Serial Pendekar Mabuk 52 Gundik Sakti

Baca Cersil Indonesia Online: Serial Pendekar Mabuk 52 Gundik Sakti
1
LANGIT yang semula cerah mulai dilapisi gumpalan
awan hitam. Sinar mentari tak bisa menembus pancarkan
suryanya ke bumi.
Akibatnya alam bagaikan dirundung
duka dan bumi seakan tak lagi punya daya.
Dalam gugusan awan hitam itu sesekali tampak
percikan cahaya biru yang berkerilap menghantam awan
tanpa mega. Kilatan cahaya biru sering kelihatan
berusaha menjilat pucuk-pucuk cemara bagai mencari
kesempatan untuk menghantam ujung sebuah gunung.
Gelegar suara petir pun menggema serasa ingin menelan
seluruh suara yang ada di permukaan bumi. Namun
pekik pertarungan di kaki gunung itu masih saja tak mau
kalah dengan suara petir yang mengguntur di sana-sini.
Pekik pertarungan itu terlontar dari mulut orang-
orang pengusung tandu berwarna hitam. Empat
pengawal utamanya maju serentak menyerang tokoh tua
berusia sekitar delapan puluh tahun lebih, mengenakan
pakaian model biksu berwarna abu-abu, rambutnya
beruban tipis berkesan botak bagian tengahnya. Tokoh
tua yang berjenggot dan berkumis putih rata itu tak lain
adalah Resi Pakar Pantun yang selalu didampingi oleh
pelayannya: Kadal Ginting.
Namun dalam pertarungan ini, Kadal Gintingtak mau
ikut perkuat pertahanan tuannya, ia justru bersembunyi
di balik pohon yang letaknya sekitar lima belas langkah
dari tuannya. Sang tuan mati-matian hadapi empat
pengawal tandu dan beberapa pengusung yang
menyerang secara beruntun. Blaarr...!
Wuuut...! Jegaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi karena Resi Pakar Pantun
menghadang serangan mereka berupa sinar-sinar hijau
yang merupakan pukulan tenaga dalam cukup tinggi.
Ledakan itu mengguncang pepohonan di sekitar mereka.
Sang Resi sendiri segera tumbang, jatuh ke belakang dan
berguling-guling. Namun dalam sekejap ia segera
bangkit dengan berguling ke kiri satu kali karena hindari
tebasan pedang yang membelah tubuhnya yang agak
gemuk itu.
"Desak terus, jangan beri kesempatan!" seru salah
seorang yang bertubuh tinggi, besar dan berkumis lebat.
Seruan itu membuat mereka menerjang Resi Pakar
Pantun secara bersama-sama.
Wuuuurrrss...!
Resi Pakar Pantun mulai terdesak oleh serangan
orang-orang berbadan kekar itu, sehingga ia terpaksa
gunakan jurus mautnya. Kedua tangan saling
merapatkan telapaknya, kemudian disentakkan menyebar
bersama hentakan kaki kanan ke tanah dan suaranya pun
menyentak kuat.
"Heeah...!"
Srraazz...!
Kedua tangan Resi Pakar Pantun menyebarkan
cahaya merah bagai bunga api yang menghantam orang-
orang di sekelilingnya. Sekalipun hanya dua-tiga
percikan sinar merah yang mengenai tubuh, namun
membuat orang tersebut terjungkal berguling-guling
dengan kepala kepulkan asap dan bau rambut terbakar
pun menyebar. Kepala yang dibungkus kain ikat kepala
pun mengepulkan asap dan kain penutup kepala tampak
terbakar sedikit demi sedikit. Lama-lama kain itu
menjadi hitam hangus dan menjadi debu.
Dalam kejap berikutnya, delapan penyerang sebagai
pihak pengawal dan pengusung tandu itu mengalami
nasib yang menyedihkan. Tubuh mereka menjadi lemas,
tak mampu mengangkat senjata lagi. Wajah mereka
menjadi pucat, dengan napas tersendat-sendat. Kepala
mereka menjadi gundul tanpa sehelai rambut lagi.
Bahkan yang semula mempunyai kumis, kini tanpa
selembar kumis lagi.
"Dahsyat sekali jurus 'Tebar Geni'-nya Eyang Resi
itu!" gumam hati si pelayan; Kadal Ginting dari tempat
persembunyiannya. "Semua rambut terbakar habis,
bahkan kurasa bulu ketiak mereka pun ikut rontok
karena terbakar. Mungkin juga rambut lain-nya pun
rontok terbakar dan menjadi plontos. Misalnya, rambut
di betis mereka dan rambut di dada mereka. Oh, benar-
benar hebat tuanku itu, selama aku mengikutinya ke
mana pun ia pergi, baru sekarang kulihat kedahsyatan
jurus 'Tebar Geni' yang sering diceritakan itu."
Plek...! Tiba-tiba pundak Kadal Ginting yang penakut
itu dipegang seseorang. Kadal Ginting terpekik dengan
napas tertahan dan suara tercekik. Jantungnya nyaris
putus karena rasa kagetnya mendapat sentuhan tangan
pada pundaknya. Pelan-pelan sekali kepalanya
dipalingkan ke belakang dengan hati mengeluh, "Mati
aku kalau begini...! Bakalan mati sebentar lagi!"
Rasa putus asanya itu timbul karena Kadal Ginting
yang bertubuh agak pendek dan berilmu rendah itu sadar
betul bahwa orang-orang yang menjadi pengawal tandu
hitam itu mempunyai tubuh kekar dan ilmu yang
lumayan tinggi. Jika ia berhadapan dengan salah satu
pengawal tandu, jelas wajahnya akan hancur dan babak
belur, mungkin juga nyawanya akan lepas dari raga jika
mendapat hantaman satu kali pun.
Namun alangkah lebih kagetnya si Kadal Ginting itu
setelah wajahnya dipalingkan ke belakang dan ternyata
yang memegang pundaknya itu adalah seorang berjubah
ungu dengan pinjung penutup dadanya yang montok itu
berwarna merah. Gadis itu berparas cantik, berhidung
bangir, bermata tajam namun indah, dan berbibir
menggiurkan.
"Pasti istrinya El Maut!" pikir Kadal Ginting semakin
gemetar seluruh tubuhnya pandangi gadis yanq
menyandang pedang di punggungnya. "Semakin
mampuslah aku kalau dia benar-benar istrinya El Maut.
Tapi, biarlah... kurasa kematianku lebih terhormat dari
yang lain, sebab nyawaku dijemput oleh istri El Maut
yang cantik. Setidaknya aku akan bisa mati dengan
tersenyum bangga."
Gadis itu menatap mata Kadal Ginting dengan tak
berkedip. Darah Kadal Ginting bagaikan mengalir cepat,
jantung berdetak lamban, nyawanya terasa sedang
disedot melalui tatapan mata itu. Rasa takut dan pasrah
membuat bagian bawah Kadal Ginting menjadi basah;
seluruh keringat mengalir ke paha dan betis bagai
diperas dari pori-pori tubuhnya.
"Jangan main curang kau!" hardik gadis berjubah
ungu yang usianya sekitar dua puluh empat tahun itu.
"Oh, hmmm... eeh... tid... tidak. Aku... aakk... aku
tidak bermain curang. Aaaku... aku hanya bermain mata.
Eh, bukan... maksudku... aku hanya mengintai
pertarungan tuanku itu dari sini. Aku tidak bermaksud
curang. Sungguh. Berani sumpah disambar kacang
rebus, aku tidak bermaksud jahat, Nona... eh, Dewi...,
eh, Bibi... eh, Nyai... eh, eh, eh, eh...." Kadal Ginting
terengah-engah diburu rasa takut.
Gadis berjubah ungu memandang ke pertarungan.
Ternyata pertarungan telah berhenti, entah hanya
sementara atau selamanya. Yang jelas, orang-orang yang
mengeroyok sang Resi saat ini sedang saling terkapar
dengan tubuh terkulai lemas. Mereka seakan baru saja
melakukan perjalanan amat jauh, atau melakukan
pendakian yang amat melelahkan. Orang-orang
pengusung tandu saling berpandangan dengan sedih,
masing-masing pegangi kepala mereka yang rontok
tanpa rambut lagi itu. Sementara itu, Resi Pakar Pantun
tetap berdiri di tempatnya penuh waspada. Matanya
pandangi lawan-lawannya dengan senyum geli, lalu ia
pun perdengarkan suara tawanya yang terkekeh pelan
sambil langkahkan kaki dekati tandu berselubung kain
hitam itu.
"He, he, he, he...! Keluarlah dari tandumu, Gundik
Sakti!"
Gadis berjubah ungu itu terkejut mendengar Resi
Pakar Pantun menyebut nama 'Gundik Sakti'. Ia tak
peduli lagi dengan tatapan mata Kadal Ginting yang
penuh rasa takut itu. Dengan satu sentakan kaki ia
melesat tinggalkan persembunyian Kadal Ginting.
Wuuut...! Kejap berikutnya ia sudah berdiri tak jauh dari
Resi Pakar Pantun.
"Oh, kau ada di sini juga rupanya, Tembang
Selayang?!" Resi Pakar Pantun langsung kenali gadis
cantik bertahi lalat di sudut bibir atas sebelah kanan.
"Secara kebetulan kulewati daerah ini dalam
perjalananku menuju Bukit Kasmaran, Resi Pakar
Pantun."
Rupanya kemunculan Tembang Selayang bukan
hanya membuat sang Resi terkejut kecil, namun ada
sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan dari atas
pohon rindang. Sepasang mata itu milik seorang pemuda
tampan berambut lurus sepanjang batas pundak dan
membawa sebuah bumbung tempat luak. Pemuda
tampan itu tak lain adalah Suto Sinting, murid si Gila
Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk.
"Agaknya aku harus bergabung dengan mereka.
Sudah lama juga aku tidak jumpa dengan Tembang
Selayang, anak Empu Tapak Rengat itu. Hmmm... aku
punya cerita untuknya dan harus kusampaikan sekarang
juga," pikir Suto Sinting, lalu ia segera keluar dari
persembunyiannya.
Tembang Selayang memang anak Empu Tapak
Rengat, namun ia bukan murid sang Empu. Tembang
Selayang adalah murid yang keluar dari perguruan Bukit
Kasmaran karena tidak sepaham dengan ketuanya yang
baru; si Merak Cabul. Suto berkenalan dengan Tembang
Selayang dalam peristiwa rebutan sebuah pusaka milik si
Tua Bangka, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Kapak Setan Kubur").
Namun sekarang si Merak Cabul sudah tiada,
dibunuh oleh kakeknya sendiri yang merasa malu
mempunyai cucu sesat. Dan tentunya Tembang Selayang
belum mengetahui tentang kematian si Merak Cabul dan
Sanjung Rumpi, sebab kematian itu terjadi di depan
mata Pendekar Mabuk kala si Merak Cabul terbakar
gairah cintanya karena jurus 'Senyuman Iblis' yang
dipancarkan dari wajah tampan sang pendekar tampan
itu. Suto merasa perlu mengabarkan hal itu kepada
Tembang Selayang, sehingga ia pun segera tiba di antara
Resi Pakar Pantun dan putri Empu Tapak Rengat, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Sabuk Gempur
Jagat"). Tentu saja kehadiran Suto mengejutkan sang
Resi, sekaligus membuat Tembang Selayang
terperangah.
"Suto, sejak kapan kau bersembunyi di atas pohon
rindang itu?!" tanya Tembang Selayang yang
mengetahui kemunculan Suto dari kerimbunan pohon
tersebut.
"Sejak kau belum mendekati Kadal Ginting, aku
sudah ada di atas pohon itu, Tembang Selayang.
Dentuman kerasmemancingku untuk membelokkan arah
perjalanan kemari, dan ternyata di sini kulihat
pertarungan Resi Pakar Pantun dengan orang-orang
pengawal tandu hitam itu," ujar Suto Sinting sambil
sesekali melirik ke arah tandu yang masih tertutup kain
hitam tersebut.
"Kembang kempisnapas janda pulang pagi,
tidur di balai kayunya jati.
Untuk apa punya sobat berilmu tinggi,
jika hanya bisa mengintip orang maumati."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum gelinya
mendengar pantun sindiran sang Resi. Agaknya sang
Resi merasa dongkol karena pertarungannya hanya
dijadikan bahan tontonan oleh Suto. Karena, Suto pun
segera berkata dalam irama pantun asal-asalan pada saat
si Kadal Ginting mulai keluar dari persembunyiannya.
"Kembang kempis kembang peot,
badak terbang tak pernah pulang.
Manamungkin aku berani campur tangan,
karena tak kudengar kauminta bantuan."
"Mmmm... pantun apa itu? Tak ada seninya," Resi
Pakar Pantun mencibir dalam ejekan. Suto Sinting hanya
tertawa kecil, menertawakan dirinya yang tak pernah
bisa membuat pantun dengan baik.
"Resi," sapa Tembang Selayang. "Kudengar kau tadi
memanggil nama si Gundik Sakti. Apakah benar Gundik
Sakti ada di dalam tandu hitam itu?"
"Ya. Mereka adalah para pengawal Gundik Sakti,"
jawab sang Resi sambil menuding orang-orang yang
terkena jurus 'Tebar Geni'-nya. Orang-orang itu hanya
bisa diam dengan tubuh lemas dan pikiran bagaikan
hilang. Mereka menjadi linglung akibat jurus 'Tebar
Geni' yang melumpuhkan beberapa urat sarafnya.
"Kalau begitu aku juga ingin bertemu dengan si
Gundik Sakti. Aku mau bikin perhitungan sendiri
dengannya."
Kemudian gadis berkulit kuning langsat itu maju
selangkah dan berseru tertuju pada tandu hitam yang
masih tertutup kain hitam tak bergerak sedikit pun sejak
tadi. Tandu itu diletakkan di tanah pada tempat yang
terbuka tanpa pelindung pohon ataupun semak.
Keberadaannya seakan persis di tengah arena
pertarungan.
"Gundik Sakti, keluar kau dari tandumu! Kita masih
punya perkara yang belum selesai!" sentak Tembang
Selayang.
Setelah ditunggu dua helaan napas tak ada jawaban
dan tak ada gerakan apa pun dari tandu hitam itu,
Tembang Selayang serukan kata kembali dengan nada
marah.
"Sejak kapan kau jadi pengecut, Gundik Sakti?!
Keluarlah sekarang juga, kita selesaikan urusan lama
kita di sini juga! Kita tentukan siapa yang berhak pergi
ke neraka lebih dulu! Cepat keluar!"
Tandu hitam tetap tak bergeming. Namun Tembang
Selayang makin menjaga kewaspadaannya, karena ia tak
ingin terjebak oleh serangan yang bisa muncul sewaktu-
waktu dari dalam tandu. Sementara itu, Pendekar
Mabuk, Resi Pakar Pantun, dan Kadal Ginting masih
tetap berdiri di tempatnya pandangi tandu hitam itu.
Mereka sama-sama menunggu jawaban dari orang yang
ada dalam tandu. Sang Resi pun akhirnya serukan
pantunnya kepada orang di dalam tandu hitam itu.
"Kembang kempis suara batuk dalam hati,
kolor putus nyaring berbunyi.
Sia-sia punya nama dikenal sakti,
jika hadapi lawan tetap diam dan sembunyi."
Pendekar Mabuk tahu, sang Resi memancing nyali si
Gundik Sakti agar keluar dari dalam tandu hitam. Tetapi
sampai tiga helaan napas sang penghuni tandu belum
mau muncul juga. Hal ini timbulkan rasa jengkel dalam
hati Tembang Selayang, sehingga gadis itu nekat
lakukan satu lompatan dan menendang tandu itu dengan
kerasnya.
Wuuut...! Gubraaaak...!
Tandu hitam hancur berantakan. Mereka tertegun
kaget karena tidak temukan siapa-siapa di dalam tandu
hitam itu.
"Keparat! Rupanya tandu ini kosong!" geram
Tembang Selayang sambil pandangi Resi Pakar Pontun.
Wajah tokoh tua itu tampak kecewa juga. Kadal Ginting
segera memeriksa pecahan tandu itu dengan lagak
pemberani, karena ia merasa lega dan aman sejak
kemunculan Suto Sinting di situ. Jika terjadi sesuatu, ia
yakin Suto Sinting akan mampumengatasinya.
"Tak ada sepotong orang pun di sini, Eyang Resi!"
seru Kadal Ginting sambil memeriksa pecahantandu.
"Kelingkingnya pun tak ada, Eyang," tambah Kadal
Ginting.
"Untuk apa kau cari kelingkingnya?"
"Untuk menengok ayam kita sudah mau bertelur apa
belum, Eyang!" jawab Kadal Ginting sambil bayangkan
ayam piaraan yang sudah lama ditinggalkan di
padepokannya.
"Colok saja pakai hidungmu!" gerutu sang Resi.
"Kau terkecoh oleh permainan mereka, Resi," ujar
Tembang Selayang. "Sia-sia kau lumpuhkan para
pengawal tandu itu, karena yang mereka kawal adalah
tandu kosong."
Resi Pakar Pantun diam sejenak pandangi keadaan
sekeliling. Kemudian terdengar suaranya berkata bagai
menggumam, "Pasti dia kabur lebih dulu."
"Tidak. Dia memang tidak ada di dalam tandu! Kau
salah duga, Resi," kata Tembang Selayang.
"Tadi kulihat ia ada di dalam tandu!" sang Resi
ngotot. "Kalau tak percaya tanyakanlah kepada
pelayanku itu."
"Benar, Nona... eh, Bibi... eh, Nyai... eh, eh, eh...
anu," Kadal Ginting masih grogi bicara denganTembang
Selayang, sebab gadis cantik itu pancarkan pandangan
matanya lebih tajam dari saat bertemu di balik pohon
tadi.
"Jelaskan apa yang kau lihat tadi, Kadal Ginting!"
perintah sang Resi.
"Benar, Suto...," Kadal Ginting meresa lebih tenang
bicara kepada Suto Sinting. "... tadi kulihat seorang
wanita cantik menyingkapkan tabir penutup tandu itu
dan berseru kepada para pengawal agar menyerang
ku...."
"Bukan kau yang mau diserang, tapi aku!" sergah
sang Resi sambil bersungut-sungut.
"Benar, aku dan Eyang Resi yang ingin diserang.
Lalu, tandu diletakkan dan para pengusungnya ikut
menyerang kami. Tapi... anehnya sekarang perempuan
cantik itu tidak ada di dalam tandu. Ke mana dia.
Eyang?"
"Mana kutahu! Jangan tanya padaku! Aku sendiri
terkecoh!" sentak sang Resi sambil cemberut kesal.
Suto Sinting hanya manggut-manggut sambil otaknya
berputar mencari jawaban atas lenyapnya Gundik Sakti
dari dalam tandu. Sepanjang penglihatannya kala ia
bersembunyi di atas pohon, ia tak melihat ada seseorang
berlari keluar dari dalam tandu. Bahkan tandu itu tadi
sempat menjadi bahan perhatiannya cukup lama.
Sekelebat sinar atau bayangan pun tak tampak keluar
dari dalam tandu. Mustahil sekali kalau Suto Sinting tak
dapat melihat sekelebat bayangan keluar dari dalam
tandu, karena matanya sudah terlatih untuk memandang
gerakan sinar secepat apa pun.
Tembang Selayang segera mencengkeram baju salah
seorang pengawal tandu. Dengan wajah penuh pancaran
api kemarahan ia menggertak orangtersebut.
"Di mana si Gundik Sakti berada, hah?! Jawab!"
Orang itu menjawab dengan wajah penuh
kebingungan. "Di mana-mana...."
Plaaaak...! Tembang Selayang menampar orang itu.
Yang ditampar hanya diam tanpa menampakkan rasa
sakit, bahkan seperti orang serba bingung.
"Katakan, apakah kalian tadi membawa si Gundik
Sakti daiam tandu atau memangtandu itu kosong?"
"Kosong," jawab orang itu.
"Benar-benar kosong? Kautidak bohong?"
"Bohong," jawabnya pendek dan menjengkelkan.
Ploook...! Wajah orang itu dihantam keras-keras oleh
pangkal telapak tangan Tembang Selayang, hingga
terpental beberapa langkah jauhnya. Tapi orang itu tetap
bengong seperti tak pernah mengalami apa-apa.
Pengawal yang satu juga direnggut Tembang
Selayang, mata gadis itu pancarkan kemarahan lebih
tajam lagi. Ia menggertak dengan suara keras, tanpa
mengejutkan dan tanpa memancing perhatian para
pengawal lainnya yang keadaannya seperti orang
linglung itu.
"Di mana perempuan bejat itu?! Jawab...!"
"Bejat!" jawab orangtersebut dengan agak keras.
"Kuhabisi masa hidupmu kalau kau main-main
denganku. Jawab dengan benar atau kuhabisi masa
hidupmu, hah?!"
"Hiduuup...! Hiduuuupp...!" orang itu justru bersorak.
Tembang Selayang jengkel sekali dan dihantamnya dada
orang itu. Buuuhg...!
Wuuuus...! Brruk...!
Orang itu jatuh terpuruk tanpa tenaga. Namun ia
berusaha bangkit dan mengangkat tangannya dengan
lemah serta berseru dengan suara pelan, "Hiduuup...!
Hiduuup...!"
Tembang Selayang menggeram dengan gusar sekali.
Resi Pakar Pantun berkata daritempatnya berdiri,
"Percuma saja kautanyai mereka. Orangyangterkena
jurus 'Tebar Geni'-ku tak akan bisa gunakan otaknya
dengan waras. Sebaiknya kita cari saja ke tempat lain."
Suto menyahut, "Kurasa mereka sengaja
mengecohkan kalian dengan mengusung tandu kosong!"
"Tandu itu tadi tidak kosong!" sang Resi ngotot
sekali. "Berani disambar pisang rebus, kulihat sendiri
tandu itu tidak kosong, Suto!"
"Baiklah, anggap saja tandu itu memang tadi tidak
kosong dan sekarang kosong. Yang harus kalian lakukan
adalah mencari si Gundik Sakti itu ke tempat lain. Tak
bisa hanya beradu debat di sini saja."
"Nah, itu langkah yang baik!" ujar sang Resi. "Kau
mau membantuku, Suto?"
"Jelaskan dulu persoalannya; mengapa kau
bermusuhan dengan si Gundik Sakti? Mengapa kulihat
Tembang Selayang berang sekali kepada si Gundik
Sakti. Dan... siapa sebenarnya si Gundik Sakti itu?
Sebelum jelas persoalannya aku tak akan mau ikut
campur tangan dalam urusan kalian!"
"Kembang kempis bulan sekarat,
tidur dimangkuk terkena gugat.
Kalau tak ada perkara berat,
untuk apa aku datangmencegat"
Pendekar Mabuk lirikkan mata sebentar ke arah
Tembang Selayang. Agaknya gadis itu tak mau bicara
karena diliputi rasa dongkolnya yang menggebu-gebu.
Lalu, Suto bicara lagi kepada Resi Pakar Pantun,
"Perkara berat apa, tolong ceritakan dulu padaku,
Resi!"
"Kembang kempis...."
"Tak usah pakai kembang kempis dulu, Resi.
Langsung saja ceritakan perkara sebenarnya!" sergah
Suto membuat sang Resi tak jadi berpantun lagi.
*
* *
2
"GUNDIK SAKTI adalah pewaris Gua Tumbal
Perawan, letaknya di Bukit Sangkur," tutur Resi Pakar
Pantun. Namun baru saja ia mengawali ceritanya, tiba-
tiba para pengawal tandu yang terkena jurus 'Tebar
Geni'-nya Resi Pakar Pantun itu mengalami keanehan.
Satu-persatu mereka terpekik dengan suara tertahan.
Mata mereka mendelik dengan tubuh kejang. Wajah
mereka menjadi biru dan lidah terjulur. Kemudian satu-
persatu pula mereka hembuskan napas terakhir dan diam
selama-lamanya.
"Apa yang terjadi pada diri mereka?!" Pendekar
Mabuk bernada heran. Pertanyaan itu dilontarkan kepada
Resi Pakar Pantun. Tetapi tampaknya sang Resi pun
diliputi oleh keheranan. Tembang Selayang juga
memperlihatkan wajah herannya melihat orang-orang itu
tewas satu-persatu.
"Seperti ada yang mencekik mereka, Eyang!" seru
Kadal Ginting dengan wajah tegang.
"Jurusku tidak membuat orang mati tercekik," ujar
Resi Pakar Pantun seperti orang menggumam.
"Lalu, mengapa mereka tiba-tiba mati tercekik?!" ujar
Tembang Selayang dengan dahi berkerut. Resi Pakar
Pantun pejamkan mata sebentar.
Kejap berikut ia perdengarkan suaranya dalam
keadaan mata masih terpejam.
"Ada kekuatan gaib yang mencekiknya. Datangnya
dari arah timur kita."
Semua mata memandang ke arah timur dengan
tegang. Tapi mereka tidak temukan siapa-siapa di
sebelah timur.
Zlaaaap...! Suto Sinting melesat ke arah timur dengan
kecepatan melebihi anak panah lepas dari busurnya, ia
pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mirip orang
menghilang dalam sekejap.
Tembang Selayang mengerti maksud kepergian Suto
yang ingin mencari seseorang di sebelah timur. Maka ia
pun ikut melesat ke arah yang sama, namun kecepatan
geraknya tak bisa menyamai Suto Sinting.
"Kadal Ginting, tunggu di sini! Aku akan ikut
mencari ke arah timur!" ujar Resi Pakar Pantun, lalu
tubuhnya bergerak cepat hampir menyamai gerakan Suto
Sinting. Weeeesss...!
Kadal Ginting ketakutan setelah sadar dirinya berada
di antara para mayat yang baru saja mati tercekik sesuatu
yang tak tampak mata. Tubuhnya yang merinding itu
bergidik dengan jantung berdebar-debar.
"Daripada aku ikut tercekik, lebih baik lari ke arah
timur menyusul mereka!"
Wuuuut...! Kadal Ginting berlari dan baru saja
bergerak sudah jatuhtersungkur. Brruus...!
"Eyaaaang...!" ia menjerit ketakutan dengan mata
terpejam kuat-kuat, karena menganggap ada kekuatan
gaib yang ingin mencekiknya. Padahal ia jatuh
tersungkur karena kakinya menyampar tangan manyat
yangterkapar di depannya.
Pencarian mereka dilakukan hingga beberapa saat
lamanya. Namun agaknya tak satu pun temukan orang
yang dicurigai telah lakukan pembunuhan terhadap
beberapa pengawal tandu itu. Tepat di sebuah karang
bertebing batu, secara tak sengaja mereka berkumpul
kembali dari berbagai arah.
"Tak ada yang bisa ku lacak," kata Tembang
Selayang.
"Aku pun tak menemukan apa-apa," kata Pendekar
Mabuk.
Sang Resi diam sebentar, kemudian setelah pandangi
keadaan sekeliling, ia berkata dengan suara pelan mirip
orangmenggumam.
"Gundik Sakti yang lakukan pembunuhan itu! Pasti
dia orangnya."
"Mengapa dia lakukan terhadap para pengawalnya
sendiri? Mengapa tidak ia lakukan terhadap diri kita?"
tanya Tembang Selayang bernada menyanggah pendapat
Resi Pakar Pantun.
"Gundik Sakti merasa kecewa terhadap para
pengawalnya yang tak mampu tumbangkan diriku," ujar
sang Resi. "Ia merasa sia-sia punya pengawal seperti
mereka, lalu merasa lebih baik membuang mereka ke
neraka!"
"Kejam nian si Gundik Sakti itu?!" kata Suto Sinting,
lalu ia meneguk tuaknya beberapa kali.
"Gundik Sakti memang orang yang keji," kata Resi
Pakar Pantun sambil pandangi kedatangan Kadal Ginting
yangtergopoh-gopoh dan ngos-ngosan.
"Eyang, aku hampir saja mati dicekik oleh setan
pembunuh mereka tadi!" kata Kadal Ginting kepada
sang Resi. "Tapi untung aku mampu mengalahkan
kekuatan setan tanpa wujud itu, sehingga bisa lolos
kemari!"
Sang Resi hanya mencibir tak percaya, tapi Kadal
Ginting bersikap tak peduli atas tanggapan tuannya, ia
segera duduk di atas sebuah batu menenangkan napasnya
yangterengah-engah.
Resi Pakar Pantun lanjutkan kisahnya tentang si
Gundik Sakti.
"Gundik Sakti menjadi penguasa di Gua Tumbal
Perawan setelah ibunya yang berjuluk Nyai Selir Iblis
tewas dalam pertarungan dengan seorang senopati dari
tanah seberang. Perangai dan wataknya serupa betul
dengan mendiang ibunya."
"Nyai Selir iblis itu tokoh aliran hitam?"
"Ya, dan orang-orang Gua Tumbal Perawan memang
beraliran hitam semua. Mereka merupakan satu
masyarakat yang tinggal di dalam gua. Gua itu sangat
luas, menyerupai sebuah desa, sehingga sering disebut-
sebut orang sebagai Desa Lambung Bumi. Setiap malam
purnama mereka membutuhkan tumbal seorang
perawan. Darah perawan dipersembahkan kepada roh
sembahan mereka yang bernama Darahkula; Dewa
Penguasa Kegelapan."
"Salah satu perawan yang menjadi tumbal Darahkula
adalah kakak angkatku: Handayani!" sahut Tembang
Selayang. "Karenanya aku ingin balas dendam kepada
Gundik Sakti untuk menebus nyawa kakak angkatku
itu."
"Pantas kau tampak bernafsu sekali menyerang tandu
hitam itu," ujar Suto sambil manggut-manggut, mulai
paham alasan kemarahan Tembang Selayang terhadap
Gundik Sakti.
"Salah satu muridku juga menjadi tumbal di gua itu,"
sela Resi Pakar Pantun. "Murid perempuanku itu
bernama Windi Arum, putri Sultan Kemuning yang
diculik oleh Gundik Sakti sendiri pada malam purnama
baru lalu. Roh muridku itu bagaikan menangis terus-
menerus di sampingku, seakan minta dibalaskan
perlakuan si Gundik Sakti itu. Rasa-rasanya jika aku
belum bisa membunuh Gundik Sakti, tangis itu selalu
akan kudengar meresahkan jiwa di mana pun aku
berada."
"Banyak pihak yang telah menjadi korban kekejian
Gundik Sakti itu," ujar Tembang Selayang. "Karenanya
aku bermaksud mengadu domba antara Gundik Sakti
dengan Merak Cabul, karena kepemimpinan si Merak
Cabul di perguruanku sangat tidak kusetujui, ia
membawa orang-orang Bukit Kasmaran menjadi sesat
dan tidak bersusila."
"Merak Cabul telah tiada."
"Hahh...?!" Tembang Selayang terkejut. Matanya
memandang Suto Sinting dengan melebar.
"Ia mati bersama Sanjung Rumpi," sambung Suto.
"Siapa yangmembunuh mereka?"
"Kakeknya sendiri; Dewa Putih!" Suto pun segera
ceritakan kematian Merak Cabul secara singkat, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Sabuk Gempur
Jagat"). Cerita itu membuat Tembang Selayang bengong
sejenak, setelah itu menarik napas dalam-dalam dan
berkata dengan pandangan mata menerawang.
"Syukurlah jika Merak Cabul telah tiada. Kurasa
keadaan di perguruan sekarang sedang kacau karena
membutuhkan seorang ketua. Aku perlu ke sana untuk
menenangkan mereka dan mengembalikan langkah
mereka yang telah disesatkan oleh Merak Cabul.
Hmmm... tapi aku perlumencari Dinada lebih dulu."
"Dinada...?!" gumam Suto bagai bicara pada dirinya
sendiri, ia mulai terbayang seraut wajah cantik milik
seorang gadis peniup seruling yang punya nama asli
Milasi itu. Peristiwa perjumpaan dengan Dinada
dikenang oleh Pendekar Mabuk. Sayang ia tak tahu di
mana Dinada sekarang berada, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Gelang Naga Dewa").
"Sebentar lagi malam purnama akan tiba. Aku harus
bisa hentikan pencarian tumbal yang dilakukan Gundik
Sakti dengan cara melumpuhkan perempuan itu!" ujar
Resi Pakar Pantun. Ia tampak bersemangat sekali, karena
di dalam hatinya menyimpan dendam atas kematian
murid wanitanya yang bernama Windi Arum itu.
"Aku akan mendampingimu, Resi!" kata Tembang
Selayang, "Kita serang bersama Gua Tumbal Perawan
itu!"
"Sebaiknya kau tidak usah ikut ke Bukit Sangkur,"
Resi Pakar Pantun berkata dengan hati-hati, takut
menyinggung perasaan Tembang Selayang. "Kalau kau
ikut ke sana bersamaku, dan terjadi sesuatu pada dirimu,
aku tak enak pada ayahmu; Empu Tapak Rengat. Dia
sahabat baikku dan aku tak mau persahabatanku
dengannya menjadi putus gara-gara kau ikut menyerang
ke Bukit Sangkur."
"Itu urusanku dengan Ayah. Aku toh punya urusan
pribadi dengan Gundik Sakti?!" Tembang Selayang
bernada ngotot.
Resi Pakar Pantun diam sesaat. Akhirnya Pendekar
Mabuk pun angkat bicara.
"Serahkan saja perkara ini padaku."
Tembang Selayang dan Resi PakarPantun sama-sama
pandangi Suto Sinting.
"Ini tugasku; tugas menghancurkan tindak angkara
murka dan kekejaman. Kalian tak perlu repot-repot
melabrak ke Gua Tumbal Perawan, biar aku saja yang
datang ke gua itu."
Tembang Selayang mencibir sinis. "Kau tak akan
mampu hancurkan Gundik Sakti...."
"Ilmunya cukup tinggi," sahut Resi Pakar Pantun.
"Kau lihat sendiri bagaimana ia menghukum
pengawalnya yang gagal melumpuhkan diriku tadi? Ia
mampu membunuh tanpa terlihat wujudnya, ia
menguasai jurus 'Teropong Pati' dan beberapa jurus
lainnya. Bukankah begitu maksudmu, Tembang
Selayang?"
"Yang jelas, Suto tak akan mampu membunuh
perempuan itu, sebab perempuan itu cantik dan tubuhnya
sangat mengundang gairah bagi lawan jenisnya. Ia
mampu membuat lawan jenisnya bertekuk lutut dengan
ilmu pemikat yang dimilikinya, ilmu pemikatnya itu
bukan saja untuk lelaki, tapi seorang gadis pun mampu
terpengaruh oleh ilmu pemikat-nya, menjadi menurut
dibawa ke mana saja, sehingga bagi seorang perawan
akan tunduk dengan segala perintahnya walau harus
menjadi tumbal di dalam gua tersebut."
"Benar. Gundik Sakti memang mempunyai ilmu sihir
cukup tinggi," timbal sang Resi. "Nafsu bercintanya pun
sangat besar dan selalu bergelora."
"Apakah menurut kalian aku tak mampu
menghindarinya? Jika ilmu pemikat si Merak Cabul
mampu kulawan, mengapa Gundik Sakti tak mampu
kulawan juga?"
Tembang Selayang berkata, "Ilmu pemikat si Merak
Cabul masih di bawah Gundik Sakti. Bahkan ilmu
pemikat mendiang guruku masih kalah tinggi
dibandingkan ilmu pemikat si Gundik Sakti."
"Itu memang benar, Suto," ujar sang Resi, lalu ia
berpantun penuh semangat:
"Kembang kempis bunyi ketupat berisi batu,
ditelan bayi nyaring sekali bunyinya.
Jangankan hati pemuda tampan sepertimu,
tembok saja pun akan jebol oleh kedipan matanya."
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis, ia
berkata kepada Tembang Selayang dengan suara
lembutnya yang sering menghadirkan debaran indah di
hati seorang gadis seperti Tembang Selayang itu.
"Sebaiknya kau lanjutkan perjalananmu ke Bukit
Kasmaran. Perguruanmu membutuhkan seorang ketua.
Carilah Dinada dan berundinglah dengannya. Jika masih
ada perguruan yang punya kesucian, sembunyikan dulu
orang itu agar tak diculik oleh Gundik Sakti buat tumbal
malam purnama nanti."
Tembang Selayang diam membisu bagaikan
mengalami kebimbangan. Suto segera pandangi Resi
Pakar Pantun dan berkata dengantenang.
"Izinkan aku yang mengambil alih perkara si Gundik
Sakti itu. Percayakan padaku, Resi. Kau bisa kerjakan
hal-hal lain yang sama pentingnya dari menghancurkan
Gundik Sakti."
Kadal Ginting yang sejak tadi hanya diam mengikuti
pembicaraan ke pembicaraan, kini cepat-cepat menyela
kata dengan suaranya yang cempreng.
"Eyang Resi, Prabu Digdayuda pasti sudah
menunggu-nunggu kedatangan kita. Apakah Eyang Resi
tak bermaksud menyelamatkan tanah kekuasaan ayah si
Kertapaksi itu?"
Suto Sinting agak terperanjat. "Ada apa dengan
negerinya Kertapaksi?" tanya Suto, karena ia segera
ingat tentang Kertapaksi, murid Resi Pakar Pantun yang
pernah bentrok dengannya namun tak meninggalkan
dendam di hati masing-masing itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Asmara Berdarah Biru").
"Negeri Bumiloka sedang mengalami kekacauan. Ada
pihak yang ingin merebut negeri itu, dan muridku
Kertapaksi terdesak, ia butuh bantuanku."
"Kalau begitu selesaikanlah urusan negeri Bumiloka,
Resi! Selamatkan muridmu agar tak mengalami celaka
karena keributan itu. Jangan sampai kau menyesal akibat
keterlambatanmu datang ke sana, Resi!"
Setelah merenung sebentar, sang Resi pun manggut-
manggut. "Benar juga, seharusnya kuselamatkan
muridku itu dari ancaman maut: Ratu Sangkar Mesum."
"Siapa...?!" Tembang Selayang terkejut. "Ratu
Sangkar Mesum...?! Oh, maksudmu si Penguasa Pulau
Cumbu itu?"
"Benar!" jawab sang Resi. "Kabar yang kuterima,
kekuasaan Prabu Digdayuda diserang orang-orang Pulau
Cumbu di bawah pimpinan Ratu Sangkar Mesum.
Apakah kau kenal dengan Ratu Sangkar Mesum,
Tembang Selayang?"
"Ketika mendiang guruku masih hidup, kami pernah
bentrok dengan Pulau Cumbu dan aku hampir mati di
tangan Ratu Sangkar Mesum."
"Hmmm...," Resi Pakar Pantun angguk-anggukkan
kepala. "Pulau yang sempit membuat Ratu Sangkar
Mesum selalu berusaha mencari tempat baru untuk
kembangkan kekuasaannya. Dan kali ini agaknya yang
diincar adalah negeri Bumiloka, karena selain wilayah
kekuasaan Bumiloka cukup luas, negeri itu juga
menghasilkan tambang emas dan perak cukup besar."
"Tapi bukankah negeri itu mempunyai banyak orang
kuat dan prajuritnya berjumlah cukup banyak? Mengapa
sampai terdesak oleh kekuatan orang-orang Pulau
Cumbu?"
"Kudengar Ratu Sangkar Mesum dibantu oleh Dewi
Geladak Ayu!"
"Oh, pantas! Negeri itu bisa hancur karena Dewi
Geladak Ayu, si bajak laut wanita itu, mempunyai
pusaka Panah Lebur Sukma!" Tembang Selayang
berwajah tegang, membuat Suto Sinting perhatikan
dengan kerutan dahi tajam pertanda ikut berpikir keras.
"Segawat itukah negerinya si Kertapaksi itu?" gumam
Suto membatin.
"Jika memang begitu, sebaiknya kau selamatkan dulu
negeri Bumiloka itu, Resi," ujar Tembang Selayang.
"Jika Ratu Sangkar Mesum berkuasa di sana dan bersatu
dengan Dewi Geladak Ayu, itu pertanda awal bencana
bagi orang-orang tanah Jawa. Dalam waktu singkat
kekuatan mereka dapat melenyapkan para tokoh aliran
putih di tanah Jawa ini, Resi!"
"Dua kekuatan hitam itu jika bersatu memang sangat
berbahaya," gumam sang Resi dengan mata
menerawang, seakan membayangkan kengerian yang
terjadi jika kedua tokoh aliran hitam itu bersatu di tanah
Jawa. Pendekar Mabuk pun tampak sembunyikan
kecemasan di balik ketenangan sikapnya.
*
* *
3
SEJAK berpisah dan berpencar arah dengan Tembang
Selayang dan Resi Pakar Pantun, hati Suto Sinting
diliputi rasa penasaran ingin segera bertemu dengan
yang namanya Gundik Sakti. Rasa ingin menjajal ilmu si
Gundik Sakti membuat Suto mempercepat langkahnya
menuju Bukit Sangkur. Untung sang Resi memberinya
petunjuk arah menuju Bukit Sangkur dan ciri-ciri
lembah berhutan cemara putih, sehingga Suto merasa tak
akan salah langkah.
"Kau akan melalui dua buah desa," kata sang Resi
sebelum berpisah. "Bermalamlah di desa pertama walau
hari masih terang. Sebab jika kau lanjutkan
perjalananmu, maka kau akan bermalam di hutan dan
mencapai desa kedua esok harinya. Tapi jika kau
bermalam di desa pertama, maka keberangkatanmu dari
desa itu pada esok harinya akan membuatmu tiba di desa
kedua di senja hari, dan kau bisa bermalam lagi di desa
kedua itu. Lanjutkan perjalanan pada pagi harinya, maka
kau akan tiba di Bukit Sangkur menjelang matahari
bertengger di atas kepala manusia."
Tentu saja perhitungan waktu sang Resi itu
berdasarkan langkah kakinya, ia tidak perhitungkan
kecepatan langkah Suto Sinting yang dapat melesat lebih
cepat karena pergunakan jurus 'Gerak Siluman'. Ia juga
tidak perhitungkan jika terjadi halangan di perjalanan
yang dapat menghambat langkah dan memakan waktu
tidak sedikit.
Kenyataan yang dialami Suto Sinting toh tidak
semulus dugaan Resi Pakar Pantun. Dalam perjalanan
menjelang sore. Pendekar Mabuk terpaksa hentikan
langkah karena matanya sempat memandang ke atas
sebuah bukit tak begitu tinggi. Di atas perbukitan itu
tampak iring-iringan manusia yang memanggul sebuah
tandu berwarna hitam.
"Tandu hitam itu sepertinya berisi orang penting,"
pikir Suto dalam bungkam. "Empat pengawal di depan
tampak bersenjata pedang dan berbadan kekar. Empat
pengawal di belakang juga tampak siaga dengan senjata
masing-masing. Keempat pengusungnya pun agaknya
orang-orang yang siap tempur, terbukti mereka
bersenjata semua. Hmmm... tak salah dugaanku, pasti si
Gundik Sakti yang ada di dalam tandu hitam. Bentuk
dan ukuran tandunya sama dengan tandu yang
dihancurkan Tembang Selayang."
Mestinya Suto menuju ke arah barat untuk mencapai
Bukit Sangkur. Namun begitu melihat iring-iringan
tandu hitam, ia membelok mengikuti arah yang dituju
tandu tersebut. Mereka ke utara, dan Suto juga ke utara.
Ia mengikuti dari kejauhan dengan sesekali menyelinap
di balik pohon atau di semak belukar. Rupanya Suto
ingin tahu ke mana tujuan tandu hitam itu dan apa yang
akan dilakukan orang di dalam tandu tersebut.
Iring-iringan tandu itu berhenti di tepi sebuah sungai.
Pendekar Mabuk pun hentikan langkahnya di balik
gugusan batu besar. Dari sana ia mengintai dengan
cermat. Hatinya berharap agar orang di dalam tandu itu
keluar untuk membasuh muka atau lakukan apa saja.
Tapi ternyata sampai sekian lama tandu masih tertutup
kain hitam. Beberapa pengawalnya yang mendekati
tepian sungai meminum air sungai yang bening dan
dangkal itu.
"Apakah tandu itu kosong, seperti tandu yang
dihancurkan Tembang Selayang itu?" pikir Suto Sinting.
Namun mendadak matanya sedikit terbelalak, karena
dari balik kain hitam yang menyelubungi tandu terjulur
sebuah tangan berkulit mulus dan bergelang batuan
merah delima. Tangan itu menyerahkan cawan kepada
seorang pengawal. Kemudian pengawal yang menerima
cawan segera ke perairan sungai, mengisi cawan emas
itu dengan air sungai yang bening. Kemudian cawan
tersebut diserahkan kembali kepada orang yang ada di
dalam tandu hitam tanpa menyingkap kain penutupnya.
Tangan orang yang ada di dalam tandu terulur sendiri
dan menerima cawan tersebut.
"Tangan itu jelas tangan seorang wanita. Tak salah
lagi, Gundik Sakti yang ada di dalam tandu. Tapi...
untuk apa air dalam cawan itu? Apakah ia meminum air
sungai? Atau hanya sekadar untuk cuci muka? Ah, sial
sekali! Mengapa ia tidak keluar dari dalam tandu dan
mengambil air sungai sendiri?"
Hati si murid sinting Gila Tuak itu menjadi resah.
Rasa penasaran ingin melihat wajah Gundik Sakti
membuatnya bingung sendiri, dan batinnya berkecamuk
penuh gerutu.
"Bagaimana kalau kuserang agar ia keluar dari dalam
tandu? Hmm... oh, jangan! Nanti malah timbul korban di
pihak para pengawalnya. Sebaiknya...."
Kecamuk batin Pendekar Mabuk terhenti secara
mendadak karena tiba-tiba ia mendengar dengusan napas
lembut di belakangnya. Ia buru-buru palingkan wajah,
dan nyaris terpekik kaget melihat seraut wajah cantik
telah berada di belakangnya, sedang merunduk-runduk
mendekatinya.
"Ssssttt...!" si pemilik wajah cantik itu memberikan
isyarat agar Suto jangan bersuara sedikit pun. Jari
telunjuknya ditempelkan di bibir yang agak lebar namun
menggiurkan sekali keindahannya. Perempuan cantik
berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu kian dekati
Suto, dan ia ikut berlindung di balik gugusan batu besar,
tepat di samping kiri Suto Sinting.
Pendekar Mabuk jadi salah tingkah. Aroma wangi
yang menyebar dari tubuh perempuan berjubah merah
jambu itu menimbulkan kegelisahan sendiri di hati Suto
Sinting. Bola mata yang sedikit besar namun berbentuk
indah dengan bulu mata lentik itu menggelitik perasaan
cinta Suto. Belum lagi dandanannya yang tergolong
seronok, jubah tak berkancing dengan penutup dada tipis
warna biru muda, sungguh menggoda jiwa si murid
sinting Gila Tuak itu.
"Montok sekali dia? Kulitnya putih mulus dan,
waaah... pikiranku jadi kacau kalau begini," keluh
Pendekar Mabuk dalam hatinya. Akhirnya Suto melirik
kipas gading yang terselip di pinggang perempuan itu. Ia
lakukan lirikan ke arah kipas, karena hatinya merasa tak
kuat menahan debaran indah jika terlalu lama
memandang wajah berbibir menantang gairah itu.
"Apakah orang di dalam tandu itu sudah keluar?"
bisik perempuan tersebut berlagak akrab, seakan tak
membutuhkan basa-basi sama sekali.
"Bel... belum," jawab Suto Sinting agak gugup karena
debaran hatinya kian membakar hasrat ingin mencium
perempuan itu. Tapi si perempuan bersikap acuh tak
acuh, tak menghiraukan tatapan mata Suto yang nakal.
Pandangan matanya tertuju pada tandu hitam, di mana
para pengawalnya sedang beristirahat bagai habis
lakukan perjalanan jauh.
"Cepat atau lambat ia pasti keluar dari dalam tandu!"
ujar perempuan berjubah merah jambu dengan nada
membisik.
"Apakah kau tahu siapa yang ada di dalam tandu
hitam itu?" pancing Suto setelah ia berhasil
menenangkan diri. Pandangan matanya dikembalikan ke
arah tandu dan para pengawalnya.
Terdengar perempuan cantik itu menjawab
pertanyaan Suto tadi dengan nada masih membisik lirih.
Namun karena letak wajahnya dekat sekali dengan
telinga Suto, maka bisikan lirih itu pun terdengar jelas
bagi Pendekar Mabuk.
"Siapa lagi yang ada di dalam tandu hitam itu jika
bukan si Gundik Sakti."
"Kau kenal dengan Gundik Sakti?"
"Sangat kenal," jawab perempuan itu tanpa
memandang Suto.
Ia berpaling memandang Suto, tatapan matanya terasa
menembus jantung si Pendekar Mabuk, membuat
pemuda berbaju cokiat tanpa lengan dengan celana putih
lusuh dililit ikat pinggang kain merah itu menjadi
gundah sesaat. Gerakan mata si tampan Suto tampak
nanar, bingung mencari sasaran.
"Aku memang kenal dengan Gundik Sakti, tapi aku
belum kenal dengan pemuda yang mengintainya dari
balik batu ini."
Senyum pun tersungging berkesan malu-malu. Suto
Sinting paham bahwa perempuan itu ingin mengenal
namanya. Maka sambil mengarahkan pandangan mata ke
tandu hitam, Suto menyebutkan namanya dengan lirih.
"Kau bisa memanggilku: Suto, sebab namaku adalah
Suto Sinting."
"Oh, jadi... jadi kau yang bergelar Pendekar
Mabuk?!" perempuan itu terperanjat, suara bisiknya
bernada terpekik walau tak sekeras pekikan biasa
sewajarnya. Bola mata yang semula sedikit sayu itu kini
menjadi berbinar-binar dengan senyum indah mekar di
bibir merah segar. Suto Sinting tampak tersipu dan tak
mau pandangi perempuan yang mengenakan perhiasan
lengkap itu.
"Aku sering mendengar namamu menjadi bahan
percakapan orang-orang. Mulanya aku menyangka
orang-orang itu terlalu berlebihan menceritakan
ketampanan Pendekar Mabuk. Tapi setelah kulihat
sendiri kenyataannya, ternyata mereka kurang lengkap
menceritakan ketampananmu. Mereka tidak pernah
menceritakan bahwa Pendekar Mabuk adalah seorang
pemalu yang tak berani memandang wanita dari jarak
sedekat ini."
"Ah, sudahlah!" Suto Sinting berusaha mengalihkan
pembicaraan. Tapi perempuan berjubah merah jambu itu
masih saja mengajak berkasak-kusuk sambil sesekali
matanya memandang ke arahtandu hitam.
"Orang-orang yang menyanjungmu itu lupa
mengatakan, bahwa Pendekar Mabuk itu seorang
pemuda yang mudah berkeringat dingin jika terlalu lama
dipandang oleh perempuan."
Suto jadi semakin kikuk dan malu, sebab ia baru
menyadari bahwa di kening dan dahinya telah tersembul
butiran keringat, dan keringat itu adalah keringat dingin
akibat kegugupannya berhadapan dengan perempuan
cantik dalam jarak kurang dari satu langkah. Untuk
menutupi rasa malunya, akhirnya Suto beranikan diri
menanyakan nama perempuan itu.
"Aku belum mengenal siapa dirimu. Maukah kau
sebutkan siapa namamu dan dari mana asalmu?"
"Namaku...? Oh, maaf. Aku lupa memperkenalkan
diri padamu," seulas senyum menawan sengaja
dipamerkan perempuan itu di depan Suto Sinting.
Sambungnya lagi,
"Kau bisa memanggilku Rara, karena namaku adalah
Rara Santika."
"Nama yang bagus sekali," ujar Suto sambil paksakan
keberaniannya. untuk menatap mata Rara Santika.
"Mengenai dari mana asalku; kurasa itu belum
penting bagimu. Yang terpenting adalah...."
Tiba-tiba Rara Santika hentikan bisik-bisiknya,
karena tiba-tiba mereka mendengar suara pekikan
seseorang yang cukup mengejutkan.
"Aaaaah...!"
Kedua orang di balik batu besar serentak lemparkan
pandangan ke arah tandu hitam. Ternyata seorang
pengawal bersenjata tombak berujung pedang itu telah
roboh dalam keadaan ulu hatinya tertancap pisau kecil.
Suasana menjadi tegang dan kacau, karena kejap
berikutnya seorang pengusung tandu pun memekik
panjang, mengejutkan mereka yang ada di sekitarnya.
"Aaaaah...!"
Leher pengusung tandu itu dihujam pisau kecil
bergagang hitam dengan ujung gagangnya berhias
rumbai-rumbai benang hijau. Pisau itu sama dengan
pisau yang menancap di ulu hati pengawal yang kini
telah tak bernyawa itu.
"Menyebar...!" seru seorang pengawal berompi merah
yang kumisnya cukup lebat dan wajahnya berkesan
angker itu. Ia mencabut pedangnya, kemudian
mengibaskan ke berbagai arah dengan gerakan memutar.
Trang, trang, tring...!
Rupanya gerakan pedang itu dilakukan untuk
menangkis serangan tiga mata pisau yang meluncur
deras ke arahnya. Tiga pisau itu berhasil ditangkis,
namun pisau keempat tak mampu dihindari lagi.
Zuuuut...! Juubb...!
"Aaaahhh...!" orang itu menjerit dengan kasar dan
keras, matanya mendelik, tubuhnya mengejang. Sebilah
pisau berukuran dua kali lebih besar dari pisau-pisau tadi
telah menancap di tengkuknya. Pisau itu membuat orang
tersebut roboh ke depan, menggelepar sebentar, setelah
itu menghembuskan napas terakhir dan tak bergerak lagi.
"Dari mana datangnya serangan itu?!" gumam Suto
Sinting dengan heran dan matanya bergerak jelalatan
memandang ke sana-sini.
"Serangan itu dilakukan oleh dua orang," bisik Rara
Santika. "Yang satu berada di atas pohon sebelah timur,
yang satu berlindung di balik dua pohon yang tumbuh
merapat di sebelah utara. Perhatikan kedua pohon yang
tumbuh saling berjajaran itu!"
Pendekar Mabuk arahkan pandangan matanya ke
utara, dan ia temukan gerakan kecil daun-daun ilalang
yang tumbuh di sekitar dua pohon tersebut. Gerakan
kecil daun ilalang itu bukan gerakan karena angin,
namun karena kaki seseorang yang bersembunyi di sana.
"Hmmm... benar!" gumamnya lirih. "Tajam sekali
penglihatanmu, Rara," puji Suto, namun agaknya pujian
itutak dihiraukan oleh Rara Santika.
"Pandanglah ke arah atas pohon di sebelah timur. Di
balik kerimbunan daun pohon berwarna hijau kehitaman
itu ada seseorang yang bersembunyi di sana."
Suto Sinting ikuti saran tersebut. Mulanya ia tak
menemukan tanda-tanda kehidupan manusia di atas
pohon tersebut. Tapi kilauan cahaya putih yang terjadi
akibat pantulan sinar matahari dari sebuah senjata
berlogam putih telah membuat Suto manggut-manggut
dan mengakui kebenaran dugaan Rara Santika. Hati sang
pendekar pun membatin,
"Benar-benar jeli mata perempuan ini! Aku harus
mengakui keunggulannya dalam memandang seseorang
yang bersembunyi."
Rupanya orang yang di atas pohon itu tak sabar
memendam murkanya. Ia melompat keluar dari
persembunyiannya sambil melepaskan pukulan jarak
jauh yangmemancarkan sinar merah lurus tanpa putus.
"Heeeeaaaah...!"
Claaap...! Sinar merah itu melesat dari telapak
tangannya dan menghantam dua orang pengawal yang
berada membelakangi tandu. Melihat sinar merah itu
meluncur cepat ke arahnya, kedua pengawal itu segera
saling melompat ke samping kanan-kiri, dan akibatnya
sinar merah itu menghantamtandu hitam.
Duuaaar...!
Tandu hitam menjadi hancur, potongan kayu dan
kainnya menyebar ke berbagai arah. Mata murid sinting
si Gila Tuak punterbelalak kaget.
"Tandu itu kosong?! Aneh! Padahal tadi kuiihat ada
tangan yang terulur keluar menyerahkan cawan dan
menerimanya kembali?!"
Tak ada sepotong daging manusia yang ikut tersebar
dalam kehancuran tandu hitam itu. Bahkan sesobek
pakaian wanita pun tak terlihat ada di antara puing-puing
tandu. Hal itu benar-benar mengherankan bagi Suto
Sinting, ia berkata kepada Rara Santika dengan nada
tegang.
"Tadi kulihat Gundik Sakti ada di dalam tandu itu,
kenapa sekarang tandu itu pecah dan Gundik Sakti tak
ada di dalamnya?!"
"Mungkin dia sudah keluar tinggalkan tandu sebelum
terjadi penyerangan tadi."
"Tidak mungkin," sangkal Suto. "Kalau dia keluar
dari tandu pasti aku melihatnya, sebab dari tadi aku
memperhatikan tandu itu, dan tak kulihat ada orang
keluar dari sana."
Rara Santika sunggingkan senyum tipis, tak jelas
artinya bagi Pendekar Mabuk. Namun senyuman itu
segera tak dihiraukan karena suara gaduh pertarungan
lebih memancingperhatian Suto Sinting.
Para pengawal dan pengusung tandu diserang oleh
dua orang lelaki yang usianya sekitar tiga puluh tahun.
Yang satu sedikit tampak lebih muda dari yang satunya.
Mereka bersenjatakan pisau terbang yang melingkar di
pinggang bagaikan sabuk. Gerakan mereka sangat lincah
dan sukar diikuti dengan pandangan mata, juga sukar
ditebak gerakan berikutnya.
Dalam beberapa waktu saja, para pengawal dan
pengusung tandu berjatuhan tanpa nyawa lagi. Tinggal
dua pengawal yang masih gigih melawan dua lelaki
berpakaian serba kuning itu. Hanya saja, yang satu
berikat kepala hijau, yang satunya berikat kepala merah.
"Kau kenal dengan mereka, Rara?"
"Ya, aku kenal. Mereka adalah kakak beradik. Yang
berikat kepala merah itu kakaknya, bernama: Dampak
Yogan. Sedangkan adiknya berikat kepala hijau
bernama: Hanu Yogan."
"Mengapa mereka menyerangtandu hitam itu?"
"Karena mereka menyangka Gundik Sakti ada di
dalamnya."
"Iya, aku tahu hal itu. Yang kutanyakan, mengapa
mereka menyerang Gundik Sakti?"
"Entahlah. Mungkin mereka punya dendam atau
persoalan pribadi dengan Gundik Sakti," Rara Santika
bicara lirih bagai orang malas bicara. Matanya tertuju
pada pertarungan satu lawan satu yang agaknya cukup
seru itu.
Dampak Yogan mempunyai tubuh yang lentur dan
lincah, sehingga ketika pedang lawannya menebas leher,
ia justru bergerak maju dengan tubuh memutar cepat,
tahu-tahu pisaunya dihujamkan ke dada lawan. Jrrub...!
"Aaaahg...!" pengawal tandu yang berpakaian hitam
itu mendelik, kejap berikutnya tumbang dan tak
bernyawa lagi.
Sementara itu, Hanu Yogan melenting di udara
hindari tebasan pedang lawan yang akan merobek
perutnya. Gerakan bersaltonya cukup cepat, hingga tahu-
tahu kedua kakinya sudah hinggap ke pundak lawan.
Jleeeg...!
Lawan yang terkejut itu tak sempat lakukan gerakan
apa-apa lagi, karena tangan kiri Hanu Yogan
menghantam kuat ubun-ubun lawannya. Wuuut...!
Praaak...!
"Aaaaa...!" orang itu memekik keras-keras sambil
melangkah limbung saat tubuh Hanu Yogan telah
melesat dari pundaknya dan turun ke tanah. Kepala
orang itu berlumuran darah, bukan hanya dari mulut dan
telinga saja, melainkan dari pelipis dan tengkuk pun
mengalir darah merah segar menandakan kepala itu
retak. Biji matanya tersembul keluar nyaris terlepas dari
kelopaknya. Hantaman bertenaga dalam di kepala
membuat orang tersebut akhirnya tumbang dan tak
bernyawa lagi.
"Hanu Yogan, kita cari si Gundik Sakti itu! Belum
puas hatiku jika si Gundik Sakti belum mati seperti para
pengawalnya ini. Pasti ia larikan diri dan masih berada
di sekitar sini!" kata Dampak Yogan dengan mata
berbinar-binar penuh nafsu untuk membunuh.
"Kita menyebar, Dampak Yogan," ujar Hanu Yogan.
"Jangan bunuh dulu si Gundik Sakti jika salah satu dari
kita menemukannya. Aku sendiri belum puas jika belum
ikut menghancurkan raga si Gundik Sakti itu. Rasa-
rasanya roh adik kita; Hutami Yogan yang dijadikan
tumbal olehnya masih akan menuntutku jika aku tidak
ikut membantai perempuan keparat Itu!"
Suto berbisik kepada Rara Santika, "Ooo... rupanya
mereka menaruh dendam kepada Gundik Sakti, karena
adik perempuan mereka yang bernama Hutami Yogan
itutelah dijadikan tumbal oleh si Gundik Sakti."
Bisikan itu tak mendapat balasan apa pun. Suto
Sinting curiga dan segera berpaling memandang ke arah
kiri, ternyata Rara Santika sudah tidak ada di
sebelahnya. Suto terkejut dan kebingungan mencari
dengan pandangan matanya.
"Rara...?!" panggilnya bernada bisik, tapi panggilan
itu tak mendapat jawaban dari Rara Santika. Hanya saja,
tiba-tiba Pendekar Mabuk dikejutkan oleh suara orang
memekik tertahan dan suara gaduh dari kaki
menghentak-hentak tanah.
"Aaaahhg...! Aaaahg...! Aaaahg...!"
"Dampak Yogan, ada apa? Kenapa kau, Dampak
Yogan?!" suara sang adik berseru penuh keheranan dan
ketegangan.
Dampak Yogan ada yang mencekik, namun tidak
terlihat wujud lawannya. Tentu saja hal itu
membingungkan Hanu Yogan. Sang adik menjadi
semakin tegang setelah kejap berikutnya ternyata
Dampak Yogan roboh dan tak bernyawa lagi dalam
keadaan wajah membiru dan lidah terjulur.
"Dampak Yogan...! Dampak Yogaaan...!" teriak sang
adik dengan sedih dan murka.
Pendekar Mabuk baru akan keluar dari
persembunyiannya, namun langkahnya itu terhenti
dengan kejadian yang mengherankan lagi. Ia
memandang bengong kepada Hanu Yogan yang tahu-
tahu tumbang dan menggelepar-gelepar tanpa bisa
berteriak lagi. Kedua tangannya memegangi leher,
seakan ingin melepas sesuatu yang mencekik lehernya
dengan sangat kuat. Kejadian itu terjadi beberapa saat,
karena Hanu Yogan berusaha bertahan sekuat tenaga.
"Bagaimana aku harus membantunya? Aku pun tak
melihat siapa orang yang mencekik si Hanu Yogan itu?"
pikir Suto Sinting bingung sendiri. Akhirnya ia hanya
bisa menyaksikan kematian Hanu Yogan tanpa bisa
berbuat sesuatu dari balik persembunyiannya.
"Benarkah si Gundik Sakti yang mencekik mereka,
seperti para pengawal yang kalah menghadapi Resi
Pakar Pantun?!" pikir Suto Sinting begitu alam menjadi
sunyi dan lengang setelah Hanu Yogan hembuskan
napas terakhirnya.
"Ke mana tadi si Rara Santika? Mengapa ia tiba-tiba
hilang? Apakah dia diculik oleh Gundik Sakti?!"
Suto Sinting mulai melangkah pelan-pelan tinggalkan
persembunyiannya. Kewaspadaan ditingkatkan karena ia
mulai sadar bahwa sebentar lagi akan berhadapan
dengan tokoh berilmu tinggi yang mampu membunuh
lawan tanpa dapat dilihat jasadnya.
"Oh, itu dia si Rara Santika?! Celaka! Jangan-jangan
dia terkapar tak bernyawa di seberang sana?!" ucap Suto
Sinting bersuara lirih dengan nada tegang, ia segera
menghampiri Rara Santika yang terkapar di rerumputan
dalam keadaan tergolek tanpa bergerak. Perempuan itu
ada di seberang sungai di atas tanah berumput tipis,
sehingga sosoknya dapat terlihat jelas dari tempat Suto
berdiri.
"Siapa yang melemparkannya sampai ke sana?!"
gumam Suto dalam hatinya sambil melesat
menyeberangi sungai dengan lompatan tampak ringan
dari batu ke batu.

4
MENDUNG sore mulai hadirkan gerimis merintik ke
bumi. Pendekar Mabuk sudah berhasil sadarkan si cantik
Rara Santika.
Ternyata perempuan itu hanya pingsan
tanpa luka parah, ia segera siuman setelah Suto
mengguncang-guncangkan tubuhnya dan menampar-
nampar pelan pipinya.
"Mengapa kau sampai terkapar di sini?"
"Seseorang yang tak kulihat telah melemparkan
diriku dan, uuuuh...! Tulang punggungku terasa patah.
Sakit sekali!" Rara Santika merintih pelan.
"Minumlah tuakku biar rasa sakitmu hilang."
"Tak usah," katanya pelan, ia berusaha bangkit
dengan wajah menyeringai. Baru setengah duduk sudah
jatuh terkulai lagi.
"Aduuuh...!" rintihnya lagi. "Rupanya beberapa
uratkumenjadi putus akibat jatuhterkapar di sini. Oooh..
tolonglah aku. Angkatlah aku ke tempat yang aman,
Suto."
Pendekar Mabuk tak tega mendengar rintihan itu, ia
segera mengangkat tubuh Rara Santika yang berdada
sekal dan montok itu. Ia membawanya ke suatu tempat
yang berpohon rindang. Saat itulah gerimis sore mulai
turun membasahi bumi.
"Kita harus mencari tempat meneduh," kata Suto
Sinting, tak jadi meletakkan tubuh Rara Santika di
bawah pohon rindang. Perempuan itu berkata dengan
nada masih menahan rasa sakit.
"Seingatku, di tepian sungai ini ada reruntuhan biara
bekas milik Perguruan Bangau Hitam yang telah hancur.
Kurasa di sana ada tempat untuk meneduh sementara,
Suto. Bawalah aku ke sana!"
"Ke mana arahnya, aku tak tahu!"
"Berjalanlah ke arah hulu sungai, jangan jauh dari
tepiannya supaya kita tidak tersesat ke dalam hutan.
Reruntuhan biara itu ada di tepian sungai ini."
Pendekar Mabuk tak banyak pertimbangan lagi,
segera bergerak ke arah hulu sungai. Ternyata
reruntuhan bekas biara itu memang ada. Bangunan
tersebut sudah tampak tua, dinding dan lantainya
berlumut dan berwarna hitam. Atapnya sudah hancur,
tampak hitam karena bekas terbakar.
Sekalipun biara itu telah runtuh dan porak poranda,
namun agaknya ada tempat yang bisa dipakai untuk
berteduh. Tempat itu adalah sebuah ruangan bawah
tanah yang mempunyai jalan masuk melalui halaman
samping. Rara Santika yang menunjukkan adanya
ruangan bawah tanah itu, sehingga Suto Sinting sempat
curiga dan segera ajukan tanya kepada perempuan cantik
itu.
"Agaknya kau tahu persis tentang bangunan ini.
Apakah dulu kau pernah tinggal di biara ini?"
"Aku hanya pernah tersesat di daerah ini, lalu
kutemukan bangunan ini dan kupakai sebagai tempat
bersembunyi dari kejaran lawanku."
Pendekar Mabuk menggumam panjang dan manggut-
manggut. Keadaan ruangan yang gelap menimbulkan
rasa pengap dan sesak di pernapasan., Suto Sinting
terpaksa segera mencari kayu kering yang belum terkena
gerimis. Beberapa potong kayu papan dan dahan pohon
kering masih bisa diselamatkan untuk digunakan sebagai
tumpukan api unggun.
Ruangan bawah tanah menjadi terang setelah Suto
nyalakan api unggun dengan menggunakan dua batu
marmer yang digesekkan dan menimbulkan percikan api
yang segera membakar rumput kering. Rumput itu
segera membakar batang-batang kayu atau apa saja yang
dijadikan tumpukan api unggun.
Ruangan bawah tanah itu ternyata tidak sekotor
tempat lainnya. Lantai yang berubin itu tampak bersih
pada bagian tengah ruangan yang cukup lebar.
Sepertinya tempat itu digunakan oleh seseorang sebagai
tempat tinggal atau persembunyian sementara. Itulah
sebabnya Rara Santika tak keberatan ketika tubuhnya
dibaringkan di lantai tersebut.
"Lantainya cukup bersih, aku yakin ruangan ini ada
penghuninya. Hanya saja, mungkin sekarang
penghuninya sedangpergi," kata Suto Sinting.
"Dugaanmu benar," kata Rara Santika sambil masih
sesekali menahan rasa sakit dengan menggigit bibir atau
memejamkan mata kuat-kuat. Ia berkata tanpa
memandang Suto, melainkan menoleh ke kanan-kiri,
memperhatikan keadaan ruangan yang mirip tempat
berlatih bagi para mantan murid Perguruan Bangau
Hitam.
"Seorang temanku yang gemar berburu pernah
menceritakan tempat ini. Katanya, ia sering bermalam di
sini jika seharian tak mendapatkan binatang buruannya.
Bahkan ia pun pernah membawa pasangan kencannya ke
sini, karena menurutnya tempat ini mudah menimbulkan
gairah dan hasrat untuk bercumbu dengan lawan
jenisnya. Dan... dan sekarang pun aku merasakan ada
gelombang udara yang mampu membangkitkan
keindahan cinta dalam bayanganku. Apakah kau tak
merasakannya, Suto?"
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis,
tangannya sibuk menatap susunan kayu agar api unggun
tak menjadi padam. Sekalipun gundukan api unggun itu
sangat kecil, namun Suto akan sangat menyayangkan
jika harus padam. Karena nyala apinya sangat berguna
bagi penerangan. Gerimis yang mulai berubah menjadi
hujan, dan hujan yang menghembuskan udara dingin,
ternyata dapat diusir dengan kehangatan uap api
tersebut.
"Minumlah tuakku supaya rasa sakitmu itu hilang dan
kau menjadi sehat seperti sediakala," bujuk Suto Sinting
setelah ia sendiri meneguk tuaknyatiga kaii.
"Aku tidak doyan tuak. Biarlah rasa sakitku ini akan
kusembuhkan sendiri dengan hawa murniku," kata Rara
Santika sambil merapikan sikap berbaringnya, karena ia
ingin menyalurkan hawa murninya ke seluruh tubuh.
"Jangan mengajakku bicara dulu," katanya lagi,
kemudian ia segera pejamkan mata. Kedua tangannya
saling merapatkan telapak tangan di dada. Suto Sinting
membiarkan, hanya memandangi dengan seulas senyum
kekaguman masih membias di bibir.
"Menggairahkan sekali dia," pikir Suto Sinting.
"Seolah-olah setiap lekuk tubuhnya menghadirkan daya
pikat yang tinggi, membuat alam pikiranku menjadi
jorok! Untung aku masih ingat bahwa mempunyai calon
istri yang tak mungkin bisa kukhianati. Dyah
Sariningrum, calon istriku itu, pasti akan mengetahui
jika aku berbuat serong dengan perempuan lain, karena
di negerinya sana; Puri Gerbang Surgawi yang ada di
Pulau Serindu, ia selalu memantauku menggunakan
teropong batinnya. Aku tak mau mengecewakan hatinya
dengan melakukan pergumulan bersama perempuan lain.
Aku tak mau menodai cintaku hanya karena kecantikan
dan keelokan Rara Santika."
Benak boleh saja berpikiran seperti itu, tapi hati kecil
Suto dibuat gelisah oleh debar-debar keindahan
manakala ia memandang kecantikan dan kemulusan
dada Rara Santika. Repotnya lagi, Suto mengalami
kesulitan saat ingin palingkan pandangan ke arah lain.
Rasa-rasanya lehernya tak bisa digerakkan untuk
berpaling ke arah lain. Matanya tak bisa dikedipkan
setelah beberapa saat lamanya pandangi tubuh Rara
Santika yang sedang berbaringtenang itu.
"Gawat! Kenapa aku jadi sukar berpaling ke arah
lain? Hatiku tak mau diajak untuk memandang tempat
lain. Rasa-rasanya persendian di leherku terpaku mati
dan hasratku tercurah kepadanya."
Pendekar Mabuk masih jongkok di dekat api unggun
kecil. Jarak api unggun dengan tempat Rara Santika
berbaring hanya tiga jangkah. Tentu saja Suto dapat
memandang jelas kecantikan yangmenggiurkan itu.
"Kurasa dia bukan perempuan sembarangan.
Setidaknya keluarga seorang bangsawan atau saudagar
kaya. Tubuh dan kecantikannya sangat terawat. Kulitnya
putih bersih, perhiasannya lengkap, jari-jarinya lentik
berkuku runcing rapi menandakan setiap hari terjaga
perawatannya. Belum lagi..., hei gelang itu?!"
Suto Sinting berkerut dahi menemukan kejanggalan
yang mengherankan. Jantung pun berdetak-detak ketika
matanya memandang ke arah gelang yang dikenakan
tangan kanan Rara Santika.
"Gelang itu... oh, gelang itu bermata merah delima
berbutir-butir. Bukankah tangan yang kulihat terjulur
dari dalam tandu hitam saat menyerahkan dan menerima
cawan tadi adalah tangan yang bergelang merah delima
berbutir-butir? Ya, aku yakin tangan itulah yang keluar
dari tandu hitam saat meminta air kepada pengawal?!"
Detak jantung Pendekar Mabuk semakin keras.
Keyakinannya tentang tangan bergelang merah delima
itu membuat tubuhnya sedikit gemetar dan napasnya
mulai sesak karena desakan rasa kaget, ia buru-buru
meneguk tuaknya untuk menghilangkan ketegangan.
Ternyata setelah meneguk tuak, rasa tenang dikuasai
kembali oleh Suto Sinting.
"Hmmm... ya, ya... sekarang aku tahu; Rara Santika
itulah si Gundik Sakti. Saat kedua orang kakak beradik
mati tercekik, Rara Santika tidak ada di sampingku.
Setelah mereka mati, kulihat ia terkapar di seberang
sungai. Kurasa ia tadi berpura-pura pingsan, dan
berpura-pura lumpuh agar dapat kupeluk dalam
gendongan. Hmmm... pancaran kecantikannya yang
begitu memikat hati itu bukan sekadar pancaran daya
pikat perempuan biasa, melainkan dibarengi kekuatan
ilmu pemikatnya yang belum digunakan sepenuhnya."
Napas Pendekar Mabuk ditarik dalam-dalam.
Pandangan matanya masih tertuju pada Rara Santika
yang masih tetap berbaring dengan kedua telapak tangan
saling merapat di dada.
"Ilmunya memang tinggi," ujar Suto, masih di dalam
hatinya, "Ia dapat keluar dari tandu tanpa kuketahui
gerakannya, ia dapat pergi dari sampingku tanpa
kudengar suara gerakannya. Jika bukan orang berilmu
tinggi tak mungkin bisa mengecohku dengan cara seperti
itu. Kalau sudah begini, apa yang kulakukan sekarang?"
Dalam diam otak Suto bekerja mencari cara terbaik
yang harus dilakukan. Pertimbangan demi pertimbangan
dipikirkan masak-masak. Walau sebenarnya bisa saja
Suto membunuh Gundik Sakti saat itu juga, namun ia tak
mau lakukan dengan gegabah. Salah-salah serangannya
akan membalik dan dirinya sendiri yang akan terbunuh
oleh kesaktian si Gundik Sakti.
"Sebaiknya kubiarkan diriku dibawanya ke Gua
Tumbal Perawan. Di sanalah saat yang baik untuk
menghancurkannya, sekaligus menghancurkan para
pengikutnya dan tempat sesat yang disebut desa
Lambung Bumi itu. Selama ia belum membawaku ke
sana, akan kudampingi terus dirinya, sehingga aku dapat
mengetahui apa saja rencana sesat yang akan
dilakukannya. Kurasa memang ada baiknya aku berlagak
tidak mengetahui siapa dirinya."
Hujan semakin deras, malam pun hadir bersama
udara dingin dan angin menderu berganti-ganti arah.
Tanpa disadari Suto Sinting tertidur di dekat perapian, ia
bagai terkena sirep, rasa kantuk datang begitu cepat dan
sangat tiba-tiba. Tidurnya nyenyak sekali, tak terganggu
oleh suara dan gerakan apa pun.
Saat ia terbangun, ternyata hari sudah lewat dari pagi.
Matahari telah pancarkan sinarnya dengan terang. Langit
pun bersih tanpa mendung segumpal pun. Dan sesuatu
telah terjadi sangat mengejutkan hati si pemuda tampan
itu.
Hampir saja Suto Sinting terpekik keras ketika ia
menyadari dirinya dalam keadaan tidak berbusana
selembar benang pun. Ia buru-buru bangkit dan
merapatkan kedua kakinya dengan wajah tegang. Celana
dan bajunya tergeletak di lantai dalam jarak tiga
jangkauan. Bumbung tuaknya ada di dekat pakaian
tersebut.
"Celaka! Apa yang telah terjadi pada diriku?!
Mengapa aku jadi telanjang begini? Siapa yang
menelanjangiku?" pikir Suto sambil matanya diarahkan
kepada Rara Santika.
Perempuan itu masih berbaring di tempatnya dalam
keadaan kedua tangan masih merapat di dada. Keadaan
tubuhnya tak ada yang bergeser sedikit pun, jaraknya
pun masih tetap sama dengan saat dipandangi dan
direnungi Suto kemarin petang.
"Rupanya ia tertidur nyenyak juga," ujar Suto
membatin. "Tapi mengapa pakaiannya masih utuh
sedangkan pakaianku sudah mental ke sana? Kalau
begitu bukan dia yang menelanjangiku? Lantas siapa
orangyang seusil dan seberani ini padaku?!"
Pakaian segera diraih, lalu buru-buru dikenakan.
Karena terburu-buru, kedua kaki Suto sampai masuk
dalam satu kaki celana, sehingga ia sulit melangkah.
Dengan hati penuh gerutu keadaan itu dibetulkan, ia tak
ingin Rara Santika terbangun pada saat ia masih
telanjang.
"Apa yang terjadi semalam pada diriku? Apakah aku
diperkosa seseorang? Hmmm... rasa-rasanya tak ada
gerakan apa pun yang membangunkan tidurku? Mimpi
bercumbu pun tidak. Bahkan aku tidak tahu apakah
semalam aku bermimpi atautidak?"
Rara Santika terbangun ketika Pendekar Mabuk
selesai menenggak tuaknya tiga tegukan. Suto sempat
menggeragap saat perempuan cantik itu terbangun,
namun buru-buru berhasil menenangkan diri dengan
berlagak sunggingkan senyum menawan sebagai senyum
penyambut pagi.
"Badanku terasa enteng sekali," ujar Rara Santika
sambil berdiri dan menggeliat melepas kesegarannya
"Sudah tak merasa sakit lagi?"
"Tidak," jawab Rara Santika. "Aku malah merasa
lebih segar dari sebelumnya. Rupanya aku terlalu lama
lakukan semadi penyembuhan, ya?"
"Semalaman aku terbaring di situ. Mungkin kau
tertidur."
"Ya, memang tertidur. Biasanya tak sebegitu lama
dalam melakukan penyembuhan."
"Apakah kau tak terbangun sedikit pun selama
semalam?" tanya Suto menyelidik secara halus.
"Apakah kau melihat aku terbangun dari semadiku?"
Rara Santika ganti bertanya membuat Suto Sinting
bingung menjawab. Yang dilakukan hanya tersenyum
tipis dan mengalihkan pandangan matanya ke arah jalan
keluar dari ruangan itu yang diterobos pancaran sinar
matahari.
Saat tangan Suto meraup wajahnya sendiri untuk
menyegarkan pandangan matanya, tiba-tiba ia mencium
wewangian pada telapak tangannya. Wewangian itu
serupa betul dengan wewangian yang ada di tubuh Rara
Santika. Pendekar Mabuk sembunyikan rasa curiganya,
ia sengaja keluar dari ruangan itu lebih dulu dengan
langkah santai.
Sampai di luar ia mencium lengannya sendiri.
"Hmmm... lenganku berbau harum, sama dengan
keharuman yang menyebar dari tubuh Rara Santika?"
Suto masih penasaran, ia segera jongkok dan
mencium pahanya sendiri. Ada aroma wangi di balik
kain celana putihnya yang kusam itu. Wewangian itu
juga sama dengan wewangian di tubuh Rara Santika.
Kecurigaan semakin besar dan hatinya kian gundah.
"Apakah ini bau keringat? Jika benar keharuman ini
adalah keringat Rara Santika, berarti semalam ia telah
berhasil menggelutiku?!"
*
* *
5
MENURUT Rara Santika, tak jauh dari tempat itu
ada sebuah desa. Di sana mereka bisa dapatkan makanan
sebagai pengisi perut. Suto Sinting segera mengajak
Rara Santika untuk mencari kedai di desa tersebut.
"Kau saja yang ke sana," ujar Rara Santika. "Aku
menunggumu di sini. Bawalah makanan kemari dan kita
makan bersama di sini."
"Mengapa kau tak mau pergi ke desa itu? Mengapa
harus menunggu di sini?" tanya Suto bernada curiga.
Rara Santika tidak langsung menjawab, melainkan
diam termenung beberapa saat. Setelah Suto mengulangi
pertanyaannya, perempuan cantik itu pun akhirnya
menjawab dengan suara lirih bernada duka, tubuhnya
disandarkan di sebuah pohon yangmenjulangtinggi.
"Kehadiranku di desa itu hanya akan menimbulkan
masalah."
"Masalah apa?" desak Suto semakin ingintahu.
"Kesalahpahaman."
Perempuan itu menjawab pendek sambil menatap
bola mata Pendekar Mabuk. Jaraknya yang hanya dua
langkah itu membuat Suto dapat rasakan getaran lembut
pada setiap tatapan mata Rara Santika. Ia mencoba untuk
bertahan dengan tetap mengadu tatapan mata, sampai
akhirnya Rara Santika membuang pandangannya karena
merasa tak sanggup beradu pandangan dengan Suto
terlalu lama. Pada saat itu, Suto memang lepaskan jurus
'Senyuman Iblis' yang mampu membuat lawan jenisnya
terpikat dan tak berdaya.
"Jika aku datang ke sebuah desa, pasti akan timbul
pertarungan yang disebabkan oleh salah paham mereka."
Suto berkata dalam hati, "Dia ingin mencari dalih
untuk hindari kecurigaanku. Hmmm... sebaiknya
memang kupancing dengan meninggalkan dirinya
sendirian di tempat ini!"
Kemudian Rara Santika hentikan ucapannya, Suto
Sinting buru-buru berkata kepadanya,
"Kau tak akan pergi ke mana-mana jika kutinggal
pergi mencari kedai?"
Rara Santika menggeleng tanpa mau memandang
Suto.
"Akan kutunggu di sini sampai kapan pun. Sebelum
kau datang akutak akan pergi dari sini."
"Baiklah, jika begitu aku harus pergi dan kembali
secepatnya agar kau tak terlalu lama menunggu," balas
Suto seakan juga mempunyai kesetiaan.
"Semakin cepat kau datang semakin baik, Suto," ucap
Rara Santika sambil memandang sebentar, lalu buang
muka lagi karena senyuman Suto mengguncangkan
hatinya cukup parah. Jurus 'Senyuman Iblis' akan
melumpuhkan kekerasan hati seorang wanita dan
membakar gairah jika wanita itu tidak berilmu cukup
tinggi. Agaknya Rara Santika masih mampu menahan
gejolak hati yang dibakar hasrat bercinta, dan itu berarti
ia mempunyai ilmu cukup tinggi.
Suto Sinting tidak benar-benar pergi ke desa untuk
mencari kedai, ia hanya memutar arah, lalu mengintai
Rara Santika dari kejauhan. Perempuan itu tampak
mondar-mandir dengan gelisah di depan reruntuhan
biara. Sesekali ia duduk termenung, sesekali berdiri di
tepian sungai, melempar ranting-ranting kecil ke
permukaan air sungai.
"Dia tak pergi ke mana-mana?" kata Suto membatin.
"Padahal dia bisa saja lari dan meninggalkan diriku. Dia
bisa saja pulang ke Gua Tumbal Perawan, lalu aku akan
mengikutinya. Tapi kenapa hal itu tidak dilakukannya?
Apakah ia sedang menunggu orang lain di tempat itu?
Atau... atau barangkali ia tahu kalau aku mengintipnya
dari suatu tempat, sehingga ia berlagak setia dalam
penantian?"
Agaknya Pendekar Mabuk pun bertahan di tempat
persembunyiannya, ia sengaja membiarkan perempuan
itu menunggu dengan gelisah. Untuk membuang
kegelisahannya, Rara Santika melatih gerakan-gerakan
silatnya dengan kecepatan tinggi. Suto Sinting justru
semakin betah di balik pengintaiannya. Setiap jurus
dicatat dalam benak Suto dan dipelajari kelemahannya.
"Gerakannya sungguh cepat, hampir tak bisa kuikuti
dengan pandangan mata," ujar Suto dalam hatinya.
"Gerak tipuannya pun cukup bagus, mampu
mengecohkan lawan selincah apa pun. Setiap gerakan
mengandung gelombang tenaga dalam yang membuat
pohon-pohon bergetar, semak-semak tersibak, dan daun-
daun kering di sekitarnya beterbangan. Kuakui ia
mempunyai jurus-jurus yang hebat. Sukar dipatahkan
lawannya. Hmmm... jika nanti aku harus melawannya,
harus kugunakan permainan jarak jauh agar gerakannya
tak mudah mengenaiku."
Tiba-tiba seberkas sinar merah melesat dari balik
semak. Sinar merah itu berbentuk seperti lidah api yang
menghantam punggung Rara Santika. Wuuuusss...!
Pada saat itu, Rara Santika sedang lakukan gerak
pengendalian napas karena ia ingin menghentikan
latihannya. Kedua kaki berdiri rapat dengan kedua
tangan terangkat ke atas dan diturunkan pelan-pelan
dalam satu tarikan napas. Namun sebelum kedua
tangannya turun sampai ke bawah, ia terpaksa harus
berputar arah dengan cepat dan telapak tangan kirinya
menghentak ke depan. Wuuut...!
Claaap...!
Selarik sinar hijau muda terlepas dari telapak tangan
kiri. Sinar hijau muda itu menghantam kedatangan sinar
merah dari balik semak-semak.
Zuuub...! Blaaarrr...!
Rara Santika berhasil pecahkan sinar merah yang
ingin merenggut nyawanya itu. Ledakan besar terjadi
dalam sekejap, namun gemanya masih membahana dan
gema itu mampu getarkan pepohonan besar, bahkan
sempat tumbangkan pohon-pohon kecil yang ada di
sekitarnya.
Rara Santika tersentak ke belakang, tubuhnya
melayang bagai terbuang. Namun ia cepat kendalikan
keseimbangan tubuh, sehingga dalam satu gerakan salto
ia mampu mendaratkan kakinya ke tanah dengan baik.
Jleeg...! Ia berdiri tegak menghadap ke arah datangnya
sinar merahtadi.
"Keluar kau. Setan! Untuk apa bersembunyi di balik
semak, karena aku dapat membunuhmu dari sini
sekarang juga?!"
Wuuuuusss...! Sesosok tubuh melompat dari balik
semak. Orang itu bersalto dua kali di udara, lalu dalam
sekejap sudah berada di depan Rara Santika dalam jarak
empat langkah. Suto Sinting sempat terbelalak kaget
melihat kehadiran orang tersebut, sebab ia merasa kenal
dengan tokoh yang baru saja muncul dari semak-semak.
"Jejak Setan...?!" gumam Suto pelan sekali. Lelaki
bertampang seram yang mengenakan pakaian serba
hitam itu berusia sekitar lima puluh tahun. Suto Sinting
belum lama ini berhadapan dengan si Jejak Setan, murid
dari mendiang Pelacur Tua yang bernama Nyai Pegat
Raga. Sekalipun Jejak Setan bertubuh kekar, namun
Suto Sinting sempat membuatnya lari terbirit-birit ketika
Suto melindungi Resi Pakar Pantun yang nyaris
ditumbangkan oleh si Jejak Setan, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Sabuk Gempur Jagat").
Untuk menyadap pembicaraan Jejak Setan dengan
Rara Santika, Suto terpaksa gunakan jurus 'Sadap Suara'
yang mampu mendengarkan percakapan dari jarak jauh
itu. Pandangan matanya tetap terarah kepada Rara
Santika, sementara hatinya bertanya-tanya,
"Persoalan apa yang membuat Jejak Setan tahu-tahu
menyerang Rara Santika? Apakah ia tahu siapa Rara
Santika sebenarnya?"
Jejak Setan tampak menggeram dengan sikap
bermusuhan yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Pancaran
matanya menandakan ada dendam yang menuntut
kematian Rara Santika.
Terdengar si Jejak Setan berkata penuh geram,
"Akhirnya kutemukan juga kau di tempat ini, Iblis
Betina!"
"Siapa kau? Aku tidak mengenalmu!" ketus Rara
Santika.
"Hmmm...!" Jejak Setan mencibir sinis. "Boleh saja
kau berlagak tidak mengenalku, tapi tentunya kau ingat
dengan Sarasati, muridku yang masih muda belia itu?!
Baru punya satu murid sudah kau ambil sebagai tumbal
dengan kelicikanmu! Sebagai guru seorang murid yang
masih perawan, aku berhak menuntut balas atas
kematiannya di tanganmu!"
"Kau salah paham! Aku tidak lakukan apa pun
terhadap muridmu, bahkan baru sekarang kudengar
nama Sarasati sebagai muridmu! Siapa kau
sebenarnya?!"
"Jejak Setan!" sentak orang bermata lebar itu sambil
menepuk dadanya sendiri keras-keras. "Kau pasti ingat
dengan nama Jejak Setan, murid mendiang Nyai Pegat
Raga!"
"Aku tahu tentang Nyai Pegat Raga, si Pelacur Tua
Itu. Tapi aku tak tahu kalau ia mempunyai murid yang
bernama Jejak Setan!"
"Tahu atau tidak masa bodoh! Yang penting sekarang
kau harus menebus nyawa muridku itu!"
"Kuingatkan, jangan berselisih denganku. Kau bisa
celaka sendiri, Jejak Setan!"
"Aku bukan anak kecil yang perlu kau takut-takuti
dengan gertakanmu! Sekian lama aku mencarimu.
Gundik Sakti, baru sekarang bisa kujumpa dan tak
mungkin akan kubiarkan pergi dalam keadaan hidup!"
Jejak Setan segera menyerang dengan satu lompatan
liarnya. "Heeaaat...!"
Rara Santika sentakkan kaki dan tubuhnya melesat
lurus ke atas mengimbangi ketinggian lompatan Jejak
Setan. Tendangan kaki kekar si Jejak Setan ditangkis
dengan telapak kaki Rara Santika, sehingga mereka
beradu kaki dua kali berturut-turut. Plak, plak...!
Pada saat tubuh mereka bergerak turun, Jejak Setan
lepaskan pukulan bertenaga dalam melalui kepalan
tangannya, tapi Rara Santika menahan pukulan itu
dengan sentakkan telapak tangannya.
Plak, plak...!
Jleeg...! Keduanya sama-sama mendarat, berdiri
tegak dan saling menyerang kembali. Jejak Setan putar
tubuhnya dengan cepat dan kaki pun berkelebat. Rara
Santika berusaha menangkis pukulan itu. Plak....!
Namun tiba-tiba kaki Jejak Setan yang satu lagi
menyentak dalam putaran balik dan kenai pangkal
pundak Rara Santika. Dees. .!
Brrruk...! Rara Santika jatuh terpelanting ke kiri.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Jejak Setan untuk
melepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar dari jarak
dua langkah. Wuuut...!
Beehg...!
"Uuhg...!" Rara Santika tersentak dalam pekikan
tertahan. Dadanya terkena gelombang tenaga dalam yang
dilepaskan dari telapak tangan Jejak Setan. Tubuhnya
sempat terjungkal ke belakang satu kali.
Jejak Setan tak mau berhenti sampai di situ saja.
Serta-merta ia maju menyerang dengan kakinya. Namun
pada saat itu Rara Santika telah berhasil berdiri dengan
satu lutut. Tendangan kaki lawan segera ditangkap
dengan tangan kiri. Taaab...! Lalu tangan kanannya
menghantam tulangkering lawan. Beed, kraaak...!
"Aaaoow...!" Jejak Setan memekik kesakitan dengan
mata terpejam kuat-kuat.
Rara Santika berdiri dan sentakkan tangan kanannya
dalam keadaan kelima jari mengeras lurus dan
menyodok ulu hati lawan. Suuut...! Deeeb...!
"Uuuhhg...!" Jejak Setan melengkung ke depan
dengan mata mendelik, mulutnya yang ternganga segera
muntahkan darah kental yang hampir-hampir kenai
tubuh Rara Santika kalau saja perempuan itu tidak
segera gulingkan tubuh ke belakang dan cepat berdiri
tegak dalam satu hentakan.
Kedua tangan terangkat dengan jari masih lurus
merapat. Pada saat itu Suto Sinting sengaja datang
dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya, bermaksud mencegah
pukulan berbahaya selanjutnya. Tapi ia terlambat; kedua
tangan Rara Santika sudah lebih dulu bergerak cepat
menghantam pelipis kanan-kiri si Jejak Setan. Praaak...!
"Aaaahh...!" Jejak Setan memekik panjang dengan
tubuh terhuyung-huyung, telinga, hidung bahkan
matanya mengeluarkan darah kental. Tulang kepalanya
retak akibat hantaman yang menggencet ke dua
pelipisnya itu.
'Aaahg, aaahg, aaahg...!" Jejak Setan mengejang-
ngejang di tanah. Beberapa saat kemudian segera
hembuskan napas panjang-panjang, lalu diam tak
bergerak karena ditinggal pergi oleh rohnya.
Pendekar Mabuk tertegun bengong pandangi
kematian Jejak Setan. Rasa sesal timbul dalam hatinya
karena ia terlambat mencegah hantaman Rara Santika.
Semula ia pikir Jejak Setan mampu bertahan dan akan
larikan diri sebelum mengalami luka parah tapi ternyata
Rara Santika tak memberi kesempatan kepada Jejak
Setan untuk larikan diri. Serangannya yang beruntun
telah membuat lawannya tumbang dan tak bernyawa
lagi.
Ketika pandangan mata Suto dan Rara Santika
bertemu, perempuan itu menampakkan sikap kesalnya,
seakan tak mau disalahkan. Bahkan ia berkata dengan
nada dingin.
"Dia menyerangku lebih dulu. Sudah kuperingatkan
agar jangan menyerangku tapi ia nekat. Aku sekadar
membela diri untuk selamatkan nyawaku!"
"Kita tinggalkan saja tempat ini! Kau ikut aku ke desa
mencari kedai!"
"Aku...," Rara Santika belum selesai bicara, tapi Suto
Sinting sudah lebih dulu pergi. Mau tak mau perempuan
itu mengikutinya, ia berkelebat mengimbangi kecepatan
gerak Suto Sinting. Setibanya di perbatasan sebuah desa,
mereka hentikan langkah karena tangan Suto Sinting
ditahan oleh Rara Santika.
"Aku menunggu di bawah pohon tepi hutan itu saja,"
katanya kepada Suto.
"Tidak. Kau harus ikut. Jika kau sendirian kau akan
diserang orang lagi."
"Jika aku ikut pun akan lebih banyak yang
menyerangku."
"Mengapa kauyakin akan begitu?"
"Karena banyak orang yang menyangkaku sebagai si
Gundik Sakti."
"Hahh...?!" Suto Sinting terkejut, bukan karena
mendengar nama si Gundik Sakti, namun karena
pengakuan Rara Santika yang seolah-olah merasa
dirinya bukan Gundik Sakti. Tak heran jika mata Suto
Sinting pun memandang tajam kepada Rara Santika dan
benaknya mulai diliputi kebimbangan.
Seorang petani lewat tak jauh dari mereka. Petani
bertudung anyaman daun pandan itu dalam perjalanan
pulang dari sawahnya. Suto Sinting dekati petani itu,
melakukan percakapan sebentar, menyerahkan sekeping
uang, dan petani itu segera melepas tudung pandannya.
Suto segera kembali temui Rara Santika.
"Kenakan tudung ini jika kau takut dikenali orang
sebagai si Gundik Sakti. Kita bicarakan di kedai saja!"
Kedai itu sepi pembeli. Mungkin karena banyaknya
kedai di desa itu, sehingga tidak semua kedai ramai
pembeli. Sebuah kedai yang sepi sengaja dipilih oleh
Suto sebagai tempat mengisi perut mereka, sekaligus
mengisi bumbung tuaknya. Kedai yang sepi merupakan
tempat yang baik bagi Suto untuk mengulas tentang
perkataan Rara Santika tadi, yang merasa takut disangka
orang sebagai Gundik Sakti.
"Kalau begitu kau bukan Gundik Sakti?" Suto bicara
pelan karena tak mau percakapan itu didengar orang lain.
"Sudah kubilang, namaku Rara Santika. Aku bukan si
Gundik Sakti. Selama ini mereka salah paham padaku."
Walau sebagian wajahnya tertutup tudung pandan,
namun Pendekar Mabuk dapat melihat kesungguhan
wajah Rara Santika dalam menuturkan kata-kata itu.
Wajah cantik itu tampak murung memendam kesedihan,
sepertinya ia dipaksa hanyut dalam penderitaan nasib
hidupnya.
"Di mana pun aku berada, aku selalu dimusuhi orang,
karena mereka menganggapku sebagai si Gundik Sakti.
Mereka selalu menuduhku menculik gadis-gadis
perawan untuk dijadikan tumbal di Bukit Sangkur,
padahal aku tidak melakukan tindakan sekeji tuduhan
mereka."
"Kau kenal dengan Resi Pakar Pantun?" pancing
Suto.
"Resi Pakar Pantun...?" Rara Santika menggumam
lirih, lalu merenung sebentar. Tak lama kemudian
suaranya terdengar lagi dengan pelan.
"Aku pernah mendengar nama itu; kalau tak salah ia
pemilik pusaka PisauTanduk Hantu."
"Ya, memang dia pemiliknya. Tapi apakah kau tak
pernah bertemu dengan Resi Pakar Pantun?"
"Belum pernah," jawab Rara Santika dengan mata
memandang dari balik tepian tudung pandannya.
"Kau kenal dengan Tembang Selayang?"
"Tembang Selayang?! O, kurasa baru sekarang
kudengar nama itu. Siapa Tembang Selayang itu?"
Suto sunggingkan senyum tipis berkesan kurang
percaya, "Ia seorang sahabatku."
"Apa maksudmu menanyakan nama-nama mereka
kepadaku?"
"Mereka sedang mencari Gundik Sakti dan ingin
bikin perhitungan, karena sahabat ataupun murid mereka
menjadi korban penculikan si Gundik Sakti."
"Yang jelas mereka bukan mencariku. Gundik Sakti
bukan Rara Santika."
"Lalu, siapa Gundik Sakti itu sebenarnya jika bukan
kau?"
"Gundik Sakti adalah Rara Sumina."
Dahi Suto Sinting berkerut. "Siapa Rara Sumina itu?
Jelaskanlah!"
"Rasa Sumina adalah saudara kembarku," jawab Rara
Santika dengan pelan, sepertinya berat sekali melepas
kata-kata tersebut, ia menarik napas satu kali, kemudian
berkata lagi tanpa memandang Suto Sinting yang duduk
di depannya.
"Sumina lahir setelah aku keluar dari kandungan Ibu.
Kami anak kembar, tapi karena aku lahir lebih dulu,
maka Sumina-lah yang menjadi adikku dan aku
kakaknya. Wajah kami sama persis, bahkan pakaian dan
ciri-ciri kami juga sama persis. Sumina sengaja tampil
serupa persis denganku, karena dengan begitu ia dapat
bersembunyi di balik kesamaannya denganku."
"Apakah kau juga tinggal di Gua Tumbal Perawan?"
Rara Santika menggeleng. "Sejak berusia empat
tahun kami berpisah, sebab perkawinan kedua orangtua
kami mengalami perceraian. Sumina diambil Ibu dan
aku dibesarkan oleh Ayah. Sayang keduanya kini telah
tiada, sehingga tak bisa dijadikan saksi bahwa aku bukan
Sumina, bukan si Gundik Sakti."
"Siapa nama ibumu?" pancing Suto ingin
mencocokkan dengan penjelasan Resi Pakar Pantun
tempo hari.
"Ibuku dikenal dengan nama Nyai Selir Iblis,
sedangkan ayahku dikenal dengan nama Ki Panjuru
Gesang."
"Hmmm... ya, nama ibunya persis seperti nama yang
disebutkan Resi Pakar Pantun," gumam Suto dalam
hatinya.
"Belasan tahun aku dan Sumina tidak pernah saling
jumpa, karena Ayah dan Ibu menjadi bermusuhan. Ayah
beraliran putih, sedangkan Ibu tak mau ikut aliran Ayah,
sehingga terjadilah perceraian itu. Sesekali aku
mendengar kabar tentang saudara kembarku itu, sesekali
pula Sumina mendengar kabar tentang kemajuanku.
Rupanya Ibu sangat tak suka padaku, sebab aku
mewarisi semua ilmu Ayah bahkan sampai perangai dan
sifat Ayah pun ada padaku. Sikap tak suka itu
menimbulkan permusuhan batin, sehingga Sumina selalu
berusaha menggunakan ciri-ciriku dalam melakukan
tindakan maksiatnya. Ia mempunyai mata-mata yang
sampai sekarang belum kuketahui siapa orangnya. Mata-
mata itu bertugas mengirim kabar tentang perubahan
dalam penampilanku, sehingga ia pun akan lakukan
perubahan dalam penampilan sepersis diriku. Bagi orang
yang sudah pernah bertemu langsung dengan adik
kembarku, ia akan menganggapku sebagai Sumina jika
kami saling bertemu di tempat lain."
"Apakah dari jenis perhiasan juga ditiru oleh
adikmu?"
"Benar. Corak dan warna perhiasan maupun pakaian
selalu diusahakan sepersis diriku. Dengan begitu, aku
tak bisa membaur dalam kehidupan di antara sesama,
karena ke mana pun aku berada selalu dimusuhi oleh
mereka, dianggap Sumina."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam
renungannya. Hatinya masih diliputi keraguan atas
pengakuan itu. Namun ia justru penasaran dan ingin
mendapat keterangan lebih banyak lagi dari Rara
Santika.
"Aku menyangkamu sebagai Gundik Sakti karena
kulihat gelangmu sama persis dengan gelang orang yang
ada dalam tandu hitam itu."
Rara Santika diam sebentar, kemudian melepas
gelang berentet batuan merah delima. Gelang itu segera
diletakkan di telapak tangan Suto dan tangan itu
dipaksakan untuk menggenggam.
"Bawalah gelang ini, lalu bedakan antara aku dengan
Rara Sumina. Sekarang aku sudah tidak kenakan gelang
lagi, Sumina pasti masih kenakan gelang."
Pendekar Mabuk pandangi gelang itu sesaat,
kemudian segera berkata kepada Rara Santika, "Apakah
kau setuju jika aku melawan adik kembarmu?"
"Tidak," jawab Rara Santika dengan tegas-tegas.
"Kau tak boleh melawannya."
"Kenapa? Apa alasanmu melarangku begitu?"
"Sumina berilmu tinggi, karena ia mendapat kekuatan
dari iblis yang bernama Darahkula. Ia mempunyai ilmu
'Jarum Kemukus', yang bisa membuatnya lolos dari
kurungan serapat apa pun, asal ada lubang sebesar
jarum, ia bisa pindah ke tempat yang jauh, selama
tempat itu masih bisa dipandang oleh matanya."
"Hmmm... hampir sama dengan jurus yang dimiliki
Datuk Maragam yang bernama ilmu 'Kelana Indera',
sejauh mata memandang, sejauh itu pula ia bisa
pindahkan raganya," gumam Suto dalam hati saat
teringat tokoh tua bernama Datuk Maragam, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Peri Sendang
Keramat").
Rara Santika berkata lagi, "Selain itu, jurus andalan
yang paling berbahaya dan sukar ditandingi adalah jurus
'Bayangan Iblis', dapat membunuh lawan dari jarak jauh
dengan hanya membayangkan benda lain sebagai sosok
diri si lawan. Kemarin aku sempat melihat Dampak
Yogan dibunuhnya dengan jurus 'Bayangan Iblis',
setelah itu aku tak sadar lagi karena tubuhku merasa
disambar seseorang dan dilemparkan ke seberang
sungai."
"Pantas ia dapat lolos dari dalam tandu," gumam Suto
Sinting.
"Itulah sebabnya aku tidak setuju jika kau melawan
Gundik Sakti. Ilmu yang diwariskan oleh mendiang Ibu
kepada Rara Sumina bukan ilmu yang bisa dianggap
ringan oleh para tokoh rimba persilatan. Satu-satunya
lawan tandingnya adalah aku sendiri. Sebelum ayahku
meninggal, beliau sempat memberiku tugas untuk
melumpuhkan adik kembarku, jika bisa dilumpuhkan
tanpa harus membunuhnya, tapi jika terpaksa apa boleh
buat, semasa kematiannya itu demi keselamatan orang
banyak. Tetapi mendiang Ayah pun berpesan, jika aku
harus membunuh adikku, Gua Tumbal Perawan harus
dihancurkan pula, dan kekuatan si Darahkula harus
dimusnahkan. Itu berarti aku harus sudah siap mati
melawan orang-orang Bukit Sangkur yang berada dalam
pengaruh kekuatan si iblis Darahkula."
Pendekar Mabuk diam membisu dalam lamunan.
Namun hatinya masih saja resah dililit keragu-raguan.
Hati pun membatin berbagai pertanyaan yang
mengganggu ketenangan jiwa murid sinting Gila Tuak
itu.
"Benarkah yang kudengar ini sebuah pengakuan dai
jiwa yang jujur? Jangan-jangan hanya sebuah permainan
untuk mengelabuiku? Haruskah aku percaya?!"
*
* *
6
BERULANG kali Rara Santika menyarankan agar
Suto Sinting tidak coba-coba menantang pertarungan
dengan Gundik Sakti. Tetapi saran itu justru memacu
semangat Suto untuk segera menemui Gundik Sakti dan
lakukan pertarungan. Repotnya, kepercayaan Suto
Sinting kepada Rara Santika menjadi semakin tipis
setiap kali Rara Santika memberi saran untuk tidak
melawan Gundik Sakti.
"Dulu aku pernah terkecoh oleh saran baik seperti itu.
Ternyata justru orang yang memberiku saran itulah
musuh yang harus kuhadapi," pikir Suto Sinting sambil
mengenang masa pertemuannya dengan Pipit Serindu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kutukan
Pelacur Tua"). Rupanya pengalaman itu yang membuat
Pendekar Mabuk bertambah penasaran dan semakin
menaruh curiga kepada Rara Santika.
"Satu hal perlu kau ketahui, bahaya yang akan
mengancammu dan sulit kau hindari jika berhadapan
dengan saudara kembarku itu adalah kekuatan ilmu
peletnya," kata Rara Santika ketika mereka melangkah
tinggalkan kedai. "Sumina mempunyai ilmu pemikat
sangat kuat. Jika ia berkeliaran, bukan hanya seorang
perawan yang dicarinya untuk tumbal Darahkula, tetapi
ia juga mencari seorang lelaki muda dan tampan untuk
dijadikan pemuas gairahnya. Dan apabila lelaki itu sudah
tidak mampu lagi memuaskan hasratnya, orang itu akan
dibunuh atau dijadikan budak penggali terowongan
bawah tanah."
"Aku masih bisa atasi hal itu."
"Tidak. Aku tidak ingin kau coba-coba mengatasi,
kalau kau gagal tak dapat kubayangkan betapa sedihnya
rimba persilatan kehilangan seorang pendekar sepertimu.
Barangkali saat itu pula murkaku timbul dan aku akan
mengamuk membabi buta di dalam Gua Tumbal
Perawan."
"Mengapa begitu?"
"Tak perlu kau tahu jawabnya, yang jelas, jika kau
ingin lakukan pertarungan dengan adik kembarku,
lakukanlah setelah kau lihat bangkai mayatku
dicampakkan oleh Sumina!"
"Itu berarti aku harus melawanmu dulu jika harus
melawan Gundik Sakti?"
"Aku tidak mengatakan begitu, Suto. Kalau aku
sudah tiada, aku tak akan melihat dirimu diperbudak
oleh nafsu adik kembarku. Hanya itu maksudku berkata
seperti tadi," Rara Santika bicara dengan lembut dan
lirih, seakan penuh resapan di dalam hatinya.
"Jadi...," sambung Rara Santika, "... sebaiknya kita
berpisah di sini saja dan jangan mengikutiku, karena aku
akan mencari adikku dengan arah menuju Bukit
Sangkur. Pergilah ke tempat lain, Suto. Jangan teruskan
niatmu mendampingiku. Aku tak ingin kau jatuh dalam
pelukan Gundik Sakti itu!"
Kata-kata yang terakhir mempunyai makna lebih
dalam dari sekian kata-kata yang telah terucap. Pendekar
Mabuk menangkap adanya rasa cemas yang berlebihan
dalam hati Rara Santika. Rasa cemas itu timbul karena
tunas-tunas kecemburuan mulai menghiasi tepian hati
Rara Santika.
"Ah, kurasa itu hanya sebuah permainan rasa yang
sangat kuat saja," batin Suto membantah kata hatinya
sendiri. "Dia pandai berpura-pura, sehingga mampu
menutupi kenyataan dirinya. Aku tak boleh hanyut
dalam permainannya."
Rasa cemas perempuan yang takut kehilangan
seorang lelaki semakin ditampakkan oleh Rara Santika
melalui ucapannya yang diiringi tatapan mata dari balik
tudung pandan itu.
"Jika kau mau jatuh dalam pelukan perempuan,
jatuhlah ke dalam pelukan perempuan lain. Jangan
dalam pelukan adik kembarku. Itu akan lebih
menyakitkan bagiku."
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum kecil,
seakan meremehkan pernyataan hati Rara Santika.
Dalam benaknya segera timbul niat untuk memancing
perasaan Rara Santika dengan menceritakan kejadian
aneh saat Suto bangun tidur tadi pagi.
Wajah Rara Santika tersentak kaget dan menegang
ketika mendengar cerita Suto telanjang saat bangun
tidur. Wajah itu menjadi semburat merah setelah Suto
mengatakan,
"Aroma yang menempel di badanku adalah
wewangian yang ada pada tubuhmu."
"Oooh...?! Benarkah begitu?!"
Tangan Suto Sinting segera disambarnya. Tangan itu
dicium oleh Rara Santika dari telapak tangan sampai ke
pangkal lengan. Perempuan itu menjadi tambah tegang.
Hidungnya mengendus-endus di sekitar dada Suto
Sinting, lalu merayap ke leher dan mengelilingi tubuh
Suto. Perbuatan itu tak bisa dihentikan oleh Suto Sinting
sebab ia membutuhkan bukti kebenaran dari ceritanya
itu. Mau tak mau ia rela diciumi Rara Santika. Untung
hal itu dilakukan di tempat sepi yang terlindung dari
tanaman rambat cukup rimbun, sehingga Suto tak begitu
khawatir akan ada yangmelihat perlakuan mereka.
"Celaka!" geram Rara Santika setelah selesai
menciumi bagian tengkuk Suto Sinting.
"Pahaku pun berbau harum seperti wewangian pada
tubuhmu, Santika!"
Perempuan itu segera menciumi paha Suto untuk
membuktikan kebenarannya. Hidungnya mengendus-
endus dengan sedikit menempel pada paha Suto, bahkan
ciuman itu sampai ke betis, lalu naik lagi ke paha dan
naik lagi... ke perut. Baju Suto disentakkan hingga
terlepas dari ikat pinggangnya. Hidung perempuan itu
menempel di perut Suto, lalu menjalar naik ke ulu hati,
terus naik ke dada, ke leher, ke dagu, dan akhirnya mulut
perempuan itutiba di depan mulut Suto Sinting.
"Edan orang ini!" gerutu Suto dalam hati. "Mau apa
bibirnya bertolak pinggang di depan bibirku?! Uuuh...!
Kukecup baru tahu rasa kau!"
Debar-debar hati akibat ciuman Rara Santika tadi
membuat Pendekar Mabuk akhirnya nekat mengecup
bibir perempuan tersebut. Namun baru saja kepalanya
maju ke depan, kepala Rara Santika sudah lebih dulu
mundur buang muka sambil mendengus penuh
kecemasan.
"Tak salah lagi!" katanya dengan nada menggeram.
Suto Sinting yang kecele menjadi malu-malu
dongkol, lalu berkata menimpali ucapan itu, "Ya,
memang tak salah lagi, akhirnya yang kudapatkan hanya
angin. Hmmm... rasanya lebih nikmat mengecup angin
daripada mengecup bibir seranum delima."
Sindiran itu tak dihiraukan oleh Rara Santika. Dalam
benak perempuan cantik itu sudah dipenuhi oleh
kecamuk yang menegangkan, sehingga ia bagaikan
kehilangan selera bercinta, bagaikan tak memiliki hasrat
untuk bermesraan, ia pandangi Suto Sinting dengan sorot
pandangan mata cukup tajam. Suto Sinting jadi salah
tingkah sendiri, akhirnya membuka tutup bumbung
tuaknya dan meneguk tuak beberapa kali.
"Berarti semalam ia telah datang ke tempat kita, Suto.
Semalam ia telah... telah merenggut kehangatanmu
ketika kautidur dengan nyenyak."
"Dia atau kau?" pancing Suto dengan kalem.
"Dia!" sentak Rara Santika dengan jengkel, karena ia
malu jika dituduh merenggut kehangatan Suto pada saat
si tampan tertidur. "Akutidak pernah lakukan hal seperti
itu. Jangan rendahkan diriku, Suto!"
"Mengapa aroma wangimu masih tertinggal di kulit
tubuhku?"
"Sumina juga mempunyai keringat beraroma wangi
seperti yang kumiliki. Ketika kami masih berusia
delapan hari, kami dimandikan oleh Ayah di Telaga
Seribu Bunga, sebelum telaga itu kering akibat
kebakaran hutan. Barang siapa semasa bayinya
dimandikan dengan air Telaga Seribu Bunga, maka bau
keringatnya akan selalu menyebarkan aroma wangi.
Zaman dulu, Telaga Seribu Bunga dijadikan pemandian
para ratu, permaisuri, atau para selir raja. Telaga itu
dalam kekuasaan ibuku, karena Ibu semasa mudanya
adalah dayang perawat pemandian Taman Keputren.
Telaga itu terletak di dalam reruntuhan Taman
Keputren."
Pendekar Mabuk membisu seribu kata, tangan kirinya
bersandar pada batang pohon. Pandangan matanya
menatap lurus ke tanah di depannya. Tatapan mata itu
jelas sebuah terawang bayangan mengenang adegan
semalam. Jika benar semalam ia telah direnggut
kehangatannya oleh Gundik Sakti, maka berarti
'kesucian' Suto telah hilang dan tidak layak mengaku
sebagai 'perjaka ting-ting'. Lalu, bagaimana dengan
kesucian cintanya terhadap Dyah Sariningrum? Apakah
juga ikut ternoda sementara hal itu terjadi di luar batas
kesadaran Suto?
Rara Santika memecahkan kebisuan di antara mereka,
"Kalau aku yang melakukannya, jelas tak mungkin
dalam keadaan kau sedang tertidur. Aku bukan
perempuan bodoh. Aku pernah menikah selama dua
tahun, lalu suamiku serong dengan perempuan lain dan
aku jijik melayaninya, kami pun bercerai dan hidup
sendiri-sendiri. Aku bisa merasakan mana yang terbaik
dalam menikmati kemesraan bersama seorang lelaki.
Untuk apa aku merenggut kehangatanmu dalam keadaan
tidur, sama halnya aku mencari pemuas dahaga dengan
sebatang gedebog pisang. Tak ada keindahan di
dalamnya."
Sekalipun telah mendengar pernyataan seperti itu,
tetapi hati kecil Suto Sinting masih diliputi keraguan;
benarkah bukan Rara Santika yang merenggut
kehangatannya? Satu hal lagi yang masih meragukan
Suto ialah kebenaran atas tindakan itu. Benarkah
seseorangtelah merenggut kehangatannya?
"Apakah kau tak terasa sedang digeluti seseorang?
Mengapa kautak terjaga dari tidurmu?"
"Itu yang kupikirkan," kata Suto Sinting. "Aku sama
sekali tidak merasa apa-apa. Biasanya aku mudah terjaga
dalam tidur walau hanya mendengar rumput kering
terinjak kaki manusia. Tapi semalam rasa-rasanya aku
seperti mati."
"Sumina telah menggunakan ilmu sirep yang bisa
membuat kita tertidur nyenyak bagaikan mati. Sekalipun
begitu, apa benar kau tidak merasakan gerakan apa pun
saat ia menggelutimu?"
"Tidak kurasakan apa-apa! Aku tidak merasa dicium,
tidak merasa dipeluk, bahkan tidak merasa
mengeluarkan... mengeluarkan anggota badan. Tidak
sama sekali, Santika!"
"Aneh. Sebegitu kuat daya sirepnya?!" gumam Rara
Santika sambil matanya memandang hampa ke arah
pucuk-pucuk rerumputan di kaki Suto Sinting.
Jaraknya dengan Suto hanya tiga langkah. Hal itu
memungkinkan sekali bagi Pendekar Mabuk untuk
meraih tubuh Rara Santika ke dalam pelukannya.
Dengan sekali gerak, tubuh sekal berdada montok itu
telah berada dalam pelukan Suto Sinting.
Tentu saja hal itu mengejutkan bagi Rara Santika,
hingga secara tak sadar tangannya bergerak meronta dan
hatinya pun dibakar kemarahan.
"Apa-apaan kau ini?!" sentak Rara Santika.
Suto menyodorkan tangannya, Rara Santika
terperanjat melihat sekeping logam berbentuk bintang
segi enam terselip di sela jemari Suto. Logam bintang itu
tak lain adalah senjata rahasia seseorang yang melesat
dari balik pepohonan seberang. Senjata rahasia beracun
itu ditujukan ke punggung Rara Santika, berarti di
sekitar situ ada orang yang menghendaki kematian Rara
Santika.
Perempuan berjubah merah jambu itu segera menjadi
tegang dan memasang kewaspadaan tinggi. Matanya
memandang alam sekitarnya dengan nanar, penuh
tekanan amarah yangterpendam di dada.
"Ada yang bersembunyi di balik batu tinggi di bawah
pohon itu," bisiknya kepada Suto Sinting.
"Biar kuperiksa ke sana!" balas Suto, lalu segera
melesat dengan kecepatan tinggi mirip orang
menghilang ditelan bumi. Zlaaap...!
"Siapa pun orangnya, tak mungkin kuserang demi
membela Rara Santika. Sebab aku masih kurang yakin
dengan pengakuannya. Jika aku berada di pihaknya,
bisa-bisa sikapku itu menimbulkan rasa sesal sendiri
seandainya ternyata ia adalah Gundik Sakti. Kurasa
orang yang berusaha membunuhnya pasti punya dendam
kepada Gundik Sakti. Akan kudesak dulu orang itu
untuk menjelaskan hal-hal yang belum kuketahui tentang
Gundik Sakti agar dapat kupakai menilai kebenaran
pengakuan Rara Santika tadi."
Kecamuk batin itu akhirnya berhenti karena
pandangan mata Suto tak berhasil temukan penyerang
gelap. Kejap berikutnya ia mendengar suara Rara
Santika terpekik tertahan dan sangat samar-samar.
"Aaahg...!"
Pekikan pendek itu mengundang perhatian Suto
Sinting dan rasa penasaran yang menggoda hati. Maka
dengan cepat ia berkelebat kembali ke tempat asal.
Ternyata Rara Santika masih berada di tempat itu.
Perempuan tersebut sedang mengusap-usap leher kirinya
dengan wajah sedikit menyeringai.
"Tak ada orang yang kutemukan di sana," ujar Suto
sambil mendekat. "Kenapa kauterpekik, Santika?"
"Orang itu menyerangku lagi," ucapnya dengan suara
agak parau.
"Ada apa dengan lehermu?" Suto Sinting curiga,
kemudian menarik tangan Rara Santika yang sedang
mengusap-usap leher. Dahi Suto Sinting segera berkerut
melihat noda hitam membekas jelas di leher kiri Rara
Santika.
"Kau... oh, lehermuterluka, Santika!"
"Membekas merah?"
"Membekas hitam, bagaikan hangus terbakar!"
"Oh, celaka...!" ia tampak tegang. "Besarkah noda
hitam ini?"
"Sebesar kacangtanah."
"Keparat orang itu! Ia menyerangku dengan sesuatu
yang tak sempat kulihat. Mungkin seberkas sinar,
mungkin pula sebuah benda kecil. Tapi... rasanya
napaskumakin lama semakin sesak."
"Bahaya sekali ini, Santika!" gumam Suto Sinting
bernada cemas. "Minumlah tuakku biar noda hitam itu
hiiang."
"Tidak, tidak... aku tidak terbiasa minum tuak. Bisa
muntah seisi perutku jika dipaksakan meminum tuak."
"Tapi...," Suto Sinting terbungkam seketika. Noda
hitam yang dipandanginya itu bergerak bagaikan pindah
tempat. Dari keadaan di dekat telinga menjadi turun ke
bawah mendekati pundak.
"Tunggu dulu, jangan bergerak...!" sergah Suto
Sinting sambil tangannya sedikit memiringkan kepala
Rara Santika. Noda hitam itu dipandanginya tanpa kedip
beberapa saat lamanya.
"Oh, dia bergeser lagi ke belakang?!" gumam hati
Suto Sinting penuh keheranan yang menegangkan.
Biasanya, luka bakar tak akan bisa bergerak ke sana-
sini. Tapi luka bakar yang satu ini mampu bergeser
mendekati tengkuk bagaikan binatang aneh yang
merayap. Suto Sintingteringat sesuatu dalam benaknya.
"Setahuku, luka seperti ini hanya terjadi akibat jurus
'Racun Simalakama'. Racun itu akan menyumbat saluran
pernapasan dan jalan darah secara perlahan-lahan sampai
akhirnya si korban menemui ajal. Tetapi jika noda
hitamnya dihilangkan dengan cara diberi ramuan obat
apa pun, justru akan mempercepat kematian
penderitanya. Hilangnya noda hitam sama saja hilangnya
nyawa penderitanya."
Rara Santika menegur Suto karena terlalu lama
mereka saling membisu.
"Apa yang kau lihat? Kemulusan leherku atau noda
itu?"
Pendekar Mabuk hembuskan napas, melepaskan
tangannya hingga kepala Rara Santika tegak kembali.
Wajah perempuan itu tampak sedikit berbeda, agak
pucat dari sebelum terjadi serangan tadi.
"Kau terkena jurus 'Racun Simalakama', Santika."
Nada bicara Suto terdengar lemah pertanda ia
semakin dicekam kegelisahan dan kesedihan, ia segera
menjelaskan tentang akibat dari jurus 'Racun
Simalakama' yang tak ada obat penawarnya itu. Tapi
penjelasan tersebut tidak membuat wajah Rara Santika
berubah menjadi cemas.
"Jika benar aku akan mati, berarti sudah selayaknya
aku menikmati keindahan hidup di dunia sepuas-
puasnya, Suto. Keindahan itu hanya bisa kunikmati jika
bersamamu."
"Mengapa kau tak merasa cemas? Mengapa justru
tersenyum tenang?"
"Karena aku merasa mampu menawarkan segala jenis
racun di seluruh dunia. Kau tak perlu khawatirkan
diriku, Suto Sinting. Aku hanya merasa sedikit sesak
napas dan kurang enak badan. Antarkan aku kembali ke
reruntuhan biara itu, Suto. Aku akan sembuhkan diri di
sana."
Pendekar Mabuk dililit kebingungan dan
kebimbangan, ia tahu persis bahwa jurus 'Racun
Simalakama' hanya dimiliki oleh satu orang. Di seluruh
dunia tak ada orang yang memiliki jurus 'Racun
Simalakam' kecuali penguasa negeri Puri Gerbang
Surgawi di Pulau Serindu yang bergelar Gusti Mahkota
Sejati dan bernama asli Dyah Sariningrum.
Itulah sebabnya Suto Sinting sempat gemetar dan
berdebar-debar hatinya. Karena jika benar noda hitam itu
akibat 'Racun Simalakama', berarti Dyah Sariningrum
ada di sekitar tempatnya berada. Sedangkan Dyah
Sariningrum adalah calon istrinya yang sudah digariskan
sesuai kodrat kehidupan sang Pendekar Mabuk, (Baca
serial Pendekar Mabuk daiam episode : "Pusaka Tuak
Setan").
Jika bukan urusan yang sangat pribadi dan teramat
penting, tak mungkin seorang ratu keluar dari istananya,
bahkan keluar dari pulau tempatnya bertakhta seperti
saat itu. Pendekar Mabuk diguncang perasaan antara
percaya dan tidak.
"Mudah-mudahan noda hitam itu bukan akibat Jurus
'Racun Simalakama'. Tapi... menurut cerita Dewa Racun,
pengawal setia calon istriku itu, jurus 'Racun
Simalakama' mempunyai ciri yang tidak dimiliki racun
lain, yaitu meninggalkan noda hitam dan noda itu bisa
bergerak di permukaan kulit manusia," ujar Suto dalam
hati sambil membayangkan percakapannya dengan
Dewa Racun yang terjadi saat ia berkunjung ke Pulau
Serindu beberapa waktu yang lalu. Dewa Racun-lah
yang mengatakan bahwa di dunia ini tak ada orang yang
memiliki jurus 'Racun Simalakama' selain Dyah
Sariningrum; Ratu negeri Puri Gerbang Surgawi di alam
nyata. Gusti Ratu Kartika Wangi, ibu Dyah Sariningrum
yang berkuasa di negeri Puri Gerbang Surgawi di alam
gaib itu pun tidak memiliki jurus 'Racun Simalakama',
padahal ia tokoh terpandang yang paling ditakuti para
tokoh tua di rimba persilatan.
"Ciri-ciri orang yang terkena 'Racun Simalakama'
pada awalnya ialah diserang rasa ketakutan yang sangat
besar, sehingga ia bisa menjadi orang yang paling
pengecut di dunia ini. Melihat benda apa pun tampak
menyeramkan dan menakutkan baginya. Namun hal itu
terjadi selama beberapa saat saja. Setelah itu, keberanian
orangtersebut akan tumbuh kembali dan menjadi seperti
semula. Pada saat keberanian itu timbul, 'Racun
Simalakama' telah menguasai seluruh jaringan darah dan
pernapasan. Makin lama akan semakin mempersempit
jaringan itu, sampai akhirnya menewaskan orang
tersebut, itulah cara membunuh yang tidak sekejam
membantai menggunakan pedang."
Begitu kata-kata Dewa Racun yang sempat terngiang
di telinga Suto Sinting. Untuk meyakinkan kebenaran
tentang racun yang mengenal leher Rara Santika, Suto
pun segera ajukan pertanyaan ketika Rara Santika mulai
meraih lengannya dan minta diantar kembali ke
reruntuhan biara.
"Perasaan apa yang kau alami ketika serangan itu
mengenaimu?"
"Hmmm... perasaan takut. Takut sekali. Melihat batu
saja takut. Tapi, ah... sudahlah. Perasaan itu sekarang
sudah tak ada lagi padaku. Mengapa harus kau
hiraukan?"
"Karena rasa takut yang timbul itulah ciri khusus
pada penderita 'Racun Simalakama'. Kau akan mati,
Santika!"
"Tidak mungkin. Kau akan lihat sendiri hasilnya
setelah kulakukan semadi di ruang bawah reruntuhan
biara itu! Antarkan aku ke sana. Temanilah aku, Suto,"
Rara Santika bernada manja dengan suaranya yang
masih sedikit parau. Suto menganggap perubahan suara
parau itu akibat dari terkena racun tersebut.
"Hei, mengapa tak kau cari penyerangmu itu?!
Sebaiknya biarkan akumencarinya di sekitar sini!"
"Tak perlu. Kulihat ia telah lari terbirit-birit sebelum
kau datang tadi. Aku sempat lepaskan pukulan
berbahaya yang dapat membuat raganya menjadi lumer.
Rupanya ia kenali jurus itu, dan ia pun lari sebelum jurus
keduaku mengenainya."
"Lelaki atau perempuan penyerangmu itu?"
"Hmmm... mungkin seorang perempuan, sebab
kulihat gerakan rambutnya meriap saat melesat pergi
dari persembunyiannya," jawab Rara Santika sambil
semakin bergelayut di pundak Suto. "Sudahlah, jangan
banyak bicara soal penyerang gelap itu. Lekas kita
tinggalkan tempat ini, aku butuh tempat khusus untuk
lakukan semadi penyembuhan!"
Pendekar Mabuk menjadi seperti orang bodoh.
Kecamuk hati yang meresahkan membuatnya menuruti
langkah Rara Santika dan membiarkan lengannya
dipeluk erat oleh perempuan itu. Pertanyaan terbesar
dalam benak Suto kala itu adalah, "Benarkah Dyah
Sariningrum, kekasihku, ada di sekitar sini?!"
*
* *
7
DUA orang berpakaian serba hitam tiba-tiba muncul
dari tikungan kaki bukit cadas. Kedua orang itu langsung
berlutut satu kaki, meletakkan kepalan tangan kanannya
ke tanah sedangkan tangan kirinya memegangi
pinggang, keduanya sama-sama tundukkan kepala bagai
memberi hormat. Kemunculan dua lelaki itulah yang
membuat langkah Suto dan si perempuan cantik itu
terhenti.
Dahi Suto Sinting berkerut ketika salah satu dari
kedua orang berpakaian hitam itu berkata dengan suara
lantang dan tegas namun penuh hormat.
"Ketua, kami telah dapatkan seorang calon, sekarang
sedang dibawa ke Bukit Sangkur. Kami harap Ketua
segera kembali untuk penyucian sang calon sebelum
purnama tiba."
Mata tajam Suto melirik Rara Santika. Yang dilirik
menjadi gusar sesaat, lalu membentak kedua orang itu
dengan maju selangkah.
"Siapa yang kalian panggil 'ketua' di sini?! Jangan
bicara sembarangan di depan kami kalau nyawa kalian
tak ingin melayang!"
"Maaf, Ketua... kami hanya memberitahukan tentang
calon yang sudah kami dapatkan."
"Calon apa?!" bentak Rara Santika dengan lebih keras
lagi. Ia tampak berang sekali, terlebih setelah tahu
diperhatikan oleh Suto Sinting. Dengan rasa tak enak
hati, ia dekati Suto Sinting dan berkata pelan dalam
bisik.
"Mereka pasti orang Bukit Sangkur. Mereka sangka
aku si Gundik Sakti, ketua mereka!"
"Kalau kenyataannya memang demikian, mereka tak
salah memanggilmu sebagai ketua," kata Suto
memancing sikap perempuan itu.
"Aku tidak mengenal kedua orang itu!" geramnya
dengan cemberut. Kemudian ia segera berbalik arah dan
temui kedua orang yang masih berlutut satu kaki itu.
"Perglah kalian, aku bukan Gundik Sakti!"
Kedua orang itu sama-sama mendongak dan
memandang dengan mulut terbengong. Mereka berdiri
secara pelan-pelan dan mata mereka tak berkedip
pandangi Rara Santika. Salah seorang berkata dengan
suara pelan.
"Tak mungkin. Kami kenal betul Ketua kami."
Yang satunya menyahut, "Suara Ketua tak bisa kami
lupakan."
"Dasar bodoh!" bentak Rara Santika. "Ini upah
kebodohan kalian!" Slaaaap...!
Dua tangan maju ke depan. Lengan dan jarinya lurus
dan mengeras. Dari ujung-ujung jari itu keluar dua sinar
hijau muda berbentuk seperti mata tombak. Sinar hijau
itu mempunyai ekor bersinar merah yang mirip tali kecil.
Kedua sinar hijau itu menghantam dada kedua orang
berpakaian serba hitam itu. Jlab, jlaab...!
"Aaaaahg...!" Keduanya sama-sama terpekik
serempak, tubuh mereka terpental melayang ke
belakang, kemudian jatuh berdebum ke bumi. Tubuh
kedua orang itu pun mengepulkan asap. Makin lama
semakin tebal. Pemandangan itu diperhatikan oleh
Pendekar Mabuk tanpa berkedip. Sampai asap tebal itu
menjadi tipis kembali, lalu hilang musnah tertiup angin.
Kini yang tinggal adalah kerangka berbaju, tanpa sekerat
daging pun. Senjata mereka masih terselip di pinggang
masing-masing.
"Jurus edan!" geram Suto Sinting dalam hatinya.
Perempuan berdada sekal itu kembali temui Suto Sinting
dengan senyum kecil.
"Hukuman itu layak mereka terima sebagai imbalan
atas penghinaan mereka yang menganggapku sebagai
Gundik Sakti!"
Dengan suara ragu Suto berucap kata, "Seharusnya
tidak sekejam itu, Santika. Kau perlakukan mereka
dengan tidak manusiawi sekali. Mereka masih bisa
diberi penjelasan sampai akhirnya percaya bahwa kau
bukan Gundik Sakti, melainkan saudara kembarnya."
"Ah, itu terlalu lama dan bertele-tele. Mereka bisa
membuat kita kehabisan waktu!"
Perempuan itu maju selangkah lagi hingga jaraknya
tinggal satu langkah dari depan Suto. Bibirnya yang
menggemaskan sunggingkan senyum menggoda,
matanya mengerling sambil berucap kata,
"Jangan buang-buang waktu. Setelah kulakukan
pengobatan untuk menawarkan racun di tubuhku, kita
akan punya banyak waktu untuk merajut keindahan di
ruang bawah reruntuhan biara itu, Suto."
Kling...! Mata kiri perempuan itu berkerling lagi.
Jantung Suto Sinting bagaikan dibetot. Kaget namun
segera merasakan keindahan mengalir di setiap aliran
darahnya. Rasa indah itu telah menimbulkan perasaan
kagum dan bahagia yang menguasai jiwa. Senyum si
murid sinting Gila Tuak itu pun segera mengembang
mempesona hati lawan jenisnya.
"Kita harus cepat sampai ke tempat kita semalam,
lalu kita lewatkan saat-saat indah di sana."
Suto menjawab dengan debaran hati penuh rasa suka
cita tiada terkira. Bahkan tangannya berani mencubit
dagu perempuan cantik itu tanpa canggung lagi.
"Akan kuberikan yang terindah untukmu. Tapi
berikan pula yang paling indah untukku."
"Aku tak bisa menolak tantanganmu, Suto. Hi, hi,
hi...." Rara Santika tampak kegirangan. Mereka segera
berlari menuju tepian sungai. Mereka menyusuri tepian
sungai dengan saling bergandengan tangan. Bahkan
sesekali mereka berhenti untuk saling beradu pandangan
mata dan berkata dalam bisik, seakan suara hati mereka
saling bertukar rasa.
"Aku sudah tak sabar lagi, Suto."
Pendekar Mabuk berseri-seri, tangan perempuan
cantik itu diangkat dan diciumnya dengan lembut.
Si perempuan sempat mendesah,
"Oh, ya... hangat sekali ciumanmu."
"Akan kuberikan yang terhangat untukmu, tapi
berikan pula yang palinghangat untukku, Santika!"
"Kehangatanku akan mengalir terus untukmu, Suto.
Hanya untukmu, Sayang. Oooh...," perempuan itu
menjatuhkan diri dalam pelukan Suto Sinting, ia
sodorkan wajahnya agar diciumi oleh si tampan
bertubuh kekar dan berdada bidang itu.
Namun tiba-tiba Suto Sinting segera memeluk tubuh
Rara Santika kuat-kuat dan membawanya melesat ke
udara. Wuuuuss...! Tubuh mereka saling berpelukan di
atas, karena mata tajam Suto sempat menangkap
seberkas sinar sebesar telur puyuh meluncur dengan
kecepatan tinggi, lalu menghantam sebongkah batu di
kaki tanggul sungai.
Blaaar...!
Batu itu hancur menjadi serpihan kecil, lebih kecil
dari batuan kerikil. Serpihan itu menyebar ke angkasa
dan membuat tempat di sekitar situ bagaikan mengalami
hujan batu. Seandainya Suto Sinting tidak membawa
tubuh Rara Santika melesat ke udara, tentunya kedua
tubuh mereka akan mengalami nasib seperti batu sebesar
kerbau itu.
"Siapa orang yang menyerang kita, Suto?!" mata
perempuan cantik itu menjadi lebar dan berkesan liar.
"Dia ada di seberang sungai!" kata Suto Sinting
dengan mata mengecil untuk memperjelas
penglihatannya.
Sebongkah batu tinggi dipakai bersembunyi
seseorang. Kainnya kelihatan sedikit dari tempat mereka
berdiri. Rara Santika segera lepaskan pukulan jarak
jauhnya sambil berseru,
"Keluar kau dari situ, Keparat! Hiaah...!"
Slaaaap...!
Ia bagaikan melemparkan pisau ke arah seberang
sungai, namun yang keluar dari tangannya adalah
seberkas sinar merah berbentuk menyerupai bintang.
Sinar itu segera menghantam batu besar dengan telak
sekali.
Blegaaar...!
Batu itu hancur lebur menjadi debu dalam sekejap.
Orang yang ada di balik batu itu melenting ke atas dan
bersalto beberapa kali, lalu hinggap di atas sebuah batu
datar yang ada di tengah sungai dangkal itu. Jleeeg...!
Suto Sintingterkesiap pandangi sosok yang berdiri di
atas batu. Ia melirik Rara Santika sejenak, ternyata
perempuan itu menatap dengan mata menyipit.
Pandangan matanya memancarkan permusuhan yang
dalam. Sementara Itu Suto Sinting menahan debar-debar
ketegangan dalam hatinya, mencari cara terbaik untuk
mengambil sikap dalam keadaan seperti itu.
"Gundik Sakti!" seru orang tersebut, "Tak ada waktu
lagi kau untuk sembunyi maupun lari! Sudah saatnya
kau mati menebus dosa-dosamu, Gundik Sakti!"
"Kau salah pandang, Raja Maut. Aku bukan Gundik
Sakti! Bukalah matamu lebar-lebar supaya nyawamu
tidak mati sia-sia!" seru Rara Santika dengan lantang.
Sementara itu Suto Sintinghanya berkata dalam hatinya,
"Sepertinya aku pernah kenal orang itu. Hmmm...
Raja Maut?! Di mana aku pernah kenal dia? Kapan aku
pernah bertemu? Hmmm... kalau tak salah dia adalah
tokoh tua yang tinggal di Bukit.... Bukit... aduh. Bukit
apa namanya? Kenapa aku bisa lupa begini?"
Suto Sinting mencoba mengingat-ingat tokoh tua
yang jenggot dan-rambutnya berwarna abu-abu, berusia
sekitar tujuh puluh tahun kurang sedikit, mengenakan
jubah putih kusam dan berbadan kurus dengan mata
cekungnya tampak tajam jika memandang seseorang.
Tokoh tua itu sebenarnya sangat akrab dengan Pendekar
Mabuk, karena ia adalah sahabat dari si Gila Tuak, guru
sang Pendekar Mabuk. Tetapi saat itu ingatan Suto bagai
dikebiri, sehingga tak mampu mengingat dengan baik
tentang tokoh bertongkat hitam yang meliuk-liuk seperti
ular itu. Ia bahkan tak mampu mengingat nama Bukit
Semberani sebagai tempat kediaman si Raja Maut itu.
Suara tua si Raja Maut masih terdengar cukup
lantang, wajahnya kelihatan memancarkan kemarahan
cukup besar, ia berseru kembali kepada Rara Santika,
"Gundik Sakti, mata tuaku ini tak bisa ditipu oleh
kelicikanmu! Aku masih cukup jelas mengenalimu
sebagai orang yang membawa lari muridku; Sri Murti,
dan menjadikannya sebagai tumbal tiga purnama yang
lalu! Sekarang aku menuntut balas atas kematian
muridku itu, juga atas kematian paratumbal lainnya!"
"Jika kau masih bersikeras untuk mengadu kesaktian
denganku, aku pun akan melayanimu dengan senang
hati, Monyet Tua!" seru perempuan itu dengan keras dan
berkesan kasar, ia segera dekati Suto Sinting yang
sedang bingung dalam mengambil sikap dan berbisik
lirih,
"Menjauhlah sedikit, biar kubereskan dulu si monyet
tua ini! Jangan ikut campur, karena dia berilmu lumayan
tinggi."
"Mengapa... mengapa ia bersikeras menganggapmu
sebagai Gundik Sakti, Santika?"
"Itulah kebodohannya. Kebodohan itu harus dibantai
agar tidak menular kepada kita dan orang lain."
Tiba-tiba Raja Maut berseru kepada Pendekar
Mabuk, "Suto, apakah kau ada di pihak si perempuan
keparat itu?!"
Suto Sinting hanya bisa bungkam mulut dan pandangi
Raja Maut dengan hati gundah. Saat itu, Rara Santika
berkata dengan kesan mendesak Suto Sinting untuk
mundur,
"Jangan hiraukan kata-katanya. Lekas menjauh, aku
akan segera lenyapkan dia dalam dua jurus!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut sebentar,
kemudian melangkah menjauhi Rara Santika. Gerakan
mundurnya itu diperhatikan oleh Raja Maut dengan
keheranan tersimpan di hati. Bahkan hati sang tokoh tua
itu pun bertanya-tanya,
"Mengapa ia sepertinya tidak mengenaliku? Mengapa
ia tak mau memihakku? Apakah ia telah terkena ilmu
pelet si keparat Gundik Sakti itu?! Biasanya ia tak
bersikap demikian!"
"Raja Maut, sekarang apa maumu, hah?!" tantang
perempuan itu dengan sikap siap hadapi pertarungan.
Raja Maut menggeram, genggaman pada tongkatnya
semakin kuat.
"Binasalah kau, Manusia Terkutuk! Heeeah...!"
Raja Maut sentakkan tongkatnya ke depan dalam
keadaan kepala tongkat mengarah lurus. Dari kepala
tongkat itu keluar sinar merah terputus-putus
membentuk piringan lempengan bundar.
Clap, clap, clap, clap...!
Sinar merah menerjang tubuh Rata Santika. Namun
perempuan itu tidak mau menghindar, melainkan justru
menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan
telapak tangan terbuka. Wuuut...! Maka melesatlah sinar
kuning kemerah-merahan dari kedua telapak tangan
tersebut. Slaaap, slaap...! Salah satu sinar kuning
menghantam sinar merahnya si Raja Maut.
Blaaarrr...! Ledakan terjadi cukup keras dan sempat
mengguncang tanah di sekitar sungai tersebut.
Sementara itu, sinar kuning satunya lagi melesat lurus
mengarah ke dada si Raja Maut. Weess...!
Raja Maut cepat putar tongkatnya bagaikan baling-
baling sambil lakukan lompatan ke arah tepian sungai.
Wuuuungg...! Kecepatan putar tongkat itu hasilkan
gelombang tenaga dalam yang memancarkan sinar
merah besar. Lalu sinar merah besar itu dihantam sinar
kuning hingga timbulkan ledakan yang lebih
menggelegar dari yang pertama tadi. Jegaarrr...!
Gelombang ledakan menghentakkan tubuh Raja Maut
yang sedang melayang. Tubuh itu bagaikan dihempas
badai dan terpental jatuh tanpa keseimbangan badan.
Bruuuus...! Semak di tepi sungai menjadi sasaran
jatuhnya tubuh si Raja Maut.
Sementara itu, gelombang ledakan tersebut juga
menghentakkan tubuh Rara Santika, sehingga
perempuan itu terdorong ke belakang dengan terhuyung-
huyung dan nyaris jatuh ke sungai. Namun ia segera
sigap kembali setelah sentakkan kaki dan tubuhnya
melenting di udara sambil menjaga keseimbangan tubuh.
"Kelihatannya Rara Santika mulai terdesak oleh
serangan Raja Maut. Haruskah aku turun dengan
membantunya? Oh, jangan dulu! Rara Santika belum
tampak kewalahan sekali. Tapi jika sampai ia kewalahan
sekali, Raja Maut terpaksa kubunuh demi
menyelamatkan Rara Santika," pikir Pendekar Mabuk
dari tempatnya, ia masih pandangi pertarungan itu
dengan tenang, namun penuh waspada, sehingga kapan
pun bertindak tak akan temui kegagalan.
Perempuan itu memang belum kewalahan, justru Raja
Maut yang tampak mulai terdesak oleh serangan lawan.
Karena saat Raja Maut baru saja bangkit dari semak-
semak, ia segera diserang oleh perempuan cantik itu.
Tubuh si perempuan cantik melesat bagaikan terbang
dengan gerakan tubuh memutar mirip alat pengebor.
Wuuuurrss...! Kecepatan geraknya sangat tinggi,
sehingga Raja Maut sendiri sempat terperanjat dan
bingung menghadapinya. Akhirnya Raja Maut sentakkan
kaki ke bumi dan tubuhnya melesat tinggi dalam
keadaan tegak lurus. Kemudian ia hantamkan tongkatnya
ke arah tubuh lawan yang berputar cepat itu. Wuuuut...!
Prraak, duaar...!
Tongkat itu belum sampai menyentuh tubuh Rara
Santika namun sudah seperti membentur baja tebal yang
beraliran tenaga dalam tinggi. Ledakan yang timbul
membuat tongkat tersebut patah menjadi beberapa
potong, tinggal bagian kepala tongkat saja yang masih
digenggam tangan si Raja Maut.
"Celaka! Tongkatku bisa sampai hancur begini?! Ia
mempunyai lapisan tenaga dalam yang jarang dimiliki
orang. Pasti ia telah kuasai jurus 'Perisai Malaikat',
sehingga pada benda apa pun yang mau menyentuhnya
akan pecah sebelum sampai pada sasarannya. Hmm...
jika begitu aku pun harus pergunakan jurus 'Lahar
Gegana' untuk melawan jurus 'Perisai Malaikat' itu!"
pikir si Raja Maut sambil perhatikan lawannya yang
sedang memainkan jurus dengan gerakan lamban.
Raja Maut kerahkan tenaganya dengan tangan
membuka ke atas membentuk cakar pada jari-jarinya.
Tangan itu segera menyentak ke sana-sini dengan cepat,
kemudian berhenti di pertengahan dada. Seluruh jarinya
menggenggam kecuali jari tengah dari kedua tangan. Jari
tengah itu saling merapat, kemudian dengan kaki
menghentak ke bumi, kedua tangan yang jari tengahnya
saling merapat lurus itu menyentak ke depan. Suuut...!
Selarik sinar biru tanpa putus melesat dari ujung
kedua jari tengah itu. Sinar itu semakin jauh semakin
melebar dan membesar, hingga akhirnya menghantam
tubuh Rara Santika. Namun dalam jarak dua langkah
sebelum mencapai tubuh perempuan montok itu, sinar
biru tersebut telah pecah menyebar dan menimbulkan
ledakan yang amat dahsyat.
Blegaaaarrr...!
Air sungai meluap seketika, tanah bagaikan dihentak
gelombang dari kedalaman bumi. Batu-batuan terpental,
ada yang pecah seketika, ada pula yang hanyut terbawa
arus sungai. Pepohonan tumbang beberapa bagian.
Daun-daun pohon yang hanya terguncang oleh getaran
gelombang ledak tadi menjadi berhamburan ke mana-
mana. Tanggul sungai mengalami jebol pada sisi barat,
tanahnya longsor dan nyaris mengubur Suto Sinting jika
pemuda itu tidak segera pindah tempat dengan
pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap...!
Rupanya jurus 'Lahar Gegana' tak bisa menembus
jurus 'Perisai Malaikat', sehingga akibatnya Raja Maut
sendiri terlempar tinggi oleh sentakan gelombang ledak
tadi. Tubuhnya melayang ke atas tanpa keseimbangan
badan. Dan pada saat itulah, Rara Santika lepaskan
pukulan jarak jauhnya yang berbahaya. Tangan
kanannya menyentak ke atas dalam keadaan kelima jari
lurus merapat. Sinar hijau bening keluar dari jari-jari
tersebut dan menghantam tubuh Raja Maut sebelum
bergerak turun ke bumi. Slaap...! Jroooss...!
Tubuh Raja Maut kepulkan asap ketika bergerak
turun. Brrruk...! Tubuh itu jatuh terbanting di tanah
bagaikan gumpalan asap dari langit. Angin berhembus
menerbangkan asap tersebut. Kejap berikut tampaklah
sosok tubuh Raja Maut telah berubah menjadi kerangka
berpakaian jubah putih, ia mengalami nasib seperti dua
orang yang memanggil Rara Santika dengan sebutan
'ketua' tadi. Kematian itu hanya membuat Suto bengong
di tempat.
Rara Santika hembuskan napas pelan-pelan dari
mulutnya yang meruncing itu. Kedua tangannya
bagaikan melepaskan benda dari atas ke bawah secara
pelan-pelan juga. Ia pandangi lawannya yang telah
menjadi kerangka hangus namun masih kenakan pakaian
itu. Senyum pun mekar sebagai tanda kemenangan yang
sedang dinikmatinya. Lalu, ia langkahkan kaki untuk
mendekati Pendekar Mabuk yang saat itu sudah berada
di dekat tulang-belulang si Raja Maut dengan hati
membatin kata,
"Mampus juga kau, Raja Maut. Kau terlalu bodoh,
sehingga berani menganggap Rara Santika sebagai
Gundik Sakti. Kau tak tahu kalau Rara Santika itu juga
berilmu tinggi, setara dengan adik kembarnya; si Gundik
Sakti itu. Yaaah... salam saja buat rekan-rekanku yang
sudah lebih dulu bermukim di akhirat sana!"
Di wajah Pendekar Mabuk tak ada rona duka sedikit
pun melihat kematian Raja Maut. Padahal dulu ia pernah
dibantu Raja Maut dalam berbagai pertarungan dengan
tokoh sakti lainnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Ratu Tanpa Tapak"). Suto bahkan tampak
kagum dan lega memandang kehadiran Rara Santika
yang mendekatinya, ia sunggingkan senyum sebagai
penyambut kemenangan si perempuan cantik itu.
Kedua tangan Suto mengembang dan ia berkata
dengan nada ceria, "Perempuan terhebat, masuklah
dalam pelukanku!"
Wajah perempuan itu berseri-seri. Ia segera memeluk
Suto Sinting dan Pendekar Mabuk pun segera
memeluknya. Suto sempat bisikkan kata bernada mesra,
penuh kelembutan yang menyentuh perasaan seorang
wanita seperti Rara Santika Itu.
"Untung kau selamat. Jika kau sampai tiada, tak tahu
harus ke mana kucurahkan gairahku yang telah
menggebu-gebu saat ini, Santika!"
"Oh, Suto... gairahmu tak akan tercurah kepada siapa
pun kecuali kepadaku seorang. Bawalah aku ke tempat
yang aman jika kau tak sabar menahan hasratmu,
Sayang...!"
"Bagaimana kalau kita bercumbu di balik kerimbunan
semak itu, Santika sayang?!"
"Di mana pun aku siap menerima kehangatanmu,
Suto-ku tampan!" sambil tangan Rara Santika mengusap
pipi Pendekar Mabuk. Kemudian kedua tangan Pendekar
Mabuk meraih tubuh Rara Santika, menggendongnya
dengan kokoh dan membawanya lari ke arah semak-
semak di bawah pohon beringin putih.
Namun sebelum mereka mencapai tempat itu, sebuah
suara terdengar berseru dari belakang mereka dengan
lantang.
"Hentikan langkah kalian."
Seruan itu membuat Suto dan Rara Santika tersentak
kaget. Langkah pun dihentikan, tubuh Rara Santika
turun dari gendongan. Keduanya sama-sama pandangi
orangyang berseru dengan lantang itu.
"Ooh...?!" Suto Sinting sangat terkejut, bahkan
sempat mundur tiga langkah dari tempatnya. Apa yang
dipandangnya saat itu telah membuat hatinya menjadi
bimbang dan segera mengalami keresahan batin cukup
besar.
Orang yang berseru lantang tadi adalah seorang
perempuan yang mempunyai wajah serupa persis dengan
Rara Santika. Wajahnya, potongan tubuhnya, warna
kulitnya, pakaiannya, semua sama persis dengan Rara
Santika. Akibatnya mata Suto memandang kian kemari
dengan bingung. Hatinya sempat berucap kata,
"Inikah adik kembar Rara Santika?! Hmmm... benar-
benar sulit dibedakan antara Rara Santika dengan Rara
Sumina; si Gundik Sakti itu. Keduanya sama-sama
cantik dan menggairahkan. Tapi agaknya aku harus
memihak Rara Santika, supaya kekejaman si Gundik
Sakti tidak merajalela lagi."
Orang yang baru datang berwajah kembar dengan
Rara Santika itu pandangi Suto Sinting dengan tajam.
Tapi sebelum ia bicara, Rara Santika lebih dulu dekati
Suto dan berkata.
"Cantik sekali adik kembarku itu, bukan?! Tapi
sayang dia berada di jalan yang sesat! Perhatikan
kesamaannya denganku. Bukankah hal yang pantas jika
setiap orang menyangka diriku adalah Gundik Sakti?
Padahal dialah orang yang selama ini berjuluk si Gundik
Sakti."
"Aku bukan Gundik Sakti!" seru perempuan yang
baru datang itu. "Aku adalah Rara Santika! Kau jangan
melemparkan dosa padaku, Sumina!" tudingnya kepada
perempuan yang di samping Suto Sinting. Perempuan itu
hanya tersenyum sinis, lalu berkata kepada Suto dengan
nada manja,
"Dia ketakutan kepada kita, sebab dia tahu jika
kekuatan kita menjadi satu, dia akan hancur lebur dalam
sekejap saja! Tapi, aku tak ingin kau ikut celaka. Kalau
tubuhmu luka atau lecet sedikit saja, nanti masa
bercumbu kita kurang hangat, Suto. Sebaiknya kau
menyisi dulu, biar kuhadapi adikku itu."
Pendekar Mabuk masih bingung mengambil sikap.
Karena perempuan yang baru datang itu segera maju
dalam satu lompatan bersalto dan mendaratkan kakinya
dalam jarak empat langkah di depan Suto Sinting.
Wuuut...! Jleeeg...!
"Suto, buka matamu lebar-lebar! Jangan sampai kau
salah duga. Perhatikan siapa diriku sebenarnya dan siapa
dirinya. Perhatikan baik-baik, Suto. Aku tak ingin kau
terkecoh oleh kesamaan rupa ini!"
Rara Santika menyambar dagu Suto yang sedang
memandangi orang yang baru datang itu. Wajah Suto
dipalingkan hingga menatapnya, lalu ia berkata dengan
suara manja sedikit serak,
"Pandanglah aku saja. Bukankah aku lebih
menggairahkan daripada dia?"
Suto Sinting tersenyum tawar. "Kau memang sangat
menggairahkan, Santika!"
"Akulah Santika, Suto!"
"Diam kau!" bentak perempuan di samping Suto.
"Kau yang diam! Kau yang harus berhenti dari
kesesatanmu, Sumina! Aku mempunyai wewenang
untuk membunuhmu jika kau tidak kembali ke jalan
yang benar!"
"Bocah ingusan mau jual lagak di depan Pendekar
Mabuk! Kuhancurkan mulutmu jika kau masih mencoba
mengaku bernama Santika! Akulah yang punya nama
itu!"
"Pengecut kau, Sumina! Kau berani berbuat tapi tak
berani menanggung akibatnya! Demi nama baikku aku
rela bertarung mengadu nyawa denganmu!"
"Hik, hik, hik, hik...! Bocah kemarin sore mau
mengadu nyawa denganku?! Apa aku tak salah dengar,
Suto?! Dia pikir setelah namanya dikenal sebagai
Gundik Sakti, lantas akan dengan mudah
menumbangkan diriku?! Hik, hik, hik...! Lucu sekali
sikap anak kecil itu. Sudah mengaku bernama Rara
Santika, masih saja mau mengadu nyawa denganku!"
"Memang akulah Rara Santika, dan kau adalah Rara
Sumina; si Gundik Sakti! Kau telah menotokku, dan
menyembunyikan aku di balik semak belukar kala Suto
Sinting mencari seorang penyerang yang ingin
membunuhku dengan senjata rahasianya itu! Sekarang
aku tahu, kaulah orang yang menyerangku dengan
selempeng logam beracun untuk memancing kepergian
Suto dari sampingku. Begitu Suto pergi, kau menotokku
dari belakang dan menyembunyikan diriku di semak
belukar. Lalu kau tampil di tempatku berdiri sebagai
Rara Santika untuk merebut perhatian Suto Sinting!"
"Bohong!" bentak perempuan di samping Suto
dengan mata mendelik lebar, seakan ia ingin menelan
saudara kembarnya itu.
"Kau pikir mudah memperdaya Suto tanpa diriku,
Sumina?! Hmmm, tidak semudah dugaanmu, Adikku!
Totokanmu mampu kulepaskan dengan jurus 'Panca
Batin' warisan mendiang Ayah. Kau murid mendiang
Ibu, tak akan mempunyai jurus seperti itu!"
"Kurobek mulutmu kalau masih bicara lagi,
Jahanam!" ia maju selangkah dengan berang sekali.
"Aku sudah siap mati di tangan adik kembarku
sendiri. Untuk apa aku takut menghadapimu, Sumina!
Biarpun kau telah berhasil membuat Suto terpikat oleh
ilmu pemikatmu melalui kerlingan mata, namun
pertarungan ini akan membuka kesadarannya, bahwa kau
adalah Gundik Sakti dan aku adalah Rara Santika!"
"Bangsaaat...!" teriak perempuan yang tadi habis
membunuh Raja Maut itu. Ia segera melompat
menerjang perempuan yang baru datang itu. Wuuut....
Lompatan itu disambut oleh lawan dengan gerakan
melesat mirip terbang. Kedua tangan mereka saling
berusaha hantamkan pukulan selama dalam lompatan di
udara.
Plak, plak, plak, plak...! Blaarr...! Sinar merah
menyebar sekejap ketika telapak tangan mereka beradu.
Hentakan gelombang ledak yung timbul ketika itu
membuat tubuh Suto Sinting terpental ke belakang dan
berguling-guling. Kepalanya sempat membentur batu
dan merasa pusing dalam beberapa kejap. Suto Sinting
mengibas-ngibaskan kepalanya, membuang rasa pusing.
Tapi ternyata yang terbuang bukan saja rasa pusing,
melainkan kekuatan pengaruh ilmu pemikat ikut hilang
dari alam pikiran jiwanya.
"Oh, kenapa aku ada di sini?!" Suto Sinting membatin
dengan bingung sendiri. Semakin bingung lagi setelah
melihat dua perempuan kembar rupa bertarung dengan
pergunakan kipas gading masing-masing.
"Rara Santika bertarung melawan adik kembarnya;
Gundik Sakti. Tapi... tapi yang mana yang bernama
Gundik Sakti ?!" pikir Suto dengan dahi berkerut tajam.
"Aku harus membela Rara Santika untuk
menumbangkan si Gundik Sakti! Aduh, yang mana Rara
Santika?! Yang mana...?!" Suto tegang dan jengkel
sendiri. Matanya bergerak nanar diburu nafsu bertarung.
Blegaaar.... Kedua perempuan itu mengadu kipas di
udara. Ledakan besar terjadi bersama menyebarnya sinar
biru terang dari perpaduan kedua kipas tersebut. Salah
satu kipas terpental dan hancur berkeping-keping. Tapi
perempuan yang tanpa kipas itu masih tampak berani
lakukan penyerangan terhadap lawannya, ia
berjumpalitan di tanah beberapa kali, kemudian berhenti
dalam keadaan berlutut satu kaki dan sentakkan
tangannya ke depan. Sinar merah lurus keluar dari ujung
jari tangannya yang menguncup itu. Slaaap...! Sinar
lurus dihadang oleh kipas yang dikembangkan di depan
dada. Deeb...! Blaaarr...!
Zlaaap...! Orang yang memegang kipas lenyap
seketika. Bukan hancur karena hantaman sinar tadi,
melainkan berpindah tempat di belakang orang yang
tidak memegang kipas, ia mampu bergerak luar biasa
cepatnya, hingga tak terlihat ke mana arah gerakannya.
Tahu-tahu ia tebaskan kipasnya ke punggung lawan.
Wuuuut...! Breeett...!
"Aaahg...!" perempuan yang tak berkipas memekik
kesakitan, punggungnya robek lebar bagai dibabat
dengan pedang pemenggal kepala. Luka tersebut
keluarkan asap tipis, makin lama makin melebar dan
menjadi hitam. Penderitanya terhuyung-huyung
menahan rasa sakit yang luar biasa itu, sampai akhirnya
ia jatuh terkulai di atas sebongkah batu dalam keadaan
telungkup. Kedua tangannya terjuntai lemas, napasnya
sesak, suara rintihannya semakin pelan. Namun ia
tampak berusaha untuk tetap bisa bangkit dan membalas
serangan lawan.
"Aku terpaksa tega padamu! Terimalah kematianmu
sekarang juga. Hiaaah...!"
Craaaak...! Ujung kipas keluarkan mata pisau putih
tipis yang runcing dan tajam. Pada saat itu orang yang
sudah terluka sedang membalikkan badan menjadi
telentang dengan seringai kesakitan dipaksakan. Pisau di
ujung kipas segera ditebaskan untuk merobek leher
lawannya. Wuuut...!
"Hiaah...!" Suto Sinting melesat cepat. Zlaap...! Jurus
'Gerak Siluman' membuatnya bergerak seperti anak
panah, menerjang perempuan yang masih bersenjata
kipas itu. Bumbung tuaknya dihantamkan ke dada
perempuan tersebut pada saat menerjangnya. Buuhhg...!
"Aaahg...!" perempuan itu memekik tertahan,
tubuhnya melayang ke belakang. Suto Sinting
mengejarnya dengan lompatan bertenaga 'Gerak
Siluman' lagi. Zlaaap...!
Prraak...! Bumbung tuak menghantam kepala.
"Uuhg...!" perempuan itu terpental, terguling-guling
dalam keadaan kepala berlumur darah.
Tepat ketika perempuan itu berusaha bangkit, Suto
Sinting lepaskan jurus 'Mabuk Lebur Gunung',
menggeloyor seperti mau jatuh, ternyata menyodokkan
bumbung tuak ke punggung lawan. Beehg...! Brrruk...!
Lawan pun jatuh tersungkur, tubuhnya mulai sulit
bergerak. Rambutnya menjadi rontok semua. Tubuh itu
menjadi biru legam. Kejap berikutnya perempuan itu tak
mampu bernapas lagi. Ia menghembuskan napas terakhir
dengan tubuh menyentak satukali.
Weesss...! Nyawa pun melayang.
Suto Sinting segera menolong perempuan yang
terluka punggungnya itu. Dengan paksa ia meminumkan
tuak saktinya, membuat luka itu cepat sembuh secara
ajaib, dan kesehatan perempuan itu pun pulih kembali.
"Gundik Sakti telah tiada!" ucap Suto Sinting ketika
perempuan itu pandangi mayat tanpa rambut itu. "Dia...
Rara Santika?"
Suto Sinting gelengkan kepala. "Dia bukan Rara
Santika, tapi kaulah yang bernama Rara Santika. Dia
adalah Gundik Sakti; Rara Sumina, adik kembarmu itu."
"Dari mana kau bisa membedakan bahwa dia adalah
adikku?"
Suto Sinting mengambil sesuatu dari dalam ikat
pinggangnya. Sebuah gelang beruntai batu merah delima
dimainkan di telapak tangannya sambil sunggingkan
senyum menawan.
"Kulihat tangannya mengenakan gelang seperti ini,
sedangkan kau tidak mengenakan gelang. Karena
gelangmu kau serahkan padaku saat kita di kedai, dan
aku lupa mengembalikannya! Maka aku yakin, kaulah
Rara Santika. Sedangkan orang yang sejak tadi
bersamaku serta membuatku tega melihat kematian si
Raja Maut itu tak lain adalah si Gundik Sakti. Maka tak
ada salahnya jika aku segera menyerangnya demi
selamatkan nyawamu, dan nyawa para calon tumbal
lainnya."
Rara Santika yang tadi hentikan langkah Suto saat
mau menuju ke semak bersama Gundik Sakti itu segera
sunggingkan senyum manis, ia memandangi Suto
dengan penuh curahan rasa kagum. Sebaris gumam lirih
terdengar dalam suara lembut,
"Kau memang cerdas, Suto! Ambillah gelang itu
selamanya, jadikan milikmu yang paling berharga. Jika
masih kurang, ambillah pemilik gelang itu juga, aku
bersedia menjadi milikmu yang paling berharga."
Tiba-tiba terdengar suara, "Kau tak boleh melebihi
batas, Rara Santika!"
Mereka terkejut dan menjadi tegang. Suara bergema
itu adalah suara perempuan, namun tak terlihat bentuk
wujudnya. Hanya saja, telinga rindu Suto sangat
mengenali suara tersebut, sehingga ia pun berseru,,
"Kaukah yang mengirimkan suara itu, Dyah
Sariningrum?!"
"Ya, akulah yang bicara, Calon suamiku. Aku
terpaksa ikut campur karena hampir saja si Gundik Sakti
merenggut kehangatanmu. Tak kuizinkan ia berbuat
demikian padamu, sehingga terpaksa kulepaskan jurus
'Racun Simalakama' sebagai ungkapan murkaku
kepadanya. Tanpa kau bunuh pun sebenarnya ia akan
mati dengan sendirinya akibat 'Racun Simalakama'-ku
itu."
"O, jadi kauyangmencegah perbuatan liciknya itu?"
"Kukirimkan 'Racun Simalakama' melalui hembusan
sang bayu, dan ia menjadi ketakutan saat melihat
keadaanmu seperti bayi."
"Apakah kau juga melihatku dalam keadaan seperti
bayi, Dyah Kasih?" tanya Suto sambil ingin tertawa.
"Ya, aku melihatmu seperti itu juga," jawab suara
bergema.
"Dan kau menjadi takut seperti si Gundik Sakti itu?!"
"Aku... aku menjadi bertambah rindu, Suto!" suara
bergema itu kian lirih, menandakan ada rasa malu saat
mengucapkannya.
Suto Sinting tertawa sendiri. "Dyah Kasih..., aku tak
melihat wujudmu. Di mana kau bersembunyi?
Keluarlah, Dyah Kasih...!" bujuk Suto.
"Aku ada di Pulau Serindu sedang menunggumu,
Suto sayang...!"
"Kalau begitu aku akan berangkat ke Pulau Serindu
sekarang juga, Dyah kasihku."
"Tidak harus sekarang. Selesaikan sampai tuntas dulu
perkaramu itu. Gua Tumbal Perawan masih dihuni
orang-orang sesat bersama iblis sembahan mereka;
Darahkula. Gua dan Darahkula harus kau hancurkan
demi keselamatan para gadis lainnya, Suto! Setelah itu,
lekaslah pulang ke Pulau Serindu, di sana aku
menunggumu!"
"Baik, akan kuhancurkan gua itu dengan Napas Tuak
Setan-ku!" kata Suto penuh semangat. Kemudian ia
memandang Rara Santika yang terbungkam diliputi
perasaan takut. Perempuan itu pun akhirnya berkata,
"Aku akan ikut ke gua itu, tapi... tapi aku tak berani
lagi lebih dekat denganmu. Suara itu membuat jiwaku
menjadi sangat ketakutan. Kalau boleh kutahu, suara
siapa itu?"
"Itu suara calon ibunya anak-anak," jawab Suto
sambil cekikikan sendiri.
SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar