1
PONDOK kayu dikelilingi
pepohonan rindang itu roboh. Keadaannya hancur bagaikan habis dilanda gempa dan
badai. Warna hitam arang menghiasi reruntuhan pondok kayu itu. Asap tipis masih
mengepul sebagai tanda bahwa penghancuran pondok kayu itu terjadi belum lama
ini. Serat-serat kayu yang berserakan menandakan adanya tenaga dalam tinggi
dipergunakan untuk menghancurkan pondok tersebut.
Pemuda berambut hitam lurus
dan lemas, panjangnya sebatas lewat pundak, memandangi reruntuhan pondok
tersebut, ia geleng-gelengkan kepala melihat tak satu pun tiang yang masih
tersisa tegak berdiri sebagai tanda bekas penopang atap. Karena atap pondok itu
sendiri nyaris rata dengan tanah. Pemuda tampan berbaju coklat tanpa lengan dan
celana putih kusam itu masih diam memandang sekeliling tempat itu. Bumbung tuak
dari bambu berukuran tak begitu panjang masih ditentang dengan tangan kanannya.
Tadi ia habis menenggak tuak dua teguk sebelum memandangi sisa reruntuhan
dengan lebih teliti lagi.
"Kurasa ia masih ada di
sekitar sini," katanya membatin, lalu kembali melangkah mengelilingi
reruntuhan pondok sambil memeriksa kanan-kirinya. Pemuda itu agaknya sudah
dapat menduga siapa orang yang menghancurkan pondok milik mendiang Nyai Sapu
Lanang itu. Bahkan hatinya merasa yakin.
"Pasti ia masih mencariku
setelah mengetahui di dalam pondok ini tak terdapat satu orang pun. Sebaiknya
kutunggu beberapa saat di sini. Aku merasa yakin ia akan datang kembali melihat
hasil murkanya ini!"
Angin berhembus dari utara ke
selatan. Asap sisa pembakaran itu kian menipis. Tapi bara yang tersisa di
tumpukan kayu masih menyala. Pemuda tampan yang tak lain adalah Pendekar Mabuk
alias Suto Sinting itu sengaja jongkok tak jauh dari bara. Sesuatu yang
tergeletak di sana di pungutnya.
Benda bulat seperti telur
burung diperhatikan dengan mata tak berkedip. Benda yang menurutnya adalah
telur aneh itu berwarna kemerah-merahan dan berkulit bening. Cairan di dalamnya
tampak berwarna merah seperti darah. Pendekar Mabuk mendekatkan telur itu ke
wajahnya agar lebih jelas lagi dalam meyakinkan isi telur itu.
"Hmmm... telur apa ini?
Agaknya warna merahnya bukan karena terpanggang bara api tapi karena cairan di
dalamnya," katanya membatin, ia berdiri sambil memperhatikan telur aneh itu. "Kulitnya
sangat tipis, mudah pecah, sepertinya hanya terbungkus oleh kulit ari. Telur
burung apakah ini? Mengapa berada di reruntuhan pondoknya Nyai Sapu
Lanang?"
Pendekar Mabuk jauhi
reruntuhan, ia ingin meneduh di bawah pohon beringin gajah yang besar itu. Ia
merasa lebih tenang memperhatikan benda itu di sana ketimbang di dekat
reruntuhan.
Namun ketika sedang tekun
memperhatikan jenis telur tersebut, tiba-tiba terdengar sebuah suara berseru,
"Itu dia orangnya.
Serang!"
Tentu saja Suto Sinting
terkejut mendengar seruan tersebut. Lebih terkejut lagi ketika tahu-tahu tiga
sosok tubuh melayang hendak menerjangnya dari tiga arah; depan, kanan, dan
kiri. Wuusss...! Pendekar Mabuk terpaksa bergerak cepat. Gerakan nalurinya
membuat ia memutar dengan bumbung tuak di tangan dikibaskan berkeliling cepat.
Wuungg...! Kibasan bumbung tuak dari bambu itu ternyata menimbulkan gelombang
hawa panas yang menyebar dalam satu hentakan bersama. Akibatnya ketiga orang
yang ingin menyerangnya itu terpental dan melayang ke belakang bagaikan
helai-helai daun yang ditebarkan.
Guzzrrak...! Bruuss...!
Buuhg...!
Pendekar Mabuk berdiri tegak
kembali dengan kedua kaki kekarnya
sedikit merenggang, ia juga menghadap ke arah semula, dan di depannya berdiri
seorang gadis cantik yang tadi memberi perintah serang kepada ketiga lelaki
berbadan agak gemuk dengan tinggi tubuh sama rata. Gadis yang berdiri di depan
Suto Sinting dalam jarak sekitar lima langkah itu mengenakan pakaian biru,
rambutnya panjang diikat ke belakang, bagian depannya di poni, dan sikap berdirinya
tak bisa tenang; bergerak ke sana-sini tanpa tujuan yang pasti.
"Menak Goyang...!"
sapa Suto Sinting pelan seakan tertuju untuk diri sendiri. Pandangan matanya
memang tak salah, gadis itu adalah Menak Goyang, murid Malaikat Miskin dari
Perguruan Tongkat Sakti, (Baca serial Pendekar Mabuk episode: "Racun Gugah
Jantan").
Tiga orangnya yang menyerang
Suto Sinting tadi sedang berusaha bangkit dari jatuhnya. Salah seorang ada yang
mengerang karena tulang punggungnya bagaikan patah. Seorang lagi luka kepalanya,
membentur batu dan berdarah. Sedangkan yang satu lagi sehat, hanya merasa ngilu
pada tulang kaki yang tadi sempat beradu dengan sebatang pohon kecil. Salah
seorang yang sehat itu akan menyerang Suto Sinting dengan mencabut goloknya,
tapi Menak Goyang memberi isyarat dengan tangan untuk menahan gerakan orang
tersebut. Tapi mata Menak Goyang masih tertuju tajam ke arah Suto Sinting.
Barangkali ia masih menyimpan dendam kekalahannya ketika dilumpuhkan Suto
dengan cara ditotok peredaran darahnya. Untung Malaikat Miskin mampu melepaskan
totokan tersebut.
"Mana anak itu?!"
hardik Menak Goyang tanpa senyum sedikit pun.
Suto Sinting berkerut dahi.
"Anak yang mana?" Ia ganti bertanya karena benar-benar merasa bingung
dengan pertanyaan gadis itu.
"Jangan berlagak bodoh!
Kau telah berhasil menculik anak itu!"
"Anak siapa?!"
"Adikmu!" sentak
Menak Goyang.
"Adikku...? Oh, Sum...
eh, anu.... Maksudmu gadis kecil yang bernama Runi, adikku itu?!"
"Ia!" jawab Menak
Goyang dengan tegas.
"Lalu... lalu apa yang
kau tanyakan padaku?" Suto Sinting benar-benar bingung jika benar gadis
itu menanyakan Sumbaruni yang berubah menjadi anak kecil karena terkena Racun
Ludah Naga itu. Sebab setahunya Sumbaruni sedang dijadikan sandera oleh
orang-orang Perguruan Tongkat Sakti dan minta tebusan Pisau Tanduk Hantu. Sebab
dalam perkara hilangnya pisau pusaka milik Malaikat Miskin itu, Pendekar Mabuk
menjadi pihak yang dituduh sebagai pelaku pencurian benda pusaka tersebut. Tapi
anehnya sekarang Menak Goyang menanyakan di mana Sumbaruni kepada Suto Sinting.
Padahal Suto Sinting yang semula menjadi tua dan sekarang sudah berubah menjadi
muda lagi itu sedang mempersiapkan rancangan untuk merebut kembali bocah
Sumbaruni.
"Suto, kami sudah
kehilangan kesabaran dengan tingkahmu, terutama aku! Sebaiknya jangan pancing
kesabaranku habis dengan cara merebut dan membawa lari bocah kecil yang menjadi
adikmu itu."
Pendekar Mabuk memandang
dengan dahi berkerut tajam. Kini ia dapat menduga; Sumbaruni hilang dari tangan
mereka dan Suto Sinting dianggap sebagai orang yang berhasil membawa lari
Sumbaruni. Pikiran itu sempat membuat hati Suto Sinting berdebar-debar diliputi
kecemasan. Padahal tujuannya berada di kaki Gunung Kundalini itu untuk mencari
Telur Mata Setan yang dapat menawarkan Racun Ludah Naga dalam diri Sumbaruni.
Jika wanita bekas istri jin yang sudah berubah menjadi bocah cilik itu hilang
dari mereka, lalu mereka tidak mengetahui ke mana perginya dan siapa
pencurinya, itu akan membuat Suto Sinting menjadi kalang kabut lagi.
"Jika benar anak itu
hilang dari tangan kalian, kalian harus bertanggung jawab. Jangan memaksa
diriku untuk melampiaskan kemarahan kepada kalian!" kata Pendekar Mabuk
dengan tegas-tegas, tanpa wajah ceria sedikit pun. Walau masih berkesan kalem,
tapi pandangan mata maupun kata-katanya terasa 'dingin' dan nyaris membekukan
darah mereka berempat.
Menak Goyang tampaknya tak
tergoyahkan oleh ancaman halus Pendekar Mabuk itu. Sekalipun pinggulnya
bergerak-gerak dengan satu tangan menopang di batang pohon dan satunya lagi
bertolak pinggang, tapi Menak Goyang kelihatan tetap tenang dan mampu bersuara
lantang,
"Kau ingin
memutarbalikkan tuduhan dan tanggung jawab kepada kami! Oh, kurasa itu tak
bisa, Suto! Kami tahu kaulah orang yang merebut gadis itu dari tangan Jumala
dan Reksita!"
"Aku tidak tahu tentang
kedua orangmu itu. Aku tidak berlagak bodoh. Karenanya kalau sampai adikku itu
tidak segera kalian temukan, maka aku akan menuntut guru kalian dengan caraku
sendiri!" kata Suto dengan suara bernada tegas, tak ada kesan
cengar-cengir kalem seperti biasanya. Untuk menahan kegelisahan, Suto Sinting
menenggak tuaknya sambil memasukkan telur aneh yang menarik perhatiannya itu ke
dalam bumbung tuak. Telur itu menyatu dengan tuak dalam bumbung bambu itu.
Pluung...!
Melihat Suto Sinting sedang
tengadah menenggak tuak, tiba-tiba orang yang tulang kakinya terasa ngilu tadi
segera lepaskan serangannya dengan sebuah tebasan goloknya melalui samping kiri
Suto Sinting. Orang itu bergerak sambil lakukan lompatan maju menerjang Suto.
Tetapi dengan tetap menenggak
tuaknya, tangan kiri Suto Sinting menyentak ke arah kirinya. Pukulan
bergelombang panas dari telapak tangan Suto itu menghantam tubuh lawan yang
diam-diam mau menyerangnya secara mendadak.
Wuusstt...! Buuhg...
"Uuhg...!" orang itu
terpekik ketika perutnya terkena pukulan tenaga dalam Suto yang kali ini tidak
menggunakan sinar seperti biasanya.
Brrussk...! Orang itu
terlempar jatuh ke semak-semak ilalang yang berjarak tujuh langkah dari
tempatnya berdiri semula. Tentu saja gerakan orang tersebut membuat dua
temannya terbengong-bengong sambil menahan sakit. Orang itu seperti benda
ringan yang disapu angin begitu saja. Jatuhnya pun kali ini tampak telak karena
membentur akar tua beringin gajah itu, memantul ke depan dan masuk ke
semak-semak ilalang.
"Kau benar-benar cari
penyakit dengan pihakku, Suto Sinting!" sentak Menak Goyang dengan marah,
ia segera mencabut pedangnya yang ada di pinggang. Srreett...!
Dengan satu lompatan lurus
bagaikan seekor burung sedang terbang, Menak Goyang mengarahkan pedangnya ke
dada Suto Sinting. Tapi tiba-tiba pedang itu berkelebat merobek wajah Pendekar
Mabuk. Wuutt...! Trrakk...! Pendekar Mabuk dengan cepat mampu menangkis pedang
itu dengan bumbung tuaknya. Tangan kirinya menyentak ke samping kanan, telapak
tangan itu mengenai rahang si gadis cantik. Desas...! Brrukk...!
Menak Goyang menyeringai dalam
keadaan telentang. Rahangnya terasa pecah karena hantaman pangkal telapak
tangan kiri Pendekar Mabuk. Menak Goyang tak mampu berdiri lagi. Kulit wajahnya
pucat pasi, napasnya tersendat-sendat. Rupanya pukulan tangan kiri Suto tadi
dialiri tenaga dalam yang lumayan tinggi sehingga hentakannya terasa sampai di
seluruh tubuh, bahkan sampai di bagian dalam tubuh.
Tiga orang pengikut Menak
Goyang menjadi gentar melihat Menak Goyang roboh dalam satu jurus. Tapi peduli
apa kata Menak Goyang nanti, mereka bertiga segera angkat kaki dan tinggalkan
tempat itu cepat-cepat. Sebenarnya Menak Goyang tahu bahwa ia ditinggalkan
mereka, semestinya ia marah kepada mereka, tetapi karena dalam keadaan seperti
remuk sekujur tubuhnya, ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali hanya mengerang
lirih.
Pendekar Mabuk memang tidak
bermaksud membunuh Menak Goyang, ia bahkan merasa kasihan dan punya rasa
menyesal juga dalam hatinya. Maka Menak Goyang segera ditolongnya, diobati
dengan meminumkan tuak ke mulut gadis cantik itu. Pendekar Mabuk membantu Menak
Goyang untuk bangkit, duduk di rerumputan itu. Napas si gadis masih
terengah-engah, namun beberapa kejap berikutnya mulai mereda,
"Pedangku...?!"
Menak Goyang memandang sedih melihat pedangnya patah karena beradu dengan
bumbung tuak tadi.
"Masih banyak pedang lain
yang lebih hebat dari pedangmu. Jangan pikirkan lagi pedang itu. Pikirkanlah
tentang adikku yang kau bilang telah dibawa lari seseorang. Bagaimana bisa
terjadi begitu?" Suto Sinting jongkok di depan Menak Goyang, menatap tanpa
senyum tapi juga tak bersikap bermusuhan lagi.
"Kami ingin
menyembunyikan adikmu ke Lembah Timur, di sana ada sahabat Guru, dan anak itu bermaksud
kami titipkan ke sana. Jadi sewaktu-waktu kau datang dan ingin merebutnya tanpa
membawa Pisau Tanduk Hantu, kau akan kecele. Tak bisa temukan anak itu."
"Kalian sudah mulai main
licik-licikan, rupanya."
Menak Goyang diam sesaat bagai
tak membantah tuduhan itu. Lalu ia
berkata lagi dengan suara lebih ringan, tidak seberat tadi,
"Guru yang mempunyai
siasat itu. Bukan aku. Guru yang perintahkan Jumala dan Reksita membawa gadis
kecil itu ke Lembah Timur. Tapi di perjalanan mereka diserang seseorang yang
tak terlihat. Mereka dibuat pingsan dan ketika sadar bocah itu sudah tidak
ada."
Suto Sinting tarik napas
sambil berdiri, menahan kesedihan, kekecewaan dan rasa dongkol yang ingin
meledak tercurahkan kepada Menak Goyang. Perasaan itu ternyata masih mampu
ditahan dan dipendam, walau dadanya sempat bergemuruh membayangkan Sumbaruni
kecil dibawa lari seseorang. Suto merasa bertanggung jawab atas hidup-matinya
Sumbaruni, karena Sumbaruni yang pura-pura diaku sebagai adiknya itu menjadi
susut dan mengecil hanya gara-gara membela pertarungannya dengan Syakuntala.
Sumbaruni ingin unjuk kesetiaan, karena wanita itu mencintai Suto dan ingin
menjadi istrinya. Tentunya malapetaka yang dialami Sumbaruni secara tak
langsung menjadi beban Suto Sinting untuk ganti menolong menyembuhkannya dari
Racun Ludah Naga.
Jika sekarang Suto Sinting
kehilangan jejak kemana perginya orang yang membawa Sumbaruni itu, maka adalah
tugasnya untuk mendapatkan Sumbaruni kembali. Padahal wanita itu makin hari
akan menjadi semakin kecil dan bisa berubah menjadi bayi karena pengaruh Racun
Ludah Naga tersebut. Hal yang dicemaskan oleh Pendekar Mabuk adalah jika Telur
Mata Setan tidak segera ditemukan, atau jika Telur Mata Setan ditemukan tapi
Sumbaruni tidak ditemukan, maka perempuan bekas Panglima Negeri Kencana Ringgit
itu akan kembali menjadi janin dan akhirnya mati tak tertolong lagi.
"Ke mana arah kepergian
orang yang membawa adikku itu?"
"Tak ada yang tahu karena
kedua utusan itu dalam keadaan pingsan."
Pendekar Mabuk menggerutu dalam
hati, "Sial! Ada-ada saja masalahnya. Yang satu belum bisa kuselesaikan,
timbul lagi masalah yang baru. Percuma saja kalau aku menuntut Menak Goyang dan
Perguruan Tongkat Sakti, yang akan terjadi hanya pertentangan membuang waktu.
Sebaiknya harus kucari sendiri kemana perginya Sumbaruni! Para tokoh akan
mengecamku jika Sumbaruni tak bisa kutemukan kembali."
Tanpa berkata sepatah kata
lagi, Pendekar Mabuk segera pergi tinggalkan tempat itu. Tetapi tiba-tiba Menak
Goyang berseru, "Mau ke mana kau?!"
"Mencari adikku!"
"Akan kubantu. Aku ikut
denganmu!" Menak Goyang bergegas mendekati Suto.
"Kau pulang saja ke
perguruanmu. Aku tak ingin kau ikut campur lagi dalam urusanku, Menak
Goyang!"
"Aku akan
membantumu!"
"Terima kasih. Aku bisa
menjaga diri sendiri. Pulanglah sana!"
"Lalu... lalu bagaimana
dengan pisau pusaka itu?"
"Kalau aku mempunyai
pisau itu, sudah kutikamkan ke dadamu sejak tadi. Mungkin gurumu pun akan
kulawan dengan pisau itu. Paham maksudku?"
Menak Goyang membungkam mulut,
tapi badannya masih bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan bagai naik perahu.
Mata mereka beradu pandang sejenak. Setelah itu Suto Sinting cepat-cepat
tinggalkan si gadis yang masih tertegun di tempatnya mencari keputusan
langkahnya sendiri.
Mencari sesuatu yang tak
diketahui arah dan tujuannya memang hal yang paling sulit. Pendekar Mabuk
sendiri sempat bingung, mana arah yang harus ditujunya. Tak ada tanda-tanda,
tak ada jejak yang bisa diikuti. Satu-satunya jalan ia mengikuti apa kata hati
nuraninya sendiri.
Naluri yang bekerja dengan
peka membuat Suto Sinting terpaksa hentikan langkah. Ia merasakan ada hembusan
angin aneh melintas di samping kirinya, menyelusup di sela-sela pepohonan. Suto
Sinting segera perhatikan arah tersebut. Karena ia yakin bahwa angina yang
melintas itu tak lain adalah sesosok bayangan yang bergerak cepat menduluinya.
"Siapa yang bersembunyi
di situ, keluarlah dan perkenalkan dirimu!" seru Suto Sinting sambil
membuka tutup bumbung tuak, setelah itu menenggak tuak beberapa teguk. Selesai
menenggak tuak, Pendekar Mabuk merasa harus cepat sentakkan napas tertahan di
perut sehingga tubuhnya dapat melesat naik ke atas bagai ada yang menariknya
dengan cepat. Suutt...!
Hal itu dilakukan karena ia
melihat kilatan cahaya merah kecil yang menyerang ke arahnya dengan gerakan
cepat. Cahaya merah kecil itu melesat di bawah kaki Suto Sinting saat tubuh
Suto melenting di udara. Sinar merah itu menghantam pepohonan di seberang sana.
Duaar...! Pohon yang terhantam menjadi pecah sebagian batangnya, tapi tidak
sampai terbelah atau tumbang.
Pendekar Mabuk kembali
daratkan kakinya tanpa suara menghentak seperti yang dilakukan kebanyakan para
tokoh berilmu sedang itu. Pandangan mata masih tertuju ke arah datangnya sinar
merah tadi.
"Aku tahu kau ada di
balik pohon berjajar dua itu. Keluarlah!" seru Suto.
Agaknya orang yang bersembunyi
di balik dua pohon berjajar rapat itu merasa malu karena tempat
persembunyiannya diketahui, ia merasa percuma jika tetap bertahan di balik
pohon itu. Maka orang tersebut pun segera
melompat keluar menerabas semak ilalang dan dalam kejap berikutnya sudah
berdiri di depan Suto Sinting, ia memegang kipas emas dengan gambar bunga
teratai. Melihat bentuk kipasnya yang kini sedang dibentangkan dan
dikipas-kipaskan, Suto Sinting ataupun orang lain dapat menyimpulkan bahwa
gadis cantik itu pasti yang berjuluk Teratai Kipas, ia mengenakan jubah tanpa
lengan berwarna kuning kunyit. Pinjung dada serta celana ketat dari beludru
berwarna hijau muda berhias benang emas. Rambutnya lepas meriap sepunggung
diberi hiasan ikat kepala dari lempengan logam seperti emas berukir.
Wanita cantik itu sebenarnya
sudah pernah bersama Suto saling bantu dan saling selamatkan jiwa. Tapi pada
waktu itu Suto Sinting dalam keadaan menjadi tua, setua kakeknya. Sekarang
Racun Gugah Jantan yang membuat Suto Sinting berpenampilan tua itu sudah
lenyap, wajah dan tubuh Suto sudah berubah seperti aslinya. Tak aneh lagi jika
Teratai Kipas memandang kagum dan terpesona beberapa saat dengan mata tak mau
berkedip, ia tidak mengenali wajah tampan rupawan itu. Tapi ia mengenali baju
coklat tanpa lengan dan celana putih lusuh itu adalah milik Suto Sinting, ia
juga mengenali bumbung tuak tersebut adalah bambu bumbung tuak milik Suto
Sinting. Hanya saja ia tak menyangka bahwa ketampanan Suto ternyata melebihi
ketampanan bekas kekasihnya yang kini telah tiada.
"Kau... kau yang bernama
Suto Sinting?"
"Kau tak salah pandang,
Teratai Kipas," jawab Suto Sinting, ia yang maju lebih mendekat dan
berkata lagi, "Mengapa kau menyerangku? Sekadar mengujiku atau memang
bermaksud membunuhku?"
Sebenarnya dalam hati Teratai
Kipas mengatakan bahwa ia sekadar menguji ketinggian ilmu orang yangmasih asing
baginya. Tapi di mulutnya terlontar jawaban yang berbeda.
"Aku sengaja ingin
melukaimu, Suto Sinting. Aku ingin buktikan bahwa kemarahanku kepadamu tak bisa
dibendung lagi, sebab kau melarikan musuhku pada saat aku seharusnya mengakhiri
hidupnya sebagai tindakan balas dendamku kepada Nyai Sapu Lanang."
"Kau tak perlu berpikir
tentang Nyai Sapu Lanang lagi. Ia telah mati!"
"Omong kosong!"
sergah Teratai Kipas. "Kau pasti telah bercumbu dengannya untuk merengek
obat penawar Racun Gugah Jantan, dan kau tak mungkin tega membunuhnya karena ia
telah memberikan segenggam kehangatan yang indah dan akan terasa membekas dalam
jiwamu sepanjang hidup."
Suto Sinting hanya tersenyum
dan tak lanjutkan kata. Tetapi Teratai Kipas melanjutkan ucapannya dalam hati,
"Setan alas! Ternyata dia benar-benar tampan dan sangat menawan. Dia
memancarkan daya tarik yang tinggi, sehingga aku dibuatnya berdebar-debar sejak
tadi. Rasa-rasanya sangat disayangkan jika kulit tubuhnya terluka atau memar
karena hantamanku nanti. Ah, kenapa aku menjadi resah sekali? Terasa sulit
melupakan rasa kagumku kepadanya."
"Teratai Kipas, kuharap
kau jangan berpikiran jelek lagi tentang diriku. Kalau kutahu ada orang lain
yang mempunyai kemampuan melenyapkan Racun Gugah Jantan itu, aku tak akan
menyambar Nyai Sapu Lanang saat ingin kau tikam dengan pisau di ujung kipasmu
itu. Tapi karena ada tokoh lain yang bersedia melenyapkan Racun Gugah Jantan
dari tubuhku, maka aku sendiri yang mengakhiri hidup Nyai Sapu Lanang. Memang
sangat disayangkan, kejadian itu tidak terjadi di depan matamu, sehingga kau
tak bisa menyaksikan kebenaran ucapanku ini."
"Aku tak peduli dengan
celotehmu! Yang penting serahkan Nyai Sapu Lanang padaku dan biarkan dendamku
tercurah kepadanya!"
"Aku tidak bisa membawa
mayatnya karena sudah telanjur menjadi debu!"
"Rupanya kau ingin agar
aku memaksamu mengatakan yang sebenarnya! Hiaah!"
Teratai Kipas mengebutkan
kipasnya ke arah Suto Sinting. Lima larik sinar hijau melesat dari ujung-ujung
kipas. Claap...! Tetapi baru saja terlepas dari ujung kipas, lima larik sinar
hijau itu telah padam bersama melesatnya uap putih menggumpal dan menyebar di
depan Teratai Kipas. Bukan hanya wanita itu saja yang terkejut, melainkan Suto Sinting pun kaget.
Hal yang lebih mengejutkan lagi adalah kemunculan seorang wanita yang tidak
diketahui dari mana datangnya, tahu-tahu sudah berada di tempat itu.
"Guru...!" sebut
Teratai Kipas dengan kaget, kemudian ia buru-buru memberi hormat kepada wanita
itu. Namun wanita yang dipanggil sebagai Guru oleh Teratai Kipas itu justru
memberi hormat kepada Suto Sinting dengan membungkuk rendah.
"Selamat datang di tempat
kami, Suto!"
2
TERATAI KIPAS tampak
nyata-nyata heran melihat gurunya menghormat kepada Suto Sinting. Bahkan ketika
kedua mata gurunya bertatap pandang dengan mata Suto Sinting sampai beberapa
saat lamanya, Teratai Kipas menjadi salah tingkah sendiri. Rasa ingin tahunya
menggumpal di dada, mendesak tenggorokan ingin dikeluarkan dalam bentuk tanya,
tapi Teratai Kipas tak berani melontarkannya.
Pendekar Mabuk mengenal
gurunya Teratai Kipas jauh sebelum ia mengenal Sumbaruni, bahkan sebelum ia mengenal
Embun Salju atau yang lainnya. Pendekar Mabuk mengenal perempuan cantik itu
ketika perempuan tersebut gemar mengenakan pakaian merah dadu atau warna pink,
ikat pinggangnya dari selendang putih tipis. Tetapi sekarang agaknya pakaian
merah dadunya itu dirangkapi baju jubah longgar warna hijau tua dari kain
sedikit tebal. Walau sekarang rambutnya disanggul sebagian di bagian tengah,
tapi paras cantiknya masih terlihat jelas, sebab perempuan itu memang masih
berusia muda, sebaya dengan Suto Sinting.
"Tak kusangka akan
bertemu denganmu di sini. Selendang Kubur," ucap Suto lirih membuat
Teratai Kipas semakin yakin dan heran bahwa gurunya dikenali betul oleh Suto
Sinting. Sikap sang pendekar tampan sendiri tak ada hormat sedikit pun kecuali
hanya sikap bersahabat dengan akrab.
"Barangkali kau lupa,
Suto... Gunung Kundalini adalah tempatku mendampingi Guru menjadi seorang
petapa."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dalam senyum cerianya, "Ya, ya... sekarang aku ingat, kau dan Nyai Betari
Ayu mengasingkan diri ke gunung ini! Bagaimana kabar beliau, Larasati?"
Suto menggunakan nama asli Selendang Kubur yang kian menambah kerutan dahi
Teratai Kipas semakin tajam.
Teratai Kipas membatin,
"Orang ini memang edan! Kepada Guru dia kenal, bahkan kepada Eyang Guru
Betari Ayu juga kenal. Malahan nama asli Guru juga dikenalnya. Tokoh dari mana
sebenarnya Suto Sinting ini? Bukannya dia menghormat kepada guruku malah guruku
yang menghormatinya?"
Terdengar percakapan lirih
antara Suto dan Selendang Kubur mengenai keadaan Nyai Betari Ayu. Bahkan mereka
sempat mengupas masa lalu mereka sebelum Selendang Kubur dan Betari Ayu
mengasingkan diri di Gunung Kundalini. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Perawan Sesat").
"Guru, siapa sebenarnya
pemuda yang mengaku bernama Suto Sinting itu? Kelihatannya dia sudah kenal baik
dengan Guru bahkan tahu tentang Eyang Guru Betari Ayu?" tanya Teratai
Kipas yang tak bisa menahan raaa herannya lagi.
"Eyang gurumu; Betari
Ayu, adalah calon kakak ipar Suto Sinting," kata Selendang Kubur yang
membuat Teratai Kipas terperangah. "Seharusnya kau memberi hormat kepada
Pendekar Mabuk; Suto Sinting ini!"
"Pendekar Mabuk?!"
Teratai Kipas mendelik, ia pernah mendengar nama itu, malah pernah menjadikan
nama Pendekar Mabuk sebagai nama kebanggaan hatinya, tapi ia sama sekali tak
menyangka bahwa lelaki yang bergelar Pendekar Mabuk itu ternyata adalah lelaki
yang dianggapnya menyembunyikan Nyai Sapu Lanang. Teratai Kipas sempat
berdebar-debar dan gemetar setelah mengetahui orang yang tadi diajaknya bertarung
itu tak lain adalah Pendekar Mabuk yang kesohor ketinggian ilmunya itu.
"Bukankah aku sudah
cerita banyak-banyak padamu tentang siapa Pendekar Mabuk dan seberapa
ketinggian ilmunya?"
"Benar, Guru,"
Teratai Kipas menunduk penuh rasa takut dan hormat.
"Tapi mengapa kau masih
mau coba-coba melawannya? Apakah kau ingin pindah ke alam baka?"
"Ampun, Guru. Saya tidak
tahu kalau dia adalah Pendekar Mabuk, sang Manggala Yudha Kinasih dari Puri
Gerbang Surgawi yang ada di alam gaib. Saya benar-benar tidak tahu, karena dia
hanya menyebutkan nama Suto Sinting saja tanpa menyebutkan gelar
kependekarannya, Guru!"
"Bukankah aku pernah
ingatkan padamu agar memandang seseorang bukan hanya dengan mata kepala saja
melainkan juga dengan mata batinmu?"
"Ampun, Guru. Ampun...
saya memang khilaf, Guru!"
Semakin menunduk semakin geli
Suto melihat sikap Teratai Kipas yang amat ketakutan kepada Selendang Kubur.
Gadis itu tak berani memandangi Suto lagi,
bahkan melirik pun takut. Kakinya merapat, kedua tangannya juga merapat
di depan paha. Suatu sikap yang melambangkan rasa hormat dan takut seorang
murid kepada gurunya itu sering dipandangi Suto sebagai sikap yang menggelikan,
karena ia membandingkan dengan sikap mencak-mencaknya Teratai Kipas sebelum
mengetahui siapa diri Suto sebenarnya.
"Apakah Teratai Kipas itu
sungguh-sungguhmuridmu, Selendang Kubur?"
"Benar, Suto. Dia
muridku, dan hanya dialah yang menjadi muridku atas perintah Nyai Guru Betari
Ayu."
"Muridmu itu memang nakal
dan bandel. Perlu dijewer kupingnya!"
"Ampun, Tuan
Pendekar!" sergah Teratai Kipas. "Saya mohon ampun dan benar-benar
tidak tahu siapa Tuan Pendekar sebenarnya," Teratai Kipas kian membungkuk
di depan Suto Sinting dengan kedua telapak tangan merapat di dada. Suto menahan
geli karena ia hanya menakut-nakuti Teratai Kipas.
Melihat Suto Sinting tertawa
tanpa suara. Selendang Kubur pun memahami maksud kata-kata itu. Ia segera
alihkan pembicaraan sambil melangkah didampingi Suto Sinting dan diikuti oleh
Teratai Kipas. Di dalam hatinya Teratai Kipas membatin serangkaian kata yang
berkecamuk dalam benak,
"Kalau kutahu dia
Pendekar Mabuk, ih... amit-amit, tak akan berani aku coba-coba menyerangnya.
Untung ia tidak gunakan jurus-jurus mautnya. Kalau saja ia gunakan jurus mautnya, waaah... habis sudah
riwayat hidupku! Pantas kalau dia tampan dalam wujud begini. Dalam keadaan tua
pun masih terlihat sisa ketampanannya. Pantas pula kalau ia mengaku telah
membunuh Nyai Sapu Lanang, sebab menurutku ilmunya Nyai Sapu Lanang masih
dibawah jauh dari ilmunya Pendekar Mabuk."
Teratai Kipas mendengarkan
cerita Suto Sinting tentang alasannya datang ke Gunung Kundalini sampai
pertarungannya dengan Nyai Sapu Lanang. Nama Teratai Kipas ikut dibawa-bawa
sebagai saksi bahwa Suto pernah terkena Racun Gugah Jantan dan menjadi tua
seperti seorang kakek berusia tujuh puluh tahun. Suto pun menyinggung-nyinggung
soal Telur Mata Setan dan hilangnya Sumbaruni.
"Telur Mata Setan hanya
ada dalam dongeng," kata Selendang Kubur yang dulu pernah terpikat oleh
ketampanan Suto Sinting.
"Tetapi para tokoh tua
mengatakan Racun Ludah Naga hanya bisa disembuhkan dengan Telur Mata Setan.
Apakah para tokoh tua hanya terpengaruh oleh dongeng juga atau mereka memang
yakin bahwa Telur Mata Setan ada di Gunung Kundalini?"
"Itulah yang mengherankan
hatiku. Mengapa para tokoh tua seolah-olah yakin betul bahwa Telur Mata Setan
itu memang ada dan bukan sekadar pelengkap dari sebuah dongeng
kanak-kanak?"
"Anehnya di dalam hatiku
tumbuh suatu keyakinan bahwa Telur Mata Setan itu memang ada. Tapi di mana
tempatnya yang pasti, aku tidak tahu."
"Kusarankan untuk
dibicarakan dengan calon kakak iparmu itu."
"Nyai Betari Ayu
maksudmu?"
Selendang Kubur anggukkan
kepala. "Dia dapat meneropong seluruh tempat di Gunung Kundalini. Tadi pun
aku diperintahkan turun gunung karena ada tamu agung yang datang ke gunung ini.
Tanda-tandanya sudah diawali dari turunnya hujan dan badai pada beberapa malam
sebelum ini."
"Akukah yang dimaksud
tamu agung itu?"
Selendang Kubur hanya
tersenyum. "Seorang yang tinggi ilmunya dan beraliran putih selalu disebut
sebagai tamu agung. Siapa lagi kalau bukan kaulah orang yang dimaksud
itu."
"Baiklah. Aku akan
menemui beliau di puncak. Tapi aku ingin mencari Sumbaruni dulu. Percuma saja
kudapatkan Telur Mata Setan itu jika Sumbaruni tidak ada, karena telur itu
untuknya. Bukan untukku."
"Akan kusuruh muridku
membantumu mencari Sumbaruni. Tapi aku harus segera menghadap Nyai Guru Betari
Ayu untuk memberitahukan kedatanganmu ke gunung ini, Pendekar Mabuk."
Kemudian Selendang Kubur
bicara kepada muridnya, "Teratai..., dampingi Pendekar Mabuk ini! Bantu
dia sampai dapatkan bocah kecil yang bernama Sumbaruni. Setelah itu ajak mereka
ke puncak untuk temui Eyang Guru Betari Ayu!"
"Baik, Guru!" jawab
Teratai Kipas bersikap patuh. Kemudian mereka berpisah. Selendang Kubur menuju
ke puncak Gunung Kundalini, Suto Sinting pergi ke arah lain bersama Teratai
Kipas.
Betari Ayu adalah kakak dari
Dyah Sariningrum, calon istrinya Suto yang menjadi Ratu di Negeri Puri Gerbang
Surgawi yang ada di Pulau Serindu. Sedangkan ibu mereka adalah penguasa Puri
Gerbang Surgawi yang ada di alam gaib, bernama Ratu Kartika Wangi. Dulu, ketika
sama-sama belum tahu, Betari Ayu pernah jatuh cinta kepada Pendekar Mabuk.
Bahkan sampai sekarang pun ia masih menyimpan cinta untuk sang pendekar tampan
itu. Namun mengetahui Suto adalah kekasih adiknya, Betari Ayu berusaha menjauhi
Suto Sinting dan tak mau mengganggu kebahagiaan pasangan tersebut, sehingga ia
pun akhirnya memutuskan untuk mengasingkan diri, menjadi petapa di puncak
Gunung Kundalini.
"Nyai Betari Ayu adalah
wanita yang bijak dan berjiwa besar. Jika tidak begitu, maka dia tidak akan
serahkan padaku sebuah kitab pusaka sebagai pelengkap syarat melamar Dyah
Sariningrum."
"Maksudmu Kitab Wedar
Kesuma?"
"Benar. Sekarang tinggal
satu syarat lagi yang harus kupenuhi, tapi sampai sekarang permintaan itu belum
juga bisa kupenuhi. Aku belum mendapatkan syarat terakhir untuk meminang Dyah
Sariningrum yang bergelar Gusti Mahkota Sejati itu."
"Apa syarat itu?"
"Kepala tokoh sesat
tertinggi; Siluman Tujuh Nyawa."
Serentak kedua mata Teratai
Kipas terbelalak. "Aku pernah mendengar nama itul Aku sering mendengar
ceritanya dari Guru Selendang Kubur. Itu tokoh yang berbahaya."
"Memang berbahaya dan
menjadi racun dari segala racun kehidupan di muka bumi. Sebab itu ia harus
dikalahkan secepatnya. Sebab ia telah menjadi orang terkutuk. Siluman Tujuh
Nyawa memang dikutuk oleh neneknya untuk menjadi orang sesat selama tiga ratus
tahun. Kita harus bisa melenyapkannya sebelum genap tiga ratus tahun Siluman
Tujuh Nyawa menjadi orang sesat. Bisa kau bayangkan berapa ribu korban yang
akan terjadi jika Ia hidup sampai tiga ratus tahun menjadi tokoh tersesat di
dunia?"
"Banyak," jawab
Teratai Kipas dengan suara gemetar. Rupanya nyalinya menjadi ciut begitu Suto
menceritakan tentang Siluman Tujuh Nyawa. Ciutnya nyali Teratai Kipas dapat
dilihat oleh Suto dan membuatnya bertanya,
"Mengapa kau menjadi
takut, Teratai Kipas?"
"Hmm... eeh... karena...
karena dulu aku mempunyai guru bernama Ki Selo Gantung. Beliau belum turunkan
semua ilmunya pada kami, para muridnya, tapi sudah lebih dulu dibunuh oleh
Siluman Tujuh Nyawa dalam sebuah pertarungan yang terjadi secara
mendadak."
"O, jadi sebelumnya kau
pernah menjadi murid Ki Selo Gantung?"
"Benar. Setelah Ki Selo
Gantung tewas, perguruan kami bubar. Masing-masing mencari guru lain, dan aku
bertemu dengan Guru Selendang Kubur lalu berguru kepada beliau."
"Mengapa Siluman Tujuh
Nyawa membunuh gurumu?"
"Mempertahankan sebuah pusaka."
"Pusaka apa?"
"Tongkat Tulang
Barong!"
Pendekar Mabuk berkerut dahi
memandang Teratai Kipas yang kini tak berani beradu pandang secara
terang-terangan itu. Langkah Suto terhenti gara-gara mendengar nama pusaka yang
menurutnnya aneh.
"Tongkat Tulang
Barong...? Apakah Barong itu ada tulangnya? Bukankah Barong itu artinya kepala
singa tanpa badan? Atau kalau di negeri seberang, Barong adalah kepala naga
raksasa. Apakah Ki Selo Gantung pernah membedah tubuh seekor naga raksasa dan
mengambil tulangnya?"
Teratai Kipas hanya mesem
saja. Menahan geli yang tak berani dilontarkan seperti biasanya, ia menjadi
canggung sejak mengetahui bahwa Suto Sinting adalah Pendekar Mabuk yang kondang
berilmu tinggi itu.
"Tongkat Tulang Barong
hanya sebuah nama tongkat pusaka," katanya menjelaskan kepada Suto,
"Tongkat itu jika diusap dari kepala sampai ujung bawahnya bisa berubah
menjadi senjata hebat tergantung kehendak hati pemegangnya. Bisa berubah
menjadi pedang panjang, bisa berubah menjadi tombak, gada, golok, kapak atau
yang lainnya. Senjata-senjata jelmaannya mempunyai kekuatan dapat menembus atau
memotong pilar baja. Bentuk tongkat itu biasa-biasa saja. Tingginya sekitar
satu pundak, kepala tongkat berbentuk kepala binatang aneh, seperti perpaduan
antara naga dengan singa, mempunyai rambut meriap warna kuning berukuran satu
jengkal."
"Apakah sekarang masih
ada atau sudah diambil oleh Siluman Tujuh Nyawa?" tanya Suto Sinting
dengan rasa ingin tahu.
"Siluman Tujuh Nyawa
tidak berhasil membawa tongkat itu. Tapi Tongkat Tulang Barong sendiri tak tahu
ada di mana. Waktu kami memakamkan jenazah Ki Selo Gantung, kami tidak
menemukan tongkat itu di kamar beliau. Entah disimpan di mana. Malahan banyak
dari murid Ki Selo Gantung dibunuh oleh Siluman Tujuh Nyawa karena disangka
mengetahui di mana tongkat pusaka itu berada. Mereka terancam, termasuk aku
sendiri. Karenanya aku sempat berdebar-debar begitu kau menyebutkan nama
Siluman Tujuh Nyawa, karena aku masih takut jika kepergok dia di jalan. Pasti
aku akan mati jika tak sebutkan tempat penyimpanan Tongkat Tulang Barong
itu."
"Apakah dia bisa
mengenalimu sebagal murid Ki Selo Gantung?"
"Kipas inilah ciri-ciri
murid Ki Selo Gantung," sambil Teratai Kipas menunjukkan kipasnya.
"Setiap murid Ki Selo Gantung diberi senjata kipas, tapi berbeda ukuran,
bentuk dan warnanya. Sebab kami memang dari Perguruan Kipas Bumi. Jurus-jurus
memainkan senjata kipas sangat dikuasai oleh para murid Perguruan Kipas
Bumi."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
sambil menggumam pelan. Tapi sebelum ia mengajukan Tanya lagi, tiba-tiba
langkahnya terhenti dan tangannya cepat mencekal lengan Teratai Kipas.
"Ada apa?" bisik
Teratai Kipas.
"Aku mendengar detak
jantung orang lain di sekitar sini."
"Mungkin detak
jantungku?"
"Bukan," jawab Suto
dalam bisikan. "Detakannya agak cepat, seperti sedang berdebar-debar.
Pasti ia bermaksud tidak baik kepada kita."
"Di mana orang itu?"
"Sepertinya ada di atas
pohon belakang kita."
Teratai Kipas segera menengok
ke belakang dan memandang ke atas. Ia terperanjat dan segera
berbisik."Benar. Ada detak jantung lebih dari satu orang."
Baru saja selesai berbisik
demikian, tiba-tiba tiga orang turun dari atas pohon sambil masing-masing
lepaskan pisau terbangnya ke arah Suto dan Teratai Kipas. Wut, wut, wut...!
Teratai Kipas cepat cabut senjatanya. Kipas disentakkan dan langsung terbuka.
Kipasnya menimbulkan angin kencang yang membalikkan arah pisau-pisau itu hingga
beterbangan. Wuuusss...! Jreb! Satu pisau menancap di ulu hati salah seorang
yang baru saja daratkan kakinya ke tanah. Orang tersebut tak menyangka akan
mendapat kembalian pisau karena matanya terpejam saat angin yang keluar dari
kibasan kipas menerpa keras ke wajahnya.
"Hebat juga dia,"
pikir Suto sambil tersenyum tipis. "Baru satu gebrakan sudah mampu membunuh
satu lawan."
"Jeprak Kurap...?!"
seru lelaki berkumis lebat dan berpakaian hitam itu. Ia segera memeriksa orang
yang kena tancap dadanya. Setelah mengetahui orang itu tak bernyawa lagi, si
Baju Hitam menggeram dengan mata memandang buas, menatap ke arah Teratai Kipas.
Sedangkan orang kurus berpakaian merah ikut menggeram marah karena mengetahui
bahwa temannya yang bernama Jeprak Kurap itu sudah tak bisa bernapas lagi.
"Jahanam kau, Teratai
Kipas! Belum-belum kau sudah bikin persoalan dengan kami! Kau telah membunuh
sahabat kami; Jeprak Kurap! Maka kau harus menebusnya dengan nyawa. Tapi jika
kau mau tunjukkan di mana Tongkat Tulang Barong itu disimpan mendiang gurumu;
Selo Gantung, maka kumaafkan perbuatanmu ini."
"Siapa mereka?"
bisik Pendekar Mabuk mendekati Teratai Kipas.
"Orang-orang Bukit
Kopong. Mereka yang menamakan diri Tiga Pengawal Iblis!" Teratai Kipas
bicara pelan. "Pekerjaan mereka memburu pusaka untuk dijual dengan harga
tinggi kepada peminatnya."
"Hanya mereka
bertiga?"
"Tidak. Masih banyak yang
lain. Tapi kali ini agaknya hanya mereka bertiga yang berhasrat memiliki
Tongkat Tulang Barong. Pasti ada pemesan yang ingin membelinya." Teratai
Kipas agak mendekatkan wajah ke pundak Suto Sinting.
"Yang berbaju hitam itu
yang bernama Roh Seribu Dewa, yang berbaju merah menamakan dirinya Neraka
Berjalan."
Suto tersenyum geli.
"Lucu-lucu nama mereka."
"Biar kuatasi sendiri.
Aku masih mampu melawan mereka berdua."
Suto Sinting tersenyum dan
angkat bahu, lalu melangkah menepi, seakan menyerahkan urusan itu kepada
Teratai Kipas. Sementara Suto menepi, mata baju hitam yang bernama Roh Seribu
Dewa itu memperhatikan dengan buas. Roh Seribu Dewa berkumis lebat seperti
sayap kelelawar, sedangkan Neraka Berjalan berkumis tipis tapi panjang hingga
melengkung ke dagu. Ikat kepalanya berwarna merah, rambutnya tipis tapi panjang
selewat punggung, ia bersenjatakan cambuk warna merah. Matanya cekung dan
berkesan dingin. Sedangkan Roh Seribu Dewa bersenjata trisula gagang panjang,
kira-kira sepanjang satu ukuran pergelangan tangan sampai ketiak.
"Bicaralah, Teratai
Kipas; di mana pusaka mendiang gurumu itu tersimpan?!" kata Roh Seribu
Dewa dengan suaranya yang besar, sebab badannya juga besar.
"Aku tidak tahu! Aku
tidak diserahi untuk menyimpan pusaka itu!"
"Bohong!" bentak Roh
Seribu Dewa dengan mata melotot bagaikan mau lompat dari rongganya. Neraka
Berjalan segera mendekati Roh Seribu Dewa. Dengan mata pandangi Teratai Kipas,
ia berkata datar tertuju kepada Roh Seribu Dewa.
"Kalau tak dipaksa tak
akan bicara! Biar kubeset saja mulutnya. Siapa tahu semakin lebar semakin mudah
dipakai untuk bicara!"
Neraka Berjalan melangkah tiga
tindak, lalu berhenti dalam jarak empat langkah dari Teratai Kipas. Wanita muda
itu diam saja, tapi dalam keadaan siap diserang dan siap menyerang pula.
Kipasnya hanya dipakai untuk mengipas-ngipas bagian dadanya yang sekal itu.
"Kau mau bicara tentang
pusaka itu atau mau kubeset dulu di bagian mulut?!"
Teratai Kipas menjawab dengan
senyuman sinis. "Aku mau kau beset dulu dadamu, baru aku akan
bicara!"
"Kurang ajar!
Hiaaah...!" Weees...!
Tubuh Neraka Berjalan bagaikan
anak menjangan yang keluar dari sarang serigala. Melompat dengan cepat
menerjang Teratai Kipas. Gerakannya sangat tiba-tiba, sehingga Teratai Kipas
terperanjat kaget dan terpental karena saat menghindari gerakan itu pundaknya
terkena tendangan kaki lawan. Wuutt!
Bruugh...! Teratai Kipas jatuh
dalam jarak empat langkah ke samping. Tapi dengan satu kali gerakan berjungkir
balik di tanah ia sudah dalam keadaan berdiri dengan sigap kembali.
Pada saat itu, Roh Seribu Dewa
lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah
Teratai Kipas. Pukulan itu berupa sinar merah kecil seperti tutup gelas.
Claap...! Wrrrbb...! Kipas emas terbentang dan menghadang sinar merah. Kipas
itu disentakkan sedikit dalam gerakan mengibas.Wuutt...! Sinar merah yang
menyentuh kipas emas terbang kembali ke arah semula, bagaikan bola yang dipukul
balik oleh lawan yang diserangnya.
Wuuss...!
