1
KETAMPANAN dan kekonyolan Suto
Sinting sering menjadi daya tak tersendiri bagi iawan jenisnya. Bayi baru
iahirpun mengakui bahwa Suto Sinting yang bergelar Penekar Mabuk itu memang
punya wajah tampan.
Bentuk tubuhnya yang tinggi, tegap,
gagah dan berkesan jantan itu sering dijadikan buah khayalan para wanita
Hanya wanita buta saja yang
tidak pernah berkhayal tentang keperkasaan Pendekar Mabuk. - Meskipun muridnya
si Gla Tuak dan Bidadari jalang itu sudah punya calon istri, yaitu dyah
Sariningrum alias Gusti Mahkota Sejati, yang menjadi ratu di negeri Puri
Gerbang Surgawi, tetapi kenyatannya masih banyak pula para gadis yang nekat
jatuh cinta pada bocah sinting tanpa pusar itu.
Suto sendiri memang tergolong
pemuda tengil dan suka iseng, tapi tak pernah jajan'. ia gemar membuat hati
para gadis menjadi berdebardebar penuh harap kepadanya. Tapi seialu
mempertaruhkan nyawanya untuk gadis-gadis yang jatuh hati
padanya. Ada yang jatuh hati
secara terang-terangan, ada pula yang jatuh hati secara geiap-gelapan alias
munafik, ada juga yang jatuh hati secara bertubi-tubi. Salah satu gadis yang
jatuh cinta pada Suto Sinting secara terang-terangan adalah murid mendiang Nyai
Gagar Mayang, tinggalnya di Lereng Buana. Gadis itu bernama Dariingga Prasti,
tapi lebih dikenai dengan panggiian: Perawan Sinting.
walaupun sebenarnya dia bukan
gadis panggilan. Sementara itu, gadis yang jatuh hati kepada Sute secara
munafik di antaranya adalah murid Eyang Girimaya dari Biara Perak. Gadis itu
dikenal Ratu Rimba,
"Perawan Sinting bukan
gadis yang lemah. Lembut pun bukan. Dia gadis yang keras, penuh keberanian, dan
ilmunya cuk|p tinggi," begitu tutur Mahesa Gibas jika sedang menyombongkan
majikan-nya dari kedai ke kedai.
"Pedangnya saja Bisa buat
mendatangkan hujan petir, sebab pedang itu adalah pedang pusaka maut. Boleh
dibilang, pedang itu adalah pusaka terampuh nomor dua setelah P?dang Kayu
Petir. Siapa berani
coiek Perawan Sinting, wees,
hewees. heewes... babias
nyawanya. "Kudengar,
Perawan Sinting itu gadis yang galak gitu .apa benar begitu?"
"Memang. Memang galak dan
mernang kasar, tapi sebenarnya dia gadis berhati mesra. Kalau saja di dunia ini
tidak ada Pendekar mabuk. pasti akuiah pria yang menjadi idaman Perawan
Sinting. Sayangnya di dunia ini ada Pendekar Mabuk yang gantengnya hanya satu
tingkat di atas nilai kegantenganku, jadi yaah... aku mengalah saja. Biarlah
P?rawan Sinting menaruh hati pada Suto Sinting. Aku sih gampang saja....
Peribahasa mengatakan: tak ada rotar akar pun berguna... tak ada perawan, janda
pun boleh juga."
"Haa, haa, haa, haa,
h?a...!" Sementara itu, di antara para murid Eyang Girimaya" juga
sering terjadi budaya gosip-menggosip, terutama jika mereka sedang ngerumpi.
Belakangan ini yang sering
mereka bicarakan adalah si Ratu Rimba, karena diam-diam para murid di kalangan
Biara Perak kagum terhadap Ratu Rimba yang dianggap berhasil mendekati Pendekar
Mabuk,
"Si rambut ungu itu
memang hebat. Dala m sekejap
saja ia sudah dapat gacoan
setampan itu."
"Maklum dia memang cantik
sih.pria mana yang
. tidak terpikat oleh
senyumannya yang dikenal mendatangkan kiamat di hati para pia itu?"
"Ratu Rimba bukan hanya
cantik, tapi juga berimu tinggi. Menurutku, iimunya si Ratu Rimba setingkat
dengan ilmunya Pendekar Mabuk."
"Aah, terlalu berlebihan
bagaimanapun juga si Ratu Rimba tetap tidak lebih tinggi ilmunya dari si
Pendekar Mabuk!
"Anggap saja begitu.
Tap/menurut penilaianku, dia memang pantas mendapatkah pria setampan Pendekar
Mabuk."
"Cuma, sayang sekali
Kadang aku kasihan kepada Pendekar Mabuk yang sering dibentak-bentak oleh Ratu
R!mba."
"Biarpun dia berwatak
keras, kasar, ringan tangan, mudah tersinggung, tapi hatinya peka terhadap
kelembutan dan asmara. Sayangnya lagi.... Ratu Rimba tak berani terang-terangan
mengharapkan kemesraan dari Pendekar Mabuk. sok berlagak cuek. Padahal butuh
banget!" -
"itu memang wataknya. la
selaiu menjaga diri agar tidak dianggap gadis murahan oleh setiap lelaki.
Makanya jarang ada lelaki yang berani mendekatinya."
"Ooo, berani dekat-dekat
dia, telaki itu bisa kehiiangan usus Berani menggoda dia, bisa jebol perut
leiaki itu."
"iya. Tentu saja tak
semua lelaki berani mendekati Ratu Rimba, sebab Ratu Rimba mempunyai jurus
pedang maut yang dinamakan jurus 'Pedang Mata Bima!' itu."
"Hebatnya iagi, dia punya
air liur yang bisa jadi obat jika dicampur air iiur lawan jenisnya. Tentu saja
kalau Pendekar Mabuk terluka, dapat segera sembuh jika iangsung ciuman dengan
Ratu Rimba."
"Aduh, enak sekali tuh si
Ratu Rimba."
Memang begitulah Ratu Rimba.
Sebagai keturunan Dewi Naga Ayu, nenek buyutnya, gadis itu rnemang mempunyai
air iiur mujarab. Mendiang ibunya sendiri, Ratna Umbari aiias si Ratu Merak,
juga mempunyai air liur yang bisa dijadikan obat bagi iawan jenisnya. Mendiang
nenek buyutnya yang bernama Dewi Naga Ayu itu adalah bidadari asli dari
Kahyangan. Karena melakukan kesalahan, bidadari asli itu dibuang kebumi dan
belakangan diketahui bahwa Dewi Naga Ayu itu ternyata istri pertamanya si Glia
Tuak. Belakangan juga baru diketahui bahwa Ratu Rimba ternyata cucu buyut
-.nya si Gila Tuak. Keturunan
kelima dari Dewi Naga Ayu baru bisa diizinkan oleh para dewa untuk tinggal di
Kahyangan.
Padahal Ratu Rimba itu adaiah
keturunan keempat dari Dewi Naga Ayu. Maka anaknya Ratu Rimba itulah yang
berhak masuk Kahyangan dan tinggal di sana bersama dewa-dewi, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "MUSTIKA GERBANG DEwA").
Cerita tentang Dewi Naga Ayu
baru-baru ini telah menyebar ke mana-mana. Para tokoh rimba persilatan yang semula
belum tahu tentang hal itu, sekarang menjadi tahu. Bahkan gosip hubungan
gelapnya Ratu Rimba dengan Pendekar Mabuk juga menjadi buah bibir pada
penggosip di rimba persilatan.
Gosip itulah yang membuat
seorang gadis berpakaian rompi cekak warna ungu berdiri diatas bukit kecil
tanpa pohon. Bukit itu hanya ditumbuhi rumput hijau yang mirip lapisan
permadani.
Gadis cantik bertubuh tinggi.
kekar. seksi dan montok itu tak lain adalah Perawan Sinting. - Di depan Perawan
Sinting yang pedangnya ditaruh di punggung itu, ada seorang gadis berusia
sebaya dengannya. Gadis itu mengenakan rompi cekak dan rok cekak dari kulit
harimau loreng. Ia juga menyelipkan
pedang di punggungnya. Gadis
berambut ungu itu tak iain adalah Ratu Rimba.
Kedua gadis yang sama-sama memakai
rompi tak sampai menutup perut, sama-sama montok, sama-sama cantik dan
sama-sama galak itu saling pandang penuh sikap hermusuhan. Mereka beradu
pandang dengan tatapan mata sama-sama setajam ujung pedang masing-masing.
Perawan Sinting berhadapan dengan
Ratu Rimba. Mereka siap melakukan pertarungan berdarah. Mereka sama-sama siap
mati kapan saja.
Tak jauh dari bukit berumput
hijau rapi itu, ada sebuah desa yang penduduknya cukup padat. Desa itu bernama
Desa Narong, terdiri dari satu keiurahan, lima RW sebelas RT. Kepala desanya
bernama Ki Lurah Wirasaba. Desa tersebut masih termasuk wilayah kekuasaan
Kadipaten Rangon, yaitu sebuah kadipaten kecil yang pusat pemerintahannya dekat
Pantai Lujalang.
Ki Lurah Wirasaba mempunyai
seorang putri cantik berkulit hitam manis namun berhidung mancung, berbibir
sensuai dan memiiki mata yang indah.
Putri sulungnya itu bernama
Murtina. usianya masih tujuh belas tahun kurang tiga bulan. Tubuhnya yang
iangsing dan tergolong tinggi untuk ukurangadis desa, membuat Murtina tampak
sudah dewasa dan iayak menjadi ibu rumah tangga.
Sekaiipun Murtina menjadi
bunga desa, namun ternyata tidak ada satu pun pemuda desa yang berani mendekati
Murtina. Para pemuda, bahkan para duda yang gemar berkhayai jorok, hanya bisa
menikmati kecantikan Murtina jika gadis itu sedang keluar rumah. -
Atau kadang mereka hanya
berani mengkhayalkan Murtina agar hadir dalam mimpi. Rasa takut mendekati
Murtina itu timbui di hati para pemuda desa, karena mereka tahu bahwa Murtina
akan diambii istri oieh Pangeran Moya, putra sang adipati.
Pangeran Moya sudah 'pesan
tempat lebih dulu kepada Ki Lurah Wirasaba pada saat Murtina masih berusia dua
belas tahun. Pada usia semuda itu, kecantikan Murtina sudah tampak jelas di
mata pria mana pun.
"Ki Lurah Wirasaba, kelak
jika usia anakmu itu sudah mencapai tujuh belastahun, aku akan datang untuk
meminangnya dan membawanya pulang ke istana. Jadi, tolong jaga baik-baik
pertumbuhan Murtina, jangan
sampai ada pria lain yang
berani menyentuhnya. Kalau sampai ada pria lain yang berani macam-macam kepada
Murtina, maka pedangku akan memberi teguran lembut di lehernya. Mengerti?"
"Hamba mengerti, Gusti
Pangeran!"jawab Ki Lurah Wirasaba penuh rasa hormat dan takut kepada
Pangeran Moya yang terkenal mata keranjang dan mata buaya. -
Putra sulung sang adipati itu
memang brengsek. Dia sudah punya istri, sudah punya deiapan selir, tapi masih
rakus perempuan. Melihat ada peremp uan cantik sedikit, kerakusannya segera
bangkit untuk ' mencicipi' perempuan itu.
Bagi Pangeran Moya, perempuan
itu ibarat sandai jepit. Kaiau setelah dicoba ternyata enak dipakai ya dimiliki
dan dijadikan koleksi. Tapi kalau setelah dicoba ternyata sandai itu tidak enak
dipakai, ya dipuiangkan kepada pemiliknya dengan diberi ganti rugi sebagai uang
uji coba alakadarnya.
Memang brengsek Pangeran Moya
itu. Bayangkan saja, dengan adanya pesan tempat sang pangeran, akhirnya Murtina
tak bisa bermain dengan bebas.
Apalagi sang pangeran menaruh
mata-matanya di Desa Narong untuk mengawasi Murtina, semakin sempit saja
pergaulan gadis cantik itu. Ayahnya selaiu melarang
Murtina bermain dengan
teman-teman ieiaki. Jika ada teman pria yang datang ke rumahnya untuk sekedar
bermain saja, Murtina tidak diizihkan menemui pria itu.
Hanya pelayannya yang bernama
Genduk yang diizinkan menemui teman pria itu. |
"Kau hanya boieh bermain
dengan sesama perempuan. Kaiau kau kelihatan bicara dengan seorang pemuda,
pasti ayahmu ini akan kena teguran. Mungkin juga akan dihukum cambuk oleh
Pangeran Moya," ujar sang ayah mewanti-wanti anaknya.
"Sudah bertahun-tahun aku
selalu main dengan teman perempuan, Ayah. Alangkah piciknya pergauianku
nanti," protes Murtina.
"Jangan bicara tentang
pergauian, sebab setelah usia tujuh belas tahun nanti, kau akan digauli sendiri
oleh seorang ieiaki berdarah biru, yaitu Pangeran Moya."
Lurah Wirasaba sendiri
ternyata seorang ayah yang keterialuan. Terialu patuh, terlalu pengecut,
terlaiu hatihati, akhirnya dia jadi orang yang terlaiu picik. Bertahun-tahun
putrinya hanya diizinkan bermain dengan sesama perempuan, iama-lama Murtina
bisa jadi gadis iesbian. Kalau sudah begitu, siapa yang malu" Kan dia-dia
juga yang malu.
Penderitaan batin Murtina
agaknya mulai berkurang sejak keda ngan Pendekar Mabuk di desa tersebut.
Kemunculan pemuda tampan itu bukan
atas suatu prakarsa seseorang, tapi atas prakarsa para dewa. Artinya, Suto
Sinting dalam pengembaraannya memburu Siiuman Tujuh Nyawa tiba di desa itu dan
butuh tempat untuk beristirahat.
Bukan saja tempat untuk
beristirahat, tapi juga mengisi bumbung tuaknya yang tinggai satu liter kurang
itu.
Beberapa penduduk desa
tersebut ada yang mengenai ciri-ciri pemuda tampan itu. Berbaju buntung -
coklat dan berceiana putih kusam juga bersabuk kain merah. Rambut panjangnya
tak mengenakan ikat kepaia dan membawa bumbung tempat tuak.
Mereka langsung tahu bahwa
tamu desa mereka itu adalah Pendekar Mabuk. Yang pernah melihat Suto hanya
beberapa orang, tapi yang senang mendengarkan cerita kependekaran Suto Sinting,
hampir semua orang Desa Narong menyukainya. Suto sendiri kaget dan sama sekali
tak menduga kaiau di desa itu ia punya banyak pengagum. Ketenaran Suto itulah
yang membuat pihak keluarga Ki Lurah Wirasaba menyambutnya dengan murah
meriah. Ki Lurah Wirasaba
berkenan kekali menerima kedatangan Pendekar Mabuk ke rumihnya untuk berbagi
cerita dan pengalaman. Bahkan Suto diharapkan mau bermaiam di rumah Ki Lurah
unjuk beberapa waktu. Terserah mau berapa lama, asai jangan numpang selamanya.
"Ki Lurah, sepertinya aku
tadi melihat seorang gadis cantik yang punya rambut panjang dan senyum menawan
hatl, Ki Lurah. Siapa gadis cantik "
"Ooh, itu anu... hmm...
itu... calon istri pangeran Moya."
"Odo, calon istri
pangeran" Kusangka dia anakmu, Ki Lurah."
"Hmm, anu... iya, dia
memang caion menantunya kanjeng adipati. Tapi...." -
"Menawan sekali anak itu
tadi, Ki Lurah. Enak dipandang mata. Aku yakin pasti bapaknya tidak enak
dipandang mata seperti anaknya. Biasanya kaiau anak gadis punya wajah cantik,
bapaknya pasti berwajah berantakan. Betul begitu kan, Ki Lurah?"
"Hmmm, iya, eeh...anu...
bukan... bukan iya...." Ki Lurah Wirasaba salah tingkah. Tapi akhirnya
Pendekar
Mabuk mendapat penjelasan yang
sebenarnya, bahwa
gadis cantik itu adalah
Murtina, anak Ki Lurah sendiri.
"Boieh aku bicara dengan
Murtina, Ki Lurah?"
"Hmm, eeh...anu... ya
sebetuinya... sebeluinya yaa begitulah...."
- Semakin curiga Suto dengan
jawaban Ki Lurah Wirasaba yang serba kikuk itu.
