OMBAK bergulung-gulung
melemparkan riak ke pantai. Cuaca cerah. Langit jernih. Matahari baru beberapa
saat muncul dari peraduannya. Udara segar enak untuk berlatih pernapasan. Dan
di atas sebongkah batu karang runcing, duduklah seorang lelaki bersila tanpa
kenakan baju.
Batu karang itu benar-benar
runcing. Bahkan runcing sekali. Tapi lelaki itu duduk bersila di atasnya dengan
tenang dan tidak merasa kesakitan. Yang jelas siapa pun akan kagum melihat pria
tampan itu mampu duduk di atas sebuah keruncingan.
Badannya yang tidak berbaju
tampak kekar. Berkilauan karena dipanggang panas matahari pagi. Dadanya tegak.
Wajahnya memandang lurus ke cakrawala. Kedua tangannya ada di samping. Lemas
tanpa kekerasan otot apa pun. Dada bidang itu tampak kekar. Bergerak naik turun
dengan teratur. Rambutnya yang panjang tak diikat meriap-riap dipermainkan
angin.
Lelaki tampan itu bukan tak
punya baju. Ternyata ia memang sengaja melepas bajunya. Baju itu ditaruh di
bebatuan pantai. Di samping baju ada bambu tempat tuak.
Warna bambunya coklat muda,
sedangkan warna bajunya coklat tua gelap. Celana yang dikenakan berwarna putih.
Jelas itu ciri-ciri si Pendekar Mabuk. Apakah karena mabuk dia duduk di atas
keruncingan yang tajam? .
O, tidak! Dia sengaja duduk di
keruncingan yang tajam untuk melatih ilmu peringan tubuhnya. Kalau dia tak
memiliki ilmu peringan tubuh yang tinggi, sudah pasti pantatnya akan tertusuk
oleh ujung batu karang runcing itu.
Para tokoh berilmu tinggi tahu
persis hal itu, dan pasti akan mengatakan bahwa si Pendekar Mabuk punya ilmu
peringan tubuh yang tinggi, hampir mendekati sempurna.
Perlahan-lahan badan Pendekar
Mabuk bergerak. Bukan miring ke kiri atau ke kanan, melainkan naik ke atas.
Hebat sekali. Dalam keadaan tetap duduk tubuh itu bisa bergerak naik
pelan-pelan. Sekarang pantatnya tidak menyentuh ujung runcing itu. Tapi
mengambang.
Jaraknya sedikit sekali.
Kira-kira setinggi separuh batang korek api. Tapi semakin lama, semakin jauh
jarak itu. Sekarang malah ukuran jarak pantat dengan ujung batu karang ada
sejengkal. Itu yang dinamakan ilmu 'Layang Raga', yaitu ilmu peringan tubuh
yang bisa mengangkat tubuh menjadi tetap di tempat tanpa tumpuan apa pun.
Ilmu 'Layang Raga' dilatih
sejak lama. Kian hari kian mencapai tingkatan tinggi. Lihat saja, sekarang
Pendekar Mabuk bisa mengambang di udara dalam jarak satu hasta dari tempat
duduknya. Padahal ia tetap duduk bersila dengan urat-urat dilemaskan.
Seolah-olah ia bisa duduk di
udara lepas. Mengagumkan sekali ilmu itu. Tentunya tak mudah dimiliki sembarang
orang. Latihannya dilakukan sejak Pendekar Mabuk masih berusia lima belas
tahun. Sekarang usianya sudah dua puluh dua tahun. Bayangkan, berapa lama ia
berlatih ilmu 'Layang Raga' dengan tekun? Pantas kalau mencapai tingkatan yang
tinggi.
Tubuh yang masih bersila itu
bergerak turun secara pelan-pelan. Tak ada yang menarik, tak ada yang menekan.
Dia turun sendiri. Sebab ilmu 'Layang Raga' adalah perpaduan kendali napas dan
pemusatan pikiran yang terlatih. Kapan saja pikiran dan hatinya menyatu untuk menghendaki
tubuh bergerak naik, maka sang tubuh pun bergerak naik. Jika menghendaki
bergerak turun, ya akan turun dengan sendirinya.
Kalau ilmu itu sudah
benar-benar dikuasai dan mencapai titik ketinggiannya, maka Pendekar Mabuk bisa
naik-turun sendiri dalam kecepatan cukup tinggi. Tidak menutup kemungkinan ia
akan bisa terbang. Tapi bukan terbang seperti burung. Melainkan berpindah
tempat dengan cepat dalam keadaan duduk, jongkok, atau apa pun juga. Tentunya
tak bisa jauh-jauh. Ada batasnya sendiri.
Ilmu itu memang mengagumkan.
Buktinya bocah kecil yang sejak tadi memperhatikan dari tempat persembunyiannya
sampai lupa menutup mulutnya yang terbengong melompong. Akibat lupa menutup
mulut, seekor lalat masuk. Hab!
"Cuih...!" bocah
kecil itu meludah, lalat pun selamat dari mulutnya, tapi bocah itu bergidik
jijik.
Bocah berusia sepuluh tahun
yang sejak tadi mengintip latihannya Pendekar Mabuk itu berkulit hitam
kecoklatan. Rambutnya lurus agak panjang. Tubuhnya kurus namun bukan berarti
cekung. Matanya sedikit lebar, wajahnya polos.
Siapa bocah itu?
Angon Luwak namanya. Dia
pernah mengikuti pertarungan Pendekar Mabuk dengan Wiratmoko yang bergelar
Iblis Naga Pamungkas. Malahan bocah penggembala kambing itu pernah menjadi
'murid' Ki Gendeng Sekarat dalam mimpi, ia seorang bocah yang amat menggemari
cerita-cerita kependekaran, sehingga dalam angan-angannya ia selalu ingin
menjadi seorang pendekar berilmu tinggi. (Kalau ingin tahu riwayat bocah itu,
baca saja episode : "Naga pamungkas").
Bocah itu memang bandel, tapi
punya tekad dan keberanian yang tinggi. Kebandelannya terletak pada keingin
tahuannya terhadap segala macam jenis ilmu yang aneh-aneh. Sejak bertemu
Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting itu, Angon Luwak menjadi pengagum
berat kesaktian Pendekar Mabuk. Maka diam-diam dia mengikuti ke mana perginya
Suto Sinting, ia tak berani terang-terangan, takut dimarahi atau disuruh pulang
oleh Suto Sinting.
Tapi kali ini ia ingin
tampakkan diri dan bertepuk tangan sebagai tanda memuji kehebatan ilmu 'Layang Raga'
itu. Sayang niatnya tertunda karena kemunculan dua tokoh tua yang datang dari
arah timur pantai. Angon Luwak makin merapatkan diri di persembunyiannya, ia
ingin tahu apa yang dilakukan dua tokoh tua yang baru datang itu.
Kedua tokoh tersebut punya ciri-ciri
yang berbeda. Yang berpakaian abu-abu mempunyai rambut putih panjang, pakai
ikat kepala merah, membawa tongkat kayu coklat yang ujungnya tak berbentuk
apa-apa. Sedangkan yang mengenakan jubah merah berambut putih pendek, botak
bagian tengahnya, sehingga keningnya kelihatan lebar, ia membawa tongkat kayu
warna putih, ujungnya berbentuk seperti ujung anak panah. Runcing tapi tidak
tajam sekali.
Keduanya mempunyai tinggi
badan yang sama, usia yang sama sekitar enam puluh tahunan. Sekalipun tua, tapi
mereka melangkah dengan tegak dan tegap. Seolah- olah tenaganya masih muda.
Pada saat melangkah tongkatnya digunakan sebagai tumpuan yang mengayun. Mereka
berhenti dalam jarak tujuh langkah dari tempat Suto menaruh baju dan bumbung
tempat menyimpan tuaknya.
Mereka memperhatikan Suto
beberapa saat, sementara Suto belum sadar atas kehadiran dua tokoh tua itu.
Suto masih duduk di atas keruncingan ujung batu karang. Lima langkah di
belakang kedua tokoh tua itu, terdapat pohon dan kerimbunan semak. Di situlah Angon
Luwak bersembunyi.
"Benarkah dia
orangnya?" kata si jubah merah kepada jubeh abu-abu.
"Tak salah lagi, memang
dialah orangnya."
"Hmmm..., agaknya ilmunya
memang cukup tinggi."
"Murid si Gila Tuak
tentunya mewarisi segala ilmu gurunya," kata si jubah abu-abu seperti
orang menggumam.
Percakapan itu didengarkan
oleh Angon Luwak. Tapi bocah itu tidak berulah apa-apa kecuali hanya diam dan
tetap mengintai.
"Sejak kapan kau mengenal
dia, Lumaksono?" tanya si jubah merah.
Orang berambut putih panjang yang
ternyata bernama Ki Lumaksono itu menjawab dengan kalem,
"Kami belum pernah saling
kenal, Parandito. Tapi aku pernah melihat pertarungannya di suatu tempat dari
kejauhan."
Jubah merah yang ternyata
bernama Ki Parandito itu manggut-manggut. Ia berkumis dan berjenggot pendek
warna putih, sedangkan Ki Lumaksono hanya berkumis putih tanpa jenggot.
"Apakah kita perlu
panggil dia sekarang juga, Parandito?"
"Jangan. Biar
diselesaikan dulu latihannya. Tak enak kalau kita harus mengganggu
kesibukannya."
Pendekar Mabuk mulai mendengar
suara kasak-kusuk itu. Karenanya ia segera berpaling ke darat, dan sedikit
kaget melihat dua tokoh tua sedang memperhatikannya, ia tak enak hati. Lalu
segera turun dari atas batu karang, melangkah mendekati baju dan bumbung tuaknya.
Matanya memandang ramah.
Ki Lumaksono mendekat lebih
dulu dan menyapa secara baik-baik, kemudian Ki Parandito menyusulnya, sehingga
jarak mereka dengan Suto hanya empat langkah.
"Kami tidak bermaksud
mengganggu latihanmu, Suto Sinting."
"O, aku tidak merasa
terganggu," jawab Suto dengan sopan. "Aku hanya merasa heran, karena
belum pernah bertemu dengan Kakek berdua."
"Aku Pawang Gempa, juga
dipanggil Ki Lumaksono. Dan ini...," ia menunjuk si botak berjubah merah,
"... ini adalah saudara seperguruanku. Namanya Ki Parandito, alias Juru
Bungkam."
Sambil mengenakan bajunya yang
tanpa lengan itu, Suto Sinting ajukan pertanyaan tetap dengan sopan,
"Lalu apa keperluan Ki
Lumaksono dan Ki Parandito menemuiku di sini?"
"Tak ada maksud apa-apa
kecuali hanya ingin meminta bantuanmu, Pendekar Mabuk," jawab Ki
Parandito.
"Bantuan apa?"
Kedua tokoh itu saling pandang
sebentar. Sepertinya mereka saling berserah diri untuk menjelaskan maksud
sebenarnya. Ki Lumaksono segera mengambil keputusan untuk bicara kepada
Pendekar Mabuk.
"Kami kehilangan mayat
guru kami."
Suto Sinting kerutkan dahi.
Aneh sekali mendengar kabar itu. Mayat bisa hilang. Siapa yang mau mencuri
mayat? Dan untuk apa?
Ki Lumaksono teruskan kata,
"Guru kami yang berjuluk
Sokobumi, telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Jenazahnya kami awetkan dan
kami simpan dalam sebuah gua. Kami melakukan hal itu bukan untuk maksud jahat,
namun untuk mengenang dan melampiaskan rindu kami yang datang sewaktu-waktu.
Guru kami bukan saja sebagai guru namun juga kami anggap sebagai ayah kami. Ia
hidup sampai berusia sembilan puluh tahun lebih. Kami sangat menyayangi dan
menghormati Guru, karena ajaran-ajarannya selalu membimbing kami kepada
kebenaran. Sebulan yang lalu kami periksa gua itu, ternyata mayat Guru sudah
lenyap dari peti kaca."
"Dicuri orang atau jalan
sendiri?" tanya Suto Sinting.
"Tak mungkin jalan
sendiri, karena sudah lama tak bernyawa," tukas Ki Parandito yang membuat
Suto Sinting jadi tersipu, karena merasa telah mengajukan pertanyaan yang
bodoh.
Ki Lumaksono lanjutkan kata,
"Seseorang telah mencuri jenazah guru kami. Orang yang mencuri jenazah
guru kami sudah kami ketahui."
"Siapa?" tanya Suto.
"Nila Cendani yang juga
dikenal dengan nama Ratu Tanpa Tapak. Dia penguasa Gunung Sesat, dan memang
tokoh alot dari golongan hitam."
"Lalu, kenapa Ki
Lumaksono tidak merebut mayat itu darinya?"
Ki Lumaksono hanya
geleng-geleng kepala. Raut wajahnya menampakkan semangat yang pudar. Suto
Sinting heran dan berkata,
"Apakah Nila Cendani
berilmu tinggi dan tidak bisa ditandingi oleh Ki Lumaksono maupun Ki
Parandito?"
"Kira-kira begitu,"
jawab Ki Lumaksono.
Tapi Ki Parandito segera
menambahkan keterangannya,
"Nila Cendani berilmu
tinggi. Tubuhnya tak bisa disentuh oleh seorang lelaki, kecuali lelaki itu
masih perjaka ting-ting. Belum pernah bercampur dengan wanita. Tetapi orang
tersebut juga harus berilmu tinggi untuk mengimbangi ilmunya."
"Aneh sekali," gumam
Suto Sinting. "Tidak bisa disentuh lelaki yang sudah bukan perjaka
lagi?"
"Maksudnya yang belum
pernah tidur dengan wanita," jelas Ki Lumaksono.
"Ya, ya... aku paham.
Tapi bagaimana dengan dia sendiri? Apakah bisa menyentuh pria yang bukan
perjaka?"
"Tidak bisa juga. Tapi
dia bisa lepaskan serangan jarak jauhnya dan mampu membunuh pria yang bukan
perjaka. Sedangkan pria seperti kami, tidak bisa menyerangnya, karena serangan
sehebat apa pun yang kami lancarkan akan membalik arah. Tidak akan sampai dan
tidak akan mampu melukainya walaupun dari jarak jauh. Demikian pula kepada kaum
wanita yang masih perawan, akan bisa menyerang dan menyentuhnya, tapi yang
bukan perawan tidak akan bisa menyerang dan
menyentuhnya."
Ki Lumaksono tambahkan kata
lagi, "Serangannya sangat berbahaya dan mematikan. Sulit ditangkis dan
dihindari."
"Lalu mengapa akulah
orang yang terpilih untuk menghadapi Nila Cendani?"
"Karena kami yakin kau
masih perjaka?'
"Dari mana Ki Lumaksono
mengetahuinya?"
"Pernah kulihat tanda
merah di dahimu. Sekarang pun kami melihat tanda merah itu sebagai tanda
penghormatan yang diberikan oleh Ratu Kartika Wangi dari negeri Puri Gerbang
Surgawi di alam gaib."
"Tapi tanda merah ini
bukan jaminan keperjakaanku, Ki."
"Ratu Kartika Wangi tak
akan berikan penghargaan setinggi itu kepada pemuda yang sudah tidak perjaka.
Sekalipun beliau berikan penghargaan bertanda merah kepada yang bukan perjaka,
maka warna merahnya berbeda, sedikit lebih gelap. Sedangkan tanda merah di
dahimu itu sangat terang dan cerah, itu tandanya kau masih perjaka. Kelak jika
kau sudah tidak perjaka lagi, maka warna merah itu akan keruh, tidak secerah
saat ini."
Suto Sinting diam termenung,
ia memang memiliki noda merah kecil di tengah dahinya sebagai tanda
penghormatan dan gelar Manggala Yudha dari calon mertuanya, yaitu ibu dari Dyah
Sariningrum, (Baca serial pendekar Mabuk dalam episode : "Manusia Seribu
Wajah"). Hanya orang-orang yang tingkat ilmunya cukup tinggi yang bisa
melihat noda merah itu. Tetapi Suto sendiri tak tahu kalau noda merah itu
sebagai tanda keperjakaannya pula.
"Untung aku tidak pernah
nyeleweng dengan perempuan lain. Kalau aku nyeleweng dan berbuat mesum, pasti
Dyah Sariningrum dan ibunya akan mengetahui dengan melihat cerah atau keruhnya
wama merah ini," pikir Suto. "Kini aku tahu, warna merah ini juga
sebagai pemantau bagi Dyah Sariningrum dan ibunya untuk mengetahui apakah aku
berbuat tak senonoh dengan wanita lain atau tidak. Ah, kenapa baru sekarang aku
mengetahuinya?"
Renungan Pendekar Mabuk
terhenti karena suara Ki Lumaksono.
"Gurumu, si Gila Tuak,
pasti kenal dengan Eyang Sokobumi; guru kami itu. Karena beliau-beliau adalah
tokoh aliran putih yang disegani musuh. Jadi sepantasnya kami memohon bantuanmu
untuk merebut kembali Jenazah guru kami dan tangan Nila Cendani. Bila perlu
kami akan meminta izin lebih dulu kepada Ki Sabawana alias si Gila Tuak
itu."
Belum sempat Pendekar Mabuk
ucapkan kata lagi, tiba-tiba dari arah timur pantai muncul seorang penunggang
kuda berkecepatan tinggi. Kuda hitam itu ditunggangi seorang wanita cantik
berpakaian ketat warna ungu muda. Rambutnya disanggul sebagian, sisanya
dibiarkan lepas meriap-riap karena kecepatannya dalam mengendarai kuda. Wanita
cantik itu menyandang pedang di punggungnya.
Jubah ungu tua yang melapisi
pakaian ketatnya melambai-lambai bagaikan sayap burung raksasa.
Melihat kemunculan wanita
cantik itu, kedua tokoh tua tampak mulai tegang. Ki Parandito menyimpan
kecemasan, demikian pula Ki Lumaksono.
Seolah-olah mereka ingin
lekas-lekas tinggalkan tempat itu. Angon Luwak yang ada di persembunyiannya
juga memandang ke arah datangnya kuda hitam tersebut. Tapi ia tetap tidak
lakukan apa-apa di balik kerimbunan semak.
Kuda masih berlari tak begitu
cepat. Wanita berpakaian ungu itu melompat turun dengan lincahnya. Kuda
berhenti sendiri tanpa diperintah. Wanita cantik yang berusia sekitar dua puluh
lima tahun itu melangkah mendekati Suto Sinting. Matanya yang bening indah tapi
berkesan galak itu memandang ke arah Pawang Gempa dan Juru Bungkam.
"Tak salah dugaanku,
kalian berdua pasti menemui pemuda ini!" kata wanita cantik itu. Suto
hanya diam, tapi otaknya mencatat sikap permusuhan si wanita kepada dua tokoh
tua itu.
Ki Lumaksono berkata kepada
wanita tersebut, "Sekali lagi kuingatkan, jangan campuri urusan kami,
Pelangi Sutera. Uruslah urusanmu sendiri dan kami akan mengurus urusan kami
sendiri."
"Kalian punya urusan
sendiri denganku yang belum dijelesaikan! Karenanya aku mengejar kalian kemari
untuk selesaikan urusan kita sekarang juga...."
Wuuut... ! Ki Parandito
menyambar tempat kosong dan tangannya menggenggam, bagaikan habis menyambar
nyamuk. Itulah jurus pembungkam andalannya, supaya orang yang dimaksud tak
mampu lanjutkan bicara. Tapi wanita cantik yang ternyata bernama Pelangi Sutera
itu justru meludah ke samping.
"Cuih! Kau tak bisa
membungkamku, Ki Parandito. Ilmu bungkammu tak akan berguna bagi diriku!"
Ki Parandito pun melepaskan
genggamannya, merasa sia-sia usahanya. Sedangkan Pelangi Sutera bergerak makin
dekati kedua tokoh tua itu.
"Kita teruskan urusan
kita dan kita selesaikan di sini juga!"
"Gadis sombong!"
geram Pawang Gempa, ia mulai tampak tak sabar. "Kalau kau memaksa kami,
aku yang akan mengawali. Hiaaat...!"
Wuuut... !
Pawang Gempa menebaskan
tongkatnya untuk menghancurkan kepala Pelangi Sutera. Tetapi gadis itu ternyata
cukup lincah. Kecepatan tebas tongkat itu dapat dihindari dengan merundukkan
kepala, lalu menyentakkan tangan ke depan. Slaaap...! Selarik sinar hijau
menghantam perut Pawang Gempa. Tetapi Pawang Gempa segera lompat ke kiri,
sehingga sinar hijau itu membentur gugusan batu karang di kejauhan sana.
Blaaar...! Batu karang itu pecah menjadi serpihan sebesar batuan kerikil.
Juru Bungkam tak mau tinggal
diam. Dengan tongkatnya yang berbentuk anak panah itu ia melompat ke arah
Pelangi Sutera. Tongkat itu dihunjamkan ke punggung gadis tersebut. Sinar putih
bagaikan baja melesat dari ujung tongkat menuju punggung Pelangi Sutera.
Jruub... ! Punggung itu
terkena sinar putih dengan telak. Mengepul asap kehitaman dari bekas luka. Tapi
dalam sekejap tubuh yang terluka hangus itu menjadi pulih seperti sediakala
dengan hanya menarik napas satu kali. Bahkan baju jubahnya yang tadi tampak mau
terbakar itu menjadi padam dan utuh seperti semula.
Pelangi Sutera kelebatkan
tangannya bagai menyambar sesuatu di depannya. Dari ujung jari-jarinya
memerciklah bunga-bunga api warna merah kekuning- kuningan. Bunga-bunga api itu
berbintik-bintik dan sangat banyak jumlahnya. Bunga-bunga api itu membungkus
tubuh Ki Parandito. Tetapi sebelum tubuh itu terbungkus rapat, Ki Lumaksono
hentakkan tongkatnya ke bumi satu kali. Duug!
Tanah berguncang, pantai bagai
dilanda gempa. Bunga-bunga api yang hendak membungkus tubuh Ki Parandito pun
rontok dan lenyap bagai ditelan tanah.
Gadis berjubah ungu itu
melompat tinggi dan bersalto di udara. Rupanya di sana ia lepaskan pukulan
tenaga dalamnya berbentuk selarik sinar merah. Slaaap...! Sinar itu menghantam
dada Ki Lumaksono. Tapi dengan sigap orang itu menangkisnya dengan menyilangkan
tongkat di depan dada. Blaaar... !
Ledakan dahsyat terjadi,
menghentakkan tubuh tua Ki Lumaksono yang segera terlempar dan terjungkal ke
perairan pantai. Byuuur...!
"Tinggalkan dia!
Buang-buang waktu saja!" seru Juru Bungkam sambil melompat pergi,
sedangkan Ki Lumaksono pun cepat bangkit dan pergi dengan kecepatan tinggi.
Wuuut...! Pelangi Sutera ingin
mengejarnya, namun hanya maju dua langkah dan membatalkan niatnya. Napasnya
sempat terengah-engah tipis, ia berpaling memandang Suto Sinting yang dari tadi
diam saja, tak mau ikut campur sedikit pun. Malahan sesekali terlihat meneguk
tuaknya dengan tenang, seakan tidak peduli dengan pertarungan tersebut.
Kini ia memandang Pelangi
Sutera yang wajahnya masih memancarkan kemarahan, ia sengaja tidak membuka
kata, karena ia yakin Pelangi Sutera akan mengawali bicara lebih dulu.
"Dugaanku ternyata benar.
Kaulah orang incaran mereka berdua."
"Siapa mereka
sebenarnya?"
"Utusan dari Gunung
Sesat. Mereka para penasihat Ratu Tanpa Tapak."
Pendekar Mabuk terperanjat dan
segera berkerut dahi. Keterangan itu sangat bertentangan dengan penjelasan
kedua tokoh tua tadi. Suto menjadi bingung sendiri mencari kebenarannya.
"Kau sendiri siapa?
Sepertinya kau telah mengenalku?"
"Namaku Pelangi Sutera,
murid Raja Maut!" jawabnya tegas.
"Raja Maut...?!"
gumam Suto Sinting, ia merasa pernah bertemu dan mengenal nama itu. Raja Maut
adalah orang yang nyaris membunuh Wiratmoko dalam kisah "Naga
Pamungkas".
Raja Maut agaknya kenal baik
dengan guru Suto , tapi pada waktu itu ia katakan akan menyelesaikan urusan
dengan seseorang di Pulau Blacan. Raja Maut pun kenal dengan Ki Gendeng
Sekarat. Jika gadis cantik yang berkesan galak itu memang benar murid Raja
Maut, tentunya ia termasuk tokoh muda golongan putih.
"Apa persoalanmu dengan
kedua tokoh tua itu?" tanya Suto agak ragu.
"Mereka orang-orang yang
diutus oleh Ratu Tanpa Tapak untuk mencari pemuda lajang yang masih perjaka dan
membawanya ke Gunung Sesat. Dugaanku mereka pasti mencarimu, karena kau berilmu
tinggi. Ternyata benar. Tapi untung mereka belum sempat membawamu kesana. Hampir
saja kau menjadi tumbal cintanya ratu Tanpa Tapak.!"
"Tumbal?!" gumam
Suto semakin bingung. "Mana yang benar kalau begini?" pikir Suto
sambil berkerut dahi.
***
2
PULAU Blacan adalah sebuah
pulau yang tidak terlalu besar. Bentuknya seperti telur ayam. Kesuburannya
terjamin. Dari kejauhan pulau itu tampak hijau segar. Penghuninya hanya
beberapa orang. Mereka hidup dengan bercocok tanam dan mencari ikan.
Tetapi sejak kedatangan Nyai
Demang Ronggeng pulau itu menjadi sepi. Sebagian penduduknya lari meninggalkan
pulau, sebagian mati meninggalkan dunia. Nyai Demang Ronggeng bukan sekadar
manusia biasa, namun merupakan bencana dan malapetaka bagi penduduk Pulau
Blacan. Perempuan itu bukan saja galak, tapi juga ganas dan tak segan-segan
mencabut nyawa orang dengan seenaknya sendiri.
Ketika menjadi saudara
seperguruan dengan Ki Gendeng Sekarat, hubungannya sering dihiasai oleh perang
dingin dan perbedaan pendapat. Terlalu sering Nyai Demang Ronggeng dan Ki
Gendeng Sekarat beradu debat dengan sengit, yang pada akhirnya melahirkan
pertarungan kecil. Jauh-jauh hari Ki Gendeng Sekarat sudah menduga bahwa Nyai
Demang Ronggeng kelak akan menjadi tokoh silat golongan hitam. Ternyata dugaan
Ki Gendeng Sekarat itu memang benar.
Nyai Demang Ronggeng mencuri
kitab pusaka milik kakak dari gurunya. Kitab itu dipelajarinya sendiri dan
membuat kekuatan yang dimiliki Nyai Demang Ronggeng bertambah, ilmunya berbeda
dengan Ki Gendeng Sekarat. Tetapi Ki Gendeng Sekarat sendiri sudah selesaikan
semua ilmu yang dituntut dari sang Guru. Eyang Pramban Jati, guru Ki Gendeng
Sekarat, telah turunkan semua ilmunya kepada Ki Gendeng Sekarat, sehingga
sekalipun Nyai Demang Ronggeng berhasil pelajari kitab dari Eyang Wisbo, kakak
Eyang Pramban Jati, Ki Gendeng Sekarat tidak merasa kalah ilmu dengan perempuan
itu.
Eyang Wisbo sendiri mempunyai
murid tunggal, yaitu Raja Maut. Ketika Eyang Wisbo akan meninggal, Raja Maut
mendapat pesan agar merebut kitab yang dicuri oleh Nyai Demang Ronggeng apabila
Raja Maut telah turunkan sebagian besar ilmunya kepada seorang murid.
Raja Maut juga mendapat tugas
untuk pelajari seluruh ilmu yang ada di dalam Kitab Sukma Sukmi itu.
Dengan menggunakan dua lembar
daun talas, Raja Maut meluncur di permukaan air laut, menyeberang menuju Pulau
Blacan. Ia bagaikan perahu tanpa layar yang didorong angin dari belakang cukup
kuat. Berdiri di atas dua lembar daun talas bukan pekerjaan yang mudah. Jika
tidak berilmu tinggi sudah pasti akan tenggelam sebelum sampai di pertengahan
laut.
Jenggot panjang dan rambut
panjang abu-abu tak diikat itu meriap-riap bagaikan benang-benang layar yang
rawis. Jubah putih kusam berkelebat melambai-lambai mirip bendera kapal
penghantar mati. Tongkatnya yang meliuk-liuk seperti ular itu digenggam dengan
tangan kanan dan dipakai untuk bersedekap di depan dadanya.
Tubuh kurus bermata cekung itu
tampak tenang dalam mengendarai 'perahu daun' yang kecepatannya melebihi kapal
layar tiga tiang. Gelombang lautan membuat ia sesekali tampak timbul tenggelam
dalam kesendiriannya di tengah samudera.
Tetapi agaknya kedatangan Raja
Maut dari Bukit Semberani itu sudah diketahui oleh firasat Nyai Demang
Ronggeng. Tak heran jika kedatangan Raja Maut itu segera disambut oleh Nyai
Demang Ronggeng sebelum sang tamu mencapai Pulau Blacan. Nyai Demang Ronggeng
menggunakan pelepah daun kelapa sebagai alas kaki menyeberangi lautan. Dengan
berdiri di atas pelepah daun kelapa, ia pun meluncur bagaikan didorong angin
kencang dari belakang.
Pertemuan di tengah lautan
membuat Raja Maut sempat sedikit kaget karena tak menyangka kalau akan disambut
di sana. Tapi rasa kaget itu hanya sekilas. Raja Maut kembali tenang dan
memperhatikan sosok perempuan berpakaian hitam meluncur di atas pelepah daun
kelapa.
Rambutnya yang putih
meriap-riap pula. Jubah hitamnya bagai sayap kelelawar yang haus darah.
Sekalipun rambut telah memutih semua, tapi Nyai Demang Ronggeng mempunyai raut
wajah yang masih tetap cantik, kulitnya kencang tidak berkeriput, matanya tajam
dan badannya masih tampak sekal, ia mirip wanita berusia tiga puluhan, karena
ia memang mempunyai ilmu pengawet kecantikan dan keelokan tubuh. Hanya warna
rambut yang tak bisa diawetkan. Dan dari warna rambutnya yang putih itulah
dapat diketahui bahwa sebenarnya ia telah berusia banyak.
Dalam jarak lebih dari lima belas
tombak, Nyai Demang Ronggeng sudah kirimkan serangan berupa sinar merah
bagaikan bola yang melesat cepat ke arah Raja Maut. Bola berapi itu keluar dari
sentakan tangan kanannya. Semakin lama melayang di udara semakin bertambah
besar ukurannya. Ketika melesat keluar dari telapak tangannya berukuran sebesar
kelereng, tapi ketika mendekati Raja Maut ukurannya sudah menjadi sebesar
kelapa tanpa sabut.
Wuuuooos... !
Raja Maut tetap tenang. Jari
telunjuknya menuding benda berapi itu. Ujung jari telunjuk tersebut keluarkan
selarik sinar hijau. Slaaap...! Tepat kenai benda berapi itu. Blaar...!
Gelegar gemuruh dari dentuman
itu membuat gelombang air laut naik melambung tinggi. Asap hitam pekat mengepul
ke atas dari hasil ledakan benda tersebut. Nyai Demang Ronggeng tampak kecewa
dan kian menggeram jengkel, ia berhenti ketika Raja Maut pun diam di tempatnya,
hanya bergerak-gerak karena alunan ombak laut. Kedua mata mereka saling tatap
dengan tajam dalam jarak sepuluh langkah.
Nyai Demang Ronggeng
kelebatkan kedua tangannya bagaikan menari dari belakang ke depan. Telapak
tangan terbuka serentak sewaktu sampai di depan, dan melesatlah bola-bola api
dari kedua tangannya itu. Masing-masing mempunyai tujuh bola api yang berendeng
bagaikan rangkaian kalung, semakin lama semakin besar ukurannya.
Wuuuurrrsss... !
Raja Maut segera putarkan
tongkatnya di atas kepala dengan cepat sampai timbul suara menggaung bagaikan
gangsing. Suara gaung itu memancarkan sinar bergelombang warna biru. Sinar
gelombang membentuk lingkaran yang makin lama semakin melebar dan
bersusun-susun, sehingga akhirnya menjadi perisai bagi diri Raja Maut.
Maka ketika bola-bola api yang
mirip kalung terdiri dari dua kelompok itu mengenai sinar gelombang biru,
terdengarlah bunyi ledakan yang beruntun dan mengguncangkan permukaan laut
cukup hebat. Keduanya bagaikan ingin dihempas ombak ke sana-sini.
Namun keduanya tetap kuat
berdiri tegak.
Guncangan air laut reda.
Mereka sudah dalam jarak lebih dekat lagi, sekitar tujuh langkah. Suara Nyai
Demang Ronggeng terdengar lantang.
"Sisa hidupmu tinggal
sedikit, Raja Maut! Tak perlu bikin ulah yang bukan-bukan di depanku!"
"Aku hanya menuntut hakku
atas Kitab Sukma Sukmi yang kau curi dari guruku itu, Nyai!" suara Raja
Maut terdengar tenang, tidak bernafsu dalam melontarkan kata-kata tuntutannya.
"Kau tidak akan
memperolehnya, Raja Maut. Jika kau nekat mau merebut Kitab Sukma Sukmi, maka
yang akan kau temui adalah ajal yang lebih cepat dari semestinya. Sebaiknya,
pulanglah!"
"Aku bukan anak kecil
yang mudah kau usir dan takut kau gertak. Kalau kau tak mau serahkan kitab itu,
maka aku pun akan bertindak lebih keji dari yang terbayang dalam pikiranmu,
Nyai Demang Ronggeng!"
"Aku tak bisa memberikan
kitab itu, karena sudah terbakar saat aku bertarung melawan seorang musuh.
Hampir saja ia terbakar bersama tubuhku."
"Semakin tua semakin
pandai kau bersilat lidah, Kiswanti!" Raja Maut sebutkan nama asli Nyai
Demang Ronggeng.
Perempuan itu lontarkan tawa
yang mengikik pantang. "Kalau aku mau bersilat lidah tak akan dengan pria
setua kau, tapi memilih yang lebih muda dan tampan. Rasa rasanya lebih hangat
bersilat lidah dengan pria yang muda daripada yang peot sepertimu,
Prasonco!" kala Nyai Demang Ronggeng yang juga sebutkan nama asli Raja
Maut, yaitu Prasonco.
"Pikiranmu masih sekotor
dulu, Kiswanti. Tak pantas kau memiliki Kitab Sukma Sukmi. Kuharap kau cepat
sadari kesalahanmu selama ini, dan jangan sampai terjadi pertumpahan darah di
antara kita gara-gara kitab itu. Sebaiknya serahkan padaku sekarang juga, Kiswanti.
Aku tidak akan menjatuhkan hukuman padamu seperti pesan eyang guruku."
"Aku tidak akan serahkan
apa-apa padamu kecuali kematian!"
"Kau tak akan bisa
menandingiku, Kiswanti."
"Hmm...! Congkak amat kau
di depanku? Buktikan kekuatanmu, Prasonco!"
"Kalau kau memaksa memang
akan kubuktikan."
"Tapi sebelumnya,
terimalah dulu jurus 'Lidah Neraka' ini. Heaaah...!"
Slaaap...!
Sinar merah besar keluar dari
tengah kening Nyai Demang Ronggeng yang menyentakkan kedua tangannya membuka ke
samping dan sedikit rendahkan badan. Sinar merah itu begitu cepat melesat
menghantam Raj a Maut. Blaaar...!
Untung Raja Maut cepat
sentakkan tongkatnya ke depan wajah. Ujung tongkat keluarkan sinar putih perak
menyebar bagaikan piringan. Sinar itulah yang menangkis sinar merahnya Nyai
Demang Ronggeng. Tapi akibatnya cukup berbahaya. Tubuh Raja Maut tersentak
mundur bagaikan diseret sesuatu dengan kuat. Kakinya masih menapak pada daun
talas. Namun sentakan itu mengakibatkan keluarnya darah dari hidung Raja Maut.
Nyai Demang Ronggeng tertawa
melengking tinggi. Musuhnya kini berada daiam jarak lima belas langkah.
Kekuatan tenaga dalam yang disalurkan ke kaki membuat pelepah daun kelapa itu
bergerak maju satu sentakan. Wuuutt...! Lalu berhenti dalam jarak sekitar enam
langkah.
Raja Maut bagaikan tak
pedulikan darah yang keluar dari hidungnya, ia menatap tajam pada Nyai Demang
Ronggeng. Napasnya tertahan beberapa saat.
"Kalau kau...."
Kata-kata Nyai Demang Ronggeng
terhenti, karena tiba-tiba dari mata Raja Maut keluar sepasang sinar merah
berkelok-kelok dan menyambar kepala perempuan itu. Slaap, slaap...! Blaaarr...!
Kelebatan kedua tangan Nyai
Demang Ronggeng membuat percikan sinar kuning membentang di depan wajah,
menghalang datangnya sinar merah tersebut. Tapi agaknya sinar yang keluar dari
mata Raja Maut itu punya kekuatan dahsyat. Ledakannya membuat tubuh Nyai Demang
Ronggeng terjungkal dalam keadaan terbang, ia kehilangan keseimbangan. Jatuh
tepat di ujung pelepah daun kelapa. Ia cepat-cepat menuju ke tengah pelepah dan
berdiri tegak kembali dengan napas terengah-engah. Wajahnya pucat, mulutnya
lelehkan darah yang tak mampu ditahannya. Darah itu kental dan berwarna merah
kehitam-hitaman. Itu tandanya Nyai Demang Ronggeng terluka dalam oleh ledakan
tadi.
"Jahanam kau!" geramnya
antara terdengar dan tidak.
"Kalau aku jahanam, kau
adalah biang jahanam!" balas Raja Maut dalam geramnya yang tetap kelihatan
bersikap tenang.
"Rupanya memang tak ada
jalan lain kecuali harus memusnahkan dirimu, Prasonco! Baiklah, akan kulakukan
walau sebenarnya aku tak tega!"
"Akan kulawan seluruh
kekuatanmu demi tugas dari guruku!"
Slaaap...! Slaaap...!
Sinar kuning tua sebesar jari
kelingking melesat keluar dari kedua mata Nyai Demang Ronggeng. Tapi bertepatan
dengan itu pula, dari kedua mata Raja Maut juga keluar sinar hijau muda dan
bening, besarnya juga seukuran kelingking. Kedua sinar itu bertemu di
penengahan jarak.
Blaab...!
Ujung pertemuan memancarkan
cahaya lebar warna kebiru-biruan.
Mereka saling bertahan. Kedua
sinar tetap bertemu di pertengahan jarak. Napas mereka sama-sama tertahan.
Tenaga mereka sama-sama tercurah. Tubuh Raja Maut gemetar, demikian juga tubuh
Nyai Demang Ronggeng. Kekuatan mereka semakin lama semakin bertambah. Terbukti
dari warna sinar di pertemuan itu menjadi kian merah, makin lama semakin jelas
membara.
Getaran tubuh Raja Maut
diiringi asap putih yang merembes keluar dari pori-pori tubuhnya. Asap putih
itu makin lama makin berubah warnanya menjadi merah samar-samar. Sedangkan Nyai
Demang Ronggeng hanya gemetaran saja. Asap yang merah samar-samar itu
menandakan keadaan dalam tubuh Raja Maut mulai berbahaya. Darah pun mulai
jelas-jelas keluar dari telinga dan lubang hidung. Mulut Raja Maut tetap
terkatup rapat, tapi lama-lama keluar pula darah segar dari sela bibirnya.
Tiba-tiba dari arah samping
mereka meluncur dua ekor kura-kura berukuran kecil. Dua ekor kura-kura itu
meluncur sejajar, di punggungnya berdiri kaki seorang lelaki berikat kepala
hitam, berpakaian merah. Orang tersebut tak lain adalah Ki Gendeng Sekarat.
Kecepatan luncurnya tidak
seperti kecepatan berenangnya seekor kura-kura. Tentu saja kura-kura tersebut
digerakkan dengan tenaga dalam yang tinggi sehingga Ki Gendeng Sekarat mampu
melesat bagaikan anak panah, ia melewati bagian belakang Raja Maut, lalu
menyambar tubuh Raja Maut dengan cepatnya. Wuuut... ! Taaab... !
Raja Maut telah ada di atas
pundak Ki Gendeng Sekarat. Salah satu tangannya melemparkan sesuatu ke arah
Nyai Demang Ronggeng.
Blaaarr...!
Sinar putih menghantam pelepah
daun kelapa yang dipakai sebagai tempat berpijak kaki Nyai Demang Ronggeng.
Daun kelapa itu hancur berkeping-keping menjadi arang. Akibatnya tubuh
perempuan itu jatuh terjerembab ke dalam air. Byuuur...!
"Monyet busung! Kau mau
ikut campur urusanku. Gendeng Sekarat?!" Nyai Demang Ronggeng lontarkan
makian dan kemarahan. Tapi Ki Gendeng Sekarat tidak pedulikan suara itu. Ia
tetap melesat membawa pergi Raja Maut yang terkulai lemas di atas pundaknya.
Nyai Demang Ronggeng ingin
mengejar, tapi ia tak mempunyai alas kaki untuk berpijak. Sedangkan gelombang
lautan pun mengamuk menggulung-gulung tubuh Nyai Demang Ronggeng, seakan ingin
mengejar pelarian Ki Gendeng Sekarat. Perempuan itu hanya berusaha bertahan dan
menyelam timbul-tenggelam.
Sementara itu Ki Gendeng
Sekarat sudah jauh dari jangkauan pandangnya. Orang itu menuju ke pantai.
Ketika tiba di pantai masih berlari meninggalkan dua ekor kura-kura yang saling
pandang dan bingung bagaikan tak sadar apa yang dilakukannya tadi.
Raja Maut pingsan di atas
pundak Ki Gendeng Sekarat. Ia dibawa ke hutan dan dicarikan tempat untuk
berlindung. Sebab menurut dugaan Ki Gendeng Sekarat. Nyai Demang Ronggeng tidak
menutup kemungkinan untuk melakukan pengejaran terhadap dirinya. Sebab Ki
Gendeng Sekarat tahu persis watak Nyai Demang Ronggeng yang selalu penasaran
jika belum berhasil melihat lawannya tak bernyawa. Sebab itu, Ki Gendeng
Sekarat perlu menyembunyikan Raja Maut ke dalam sebuah gua yang ditemukan di
kaki sebuah bukit.
Satu hal yang tidak
diduga-duga, ternyata di dalam gua itu terdapat seorang manusia yang sedang
beristirahat dengan santainya. Orang tersebut baru saja meneguk tuaknya dari
bambu penyimpanan. Orang itu tak lain adalah Pendekar Mabuk, yang merasa perlu
menenangkan diri akibat kebingungannya mendengar penjelasan berbeda antara
Pelangi Sutera dengan Ki Lumaksono dan Ki Parandito. Di gua itu Suto berharap
dapat menemukan kesimpulan, mana yang benar dari dua penjelasan tersebut.
"Suto, kebetulan kita
bertemu di sini." Ki Gendeng Sekarat letakkan tubuh Raja Maut di sebidang
tanah datar dalam gua tersebut.
Wajah Suto Sinting yang tadi
kaget melihat kemunculan Ki Gendeng Sekarat, sekarang menjadi heran melihat
Raja Maut terluka pingsan begitu.
"Apa yang terjadi pada
dirinya, Ki?"
"Berikan dulu tuakmu
padanya, biar luka-lukanya tak sempat merenggut jiwa. Semburkanlah tuakmu,
Suto."
"Dia akan lupa pada
diriku jika kulakukan penyembuhan menggunakan ilmu 'Sembur Husada' itu, Ki.
Sebaiknya bikin dia bisa menelan tuakku."
"Dia pingsan. Mana
mungkin orang pingsan bisa menelan tuak?"
"Buat dia sadar dulu
dengan cara bagaimanapun."
Ki Gendeng Sekarat menarik
napas. Matanya memandang iba kepada Raja Maut. Tapi mulutnya bersungut-sungut
dalam gerutuan yang lirih.
"Dasar bodoh kau,
Prasonco. Melawan orang itu pakai adu kekuatan mata tak akan bisa terkalahkan.
Harus dengan siasat."
Rupanya di gua itu Suto
Sinting tidak sendirian. Seorang bocah muncul dari luar gua membawa beberapa
buah segar. Bocah itu terkejut melihat Ki Gendeng Sekarat dan segera menyapa
dengan wajah ceria, "Guru, selamat datang, kita jumpa lagi!"
Bocah itu tak lain adaiah
Angon Luwak. Ki Gendeng Sekarat hanya berkerut dahi melihat kemunculan Angon
Luwak. Sejak perpisahannya di rumah Ki Empu Sakya, tak terbayangkan kalau ia
akan menemui bocah itu lagi. Waktunya sudah berjalan tiga purnama, ternyata
pertemuan itu pun masih bisa terjadi. Ki Gendeng Sekarat geleng-geleng kepala
melihat keberanian dan keuletan Angcn Luwak yang bercita-cita menjadi pendekar
untuk berpetualang. Agaknya bocah itu mendidik diri sejak kecil menjadi
petualang.
"Hei, apakah emak dan
bapakmu tidak kebingungan mencarimu?!" kata Ki Gendeng Sekarat kepada
Angon Luwak.
"Mereka sudah izinkan aku
berkelana, Guru. Lalu, diam-diam kuikuti kepergian Kang Suto."
Suto Sinting menambahkan kata,
"Aku tak tahu, dan baru kuketahui sejak aku mau meninggalkan pantai,
kemarin siang. Akhirnya kubiarkan dia mengikutiku."
"Apakah kau ingin angkat
dia sebagai muridmu?"
Suto Sinting tertawa.
"Aku belum pantas jadi guru," jawabnya geli sendiri. "Kalau Ki
Gendeng Sekarat bersedia, angkat saja dia sebagai muridmu. Kurasa kau akan
mempunyai murid yang tangguh dan tidak mengecawakan, Ki."
Ki Gendeng Sekarat memandang
Angon Luwak sambil menarik napas. Yang dipandang tersenyum berseri-seri seakan
penuh harap dapat diterima sebagai murid Ki Gendeng Sekarat.
"Entahlah. Kutangani si
Raja Maut ini dulu, supaya nyawanya belum terlanjur minggat jauh-jauh dari
raganya!"
Ki Gendeng Sekarat menyalurkan
hawa murninya ke dalam tubuh Raja Maut dengan cara menempelkan kedua telapak
tangannya ke dada Raja Maut. Pengerahan tenaga itu membuat tubuh Ki Gendeng
Sekarat gemetar dan berkeringat, ia melakukannya beberapa kali. Biasanya tak
sampai lama orang yang mendapat saluran hawa murninya akan sadar dari
pingsannya.
Tapi agaknya luka yang
diderita Raja Maut itu cukup parah. Ki Gendeng Sekarat memaklumi, karena ia
tahu jurus 'Surya Ganda' yang dimiliki Nyai Demang Ronggeng itu memang cukup
berbahaya dan besar sekali kekuatannya. Wajar jika Raja Maut sampai separah
itu.
Angon Luwak memperhatikan cara
Ki Gendeng Sekarat melakukan penyembuhan. Hati anak itu bangga melihat orang
yang dikagumi bisa melakukan penyembuhan. Buktinya Raja Maut akhirnya siuman,
walau tak bisa apa-apa dan mengerang kecil sambil napasnya tersendat-sendat.
Suto Sinting segera meminumkan
tuaknya. Mulut Raja Maut dibuka oleh dua tangan Ki Gendeng Sekarat bagaikan
seekor ular akan didulang makanan. Begitu mulut terbuka, Suto mengucurkan tuak
ke dalamnya sedikit demi sedikit. Angon Luwak tertawa melihat Ki Gendeng
Sekarat membuka mulut Raja Maut seperti merenggangkan besi perangkap musang.
"Cukup. Sudah cukup
banyak tuak yang masuk," kata Suto sambil menjauh.
"Auuuh...!" Ki
Gendeng Sekarat terpekik.
"Kenapa, Ki?" Suto
kaget. Ki Gendeng Sekarat menuding-nuding ke arah mulut Raja Maut. Suto Sinting
dan Angon Luwak tertawa melihat tiga jari tangan Ki Gendeng Sekarat terjepit
mulut Raja Maut yang mengatup itu. Ia bagaikan sedang digigit oleh Raja Maut.
Ki Gendeng Sekarat meringis antara sakit dan geli sendiri.
Ki Gendeng Sekarat
mengibas-ngibaskan tangannya yang tergigit mulut Raja Maut setelah tangan itu
berhasil dilepaskan dari mulut tersebut. Sedangkan Raja Maut segera tertidur
setelah mendapat tuangan tuak beberapa teguk. Biasanya jika orang habis meminum
tuaknya Suto, ia akan tertidur dan begitu bangun keadaannya akan menjadi segar,
lebih segar dari sebelumnya. Luka- luka pun hilang tak berbekas sedikit pun.
Itulah keistimewaan tuak yang sudah tersimpan di dalam bumbung bambu tersebut.
Suto Sinting manggut-manggut
ketika Ki Gendeng Sekarat menceritakan pertarungan Raja Maut dengan Nyai Demang
Ronggeng. Suto pun jadi mengerti apa sebab waktu itu Raja Maut bilang mau ke
Pulau Blacan untuk satu urusan. Rupanya urusan tentang Kitab Sukma Sukmi yang
berisikan jurus-jurus ilmu maut di dalamnya.
"Mengapa Ki Gendeng
Sekarat tidak ikut merebut kitab itu?"
"Karena Eyang Pramban
Jati melarang. Kitab itu haknya Raja Maut. Aku tak boleh serakah dan berusaha
memilikinya. Karena itu hubunganku dengan Raja Maut selama ini baik-baik
saja."
"Kalau begitu, sebaiknya
Raja Maut segera kita antarkan ke Bukit Semberani, tempatnya bersemayam. Biar
si Pelangi Sutera merawatnya."
"Pelangi Sutera?!"
gumam Ki Gendeng Sekarat dengan dahi berkerut heran. "Siapa Pelangi Sutera
itu?"
"Bukankah Raja Maut
mempunyai murid bernama Pelangi Sutera?!"
Ki Gendeng Sekarat tertegun
dalam keheranan. Kejap berikutnya ia berkata, "Raja Maut memang mempunyai
seorang murid, tapi namanya bukan Pelangi Sutera. Kalau tak salah murid Raja
Maut bernama Srimurti."
"Lho, jadi Pelangi Sutera
itu siapa?" Suto menjadi heran kembali. "Dia mengaku sebagai murid
Raja Maut di depanku. Apa perlunya? Tapi... tapi dia kelihatannya unggul di
depan Ki Lumaksono dan Ki Parandito, utusan Gunung Sesat itu. Kedua tokoh tua
itu takut berhadapan dengannya."
"Siapa? Lumaksono dan
Parandito?! Mana mungkin dia takut menghadapi murid Raja Maut, sebab kedua
tokoh itu ilmunya lebih tinggi dari Raja Maut. Dan mereka... ah, apa benar
mereka utusan dari Gunung Sesat? Rasa-rasanya tak mungkin," Ki Gendeng
Sekarat bingung, Suto Sinting sendiri akhirnya juga tambah bingung.
* * *
3
PIKIRAN Pendekar Mabuk masih
tertuju pada gadis cantik yang bernama Pelangi Sutera. Bukan memikirkan
kecantikannya, tapi memikirkan keperluan gadis itu. Mengapa harus mengaku-aku
sebagai murid Raja Maut? Sayang Raja Maut masih tertidur sampai sore tiba,
sehingga Suto tidak dapat tanyakan berapa sebenarnya murid Raja Maut itu? Satu,
dua, tiga, atau seribu?
"Kutunggu di kaki Bukit
Semberani esok sore. Ada sesuatu yang perlu kau ketahui, Pendekar Mabuk."
Itulah kata-kata Pelangi
Sutera sebelum berpisah dengan Suto. Kata-kata itu sampai kini terngiang di
telinga Pendekar Mabuk. Sedangkan pikiran pemuda itu sedang dikacaukan oleh
keterangan dari Ki Gendeng Sekarat tentang murid Raja Maut. Rasa penasaran
membuat Pendekar Mabuk pergi meninggalkan gua tanpa menunggu Raja Maut bangun,
ia pergi sendiri. Angon Luwak tidak diizinkan ikut. Bocah itu tidak keberatan
karena dia punya maksud mau dekati Ki Gendeng Sekarat.
Pesan dari Pelangi Sutera
mempunyai makna yang sangat rahasia. Ada sesuatu yang perlu diketahui Suto.
Sesuatu apa?! Ini yang membuat Suto Sinting gemas dan bergegas menuju Bukit
Semberani, tempat persinggahan Raja Maut.
Bukit itu sebenarnya tanah
tinggi yang ada di tepi pantai. Letaknya di sebelah timur. Dinding bukit
sebagian dan batu karang yang tegak jurus dengan permukaan air laut. Tapi
bagian sisi lainnya landai, ditumbuhi oleh tanaman dan mempunyai hutan tak
begitu rimbun.
Sangat mudah mencari Bukit
Semberani, karena bentuk dan cirinya dapat dilihat dari pantai. Tak heran jika
sebelum matahari tenggelam Pendekar Mabuk sudah mencapai kaki Bukit Semberani.
Tapi di mana Pelangi Sutera berada? Ini yang membuat Pendekar Mabuk berhenti
dan garuk-garuk kepala.
"Mungkinkah ia ada di
atas bukit, di tempat tinggalnya Raja Maut? Kalau benar begitu, berarti aku
harus mendaki bukit itu," pikir Suto.
Tapi sebelum Pendekar Mabuk
mengawali pendakiannya, mendadak langkahnya terhenti karena cahaya biru
melintas dari arah kirinya. Suto Sinting melompat ke belakang sambil bersalto
satu kali.
Wuuut...!
Kilatan cahaya biru itu
menghantam gundukan batu karang sebesar rumah. Blaaarrr...!
Wuuut...!
Suto Sinting melompat lagi ke
belakang sambil bersalto, langsung menelungkupkan badan di rerumputan. Jika
tidak begitu, batu sebesar rumah yang pecah menjadi serpihan-serpihan seukuran
kepalan tangan manusia dewasa itu akan menghantam kepala Suto Sinting.
Untunglah Suto cepat menelungkup di tanah, sehingga kepalanya tak sempat bocor.
Tapi ada satu batu yang jatuh di punggungnya. Taak...! Batu itu mengenai bambu
tuak. Kalau tidak, pasti Suto akan nyengir kesakitan ditimpa batu sebesar
genggamannya.
Siapa pengirim cahaya biru
yang cukup dahsyat itu? Siapa yang punya pukulan dapat menghancurkan batu
sebesar rumah menjadi lenyap begitu saja? Mata Pendekar Mabuk pun melirik ke
sekelilingnya dengan penuh waspada. Ternyata tak ada manusia di sana-sini.
"Pasti dia
bersembunyi!" pikirnya. "Kalau begitu aku juga bersembunyi di bawah
semak sebelah sana!"
Pendekar Mabuk merangkak
pelan-pelan mendekati semak-semak rimbun. Begitu wajahnya mendekati
semak-semak, ia menjadi terkejut sekali karena di balik semak-semak itu ada
seekor babi hutan yang bersembunyi. Moncongnya tepat ada di depan wajah Suto
Sinting.
"Jabang bayi!"
sentak Suto kaget. Babi hutan itu juga kaget. Karena kagetnya, babi hutan itu
menerjang Suto. Sebab ia tak bisa berbelok arah dalam waktu singkat. Suto
Sinting terpaksa merapatkan badan ke tanah, ia dilompati babi hutan yang
ketakutan. Babi itu segera lari tak mau menengok ke belakang lagi. Tapi jantung
Suto sempat deg-degan karena rasa kagetnya.
"Dasar babi!"
umpatnya dengan jengkel. Lalu ia tertawa sendiri dalam hati. Tapi segera
berpikir curiga dan menggumam sendiri, "Jangan-jangan babi hutan itu yang
menyerangku dengan pukulan bercahaya biru?"
Kecurigaan itu segera hilang,
karena Suto segera melihat kelebatan bayangan manusia yang melintas di
kerimbunan lain. Batin Suto langsung menduga, orang itulah yang menyerangnya tadi.
Ia harus mengejarnya. Apakah orang itu Pelangi Sutera atau orang lain?
Claaap...!
Suto Sinting melesat pergi
mengejar orang itu. Gerakannya benar-benar cepat, sehingga jika dilukis hanya
berupa garis coklat putih saja. Tak bisa dilihat bentuk keseluruhannya. Tapi
agaknya orang itu punya siasat untuk lari menghindari kejaran Suto Sinting.
Pendekar Mabuk sempat kehilangan arah. Mungkin larinya terlalu cepat sehingga
orang yang dikejar tertinggal di belakangnya.
Buktinya ketika Suto berhenti
dan celingak-celinguk, tiba-tiba ia merasakan ada hawa panas menyerang dirinya
dari belakang. Suto Sinting membiarkan serangan itu datang, meluncur dengar
cepat sekali. Suto merasa tenang karena bumbung tuaknya ada di belakang, ia
hanya bergeser sedikit ke kiri, maka pukulan jarak jauh berwarna biru itu
mengenai bumbung tuaknya. Traak... ! Sinar itu membalik ke arah semula, tapi
warnanya sudah bukan biru lagi. Merah.
Pasti pemilik pukulan itu
merasa heran dan kebingungan, karena gerakan sinar merah itu dua kali lebih
cepat dari gerakan semula. Kekuatannya pun berlipat ganda. Tak mungkin si
pemilik pukulan itu berani menangkisnya.
Gusraaak...!
Ada orang melompat dari semak
yang satu ke semak yang lain. Dan pada saat itu pula sinar merah menghantam
pohon dengan telaknya. Glegaaarrr...!
Blaar!
"Edan! Kenapa jadi lebih
dahsyat dari aslinya?" pikir si pemilik pukuian. Ia tertegun bengong.
Empat pohon hancur seketika dihantam pukulan balik yang berubah warna itu. Dua
pohon hancur seketika karena terkena langsung, dua pohon lagi hancur karena
terkena getaran gelombang sedaknya.
"Ada orang yang ingin
main-main denganku," pikir Suto Sinting. "Akan kulayani biar aku
sendiri tahu siapa orangnya."
Pendekar Mabuk segera beriari
biasa, seakan kebingungan mencari penyerangnya. Beberapa saat kemudian, ia
menampakkan wajah takutnya, ia pun segera lari bagaikan orang ketakutan.
Tentunya wajah ketakutan Suto membuat penyerangnya kembali bersemangat untuk
melakukan serangan berikutnya.
Pancingan Suto berhasil. Orang
itu menghadang langkah Suto. Jleg...!
"Wow...?! Gede
amat?!" gumam Suto pelan namun penuh rasa kagum, ia terpaksa mendongak
karena orang yang menghadangnya lebih tinggi darinya. Lelaki bermata besar itu
menyerupai raksasa. Singo Bodong masih kalah besar. Benar-benar menyeramkan
bagi orang awam.
Kulitnya hitam kelam.
Kepalanya botak, tapi tengahnya ada sejumlah rambut yang bisa dikuncir.
Kumisnya lebat turun ke bawah, ia hanya mengenakan cawat, tanpa pakaian lain.
Ia mengenakan anting-anting tapi hanya telinga kirinya saja.
"Ini manusia atau
jin?" pikir Suto Sinting sambil memandangi orang tinggi besar berkuncir
itu.
Wajah angkernya benar-benar
menyeramkan. Matanya bagai mau keluar karena melotot kepada Suto Sinting, ia
diam saja tanpa bicara. Mulutnya terkatup rapat. Tangannya menggenggam
kuat-kuat. Mengenakan gelang besi hitam di kanan-kirinya. Kakinya tanpa alas.
Berdiri tegak dan renggang. Bulu-bulu kakinya tidak begitu lebat tapi berjarak
renggang dan panjang.
Baru sekarang Suto berhadapan
dengan lawan yang begitu besarnya. Tapi pemuda itu toh tetap tenang, tak tampak
gentar sedikit pun. Bahkan ia sempat mengambil bumbung tuaknya, menenggak dua
kali tegukan dengan mata tetap melirik ke arah orang tinggi besar itu.
Sedangkan orang tersebut
justru memandanginya dengan kepala sedikit dimiringkan. Hidungnya mendengus-
dengus bau tuak. Dahinya sedikit berkerut, sepertinya merasa heran dengan apa
yang dilakukan oleh Suto.
"Tuak!" ucapnya
dengan suara besar. Setelah itu diam. Suto melirik sambil pelan-pelan menutup
bumbung.
"Tuak!" katanya
lagi.
Suto menjawab. "Ya.
Tuak." Kemudian dahi Suto Sinting berkerut heran. Kemudian pula bambu tuak
itu diacungkan. "Kau mau tuak?"
Orang tinggi besar seperti
raksasa itu gelengkan kepala.
"Mabuk," katanya.
Agaknya orang besar itu takut
mabuk. Mungkin ia tidak terbiasa minum tuak. Apakah mungkin ia orang baik-baik?
Alisnya tebal ke atas, menandakan dia orang sangar. Tak ada tampang jadi orang
baik sedikit pun. Suto jadi sangat ingin tahu apa maksud orang besar itu
menghadangnya.
"Siapa namamu?"
"Logo," jawabnya
singkat seperti tadi.
"Logo...?" gumam
Suto sambil manggut-manggut. Ia melangkah ke kiri sambil memandangi Logo, dan
mata orang besar itu mengikutinya dengan tajam. Suto kembali ke tempat semula,
mata itu mengikuti. Suto berjalan ke kanan, mata itu mengikuti. Suto kembali
melangkah ke kiri, juga diikuti. Lama-lama orang besar itu memalangkan kakinya
di depan Suto.
"Pusing!" katanya.
Suto tertawa kecil. Hatinya
merasa geli. Ia tahu maksud ucapan itu. Logo merasa pusing melihat Suto
mondar-mandir.
"Kalau kau pusing
melihatku mondar-mandir, tinggalkanlah aku."
Logo gelengkan kepala.
"'Tugas," katanya.
"Tugas? Kau punya tugas
apa?"
Tangkap... kau!" ia
menuding Suto. Suaranya sedikit menggeram.
"Siapa yang memberimu
tugas menangkapku?"
"Ratu," jawabnya
tegas dan singkat.
"Ratu siapa? Ratu
Kidul?"
Logo geleng-geleng kepala.
"Bukan." Setelah itu dia diam saja. Suto tak sabar dan segera ajukan
tanya lagi.
"Ratu siapa?"
"Nila Cendani."
"O, Ratu Tanpa
Tapak?"
"Tanpa!" jawab Logo
sambil anggukkan kepala.
Suto manggut-manggut. Ternyata
orang besar itu utusan Ratu Tanpa Tapak. Tugasnya menangkap dirinya. Tentu saja
Pendekar Mabuk merasa heran dan tak mau pasrah begitu saja.
"Mengapa Ratu Tanpa Tapak
menyuruhmu menangkapku? Apa salahku?"
"Bunuh!"
"Siapa yang kubunuh?'
"Utusan."
Suto Sinting muiai jengkel.
"Hei, coba kau bicara yang jelas. Jangan sepotong-sepotong begitu!"
Logo geleng-gelengkan kepala.
"Pesan Ratu aku tak boleh banyak bicara. Sedikit bicara banyak bekerja.
Jadi aku jawab sepotong-sepotong saja!"
"Konyol!"
"Tidak!" bantah Logo
seakan menganggap ungkapan rasa kesal Suto suatu pernyataan yang
sungguh-sungguh akan dirinya.
"Artinya jangan banyak
bicara adalah jangan bicara melantur," kata Suto menjelaskan. "Kau hanya
boleh bicara hal-hai yang perlu, misalnya menjelaskan beberapa masalah yang
perlu dijelaskan. Bukan berarti ngomongnya hanya sepotong-sepotong seperti
tadi! Biar kau ngomong sepotong-sepotong, tapi kalau sampai sehari semalam, itu
sama saja banyak bicara sedikit
bekerja. Mengerti?"
"Mengerti!" jawab
Logo sambil mengangguk.
"Nah, sekarang jelaskan,
apa sebab Ratu Tanpa Tapak menyuruhmu menangkapku atas tuduhan membunuh utusan!
Utusan yang mana maksudnya?"
"Nenggolo, Gaok Lodra,
dan Sabit Guntur. Dua dari mereka kau bunuh. Satu pulang, tangannya
buntung."
"Aku tidak membunuh
mereka."
"Bohong!" gertaknya.
"Bertemu mereka pun
tidak. Tapi kalau bertemu mayatnya memang iya!"
"Bohong juga! Kau yang
bunuh dia. Kau yang punya nama Gendeng Sekarat!"
"Salah!"
"Benar!" Logo
ngotot.
"Aku bukan Ki Gendeng
Sekarat! Aku Suto Sinting!"
Logo diam. Kepalanya
dimiring-miringkan memperhatikan Suto.
"Aku Pendekar Mabuk,
namaku Suto Sinting. Sumpah!"
Logo menyodorkan tangan,
mengajak bersalaman. "Sumpah...?!"
"Ya. Sumpah!" lalu
Suto Sinting menjabat tangan Logo. Rupanya Logo percaya kata-kata seseorang itu
benar jika sudah bersalaman sambil mengucap sumpah.
"Seperti anak kecil
saja?" pikir Suto menahan geli. "Oh, remasan tangannya cukup kuat.
Untung kutahan dengan tenaga dalam yang sejak tadi telah tersalur di tanganku,
jadi jari-jari tanganku tak sempat patah digenggamnya. Tenaganya tinggi dan
besar sekali. Sekali jotos, muka orang bisa melesak."
Kreeek... !
Logo menyeringai kesakitan.
Rupanya Suto balas meremas tangan Logo dengan kekuatan tenaga dalamnya.
Tulang-tulang jari Logo sampai berbunyi, menandakan tenaga remas Suto cukup
besar. Logo sendiri membatin dalam hatinya,
"Edan. Sakit juga diremas
olehnya. Aku harus hati- hati kalau begini caranya. Tak boleh gegabah dengan
orang ini. Selama ini belum ada orang yang bisa membuat jari tanganku gemeretak
karena remasannya."
Setelah jabat tangan
dilepaskan, Logo manggut- manggut. Matanya yang besar masih memandangi Suto
Sinting. Yang dipandang segera naik ke atas gugusan batu, supaya lehernya tidak
capek dipakai untuk mendongak terus. Setelah di atas gugusan batu, Suto dapat
saling pandang dengan sedikit datar. Tapi masih saja ukurannya lebih tinggi
Logo.
"Kurasa kau salah
sasaran, Logo. Tapi ada baiknya kau bertemu denganku, sebab aku ada di pihak Ki
Gendeng Sekarat."
Logo berkerut dahi hingga alis
tebalnya saling bertemu.
"Kau tak boleh berpihak
kepada Gendeng Sekarat."
"Kenapa?"
"Nanti kau mati di
tanganku juga."
"Kau tak akan bisa
menjamahku kalau aku sudah mau bertindak."
"Bohong!"
"Sekarang pun kau tak
akan bisa memegangku, Logo. Cobalah kalau tak percaya. Ayo, cobalah!"
tantang Suto.
Logo segera menyambar tubuh
Suto dengan tangan kanannya. Wuuut...! Suto Sinting melompat hanya dengan
sentakan kecil ujung jempol kakinya. Suuut...! Tangan Logo justru digunakan
pijakan. Dess...! Suto melompat lagi dengan bertumpu menggunakan lengan tangan
itu, lalu ia bersalto melintasi kepala Logo. Tangannya memegang kepala botak
berkuncir.
Plaak... ! Telapak tangan itu
menyentak di permukaan kepala botak, lalu tubuh Suto kian melayang ke belakang
dan bersalto lagi satu kali. Gerakan saltonya cukup cepat. Sambil bersalto ia
menjejak tengkuk kepala orang besar itu. Duuhhg...! Keras sekali bunyi yang
keluar dari jejakan tersebut.
Logo terdorong ke depan,
hampir jatuh tersungkur. Itu tandanya tendangan kaki Suto mempunyai kekuatan
yang sungguh besar. Hampir saja kepala dan wajah Logo membentur pohon. Untung
kedua tangannya segera menghadang sehingga wajah dan kepalanya tak jadi membentur
batang pohon. Tapi pohon itu segera berguncang, daun-daunnya rontok akibat
sentakan tangan Logo yang tak sengaja.
Wwrrr... !
Daun-daun yang berjatuhan tak
dihiraukan. Logo segera berpaling ke belakang. Suto Sinting sudah bertengger di
atas gugusan batu lainnya. Mata Logo menatap garang, tapi mata Pendekar Mabuk
memandang lembut, bahkan diiringi seulas senyum tipis di bibirnya.
"Kurang sopan!"
geram Logo sambil mengusap kepalanya yang tadi digunakan tumpuan tangan Suto
Sinting. Senyum pemuda itu kian lebar. Logo kian menggeram jengkel. Kedua
tangannya menggenggam kuat-kuat dan siap menyerang Suto. Tetapi Pendekar Mabuk
segera ulurkan tangan ke depan dengan telapak tangan terbuka, ia bermaksud
menahan gerakan Logo.
"Tunggu, tunggu...!
Jangan marah dulu!" katanya. "Itu tadi hanya contoh. Ya, contoh bahwa
kau tak akan bisa menjamahku jika kau mau melawanku. Sedangkan aku di pihak Ki
Gendeng Sekarat. Kalau kau mau menangkap dia, berarti kau harus berhadapan
denganku. Padahal aku tak bisa kau jamah, tapi akulah yang dengan mudah
menjamahmu. Apakah itu bukan berarti kau akan mendapat celaka jika bertarung
melawanku?"
Logo diam tanpa bicara. Tapi
ketegangan amarahnya mengendur. Makin lama makin kendor lagi. Sementara dahi
tetap berkerut.
"Coba bayangkan dan
pikirkan apa jadinya jika kau bertarung dengan orang yang tak bisa kau
jamah!" bujuk Suto Sinting, sebab menurut dugaan Suto, orang itu hanya
besar badan dan tenaga tapi otaknya kecil. Mungkin sekecil merica.
"Kalau aku bisa
menjamahmu berarti aku bisa memukulmu sewaktu-waktu. Tapi kau tak akan bisa
memukulku. Kalau sudah begitu maka siapa yang akan bonyok?"
"Aku!" jawab Logo
tegas sambil memegang dadanya.
"Apakah kau mau
bonyok?"
Logo menggeleng dengan sedih.
"Tidak!" jawabnya.
"Karena itu kau tak boleh
melawanku. Paham?"
"Paham!" ia
mengangguk.
"Kalau kau tak boleh
melawanku, berarti kau tak boleh menangkap Ki Gendeng Sekarat. Mengerti?"
"Mengerti," ia
mengangguk patuh.
"Sekarang sebaiknya kau
pulang saja dan katakan kepada Ratu Tanpa Tapak bahwa kau tidak berhasil
menangkap Ki Gendeng Sekarat karena ada Pendekar Mabuk yang menjadi
perisainya!'
Logo geleng-geleng kepala
lagi. "Tak mau pulang."
"Kenapa?"
"Takut."
"Takut apa?"
"Hukuman."
"Apakah Ratu Tanpa Tapak
akan menghukummu jika kau gagal menangkap Ki Gendeng Sekarat?"
Logo mengangguk dengan muka
sedih, ia mengibaskan jarinya ke leher sambil berkata, "Dipancung!'
"Ooo... jadi kalau kau
gagal menangkap Ki Gendeng Sekarat, kau akan dipancung sebagai
hukumannya?"
"Ya," jawabnya
dengan makin sedih, ia pun mundur beberapa langkah dan bersandar pada sebatang
pohon besar. Wajahnya tampak sedih, hati Suto Sinting mulai tergerak. Tak mau
bersikap bermusuhan dengan Logo.
"Berapa lama kau mengabdi
kepada Ratu Tanpa Tapak?"
"Dua."
"Dua tahun?"
"Dua purnama."
"O, dua purnama?!"
Suto manggut-manggut. "Apakah kau tak berani melawan Ratu Tanpa
Tapak?"
Logo menggelengkan kepala.
"Kalah."
"Kalah kuat?"
"Kalah sakti,"
jawabnya.
"Kalau begitu... hmmm...
sekarang apa rencanamu jika tak berani pulang?"
"Ikut...," sambil
menuding Suto.
"Maksudmu ikut aku?'
Logo menganggukkan kepala
jelas-jelas.
"Kenapa kau mau ikut
aku?"
"Sulit dijamah."
Suto tertawa sedikit keras.
Logo pun ikut tertawa. Tapi tiba-tiba suara tawanya yang bergemuruh itu hilang
seketika. Senyap. Wajahnya menjadi tegang. Matanya melirik ke sana-sini dengan
cemas. Suto Sinting memperhatikan dengan heran. Lalu, Suto pun ajukan tanya
padanya.
"Kenapa?!"
"Ada orang."
"Mana?"
"Entah," jawabnya,
tapi tampak kian tegang.
Suto ikut memasang indera pendengarannya.
"O, benar. Ada orang menuju kemari," kata Suto dalam hati.
"Tajam juga pendergar si Logo itu."
Tak berapa lama, sesosok tubuh
melesat dari balik kerimbunan. Melompat dengan tangkas dan lincah. Jleeg... !
Tahu-tahu orang itu ada di depan Suto dan Logo. Orang tersebut tak lain adalah
si cantik Pelangi Sutera.
"Pelangi Sutera?!
Syukurlah kau akhirnya bertemu denganku di sini. Jadi aku tak perlu
mencari-carimu," kata Suto Sinting. Tapi gadis itu memandang Logo dengan
bertolak pinggang, tak ada rasa takut sedikit pun. Bahkan kesan jijik melihat
Logo hanya mengenakan cawat saja tak ada pada wajah gadis itu. Yang ada hanya
sikap angkuh dan berani.
Logo cepat-cepat rapatkan
kedua kakinya. Lalu ia membungkukkan badan, memberi hormat kepada Pelangi Sutera.
Melihat hal itu, Pendekar Mabuk menjadi bingung bercampur heran. Suara ringkik
kuda yang ditinggalkan Pelangi Sutera di kejauhan sana tak dihiraukan. Suto
lebih tertarik untuk bertanya dalam hati,
"Mengapa Logo bersikap
hormat dan takut kepada Pelangi Sutera? Siapa gadis ini sebenarnya?"
***
4
SEBUAH gua karang tepi laut
menjadi tempat bernaung menghindar malam. Yang ada di dalam gua itu hanya Suto
Sinting dan Pelangi Sutera. Orang besar berkulit hitam ada di luar gua,
seolah-olah menjadi penjaga. Di dalam gua itu, mereka nyalakan api unggun.
Gua itu agak dalam, bebas dari
air laut yang sedang surut. Bukan hanya bebatuan karang yang ada di sana, tapi
juga batuan gunung warna hitam pun ada. Gua itu berlangit-langit tinggi. Ada
lumut dan kelembaban. Tapi itu tidak mengganggu mereka.
Di depan api unggun Suto duduk
bersanding dengan... bambu tuak. Bukan bersanding dengan Pelangi Sutera. Gadis
itu ada di depannya. Duduk bersandar batu hitam yang tergolong halus
permukaannya. Jubah ungu tuanya terbuka lebar-lebar, tapi kain penutup dada dan
celana ketatnya masih dipakai. Sumbulan dua bukit di balik kain pinjung penutup
dada warna ungu muda itu membuat pemandangan segar bagi seorang lelaki. Hanya
saja, Suto tak mau terlalu memperhatikan ke arah kemontokan itu, takut ada
sesuatu yang bangkit dan memberontak dalam dirinya.
"Logo adalah anak jin.
Jin yang kawin dengan manusia. Ibunya bernama Sumbaruni, ayahnya jin yang
bernama Kazmat," tutur Pelangi Sutera dengan mata memandang mesra kepada
Suto Sinting. Kalau tak ganteng, tak mungkin dipandang selembut itu.
"Teruskan," kata
Suto sambil mengorek kayu api agar api itu tak padam.
"Sumbaruni adalah pelayan
seorang petapa di Gunung Sesat. Waktu itu nama gunung tersebut adalah Gunung
Winukir. Petapa itu tak punya anak, dan tak punya istri. Ketika mau meninggal,
seluruh ilmunya diturunkan kepada Sumbaruni."
"Apakah Sumbaruni tidak
diambil istri sang petapa?"
"Tidak. Petapa itu
pantang menikah. Tak punya selera kepada wanita. Sumbaruni bukan hanya diwarisi
ilmu, tapi juga diwarisi tempat, yaitu puncak Gunung Winukir. Petapa itu
berharap Sumbaruni mau pertahankan Gunung Winukir. Tapi jika memang sudah tak
sanggup, sang petapa pun tak melarang Sumbaruni turun gunung. Pada mulanya
memang Sumbaruni bertahan tinggal di puncak Gunung Winukir. Ia menjadi wanita
yang kesepian. Lalu datang seorang pemuda tampan, ia terpikat dan jatuh cinta.
Segala-galanya diserahkan kepada pemuda itu, termasuk kesuciannya. Karena ia
wanita yang punya selera, tak mampu bertahan sepi seumur hidup. Akhirnya
Sumbaruni hamil oleh perbuatan pemuda tampan itu."
"Apakah tidak mengurangi
kekuatan ilmu yang dimiliki?"
"Tidak. Justru bertambah
tinggi," kata Pelangi Sutera dengan sungguh-sungguh. "Tapi pada suatu
malam, ketika Sumbaruni mau bercumbu dengan pemuda tampan itu, tiba-tiba hujan
turun. Petir menyambar gubuknya. Atap gubuk terbakar. Pemuda itu kecewa dan
marah. Kemarahan yang disebabkan karena gairah tertunda itu membuat pemuda
tampan berubah wujud menjadi jin. Itulah wujud asli pemuda tampan
tersebut."
"Jin...?"
"Ya. Jin itu bernama Jin
Kazmat. Tentu saja Sumbaruni takut dan tak mau jadi istrinya lagi. Jin Kazmat
sedih, ia tak bisa merubah diri menjadi manusia lagi karena murkanya terlontar
pada saat hujan turun itu. Akhirnya Jin Kazmat mengakui keberadaannya yang
memang tak mungkin beristri Sumbaruni lagi. Ia hanya berpesan agar kandungan
Sumbaruni jangan digugurkan, dan mohon agar Sumbaruni mau melahirkan bayinya.
Sumbaruni juga punya permintaan yaitu kecantikan masa mudanya dan kesaktian
yang bertambah. Jin Kazmat setuju, Sumbaruni pun setuju, akhirnya ia melahirkan
seorang bayi yang semakin banyak terkena angin semakin cepat besar. Maka
jadilah manusia besar bernama Logo."
"Sejak itu Sumbaruni
masih diam di puncak gunung Winukir?"
"Tidak. Sumbaruni
berkelana mencari anaknya yang hilang karena badai besar. Bertahun-tahun dia
mencari sang anak, akibatnya Gunung Winukir dikuasai oleh Nila Cendani."
"Mengapa Sumbaruni tidak
merebut gunung itu dari kekuasaan Nila Cendani? Apakah ia kalah sakti dengan
Nila Cendani?"
"Sumbaruni tidak
membutuhkan gunung. Sumbaruni membutuhkan anaknya, ia tidak akan berbuat
apa-apa sebelum temukan anaknya."
"Apakah ia kawin
lagi?"
"Menurut kabar, ia tidak
kawin lagi. Perhatiannya terpusat pada sang anak yang hilang. Sekalipun anak
itu tumbuh menjadi anak jin yang besar, tapi Sumberuni sayang kepada anak itu.
Dari tahun ke tahun Sumbaruni hidup berkelana mencari anaknya. Beberapa tokoh
silat tingkat tinggi mengenalnya, tapi tidak semua. Hanya orang-orang dari golongan
putih saja yang mengenal Sumbaruni. Tapi Sumbaruni mengenal mereka satu
persatu. Seberapa tinggi kekuatan ilmu mereka, sangat dikenali oleh
Sumbaruni."
"Mengapa bisa
begitu?" tanya Suto dengan heran.
"Kabarnya Sumbaruni punya
ilmu yang bernama 'Getar Sukma'. Ilmu itu yang membuat Sumbaruni mengetahui
ukuran ketinggian ilmu se seorang. Dengan menyebut nama atau mendengar nama
seseorang, Sumbaruni punya getaran sukma yang bisa mengukur tinggi-rendahnya
ilmu orang tersebut. Makin kencang dan kuat getarannya semakin tinggi ilmu
orang tersebut."
"Hebat sekali?!"
Pelangi Sutera tersenyum
manis, berkesan menggoda.
"Sumbaruni memang orang
hebat, tapi dia tak mau menampakkan kehebatannya. Bahkan ia jarang ikut campur
di dunia persilatan. Mungkin gurumu sendiri kenal dengan Sumbaruni. Walau tak
secara langsung, mungkin pernah mendengar nama Sumbaruni."
"Guruku yang mana?
Bidadari Jalang atau Gila Tuak?"
"Keduanya," jawab
Pelangi Sutera seakan yakin betul dengan jawabannya. "Dulu, banyak orang
yang ingin berguru kepada Sumbaruni, tapi Sumbaruni tidak mau turunkan ilmunya,
kecuali untuk sang anak."
"Apakah akhirnya
Sumbaruni bertemu dengan anaknya?"
"Ya. Tapi ia sudah tidak
mau kembali ke Gunung Winukir."
"Kenapa?"
"Gunung itu telah kotor.
Ketamakan dan kelaliman Nila Cendani telah mengotori gunung itu dan Sumbaruni
tidak mau peduli lagi. Sekarang yang dilakukan oleh Sumbaruni hanya satu."
"Apa itu?"
"Mencari suami
manusia."
Suto manggut-manggut. Sesekali
tangannya mengutik-utik api unggun agar tak padam. Sebatang kayu kering yang
digunakan mengorek api unggun itu sejak tadi dibuat mainan tangannya sambil
mendengar cerita Pelangi Sutera, ia tak sadar kalau dirinya ditatap terus oleh
Pelangi Sutera.
Tatapan itu punya makna
tersendiri. Hati Pelangi Sutera tersentuh dan berbunga- bunga jika sedang
berpapasan pandang dengan Suto Sinting. Senyumnya sesekali mekar, cantik, dan
manis, seakan dipamerkan kepada Suto.
Secara jujur Suto Sinting
mengakui ada rasa tertarik kepada Pelangi Sutera. Tetapi ia ingat calon
istrinya: Dyah Sariningrum. Rasa tertarik itu pun dibantainya habis-habisan
dengan tarikan napas berulang-ulang yang dilakukan dengan tidak kentara. Tapi
apakah ia mampu bertahan terus membantai rasa suka yang selalu cepat tumbuh
jika berpapasan pandang dengan gadis itu?
Pendekar Mabuk cemas, sebab ia
tak yakin akan kemampuan bertahannya. Untuk membantu kekuatan imannya, Suto
Sinting sering meneguk tuak dan mengosongkan pikiran selama dua-tiga helaan
napas. Itulah cara terampuh baginya.
"Lalu, apa maksudmu
membuat janji bertemu denganku di kaki Bukit Semberani ini? Apakah benar kau
murid Raja Maut?'
"Kau percaya syukur,
tidak ya tidak apa-apa," jawab Pelangi Sutera sengaja dibuat samar-samar.
"Yang jelas ada sesuatu yang perlu kau ketahui dariku."
"Tentang apa itu?'
"Ancaman jiwamu."
Mata si tampan itu cepat-cepat
menatap Pelangi Sutera. Tatapan itu diterima oleh pandangan mata Pelangi
Sutera. Diresapi sebagai sebentuk keindahan. Hatinya pun berdebar, jiwa pun
gemetar, perut pun lapar. Tapi semua itu sengaja tidak dipedulikan dulu oleh
Pelangi Sutera, karena ia harus lanjutkan penjelasannya agar si tampan tak
kebingungan.
"Dalam waktu dekat ini
kau akan terseret pada perkara yang membuatmu akan terperangkap dalam pelukan
Ratu Tanpa Tapak."
"Bagaimana kau bisa tahu
hal itu?'
"Logo adalah pengawal
sang Ratu. Dulu Logo pernah dikalahkan oleh sang Ratu. Sang Ratu kecewa atas
kematian dua utusannya. Logo diutus menyeret pembunuhnya."
"Ya, aku sudah dengar
dari mulut Logo sendiri, apa tugas orang besar itu."
"Ki Gendeng Sekarat orang
yang diincar oleh sang Ratu untuk dibunuh dalam keputusan pengadilannya. Kau
tentunya akan ikut campur karena kau ada di pihak Ki Gendeng Sekarat. Dan jika
kau berhadapan dengan Nila Cendani si Ratu Tanpa Tapak itu, jelas keputusan
sang Ratu akan berubah. Dia akan naksir kamu dan ingin menikah denganmu."
Pendekar Mabuk tersenyum malu.
"Ah, itu belum tentu. Tak ada alasannya sang Ratu berbalik pikiran
begitu."
"Alasannya ada. Alasannya
ialah... kau tampan dan menawan hati," jawaban ini agak pelan, seakan
tercetus tulus dari dasar lubuk hati Pelangi Sutera. Tapi murid si Gila Tuak
itu hanya cengar-cengir mencoba tak mengakui kebenaran ucapan itu.
"Aku bersungguh-sungguh.
Kau punya daya pikat yang luar biasa. Mungkin kau punya ilmu pemberian bibi
gurumu; Bidadari Jalang, yang dapat membuatmu menjadi pemikat kaum wanita.
Kalau saja hidup wanita itu mempunyai kebebasan bertindak dan berkuasa atas
seluruh kaum lelaki, maka semua wanita akan berusaha menjadi istrimu."
"Ah, kau berlebihan,
Pelangi Sutera."
"Tidak. Ini bukan
berlebihan. Ini kenyataan. Karena apa yang kurasakan dalam hatiku adalah
demikian."
Suto Sinting menatap Pelangi
Sutera dengan pandangan yang aneh, namun tak sampai berkerut dahi. Pelangi
Sutera membalas dengan pandangan yang lebih dalam lagi, sehingga hati murid
sinting si Gila Tuak itu bergetar cukup kuat. Desir-desir keindahan muncul di
dalam dada Suto Sinting, ia menjadi salah tingkah dan berusaha mengosongkan
pikiran beberapa kali.
Tetapi Pelangi Sulera mendekat.
