SISA-SISA kebakaran membentuk
bayangan
kerangka hitam menyeramkan.
Pilar-pilar istana
bagaikan sosok hantu hitam
tanpa gerak dan
suara.
Diwarnai oleh kepulan asap
tipis sisa
kebakaran dan bau daging
hangus di sana-sini,
siapa pun yang lewat di hamparan puing-puing
hitam itu akan merinding bulu
kuduknya.
Begitu pula yang dirasakan
oleh pemuda
tampan berambut lurus sepundak
tanpa ikat
kepala. Pemuda yang kenakan
baju tanpa lengan
warna coklat dan celana putih
lusuh itu pandangi
tiang-tiang hitam yang menjadi
saksi bisu atas
kekejian yang telah melanda
tempat tersebut.
Pemuda berbadan tegap, kekar,
dan gagah itu
mempunyai sepasang mata tajam
yang kala itu tak
mampu berkedip karena
terperangah menyaksikan
keadaan sekitarnya. Bumbung
tuak yang
disandang melintang di
punggung itu menjadi ciri
penampilannya sebagai murid
Gila Tuak dan
Bidadari Jalang yang dikenal
dengan nama Suto
Sinting alias si Pendekar
Mabuk dari Jurang
Lindu.
"Mengapa bisa jadi
begini?" Pendekar Mabuk
membatin dengan heran.
"Siapa orangnya yang
telah membumihanguskan istana
ini? Apakah tak
satu pun ada yang selamat?
Oh... menjijikkan
sekali. Di sana-sini
bergelimpangan mayat
terbakar hangus, sebagian
masih ada yang tak
sampai menjadi arang. Aku
hampir tak percaya
melihat istana ini menjadi
ladang hitam begini.
Melihat sisa asap yang masih
mengepul, pasti
kejadiannya belum berselang
lama."
Sekalipun di sana-sini banyak
mayat
menjijikkan karena luka bakar,
namun Pendekar
Mabuk tetap menyusuri tempat
itu dengan
langkah hati-hati. Matanya
pandangi tiap mayat
karena hatinya mencari berapa
wajah yang
dikenalinya. Namun wajah-wajah
mayat di situ
sukar dikenali lagi. Bahkan
pakaian mereka pun
tak ada yang tersisa hingga
tak bisa dijadikan ciri
bagi pemakainya. Pendekar
Mabuk masih
mencoba membedakan mana mayat
lelaki dan
mana mayat perempuan.
"Selama menjadi pendekar,
baru sekarang
aku kebingungan memilih mayat
lelaki dan mayat
perempuan," pikir Suto
Sinting. "Ada baiknya
kalau kuperiksa saja
sekeliling tempat ini, siapa
tahu kutemukan korban yang
masih hidup atau
dalam keadaan sedang sekarat
sehingga bisa
kudengarkan penjelasannya
tentang musibah
maut ini."
Bau daging hangus sempat bikin
perut mual.
Pendekar Mabuk terpaksa meraih
bumbung
tuaknya dan menenggak tuak
beberapa teguk.
Tuak itu membuat rasa mual
lenyap seketika.
Suto hembuskan napas lega,
lalu segera menutup
bumbung tuaknya.
Pada saat itulah tiba-tiba
sekelebat benda
tampak melayang dari arah
samping kanannya.
Suto Sinting cepat sentakkan
kaki dan tubuhnya
melompat dalam gerakan bersalto ke belakang
satu kali. Wuuut...! Dan benda
yang melesat itu
tak jadi kenai tubuhnya.
Weess... Taab!
Benda yang melintas cepat itu
menancap
pada sebatang pilar kayu yang
sudah hangus dan
bagian atasnya telah menjadi
arang keropos.
Pandangan mata Suto Sinting
terarah pada benda
yang menancap pada bekas pilar
itu; ternyata
sebatang anak panah dengan
panjang sehasta
lebih sedikit. Pendekar Mabuk
cepat alihkan
pandangan matanya ke arah
datangnya anak
panah tersebut.
"Hmmm...?! Rupanya dia
yang menyerangku
dengan panahnya?!" gumam
si tampan sinting
murid Gila Tuak itu.
Di balik reruntuhan arang
telah berdiri
seorang lelaki berusia sekitar
lima puluh tahun.
Lelaki itu mengenakan celana
merah tanpa baju.
Tubuhnya sedikit gemuk tapi
tidak begitu tinggi.
Rambutnya panjang belakang
bagian depannya
botak licin. Wajahnya tampak
sedikit angker tapi
tak seangker kuburan tua.
Berkumis tipis namun
panjang hingga melengkung
sampai ke dagu. Ia
masih pegangi busur yang sudah
ditarik talinya
dengan sebatang anak panah
terarah kepada Suto
Sinting.
Meski dirinya terancam anak
panah yang
akan dilepaskan ke dadanya,
tapi Suto Sinting
tetap diam di tempat dengan
sorot pandangan
mata tak berkedip. Berdiri
tegak, dada sedikit
membusung sehingga tampak
gagah dan berkesan
tak merasa gentar sedikit pun.
Ujung panah itu
justru ditatapnya tajam-tajam,
seakan ditantang
untuk lepas dari tali
busurnya. Tetapi orang
bercelana merah itu tak mau
segera lepaskan
anak panah tersebut, ia justru
berseru dengan
nada tak ramah dan berkesan
menggertak
Pendekar Mabuk.
"Tinggalkan tempat ini
atau kau kehilangan
nyawa sekarang juga!"
Sehela napas ditarik dan
dihembuskan
pelan-pelan sebagai penenang keadaan dirinya.
Pendekar Mabuk mulai kendurkan
ketegangannya
dan senyum tampannya mekar
seulas dengan tipis
sekali.
"Sangkamu siapa diriku
ini, Paman?" ujar
Suto dengan kalem, ia justru
melangkah dekati
orang tersebut.
"Berhenti!" sentak
orang itu dengan mata
melebar. "Selangkah lagi
kau maju, dadamu akan
ditembus oleh panahku
ini!"
"Apakah kau kira tubuhku
terbuat dari
getuk, sehingga mudah ditembus
anak panah?
Coba saja lepaskan kalau kau
sanggup membidik
dadaku, Paman!"
Orang itu tidak main-main, ia
benar-benar
lepaskan anak panah dari
busurnya. Slaaap...!
Anak panah meluncur cepat ke
dada Suto Sinting.
Kaki anak muda itu masih tegak
berdiri
dengan sedikit merenggang, ia
tidak menghindar,
melainkan meraih bumbung
tuaknya dan
menghadangkan di depan
dadanya. Anak panah
itu akhirnya kenai bumbung
tuak yang terbuat
dari bambu bukan sembarang
bambu itu.
Traaang...! Suara anak panah
menghantam
bumbung tuak seperti anak
panah menghantam
besi baja berongga.
Orang yang memanah Pendekar
Mabuk
menjadi terbelalak kaget
melihat anak panahnya
memantul dan berbalik arah
dengan kecepatan
lebih tinggi. Hampir saja
orang itu celaka dihujam
panahnya sendiri kalau saja ia
tidak segera
gulingkan diri di udara dalam
satu lompatan
cepat. Wuuut...!
Jrrabb...! Anak panah itu
menancap pada
puing-puing sisa kebakaran dan
membuat puing-
puing itu menjadi hancur
berantakan bagaikan
dipukul dengan pukulan
bertenaga dalam cukup
tinggi. Brraaass...!
Puing-puing itu menyebar ke
segala arah, menimbuni kepala
si pemilik panah
tersebut.
Orang bermata agak besar itu
hanya
terperangah bengong pandangi
Pendekar Mabuk.
Namun hatinya sempat menggumam
sendiri,
"Hebat sekali dia?
Panahku bisa
dikembalikan dalam keadaan
lebih cepat dan
berkekuatan tenaga dalam cukup
dahsyat?! Gila!
Agaknya aku tak boleh anggap
remeh anak mudah
itu? Hmmm... siapa dia
sebenarnya? Aku
sepertinya pernah melihatnya
secara sepintas, tapi
tak sempat mengenalnya lebih
dekat lagi. Dilihat
dari raut mukanya, agaknya dia
bukan orang
jahat. Sebaiknya kukurangi
kecurigaan jelekku
terhadap anak muda itu."
Pendekar Mabuk semakin dekati
orang
tersebut. Dalam jarak tujuh
langkah kurang ia
berhenti dan menyapa dengan
suaranya yang
bernada kalem, mata memandang
tanpa kesan
permusuhan.
"Apa maksudmu
menyerangku, Paman?
Siapa kau sebenarnya?"
"Justru seharusnya aku
yang berkata
begitu!" jawab orang itu
masih menampakkan
sikap permusuhannya.
Suto Sinting tidak cepat jawab
pertanyaan si
pemanah tersebut, melainkan
justru pandangi
keadaan sekeliling dengan raut
wajah kian datar,
sepertinya sedang memendam
perasaan duka yang
tak ingin diketahui siapa pun.
Kejap berikut
barulah terdengar suaranya
tanpa pandangi orang
di depannya.
"Tak kusangka Lembah
Birawa menjadi
seperti ini. Kaukah pelakunya,
Paman?"
"Kurobek mulutmu jika
bicara selancang itu
lagi!" sentak orang
bersabuk hitam itu. Ia pun
segera maju tiga langkah dan
berdiri dengan sikap
menantang di depan Suto
Sinting. "Justru aku
yang curiga padamu sebagai
orang yang
menghancurkan Istana Lembah
Birawa ini! Pasti
kau yang melarikan Ratuku;
Gusti Ratu
Jiwandani!"
"O, kalau begitu kau
adalah prajurit dari
Lembah Birawa ini. Tapi mengapa kau
tidak
mengenaliku, Paman? Apakah kau
lupa bahwa
aku pernah selamatkan Ratu
Jiwandani dari
ancaman Demit Lanang?"
"Ap... apakah kau yang
bernama Suto
Sinting; Pendekar Mabuk?"
orang itu agak gugup.
"Benar. Agaknya baru
sekarang kau
melihatku, Paman."
"Mma... maafkan aku, kala
itu aku tidak ada
di tempat, bertugas
menghubungi seorang sahabat
Ratu untuk meminta bantuan
dalam menghadapi
Demit Lanang. Tapi ketika aku
berhasil pulang
dengan membawa bantuan,
ternyata keadaan
sudah aman dan aku hanya
mendengar cerita
tentang dirimu. Maafkan aku
yang pikun ini,
Pendekar Mabuk."
Suto Sinting sunggingkan
senyum
sekadarnya. Benaknya masih membayangkan
peristiwa beberapa waktu yang
lalu ketika ia
terlibat dalam perkara
kekejaman si Demit
Lanang, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam
episode: "Manusia
Pemusnah Raga").
"Jadi, kau ada di pihak
Ratu Jiwandani,
Paman?"
"Benar," jawab orang
itu yang mulai semakin
bersikap lunak. "Aku
prajurit sandi; namaku
Wirya Tabah."
"Pantas kau tak tampak
sedih melihat
keadaan seperti ini. Mungkin
kau orang paling
tabah di dunia, Paman."
"Yang ada dalam hatiku
bukan kesedihan
tapi kemarahan. Aku ingin membalas
dendam
kepada orang yang telah
membumihanguskan
tempat ini. Ia harus
menebusnya dengan
nyawanya sendiri."
"Apakah kau tak tahu
siapa pelakunya?"
Wirya Tabah gelengkan kepala
sambil
menarik napas. "Tadi pagi
aku baru saja kembali
dari Pulau Lintang untuk
mencari obat buat
sembuhkan adikku yang sakit.
Tapi begitu tiba di
sini, ternyata adikku sudah
tak ada dan mungkin
termasuk salah satu dari
sekumpulan mayat-
mayat hangus ini!"
Mata lebar Wirya Tabah
pandangi mayat-
mayat yang bergelimpangan di
sana-sini. Tulang
rahangnya bergerak-gerak tanda
sedang
menggeletukkan gigi menahan
dendam yang
belum bisa terlampiaskan.
"Paman Wirya Tabah,
apakah kau juga tidak
mengetahui bagaimana nasib
hidupnya Kinanti?"
tanya Suto Sinting yang sejak
tadi menyimpan
pertanyaan itu dalam hatinya.
"Jika nasib Gusti Ratu
saja tidak kuketahui,
tentunya nasib Kinanti pun
tidak kuketahui, Suto.
Rupanya kau kenal dekat dengan
Kinanti. Apakah
kau kekasihnya?"
Suto hanya sunggingkan senyum
geli. Ia
sengaja tak memberi kepastian
jawaban kepada
Wirya Tabah, karena pada saat
itu tiba-tiba
pandangan matanya tertarik
pada sekelebat
bayangan yang melesat dari
samping belakang.
Kelebatan bayangan itu membuat Pendekar
Mabuk cepat palingkan wajah
dan ikuti dengan
pandangan mata berkerut dahi.
Jleeg...!
Bayangan itu berubah menjadi
sesosok
tubuh berjubah kuning gading.
Suto Sinting
makin lebarkan senyum melihat
wajah si jubah
kuning gading yang cantik
dengan rambut panjang
disanggul sebagian, ia adalah
seorang gadis
berpinjung penutup dada warna
hijau tua cukup
ketat hingga tampak sekali
kemontokannya, ia
menyandang sebilah pedang di
punggungnya
dengan gagang pedang diberi
hiasan rumbai-
rumbai benang sutera warna
merah.
"Kinanti...," sapa
Pendekar Mabuk dengan
suara lembut. "Baru saja
kami membicarakan
tentang dirimu."
Kinanti, pengawal Ratu
Jiwandani itu, tak
bisa sunggingkan senyum
sedikit pun. Wajahnya
tampak murung; antara duka dan
benci. Bahkan
ketika ia pandangi keadaan
sekelilingnya, kian
lama kedua matanya kian
digenangi air bening. Air
mata itu akhirnya meleleh ke
pipi berkulit kuning
langsat.
Wirya Tabah segera menghadang
dengan
sedikit bungkukkan badan tanda
menghormat.
Berarti kedudukan Kinanti lebih
tinggi dari Wirya
Tabah.
"Ke mana saja kau, Wirya
Tabah?!" hardik
Kinanti dengan suara parau.
"Maafkan aku yang
terlambat datang. Tapi
kepergianku mencari obat untuk
adikku sudah
seizin Gusti Ratu,
Kinanti."
Plaaak...!
Tiba-tiba Kinanti layangkan
tamparan
tangannya ke wajah Wirya Tabah
tanpa tanggung-
tanggung lagi. Lelaki yang
usianya lebih banyak
dari Kinanti itu terpelanting
jatuh bersimpuh
akibat tamparan tersebut.
Wajah yang ditampar
menjadi merah, menandakan
tamparan itu disertai
hempasan tenaga dalam walau
berukuran sedang-
sedang saja. Wirya Tabah tak
berani melawan atau
membalas, ia hanya bangkit dan
tetap tundukkan
kepala bersikap sebagai orang
bersalah.
"Di mana rasa baktimu
kepada negeri dan
ratumu, Wirya Tabah?! Dalam keadaan
diserang
bahaya sekeji ini kau pergi
tanpa mau
menanggung akibatnya.
Pengabdian macam apa
yang kau miliki itu, Wirya
Tabah!"
Kinanti angkat tangan kanannya
dan ingin
tampar Wirya Tabah lagi, tapi
seruan Suto Sinting
menghentikan gerak tangan tersebut.
"Cukup!" Suto
Sinting kian mendekati
Kinanti. "Jangan
limpahkan dendam dan
kemarahanmu kepada Paman Wirya
Tabah,
Kinanti. Bukankah ia pergi
sudah seizin sang
Ratu?"
Mata gadis cantik itu
memandang Suto
dengan tajam. Napasnya ditarik
dalam-dalam.
Tangan yang sudah terangkat
diturunkan. Setelah
sesaat saling beradu pandang
dengan Suto
Sinting, Kinanti pandangi arah
jauh bagaikan
menerawang.
Terdengar Wirya Tabah ajukan
tanya dengan
suara lirih, "Bagaimana
keadaan Gusti Ratu?
Apakah beliau selamat? Jika
selamat, di mana
beliau sekarang?"
"Kuselamatkan ke Puncak
Bukit Wangi."
"Maksudmu, Gusti Ratu
sekarang bersama
Ki Galak Gantung?"
"Benar! Pergilah ke sana
dan jaga beliau.
Siapa tahu orang itu masih
memburu Gusti Ratu."
"Tapi bukankah Ki Galak
Gantung cukup
mampu mengatasi bahaya yang
mengancam sang
Ratu?"
"Ki Galak Gantung sedang
sakit,
kekuatannya berkurang.
Muridnya sedang tidak
ada di tempat. Pergilah ke
sana sekarang juga,
Wirya Tabah, lindungi Ratu
dari bahaya yang
mengancamnya
sewaktu-waktu!"
Pendekar Mabuk masih
bungkamkan mulut.
Tapi hatinya berkecamuk
sendiri, ingatannya
kembali pada seraut wajah tua
milik Galak
Gantung yang pernah dikenalnya
dalam satu
peristiwa pembebasan seorang
tabib wanita yang
ditawan Ratu Sukma Semimpi,
(Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka
Bernyawa"). Galak Gantung
adalah sahabat dari si
Gila Tuak, karenanya Suto
Sinting merasa aman
jika Ratu Jiwandani diungsikan
ke pondok Galak
Gantung, sebab orang tua itu
berilmu tinggi.
Sekalipun dalam keadaan sedang
sakit, namun
kesaktiannya masih mampu
melindungi Ratu
Jiwandani dari bahaya apa pun.
Suto percaya
akan hal itu.
Maka ketika Wirya Tabah pergi
menjalankan
perintah Kinanti; menuju
puncak Bukit Wangi
yang menjadi tempat kediaman
Galak Gantung,
kejap berikutnya Suto pun
perdengarkan
suaranya dari belakang
Kinanti.
"Kurasa Ki Galak Gantung
cukup mampu
lindungi Ratu Jiwandani. Kau
tak perlu khawatir
lagi jika Gusti Ratu-mu sudah
ada dalam
lindungan Ki Galak Gantung.
Aku kenal betul
kesaktian sahabat guruku
itu."
Kinanti masih diam saja,
seakan ia tak ingin
menanggapi kata-kata itu.
Pandangan matanya
menerawang lurus pada
kepergian Wirya Tabah,
sehingga Pendekar Mabuk merasa
perlu sadarkan
lamunan duka Kinanti dengan
sebuah teguran
lembut dari arah sampingnya.
"Kinanti, jelaskan padaku
siapa orang yang
telah membumihanguskan Lembah
Birawa ini?"
"Aku tak tahu,"
jawab Kinanti dengan datar.
"Orang itu menyerang pada
tengah malam, tak
terlihat jelas wajahnya. Namun
seorang anak
buahku yang saat itu belum
menjadi korban
sempat memberitahukan padaku,
bahwa orang
yang datang menyerang Istana
itu bersenjata
Sabuk Gempur Jagat. Ia tahu ciri-ciri sabuk
pusaka itu, tapi sayang anak
buahku itu sekarang
sudah tiada. Jasadnya hancur
disabet sabuk
pusaka itu di seberang kaki
hutan sebelah utara
sana."
"Sabuk Gempur
Jagat...?!" Suto Sinting
menggumam bernada heran dan
penuh curiga,
sebab ia pernah mendengar nama
pusaka tersebut
ketika menyelesaikan perkara
dengan Pipit
Serindu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam
episode: "Kutukan Pelacur
Tua"). Karenanya
gumaman itu pun berkelanjutan
dengan nada
datar,
"Kalau tak salah, Sabuk
Gempur Jagat kala
itu sedang diperebutkan antara
Resi Pakar Pantun
dengan si Tulang Naga."
Tiba-tiba wajah Kinanti
berpaling pandangi
Suto dengan sorot mata
tajamnya.
"Siapa itu Tulang
Naga?"
"Penguasa Telaga
Siluman!"
"Di mana letak Telaga
Siluman?!"
"Apa maksudmu bertanya
begitu?"
"Aku akan ke sana untuk
temui si Tulang
Naga dan bikin perhitungan
dengannya. Hanya
ada dua pilihan; nyawaku atau
nyawanya yang
harus binasa!" geram
Kinanti dengan dendam
berkobar dalam hatinya.
Wajahnya pun
menampakkan kobaran dendam yang
tak bisa
tertahan lagi.
*
* *
2
TULANG NAGA adalah tokoh
aliran hitam
yang ganas dan berbahaya.
Senjata andalannya
yang bernama Pusaka Nenggala
Kubur itu sudah
cukup berbahaya bagi lawannya,
apalagi jika
ditambah dengan senjata pusaka
Sabuk Gempur
Jagat, tak heran jika Tulang
Naga dapat
membumihanguskan sebuah negeri
dalam waktu
singkat.
Sambil melangkah menuju Telaga
Siluman
mendampingi Kinanti, ingatan
Suto masih tertuju
pada seraut wajah bermata cekung
dan bertubuh
kurus; wajah itu adalah wajah
si Tulang Naga.
Rambutnya yang putih sepanjang
pinggang tanpa
ikat kepala bertebaran
menghiasi bayangan di
benak Suto Sinting. Murid si
Gila Tuak itu teringat
betul saat ia hampir mati di
tangan Tulang Naga
dalam mempertahankan mayat
bayi anak pertama
Ratna Udayani dan Raden
Prajita. Bayi yang
menjadi cucu Sultan Renggana
itu sangat diminati
oleh beberapa tokoh aliran
hitam sebagai
penambah kekuatan
kesaktiannya, dan salah satu
orang yang bernafsu memiliki
mayat bayi tersebut
adalah Tulang Naga, (Baca
serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Bayi
Pembawa Petaka").
Pada waktu itu, Pendekar Mabuk
berhasil
dilumpuhkan oleh senjata
Neggala Kubur-nya si
Tulang Naga. Namun ketika Penguasa
Telaga
Siluman itu
ingin menghabisi nyawa Suto, tiba-
tiba muncul serangan berbahaya
dari Hantu Laut
yang kenal si Tulang Naga dan
membuat si Tulang
Naga akhirnya lari tinggalkan
mayat bayi tersebut.
"Apakah Ratu Jiwandani
punya masalah
dengan si Tulang Naga?"
tanya Suto Sinting
kepada Kinanti saat mereka
berhenti di sebuah
lembah yang teduh. Lembah itu
tak seberapa jauh
dari pantai, sehingga gemuruh
suara ombak
terdengar samar-samar dari
tempat mereka
berada.
"Setahuku, kami tidak
punya masalah apa-
apa dengan tokoh sesat yang
bernama Tulang
Naga dari Telaga Siluman itu.
Yang kutahu, orang
tersebut menyerang kami di
tengah malam dan
dalam sekejap Lembah Birawa
dibuat menjadi
lautan api yang sukar
dipadamkan. Aku segera
melarikan Ratu Jiwandani tanpa
diketahui oleh
prajurit lainnya melalui jalan
lorong bawah tanah."
"Apakah Ratu Jiwandani
tak tahu juga
bahwa orang itu adalah si
Tulang Naga?"
"Ratu tidak mengenal nama
itu, karena ia
tidak sebut-sebut nama Tulang
Naga."
"Jika Ratu tidak kenal
dengan Tulang Naga,
berarti orang yang
membumihanguskan Lembah
Birawa bukan dia."
Kinanti segera berpaling
menatap Pendekar
Mabuk. Dahinya berkerut,
pandangan matanya
tajam penuh tanda tanya.
