1
SEMILIR angin pegunungan di
siang hari memang mirip racun pengantar tidur. Pemuda tampan bercelana putih
lusuh dengan baju coklat tak berlengan semula hanya beristirahat dari
perjalanannya, ia duduk di rerumputan, bersandar pada pohon berbatang besar
yang mempunyai akar pipih. Dedaunan yang menaunginya membuat suasana teduh
menyegarkan. Pemuda tampan berambut lurus sepanjang pundak itu sengaja duduk
melonjor sambil menyanding bumbung bambu tempat tuak. Pemuda itu tak lain adalah
Suto Sinting, si Pendekar Mabuk, murid dari tokoh sakti tertinggi: Gila Tuak
dan Bidadari Jalang.
Keteduhan yang nyaman bersama
hembusan angin semilir itulah yang membuat Suto Sinting tertidur tanpa
disengaja. Mungkin karena ia mimpi bertemu bidadari mandi, maka ia tidur dengan
nyenyak sekali. Suara dengkurnya terdengar tipis samar-samar bagai gemerisik
suara ilalang.
Kalau saja tak ada suara
mengikik geli, mungkin Suto Sinting masih tertidur dengan nyenyak. Tapi karena
ia mendengar suara mengikik geli, maka kesadarannya pun pulih kembali, ia
terbangun dengan sedikit menggeragap.
Betapa terkejutnya Pandekar
Mabuk begitu membuka mata, ternyata di depannya sudah berdiri seorang gadis
memegang pedang yang diacungkan ke dadanya. Jika pedang itu ditekan sedikit
saja, maka akan menembus dada tepat di bagian jantung. Tentu saja Suto Sinting
tak ingin jantungnya menjadi bocor gara-gara ditembus pedang runcing. Karenanya
ia tak mau banyak bergerak dan tak mau lakukan perlawanan apa pun. Tapi ia
sadar bahwa dirinya telah terancam maut di ujung pedang si gadis berjubah biru
tua tanpa lengan.
"Hik, hik, hik,
hik...!" Gadis itu tertawa lagi dengan wajah melengos dan mata melirik ke
arah Suto Sinting!
Yang dilirik hanya bengong
saja, merasa heran namun juga merasa kagum melihat kecantikan si gadis berjubah
biru. Rambut gadis itu meriap sepundak lewat sedikit, ia mengenakan ikat kepala
kain merah yang simpulnya membentuk bunga mawar. Pakaian dalamnya hanya kutang
kuning dan celana kuning dililit kain merah. Dadanya kelihatan sekal walau tak
begitu montok, namun cukup menggetarkan hati seorang lelaki. "Mmm...
mengapa... mengapa kau tertawa, Nona?" tanya Suto Sinting sedikit
menggeragap karena kebingungan, ia tidak memperhatikan ujung pedang yang
mengarah ke jantungnya, tapi memperhatikan wajah gadis yang berdiri di
depannya. Kepalanya sedikit mendongak, sehingga mulutnya tampak melongo mirip
lubang belut.
"Apakah kau tak menyadari
keadaan dirimu saat ini?!"
Mendengar ucapan gadis itu,
Suto Sinting menjadi tambah bingung. Dahinya berkerut dengan pandangan mata
semakin tajam.
"Apa maksudmu?"
tanya Suto Sinting tetap mendongak.
Gadis itu menahan tawa,
kemudian berkata dengan nada dipaksakan untuk tegas dan dibuat agar berkesan
galak.
"Kau yang bernama Suto
Sinting, bukan?!" "Benar. Kau sendiri bernama siapa?"
"Hmmm... namaku Payung
Serambi. Kau tak perlu banyak tahu tentang siapa diriku. Kau hanya perlu
menjawab; Ingin berumur panjang atau pendek?"
"Apakah kau dewa pemberi
umur?"
"Jangan banyak
tanya!" bentak Payung Serambi sambil menekan ujung pedang, membuat Suto
Sinting berdesir hatinya, karena keruncingan ujung pedang itu terasa menekan
kulit dadanya. Mau tak mau ia segera menjawab dengan kikuk.
"Hmmm... anu... ya, tentu
saja aku ingin umur panjang, Nona Cantik!"
"Hari ini aku menjadi
dewa bagi kelestarian hidupmu, Pendekar Mabuk. Mati dan hidupmu ada di ujung
pedangku."
"Apakah aku sedang
bermimpi?" gumam Suto Sinting.
"Anggap saja ini sebuah
mimpi! Tetapi jika kau tak mau menjawab pertanyaanku dengan benar, kau tidak
akan bisa lepas dari mimpi lagi. Kau akan tidur selama- lamanya alias
mati!"
"Apa yang ingin kau
tanyakan?" ujar Suto Sinting setelah hatinya berkata, "Gadis ini
tidak main-main, ia benar-benar mengancamku."
"Pendekar Mabuk, kau
kenal dengan Nini Kalong?" "Tentu saja aku kenal. Hubunganku dengan
Nini
Kalong cukup baik."
"Jika begitu, kau tahu di
mana tempat tinggal Nini Kalong?"
"O, tentu saja aku tahu.
Nini Kalong tinggal di Hutan Rawa Kotek."
"Aku tahu soal itu!"
bentak Payung Serambi dengan mata mendelik. "Tapi di mana letak Hutan Rawa
Kotek itu?!"
"Di sebelah selatan, di
balik Bukit Kembar," jawab Suto Sinting polos-polos saja. "Apakah kau
sedang menguji pengetahuanku tentang Hutan Rawa Kotek?"
Gadis itu tak menghiraukan
pertanyaan Pendekar Mabuk, ia hanya menggumam lirih dan manggut- manggut tipis.
Matanya memandang angkuh pada Suto Sinting. Sebentar-sebentar mata itu melirik
ke bagian bawah Suto, membuat murid si Gila Tuak itu semakin terheran heran.
"Kurasa kau telah
menjawab pertanyaanku dengan benar, ilmu 'Tembus Batin'-ku mengenali
kejujuranmu. Sayang kita harus berpisah sekarang, Pendekar Mabuk."
"Tunggu dulu, apakah
maksudmu bertanya tentang Nini Kalong?"
"Sampai jumpa di lain
kesempatan, Pendekar Cabul!" Weees...! Gadis itu memutar tubuhnya dengan
pedang terangkat ke atas. Kecepatan
putarannya membuat pedangnya menjadi seperti payung. Dalam sekejap saja gadis
itu telah menghilang bagaikan terbang menembus langit siang. Suto Sinting semakin terperangah kaget dan
heran melihat jurus yang
digunakan Payung Serambi.
Tetapi lebih kaget lagi
setelah Suto Sinting menyadari keadaan dirinya, ia sempat terpekik dan menjadi
sangat tegang setelah memperhatikan ke
bawah, ternyata saat itu ia dalam keadaan tanpa busana selembar benang pun.
Telanjang polos bagai bayi baru lahir.
"Celaka...?!!" wajah
tampan itu menjadi sangat tegang, matanya membelalak lebar, kulit wajahnya
menjadi pucat pasi.
"Pantas gadis itu dari
tadi menertawakan diriku. Pantas dia sering melirik ke bawah. Pantas pula
kurasakan dingin ujung pedangnya di kulitku. Rupanya sejak tadi aku seperti
bayi baru lahir. Ooh..?! Perbuatan siapa ini? Si Payung Serambi itukah yang
melakukannya? Lalu... lalu di mana pakaianku? Aduh, celaka tujuh belas turunan
kalau begini!"
Suto Sinting menggerutu tiada
berkesudahan sambil mencari-cari pakaiannya. Namun di sekitar tempat itu tak
ada selembar pakaian pun. Suto Sinting penasaran, segera memeriksa setiap
semak-semak, siapa tahu pakaiannya disembunyikan di semak-semak.
Gusrak, grusuk, zrrak, zrraak,
gusrak...!
"Mati aku! Pakaianku tak
ada di mana-mana. Aduh, tubuhku jadi gatal semua terkena daun ilalang. Ya,
ampun... kalau sudah begini aku harus bagaimana?!"
Gerutuannya sering bernada
sedih. Rasa dongkolnya bercampur dengan rasa duka. Ia berjalan ke sana-sini
sambil menutupi 'jimat lelaki'-nya menggunakan bumbung tuak. Akibatnya ia
seperti berjalan menunggang bambu tempat tuak, mirip anak kecil main
kuda-kudaan.
Jantung Suto Sinting
berdebar-debar, karena ia takut dilihat orang, terutama seorang perempuan, ia
akan malu sekali jika ada yang melihatnya dalam keadaan polos begitu.
Seandainya tadi ia sadar akan keadaan dirinya, tentu ia sangat malu berhadapan
dengan gadis cantik itu. Bahkan mungkin ia tak akan bisa bicara karena
sibuk menyembunyikan 'jimatnya.
Tiba-tiba pandangan mata Suto
Sinting melihat sekelebat bayangan berlari di sela-sela pepohonan seberang.
Kecepatan pandang mengikuti gerak bayangan itu membuat Suto Sinting tahu siapa
orang yang sedang berlari cepat itu.
"Gawat! itu si Pakis
Ratu...?! Oh, dia berlari membelok ke arah sini?! Celaka! Aku harus segera
bersembunyi jika begini!"
Wuuut...! Guzraaak...!
Suto Sinting sentakkan kaki
dan tubuhnya terlempar masuk ke semak-semak. Dalam keadaan polos dan
bersembunyi di semak-semak, mata Suto Sinting mengintip pelarian Pakis Ratu,
murid Nyai Kidung Laras yang pernah diselamatkan dari kekejaman Dewa Tengkorak,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Setan Rawa Bangkai").
Tapi ternyata semak-semak itu tidak aman bagi tubuh yang polos tanpa selembar
benang pun.
"Wah, kacau sekali! Sial
betul nasibku hari ini! Aduh, aduh... banyak semutnya! Maling kurap betul keadaan
ini!" maki Pendekar Mabuk dengan sibuk menyingkirkan semut-semut yang
merayap di kakinya. Dalam keadaan jongkok sambil pegangi bumbung tuak, Suto
Sinting sangat kebingungan mengatasi semut-semut yang merayap dari telapak
tangan naik ke betis dan terus naik ke mana-mana. Hati sang Pendekar Mabuk
merasa sedih-sedih jengkel.
Sementara itu, di seberang
sana ia sempat melihat Pakis Ratu terhenti pelariannya, karena berhasil disusul
oleh seorang lelaki berkumis lebat. Lelaki berwajah menyeramkan itu tiba-tiba
menghadang langkah Pakis Ratu dengan memotong jalan.
"Kau tak mungkin lolos
lagi, Tikus Cantik! Heeeah...!"
Orang berwajah seram yang
badannya besar itu melayangkan pukulannya ke wajah Pakis Ratu.
Wuuut...! Pakis Ratu
menghindar ke samping dengan tangan berkelebat menangkis pukulan lawan. Tetapi
tanpa diduga-duga kaki lawan segera melayang cepat dan tepat mengenai pinggang
gadis yang memakai rompi serta celana hijau muda. Beehg...!
"Uuhg...!" Pakis
Ratu terjungkal ke samping. Tendangan itu bertenaga dalam cukup besar sehingga
Pakis Ratu bagai terlempar lima langkah jauhnya dari tempat semula. Brruuk...!
Lelaki berpakaian hitam dengan
rambut sepanjang pundak diikat kain biru itu menerjang Pakis Ratu lagi pada
saat gadis itu berusaha untuk bangkit. Wuuut...! Brruss...!
"Aauh...!" Pakis
Ratu memekik sambil tubuhnya terpental empat langkah ke belakang. Mulutnya
sempat terlihat semburkan darah segar karena rupanya dada Pakis Ratu terkena
tendangan kuat dari si baju hitam itu.
Pendekar Mabuk salah tingkah
sendiri di dalam semak-semak itu. Bahkan ia hampir saja terpekik kaget sebelum
Pakis Ratu terkena terjangan lawannya.
"Aduh! Sialan!"
tangannya segera menyambar 'jimat lelaki' dan memencet seekor semut yang
menggigit tempat terlarang itu. Pendekar Mabuk tak sadar telah menginjak sarang
semut, sehingga semut-semut itu marah.
"Rupanya di sini banyak
semut perempuan!" gerutunya dengan dongkol sekali. "Kurang ajar
betul! Hih, huh, matilah kau! Aduuh...! Ada lagi yang menggigit bagian
belakangku. Brengsek!"
Akibat sibuk dengan
semut-semut, akhirnya Suto Sinting tak bisa memusatkan perhatiannya kepada
Pakis Ratu. Ketika ia memandang kembali ke arah pertarungan itu, Pakis Ratu
telah terkapar bersandar ke batang pohon dalam keadaan berlumur darah. Gadis
itu tampak sedang sekarat karena dihajar habis oleh orang berkumis lebat.
"Kau telah mengecewakan
hatiku, Pakis Ratu! Kecewa berat aku padamu, sehingga terpaksa aku harus
membunuhmu demi menebus kekecewaanku ini!"
Srrang...! Sebilah golok tajam
berkilauan dicabut dari tempatnya. Golok itu segera diangkat dan hendak
diayunkan untuk memenggal leher Pakis Ratu.
Suto Sinting menahan diri dari
serangan semut-semut tersebut, ia lepaskan jurus 'Pukulan Gegana' melalui dua
jari tangannya yang disentakkan ke depan. Wuuut...! Dari kedua jari yang
merapat itu melesatlah sinar patah- patah warna kuning. Clap, clap, clap...!
Dess...! Sinar kuning
patah-patah itu tepat kenai dada orang berkumis tebal. Golok yang sudah
terangkat terlempar bersama tubuh orang tersebut. Kejap berikutnya, orang itu
terkapar tak berdaya. Tubuhnya kepulkan asap samar-samar, dan menjadi kering
karena terbakar kekuatan tenaga dalam dari jurus 'Pukulan Gegana' tadi.
Pakaiannya pun menjadi abu, rambutnya juga menjadi abu, tapi nyawanya tidak menjadi
abu, melainkan pergi meninggalkan raga tanpa pamit. "Oh, kelewatan!
Seharusnya aku tak perlu menggunakan 'Pukulan Gegana', sehingga tak sampai
menewaskan orang itu. Ah, tapi apa boleh buat, semuanya sudah telanjur. Habis
semut-semut ini bikin aku panik dan tak bisa berpikir tenang."
Zlaaap...! Suto Sinting segera
keluar dari semak- semak celaka itu. Kedua kakinya menghentak-hentak di tanah
untuk merontokkan semut-semut yang bergelayutan di tempat terlarang. Tangannya
mengibas- ngibas membersihkan badan dari sarang semut. Mulutnya keluarkan
gerutuan yang mirip orang menggumam.
"Dasar semut-semut
perempuan! Melihat makanan empuk sedikit main sergap saja! Aduh, bentol semua
badanku kalau begini dan, oooh...? Kok iniku jadi besar sekali? Hiii...
mengerikan sekali. Digigit semut bisa jadi sebesar ini?" Suto Sinting
segera menggaruk-garuk jempol kakinya yang menjadi besar karena gigitan semut
itu. Ia buru-buru meneguk tuaknya, dan dalam sekejap saja rasa gatal serta
nyeri karena gigitan semut itu hilang.
Bentol-bentol di badannya pun mengempis. Kini tubuh Suto Sinting menjadi mulus
kembali.
Tapi karena perhatiannya
tertuju pada Pakis Ratu yang sedang sekarat dengan napas tersendat-sendat, ia
jadi lupa pada keadaan dirinya yang polos tanpa pakaian. "Celaka! Kalau
tak segera kuberi tuak dia bisa mati menyedihkan!" pikir Suto Sinting,
kemudian ia segera dekati Pakis Ratu yang mulutnya ternganga karena susah
menarik napas. Cuuur...! Tuak
dituangkan ke mulut itu. Sebagian ada yang tertelan, sebagian lagi ada yang tumpah
ke kanan- kiri. Pakis Ratu tersedak, lalu terbatuk-batuk sambil menggeliat
miring, ia gelagapan seperti orang tenggelam karena menelan tuak tanpa
disadari.
Tapi akibatnya, luka-luka di
tubuh Pakis Ratu segera mengering. Dalam kejap berikutnya, seluruh luka dan
rasa sakitnya hilang akibat menelan tuak saktinya Pendekar Mabuk. Bahkan darah
yang semula tampak berlumuran di tubuhnya cepat mengering, lalu hilang bagaikan
menguap karena angin. Gadis itu menjadi segar dan sehat tanpa noda darah dan
luka sedikit pun.
"Ah, syukurlah aku belum
terlambat. Dia tertolong," pikir Suto Sinting dengan girang. Tapi
tiba-tiba ia terkejut karena sadar keadaan tubuhnya yang polos.
"Wah, bisa kacau kalau
aku diam saja di sini? Dia akah melihat keadaanku tanpa pakaian dan... dan...
cari selamat dulu, ah!"
Weess...! Suto Sinting
melompat ke balik semak yang lainnya sebelum Pakis Ratu melihatnya.
Brruss...! Suto Sinting
menghilang di balik semak. Tapi hatinya segera menggerutu sambil menutup
hidung. "Konyol! Siapa yang buang hajat di sini?! Uuh...
baunya!"
Pakis Ratu sudah berdiri dan
memandang ke sana- sini. Terdengar suaranya yang bicara sendiri dalam
kebingungan.
"Sepertinya aku tadi
melihat wajah Suto Sinting?! Tapi di mana dia sekarang?! Oh... itu si Kebo
Wirang sudah tak bernyawa? Pasti ada orang yang membantuku. Seingatku, tadi aku
dihajar oleh Kebo Wirang dan... dan entah bagaimana lagi. Hanya saja...."
Pakis Ratu memeriksa keadaan tubuhnya.
"Oh, sekarang aku dalam
keadaan tanpa luka? Hmmm... mulutku terasa agak getir, seperti ada aroma tuak
yang... yang.... Ah, kurasa aku memang menelan tuak saktinya Suto Sinting. Tapi
di mana pemuda tampan itu?!"
Lalu Pakis Ratu mencoba
berseru memanggilnya, "Sutoo...! Suto Sinting! Sutooo...?!"
Suto Sinting diam saja menutup
mulut dan hidungnya sambil bergeser sedikit demi sedikit menjauhi setumpuk
kotoran manusia yang tepat ada di depannya.
*
* *
2
SEORANG perempuan berusia
sekitar lima puluh tahun muncul setelah Pakis Ratu kebingungan mencari Suto
Sinting. Perempuan yang baru saja muncul itu masih tampak cantik dan badannya
cukup sekal, ia mengenakan jubah ungu, rambut disanggul, dan tampak
berkharisma. Penampilannya cukup kalem, tapi berwibawa, ia adalah Nyai Kidung
Laras, guru si Pakis Ratu.
"Guru...!" sapa
Pakis Ratu begitu melihat kedatangan gurunya. Nyai Pakis Ratu memandang
sekeliling sebentar, kemudian pandangannya tertuju pada mayat Kebo Wirang yang
telah hangus dan mengering itu. "Apakah itu mayat Kebo Wirang?"
"Benar, Guru! Senjata
golok yang tak jauh darinya adalah senjata milik Kebo Wirang. Tak salah lagi,
itu pasti mayat si Kebo Wirang."
"Hmmm... siapa yang
lakukan ini? Kau sendiri?" "Bukan, Guru! Kurasa... kurasa Pendekar
Mabuk
yang lakukan pada saat aku tak
sadar karena terluka parah oleh serangan Kebo Wirang."
"Pendekar Mabuk...?!
Hmmm... di mana dia sekarang?!"
"Itu dia, Guru... aku
sendiri dari tadi sedang mencari- carinya. Mulutku beraroma tuak, pasti ia
menuang tuak ke dalam mulutku pada saat itu terluka parah. Hanya saja, dari
tadi aku tidak menemukan batang hidungnya."
Diam-diam Suto Sinting berkata
dalam hatinya dengan cemas, "Wah, gurunya Pakis Ratu datang. Gawat! Lebih
malu lagi kalau sampai Nyai Kidung Laras
mengetahui keadaanku seperti ini. Tapi... tapi sebenarnya aku butuh bantuan mereka.
Hanya saja, bagaimana caraku bisa menemui mereka dan meminta bantuan tentang
pakaian?!"
Nyai Kidung Laras terdengar
bicara kepada muridnya, "Pakis Ratu, apakah kau tetap mampu mempertahankan
kesucianmu dari kebuasan si Kebo Wirang?!"
"Masih, Guru! Aku masih
suci, belum ternoda sedikit pun olehnya!
"Syukurlah kalau begitu.
Sebaiknya kita lekas pulang ke Lembah Hijau."
"Tapi bagaimana dengan
kakak si Kebo Wirang yang ingin perkosa Guru itu?"
