salah satu rumah. Kebetulan tuakku mulai menipis. Aku harus cari kedai untuk menambah tuak di bumbungku!"

Sebuah desa ditemukan tak jauh dari hutan itu. Desa tersebut termasuk desa nelayan. Di sana ada kedai, dan di kedai itu Suto menambahkan tuak ke dalam bumbungnya.

Seorang lelaki berkumis lebat melintang sedang makan di kedai tersebut. Matanya yang lebar itu sebentar-sebentar melirik Suto dengan perasaan tak suka. Lelaki berkumis itu mengenakan pakaian serba hitam dengan ikat kepala dari kain batik. Duduknya tak kenal sopan kaki kanan ditaruh di atas bangku, sebentar- sebentar tangannya dikibaskan membuat makanan yang menempel di jari-jemarinya yang sebesar pisang itu memercik ke mana-mana.

Salah satu butiran sisa makanan jatuh dan menempel di lengan Suto. Tanpa banyak bicara Suto menyentil sisa makanan itu. Sentilan tersebut di arahkan ke suatu tempat. Sisa makanan itu melesat ke arah kendi yang ada di depan lelaki berkumis tebal itu.

Tang...! Prakkk...!

Kendi itu pecah bagai dilempar batu sebesar genggaman tangan. Lelaki berkumis yang punya badan tinggi besar itu menggeram dengan mata jelalatan. Ia mencari di sekelilingnya orang yang melemparkan batu dan memecahkan kendi di depannya. Tapi tak satu pun ada yang dicurigainya.

"Bangsat! Siapa yang berani pecahkan kendiku ini?!" bentaknya ke arah tiga lelaki lain yang ada di bangku samping.

Pemilik kedai seorang perempuan tua yang sudah keriput wajahnya. Perempuan itu ketakutan melihat mata lelaki berkumis membelalak lebar, penuh luapan amarah.

"Sudahlah, Kang. Jangan hiraukan. Biar kuganti kendimu. Aku masih punya banyak kendi dan minuman."
"Iya. Tapi kendi ini berisi arak Kebalen! Harganya mahal!"

Pemilik kedai itu berkata, "Di sini juga jual arak Kebalen, Kang. Biarlah kuganti satu kendi penuh!"

"Baiklah kalau kau mau menggantinya. Sebab aku tidak bisa minum tuak yang mirip air kencing kuda itu! Aku harus minum arak Kebalen, arak paling terkenal dan paling mahal!"

"Ini, Kang...," kata ibu pemilik kedai. "Ini arak Kebalen satu kendi."
"Baiklah. Beri aku sekendil tuak!"
"Untuk apa, Kang?"

"Buat cuci tangan, Goblok!" bentaknya. Pemilik kedai itu menggeragap sambil bergegas menyiapkan tuak satu kendil berukuran kecil. Pada saat itu, lelaki berkumis melintang dan berbadan seperti kebo itu melirik sinis pada Suto. Meski tahu dilirik, Suto diam saja dan pura-pura tidak memperhatikan lelaki yang sedang unjuk keberanian dan kegalakannya itu.

"Ini tuaknya, Kang? Apa masih kurang?" tanya pemilik kedai.
"Sudah. Cukup."

Seorang lelaki kurus berbaju merah lusuh bertanya kepada lelaki berkumis tebat itu.

"Kang, apa tidak merasa sayang kalau tuak sebegitu banyak dipakai untuk cuci tangan?'

"Sudah biasa!" jawab lelaki itu. "Aku kalau habis makan, cuci tangannya harus pakai tuak. Tuak seperti ini kalau di rumahku tidak diminum, tapi buat cuci tangan atau cuci kaki kalau habis kena tanah becek!"

Tangan lelaki berkumis itu segera masuk ke kendil berisi tuak. Tapi kejap berikutnya dia memekik keras, kaget dan heran. Tangannya ditarik kuat-kuat.

"Bangsat! Kenapa tuaknya panas?!" sambil ia gebrak meja. Pemilik kedai semakin gemetar.
"Ta... tadi... tadi tidak panas, Kang."

