1
LANGIT yang semula cerah mulai
dilapisi gumpalan
awan hitam. Sinar mentari tak
bisa menembus pancarkan
suryanya ke bumi.
Akibatnya alam bagaikan
dirundung
duka dan bumi seakan tak lagi
punya daya.
Dalam gugusan awan hitam itu
sesekali tampak
percikan cahaya biru yang
berkerilap menghantam awan
tanpa mega. Kilatan cahaya
biru sering kelihatan
berusaha menjilat pucuk-pucuk
cemara bagai mencari
kesempatan untuk menghantam
ujung sebuah gunung.
Gelegar suara petir pun
menggema serasa ingin menelan
seluruh suara yang ada di
permukaan bumi. Namun
pekik pertarungan di kaki
gunung itu masih saja tak mau
kalah dengan suara petir yang
mengguntur di sana-sini.
Pekik pertarungan itu
terlontar dari mulut orang-
orang pengusung tandu berwarna
hitam. Empat
pengawal utamanya maju
serentak menyerang tokoh tua
berusia sekitar delapan puluh
tahun lebih, mengenakan
pakaian model biksu berwarna
abu-abu, rambutnya
beruban tipis berkesan botak
bagian tengahnya. Tokoh
tua yang berjenggot dan
berkumis putih rata itu tak lain
adalah Resi Pakar Pantun yang
selalu didampingi oleh
pelayannya: Kadal Ginting.
Namun dalam pertarungan ini,
Kadal Gintingtak mau
ikut perkuat pertahanan
tuannya, ia justru bersembunyi
di balik pohon yang letaknya
sekitar lima belas langkah
dari tuannya. Sang tuan
mati-matian hadapi empat
pengawal tandu dan beberapa
pengusung yang
menyerang secara beruntun.
Blaarr...!
Wuuut...! Jegaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi karena
Resi Pakar Pantun
menghadang serangan mereka
berupa sinar-sinar hijau
yang merupakan pukulan tenaga
dalam cukup tinggi.
Ledakan itu mengguncang
pepohonan di sekitar mereka.
Sang Resi sendiri segera
tumbang, jatuh ke belakang dan
berguling-guling. Namun dalam
sekejap ia segera
bangkit dengan berguling ke
kiri satu kali karena hindari
tebasan pedang yang membelah
tubuhnya yang agak
gemuk itu.
"Desak terus, jangan beri
kesempatan!" seru salah
seorang yang bertubuh tinggi,
besar dan berkumis lebat.
Seruan itu membuat mereka
menerjang Resi Pakar
Pantun secara bersama-sama.
Wuuuurrrss...!
Resi Pakar Pantun mulai
terdesak oleh serangan
orang-orang berbadan kekar
itu, sehingga ia terpaksa
gunakan jurus mautnya. Kedua
tangan saling
merapatkan telapaknya,
kemudian disentakkan menyebar
bersama hentakan kaki kanan ke
tanah dan suaranya pun
menyentak kuat.
"Heeah...!"
Srraazz...!
Kedua tangan Resi Pakar Pantun
menyebarkan
cahaya merah bagai bunga api
yang menghantam orang-
orang di sekelilingnya.
Sekalipun hanya dua-tiga
percikan sinar merah yang
mengenai tubuh, namun
membuat orang tersebut
terjungkal berguling-guling
dengan kepala kepulkan asap
dan bau rambut terbakar
pun menyebar. Kepala yang
dibungkus kain ikat kepala
pun mengepulkan asap dan kain
penutup kepala tampak
terbakar sedikit demi sedikit.
Lama-lama kain itu
menjadi hitam hangus dan
menjadi debu.
Dalam kejap berikutnya,
delapan penyerang sebagai
pihak pengawal dan pengusung
tandu itu mengalami
nasib yang menyedihkan. Tubuh
mereka menjadi lemas,
tak mampu mengangkat senjata
lagi. Wajah mereka
menjadi pucat, dengan napas
tersendat-sendat. Kepala
mereka menjadi gundul tanpa
sehelai rambut lagi.
Bahkan yang semula mempunyai
kumis, kini tanpa
selembar kumis lagi.
"Dahsyat sekali jurus
'Tebar Geni'-nya Eyang Resi
itu!" gumam hati si
pelayan; Kadal Ginting dari tempat
persembunyiannya. "Semua
rambut terbakar habis,
bahkan kurasa bulu ketiak
mereka pun ikut rontok
karena terbakar. Mungkin juga
rambut lain-nya pun
rontok terbakar dan menjadi
plontos. Misalnya, rambut
di betis mereka dan rambut di
dada mereka. Oh, benar-
benar hebat tuanku itu, selama
aku mengikutinya ke
mana pun ia pergi, baru
sekarang kulihat kedahsyatan
jurus 'Tebar Geni' yang sering
diceritakan itu."
Plek...! Tiba-tiba pundak
Kadal Ginting yang penakut
itu dipegang seseorang. Kadal
Ginting terpekik dengan
napas tertahan dan suara tercekik.
Jantungnya nyaris
putus karena rasa kagetnya
mendapat sentuhan tangan
pada pundaknya. Pelan-pelan
sekali kepalanya
dipalingkan ke belakang dengan
hati mengeluh, "Mati
aku kalau begini...! Bakalan
mati sebentar lagi!"
Rasa putus asanya itu timbul karena
Kadal Ginting
yang bertubuh agak pendek dan
berilmu rendah itu sadar
betul bahwa orang-orang yang
menjadi pengawal tandu
hitam itu mempunyai tubuh
kekar dan ilmu yang
lumayan tinggi. Jika ia
berhadapan dengan salah satu
pengawal tandu, jelas wajahnya
akan hancur dan babak
belur, mungkin juga nyawanya
akan lepas dari raga jika
mendapat hantaman satu kali
pun.
Namun alangkah lebih kagetnya
si Kadal Ginting itu
setelah wajahnya dipalingkan
ke belakang dan ternyata
yang memegang pundaknya itu
adalah seorang berjubah
ungu dengan pinjung penutup
dadanya yang montok itu
berwarna merah. Gadis itu
berparas cantik, berhidung
bangir, bermata tajam namun
indah, dan berbibir
menggiurkan.
"Pasti istrinya El
Maut!" pikir Kadal Ginting semakin
gemetar seluruh tubuhnya
pandangi gadis yanq
menyandang pedang di
punggungnya. "Semakin
mampuslah aku kalau dia
benar-benar istrinya El Maut.
Tapi, biarlah... kurasa
kematianku lebih terhormat dari
yang lain, sebab nyawaku
dijemput oleh istri El Maut
yang cantik. Setidaknya aku akan
bisa mati dengan
tersenyum bangga."
Gadis itu menatap mata Kadal
Ginting dengan tak
berkedip. Darah Kadal Ginting
bagaikan mengalir cepat,
jantung berdetak lamban,
nyawanya terasa sedang
disedot melalui tatapan mata
itu. Rasa takut dan pasrah
membuat bagian bawah Kadal
Ginting menjadi basah;
seluruh keringat mengalir ke
paha dan betis bagai
diperas dari pori-pori
tubuhnya.
"Jangan main curang
kau!" hardik gadis berjubah
ungu yang usianya sekitar dua
puluh empat tahun itu.
"Oh, hmmm... eeh...
tid... tidak. Aku... aakk... aku
tidak bermain curang. Aaaku...
aku hanya bermain mata.
Eh, bukan... maksudku... aku
hanya mengintai
pertarungan tuanku itu dari
sini. Aku tidak bermaksud
curang. Sungguh. Berani sumpah
disambar kacang
rebus, aku tidak bermaksud
jahat, Nona... eh, Dewi...,
eh, Bibi... eh, Nyai... eh,
eh, eh, eh...." Kadal Ginting
terengah-engah diburu rasa
takut.
Gadis berjubah ungu memandang
ke pertarungan.
Ternyata pertarungan telah
berhenti, entah hanya
sementara atau selamanya. Yang
jelas, orang-orang yang
mengeroyok sang Resi saat ini
sedang saling terkapar
dengan tubuh terkulai lemas.
Mereka seakan baru saja
melakukan perjalanan amat
jauh, atau melakukan
pendakian yang amat
melelahkan. Orang-orang
pengusung tandu saling
berpandangan dengan sedih,
masing-masing pegangi kepala
mereka yang rontok
tanpa rambut lagi itu.
Sementara itu, Resi Pakar Pantun
tetap berdiri di tempatnya
penuh waspada. Matanya
pandangi lawan-lawannya dengan
senyum geli, lalu ia
pun perdengarkan suara tawanya
yang terkekeh pelan
sambil langkahkan kaki dekati
tandu berselubung kain
hitam itu.
"He, he, he, he...!
Keluarlah dari tandumu, Gundik
Sakti!"
Gadis berjubah ungu itu
terkejut mendengar Resi
Pakar Pantun menyebut nama
'Gundik Sakti'. Ia tak
peduli lagi dengan tatapan
mata Kadal Ginting yang
penuh rasa takut itu. Dengan
satu sentakan kaki ia
melesat tinggalkan
persembunyian Kadal Ginting.
Wuuut...! Kejap berikutnya ia
sudah berdiri tak jauh dari
Resi Pakar Pantun.
"Oh, kau ada di sini juga
rupanya, Tembang
Selayang?!" Resi Pakar
Pantun langsung kenali gadis
cantik bertahi lalat di sudut
bibir atas sebelah kanan.
"Secara kebetulan
kulewati daerah ini dalam
perjalananku menuju Bukit
Kasmaran, Resi Pakar
Pantun."
Rupanya kemunculan Tembang
Selayang bukan
hanya membuat sang Resi terkejut
kecil, namun ada
sepasang mata yang sejak tadi
memperhatikan dari atas
pohon rindang. Sepasang mata
itu milik seorang pemuda
tampan berambut lurus
sepanjang batas pundak dan
membawa sebuah bumbung tempat
luak. Pemuda
tampan itu tak lain adalah
Suto Sinting, murid si Gila
Tuak yang bergelar Pendekar
Mabuk.
"Agaknya aku harus
bergabung dengan mereka.
Sudah lama juga aku tidak
jumpa dengan Tembang
Selayang, anak Empu Tapak
Rengat itu. Hmmm... aku
punya cerita untuknya dan
harus kusampaikan sekarang
juga," pikir Suto
Sinting, lalu ia segera keluar dari
persembunyiannya.
Tembang Selayang memang anak
Empu Tapak
Rengat, namun ia bukan murid
sang Empu. Tembang
Selayang adalah murid yang
keluar dari perguruan Bukit
Kasmaran karena tidak sepaham
dengan ketuanya yang
baru; si Merak Cabul. Suto
berkenalan dengan Tembang
Selayang dalam peristiwa
rebutan sebuah pusaka milik si
Tua Bangka, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam
episode : "Kapak Setan
Kubur").
Namun sekarang si Merak Cabul
sudah tiada,
dibunuh oleh kakeknya sendiri
yang merasa malu
mempunyai cucu sesat. Dan
tentunya Tembang Selayang
belum mengetahui tentang
kematian si Merak Cabul dan
Sanjung Rumpi, sebab kematian
itu terjadi di depan
mata Pendekar Mabuk kala si
Merak Cabul terbakar
gairah cintanya karena jurus
'Senyuman Iblis' yang
dipancarkan dari wajah tampan
sang pendekar tampan
itu. Suto merasa perlu
mengabarkan hal itu kepada
Tembang Selayang, sehingga ia
pun segera tiba di antara
Resi Pakar Pantun dan putri
Empu Tapak Rengat, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Sabuk Gempur
Jagat"). Tentu saja
kehadiran Suto mengejutkan sang
Resi, sekaligus membuat
Tembang Selayang
terperangah.
"Suto, sejak kapan kau
bersembunyi di atas pohon
rindang itu?!" tanya
Tembang Selayang yang
mengetahui kemunculan Suto
dari kerimbunan pohon
tersebut.
"Sejak kau belum
mendekati Kadal Ginting, aku
sudah ada di atas pohon itu,
Tembang Selayang.
Dentuman kerasmemancingku
untuk membelokkan arah
perjalanan kemari, dan
ternyata di sini kulihat
pertarungan Resi Pakar Pantun
dengan orang-orang
pengawal tandu hitam
itu," ujar Suto Sinting sambil
sesekali melirik ke arah tandu
yang masih tertutup kain
hitam tersebut.
"Kembang kempisnapas
janda pulang pagi,
tidur di balai kayunya jati.
Untuk apa punya sobat berilmu
tinggi,
jika hanya bisa mengintip
orang maumati."
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum gelinya
mendengar pantun sindiran sang
Resi. Agaknya sang
Resi merasa dongkol karena
pertarungannya hanya
dijadikan bahan tontonan oleh
Suto. Karena, Suto pun
segera berkata dalam irama
pantun asal-asalan pada saat
si Kadal Ginting mulai keluar
dari persembunyiannya.
"Kembang kempis kembang
peot,
badak terbang tak pernah
pulang.
Manamungkin aku berani campur
tangan,
karena tak kudengar kauminta
bantuan."
"Mmmm... pantun apa itu?
Tak ada seninya," Resi
Pakar Pantun mencibir dalam
ejekan. Suto Sinting hanya
tertawa kecil, menertawakan
dirinya yang tak pernah
bisa membuat pantun dengan
baik.
"Resi," sapa Tembang
Selayang. "Kudengar kau tadi
memanggil nama si Gundik
Sakti. Apakah benar Gundik
Sakti ada di dalam tandu hitam
itu?"
"Ya. Mereka adalah para
pengawal Gundik Sakti,"
jawab sang Resi sambil
menuding orang-orang yang
terkena jurus 'Tebar
Geni'-nya. Orang-orang itu hanya
bisa diam dengan tubuh lemas
dan pikiran bagaikan
hilang. Mereka menjadi
linglung akibat jurus 'Tebar
Geni' yang melumpuhkan
beberapa urat sarafnya.
"Kalau begitu aku juga
ingin bertemu dengan si
Gundik Sakti. Aku mau bikin
perhitungan sendiri
dengannya."
Kemudian gadis berkulit kuning
langsat itu maju
selangkah dan berseru tertuju
pada tandu hitam yang
masih tertutup kain hitam tak
bergerak sedikit pun sejak
tadi. Tandu itu diletakkan di
tanah pada tempat yang
terbuka tanpa pelindung pohon
ataupun semak.
Keberadaannya seakan persis di
tengah arena
pertarungan.
"Gundik Sakti, keluar kau
dari tandumu! Kita masih
punya perkara yang belum
selesai!" sentak Tembang
Selayang.
Setelah ditunggu dua helaan
napas tak ada jawaban
dan tak ada gerakan apa pun
dari tandu hitam itu,
Tembang Selayang serukan kata
kembali dengan nada
marah.
"Sejak kapan kau jadi
pengecut, Gundik Sakti?!
Keluarlah sekarang juga, kita
selesaikan urusan lama
kita di sini juga! Kita
tentukan siapa yang berhak pergi
ke neraka lebih dulu! Cepat
keluar!"
Tandu hitam tetap tak
bergeming. Namun Tembang
Selayang makin menjaga
kewaspadaannya, karena ia tak
ingin terjebak oleh serangan
yang bisa muncul sewaktu-
waktu dari dalam tandu.
Sementara itu, Pendekar
Mabuk, Resi Pakar Pantun, dan
Kadal Ginting masih
tetap berdiri di tempatnya
pandangi tandu hitam itu.
Mereka sama-sama menunggu
jawaban dari orang yang
ada dalam tandu. Sang Resi pun
akhirnya serukan
pantunnya kepada orang di
dalam tandu hitam itu.
"Kembang kempis suara
batuk dalam hati,
kolor putus nyaring berbunyi.
Sia-sia punya nama dikenal
sakti,
jika hadapi lawan tetap diam
dan sembunyi."
Pendekar Mabuk tahu, sang Resi
memancing nyali si
Gundik Sakti agar keluar dari
dalam tandu hitam. Tetapi
sampai tiga helaan napas sang
penghuni tandu belum
mau muncul juga. Hal ini
timbulkan rasa jengkel dalam
hati Tembang Selayang,
sehingga gadis itu nekat
lakukan satu lompatan dan
menendang tandu itu dengan
kerasnya.
Wuuut...! Gubraaaak...!
Tandu hitam hancur berantakan.
Mereka tertegun
kaget karena tidak temukan
siapa-siapa di dalam tandu
hitam itu.
"Keparat! Rupanya tandu
ini kosong!" geram
Tembang Selayang sambil
pandangi Resi Pakar Pontun.
Wajah tokoh tua itu tampak
kecewa juga. Kadal Ginting
segera memeriksa pecahan tandu
itu dengan lagak
pemberani, karena ia merasa
lega dan aman sejak
kemunculan Suto Sinting di situ.
Jika terjadi sesuatu, ia
yakin Suto Sinting akan
mampumengatasinya.
"Tak ada sepotong orang
pun di sini, Eyang Resi!"
seru Kadal Ginting sambil
memeriksa pecahantandu.
"Kelingkingnya pun tak
ada, Eyang," tambah Kadal
Ginting.
"Untuk apa kau cari kelingkingnya?"
"Untuk menengok ayam kita
sudah mau bertelur apa
belum, Eyang!" jawab
Kadal Ginting sambil bayangkan
ayam piaraan yang sudah lama
ditinggalkan di
padepokannya.
"Colok saja pakai
hidungmu!" gerutu sang Resi.
"Kau terkecoh oleh
permainan mereka, Resi," ujar
Tembang Selayang.
"Sia-sia kau lumpuhkan para
pengawal tandu itu, karena
yang mereka kawal adalah
tandu kosong."
Resi Pakar Pantun diam sejenak
pandangi keadaan
sekeliling. Kemudian terdengar
suaranya berkata bagai
menggumam, "Pasti dia
kabur lebih dulu."
"Tidak. Dia memang tidak
ada di dalam tandu! Kau
salah duga, Resi," kata
Tembang Selayang.
"Tadi kulihat ia ada di
dalam tandu!" sang Resi
ngotot. "Kalau tak
percaya tanyakanlah kepada
pelayanku itu."
"Benar, Nona... eh,
Bibi... eh, Nyai... eh, eh, eh...
anu," Kadal Ginting masih
grogi bicara denganTembang
Selayang, sebab gadis cantik
itu pancarkan pandangan
matanya lebih tajam dari saat
bertemu di balik pohon
tadi.
"Jelaskan apa yang kau
lihat tadi, Kadal Ginting!"
perintah sang Resi.
"Benar, Suto...,"
Kadal Ginting meresa lebih tenang
bicara kepada Suto Sinting.
"... tadi kulihat seorang
wanita cantik menyingkapkan
tabir penutup tandu itu
dan berseru kepada para
pengawal agar menyerang
ku...."
"Bukan kau yang mau
diserang, tapi aku!" sergah
sang Resi sambil
bersungut-sungut.
"Benar, aku dan Eyang
Resi yang ingin diserang.
Lalu, tandu diletakkan dan
para pengusungnya ikut
menyerang kami. Tapi...
anehnya sekarang perempuan
cantik itu tidak ada di dalam
tandu. Ke mana dia.
Eyang?"
"Mana kutahu! Jangan
tanya padaku! Aku sendiri
terkecoh!" sentak sang
Resi sambil cemberut kesal.
Suto Sinting hanya
manggut-manggut sambil otaknya
berputar mencari jawaban atas
lenyapnya Gundik Sakti
dari dalam tandu. Sepanjang
penglihatannya kala ia
bersembunyi di atas pohon, ia
tak melihat ada seseorang
berlari keluar dari dalam
tandu. Bahkan tandu itu tadi
sempat menjadi bahan
perhatiannya cukup lama.
Sekelebat sinar atau bayangan
pun tak tampak keluar
dari dalam tandu. Mustahil
sekali kalau Suto Sinting tak
dapat melihat sekelebat
bayangan keluar dari dalam
tandu, karena matanya sudah
terlatih untuk memandang
gerakan sinar secepat apa pun.
Tembang Selayang segera
mencengkeram baju salah
seorang pengawal tandu. Dengan
wajah penuh pancaran
api kemarahan ia menggertak
orangtersebut.
"Di mana si Gundik Sakti
berada, hah?! Jawab!"
Orang itu menjawab dengan
wajah penuh
kebingungan. "Di
mana-mana...."
Plaaaak...! Tembang Selayang
menampar orang itu.
Yang ditampar hanya diam tanpa
menampakkan rasa
sakit, bahkan seperti orang
serba bingung.
"Katakan, apakah kalian
tadi membawa si Gundik
Sakti daiam tandu atau
memangtandu itu kosong?"
"Kosong," jawab
orang itu.
"Benar-benar kosong?
Kautidak bohong?"
"Bohong," jawabnya
pendek dan menjengkelkan.
Ploook...! Wajah orang itu
dihantam keras-keras oleh
pangkal telapak tangan Tembang
Selayang, hingga
terpental beberapa langkah
jauhnya. Tapi orang itu tetap
bengong seperti tak pernah
mengalami apa-apa.
Pengawal yang satu juga
direnggut Tembang
Selayang, mata gadis itu
pancarkan kemarahan lebih
tajam lagi. Ia menggertak
dengan suara keras, tanpa
mengejutkan dan tanpa
memancing perhatian para
pengawal lainnya yang
keadaannya seperti orang
linglung itu.
"Di mana perempuan bejat
itu?! Jawab...!"
"Bejat!" jawab
orangtersebut dengan agak keras.
"Kuhabisi masa hidupmu
kalau kau main-main
denganku. Jawab dengan benar
atau kuhabisi masa
hidupmu, hah?!"
"Hiduuup...!
Hiduuuupp...!" orang itu justru bersorak.
Tembang Selayang jengkel
sekali dan dihantamnya dada
orang itu. Buuuhg...!
Wuuuus...! Brruk...!
Orang itu jatuh terpuruk tanpa
tenaga. Namun ia
berusaha bangkit dan
mengangkat tangannya dengan
lemah serta berseru dengan
suara pelan, "Hiduuup...!
Hiduuup...!"
Tembang Selayang menggeram
dengan gusar sekali.
Resi Pakar Pantun berkata
daritempatnya berdiri,
"Percuma saja kautanyai
mereka. Orangyangterkena
jurus 'Tebar Geni'-ku tak akan
bisa gunakan otaknya
dengan waras. Sebaiknya kita
cari saja ke tempat lain."
Suto menyahut, "Kurasa
mereka sengaja
mengecohkan kalian dengan
mengusung tandu kosong!"
"Tandu itu tadi tidak
kosong!" sang Resi ngotot
sekali. "Berani disambar
pisang rebus, kulihat sendiri
tandu itu tidak kosong,
Suto!"
"Baiklah, anggap saja
tandu itu memang tadi tidak
kosong dan sekarang kosong.
Yang harus kalian lakukan
adalah mencari si Gundik Sakti
itu ke tempat lain. Tak
bisa hanya beradu debat di
sini saja."
"Nah, itu langkah yang
baik!" ujar sang Resi. "Kau
mau membantuku, Suto?"
"Jelaskan dulu
persoalannya; mengapa kau
bermusuhan dengan si Gundik
Sakti? Mengapa kulihat
Tembang Selayang berang sekali
kepada si Gundik
Sakti. Dan... siapa sebenarnya
si Gundik Sakti itu?
Sebelum jelas persoalannya aku
tak akan mau ikut
campur tangan dalam urusan
kalian!"
"Kembang kempis bulan
sekarat,
tidur dimangkuk terkena gugat.
Kalau tak ada perkara berat,
untuk apa aku
datangmencegat"
Pendekar Mabuk lirikkan mata
sebentar ke arah
Tembang Selayang. Agaknya
gadis itu tak mau bicara
karena diliputi rasa
dongkolnya yang menggebu-gebu.
Lalu, Suto bicara lagi kepada
Resi Pakar Pantun,
"Perkara berat apa,
tolong ceritakan dulu padaku,
Resi!"
"Kembang kempis...."
"Tak usah pakai kembang
kempis dulu, Resi.
Langsung saja ceritakan
perkara sebenarnya!" sergah
Suto membuat sang Resi tak
jadi berpantun lagi.
*
* *
2
"GUNDIK SAKTI adalah
pewaris Gua Tumbal
Perawan, letaknya di Bukit
Sangkur," tutur Resi Pakar
Pantun. Namun baru saja ia
mengawali ceritanya, tiba-
tiba para pengawal tandu yang
terkena jurus 'Tebar
Geni'-nya Resi Pakar Pantun
itu mengalami keanehan.
Satu-persatu mereka terpekik
dengan suara tertahan.
Mata mereka mendelik dengan
tubuh kejang. Wajah
mereka menjadi biru dan lidah
terjulur. Kemudian satu-
persatu pula mereka hembuskan
napas terakhir dan diam
selama-lamanya.
"Apa yang terjadi pada
diri mereka?!" Pendekar
Mabuk bernada heran. Pertanyaan
itu dilontarkan kepada
Resi Pakar Pantun. Tetapi
tampaknya sang Resi pun
diliputi oleh keheranan.
Tembang Selayang juga
memperlihatkan wajah herannya
melihat orang-orang itu
tewas satu-persatu.
"Seperti ada yang
mencekik mereka, Eyang!" seru
Kadal Ginting dengan wajah
tegang.
"Jurusku tidak membuat
orang mati tercekik," ujar
Resi Pakar Pantun seperti
orang menggumam.
"Lalu, mengapa mereka
tiba-tiba mati tercekik?!" ujar
Tembang Selayang dengan dahi
berkerut. Resi Pakar
Pantun pejamkan mata sebentar.
Kejap berikut ia perdengarkan
suaranya dalam
keadaan mata masih terpejam.
"Ada kekuatan gaib yang
mencekiknya. Datangnya
dari arah timur kita."
Semua mata memandang ke arah
timur dengan
tegang. Tapi mereka tidak
temukan siapa-siapa di
sebelah timur.
Zlaaaap...! Suto Sinting
melesat ke arah timur dengan
kecepatan melebihi anak panah
lepas dari busurnya, ia
pergunakan jurus 'Gerak
Siluman' yang mirip orang
menghilang dalam sekejap.
Tembang Selayang mengerti
maksud kepergian Suto
yang ingin mencari seseorang
di sebelah timur. Maka ia
pun ikut melesat ke arah yang
sama, namun kecepatan
geraknya tak bisa menyamai
Suto Sinting.
"Kadal Ginting, tunggu di
sini! Aku akan ikut
mencari ke arah timur!"
ujar Resi Pakar Pantun, lalu
tubuhnya bergerak cepat hampir
menyamai gerakan Suto
Sinting. Weeeesss...!
Kadal Ginting ketakutan
setelah sadar dirinya berada
di antara para mayat yang baru
saja mati tercekik sesuatu
yang tak tampak mata. Tubuhnya
yang merinding itu
bergidik dengan jantung
berdebar-debar.
"Daripada aku ikut tercekik,
lebih baik lari ke arah
timur menyusul mereka!"
Wuuuut...! Kadal Ginting
berlari dan baru saja
bergerak sudah
jatuhtersungkur. Brruus...!
"Eyaaaang...!" ia
menjerit ketakutan dengan mata
terpejam kuat-kuat, karena
menganggap ada kekuatan
gaib yang ingin mencekiknya.
Padahal ia jatuh
tersungkur karena kakinya
menyampar tangan manyat
yangterkapar di depannya.
Pencarian mereka dilakukan
hingga beberapa saat
lamanya. Namun agaknya tak
satu pun temukan orang
yang dicurigai telah lakukan
pembunuhan terhadap
beberapa pengawal tandu itu.
Tepat di sebuah karang
bertebing batu, secara tak
sengaja mereka berkumpul
kembali dari berbagai arah.
"Tak ada yang bisa ku
lacak," kata Tembang
Selayang.
"Aku pun tak menemukan
apa-apa," kata Pendekar
Mabuk.
Sang Resi diam sebentar,
kemudian setelah pandangi
keadaan sekeliling, ia berkata
dengan suara pelan mirip
orangmenggumam.
"Gundik Sakti yang
lakukan pembunuhan itu! Pasti
dia orangnya."
"Mengapa dia lakukan
terhadap para pengawalnya
sendiri? Mengapa tidak ia
lakukan terhadap diri kita?"
tanya Tembang Selayang bernada
menyanggah pendapat
Resi Pakar Pantun.
"Gundik Sakti merasa
kecewa terhadap para
pengawalnya yang tak mampu
tumbangkan diriku," ujar
sang Resi. "Ia merasa
sia-sia punya pengawal seperti
mereka, lalu merasa lebih baik
membuang mereka ke
neraka!"
"Kejam nian si Gundik
Sakti itu?!" kata Suto Sinting,
lalu ia meneguk tuaknya
beberapa kali.
"Gundik Sakti memang
orang yang keji," kata Resi
Pakar Pantun sambil pandangi
kedatangan Kadal Ginting
yangtergopoh-gopoh dan
ngos-ngosan.
"Eyang, aku hampir saja
mati dicekik oleh setan
pembunuh mereka tadi!"
kata Kadal Ginting kepada
sang Resi. "Tapi untung
aku mampu mengalahkan
kekuatan setan tanpa wujud
itu, sehingga bisa lolos
kemari!"
Sang Resi hanya mencibir tak percaya,
tapi Kadal
Ginting bersikap tak peduli
atas tanggapan tuannya, ia
segera duduk di atas sebuah
batu menenangkan napasnya
yangterengah-engah.
Resi Pakar Pantun lanjutkan
kisahnya tentang si
Gundik Sakti.
"Gundik Sakti menjadi
penguasa di Gua Tumbal
Perawan setelah ibunya yang
berjuluk Nyai Selir Iblis
tewas dalam pertarungan dengan
seorang senopati dari
tanah seberang. Perangai dan
wataknya serupa betul
dengan mendiang ibunya."
"Nyai Selir iblis itu
tokoh aliran hitam?"
"Ya, dan orang-orang Gua
Tumbal Perawan memang
beraliran hitam semua. Mereka
merupakan satu
masyarakat yang tinggal di
dalam gua. Gua itu sangat
luas, menyerupai sebuah desa,
sehingga sering disebut-
sebut orang sebagai Desa
Lambung Bumi. Setiap malam
purnama mereka membutuhkan
tumbal seorang
perawan. Darah perawan
dipersembahkan kepada roh
sembahan mereka yang bernama
Darahkula; Dewa
Penguasa Kegelapan."
"Salah satu perawan yang
menjadi tumbal Darahkula
adalah kakak angkatku:
Handayani!" sahut Tembang
Selayang. "Karenanya aku
ingin balas dendam kepada
Gundik Sakti untuk menebus
nyawa kakak angkatku
itu."
"Pantas kau tampak
bernafsu sekali menyerang tandu
hitam itu," ujar Suto
sambil manggut-manggut, mulai
paham alasan kemarahan Tembang
Selayang terhadap
Gundik Sakti.
"Salah satu muridku juga
menjadi tumbal di gua itu,"
sela Resi Pakar Pantun.
"Murid perempuanku itu
bernama Windi Arum, putri
Sultan Kemuning yang
diculik oleh Gundik Sakti
sendiri pada malam purnama
baru lalu. Roh muridku itu
bagaikan menangis terus-
menerus di sampingku, seakan
minta dibalaskan
perlakuan si Gundik Sakti itu.
Rasa-rasanya jika aku
belum bisa membunuh Gundik
Sakti, tangis itu selalu
akan kudengar meresahkan jiwa
di mana pun aku
berada."
"Banyak pihak yang telah
menjadi korban kekejian
Gundik Sakti itu," ujar Tembang
Selayang. "Karenanya
aku bermaksud mengadu domba
antara Gundik Sakti
dengan Merak Cabul, karena
kepemimpinan si Merak
Cabul di perguruanku sangat
tidak kusetujui, ia
membawa orang-orang Bukit
Kasmaran menjadi sesat
dan tidak bersusila."
"Merak Cabul telah
tiada."
"Hahh...?!" Tembang
Selayang terkejut. Matanya
memandang Suto Sinting dengan
melebar.
"Ia mati bersama Sanjung
Rumpi," sambung Suto.
"Siapa yangmembunuh
mereka?"
"Kakeknya sendiri; Dewa
Putih!" Suto pun segera
ceritakan kematian Merak Cabul
secara singkat, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Sabuk Gempur
Jagat"). Cerita itu
membuat Tembang Selayang bengong
sejenak, setelah itu menarik
napas dalam-dalam dan
berkata dengan pandangan mata
menerawang.
"Syukurlah jika Merak
Cabul telah tiada. Kurasa
keadaan di perguruan sekarang
sedang kacau karena
membutuhkan seorang ketua. Aku
perlu ke sana untuk
menenangkan mereka dan
mengembalikan langkah
mereka yang telah disesatkan
oleh Merak Cabul.
Hmmm... tapi aku perlumencari
Dinada lebih dulu."
"Dinada...?!" gumam
Suto bagai bicara pada dirinya
sendiri, ia mulai terbayang
seraut wajah cantik milik
seorang gadis peniup seruling
yang punya nama asli
Milasi itu. Peristiwa
perjumpaan dengan Dinada
dikenang oleh Pendekar Mabuk.
Sayang ia tak tahu di
mana Dinada sekarang berada,
(Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode :
"Gelang Naga Dewa").
"Sebentar lagi malam
purnama akan tiba. Aku harus
bisa hentikan pencarian tumbal
yang dilakukan Gundik
Sakti dengan cara melumpuhkan
perempuan itu!" ujar
Resi Pakar Pantun. Ia tampak
bersemangat sekali, karena
di dalam hatinya menyimpan
dendam atas kematian
murid wanitanya yang bernama
Windi Arum itu.
"Aku akan mendampingimu,
Resi!" kata Tembang
Selayang, "Kita serang
bersama Gua Tumbal Perawan
itu!"
"Sebaiknya kau tidak usah
ikut ke Bukit Sangkur,"
Resi Pakar Pantun berkata
dengan hati-hati, takut
menyinggung perasaan Tembang
Selayang. "Kalau kau
ikut ke sana bersamaku, dan
terjadi sesuatu pada dirimu,
aku tak enak pada ayahmu; Empu
Tapak Rengat. Dia
sahabat baikku dan aku tak mau
persahabatanku
dengannya menjadi putus
gara-gara kau ikut menyerang
ke Bukit Sangkur."
"Itu urusanku dengan
Ayah. Aku toh punya urusan
pribadi dengan Gundik
Sakti?!" Tembang Selayang
bernada ngotot.
Resi Pakar Pantun diam sesaat.
Akhirnya Pendekar
Mabuk pun angkat bicara.
"Serahkan saja perkara
ini padaku."
Tembang Selayang dan Resi
PakarPantun sama-sama
pandangi Suto Sinting.
"Ini tugasku; tugas
menghancurkan tindak angkara
murka dan kekejaman. Kalian
tak perlu repot-repot
melabrak ke Gua Tumbal
Perawan, biar aku saja yang
datang ke gua itu."
Tembang Selayang mencibir
sinis. "Kau tak akan
mampu hancurkan Gundik
Sakti...."
"Ilmunya cukup
tinggi," sahut Resi Pakar Pantun.
"Kau lihat sendiri
bagaimana ia menghukum
pengawalnya yang gagal melumpuhkan
diriku tadi? Ia
mampu membunuh tanpa terlihat
wujudnya, ia
menguasai jurus 'Teropong
Pati' dan beberapa jurus
lainnya. Bukankah begitu
maksudmu, Tembang
Selayang?"
"Yang jelas, Suto tak
akan mampu membunuh
perempuan itu, sebab perempuan
itu cantik dan tubuhnya
sangat mengundang gairah bagi
lawan jenisnya. Ia
mampu membuat lawan jenisnya
bertekuk lutut dengan
ilmu pemikat yang dimilikinya,
ilmu pemikatnya itu
bukan saja untuk lelaki, tapi
seorang gadis pun mampu
terpengaruh oleh ilmu
pemikat-nya, menjadi menurut
dibawa ke mana saja, sehingga
bagi seorang perawan
akan tunduk dengan segala
perintahnya walau harus
menjadi tumbal di dalam gua
tersebut."
"Benar. Gundik Sakti
memang mempunyai ilmu sihir
cukup tinggi," timbal
sang Resi. "Nafsu bercintanya pun
sangat besar dan selalu
bergelora."
"Apakah menurut kalian
aku tak mampu
menghindarinya? Jika ilmu
pemikat si Merak Cabul
mampu kulawan, mengapa Gundik
Sakti tak mampu
kulawan juga?"
Tembang Selayang berkata,
"Ilmu pemikat si Merak
Cabul masih di bawah Gundik
Sakti. Bahkan ilmu
pemikat mendiang guruku masih
kalah tinggi
dibandingkan ilmu pemikat si
Gundik Sakti."
"Itu memang benar,
Suto," ujar sang Resi, lalu ia
berpantun penuh semangat:
"Kembang kempis bunyi
ketupat berisi batu,
ditelan bayi nyaring sekali
bunyinya.
Jangankan hati pemuda tampan
sepertimu,
tembok saja pun akan jebol
oleh kedipan matanya."
Pendekar Mabuk hanya
sunggingkan senyum tipis, ia
berkata kepada Tembang
Selayang dengan suara
lembutnya yang sering
menghadirkan debaran indah di
hati seorang gadis seperti
Tembang Selayang itu.
"Sebaiknya kau lanjutkan
perjalananmu ke Bukit
Kasmaran. Perguruanmu
membutuhkan seorang ketua.
Carilah Dinada dan
berundinglah dengannya. Jika masih
ada perguruan yang punya
kesucian, sembunyikan dulu
orang itu agar tak diculik
oleh Gundik Sakti buat tumbal
malam purnama nanti."
Tembang Selayang diam membisu
bagaikan
mengalami kebimbangan. Suto
segera pandangi Resi
Pakar Pantun dan berkata
dengantenang.
"Izinkan aku yang
mengambil alih perkara si Gundik
Sakti itu. Percayakan padaku,
Resi. Kau bisa kerjakan
hal-hal lain yang sama
pentingnya dari menghancurkan
Gundik Sakti."
Kadal Ginting yang sejak tadi
hanya diam mengikuti
pembicaraan ke pembicaraan,
kini cepat-cepat menyela
kata dengan suaranya yang
cempreng.
"Eyang Resi, Prabu
Digdayuda pasti sudah
menunggu-nunggu kedatangan
kita. Apakah Eyang Resi
tak bermaksud menyelamatkan
tanah kekuasaan ayah si
Kertapaksi itu?"
Suto Sinting agak terperanjat.
"Ada apa dengan
negerinya Kertapaksi?"
tanya Suto, karena ia segera
ingat tentang Kertapaksi,
murid Resi Pakar Pantun yang
pernah bentrok dengannya namun
tak meninggalkan
dendam di hati masing-masing
itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode :
"Asmara Berdarah Biru").
"Negeri Bumiloka sedang
mengalami kekacauan. Ada
pihak yang ingin merebut
negeri itu, dan muridku
Kertapaksi terdesak, ia butuh
bantuanku."
"Kalau begitu
selesaikanlah urusan negeri Bumiloka,
Resi! Selamatkan muridmu agar
tak mengalami celaka
karena keributan itu. Jangan
sampai kau menyesal akibat
keterlambatanmu datang ke
sana, Resi!"
Setelah merenung sebentar,
sang Resi pun manggut-
manggut. "Benar juga,
seharusnya kuselamatkan
muridku itu dari ancaman maut:
Ratu Sangkar Mesum."
"Siapa...?!" Tembang
Selayang terkejut. "Ratu
Sangkar Mesum...?! Oh, maksudmu
si Penguasa Pulau
Cumbu itu?"
"Benar!" jawab sang
Resi. "Kabar yang kuterima,
kekuasaan Prabu Digdayuda
diserang orang-orang Pulau
Cumbu di bawah pimpinan Ratu
Sangkar Mesum.
Apakah kau kenal dengan Ratu
Sangkar Mesum,
Tembang Selayang?"
"Ketika mendiang guruku
masih hidup, kami pernah
bentrok dengan Pulau Cumbu dan
aku hampir mati di
tangan Ratu Sangkar
Mesum."
"Hmmm...," Resi
Pakar Pantun angguk-anggukkan
kepala. "Pulau yang
sempit membuat Ratu Sangkar
Mesum selalu berusaha mencari
tempat baru untuk
kembangkan kekuasaannya. Dan
kali ini agaknya yang
diincar adalah negeri
Bumiloka, karena selain wilayah
kekuasaan Bumiloka cukup luas,
negeri itu juga
menghasilkan tambang emas dan
perak cukup besar."
"Tapi bukankah negeri itu
mempunyai banyak orang
kuat dan prajuritnya berjumlah
cukup banyak? Mengapa
sampai terdesak oleh kekuatan
orang-orang Pulau
Cumbu?"
"Kudengar Ratu Sangkar
Mesum dibantu oleh Dewi
Geladak Ayu!"
"Oh, pantas! Negeri itu
bisa hancur karena Dewi
Geladak Ayu, si bajak laut
wanita itu, mempunyai
pusaka Panah Lebur
Sukma!" Tembang Selayang
berwajah tegang, membuat Suto
Sinting perhatikan
dengan kerutan dahi tajam
pertanda ikut berpikir keras.
"Segawat itukah negerinya
si Kertapaksi itu?" gumam
Suto membatin.
"Jika memang begitu,
sebaiknya kau selamatkan dulu
negeri Bumiloka itu,
Resi," ujar Tembang Selayang.
"Jika Ratu Sangkar Mesum
berkuasa di sana dan bersatu
dengan Dewi Geladak Ayu, itu
pertanda awal bencana
bagi orang-orang tanah Jawa.
Dalam waktu singkat
kekuatan mereka dapat melenyapkan
para tokoh aliran
putih di tanah Jawa ini,
Resi!"
"Dua kekuatan hitam itu
jika bersatu memang sangat
berbahaya," gumam sang
Resi dengan mata
menerawang, seakan
membayangkan kengerian yang
terjadi jika kedua tokoh
aliran hitam itu bersatu di tanah
Jawa. Pendekar Mabuk pun
tampak sembunyikan
kecemasan di balik ketenangan
sikapnya.
*
* *
3
SEJAK berpisah dan berpencar
arah dengan Tembang
Selayang dan Resi Pakar
Pantun, hati Suto Sinting
diliputi rasa penasaran ingin
segera bertemu dengan
yang namanya Gundik Sakti.
Rasa ingin menjajal ilmu si
Gundik Sakti membuat Suto
mempercepat langkahnya
menuju Bukit Sangkur. Untung
sang Resi memberinya
petunjuk arah menuju Bukit
Sangkur dan ciri-ciri
lembah berhutan cemara putih,
sehingga Suto merasa tak
akan salah langkah.
"Kau akan melalui dua
buah desa," kata sang Resi
sebelum berpisah.
"Bermalamlah di desa pertama walau
hari masih terang. Sebab jika
kau lanjutkan
perjalananmu, maka kau akan
bermalam di hutan dan
mencapai desa kedua esok
harinya. Tapi jika kau
bermalam di desa pertama, maka
keberangkatanmu dari
desa itu pada esok harinya
akan membuatmu tiba di desa
kedua di senja hari, dan kau
bisa bermalam lagi di desa
kedua itu. Lanjutkan
perjalanan pada pagi harinya, maka
kau akan tiba di Bukit Sangkur
menjelang matahari
bertengger di atas kepala
manusia."
Tentu saja perhitungan waktu
sang Resi itu
berdasarkan langkah kakinya,
ia tidak perhitungkan
kecepatan langkah Suto Sinting
yang dapat melesat lebih
cepat karena pergunakan jurus
'Gerak Siluman'. Ia juga
tidak perhitungkan jika
terjadi halangan di perjalanan
yang dapat menghambat langkah
dan memakan waktu
tidak sedikit.
Kenyataan yang dialami Suto
Sinting toh tidak
semulus dugaan Resi Pakar
Pantun. Dalam perjalanan
menjelang sore. Pendekar Mabuk
terpaksa hentikan
langkah karena matanya sempat
memandang ke atas
sebuah bukit tak begitu
tinggi. Di atas perbukitan itu
tampak iring-iringan manusia
yang memanggul sebuah
tandu berwarna hitam.
"Tandu hitam itu
sepertinya berisi orang penting,"
pikir Suto dalam bungkam.
"Empat pengawal di depan
tampak bersenjata pedang dan
berbadan kekar. Empat
pengawal di belakang juga
tampak siaga dengan senjata
masing-masing. Keempat
pengusungnya pun agaknya
orang-orang yang siap tempur,
terbukti mereka
bersenjata semua. Hmmm... tak
salah dugaanku, pasti si
Gundik Sakti yang ada di dalam
tandu hitam. Bentuk
dan ukuran tandunya sama
dengan tandu yang
dihancurkan Tembang
Selayang."
Mestinya Suto menuju ke arah
barat untuk mencapai
Bukit Sangkur. Namun begitu
melihat iring-iringan
tandu hitam, ia membelok
mengikuti arah yang dituju
tandu tersebut. Mereka ke
utara, dan Suto juga ke utara.
Ia mengikuti dari kejauhan
dengan sesekali menyelinap
di balik pohon atau di semak
belukar. Rupanya Suto
ingin tahu ke mana tujuan
tandu hitam itu dan apa yang
akan dilakukan orang di dalam
tandu tersebut.
Iring-iringan tandu itu
berhenti di tepi sebuah sungai.
Pendekar Mabuk pun hentikan
langkahnya di balik
gugusan batu besar. Dari sana
ia mengintai dengan
cermat. Hatinya berharap agar
orang di dalam tandu itu
keluar untuk membasuh muka
atau lakukan apa saja.
Tapi ternyata sampai sekian
lama tandu masih tertutup
kain hitam. Beberapa
pengawalnya yang mendekati
tepian sungai meminum air
sungai yang bening dan
dangkal itu.
"Apakah tandu itu kosong,
seperti tandu yang
dihancurkan Tembang Selayang
itu?" pikir Suto Sinting.
Namun mendadak matanya sedikit
terbelalak, karena
dari balik kain hitam yang
menyelubungi tandu terjulur
sebuah tangan berkulit mulus
dan bergelang batuan
merah delima. Tangan itu menyerahkan
cawan kepada
seorang pengawal. Kemudian
pengawal yang menerima
cawan segera ke perairan
sungai, mengisi cawan emas
itu dengan air sungai yang
bening. Kemudian cawan
tersebut diserahkan kembali
kepada orang yang ada di
dalam tandu hitam tanpa menyingkap
kain penutupnya.
Tangan orang yang ada di dalam
tandu terulur sendiri
dan menerima cawan tersebut.
"Tangan itu jelas tangan
seorang wanita. Tak salah
lagi, Gundik Sakti yang ada di
dalam tandu. Tapi...
untuk apa air dalam cawan itu?
Apakah ia meminum air
sungai? Atau hanya sekadar
untuk cuci muka? Ah, sial
sekali! Mengapa ia tidak
keluar dari dalam tandu dan
mengambil air sungai
sendiri?"
Hati si murid sinting Gila
Tuak itu menjadi resah.
Rasa penasaran ingin melihat
wajah Gundik Sakti
membuatnya bingung sendiri,
dan batinnya berkecamuk
penuh gerutu.
"Bagaimana kalau kuserang
agar ia keluar dari dalam
tandu? Hmm... oh, jangan!
Nanti malah timbul korban di
pihak para pengawalnya.
Sebaiknya...."
Kecamuk batin Pendekar Mabuk
terhenti secara
mendadak karena tiba-tiba ia
mendengar dengusan napas
lembut di belakangnya. Ia
buru-buru palingkan wajah,
dan nyaris terpekik kaget
melihat seraut wajah cantik
telah berada di belakangnya,
sedang merunduk-runduk
mendekatinya.
"Ssssttt...!" si
pemilik wajah cantik itu memberikan
isyarat agar Suto jangan
bersuara sedikit pun. Jari
telunjuknya ditempelkan di
bibir yang agak lebar namun
menggiurkan sekali
keindahannya. Perempuan cantik
berusia sekitar dua puluh
delapan tahun itu kian dekati
Suto, dan ia ikut berlindung
di balik gugusan batu besar,
tepat di samping kiri Suto
Sinting.
Pendekar Mabuk jadi salah
tingkah. Aroma wangi
yang menyebar dari tubuh
perempuan berjubah merah
jambu itu menimbulkan
kegelisahan sendiri di hati Suto
Sinting. Bola mata yang
sedikit besar namun berbentuk
indah dengan bulu mata lentik
itu menggelitik perasaan
cinta Suto. Belum lagi
dandanannya yang tergolong
seronok, jubah tak berkancing
dengan penutup dada tipis
warna biru muda, sungguh
menggoda jiwa si murid
sinting Gila Tuak itu.
"Montok sekali dia?
Kulitnya putih mulus dan,
waaah... pikiranku jadi kacau
kalau begini," keluh
Pendekar Mabuk dalam hatinya.
Akhirnya Suto melirik
kipas gading yang terselip di
pinggang perempuan itu. Ia
lakukan lirikan ke arah kipas,
karena hatinya merasa tak
kuat menahan debaran indah
jika terlalu lama
memandang wajah berbibir
menantang gairah itu.
"Apakah orang di dalam
tandu itu sudah keluar?"
bisik perempuan tersebut
berlagak akrab, seakan tak
membutuhkan basa-basi sama
sekali.
"Bel... belum,"
jawab Suto Sinting agak gugup karena
debaran hatinya kian membakar
hasrat ingin mencium
perempuan itu. Tapi si
perempuan bersikap acuh tak
acuh, tak menghiraukan tatapan
mata Suto yang nakal.
Pandangan matanya tertuju pada
tandu hitam, di mana
para pengawalnya sedang beristirahat
bagai habis
lakukan perjalanan jauh.
"Cepat atau lambat ia
pasti keluar dari dalam tandu!"
ujar perempuan berjubah merah
jambu dengan nada
membisik.
"Apakah kau tahu siapa
yang ada di dalam tandu
hitam itu?" pancing Suto
setelah ia berhasil
menenangkan diri. Pandangan
matanya dikembalikan ke
arah tandu dan para
pengawalnya.
Terdengar perempuan cantik itu
menjawab
pertanyaan Suto tadi dengan
nada masih membisik lirih.
Namun karena letak wajahnya
dekat sekali dengan
telinga Suto, maka bisikan
lirih itu pun terdengar jelas
bagi Pendekar Mabuk.
"Siapa lagi yang ada di
dalam tandu hitam itu jika
bukan si Gundik Sakti."
"Kau kenal dengan Gundik
Sakti?"
"Sangat kenal,"
jawab perempuan itu tanpa
memandang Suto.
Ia berpaling memandang Suto,
tatapan matanya terasa
menembus jantung si Pendekar
Mabuk, membuat
pemuda berbaju cokiat tanpa
lengan dengan celana putih
lusuh dililit ikat pinggang
kain merah itu menjadi
gundah sesaat. Gerakan mata si
tampan Suto tampak
nanar, bingung mencari
sasaran.
"Aku memang kenal dengan
Gundik Sakti, tapi aku
belum kenal dengan pemuda yang
mengintainya dari
balik batu ini."
Senyum pun tersungging
berkesan malu-malu. Suto
Sinting paham bahwa perempuan
itu ingin mengenal
namanya. Maka sambil
mengarahkan pandangan mata ke
tandu hitam, Suto menyebutkan
namanya dengan lirih.
"Kau bisa memanggilku:
Suto, sebab namaku adalah
Suto Sinting."
"Oh, jadi... jadi kau
yang bergelar Pendekar
Mabuk?!" perempuan itu
terperanjat, suara bisiknya
bernada terpekik walau tak
sekeras pekikan biasa
sewajarnya. Bola mata yang
semula sedikit sayu itu kini
menjadi berbinar-binar dengan
senyum indah mekar di
bibir merah segar. Suto
Sinting tampak tersipu dan tak
mau pandangi perempuan yang
mengenakan perhiasan
lengkap itu.
"Aku sering mendengar
namamu menjadi bahan
percakapan orang-orang.
Mulanya aku menyangka
orang-orang itu terlalu
berlebihan menceritakan
ketampanan Pendekar Mabuk.
Tapi setelah kulihat
sendiri kenyataannya, ternyata
mereka kurang lengkap
menceritakan ketampananmu.
Mereka tidak pernah
menceritakan bahwa Pendekar
Mabuk adalah seorang
pemalu yang tak berani
memandang wanita dari jarak
sedekat ini."
"Ah, sudahlah!" Suto
Sinting berusaha mengalihkan
pembicaraan. Tapi perempuan
berjubah merah jambu itu
masih saja mengajak
berkasak-kusuk sambil sesekali
matanya memandang ke arahtandu
hitam.
"Orang-orang yang
menyanjungmu itu lupa
mengatakan, bahwa Pendekar
Mabuk itu seorang
pemuda yang mudah berkeringat
dingin jika terlalu lama
dipandang oleh
perempuan."
Suto jadi semakin kikuk dan
malu, sebab ia baru
menyadari bahwa di kening dan
dahinya telah tersembul
butiran keringat, dan keringat
itu adalah keringat dingin
akibat kegugupannya berhadapan
dengan perempuan
cantik dalam jarak kurang dari
satu langkah. Untuk
menutupi rasa malunya,
akhirnya Suto beranikan diri
menanyakan nama perempuan itu.
"Aku belum mengenal siapa
dirimu. Maukah kau
sebutkan siapa namamu dan dari
mana asalmu?"
"Namaku...? Oh, maaf. Aku
lupa memperkenalkan
diri padamu," seulas
senyum menawan sengaja
dipamerkan perempuan itu di depan
Suto Sinting.
Sambungnya lagi,
"Kau bisa memanggilku
Rara, karena namaku adalah
Rara Santika."
"Nama yang bagus
sekali," ujar Suto sambil paksakan
keberaniannya. untuk menatap
mata Rara Santika.
"Mengenai dari mana
asalku; kurasa itu belum
penting bagimu. Yang
terpenting adalah...."
Tiba-tiba Rara Santika
hentikan bisik-bisiknya,
karena tiba-tiba mereka
mendengar suara pekikan
seseorang yang cukup
mengejutkan.
"Aaaaah...!"
Kedua orang di balik batu
besar serentak lemparkan
pandangan ke arah tandu hitam.
Ternyata seorang
pengawal bersenjata tombak
berujung pedang itu telah
roboh dalam keadaan ulu
hatinya tertancap pisau kecil.
Suasana menjadi tegang dan
kacau, karena kejap
berikutnya seorang pengusung
tandu pun memekik
panjang, mengejutkan mereka
yang ada di sekitarnya.
"Aaaaah...!"
Leher pengusung tandu itu
dihujam pisau kecil
bergagang hitam dengan ujung
gagangnya berhias
rumbai-rumbai benang hijau.
Pisau itu sama dengan
pisau yang menancap di ulu
hati pengawal yang kini
telah tak bernyawa itu.
"Menyebar...!" seru
seorang pengawal berompi merah
yang kumisnya cukup lebat dan
wajahnya berkesan
angker itu. Ia mencabut
pedangnya, kemudian
mengibaskan ke berbagai arah
dengan gerakan memutar.
Trang, trang, tring...!
Rupanya gerakan pedang itu
dilakukan untuk
menangkis serangan tiga mata
pisau yang meluncur
deras ke arahnya. Tiga pisau
itu berhasil ditangkis,
namun pisau keempat tak mampu
dihindari lagi.
Zuuuut...! Juubb...!
"Aaaahhh...!" orang
itu menjerit dengan kasar dan
keras, matanya mendelik,
tubuhnya mengejang. Sebilah
pisau berukuran dua kali lebih
besar dari pisau-pisau tadi
telah menancap di tengkuknya.
Pisau itu membuat orang
tersebut roboh ke depan,
menggelepar sebentar, setelah
itu menghembuskan napas
terakhir dan tak bergerak lagi.
"Dari mana datangnya
serangan itu?!" gumam Suto
Sinting dengan heran dan
matanya bergerak jelalatan
memandang ke sana-sini.
"Serangan itu dilakukan
oleh dua orang," bisik Rara
Santika. "Yang satu
berada di atas pohon sebelah timur,
yang satu berlindung di balik
dua pohon yang tumbuh
merapat di sebelah utara.
Perhatikan kedua pohon yang
tumbuh saling berjajaran
itu!"
Pendekar Mabuk arahkan
pandangan matanya ke
utara, dan ia temukan gerakan
kecil daun-daun ilalang
yang tumbuh di sekitar dua
pohon tersebut. Gerakan
kecil daun ilalang itu bukan
gerakan karena angin,
namun karena kaki seseorang
yang bersembunyi di sana.
"Hmmm... benar!"
gumamnya lirih. "Tajam sekali
penglihatanmu, Rara,"
puji Suto, namun agaknya pujian
itutak dihiraukan oleh Rara
Santika.
"Pandanglah ke arah atas
pohon di sebelah timur. Di
balik kerimbunan daun pohon
berwarna hijau kehitaman
itu ada seseorang yang
bersembunyi di sana."
Suto Sinting ikuti saran
tersebut. Mulanya ia tak
menemukan tanda-tanda
kehidupan manusia di atas
pohon tersebut. Tapi kilauan
cahaya putih yang terjadi
akibat pantulan sinar matahari
dari sebuah senjata
berlogam putih telah membuat
Suto manggut-manggut
dan mengakui kebenaran dugaan
Rara Santika. Hati sang
pendekar pun membatin,
"Benar-benar jeli mata
perempuan ini! Aku harus
mengakui keunggulannya dalam
memandang seseorang
yang bersembunyi."
Rupanya orang yang di atas
pohon itu tak sabar
memendam murkanya. Ia melompat
keluar dari
persembunyiannya sambil
melepaskan pukulan jarak
jauh yangmemancarkan sinar
merah lurus tanpa putus.
"Heeeeaaaah...!"
Claaap...! Sinar merah itu
melesat dari telapak
tangannya dan menghantam dua
orang pengawal yang
berada membelakangi tandu.
Melihat sinar merah itu
meluncur cepat ke arahnya,
kedua pengawal itu segera
saling melompat ke samping
kanan-kiri, dan akibatnya
sinar merah itu
menghantamtandu hitam.
Duuaaar...!
Tandu hitam menjadi hancur,
potongan kayu dan
kainnya menyebar ke berbagai
arah. Mata murid sinting
si Gila Tuak punterbelalak
kaget.
"Tandu itu kosong?! Aneh!
Padahal tadi kuiihat ada
tangan yang terulur keluar
menyerahkan cawan dan
menerimanya kembali?!"
Tak ada sepotong daging
manusia yang ikut tersebar
dalam kehancuran tandu hitam
itu. Bahkan sesobek
pakaian wanita pun tak
terlihat ada di antara puing-puing
tandu. Hal itu benar-benar
mengherankan bagi Suto
Sinting, ia berkata kepada
Rara Santika dengan nada
tegang.
"Tadi kulihat Gundik
Sakti ada di dalam tandu itu,
kenapa sekarang tandu itu
pecah dan Gundik Sakti tak
ada di dalamnya?!"
"Mungkin dia sudah keluar
tinggalkan tandu sebelum
terjadi penyerangan
tadi."
"Tidak mungkin,"
sangkal Suto. "Kalau dia keluar
dari tandu pasti aku
melihatnya, sebab dari tadi aku
memperhatikan tandu itu, dan
tak kulihat ada orang
keluar dari sana."
Rara Santika sunggingkan
senyum tipis, tak jelas
artinya bagi Pendekar Mabuk.
Namun senyuman itu
segera tak dihiraukan karena
suara gaduh pertarungan
lebih memancingperhatian Suto
Sinting.
Para pengawal dan pengusung
tandu diserang oleh
dua orang lelaki yang usianya
sekitar tiga puluh tahun.
Yang satu sedikit tampak lebih
muda dari yang satunya.
Mereka bersenjatakan pisau
terbang yang melingkar di
pinggang bagaikan sabuk.
Gerakan mereka sangat lincah
dan sukar diikuti dengan
pandangan mata, juga sukar
ditebak gerakan berikutnya.
Dalam beberapa waktu saja,
para pengawal dan
pengusung tandu berjatuhan
tanpa nyawa lagi. Tinggal
dua pengawal yang masih gigih
melawan dua lelaki
berpakaian serba kuning itu.
Hanya saja, yang satu
berikat kepala hijau, yang
satunya berikat kepala merah.
"Kau kenal dengan mereka,
Rara?"
"Ya, aku kenal. Mereka
adalah kakak beradik. Yang
berikat kepala merah itu
kakaknya, bernama: Dampak
Yogan. Sedangkan adiknya
berikat kepala hijau
bernama: Hanu Yogan."
"Mengapa mereka
menyerangtandu hitam itu?"
"Karena mereka menyangka
Gundik Sakti ada di
dalamnya."
"Iya, aku tahu hal itu.
Yang kutanyakan, mengapa
mereka menyerang Gundik
Sakti?"
"Entahlah. Mungkin mereka
punya dendam atau
persoalan pribadi dengan
Gundik Sakti," Rara Santika
bicara lirih bagai orang malas
bicara. Matanya tertuju
pada pertarungan satu lawan
satu yang agaknya cukup
seru itu.
Dampak Yogan mempunyai tubuh
yang lentur dan
lincah, sehingga ketika pedang
lawannya menebas leher,
ia justru bergerak maju dengan
tubuh memutar cepat,
tahu-tahu pisaunya dihujamkan
ke dada lawan. Jrrub...!
"Aaaahg...!"
pengawal tandu yang berpakaian hitam
itu mendelik, kejap berikutnya
tumbang dan tak
bernyawa lagi.
Sementara itu, Hanu Yogan
melenting di udara
hindari tebasan pedang lawan
yang akan merobek
perutnya. Gerakan bersaltonya
cukup cepat, hingga tahu-
tahu kedua kakinya sudah
hinggap ke pundak lawan.
Jleeeg...!
Lawan yang terkejut itu tak
sempat lakukan gerakan
apa-apa lagi, karena tangan
kiri Hanu Yogan
menghantam kuat ubun-ubun
lawannya. Wuuut...!
Praaak...!
"Aaaaa...!" orang
itu memekik keras-keras sambil
melangkah limbung saat tubuh
Hanu Yogan telah
melesat dari pundaknya dan
turun ke tanah. Kepala
orang itu berlumuran darah,
bukan hanya dari mulut dan
telinga saja, melainkan dari
pelipis dan tengkuk pun
mengalir darah merah segar
menandakan kepala itu
retak. Biji matanya tersembul
keluar nyaris terlepas dari
kelopaknya. Hantaman bertenaga
dalam di kepala
membuat orang tersebut
akhirnya tumbang dan tak
bernyawa lagi.
"Hanu Yogan, kita cari si
Gundik Sakti itu! Belum
puas hatiku jika si Gundik
Sakti belum mati seperti para
pengawalnya ini. Pasti ia
larikan diri dan masih berada
di sekitar sini!" kata
Dampak Yogan dengan mata
berbinar-binar penuh nafsu
untuk membunuh.
"Kita menyebar, Dampak
Yogan," ujar Hanu Yogan.
"Jangan bunuh dulu si
Gundik Sakti jika salah satu dari
kita menemukannya. Aku sendiri
belum puas jika belum
ikut menghancurkan raga si
Gundik Sakti itu. Rasa-
rasanya roh adik kita; Hutami
Yogan yang dijadikan
tumbal olehnya masih akan
menuntutku jika aku tidak
ikut membantai perempuan
keparat Itu!"
Suto berbisik kepada Rara
Santika, "Ooo... rupanya
mereka menaruh dendam kepada
Gundik Sakti, karena
adik perempuan mereka yang
bernama Hutami Yogan
itutelah dijadikan tumbal oleh
si Gundik Sakti."
Bisikan itu tak mendapat
balasan apa pun. Suto
Sinting curiga dan segera
berpaling memandang ke arah
kiri, ternyata Rara Santika
sudah tidak ada di
sebelahnya. Suto terkejut dan
kebingungan mencari
dengan pandangan matanya.
"Rara...?!"
panggilnya bernada bisik, tapi panggilan
itu tak mendapat jawaban dari
Rara Santika. Hanya saja,
tiba-tiba Pendekar Mabuk
dikejutkan oleh suara orang
memekik tertahan dan suara
gaduh dari kaki
menghentak-hentak tanah.
"Aaaahhg...! Aaaahg...!
Aaaahg...!"
"Dampak Yogan, ada apa?
Kenapa kau, Dampak
Yogan?!" suara sang adik
berseru penuh keheranan dan
ketegangan.
Dampak Yogan ada yang
mencekik, namun tidak
terlihat wujud lawannya. Tentu
saja hal itu
membingungkan Hanu Yogan. Sang
adik menjadi
semakin tegang setelah kejap
berikutnya ternyata
Dampak Yogan roboh dan tak
bernyawa lagi dalam
keadaan wajah membiru dan
lidah terjulur.
"Dampak Yogan...! Dampak
Yogaaan...!" teriak sang
adik dengan sedih dan murka.
Pendekar Mabuk baru akan
keluar dari
persembunyiannya, namun
langkahnya itu terhenti
dengan kejadian yang
mengherankan lagi. Ia
memandang bengong kepada Hanu
Yogan yang tahu-
tahu tumbang dan
menggelepar-gelepar tanpa bisa
berteriak lagi. Kedua
tangannya memegangi leher,
seakan ingin melepas sesuatu
yang mencekik lehernya
dengan sangat kuat. Kejadian
itu terjadi beberapa saat,
karena Hanu Yogan berusaha
bertahan sekuat tenaga.
"Bagaimana aku harus
membantunya? Aku pun tak
melihat siapa orang yang
mencekik si Hanu Yogan itu?"
pikir Suto Sinting bingung
sendiri. Akhirnya ia hanya
bisa menyaksikan kematian Hanu
Yogan tanpa bisa
berbuat sesuatu dari balik
persembunyiannya.
"Benarkah si Gundik Sakti
yang mencekik mereka,
seperti para pengawal yang
kalah menghadapi Resi
Pakar Pantun?!" pikir
Suto Sinting begitu alam menjadi
sunyi dan lengang setelah Hanu
Yogan hembuskan
napas terakhirnya.
"Ke mana tadi si Rara
Santika? Mengapa ia tiba-tiba
hilang? Apakah dia diculik
oleh Gundik Sakti?!"
Suto Sinting mulai melangkah
pelan-pelan tinggalkan
persembunyiannya. Kewaspadaan
ditingkatkan karena ia
mulai sadar bahwa sebentar
lagi akan berhadapan
dengan tokoh berilmu tinggi
yang mampu membunuh
lawan tanpa dapat dilihat
jasadnya.
"Oh, itu dia si Rara
Santika?! Celaka! Jangan-jangan
dia terkapar tak bernyawa di
seberang sana?!" ucap Suto
Sinting bersuara lirih dengan
nada tegang, ia segera
menghampiri Rara Santika yang
terkapar di rerumputan
dalam keadaan tergolek tanpa
bergerak. Perempuan itu
ada di seberang sungai di atas
tanah berumput tipis,
sehingga sosoknya dapat
terlihat jelas dari tempat Suto
berdiri.
"Siapa yang melemparkannya
sampai ke sana?!"
gumam Suto dalam hatinya
sambil melesat
menyeberangi sungai dengan
lompatan tampak ringan
dari batu ke batu.
4
MENDUNG sore mulai hadirkan
gerimis merintik ke
bumi. Pendekar Mabuk sudah
berhasil sadarkan si cantik
Rara Santika.
Ternyata perempuan itu hanya
pingsan
tanpa luka parah, ia segera
siuman setelah Suto
mengguncang-guncangkan
tubuhnya dan menampar-
nampar pelan pipinya.
"Mengapa kau sampai
terkapar di sini?"
"Seseorang yang tak
kulihat telah melemparkan
diriku dan, uuuuh...! Tulang
punggungku terasa patah.
Sakit sekali!" Rara
Santika merintih pelan.
"Minumlah tuakku biar
rasa sakitmu hilang."
"Tak usah," katanya
pelan, ia berusaha bangkit
dengan wajah menyeringai. Baru
setengah duduk sudah
jatuh terkulai lagi.
"Aduuuh...!"
rintihnya lagi. "Rupanya beberapa
uratkumenjadi putus akibat
jatuhterkapar di sini. Oooh..
tolonglah aku. Angkatlah aku
ke tempat yang aman,
Suto."
Pendekar Mabuk tak tega
mendengar rintihan itu, ia
segera mengangkat tubuh Rara
Santika yang berdada
sekal dan montok itu. Ia
membawanya ke suatu tempat
yang berpohon rindang. Saat
itulah gerimis sore mulai
turun membasahi bumi.
"Kita harus mencari
tempat meneduh," kata Suto
Sinting, tak jadi meletakkan
tubuh Rara Santika di
bawah pohon rindang. Perempuan
itu berkata dengan
nada masih menahan rasa sakit.
"Seingatku, di tepian
sungai ini ada reruntuhan biara
bekas milik Perguruan Bangau
Hitam yang telah hancur.
Kurasa di sana ada tempat
untuk meneduh sementara,
Suto. Bawalah aku ke
sana!"
"Ke mana arahnya, aku tak
tahu!"
"Berjalanlah ke arah hulu
sungai, jangan jauh dari
tepiannya supaya kita tidak
tersesat ke dalam hutan.
Reruntuhan biara itu ada di
tepian sungai ini."
Pendekar Mabuk tak banyak
pertimbangan lagi,
segera bergerak ke arah hulu
sungai. Ternyata
reruntuhan bekas biara itu
memang ada. Bangunan
tersebut sudah tampak tua,
dinding dan lantainya
berlumut dan berwarna hitam.
Atapnya sudah hancur,
tampak hitam karena bekas
terbakar.
Sekalipun biara itu telah
runtuh dan porak poranda,
namun agaknya ada tempat yang
bisa dipakai untuk
berteduh. Tempat itu adalah
sebuah ruangan bawah
tanah yang mempunyai jalan
masuk melalui halaman
samping. Rara Santika yang
menunjukkan adanya
ruangan bawah tanah itu,
sehingga Suto Sinting sempat
curiga dan segera ajukan tanya
kepada perempuan cantik
itu.
"Agaknya kau tahu persis
tentang bangunan ini.
Apakah dulu kau pernah tinggal
di biara ini?"
"Aku hanya pernah
tersesat di daerah ini, lalu
kutemukan bangunan ini dan
kupakai sebagai tempat
bersembunyi dari kejaran
lawanku."
Pendekar Mabuk menggumam
panjang dan manggut-
manggut. Keadaan ruangan yang
gelap menimbulkan
rasa pengap dan sesak di
pernapasan., Suto Sinting
terpaksa segera mencari kayu
kering yang belum terkena
gerimis. Beberapa potong kayu
papan dan dahan pohon
kering masih bisa diselamatkan
untuk digunakan sebagai
tumpukan api unggun.
Ruangan bawah tanah menjadi
terang setelah Suto
nyalakan api unggun dengan
menggunakan dua batu
marmer yang digesekkan dan
menimbulkan percikan api
yang segera membakar rumput
kering. Rumput itu
segera membakar batang-batang
kayu atau apa saja yang
dijadikan tumpukan api unggun.
Ruangan bawah tanah itu
ternyata tidak sekotor
tempat lainnya. Lantai yang
berubin itu tampak bersih
pada bagian tengah ruangan
yang cukup lebar.
Sepertinya tempat itu
digunakan oleh seseorang sebagai
tempat tinggal atau
persembunyian sementara. Itulah
sebabnya Rara Santika tak
keberatan ketika tubuhnya
dibaringkan di lantai
tersebut.
"Lantainya cukup bersih,
aku yakin ruangan ini ada
penghuninya. Hanya saja,
mungkin sekarang
penghuninya sedangpergi,"
kata Suto Sinting.
"Dugaanmu benar,"
kata Rara Santika sambil masih
sesekali menahan rasa sakit
dengan menggigit bibir atau
memejamkan mata kuat-kuat. Ia
berkata tanpa
memandang Suto, melainkan
menoleh ke kanan-kiri,
memperhatikan keadaan ruangan
yang mirip tempat
berlatih bagi para mantan
murid Perguruan Bangau
Hitam.
"Seorang temanku yang
gemar berburu pernah
menceritakan tempat ini.
Katanya, ia sering bermalam di
sini jika seharian tak
mendapatkan binatang buruannya.
Bahkan ia pun pernah membawa
pasangan kencannya ke
sini, karena menurutnya tempat
ini mudah menimbulkan
gairah dan hasrat untuk
bercumbu dengan lawan
jenisnya. Dan... dan sekarang
pun aku merasakan ada
gelombang udara yang mampu
membangkitkan
keindahan cinta dalam
bayanganku. Apakah kau tak
merasakannya, Suto?"
Pendekar Mabuk hanya
sunggingkan senyum tipis,
tangannya sibuk menatap
susunan kayu agar api unggun
tak menjadi padam. Sekalipun
gundukan api unggun itu
sangat kecil, namun Suto akan
sangat menyayangkan
jika harus padam. Karena nyala
apinya sangat berguna
bagi penerangan. Gerimis yang
mulai berubah menjadi
hujan, dan hujan yang
menghembuskan udara dingin,
ternyata dapat diusir dengan
kehangatan uap api
tersebut.
"Minumlah tuakku supaya
rasa sakitmu itu hilang dan
kau menjadi sehat seperti
sediakala," bujuk Suto Sinting
setelah ia sendiri meneguk
tuaknyatiga kaii.
"Aku tidak doyan tuak.
Biarlah rasa sakitku ini akan
kusembuhkan sendiri dengan
hawa murniku," kata Rara
Santika sambil merapikan sikap
berbaringnya, karena ia
ingin menyalurkan hawa
murninya ke seluruh tubuh.
"Jangan mengajakku bicara
dulu," katanya lagi,
kemudian ia segera pejamkan
mata. Kedua tangannya
saling merapatkan telapak
tangan di dada. Suto Sinting
membiarkan, hanya memandangi
dengan seulas senyum
kekaguman masih membias di
bibir.
"Menggairahkan sekali
dia," pikir Suto Sinting.
"Seolah-olah setiap lekuk
tubuhnya menghadirkan daya
pikat yang tinggi, membuat
alam pikiranku menjadi
jorok! Untung aku masih ingat
bahwa mempunyai calon
istri yang tak mungkin bisa
kukhianati. Dyah
Sariningrum, calon istriku
itu, pasti akan mengetahui
jika aku berbuat serong dengan
perempuan lain, karena
di negerinya sana; Puri
Gerbang Surgawi yang ada di
Pulau Serindu, ia selalu
memantauku menggunakan
teropong batinnya. Aku tak mau
mengecewakan hatinya
dengan melakukan pergumulan
bersama perempuan lain.
Aku tak mau menodai cintaku
hanya karena kecantikan
dan keelokan Rara
Santika."
Benak boleh saja berpikiran
seperti itu, tapi hati kecil
Suto dibuat gelisah oleh
debar-debar keindahan
manakala ia memandang
kecantikan dan kemulusan
dada Rara Santika. Repotnya
lagi, Suto mengalami
kesulitan saat ingin palingkan
pandangan ke arah lain.
Rasa-rasanya lehernya tak bisa
digerakkan untuk
berpaling ke arah lain.
Matanya tak bisa dikedipkan
setelah beberapa saat lamanya
pandangi tubuh Rara
Santika yang sedang
berbaringtenang itu.
"Gawat! Kenapa aku jadi
sukar berpaling ke arah
lain? Hatiku tak mau diajak
untuk memandang tempat
lain. Rasa-rasanya persendian
di leherku terpaku mati
dan hasratku tercurah
kepadanya."
Pendekar Mabuk masih jongkok
di dekat api unggun
kecil. Jarak api unggun dengan
tempat Rara Santika
berbaring hanya tiga jangkah.
Tentu saja Suto dapat
memandang jelas kecantikan
yangmenggiurkan itu.
"Kurasa dia bukan
perempuan sembarangan.
Setidaknya keluarga seorang
bangsawan atau saudagar
kaya. Tubuh dan kecantikannya
sangat terawat. Kulitnya
putih bersih, perhiasannya
lengkap, jari-jarinya lentik
berkuku runcing rapi
menandakan setiap hari terjaga
perawatannya. Belum lagi...,
hei gelang itu?!"
Suto Sinting berkerut dahi
menemukan kejanggalan
yang mengherankan. Jantung pun
berdetak-detak ketika
matanya memandang ke arah
gelang yang dikenakan
tangan kanan Rara Santika.
"Gelang itu... oh, gelang
itu bermata merah delima
berbutir-butir. Bukankah
tangan yang kulihat terjulur
dari dalam tandu hitam saat
menyerahkan dan menerima
cawan tadi adalah tangan yang
bergelang merah delima
berbutir-butir? Ya, aku yakin
tangan itulah yang keluar
dari tandu hitam saat meminta
air kepada pengawal?!"
Detak jantung Pendekar Mabuk
semakin keras.
Keyakinannya tentang tangan
bergelang merah delima
itu membuat tubuhnya sedikit
gemetar dan napasnya
mulai sesak karena desakan
rasa kaget, ia buru-buru
meneguk tuaknya untuk
menghilangkan ketegangan.
Ternyata setelah meneguk tuak,
rasa tenang dikuasai
kembali oleh Suto Sinting.
"Hmmm... ya, ya...
sekarang aku tahu; Rara Santika
itulah si Gundik Sakti. Saat
kedua orang kakak beradik
mati tercekik, Rara Santika
tidak ada di sampingku.
Setelah mereka mati, kulihat
ia terkapar di seberang
sungai. Kurasa ia tadi
berpura-pura pingsan, dan
berpura-pura lumpuh agar dapat
kupeluk dalam
gendongan. Hmmm... pancaran
kecantikannya yang
begitu memikat hati itu bukan
sekadar pancaran daya
pikat perempuan biasa,
melainkan dibarengi kekuatan
ilmu pemikatnya yang belum
digunakan sepenuhnya."
Napas Pendekar Mabuk ditarik
dalam-dalam.
Pandangan matanya masih
tertuju pada Rara Santika
yang masih tetap berbaring
dengan kedua telapak tangan
saling merapat di dada.
"Ilmunya memang
tinggi," ujar Suto, masih di dalam
hatinya, "Ia dapat keluar
dari tandu tanpa kuketahui
gerakannya, ia dapat pergi
dari sampingku tanpa
kudengar suara gerakannya.
Jika bukan orang berilmu
tinggi tak mungkin bisa mengecohku
dengan cara seperti
itu. Kalau sudah begini, apa
yang kulakukan sekarang?"
Dalam diam otak Suto bekerja
mencari cara terbaik
yang harus dilakukan.
Pertimbangan demi pertimbangan
dipikirkan masak-masak. Walau
sebenarnya bisa saja
Suto membunuh Gundik Sakti
saat itu juga, namun ia tak
mau lakukan dengan gegabah.
Salah-salah serangannya
akan membalik dan dirinya
sendiri yang akan terbunuh
oleh kesaktian si Gundik
Sakti.
"Sebaiknya kubiarkan
diriku dibawanya ke Gua
Tumbal Perawan. Di sanalah
saat yang baik untuk
menghancurkannya, sekaligus
menghancurkan para
pengikutnya dan tempat sesat
yang disebut desa
Lambung Bumi itu. Selama ia
belum membawaku ke
sana, akan kudampingi terus
dirinya, sehingga aku dapat
mengetahui apa saja rencana
sesat yang akan
dilakukannya. Kurasa memang
ada baiknya aku berlagak
tidak mengetahui siapa
dirinya."
Hujan semakin deras, malam pun
hadir bersama
udara dingin dan angin menderu
berganti-ganti arah.
Tanpa disadari Suto Sinting
tertidur di dekat perapian, ia
bagai terkena sirep, rasa
kantuk datang begitu cepat dan
sangat tiba-tiba. Tidurnya
nyenyak sekali, tak terganggu
oleh suara dan gerakan apa
pun.
Saat ia terbangun, ternyata
hari sudah lewat dari pagi.
Matahari telah pancarkan
sinarnya dengan terang. Langit
pun bersih tanpa mendung
segumpal pun. Dan sesuatu
telah terjadi sangat
mengejutkan hati si pemuda tampan
itu.
Hampir saja Suto Sinting
terpekik keras ketika ia
menyadari dirinya dalam
keadaan tidak berbusana
selembar benang pun. Ia
buru-buru bangkit dan
merapatkan kedua kakinya
dengan wajah tegang. Celana
dan bajunya tergeletak di
lantai dalam jarak tiga
jangkauan. Bumbung tuaknya ada
di dekat pakaian
tersebut.
"Celaka! Apa yang telah
terjadi pada diriku?!
Mengapa aku jadi telanjang
begini? Siapa yang
menelanjangiku?" pikir
Suto sambil matanya diarahkan
kepada Rara Santika.
Perempuan itu masih berbaring
di tempatnya dalam
keadaan kedua tangan masih
merapat di dada. Keadaan
tubuhnya tak ada yang bergeser
sedikit pun, jaraknya
pun masih tetap sama dengan
saat dipandangi dan
direnungi Suto kemarin petang.
"Rupanya ia tertidur
nyenyak juga," ujar Suto
membatin. "Tapi mengapa
pakaiannya masih utuh
sedangkan pakaianku sudah
mental ke sana? Kalau
begitu bukan dia yang
menelanjangiku? Lantas siapa
orangyang seusil dan seberani
ini padaku?!"
Pakaian segera diraih, lalu
buru-buru dikenakan.
Karena terburu-buru, kedua
kaki Suto sampai masuk
dalam satu kaki celana,
sehingga ia sulit melangkah.
Dengan hati penuh gerutu
keadaan itu dibetulkan, ia tak
ingin Rara Santika terbangun
pada saat ia masih
telanjang.
"Apa yang terjadi semalam
pada diriku? Apakah aku
diperkosa seseorang? Hmmm...
rasa-rasanya tak ada
gerakan apa pun yang
membangunkan tidurku? Mimpi
bercumbu pun tidak. Bahkan aku
tidak tahu apakah
semalam aku bermimpi
atautidak?"
Rara Santika terbangun ketika
Pendekar Mabuk
selesai menenggak tuaknya tiga
tegukan. Suto sempat
menggeragap saat perempuan
cantik itu terbangun,
namun buru-buru berhasil
menenangkan diri dengan
berlagak sunggingkan senyum
menawan sebagai senyum
penyambut pagi.
"Badanku terasa enteng
sekali," ujar Rara Santika
sambil berdiri dan menggeliat
melepas kesegarannya
"Sudah tak merasa sakit
lagi?"
"Tidak," jawab Rara
Santika. "Aku malah merasa
lebih segar dari sebelumnya.
Rupanya aku terlalu lama
lakukan semadi penyembuhan,
ya?"
"Semalaman aku terbaring
di situ. Mungkin kau
tertidur."
"Ya, memang tertidur.
Biasanya tak sebegitu lama
dalam melakukan
penyembuhan."
"Apakah kau tak terbangun
sedikit pun selama
semalam?" tanya Suto
menyelidik secara halus.
"Apakah kau melihat aku
terbangun dari semadiku?"
Rara Santika ganti bertanya
membuat Suto Sinting
bingung menjawab. Yang
dilakukan hanya tersenyum
tipis dan mengalihkan
pandangan matanya ke arah jalan
keluar dari ruangan itu yang
diterobos pancaran sinar
matahari.
Saat tangan Suto meraup
wajahnya sendiri untuk
menyegarkan pandangan matanya,
tiba-tiba ia mencium
wewangian pada telapak
tangannya. Wewangian itu
serupa betul dengan wewangian
yang ada di tubuh Rara
Santika. Pendekar Mabuk
sembunyikan rasa curiganya,
ia sengaja keluar dari ruangan
itu lebih dulu dengan
langkah santai.
Sampai di luar ia mencium
lengannya sendiri.
"Hmmm... lenganku berbau
harum, sama dengan
keharuman yang menyebar dari
tubuh Rara Santika?"
Suto masih penasaran, ia
segera jongkok dan
mencium pahanya sendiri. Ada
aroma wangi di balik
kain celana putihnya yang
kusam itu. Wewangian itu
juga sama dengan wewangian di
tubuh Rara Santika.
Kecurigaan semakin besar dan
hatinya kian gundah.
"Apakah ini bau keringat?
Jika benar keharuman ini
adalah keringat Rara Santika,
berarti semalam ia telah
berhasil menggelutiku?!"
*
* *
5
MENURUT Rara Santika, tak jauh
dari tempat itu
ada sebuah desa. Di sana
mereka bisa dapatkan makanan
sebagai pengisi perut. Suto
Sinting segera mengajak
Rara Santika untuk mencari kedai
di desa tersebut.
"Kau saja yang ke
sana," ujar Rara Santika. "Aku
menunggumu di sini. Bawalah
makanan kemari dan kita
makan bersama di sini."
"Mengapa kau tak mau
pergi ke desa itu? Mengapa
harus menunggu di sini?"
tanya Suto bernada curiga.
Rara Santika tidak langsung
menjawab, melainkan
diam termenung beberapa saat.
Setelah Suto mengulangi
pertanyaannya, perempuan
cantik itu pun akhirnya
menjawab dengan suara lirih
bernada duka, tubuhnya
disandarkan di sebuah pohon
yangmenjulangtinggi.
"Kehadiranku di desa itu
hanya akan menimbulkan
masalah."
"Masalah apa?" desak
Suto semakin ingintahu.
"Kesalahpahaman."
Perempuan itu menjawab pendek
sambil menatap
bola mata Pendekar Mabuk.
Jaraknya yang hanya dua
langkah itu membuat Suto dapat
rasakan getaran lembut
pada setiap tatapan mata Rara
Santika. Ia mencoba untuk
bertahan dengan tetap mengadu
tatapan mata, sampai
akhirnya Rara Santika membuang
pandangannya karena
merasa tak sanggup beradu
pandangan dengan Suto
terlalu lama. Pada saat itu,
Suto memang lepaskan jurus
'Senyuman Iblis' yang mampu
membuat lawan jenisnya
terpikat dan tak berdaya.
"Jika aku datang ke
sebuah desa, pasti akan timbul
pertarungan yang disebabkan
oleh salah paham mereka."
Suto berkata dalam hati,
"Dia ingin mencari dalih
untuk hindari kecurigaanku.
Hmmm... sebaiknya
memang kupancing dengan
meninggalkan dirinya
sendirian di tempat ini!"
Kemudian Rara Santika hentikan
ucapannya, Suto
Sinting buru-buru berkata
kepadanya,
"Kau tak akan pergi ke
mana-mana jika kutinggal
pergi mencari kedai?"
Rara Santika menggeleng tanpa
mau memandang
Suto.
"Akan kutunggu di sini
sampai kapan pun. Sebelum
kau datang akutak akan pergi
dari sini."
"Baiklah, jika begitu aku
harus pergi dan kembali
secepatnya agar kau tak
terlalu lama menunggu," balas
Suto seakan juga mempunyai
kesetiaan.
"Semakin cepat kau datang
semakin baik, Suto," ucap
Rara Santika sambil memandang
sebentar, lalu buang
muka lagi karena senyuman Suto
mengguncangkan
hatinya cukup parah. Jurus
'Senyuman Iblis' akan
melumpuhkan kekerasan hati
seorang wanita dan
membakar gairah jika wanita
itu tidak berilmu cukup
tinggi. Agaknya Rara Santika
masih mampu menahan
gejolak hati yang dibakar
hasrat bercinta, dan itu berarti
ia mempunyai ilmu cukup
tinggi.
Suto Sinting tidak benar-benar
pergi ke desa untuk
mencari kedai, ia hanya
memutar arah, lalu mengintai
Rara Santika dari kejauhan.
Perempuan itu tampak
mondar-mandir dengan gelisah
di depan reruntuhan
biara. Sesekali ia duduk
termenung, sesekali berdiri di
tepian sungai, melempar
ranting-ranting kecil ke
permukaan air sungai.
"Dia tak pergi ke
mana-mana?" kata Suto membatin.
"Padahal dia bisa saja
lari dan meninggalkan diriku. Dia
bisa saja pulang ke Gua Tumbal
Perawan, lalu aku akan
mengikutinya. Tapi kenapa hal
itu tidak dilakukannya?
Apakah ia sedang menunggu
orang lain di tempat itu?
Atau... atau barangkali ia
tahu kalau aku mengintipnya
dari suatu tempat, sehingga ia
berlagak setia dalam
penantian?"
Agaknya Pendekar Mabuk pun
bertahan di tempat
persembunyiannya, ia sengaja
membiarkan perempuan
itu menunggu dengan gelisah.
Untuk membuang
kegelisahannya, Rara Santika
melatih gerakan-gerakan
silatnya dengan kecepatan
tinggi. Suto Sinting justru
semakin betah di balik
pengintaiannya. Setiap jurus
dicatat dalam benak Suto dan
dipelajari kelemahannya.
"Gerakannya sungguh
cepat, hampir tak bisa kuikuti
dengan pandangan mata,"
ujar Suto dalam hatinya.
"Gerak tipuannya pun
cukup bagus, mampu
mengecohkan lawan selincah apa
pun. Setiap gerakan
mengandung gelombang tenaga
dalam yang membuat
pohon-pohon bergetar, semak-semak
tersibak, dan daun-
daun kering di sekitarnya
beterbangan. Kuakui ia
mempunyai jurus-jurus yang
hebat. Sukar dipatahkan
lawannya. Hmmm... jika nanti
aku harus melawannya,
harus kugunakan permainan
jarak jauh agar gerakannya
tak mudah mengenaiku."
Tiba-tiba seberkas sinar merah
melesat dari balik
semak. Sinar merah itu
berbentuk seperti lidah api yang
menghantam punggung Rara
Santika. Wuuuusss...!
Pada saat itu, Rara Santika
sedang lakukan gerak
pengendalian napas karena ia
ingin menghentikan
latihannya. Kedua kaki berdiri
rapat dengan kedua
tangan terangkat ke atas dan
diturunkan pelan-pelan
dalam satu tarikan napas.
Namun sebelum kedua
tangannya turun sampai ke
bawah, ia terpaksa harus
berputar arah dengan cepat dan
telapak tangan kirinya
menghentak ke depan. Wuuut...!
Claaap...!
Selarik sinar hijau muda
terlepas dari telapak tangan
kiri. Sinar hijau muda itu
menghantam kedatangan sinar
merah dari balik semak-semak.
Zuuub...! Blaaarrr...!
Rara Santika berhasil pecahkan
sinar merah yang
ingin merenggut nyawanya itu.
Ledakan besar terjadi
dalam sekejap, namun gemanya
masih membahana dan
gema itu mampu getarkan
pepohonan besar, bahkan
sempat tumbangkan pohon-pohon
kecil yang ada di
sekitarnya.
Rara Santika tersentak ke
belakang, tubuhnya
melayang bagai terbuang. Namun
ia cepat kendalikan
keseimbangan tubuh, sehingga
dalam satu gerakan salto
ia mampu mendaratkan kakinya
ke tanah dengan baik.
Jleeg...! Ia berdiri tegak
menghadap ke arah datangnya
sinar merahtadi.
"Keluar kau. Setan! Untuk
apa bersembunyi di balik
semak, karena aku dapat
membunuhmu dari sini
sekarang juga?!"
Wuuuuusss...! Sesosok tubuh
melompat dari balik
semak. Orang itu bersalto dua
kali di udara, lalu dalam
sekejap sudah berada di depan
Rara Santika dalam jarak
empat langkah. Suto Sinting
sempat terbelalak kaget
melihat kehadiran orang
tersebut, sebab ia merasa kenal
dengan tokoh yang baru saja
muncul dari semak-semak.
"Jejak Setan...?!"
gumam Suto pelan sekali. Lelaki
bertampang seram yang
mengenakan pakaian serba
hitam itu berusia sekitar lima
puluh tahun. Suto Sinting
belum lama ini berhadapan
dengan si Jejak Setan, murid
dari mendiang Pelacur Tua yang
bernama Nyai Pegat
Raga. Sekalipun Jejak Setan
bertubuh kekar, namun
Suto Sinting sempat membuatnya
lari terbirit-birit ketika
Suto melindungi Resi Pakar
Pantun yang nyaris
ditumbangkan oleh si Jejak
Setan, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode :
"Sabuk Gempur Jagat").
Untuk menyadap pembicaraan
Jejak Setan dengan
Rara Santika, Suto terpaksa
gunakan jurus 'Sadap Suara'
yang mampu mendengarkan
percakapan dari jarak jauh
itu. Pandangan matanya tetap
terarah kepada Rara
Santika, sementara hatinya
bertanya-tanya,
"Persoalan apa yang
membuat Jejak Setan tahu-tahu
menyerang Rara Santika? Apakah
ia tahu siapa Rara
Santika sebenarnya?"
Jejak Setan tampak menggeram
dengan sikap
bermusuhan yang tak dapat
ditawar-tawar lagi. Pancaran
matanya menandakan ada dendam
yang menuntut
kematian Rara Santika.
Terdengar si Jejak Setan
berkata penuh geram,
"Akhirnya kutemukan juga
kau di tempat ini, Iblis
Betina!"
"Siapa kau? Aku tidak
mengenalmu!" ketus Rara
Santika.
"Hmmm...!" Jejak
Setan mencibir sinis. "Boleh saja
kau berlagak tidak mengenalku,
tapi tentunya kau ingat
dengan Sarasati, muridku yang
masih muda belia itu?!
Baru punya satu murid sudah
kau ambil sebagai tumbal
dengan kelicikanmu! Sebagai
guru seorang murid yang
masih perawan, aku berhak
menuntut balas atas
kematiannya di tanganmu!"
"Kau salah paham! Aku
tidak lakukan apa pun
terhadap muridmu, bahkan baru
sekarang kudengar
nama Sarasati sebagai muridmu!
Siapa kau
sebenarnya?!"
"Jejak Setan!"
sentak orang bermata lebar itu sambil
menepuk dadanya sendiri
keras-keras. "Kau pasti ingat
dengan nama Jejak Setan, murid
mendiang Nyai Pegat
Raga!"
"Aku tahu tentang Nyai
Pegat Raga, si Pelacur Tua
Itu. Tapi aku tak tahu kalau
ia mempunyai murid yang
bernama Jejak Setan!"
"Tahu atau tidak masa
bodoh! Yang penting sekarang
kau harus menebus nyawa
muridku itu!"
"Kuingatkan, jangan
berselisih denganku. Kau bisa
celaka sendiri, Jejak
Setan!"
"Aku bukan anak kecil
yang perlu kau takut-takuti
dengan gertakanmu! Sekian lama
aku mencarimu.
Gundik Sakti, baru sekarang
bisa kujumpa dan tak
mungkin akan kubiarkan pergi
dalam keadaan hidup!"
Jejak Setan segera menyerang
dengan satu lompatan
liarnya. "Heeaaat...!"
Rara Santika sentakkan kaki
dan tubuhnya melesat
lurus ke atas mengimbangi
ketinggian lompatan Jejak
Setan. Tendangan kaki kekar si
Jejak Setan ditangkis
dengan telapak kaki Rara
Santika, sehingga mereka
beradu kaki dua kali
berturut-turut. Plak, plak...!
Pada saat tubuh mereka
bergerak turun, Jejak Setan
lepaskan pukulan bertenaga
dalam melalui kepalan
tangannya, tapi Rara Santika
menahan pukulan itu
dengan sentakkan telapak
tangannya.
Plak, plak...!
Jleeg...! Keduanya sama-sama
mendarat, berdiri
tegak dan saling menyerang
kembali. Jejak Setan putar
tubuhnya dengan cepat dan kaki
pun berkelebat. Rara
Santika berusaha menangkis
pukulan itu. Plak....!
Namun tiba-tiba kaki Jejak
Setan yang satu lagi
menyentak dalam putaran balik
dan kenai pangkal
pundak Rara Santika. Dees. .!
Brrruk...! Rara Santika jatuh
terpelanting ke kiri.
Kesempatan itu dipergunakan
oleh Jejak Setan untuk
melepaskan pukulan tenaga
dalam tanpa sinar dari jarak
dua langkah. Wuuut...!
Beehg...!
"Uuhg...!" Rara
Santika tersentak dalam pekikan
tertahan. Dadanya terkena
gelombang tenaga dalam yang
dilepaskan dari telapak tangan
Jejak Setan. Tubuhnya
sempat terjungkal ke belakang
satu kali.
Jejak Setan tak mau berhenti
sampai di situ saja.
Serta-merta ia maju menyerang
dengan kakinya. Namun
pada saat itu Rara Santika
telah berhasil berdiri dengan
satu lutut. Tendangan kaki
lawan segera ditangkap
dengan tangan kiri. Taaab...!
Lalu tangan kanannya
menghantam tulangkering lawan.
Beed, kraaak...!
"Aaaoow...!" Jejak
Setan memekik kesakitan dengan
mata terpejam kuat-kuat.
Rara Santika berdiri dan
sentakkan tangan kanannya
dalam keadaan kelima jari
mengeras lurus dan
menyodok ulu hati lawan.
Suuut...! Deeeb...!
"Uuuhhg...!" Jejak
Setan melengkung ke depan
dengan mata mendelik, mulutnya
yang ternganga segera
muntahkan darah kental yang
hampir-hampir kenai
tubuh Rara Santika kalau saja
perempuan itu tidak
segera gulingkan tubuh ke
belakang dan cepat berdiri
tegak dalam satu hentakan.
Kedua tangan terangkat dengan
jari masih lurus
merapat. Pada saat itu Suto
Sinting sengaja datang
dengan jurus 'Gerak
Siluman'-nya, bermaksud mencegah
pukulan berbahaya selanjutnya.
Tapi ia terlambat; kedua
tangan Rara Santika sudah
lebih dulu bergerak cepat
menghantam pelipis kanan-kiri
si Jejak Setan. Praaak...!
"Aaaahh...!" Jejak
Setan memekik panjang dengan
tubuh terhuyung-huyung,
telinga, hidung bahkan
matanya mengeluarkan darah
kental. Tulang kepalanya
retak akibat hantaman yang
menggencet ke dua
pelipisnya itu.
'Aaahg, aaahg, aaahg...!"
Jejak Setan mengejang-
ngejang di tanah. Beberapa
saat kemudian segera
hembuskan napas
panjang-panjang, lalu diam tak
bergerak karena ditinggal
pergi oleh rohnya.
Pendekar Mabuk tertegun
bengong pandangi
kematian Jejak Setan. Rasa
sesal timbul dalam hatinya
karena ia terlambat mencegah
hantaman Rara Santika.
Semula ia pikir Jejak Setan
mampu bertahan dan akan
larikan diri sebelum mengalami
luka parah tapi ternyata
Rara Santika tak memberi
kesempatan kepada Jejak
Setan untuk larikan diri.
Serangannya yang beruntun
telah membuat lawannya tumbang
dan tak bernyawa
lagi.
Ketika pandangan mata Suto dan
Rara Santika
bertemu, perempuan itu
menampakkan sikap kesalnya,
seakan tak mau disalahkan.
Bahkan ia berkata dengan
nada dingin.
"Dia menyerangku lebih
dulu. Sudah kuperingatkan
agar jangan menyerangku tapi
ia nekat. Aku sekadar
membela diri untuk selamatkan
nyawaku!"
"Kita tinggalkan saja
tempat ini! Kau ikut aku ke desa
mencari kedai!"
"Aku...," Rara
Santika belum selesai bicara, tapi Suto
Sinting sudah lebih dulu
pergi. Mau tak mau perempuan
itu mengikutinya, ia
berkelebat mengimbangi kecepatan
gerak Suto Sinting. Setibanya
di perbatasan sebuah desa,
mereka hentikan langkah karena
tangan Suto Sinting
ditahan oleh Rara Santika.
"Aku menunggu di bawah
pohon tepi hutan itu saja,"
katanya kepada Suto.
"Tidak. Kau harus ikut.
Jika kau sendirian kau akan
diserang orang lagi."
"Jika aku ikut pun akan
lebih banyak yang
menyerangku."
"Mengapa kauyakin akan
begitu?"
"Karena banyak orang yang
menyangkaku sebagai si
Gundik Sakti."
"Hahh...?!" Suto
Sinting terkejut, bukan karena
mendengar nama si Gundik
Sakti, namun karena
pengakuan Rara Santika yang
seolah-olah merasa
dirinya bukan Gundik Sakti.
Tak heran jika mata Suto
Sinting pun memandang tajam
kepada Rara Santika dan
benaknya mulai diliputi kebimbangan.
Seorang petani lewat tak jauh
dari mereka. Petani
bertudung anyaman daun pandan
itu dalam perjalanan
pulang dari sawahnya. Suto
Sinting dekati petani itu,
melakukan percakapan sebentar,
menyerahkan sekeping
uang, dan petani itu segera
melepas tudung pandannya.
Suto segera kembali temui Rara
Santika.
"Kenakan tudung ini jika
kau takut dikenali orang
sebagai si Gundik Sakti. Kita
bicarakan di kedai saja!"
Kedai itu sepi pembeli.
Mungkin karena banyaknya
kedai di desa itu, sehingga
tidak semua kedai ramai
pembeli. Sebuah kedai yang
sepi sengaja dipilih oleh
Suto sebagai tempat mengisi
perut mereka, sekaligus
mengisi bumbung tuaknya. Kedai
yang sepi merupakan
tempat yang baik bagi Suto
untuk mengulas tentang
perkataan Rara Santika tadi,
yang merasa takut disangka
orang sebagai Gundik Sakti.
"Kalau begitu kau bukan
Gundik Sakti?" Suto bicara
pelan karena tak mau
percakapan itu didengar orang lain.
"Sudah kubilang, namaku
Rara Santika. Aku bukan si
Gundik Sakti. Selama ini
mereka salah paham padaku."
Walau sebagian wajahnya
tertutup tudung pandan,
namun Pendekar Mabuk dapat
melihat kesungguhan
wajah Rara Santika dalam
menuturkan kata-kata itu.
Wajah cantik itu tampak murung
memendam kesedihan,
sepertinya ia dipaksa hanyut
dalam penderitaan nasib
hidupnya.
"Di mana pun aku berada,
aku selalu dimusuhi orang,
karena mereka menganggapku
sebagai si Gundik Sakti.
Mereka selalu menuduhku
menculik gadis-gadis
perawan untuk dijadikan tumbal
di Bukit Sangkur,
padahal aku tidak melakukan
tindakan sekeji tuduhan
mereka."
"Kau kenal dengan Resi
Pakar Pantun?" pancing
Suto.
"Resi Pakar
Pantun...?" Rara Santika menggumam
lirih, lalu merenung sebentar.
Tak lama kemudian
suaranya terdengar lagi dengan
pelan.
"Aku pernah mendengar
nama itu; kalau tak salah ia
pemilik pusaka PisauTanduk
Hantu."
"Ya, memang dia
pemiliknya. Tapi apakah kau tak
pernah bertemu dengan Resi
Pakar Pantun?"
"Belum pernah,"
jawab Rara Santika dengan mata
memandang dari balik tepian
tudung pandannya.
"Kau kenal dengan Tembang
Selayang?"
"Tembang Selayang?! O,
kurasa baru sekarang
kudengar nama itu. Siapa
Tembang Selayang itu?"
Suto sunggingkan senyum tipis
berkesan kurang
percaya, "Ia seorang
sahabatku."
"Apa maksudmu menanyakan
nama-nama mereka
kepadaku?"
"Mereka sedang mencari
Gundik Sakti dan ingin
bikin perhitungan, karena
sahabat ataupun murid mereka
menjadi korban penculikan si
Gundik Sakti."
"Yang jelas mereka bukan
mencariku. Gundik Sakti
bukan Rara Santika."
"Lalu, siapa Gundik Sakti
itu sebenarnya jika bukan
kau?"
"Gundik Sakti adalah Rara
Sumina."
Dahi Suto Sinting berkerut.
"Siapa Rara Sumina itu?
Jelaskanlah!"
"Rasa Sumina adalah
saudara kembarku," jawab Rara
Santika dengan pelan,
sepertinya berat sekali melepas
kata-kata tersebut, ia menarik
napas satu kali, kemudian
berkata lagi tanpa memandang
Suto Sinting yang duduk
di depannya.
"Sumina lahir setelah aku
keluar dari kandungan Ibu.
Kami anak kembar, tapi karena
aku lahir lebih dulu,
maka Sumina-lah yang menjadi
adikku dan aku
kakaknya. Wajah kami sama
persis, bahkan pakaian dan
ciri-ciri kami juga sama
persis. Sumina sengaja tampil
serupa persis denganku, karena
dengan begitu ia dapat
bersembunyi di balik
kesamaannya denganku."
"Apakah kau juga tinggal
di Gua Tumbal Perawan?"
Rara Santika menggeleng.
"Sejak berusia empat
tahun kami berpisah, sebab
perkawinan kedua orangtua
kami mengalami perceraian.
Sumina diambil Ibu dan
aku dibesarkan oleh Ayah.
Sayang keduanya kini telah
tiada, sehingga tak bisa
dijadikan saksi bahwa aku bukan
Sumina, bukan si Gundik
Sakti."
"Siapa nama ibumu?"
pancing Suto ingin
mencocokkan dengan penjelasan
Resi Pakar Pantun
tempo hari.
"Ibuku dikenal dengan
nama Nyai Selir Iblis,
sedangkan ayahku dikenal
dengan nama Ki Panjuru
Gesang."
"Hmmm... ya, nama ibunya
persis seperti nama yang
disebutkan Resi Pakar
Pantun," gumam Suto dalam
hatinya.
"Belasan tahun aku dan
Sumina tidak pernah saling
jumpa, karena Ayah dan Ibu
menjadi bermusuhan. Ayah
beraliran putih, sedangkan Ibu
tak mau ikut aliran Ayah,
sehingga terjadilah perceraian
itu. Sesekali aku
mendengar kabar tentang
saudara kembarku itu, sesekali
pula Sumina mendengar kabar
tentang kemajuanku.
Rupanya Ibu sangat tak suka
padaku, sebab aku
mewarisi semua ilmu Ayah
bahkan sampai perangai dan
sifat Ayah pun ada padaku.
Sikap tak suka itu
menimbulkan permusuhan batin,
sehingga Sumina selalu
berusaha menggunakan
ciri-ciriku dalam melakukan
tindakan maksiatnya. Ia
mempunyai mata-mata yang
sampai sekarang belum
kuketahui siapa orangnya. Mata-
mata itu bertugas mengirim
kabar tentang perubahan
dalam penampilanku, sehingga
ia pun akan lakukan
perubahan dalam penampilan
sepersis diriku. Bagi orang
yang sudah pernah bertemu
langsung dengan adik
kembarku, ia akan menganggapku
sebagai Sumina jika
kami saling bertemu di tempat
lain."
"Apakah dari jenis
perhiasan juga ditiru oleh
adikmu?"
"Benar. Corak dan warna
perhiasan maupun pakaian
selalu diusahakan sepersis
diriku. Dengan begitu, aku
tak bisa membaur dalam
kehidupan di antara sesama,
karena ke mana pun aku berada
selalu dimusuhi oleh
mereka, dianggap Sumina."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dalam
renungannya. Hatinya masih
diliputi keraguan atas
pengakuan itu. Namun ia justru
penasaran dan ingin
mendapat keterangan lebih
banyak lagi dari Rara
Santika.
"Aku menyangkamu sebagai
Gundik Sakti karena
kulihat gelangmu sama persis
dengan gelang orang yang
ada dalam tandu hitam
itu."
Rara Santika diam sebentar,
kemudian melepas
gelang berentet batuan merah
delima. Gelang itu segera
diletakkan di telapak tangan
Suto dan tangan itu
dipaksakan untuk menggenggam.
"Bawalah gelang ini, lalu
bedakan antara aku dengan
Rara Sumina. Sekarang aku
sudah tidak kenakan gelang
lagi, Sumina pasti masih
kenakan gelang."
Pendekar Mabuk pandangi gelang
itu sesaat,
kemudian segera berkata kepada
Rara Santika, "Apakah
kau setuju jika aku melawan
adik kembarmu?"
"Tidak," jawab Rara
Santika dengan tegas-tegas.
"Kau tak boleh
melawannya."
"Kenapa? Apa alasanmu
melarangku begitu?"
"Sumina berilmu tinggi,
karena ia mendapat kekuatan
dari iblis yang bernama
Darahkula. Ia mempunyai ilmu
'Jarum Kemukus', yang bisa
membuatnya lolos dari
kurungan serapat apa pun, asal
ada lubang sebesar
jarum, ia bisa pindah ke
tempat yang jauh, selama
tempat itu masih bisa
dipandang oleh matanya."
"Hmmm... hampir sama
dengan jurus yang dimiliki
Datuk Maragam yang bernama
ilmu 'Kelana Indera',
sejauh mata memandang, sejauh
itu pula ia bisa
pindahkan raganya," gumam
Suto dalam hati saat
teringat tokoh tua bernama
Datuk Maragam, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode :
"Peri Sendang
Keramat").
Rara Santika berkata lagi,
"Selain itu, jurus andalan
yang paling berbahaya dan
sukar ditandingi adalah jurus
'Bayangan Iblis', dapat
membunuh lawan dari jarak jauh
dengan hanya membayangkan
benda lain sebagai sosok
diri si lawan. Kemarin aku
sempat melihat Dampak
Yogan dibunuhnya dengan jurus 'Bayangan
Iblis',
setelah itu aku tak sadar lagi
karena tubuhku merasa
disambar seseorang dan
dilemparkan ke seberang
sungai."
"Pantas ia dapat lolos
dari dalam tandu," gumam Suto
Sinting.
"Itulah sebabnya aku
tidak setuju jika kau melawan
Gundik Sakti. Ilmu yang
diwariskan oleh mendiang Ibu
kepada Rara Sumina bukan ilmu
yang bisa dianggap
ringan oleh para tokoh rimba
persilatan. Satu-satunya
lawan tandingnya adalah aku
sendiri. Sebelum ayahku
meninggal, beliau sempat
memberiku tugas untuk
melumpuhkan adik kembarku,
jika bisa dilumpuhkan
tanpa harus membunuhnya, tapi
jika terpaksa apa boleh
buat, semasa kematiannya itu
demi keselamatan orang
banyak. Tetapi mendiang Ayah
pun berpesan, jika aku
harus membunuh adikku, Gua
Tumbal Perawan harus
dihancurkan pula, dan kekuatan
si Darahkula harus
dimusnahkan. Itu berarti aku
harus sudah siap mati
melawan orang-orang Bukit
Sangkur yang berada dalam
pengaruh kekuatan si iblis
Darahkula."
Pendekar Mabuk diam membisu
dalam lamunan.
Namun hatinya masih saja resah
dililit keragu-raguan.
Hati pun membatin berbagai
pertanyaan yang
mengganggu ketenangan jiwa
murid sinting Gila Tuak
itu.
"Benarkah yang kudengar
ini sebuah pengakuan dai
jiwa yang jujur? Jangan-jangan
hanya sebuah permainan
untuk mengelabuiku? Haruskah
aku percaya?!"
*
* *
6
BERULANG kali Rara Santika
menyarankan agar
Suto Sinting tidak coba-coba
menantang pertarungan
dengan Gundik Sakti. Tetapi
saran itu justru memacu
semangat Suto untuk segera
menemui Gundik Sakti dan
lakukan pertarungan. Repotnya,
kepercayaan Suto
Sinting kepada Rara Santika
menjadi semakin tipis
setiap kali Rara Santika
memberi saran untuk tidak
melawan Gundik Sakti.
"Dulu aku pernah terkecoh
oleh saran baik seperti itu.
Ternyata justru orang yang
memberiku saran itulah
musuh yang harus kuhadapi,"
pikir Suto Sinting sambil
mengenang masa pertemuannya
dengan Pipit Serindu,
(Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Kutukan
Pelacur Tua"). Rupanya
pengalaman itu yang membuat
Pendekar Mabuk bertambah
penasaran dan semakin
menaruh curiga kepada Rara
Santika.
"Satu hal perlu kau
ketahui, bahaya yang akan
mengancammu dan sulit kau
hindari jika berhadapan
dengan saudara kembarku itu
adalah kekuatan ilmu
peletnya," kata Rara
Santika ketika mereka melangkah
tinggalkan kedai. "Sumina
mempunyai ilmu pemikat
sangat kuat. Jika ia
berkeliaran, bukan hanya seorang
perawan yang dicarinya untuk
tumbal Darahkula, tetapi
ia juga mencari seorang lelaki
muda dan tampan untuk
dijadikan pemuas gairahnya.
Dan apabila lelaki itu sudah
tidak mampu lagi memuaskan hasratnya,
orang itu akan
dibunuh atau dijadikan budak
penggali terowongan
bawah tanah."
"Aku masih bisa atasi hal
itu."
"Tidak. Aku tidak ingin
kau coba-coba mengatasi,
kalau kau gagal tak dapat
kubayangkan betapa sedihnya
rimba persilatan kehilangan
seorang pendekar sepertimu.
Barangkali saat itu pula
murkaku timbul dan aku akan
mengamuk membabi buta di dalam
Gua Tumbal
Perawan."
"Mengapa begitu?"
"Tak perlu kau tahu
jawabnya, yang jelas, jika kau
ingin lakukan pertarungan
dengan adik kembarku,
lakukanlah setelah kau lihat
bangkai mayatku
dicampakkan oleh Sumina!"
"Itu berarti aku harus
melawanmu dulu jika harus
melawan Gundik Sakti?"
"Aku tidak mengatakan
begitu, Suto. Kalau aku
sudah tiada, aku tak akan
melihat dirimu diperbudak
oleh nafsu adik kembarku. Hanya
itu maksudku berkata
seperti tadi," Rara
Santika bicara dengan lembut dan
lirih, seakan penuh resapan di
dalam hatinya.
"Jadi...," sambung
Rara Santika, "... sebaiknya kita
berpisah di sini saja dan
jangan mengikutiku, karena aku
akan mencari adikku dengan
arah menuju Bukit
Sangkur. Pergilah ke tempat
lain, Suto. Jangan teruskan
niatmu mendampingiku. Aku tak
ingin kau jatuh dalam
pelukan Gundik Sakti
itu!"
Kata-kata yang terakhir
mempunyai makna lebih
dalam dari sekian kata-kata
yang telah terucap. Pendekar
Mabuk menangkap adanya rasa
cemas yang berlebihan
dalam hati Rara Santika. Rasa
cemas itu timbul karena
tunas-tunas kecemburuan mulai
menghiasi tepian hati
Rara Santika.
"Ah, kurasa itu hanya
sebuah permainan rasa yang
sangat kuat saja," batin
Suto membantah kata hatinya
sendiri. "Dia pandai
berpura-pura, sehingga mampu
menutupi kenyataan dirinya.
Aku tak boleh hanyut
dalam permainannya."
Rasa cemas perempuan yang
takut kehilangan
seorang lelaki semakin
ditampakkan oleh Rara Santika
melalui ucapannya yang
diiringi tatapan mata dari balik
tudung pandan itu.
"Jika kau mau jatuh dalam
pelukan perempuan,
jatuhlah ke dalam pelukan
perempuan lain. Jangan
dalam pelukan adik kembarku.
Itu akan lebih
menyakitkan bagiku."
Suto Sinting hanya sunggingkan
senyum kecil,
seakan meremehkan pernyataan
hati Rara Santika.
Dalam benaknya segera timbul
niat untuk memancing
perasaan Rara Santika dengan
menceritakan kejadian
aneh saat Suto bangun tidur
tadi pagi.
Wajah Rara Santika tersentak
kaget dan menegang
ketika mendengar cerita Suto
telanjang saat bangun
tidur. Wajah itu menjadi
semburat merah setelah Suto
mengatakan,
"Aroma yang menempel di
badanku adalah
wewangian yang ada pada
tubuhmu."
"Oooh...?! Benarkah
begitu?!"
Tangan Suto Sinting segera
disambarnya. Tangan itu
dicium oleh Rara Santika dari
telapak tangan sampai ke
pangkal lengan. Perempuan itu
menjadi tambah tegang.
Hidungnya mengendus-endus di
sekitar dada Suto
Sinting, lalu merayap ke leher
dan mengelilingi tubuh
Suto. Perbuatan itu tak bisa
dihentikan oleh Suto Sinting
sebab ia membutuhkan bukti
kebenaran dari ceritanya
itu. Mau tak mau ia rela
diciumi Rara Santika. Untung
hal itu dilakukan di tempat
sepi yang terlindung dari
tanaman rambat cukup rimbun,
sehingga Suto tak begitu
khawatir akan ada yangmelihat
perlakuan mereka.
"Celaka!" geram Rara
Santika setelah selesai
menciumi bagian tengkuk Suto
Sinting.
"Pahaku pun berbau harum
seperti wewangian pada
tubuhmu, Santika!"
Perempuan itu segera menciumi
paha Suto untuk
membuktikan kebenarannya.
Hidungnya mengendus-
endus dengan sedikit menempel
pada paha Suto, bahkan
ciuman itu sampai ke betis,
lalu naik lagi ke paha dan
naik lagi... ke perut. Baju
Suto disentakkan hingga
terlepas dari ikat
pinggangnya. Hidung perempuan itu
menempel di perut Suto, lalu menjalar
naik ke ulu hati,
terus naik ke dada, ke leher,
ke dagu, dan akhirnya mulut
perempuan itutiba di depan
mulut Suto Sinting.
"Edan orang ini!"
gerutu Suto dalam hati. "Mau apa
bibirnya bertolak pinggang di
depan bibirku?! Uuuh...!
Kukecup baru tahu rasa
kau!"
Debar-debar hati akibat ciuman
Rara Santika tadi
membuat Pendekar Mabuk
akhirnya nekat mengecup
bibir perempuan tersebut.
Namun baru saja kepalanya
maju ke depan, kepala Rara
Santika sudah lebih dulu
mundur buang muka sambil
mendengus penuh
kecemasan.
"Tak salah lagi!"
katanya dengan nada menggeram.
Suto Sinting yang kecele
menjadi malu-malu
dongkol, lalu berkata
menimpali ucapan itu, "Ya,
memang tak salah lagi,
akhirnya yang kudapatkan hanya
angin. Hmmm... rasanya lebih
nikmat mengecup angin
daripada mengecup bibir
seranum delima."
Sindiran itu tak dihiraukan
oleh Rara Santika. Dalam
benak perempuan cantik itu
sudah dipenuhi oleh
kecamuk yang menegangkan,
sehingga ia bagaikan
kehilangan selera bercinta,
bagaikan tak memiliki hasrat
untuk bermesraan, ia pandangi
Suto Sinting dengan sorot
pandangan mata cukup tajam.
Suto Sinting jadi salah
tingkah sendiri, akhirnya
membuka tutup bumbung
tuaknya dan meneguk tuak
beberapa kali.
"Berarti semalam ia telah
datang ke tempat kita, Suto.
Semalam ia telah... telah
merenggut kehangatanmu
ketika kautidur dengan
nyenyak."
"Dia atau kau?"
pancing Suto dengan kalem.
"Dia!" sentak Rara
Santika dengan jengkel, karena ia
malu jika dituduh merenggut
kehangatan Suto pada saat
si tampan tertidur.
"Akutidak pernah lakukan hal seperti
itu. Jangan rendahkan diriku,
Suto!"
"Mengapa aroma wangimu
masih tertinggal di kulit
tubuhku?"
"Sumina juga mempunyai
keringat beraroma wangi
seperti yang kumiliki. Ketika
kami masih berusia
delapan hari, kami dimandikan
oleh Ayah di Telaga
Seribu Bunga, sebelum telaga
itu kering akibat
kebakaran hutan. Barang siapa
semasa bayinya
dimandikan dengan air Telaga
Seribu Bunga, maka bau
keringatnya akan selalu
menyebarkan aroma wangi.
Zaman dulu, Telaga Seribu
Bunga dijadikan pemandian
para ratu, permaisuri, atau
para selir raja. Telaga itu
dalam kekuasaan ibuku, karena
Ibu semasa mudanya
adalah dayang perawat
pemandian Taman Keputren.
Telaga itu terletak di dalam
reruntuhan Taman
Keputren."
Pendekar Mabuk membisu seribu
kata, tangan kirinya
bersandar pada batang pohon.
Pandangan matanya
menatap lurus ke tanah di
depannya. Tatapan mata itu
jelas sebuah terawang bayangan
mengenang adegan
semalam. Jika benar semalam ia
telah direnggut
kehangatannya oleh Gundik
Sakti, maka berarti
'kesucian' Suto telah hilang
dan tidak layak mengaku
sebagai 'perjaka ting-ting'.
Lalu, bagaimana dengan
kesucian cintanya terhadap
Dyah Sariningrum? Apakah
juga ikut ternoda sementara
hal itu terjadi di luar batas
kesadaran Suto?
Rara Santika memecahkan
kebisuan di antara mereka,
"Kalau aku yang
melakukannya, jelas tak mungkin
dalam keadaan kau sedang
tertidur. Aku bukan
perempuan bodoh. Aku pernah
menikah selama dua
tahun, lalu suamiku serong
dengan perempuan lain dan
aku jijik melayaninya, kami
pun bercerai dan hidup
sendiri-sendiri. Aku bisa
merasakan mana yang terbaik
dalam menikmati kemesraan
bersama seorang lelaki.
Untuk apa aku merenggut
kehangatanmu dalam keadaan
tidur, sama halnya aku mencari
pemuas dahaga dengan
sebatang gedebog pisang. Tak
ada keindahan di
dalamnya."
Sekalipun telah mendengar
pernyataan seperti itu,
tetapi hati kecil Suto Sinting
masih diliputi keraguan;
benarkah bukan Rara Santika
yang merenggut
kehangatannya? Satu hal lagi
yang masih meragukan
Suto ialah kebenaran atas
tindakan itu. Benarkah
seseorangtelah merenggut
kehangatannya?
"Apakah kau tak terasa
sedang digeluti seseorang?
Mengapa kautak terjaga dari
tidurmu?"
"Itu yang
kupikirkan," kata Suto Sinting. "Aku sama
sekali tidak merasa apa-apa.
Biasanya aku mudah terjaga
dalam tidur walau hanya mendengar
rumput kering
terinjak kaki manusia. Tapi
semalam rasa-rasanya aku
seperti mati."
"Sumina telah menggunakan
ilmu sirep yang bisa
membuat kita tertidur nyenyak
bagaikan mati. Sekalipun
begitu, apa benar kau tidak
merasakan gerakan apa pun
saat ia menggelutimu?"
"Tidak kurasakan apa-apa!
Aku tidak merasa dicium,
tidak merasa dipeluk, bahkan
tidak merasa
mengeluarkan... mengeluarkan
anggota badan. Tidak
sama sekali, Santika!"
"Aneh. Sebegitu kuat daya
sirepnya?!" gumam Rara
Santika sambil matanya memandang
hampa ke arah
pucuk-pucuk rerumputan di kaki
Suto Sinting.
Jaraknya dengan Suto hanya
tiga langkah. Hal itu
memungkinkan sekali bagi
Pendekar Mabuk untuk
meraih tubuh Rara Santika ke
dalam pelukannya.
Dengan sekali gerak, tubuh
sekal berdada montok itu
telah berada dalam pelukan
Suto Sinting.
Tentu saja hal itu mengejutkan
bagi Rara Santika,
hingga secara tak sadar
tangannya bergerak meronta dan
hatinya pun dibakar kemarahan.
"Apa-apaan kau
ini?!" sentak Rara Santika.
Suto menyodorkan tangannya,
Rara Santika
terperanjat melihat sekeping
logam berbentuk bintang
segi enam terselip di sela
jemari Suto. Logam bintang itu
tak lain adalah senjata
rahasia seseorang yang melesat
dari balik pepohonan seberang.
Senjata rahasia beracun
itu ditujukan ke punggung Rara
Santika, berarti di
sekitar situ ada orang yang
menghendaki kematian Rara
Santika.
Perempuan berjubah merah jambu
itu segera menjadi
tegang dan memasang
kewaspadaan tinggi. Matanya
memandang alam sekitarnya
dengan nanar, penuh
tekanan amarah yangterpendam
di dada.
"Ada yang bersembunyi di
balik batu tinggi di bawah
pohon itu," bisiknya
kepada Suto Sinting.
"Biar kuperiksa ke
sana!" balas Suto, lalu segera
melesat dengan kecepatan
tinggi mirip orang
menghilang ditelan bumi.
Zlaaap...!
"Siapa pun orangnya, tak
mungkin kuserang demi
membela Rara Santika. Sebab
aku masih kurang yakin
dengan pengakuannya. Jika aku
berada di pihaknya,
bisa-bisa sikapku itu
menimbulkan rasa sesal sendiri
seandainya ternyata ia adalah
Gundik Sakti. Kurasa
orang yang berusaha membunuhnya
pasti punya dendam
kepada Gundik Sakti. Akan
kudesak dulu orang itu
untuk menjelaskan hal-hal yang
belum kuketahui tentang
Gundik Sakti agar dapat
kupakai menilai kebenaran
pengakuan Rara Santika
tadi."
Kecamuk batin itu akhirnya
berhenti karena
pandangan mata Suto tak
berhasil temukan penyerang
gelap. Kejap berikutnya ia
mendengar suara Rara
Santika terpekik tertahan dan
sangat samar-samar.
"Aaahg...!"
Pekikan pendek itu mengundang
perhatian Suto
Sinting dan rasa penasaran
yang menggoda hati. Maka
dengan cepat ia berkelebat
kembali ke tempat asal.
Ternyata Rara Santika masih
berada di tempat itu.
Perempuan tersebut sedang
mengusap-usap leher kirinya
dengan wajah sedikit
menyeringai.
"Tak ada orang yang
kutemukan di sana," ujar Suto
sambil mendekat. "Kenapa
kauterpekik, Santika?"
"Orang itu menyerangku
lagi," ucapnya dengan suara
agak parau.
"Ada apa dengan
lehermu?" Suto Sinting curiga,
kemudian menarik tangan Rara
Santika yang sedang
mengusap-usap leher. Dahi Suto
Sinting segera berkerut
melihat noda hitam membekas
jelas di leher kiri Rara
Santika.
"Kau... oh,
lehermuterluka, Santika!"
"Membekas merah?"
"Membekas hitam, bagaikan
hangus terbakar!"
"Oh, celaka...!" ia
tampak tegang. "Besarkah noda
hitam ini?"
"Sebesar
kacangtanah."
"Keparat orang itu! Ia
menyerangku dengan sesuatu
yang tak sempat kulihat.
Mungkin seberkas sinar,
mungkin pula sebuah benda
kecil. Tapi... rasanya
napaskumakin lama semakin
sesak."
"Bahaya sekali ini,
Santika!" gumam Suto Sinting
bernada cemas. "Minumlah
tuakku biar noda hitam itu
hiiang."
"Tidak, tidak... aku
tidak terbiasa minum tuak. Bisa
muntah seisi perutku jika
dipaksakan meminum tuak."
"Tapi...," Suto
Sinting terbungkam seketika. Noda
hitam yang dipandanginya itu
bergerak bagaikan pindah
tempat. Dari keadaan di dekat
telinga menjadi turun ke
bawah mendekati pundak.
"Tunggu dulu, jangan
bergerak...!" sergah Suto
Sinting sambil tangannya
sedikit memiringkan kepala
Rara Santika. Noda hitam itu
dipandanginya tanpa kedip
beberapa saat lamanya.
"Oh, dia bergeser lagi ke
belakang?!" gumam hati
Suto Sinting penuh keheranan
yang menegangkan.
Biasanya, luka bakar tak akan
bisa bergerak ke sana-
sini. Tapi luka bakar yang
satu ini mampu bergeser
mendekati tengkuk bagaikan
binatang aneh yang
merayap. Suto Sintingteringat
sesuatu dalam benaknya.
"Setahuku, luka seperti
ini hanya terjadi akibat jurus
'Racun Simalakama'. Racun itu
akan menyumbat saluran
pernapasan dan jalan darah
secara perlahan-lahan sampai
akhirnya si korban menemui
ajal. Tetapi jika noda
hitamnya dihilangkan dengan
cara diberi ramuan obat
apa pun, justru akan
mempercepat kematian
penderitanya. Hilangnya noda
hitam sama saja hilangnya
nyawa penderitanya."
Rara Santika menegur Suto
karena terlalu lama
mereka saling membisu.
"Apa yang kau lihat?
Kemulusan leherku atau noda
itu?"
Pendekar Mabuk hembuskan
napas, melepaskan
tangannya hingga kepala Rara
Santika tegak kembali.
Wajah perempuan itu tampak
sedikit berbeda, agak
pucat dari sebelum terjadi
serangan tadi.
"Kau terkena jurus 'Racun
Simalakama', Santika."
Nada bicara Suto terdengar
lemah pertanda ia
semakin dicekam kegelisahan
dan kesedihan, ia segera
menjelaskan tentang akibat
dari jurus 'Racun
Simalakama' yang tak ada obat
penawarnya itu. Tapi
penjelasan tersebut tidak
membuat wajah Rara Santika
berubah menjadi cemas.
"Jika benar aku akan
mati, berarti sudah selayaknya
aku menikmati keindahan hidup
di dunia sepuas-
puasnya, Suto. Keindahan itu
hanya bisa kunikmati jika
bersamamu."
"Mengapa kau tak merasa
cemas? Mengapa justru
tersenyum tenang?"
"Karena aku merasa mampu
menawarkan segala jenis
racun di seluruh dunia. Kau
tak perlu khawatirkan
diriku, Suto Sinting. Aku
hanya merasa sedikit sesak
napas dan kurang enak badan.
Antarkan aku kembali ke
reruntuhan biara itu, Suto.
Aku akan sembuhkan diri di
sana."
Pendekar Mabuk dililit
kebingungan dan
kebimbangan, ia tahu persis
bahwa jurus 'Racun
Simalakama' hanya dimiliki
oleh satu orang. Di seluruh
dunia tak ada orang yang
memiliki jurus 'Racun
Simalakam' kecuali penguasa
negeri Puri Gerbang
Surgawi di Pulau Serindu yang
bergelar Gusti Mahkota
Sejati dan bernama asli Dyah
Sariningrum.
Itulah sebabnya Suto Sinting
sempat gemetar dan
berdebar-debar hatinya. Karena
jika benar noda hitam itu
akibat 'Racun Simalakama',
berarti Dyah Sariningrum
ada di sekitar tempatnya berada.
Sedangkan Dyah
Sariningrum adalah calon
istrinya yang sudah digariskan
sesuai kodrat kehidupan sang
Pendekar Mabuk, (Baca
serial Pendekar Mabuk daiam
episode : "Pusaka Tuak
Setan").
Jika bukan urusan yang sangat
pribadi dan teramat
penting, tak mungkin seorang
ratu keluar dari istananya,
bahkan keluar dari pulau
tempatnya bertakhta seperti
saat itu. Pendekar Mabuk
diguncang perasaan antara
percaya dan tidak.
"Mudah-mudahan noda hitam
itu bukan akibat Jurus
'Racun Simalakama'. Tapi...
menurut cerita Dewa Racun,
pengawal setia calon istriku
itu, jurus 'Racun
Simalakama' mempunyai ciri
yang tidak dimiliki racun
lain, yaitu meninggalkan noda
hitam dan noda itu bisa
bergerak di permukaan kulit
manusia," ujar Suto dalam
hati sambil membayangkan
percakapannya dengan
Dewa Racun yang terjadi saat
ia berkunjung ke Pulau
Serindu beberapa waktu yang
lalu. Dewa Racun-lah
yang mengatakan bahwa di dunia
ini tak ada orang yang
memiliki jurus 'Racun
Simalakama' selain Dyah
Sariningrum; Ratu negeri Puri
Gerbang Surgawi di alam
nyata. Gusti Ratu Kartika
Wangi, ibu Dyah Sariningrum
yang berkuasa di negeri Puri
Gerbang Surgawi di alam
gaib itu pun tidak memiliki
jurus 'Racun Simalakama',
padahal ia tokoh terpandang
yang paling ditakuti para
tokoh tua di rimba persilatan.
"Ciri-ciri orang yang
terkena 'Racun Simalakama'
pada awalnya ialah diserang
rasa ketakutan yang sangat
besar, sehingga ia bisa
menjadi orang yang paling
pengecut di dunia ini. Melihat
benda apa pun tampak
menyeramkan dan menakutkan
baginya. Namun hal itu
terjadi selama beberapa saat
saja. Setelah itu, keberanian
orangtersebut akan tumbuh
kembali dan menjadi seperti
semula. Pada saat keberanian
itu timbul, 'Racun
Simalakama' telah menguasai
seluruh jaringan darah dan
pernapasan. Makin lama akan
semakin mempersempit
jaringan itu, sampai akhirnya
menewaskan orang
tersebut, itulah cara membunuh
yang tidak sekejam
membantai menggunakan
pedang."
Begitu kata-kata Dewa Racun
yang sempat terngiang
di telinga Suto Sinting. Untuk
meyakinkan kebenaran
tentang racun yang mengenal
leher Rara Santika, Suto
pun segera ajukan pertanyaan
ketika Rara Santika mulai
meraih lengannya dan minta
diantar kembali ke
reruntuhan biara.
"Perasaan apa yang kau
alami ketika serangan itu
mengenaimu?"
"Hmmm... perasaan takut.
Takut sekali. Melihat batu
saja takut. Tapi, ah...
sudahlah. Perasaan itu sekarang
sudah tak ada lagi padaku.
Mengapa harus kau
hiraukan?"
"Karena rasa takut yang
timbul itulah ciri khusus
pada penderita 'Racun
Simalakama'. Kau akan mati,
Santika!"
"Tidak mungkin. Kau akan
lihat sendiri hasilnya
setelah kulakukan semadi di
ruang bawah reruntuhan
biara itu! Antarkan aku ke
sana. Temanilah aku, Suto,"
Rara Santika bernada manja
dengan suaranya yang
masih sedikit parau. Suto
menganggap perubahan suara
parau itu akibat dari terkena
racun tersebut.
"Hei, mengapa tak kau
cari penyerangmu itu?!
Sebaiknya biarkan
akumencarinya di sekitar sini!"
"Tak perlu. Kulihat ia
telah lari terbirit-birit sebelum
kau datang tadi. Aku sempat
lepaskan pukulan
berbahaya yang dapat membuat
raganya menjadi lumer.
Rupanya ia kenali jurus itu,
dan ia pun lari sebelum jurus
keduaku mengenainya."
"Lelaki atau perempuan
penyerangmu itu?"
"Hmmm... mungkin seorang
perempuan, sebab
kulihat gerakan rambutnya
meriap saat melesat pergi
dari persembunyiannya,"
jawab Rara Santika sambil
semakin bergelayut di pundak
Suto. "Sudahlah, jangan
banyak bicara soal penyerang
gelap itu. Lekas kita
tinggalkan tempat ini, aku
butuh tempat khusus untuk
lakukan semadi
penyembuhan!"
Pendekar Mabuk menjadi seperti
orang bodoh.
Kecamuk hati yang meresahkan
membuatnya menuruti
langkah Rara Santika dan
membiarkan lengannya
dipeluk erat oleh perempuan
itu. Pertanyaan terbesar
dalam benak Suto kala itu
adalah, "Benarkah Dyah
Sariningrum, kekasihku, ada di
sekitar sini?!"
*
* *
7
DUA orang berpakaian serba
hitam tiba-tiba muncul
dari tikungan kaki bukit
cadas. Kedua orang itu langsung
berlutut satu kaki, meletakkan
kepalan tangan kanannya
ke tanah sedangkan tangan
kirinya memegangi
pinggang, keduanya sama-sama
tundukkan kepala bagai
memberi hormat. Kemunculan dua
lelaki itulah yang
membuat langkah Suto dan si
perempuan cantik itu
terhenti.
Dahi Suto Sinting berkerut
ketika salah satu dari
kedua orang berpakaian hitam
itu berkata dengan suara
lantang dan tegas namun penuh
hormat.
"Ketua, kami telah
dapatkan seorang calon, sekarang
sedang dibawa ke Bukit
Sangkur. Kami harap Ketua
segera kembali untuk penyucian
sang calon sebelum
purnama tiba."
Mata tajam Suto melirik Rara
Santika. Yang dilirik
menjadi gusar sesaat, lalu
membentak kedua orang itu
dengan maju selangkah.
"Siapa yang kalian
panggil 'ketua' di sini?! Jangan
bicara sembarangan di depan
kami kalau nyawa kalian
tak ingin melayang!"
"Maaf, Ketua... kami
hanya memberitahukan tentang
calon yang sudah kami
dapatkan."
"Calon apa?!" bentak
Rara Santika dengan lebih keras
lagi. Ia tampak berang sekali,
terlebih setelah tahu
diperhatikan oleh Suto
Sinting. Dengan rasa tak enak
hati, ia dekati Suto Sinting
dan berkata pelan dalam
bisik.
"Mereka pasti orang Bukit
Sangkur. Mereka sangka
aku si Gundik Sakti, ketua
mereka!"
"Kalau kenyataannya
memang demikian, mereka tak
salah memanggilmu sebagai
ketua," kata Suto
memancing sikap perempuan itu.
"Aku tidak mengenal kedua
orang itu!" geramnya
dengan cemberut. Kemudian ia
segera berbalik arah dan
temui kedua orang yang masih
berlutut satu kaki itu.
"Perglah kalian, aku
bukan Gundik Sakti!"
Kedua orang itu sama-sama
mendongak dan
memandang dengan mulut
terbengong. Mereka berdiri
secara pelan-pelan dan mata
mereka tak berkedip
pandangi Rara Santika. Salah
seorang berkata dengan
suara pelan.
"Tak mungkin. Kami kenal
betul Ketua kami."
Yang satunya menyahut,
"Suara Ketua tak bisa kami
lupakan."
"Dasar bodoh!"
bentak Rara Santika. "Ini upah
kebodohan kalian!"
Slaaaap...!
Dua tangan maju ke depan.
Lengan dan jarinya lurus
dan mengeras. Dari ujung-ujung
jari itu keluar dua sinar
hijau muda berbentuk seperti
mata tombak. Sinar hijau
itu mempunyai ekor bersinar
merah yang mirip tali kecil.
Kedua sinar hijau itu
menghantam dada kedua orang
berpakaian serba hitam itu.
Jlab, jlaab...!
"Aaaaahg...!"
Keduanya sama-sama terpekik
serempak, tubuh mereka
terpental melayang ke
belakang, kemudian jatuh
berdebum ke bumi. Tubuh
kedua orang itu pun
mengepulkan asap. Makin lama
semakin tebal. Pemandangan itu
diperhatikan oleh
Pendekar Mabuk tanpa berkedip.
Sampai asap tebal itu
menjadi tipis kembali, lalu
hilang musnah tertiup angin.
Kini yang tinggal adalah
kerangka berbaju, tanpa sekerat
daging pun. Senjata mereka
masih terselip di pinggang
masing-masing.
"Jurus edan!" geram
Suto Sinting dalam hatinya.
Perempuan berdada sekal itu
kembali temui Suto Sinting
dengan senyum kecil.
"Hukuman itu layak mereka
terima sebagai imbalan
atas penghinaan mereka yang
menganggapku sebagai
Gundik Sakti!"
Dengan suara ragu Suto berucap
kata, "Seharusnya
tidak sekejam itu, Santika.
Kau perlakukan mereka
dengan tidak manusiawi sekali.
Mereka masih bisa
diberi penjelasan sampai
akhirnya percaya bahwa kau
bukan Gundik Sakti, melainkan
saudara kembarnya."
"Ah, itu terlalu lama dan
bertele-tele. Mereka bisa
membuat kita kehabisan
waktu!"
Perempuan itu maju selangkah
lagi hingga jaraknya
tinggal satu langkah dari
depan Suto. Bibirnya yang
menggemaskan sunggingkan
senyum menggoda,
matanya mengerling sambil
berucap kata,
"Jangan buang-buang
waktu. Setelah kulakukan
pengobatan untuk menawarkan
racun di tubuhku, kita
akan punya banyak waktu untuk
merajut keindahan di
ruang bawah reruntuhan biara
itu, Suto."
Kling...! Mata kiri perempuan
itu berkerling lagi.
Jantung Suto Sinting bagaikan
dibetot. Kaget namun
segera merasakan keindahan
mengalir di setiap aliran
darahnya. Rasa indah itu telah
menimbulkan perasaan
kagum dan bahagia yang
menguasai jiwa. Senyum si
murid sinting Gila Tuak itu
pun segera mengembang
mempesona hati lawan jenisnya.
"Kita harus cepat sampai
ke tempat kita semalam,
lalu kita lewatkan saat-saat
indah di sana."
Suto menjawab dengan debaran
hati penuh rasa suka
cita tiada terkira. Bahkan
tangannya berani mencubit
dagu perempuan cantik itu
tanpa canggung lagi.
"Akan kuberikan yang
terindah untukmu. Tapi
berikan pula yang paling indah
untukku."
"Aku tak bisa menolak
tantanganmu, Suto. Hi, hi,
hi...." Rara Santika
tampak kegirangan. Mereka segera
berlari menuju tepian sungai.
Mereka menyusuri tepian
sungai dengan saling
bergandengan tangan. Bahkan
sesekali mereka berhenti untuk
saling beradu pandangan
mata dan berkata dalam bisik,
seakan suara hati mereka
saling bertukar rasa.
"Aku sudah tak sabar
lagi, Suto."
Pendekar Mabuk berseri-seri,
tangan perempuan
cantik itu diangkat dan
diciumnya dengan lembut.
Si perempuan sempat mendesah,
"Oh, ya... hangat sekali
ciumanmu."
"Akan kuberikan yang
terhangat untukmu, tapi
berikan pula yang palinghangat
untukku, Santika!"
"Kehangatanku akan
mengalir terus untukmu, Suto.
Hanya untukmu, Sayang.
Oooh...," perempuan itu
menjatuhkan diri dalam pelukan
Suto Sinting, ia
sodorkan wajahnya agar diciumi
oleh si tampan
bertubuh kekar dan berdada
bidang itu.
Namun tiba-tiba Suto Sinting
segera memeluk tubuh
Rara Santika kuat-kuat dan
membawanya melesat ke
udara. Wuuuuss...! Tubuh
mereka saling berpelukan di
atas, karena mata tajam Suto
sempat menangkap
seberkas sinar sebesar telur
puyuh meluncur dengan
kecepatan tinggi, lalu
menghantam sebongkah batu di
kaki tanggul sungai.
Blaaar...!
Batu itu hancur menjadi serpihan
kecil, lebih kecil
dari batuan kerikil. Serpihan
itu menyebar ke angkasa
dan membuat tempat di sekitar
situ bagaikan mengalami
hujan batu. Seandainya Suto
Sinting tidak membawa
tubuh Rara Santika melesat ke
udara, tentunya kedua
tubuh mereka akan mengalami
nasib seperti batu sebesar
kerbau itu.
"Siapa orang yang
menyerang kita, Suto?!" mata
perempuan cantik itu menjadi
lebar dan berkesan liar.
"Dia ada di seberang
sungai!" kata Suto Sinting
dengan mata mengecil untuk
memperjelas
penglihatannya.
Sebongkah batu tinggi dipakai
bersembunyi
seseorang. Kainnya kelihatan
sedikit dari tempat mereka
berdiri. Rara Santika segera
lepaskan pukulan jarak
jauhnya sambil berseru,
"Keluar kau dari situ,
Keparat! Hiaah...!"
Slaaaap...!
Ia bagaikan melemparkan pisau
ke arah seberang
sungai, namun yang keluar dari
tangannya adalah
seberkas sinar merah berbentuk
menyerupai bintang.
Sinar itu segera menghantam
batu besar dengan telak
sekali.
Blegaaar...!
Batu itu hancur lebur menjadi
debu dalam sekejap.
Orang yang ada di balik batu
itu melenting ke atas dan
bersalto beberapa kali, lalu
hinggap di atas sebuah batu
datar yang ada di tengah
sungai dangkal itu. Jleeeg...!
Suto Sintingterkesiap pandangi
sosok yang berdiri di
atas batu. Ia melirik Rara
Santika sejenak, ternyata
perempuan itu menatap dengan
mata menyipit.
Pandangan matanya memancarkan
permusuhan yang
dalam. Sementara Itu Suto
Sinting menahan debar-debar
ketegangan dalam hatinya,
mencari cara terbaik untuk
mengambil sikap dalam keadaan
seperti itu.
"Gundik Sakti!" seru
orang tersebut, "Tak ada waktu
lagi kau untuk sembunyi maupun
lari! Sudah saatnya
kau mati menebus dosa-dosamu,
Gundik Sakti!"
"Kau salah pandang, Raja
Maut. Aku bukan Gundik
Sakti! Bukalah matamu
lebar-lebar supaya nyawamu
tidak mati sia-sia!" seru
Rara Santika dengan lantang.
Sementara itu Suto
Sintinghanya berkata dalam hatinya,
"Sepertinya aku pernah
kenal orang itu. Hmmm...
Raja Maut?! Di mana aku pernah
kenal dia? Kapan aku
pernah bertemu? Hmmm... kalau
tak salah dia adalah
tokoh tua yang tinggal di Bukit....
Bukit... aduh. Bukit
apa namanya? Kenapa aku bisa
lupa begini?"
Suto Sinting mencoba
mengingat-ingat tokoh tua
yang jenggot dan-rambutnya
berwarna abu-abu, berusia
sekitar tujuh puluh tahun
kurang sedikit, mengenakan
jubah putih kusam dan berbadan
kurus dengan mata
cekungnya tampak tajam jika
memandang seseorang.
Tokoh tua itu sebenarnya
sangat akrab dengan Pendekar
Mabuk, karena ia adalah
sahabat dari si Gila Tuak, guru
sang Pendekar Mabuk. Tetapi
saat itu ingatan Suto bagai
dikebiri, sehingga tak mampu
mengingat dengan baik
tentang tokoh bertongkat hitam
yang meliuk-liuk seperti
ular itu. Ia bahkan tak mampu
mengingat nama Bukit
Semberani sebagai tempat
kediaman si Raja Maut itu.
Suara tua si Raja Maut masih
terdengar cukup
lantang, wajahnya kelihatan
memancarkan kemarahan
cukup besar, ia berseru
kembali kepada Rara Santika,
"Gundik Sakti, mata tuaku
ini tak bisa ditipu oleh
kelicikanmu! Aku masih cukup
jelas mengenalimu
sebagai orang yang membawa
lari muridku; Sri Murti,
dan menjadikannya sebagai
tumbal tiga purnama yang
lalu! Sekarang aku menuntut
balas atas kematian
muridku itu, juga atas
kematian paratumbal lainnya!"
"Jika kau masih
bersikeras untuk mengadu kesaktian
denganku, aku pun akan
melayanimu dengan senang
hati, Monyet Tua!" seru
perempuan itu dengan keras dan
berkesan kasar, ia segera
dekati Suto Sinting yang
sedang bingung dalam mengambil
sikap dan berbisik
lirih,
"Menjauhlah sedikit, biar
kubereskan dulu si monyet
tua ini! Jangan ikut campur,
karena dia berilmu lumayan
tinggi."
"Mengapa... mengapa ia
bersikeras menganggapmu
sebagai Gundik Sakti,
Santika?"
"Itulah kebodohannya.
Kebodohan itu harus dibantai
agar tidak menular kepada kita
dan orang lain."
Tiba-tiba Raja Maut berseru
kepada Pendekar
Mabuk, "Suto, apakah kau
ada di pihak si perempuan
keparat itu?!"
Suto Sinting hanya bisa
bungkam mulut dan pandangi
Raja Maut dengan hati gundah.
Saat itu, Rara Santika
berkata dengan kesan mendesak
Suto Sinting untuk
mundur,
"Jangan hiraukan
kata-katanya. Lekas menjauh, aku
akan segera lenyapkan dia
dalam dua jurus!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut
sebentar,
kemudian melangkah menjauhi
Rara Santika. Gerakan
mundurnya itu diperhatikan
oleh Raja Maut dengan
keheranan tersimpan di hati.
Bahkan hati sang tokoh tua
itu pun bertanya-tanya,
"Mengapa ia sepertinya
tidak mengenaliku? Mengapa
ia tak mau memihakku? Apakah
ia telah terkena ilmu
pelet si keparat Gundik Sakti
itu?! Biasanya ia tak
bersikap demikian!"
"Raja Maut, sekarang apa
maumu, hah?!" tantang
perempuan itu dengan sikap
siap hadapi pertarungan.
Raja Maut menggeram, genggaman
pada tongkatnya
semakin kuat.
"Binasalah kau, Manusia
Terkutuk! Heeeah...!"
Raja Maut sentakkan tongkatnya
ke depan dalam
keadaan kepala tongkat
mengarah lurus. Dari kepala
tongkat itu keluar sinar merah
terputus-putus
membentuk piringan lempengan
bundar.
Clap, clap, clap, clap...!
Sinar merah menerjang tubuh
Rata Santika. Namun
perempuan itu tidak mau
menghindar, melainkan justru
menghentakkan kedua tangannya
ke depan dengan
telapak tangan terbuka.
Wuuut...! Maka melesatlah sinar
kuning kemerah-merahan dari
kedua telapak tangan
tersebut. Slaaap, slaap...!
Salah satu sinar kuning
menghantam sinar merahnya si
Raja Maut.
Blaaarrr...! Ledakan terjadi
cukup keras dan sempat
mengguncang tanah di sekitar
sungai tersebut.
Sementara itu, sinar kuning
satunya lagi melesat lurus
mengarah ke dada si Raja Maut.
Weess...!
Raja Maut cepat putar
tongkatnya bagaikan baling-
baling sambil lakukan lompatan
ke arah tepian sungai.
Wuuuungg...! Kecepatan putar
tongkat itu hasilkan
gelombang tenaga dalam yang
memancarkan sinar
merah besar. Lalu sinar merah
besar itu dihantam sinar
kuning hingga timbulkan
ledakan yang lebih
menggelegar dari yang pertama
tadi. Jegaarrr...!
Gelombang ledakan
menghentakkan tubuh Raja Maut
yang sedang melayang. Tubuh
itu bagaikan dihempas
badai dan terpental jatuh
tanpa keseimbangan badan.
Bruuuus...! Semak di tepi
sungai menjadi sasaran
jatuhnya tubuh si Raja Maut.
Sementara itu, gelombang
ledakan tersebut juga
menghentakkan tubuh Rara
Santika, sehingga
perempuan itu terdorong ke
belakang dengan terhuyung-
huyung dan nyaris jatuh ke
sungai. Namun ia segera
sigap kembali setelah
sentakkan kaki dan tubuhnya
melenting di udara sambil
menjaga keseimbangan tubuh.
"Kelihatannya Rara
Santika mulai terdesak oleh
serangan Raja Maut. Haruskah
aku turun dengan
membantunya? Oh, jangan dulu!
Rara Santika belum
tampak kewalahan sekali. Tapi
jika sampai ia kewalahan
sekali, Raja Maut terpaksa
kubunuh demi
menyelamatkan Rara
Santika," pikir Pendekar Mabuk
dari tempatnya, ia masih pandangi
pertarungan itu
dengan tenang, namun penuh
waspada, sehingga kapan
pun bertindak tak akan temui
kegagalan.
Perempuan itu memang belum
kewalahan, justru Raja
Maut yang tampak mulai
terdesak oleh serangan lawan.
Karena saat Raja Maut baru
saja bangkit dari semak-
semak, ia segera diserang oleh
perempuan cantik itu.
Tubuh si perempuan cantik
melesat bagaikan terbang
dengan gerakan tubuh memutar
mirip alat pengebor.
Wuuuurrss...! Kecepatan
geraknya sangat tinggi,
sehingga Raja Maut sendiri
sempat terperanjat dan
bingung menghadapinya.
Akhirnya Raja Maut sentakkan
kaki ke bumi dan tubuhnya
melesat tinggi dalam
keadaan tegak lurus. Kemudian
ia hantamkan tongkatnya
ke arah tubuh lawan yang
berputar cepat itu. Wuuuut...!
Prraak, duaar...!
Tongkat itu belum sampai
menyentuh tubuh Rara
Santika namun sudah seperti
membentur baja tebal yang
beraliran tenaga dalam tinggi.
Ledakan yang timbul
membuat tongkat tersebut patah
menjadi beberapa
potong, tinggal bagian kepala
tongkat saja yang masih
digenggam tangan si Raja Maut.
"Celaka! Tongkatku bisa
sampai hancur begini?! Ia
mempunyai lapisan tenaga dalam
yang jarang dimiliki
orang. Pasti ia telah kuasai
jurus 'Perisai Malaikat',
sehingga pada benda apa pun
yang mau menyentuhnya
akan pecah sebelum sampai pada
sasarannya. Hmm...
jika begitu aku pun harus
pergunakan jurus 'Lahar
Gegana' untuk melawan jurus
'Perisai Malaikat' itu!"
pikir si Raja Maut sambil
perhatikan lawannya yang
sedang memainkan jurus dengan
gerakan lamban.
Raja Maut kerahkan tenaganya
dengan tangan
membuka ke atas membentuk
cakar pada jari-jarinya.
Tangan itu segera menyentak ke
sana-sini dengan cepat,
kemudian berhenti di
pertengahan dada. Seluruh jarinya
menggenggam kecuali jari
tengah dari kedua tangan. Jari
tengah itu saling merapat,
kemudian dengan kaki
menghentak ke bumi, kedua
tangan yang jari tengahnya
saling merapat lurus itu
menyentak ke depan. Suuut...!
Selarik sinar biru tanpa putus
melesat dari ujung
kedua jari tengah itu. Sinar
itu semakin jauh semakin
melebar dan membesar, hingga
akhirnya menghantam
tubuh Rara Santika. Namun
dalam jarak dua langkah
sebelum mencapai tubuh
perempuan montok itu, sinar
biru tersebut telah pecah
menyebar dan menimbulkan
ledakan yang amat dahsyat.
Blegaaaarrr...!
Air sungai meluap seketika,
tanah bagaikan dihentak
gelombang dari kedalaman bumi.
Batu-batuan terpental,
ada yang pecah seketika, ada
pula yang hanyut terbawa
arus sungai. Pepohonan tumbang
beberapa bagian.
Daun-daun pohon yang hanya
terguncang oleh getaran
gelombang ledak tadi menjadi
berhamburan ke mana-
mana. Tanggul sungai mengalami
jebol pada sisi barat,
tanahnya longsor dan nyaris
mengubur Suto Sinting jika
pemuda itu tidak segera pindah
tempat dengan
pergunakan jurus 'Gerak
Siluman'-nya. Zlaaap...!
Rupanya jurus 'Lahar Gegana'
tak bisa menembus
jurus 'Perisai Malaikat',
sehingga akibatnya Raja Maut
sendiri terlempar tinggi oleh
sentakan gelombang ledak
tadi. Tubuhnya melayang ke
atas tanpa keseimbangan
badan. Dan pada saat itulah,
Rara Santika lepaskan
pukulan jarak jauhnya yang
berbahaya. Tangan
kanannya menyentak ke atas
dalam keadaan kelima jari
lurus merapat. Sinar hijau
bening keluar dari jari-jari
tersebut dan menghantam tubuh
Raja Maut sebelum
bergerak turun ke bumi.
Slaap...! Jroooss...!
Tubuh Raja Maut kepulkan asap
ketika bergerak
turun. Brrruk...! Tubuh itu
jatuh terbanting di tanah
bagaikan gumpalan asap dari
langit. Angin berhembus
menerbangkan asap tersebut.
Kejap berikut tampaklah
sosok tubuh Raja Maut telah
berubah menjadi kerangka
berpakaian jubah putih, ia
mengalami nasib seperti dua
orang yang memanggil Rara
Santika dengan sebutan
'ketua' tadi. Kematian itu
hanya membuat Suto bengong
di tempat.
Rara Santika hembuskan napas
pelan-pelan dari
mulutnya yang meruncing itu.
Kedua tangannya
bagaikan melepaskan benda dari
atas ke bawah secara
pelan-pelan juga. Ia pandangi
lawannya yang telah
menjadi kerangka hangus namun
masih kenakan pakaian
itu. Senyum pun mekar sebagai
tanda kemenangan yang
sedang dinikmatinya. Lalu, ia
langkahkan kaki untuk
mendekati Pendekar Mabuk yang
saat itu sudah berada
di dekat tulang-belulang si
Raja Maut dengan hati
membatin kata,
"Mampus juga kau, Raja
Maut. Kau terlalu bodoh,
sehingga berani menganggap
Rara Santika sebagai
Gundik Sakti. Kau tak tahu
kalau Rara Santika itu juga
berilmu tinggi, setara dengan
adik kembarnya; si Gundik
Sakti itu. Yaaah... salam saja
buat rekan-rekanku yang
sudah lebih dulu bermukim di
akhirat sana!"
Di wajah Pendekar Mabuk tak
ada rona duka sedikit
pun melihat kematian Raja
Maut. Padahal dulu ia pernah
dibantu Raja Maut dalam berbagai
pertarungan dengan
tokoh sakti lainnya, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Ratu Tanpa
Tapak"). Suto bahkan tampak
kagum dan lega memandang
kehadiran Rara Santika
yang mendekatinya, ia
sunggingkan senyum sebagai
penyambut kemenangan si
perempuan cantik itu.
Kedua tangan Suto mengembang
dan ia berkata
dengan nada ceria,
"Perempuan terhebat, masuklah
dalam pelukanku!"
Wajah perempuan itu
berseri-seri. Ia segera memeluk
Suto Sinting dan Pendekar
Mabuk pun segera
memeluknya. Suto sempat
bisikkan kata bernada mesra,
penuh kelembutan yang
menyentuh perasaan seorang
wanita seperti Rara Santika
Itu.
"Untung kau selamat. Jika
kau sampai tiada, tak tahu
harus ke mana kucurahkan
gairahku yang telah
menggebu-gebu saat ini,
Santika!"
"Oh, Suto... gairahmu tak
akan tercurah kepada siapa
pun kecuali kepadaku seorang.
Bawalah aku ke tempat
yang aman jika kau tak sabar
menahan hasratmu,
Sayang...!"
"Bagaimana kalau kita
bercumbu di balik kerimbunan
semak itu, Santika
sayang?!"
"Di mana pun aku siap
menerima kehangatanmu,
Suto-ku tampan!" sambil
tangan Rara Santika mengusap
pipi Pendekar Mabuk. Kemudian
kedua tangan Pendekar
Mabuk meraih tubuh Rara
Santika, menggendongnya
dengan kokoh dan membawanya
lari ke arah semak-
semak di bawah pohon beringin
putih.
Namun sebelum mereka mencapai
tempat itu, sebuah
suara terdengar berseru dari
belakang mereka dengan
lantang.
"Hentikan langkah
kalian."
Seruan itu membuat Suto dan
Rara Santika tersentak
kaget. Langkah pun dihentikan,
tubuh Rara Santika
turun dari gendongan. Keduanya
sama-sama pandangi
orangyang berseru dengan
lantang itu.
"Ooh...?!" Suto
Sinting sangat terkejut, bahkan
sempat mundur tiga langkah
dari tempatnya. Apa yang
dipandangnya saat itu telah
membuat hatinya menjadi
bimbang dan segera mengalami
keresahan batin cukup
besar.
Orang yang berseru lantang
tadi adalah seorang
perempuan yang mempunyai wajah
serupa persis dengan
Rara Santika. Wajahnya,
potongan tubuhnya, warna
kulitnya, pakaiannya, semua
sama persis dengan Rara
Santika. Akibatnya mata Suto
memandang kian kemari
dengan bingung. Hatinya sempat
berucap kata,
"Inikah adik kembar Rara
Santika?! Hmmm... benar-
benar sulit dibedakan antara
Rara Santika dengan Rara
Sumina; si Gundik Sakti itu.
Keduanya sama-sama
cantik dan menggairahkan. Tapi
agaknya aku harus
memihak Rara Santika, supaya
kekejaman si Gundik
Sakti tidak merajalela
lagi."
Orang yang baru datang
berwajah kembar dengan
Rara Santika itu pandangi Suto
Sinting dengan tajam.
Tapi sebelum ia bicara, Rara
Santika lebih dulu dekati
Suto dan berkata.
"Cantik sekali adik
kembarku itu, bukan?! Tapi
sayang dia berada di jalan
yang sesat! Perhatikan
kesamaannya denganku. Bukankah
hal yang pantas jika
setiap orang menyangka diriku
adalah Gundik Sakti?
Padahal dialah orang yang
selama ini berjuluk si Gundik
Sakti."
"Aku bukan Gundik
Sakti!" seru perempuan yang
baru datang itu. "Aku
adalah Rara Santika! Kau jangan
melemparkan dosa padaku,
Sumina!" tudingnya kepada
perempuan yang di samping Suto
Sinting. Perempuan itu
hanya tersenyum sinis, lalu
berkata kepada Suto dengan
nada manja,
"Dia ketakutan kepada
kita, sebab dia tahu jika
kekuatan kita menjadi satu,
dia akan hancur lebur dalam
sekejap saja! Tapi, aku tak
ingin kau ikut celaka. Kalau
tubuhmu luka atau lecet
sedikit saja, nanti masa
bercumbu kita kurang hangat,
Suto. Sebaiknya kau
menyisi dulu, biar kuhadapi
adikku itu."
Pendekar Mabuk masih bingung
mengambil sikap.
Karena perempuan yang baru
datang itu segera maju
dalam satu lompatan bersalto
dan mendaratkan kakinya
dalam jarak empat langkah di
depan Suto Sinting.
Wuuut...! Jleeeg...!
"Suto, buka matamu
lebar-lebar! Jangan sampai kau
salah duga. Perhatikan siapa
diriku sebenarnya dan siapa
dirinya. Perhatikan baik-baik,
Suto. Aku tak ingin kau
terkecoh oleh kesamaan rupa
ini!"
Rara Santika menyambar dagu
Suto yang sedang
memandangi orang yang baru
datang itu. Wajah Suto
dipalingkan hingga menatapnya,
lalu ia berkata dengan
suara manja sedikit serak,
"Pandanglah aku saja.
Bukankah aku lebih
menggairahkan daripada
dia?"
Suto Sinting tersenyum tawar.
"Kau memang sangat
menggairahkan, Santika!"
"Akulah Santika,
Suto!"
"Diam kau!" bentak
perempuan di samping Suto.
"Kau yang diam! Kau yang
harus berhenti dari
kesesatanmu, Sumina! Aku
mempunyai wewenang
untuk membunuhmu jika kau
tidak kembali ke jalan
yang benar!"
"Bocah ingusan mau jual
lagak di depan Pendekar
Mabuk! Kuhancurkan mulutmu
jika kau masih mencoba
mengaku bernama Santika!
Akulah yang punya nama
itu!"
"Pengecut kau, Sumina!
Kau berani berbuat tapi tak
berani menanggung akibatnya!
Demi nama baikku aku
rela bertarung mengadu nyawa
denganmu!"
"Hik, hik, hik, hik...!
Bocah kemarin sore mau
mengadu nyawa denganku?! Apa
aku tak salah dengar,
Suto?! Dia pikir setelah
namanya dikenal sebagai
Gundik Sakti, lantas akan
dengan mudah
menumbangkan diriku?! Hik, hik,
hik...! Lucu sekali
sikap anak kecil itu. Sudah
mengaku bernama Rara
Santika, masih saja mau
mengadu nyawa denganku!"
"Memang akulah Rara
Santika, dan kau adalah Rara
Sumina; si Gundik Sakti! Kau
telah menotokku, dan
menyembunyikan aku di balik
semak belukar kala Suto
Sinting mencari seorang
penyerang yang ingin
membunuhku dengan senjata
rahasianya itu! Sekarang
aku tahu, kaulah orang yang
menyerangku dengan
selempeng logam beracun untuk
memancing kepergian
Suto dari sampingku. Begitu
Suto pergi, kau menotokku
dari belakang dan
menyembunyikan diriku di semak
belukar. Lalu kau tampil di
tempatku berdiri sebagai
Rara Santika untuk merebut
perhatian Suto Sinting!"
"Bohong!" bentak
perempuan di samping Suto
dengan mata mendelik lebar,
seakan ia ingin menelan
saudara kembarnya itu.
"Kau pikir mudah
memperdaya Suto tanpa diriku,
Sumina?! Hmmm, tidak semudah
dugaanmu, Adikku!
Totokanmu mampu kulepaskan
dengan jurus 'Panca
Batin' warisan mendiang Ayah.
Kau murid mendiang
Ibu, tak akan mempunyai jurus
seperti itu!"
"Kurobek mulutmu kalau
masih bicara lagi,
Jahanam!" ia maju
selangkah dengan berang sekali.
"Aku sudah siap mati di
tangan adik kembarku
sendiri. Untuk apa aku takut
menghadapimu, Sumina!
Biarpun kau telah berhasil
membuat Suto terpikat oleh
ilmu pemikatmu melalui
kerlingan mata, namun
pertarungan ini akan membuka
kesadarannya, bahwa kau
adalah Gundik Sakti dan aku
adalah Rara Santika!"
"Bangsaaat...!"
teriak perempuan yang tadi habis
membunuh Raja Maut itu. Ia
segera melompat
menerjang perempuan yang baru
datang itu. Wuuut....
Lompatan itu disambut oleh
lawan dengan gerakan
melesat mirip terbang. Kedua
tangan mereka saling
berusaha hantamkan pukulan
selama dalam lompatan di
udara.
Plak, plak, plak, plak...!
Blaarr...! Sinar merah
menyebar sekejap ketika
telapak tangan mereka beradu.
Hentakan gelombang ledak yung
timbul ketika itu
membuat tubuh Suto Sinting
terpental ke belakang dan
berguling-guling. Kepalanya
sempat membentur batu
dan merasa pusing dalam
beberapa kejap. Suto Sinting
mengibas-ngibaskan kepalanya,
membuang rasa pusing.
Tapi ternyata yang terbuang
bukan saja rasa pusing,
melainkan kekuatan pengaruh
ilmu pemikat ikut hilang
dari alam pikiran jiwanya.
"Oh, kenapa aku ada di
sini?!" Suto Sinting membatin
dengan bingung sendiri.
Semakin bingung lagi setelah
melihat dua perempuan kembar
rupa bertarung dengan
pergunakan kipas gading
masing-masing.
"Rara Santika bertarung
melawan adik kembarnya;
Gundik Sakti. Tapi... tapi
yang mana yang bernama
Gundik Sakti ?!" pikir
Suto dengan dahi berkerut tajam.
"Aku harus membela Rara
Santika untuk
menumbangkan si Gundik Sakti!
Aduh, yang mana Rara
Santika?! Yang mana...?!"
Suto tegang dan jengkel
sendiri. Matanya bergerak
nanar diburu nafsu bertarung.
Blegaaar.... Kedua perempuan
itu mengadu kipas di
udara. Ledakan besar terjadi
bersama menyebarnya sinar
biru terang dari perpaduan
kedua kipas tersebut. Salah
satu kipas terpental dan
hancur berkeping-keping. Tapi
perempuan yang tanpa kipas itu
masih tampak berani
lakukan penyerangan terhadap
lawannya, ia
berjumpalitan di tanah
beberapa kali, kemudian berhenti
dalam keadaan berlutut satu
kaki dan sentakkan
tangannya ke depan. Sinar
merah lurus keluar dari ujung
jari tangannya yang menguncup
itu. Slaaap...! Sinar
lurus dihadang oleh kipas yang
dikembangkan di depan
dada. Deeb...! Blaaarr...!
Zlaaap...! Orang yang memegang
kipas lenyap
seketika. Bukan hancur karena
hantaman sinar tadi,
melainkan berpindah tempat di
belakang orang yang
tidak memegang kipas, ia mampu
bergerak luar biasa
cepatnya, hingga tak terlihat
ke mana arah gerakannya.
Tahu-tahu ia tebaskan kipasnya
ke punggung lawan.
Wuuuut...! Breeett...!
"Aaahg...!"
perempuan yang tak berkipas memekik
kesakitan, punggungnya robek
lebar bagai dibabat
dengan pedang pemenggal
kepala. Luka tersebut
keluarkan asap tipis, makin
lama makin melebar dan
menjadi hitam. Penderitanya
terhuyung-huyung
menahan rasa sakit yang luar
biasa itu, sampai akhirnya
ia jatuh terkulai di atas
sebongkah batu dalam keadaan
telungkup. Kedua tangannya
terjuntai lemas, napasnya
sesak, suara rintihannya
semakin pelan. Namun ia
tampak berusaha untuk tetap
bisa bangkit dan membalas
serangan lawan.
"Aku terpaksa tega
padamu! Terimalah kematianmu
sekarang juga.
Hiaaah...!"
Craaaak...! Ujung kipas
keluarkan mata pisau putih
tipis yang runcing dan tajam.
Pada saat itu orang yang
sudah terluka sedang
membalikkan badan menjadi
telentang dengan seringai
kesakitan dipaksakan. Pisau di
ujung kipas segera ditebaskan
untuk merobek leher
lawannya. Wuuut...!
"Hiaah...!" Suto
Sinting melesat cepat. Zlaap...! Jurus
'Gerak Siluman' membuatnya
bergerak seperti anak
panah, menerjang perempuan
yang masih bersenjata
kipas itu. Bumbung tuaknya
dihantamkan ke dada
perempuan tersebut pada saat
menerjangnya. Buuhhg...!
"Aaahg...!"
perempuan itu memekik tertahan,
tubuhnya melayang ke belakang.
Suto Sinting
mengejarnya dengan lompatan
bertenaga 'Gerak
Siluman' lagi. Zlaaap...!
Prraak...! Bumbung tuak
menghantam kepala.
"Uuhg...!" perempuan
itu terpental, terguling-guling
dalam keadaan kepala berlumur
darah.
Tepat ketika perempuan itu
berusaha bangkit, Suto
Sinting lepaskan jurus 'Mabuk
Lebur Gunung',
menggeloyor seperti mau jatuh,
ternyata menyodokkan
bumbung tuak ke punggung
lawan. Beehg...! Brrruk...!
Lawan pun jatuh tersungkur,
tubuhnya mulai sulit
bergerak. Rambutnya menjadi
rontok semua. Tubuh itu
menjadi biru legam. Kejap
berikutnya perempuan itu tak
mampu bernapas lagi. Ia
menghembuskan napas terakhir
dengan tubuh menyentak
satukali.
Weesss...! Nyawa pun melayang.
Suto Sinting segera menolong
perempuan yang
terluka punggungnya itu.
Dengan paksa ia meminumkan
tuak saktinya, membuat luka
itu cepat sembuh secara
ajaib, dan kesehatan perempuan
itu pun pulih kembali.
"Gundik Sakti telah
tiada!" ucap Suto Sinting ketika
perempuan itu pandangi mayat
tanpa rambut itu. "Dia...
Rara Santika?"
Suto Sinting gelengkan kepala.
"Dia bukan Rara
Santika, tapi kaulah yang
bernama Rara Santika. Dia
adalah Gundik Sakti; Rara
Sumina, adik kembarmu itu."
"Dari mana kau bisa
membedakan bahwa dia adalah
adikku?"
Suto Sinting mengambil sesuatu
dari dalam ikat
pinggangnya. Sebuah gelang
beruntai batu merah delima
dimainkan di telapak tangannya
sambil sunggingkan
senyum menawan.
"Kulihat tangannya
mengenakan gelang seperti ini,
sedangkan kau tidak mengenakan
gelang. Karena
gelangmu kau serahkan padaku
saat kita di kedai, dan
aku lupa mengembalikannya!
Maka aku yakin, kaulah
Rara Santika. Sedangkan orang
yang sejak tadi
bersamaku serta membuatku tega
melihat kematian si
Raja Maut itu tak lain adalah
si Gundik Sakti. Maka tak
ada salahnya jika aku segera
menyerangnya demi
selamatkan nyawamu, dan nyawa
para calon tumbal
lainnya."
Rara Santika yang tadi
hentikan langkah Suto saat
mau menuju ke semak bersama
Gundik Sakti itu segera
sunggingkan senyum manis, ia
memandangi Suto
dengan penuh curahan rasa
kagum. Sebaris gumam lirih
terdengar dalam suara lembut,
"Kau memang cerdas, Suto!
Ambillah gelang itu
selamanya, jadikan milikmu
yang paling berharga. Jika
masih kurang, ambillah pemilik
gelang itu juga, aku
bersedia menjadi milikmu yang
paling berharga."
Tiba-tiba terdengar suara,
"Kau tak boleh melebihi
batas, Rara Santika!"
Mereka terkejut dan menjadi
tegang. Suara bergema
itu adalah suara perempuan,
namun tak terlihat bentuk
wujudnya. Hanya saja, telinga
rindu Suto sangat
mengenali suara tersebut,
sehingga ia pun berseru,,
"Kaukah yang mengirimkan
suara itu, Dyah
Sariningrum?!"
"Ya, akulah yang bicara,
Calon suamiku. Aku
terpaksa ikut campur karena
hampir saja si Gundik Sakti
merenggut kehangatanmu. Tak
kuizinkan ia berbuat
demikian padamu, sehingga
terpaksa kulepaskan jurus
'Racun Simalakama' sebagai
ungkapan murkaku
kepadanya. Tanpa kau bunuh pun
sebenarnya ia akan
mati dengan sendirinya akibat
'Racun Simalakama'-ku
itu."
"O, jadi kauyangmencegah
perbuatan liciknya itu?"
"Kukirimkan 'Racun Simalakama'
melalui hembusan
sang bayu, dan ia menjadi
ketakutan saat melihat
keadaanmu seperti bayi."
"Apakah kau juga
melihatku dalam keadaan seperti
bayi, Dyah Kasih?" tanya
Suto sambil ingin tertawa.
"Ya, aku melihatmu
seperti itu juga," jawab suara
bergema.
"Dan kau menjadi takut
seperti si Gundik Sakti itu?!"
"Aku... aku menjadi
bertambah rindu, Suto!" suara
bergema itu kian lirih,
menandakan ada rasa malu saat
mengucapkannya.
Suto Sinting tertawa sendiri.
"Dyah Kasih..., aku tak
melihat wujudmu. Di mana kau
bersembunyi?
Keluarlah, Dyah
Kasih...!" bujuk Suto.
"Aku ada di Pulau Serindu
sedang menunggumu,
Suto sayang...!"
"Kalau begitu aku akan
berangkat ke Pulau Serindu
sekarang juga, Dyah
kasihku."
"Tidak harus sekarang.
Selesaikan sampai tuntas dulu
perkaramu itu. Gua Tumbal
Perawan masih dihuni
orang-orang sesat bersama
iblis sembahan mereka;
Darahkula. Gua dan Darahkula
harus kau hancurkan
demi keselamatan para gadis
lainnya, Suto! Setelah itu,
lekaslah pulang ke Pulau
Serindu, di sana aku
menunggumu!"
"Baik, akan kuhancurkan
gua itu dengan Napas Tuak
Setan-ku!" kata Suto
penuh semangat. Kemudian ia
memandang Rara Santika yang
terbungkam diliputi
perasaan takut. Perempuan itu
pun akhirnya berkata,
"Aku akan ikut ke gua
itu, tapi... tapi aku tak berani
lagi lebih dekat denganmu.
Suara itu membuat jiwaku
menjadi sangat ketakutan.
Kalau boleh kutahu, suara
siapa itu?"
"Itu suara calon ibunya
anak-anak," jawab Suto
sambil cekikikan sendiri.
SELESAI