"Kebo Jamak sudah
kuhabisi riwayatnya. Karenanya aku segera mengejarmu kemari, karena kulihat kau
berlari dikejar Kebo Wirang. Ah, sudahlah! Kita lupakan saja sepak terjang
kakak-beradik yang memang doyan memperkosa perempuan itu! Kita punya urusan
yang lebih penting dari masalah ini. Kita bicarakan di Lembah Hijau saja!"
"Baik, Guru!" jawab
Pakis Ratu dengan patuh. Kedua perempuan itu segera pergi meninggalkan mayat
Kebo Wirang. Kini tinggal Suto Sinting sendirian di balik semak memikirkan
jalan keluar bagi kesulitannya sendiri.
"Kurasa aku harus minta
bantuan kepada Nyai Kidung Laras atau Pakis Ratu! Seharusnya aku tadi bicara
tanpa menampakkan diri dan menceritakan keadaanku yang terpaksa bersembunyi
ini. Ah, bodohnya aku ini! Tadi ada kesempatan kenapa tidak dimanfaatkan? Kalau
begitu, aku harus menghadang langkah mereka dan bicara di balik
persembunyian!"
Weess...! Suto Sinting pun
melesat mengejar Nyai Kidung Laras dan Pakis Ratu. Ia sengaja menerabas
tempat-tempat rimbun agar tidak semata-mata tampak polos. Akibatnya, beberapa
duri menggores kulit tubuhnya dan membuatnya menggerutu tiada habisnya. Tapi
dengan sebentar-sebentar meneguk tuak, rasa sakit dan luka goresan itu lenyap
sendiri.
Dengan menggunakan jurus
'Gerak Siluman' Pendekar Mabuk mampu bergerak cepat sekali, melebihi kecepatan
anak panah yang terlepas dari busurnya. Hal itu dilakukan agar ia bisa
mendahului langkah Nyai Kidung Laras dan Pakis Ratu. Tetapi di luar dugaan,
kedua perempuan itu membelok ke arah kiri saat hendak mencapai tanggul sungai,
sedangkan Suto Sinting bergerak lurus dan segera mencapai tepian sungai.
Melihat dua batu setinggi kuda berjajar merapat, Suto Sinting segera
bersembunyi di sana. Celah dua batu itu dapat digunakan untuk mengintai
kedatangan Nyai Kidung Laras dan Pakis Ratu, juga bisa dipakai sebagai lubang
suaranya nanti, ia tidak tahu kalau kedua perempuan tersebut tidak akan
melewati sungai itu.
Setelah menunggu beberapa saat
lamanya, Pendekar Mabuk baru menyadari bahwa ia salah hadang. Dalam hatinya
segera menggerutu dengan wajah bersungut- sungut.
"Sial! Rupanya mereka
tidak lewat daerah ini! Kalau begitu aku harus segera mengejar mereka lewat
jalan yang ke kiri tadi."
Baru saja Suto Sinting ingin
tinggalkan tempat itu, tiba-tiba ia melihat sesuatu yang mengambang hanyut di
perairan sungai. Matanya menatap tajam ke arah benda yang hanyut itu.
"Oh, sesosok mayat...?!
Mayat seorang perempuan?!" Rasa ingin tahu membuat Pendekar Mabuk akhirnya
nekat keluar dari persembunyian dan segera menyambar sesosok mayat perempuan
berkebaya dan berkain batik coklat itu. Weess...! Mayat agak gemuk itu
dibawanya ke daratan, di balik gugusan
batu setinggi pundaknya, ia memperhatikan mayat tersebut beberapa saai lamanya.
"Aku tidak mengenali
perempuan ini," katanya dalam hati. "Tapi sepertinya ia korban
pembunuhan. Lehernya terluka, tampak bekas sabetan senjata tajam. Hmmm...
kasihan perempuan ini. Siapa yang membunuhnya? Padahal menurutku ia masih
tergolong muda. Usianya sekitar tiga puluh tahun, wajahnya manis, berkesan
lugu. Sepertinya ia seorang gadis desa yang polos. Tapi mengapa ia mati dengan
cara menyedihkan begini?"
Kebaya merah jambu yang
dikenakan mayat itu masih utuh. Juga kain batik yang membalut tubuh sekal mayat
perempuan itu pun masih utuh. Timbul gagasan di benak Suto Sinting untuk
memanfaatkan pakaian si mayat untuk menutupi tubuhnya sendiri.
"Bukan aku merampok
barang milik orang lain, tapi ini semua kulakukan agar aku bebas bergerak dan
tidak dipandang jorok di mata orang. Yah... sayang dia pakai kebaya. Tapi tak
apalah. Biar kebaya yang penting aku tidak polos. Toh pakaian ini sudah tidak
dibutuhkan oleh raga pemiliknya."
Dengan sangat terpaksa sekali,
Pendekar Mabuk melepasi pakaian mayat perempuan itu. Kain batik coklat muda
dililitkan menutup bagian bawahnya, sedangkan kebayanya dipakai tanpa dikancingkan.
Untung ukuran tubuh mayat itu pas dengan badan Suto Sinting, sehingga kebaya
itu tak terlalu sesak dipakainya.
"Wah... tak berani
terlalu lama memandang mayat itu tanpa busana. Bisa merinding sendiri bulu
kudukku," ujarnya pelan sambil melengos, tak mau pandangi mayat perempuan
yang polos itu.
Sebagai imbalan atas
'diberikannya' pakaian si mayat, Suto Sinting memakamkan mayat itu di bawah
tanggul sungai. Selesai memakamkan ia mencuci tangan dan kakinya di tepian
sungai. Air sungai yang bening ini memantulkan bayangan dirinya ba gai sedang
berdiri di bawah sebuah cermin.
"Ha, ha, ha...!"
Suto Sinting tertawa geli melihat bayangannya di permukaan air sungai.
"Ini benar-benar konyol! Pendekar Mabuk menjadi banci, pakaian kebaya dan
kain. Ha, ha, ha...! Mudah-mudahan aku tidak bertemu Guru, supaya Guru tidak
marah melihat aku berpakaian perempuan begini. Tapi, aih... cantik juga aku
kalau begini, ya? Apalagi kalau ditambah sepasang giwang, hmmm... pasti aku
akan jadi rebutan para lelaki, dan iih... amit-amit!"
Baru sekarang Suto Sinting
tertawa geli hingga terpingkal-pingkal. Apalagi ia mencoba berlenggak- lenggok
seperti seorang perempuan, ia semakin terpingkal-pingkal sendiri hingga
perutnya terasa sakit.
"Ya, ampun... mimpi apa
aku semalam kok sekarang berubah menjadi Banci Mabuk?! Rasa-rasanya dengan
pakaian seperti ini aku tak pantas bergelar Pendekar Mabuk. Sangat lucu dan
bisa bikin orang tak percaya bahwa aku adalah Pendekar Mabuk."
Sambil menghabiskan tawa ia
geleng-geleng kepala memandangi bayangannya di permukaan air sungai. Bahkan
ketika ia membasuh tangan dan kakinya, tawa itu masih sesekali mengguncang
badannya mirip perempuan genit.
Rupanya di atas tanggul ada
sepasang mata yang memperhatikan keadaan Suto Sinting. Sepasang mata yang bersembunyi
itu memergoki Suto dalam keadaan sedang bercermin di permukaan air sungai, ia
tidak tahu bahwa pakaian basah itu milik mayat yang sudah dimakamkan oleh Suto
Sinting.
"Ya, ampuuun ..?! Mengapa
dia sekarang menjadi begitu? Terkena racun apa dia, hingga menjadi gila begitu?
Oh, kasihan sekali! Agaknya seorang lawan
telah berhasil melukainya dengan racun dan membuatnya ingin tampil
menjadi wanita!"
Sepasang mata itu milik
seorang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun, mengenakan jubah kuning gading,
pinjung, dan celananya yang warna hijau tua. Rambut panjangnya disanggul
sebagian, sisanya dilepas meriap sepanjang punggung, ia menyelipkan pedang di
pinggangnya yang berhias rumbai-rumbai benang merah pada gagangnya.
Gadis itu tak lain adalah Kinanti,
orang kepercayaan Ratu Jiwandani, Penguasa Lembah Birawa. Ia mengenal Suto
Sinting dalam perkara menghadapi ancaman maut dari Demit Lanang, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Manusia Pelebur Raga"). Hati Kinanti
menjadi iba melihat Suto Sinting berpakaian kebaya merah jambu, ia menyangka
Suto Sinting tidak waras lagi, sehingga ia bermaksud menemui pemuda tampan yang
kini mirip seorang banci itu.
"Sebaiknya ia kubawa ke
Lembah Birawa biar disembuhkan oleh Gusti Ratu Jiwandani, sebab jika benar ia
terkena racun yang mempengaruhi otak dan jalan pikirannya, kurasa Gusti Ratu
Jiwandani sanggup mengobatinya, karena beliau mahir dalam pengobatan racun yang
berpengaruh pada jalan pikiran manusia," ujar Kinanti dalam hatinya.
Tetapi baru saja ia ingin
bergerak keluar dari persembunyian, tiba-tiba seberkas sinar merah berbentuk
bintang melesat menghantam punggungnya dengan telak. Claap...! Deess...!
"Aaahg...!" Kinanti
sempat memekik keras sambil tubuhnya terjungkal dan menggelinding menuruni tebing
tanggul.
Kejadian itu membuat Pendekar
Mabuk terperanjat dan cepat lemparkan pandangan mata ke arah Kinanti, ia pun
melebarkan mata dan terkejut sekali melihat Kinanti terkulai di bawah tanggul
dalam keadaan tengkurap. Punggungnya berlubang hitam sebesar tutup botol.
Lubang itu mengepulkan asap samar-samar yang membuat Suto Sinting menjadi
cemas.
Zlaaap...! Dalam sekejap saja
Suto Sinting sudah berada di samping Kinanti, ia mencoba membalikkan tubuh
Kinanti yang wajahnya telah memucat bagaikan mayat, matanya terbeliak memutih
dengan mulut menganga kesulitan bernapas.
"Kinanti...?! Kinanti,
apa yang terjadi pada dirimu?!
Katakan, Kinanti! Siapa yang
melukaimu?!"
Tentu saja Kinanti tak bisa
ucapkan sepatah kata pun. Nyawanya sudah di ubun-ubun. Sebentar lagi ia akan
hembuskan napas yang terakhir.
Melihat keadaan Kinanti
separah itu, Pendekar Mabuk tidak mau banyak tanya lagi. Ia cepat-cepat
menuangkan tuaknya ke mulut Kinanti. Sebagian tuak tertelan gadis itu, sebagian
lagi tumpah meluber ke mana-mana. Pendekar Mabuk tidak pedulikan tuak yang
tumpah, yang penting ia cukup lega melihat Kinanti tersedak dan menjadi
terbatuk-batuk karena tuak itu tertelan bersama tarikan napas pendeknya.
Claap...! Seberkas sinar merah
berbentuk bintang datang lagi. Kali ini yang menjadi sasaran adalah punggung
Suto Sinting. Namun pada waktu itu Suto Sinting kebetulan sedang berpaling
memandang ke atas tanggul, ingin mengetahui siapa orang yang menyerang Kinanti.
Tepat ia menengok ke belakang, sinar merah itu datang ke arahnya.
Dengan cepat bumbung tuaknya
berkelebat menghadang sinar merah itu. Kakinya berlutut satu, dan salah satu
tangannya mengembang ke samping atas.
Deeeb...! Sinar merah itu
menghantam bumbung tuak, bukan meledak atau menghancurkan bambu bumbung, tapi memantul
balik ke arah pemiliknya yang bersembunyi dari balik pohon kapuk randu liar.
Sinar itu menjadi lebih besar dari aslinya dan gerakannya lebih cepat lagi.
Pemiliknya terperanjat melihat sinar merahnya kembali arah, lalu menghilang
dari persembunyiannya.
Blegaaarr...!
Pohon kapuk randu liar itu
menjadi sasaran sinar merah tersebut. Pohon itu hancur seketika pada bagian
tengahnya. Sisa bagian atasnya tumbang ke arah berlawanan dengan Suto Sinting,
sedangkan sisa bagian bawahnya tetap berdiri dalam keadaan berserat-serat dan
mengepulkan asap.
Pendekar Mabuk tidak pedulikan
lagi keadaan Kinanti, karena gadis itu sudah menelan tuak saktinya, ia segera
mengejar orang yang berkelebat dari balik pohon kapuk randu tadi. Zlaaap...!
Jleeg...! Wreeek...!
Suto Sinting berdiri di atas
gundukan tanah setinggi lutut. Orang yang melarikan diri itu tercekat seketika
dan hentikan langkahnya melihat Suto Sinting ada di depannya.
Tapi hati Suto Sinting menjadi
gelisah, karena kain yang membalut tubuhnya sebatas lutut lewat sedikit itu
telah robek akibat gerakan cepatnya tadi. Kain itu robek sampai sebatas paha,
membuat paha itu sering terbuka apabila robekan kain menyingkap karena angin.
Orang yang terhadang
langkahnya itu cepat-cepat lemparkan senjata rahasia berbentuk piringan
bergerigi mirip bunga mawar dari logam putih mengkilat. Zing, zing...! Dua
senjata rahasia itu segera ditangkis oleh Suto Sinting menggunakan kibasan
bumbung tuaknya, sambil ia lakukan lompatan ke samping dengan gesit. Wuut...!
Trang, traang...!
Kedua senjata rahasia itu
terpental ke arah lain bagai ditangkis dengan besi baja. Pendekar Mabuk cepat
lakukan serangan dengan menjejakkan kakinya pada sebuah batu sebesar anak sapi.
Deess...! Wuuut...! Tubuhnya melayang cepat menerjang lawannya. Tapi sang lawan
pun tak kalah lincah, mampu menghindar dengan gerakan bersalto plik-plak ke
belakang dua kali. Wut, wut...!
Punggung Suto Sinting menjadi
ada di depannya. Maka orang itu pun menghantamkan telapak tangannya dengan kuat
ke punggung Suto Sinting. Wuuut...! Beehg...!
"Uuuhg...!" Suto
Sinting terjungkal ke depan berguling dua kali sambil masih tetap pegangi
bumbung tuaknya. Begitu gerakan tergulingnya berhenti, secepat kilat tubuhnya
melenting di udara dan melepaskan sentilan yang dinamakan jurus 'Jari Guntur'
itu.
Des, des. .!
Sentilan bertenaga dalam cukup
besar mirip tendangan kuda jantan itu tepat kenai dada lawan. Beehg, beehg!
Bruus...!
Orang itu terpental dan jatuh
di semak-semak pinggir tanggul. Hampir saja ia tercebur ke sungai kalau tidak
ada semak-semak berakar alot itu. Dengan menahan rasa sakit, orang itu segera
bangkit dan melompat ke depan sedikit terbungkuk. Sesaat kemudian ia tegakkan
badan sambil tarik napas dalam-dalam.
Pendekar Mabuk sengaja tidak
lakukan serangan lagi, karena ia sibuk menenggak tuak untuk obati luka dalam
akibat pukulan berbahaya pada punggungnya tadi. Ketika ia selesai menenggak
tuaknya, sang lawan selesai menarik napas dan mereka saling beradu pandang
mata.
"Siapa dia
sebenarnya?" pikir Suto Sinting karena lawannya kali ini terbungkus kain
hitam. Alas kakinya dari kulit hitam, dililit tali hitam sampai ke betis,
sehingga celana hitamnya ikut terikat rapi. Ia mengenakan sabuk seperti angkin
warna hitam. Bajunya lengan panjang warna hitam tanpa belahan dada. Tangannya
mengenakan sarung tangan dari kain tebal warna hitam. Kepalanya juga dibungkus
kain hitam dan hanya terlihat bagian matanya saja. Itu pun hanya sedikit,
sehingga wajah orang berselubung kain hitam itu tidak bisa dikenali.
Sebuah pedang samurai ada di
punggungnya, melintang panjang dan mempunyai gagang serta sarung pedang warna
hitam pula. Dari jarak tujuh langkah, Suto Sinting tak bisa mengenali apakah
lawannya itu seorang lelaki atau seorang perempuan. Tapi melihat kecepatan
geraknya dan pukulannya yang berat sekali tadi, Suto Sinting punya dugaan
sementara bahwa lawannya adalah seorang lelaki bertubuh kekar.
"Siapa kau sebenarnya,
Sobat!" tanya Suto Sinting dengan mencoba sedikit ramah. Orang berpakaian
hitam itu tidak menjawab. Tapi kakinya tiba-tiba menyentak hingga tubuhnya
melambung ke atas. Sebatang pohon dijejaknya, lalu tubuh pun melesat ke arah
lain. Pohon berikutnya dijejak kembali, dees...! Wuuut...! Ia melayang bagaikan
terbang dan mendaratkan kakinya di gundukan tanah tempat Suto Sinting
menghadangnya tadi.
Jleeg...!
Tangannya berkelebat secara
tiba-tiba seperti membanting sesuatu. Buuusss...! Segumpal asap tebal muncul
membungkus tubuhnya. Suto Sinting segera bergerak ingin menerjang orang itu.
Tetapi ketika asap menipis, ternyata tak ada bayangan apa-apa di dalam asap
tersebut. Suto Sinting hentikan langkah, tak jadi menerjang gumpalan asap tadi.
"Hilang...?!."
gumamnya lirih dengan bingung. Matanya pun segera memandang nanar ke sana-sini.
Tapi sang lawan tidak kelihatan bayangannya. Orang itu lenyap bagai ditelan
bumi bersama kepulan asap tebal tadi.
"Kurang ajar! Lari ke
mana dia?!" geram Suto Sinting sambil masih mencoba mencari ke sana-sini.
*
* *
3
LUKA di punggung Kinanti telah
merapat, bahkan kain pakaiannya yang berlubang pun menjadi rapat kembali
seperti sediakala. Keadaan Kinanti sangat segar, sehat, seperti tak pernah
mengalami luka apa pun. Ia bertemu Suto Sinting pada saat Suto Sinting mencari
lawannya sampai ke tepian sungai.
Hal pertama yang dilakukan
Kinanti adalah memandangi Suto Sinting dengan kesan ragu-ragu. Pendekar Mabuk
paham arti pandangan mata itu, maka ia pun segera jelaskan tentang pakaian
kebaya dan kain yang dikenakannya itu.
"Terus terang, ini
pakaian sesosok mayat yang kutemukan hanyut di sungai. Entah mayat siapa, aku
tak kenal dan memang kami tidak punya kesempatan untuk berkenalan."
Kinanti sunggingkan senyum
kecil sekali. Lalu ia ajukan tanya dengan mata masih memperhatikan Suto Sinting
dari atas ke bawah berulang-ulang.
"Jadi, siapa orang yang
mencuri pakaianmu pada saat kau tidur?"
Pendekar Mabuk angkat bahu.
"Mana aku tahu? Kalau aku tahu sudah kukejar orang itu dan kupaksa
mengembalikan pakaianku."
"Tunggu dulu...,"
sergah Kinanti ketika Pendekar Mabuk Ingin bicara lagi. "Kau bilang
pakaian itu adalah pakaian mayat wanita?"
"Benar. Ada apa?"
Suto berkerut dahi.
"Apakah mayat itu agak
gemuk dan wajahnya berkesan wanita yang polos?"
"Benar. Apakah kau kenal
dengan perempuan itu?" "Hmmm...," Kinanti
manggut-manggut. "Kurasa ia
pelayannya Ki
Lurah Gontang dari
Desa Rejamukki. Kebetulan tadi
pagi aku melewati desa itu, dan desa itu sedang mengalami musibah pada malam
harinya. Seluruh keluarga Ki Lurah Gontang dibantai habis oleh seorang pemuda
yang tak diketahui siapa pelakunya. Tapi ada seorang penduduk desa yang melihat
sekelebat orang berpakaian serba hitam keluar dari dapur rumah Ki Lurah Gontang sambil memanggul sesosok
tubuh. Dan ternyata dari seluruh penghuni rumah itu hanya mayat si pelayan yang
tidak diketemukan penduduk desa. Mungkin mayat itu dibuang ke sungai karena
alasan tertentu bagi si pelaku."
"Orang berpakaian hitam?!
Berarti orang yang bertarung denganku tadi?"
"Apakah kau tadi
bertarung dengan. "
"Orang itu mengenakan
pakaian serba hitam. Kepalanya terbungkus kain hitam. Hanya bagian mata saja
yang kelihatan. Kurasa orang itulah yang menyerangmu hingga kau jatuh dari atas
tanggul."
Kinanti diam sejenak, dahinya
berkerut dengan pandangan mata tertuju ke rerumputan. Suto Sinting sempatkan
diri menenggak tuaknya dua tegukan.
Kejap berikut terdengar suara
Kinanti bagai bicara dengan diri sendiri,
"Kalau begitu, si
Malaikat Malam itu juga yang membantai keluarga Ki Lurah Gontang dan yang
menyerangku. ?" ,
"Malaikat Malam...?!