"Tidak panas dengkulmu! Pegang! Celupkan tanganmu ke dalam tempat ini! Ayo, coba celupkan tanganmu!" perintah itu mendesak dan membuat pemilik kedai menurutinya karena takut.

Tangan pemilik kedai dicelupkan ke dalam kendil berisi tuak. Perempuan itu tidak merasa kepanasan, bahkan agak lama merendamkan tangan ke dalam kendi!.

"Tidak panas, Kang. Dingin begini kok dibilang panas?"

Lelaki berkumis tertegun bengong melihat tangan perempuan keriput itu direndam di dalam kendil berisi tuak. Di sisi lain, Suto tetap diam, tapi dalam hatinya ia tertawa geli melihat kepongahan lelaki berkumis.

"Coba...!" kata lelaki itu. Tangan pemilik kedai diangkat, tangan lelaki itu masuk ke dalam kendil.

"Aaauh...!" ia memekik keras. Lelaki itu cepat angkat tangannya keluar dari kendil. Tangan itu mengepul. Jarinya bengkak lebih besar dan berwarna kemerah- merahan. Pemilik kedai pun belalakkan mata dengan rasa heran dan takut. Begitu pula orang lain yang ada di situ. Hanya Suto yang tetap tenang dan tak perhatikan hal itu.

Suto tahu, bahwa dirinya sedang dicurigai oleh lelaki berkumis tebal. Tapi Suto juga tahu, bahwa lelaki itu tidak punya alasan untuk bikin persoalan dengan Suto. Sebagai pelampiasan kemarahannya, lelaki berkumis itu segera menampar wajah pemilik kedai sambil berkata,

"Pasti kamu yang bikin usil. Hihh...!"

Tap...! Tangan yang berkelebat mau menampar pipi pemilik kedai itu jadi terhalang oleh bumbung tuak yang disodokkan Suto. Barulah saat itu lelaki berkumis menggeram dengan mata melotot bagai ingin menelan Suto bulat-bulat.

"Kau mau unjuk diri di kampung ini, hah? Kau belum tahu kondangnya Singo Bodong ini!" sambil lelaki berkumis menepuk dadanya sendiri dengan tangan kiri.

"Kenalkan, kalau kamu mau tahu, aku inilah Singo Bodong, tukang beset kulit manusia!"

Suto tersenyum-senyum saja. Singo Bodong menjadi semakin geram.

"Rupanya kau perlu diberi pelajaran sedikit, Anak Ingusan!"

Tangan kiri Singo Bodong berkelebat meluncurkan pukulan ke wajah Suto. Tapi dengan cepat Suto merundukkan kepala dan tangannya berkelebat menghantam iga Singo Bodong menggunakan punggung telapak tangan. Plook...!

Tubuh Singo Bodong mental lebih dari lima langkah jauhnya. Padahal hanya mendapat pukulan ringan dari punggung tangan Suto yang kiri. Tapi menurutnya pukulan itu melebihi serudukan tiga ekor kerbau.

Bukan hanya Singo Bodong, tapi setiap orang yang ada di situ mulai menaruh curiga pada Suto. Pemuda tampan itu pasti bukan orang sembarangan dan sudah tentu berilmu tinggi. Karena itu ketika Singo Bodong berdiri sambil menyeringai, ia segera mundur beberapa pijak dengan rasa takut.

"Apa yang mau kau sampaikan padaku?" tanya Suto.
"Hammm... hmmm... anu... tidak. Eh, anu... maaf. Maafkan aku, Satria gagah...!"

"Namaku bukan Satria! Namaku Suto Sinting...!" Suto memperkenalkan diri. Kebetulan ada orang yang mendengarnya, yaitu lelaki berpakaian merah lusuh yang tadi ikut makan di kedai itu. Lelaki tersebut segera mendekati Suto dengan sopan.

"Mak.... Maksudnya, Tuan adalah... adalah Suto Sinting, murid dari si Gila Tuak?"
"Betul. Dari mana kau tahu?"
"Mak.... Maksudnya... Tuan adalah Suto Sinting, yang bergelar Pendekar Mabuk?"
"Betul!" sentak Suto jengkel. "Tahu dari mana kamu?"

Orang kurus berpakaian merah itu menjawab dengan masih gemetar.

"Tad... tadi, saya dengar ada orang yang bercerita tentang diri Tuan Pendekar, menyebut-nyebut nama Suto Sinting yang berilmu tinggi dan... dan si Gila Tuak yang kesohor di rimba persilatan itu."

"Siapa yang menceritakan diriku?"
"Orangnya ada di rumah tetangga saya. Dia... dia numpang bermalam di sana."
"Siapa yang menceritakan diriku? Itu pertanyaannya!"

"O, anu... anu... namanya saya tidak tahu. Tapi dia banyak cerita pada keluarga tetangga saya tentang kehidupan di rimba persilatan. Dia... dia jagoan perempuan. Cantik dan montok. Eh... anu... maksud saya... dadanya... anu...!"

"Jagoan perempuan? Cantik dan montok?"

"Bet... betot, eh... betul!"
"Memakai pakaian kuning?"
"Iya!"

"Hmmm... Peri Malam ada di sini rupanya!" pikir Suto, lalu ia berkata kepada orang itu, "Antarkan aku
menemuinya!"
"Ba... ba... baik!"

***8***

ALANGKAH kaget hati Peri Malam melihat kehadiran Suto di rumah penduduk desa itu. Cepat sekali ingatan Peri Malam pada Pusaka Tuak Setan dan bayangan Selendang Kubur. Peristiwa di Pantai Karang Saru itu mencekam membuat guncang hati Peri Malam.

"Kucari-cari kau, ternyata ada di sini," kata Suto dengan suara sumbang karena pengaruh mabuknya masih ada.

Peri Malam segera ambil sikap tenang seakan tidak merasa pernah berbuat salah apa pun. Lalu Peri Malam berkata riang.

"Kuharap kau datang sendirian di malam ini. Bukan bersama Selendang Kubur."
"Ya, memang aku sendirian. Cuma diantar oleh Kang Rejo, yang rumahnya di sebelah itu."

Pemilik rumah yang dihuni Peri Malam segera muncul dan ikut menemui Suto. Peri Malam memperkenalkan Suto kepada keluarga Kriyo Suntuk yang terdiri dari istrinya dan kelima anaknya.

"Ini orang yang kuceritakan tadi. Ini yang namanya Pendekar Mabuk, Suto Sinting! Ya ini si orang sakti yang kuceritakan sebagai murid tokoh sakti kesohor bergelar si Gila Tuak itu!"

Anak-anak Kriyo Suntuk tampak bangga dan kagum melihat tubuh perkasa Suto, Belum lagi anak gadis Kriyo Suntuk yang sudah berusia antara delapan belas tahun, sangat terpesona melihat ketampanan Suto walau bermata sedikit merah karena mabuk. Suto jadi dikerumuni oleh mereka, ditanyai ini-itu, dijamu dengan makanan lezat, dan dipaksa untuk bercerita tentang kehebatan ilmu-ilmunya.

Suto sempat berbisik kepada Peri Malam, "Apa-apaan ini sebenarnya? Mengapa mereka terkagum-kagum sekali padaku?"

"Kuceritakan tentang kehebatanmu dan kehebatan gurumu. Mereka suka dengan cerita-cerita kependekaran. Mereka kagum mendengar ceritaku. Kagum terhadap dirimu. Jadi, jangan kecewakan mereka, toh mereka berikan kita tumpangan untuk bermalam di rumah ini!"

"Bermalam? Siapa bilang aku mau bermalam di sini? Aku hanya akan numpang tidur saja!" kata Suto sedikit mengacau.

Mereka duduk di tikar, di pelataran samping rumah. Bahkan kala itu datang juga beberapa tetangga sekeliling rumah Kriyo Suntuk.

Pendekar Mabuk yang saat itu memang sedang mabuk bercerita apa saja yang pernah dialaminya. Bahkan apa yang pernah didengarnya dari mulut para tokoh tua di dunia persilatan, diceritakan pula kepada mereka. Dan mereka tampak senang, hanyut dalam cerita tersebut.