"Monyet...!" teriak
Roh Seribu Dewa sambil melompat ke atas hindari sinar merahnya sendiri itu.
Duuaaar...! Sinar merah
menghantam pohon dan pohon itu terbelah menjadi tiga bagian dalam keadaan masih
berdiri tegak.
Baru saja Teratai Kipas
selesai mengembalikan sinar merahnya Roh Seribu Dewa, tiba-tiba dari arah
kirinya datang serangan dari Neraka Berjalan. Sebuah lecutan cambuk yang
berkelebat dengan mengeluarkan cahaya biru terang.
Taarr...!
Sinar biru itu melesat dan
melingkari tubuh Teratai Kipas lalu mengecil dalam gerakan menjerat. Teratai
Kipas tahu bahwa sinar biru penjerat tubuh itu dapat mengakibatkan tubuhnya
terpotong menjadi dua bagian, sebab dulu seorang sahabatnya pun mati karena
sinar biru tersebut. Maka kaki Teratai Kipas segera menyentak ke bumi dan tubuh
pun melesat ke atas dengan bersalto satu kali ke arah belakang. Jleeg....! Ia
mendarat di samping kiri Suto Sinting. Sedangkan sinar biru itu mengecil dan
melakukan jeratan di udara kosong.
Duuaaar...! Sinar itu meledak
sendiri, memercikkan bunga api kemerahan. Teratai Kipas membalas dengan
menyentakkan kipas yang dikatupkan, lalu dari ujung kipas keluar selarik sinar
hijau yang mengarah ke dada Neraka Berjalan. Slaap...! Sinar hijau itu segera
dihantam dengan lecutan cambuk. Taarr...!
Blegaarr...! Maka meledaklah
pertemuan ujung cambuk dengan sinar hijau. Gelombang ledakannya cukup hebat,
dapat merontokkan dedaunan di sekeliling mereka. Sedangkan Neraka Berjalan
sendiri tersentak mundur tiga langkah dan jatuh terduduk bagai tak kuat menahan
gelombang sentakkan dari depan.
Suto Sinting hanya manggut-manggut
dengan tersenyum tenang, ia bagaikan benar-benar menikmati permainan jurus
orang-orang Bukit Kopong itu. Bahkan ketika Roh Seribu Dewa mencabut trisula
gagang panjang dengan gerakan melompat ke arah Teratai Kipas, Suto Sinting
justru membuka tutup bumbungnya dan menenggak tuaknya yang tinggal sedikit itu.
Gerakan menenggaknya pelan-pelan sekali, karena ia ingat di dalam bumbung tuak
itu ia menyimpan benda merah seperti telur burung.
"Heeaaah...!"
"Hiaaat...!" Teratai
Kipas bukan menghindari trisula yang ingin menghujam ke tubuhnya tapi justru
menyongsong trisula itu dengan satu lompatan seperti terbang tengkurap.
Traakk...! Kipas itu masuk ke
sela-sela trisula, menahan gerakan menghujam tubuh. Karena kipas pada waktu itu
dipegang tangan kiri, maka tangan kanannya segera menghantam ke dada Roh Seribu
Dewa,
sedangkan tangan orang
berbadan besar itu juga menghantam ke depan. Plaaakk...! Blaarr...! Pertemuan
telapak tangan mereka hasilkan ledakan besar dan seberkas sinar merah
berkerilap sesaat.
Teratai Kipas terjungkal ke
belakang dan jatuh berlutut. Tapi Roh Seribu Dewa terpental kehilangan
keseimbangan badan dan jatuh ke tanah dalam keadaan tertekuk kepalanya.
Buuhg...!
"Nggek...!
Kreekk...! Terdengar ada suara
tulang patah. Disusul dengan suara orang mengerang dengan suara berat. Roh
Seribu Dewa segera bangkit tapi lehernya masih tak bisa tegak, ia menyeringai
sambil menunduk dalam.
"Neraka Berjalan...!
Tolong kepalaku!" teriaknya dengan susah payah.
Neraka Berjalan segera
mendekatinya. Kepala itu disentakkan mendongak dengan gerakan cepat. Kleek...!
"Waaoww...!" Roh
Seribu Dewa menjerit kesakitan. Mulutnya ternganga lebar.
"Istirahatlah, biar
kuhabisi sekalian nyawa perempuan itu!" kata Neraka Berjalan. Lalu, ia
segera menyerang dengan maju dua langkah dan menyabetkan cambuknya ke arah
Teratai Kipas yang baru saja berdiri tegak kembali. Cetaaarr!
Cambuk bersinar biru menyabet
ke arah kiri, dan Teratai Kipas menghindar ke kanan. Cambuk itu mengenai batu
setinggi betis. Batu itu langsung terbelah dengan bekes belahannya menyala
merah membara.
Suto Sinting memandangnya
dengan rasa kagum dan senang. Hatinya berkata, "Benar-benar pengerahan
tenaga dalam yang cukup tinggi! Buktinya batu itu bisa terbelah dan belahannya
menyala bagaikan bara batuan lahar! Boleh juga ilmunya si Neraka Berjalan itu.
Pantas kalau dia berjuluk Neraka Berjalan. Cambuknya bisa menghadirkan kekuatan
api neraka yang membahayakan lawan. Teratai Kipas kalau tak hati-hati bisa
habis riwayatnya di ujung cambuk merah itu."
Kini cambuk itu melecut lagi
setelah diputar-putarkan di atas kepala beberapa saat. Teratai Kipas sempat
terperanjat, karena lecutan cambuk itu kali ini melepaskan sinar biru lima
larik bagai menyerang secara menyergap ke berbagai arah. Taaarr...! Srraap...!
Teratai Kipas tak punya cara
lain kecuali dengan menangkis. Maka kipasnya cepat-cepat dibentangkan dan
dikibaskan ke samping kanan. Wuuuk...!
Claapp...!
Sinar hijau keluar lagi dari
kibasan kipas tersebut. Kali ini melebar bagai membentuk perisai tembus pandang.
Sinar hijau itulah yang menangkis gerakan sinar biru lima larik dan akibatnya
terjadi lagi ledakan dahsyat yang sempat membuat beberapa pohon patah di bagian
dahannya. Blegaarr...!
Krrakk...! Brrruuuk...!
Tubuh kurus bermata cekung itu
terlempar ke belakang karena gelombang ledakan tersebut menyentak amat kuat.
Tubuh kurus itu menghantam pohon yang tadi terbelah tiga bagian dari atas ke
bawah itu. Kepalanya masuk di sela-sela belahan dan terjepit di sana.
Jlaaab...!
"Aauh...!" pekiknya
seketika. Tapi kepala itu segera dipaksakan untuk keluar hingga lecet dan
berdarah. Sementara itu, Teratai Kipas jatuh terkapar dengan mulut semburkan
darah segar akibat terhantam gelombang ledakan tadi. Wajahnya menjadi pucat
pasi, tenaganya bagaikan terkuras habis untuk menahan gelombang ledakan
tersebut
"Hiaaah...!" Neraka
Berjalan berteriak sambil melompat ke depan begitu melihat Teratai Kipas
terkapar. Cambuknya siap dilecutkan ke arah tubuh yang terkapar. Dapat diduga
tubuh itu akan terbelah menjadi dua bagian jika ujungnya menyentuh dada Teratai
Kipas. Gadis itu pun tak mungkin bisa menghindar lagi.
Melihat keadaan berbahaya,
Suto Sinting segera melompat dan menghadangkan bumbung tuaknya.
Traaat...! Cambuk itu
melingkar di bumbung tuak, menjerat
kuat. Pendekar Mabuk menahan ketika Neraka Berjalan berusaha menarik cambuk
tersebut. Percikan api masih terjadi, melompat-lompat mengelilingi tali cambuk
yang melingkar di bumbung tuak.
Dengan mengerahkan tenaga.
Neraka Berjalan berusaha menarik cambuk tapi tak pernah berhasil. Pendekar
Mabuk mempertahankan dengan memegangi bumbung itu menggunakan satu tangan.
Mereka saling adu kekuatan menarik, tentunya tenaga dalam mereka pun terkuras
untuk saling menarik. Tapi akhirnya tenaga Pendekar Mabuk lebh kuat, bumbung bambu
itu disentakkan ke belakang dan cambuk itu terlepas dari tangan Neraka Berjalan
sambil tubuh pemilik cambuk jatuh tersungkur ke depan. Wuuttt...! Teebb...!
Kini cambuk berada di tangan
Suto Sinting. Bumbung tuak masih di tangan kanan, sementara cambuk itu
dilecutkan oleh Suto Sinting menggunakan tangan kiri. Disabetkan di udara ke
sana-sini dan dari ujung cambuk luarkan
sinar merah berkelok-kelok sebagai pelepasan tenaga dalamnya Suto Sinting. Tar,
tar, tar, tar, tar, tar, taar...! Cambuk yang bagaikan mengamuk ke mana-mana
dengan sinar merah menjilat dahan-dahan pohon besar itu membuat Neraka Berjalan
bangkit dan terbengong-bengong memandanginya.
"Gila! Gerakannya begitu
cepat, hampir tak bisa kulihat lagi? Rupanya anak muda itu pandai memainkan
jurus cambuk?! Sinarnya pun berbeda dengan sinar yang kumiliki. Suaranya pun
menggema panjang. Oh, angina panas hadir di sini dan melayukan dedaunan? Setan
dari mana anak muda itu?!"
Setelah Pendekar Mabuk
hentikan amukan cambuknya, suasana menjadi hening. Neraka Berjalan adu pandang
dengan si pendekar tampan. Roh Seribu Dewa berusaha menatap pula walau
kepalanya sedikit terdongak dan masih sakit. Tak berapa lama, muncul suara
gemeretak, disusul dengan dahan-dahan pohon berjatuhan ke tanah. Brruk, bruk,
brrruuuk ..! Kraaak...!
Buurukk...! Braas...!
"Edan...!" gumam
Neraka Berjalan dengan mata memandang ke sana-sini memperhatikan dahan-dahan
pohon yang terpotong rapi akibat sabetan cambuk yang dimainkan Suto Sinting
tadi. Teratai Kipas yang kini berhasil duduk dengan napas sesak itu juga
memandang sekelilingnya dengan heran dan terkagum-kagum. Sedangkan Roh Seribu
Dewa hanya diam terpaku di tempat setelah melihat dahan-dahan pohon berjatuhan.
Pendekar Mabuk tersenyum
tipis. Cambuk itu dilemparkan kembali ke arah Neraka Berjalan. Prrukk...!
Cambuk jatuh tepat di depan kaki Neraka Berjalan. Lalu terdengar suara Suto
Sinting berkata,
"Ambillah cambukmu dan
belajarlah jurus cambuk yang lebih baik lagi!"
Neraka Berjalan yang berusia
sekitar lima puluh tahun sama seperti Roh Seribu Dewa itu hanya
terbengong-bengong walau sambil memungut cambuknya. Matanya tak berkedip
pandangi Suto Sinting penuh keheranan, ia mundur selangkah demi selangkah sampai tiba di samping Roh Seribu Dewa.
"Dia cukup
berbahaya!" bisiknya dalam geram.
Roh Seribu Dewa menjawab dalam
bisikan pula, "Dia bukan tandinganmu. Sebaiknya kita pulang dulu. Kita
perlu minta bantuan si Kumis Tengkorak!"
"Aku setuju!"
"Bawa mayat Jeprak Kurap
itu!"
Teratai Kipas berusaha berdiri
dan hendak mengejar lawannya, tapi ia terhempas ke depan nyaris jatuh
tersungkur. Untung segera ditangkap oleh kedua tangan Pendekar Mabuk.
"Mereka mau
lari...!"
"Biarkan! Jangan hiraukan
mereka. Kau terluka dalam. Sembuhkan dulu lukamu. Minum tuak ini! Ayo,
minumlah...!"
"Ak... aku... akku...
uuhg...!"
Werrrss...! Darah segar
muncrat lagi dari mulut Teratai Kipas. Tubuhnya melemas. Dingin sekali. Matanya
mulai terbeliak memutih.
"Teratai...!
Teratai...!" seru Suto Sinting sambil mengguncang-guncang tubuh gadis itu.
"Teratai... ber-tahanlah! Minumlah tuak ini! Lekas! Lekas!"
*
3
PERTEMUAN dengan Tiga Pengawal
iblis membuat Pendekar Mabuk mempunyai pemikiran baru. Jika benar kata Teratai
Kipas bahwa Tiga Pengawal iblis adalah orang-orang Bukit Kopong, dan
orang-orang Bukit Kopong adalah para pemburu pusaka untuk diperjual belikan,
maka tidak menutup kemungkinan bahwa si penculik Pisau Tanduk Hantu milik
Malaikat Miskin adalah orang-orang Bukit Kopong. Tentunya pusaka itu dicuri
untuk dijual kepada peminatnya. Bisa jadi
penjualnya adalah orang berilmu tinggi, yang dapat menyusup masuk ke
benteng Perguruan Tongkat Sakti.
Teratai Kipas yang akhirnya
tertolong dari luka berbahaya karena dipaksakan meminum tuak Suto Sinting itu,
membenarkan kesimpulan tersebut, ia berkata di ujung pagi, setelah mereka
bermalam di atas pohon pada dahan yang terpisah,
"Malaikat Miskin tak akan
mau percaya jika kita katakan pencurinya adalah orang-orang Bukit Kopong."
"Mengapa begitu?"
"Penguasa Bukit Kopong
adalah Cukak Tumbila. Menurut cerita yang kudengar dari guruku yang dulu; Cukak
Tumbila, Malaikat Miskin, dan Ki Selo Gantung adalah saudara seperguruan
seangkatan. Konon mereka sepakat untuk hidup sendiri-sendiri membentuk
perguruan dan tidak mau saling mengganggu. Jadi jika kita katakan pencuri Pisau
Tanduk Hantu adalah orang Bukit Kopong, pasti Malaikat Miskin akan
menyanggahnya. Bisa-bisa kita dianggap mengadu domba antara Perguruan Tongkat
Sakti dengan orang-orangnya Cukak Tumbila."
"Tapi buktinya orang
Bukit Kopong juga menghendaki pusaka milik mendiang gurumu, bahkan menyerangmu.
Apakah itu namanya tidak saling mengganggu?"
"Aku sependapat. Tapi
bagaimana menjelaskannya kepada Malaikat Miskin?"
Suto Sinting tarik napas
panjang-panjang bagaikan ingin mengisi paru-parunya dengan udara pagi yang
segar. Kejap berikutnya ia berkata,
"Tak perlu pikirkan
tentang pusakanya Malaikat Miskin. Toh Sumbaruni sudah tidak di tangannya,
tidak harus kutebus dengan pusaka tersebut. Yang perlu kita pikirkan, siapa
kira-kira orang yang membawa lari bocah Sumbaruni itu? Untuk apa dibawa lari
atau direbut dari tangan orang-orangnya Malaikat Miskin?"
"Bagiku kemungkinan
menuduh orang-orang Bukit Kopong masih ada."
Pendekar Mabuk cepat palingkan
wajah ke arah Teratai Kipas. "Apa maksudmu?"
"Mungkin yang merebut
Sumbaruni juga orang-orang Bukit Kopong!"
Suto berkerut dahi.
"Untuk apa kira-kira?"
"Tebusan!" Teratai
Kipas angkat dua pundaknya. "Mungkin ia inginkan tebusan dari Malaikat
Miskin, entah berupa pusaka atau berupa uang, yang jelas tak mungkin tak ada
tujuannya merebut bocah itu dari tangan Malaikat Miskin!"
Setelah merenungkan kata-kata
itu, Pendekar Mabuk angguk-anggukkan kepala. Mereka masih ada di atas pohon,
tempat tidur mereka yang paling alami. Suara kicau burung telah sirna dari
tadi. Tapi masih tersisa satu dua ekor yang berkicau di kejauhan, mungkin itu
adalah burung yang terlambat bangun karena malam harinya begadang dengan
temannya.
"Siapa orang terkuat di
Bukit Kopong selain Cukak Tumbila?" tanya Suto.
"Setahuku... orang
terkuat di sana adalah Durjana Belang. Dia punya ilmu paling tinggi dari yang
lainnya. Bahkan beberapa orang yang pernah menjadi korbannya sering
menjulukinya dengan nama si Maling Sakti."
"Seberapa tinggi
ilmunya?"
"Entah. Aku belum pernah
mencoba melawannya. Yang jelas, Roh Seribu Dewa dan Neraka Berjalan takut
kepada Durjana Belang."
"Aku jadi
penasaran," kata Suto Sinting setelah merenung. "Aku ingin datang ke
Bukit Kopong. Apakah kau bersedia membawaku ke sana?"
"Kau sama saja mencari
mati jika datang ke sana. Mereka ganas-ganas dan tidak suka melihat lelaki
tampan. Mereka merasa dikalahkan dan iri, sebab wajah mereka tak ada yang
tampan; simpang siur semuanya."
Suto Sinting tertawa pelan.
"Wajah kok simpang siur? Apa wajah mereka serupa dengan aliran arus
sungai?"
Sambil melompat turun dari
pohon Teratai Kipas menjawab, "Pokoknya wajah mereka kusut semua! Tak ada
yang tampan sepertimu!"
"Hei, mau ke mana
kau?"
"Ke sungai!"
jawabnya sambil berlari ke arah sungai. Tak jauh dari tempat mereka bermalam memang
ada sungai. Gemericik suara aliran air sungai terdengar samar-samar bila malam
tiba. Suto Sinting tak mau menyusul, karena ia tahu apa kepentingan perempuan
jika pergi ke sungai. Di atas pohon itu Suto Sinting masih merenungi nasib
Sumbaruni.
Namun mendadak ia dikejutkan
dengan kelebatan sesosok bayangan hitam-merah. Atas hitam, bawah merah.
Seseorang yang mengenakan pakaian warna itu sedang berlari menerabas semak.
Disusul kemudian gerakan cepat seorang berpakaian hitam dari atas sampai bawah.
Gerakan lari orang berpakaian hitam itu lebih cepat. Kalau yang dikejar tidak
berbelok-belok membingungkan, orang itu pasti akan tertangkap oleh pengejarnya.
"Siapa mereka?"
pikir Suto. Rasa penasaran timbul di hatinya. Rasa ingin tahu mendesak
hasratnya untuk turun dari pohon dan mengikuti pelarian mereka. Karena dalam
hati Suto Sinting membatin,
"Aku curiga! Sepertinya
orang yang mengejar itu adalah Durmala Sanca, atau Siluman Tujuh Nyawa?!"
Blaarr...!
Tiba-tiba Suto Sinting
mendengar suara ledakan. Bahkan tanah tempatnya berpijak menjadi bergetar. Suto
Sinting kian penasaran dan berlari dengan menggunakan ilmu 'Gerak Siluman' yang
mampu membuatnya melesat melebihi anak panah itu. Dalam waktu sekejap ia sudah
sampai di sebuah lereng berpohon jarang, berumput tipis dan bersemak renggang.
Di sana apa yang terjadi
adalah suatu pemandangan yang sudah terbayang di benak Pendekar Mabuk. Orang
berpakaian serba hitam itu memang Siluman Tujuh Nyawa. Tubuhnya berkerudung
kain hitam dari kepala sampai kaki. Wajah tampannya terlihat pucat memutih
bagai mengenakan bedak. Tapi bibirnya biru dan matanya dingin mirip mata mayat.
Di tangannya tergenggam senjata pusaka tongkat El Maut yang ujungnya membentuk
sabit panjang untuk memancung leher
lawan. Seperti biasa, Siluman Tujuh Nyawa adalah manusia sesat yang tak pernah
punya perubahan wajah. Kaku, dingin, datar, seakan tak pernah mencerminkan
perasaannya. Marah ya datar, sedih ya datar, tertawa ya datar, bahkan mungkin
buang air besar pun berwajah datar. Tak pernah menyeringai, itulah ciri Siluman
Tujuh Nyawa, tokoh sesat tertinggi untuk masa itu.
"Siapa orang yang sedang
dihajarnya itu?" pikir Suto Sinting sambil memperhatikan orang berbaju
hitam dan bercelana merah. Orang itu mempunyai rambut kelabu, botak bagian
depannya, tapi sisanya di bagian belakang dan samping masih panjang sepundak
kurang. Orang itu agak pendek, badannya sedang-sedang saja. Wajahnya bagaikan
wajah polos tanpa dosa, bahkan berkesan menyedihkan. Suto Sinting tak tega
melihat orang itu ditendang ke sana-sini oleh Siluman Tujuh Nyawa.
Saat tendangan itu berhenti,
orang bercelana merah itu mengerang kesakitan sambil memegangi dadanya.
Terdengar pula suara Siluman Tujuh Nyawa berkata, .
"Kuberi kesempatan sekali
lagi untuk menyerah. Kalau kau masih berkeras kepala, sebaiknya cepat-cepat
kukirim ke neraka!"
"Ak... aku... aku
benar-benar tidak tahu...!"
"Kesempatan sudah habis!
Pergilah ke neraka!"
Wuutt...! Siluman Tujuh Nyawa
tebaskan tongkatnya. Bagian ujungnya yang berupa lempengan besi tajam bagaikan
paruh burung bangau itu memenggal leher orang berpakaian hitam-merah. Tetapi
sebelum senjata itu mencabut nyawa dan memisahkan kepala dengan leher lawannya,
tiba-tiba tongkat El Maut terpental ke samping sehingga tubuh Siluman Tujuh
Nyawa terdorong dan hampir jatuh karena terpelanting memutar.
Wuuussstt...!
Tentu saja ada tenaga
penghantam yang diarahkan ke tongkat El Maut itu. Dan tenaga itu tak lain
datang dari tangan Pendekar Mabuk. Sebuah pukulan jarak jauh bertenaga dalam
tinggi tanpa sinar telah dilepaskan demi menyelamatkan nyawa orang bercelana
merah.
Zlaaap...! Suto Sinting
tahu-tahu sudah berada di samping orang bercelana merah yang merangkak-rangkak
mencari tempat aman. Orang itu berhenti dari gerakannya, kaget melihat
kemunculan pemuda tampan yang belum dikenalnya. Ia bahkan sempat berkata dengan
suara terpatah-patah,
"Pergi... lekas! Dia...
dia berilmu tinggi! Jangan lawan dia!"
Tetapi anjuran itu tak
dihiraukan, karena mata Pendekar Mabuk tertuju pada Siluman Tujuh Nyawa. Mata
itu memandang tajam dan Siluman Tujuh Nyawa memandang dengan dingin.
"Rupanya kau yang berani
mencampuri urusanku, Bocah ingusan?!" katanya dengan nada datar. Bibirnya
yang biru bagaikan enggan bergerak jika sedang bicara. Berbeda dengan Pendekar
Mabuk yang menggerakkan bibir dengan seenaknya dalam bicara, bahkan punya
senyum sinis yang bisa membakar kemarahan Siluman Tujuh Nyawa.
"Kau terkejut melihatku,
Durmala Sanca! Apakah kau berniat lari lagi dari hadapanku?"
Orang bercelana merah
membatin, "Wah, bocah ini cari penyakit! Dia belum tahu kekejaman Siluman
Tujuh Nyawa. Bisa-bisa jadi pepes mayat kalau kau bicara sembarangan,
Nak!"
Durmala Sanca melangkah ke
kiri sedikit hingga jaraknya tak terhalang sebatang kayu kering.
"Kali ini aku tak akan
lari sebelum memenggal kepalamu, Bocah Dungu!"
"Kita buktikan saja siapa
yang terpenggal kepalanya!" tantang Suto tak merasa gentar sedikit pun.
Wuuutt...! Tiba-tiba Siluman
Tujuh Nyawa bergerak bagaikan kilat menerjang Suto Sinting. Dan yang diterjang
pun bukan menghindar atau diam di tempat, melainkan justru melesat cepat dengan
'Gerak Silumannya yang nyaris tak terlihat mata orang bercelana merah itu.
Gerakan cepat menyongsong lompatan Siluman Tujuh Nyawa itu menghasilkan suatu
ledakan besar yang menggelegar. Blegaaarr...!
Rupanya perpaduan tongkat El
Maut dengan bumbung tuak menghasilkan daya ledak yang tinggi. Pendekar Mabuk
terpental tujuh langkah jauhnya, sedangkan Siluman Tujuh Nyawa terpental lebih
dari tujuh langkah. Tubuhnya membentur pohon besar. Bleess...! Tubuh itu lenyap
bagaikan bayangan menembus pohon. Untuk selanjutnya tak terlihat lagi oleh mata
siapa pun. Ia masuk ke alam gaib dalam keadaan terluka. Tentunya ia melarikan
diri lagi karena memang belum siap melawan Suto Sinting.
Padahal waktu itu Suto Sinting
sendiri mengalami luka lumayan parahnya. Dadanya terbakar hangus karena
gelombang ledak yang panas dan berkekuatan daya hentak tinggi itu. Mulut Suto
Sinting sempat keluarkan darah kental. Tapi ia buru-buru meminum tuaknya,
sehingga keadaan seperti itu dapat teratasi secara cepat. Bahkan ia bisa segera
menolong orang bercelana merah dengan meminumkan tuaknya pula.
"Aneh," pikir orang
itu. "Badanku cepat menjadi segar setelah meminum tuaknya. Padahal hanya
dua teguk, tapi... tapi rasa sakitku bagaikan hilang semua. Dan... oh, kurasa
anak muda ini bukan anak muda sembarangan. Siluman Tujuh Nyawa bisa dibuatnya
lenyap tak berbekas?!"
Belum selesai batinnya
berkecamuk, Suto Sinting sudah memberi pertanyaan lebih dulu, "Mengapa kau
berurusan dengan Siluman Tujuh Nyawa, Paman?"
Orang bercelana merah itu
sengaja dipanggil 'Paman' karena menurut Suto orang itu berusia sekitar lima
puluh lima tahun. Dan yang dipanggil ternyata tidak keberatan, ia menjawab
dengan senyum nyengir dan lucu, sebab wajahnya memang berkesan lucu; hidungnya
agak bengkok, matanya kecil, alisnya tipis, nyaris tanpa alis, kumis tak ada,
guratan ketuaan membekas tajam dari cuping hidung ke arah sisi kanan-kiri
mulut.
"Namaku...
Tosidana."
"Yang kutanyakan, ada
urusan apa dengan Siluman Tujuh Nyawa!" ulang Suto.
"Oo... anu, yaah...
urusan sepele saja. Tak perlu kujelaskan. Tapi kurasa kau tahu sendiri, Siluman
Tujuh Nyawa tak suka melihat orang senang."
"Di mana kau bertemu
dengannya, Paman?"
"Yah, lumayan. Sudah agak
sehat, terutama setelah minum tuakmu tadi."
Pendekar Mabuk menghempaskan
napas jengkel. "Aku bertanya, di mana kau bertemu dengan Siluman Tujuh
Nyawa itu?"
"Ooo... ya di sana! Jauh
dari sini!" jawabnya sambil nyengir. "Aku ucapkan banyak-banyak
terima kasih kepadamu, Anak Muda. Kalau tak ada kau, aku pasti sudah tak punya
kepala lagi. Pasti akan bingung bagaimana cara menggosok gigi jika aku tanpa
kepala lagi. He he he...! Kau memang hebat. Siapa namamu?"
"Namaku Suto!"
"Nama yang bagus. Pantas
untuk nama sebuah pusaka agung," orang itu menepuk-nepuk punggung Suto
Sinting, karena hanya punggung tengah saja yang bisa dicapai oleh tangannya.
Tinggi orang itu kurang dari sebatas pundak Suto Sinting. Tak heran jika ia
hanya menepuk-nepuk punggung tengah Suto untuk menyatakan rasa bangga dan
pujiannya terhadap nama Suto.
"Lain kali jangan bikin
masalah dengan Siluman Tujuh Nyawa, Paman. Dia orang berbahaya dan berdarah
dingin. Tak segan-segan membunuh lawannya!" Suto Sinting berujar pelan.
"Sebenarnya bukan aku
yang cari masalah, tapi dia sendiri yang bikin masalah. Perkaranya sepele saja.
Dia ingin meminta anak gadisku yang masih kecil. Entah mau untuk apa, usia anak
itu saja baru dua tahun kurang. Lalu aku mempertahankan anakku itu. Eh, dia
marah! Waktu kuserang, dia tak bergeming. Tentu saja aku segera kabur dan cari
selamat. Eh, malah yang kutemukan bukan si Selamat melainkan si Suto! He he he
he...!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum
geli melihat gaya bicara orang itu. Lucu tapi menjengkelkan.
"Sekarang anakmu ada di
mana?"
"Ibunya sudah meninggal.
Jadi anak itu kurawat sendiri."
"Paman, yang kutanyakan
anak itu ada di mana?!" tandas Suto dengan jengkel.
"Ooo... anak itu sekarang
ya ada di.... Wah, iya?!" orang itu terkejut dan menepak jidatnya sendiri.
Plak...! Lalu menyambung kata,
"Anakku kutinggalkan di
bawah pohon sana?! Ya, ampuuun... aku sampai lupa membawanya lari kemari?
Waaah... bisa dimakan macan anak itu kalau kelamaan ditinggal pergi! Sebentar,
Suto... aku akan ambil anakku dulu!"
Brebeett...! Orang itu
langsung lari ke arah semula dengan terburu-buru. Suto Sinting tertawa kecil
sendirian.
"Sama anaknya sendiri kok
sampai lupa tidak dibawa lari? Hmm... dasar penakut! Begitu tahu kekuatan
Siluman Tujuh Nyawa, ia lari sendiri tanpa pedulikan anaknya. Benar-benar
potongan seorang ayah yang tidak bertanggung jawab kepada anaknya sendiri. Ia
takut mati demi membela anak."
Senyum Suto disertai
geleng-geleng kepala. Tapi senyum itu segera pudar dan dahi segera berkerut
ketika batin berkata, "Jangan-jangan bukan anaknya sendiri? Jangan-jangan
anak itu adalah Sumbaruni yang kian mengecil?!"
Seketika itu juga Suto Sinting
gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya untuk mengejar orang yang mengaku bernama
Tosidana itu. Pengejaran itu sempat salah arah sebentar, karena ia tertipu oleh
sekelebat bayangan yang melintas ke arah timur. Ketika bayangan yang berkelebat
itu berhasil disusulnya, ternyata orang tersebut bukan Tosidana, melainkan
Menak Goyang.
"Sial! Dunia ini sempit
sekali sepertinya. Lagi-lagi yang kutemui kau, Menak Goyang!"
Gadis berambut panjang yang
diikat ke belakang dengan bagian depannya berponi itu mulai salah tingkah.
Badannya tak bisa diam, bergerak terus. Kadang mondar-mandir, kadang diam
dengan kaki bergerak-gerak atau pinggul bergoyang-goyang.
"Kurasa kau mengikutiku
sejak kemarin sore, Menak Goyang."
Menak Goyang hanya tersenyum.
Semakin salah tingkah setelah dipandangi oleh Suto tak berkedip. Akhirnya ia
berkata, "Memang aku mengikutimu. Tapi sayang aku tak bisa mendekat,
sehingga tak kudengar apa saja yang kau bicarakan dengan Teratai Kipas dan
gurunya itu. Tapi kulihat kau dan gurunya Teratai Kipas sudah saling mengenal
akrab."
"Kami hanya membicarakan
tentang orang-orang Bukit Kopong yang punya kemungkinan sebagai pencuri Pisau
Tanduk Hantu milik gurumu itu!" kata Suto sengaja memancing pendapat. Tapi
Menak Goyang agaknya kurang tertarik dengan kata-kata Suto Sinting, sehingga ia
berkata sambil gelengkan kepala,
"Itu hanya tipuanmu saja.
Mungkin kau memang bekerja sama dengan Teratai Kipas, dan sepakat mengalihkan
pandangan kami kepada orang-orang Bukit Kopong. Tapi kami tahu mereka tak
mungkin berani mengusik kami."
"Apakah kau juga melihat
pertarungan Teratai Kipas dengan Tiga Pengawai Iblis?" pancing Suto, dan
setelah Menak Goyang mengangguk, Suto berkata lagi,
"Mereka menghendaki
Tongkat Tulang Barong milik mendiang Ki Selo Gantung. Padahal ketua Bukit
Kopong; Cukak Tumbila adalah saudara seperguruan Ki Seio Gantung dan Maiaikat
Miskin. Jika mereka sekarang sudah berani mengusik pusaka Ki Selo Gantung,
tentunya mereka juga mulai berani mengusik pusakanya Malaikat Miskin."
Menak Goyang mulai berpikir ke
arah pembicaraan Suto. Ia mondar-mandir ke kanan-kiri tiga langkah-tiga
langkah. Akhirnya terdengar ia berkata,
"Selama ini Cukak Tumbila
sungkan dengan guruku!"
"Perbuatan anak buah
Cukak Tumbila tentunya diluar sepengetahuan Cukak Tumbila sendiri. Barangkali
saja jika Cukak Tumbila tahu, orang itu akan dihajarnya. Tapi pernahkah kau dan
gurumu mencoba bicara dengan Cukak Tumbila? Pernahkah kau menyelidik ke
sana?"
Ada kecemasan yang dipendam di
hati Menak Goyang, ada kegelisahan yang semakin membuat gerak-gerak tubuhnya
kian tak beraturan. Suto Sinting tambahkan kata untuk pengaruhi keyakinan Menak
Goyang.
"Barangkali kau memang
tak harus percaya dengan dugaanku ini, tapi setidaknya kau punya bahan untuk
diperhitungkan dan dibicarakan dengan Malaikat Miskin."
"Jika benar yang mencuri
pusaka Pisau Tanduk Hantu adalah orang-orang Bukit Kopong, berarti mereka pula
yang merebut adik kecilmu itu!"
"Mungkin juga!"
sambil Suto Sinting bentangkan kedua tangan dan angkat pundaknya. Sikapnya
tenang dan meyakinkan.
"Jika begitu," kata
Menak Goyang, "Mengapa tak kau desak si Maling Sakti tadi? Mengapa kau
biarkan dia pergi meninggalkan dirimu?"
"Maling Sakti?!"
Suto Sinting kerutkan dahi. "Aku tak mengerti maksudmu."
"Orang yang kau
selamatkan dari tangan Siluman Tujuh Nyawa itu adalah Durjana Belang alias si
Maling Sakti."
Suto terperanjat dan menatap
gadis itu dengan sedikit curiga. "Bukankah dia bernama Tosidana?"
"Hmm...," Menak
Goyang tersenyum tipis. "Kau telah terkecoh. Seharusnya kau desak si
Maling Sakti itu untuk mengaku perbuatan yang sebenarnya. Jika benar dia yang
mencuri pusaka itu dan merebut adikmu, berarti kau harus memaksanya pula untuk
mengembalikan adikmu yang lucu itu! Tapi hati-hati, dia punya ilmu tinggi
tersembunyi di balik kebodohan dan keluguan wajahnya.
Pendekar Mabuk terbungkam
sesaat. Menak Goyang segera pergi tanpa pamit. Tapi Suto Sinting sempat
berseru, "Mau ke mana kau?!"
"Bicarakan kesimpulanmu
dengan Guru!" seru Menak Goyang, setelah itu melesat tak terlihat lagi.
4
KALAU saja kala itu Pendekar
Mabuk bersama-sama Teratai Kipas, maka ia akan diberitahu bahwa orang yang
mengaku bernama Tosidana itu sebenarnya adalah Durjana Belang alias si Maling
Sakti. Teratai Kipas kenal betul dengan wajah si Maling Sakti, karena ia pernah
berhadapan dalam satu pertemuan setelah Ki Selo Gantung dimakamkan.
Teratai Kipas yang pulang dari
sungai habis melepaskan hasrat kotornya dan cuci muka alakadarnya, sempat
kebingungan mencari Suto Sinting di sekitar pohon tempat mereka tidur semalam.
Namun begitu melihat sekelebat bayangan yang berlari melintas di kejauhan sana,
Teratai Kipas segera mengejarnya sebab ia kenali wajah orang yang berlari itu
adalah wajah si Maling Sakti. Teratai Kipas curiga dan mengikutinya, sampai
akhirnya mereka tiba di sebuah lembah berkabut tipis. Maling Sakti berhenti,
clingak-clinguk bagai orang penuh kecemasan dan takut dilihat orang lain.
Kemudian ia menyusup masuk ke celah-celah bebatuan besar setinggi rumah.
Gerakannya itu hanya
diperhatikan Teratai Kipas dari balik semak. Tak berapa lama kemudian Maling
Sakti keluar dari celah-celah bebatuan yang menyerupai bilik-bilik kamar itu.
Di tangannya telah tergendong seorang bocah berusia sekitar dua tahun kurang.
Bocah itu tak lain adalah gadis kecil Sumbaruni yang kini menjadi lebih kecil
dari saat dilihat Teratai Kipas di Perguruan Tongkat Sakti itu. Teratai Kipas
sempat heran melihat perubahan Sumbaruni, tapi rasa heran itu segera
disingkirkan karena ia harus menghadang langkah Maling Sakti yang hendak
tinggaikan tempat itu.
Jleegg...!
"Teratai Kipas...?!"
Maling Sakti kaget, lalu buru-buru nyengir.
"Anak siapa itu?"
pancing Teratai Kipas.
"Anak... anak
pamanku."
Bocah kecil yang digendong
Maling Sakti berkata, "Bukan! Aku Sumbaruni, kekasihnya Suto
Sinting!"
Maling Sakti tertawa mendengar
bocah kecil itu bisa bicara lancar seperti orang dewasa, ia tidak tahu siapa
sebenarnya bocah itu. Ia mengambilnya dari tangan orangnya Malaikat Miskin
karena suatu maksud tertentu, dan ketika diambilnya keadaan Sumbaruni sudah
lebih kecil dari saat di tangan Malaikat Miskin. Sebenarnya tubuh Sumbaruni
kian menyusut, tapi perubahan itu kurang diperhatikan oleh Maling Sakti.
"Durjana Belang, untuk
apa kau rebut anak itu dari tangan orangnya si Malaikat Miskin?"
Maling Sakti hanya
cengar-cengir. "Rupanya kau tahu tentang anak ini, lebih tahu kau daripada
diriku, Teratai Kipas!"
"Karena aku pernah
melihat anak itu dalam keadaan lebih besar dari sekarang! Sebaiknya serahkan
anak itu padaku supaya aku tidak bersikap kasar padamu, Maling Sakti!"
"He he he he...!"
Maling Sakti tertawa meremehkan. "Siluman Tujuh Nyawa saja menghendaki
bocah ini dan aku mempertahankan dengan bertaruh nyawa, apalagi kau yang
memintanya. Jelas tak akan kuberikan!"
"Mengapa tidak kau
berikan?"
"Seseorang membutuhkan
bocah ini, dan ia berani membayarku mahal jika bisa serahkan bocah ini ke
tangannya."
"Siapa orang itu?"
"Gerhana Mandrasakti!"
Teratai Kipas berkerut dahi,
merasa asing dengan nama itu. Tapi bocah Sumbaruni tampak terkejut, ia segera
berseru dengan gerakan meronta yang lemah karena kebocahannya.
"Aku tidak mau! Aku tidak
mau diserahkan pada Gerhana Mandrasakti! Dia pasti akan membunuhku, karena dia
punya dendam padaku! Aku tidak mau!"
Gerakan meronta itu membuat Maling Sakti sedikit kewalahan karena
wajahnya dipukul-pukul oleh tangan kecilnya si bocah Sumbaruni. Kesempatan itu
dipergunakan oleh Teratai Kipas untuk menghantam pinggang kiri Maling Sakti.
Pukulan telapak tangan yang menghentak kuat pada pinggang membuat tulang rusuk
Maling Sakti bagaikan retak. Buuk...! Krek...!
"Uuhg...!"
Maling Sakti terpental namun
tak sampai jatuh. Bocah itu masih ada dalam gendongannya. Wajah Maling Sakti
mulai merah sebelah kiri. Wajah itu menjadi belang jika ia dilanda kemarahan.
Itulah sebabnya ia bernama Durjana Belang. Dan melihat wajah Maling Sakti sudah
merah sebelah, Teratai Kipas mulai mencabut senjata kipasnya. Karena ia tahu
jika wajah Maling Sakti berubah Belang, maka ilmu-ilmu mautnya akan segera
dilancarkan.
"Kau memancing
kemarahanku, Teratai Kipas! Jangan menyesal kalau nyawamu kucabut sekarang
juga! Hiaaah...!"
Tangan kiri memegangi
Sumbaruni, tangan kanannya menyentak ke depan. Dari tengah telapak tangan itu
melesat butiran-butiran kecil seperti kacang hijau tapi berwarna putih logam
mengkilat.
Srrruub...!
Butiran kecil itu berjumlah
cukup banyak, menyerang Teratai Kipas dengan gerakan menyebar. Teratai Kipas
sempat terperangah kaget, batinnya menyebut kata, "Mutiara Lahar?!"
Dengan serentak kedua kakinya menghentak ke tanah dan tubuh Teratai Kipas
melayang naik bersalto satu kali. Gerakan turunnya menukik, dan kipasnya
dikibaskan ke arah butiran-butiran yang disebut 'Mutiara Lahar' itu.
Wuuurrt...! Angin kibasan kipas menderu, menyebarkan butiran 'Mutiara Lahar'
yang segera menghantam batu, pohon dan apa saja yang ada di sekeliling mereka.
Taar, trarrt, taar... blaarr...! Batu, pohon dan apa saja yang terkena satu
butir dari sekian banyak 'Mutiara Lahar' itu akan meledak dan mengobarkan nyala
api yang sulit padam, itulah kehebatan jurus 'Mutiara Lahar' milik si Maling
Sakti. Kini hutan itu bagikan terbakar. Asap mengepul di sana-sini, kabut kian
menebal karena bercampur asap kebakaran tersebut. Namun hal itu tidak
dipedulikan oleh Teratai Kipas. Begitu kakinya mendarat di atas bongkahan batu
yang tidak ikut terkena butiran 'Mutiara Lahar' ia segera sentakkan kipasnya
dalam keadaan terkatup. Wuuuttt...! Claapp...!
"Aaaa...!" bocah
Sumbaruni menjerit ketakutan melihat sinar hijau melesat dari ujung kipas
mengarah ke tubuh Maling Sakti. Bocah itu merasa takut kalau-kalau tubuhnya
digunakan sebagai perisai menghadang sinar hijau tersebut. Tapi agaknya Maling
Sakti tak mau kehilangan bocah tersebut, sehingga sinar hijau itu hanya ditahan
dengan telapak tangan kanannya saja.
Deeb...! Telapak tangan itu
tak mampu ditembus sinar hijau karena menyala merah bagaikan batuan lahar
membara. Sinar hijau itu padam seketika dan mengepulkan asap hitam
keputih-putihan. Jroosss...! Tiba-tiba tangan yang masih menyala merah itu
menggenggam, lalu melemparkan sesuatu yang digenggamnya itu ke arah Teratai
Kipas. Wuuusss...!
Bola hitam bagai terbuat dari
gumpalan asap hitam keputih-putihan melesat cepat ke arah Teratai Kipas. Dengan
cekatan kipas emas dibentangkan. Breet...! Bola asap dihantam dengan kipas
tersebut.
Blegaarr...!
Ternyata bola asap itu
berbahaya. Ledakannya timbulkan gelombang panas yang menghentak kuat dan
membuat tubuh Teratai Kipas terpental jauh ke belakang sana. Jatuhnya pun
terkapar tak bisa jaga keseimbangan tubuh. Brruk!
"Uhg...!" ia
mengerang ketika berusaha untuk bangkit. Dadanya dipegangi. Dada itu terasa mau
jebol karena sentakan gelombang ledak tadi. Teratai Kipas keluarkan darah
kental dari mulutnya. Ketika mencoba berdiri ia terhuyung-huyung karena
persendiannya terasa rapuh dan tak berurat lagi. Ia jatuh tersandar pada sebuah
pohon, masih berusaha untuk berdiri walau hanya menggunakan satu lututnya.
"Janjiku kutepati!
Sekaranglah saatnya mencabut nyawamu, Teratai Kipas!" seru Maling Sakti,
lalu ia berlari dan melompat sambil bersalto dua kali.
"Aaaauuh...!" bocah
Sumbaruni menjerit ketakutan dibawa melayang dan berguling-guling di udara.
Gerakan tubuh yang melayang itu bagaikan sang maut yang mendatangi Teratai
Kipas.
Dengan mengerahkan sisa
tenaganya, Teratai Kipas segera sentakkan kipasnya dalam keadaan terbuka.
Wuuuttt...! Claapp...! Sinar putih perak keluar dari kipas itu dalam bentuk
lingkaran bergelombang-gelombang. Sinar itu menyongsong tubuh Maling Sakti yang
bergerak turun. Blaarrr...!
"Aaaa...!" bocah
Sumbaruni terpental lepas dari pelukan Maling Sakti. Bocah itu melayang-layang
di udara, sementara Maling Sakti sendiri rubuh dalam keadaan tubuhnya keluarkan
asap tipis, pakaiannya menjadi comping-camping bagai habis disambar petir.
Namun ia masih sadar, masih bisa melihat tubuh kecil yang melayang karena
terpental oleh ledakan tadi. Maling Sakti yang terluka dalam dan keluarkan
darah dari lubang hidung, telinga dan mulut itu segera bangkit untuk menangkap
tubuh kedi yang mulai bergerak turun.
Tetapi sebelum Maling Sakti
berhasil menangkapnya, sesosok bayangan berkelebat menyambar bocah Sumbaruni
ketika masih di udara. Wuuuttt...! Bocah itu pingsan, tak terdengar lagi
suaranya. Kini ia berada dalam pelukan seorang pemuda tampan berpakaian coklat
putih. Pemuda itu tak lain adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting, murid si Gila
Tuak dan Bidadari Jalang.
"Syukurlah dia
datang," pikir Teratai Kipas dengan merasa lega, namun rasa sakit di
dadanya masih belum tersembuhkan walau sudah menyalurkan hawa murninya ke
bagian dada.
"Kkau...?!" Maling
Sakti pandangi Pendekar Mabuk dengan wajah tegang. Terbayang dalam ingatannya
tentang Siluman Tujuh Nyawa yang menurut anggapannya telah berhasil dilenyapkan
oleh Suto Sinting, ia mulai ciut nyali dan tak berani lepaskan serangan ke arah
Pendekar Mabuk.
Sementara itu, Suto Sinting
bergegas mendekati Teratai Kipas dan memberikan bumbung tuaknya. "Minum
sedikit saja...!" Teratai Kipas tak menolak dan segera meneguk tuak
tersebut.
Suto Sinting bicara kepada
Maling Sakti, "Sudah kuduga kau adalah si Maling Sakti yang membawa lari
bocah ini! Apakah kau juga yang mencuri pisau pusaka Malaikat Miskin?"
"Aku tak melukai bocah
itu. Tidak. Lihat dan periksalah!"
"Yang kutanyakan, apakah
kau yang mencuri pisau pusakanya Malaikat Miskin?"
"Oo... tid... tid...
tidak...!" Maling Sakti jatuh lagi saat berusaha berdiri, ia menyeringai
kesakitan! Sementara itu ia pun melihat Teratai Kipas sudah bisa berdiri dan
tampak mulai sehat.
"Suto, tinggalkan dia dan
cepat menuju ke puncak temui Eyang Guru Betari Ayu!" kata Teratai Kipas
dengan suara pelan.
Ketika mereka hendak bergegas
pergi, Maling Sakti berusaha serukan kata,
"Suto... tolonglah aku!
Tu... tuakmu membuat Teratai sembuh. Tolong berikan tuakmu itu!"
"Jangan hiraukan
dia!" kata Teratai Kipas sambil menarik lengan Suto agar teruskan langkah.
"Sutooo...!
Tolonglah...!" ratap Maling Sakti yang badannya mulai menghitam karena
hangus dihantam sinar perak dari kipas emas itu.
"Kasihan dia," bisik
Pendekar Mabuk.
"Dia licik. Dia bisa
celakakan dirimu kalau dia tertolong jiwanya!"
"Anggap saja ini sebagai
peringatan baginya. Sekali lagi dia berani mengusik kita, tak ada ampun lagi
baginya!"
Sambil masih tetap menggendong
bocah Sumbaruni di tangan kiri, Suto Sinting dekati Maling Sakti, bumbung tuak
dituang ketika mulut Maling Sakti membuka ternganga. Krucuk, krucuk, krucuk...
pluk! Glek!
Maling Sakti mendelik seperti
merasakan sesak tanggorokannya. Lalu ia pejamkan mata untuk menelan sesuatu
yang mengganjal di tenggorokannya itu. Setelah itu ia berseru, "Kurang
ajar!"
"Kenapa?" tanya Suto
Sinting sedikit curiga.
"Apa yang kau jejalkan
masuk ke mulutku?"
"Hanya... hanya tuak! Air
tuak!"
"Aku telah menelan
sesuatu. Seperti bulatan kecil berkulit halus!"
Tiba-tiba Pendekar Mabuk ingat
dengan telur aneh yang ditemukan di reruntuhan pondok Nyai Sapu Lanang.
Terkejutlah sang pendekar setelah ingat hal itu. Ia tidak tahu apa benda itu
sebenarnya, tapi ia membayangkan alangkah sesaknya benda itu masuk ke
tenggorokan Maling Sakti.
"Ada apa?" tanya
Teratai Kipas yang kian segar badannya.
Suto Sinting melangkah jauhi
Maling Sakti dan berkata pelan, "Ia telah menelan telur aneh yang
kutemukan di reruntuhan pondok Nyai Sapu Lanang."
"Telur aneh apa? Saat
kuhancurkan pondok itu, tak ada telur aneh di situ!"
"Mungkin kau tidak
melihatnya. Tapi aku menemukannya. Bentuknya seperti telur burung puyuh,
warnanya merah, berkulit tipis seperti kulit ari. Cairan di dalamnya seperti
darah."
"Celaka!" mata
Teratai Kipas terbelalak tegang, ia diam terpaku di tempat.
"Apakah... apakah tTelur
itu yang dinamakan Telur Mata Setan?" tanya Suto dengan nada curiga.
Tapi gadis itu hanya mendesah menyimpan
keresahannya, ia tak mau menjelaskan maksud ketegangannya itu. Ia bahkan
berkata, "Cepat kita ke puncak!"
"Tunggu dulu!"
sergah Suto Sinting. "Jelaskan dulu benda apa sebenarnya yang kutemukan
dan ditelan oleh Maling Sakti itu!"
Mereka beradu pandang sesaat.
Teratai Kipas tak berani menyembunyikan ketegangannya lagi, karena ia tahu
dengan siapa ia berhadapan saat itu. Maka dengan suara sangat pelan tak
didengar Maling Sakti, TerataiKipas menjawab,
"Kalau tak salah
dugaanku... benda itu adalah Batu Sembur Getih."
"Apa kehebatan Batu
Sembur Getih?"
"Seseorang yang menelan
Batu Sembur Getih hidupnya akan tergantung dari darah manusia lain. Ia tak akan
pernah bisa menerima makanan lain; nasi, jagung, ketan dan sebagainya.
Makanannya hanyalah darah. Dan setiap ia habis meminum darah manusia, maka
kesaktiannya akan berlipat ganda. Badannya akan kebal oleh senjata apa pun.
Bahkan sinar tenaga dalam sukar menembus tubuhnya."
"Gawat!" Suto
Sinting memandang ke arah Maling Sakti. Ternyata orang tersebut telah lenyap,
melarikan diri jauh di seberang sana. Bayangan sosok tubuhnya hanya terlihat
bagai sebuah titik yang kian menjauh.
"Maling Sakti pergi! Dia
pasti akan semakin gila dengan kedurjanaannya!" gumam Suto Sinting kepada
dirinya sendiri.
"Mestinya batu itu kau
telan saja, karena batu itu berasal dari gumpalan darah dewa."
"Aku tidak tahu kesaktian
benda itu. Sebelum kupelajari, kusimpan dulu dalam bumbung tuakku. Ternyata
tuak yang tinggal sedikit ini membut batu itu menggelincir masuk ke mulut si
Maling Sakti! Celaka betul keadaan ini!"
"Lupakan dulu urusan itu.
Kita harus segera temui Eyang Guru Betari Ayu dan membawa Sumbaruni yang
pingsan itu," Teratai Kipas mengingatkan.
Sambil melangkah menuju
puncak, Suto Sinting sempat bertanya, "Mengapa Nyai Sapu Lanang tidak
menelan batu itu saja? Bukankah kalau dia menelan batu itu ia menjadi orang
yang lebih sakti lagi dan mungkin sukar kukalahkan? Apakah ia sendiri tak tahu
manfaat Batu Sembur Getih itu?"
"Kurasa Nyai Sapu Lanang
mengetahui kehebatan batu itu. Barangkali ia menunggu seseorang yang akan
mendapat hadiah Batu Sembur Getih, terutama seorang lelaki. Sebab Batu Sembur
Getih hanya bisa dipergunakan untuk seorang lelaki dan tidak berlaku bagi
wanita."
Suto Sinting manggut-manggut,
"Pantas waktu Nyai Sapu Lanang merayuku agar mau melayaninya, ia sempat
berkata bahwa aku akan diberi hadiah yang sangat berharga jika mau melayaninya
sampai ia mempunyai keturunan. Hanya sampai batas ia bisa hamil saja, maka aku
akan diberi hadiah sebuah pusaka yang tiada tandingannya. Mungkin Batu Sembur
Getih itulah yang dimaksud sebagai hadiah untukku."
"Mengapa kau tak
mau?"
"Mendapat Batu Sembur
Getih adalah hal yang menyenangkan, tapi tebusannya itu yang membuatku
keberatan!"
Teratai Kipas tertawa kecil. "Tebusannya
tak seberapa berat, kan? Capeknya tak melebihi orang berlari dari sini ke
puncak gunung!"
Suto Sinting tertawa malu.
"Siapa bilang? Justru capeknya melebihi kita berlari dari sini ke
matahari!"
Tawa mereka berderai, namun
segera terputus karena rasakan ada getaran pada tanah yang diinjaknya.
Batu-batu mulai bergerak, sebagian ada yang menggelinding bagaikan terjadi
gempa setempat. Wajah Suto dan Teratai Kipas sama-sama menegang. Getaran bumi
kian kuat, pohon-pohon kecil mulai tumbang.
"Ada apa ini...?!"
Teratai Kipas memandang tegang ke sekelilingnya.
"Jangan jauh dariku.
Mendekatlah!" kata Suto pelan. "Sepertinya ada pihak lain yang ingin
mengganggu perjalanan kita ke puncak!"
Suto Sinting yakin bahwa gempa
itu adalah gempa kiriman. Tapi siapa orangnya yang mengirimkan gempa masih
belum diketahui mereka.
5
KABUT menebal di puncak Gunung
Kundalini. Kabut putih membawa hawa salju itu merambah di permukaan tanah
sebatas mata kaki, di sisi lain ada yang tinggi ketebalannya sampai sebatas
betis.
Pesanggrahan yang dibangun di
puncak gunung itu dalam ukuran kecil dan sangat sederhana. Di pesanggrahan
itulah seorang wanita cantik mengasingkan diri ditemani oleh bekas muridnya
dari Perguruan Merpati Wingit. Perempuan itu tak lain adalah Nyai Guru Betari
Ayu, dan murid setianya adalah Selendang Kubur. Kedatangan Suto Sinting membuat
Nyai Guru Betari Ayu berwajah cerah ceria, walau ia menyimpan keharuan atas
cinta yang terpendam dan sampai saat itu tak bisa dihancurkan. Sekalipun
demikian, cinta itu hanya bisa diendapkan di dasar hati dan tak ingin
dicurahkannya seperti dulu, karena Nyai Guru Betari Ayu sadar bahwa Suto
Sinting adalah calon suami adiknya; Dyah Sariningrum.
Untuk sesaat Nyai Guru Betari
Ayu termenung melamunkan masa-masa perpisahannya dengan Pendekar Mabuk, setelah
ia serahkan Kitab Wedar Kesuma sebagai pelengkap mas kawin yang diminta Dyah
Sarinigrum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Utusan Siluman
Tujuh Nyawa").
Betari Ayu adalah sosok
perempuan yang bijak dan lembut. Penampilannya masih belum berubah. Tetap
cantik, anggun dan berkharisma tinggi. Jubahnya kuning, pakaian dalamnya biru.
Rambutnya panjang, dengan ikat kepala dari tali merah bintik-bintik kuning
emas. Ujung tali itu ada logam kuning seperti mata tombak, dan memang bisa
digunakan sebagai senjata di kala itu.
Ia tak berani menatap Pendekar
Mabuk terlalu lama, sebab jika memandang terlalu lama dadanya bergemuruh dan
hatinya berdebar-debar nyeri. Ada cinta yang dibuang dan dilupakan. Rasa cinta
itulah yang sering membuatnya nyeri. Betari Ayu tak mau mengenangnya. Sebab itu
ia tak mau hanyut dalam lamunan yang terlalu dalam.
Teratai Kipas duduk bersila
jauh di belakang Suto, sedangkan Selendang Kubur ada di samping kanan Pendekar
Mabuk. Bocah Sumbaruni yang telah siuman ikut duduk di samping kiri Suto
Sinting, ia seperti bocah baru bisa berjalan, lucu dan menggemaskan. Tapi
caranya duduk bersila menunjukkan sikap kedewasaannya yang tidak ikut susut
termakan Racun Ludah Naga.
"Kudengar kau mencari
Telur Mata Setan untuk pulihkan keadaan Sumbaruni?"
"Benar, Nyai. Petunjuk
itu kuperoleh dari Bongkok Sepuh dan Nyai Paras Murai!" jawab Suto Sinting
dengan kalem. "Tapi menurut keterangan Teratai Kipas dan Selendang Kubur,
telur itu hanya ada dalam dongeng anak-anak saja. Aku tak tahu mana yang benar
dari kenyataan itu."
"Selama itu Telur Mata
Setan memang hanya ada dalam dongeng. Artinya, dongeng tentang Telur Mata Setan
menjadi dongeng ciri khas rakyat di sekitar Gunung Kundalini."
"Tetapi ketika kami
menuju kemari, kami dihadang oleh Resi Pakar Pantun yang juga menghendaki Telur
Mata Setan."
"Resi Pakar
Pantun?!" Nyai Guru Betari Ayu kerutkan dahi, diam sebentar bagai
meneropong seseorang di kejauhan sana, setelah itu menatap Suto lagi.
"Resi Pakar Pantun adalah
gurunya Tuanku Nanpongoh, penguasa Pulau Intan."
"Benar. Menurut
pengakuannya, Tuan Nanpongah sempat bentrok dengan Syakuntala dan ia terkena
Racun Ludah Naga juga. Kabarnya sampai sekarang Tuanku Nanpongoh sudah menjadi
bayi yang hanya bisa ngompol dan menangis."
Nyai Guru Betari Ayu
manggut-manggut. Suto Sinting menceritakan pertemuannya dengan Resi Pakar
Pantun. Orang berusia sekitar delapan puluh tahun itu hadir bersama gempa
kirimannya. Untung Suto Sinting segera dapat melacak keberadaan tokoh sakti itu
melalui Ilmu 'Lacak Jantung'-nya, sehingga ia bisa kirimkan pukulan tenaga
dalam dan membuat Resi Pakar Pantun hentikan gangguannya dan muncul dari
persembunyiannya.
Orang berjenggot putih panjang
dengan mengenakan pakaian model biksu yang berupa kain abu-abu membungkus badan
dan melilit pundak kanannya itu tampak malu ketika persembunyiannya dibongkar
Pendekar Mabuk. Orang berkepala botak dengan rambut uban tipis itu tidak datang
sendirian, tetapi mengajak pelayannya yang bertubuh agak pendek, kurus, berwajah
tua, namun tak punya kumis dan jenggot. Usianya sekitar empat puluh tahun.
Mengenakan pakaian hijau tua dan ikat kepala kain putih. Pelayannya itu mengaku
punya julukan si Kadal Glnting.
"Apa maksudmu mengganggu
perjalananku, Resi Pakar Pantun?" tanya Suto setelah memperkenalkan diri
masing-masing.
"Tikar rombeng ditambal
dengan ketan
Bau sedikit tapi berkesan
Tak ada lain kupunya tujuan
Kecuali mencari si Telur Mata
Setan."
Resi Pakar Pantun yang jarang
mau lepas dari syair pantunnya menjawab pertanyaan Suto itu dengan santai.
"Apa hubungannya dengan
mengganggu perjalananku?" tanya Suto lagi.
"Tikar rombeng dibakar
nyebar.
Ambil sabuk buat bantalan.
Telah kudengar kabar tersebar
Pendekar Mabuk pun cari Telur
Mata Setan."
"Lalu, kau sangka aku
sudah mendapatkannya?"
"Tikar rombeng dibuat
bendera
Jatuh ke bumi bikin sengsara
Jika betul kau belum
mendapatkannya
Kumohon jangan lanjutkan
pencariannya."
Suto Sinting tersenyum tipis
sambil pandangi Teratai Kipas yang masih kaku menerima kehadiran Resi Pakar
Pantun dan pelayannya itu. Suto sempat berbisik kepada Teratai Kipas,
"Kita punya saingan,
agaknya cukup berbahaya juga."
"Aku yakin kau sanggup
kalahkan si tua pantun itu."
"Akan kucoba untuk
berembuk saja. Jangan biasakan diri dengan kekerasan."
Kemudian Suto Sinting
memandang Resi Pakar Pantun yang tampak tenang, namun sebenarnya sedang
pelajari ketinggian ilmu Pendekar Mabuk melalui teropong batinnya. Suto Sinting
berkata dengan sikap tidak bermusuhan.
"Resi Pakar Pantun,
ternyata di antara kita punya tujuan yang sama, yaitu mencari Telur Mata Setan.
Kurasa kita harus berlomba dan beradu kecepatan mendapatkan benda tersebut. Kau
tak perlu mengusirku, tak perlu memusuhiku. Toh belum tentu kau sendiri bisa
temukan Telur Mata Setan itu. Aku pun belum tentu berhasil mendapatkannya. Jadi
kurasa tantangan halusmu itu harus kau cabut lagi agar hubungan kita tidak
saling bermusuhan dalam hati."
"Tikar rombeng
di...."
"Maaf Eyang
Resi...," potong Kadal Ginting yang suaranya cempreng. "Lainnya tikar
rombeng apa tidak ada?"
"Apa maksudmu?"
"Dari tadi pantunnya
tikar rombeeeng... terus! Sekali-sekali muka rombeng atau apa, gitu!"
"Mukamu itu yang muka
rombeng!" hardik Resi Pakar Pantun sambil bersungut-sungut. Suto Sinting
dan Teratai Kipas sempat menutup mulut karena menahan tawa geli. Lalu terdengar
lagi Resi Pakar Pantun bicara kepada Suto,
Muka rombeng dibuat gilasan.
Rompal sedikit asin
rasanya....
"Kik, kik, kik, kik,
kik...!" Kadal Ginting tertawa cekikikan membuat pantun itu terhenti. Sang
Resi menghardik lagi,
"Kenapa tertawa?!"
"Saya geli, Eyang Resi!
Yang benar sajalah. Masa muka rombeng dipakai gilasan? Sudah itu, rompal
sedikit rasanya asin. Siapa yang mau cicipi rompalan papan penggilasan, Eyang
Resi? Kok sepertinya kurang kerjaan saja itu orang?"
"Ini pantun, Bodoh!"
bentaknya menggeram.
"Iya, iya... teruskan
sajalah!" sambil Kadal Ginting geleng-geleng kepala dan agak menjauh dalam
senyum geli yang masih tersisa. Teratai Kipas sendiri sempat mengikik tertahan
mati-matian dan ia sembunyikan wajah di punggung Pendekar Mabuk yang juga
terguncang-guncang karena tawa tanpa suara itu. Sedangkan sang Resi masih tetap
tenang, serius, tanpa senyum sedikit pun.
"Muka rombeng tak jadi
dibuat gilesan
Rompal sedikit dibiarkan saja
Jika memang kau punya nyali
tak beralasan
Ada baiknya kita berlomba
saja!"
"Baik. Aku setuju!"
kata Suto Sinting dengan tegas.
Kadal Ginting menyela kata,
"Tikar rombeng dimakan pakai sambal...."
"Apa artinya?" tanya
sang Resi.
"Rakus!" jawab Kadal
Ginting dengan tertawa dan menjauh. Tiba-tiba tangan Resi Pakar Pantun
menghentak. Wuuuttt..! Pukulan jarak jauh dihantamkan ke punggung Kadal
Ginting. Orang pendek kurus itu terbang dan wajahnya membentur pohon.
Bruuuss...!
"Aoouuh...!" pekik
Kadal Ginting kesakitan.
Resi Pakar Pantun segera pergi
tinggalkan Suto Sinting dan Kadal Ginting mengikutinya sambil mengusap-usap
wajahnya yang merah itu. Mendengar cerita Pendekar Mabuk tadi, Nyai Guru Betari
Ayu tersenyum tipis. Senyumnya sungguh manis menawan. Suto memandanginya karena
senyum itu mengingatkan dirinya pada senyuman milik Dyah Sariningrum. Berdebar
hati Suto dibuatnya. Berdebar pula hati Betari Ayu ketika melihat Suto tersipu,
karena ia ingat peristiwa yang pernah dialami Suto Sinting ketika sang pendekar
tampan itu mengobati dirinya yang terkena pukulan Regang Pati dari Bidadari
Jalang. Cara pengobatan yang menggunakan semadi cumbu itulah yang sampai
sekarang masih berkesan di hati Nyai Guru Betari Ayu. Cara pengobatan itu
dinamakan ilmu Kamajiwa, dan baru kepada Nyai Guru Betari Ayu ilmu itu
digunakan oleh Suto Sinting. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Perawan Sesat").
Betari Ayu membuang bayangan
itu dengan berkata, "Aku mendengar
detak jantung yang bergemuruh, seperti jantung orang yang sedang cemburu."
Sumbaruni kecil segera
membuang pandangan ke arah lain. Suto Sinting melirik Sumbaruni dan tersenyum
geli. Betari Ayu ikut tersenyum dan melirik Sumbaruni. Merasa dilirik tak enak.
Sumbaruni kecil berkata dengan suara bocahnya yang bernada dewasa.
'"Bicarakan saja tentang
Telur Mata Setan, tak perlu menyindir diriku!"
"Aku tak salahkan dirimu
kalau kau menyimpan kecemburuan, karena memang pria yang satu ini sinting!
Imunya sinting, ketampanannya sinting dan sikapnya juga sinting!"
"Aku hanya ingin
kepastian apakah Telur Mata Setan itu benar-benar tidak ada atau memang ada di
suatu tempat yang tersembunyi?" tanya Sumbaruni mendesak. Betari Ayu tarik
napas dalam-dalam, termenung beberapa saat bagai orang melamun. Suto Sinting
sempat melirik gadis kecil yang imut-imut lucu dan sebenarnya bekas istri jin
itu. Sang gadis kecil bersungut-sungut dan melengos tak mau pandangi Suto
Sinting. Hal itu membuat Suto geli lalu mencubit pipi gadis kecil tanpa nafsu
dan hasrat tak senonoh. Cubitan itu adalah cubitan canda terhadap seorang bocah
yang menggemaskan.
"Ah...!" Sumbaruni
menepiskan tangan Suto yang menggoda dan masih tetap bersungut-sungut buang
muka. Menggelikan sekali sikapnya.
Agaknya suatu teropong batin
telah dilakukan oleh Betari Ayu. Sikapnya yang merenung tadi kini dilepaskan
dan ia memandang Suto Sinting seraya berkata pelan, penuh kharisma.
"Telur Mata Setan memang
ada!"
Kalimat itu membuat Selendang
Kubur terperanjat. Wajahnya terangkat memandangi Nyai Guru Betari Ayu. Sementara
di belakang sana, Teratai Kipas juga merasa kaget dan mengangkat wajahnya
menatap wanita anggun dan bijaksana itu. Suto Sinting diam tak berucap kata,
sedangkan Sumbaruni menatap pula penuh harap.
"Aku melihat Telur Mata
Setan ada di sebelah timur dari tempat ini. Bentuknya sedikit lebih besar dari
telur puyuh, kulitnya berwarna kuning emas. Keras bagaikan besi. Telur itu
hanya bisa dilubangi dengan suatu kekuatan tenaga dalam yang bersumber dari
napas putih."
"Apakah napas putih bisa
diartikan hawa murni, Guru?" tanya Selendang Kubur, kali ini memberanikan
bicara karena yang dibicarakan bukan soal pribadi.
"Pengertiannya bisa
begitu. Napas putih bisa berarti hawa murni, bisa juga berarti napas
tuak," tutur Betari Ayu langsung memandang Suto Sinting.
"Lalu di mana aku harus
mengambil Telur Mata Setan itu?"
"Lereng sebelah timur. Di
sana ada gua yang sedang dipergunakan untuk bertapa oleh seorang raja. Di dalam
gua itulah terdapat Telur Mata Setan. Tersembunyi dalam batu berongga."
Suto Sinting pandangi
Sumbaruni yang memancarkan cahaya berbinar-binar karena punya harapan akan
pulih seperti sediakala. Sebelum Suto berkata, Betari Ayu bicara lebih dulu,
"Cari gua itu sebelum
Resi Pakar Pantun mendapatkannya lebih dulu!"
"Kalau begitu aku harus berangkat
sekarang juga."
"Itu lebih baik."
"Aku titip
Sumbaruni."
"Baik. Tapi biarkan
Teratai Kipas mendampingimu untuk pemandu jalan."
Sumbaruni berseru,
"Tidak. Aku harus ikut!"
"Sumbaruni," kata
Suto Sinting. "Pikiranmu memang dewasa, tapi sosokmu berbeda. Sadarilah
itu dan tetaplah di sini sampai aku mendapatkan obat itu untukmu. Jangan
mempersulit keadaan. Kalau aku gagal, yang celaka kau sendiri, Sumbaruni!"
Sumbaruni tak bisa membantah,
karena ia segera menyadari bahwa ia tidak bisa banyak berbuat dalam keadaan
sekecil itu. Ia takut keikutsertaannya justru akan menggagalkan rencana
tersebut. Akhirnya ia hanya berkata pelan kepada Suto, terutama setelah melirik
Teratai Kipas sebentar.
"Baiklah, aku tinggal di
sini. Tapi jangan macam-macam dengan gadis itu!"
Suto Sinting berbisik di
telinga bocah kecil itu, "Kurangi perasaan burukmu dan kecemburuanmu. Yang
ada dalam hatiku hanya Dyah Sariningrum, bukan Teratai Kipas!"
"Aah...!"
Plok...!
Tangan bocah kecil itu menabok
wajah Suto sambil cemberut dan buang muka. Rupanya hati Sumbaruni tak suka
mendengar nama Dyah Sariningrum. Tapi Suto hanya tertawa, karena suatu saat
Sumbaruni pasti bisa diberi pengertian tentang hubungan cinta Suto Sinting
dengan Dyah Sariningrum.
Betari Ayu ikut melepas kepergian
Suto Sinting. Sumbaruni kecil digendong oleh Selendang Kubur. Perasaan yang ada
pada Selendang Kubur adalah menggendong anak kecil yang masih polos. Karena ia
belum pernah bertemu Sumbaruni dalam keadaan besar, maka ia tak terbayang akan
keadaan yang sebenarnya. Bahkan Sumbaruni pun melambaikan tangan kepada
Pendekar Mabuk ketika sang pendekar melangkah melintasi pintu batas
pesanggrahan.
Selama Sumbaruni menjadi bocah
kecil, pakaiannya masih tetap seperti semula. Pedangnya mengecil pula, tetap ada
di punggung. Seperti pedang mainan. Seandainya dicabut atau dihunus dari
sarungnya pun tidak menimbulkan kesan berbahaya. Bahkan ketika di Perguruan
Tongkat Sakti, Sumbaruni sempat memainkan pedang itu. Tapi tanpa jurus dan
tanpa kesaktian apa pun, sehingga terlihat seperti seorang anak kecil sedang
bermain pedang-pedangan.
Betari Ayu mengetahui bahwa
Sumbaruni punya rasa cinta kepada Suto Sinting, tapi ia tidak mau melarang
Sumbaruni. Menurutnya, Suto Sinting bukan pria yang mudah terbujuk dan terayu. Betari
Ayu tetap yakin, hati pendekar tanpa pusar itu hanya tertuju kepada adiknya;
Dyah Sariningrum. Siapa pun akan kecele jika mengharapkan balasan cinta dari
murid si Giia Tuak itu.
Sepeninggalan Pendekar Mabuk,
beberapa saat kemudian pesanggrahan itu kedatangan dua orang tamu yang tadi
diceritakan oleh Suto Sinting. Orang itu adalah Resi Pakar Pantun dan pelayannya; Kadal Ginting.
Sebelum Resi Pakar Pantun bicara, Betari Ayu sudah mengetahui maksud kedatangannya. Tapi tamu
tersebut tetap saja disambut dengan baik dan dipersilakan duduk di ruang
pertemuan khusus untuk para tamu yang singgah di puncak gunung itu.
"Tikar rombeng disangka
sabuk kain
Digulung-gulung dipakai untuk
selamatan
Aku datang tak punya maksud
lain
Kecuali ingin tahu di mana tempat
Telur Mata Setan."
"Resi Pakar Pantun,"
kata Betari Ayu dengan kalem dan ramah. "Mengapa kau datang menemuiku
untuk menanyakan tentang Telur Mata Setan?"
"Tikar rombeng dipakai
untuk membungkus peti
Burung perkutut hinggap di
pucuk-pucuk daun singkong
Aku tahu kau seorang petapa
sakti
Sekali kutanya kau tak mungkin
berbohong."
Selendang Kubur memperhatikan
kedua tamunya penuh curiga. Sumbaruni berbisik kepada Selendang Kubur,
"Orang inilah yang diceritakan Suto tadi! Jangan beri tahukan padanya di
mana benda itu berada. Nanti direbut olehnya."
"Nyai Guru tak bisa
berbohong. Apa yang dia tahu, dia jawab tahu. Yang tidak tahu ya dijawab tidak
tahu."
"Celaka! Kalau Betari Ayu
kasih tahu tempatnya, bisa-bisa aku menjadi bayi dan tak bisa apa-apa lagi.
Resi ini ilmunya cukup tinggi. Aku cemas, takut kalau Suto Sinting tak bisa
mengalahkannya."
"Kita lihat saja apa
kebijakan guruku dalam menjawab pertanyaannya."
Terdengar pula Nyai Guru
Betari Ayu berkata, "Resi Pakar Pantun... aku memang tahu di mana letak
Telur Mata Setan itu, tapi itu sudah menjadi haknya seseorang. Aku tak mungkin
memberitahukan tempatnya karena menghindari pertikaian antara kau dengan orang
tersebut."
"Tikar rombeng berlumur
ribuan paku
Merebus kentang di mulut sang
tamu
Jika kau tak mau menolongku
Bagaimana kalau aku
menantangmu?"
"Aku tak mau lakukan
pertarungan lagi, Resi Pakar Pantun. Tapi jika kau ingin mengadu kesaktian
denganku, aku punya satu permainan...!" kata Betari Ayu dengan tetap
tenang. Kemudian ia melangkah ke bawah pohon, mengambil sehelai daun kuning
yang jatuh karena layu. Daun itu lebarnya sedikit lebih besar dari daun telinga
manusia dewasa. Betari Ayu mendekati gugusan batu hitam yang ada di sudut
pekarangan. Batu itu tingginya melebihi tinggi manusia dewasa. Dengan gerakan
lemah lembut, daun itu ditancapkan ke batu hitam tersebut. Sleep...! Seperti ia
menancapkan lidi ke atas agar-agar.
"Resi Pakar Pantun,
tantanganmu kuterima dengan cara mencabut daun ini."
"Apa maksudmu, Betari
Ayu?"
"Jika kau bisa mencabut
daun ini, maka akan kuberitahukan tempat Telur Mata Setan itu. Tapi jika kau
tak mampu mencabut daun ini, berarti ilmumu masih rendah, tak akan mampu
melawan orang yang sudah lebih dulu kuberitahu tempat Telur Mata Setan
itu."
"Tikar rombeng dicabik-cabik
lalu ditenun
Banteng di lumpur sering
disangka barisan keluarga kutu
Jangan remehkan ilmu si Pakar
Pantun
Gunung ini pun mampu kucabut
dengan tangan satu."
Nyai Betari Ayu tersenyum lagi
dan manggut-manggut, lalu tangannya memberi isyarat dan mulutnya berkata sopan,
"Silakan, Resi...!"
"Kadal Ginting!"
"Saya di sini, Eyang
Resi!"
"Cabut daun itu dari batu
tersebut!"
"Baik, Eyang Resi.
Bolehkah memakai 'tikar rombeng' segala, Eyang Resi!"
"Terserah! Yang penting
cabut daun itu!"
Kadal Ginting berjalan limbung
seperti orang mabuk, ia dekati batuan besar itu. Ia pejamkan mata beberapa
saat, lalu tangannya bergerak lamban naik ke atas dan mulutnya berkata,
"Tikar rombeng dipakai
membuat baju... miskin namanya! Hiaaat...!"
Wuuut...! Tangan menyambar
daun itu, tapi daun bagaikan terpatri kuat dan tak mampu dicabut. Bahkan dengan
mengerahkan tenaga dalam hingga tangan dan tubuh bergetar semua, tapi daun
tetap menancap di batu itu. Akhirnya Kadal Ginting terengah-engah dan jatuh
duduk terkulai.
"Bagaimana, Kadal
Ginting? Mengapa daunnya masih menancap di batu?" tegur Resi Pakar Pantun.
"Maaf, Eyang Resi...
mungkin mantera tikar rombeng tidak mempan buat cabut daun itu. Ganti pakai
tikar yang tidak rombeng saja, ya?"
Plakkk...! Kadal Ginting
disepak pelan. Sepakan pelan di bagian paha itu membuat tubuh Kadal Ginting
bergeser sejauh dua tombak. Tentu saja sepakan kaki itu sudah disertai dorongan
tenaga dalam yang lumayan besar.
"Betari Ayu..., tikar
rombeng digondol kucing ke sana-sini.
Menyimpan pusaka jangan di
dalam saku
Kalau memang aku tak bisa
mencabut daun ini
Kuakui ilmumu lebih tinggi
dari ilmuku."
Kemudian Resi Pakar Pantun pun
pejamkan mata sebentar, lalu daun itu diusapnya pelan-pelan bagaikan
dibelai-belai. Dan tiba-tiba tangan itu mencabut daun tersebut dalam satu
sentakkan mengagetkan. Suuutt...!
"Nah, kena...! Dan...
dan...," Resi Pakar Pantun terbengong, karena yang ada di tangannya bukan
daun melainkan rumput hijau yang entah di peroleh dari mana. Sedangkan daun itu
masih melekat di batu tersebut, menyelip bagian ujungnya saja.
"Kurang ajar! Kenapa yang
kudapatkan hanya sehelai rumput?!" gerutunya. Lalu ia mengulangi lagi
dengan kerahkan tenaga dalam hingga tangannya bergetar, dan ia pun lakukan
gerakan menyambar daun itu. Wuuuttt...!
"Nah, kena... ken...
ken...?!" mata Resi Pakar Pantun terbelalak, ia jadi terbengong, karena
yang ada di tangannya bukan daun melainkan beberapa helai rambut pendek, ia
bertanya pada diri sendiri, "Rambutnya siapa ini?!"
"Ram... rambut saya,
Eyang! Tadi Eyang Resi mencabutnya," kata Kadal Ginting sambil meringis,
mengusap-usap kepalanya.
Betari Ayu, Selendang Kubur,
dan Sumbaruni hanya tersenyum-senyum geli. Perlahan-lahan tokoh tua itu
mendekati Betari Ayu dan menggeram jengkel.
"Kau memang unggul!
Sekarang aku kalah. Tapi kelak aku akan datang untuk menebus kekalahanku ini
dengan cara lain! Permisi!"
Resi Pakar Pantun segera
pergi, Kadal Ginting mengikutinya sambil masih mengusap-usap kepalanya yang
tadi terasa sakit karena rambutnya dicabut dari jarak jauh.
*
* *
6
PERJALANAN menuju ke arah
timur terhalang oleh tumbangnya beberapa pohon yang saling rubuh menutup jalan.
Langkah Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas terhenti seketika. Mereka sama-sama
berpendapat, tak mungkin pohon itu tumbang dengan sendirinya dan arahnya pun
sama. Pasti ada orang berilmu tinggi yang menumbangkannya dari kejauhan dan
sengaja menahan langkah Suto dan Teratai Kipas.
"Jangan-jangan orang yang
kita temui di kedai tadi?" bisik Teratai Kipas. "Orang berbaju putih
yang duduk di meja seberang kita itu tampaknya tertarik sekali dengan
percakapan kita tentang Telur Mata Setan."
"Kurasa bukan dia,"
jawab Suto Sinting dalam bisik sambil membayangkan seorang pembeli yang
ditemuinya di dalam sebuah kedai, ketika Suto mengisi bumbung tuaknya.
"Kau yakin bukan
dia?"
"Ya, sebab kurasakan tak
ada getaran tenaga dalam pada dirinya. Dia penduduk desa lerang yang
biasa-biasa saja. Hanya tertarik dengan cerita Telur Mata Setan, tapi tidak
bermaksud memilikinya," tutur Suto menjelaskan. Mata pendekar tampan itu
melirik ke sana-sini mencari siapa orang yang mengganggu perjalanannya dengan
menumbangkan pohon-pohon itu.
"Kita lewat arah kiri
saja," bisik Teratai Kipas. Maka mereka pun sedikit memutar arah melalui
jaian kiri. Tetapi beberapa saat kemudian, jalan itu pun tertutup lagi oleh
tumbangnya empat pohon; dua dari kiri dan dua lagi dari kanan. Buuurrkk...!
Keempat pohon itu tumbang bersamaan. Langkah mereka pun terhenti kembali dan
kewaspadaan terpasang tajam-tajam.
Ilmu 'Lacak Jantung'
dipergunakan oleh Suto Sinting. Detak jantung orang lain terdengar ada di arah
selatan. Suto Sinting berbisik pelan,
"Arahnya ada di selatan,
jumlahnya lebih dari satu orang!"
"Geser ke kanan sedikit.
Kita pancing di tempat yang lega itu," Teratai Kipas melangkah lebih dulu dan
Suto Sinting mengikutinya dengan sikap santai, seolah-olah tidak merasa
terganggu apa pun juga.
Sampai di tempat yang lebih
lega, mereka mulai diserang dengan cahaya merah berlarik-larik bagaikan
menyergap secara bersamaan. Suto Sinting yang berjalan di belakang Teratai
Kipas segera berseru,
"Teratai...! Awas!"
Wuuutt, wuuttt...! Mereka
saling melesat tinggi dan hinggap di dahan pohon secara bersamaan. Sinar-sinar
merah yang jumlahnya lebih dari tiga larik itu menghantam bumi dan menimbulkan
ledakan dahsyat yang mengguncang alam sekitarnya. Blegaarr...! Tanah menyembur
ke atas, lubang besar menganga bagaikan tempat pembuangan sampah untuk satu
desa.
"Gila! Dahsyat juga
pukulannya?!"
"Tetaplah di sini,"
kata Suto Sinting. "Aku akan memancing mereka keluar dari
persembunyiannya!"
Setelah berkata begitu,
Pendekar Mabuk melompat turun dari pohon dan sengaja berdiri di tempat yang
mudah terlihat dari berbagai arah. Kejap berikutnya melesat kembali satu sinar
merah berbentuk seperti bola api sebesar genggaman manusia dewasa. Wuuusss...!
Suto Sinting segera menggerakkan bumbung tuaknya ke depan dada, dan sinar merah
itu menghantam bumbung tuak. Deess...! Sinar itu membalik arah dengan gerakan
lebih cepat dan wujud lebih besar lagi. Wuuusss...! Blegaaarrr...!
Dari balik dua pohon berjajar
yang hancur dihantam sinar merah itu muncul sesosok tubuh yang bersalto ke
atas. Kaki orang itu menjejak pohon besar, dan tubuhnya berbelok arah, melesat
ke tempat lega itu. Wuuutt!
Jleeg...! Orang itu mendarat
dengan kaki tegak. Ternyata ia adalah orang bertubuh kurus kering dengan wajah
cekung, tulangnya bertonjolan. Tapi ia
mempunyai kumis panjang, sedangkan rambutnya juga panjang sepunggung
tapi tidak begitu lebat.
Orang itu mengenakan pakaian
loreng hitam-merah, celana dan bajunya sama. Bajunya berlengan tanggung,
longgar, tidak dikancingkan, sehingga tulang iganya yang bertonjolan keluar
karena kekurusannya itu terlihat jelas bagi orang yang berdiri di depannya.
Orang itu diperkirakan Suto berusia sekitar enam puluh tahun. Rambutnya
ditumbuhi uban tidak merata. Pinggangnya bersabuk hitam, dan di sabuknya itu
terselip sebuah senjata; cambuk hitam-putih yang cukup panjang, digulung dalam
satu bentuk gulungan longgar, ujungnya tampak diberi logam runcing warna putih
mengkilap.
Belum sempat Suto Sinting
menyapa, dua sosok lagi muncul dalam satu lompatan bersama. Dua sosok itu tak
lain adalah Neraka Berjalan dan Roh Seribu Dewa. Maka seketika itu pula
Pendekar Mabuk dapat mengerti bahwa mereka adalah orang-orang Bukit Kopong.
Melihat kemunculan Roh Seribu
Dewa dan Neraka Berjalan, gadis di atas pohon tidak mau tinggal diam. Tak tega
jika harus melihat Suto Sinting menghadapi mereka sendirian. Teratai Kipas
segera berdiri dua langkah di samping kiri Suto Sinting, siap menghadapi mereka
bertiga.
"Kita bertemu lagi,
Teratai Kipas!" kata Roh Seribu Dewa dengan suaranya yang berat. Kumisnya
yang mirip sayap kelelawar itu diusap-usap, satu tangannya lagi bertolak
pinggang.
"Apakah Tiga Pengawal
Iblis sudah ganti anggota satu orang?" kata Teratai Kipas sambil melirik
orang berpakaian loreng hitam-merah itu.
"Si Kumis Tengkorak
memang menggantikan Japrak Kurap yang kau bunuh ketika itu. Dan kini dia datang
untuk membalas dendam atas kematian iparnya!" ucap Neraka Berjalan dengan rasa
bangga dapat menghadirkan si Kumis Tengkorak yang ilmunya lebih tinggi dari
mereka berdua.
"Mana yang tempo hari kau
bilang unjuk gigi atas kebolehannya bermain jurus cambuk itu, Neraka
Berjalan?" tanya Kumis Tengkorak dengan suara sedikit serak dan besar.
"Si tampan itulah yang
pamer ilmu cambuknya!" jawab Neraka Berjalan sambil melirik Pendekar Mabuk
yang tampak tenang-tenang saja.
Kumis Tengkorak berkata,
"Kalau begitu, mundurlah kalian berdua, biar kuhadapi anak ingusan
itu!" Setelah bicara begitu ia pun maju dua langkah.
"Siapa namamu, Bocah
Ingusan?!"
Suto Sinting hanya sunggingkan
senyum tipis,matanya memandang tajam namun tak berkesan ganas. Si Kumis
Tengkorak yang bermata cekung dan dingin berkesan bengis itu tampak tak sabar
menunggu jawaban dari Suto Sinting, ia segera membentak dengan mata menjadi
lebar.
"Kutanya siapa namamu,
mengapa kau diam saja, hah?! Apakah kau tuli?!"
Suto Sinting kian melebarkan
senyum berkesan geli. Matanya memandang Teratai Kipas sebentar, dan Teratai
Kipas yang menjawab pertanyaan itu.
"Namanya Suto Sinting!
Apakah kau belum pernah mendengar nama itu, Kumis Tengkorak?!"
"Tutup mulutmu, Gadis
borokan! Aku bertanya kepada bocah tolol itu! Bukan kepadamu!" bentak si
Kumis Tengkorak sambil maju selangkah.
"Sebelum menuju
kepadanya, harus melalui aku. Karena akulah pengawalnya!" Teratai Kipaa
sengaja memancing kemarahan.
Kumis Tengkorak menggeram
jengkel. "Mulut lancang! Berani-beraninya kau menjadi pengawal bocah tolol
itu. Kau akan mati terbelah oleh cambukku, Teratai Kipaai"
"Tak jadi soal. Tapi
sebelumnya aku ingin tahu, mengapa kau marah-marah kepada Suto Sinting? Ada
persoalan apa?"
"Kau tak perlu tahu! Yang
jelas kau telah membunuh iparku dan aku berhak menuntut balas kepadamu. Hanya
satu syarat yang bisa membebaskan tuntutanku padamu, yaitu menukarnya dengan
Tongkat Tulang Barong milik mendiang gurumu; Ki Selo Gantung!"
"Siapa pun tak akan
mendapatkan tongkat itu!" kata Teratai Kipas dengan tegas dan berani.
Kedua tangannya bertolak pinggang, wajahnya terangkat tegak.
Si Kumis Tengkorak menggeram
lagi. Setelah menatap tajam-tajam, Kumis Tengkorak berkata dengan kasar,
tangannya menuding-nuding Teratai Kipas.
"Hati-hati...! Kupecahkan
batok kepalamu tanpa ampun lagi, Betina tolol! Heaaah...!" Tangannya
bergerak cepat menghempas ke depan. Wuuttt...! Gelombang tenaga dalam tak
bersinar dilepaskan sebagai uji coba kekuatan Teratai Kipas. Tapi gadis itu pun
tak kalah sigap, ia pun melepaskan pukulan jarak jauh tak bersinar. Bueeng...!
Dua pukulan tenaga dalam beradu di pertengahan jarak.
Teratai Kipas tersentak mundur
dua langkah, sedangkan Kumis Tengkorak hanya oleng ke kiri sedikit, tapi tidak
bergeser dari tempatnya. Saat ia bergerak oleng itulah tiba-tiba jari tangan
Suto menyentil dari jarak jauh secara diam-diam. Dees...! Jurus 'Jari Guntur'
dilepaskan. Jurus itu mempunyai kekuatan dua kali tenaga kuda. Ternyata
sentilan bertenaga dalam itu tepat kenai rusuk si Kumis Tengkorak.
Wuuutt...! Brrruk...!
Roh Seribu Dewa dan Neraka
Berjalan terperanjat melihat tubuh si Kumis Tengkorak terlempar terbang dan
membentur sebuah pohon dengan kerasnya. Tubuh itu bagaikan sesuatu yang tidak
terpakai lagi dan dicampakkan begitu saja. Padahal Roh Seribu Dewa tahu bahwa
si Kumis Tengkorak adalah orang Bukit Kopong yang tersulit ditumbangkan. Jarang
jatuh dalam pertarungan melawan siapa pun. Tetapi kali ini Kumis Tengkorak
dengan mudahnya dapat ditumbangkan, bahkan dilemparkan dengan ringan sekali.
"Bangsaaatt...!"
geram Kumis Tengkorak dengan mata mendelik dan kedua tangan mengejang
kuat-kuat. Ia melangkah dekati Suto Sinting sambil mencabut cambuknya.
"Biar kuhadapi dia,"
kata Teratai Kipas.
"Mundurlah, ini
bagianku," kata Pendekar Mabuk dengan tetap kalem. Teratai Kipas menurut
dan ia menepi ke bawah sebuah pohon di belakang Suto.
Kumis Tengkorak kibaskan
cambuknya ke udara sebagai gertakkan dan unjuk kepandaian. Satu kali sabetan
cambuk, suaranya menggelegar ke mana-mana.
Duaaarr...! Ujung cambuk itu
memercikkan bunga api warna merah. Daun-daun banyak yang berjatuhan karena
getaran suara cambuk tadi. Tapi hal itu justru membuat Suto Sinting tersenyum
lebar. Matanya melirik ke arah Roh Seribu Dewa dan Neraka Berjalan, sebentar
kemudian memandang Kumis Tengkorak lagi.
"Aku tahu kau yang
menyerangku!" kata Kumis Tengkorak dengan tangan kiri menuding ke arah
Pendekar Mabuk. "Kau mau main licik rupanya! Menyerang secara diam-diam
sungguh perbuatan yang amat memalukan, Bocah tolol! Jika kau jantan, lakukan
serangan secara terang-terangan sepertiku ini, hweeeah...!
Duaar...! Cambuk dilecutkan
tepat ke arah pundak Suto Sinting. Dengan jelas sekali Teratai Kipas melihat
cambuk yang memercikkan bunga api itu menyabet pundak kiri Suto Sinting. Tetapi
yang disabet diam saja dan tidak memberi perlawanan, juga tidak menghindar atau menangkisnya. Hal itu membuat Kumis
Tengkorak semakin penaaaran dan amarahnya berkobar.
"O, kau mau unjuk
kesaktian sebagai orang kebal? Baik! Terimaiah jurus 'Cambuk Gagak Biru'
ini!Hiaaah...!"
Duaar...! Cambuk itu
memercikkan sinar biru dari ujung sampai pangkalnya. Tampak cepat gerakan
lecutnya, jelas sekali menghantam dada Suto Sinting. Tapi sang pendekar tampan
itu tetap diam dalam senyum lembut, tak bergeming sedikit pun.
Tetapi di sisi sana, Neraka
Berjalan tersentak dan terpekik tertahan,
"Aahg...!" ia
memegangi dadanya yang mulai luka bagai terkoyak kuku-kuku beruang ganas. Roh
SeribuDewa menjadi heran dan kebingungan. Sementara itu, si Kumis Tengkorak
semakin jengkel. Maka cambuknya pun melesat berulangkali, menghantam tubuh Suto
bagai menghujani dengan ledakan-ledakan bersinar biru itu.
Duar, duar, duar, duarrr...!
Pundak, punggung, perut, paha,
sampai kaki Suto Sinting dijelajahi dengan sabetan cambuk. Suaranya saja sempat
membuat tumbuh-tumbuhan di sekitarnya bergetar. Tapi sang Pendekar Mabuk hanya
diam saja, tak bergeming sedikit pun. Hanya saja, di sisi belakang Kumis
Tengkorak terdengar raung pekikan beberapa kali.
"Aahhg...! Uuhg...!
Aaahg...! Oooggh...! Uuhg...!"
Neraka Berjalan tersentak ke
sana-sini dalam keadaan koyak dan berdarah. Hal itu membuat Roh Seribu Dewa
berteriak yang membuat lecutan si Kumis Tengkorak berhenti seketika.
"Hentikan!
Hentikaaan...!"
Si Kumis Tengkorak terperangah
memandang dua arah bolak-balik; ke Neraka Berjalan dan kepada Suto. Hatinya pun
segera membatin, "Edan! Yang kuhajar bocah ingusan Itu, tapi kenapa yang
kelojotan temanku sendiri?! Luka-lukanya tepat di tempat yang kucambukkan ke
tubuh bocah ingusan itu?!"
Suto Sinting menenggak
tuaknya. Tenang dan kalem, seakan tak terjadi apa-apa pada dirinya. Mereka tak
tahu bahwa Suto telah pergunakan jurua ilmu 'Alih Raga', yang membuat seluruh
luka diderita orang yang mendapat pindahan raga dan rasa dari Pendekar Mabuk.
Dengan menggunakan pandangan mata yang tadi dilakukan sebelum dicambuk Kumis
Tengkorak, Suto Sinting telah memindahkan rasa dan raganya kepada Neraka
Berjalan, sehingga yang merasakan sakit dan luka parah adalah Neraka Berjalan,
walau yang dicambuk adalah raganya sendiri.
"Kau telah melukai teman
sendiri, Kumis Tengkorak!" teriak Roh Seribu Dewa dengan bingung.
Sementara itu Neraka Berjalan jatuh terkapar. Pakaiannya tercabik-cabik.
Kumis Tengkorak berang, tak
mau dituduh melukai teman sendiri.
"Aku memukul bocah bodoh
itu! Bukan memukulkan cambuk kepada Neraka Berjalan! Kalau tak percaya,
lihat... kuhancurkan kepala bocah itu!"
Wuutt...!
Duaaar...!
"Jangaaan...!"
teriak Roh Seribu Dewa panjang sekali. Tapi teriakan itu terlambat. Kumis
Tengkorak sudah lebih dulu mencambukkan cambuknya ke arah kepala Suto Sinting.
Ujung cambuk itu menyala biru terang dan kepala Neraka Berjalan pun hancur
seketika dalam keadaan yang amat mengerikan.
Teratai Kipas tertegun di
tempat bagaikan patung. Jurus yang digunakan Pendekar Mabuk telah membuat
matanya tak bisa berkedip karena kagumnya. Jurus itu dulu pernah diceritakan
oleh gurunya; Selendang Kubur, dan baru sekarang menjadi kenyataan di depan
hidungnya. Tak heran jika Teratai Kipas terbengong melompong tak bisa bilang
apa-apa ketika kepala Neraka Berjalan hancur bagaikan mewakili kepala Suto
Sinting yang dicambuk dengan kekuatan tenaga dalam itu.
Tentu saja Neraka Berjalan tak
mau bernyawa lagi karena kepalanya hancur. Seandainya bernyawa pun percuma,
karena ia tak akan bisa cuci mata lagi dalam keadaan sudah hancur remuk begitu. Dan keadaan tersebut
makin membuat Kumis Tengkorak murka, Roh Seribu Dewa cemas, takut kalau
berikutnya giliran kepalanya yang dihancurkan teman sendiri.
"Jangan serang dia!
Jangan...!" teriak Roh Seribu Dewa. Tapi seruan itu tidak dihiraukan oleh
Kumis Tengkorak yang sudah terselubung murka.
Cambuk diputar-putar di atas
kepala. Makin lama semakin menimbulkan suara menggaung. Lalu busa-busa salju
bertebaran seirama dengan arah putaran cambuk loreng hitam-putih itu. Jelas
yang akan terjadi adalah lecutan bertenaga salju pembeku darah dan penghenti
detak jantung manusia.
Sayangnya sebelum cambuk itu
dilecutkan, tiba-tiba seberkas sinar kuning menyerupai bintang melesat dari
balik semak dan menghantam dada Kumis Tengkorak. Wuuttt...! Kumis Tengkorak
dengan cepat mengarahkan lecutan cambuk ke arah gerakan sinar kuning tersebut.
Tepat mendekati dirinya, ujung
cambuk menghantam sinar kuning.
Blaaammm...!
Gelegar dentuman sungguh
dahsyat. Sinar kuning kemerahan memercik lebar ketika ujung cambuk menghantam
sinar tersebut. Hentakan daya ledak sangat kuat. Tubuh si Kumis Tengkorak
terlempar lima tombak jauhnya, melayang bagaikan sampah kering tersapu badai.
Sedangkan tubuh Roh Seribu Dewa juga terlempar hingga membentur seonggok batuan
cadas.
Bruusss...!
Tubuh itu terasa remuk.
Seluruh tulangnya bagaikan patah-patah. Sedangkan tubuh Kumis Tengkorak
mengepulkan asap tipis, pakaiannya tercabik-cabik, rusak berat. Rambutnya
menjadi keriting sebagian karena terbakar. Rupanya sinar kuning tadi
menyemburkan gelombang hawa panas yang tinggi pada waktu meledak dihantam
cambuk. Beberapa pohon menjadi berkulit keriput karena dilanda hawa panas
menyerupai panasnya lahar gunung berapi.
Suto Sinting dan Teratai Kipas
juga tersentak mundur walau jaraknya tak terlalu dekat dari tempat terjadinya
ledakan dahsyat tadi. Hawa panas sempat dirasakan oleh mereka, namun tak begitu
parah. Mereka segera saling berdekatan, dan Teratai Kipas berbisik, "Ada
yang memihak kita."
"Ya, aku tahu. Tahu siapa
orangnya?" balas Suto Sinting dalam bisikan.
Kejap berikut dari arah
datangnya sinar kuning tadi melesat dua sosok manusia yang sama-sama telah
dikenal pihak Suto serta pihak Kumis Tengkorak. Dua orang itu tak lain adalah
Menak Goyang bersama gurunya; si Malaikat Miskin yang memegangi tongkat bercabang
tiga pada ujungnya.
Menak Goyang berdiri di
samping gurunya, agak ke belakang. Pinggulnya bergerak-gerak tak mau diam
sebentar pun. Tapi senyum dan pandangan matanya tampak sedikit angkuh, seakan
merasa bangga atas serangan dari gurunya terhadap Kumis Tengkorak yang dapat
membuat alam sekitarnya menjadi layu dan berkeriput kering.
"Malaikat
Miskin...!" bisik Teratai Kipas. "Mengapa dia memihak kita?"
"Kita lihat saja apa yang
terjadi," kata Suto Sinting dengan pelan.
Malaikat Miskin yang berusia
sekitar delapan puluh tahun dengan rambut putih dan jubah abu-abu itu
memandangi Kumis Tengkorak dan Roh Seribu Dewa. Saat itu, keadaan Roh Seribu
Dewa masih bisa bangkit dan berdiri tegak, sedangkan Kumis Tengkorak
terhuyung-huyung dengan wajah hangus sebagian dan berdirinya berpegangan pada
pohon.
Roh Seribu Dewa berseru,
"Paman Malaikat Miskin...! Mengapa Paman ikut mencampuri urusan kami?!
Mengapa Paman Malaikat Miskin memihak mereka?!"
Malaikat Miskin menjawab
dengan suara dingin, "Haruskah aku memihak para pencuri pusaka?!"
"Hati-hati dalam bicara,
Paman! Jika Guru kami Cukak Tumbila mendengar ucapan Paman, bisa-bisa beliau
murka kepada Paman Malaikat Miskin!"
"Bilang pada gurumu, aku
akan datang mengobrak-abrik Bukit Kopong!" tegas Malaikat Miskin dengan
berwibawa. Orang yang gemar memakai pakaian bertambal-tambal walau tampak warna
aslinya, segera mendekati Roh Seribu Dewa dalam keadaan wajah tak bersahabat.
"Kuperintahkan kepada
kalian untuk pulang sekarang juga dan bilang kepada Cukak Tumbila, bahwa aku
akan mengobrak-abrik tempatmu itu! Lekas!"
Roh Seribu Dewa kebingungan
dan gemetaran kakinya. Tetapi si Kumis Tengkorak yang masih memegangi cambuknya
itu segera mencoba melawan dengan melecutkan cambuk ke arah Malaikat Miskin.
Duaaar...!
Tongkat bercabang tiga pada
ujungnya diangkat, cambut melilit di bawah cabang tongkat. Kemudian tongkat itu
disentakkan mundur. Wuuuttt...! Treess...! Cambuk loreng hitam-putih itu putus
menjadi beberapa bagian. Kumis Tengkorak terbengong melompong. Kemudian dengan
gerakan bagaikan terbang miring, wajah Kumis Tengkorak menjadi sasaran telak
tendangan kaki Malaikat Miskin yang punya gerakan secepat kilat itu.
Bruuuss...!
"Auuffh...!"
Gigi orang itu langsung
rontok, mulutnya berdarah, bibirnya pecah. Jelas tendangan itu bertenaga dalam
tinggi, karena jika tidak bertenaga dalam tinggi, mulut Kumis Tengkorak tak
akan sampai serontok itu. Tentu saja Kumis Tengkorak mengerang sambil memaki
tapi tak jelas ucapan makiannya itu.
"Fuh, ahf... fuu, fah...
uah, uah, hufiih...!"
"Bahasa mana yang
dipakainya?" bisik Suto kepada Teratai Kipas.
Gadis itu menjawab,
"Bahasa monyet purba," lalu tawanya terdengar mendesis. Sementara
itu, Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak segera larikan diri sambil membawa
pergi mayat Neraka Berjalan. Malaikat Miskin tidak mengejarnya, melainkan
berbalik arah dan melangkah dengan penuh wibawa menuju tempat Suto Sinting dan
Teratai Kipas berkasak-kusuk.
"Mereka bukan lawan
kalian!" katanya berkesan mengecilkan ilmu Pendekar Mabuk dan Teratai
Kipas. "Lain kali jangan coba-coba melawan orang-orang seperti itu tanpa
ada diriku bersama kalian. Mereka tak segan-segan mencabut nyawa orang dan tak
pernah pandang bulu dalam membantai siapa pun!"
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Malaikat Miskin," kata Suto Sinting bersikap merendah.
"Tapi jika boleh aku ingin tahu apa gerangan yang membuatmu mau menolong
kami, sampai-sampai melepaskan jurus mautmu untuk mengusir mereka itu?"
Sebenarnya Teratai Kipas ingin
membantah pernyataan Malaikat Miskin tadi. Ia merasa diremehkan dengan ucapan
seperti itu, ia ingin unjuk kekuatan dan memamerkan ilmunya Suto Sinting.
Tetapi melihat sikap Suto merendah, Teratai Kipas urung melakukan bantahan apa
pun di depan Malaikat Miskin.
Menak Goyang masih
menggerak-gerakkan kaki kirinya dalam bertolak pinggang satu tangan, ia
menjawab pertanyaan Suto tadi sebelum gurunya bicara lebih banyak lagi.
"Jika bukan karena budi
baik Guru, kalian tak akan ditolong dari ancaman maut Kumis Tengkorak dan Roh
Seribu Dewa itu!"
"Gurumu baik sekali,
Menak Goyang," ujar Suto. "Cuma sayang belum bisa menangkap pencuri
pisau pusakanya sendiri."
Malaikat Miskin segera
menyahut kata, "Justru itu aku menyingkirkan mereka berdua agar tak
mengusik nyawa kalian, karena aku bermaksud mengajak kalian bergabung menangkap
pencuri Pisau Tanduk Hantu!"
"Lho, bukankah selama ini
sayalah yang dicurigai sebagai pencurinya?" kata Suto Sinting dengan
berpura-pura heran.
"Setelah kupertimbangkan
baik-baik, ternyata apa yang kau katakan kepada muridku; Menak Goyang itu
memang benar. Bukit Kopong adalah pusat Maling! Jadi kurasa memang orang-orang
Bukit Kopong itulah yang mencuri Pisau Tanduk Hantu-ku itu."
"Jika kau menyerang Bukit
Kopong berarti kau akan berhadapan dengan Cukak Tumbila, saudara seperguruanmu
sendiri, Malaikat Miskin!" kata Teratai Kipas tanpa basa-basi lagi.
"Itu sudah
kuperhitungkan. Karenanya aku tak perlu
membawa sepasukan muridku untuk menyerang ke Bukit Kopong. Cukup kita
berempat, mereka akan kita buat morat-marit tak bernyawa lagi."
"Kita berempat?"
sahut Suto Sinting bernada heran. "Maksudmu aku dan Teratai Kipas harus
ikut menyerang orang-orangnya Cukak Tumbila?!"
"Kejahatan dibalas dengan
kejahatan, dan kebaikan pun dibalas dengan kebaikan. Jika aku tadi telah
menolong kalian dari ancaman maut si Kumis Tengkorak, apa salahnya jika kalian
membalas pertolonganku itu dengan membantuku menyerang Bukit Kopong?"
Teratai Kipas mencibir dan
membatin, "Hmmm...licik sekali dia! Padahal tanpa bantuannya, sebenarnya
Suto Sinting dapat menyingkirkan Kumis Tengkorak dengan mudah sekali! Malaikat
Miskin hanya sekadar cari dukungan, dan agaknya ia tahu bahwa Suto Sinting
punya ilmu cukup tinggi yang bisa diandalkan untuk menghadapi Cukak
Tumbila."
Tetapi Pendekar Mabuk yang
baru saja menenggak tuaknya menjawab dengan bahasa yang rendah.
"Apakah kau tak salah
pilih, Malaikat Miskin? Kami melawan Kumis Tengkorak saja tak mampu, apalagi
harus melawan orang-orang Bukit Kopong?"
Malaikat Miskin merasa
terpojok oleh kata-katanya sendiri, ia menarik napas sambil mencari alasan kuat
untuk membujuk Suto Sinting. Akhirnya ia berkata dengan jarak lebih dekat lagi,
"Kau dan Teratai Kipas
memang tak seberapa tinggi ilmunya, tapi jika kekuatan kalian digabungkan
dengan kekuatanku , maka akan menjadi kekuatan besar yangmaha dahsyat! Cukak
Tumbila dan orang-orangnya tak akan bisa menandingi kekuatan kita!"
Suto Sinting tertawa kecil
seperti mereka tersipu malu.
"Kau hanya membesarkan
hatiku saja, Malaikat Miakin. Seperti anggapanmu sendiri, aku bukan orang hebat
yang punya ilmu tinggi, ilmuku tidak ada sekuku hitam dari ilmumu. Penggabungan
ini hanya akan sia-sia saja, Malaikat Miskin. Kurasa kau bisa menempuhnya
dengan cara lain, yaitu berunding baik-baik dengan Cukak Tumbila, meminta
pisaumu dikembalikan, mendesaknya agar memaksa salah satu orangnya untuk
mengaku sebagai pencuri pisau pusaka itu."
Wajah tokoh tua yang licik itu
tampak gelisah. Agaknya bujukannya nyaris menemui jalan buntu. Bahkan di
hatinya sempat timbul niat untuk memaksa dengan sebuah ancaman baru; menyandera
Teratai Kipas agar Suto mau ikut menyerang ke Bukit Kopong.
Namun sebelum niat itu
dijalankan, tiba-tiba Malaikat Miskin terpaksa membalikkan badan seketika dan
menyentakkan tangan kirinya. Ternyata ada kilatan cahaya hijau bening yang
menyambar ke arahnya dari belakang. Cahaya hijau bening itu dihantam dengan
cahaya merah yang keluar dari tengah telapak tangan kanannya. Wuuutt...!
Blegaaar...!
Pepohonan bergetar karena
gelombang ledakan yang besar. Asap hitam mengepul dari hasil ledakan tadi.
Ketika asap hitam lenyap, tampaklah dua sosok tubuh berdiri di seberang sana
memandang ke arah Malaikat Miskin. Mereka adalah Resi Pakar Pantun dan
pelayannya, Kadal Ginting.
Teratai Kipas mengeluh di
samping Suto, "Yaaah... si tikar rombeng lagi!"
Suto Sinting hanya tertawa
geli tanpa suara. Matanya melirik Teratai Kipas yang juga menahan tawa dalam
senyum dan geleng-gelengkan kepala.
Terdengar suara Resi Pakar
Pantun mengawali sapaannya,
"Tikar rombeng dibuat
alas bertapa
Sekali bertapa mudah tertawa
Cukup lama kita tidak berjumpa
Sekali berjumpa harus mengadu
nyawa."
Di sisi lain Teratai Kipas
kembali berbisik kepada Suto, "Benar apa kataku, bukan?! Tikar rombeng
lagi...!"
"Ssst...! Diamlah. Kita
ingin tahu apa masalah yang membuat sang Resi ingin mengadu nyawa dengan
Malaikat Miskin. Setelah tahu masalahnya kita pergi diam-diam, tak perlu ikut
campur urusan ini."
Suara Malaikat Miskin
menggelegar lantang, "Apa maksudmu berpantun demikian, Resi Pakar Pantun?!
Kau menantangku beradu
nyawa?!"
"Tikar rombeng terpaksa
harus disewa
Robek sedikit tak akan ada
pembeli
Hutang nyawa harus dibayar
dengan nyawa
Hutang pusaka harus direbut
kembali!"
Kemudian Resi Pakar Pantun
melangkah lebih dekat lagi dan berkata,
"Kau telah membunuh
adikku beberapa tahun yang silam dan merebut pusaka Pisau Tanduk Hantu. Pusaka
itu adalah pusaka warisan dari leluhur kami. Cukup lama aku mencarimu, Malaikat
Miskin, baru sekarang tiba saatnya kita bertemu. Maka jangan heran jika aku
ingin mengadu nyawa denganmu demi membalas kematian adikku dan merebut pusaka
leluhur kami itu!"
"Pusaka itu telah hilang,
tidak di tanganku lagi!" bentak Malaikat Miskin dengan garang.
"Tikar rombeng hanyut di
air berbusa
Burung camar lupa akan
induknya
Tampang miskinmu memang harus
dipaksa
Agar pusaka kembali ke tangan
pemiliknya!"
Malaikat Miskin menggeram
penuh kemarahan, lalu berseru, "Menak Goyang, habisi mereka!"
Resi Pakar Pantun pun berkata,
"Kadal Ginting, hadapi dia!"
"Tikar rombeng
dipakai...."
"Hadapi diaaa...!"
bentak sang Resi.
"Baik, Eyang!
Hiaaatt...!" Kadal Ginting melompat bersalto dua kali. Begitu mendaratkan
kakinya ke tanah di sambut tendangan berputar oleh Menak Goyang. Wuuukk...!
Kadal Ginting merendah dan merunduk sehingga kaki itu lolos dari kepalanya.
Kedua tangan segera bertumpu di tanah, dan kakinya menyabet berputar ke depan.
Wuuutt...! Plak...! Kaki Kadal Ginting menyambar kaki Menak Goyang.
Brruus...! Menak Goyang jatuh
terpelanting, dan Kadal Ginting segera melompat berdiri tegak dengan satu kaki
diangkat dan dua tangan yang menguncupkan jari-jarinya itu merentang ke samping
bagaikan sayap burung perkasa.
"Jurus tikar
rombeng...!" serunya, lalu tangannya berkelebat sibuk sendiri memainkan
gerakan jurus yang tak dimengerti lawan. "Heeaaat...!"
Selebihnya Pendekar Mabuk dan
Teratai Kipas tak mengetahui, siapa yang unggul dalam pertarungan itu. Karena
kejap berikutnya Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas telah jauh dari mereka,
meninggalkan tempat itu menuju sebuah gua yang menjadi tempat penyimpanan Telur
Mata Setan.
Teratai Kipas tak tahu persis,
gua yang mana yang dimaksud oleh Nyai Guru Betari Ayu itu. Tetapi ia tahu bahwa
di lereng timur gunung tersebut memang terdapat banyak gua yang biasa digunakan
untuk bertapa.
"Kita harus menemukan gua
itu dan mendapatkan Telurnya sebelum si Tikar Rombeng selesai bertarung dengan
Malaikat Miskin," kata Suto kepada Teratai Kipas. Gadis itu hanya
menggumam, dan segera hentikan langkahnya dengan merentangkan tangan sebagai
tanda bahwa Suto pun diperintahkan untuk berhenti.
"Ada apa?" tanya
Suto dengan heran.
"Semak di depan sana
bergerak-gerak aneh. Aku curiga di semak-semak itu ada seseorang yang menunggu
kedatangan kita!"
Pendekar Mabuk pandangi
semak-semak yang dimaksud, dan ia hanya
menggumam lirih sambil manggut-manggut. Lalu ia berkata pelan,
"Dugaanmu memang benar.
Aku mendengar detak jantung lebih dari dua orang!"
"Siapa mereka dan apa
maunya menghadang kita? Padahal kita sudah dekat dengan lereng gua-gua yang
akan kita tuju itu."
*
* *
7
EMPAT orang berpakaian sama
muncul dari balik semak belukar itu. Empat orang tersebut agaknya empat
prajurit yang mempunyai tugas tersendiri di tempat itu. Mereka mengenakan
celana kuning bergaris merah dengan rompi kuning bertepian benang berenda
merah. Masing-masing berusia sekitar dua puluh lima tahun. Hanya satu yang agak
tua dan berkumis tebal, usianya sekitar tiga puluh tahun lebih sedikit. Si
kumis tebal itulah yang mendekati Pendekar Mabuk dan bicara mewakili ketiga
rekannya.
"Apakah kau tahu siapa
mereka?" bisik Suto Sinting kepada Teratai Kipas.
"Hmm... eh...
tidak," jawab Teratai Kipas dengan cemas dan gelisah. "Tapi dilihat
dari pakaian seragamnya, mereka pasti prajurit dari sebuah negeri yang...
yang... entahlah dari negeri mana. Coba kau tanyakan saja padanya!"
Si kumis lebat yang
bersenjatakan pedang di pinggang itu menyapa dengan suara tegas dan lantang.
"Maaf, Tuan muda...!
Siapakah Tuan dan ada keperluan apa datang ke wilayah ini? Mohon Tuan sudi
menjelaskannya."
"Namaku Suto, aku mau
mencari gua untuk bertapa," jawab Suto Sinting sekadar melegakan hati si
penanya.
"Kumohon Tuan jangan
melintasi wilayah ini, karena wilayah ini tertutup untuk sementara. Raja kami
sedang bertapa. Silakan Tuan muda mencari tempat lain yang diperlukan."
Suto Sinting berbisik kepada
Teratai Kipas, tapi agak terkejut melihat Teratai Kipas ada di bawah pohon,
bagai menyembunyikan diri di sana. Suto Sinting terpaksa mendekatinya,
memandangi wajah cemas si gadis cantik itu.
"Teratai..., kenapa kau?
Takut menghadapi mereka?"
"Tid... tidak. Aku tidak
takut."
"Mengapa kau gelisah dan
sedikit pucat?"
"Hmm... anu... terus
terang saja, prajurit yang memegang tombak berujung pedang itu mirip sekali
dengan bekas kekasihku. Aku tak mau melihatnya. Kau saja yang berhadapan dengan
mereka."
Suto Sinting tersenyum geli.
"Hatimu terlalu lembut untuk sebuah kenangan lama, Teratai Kipas.
Tapi...baiklah akan kuhadapi sendiri. Hmmm... o, ya...bukankah Nyai Guru Betari
Ayu menyebut-nyebut gua yang dipakai untuk bertapa seorang raja?"
"Hmm... iya, benar. Di
dalam gua itulah Telur Mata Setan berada."
"Tapi mereka melarang
kita ke sana! Apakah aku harus menerjang larangan itu? Menurutmu bagaimana,
Teratai Kipas?"
"Menurutku ya... ya
terjang saja. Terserah kamu," Teratai Kipas menjawab tanpa pertimbangan
apa-apa hanya sekadar menutupi keadaan dirinya yang dicekam kegelisahan.
Sebelum kembali menemui
prajurit berkumis lebat, Suto Sinting menenggak tuaknya dulu. Tiga tegukan
sudah cukup baginya. Badan terasa segar dan wajahnya berseri-seri. Dengan
senyum tipis ia berkata kepada prajurit
itu.
"Aku harus menemui
rajamu."
Prajurit itu terkejut.
"Apa maksudmu sebenarnya, Tuan muda?"
"Ada yang ingin kuambil
dari gua tempat rajamu bertapa!"
"Oh, itu sangat tidak
mungkin, Tuan muda. Tugas kami adalah menjaga Prabu Wiloka yang sedang bertapa
agar tidak terganggu. Sekarang Tuan muda justru datang ingin bertemu Prabu
Wiloka, itu tidak mungkin, Tuan muda!"
Prajurit itu sekalipun
berkumis lebat namun tergolong prajurit yang sopan dalam tutur katanya. Karena
itu Suto Sinting tak berani bersikap kasar sedikit pun, ia bahkan bersikap
lebih merendahkan diri dan hati-hati.
"Barangkali jika Prabu
Wiloka mengetahui keperluanku, beliau
akan memaklumi, mengapa aku datang mengunjungi beliau dan mengganggu
bertapanya. Aku butuh pertolongan Prabu Wiloka, karena aku manusia biasa yang
tidak luput dari kekurangan, masih membutuhkan bantuan pihak lain. Jadi izinkan
aku menemui Prabu Wiloka. Ini sangat penting!"
Prajurit itu gelengkan kepala
dengan senyum tipis. "Tetap tidak bisa, Tuan muda. Jangan memaksa!"
"Bagaimana jika aku nekat
menemui beliau?"
"Dengan penuh sesal kami
akan bertindak sedikit keras, Tuan muda!"
"Kalau begitu, baiklah.
Aku akan nekat menemui beliau."
Suto Sinting melangkah maju,
prajurit itu segera bergerak cepat menendangkan kakinya ke arah samping.
Wuuut...! Plaak...! Suto Sinting menangkisnya dengan kibasan tangan ke
belakang. Kaki itu terbuang, sentakannya keras sekali hingga orang berkumis
lebat itu terpelanting. Brrukk...! ia jatuh dan dibiarkan oleh Suto, tidak
diserang lagi. Padahal jika Suto mau, sekali serangan saja orang itu bisa
lumpuh selamanya
Tiga prajurit bersenjata
tombak segera menyerang Suto Sinting dari belakang. Mereka melompat dan berteriak
bersama-sama.
"Heeeaah...!"
"Hentikan!" bentak
Suto Sinting.
Buurrrtk...! Mereka hentikan
lompatan dan saling berjatuhan sendiri-sendiri. Suto Sinting dipandang oleh
mereka, termasuk si kumix lebat.
"Jangan ada yang
melarangku! Mengerti?!"
"Mengerti!" jawab
mereka serentak, termasuk kumis lebat.
Di balik pohon, Teratai Kipas
memandang penuh keheranan. Hatinya berkecamuk membatin keanehan yang dilakukan
Suto Sinting itu.
"Ilmu apa lagi yang
digunakan Suto? Prajurit-prajurit itu menjadi takut, menunduk dan menurut
dengan perintahnya? Ini benar-benar aneh. Padahal mereka dididik pantang
menyerah. Tapi hanya dengan satu kali bentakan, mereka menjadi seperti
dikebiri, tak punya keberanian menyerang sedikit pun?"
Teratai Kipas tak tahu bahwa
Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu mempunyai ilmu yang aneh-aneh, sehingga
disebutnya 'sinting'. Di sinilah salah satu letak dari kesintingan Suto. Ia
menguasai ilmu 'Sentak Bidadari'. Dengan getaran gelombang suara yang menyerang
jiwa seseorang, Suto Sinting bisa membuat orang itu tunduk, keberaniannya
menjadi surut. Ilmu itu hanya bisa digunakan untuk orang-orang yang tidak
berilmu tinggi. Jika para prajurit bisa dibuat tunduk dan menurut, berarti
mereka tidak berilmu tinggi.
"Antarkan aku menemui
Raja! Katakan bahwa aku punya masalah penting dan sangat membutuhkan bantuannya
demi menyelamatkan jiwa seseorang!"
"Baik, Tuan muda!"
jawab prajurit berkumis lebat.
Suto Sinting melambaikan
tangan kepada Teratai Kipas, tapi gadis itu tak mau jalan. Suto terpaksa
mendekatinya dan berkata pelan,
"Jiwa mereka sudah
kukuasai. Mereka akan antarkan kita ke goa itu!"
"Pergilah sendiri."
"Teratai...?! Mengapa kau
jadi begini?"
"Aku... aku akan
melintasi jalan lain. Kalau sewaktu-waktu kau dalam bahaya, aku bisa datang
membantumu. Kalau kita bersama-sama, kita akan terperangkap dan tersergap
bersama pula. Kita berpencar, tapi aku tak akan jauh-jauh darimu. Percayalah!
Aku tak akan lari meninggalkan dirimu, Sutol"
"Suatu pemikiran yang
bagus," kata Suto Sinting sambil tersenyum. Tapi batinnya berkata lain,
"Aku tahu, kau menderita batin jika berjalan dengan prajurit yang mirip
kekasihmu itu. Aku tak mau menyiksamu. Aku tahu betul rasanya derita batin yang
timbul karena kenangan masa lalu. Baiklah, Teratai... jaga dirimu juga agar
jangan sampai terperangkap hal-hal yang tidak kita inginkan bersama...."
Teratai Kipas segera pergi
tinggalkan tempat itu ketika Suto Sinting berjalan didampingi keempat prajurit
tadi. Ilmu 'Sentak Bidadari' membuat Suto seperti seorang tamu agung yang
dikawal ketat dan dijaga keselamatannya. Sampai akhirnya mereka tiba di depan
sebuah gua yang rupanya punya penjagaan lebih ketat lagi. Sejumlah prajurit
berkeliaran di sana, malah ada yang mendirikan tenda untuk giliran tugas jaga.
Jumlah prajurit yang ada di sana lebih dari dua puluh orang.
Melihat kedatangan Suto
Sinting didampingi empat prajurit, mereka menyangka keempat prajurit menemukan
seorang mata-mata. Para prajurit lainnya segera bergerak cepat. Dalam waktu
singkat mereka sudah mengurung Suto Sinting dan keempat prajurit itu. Dua orang
berbadan tinggi besar yang menjaga pintu gua memandang ke arah kepungan
tersebut. Salah satu yang berbadan kekar, berkepala gundul dan mengenakan rompi
hitam, celana hitam, segera datang mendekati kepungan. Orang itu menyandang
pedang besar tanpa sarung yang diselipkan di sabuk hitamnya. Wajah orang itu
tampak menyeramkan. Alisnya tebal, matanya lebar. Barangkali dia adalah
pengawai Prabu Wiloka yang terpercaya dan berilmu tinggi.
"Gutomo!" seru si
gundul berkumis lebat juga itu."Mata-mata dari mana yang kalian tangkap
itu?"
Gutomo, prajurit yang berkumis
lebat dan tadi sempat dijatuhkan oleh Suto Sinting itu berkata dengan sedikit
cemas.
"Dia bukan mata-mata.
Tuan muda ini bermaksud baik, Mugowira! Tuan muda ini bernama Suto Sinting dan
ingin bertemu dengan Prabu Wiloka."
"Goblok!"
Glepoook...! Gutomo ditampar
keras oleh Mugowira yang berbadan kekar itu. Sekali tampar ditanggung melintir
tiga kali. Wajah Gutomo merah bagaikan buah yang matang di pohon.
"Sudah kuingatkan, jangan
sampai ada orang yang mendekati gua ini! Mengapa kau malah membawa orang?!
Goblok sekali kau, Gutomo!"
"Mak... maksudnya... Tuan
muda ini ingin minta bantuan kepada Prabu Wiloka untuk menyelamatkan jiwa
seseorang!"
"Tak peduli apa pun
alasannya, pulangkan dia!" bentak Mugowira.
"Ak... aku... aku tidak
berani menyuruhnya pulang, Mugowira."
"Pengecut! Prajurit macam
kau pantasnya digits saja! Huhh...!" tangan Mugowira menghantamkan
tinjunya ke wajah Gutomo. Namun sebelum tinju itu menyentuh wajah, Suto Sinting
kirimkan sentilan 'Jari Guntur'-nya yang tepat kenai pergelangan tangan
Mugowira. Tees...! Duub...!
"Aauh...!" pekiknya
kaget sampai melonjak dengan wajah menyeringai. Tangan itu bagaikan ditendang
kuda dan bengkak sampai ujung siku.
"Jahanam kau!" geram
Mugowira penuh dendam, ia segera tarik napas dalam-dalam dan menggerakkan
tangan kirinya menjadi keras, menyalurkan hawa murni untuk kurangi rasa sakit
pada tangan kanannya itu. Sementara para prajurit lainnya sudah bersiap-siap
melepaskan tombak dan senjata apa pun yang bisa dilemparkan ke arah Suto
Sinting. Namun kali ini, ilmu 'Sentak Bidadari' digunakan lagi oleh Suto untuk
mengurangi pertikaian yang akan membawa korban.
"Letakkan semua senjata
kalian! Letakkan!" bentak Suto Sinting.
Satu demi satu mereka mundur.
Perlahan-lahan senjata mereka diletakkan di tanah bagaikan dalam keraguan.
Mugowira memandang dengan heran, ia mencoba memberi semangat kepada para
prajurit dengan berseru,
"Serang dia,
Seraaang...!"
Para prajurit segera ambil
senjata masing-masing yang sudah telanjur ditaruh di tanah. Tapi begitu mereka
mau mengambilnya, suara Suto Sinting terdengar lagi berseru membentak,
"Mundur semua!"
Wuuurrt...! Dengan serentak
mereka mundur tinggalkan senjata maaing-masing. Mugowira mulai paham siapa yang
dihadapi. Pasti bukan pemuda sembarangan. Dan Suto Sinting pun mulai menyadari
bahwa orang gundul bertubuh kekar itu tentunya orang berilmu tinggi, buktinya
ilmu 'Sentak Bidadari' tidak berhasil mempengaruhi jiwanya menjadi takut dan
penurut seperti para prajurit lainnya itu.
"Apa maksudmu bikin
keributan di sini?!" sentak Mugowira kepada Suto.
"Seperti kata Gutomo
tadi, aku butuh bantuan Prabu Wiloka."
"Tidak seorang pun boleh
menemui Prabu Wiloka!"
"Aku sangat butuh bantuan
sang Prabu."
"Apa pun alasanmu,
sebaiknya kau pulang saja!"
"Aku tidak mau pulang
sebelum bertemu sang Prabu Wiloka!"
"Kalau begitu aku harus
memaksamu dengan cara kasar!"
"Aku menerima caramu,
Mugowira!"
Mugowira melangkah ke samping
mencari kelengahan Suto Sinting. Dengan tenang Suto Sinting sengaja menenggak
tuak memancing kelengahan supaya diserang. Pancingannya berhasil, Mugowira
melepaskan pukulan jarak jauh dengan sinar putih berkerilap dari tangan
kanannya. Claaap...! Suto Sinting segera berlutut. Bumbung tuak dihadangkan ke
arah lajunya sinar putih itu. Maka sinar tersebut menghantam bumbung tuak.
Deeb...! Ternyata sinar itu memantul balik lebih cepat dan lebih besar lagi.
Wuuuutt...! Mugowira kaget. Kaki segera menyentak ke tanah, tubuh melayang
naik. Wuuss...! Sinar putih menghantam dinding tebing berjarak lima tombak dari
pintu gua.
Blegaaaarr...!
Beberapa prajurit terpental
karena sentakan daya ledak yang menggema dahsyat itu. Mugowira terbengong
melihat sinar putihnya nyaris meruntuhkan dinding batu tebing. Sebagian
bebatuan di atas sana bergulir longsor. Seorang penjaga yang tinggal di mulut
gua sendirian memandang kagum pada apa yang terjadi. Penjaga itu semula berdua
dengan Mugowira, tapi ketika mendengar gelegar yang dahayat, ia menjadi
ragu-ragu untuk datang membantu Mugowira. Jika ia ke sana berarti ia
meninggalkan mulut gua. Padahal mulut gua harus tetap dijaga supaya tidak
dimasuki pihak lain yang akan mengganggu tapa sang Prabu Wiloka. Orang itu jadi
gelisah dan salah tingkah, mondar-mandir di depan pintu gua dengan tubuhnya
yang juga kekar sudah siap mencabut pedang di punggungnya.
"Edan! Pukulanku bisa
berbalik arah dan menjadi sedahsyat itu?! Padahal pukulan tadi hanya akan
membuatnya lumpuh, tak bisa menghancurkan benda apa pun. Tapi... kenyataannya
pukulanku tadi hampir saja membelah dinding batuan sekeras itu?!" pikir
Mugowira dengan terheran-heran.
Suara dentuman tadi ternyata
membangunkan masa bertapa sang Prabu Wiloka, raja Negeri Majageni. Melihat sang
Prabu keluar dari gua, semua prajurit menunduk dalam ketakutan dan penuh
hormat. Wajah sang Prabu yang berpakaian putih mirip pendita itu kelihatan
sedang menahan marah, ia melangkah didampingi penjaga pintu gua yang berpakaian
merah dengan hiasan rompi biru tua, rambut panjang sepundak diikat dengan ikat
kepala kain biru pula.
"Mugowira! Apa yang
terjadi hingga membatalkan tapaku?!"
Mugowira membungkukkan badan
penuh hormat, "Ampun, Prabu... seorang anak muda memaksa ingin bertemu
Kanjeng Prabu dan membuat keonaran di sini!"
Prabu Wiloka memandang tajam
kepada Suto, yang dipandang justru membungkukkan badan memberi hormat sebagai
tanda kesopanannya juga. Setelah Suto Sinting berdiri dengan tegak lagi, Prabu
Wiloka menyapa dengan suara tegas, bernada geram sebagai tanda kemarahan yang
terpendam.
"Siapa dirimu, sehingga
berani mengganggu masa bertapaku?!"
"Namaku Suto Sinting,
sang Prabu! Aku...."
"Tunggu!" sergah
Prabu Wiloka tanpa mahkota. "Sepertinya nama itu pernah kudengar dari
mulut para tokoh sakti yang berkunjung ke Negeri Majageni!"
"Mungkin hanya kesamaan
nama yang secara kebetulan saja, Prabu. Yang jelas, kedatangan saya kemari
ingin masuk ke gua itu untuk mengambil sesuatu yang amat berharga bagi jiwa
orang lain."
"Lancang betul maksudmu?!"
"Maafkan saya, Prabu
Wiloka. Saya terpaksa lakukan demi menolong jiwa seorang sahabat yang terkena
Racun Ludah Naga!"
Prabu Wiloka tersentak kaget.
Cepat-cepat ia sentakkan tangannya ke arah mulut gua. Dan tiba-tiba sinar
kuning melesat dari tangan itu, menghantam tepian pintu gua, lalu menyebar
membentuk seperti jala. Craaab...! Sinar kuning itu tetap menyala sebagai penghalang
masuk ke dalam gua.
"Kalau kau berani masuk
ke dalam gua, maka tubuhmu akan hangus
seketika oleh sinar kuning penjerat sukma itu!" kata Prabu Wiloka.
"Apa maksud Prabu Wiloka
memasang sinar penjerat sukma itu?!"
"Tak kuizinkan siapa pun
memasuki gua yang sedang kugunakan untuk bertapa itu! Jika ia nekat masuk,
berarti ia nekat bertaruh nyawa!"
"Rasa-rasanya saya memang
terpaksa mempertaruhkan nyawa demi sahabat yang menderita Racun Ludah Naga itu,
Prabu!"
"Racun Ludah Naga hanya
dimiliki oleh Syakuntala, Panglima dari tanah Hindus!" katanya mencoba
membeberkan pengetahuannya.
"Memang benar. Syakuntala
itulah yang membuat tubuh sahabat saya menyusut dan kian lama kian menjadi
seperti bocah cilik, Prabu. Tetapi di dalam gua itu ada obat yang harus kuambil
dan diminumkan kepada sahabat saya itu!"
Prabu Wiloka diam sesaat, ia
mulai bimbang. Setelah berjalan mondar-mandir beberapa saat, Prabu Wiloka
berkata,
"Tidak! Siapa pun tetap
tidak kuizinkan masuk. Kalau kau nekat, kau akan berhadapan dengan Mugowira dan
Mahesa Sulung," sambil menunjuk penjaga berpedang di punggung dan
berpakaian merah dengan rambutnya yang panjang itu.
"Kalau memang saya harus
diadu dengan mereka, saya tidak keberatan, Prabu. Tapi saya mohon kerelaan
Prabu jika sampai kedua pengawal Prabu cedera atau bahkan tewas di tangan
saya!"
"Jangan sesumbar dulu,
Suto Sinting!" geram Prabu Wiloka. "Mahesa Sulung, Mugowira... hadapi
dia!"
Mugowira maju lebih dulu. Ia
melompat dari sisi kanan ke tengah lingkaran pengepung, karena para prajurit
masih mengelilingi Suto Sinting membentuk pagar betis berlingkaran lebar. Prabu
Wiloka sendiri undurkan diri, memberi tempat lega untuk pertarungan Suto dan
Mugowira.
Tangan Mugowira mengeras
membentuk cakar. Lalu jurus-jurus cakar harimau dimainkan dengan gesit.
Sementara itu Suto Sinting diam saja dengan bumbung tuaknya ada di tangan
kanan, melilit talinya di tangan itu.
"Hiaaat...!"
Mugowira menyerang dengan pukulan bercakar secara beruntun. Tapi Suto Sinting
tetap diam di tempat, menghindar dengan cara meliuk-liukkan tubuhnya seperti
gerakan orang mabuk. Kadang ia menangkis dengan kibasan tangan seperti orang
mau jatuh. Dan pada satu kesempatan, tangan kiri Suto menghantam masuk ke dada
Mugowira. Buuehg...!
"Huuhgg...!"
Mugowira terpekik berat, tubuhnya yang besar terpental terbang hingga ke tepian
garis lingkar, nyaris menjatuhi seorang prajurit. Tubuh besar itu bagaikan
terbanting dengan telak. Suara jatuhnya pun menimbulkan bunyi berdebum yang
membuat tengkuk para prajurit merinding.
Darah keluar dari mulut. Tak
seberapa banyak, namun memancing kemarahan Mugowira lebih besar lagi. Maka ia
pun segera bangkit dan mencabut pedang besarnya yang bergagang ukir dengan
rumbai-rumbai benang merah.
"Hiaaatt...!"
teriakannya memanjang, ia berlari sambil siap-siap menebaskan pedangnya. Dan
dalam jarak tertentu ia melompat cepat, wuuuttt...! Pedangnya ditebaskan ke
leher Suto Sinting. Wuuung...! Duaaar...!
Terdengar bunyi ledakan yang
mengejutkan Prabu Wiloka. Ledakan itu timbul akibat gerakan pedang besar
dihadang oleh bumbung tuak. Pedang besar itu langsung patah menjadi dua bagian.
Mugowira terbelalak bengong. Saat itulah kaki Suto Sinting menendang ulu hati
Mugowira dengan telak. Duuuss...!
"Nggekkk...!" tubuh
besar itu melengkung ke depan, punggungnya ke belakang. Tubuhnya melayang lagi
sambil memuntahkan darah merah. Brrukk...! ia jatuh dalam keadaan terkulai
lemas.
"Prabu Wiloka!" seru
Suto. "Kumohon jangan timbulkan korban lagi. Kedatanganku bukan untuk
membuat kematian di antara para pengawalmu!"
"Mahesa Sulung,
maju...!" teriak Prabu Wiloka yang agaknya semakin marah melihat salah
satu dari dua pengawal andalannya dirobohkan oleh Suto.
Mahesa Sulung segera mencabut
pedangnya dari punggung, ia tampak lebih kalem dari Mugowira. Jurus pedang segera
dimainkan di depan Suto Sinting. Tetapi agaknya Suto Sinting ingin perlihatkan
tingkatan ilmunya yang lebih tinggi lagi dari jurus yang sudah digunakan untuk
melawan Mugowira tadi. Suto Sinting sengaja menenggak tuaknya, memancing
kelengahan agar segera diserang lawan. Kali ini ia menyisakan tuak di dalam
mulut, dikumur-kumurnya sebelum akhirnya ia terpaksa harus melompat bersalto
mundur ketika Mahesa Sulung menebaskan pedangnya yang bergerak bagaikan kilat
itu.
Wut, wut, wut, wut, siaap...!
Beberapa tebasan berhasil
dihindari Suto Sinting, dan satu kesempatan bagus diperoleh sang pendekar
tampan. Tuak dalam mulutnya disemburkan ke arah pedang Mahesa Sulung.
Bwweerrsss...!
Claap...!
Mahesa Sulung terbengong
seketika, diam bagaikan patung dengan tangan hampa, tanpa pedang tanpa senjata
apa pun. Pedang itu lenyap setelah disembur oleh Suto menggunakan tuak dalam
mulutnya. Jurus 'Sembur Siluman' digunakan Suto Sinting untuk memberi
peringatan kepada pihak Prabu Wiloka bahwa pertarungan tak perlu terjadi dan
saling menolong sangat dibutuhkan.
Prabu Wiloka sendiri diam tak
bergerak ketika melihat pedang Mahesa Sulung bisa lenyap dalam sekali sembur.
Hatinya segera membatin,
"Luar biasa hebatnya dia!
Mahesa Sulung akan sia-sia jika tetap melawannya. Setidaknya kucoba dengan
jurus 'Pancasurya', apakah ia masih bisa menandingi jurus andalanku ini?!"
Lalu sang Prabu berseru,
"Mahesa Sulung, minggirlah! Biar kuhadapi sendiri orang ini!"
Mahesa Sulung segera
menyingkir walau masih dengan wajah seperti orang pikun yang habis kehilangan
pedangnya. Prabu Wiloka maju empat tindak, dan Suto Sinting tetap berdiri tegak
menenteng bumbung tuaknya.
"Suto Sinting, terimalah
jurus 'Pancasurya' ini, hiaaah...!"
Wuuutt...! Kedua tangan Prabu
Wiloka berjari lurus dan rapat, disentakkan ke tanah. Dari tanah di depannya
keluar lima larik sinar biru sebesar lidi.
Craaip...!
Lima larik sinar merah
menyerang Pendekar Mabuk. Dengan cepat bumbung tuak melintang di depan dada,
dipegang ujung-ujungnya dengan dua telapak tangan saling menekan. Drrrub...!
Sinar itu menghantam bumbung dan lima-limanya berbalik dengan cepat dan lebih
besar ragi. Lima sinar biru besar itu menghantam tanah tempat Prabu Wiloka
berpijak.
Blegaaarr...!
Prabu WHoka tersentak melesat
ke atas. Hampir saja kakinya buntung jika Suto Sinting tidak sedikit
mengarahkan lebih ke bawah, dengan begitu sinar biru tersebut menghantam tanah
di depan kaki sang Prabu, bukan tepat pada kedua kakinya.
Semua orang yang ada di situ
terkejut. Terbengong, terperangah dan berdebar-debar melihat sang Prabu
bersalto di udara satu kali, lalu berhasil mendarat lagi, sedikit terkilir dan
jatuh bersimpuh. Mahesa Sulung segera menolongnya bangkit.
"Ouh... kakiku...!"
rintih sang Prabu dengan terpincang-pincang.
"Biar saya hadapi lagi
orang itu, Kanjeng Prabu!"
"Jangani Dia bukan orang
sembarangan! Biar aku saja yang hadapi dia!" kata sang Prabu, lalu matanya
memandang lurus ke arah Suto Sinting. Sebelum ia bicara, Pendekar Mabuk yang
tampak tetap tenang itu berkata,
"Prabu, jangan mendesakku
untuk membuat korban nyawa di sini! Kumohon kerelaanmu untuk mengizinkan diriku
masuk ke gua itu dan mengambil Telur Mata Setan yang ada di sana!"
Prabu Wiloka terperanjat.
Mulutnya membungkam, matanya tak berkedip. Rupanya ia mempertimbangkan
keputusannya. Kejap berikut barulah terdengar suaranya berkata dengan nada tak
segarang tadi.
"Jauh-jauh aku menemukan
tempat bertapa yang paling baik dan berkekuatan gaib cukup tinggi. Haruskah
kubiarkan tempat itu kau acak-acak, Anak Muda?! Terus terang, aku sendiri tidak
tahu kalau di dalam gua itu ada Telur Mata Setan yang setahuku hanya ada dalam
dongeng belaka. Tapi ketahuilah, bahwa aku tak ingin tempat itu kau acak-acak
sebelum tapaku rampung."
"Apa yang Prabu cari
dalam bertapa itu?" tanya Suto Sinting.
"Aku bertapa bukan untuk
mencari Telur Mata Setan. Perlu kau ketahui, aku hanya mempunyai dua orang
anak, satu lelaki, satu lagi perempuan. Dan anak lelakiku sudah mati bunuh diri
karena gila cinta. Tinggal anak perempuanku yang kuharapkan menjadi pewaris
tahta Negeri Majageni. Tetapi sejak kecil anak itu telah minggat dan tak pernah
pulang karena aku menikah lagi. ia tidak setuju dengan pernikahanku yang baru.
ia tidak mau mempunyai seorang ibu tiri. Ia pergi dan hatiku pun selama sepuluh
tahun ini menjadi kosong tanpa kebahagiaan...."
Sang Prabu menarik napas,
bagaikan menekan perasaan duka. Lalu ucapannya dilanjutkan lagi setelah ia
melihat Suto Sinting selesai menenggak tuaknya.
"Aku bertapa hanya untuk
mendapatkan anakku kembali. Tapi kau mengacau kehadiran dewa yang ingin
memberikan petunjuk padaku tentang di mana anak gadisku itu. Kau akan kuizinkan
masuk ke gua dan mengambil Telur itu jika kau bisa menemukan anakku yang hilang
sepuluh tahun lamanya, bahkan lebih dari sepuluh tahun."
"Siapa nama anak
itu?"
"Roro Padmi!"
Tiba-tiba melesat sesosok
bayangan yang segera mendarat dari gerakan saltonya ke depan Suto Sinting.
Orang itu adalah Teratai Kipas, langsung bersujud di kaki Prabu Wiloka sambil
menghamburkan tangis,
"Ayah... ampunilah
aku!"
Prabu Wiloka dan Suto
sama-sama kaget serta terheran-heran. Teratai Kipas dibimbing berdiri oleh sang
Prabu dan dipandangi beberapa saat, lalu terucaplah kata mengharu dari mulut
sang Prabu,
"Kaukah putriku; Roro
Padmi...?!"
"Be... benar. Benar,
Ayah! Akulah Roro Padmi Wulinting!"
"Anakku...!
Anakku...?!"
Brrruk...! Teratai Kipas
dipeluknya. Sang Prabu menitikkan air mata ketika putrinya yang selama ini
pergi dari istana menangis terisak-isak dalam pelukannya. Pendekar Mabuk buru-buru
buang muka, karena tak tahan melihat keharuan itu. Ia tak mau ikut menangis
seperti beberapa prajurit yang ada di kanan kiri sang Prabu.
"Selama ini aku memang
tidak pulang, tapi aku sebenarnya sering kembali tanpa setahu siapa pun, Ayah.
Karenanya aku tahu kalau Arya Wuka, adikku, mati bunuh diri karena dibuat gila
asmara oleh Nyai Sapu Lanang!" tutur Roro Padmi Wulintang alias Teratai
Kipas.
Suto Sinting tertegun setelah
tahu bahwa Teratai Kipas ternyata putri seorang raja. Pantas jika Teratai Kipas
merasa cemas dan gelisah ketika bertemu dengan keempat prajurit. Ternyata bukan
karena salah satu prajurit mirip kekasihnya, melainkan karena ia tahu akan
berhadapan dengan para prajurit ayahnya sendiri, itu sebabnya Teratai Kipas
memisahkan diri dari Suto dengan alasan yang kuat karena ia sebenarnya tak
ingin berhadapan dengan ayahnya sendiri. Namun demi mendapatkan Telur Mata
Setan yang dicari-cari Suto Sinting, akhirnya Teratai Kipas tampakkan diri dan
berlutut di kaki orangtuanya.
Telur Mata Setan kini
benar-benar didapatkan oleh Suto Sinting. Seperti apa kata Nyai Guru Betari
Ayu, Telur itu memang ada di dalam batu berongga di antara salah satu batu dalam gua tersebut. Pantas
saja kalau gua itu mempunyai pengaruh kekuatan gaib cukup tinggi dan cocok
untuk dipakai bertapa karena ada kekuatan gaib Telur Mata Setan. Telur itu
berwarna emas, kulitnya keras seperti dari besi, besarnya sedikit lebih besar
dari Telur burung puyuh. Ternyata bukan setiap orang bisa memegang Telur itu
kecuali yang mempunyai tenaga dalam cukup tinggi. Bagi yang tidak, Telur itu
beratnya bagaikan melebihi berat sebatang pilar baja sebuah istana.
Teratai Kipas diizinkan oleh
Prabu Wiloka untukmengantarkan Suto Sinting ke Puncak Gunung Kundalini,
menyelesaikan masalah Telur Mata Setan yang akan diminumkan kepada Sumbaruni.
Sang Prabu bahkan berbisik kepada Teratai Kipas,
"Apakah dia kekasihmu?
Jika benar, Ayah akan segera nikahkan kalian! Ayah sangat setuju dan gembira
sekali jika mempunyai menantu sesakti dia!"
Teratai Kipas tersenyum,
"Tidak, Ayah. Dia hanya sahabatku. Dia sudah mempunyai calon istri
sendiri, tahukah Ayah siapa dia sebenarnya?"
"Siapa?"
"Dia adalah muridnya si
Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk!"
"Hahh...?!" Prabu
Wiloka membelalak kaget dan merinding seketika.
SELESAI