"Ada yang tak beres pada
diri Ki Lurah," piki Suto. Gelagat tak beres itulah yang membuat Suto
Sihting semakin penasaran, semakin geregetan, dan akhirnya semakin nekat
menemui Murtina yang sedang menumbuk padi di lumbung bersama teman-teman
wanithnya. Murtina tersenyum malu, menyembunyikan wajah dengan menundukkan
kepala.
Tapi jantungnya seperti
mengaiami gempa Bumi. Bergemuruh cepat dan rnembuatnya berkeringat
dingin.Pasalnya, ia sempat beradu pandangan mata dengan Suto sinting selama
tujuh helaan napas.
Hati kecil Murtina menjerit.
"Ya, ampuuun... orang kok gantengnya kayak Arjuna"! Hmm, hmm..."
Gadis mana yang punya kekasih seganteng itu"! Kenapa bukan aku saja yang
memilikin ya" Aduh, Dewa... mengapa nasibku harus dipesan oleh pangeran
brengsek itu" Coba kalau ayahku tidak takut dengan pangeran celakaitu,
pandangan mataku tadi tak akan kualihkan ke dalam lesung begini."
Teman-teman Murtina justru
berani bertegur sapa dan bercanda dengan Pendekar Mabuk. Cuma Murtina sendiri
yang diam ditempat dan tak berani mengangkat wajahnya. Tapi ia sempat
bisik-bisik kepada Sularti, lalu Sularti tertawa cekikikan.
"Sularti, kenapa kau
cekikkan berdua dengan Murtina" Mengapa tak ajak-ajak aku, Sillarti,"
tegur teman satunya. Sularti yang bermulut cablak dan ceplas-ceplos itu
langsung saja berseru kepada tem?nnya itu.
"Kata Murtina. Pendekar
Mabuk itu ternyata benarbenar tampan, seperti tokoh Arjun dalam wayang kulit
yang kemarin digelar di balai desa itu." - Suto menyahut dengan geli.
"Ah, apa iya wajahku
seperti Arjuna dalam wayang kulit" Wayang kulit kan hanya selembar. Apakah
wajahku setipis wayang kulit, Sularti?" Canda dan gelak tawa makin
berhamburan. Akhirnya Pendekar Mabuk mendengar kasus Murtina yang sebenarnya.
Ia menjadi iba hati terhadap nasib Murtina.
"Kau tak perlu sedih,
Murtina. Juga, tak perlu takut.
"Kalau memangkau tidak
suka kepada Pangeran Moya,
biar nanti aku ng akan bicara
pada Pangeran Moya."
"Beliau bisa marah besar
padamu, Pendekar."
"Aku juga bisa marah
lebih besar lagi darinya."
"Keluargaku bisa
dijebloskan dalam penjara,Pendekar."
"Aku juga bisa
menjebloskan dia dalam kuburan." jawab Suto meyakinkan sekali.
"Pokoknya kau tak perlu
temui pangeran itu jika diadatang kemari. Biaraku yang menemuinya."
"Oooh; kau memang pantas
jadi pelindungku, Pendekar mabuk tutur Murtina dengan senyum dan lirikan
matanya yang menggoda.
kini jantung suo yang dibuat
berantakan karena detakannya terlalu keras.
Hubungan jarak dekat itu
diketahui oleh mata-matanya Pangeran Moya. Sang mata-mata pun melaporkannya.
Maka datanglah Pangeran Moya dengan lima orang pengawal bersenjata tombak.
Sang pangeran berseru kepada
Ki Lurah Wirasaba.
"Ki Lurah...1 Kudengar
ada seorang pemuda yang berani mendekati Murtina! Mana pemuda itu! Suruh dia
menghadapku sekarang juga!"
"Aku di sini!"
tiba-tiba terdengar suara Suto me
nyahut dari belakang. Pangeran
Moya berbalik ke belakang, demikian puia lima pengawai kini mereka berhadapan
dengan Pendekar Mabuk yang tampak tenang
"Nah, sekarang kaiian
sendiri yang menghadapku! Bukan aku yang menghadap padamu, Pangeran Moya"
"Keparat
buntung!"geram Pangeran Moya.
"Berani beraninya kau
mendekati Murtina" Apakah kau belum dengar bahwa Murtina adalah
'Pesanan'-ku sejak dulu
"Murtina itu manusia,
bukan kursi goyang. Jadi tak ada istilah pesan-pesanan segala"
"Biadab: Bicaramu kelewat
iantang di depanku. Apakah kau tidak tahu siapa diriku?"
"Tentu saja aku tahu, kau
adalah pangeran brengsek, putra adipati yang tidak pernah makan bangku sekolah!
Makanya tingkahmu tak pernah beres di mata rakyat!" '.
"Biadab iagi!"
bentak Pangeran Moya.
"Pengawal, hajar
dial" - Lima pengawal maju dengan tombak siap dihujamkan ke tubuh Pendekar
Mabuk. Namun si pemuda tampan itu menghentakkan kaki ke bumi dan berteriak de
ngan suara keras sampai urat
lehernya bertonjolan. Bruuuk...!
"Heeeeeaaaaaaaahhh...!!!"
Lima pengawal itu berhamburan
ke mana-mana. Ada yang langsung pingsan karena memang punya penyakit jantun
yang tak boleh mendengar suara mengagetkan, ada yang langsung menggigil dan
kencing di celana karena memang berjiwa pengecut, ada pula yang langsung
pingsan karena saat berlari menabrak pohon keras keras, ada juga yang matanya
menjadi buta sebelah karena kecolok gagang tombak temannya.
Kini tinggai P ngeran Moya
sendirian yang menggigil di depan Suto dengan mata lebar dan mulut terbengong.
ia seger? memanggii mata-mata yang memberi pengaduan padanya itu.
"Siapa pemuda itu
sebenarnya?"
"Dia adaiah Pendekar
Mabuk, Gusti Pangeran."
"Siapa..."!"
"Pendekar Mabuk, Gusti
Pangeran!"
plaak sang mata mata ditampar
keras oleh Pangeran Moya. Tentu saja orang itu melintir sambil memutar tubuh seperti
gangsing, lalu jatuh terpuruk,
dan segera bangkit lagi dengan
kaki merapat wajah memandang ke depan.
"Lain kali kalau memberi
laporan yang lengkap, ya"!" hardik Pangeran Moya, ialu bicara kepada
para pengawal yang beium pingsan.
"Kita kembali ke
kadipaten!"
"Bag.-- bag... bagaimana
dengan pemuda yang mendekati Murtina itu, Gusti Pang?ran?" Pengawal yang
bertanya itu segera dicengkeram bajunya, ditarik mendekatinya dengan kasar
"Bodoh kaul Begitu saja
bertanya! Kalau kutahu yang mendekati Murtina Pendekar Mabuk, tak sudiaku
datang kemari, Toioi! Nyawaku cuma satu. Tak ada cadangannya!" -
"Ja... jadi kita biarkan
Murtiha didekati pemuda itu, Gusti Pangeran?"
"Pendekar Mabuk itu kalau
ngamuk bisa meruntuhkan langit, Gobloook...! Begitu saja kok masih
ditanyakaaaan...! Hiiiihhh...!" Pangeran Moya meremas mulut pengawai itu
dengan jengkel. Jantungnya makin berdetak cepat dan keringat dinginnya
bercucuran ketika Pendekar Mabuk mendekatinya.
Akhirnya si pangeran dan
pengawalnya cepat-ce
pat meiompat kepunggung kuda
dan memacu kudanya dengan sangat cepat. Pangeran Moya sering mendengar cerita
tentang kehebatan dan kedahsyatan ilmu
Pendekar Mabuk Karenanya, ia
menjadi sangat takut setelah tahu yang mendekati Murtina adaiah pendekar berimu
maut itu,
Dan sejak peristiwa itu
membuat orang-orang Desa Narong bersorak girang, Pangeran Moya tak pernah mau
singgah ke Desa Narong lagi. Bahkan kabarnyalselama empat puluh hari ia seialu
mengaiami mimpi buruk, baik tidur di siang hari maupun pada malam hari. | Padahai
setelah Pangeran Moya dan pengawalnya iari terbirit-birit, beberapa saat
kemudian ada seorang pencari kayu berlari-jari mendekati Pendekar Mabuk. Orang
itu berwajah tegang dan bicaranya penuh semangat.
"Pendekar... di...
dibukit sana ada orang berkeiahi!"
"Berkelahi"i
Jotos-jotosan, maksudmu?"
"Bukan hanya
jotos-jotosan, tapi juga pedang-pedangan segaia!" Suto paham dengan maksud
orang itu. Ada pertarungan di bukit. Menurut bahasa penduduk desa setempat,
bertarung sama dengan berkelahi dan samajuga artinya dengan jotos-jotosan,
alias tonjok-tonjokan.
"Siapa yang berkelahi di
sana?"
"Entah. Aku tak sempat
berkenalan dengan mereka. Tapi mereka cantik-cantik."
Biasss...! Mendengar kata
cantik-cantik, Pendekar Mabuk langsung pergi tanpa pamit siapa-siapa lagi.
Kecepatannya yang menyamai kecepatan cahaya membuat orang-orang terbengong
melompong, merasa seperti sedang mimpi melihat jin ganteng lenyap secara gaib.
2
SIAPA lagi yang dimaksud
pencari kayu tentang pertarungan dua wajah cantik itu kalau bukan Perawan
Sinting dan Ratu Rimba" Kedua gadis itu tadi sudah sempat saling
melepaskan pukulanjarak jauh.
Kedua pukulan beradu di
pertengahan jarak, menimbulkan gelombang ledakan tanpa bunyi, namun membuat
keduanya sama-sama terhempas mundur. Ratu Rimba sempat jatuh berlutut karena
kehilangan keseimbangan badan,
Perawan Sinting tak sampai
berlutut, namun dadanya terasa seperti ditusuki jarum karena menahan gelombang
ledakan tanpa suara tadi. Merasa cukup saling menjajai ilmu masing-masing.
Perawan Sinting segera berseru
dengan suara garangnya. "Kau akan mati di sini jika masih mendekati
Pendekar Mabuk, Gadis busuk!"
"Kau tak punya hak
melarangku, Perempuan binal" balas Ratu Rimba tak kalah ketus.
"Aku berhak melarangmu,
karena Pendekar Mabuk
adalah kekasihkui Kami sudah
merencanakan untuk melangsungkan pernikahan bulan depan. Semua tokoh persilatan
sudah banyak yang tahu, bahwa Perawan sinting akan menikah dengan suto Sinting
pada malam terang bulan purnama nanti."
"Hmmh...!" Ratu
Rimba mencibir.
"Tidakkah kau bayangkan,
apa jadinya jika Perawan Sinting menikah dengan Suto Sinting, pasti punya anak
sinting semua. Apakah kau berniat membuka usaha petemakan bayi
sinting"!" -
"Tutup mulutmu"
bentak Perawan Sinting, tapi Ratu Rimba justru membuka mulut dengan tertawa
angkuh.
"Haak, haak. haak. haak.
haak...i"
"Sekali lagi kau berani
berkata begitu, kuhancurkan perguruanmu!"
"Itu hanya sesumbarmu,
Perawan Edan! Sesungguhnya nyalimutelah ciut didepanku. Kaumenjadi marah karena
pasti kau telah mendengar kabar bahwa Suiosinting telah menitipkan benih dalam
rahimku. Kau pasti sudah mendengar kabar bahwa Ratu Rimba sekarang sedang hamil
akibat menjalin hubungan dengan Suto Sinting. Bukankah begitu, Perawan
Edan"!"
"Apa..."! Kau telah
hami"!" Perawan Sinting mendelik kaget. Ratu Rimba semakin tersenyum
sinis Merasa senang dapat membuat lawannya terkejut.
Perawan Sinting makin
menggeram marah.
"Kalau begitu sudah
selayaknya kau kukirim ke neraka sebelum bayi harammu itu lahir!"
"Bayiku menghendaki kau
dulu yang ke neraka, Perawan Edan!"
"keparat:
Wuuaaaaww..." Perawan Sinting memekik panjang sambil tubuhnya melambung ke
atas dan bersalto menyerang Ratu Rimba. Tendangan yang diarahkan kewajah Ratu
Rimba berhasil ditahan dengan cara menyentakkan telapak tangan ke depan.
Telapak tangan Ratu Rimba
mengeluarkan tenaga dalam cukup besar, sehingga Perawan Sinting seperti
menendang dinding dari baja.
Duuurrr...! Ia melambung balik
dan buru-buru bersalto lagi. Kejap berikutnya, Perawan Sinting sudah
mendaratkan kaki dengan slgap dan tegak.
jleeg...! Diam-diam Perawan
sinting membatin,
"Kurang ajar Tulang
kakiku seperti dipatah -patah dengan tangan raksasa, Uuht...! Sakitnya bukan
main"i Sebaiknya aku jangan bergerak dulu sebelum h awa murniku
kusalurkan ke kaki kanan
ini!"
Ratu Rimba melihat kaki kanan
lawannya bergetar. Ia tahu kaki itu dalam keadaan lemah, maka ia pun maju
menyerangnya dengan tendangan samping ke arah dagu lawan, - -
Wuuut...! Plak, plak..,!
Perawan Sinting menangkis tendangan beruntun itu dengan kibasan kedua
tangannya. Ratu himba cepat melompat mundur dan pasang kuda-kuda kembali.
"Bedebah!" geram
Ratu Rimba dalam hati.
"Panas sekali sekujur
tubuhku gara-gara tangkisannya tadil Rupanya dia punya kekuatan gelombang hawa
panas yang dapat membuat kering darahku. Aku harus segera menyalurkan hawa
saljuku sebelum darahku menjadi kering!" Ratu Rimba berusaha untuk tidak
kentara dalam menyalurkan hawa saljunya. Tetapi tubuhnya yang bergetar dan
mulai berkeringat itu membuat Perawan Sinting tahu bahwa lawannya sedang dalam
keadaan lemah. Tak heran jika ia segera melepaskan pukulan jarak jauhnya ke
arah Ratu Rimba. Perawan SInting merapatkan kakinya.
Seert...! Kedua tangan segera
menyentak ke samping.
Blaab...! Seberkas sinar
kuning keluar dari kedua tangan, melengkung ke atas dan menjadi satu. Lalu
sinar kuning itu melesat ke dada Ratu Rimba dengan cepat.
Weessss...! Melihat sinar
kuning mendekatinya, Ratu Rimba segera meliukkan pergelangan tangan kanannya.
Kedua jaritangan kanan itu berdiritegak dan kaku. Tangan kirinya menyangga
pergelangan tangan kanan, lalu tangan kanan itu disentakkan kedepan.
Claaap...! Selarik sinar merah
keluar dari kedua jari tangan itu, langsung menghantam sinar kuning lawannya. -
Blegaaaarrrrr...!! - Bukit
rumput hijau itu bergetar. Rasa-rasanya seperti mau amblas ke bawah. Di
beberapa tempat terjadi keretakan tanah, tapi tak sampai membentuk celah lebar.
Ledakan dahsyat itu membahara kemana-mana. Daun-daun pohon yang ada di kaki
bukit berguguran. Warnanya yang hijau berubah menjadi kuning layu. Bahkan ada
beberapa pohon yang menjadi retak garagara dihantam gelombang ledakan yang
cukup dahsyat itu. -
Ratu Rimba terkapar dalam
jarak sepuluh langkah dari tempatnya. Hidungnya mengeluarkan darah hitam
kental, demikian pula
mulutnya. Wajah gadis itu menjadi pucat pasi, seperti mayat. Tapi ia tetap
berusaha bangkit wataupun dadanya terasa seperti jebol.
"Jahanam busuk orang
itu.. Pedangku harus bicara juga rupanya!" geram Ratu Rimba, ialu mencabut
pedangnya yang runcing dan tajam dua sisi itu.
Sraaang...! Ledakan besar itu
membuat Perawan Sinting terhempas dan jatuh duduk di rerumputan sejauh lima.
langkah. Dadanya terasa sesak, seperti ditekan batu besar. Kulit tubuhnya
terasa perih, seperti disilei-silet. Tapi ia dapat aegera menguasai rasa sakit
itu, sehingga dalam sekejap sudah berdiri lagi. Ia sempat memandang Ratu Rimba
yang kala itu belum bardiri. Baru saja Perawan Sinting mau menerjang lawannya,
tahu-tahu lawan sudah mencabut pedang, sehingga niatnya perlu ditahan sebentar.
"haruskah kugunakan
pedang pusakaku untuk melawannya?"pikir Perawan sinting penuh
pertimbangan.