Satu-satunya orang yang datang ke situ dan sangat tertarik sekali dengan cerita Suto adalah seorang lelaki berkumis tebal. Dialah yang tadi mengaku bernama Singo Bodong. Lelaki ini bahkan sering berdecak terkagum-kagum terhadap cerita tentang jurus-jurus sakti yang pernah dilihat oleh Suto.

Sampai menjelang pagi, mereka baru merasa puas. Anak bungsu Kriyo Suntuk tertidur di pangkuan emaknya. Tetapi Katri, anak gadis Kriyo Suntuk yang berusia antara delapan belas tahun itu, masih betah memandangi wajah ganteng Suto Sinting.

Suto tak tahan kantuk lagi. Ia terbaring di tikar itu sambil memeluk bumbung tuaknya. Ketika ia terbangun, hari sudah siang, matahari pancarkan sinar-nya dengan galak. Dan Katri adalah orang pertama yang menyambut kebangunan Suto dengan senyum manis, semanis senyum perawan desa yang berkulit hitam manis.

"Mau kubuatkan secangkir teh manis, Kang Suto?"

"Tidak. Terima kasih. Aku sudah cukup puas kalau sudah minum tuak ini. Eh, di mana Peri Malam? Masih tidur?"

"Peri Malam...?!" Katri berkerut heran. "Maksudmu Yu Sundari? Pendekar perempuan temanmu itu toh, Kang?"
"Iya. Mana dia?"

"Ooo... sudah dari tadi pagi pergi, Kang. Sebelum pergi, dia larang kami membangunkan Kang Suto. Katanya kalau Kang Suto sedang tidur dan dibangunkan, rumah ini bisa rubuh dipancalnya! Jadi kami tidak ada yang berani membangunkan Kang Suto!"

"Celaka! Ini pasti kelicikannya!" pikir Suto. "Aku tak sempat bicara padanya tentang Tuak Setan itu. Hmmm... pandai sekali ia mengalihkan suasana sampai aku tak punya kesempatan bicara padanya."

Suto hanya mengetahui arah kepergian Peri Malam, yaitu ke arah selatan. Dalam perhitungan Suto, perempuan licik itu tak mungkin berlari cepat, karena ia masih punya luka bekas pukulan Selendang Kubur. Tak mungkin sembuh sehari-dua hari. Maka, dengan suatu keyakinan penuh, Suto mengejar Peri Malam ke arah selatan dengan kecepatan larinya yang melebihi melesatnya anak panah.

Tepat ketika Suto tiba di kaki bukit, ia memandang kelebatan orang berpakaian kuning kunyit yang sedang berada di lereng bukit. Tak salah lagi dugaan Suto, orang itu adalah Peri Malam.

Suto berkelebat lewat. Daun-daun di kanan kirinya berserakan jatuh akibat hembusan angin larinya Suto. Ia sengaja memotong jalan melalui tepian jurang, ia melompat di atas daun demi daun yang digunakan sebagai pijakan kakinya.

Bukit itu bagian atasnya gundul. Tak ada tanaman kecuali rumput dan ilalang tak seberapa tinggi. Tapi pada permukaan bukit benar-benar kering tanpa tanaman. Hanya bebatuan yang ada di sana, bagai bisul- bisul tersumbul dari dada seorang perawan.

Di salah satu batu, Suto duduk menunggu. Karena ia tahu arah perjalanan Peri Malam akan melewati puncak bukit, lalu menuruninya dan menyeberang sebuah desa nelayan, setelah itu akan mencapai pantai. Dari pantai itu pasti Peri Malam bertolak menuju Pulau Hantu, untuk menemui gurunya si Mawar Hitam.

Perhitungan Suto tepat. Beberapa saat ia tunggui Peri Malam di puncak bukit itu, akhirnya muncul juga perempuan cantik berotak licik itu.

"Lamban sekali gerakanmu!" sapa Suto pertama kali saat mata Peri Malam itu beradu pandang dengannya. Peri Malam tampak kaget dan cemas, tapi segera disembunyikan perasaan itu.

"Kupikir kau masih tidur," kata Peri Malam menutup keresahan.
"Tak bisa tidur nyenyak aku, sebelum Pusaka Tuak Setan kau serahkan padaku."

Terkesiap mata Peri Malam mendengar ucapan itu. Ia berusaha menutup rahasianya yang sudah jelas terbongkar dari mulut Selendang Kubur. Lagak bodohnya masih dicoba sebagai penutup rahasia.

"Pusaka Tuak Setan apa maksudmu, Suto?"

"Guci kecil, berisi tuak. Kau rampas dari tangan Pujangga Kramat ketika di tepi Telaga Manik Intan. Kau lumpuhkan pelayan guruku dengan jarum beracun milikmu itu!"

"Kau sedang mabuk saat ini, Suto."

"Aku sudah tidur, itu berarti aku sudah bebas dari mabuk," kata Suto tetap dengan kalem. Matanya tak berubah pandang. Tertuju lurus ke wajah Peri Malam, membuat perempuan itu makin gelisah.

"Aku tidak tahu soal pusaka itu. Siapa bilang aku menyerang Pujangga Kramat di tepi telaga? Telaganya yang mana, aku juga tidak tahu."

"Selendang Kubur sudah jelaskan semuanya, Peri Malam. Jangan kau berdusta lagi!"

"Itu rekaan Selendang Kubur! Jangan mau percaya dengan mulut perempuan macam dia! Dia berusaha mengarang cerita seperti itu, supaya kau bermusuhan denganku dan dia bebas mencintaimu."

"Ini persoalan pusaka! Bukan persoalan asmara!"

"Tapi asmara itulah yang membikin ribut tentang pusaka! Kau telah dipengaruhi olehnya, Suto! Aku tak tahu apa-apa tentang Pusaka Tuak Setan!"

"Serahkan Tuak Setan itu padaku, Sundari," sambil tangan Suto terjulur tengadah meminta pusaka tersebut. Sambungnya lagi.

"Aku tak ingin bertarung melawanmu hanya untuk berebut pusaka setan itu! Aku tak bisa melukai wanita secantik dirimu, Sundari. Jangan paksa aku menyakitimu                "

Dengan tutur kata pelan, Sundari berkata, "Apakah kau mencintaiku sungguh, Suto?"

"Kau bisa tahu setelah kau berikan pusaka itu padaku, karena dengan memberikan pusaka itu padaku, itu berarti aku harus membalas kebaikan yang setimpal, kebaikan yang setimpal itu tentunya merupakan sesuatu yang amat berharga dalam hidupmu!"

Dalam pengertian Peri Malam, sesuatu yang amat berharga dalam hidupnya adalah sebuah cinta sejati dari pria seperti Suto. Tapi ia lupa bahwa Suto itu sinting, ia hanya terpengaruh oleh bayangan hatinya sendiri, sehingga pada akhirnya ia pun berkata, "Baik. Akan kuserahkan kembali padamu. Tapi setelah itu bawalah aku pergi bersamamu, Suto!" Peri Malam pun mengeluarkan guci kecil satu genggaman tangan yang disembunyikan di balik pinggangnya. Guci itu pun diserahkan kepada Suto. "Terimalah, Suto. Inilah bukti bahwa aku sungguh mencintaimu...."

Seperti badai melintas di depan mereka berdua, tiba- tiba guci kecil itu lenyap dari tangan Peri Malam sebelum jatuh ke tangan Suto. Kedua tubuh mereka pun terpental ke belakang secara bersamaan. Sesuatu yang berkelebat bagaikan badai lewat tadi mempunyai angin berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi.

Suto terjengkang dan sempat terkapar, sedangkan Peri Malam terpental dan punggungnya membentur batu. Ia menyeringai dan merasakan sesak pernapasan dadanya, ia berusaha untuk bangkit, yang ternyata lebih dulu Suto yang berdiri tegak. Kedua mata mereka memandang ke arah samping, dan tak salah lagi dugaan Suto, seseorang telah berdiri di atas batu dengan tawa yang terkekeh-kekeh.

Orang itu berambut abu-abu digulung naik. Badannya agak bungkuk, pakaiannya abu-abu dengan jubah biru lusuh hampir serupa dengan warna pakaian dalamnya yang abu-abu itu. Orang itu menyelipkan sebuah senjata berupa tengkorak kambing bertongkat pendek kira-kira dua jengkal. Tongkat itu pun terbuat dari tulang punggung binatang sejenis kerbau atau entah apa. Orang itu mempunyai wajah yang keriput kempot dan peot dengan gigi berjarak renggang karena ompong.

Siapa lagi si tua bongkok dan kempot itu selain gurunya Peri Malam yang bergelar si Mawar Hitam. Rupanya ia datang tepat pada waktunya. Dan sekarang Pusaka Tuak Setan itu berada dalam genggamannya, ia tertawa-tawa kegirangan memandangi guci kecil itu.

"Guru...," sapa Sundari dengan rasa takut. Sapaan lemah itu membuat tawa Mawar Hitam hilang seketika. Mata cekungnya memandang tajam pada Peri Malam, dan ia mengumpat.

"Mulid sesat! Mulid bodoh! Sudah dapatkan pusaka mau selahkan olang lain! Dasal mulid otak kebo!"

"Guru, maafkan aku! Karena... karena aku tahu pusaka itu sebenarnya bukan hak milik kita, melainkan milik Suto Sinting ini!"

"Pelsetan dengan Suto! Kamu telgoda sama ketampanan wajahnya! Padahal ketampanan itu adalah lacun! Lacun yang mematikan!" sentak perempuan tua yang tidak bisa menyebutkan huruf R.

"Mawar Hitam," kata Suto dengan berusaha tetap tenang. "Jangan bikin perkara denganku. Aku memang masih muda. Tapi aku tak pernah merasa segan membunuh raga tuamu jika pusaka itu tak kau serahkan padaku!"

"Hik hik hik hik...," Mawar Hitam tertawa. "Beltahun-tahun kutunggu kesempatan ini, tak mungkin bisa kudiamkan begitu saja. Kau, mulid si Gila Tuak, kasih tahu sama gulumu, sekalanglah saatnya dia halus tunduk padaku. Kalena sebental lagi aku akan minum Tuak Setan ini, dan aku akan jadi olang telkuat di antala tokoh-tokoh limba pelsilatan...!"

"Kuingatkan sekali lagi, Mawar Hitam! Serahkan pusaka itu atau aku bertindak sekarang juga?!"

"Hih, anak ingus mau coba tantang aku? Hih, kuhanculkan batok kepalamu dengan pusaka Tengkolak Lial ini...!"

Melihat Mawar Hitam mencabut senjatanya yang bernama Tengkorak Liar itu, Peri Malam menjadi sangat cemas. Sebab ia tahu, gurunya jarang menggunakan senjata Tengkorak Liar itu. Jika senjata itu digunakan, atau dicabut dari pinggangnya, itu pertanda akan ada korban nyawa cepat atau lambat. Karena itu, Peri Malam segera mendekati Suto dan berbisik,

"Mundurlah, Suto...! Kalau dia cabut senjata itu, sangat berbahaya bagi dirimu. Biar aku yang menjinakkan kemarahannya, Suto!"

"Aku tak peduli, Peri Malam!"

"Hei, Sundali...!" seru Mawar Hitam. "Kau kasih dia pengeltian, jangan coba-coba menantang kemarahanku, supaya dia selamat dan bisa jadi suamimu! Kalau dia mau, kukawinkan kau dengannya di Pulau Hantu kapan saja kalian siap!"

"Tidak, Guru! Pusaka itulah tanda cintaku kepadanya. Berikan pusaka itu, Guru!" sentak Peri Malam dengan beraninya.

"Mulid sesat! Kau pun belani menentangku, hah?!

Kau pellu tahu, bagaimana aku hanculkan si tampan yang bodoh itu! Hiaaah...!"

Mawar Hitam sentakkan tangan kanannya yang sudah memegang senjata Tengkorak Liarnya itu. Kilatan cahaya perak meluncur cepat dari kedua mata tengkorak kambing. Suto segera silangkan bumbung tuaknya dengan badan sedikit merendah. Tapi, Peri Malam berteriak cemas.

"Suto, jangan tahan serangan itu! Hindari!"

Karena Suto tak ada tanda-tanda akan bergerak menghindar, maka Peri Malam pun melesat maju menghadang sinar perak itu. Ia berdiri di depan Suto sambil berteriak,

"Jangan, Guru...!"

Suto menyapu kaki Peri Malam dengan cepat. Tubuh Peri Malam rubuh seketika. Sinar perak melesat melewati atas tubuh Peri Malam, dan segera diterima oleh bumbung tuaknya Suto.

Craasss...! Cahaya memercik ketika sinar perak itu mengenai bumbung tuak. Cahaya tersebut membalik ke arah Mawar Hitam. Serta-merta nenek keriput itu kibaskan senjatanya dari samping kiri ke samping kanan. Wuuugh...!

Kibasan angin itu membentur sinar perak dan terjadilah ledakan kuat dari kedua benturan itu.

Blarrr...!

Suto melompat dan bersalto di udara. Tetapi Peri Malam terlambat menghindari gelombang ledakan tersebut.

"Uhhg...!"

Bruukk...! Tubuh Peri Malam terlempar tiga langkah ke belakang. Mulutnya menyemburkan darah segar, membasah di pakaian kuningnya. Wajahnya pucat seketika, ia masih bisa membuka matanya, namun tak mampu lagi bicara, ia ingin bangkit, namun hanya mampu duduk bersandar pada batu sambil memegangi bagian dada.

"Sundari...?!" desis Suto dalam cemas.

"Awas...!" ucapnya lirih, membuat Suto berpaling pada Mawar Hitam. Rupanya saat itu Mawar Hitam lancarkan serangan kembali dengan sentakkan tengkorak kambingnya.

Suto merasakan datangnya gelombang panas yang menyerang ke arahnya. Suto cepat jejakkan kaki ke tanah dan berkelebat jungkir balik di angkasa dalam gerakan maju. Pukulan tenaga dalam yang mempunyai daya panas cukup tinggi itu melesat menemui tempat kosong. Tapi pada saat itu, kaki Suto sudah berpijak di batu atasnya Mawar Hitam.

"Hiaaah...!" sentak Suto sambi! meluncurkan tendangan ke arah kepala nenek bungkuk itu.
Plakkk... !

Mawar Hitam terkena tendangan pada pelipisnya. Tendangan itu bertenaga dalam besar. Tubuh Mawar Hitam terpental melayang akibat tendangan itu. Suto segera mengejarnya dengan satu kali sentakan kaki, tubuhnya melayang ke arah Mawar Hitam.

Jlig...! Kakinya berpijak ke tanah. Mawar Hitam yang terkapar segera layangkan kakinya menendang pangkal paha Suto. Namun tangan Suto lebih cepat gerakkan bumbung bambu tuak. Plokk...! Kaki itu dihantam memakai bumbung yang bertenaga dalam cukup tinggi.

Pukulan itu bukan saja membuat kaki Mawar Hitam terpelanting ke samping, namun juga merasa tulang keringnya remuk, hingga ia sempat memekik tertahan.

"Uuhhg...!"

Suto segera sodokkan bumbung bambu ke wajah Mawar Hitam. Tapi dengan cepat Mawar Hitam berguling ke samping. Wuusss...! Proook...!

Batu sebesar kerbau duduk itu hancur tanpa memercikkan debu sedikit pun akibat terkena sodokan bambu bumbung tuak. Batu itu langsung surut dan menjadi serpihan-serpihan selembut pecahan kaca.

Pada saat itu Mawar Hitam segera bangkit dan duduk, lalu senjatanya dibabatkan ke kaki Suto. Tak kalah lincah Suto menghindar dengan satu kali sentakan ujung jempol kakinya, ia melenting di udara dan bersalto mundur satu kali. Sementara angin yang ditimbulkan dari kibasan senjata tengkorak kambing itu begitu besarnya, hingga batu besar setinggi tubuh Suto itu terlempar dan menggelinding jatuh melintasi lereng bukit.

"Jahanam busuk kau, Suto!" geram gurunya Peri Malam, ia masih bisa paksakan diri untuk berdiri walau satu kakinya telah remuk.