Siapa Malaikat Malam itu?!" Suto Sinting mulai diusik oleh rasa ingin
tahunya, ia mendekat selangkah lagi. Wajah mereka saling berhadapan sama
tingginya, pandangan mata saling beradu sama tajamnya. Jarak mereka hanya satu
langkah kurang, dan Kinanti maupun Suto Sinting dapat rasakan hembusan napas
lawan jenisnya. Tapi tak ada kemesraan dalam benak mereka. Yang terbayang di
benak mereka hanya sosok manusia terbungkus kain serba hitam.
"Malaikat Malam adalah
orang yang membunuh Eyang Poci Dewa "
"Apa...?!" Suto
Sinting terpekik kaget sebelum Kinanti selesaikan kata-katanya. "Eyang
Poci Dewa terbunuh?! Maksudmu.... Poci Dewa yang punya murid bernama Rangga
Pura itu?!"
"Benar! Justru aku baru
saja pulang dari pemakaman jenazah Eyang Poci Dewa, sebagai wakil dari Lembah
Birawa!"
Pendekar Mabuk terbungkam
tegang bagaikan patung bernyawa, ia tak mendengar kabar tentang kematian Eyang
Poci Dewa yang dikenalnya dalam peristiwa fitnah Ayunda, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Pertarungan Tanpa Ajal"). Karenanya ia sangat
kaget ketika mendengar Eyang Poci Dewa telah dibunuh oleh seseorang.
"Sebelum Eyang Poci Dewa
hembuskan napas terakhir," kata Kinanti,"... ia sempat bertemu dengan
saudara seperguruannya, yaitu Ki Buyut Gerang. Sayangnya, Ki Buyut Gerang tak
sempat menolongnya. Tapi beliau sempat mendengar pesan terakhir dari Eyang Poci
Dewa, agar Ki Buyut Gerang lindungi dirinya sendiri dari ancaman maut Malaikat
Malam. Berarti yang membunuh Eyang Poci Dewa adalah Malaikat Malam."
"Apakah... apakah Ki
Buyut Gerang mengetahui siapa si Malaikat Malam itu?!"
"Aku tak banyak tanya,
sebab beliau sedang berkabung. Tapi Ki Buyut Gerang sempat berkata kepada
muridnya sendiri: Cumbu Bayangan, bahwa Malaikat Malam pasti orang berilmu
tinggi."
"Kalau begitu aku harus
menemui Ki Buyut Gerang untuk menanyakan siapa Maiaikat Malam itu
sebenarnya."
"Aku sempat bicara dengan
sahabat tuamu yang mengaku mengenalmu sangat akrab."
"Siapa orang itu?"
"Si Tua Bangka alias Ki
Sanupati."
"O, ya...! Beliau memang
sahabat tuaku yang cukup akrab. Lalu, apa kata beliau?"
"Malaikat Malam dulu
memang pernah muncul dan menggegerkan rimba persilatan, ia ksatria dari
Pegunungan Sojiyama, pembela kebenaran dan pembela rakyat yang lemah, ia selalu
tampil dengan pakaian hitam yang membungkus dirinya sampai hanya tinggal bagian
mata saja. Tapi itu cerita masa lalu, beberapa puluh tahun yang silam. Sekarang
ksatria yang berjuluk Malaikat Malam sudah tiada. Gugur dalam pertempuran di
tengah samudera. Jika sekarang muncul lagi orang yang mengaku Malaikat Malam,
berarti orang itu adalah Malaikat Malam yang palsu."
"Pegunungan
Sojiyama...?!" Suto Sinting menggumam bagai teringat sesuatu.
"Rasa-rasanya ada tokoh yang lebih tahu tentang Pegunungan Sojiyama. Dia
memang berguru di Pegunungan Sojiyama. Kurasa dia tahu banyak tentang ksatria
Malaikat Malam itu."
Dalam benak Suto Sinting
terbayang seraut wajah tua yang sering terbatuk-batuk. Tokoh tua ini mempunyai
kesaktian tersendiri. Suara batuknya bisa beraneka ragam, dan tiap ragam suara
batuknya dapat menghadirkan kekuatan tenaga dalam yang mampu melumpuhkan lawan.
Tokoh tua yang pernah berguru di Pegunungan Sojiyama itu tak lain adalah Batuk
Maragam, termasuk tokoh aliran putih yang menjadi sahabat si Gila Tuak, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Peri Sendang Keramat").
Kinanti segera berkata,
"Kusarankan sebelum temui Ki Buyut Gerang, sebaiknya carilah dulu pakaian
yang layak untukmu! Jangan mengenakan pakaian perempuan begini, nanti orang
sangka kau sudah tak waras lagi, seperti dugaanku semula!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum sedikit masam. Lalu ia terbayang wajah cantik si Payung Serambi.
"Gadis itu harus
kutemukan! Pasti gadis itu yang telah menelanjangiku seenaknya dan menyimpan
pakaianku entah di mana."
"Gadis mana?! Kau habis
bercinta dengan seorang pelacur?"
"Husy! Sembarangan saja
kau bicara. Payung Serambi bukan seorang pelacur dan aku tidak bercinta
dengannya...," lalu Suto Sinting menceritakan tentang Payung Serambi yang
menodongkan pedangnya ketika Suto bangun tidur.
"Kalau begitu, ia pasti
ada di Hutan Rawa Kotek!" "Kurasa memang begitu," sambil Suto
Sinting
anggukkan kepala.
"Kejarlah dia ke sana
sebelum pergi dan sulit kau temukan kembali!"
"Ya, aku memang harus ke
Hutan Rawa Kotek untuk temui si Payung Serambi. Tetapi... apakah kau tak ingin
ikut denganku?"
Kinanti sunggingkan senyum
tipis. "Aku malu berjalan dengan seorang banci."
"Ah, kau...!"
Pendekar Mabuk cemberut dan tampak kecewa dengan ucapan itu. Wajahnya sedikit
merah karena menahan rasa malu. Tapi akhirnya ia tertawa juga setelah Kinanti
melengos sambil sembunyikan tawa candanya.
"Sayang sekali aku hanya
diutus oleh sang Ratu untuk mewakili
orang-orang Lembah Birawa dalam menghadiri pemakaman Eyang Poci Dewa, sahabat
baik sang Ratu itu. Kalau aku terlalu lama meninggalkan Lembah Birawa, pasti
akan membuat sang Ratu cemas."
Pendekar Mabuk hembuskan napas
panjang-panjang. "Baiklah jika kau tak ingin ikut. Sampaikan salamku
kepada Ratu Jiwandani. Tapi jangan ceritakan keadaanku yang memakai pakaian
perempuan ini!"
Kinanti hanya tertawa kecil,
nyaris tak terdengar. Tapi dari sorot matanya yang memandang ke arah Suto itu
tampak sekali hatinya riang dan merasa iba juga terhadap nasib si tampan Suto
yang kehilangan pakaian itu. Suto Sinting pun akhirnya pergi lebih dulu,
sementara Kinanti masih memandangi dengan segumpal kekaguman tetap tersimpan
dalam lubuk hatinya.
Jurus 'Gerak Siluman'
digunakan lagi dalam perjalanan menuju Hutan Rawa Kotek. Sepanjang perjalanan
benak Suto Sinting berkecamuk terus memikirkan siapa lawannya yang terbungkus
kain hitam itu. Benarkah dia si Malaikat Malam? Apa alasannya menyerang Poci
Dewa hingga menewaskan tokoh tua itu? Setidaknya orang yang mengaku si Malaikat
Malam itu mempunyai ilmu lebih tinggi dari Poci Dewa. Kinanti adalah lawan yang
bukan tandingannya. Pantas Kinanti tadi hampir mati karena jurus yang digunakan
si Malaikat Malam itu adalah jurus berbahaya yang sukar dihindari dan ditangkis
oleh orang seperti Kinanti.
"Sialnya, mengapa dalam
menghadapi masalah ini aku harus kehilangan pakaian, sehingga aku bisa
terlambat mengetahui siapa si Malaikat Malam itu," katanya dengan suara
pelan. "Sebenarnya siapa yang mencuri pakaianku? Apakah si Payung Serambi
yang melakukannya? Dengan cara bagaimana ia melucuti pakaianku sampai aku tak terbangun
sedikit pun dari tidurku? Jika benar si Payung Serambi yang lakukan, berarti ia
termasuk orang berilmu tinggi juga! O, ya... ada masalah apa ia mencari Nini
Kalong sampai mengancam nyawaku segala? Apakah ia bermusuhan dengan Nini
Kalong? Seandainya " Tiba-tiba ucapan Suto Sinting terhenti, demikian pula
langkahnya yang cepat itu terpaksa dihentikan secara mendadak. Karena tak jauh
di depannya ia melihat sebuah pertarungan yang menggunakan senjata pedang.
Hal yang mengejutkan Suto
Sinting adalah sosok manusia berpakaian serba hitam, sedang menebas pedang
samurainya ke arah seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun berjubah tanpa
lengan warna hijau, pakaian dalam berwarna kuning tipis, rambut depan diponi
sedangkan rambut belakang meriap sebatas punggung. Pendekar Mabuk kenal betul
dengan gadis yang menjadi Perwira Pulau Sangon itu. Dia tak lain adalah Dewi
Cintani, murid Pendeta Kembang Ayu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Dendam Selir Malam").
Dewi Cintani yang dulu
berbentuk manusia setengah hewan karena kutukan Selir Dewani itu tampak
beringas sekali menyerang lawannya. Pedangnya menyala biru membara dan
ditebaskan dengan bertubi-tubi ke arah orang berpakaian serba hitam itu.
Tebasan itu menghadirkan sinar biru yang mengikuti gerak pedang, dan sinar biru
tersebut ternyata memancarkan hawa panas hingga beberapa daun yang berada di
dekatnya menjadi layu dan keriput.
Wung, wuung, wuung, wuung...!
Lawannya tampak tenang sekali,
menghindar dengan lincah tanpa kesan terdesak oleh serangan Dewi Cintani.
Samurai panjang tetap digenggam dengan dua tangan, dan matanya yang tampak
bagaikan sebaris itu mengikuti tiap gerakan pedang lawan.
Trang, trang... tring...!
Pedang beradu dengan kuat,
memercikkan cahaya merah yang berasap putih kusam.
Tiba-tiba si Malaikat Malam
bergerak cepat memutar tubuhnya dan weess...! Lenyap sekejap, tahu-tahu muncul
di belakang Dewi Cintani. Samurai itu disabetkan dari kiri ke kanan. Beet...!
Crass...!
"Aaahh...!" Dewi
Cintani terpekik sambil tubuhnya mengejang. Pinggangnya robek besar karena
tebasan samurai yang agaknya sukar dipatahkan itu.
Clap, clap, clap, clap...!
Suto Sinting lepaskan jurus
'Pukulan Gegana' seperti saat ia menyelamatkan Pakis Ratu dari ancaman maut
Kebo Wirang. Sinar kuning patah-patah itu menghantam pinggang si Malaikat
Malam. Tetapi agaknya Malaikat Malam bukan lawan yang mudah dilukai. Hawa panas
yang mendekatinya segera disadari, dan tanpa banyak perhitungan ia sentakkan
kaki ke tanah dan tubuhnya melambung tinggi. Samurainya diacungkan ke bawah,
dan dari ujung samurai itu keluar selarik sinar merah mirip baja membara.
Claaap...!
Duar, duar, duaaar...!
Ledakan beruntun terjadi
akibat benturan sinar kuning patah-patah dengan sinar merah dari ujung samurai.
Tetapi ledakan itu membuat si Malaikat Malam jatuh terpelanting hingga
samurainya hampir terlepas dari tangannya. Zlaaap...! Suto Sinting tiba di
tempat pertarungan dengan mata memandang penuh kegeraman, karena teringat
cerita Kinanti tentang kematlan si Poci Dewa. Orang berpakaian serba hitam itu
mundur dua tindak, tapi masih menggenggam samurai dan pasang kuda-kuda untuk
lakukan penyerangan.
Perhatian Suto Sinting sempat
lengah karena terpancing suara rintihan kecil dari Dewi Cintani yang terluka
pinggang cukup dalam. Pada saat Pendekar Mabuk perhatikan Dewi Cintani itulah,
sebuah benda melayang ke arahnya. Ziing...!
Senjata rahasia berbentuk
bunga mawar dilemparkan oleh Malaikat Malam. Suto Sinting terkejut dan berusaha
menangkisnya dengan bumbung tuak. Tetapi tangkisannya meleset, sehingga
lempengan logam bergerigi itu menancap di pangkal lengan kirinya. Jrrub...!
"Aaahg...!" Suto
Sinting terpekik dan mundur selangkah dengan sedikit membungkuk.
Seketika itu si Malaikat Malam
membanting sesuatu ke tanah. Buuusss...! Asap tebal membungkus dirinya dan
kejap berikutnya sosok manusia berpakaian serba hitam itu lenyap dari pandangan
mata. Asap putih itu membubung tinggi dan hilang terhembus angin bersama
hilangnya si Malaikat Malam.
Suto Sinting gemetar karena
senjata rahasia lawan yang mengenai pangkal lengannya itu ternyata beracun
ganas. Sekujur tubuh Suto menjadi panas dan lemas. Pandangan matanya mulai
berkunang-kunang sehingga ia tak dapat melihat keadaan Dewi Cintani dengan
jelas.
Dengan sisa tenaga yang ada,
ia mencabut senjata rahasia itu dari lengannya. Seet...! Cuuur...! Darah
mengucur dari luka. Darah itu bukan berwarna merah segar, melainkan merah
kehitam-hitaman penuh racun.
*
* *
4
SEBUAH gua tak seberapa besar
menjadi tempat mereka beristirahat. Justru Dewi Cintani yang memapah Suto
Sinting mencari tempat aman dan menemukan gua tersebut.
Luka beracun yang diderita
Suto Sinting sudah dilawan dengan menenggak tuak beberapa teguk. Tapi luka itu
belum juga sembuh, hanya rasa sakitnya sedikit berkurang, pandangan mata sedikit
jelas, tenaganya agak lumayan walau masih tergolong lemah. Dalam keadaan yang
serba sedikit itu, Pendekar Mabuk paksakan diri dekati Dewi Cintani. Ia
berhasil menuang tuaknya ke mulut Dewi Cintani walau dengan berceceran ke mana-
mana.
Luka di pinggang Dewi Cintani
menjadi kering dan merapat, akhirnya hilang bersama lenyapnya ceceran darah di
sekitar luka. Dewi Cintani menjadi sehat, tetapi Suto Sinting masih menderita
sakit dan lemah. Karena itulah Dewi Cintani bisa memapah Suto Sinting mencari
tempat aman sampai akhirnya mereka temukan gua tersebut ketika matahari hampir
tenggelam.
Dewi Cintani pula yang membuat
api unggun kecil untuk penerangan di dalam gua tersebut. Sedangkan Suto Sinting berbaring empat langkah dari
gugusan api unggun itu. Lukanya memang sudah tidak mengucurkan darah, namun
belum mengering dan masih tampak terkuak mengerikan.
"Mulanya kupikir kau
bukan Pendekar Mabuk, karena kau mengenakan kebaya dan kain," ujar Dewi
Cintani yang bersimpuh di samping Suto Sinting. "Tapi setelah kesadaranku
pulih betul, aku baru yakin bahwa kau adalah Pendekar Mabuk yang pernah
selamatkan aku dari kutukan Selir Malam."
Gadis cantik berlesung pipit
manis sekali itu sunggingkan senyum kecil yang tak bisa ditahan lagi. Suto
Sinting menahan rasa malu dan membiarkan kancing kebayanya terlepas hingga dada
bidangnya terlihat jelas. Gadis itu mengusap dada bidang tersebut dengan
lembut, membersihkan tanah yang mengotori kulit dada kekar bercampur keringat.
"Lukaku bisa hilang dalam
waktu yang tergolong cepat, aku pun menjadi sehat, bahkan kurasakan badanku
lebih segar dari sebelumnya. Tetapi mengapa lukamu sendiri tak bisa sembuh,
Suto? Padahal kau minum tuak lebih banyak ketimbang diriku."
Pendekar Mabuk mengeluh pelan,
tangannya meraih senjata rahasia lawan yang tadi menancap di pangkal lengan
kirinya. Senjata itu masih dibawanya, dan kini sedang diperhatikan sambil
perdengarkan suaranya dengan lirih.
"Racun pada senjata
rahasia ini adalah racun ganas yang sukar ditangkal. Tuak saktiku bisa saja melawan
racun yang mengenai tubuhku, tetapi tak secepat mengobati lukamu. Kurasakan
makin lama rasa perihnya makin berkurang, itu pertanda tuak saktiku mampu
melawan kekuatan racun ini."
"Syukurlah jika begitu,
yang penting kau pun harus sembuh dan sehat kembali seperti diriku, Suto.
Aku takut kau akan menderita terlalu
lama. Itu berarti kau akan tersiksa dan aku tak bisa melihat kau tersiksa begini terus-terusan."
Wajah cantik itu dipandanginya
dengan lembut. Tangan yang terluka bisa dipakai untuk bergerak. Tangan itu
terangkat pelan-pelan, kemudian mengusap pipi berkulit halus milik sang Perwira
Pulau Sangon itu.
"Cintani, percayalah...
aku pasti akan sembuh. Hanya saja, butuh waktu beberapa saat untuk menunggu
kesembuhanku. Kumohon, jangan cemaskan hatimu, Cintani."
Usapan lembut dan kata-kata
merdu itu bagai mengusik hati Dewi Cintani. Berdebar pula hati gadis itu bagai
menyebar bunga-bunga indah yang sukar dilukiskan lewat kata. Rasa kagum dan
terpikatnya semakin membara di dalam hati Dewi Cintani. Padahal rasa kagum dan
terpikat itu dulu telah disembunyikan rapat-rapat di dasar hati ketika ia
pulang ke Pulau Sangon bersama adik lelakinya; Elang Samudera.
Dewi Cintani tahu, bahwa Suto
Sinting sudah mempunyai kekasih sendiri, seorang calon istri yang menjadi
penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi berjuluk Gusti Mahkota Sejati alias Dyah
Sariningrum. Karenanya, Dewi Cintani bertekad untuk melupakan kesan indah yang
amat pribadi kepada Pendekar Mabuk. Namun kesan indah yang amat pribadi itu
kali ini bagaikan tumbuh kembali dan kian merimbun, menimbulkan kecemasan dan
kegelisahan lain bagi si Perwira Pulau Sangon itu.
"Cintani, apakah kau
kenal dengan si Malaikat Malam yang bertarung denganmu tadi?"
"Aku sengaja mengejarnya
sampai ke pulaumu ini," jawab Dewi Cintani. Kesan sendunya berubah menjadi
bias-bias dendam, sehingga sorot pandangan matanya tak selembut tadi.
"Apakah kau memang punya
persoalan dengan orang berpakaian serba hitam itu?"
"Ya. Persoalannya sangat
besar!" jawab Dewi Cintani bernada geram. "Dia telah membunuh guruku;
Pendeta Kembang Ayu, penasihat Ratu Remaslega."
"Ya, ampun...?!"
Suto Sinting terkesiap dengan mata memandang tegang.
"Aku berjanji tak akan
kembali menjadi Perwira Pulau Sangon sebelum dapat membalas kematian
Guru!" geram Dewi Cintani dengan pandangan mata lurus dan berkesan dingin
sekali.
"Sebelum mendiang guruku
menghembuskan napas terakhir, beliau sempat berpesan padaku agar jangan
coba-coba mendekati Malaikat Malam. Tetapi pesan itu tak kuhiraukan, karena
hatiku sangat terluka melihat kematian Guru yang diawali dengan kematian
beberapa pengawal Ratu Remaslega, teman-temanku sendiri itu. Bahkan sang Ratu
pun terluka oleh pukulannya yang sampai sekarang membuatnya lumpuh tak mampu
berjalan lagi."
Kelopak mata gadis cantik itu
mulai mengecil penuh pancaran dendam, ia menyambung kata-katanya dengan gigi
menggeletuk.
"Apa pun yang terjadi,
aku sudah siap mati dalam pertarunganku dengan si Malaikat Malam itu!"
Dalam hati Suto Sinting
membatin, "Jika Pendeta Kembang Ayu pun tumbang di tangan Malaikat Malam,
dan ia bisa menembus pertahanan istana Pulau Sangon, berarti Malaikat Malam
memang bukan orang sembarangan. Ilmunya cukup tinggi dan sukar ditandingi. Ah,
tapi apakah benar aku tak bisa menandinginya? Aku jadi penasaran ingin
berhadapan secara ksatria dengannya!"