Duduknya pindah ke samping Suto. Tangannya menggenggam lengan Suto. Wajahnya
mendekat penuh harap. Suaranya berucap pelan bagai orang berbisik.
"Pria sepertimulah yang
diharapkan mau menjadi suami Sumbaruni."
"Dari mana kau
tahu?"
"Karena akulah Sumbaruni."
"Hahhh...?!"
Mata Suto seperti ditaburi
kunang-kunang. Pendekar Mabuk merasa tidak sedang mabuk, tapi pandangan matanya
menjadi guncang. Hatinya gemetar, jantungnya deg-degan. Kerongkongan terasa
kering. Mulut pun sulit dikatupkan kembali. Kayu yang dipegangnya sampai
terlepas begitu mendengar jawaban gadis itu.
Belum sempat terjadi
percakapan lebih lanjut, atau tindakan mesra berikut, tiba-tiba Logo masuk ke
dalam gua. Ia berdiri dan membungkuk sebentar, kemudian berkata kepada Pelangi
Sutera,
"Hawa panas. Ibu,
bolehkah aku mandi di laut?"
"Pergilah mandi, tapi
jangan lama-lama. Kalau terlalu lama kau bisa masuk angin. Kalau kau masuk
angin Ibu susah ngeroki badanmu, Nak."
"Terima kasih, Ibu. Saya
akan kerokan sendiri kalau masuk angin."
Setelah itu Logo pergi.
Langkahnya membuat gua bergetar. Atap gua menaburkan serpihan tanah dan batu.
Tapi tak sampai di bagian atas kepala Suto. Hanya saja, mata Suto Sinting pun
memandangi anak jin yang pergi mandi itu. Ternyata apa yang diakui oleh Pelangi
Sutera bukan hal yang main-main.
Gadis itu, yang ditaksir
usianya sekitar dua puluh lima tahun itu, ternyata benar- benar ibu dari Logo,
si anak jin tersebut. Pengakuan itu sulit dipercaya oleh akal sehat Suto, tapi
kenyataan yang ada tak bisa dibantahnya.
"Suto," suara
Pelangi Sutera terdengar lembut, ia mengusap tangan Suto. Pelan dan penuh
perasaan. "Kuingatkan padamu, jangan melibatkan diri dalam perkara ini.
Jangan sampai bertemu dengan Ratu Tanpa Tapak, nanti dia jatuh cinta padamu dan
menggunakan ilmu pemikatnya untuk menjerat hatimu. Kalau kau sudah terjerat
oleh ilmu pemikatnya, kau sulit keluar dari pelukannya."
Suto Sinting menelan ludahnya
sendiri untuk basahi tenggorokannya. Ada yang ingin diucapkan. Tapi ia tak tahu
harus berucap apa kepada bekas istri jin yang masih imut-imut itu?
"Logo sudah tak berani
pulang kepada Ratu Tanpa Tapak. Itu berarti Logo sudah berpihak kepadamu. Untuk
menghindari bencana itu, turutilah saranku, Suto. Jangan sampai kau jatuh dalam
pelukan Nila Cendani, sebab jika terjadi begitu maka aku akan mengadu nyawa
dengannya. Pasti dia yang akan tumbang."
"Kenapa tidak kau
tumbangkan saja ratu itu?"
"Dalam urutan silsilah,
aku adalah neneknya Nila Cendani. Dia cucu dari almarhum adik bungsuku."
Karena bingungnya, Suto
Sinting hanya berkata, "Udara memang panas. Aku perlu cari angin ke luar
gua dulu."
"Boleh aku
menemanimu?"
Murid sinting si Gila Tuak itu
hanya memandang dan memberikan seulas senyum, ia sudah berdiri, tapi tak
memberi jawaban pasti, ia melangkah keluar gua. Ternyata di luar keadaan terang
benderang. Rembulan memancarkan sinarnya ke bumi tidak tanggung- tanggung lagi.
Udara panas itu mungkin disebabkan uap air laut yang menyimpan panas matahari
pada waktu siangnya.
Di sebelah barat, tampak anak
jin mandi dengan jingkrak-jingkrak, ia berteman ombak dan riak. Suto Sinting
memperhatikan sejenak, tersenyum tipis, kemudian melangkah pelan-pelan ke arah
timur. Langkah kaki menyusuri pantai begitu pelannya, seakan menikmati alam
pikirannya yang sedang berkecamuk tentang Pelangi Sutera.
"Pantas jika Juru Bungkam
dan Pawang Gempa takut kepada Pelangi Sutera. Kurasa mereka berdua sudah tahu
siapa Pelangi Sutera sebenarnya. Pantas juga Pelangi Sutera menakut-nakuti akan
dijadikan tumbal Ratu Tanpa Tapak, karena ia tak ingin aku jumpa dengan ratu
itu. Kalau saja Ki Gendeng Sekarat bertatap muka dengan Pelangi Sutera, pasti
dia akan tahu juga siapa sebenarnya si cantik yang menggemaskan itu."
Hawa malam cukup segar.
Siraman cahaya rembulan membuat malam hampir mirip dengan pagi. Semilir angin
yang berhembus bagaikan membuka kekusutan otak Suto. Karenanya Pendekar Mabuk
sengaja duduk di atas batu, menikmati semilirnya angin sambil merenungi apa
yang ada dalam kenyataan itu.
Pelangi Sutera akhirnya tak
tahan membiarkan Suto sendirian di pantai, ia juga tak tahan membiarkan dirinya
di dalam gua. Maka wanita cantik imut-imut itu pun menyusulnya, ia berdiri tak
jauh dari Suto, memandang alunan ombak laut yang tak begitu ganas. Jaraknya
hanya dua langkah dari Suto. Sambil menatap ke arah lautan, Pelangi Sutera
perdengarkan suaranya di sela keheningan malam dan deburan ombak samar-samar
itu.
"Tak bolehkah aku
mencintaimu, Suto?"
Bingung lagi Suto menjawabnya.
Akhirnya ia hanya berkata, "Cinta tak bisa datang secepat ini. Punya
perjalanan dan pengalaman sendiri."
"Sebenarnya, cinta ini
tumbuh sudah lama. Sejak kau terlibat perkara dengan Siluman Tujuh Nyawa, aku
sudah mengikuti perjalananmu secara diam-diam. Aku sering memperhatikan dirimu
dalam semadiku. Dan hatiku tertarik padamu. Aku kagum dengan kehebatan ilmumu.
Lebih kagum lagi dengan jiwamu. Aku jadi ingin mendapatkan dirimu. Tapi aku
tahu, penghalangku terbesar adalah penguasa Pulau Serindu, Gusti Mahkota Sejati
yang bernama Dyah Sariningrum."
Suto Sinting terkejut
mendengar Pelangi Sutera menyebutkan nama itu. Ia cepat-cepat menatap wajah
yang menyamping pandangannya. Pelangi Sutera tatap tenang, bicaranya penuh
kesungguhan.
"Aku tahu hatimu terpatri
di hati Dyah Sariningrum. Tapi percayalah...," ia berpaling memandang
Suto.
"Aku sanggup mengalahkan
dia untuk merebutmu!"
Pendekar Mabuk bagai disambar
petir ujung lidahnya. Kaget sekali. Duduknya sampai berdiri. Terhenyak dari
batu. Tegang memandang gadis ayu itu.
"Aturlah pertarunganku
dengannya. Kapan, dimana, dan bagaimana. Aku siap. Sungguh-sungguh siap
bertarung dengan penguasa Puri Gerbang Surgawi. Aku tak takut pada ibunya, yang
menjadi penguasa Puri Gerbang Surgawi di alam gaib dan bernama Ratu Kartika
Wangi itu. Aku tidak takut, Suto!"
Gawat kalau sudah begini, ini
benar-benar cinta nekat, ini benar-benar nekatnya cinta. Ratu Kartika Wangi
sampai ditantang secara tak langsung oleh Pelangi Sutera. Calon istri sampai
ditantang duel pertarungan demi merebutkan cinta. Oh, celaka. Suto benar-benar
terpaku di pertengahan cinta, ia jadi muak. Muak kepada cinta yang nekat itu.
"Kau tak mungkin
bertarung dengan Dyah Sariningrum, Pelangi Sutera."
"Kenapa tak mungkin? Aku
berani. Aku tak takut mati."
"Barangkali kau memang
benar-benar berani. Tapi keberanianmu itu memaksaku untuk bertindak tega
kepadamu. Sebab sebelum kau bertarung dengan Dyah Sariningrum, kau harus
bertarung denganku dulu dan harus bisa membunuhku."
Mata gadis itu menatap tajam.
Punya arti tersendiri bagi jiwanya. Suto pun tak kalah tajam memandang, ia
segera mendengar wanita itu berbisik,
"Sebesar itukah cintamu
kepadanya?"
"Ya!" jawab Suto
tegas sekali.
Pada saat mereka adu pandang
tanpa berkedip, mereka sama-sama mendengar suara langkah cepat dari arah barat.
Langkah itu adalah langkah orang berlari. Makin lama makin dekat, dan mereka
sama-sama berpaling ke barat. Suto Sinting terkejut melihat siapa yang datang
menemuinya di malam terang bulan itu.
Bruuuk... !
"Angon Luwak...?!"
seru Suto ketika bocah itu jatuh tersungkur, ia segera menolong dengan
mendekatinya. Angon Luwak ngos-ngosan, tak bisa bicara karena napasnya bagaikan
menyumpal tenggorokan. Pelangi Sutera ikut mendekati bocah itu. Suto segera
menjelaskan kepada Pelangi Sutera siapa Angon Luwak itu.
"Aku sudah tahu,"
kata Pelangi Sutera. "Aku juga tahu dia punya ilmu 'Genggam Buana'.
Gendeng Sekarat yang memberikan ilmu itu lewat mimpinya."
"Tapi... tapi apakah kau
tahu sebabnya datang kemari?"
"Tanyakan saja padanya.
Aku bukan peramal," Pelangi Sutera agak ketus.
"Angon Luwak, mengapa kau
kemari? Mengapa berlari-lari begini?"
"Guru diculik
orang."
"Gurunya siapa?"
"Gur... guruku,
Kang!"
"Maksudmu, Ki Gendeng
Sekarat?'
"Bet... betul. Diculik
orang... hhmmm... jumlahnya...
ada tujuh orang."
"Ki Gendeng Sekarat bukan
orang lemah, Angon Luwak. Kau tahu sendiri."
"Ya. Tapi... tapi mereka
semula menawanku. Guru terpaksa menyerah dan membiarkan dirinya dirantai, lalu
dibawa pergi ke... ke Gunung Sesat."
"Celaka!"
"Aku sendiri hampir
celaka, Kang! Tapi aku segera dilepaskan."
"Mengapa kau tidak
melawan dengan ilmu 'Genggam Buana' yang kau miliki itu?! Apakah kau tak mau
menolong Ki Gendeng Sekarat?"
"Kedua tanganku sudah
dicekal mereka lebih dulu. Aku tak bisa apa-apa."
"Lalu...?" Suto
Sinting tampak gelisah, ia memandang Pelangi Sutera, tapi yang dipandang diam
saja. Angon Luwak berusaha meredakan napasnya yang terengah-engah. Suto Sinting
kembali bertanya dengan tegang.
"Lalu... bagaimana dengan
Raja Maut?"
"Kakek Raja Maut tumbang,
Kang."
"Mereka yang
menumbangkan?"
"Benar."
"Jadi... Raja Maut
mati?"
"Belum," jawab Angon
Luwak. "Waktu kutinggal lari mencarimu, dia belum mati. Entah kalau
sekarang. Lukanya parah sekali."
Mata Pendekar Mabuk kembali
menatap Pelangi Sutera. "Aku harus ke sana. Setidaknya melihat keadaan
Raja Maut. Bukankah kau pernah mengaku sebagai muridnya?"
"Aku bohong padamu,
supaya kau percaya saranku."
"Lain kali jangan bohongi
aku lagi. Aku tak suka. Dan..., mari kita ke sana, Angon Luwak. Mudah- mudahan
Raja Maut belum terlambat kutangani."
"Bagaimana dengan guruku,
Kang? Apakah kau tak ingin menolongnya?'
"Dari sana nanti kita
langsung pergi ke Gunung Sesat! Kita...."
"Tidak!" potong
Pelangi Sutera. "Aku tidak izinkan kau ke sana!"
"Ki Gendeng Sekarat sudah
kuanggap ayahku sendiri, Pelangi Sutera. Aku tak bisa membiarkan Ki Gendeng
Sekarat menjadi tawanan Nila Cendani. Pasti dia akan mati di tangan Ratu Tanpa
Tapak itu!"
"Kataku, jangan!"
tegas Pelangi Sutera. "Kalau kau nekat, aku akan menghalangi
langkahmu!"
"Aku akan melawanmu kalau
kau menghalangiku!" balas Suto membuat Pelangi Sutera menatap kian tajam,
dan Suto tegang menghadapinya.
Dari arah timur muncul Logo
yang melangkah mendekati ibunya. Angon Luwak kaget, takut, lalu berseru sambil
bersembunyi di belakang Suto.
"Kaaang... ada setan,
Kang. Aku takuuuut...!"
"Ssst...! Dia bukan
setan!"
"Setan, Kang. Setan
asli!" Angon Luwak gemetar ketakutan sambil sembunyikan wajahnya, masuk ke
dalam baju Suto bagian belakang. Suto menggelinjang kegelian karena punggungnya
didusal-dusal oleh wajah bocah itu.
Pelangi Sutera tak kuat
menahan tawa. Ia tundukkan kepala sambil tersenyum. Hal itu digunakan Suto
untuk membujuk Pelangi Sutera.
"Biarkan aku datang.
Jangan halangi aku ke sana."
***
5
KALAU bukan karena demi
menyelamatkan Angon Luwak, Ki Gendeng Sekarat tak mungkin menyerah kepada
orang-orang Gunung Sesat, dua dari tujuh orang yang menangkap Ki Gendeng
Sekarat sudah berhasil dilumpuhkan.
Satu orang dilumpuhkan oleh
Raja Maut, satu lagi dilumpuhkan oleh Ki Gendeng Sekarat sendiri. Tetapi Raja
Maut segera tumbang di tangan Lasogani, pentolan dari ketujuh orang tersebut.
Sedangkan Ki Gendeng Sekarat terpaksa hentikan perlawanannya karena Angon Luwak
digunakan sandera oleh mereka.
Kini tubuh Ki Gendeng Sekarat
dililit rantai. Kedua tangannya dikebelakangkan dalam keadaan terbelenggu
rantai. Dari bawah pundak sampai ke perut pun dililit rantai. Rantai itu bukan
sembarang rantai.
Lasogani mempunyai rantai
penjerat yang dinamakan 'Rantai Neraka'. Jika orang yang dijerat rantai itu
berontak ingin melepaskan diri, maka rantai itu akan menjadi lebih kencang
sendiri.
Semakin orang yang dijerat
berontak terus, semakin kuat rantai itu menjerat. Bisa-bisa memotong bagian
tubuh orang tersebut karena kekuatan jeratnya. Rantai Neraka merupakan senjata
bagi Lasogani baik untuk pertarungan maupun untuk menangkap buronan.
Tujuh orang utusan dari Gunung
Sesat itu kini yang masih punya kekuatan hanya lima orang. Yang dua terpuruk di
atas punggung kuda, namun masih bernyawa.
Mereka tak bisa berbuat
apa-apa karena seluruh tulangnya bagai dipatahkan oleh serangan Ki Gendeng
Sekarat dan Raja Maut. Dua orang yang terpuruk itu dijadikan satu di atas
punggung kuda. Sedangkan satu ekor kuda lainnya digunakan untuk membawa Ki
Gendeng Sekarat.
Kuda yang dipakai membawa Ki
Gendeng Sekarat dalam penjagaan dua orang di kanan kiri, sedangkan tali kekang
kuda ada di tangan Lasogani yang menunggang kuda di depannya. Kedua kaki Ki
Gendong Sekarat juga diikat dengan rantai yang dililitkan ke badan kuda.
Sekalipun kuda berlari cepat, tubuh Ki Gendeng Sekarat tak akan jatuh terpental
dari atas kuda.
Mereka tak langsung membunuh
Ki Gendeng Sekarat. Ratu Tanpa Tapak memerintahkan mereka untuk menangkap Ki
Gendeng Sekarat dalam keadaan hidup. Pengadilan sang Ratu nantinya yang akan menjatuhkan
hukuman untuk Ki Gendeng Sekarat; dipancung atau digantung. Keduanya memang
sama- sama mematikan. Tapi agaknya sang Ratu tak ingin Ki Gendeng Sekarat mati
di tangan anak buahnya tanpa keputusan yang pasti dari dirinya.
Gunung Sesat letaknya agak
jauh dari tempat penangkapan itu. Mereka menempuhnya dalam satu malam lebih.
Mereka tidur di atas punggung kuda secara bergantian. Tetapi Ki Gendeng Sekarat
tidur dengan nyenyak bagaikan tak mau peduli lagi dengan nasib dirinya. Sampai
matahari menyingsing pun Ki Gendeng Sekarat yang memang doyan tidur itu masih
memejamkan mata. Tetapi ia mulai sadar bahwa derap kaki kuda menjadi pelan dan
akhirnya mereka berhenti. Ada apa mereka berhenti? Ki Gendeng Sekarat tetap
mengetahui sebabnya walau ia dalam keadaan tidur.
Dua orang tokoh itu berdiri
menghadang langkah mereka. Yang satu berambut putih panjang berikat kepala kain
merah dan berjubah abu-abu, sedangkan yang satunya lagi rambut putih pendek
botak tengahnya, berjubah merah dengan tongkatnya yang berujung runcing panah.
"Balung Kere, temui
mereka! Tanyakan apa maunya menghadang kital" perintah Lasogani kepada
Balung Kere yang kurus kering dengan pakaian compang- camping mirip pengemis.
Itulah sebabnya ia dijuluki Balung Kere alias Tulang Miskin. Sekalipun kurus
kering mirip tengkorak, tapi Balung Kera punya keberanian cukup tinggi. Tak ada
rasa gentar sedikit pun ketika ia mendekati dua penghadangnya itu.
Dengan mata cekung dan dingin
ia menyapa, "Mau bertingkah apa lagi kalian berdua, hah?! Kuingatkan kepada
kalian, Pawang Gempa dan Juru Bungkam, kami tak punya waktu untuk main-main
dengan orang tua ingusan seperti kalian. Jadi sebaiknya pergilah dari hadapan
kami. Jangan bikin kami murka pada kalian!"
Kedua penghadang itu ternyata
adalah Ki Lumaksono atau si Pawang Gempa dan saudara seperguruannya; Ki
Parandito atau si Juru Bungkam. Meraka tampak tenang menghadapi gertakan Balung
Kera.
"Aku tahu siapa orang
yang kau tawan itu," kata Pawang Gempa yang memegang tongkat berujung
tanpa bentuk. "Aku kenal dengan Gendeng Sekarat. Dia sahabatku. Jadi
kusarankan lepaskan saja dia. Karena jika tidak kalian lepaskan, kami bisa
tampakkan murka di depan kalian."
Juru Bungkam berseru,
"Gendeng Sekarat! Bangunlah! Kami ada di depanmu!"
KI Gendeng Sekarat dalam keadaan
tidur berkata malas-malasan,
"Aku tahu, kau Parandito
dan Lumaksono! Kalem saja, Sobat!"
Balung Kere berjalan mendekati
Lasogani tanpa menggunakan kuda.
"Kau dengar sendiri
ancaman mereka, Lasogani. Manis sekali, bukan?"
"Manis dengkulmu!"
geram Lasogani. "Hadapi mereka berdua. Bunuh!"
"Yah, kalau memang kau
perintahkan untuk membunuh, apa boleh buat. Aku pun tak akan sia-siakan
perintah itu," kata Balung Kere yang segera kembali menghadapi kedua tokoh
tua tersebut.
"Kau dengar sendiri,
Pawang Gempa. Aku disuruh membunuh kalian berdua. Saranku, jangan banyak
tingkah. Pasrah saja. Aku punya cara membunuh tanpa menimbulkan rasa
sakit."
"Kurang ajar! Seenaknya
dia bicara, Juru Bungkam!"
Juru Bungkam masih diam.
Balung Kere mencabut kapak di pinggangnya. Caranya mencabut tenang sekali.
Bahkan sedikit kesulitan karena ujung gagang kapak tersangkut ikat pinggangnya.
Sementara yang lain masih tetap duduk di punggung kuda, menunggu perintah dari
Lasogani.
Balung Kere sudah berhasil
mencabut kapaknya, ia maju setindak dan berkata bagaikan tanpa perasaan apa-
apa.
"Sekarang sudah waktunya
un... un... un... un..."
Balung Kere sulit bicara,
karena Juru Bungkam menyambar sesuatu di depan dadanya dan tangan menggenggam
bagaikan menangkap lalat. Itulah jurus pembungkam yang dimilikinya, membuat
Balung Kere menjadi sulit bicara. Tapi agaknya Balung Kere masih memaksakan
diri untuk bicara, sehingga mulutnya tercengap-cengap dan badannya
bergerak-gerak, kepalanya oleng sana-sini karena ingin ucapkan sesuatu.
"Kuuk... mmuuk... kekk...
seeekk... buuuk... ngggiiik... ngiiik ...... "
"Hoi...!" bentak
Lasogani. "Ngomong apa kau ngak- ngik, ngak-ngik, begitu?!"
Balung Kere menuding-nuding
Juru Bungkam sambil memandang Lasogani.
"Sul... sulll suull...
ngiiik... ngook... nyuk... nyuk...."
"Dia dibungkam orang
itu," kata Tamboi yang berada tak jauh dari Lasogani. Hal itu membuat
Lasogani kian jengkel.
Tangan Ki Parandito masih
menggenggam di depan dada. Balung Kere masih ngak-ngik, ngak-ngik tak karuan.
Lasogani segera melemparkan sesuatu dari tangannya. Slaaap...!
Senjata rahasia berbentuk
bintang segi delapan melesat ke arah Ki Parandito, si Juru Bungkam. Kilatan
cahaya putih mengkilap itu disambut dengan lemparan tangan yang menggenggam.
Slaaap...! Sinar merah melesat
dan menghantam senjata rahasia Lasogani. Blaarr...!
Asap mengepul akibat benturan
senjata rahasia dengan sinar merah yang meledak cukup dahsyat. Balung Kere
terpental jatuh terduduk dan meringis karena tulang ekornya terbentur batu. Ia
tak bisa mengaduh karena masih dalam keadaan dibungkam oleh Ki Parandito.
Karena setelah melemparkan sinar merah tadi tangan Ki Parandito kembali
menggenggam bagaikan memberangus mulut lawan.
"Tamboi, turun dan serang
dia. Jangan banyak bicara!" perintah Lasogani.
"Heaaat...!" Tamboi
yang berbadan gemuk segera melompat dari punggung kuda. Golok besarnya cepat
dicabut dari pinggang dan ditebaskan ke arah Juru Bungkam. Wuuung...!
Tapi Juru Bungkam bagaikan
lenyap dalam sekejap.
Padahal ia melompat mundur
dengan sangat cepatnya. Golok besar itu menebas tempat kosong, sampai di depan
mata Ki Lumaksono. Dengan cepat dan sigap Ki Lumaksono sentakkan tongkatnya ke
atas untuk menangkis laju golok besar itu. Traak...! Krang...!
Golok itu gompal. Patah bagian
tajamnya. Tamboi terperangah sekejap memandangi gompalan goloknya.
"Monyet..!"
geramnya. Tapi ia tahu ujung golok masih runcing, sehingga dengan cepat ia
hunjamkan ujung golok itu ke leher Ki Lumaksono. Wuuut...!
Jubah abu-abu itu hanya
memiringkan badan untuk menghindar. Seet...! Tapi alangkah kagetnya, karena
ternyata golok itu belum bergerak maju. Dalam penglihatannya tadi golok itu
sudah dihunjamkan, ternyata masih ada di tempatnya. Sehingga ketika Ki
Lumaksono miring ke kanan, golok itu pun benar-benar maju ke depan
menghunjamnya. Wuuut...!
Trak... !
Untung Ki Lumaksono punya
gerak yang amat cepat untuk mengangkat tongkatnya. Ujung golok itu menancap di
kepala tongkat. Tamboi menekan terus, ia kerahkan kekuatan tenaga dalamnya
hingga ujung golok bagaikan membakar kepala tongkat.
******
Ki Lumaksono pun kerahkan
tenaga dalamnya melalui tongkat tersebut. Sehingga kejap berikutnya golok
tersebut menjadi merah membara, bagaikan terpanggang api yang amat panas. Lalu
Ki Lumaksono meludahi golok itu. Jrooss...! Golok itu padam dan tahu- tahu
sudah menjadi arang tak berguna. Pruuus...! Golok itu hancur menjadi serpihan
hitam.
Mata Tamboi terbelalak. Ki
Lumaksono cepat sentakkan kakinya ke depan. Wuuut...! Tak sampai menyentuh
perut Tamboi. Tapi kekuatan tenaga dalam yang terpancar di ujung kaki itu
menghantam telak ulu hati
Tamboi. Buuhg...!
"Heggh...!" Tamboi
kian mendelik. Mulutnya ternganga seketika sambil semburkan darah segar dari
mulutnya, ia tertatih-tatih limbung mundur. Kedua tangannya masih merenggang badannya
sedikit membungkuk ke depan. Akhirnya Tamboi pun jatuh tepat di depan kuda
Lasogani. Bruugh ...!
"Tewas...," gumam
Balung Kere dengan sedih melihat nasib temannya.
"Tewas matamu!"
sentak Lasogani kepada Balung Kere dengan marah sekali. "Maju, balas
dia!"
"Hiaaat...!" suara
kecilnya melengking seketika walaupun ia belum melompat dan belum bergerak apa-
apa.
"Hiaat...!"
teriaknya lagi panjang dan lengking sambil mencari di mana kapaknya tadi
tertinggal saat jatuh.
"Hiaaat...!"
teriaknya sekali lagi. Tapi tiba-tiba, plook... !
Wajah kurus itu ditampar kuat
oleh Lasogani yang melompat dari punggung kuda. Balung Kere terpental jatuh
telentang dengan gelagapan. Wajahnya merah karena bekas tamparan keras tadi.
"Napas Setan! Tangani dua
orang itu! Cepat!"
Napas Setan yang sejak tadi
diam saja di samping kuda Ki Gendeng Sekarat segera turun. Wajahnya angker. Tak
ada senyum sedikit pun. Napas Setan segera mencabut golok berujung trisula dari
tempatnya di sisi pelana kuda. Pada saat itu Ki Gendeng Sekarat perdengar
suaranya.
"Kau akan mati juga di
tanganku, Nak!"
Napas Setan yang kira-kira
berusia sekitar empat puluh tahun itu memandang Ki Gendeng Sekarat yang
tundukkan kepala karena tidur, ia menggeram dan segera ingin menikamkan tombak
trisulanya. Tapi Lasogani segera berseru,
"Bukan dia! Tapi dua
orang itu, Tolol!"
Napas Setan mendengus benci
sebelum pergi. Ki Gendeng Sekarat masih terkulai tidur bagai tak pedulikan
dengusan itu.
"Cepaaat...!" teriak
Lasogani dengan berang sekali. Napas Setan tiba-tiba sentakkan kaki dan
tubuhnya melayang menukik dengan tombak trisula mengarah ke dada Ki Lumaksono.
"Heaaahhh...!"
teriaknya serak dan menyeramkan, sesuai dengan tubuhnya yang kekar dan tinggi.
Tetapi Ki Lumaksono justru
melompat ke samping, tak mau menangkis atau membalas serangannya. Namun Ki
Parandito yang ada di belakangnya segera sentakkan tongkatnya lurus ke depan.
Claaap...! Dari ujung tongkatnya keluar panah kecil berwarna merah. Panah itu
rupanya adalah panah be si yang amat beracun dan bertenaga dalam tinggi. Napas
Setan segera menangkis dengan tombak trisula, mengibaskan panah itu ke
samping.
Trang...! Duaaar...!
Nyala api memercik akibat
tangkisan dua senjata ampuh itu. Ledakan yang timbul merontokkan dedaunan di
sekeliling mereka. Bahkan ada beberapa dahan yang masih muda patah dan
berjatuhan. Tombak trisula itu diputar cepat.
Wut, wut, wut... ! Tahu-tahu
sudah berada di samping Napas Setan yang berdiri tegak dengan kaki kekar
merenggang sedikit, ia menampakkan sikap perkasanya dengan lirikan mata yang
tajam mempunyai gairah membunuh dengan kejamnya. Lirikan mata itu membuat Ki
Lumaksono tersenyum tipis. Ki Parandito segera melangkah dengan santai sambil
mengayunkan tongkatnya.
Kini jarak Ki Parandito dengan
Napas Setan hanya tiga tindak. Tokoh tua berjubah merah itu menampakkan
ketenangannya walau ia berkata dengan suara berat, "Keluarkan semua
ilmumu, aku akan melayanimu, Bocah Bagus!"