"Sebaiknya kulihat dulu
sejauh mana ilmu pedangnya dapat dipakai melawanku. Kalau memang terpaksa
sekali, apa boleh buat, pedang pusakaku pun harus ikut ambil bagian"
Perawan Slnting melangkah maju
mendekati lawannya tanpa mencabut pedang. Ratu Riimbapun maju dengan pedang
ditebas-tebaskan. Gerakan pedangnya sangat cepat dan mengeluarkan angin tebasan
yang cukup berbahaya. Terbukti rumput-rumput di bawah kaklnye menjadi layu dan
berhamburan kemana-mana, padahal tak sampai terkena ujung pedang sedikit pun.
"Bersiaplah pergi ke
neraka, Jahanam!" teriak Ratu
Rimba dengan ganas. Perawan
Sinting hanya mencibir dan diam ditempat dengan kedua kaki sedikit merenggang.
"Keluarkan semua ilmu
pedangmu. akan kulemparkan pedang itu keakherat bersama nyawamu juga, Ratu
Bangkai!"
"Haaaat...!!"
"Tahaaaan..." Seruan panjang itu datang bersama berkelebatnya
bayangan yang menghadang langkah Ratu Rimba. Pada saat itu, pedang Ratu Rimba
berkelebat cepat dan membentur sesuatu yang kerasnya seperti baja.
Traaang...! Sedangkan kaki
Perawan Sinting yang tadi bernaksud melepaskan tendangan cepatnya kearah Ratu
Rim
ba, tiba-tiba tersapu sesuatu
yang membuatnya jatuh terpeianting.
Beet, bruuuk...! -
"Aow..." Perawan Sinting terpekik. Kakinya seperti disambar sebatang
kayu balok dengan cepat. Rasa nyeri merayap cepat ke sekujur tubuhnya.
Perawan Sinting dan Ratu Rimba
sama-sama pandangi si pendatang yang langsung ikut campur dalam pertarungan
itu. Ternyata orang tersebut adalah pemuda tampan yang sedang diperebutkan oleh
kedua gadis tersebut.
"Apa-apaan ini"i
Mengapa kalian lakukan pertarungan ini?"
"Menyingkirlah,
Suto!" sentak Perawan Sinting dengan wajah berang.
"Tidak. Aku tidak ingin
kalian saling bermusuhan!" tegas Pendekar Mabuk. Matanya memandang kedua
gadis itu secara bergantian. Wajah Suto sendiri sebenarnya ikut tegang juga.
"Beri kesempatan padaku
untuk merobek perut si jalang itu, Asmaraku.. kata Ratu Rimba dengan ketus.
Perawan Sinting mencibir mendengar Ratu Rimba memanggil Suto dengan panggilan
'Asmaraku'. Makin muak hatinya kepada Ratu Rimba. Namun agaknya ia
pandai menyembunyikan
perasaannya itu sehinggatak diketahui oleh Pendekar Mabuk.
Suto sendiri jadi tak enak
kepada Perawan Sinting atas panggilan Ratu Rimba. Tapi ia tak bisa melarangnya,
sebab dari mula pertama si Ratu Rimba memang memanggilnya 'Asmaraku'. Ini
gara-gara Ratu Rimba. ditipu oleh Suto, sehingga lahirlah panggilan tengil itu.
"Ratu Rimba, apa
persoalan sebenarnya" Jelaskan padaku!" Ratu Rimba melirik Perawan
Sinting dengan tajam. Ia mendengus sambil menegakkan bada nnya yang tadi
merenggang dalam posisi rendah.
"Perempuan jalang itu
memihak orang-orang Danau Getih! Dia pantas untuk dipenggal, Asmaraku!"
"Benarkah begitu,
Darling?"tanya Suto kepada Perawan Sinting yang punya panggilan khas
'Darling', yang merupakan kependekan dari Daringga Prasti.
"Aku bukan orang Danau
Getih. Dia salah paham. Tapi dia memang tengil dan pantas untuk kubedah
perutnya!" Rupanya kedua gadis itu secara tak langsung sama-sama sepakat
untuk merahasiakan persoalan yang sebenarnya. Dengan begitu, Pendekar Mabuk tak
akan
merasa besar kepala, dan tetap
menyangka perselisihan itu terjadi hanya karena kesalahpahaman.
"Ratu Rimba, Perawan
sinting ini memang bukan Orang Danau Getih, bukan anak buahnya si Barong Geni.
Aku kenal baik dengannya. Dia berasal dari Lereng Buana" - -
"Hmmh...!" Ratu
Rimba mencibir sinis. Tentu saja kau membelanya, karena dia pandai pamer dada
di depanmu!" -
"Hei, tutup bacotmu,
Jahanam!" sentak Perawan Sinting dengan nada tinggi. Pendekar Mabuk
buru-buru menghadang di tengah sambil merentangkan kedua tangannya.
"Tahan amarahmu, Darling!
Ratu Rimba memang bermusuhan dengan pihak perkampungan penyamun, yaitu
orang-orang Danau Getih. Kuharap kau tidak memperpanjang perselisihan salah
paham ini, Darling"
"Kau memang pengacau,
Buaya kampung!" perawan Sinting mendekati Suto dengan wajah bengis dan
suara menggeram. Ratu Rimba buru-buru ikut mendekat sambil mengangkat
pedangnya.
"Lain kali kau akan
menemukan gundik busuk itu dalam keadaan terbelah:
Suara Perawan Sinting itu
didengar oleh Ratu Rimba. Maka gadis itu pun ikut menggeram ditelinga Suto.
"Suruh siayam petelur itu
untuk belajar membelah langit dulu, baru bisa membelah tubuhku!" Perawan
Sinting menyentak sambil tangannya mulai meraih gagang pedangnya.
"Jadi kau ingin
kubuktikan sekarang juga, hah?"
"Cabut pedangmu!"
teriak Ratu Rimba sambil ingin menyerang. Pendekar Mabuk melepaskan dua
sentilan dari tangan kanan-kiri.
Tes, tes...! Sentilan dari
jurus 'Jari Guntur'-nya itu membuat kedua gadis itu terpentai berbeda arah.
Tentu saja sentilan itu tidak menggunakan tenaga sepenuhnya. Hanya seperempat
dari tenaga jurus 'Jari Guntur yang digunakan dalam jarak masingmasing satu
langkah. Seandainya kekuatan jurus itu digunakan sepenuhnya, kedua gadisitu
dapat kelenger sampai beberapa waktu tak sadarkan diri. Ratu Rimba segera
bangkit sambil menyeringai. Perutnya merasa sakit dan sesak napas. Perawan
Sinting juga segera bangkit, tapi tidak memakai acara menyeringai segala,
karena ia tadi sempat menahan tenaga dalamnya suto dengan menyalurkan hawa
sakti
nya ke perut. Perut itu hanya
merasa perih sekali, seperti orang belum sarapan. -
"Kalau kaian tak mau
berdamai...," seru Suto mulai ingin melontarkan anceman. Tetapi seruan itu
tak dilanjutkan, karena tiba-tiba ia merasakan datangnya angin aneh dari
selatan. Semilir angin yang datang sepoi-sepoi dari selatan itu terasa
mengandung getaran hawa maut. Mau tak mau hawa saktinya pun mulai dikerahkan
dan mengalir ke setiap peredaran darahnya.
Perawan Sinting juga tampaknya
curiga dengan hembusan angin aneh itu. Dahinya berkerut dan matanya melirik
kearah selatan. Kedua tangannya mengeras perlahan-lahan pertanda ia pun sedang
mengerahkan hawa saktinya lagi.
Ratu Rimba justru
terang-terangan menghadap ke selatan, seolah-olah ia menanti datangnya bahaya
dari selatan, Pedang tetap digenggam dan diarahkan ke selatan. Matanya melirik
Suto, ternyata Suto juga sedang meliriknya. Suto melirik Perawan Sinting,
ternyata Perawan Sinting juga sedang meliriknya. Ketika mereka main
lirik-lirikan tanpa suara, bumbung tuak Suto segera diayunkan ke depan secara
tba-tiba.
wuuut...! Ratu Rimba dan
Perawan Sinting
g juga melakukan tindakan
periawanan, karena mereka merasakan getaran angin semakin kuat. Itu menandakan
ada serangan yang diarahkan kepada mereka bertiga.
Wuuubb, ddeeb. deeb,
buuubb...!. Perawan Sinting dan Ratu Rimba terjungkal dan berguling-guling menuruni
bukit. Mereka merasa diterjang badai panas yang kekuatannya menyamai kekuatan
dua ekor banteng. Sementara itu, Pendekar Mabuk memang sempat terpental mundur,
namun tak sampai jatuh. Bumbung tuaknya yang diayunkan berhasil mengurangi
kekuatan daya terjang angin panas itu.
Namun kejap berikutnya, tubuh
Suto memutar cepat bagaikan hanyut dalam pusaran angin.
Wuuurrs...! Ia sempat berseru
kepada kedua gadis itu.
"Lari kaliaaan...!
Lariiii...!"
"Hahh..."!"
Perawan Sinting yang sudah bangkit lebih dulu terkejut sekali melihat Pendekar
Mabuk tahu tahu lenyap tanpa bekas. Ratu Rimba yang masih merangkak juga
melihat kejadian aneh itu,
"Asmarakuuuu...!!"
teriaknya dengan beran g. . Kedua gadis itu segera lari mendekati tempat Suto l
enyap. Wajah mereka sangat tegang. Perawan sinting
mencabut pedangnya yang
memancarkan cahaya hijau
pijar. Namun mereka tetap tak
menemukan siapa-siapa
ditempat itu. Suara Suto pun
tak terdengar lagi.
"Dia hilang!"
"Jahanam! Siapa yang mengambilnya"!"geram Perawan Sinting dengan
murka.
. . . ,
3
JEJAK yang tertinggal di atas
rumput hanya garis kuning samar-samar. Garis kuning itu seperti daun-daun
rumput yang menjadilayu secara mendadak. Garis itu diikuti oleh Perawan Sinting
dan Ratu Rimba.
Tapi semakin ke utara semakin
tipis warna kuningnya. Bahkan sampai di kaki bukit garis kuning itu hilang sama
sekali.
"Mungkin si buaya kampung
itu masuk ke alam gaib, sebab dia memang bisa keluar-masuk alam gaib,"
ujar Perawan Sinting masih dengan nada tak ramah.
"Aku tak melihat dia
mengusap keningnya. Setahuku, dia akan lenyap dan akan berada dialam gaib jika
mengusap keningnya dengan tangan kanan!" Perawan Sinting menarik napas
dalam-dalam dan memandangi sekelilingnya. Kini ia menggunakan kekuatan batin
dengan memejamkan mata. Hal itu sudah dilakukan tiga kali, sekarang yang
keempat kalinya. Namun ternyata kekuatan batinnya tidak bisa menemukan jejak
hilangnya Pendekar Mabuk.
"Seseorang telah
menculiknya!" gumam Perawan
sinting dengan suara bergetar
karena masih diliputi kemarahan besar.
"Pasti penculiknya
berilmu inggi Kau tak akan mampu melacaknya dengan kedangkalan Ilmumu!"
Pandangan mata Darlingga Prasti mengecil. Tajam dan menampakkan amarah yang
ditahan mati-matian. Ketajaman mata itu diarahkan kepada Ratu Rimba atas penghinaannya
tadi. Namun gadis berambut ungu itu tidak membalas dengan lirikan tajam, justru
berlagak cuek, seolah-olah tak tahukalau lawannya tersinggung.
"Haruskah kita teruskan
pertarungan kita sekarang juga"!" geram Perawan Sinting pada
akhirnya. Sambil memandang ke sana-sini, Ratu Rimba menjawab dengan sikap
seenaknya..
"Nanti saja. Untuk apa
kita bertarung jika orang yang kita perebutkan tidak ada"1 Menemukan dia
kembali belum tentu semudah mencabut nyawamu!" - -
Wuuut...! Perawan Sinting
melepaskan tendangan. menyamping. Tetapi gadis berompi loreng itu cukup awas
dan menampakkan kegesitannya. Dengan menyentakkan tubuh.ke belakang, tendangan
itu meleset satu jengkal didepan hidungnya. Ia ingin menghantam
kaki tersebut, namun Perawan
Sinting lebih dulu menarik kaki dengan gerakan sangat cepat.
Seet... Anak rambut Ratu Rimba
terhempas karena tarikan kaki berangin kencang itu. Ratu Rimba tak membalas.
Hanya sunggingkan senyum sinis, seakan merermehkan serangan tadi. Perawan
sinting pun tak mengumbar kemarahannya. la hanya melontarkan ancaman dengan
tangan menuding tajam.
"Sekali lagi bicaramu
memerahkan telingaku, tak ada ampun lagi bagimu"
"Jangan harap aku
mengemis pengampunan darimu!" cibir Ratu Rimba.
"Aku yakin justrukaulah
yang...." Tiba-tiba tangan Ratu Rimba mencabut pedang yang sudah telanjur
dimasukkan ke dalam sarung pedang. Kecepatan mencabut pedangnya itu sempat
membuat Perawan Sinting terperanjat. Ia melompat mundur karena pedang Ratu
Rimba berkelebat menebas ke arah pundaknya.
Wilz...! Triing...! Rupanya
pedang itu dipakai untuk menangkis datangnya sekeping logam putih. Benda
tersebut melesat dari semak-semak yang ada di belakang Perawan Sinting. Benda
itu terpental dan menancap pada sebatang
pohon. Jruub...! Perawan
sinting segera pasang kuda-kuda setelah tahu bahwa Ratu Rimba tidak bermaksud
melukainya, namun justru membelokkan arah benda tersebut. Tanpa banyak
pertimbangan lagi, Perawan Sinting segera melepaskan pukulan jarak jauhnya ke
arah semaksemak tersebut.
Beet...! CIaap...1 Blaarr...!
Semak-semak pun hancur menyebar ke mana-mana. Sekelebat bayangan melompat
tinggalkan semaksemak itu sebelum cahaya kuning dari tangan Perawan sinting
menerjang tempat peraembunyiannya. Melihat ada orang yang keluar dari
semak-semak teraebut, Ratu Rimba segera berkelebat dengan cepat.
Baas...! Ia mengejar orang itu
dan beberapa saat kemudian berhasil menendangnya dari belakang.
Buuhkk...!
"Aaahk..." orang itu terlempar ke depan dan jatuh tersungkur sambil
mulutnya menyemburkan darah segar. - Perawan Sinting menyempatkan diri mencabut
benda yang menancap dipohon. Ternyata sebilah pisau tanpa gagang. Ia segera
mendekati Ratu Rimba yang sedang mengarahkan pedangnya kedada seorang lela
ki berpakaian abu-abu, berusia
sekitar tiga puluh tahun. Lelaki itu dalam keadaan terpakar di tanah dan tak
berani bergerak karena dadanya terancam pedang. Perawan Sinting berkerut dahi
memandangi orang tersebut: ia merasa tak kenal dengan si pelempar pisau tanpa
gagang itu. Akhirnya ia berkata kepada Ratu Rimba.
"Aku tak kenal siapa dia!
Kau boleh kirim dia ke nerakal Tapi lain kali tak periu menyelamatkan nyawaku,
aku dapat rasakan sendiri kedatangan pisau itu!"
Perawan Sinting bergegas
meninggalkannya. Tetapi orang itu tiba-tiba memekik.
"Unhk..." Perawan
Sinting cepat berpaling kembali dan menghentikan langkahnya. Orang berpakaian
abu-abu itu sudah mengejang dengan mata mendelik. Pedang si rambut ungu telah
menancap di jantung orang tersebut.
"Keji sekali
kau"!" kecam Perawan Sinting.
Ratu Rimba sedikit setakkan
kaki menendang tangan orang itu. Ternyata tangan tersebut sudah menggenggam
pisau. Rupanya orang itu nekat ingin melawan dengan mencabut pisau yang
disimpan di betis
nya Namun sebelum ia sempat
bergerak lebih cepat lagi, ujung pedang Ratu Rimba terpaksa dibenamkan
kuat-kuat. Tentu saja orang itu kehilangan nyawa. Seandainya ia menyerah dan
tak senekat itu, mungkin usianya masih panjang. Ratu Rimba tak akan benar-benar
membenamkan ujung pedang ke jantung orang tersebut.
Akhirnya Perawan Sinting
memakiumi mengapa Ratu Rimba membenamkan pedangnya ke dada lawan.
"Jangan menganggap aku
telah menyelamatkan nyawamu, Perawan Edan!"
"Lalu kenapa kau
singkirkan senjata rahasia orang itu dari ku?"
"Dia orang Danau Getih,
musuhku! Akuiah sasarannya!" - hmmn: Perawan Sinting mendengus kesal.
Hatinya pun menggerutu jengkei.
"Siaian! Kukira dia
menyelamatkan nyawaku"! Tak ubahnya dia menyelamatkan nyawanya
sendiri!" Darlingga Prasti segera melanjutkan langkahnya. Ratu Rimba
sempat berserutanpa bergegas menyusuinya.
"Mau ke mana kau?"
- "Mencari si buaya
kampung itu!"
"Ke mana kau akan
mencarinya?"
"Ke ujung dunia!"
Ratu Rimba mendengus kesai,
tapi akhirnya ia bergegas menyusul Perawan Sinting dengan gerakan berjungkir
baik di udara, iaiu mendarat di jalanan depan Perawan Sinting.
"Kuingatkan padamu,
jangan teruskan iangkah!" geram Ratu Rimba dengan suara pelan.
"Kau tak punya alasan
melarangku melangkah, Ratu Gendeng!" -
"Ada beberapa orang yang
sedang mengintai kitai" bisik Ratu Rimba semakin pelan, tapi nadanya
ditegaskan penuh geram.
"Aku tahu Di pohon
sebelah kanan ada dua orang yang memperhatikan kita."
"Diatas pohon belakangku
juga ada dua orang!" Perawan Sinting sengaja beradu tatapan mata dengan
Ratu Rimba, tapi getaran batinnya bekerja dengan cepat memeriksa keadaan
sekeiiiingnya. ia kembali menggeram dengan wajah makin mendekati Ratu Rimba.
"Memang. Satu orang iagi
ada di pohon sebelah
kiri. Dua orang ada di balik
pohon belakangku. Tapi aku - yakin, itu bukan urusanku, melainkan urusanmu!
Selesaikan sendiri. Tak parlu meminta bantuanku."
"kau akan jadi sasaran
mereka juga, karena kau dianggap temankui"
"Slaii"geram Perawan
Sinting setelah menurut pertimbangannya, apa yang dikatakan Ratu Rimba itu
memang benar, bahwa ia akan ikut diserang oleh para pengepung itu.
"Kau memang biadab, Ratu
Rimbal Siapa mereka sebenarnya?"
"Siapa lagi kalau bukan
orangnya si Barong Geni dari perkampungan penyamun: Danau Getih"!"
"Keparat! Aku benci
dengan urusan inil Tapi jika nyawaku terancam juga, apa boleh buet!"
Periarungan tak bisa dihindari. Perawan Sinting terpaksa ikut berjumpalitan
menghindari serangan tujuh orang Danau Getih itu. Dalam beberapa gebrakan saja,
ia berhasil meiumpuhkan tiga orang lawan yang bersenjata golok. - Ratu Rimba
sibuk dengan tebasan pedangnya. Kecepatan jurus pedangnya membuat dua lawannya
tak bernyawa dalam waktu singkat. Kini tinggal dua orang
lagi yang belum ditumpuhkan
oleh kedua gadis itu.
Perawan Sinting tetap belum
mau mencabut pedangnya. ia merasa masih mampu menghadapi tawan tanpa
menggunakan pedang. Jurus-jurus tendangan mautnya masih bisa diandaikan.
Terbukti dalam beberapa kejap saja, satu lawan berhasil dibuat terpuruk tanpa
daya dengan memuntahkan darah segar dari mulut dan hidungnya.
Pada dasarnya Ratu Rimba tak mau
membuangbuang waktu. Karenanya, ia tetap menggunakan pedang untuk membabat
habis lawan terakhirnya. Empat orang Danau Getih terkapar tanpa nyawa, dua
lainnya dalam keadaan sekarat, satu orang lagi luka parah walaupun masih punya
kesempatan untuk melarikan diri.
Ketika Ratu Rimba berkelebat
mengejar orang yang melarikan diri, tiba-tiba dari arah depannya muncul
bayangan yang menerjangnya dengan cepat. Bayangan hitam itu berkelebat nekat,
bagaikan tak mempedulikan pedang yang siap diayunkan gadis berambut ungu itu.
Weesss...! Kecepatan bayangan
hitam itu sungguh luar biasa, sehingga Ratu Rimba tak sempat mengayunkan
pedangnya. Tahu-tahu gadis berambut u ngu itu telah teriempar ke belakang dan
jatuh terbantin g di samping "
- Perawan Sinting. Bruuuk...! "Aaahkk...!"
Ratu Rimba mengerang kesakitan. Kuiit wajahnya menjadi merah matang, dadanya
membekas biru seukuran telapak kaki orang dewasa. Darah segar meleleh dari
sudut bibirnya. Perawan Sinting terperanjat melihat keadaan Ratu Rimba. Tapi ia
tetap mengecam gadis itu dengan katakatanya yang sinis.
"Buta sekali matamu. Buat
apa punya wajah cantik kalau matanya buta, tak bisa melihat bayangan datang
dari arah depan!"
"Ak... aku melihatnya,
Kunyuk Tap...tapi aku gagai membendung terjangannya!"
"Hmhh...! Makanya
banyak-banyaklah berpuasa!"
"Maksudmu... maksudmu
biar tambah sakti, begitu?" -
"Biar tambah lapar,
Gobloki" geram Perawan Sinting, lalu ia buru-buru memandang ke arah
datangnya bayangan hitam tadi. - Ternyata di sana sudah berdiri seorang ieiaki berwajah
angker dengan rambut panjang meriap-riap berwarna abu-abu. Leiaki itu
membungkus tubuhnya yang kurus dengan jubah hitam dan celana hitam. Matanya
cekung, pandangannya dingin
sekali, bagaikan ingin membekukan darah iawannya. Sebuah Cambuk warna putih
terselip di pinggangnya dalam keadaan melingkar. Namun cambuk itu belum dicabut
dari tempatnya. Leiaki berwajah angker itu masih mengandalkan tangan kosongnya,
ia mempunyai jari-jari berkuku panjang warna abu-abu. -
Ratu Rimba berusaha
menyalurkan hawa murninya ke dada, karena bagian dadanya terasa sangat panas
dan seperti sedang disayat-sayat dengan pisau tajam. Sementara itu, Perawan
Sinting terpaksa maju menghadapi si wajah angker, karena pandangan mata siwajah
angker tertuju tajam kepadanya.
"Jangan-jangan dialah
orangnya yang membawa pergi si buaya kampung itu"!" geram Perawan
Sinting dalam hati. Semangatnya untuk menghadapi orang tersebut semakin besar,
kobaran api murka klan membakar jiwanya.
"Edanl Pandangan matanya
membuat jantungku menjadi lemah. Simmm, aku harus menghindari tatapan matanya
itu!" pikir Perawan Sinting seraya meiangkah ke samping mencari tempat
yang iebih lega. -
Orang berambut acak-acakan
sepanjang pung
gung itu mulai perdengarkan
suaranya yang serak dan bernada datar. Pada saat itu, Perawan Sinting memandang
bagian mulut orang itu, dan ternyata kelemahan jantungnya mulai pulih kembaii.
Dugaannya memang benar, tatapan mata orang itu mengandung getaran tenaga dalam
yang mampu membuat detak jantung iawannya menjadi semakin lemah. Tanpa bergerak
pun orang itu lama-iama dapat membuat iawannya jatuh sendiri seperti terkena
serangan jantung.
"Setan jalang dari mana
kau, sehingga anak buahku bisa kau lumpuhkan dalam waktu singkat"!" -
"oo. merekatadianak
buahmu" Berarti kau adalah si Barong Geni, ketua perkampungan penyamun
itu"!"
"Pandang mataku
jelas-jelas jika kau ingin tahu rupa si Barong Geni!"
"Rupamu jelek begitu,
buat apa dipandang jelasjelas"!" ejek Perawan Sinting dengan
kekonyolan ciri khasnya. Barong Geni menggeram dengan jari-jari tangan
mengeras, seperti mau menggenggam,
pelacur busuk macam kau memang
patut dihancurkan mulutnya!"
Wuuubbb...! Barong Geni
menyodokkan tangan
kanannya. Dari telapak
tangannya tersembur api yang cukup besar ke arah Perawan Sinting. Tanpa
berpikir panjang lagi, Perawan Sinting segera memutar tubuh sangat cepat
seperti gangsing. Tubuh itu diputar dengan posisi berdiri di atas ibu jari kaki
kanannya, sementara kaki kiri sedikit dilipat ke atas.
Wuuuurrs...! Begitu berhenti
mendadak, kedua tangannya menyodok ke depan.
Wuuuss...! Angin kencang
berbusa saju menghempas dari kedua tangannya. Api yang menuju ke arahnya dari
jarak delapan iangkah itu menjadi padam seketika dengan menimbulkan letupan
pendek.
Biuubb...! Wuuus...! Asap
hitam mengepul ke atas ba- gaikan solar yang terbakar. Barong Geni tampak
terkejut melihat pukuian 'Naga Berang"-nya dipadamkan dengan mudah oieh
iawan. Geram kemarahannya semakin menyesak didada. Tapi ia tak mau meiakukan
tindakan gegabah. ia masih bisa mengekang emosinya untuk melangkah ke samping
sambii mempelajari kelemahan iawan. Ratu Rimba sudah bisa berdiri lagi. Hawa
murni yang disalurkan di dada membuat dadanya sedikit lega dan bisa bernapas
dengan ringan. Tapi memar di kulit dada bawah leher masih beium bisa hilang,
rasa sakit seperti ditusuk-tusuk jarum itu masih tetap ada.
Karena kekuatan dan tenaganya
mulai pulih, Ratu Rimba segera ambil bagian dalam pertarungan itu. ia
melepaskan jurus Pedang Mata Binai'-nya. Pedang itu
disentakkan ke depan, dari ujung
pedang keluar sinar hijau seperti mata tombak.
Ciaap...! Barong Geni
menyambar cambuknya, langsung dilecutkan ke depan.
Taaar...i Lecutan cambuk
mengeluarkan sinar merah seperti cakram. Sinar merah itu menghentam sinar hijau
dan terjadilah ledakan besar di pertengahan jarak mereka.
Jegaaaarrrr...! Krraaaakk...
bruuukk...! Sebatang pohon patah, iangsung tumbang tanpa mau-malu lagi. Daun
dan ranting pohon lainnya berguguran. Gelombang ledakan tadi menyebarkan angin
hangat bertenaga besar. -
Perawan Sinting dan Ratu Rimba
sama-sama terdorong ke beiakang, namun tak sampai jatuh. Sementara itu, Barong
Geni sendiri terpelanting menabrak pohon di belakangnya, tapi tak seberapa
keras, ia buruburu melompat bagaikan burung gagak menyerang lawan. Cambuknya dilecutkan
kembali ke arah dua gadis yang perut dan pusarnya sarna-sama tidak tertutup
rompi itu. Wuuut...|
Ctaaar...! Cambuk itu seperti terbelah menjadi tiga. Masingmasing ujung cambuk
mengeluarkan sinar merah ke langit. Sinar merah itu saling berbenturan dengan
suara ledakan tak seberapa keras.
Biaammm...! Tetapi iangit
bagaikan terbakar. Hujan api turun ditempat itu dalam radius tertentu.
"Celakai Cepat lari dari
tempat ini!" seru Perawan Sinting.
Biaass... ia melesat lebih
duiu. Ratu Rimba mengikuti dengangerak cepatnya.
Biaass...! Hutan pun terbakar.
-
- Barong Geni mengejar dua
gadis yang melarikan
diri itu. Sesekali cambuknya
disabetkan ke depan.
Ctaaarr... Hujan api kembali
turun membakar hutan. Tetapi Perawan sinting dan Ratu Rimba masih bisa
menghindari hujan api waiau satu- tetesan api sempat menyengat kulit tubuh
mereka.
"kenapa tidak kita hadapi
saja?" seru Ratu Rimba sambil beriari di samping Perawan Sinting.
"Kita butuh tempat dan
waktu untuk menghancurkan cambuknya, Tolol"
"Kau yang toioi!"
balas Ratu Rimba membentak.
"Aku bisa menggunakan
lapisan hawa salju untuk menahan hujan api itu!"
"Katau begitu, kenapa kau
ikut iari"!"
"Brengseki Gara-gara kau
lari akujadi panik!" Ratu Rimba berhenti, Perawan Sinting pun ikut
berhenti.
"satukan lapisan hawa
saljumu dengan pukulan "Gunung Es-ku" ujar Perawan Sinting. Pukulan
Gunung Es' adalah pukuian yang dipakai memadamkan semburan api Barong Geni
tadi. Perawan sinting dan Ratu Rimba bersiap melepaskan imu salju mereka. Tapi
ketika Barong Genitiba di tempat itu, sebelum tangannya yang terangkat ke atas
itu melecutkan cambuk iagi, tiba-tiba sekeiebat sinar putih melesat menghantam
Berong Geni dari samping.
Wuuutt...! Barong Geni merasa
dihampiri hawa aneh, ia tak jadi melecutkan cambuknya kearah kedua gadisitu,
melainkan menyentakkan tangan kirinya untuk menghantam sinar putih
berbintik-bintik seperti serpihan permata itu. Dari tangan tersebut keluar
gumpaian api sebesar boia kasti yang segera menyebar membentengi dirinya.
Ciaaarrip...! - Biaaaaarrr...!
Biegaaaaarrr...i
Bumi bergetar bagaikan dilanda
gempa. Beberapa tanah menjadi retak panjang membentuk celah selebar dua
jengkal. Lebih dari lima pohon patah dan tumbang. Batu-batu besar mengalami
keretakan, sebagian ada yang menggelinding dari ketinggian dan pecah menjadi
beberapa bongkah. - Ledakan dahsyat itu juga membuat Perawan Sinting dan Ratu
Rimba teriempar ke belakang dan jatuh saing tindih dalam jarak jima tombak
iebih. Mereka berdua saing maki dan cekcok sendiri.
Tapi suara mereka segera
dihentikan karena melihat Barong Geni terlempartak seberapa jauh dari mereka.
Barong Geni bangkit setelah Perawan Sinting dan Ratu Rimba berdiri pasang
kuda-kuda. Wajah Barong Geni menjadi hitam kemerah-merahan, seperti habis
dipanggang api. Sekalipun berdirinya agak limbung, tapi ia tampak masih punya
kekuatan untuk melawan kedua gadis itu.
Ciap, ciap...! Tiba-tiba dua
berkas sinar muncul iagi dari balik pohon yang akarnya mencuat ke atas namun
beium sampai tumbang itu. Dua sinar biru satu di tanah belakang dan satu iagi
di depan si Barong Geni. Kedua sinar biru itu bagaikan membakartanah tersebut
membentuk tingkaran yang mengurung Barong Geni.
Zuuuubb...!
"Bangsaaat...!" geram Barong Geni ketika menyadari telah terkurung
sinar biru dalam jarak lima langkah dari tempatnya. Sinar biru itu memancar
keatas, seperti dipancarkan dari dalam tanah. Barong Geni mencoba melayangkan
cambuknya, namun yang terjadi adalah ietupan kecii yang membuatnya seperti
tersengat aliran istrik bertegangan tinggi.
Traaarr. Barong Geni terlonjak
mundur dua langkah. ia tak berani menyentuhkan cambuknya lagi pada sinar biru
yang mengurungnya. Kini ia kebingungan mencari jalan keiuar dari lingkaran
tersebut. Wajahnya tampak gusar sekali.
"Siapa orang yang telah
mengurungnya dengan sinar biru itu?" bisik Ratu Rimba.
"Mungkin kau sudah kenal
dengan orang yang ada di baik pohon mau tumbang itu!" Ratu Rimba
mengarahkan pandangannya ke sana. Kejap berikutnya, orang yang ada di baik
pohon mau tumbang itu muncui dengan lompatan cepat. Tahu-tahu sudah berada
daiam jarak tujuh langkah dari Barong Geni, lima langkah dari Ratu Rimba dan
Perawan sinting. Ternyata dia adaiah tokoh tua berusia sekitar dela
pan puluh tahun, tapi masih
bersemangat muda dan gemar cengar-cengir. Tubuhnya yang agak kurus itu
dibungkus dengan kain hijau tua model pakaian biksu. Namun kepalanya tidak
gundui. ia mempunyai rambut putih yang dikonde dan jenggot serta kumisnya juga
berwarna putih. Tangannya menggenggam tongkat kayu coklat dengan ujung tongkat
berbentuk tangan menggenggam. Ratu Rimba ingat dengan tokoh tua yang gigi
depannya tinggai dua itu, karena ia. pernah bertemu dengan orang tersebut.
Perawan Sinting sendiri sangat kenal baik dengan tokoh tua itu, dan ia selaiu
memanggil nama asli sang tokoh aliran putih itu dengan sebutan: Eyang Wirambada
alias si Raja Mantra dari Muara Angker.
"Heeh, heeeh, heeeh,
heeeh... terkurung nih yee...," ledek Raja Mantra yang memang gemar tampil
konyoi. Perawan Sinting dan Ratu Rimba memberi hormat sekedarnya. Tapi si Barong
Geni mendeiik marah kepada tokoh yang sering bersikap cuek terhadap iawannya
itu.
"Bangsat kau, Raja
Mantral Kau mulai ikut campur
iagi dengan urusanku Mau minta
mati sekarang juga kau, hah"!"
"Minta kok minta mati.
Mendingan minta duit daripada minta mati. Hee, hee, hee, hee...."
"Eyang Wirambada... dia
menculik Suto Sinting, Eyang!" seru Perawan Sinting.
"Bukan dia!" sangkal
Ratu Rimba.
"Dia tak akan mampu
menyentuh tubuh si pendekar sakti itu!"
Perawan Sinting saling
berkasak-kusuk dengan Ratu Rimba, ribut sendiri. Sementara itu, Barong Geni
berteriak dengan suaranya yang serak.
"Raja Mantra, singkirkan
sinar birumu ini dan hadapiah aku secara jantan!"
"Hee, hee, hee, hee...
kau sendiri belum jadi manusia jantan, kenapa aku harus menghadapimu secara
jantan" Kalau kau merasa
menjadi manusia jantan, mestinya kau tidak menyerang dua gadis cantik ini:
Hanya orang-orang pengecut berilmu pas-pasan saja yang keberaniannya hanya bisa
dipakai menyerang perempuan!"
"Jahanam busuk kau!"
"Sudah lama aku menjadi
jahanam busuk. Kenapa baru sekarang kau ingatkan, Barong Geni" Hee, hee,
hee, hee...."
"Eyang...," bisik
Perawan Sinting. "Suto hilang se
cara gaib, Eyang. Tolong cari
dia, ada dimana sekarang ini, Eyang."
"Aku sendiri mencari
muridku, si Rinayi, sudah tiga hari tidak kutemukan, bagaimana aku bisa mencari
bocah sinting itu"i"
Ratu Rimba berbisik pula dari
arah kiri Raja Mantra.
"Eyang, singkirkan sinar
birumu itu. Biar kuhadapi diai Akulah yang berurusan secara pribadi dengan
iblis busuk itu!"
"Wahai murid Girimaya
yang cantik...."
Perawan Sinting mencibir sinis
mendengar sanjungan Raja Mantra kepada Ratu Rimba.
"... ketahuilah, Anak
manis.... Barong Geni itu bukan tandinganmu. Biar aku sendiri yang akan
menundukkannya!" Tokoh dari Muara Angker itu menang terkenal dengan ilmu
mantra saktinya. la mempunyai seribu macam mantra yang dapat mengatasi dua ribu
macam persoalan. Jangankan mantra yang mendatangkan maut, mantra yang
mendatangkan nasitumpeng pun dimilikinya. Mantra sakti itu pun segera
diucapkan. Bahasanya
susah ditulis, karena
menggunakan huruf mati semua,
Ratu Rimba dan Perawan Sinting
bersungut-sungut heran, mereka juga tak bisa mengartikan ucapan mantra
tersebut. Satu-satunya mantra yang bisa didengar dengan enak hanya kaiimat terakhir
saja.
"Simulu kutuk
kublung...!"
Banyak mantra yeng selaiu
ditutup dengan kalimat aneh itu, tapi ada pula yang tidak mernakai kaiimat
tersebut. Namun yang jelas, kekuatan mantra itu sungguh luar biasa dan membuat
siapa pun orangnya akan terkagum-kagum terhadap kesaktian si Raja Mantra. Sinar
biru yang mengelilingi Barong Geni itu pecah menjadi berlarik-larik, menyembur
ke arah Barong Geni. Kira-kira satu helaan napas kemudian, sinar itu padam.
Barong Geni terpuruk tanpa daya. Sekujurtubishnya menjadi memar. Pakaiannya
menjadi rusak, compang-camping seperti pengemis tanpa tempurung. Napasnya pun
tersengai-sengal, seakan diganjal oleh batu sebesar kepalanya.
Delapan kaii lebih Barong Geni
mencoba bangkit, tapi selalu saja jatuh terpuruk kembali. Cambuknya justru
lengket dengan kulit tangannya, sepertiada perekat yang sukar memisahkan cambuk
dengan kulit tela
pak tangan. "Aneh sekali
mantra tadi," gumam Ratu Rimba.
"Mantra apa itu tadi,
Eyang?" bisiknya kepada Raja Mantra.
"Aku sendiri lupa namanya,"
jawab Raja Mantra.
"Maksudku ingin menyedot
semua kekuatannya, tapi
kok malah jadi memar kayak
gitu, ya?" Raja Mantra garuk-garuk kepala, bingung sendiri.
"Dasarr si
pikun"gumam Perawan Sinting lirih sekali.
"Coo... ya, iya, iyal
Sekarang baru kuingat, mantra tadi adalah mantra Hantu Pikun Muara'. Bikin
orang pikun dan lupa menggunakan tenaga. Waah... kalaubegitu aku tadi salah
ucapkan mantra."
"Tapi biar saja, Eyang.
Biar dia tahu rasal" geram Ratu Rimba dengan nada sengit.
"Kalau kehilangan tenaga
dan jadi pikun begitu, dia tak mau pergi dari sini!"
"Biar saja mati di
sini!"
"Husy, jangan begitu.
Nanti anak-istrinya kebingungan kaiau dia tak pulang. Sebaiknya kuberi sedikit
tenaga agar dia bisa pulang ke Danau Getih! Kujamin dia tak akan berani
mengganggumu lagi, Ratu Rimba!"
Raja Mantra sentakkan
tongkatnya ke depan.
Ciaap...! Sinar putih kecil
seperti lidi keiuar dari kepaia tongkat yang berbentuk tangan menggenggam itu.
Sinar tersebut bagaikan lidi menancap di dada Barong Geni.
Zuubb...! Kejap berikut Barong
Geni bisa berdiri dengan terengah-engah, tapi dia tak bisa bicara, Bahkan
merasa bingung melihat tiga orang di depannya. Dia sepertinya belum pernah
kenal dengan ketiga orang itu. Maka tanpa pamit lagi, Barong Geni pun pergi
meninggalkan mereka, tak memberi lambaian tangan atau ucapan kata selamat
tinggal'. Kini yang jadi persoaian mereka adaiah hilangnya Pendekar Mabuk yang
secara misterius itu. Ratu Rimba yakin bukan Barong Geni yang menculik Pendekar
Mabuk, tapi ia tak bisa memperkirakan siapa orang iain yang layak dicurigai.
Raja Mantra pun akhirnya
berkata,
"Baik. Kalau begitu coba
kita cari dia dengan menggunakan mantra Cermin Udara'. Kuharap kalian berdua
ikut membaca mantra cermin Udara' biar keadaan cermin menjadi lebih bening
lagi, sehingga kita bisa lebih jelas lagi melihatnya."
"Aku tidek punya bacaan
mantra seperti itu, Eyang."
ujar Ratu Rimba. "Kalian
berdua ikuti saja apa yang kuucapkan. Mengerti?"
"Mengerti,
Eyang...," jawab kedua gadis itu secara tak sengaja bisa kedengaran
kompak.
"Dulkopat,
dulkapit...."
"Dulkopat,
dulkapit...," kedua gadis itu menirukannya.
"Sikopat, sikuput.
semaput...."
"Sikopat, sikuput,
semaput...."
"Sembur udud kaca
perut...."
"Sembur udud kaca
perut...," Perawan Sinting melirik perutnya, ternyata tidak ada kacanya.
"Bodong molor jelma wujud...."
"Bodong molor jelma
wujud...," Ratu Rimba buru buru menutupi pusarnya yang tak kebagian kain
penutup itu, karena Perawan Sinting melirik pusar tersebut.
"Wujud sira Suto
Sinting...."
"Wujud sira Suto
Sinting...."
"Ting, ting melenting,
perutnya bunting...."
"Perutnya siapa yang
bunting?" Ratu Rimba tersinggung.
Perawan Sinting menyahut,
"Aku belum sempat
bunting, Eyang.
"Ini mantra, Tololi
Kalian tinggal ikut mengucapkan saja!"
"Ooo, ya, ya.
ya...." -
Ratu Rimba dan Perawan Sinting
segera mengikuti kata-kata Raja Mantra. Setelah mereka sama-sama mengucapkan,
"Simulu kutuk
kublung...," maka Raja Mantra pun melayangkan tangannya, berkelebat pelan
di depan mata.
Weess...! Pada saat itu juga,
lapisan udara di depan mereka berubah menjadi sebuah cermin besar. Cermin itu
bagaikan memantulkan kehidupan di suatu tempat. Dan di dalam cermin tersebut,
tampaklah Pendekar Mabuk yang sedang terkapar di atas hatu datar berlapis
permadani merah.
"Dia sedang
pingsan?" sentak Ratu Rimba dengan
wajah tegang. Perawan Sinting
menggeram penuh amarah. | Seorang perempuan cantik jelita berdiri disamping
batu datar itu. Perempuan cantik tersebut membakar api cemburu Ratu Rimba dan
Perawan SInting. Namun
kecemburuan itu tidak
ditampakkan oleh mereka.
Hanya saja, Perawan sinting
segera bertanya kepada Raja Mantra dengan nada menggeram.
"Siapa perempuan itu,
Eyang?"
"Hmmm, kalau tak salah
lihat dan tidak salah ingat, dia adalah Sri Bagandi Delia, alias Ratu Mahasihir."
"Orang mana dia?"
sergah Perawan Sinting.
"Dia putri kaisar negeri
Hoazing, letaknya di Pulau Hamzia."
"Kalau begitu aku harus
ke sana sekarang juga!"
"Sabar,
Darlingga...!" cegah Raja Mantra.
"Delia bukan orang
sembarangan. Dia mewarisi segala ilmu sihir dari mendiang neneknya. Kekuatan
sihirnya dapat menjerat nyawamu menjadi budakiblisi"
"Aku tak peduli!"
sahut Perawan Sinting.
"Berani menahan Pendekar
Mabuk sama saja berani bertaruh nyawa denganku."
Ratu Rimba menyahut, "Aku
akan menghancurkan Pulau Hamzia"
"Napas kalian
menghembuskan hawa panas"I Rupanya kalian sama-sama menaruh rasa cemburu
terhadap Sri Bagandi delia itu, ya?" -
Eyang Perawan Sinting
buru-buru mengalihkan pembicaraan, agar perasaan hatinya tidak kecolongan
Raja Mantra. ".... Aku
pernah mendengar cerita Pendekar Mabuk bentrok dengan tiga orang perwira dari
negeri Hoazing. Barangkali karena bentrokan itulah perempuan laknat itu
menculik Pendekar Mabuki"
"Hmmm, yaa... aku juga
pernah mendengar cerita darinya tentang tiga perwira Hoazing itu," ujar
Raja Mantra sambil manggut-inanggut, terngiang ditelinganya saat Suto
menceritakan tentang bentrokan yang terjadi antara dirinya dengan tiga perwira
Hoazing itu,
(Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode:"RAHASIA SENDANG PERAWAN").
Bagaimanapun juga Raja Mantra
tetap mengkhawatirkan keselamatan Perawan Sinting dan Ratu Rimba jika mereka
berdua nekat menyerang ke negeri Hoazing. Tetapi agaknya kedua gadis itu sudah
gelap mata, takpeduli resiko kehilangan nyawa, mereka tetap nekat berangkat ke
Pulau Hamzia, untuk melabrak si Ratu Mahasihir itu.
Langit sore menjadi semakin
redup. Kepergian dua , gadis cantik yang saling menyimpan rasa cemburu itu
membuat Raja Mantra cemas.
Akhirnya ia bergegas menyusul mereka.
"Mereka harus kucegah
dengan cara apapun juga!" pikir Raja Mantra sambil berkelebat tanpa bisa
dilihat mata orang biasa.
4
PULAU HAMZIA adalah salah satu
nama pulau di antara gugusan kepulauan yang terletak di sebelah utara tanah
Jawa. Pulau itu tidak terlalu besar, tapi mempunyai jumlah penduduk yang
tergolong padat. Para penduduk pulau tersebut rata-rata tunduk kepada
penguasanya. Sebuah istana dibangun di atas bukit yang tak seberapa tinggi.
Istana itulah tempat kedudukan sang kalsar dalam memerintah negerinya. Tetapi
sekarang kedudukan sang kaisar sudah digantikan oleh putrinya yang bernama si
Bagandi Delia. Penggantian kekuasaan itu terjadi sejak beberapa tahun yang
lalu, karena sang kaisar tewas dalam pertarungannya melawan pasukan armada dari
tanah Tibet.
Beberapa waktu yang lalu,
Pendekar Mabuk memang pernah bentrok dengan tiga perwira dari negeri Hoazing
itu. Mereka punya maksud tak baik kepada Rara Ayu Kumata, putri Raja Gundalana
dari negeri Badanesya. Hubungan suto dengan pihak Raja Gunda
tana cukup baik, sehingga
rencana tiga perwira itu berhasil digagalkan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "TANTANGAN ANAK HARAM"). Dengsn alasan itu. Delia memburu
Pendekar Mabuk dan bermaksud untuk membalas kakalahan tiga utusannya itu.
Tetapi ketika ia melihat sosok pendekar
Mabuk secara
sembunyi-sembunyi, rencana membalas kekalahan tiga utusan itu menjadi berubah.
"Menurutku kau tak pantas
mati di tanganku, Pendekar Mabuk. Sungguh tindakan yang paling bodoh bagikujika
aku sampai membunuh pemuda berwajahtampan dan bertubuh kekar seperti
dirimu".
Pendekar Mabuk diam saja,
duduk di sebuah kursi mewah tanpa pengikat apa pun. ia hanya memperhatikan
Delia yang mengenakan jubah jingga transparan dengan kutang dan celana kecilnya
berwarna hitam.
Delia memang mempunyai wajah
cantik jelita. Rambutnya tak seberapa panjang, diurai lepas dengan penjepit
berupa mahkota kecil. Ia bukan saja cantik, namun juga bertubuh sintal, seksi
dan berdada montok. Bentuk dadanya itu sekalipun besar dan menonjol sekali,
namun mempunyai bentuk yang indah, mendebarkan hati setiap lelaki.
Ratu Mahasihir itu berkulit
putih mulus, dengan bu
lu-bulu kecil lembut tumbuh di
lengannya. Ia bermata sedikit lebar tapi indah, bening dan penuh tantangan yang
menggairahkan. Bibirnya sendiri juga sedikit tebal, namun sensual. Menggemaskan
sekali bagi seOrang pemuda yang berjiwa romantis seperti Suto Sinting.
Tak heran jika Suto merasa
betah walaupun statusnya sebagai tawanan bagi perempuan berusia sekitar dua
puluh delapan tahun itu. Apalagi perempuan itu jika melangkah selalu membuat
jubahnya tersingkap dan pahanya yang putih mulus tampak seperti lambaian tangan
pengantin baru, betapa pun juga Suto tetap merasa lebih beruntung menjadi
tawanan Ratu Mahasihir itu daripada menjadi tawanan musuh utamanya: Siluman
Tujuh Nyawa.
Perlakuan yang diterima Suto
juga periakuan yang baik dan manis. Tangan dan kakinya tidak dijerat dengan
belenggu apa pun, justru ia lebih sering diusap dengan lembut oleh Delia dan
sering menerima tatapan mata penuh pesona. Hanya tatapan mata dan senyum
menggoda itulah satu-satunya penjerat bagi Suto sinting. -
Delia mengajaknya berkeliling
ditaman istana. Bunga-bunga taman mekar berseri menyebarkan wewa
ngian yang menggugah birahi.
Mau tak mau Suto nenahan gejolak batinnya itu untuk tidak melepaskan gairah di
sembarang tempat. Sayangnya, bumbung tuak Suto ditahan oleh pengawai istana,
sehingga ia sering merasa gelisah dan tak bisa menikmati keindahan yang ada
dengan sepenuh hati.
"kuharap kau bisa
memaafkan caraku membawamu kemari. Terusterang, sudah lama aku mengikutimu. Aku
sering mencuri pandang padamu, saat kau berada di kedai, atau sedang berjalan
di suatu tempat. Tetapi kau lebih sering menghilang dari pandangan mataku
manakala aku sedang mengejar lawanmu. Aku sering merasa kehilangan dirimu,
sehingga kuputuskan untuk menculikmu dan membawanya kemari."
"Mengapa kau harus
menculikku" Seandainya kau bicara terus terang ingin menikmati wajahku,
aku tidak akan melarangmu, Delia."
"Aku ingin memiliki
ketampananmu selama-lamanya, Suto Sinting." -
Pendekar Mabuk tersenyum kaku.
"Rasa-rasanya itu tak
mungkin, Delia."
"Harus mungkin. Segala
apa yang kuinginkan harus menjadi kenyataan."
Delia berhenti melangkah di
depan serumpun "
bunga warna merah jambu. Ia
menatap Pendekar Mabuk dengan senyuman yang mendebarkan hati lawan jenisnya. -
"Aku ingin kau tetap
tinggal di sini dan menjadi suamiku." -
"Bagaimana jika aku
menolak?"
"Kau akan kehilangan
nyawa."
"Bagaimana jika aku
melawanmu?"
"Kau tetap akan
kehilangan nyawa. Selama ini tak ada orang yang mampu menahan kekuatan
sihirku." - Kata-kata yang diucapkan dengan kalem diiringi senyum menawan,
ternyata merupakan pisau bagi hati PendekarMabuk. Hatinya marasa dilukai,
merasa dapat tantangan yang tak boleh ditolak begitu saja. Ia paling lak suka
dengan perempuan yang berani mengancamnya dengan bersungguh-sungguh. Ancaman
dalam bentuk apa pun dapat membuat hati Pendekar Mabuk tertutup dan tak mau
mengenai gairah cinta lagi. mereka melangkah lagi menyusuri taman. Pendekar Mabuk
hanya menyimpan rasa tak sukanya tadi. Ia tetap tenang dan bersikap ramah.
Senyumnya selalu menghiasi bibir walau hanya senyum tipis.
"sejujurnya kukatakan
padamu, sudah beberapa
kali aku ganti-ganti suami.
Tak satu pun suami yang bisa membahagiakan diriku sesuai dengan harapanku.
Pada umumnya mereka hanya bisa
memberi keindahan pada malam-malam pertama saja, selebihnya mereka seperti
binatang yang bercinta berdasarkan naluri semata."
"Kurasa aku pun demikian,
tak jauh berbeda dari mereka. Kau tetap saja akan kecewa jika bersuamikan
diriku, Delia." Perempuan itu tertawa kecil, tangannya menggandeng lengan
Suto. Hal itu dibiarkan saja oleh Suto. Ia merasa harus bersikap dewasa dan tak
menunjukkan kebrutalan. Sikap kasar dan brutal hanya akan membuatnya gagal
mempelajari kekuatan Delia, sehingga ia tak dapat mengetahui titik kelemahan
wanita itu.
"Kurasa kali ini akutak
salah pilih lagi. Aku melihat dengan indera keenamku, kau mempunyai bentuk
susunan tulang yang kokoh dan sangat bagus. Kau juga mempunyai aliran darah
yang lancar dan setiap gerakan darahmu mengandung gelaran terserdiri. Yang
paling utama adalah keistimewaan yang ada pada dirimu, yaitu sebagai lelaki
tanpa pusar.'
"Itu cacatku sejak
lahir."
"Oo, itu bukan cacat
menurutku. Ketiadaanmu me
miliki pusar merupakan
anugerah yang istimewa dan sangat kuharapkan."
"Aku tak mengerti
maksudmu, Delia."
Perempuan itu melirik sambil
tersenyum makal,
"Pria tanpa pusar adalah
pria yang mampu bertahan dalam amukan badai asmara lawan jenisnya."
"Aah itu anggapan kuno
yang tidak benar, Delia."
"Siapa bilang tidak
benar" Terbukti kau pernah kulihat mampu berkelebat cepat dan sukar
kukejar dengan jurus Sapuan Badai'-ku. Hanya pria tanpa pusar yang mempunyai
kekuatan semacam itu."
Sebelum kata-katanya dilanjutkan,
seorang pelayan datang menghadap.
"Gusti Bagandi, makanan
sudah hamba siapkan dan...."
"Lancang sekali kau.
Amaroki" tiba-tiba Delia membentak.
"Apakah kau tak melihat
aku sedang bersama calon suamiku"! Akutak mau diganggu oleh siapa pun, tahu"!"
"Ampun, Gusti...,"
pelayan itu berlutut dan menyembahnya dengan penuh rasa takut.
"Kau patut mendapat
hukuman, Amarok!"
Delia mengibaskan langan
seperti memercikkan
air. Praat...! Wuuuubb...I
Terjadi letusan kecil yang mengepulkan asap tebal. Kejap berikut, Amarok lenyap
tanpa bekas, terbakar habis tanpa sisa. Yang tertinggal hanya bekas hitam dari
telapak kaki Amarok.
"Sadisl"geram Suto
daiam hati, tapi wajahnya tetap biasa-biasa saja. Pandangan mata Pendekar Mabuk
yang tertuju pada bekas telapak kaki Amarok itu membuat Della menjadi tak enak
hati sendiri. Ia buru-buru memberikan alasan atas tindakan kejinya tadi.
"Siapa pun yang membuatku
kecewa akan mengalami nasib seperti itu. Karenanya, para pelayanku tak ada yang
berani mengecewakan hatiku."
"Memang kau pantas
melakukan begitu." Delia tersenyum.
"Kurasa kau perlu melihat
ruang kesukaanku. Ruangan itu kunamakan Ladang Asmara."
"Nama yang indah tapi
aneh menurutku."
Pendekar Mabuk 137. Duel
Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayolah, ikutlah
aku...," Delia menarik tangan Suto, dan membawanya pergi dari taman.
Raja Mantra kehilangan jejak
Perawan Sinting dan Ratu Rimba. Suasana malam yang gelap membuat pandangan mata
tokoh tua itu kurang tajam. Ia menggunakan radar batinnya, tapi tetap tak
menemukan siapasiapa di sekitar tempatnya berdiri. Ratu Rimba mengetahui
diikuti oleh Raja Mantra. Ia segera menggunakan tipuan yang cukup unik.
Dari tangan kanannya yang
disentakkan keluariah hawa padat yang bergulung-gulung. Hawa padat itu meluncur
bagaikan bola tanpa wujud. Hawa padat itu menerabas semak dan dedaunan kering,
menimbulkan suara gemerusuk seperti orang beriari. Suara gemerusuk itulah yang
diikuti oleh Raja Mantra. Pak Tua itu kali ini berhasil dikelabui gadis semuda
Ratu Rimba, Langkahnya memburu kearah timur, padahal waktu itu Ratu Rimba dan
Perawan Sinting bergerak ke arah barat. Tentu saja jaraknya dengan kedua gadis
itu semakin jauh karena berbeda arah.
"Boleh juga tipuanmu!
Walau tergolong tipuan murah, tapi kadang-kadang berguna juga untuk mengecohkan
lawan," ujar Perawan Sinting. Ratu Rimba menyambar rompi Perawan Sinting.
Breet...! Matanya mendelik
berang penuh keberanian.
"Sekali lagi kau bilang
tipuankutipuan murah, kurobek mulutmu!"
Plak..! Perawan SInting
menepiskan tangan Ratu RImba dengan kibasan tangan kiri. Kini ia ganti
mencengkeram rompi Ratu Rimba dan memandang tajam sekali.
"Jangan berlagak di
depankul Bisa kurontokkan semua gigimu, tahu"!" Begitulah mereka.
Cekcok terus sepanjang perjalanan menuju Pulau Hanzia. Sasaran pertama mereka
adalah Pantai Giwang, karena di sana Perawan Sinting mempunyal seorang kenalan.
Mereka bermaksud meminjam perahu teman Perawan Sinting itu untuk menuju ke
Pulau Hamzia. Tetapi perjalanan ke Pantai Giwang ternyata menemui hambatan.
Bukan hambatan cuaca malam saja, tapi ternyata pagi harinya mereka juga
dihambat oleh munculnya dua orang yang menghadang langkah mereka Mula-mula
langkah mereka terhenti karena Perawan Sinting nyaris celaka.
Sebilah pisau terbang melayang
ke leher Perawan Sinting. Pisau itu berasal dari sisi kanan. Ratu Rimba yang
berjalan satu langkah di belakang Perawan Sinting itu segera merunduk dan
menyapu kaki Perawan Sinting dengan tendangan kaki
nya. Weet, brruk... Perawan
Sinting terpelanting jatuh tanpa bisa menjaga keseimbangan badannya. Sapuan
cepat itu membuat Perawan Sinting berang dan bermaksud menghajar Ratu Rimba.
"Hel, tunggul"
sentak Ratu Rimba masih tetap dalam posisi jongkok.
"Lihat pisau yang hampir
menembus lehermu itu!" sambil Ratu Rimba menuding pisau yang menancap pada
pohon setelah tak berhasil menancap di laher Perawan Sinting. Sadar bahwa
dirinya baru saja diselamatkan Ratu Rimba dengan cara kasar, Perawan Sinting
tak jadi marah. Kini ia bangkit dengan pandangan mata tajam penuh waspada,
demikian pula halnya dengan Ratu Rimba. Pada saat itulah, segera muncul dua
orang dari balikpepohonan rindang. Mereka adalah dua lelaki berkepala gundul,
badannya kekar tanpa baju, tapi masing masing bercelana merah. Mereka
menyilangkan sabuk didada.Sabuk itu penuh dengan pisau yang siap dilemparkan
pada lawan mereka.
"Siapa mereka?"
bisik Ratu Rimba.
"Aku pernah melihat
mereka mengikuti bajingan
dari Selat Neraka. Kurasa
meraka orangnya si Bandar Santet"
"Aku tak punya masalah
dengan Bandar Santet. Kurasa, persoalan Ini persoalanmu. Silakan hadapi
mereka" Ratu RImba mundur beberapa langkah.
"Setan juga kau rupanya!
Kemarin aku sudah membantumu menyingkirkan orang-orang Danau Getih, sekarang
kau menyingkirkan dari masalah ini."
"Aku tak terlibat dalam
persoalan ini!"
"Ini bukan persoalanku,
Toloi! Ini persoalan sibuaya kampung itu!" Salah satu dari orang gundul
bertampang seram itu segera serukan kata.
"Heli, mana si kunyuk
Pendekar Mabuk itu, han?" Perawan SInting dan Ratu Rimba memandang kedua
orang gundul itu. Ratu RImba baru tahu bahwa persoalan itu sebenarnya persoalan
si Pendekar Mabuk.
"Mengapa kau bertanya
padaku"I Mengapa kau menyerangku, han?" seru Perawan Sinting dengan
pandangan mata memancarkan permusuhan.
"Kau saudaranya,
bukan" Kau yang bernama Perawan Sinting, bukan"!"
"Memang benar, aku
Perawan Sinting!"
"Bukankah si kunyuk Itu
punya nama asli Suto Sinting"! Dia kakakmu, bukan"!"
"Aku tidak punya kakak
bertampang buaya kampung macam dia!"
"Haa, haa, haa, haa...!
Rupanya kau takut mengaku saudara si kunyuk itu, hah"! Rupanya kau tahu
kalau kami utusan dari Bandar Santet yang akan membantai habis seluruh
keturunan suto sinting"
Ratu Rimba berseru dengan
berang,
"Suto Sinting tidak ada
di sini! Kalau kalian mau membantainya, temui dia di negeri Hoazing! Dia sedang
bercumbu dengan Ratu Mahasihir!"
"Hahh.."! Ratu
Mahasihir..."!" kedua orang itu terperanjat dan saling pandang.
Perawan Sinting mencengkeram
lengan Ratu Rimba.
"Bodoh! Kenapa kau sebutkan
di mana buaya kampung itu berada"!"
"Kau yang bodoh!"
balas Ratu Rimba dengan ketus.
"Dengan menyebutkan di
mana Pendekar Mabuk berada, maka mereka akan datang ke sana dan mereka akan
dihabisi oleh pihak Ratu Mahasihirl Sementara si perempuan bejat itu sibuk
menghadapi orang-orang
nya Bandar Santet, kita punya
kesempatan membebaskan Pendekar Mabuk."
"Hmmm, boleh juga gagasan
cetekmu itu," Perawan Sinting manggut-manggut dan melepaskan
cengkeramannya. -
"Dasar otak
dungu!"geram Ratu Rimba sambil melengos, dan segera memandang ke arah dua
orang gundul itu. -
"Perawan busung!"
seru yang sebelah kanan.
"Karena kakakmu tak ada
di sini, maka kaulah yang terima giliran mati lebih dulu sebagai wakil dari
keluarga Sinting Bersaudara!"
Orang itu segera melemparkan
pisaunya dengan gerakan cepat, nyaris tak terlihat.
Wiiz, wiiz...!.Ternyata sekali
lempar dua pisau mengarah ke dada Perawan Sinting. -
Dengan mengubah posisi ke
samping, tangan Perawan Sinting berkelebat menangkap lemparan dua pisatu
tersebut.
Zeeb.: Satu pisau tertangkap.
satu pisau lagi lolos dan jatuh di semak-semak seberang sana.
- Melihat orang yang satu lagi
ingin melemparkan pisau, Ratu Rimba segera melepaskan pukulan beruntun dari
jarak jauh.
Baahk, baahk, baahk...!
"Huhhkk...!" Orang itu melayang ke belakang sejauh lima tombak.
Pukulan beruntun bertenaga dalam
tinggi itu tepat mengenal
sekitar dada dan perut. Orang itu langsung muntah darah di kejauhan sana. .
Sementara itu, orang yang tadi
melemparkan pisau kepada Perawan Sinting segera mengejang, karena pada saat itu
Perawan Sinting mengembalikan. pisau yang terjepit di sela jari-jarinya, sambil
merendahkan badan.
Wiiz...! Lemparan itu lebih
cepat dari lemparan si pemiliknya. Karena sulit dihindari, maka pisau itupun
akhirnya menancap di lambung orang tersebut.
Jruub...I
"Aahhkk..." - Orang Itu terbungkuk sambil menyeringai. Ratu
Rimba melompat dan kakinya
menendang dari bawah ke atas. Beet...! Prook...!
"Ouuht...!" Orangitu
terdongak dan menyemburkan darah.
"Badulah... cepat lari!"
seru orang yang memuntahkandarah akibat pukulan jarak jauhnya Ratu Rimba itu.
Maka dengan terhuyung-huyung, orang yang terkena pisau itu berhasil mencabut
pisaunya dan berusaha melarikan diri walau terjatuh berkali-kali. Perawan SIn
ting dan Ratu Rimba sama-sama
mencibir sambil memandangi kedua orang tersebut.
Mereka membiarkan lawannya
pergi. Tapi di luar dugaan, ada pihak lain yang sengaja ingin menghentikan
langkah mereka.
5
TIDAK setiap orang bisa
memasuki ruangan yang dinamakan ruang Ladang Asmara. Ruangan itu dibangun
dengan dinding tebal dan keras, tak mudah digempur, tak mudah dirobohkan.
Pendekar Mabuk berkerut dahi, karena merasa heran melihat bangunan tersebut
tanpa pintu masuk, tanpa lubang sebesar jarum pun. -
Namun bagi Delia, si Ratu
Mahasinir, memasuki ruangan tersebut bukan merupakan hal yang sulit. Tangannya
berkelebat seperti menaburkan bunga.
Wees...! Gerakannya pun lemah
gemulai bak orang menari. Tetapi seketika itu juga dinding ruangan tersebut
berkaca-kaca, lalu berubah membentuk jalan masuk selebar satu tombak. Tak ada
debu reruntuhan sebutir pun di sekitar jalan masuk tersebut. Pendekar Mabuk
yang agak terbengong itu segera dibawa masuk keruangan itu.
Setelah ada di dalam, tangan
Delia berkelebat lagi
seperti orang menari. Jalan
masuk tadi berkaca-kaca
kembali, kejap berikut menjadi
tertutup rapat sebagai dinding tahan gempuran. -
"Menakjubkan
sekali"!" gumam Suto lirih. Delia tersenyum bangga.
"sengaja tak kuberi pintu
sebagaimana mestinya, biar tidak setiap orang bisa masuk ke Ladang Asmara
ini!" -
"Juga tak bisa keluar
dari ruangan ini," tambah Suto.
"Kau cerdas sekali,
Pendekar Mabuk." sambil dagu Suto dicubitnya pelan. Ladang Asmara adalah
sebuah ruangan yang dilengkapi dengan ranjang lebar berkasur empuk. Ranjang itu
ada ditengah ruangan, di atas lantai yang tingginya tiga jengkal dari lantai
sekelilingnya. - Delia menyentiikan jarinya ke arah langit-langit ruangan.
Sentilan itu dilakukan beberapa kali di beberapa tempat.
Tees, tees, tees,tees...!
Setiap sentilan memancarkan cahaya putih. Cahaya putih itu mengambang di udara
dalam ketinggian tertentu. Cahaya tersebut selain membuat terang suasana dalam
ruangan Ladang Asmara, juga menyebarkan angin harum yang dapat
menyejukkan seluruh ruangan
tersebut.
"Wow...! Udaranya jadi
sejuk sekali."
"Blar nyaman dan bikin
betah. Aku bisa betah selama tujuh hari berada di Ladang Asmara asal bersamamu,
Pendekar Mabuk." Delia melingkarkan tangannya ke pinggang Suto. Rasa risi
membuat Suto berusaha melepaskan diri secara halus. -
"Bunga apa yang ada di
sudut itu, Delia?"tanyanya sambil bergegas ke sudut. Dengan begitu ia bisa
melepaskan diri dari rangkulan tangan Ratu Mahasihir. tubunga Rikmala, bunga
kesukaanku. Bunga itulah yang menyebarkan aroma wangi inl. Apakah kau Suka,
Pendekar Mabuk?" -
"Ya, aku suka sekali
dengan warnanya yang merah lembayung tapi mampu memberi keharuman pada ruangan
selebar ini."
"Aku sengaja membangun
tempat ini untuk menikmati kepuasan bercinta. Di sini kita bebas berbuat apa
saja, kita bebas berteriak, dan tak perlu takut dilntip orang. Hik, hik, hik,
hik...!"
"Aku terkesan sekali
dengan tata ruangnya!"
"Ooh, kau pasti akan
menjadi semakin terkesan jika
dalam keadaan begini...."
Della melayangkan tangannya
sejajar dengan dada. Tangan itu berkelebat memutar, memercikkan cahayaputih
semacam bintang kecil-kecil. Percikan cahaya itu membentur dinding.
Triiliing...! Dalam sekejap
saja dinding seluruh ruangan itu berubah menjadi cermin bening.
"Wow..."I
Mengagumkan sekali"!" Suto berseri-seri. Kemanapun arah pandangannya
ditujukan, ia dapat melihat bayangan dirinya dalam cermin. -
"Kekuatan sihirku dapat
menciptakan khayalan menjadi kenyataan," ujar Delia dengan semakin bangga.
"Kau memang hebat,"
puji Suto sebagai pancingan. - Della tak sadar akan pancingan tersebut.
Ia melangkah mendekati
ranjang, lalu melepaskan jubah jingganya. Kini la hanya mengenakan kutang hitam
dan kain penutup bagian bawahnya yang seolaholah hanya secuil itu. Pendekar
Mabuk memandang kagum melalui pantulan cermin di sampingnya.
"Apakah dengan keadaan
begini aku lebih tampak hebat?"
"Luar biasa hebatnya. Aku
lebih terkesan."
"Tentu saja, karena kata
Delia punya arti tersendiri."
"Apa arti kata
Delia?"
"Delia artinya... selalu
di hati. Pria mana pun tak
akan bisa melupakan diriku,
karena aku selalu di hati mereka."
Ia mengulurkan tangan,
"Datanglah kemari, Suto.... Sambutlah tanganku ini, Pendekar...."
Dalam hati Suto bergumam,
"Kalau aku nekat
menyerangnya, pasti aku akan celaka, karena aku belum menemukan rahasia
kelemahannya. Ilmu sihirnya tinggi sekali. Salah-salah aku bisa mampus karena
murkanya. Belum tentu sekalipukul dia akan tumbang. Kalau seranganku gagal, dia
bisa membuat nasibku seperti Amarok tadi." Pertimbangan itulah yang
membuat Pendekar Mabuk melangkah pelan-pelan mendekati ranjang. Wajah cantik
Delia sudah semakin sendu. Pandangan matanya menjadi sayu. Bibirnya sedikit
merekah bagaikan mengharap kecupan yang paling hangat dari Pendekar Mabuk.
Namun sebelum naik ke lantai tinggi. Pendekar Mabuk sengaja menghenuh
langkahnya.
"Delia, hmmm...
barangkali kau perlu tahu, bahwa aku adalah satu-satunya pria yang paling
payah."
"Ooh, Suto... jangan
coba-coba membohongiku.
Aku tahu kau bukan pria yang
tak sanggup melayani wanita. Kau pria yang penuh kejantanan, Suto. Aku dapat
merasakan getaran jiwa asmaramu dari sini."
"Hmm, maksudku...
maksudku, gairahku tidak mudah terbakar di depan wanita yang tidak
kucintai."
"Kalau begitu aku akan
membuat hatimu segera jatuh cinta padaku. Aku bisa menggunakan kekuatan
sihirku. Pandanglah mataka. Suto!"
"Tapi Delia... jika
kekuatan sihirmu kau gunakan untuk membius asmaraku, sama saja kau mendapat
kepalsuan dariku, Delia." Wanita berkulit mulus itu mulai menarik napas.
Ia mulai jengkel. tapi rasa jengkel itu berusaha dipendamnya kuat-kuat.
"Suto, apalah arti
kepalsuan cinta bagi seorang perempuan sepertiku" Aku hanya membutuhkan
kepuasan bercumbu dengan lawan jenisku. Dan aku yakin hanya kaulah yang bisa
memuaskan gairah cintaku, Suto."
"Kepuasan batin seperti
itu tidak akan membekas ingatanmu. tidak akan berkesan dalam sejarah hidupmu,
Della. Hmm, eehh... ada baiknya kalau...."
"Suto...!" suaranya
mulai meninggi.
"Apakah kau bermaksud
menelantarkan gairahku yang sudah membara ini?" Dengan senyum kalem Suto
Sinting menjawab,
"Terus terang saja.
akutak punya gairah padamu, Delia.
Aku hanya punya rasa kagum
pada kecantikanmu. keelokan tubuhmu dan...."
Pendekar Mabuk tak bisa bicara
lagi. Delia melepaskan totokan dari jarak jauh menggunakan pandangan matanya.
Totokan itu sama sekali tak disangka-sangka oleh Suto. Tahu-tahu lehernya
terasa seperti disengat lebah dan ia menjadi sulit bicara. Deiia segera
mengulurkan tangannya ke depan, tangan itu bergerak pelan-pelan keatas, dan
tubuh Suto yang kekar itu terangkat melayang sendiri mendekati ranjang. Dengan
kekuatan sihirnya, Suto pun dibaringkan pelan-pelan di atas ranjang itu.
Pendekar Mabuk bergegas bangkit, tapi ada semacam kekuatan yang mendorongnya
untuk tetap berbaring. Kekuatan itu sangat besar. sehingga tenaga dalam Suto
tak mampu menyingkirkannya. Ratu Mahasihir naik keranjang dan mendudukiperut
Suto dengan kedua kaki di kanan-kiri. Tangannya
mencengkeram baju dan matanya
memandang penuh katajaman, namun juga punya getaran lembut yang mendebarkan
hati Suto. Saat itu terdengar suaranya berkata dengan nada geram samar-samar.
"Ingat, Suto... aku sudah
membebaskan kau dari hukuman atas kelancanganmu yang telah menggagalkan
utusanku menculik Rara Ayu Kumala. Semestinya dia menjadi tumbal kekuatan
sihirku. Tapi karena kau gagalkan rencana itu, terpaksa aku mengambil tumbal
dari tempat lain. Sekarang aku berbaik hati padamu, Suto. Kau kuizinkan tetap
hidup asal mau melayani gairahku yang sangat mendambakan pria seperti dirimu,
Pendekar Jantan...." Di akhir kata Delia tersenyum nakal. Cengkeraman
tangannya mengendur, kini berganti mengusap lembut dada Suto. Merapatkan
tangannya di kulit dada yang kekar itu. Sambil meraba pelan, pinggulnya mulai
bergeser nakai. Pendekar Mabuk merasakan desiran hatinya menjadi indah. Tapi
hati kecilnya menolak keindahan tersebut. Hanya saja, ada semacam kekuatan gaib
yang membuat Suto sulit menghindari api gairahnya. Setiap sentuhan tangan nakal
Deiia selalu membuat jiwanya bagaikan hanyut di langit-langit kemesraan. Bahkan
ketika perempuan itu menunduk,
lalu mencium piplnya,
Suto justru bergeseragar dapat
mengecup bibir perempuan itu. Ketika bibir mereka bertemu, seolah-olah bibir
Suto bergerak sendiri, lidahnya menari sendiri, dan dilumatnya bibir Delia
dengan penuh gairah. Lumatan bibir itu dibalas oleh Delia lebih ganas lagi.
"Uuhk, huuk... een,
eehk...!" Suto berusaha bicara tapi suaranya tak bisa keluar selain
nada-nada serak. Delia tertawa cekikikan sambil memandangi wajah jantan yang
sedang kasmaran itu.
"Aku yakin dia telah menggunakan
kekuatan sihirnya untuk membangkitkan gairahkui Och, aku sulit menghindari hal
ini," ujar Suto dalam hati.
"Aku harus mencari cara
untuk melepaskannya. Tapi... tapi... oh, slall Dia pandai sekali membakar
hasratku hingga berapi-api. Padahal sebenarnya aku jijik padanya. Aku tak suka
padanya dan... dan... ooooh, kenapa kenikmatan ini kurasakan begitu indah
sekali"! Lebih indah dari yang pernah kurasakan sebelumnya."
Pertentangan batin dan naluri membuat Suto Sinting akhirnya menemukan langkah.
Ia harus bisa bicara. Delia harus melepaskan totokan penyumbat suara
nya. Dengan bahasa Isyarat
Suto meminta Delia melepaskan totokan itu. -
"Kau benar. Aku akan
semakin bergairah jika mendengar suaramu mengerang, mendesah, dan menjerit.
Kulepaskan totokanrnu, tapi berjanjilah akan menjerit jika kau merasakan
nikmat. Setuju?" Pendekar Mabuk mengangguk. Kemudian kedua mata Delia
menatap dan Suto merasakan sentakan halus di tenggorokannya.
"Ooh... terima kasih.
Aku... aku sudah bisa bicara. Aku... oodoh, aku ingin meminum tuakku dulu,
Delia."
"Tuakmu..."!"
"Gairahku hanya bisa
berkobar dan menjadi ganas jika minum tuak dari bumbungku. Aku butuh tuak itu
buat menandingi gairahmu, Delia."
"Oho, itu bagus sekali.
Hmm, baikiah. Tunggu sebentar, kuambilkan bumbung tuakmu." Ratu Mahasihir
menyentakkan tangan kanannya ke arah cermin dalam posisi kedua jari lurus
kedepan. Tiba-tiba dinding cermin itu pecah tanpa suara. Dari dalam dinding
cermin itu ada sesuatu yang melesat ke arah wanita itu.
Wuuut...! Dinding cermin itu
utuh kembali, tak ada keretakan sedikit pun. Tetapi benda yang
keluar dari sana segera
ditangkap oleh Della dengan tangkas. Teeb...!
Suto Sinting tersenyum kagum
dan girang. Ternyata benda yang melesat dari dalam dinding cermin itu adalah bumbung
tuaknya sendiri. Delia memberikan bumbung itu kepada Suto.
"Minumlah tuakmu,
bangkitkan galrahmu sebesarbesarnya!"
Tuak itu tinggal separoh
bumbung. Suto buru-buru menenggaknya, sementara Della mulai melepaskan penutup
dadanya. Dua pasang bukit yang putih mulus dan menonjol ke depan dengan kencang
itu kini bebas dari hambatan. Siap menerima pagutan.
Pengaruh kekuatan sihir yang
membuat gairah Suto Sinting meledak-ledak kini menjadi reda setelah meminum
tuak saktinya. Kesaktian sihir Delia ternyata dapat dikalahkan dengan kesaktian
tuak dari bumbung keramat itu.
"Aku harus segera mencari
kesempatan untuk pergi. Kurasa jalan terbaik untuk lolos dari sini bukan dengan
mengadu kesaktian, tapi dengan cara menerobos jalur gaib," pikir Pendekar
Mabuk sambil berlagak masih tersenyum-senyum di depan Delia, tangannya ma
sih dipaksakan untuk
meremas-remas bukit kembar wanita itu.
"O, ooh... tunggu
sebentar," sela Delia.
"Aku punya minyak khusus
untuk membuat asmara kita lebih indah lagi."
Ia segera menghampiri meja
rias yang berada dalam jarak lima langkah dari ranjang. Di sana ada beberapa
peralatan rias dan cawan keramik. -
Pada saat Della mengambil
cawan keramik itulah Suto merasa punya kesempatan untuk masuk ke alam gaib. la
buru-buru mengencangkan ikat plnggangnya yang tadi sudah kendor karena
kenakalan Delia. Kemudian dengan masih berlutut di atas ranjang, tangan kanan
suto mengusap keningnya satu kali.
Seet...! Noda merah di
keningnya yang hanya bisa dilihat oleh orang berilmu tinggi itu telah membuat
Suto sinting lenyap dari atas ranjang.
Laaap...! Ia masuk ke alam
gaib dan bergegas pergi rneninggalkan Pulau Hamzia.
Sri Bagandi Delia terperanjat
bengong melihat Pendekar Mabuk sudah tidak ada ditempat.
"Keparat! Dia melarikan
diri"! Tapi... tapi bagaimana mungkin dia bisa keluar dari ruangan
ini?"
Delia mencoba mencarinya
dengan pandangan
mata. Bahkan ia berdiri diatas
ranjang dan memandang ke sana-sini. Yang dilihat hanya beberapa sosok dirinya
yang memantul melalui dinding kaca.
"Pendekar
Mabuk...."! Sutooo..."! Keluarlah dari persembunyianmu! Kau
mengecewakan hatiku, Suto! Ayolah, jangan membuat aku benar-benar kecewa karema
ulahmu ini. Keluarlah sekarang juga sutooo... Cepat keluar! Aku sudah tidak
sabar menunggu kemesraanmu, Kekasihku!" - Setelah beberapa saat Delia
mencari, bahkan dengan kekuatan mata batinnya ia mencari Suto tapi ternyata
pemuda itu tidak ada di ruangan tersebut, maka mengamuklah wanita itu. Kedua
tangannya menyentak ke samping dengan teriakan marahnya. "
"Kuhancurkan kau,
Sutooo...! Heeaah...!" Praaaang...! Duuuurrr...! Semua dinding kaca pecah
dalam sekejap. Tapi serpihan belingnya lenyap begitu menyentuh lantai. Bangunan
itu sendiri bergetar bagaikan akan roboh. Salah satu sisi dinding dijebolnya
dengan satu sentakan tangan ke depan.
Bruuuil...! Delia segera ke
luar dari ruang Ladang Asmara
setelah mengenakan jubahnya.
"Pengawal...! Cari
Pendekar Mabuk di sekitar sini dan seret dia ke hadapanku!" perintahnya
dengan berseru keras-keras.
6
NODA merah di kening Suto
adalah tanda kehormatan yang didapat dari Ratu Kartika Wangi, calon ibu
mertuanya sendiri. Noda merah itu selaln sebagai tanda bahwa Suto Sinting
adalah Manggala Yudha Kinasih dari negeri Puri Gerbang surgawi yang ada di
alarn gaib, juga sebagai kunci untuk keluar-masuk ke alam gaib. Dengan mengusap
moda merah itu, dalam sekejap saja Suto akan pindah dari alam nyata ke alam
gaib. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode manusia seRibu wajah").
Tapi rupanya Sri Bagandi Delia alias si Ratu Mahasihir lambat laun mengetahui
ke mana arah kepergian Pendekar Mabuk. Maka dengan kekuatan sihirnya ia mencoba
mencarinya ke alam gaib. Delia juga dapat keluar-masuk alam gaib dengan bantuan
kekuatan sihirnya.
"Jika dia benar-benar
masuk kealam gaib. ini merupakan kesaktian yang tidak kusangka-sangka dimiliki
olehnya, pikir Delia.
"Jika kutahu dia
mempunyai ke
saktian seperti itu, maka
jauh-jauh hari sudah kutotok
dulu jalur gaibnya itu biar
tidak bisa digunakan untuk sementara waktu." - Pendekar Mabuk benar-benar
tak pedull lagi dengan perasaan Della. Walaupun ia dapat menduga betapa besar
kekecewaan si Ratu Mahasihir itu, betapa sedih hati wanita cantik itu atas
kehilangannya, betapa murka sang Sri Bagandi menerima kenyataan sepahit itu,
tapi kepedulian Suto sudah tak ada lagi. Kini ia melangkah di alam yang aneh.
Hutan yang dilaluinya adalah hutan cemara berdaun putih.
Batang batang pohonnya juga
berwarna putih. Cemara-cemara itu menyebarkan aroma wangi segar, seperti wangi
minyak kayu putih. Pohon-pohonnya yang tumbuh dalam jarak renggang mempunyai
tanah berumput seperti permadani. Rumput itu juga berwarna putih lembut seperti
bulu angsa. Tak ada matahari, tak ada rembulan. Tetapi suasananya tetap terang,
walau terang-terang redup, seperti cuaca di waktu mendung. Langkah menyusuri
alam gaib itu tiba-tiba terhenti oleh kemunculan seraut wajah cantik anggun
berjubah tipis warna merah jambu. Wanita berperawakan tinggi, sekal, dan montok
itu tiba-tiba saja muncul di depan
Suto sinting seperti keluar
dari dalam pohon. Rambutnya yang panjang meriap tanpa ikat kepala itu bergerak-
gerak ditlup angin sepoi-sepoi sejuk. Aromawangi cendana bercampur mawar
menyebar kuat bagaikan ingin memenuhi seluruh hutan cemara putih itu.
Pendakar Mabuk terperanjat
sekali begitu melihat wanita cantik bergiwang putih berlian itu. Rasa kagetnya
bukan timbul karena wanita cantik itu tidak mengenakan kain penutup dada,
sehingga kedua bukitnya tampak membayang di balik jubah tiplsnya itu, tapi
karena ia sangat kenal dengan wanita cantik tersebut. Suto tahu persis, wanita
itu mempunyai tato gambar bunga indah di bagian punggungnya. Siapa lagi wanita
berlato itu kalau bukan si Bidadari Maut, alias Ramita Mawangi, penjaga
petilasan Candi Bismara. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "RATU
PAKAR SELINGKUH").
"Ramita..."!"
sapa Pendekar Mabuk sambil sunggingkan senyum ceria dan hatipun berdebar-debar.
Karena selama ini hanya Ramita Mawangi yang dapat membuat Pendekar Mabuk sering
disiksa rasa rindu dengan kemesraan asmara. Baginya, Ramita Mawangi adalah obat
penawar rindunya kepada Dyah Sarining rum, karena kecantikan Ramita Mawangi
hampir senilai
dengan kecantikan dan daya
tarik Dyah Sariningrum.
Tak heran jika Pendekar Mabuk
segera memeluk
Ramita Mawangi dan mengecup
bibir perempuan itu dengan lembut. Suto tak berani membiarkansi Bidadari Maut
itu tersenyum lebih lama, sebab iapernah pingsan gara-gara mendapat senyuman
Sungging Kahyangan' dari wanita bertubuh menggairahkan itu.
"Mengapa kau ada di sini,
Ramita?"
"Aku mendapat kabar dari Perawan
Sinting dan Ratu Rimba, tentang si Ratu Mahasihir yang telah menculikmu dan
membawamukeistananya. Mereka berdua ingin menyerang ke negeri Hoazing.
Kuingatkan pada mereka, bahwa ilmu mereka tak akan cukup buat melawan Ratu
Mahasihir, tapi mereka nekat pergi ke sana. Aku terpaksa menotok mereka
hinggatak berkutik. Aku pun segera bergegas ke negeri itu dengan menggunakan
jalurgaib ini. Tapiternyata kau justruada di sini."
"Aku melarikan diri dari
ratu sihir itu."
"Syukurlah jika kau sudah
bisa meloloskan diri dari cengkeraman wanita binal itu!"
"Tapi bagaimana dengan
Perawan Sinting dan Ratu Rimba?"
"Kutinggalkan di pantai.
Sebaiknya kita segera ke
sana membebaskan mereka. Tak
ada orang yang bisa membebaskan totokan mereka jika bukan diriku sendiri."
Tiba-tiba sebuah suara menyahut dari belakang Pendekar Mabuk.
"Lagakmu seperti orang
yang hebat saja, Bidadari - Maut!" suara itu membuat Suto sinting
tersentak kaget, lalu buru-buru berpaling ke belakang. Ramita Mawangi tetap
tenang, tanpa rasa kaget sedikit pun. Pendekar Mabuk memandang dengan dahi
berkerut dan suara bergumam pelan. -
"Delia..."!"
"Kalau tahu kau punya
kesaktian seperti ini, sudah kulumpuhkan lebih dulu sebelumkau masuk ke Ladang
Asmaraku, Pendekar Mabuk!"
'ah, ini hanya kesaktian kecil-kecilan
saja, jawab Suto Sinting seenaknya. Senyumnya pun terkesan tenang, tanpa rasa
gentar sedikit pun.
"Rupanya kau punya
hubungan dekat dengan si keparat Bidadari Maut itu, suto?"
"Oh, iya! Dekat sekali.
Aku merasa lebih baik bercinta dengan Bidadari Maut daripada bercumbu de
nganmu, Wanita kejl!"
Delia semakin menggeram.
Wajahnya menjadi merah menahan marah. Sorot matanya penuh kebenclan, sedangkan
Suto Sinting justru semakin melebarkan senyum dan kian merapat di samping
Bidadari Maut.
"Agaknya kau memang tak
pantas diajak menikmati kemesraan, Suto. Kau lebih pantas dikirim ke neraka
jahanam, dan bercintalah dengan mayat-mayat terkutuk di sana: Ramita Mawangi
segera angkat bicara. Suaranya tetap tenang dan mengandung wibawa tersendiri. -
"Kau tak akan bisa
berbuat apa-apa terhadap diri Pendekar Mabuk selama Bidadari Maut masih berdiri
di sampingnya, Delial"
"Hmmh...!" Delia
mencibir,
"Rupanya kau ingiri
membangkitkan borok lama kita, Bidadari Maut. Aku jadi teringat dengan
pengkhianatanmu yang memihak orang-orang Tibet dalam penyerangan ke
negeriku!"
"Tak ada salahnya jika
kita tuntaskan sekarang juga!" tegas Ramila Mawangisambil sedikitmendorong
Suto agar menjauhinya.
"Ramita, biar aku yang
menanganinya," bisik Suto. .
"Jangan... Aku dan dia
masih punya persoalan yang
belum selesai."
"Sekarang kau tambah dengan persoalan baru!" sahut Delia.
"Kau telah merusak
asmaraku, Bidadari busuk! Kita jadikan pertarungan ini sebagai pertarungan
asmara. Biar jelas, siapa yang berhak membawa pergi Pendekar Mabuk!"
"Aku keberatan, Delia.
Pertarungan ini adalah kelanjutan masa lalu kita. Bukan karena asmara!"
"Terserah apa katamu!
Tapi kau memang sudah waktunya kukirim ke neraka!" Delia semakin menggeram
penuh dendam.
Delia membelalakkan mata, seperti
menyentakkan pandangan. Ramita Mawangi terdorong mundur, tapi hanya dua
langkah. Dadanya merasa dihantam dengan palu godam. Untung ia cepat
mengendalikan tenaga dalamnya, sehingga yang dirasakan hanya dorongan besar
tanpa nyeri. pendekar Mabuk sengaja mundur, memberi kesempatan kepada Ramita
Mawangi untuk melakukan pertarungan secara ksatria. Ramita Mawangi justru
bangga dan pertarungannya merasa dihargai. sehingga semangatnya untuk
menjatuhkan Ratu Mahasihir se
makin besar. Delia menyerang
lagi dengan mengayunkan kedua
tangannya ke depan seperti
orang mengusir ayam.
Wuuut...! Dari dalam tanah
timbul letusan beruntun.
Letusan itu merayap cepat dari
tempatnya berdiri sambil ke tempat Bidadari Maut berdiri.
Tar, tar, tar, tar, tar. tar,
tar, traarr...!
Weerrr...! Bidadari Maut
melambung di udara dalam gerakan berjungkir balik cepat. Tak satu pun letusain
itu mengenai dirinya.
Ketika mendarat ke tanah
berumput putih kedua tangannya menyentak ke samping.
Beet...! Tanah berguncang
sesaat. Tiba-tiba pohon cemara yang ada di sekitar Della bergerak-gerak meliuk,
dahan-dahannya menyambar cepat ke tubuh Delia.
Wuuurt...! Bruuus...! Delia
terkapar ke arah kiri. Dari arah kiri ada lagi dahan cemara yang menyabetnya
seperti ekor naga.
Buuhkk...! Suto terperangah
kagum melihat ilmu Ramita Mawangi. Delia dibuat bulan-bulanan oleh pohon-pohon
cemara yang bisa bergerak seperti manusia. Tentu saja. hal itu terjadi karena
Ramita Mawangi menggunakan kekuatan sihirnya pula.
Berkali-kali Delia terlempar
ke sana-sini dalam keadaan babak belur, akhirnya ia menghantamkantangan
kanannya ke tanah. Buuhk...! /
Tiba-tiba pohon cemara di
sekelilingnya itu lenyap tanpa bekas sedikit pun kecuali kerontokan daunnya
tadi.
Zaab...! Tanah menjadi lapang.
Seolah-olah tak pernah tumbuh pohon di sekeliling Delia. Pohon-pohon yang masih
utuh berada dalam jarak sekitar dua puluh langkah dari tempat itu. -
Delia bangkit dengan wajah
makin beringas. Memar di kulit tubuhnya bergerak-gerak menipis, lamalama hilang
seperti disapu angin. Tangan Delia dikibaskan. jubahnya ikut berkibar.
wuursss...! Hawa panas datang
dan berhembus ke arah Bidadar! Maut.
"Jauhi aku!" seru
Bidadari Maut kepada Pendekar Mabuk,
"Udara ini beracun!"
Zlaap, zlaap...! Suto bergerak
secepat bayangan. Tahu-tahu ia ada di belakang Delia, dengan begitu ia tak
terkena hembusan angin beracun.
Bidadari Maut tetap berdiri di
tempatnya'la melawan angin beracun itu walau kulit wajahnya mulai tampak merah.
Ia tetap merapatkan kedua tangannya di de
pan dada. Rambutnya
meriap-riap dihembus angin beracun. Satu demi satu rambut itu pun rontok. -
Sebelum kerontokan itu berjumlah banyak, Ramita Mawangi sudah lebih dulu
menyentakkan satu tangannya ke langit.
Beet...! seketika itu juga
tubuh Delia terlempar melambung ke atas cukup tinggi.
Wuuuuss...!la seperti roket
yang diluncurkan dari bumi. Begitu tingginya sampai-sampai yang bisa dilihat
Suto hanya satu titik jingga sedang melayang dilangit tinggi. . Namun dari
ketinggiannya itu, Della masih bisa mengirimkan sinar merah berlarik-larik.
Cralaap...! Sinar merah itu
menyebar bagaikan kerangka sebuah payung. Setiap larik sinar menyebarkan hawa
panas yang membuat pucuk-pucuk cemara menjadi layu. Bahkan beberapa cemara di
seberang sana mulai berasap, akhirnya terbakar. . Delia melayang turun.
Bidadari Maut kembali mengibaskan tangannya dalam posisi datar, dari kanan ke
kiri.
Wuuuurrss...! Angin 'kencang
datang. Angin itu mengandung hawa dingin yang amat menggigiilkan badan.
Pucuk-pucuk cemara yang terbakar menjadi padam seketika. Cahaya merah dan angin
panas lenyap dalam sekejap. Kini yang ada hanya udara dingin serta busa-busa
salju yang bertaburan seperti serpihan te
pung terigu. - Sebelum kedua
kaki Delia menyentuh tanah, ia sudah lebih dulu menyentakkan tangannya ke
depan, ke arah lawannya. Sentakan tangan itu mengeluarkan puluhan ekor lebah.
Lebah-lebah warna merah itu menyebar menyerang Bidadari Maut dengan liar.
Suaranya menggaung keras, membuat Pendekar Mabuk semakin terperangah tak
berkedip. Tetapi agaknya Bidadari Maut juga tak mau kalah hebat. Kedua
tangannya ditarik dari atas ke bawah sampai pundak, mulutnya dilebarkan dengan
napas menyentak.
"Hahh...!" Dari
dalam rnulut itu tersembur kobaran lidah api
- yang dengan cepat membakar
habis lebah-lebah merah itu. Setiap lebah yang terbakar menimbulkan letusan
kecil, sehingga suara yang timbul seperti suara petasan berondong dibakar.
Trarr, taar, taar, toor, taar,
toor, tooor, daar. daar. toor...!
"Hmmmrrrhm...!"
Delia mengeram iengkel. Setiap serangannya dapat dilumpuhkan lawan.
"Kali ini kau tak akan
bisa melawanku lagi, Bidadari
Maut Hiaaah...!" Delia
merenggangkan kaki dan sedikit membung.
kuk. Tangannya disabetkan
seperti kapak membelah tanah. seketika itu juga tanah menjadi retak dan
Bidadari Maut terperosok ke dalam celah tanah itu.
Bruus...! Begitu melihat
lawannya terperosok, tangan Delia segera disentakkan naik dalam keadaan
menggenggam.
Wuuut...!
"HIaaahh..." Tanah merapat lagi menggencet tubuh Bidadari Maut.
Zrrek...! - - -
"Aahk...!" Bidadari Maut menyeringai. Lambungnya terasa mau pecah.
Gencetan itu semakin kuat, seakan ingin memotong tubuhnya menjadi dua bagian. -
Delia semakin memperkuat genggaman tangannya. Tangan itu sampai bergetar,
giginya menggeletuk kuat-kuat sementara keringatnya mulai bercucuran. Ia
mengerahkan kekuatan sihir yang dipadukan dengan kekuatan tenaga dalamnya.
"Celaka Mampus dia
sekarang" Aku harus segera bertindak!" pikir Pendekar Mabuk. Namun
sebelum murid Gila Tuak itu bertindak. Bidadari Maut menghantam kedua telapak
tangannya
ketanah. Buuummm...! Tubuhnya
terpental ke atas dengan keras.
Bwweerss...! Pada saat
Bidadari Maut melambung dengan rambut meriap dan jubah beterbangan, tangan
kanannya segera berkelebat ke depan seperti melemparkan pisau dari punggung.
Wuuut...! Empat jari tangannya
yang lurus dan kaku itu mengeluarkan sinar hijau kecil sekali, sekecil benang.
Empat sinar hijau itu melesat cepat menghantam dada Ratu Mahasihir. Kedua
tangan Delia ingin menghadang sinar tersebut, tapi teriambat bergerak. -
Blaaaarr...! Delia terkapar
sejauh delapan tombak. Tubuhnya berasap, rambutnya terbakar, nyaris bondol.
Kulit tubuhnya menjadi merah kehitam-hitaman. Ia terluka parah. Terbukti
mulutnya menyemburkan darah kental berwarna hitam.
"Bangsat!" makinya
dengan suara berat.
"Tunggu pembalasanku,
Jahanam!"
Blaasss...! Delia melompat,
tahu-tahu lenyap bagaikan ditelan bumi. Ia melarikan diri, karena merasa
berbahaya sekali jika melanjutkan pertarungan dalam keadaan luka parah seperti
itu.
Suto ingin mengejarnya, tapi
Bidadari Maut melarangnya. Perempuan itu terengah-engah dengan wajah pucat
seperti mayat.
"Bagaimana keadaanmu.
Ramita?"tanya Suto dengan cemas.
"Aku butuh tuakmu. Racun
ini semakin mengganas , dalam darahku?"
"oh, ya... baik.
Baik..." -
Ramita Mawangi alias si
Bidadari Maut itu berhasil menangkal keganasan racun tersebut dengan menenggak
tuak sakti Pendekar Mabuk, wajahnya yang pucat mulai tampak segar kembali.
Pendekar Mabuk tersenyum lega.
"Mau tuak lagi" Mau
kutuangkan dari mulutku ke mulutmu?"
Ramita Mawangi tersenyum
anggun.
"Simpan saja acara itu
buat nanti. Sekarang kita harus temui Perawan Sinting dan Ratu Rimba, Kalau
terlalu lama mereka bisa mati membeku karena totokan 'Gurun Salju'-ku."
Mereka segera keluar dari alam
gaib dan menemui Perawan Sinting serta Ratu Rimba. Namun apakah kedua gadis itu
akan melanjutkan pertarungan duel asmaranya jika mereka tahu Pendekar Mabuk
telah bebas" Ataukah mereka justru akan menyerang Ramita Mawangi, karena
Suto tampak akrab sekali dengan Bidadari Maut itu"
SELESAI