Pendekar Mabuk
alihkan perhatian sebentar
dengan menenggak
tuaknya beberapa teguk. Glek,
glek, glek...!
Napas terhempas panjang
menandakan rasa
lega sedang dialami Pendekar
Mabuk. Setelah itu
ia tatap si cantik Kinanti
yang sukar tersenyum
itu, lalu terdengar ia berkata bagaikan orang
sedang menggumam.
"Jika bukan Tulang
Naga, lalu siapa
orangnya yang memegang pusaka
Sabuk Gempur
Jagat? Setahuku sabuk pusaka
itu dipegang
olehnya."
"Baru sekarang kudengar
ada pusaka Sabuk
Gempur Jagat," ujar
Kinanti. "Tapi aku belum
pernah melihat
bentuknya."
"Apakah malam itu kau
tidak melihat sabuk
pusaka itu digunakan oleh
orang tersebut?"
Kinanti gelengkan kepala.
"Aku hanya
mendengar pengaduan dari anak
buahku. Api
telah berkobar dan aku segera
larikan sang Ratu
tanpa sempat berhadapan dengan
orang tersebut."
"Jadi kau tidak tahu
ciri-ciri si pemegang
Sabuk Gempur Jagat?"
Kinanti gelengkan kepala lagi.
"Repotnya
semua saksi mata yang pernah
berhadapan
dengan orang itu tak ada yang
selamat. Semuanya
mati hangus seperti apa yang
kau lihat di puing
reruntuhan istana tadi."
"Kalau begitu, belum
tentu si Tulang Naga
yang menghanguskan Lembah
Birawa. Mungkin
musuh lain yang sangat menaruh
dendam
kesumat kepada Ratu Jiwandani.
Atau...."
Kata-kata itu terhenti
seketika, karena ekor
mata Suto Sinting melihat
sekelebat bayangan
benda yang meluncur dari
belakang Kinanti.
Tubuh Kinanti segera ditarik
ke samping kirinya
hingga gadis itu nyaris
tersungkur mencium
tanah. Suto Sinting melompat
maju, crrab...!
Sebilah pisau pendek berukuran
sejengkal
ditangkap dengan mulut
Pendekar Mabuk. Pisau
itu kini ada dalam gigitannya, tak sedikit pun
menggores bibir maupun lidah
Suto. Keadaan itu
membuat Kinanti belalakkan
mata dan segera
bangkit dalam memasang kuda-kuda
siap tempur.
Pendekar Mabuk segera lakukan
lompatan
bersalto ke atas. Kepalanya
menyentak ke samping
dan pisau pada mulutnya itu
terlempar ke arah
datangnya tadi. Wuuut...!
Sraaab...! Juuub...!
"Aaaaahg...!"
terdengar suara pekikan orang
kesakitan dari balik semak
belukar. Rupanya
pisau itu kenai tubuh
pelemparnya yang masih
bersembunyi di baik semak, ia
tak menyangka
pisau itu akan dilemparkan
secepat itu hingga tak
sempat hindari senjatanya
sendiri.
Orang yang memekik kesakitan
itu roboh
dengan berguling keluar dari
kerimbunan semak.
Mata Kinanti dan Suto Sinting
pandangi orang
tersebut. Ternyata seorang
lelaki kurus yang
masih meraung kesakitan karena
bagian bawah
pundak kanannya ditembus pisau
kecil. Pisau itu
beracun dan membuat lukanya
menjadi
menghitam, pisau itu sendiri
sukar dicabut dari
tubuh korban.
"Aauhh...! Tolooong...
tolong cabut pisau
ini...!" ratap orang
kurus itu sambil kelojotan
menderita rasa sakit.
Kinanti menggumam kata lirih,
"Racun
Serap Darah?!"
"Apa maksudmu?"
"Pisau itu mengandung
Racun Serap Darah,
yang membuatnya tak bisa lepas
dari tubuh
korban karena menyerap darah
korban. Sebelum
darah korban habis terserap ia
tetap akan
menancap dan sukar
dicabut."
"Aaahg...! Aaaahg...!
Tolooong...," orang itu
meratap semakin lirih,
gerakannya semakin
lemah.
Suto Sinting cepat-cepat
menenggak tuak,
kemudian menyemburkan tuak
dari mulutnya ke
arah pisau tersebut.
Bruuusss...!
Jrooossss...! Luka itu
kepulkan asap tebal,
seperti besi membara disiram
air dingin. Orang itu
kian mengerang dengan tubuh
mengejang.
Pendekar Mabuk segera cabut
pisau itu dan
ternyata dapat dilepas dengan
mudah sekali.
Jurus 'Sembur Husada' yang
digunakan Suto
membuat luka itu terkatup dan
menjadi kering,
dalam beberapa kejap saja
sudah hilang secara
ajaib.
Kinanti hanya bisa diam
terbengong melihat
kesaktian Suto dengan rasa
kagum yang
menggumpal di dadanya. Karena
memang baru
sekarang ia melihat kehebatan
jurus 'Sembur
Husada' diperagakan oleh Suto
Sinting walau
tidak dengan maksud pamer
kesaktian.
"Biasanya kau menyuruh
orang yang terluka
meminum tuakmu, tapi kali ini
mengapa hanya
kau sembur saja?"
"Jurus ini dapat membuat
orang yang
kutolong lupa kepadaku,
seperti merasa baru
mengenalku. Ingatannya tentang
diriku ikut
lenyap bersama lukanya. Karena
itu, jurus
'Sembur Husada' tak pernah
kulakukan untuk
mengobati orang yang sudah
mengenalku. Jika
orang kurus ini lupa tentang
diriku, tak jadi soal,
karena memang ia belum
mengenalku." (Jurus ini
pernah digunakan dalam serial
Pendekar Mabuk
episode : "Pusaka Tuak
Setan").
Orang kurus itu segera bangkit
dengan
perasaan penuh rasa kagum atas
kesembuhan
lukanya. Namun ketika ia sadar
dirinya berada di
depan Pendekar Mabuk dan
Kinanti, ia buru-buru
bergegas melarikan diri. Namun
Kinanti berhasil
menyambar lengan si kurus itu.
Wuuut...!
"Mau ke mana kau!"
"Aaak... aku hanya...
hanya disuruh
seseorang, Nona."
"Siapa yang menyuruhmu!"
gertak Kinanti,
"Hmmm... eeh...,"
orang itu kebingungan dan
ragu menjawab. Pendekar Mabuk
segera
mendesak dengan pertanyaan
lain.
"Siapa yang ingin kau
bunuh? Dia atau
aku?"
"Hmmm... hmm...
anu...."
"Di sini tidak ada yang
bernama 'Anu', jawab
yang jelas!" sentak
Kinanti bagaikan tak sabar
ingin menampar mulut orang
kurus itu.
"Aku disuruh membunuhmu,
Nona!"
Kinanti beradu pandangan mata
sejenak
dengan Suto Sinting. Kemudian
ia kembali
mendesak orang kurus itu
dengan pertanyaan
yang mendesak sekali.
"Kau murid dari Bukit
Kasmaran, bukan?"
"Buk... bukan!
Aku...."
"Omong kosong!"
Plaaaak...!
Kinanti menampar keras-keras
wajah orang
kurus itu hingga orang
tersebut terpelanting
berputar empat kali dengan
cepat. Kejap
berikutnya ia roboh akibat
tendangan kaki Kinanti
yang cukup kuat. Tubuhnya
terkapar di bawah
pohon dalam keadaan tidak
berkutik lagi. Sebuah
pekikan kecil sempat didengar
oleh mereka
sebelum orang itu roboh.
Pendekar Mabuk segera
mendekati orang
tersebut dengan perasaan heran
dan curiga, ia
memeriksanya dengan pandangan
mata dan dahi
berkerut. Kinanti menyusul
mendekati Suto
Sinting.
Wajah orang kurus itu telah
memucat,
mulutnya ternganga dan matanya
terbeliak tak
berkedip. Tak satu pun bagian
tubuhnya yang
bergerak. Bahkan dadanya tidak
kelihatan sedang
bernapas.
"Dia tewas!" ujar
Suto Sinting sambil pegangi
urat leher orang itu dan
matanya memandang
Kinanti.
Gadis berjubah kuning gading
itu setengah
tidak percaya, kemudian
memeriksa pergelangan
tangan orang tersebut.
Ternyata memang tak ada
denyut nadi lagi. Itu tandanya
orang tersebut
sudah tidak bernyawa lagi.
Gumam Kinanti pun
terlontar lirih bernada heran.
"Aneh. Mestinya ia tak
sampai kehilangan
nyawa. Pukulan dan tendanganku
tadi tidak
begitu membahayakan nyawa
seseorang?!"
Pendekar Mabuk yang sempat
menaruh
curiga atas kematian orang
tersebut segera
membalikkan badan si korban,
ia terperanjat,
demikian pula Kinanti, mereka
melihat sebilah
pisau kecil seperti tadi
menancap di punggung
orang tersebut. Rupanya pisau
itulah yang
membuat nyawa orang kurus itu
melayang, lepas
dari raganya.
"Ternyata ada pihak lain
yang menyerang
orang ini hingga tewas."
"Kurasa dilakukan saat
orang ini melayang
karena terkena tendanganmu
tadi, Kinanti," kata
Suto Sinting sambil matanya
memandang ke alam
sekitarnya.
"Sial! Kita terlambat
mengorek keterangan
dari mulutnya!" geram Suto Sinting yang
merasa
penasaran karena belum
mengetahui dengan pasti
siapa orang yang menyuruh si
kurus untuk
membunuh Kinanti itu.
Namun gadis cantik berdada
montok itu
berkata, "Aku yakin ia
orang Bukit Kasmaran,
anak buah si Merak
Cabul."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi
karena
merasa pernah mendengar nama
Merak Cabul.
Hatinya bahkan berkata,
"Kalau tak salah Bukit
Kasmaran adalah asal
perguruannya Dinada atau
Milasi?" Dan seraut wajah
cantik yang mempunyai
jurus maut dalam tiupan
serulingnya terbayang
dalam ingatan Pendekar Mabuk,
(Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode :
"Gelang Naga
Dewa").
Setelah sama-sama memeriksa
keadaan
sekeliling mencari pembunuh si
kurus itu, mereka
kembali bertemu di dekat mayat
tersebut. Suto
Sinting sempat ajukan tanya
kepada Kinanti.
"Dari mana kau yakin
kalau orang ini adalah
orang si Merak Cabul?"
"Karena hanya Merak Cabul
dan beberapa
orangnya yang mempunyai Racun
Serap Darah
pada pisau mereka," jawab
Kinanti.
Setelah merenung sejenak,
Pendekar Mabuk
segera perdengarkan suaranya
yang mirip orang
menggumam itu,
"Apa kira-kira alasan si
Merak Cabul,
sehingga mengutus orang kurus
itu untuk
membunuhmu?"
"Entahlah," jawab
Kinanti dengan wajah
masih kaku karena menahan
kemarahan. "Yang
jelas, aku tak pernah bentrok
dengan si Merak
Cabul, walau aku selalu menunjukkan
sikap tak
suka kepadanya."
"Kepada pihak Ratu
Jiwandani apakah ada
masalah dengan si Merak
Cabul?"
"Pernah terjadi bentrokan
kecil antara sang
Ratu dengan Merak Cabul
gara-gara sebuah kitab
pusaka. Bentrokan itu
sebenarnya hanya salah
paham si Merak Cabul yang
menyangka Kitab Jati
Mulya ada di tangan sang Ratu.
Padahal sang
Ratu tidak tahu-menahu tentang
kitab tersebut."
"Mengapa Merak Cabul
menuduh Ratu
Jiwandani memiliki Kitab Jati
Mulya? Ada
hubungan apa antara Ratu
Jiwandani dengan
pihak Merak Cabul?"
"Dulu, Ratu Jiwandani
bersahabat akrab
dengan Nyai Guntur Ayu, ketua
perguruan Bukit
Kasmaran. Ketika Nyai Guntur
Ayu tewas, Kitab
Jati Mulya lenyap, entah siapa
yang mencurinya.
Kecurigaan kuat si Merak
Cabul, kitab itu
dititipkan kepada Ratu
Jiwandani, padahal sama
sekali tidak."
Suto menggumam panjang dan
pelan sambil
angguk-anggukkan kepala.
Agaknya ia sedang
renungi rangkaian cerita itu.
Sampai akhirnya ia
temukan satu kesimpulan yang
masih meragukan
bagi hatinya sendiri.
"Apakah... apakah
menurutmu ada kemung-
kinan penyerangan yang
membumihanguskan
Bukit Birawa itu dilakukan
oleh si Merak Cabul?"
"Maksudmu, Merak Cabul
yang memegang
pusaka Sabuk Gempur Jagat
itu?"
Suto Sinting angkat bahu,
"Mungkin saja!"
"Hmmm... kalau begitu aku
harus
menyerang Bukit Kasmaran dan
bikin perhitungan
dengan Merak Cabul!"
geram Kinanti dengan
kedua tangan menggenggam
kuat-kuat.
"Nanti dulu, itu baru
sebuah dugaan yang
belum pasti. Kita harus punya bukti jika ingin
bertindak.
Seandainya...."
Kata-kata Suto terhenti karena
hembusan
angin dari arah belakangnya.
Angin yang terasa
mendekatinya itu cukup besar
sehingga naluri
Suto pun segera bekerja.
Kakinya menyentak ke
tanah dan tubuhnya melayang ke
samping dalam
gerakan lompat yang sangat
cepat. Wuuut...!
Jleeg...!
Sesosok tubuh berdiri di depan
Kinanti pada
saat Suto Sinting mendaratkan
kakinya ke tanah.
Sosok tubuh itu milik seorang
nenek berjubah
merah, rambutnya abu-abu dikonde, bertubuh
kurus kerempeng, berusia
sekitar enam puluh
tahun.
Melihat kehadiran nenek
kerempeng itu
mata Suto Sinting segera
terkesiap, sedikit
mengecil dengan dahi berkerut,
karena ia merasa
pernah jumpa dengan nenek itu.
Ingatan Suto pun
kembali ke sebuah pertarungan yang dilakukan
oleh nenek itu dengan seorang berbadan gemuk
yang dikenal dengan nama si
Jubah Kapur.
"Nyai Songket...!"
gumam Suto Sinting
bagaikan tak sadar mulutnya
mengucap nama itu
begitu ingatannya menemukan
sepotong nama
tersebut.
Tapi sang nenek bagaikan tak
peduli dengan
gumaman Suto Sinting. Matanya
yang cekung
tertuju pada Kinanti. Agaknya gadis cantik itu
juga sudah mengenal Nyai Songket, sehingga ia
segera menyapa dengan sikap
tak ramah.
"Rupanya kaulah yang
membunuh orang
kurus itu, Nyai Songket!"
"Tutup mulut bodohmu,
Kinanti. Aku tidak
mengenal mayat orang kurus
itu! Aku datang
untuk bikin perhitungan sendiri denganmu! Kau
telah membunuh muridku;
Widowidi. Sekarang
aku menuntut balas atas
kematian murid
kesayanganku itu,
Kinanti!"
Suto Sinting sempat membatin,
"Bahaya!
Nyai Songket ini terkenal
dengan ilmu teluhnya.
Kinanti tak akan mampu
mengimbangi kekuatan
Nyai Songket. Agaknya aku
harus segera bergerak
untuk mematahkan tiap serangan
Nyai Songket."
"Hutang nyawa balas
nyawa, Kinanti!" ujar
Nyai Songket sambil bergeser
ke samping dan
diikuti oleh pandangan mata
Kinanti. Nenek kurus
itu bicara lagi,
"Satu nyawa muridku kau
binasakan, maka
tebusannya adalah seratus
nyawamu, Kinanti!"
"Kalau begitu kaulah yang
menghancurkan
orang-orang itu, Nyai Songket!
Keparat kau!
Heeeah...!"
Kinanti menyerang lebih dulu
dengan satu
lompatan cepat menerjang
ganas. Tendangan kaki
Kinanti ditangkis dengan
tangan kanan Nyai
Songket, lalu tangan kirinya
menghantam pangkal
paha Kinanti. Untung tangan
Kinanti dengan cepat
mampu menahan pukulan
tersebut, hingga
pangkal pahanya selamat dari
hantaman kuat
Nyai Songket.
Plak...! Plak, plak, buuhg...!
Nyai Songket terhantam dadanya
oleh
tangan kiri Kinanti. Pukulan
bertenaga dalam itu
membuat tubuh kurus itu
melayang terpental ke
belakang dan jatuh terjungkal
di semak-semak
berduri. Gusraaak...!
"Bangsat!" pekik
Nyai Songket yang segera
menghentakkan telapak
tangannya ke tanah dan
tubuhnya melenting di udara.
Dalam kejap berikut
ia sudah berdiri dengan kaki
merenggang dan
kedua tangannya terangkat ke
samping kanan
kiri. Rupanya pukulan itu
telah melukai bagian
dalamnya, sehingga wajah Nyai
Songket tampak
sedikit pucat, hidungnya
berdarah walau tak
seberapa banyak.
"Haaahhh...!" Nyai
Songket mengerang
panjang, seluruh tubuhnya
mengeras. Lambat
laun tampak keajaiban terjadi
pada dirinya.
Ujung-ujung jari tangannya
keluarkan kuku
runcing dan tiap kuku
memancarkan warna
merah bening bagaikan gumpalan
lahar panas.
Asap mengepul tipis dari tiap
kuku yang tumbuh
secara ajaib itu.
"Kinanti, mundurlah! Dia
berbahaya untuk
kau lawan!" ujar Suto
Sinting sambil mendekati
gadis Itu.
"Minggirlah, Suto! Ini
saatku membalas
dendam atas kekejiannya yang
telah
membumihanguskan
tempatku!"
"Kurasa bukan dia
orangnya. Dia tidak
pergunakan senjata Sabuk
Gempur Jagat!"
Kinanti segera sadar akan hal
itu. Ia
bermaksud menuruti saran
Pendekar Mabuk dan
menyerahkan pertarungan itu
kepada sang
pendekar tampan. Tetapi
tiba-tiba mereka berdua
dibuat kalang kabut oleh
kilatan cahaya merah
yang datang beruntun dan
berkelok-kelok seperti
tali-tali bercahaya merah.
Kilatan cahaya merah yang jumlahnya
sepuluh bias itu melesat bagai
ingin menyergap
mereka berdua setelah Nyai
Songket gerakkan
kedua tangannya secara
serabutan dengan
teriakan melengking tinggi.
"Heeeaaahh...!"
Clap, clap, clap, clap,
clap...!
Gerakan sinar merah itu begitu
cepat dan
membingungkan sehingga Kinanti
sempat dibuat
panik oleh keadaan seperti
itu. Namun Suto
Sinting mencoba menghadangnya
dengan
mengibaskan bumbung tuaknya di
atas kepala.
Tali bumbung dipegang dan
bumbung bambu itu
berputar cepat di atas kepala
hingga timbulkan
bunyi yang mendengung.
Wuuuung, wuuung, wuung...!
Kibasan bumbung yang berputar
itu ternyata
menghasilkan gelombang
penangkis yang tak
terlihat bentuk dan besarnya.
Namun ketika sinar-
sinar merah itu mendekati
bumbung tuak
tersebut, gerakan selanjutnya
sangat tak diduga-
duga oleh Nyai Songket. Cahaya
merah itu
membalik arah dan kini
berdatangan menyergap
dirinya sendiri dengan
kecepatan tinggi dan
bentuk sinarnya berubah lebih
besar hingga yang
semula menyerupai tali kini
menjadi seperti
tambang.
"Bangsat kurap,
heaaah...!"
Nyai Songket terdesak, mau tak
mau ia
lepaskan pukulan dari dua
telapak tangannya.
Kedua telapak tangan itu
disentakkan ke depan
dan keluarlah sinar hijau
berukuran besar. Sinar
hijau itulah yang dihantam
oleh kilatan-kilatan
sinar merahnya sendiri.
Blar, blegaaarrr...!
Bumi terguncang, pepohonan
nyaris
tumbang, hentakan gelombang
ledak tadi cukup
besar dan kuat. Nyai Songket
terlempar jauh dan
membentur sebatang pohon
besar. Suto Sinting
dan Kinanti terlempar tunggang
langgang tak bisa
kendalikan keseimbangan tubuh.
Mereka sama-
sama terbanting di semak-semak
ilalang.
Kejap berikutnya terdengar
suara pohon
tumbang.
Kraaakk... brrruuk...!
"Aaaauhg...!"
terdengar pekik Nyai Songket
dalam suara gemuruh gema
ledakan yang masih
tersisa itu. Suto dan Kinanti
sama-sama belum
bisa melihat keadaan Nyai
Songket. Mereka masih
terkulai lemas dengan dada
terasa sesak.
"Gila! Jurus apa yang
dipergunakan si
dukun teluh itu?!" gumam
Kinanti dalam keadaan
suara berat karena menahan
rasa sakit di
dadanya.
Setelah ia diberi minuman
tuaknya Suto,
rasa sakit itu pun menjadi
lenyap, ia bisa berdiri
dengan tubuh terasa segar.
Suto Sinting sudah
lebih dulu mengalami kelegaan seperti itu,
sehingga ia bisa menuangkan
tuak pelan-pelan ke
mulut Kinanti.
Kini keduanya sama-sama
terperanjat
melihat Nyai Songket tertimpa
pohon yang begitu
besar. Tubuh kurus kerempeng
itu tak bisa
bergerak lagi. Mulutnya
semburkan darah dalam
keadaan badan tengkurap.
Hidung dan telinganya
pun keluarkan darah segar.
Keadaan nenek renta
itu sudah tidak bernyawa lagi.
Rupanya di
samping ia tertimpa pohon
besar, lehernya
tertusuk tonggak runcing bekas
patahan pohon
kering. Tonggak itu menghujam
dari leher hingga
tembus ke tengkuk, sedangkan
dari batas
punggung sampai kaki tertimpa
pohon, tak dapat
dilihat lagi karena besarnya
batang pohon
tersebut.
*
* *
3
PUSAT perhatian Kinanti tertuju
pada Merak
Cabul di Bukit Kasmaran.
Menurutnya, orang
kurus yang menyerangnya dengan
pisau beracun
itu pasti suruhan Merak Cabul.
Besar
kemungkinan Merak Cabul tidak
kehendaki orang
Bukit Birawa ada yang masih
hidup, sehingga ia
menyuruh orang kurus itu untuk
membunuh
Kinanti.
Suto akhirnya mengalah, tak
mau berdebat
panjang lebar tentang
perbedaan pendapat itu.
Sebab menurut Suto, Merak
Cabul tidak terlibat
dalam perkara pembakaran
istana Lembah Birawa
itu. Jika benar orang yang
menyerang istana
Lembah Birawa adalah orang
yang bersenjata
Sabuk Gempur Jagat, maka
Tulang Naga itulah
orangnya.
"Pihakku tidak ada
hubungannya dengan
Tulang Naga. Kami tidak kenal
dengan Penguasa
Telaga Siluman itu. Tak ada
alasan bagi Tulang
Naga untuk menyerang istana
kami! Pasti
serangan itu datang dari si
Merak Cabul yang
masih menyimpan kecurigaan
tentang
tersimpannya Kitab Jati Mulya
di tangan ratuku!"
Kinanti ngotot sekali,
sehingga Suto Sinting
akhirnya hanya angkat bahu dan
mengikuti jejak
Kinanti menuju ke Bukit
Kasmaran. Untuk
mencapai ke Bukit Kasmaran
mereka harus
melewati beberapa desa. Satu
di antaranya adalah
desa yang pernah disinggahi
Suto saat melakukan
perjalanan menuju Bukit
Bunting bersama
Tembang Selayang. Desa itu
bernama desa
Panganbumi yang mempunyai
kehidupan lebih
maju dari desa-desa lainnya.
Banyak keluarga
saudagar yang tinggal di desa
itu, karena letaknya
tak begitu jauh dari kotaraja.
Suto Sinting pun
mengajak Kinanti untuk singgah
di sebuah kedai
milik Ki Punjul yang dulu
disinggahi Suto dengan
Tembang Selayang, (Baca serial
Pendekar Mabuk
dalam episode : "Kapak
Setan Kubur").
Petang belum datang, tapi
suasana desa
sudah sepi. Kesepian itu
menimbulkan rasa curiga
di hati Suto Sinting. Maka
setelah ia mengisi
bumbung tuaknya dengan tuak
baru, ia pun
segera bertanya kepada Ki
Punjul,
"Ki Punjul, malam belum
tiba tapi mengapa
suasana desa sudah sesepi ini?
Dulu ketika aku
datang dan bermalam di sini
keadaan tidak sesepi
ini, bukan?"
"Hmmm... iya. Keadaan
dulu dan sekarang
berbeda, Pendekar Mabuk."
"Apa yang membuatnya
menjadi berbeda?"
"Penduduk desa kami
dihantui oleh
perasaan takut, yaitu takut
mengalami nasib
seperti desa Kijangan."
Bukan hanya Suto yang kerutkan
dahi,
melainkan Kinanti ikut
kerutkan dahi pertanda
merasa heran mendengar ucapan
Ki Punjul.
"Apa yang terjadi
terhadap desa Kijangan itu,
Ki?" tanya Suto dengan
rasa penasaran.
"Desa itu sekarang sudah
menjadi arang.
Seluruh bangunan dan
rumah-rumah penduduk
hangus dilalap api. Bahkan
penduduknya
sebagian lari mengungsi ke
desa lain, sebagian lagi
mati terbakar di tempat itu.
Yang mati terbakar
separuh bagian lebih."
Kini sepasang mata Kinanti
menatap
Pendekar Mabuk. Mata si
pendekar tampan itu
pun menatap Kinanti, seakan
keduanya
menampakkan sikap semakin
ingin tahu. Kinanti
tak sabar dan segera ajukan
tanya kepada Ki
Punjui,
"Apa yang membuat desa
itu terbakar habis,
Ki?"
"Seseorang telah mengamuk
kepada Lurah
Kijangan. Ia menggunakan
pusaka bernama
Sabuk Gempur Jagat, dan...
begitulah akhirnya,
desa itu habis terbakar oleh
kekuatan sakti Sabuk
Gempur Jagat!"
Debar-debar dalam
dada Kinanti bagaikan
sesuatu yang ingin menjebolkan
tulang dada.
Napas pun mulai terasa berat, karena dendam
Kinanti terhadap si pemegang
Sabuk Gempur
Jagat mulai meluap-luap.
Pendekar Mabuk mencoba
bersikap tenang
agar Kinanti ikut terpengaruh
oleh
ketenangannya. Kejap berikut
barulah Suto
Sinting ajukan tanya kembali
kepada Ki Punjul.
"Siapa orang yang
memegang Sabuk Gempur
Jagat itu, Ki Punjul? Apakah
kau tahu namanya?"
Ki Punjul berpikir sebentar,
kejap berikutnya
perdengarkan suaranya yang
pelan, bagaikan
orang dalam keragu-raguan.
"Beberapa pengungsi dari
desa Kijangan
pernah menyebutkan nama Tulang
Ular. Tapi saya
tak tahu apakah orang itu yang
mengamuk
dengan Sabuk Gempur Jagat itu
atau bukan."
"Tulang Ular?!"
Kinanti menggumam heran.
Suto Sinting bertanya,
"Tulang Ular atau
Tulang Naga?"
"Maksud saya... Tulang
Ular Naga. Eh...
entahlah, saya kurang jelas
soal nama itu.
Mungkin yang mereka maksud
Tulang Naga,
mungkin juga Tulang Ular. Yang
jelas mereka
sebut-sebut nama yang pakai
kata 'tulang',
begitu."
"Pasti yang dimaksud
adalah Tulang Naga,"
ujar Pendekar Mabuk kepada
Kinanti.
Gadis cantik berpinjung hijau
beludru itu
diam saja. Kini ia menjadi
termenung lama
menimbang-nimbang langkahnya.
Hatinya sempat
dibuat dongkol oleh
ketidakpastian antara Tulang
Naga dan Merak Cabul. Siapa
pemegang Sabuk
Gempur Jagat itu sebenarnya?
Sukar sekali
dipastikan dalam keadaan serba
tak jelas begitu.
"Aku butuh waktu untuk
berpikir," kata
Kinanti. "Agaknya malam
ini kita harus bermalam
di sini untuk menentukan
langkah kita, Suto."
"Aku tak keberatan,"
jawab Suto Sinting. "Ki
Punjul juga menyediakan kamar
untuk
penginapan para tamunya."
Ketika hal itu dikemukakan Ki
Punjul, orang
berusia di atas empat puluhan
tahun itu berkata,
"Tinggal satu kamar yang
masih kosong.
Apakah kalian ingin
menggunakan kamar itu
untuk berdua? Jika mau begitu,
silakan saja."
Kinanti menatap Suto Sinting
dengan mulut
terkatup rapat. Tak ada senyum
seulas pun di
bibir mungil menggemaskan itu.
Suto Sinting yang
nyengir sambil garuk-garuk
kepala serta berkata
dengan gumam lirih,
"Sial. Hanya ada satu
kamar."
"Tak usah berlagak
mengeluh. Hatimu girang
kalau kita tinggal satu kamar,
bukan?"
"Dugaanmu
mengada-ada," jawab Suto
sambil tertawa kecil.
"Biarlah kita satu kamar,
tapi kau tidur di
lantai dan jangan seranjang
denganku!" ujar
Kinanti agak ketus.
"Kenapa begitu? Kau takut
aku kurang ajar
padamu?"
"Kau nakal,"
jawabnya sambil melengos ke
arah lain. Ia biarkan senyum
pemuda tampan itu
mengembang makin mekar dengan
suara tawa
yang mengikik lirih.
Tiba-tiba pandangan mata
Kinanti tertuju ke
arah pintu masuk kedai. Dua
orang lelaki
berbadan besar baru saja
memasuki kedai
tersebut dan segera mengambil
tempat duduk
bersebelahan dengan Kinanti.
Kedua lelaki itu
berwajah buas, penuh dengan
cambang dan
kumis. Dari caranya memandang
dapat diketahui
sifatnya yang kasar dan
urakan. Rambut mereka
sama-sama panjang selewat
pundak, tapi yang
satu diikat dengan ikat kepala
dari kulit macan
tutul, yang satu lepas tanpa
ikat kepala.
Orang yang berikat kepala
kulit macan tutul
itu mengenakan celana hitam
dan baju merah tua
tak dikancingkan bagian
depannya, sehingga
sebilah golok besar yang
terselip di sabuk
hitamnya terlihat jelas. Sedangkan
orang yang
tidak memakai ikat kepala itu
mengenakan
pakaian serba abu-abu, dari
baju sampai
celananya. Dadanya yang
berbulu tampak jelas
karena bajunya yang tanpa
lengan itu tidak
dikancingkan, ia menggenggam
sebilah kapak dua
mata yang segera diletakkan di
atas meja dengan
kasar, menimbulkan suara
mengagetkan, hingga
memancing perhatian orang
lain.
"Ki, sediakan kami arak
putih dua poci!"
seru orang berpakaian abu-abu
kepada Ki Punjul
dengan keras dan kasar.
"Cepat, ya! Jangan
lamban. Kalau lamban
kuobrak-abrik kedaimu
ini!"
"Bba... baik. Akan segera
kusediakan, Tuan,"
Ki Punjul tampak ketakutan.
"Sabrawi," ujar si
baju abu-abu kepada
temannya setelah ia melirik ke
arah Kinanti
dengan nakal, ia berkata
melanjutkan ucapannya
tadi setelah temannya
memandangnya.
"Agaknya kita malam ini
akan pesta
kehangatan. Ada mangsa emas di
sini, Sabrawi!
Ha, ha, ha, ha...!"
Orang berikat kepala kulit
macan tutul itu
ikut tertawa setelah melirik
ke arah Kinanti. Wajah
Kinanti lurus ke depan tak mau
memperhatikan
ke arah kedua orang kasar
tersebut, sedangkan
Suto tampak tenang dan
sesekali sunggingkan
senyum sambil berlagak
memainkan cangkir
tuaknya.
"Kurasa malam ini kita
memang bernasib
mujur sekali, Polang! Sudah
hampir satu purnama
aku tidak menikmati kehangatan
seorang wanita
karena sibuk mengejar pemegang
Sabuk Gempur
Jagat. Sekaranglah saatnya aku
istirahat dan
menikmati kehangatan yang
kurindukan, sebelum
kita menemukan si Jejak Setan
dan merebut
sabuk pusaka itu!"
Senyum Suto Sinting segera
lenyap. Kini ia
melirik Kinanti dengan
keheranan tersimpan di
ujung lirikannya. Kinanti pun
sedikit kerutkan
dahi pertanda memendam rasa
jengkel yang
mengusik hatinya. Pendekar
Mabuk segera bicara
pelan kepada gadis berjubah
kuning gading itu.
"Apakah kau tahu, siapa
Jejak Setan itu?"
"Murid Nyai Pegat Raga
dari Lembah Petang,"
bisik Kinanti pelan sekali,
tapi mengejutkan hati
Suto Sinting dan membuat wajah
tampan itu
berkerut dahi semakin tajam.
"Maksudmu, Jejak Setan
itu muridnya si
Pelacur Tua?"
"Benar. Apakah kau
mengenalnya?"
"Aku telah
mengenalnya," bisik Suto Sinting
lirih, dan terbayang peristiwa
yang terjadi di Bukit
Kemenyan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Kutukan Pelacur
Tua").
Pendekar Mabuk segera
membatin,
"Benarkah sabuk pusaka
itu ada di tangan Jejak
Setan?"
Kata batinnya segera
dihentikan karena
kedua orang kasar yang
ternyata bernama Polang
dan Sabrawi itu segera unjuk
tingkah dengan
melemparkan sebutir kacang
tanah yang masuk
ke cangkir minuman Kinanti.
Pluuung...!
"Ha, ha, ha, ha...!"
mereka tertawa
kegirangan. Kinanti diam saja,
sedangkan Suto
Sinting mulai waswas terhadap
sikap Kinanti yang
bisa mengamuk membabi buta
karena memang
sudah lama menahan kemarahan
dalam hati.
"Hei, Nona
Cantik...," sapa Polang dengan
seringai memuakkan.
"Tolong lemparkan kemari
kacang itu, aku salah
lempar."
Kacang dalam cangkir diambil
dengan
tenang. Digenggam sesaat, lalu
dilemparkan ke
arah Polang tanpa memandang kedua orang
tersebut. Wuuut...! Lemparan
kacang kenal jidat
Polang. Deess...!
"Aaauw...!"
Brrruk...! Polang jatuh
terjungkal ke
belakang membuat Sabrawi
terjengkang pula dan
jatuh tertindih tubuh Polang
hingga terdengar
suaranya yang tergencet berat
itu.
"Heegh...!"
Gadis cantik tanpa senyum itu
tetap diam di
tempat tanpa berpaling sedikit
pun, sementara
semua mata pengunjung kedai
tertuju pada Polang
dan Sabrawi yang saling
berebut untuk segera
bangkit. Suto Sinting hanya
sunggingkan senyum
tipis, sambil membatin dalam
hatinya,
"Boleh juga pelajaran
dari Kinanti itu. Aku
yakin sebelumnya ia telah tanamkan tenaga
dalamnya pada kacang tersebut,
sehingga ketika
kenai kening orang berbaju abu-abu itu mampu
membuat kepala orang tersebut
bagaikan
ditendang kaki kuda. Masih
untung kepala itu tak
sampai pecah. Hmmm...
diam-diam gadis ini
punya simpanan yang boleh juga
dibanggakan.
Oh... sekarang keduanya sudah
berdiri, agaknya
mereka marah kepada Kinanti
dan akan
menyerang bersama. Aku harus
siaga melindungi
Kinanti!"
"Gadis setan!" maki
Polang yang keningnya
menjadi biru legam dan nyaris
tidak dipercaya
oleh pandangan para pengunjung
kedai.
"Hanya terkena sebutir
kacang tanah saja
bisa menjadi sememar
itu?" ucap salah seorang
pengunjung secara bisik-bisik.
Sabrawi tidak sabar, ia segera
mendekati
Kinanti dan menampar wajah
Kinanti seenaknya
saja.
Wuuut...! Taaab...!
Tamparan tangan kanan Sabrawi
ditangkap
oleh Kinanti. Pergelangan
tangan itu diremasnya
kuat-kuat dengan curahan
tenaga dalam, hingga
beberapa orang yang ada di
dekat mereka
mendengar suara tulang
diremukkan.
Krraaaak...!
"Aaauh...!" Sabrawi
menjerit kesakitan,
sedangkan Kinanti segera
melepaskan. Wajahnya
tetap memandang lurus, seakan
tidak melirik ke
arah lawannya sedikit pun.
Tangan yang meremas
tulang pergelangan Sabrawi itu
segera menyentak
dan tubuh Sabrawi bagaikan
didorong oleh tenaga
kuda dengan cepat. Wuuut...!
Buuurkk...!
"Heegh...!"
Kali ini yang terpekik
tertahan adalah
Polang, karena tubuhnya
tertabrak badan
Sabrawi. Ia jatuh terkapar dan
tubuh Sabrawi
menjatuhinya dengan telak.
"Anjing kurapan!"
sentak Sabrawi sambil
bangkit sempoyongan.
"Heeeaat...!"
Sabrawi hendak menyerang
dengan satu
tendangan yang disertai
lompatan pendek. Tetapi
jari tangan Suto Sinting
segera melepaskan jurus
'Jari Guntur' berupa sentilan
kecil ke arah
Sabrawi. Teees...! Buuhg...!
"Uhhg...!" Sabrawi
bagaikan sukar bernapas
lagi. Matanya mendelik karena
ulu hatinya terkena
sentilan bertenaga dalam dari
jarak jauh. Tubuh
itu terlempar mundur kembali
dan jatuh menindih
Polang yang baru saja mau
bangkit berdiri.
"Heehg ..!" Polang
terpekik dengan suara
tertahan, matanya mendelik
karena perutnya
kejatuhan tubuh besarnya
Sabrawi.
"Setan binal! Bunuh
dia!" teriak Polang
dengan wajah kian beringas.
"Tanganku tak bisa
dipakai memegang
senjata!" kata Sabrawi
sambil menyeringai
merasakan sakit akibat tulang
pergelangan
tangannya remuk.
Polang tak sabar, segera
sambar kapaknya di
meja dan menyerang dengan
hantaman kapak dari
atas ke bawah. Wuuut...!
Jraaak...!
Kapak menghantam bangku tempat
duduk
Kinanti. Gadis itu telah
lenyap dari tempatnya.
Rupanya sebelum kapak
menghantamnya, ia
sudah lebih dulu melesat dan
berpindah ke tempat
lain dengan satu sentakan kaki
ke lantai.
Gerakannya cukup cepat
sehingga mirip orang
menghilang.
Kapak Polang menancap di
bangku dengan
kuatnya, sukar dicabut kembali
dengan cepat.
Sementara itu, Suto Sinting
masih duduk di
bangku tersebut dengan
tenangnya, padahal
kapak itu menancap dalam jarak
empat jengkal
dari pahanya.
Melihat ketenangan Suto
Sinting, Polang
menjadi semakin berang. Maka
begitu kapak
berhasil dicabut, langsung
dihantamkan ke
punggung Suto Sinting.
Wuuut...!
Ternyata kaki Suto Sinting
bergerak lebih
cepat dari gerakan kapak. Kaki
itu menendang ke
dada Polang. Dug...!
"Uuhg...!" mulut
Polang pun segera
semburkan darah segar dalam
keadaan tubuh
melayang ke belakang dan menabrak
Sabrawi
hingga keduanya jatuh saling
tindih kembali.
"Sekali lagi
kalian coba mengganggu kami,
akan kubuat patah batang leher
kalian!" hardik
Suto dalam keadaan tetap duduk
di tempat.
Sabrawi segera berkata kepada
Polang,
"Cepat tinggalkan tempat
ini dan laporkan kepada
ketua kita, Polang!"
Dengan langkah sempoyongan,
akhirnya
mereka segera meninggalkan
kedai. Tapi di pintu
keluar Polang sempat
tinggalkan ancaman,
"Tunggu
pembalasanku!"
4
MENURUT Ki Punjul, Sabrawi dan
Polang
adalah orang Tanah Hitam yang
dikuasai oleh
seseorang yang berjuluk Maha
Syiwa.
Tetapi yang
jadi pemikiran Suto dan
Kinanti bukan nama
Maha Syiwa melainkan nama si
Jejak Setan.
Mereka dalam kebingungan
mencari jawaban yang
pasti; siapa pemegang Sabuk Gempur
Jagat
sebenarnya? Tulang Naga atau
Merak Cabul, atau
pula si Jejak Setan seperti
kata kedua anak buah
Maha Syiwa itu.
"Ke mana langkah kita
pagi ini?" tanya Suto
Sinting saat mereka selesai
menikmati sarapan
pagi; sebungkus nasi jagung
dan dua cangkir tuak
untuk Suto.
Wajah Kinanti tampak lebih
cantik di pagi
itu. Suto mengakui dalam
hatinya, bahwa
kecantikan Kinanti kian tampak
jelas jika gadis itu
sedikit merapikan diri selesai
mandi. Wajah itu
kelihatan bersih dan lembut,
bibirnya tampak
selalu basah walaupun tanpa
gincu seoles pun.
Sayang wajah yang semestinya
berseri-
berseri itu kurang ceria
karena kebingungan
menentukan langkah
selanjutnya. Bahkan
pertanyaan Suto tadi dibiarkan
saja tanpa
jawaban. Kinanti membisu
seribu kata dengan
pandangan mata menerawang
lurus ke arah meja.
Saat matahari mulai meninggi,
seorang lelaki
berusia sekitar empat puluh
tahun datang dengan
terhuyung-huyung memasuki
kedai itu. Ia
disambut oleh Ki Punjul dengan
wajah tegang.
Agaknya Ki Punjul sudah mengenali lelaki
berpakaian compang-camping
dalam keadaan
tubuh kotor dan banyak luka.
Wajahnya memar
membiru dan bibirnya bagian
bawah terdapat luka
pecah akibat hantaman keras.
Sebagian dada
serta lengan kanan juga tampak
memar
kehitaman bagaikan luka bakar
yang membuat
kulitnya sedikit melepuh.
"Bagor, apa yang
terjadi?!" Ki Punjul segera
memapah lelaki itu.
"Tolong, tolong aku, Kang
Punjul...!" lelaki
bernama Bagor itu
terengah-engah bagaikam
hampir kehabisan napas, ia
didudukkan di salah
satu bangku oleh Ki Punjul.
"Mengapa kau sampai
terluka separah ini,
Bagor?! Apa yang terjadi pada
dirimu?
Ceritakanlah!"
Dengan susah payah Bagor yang
terluka
parah itu mencoba bicara
kepada Ki Punjul. Suto
Sinting dan Kinanti mengikuti
pembicaraan itu
dari tempat duduk mereka. Tak
satu pun dari
mereka yang bergerak mendekat.
Namun wajah
mereka sama-sama memancarkan
rasa ingin tahu
cukup besar.
"Seseorang... seseorang
telah mengamuk di
perguruanku, ia hanya seorang
diri, tapi... tapi ia
mampu membuat perguruanku rata
dengan
tanah. Sebagian besar
teman-temanku mati di
tangannya. Bahkan... bahkan
Eyang Guruku
sendiri tak tertolong jiwanya.
Beliau tewas dalam
keadaan hancur dihantam memakai
sabuk...
sabuk yang mempunyai kekuatan
dahsyat...."
Kinanti berbisik kepada Suto,
"Kalau orang
itu tidak dalam keadaan terluka parah, ia akan
mampu menceritakan ciri-ciri
orang yang
menyerangnya memakai sabuk
dahsyat itu."
Suto Sinting paham maksud
Kinanti. Gadis
itu secara tak langsung
menyuruh Suto segera
menyembuhkan orang tersebut.
Maka tanpa
bicara lagi Pendekar Mabuk
segera dekati Bagor
dan meminumkan tuak dari
bumbungnya.
Ki Punjul berkata, "Tidak
usah repot-repot,
Pendekar Mabuk. Aku masih
punya tuak
untuknya. Biar kuambilkan tuak
dari dapur saja."
"Tuak yang sudah masuk ke
bumbungku
mempunyai khasiat penyembuhan
cukup
mujarab, Ki. Berbeda dengan
meminum tuak dari
cangkirmu. Hmmm... siapa orang
ini sebenarnya?"
"Bagor adalah adik
sepupuku, Pendekar
Mabuk."
"Aku akan menolong adik
sepupumu, Ki
Punjul. Suruh dia buka mulut
dan meneguk
tuakku ini."
Kinanti memperhatikan dari
tempat
duduknya. Saat itu kedai belum
terlalu ramai.
Hanya ada empat orang pembeli
selain Suto dan
Kinanti. Keempat orang itu juga memperhatikan
keadaan Bagor dengan tegang
dan perasaan ngeri.
Beberapa saat setelah Bagor
meneguk
tuaknya Suto, keadaan luka
mulai tampak
membaik. Napasnya tidak terasa
sakit lagi jika
dihela, ia mulai bisa bicara
dengan lancar
menjelaskan apa yang terjadi
di perguruannya.
Kinanti sendiri ikut nimbrung
mendekat dengan
sesekali mengajukan pertanyaan
kecil kepada
Bagor.
"Apa yang dituntut oleh
tamu ganas
terhadap pihak perguruanmu
itu, Bagor?" tanya
Pendekar Mabuk.
"Aku tidak tahu dengan
pasti, Pendekar
Mabuk," jawab Bagor yang
tadi sudah diberi tahu
oleh Ki Punjul siapa kedua
tamu mudanya itu.
"Apakah kau yakin yang
dipergunakan oleh
tamu itu adalah senjata sabuk? Apakah bukan
cambuk atau sejenisnya?"
"Tidak. Aku melihat saat
ia melepaskan
sabuknya itu dan menghantamkan
ke arah tiga
pengawal Guru. Sabuknya itu
bukan hanya
menghancurkan tubuh tiga
pengawal Guru,
namun juga menyebarkan api
yang membakar
pondok kami. Beberapa temanku
ikut terbakar
dan apinya sukar dipadamkan.
Aku pun ikut kena
hembusan angin sabuk itu.
Hembusannya
menghadirkan gelombang hawa
panas yang
mampu melelehkan pedang serta
tombak kami."
Kinanti melirik Suto Sinting.
Pandangan
mata mereka saling beradu
sesaat. Kinanti sempat
berbisik lirih kepada Suto
Sinting,
"Apakah benar demikian
kedahsyatan sabuk
itu?"
"Aku kurang tahu soal
kedahsyatannya. Tapi
agaknya orang itulah yang
memegang Sabuk
Gempur Jagat."
Bagor berkata kepada Ki
Punjul, "Tanah di
sekitar padepokan kami menjadi
retak serta
sebagian longsor dan beberapa
temanku ada yang
mati tertimbun longsoran tanah
itu, atau terkubur
dalam keretakan tanah
tersebut, Kang. Aku
sendiri hampir terkubur masuk
ke dalam retakan
tanah kalau tak segera
melompat menghindari
bahaya itu."
Kinanti ajukan tanya,
"Bagaimana ciri-ciri
sabuk orang itu?"
"Ak... aku tak begitu
jelas. Tapi sempat
kulihat sabuk itu sepertinya
dari kulit ular
berwarna merah kehitaman. Jika
disabetkan
memancarkan sinar merah."
Kinanti berbisik kembali
kepada Suto,
"Begitukah ciri-ciri
Sabuk Gempur Jagat?"
"Aku belum pernah
melihatnya. Tak ada
yang menjelaskan padaku
tentang ciri-cirinya."
Kinanti menghempaskan napas
sedikit
kecewa dengan jawaban Suto
Sinting. Tetapi kejap
berikut Suto segera ajukan
tanya kepada Bagor
yang sudah tampak lebih sehat
lagi itu.
"Bagaimana ciri-ciri
orang yang mengamuk
dengan menggunakan sabuk
itu?"
"Ciri-cirinya...?"
Bagor merenung memba-
yangkan orang yang dimaksud.
"Hmmm...
seingatku dia sudah cukup tua.
Rambutnya putih,
wajahnya angker, badannya
kurus, matanya
tampak buas...."
"Mengenakan jubah
apa?"
"Hmmm... jubahnya...
jubahnya kalau tidak
salah berwarna abu-abu
lusuh," jawab Bagor
sambil menatap Pendekar Mabuk.
"Tak salah lagi,"
ucap Suto sambil
memandang ke arah luar kedai.
"Tak salah bagaimana
maksudmu?" desak
Kinanti.
"Itu ciri-ciri si Tulang
Naga!"
"Kalau begitu kita segera
pergi mengejar
orang tersebut!"
Suto Sinting sempatkan diri
bertanya kepada
Bagor, "Kapan perguruanmu
diserang?"
"Tad... tadi malam.
Menjelang fajar aku
melarikan diri kemari."
"Saat kau lari apakah
orang itu masih
ngamuk di sana?"
"Masih, ia masih
menghancurkan ruang
pemujaan."
"Cepat kejar dia,
Suto!" seru Kinanti tak
sabar lagi.
Blaas...!
Suto dan Kinanti akhirnya
melesat pergi
tinggalkan kedai Ki Punjul.
Sebelum mencapai
perbatasan desa, mereka
terhenti seketika.
Pendekar Mabuk yang mengawali
hentikan
langkah dan menahan lengan
Kinanti.
"Ada apa?" Kinanti
merasa heran terhadap
sikap Suto yang menghentikan
langkah.
Suto Sinting nyengir dan
garuk-garuk
kepala.
"Siapa yang bodoh
sebenarnya? Kau atau
aku?"
"Apa maksudmu bertanya
begitu?" Kinanti
kerutkan dahi.
"Kita mau ke mana
sebenarnya, Kinanti?"
"Ke perguruannya si
Bagor."
"Kau tahu di mana letak
perguruannya?"
Kinanti diam sesaat, lalu
gelengkan kepala.
"Aku juga tidak tahu di
mana letak
perguruannya berada. Kita lupa
menanyakan
tempat itu," Suto Sinting
tertawa geli sendiri.
"Kau saja yang kembali ke
kedai dan
menanyakan kepada Bagor."
"Itu soal mudah. Tapi ada
satu persoalan
yang harus kau selesaikan
sendiri."
"Persoalan apa
lagi?" Kinanti agak jengkel.
"Ki Punjul belum kita bayar! Biaya makan,
minum, dan bermalam belum kita
lunasi. Ki
Punjul bisa teriak 'maling'
kepada kita, Kinanti."
"Uuuhh...!" Kinanti
menghempaskan napas
menahan rasa kesal.
"Kalau begitu sekalian saja
kau selesaikan urusan
itu."
"Mana mungkin bisa kuselesaikan?"
"Apakah kau tak becus
menghitung jumlah
biaya makan kita?!"
"Soal menghitung, becus
saja. Tapi apa kau
sangka aku sekarang punya
uang? Aku sedang tak
mempunyai uang sepeser pun,
Kinanti!"
"Ya, ampuun... jadi siapa
yang mau bayar
biaya makan, minum, dan
bermalam kita itu?"
"Tentu saja kau yang
harus bayar, karena
kau yang mendesak untuk
bermalam di situ."
"Kau pikir sekarang aku
pegang uang?
Sepeser pun aku tak pegang
uang, Suto."
"Mampuslah kalau begini!
Kasihan Ki
Punjul, dagangan habis, tuak
habis, tapi uang tak
dapat," Suto Sinting
garuk-garuk kepala.
"Baiklah, kita kembali ke
kedai dan bicara
apa adanya kepada KI Punjul.
Kurasa dia tidak
keberatan kalau kita
menghutang kepadanya."
Malu tak malu mereka berdua
menemui KI
Punjul lagi dan mengatakan
keadaan sebenarnya.
Untung Ki Punjul orang yang
baik hati, sehingga
hal itu tidak dipersoalkan. Kinanti sempat pula
tanyakan letak perguruan
Bagor, lalu mereka
segera pergi ke perguruan
tersebut mengejar si
pemegang Sabuk Gempur Jagat.
Tetapi sampai di tempat
tujuan, ternyata
keadaan sudah sepi. Tak ada
manusia yang hidup
satu pun. Tak ada mayat yang
utuh tanpa luka
bakar. Bangunan-bangunan
hancur menjadi
rongsokan kayu arang.
Wajah-wajah mereka sukar
dikenali karena luka bakar
yang amat parah.
Bahkan di sana-sini terdapat
serpihan daging
manusia yang sudah menghangus
pertanda
korban itu mati dalam keadaan
hancur.
Keadaan itu membuat wajah
Kinanti
menahan duka. Ia teringat
keadaan di Lembah
Birawa yang sama persis dengan
keadaan di
perguruannya Bagor itu.
Melihat ciri-ciri
kehancuran tersebut, Kinanti
dan Suto Sinting
yakin bahwa pelakunya memang
orang yang
memegang Sabuk Gempur Jagat.
Bongkahan
tanah retak dan longsor
bagaikan sisa-sisa kiamat
di tempat itu, sama persis
dengan sisa-sisa kiamat
di Lembah Birawa.
"Tulang Naga...! Aku
yakin pelakunya adalah
si Tulang Naga, orang berjubah
abu-abu,
berbadan kurus, berambut
putih, dan berwajah
angker itu!" geram Suto
Sinting sambil pandangan
matanya menerawang jauh.
"Ke mana arah
kepergiannya?"
"Sulit dilacak,"
jawab Suto Sinting tanpa
memandang Kinanti. "Tapi
melihat beberapa
pohon tumbang menjauh ke arah
barat,
kemungkinan besar Tulang Naga
menuju ke arah
barat!"
"Kita coba mengejar ke
sana saja!" ujar
Kinanti tanpa menunggu
pendapat Suto, ia
langsung berkelebat ke arah
barat. Suto Sinting
terpaksa mengikutinya.
Mereka semakin yakin arah
barat
merupakan arah kepergian
Tulang Naga, karena di
sana tercecer beberapa
potongan tubuh manusia,
mayat-mayat yang mati hangus
dan pepohonan
yang rusak terbakar serta mengering sebagai
tanda amukan tersebut
berlanjut ke arah barat.
Namun semakin ke barat,
tanda-tanda
kehancuran itu semakin
menghilang, sampai
akhirnya mereka berhenti di
kaki sebuah bukit
dan merasa kehilangan jejak.
"Kita kehilangan arah,
Kinanti."
"Ya, tapi seingatku
tempat ini tak jauh dari
Bukit Kasmaran."
"Apakah kau masih menduga
sabuk itu di
tangan Merak Cabul?"
Kinanti diam sejenak,
mempertimbangkan
pendapatnya tentang si Merak
Cabul. Kejap
berikut terdengar suaranya
berkata pelan bagai
orang menggumam.
"Merak Cabul mempunyai
seorang kakek
berbadan kurus dan berambut
putih, ia berjuluk:
Dewa Putih."
"Dewa Putih? Baru
sekarang kudengar nama
itu."
"Sudah lama Dewa Putih
tidak muncul ke
dunia persilatan, ia
mengasingkan diri dan tak
mau ikut campur perkara
duniawi lagi. Tapi siapa
tahu dia berubah pikiran, atau
karena sesuatu hal
ia akhirnya turun ke rimba
persiiatan lagi dan
berhasil kuasai Sabuk Gempur
Jagat itu?!"
"Jika ia dari aliran
putih, ia tak akan
bertindak sekejam itu."
"Barangkali atas dorongan
sang cucu, bisa
saja ia lakukan kekejaman seperti itu. Sebab
menurut cerita yang kudengar
dari salah seorang
murid Bukit Kasmaran, Dewa
Putih sangat sayang
kepada cucu-cucunya. Tapi dari
sekian cucu yang
paling disayang adalah
Pancasurti alias si Merak
Cabul."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
merenungkan penjelasan tersebut.
Tapi ia belum
bisa mengambil sikap harus
berbuat apa dalam
keadaan serba tidak pasti itu.
Setelah saling bungkam
beberapa saat
lamanya, akhirnya Kinanti
mengambil keputusan
dengan tegas.
"Aku harus ke Bukit
Kasmaran. Sebelum
bertemu dengan si Merak Cabul,
rasa-rasanya
masih belum lega hatiku."
"Aku ikut saja ke mana
kau pergi," ujar Suto
Sinting setelah meneguk
tuaknya. "Bagiku yang
penting aku harus selamatkan
sabuk pusaka itu
agar tidak digunakan untuk
kekejaman tanpa
batas."
Sambil bergerak mengikuti
langkah Kinanti,
Suto Sinting sempat
mengingatkan gadis itu akan
keadaan Ratu Jiwandani. Tapi
menurut Kinanti, ia
akan menghadap Ratu Jiwandani
jika sudah
selesaikan urusan tentang si
pemegang Sabuk
Gempur Jagat.
"Karena tugas utamaku
dari beliau adalah
menghancurkan si pemegang
Sabuk Gempur
Jagat sebagai pembalasan
kekejamannya yang
menghancurkan pihakku
itu!"
"Baiklah jika memang
begitu tekadmu.
Kurasa Ratu-mu dalam keadaan
aman bersama Ki
Galak Gantung," kata Suto
Sinting yang merasa
tenang, tak mencemaskan sang
Ratu sedikit pun.
Dan tiba-tiba langkah mereka
harus terhenti
karena Pendekar Mabuk tarik
tangan Kinanti
hingga gadis itu jatuh dalam
pelukannya. Kinanti
berlagak berang walau
sebenarnya dalam hati
merasa senang berada dalam
pelukan si tampan
Suto itu.
"Apa-apaan kau ini?! Mau
bertindak kurang
ajar padaku, hah?!"
Suto Sinting tidak menjawab
selain hanya
sunggingkan senyum dan
lepaskan pelukan. Tapi
tangan kirinya yang
menggenggam segera
disodorkan. Tangan itu membuka
genggamannya,
dan mata Kinanti terbelalak
melihat sekeping
logam bergerigi tajam ada di
tangan Suto.
"Senjata rahasia milik
siapa itu?!"
Suto Sinting hanya angkat
bahu, "Yang jelas
jika tidak segera kutangkap
dan dirimu kutarik
dalam pelukan, benda ini sudah
menembus kulit
tubuhmu yang mulus itu,
Kinanti."
Gadis berjubah kuning gading
itu kulit
wajahnya berubah merah. Bukan
karena malu
dipuji kemulusan kulitnya,
tapi marah karena ada
seseorang yang ingin
membunuhnya dengan licik,
ia segera pandangi keadaan sekeliling dengan
mata tampak berang.
Akhirnya ia pun berseru,
"Jika kau ingin
unjuk kesaktian, keluarlah
dari persembunyianmu
dan hadapilah aku! Jika kau
masih bersembunyi,
kuanggap kau seorang pengecut
yang masih perlu
berguru lagi atau pulanglah
dan menyusulah
kepada ibumu!"
Ejekan itu sengaja dilakukan
untuk
memancing kemarahan si
penyerang gelap.
Rupanya pancingan itu berhasil
membangkitkan
kemarahan si penyerang gelap,
sehingga dari atas
pohon berdaun rindang
meluncurlah sesosok
tubuh berpakaian biru muda.
Wuuuttt...!
Zing, zing, zing...!
Orang yang meluncur turun dari
atas pohon
itu melepaskan senjata
rahasianya lagi bertubi-
tubi ke arah Kinanti. Dengan
cepat Kinanti cabut
pedangnya dan kepingan baja
putih itu
ditangkisnya menggunakan
pedang tersebut.
Tring, tring, tring...!
Jeb, jeb, jeb...!
Tiga keping logam bergerigi
itu menancap
pada batang pohon. Pemilik
senjata rahasia itu
tampak menggeram melihat
serangannya dapat
ditangkis Kinanti, ia
memandang Kinanti dengan
mata tajam, demikian pula
Kinanti tak mau kalah
tajam dalam memandang. Suto
Sinting hanya
tertegun dengan wajah tampak
terperangah
kagum, karena orang yang turun
dari atas pohon
itu berparas cantik dan
bertubuh menggiurkan
sekali.
"O, jadi kaulah orangnya,
Sanjung Rumpi?!"
Kinanti manggut-manggut dengan
senyum
sinisnya.
Gadis cantik berusia sekitar
dua puluh
empat tahun itu melangkah
dekati Kinanti. Dalam
jarak lima langkah ia berhenti
dan pandangi wajah
Pendekar Mabuk. Kala itu,
kekaguman Pendekar
Mabuk sudah mampu
disembunyikan, sehingga
kini sang pendekar tampan itu
sunggingkan
senyum yang menawan hati.
Kinanti segera menyodokkan
sikunya ke
pinggang Suto dan menghardik
dengan suara
bisik, "Tak perlu
tersenyum kepadanya!"
Hati Suto menjadi geli, tapi
mulutnya
berbisik kepada Kinanti dengan
mata masih
pandangi Sanjung Rumpi.
"Siapa gadis itu,
Kinanti?"
"Sanjung Rumpi, tangan
kanannya si Merak
Cabul."
"Ooo...," Suto
manggut-manggut kecil.
"Menyingkirlah, biar
kuhadapi sendiri orang
ini! Kuingatkan jangan
sering-sering menatapnya."
"Kenapa begitu?"
"Dia mempunyai kekuatan
daya pikat di
wajahnya. Kau bisa terjerat
cinta jika terlalu lama
memandangnya!"
"Ingin kucoba seberapa kekuatan
daya
pikatnya!"
"Kupenggal sendiri
lehermu kalau berani
coba-coba terpikat
olehnya."
"Eh, galak juga kau
jadinya. Baiklah aku
akan menyingkir ke bawah pohon
sana...," sambil
Suto Sinting tertawa kecil
tanpa suara, ia
menyingkir ke bawah pohon,
tanpa melirik
Sanjung Rumpi walau tahu
sedang dipandangi
oleh gadis berpakaian seronok
warna biru tipis itu.
"Kalau tak ingat Dyah
Sariningrum sudah
kutomplok gadis itu,"
katanya membatin, lalu
terbayang sekilas wajah calon istrinya
yang
menjadi Ratu di negeri Puri
Gerbang Surgawi dan
bergelar Gusti Mahkota Sejati
itu.
Bayangan wajah Dyah
Sariningrum hilang
setelah Suto mendengar Kinanti
berseru kepada
Sanjung Rumpi dengan nada tak
bersahabat sama
sekali.
"Rupanya kau yang
membunuh lelaki kurus
yang gagal membunuhku kemarin
siang, Sanjung
Rumpi!"
Suto Sinting pandangi pinggang
Sanjung
Rumpi, ternyata memang masih tersisa enam
pisau kecil yang melingkar
bagaikan sabuk itu.
Sanjung Rumpi sendiri hanya
tersenyum sinis
mendengar tuduhan tersebut.
"Ya, memang aku yang
menyuruh Bergala
membunuhmu. Sayang ia terlalu
bodoh dan layak
dimusnahkan nyawanya!"
Dengan pedang masih di tangan
Kinanti
serukan suara kembali,
"Lalu siapa yang
menyuruhmu membunuhku?!
Jawab!"
"Ketuaku; Merak
Cabul!"
"Bagus. Dugaanku tak
salah lagi sekarang.
Tak perlu kutanyakan apa
sebabnya, yang pasti
Merak Cabul juga yang
menghancurkan Lembah
Birawa dengan Sabuk Gempur
Jagat!"
"Yang kutahu kau adalah
sisa dari
kehancuran itu! Ketua
menyuruhku
membunuhmu, Kinanti! Tapi
ketua juga
menyuruhku mengampunimu jika
kau mau
serahkan Kitab Jati Mulya
kepadaku!"
"Persetan dengan Kitab
Jati Mulya!" geram
Kinanti. "Tak ada kitab
apa pun di tempatku, tapi
kalian sudah membumihanguskan
istana kami,
membantai seluruh penghuninya,
dan sekarang
tinggal membayar hutang nyawa
kepadaku.
Heeeaat...!"
Kinanti maju dalam satu
lompatan, pedang
siap ditebaskan ke arah lawan.
Namun Sanjung
Rumpi tak mau tinggal diam
saja. Ia pun bergerak
dengan cepat, tangannya
tiba-tiba melemparkan
dua pisau beracun Serap Darah
itu. Wuuut,
wuuut...!
Kinanti mengibaskan pedangnya
dengan
kecepatan tinggi pula. Trang,
trang...! Kedua pisau
itu mampu ditangkisnya. Kini
ia menebaskan
pedang dari atas ke bawah,
sasarannya adalah
kepala Sanjung Rumpi.
Wuuut...!
Sanjung Rumpi menghindar
dengan
memiringkan tubuh dan
membungkuk. Kakinya
menyapu kaki Kinanti.
Weess...!
Tapi Kinanti lompat ke atas
dan segera
menghujamkan pedang ke
punggung Sanjung
Rumpi yang membungkuk.
Suuut...!
"Heeaat...!" Sanjung
Rumpi berguling di
tanah. Kakinya berkelebat ke
atas dan tubuhnya
terpental bangkit dalam satu
sentakan manakala
pedang itu menancap di tanah.
Lalu kaki itu
berkelebat menendang rusuk
Kinanti dengan
cepat. Deeg...!
"Uuhg...!" Kinanti
terguling-guling.
Pedangnya tertinggal dalam
keadaan menancap di
tanah.
Sanjung Rumpi bermaksud
mencabut
pedang itu, tapi tangan Kinanti segera lepaskan
pukulan bersinar merah bagaikan besi membara
yang memancar lurus ke arah
Sanjung Rumpl.
Claaap...!
Sinar tanpa putus itu kenai
tangan Sanjung
Rumpi yang ingin memegang
gagang pedang.
Cras...!
"Aaauh...!" Sanjung
Rumpi memekik
kesakitan, lalu melompat
mundur dalam keadaan
tangannya terluka hangus pada
bagian
pergelangannya. Ia menyeringai
kesakitan sambil
pegangi tangan kanannya itu.
Kinanti segera melompat dan
menyambar
pedangnya. Wuuus...! Kini ia
tiba di depan
Sanjung Rumpi dalam jarak dua
langkah.
Pedangnya segera ditebaskan
dari atas ke bawah.
Namun baru saja tangan Kinanti
terangkat, tiba-
tiba seberkas sinar hijau
kecil melesat dari balik
sebuah pohon dan menghantam
dada kanan
Kinanti. Claaap...! Dees...!
"Aaaahg...!" Kinanti
terpekik panjang,
tubuhnya melayang bagai terbuang ke belakang.
Lalu tubuh itu roboh dalam
keadaan telentang.
Bluuk...!
"Aaahg...! Ahhg...!
Aaaahg...!" Kinanti
kelojotan, tubuhnya
tersentak-sentak dengan
mata mendelik dan mulut
ternganga. Sinar hijau
itu menimbulkan luka berbahaya
di bagian dalam
tubuh Kinanti. Nyawanya mau
lepas dari raga.
Mulutnya semburkan darah segar
beberapa kali.
"Celaka!" gumam Suto
Sinting dengan
cemas. "Aku harus segera
selamatkan Kinanti!"
Zlaaap...! Suto Sinting
menyambar tubuh
Kinanti yang sekarat, ia
menggunakan jurus
'Gerak Siluman' yang
kecepatannya melebihi anak
panah lepas dari busur.
Kinanti berhasil dibawa
lari bersama pedangnya. Namun
sepintas
terdengar seruan seorang
perempuan yang
agaknya ditujukan kepada
Sanjung Rumpi.
"Kejar mereka! Jangan
biarkan gadis itu
lolos!"
*
* *
5
KEADAAN Kinanti tak bisa
bertahan lagi.
Suto Sinting sudah merasakan
tubuh gadis itu
dingin bagaikan salju. Mau tak
mau Suto hentikan
pelariannya di perjalanan.
"Ia harus meminum tuakku
secepatnya.
Terlambat sedikit ia akan
mati!"
Pendekar Mabuk memaksakan
gadis itu
meneguk tuaknya. Tuak itu
dituangkan ke mulut
Kinanti melalui mulut Suto,
lalu sedikit ditiup biar
tuak bisa masuk ke tenggorokan
dan tertelan.
Sekalipun hal itu dilakukan di
tempat terbuka,
mudah diketahui oleh
pengejarnya, namun Suto
merasa tindakan itu adalah
tindakan yang terbaik
ketimbang harus membawa lari
Kinanti ke tempat
yang aman, tapi ternyata
sampai di tempat aman
nyawa Kinanti sudah melayang.
Usaha tersebut mulai
menampakkan
hasilnya. Napas Kinanti sudah
tidak sesak lagi.
Gadis itu mulai mampu bernapas
dengan lega.
Kelopak matanya bisa
berkedip-kedip. Suara
erangannya sangat lirih, namun
membuat Suto
Sinting merasa gembira. Itu
merupakan tanda-
tanda jiwa Kinanti telah
selamat dari maut yang
nyaris merenggutnya tadi. Tuak
pun kini
dituangkan secara langsung,
tidak melalui
bantuan mulut Suto lagi.
Kinanti sempat terbatuk-
batuk karena meneguk tuak
dalam keadaan
berbaring. Suto merasa lega dan sengaja
membiarkan Kinanti
terbatuk-batuk.
"Ooh... dadaku panas
sekali. Panas sekali,
Suto...," rintih Kinanti
dalam keadaan tergolek di
rerumputan. Tepat di bawah
pohon teduh.
"Minumlah tuak dari
bumbungku ini.
Minumlah lagi, Kinanti."
Mau tak mau Kinanti menuruti
saran Suto
Sinting. Sebentar-sebentar ia
meneguk tuak itu
sambil keringatnya diusap oleh
Suto. Perlakuan
Suto yang lembut bak penuh
kesetiaan serta kasih
sayang itu mulai terasa
menyentuh hati Kinanti.
Namun gadis itu diam saja dan
tak mau
menunjukkan rasa hati
sebenarnya.
"Sebentar lagi kau
sembuh. Percayalah!
Mereka tak akan mampu
membunuhmu jika aku
ada di sampingmu,
Kinanti," ucap Suto dengan
lembut sekali.
"Mereka... mereka
mengejar kita?" tanya
Kinanti setelah teringat
serangan dari balik pohon
yang berarti Sanjung Rumpi
tidak sendirian.
"Biarkan mereka mengejar
kita. Aku akan
menghadapi mereka. Kau
istirahatlah dulu jika
sampai mereka menemukan kita di
sini, Kinanti."
Sambil bicara begitu, Suto
Sinting
mengusap-usap kening Kinanti
sampai ke rambut.
Elusan pelan membuat hati
Kinanti semakin
menemukan kebahagiaan yang samar-samar.
Mestinya ia tak ingin
menikmati kebahagiaan itu,
namun keadaannya yang tergolek
lemah membuat
setiap sentuhan tangan
Pendekar Mabuk terasa
jelas di hati Kinanti,
seolah-olah elusan itu
menjamah hati dengan mesranya.
"Suto, mengapa kau
bersikap baik sekaii
kepadaku?"
"Karena kau pun bersikap
baik padaku.
Kalau kau musuhku, aku tak
akan bersikap
seperti ini padamu,
Kinanti," jawab Suto dengan
suara pelan namun sangat jelas
terasa
menghadirkan debaran indah di
hati Kinanti.
"Tapi... tapi aku tak ingin mempunyai
kekasih seperti kau,
Suto."
"Aku tidak berpikir ke
arah itu, Kinanti.
Hanya saja, kalau boleh
kutahu, mengapa kau
tidak ingin mempunyai kekasih
seperti diriku?"
"Karena kau mata
keranjang."
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum geli.
Bahkan tawa kecilnya terlepas
lirih bagai orang
menggumam. Kinanti menatapnya,
dan Suto
menjadi salah tingkah,
akhirnya lemparkan
pandangan ke arah lain.
Tepat pada saat pandangan
terlempar, saat
itu Suto melihat kemunculan
Sanjung Rumpi
dengan seorang perempuan yang
berusia sekitar
dua puluh tujuh tahun.
Wajahnya cantik,
berbentuk lonjong. Hidungnya
mancung dan
bibirnya sangat menggiurkan.
Kulit perempuan itu
kuning langsat. Rambutnya
disanggul rapi dengan
sisa anak rambut terjuntai di
smping kanan-kiri.
Namun hal yang membuat Suto Sinting
menjadi berdebar-debar adalah
pakaian
perempuan itu. Ia mengenakan
pakaian hijau
berbunga-bunga seperti bulu
merak. Terbuat dari
kain tipis yang dibentuk jubah
berlengan panjang.
Jubah hijau merak itu tidak
dikancingkan
bagian depannya, sedangkan bagian dadanya
hanya ditutup dengan kain
tipis dan kecil. Seakan
hanya menutupi bagian yang
penting saja.
Demikian pula bagian bawahnya,
tak ada kain lain
kecuali kain penutup tipis dan
kecil, menutup
bagian penting secukupnya.
Tapi tipisnya kain
penutup itu membuat apa yang
ditutupnya
menjadi tampak samar-samar dan
mengguncang
hati setiap lelaki.
"Mereka datang juga
akhirnya," gumam Suto
Sinting yang membuat Kinanti
akhirnya bangkit
dengan perlahan-lahan.
"Celaka! Sanjung Rumpi
datang bersama si
Merak Cabul!"
"Perempuan berjubah hijau
itukah yang
bernama si Merak Cabul?"
"Benar. Hati-hati, jangan
terlalu lama
pandangi matanya. Kekuatan
matanya bisa
membuat lelaki bertekuk lutut
kepadanya dan
pasrah diperintahkan apa
saja."
Suto kurang begitu
menghiraukan kata-kata
Kinanti. Namun ia sempat
menggumam lirih
sambii melepaskan tangannya
dari lengan Kinanti
yang sejak tadi dipeganginya.
"Pantas ia berjuluk Merak
Cabul,
pakaiannya memang sangat
cabul. Tapi...
menggairahkan sekali untuk dinikmati
dengan
mata telanjang seperti
ini."
"Suto!" sentak
Kinanti menyadarkan
pendekar tampan yang agaknya
hanyut dalam
buaian kecabulan perempuan
berjubah hijau itu.
Suto Sinting pun tersentak
kaget dan segera
sadar.
"Kau diam saja di sini,
biar kuhadapi
mereka!" katanya sambil
bangkit berdiri.
Kemudian ia maju menyongsong
langkah Sanjung
Rumpi dan si Merak Cabul yang
berusaha dekati
Kinanti. Dalam jarak enam
langkah mereka sama-
sama berhenti. Mata Suto
tertuju lurus pada mata
si Merak Cabul.
Merak Cabul sunggingkan senyum
pemikat.
Namun Suto Sinting segera
gunakan jurus
'Senyuman iblis' warisan dari
bibi gurunya:
Bidadari Jalang. Jurus
senyuman itu membuat
Merak Cabul
dan Sanjung Rumpi menjadi
berdebar-debar.
"Sial! Mengapa hatiku
jadi berdebar-debar
sekali. Ooh... hasratku ingin
bercumbu dengan si
tampan itu menjadi bergejolak,
makin lama
semakin menyesakkan
pernapasan," kata Sanjung
Rumpi dalam batinnya. Tangan
yang terluka bakar
agaknya sudah disembuhkan oleh
si Merak Cabul,
hingga tampak utuh tanpa bekas
luka menghitam
seperti tadi.
Bukan hanya Sanjung Rumpi yang
berdebar-
debar, ternyata Merak Cabul
pun membatin dalam
kegelisahannya.
"Celaka betul. Kekuatan
daya pikatku
ternyata kalah dengan
senyumannya. Ooh... aku
bergairah sekali terhadap
pemuda tampan itu.
Jiwaku menuntut pelukan dan
ciumannya.
Aduuuh... keinginanku bercumbu
sangat besar.
Aku tak sabar menunggu lebih
lama lagi. Aku
ingin segera dipeluk dan
dicumbunya. Oooh...
bagaimana aku harus bertahan
jika begini
jadinya?"
Suto Sinting tetap sunggingkan
senyum dan
pandangi mata kedua perempuan
itu secara
berganti-gantian. Kekuatan
'Senyuman iblis'
semakin membuat mereka berdua
sangat gelisah.
Bahkan Sanjung Rumpi menjadi
salah tingkah,
antara takut kepada Merak
Cabul dan ingin segera
memeluk Suto Sinting. Kedua tangannya mulai
meremas-remas sendiri dengan
napas mulai
memberat, dan sesekali
tersengal resah.
Kinanti tidak mengerti apa
yang dilakukan
Suto Sinting, ia hanya menduga Suto telah
terpengaruh kekuatan pelet
yang ada pada diri
Merak Cabul. Maka dengan hati geram Kinanti
lepaskan pukulan jarak jauhnya
ke arah Merak
Cabul.
Wuuut...! Pukulan itu berupa
sinar merah
kecil lurus tanpa putus.
Arahnya tepat ke dada
Merak Cabul.
Melihat kedatangan sinar merah
bagaikan
kilat, Merak Cabul segera sentakkan tangan
kirinya dan dari telapak
tangan kiri keluar sinar
hijau lurus tanpa putus yang
menghantam tepat
sinar merah tersebut.
Claaap....!
Blaaar...!
Ledakan yang memercikkan bunga
api
menyebar itu mempunyai
gelombang hentak yang
cukup besar. Pendekar Mabuk
terjungkal karena
hentakan gelombang ledak
tersebut. Sanjung
Rumpi juga terpelanting jatuh
dan berguling-
guling di tanah. Merak Cabul
terdorong ke
belakang hingga tubuhnya
membentur sebatang
pohon, lalu jatuh terduduk di bawah pohon
tersebut. Sedangkan Kinanti
hanya tersentak ke
belakang tak sampai jatuh
karena ia segera
berpegangan dahan pohon kecil.
Alam sunyi sejenak. Kemudian
mereka yang
berjatuhan mulai bangkit
dengan pandangan
saling bermusuhan. Merak Cabul
menatap Kinanti
dengan gigi menggeletuk
menahan kebencian.
Sanjung Rumpi memandang
Kinanti, namun
segera beralih kepada Suto
Sinting karena hatinya
masih gundah karena gairahnya
yang tergugah
oleh senyum pemikat Suto tadi.
Pendekar Mabuk kibaskan
kepalanya
membuang rasa pusing akibat
jatuhnya tadi. Ia
segera menenggak tuaknya
sambil mengarah
kepada Kinanti, ia tahu
dirinya didekati Kinanti,
karenanya matanya sempat
melirik sebentar saat
menenggak tuak tiga teguk.
"Kupikir kau ingin
lakukan pertarungan
dengan mereka. Ternyata kau
justru menikmati
kecabulan perempuan itu!"
sentak Kinanti dengan
suara pelan. Wajah cantiknya
cemberut hingga
mulutnya tampak runcing.
Suto hanya nyengir geli, lalu
berkata, "Kau
tidak tahu apa yang kulakukan,
Kinanti."
Wajah Suto mendekat di telinga
Kinanti,
"Aku menyerang hati
mereka. Hampir saja mereka
lumpuh bersamaan."
"Hmmm... alasan!"
Kinanti mencibir ketus.
Suto Sinting justru makin
menertawakan walau
tanpa suara tawa yang nyata.
"Merak Cabul!" seru Kinanti kepada
perempuan berdandanan seronok
itu. "Apa
alasanmu membumihanguskan
Lembah Birawa
dengan Sabuk Gempur Jagat
itu?!"
"Hik, hik, hik,
hik...!" Merak Cabul tertawa,
lalu tawa itu tiba-tiba hilang
dan wajahnya
berubah ketus. "Kalau aku
punya Sabuk Gempur
Jagat, sudah kuhancurkan
kepalamu saat tadi
melawan Sanjung Rumpi!"
"Mengapa tidak kau
lakukan! Aku siap
melayanimu dengan senjata
pusaka apa saja!
Keluarkan semua pusaka di
Bukti Kasmaran, aku
tak akan gentar menghadapimu.
Perempuan
cabul!"
"Aku hanya menghendaki
Kitab Jati Mulya!
Kulihat Lembah Birawa sudah
hancur, sisanya
tinggal dirimu seorang,
Kinanti. Tak perlu kau
bertahan dan bersikeras
sembunyikan Kitab Jati
Mulya. Kau tidak akan mampu
menandingi
kemarahanku, walaupun kau
bersahabat dengan
si tampan itu! Kalau si tampan
itu ikut campur,
akan kubuat berlutut dan
menjadi pelayan
cintaku setiap
malam!"
"Aku bersedia!"
sahut Suto Sinting.
Kinanti berpaling sambil
mendengus jengkel.
Suto Sinting agak menggeragap
dan segera
berkata membetulkan maksud
ucapannya tadi.
"Maksudku, aku bersedia
bertarung
melawanmu demi membela
Kinanti!"
"Hik, hik, hik,
hik...," Merak Cabul
perdengarkan tawanya,
lalu berhenti mendadak
seperti tadi dan berwajah
ketus pandangi Suto
Sinting.
"Bocah tampan,"
katanya. "Kau tak akan
mendapatkan keindahan jika
berada di pihak
Kinanti. Gadis itu tidak bisa
memberikan surga
terindah untukmu. Tapi jika
kau ada di pihakku,
kau akan mendapatkan surga
terindah di antara
surga-surga yang ada di dunia
ini!"
"Aku sudah melihat pintu
surgamu itu, tapi
aku tidak tertarik untuk masuk
ke dalamnya,
Merak Cabul. Aku lebih
tertarik pada surganya
Kinanti yang masih tertutup
rapat, tak
dipamerkan pada setiap pria.
Berarti surganya
masih bersih dan dijamin tak
ada penyakit di
dalamnya!"
Suto Sinting sengaja bicara
sedikit seronok
karena ia bermaksud memancing kemarahan
Merak Cabul agar dialihkan
kepadanya. Pendekar
Mabuk punya pertimbangan,
bahwa Kinanti tidak
akan mampu mengungguli Merak
Cabul, sehingga
sangat membahayakan jiwa jika
Merak Cabul
murka kepada Kinanti.
Satu-satunya cara untuk
mengurangi datangnya bahaya pada diri Kinanti
adalah dengan memancing
perhatian Merak Cabul
dengan meremehkan kemesraan
yang menjadi
andalan perempuan seronok itu.
"Kau belum tahu siapa
aku, Bocah Tampan!"
Merak Cabul segera menggeram
pertanda
kemarahannya mulai
datang. Suto Sinting
sunggingkan senyum tipis,
melangkah melintasi
dengan Kinanti dan berkata
dalam bisik,
"Mundur, biar
kuhadapi!" Walau ucapan itu
tak begitu jelas, tapi Kinanti
merasakan
kesungguhan Suto yang ingin
menghadapi Merak
Cabul. Kinanti pun akhirnya
mundur pelan-pelan
menjauhi Suto Sinting sambil
matanya sesekali
melirik ke arah Sanjung Rumpi,
karena khawatir
datang serangan tiba-tiba dari
Sanjung Rumpi.
Ternyata Sanjung Rumpi saat
itu sedang
bersembunyi di balik pohon.
Tangannya meraba-
raba tubuhnya sendiri, ia
tampak sedang
kasmaran dan memburu puncak
gairahnya sambil
sesekali mencuri pandang ke
arah Suto Sinting.
Kinanti kerutkan dahi dan
membatin,
"Gila orang itu! Kenapa
dia justru kasmaran
sendiri di pojokan
sana?!"
Kinanti tak tahu bahwa Sanjung
Rumpi
masih terkena pengaruh pelet
dari jurus
'Senyuman iblis' yang tadi dilancarkan Suto
Sinting. Pengaruh itu
membuatnya tak mampu
menahan gairah dan ingin
melepaskannya
bersama Suto. Namun karena
Suto berhadapan
dengan Ketua-nya, ia tak
berani lakukan apa pun
kecuali mencari keindahan
dengan tangannya
sendiri.
"Bocah tampan," ujar
Merak Cabul dengan
mata mulai
tampak liar. "Kuberi
kesempatan
sekali lagi, kau mau berada di pihakku atau di
pihak Kinanti?"
"Tentu saja di pihak
Kinanti!" jawab Suto
tegas-tegas.
"Kau tak ingin bermesraan
denganku?"
Suto tertawa pendek.
"Kemesraanmu sudah
basi, ibarat sayur sudah sayu
dan hambar. Tidak
sesegar kemesraan
Kinanti."
"Keparat kau! Terimalah
jurus 'Racun Teluh
Cinta' ini, hiaaaat...!"
Claap...! Tiba-tiba dari mata
kiri Merak
Cabul melesat sinar kuning
lurus tanpa putus ke
arah Suto Sinting. Gerakan
sinar itu sangat cepat,
bagaikan anak panah melesat
dari busur dalam
jarak enam langkah. Kinanti
sampai tak sadar
berseru,
"Awaass...!"
Tapi Pendekar Mabuk ternyata
sudah siaga
penuh waspada. Tangannya yang
menggenggam
tali bumbung berkelebat cepat
mengarahkan
bumbungnya ke depan. Teeb...!
Sinar kuning itu
kenai bumbung tuak. Lalu
membalik arah sedikit
lebih rendah dari ketinggian
geraknya tadi. Sinar
kuning yang membalik arah ke
pemiliknya itu
menjadi lebih cepat dan lebih
besar, sehingga
Merak Cabul tak sempat
menghindar lagi. Jurus
'Racun Teluh Cinta' akhirnya
menghantam
perutnya sendiri. Jrebb...!
"Aahhh...!" Merak
Cabul tersentak mundur,
suara pekikannya lemah, bukan
dalam nada
kesakitan, tapi bernada orang
terkejut dalam
keindahan.
Tubuhnya yang molek tersandar
di pohon, ia
masih berdiri dengan mata
mulai sayu. Makin
lama tubuhnya semakin
menggigil gemetaran.
Merak Cabul mulai
tersenyum-senyum dengan
kepala sedikit mendongak dan lidahnya menjilati
bibir sendiri.
Jurus 'Racun Teluh Cinta'
telah menguasai
naluri dan jiwanya lebih dahsyat dari aslinya.
Jurus itu membuat seseorang
menjadi tunduk dan
patuh kepada perintah Merak
Cabul. Tapi karena
berubah lebih besar dan
mengenai dirinya sendiri,
maka Merak Cabul menjadi
lupa daratan.
Gairahnya menggebu-gebu di
luar kewajaran, ia
tertawa cekikikan sendiri
sambil meraba-raba
tubuhnya.
Dengan gerakan pelan bagai orang menari
jubahnya ditanggalkan.
Napasnya mendesah-
desah, sesekali keluarkan suara merintih nikmat
atau meratap diburu gairah
cinta. Tubuhnya
meliuk-liuk bagaikan mengikuti
irama gairahnya.
"Gawat! Kenapa dia jadi
begitu setelah
terkena jurusnya
sendiri?" pikir Kinanti sambil
hatinya berdebar-debar dan
merasa kikuk sendiri.
Pendekar Mabuk hanya
tersenyum-senyum nakal,
bahkan sesekali melirik
Kinanti sambil tertawa
pelan.
"Suto, kau apakan
dia?"
"Sekadar membalikkan
jurus 'Racun Teluh
Cinta'-nya."
"Dia menjadi gila! Gila
kemesraan!"
Erangan memanjang dari mulut
Merak
Cabul terdengar mendesirkan
hati Kinanti, ia jadi
tak enak hati, lalu segera menarik lengan Suto
Sinting sambil membentak,
"Palingkan muka dan
tinggalkan tempat ini!
Jangan kau tonton tingkahnya
itu, kau bisa ikut-
ikutan gila seperti dia!"
Kinanti menarik Suto Sinting
mengajaknya
pergi. Pendekar Mabuk hanya
tertawa kecil, ia
masih sempat berpaling
memandangi Merak Cabul
yang telah
melepas seluruh penutup tubuhnya.
Bahkan langkahnya yang gontai
telah sampai di
tempat Sanjung Rumpi. Mereka bagai
tak ingat
apa-apa lagi. Sanjung Rumpi dipeluk dan
dicumbunya dengan
jeritan-jeritan mesra yang
membangkitkan gairah siapa
saja yang
mendengarnya.
"Ayolah, kita pergi dari
sini!" Kinanti
mendorong pipi Suto agar tidak
memandang ke
belakang sambil menarik pemuda
tampan itu agar
cepat tinggalkan tempat.
Namun sebelum mereka pergi
jauh, tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh suara
pekikan melengking
tinggi dari balik pohon tempat
Merak Cabul
bercumbu dengan Sanjung Rumpi.
"Aaaahg...!"
Kali ini suara pekikan itu
mengundang
perhatian dan bayangan
berbeda. Nada pekikan
bukan seperti orang sedang
menikmati puncak
kemesraan, namun seperti orang
diterkam
kesakitan. Pendekar Mabuk
segera palingkan
wajah, dan Kinanti pun ikut
memandang ke sana.
"Ooh...?!" Kinanti
tersentak kaget melihat
darah menyembur dari punggung
Merak Cabul.
Lebih terkejut lagi melihat
seseorang sedang
berdiri di samping kedua
perempuan itu dengan
tongkat tergenggam di
tangannya. Tongkat
berujung runcing itu berlumur
darah, tampak
habis dihujamkan ke tubuh
Merak Cabul.
Sedangkan Sanjung Rumpi
tampaknya tak
bergerak lagi dalam tindihan
tubuh Merak Cabul.
Rupanya ia pun terkena hujaman
benda runcing
yang datang dari punggung
Merak Cabul, tembus
ke ulu hati dan kenai
jantungnya sendiri.
"Mengerikan sekali!"
geram Kinanti bersuara
lirih. Mereka tak jadi
teruskan langkah. Mata
mereka memandang si pemegang
tongkat runcing
yang masih berdiri pandangi
kedua perempuan
tersebut.
"Merak Cabul
tewas!" gumam Suto Sinting
setelah melihat kaki Merak
Cabul tersentak yang
terakhir kali, kemudian
meiemas dan tak bergerak
lagi.
"Siapa orang bertongkat
runcing itu?"
tanyanya kepada Kinanti.
"Dia yang bernama Dewa
Putih."
"Edan! Kenapa ia membunuh
cucunya
sendiri? Katamu tadi, ia
paling sayang kepada
Merak Cabul?"
"Aku tak tahu mengapa ia
jadi begitu.
Sebaiknya kita tinggalkan
saja. Jangan berurusan
dengannya. Kulihat ia sedang
murka dan...."
"Tunggu!" sergah
Suto Sinting sambil
menarik tangan Kinanti yang
ingin pergi. "Kita
temui saja dia. Bukankah dia
salah satu orang
yang kau curigai sebagai
pemegang Sabuk
Gempur Jagat?"
Wuuut...! Jleeg...!
Kinanti dan Suto Sinting
sama-sama
terkejut. Tahu-tahu si kakek
berambut putih
sepanjang tengkuk tanpa ikat
kepala itu sudah
berada di samping mereka.
Padahal jarak mereka
dengan mayat Merak Cabul cukup
jauh. Tapi sang
kakek yang berjuluk Dewa Putih itu mampu
bergerak cepat, hingga
dalam sekejap sudah
berada di samping Kinanti.
Jika bukan karena
ilmunya yang tinggi, tak
mungkin ia mampu
bergerak secepat jurus 'Gerak
Siluman'-nya
Pendekar Mabuk.
Dewa Putih yang bertubuh kurus
itu
memandang dingin kepada
Kinanti dan Suto
Sinting. Jubahnya yang
berwarna putih kusam
melambai-lambai ditiup angin kaki bukit.
Wajahnya tampak kaku karena
tonjolan tulang
pipinya terlihat jelas.
Pandangan mata yang dingin
itulah yang menimbulkan kesan
angker walau
sebenarnya kesan itu lebih
cenderung berwibawa.
"Kaukah yang bernama Dewa
Putih, Kek?"
tanya Suto sekadar pembuka
kata.
Dewa Putih sedikit bungkukkan
badan.
Kinanti heran melihat tokoh
tua yang usianya
sudah mencapai seratus tahun
itu bersikap
menghormat kepada Pendekar
Mabuk. Bahkan
jawabannya pun menimbulkan
keheranan yang
lebih dalam lagi bagi Kinanti.
"Benar, akulah yang
berjuluk Dewa Putih,
Nak Mas Manggala Yudha!"
"Manggala
Yudha...?!" gumam hati Kinanti.
Suto Sinting menjadi kikuk
sendiri. Sulit
menjelaskan kepada Kinanti
bahwa dirinya akan
dipanggil sebagai Manggala
Yudha jika seseorang
mengetahui noda merah kecil di
keningnya. Noda
merah itu adalah tanda
penghormatan tinggi yang
diberikan oleh
Ratu Kartika Wangi, penguasa
negeri Puri Gerbang Surgawi di
alam gaib. Ratu itu
adalah calon mertuanya, yang berarti ibu dari
Dyah Sariningrum yang menjadi
penguasa negeri
Puri Gerbang Surgawi di alam
nyata, tepatnya di
Pulau Serindu.
Tanda merah kecil di kening
Suto hanya bisa
dilihat oleh
tokoh-tokoh berilmu tinggi, yang
sudah mencapai tingkat
pengendalian indera
ketujuh. Siapa pun yang mampu
melihat noda
merah di kening Suto akan menaruh hormat,
setidaknya merasa sungkan
terhadap murid
sinting si Gila Tuak itu.
Karena noda merah
tersebut merupakan tanda
tingkatan tertinggi
setelah Ratu Kartika Wangi.
Noda merah itu
adalah lambang jabatan Suto Sinting sebagai
Panglima Perang alias Manggala
Yudha Kinasih
bagi negeri Puri Gerbang
Surgawi di alam gaib.
Sedangkan para tokoh sakti
mana pun paling
sungkan jika berurusan dengan orang-orangnya
Ratu Kartika Wangi, karena
ilmu mereka jauh
lebih tinggi dari para tokoh
di rimba persilatan di
alam kasatmata, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Manusia
Seribu Wajah").
"Damai hidupmu, panjanglah
umurmu, Ki
Dewa Putih."
Begitulah sapaan keselamatan
dari Suto
Sinting jika mendapat hormat
dari seseorang yang
menganggapnya sebagai Manggala
Yudha dari Puri
Gerbang Surgawi. Ucapan
selamat itu bagai
berkah seorang raja kepada
hambanya.
"Rupanya aku datang
terlambat," ujar Dewa
Putih. "Seharusnya aku
datang sebelum cucuku
termakan oleh tingkahnya
sendiri."
"Mengapa kau bunuh cucumu
sendiri, Ki
Dewa Putih?"
"Terlalu sesat, memalukan nama keluarga.
Namaku sendiri menjadi
tercoreng karena
tingkahnya yang tak tahu
susila itu!"
Dewa Putih bicara dengan tegas
dan penuh
wibawa. Kinanti memandanginya
dengan rasa
sungkan. Namun akhirnya ia pun
mencoba bicara
kepada kakek yang usianya
sekitar seratus tahun
itu,
"Apakah kau ingin
menghancurkan diriku
juga, Dewa Putih?"
Orang berkumis dan berjenggot
putih itu
pandangi Kinanti tanpa
berkedip, ia menggumam
lirih dan pendek, kemudian
berkata dengan nada
pelan,
"Aku tahu maksudmu. Aku
telah membaca
pikiranmu, Nona. Kau anak buah
dari Ratu
Jiwandani, bukan?"
"Benar! Kaukah yang
melakukan bencana
itu?"
Dewa Putih diam sebentar,
melirik Suto
Sinting sekejap, kemudian
kembali tatap mata
Kinanti sambil ucapkan kata,
"Kau menyangka aku
mempunyai Sabuk
Gempur Jagat. Itu sangkaan yang keliru, Nona.
Kalau aku mau hancurkan Lembah
Birawa, tak
mungkin akan tersisa satu
nyawa seperti saat ini.
Kau pun pasti ikut hancur
bersama mereka, juga
ratumu pasti akan hancur dan
tidak akan sampai
ke pondoknya sahabatku, si
Galak Gantung."
"Hebat. Dia tahu kalau
Ratu ada di sana?"
pikir Kinanti dengan mulut
terkatup dan mata
memandang tak berkedip.
"Ilmu teropongnya cukup
tinggi," ujar Suto
dalam hatinya, namun ia
sengaja tak mau angkat
bicara untuk sesaat, ia ingin
dengarkan apa pun
ucapan si tokoh tua berkulit
hitam itu.
"Sabuk Gempur Jagat
memang menjadi
bahan rebutan. Tapi
percayalah, sabuk pusaka itu
tidak ada padaku, Nona. Jangan
beranggapan
cucuku si Merak Cabul yang
memegang sabuk itu.
Dia mengejarmu hanya untuk
dapatkan Kitab Jati
Mulya, karena ia menyangka
kitab itu ada pada
ratumu, ia tidak tahu sebelum
ibunya wafat
terlebih dulu menitipkan kitab itu padaku. Jadi,
kuharap jangan hubungkan
persoalan kitab itu
dengan bencana yang melanda
Lembah Birawa."
"Maafkan aku," kata
Kinanti dengan tegas.
"Jika begitu, siapa orang
yang telah
menghancurkan Lembah Birawa
itu?"
Suto Sinting menimpali,
"Di tangan siapa
sebenarnya Sabuk Gempur Jagat
itu berada, Ki
Dewa Putih?"
Tokoh tua itu diam sebentar,
matanya tidak
terpejam, namun menatap ke
salah satu arah.
Pandangan matanya bagaikan
sedang menerawang
selama dua helaan napas.
Mungkin begitulah
caranya meneropong suatu
keadaan dengan
kekuatan indera ketujuhnya.
"Sampai tadi malam sabuk
pusaka itu ada di
tangan si Tulang Naga," kata Dewa Putih setelah
menarik napas satu kali dan
melempar pandangan
kepada Suto Sinting.
"Ke mana arah kepergian
si Tulang Naga itu,
Ki Dewa Putih?"
"Selatan!" jawabnya
singkat, membuat
Kinanti dan Suto Sinting
saling berpandang mata.
"Arah selatan adalah arah
menuju ke Bukit
Wangi," ujar Kinanti
kepada Suto dengan suara
pelan.
Dewa Putih menyahut, "Dia
tidak berhak
memegang Sabuk Gempur Jagat. Pusaka
itu harus
dikembalikan kepada
pemiliknya."
"Siapa pemilik
sebenarnya, Ki?"
"Begawan Rampak Dalu,
dari Tebing Papak."
Pendekar Mabuk
manggut-manggut. Lalu,
sebelum ia berucap kata, Dewa
Putih lebih dulu
bicara kepadanya.
"Pakar Pantun tahu persis
di mana Begawan
Rampak Dalu
berada, karena Begawan Rampak
Dalu adalah
sahabat karib si Pakar Pantun. Nak
Mas Manggala Yudha tentunya
kenal baik dengan
si Pakar Pantun."
"Ya, aku memang
kenal baik dengan Resi
Pakar Pantun."
"Saat ini ia sedang
mencari di mana Tulang
Naga berada, karena ia juga
bermaksud merampas
sabuk itu dan ingin
mengembalikan kepada
sahabatnya itu. Sabuk Gempur
Jagat jika tidak
segera diselamatkan dapat
menimbulkan bencana
di mana-mana dan menghancurkan
dunia, kecuali
sabuk pusaka itu ada di tangan
tokoh aliran
putih, seperti guru Nak Mas
sendiri, si Gila Tuak."
Pendekar Mabuk agak kaget
mendengar
nama gurunya disebutkan.
Rupanya tokoh tua
yang sudah lama menghilang dari
rimba persilatan
itu cukup kenal dengan si Gila
Tuak.
"Ki Dewa Putih agaknya
kenal baik dengan
guruku?"
"Aku sahabatnya di masa
kami sama-sama
berusia empat puluh
tahun."
"Ooo...," Suto
Sinting manggut-manggut,
hatinya pun membatin,
"Kalau begitu usia Dewa
Putih itu sama dengan usia
Guru?"
"Nak Mas Manggala Yudha,
sudah
sewajarnya jika menyelamatkan
Sabuk Gempur
Jagat dari tangan-tangan sesat
itu. Tugas Nak Mas
sebagai Pendekar Mabuk
adalah menyelamatkan
dunia dari kehancuran si
tangan sesat."
"Mengapa bukan kau
sendiri yang merebut
Sabuk Gempur Jagat dari tangan
si Tulang Naga?"
ujar Kinanti menyela
pembicaraan.
"Aku sudah tidak mau
berurusan lagi
dengan hal-hal seperti itu.
Aku keluar dari
pengasinganku, karena tak
tahan mendengar
sepak terjang cucuku yang
kelewat sesat. Aku tak
rela jika cucuku dibunuh orang
lain. Maka
sebelum orang
lain membunuhnya, aku lebih
dahulu melakukannya.
Kukorbankan perasaan
kasih sayangku kepada Merak
Cabul untuk
selamatkan isi dunia dari
kecabulannya."
"Aku... aku kagum pada
sikapmu, Dewa
Putih," ucap Kinanti
lirih, namun jelas terdengar
oleh yang bersangkutan.
"Tak ada yang perlu
dikagumi dariku, Nona.
Aku bertindak sebagaimana
harusnya manusia
bertindak. Kau pun bisa
berbuat seperti apa yang
kuperbuat jika kau mengerti
bagaimana
seharusnya manusia berbuat di
alam
kehidupannya ini."
"Wah, kalau sudah bicara
soal begini,
puyeng juga kepalaku
mengartikannya," pikir Suto
Sinting. Pada saat itu ia
segera dipandang oleh
Dewa Putih.
"Nak Mas tidak perlu puyeng. Kata-kataku
ini bukan untuk dipikirkan
tapi untuk dicerna dan
dipahami."
Pendekar Mabuk tersenyum malu
karena
jalan pikirannya sempat
terbaca oleh Dewa Putih.
Kinanti sendiri merasa
berhadapan dengan orang
yang serba tahu, sehingga ia
pergunakan
kesempatan itu untuk
menanyakan sebab
kehancuran Lembah Birawa.
"Tentunya kau tahu apa
sebab Tulang Naga
menghancurkan Lembah Birawa?
Tolong jelaskan
padaku agar aku tidak
penasaran dalam
sepanjang hidupku."
Mata dingin namun tajam itu
beralih
pandang ke arah Kinanti.
"Ratu Jiwandani mempunyai
seorang ayah
yang berjuluk si Tudung Geni.
Dari situlah titik
persoalannya."
Kinanti kerutkan dahi
sambil menggumam,
"Ya, aku pernah dengar
nama Tudung Geni. Itu
memang nama ayah Ratu
Jiwandani. Apakah
Tulang Naga bermusuhan dengan si Tudung
Geni?"
"Sangat bermusuhan. Tudung Geni yang
membunuh ayahnya Tulang Naga yang dikenal
dengan nama Panglima Setan
Biru. Kematian itu
meninggalkan dendam di hati
Tulang Naga. Maka
ketika ia menemukan tempat
kediaman keturunan
si Tudung Geni, dendamnya
dilampiaskan secara
membabi buta."
"Agaknya Tulang Naga
manusia yang penuh
dengan dendam kesumat.
Benarkah penilaianku
itu, Ki Dewa Putih?"
"Memang benar, Nak Mas
Manggala Yudha.
Tulang Naga manusia penuh
dendam. Karenanya,
begitu ia memegang Sabuk
Gempur Jagat, dendam
kesumatnya dilampiaskan kepada
siapa saja yang
pernah bentrok dengannya dan
ia mengalami
kekalahan. Termasuk seorang
Lurah yang menjadi
kepala desa di desa Kijangan,
serta beberapa
orang lainnya. Bahkan tak
menutup kemungkinan
ia akan memburu dendamnya pada
si Galak
Gantung yang akhirnya akan sampai pada Guru
Nak Mas Manggala Yudha, si
Gila Tuak."
Suto terkesiap seketika begitu
mendengar
nama gurunya akan menjadi
tempat pelampiasan
dendam si Tulang Naga. ia sedikit heran
mendengar kata-kata Dewa Putih. Bahkan ia
sempat bertanya kepada sahabat
gurunya itu,
"Apakah kau tak salah
ucap, Ki Dewa Putih?
Guruku akan menjadi sasaran
dendam
kesumatnya si Tulang Naga? Benarkah demikian
kejadiannya nanti?"
"Benar, jika Sabuk Gempur
Jagat tidak
segera diselamatkan dari
tangannya. Sabuk
pusaka itu memang sukar dicari
tandingannya.
Tulang Naga akan malang melintang terus jika
memegang Sabuk Gempur Jagat,
sebab kesaktian
sabuk itu sangat dahsyat.
Mampu
menghancurkan gunung, mampu
membelah
lapisan tanah, mampu meremukkan baja setebal
apa pun, bahkan mampu hadirkan badai panas
yang bisa melelehkan
logam."
"Hebat sekali?!" gumam Kinanti secara tak
sadar.
"Jika sabuk itu diputar
dan memancarkan
sinar hijau, maka sinar itu
akan menjadi perisai
bagi pemegangnya. Sinar itu
tak bisa ditembus
oleh sinar tenaga dalam apa
pun juga," tutur Dewa
Putih, tanpa diminta ia
menjelaskan sendiri
kehebatan Sabuk Gempur Jagat
itu. Sambungnya
lagi,
"Repotnya, sabuk itu tak
bisa putus oleh
senjata apa pun, sukar
dihancurkan karena
terbuat dari kulit ular Onak
Setan. Ular itu sangat
jarang dan menurut mendiang
guruku, ular Onak
Setan hanya ada tujuh yang
hidup di permukaan
bumi. Salah satunya ada yang
pernah hidup di
tempat kita ini, ratusan tahun
yang lalu. Begawan
Rampak Dalu
mendapat warisan pusaka itu dari
leluhurnya yang diwariskan
secara turun
temurun."
Rasa tenang Suto Sinting saat
mendengar
Ratu Jiwandani ada bersama
Galak Gantung tiba-
tiba berubah menjadi sebuah
kecemasan.
Kecemasan itu timbul karena
Suto baru saja ingat
bahwa Galak Gantung
adalah musuh utama
Tulang Naga. Bahkan si Gila Tuak, guru Suto
Sinting itu, juga termasuk
musuh si Tulang Naga.
Pada saat Suto bertemu dengan
Tulang Naga
memperebutkan mayat bayi yang
mati digantung
oleh ayahnya sendiri itu,
Tulang Naga sempat
melepas ucapan bahwa Gila Tuak
termasuk salah
satu musuhnya yang akan
dibinasakan. Persoalan
itu sebenarnya persoaian lama,
tapi masih
membekas di hati Tulang Naga. Persoalan itu
menyangkut tentang kematian
kakaknya Tulang
Naga yang dibunuh oleh Galak
Gantung. Pada
waktu Tulang
Naga ingin membalas dendam
kepada Galak Gantung, si Gila
Tuak datang
memihak Galak Gantung.
Akibatnya Tulang Naga
larikan diri tak sanggup
hadapi si Gila Tuak,
namun dendamnya semakin
membengkak dan
nama si Gila Tuak tertera dalam daftar nama
orang-orang yang akan
dimusnahkan secara cepat
atau lambat.
"Ki Dewa Putih, agaknya
perjumpaan kita
tak bisa lebih lama lagi," kata Suto Sinting yang
membuat Kinanti memandangnya.
Pendekar
Mabuk lanjutkan bicara kepada
Dewa Putih yang
masih mampu berdiri tegak dan
gagah itu.
"Seperti katamu tadi,
Tulang Naga punya
dendam kepada Galak Gantung yang nantinya
akan menjalar kepada guruku;
si Gila Tuak.
Sedangkan sekarang Ratu
Jiwandani ada bersama
Ki Galak
Gantung. Tak bisa kubayangkan apa
jadinya jika Tulang Naga
sampai ke pondok Ki
Galak Gantung dalam keadaan masih bersenjata
Sabuk Gempur Jagat itu. Maka
sebelum ia tiba di
Bukit Wangi, aku harus lebih
dulu merampas
sabuk pusaka itu!"
"Firasatku mengatakan,
Tulang Naga sedang
menuju ke Bukit Wangi untuk
temui Galak
Gantung!" kata Dewa Putih
yang membuat Kinanti
menjadi berwajah tegang.
*
* *
6
JALAN pintas menuju Bukit
Wangi yang
paling aman dan cepat adalah melalui pantai.
Kinanti menjadi pemandu
perjalanan itu, karena
Pendekar Mabuk belum pernah datang ke Bukit
Wangi dan tidak tahu di mana
letak bukit
tersebut.
Namun ketika mereka melalui
jalan pantai,
tiba-tiba langkah mereka
dihentikan oleh suara
dentuman yang cukup mengelegar
dari arah
kedalaman hutan. Pendekar
Mabuk yang punya
sifat selalu ingin
melihat pertarungan itu
segera
mengajak Kinanti untuk
menengok keadaan di
dalam hutan.
"Aku hanya ingin tahu,
siapa yang bertarung
di sana. Siapa tahu Tulang
Naga sedang lakukan
pertarungan dengan seseorang
yang perlu kita
tolong," kata Suto
Sinting. Walaupun sebenarnya
Kinanti merasa jengkel dengan
ajakan itu, namun
dalam hati
kecilnya sendiri ia terusik oleh
rasa
ingin tahu dan berharap
Tulang Naga ada dalam
pertarungan tersebut. Maka mau
tak mau ia pun
mengikuti langkah Suto Sinting untuk kembali
masuk ke hutan. Sasaran mereka
adalah tempat
datangnya suara dentuman tadi.
"Kita lewat jalan atas saja!" kata Suto, lalu
tubuhnya melesat naik dan
hinggap di salah satu
dahan. Kinanti ternyata mampu
mengikuti
gerakan serupa itu. Maka
keduanya pun berlari
menuju ke satu arah dengan melompati dahan
demi dahan, bagaikan sepasang
burung besar
yang terbang dari pohon ke
pohon.
"Suto, kulihat gerakan
seseorang di sebelah
kanan kita!" ujar
Kinanti, maka mereka bergerak
ke arah yang dimaksud.
Sebidang tanah yang jarang
ditumbuhi
pohon terhampar di depan
mereka. Tanah itu
seperti bekas rawa yang sudah
mengering dan
mengeras. Ada beberapa batu
besar yang
menjulang setinggi rumah di
tanah datar itu. Di
antara batu-batu besar itulah
mereka melihat dua
orang yang sedang bertarungan
dengan tangan
kosong. Masing-masing
mengandalkan kekuatan
tenaga dalam mereka. Sementara
satu orang lagi
diam di bawah pohon agak jauh
dengan wajah
dicekam rasa takut.
Orang yang ketakutan itu
berusia sekitar
empat puluh tahun, mengenakan
baju hijau tua,
ikat kepala dari kain putih,
rambutnya pendek.
Orang tersebut berbadan kurus,
pendek, berkulit
agak hitam, ia tanpa kumis dan
jenggot, namun
guratan ketuaan sudah tampak
jelas di
permukaan wajahnya.
Suto Sinting tak bisa lupa
dengan orang
tersebut karena ia pernah
menggunakan ikat
kepala orang itu untuk menutup
matanya dalam
pertarungannya dengan Pipit
Serindu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode :
"Kutukan
Pelacur Tua"). Orang yang
ketakutan itu tak lain
adalah si Kadal Ginting, pelayan dari Resi Pakar
Pantun.
Salah satu dari dua orang yang bertarung
tanpa senjata tajam itu tak
lain adalah Resi Pakar
Pantun; berusia sekitar
delapan puluh tahun,
mengenakan pakaian model biksu
berwarna abu-
abu, rambutnya beruban dan
tipis hingga
berkesan botak. Jenggot dan
alisnya juga putih
dan tergolong lebat.
Tetapi orang yang melawan Resi
Pakar
Pantun itu sangat asing bagi
Suto Sinting. Baru
sekarang si Pendekar Mabuk
melihat orang
tersebut; berusia sekitar lima
puluh tahun,
badannya berotot dan tampak
kekar. Mengenakan
baju tanpa lengan warna hitam
dan celananya pun
warna hitam. Rambutnya masih
hitam, tak begitu
panjang dan diikat dengan kain
merah kusam.
Orang itu tak berkumis dan tak
berjenggot.
Matanya agak lebar dan
memancarkan pandangan
yang buas. Dengan ditambah
alis yang lebat, ia
tampak berwajah bengis dan
angker.
Gerakan orang berwajah angker
itu cukup
gesit dan lincah. Kecepatan
geraknya pun bisa
dijadikan andalan dalam
pertarungan, ia pun
tampak tangguh dan tahan
pukulan. Terbukti dua
kali Resi Pakar Pantun
menghantam dada orang
itu, ternyata tidak
mengakibatkan orang tersebut
tumbang atau terluka.
"Siapa orang berbaju
hitam itu? Kau
mengenalnya, Kinanti?"
bisik Suto Sinting dari
tempat persembunyiannya.
"Aku belum
pernah melihat orang itu
sebelum ini. Yang jelas, dia
pasti mempunyai
lapisan tenaga dalam setebal
baja, sehingga
pukulan dan tendangan lawannya
itu tak
membuatnya terluka."
Suto Sinting menjelaskan
tentang Resi Pakar
Pantun kepada Kinanti. Gadis
berjubah kuning
gading itu hanya menggumam
tipis dengan mata
masih memandang ke arah
pertarungan tanpa
berkedip. Agaknya ia sangat
tertarik dengan jurus-
jurus si wajah angker itu,
hingga tak sadar
mulutnya sampai ternganga bengong dengan
wajah memancarkan kekaguman.
Suto Sinting hanya tersenyum
kecil dan
membiarkannya, ia tak mau
mengganggu
keasyikan Kinanti karena ia
sendiri segera hanyut
dalam keasyikan menyaksikan
pertarungan
tersebut. Setiap jurus, setiap
gerakan, seakan
tercatat dengan sendirinya
dalam benak Suto
Sinting, sehingga dalam
gerakan silatnya Suto
Sinting sering pergunakan
pengembangan yang
diperoleh dari mengingat-ingat jurus orang lain
yang dikagumi.
Dua orang yang bertarung itu
akhirnya
mengadu telapak tangan di
udara. Keduanya
sama-sama melompat maju
bagaikan terbang.
Tangan mereka saling
menghentak ke depan dan
beradu dengan kuatnya.
Duaaar...!
Ledakan yang tak seberapa
besar itu terjadi
akibat perpaduan telapak
tangan mereka yang
rupanya sama-sama berkekuatan
tenaga dalam
tinggi. Ledakan itu membuat
tubuh Resi Pakar
Pantun terpental ke belakang
dan jatuh terguling-
guling, sedangkan lawannya
hanya jatuh terduduk
lalu segera bangkit kembali.
"Sudah waktunya kau copot
usia, Pakar
Pantun! Terimalah kematianmu
ini. Hiaaat...!"
Si muka angker menggerakkan
tangannya ke
samping kanan kiri dengan
cepat, lalu kedua
tangan menghentak bersamaan
dan dari kedua
telapak tangan itu keluar dua
berkas sinar
menyerupai bintang berekor
berwarna merah
membara. Wuuut, wuuuut...!
Resi Pakar Pantun terperanjat
melihat
kedatangan dua sinar tersebut,
ia segera
merentangkan kedua tangannya
dalam keadaan
masing-masing jari tengah
menuding ke depan.
Suuut...! Clap, clap...!
Dua sinar hijau lurus tanpa
putus keluar
dari masing-masing jari tengah
sang Resi. Sinar
hijau itu menghantam
masing-masing sinar merah
secara telak. Des, des...!
Blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi begitu
mengagetkan
satwa di sekitar tempat itu.
Bumi terasa
berguncang, beberapa pohon
ikut bergetar,
bahkan ada yang tumbang dalam
keadaan
akarnya mencuat keluar dari
tanah.
Ledakan bergelombang besar itu
membuat
Resi Pakar Pantun terlempar
dan menabrak batu
sebesar rumah. Beeehg...!
"Iaauh...!" pekik
sang Resi dengan wajah
menyeringai kesakitan. Batu
itu sampai bergetar
dan serpihannya berhamburan
karena kerasnya
benturan tubuh sang Resi.
Lawan sang Resi terlempar juga
dan sempat
berguling-guling di udara
bagai tak bisa
kendalikan keseimbangan tubuh
lagi. Akhirnya
orang itu terbanting keras di
atas sebuah batu
yang tingginya sebesar lutut.
Beehg...!
"Heeehg...!" ia
memekik tertahan dengan
mata terbeliak. Napasnya
menjadi sesak karena
tulang rusuknya bagaikan patah
akibat bantingan
keras tersebut.
"Hoooek...!" Resi
Pakar Pantun
memuntahkan darah kental saat
berusaha bangkit
dengan limbung.
"Dia terluka parah!"
bisik Kinanti sambil
matanya memperhatikan sang
Resi dengan tegang.
"Agaknya memang begitu.
Tapi biarkan dulu,
aku ingin tahu sampai di mana
kekuatan lawan
sang Resi itu."
Ternyata lawan sang Resi cukup
tangguh.
Dalam beberapa kejap saja ia
sudah mampu
bangkit lagi dengan sehat.
Rasa sakitnya bagaikan
lenyap setelah ia menarik
napas panjang-panjang
dan meraba perut sampai dada
dengan tangan
gemetar. Rupanya ia
menyalurkan hawa murni
melalui tangannya untuk obati
seluruh luka
dalam.
Sang Resi berusaha bangkit
dengan tegak
walau dengan berpegangan
dinding batu. Matanya
tertuju kepada lawan yang
mendekatinya dalam
satu lompatan bersalto.
"Kurang ajar kau, Jejak
Setan!" geram sang
Resi. Suto Sinting dan Kinanti
saling
berpandangan setelah mendengar
nama lawan
sang Resi ternyata adalah si
Jejak Setan, murid
mendiang Pelacur Tua alias
Nyai Pegat Raga yang
kala itu menyaru nama Pipit
Serindu.
Sang Resi terdengar berkata
lagi,
"Sayur lodeh jamur paku,
kecambah goreng dibungkus daun
pare.
Biarpun tua ragaku,
tapi tak kan mundur melawan
bayi kemarin
sore."
Kinanti berbisik kepada Suto,
"Mantra apa
yang ia ucapkan itu?"
"Ia bermain pantun, bukan
mantra!"
Jejak Setan yang berdiri di
depannya dalam
jarak empat langkah segera
mendenguskan napas.
"Sekali lagi kuberi kesempatan padamu,
serahkan Sabuk Gempur Jagat
yang tempo hari
ada padamu itu, Resi Pakar
Pantun. Jika kau
masih ngotot tak mau berikan,
kuhabisi nyawamu
sekarang juga!"
"Sudah kubilang, sabuk
itu tidak ada
padaku, tapi ada pada si
Tulang Naga!" bantah
sang Resi. "Segalak apa
pun kau padaku, tak akan
bisa kau dapatkan sabuk pusaka
itu, Bocah
Bodoh!"
"Baiklah, kalau begitu
kau memang memilih
mati daripada hidup damai
bersamaku, Pakar
Pantun!" geram Jejak
Setan sambil menggenggam
kuat-kuat. Kedua tangannya
mulai terangkat
dengan genggaman merenggang
kaku membentuk
cakar.
"Sayur lodeh buat renang
bekicot jamu,
lompat ke darat berjalan kaku.
Biar sampai ngotot pantatmu,
cambuk pusaka tetap tak kan
kau dapat
dariku."
Jejak Setan semakin berang
mendengar
pantun itu.
"Biadab kau!"
"Kau juga biadab!"
"Heeeaah...!"
Wuuut...! Jejak Setan
berkelebat sangat
cepat menerjang Resi Pakar
Pantun dalam
sekejap. Ternyata ia berhasil
menjejak dada sang
Resi hingga tubuh sang Resi
membentur dinding
batu lagi.
"Uuuhg...!" sang
Resi tersentak berdiri. Lalu
kedua tangan Jejak Setan
menghantam perut dan
ulu hati sang Resi dengan
telapak tangannya.
Buhk, plak...!
"Huuuoooeek...!"
Sang Resi semburkan darah
segar cukup
banyak. Brruuus...!
Ceproot...!
Semburan darah itu mengenai
kepala Jejak
Setan, hingga wajah si Jejak
Setan berlumur
darah. Wajah itu menjadi merah
menjijikkan
sekaligus mengerikan. Padahal
yang dalam
keadaan mengerikan adalah sang
Resi, karena
pukulan lawannya nyaris
menghancurkan jantung
dan hatinya.
"Monyet tua!" maki
si Jejak Setan. "Berani-
beraninya kau meludahi mukaku,
hah! Kurang
ajar! Heeeatt...!"
Wuuuuus...!
Tubuh Resi Pakar Pantun dilemparkan
ke
belakang oleh Jejak Setan.
Tangannya dipegang,
kaki Jejak Setan masuk ke
perut sang Resi lalu
mengangkat tubuh sang Resi dan
melemparkan
dalam satu hentakan kaki. Tubuh tua itu
melayang melewati atas
kepala Jejak Setan dan
jatuh terbanting di tanah.
Buuuhg...!
"Huuuhgg...!" sang
Resi memekik tertahan
dengan mata mendelik.
"Habislah riwayatmu,
Monyet Tua!
Heeaaah...!"
Wuuut...! Brrrus...!
Jejak Setan bermaksud
menginjak leher Resi
Pakar Pantun. Namun baru saja
ia mengangkat
kakinya, tiba-tiba ada sesuatu
yang berkelebat
menerjangnya. Terjangan kuat
dan cepat itu
membuat Jejak Setan terpental
terbang bagaikan
seonggok daging dibuang tanpa
guna. Dinding
batu besar menjadi sasaran
telak. Brruuss...!
Tubuh itu menghantam dinding
batu besar,
kepalanya membentur sangat
kuat. Prraaak...!
"Aaahg...!" ia
memekik dengan suara lirih
karena kelewat sakit. Saat ia
jatuh terpuruk di
bawah dinding batu besar,
kepalanya yang terkena
semburan darah itu dipegangi
dengan dua tangan.
Kepala itu bocor, tapi
kelihatannya tidak berdarah
sebab wajahnya sudah penuh
darah.
"Bangsat!" geramnya
sambil berusaha
bangkit. Hatinya pun berkata,
"Siapa yang ikut
campur ini?! Tenaganya luar
biasa besarnya.
Kalau bukan orang berilmu
tinggi tak mungkin
bisa melemparkan tubuhku
sekeras tadi!"
Ternyata terjangan itu
dilakukan oleh
Pendekar Mabuk yang
menggunakan jurus 'Gerak
Siluman'. Kecepatan geraknya
tak bisa dilihat
mata lagi, dan berkekuatan
melebihi angin badai.
Jika Suto tidak lekas bergerak
maka leher Resi
Pakar Pantun akan patah dan
nyawa sang Resi
pun akan melambai-lambai di
udara, di luar
raganya.
Kinanti ikut tampil menghadang
Jejak Setan
ketika Suto Sinting meminumkan
tuaknya kepada
sang Resi. Melihat kecantikan
Kinanti, mata Jejak
Setan jadi melebar dan
berusaha untuk bangkit
tegak, seakan ingin tunjukkan
keperkasaan dan
kegagahannya. Ia mencoba menghardik Kinanti
dengan suara serak.
"Siapa kau, Manis?! Apa
perlumu ikut
campur urusan ini dengan
pemuda gelandangan
itu, hah?!"
"Aku tidak ikut campur
urusanmu," ujar
Kinanti dengan ketus.
"Aku hanya menyelamatkan
orang tua yang sudah tidak
berdaya tapi masih
kau siksa terus itu."
"Apa hubunganmu dengan si
Pakar Pantun
itu?!"
"Tak ada hubungan apa
pun, kecuali
hubungan seorang anak muda
dengan orang yang
lebih tua."
Jejak Setan menggeram jengkel
dengan
wajah berlumur darah, hingga
ia tampak semakin
menyeramkan. Kebocoran
kepalanya tidak
dihiraukan sesaat karena dalam hatinya ia
menyukai kecantikan Kinanti.
Matanya berbinar-
binar kala memandangi
kecantikan Kinanti,
terutama jika memandangi di
sekitar wilayah
dada.
"Kuingatkan, Nona...
mundurlah dan jangan
coba-coba halangi niatku
mendapatkan sesuatu
dari Pakar Pantun. Aku bisa
murka padamu jika
kau masih berdiri di situ
bersikap menentangku.
Jika aku murka padamu, aku tak
berselera lagi
memperistri dirimu,
Nona!"
"Puih...!" Kinanti
hanya meludah, sengaja
memancing kemarahan Jejak
Setan.
Sementara itu, Suto Sinting
sudah selesai
meminumkan tuak ke mulut sang
Resi. Orang tua
itu telah meneguk beberapa
kali dan kini sedang
menunggu saat-saat kesembuhan.
Suto Sinting
segera bangkit dan hampiri
Kinanti, ia berdiri di
samping Kinanti dalam jarak tiga
langkah.
Matanya memandang ke arah
Jejak Setan dengan
senyum tipis yang menawan,
namun bagi si Jejak
Setan senyuman itu memuakkan.
Melihat si Jejak Setan
terpikat oleh
kecantikan dan kemolekan tubuh
Kinanti, Suto
Sinting sengaja lebih
merapatkan diri kepada
Kinanti. Tangan Suto merangkul
pundak Kinanti
dari samping sambil senyumnya
kian dipamerkan
di depan si Jejak Setan. Panas
hati Jejak Setan
kian membara. Rasa iri dan
dengki berkobar
dalam hatinya, sehingga ia pun
segera serukan
kata sambil menuding Pendekar
Mabuk.
"Siapa kau sebenarnya,
hah?! Apa
maksudmu pamer kemesraan di
depanku?!"
"Mengapa kau jadi berang dengan
kemesraan kami?"
Jejak Setan bukan hanya
berang, namun
juga gusar dan salah tingkah.
Rupanya ia punya
penyakit cemburu jika
melihat sepasang anak
manusia bermesraan. Rasa
cemburu yang sudah
menjadi satu penyakit itu
timbul dikarenakan
selama ini Jejak Setan selalu
dibenci oleh wanita
kecuali oleh
gurunya sendiri, ia tak sadar bahwa
selama ini ada pengaruh dari
ilmu yang
diturunkan oleh si Pelacur Tua
yang membuat
menjadi dibenci oleh para
wanita. Berulang kali ia
mendekati wanita namun
selalu dijauhi tanpa
alasan yang pasti. Karenanya
ia menjadi benci
melihat sepasang insan yang
bermesraan di
depannya.
Suto tidak mengetahui hal itu. Sikapnya
bermesraan dengan Kinanti
hanya sekadar iseng
saja. Namun melihat berangnya Jejak Setan,
pendekar tampan itu segera
menarik kesimpulan
bahwa kemesraan merupakan
sesuatu yang
membuat jiwa Jejak Setan
menjadi guncang.
Itulah sebabnya Suto Sinting
semakin
memamerkan kemesraannya dengan
sesekali
mengusap-usap pundak atau
lengan Kinanti.
Sedangkan Kinanti sendiri
sempat merasa aneh
menerima sikap Suto yang
tampak sayang
kepadanya. Hatinya berdebar-debar
antara
percaya dan tidak.
Jejak Setan akhirnya berseru
dengan kasar,
"Minggat kalian dari hadapanku! Atau
kuhancurkan kalian bersama si
tua Pakar Pantun
itu!"
Resi Pakar Pantun yang sudah
sehat kembali
itu segera bangkit, ia
melangkah mendekati Suto
Sinting sambil
serukan kata kepada si Jejak
Setan.
"Jangan coba-coba melawan
anak muda ini,
Jejak Setan. Kau bisa
dibuatnya terbang menuju
akhirat tanpa pamit lagi
kepada kami!"
"Bangsaaaat...!"
teriaknya dengan liar dan
buas. "Kuhancurkan
mulutmu, Pakar Pantun!
Heeeah...!"
Jejak Setan yang merasa
terhina dan
diremehkan menjadi murka
luar biasa, ia
sentakkan kedua tangannya ke
depan dan dari
dua tangan itu keluar sinar
biru bersama asap
yang mengepul tebal. Sinar
biru itu berbentuk
seperti bintang berekor, besar
dan ganas.
Sasarannya ke arah Resi Pakar
Pantun dan
Pendekar Mabuk.
Wuuuus, wuuus...!
Pendekar Mabuk melompat pendek
ke
depan. Tangan kirinya
menghentak maju dan
keluarkan sinar hijau melesat
dari tangan Suto.
Jurus pukulan 'Guntur Perkasa'
itu menghantam
sinar biru lawan.
Blaaar...!
Sedangkan sinar biru yang
satunya
dihantam dengan kelebatan
bumbung tuak di
tangan kanan Suto. Wuuut...!
Duuub...! Woooss...!
Sinar biru itu membalik arah
dan menjadi
lebih besar serta lebih cepat gerakannya. Jejak
Setan terperanjat kaget dan
berusaha melompat
ke samping menghindarinya.
Tapi ledakan yang
terjadi akibat benturan sinar
biru dengan sinar
hijaunya tadi sempat timbulkan
gelombang
sentakan cukup kuat, sehingga
tubuh Jejak Setan
pun terpental terbang cukup
jauh, lalu jatuh
terkapar di tanah berbatu.
Braaak...!
Bleggaar...!
Sinar biru yang berbalik arah
itu
menghantam dinding batu besar.
Batu itu meledak
dan hancur menjadi bongkahan
sebesar kepalan
tangan. Brrruus...!
Pecahan batu besar itu
menjatuhi tubuh
Jejak Setan. Sebagian pecahan
itu ada yang
menuju ke tempat Suto, dan
hampir kenai kepala
Kinanti. Namun sebagian besar
pecahan batu itu
menghambur ke arah tubuh Jejak
Setan. Tak ayal
lagi Jejak Setan berteriak
kesakitan karena
dihujani batu dalam keadaan
terkapar akibat
terbanting tadi.
"Kau pikir enak dapat
hujan batu?!" seru
Resi Pakar Pantun dengan wajah
ceria, lalu ia
terkekeh-kekeh sendiri.
Jejak Setan mengerang
kesakitan dan
berusaha untuk bangkit. Tapi
hatinya sempat
berkecamuk sendiri bernada
penuh gerutu.
"Iblis dari mana anak
muda itu?! Pukulanku
bisa dibuat seperti ini!
Bangsat! Pakar Pantun
mendapat dukungan setangguh
ini, bisa-bisa aku
mati tanpa hasil jika nekat melawan anak muda
itu! Sebaiknya aku melarikan
diri dulu,
sembuhkan luka dan pulihkan kekuatanku, lalu
mengejar Pakar Pantun
lagi untuk dapatkan
Sabuk Gempur Jagat. Atau...
jika benar sabuk
pusaka itu ada di tangan si
Tulang Naga, aku
akan coba temui dia dan
melihat apakah sabuk itu
ada padanya. Jika benar ada
padanya, berarti aku
harus mengubah sasaran.
Tulang Naga yang
harus kuserang habis-habisan
untuk dapatkan
sabuk itu!"
Wuuut...! Jejak Setan
tahu-tahu melesat ke
dalam semak-semak, setelah itu tak pernah
muncul lagi batang hidungnya.
Pendekar Mabuk
menenggak tuaknya dua teguk.
Kinanti masih
pandangi kepergiln Jejak Setan
sambil membatin
dalam hatinya,
"Murid si Gila Tuak itu
memang ilmunya
edan-edanan. Pantas jika ia
dipanggii Suto
Sinting, sebab ilmunya memang
sinting! Kurasa ia
akan berhasil merebut Sabuk
Gempur Jagat
karena kesaktian ilmunya cukup
layak untuk
lakukan tugas itu."
Sementara itu, Suto Sinting
membiarkan
pundaknya ditepuk-tepuk oleh
Resi Pakar Pantun.
Orang tua itu merasa bangga
dan bersyukur dapat
bertemu dengan Pendekar Mabuk
yang sudah
beberapa kali selamatkan
nyawanya dari maut,
(Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode:
"Pisau Tanduk
Hantu").
"Sayur lodeh kesayangan
dewaku,
lebih hangat dicampur param
kocok buat
ibuku.
Sekian kali kau selamatkan
nyawaku,
namun belum pernah kau
selamatkan
perutku."
Suto Sinting tertawa kecil
mendengar pantun
sang Resi. Kala itu, sang
pelayan; Kadal Ginting,
mendekat dengan wajah berseri
menampakkan
kelegaannya melihat tuannya
selamat dari
ancaman mati si Jejak Setan.
Kinanti justru
kerutkan dahi karena tak paham
dengan arti
pantun tersebut.
"Apa maksud pantunmu itu,
Resi?"
"Perutku lapar, sudah
tujuh hari tak
kemasukan apa-apa."
"Perut saya juga, Eyang
Resi," sahut Kadal
Ginting. "Sudah tujuh
hari tak kemasukan apa-
apa."
Resi Pakar Pantun memungut
sebuah batu
kecil dan menyodorkannya
kepada Kadal Ginting
sambil berkata, "Masukkan
saja ini kalau kau
mau."
Kadal Ginting bersungut-sungut dengan
gerutu tak jelas. Suto Sinting
tertawa makin geli,
sedangkan Kinanti hanya
tersenyum tipis.
Batu itu segera dilemparkan
oleh Resi Pakar
Pantun ke sembarang arah.
Ternyata kenai
sebatang pohon dan ledakan
kecil pun terjadi saat
batu menyentuh pohon.
Duaaar...! Pohon
berguncang, daunnya rontok
sebagian, namun tak
membuat pohon menjadi tumbang.
Kadal Ginting mencibir.
"Jangan pamer ilmu
di depan Pendekar Mabuk. Nanti
Eyang Resi
ditertawakan!"
"Maaf, aku tidak sengaja
menyalurkan
tenaga dalamku melalui batu
ini," katanya kepada
Suto Sinting. "Aku hanya
jengkel pada perutku
yang tak mau diajak damai agar
tak mencari
makanan dulu."
"Kau lapar sekali,
Resi?"
"Sangat lapar, Suto. Kulakukan pengejaran
berhari-hari sampai aku lupa
makan, namun
hasilnya masih nihil."
"Siapa yang kau
kejar?" tanya Kinanti
dengan rasa ingin tahu.
"Tulang Naga!" jawab
sang Resi. "Dialah yang
membawa Sabuk Gempur Jagat
milik sahabatku;
Begawan Rampak Dalu. Jika
sabuk itu masih di
tangannya, atau di tangan
orang sesat seperti si
Tulang Naga, maka bumi akan
cepat hancur
karena kekejiannya."
"Lalu, mengapa Jejak
Setan bersikeras
mendapatkan sabuk pusaka itu
dari tanganmu,
Resi?" tanya Suto agak
curiga.
"Jejak Setan bernafsu
sekali untuk dapatkan
Sabuk Gempur Jagat, karena ia
ingin membalas
kematian gurunya: Nyai Pegat
Raga, si Pelacur Tua
itu. Menurutnya, orang yang
berhasil membunuh
gurunya adalah orang berilmu
tinggi yang tak
mungkin bisa ditandingi jika
tidak dengan
menggunakan pusaka Sabuk
Gempur Jagat, ia
tidak tahu kalau pembunuh
gurunya adalah kau
sendiri, Suto."
Suto Sinting manggut-manggut,
tapi Kinanti
segera ajukan tanya,
"Mengapa ia ngotot sekali
menganggap
sabuk itu ada padamu, Resi?
Bukankah tadi
kudengar kau sudah mengatakan
bahwa sabuk itu
ada di tangan si Tulang
Naga?"
"Karena ia pernah melihat
aku merebut
sabuk itu dari tangan gurunya,
ia tidak tahu kalau
sabuk itu sudah direbut si
Tulang Naga."
"Jika begitu,
rasa-rasanya kita tak punya
banyak waktu untuk bicarakan
hal itu di sini. Kita
harus segera ke Bukit Wangi,
Resi," ujar Suto
Sinting.
Resi Pakar Pantun kerutkan
dahi. "Mengapa
harus ke Bukit Wangi? Di sana
hanya akan kita
temui si Galak Gantung. Tulang
Naga tinggal di
Telaga Siluman, menjadi
penguasa telaga itu."
"Benar. Tapi Tulang Naga
seorang
pendendam dan ia masih punya
dendam kesumat
kepada Ki Galak Gantung.
Bukankah kakaknya
dulu dibunuh oleh Ki Galak
Gantung?"
"Aha, pikiran yang bagus
itu, Suto! Baru
sekarang terpikirkan olehku
tentang dendam si
Tulang Naga kepada Galak
Gantung, bahkan bisa
jadi ia juga mendendam kepada
gurumu; si Gila
Tuak."
"Itu yang kucemaskan,
Resi. Karena aku
harus segera menyusul si
Tulang Naga sebelum ia
mengamuk di Bukit
Wangi...."
"Sebab ratuku ada di
sana!" sahut Kinanti.
"Kalau begitu...."
"Sayur lodeh buat rebus
angkin,
mertua gawat berurat kawat.
Perut lapar masih bisa
disumpal angin,
tapi nyawa sahabat tak bisa
dibiarkan
lewat."
Suto menimpali dengan
pantunnya,
"Sayur lodeh di dalam
mangkuk,
ambil garam sekarung tuang
semua...."
Suto diam berpikir, lalu sang
Resi bertanya,
"Apa artinya?"
"Artinya, sayur lodeh itu
pasti asin sekali!"
Kinanti tertawa geli hingga
terkikik-kikik.
Baru sekarang Suto melihat
Kinanti tertawa.
Padahal ia tidak bermaksud
membuat lelucon
untuk Kinanti, ia hanya
mencoba membuat
pantun namun gagal. Gadis itu
sembunyikan
wajah di belakang punggung
Suto, seakan malu
dilihat tawanya yang terkikik
geli.
Sang Resi berpantun lagi:
"Sayur lodeh dibungkus
kain batik...."
"Bocor, Eyang...,"
sahut Kadal Ginting.
"Ini pantun,
Goblok!" sentak sang Resi. Lalu
ia lanjutkan pantun tadi.
"Sayur lodeh dibungkus
kain batik,
istri satu tak pernah ada yang
sewa.
Hentikan tawamu Nona Cantik,
karena Tulang Naga sedang
memburu
nyawa."
Kinanti segera hentikan
tawanya. Bayangan
wajah sang Ratu terancam
bahaya mulai
tersumbul dalam
ingatan. Bayangan Lembah
Birawa yang hancur menjadi
arang pun timbul di
setiap pandangan mata,
sehingga dendam dan
kemarahannya mulai terbakar
dan meletup-letup
dalam jiwanya, mendidihkan
seluruh darah yang
mengalir dalam tubuhnya.
*
* *
7
MEREKA berempat bergegas
menuju Bukit
Wangi. Dalam
hati mereka sempat diliputi
kecemasan karena menurut
perhitungan, jika
Tulang Naga pergi menuju Bukit
Wangi sejak tadi
pagi, maka saat itu Tulang
Naga pasti sudah
sampai ke pondoknya si Galak
Gantung. Itulah
sebabnya Suto Sinting
mengajukan usul untuk
mendahului mereka dengan
menggunakan jurus
'Gerak Siluman'-nya.
"Terlambat sedikit saja,
Ki Galak Gantung
dan Ratu Jiwandani akan binasa
di tangan Tulang
Naga," ujar Suto Sinting.
"Kurasa itu hal yang baik,"
kata Resi Pakar
Pantun. "Daripada kita
terlambat semua, lebih
baik tiga yang terlambat, satu
yang menjadi
penyelamat!"
Kinanti diam saja tak memberi
tanggapan.
Dari wajahnya tampak rasa
kurang suka jika ia
ditinggalkan Suto Sinting.
Wajah itu dipandangi
Kadal Ginting, dan si pelayan
sang Resi itu
berkata,
"Nona Kinanti tidak perlu
cemas. Tak ada
Suto, masih ada saya!"
"Maksudmu, kalau ada
bahaya kau bisa
melindungi Kinanti?"
tanya sang Resi.
"Maksud saya, kalau butuh
gendongan, saya
sanggup menggendong Nona
Kinanti, Eyang,"
sambil Kadal Ginting nyengir.
"Kenapa tidak aku saja
yang kau gendong?"
"Wah, kalau Eyang Resi
yang saya gendong,
sama saja saya dijepit
kepiting. Habis Eyang Resi
tulang semua, tak ada
dagingnya!"
"Sekali lagi kau
menghinaku begitu,
kubuang kau ke dasar
jurang!" sentak sang Resi
dengan dongkol, namun membuat
mereka
tersenyum geli.
Senyum dan langkah mereka
terhenti ketika
Suto Sinting segera berseru
dengan tangan
merentang memberi isyarat untuk
berhenti.
"Darah...?!"
Semua memandang ke tanah di
mana
terdapat tetesan darah segar.
Daun-daun ilalang
pun basah oleh darah yang
tampak belum
mengering. Kinanti menjadi
cemas sekali sebab
tempat itu sudah dekat dengan
Bukit Wangi.
"Darah siapa itu, Eyang!
Hiiii...!" Kadal
Ginting bergidik merinding dan
mendekati sang
Resi. Merapatkan tubuh ke
badan sang Resi,
membuat sang Resi mendorong
kesal pelayannya.
"Kau ini seperti banci
saja!"
"Ada darah,
Eyang...!"
"Iya, aku pun tahu kalau
di sini ada darah.
Tapi kamu tak perlu mendesakku
sampai
menginjak-injak kakiku
segala!"
"Jangan ribut
sendiri!" sentak Kinanti
sebagai pelampiasan rasa
cemasnya.
"Bukan soal ribut, ini soal darah, Non...,"
gerutu Resi Pakar Pantun dalam
gumam lirihnya.
"Daun-daun semak di
sebelah sana juga
dilumuri darah!" ujar
Kadal Ginting.
Suto Sinting bergegas
mengikuti tetesan
darah segar itu. Dalam hatinya
juga timbul
kekhawatiran,
"Jangan-jangan Tulang Naga telah
temukan Ki Galak Gantung dan
Ratu Jiwandani
lalu menyerang mereka, dan
mereka lari dalam
keadaan terluka berdarah?!
Celaka betul kalau hal
itu sampai terjadi."
Langkah kaki mereka menyusuri
tetesan
darah, sampai akhirnya Suto
rentangkan tangan
memberi isyarat agar mereka
berhenti melangkah.
Ada sesuatu yang ditemukan
oleh si murid sinting
Gila Tuak itu. Sebuah benda berujung runcing.
Benda itu adalah sepotong
gading panjang tiga
jengkal, kedua ujungnya
runcing tajam. Suto dan
Resi Pakar Pantun mengenali
benda tersebut.
"Pusaka Nenggala Kubur,"
ucap sang Resi
saat benda itu diambil Suto
Sinting.
"Seingatku ini senjatanya
Tulang Naga," ujar
Suto bagai bicara sendiri.
"Memang senjata Nenggala
Kubur adalah
senjata si Tulang Naga,"
sang Resi membenarkan.
"Tapi, mengapa bisa ada
di sini?"
"Jangan-jangan dibuang
oleh si Tulang Naga
karena ia sudah tidak
membutuhkan senjata itu
lagi. Sabuk Gempur Jagat lebih
dahsyat dari
senjata itu," ucap
Kinanti sambil pandangi tetesan
darah dan mulai melangkah lagi
mengikuti tetesan
darah yang ada di rerumputan.
Langkah gadis berjubah kuning
gading itu
mendahului mereka sejauh lima
tindak. Lalu
terdengar suaranya berseru
dengan nada terkejut,
"Ada mayat!"
"Hahh... mayat...?!
Hiii...!" Kadal Ginting
merapatkan tubuh ke badan sang
Resi.
"Apa-apaan kau ini!"
sang Resi mendorong
tubuh Kadal Ginting hingga
jatuh terduduk.
"Kasar sekali Eyang
padaku."
"Keringatmu bau bangkai.
Aku tak mau
pakaianku terkena aroma
bangkai seperti
keringatmu!" sang
Resi menggerutu sambil
melangkah dekati Kinanti.
Suto Sinting berdiri di dekat
mayat seorang
lelaki berbadan kurus,
berjubah abu-abu, rambut
putih panjang tanpa ikat
kepala. Orang itu terluka
parah bagian punggungnya.
Berlubang bagaikan
terowongan perut gunung.
Sepertinya ia dihantam
dari belakang dengan pukulan
tenaga dalam yang
cukup dahsyat.
Resi Pakar Pantun
membelalakkan matanya
begitu melihat mayat yang
terkapar di
rerumputan.
"Ooh...?! Tulang
Naga?!"
"Seseorang telah membunuh
Tulang Naga.
Kurasa belum lama pertarungan
itu terjadi di
sekitar sini," ujar Suto
Sinting.
"Lalu, siapa orangnya
yang membunuh
Tulang Naga, dan ke mana sabuk
pusaka itu?!"
ucap sang Resi.
Mereka saling pandang dalam
ketegangan.
Hati mereka saling menduga.
Namun dugaan
paling kuat tertuju pada Galak
Gantung. Mereka
bayangkan Tulang Naga
menyerang Galak
Gantung dan Ratu Jiwandani.
Tulang Naga
terdesak dan larikan diri
sampai di tempat itu.
Galak Gantung mengejarnya,
kemudian berhasil
membunuh Tulang Naga. Sabuk
Gempur Jagat
pun diambil oleh si Galak
Gantung,
"Tapi bagaimana jika
dugaan kita itu
meleset?" ujar Suto
Sinting setelah merenung
beberapa saat. "Bagaimana
kalau Sabuk Gempur
Jagat ada di tangan tokoh lain
yang beraliran
hitam?"
"Sebaiknya kita temui
dulu Gusti Ratu-ku
dan Ki Galak Gantung,"
usul Kinanti. Lalu, mereka
pun bergegas teruskan
perjalanan menuju Bukit
Wangi yang sudah kelihatan
dari tempat mereka
berada.
Jlegaaarr...!
Tiba-tiba sebuah ledakan
menggelegar
terdengar begitu dahsyatnya,
hingga tanah di
sekitar mereka terguncang
hebat. Pepohonan pun
nyaris tumbang, daun-daun dan
ranting kering
berguguran. Tapi di sebelah
timur, beberapa
pohon menjadi tumbang
bersusulan. Angin panas
berhembus membuat kulit tubuh
mereka bagai
disengat angin lahar. Suara
gemuruh menggema
membuat alam bagai terancam
kiamat. Warna
merah menyebar dari arah timur
saat suara
ledakan dahsyat tadi
terdengar.
"Ini kekuatan dari Sabuk
Gempur Jagat!"
ujar sang Resi dengan tegang.
"Ada orang yang
bertarung di timur dan
menggunakan sabuk itu!"
Zlaaaap...!
Suto Sinting tak banyak bicara
lagi, ia
melesat dengan kecepatan yang
tak bisa dilihat
mata manusia biasa. Jurus
'Gerak Siluman'
digunakan dan membuat mereka
bertiga
tertinggal, lalu segera saling
susul dengan
pergunakan ilmu peringan tubuh
masing-masing
agar bisa melaju dengan cepat.
Kadal Ginting yang
tertinggal dan berlari
tunggang langgang, karena ia
tidak mempunyai ilmu peringan
tubuh.
"Eyaaaang...
tungguuuu...! Saya takut
mayatnya bangkit lagi,
Eyaaang...!" serunya dalam
nada ketakutan.
Tentu saja Pendekar Mabuk
lebih dulu tiba
di tempat pertarungan. Sebuah
lembah berpohon
renggang telah menjadi rusak
bagaikan habis
dilanda gempa bumi cukup
parah. Tanah di sana-
sini mengalami keretakan.
Pepohonan tumbang,
bahkan sebagian menjadi kering
dan hangus
menjadi arang hitam. Angin
panas masih tersisa
dan membuat suasana sekitar
tempat itu menjadi
seperti di tepian kawah gunung
berapi.
Sementara itu, seorang lelaki
tua berpakaian
jubah putih berdiri tegak
tanpa gerak. Tokoh tua
berambut pendek putih dengan
kumis dan
jenggotnya yang putih memegang
tongkat kayu
hitam dengan kepala tongkat
berbentuk cakar
lima jari. Orang itu bertubuh
gemuk, dikenal
sebagai Ketua Kelompok
Gelandangan. Suto
mengenal orang tersebut dengan
julukan si Jubah
Kapur.
Kehadiran Jubah Kapur di
tempat itu
memang mengejutkan bagi Suto
Sinting, bahkan
ketika Resi Pakar Pantun dan
Kinanti
menyusulnya, mereka juga
merasa heran melihat
keberadaan Jubah Kapur di
tempat tersebut.
Namun yang lebih mengherankan
mereka adalah
lawan yang dihadapi si Jubah
Kapur.
Sosok berwajah dingin itu
mengenakan
kerudung hitam dari kepala
sampai kaki. Wajah di
balik kerudung hitam itu
tampak pucat sekali,
bibirnya berwarna biru.
Sekalipun kelihatan masih
muda dan berhidung bangir,
tapi kekejiannya
terpancar dari sorot matanya
yang bagai ingin
membekukan darah tiap manusia
yang
dijumpainya. Orang berkerudung
hitam itu
memegang tongkat berujung
parang lengkung
yang dinamakan pusaka El Maut.
Siapa lagi dia
kalau bukan Siluman Tujuh
Nyawa yang terkenal
sebagai tokoh paling sesat dan
ditakuti oleh
beberapa tokoh di rimba
persilatan.
"Siluman Tujuh Nyawa...?!"
gumam Resi
Pakar Pantun dengan mata
mendelik. "Bbba...
bagaimana mungkin dia bisa
ikut ambil bagian
dalam perkara Sabuk Gempur
Jagat ini? Dan...
dan... dan sabuk itu ternyata
sudah tergenggam di
tangan kirinya? Gila! Jubah
Kapur bisa hancur
jika melawan si Durmala Sanca
itu?"
Durmala Sanca adalah nama asli
Siluman
Tujuh Nyawa. Musuh utama tokoh
terkeji di
seluruh rimba persilatan itu
tak lain adalah
Pendekar Mabuk; Suto Sinting.
Pengembaraan
Suto selama ini adalah memburu
Siluman Tujuh
Nyawa untuk memenggal kepala
orang tersebut
sebagai maskawin untuk
meminang Gusti
Mahkota Sejati; Dyah
Sariningrum.
Selama ini Suto selalu gagal
menumbangkan
Siluman Tujuh Nyawa, karena
tokoh yang tak
pernah punya perubahan air
muka itu bukan saja
keji tapi juga licik dan licin
bagaikan belut.
Kesaktiannya sangat tinggi,
namun jika
berhadapan dengan Suto selalu
melarikan diri
sebelum berhasil ditumbangkan.
Dengan Sabuk
Gempur Jagat di tangan
kirinya, apakah kali ini ia
akan lolos dari incaran Suto
Sinting?
"Pantas kalau si Tulang
Naga mampus,
ternyata orang yang merebut
sabuk itu adalah
Siluman Tujuh Nyawa?!"
gumam Resi Pakar
Pantun tepat di seberang
telinga Kinanti. Gadis itu
hanya diam dan tak berani
berbuat banyak karena
ia pernah mendengar kekejaman
dan kesaktian
Siluman Tujuh Nyawa.
"Jubah Kapur, kita
selesaikan persoalan
lama sekarang juga!" ujar
Siluman Tujuh Nyawa
dengan suara datar berkesan
dingin.
"Kelancanganmu tak bisa
kuampuni lagi, dan
sekarang kau harus menebusnya!
Jika tadi aku
hanya menguji kesaktianmu,
sekarang aku ingin
mencopot nyawamu!"
Sabuk Gempur Jagat yang ada di
tangan kiri
Siluman Tujuh Nyawa itu mulai
diangkat. Sabuk
itu ternyata terbuat dari
kulit ular berduri dengan
tengkorak kepala ular menjadi
hiasan ujung
sabuk. Agaknya keadaan ular
masih utuh, dari
kepala sampai ekor. Bagian
ekornya bertaji
runcing seukuran kelingking.
Duri-duri runcing di
sekujur tubuh ular yang sudah
tak berdaging lagi
itu tampak mengering hitam kebiruan bertanda
mempunyai racun yang berbahaya
bagi orang yang
tergores kulitnya.
Jubah Kapur masih diam saja
walau
Siluman Tujuh Nyawa sudah
mengangkat Sabuk
Gempur Jagat. Namun ketika
sabuk itu
disabetkan dengan satu
lompatan menyerang,
Jubah Kapur bergerak cepat
menghindar.
Wuuut...! Tapi tongkatnya
tersambar ekor sabuk
tanpa disengaja. Duaaarrr...!
Ledakan keras terjadi, dan
tongkat itu
hancur seketika menjadi
serpihan kayu tanpa arti.
Kini Jubah Kapur sudah tidak
bersenjata
lagi. Tapi ia tidak melarikan
diri dan tetap hadapi
lawannya dengan penuh
keberanian. Bahkan
sekarang ia bergerak menyerang
dengan satu
gerakan cepat yang tak bisa
dilihat mata manusia
biasa. Weeess...!
Siluman Tujuh Nyawa juga
bergerak cepat
menghindari terjangan lawan.
Weeeess...!
Tahu-tahu mereka sudah
berpindah tempat
dan saling berhadapan kembali.
Siluman Tujuh
Nyawa sabetkan sabuk itu ke
udara, arahnya ke
tubuh Jubah Kapur. Wuuut...!
Wooooss...!
Api menyambar Jubah Kapur,
untung segera
dapat dihindari dengan gerakan
mirip orang
menghilang itu. Slaaap...! Dan
api pun menyambar
pepohonan di belakang Jubah
Kapur. Lalu hutan
di sekitar pohon itu pun
terbakar, nyala apinya
berkobar-kobar, makin lama
semakin melebar.
Badai angin panas berhembus ke
selatan
membuat tanaman menjadi layu
dan kering,
bahkan ada yang langsung
menghangus menjadi
arang.
"O, mungkin begitulah
cara si Tulang Naga
saat membumihanguskan istana
Lembah Birawa
dan orang-orangnya,"
pikir Kinanti dari tempat
persembunyiannya.
Clap, clap...!
Jubah Kapur keluarkan sinar
putih dari
kedua telapak tangannya. Tapi
kedua sinar putih
itu segera dihantam dengan
Sabuk Gempur Jagat
yang disabetkan dengan cepat.
Wut, wut...!
Blegaaarr...!
Ledakan besar mengguncangkan bumi,
membuat Jubah Kapur terpental
jatuh. Pada saat
itulah Siluman Tujuh Nyawa
menerjang maju dan
menghantamkan sabuk yang
dipegang bagian
ekornya. Kepala sabuk pun
menghantam ke tubuh
Jubah Kapur. Namun orang gemuk
itu mampu
bergerak gesit menghindar ke
samping, sehingga
hantaman sabuk itu kenai
tanah.
Jegaaarrr...!
Suara gemuruh menggema. Tanah
menjadi
retak di beberapa tempat. Asap
mengepul dari
retakan tanah. Alam pun
terguncang bagai
diserang gempa secara
mendadak. Warna hitam
hangus tampak nyata pada tanah
yang terkena
hantaman kepala sabuk
tersebut.
Jubah Kapur segera sentakkan
tangannya ke
tanah dan tubuhnya melayang di
udara lalu
bersalto satu kali. Wuuut...!
Jleeg...! Kakinya
menapak kekar di tanah.
"Manusia sesat!"
geram Jubah Kapur. "Kini
saatnya ajalmu tiba!"
Jubah Kapur gerakkan tangannya
ke sana-
sini, sementara itu Siluman
Tujuh Nyawa
memutar-mutar Sabuk Gempur
Jagat di atas
kepala. Putaran itu
memancarkan sinar hijau yang
melebar dan menjadi dinding
perisai di
sekelilingnya. Jubah Kapur
lepaskan jurus
mautnya; sepuluh larik sinar
biru keluar dari tiap
ujung jarinya. Zrrrraab...!
Blegaaar...!
Sepuluh larik sinar biru tak
mampu
menembus cahaya hijau. Justru
menghadirkan
ledakan dahsyat yang membuat
tubuh gemuk
Jubah Kapur terpental kuat dan
menghantam
pohon di kejauhan sana.
Duuurrr...! Krrraaak,
brrrruuuk...!
Pohon itu tumbang akibat
benturan tubuh
Jubah Kapur. Darah kental
keluar dari mulut,
hidung, dan telinga si Jubah
Kapur, ia terluka
parah pada bagian dalam akibat
gelombang
ledakan yang begitu kuat itu.
Napasnya mulai
tersengal-sengal dan tak mampu
bangkit lagi.
Melihat keadaan Jubah Kapur
separah itu,
Suto Sinting segera melesat
dari tempat
persembunyiannya. Zlaaap...!
Tahu-tahu sudah
berada di depan Siluman Tujuh
Nyawa. Jleeg...!
Anehnya tokoh sesat itu tidak
merasa terkejut
sedikit pun. Wajahnya
datar-datar saja, bahkan
senyum sinis pun tak
mengembang di bibirnya
yang biru itu.
"Akulah lawanmu!"
"Kau datang mengantar
nyawa, Bocah
Ingusan! Barangkali memang
sudah saatnya kau
menemui ajalmu di sini!"
ujar Siluman Tujuh
Nyawa sambil masih memutar
sabuk pusaka dan
tubuhnya dilapisi sinar hijau
bening.
"Kaulah yang akan binasa,
Durmala Sanca!"
"Lakukan jika kau mampu
menyerangku!"
Ingat peristiwa Dyah
Sariningrum pernah
dilukai oleh Siluman Tujuh
Nyawa menggunakan
pukulan 'Candra Badar', (Baca
serial Pendekar
Mabuk dalam episode :
"Pusaka Tombak Maut"),
Suto Sinting tak mau
buang-buang waktu lagi. Ia
segera lepaskan pukulan 'Pecah
Raga' dari telapak
tangannya. Sinar hijau keruh
menghantam
lapisan sinar hijau bening.
Claaap...! Blegaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi lagi,
bukan saja
mengguncang bumi namun membuat
langit
menjadi mendung seakan ingin
runtuh. Suto
Sinting terlempar dalam satu
sentakan gelombang
ledak yang maha dahsyat.
Tubuhnya berguling-
guling dan hidung serta
telinganya melelehkan
darah kental.
Ia segera bangkit bersama
murkanya.
Napasnya menghadirkan angin
kencang yang
menyingkapkan rerumputan dan
menebarkan
tanah di bagian depannya.
"Hiaaat...!"
Pendekar Mabuk melompat ke
udara dan bersalto dua kali
tanpa hiraukan darah
dari hidung dan telinganya.
Saat di udara ia
sentakkan tangannya, lalu
sinar perak keluar dari
telapak tangannya. Itulah yang
dinamakan 'Jurus
Yudha' pemberian Ratu Kartika
Wangi yang
berupa puluhan bintang segi lima kecil-kecil
berwarna perak menyala. Sinar
perak itu
menghantam lapisan sinar hijau
yang mengelilingi
tubuh Siluman Tujuh Nyawa.
Jegaaarrr...!
Sinar itu hancur menyebar lalu
padam
seketika. Sentakan gelombang
ledaknya membuat
tubuh Siluman Tujuh Nyawa
terjungkal ke
belakang berguling-guling.
Sabuk Gempur Jagat
lepas dan terpental.
Zlaaaap...!
Suto Sinting menyambar sabuk
itu dan
dalam sekejap sudah berada di
tangannya. Tapi
Siluman Tujuh Nyawa tak
mengalami luka parah
kecuali hangus di bagian
telapak tangan kirinya.
Kalau tak ada sinar hijau
bening, tentunya
tubuhnya akan terpotong-potong
menjadi
beberapa bagian.
Melihat sabuk pusaka itu sudah
ada di
tangan Suto, dengan gerakan
cepat tanpa kalimat,
Siluman Tujuh Nyawa melesat
pergi masuk ke
alam gaib. Zluuub...! Suto
Sinting yang ingin
lepaskan jurus 'Manggala' terpaksa urung, ia
mengejar masuk ke alam gaib
dengan meraba
noda merah di keningnya.
Zluuub...!
Kejap berikut ia kembali lagi
dengan napas
terengah-engah. Pengejarannya
melalui alam gaib
ditunda karena ia ingat
keadaan Jubah Kapur
yang butuh pertolongan dengan
segera.
Sabuk Gempur Jagat kini telah
berhasil
diselamatkan dari tangan orang
sesat. Jubah
Kapur akhirnya tertolong juga
oleh tuak saktinya
Pendekar Mabuk. Tokoh tua yang
menjadi
gurunya Inupaksi itu, (Baca
serial Pendekar
Mabuk dalam episode :
"Bayi Pembawa Petaka"),
akhirnya berkata kepada Suto
Sinting,
"Terima kasih, kau telah
menyelamatkan
nyawaku. Hanya saja, sayang
sekali iblis sesat itu
tak sempat kau cabut
nyawanya!"
"Itu bagianku nanti, Ki
Jubah Kapur. Tapi...
mengapa kau sampai terlibat
perkara dengan
Siluman Tujuh Nyawa?"
"Dulu aku pernah
menggagalkan rencana
busuknya, menculik putri
seorang raja. Ia masih
mendendam padaku. Kebetulan
aku ingin
bertandang ke pondoknya si
Galak Gantung. Aku
memergoki dia sedang bertarung
dengan Tulang
Naga. Setelah ia berhasil
membunuh Tulang Naga
dan mengambil sabuk pusaka
itu, ia ganti
menyerangku dan aku tak bisa
lari kecuali
menghadapinya secara
untung-untungan!"
"Ternyata kau benar-benar
untung," sela
Resi Pakar Pantun. "Kalau
tak untung, kepalamu
saat ini sudah buntung!"
Mereka tertawa kecil. Kemudian
Suto Sinting
serahkan Sabuk Gempur Jagat
kepada Resi Pakar
Pantun.
"Tolong kembalikan kepada
Begawan
Rampak Da!u," katanya
dengan bijaksana sekali.
Kinanti sempat menggumam,
"Aku heran,
Siluman Tujuh Nyawa itu
ilmunya sudah cukup
tinggi, mengapa masih
menghendaki sabuk
pusaka itu?"
"Setiap pusaka yang dapat
membahayakan
jiwanya selalu ingin dikuasai,
supaya tak ada
orang yang dapat kalahkan dirinya,"
jawab Jubah
Kapur. Kinanti pun
manggut-manggut.
Setelah sabuk diterima sang
Resi, Suto pun
bergegas pergi dan Kinanti
mengejarnya.
"Suto, mau ke mana
kau?!"
"Mengejar lawanku tadi ke
alam gaib!"
jawabnya sambil melambaikan
tangan dan Kinanti
hanya memandang dengan hati
sedih.
SELESAI