Fuih..! Napas Setan sentakkan
napasnya melalui hidung. Ki Parandito kaget menerima napas yang bagaikan
gelombang panas cukup besar itu. Wuuut...! Tubuh Ki Parandito terlempar tujuh
langkah ke belakang tanpa berguling-guling.
Ki Lumaksono juga kaget.
Segera disentakkan tongkatnya menghantam tanah. Duuug...! Lalu bumi berguncang
bagaikan dilanda gempa. Tubuh Napas Setan terlempar ke atas. Wuuut...!
Keseimbangannya limbung. Ki Parandito yang sudah tegak kembali itu segera
sentakkan tongkatnya. Wuuut...! Claaap...! Anak panah merah meluncur dari ujung
tombak. Karena Napas Setan dalam keadaan kaget saat terlempar di luar dugaan,
maka ia tak sempat menangkis anak panah itu. Akibatnya anak panah yang kali ini
menancap tepat di jantungnya. Jruub! Blaaar...!
Pecah. Anak panah itu bagai
tombol peledak, begitu menyentuh benda langsung meledak. Karena yang disentuh
adalah jantung Napas Setan, maka jantung itu pun segera pecah bersama serpihan
tubuh Napas Setan.
Lasogani belum sempat
menyadari saat terjadinya peristiwa itu, karena ia sendiri terguncang dan
terlempar ketika Ki Lumaksono timbulkan gempa setempat. Tubuh Lasogani
menjatuhi Balung Kere yang terhimpit badan kuda milik Tamboi.
"Mati aku...!"
suaranya berat dan ngotot dengan mata mendelik. Balung Kera berusaha menahan
beban. Karena bukan hanya kuda dan tubuh Lasogani yang kebetulan jatuh menindih
dirinya, tapi kedua tubuh temannya yang sudah dilumpuhkan Ki Gendeng Sekarat
dan Raja Maut itu juga terlempar karena gempa dan jatuh tepat menutup wajahnya.
Ki Gendeng Sekarat hampir saja
tumbang dari atas kuda karena getaran gempa tadi. Ia hanya terkulai di punggung
kuda dalam keadaan tengkurap. Tapi masih saja tertidur. Bahkan semakin merebah,
menempelkan pipinya di leher kuda bagaikan tidur di atas bantal. Dengkurannya
terdengar samar-samar.
Sementara itu si Patuh Pendek,
orang yang berleher pendek dan menjadi satu-satunya penjaga tawanan, juga
terpelanting jatuh dari punggung kuda akibat getaran gempa tadi. Namun ia tidak
mengalami cedera apa-apa karena ketika jatuh ia cepat-cepat berpegangan pelana
kuda.
Lasogani bangkit dengan
bertambah berang. "Jahanam busuk!" makinya dengan memandang tajam
kedua lawannya.
"Balung Kere...! Jaga
tawanan itu. Balung Kere...?! Mana dia, Paruh Pendek?! Balung Kere...! Bangsat
itu lari?!"
"Aku di siniii...,"
seru Balung Kere tertutup badan kuda dan kedua tubuh temannya. Kuda itu sendiri
mengalami patah kaki hingga sulit berdiri.
Lasogani makin jengkel melihat
Balung Kere tak berkutik, ia biarkan orang itu melepaskan diri dari tubuh kuda
yang meringkik ringkik itu. Ia segera dekati Paruh Pendek, orang yang bagai tak
memiliki leher itu.
"Maju, lawan mereka.
Bunuh semuanya! Aku yang jaga tawanan ini!"
"Dari tadi mestinya kau
tugaskan aku begitu!"
"Kerjakaaan...!"
teriak Lasogani yang bertubuh kekar berkumis tebal dan berkepala sedikit botak
bagian belakangnya.
Paruh Pendek maju menghadapi
Ki Lumaksono dan Ki Parandito. Tombak berujung sabit diambil dari tempatnya di
samping pelana kuda. Kilatan matahari memantul dari ketajaman sabit tersebut.
Lasogani sempat menggerutu
melihat Ki Gendeng Sekarat yang tidur tengkurap di atas punggung kuda.
"Monyet juling! Yang lain
bertarung taruhan nyawa, dia malah enak-enak tidur. Uuuh...! Kalau tak takut
perintah sang Ratu, sudah kubunuh orang ini sejak tadi!"
Paruh Pendek memainkan jurus
tombaknya di depan Ki Parandito. Gerakan jurusnya begitu cepat, sehingga tombak
itu bagaikan membentuk perisai yang rapat dan sukar ditembus.
Tetapi Ki Parandito bukan
orang bodoh, ia sengaja diam saja dan tetap tenang, seperti yang dilakukan Ki
Lumaksono. Ia memperhatikan gerakan itu baik-baik. Tapi anehnya Paruh Pendek
sejak tadi bergerak terus tiada hentinya, seakan tak pernah merasa lelah dalam
gerakan secepat itu. Wajahnya bagai sulit dipandang lagi karena kecepatan gerak
tombaknya menutupinya. Suara gerakan tombak itu mendengung bagaikan lebah.
"Mundur. Biar aku yang
hadapi," kata Ki Lumaksono kepada Ki Parandito.
Tongkat warna coklat segera
diputar di atas kepala. Bunyinya seperti gaung gangsing. Itu menandakan putaran
tongkat lebih cepat dari putaran gerak tombak Paruh Pendek. Rupanya kecepatan
putaran tongkat itu menimbulkan lingkaran gelombang cahaya biru. Semakin lama
semakin melebar dan mendekati gerakan tombak Paruh Pendek. Sedangkan gerakan
tombak itu makin lama makin keluarkan asap yang membungkus diri.
"Heaaah...!" sentak
Ki Lumaksono sambil hentakkan kaki ke tanah. Duug...!
Lingkaran sinar biru melesat
menerjang asap tersebut. Memerciklah bunga api beberapa saat mirip percikan
kembang api mainan. Tetapi dalam kejap berikut, sebuah ledakan dahsyat
terdengar menggelegar dan membahana. Duaaar... !
Asap semakin tebal, menjulang
ke langit bagai letusan gunung. Warnanya hitam kebiru-biruan. Suara gaung
gangsing hilang. Suara dengung lebah hilang. Mereka memandang tubuh Paruh
Pendek yang dibungkus asap tebal itu. Tegang dan penasaran, ingin tahu hasilnya.
Asap itu makin lama makin
menipis. Dan wujud Paruh Pendek terlihat samar-samar. Orang itu masih berdiri
tegak dengan tombak tergenggam di tangannya. Tapi pakaiannya sudah rusak berat.
Compang-camping mirip gelandangan. Pakaian itu rusak karena ledakan dahsyat
tadi. Ki Lumaksono dan Ki Parandito merasa heran. Dalam bisikan Ki Parandito
terdengar melambangkan rasa kagumnya.
"Biasanya orang yang
terkena jurus 'Petir Biru' milikmu itu akan hancur. Tapi orang itu tetap utuh.
Hanya pakaiannya yang rusak berat. Hebat sekali?!"
Ki Lumaksono agak malu juga
mendengar bisikan itu. Seolah-olah jurus andalannya tidak berguna bagi lawan
seperti si Paruh Pendek. Ki Lumaksono hanya diam, terpaku di tempat memandangi
Paruh Pendek.
Asap makin hilang, wujud Paruh
Pendek makin jelas. Lasogani sedikit lega melihat temannya tak mengalami
cedera. Balung Kere yang sudah berhasil bangkit lagi itu tertegun bengong
melihat keadaan Paruh Pendek yang hampir tidak berpakaian itu.
"Serang lagi! Serang lagi
mereka, Paruh Pendek!" seru Balung Kere memberi semangat. Tetapi Paruh
Pendek tetap diam di tempat dengan senyum tetap tersungging tipis sejak tadi.
Lasogani pun segera memberi
perintah, "Balas perbuatan mereka, Paruh Pendek. Balas sekarang juga,
Bodoh!"
Tetapi Balung Kere menjadi
berkerut dahi melihat Paruh Pendek tidak bergerak sejak tadi. Pelan-pelan ia
mendekat dan memeriksanya, ia menyentuh tubuh Paruh Pendek dengan maksud untuk
menyadarkan temannya itu. Tapi alangkah kagetnya setelah tangan Balung Kere
menyentuh lengan Paruh Pendek, ternyata daging lengan itu terbawa ke tangan
Balung Kere. Pluk...! Daging yang lengket di jari Balung Kere jatuh ke tanah.
Balung Kere penasaran, ia memegang punggung Paruh Pendek. Croob...!
"Astaga! Dia sudah mati
empuk!" seru Balung Kere kepada Lasogani.
Sentuhan itu membuat tubuh
Paruh Pendek terguncang dan akhirnya jatuh. Lasogani mendelik melihat Paruh
Pendek jatuh bagaikan pepaya busuk. Lembek dan langsung bonyok. Rupanya sejak
tadi Paruh Pendek sudah tak bernyawa, ia mati dalam keadaan daging dan
tulangnya menjadi empuk bagai habis direbus lahar gunung berapi. Tombaknya
sendiri segera menjadi debu sampai bagian besi sabitnya.
Ternyata jurus 'Petir Biru'
milik Ki Lumaksono punya akibat yang amat buruk bagi lawan. Kali ini memang lawan
tak bisa hancur, namun mati empuk seperti pepaya busuk. Ki Parandito akhirnya
tersenyum tipis dan manggut-manggut, mengakui kehebatan jurus itu. Hanya Ki
Lumaksono yang mampu pelajari jurus itu, karena dulu Ki Parandito gagal
menerima jurus tersebut dari gurunya.
"Kalian benar-benar
keterlaluan!" geram Lasogani. "Sudah saatnya kalian mati di tanganku,
Tua Bangka! Heaaatt...!" Lasogani segera melompat menyerang Ki Lumaksono
dengan tangan kosong. Tapi kedua telapak tangannya sudah berubah menjadi bara merah
yang mengepulkan asap.
Balung Kere pun tak mau
tinggal diam karena tak mau disalahkan Lagi. Ia melompat dengan kapak siap
dihantamkan ke kepala Ki Parandito. Gerakannya cukup cepat dan liar. Tetapi Ki
Parandito segera melompat juga menyongsong serangan lawannya. Tongkatnya
dikibaskan menghadang ayunan kapak tersebut. Traaang...! Trrang...! Praak...!
Kapak itu bagaikan membentur besi baja. Parahnya lagi, ujung tongkat Ki
Parandito sempat menghantam gagang kapak dan membuat gagang kapak patah seketika.
Kapak itu menjadi sangat
pendek. Balung Kere kaget saat dia memandangi kapaknya. Kesempatan itu
digunakan oleh Ki Parandito untuk menendang dada Balung Kere dengan tendangan
putar yang amat cepat.
Weees... ! Buuhg... !
"Uuhhg...!" Balung
Kere terlempar jauh dan memuntahkan darah kental, ia mendelik dan tercengap-
cengap sambil pegangi dadanya.
Pada saat itu, Lasogani sedang
beradu kekuatan tenaga dalam dengan Ki Lumaksono. Ketika kedua telapak tangan
Lasogani menghantam tubuh Ki Lumaksono, tongkat tokoh tua berjubah abu-abu itu
menyilang di dada. Akibatnya telapak tangan itu terhalang tongkat Ki Lumaksono
memegangi bagian tengah tongkat sedangkan tangan Lasogani ada di kanan- kiri
tongkat. Mereka saling dorong dan saling adu kekuatan.
Tongkat itu pun mengepulkan
asap hitam karena remasan tangan Lasogani membakar kayu coklat tersebut Ki
Lumaksono salurkan tenaga dalamnya lebih tinggi lagi ke tongkat itu. Sebab jika
tongkat patah, maka tangan lawan akan menyentuh dadanya, dan pasti tubuh Ki
Lumaksono akan bolong terbakar tangan membara tersebut.
Wuuut...! Buuhg...! Tongkat Ki
Parandito tiba-tiba berkelebat menghantam pinggang belakang Lasogani. Akibatnya
Lasogani mendelik dan tak bisa terpekik karena rasa sakit yang luar biasa
bagaikan mematahkan tulang belakangnya. Pada saat ia mendelik dan kekuatannya
berkurang, Ki Lumaksono menendang lurus ke ulu hatinya. Tak sampai menyentuh,
namun tenaga dalam yang keluar dari ujung kaki sama besar dengan yang
dilepaskan untuk Tamboi tadi. Buuhg...!
"Uuhg...!" Lasogani
terlempar mundur dan jatuh terguling-guling, ia memuntahkan darah dari
mulutnya, tapi hanya sedikit. Ia masih sanggup berdiri dengan satu lutut. Itu
menandakan ilmunya lebih tinggi dari Tamboi tadi. Jika tidak, maka nasibnya
akan semalang Tamboi. Nyatanya Lasogani masih bisa angkat wajah dan menggeram
penuh dendam.
"Kuat juga dia?!"
gumam Ki Lumaksono. "Biar kuhabiskan kalau dia tak mau lepaskan Gendeng
Sekarat!" kata Ki Parandito sambil melangkah maju sampai berjarak empat
tindak dari depan Lasogani. Ia berkata dengan tenang tanpa engahan napas.
"Bebaskan Gendeng Sekarat
dari pengaruh rantai pusakamu itu! Atau kau akan menemui nasib seperti ketiga
temanmu itu?'
"Kau yang akan menyusul
mereka ke alam baka! Hiaaat...!" Lasogani sentakkan tangannya dalam
keadaan masih berdiri satu lutut. Cahaya kuning melesat menghantam Ki
Parandito. Tapi tangan Ki Parandito pun melepaskan pukulan maut bersinar merah.
Pukulan sinar itu saling membentur. Blaar...! Lasogani terpelanting jatuh ke
belakang. Wajahnya merah matang.
Ki Parandito ingin menghabisi
lawannya agar tak terlalu membuang waktu banyak. Tetapi ketika ia melompat
dengan tongkat siap dihunjamkan, tiba-tiba sekelebat bayangan melintas dan
menerjangnya dari samping.
Wuuut...! Bruuus...!
Ki Parandito terpental jatuh
enam langkah jauhnya. Tubuh yang menerjangnya berdiri dengan sigap dan kekar.
Ki Parandito terkejut, demikian pula Ki Lumaksono yang mendelik melihat siapa
tokoh yang datang bermaksud menyelamatkan Lasogani dan Balung Kere itu.
"Guru ....... !" Ki
Lumaksono tersentak dengan suara berat.
Orang yang baru datang itu
berambut panjang sampai sebatang pinggang, warnanya putih rata. Berpakaian
jubah putih kusam hingga menyerupai warna coklat. Tubuhnya kurus, matanya
dingin. Kukunya panjang dan runcing. Kemunculannya membuat Ki Parandito mundur
hingga berjajar dengan Ki Lumaksono.
"Apakah dia benar-benar
guru kita: Eyang Sokobumi?!"
"Tak salah lagi,
Parandito!" jawab Ki Lumaksono dengan gemetar.
"Tapi... bukankah beliau
telah wafat sepuluh tahun lamanya?"
"Ya. Tapi Ratu Tanpa
Tapak telah mencuri mayatnya dan kini membangkitkan beliau untuk menjadi
pihaknya."
"Celaka! Kita tak mungkin
bisa mengalahkan beliau!" gumam Ki Parandito dengan suara gemetar pula.
Pendapat Ki Lumaksono itu
benar, sama dengan pendapat Raja Maut. Setelah Raja Maut ditemukan Suto Sinting
pada malam itu juga, ia berhasil ditolong dengan bantuan tuaknya. Hanya Suto
Sinting yang ada di situ bersama Angon Luwak. Pelangi Sutera ditinggalkan di
gua tepi pantai bersama si anak jin; Logo itu. Kedatangan Suto Sinting hampir
saja terlambat.
Luka dalam Raja Maut lebih
parah dibanding luka yang diterima dari Nyai Demang Ronggeng. Tapi luka separah
apa pun, jika sudah terkena tuaknya Suto dari bumbung sakti itu, maka
kesembuhan pun akan cepat datang dan jiwa sang luka pun tertolong.
Di ujung pagi, Raja Maut sudah
bisa diajak bicara dan badannya merasa segar. Mereka membicarakan penangkapan
atas diri Ki Gendeng Sekarat. Raja Maut tampak sedih dan kecewa karena ia gagal
menyelamatkan sahabatnya itu.
"Aku yakin, Gendeng
Sekarat dalam bahaya besar jika jatuh di tangan Nila Cendani! Perempuan itu
berilmu tinggi, demikian pula para bawahannya."
"Apakah termasuk Ki
Parandito dan Ki Lumaksono?'
Raja Maut cepat pandangi Suto
dengan rasa kaget dan heran. "Mengapa kau menyangka Parandito dan
Lumaksono adalah orangnya Nila Cendani?!"
Suto sedikit kesulitan
menjelaskannya, karena sebenarnya ia sudah tahu bahwa keterangan dari Pelangi
Sutera saat bertemu di pantai dulu adalah keterangan palsu. Tapi Suto punya
cara lain memperkuat dugaannya.
"Ki Parandito dan Ki
Lumaksono pernah temui saya dan meminta bantuan saya untuk merebut mayat
gurunya."
"Maksudmu jenazah si
Sokobumi?"
"Betul. Menurut mereka,
jenazah Eyang Sokobumi dicuri oleh Nila Cendani!"
"Celaka!" gumam Raja
Maut dengan menerawang tegang. "Berarti dia akan menggunakan kekuatan
Sokobumi untuk maksud-maksud tertentu."
"Tapi Eyang Sokobumi
sudah tak bernyawa lagi, bukan?'
"Nila Cendani bisa
membangkitkannya dan membuatnya bernyawa dengan memindahkan kekuatan hidup
milik seseorang. Kekuatan hidup itu hanya menggerakkan tubuh yang mati, tapi
naluri dan tenaga intinya masih menggunakan tenaga inti yang dimiliki si mayat
semasa hidupnya. Jadi jika Nila Cendani berhasil menghidupkan Sokobumi, maka
kekuatan inti yang ada ialah kekuatan inti Sokobumi semasa hidupnya. Padahal
semasa hidupnya Sokobumi adalah orang sakti yang ketinggian ilmunya hampir
sejajar dengan gurumu; si Gila Tuak!"
"Bahaya juga kalau
begitu," gumam Pendekar Mabuk.
"Jika kita harus
menyelamatkan Gendeng Sekarat, besar kemungkinan kita akan berhadapan dengan
Sokobumi, itu kalau Nila Cendani sudah membangkitkan jenazah Sokobumi!"
"Kalau begitu aku harus
segera bertindak sebelum Nila Cendani membangkitkan jenazah Eyang
Sokobumi!"
"Firasatku mengatakan,
kau terlambat! Getaran naluriku mengatakan, Sokobumi telah dibangkitkan. Tapi
entah di mana ia sekarang. Satu-satunya jalan kau harus minta bantuan gurumu;
si Gila Tuak. Sebab aku tak yakin kalau kau mampu kalahkan Sokobumi!"
* * *
6
JIKA Pendekar Mabuk
menghubungi gurunya, akan membutuhkan waktu lama. Perjalanan ke persinggahan
gurunya tidak cukup ditempuh waktu satu malam saja. Dan itu berarti
keterlambatan yang berbahaya bagi nasib Ki Gendeng Sekarat. Karenanya, Suto
Sinting akhirnya sepakati usul Raja Maut. Suto Sinting mengejar orang - orang
Gunung Sesat sementara Raja Maut pergi temui si Gila Tuak.
Angon Luwak bersikeras mau
ikut Suto Sinting, tapi berulang kali Suto melarangnya. Suto tak ingin bocah
tanpa dosa itu ikut menjadi korban keganasan Nila Cendani bersama
orang-orangnya.
Sebab itu Suto sarankan Angon
Luwak untuk pulang ke desanya atau ikut Raja Maut. Angon Luwak sedih, ia
akhirnya memutuskan untuk pulang ke desanya. Tapi benarkah ia rela pulang
begitu saja, sedangkan hatinya sudah telanjur menaruh kekaguman kepada Suto dan
Ki Gendeng Sekarat?
Tidak. Angon Luwak bocah
bandel, ia hanya pura- pura pulang ke desanya. Tapi diam-diam ia mengikuti ke
mana perginya Pendekar Mabuk. Hatinya punya niat keras untuk ikut membebaskan
Ki Gendeng Sekarat yang dianggap sebagai gurunya, ia pun tak rela kalau Ki
Gendeng Sekarat dijatuhi hukuman mati oleh orang - orang sesat. Hasrat membela
guru sangat besar di hati bocah itu.
Suto Sinting tidak menyangka,
sebab perhatiannya tercurah kepada cara menyelamatkan Ki Gendeng Sekarat
sebelum tukang tidur itu diadili oleh Ratu Tanpa Tapak. Ia harus bisa mencegat
perjalanan para utusan itu. Sebab diam-diam Suto punya kecemasan juga jika
terus berhadapan dengan Ratu Tanpa Tapak. Kecemasan itu adalah rasa takut
terpikat dan dipikat, seperti yang dikhawatirkan oleh Pelangi Sutera.
Perjalanan Pendekar Mabuk
mengejar rombongan pembawa Ki Gendeng Sekarat akhirnya menemui sedikit
hambatan. Hambatan itu datang dari Ki Lumaksono dan Ki Parandito. Mereka
terkulai di rerumputan ketika Suto melintasi daerah itu. Wajah mereka memar
membiru, jubah mereka robek-robek, bahkan mata kiri Ki Lumaksono menjadi lebam.
Darah mengering di lubang hidung, mulut, dan telinga mereka. Luka dalam
diderita berat oleh kedua tokoh tua yang menurut Ki Gendeng Sekarat punya ilmu
tinggi.
Suto Sinting menjadi heran
menemui kedua tokoh tua itu dalam keadaan luka parah begitu, ia segera menolong
mereka, meminumkan sedikit tuak kepada mereka, setelah itu baru ajukan tanya
secara sopan.
"Siapa yang lakukan semua
ini, Ki?"
Ki Lumaksono berkata,
"Guru kami. Beliau menghajar habis diri kami."
Dahi pendekar tampan itu
berkerut tajam. "Maksudnya... Eyang Sokobumi?'
Ki Parandita menjawab,
"Benar. Ratu Tanpa Tapak berhasil menghidupkan guru kami. Sekarang guru
kami ada di pihaknya. Usaha kami merebut Ki Gendeng Sekarat dari tangan para
utusan gagal karena kemunculan Eyang Sokobumi."
"Celaka!" gumam Suto
dalam kecemasan yang bernada geram. "Sudah lamakah mereka pergi dari
sini?"
"Mungkin sudah sampai di
Gunung Sesat," jawab Ki Lumaksono.
"Aku harus segera ke
sana!"
"Tunggu!" tangan Ki
Parandito menahan lengan Suto Sinting. Sikap itu membuat Suto heran dan menatap
dengan dahi berkerut.
"Kau tak boleh melawan
guruku!" kata Ki Parandito lagi.
"Kenapa tak boleh?"
"Apa pun yang terjadi,
kami ada di pihak Guru. Jika kau melawan guru kami, berarti kau melawan kami,
Suto Sinting!"
Napas panjang dihempaskan dari
hidung Suto Sinting. Kejengkelan terpendam kuat-kuat. Ia mencoba untuk tidak marah
namun bersikap sabar terhadap kedua tokoh tua itu.
"Apakah kita harus
biarkan seseorang berada di jalan yang sesat, Ki? Apakah kita harus hormati
orang yang sudah bukan lagi berkehendak atas dirinya sendiri? Kurasa itu tidak
benar, Ki. Kita harus melawan tindakan siapa pun yang berjalan di jalur yang
salah. Kurasa pendapat ini sama dengan pendapat Ki Parandito dan Ki Lumaksono,
karena guruku pun berpendapat begitu. Jadi bukan pribadi Eyang Sokobumi yang
kulawan, melainkan kekuatan iblis yang disalurkan lewat dirinya oleh Ratu Tanpa
Tapak itu."
"Kami masih menghormati
Eyang Guru!" kata KI Lumaksono.
"Dan ikut memihak Ratu
Tanpa Tapak?" tanya Suto Sinting.
Pertanyaan itu membuat kedua
tokoh tua itu sama- sama diam. Mereka tak mengerti persis apa yang harus mereka
lakukan. Tapi akhirnya Ki Lumaksono mempunyai pendapat yang menurutnya lebih
bijaksana.
"Begini saja, Suto.
Seranglah Ratu Tanpa Tapak itu, bebaskan sahabatku Gendeng Sekarat. Tapi jangan
lukai jasad guru kami."
"Bagaimana bisa jika
Eyang Sokobumi bertindak sebagai orang andalan Ratu Tanpa Tapak? Aku harus
barhadapan dengan beliau. Dan tak mungkin aku bisa tidak melukainya jika aku
sendiri dilukai."
"Jika kau nekat melukai
beliau, aku akan pertaruhkan nyawa untuk membela!" sahut Ki Parandito
dengan nada mulai meninggi.
"Jika memang terpaksa,
mungkin kita memang harus bertarung, Ki!" kata Suto Sinting dengan tegas
pula.
Sekalipun luka itu masih ada
walau tak seberapa parah, Ki Parandito segera berdiri dan ambil sikap
perlawanan. Melihat saudara seperguruannya ambil sikap perlawanan, Ki Lumaksono
pun bangkit juga bersikap serupa.
Suto Sinting sedikit bingung.
Melawan mereka bukan hal yang ditakuti. Tapi menghindari pertarungan yang tidak
semestinya terjadi adalah sesuatu yang sulit dicari jalan keluarnya. Karena
kedua tokoh tua itu sama-sama bersikeras membela gurunya, walaupun mereka tahu
yang bertindak itu adalah bukan gurunya melainkan kekuatan jahat Ratu Tanpa
Tapak. Suto Sinting masih diam, tak mau bertindak gegabah. Matanya memandangi mereka
secara bergantian. Tegang juga suasana di antara mereka bertiga.
Ki Parandito menarik napas,
lalu menahannya di dada dengan satu hentakan tangan menggenggam di dada.
Seet...! Suto Sinting merasakan ada tenaga yang menahan lehernya kuat-kuat. Ia
tercekik tiba-tiba. Tapi secepatnya ia hembuskan napas dari hidung tanpa dendam
dan kemarahan.
Fuuih...!
Napas yang melesat dari lubang
hidung itu menuju ke bawah, seakan menghantam tangan yang mencekik lehernya.
Seketika itu pula leher Pendekar Mabuk merasakan terbebas dari himpitan kuat.
Tapi di seberang sana tubuh Ki Parandito terpelanting ke kiri bagaikan ada yang
menendangnya dari kanan.
Wuuut...! Bruuhg...!
Ki Parandito jatuh, namun tak
sampai parah, ia masih bisa berlutut dengan berpegangan pada tongkatnya.
Napasnya terengah-engah dengan wajah menahan rasa sakit, ia bahkan sempat
terbatuk-batuk beberapa kali.
Pawang Gempa memandangi
rekannya dengan menyimpan rasa kagum kepada Suto.
"Gila anak muda itu!
Dengan kekuatan napas inti ia mampu membuat Parandito terpelanting begitu.
Agaknya harus kucoba dengan jurus 'Lindu Jantan'. Apakah ia bisa mengatasi
jurusku itu?"
Pawang Gempa segera
menggenggam kuat tongkatnya. Tiba-tiba ia bergerak memutar di luar dugaan Suto.
Satu putaran langsung menyodokkan kepala tongkat ke tanah tempat Suto berdiri.
Wuuuk...! Suuut... !
Kraaak... !
Tanah itu retak dalam satu
sentakan. Dari dalam keretakan keluar nyala bara merah berasap. Kaki Suto
Sinting menjadi merenggang ke kiri dan kanan. Karena keretakan itu cukup lebar,
maka kaki Suto Sinting pun memanjang ke samping hingga nyaris sejajar dengan
permukaan tanah. Kedua kaki Suto masih berpijak pada tanah sehingga ia tidak
jatuh terperosok dalam keretakan itu.
Dalam keadaan kaki merentang
sejajar, Pendekar Mabuk segera hentakkan kedua pundaknya ke bawah. Wuuut... !
Tubuhnya pun melesat ke atas dan bersalto di tempat yang aman. Jleeg...! Ia
berdiri dengan tegap. Kaki kanannya segera menghentak ke tanah. Duug...!
Dan tubuh Ki Lumaksono
tiba-tiba amblas ke tanah sedalam satu lutut. Bluuus...!
"Hahh...?!"
Ki Lumaksono kaget sekali
tubuhnya bisa terpendam satu lutut, seperti ada kekuatan yang menyedot dari
dalam bumi. Tongkatnya pun ikut terbenam ke dalam tanah dengan batas yang sama.
Ki Parandito terkejut, melongo
sebentar, lalu berkata, "Dia menguasai ilmu 'Telan Bumi'. Hati-hati,
Lumaksono!"
Repotnya lagi, tubuh Ki
Lumaksono bagaikan dijepit oleh tanah yang menelannya, sehingga tak bisa
bergerak dan berusaha keluar dari sana. Ia sempat tegang sesaat. Tapi Suto Sinting
segera menghentakkan tumit kakinya ke tanah dengan pelan.
Duug...!
Bruuus... !
Tubuh Ki Lumaksono terbang ke
atas bagaikan ada yang mencabut atau mendorongnya dari dalam tanah. Tubuh yang
melayang itu segera bersalto satu kali dan mendarat dengan sigap. Matanya
beradu pandang dengan mata Suto Sinting.
"Ilmumu sungguh
mengagumkan, Nak," kata Ki Lumaksono.
"Terpaksa kulakukan
karena kau menyerangku, Ki."
"Heaaat...!"
"Tahan!" sentak Ki
Lumaksono kepada Juru Bungkam itu. Ki Parandito hanya membuka kuda-kuda, lalu
berhenti tak lanjutkan gerak. Matanya melirik Ki Lumaksono yang segera
mendekatinya dari belakang ke samping kanan.
Dengan tetap memandang Suto
yang berdiri tenang, Ki Lumaksono berkata kepada Ki Parandito,
"Agaknya jalan pikirannya
cukup baik. Kita yang keliru."
Ki Parandito menarik napas,
mengendurkan ketegangan uratnya.
"Apakah kau akan biarkan
guru kita dihajar oleh anak semuda dia?"
"Kalau beliau masih guru
kita, beliau tidak akan menghajar kita," jawab Ki Lumaksono pelan, lebih
berkesan sedih. Ki Parandito segera hembuskan napas pelan juga. Ia termenung
beberapa saat memandangi saudara seperguruannya.
Suto Sinting perdengarkan
suaranya dengan lebih tenang lagi, tak ada kesan bermusuhan.
"Aku hanya ingin memukul
kekuatan jahat yang bersarang di dalam raga Eyang Sokobumi. Kasihan sekali
beliau, sudah tiada tapi raganya masih dipermainkan oleh kekuatan jahat dari
Ratu Tanpa Tapak. Kumohon langkahku ini bisa dimengerti, Ki."
Ki Lumaksono pun berkata,
"Baiklah. Kudampingi kepergianmu ke Gunung Sesat, Suto Sinting. Kami akan
ada di belakangmu, siap membantumu sewaktu-waktu."
"Terima kasih,"
jawab Suto dengan senyum lega.
"Aku mohon seteguk
tuakmu. Luka dalamku agak parah lagi karena seranganmu tadi, Suto."
Senyum Pendekar Mabuk kian melebar.
"Ambillah, Ki. Maafkan kelancanganku tadi. Aku sangat terpaksa."
Ki Parandito meneguk tuak
Suto. Ki Lumaksono juga ikut-ikutan minta seteguk. Kemudian keduanya bergegas
berangkat ke Gunung Sesat. Tapi sepuluh langkah kemudian, ketiga orang itu terpaksa
harus berhenti karena dari atas pohon turun sesosok tubuh hitam berukuran
tinggi dan besar. Orang berkulit hitam itu mengenakan cawat dan kepalanya
gundul berkuncir tengah. Kuncirnya melengkung ke belakang sedikit kaku.
"Logo...?!" sapa
Suto Sinting dengan heran. Anak jin itu maju satu tindak. Hembusan napasnya
membuat rambut Suto meriap ke samping.
"Ibu tidak izinkan kau
temui Nila Cendani, Suto," kata Logo dengan suara besarnya.
"Tak ada alasan
melarangku ke sana. Ibumu tak punya hak apa-apa terhadap diriku, Logo!"
"Aku ditugaskan
menghambatmu, Suto Sinting." Napas Suto ditarik dalam-dalam, memendam
kejengkelan yang tak ingin dilampiaskan kepada Logo. Sebab ia tahu Logo hanya
anak jin yang lugu dan polos, segala tindakannya hanya semata-mata mengikuti
perintah orang yang dihormati.
Pandangan mata Suto tertuju
pada kedua tokoh tua tersebut. Ternyata mereka tampak cemas melihat kemunculan
Logo. Mereka sembunyikan gelisah dengan memandang arah lain. Suto Sinting
menegur dengan suara pelan.
"Haruskah kusingkirkan
dengan kekerasan, Ki?"
"Jangan! Jangan
begitu!" KI Lumaksono semakin jelas kecemasannya. Bahkan saat berkata
begitu ia merasa takut dan sedikit menggeragap.
"Anak jin itu mempunyai
seorang ibu yang berilmu tinggi. Sebenarnya kalau kau mau tahu, gadis yang
bernama Pelangi Sutera itu sebenarnya...."
"Sumbaruni, ibu dari anak
jin itu!" sahut Suto Sinting membuat kedua tokoh tua itu terperangah
heran.
"Kau sudah
mengenalnya?"
"Ya. Tapi dia tak punya
hak untuk melarangku bertemu dengan Ratu Tanpa Tanpa Tapak. Dia bukan
apa-apaku, bukan pula pihak sang Ratu."
"Tapi...," Ki
Parandito agak ragu, "Kalau bisa... hmmm... terserah kau sajalah!"
akhirnya ia pasrah, tak bisa memberi pendapat apa-apa.
Murid sinting si Gila Tuak
segera berkata kepada Logo, "Jangan halangi aku, nanti aku bisa
menyerangmu dan kau akan sakit, Logo!"
"Harus! Karena Ibu
perintahkan begitu padaku."
"Kalau begitu jangan
salahkan aku jika kau menerima sikap kasarku."
"Tidak," jawab Logo
sambil menggelengkan kepala.
Ki Parandito dan Ki Lumaksono
mundur, seakan tidak mau ikut campur dalam perkara itu. Tetapi Suto Sinting
masih berdiri dengan tenang. Logo juga masih memandang penuh siaga. Suto segera
gunakan jurus 'Jari Guntur' dari jarak lima langkah di depan Logo. Ia menyentilkan
jarinya dua kali.
Tas, tas...!
"Uuhg...!" Logo
terkejut dan menggeram, berdirinya langsung lemah, ia memegangi kedua lututnya
yang terasa bagaikan dihantam palu godam. Bahkan kini ia jatuh terduduk karena
lututnya tak kuat menyangga beban berat tubuhnya yang besar itu.
Dengan cepat Suto Sinting
sentakkan kaki dan tubuhnya melayang di udara. Melesat melewati kepala Logo
yang juga dipakai pijakan kaki kirinya. Dari kepala Logo, Suto menyentakkan
kaki kirinya dan melesat lagi lebih jauh.
"Jangan nekat,
Sutooo...!" teriak Logo dengan panik, ia berusaha mengejar Suto Sinting,
tapi tubuhnya jatuh lagi karena lututnya belum kuat menyangga beban berat
tubuh.
"Kita lari lewat
sana!" bisik Ki Parandito kepada Ki Lumaksono. Keduanya segera lari
menyusul dengan kecepatan bagaikan angin berhembus tapi melalui arah sisi lain.
"Ibuuu...! Suto pergiii..
! Suto pergi, Ibuuu...!" teriak Logo menggetarkan semua pohon yang ada di
sekelilingnya, merontokkan dedaunan yang ada.
***7
ANGON Luwak kehilangan jejak.
Tentu saja, sebab Suto menggunakan jurus peringan tubuh dalam larinya.
Kecepatannya tidak ada sekuku hitam dengan kecepatan lari bocah berusia sepuluh
tahun itu. Tak heran jika Angon Luwak tertinggal sangat jauh.
Tetapi Angon Luwak tidak mau
menyerah, ia menggunakan ilmu kira-kira. Dari tempatnya berhenti ia memandang
sekeliling. Tak ada tanda-tanda yang bisa digunakan untuk menjadi penunjuk
jalan. Bocah itu segera memanjat pohon kelapa untuk memetik buah kelapa dan
mengambil airnya, ia haus sekali. Dan pada saat ia sampai di atas pohon kelapa,
ia melihat sebuah gunung menjulang tak seberapa tinggi. Arahnya ada di sebelah
utaranya.
"Pasti itulah yang
bernama Gunung Sesat! Berarti aku harus melangkah ke arah sana. Pasti lama-lama
akan sampai juga."
Pikiran Angon Luwak sangat
sederhana. Maka selesai bersusah payah membolongi kelapa untuk diminum airnya,
Angon Luwak pun segera menuju ke arah utara. Bocah itu bukan hanya pantang
menyerah, namun juga tak mudah lelah. Larinya tidak cepat, tapi yakin dan pasti
arah yang dituju adalah benar.
"Kalau aku bisa ikut
membebaskan Guru, pasti aku akan dikasih ilmu lagi. Kalau aku tidak bisa ikut
membebaskan Guru, ilmuku hanya sekecil ini. Jadi, aku harus bisa ikut serta
dalam membebaskan Guru. Kang Suto memang tak mengizinkan, tapi Guru pasti
senang jika melihat aku ikut membebaskan beliau," pikir Angon Luwak secara
sederhana sekali. "Kalau aku mati, Guru akan semakin bangga punya murid
berani mati."
Tentunya memang begitu.
Seorang guru akan merasa bangga punya murid berani mati. Tapi bukan berarti
mati konyol pun harus berani. Kalau saja Ki Gendeng Sekarat tahu bahwa Angon
Luwak nekat menyusul ke Gunung Sesat, tentu saja Ki Gendeng Sekarat tidak akan
setuju, sebab bagi Angon Luwak itu namanya mati konyol. Sayangnya Ki Gendeng Sekarat
tidak tahu kehadiran Angon Luwak di tanah wilayah Gunung Sesat. Ki Gendeng
Sekarat sedang sibuk menghadapi penguasa lalim daerah itu.
Sebuah istana kecil dipagar
benteng tinggi dari batuan hitam yang kokoh. Di dalam benteng yang ada di kaki
gunung itu tidak hanya terdapat bangunan istana saja, tapi juga ada bangunan
kuil pemujaan, ruang pertarungan, ruang sidang, barak punggawa tempat untuk
tidur para anak buah Ratu Tanpa Tapak, dan beberapa bangunan lainnya.
Ki Gendeng Sekarat tiba di
tempat itu masih dalam keadaan tidur, ia diseret memasuki gerbang benteng oleh
Sokobumi. Rantai Neraka masih melilit di tubuh Ki Gendeng Sekarat. Rantai itu
makin kuat menjerat tubuh karena di perjalanan tadi Ki Gendeng Sekarat sempat
berusaha meronta lepas dari rantai itu. Tapi usahanya gagal karena rantai makin
kuat menjerat dengan sendirinya.
Bruuk...!
Sokobumi mendorong Ki Gendeng
Sekarat dengan kasar. Orang itu jatuh, kepalanya membentur lantai marmer
istana. Barulah ia sadar dan terbangun dari tidurnya, ia memandang dengan mata
mengerjap- ngerjap. Ternyata ia sudah berhadapan dengan seorang wanita cantik
dan tampak masih muda seperti berusia dua puluh delapan tahun.
Hidungnya mancung, kulitnya
putih, bibirnya menggemaskan dan tampak selalu basah. Matanya bening indah tapi
berkesan jalang. Perempuan cantik itu kenakan jubah hijau dengan dalaman kuning
beludru yang ketat tubuh, dadanya kelihatan membusung montok menggemaskan tiap
lelaki. Rambutnya disanggul bagian tengah, sisanya meriap ke bawah.
Perhiasannya lengkap dari kalung, cincin, sampai gelang kaki.
"Nila Cendani,"
gumam Ki Gendeng Sekarat begitu mengenali perempuan yang duduk di singgasana
berukir emas itu.
"Syukurlah kalau kau
masih ingat aku!" kata Ratu Tanpa Tapak alias Nila Cendani. Ia kelihatan
angkuh dan berwibawa. Tapi buat Ki Gendeng Sekarat keangkuhan dan kewibawaan
itu tidak ada apa-apanya.
"Kelancanganmu tidak bisa
dimaafkan lagi, Gendeng Sekarat! Gara-gara ulahmu aku gagal mendapatkan pusaka
Keris Setan Kobra. Padahal yang kukirim adalah utusanku yang terpilih. Aku
kecewa padamu, Gendeng Sekarat."
"Aku tidak," kata Ki
Gendeng Sekarat seenaknya sambil matanya memandangi isi istana yang berpliar
beton dilapisi lempengan logam putih mengkilap.
Ratu Tanpa Tapak memandang
dengan mata menyipit sedikit, pertanda ia sedang menahan kebencian. Ki Gendeng
Sekarat sama sekali tak punya rasa takut atau gugup. Walaupun ia tahu saat itu
dikelilingi orang-orang pilihan Nila Cendani, termasuk Sokobumi, tapi ia
bagaikan tidak menghiraukan mereka sedikit pun. Ia berdiri seenaknya di depan
seorang ratu yang dihormati mereka.
"Gendeng Sekarat!"
sentak Ratu Tanpa Tapak. "Kau kujatuhi hukuman mati karena
kesalahanmu!"
"Kesalahan yang
mana?"
"Membunuh utusanku pada
saat mereka hampir mendapatkan keris pusaka!"
"Itu bukan kesalahanku,
itu kesalahanmu. Mengapa kau kirimkan utusanmu untuk merebut keris pusaka milik
Empuk Sakya. Bukankah keris itu bukan milikmu dan kau tak punya hak apa-apa?
Kau yang salah, Nila Cendani!"
"Setan! Aku tidak pernah
salah. Aku berhak punya keinginan apa saja. Siapa pun yang menentangku layak
dihukum mati!"
"Dunia ini bukan milikmu
sendiri, Nila Cendani! Dunia ini milik orang banyak. Mereka bukan sekadar
numpang di dunia ini, tapi punya hak memiliki dan merawat kelestariannya.
Mengapa kau merasa berhak berkeinginan apa saja? Kau pikir para anak buahmu itu
tidak punya keinginan apa-apa? Kurasa mereka juga punya keinginan dalam
hidupnya. Tapi mereka tidak semata-mata bertindak jahat demi keinginannya
tercapai?! Betul begitu, Saudara-saudara?!"
"Betuulll...!" jawab
mereka serempak tanpa sadar.
"Diam semua!" bentak
sang Ratu, membuat mereka jadi takut dan sadar bahwa jawaban serempak mereka
itu tidak benar. Seharusnya mereka tidak menjawab begitu. Ratu bisa marah dan
menyangka mereka mendukung Ki Gendeng Sekarat.
Setelah hening tercipta
beberapa saat dan wajah ratu cemberut kusam, terdengarlah suara sang Ratu
berkata dengan tegas.
"Kau layak mendapat
hukuman pancungl"
"Aku tidak mau,"
jawab Ki Gendeng Sekarat seenaknya. "Kau pikir dipancung itu enak? Tidak!
Tidak enak. Aku tidak mau kehilangan kepala."
"Kau tak bisa menolak
keputusanku! Akulah yang berkuasa di sini!" suara Nila Cendani semakin
kuat dan keras. Tapi Ki Gendeng Sekarat hanya tersenyum kalem tanpa gentar
sedikit pun.
"Aku tidak bersalah di
mata dunia. Aku tidak mau dipancung."
"Bersalah atau tidak,
keputusannya ada di pengadilanku. Dan kau kunyatakan bersalah karena membunuh
Gaok Lodra dan Nenggolo, serta membuntungi tangan Sabit Guntur. Maka kau
kujatuhi hukuman mati dengan dipancung! Sebelum hukuman itu kau jalankan,
kebijaksanaanku mengatakan bahwa kau boleh mengajukan satu permintaan yang akan
kupenuhi sebagai permintaan akhir hidupmu. Sebutkan permintaanmu, Gendeng
Sekarat."
"Aku minta
dibebaskan."
"Bukan itu
maksudku!" sentak Ratu Tanpa Tapak. "Permintaan yang lain!"
"Baik. Aku minta kau
bunuh diri di depanku."
"Kurang ajar!" geram
Ratu Tanpa Tapak. Matanya mendelik sangar.
"Kau menyuruhku
mengajukan permintaan terakhir, giliran kuajukan permintaan kau selalu marah.
Kau ini ratu apa kusir delman?"
Nila Cendani tarik napas
kuat-kuat, menggeram gemas menahan murka.
"Kebijaksaanku kucabut
kembali. Kau tidak kuizinkan mengajukan permintaan apa-apa!" katanya, dan
membuat Ki Gendeng Sekarat terkekeh-kekeh. Seorang pengawal mendekat dan
memukul wajah Ki Gendeng Sekarat dengan hantaman tangan kanan.
Tetapi Ki Gendeng Sekarat
tahu-tahu sudah berpindah tempat, sehingga orang itu bagaikan memukul tempat
kosong, ia bahkan kebingungan mencari di mana sasarannya berada. Ketika ia berpaling
ke belakang, ploook...! Kaki Ki Gendeng Sekarat menendang pipinya.
Bruuuk...!
Orang itu jatuh tanpa
sungkan-sungkan lagi. Mulutnya menyemburkan darah, ia terkapar di lantai.
Kejang-kejang sesaat, lalu diam tak bergerak. Setelah diperiksa, ternyata mati
tanpa sungkan-sungkan pula.
"Tendangannya punya jalur
tenaga ke arah jantung," pikir Nila Cendani. "Pasti ia gunakan ilmu
'Kendali Indera'. Ada baiknya kalau kupakai sebagai tontonan rakyatku, biar
mereka terhibur. Dia akan kuadu dengan Sokobumi."
Lalu, Ratu Tanpa Tapak segera
berseru, "Gendeng Sekarat, aku punya gagasan baru. Kau akan kubebaskan
jika memenangkan pertarungan sebanyak lima kali dengan orang-orang pilihanku.
Kau bebas jika bisa membunuh mereka di arena!"
"Aku bukan kuda lumping
yang enak dijadikan tontonan."
"Kalau kau tak mau,
sekarang juga akan kulaksanakan hukumanmu itu!"
KI Gendeng Sekarat diam
beberapa saat. Caranya berpikir sambil memandang ke sana-sini, seenaknya saja
dalam bersikap. Hal itu membuat geram dan kebencian bagi beberapa pengawal
pilihan Niia Cendani. Salah seorang pengawal pilihan yang bernama Jagalopa
segera berkata setelah memberi hormat kepada Ratu Tanpa Tapak lebih dulu.
"Gusti Ratu, izinkan saya
menjadi orang pertama yang diadu dengan orang itu! Saya sanggup membuatnya mati
dalam dua jurus saja!"
Nila Cendani sunggingkan
senyum, sebuah seringai kebanggaan seorang ratu yang mendengar keberanian
pengawalnya.
"Baik. Gendeng Sekarat,
pertama-tama kau akan kuadu dengan Jagalopa. Apakah kau mampu mengalahkan pengawal
pilihanku itu?"
Ki Gendeng Sekarat memandang
orang bertubuh tinggi, tegap, berkumis, dan berambut panjang, usianya sekitar
tiga puluh dua tahun. Badan kekarnya mempunyai otot yang bertonjolan. Ki
Gendeng Sekarat hanya tersenyum.
"Ini kesempatan meruntuhkan
Nila Cendani dari dalam. Kalau tantangan ini kutolak, maka aku akan kehilangan
kesempatan menghancurkan kekuasaannya," pikir Ki Gendeng Sekarat. Maka ia
pun segera menyanggupi tantangan itu.
"Siapkan arena!"
seru Nila Cendani kepada anak buahnya.
Arena yang digunakan adalah
tempat berlatih para anak buah Nila Cendani. Tempat itu berbentuk tapal kuda
mempunyai barisan tangga-tangga sebagai tempat duduk penonton. Orang-orang
pengikut Ratu Tanpa Tapak berkumpul mengelilingi arena.
Sedangkan di bagian lain,
terdapat panggung kehormatan yang dipakai duduk sang Ratu bersama beberapa
pengawalnya.
Sebelum maju ke arena, Ratu
Tanpa Tapak turun dari takhtanya untuk mendekati Ki Gendeng Sekarat. Langkahnya
tegap, tapi bekas langkahnya tidak meninggalkan bayangan telapak kaki.
Bahkan suara langkahnya tak
terdengar sama sekali. Rupanya perempuan cantik itu berjalan tidak menyentuh
tanah karena ketinggian ilmu peringan tubuhnya. Karena telapak kakinya jarang
menyentuh tanah, maka permukaan telapak kaki itu selalu tampak bersih dan
sering dirawat seperti merawat wajahnya. Bersih, putih, dan halus lembut.
Itulah sebabnya ia berani bergelar Ratu Tanpa Tapak. Seandainya ia berjalan di
tempat yang kotor, maka kakinya tidak akan kotor dan tempat itu tidak akan membekas
telapak kakinya.
"Ingat, lima kali
pertarungan kau menang, kau bebas dari hukuman!"
"Seratus kali pertarungan
pun kusanggupi," kata Ki Gendeng Sekarat. Karena menurutnya, semakin
banyak orang yang diadu dengannya semakin banyak kesempatan melumpuhkan
kekuatan orang-orang Gunung Sesat.
Nila Cendani hanya tersenyum
sinis, lalu kembali ke tempat duduknya sambil berseru kepada seorang pengawal,
"Lepaskan rantainya, tapi
biarkan kedua tangannya terbelenggu ke depan!"
"Curang!" sahut Ki
Gendeng Sekarat.
Ratu Tanpa Tapak berpaling,
"Itulah syarat untuk bebas dari hukuman!"
Lasogani yang masih menderita
luka dalam terpaksa melepaskan rantai yang melilit di tubuh Ki Gendeng Sekarat.
Rantai yang membelenggu pergelangan tangannya masih tetap saling terkait kuat.
Tetapi Lasogani mengerahkan
tenaga dalamnya untuk mengendorkan rantai pembelenggu tangan. Dengan keadaan
rantai sedikit kendor, Ki Gendeng Sekarat disuruh memutar tangannya dengan cara
melewati pantat dan kedua kakinya, sehingga tangan menjadi ada di depan.
Secepatnya Lasogani mempererat
kembali rantai belenggu tangan dengan ilmu 'Rantai Neraka'-nya itu. Ki Gendeng
Sekarat geleng-geleng kepala sambil tertawa kecil memperhatikan kedua tangannya
tetap terantai.
"Kalau kusentakkan,
rantai ini tak mungkin lepas tapi justru semakin kuat menjerat. Sebaiknya
kubiarkan saja. Aku harus bisa bertarung dengan kedua tangan terbelenggu ke
depan. Ini masih untung daripada kedua tangan terbelenggu ke belakang,"
pikirnya waktu di tengah arena.
"Bagaimana dengan kipasku
yang ada di balik bajuku ini? Ah, merepotkan kalau harus kuambil. Biar saja.
Tak perlu pakai senjata. Kakiku lebih tajam dari pedang. Kekuatan batinku lebih
runcing dari tombak. Tak ada yang kusangsikan lagi."
Jagalopa melengkapi dirinya
dengan dua pisau di pinggang dan satu tombak bermata kapak dua sisi. Ia juga
mengenakan baju besi untuk penutup dada sampai atas perutnya. Ulu hatinya
terlindung baju besi yang beratnya lebih dari dua puluh lima kilogram itu.
Bagian pergelangan tangannya
memakai gelang besi yang lebarnya setengah jengkal dan dilengkapi dengan duri-
duri besi runcing. Duri-duri besi runcing itu mempunyai racun yang berbahaya
jika mengenai kulit tubuh lawan. Sedangkan dua jari tengah kanan-kiri
mengenakan cincin berduri cula yana konon keganasan racunnya sangat tinggi.
"Pertarungan
dimulai!" seru seorang pengawal setelah diberi isyarat oleh Nila Cendani.
Gong pun segera ditabuh.
Doooeeeng... !
Jagalopa maju ke tengah arena
dalam riuh sorak para penonton yang tak lain adalah kawan-kawannya sendiri. Ki
Gendeng Sekarat memandangi kedatangan Jagalopa dengan tertawa geli.
"Kau mau bertarung atau
mau main wayang?" katanya mengejek, sengaja memancing kemarahan lawan biar
tenaga terkuras oleh kemarahannya sendiri.
"Tutup mulutmu, Bangkai Busuk!"
"He, he, he, he...! Kalau
kau jalan di pasar pakai pakaian itu, tidak membuat orang sepasar bubar, tapi
malah akan diikuti anak-anak kecil disangka orang gila takut masuk angin!"
ledek Ki Gendeng Sekarat membuat darah Jagalopa makin mendidih, napasnya
memburu cepat karena kemarahannya yang meluap.
"Hiaaat...!"
Jagalopa segera menebaskan tombak berujung kapak besar dua sisi itu sambil
melompat ke depan. Wuuuusss...! Tombak kapak itu melesat di atas kepala Ki
Gendeng Sekarat. Kalau tak merundukkan kepala secepatnya, pasti leher akan
terpenggal habis. Jagalopa mengulangi beberapa kali, tapi Ki Gendeng Sekarat
hanya menghindar terus-menerus.
Para penonton geregetan
sendiri, saling berteriak kepada Ki Gendeng Sekarat, "Serang! Ayo,
serang!"
"Balas! Jangan menghindar
saja! Balas...!"
"Lima puluh sikal untuk
kemenangan Jagalopa! Ayo, kau berani berapa sikal? Cepat, mumpung tak ada
penjaga melihat pertaruhan kita!" bisik seseorang.
"Baik. Lima puluh sikal.
Tapi kalau tawanan kita yang menang kau bayar aku dua puluh lima sikal saja tak
apa!" kata temannya. Suasana itu dipergunakan untuk berjudi bagi
sekelompok orang yang memang gemar judi.
Agaknya Ki Gendeng Sekarat
berhasil memancing murka Jagalopa sehingga lelaki bertubuh kekar dan berotot
itu mulai kehabisan tenaga. Gerakannya tidak segesit serangan pertama. Ki
Gendeng Sekarat bersalto mundur untuk melihat seberapa cepat Jagalopa mampu
mengejarnya. Ternyata tak seberapa cepat.
"Tiba saatnya
melumpuhkannya," kata Ki Gendeng Sekarat dalam hati.
Ki Gendeng Sekarat berjalan ke
kiri, Jagalopa berjalan ke kanan. Mereka sama-sama mencari kesempatan untuk
menyerang. Tapi agaknya Jagalopa lebih dulu merasa punya celah untuk serangan
berikutnya. Tombak kapaknya dikibaskan dari bawah samping kiri ke atas samping
kanan. Itu gerak tipuan. Wuuut... !
Ki Gendeng Sekarat melompat
mundur. Pada saat itu Jagalopa maju dua tindak dan membalikkan gerakan kapak
dari atas ke bawah, tepat membelah kepala Ki Gendeng Sekarat. Tapi lawannya itu
justru menyambut gerakan kapak dengan kedua tangannya yang dirantai. Craaak...!
Mata kapak masuk ke
pertengahan jarak pergelangan tangan. Rantai itu terhantam mata kapak yang
dialiri tenaga tinggi. Akibatnya rantai tersebut putus dengan menimbulkan
percikan api dan kepulan asap.
"Edan!" geram
Lasogani melihat rantainya putus. "Jagalopa bodoh sekali! Mengapa ia adu
kekuatannya dengan kekuatan yang kutinggalkan di rantai. Tentu saja aku kalah,
sebab dia memang punya tingkatan lebih tinggi dariku?!"
Ucapan itu terdengar di
telinga Nila Cendani. "Tenanglah. Jagalopa tak akan kalah walau tawanan
kita telah bebas dari belenggu. Dia masih punya banyak kesempatan untuk
menumbangkannya.'
Ki Gendeng Sekarat nyengir
kegirangan. Kini tangannya bebas bergerak walau masih bergelang rantai di
masing-masing lengan. Begitu Jagalopa menyerang lagi dengan tebasan tombak
kapaknya, Ki Gendeng Sekarat menangkis gagang kapak ditepatkan pada sisi
rantai. Traaak...! Tombak terhenti, tangan kiri Ki Gendeng Sekarat segera
mencekal dan meremasnya. Kruuus... !
"Hahh...! Besi gagang
tombak itu remuk diremasnya?!" ujar seorang penonton dengan terbengong
melompong. Tentu saja mata kapak pun terlepas dari gagangnya. Ki Gendeng
Sekarat segera menggunakannya untuk menyerang Jagalopa dengan melemparkan kapak
itu seperti melemparkan sebuah pisang. Ziiing...!
Jagalopa merunduk menghindari
kapak terbangnya. Tetapi tak disangka-sangka kapak itu berbelok arah dalam
putaran cepat. Tahu-tahu datang dari arah kiri Jagalopa. Ki Gendeng Sekarat
memancing perhatian Jagalopa dengan serangan kaki yang menendang beruntun di
depan wajah. Tentu saja Jagalopa sibuk menghindari tendangan kaki itu, sampai
ia ta sadar kapak itu datang.
Wuuut...! Craaas...!
Mata kapak yang terbang tepat
menebas leher Jagalopa. Rupanya ia dikendalikan oleh kekuatan Indera Ki Gendeng
Sekarat, sehingga ketika kepala Jagalopa sudah menggelinding jatuh, kapak itu
masih terbang di antara para penonton. Membabat siapa saja yang ada di
depannya.
"Aaaaah...!"
Crassss... !
"Auhhh...!"
"Aaaaaahg...!"
Keadaan menjadi kacau. Mata
kapak yang terbang itu mengamuk membawa korban cukup banyak. Kapak terbang
memutar cepat bagaikan baling-baling sampai ke tempat sang Ratu. Para pengawal
di panggung kehormatan itu lari pontang-panting menghindari kekuatan kapak
terbang tersebut.
Craas... !
"Aaahg...!"
Lasogani mendelik, tengkuknya
dihajar kapak dan terkoyak lebar. Akhirnya ia tumbang tanpa nyawa.
Blaaar...! Glegaaar...!
Ledakan menggelegar terjadi
setelah Ratu Tanpa Tapak melepaskan pukulan selarik sinar merah dari telapak
tangan kirinya. Sinar merah menghantam kapak terbang dan hancurlah kapak itu.
Suasana gaduh yang
tunggang-langgang mulai reda kembali. Tetapi mereka kebingungan melihat arena
kosong. Ki Gendeng Sekarat hilang dari arena.
"Setan buntung!"
maki Ratu Tanpa Tapak. "Dia melarikan diri saat suasana menjadi kacau.
Pasti tak jauh dari sini."
"Gusti Ratu, tawanan kita
melarikan diri! Hilang dari arena!"
Seruan itu membuat tangan Ratu
Tanpa Tapak berkelebat bagaikan memercikkan air. Tapi yang keluar dari jemarinya
adalah sinar-sinar api yang memercik mengenal dada pengawal itu.
Craaasss...!
"Aaahg...!" Pengawal
itu memekik dengan mata mendelik. Dadanya menjadi berasap. Banyak lubang hitam
di dada itu. Ternyata bagian dalam dadanya telah terbakar. Tak heran jika
pengawal itu pun tumbang dan enggan bernapas karena kehilangan nyawa.
"Tutup pintu gerbang!
Jaga sekeliling benteng dengan ketat!" teriak Ratu Tanpa Tapak. "Cari
dia! Cari semuanya. Dia pasti masih ada di sini!"
Orang-orang yang tergabung
dalam benteng segera berlarian sambil mencabut senjata masing-masing. Mereka
menyebar mencari Ki Gendeng Sekarat ke berbagai arah. Jumlah mereka lebih dari
lima puluh orang. Ratu Tanpa Tapak sendiri bergegas masuk ke istana didampingi
oleh seorang pengawal muda yang tak pernah pakai baju dan berkulit coklat.
Linggana. Itulah pengawal
pribadi Ratu Tanpa Tapak yang berilmu tinggi, dan belum pernah tidur dengan
perempuan, sehingga masih bisa disentuh atau menyentuh Ratu Tanpa Tapak.
"Beri kabar padaku kalau
tawanan itu sudah tertangkap!" kata Ratu Tanpa Tapak sambil masuk ke kamar
pribadinya, sedangkan Linggana menjaga di depan pintu kamar tersebut.
"Aku di sini, Nila
Cendani!"
"Hahh...?!" Ratu
Tanpa Tapak kaget setengah mati. Ternyata Ki Gendeng Sekarat sedang berbaring
di atas ranjangnya. Murka sang Ratu bukan kepalang besarnya.
Tapi senyum sang tawanan kian
berkesan kurang ajar.
***8
SEMENTARA itu dalam
perjalanannya menuju Jurang Lindu, Raja Maut juga mengalami hambatan yang
menyebalkan. Nyai Demang Ronggeng muncul pada saat Raja Maut mendekati kawasan
Jurang Lindu, tempat si Gila Tuak berada. Rupanya ikut campurnya Ki Gendeng
Sekarat dalam pertarungan di tengah laut tempo hari membuat Nyai Demang
Ronggeng sangat penasaran.
Dalam pikirannya, selama Raja
Maut masih hidup maka ketenangannya akan terganggu sewaktu- waktu demi
menyelamatkan Kitab Sukma Sukmi. Tak ada jalan lain untuk memperoleh ketenangan
hidup kecuali dengan cara membunuh Raja Maut. Karenanya, Nyai Demang Ronggeng
memburu Raja Maut untuk dilenyapkan.
Pertemuannya dengan Raja Maut
kali ini adalah sesuatu yang tak diduga. Nyai Demang Ronggeng bermaksud mencari
muridnya; Tandak Ayu, untuk memberi tugas melenyapkan Raja Maui. Ia belum tahu
kalau Tandak Ayu sudah mati di tangan Citradani, murid Embun Salju dari
Perguruan Kuil Elang Putih, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Naga Pamungkas").
Tetapi kali ini yang ditemui
justru Raja Maut sendir. Tak heran jika Nyai Demang Ronggeng langsung
mengatakan,
"Pucuk dicinta ulam
tiba!" sambil senyum sinisnya mengembang.
Raja Maut pun mengambil sikap
tenang walau berkesan menyimpan dendam.
"Kalau kau ingin
lanjutkan pertarungan kita, kuharap jangan sekarang, Nyai Demang Ronggeng. Aku
masih punya urusan yang lebih penting dari melenyapkan dirimu," kata Raja
Maut sambil menggenggam erat tongkatnya yang terbuat dari jenis akar hitam
meliuk- liuk seperti ular itu.
"Kau takut menghadapiku
lagi, Prasonco?!"
"Apakah kau dewa pencabut
nyawa, sehingga aku harus takut padamu? Hmm...! Kau tidak ubahnya seperti lalat
bagiku, Kiswanti! Sekali tepuk habislah riwayatmu. Tapi aku merasa sekarang
belum saatnya untuk menepuknya."
"Sesumbarmu dari dulu
selalu melebihi geledek, Prasonco. Tapi tak pernah ada bukti sedikit pun yang
bisa kau tunjukkan di depanku."
"Sekarang apa maumu
sebenarnya?!" Raja Maut tak sabar lagi.
"Tentunya melenyapkan
sepupu seperguruanku!" jawab Nyai Demang Ronggeng, ketus sekali.
"Kalau perlu, Gendeng
Sekarat pun akan kulenyapkan biar tak mengganggu Kitab Sukma Sukmi lagi!"
"Jangan sesali tindakanku
ini, Kiswanti! Heaah...!"
Wuuut... !
Raja Maut lemparkan
tongkatnya. Dalam keadaan terbang tongkat itu berubah menjadi seekor ular hitam
bermata merah. Claap...!
Ular itu langsung menyerang
Nyai Demang Ronggeng dengan gerakan amat cepat. Mulutnya ternganga menampakkan
kedua gigi depannya yang runcing dan sangat berbisa. Dari mulut itu pun
tersembur keluar asap beracun warna biru keabu-abuan. Wooos...!
Nyai Demang Ronggeng segera
mengambil kipas merah berbulu yang terselip di pinggangnya sambil lakukan
lompatan ke atas. Kipas itu pun cepat-cepat dibuka terbentang dan dikibaskan
dengan seluruh tenaga dalamnya. Wuuusst...!
Asap beracun dari mulut ular
membalik mengenai badan ular itu sendiri. Sang ular menjadi kelojotan. Tapi ia
berusaha lompat menyerang lawannya dengan semakin ganas. Nyai Demang Ronggeng
tak mau buang- buang waktu, ia lepaskan pukulan tenaga dalam melalui kipas yang
dikatupkan. Dari ujung kipas keluar sinar merah bagaikan selarik tali kaku.
Slaaap...! Dueer...!
Kepala ular hancur seketika.
Asap mengepul membungkus tubuh ular. Dan ketika asap itu lenyap, ternyata
bangkai ular berubah menjadi sebatang tongkat seperti semula dengan ujungnya
yang hancur sebagian. Tongkat itu segera dipungut Raja Maut dengan
menggulingkan diri, lalu berdiri satu lutut dan melepaskan pukulan tenaga
dalamnya melalui telapak tangan kirinya. Slaap...! Sinar hijau berbentuk
piringan melesat menghantam dada Nyai Demang Ronggeng.
Blaar...!
Ledakan cukup dahsyat terjadi
ketika sinar hijau itu ditangkis dengan kipas merah yang dibentangkan di depan
dada. Ledakan itu membuat tubuh Nyai Demang Ronggeng terpental ke belakang,
bahkan sempat berjungkir balik di tanah.
"Sekali lagi kuingatkan
padamu, Kiswanti... jangan sesali tindakanku ini. Kau memaksaku menyelesaikan
urusan sekarang juga. Maka akan kurampungkan setuntas mungkin!"
Kiswanti atau Nyai Demang
Ronggeng tidak membalas ucapan apa pun. Tapi tubuhnya segera bangkit berdiri
pelan-pelan. Kedua tangannya membentang lalu meliuk ke kiri bersama tubuhnya,
sedangkan kedua kakinya merapat dan berdiri di atas jari-jarinya. Nyai Demang
Ronggeng pun memutar tubuh pelan-pelan dengan gerakan orang menari.
"Celaka! Dia mulai
pergunakan jurus 'Tarian Mayat'," pikir Raja Maut. "Jurus ini tak
boleh diremehkan. Aku juga harus gunakan jurus 'Tarian Ular' untuk
mengimbanginya!"
Maka tubuh Raja Maut pun
segera merendah serendah mungkin. Kedua kakinya saling berjajar ke depan,
tongkatnya meliuk ke belakang bersama tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya
menguncup merayap di tanah. Kini tubuhnya pun mulai meliuk-liuk bagai seekor
ular menari.
Nyai Demang Ronggeng bergerak
gemulai dengan kedua tangan lama-lama saling melilit tubuh sendiri, kaki
melompat-lompat dalam keadaan merapat. Dan tiba-tiba kedua tangan yang melilit
itu membentang dengan cepat dalam satu sentakan kuat bersama seruan
lengkingnya.
"Hiaaaah...!"
Dari sekujur tubuh keluar
sinar biru yang menyebar ke berbagai arah. Tiga pohon yang ada di belakangnya
hangus seketika dan menjadi keropos meninggalkan kepulan asap. Demikian pula
batu di sebelah kirinya menjadi onggokan arang tanpa kekerasan sedikit pun.
Sinar biru itu pun menghantam ke arah Raja Maut sebagai akibat terlepasnya
jurus 'Tarian Mayat' andalannya. Namun Raja Maut telah bersiap diri melawannya.
Tubuh Raja Maut pun melompat
bagai seekor ular melayang menyerang mangsa. Tongkatnya ditancapkan ke tanah.
Jrub...! Lalu dari tanah sekitar tongkat itu melesat sinar merah berbentuk
bayangan puluhan ekor ular yang menyerang Nyai Demang Ronggeng. Sinar merah dalam
bentuk bayangan ular itu menghantam sinar biru. Jurus 'Tarian Mayat' beradu
dengan jurus 'Tarian Ular'.
Akibatnya, bumi bagaikan
kiamat. Ledakan dahsyat terjadi menggemparkan keadaan sekeliling.
Blegaaar...!
Kedua tubuh itu saling
terlempar berbeda arah. Gelombang ledakan dahsyat membuat beberapa pohon hangus
dan tumbang tak beraturan. Rumput ilalang tiba- tiba menjadi kering, rata
dengan tanah. Semak lainnya ada yang terbakar walau tidak keluarkan lidah api,
namun bara dan asapnya masih ada. Batu-batu hancur menjadi serbuk sesuai warna
aslinya.
Gemuruh itu guncangkan bumi,
seakan langit akan runtuh, tanah akan merekah. Perpaduan jurus maut itu telah
mengundang perhatian tersendiri bagi manusia maupun hewan yang ada di sekitar
tempat itu sekalipun jauhnya lebih dari lima puluh langkah. Tak ada hewan yang
tetap tinggal di situ. Semua berlarian meninggalkan tempat tersebut dengan rasa
takut.
Raja Maut terkapar dengan
wajah biru legam. Darah keluar dari lubang hidung dan mulutnya. Darah itu
berwarna hitam. Tepian mata menjadi merah bagaikan terkelupas. Kulitnya melepuh
di sana-sini. Namun ia masih berusaha bangkit walau dengan susah payah dan
napas sukar dihela.
Nyai Demang Ronggeng sendiri
sudah berdiri sejak tadi. Keadaannya masih tergolong segar walaupun mulutnya
melelehkan darah tapi tak banyak. Wajahnya hanya pucat pias, kain jubahnya
tercabik-cabik bagian tepinya. Kipas merah masih utuh tanpa kerusakan apa pun.
Nyai Demang Ronggeng masih
bisa sunggingkan senyum kemenangan melihat Raja Maut dalam keadaan luka parah.
Ini menandakan bahwa jurus 'Tarian Mayat' ternyata lebih unggul dibanding jurus
'Tarian Ular'. Nyai Demang Ronggeng tampak bangga, namun masih menyimpan rasa
penasaran, sehingga ia pun berseru,
"Saatnya untuk
menyelesaikan hidupmu, Prasonco!" dan kipas merah yang dibentangkan itu
segera dikibaskan dari kiri ke kanan. Wuuut...! Memancarlah cahaya merah bagai
lempengan pedang panjang bergerak menyamping seakan ingin memotong-motong tubuh
Raja Maut. Slaaap...! Wuuuusss...!
Tetapi tiba-tiba sinar merah
panjang itu terhantam sinar ungu kecil di bagian tengahnya.
Jlegaaaar...!
Tubuh Nyai Demang Ronggeng
bukan saja terpental melainkan terjungkal di udara dan terhempas tanpa
keseimbangan tubuh lagi. Ia terbang bagaikan segenggam kapas yang disapu badai
besar. Jika tidak ada sisa pohon di belakangnya, ia akan terhempas sampi! jauh.
Tapi karena ada sisa pohon yang menjadi arang, maka tubuhnya terhenti di sana.
Braaasss...!
Praaak... !
Pohon itu roboh dan hancur,
tubuh Nyai Demang Ronggeng terpuruk di bawah bekas pohon itu. Mulut, hidung,
dan telinganya keluarkan darah. Kulit tubuhnya menjadi legam membiru seperti
keadaan Raja Maut. Pakaiannya rusak, tataan rambutnya pun berantakan. Sebagian
ujung rambut menjadi keriting karena terbakar oleh gelombang panas dari ledakan
tadi.
Siapa orang yang melepaskan
pukulan dahsyatnya berupa sinar ungu kecil itu? Nyai Demang Ronggeng yakin,
pukulan itu jelas bukan pukulan milik Raja Maut. Ia kenal betul jenis
jurus-jurus yang dimiliki Raja Maut.
Wajahnya terangkat
pelan-pelan, dan matanya pun memandang samar-samar wujud sesosok lelaki
berpakaian serba hijau tapi mengenakan baju jubah kuning. Rambutnya putih rata,
kumis, jenggot, alis tebalnya juga putih rata. Rambut itu mengenakan ikat
kepala kain hitam, tapi jelas bukan Ki Gendeng Sekarat yang juga rambut
putihnya diikat kain hitam.
Keremangan pandang akibat luka
dalam itu lama- lama membuat Nyai Demang Ronggeng mengenali lelaki yang berusia
sekitar sembilan puluh tahun lebih itu.
"Gila Tuak...!"
gumam Nyai Demang Ronggeng dengan suara gemetar.
"Apakah kau tetap ingin
membunuh sepupu seperguruanmu ini, Kiswanti?!"
Daya tahan perempuan itu
terasa semakin melemah, ia merasa tak mungkin bisa melawan tokoh sakti yang
selama ini sembunyikan diri dari keramaian. Nyai Demang Ronggeng gemetar di
hadapan guru Pendekar Mabuk itu. Ia merasa tak akan sanggup melawan si Gila
Tuak, apalagi dalam keadaan terluka parah. Maka tak ada cara lain untuk
selamatkan diri kecuali cepat-cepat lari meninggalkan Raja Maut dan tanah yang
ternyata telah masuk kawasan Jurang Lindu itu.
"Sial! Gila Tuak ikut
campur. Modar aku!" gerutunya sambil melarikan diri tanpa pamit.
Sabawana yang bergelar si Gila
Tuak itu membiarkan Nyai Demang Ronggeng melarikan diri.
Tokoh sakti yang sebenarnya enggan
campur tangan di rimba persilatan lagi itu, kali ini terpaksa pergunakan jurus
kecil-kecilan saja untuk selamatkan Raja Maut yang menjadi sahabatnya itu.
"Pasti perkara Kitab
Sukma Sukmi!" kata Gila Tuak dengan tegas.
"Ya, memang," jawab
Raja Maut dengan keadaan napas sesak tubuh lemas. "Tapi aku ke sini
sengaja untuk temui kau, Gila Tuak."
"Kalau begitu, mari
kubantu pergi ke pondokku. Kau butuh pertolongan secepatnya, Prasonco!"
"Bb... ba... baik,"
jawab Prasonco dengan susah payah. "Aku hanya ingin sampaikan kabar...
muridmu melabrak Nila Cendani."
"Nila Cendani?!"
Gila Tuak menjadi heran. "Apa urusannya Suto sampai melabrak Ratu Tanpa
Tapak itu?'
"Gendeng Sekarat ditawan
mereka!"
"Oh, dasar gendeng orang
itu. Mau-maunya ditawan? Apakah dia tak bisa bereskan Nila Cendani sendiri,
sehingga muridku jadi ikut campur?"
"Kau pikir Gendeng
Sekarat mampu kalahkan ilmunya Nila Cendani?"
Gila Tuak diam, tapi ia masih
membantu Raja Maut untuk melangkah pelan-pelan. Kejap berikutnya Raja Maut
berkata,
"Datanglah ke Gunung
Sesat. Bantu muridmu, Gila Tuak! Bocah itu bisa celaka dan mati konyol kalau
melawan Nila Cendani!"
"Tidak," jawab Gila
Tuak dengan tegas. "Aku tidak ingin memanjakan bocah tanpa pusar itu.
Kalau dia berani melabrak ke sana, berarti dia sudah punya perhitungan matang.
Kalau dia ada apa-apa, itu salahnya sendiri. Aku mendidiknya bukan dari segi
otot dan tenaga saja, tapi otaknya pun kusuruh menggunakan sebaik mungkin.
Biarlah dia membebaskan Gendeng Sekarat dengan caranya sendiri."
Raja Maut terbengong mendengar
pernyataan dan sikap Gila Tuak. Ia tak menyangka sebagai guru Gila Tuak tega
membiarkan muridnya melawan orang sesakti Nila Cendani itu. Tapi Raja Maut tak
tahu bahwa Gila Tuak merasa tenang, tidak merasa khawatir dan cemas akan
keselamatan Suto Sinting. Gila Tuak yakin, Suto mampu kalahkan Nila Cendani, si
Ratu Tanpa Tapak itu. Ia tak sangsi lagi dengan kemampuan muridnya, karena di
dalam diri Suto bukan hanya ada warisan ilmunya saja, tapi juga warisan ilmu
dari Bidadari Jalang pun ada pada Pendekar Mabuk, dan anak itu telah menelan
Tuak Setan, sehingga jika napas Tuak Setan dipergunakan maka Nila Cendani bukan
apa-apa bagi Pendekar Mabuk.
"Kau tak takut kalau
muridmu mati di tangan Ratu Tanpa Tapak?!"
"Jika Siluman Tujuh Nyawa
saja dibuatnya lari pontang-panting, tentunya Nila Cendani akan dibuat tak
berdaya oleh Suto, sebab Siluman Tujuh Nyawa punya ilmu lebih tinggi dari ilmu
yang dimiliki Nila Cendani!"
Raja Maut bengong lagi. Ia
kenal betul nama Siluman Tujuh Nyawa yang punya nama asli Durmala Sanca itu. Ia
tak sangka kalau Siluman Tujuh Nyawa yang terkenal sakti dan ganas itu lari
pontang-panting dalam pengejaran Pendekar Mabuk.
Kalau saja Raja Maut mendengar
kabar itu sejak lama, maka ia tidak akan datang temui si Gila Tuak dan
menyampaikan kecemasannya itu.
Alam pikiran Suto Sinting
ternyata sama dengan pikiran gurunya. Ketika dalam perjalanan menuju kaki
Gunung Sesat, hatinya pun berkata,
"Kenapa aku harus takut
dengan Ratu Tanpa Tapak? Siluman Tujuh Nyawa saja kuhadapi dan kukejar-kejar,
apalagi hanya Nila Cendani?! Apakah kesaktian Nila Cendani lebih tinggi dari
Durmala Sanca, si Siluman Tujuh Nyawa itu?! Ah, sekalipun lebih tinggi, aku tak
takut. Cepat atau lambat aku harus bisa membebaskan Ki Gendeng Sekarat sebelum
orang yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri itu mendapat celaka di tangan
Ratu Tanpa Tapaki"
Langkah Pendekar Mabuk sengaja
dihentikan sejenak. Matanya mulai menangkap bayangan sebuah benteng di kejauhan
sana. Warna hitam memanjang sudah pasti benteng istana Ratu Tanpa Tapak. Suto
Sinting meneguk tuaknya yang tadi ketika melewati sebuah desa sempat diisi
dengan tuak baru di sebuah kedai.
Glek, glek, glek...!
Tiga teguk cukup untuk
menyegarkan tubuh. Tuak itu, ibarat zaman sekarang merupakan dopping bagi
seluruh ilmu dan kekuatan Suto. Kesegaran dan keberaniannya semakin bertambah
jika habis meneguk tuak. Wajah Suto Sinting saat itu berseri-seri memandangi
benteng sang Ratu.
"Kuhancurkan benteng itu,
atau aku masuk menyelinap secara diam-diam?" pikirnya penuh perhitungan.
Perhitungannya menjadi buyar
karena tiba-tiba ia merasakan ada suatu gelombang panas yang menyerangnya dari
samping kiri. Suto Sinting sentakkan kaki dan tubuhnya pun melambung di udara
dengan cepat. Suuuut... !
Blaaar...!
Gelombang panas itu mengenai
sebuah pohon dan pohon itu rompal bagian batangnya. Hampir saja tumbang
terpotong. Melihat keadaan pohon hanya rompal, berarti penyerangnya menggunakan
tenaga dalam yang tidak begitu tinggi. Mungkin ia tidak bermaksud membunuh Suto
Sinting. Tapi siapa penyerangnya itu?
"Oh, kau...!" Suto
Sinting bernada keluh.
Gadis berpakaian ketat ungu
muda dengan bentuk belahan dada yang menantang itu tak lain adalah Pelangi
Sutera. Ibu dari anak jin; si Logo, ternyata telah menyusulnya dan bermaksud
menghalangi niat Suto datang ke benteng itu.
"Sudah kubilang, jangan
temui Ratu Tanpa Tapak. Mengapa kau nekat?' kata Pelangi Sutera yang bernama
asli Sumbaruni itu.
"Apa hakmu melarangku,
Sumbaruni?!"
"Ini bukan masalah hak.
Ini masalah kecemasanku."
"Itu tak perlu,"
jawab Suto kalem sambil tersenyum geli. "Untuk apa kau mencemaskan diriku,
Sumbaruni? Tak akan ada gunanya."
Perempuan yang tampak masih
muda sekian kali lipat dari usia sebenarnya, mendekati Suto dengan sorot
pandang matanya yang berwibawa dan punya kharisma tersendiri. Suto Sinting
membiarkannya dan juga memandangi tanpa kesan bermusuhan. Dalam jarak dua
langkah, Sumbaruni berhenti dan saling adu pandang beberapa saat. Lama-lama
terdengar suaranya berucap bagai bisikan.
"Aku tak mau kau terjerat
cinta di sana!"
Suto Sinting tertawa dengan
suara pelan. "Jangan takut. Aku punya penangkalnya, Sumbaruni."
"Omong kosong! Kau akan
kalah jika Nila Cendani pergunakan ilmu 'Serap Sukma Asmara' yang dimilikinya.
Aku tahu kau masih perjaka, dan kau pasti bisa menyentuh serta menyerangnya.
Kalian bisa bersentuhan, dan itu sangat berbahaya bagi keadaan jiwa mudamu,
Pendekar Mabuk."
"Apa kehebatan ilmu
'Serap Sukma Asmara' itu, sehingga kau amat mengkhawatirkan diriku, Pelangi
Sutera?"
"Apabila dia menggigit
bibirnya sendiri dalam senyum, maka hatimulah yang digigitnya. Jika hatimu
sudah digigit, maka kau akan jatuh cinta padanya, kau akan tunduk dengan segala
perintahnya, dan kau akan menjadi pelayan cintanya sepanjang masa. Sampai saatnya
dia tidak lagi membutuhkan dirimu, kau akan sanggup memenuhi perintahnya untuk
lakukan bunuh diri."
"Bagaimana kalau sebelum
dia menggigit bibirnya, aku lebih dulu menggigitnya?" kata Suto menganggap
canda kecemasan itu. Tapi Sumbaruni menjadi sangat jengkel, maka ditamparnya
pipi Suto tidak terlalu keras. Plaak...! Suto sengaja tidak menangkis dan tidak
menghindar, ia justru semakin tertawa geli.
"Aku bersungguh-sungguh,
Suto. Aku benar-benar takut."
Kata-kata itu diucapkan sangat
pelan dan dengan wajah sedih, penuh kecemasan. Akhirnya Suto Sinting mencoba
memahami perasaan Pelangi Sutera, ia tahu wanita itu amat mencintainya dan
berharap dapat hidup bersamanya. Sekalipun Suto tetap ingat pada calon
istrinya: Dyah Sariningrum, tapi Suto menghargai perasaan seorang wanita
seperti Pelangi Sutera itu. Maka ia pun berkata dengan nada bersungguh-sungguh.
"Percayalah, aku tidak
akan terpikat oleh perempuan itu. Aku mampu menghindarinya, Pelangi
Sutera."
Tapi perempuan itu gelengkan
kepala dan berkata, "Aku sangsi...."
Suto Sinting menarik napas
panjang. "Baiklah. Kau sangsi atau tidak aku tetap harus ke sana dan
membebaskan Ki Gendeng Sekarat!"
"Suto...!"
"Aku tak bisa
berlama-lama diam di sini sementara nyawa Ki Gendeng Sekarat sedang di ujung
lidah perempuan itu!" kata Suto sambil segera melangkah menuju benteng
tersebut. Kecemasan Pelangi Sutera semakin kuat, sehingga dengan gerakan cepat
perempuan itu tiba-tiba sudah berdiri menghadang langkah Suto Sinting.
"Kalau kau nekat ke sana,
aku terpaksa melumpuhkanmu, Suto!" ancamnya dengan suara dingin.
"Aku tak mau. Aku pasti
akan melawanmu, Pelangi Sutera!"
"Baik. Kalau begitu kita
coba siapa yang unggul dalam pertarungan kita!"
Slaaap...! Tiba-tiba gerakan
tangan Pelangi Sutera bagaikan melemparkan senjata rahasia ke dada Suto
Sinting. Tapi yang keluar dari lemparan tangannya itu adalah sinar kuning
berbentuk bintang berputar. Kecepatan lemparan sinar itu sangat tinggi. Suto
Sinting tak sempat menghindar dan menangkis. Akibatnya sinar kuning itu memang
mengenai dada Suto Sinting. Duuub... !
"Uuuffh...!" Suto
Sinting mengejang dengan mata terpejam kuat. Tubuhnya melengkung, kedua
tangannya mendekap dada. Napasnya bagaikan tersumbat di dalam dada.
Kerongkongannya seakan kering dan lengket, tak bisa bersuara.
Baru sekarang Suto Sinting
menerima serangan secepat itu. Lebih cepat dari loncatan kilat. Lebih cepat
dari tarikan napas. Dan jurus itu sangat aneh. Tubuh Suto menjadi lemas. Lemas
sekali. Matanya berkunang- kunang. Untuk menggerakkan jemarinya saja tak mampu.
Akhirnya Suto Sinting jatuh terkulai.
Bruuuk...! Punggungnya tak
bisa dipakai untuk duduk. Tulang punggung sepertinya hilang sama sekali.
Urat-urat dalam tubuhnya bagaikan putus semua. Bruuuk...! Suto terpuruk, mirip
cucian basah jatuh dari jemurannya. Tapi otaknya masih berjalan, kesadarannya
masih ada. Matanya masih bisa berkedip-kedip, hanya saja kekuatannya bagaikan
dikebiri, lenyap tanpa bekas sedikit pun dari dirinya.
"Maafkan aku, Suto,"
Pelangi Sutera mendekat dan berwajah sedih. Tangannya mengusap-usap rambut Suto
setelah ia berlutut di depan pemuda tampan itu.
"Maafkan aku, karena kau
bandel dan aku tak punya cara lain! Aku terpaksa menggunakan jurus 'Anak
Rembulan' supaya kau tidak bisa menemui Ratu Tanpa Tapak itu. Kau akan lumpuh
selama belum mendapat seranganku kembali. Aku akan menyerangmu menggunakan
jurus 'Lidah Mentari' untuk membakar kekuatanmu agar pulih lagi. Tetapi itu
nanti, setelah aku berhasil membebaskan orang yang kau anggap seperti ayahmu
sendiri itu. Aku sendiri yang akan menyelamatkan Ki Gendeng Sekarat, Suto. Aku
terpaksa melawan cucuku sendiri demi menyelamatkan hatimu dari jeratan ilmu
'Serap Sukma Asmara' milik Nila Cendani!"
Sebenarnya ada sesuatu yang
ingin dikatakan oleh Suto Sinting, tapi lidahnya bagaikan tak bisa digerakkan
sama sekali. Lidah itu lemas tak punya urat. Akhirnya Suto hanya diam saja,
matanya berkedip-kedip memperhatikan wajah Pelangi Sutera yang penuh sesal dan
kegeraman.
Wanita cantik ibu anak jin itu
pergi bagaikan anak panah yang melesat dari busurnya. Arahnya menuju benteng
hitam itu. Tapi otak Suto masih sempat berpikir dalam kecemasan.
"Jika dia kalah melawan
Ratu Tanpa Tapak, jika dia mati, lantas bagaimana nasib Ki Gendeng Sekarat?
Bagaimana dengan nasibku ini?! Hanya dia yang bisa pulihkan kekuatanku dengan
jurus 'Lidah Mentari'. Tapi kalau dia mati, siapa yang akan lepaskan jurus
'Lidah Mentari' kepada diriku? Tak ada. Dan itu berarti aku akan lumpuh
selama-lamanya! Celaka! Apakah dia bisa unggul melawan Ratu Tanpa Tapak?"
***
PADA saat itu, Ki Gendeng
Sekarat sudah berhasil dilumpuhkan oleh Ratu Tanpa Tapak. Ketika di kamar tidur
sang Ratu, Ki Gendeng Sekarat berhasil diserang dengan dua jurus jebakan. Empat
jari tangan Nila Cendani disentakkan, maka melesatlah empat larik sinar hijau
dari masing-masing ujung jari berkuku runcing itu. Arahnya sengaja sedikit ke
kanan, supaya Ki Gendeng Sekarat menghindar ke kiri. Sraab...!
Dugaan Nila Cendani benar. Ki
Gendeng Sekarat berguling di atas ranjang ke arah kanan. Tapi pada saat itu juga
Nila Cendani sentakkan keempat jari kanannya yang memancarkan empat larik sinar
putih perak berkilauan.
Sraaab...! Arahnya lebih ke
kiri dari tubuh Ki Gendeng Sekarat, sehingga ketika Ki Gendeng Sekarat
menghindari ke kiri, maka ia terperangkap sinar putih perak itu.
Jraaab... !
"Uuhg...!"
Tubuh Ki Gendeng Sekarat
mengejang dengan kepala terdongak menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Tubuh
itu menjadi kaku dan kejang sekali. Nila Cendani segera memanggil pengawalnya.
"Tangkap dan ikat dia
dengan akar Serat Hantu!" perintah sang Ratu.Dalam beberapa waktu, keadaan
kejang itu sudah menjadi kendor. Ki Gendeng Sekarat memang hanya mengalami
kekakuan sesaat. Jurus sinar perak tadi memang berguna hanya untuk melumpuhkan
lawan, bukan untuk membunuh. Tetapi sekalipun keadaan Ki Gendeng Sekarat sudah
menjadi seperti biasa, namun ia tak dapat berbuat apa-apa, karena kedua
tangannya dikebelakangkan dan diikat dengan akar Serat Hantu.
Akar Serat Hantu adalah tali
dari jenis tanaman yang mengandung racun. Semakin lama menempel di kulit tubuh,
maka orang tersebut akan mengalami perasaan takut kepada siapa pun. Terbukti
semakin lama terikat dengan akar itu, Ki Gendeng Sekarat semakin deg-degan dan
memandang siapa saja dengan rasa takut. Bahkan ia tak berani menatap ratu yang
cantik itu, karena kecantikan tersebut dianggapnya sesuatu yang amat
menakutkan. Tak heran jika napas Ki Gendeng Sekarat terengah-engah terus karena
diliputi perasaan takut.
"Pancung dia di pelataran
depan!" perintah Ratu Tanpa Tapak kepada para pengawalnya, lalu kedua
orang pengawal segera membawa Ki Gendeng Sekarat ke pelataran depan istana. Ki
Gendeng Sekarat ketakutan melihat dua pengawal yang membawanya.
"Tidak! Tidak! Jangan
dekati aku! Aku takut pada beruang! Takuuut...!"
Plook! Wajah itu ditampar
seenaknya oleh seorang pengawal.
"Aku bukan beruang,
Goblok!"
"Jangan! Jangan! Aku
takuuut...!" teriak Ki Gendeng Sekarat sambil meronta-ronta. Biasanya ia
tak pernah punya rasa takut, apalagi sampai berteriak-teriak begitu. Bahkan
ketika menuruni tangga serambi istana, Ki Gendeng Sekarat yang menundukkan
wajahnya menjadi menjerit dan melompat-lompat,
"Aaaa... ! Takuuut... !
Takuuut... ! Ada semut dua ekor mau mengeroyokku! Uwaaa...!" Ia semakin
meronta- ronta menghindari dua ekor mata semut yang menurut penglihatannya amat
besar dan ingin mencaplok kakinya.
Tentu saja hal itu menjadi
bahan tertawaan orang-orangnya Nila Cendani yang siap menyaksikan hukum pancung
di pelataran istana.
Di sana sudah ada dua tiang
pengikat tangan orang yang akan dipancung. Tetapi karena keadaan Ki Gendeng
Sekarat harus tetap berlilitkan akar Serat Hantu, maka Ki Gendeng Sekarat tidak
jadi diikatkan pada dua tiang, melainkan seluruh tubuhnya disuruh merendah dan
diikat pada satu tiang saja dalam keadaan berlutut. Lalu sebatang kayu menekan
punggungnya supaya merunduk.
Dengan begitu, leher Ki
Gendeng Sekarat mudah terpancung oleh algojo yang ditugaskan. Algojo itu
mengenakan kain selubung penutup kepala warna hitam, bagian atasnya runcing,
yang terlihat hanya bagian matanya saja. Ki Gendeng Sekarat sempat berteriak
ketakutan.
"Jangaaan...! Huaaww...!
Jangan dekatkan aku dengan setan pocong! Aku takut! Takuuut...!"
Yang lain tertawa mendengar
algojo dikatakan setan pocong. Algojo sendiri sebenarnya tertawa geli, tapi
karena mulutnya tertutup selubung hitam maka tak diketahui bahwa ia ikut
menertawakan sang tawanan. Sedangkan Ratu Tanpa Tapak hanya tersenyum sinis,
siap memperhatikan hukuman pancung dilaksanakan.
Sang Algojo menunggu perintah
pancung dari ratunya. Pedang besar sudah siap di tangan, ia berdiri dengan kaki
sedikit merenggang.
Ki Gendeng Sekarat sempat
melirik kepada pedang yang putih besar berkilauan, ia sempat merintih ketakutan
dalam keadaan tertunduk.
"Oh, gigi siapa itu yang
dibawa-bawanya. Besar sekali! Ooh... aku takut sekali pada gigi itu. Singkirkan
gigi itu, Ratuuu...!"
Gelak tawa mereka sengaja
dibiarkan oleh sang Ratu, karena setiap orang yang diikat dengan akar Serat
Hantu memang tingkah ketakutannya menggelikan. Setelah tawa itu mereda, Ratu
Tanpa Tapak pun segera berkata dengan suara keras dan tegas.
"Demi membalas kematian
dua utusan kita yang hampir mendapatkan keris pusaka Setan Kobra itu, maka
orang ini layak dihukum mati dengan dipancung. Inilah satu bukti, bahwa aku;
Ratu Tanpa Tapak, akan selalu melindungi orang-orangku dari gangguan siapa
pun."
Setelah itu, Ratu Tanpa Tapak
memandang algojo dan berseru, "Laksanakan!"
Algojo mengangguk, lalu
mengangkat pedang besarnya. Pada saat pedang terangkat tinggi-tinggi dan siap
diayunkan, tiba-tiba seberkas sinar merah menyerupai ujung anak panah melesat
cepat dan menembus dada sang algojo.
Wuuut...! Sraab...!
Blaaarr... !
Seluruh orang menjerit dan
menjadi panik melihat tubuh sang Algojo pecah. Ki Gendeng Sekarat sendiri
berteriak-teriak sangat ketakutan. Beberapa pasang mata tertuju ke atas
benteng, ternyata di sana telah berdiri seorang perempuan yang mengenakan jubah
ungu tua dengan pedang di punggung dibungkus kain beludru warna ungu pula.
"Serang dia!" teriak
Sabit Guntur yang berdiri di samping kanan Nila Cendani.
"Heeaaaahhhh...!"
semua menyerang Pelangi Sutera dengan senjata dan tenaga dalam masing-masing.
Tetapi wanita muda itu cepat menghilang, tahu-tahu berada di samping Ki Gendeng
Sekarat. Pedangnya dicabut, dan ditebaskan dengan cepat ke arah Ki Gendeng
Sekarat.
Wes, wes, wes, wes, wuuut...!
Tras...!
Dalam gerakan pedang yang
begitu cepat, semua tali yang mengikat Ki Gendeng Sekarat telah terputuskan. Ki
Gendeng Sekarat bebas dari pengaruh akar Serat Hantu. Ia segera terbelalak
melihat Pelangi Sutera yang dikenalinya itu.
"Sumbaruni...?!"
"Habisi mereka, Gendeng
Sekarat! Jangan bengong saja! Hiaaat...!"
Pertarungan pun terjadi dengan
seru. Ki Gendeng Sekarat mendampingi Samburani menyerang mereka. Tak satu pun
ada yang mampu melukai atau memukul jatuh kedua tokoh tua tersebut.
Tetapi mereka berdua tidak
bisa menyerang Ratu Tanpa Tapak, karena mereka berdua sudah bukan perawan dan
perjaka lagi. Akibatnya mereka hanya terdesak beberapa kali oleh serangan Ratu
Tanpa Tapak yang menggunakan jurus- jurus berbahaya. Tiga tiang utama istananya
sendiri sempat hancur menjadi debu karena serangannya yang dihindari oleh
Pelangi Sutera.
"Monyet busuk! Bagaimana
dia bisa masuk ke bentengku?!" pikir Nila Cendani memandangi Sumbaruni.
Ratu Tanpa Tapak tidak tahu kalau semua penjaga di pintu gerbang sudah
dilumpuhkan oleh Pelangi Sutera terlebih dulu, sehingga wanita itu dapat dengan
mudah melompat naik ke dinding benteng dan menggagalkan acara hukuman pancung
tersebut.
Kini lebih dari tiga puluh
orang terkapar tanpa nyawa karena amukan Ki Gendeng Sekarat dengan Pelangi
Sutera. Sabit Guntur sendiri yang tangannya buntung juga mati di tangan Ki
Gendeng Sekarat dengan tebasan kipas putihnya.
Sementara itu Nila Cendani
semakin murka, menyerang mereka berdua dengan melayang tanpa menginjak tanah
sejak tadi. Ki Gendeng Sekarat sempat terjungkir baik ke belakang ketika ia
mencoba menahan pukulan sinar hijau dari mata Nila Cendani. Pukulan itu amat
kuat dan berbahaya, membuat Ki Gendeng Sekarat hampir saja mati membeku jika
tidak menahannya memakai bentangan kipas putihnya.
Tetapi sebagai akibat, ia
terlempar dan terkapar dalam jarak sepuluh langkah dari tempatnya. Telinga dan
hidungnya mengucurkan darah segar. Sedangkan Pelangi Sutera masih menebaskan
pedangnya ke sana-sini. Tebasan pedangnya itu seperti kilasan angin yang tak
diketahui datangnya, tak didengar suaranya, tiba-tiba saja korbannya merasakan
hawa dingin pada tubuhnya. Tahu- tahu kepalanya jatuh dari raga, atau dadanya robek,
tembus dan sebagainya. Bahkan ada yang masih sempat melakukan lompatan
menyerang tanpa disadari bahwa kedua kakinya telah ditebas buntung oleh pedang
ungunya Pelangi Sutera.
"Sumbaruni!" sentak
Nila Cendani. "Hentikan tingkah keparatmu itu, Setan!"
Pelangi Sutera menghentikan
serangannya, ia memandang dengan senyum sinis. Anak buah Nila Cendani tinggal
beberapa gelintir manusia saja. Mungkin hanya delapan atau sembilan orang yang
masih hidup tanpa luka. Mereka berada di belakang Ratu Tanpa Tapak. Siap
menyerang kapan saja perintah datang.
"Apa maksudmu ikut campur
urusanku ini, hah?!" bentak Nila Cendani.
Sumbaruni hanya menjawab
dengan sinis, "Aku hanya ingin membebaskan si Gendeng Sekarat ini!"
"Apa urusanmu
dengannya?"
"Tidak ada!"
"Kalau begitu kau memang
cari penyakit dengan mendatangi kekuasaanku ini!"
"Nila Cendani, pandanglah
aku. Siapa diriku sebenarnya? Mengapa kau masih bersikap keras di depan nenekmu
ini?! Kembalilah ke jalan yang benar, Nila Cendani! Kau boleh tempati gunung
ini tapi lakukanlah kebaikan!"
"Persetan dengan
nasihatmu! Aku harus menjadi penguasa dunia! Siapa pun tak boleh menentang
kehendakku. Tak peduli kau adalah nenekku, kalau kau menentang keinginanku, kau
harus kumusnahkan, Sumbaruni!"
"Sayang sekali jiwamu
benar-benar sesat!"
"Peduli apa denganmu!
Kalau kau memang mau menentangku, coba lukai aku! Coba sentuh diriku!"
"Sesumbarmu seperti
kaleng rombeng! Jangan kau pikir tak ada orang yang mampu melukaimu. Nila
Cendani!"
"Hmmm...! Aku tahu kau
sudah tak perawan lagi! Kau sudah beranak dan ke mana anakmu itu? Si anak jin
itu akhirnya berkhianat padaku dan menjadi menuruti perintahmu, bukan? Hmmm...!
Aku dapat meneropongnya dari sini, Sumbaruni. Sekali aku bertemu dengannya,
maka ia tak akan selamat dari tanganku!"
Sumbaruni merasa dibakar
darahnya mendengar anaknya diancam, ia segera melepaskan pukulan dari tangan
kirinya, berupa percikan sinar warna-warni seperti pelangi. Tetapi sinar-sinar
itu tak ada yang mengenai tubuh Nila Cendani, bahkan menyimpang pecah mengenai
empat anak buah Nila Cendani yang semuanya menjadi pecah tanpa serpihan daging
dan tulang lagi kecuali semburan darah kental ke sana-sini.
Ratu Tanpa Tapak kian murka,
ia mencabut kipas berbulu merak yang terselip di pinggang belakang. Kipas itu
ditebaskan. Wuuuut...! Maka ratusan jarum beracun memancar menyebar.
Srrraabb...! Jruuub...!
"Auhg...!"
"Aaahg...!"
Jarum-jarum yang bergerak
bagaikan angin itu menancap di tubuh Pelangi Sutera dan Ki Gendeng Sekarat.
Seketika itu pula tubuh mereka menggigil dan membiru. Pori-pori kulit mereka
melebar dan mengeluarkan cairan merah darah.
"Kita harus lekas pergi
dari sini, Sumbaruni!" bisik Ki Gendeng Sekarat dengan menahan sakit di
sekujur tubuhnya. "Kita tak akan bisa melukainya!"
Wuuut...! Wuuut...!
Pelangi Sutera segera melesat
pergi mendengar usul Ki Gendeng Sekarat, dan Ki Gendeng Sekarat sendiri ikut
melesat menyamai kecepatan gerak Pelangi Sutera. Pintu gerbang ditabraknya.
Duaaar...! Jebol menjadi
kepingan-kepingan besi bercampur kayu.
Tetapi kekuatan gerak mereka
terbatas, tenaga mereka telah direnggut racun ganas. Begitu mereka tiba di
depan pintu gerbang dalam jarak dua puluh langkah, mereka berdua saling
berjatuhan.
Tubuh mereka semakin merah
karena penuh cairan darah yang keluar dari pori- pori tubuhnya.
"Gendeng... aku tak
kuat," ratap Pelangi Sutera ketika jatuh tersungkur dan mencoba merangkak
untuk bangun. Ki Gendeng Sekarat pun terpelanting jatuh karena tenaganya
bagaikan hilang.
"Hi, hi, hi, hi...!"
terdengar tawa Ratu Tanpa Tapak yang menyusul keluar bersama sisa anak buahnya.
"Kalian tak akan bisa hidup lebih dari seratus hitungan! Jarum 'Pengikis
Jantung' mempunyai racun yang tak mudah ditawarkan. Tapi ada baiknya daripada
kalian terlalu lama menunggu ajal. Akan kupercepat dengan jurus pembantaiku
ini! Hiaaaat...!
Wuuut... ! Sinar merah
meluncur dari mata Nila Cendani. Sinar merah itu semula berbentuk lidi kecil,
tapi makin jauh makin menyebar lebar dan menghantam tubuh Ki Gendeng Sekarat
dengan Pelangi Sutera.
Hanya saja, sebelum kedua
sinar yang terlepas dari kedua mata Nila Cendani itu sampai di tubuh mereka
berdua, seberkas sinar ungu melesat dan menghantam kedua sinar merah tersebut
secara melintas cepat dari samping kanan.
Blaaar...! Glegaaarrr...!
Bunyi ledakan itu luar biasa
dahsyatnya. Tubuh Ki Gendeng Sekarst dan Pelangi Sutera sama-sama terpental dan
terguling-guling di rerumputan. Tapi yang lebih aneh lagi, tubuh Ratu Tanpa
Tapak pun terlempar ke belakang dan sempat berjungkir balik sampai jatuh
tersungkur di tanah belakangnya, ia segera bangkit dengan merasa heran
mengalami peristiwa seperti itu.
Matanya segera memandang
mencari penyerang yang menggunakan sinar ungu itu. Ketika pandangan matanya
menemukan sesosok pemuda tampan berdiri tegak dengan baju coklat tanpa lengan,
Ratu Tanpa Tapak itu terperangah dan berdebar-debar hatinya.
Sedangkan saat itu, Pelangi
Sutera yang masih bertahan untuk bisa bangkit walau dengan setengah merangkak,
segera serukan gumam keheranannya.
"Suto...?!"
Tentu saja Pelangi Sutera merasa
terheran-heran, sebab ia tak menyangka kalau Suto bisa pulih seperti sediakala,
padahal mestinya harus dihantam dengan jurus 'Lidah Mentari' dulu supaya
kekuatannya pulih kembali. Tapi ternyata tanpa pukulan itu Pendekar Mabuk sudah
bisa berdiri tegak dan pulih seperti sediakala. Pelangi Sutera menyangka saat
itu Suto masih terpuruk lunglai tanpa daya di bawah pohon.
Di samping Suto Sinting
berdiri seorang bocah berusia sepuluh tahun. Angon Luwak. Apakah bocah itu yang
sembuhkan Suto dan pulihkan kekuatan si Pendekar Mabuk itu? Rasa-rasanya tak
mungkin, menurut Pelangi Sutera. Jurus 'Anak Rembulan' tak ada yang bisa
menyembuhkan kecuali orang yang punya pukulan 'Lidah Mentari'. Sedangkan orang
yang punya jurus 'Lidah Mentari' tak ada lainnya kecuali dirinya sendiri.
Pelangi Sutera tidak tahu
bahwa kehadiran Angon Luwak telah menyelamatkan Suto Sinting dari pengaruh
jurus 'Anak Rembulan'. Bocah itu tahu keadaan Suto yang lemas pasti karena
sakit.
Tapi ia tak tahu sakit apa
yang diderita Suto sebab Suto tidak bisa kasih penjelasan padanya.
Namun bocah itu punya gagasan
untuk meminumkan tuak dari bumbung ke mulut Suto. Sebab ia pernah melihat Suto
mengobati Raja Maut dengan cara seperti itu. Tuak tersebut mempunyai kekuatan
dahsyat melebihi pukulan 'Lidah Mentari'. Dengan meminum tuak itu, meka
kekuatan Suto menjadi pulih kembali dan badannya menjadi lebih segar.
Kini kecemasan Pelangi Sutera
bukan terletak kepada mati-hidupnya Pendekar Mabuk, melainkan terletak pada
hati si pendekar tampan itu. Ketika Suto meminumkan tuaknya ke mulut Pelangi
Sutera dan Ki Gendeng Sekarat, wanita cantik berhati jahat yang ingin menguasai
dunia itu sedang berusaha bangkit dengan dibantu sisa anak buahnya yang masih
perjaka.
Hanya ada dua orang yang masih
perjaka, sehingga bisa menyentuh Ratu Tanpa Tapak. Dan agaknya karena sinar
ungunya Suto tadi, sang Ratu Tanpa Tapak kali ini terpaksa menapakkan kakinya
ke tanah sebab ia mengalami luka panas di bagian urat nadinya.
"Oh, pemuda itu...?!
Ketampanannya sangat menggiurkan hatiku, kegagahannya sangat menarik
perhatianku. Sebaiknya kuusahakan untuk berdamai saja dengannya dan aku bisa
menarik hatinya untuk menjadi pelayan cintaku...," pikir Ratu Tanpa Tapak
yang sudah kehilangan banyak anak buah itu.
"Sut... Suto...
hati-hati, dia memandangimu dengan aneh," bisik Pelangi Sutera. Tetapi
Pendekar Mabuk hanya tersenyum dan berkata lirih,
"Sudah kupersiapkan
perisai penolak ilmu cinta segala macam. Kau tak perlu khawatir. Akan kutangani
dia!"
"Hati-hati, Suto,"
ujar Ki Gendeng Sekarat yang sedang menunggu pulihnya kekuatan karena ia sudah
meneguk tuak beberapa kali.
Suto Sinting tampil ke depan,
sengaja berjalan mendekati Ratu Tanpa Tapak. Sang Ratu tersenyum nakal, ia
mulai mengigit bibirnya. Tapi serta-merta Suto segera lepaskan pukulan mautnya.
Jurus 'Surya Dewata' dari kedua tangan yang memancarkan sinar ungu menghantam
tubuh Nila Cendani dengan amat cepat.
Claaap...! Blaaarrr...!
"Aaahg...!" Ratu
Tanpa Tapak terpekik tertahan. Tubuhnya terpental sampai membentur sisi gerbang.
Duuurrr...!
Benteng itu berguncang nyaris
roboh karena benturan tubuh sang Ratu. Bagian atas benteng ada yang rontok
sebagian. Jika bukan ilmu yang dahsyat yang melayangkan tubuh cantik itu, tak
mungkin benteng sekokoh itu bisa bergetar sedemikian rupa.
Jika bukan orang berilmu
tinggi, tak mungkin pula Nila Cendani akan terlempar sejauh itu. Pasti dia akan
pecah dan mati seketika. Tak sampai bergeser sejengkal pun. Tapi karena Nila
Cendani orang berilmu tinggi, maka pukulan 'Surya Dewata' hanya membuatnya
terpental terbang dan berdarah di bagian kepalanya, hidung, telinga, mulut, dan
lubang tubuh lainnya.
Ia masih hidup. Masih bisa
berdiri dengan sempoyongan. Masih bisa berteriak nyaring dan keras sekali,
" Sokobumiii...! Keluar
dari tempatmu!"
Kejap berikutnya, tembok tebal
yang menjadi dinding benteng itu jebol diterjang sesosok tubuh dari dalam.
Tubuh yang mampu melesat menjebol tembok benteng sekeras itu adalah tubuh
kurus, berambut panjang sepinggang, berkuku runcing, itulah jazad dari almarhum
Sokobumi yang telah dihidupkan lagi oleh Nila Cendani menggunakan sumber
kekuatan inti orang lain.
"Suto! Biar kami yang
hadapi!" teriak seseorang yang ternyata Ki Lumaksono. Ia dan Ki Parandito
sempat tersesat jalan dan tiba di tempat ketika Nila Cendani terlempar tadi.
Kedua tokoh tua itu segera
melesat mendekati Suto. "Biar kami yang hadapi, supaya kami tak sakit hati
jika beliau terluka!"
Tapi baru saja mereka
bersepakat begitu, Sokobumi melepaskan serangannya berupa puluhan bintang yang
menyerang kedua tokoh tua dan Suto Sinting. Puluhan bintang itu tentu saja
berkekuatan tenaga dalam sangat tinggi. Gerakannya sangat cepat dan nyaris
tidak terlihat lagi.
"Awas...!" teriak
Suto sambil menendang dengan kedua kaki ke kiri dan ke kanan secara serempak.
Tendangan itu mengenai tubuh
Ki Lumaksono yang ada di kirinya dan Ki Parandito yang ada di kanannya.
Akibatnya mereka berdua terlempar jauh dan terhindar dari puluhan bintang
berbahaya itu. Sedangkan untuk menyelamatkan dirinya, Suto segera mengibaskan bumbung
tuaknya ke depan.
Wuuut...! Srrraaabbb...!
Bumbung itu bagaikan mempunyai
tenaga magnit. Bintang-bintang itu menjadi mengarah ke bumbung bambu tersebut.
Semuanya menuju bambu tuak, tapi tidak sampai menancap. Bintang-bintang itu
membalik arah setelah saling memantul di kulit bambu. Traaak... ! Praaaffs...!
Bintang-bintang itu menjadi
lebih besar dari ukuran semula dan kecepatan geraknya melebihi kecepatan
semula. Sokobumi tampak kebingungan menangkis bintang-bintang yang kembali ke
arahnya dengan menggunakan sehelai ilalang yang dicabutnya.
Trang, trang, triing...!
Traang...! Jrab, jrab, trang...! Jrruub... !
Ilalang yang dijadikan pedang
memang mampu menangkis beberapa bintang, tetapi lebih dari tujuh bintang
menancap di tubuh Sokobumi. Bintang-bintang yang menancap itu akhirnya meledak
secara bersamaan dan membuat tubuh Sokobumi hancur berkeping-keping, tak
mungkin bisa dibangkitkan lagi dengan kekuatan apa pun.
Blaaarrr...!
"Guruuu..,!" teriak
Ki Lumaksono dan Ki Parandito secara bersamaan.
Sementara itu, Ratu Tanpa
Tapak terperanjat kaget bukan kepalang melihat kehebatan ilmu pemuda tampan
itu. Tapi ia menjadi ketakutan dan segera melarikan diri sambil berseru,
"Tunggu pembalasanku
setelah kudapatkan Keris Setan Kobra...!"
"Jangan lari kau, Cantik!"
teriak Suto Sinting, lalu segera mengejarnya.
Pelangi Sutera pun berseru
tegang, "Tidaaak...! Jangan kejar dia, Sutooo!"
Tetapi Pendekar Mabuk murid si
Gila Tuak itu tetap mengejar dengan kecepatan melebihi melesatnya anak panah,
ia tak peduli seruan Sumbaruni, juga tak peduli dengan ratapan kedua tokoh tua;
Pawang Gempa dan Juru Bungkam itu. Ki Gendeng Sekarat segera bangkit,
keadaannya lebih baik. Ia segera terkejut begitu melihat Angon Luwak bergegas
mau mengikuti Suto.
"Angon Luwak! Jangan kejar
dia!"
"Tapi..., bagaimana jika
Kang Suto dilawan memakai Keris Setan Kobra, Guru?"
"Keris?! Oh, bahaya!
Memang bahaya kalau Nila Cendani berhasil dapatkan keris pusaka itu. Dia bisa
mati tanpa jasad sedikit pun!" gumam Ki Gendeng Sekarat. Lalu, Sumbaruni
segera berkata,
"Kita harus susul dia!
Jangan sampai dia terpikat oleh jeratan cinta Nila Cendani!"
"Cinta, cinta...! Keris
itu sangat berbahaya!" bentak Ki Gendeng Sekarat.
"Keris tidak berbahaya!
Cinta yang berbahaya! Cinta melebihi senjata apa pun, baik kekuatannya maupun
bahayanya!"
Setelah berkata demikian,
Sumbaruni segera melesat pergi dengan kecepatan gerak mengimbangi Suto Sinting.
Ki Gendeng Sekarat mau tak mau segera berlari menyusulnya.
Angon Luwak hanya tertegun
bengong, memandang anak buah Ratu Tanpa Tapak yang lari pontang-panting ke
berbagai arah, memandang kedua tokoh tua yang menangisi kehancuran jasad
jenazah gurunya, Sokobumi, juga memandang kepergian Ki Gendeng Sekarat dan
Pelangi Sutera.
Bocah itu hanya berkata lirih
pada dirinya sendiri,
"Mereka mencari keris
milik Ki Empu Sakya! Apakah mereka tahu di mana Ki Empuk Sakya menyembunyikan
Keris Setan Kobra itu? Aku tak yakin mereka bisa menemukannya. Tapi seandainya
mereka mau membawaku pergi, aku yakin mereka berhasil mengetahui letak keris
itu disembunyikan oleh Ki Empu Sakya!"
Angon Luwak berjalan
pelan-pelan sambil memandangi kedua tokoh tua yang masih menangisi kehancuran
jenazah gurunya itu.
SELESAI