Dewi Cintani hembuskan napas
sebagai peredam dendam kesumatnya kepada Malaikat Malam. Pandangan matanya
tertuju kembali kepada Suto Sinting walau masih terlihat samar-samar bias-bias
kemarahannya. Pendekar Mabuk menenangkan kegusaran hati gadis itu dengan
ucapan-ucapan lembut yang meneduhkan jiwa.
"Kematian adalah bagian
dari kehidupan kita. Jangan terlalu mengumbar murka jika ingin membalas dendam
kepada lawan. Pada saatnya nanti kita pun akan menyaksikan kematian lawan
secara langsung maupun tak langsung. Dalam hal ini, aku tidak akan tinggal
diam, Cintani. Aku tidak ingin kau terbunuh oleh Malaikat Malam. Kudampingi kau
sampai kita lihat sendiri kematian si Malaikat Malam yang agaknya telah menjadi
biang bencana bagi beberapa tokoh aliran putih di rimba persilatan ini. Sebab
Eyang Poci Dewa, sahabat guruku sendiri itu, juga mati di tangan Malaikat
Malam."
Mata indah itu kini
berkaca-kaca karena menahan air mata duka. Ucapan itu mengharu biru di hati
Dewi Cintani. Tetapi agaknya gadis yang menjadi Perwira Puiau Sangon itu tidak
mau menangis di depan seorang lelaki. Jiwa keperwiraannya mengalahkan naluri
kewanitaannya, sehingga ia bersikeras menahan air mata untuk tangis sebuah
kematian.
"Jadi, kau tidak tahu siapa
orang di balik pakaian hitamnya itu?"
Dewi Cintani gelengkan kepala.
"Yang kutahu dia berjuluk Malaikat Malam, itu pun aku tak tahu dari mana
asalnya dan ada persoalan apa dengan guruku, sehingga ia menyerang Pulau Sangon
dan sasaran utama adalah Eyang Pendeta Kembang Ayu. Guru tak sempat jelaskan
perkara itu, napasnya telah terhembus untuk terakhir kalinya."
"Misterius sekali
Malaikat Malam itu. Siapa dia dan mengapa melakukan tindakan seperti itu, sukar
diduga- duga."
"Satu-satunya jalan
dengan merobek dadanya kita bisa membuka kedoknya dan mengetahui siapa dia
sebenarnya," geram Dewi Cintani diiringi pancaran dendam yang tak setajam
tadi. Ia memandangi Suto Sinting, mengusap keringat di kening sang pemuda
tampan itu. Lalu sebaris kata lirih diucapkan dalam kelembutan tersendiri.
"Lekaslah sembuh, agar
kita bisa bersama-sama memburu biang bencana itu, Suto."
Pendekar Mabuk hanya anggukkan
kepala dengan sunggingkan senyum tipis. Dua helaan napas lamanya ia tak bicara
kecuali memandang Dewi Cintani dengan penuh keindahan yang mendebarkan hati
gadis itu. Kejap berikutnya barulah
suaranya terdengar dengan lembut pula.
"Aku pasti akan lekas
sembuh jika kau menemaniku di sini."
"Akan kutemani sampai
kapan pun, Suto," ucap Dewi Cintani bernada bisik. Gadis itu menunduk,
mendekatkan wajah ke wajah Suto Sinting. Tangan Suto yang kanan meraih kepala
gadis Iiu dengan lembut, kemudian wajah cantik itu diciumnya. Bibirnya dikecup
dengan sangat lembut sekali, dan dilepaskan pelan-pelan bagai penuh penghayatan
batin.
Hanya itu keindahan yang
berani mereka lakukan. Walau semalam suntuk mereka berdua di dalam gua, walau
sang gadis berbaring di samping Pendekar Mabuk, namun tak ada yang berani
mereka lakukan lebih dari itu, karena keduanya saling menjaga harga diri dan
kehormatan.
Mereka tidur dengan tangan
saling menggenggam. Seakan kemesraan itu lebih agung ketimbang cumbuan penuh
nafsu birahi. Toh kehangatan tangan yang saling menggenggam membuat tidur
mereka nyenyak dan mimpi mereka menjadi indah.
Ketika mereka sama-sama
terbangun pada esok paginya, luka-luka yang diderita Pendekar Mabuk telah
lenyap tanpa bekas sedikit pun. Murid sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang
itu telah sehat, seluruh tenaganya telah pulih, badannya terasa lebih segar
dari sebelumnya. Gadis yang mendampinginya tampak ceria dan lega melihat luka
Suto Sinting telah lenyap tanpa bekas.
"Boleh aku menciummu
sebagai hadiah kesembuhanmu?" tanya Dewi Cintani, kali ini diiringi sikap
genitnya sebagai seorang gadis yang masih menyukai kemanjaan. Suto Sinting
hanya anggukkan kepala sambil sunggingkan senyum yang amat menawan. Maka, Dewi
Cintani pun menempelkan bibirnya di pipi Suto Sinting dengan cepat. Cup...!
Kemudian keduanya sama-sama mengikik geli.
Pendekar Mabuk mencubit pipi
si gadis sambil berkata, "Kau perwira yang nakal!"
"Begitukah
menurutmu?"
"Ya. Tapi aku suka
kenakalanmu. Jangan buang kenakalan itu dan simpanlah hanya untukku."
"Tapi tak mungkin untukmu
selamanya, bukan?"
Suto Sinting tak bisa menjawab
karena menyadari keberadaan hatinya yang telah terisi oleh kenakalan wanita
lain yang anggun dan bijaksana. Wanita itu tak lain adalah Dyah Sariningrum,
calon istri yang amat dicintainya itu. Karenanya, Suto Sinting pun segera
alihkan pembicaraan ke masalah pakaiannya yang hilang itu.
"Aku harus ke Hutan Rawa
Kotek untuk temui Nini Kalong. Sebab gadis yang mencuri pakaianku itu ada di
sana."
"Gadis...? Gadis
cantikkah dia?" nada cemburu bagai mulai tersirat dari nada pertanyaan
Dewi Cintani.
"Memang cantik, tapi tak
secantik dirimu," ujar Suto Sinting mengeluarkan jurus kunonya yang
bernama 'rayuan gombal', dan jurus itu hanya mendapat cibiran dari Dewi
Cintani.
"Siapa gadis itu
sebenarnya?" tanya Dewi Cintani sambil melangkah meninggalkan gua tersebut
menuju Hutan Rawa Kotek.
Pendekar Mabuk pun segera
menceritakan peristiwa hilangnya pakaian secara lengkap. Di akhir ceritanya, ia
berkata,
"Dan gadis yang mengancam
nyawaku itu mengaku bernama Payung Serambi. Dia memang "
"Siapa...?!" potong
Dewi Cintani dengan wajah tegang karena terperanjat. Langkah kakinya pun
terhenti sambil tangannya mencekal lengan Pendekar Mabuk.
"Siapa nama gadis itu?!
Payung Serambi?!"
"Ya, Payung Serambi.
Kenapa...?!" Suto Sinting memandang penuh keheranan. "Apakah kau
mengenalnya?"
"Payung Serambi atau
Ratih Kumala itu orang Istana Laut Kidul."
Kini wajah Pendekar Mabuk
tampak semakin terheran-heran.
"Istana Laut Kidul...?!
Aku baru mendengar nama itu sekarang. Apa yang kau ketahui tentang Istana Laut
Kidul?"
Sambil melangkah kembali Dewi
Cintani menjelaskan apa yang diketahuinya tentang orang-orang Istana Laut
Kidul. Suto Sinting menyimak baik-baik dengan dahi sebentar-sebentar berkerut.
"Orang-orang Istana Laut
Kidul adalah orang-orang berilmu tinggi. Nenek moyang mereka adalah keturunan
siluman. Jurus-jurus silatnya sukar ditandingi."
"Siapa Penguasa Istana
Laut Kidul itu?"
"Nyai Kandita adalah Ratu
Laut Kidul. Beliau memang asli siluman yang bisa hidup di darat maupun di dasar
laut."
Buat Suto Sinting sebenarnya
kehidupan di dasar laut bukan hal aneh lagi, karena calon mertuanya: Ratu
Kartika Wangi, juga penguasa negeri Putri Gerbang Surgawi di alam gaib, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Manusia Seribu Wajah"). Juga,
Ratu Asmaradani, penguasa negeri Ringgit Kencana yang ada di dasar laut utara,
mempunyai hubungan akrab dengan Suto Sinting. Negeri di dasar laut itu pernah
didatangi Suto Sinting dua kali, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Bandar Hantu Malam" dan "Tabib Darah Tuak").
Tetapi sesuatu yang membuat
Suto Sinting penasaran adalah jati diri gadis cantik yang mengaku bernama
Payung Serambi itu. Untuk mengetahui siapa Payung Serambi sebenarnya, Suto
Sinting sengaja tidak mau banyak tanya agar Dewi Cintani menceritakan segala
apa yang diketahuinya tentang Istana Laut Kidul.
"Ratu Remaslega masih ada
keturunan dari Istana Laut Kidul. Kakeknya dulu bekas 'abdi dalem' di Istana
Laut Kidul. Karenanya pihakku menjalin hubungan baik dengan orang-orang Istana
Laut Kidul. Payung Serambi alias Ratih Kumala itu adalah salah satu dari tiga
duta Istana Laut Kidul. Kesaktiannya sangat tinggi, karena sebagai duta ia
dibekali berbagai ilmu gaib dari Nyai Kandita, sang Ratu Laut Kidul."
"Ooo... dia seorang
duta?!" gumam Pendekar Mabuk sambil manggut-manggut.
"Biasanya orang-orang
Istana Laut Kidul tak mau campuri urusan orang lain. Mereka hanya bertindak
jika ada pihak luar yang ingin membuat onar suasana Istana Laut Kidul."
"Lalu, untuk apa dia
menemui Nini Kalong?" "Tentunya Nini Kalong punya urusan dengan
orang-
orang Istana Laut Kidul.
Dan... perlu kuingatkan padamu, agar berhati-hatilah menghadapi perempuan dari
Laut Kidul."
"Kenapa begitu?"
"Perempuan dari Istana
Laut Kidul, jika jatuh cinta pada seorang pria, tak mungkin gagal mendapatkan
pria itu. Ia akan menundukkan pria itu sampai sang pria menjadi budak cintanya.
Kurasa jika Payung Serambi terpikat padamu, maka kau akan dibuat berlutut di
hadapannya. Para wanita Istana Laut Kidul rata-rata mempunyai kekuatan gaib
pemikat sangat tinggi." Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tawar.
Kesan tidak percaya terlihat
jelas di wajah pemuda tampan yang memakai kain dan kebaya mirip banci konyol.
"Prajurit Istana Laut
Kidul yang setingkat dengan tamtama saja ilmunya cukup tinggi, sukar
ditandingi. Apalagi ia seorang utusan terhormat bagi sang Ratu, tentu saja kau
tak mampu melawannya. Mendiang guruku sendiri selalu memberi hormat jika
bertemu dengan tiga utusan Nyai Kandita. Mungkin demikian juga halnya dengan
gurumu; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang."
Suto hanya membatin,
"Benarkah ilmuku di bawah mereka?!"
*
* *
5
PADA pertengahan siang mereka
baru sampai di Bukit Kembar. Untuk menuruni Bukit Kembar dan mencapai wilayah
Hutan Rawa Kotek dibutuhkan waktu tak sampai setengah hari, bahkan kurang dari
seperempat hari. Jika ditempuh dengan kecepatan 'Gerak Siluman' mungkin hanya
beberapa saat saja.
Tetapi ternyata perjalanan itu
tak bisa semulus dugaan Dewi Cintani. Di puncak Bukit Kembar mereka melihat
kepulan asap membubung tinggi. Kepulan asap itu ada di puncak sebelah barat.
Pendekar Mabuk ingin tahu apa yang terjadi di puncak bukit sebelah barat itu.
"Sudahlah, tak perlu
hiraukan kepulan asap itu. Kita langsung saja menuju kediaman Nini
Kalong," kata Dewi Cintani.
"Aku tak bisa tenang jika
sudah diburu rasa penasaran begini. Aku harus melihat apa yang terjadi di
sebelah barat itu, Cintani. Kalau kau merasa lelah, beristirahatlah di sini dan
biarlah aku datang ke sana sebentar. Sekadar ingin mengetahui apa yang terjadi
saja, setelah itu aku akan cepat-cepat kembali menemuimu di sini."
Tentu saja Dewi Cintani tak
mau menjadi seorang penunggu, ia lebih baik mengalah dan ikut menuju ke puncak
bukit sebelah barat. Kali ini mereka bergerak cepat, jurus 'Gerak Siluman'
digunakan tidak sepenuhnya agar Dewi Cintani tidak tertinggal jauh di belakang
Suto Sinting. Karena gadis cantik itu tidak mempunyai kecepatan gerak yang
menyamai jurus 'Gerak Siluman', dan memang jarang ada yang bisa menyamai
kecepatan jurus 'Gerak Siluman', kecuali hanya beberapa orang tokoh tua sahabat
si Gila Tuak.
Sampai di puncak sebelah
barat, Pendekar Mabuk dan Dewi Cintani sama-sama terperanjat. Ternyata kepulan
asap yang membubung tinggi itu adalah upacara pembakaran mayat yang dihadiri
oleh beberapa tokoh tua yang sudah
dikenal Suto Sinting. Di antara mereka yang hadir adalah Galak Gantung, Batuk
Maragam, Resi Pakar Pantun, Ki Madang Wengi, Nyai Mas Gandrung Arum, dan yang
lainnya. Tampak pula hadir di sekitar tumpukan kayu pembakar jenazah Nyai
Kidung Laras dan muridnya; Pakis Ratu, juga tokoh gemuk berpakaian putih; si
Jubah Kapur dan muridnya; Inupaksi.
Pendekar Mabuk hentikan
langkah dan berlindung di balik sebatang pohon besar. Wajahnya sempat tegang
saat ia tahu di sana ada beberapa gadis yang dikenalnya, antara lain Puspa
Jingga; murid Nini Kalong, Gadis Dungu dan gurunya; Nyai Serat Biru, tampak
pula Rara Santika yang pernah disangka sebagai si Gundik Sakti itu, dan
beberapa gadis lainnya yang tentu akan memandang aneh kepada Suto.
Keadaan Suto Sinting yang
mengenakan pakaian dan kebaya itulah yang membuatnya tak berani muncul begitu
saja. Tentu saja ia akan malu jika mereka menertawakan dirinya yang mirip banci
konyol itu. Akibatnya, Suto Sinting menjadi salah tingkah dan bingung sendiri.
"Jika begitu, lepaskan
saja kain dan kebayamu itu, lalu datanglah menemui mereka ke sana," ujar
Dewi Cintani.
"Itu lebih gila
lagi!" sergah Suto Sinting. "Kalau aku datang ke sana dalam keadaan
tanpa pakaian bisa-bisa semua orang yang sedang menghadiri jenazah itu bubar
semua, lari pontang-panting karena menganggapku telah glia."
Dewi Cintani tertawa tertahan.
"Kurasa hanya yang lelaki yang lari pontang-panting. Tapi para gadis yang
kau kenal itu akan lari berebut menubrukmu."
"Ah, kau...!"
Pendekar Mabuk mendesah agak jengkel mendengar canda tersebut, ia benar-benar
bingung mengatasi keadaannya. Jika mereka yang ada di sana mengetahui dirinya
berkebaya, tentu saja wibawanya sebagai seorang pendekar akan turun dan
diperolok-olok. Suto Sinting tak mau hal itu terjadi.
"Sebaiknya kau saja yang
datang ke sana, dan cari tahu jenazah siapa yang dibakar itu?" katanya
kepada Dewi Cintani. Sang gadis hanya angkat bahu, pertanda menerima begitu
saja gagasan tersebut. Kemudian ia segera pergi mendekati upacara pembakaran
jenazah. Suto Sinting mengawasi dari balik pohon besar.
"Mengapa mereka datang
semua ke pembakaran jenazah itu?" ujarnya membatin. "Pasti orang yang
meninggal adalah orang yang dikenal di rimba persilatan. Setidaknya tokoh tua
yang pernah bersahabat dengan mereka-mereka itu. Dan... oh, kelihatannya Resi
Pakar Pantun mencucurkan air mata dan berwajah duka. Hmm... tampaknya si Puspa
Jingga pun menangis, dan beberapa orang berwajah murung menahan duka. Siapa
sebenarnya yang meninggal itu? Ah, Cintani lama sekali. Padahal maksudku ia tak
perlu mengikuti upacara pembakaran jenazah, ia hanya menanyakan siapa yang
mati, setelah itu kembali kemari. Tapi... tapi agaknya ia justru ikut hadir
dalam upacara itu sampai selesai nanti. Uuh..! Bodoh sekali gadis itu!"
Beberapa saat lamanya Suto
Sinting terpaksa bersembunyi di balik pohon besar Itu. Tiba-tiba ia melihat
sesosok bayangan biru yang berlari menuruni kaki bukit. Kecepatan gerak
bayangan itu cukup tinggi, tapi penglihatan Suto Sinting masih mampu mengikuti
kecepatan gerak tersebut, sehingga ia dapat mengetahui siapa orang yang berlari
menuju kaki bukit Itu.
"Payung Serambi...?! Ya,
itu dia si Payung Serambi! Mengapa ia lari meninggalkan bukit ini? Apakah ia
tak jadi menemui Nini Kalong atau... atau karena apa? Ah, sebaiknya kukejar dia
dan kudesak untuk mengembalikan pakaianku!"
Sayang sekali ketika Suto
Sinting ingin bergerak mengejar Payung Serambi, dari arah pembakaran jenazah
tampak Dewi Cintani berlari menghampirinya. Mau tak mau Suto Sinting menahan
diri sebentar untuk menunggu kedatangan Dewi Cintani, lalu akan diajak mengejar
Payung Serambi bersama-sama.
"Bagaimana, Cintani?
Siapa yang meninggal dan jenazahnya dibakar itu?"
Dewi Cintani menarik napas
lalu menghembuskannya panjang-panjang, ia menenangkan diri sebentar, memandang
ke arah pembakaran jenazah, di mana orang-orang yang hadir di situ mulai
bergegas meninggalkan tempat.
"Cintani, lekas jawab
siapa yang meninggal itu?" desak Suto Sinting dengan tak sabar lagi,
karena ia ingin buru-buru mengejar Payung Serambi.
Dewi Cintani memandangnya dan
menjawab pelan, "Nini Kalong "
"Siapa...?! Nini Kalong?!
Dia yang meninggal?!" Suto Sinting nyaris terpekik karena kagetnya.
Gadis bermata bening itu
anggukkan kepala, lalu berkata,
"Aku sempat bicara dengan
si Jubah Kapur. Menurut keterangannya, Nini Kalong tewas karena serangan dari
belakang yang dilakukan oleh orang berpakaian serba hitam; Malaikat Malam.
Kejadian itu dilihat sendiri oleh muridnya; Puspa Jingga. Tapi sang murid waktu
itu tak berdaya karena terkena totokan si Malaikat Malam."
"Ka... ka... kapan
peristiwa itu terjadi?" "Kemarin siang!"
"Kemarin siang...?! Oh,
kurasa... kurasa bukan si Malaikat Malam yang menyerang Nini Kalong. Gadis
itulah yang menyerangnya; si Payung Serambi! Sebab setahuku Payung Serambi
kemarin siang bernafsu sekali ingin bertemu Nini Kalong sampai ia mengancam
nyawaku dengan pedangnya."
"Atau...," Dewi
Cintani perdengarkan suaranya setelah bungkam selama dua helaan napas.
"Atau... mungkin Malaikat
Malam adalah orang suruhan Payung Serambi untuk lakukan pembunuhan terhadap
"
"Bukan begitu!"
sergah Suto Sinting. "Payung Serambi itulah si Malaikat Malam!"
Dewi Cintani termenung sesaat.
Dahinya berkerut memikirkan kemungkinan tersebut. Suto Sinting tampak murung
karena membayangkan masa-masa pertemuannya dengan Nini Kalong, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Titisan Dewa Pelebur Teluh" dan
"Kipas Dewi Murka").
Sebelum Pendekar Mabuk bicara,
Dewi Cintani lebih dulu perdengarkan suaranya.
"Tapi menurut ceritamu
tadi, Payung Serambi mengenakan jubah tanpa lengan warna biru dan. "
"Apa sulitnya ia berganti
pakaian atau mengubah diri menjadi Malaikat Malam? Bukankah katamu tadi, orang
Istana Laut Kidul mempunyai kesaktian tinggi, termasuk kekuatan ilmu gaib
pemberian sang Ratu Laut Kidul?!"
Perwira Pulau Sangon itu diam
kembali dalam kebimbangan hati. Pendekar Mabuk teringat bayangan Payung Serambi
yang berlari menuju kaki bukit. Maka ia
pun segera mengajak Dewi Cintani untuk mengejarnya.
"Kulihat utusan sang Nyai
berlari menuju ke kaki bukit, belum lama ini! Sebaiknya kita kejar dia!"
"Tapi... hei, tunggu...!
Dia belum tentu bersalah, Suto!"
"Setidaknya dia harus
kembalikan pakaianku!" seru Suto Sinting yang sudah lebih dulu berkelebat
menuruni bukit itu. Dewi Cintani akhirnya menyusul juga karena tak ingin
biarkan Suto Sinting berhadapan dengan orang istana Laut Kidul itu. Ia tahu
jika Payung Serambi tersinggung perasaannya, maka ia akan mengamuk dan Suto
Sinting bisa kehilangan nyawa bila berhadapan dengan murka orang-orang Istana
Laut Kidul.
"Setidaknya kehadiranku
dapat meredakan kemarahan Payung Serambi, karena ia tahu pihakku bersahabat
dengan pihaknya," pikir Dewi Cintani sambil berusaha menyusul Suto Sinting
walau terasa semakin tertinggal jauh, karena Suto Sinting gunakan jurus 'Gerak
Siluman'-nya yang punya kecepatan melebihi anak panah terlepas dari busurnya.
Zlaap, zlaap, zlaap, zlaap...! Rupanya Payung Serambi sendiri punya kecepatan
gerak yang menyamai jurus 'Gerak Siluman', sehingga Suto Sinting sempat
kehilangan jejak dan bingung mengambil arah. Suto Sinting tak tahu bahwa Payung
Serambi mempunyai jurus yang dinamakan 'Halimun Gaib', dapat menyatu dengan
udara hingga tak mudah terlihat mata manusia biasa. Gerakannya pun seperti
hembusan angin yang mampu menerabas pepohonan atau benda apa pun.
Kecepatan Suto Sinting membuat
Dewi Cintani pun kehilangan jejak, akhirnya menempuh arah yang salah. Akhirnya
ia hentikan pengejarannya dengan sebaris gerutu dan makian untuk Pendekar
Mabuk. Hati gadis itu sangat dongkol
karena tak dapat menyusul Pendekar Mabuk dan tak bisa mempunyai perkiraan ke
mana arah yang ditempuh si tampan berkebaya merah jambu itu.
"Setan belang! Memang
sinting ilmu si Pendekar Mabuk itu! Aku jadi repot sendiri mencari
jejaknya," gerutu Dewi Cintani. "Biar bagaimanapun harus tetap
kucari, ia dalam bahaya besar jika berhadapan dengan Payung Serambi. Aku tak
ingin ia terluka seperti kemarin sore. Kasihan sekali. Aku sayang kepadanya dan
tak rela ia menderita sakit apa pun!"
Pendekar Mabuk tak pedulikan
lagi tentang Dewi Cintani yang ketinggalan di belakangnya itu. Pikirannya hanya
satu; mengejar Payung Serambi untuk dapatkan kembali pakaiannya. Setelah itu
baru berhitung tentang pembunuhan atas diri Nini Kalong.
Langkah Suto Sinting pun
akhirnya dihentikan secara mendadak, ia terkejut ketika menyadari dirinya sudah
berada di perbatasan sebuah desa.
"Wah, kacau...! Aku bisa
ditertawakan orang kalau sampai masuk ke desa ini! Pasti dianggap orang gila
atau banci konyol! Sebaiknya kuhindari saja desa ini, dan... oh, ya, aku butuh mengisi
bumbung tuakku. Bagaimana caranya menuju ke kedelai tanpa ditertawakan
orang?"
Otak pun berputar sesaat, lalu
hati berkecamuk menyusun rencana.
"Ah, sebaiknya aku
benar-benar berlagak menjadi perempuan saja. Biar disangka benar-benar
perempuan, jadi tidak ditertawakan sebagai banci gila! Hmmm... daun jati muda
bisa kupakai untuk gincu!"
Suto Sinting segera memetik
sehelai daun jati muda. Daun itu dikunyahnya, walau terasa sepet dan kasar,
tapi tetap dipaksakan agar menimbulkan warna merah untuk mengolesi bibirnya.
"Hooek..! Puih,
puih...!" Suto Sinting hampir muntah karena menelan getah daun jati muda
yang berwarna merah. Tapi dengan begitu bibirnya menjadi merah bagai mengenakan gincu dan mirip wanita. Suto
Sinting memetik setangkai bunga kuning mirip bunga kamboja. Bunga itu
disematkan di telinga kirinya. Kebaya dikancingkan rapat-rapat. Kain pun
dibenahi agar tampak sedikit rapi dan menyembunyikan bagian yang robek untuk
bagian dalam. Rambut pun disisir dengan lima jari, yang penting sedikit rapi
tidak kelihatan seperti lelaki.
"Demi tuak yang sudah
sangat menipis, aku terpaksa berpenampilan seperti ini. Ya, Dewa... semoga saja
kejadian seperti ini jangan terulang untuk yang kedua kalinya! Samber geledek
betul orang yang mencuri pakaianku itu!" keluhnya dalam hati sambil
memasukkan dua gumpalan jerami untuk mengisi dada kanan dan kiri. Dada itu
menjadi tampak montok, walau jika diremas bisa bikin orang pingsan tertawa atau
terkencing-kencing menahan geli.
Dengan langkah
melenggak-lenggok mirip perempuan genit, Pendekar Mabuk memasuki desa tersebut.
Beberapa penduduk desa yang berpapasan dengannya ada yang memperhatikan, ada
pula yang acuh tak acuh dan tidak merasa tertarik. Yang merasa tidak tertarik
adalah kaum wanitanya, yang memperhatikan dan merasa tertarik adalah kaum
lelakinya. Karena dalam keadaan bergincu merah, pemuda tampan itu tampak
seperti gadis yang cantik dan menggairahkan di mata pria. Badannya kelihatan
sekal dan matanya mengundang selera untuk bercumbu. Bibirnya yang memang berbentuk
indah itu membuat jantung setiap lelaki berdebar-debar, seakan ingin segera mencaploknya dan tak akan dilepaskan
selama sehari semalam.
"Sial! Justru menjadi
bahan perhatian kaum lelakinya. Apakah memang kelihatan cantik aku ini?"
pikirnya sambil melangkah gemulai mendekati sebuah kedai. Kebetulan di kedai
itu tidak banyak pengunjung, hanya ada empat orang yang sedang makan dan minum
di kedai tersebut. Suto Sinting langsung memesan tuak, menyuruh pemilik kedai
memenuhi bumbung bambu dengan air tuak. Tentu saja dalam memesan tuak Suto
Sinting menggunakan suara kecil yang dibuat mirip suara perempuan genit.
Seorang lelaki berusia sekitar
tiga puluh tahun yang sedang menikmati santapannya terpaksa diam tertegun
memandangi kehadiran Pendekar Mabuk. Lelaki berkumis tipis itu sempat iseng
dengan teguran nakalnya.
"Hai, Manis... sendirian
saja, ya?"
Suto Sinting diam tak mau
layani teguran iseng itu. Tetapi pria berbaju hitam yang badannya agak gemuk
dengan kumis lebat dan wajah beringas, segera meninggalkan seorang teman yang
duduk bersamanya.
Orang itu mendekati Suto
Sinting yang masih berdiri menghadap meja dagangan. Tiba-tiba orang berbaju
hitam itu menepuk pantat Suto Sinting sambil menyapa nakal.
Plak...!
"Eh, kambing...!"
Suto Sinting berlagak latah, tapi hatinya dongkol sekali.
"Ha, ha, ha, ha...!
Badanmu bagus sekali, Sayang! Kau pasti seorang tamu yang menyempatkan diri
singgah ke desaku ini. Hmmm... manisnya! Siapa namamu, Sayang?"
Suto Sinting diam saja,
berusaha sembunyikan wajah dengan melengos ke arah berlawanan dengan datangnya
orang berkumis tebai itu. Ia sengaja tidak menjawab supaya tidak terjadi
percakapan yang panjang. Tapi si baju hitam justru mengusap-usap Suto Sinting
sambil tertawa nakai.
Plak...! Suto Sinting
menepiskan tangan lelaki itu dengan kasar. Wajahnya benar-benar cemberut
dongkol, tapi dianggap oleh si lelaki sebagai cemberut gadis yang malu-malu
kucing.
"Kakang punya rumah tak
jauh dari sini. Kau bisa bermalam di rumahku saja. Kebetulan aku seorang duda
tanpa anak. Sudah tiga bulan yang lalu aku bercerai dengan istriku. Temani aku
ya, Sayang?"
Orang itu justru meremas-remas
pinggul Suto Sinting dengan senyum dan mata memancarkan kemesuman. Pendekar
Mabuk menghindari remasan tangan lelaki itu, dan teman si lelaki menertawakan
dari tempat duduknya. "Lembut sedikit, Soglo! Jangan kasar-kasar begitu
nanti dia jijik padamu! Ha, ha, ha, ha...!" teman orang berbaju hitam itu
berseru dari tempatnya. Rupanya orang berbaju hitam itu bernama Soglo dan
memang tabiatnya genit-genit memuakkan, selayaknya seorang mata
keranjang yang kampungan.
"Kau membeli tuak banyak
sekali, Sayang? Untuk siapa, hmm...?! Untuk kakekmu atau untuk nenekmu?"
"Untukku sendiri!"
ketus Suto Sinting dengan suara dan lagak wanita judes.
Soglo justru tertawa
kegirangan. "Kalau cemberut begitu kau tampak manis sekati, Iiih... gemas
sekali aku!" Soglo mencubit pipi Suto. Tanpa disadari, gerak naluri Suto
Sinting keluar. Tangan itu segera ditepiskan dengan sentakan cepat, dan kepalan
tangan Suto segera menyodok ke mulut Soglo.
Wuut.... Plak, plook...!
"Uuuhf...!" Soglo
tersentak mundur tiga langkah, terhuyung-huyung sambil sedikit membungkuk dan
pegangi mulutnya yang kena jotos itu. Ternyata mulut tersebut berdarah karena
bibirnya pecah. Soglo mengerang kesakitan, yang lain pun menjadi tegang. Pada
waktu itu, si pemilik kedai segera menyerahkan bumbung yang sudah penuh tuak
dengan rasa takut dan waswas.
"Perempuan liar!"
geram teman si Soglo sambil segera bangkit berdiri dan melompat ke arah Suto
Sinting.
Jleeg...! Ia berdiri di depan
Suto Sinting ketika murid si Gila Tuak itu membalikkan badan sambil menenteng
bumbung tuaknya.
"Marung, hajar setan
betina itu!" seru Soglo sambil kebingungan menghentikan kucuran darah dari
mulutnya, karena ternyata bukan bibir saja yang pecah akibat hantaman tangan
Suto, melainkan gigi depan pun menjadi rompal dua biji.
Marung, teman si Soglo itu,
segera maju dan menghantamkan pukulannya ke arah wajah Pendekar Mabuk.
"Dasar perempuan keparat!
Kau belum tahu siapa kami berdua ini, hah?! Heeah...!"
Wuuut...! Plak...! Suto
Sinting menangkap pukulan itu dengan tangan kirinya. Lalu genggaman tangan
Marung dirematnya kuat-kuat. Krrrak...!
"Aaauuh...!" Marung
menjerit kesakitan, tapi genggamannya belum dilepaskan oleh Suto Sinting. Suara
tulang jari patah serempak terdengar mengerikan bagi pengunjung yang lain.
Mereka cepat-cepat keluar dari kedai dengan wajah ketakutan.
"Aaauh...! Ampuun...
ampuun...!" seru Marung sambil menyeringai menahan rasa sakit yang luar
biasa itu.
"Bangsat kau!
Hiaah...!" Soglo menyerang dengan tendangan. Tapi kaki Suto Sinting segera
berkelebat lebih cepat sehingga tulang kering kaki Soglo berhasil ditendangnya
lebih dulu. Buuk, prak...!
"Aaauuh...!" Soglo
menjerit panjang karena tulang keringnya bagaikan remuk, ia langsung jatuh
terduduk dan memegangi kakinya seperti anak kecil yang kakinya membentur meja
makan.
"Aam... ampun... ampuni
aku. Lepaskan tanganku, Nona. Aduuh... sakit sekali. Aku tak tahan sakitnya,
Nona. Aaaadduuh... ampun, Dik. Ampun...!" Marung memohon-mohon dengan
wajah tetap menyeringai karena rematan tangan Suto Sinting semakin lama semakin
kencang, dan tulang jari yang patah terasa semakin sakit.
"Kulepaskan tanganmu tapi
tebus kelancangan temanmu itu yang berani-beraninya menggerayangi
tubuhku!" kata Suto Sinting dengan suara perempuan. "Iiya... iya...
iya akan kutebus. Bagaimana caranya?" "Bayar harga tuak yang telah
kubeli ini!"
"Iiya... iya akan
kubayar. Lepaskanlah aku, Nona." "Bayar dulu!"
"Bbba... baik... baik
akan kubayar sekarang!" Marung keluarkan uang dari sabuk hitamnya, uang
itu dilemparkan kepada pemilik kedai dan ditangkap dengan gesit oleh si pemilik
kedai.
"Cukup uang itu, Pak
Tua?" tanya Suto Sinting. "Cu... cukup, Nona! Malahan sisa
banyak."
"Baik!" Suto Sinting
melepaskan rematan tangannya. "Ingat, kalau kalian menggangguku lagi, atau
mengganggu kaum sejenisku, kepala kalian yang akan kuremat hingga
tulang-tulangnya remuk!"
Setelah meninggalkan ancaman
yang ditakuti oleh Marung dan Soglo, Pendekar Mabuk segera langkahkan kaki
keluar dari kedai. Di depan kedai ia sempat menenggak tuak dua teguk, tapi
buru-buru dihentikan, karena ingat dirinya tampil sebagai wanita. Tak layak
seorang wanita menenggak tuak di depan kedai seperti itu.
Dengan langkah dipercepat dan
melupakan lenggak- lenggoknya, Suto Sinting segera meninggalkan desa itu.
Bumbung tuaknya digantungkan di pundak, sebagai kesiapsiagaan jika datang
bahaya sewaktu-waktu kepadanya.
Bertepatan dengan keluarnya
Suto Sinting dari desa itu, terdengar pula suara dentuman menggema dari balik
bukit kecil yang ada di depan langkah Suto. Dentuman itu sempat menggetarkan
bumi, getarannya terasa sampai di tanah yang dipijak Suto Sinting.
"Sebuah
pertarungan...?!" sentak hati Pendekar Mabuk. "Pasti ada pertarungan
di balik -bukit kecil itu. Kulihat pendar cahaya merah berkerilap di sebelah
sana! Aku harus segera ke sana, siapa tahu si Malaikat Malam sedang berusaha
membunuh seseorang yang kukenal!"
Zlaaap...! Pendekar Mabuk
melesat ke arah bukit kecil yang tak seberapa tinggi itu. Ia sengaja memanjat
bukit itu dengan gerakan yang lincah, walau untuk itu kain penutup bagian
bawahnya robek lagi. Wreeek...!
"Sial! Robek lagi, jadi
seperti gelandangan saja kalau begini!" gerutu Suto Sinting sambil tetap
menuju ke puncak bukit kecil itu.
Pendekar Mabuk segera
tercengang begitu melihat siapa yang mengadu ilmu di bawah bukit kecil itu.
Ternyata mereka adalah seorang lelaki muda berusia sekitar dua puluh lima
tahun, berpakaian serba merah, rambut panjang lurus sepundak dengan ikat kepala
kuning. Lelaki muda yang bersenjata kapak dua mata itu bertubuh tinggi, tegap
dan ganteng. Suto Sinting mengenalnya sebagai Ranggu Pura, murid mendiang si
Poci Dewa. Sedangkan lawannya adalah seorang gadis berambut acak-acakan. Gadis itu
mengenakan pakaian ketat seperti dari karet berwarna hitam dengan pedang di
punggung bergagang hitam. Wajahnya cantik tapi berkesan liar dan ganas.
Gadis berpakaian ketat warna
hitam yang montok dadanya itu tak lain adalah Angin Betina, gadis yang sangat
mencintai Suto Sinting dan bertekad menjadi perisai bagi sang Pendekar Mabuk.
Sedangkan Ranggu Pura adalah sahabat Suto yang pernah ditolong dari kelicikan
Ayunda, sampai Ranggu Pura berhasil mengawini Cumbu Bayangan, murid paman
gurunya itu. "Ranggu Pura pasti salah paham," pikir Suto Sinting.
"Tapi bagaimana aku harus bertindak
melerai pertarungan itu? Aku malu muncul di depan Angin Betina dalam
keadaan seperti banci gila begini! Tapi...
haruskah kubiarkan mereka
mengadu nyawa?"
Suto Sinting hanya bisa
memendam kedongkolan. Gara-gara ia kehilangan pakaian, maka ruang geraknya
menjadi tak bebas. Lebih-lebih dengan mengenakan kebaya dan kain perempuan, ia
benar-benar tersiksa menghadapi kenyataan itu. Gerutunya pun terucap kembali
sambil sembunyikan diri di balik batu besar.
"Huuh...! Dapat mayat
saja mayat perempuan, akibatnya aku jadi serba salah kalau begini. Lebih baik
tanpa pakaian sama sekali, tidak disiksa perasaan bimbang dan salah tingkah
begini! Uuh... nasib, nasib...!"
Pendekar Mabuk akhirnya
garuk-garuk kepala dengan jengkelnya,
tapi pandangan mata tetap tertuju pada pertarungan antara Ranggu Pura dengan
Angin Betina.
*
* * 6
SEJAK tadi Angin Betina tidak
bergeser dari tempatnya berdiri. Tak ada lompatan yang dilakukan olehnya saat
menerima serangan dari Ranggu Pura. Tebasan kapak yang diarahkan ke lehernya
hanya dihindari dengan meliukkan badan ke belakang dan mengayun ke kiri,
kemudian tangan pemegang kapak yang telah lewat di depannya itu ditendang kuat
dengan gerak tendangan yang sulit dilihat lawannya. Bet, Plaak...! Weees...!
Kapak dua mata itu terpental
ke samping. Ranggu Pura rasakan tangannya bagaikan hilang. Tendangan bertenaga
dalam itu telah mematikan rasa pada urat tangan tersebut. Akibatnya tangan itu
tak bisa dipakai untuk memegang sesuatu dan tak bisa digunakan untuk merasakan
rabaan apa pun.
"Setan alas! Tanganku
seperti semutan rasanya. Lebih dari semutan! Kalau tak segera kusalurkan hawa
murni ke tangan, bisa-bisa aku mati separo," pikir Ranggu Pura sambil
berjongkok di samping kapaknya yang masih tergeletak di tanah. Angin Betina
hanya pandangi dengan mata tajam seakan
ingin menembus ulu hati Ranggu Pura.
"Sebetulnya kalau Angin
Betina mau lakukan serangan balasan, Ranggu Pura akan mengalami luka parah.
Tapi Angin Betina yang kecepatan geraknya seperti angin itu tak mau lakukan
serangan balasan. Sebab ia tahu bahwa lelaki tampan itu bukan lawan tandingnya.
Ilmunya masih jauh di bawahnya. Tapi ia bermaksud memberi pelajaran kepada
lawannya agar lain kali tidak bertindak ceroboh lagi.
Sesaat kemudian, Ranggu Pura
mulai peroleh kekuatan kembali. Tangan kanannya sudah bisa digunakan
sebagaimana mestinya. Hanya saja, kali ini Ranggu Pura tidak langsung lakukan
serangan, ia mencari celah dan kelengahan sang lawan.
"Hentikan tindakan
bodohmu! Kau hanya akan mencari penyakit jika melawanku!" hardik Angin
Betina dengan sorot pandangan mata dan raut muka tampak angker-angker cantik.
"Tak akan kuhentikan
tindakanku sebelum menebus kematian guruku dengan nyawamu!"
"Aku tidak kenal siapa
gurumu!"
"Omong kosong! Eyang Poci
Dewa telah kau bunuh secara licik. Luka di punggungnya akibat tebasan pedangmu
menandakan bahwa kau melawan guruku secara licik!"
"Sekali lagi kutegaskan;
aku tidak membunuh Poci Dewa. Tanyakanlah pada arwah gurumu sendiri!"
"Kau tak perlu mengelak,
Iblis Jalang! Semua orang tahu, kaulah si Malaikat Malam yang berpakaian serba
hitam itu!"
"Aku bukan Malaikat
Malam! Orang memanggilku Angin Betina!" kata wanita berambut acak-acakan
berkesan angker itu. Suaranya datar dan dingin membuat tiap kata yang
dilontarkan bagai mempunyai kekuatan gaib yang menggetarkan nyali lawannya.
Tetapi agaknya Ranggu Pura tidak peduli dengan getaran tersebut. Api dendam
kesumat makin berkobar dari pancaran sinar matanya.
"Aku tak peduli! Kau mau
mengaku Angin Betina atau Setan Betina, tetapi hutang nyawa tetap harus dibalas
nyawa! Kematian guruku tak bisa ditebus dengan tipuan nama dan pengakuan palsu!
Sekaranglah kau harus menghadap guruku di alam baka sana! Heeeeaat...!"
Ranggu Pura memutar kapaknya
satu kali dari belakang ke depan. Wuuut...! Lalu kapak itu memercikkan sinar
yang menyerupai mata tombak panjang. Claaap...! Sinar biru melesat cepat ke
arah dada Angin Betina.
Gadis berwajah liar namun
mengagumkan itu tetap berdiri di tempatnya. Kedatangan sinar biru itu ditahan
dengan telapak tangan kirinya. Teeeb...! Sinar itu bagaikan tak bisa menembus
telapak tangan yang sudah menyala kuning itu. Dalam satu gerakan telapak tangan
memutar balik, sinar biru panjang itu pun berkelebat kembali ke arah
pemiliknya. Weess...!
Ranggu Pura terkejut, lalu
sentakkan kaki dan tubuhnya melambung ke atas cukup tinggi. Sinar itu menghantam
sebatang pohon di belakang Ranggu Pura.
Blegaaarr...!
Ranggu Pura tak pedulikan
pohon itu hancur menjadi serpihan yang berhamburan ke mana-mana. Dari tempatnya
melayang ia lepaskan kembali sinar serupa dari kapaknya. Claap...! Namun kali
ini di belakang sinar itu tampak selarik sinar merah patah-patah mengikuti
gerakan sinar biru. Sinar patah-patah itu keluar dari telapak tangan kiri
Ranggu Pura.
Weeess...!
Angin Betina tidak bergeser
dari tempat, namun ia sedikit rendahkan badan dari dengan kedua tangannya yang
masing-masing mengeraskan kedua jari itu ia menolak datangnya kedua sinar
tersebut.
Masing-masing ujung kedua jari
saling bertemu di depan mata, dan dari ujung jari itu mengeluarkan sinar putih
perak membias lebar bagai membentengi dirinya. Slaaap...!
Blagaaarr...!
Benturan sinar biru-merah pada
sinar putih perak menghasilkan ledakan yang amat dahsyat. Gelombang ledakan itu
sangat kuat, sehingga Angin Betina sendiri tersentak mundur tiga langkah dan
hampir saja jatuh terpelanting. Tetapi Ranggu Pura terpental delapan tombak
jauhnya. Weees...!
Ranggu Pura bagai dilemparkan
oleh tenaga yang amat besar, ia melayang-layang di udara kehilangan
keseimbangan badan. Kemudian jatuh terbanting dalam posisi miring. Brrruk...!
"Aaauh...!" pekiknya
menahan sakit. Kapak di tangannya sempat terlepas dan jatuh dua langkah dari
kepalanya.
Tulang pundaknya terasa
seperti patah dan tulang lehernya pun terkilir nyeri, sehingga Ranggu Pura
terpaksa mengerang panjang saat membetulkan letak sendi tulang lehernya dengan
paksa. Klaak...! "Aoww...!" pekiknya sendiri.
Kemudian ia paksakan untuk
berguling ke samping. Satu gulingan ia sudah berhasil menyambar senjatanya
kembali, ia mencoba untuk bangkit walau sempoyongan. Saat itulah ia baru sadar
bahwa hidungnya telah mengucurkan darah segar dan tangan kirinya bagaikan
lumpuh, tak bisa digerakkan lagi akibat kejatuhannya tadi.
"Keparat kau, Iblis
Betina!" geramnya penuh pancaran nafsu untuk membunuh. Sedangkan Angin
Betina justru kelihatan tenang-tenang saja, namun pandangan matanya yang tajam
menunjukkan bahwa ia tetap waspada.
Dari atas bukit kecil itu
Pendekar Mabuk berkata pada diri sendiri, "Matilah si Ranggu Pura kalau
masih nekat melawan Angin Betina! Aku harus bisa menghentikannya agar
kesalahpahaman ini tidak menimbulkan korban jiwa. Hmmm... bagaimana caranya?
Kusambar saja si Ranggu Pura sambil melepaskan totokan dari jarak jauh, atau
kutotok keduanya dari sini agar Angin Betina tak melihat kehadiranku dalam
pakaian perempuan begini?!"
Ranggu Pura melangkah dengan
sempoyongan. Napasnya terengah-engah diburu dendam. Sambil menggeram-geram ia
mulai memutar-mutar kapaknya di samping. Putaran kapak itu keluarkan bunyi
mendengung yang makin lama semakin menyakitkan gendang telinga. Jelaslah bahwa
Ranggu Pura ingin pergunakan jurus lain berupa bunyi gaung dari senjatanya
untuk memecahkan gendang teiinga lawan. "Hentikan...!"
Tiba-tiba terdengar suara
keras yang mampu mengungguli bunyi gaung itu. Suara bentakan keras itu datang
dari arah timur mereka. Seorang gadis cantik muncul begitu saja, tak diketahui
dari mana asal kedatangannya. Seperti jatuh dari langit.
Mata murid si Gila Tuak itu
terbeialak kaget. "Payung Serambi...?!" ucapnya dengan nada
menggeram. Kedongkolannya
mulai mengusik hati teringat pakaiannya yang lenyap itu. Kemudian hatinya pun
berkata,
"Kalau kutemui sekarang,
ah... masih ada Angin Betina. Aku malu kalau Angin Betina melihatku pakai
kebaya begini. Amit-amit betul kalau sampai dilihat dia! Jangan sampailah
yauw...!"
Angin Betina melirik tajam
kepada Payung Serambi. Hatinya bertanya, "Siapa perempuan itu dan apa
hubungannya dengan murid si Poci Dewa itu?!"
Sementara di pihak Ranggu Pura
pun melirik sinis dengan gerakan tangan memutar kapak terhenti dengan
sendirinya. Hatinya membatin,
"Siapa perempuan cantik
itu? Mengapa tiba-tiba tanganku tak bisa kupakai untuk memutar kapak lagi?
Uh... kaku sekali tangan kananku ini? Kekuatan apa yang digunakan oleh
perempuan cantik itu, sehingga tanganku jadi tak bisa digerakkan memutar. Tapi
anehnya... anehnya rasa sakit di tulang pundak kiriku menjadi hilang?! Gila!
Apakah semua ini pengaruh dari pandangan matanya yang lebih sering tertuju
padaku itu?!"
Payung Serambi melangkah lebih
mendekati pertengahan jarak antara Ranggu Pura dan Angin Betina. Tetapi
pandangan matanya lebih sering tertuju kepada Ranggu Pura. Penampilannya yang
punya kesan wibawa aneh itu membuat Angin Betina diam saja, seakan membiarkan
apa pun yang akan dilakukan gadis cantik itiu.
Terdengar suara bernada tegas
dari Payung Serambi yang ditujukan kepada Ranggu Pura.
"Kau bisa mati konyol
kalau harus melawan perempuan itu! Kematianmu tidak akan menebus kematian
gurumu, karena kau telah salah tuduh dan bertindak dengan gegabah!"
"Apa urusanmu terhadap
persoalanku dengan perempuan itu?!" sentak Ranggu Pura.
"Aku hanya meluruskan
anggapanmu dan merasa sayang kalau di balik ketampananmu itu tersimpan otak
yang dungu serta segunung kebodohan! Malaikat Malam bukan perempuan itu!"
"Hmmm...!" Ranggu
Pura mencibir. "Berapa besar kau diupah olehnya, sehingga kau mau
mendukung kebohongannya?! Kurasa kau, bersekongkol dengan perempuan jahanam
itu! Jika benar begitu, berarti kau pun termasuk orang yang harus kukirim ke
neraka untuk menebus kematian guruku!"
Payung Serambi sunggingkan
senyum tipis bernada sinis. "Apa yang bisa kau lakukan terhadap diriku?
Apakah kau bisa menjamahku, sehingga kau berani bicara selancang itu?!"
"Keparat! Kurobek perutmu
dengan kapakku ini!
Hiaah...!"
Payung Serambi cepat acungkan
jarinya ke depan. Teeb...! Seperti ada tenaga yang keluar dari ujung jari dan
menghantam ulu hati Ranggu Pura dengan sangat cepat. Kurang dari satu kedipan
mata.
"Uuhg...!" Ranggu
Pura terpekik dengan suara tertahan. Tubuhnya melengkung ke depan dan
menyeringai kesakitan, ia tak dapat bergerak lagi selain menghela napas dengan
berat sekali. Kepalanya sedikit miring memandang Payung Serambi, tapi oleh
Payung Serambi segera ditinggalkan. Payung Serambi segera temui Angin Betina,
sedangkan Ranggu Pura tetap seperti patung bongkok.
"Dia bukan tandinganmu.
Kurasa tak pantas kau melawannya!" kata Payung Serambi kepada Angin
Betina.
"Aku tidak melawan, hanya
mempertahankan diri. Apakah kau ingin memihak kepadanya? Silakan buka jurusmu
dan aku akan membeli dengan jurusku!" ucap Angin Betina dengan tegas,
berdiri dengan kaki merenggang, kedua jempol tangannya digantungkan pada ikat
pinggang di depan perut, ia tampak gagah dan penuh keberanian. Pandangan mata
tak berkedip sedikit pun saat beradu dengan sorot mata Payung Serambi.
"Kuhargai, kau cukup
berani dalam bicara di depanku. Kau belum tahu siapa diriku, Sobat!"
"Kau utusan dari Istana Laut Kidul! Kau prajurit pilihan Nyai Kandita! Itu
yang kutahu tentangmu!"
Payung Serambi terperanjat
mendengar ucapan tegas Angin Betina.
"Aku tidak mengenalimu.
Dari mana kau tahu tentang diriku? Biasanya setiap orang yang tahu tentang
diriku, aku selalu tahu tentang dirinya. Tapi... tapi aku tidak bisa menembus batinmu. Siapa kau
sebenarnya?!"
"Aku harus segera pergi
mencari kakakku, ada urusan penting yang akan kami bicarakan! Sampai jumpa di
lain kesempatan, Payung Serambi!"
Blaaass...! Angin Betina
melesat begitu saja bagaikan hembusan sang bayu. Payung Serambi dibuat
terbengong-bengong memandanginya, ia tak tahu bahwa Angin Betina sudah
mempelajari Kitab Lorong Zaman, sehingga ia bisa masuk ke alam mana saja,
bahkan bisa berada di zaman akan datang atau zaman yang telah lalu. Dari kitab
tersebut pun ia peroleh pelajaran menembus batin orang lain dan menutup
batinnya sendiri agar tidak dibaca oleh indera ketujuh orang lain, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Kita
Lorong Zaman").
Pendekar Mabuk menggunakan
ilmu 'Sadap Suara' dari tempat persembunyiannya, sehingga ia bisa mendengar
percakapan mereka, ia juga terkejut mendengar Angin Betina bisa menyebutkan
siapa diri Payung Serambi sebenarnya.
"Rupanya apa yang dikatakan
oleh Dewi Cintani tentang perempuan berjubah biru itu memang benar. Keterangan
Cintani sama dengan apa yang diucapkan oleh Angin Betina tadi. Kelihatannya
Payung Serambi cukup terkejut, karena tak menyangka kalau Angin Betina
mengetahui siapa dirinya. Tapi... dari mana Angin Betina mengetahui tentang
Payung Serambi? Apakah ia pernah datang ke Istana Laut Kidul?"
Suto Sinting pun ternyata tak
tahu bahwa ilmu Angin Betina sudah bertambah sejak berpisah lama dengannya.
Angin Betina memang pernah bertemu Suto beberapa waktu belakangan ini, tapi ia
tidak banyak bicara tentang penambahan ilmunya. Pertemuannya dengan Angin
Betina tidak terlalu lama, sehingga Suto Sinting belum sempat bicara
panjang-lebar tentang diri mereka.
Kini perhatian Pendekar Mabuk
ditujukan kembali kepada Payung Serambi yang mendekati Ranggu Pura. Dengan satu
kali sentakan tangan menunjuk, totokan pada diri Ranggu Pura telah terlepas.
Ranggu Pura dapat bergerak seperti biasa. Tapi pandangan matanya masih
memancarkan permusuhan, terlebih setelah ia tahu bahwa Angin Betina sudah tidak
ada di tempat itu.
"Keparat kau! Ke mana
perginya si Malaikat Malam itu?! Dia belum menebus nyawa guruku!"
"Sudah kukatakan, dia
bukan Malaikat Malam!" sentak Payung Serambi. "Kalau dia Malaikat
Malam, kau sudah tidak bernapas sejak tadi!"
"Jangan menutupi
kebusukannya!"
"Aku bisa lumpuhkan kau
sekarang juga kalau kau masih membandel!" gertak Payung Serambi dengan
mata sedikit melotot. Ranggu Pura pun menjadi tak berani membantah lagi,
lidahnya bagai kelu.
"Pulanglah dan jangan
coba-coba melawan perempuan itu tadi. Kalau dia bertindak dengan sesungguhnya,
saat ini kau sudah tidak punya nyawa lagi! Yang jelas, dia bukan Malaikat
Malam. Dia adalah Angin Betina, seperti pengakuannya yang kudengar dari tempat
tersembunyi tadi. Ilmu 'Tembus Batin'-ku menangkap getar kejujuran pada saat ia
menyebutkan namanya."
"Lalu... lalu siapa
Malaikat Malam itu sebenarnya?!" "Malaikat Malam sudah tidak ada.
Yang muncul
sekarang ini adalah Malaikat
Palsu! Tanyakan kepada arwah gurumu, maka ia akan menjawab bahwa Malaikat Malam
dari Pegunungan Sojiyama sudah lama meninggal karena ketuaannya. Jika sekarang
muncul orang yang berpenampilan seperti Malaikat Malam, itu adalah Malaikat
Palsu. Orang itu sedang diburu oleh beberapa pihak. Kau tak perlu ikut
memburunya, karena ilmu yang kau miliki belum ada sekuku hitam dengan ilmu yang
dimiliki si Malaikat Palsu."
Ranggu Pura terbungkam bagai
tak bisa berkata lagi. "Sekarang pulanglah dan biarkan musuhmu itu diburu
orang lain. Kau tinggal
menunggu kabar kematiannya saja!"
"Baik, aku akan
pulang!" ucap Ranggu Pura menjadi patuh. Mungkin sorot mata Payung Serambi
mempunyai kekuatan gaib yang dapat membuat seseorang menjadi patuh terhadap
perintahnya.
Ranggu Pura pergi tinggalkan tempat
itu. Payung Serambi pun bergegas tinggalkan tempat itu. Namun sebelum ia
bergerak, sebuah suara menyapanya dengan keras,
"Payung Serambi...!
Tunggu!"
Gadis itu menoleh ke belakang,
tampak Pendekar Mabuk sedang berkelebat secepat kilat dari atas bukit kecil ke
tempatnya. Zlaaap...! Jleeg...!
Tahu-tahu pemuda tampan
berkebaya merah jambu dengan bibir bergincu merah itu sudah berdiri di depan
Payung Serambi. Gadis itu hanya sunggingkan senyum tipis dengan tubuh
bergerak-gerak karena geli melihat penampilan Suto Sinting.
"Aku tahu kau adalah
Pendekar Mabuk, tapi aku tak tahu dari mana kau peroleh pakaian itu dan sejak
kapan kau berubah menjadi banci.".
"Sejak pakaianku kau
curi!" jawab Pendekar Mabuk dengan ketus, karena hatinya menyimpan
kedongkolan, ia berkata lagi dengan tegas.
"Kembalikan pakaianku
yang kau curi saat aku tertidur itu. Jika tidak, aku akan bertindak kasar yang
mungkin akan mengecewakan hatimu, Payung Serambi." "Aku tidak mencuri
pakaianmu, Pendekar Tampan!"
jawab Payung Serambi dengan
senyum dikulum. "Agaknya kau perlu
dipaksa dengan kekerasan,
Payung Serambi."
"Silakan kalau kau ingin
mencoba memaksa orang tak
bersalah!" jawab Payung Serambi dengan tenang, membentangkan kedua
tangannya sambil melangkah ke samping mencari tempat lega untuk mengadu
kesaktian. Pendekar Mabuk pun segera melangkah ke samping, bumbung tuaknya
mulai digenggam dengan tangan kanan. Matanya tak berkedip pandangi si Payung
Serambi yang punya bibir legit menggiurkan itu. Payung Serambi justru sunggingkan
senyum dan hati Pendekar Mabuk mulai gelisah diguncang oleh getaran lembut yang
mengusik ketenangan batinnya.
"Seranglah aku!"
tantang Payung Serambi dengan iringan senyum tipis. "Ayo, seranglah aku
dan kau akan kutangkap dalam pelukan, tak akan kulepas selamanya!"
Pendekar Mabuk hentikan gerakan dan menggerutu dalam batinnya, "Sial!
Kenapa tantangannya jadi seperti itu? Wah, bahaya kalau kulayani. Bisa-bisa aku
jatuh dalam pelukan dan
tak mau dilepaskan
lagi olehnya.
Celaka tujuh puluh kalau
begitu jadinya nanti!"
Pendekar Mabuk masih
diam dihinggapi keragu-
raguan, ia seperti banci yang
sedang bingung menentukan arah langkahnya.
*
* *
7
KEDUA orang yang ingin
bertarung mengadu kesaktian itu akhirnya sama-sama diam bagai patung bisu.
Tetapi pandangan mata mereka saling beradu dalam kelembutan tersendiri. Hati
mereka saling memancarkan sinar terang, seakan ditaburi bunga-bunga indah yang
tiada pernah layu. "Agaknya dia ingin menjeratku dengan kekuatan gaib
pemikatnya," pikir Pendekar Mabuk. "Akan kulawan dengan jurus
'Senyuman Iblis' yang tak pernah ada tandingnya itu. Jika ia bermaksud
menundukkan hatiku, maka ia akan menjadi bertekuk lutut sendiri di
hadapanku!"
Jurus 'Senyuman Iblis' adalah
jurus berbahaya bagi lawan jenis Suto Sinting. Perempuan mana pun, segalak apa
pun, seangkuh apa pun jika terkena pengaruh gaib jurus 'Senyuman Iblis', maka
ia akan kasmaran kepada Pendekar Mabuk dan hasrat ingin bercumbunya membakar
gairah mendesak jiwa. Jurus 'Senyuman Iblis' ibarat racun cinta yang sukar
ditangkal dan dihindari oleh setiap perempuan yang berhadapan dengan Suto
Sinting.
"Hmmm... dia ingin
main-main padaku dengan jurus kacangan itu?! Celaka sendiri dia jadinya jika
ingin mengadu kekuatan pemikat denganku. Rasa-rasanya memang perlu diberi
pelajaran biar tidak terlalu angkuh dengan jurus kacangan itu!" gumam
Payung Serambi dalam batinnya.
Maka adu pandangan mata pun
makin berlangsung lama. Bibir Suto Sinting sunggingkan senyum berkekuatan gaib,
penunduk hati seorang wanita. Sedangkan sorot pandangan mata Payung Serambi
mengandung kekuatan gaib, penakluk hati setiap pria.
"Oh, hatiku berdesir
indah. Ada apa ini? Jangan- jangan aku terkena panah asmara buatan? Oh, tidak.
Aku tidak boleh terpikat olehnya!" ujar Pendekar Mabuk dalam hatinya.
Payung Serambi pun membatin,
"Aduh, mengapa aku jadi deg-degan? Hatiku berdebar-debar aneh. Mungkinkah
aku terpikat oleh kekuatan gaibnya? Ah, jangan sampai begitu. Aku tidak boleh
terpikat oleh pemuda ini walaupun... walaupun sebenarnya dia memang tampan,
gagah, menggairahkan, dan. Oooh,
celaka! Aku semakin
gemetar?!"
Dua kekuatan gaib pemikat
saling beradu sama kuat. Hati mereka akhirnya saling terjerat bayangan asmara.
Darah mereka saling berdesir diburu harapan untuk saling bercumbu.
Pendekar Mabuk maju selangkah
bersamaan dengan langkah pertama Payung Serambi. Langkah itu terhenti sesaat,
bagai sedang diperjuangkan untuk ditahan mati- matian. Namun kian lama kaki
mereka bagai mempunyai kemauan sendiri untuk melangkah maju.
Selangkah, selangkah,
selangkah. ! Akhirnya mereka
berhenti saling berhadapan
kurang dari satu langkah. Pandangan mata mereka tetap saling beradu. Senyum
mereka saling bermekaran tipis, namun berkesan mesra. Pendekar Mabuk meraih
anak rambut gadis itu yang meriap di pundak, tepat pada saat tangan Payung
Serambi menggeraikan rambut Suto Sinting yang melintang di lehernya.
"Kau cantik sekali,
Payung Serambi," bisik Suto Sinting.