Kejap berikutnya, Suto kerahkan tenaganya dengan kembangkan jemari tangan yang terangkat sebatas dada. Rupanya ia melakukan kekuatan menghisap dari jarak jauh hingga jemari tangan kirinya yang tidak memegangi bumbung tuak itu tampak bergetar.

Mawar Hitam tak jadi kirimkan pukulan jarak jauhnya, karena ia harus mempertahankan guci kecil di tangan kirinya itu. Ia bertahan memegangi guci yang nyaris terlepas itu. Begitu kuatnya daya hisap tenaga Suto, sampai kulit tubuh nenek itu terkelupas sedikit demi sedikit, khususnya di bagian pergelangan tangan kiri.

Mawar Hitam tetap bertahan menggenggam Guci Tuak Setan dengan mati-matian. Kekuatannya terpusat pada genggamannya itu, hingga jari jemarinya tampak berdarah.

Kuku-kukunya nyaris terlepas karena daya hisap tenaga Suto yang dinamakan ilmu 'Serap Sukma', warisan ilmunya si Gila Tuak.

Rupanya kekuatan ilmu 'Serap Sukma' sudah tak bisa dilawan lagi. Guci itu pun melesat terbang, lepas dari genggaman Mawar Hitam. Segera nenek bungkuk itu sentakkan tangan kanannya yang masih memegang tengkorak kambing, dan tangan kiri pun menyentak ke arah Suto. Akibatnya, guci yang melayang di udara itu pecah, tubuh Suto sendiri kena pukulan jarak jauh pada saat ia berbalik membelakangi Mawar Hitam untuk melompat meraih guci itu.

"Aaahhg...!"

Suto jatuh berlutut, sedikit melengkung ke belakang karena terkena pukulan punggungnya.

Kepala Suto terdongak ke atas dengan mulut ternganga melontarkan suara pekik tertahan.

Pada saat itulah guci di atasnya pecah, cairan hijau kehitam-hitaman yang kental itu tumpah keluar, dan jatuh masuk ke dalam mulut Suto.

Glek...! Cairan itu tertelan oleh Suto. Mawar Hitam berteriak keras karena kecewanya.

"Jahanaaam...! Hiaaah...!"

Mawar Hitam bergerak maju dengan satu lompatan dan memukul kepala Suto dengan senjatanya. Tapi dari arah belakang, tiba-tiba sebuah cahaya merah berkilat cepat melesat menghantam punggung Mawar Hitam. Cahaya itu datang dari tangan Peri Malam.

"Aaahg...!" tubuh Mawar Hitam pun jatuh terpelanting dan menyemburkan darah kental dari mulutnya. Tetapi ia tampak masih tangguh untuk memberi pukulan balasan. Tangan kirinya yang berdarah karena kulitnya hampir copot itu disentakkan ke arah Peri Malam.

Wuugh...! Sebuah pukulan menghantam ke arah dada Peri Malam. Dalam keadaan lemas, Peri Malam sempat jatuhkan diri dari sandarannya. Akibatnya, pukulan itu mengenai batu, dan batu itu hancur lebur dalam sentakan keras. Pecahannya beterbangan ke mana-mana.

Peri Malam sudah tak bisa ingat apa-apa lagi. Tapi Mawar Hitam masih bisa sentakkan kakinya dan melesat pergi bagaikah siluman menembus awan. Ia lakukan hal itu setelah ia merasa dirinya terluka cukup berat, termasuk akibat serangan dari muridnya sendiri itu. Dan juga, ia melihat Suto terkapar tak bergerak dengan tubuh mulai berasap. Itulah saatnya Mawar Hitam tinggalkan bukit.

Tubuh Suto sendiri terus berasap, makin lama makin jelas kepulan asap putih kehitam-hitaman. Bahkan dalam keadaan terbaring di samping bumbungnya, tubuh itu bergerak-gerak bagai ayam disembelih. Kakinya berkelojotan, disusul dengan kedua tangan yang tersentak-sentak.

Suto maupun Peri Malam tak tahu bahwa kejap berikutnya, seorang perempuan cantik berdiri tertegun memandang ke arah Suto. Matanya terbelalak tegang saat ia menyebut nama, " Suto...?!"

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar