SEBUAH kedai di sudut jalan
itu tak pernah sepi pengunjung. Bahkan sampai jauh malam kedai itu masih buka.
Bukan hanya karena kedai itu menyediakan berbagai macam makanan dan minuman,
tapi karena kedai itu mempunyai pemanis.
Rusminah, anak gadis Ki
Sumowito, pemilik kedai itu, adalah daya tarik utama bagi para pengunjung
kedai. Rusminah perawan desa yang cantik dan menarik hati. Ia ramah dan murah
senyum, sehingga pembeli di kedai itu merasa ketagihan. Sekali mereka datang,
esoknya ingin kembali datang.
Menurut kabarnya, Rusminah
bukan hanya cantik tapi juga pandai memasak. Apa saja yang dimasaknya selalu
terasa lezat bagi para pembelinya. Entah karena memang Rusminah pandai memasak
atau karena kecantikannya itu yang mempengaruhi setiap masakan menjadi lezat,
yang jelas setiap pembeli betah nongkrong di kedai Ki Sumowito sampai
berlama-lama.
Salah satu pelanggan tetap
kedai pojok itu adalah seorang pemuda bertubuh tegap dan berwajah tampan, ia
selalu kenakan pakaian biru muda bersabuk kuning. Rambutnya panjang lurus dan
lemas, diikat kain kuning pula. Usianya sekitar tiga puluh tahun, lima tahun
lebih tua dari Rusminah sendiri. Pemuda ini selalu memilih tempat paling sudut,
dekat dengan jalan kecil menuju meja makanan. Karena dari tempatnya itu, ia
bisa melihat Rusminah yang mondar-mandir melayani pembeli. Jika Rusminah
menatapnya, gadis itu selalu membalas senyuman kepada pemuda tersebut.
Siang itu, Rusminah sibuk.
Pembelinya banyak. Ki Sumowito juga ikut sibuk membawanya ke meja pembeli
sambil se sekali terima gangguan-gangguan kecil yang sudah tak asing lagi
baginya. Pemuda berpakaian biru muda itu pun sudah ada di pojok sejak tadi. Ia
sudah menghabiskan satu poci arak dan beberapa potong ketan bakar.
Kejap berikutnya, muncul tiga
orang yang masih asing wajahnya bagi penduduk desa itu. Bahkan para pengunjung
kedai merasa belum pernah berjumpa wajah-wajah mereka bertiga.
"Mari, Kang... silakan
duduk! Masih ada tempat di sebelah situ, Kang!" sambut Rusminah dengan
ramah. Tapi ketiga tamunya itu berwajah angker. Tak ada yang tersenyum sedikit
pun. Mata mereka memandang sekeliling, seolah-olah tiap wajah dipandanginya
secara teliti.
"Mungkin mereka mencari
seseorang yang jadi musuhnya!" bisik Ki Sumowito kepada anak gadisnya.
"Hati-hati, Nduk... jangan terlalu dekat ke sana! Nanti kalau mereka pesan
makanan dan minuman biar aku saja yang layani!"
"Iya. Aku juga ngeri
lihat yang berwajah codet itu. Angker sekali, Pak! Jangan-jangan dia baru
bangkit dari kubur?!"
"Ssst...! Jangan
keras-keras bicaramu, nanti didengar mereka!" Ki Sumowito segera sentakkan
pakaian Rusminah sebagai tanda kecemasannya.
"Agaknya mereka tuli,
Pak. Buktinya kusuruh duduk di tempat yang masih kosong, mereka masih saja
berdiri cari-cari tempat!"
"Bukan cari-cari tempat,
tapi cari-cari perkara! Ia pandangi mereka satu persatu, kalau ada yang
tersinggung pasti mereka bertiga sudah siap menghadapi orang yang tersinggung
itu!"
"Ah, hatiku jadi tak enak
kalau begini, Pak. Mestinya Bapak kasih tulisan di depan pintu masuk sana
'wajah angker dilarang masuk' gitu, Pak! Jadi mereka tak masuk kemari"
"Ssst...! Sudah, sudah...
jangan pandangi mereka. Mereka sedang melirikmu!" Ki Sumowito buru-buru
melakukan sesuatu biar kelihatan sibuk, demikian pula dengan Rusminah.
Si wajah codet tiba-tiba menggebrak
meja kosong.
Brakkk...!
Beberapa orang tersentak
kaget. Setiap mata palingkan pandang ke arah si wajah codet yang berseru,
"Minta arak tiga poci, dan ciu Mataram tiga poci!" "Baik, Kang.
Segera kami siapkan!" jawab Rusminah sambil paksakan senyum supaya bikin
senang ketiga orang angker itu. Sementara itu, di sisi lain ada yang
berbisik-bisik,
"Gila! Mereka hanya
bertiga tapi pesan minuman langsung enam poci! Mau diminum atau buat kumur-
kumur saja itu minuman?!"
"Pasti mereka para setan
arak yang tak pernah mabuk walau minum sepuluh poci pun! Apalagi yang dipesan
adalah ciu Mataram! Aku saja yang sudah biasa minum, kalau sudah kena setengah
cangkir ciu Mataram, sudah tak bisa melihat orang dengan jelas. Tapi mereka mau
menghabiskan satu poci arak dan satu poci ciu Mataram tiap orang, itu
benar-benar hebat!"
"Jangan-jangan mereka
tidak mabuk, tapi langsung pingsan satu-persatu? Hi hi hi...!"
Orang yang tertawa cekikan itu
segera berhenti karena si wajah codet memandangnya dengan mata tajam dan
berkesan angker. Orang ini mengenakan baju merah model rompi tapi panjang
sampai bawah pusarnya. Diberi sabuk hitam, sesuai dengan warna celananya.
Selain punya codet miring di pipi kanannya, juga bermata besar melotot bagai mau
keluar saja biji mata itu. Tubuhnya besar, rambutnya panjang diikat kain
pu-tih. Rambut itu acak-acakan hingga kepalanya tampak besar, ia mengenakan
cincin yang terbalik, batu cincin itu ada di telapak tangan, warnanya merah,
besarnya seukuran permukaan jempol tangan.
Orang inilah yang masuk
pertama kali ke dalam kedai, lalu diikuti kedua orang di belakangnya. Masuknya
orang ini telah membuat suasana kedai tidak lagi meriah. Yang tertawa menjadi
diam, yang bicara keras segera kecilkan suara, yang semula merasa santai
sekarang merasa tegang. Bahkan yang sejak tadi menggoda Rusminah, kali ini jadi
diam tak berani melanjutkan celoteh godaannya.
Pemuda tampan yang sejak tadi
tetap tenang itu memanggil Rusminah dengan isyarat tangan. Rusminah mendekat
dan duduk di samping pemuda berbaju biru itu.
"Suruh orang-orang ini
tinggalkan kedaimu untuk sementara waktu."
"Kenapa begitu?"
"Ketiga tamu yang baru
datang itu akan bikin onar di sini dan sedang cari-cari perkara! Bisiki mereka
satu persatu supaya cepat tinggalkan kedaimu ini!"
Tiba-tiba si wajah codet
berseru kepada Rusminah, "Hai, Perempuan cantik! Kerjamu melayani semua
tamu di sini! Bukan hanya satu tamu saja! Coba kau kemari...!"
"Iyy... iya, sebentar!
Sebentar, Kang!"
"Cepat kemari!"
Brakkk...!
Si wajah codet menggebrak meja
lagi. "Kalau dipanggil Garong Codet jangan menunda-nunda, tahu?!"
Rusminah segera datang dengan
rasa takut yang disembunyikan. Tapi mereka menjadi tahu, bahwa orang berwajah
codet yang angker itu berjuluk Garong Codet. Sesuai dengan namanya.
Dengan suara lantang, Garong
Codet ucapkan kata kepada Rusminah,
"Siapa namamu, Cah
Ayu...?!"
"Rusminah, Kang!"
"Bagus! Begini, Rus...,
kalau sekiranya di kedai ini ada orang yang tidak suka pada kehadiranku, suruh
dia berdiri dan panggil namaku dari tempat duduknya! Kedua sahabatku ini, Tikus
Ningrat dan Setan Culik, akan siap menjemput orang itu dari tempat duduknya!"
Sambil berkata begitu, mata
lebar Garong Codet sebentar-sebentar melirik ke arah pemuda tampan berbaju
biru. Si pemuda tampan tahu dirinya sedang dipancing dan disindir, tapi ia
tidak tanggapi sindiran dan pancingan itu. Ia meneguk minumannya dengan tenang.
Rusminah berkata dengan ramah
paksaan, "Kurasa di sini tidak ada yang tidak suka padamu, Kang! Mereka
punya urusan masing-masing, jadi mereka tidak pedulikan urusanmu, Kang."
"Aku cuma ingatkan
padamu! Kalau kamu dengar ada yang kasak-kusuk merasa tak suka dengan kehadiran
kami, suruh dia berdiri!"
"Baik, Kang. Nanti akan
kusampaikan padamu jika ada yang tak suka dengan kehadiran Kang Garong
Codet!"
"Bagus, bagus...!"
Garong Codet sunggingkan senyum, bukan jadi tampan tapi tambah angker, ia tepuk-tepuk
pipi Rusminah seenaknya saja. Hal itu membuat pemuda yang duduk di pojokan jadi
panas hati. Namun ia bisa kendalikan nafsu amarahnya, ia tetap tenang dan
meneguk minumannya lagi.
Orang yang dijuluki Tikus
Ningrat itu memang wajahnya mirip tikus. Wajah itu runcing, dagunya maju ke
depan, hidungnya mancung, tapi pipinya kempot. Usianya sekitar lima puluh
tahun, sebaya dengan usia Garong Codet. Matanya kecil, alisnya tipis, kumisnya
hanya beberapa lembar dan kaku. Pakaiannya abu-abu, rambutnya panjang kucal,
sering meriap ke depan karena tidak kenakan ikat kepala. Mulutnya terkesan
lancip karena ada sebagian gigi yang menjorok ke depan. Tubuhnya kurus kering,
menyandang golok di pinggangnya.
Yang punya nama julukan Setan
Culik itu juga bertubuh kurus, tapi lebih pendek dari si Tikus Ningrat.
Rambutnya cepak kaku, usianya sekitar empat puluh tahun. Setan Culik punya
wajah aneh, hidung kecil bulat, mata bundar licik, alis tebal, pipi tembem
mirip bakpau. Kulitnya lebih gelap dari kulit kedua rekannya, ia mengenakan
baju hijau tanpa lengan dan celana abu-abu kusam. Di lengannya ada gambar tato
berbentuk centong nasi bersayap. Entah apa maksud gambar itu.
Ketiga orang bertampang angker
itu sebentar- sebentar melirik ke arah meja pojok. Pemuda tampan itu rupanya
sedang jadi bahan kasak-kusuk mereka. Si pemuda diam saja. Tapi pada saat Tikus
Ningrat angkat poci untuk tuangkan minuman, tiba-tiba poci itu tersentak ke
samping dan jatuh bagai ada yang menamparnya. Prangngng... !
Tikus Ningrat kaget, demikian
pula Garong Codet dan Setan Culik. Mulanya mereka berdua tak terlalu pikirkan
tumpahnya poci tersebut. Tapi Tikus Ningrat segera berbisik,
"Kurasakan ada gerakan
angin yang menampar pociku tadi!"
"O, benar begitu?"
Setan Culik mulai curiga.
"Pasti ada orang berilmu
tinggi di sini!" bisik Tikus Ningrat lagi. Lalu, Garong Codet melirikkan
matanya ke arah pemuda tampan itu, namun si pemuda memandang ke arah lain,
seakan tidak memperhatikan tiga manusia berwajah angker itu. Tangan si pemuda
menggaruk- garuk kepala. Wajahnya kelihatan biasa-biasa saja. Lalu Garong Codet
pandangi orang-orang di sekelilingnya.
Si pemuda melihat Setan Culik
ingin menyantap ketan bakarnya. Tapi belum sampai ketan bakar itu dicaploknya,
tiba-tiba tangan Setan Culik tersentak ke samping dan ketannya jatuh di lantai.
Plukkk...! Hal itu membuat Tikus Ningrat dan Garong Codet terkesiap sejenak.
"Ada tenaga yang menampar
tanganku," kata Setan Culik dengan suara geram menahan jengkel. Matanya
segera dipandangkan kearah si pemuda tampan. Pemuda itu biasa-biasa saja.
Bahkan dengan kalemnya dia menuang minuman lagi ke cangkir untuk diteguknya.
Tapi tiba-tiba sebuah sentakan
tak terlihat diarahkan kepadanya. Sentakan jarak jauh itu dilakukan oleh Tikus
Ningrat. Mestinya tangan si pemuda yang mau mengangkat cangkir itu tersentak
dan cangkirnya terlempar.
Tapi nyatanya pemuda itu tetap
mengangkat cangkirnya dengan pelan-pelan, seakan melawan suatu hal yang membuat
berat gerakannya. Akhirnya ia berhasil minum dengan cangkir itu, walau
gerakannya sangat lamban.
"Tak salah lagi,"
bisik Tikus Ningrat. "Pemuda itu berilmu tinggi. Dia bisa melawan tenaga
sentakanku dari jarak jauh."
"Kalau begitu, dialah
orang yang kucari!" bisik Garong Codet dengan suara gemas, tapi bernada
girang juga. "Tapi siapa tahu di sini ada lebih dari satu orang berilmu,
jadi kita tidak perlu susah-susah mencarinya!"
Kemudian semua orang satu
persatu dipandangi oleh Garong Codet. Ia tahan napas diam-diam, dan gerakan
telapak tangannya di bawah meja bagaikan menekan sesuatu.
Terjadi suatu keanehan. Mereka
yang ada di kedai menjadi bingung. Cangkir mereka tak bisa diangkat. Sepertinya
terpatri dengan meja. Bahkan pisang goreng, ubi rebus, dan makanan lainnya tak
bisa diangkat dari tempatnya. Seakan semua makanan punya daya rekat yang amat
kuat. Bahkan sebuah kerupuk pun tak bisa diambil dari dalam kalengnya. Pisang,
tak bisa dipulir dari tandannya. Mereka saling berkasak-kusuk gemuruh seperti
lebah bergaung. Tikus Ningrat dan Setan Culik cekikikan. Hanya mereka berdua
yang bisa mengangkat cangkir dan meneguk minumannya. Mereka tahu, ini ulah
Garong Codet.
Tetapi mereka terkejut melihat
pemuda itu dengan entengnya melakukan apa saja yang ingin dilakukan, ia dapat
dengan mudah mengangkat cangkirnya, mengambil ubi goreng, bahkan sempat
berjalan memetik pisang di meja depan dan mengupasnya dengan tenang sekali.
Sepertinya tak mengalami hal aneh seperti yang dialami oleh pengunjung kedai
lainnya itu.
"Nah, jelas hanya dia
yang berilmu tinggi, Tikus Ningrat!" bisik Garong Codet. "Yang
lainnya tak bisa angkat makanan ataupun barang apa pun di depan mereka, tapi
anak muda itu bisa melakukan dengan mudah. Jika tidak berilmu tinggi, dia tidak
akan mudah memetik pisang dari tandanannya. Lihat, dia tuangkan poci ke dalam
cangkir dengan mudah sekali! Jelas dia orang yang kucari untuk tumbal cincinku
ini! Pancing dia, Setan Culik!"
"Beres! Aku sudah punya
cara untuk memancingnya!" kata Setan Culik, lalu bergegas bangkit dan
mendekati Rusminah yang ada di balik meja dagangan.
"Rus, apa di sini ada
kamar kosong?"
"Hmmm... iya, ada!
Kenapa, Kang?"
"Aku ingin istirahat
sebentar di kamar itu. Berapa sewanya?"
Ki Sumowito yang menjawab,
"Kami tidak sewakan kamar itu, tapi kalau kau ingin pakai untuk istirahat,
silakan pakai!"
"Aku ingin istirahat di
kamar itu, tapi harus ditemani dengan anakmu, Pak Tua!"
"Ha ha ha ha ha...!"
Tikus Ningrat serukan tawa bersama Garong Codet. Tawa yang pecah dan serak,
sangat tak enak didengar itu, ternyata telah membuat telinga pemuda tampan
merah bagai digosok pakai amplas. Tapi ia masih tetap tenang.
"Ayo, temani aku istirahat
sebentar, Rus...!" tangan Setan Culik segera meraih tangan Rusminah. Tentu
saja gadis itu segera sentakkan tangannya.
"Jangan begitu, Kang! Aku
bukan wanita penghibur!"
"Sekali-sekali menghibur
tamu kan tak apa-apa, Rusminah. Biar langgananmu makin banyak! Ha ha ha
ha...!" tangan Setan Culik meremas dada. Rusminah memekik kaget dan pucat
wajahnya.
"Aaah...!"
Melihat kelakuan seperti itu
di depan matanya, pemuda tampan itu tak bisa menahan kesabaran lagi. Ia segera
berdiri dan mencekal punggung baju si Setan Culik, kemudian melemparkan tubuh
itu hingga melayang dan jatuh di meja depan Garong Codet. Brakkkk....!
Terkejut Garong Codet dan
Tikus Ningrat melihat temannya dilemparkan begitu saja oleh si pemuda tampan.
Terkejut pula semua tamu di kedai itu. Mereka mulai menyingkir satu persatu.
Terdengar suara Rusminah yang
ketakutan berkata kepada pemuda itu.
"Soka Loka...! Sudahlah,
jangan layani mereka!"
Tapi pemuda yang bernama Soka
Loka itu tidak pedulikan ucapan Rusminah. Arak yang diteguknya mempengaruhi
keberanian dan kesabarannya. Soka Loka cepat melompati meja dagangan dan dalam
kejap berikut sudah berada di depan meja dagangan, menghadap tegap ke arah
ketiga manusia berwajah angker itu.
"Siapa kau?!
Berani-beraninya kau berbuat tak sopan terhadap temanku ini, hah?!" bentak
Garong Codet, matanya melotot bagai ingin lompat dari kelopaknya.
"Temanmu yang lebih dulu
bertindak tak sopan! Sekarang apa mau kalian sebenarnya?!" tantang Soka
Loka.
"Mauku memenggal
kepalamu!" jawab Garong Codet dengan keras.
"Kalau begitu, silakan
keluar lebih dulu dari kedai ini! Kita bertarung di luar kedai, supaya tidak
merugikan Ki Sumowito!"
Garong Codet segera berkata
kepada kedua rekannya, "Tikus Ningrat, Setan Culik, hadapi dia di
luar!"
"Hiaaat...!" Tikus
Ningrat mau bergerak menyerang, tapi punggungnya segera dicengkeram Garong
Codet, ia dibentak,
"Kataku di luar! Bukan di
sini!"
"O, iya...! Baik. Aku
tunggu di luar!" Tikus Ningrat kendorkan ketegangannya, kemudian ia
lompatkan diri melalui dinding kedai yang hanya separo bagian itu. Wuttt... !
Ia sudah berada di luar kedai. Setan Culik menyusulnya.
Soka Loka tetap berdiri di
tempat. Garong Codet berkata, "Lihat, kedua temanku sudah ada di luar!
Mereka siap menghadapi tantanganmu!"
"Aku memilih melawanmu
lebih dulu. Hiaaah...!" Soka Loka sentakkan tangannya dan sebuah pukulan
tenaga dalam cukup besar terlepas dari telapak tangan itu. Wusss...!
Bueggh... !
Garong Codet terkena dadanya.
Tubuh besarnya terhempas menerjang bangku dan meja di belakangnya, ia tak
menyangka akan datang serangan secepat itu. Ia menjadi malu, karenanya ia geram
dan marah sekali. Cepat-cepat ia bangkit dengan mata semakin ingin lompat dari
dalam kelopaknya.
"Bangsat kau!"
Dihantamnya Soka Loka dengan
tangan kiri bertenaga dalam. Soka Loka tidak menghindar, karena ia tahu jika
menghindar, maka Rusminah dan Ki Sumowito yang ada di belakangnya akan jadi
sasaran pukulan tenaga dalam yang berbahaya itu. Maka, Soka Loka menahan
pukulan itu dengan telapak tangannya di dada. Ia dorong kekuatan yang
mendesaknya dengan kuat itu. Ia kerahkan tenaga dalamnya sampai kedua kakinya
gemetaran.
Tapi tiba-tiba, tangan kanan
Garong Codet segera diangkat ke atas. Cincin merah yang ada di telapak tangan
kanan itu pantulkan cahaya sinar matahari. Pantulan itu segera dikibaskan ke
arah leher Soka Loka.
Clapp... !
Crasss... !
"Aaaa...!" bukan
Soka Loka yang menjerit, tapi Rusminah. Perempuan itu menjerit sekuat tenaga
karena melihat kepala Soka Loka jatuh menggelinding terpotong rapi tanpa darah
menyembur. Pemandangan yang amat mengerikan dan di luar dugaan itu yang membuat
Rusminah menjerit sekeras-kerasnya sambil memeluk ayahnya.
"Siapa lagi yang mau coba
rasakan Cincin Mustika Serat Iblis-ku ini?!" sentak Garong Codet sambil
pandangi semua orang yang berkerumun di luar kedai. Yang di dalam kedai sudah
tak ada.
"Ayo, siapa lagi yang mau
persembahkan kepalanya untuk kupenggal dengan Cincin Mustika Serat Iblis ini?!
Mumpung masih butuh banyak tumbal! Silakan maju yang bersedia melawanku!"
Tak ada yang berani buka
suara. Mereka semua bagai terpaku di tempat dengan kedua kaki gemetaran.
Sementara itu, kepala Soka Loka tergeletak kaku di bawah kaki bangku, badannya
jatuh di lantai.
Ki Sumowito merasa heran dan
takjub terhadap cincin yang bernama Mustika Serat Iblis itu. Padahal Soka Loka
dikenal sebagai pemuda tangkas berilmu tinggi, murid dari Eyang Danujaya yang
terkenal bijak dan sakti itu. Semudah itu Soka Loka dipenggal pakai sinar
cincin tersebut. Berarti kekuatan yang terpancar di dalam Cincin Mustika Serat
Iblis itu sungguh dahsyat.
*2
SALAH seorang murid rendahan
Eyang Danujaya melihat peristiwa pemenggalan kepala Soka Loka. Segera sang
murid yang bernama Tuban itu menemui Eyang Danujaya di padepokan. Padepokan itu
tak jauh letaknya dari desa tempat kedai Rusminah berada. Hanya menyeberangi
persawahan beberapa bentangan sudah sampai ke padepokan Eyang Danujaya. Sejak
Eyang Danujaya mendirikan padepokan di situ, keadaan desa tersebut menjadi
aman. Baru sekarang terjadi kerusuhan yang begitu menggemparkan seluruh
masyrakat desa.
Tuban menghadap Eyang Danujaya
pada saat di paseban terjadi perbincangan antara Eyang Danujaya dengan ketiga
murid unggulan, yaitu Jayengrono, Randu Galak, dan Roro Manis. Sebenarnya, jika
sedang terjadi satu pembicaraan di paseban, tak ada murid yang berani datang
mengganggu atau menyela pembicaraan Eyang Danujaya. Tetapi agaknya kali ini
Tuban sengaja memberanikan diri menghadap Eyang Danujaya dengan wajah pucat dan
napas terengah-engah tegang.
"Ampun, Guru! Saya
terpaksa menghadap! Sangat terpaksa, Guru!"
Semua orang yang ada di situ
sama-sama kerutkan dahi pandangi Tuban. Terutama Eyang Danujaya, memandang agak
lama seperti sedang meneropong hati dan pikiran Tuban, setelah itu bertanya
dengan suaranya yang bernada bijak,
"Ada apa, Tuban? Kau
sangat ketakutan sekali kelihatannya!"
"Saya mau laporkan
tentang Kakang Soka Loka, Guru!"
"Soka Loka?! Ada apa
dengan Soka Loka?"
"Kakang Soka Loka...
tewas, Guru!"
"Hah...?!" Roro
Manis, Randu Galak, dan Jayengrono sama-sama tersentak kaget dan mata
terbelalak lebar.
Eyang Danujaya hanya kerutkan
dahi sedikit. Matanya menyipit. Lalu ia tarik napas dan hempaskan pelan-pelan.
Duduknya tetap tegak bersila. Matanya lurus ke depan bagai menerawang. Kejap
berikutnya, terdengar suara Randu Galak ajukan tanya pada Tuban,
"Siapa yang membunuh Soka
Loka?! Siapa, hah?!"
Sentakan suara Randu Galak
yang sudah menjadi ciri khas kegalakannya itu membuat Tuban gemetar dan
tergagap-gagap sebentar. Setelah itu, barulah Tuban bisa menjawab dengan
lancar,
"Tiga orang datang ke
kedai Ki Sumowito. Salah satunya bernama Garong Codet, dan...!"
"Tunggu!" potong
Eyang Danujaya. "Siapa nama orang itu?"
"Garong Codet,
Guru!"
"Garong Codet?!"
gumam Eyang Danujaya. "Kalau tak salah dia perampok dari tanah seberang.
Perampok kawakan yang licin dan sukar dibunuh! Hmmm... teruskan ceritamu,
Tuban!"
"Baik, Guru!" Tuban
menelan ludahnya sendiri untuk atasi kegugupan dalam penuturan ceritanya, ia
berkata,
"Garong Codet berhasil
memenggal kepala Kakang Soka Loka, Guru!"
"Kepala Soka Loka
dipenggal?!" sentak Jayengrono dengan geram.
"Betul, Kang
Jayeng!"
Eyang Danujaya menyahut,
"Garong Codet memang jago main pedang. Tak heran kalau Soka Loka
terpenggal kepalanya!"
"Tapi dia memenggal
kepala Kakang Soka Loka bukan dengan pedang, Guru," sanggah Tuban.
"Bukan dengan pedang?
Lantas dengan apa?"
"Dengan sebuah cincin
yang dipakainya terbalik. Mata cincin ada di telapak tangan, Guru! Cincin itu
berwarna merah bening. Garong Codet menyebutnya Cincin Mustika Serat
Iblis!"
"Apa...?!" Eyang
Danujaya tersentak kaget.
"Cincin Mustika Serat
Iblis, Guru!" ulang Tuban menyangka gurunya kurang jelas pendengarannya.
Danujaya tertegun dan terkunci
mulutnya beberapa saat. Para muridnya saling berwajah tegang, pandangi gurunya,
menunggu ucapan dari sang Guru. Tetapi sang Guru justru bangkit berdiri dan
melangkah ke tepian ruangan yang berdinding separo badan itu. Ia termenung
beberapa saat di sana. Tuban melanjutkan cerita lengkapnya kepada Roro Manis
dengan suara bisik- bisik.
Sejenak kemudian terdengar
suara Eyang Danujaya berkata,
"Jayengrono, hadapi
dia!"
"Baik, Guru!" jawab
Jayengrono dengan patuh.
"Hati-hati! Hindari
kilatan cahaya dari cincin itu!"
"Saya paham, Guru!"
"Seret dia kemari untuk
kita adili. Tapi jika terdesak, bunuh dia di tempat supaya aman Desa Sambiroto
dan sekitarnya!"
"Baik, Guru! Saya
berangkat sekarang juga!"
Eyang Danujaya berbalik dan
kini mengangguk sambil pandangi Jayengrono yang segera tinggalkan tempat.
Pemuda berusia sekitar tiga
puluh tahun itu mengenakan rompi hitam dan celana biru dengan ikat pinggang
kuning. Rambutnya cepak, badannya tinggi tegap, ia bersenjatakan sabit kembar
yang diselipkan di pinggang belakang. Ketika meninggalkan tempat, tak ada kesan
ragu sedikit pun. Justru penuh semangat dalam langkahnya.
"Guru," kata Randu
Galak. "Mengapa Jayengrono yang harus menghadapi Garong Codet?! Mengapa
bukan saya atau Roro Manis?!"
"Jayengrono punya jurus
'Gerak Petir', ia cukup lincah dan gesit. Mustika Serat Iblis harus dilawan
dengan orang yang mampu bergerak gesit. Jika Mustika Serat Iblis memantulkan
sinar matahari, atau sinar lampu minyak, dia akan bisa dipakai memotong benda sekeras
apa pun. Bahkan jika mendapat pantulan dari sinar rembulan, dia dapat memotong
gunung baja sebesar apa pun. Itulah kehebatan Mustika Serat Iblis. Seorang
sahabatku yang bernama Ki Madang Wengi, punya banyak cerita tentang Mustika
Serat Iblis. Dan menurutnya, hanya orang yang bisa bergerak gesit dan lincah
yang bisa selamat dari cahaya Mustika Serat Iblis."
Jayengrono memang punya
gerakan gesit, karena dia mempelajari jurus 'Gerak Petir', ia mampu melesat ke
sana kemari dan sukar diikuti pandangan mata. Karenanya, Jayengrono sendiri tak
merasa gentar mendapat perintah untuk melawan Garong Codet.
Waktu Jayengrono tiba di kedai
Rusminah, orang masih berkerumun di depan kepala Soka Loka. Orang- orang itu
menyisih setelah melihat kehadiran Jayengrono, karena mereka tahu Jayengrono
satu perguruan dengan Soka Loka.
Melihat kepala dan raga Soka
Loka terpisah, darah Jayengrono gemuruh bagai mendidih, ia segera tarik napas
untuk menahan luapan kemarahannya. Lalu dengan suara pelan ia bicara kepada Ki
Sumowito, ayah Rusminah,
"Tolong bawa mayat
saudaraku ini ke padepokan. Serahkan kepada Eyang Guru biar dimakamkan
selayaknya."
"Baik. Kami akan bawa ke
sana, Jayengrono."
"Ke mana perginya Garong
Codet itu?!"
Salah seorang menyahut,
"Mereka kulihat sedang menuju perbatasan desa. Kurasa mereka belum jauh
kalau kau ingin mengejarnya, Kang Jayengrono!"
"Terima kasih!"
jawab Jayengrono, lalu segera tinggalkan kedai dan menyusul tiga manusia
berwajah angker itu.
Garong Codet melangkah di
tengah dengan langkah tegapnya. Matanya masih melotot bagai tak bisa berkedip
lagi. Ia memandang sekeliling, seperti mencari sasaran lain. Ia berkata kepada
kedua anak buahnya, yaitu Tikus Ningrat dan Setan Culik,
"Masih banyak kepala yang
harus kucari! Jumlahnya harus genap tiga puluh tiga kepala sebelum purnama
muncul."
"Bagaimana jika hanya
tiga puluh dua yang kita peroleh?" tanya Tikus Ningrat.
"Berarti kepalaku sendiri
yang akan hancur sebagai pelengkap tumbal yang ketiga puluh tiga!"
Setan Culik menggumam,
"Sembilan belas, dua puluh, dua puluh satu yang di hutan, dua puluh dua
yang di jembatan, terus...."
"Kau bicara apa, Setan
Culik?!" sentak Tikus Ningrat.
"Aku menghitung jumlah
kepala yang sudah terpenggal oleh Mustika Serat Iblis!" jawab Setan Culik
sambil tetap langkahkan kaki.
Kemudian Tikus Ningrat tertawa
pendek, setelah itu berkata kepada Garong Codet.
"Apakah tumbal kepala itu
harus dari orang berilmu tinggi? Jika bukan orang berilmu tinggi,
bagaimana?"
"Tidak bisa! Suara gaib
yang kudengar setelah aku berhasil membunuh harimau berbulu merah itu adalah
tiga puluh tiga kepala orang sakti harus kusediakan sebagai tumbal Mustika
Serat Iblis. Jika tidak, maka kepalaku sendiri akan hilang alias pecah, dan
Cincin Mustika Serat Iblis ini akan lenyap dengan sendirinya. Pusaka ini sayang
sekali kalau sampai lenyap, karena kabarnya tidak semua orang bisa bertemu
dengan harimau berbulu merah api dan bisa mendapatkan Mustika Serat Iblis
ini!"
"Berarti kau termasuk tokoh
dunia persilatan yang paling beruntung, Garong Codet! Tak ada orang seberuntung
kamu!" kata Tikus Ningrat, sementara Setan Culik sibuk mengingat-ingat
hitungan orang yang sudah jadi korban Mustika Serat Iblis, ia menghitungnya
dari awal lagi.
Angin berhembus dari arah
barat. Mereka bertiga menuju desa di balik bukit sana untuk mencari tumbal
kepala orang berilmu tinggi. Tetapi langkah itu jadi terhenti karena tiba-tiba
selembar pelepah daun pisang yang masih muda melayang deras ke arah mereka,
datangnya dari samping kanan.
"Setan Culik,
awas...!" sentak Garong Codet. Ia sendiri segera melompat, dalam satu
hentakan kaki ke tanah. Tikus Ningrat berguling ke depan, sedangkan Setan Culik
cepat bersalto ke belakang.
Wutt wutt wuttt...!
Wesss... !
Selembar pelepah daun pisang
yang masih berwarna hijau ranum itu melesat di tempat mereka berjalan
beriringan. Gerakannya yang cepat membuat pelepah pisang itu langsung meluncur
dan menghantam sebuah pohon pete di pinggiran jalan itu. Crasss...! Kriett...!
Pelepah daun pisang menembus
batang pohon pete bagaikan kapak tajam yang terbang dengan cepat. Hampir saja
pohon tersebut terpotong dan tumbang. Daun pisang itu kini menancap di dalam
batang pohon, sementara hembusan angin membuat pohon itu bergerak-gerak hampir
tumbang.
"Tumbal datang, Tikus
Ningrat!" kata Garong Codet. Tapi matanya melirik ke kanan-kiri mencari
orang yang datang menyerang dengan daun pisang. Hati Garong Codet kegirangan,
karena ia akan bertemu dengan orang berilmu tinggi. Sebab, jika bukan orang
berilmu tinggi, tak mungkin bisa melemparkan daun pisang menjadi seperti kapak
terbang yang amat tajam dan bisa memotong pohon pete sebesar itu.
Ketiganya segera mengambil
sikap saling merapat dan saling adu punggung. Walaupun tak sampai punggung
mereka bersentuhan, tapi sikap mereka sudah menandakan siap terima serangan
dari lawan yang ada di arah mana saja.
Zlappp... !
Tiba-tiba mereka melihat
sekelebat sinar atau bayangan tak jelas. Mereka sempat terkesiap sejenak.
Garong Codet berkata,
"Sepertinya ada yang
melintas di depanku, Setan Culik!"
"Ya. Memang ada. Aku
rasakan angin gerakannya cukup panas. Pasti orang itu berilmu tinggi dan cocok
jadi tumbalmu!"
Mereka saling pandang ke arah
sekeliling. Tak ada manusia yang terlihat di sana-sini. Tetapi Tikus Ningrat
terkejut dan cepat tertawa geli setelah pandangi Garong Codet.
"Apa yang lucu?! Mengapa
kau tertawa!" bentak Garong Codet.
Setan Culik begitu melihat
Garong Codet mendelik marah, ia jadi ikut tertawa dengan mulut ditutup tangan.
Garong Codet semakin geram ditertawakan dua sahabatnya yang menjadi pengikutnya
itu. Ia segera meremas baju Setan Culik, wajahnya didekatkan ke muka Setan
Culik seraya ia mendelik dan berkata,
"Apa yang lucu, hah?!
Mengapa kau menertawakan diriku?! Jawab!"
"Kum... kum... kum..., hi
hi hi hi...!" Setan Culik tak bisa menjawab dan menjadi geli sendiri.
Plakkk...! Garong Codet
menampar wajah Setan Culik hingga orang sedikit pendek itu jatuh ke tanah. Tapi
ia masih saja tertawa terkikik-kikik.
Tawa yang ditahan mati-matian
itu tak lagi bisa dikendalikan. Akhirnya Setan Culik melepaskan tawa
keras-keras dan Tikus Ningrat pun melepaskan tawa terbahak-bahak sambil pegangi
perutnya. Sementara itu, Garong Codet semakin geram, kemudian kakinya menendang
keras perut Tikus Ningrat dan menyepak kepala Setan Culik yang masih terduduk
di tanah.
Akibat sepakan itu, Setan
Culik terpelanting dan berhenti dari tawanya, Tikus Ningrat terlempar ke
belakang dengan perut terasa mual akibat ditendang keras, ia pun menghentikan
tawanya,
sampai akhirnya Garong Codet
kembali ajukan tanya,
"Apa yang membuat kalian
menertawakan aku! Coba jawab!"
"Kumismu," jawab
Tikus Ningrat.
"Mengapa dengan kumisku,
hah?!" tanpa sadar tangan Garong Culik meraba kumisnya dan ia tersentak
kaget. Ternyata kumisnya yang tebal itu hilang separo. Kumis kiri masih utuh,
tapi kumis kanan lenyap dan... tak tersisa sedikit pun.
"Celeng! Siapa yang berani
mempermainkan aku sedemikian rupa?!" geramnya dalam hati. Tangannya masih
mengusap-usap kumis kanannya yang plontos dan tentunya sangat lucu, karena
kumis yang kiri cukup tebal.
"Alis kananmu juga,"
kata Setan Culik, buru-buru menutup mulutnya karena takut semburkan tawa lagi.
Dan Garong Codet segera meraba alis kanannya.
"Monyet Bunting!"
cacinya dengan geram kejengkelan. Ternyata alis kanannya pun tercukur habis
hingga plontos. Tapi alis kirinya masih tebal menghitam.
Alangkah malunya Garong Codet
berwajah seperti itu. Tanpa alis dan kumis kanan, sementara alis dan kumis kiri
sangat tebal, sungguh merupakan pemandangan yang menggelikan. Lucu dan aneh.
Pantas jika Tikus Ningrat dan Setan Culik menertawakannya sampai
terpingkal-pingkal.
"Pekeijaan siapa
ini!" geram Garong Codet dengan mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Giginya
menggeletuk ingin melampiaskan marah tapi tak punya tempat dan sasaran.
Menurutnya, jelas ada orang berilmu tinggi yang berkelebat cepat dan memotong
kumis serta alisnya tanpa terasa.
"Tikus Ningrat! Setan
Culik! Cepat cari orang yang telah berani mempermalukan diriku seperti ini!
Cari cari cari i i...!" teriak Garong Codet dengan mata melotot, menambah
lucu wajahnya.
Tetapi sebelum Tikus Ningrat
dan Setan Culik bergegas pergi, tiba-tiba Jayengrono muncul dari balik pohon
seberang. Dari sana ia berseru,
"Tak perlu kalian
repot-repot mencariku!"
"Itu dia orangnya!"
sentak Setan Culik sambil menuding. Tangan yang menuding itu dipukul oleh
Garong Codet. Plakkk... !
"Kalau dia sudah muncul
aku pun tahu di mana dia! Goblok!"
Setan Culik meringis. Tulang
lengannya bagai ngilu semua karena pukulan telapak tangan kiri Garong Codet.
Tikus Ningrat cekikikan dengan menutup mulut dan sembunyikan wajah. Setan Culik
menendang tulang kaki Tikus Ningrat. Plokk...! Tikus Ningrat meringis kesakitan
dan menggerutu habis-habisan.
Tanpa sadar mereka kehilangan
Garong Codet. Orang yang kini berwajah angker-angker lucu itu sudah bergegas
mendekati Jayengrono ke seberang. "Bocah Kunyuk! Apa maksudmu mencukur
alis dan kumisku yang sebelah kanan, hah?!" sentak Garong Codet.
"Untuk membuktikan bahwa
aku bisa membunuh mu dengan mudah!" jawab Jayengrono dengan berani, ia pun
sunggingkan senyum menahan rasa geli melihat wajah Garong Codet.
"O, jadi kau ingin
membunuhku?!"
"Ya. Untuk membalas
kematian saudara seperguruanku yang kau penggal di kedai Rusminah itu!"
"Aha... ! Jadi kau punya
perguruan? Tentunya di perguruanmu banyak orang berilmu tinggi?! Sangat
kebetulan sekali aku membutuhkan kepala orang berilmu tinggi buat tumbal
Mustika Serat Iblis-ku!"
"Belum sampai kau
pijakkan kakimu ke sana, kepalamu sudah akan menggelinding dengan sendirinya,
seperti halnya aku mencukur kumis dan alismu, Garong Codet!"
Srekk...! Jayengrono
mengeluarkan sabit kembarnya di kanan-kiri tangan. Sabit kembar itu
dipermainkan kembangan jurusnya seraya mata Jayengrono tak berkedip pandangi
tiap gerakan lawan.
"Kuingatkan kepadamu,
Kunyuk Kasap! Kau datang padaku sama saja serahkan kepalamu untuk kujadikan
tumbal Mustika Serat Iblis. Sekali kau datang menghadapku, berarti kau tak akan
bisa pulang dengan kepala tetap menempel di lehermu!"
"Kau pun tak akan bisa
lolos dari sabit kembarku!"
Jayengrono melangkah ke kiri
dua tindak sambil kelebatkan kedua sabit runcingnya ke sana-sini. Sedangkan
Garong Codet hanya pasang kuda-kuda dengan tangan kanan menggenggam ke atas
kepala, ia siap melepaskan pantulan sinar matahari dari Mustika Serat Iblis
yang ada dalam genggamannya, ia menunggu Jayengrono sampai pada titik di mana
pantulan sinar matahari akan menjangkau tempatnya.
Zlappp...! Jayengrono bergerak
cepat. Tak terlihat oleh mata Garong Codet. Tahu-tahu ikat kepala putih putus
dan terlepas dari kepala Garong Codet. Sabit kembarnya telah berhasil
berkelebat memutuskan ikat kepala itu tanpa mengenai kulit kepala sedikit pun.
Zlllap...! Zlappp...! Zlappp...!
Beggg...! Tangan kiri Garong
Codet menyentak ke depan. Tanpa sengaja tepat mengenai tubuh Jayengrono yang
berkelebat mengitari tubuh Garong Codet. Tubuh yang terkena sentakan telapak
tangan kiri itu terpental dan jatuh berguling-guling di tanah.
Garong Codet merasa lega dan
bangga bisa kenai tubuh lawan dengan gerak tangan yang bersifat untung-
untungan tadi. Tetapi ia menjadi curiga dan merasakan ada keanehan. Apalagi
melihat Tikus Ningrat dan Setan Culik makin menertawakan dirinya, maka segera
Garong Codet meraba wajahnya.
"Hahh...?!" ia
tersentak kaget. Sekarang wajahnya menjadi bersih. Tanpa kumis, tanpa jenggot,
juga tanpa alis mata. Dapat dibayangkan olehnya, betapa aneh dan lucu wajahnya
yang bertulang besar pada pipi itu tanpa kumis, alis dan jenggot sedikit pun.
"Edan!" geramnya
kaget, ia meraba rambutnya yang panjang. Ternyata rambut itu menjadi cepak.
Terpotong- potong tak rapi. Panjang rambut tak sampai lewat tengkuk. Kira-kira
tiap rambut sepanjang kelingkingnya.
Bahkan bisa lebih pendek lagi.
Rambut itu menjadi rambut trondol yang tak jelas potongannya. Sedangkan Garong
Codet pun merasakan tak memiliki bulu mata lagi.
Jelas ia bisa membayangkan
betapa lucu dan memalukan sekali wajahnya itu. Karenanya ia sangat murka
dipermainkan sedemikian rupa. Pada saat Jayengrono bergegas bangkit, Garong
Codet berteriak,
"Modar kau bocah kunyuk!
Hiaaat...!"
Pukulan tenaga dalam
dilepaskan dari tangan kiri. Jayengrono melompat ke kanan, tapi tangan kanan
Garong Codet segera dibuka, matahari pantulkan sinarnya melalui batu Cincin
Mustika Serat Iblis itu. Dan, clapp...! Wesss...!
Crass...! Sinar merah seperti
lidi itu memenggal putus kepala Jayengrono. Tak ada ampun lagi, kepala itu pun
menggelinding ke tanah dan tidak keluarkan darah sedikit pun.
* * *
3
SETELAH memakamkan jenazah
Soka Loka, Roro Manis berdiri murung di bawah sebuah pohon besar yang rindang.
Wajah dukanya masih terlihat jelas, ia seperti merasa kehilangan saudara
kandung. Soka Loka sudah seperti kakaknya sendiri dalam hubungan sehari- hari.
Seperti halnya Jayengrono dan Randu Galak, sudah dianggap saudara sendiri.
Sehingga kematian Soka Loka sangat memukul hati wanita cantik berpakaian merah
tembaga yang terang mencolok mata warnanya.
Eyang Danujaya belum kembali
ke padepokan, ia dan Randu Galak masih ada di tanah makam. Eyang Danujaya
sengaja menyediakan tempat pemakaman khusus untuk murid-muridnya yang gugur.
Letak tanah pemakaman itu ada di belakang padepokan, dekat sebuah sungai kecil.
Semua murid yang ikut
memakamkan Soka Loka diperintahkan untuk kembali ke padepokan. Eyang Danujaya
bersikap tenang walau menyimpan duka di dasar hatinya, ia dekati gadis cantik
bertahi lalat kecil di bawah mata kirinya itu. Rambutnya yang panjang diikat
kain biru tampak bergerai-gerai disapu angin menjelang sore.
"Roro Manis," tegur
Eyang Danujaya. Perempuan itu segera palingkan wajah, lalu tunduk dalam duka
yang disembunyikan.
"Manusia hidup tidak
harus turuti kedukaan hati. Kedukaan itu hanya boleh lewat di depan hati kita,
tapi tidak boleh menetap. Karena jika kedukaan menetap di hati, maka jiwa pun
menjadi ikut mati. Relakan kematian saudaramu, supaya arwahnya tidak terjerat oleh
dukamu, Roro Manis."
"Saya... saya tidak
apa-apa, Eyang Guru!" ucap Roro Manis lirih. Eyang Danujaya pandangi Randu
Galak yang berdiri di belakangnya, lalu ucapkan kata,
"Bawa dia kembali ke
padepokan, Randu Galak! Biarkan aku di sini sendirian untuk menikmati sore
tiba."
"Baik, Eyang Guru!"
jawab Randu Galak dengan wajah terbungkus duka pula. Kemudian ia melangkah
bersama Roro Manis segera tinggalkan bawah pohon rindang itu.
Tetapi baru saja ia langkahkan
kaki dua tindak, tiba- tiba ada sesuatu yang jatuh di depan langkahnya.
Blukk...! Sesuatu yang jatuh itu menggelinding sebentar, dan berhenti tepat di
depan kaki Roro Manis.
"Haaah...?!" Roro
Manis terpekik keras, ia sangat terkejut, demikian juga Randu Galak. Suara
pekik itu membuat Eyang Danujaya bergegas memandang ke arah kedua muridnya itu.
Dan mata orang tua berkepala gundul dengan uban tipis putih itu menjadi
terbelalak pula setelah tahu, bahwa benda yang jatuh menggelinding itu adalah
kepala Jayengrono.
Detak jantung mereka bagai
tersentak-sentak didalam dada. Darah mereka bagaikan mendidih dan siap
menyembur keluar dari pori-porinya. Tangan pun gemetar karena menahan luapan
amarah yang begitu besar.
Lemparan kepala Jayengrono
adalah suatu penghinaan besar dan tantangan yang mendatangkan murka di hati
mereka. Tetapi Eyang Danujaya segera pejamkan mata dan tarik napas dalam-dalam
untuk memperoleh ketenangannya kembali.
Mata Randu Galak menjadi
beringas. Mata itu terarah ke seberang sungai, dan ia tatap tajam wajah tiga
orang di sana, yaitu wajah Garong Codet, Tikus Ningrat, dan Setan Culik.
Melihat mata Randu Galak berbinar-binar penuh dendam, Roro Manis segera
mengikuti pandangan mata itu, hingga ia temukan tiga wajah angker yang
sunggingkan senyum tantangan itu.
"Eyang Guru, izinkan saya
menyeberang ke sana!" ucap Randu Galak dengan suara gemetar karena menahan
amarah.
Danujaya pandangi wajah ketiga
orang di seberang sungai dengan mata menyipit. Kemudian tanpa berpaling
memandang Randu Galak, ia ucapkan kata datar,
"Berangkatlah ke seberang,
Randu Galak! Aku akan menyusulmu!"
"Baik. Terima kasih,
Guru!" Randu Galak tampak gembira dalam kobaran api amarah dan dendam.
Maka, dengan cepat ia melesat menuju ke tanah seberang sungai.
Lebar sungai yang kira-kira
lima tombak itu hanya dilompati dengan sekaii sentak kaki. Tubuh Randu Galak
yang sedikit gendut dan berkumis lebat itu bagaikan terbang, lalu bersalto dua
kali di udara. Kejap berikutnya dia sudah tiba di tanah seberang sungai, dalam
jarak delapan langkah dari tempat Garong Codet berdiri.
"Eyang Guru, bolehkan
saya ikut ke seberang sungai?!" desak Roro Manis.
"Jangan! Kau harus
bersamaku jika mau ke sana," jawab Eyang Danujaya. "Ambillah Pusaka
Tombak Kiai Jagat di ruang panembahan!"
"Baik, Eyang Guru!"
maka dengan cepat Roro Manis segera pergi untuk mengambil Pusaka Tombak Kiai
Jagat yang menjadi andalan Eyang Danujaya itu.
Sementara di daerah seberang
sungai sana, Randu Galak sudah tak sabar menghadapi Garong Codet. Tanpa
sebutkan nama, Randu Galak sudah dapat menerka yang mana yang bernama Garong
Codet. Tak salah dugaannya, bahwa manusia berwajah angker lucu bercodet bekas
luka di pipi kanannya itulah yang bernama Garong Codet.
"Sudah kuduga, kau pasti
tertarik dengan undanganku lewat kepala kunyuk kurap itu!" kata Garong
Codet.
"Manusia iblis!"
geram Randu Galak. "Kau pikir kami akan gentar walau dua kepala orang kami
sudah kau penggal begitu saja, hah?!" Mata Randu Galak melotot lebar, dan
juga berkesan angker. Tetapi sikap galak itu justru ditertawakan oleh Tikus
Ningrat dan Setan Culik.
Randu Galak yang berpakaian
coklat tua dengan sabuk putih yang penuh pisau mengelilingi pinggangnya itu,
tampak tak mau banyak bicara lagi.
Gerakannya sangat cepat,
terutama dalam mencabut dan melemparkan pisaunya. Terbukti dalam satu kejap
berikut, sebuah pisau telah melayang ke arah Tikus Ningrat yang bergerak maju
dua tindak ingin menghadapinya.
Wuttt...! Pisau itu terbang
bagaikan kilat. Sangat cepat dan hanya bisa dihindari sekejap. Tapi tetap saja
Tikus Ningrat terlambat bergerak. Lompatannya masih terjangkau oleh pisau
pertama dari Randu Galak.
Jruss...! Pisau itu menancap
di betis Tikus Ningrat.
"Uhh...!" Tikus
Ningrat terpekik. Pisau itu tetap menancap di betis kurusnya. Dengan cepat dicabutnya
sendiri pisau itu, lalu dilemparkan kembali ke arah Randu Galak sambil berseru,
"Makan pisaumu sendiri!
Hihh...!"
Wutt... ! Pisau itu meluncur
cepat ke dada Randu Galak. Orang itu tidak bergerak menghindar, tapi justru
menghadangkan telapak tangannya di dada. Lalu pisau itu membentur telapak
tangan tersebut.
Tebb...! Pisau itu digenggam
cepat oleh Randu Galak. Tangannya tak terluka sedikit pun. Dan jurus seperti
itu jarang dimiliki orang. Tentu saja hanya orang berilmu tinggi yang bisa
kuasai gerakan pisau dan meredamnya dengan gelombang tenaga dalam lewat telapak
tangan.
Bahkan begitu pisau terpegang
tangan, Randu Galak cepat membalikkan gerak dan melemparkan kembali ke arah
Setan Culik yang terlihat bergerak ke samping untuk cari kesempatan menyerang.
Wussst...! Pisau itu terbang cepat ke arah dada Setan Culik.
"Hiaaat...!" Setan
Culik melompat ke kiri untuk menghindari pisau itu. Tetapi tiba-tiba Randu
Galak sentakkan tangannya ke arah pisau yang telah meleset sasaran itu.
Tiba-tiba pisau itu bisa berbalik arah terbangnya ke kiri, dan menuju ke tubuh
Setan Culik.
"Kurang ajar! Dia
mengejarku?!" sentak Setan Culik, kemudian cepat bersalto mundur dengan
agak menyamping. Gerakannya itu punya keterlambatan sedikit, sehingga pisau itu
melesat di samping kanannya. Pundaknya pun tergores oleh ketajaman pisau berukuran
satu jengkal itu. Srett...!
"Auh...!" Setan
Culik terpekik dan cepat mendekap pundaknya yang berdarah, ia bersungut-sungut
melontarkan seribu makian tak jelas.
Randu Galak cepat menarik
tangannya ke belakang, dan pisau yang telah melukai pundak Setan Culik itu
bergerak kembali ke arah Randu Galak. Wusst...! Tebb..! Pisau itu pun kini
berada di tangan Randu Galak lagi.
Plok plok plok plok...! Garong
Codet bertepuk tangan dengan wajah berseri riang. Kemudian manusia yang kini
tanpa bulu di wajahnya itu ucapkan kata,
"Bagus, bagus...! Kau
telah tunjukkan kehebatan ilmumu. Jadi aku tak sangsi lagi, bahwa kau pun
pantas menjadi tumbal Mustika Serat Iblis! Bagus bagus bagus...!"
Garong Codet maju dua tindak.
Tikus Ningrat dan Setan Culik mengundurkan diri. Tugasnya sebagai penguji ilmu
lawan sudah selesai. Lawan sudah diketahui tingkat ketinggian ilmunya. Kini
Garong Codet yang ambil alih arena pertarungan itu.
"Ilmu pisaumu cukup
hebat! Tenaga dalammu pun kulihat cukup tinggi, karena bisa kendalikan gerak
pisau dari tempatmu berdiri. Tapi kau jangan merasa bangga lebih dulu, karena
sebentar lagi kepalamu pun akan terpenggal seperti dua kepala saudara
seperguruanmu itu, Kunyuk Wengur!"
"Kau pikir mudah
mengalahkan Randu Galak?! Hmm... ! Tak semudah menggempur gunung karang, kalau
kau mau tahu!"
"O, namamu Randu Galak?
Wah, bagus sekali! Seperti nama seekor anjing piaraan!"
Tikus Ningrat dan Setan Culik
ikut tertawa. Randu Galak semakin panas hatinya. Tak banyak bicara lagi,
langsung melepaskan pukulan maut bertenaga dalam cukup tinggi. Pukulan itu
dinamakan pukulan 'Beruang Terbang'. Sebuah sinar kuning berpendar-pendar
keluar dari kesepuluh jari tangannya. Sinar kuning itu berkelok- kelok dan
menghantam badan lawan. Tetapi, rupanya tak semudah itu menghantam badan besar
Garong Codet.
Dengan satu lompatan ke kanan,
Garong Codet berhasil menghindari sepuluh sinar kuning berkelok- kelok itu.
Wusss...! Sinar kuning berkelok-kelok itu menghantam pohon. Pohon tersebut
menjadi rusak dari akar sampai ranting paling atas. Seperti habis dikoyak-
koyak oleh puluhan beruang ganas. Benturan sinar kuning itu timbulkan suara
gemerisik pada pohon tersebut.
Cras krak krak krasak cras
grusuk crass... ! Seandainya tubuh Garong Codet terkena sinar kuning itu, maka
akan terkoyak habis tubuhnya seperti pohon tersebut. Untung dia bisa
menghindarkan diri dengan gerakan cepatnya. Tapi pukulan dari Randu Galak pun
kembali terlepas dalam bentuk sentakan tangan kiri yang keluarkan cahaya merah
kecil ke arah kepala Garong Codet. Wutt... !
Blarrr...! Sinar kecil itu
timbulkan suara dentuman besar ketika menghantam gugusan batu di belakang
Garong Codet. Sebab Garong Codet berhasil berguling ke tanah dua kali. Lalu
dengan satu kaki berlutut, ia mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, ia buka
tangan itu hingga mendapatkan pantulan sinar matahari pada Mustika Serat Iblis.
Clappp....! Begitu cepat sinar
itu melesat. Tak sempat terlihat mata datangnya. Sinar merah itu menggores
leher Randu Galak. Crass! Dan tak urung kepala Randu Galak pun terpenggal putus
begitu saja.
Plokk...! Kepala itu jatuh di
tanah dan menggelinding sesaat.
Brukk...! Raga tanpa kepala
itu pun rubuh ke depan dan tak berkutik, maupun berdarah lagi. Mulut Randu
Galak masih sempat keluarkan suara serak, matanya berkedip-kedip, kemudian tak
bergerak lagi dalam keadaan mendelik, dan suara serak pun hilang.
Eyang Danujaya melihat
pertarungan itu. Ia terlambat menghantamkan pukulan jarak jauhnya untuk menahan
sinar merah dari Mustika Serat Iblis. Gerakan sinar merah begitu cepat dan tak
diduga-duga, sehingga pukulan penangkis jarak jauh yang dilepaskan dalam bentuk
kilatan cahaya putih itu hanya mengenai sebuah pohon. Pohon itu langsung rubuh
dalam keadaan telah hangus seluruhnya. Hampir saja rubuhnya pohon menimbuni
tubuh Setan Culik. Untung saja Setan Culik cepat melompat dengan gesitnya,
sehingga pohon yang sudah menjadi arang itu jatuh di tempat kosong.
Tapi mata Eyang Danujaya
segera beradu pandang dengan mata Garong Codet. Tangan Garong Codet melambai,
menantang Danujaya dengan sikap meremehkan. Kemudian terdengar suaranya yang
keras, "Muridmu terpenggal lagi! Kalau kau mau, silakan datang! Tak terasa
sakit sedikit pun, Botak! Kalau tak percaya, tanyakan sendiri kepada
kepala-kepala muridmu yang sudah kupenggal itu!"
Baru saja Garong Codet
katupkan mulut tanda selesai bicara, tahu-tahu dari arah belakangnya terdengar
suara, "Aku telah datang penuhi undanganmu!" Garong Codet cepat
palingkan pandang, ia terkesiap sejenak, karena ternyata yang di belakangnya
adalah Danujaya yang berpakaian putih-putih itu. Cepat ia palingkan pandang ke
arah seberang sungai lagi. Ternyata di sana sudah tak ada Danujaya.
"Edan lagi orang ini!
Baru selesai kuajak bicara, tahu- tahu sudah ada di belakangku!" pikir
Garong Codet. "Mustika Serat Iblis pasti senang mendapat santapan orang
sesakti dia!"
Tikus Ningrat dengan
terpincang-pincang mendekati Garong Codet dan berkata pelan, "Perlu
kujajal dulu ilmu orang ini?!"
"Tak perlu! Dengan
gerakannya yang tahu-tahu ada di belakang kita sudah menunjukkan bahwa dia
berilmu tinggi! Dan lagi, dia adalah Guru dari para tumbal kita belakangan ini!"
Terdengar suara Eyang Danujaya
dengan nada tetap sabar dan bijaksana,
"Garong Codet,
hentikanlah perburuanmu itu! Sudah cukup banyak korban yang berjatuhan hanya
untuk memenuhi nafsu iblismu!"
"O, belum bisa! Masih
kurang banyak kepala! Aku harus mendapatkan tiga puluh tiga kepala sebagai
tumbal memiliki Mustika Serat Iblis!"
"Aku tahu! Tapi mustika
itu hanya akan membawa hidupmu makin sesat saja! Kau makin banyak musuh, makin
banyak orang yang menaruh dendam padamu, dan kau akan banyak dikutuk oleh keluarga
korban!"
Garong Codet melepaskan tawa
walau tak keras tapi memanjang dan bernada menyepelekan kata-kata Eyang
Danujaya. Kemudian ia pun ucapkan kata bernada angkuh,
"Siapa orangnya yang
berani menaruh dendam kepada Garong Codet? Apakah dia ingin mati terpenggal
seperti yang lainnya?! Kurasa kau tak perlu mengguruiku, Pak Tua! Aku tak akan
mundur oleh ucapanmu itu! Bahkan semakin bernafsu untuk memenggal kepalamu, Pak
Tua!"
Danujaya berkata, "Aku
sudah tua. Kalau toh aku mati memang sudah waktunya. Layak sudah aku mati saat
ini. Tapi bagaimana jika ternyata yang terpenggal adalah kepalamu sendiri?
Kurasa kau belum layak untuk mati, Garong Codet!"
"Hah! Gertakan halusmu
itu kau pikir bisa membuatku gentar?! Tidak! Sama sekali aku tak pernah gentar
berhadapan dengan siapa pun, Pak Tua! Ha ha ha ha...!"
"Aku tahu kau tak gentar
menghadapiku! Tapi mengapa celanamu basah, Garong Codet?! Kau buang air dalam
celana?!"
Bukan Garong Codet saja yang
pandangi celananya, tapi Tikus Ningrat pun pandangi celana Garong Codet yang
ternyata basah kuyup itu. Garong Codet terkejut sekali, karena ia tak merasa
ngompol, tapi mengapa tahu-tahu celananya basah dan bau pesing?!
Eyang Danujaya ucapkan kata
lagi, "Wajahmu pun pucat, Garong Codet! Apakah kau takut padaku?"
"Tidak! Aku tidak takut
padamu!" jawab Garong Codet, lalu ia palingkan wajah kepada kedua temannya
itu dan bertanya, "Apakah wajahku pucat?"
"Ya, pucat sekali!"
jawab Setan Culik.
"Pucat seperti
mayat?"
"Sangat seperti
mayat!" jawab Tikus Ningrat.
"Aneh. Padahal aku tidak
merasa takut!" gumam Garong Codet.
Danujaya segera berkata,
"Jika tak merasa takut, mengapa tubuhmu gemetaran dan menjadi
menggigil?"
"Jangan ngaco bicaramu,
Pak Tua! Aku tidak gemetar dan tidak menggigil! Aku justru sangat bernafsu
untuk memenggal kepalamu!" sambil berkata begitu, tanpa sadar tubuh Garong
Codet bergetar seluruhnya. Bahkan kini ia seperti kedinginan dan menggigil
dengan jelas- jelas. Tikus Ningrat jadi menegurnya,
"Mengapa tubuhmu
menggigil?"
"Entahlah!" bisik
Garong Codet. "Tiba-tiba aku merasa sangat kedinginan! Wwrrr...! Seperti
berada di dalam gunung es rasanya!"
"Serang dia! Dia telah
mempermainkan jiwamu dengan tiap ucapan yang kau sanggah!!"
"Iiy... iyy... iya! Akan
kuserang ddi... dia...! Uuh... dinginnya bukan main, Tikus!"
Eyang Danujaya sunggingkan
senyum tipis, ia perhatikan tangan kanan yang bercincin Mustika Serat Iblis
itu. Tangan tersebut mulai diangkat dengan gemetar karena menggigil.
Cepat-cepat Eyang Danujaya sentakkan kaki dan melompat tinggi, lalu kakinya
menendang tangan itu.
Plakkk...!
Tangan tersebut terangkat dan
terlempar ke belakang akibat tendangan kilat itu. Berat badan Garong Codet
menjadi tak seimbang, ia terhempas ke belakang dan jatuh terkapar. Blukk..!
Tanpa disengaja tangan kanan
itu terbuka dari genggaman. Sinar matahari memancar dan memantul ke batuan
merah tersebut. Pantulan sinarnya melesat ke arah tangan Danujaya. Clapp...!
Crasss... !
Eyang Danujaya tersentak dalam
pekik tertahan. Tangan kanannya terpotong oleh kilatan sinar merah dari Mustika
Serat Iblis, ia terbungkuk seketika begitu tangan kanannyajatuh ke tanah.
"Serang dia!
Lekas...!" seru Setan Culik.
Garong Codet bergegas bangkit
dengan tertatih-tatih karena menggigil. Pada saat itu Roro Manis tiba di tempat
tersebut sambil membawa Tombak Kiai Jagat. Melihat tangan gurunya telah putus,
Roro Manis segera melompat dan menerjang Garong Codet dari belakang. Tombak
dihujamkan ke tubuh Garong Codet. Tetapi karena Garong Codet menggigil dan
limbung dalam berdirinya, akibatnya tombak itu meleset sasaran. Hanya melintas
di depan pundak Garong Codet. Wuttt...!
Tapi kaki Roro Manis segera
menjejak punggung Garong Codet dengan telaknya. Bukkk...! Dan tubuh besar itu
tersentak ke depan, jatuh berguling-guling.
"Roro Manis...!"
ucap Danujaya yang menahan rasa sakit akibat terpotong tangan kanannya.
"Cepat lari, hubungi Ki Madang Wengi!"
"Tapi Eyang
Guru...."
"Kerjakan perintahku!
Biar aku bertahan di sini dengan senjata pusaka itu!" Clapp...! Trakk...!
Sinar merah kembali memancar
dari batu Mustika Serat Iblis. Sinar itu bukan saja memotong kaki kiri
Danujaya, namun juga memotong tombak pusaka tersebut. Blappp... ! Percikan
sinar merah melesat, pertanda kekuatan tombak telah punah dipenggal oleh sinar
Mustika Serat ibiis.
"Guru...?!" pekik
Roro Manis dalam keadaan bimbang.
"Lekas kerjakan
perintahku, Roro Manis!" sentak Eyang Danujaya sambil menahan rasa sakit
akibat kakinya terpotong sebatas lutut. Kini ia rubuh dan berusaha berdiri
dengan satu kaki. Roro Manis tak tega, ia menangis dalam kebimbangan antara
mengerjakan perintah Guru atau menolong keadaan Guru?!
Garong Codet makin menggigil,
ia dibantu Tikus Ningrat dan Setan Culik agar bisa berdiri dan pergunakan
mustika itu. Karenanya, gerakan sinar mustika tidak bisa terkendali. Memotong
ke sana-sini,
walau akhirnya, clapp...!
Crasss...!
Leher Danujaya pun terpenggal
putus seketika. Roro Manis memekik keras di kejauhan karena ia melihat saat
kepala gurunya menggelinding jatuh di tanah.
"Guruuu....!"
Roro Manis ingin menghamburkan
tangis memeluk gurunya. Tapi kilat cahaya merah memotong pohon di sampingnya.
Clapp...! Crass...!
Wrrr... bruk...! Pohon itu
rubuh. Roro Manis merasa dalam bahaya jika mendekati jenazah gurunya yang sudah
tidak berkepala lagi itu. Maka dengan cepat Roro Manis pun melesat pergi
tinggalkan tempat itu. Tangisnya dibawa lari secepatnya, karena ia mendengar
suara Garong Codet berseru gemetar,
"Kejar gadis itu!
Kejaaar...!"
*
* * 4
SEKELEBAT bayangan coklat
berlari cepat. Namun mendadak ia terhenti dan tampaklah wajah tampan seorang
pemuda yang menyandang bumbung tuak di punggungnya. Siapa lagi penggendong
bumbung tuak selain Pendekar Mabuk, murid sintingnya si Gila Tuak yang akrab
dipanggil sebagai Suto Sinting itu. Kali ini Suto terpaksa hentikan langkahnya
melihat dua mayat tergeletak tanpa kepala di jalanan.
Dua mayat itu adalah mayat
perempuan cantik. Yang satu berpakaian kuning dan yang satu mengenakan pakaian
merah. Kepala mereka terpisah dari raganya, yang satu menggelinding di dekat
gugusan batu, yang satunya lagi ada di bawah pohon.
"Aneh, penjagalan kepala
manusia ini tidak mengeluarkan darah sedikit pun?! Senjata apa yang
digunakannya?!" pikir Pendekar Mabuk sambil memperhatikan kepala korban.
"Keji sekali orang yang melakukannya. Gadis-gadis ini cukup cantik! Mengapa
tidak diambil istri atau gundik saja daripada dipenggal begini! Hmm...! Pasti
ini pekerjaan orang gila!"
Pendekar Mabuk; Suto Sinting
itu segera memandang ke arah sekelilingnya, ia mencari seseorang yang
barangkali saja bersembunyi di balik semak belukar. Tapi ternyata tak ada siapa
pun di hutan itu. Suasananya sangat sepi dan hening, ia kembali dekati kepala
yang ada di bawah pohon dan memperhatikan baik-baik.
Tiba-tiba sekilas sinar hijau
melesat dari arah samping kirinya. Suto segera bersalto ke belakang dari
keadaan jongkok menjadi berdiri. Wuttt.... Dan sinar kuning itu menghantam
pohon di samping Pendekar Mabuk. Zlapp...! Duarrr...!
Wutt, wutt... !
Pendekar Mabuk terpaksa
melompat lagi ke arah lain, karena pohon yang terkena sinar kuning itu hancur di
bagian bawahnya dan segera rubuh ke tempat di mana Suto tadi berdiri. Weer...
Brukk...!
"Edan!" maki
Pendekar Mabuk. "Siapa yang menyerangku secara sembunyi-sembunyi
ini?!"
Mata Suto memandang ke arah
sekeliling dengan lebih jeli lagi. Kemudian ia temukan bayangan pakaian
berwarna gelap. Orang itu ada di atas pohon seberang, agak jauh dari tempat
Suto berdiri. Tetapi dengan cepat Pendekar Mabuk sentakkan tangan kirinya dan terlepaslah
sinar merah melesat bagai mata tombak. Wutt!
Blarrr...!
Roboh dan hancur pohon yang
dipakai bersembunyi orang tersebut. Sedangkan dari pohon itu tampak sekelebat
bayangan berlari-lari melompati dahan demi dahan, dan akhirnya bersalto turun
dalam keadaan sudah berada di depan Pendekar Mabuk, jarak mereka sekitar tujuh
tombak.
"Oh, ternyata seorang
nenek?!" gumam Suto memandangi seorang perempuan tua bertubuh kurus,
berambut abu-abu, memakai kalung manik-manik dengan giwang hitam yang besar.
Nenek itu menggenggam tongkat
merah berkepala burung garuda. Pendekar Mabuk memandangi nenek itu dengan
berkerut dahi karena ia tidak mengenal nenek itu. Sang nenek melangkah dengan
tegak walaupun sebenarnya sedikit bungkuk, tapi tampak digagah-gagahkan. Wajahnya
tanpa senyum dan keramahan sedikit pun. Kira-kira jarak mereka tinggal tiga
tombak, nenek itu berhenti dengan mata cekungnya memandang tajam pada Suto.
"Mengapa kau menyerangku
dari kejauhan sana Nek?" sapa Suto mencoba untuk terkesan ramah. Tapi nenek
itu menyahut dengan ketus,
"Biar kau mati!"
"Mengapa kau menghendaki
aku mati, Nek? Aku tak punya salah!"
"Jangan berlagak
bodoh!" sentaknya.
"Aku sungguh tidak
mengerti apa salahku?! Kau sendiri siapa sebenarnya, Nek?"
"Aku Nyai Komprang, Guru
dari kedua korbanmu itu!" sambil Nenek Komprang menuding dengan tongkat ke
arah dua gadis yang terpenggal kepalanya itu.
"O, jadi kedua gadis itu
muridmu?"
"Ya. Benar! Dan sekarang
aku menuntut balas atas kematian kedua muridku itu!"
"Mengapa menuntutnya
kepadaku?!" Suto Sinting kerutkan dahi sambil sedikit tertawa geli.
"Kau yang memenggal
kepalanya, bukan?!"
"Bukan!" jawab
Pendekar Mabuk dengan tegas. "Kalau aku melawan kedua muridmu tidak akan
kupenggal kepalanya! Mungkin akan kucubit dagunya! Sebab mereka sebenarnya
cantik-cantik!"
"Tutup otak ngeresmu,
Setan!" bentak Nyai Komprang. "Kau tak perlu bersilat lidah lagi di
depanku! Hanya ada kau di sini! Dan kulihat dari kejauhan kau sedang kegirangan
melihat kepala muridku terpisah dari raganya!"
"Justru aku sendiri baru
datang. Baru saja!"
"Omong kosong!
Hiaaat...!"
Nyai Komprang bagaikan
terbang. Tak diketahui langkahnya tahu-tahu tubuhnya telah melesat dan
tongkatnya sudah disodokkan. Wutt!
Debb...! Tangan Suto dengan
cekatan menahan kepala tongkat yang disodokkan ke dadanya itu. Kepala tongkat
itu disentakkan ke depan. Wutt...! Dan tiba-tiba tubuh Nyai Komprang ikut
terpental membalik arah dengan cepatnya. Wesss...! Brukk...! Nenek tua itu jatuh
terkapar, lalu segera bangkit dan berdiri lagi. Napasnya ngos-ngosan. Dalam
hatinya Nyai Komprang membatin,
"Siapa anak muda ini?!
Hebat sekali ilmunya! Dia bisa menahan sodokan tongkatku dan mendorongku
sebegini rupa! Kalau tidak berilmu tinggi, tidak mungkin dia bisa melakukannya!
Berarti benar dugaanku, kedua muridku itu terpotong lehernya oleh
kelakuannya!"
Pendekar Mabuk berkata kepada
Nyai Komprang, "Nyai... kusarankan agar jangan menuduhku! Nanti di antara
kita ada pertikaian. Itu tak baik, sebab antara kita sebenarnya memang tidak
ada persoalan apa-apa! Percayalah, bukan aku yang memenggal kepala kedua
muridmu ini! Bukan aku, Nyai! Kau lihat sendiri, aku tidak membawa pedang atau
senjata apa pun! Sedangkan potongan pada kepala dan leher korban itu sangat
rapi, bagai dipotong dengan senjata yang amat tajam!"
"Aku tahu kau berilmu
tinggi! Tanpa pedang pun kau bisa memotong pohon besar atau memenggal kepala
orang!"
"Ya, memang bisa! Tapi
ada perkara apa, aku dengan kedua muridmu itu jika aku harus memotong
kepalanya?! Sebesar apa pun kesalahannya, tak mungkin secepat ini aku ambil
keputusan untuk memenggal kepala mereka!"
"Jangan banyak omong kau!
Hihh...!" tongkatnya disentakkan dan keluar kilatan cahaya seperti jarum
berwarna merah tembaga. Jarum-jarum yang jumlahnya lebih dari sepuluh itu
melesat ke arah dada Suto Sinting. Namun dengan cepat Pendekar Mabuk itu meraih
bumbung tuaknya dan menghadangkan di depan dadanya. Zrubbb...! Jarum-jarum itu
hanya membentur bumbung tuak dan membatik dengan jumlah lebih dari lima puluh
jarum dan bergerak sangat cepat.
Nyai Komprang terkejut melihat
jarum-jarumnya berubah banyak dan membalik ke arahnya dengan cepat. Buru-buru
Nyai Komprang melompat dan berjumpalitan di udara menghindari jarum-jarumnya
itu. Akibatnya, jarum-jarum itu pun menancap di sebatang pohon yang ada di
belakang Nyai Komprang berdiri tadi. Zrobbb...! Jarum-jarum itu masuk ke dalam
batang pohon. Kejap berikutnya, batang pohon itu menjadi layu, kering, daunnya
juga bergerak menjadi bergulung-gulung keriting dan tangkai serta dahannya pun
mengerut, kulit batang pohon terkelupas. Akhirnya pohon itu mati dalam keadaan
kering.
Nyai Komprang kembali
membatin, "Hebat sekali anak muda itu! Biasanya jarum-jarumku hanya bisa
bikin hangus batang pohon atau tubuh manusia! Tapi kali ini bisa bikin mati
pohon dalam waktu kurang dari sepuluh hitungan! Luar biasa ilmu anak muda
itu!"
Kemudian, dengan suara
menyentak keras, Nyai Komprang berseru,
"Anak muda, siapa kau
sebenarnya, hah?!"
"Yang jelas aku bukan
tukang bantai seperti tuduhanmu tadi, Nyai!"
"Iya, tapi siapa namamu?!
Muridnya siapa kau, hah?!"
Dengan tenang, Pendekar Mabuk
membuka tutup bumbungnya, ia tidak segera menjawab pertanyaan itu, melainkan
menenggak tuaknya dari bumbung dan meneguknya beberapa kali. Glek glek glek...!
"Bocah Sinting! Ditanya
siapa namanya, siapa gurunya malah minum tuak! Apa kau sudah sinting,
hah?!"
"Ya," jawab Suto
sambil tersenyum. "Memang itulah namaku Suto Sinting!"
"Omong kosong!"
bentak Nyai Komprang. "Setahuku yang bernama Suto Sinting itu adalah
Pendekar Mabuk!"
"Ya. Memang akulah yang
bergelar Pendekar Mabuk!"
"Dusta mulutmu!"
sentak orang tua cerewet itu. "Jika kau benar-benar Pendekar Mabuk, coba
sebutkan siapa gurumu?"
"Si Gila Tuak!"
Nyai Komprang terbungkam
sebentar. "Benar juga?" gumamnya dalam hati. Tapi agaknya dia belum
puas dan berkata menguji,
"Siapa nama asli si Gila
Tuak?"
"Ki Sabawana!"
"Benar lagi?!" Pikir
Nyai Komprang. Masih penasaran lagi ia bertanya menguji Suto,
"Sabawana punya saudara
seperguruan, siapa namanya?"
"Bidadari Jalang! Itu
juga bibi guruku!"
"Edan! Jadi kau
benar-benar murid si Gila Tuak itu?!"
"Sudah kujawab tadi,
ya!"
Kemudian terdengar suara Nyai
Komprang bernada rendah, "Kalau begitu, aku salah duga! Aku tahu Sabawana
tidak akan mendidik muridnya jahat seperti dugaanku tadi!" Nyai Komprang
berjalan mendekati Pendekar Mabuk dan menepuk-nepuk pundaknya,
"Maafkan tuduhanku tadi,
Suto!"
"Tak apalah! Apakah kau
mengenal guruku, Nyai?"
"Ya. Sangat kenal. Dulu
aku naksir dia, tapi dia sudah ditaksir orang lain, jadi aku tidak mau naksir
dia! Cuma aku menaruh hormat padanya sebagai tokoh golongan putih yang disegani
di rimba persilatan ini!"
"Kalau nanti aku bertemu
dengan Guru, akan kuceritakan pertemuan kita ini, Nyai Komprang!"
"Katakan, dapat salam
dari Widyawati!"
"Apakah itu nama aslimu,
Nyai?"
"Benar! Tapi setelah
setua ini, nama itu tidak cocok bagiku. Maka aku cari nama seenaknya sendiri!
Nyai Komprang lebih cocok bagi orang berwujud tua seperti ini. Tapi...
ngomong-ngomong siapa yang memenggal kedua muridku ini...?!" nada sedih
mulai terdengar dari mulut Nyai Komprang. Satu persatu wajah muridnya didekati,
lalu diangkat pelan-pelan dan dirapatkan kembali pada raga masing-masing. Nenek
tua itu tampak sedih, mengusap-usap rambut muridnya yang sudah tak bernyawa
itu.
"Nyai, aku tak bisa
membantu mencarikan siapa pembunuhnya. Tapi aku yakin, kau sendiri pasti bisa
melacaknya! Izinkan aku meninggalkan tempat ini, Nyai!"
"Mau ke mana kau?"
"Mencari tempat tinggal
seorang tabib sakti yang bernama Tabib Awan Putih. Tapi aku belum tahu di mana
dia tinggalnya?!"
"O, kalau begitu,
berjalanlah ke arah utara terus. Dia tinggal di tebing bergua lebar, namanya
Pantai Tanjung Keramat!"
"O, ya... terima kasih,
Nyai!" Pendekar Mabuk pun segera bergegas meninggalkan tempat itu, menuju
Pantai Tanjung Keramat.
* * *
Pagi baru menghilang dan
matahari sedang merayap untuk menyusuri siang, di lereng sebuah bukit
bertanaman pohon jati itu telah ramai oleh perang mulut dan perang tenaga
dalam. Sesekali terdengar suara letupan, atau bahkan ledakan menggema akibat
benturan dua tenaga dalam dari dua orang berilmu tinggi.
Kehidupan alam di lereng Bukit
Tangkal itu bagai tak ramah terhadap lingkungannya.
Pohon-pohon yang menjulang
tinggi, tak pernah mau peduli terhadap dua orang yang berselisih dalam suasana
pincang. Yang satu, seorang nenek berjubah kuning, bermata cekung, bertubuh
kurus, berambut abu-abu disanggul, berkalung manik-manik dengan giwang hitam,
bertongkat kayu merah dengan kepala tongkat berbentuk kepala burung garuda,
tampak sangat sengit menyerang lawannya. Nenek yang berjuluk Nyai Komprang ini
tampak sangat penasaran, karena sejak tadi jurusnya bisa ditangkis dan
dihindari oleh lawannya.
Sang lawan adalah seorang
lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun, sama dan sebaya dengan usia Nyai
Komprang sendiri. Orang ini mengenakan jubah abu- abu, rambut putih, botak
tengahnya, badan agak gemuk dan sedikit pendek, celananya biru bersabuk hitam
besar. Di pinggangnya tergantung kantong dari kulit kambing berisi makanan.
Sebentar-sebentar orang gemuk ini melahap singkong bakar yang sudah dikuliti
dan dimasukkan dalam kantong kulit yang menyerupai atas itu. Nyai Komprang
memanggil lawannya dengan sebutan Madang Wengi.
Nyai Komprang tersentak kaget,
ia membatin, "Konyol betul orang itul Mestinya sinar hijau itu akan
meleburkan tubuhnya, menjadi berkeping-keping! Tapi kini ia tetap utuh dan
tetap makan! Edan! Sekarang malah sinar hijauku itu padam?!"
Sinar hijau memang padam.
Tubuh Madang Wengi tidak lagi terbungkus sinar hijau. Dan hal itu sangat
membuat heran Nyai Komprang. Karena biasanya jurus 'Pijar Selaksa' itu akan
meleburkan benda apa pun yang dikenainya.
Semakin penasaran hati nenek
galak itu. Maka, dengan geram terdengar memanjang, ia sentakkan kaki dan
melesat terbang ke arah Madang Wengi, lalu tongkatnya siap ditusukkan ke arah
kepala lawannya, ia bergerak dari samping kanan.
Tetapi dalam keadaan tak
diduga-duga, sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan oleh seseorang, sehingga
pinggang Nyai Komprang menjadi sasaran empuk, dan tubuh itu terpelanting
terbang ke samping dan terguling- guling. Brukk...! la jatuh tanpa bisa menjaga
keseimbangan tubuhnya.
Jatuhnya Nyai Komprang membuat
Madang Wengi terkejut dan ia pun segera bangkit berdiri, ia pandangi tubuh Nyai
Komprang dengan dahi berkerut. Kemudian hatinya membatin,
"Siapa yang
menyerangnya?! Ilmu orang itu memang tidak terlalu tinggi, tapi sudah cukup
hebat bisa bikin Nyai Komprang terguling-guling dan jatuh tak berdaya begitu!
Yang jelas, pasti ada orang lain di sekitar sini yang memihakku! Hmm... siapa
orangnya?!"
Nyai Komprang bergegas bangkit
dan menggerutu tak jelas. Lalu, ia serukan kata,
"Kau benar-benar
membuatku murka, Madang Wengi! Terimalah jurus 'Catur Sukma' ini...!
Heaaah...!"
Wuttt, brrukkk... !
Tiba-tiba ada sekelebat
bayangan yang melesat dan menerjang tubuh Nyai Komprang. Terjangan itu membuat
Nyai Komprang jatuh kembali. Tapi kali ini tubuh penyerangnya terlihat jelas,
karena ikut jatuh bersama Nyai Komprang.
"Setan Alas! Siapa kau,
hah?! Berani-beraninya mencampuri urusanku dengan si tua pikun jelek itu! Siapa
kau, jawab!"
"Roro Manis namaku,
Nyai!"
Madang Wengi segera menyambut
gadis cantik bertahi lalat kecil di bawah mata kirinya itu.
"Roro Manis...?!
Seingatku... kau murid Danujaya! Benarkah?!"
"Benar, Ki Madang Wengi.
Saya murid Eyang Danujaya!"
Nyai Komprang segera berseru
memotong, "Ooo... jadi sekarang kamu kembali menjadi lelaki buaya dan mata
keranjang, Madang Wengi?! Kamu sekarang sudah mulai doyan daun muda, ya?!"
"Tutup mulut tuamu, Nyai
Komprang! Roro Manis ini murid sahabatku dan tak ada hubungan apa-apa dengan
pribadiku!"
"Ah, kurasa kau memang
janjian mau ketemu dia di sini!"
"Terserah apa katamu,
Nenek Cerewet!"
"Memang aku tak peduli
hubunganmu dengan gadis cantik itu! Aku hanya ingin mencabut nyawamu sebagai
balasan atas kematian dua muridku itu, Madang Wengi!"
"Nyai Komprang,
kuingatkan sekali lagi! Bukan aku yang memenggal kepala kedua muridmu! Bukan
aku! Titik!"
"Titiknya kuhapus!"
bantah Nyai Komprang. "Bukan kamu yang membunuh kedua muridku, tapi
senjatamu itu yang memenggal kepala mereka dengan rapi dan tanpa darah! Hah,
itu sama saja!"
"Tunggu sebentar,
Nyai," sela Roro Manis. "Agaknya di antara Nyai Komprang dan Ki
Madang Wengi ada kesalahpahaman!"
"Ah, kau bocah ingusan
tak perlu ikut campur urusan orang tua!" bentak Nyai Komprang. Roro Manis
jadi diam, tak berani lanjutkan kata. Untunglah Ki Madang Wengi cepat ajukan
tanya,
"Roro Manis, bagaimana
kabar gurumu Danujaya itu?!"
Roro Manis tundukkan kepala,
wajahnya berubah duka. Nyai Komprang sempat mengikuti perubahan wajah itu
secara tak sadar. Bahkan ia pun secara tak sadar ikut kerutkan dahi, seperti
apa yang dilakukan oleh Madang Wengi.
"Roro Manis, kutanyakan
bagaimana kabar gurumu, mengapa kau jadi murung begitu?! Apa yang sebenarnya
terjadi, Roro Manis?!"
Dengan suara lirih, Roro Manis
ucapkan kata, "Guru telah tewas, Ki Madang!"
"Danujaya tewas?!
Maksudmu, dia terkena penyakit dan meninggal, begitu?!"
"Guru tewas dipenggal
kepalanya, Ki Madang!" jawab Roro Manis. Air mata duka mulai mengembang di
sudut matanya.
Ki Madang Wengi tertegun
sejenak, terkenang kebaikan Danujaya semasa mereka masih sering bertemu di
waktu muda. Nyai Komprang sendiri merasa kenal dengan nama Danujaya, tapi ia
lupa kapan ia pernah bertemu. Yang ia ingat, Danujaya adalah orang yang
bijak dan tak pernah mau
membunuh lawannya.
"Siapa yang membunuh
gurumu, Roro Manis?!"
"Garong Codet, Ki
Madang!"
Terkesiap mata Ki Madang Wengi,
demikian juga Nyai Komprang. Mereka sama-sama kaget mendengar nama Garong Codet
sebagai nama orang yang membunuh Danujaya. Hati kecil mereka mengatakan, itu
tak mungkin terjadi. Sebab mereka tahu, Danujaya orang sakti dan berilmu
tinggi, mustahil bisa dikalahkan oleh Garong Codet, yang hanya berilmu
pas-pasan dan modal tampang angker untuk menjadi perampok tanah seberang.
Terucap gumam dari mulut Nyai
Komprang bagai bicara pada dirinya sendiri, "Rasa-rasanya tak mungkin
Danujaya bisa dipenggal kepalanya oleh Garong Codet?!"
"Dia menggunakan sejata
khusus untuk memenggal kepala Eyang Danujaya, juga memenggal kepala Soka Loka,
Jayengrono, dan Randu Galak!"
"Senjata apa?!"
tukas Ki Madang Wengi.
"Mustika Serat iblis, Ki
Madang!"
"Apa...?!" Ki Madang
Wengi dan Nyai Komprang sama-sama terkejut dan terpekik. Mata mereka sama- sama
mendelik.
"Mustika Serat Iblis ada
di tangan Garong Codet?! Apa kau tak salah lihat atau salah dengar, Cah
Ayu?!" kata Nyai Komprang yang agaknya mulai surut murkanya, ia jadi
tertarik membicarakan tentang Mustika Serat Iblis.
Roro Manis lontarkan jawab,
"Kurasa aku tak salah dengar dan tak salah lihat, Nyai. Karena setiap
kepala yang dipenggal melalui pantulan sinar dari mustika tersebut, membuat
korban putus kepalanya tanpa mengeluarkan darah. Potongan kepala itu sangat
rapi tanpa ada serat daging yang rusak."
"Bagaimana bentuk mustika
itu, Roro Manis?" tanya Ki Madang Wengi sambil diam-diam melahap singkong
bakarnya.
"Setahuku, bentuknya
seperti cincin, dipakai di telapak tangan. Warnanya merah. Dan jika kena
pantulan sinar matahari, keluar sinar merah yang memotong benda apa pun dengan
rapi."
"Benar kalau
begitu," kata Nyai Komprang. "Memang begitulah ciri-ciri Mustika
Serat Iblis! Jika begitu... jika begitu kedua muridku yang terpenggal kepalanya
itu adalah korban dari keganasan Mustika Serat Iblis! Karena kepala kedua
muridku terpenggal dengan rapi dan tanpa ada darah sedikit pun yang muncrat
keluar!"
"Kurasa begitu, Nyai.
Sebab, semua korban mengalami hal yang sama dalam kematiannya!"
"Madang Wengi!" kata
Nyai Komprang. "Beruntung gadis ini lekas datang, jadi aku tidak salah
tuntut padamu!"
"Masa bodoh!" Ki
Madang Wengi cemberut jengkel.
"Aku harus cepat
tinggalkan kau, Madang Wengi! Akan kutemui Garong Codet itu untuk bikin
perhitungan dengannya! Hmmm... Roro Manis, di mana Garong Codet terakhir
kalinya kau lihat?"
"Di desa Sambiroto! Tapi
agaknya ia mengejarku, Nyai!"
"Akan kuhadang dia
sekarang juga!"
Wesss...! Nyai Komprang cepat
pergi bagaikan angin. Ki Madang Wengi hanya pandangi kepergian itu dengan
senyum sinis karena kedongkolannya belum tercurah. Namun kedongkolan itu bisa
segera dilebur habis, karena ia menjadi lebih tertarik membicarakan nasib
Danujaya dan kehebatan Mustika Serat Iblis itu.
"Untung kau segera lari,
jika tidak, kau akan jadi tumbal bagi Mustika Serat Iblis," katanya kepada
Roro Manis. "Mustika Serat Iblis itu pusaka yang berbahaya. Tidak setiap
orang bisa punya kesempatan memiliki mustika tersebut!"
"Milik siapakah mustika
itu sebenarnya, Ki?"
"Bukan milik siapa-siapa.
Mustika itu sebenarnya adalah empedu seekor macan merah yang usianya sudah
ribuan tahun!"
"Harimau merah? Apakah
ada harimau berwarna merah?"
"Ada! Dan di dunia ini
mungkin hanya satu. Harimau merah api adalah titisan seorang tokoh sakti di
zaman dulu. Empedunya sampai membentuk batu warna merah. Dan sulit ditangkis
atau dilawan karena sinar mustika itu bisa memotong apa saja. Satu-satunya
senjata yang bisa untuk melawan sinar Mustika Serat Iblis adalah sebuah
perisai, namanya Perisai Naga Bening. Perisai itu dari kaca yang sulit
dipecahkan oleh benda atau sinar apa pun. Perisai itu milik seorang pendekar
yang bergelar Pendekar Awan Putih, dari negeri Cina. Tapi sekarang ia sudah menjadi
tabib, yaitu Tabib Awan Putih. Dia tinggal di Pantai Tanjung Keramat! Jika kita
ingin melawan Garong Codet, kita harus pergunakan Perisai Naga Bening
itu!"
"Kalau begitu, sebaiknya
aku segera pergi menemui Tabib Awan Putih, untuk meminjam perisainya!"
"Hmmm...!" Ki Madang
Wengi berpikir sebentar, lali lanjutkan kata, "Ya, kurasa itu lebih baik.
Pergilah kepada Tabib Awan Putih, dan sementara itu aku akan menyusul Nyai
Komprang, bekas pacarku masa muda dulu. He he he...!"
***5
SEBATANG tongkat kecil yang
tingginya seukuran tinggi pundak orang dewasa disebut toya. Jurus-jurus yang
dimainkan dengan toya tak jauh beda dengan jurus yang dimainkan dengan tombak.
Kedua senjata itu sama- sama bisa digunakan untuk menebas, menusuk, dan
menggaet kaki lawan. Sekalipun hanya sebatang kayu kecil, jika dimainkannya
dengan menggunakan tenaga dalam, kayu kecil itu pun bisa digunakan untuk
menembus batang pohon besar. Sebatang toya bisa dipakai untuk menangkis senjata
lawan dan memagari diri pemiliknya dengan berputar bagai baling-baling melalui
sela-sela jemari pemegangnya.
Senjata itulah yang dipegang
oleh seorang pemuda cakap yang gemar mengenakan pakaian kuning gading.
Rambutnya yang panjang diikat kain warna biru muda. Pemuda ini dikenal dengan
nama Satria Tangkas. Nama julukan itu diberikan oleh Ki Madang Wengi, sebab
Satria Tangkas memang murid Ki Madang Wengi.
Dalam perjalanan pulang dari
ziarah ke makam orangtuanya, Satria Tangkas sempatkan diri beristirahat di
tempat yang teduh. Rasa haus membuat ia punya gagasan untuk memetik buah kelapa
muda. Sebatang pohon kelapa muda ada di depannya. Tapi cukup tinggi dan
melelahkan jika dipanjat. Karena itu, Satria Tangkas hanya mendekati pohon
tersebut, lalu ia menotokkan ujung toyanya ke batang pohon kelapa. Debb...! Satu
kali totokan toya, sebuah kelapa jatuh. Walau di atas sana ada lebih dari
delapan buah, tapi hanya satu yang jatuh dan itu pun yang benar-benar muda
serta banyak airnya.
Wuuttt...! Sebutir batu
dilemparkan seseorang. Satria Tangkas yang dilempar dari arah belakang itu
cepat balikkan badan sambil kelebatkan toyanya. Trakk...! Clapp...! Toya itu
berhasil menghantam batu sebesar biji salak, langsung pecah dengan menimbulkan
nyala percikan api merah karena batu itu bertenaga dalam dan toya itu pun punya
aliran tenaga dalam.
Tapi gerakan cepat Satria
Tangkas yang bisa menghantam batu kecil dengan toyanya itu sungguh suatu jurus
yang cukup pantas mendapat acungan jempol. Bahkan ketika Setan Culik mendapat
kesempatan melemparkan batu yang lebih kecil lagi dari arah belakang Satria
Tangkas, pemuda itu tidak membalikkan badannya, namun menyodokkan toya ke
belakang.
Wutt... ! Trakk... !
Pruss...! Batu itu hancur,
tepat tersodok ujung toya. Padahal Satria Tangkas tidak memandang ke arah
belakang, namun ujung toya itu bagaikan punya mata sendiri dan bisa menghantam
batu kecil yang bergerak dengan cepat itu. Jika bukan berilmu tinggi tak
mungkin orang bisa melakukan gerakan setangkas itu.
Satria Tangkas merasa ada yang
jahil padanya. Kemudian ia berseru dengan suaranya yang berkesan tenang dan
kalem.
"Jika ingin berkenalan
denganku, silakan keluar dari persembunyian kalian! Mungkin aku pun akan senang
bisa berkenalan dengan kalian bertiga!"
Dalam bisikannya Setan Culik
berkata kepada Garong Codet, "Gila! Dia bisa tahu kalau kita
bertiga!"
"Jelas ia punya ilmu
tinggi. Cocok untuk tumbal berikutnya!" kata Garong Codet. "Kalian
tak perlu menjajal ilmunya, nanti malah kalian tewas lebih dulu! Biar langsung
kuhadapi saja!"
"Terserah kamu
saja," kata Tikus Ningrat. "Kebetulan kakiku yang terkena pisau masih
terasa sakit, jadi aku libur dululah...!"
Tikus Ningrat memang berjalan
pincang akibat pisau Randu Galak. Betisnya yang kurus itu kini dibalut dengan
kain robekan ikat kepala Garong Codet yang lepas karena kibasan cepat sabit
Jayengrono. Luka itu diberi borehan daun pengering luka. Sekalipun begitu,
masih sedikit terasa sakit jika digunakan berjalan. Namun toh tidak mengurangi
semangat Tikus Ningrat untuk mengikuti jejak Garong Codet dalam memburu tumbal
berikutnya.
Bahkan ketika Garong Codet
tampakkan diri dari persembunyiannya, Tikus Ningrat pun ikut keluar dari
persembunyian, ia berdiri bersebelahan dengan Setan Culik. Mereka bersikap sebagai
penonton yang baik, yang tak mau ikut-ikutan menyerang lawan yang sedang
dihadapi oleh Garong Codet.
"Maaf, Kisanak... aku
tidak kenal siapa kamu dan bagaimana harus menyebutmu!" kata Satria
Tangkas kepada Garong Codet.
"Kau tak perlu namaku,
dan aku tak perlu namamu! Yang kuperlukan adalah kepalamu!"
Terkesiap mata Satria Tangkas
mendengar ucapan Garong Codet. Ia kini memandang dengan mata sedikit menyipit,
ia menangkap gelagat tak beres pada sorot pandangan mata lawannya. Lalu, ia pun
berkata,
"Apa yang kamu cari dalam
kepalaku?"
"Apalagi kalau bukan satu
penggalan tanpa rasa sakit sebagai tumbal yang kubutuhkan! Ha ha ha
ha...!"
****
Sambil tetap memegang tongkat
toyanya, Satria Tangkas langkahkan kaki ke kanan dua tindak, kemudian berdiri
tegak lagi menghadapi Garong Codet. Matanya masih memandang dengan menyipit,
mencoba mempelajari wajah aneh tanpa bulu dan berambut trondol itu. Satria
Tangkar temukan sifat angkara murka dan keji di balik wajah aneh itu.
"Jadi kau menginginkan
kepalaku sebagai tumbal?"
"Ya! Tak salah lagi
dugaanmu!"
Satria Tangkas manggut-manggut
dan berkata, "Mengapa harus kepalaku? Mengapa bukan kepala kedua temanmu
yang mirip tikus dan mirip kelinci hutan itu?!"
"Mereka bukan orang
berilmu tinggi seperti kau! Cincin Mustika Serat Iblis menolak tumbal kepala
orang yang tidak berilmu tinggi!"
Satria Tangkas sunggingkan
senyum tipis.
"Aku berterima kasih
kepadamu, karena secara tak langsung kau telah memujiku dan mengakuiku sebagai
orang berilmu tinggi! Tapi ketahuilah, Sobat..., Orang berilmu tinggi mana pun
tak ada yang mau sumbangkan kepalanya secara sia-sia untuk keperluan pribadi
seseorang. Jadi jangan harap kau bisa ambil kepalaku sebagai tumbalmu!"
"O, keliru! Kau keliru,
Anak Dungu! Bukan jangan harap aku bisa ambil kepalamu, tapi jangan harap kamu
bisa pertahankan kepalamu!"
"Kulayani tantanganmu!
Tapi aku tidak mau bertanggung jawab jika nyawamu melayang dari ragamu!
Heah...!"
Satria Tangkas segera membuka
jurus kuda-kudanya. Toya digenggam dengan satu tangan. Rapat dengan lengan
kanannya dan mengarah ke belakang, sementara kakinya pun ditarik rendah ke
belakang dengan tangan kiri terbuka di atas kepala.
"Ha ha ha ha ha...!
Jurusmu seperti jurus monyet kesurupan begitu?! Aha, mana bisa kau pertahankan
kepalamu jika menggunakan jurus itu, Anak Dungu!
Wuttt... ! Dugg... !
Gerakan Satria Tangkas begitu
cepat. Ucapan Garong Codet belum selesai tapi sudah terkena sodok toya bagian
bawah lehernya. Gerakan toya menyodok itu tidak tertangkap oleh mata Garong
Codet, sehingga tubuh besar itu bukan saja terpental ke belakang tapi juga
terbatuk-batuk dan merasa sakit jika dipakai menelan ludah. Sedangkan Satria
Tangkas sudah kembali berdiri dengan sikap tenang dan santai, ia sunggingkan
senyum sambil pandangi lawannya yang berusaha berdiri sambil batuk-batuk. Wajah
Garong Codet menjadi merah karena batuknya itu.
Dari tempatnya Setan Cilik
berseru, "Perlu bantuan...?!"
"Tidak, Goblok!"
Garong Codet jadi tambah
terkejut. Suaranya menjadi serak dan pecah. Perih rasanya jika dipakai untuk
bicara. Kegeramannya bertambah, nafsu untuk membunuh lawan menjadi kian
berkobar.
Lalu, Garong Codet sentakkan
tangan kirinya, melepaskah pukulan jarah jauhnya yang bersinar merah bagai
piringan kecil melayang itu. Cepat dan sulit dihindari. Wuussstt...!
Tetapi Satria Tangkas pun
dengan cepat menghantamkan toya ke arah samping depan. Hantaman itu tepat
mengenai sinar merah hingga timbulkan suara ledakan yang cukup keras.
Dueerr... !
Pada saat itulah Garong Codet
mengangkat tangan kanannya dan membuka genggaman tangan itu. Lalu, Mustika
Serat Iblis mendapat cahaya dari matahari dan pantulkan sinar merah yang
diarahkan ke leher Satria Tangkas.
Clapp...! Crasss..!
"Auh...!" Satria
Tangkas terpekik, ia sangat terkejut melihat kelebatan sinar itu dan menghindar
dengan secepatnya. Tapi tangan yang memegangi toya itu menjadi sasaran sinar
merah, sehingga pergelangan tangannya menjadi putus total. Pluk....! Jatuhlah
telapak tangan kanan Satria Tangkas ke tanah dalam keadaan masih menggenggam
toya.
Satria Tangkas terkesima
memandang tangannya jatuh di tanah. Saat terkesima itu digunakan oleh Garong
Codet untuk mengarahkan pantulan sinar mustika ke leher Satria Tangkas.
Clapp...! Sinar itu bagaikan
lidi yang berjulur merah dari telapak tangan Garong Codet. Lidi merah itu
bergerak dari arah kanan Satria Tangkas memenggal ke arah kiri melewati
lehernya. Crasss...!
Satria Tangkas mendelik
seketika. Terpatung sejenak. Lalu kepalanya pun jatuh menggelinding dari
raganya. Plokkk...! Maka habislah riwayat si jago toya itu di tangan Garong
Codet.
Prok prok prok...! Tikus
Ningrat dan Setan Culik memberi sambutan dengan tertepuk tangan. Semakin
bengkak dada Garong Codet mendapat pujian seperti itu. Semakin besar kepala
trondolnya, merasa menjadi orang hebat yang dapat dengan mudah menumbangkan
para pendekar berilmu tinggi. Mustika Serat Iblis semakin digenggamnya, ia pun melangkah
dengan senyum bangga, mendekati dua konconya itu.
"Gerakanmu tadi cukup
indah! Aku suka sekali melihatnya!" kata Setan Culik memuji Garong Codet.
"Itu belum
seberapa," jawab Garong Codet. Tapi ia buru-buru pegangi lehernya dan
mendehem beberapa kali.
"Suaramu menjadi rusak,
Garong Codet! Seperti kaleng jatuh di atas tumpukan kaleng rombeng."
"Bangsat itu yang merusak
suaraku! Aduh, perih...! Hm hm hm...!" Garong Codet mendehem-dehem lagi.
Ia sempat menyeringai ketika menelan ludah sendiri.
Mata Setan Culik tak berkedip
pandangi bagian tepat di bawah leher Garong Codet. Bagian itu membekas memar
membiru berbentuk penampang ujung toya. Bundar bentuknya. Lebih besar dari uang
logam. Jika toya itu tidak dialiri tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin bisa
timbulkan bekas yang biru kehitam- hitaman seperti itu.
"Sebaiknya kita cepat
cari buah jeruk buat mengobati tenggorokanmu yang rusak itu, Garong
Codet!" usul Tikus Ningrat.
Namun tiba-tiba seseorang
menyahut dari tempat jatuhnya mayat Satria Tangkas itu.
"Tak perlu repot-repot
mencari jeruk! Aku bisa mengobatimu, Garong Codet!"
Suara tua itu cepat dipandang
oleh mereka bertiga. Terkesiap mata mereka melihat seorang nenek berjubah
kuning sudah berdiri di sana dengan tongkat kayu merahnya yang berkepala burung
garuda.
"Mau apa nenek peot itu
kemari?" geram Garong Codet pelan.
Tikus Ningrat menyahut,
"Mungkin mau mendaftarkan diri sebagai tumbal berikutnya!"
Pada saat itu, Nyai Komprang
segera sentakkan tongkatnya ke tanah. Jleeg...! Sentakan itu sangat pelan, tapi
menghadirkan kekuatan yang cukup dahsyat. Tubuh Setan Culik terpental ke atas
hingga kepalanya membentur dahan pohon dengan keras.
Wuttt... ! Prokkk... !
Krakkk...! Dahan pohon sebesar
betis itu patah seketika karena terkena sodokan kepala Setan Culik dengan
sangat kuat dari arah bawah. Patahan dahan itu menjatuhi tubuh Tikus Ningrat
yang tak sempat menghindar.
Prukk... ! Beengg... !
Kepala Tikus Ningrat terhantam
dahan sebesar betis. Sementara itu, Garong Codet sudah lebih dulu menjauh dari
tempat itu untuk menghindari dahan yang jatuh. Akibat kepalanya terkena dahan,
Tikus Ningrat pun jatuh terduduk dengan lemas. Kepalanya pusing tujuh keliling,
seperti banyak bintang yang mengelilingi kepalanya. Sedangkan Setan Culik
terkulai lemas, jatuh di sebuah dahan. Tubuhnya tersampir di dahan itu seperti
sarung sedang dijemur.
"Hebat sekali, kau,
Nek?!" kata Garong Codet dengan suara sember. "Rupanya kau datang
untuk sumbangkan kepala sebagai tumbal Mustika Serat Iblis juga?!"
"Aku datang untuk
menuntut kematian kedua muridku! Nyawa kalian bertiga belum impas untuk menebus
kematian kedua muridku itu!"
"Kalau begitu, nyawamu
ditambahkan juga sebagai pelengkapnya biar impas!" Garong Codet tak bisa
membentak, karena tenggorokannya terasa sakit jika digunakan bicara terlalu
keras, sehingga sejak tadi bicaranya cukup pelan dan berkesan lembut bagai
orang sedang memadu kasih. Garong Codet benci dengan keadaan suaranya, tapi
demi menahan supaya tidak menjadi lebih parah lagi, ia terpaksa bertutur kata
dengan suara lemah lembut.
"Garong Codet! Bersiaplah
untuk mati di tanganku, Keparat!"
Nyai Komprang menyodokkan
kepala tongkatnya ke depan. Dari kepala tongkat itu melesat cahaya putih perak.
Cahaya itu mengarah ke tubuh Garong Codet. Dengan satu sentakan kaki Garong
Codet melenting di udara dan bersalto satu kali. Saat itu pula Nyai Komprang
ikut melayang di udara dan menyerang Garong Codet dengan kepala tongkat.
Duarr...! Sinar putih perak
tadi menghantam batang pohon kelapa. Buah pohon berjatuhan. Tapi sudah berubah
menjadi busuk. Sedangkan batangnya pun menjadi keropos seketika, dan rubuh
tanpa timbulkan suara bunyi berdebam.
Saat itu pula, dua tubuh yang
melayang di udara itu saling melepaskan pukulan tenaga dalamnya. Garong Codet
melepaskan pukulan tenaga dalam dari siku kanannya. Sebuah sinar kuning seperti
bola kecil melesat. Wutt...! Dari kepala tongkat Nyai Komprang keluar lagi
sinar putih perak. Wuttt...!
Blaarrr...! Kedua sinar itu
saling menghantam dan pecah dengan timbulkan ledakan dahsyat. Gelombang ledakan
itu melemparkan tubuh Nyai Komprang ke belakang hingga berguling-guling tak
terkendalikan keseimbangannya. Sedangkan tubuh Garong Codet melengkung ke depan
lalu membentur pohon besar dalam jarak lebih dari tujuh kaki di belakangnya.
Buuhhg !
Garong Codet sebenarnya
merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tapi ia paksakan untuk berdiri secepatnya,
karena ia melihat keadaan lawannya sangat lemah. Maka, dibukalah tangan kanan
yang menggenggam Mustika Serat Iblis itu. Lalu, pantulan cahaya matahari
keluarkan sinar merah tanpa putus ke arah tubuh Nyai Komprang. Wusttt...!
Clappp...!
Nenek berjubah kuning itu
terkejut dan tak sempat menghindar. Akibatnya sinar tak terputuskan itu
bergerak menebas leher sang nenek dengan cepat. Crass...! Dan kepala sang nenek
pun jatuh menggelinding di tanah, menyusul bagian badannya rubuh bagaikan
batang pohon pisang. Bruukkk...!
Tikus Ningrat mendekati pohon
tempat tersangkutnya Setan Culik. Tapi pohon itu tiba-tiba berguncang pada saat
Setan Culik sedang kebingungan mencari jalan untuk turun. Wurrr...!
Bukkk...! Setan Culik jatuh
tepat di depan Tikus Ningrat, ia tidak segera ditolong, tapi justru ditertawakan
oleh manusia berwajah runcing seperti tikus itu.
Setan Culik cepat bangkit dan
lompatkan diri dalam satu tendangan ke arah Tikus Ningrat. Plaak...! Tikus
Ningrat cepat menangkis kaki Setan Culik yang tak pedulikan rasa sakit membiru
di lengan kanannya itu.
"Kenapa kau
menyerangku?!"
"Kau mengguncangkan pohon
itu hingga aku jatuh!" sentak Setan Culik dengan berang.
"Bukan aku yang
guncangkan pohon! Angin yang bikin pohon berguncang!"
"Tak ada angin sekencang
itu!"
"Kalau begitu, seseorang
telah mengguncangkan pohon itu dengan kekuatan jarak jauhnya!"
Setan Culik diam, Tikus
Ningrat pun diam. Karena tiba-tiba dari arah belakang mereka terdengar suara
menyahut,
"Aku yang mengguncangkan
pohon!"
Garong Codet juga terkesiap
melihat kemunculan tokoh tua yang tampil sambil mengunyah makanan. Tokoh tua
itu jadi lebih terkejut dan berhenti mengunyah setelah ia perhatikan ke arah
mayat Satria Tangkas yang kepalanya berjarak tiga langkah dari raganya.
"Satria...?!"
Tokoh tua itu cepat mendekati
kepala Satria Tangkas. Serta-merta makanan yang dikunyahnya disemburkan keluar.
Bruss...! Kemudian ia palingkan pandangan ke arah Garong Codet. Matanya mulai
pancarkan api dendam kemarahan.
"Kau telah membunuh
muridku, Garong Codet!" geram orang itu yang tak lain adalah Ki Madang
Wengi. Napasnya terengah-engah tangannya mulai gemetar. Gigi pun menggeletuk
tanda menahan kemarahan besar.
"Apakah anak muda itu
muridmu, Pak Tua?"
"Semua orang tahu, Satria
Tangkas adalah murid Madang Wengi!" Ki Madang Wengi menepuk dadanya
sendiri untuk melampiaskan kemarahannya yang sudah tak tertahankan lagi itu.
Tikus Ningrat segera maju
mendekati Ki Madang Wengi dengan berkata,
"Jangan marah-marah, Pak
Tua. Muridmu Cuma mati, cuma terpenggal saja! Dia tidak merasa...."
Dengani cepat Ki Madang Wengi
mencabut bambu runcingnya di pinggangnya. Wuttt...! Crapp...! Bambu runcing
tiga jengkal menancap di dada Tikus Ningrat, tepat di bagian jantungnya. Darah
pun menyembur keluar sambil Tikus Ningrat tenganga mulutnya, terdongak
kepalanya, dan mendelik matanya.
Slapp...! Bambu dicabut dari
dada Tikus Ningrat. Kemudian tubuh Tikus Ningrat dijejak kuat oleh Ki Madang
Wengi. Bukkk...!
Wusttt...! Tubuh itu terlempar
begitu jauhnya. Lebih dari lima belas langkah. Bagai boneka dari kain tubuh itu
menghantam ke sebuah pohon tepat di bagian kepalanya.
Prokk....! Kepala itu pecah
karena kecepatan melayang tubuh Tikus Ningrat.
Tentu saja Garong Codet dan
Setan Culik terperangah kaget melihat Tikus Ningrat bermandi darah dan tak
bernyawa lagi. Garong Codet segera berbalik pandang dan menggeram dengan mata
melotot. Cuping hidungnya kembang kempis. Wajah tanpa kumis dan alis itu
menjadi merah padam.
"Jahanam kau, Madang
Wengi! Kau bunuh sahabatku yang setia itu! Kubalas kau tanpa ampun lagi!
Heeaah...!"
Clapp, clappp...! Mustika
Serat Iblis segera melepaskan pantulan sinarnya ke arah Ki Madang Wengi. Orang
tua berjubah abu-abu itu melompat ke sana kemari dengan gerakan cepat tak
terlihat mata. Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Setan Culik.
Wuttt...! Bukkk!
Tangan kiri Ki Madang Wengi
menyentak cepat bagai gerakan tak direncana. Tangan itu menghantam punggung
Setan Culik. Yang dihantam terpental jauh dan terguling-guling. Lalu di sana ia
muntahkan darah kental dari mulutnya.
"Jahanam busuk kau,
Madang Wengi! Hiih...!"
Clap, clap, clap, dap...!
Ki Madang Wengi dihujani
kilatan cahaya merah dari Mustika Serat Iblis, ia menghindar dengan lincah, dan
beberapa pohon pun tumbang terpotong oleh kilatan cahaya merah Mustika Serat
Iblis.
Rupanya Garong Codet
benar-benar marah melihat dua sahabatnya dilukai oleh Ki Madang Wengi. Tak ada
hentinya Garong Codet melepaskan sinar pemotong yang amat berbahaya itu. Mau
tak mau Ki Madang Wengi hanya bisa menghindar, karena ia tidak diberi
kesempatan untuk mendapatkan celah menyerang.
"Modar kau,
jahanaaam...!" Garong Codet berseru garang dengan suara serak, tanpa
pikirkan rasa sakitnya di tenggorokan. Mustika Serat Iblis tetap menghujani Ki
Madang Wengi secara bertubi-tubi, tapi manusia selincah petir itu sulit dikenai
anggota tubuhnya. Lebih dari sepuluh pohon menjadi sasaran sinar merah yang
mematikan itu. Lebih dari dua puluh batang menjadi terpotong-potong oleh
pantulan sinar Mustika Serat Iblis.
Ki Madang Wengi merasa
terdesak, ia tak punya harapan dapat menyerang, karena ketika ia mencoba
melepaskan pukulan tenaga dalam bersinar kuning untuk melawan sinar merah dan
terputus itu, ternyata sinar kuningnya kalah. Tak bisa menahan sinar merah
tersebut.
Merasa dirinya terdesak bahaya
yang tak bisa ditawar lagi itu, Ki Madang Wengi cepat melarikan diri tanpa
keluarkan sepatah kata pun. Hanya suara Garong Codet yang terdengar keras dan
serak.
"Ke mana pun kau lari
akan kukejar, Madang Wengi! Bangsaaat...!"
Ki Madang Wengi tak peduli
dikatakan bangsat, karena ia sedang cari selamat. Gerakannya yang cepat itu pun
tak bisa diikuti lawan.
* * *
6
PANTAI Tanjung Keramat suatu
tempat yang sunyi. Jauh dari kehidupan masyarakat pedesaan. Pantai itu banyak
dikelilingi oleh gugusan karang yang menggunung. Dua gugusan karang yang paling
besar tingginya antara tiga puluh tombak lebih. Dua gugusan karang itu
membentuk celah tebing yang berhadapan. Di tebing karang itu terdapat sebuah
tempat datar. Tempat datar itu terletak di depan sebuah gua bermulut lebar. Di
dalam gua itulah Tabib Awan Putih tinggal di sana sendirian.
Bekas seorang pendekar dari
dataran Cina itu kini telah mengasingkan diri dari keramaian duniawi, ia lebih
menekuni pengobatan dan meramu berbagai macam obat dari ramuan alam berupa
dedaunan pohon, akar pohon, kulit, daun, kayu, bunga, getah dan yang lainnya,
ia memasak obat-obatan itu di dalam gua, sehingga ciri khas Pantai Tanjung
Keramat adalah udara berbau rempah-rempah.
Tabib Awan Putih sudah berusia
sekitar delapan puluh tahun. Tapi tubuhnya masih segar dan gesit. Memang
sedikit bungkuk, tapi tidak membuat langkahnya tertatih-tatih. Rambutnya putih
tipis, agak gundul, matanya kecil tapi masih tajam memandang jarum jatuh di
tanah. Jenggotnya putih panjang, dan kumisnya yang putih itu melengkung ke
bawah melewati dagu. Ia mengenakan pakaian jubah putih. Semuanya serba putih
kecuali dua biji matanya yang punya warna hitam.
Suara tuanya masih terdengar
jelas, Tidak bergetar seperti suara orang awam seusia delapan puluhan, ia orang
yang berpenampilan tenang, walaupun kadang- kadang sering jengkel pada dirinya
sendiri jika melakukan kesalahan.
Rupanya hari itu sang tabib
sedang kedatangan tamu, yaitu seorang pemuda tampan berpakaian celana putih
dengan baju tanpa lengan berwarna coklat. Rambut pemuda itu tergerai panjang.
Lemas dan halus. Sorot matanya lembut dan hidungnya bangir. Ke mana pun pemuda,
itu berada ia selalu tak jauh dari bumbung bambu tempat tuak yang panjangnya
antara satu depa. Melihat bumbung tempat tuak itu, orang akan cepat
mengenalinya sebagai murid edan si Gila Tuak yang punya nama panggilan Suto
Sinting, dengan julukan Pendekar Mabuk.
Dia memang seorang peminum
tuak. Tapi tak pernah menjadi mabuk dan bikin onar. Julukan Pendekar Mabuk itu
diberikan oleh gurunya, karena dia punya gerakan jurus mirip orang mabuk. Tubuh
meliuk ke kanan kiri, sempoyongan ke sana-sini, tapi setiap gerak timbulkan
jurus dan melepaskan pukulan maut.
Ia dikatakan sinting karena
setiap gerakan jurusnya menghasilkan satu kejutan yang gila-gilaan. Kadang ia
terlihat diam saja, tapi sebenarnya sedang menyerang lawannya dengan jurus yang
membahayakan. Bahkan dalam keadaan bahaya pun Suto masih sempat menenggak
tuaknya dengan tenang, dan tuak itu ternyata menghasilkan satu kekuatan dahsyat
yang membuat orang terperangah terheran-heran. Belum lagi jika ia menghembuskan
napas Tuak Setan-nya, badai datang mengamuk dan menumbangkan apa saja yang ada
di depannya. Sungguh sinting ilmu yang dimiliki Suto, tapi toh tidak membuatnya
menjadi takabur ataupun sombong. Justru Suto banyak menahan diri dan mencari
perdamaian dengan lawannya siapa saja.
Hanya satu lawan yang tak bisa
diajak damai dan tak perlu ditawarkan perdamaian lagi, yaitu Siluman Tujuh
Nyawa. Tokoh sesat berilmu tinggi yang telah banyak menelan korban itu sedang
diburunya untuk dipenggal kepalanya. Bukan semata-mata dendam yang ada di hati
Pendekar Mabuk, bukan pula semata-mata kepala itu menjadi mas kawin bagi
pinangannya terhadap Dyah Sariningrum, Ratu Puri Gerbang Surgawi yang punya
panggilan Gusti Mahkota Sejati itu, tapi karena tugas menyelamatkan banyak jiwa
dari kekejaman Siluman Tujuh Nyawa, maka Suto memburu tokoh sesat berilmu
tinggi itu.
Hanya saja, kali ini
kedatangan Pendekar Mabuk ke Tanjung Keramat bukan untuk membicarakan tentang
Siluman Tujuh Nyawa, melainkan untuk membicarakan masalah Bunga Bernyawa (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pawang Jenazah"). Perempuan
cantik yang pernah menjadi sandera dan sekaligus gundik Laksamana Cho itu adalah
putri seorang kaisar di negeri Cina.
Sudah cukup lama Pendekar
Mabuk meninggalkan Bunga Bernyawa di Pegunungan Mahagiri bersama Mayang Suri,
bayinya, dan Eyang Juru Taman. Tentunya perempuan putri kaisar itu sudah ingin
pulang ke tanah kelahirannya. Pendekar Mabuk pernah berjanji akan mengatur
perjalanan pulangnya Bunga Bernyawa. Tapi sampai sekarang ia belum punya waktu
dan belum punya kapal yang bisa membawa pulang Bunga Bernyawa.
"Aku kenal ayah Bunga,
yaitu Kaisar Shiauw-ong alias si Raja Kecil itu," kata Tabib Awan Putih
sambil menghisap-hisap sebatang huncwe (pipa tembakau panjang), ia berjalan
mondar-mandir di depan Pendekar Mabuk. Kemudian lanjutnya,
"Tapi kalau aku
mengantarkan Bunga pulang ke sana, maka aku akan berhadapan dengan musuh
lamaku, Lim- ong, alias si Raja Hutan! Padahal aku sudah bersumpah untuk tidak
membunuh orang lagi, selain binatang. Aku pun tidak mau dibunuh begitu saja.
Sebab itu aku lebih tenang tinggal di pantai ini."
"Jadi, jelasnya kau
keberatan untuk mengantarkan Bunga Bernyawa pulang ke negerinya?!"
"Aku keberatan, Suto!
Kusarankan kau sewa kapal saja dan bawa sendiri gadis itu pulang ke negerinya!
Di sana kau pasti akan sangat dihargai karena dianggap sebagai pahlawan yang
bisa selamatkan putri kaisar!"
"Aku tak punya uang untuk
sewa kapal," kata Suto jujur apa adanya.
Tabib Awan Putih melepaskan
tawa terkekeh. Setelah menghisap satu kali pipanya itu, ia pun ucapkan kata,
"Aku punya kenalan
seorang saudagar yang punya kapal empat. Aku bisa pinjamkan kapal itu, karena
aku pernah tolong dia dan dia merasa berhutang nyawa padaku! Kalau kau mau,
segera kuhubungi sahabatku itu!"
"Tapi aku masih buta
pelayaran menuju Laut Cina, Tabib!"
"Hei hei hei...!"
Tabib Awan Putih mendekati Suto. "Kalau gurumu si Gila Tuak mendengar
ucapanmu ini, kamu pasti ditamparnya! Aku tahu watak sahabat lamaku yang jadi
gurumu itu, dia paling tidak suka dengan kata menyerah. Harus berusaha dulu,
setelah berulang kali gagal, baru boleh menyerah. Tapi bukan untuk kalah,
melainkan untuk cari kemenangan di jalur lain!"
Pendekar Mabuk tersenyum.
Agaknya orang berjubah putih ini tahu betul watak si Gila Tuak, gurunya.
Kemudian Suto berkata,
"Aku bukan menyerah,
Tabib. Aku hanya mengakui kebodohanku tentang pelayaran ke Laut Cina."
"Tapi nada bicaramu
berkesan menyerah, Suto Sinting! Itu tidak baik untuk jiwamu! Cobalah dulu bawa
kapal ke Laut Cinta, eh... ke Laut Cina! Cobalah dulu. Dan lagi, setahuku Bunga
Bernyawa pandai dalam ilmu jalur pelayaran, karena semua anak kaisar harus
menguasai jalur pelayaran laut!"
Pendekar Mabuk menarik napas,
ia teguk tuaknya kembali, sedangkan Tabib Awan Putih menghisap huncwe-nya
dalam-dalam, ia duduk di sebuah bangku kecil yang rendah, di depan sebuah
pelita menyala.
"Baiklah, akan kucoba
berlayar ke sana bersama Bunga Bernyawa!" ujar Suto setelah sama-sama
bungkam beberapa saat. "Lantas, kapan aku bisa mendapatkan kapal itu,
Tabib?!"
"Tiga hari lagi!"
"Mengapa tiga hari
lagi?"
"Perjalanan menuju tempat
sahabatku itu sudah memakan waktu satu hari satu malam. Belum lagi membawa
kapalnya kemari dan...."
Tiba-tiba Tabib Awan Putih
menghentikan ucapannya. Matanya melirik ke arah luar gua, sepertinya ada
sesuatu yang ia curigai. Suto mencoba mencari sesuatu yang dicurigai itu, tapi
ia tak temukan apa-apa. Hanya kesunyian yang ada di luar gua. Kemudian Suto pun
ajukan tanya,
"Ada apa, Tabib?"
"Ada orang menuju
kemari!"
"Dari mana kau
tahu?"
"Getaran nadinya
kurasakan mendekat kemari."
"Mungkin itu getaran nadi
binatang."
"Tidak sekeras ini
getaran nadinya. Hmmm... langkahnya pun langkah telapak kaki manusia!"
Tabib Awan Putih sipitkan matanya lagi. Setelah itu kembali tarik napas dan
bersikap biasa saja.
"Sampai mana percakapanku
tadi?" tanyanya kepada Suto.
"Sampai... sampai telapak
kaki manusia, Tabib!"
"Bukan. Soal kapal
tadi!"
"O, hmmm... yah, kurasa
aku memang harus segera hubungi Bunga Bernyawa. Aku siap berangkat ke Laut Cina
kapan saja. Terserah harinya, kau yang tentukan, Tabib. Sebab kau yang punya
kesanggupan menolong putri kaisar itu untuk mencarikan kapal!"
"Ya. Tapi menurutku,
kalau kau mau kawini Bunga Bernyawa, maka Bunga akan betah tinggal di sini,
Suto!"
Pendekar Mabuk tertawa kecil.
"Mengapa kau bilang begitu, Tabib?"
"Wanita-wanita ningrat
seperti Bunga Bernyawa itu sangat menyukai pemuda yang mempunyai ilmu tinggi
namun bijaksana, berjiwa ksatria dan berwajah tampan. Sedangkan semua itu
menurutku ada padamu, Suto!"
"Ah, tidak semudah itu,
Tabib! Cinta tidak datang dari sikap saja! Cinta adalah gerakan batin yang
sangat naluriah sekali, Tabib. Tak bisa diatur kedatangannya!"
"Atau... barangkali kau
sudah punya kekasih sendiri di negeri yang tak bisa dilihat mata orang
biasa?"
"Apa maksudmu,
Tabib?"
"Maksudku, kau punya
calon istri di alam gaib?"
"Di alam gaib? Mengapa
kau bicara soal alam gaib?" Pendekar Mabuk kerutkan dahi dalam lagak
bingungnya. Tabib Awan Putih tersenyum.
"Aku melihat noda merah
kecil di keningmu, Suto. Aku tahu, noda itu sebagai tanda bahwa kau bisa masuk
ke alam gaib. Dan satu-satunya negeri alam gaib yang pernah kudatangi sebagai
kunjungan persahabatanku ialah negeri Puri Gerbang Surgawi, yang dipimpin oleh
seorang ratu cantik bernama Ratu Kartika Wangi!"
Pendekar Mabuk sedikit
terkesiap dan menjadi tersipu. Ternyata Tabib Awan Putih itu memang tinggi
ilmunya. Dia bisa mengenal Gusti Ratu Kartika Wangi yang ada di alam gaib, yang
mempunyai negeri Puri Gerbang Surgawi. Sedangkan negeri Puri Gerbang Surgawi di
alam nyata ini dipegang oleh Dyah Sariningrum, calon istri Suto. Karena itu,
Suto Sinting hanya tersenyum-senyum saja saat Tabib Awan Putih membeberkan
tentang negerinya Gusti Ratu Kartika Wangi.
"Hanya orang terhormat
dan punya penghargaan tinggi yang diberi tanda merah di kening oleh Ratu
Kartika Wangi. Dia mempunyai dua putri, yaitu Betari Ayu dan Dyah Sariningrum.
Barangkali salah satu dari kedua anaknya itulah yang menjadi kekasihmu!"
"Aku tak bisa bohong di
depanmu, Tabib!" Pendekar Mabuk tersenyum kecil, menahan malu.
"Pantas kalau kau menolak
Bunga Bernyawa, karena kau punya kekasih salah satu dari anak Ratu Kartika
Wangi. Tapi kalau boleh aku tahu, yang mana kekasihmu itu, Suto?"
"Gusti Mahkota
Sejati," jawab Pendekar Mabuk menyebut nama julukan kekasihnya.
"O, itu julukan dari Dyah
Sariningrum!"
"Tak salah, Tabib!"
sambil Suto sunggingkan senyum bangga dan berbunga hatinya. Rupanya Tabib Awan
Putih banyak tahu tentang Puri
Gerbang Surgawi, sehingga hafal nama julukan Dyah Sariningrum. Kemudian Tabib
Awan Putih berkata,
"Sampaikan salamku kepada
Ratu Kartika Wangi jika kau jumpa dia kapan saja. Katakan bahwa...."
Ucapan Tabib Awan Putih
kembali terputus dengan sendirinya. Suto berkerut dahi dan berkata dalam hati,
"Mungkinkah ia takut banyak menceritakan dan sebut- sebut nama Gusti Ratu
Kartika Wangi...?" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Manusia Seribu Wajah").
Rupanya berhentinya kata-kata
itu segera disusul dengan bangkitnya Tabib Awan Putih dari tempatnya bersila.
Kemudian ia melangkahkan kaki ke mulut gua. Tepat kakinya ada di luar gua,
seorang wanita melompat dari atas dan mendaratkan kakinya di tempat datar, di
depan Tabib Awan Putih. Suto jadi tertarik dan ikut keluar.
Kedua mata wanita cantik itu
memandang mata Pendekar Mabuk. Ada rasa debaran aneh di dalam hatinya yang
membuat ia pun jadi resah serta sedikit gugup. Tapi cepat-cepat ia alihkan
pandangan kepada Tabib Awan Putih, sehingga kegugupannya yang aneh itu menjadi
hilang.
Wanita cantik yang datang
dengan melalui jalan curam itu berpakaian merah tembaga terang, bertahi lalat
kecil di bawah mata kiri, menyandang pedang di pinggangnya. Siapa lagi yang
bertahi lalat kecil di bawah mata kirinya itu jika bukan Roro Manis, murid
Eyang Danujaya? Tetapi agaknya Tabib Awan Putih tidak mengenalinya, sehingga ia
sedikit kerutkan dahi dalam memandang. Sedangkan Suto Sinting diam membatin
dalam hati,
"Mungkin wanita ini yang
denyut nadi dan langkah kakinya dirasakan oleh Tabib Awan Putih. Benar-benar
kagum aku pada Tabib Awan Putih. Bukan hanya indera keenamnya yang tajam, tapi
ia juga bisa menerka isi hatiku. Hm... sebaiknya kusimak dulu apa perlunya
gadis cantik itu datang kemari. Sepertinya, Tabib Awan Putih merasa asing
dengan gadis itu!"
Benar dugaan Suto, buktinya
tabib segera ajukan tanya kepada gadis itu, "Siapa dirimu, Nona?"
"Namaku Roro Manis. Aku
dari padepokan desa Sambiroto, murid Eyang Guru Danujaya."
"Danujaya...?!"
tabib menggumam agak bingung. "Silakan masuk!" Ia melangkahkan kaki
lebih dulu masuk ke dalam gua yang penuh dengan guci obat dan kotak
rempah-rempah.
Roro Manis sempat melirik
Pendekar Mabuk lagi ketika melangkah masuk. Suto sunggingkan senyum dan ucapkan
kata,
"Namaku Suto
Sinting!"
"Aku belum berminat
menanyakannya!" Roro Manis berlagak ketus. Padahal hatinya berdebar indah
mendengar nama pemuda tampan itu. Ia melanjutkan kata, "Aku masih butuh
bicara dengan Tabib Awan Putih!"
Pendekar Mabuk tertawa dalam
gumam. Kemudian ia biarkan Roro Manis masuk mengikuti langkah Tabib Awan Putih.
Suto sendiri membuka bumbung tuak dan menenggak tuaknya beberapa teguk. Setelah
itu ia kembali pusatkan perhatian kepada pembicaraan Roro Manis dengan Tabib
Awan Putih.
"Apa perlumu datang
kemari, Roro Manis?"
"Untuk menemui Tabib Awan
Putih."
"Akulah orang yang kau
cari. Dari mana kau mengenalku?"
"Ki Madang Wengi menyuruhku
datang kemari."
"O, Madang Wengi?! Ya ya
ya...!" tabib manggut- manggut sambil sunggingkan senyum mengenang Madang
Wengi. Ia segera lanjutkan kata,
"Sudah hampir sepuluh
tahun aku tidak jumpa dengan Madang Wengi. Bagaimana kabarnya?"
"Dia dalam keadaan baik,
Tabib. Sekarang dia sedang mengawasi bekas kekasihnya semasa muda...."
"Nyai Komprang,
maksudmu?" potong tabib dengan cepat.
"Benar, Tabib!"
"He he he...! Kudengar
belakangan ini mereka saling bermusuhan!"
"Memang, Tabib. Tapi
agaknya bukan musuh bebuyutan! Terbukti Ki Madang Wengi masih sempat cemaskan
Nyai Komprang saat Nyai Komprang mau temui Garong Codet!"
"Garong Codet...?!
Maksudmu, si perampok dari tanah seberang itu, Roro Manis?"
"Betul, Tabib!"
jawab Roro Manis dengan tegas tapi sopan.
"Ada persoalan apa Nyai
Komprang sampai berurusan dengan Garong Codet itu? Ilmu Nyai Komprang jauh
lebih tinggi, mau-maunya dia berurusan dengan anak kemarin sore?!"
"Nyai Komprang yakin
kedua muridnya dipenggal oleh Garong Codet! Dan saya pun berpendapat begitu,
karena penggalan kepala di kedua murid Nyai Komprang tidak semburkan darah
sedikit pun. Penggalan itu sama persis dengan penggalan kepala tiga saudara
seperguruanku dan bahkan Eyang Guru sendiri juga dipenggal oleh Garong Codet!
Itulah sebabnya Nyai Komprang mau menuntut balas kepada Garong Codet. Tapi Ki
Madang Wengi cemaskan jiwa Nyai Komprang!"
"Mengapa Madang Wengi
cemaskan jiwa Nyai Komprang? Bukankah dia tahu Nyai Komprang berilmu
tinggi?!"
"Karena Garong Codet
bersenjatakan Mustika Serat Iblis!"
"Hah...?!" Tabib
Awan Putih tersentak kaget hingga mulutnya terbengong melongo. Sedangkan
Pendekar Mabuk diam saja, karena dia tidak tahu kehebatan Mustika Serat Iblis.
Tapi dia jadi sangat tertarik begitu melihat Tabib Awan Putih tersentak kaget.
Pendekar Mabuk pun mendekatkan diri tapi tetap tidak ikut bicara.
"Mana mungkin batu
Mustika Serat Iblis bisa dimiliki Garong Codet...?!" Tabib Awan Putih
bicara seperti pada dirinya sendiri.
"Aku melihatnya sendiri,
Tabib! Bahkan aku hampir saja menjadi korban keganasan Mustika Serat
Iblis!" kata Roro Manis. "Aku melarikan diri kepada Ki Madang Wengi.
Lalu, Ki Madang Wengi menyuruh aku kemari untuk meminjam Perisai Naga Bening
darimu, Tabib!"
Tabib Awan Putih diam tertegun
beberapa saat lamanya. Karena suasana menjadi sunyi, maka Pendekar Mabuk yang
mulai penasaran dengan berita tentang mustika tersebut, segera ajukan tanya
kepada Tabib Awan Putih,
"Apa kehebatan Mustika
Serat Iblis itu, Tabib?'
"Bisa memotong baja
setebal apa pun! Pantulan cahayanya sangat berbahaya. Mustika itu hanya
dimiliki pada seekor harimau berbulu merah api. Harimau itu sudah berusia
ribuan tahun, dan empedunya menjadi batu warna merah. Jika terkena pantulan
cahaya apa saja, bisa memotong benda apa pun, termasuk tubuh manusia. Di dunia
ini hanya ada tiga harimau berbulu merah api, dan ia tidak berkembang biak
seperti hewan lainnya. Tak ada yang bisa menahan pantulan sinar yang membias
lewat batu Mustika Serat Iblis selain Perisai Naga Bening .... "
"Menurut Ki Madang Wangi,
perisai itu adalah milikmu, Tabib!"
"Ya. Benar.
Tapi...," suara itu melemah, "Tapi perisai itu telah hilang. Jatuh di
tengah lautan saat aku bertarung melawan Durmala Sanca...."
"Siluman Tujuh
Nyawa?!" sahut Suto tegang.
"Ya. Benar. Kau
mengenalnya, Suto?"
"Aku bukan mengenalnya,
tapi memburunya! Rupannya kita punya musuh yang sama, Tabib!"
"Ya. Tapi itu dulu.
Sekarang aku tak punya minat untuk membunuh Durmala Sanca! Karena memang aku
sudah tidak mau membunuh lagi!"
Roro Manis agak kesal karena
percakapannya dialihkan ke masalah Siluman Tujuh Nyawa. Maka segera ia ajukan
tanya,
"Jadi mengenai Perisai
Naga Bening itu bagaimana, Tabib?"
Tabib segera pandangi Roro
Manis dan berkata, "Perisai itu terkubur di dasar lautan. Aku kehilangan
perisai itu sekitar sepuluh tahun yang lalu."
"Ah, sayang sekali!
Padahal Garong Codet sedang mencari tumbal untuk mustika itu," kata Roro
Manis, "Ia butuh tumbal sejumlah...."
"Tiga puluh tiga
kepala," sahut Tabib Awan Putih dengan cepat. Roro Manis berdecak kagum
dan tak bicara sesaat. Karena ternyata Tabib Awan Putih lebih banyak tahu
tentang Mustika Serat Iblis daripada yang lainnya. Tabib Awan Putih pun
melanjutkan ucapan katanya,
"Garong Codet tak akan
berhenti mencari tumbal sebelum purnama muncul! Jika sebelum purnama muncul ia
sudah mendapatkan tiga puluh tiga kepala orang sakti, maka Mustika Serat Iblis
itu akan menjadi miliknya. Selamanya ia akan memiliki pusaka itu. Walau dibuang
ke kutub utara tetap saja batu mustika itu akan kembali sendiri kepadanya! Tapi
jika sebelum purnama tiba ia tidak bisa mendapatkan tiga puluh tiga kepala
tumbal, maka kepalanya sendiri yang akan meledak hancur sebagai korban
penghabisan!"
"Padahal dia sekarang
sedang mengejarku, Tabib!" ucap Roro Manis dengan nada cemas.
"Kalau begitu kau harus
bersembunyi! Kau tidak bisa melawan kekuatan Mustika Serat Iblis itu. Aku pun
tak akan bisa melawannya! Satu-satunya cara untuk melawannya adalah bersembunyi
serapi mungkin, sambil tunggu purnama lewat. Jika purnama telah lewat,
seandainya mustika itu tetap ada di tangan Garong Codet, itu tidak terlalu
membahayakan jiwamu! Karena Garong Codet tidak akan memburu tumbal dengan
membabi buta. Hanya jika ada orang yang terlibat bentrok dengannya saja ia akan
menggunakan mustika itu. Jika tidak ada masalah dengannya, ia tak perlu
memenggal kepala orang itu karena tidak diburu jumlah tumbal yang harus
diperolehnya!"
Tabib Awan Putih memandang
Pendekar Mabuk dan berkata, "Kau pun bisa dibunuhnya jika ia tahu kau
orang berilmu tinggi, Suto! Kusarankan, kalian berdua bersembunyilah di suatu
tempat yang aman. Jangan di sini! Karena kalau dia mengamuk di sini, aku akan
jadi korban yang sia-sia!"
"Jadi ke mana tempat yang
baik menurutmu untuk bersembunyi?"
"Bawa perempuan ini ke
Gua Mulut Dewa! Di sana kalian akan lebih aman," kata Tabib Awan Putih
setelah berpikir sejenak.
Lalu Suto berkata,
"Aku setuju saja. Tapi
bagaimana dengan Roro Manis? Apakah dia mau kubawa bersembunyi ke sana?!"
Roro Manis memandang Pendekar
Mabuk dengan mata tak berkedip. Lalu terdengar kata-katanya yang sengaja dibuat
ketus,
"Aku masih bisa
bersembunyi sendiri!"
Tabib Awan Putih menyahut
kata, "Jangan sendirian! Kau perlu pelindung yang mampu melarikan dirimu secepat
setan! Dia, si Pendekar Mabuk ini, punya kesanggupan bergerak seperti
setan!"
"Barangkali memang dia
setan asli, Tabib!"
Tabib Awan Putih hanya
sunggingkan senyum kecil. Katanya,
"Pergilah kalian ke Gua
Mulut Dewa! Jangan tunggu lama-lama! Karena sifat orang yang memegang Mustika
Serat Iblis dan sedang mencari tumbal adalah mengejar orang berilmu tinggi yang
sudah telanjur dipergokinya! Lekaslah kalian pergi, dan jangan sekali-kali
melawannya!"
Kepada Pendekar Mabuk, orang
tua itu berkata, "Bumbungmu tak akan mampu menahan sinar merah dari
Mustika Serat Iblis. Jadi lebih baik menghindar jika berjumpa si Garong
Codet!"
"Baiklah, aku mengerti
maksudmu, Tabib! Rasanya memang lebih baik aku berangkat sekarang juga!
Terserah perempuan ini mau ikut aku atau mau sumbangkan kepalanya kepada Garong
Codet!"
Roro Manis segera bangkit dan
berkata, "Kalau aku ke Gua Mulut Dewa bukan berarti aku mengikuti
langkahmu, tapi aku ikuti saran Tabib Awan Putih!"
Pendekar Mabuk hanya angkat
bahu. "Kalau di perjalanan kau kepergok Garong Codet, jangan minta bantuan
padaku!"
"Aku tidak akan minta
bantuan sedikit pun padamu! Tapi apakah kau tega melihat kepalaku
terpenggal?"
"Kenapa tidak?"
jawab Pendekar Mabuk seenaknya. Roro Manis pun tertegun menahan dongkol, ia
sengaja ketuskah diri di depan Suto, untuk menutupi perasaannya yang menjadi
tertarik dan berdebar-debar indah, ia perlukan sikap ketus supaya dirinya tidak
dianggap wanita murahan. Tapi sebenarnya ia berharap Pendekar Mabuk tetap
melindungi dirinya dari serangan Garong Codet yang amat membahayakan itu.
*
* * 7
SALAH satu sebab mengapa
Pendekar Mabuk memikirkan Mustika Serat Iblis karena timbulnya perasaan cemas
di dalam hatinya. Mustika itu adalah senjata berbahaya yang sukar dicari
tandingnya. Satu- satunya tandingan Mustika Serat Iblis adalah Perisai Naga
Bening. Tapi perisai itu sudah hilang dan terkubur di dasar lautan. Hal itu
secara tak langsung telah membuat Mustika Serat Iblis merupakan senjata
terampuh dan tak bisa
dikalahkan.
Senjata seperti itu jelas tak
akan luput dari incaran Siluman Tujuh Nyawa. Tokoh tua yang sesat dan masih
berwajah muda itu jelas akan berusaha mendapatkan Mustika Serat Iblis untuk
melawan Pendekar Mabuk, yang dianggap sebagai musuh terberatnya.
Karenanya, di dalam otak Suto
terjadi suatu pergolakan tentang mencari cara untuk meleburkan Mustika Serat
Iblis agar tidak jatuh ke tangan Siluman Tujuh Nyawa. Setidaknya Suto harus
bisa merebut mustika itu sebelum orang lain mendahuluinya. Tetapi, mengingat
nasihat Tabib Awan Putih, Suto menjadi ragu untuk menghadapi Garong Codet.
Apalagi Tabib Awan Putih sudah kasih peringatan, bahwa bumbung tuak Pendekar
Mabuk yang dikenal ampuh bisa mengembalikan serangan lawan dengan lebih besar
dan lebih cepat bergeraknya itu, tidak bisa untuk menangkis sinar dari Mustika
Serat Iblis, ini membuat Suto berpikir, harus dengan apa ia melawan kekuatan
mustika tersebut.
Satu-satunya cara yang
ditemukan Suto adalah menantang pertarungan dengan Garong Codet di tempat
gelap. Sebab di tempat gelap mustika itu tidak akan memperoleh sinar dan tidak
bisa pantulkan cahaya mautnya kepada lawan. Tetapi, tempat gelap yang mana yang
bisa dijadikan pertarungan? Malam hari pun masih bisa hadirkan cahaya walau
dari bintang atau rembulan, atau mungkin nyala api dari pelita. Tempat yang
paling bagus adalah ruangan tertutup tanpa cahaya apa pun. Dan ruangan tertutup
itu agaknya adalah sebuah gua lebar yang jauh dari mulutnya. Mungkin tempat
yang cocok untuk mengadakan pertarungan itu ialah Gua Mulut Dewa?
Ki Madang Wengi tak tahu kalau
Roro Manis pergi ke Gua Mulut Dewa bersama murid si Gila Tuak itu. Ki Madang
Wengi menyangka Tabib Awan Putih masih memiliki Perisai Naga Bening. Karenanya,
pelarian Ki Madang Wengi menuju ke arah Pantai Tanjung Keramat. Sementara itu,
Garong Codet tetap mengejarnya, karena ia punya dendam tersendiri atas matinya
Tikus Ningrat di tangan Ki Madang Wengi.
Tabib Awan Putih merasa tak
enak hati sejak hari kepergian Roro Manis dengan Pendekar Mabuk. Karenanya,
pagi itu Tabib Awan Putih sengaja berdiri di pesisir pantai, pandangi lautan
lepas yang membiru dengan gelombangnya yang tak seberapa besar. Jubah putihnya
dibiarkan tertiup angin hingga berkelebat- kelebat ke belakang.
Menjelang siang, apa yang
dicemaskan hatinya benar-benar terjadi. Ki Madang Wengi tampak berlarian menuju
ke arahnya. Tabib Awan Putih sudah siap menyambut kehadiran sahabat lamanya
itu. Ketika Ki Madang Wengi tiba di depannya, Tabib Awan Putih segera berkata,
"Roro Manis telah
menceritakan segalanya!"
"O, ya..!
Syukurlah...!" Madang Wengi terengah- engah, ia merogoh tempat kantung
kulit dan mengeluarkan sisa singkong bakar, lalu mengunyahnya.
" Sekarang Roro Manis
pergi bersama murid si Gila Tuak ke Gua Mulut Dewa! Kusuruh mereka bersembunyi,
di sana!"
"Mengapa?"
"Karena Perisai Naga
Bening sudah tak ada padaku!"
"O, sial!" Ki Madang
Wengi menggeram sendiri dengan jengkelnya. "Ke mana perisaimu itu, Awan
Putih?"
"Jatuh di tengah lautan
sepuluh tahun yang lalu! Mungkin sekarang sudah terkubur di dasar lautan!"
"Di lautan yang mana?
Akan kucari perisai itu!"
Tabib Awan Putih
menggeleng-gelengkan kepala, ia masih pegangi pipa tembakau yang panjang itu.
Sekalipun bara apinya telah padam, namun sisa tembakau masih dihisap-hisapnya
lewat ujung pipa.
"Pekerjaan mencari
Perisai Naga Bening adalah pekerjaan yang sia-sia, Madang Wengi! Saranku,
cepatlah susul Roro Manis dan Suto Sinting ke Gua Mulut Dewa! Bersembunyilah di
sana sampai purnama lewat. Karena jika Garong Codet mengejar kalian ke dalam
gua itu, maka kekuatan Mustika Serat Iblis akan pudar. Tak akan bisa
memantulkan sinar, asal kalian jangan menyalakan obor di dalam gua sana!"
Ki Madang Wengi kembali
melahap singkong bakarnya, ia diam sesaat, pandangi lautan lepas. Kejap berikut
terdengar suaranya berkata dengan lemah,
"Nyai Komprang mati
terpenggal, dia bekas kekasihku! Aku masih suka padanya! Cuma karena dia
cerewet dan tidak mau mengalah dalam semua hal, aku jadi sebal dengannya!
Satria Tangkas, muridku sendiri, juga tewas terpenggal oleh mustika itu!
Haruskah aku lari sembunyi dan takut mati?"
"Sembunyi bukan berarti
takut mati, Madang Wengi! Sembunyi adalah mencari kemenangan di hari nanti!
Sekarang kau tak akan bisa mengalahkan Garong Codet, karena inderanya menjadi
peka terhadap orang berilmu tinggi yang diburu-burunya. Pada saat itulah kau punya
kesempatan untuk melawannya!"
"Maksudmu, memanfaatkan
kelemahannya?"" "Tepat! Jadi, ada baiknya jika kau susul Roro
Manis ke Gua Mulut Dewa! Pergilah ke sana sebelum Garong Codet temukan
dirimu."
"Kenapa kau sendiri tidak
bersembunyi ke sana?" "Aku tak punya urusan dengan Garong Codet!
Kalau toh ia datang temui aku, aku harus bisa menjadi orang bodoh tanpa ilmu
apa pun! Kurasa dia tak akan memenggal kepalaku jika ia tahu aku tak berilmu
apa pun. Kadang-kadang orang bodoh pun bisa selamat dari maut, mengapa orang
pandai tidak bisa?!"
Ki Madang Wengi diam terpekur
di atas sebuah batu. Mulutnya masih mengunyah makanan, matanya memandang lurus
ke arah lautan. Lalu, Tabib Awan Putih yang berjarak enam langkah darinya itu
segera mendekati dan berkata pelan,
"Cepatlah pergi dan
bersembunyi! Kurasa orang yang mengejarmu sebentar lagi datang!"
Ki Madang Wengi dongakkan
kepala memandang wajah Tabib Awan Putih. Sebelum Madang Wengi ucapkan kata,
Tabib Awan Putih sudah bicara,
"Kurasakan getaran
nadinya semakin mendekat. Lekaslah bersembunyi supaya kau selamat!"
"Aku masih ragu untuk
bersembunyi atau membela kematian muridku!"
"Jangan menjadi bodoh
karena otak ceroboh! Jangan menjadi dungu karena dendam yang membelenggu!
Pembalasan akan tiba saatnya sendiri, tidak harus kapan hati berkehendak untuk
membalas diri."
Kembali merenung Madang Wengi,
tapi Tabib Awan Putih semakin cemas, ia merasakan getar nadi seseorang semakin
mendekat. Karena dilihatnya Madang Wengi masih saja diam tak bergerak, maka
Tabib Awan Putih pun segera menyodokkan pipa panjangnya ke pinggang Madang
Wengi. Duhgg!
Ki Madang Wengi seketika itu
mengejang dengan mata mendelik Tubuhnya membujur kaku. Mulutnya ternganga, ia
telah bertotok jalan darah utama melalui sodokan pelan pipa panjang itu. Ia tak
bisa bergerak apa- apa lagi, walaupun ia mendengar suara apa pun yang ada di
sekitarnya.
Tubuh yang kaku itu segera
diangkat oleh Tabib Awan Putih. Lalu, kaki kirinya menghentak pelan ke tanah,
dan tiba-tiba tubuh Tabib Awan Putih melesat naik dalam satu ketinggian yang
hampir mencapai pucuk pohon kelapa. Sebelum itu, kaki kanan Tabib Awan Putih
cepat sentakkan lagi ke salah satu batang pohon kelapa yang terdekat. Wuttt...!
Kembali tubuh itu melesat
lebih tinggi ke arah samping. Dan kejap berikutnya ia sudah hinggap di atas
pohon kelapa. Di sana tubuh Ki Madang Wengi disembunyikan. Tubuh itu
dibaringkan pada jajaran pelepah daun kelapa. Setelah itu, Tabib Awan Putih
melesat turun lagi dengan gerakan ringan bagai seekor bangau hendak hinggap ke
kubangan. Wusttt...!
Kejap selanjutnya kaki Tabib
Awan Putih telah memijak tanah tempatnya berdiri tadi. Ia mendongak ke atas
sebentar, ternyata tubuh Ki Madang Wengi tidak terlihat dari bawah. Selain
pohon kelapa itu berbuah banyak, juga berdaun rimbun. Tubuh Madang Wengi
tertutup rapat oleh pelepah daun dan buah kelapa yang menggerumbul.
Tak berapa lama kemudian,
muncul dua sosok manusia berwajah angker. Walaupun wajah itu sudah tercukur
gundul dan berambut trondol, tapi kesan angker masih terlihat dari tonjolan
tulang pipi dan rahang yang besar. Mereka tak lain ialah Garong Codet dan Setan
Culik.
Rupanya keadaan Setan Culik
sudah lumayan dari luka dalam akibat pukulan maut Ki Madang Wengi itu. Garong
Codet telah menyalurkan hawa dingin ke tubuh Setan Culik, sehingga luka pukulan
itu bisa ditawarkan. Garong Codet memang bisa selamatkan Setan Culik, tapi ia
tak bisa selamatkan Tikus Ningrat. Kematian Tikus Ningrat itulah yang membuat
Garong Codet semakin penasaran mengejar Ki Madang Wengi untuk dibunuhnya.
Melihat kehadiran dua orang
yang sudah diperkirakan itu, Tabib Awan Putih tetap berdiri tegak di tepi
pantai memandang ke arah laut. Sikap berdirinya tak tampak kekar. Kedua kakinya
merapat, satu tangan dilipat di dada, tangan yang satunya menopang dagu.
Kepalanya sedikit miring dengan wajah dibuat lesu, mata dibuat sayu.
"Setan Culik! Menurutmu
apakah kita salah arah mengejar orang berbaju biru dan berjubah abu-abu
tadi?!" tanya Garong Codet.
"Kurasa tidak! Arahnya
pasti ke pantai ini!"
"Tapi mengapa dia
menghilang? Ke mana lagi larinya?" sambil berkata demikian mata Garong
Codet mengarah ke Tabib Awan Putih. Kemudian Garong Codet berbisik,
"Menurutmu, siapa orang
berbaju putih di sana itu?"
"Aku tidak kenal
dengannya. Mungkin dia tokoh sakti!" jawab Setan Culik. "Coba kita
dekati dan kita uji kemampuannya!"
Keduanya bergegas menemui
Tabib Awan Putih. Sekalipun Tabib Awan Putih tahu kedua orang itu mendekat satu
dari kiri dan satu dari kanan, tapi ia tetap dalam posisinya berdiri bagai
orang sedang merenung sedih. Wajah murungnya semakin terlihat jelas.
"Pak Tua," kata
Garong Codet dengan suara pelan, karena memang tenggorokannya tak bisa dipakai
mengeluarkan suara bentakan.
Mendengar teguran itu, Tabib
Awan Putih memandang Garong Codet. Matanya tetap sayu mirip seorang peminum
yang sedang mabuk. Pipa tembakaunya diselipkan di pinggang.
"Apa yang kau lakukan di
sini, Pak Tua?" tanya Garong Codet.
"Menunggu
kekasihku," jawab Tabib Awan Putih dengan suara pelan bagaikan lemas
karena menahan lapar.
"Ke mana kekasihmu?"
"Jauh...!" jawabnya.
"Jauh ke mana?!"
sentak Setan Culik.
"Pergi!"
"Ke lautan?"
"Seberang," jawab
Tabib Awan Putih dengan lemah.
Setan Culik segera menjelaskan
pada Garong Codet. "O, dia menunggu kekasihnya yang pergi jauh ke seberang
lautan!"
"Sejak kapan
perginya?" tanya Garong Codet.
"Jauh."
"Iya. Pergi jauhnya sejak
kapan!" sentak Setan Culik agak jengkel.
"Lama."
"Dua hari?"
"Lewatlah hari,"
jawab Tabib Awan Putih.
"Dua bulan?"
"Lewatlah bulan."
"Dua tahun?"
"Lewatlah dua!"
"Sepuluh tahun?"
Tabib Awan Putih diam,
memandang bengong. Lalu menghitung jarinya sendiri dengan mulut umik-umik.
Setelah itu menjawab,
"Dua puluh...."
"Dua puluh tahun?!"
Setan Culik mendelik.
"Lama," jawab Tabib
Awan Putih.
"Lama sekali itu! Dan kau
tetap tunggu kekasihmu di sini?"
"Janji," jawab Tabib
Awan Putih lagi.
"Oo..., maksudnya
kekasihmu sudah berjanji mau kembali, tapi sampai dua puluh tahun kau menunggu
di sini dia belum kembali?"
"Kasihan."
"Siapa yang
kasihan?"
"Aku," jawab Tabib
Awan Putih.
Kemudian setelah bicara
begitu, ia kembali bertopang dagu seperti sikap semula, seakan menunggu
kedatangan kapal yang membawa kekasihnya pulang padanya.
Setan Culik miringkan jari
tangan di kening sambil pandangi Garong Codet. "Gila...!" ucapnya
pelan. Garong Codet mengangguk. Tapi segera ajukan tanya kepada Tabib Awan
Putih,
"Kau lihat orang berjubah
abu-abu lewat ke sini?!"
Tabib Awan Puti berkerut dahi.
Garong Codet menjelaskan ciri-ciri Madang Wengi, "Badannya agak gemuk,
rambutnya putih, botak tengahnya, agak pendek, membawa senjata bambu kuning
yang runcing!"
"Bukan," jawab Tabib
Awan Putih.
"Bukan bagaimana?"
tanya Setan Culik.
"Bukan kekasihku!"
Setan Culik agak membentak,
"Yang kami tanyakan memang bukan kekasihmu, tapi seseorang berjubah abu- abu!"
"Lari," jawab Tabib
Awan Putih datar dan pelan.
"Lari ke mana...?!"
geram Setan Culik. "Ke mana?"
"Jauh!"
"Arahnya ke
mana...?!" geram Setan Culik.
"Ke sana!" Tabib
menuding arah sembarangan.
"Sudah lama?"
Tabib menghitung tangannya
lalu menjawab, "Dua puluh ........... "
"Dua puluh tahun?!"
Setan Culik kembali mendelik.
"Dua puluh napas,"
jawabnya.
Setan Culik bicara kepada
Garong Codet, "Dua puluh helaan napas kira-kira. Berarti baru saja dan
belum jauh! Masih ada waktu untuk mengejarnya, Garong!"
"Baik! Kita segera kejar
dia!"
Garong Codet menepuk punggung
Tabib Awan Putih sambil berkata, "Terima kasih, Tua Gila!"
Plok...! Brukk...! Tubuh Tabib
Awan Putih jatuh tersungkur. Tepukan itu dirasakan bukan tepukan kosong, tapi
bertenaga dalam. Tabib Awan Putih tak mau melawan tepukan tenaga dalam itu. Ia
sengaja kosongkan diri sehingga jatuh tersungkur dengan kerasnya.
"Dia memang bukan orang
berilmu! Buktinya kutepuk pelan saja sudah jatuh tersungkur begitu
kerasnya!" kata Garong Codet kepada Setan Culik. Dan Setan Culik menjawab,
"Sudah kubilang dia hanya
orang gila karena putus asa menunggu kepergian kekasihnya! Jadi tuanya bukan
karena tua berilmu, tapi tua
dimabuk rindu!"
Samar-samar percakapan itu
terdengar oleh telinga Tabib Awan Putih. Dan Tabib Awan Putih tetap tak mau
bangun lekas-lekas. Namun begitu Garong Codet dan Setan Culik menjauh, ia cepat
bangkit dan berucap kata,
"Benar apa kata Roro
Manis. Orang itu membawa Mustika Serat Iblis! Untung aku berpura-pura gila dan
kosong ilmu! Jika tidak, habislah kepalaku dipenggalnya!"
* * *
8
TANPA disengaja arah yang
dituju Garong Codet adalah lembah yang mengarah ke Gua Mulut Dewa. Sekalipun
jaraknya masih jauh dari gua tersebut, tetapi hal itu cukup membahayakan bagi
Roro Manis dan Pendekar Mabuk. Bukan hal yang mustahil jika dalam upayanya
mengejar Ki Madang Wengi akhirnya Garong Codet akan sampai pula ke gua tersebut.
Namun agaknya Garong Codet tak
menyadari bahwa pengejarannya terhadap Ki Madang Wengi sekarang sudah menjadi
lain. Ada sosok hitam yang mengikutinya sejak dari pantai. Sosok hitam itu
sudah ada di pantai sebelum Garong Codet dan Setan Culik datang. Sosok hitam
itu juga menyadap pembicaraan Tabib Awan Putih dengan Ki Madang Wengi. Setan
Culik hanya merasa tak enak dalam hatinya ketika Garong Codet
menghentikan langkah dan
ucapkan kata,
"Di sini udaranya sangat
panas. Kita cari tempat meneduh sementara. Rasa-rasanya napasku makin lama
semakin tipis. Sesak sekali dihelanya. Aku tak kuat mengejar orang berjubah
abu-abu itu!"
"Napasmu semakin sesak?
Rasanya udara makin panas? Ah, menurutku tidak!" kata Setan Culik.
"Udara justru semakin sejuk. Dan kulihat tak biasanya kau mengeluh sesak
napas! Kau termasuk orang yang bernapas panjang, Garong!"
"Mungkin karena pengaruh
luka di tenggorokanku ini!" ucapnya pelan sambil mengusap tenggorokan yang
bernoda biru kehitaman.
"Kalau kita istirahat,
kita bisa kehilangan orang itu, Garong! Orang itu pasti lari terus tanpa
berhenti!"
"Biarlah! Biar dia lepas.
Masih banyak orang sakti lainnya yang bisa kita jadikan tumbal!"
Setan Culik hanya membatin,
"Biasanya ia tak semudah ini untuk menyerah. Tapi mengapa dia sepertinya
mulai lemah? Apakah benar karena pengaruh luka akibat pukulan toya di
tenggorokannya itu?"
Dalam masa bungkamnya itu,
Garong Codet mulai melepas Cincin Mustika Serat Iblis dari tangannya. Cincin
itu diamat-amati beberapa saat, kemudian ia ucapkan kata kepada Setan Culik.
"Rasa-rasanya aku capek
memakai cincin ini. Mengganggu kebebasan bergerakku!"
"Kau ini aneh-aneh saja!
Itu cincin maut. Jangan kau lepas sembarangan. Nanti ada orang melihatnya bisa
direbut begitu aja!"
"Entah mengapa tiba-tiba
aku ingin sekali membuang cincin ini!"
"Edan kamu ini!"
sentak Setan Culik. "Ada apa dengan hatimu? Mengapa kamu tiba-tiba
mempunyai niat seperti itu? Pasti ada yang tak beres dalam jiwamu, Garong! Ayo
lekas pakai cincin itu!"
"Tapi...."
"Pakailah! Pakai dulu
nanti kita bicarakan sesuatu yang ganjil!"
"Tentang apa itu, Setan
Culik!"
"Pakailah dulu cincinmu!"
desak Setan Culik. Dan dengan perasaan malas cincin itu pun dikenakan kembali
oleh Garong Codet. Setan Culik pun segera berkata dengan suara pelan.
"Dengar, ada sesuatu yang
kurasakan tak beres dalam pikiranmu! Sesuatu itu telah mempengaruhi jalan
pikiranmu untuk melepas cincin itu! Kau harus melawan perasaan seperti itu! Kau
harus bertahan kenakan cincin itu! Tumbal sudah banyak kau peroleh, tinggal
satu lagi! Menurut perhitunganku, tinggal satu kepala lagi yang harus kamu
dapatkan. Padahal esok malam sudah malam bulan purnama!"
"Seingatku memang sudah
mencapai tiga puluh dua tumbal sejak terpenggalnya nenek tua itu!" kata
Garong Codet.
"Benar. Tapi mengapa
susah-payahmu itu akan kau sia-siakan dengan tidak ingin menggunakan cincin
mustika itu lagi? Padahal kau mencarinya sangat susah payah! Kau telah
bertarung dengan harimau merah api itu. Nyaris nyawamu jadi korban! Karena itu,
pertahankan terus batu Mustika Serat Iblis itu! Jangan merasa malas
memakainya!"
Garong Codet merenungkan
kata-kata Setan Culik. Kejap berikutnya dia berkata, "Aku mempunyai
perasaan benci terhadap cincin ini, Setan Culik! Benci dengan warna
merahnya!"
"Lawan perasaan bencimu
itu, Garong! Lawan terus! Sadarlah bahwa perasaan benci itu datang karena
hatimu dipengaruhi oleh kekuatan gaib yang tidak kau sadari! Sekarang sadarilah
bahwa kekuatan gaib itu menghendaki kau benci kepada warna merah di batu itu!
Padahal warna merah itu sangat bagus dan menjadi kebanggaanmu! Kau harus pakai
terus mustika itu supaya kau merajai seluruh rimba persilatan!"
Dengan suara pelan lagi Garong
Codet berucap kata, "Rasa-rasanya aku tak mau penggal orang lagi! Tanganku
sudah berlumur darah dan harus segera berhenti dari tindakan seperti itu,
dan...."
Buhkkk...! Setan Culik
memukulkan telapak tangannya ke dada Garong Codet. Pukulan itu cukup keras dan
cepat, sehingga Garong Codet terjengkang ke belakang dan berguling satu kali.
Baru saja Garong Codet
mengangkat kepalanya, tiba- tiba tendangan kaki Setan Culik melesat cepat.
Plakk... ! Wajah Garong Codet terlempar ke samping dan tubuhnya pun
terpelanting. Setelah itu Setan Culik membiarkan Garong Codet berusaha bangkit
dengan
mata melotot penuh kemarahan.
"Bangsat kau! Mengapa kau
serang aku, hah?!" suaranya pelan tapi bernada marah. Setan Culik
sunggingkan senyum.
"Aku sengaja menyerangmu,
supaya pengaruh yang meracuni otak dan hatimu menjadi buyar!"
"Pengaruh apa?!"
"Kau ingin melepaskan
mustika itu dan benci dengan warna merahnya! Kurasa itu tak wajar ada
padamu!"
"Siapa bilang aku benci
dengan warna merahnya?! Siapa bilang aku ingin melepaskan Cincin Mustika Serat
Iblis ini?!"
"Kau ingin berhenti
mencari tumbal terakhir!"
"Apa aku orang bodoh, kok
mau berhenti cari tumbal?!"
"Bagus. Berarti kau sudah
kembali menjadi dirimu sendiri. Sekarang kalau kau mau balas seranganku tadi,
balaslah! Aku tak akan melawan! Balaslah...!"
Tapi Garong Codet menjadi ragu
walau ia telah kepalkan tinjunya. Setan Culik kelihatan pasrah dan hal itu
sangat aneh buat Garong Codet. Selama ini Setan Culik selalu menurut pada
perintahnya dan tak pernah menyerang. Jika sampai Setan Culik sengaja
melepaskan serangan padanya, pasti ada sesuatu yang tak beres pada dirinya.
Garong Codet segera tarik
napas dalam-dalam dan kendurkan urat-urat marahnya, ia segera berkata,
"Apakah benar aku tadi
berkata seperti itu?"
"Ya. Benar. Kalau aku
tidak menyerangmu, jati dirimu terkuasai oleh pengaruh kekuatan gaib yang ada
di sekitar sini!"
"Berarti ada orang yang
ingin memiliki Mustika Serat Iblis dengan cara mempengaruhi otak dan
jiwaku?"
"Benar! Sebaiknya kita
cari saja siapa yang...."
Zlapp zlappp zlappp...!
"Heghhh...!" Setan
Culik tiba-tiba tersentak tubuhnya mengejang dalam keadaan melengkung ke
belakang. Setan Culik membuka mulutnya dalam pekik yang tertahan. Matanya
mendelik bagai mau lepas dari kelopaknya.
"Hei, kenapa kau?! Jangan
menakut-nakuti aku begitu, Setan!"
Setan Culik tetap diam.
Berlutut dengan tubuh melengkung ke belakang. Wajahnya makin lama semakin biru.
Dari warna pucat pias, lalu membiru samar-samar. Warna matanya pun mulai
menguning.
Garong Codet segera mengerti,
bahwa Setan Culik bukan menakut-nakuti dirinya. Tapi pasti ada sesuatu yang
telah terjadi pada diri Setan Culik. Kemudian, Garong Codet memeriksa tubuh
Setan Culik, dan ia tersentak kaget dengan mata melebar. "Gila...?!"
ucapnya di luar kesadaran. Garong Codet menemukan tiga bunga menancap di
punggung Setan Culik. Tiga bunga warna merah yang menyerupai mawar tapi tak
punya bau wangi itu mempunyai tangkai panjang sekitar seukuran jari tengah.
Ketiga tangkai bunga itu menembus masuk di punggung Setan Culik.
Garong Codet cepat mencabut
salah satu bunga.
Zlepp...! Ternyata tangkai
bunga itu berwarna hitam. Pasti mengandung racun yang amat ganas. Hanya saja,
siapa orangnya yang bisa menggunakan bunga tersebut sebagai senjata rahasia
yang dapat menancap di tubuh Setan Culik? Tangkai hitam itu sangat lemas, tapi
kenyataannya bisa berubah menjadi sekeras paku baja saat menancap di tubuh
Setan Culik.
Hal yang membuat Garong Codet
menjadi berang adalah rubuhnya tubuh Setan Culik. Tubuh itu rubuh ke depan
dengan kepala berpaling ke kiri dan mata tetap mendelik. Tetapi kulit wajahnya
berubah menjadi biru dan Setan Culik enggan bernapas lagi. Ia mati diterkam
racun ganas dari bunga merah itu.
"Setan! Setan
Culik...!" seru Garong Codet, tak jelas memanggil nama temannya atau
mencaci-maki keadaan yang buruk itu. Yang pasti, Garong Codet segera berdiri
dengan menggeram. Wajahnya menjadi merah karena darahnya bagai mendidih dan
menyirat ke atas melihat Setan Culik mati dibunuh orang bersembunyi.
Dengan suara serak menahan
sakit, Garong Codet berseru,
"Bangsat mana yang berani
menantangku dengan cara seperti ini, hah?! Siapa orangnya?! Keluar!"
Sssuut...! Jlegg...!
Seperti anak panah datangnya.
Tak bisa dilihat mata manusia. Tahu-tahu manusia berkerudung hitam telah
berdiri di samping kanan Garong Codet. Orang itu berwajah putih bagai
mengenakan bedak. Sorot matanya dingin. Bibirnya biru. Sekujur tubuhnya
dibungkus kain hitam dari kepala sampai kaki. Tangannya menggenggam tongkat
berujung sabit panjang melengkung. Tongkat El Maut.
Siluman Tujuh Nyawa tampakkan
diri. Garong Codet tak tahu, dia adalah tokoh sesat yang merajai lautan utara.
Ilmunya cukup tinggi. Bahkan boleh dikata sangat tinggi. Siluman Tujuh Nyawa
adalah manusia yang tak kenal belas kasihan sedikit pun terhadap musuhnya.
Usianya sudah dua ratus tahun lebih tapi masih tampak muda dan berwajah tampan.
Hidungnya mancung, matanya indah. Sayang berkesan dingin menampakkan sikap
kejinya selama ini. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Cermin
Pemburu Nyawa" dan "Prahara Pulau Mayat").
Hanya Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk itulah yang bisa menandingi ilmunya Siluman Tujuh Nyawa itu.
Tetapi sampai sekarang Suto masih belum bisa memenggal kepala tokoh sesat itu,
karena Siluman Tujuh Nyawa cukup licin, ia segera melarikan diri jika bertemu
dengan Suto, tapi ia punya cita-cita ingin membunuh Pendekar Mabuk juga dengan
kelicikannya.
Kali ini apa yang diduga Suto
Sinting memang benar, bahwa Siluman Tujuh Nyawa pasti bermaksud ingin merebut
Mustika Serat Iblis dari tangan Garong Codet. Tanpa Mustika Serat Iblis ia
sulit menandingi Pendekar Mabuk itu. Sementara, tanpa Mustika Serat Iblis,
Garong Codet bukan tandingan Durmala Sanca yang bergelar Siluman Tujuh Nyawa.
Tetapi karena Garong Codet
tidak mengenal siapa orang berciri kerudung hitam dan tongkat El Maut itu, maka
Garong Codet pun tak merasa gentar sedikit pun. Bahkan dengan beraninya ia
berucap kata,
"Iblis dari mana kau,
berani-beraninya mengganggu ketenanganku?!"
"Aku iblis dari
neraka!" jawab Siluman Tujuh Nyawa.
"Apa maumu memancing
perkara denganku, hah?! Kalau kau ingin serahkan nyawamu sebagai tumbal Mustika
Serat Iblis, tak perlu kau bunuh sahabat setiaku ini!"
"Membunuh itu
kegemaranku! Jadi jangan salah sangka bahwa aku hanya membunuh temanmu yang
telah membuyarkan pengaruh batinku terhadapmu tadi! Aku pun akan membunuhmu,
Garong Codet!"
"Apakah kau mampu?! Kau
yang kurus kerempeng tertutup kain hitam begitu, mau membunuh orang sesakti
aku?! Apa itu bukan mimpi belaka?!"
Tak pernah Siluman Tujuh Nyawa
menerima hinaan seperti itu dari orang serendah Garong Codet. Tentu saja
hatinya mulai bergolak dan darah membunuhnya mulai mendidih. Maka dengan
gerakan yang amat cepat, Siluman Tujuh Nyawa berkelebat cepat menyerang Garong
Codet.
Wut wut wuttt... !
Zregg...! Siluman Tujuh Nyawa
berhenti bergerak dan sudah berada di depan Garong Codet. Mata orang yang
diserangnya itu tak sempat berkedip. Tapi menjadi sangat terkejut setelah
melihat ikat pinggangnya terpotong, bajunya koyak-koyak, demikian pula
celananya bagai habis dicabik-cabik seekor beruang ganas. Garong Codet menjadi
seperti gelandangan yang berpakaian compang-camping. Tapi kulit tubuhnya tak
ada yang terluka sedikit pun.
"Edan...!" pikirnya.
"Cepat sekali gerakannya! Lihai juga dia menggunakan senjata itu, sampai
tak terasa dalam sekejap tubuhku telah dibuat berpakaian compang-camping
begini?! Jelas dia orang berilmu tinggi! Agaknya inilah tumbal
terakhirku!"
Wajah dan pandangan mata
Durmala Sanca masih sedingin gunung es. Mulutnya terkatup rapat menampakkan
bentuk bibir yang indah sebenarnya, tapi sayang berwarna biru mayat. Garong
Codet sempat berdebar setelah tahu kecepatan gerak dan keganasan senjata El
Maut itu. Namun sekarang tangan kanannya yang terus-terusan menggenggam itu
kini mulai dikendurkan supaya cepat pantulkan cahaya melalui batu Mustika Serat
Iblis yang dipakainya sebagai cincin itu.
"Kau benar-benar cari
mati, Iblis Gila!" geram Garong Codet. "Kau belum tahu kehebatan
Cincin Mustika Serat Iblisku!'
"Aku sudah cukup tahu
tentang kehebatan Mustika Serat Iblis," kata Siluman Tujuh Nyawa dengan
nada datar dan dingin. "Pusaka hebat seperti itu dulu pernah
kukejar-kejar, tapi aku tak berhasil mendapatkannya! Aku juga tahu bagaimana
keganasan pantulan sinarnya yang bisa memenggal orang dengan mudah dan memotong
benda apa saja, termasuk pilar baja sebesar
gunung sekalipun!"
"Rupanya kau banyak tahu
tentang Mustika Serat Iblis ketimbang aku!"
"Sudah kubilang, aku
sangat tahu tentang mustika itu! Juga aku tahu siapa orang yang kau kejar-kejar
dari kemarin! Ki Madang Wengi, itulah orang yang ingin kau jadikan tumbal
terakhirmu! Tapi ketahuilah, kau telah ditipu oleh Tabib Awan Putih yang tadi
kau jumpai di pantai sebagai orang gila! Dia sebenarnya orang sakti. Dia telah
sembunyikan Ki Madang Wengi di atas pohon kelapa! Dia juga telah menyuruh
perempuan yang kau kejar, yaitu Roro Manis untuk sembunyi di Gua Mulut Dewa
bersama seorang pendekar sinting yang bernama Suto Sinting, si Pendekar
Mabuk!"
"Kau ada di pihaknya?!
Kurang ajar betul orang tua di pantai itu! Kalau begitu, kaulah yang harus
menerima akibat penipuannya!"
"Tunggu...!" Siluman
Tujuh Nyawa mencegah gerakan Garong Codet yang ingin membuka telapak tangan
kanannya. Mendengar seruan itu, Garong Codet urungkan niat untuk menyerang
lawannya.
"Kalau kau butuh tumbal
orang berilmu tinggi, carilah di Gua Mulut Dewa, tak jauh dari sini! Arahnya
ada di sebelah kananmu! Di sana kau bisa bertemu dengan seorang pemuda bernama
Suto Sinting, yang ke mana-mana..selalu membawa bumbung tempat tuak! Dia orang
yang ilmunya lebih tinggi dariku!"
"Mengapa susah-susah ke
sana? Kau sendiri orang berilmu tinggi dan layak menjadi tumbal Mustika Serat
Iblis!"
Siluman Tujuh Nyawa terkesiap
sejenak, ia seperti baru menyadari bahwa dirinya pun memang layak dijadikan tumbal
dan diburu oleh Mustika Serat Iblis. Sementara itu, ia pun mengakui bahwa
mengalahkan keganasan Mustika Serat iblis bukanlah hal yang mudah. Memang bisa
saja ia memotong tangan Garong Codet lalu mengambil cincinnya. Tapi jika ia
salah gerak dan terlambat bertindak, ia bisa mati terpenggal oleh pantulan
sinar Mustika Serat Iblis. Menyesal juga ia tadi ketika bergerak, mengapa hanya
mencabik-cabik pakaian Garong Codet? Mestinya tadi ia memotong tangan Garong
Codet.
"Garong Codet, kau tidak
akan bisa membunuhku dengan mudah. Tapi kau dapat membunuh Pendekar Mabuk
dengan satu kali gebrakan!"
"Justru semakin sulit
dibunuh berarti kau punya ilmu sangat tinggi. Mustika Serat Iblis akan merasa
lebih senang mendapatkan tumbal yang sulit dibunuh?'
Dalam hati Siluman Tujuh Nyawa
berucap kata, "Celaka! Aku masuk dalam jebakanku sendiri!"
Garong Codet segera mengangkat
tangan kanannya ke atas kepala sambil berkata, "Sekarang tiba giliranmu
untuk mati sebagai penebus kematian sahabatku itu! Kau berhutang nyawa pada
Setan Culik dan aku akan mengirimkan nyawamu sebagai pembalasan dan
tumbal!"
"Tunggu dulu...!"
Baru saja Siluman Tujuh Nyawa
mau bergerak, tiba- tiba kilatan cahaya merah tanpa putus telah menyerangnya.
Clapp...! Mau tak mau Siluman Tujuh Nyawa cepat menghindarkan diri. Gerakan
cepatnya membuat Garong Codet terpaksa pantulkan cahaya mustika secara membabi
buta.
Clap clapp clappp clap clap
clapp...! Siluman Tujuh Nyawa terdesak serangan maut yang membabi buta itu. Ia
tahu, sinar tersebut tak boleh ditangkis oleh apa pun kecuali oleh Perisai Naga
Bening. Karena itu, Siluman Tujuh Nyawa tak berani menerjang atau menangkis
kilatan cahaya merah yang bergerak dengan membabi buta itu.
"Bisa mampus aku di sini!
Sebaiknya kugiring saja dia ke arah Gua Mulut Dewa, biar dia berhadapan dengan
Suto. Aku akan punya kesempatan menebas tangannya dan membawa lari tangan itu
untuk memiliki Mustika Serat Iblis...!" Durmala Sanca membatin demikian.
Lalu, dengan gerakan cepat
juga ia melesat pergi. Namun sengaja tampakkan diri sebentar supaya dikejar
Garong Codet. Ternyata pancingannya mengena. Garong Codet mengejar terus ke
mana pun larinya Siluman Tujuh Nyawa.
* * *
9
RORO Manis berjalan lebih
dulu. Gua Mulut Dewa telah kelihatan. Tinggal beberapa saat lagi mereka akan
sampai di sana dan beristirahat. Tetapi suasana bungkam masih menyelimuti
antara mereka berdua sejak dalam perjalanan. Pendekar Mabuk sendiri bungkam
karena memikirkan cara mengalahkan Garong Codet. Sedangkan Roro Manis bungkam
karena bertahan diri untuk tidak menegur Suto lebih dulu. Walau dalam hatinya
sangat berharap untuk mendapat teguran dari Suto dan bisa bicara panjang lebar,
tapi Roro Manis tetap bertahan diri untuk bersikap acuh.
Tetapi ketika mulut gua
tinggal beberapa langkah lagi, Roro Manis punya alasan mendahului bicara dengan
ajukan sebuah pertanyaan,
"Itukah gua yang dimaksud
Tabib Awan Putih?"
"Mungkin," jawab
Pendekar Mabuk pendek sambil hanyut kembali dalam renungannya. Roro Manis
mendengus kesal hatinya, ia melangkahkan kaki untuk mendekati mulut gua yang
dari kejauhan mirip bentuk bintang berlubang hitam itu.
Roro Manis tidak langsung
masuk, karena ia curiga dan takut ada binatang buas di dalamnya, ia berharap
Suto masuk lebih dulu untuk memeriksanya. Tapi pemuda tampan itu justru
berhenti dari langkahnya dan meneguk tuak beberapa kali. Setelah itu ia
melemparkan pandangan ke arah bawah, ke arah kaki bukit dan bentangan sawah di
kejauhan sana. Laut pun tampak dari tempat mereka berdiri.
"Masuklah sana,"
kata Pendekar Mabuk kepada Roro Manis.
"Aku bukan orang bodoh,
Suto! Aku tak mau menjadi umpan binatang buas! Kalau kau mau, silakan kau masuk
lebih dulu untuk memeriksa apakah gua ini bukan sarang harimau atau sarang ular
naga?!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum kecil. "Kau takut?"
"Aku tidak takut! Tapi
aku orang yang dididik oleh Guru untuk menjadi manusia penuh waspada!"
Suto makin melebarkan senyum
sindiran. Roro Manis membuang muka. Pendekar Mabuk pun segera masuk, ia
memeriksa keadaan di dalam gua yang punya lorong panjang dan gelap. Hidungnya
mengendus-endus, ia hanya, mencium bau kelembaban udara dan tanah. Tak ada bau
kotoran hewan atau bau keringat binatang. Itu tandanya gua dalam keadaan aman.
Bahkan kotoran kelelawar pun tak ada. Gas beracun juga tak dijumpainya. Tanah
hanya sedikit lembek, tapi bagian lebih ke dalam terasa keras. Banyak bebatuan
di kanan kiri gua. Tapi sekali lagi telinga Suto tidak menangkap adanya desis
seekor ular.
Ia pun segera keluar dari gua
untuk memberitahukan bahwa keadaan di dalam gua cukup aman. Tetapi alangkah
terkejutnya Pendekar Mabuk ketika keluar dari gua ternyata matahari sudah
banyak condong ke barat. Padahal baru saja ia masuk dan matahari belum mencapai
pertengahan jarak edarnya. Di atas kepala manusia pun belum, mengapa sekarang
matahari telah bergeser dan condong ke barat. Dan satu hal lagi yang ia
herankan, ke mana Roro Manis? Gadis itu hilang! Entah sekarang ada di mana.
Pendekar Mabuk segera mengejar
ke tempat semula. Jalan yang digunakan untuk datang ke situ disusurinya lagi.
Dan ternyata, kira-kira dalam jarak sepuluh langkah dari mulut gua, ia sudah
bisa melihat Roro Manis berkelebat terbang menghindari suatu serangan.
"Celaka! Pasti orang
itulah yang bernama Garong Codet!" pikir Suto Sinting, ia menjadi
berdebar-debar melihat Roro Manis melenting ke sana-sini menghindari pukulan
tenaga dalam lawannya. Dan makin terkejut lagi ketika Suto melihat kilatan
sinar merah dari telapak tangan bercincin batuan merah. Sinar merah itu bisa
dihindari oleh Roro Manis, tapi sinar itu segera memotong pohon sebesar dua
pelukan manusia. Pohon besar itu terpotong dengan cepat dan rapi, sehingga
segera tumbang dalam beberapa kejap saja.
"Benar-benar celaka! Apa
yang harus kulakukan jika sudah begini?! Tabib Awan Putih berpesan wanti-wanti
agar jangan menghadapi Garong Codet. Langkah yang terbaik adalah menghindari
pertemuan dan bentrokan dengan Garong Codet. Tapi keadaan sudah menjadi begini?
Kalau Roro Manis pintar, ia harusnya memancing Garong Codet agar masuk gua! Di
dalam gua nanti biar aku yang membereskan! Ah, tapi agaknya Roro Manis sendiri
terdesak dan tak bisa melarikan diri kemari!"
Pendekar Mabuk merasa perlu
mengulur waktu untuk sesaat, ia segera melepaskan pukulan jarak jauhnya yang
bernama 'Turangga Laga'. Dua jarinya dikeraskan menjadi kaku, menempel di
kening sebentar, lalu disentakkan ke depan. Zlappp...! Sinar ungu keluar dari
jari itu melesat ke arah Garong Codet.
Sayang sekali Garong Codet
bergerak menyerang Roro Manis, sehingga sinar ungu itu hanya menyerempet di
bagian punggung Garong Codet. Srett...!
"Waaak...!" Garong
Codet terpekik kaget. Punggungnya bagai dirobek dengan senjata tajam, ia jatuh
terbungkuk. Padahal mestinya sinar ungu itu bisa membuat jantung Garong Codet
berhenti dalam beberapa saat. Lalu, dengan begitu berarti ada kesempatan untuk
melepas cincin tersebut dari tangan Garong Codet.
Sekalipun hanya merobek
punggung, tapi Suto punya kesempatan untuk memanggil Roro Manis dengan isyarat
tangan melambai. Roro Manis melihat gerakan tangan Suto yang melambai lalu
menuding gua. Roro Manis segera tanggap bahwa ia harus memancing Garong Codet untuk
masuk ke dalam gua. Setidaknya isyarat itu mengatakan bahwa Roro Manis harus
segera bersembunyi ke dalam gua.
Maka dengan gerakan cepat Roro
Manis melarikan diri. Pedang masih digenggam di tangan kanan. Gerakannya lebih
dipercepat lagi. Dalam kejap berikutnya, Roro Manis sudah berada di samping
Suto Sinting.
"Cepat masuk ke dalam
gua!"
"Jangan hadapi dia! Dia
punya cincin maut! Kau pun harus cepat masuk gua, Suto...!"
"Hei, aku juga punya
cincin pusaka?! Aduh! Hampir saja aku lupa!"
Suto Sinting mempunyai cincin
pusaka yang terkenal dahsyat. Cincin itu milik bibi gurunya, yaitu Bidadari
Jalang. Cincin itu pernah diperebutkan oleh para tokoh tua di rimba persilatan.
Cincin itu bernama Cincin Manik Intan. Benda pusaka itu pernah membawa maut
yang begitu mengerikan dalam suatu pertempuran hebat di Istana Garinda (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Murka Sang Nyai"). Cincin itu
disimpannya dalam tabung tempat tuak dan tak pernah lepas dari tempat
penyimpanannya.
Sengaja Pendekar Mabuk tidak
menggunakan cincin itu di tangannya, karena sedikit sentakan tenaga saja sudah
menghasilkan seratus kali lipat tenaga yang keluar. Cincin itu pun sangat ganas
dan sukar dikendalikan. Kadang ia keluarkan sinarnya sendiri di luar kesadaran
pemakainya manakala si pemakai keluarkan tenaga dalam tanpa sengaja. Cahaya
cincin bisa keluar menyerang ke mana-mana.
Garong Codet segera lompat
mengejar Roro Manis. Pada saat itu, Pendekar Mabuk segera menenggak habis tuak
dalam bumbungnya. Karena jika tanpa menenggak habis tuak maka cincin itu sulit
diambilnya. Bahkan cincin tersebut sempat masuk ke mulut Pendekar Mabuk namun
tak sempat tertelan. Pendekar Mabuk segera mengambil dan memakainya. Cara
memakai cincin itu juga disamakan dengan cara memakai Cincin Mustika Serat Iblis,
yaitu letak batuannya ada di bagian telapak tangan. Suto segera menggenggam
cincin tersebut ketika dilihatnya Garong Codet mulai mendekat. Suto menghadang
langkah orang itu.
"Apa maksudmu menghadang
langkahku?!" gertak Garong Codet dengan suara serak menahan sakit.
"Apa maksudmu datang
kemari?" Suto ganti bertanya.
"Persetan dengan
pertanyaanmu! Minggir! Biarkan aku mengejar perempuan berilmu tinggi itu!"
"O, kau sedang memburu
tumbal?" kata Suto melecehkan.
"Siapa kau
sebenarnya?!"
"Suto Sinting!"
"Ooo... jadi kaulah orang
yang dikatakan berilmu tinggi itu?" Garong Codet manggut-manggut, tak
menghiraukan rasa sakit di punggungnya.
"Siapa yang mengatakan
aku orang berilmu tinggi?"
"Seseorang yang
bersenjata El Maut!"
Suto kerutkan dahi.
"Maksudmu, orang bersenjata tongkat berujung sabit dan mengenakan kain
hitam dari kepala sampai kaki, serta berwajah putih dan...."
"Iya. Iya! Sudah jangan
banyak bicara!" potong Garong Codet. "Siapa pun dirimu, kulihat kau
pancarkan sinar ungu dari tempat ini. Jadi kau pasti berilmu tinggi dan layak
jadi korban tumbalku!"
Pendekar Mabuk diam sesaat.
"Rupanya dia sudah bertemu dengan Siluman Tujuh Nyawa! Hemm... tapi
mengapa Siluman Tujuh Nyawa tidak merampas Mustika Serat Iblis? Apakah Garong
Codet sudah berhasil membunuh Siluman Tujuh Nyawa?!" pikir Suto Sinting
sambil matanya tak lepas memperhatikan tangan kanan Garong Codet yang selalu
mengenggam.
Sekelebat ia bisa tangkap
pandangan ke arah mulut gua. Tenyata gadis yang berlagak ketus itu belum mau
masuk ke dalam gua. Dia masih mengintip dari batuan di mulut gua. Dia ingin
tahu seberapa hebat gerakan yang dimiliki oleh Pendekar Mabuk.
"Suto Sinting! Aku telah
gagal membunuh orang berjubah hitam itu sebagai tumbal terakhirku. Tapi aku
telah mendapatkan kamu di sini, kekecewaanku telah terobati! Kuharap kau tidak
lari terbirit-birit seperti orang berkerudung yang bikin pakaianku compang-
camping seperti ini!"
"Aku tak akan lari,
karena aku ingin lihat saat nyawamu lari dari ragamu! Tapi jika kau mau turuti
saranku untuk melepaskan cincin mustika itu, dan membuang jauh-jauh, kau akan
selamat dari ancaman mautku! Percayalah, Garong Codet... cincin mustika itu
hanya bikin kamu sesat dan tidak punya kedamaian dalam hidupmu!"
"Bocah kencur mau kasih
nasihat orang seperti aku?! Lebih baik kukirim ke neraka kau sekarang juga!
Hiaaat...!"
Garong Codet bergerak
menghantamkan pukulannya ke arah dada Suto. Tapi tanpa diduga-duga Suto
bergerak memutar sangat cepat dan kakinya berkelebat menendang. Duhggg... !
Roro Manis kejap-kejapkan
mata. Ia tak bisa melihat gerakan Pendekar Mabuk, tahu-tahu Garong Codet
terpental dan terguling-guling beberapa tindak di belakangnya. Terlalu cepat
gerakan Pendekar Mabuk buat mata Roro Manis, sehingga Roro Manis semakin
mendekat untuk melihat lebih jelas lagi.
Tetapi pada saat itu, Garong
Codet berada dalam cahaya sinar matahari, ia cepat kembangkan tangan kanannya,
berdirinya agak merendah, lalu kilatan sinar merah terpantul dari Mustika Serat
Iblis itu. Clappp...!
Pendekar Mabuk cepat sentakkan
kakinya dan bersalto di udara untuk menghindari sinar merah itu. Crass...! Batu
yang ada di samping Roro Manis itu terpotong menjadi dua bagian. Rapi sekali
potongannya, tapi sempat membuat jantung Roro Manis copot. Karena beberapa
jengkal lagi sinar itu bisa mengenai dirinya.
Kini keadaan Pendekar Mabuk
yang dipandang kembali. Roro Manis melihat Suto berdiri di tempat terbuka tanpa
ada rasa gentar, seperti saat ia menghadapi Garong Codet tadi. Justru Roro
Manis yang berdebar- debar melihat Suto Sinting berada di tempat terbuka dan
enak dijadikan sasaran cahaya merah Mustika Serat Iblis itu.
"Suto!" teriak
Garong Codet. "Kau tak akan lolos dari sinar merahku ini! Hiaaah...!"
Tangan kanan Garong Codet
kembali membuka. Sinar merah pun melesat karena mendapat pantulan matahari.
Tetapi dengan cepat, Suto pun membuka tangan kanannya yang menggenggam Cincin
Manik Intan berwarna putih. Sentakan tenaga dalam melalui cincin itu timbulkan
sinar putih yang melesat sangat cepat.
Clapp...! Arah sinar putih itu
tepat mengenai batu merah di tangan Garong Codet. Zzzrrruubb...!
Krakkk... ! Sinar merah yang
memantul seharusnya melesat cepat ke arah Pendekar Mabuk. Tapi sinar putih dari
Cincin Manik Intan lebih dulu menghantam cincin merah itu. Akibatnya cincin
mustika menjadi retak dan remuk. Tak bisa lagi pantulkan sinar merah seperti
biasanya.
Garong Codet tersentak amat
kaget sampai matanya terbuka lebar-lebar. Lebih kaget lagi setelah ia tahu,
sinar putih dari cincin di tangan Pendekar Mabuk keluar lagi dengan cepat dan
menghantam dadanya.
Bross...!
Dada itu berlubang besar,
tembus sampai ke belakang. Cepat-cepat Pendekar Mabuk menggenggam kembali
Cincin Manik Intan. Sikapnya tetap tenang dalam berdiri tegak. Garong Codet
ternganga mulutnya. Ingin pekikkan suara namun tak mampu lagi. Ia pun akhirnya
menghembuskan napas terakhir. Mati tanpa bersuara lagi.
Sekelebat bayangan hitam
muncul. Siluman Tujuh Nyawa berdiri tak jauh dari mayat Garong Codet. Suto
sempat terkejut lalu segera melepaskan pukulan Cincin Manik Intannya lagi. Tapi
sebelum sempat hal itu dilakukan, Siluman Tujuh Nyawa telah melesat pergi
dengan lebih dulu menebaskan senjatanya, memotong tangan kanan Garong Codet.
Potongan tangan itu dibawanya lari menghilang. Dan Suto jadi tertawa kegelian
sendiri pada akhirnya.
Siluman Tujuh Nyawa merasa
Cincin Mustika Serat Iblis masih utuh di tangan Garong Codet. Tak terbayangkan
alangkah kecewa dan murkanya siluman berwajah dingin itu jika mengetahui bahwa
Mustika Serat Iblis telah hancur tak berguna lagi.
"Roro Manis, kau sekarang
bebas berkeliaran ke mana saja maumu!" kata Suto Sinting. Roro Manis hanya
tertegun bengong. Tak mampu berucap kata, tak mampu berkedip mata. Ketampanan
Pendekar Mabuk terasa seimbang dengan kehebatan ilmunya yang amat mengagumkan
itu. Dan untuk semua itu, Roro Manis hanya bisa diam dalam kecamuk hatinya yang
berdebar- debar penuh keindahan.
"Akankah ia tetap
bersamaku?" tanya Roro Manis.
SELESAI