"Kau pun menawan sekali,
Pendekar Mabuk," balas Payung Serambi dalam bisikan yang amat lembut.
"Boleh aku menyentuh pipimu?"
"Sentuhlah mana
yang kau suka,
Suto. Suto
Sayang."
Debar-debar di dalam dada
semakin keras. Mereka rasakan debar-debar itu begitu indahnya, hingga akhirnya
mereka saling bersentuhan wajah. Makin lama semakin indah, sehingga mereka
saling bersentuhan bibir. Mereka bagai terbuai oleh keindahan yang luar biasa
besarnya, sampai tak ingat siapa diri mereka dan di mana mereka berada.
Pendekar Mabuk biarkan gadis itu melumat bibirnya penuh kelembutan. Payung Serambi
biarkan pemuda tampan itu memeluknya penuh kemesraan.
Di pojok sana ada dua orang
yang memergoki kejadian tersebut. Yang seorang berkata seperti bicara pada diri
sendiri,
"Manusia sesat! Sama-sama
perempuan kok saling berciuman!"
Tapi yang satunya lagi, lebih
tua dari yang bicara tadi, segera mengernyitkan dahi dan mengecilkan matanya
untuk memandang lebih jelas lagi raut wajah kedua orang yang berciuman sambil
berdiri itu.
"Celaka! Itu si Pendekar
Mabuk dengan... dengan...
oh, gawat kalau begitu!"
Orang tua itu menjadi tegang,
ia berpakaian seperti biksu, kain abu-abu dililitkan di tubuhnya yang agak
gemuk itu. Rambut si orang tua beruban rata tapi tidak begitu lebat, bahkan
berkesan botak. Jenggotnya panjang dan berwarna putih. Orang itu tak lain
adalah Resi Pakar Pantun dan pelayannya; si Kadal Ginting.
Mereka dari menghadiri
pembakaran jenazah Nini Kalong, mantan kekasih Resi Pakar Pantun. Untuk
membuang kesedihannya, Resi Pakar Pantun segera tinggalkan Hutan Rawa Kotek
sambil mencari orang berpakaian serba hitam yang dikenal sebagai Malaikat Malam
itu. Sang Resi menyimpan dendam sendiri di hatinya, karena bagaimanapun juga ia
masih mempunyai cinta masa mudanya kepada Nini kalong, ia merasa perlu menuntut
balas kepada si Malaikat Malam, sehingga sejak melangkah meninggalkan tempat
pembakaran jenazah itu ia sudah bertekad pertaruhkan nyawanya daiam melawan
Malaikat Malam.
Tetapi ketika ia jumpai dua
sosok manusia lain jenis berpelukan, tiba-tiba saja dendam dan kemarahannya itu
buyar seketika. Perhatiannya tertuju kepada Pendekar Mabuk yang tampak sedang
kasmaran. Padahal Resi Pakar Pantun tahu, bahwa Pendekar Mabuk adalah kekasih
Dyah Sariningrum. Sang rasi pun tahu, siapa perempuan yang sedang dipeluk oleh
Pendekar Mabuk itu.
"Wah, wah, wah... kalau
sedang begitu, ia memang pantas berjuluk Pendekar Mabuk.... Mabuk Cinta!
Sampai-sampai ia lupa daratan begitu."
Kadal Ginting menyahut,
"Lupa daratan bagaimana, Eyang? Bukankah mereka sama-sama berdiri di
daratan?"
"Maksudnya lupa daratan adalah
lupa segala-galanya. Dirinya bagai terbawa terbang bersama khayalan indahnya.
Tapi... oh, Suto tidak boleh terlibat asmara sebegitu jauh dengan perempuan
cantik itu. Ia dalam bahaya jika sampai 'mabuk cinta' dengan perempuan
tersebut!"
Resi Pakar Pantun kembangkan
kedua tangannya. Kakinya yang kiri ditarik mundur sedikit, lalu ia merendah.
Satu tangannya menyilang di depan dada, tangan yang satunya mengembang di atas
kepala, ia sempat lepaskan pantun yang didengar oleh Kadal Ginting, pelayannya.
"Kerupuk bantat pusaka
sebuah biara, kecoa nungging memang cari perkara. Biar asmara sama-sama
membara,
tapi jangan pamerkan di depan
orang tua."
Lalu tangan yang di atas
kepala itu menyentak ke depan dan seberkas sinar hijau berekor kecil melesat
dari tengah telapak tangan Resi Pakar Pantun. Weeesss...! Sinar hijau berekor
kecil itu melesat menghantam pertengahan kedua insan yang sedang mengadu mulut
dan saling pagut itu. Sinar itu seakan ingin memisahkan sepasang asmara yang
sedang saling terbuai.
Tetapi kedua orang tersebut
tiba-tiba melesat naik, tubuh mereka melambung dalam keadaan masih tetap
berpelukan dan berpagut bibir. Wuuut...! Mereka melambung cukup tinggi dalam
keadaan tubuh tetap tegak lurus seperti orang berdiri. Sinar hijau itu melintas
di bawah telapak kaki mereka. Weess...!
Duaarrr...!
Sebatang pohon rompal dihantam
sinar hijau itu. Daunnya berguguran, terbang mengikuti arah angin. Ledakan itu
cukup keras, walau tak sampai mengguncangkan bumi. Tapi setidaknya akan
mengejutkan seseorang yang berada tak jauh dari tempat itu.
Anehnya, Pendekar Mabuk dan
Payung Serambi tak merasa kaget sedikit pun. Dalam keadaan tubuh mereka saling
peluk di udara, mereka masih saling pagut bibir dengan mesra sekali. Bahkan
ketika gema ledakan itu telah menghilang, tubuh mereka bergerak turun pelan dan
pelaaan... sekali. Sedangkan keadaan tubuh mereka tetap lurus bagai orang
berdiri di udara. Akhirnya telapak kaki mereka sama-sama mendarat ke tanah
tanpa suara apa pun kecuali suara kecupan mereka.
Rupanya mereka sama-sama
menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, sehingga mampu melayang di
udara dengan cepat dan turun dengan pelan- pelan. Keduanya sama-sama mempunyai
ilmu peringan tubuh yang setara dan setingkat, sehingga tak satu pun ada yang
merasa kewalahan menghadapi keadaan seperti itu.
Resi Pakar Pantun
geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka yang mampu menghindari sinar
hijaunya. Niat memisahkan mereka berdua semakin membuatnya penasaran. Maka sang
Resi pun segera bertindak dengan lakukan lompatan beberapa kali. Wut, wut,
wut...! Kemudian ia pun menerjang kedua insan yang sedang berkasih-kasihan itu
dengan kedua kaki menendang ke samping kanan-kiri. Wuuut;..! Brrruss...!
"Oouh...!" Pendekar
Mabuk dan Payung Serambi terpental dalam keadaan terpisah. Mereka sama-sama
terpekik seakan baru menyadari adanya bahaya yang ingin merusak kebahagiaan
kasih mereka. Pendekar Mabuk dan Payung Serambi sama-sama jatuh terpelanting,
namun sama-sama cepat bangkit dan berdiri sigap memandang tajam pada Resi Pakar
Pantun.
"Lancang betul kau, Tua
Keropos!" gertak Payung Serambi dengan wajah memancarkan kemarahan.
"Resi Pakar Pantun! Apa
maksudmu menyerang kami?!" bentak Suto Sinting dengan dada bergemuruh
karena menahan marah. Napasnya mulai menyemburkan kekuatan 'Napas Tuak Setan'
yang sempat membuat tanah di depannya menyebar ke sana-sini bagai dihembus oleh
cerobong angin.
"Suto, kau dalam
bahaya!" ujar Resi Pakar Pantun sambil melangkah dekati Suto Sinting.
"Sadarlah, Suto...! Kau tak boleh bercinta dengan dia, karena ketahuilah
bahwa dia adalah orang Istana Laut Kidul. Kau bisa celaka jika menjalin
hubungan cinta dengannya!"
Kadal Ginting ikut dekati Suto
dan berkata, "Turutilah saran Eyang Resi, Suto!"
Napas ditarik panjang-panjang
sebagai penahan gejolak kemarahan. Pendekar Mabuk segera meneguk tuaknya,
sementara Payung Serambi yang sudah mengenal siapa Resi Pakar Pantun itu segera
berkata dengan nada menggeram jengkel. "Kau tak berhak memisahkan
kemesraan kami, Pakar Pantun! Kuhajar kau kalau sekali lagi lakukan hal
itu!"
"Payung Serambi... kalau
kau bercinta dengan Pendekar Mabuk, alangkah nistanya? Kau orang terhormat di
Istana Laut Kidul, sedangkan Pendekar Mabuk hanya seorang bocah ingusan. Nyai
Kandita pun dapat murka kepadamu jika kau terlibat cinta dengan Suto Sinting.
Dia bukan keturunan darah biru," ujar Resi Pakar Pantun dengan suara
pelan, seakan sedang mempengaruhi pikiran Payung Serambi.
Gadis itu menjadi diam,
memandang lurus ke arah Pendekar Mabuk, namun tampak sedang lakukan pertimbangan
dalam pikirannya. Pendekar Mabuk pun tampak mulai sadar dengan apa yang ia
lakukan tadi. Ia melangkah mendekati Payung Serambi sambil berucap dalam
batinnya.
"Sepertinya aku telah
terkena jurus pemikatnya. Oh, bahaya sekali kalau sampai aku tak bisa lepaskan
diri dari pemikat itu."
Sedangkan dalam batin Payung
Serambi pun berkata, "Aneh. Mengapa aku jadi mau berciuman dengannya?
Apakah aku telah terperangkap oleh gaib kasmarannya? Oh, aku tidak boleh sampai
terperangkap begitu. Aku harus segera lepaskan diri dari pengaruh kekuatan
pemikatnya. Tapi... tapi bagaimana mungkin hal itu bisa kulakukan jika ternyata
sangat indah dan sangat berkesan di hatiku. Oh, kacau sekali kalau begini
jadinya!"
Keduanya sama-sama ingin
membatasi diri, namun jiwa mereka bicara, batin mereka tetap mengharap
kemesraan yang indah. Akibatnya mereka hanya bisa berusaha menutupi gejolak
tuntutan batin mereka dengan mengalihkan pembicaraan pada masalah kematian Nini
Kalong.
"Resi Pakar Pantun,
apakah benar kematian Nini Kalong akibat ulah si Malaikat Malam?"
"Malaikat Malam sudah
tiada," jawab Resi Pakar Pantun. "Kalau sekarang ada yang menyamar
sebagai Malaikat Malam, berarti ada pihak lain yang ingin gunakan nama besar
itu untuk kepentingan pribadi. Aku tak dapat mengira-ngira siapa sebenarnya
orang berpakaian serba hitam itu. Tetapi jika aku bertemu dengannya, barangkali
hanya ada dua pilihan; nyawaku atau nyawanya yang melayang."
Pendekar Mabuk melirik Payung
Serambi, lalu berkata kepada gadis itu,
"Kuingat kau pernah mengancamku
dengan pedang hanya untuk mengetahui di mana letak Hutan Rawa Kotek. Kau ingin
menemui Nini Kalong dan tampak bernafsu sekali."
"Memang. Apakah itu
berarti kau menuduhku sebagai Malaikat Malam?!"
"Bukan salahku jika aku
menaruh curiga padamu, karena kau memaksaku menunjukkan tempat kediaman Nini
Kalong."
"Jadi, kaulah orangnya
yang mampu tumbangkan Poci Dewa dan Nini Kalong?!" Hardik Resi Pakar
Pantun dengan mengepalkan tangannya, ia tampak ingin lakukan serangan kepada
Payung Serambi.
"Tunggu!" sergah
Payung Serambi. "Jangan dengarkan fitnah si tampan sinting itu!"
Suto pun segera berkata,
"Untuk apa kau bernafsu sekali ingin menemui Nini Kalong kalau bukan untuk
membunuhnya?!"
"Otak bodohmu
keterlaluan, Suto! Aku datang justru ingin memberitahukan bahwa Nini Kalong
terancam bahaya! Aku ingin mencegat bahaya itu, namun ternyata aku terlambat.
Demikian juga halnya dengan Poci Dewa dan Pendeta Kembang Ayu. Aku terlambat
mencegat bahaya itu sehingga akhirnya mereka menjadi korban. Keterlambatanku
itu karena aku tak tahu persis di mana letak kediaman mereka."
"Kau pandai memutar lidah
rupanya!" kata Suto Sinting.
"Kau sendiri menyukainya,
bukan?"
"Maksudku, pandai bermain
kata-kata. Bukan memutar lidah dalam arti sebenarnya!" sentak Suto Sinting
menutupi rasa malunya, sambil berusaha membuang bayangan saat mereka berciuman
tadi.
"Payung Serambi,"
ujar Resi Pakar Pantun. "Apakah maksud kedatanganmu ke tanah Jawa ini
sebenarnya?"
"Nyai Kandita mengutusku
untuk lakukan penyelamatan terhadap beberapa tokoh yang terancam bahaya."
"Apakah bisa kupercaya
kata-katamu itu?"
"Aku tak memaksamu untuk
percaya, tapi aku akan berkata apa adanya," ujar Payung Serambi, ia
menatap Suto Sinting sebentar, kemudian kembali memandang Resi Pakar Pantun dan
berkata dengan tegas.
"Delapan tokoh aliran
putih yang tinggal di tanah Jawa ini terancam bahaya. Wajah-wajah mereka tampak
menguning dalam penglihatan Nyai Kandita."
"Siapa saja?!"
sergah sang Resi.
"Pendeta Kembang Ayu,
Poci Dewa, Nini Kalong, Sumbaruni "
"Siapa?!
Sumbaruni?!" potong Resi Pakar Pantun sebelum Pendekar Mabuk terpekik
kaget juga.
"Celaka! Sumbaruni
terancam kematian pula rupanya?!" gumam Suto Sinting dengan tegang, sebab
ia tahu Sumbaruni adalah wanita yang amat mencintainya dan bersikap baik
padanya selama ini.
"Sumbaruni...?!
Gawat!" kata sang Resi. "Baru saja Sumbaruni menuju ke Lembah Hijau
bersama Kidung Laras dan muridnya; Pakis Ratu. Aku harus mengabarkan hal ini
kepada Sumbaruni!"
"Sebaiknya begini saja,
Eyang Resi...," kata Suto, namun terpotong oleh ucapan sang Resi sendiri.
"Pikirkan saja keadaanmu,
Suto. Jangan seperti pendekar konyol, pakai kebaya segala! Gantilah pakaianmu
sebelum Sumbaruni pun tahu kau menjadi banci kesiangan! Aku akan berangkat
temui Sumbaruni sekarang juga!"
Weeess. !
"Tunggu dulu, Pakar
Pantun...!" sergah Payung Serambi. Tetapi sang Resi sudah lebih dulu
berkelebat pergi dengan kecepatan tinggi. Pelayannya yang sejak tadi memendam
perasaan heran melihat Suto Sinting mengenakan kain dan kebaya, sempat tertinggal
walau tetap berlari-lari sambil berseru,
"Eyang...! Eyang,
Resi...! Tunggu saya, Eyang...!"
Pendekar Mabuk masih terpaku
di tempat dengan mulut terbengong melompong karena kaget mendengar kabar itu.
Payung Serambi pun tertegun di tempat karena tak berhasil cegah kepergian Resi
Pakar Pantun. Kejap berikutnya mereka bagaikan baru sadar dari lamunan. Payung
Serambi berkata, "Bodoh amat si tua Pakar Pantun itu!"
"Dia kenal baik dengan
Sumbaruni dan. "
"Memang. Tapi sebetulnya
aku ingin katakan bahwa delapan orang yang akan terancam maut itu termasuk
dirinya sendiri."
"Hahh.. ?! Maksudmu...
maksudmu, Resi Pakar Pantun juga termasuk delapan orang yang terancam kematian
menurut penglihatan Nyai Kandita?"
"Benar!"
"Celaka!" Pendekar
Mabuk ingin bergerak, tetapi tangannya ditahan oleh Payung Serambi.
"Dengarkan dulu
penjelasanku! Jangan menjadi bodoh seperti si tua Pakar Pantun itu!"
Payung Serambi anggukkan
kepala. "Kuulangi lagi; Pendeta Kembang Ayu, Poci Dewa, Nini Kalong,
Sumbaruni, Pakar Pantun, Pendeta Darah Api, Resi Wulung Gading, dan. Gila
Tuak!"
Bagai petir menyambar wajah,
Pendekar Mabuk tersentak kaget, matanya mendelik dan kulit wajahnya menjadi
merah. Nama gurunya masuk dalam urutan orang-orang yang terancam maut, hal itu
sama saja sebatang tombak menghujam di jantungnya. Tak heran jika tubuh Sutto
Sinting pun akhirnya gemetar membayangkan kematian gurunya. Darah bagaikan
mendidih karena bangkitnya sang murka dan duka yang bergumul menjadi satu,
sampai akhirnya membentuk suatu kegelisahan yang tak pasti.
"Delapan nama itu adalah
orang-orang yang pernah datang ke Istana Laut Kidul dan bertemu dengan Nyai
Ratu."
Pendekar Mabuk sempat
terbungkam beberapa waktu lamanya, ia sendiri tak tahu kalau Gila Tuak, sang
Guru, pernah datang ke Istana Laut Kidul, karena hal itu tak pernah diceritakan
oleh sang Guru. Detak jantung yang menjadi cepat membuatnya menenggak tuaknya
kembali untuk mengurangi perasaan gelisah yang mendebarkan itu.
"Bagaimana dengan Ki
Lurah Gontang, yang keluarganya dibantai oleh Malaikat Malam dan. "
"Itu bukan pekerjaan si
Malaikat Malam," sahut Payung Serambi. "Kudengar kabar itu dan
kuselidiki sendiri, ternyata yang melakukan adalah perampok tunggal yang punya
kegemaran memperkosa perawan. Jika ada yang melihat si pelaku berpakaian hitam,
itu hanyalah suatu hal yang kebetulan saja."
Suto Sinting hembuskan napas
panjang-panjang agar kian peroleh ketenangan batinnya. "Lalu... siapa
sebenarnya orang yang meniru penampilan Malaikat Malam itu?"
Payung Serambi gelengkan kepala.
"Mengapa orang itu yang
menjadi El Maut bagi nyawa para korban?"
"Itu tugas keduaku,"
jawab Payung Serambi. "Tugas pertama adalah menahan datangnya sang maut
pada diri delapan orang itu. Tugas kedua menyelidiki, siapa sebenarnya yang
biang petaka dalam perkara ini? Tugas ketiga, menghancurkan si biang petaka
itu!"
"Kalau begitu," kata
Suto Sinting setelah menenggak tuaknya kembali. "Kita harus segera temui
mereka dan memberitahukan hal ini. Aku akan membantumu menemui mereka, karena
aku tahu tempat tinggal mereka, kecuali Pendeta Darah Api. Aku belum pernah ke
Teluk Merah. Tapi aku tahu orang yang bisa antar kita ke Teluk Merah."
"Kurasa memang tak ada
waktu lagi, sekarang juga kita harus bergerak, karena aku sudah gagal
selamatkan tiga nyawa."
"Baik. Tapi bagaimana aku
bisa bergerak bebas jika pakaianku tak kau kembalikan."
"Kau gila! Sudah
kubilang, aku tidak mencuri pakaianmu!"
"Lalu, siapa jika bukan
kau?!" sentak Suto Sinting dengan jengkel dan cemas.
"Sudahlah, pakai pakaian
begitu saja. Kau tampak semakin menggoda hatiku jika begitu," ujar Payung
Serambi sambil sunggingkan senyum. "Untuk apa kau butuh pakaian, toh aku
sudah melihat seluruhnya saat kau tertidur di bawah pohon."
"Sial!" Pendekar
Mabuk bersungut-sungut.
*
* *
8
LANGKAH pertama yang dilakukan
Suto Sinting adalah mengejar Resi Pakar Pantun yang menuju ke Lembah Hijau.
Tokoh tua jago berpantun itu perlu mengetahui, bahwa dirinya sendiri terancam
oleh kematian, seperti halnya Sumbaruni dan yang lainnya.
Alangkah bodohnya jika ia
bersusah payah mengabarkan bencana itu kepada Sumbaruni, sementara dirinya
sendiri menghadapi bencana yang sama dan mungkin malahan lebih dulu merenggut
jiwanya. Sungguh suatu peristiwa yang amat menyedihkan bagi orang yang
mengetahui siapa sasaran si Malaikat Palsu itu.
Payung Serambi tak mau biarkan
Suto Sinting menempuh bahaya sendirian, ia mendampingi Suto Sinting sambil
memasang kewaspadaan demi keselamatan si pendekar tampan itu. Sementara di
pihak Suto Sinting sendiri merasa bangga dan hatinya berbunga kala menyadari
Payung Serambi tetap mendampinginya. Barangkali pengaruh kekuatan gaib pemikat
yang mereka lepaskan masih saling menjerat hati, sehingga keduanya sama-sama
merasa berat jika harus berpisah. Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang sempat
mengguncangkan bumi dan pepohonan sekitarnya. Blegaaarrr...!
Pendekar Mabuk cepat-cepat
hentikan langkahnya. Payung Serambi ikut-ikutan hentikan langkah, ia mendengar
suara batin Suto Sinting yang berkata pada diri sendiri,
"Ada pertarungan seru di
sebelah utara sana! Hmmm... jangan-jangan di sana Guru sedang bertarung dengan
Malaikat Palsu itu!"
Kata hati yang mampu didengar
oleh Payung Serambi itu segera mendapat jawaban lewat suara tegas perempuan
itu.
"Sebaiknya kita tengok
saja, daripada kau menerka- nerka penuh kecemasan!"
"Saran yang sangat bagus
bagiku!" ujar Suto Sinting, kemudian mereka berkelebat ke arah utara.
Di sebuah lembah berhutan
renggang, memang terjadi pertarungan
seru. Mula-mula dilakukan oleh dua orang yang saling kerahkan tenaga untuk
tumbangkan lawan. Mereka adalah Dewi Cintani yang memergoki si Malaikat Palsu
sedang menguntit perjalanan Sumbaruni bersama Nyai Kidung Laras dan Pakis Ratu.
Manusia berselubung kain hitam
dari kepala sampai kaki kecuali bagian mata saja itu tidak menduga kalau akan
datang serangan dari arah belakangnya. Seberkas sinar kuning lurus telah
melesat menghantam punggungnya. Claap...!
Tetapi sebelum sinar kuning
itu kenai punggung, Malaikat Palsu telah balikkan badan karena gerak naluri
adanya bahaya datang. Sambil berbalik badan tangannya berkelebat. Kedatangan
sinar kuning lurus itu segera ditahan dengan telapak tangannya. Zrruub...!
Tangan itu cepat-cepat menggenggam, membuat sinar kuning itu bagai ditampung
dalam telapak tangan itu.
Buuusss...! Asap kuning
samar-samar keluar dari genggaman tangan si Malaikat Palsu, pertanda kekuatan
sinar kuning itu telah dijinakkan, tak ada ledakan, tak ada luka, lenyap begitu
saja.
Dewi Cintani sempat
terperanjat melihat kejadian itu. Saat ia terperanjat itulah si Malaikat Palsu
menyerangnya dengan senjata rahasia yang bentuk dan ukurannya sama dengan
senjata rahasia yang pernah lukai Suto Sinting itu.
Ziiing ..! "
"Hiaaat...!" Dewi
Cintani sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melenting ke atas sambil cabut pedangnya.
Pedang itu berkelebat cepat menangkis sanjata rahasia tersebut. Triiing...!
Senjata rahasia itu melesat ke
arah lain, tak diketahui apakah menancap pada batang pohon atau jatuh di semak
yang ada di kejauhan sana. Yang jelas, Malaikat Palsu segera lakukan serangan
dengan sentakkan tangan kirinya dalam keadaan seperti melemparkan pisau.
Wuuuurrrsss...!
Dari tangan itu menyembur
serbuk putih bagai serpihan besi mengkilat. Kelembutan serbuk itu menyerupai
kelembutan pasir pantai putih. Serbuk putih itu menyebar ke arah wajah Dewi
Cintani. Zrraaak...! "Aaauh...!" Dewi Cintani terpekik, wajahnya
menjadi
merah berbintik-bintik hitam.
Rasa panas dan perih menjadi satu, hingga ia hanya bisa mengerang sambil
berusaha meraup wajahnya. Tetapi serbuk beracun itu kian menyerang kulit dan
daging hingga wajah itu menjadi memborok dalam beberapa kejap saja. Wajah
cantik itu menjadi hancur dan mengerikan.
Sraang...! Samurai di punggung
si Malaikat Palsu dicabutnya. Kemudian samurai itu segera dibabatkan untuk membuntungi
kedua lengan Dewi Cintani. Wuuusss...!
Traaang...!
Tiba-tiba gerakan samurai itu
tertahan oleh sebatang ranting yang tahu-tahu menghadang di depannya. Ranting
itu telah dialiri tenaga dalam, sehingga menyerupai besi baja yang tak bisa
mudah patah walau ditebas samurai setajam mata silet. Justru benturan samurai
dengan ranting sempat memercikkan bunga api yang mengejutkan si Malaikat Palsu.
Ternyata pada saat yang sangat
rawan bagi Dewi Cintani itulah, Resi Pakar Pantun lewat lembah tersebut dan
memergoki pertarungan tak seimbang, ia mengenali Dewi Cintani sebagai perwira
Pulau Sangon, karenanya ia segera bertindak menyambar ranting kering yang
tergeletak di tanah, lalu menghadang gerakan samurai tersebut. Begitu samurai
tertahan, Resi Pakar Pantun segera kelebatkan ranting bertenaga dalam itu ke
arah dagu si Malaikat Palsu. Wuuut...!
Orang berselubung kain hitam
itu dongakkan kepala sambil melengkung ke belakang, sehingga dagunya lolos dari
sabetan ranting sang Resi. Tapi sebelum ia tegak kembali, sang Resi sudah lebih
dulu menyabetkan rantingnya ke arah dada orang tersebut. Wuuut..! Trrang...!
Ranting itu ditahan dengan samurai. Begitu berhasil menahan sabetan ranting,
samurai itu berkelebat dari atas ke bawah, sasarannya membelah kepala Resi
Pakar Pantun.
Wuuut...!
Weeess...! Sang Resi tahu-tahu
sudah tidak ada di tempat. Ternyata ia sudah berada di belakang lawannya dan
segera lepaskan pukulan telapak tangan bercahaya biru membara.
Wuuut...!
Malaikat Palsu balikkan badan
dan hantamkan telapak tangan kirinya, sehingga kedua telapak tangan itu beradu.
Plak...!
Blegaaarrr...!
Dua tenaga dalam tinggi beradu
melalui pertemuan dua telapak tangan. Akibatnya ledakan dahsyat terjadi saat
itu pula, dan tanah serta pepohonan pun berguncang bagai dilanda gempa.
Sedangkan dua tubuh tersebut saling terpental ke belakang, masing-masing
berjarak lima langkah dari tempat mereka semula. Sedangkan gadis perwira Pulau
Sangon itu masih merintih kesakitan sambil berlutut di bawah sebatang pohon
rindang. Wajahnya semakin membusuk dan amat buruk. Gelegar ledakan itulah yang
ditangkap pendengaran Suto Sinting, sehingga Pendekar Mabuk dan Payung Serambi
bergegas hampiri tempat tersebut. Mereka sedikit terperanjat melihat Resi Pakar
Pantun sedang lakukan pertarungan dengan Malaikat Palsu.
"Cintani...?!" gumam
Suto Sinting dengan mata terbelalak tegang. "Payung Serambi, kau bantu
Resi Pakar Pantun, aku akan tolong si murid Pendeta Kembang Ayu itu!" ujar
Suto Sinting yang segera bergegas temui Dewi Cintani.
Payung Serambi tak bisa tolak
perintah itu karena keadaan tidak memungkinkan untuk berdebat. Maka gadis itu
segera lepaskan pukulan tanpa sinar.
Deeeb...!
Bruuuss...! Malaikat Palsu
terjungkal ke depan bagai mendapat tendangan cukup kuat. Namun ia cepat
bersalto dengan menancapkan samurai di tanah dan gagang samurai dipakai sebagai
tumpuan tangannya. Wuut...! Gerakan saltonya itu begitu lincah dan cepat,
membuat Resi Pakar Pantun yang hendak lepaskan pukulan tenaga dalam itu
terperanjat. Karena tiba-tiba kedua kaki si Malaikat Palsu itu lakukan
tendangan beruntun yang tepat kenai dada sang Resi.
Duhg, duhg, duhg...!
"Aaahg...!" Resi
Pakar Pantun terlempar ke belakang sambil semburkan darah segar dari mulutnya.
Dadanya terasa seperti jebol akibat tendangan beruntun yang tak diduga-duga
itu.
Wuuut, jleeeg...! Si Malaikat
Palsu telah berdiri tegak kembali dengan samurai tercabut dari tanah dan kini
berada di tangan kanannya, ia memasang kuda-kuda rendah, samurainya diangkat
sebatas telinga, tangan kirinya melintang ke depan dagu.
"Akulah lawanmu,
Keparat!" geram Payung Serambi sambil melangkah dekati lawannya. Dalam
jarak lima langkah ia berhenti dan mencabut pedangnya. Sraaang...! Pada waktu
itu, Suto Sinting telah berhasil meminumkan tuak kepada Dewi Cintani. Tetapi ia
segera berkelebat menolong Resi Pakar Pantun yang tampaknya nyaris tak bisa
bernapas lagi itu. Sang Resi
pun dipaksakan untuk meneguk
tuaknya.
Terdengar suara Payung Serambi
menghardik si Malaikat Palsu,
"Buka penutup kepalamu,
atau kupaksa dengan pedangku?!"
Malaikat Palsu diam saja,
matanya tampak memandang dengan tajam. Pendekar Mabuk sempat berkerut dahi saat
memperhatikan sepasang mata di balik penutup wajah dari kain hitam itu. Ada
kecurigaan yang disembunyikan Suto Sinting pada saat itu. Namun ia sengaja diam
dulu, memberi kesempatan pada Payung Serambi untuk selesaikan tugasnya,
menghancurkan si biang bencana bagi kedelapan tokoh yang pernah datang ke
Istana Ratu Kidul itu.
"Sebutkan siapa dirimu,
atau pedangku akan merobek mulutmu agar bicara keras-keras?" ancam Payung
Serambi. Tetapi lawannya tak bergeming sedikit pun. Agaknya sang lawan tidak
merasa gentar mendengar ancaman tersebut.
Payung Serambi geram dan
merasa ditantang. Maka dengan gerakan secepat kilat ia menerjang lawannya
bersama pedang runcing ditebaskan ke sana-sini.
Weees...!
Wut, wut, wut, trang...!
Malaikat Palsu pun lakukan
lompatan menyambut gerakan melayang Payung Serambi. Akibatnya mereka beradu
kecepatan memainkan pedang di udara. Hanya sekejap mereka mengadu kecepatan
memainkan pedang itu, kemudian keduanya sudah sama-sama daratkan kaki ke bumi
dan saling memunggungi dalam keadaan bertukar tempat.
Trang, tring, wuus, breeet,
breet, crass...!
Keduanya sama-sama diam
sesaat. Malaikat Palsu sedikit menekuk kedua kakinya yang berdiri merapat
dengan samurai di samping kanan, digenggam dengan dua tangan. Sedangkan Payung
Serambi juga diam sesaat. Tapi pinggangnya tampak melelehkan darah. Pendekar Mabuk
terperanjat dan berkata dalam hatinya dengan cemas,
"Oh, dia terluka?!"
Baru saja Suto Sinting akan
bergerak mengobati Payung Serambi, tiba-tiba tangan gadis itu menangkap lukanya
sendiri. Plaaak...! Tangannya diusapkan pada luka, dan ternyata luka itu lenyap
dengan sangat ajaib. Hilang tak berbekas sedikit pun. Kain yang robek pun
kembali rapat seperti sediakala.
Pendekar Mabuk yang melebarkan
matanya itu segera memandang ke arah Malaikat Palsu. Ternyata kain hitam
penutup kepala dan wajah itu telah terbelah menjadi empat bagian. Kain itu
terkelupas dengan sendirinya, sehingga kepala dan wajah si Malaikat Palsu itu
terlihat dengan jelas. Kepala itu tetap utuh, tak satu pun rambut yang ikut
terpotong. Ini menandakan jurus pedang yang digunakan Payung Serambi
benar-benar hebat.
Payung Serambi dan Malaikat
Palsu sama-sama membalik badan hingga mereka saling berhadapan bertatap muka
kembali. Tapi mata indah Payung Serambi tampak terbelalak kaget begitu
mengetahui siapa orang yang seiama ini berkerudung kain hitam itu.
"Galih
Rembulan...?!" gumam Payung Serambi, ia terkejut karena mengenal betul
wajah di balik pakaian hitam itu, sedangkan Pendekar Mabuk terkejut karena
ternyata si Malaikat Palsu itu seorang wanita cantik yang mempunyai kemiripan
wajah dengan Payung Serambi.
Pendekar Mabuk sempatkan
berbisik kepada Payung Serambi, "Siapa dia?!"
"Galih Rembulan, kakak
tiriku yang pernah menjadi panglima Istana Laut Kidul. Tapi karena ia melakukan
suatu kesalahan yang membuat Nyai Kandita murka, maka ia diusir dari Istana
Laut Kidul. Ah, Suto... minggirlah dulu, ini sudah menyangkut urusan pribadi
antara aku dan dia."
"Agaknya memang harus
begitu," ujar Suto Sinting sambil menyingkir ke arah Resi Pakar Pantu yang
mulai sehat kembali, seperti halnya Dewi Cintani.
"Galih Rembulan, mengapa
hal ini kau lakukan?" ujar Payung Serambi dengan wajah duka. Ia melangkah
dekati kakak tirinya.
"Aku telah terbuang dari
wilayah Laut Kidul. Aku ingin kuasai tanah Jawa. Untuk itu aku harus bunuh
orang-orang yang pernah melihatku sebagai panglima Istana Laut Kidul. Kelak
jika aku sudah berkuasa di tanah Jawa dan menghimpun kekuatan besar, maka akan
kubalas sakit hatiku terhadap Nyai Kandita."
"Galih Rembulan,
langkahmu salah. Sadarlah bahwa kau tak akan mampu tumbangkan Nyai Ratu, siapa
pun tak akan mampu! Hentikan tindakanmu ini, Galih Rembulan. Hentikanlah,
kakakku!"
Galih Rembulan yang berparas
cantik jelita itu diam terbungkam. Sepertinya ia sedang dihinggapi kebimbangan
yang menghadirkan berbagai pertimbangan. Sementara itu, Pendekar Mabuk sempat
berbisik kepada Resi Pakar Pantun.
"Cantik sekali dia.
Bagaimana menurutmu, Eyang Resi?"
"Setahuku, dia memang
cantik tapi ganas terhadap lelaki. Dulu dia dikenal sebagai panglima yang binal
dan jalang."
"Kalau begitu, kurasa dia
itulah orangnya yang menelanjangiku sewaktu aku tidur."
"Bisa jadi memang dia,
karena dia memang gemar melihat lelaki tanpa busana."
"Tentunya hanya lelaki
tampan sepertiku, bukan?" "Ya, kalau lelaki sepertiku, dia akan suka
melihatnya
dalam keadaan tidak berkulit
lagi." Pendekar Mabuk ingin tertawa, tapi tawanya segera hilang karena
melihat Galih Rembulan membuang samurainya dengan wajah lesu. Perempuan cantik
seperti berusia dua puluh tujuh tahun itu melangkah dekati Payung Serambi dengan
tangan terbentang tanda menyerah.
"Tangkaplah aku daripada
aku harus melawan adik tiriku sendiri, Payung Serambi."
Payung Serambi menjadi semakin
iba dan ragu. Ia diam saja saat kakak tirinya mendekati dengan tangan terbuka.
Tetapi di luar dugaan, ketika mereka berhadapan dalam jarak kurang dari satu
langkah, tiba- tiba dari sarung tangan yang dikenakan Galih Rembulan keluar
beberapa jarum beracun. Craak, craak ..! Jarum- jarum itu muncul di
masing-masing telapak tangan, jumlahnya sekitar dua puluh jarum untuk tiap
telapak tangan. Payung Serambi terperanjat tegang.
Belum habis rasa kagetnya
Payung Serambi, tiba-tiba Galih Rembulan sentakkan kedua tangannya ke depan,
jarum-jarum di telapak tangannya menancap di dada montok Payung Serambi. Kedua
tangan itu pun menyentak ke samping kanan-kiri. Breeet...!
"Aaahg...!" Payung
Serambi memekik keras. Dadanya robek seketika. Pedangnya sempat terpental dan
jatuh di depan Suto Sinting.
Galih Rembulan membabi-buta
mengoyak habis tubuh dan wajah Payung Serambi dengan jarum-jarum beracun itu.
Bret, bret, bret, bret...!
Payung Serambi memekik panjang sambil melangkah mundur dengan limbung, ia masih
dicecar serangan Galih Rembulan yang merobek tiap kulit dan daging adik tirinya
itu.
Pendekar Mabuk, Resi Pakar
Pantun, Dewi Cintani sama-sama terkesima tegang melihat tindakan ganas yang di
luar dugaan itu. Kadal Ginting yang dari tadi sudah ada di balik pohon juga
tercengang tegang dengan lutut gemetar. Galih Rembulan bagai tak pedulikan lagi
jeritan Payung Serambi yang telah bermandi darah dan terpojok pada sebatang
pohon.
"Aaaa...!!"
Pendekar Mabuk cepat bertindak
di luar kesadarannya. Kakinya menendang gagang pedang yang tergeletak di tanah
depannya. Duus...! Pedang pun melayang cepat karena tendangan itu bertenaga
dalam.
Weeet...!
Jrrrub...!
"Aaahg...!" Galih
Rembulan mengejang dengan keluarkan suara pekik tertahan. Pedang runcing itu
menancap tembus di leher Galih Rembulan dari arah samping kiri tembus ke kanan.
Zlaaap...! Brrrus...!
Pendekar Mabuk menerjang Galih
Rembulan hingga tubuh yang telah tertusuk pedang lehernya itu terpental sejauh
lima langkah, kemudian roboh tak berkutik selamanya.
"Oouh...!" Payung
Serambi merintih dan dalam keadaan tubuhnya hancur tercabik-cabik. Dewi Cintani
berseru sambil dekati Payung Serambi, "Suto... lekas selamatkan dia dengan
tuakmu!"
Dewi Cintani yang wajahnya
sudah ayu kembali sejak meneguk tuaknya
Suto itu tampak lega begitu tuak tersebut dituang ke mulut Payung Serambi.
Beberapa saat kemudian luka cabikan yang beracun itu menjadi lenyap, Payung
Serambi lolos dari maut. Resi Pakar Pantun hembuskan napas lega lalu berkata
kepada mereka,
"Jadi aku pun sebenarnya
telah lolos dari dendam si panglima binal itu?"
"Benar, Turangga,"
jawab Payung Serambi dengan menyebutkan nama asli Resi Pakar Pantun.
"Galih Rembulan tak ingin kau dan yang lainnya tahu bahwa ia bekas
panglima Istana Laut Kidul yang jalang dan binal. Tapi... sekarang segaianya
sudah berakhir. Kakak tiriku itu telah menerima hukuman yang setimpal dari
Pendekar Mabuk. Dengan begitu, lima nyawa yang seharusnya melayang menjadi
terselamatkan."
Payung Serambi menatap Suto
Sinting dengan senyum memikat hati.
"Dan kaulah penyelamat
kelima nyawa itu, Suto."
Pendekar Mabuk berlagak acuh
tak acuh, namun segera berkata penuh sindiran.
"Ya, nyawa mereka memang
selamat, tapi bagaimana dengan pakaianku? Apakah masih selamat juga? Lihat,
kain ini menjadi robek semakin panjang gara-gara kupakai untuk menendang
pedangmu tadi."
Dewi Cintani dan Payung
Serambi cekikikan sambil buang muka, karena mereka segera menyadari bahwa kain
yang dikenakan Suto Sinting itu telah robek panjang, dari bawah sampai ke
perut, membuat sesuatu yang tersembuyi itu dapat terlihat sewaktu-waktu,
terutama jika belahan kain yang robek tersingkap oleh hembusan angin.
"Suto," ujar Payung
Serambi, "ikutlah aku, kita cari pakaianmu di tempatmu tertidur waktu itu.
Kurasa Galih Rembulan yang menelanjangimu dan menyembunyikan pakaianmu di
lapisan alam gaib; antara alam nyata dan alam tak nyata. Aku bisa menemukannya!"
Pendekar Mabuk pun akhirnya
pergi bersama Payung Serambi, dan ternyata apa yang dikatakan gadis utusan
Istana Laut Kidul itu memang benar; pakaian itu disembunyikan di lapisan gaib,
antara alam nyata dan alam tak nyata.
"Kurasa Galih Rembulan
sengaja membuatmu tanpa busana dengan cara gaib untuk menghambat gerakanmu agar
tak bisa ikut campur dalam urusannya itu," kata Payung Serambi sambil
menunggu Suto Sinting ganti pakaian di balik semak. Sesekali matanya melirik
mencoba mengintip dengan hati berdebar-debar karena masih ada pengaruh gaib
pemikat dari jurus 'Senyuman iblis' itu.
SELESAI