Bab 8 Pek Ho Bu Koan (Perguruan Bangau Pulih)
sang waktu berlalu dengan
cepat sekali- Tak terasa kini Thio Han Liong sudah berumur sebelas tahun,
sedangkan Tan Giok Cu berumur sepuluh tahun. Bertambah satu tahun Thio Han
Liong bekerja di rumah Tan Ek seng. Dalam setahun ini Tan Giok Cu terus
berlatih Thay Kek Kun dan beberapa jurus ilmu pedang yang diajarkan Thio Han
Liong, sedangkan Thio Han Liong sendiri tak pernah berhenti melatih. Tentu saja
semakin meningkat Iwee-kang gadis cilik itu. Hubungan ke dua anak kecil
berlainan jenis itu bertambah akrab. Thio Han Liong tetap memanggil Tan Giok Cu
"Adik Manis" gadis kecil itu pun tetap memanggilnya " Kakak
Tampan", selama setahun ini Thio Han Liong sama sekali tidak pernah
menceritakan tentang identitas dirinya. Tan Ek seng dan Lim soat Hong pun tidak
pernah bertanya tentang itu padanya.
Pagi ini, Thio Han Liong duduk
termenung di bawah pohon di pekarangan. Kelihatannya ia sedang memikirkan
sesuatu.
Kakak tampan" Tan Giok Cu
mendekatinya sambil tersenyum-senyum.
"Kok duduk melamun di
situ, ada apa?"
"Adik manis,
aku...." Thio Han Liong menundukkan kepala.
"Kenapa?" Tan Giok
Cu duduk di sisinya.
"Beritahukaniah padaku
agar aku bisa bantu memikul beban pikiranmu. "
Rupanya Tan Giok Cu memang
anak yang cerdas. Dia cukup tanggap melihat keadaan kawan barunya yang baik
budi itu-
"sudah empat tahun aku
tinggal di sini, aku pikir kini-—" Thio Han Liong tidak melanjutkan,
seperti bimbang untuk mengatakannya.
Kakak tampan." Tan Giok
Cu menatapnya dengan wajah murung.
"Aku tahu engkau mau
bilang apa."
"Adik manis...."
"Mau berpamit kan? Karena
engkau sudah tidak betah tinggal di sini, engkau ingin meninggalkan aku-"
Mata gadis kecil itu mulai
basah-
"Kakak tampan...."
"Adik manis." Thio
Han Liong tersenyum.
"Aku— aku harus berangkat
ke gunung Bu Tong, sungguh."
Kakak tampan...." Tan
Giok Cu mulai menangis terisak-isak-
"Jangan tinggalkan
aku"
"Jangan menangis, kita
akan berjumpa lagi kelak" ujar Thio Han Liong.
"Aku tidak bisa tinggal
terus di sini."
"Kakak tampan
jahat...." Tan Giok Cu terus menangis
dengan air mata
berderai-derai.
"Adik manis...."
Thio Han Liong terus menghiburnya.
Di saat bersamaan, muncullah
Tan Ek seng dan Lim soat Hong. Ketika melihat gadis kecil itu menangis begitu sedih,
mereka berdua terheran-heran.
"Nak" Lim soat Hong
membelainya.
"Kenapa engkau
menangis?"
"Kakak tampan jahat Kakak
tampan jahat..." sahut Tan Giok Cu.
"Kenapa dia?" tanya
Lim soat Hong lembut.
"Dia— dia ingin
meninggalkan Giok Cu-" Gadis kecil itu memberitahukan sambil terisak-isak-
"Giok Cu jadi sedih
sekali-"
"Eh?"
Lim soat Hong dan suaminya
saling memandang, kemudian Tan Ek seng bertanya pada Thio Han Liong.
"Thio Liong, kenapa
engkau ingin meninggalkan Giok Cu?" "Paman, sudah empat tahun aku
tinggal di sini. Kini...
sudah waktunya aku
pergi." jawab Thio Han Liong sungguh-sungguh.
"TUh Kakak tampan ingin
meninggalkan Giok Cu kan?" gadis kecil itu menangis lagi.
"Engkau mau ke
mana?" tanya Tan Ek seng, heran.
"Ke... gunung Bu
Tong" jawab Thio Han Liong.
"Thio Liong...." Tan
Ek seng menggeleng-gelengkan
kepala.
"Engkau masih kecil.
Tidak baik melakukan perjalanan begitu jauh."
"Paman" ujar Thio
Han Liong. " Kini usiaku sudah sebelas tahun, boleh dikatakan tidak kecil
lagi"
"Mau apa engkau ke gunung
Bu Tong itu?" tanya Tan Giok Cu tiba-tiba.
"Aku, aku harus menemui
beberapa orang di sana, ini penting sekali," sahut Thio Han Liong.
"Maka aku harus ke sana.
Adik manis"
"Kakak tampan...."
Air mata Tan Giok Cu mulai berderai
lagi.
"Engkau begitu tega
meninggalkan aku?" Ucapan itu membuat Tan Ek Seng dan isterinya
terperangah, sebab seharusnya diucapkan gadis dewasa.
"Adik manis, aku bukan
tega. sebab, aku memang harus pergi ke gunung Bu Tong, aku pasti kembali."
Thio Han Liong coba menjelaskan kepada Tan Giok Cu.
"Kapan engkau
kembali?" tanya Tan Giok Cu,sambil menatapnya dengan air mata bercucuran.
Kalau urusanku disana sudah
beres, aku pasti ke mari menengokmu," jawab Thio Han Liong sambil memegang
tangannya.
sikap mereka yang bagaikan
sepasang kekasih membuat Tan Ek seng dan isterinya terheran, namun mereka
berdua bergembira dalam hati, karena justru inilah kasih sayang mereka yang
polos.
"Kapan engkau akan
berangkat ke gunung Bu Tong?" Tiba-tiba Lim soat Hong bertanya.
"Sekarang." jawab
Thio Han Liong sepertinya sudah mengambil keputusan.
"Kok begitu cepat?"
Tertegun Lim soat Hong.
"Kakak tampan..."
Tan Giok Cu langsung menangis lagi.
"Jangan begitu cepat
pergi Besok saja."
"Adik manis...."
"Kakak tampan, besok saja
berangkat." Tan Giok Cu menatapnya dengan penuh harap.
Ketika melihat tatapan itu,
hati Thio Han Liong merasa tidak tega, maka ia manggut- manggut.
"Baiklah."
Malam harinya, Thio Han Liong
sudah mulai berkemas ditemani Tan Giok Cu. gadis kecil itu terus memandangnya,
tetap tak rela kalau Thio Han Liong pergi.
"Kakak tampan, tak
disangka kita akan berpisah," ujar Tan Giok Cu terisak-isak sedih.
"Berpisah sedih berkumpul
gembira." "Adik manis," Thio Han Liong tersenyum.
"Perpisahan kita cuma
sementara, sebab aku pasti kemari berkumpul denganmu lagi."
"Dan..." tambah
gadis itu.
"Kita tidak akan berpisah
lagi selama-lamanya- Begitu, kan?"
"Ng" Thio Han Liong
mengangguk-
Tan tiiok Cu mendadak bertanya
dengan suara rendah-
"Engkau suka aku?"
"Tentu," jawab Thio
Han Liong cepat-
"Aku memang suka padamu-
Tapi, bagaimana engkau, suka padaku?"
"Hm— makanya aku tak rela
berpisah dengan dirimu-" ujar Tan Giok Cu sambil menatapnya.
"Kakak tampan."
"ya." Thio Han Liong
memandangnya.
"Engkau mau bilang apa?"
"Engkau... engkau tidak
akan suka gadis lain lagi, kan?" gadis itu tertunduk malu. saat itu
wajahnya memerah.
Thio Han Liong tersenyum.
"Apakah aku tidak boleh
suka gadis lain?"
"Kalau engkau suka gadis
lain, aku... aku bagaimana?" Tan Giok Cu mulai menangis.
"Adik manis" Thio
Han Liong memegang tangannya seraya berkata seakan berjanji.
"Jangan khawatir, aku
tidak akan suka gadis lain lagi."
"Terima kasih. Kakak
tampan"
Terdengar langkah Tan Ek Seng
dan isterinya ke kamar Thio Han Liong. Mereka berdua tersenyum-senyum. kemudian
Tan Ek seng menyerahkan sebuah bungkusan kecil kepada Thio Han Liong.
"Bungkusan ini berisi
uang perak untuk bekalmu dalam perjalanan menuju ke gunung Bu Tong"
"Terima kasih, Paman.
Tapi... kok begitu banyak?" Thio Han Liong tampak ragu menerimanya.
"Terimalah" desak
Tan Ek seng.
"Thio Liong," Lim
soat Hong tersenyum.
"Terimalah saja, sebab
kau akan membutuhkannya dalam perjalanan"
"Terima kasih" ucap
Thio Han Liong sambil menerima bungkusan kecil itu, lalu dimasukkan kebuntalan
pakaiannya.
"Thio Liong...." Lim
soat Hong menatapnya lembut seraya
berkata.
"Besok pagi engkau akan
berangkat, maka... bolehkah engkau memberitahukan mengenai siapa dirimu?"
"Bibi...." Thio Han
Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak bisa
memberitahukan, sebab aku punya kesulitan."
"Thio Liong nama
aslimu?" tanya Tan Ek Seng mendadak-"sebetulnya aku bernama Thio Han
Liong" Anak kecil itu berterus terang dan melanjutkan.
"Paman dan Bibi sangat
baik padaku, seharusnya aku memberitahukan mengenai identitas diriku,
tapi...."
"Kalau engkau punya
kesulitan, tidak usah memberitahukan pada kami," ujar Lim soat Hong.
"Kelak aku pasti
memberitahukan," ujar Thio Han Liong berjanji.
"Baik" Lim soat Hong
manggut-manggut.
Keesokan harinya, berangkatlah
Thio Han Liong ke gunung Bu Tong. Tan Giok Cu mengantar kepergiannya dengan
linangan air mata. setelah Thio Han Liong lenyap dari pandangannya, gadis kecil
itu memeluk erat ibunya sambil menangis.
"Ibu. Kakak tampan
pergi." Lim soat Hong membelainya.
"Dia pasti datang lagi
kelaki engkau tidak boleh menangis."
"Ibu, dia... dia akan
kembali?"
"Dia pasti kembali.
Bukankah dia sudah berjanji padamu?"
"ya, tapi... apakah dia
akan ingkar janji?"
"Tentu tidak-" Lim
soat Hong membelainya lagi.
"Maka engkau harus sabar
menunggunya"
"ya, Ibu" Tan Giok
Cu mengangguk.
Thio Han Liong memang baik
hati- selama dalam perjalanan ia sering menolong orang miskin dengan uang
pemberian Tan Ek seng. Karena itu, sebelum tiba di gunung Bu Tong, uang
tersebut telah habis semua.
Hari ini ia tiba di sebuah
kota kecil. Karena lapar ia terus berdiri di depan sebuah rumah makan.
"Hei" bentak salah
seorang pelayan, "jangan berdiri di situ, cepat pergi"
"Paman, aku... aku
lapar," ujarnya pelan. "Ayoh, cepat pergi" Pelayan itu
mengusirnya. "Kalau tidak, akan kutendang kau"
Di saat itulah seorang lelaki
berusia lima puluhan menuju ke rumah makan itu. la memandang pelayan rumah
makan dan Thio Han Liong.
"Anak kecil," lelaki
itu sambil tersenyum.
"Kenapa engkau berdiri di
sini?"
"Paman, aku lapar
sekali," jawab Thio Han Liong memberitahukan.
"sudah dua hari aku tidak
makan."
"omong kosong"
bentak pelayan rumah makan.
"Bagaimana mungkin engkau
kuat tidak makan dua hari?"
"Aku mengisi perut dengan
buah-buahan di hutan" ujar Thio Han Liong. Lelaki itu menatapnya seraya
bertanya,
" Engkau tidak punya
uang?"
"Sebetulnya aku punya
uang, tapi dalam perjalanan telah kuberikan pada orang miskin, bahkan pakaianku
pun telah kuberikan pada anak-anak seusiaku," jawab Thio Han Liong jujur.
"Ha ha" Pelayan
rumah makan tertawa.
"Kecil-kecil sudah pandai
berbohong Dasar...."
"Aku tidak bohong, aku
berkata sesungguhnya," ujar Thio Han Liong.
"Buat apa aku
bohong?"
"Dasar...."
"Diam" bentak lelaki
itu, kelihatannya ia tidak senang akan sikap pelayan rumah makan, kemudian
berkata lembut pada Thio Han Liong.
"Anak kecil, mari ke
dalam, makan bersamaku"
"Terima kasih,
Paman" ucap Thio Han Liong.
"Guru silat Lie...."
Tercengang pelayan rumah makan begitu
mengetahui orang itu.
Apa tidak boleh aku mengajak
anak kecil ini makan bersama?"
Lelaki itu menatap tajam
pelayan rumah makan. Ditatap tajam begitu, ciutlah nyali pelayan rumah makan
itu, maka buru-buru mempersilakan mereka masuk-
"Silakan masuk silakan
masuk—-"
"Anak kecil-" Lelaki
itu tersenyum.
"Mari kita masuk"
"ya, Paman" Thio Han
Liong mengikuti lelaki itu ke dalam rumah makan.
setelah duduk, lelaki itu
memesan beberapa macam hidangan dan minuman, lalu memandang Thio Han Liong.
"Namamu?"
"Thio Liong."
"Engkau dari mana?"
"Aku dari sebuah
pulau."
"siapa ayahmu?"
"Ayahku bernama— Thio Ah
Ki."
Thio Han Liong terpaksa
berdusta demi merahasiakan identitas dirinya.
"Engkau merantau?"
"ya."
"Tadi engkau bilang punya
uang dan pakaian, tapi telah diberikan pada orang miskin, betulkah itu?"
"Betul, Paman"
"Anak kecil." ujar
lelaki itu sungguh-sungguh.
"Tidak baik berbohong,
engkau mau jadi apa kelak? kini engkau masih kecil sudah bohong."
"Paman, aku tidak
bohong"
"Tidak bohong?"
Lelaki itu menatapnya dalam-dalam.
Kalau begitu, dari mana kau
memperoleh uang dan pakaian itu?"
Empat tahun aku bekerja di
rumah Paman Tan di desa Hok An. Waktu itu aku berhenti kerja, Paman Tan
memberikan aku uang perak dan pakaian." Thio Han Liong memberitahukan.
"Nama Paman Tan
itu?"
"Tan Ek seng kepaia desa
Hok An. Paman Tan itu sangat sayang padaku, tapi aku terpaksa meninggalkan
rumahnya."
"Kenapa?"
"sebab aku harus ke
gunung Bu Tong."
"Apa?" Lelaki itu
tercengang.
"Mau apa engkau ke gunung
Bu Tong?"
"Mau menemui beberapa
orang di sana."
Lelaki itu manggut-manggut.
"Ternyata engkau ingin
jadi murid Bu Tong Pay. ya kan?"
Thio Han Liong mengangguk.-
"Anak kecil" Lelaki
itu tersenyum-
"Dari sini ke gunung Bu
Tong masih jauh sekali, bagaimana engkau bekerja di rumahku?"
Thio Han Liong tampak ragu.
Lelaki itu tersenyum, lalu memperkenalkan diri-
"Namaku Lie Ceng Peng
guru silat di kota Keng tu ini- Kalau engkau bekerja di rumahku, aku akan
mengajar engkau ilmu silat-"
"Baiklah- Terima kasih,
Paman" ucap Thio Han Liong. Dia menerima tawaran kerja Lie Ceng Peng,
karena ingin cari uang untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke gunung Bu
Tong.
seusai makan, Lie Ceng Peng
mengajak Thio Han Liong ke rumahnya. Di atas pintu rumah yang besar itu
bergantung sebuah papan bertulisan: Pek Ho Bu Koan (Perguruan Bangau Putih).
"Inilah rumahku."
Lie Ceng Peng memberitahukan sambil melangkah ke dalam halaman, Thio Han Liong
mengikutinya dari belakang, sungguh luas halamannya. Tampak puluhan anak
tanggung sedang mengangkat besi dan lain sebagainya.
"Ayah" seorang gadis
berlari-lari menghampiri Lie Ceng Peng. Gadis itu berusia dua puluhan dan
berparas cukup cantik, la adalah putri Lie Ceng Peng, bernama Lie Goat Hiang.
"Hiangjie (Anak
Hiang)" Lie Ceng Peng tersenyum-senyum. "Ayah—" Gadis itu
tertegun ketika melihat Thio Han Liong,
"siapa anak kecil
itu?"
"Namanya Thio Liong, dia
akan bekerja di sini."
"oh?" Lie Goat Hiang
memandang Thio Han Liong.
"Adik Liong, berapa
usiamu sekarang?"
"Sebelas tahun,
kakak-" jawab Thio Han Liong.
"Masih kecil kok sudah
mau kerja?" Lie Goat Hiang menggeleng-gelengkan kepala-
"Di mana kedua
orang-tuamu?"
"Ke dua orangtuaku
tinggal dipulau, aku merantau—."
"Kecil-kecil sudah
merantau." Lie Goat Hiang menggeleng-gelengkan kepala lagi.
"Kasihan"
Thio Han Liong diam saja. Lie
Ceng Peng memandangnya seraya berkata.
"Mulai besok tugasmu
menyapu halaman ini, juga harus membersihkan rumah-"
"ya, Paman" Thio Han
Liong mengangguk,-
saat itu muncul seorang lelaki
berusia empat puluhan menghampiri mereka sambil tersenyum-senyum, cukup tampan
lelaki itu.
"suheng" Lelaki itu
memberi hormat pada Lie Cong Peng, ternyata mereka berdua adalah saudara
seperguruan. Lelaki itu bernama siang Thiam Chun adik seperguruan Lie Cong
Peng. Dia pula yang mewakili suhengnya mengajar ilmu silat pada anak-anak
tanggung itu.
"sutee, anak kecil ini
bernama Thio Liong, dia bekerja di sini,"
Lie Cong Peng memberitahukan.
"oooh" siang Thiam
Chun manggut-manggut, kemudian berkata pada Thio Han Liong,
"Engkau bekerja di sini
harus rajin, tidak boleh malas" "ya, Paman" Thio Han Liong
mengangguk, "Hiangji" ujar Lie Cong Peng.
Antar dia kc kamar"
"ya. Ayah"
Lie Goat Hiang mengajak Thio
Han Liong ke dalam rumah-"Akan kutunjukkan kamarmu-"
"Terima kasih.
Kakak-" sahut Thio Han Liong mengikutinya ke dalam rumah.
"Adik Liong," ujar
Lie goat Hiang sambil menunjuk sebuah kamar,
"itu adalah
kamarmu."
"ya" Thio Han Liong
mengangguk,-
Lie Goat Hiang membuka pintu
kamar itu, lalu melangkah ke dalam seraya berkata dan tersenyum-
"Engkau boleh
beristirahat dulu."
"ya, Kakak."
"Engkau masih kecil, kok
sudah merantau?"
Thio Han Liong menundukkan
kepala, dia tidak tahu harus menjawab apa.
"Baiklah, aku mau pergi
menemui ayahku, engkau boleh beristirahat sekarang." Lie Goat Hiang
meninggalkan kamar itu.
Thio Han Liong duduk termenung
di pinggir tempat tidur, ternyata ia mulai rindu kepada orangtuanya.
sesungguhnya ia ingin sekali pulang ke pulau Hong Hoang to, namun ia tidak tahu
harus ke mana menyewa kapal. Lagipula ia tidak punya uang.
Tujuannya ke gunung Bu Tong,
tidak lain ingin minta tolong pada orang disana mengantarnya pulang ke pulau
Hong Hoang to- la masih ingat akan kematian ciu CiJiak, juga ingat ke dua
orangtuanya terbakar oleh Liak Hwee Tan. &ntah bagaimana keadaan ke dua
orang tuanya sekarang. Thio Han Liong semakin merasa rindu kepada orangtuanya.
"Thio Han Liong"
suara Lie Ceng Peng, ia berdiri di depan kamar itu sambil memandang Thio Han
Liong.
"Kenapa engkau
melamun?"
"Tidak." Thio Han
Liong sebera bangkit berdiri. "Bagaimana sekarang aku mulai membersihkan
rumah?"
"Besok saja," sahut
Lie Ceng Peng sambil tersenyum. "Mari, kita makan sekarang, mungkin engkau
sudah lapar-"
-ooo00000ooo-
Thio Han Liong bekerja di
rumah Lie Ceng Peng dengan rajin sekali. Pagi-pagi ia sudah membersihkan rumah
dan menyapu halaman tempat latihan para murid Lie Cong Peng, begitu pula sore
hari. Karena itu, Lie Cong Peng dan Lie Goat Hiang sangat menyayanginya. Namun,
siang Thiam Chun adik seperguruan Lie Cong Peng malah memandang rendah, bahkan
sering memperbudak dirinya.
"Thio Liong" panggil
siang Thiam Chun yang duduk di halaman sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
"ya. Paman," sahut
Thio Han Liong dan segera menghampirinya.
"Engkau tidak boleh
panggil aku paman, harus panggil aku tuan besar" ujar siang Thiam Chun.
"ya. Tuan Besar."
"sekarang cepat ambilkan
aku teh hangat"
"ya. Tuan Besar"
Thio Han Liong seoera berlari ke dalam rumah- Tak lama ia sudah kembali ke situ
dengan membawa secangkir teh hangat-
"Nih, Tuan Besar-"
"Ngmm" siang Thiam
Chun manggut-manggut sambil menerima minuman itu, lalu menghirupnya- setelah
itu diserahkannya lagi cangkir itu pada Thio Han Liong.
"Mau tambah lagi
tehnya?" tanya Thio Han Liong sambil menerima cangkir kosong itu.
"Tidak usah- Cepat taruh
kc dalam dan engkau harus cepat ke mari lagi" sahut siang Thiam Chun.
"Iya. Tuan Besar"
Thlo Han Liong mengangguk, ia berlari-lari ke dalam, kemudian kembali ke tempat
itu lagi.
"Thio Liong" siang
Thiam Chun menatapnya.
Ambil kipas itu" Thio Han
Liong segera mengambil kipas di atas meja, diberikan pada siang Thiam Chun.
"Goblok engkau"
bentak siang Thiam Chun.
" cepat kipasi aku"
"Ya, Tuan Besar"
Thio Han Liong langsung mengipasinya.
siang Thiam Chun
tersenyum-senyum, tidak tahu kemunculan Lie Goat Hiang. Ketika melihat Thio Han
Liong mengipasi siang Thiam Chun, keningnya langsung berkerut.
"Adik Liong Kenapa engkau
mengipasi Paman siang?"
tanyanya. "
"Tuan Besar yang
suruh-" sahut Thio Han Liong.
"Tuan Besar? siapa Tuan
Besar itu?" tanya Lie Goat Hiang heran.
Thio Han Liong menunjuk siang
Thiam Chun. "Dia yang suruh aku memanggilnya Tuan Besar"
"Gila" Lie Goat Hiang menggeleng-gelengkan kepala.
"Paman siang, kenapa dia
harus memanggilmu Tuan Besar?"
"Goat Hiang" siang
Thiam Chun tersenyum dibuat-buat, bahkan tampak seperti menggoda.
"Dia harus berlatih
melemaskan tangannya, maka aku suruh dia mengipasi diriku."
"Yang kutanyakan kenapa
engkau suruh dia panggil Tuan Besar padamu?Jawablah" desak Lie Goat Hiang.
Dengan tergagap siang Thiam
Chun menjawab, "Tidak apa-apa bukan?"
"Hm" dengus Lie Goat
Hiang, kemudian berkata pada Thio Han Liong.
"Adik kecil, engkau tidak
usah panggil dia tuan muda maupun mengipasinya
"Tapi-..." Thio Han
Liong tampak takut-takut sambil melirik siang Thiam Chun.
"Jangan takut" ujar
Lie goat Hiang.
"Kalau Paman Siang berani
macam-macam, beritahukan padaku"
"ya. Kakak" Thio Han
Liong mengangguk,-
Lie Goat Hiang melangkah
pergi, siang Thiam Chun memandang punggung gadis itu dengan aneh sekali, semua
itu tidak terlepas dari mata Thio Han Liong, walau ia masih kecil, namun tahu
kalau tatapan itu mengandung niat tidak baik,
"Thio Liong" bentak
siang Thiam Chun mendadak-
"ya" sahut Thio Han
Liong cepat.
"Apakah aku harus
mengambil teh hangat lagi?"
"sini" siang Thiam
Chun menatapnya bengis.
Thio Han Liong segera
mendekatinya, siang Thiam Chun menjulurkan tangannya menjewer telinga Thio Han
Liong.
"Aduuuh" jerit anak
kecil itu kesakitan.
"Engkau berani mengadu
pada goat Hiang, sekarang akan kujewer telinga mu sampai putus"
"Aku tidak mengadu, tapi
Kakak Hiang bertanya padaku... aduuuh" jerit Thio Han Liong, sehingga
membuatnya nyaris melawan, namun anak kecil itu masih dapat bersabar tidak
mengeluarkan kepandaiannya.
Namun saat itulah muncul Lie Cong Peng. siang Thiam Chun cepat-cepat menurunkan
tangannya, bahkan juga berpesan dengan suara rendah-
"Kalau berani mengadu,
akan kubunuh engkau"
Thio Han Liong mengangguk
dengan wajah meringis-ringis, ia masih merasa telinganya sakit sekali-
"Eh?" Lie Ceng Peng
menatapnya heran.
"Kenapa engkau
meringis?"
"Aku— aku sakit
perut." Thio Han Liong menarik nafas dalam-dalam.
"oh? Kalau begitu,
cepatlah engkau pergi makan obat sakit perut" ujar Lie Ceng Peng.
"Sekarang sudah tidak
sakit lagi, Paman"
"Thio Liong..." ujar
siang Thiam Chun dengan lembut sekali.
"Mungkin engkau masuk
angin, lebih baik engkau ke dalam saja."
"Ya, Paman siang."
Thio Han Liong segera masuk
rumah- Namun dia berpapasan dengan Lie Goat Hiang di depan pintu.
"Adik kecil, engkau mau
ke mana?" tanya gadis itu heran.
"Mau ke kamar.
Kakak" sahut Thio Han Liong sambil terus berjalan ke kamarnya.
"Adik kecil—."
Lie Goat Hiang mengikutinya
dari belakang,
"Kenapa wajahmu
meringis?"
"Telingaku masih
sakit," jawab Thio Han Liong sambil duduk di pinggir tempat tidur. Lie
Goat Hiang mendekatinya seraya bertanya.
"Kenapa telingamu
sakit?"
Thio Han Liong
menggeleng-gelengkan kepala.
"Dijewer oleh Paman
siang," jawabnya kemudian.
"Dia memang keterlaluan,
aku harus beritahukanpada ayah-"
"Jangan" Thio Han
Liong mencegahnya-
"Kalau Kakak mengadu pada
Paman, dia pasti bertambah dendam padaku-" Mendadak Lie Goat Hiang
menghela nafas panjang.
"Kenapa Kakak menghela
nafas?" tanya Thio Han Liong heran.
"Ada suatu masalah
terganjal dalam hati Kakak?"
"Tidak-.-"
Lie Goat Hiang menggelengkan
kepala, lalu meninggalkan kamar itu dengan kepala tertunduk-
"Heran?" gumam Thio
Han Liong sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ada apa sih? Kenapa
Kakak Hiang menghela nafas panjang? sungguh mengherankan."
Pagi ini Lie Cong Peng ke kota
lain karena ada urusan, maka di rumah hanya tinggal Lie Goat Hiang, siang Thiam
Chun dan beberapa pelayan, seperti biasa, siang Thiam Chun mengajar para murid
ilmu silat, saat itu yang diajarkannya adalah Pek Ho Kun (ilmu silat Bangau
Putih)-
seusai mengajar, siang Thiam
Chun lalu duduk beristirahat.
Thio Han Liong sebera
menyuguhkan teh hangat.
"Ngmm" siang Thiam
Chun manggut-manggut.
"Mau tambah lagi
tehnya?" tanya Thio Han Liong.
"Tidak usah" siang
Thiam Chun menggeleng-gelengkan kepala, kemudian memandangnya.
"Aku tidak sangka, goat
Hiang begitu sayang padamu."
Thio Han Liong diam, sebab ia
tidak tahu tujuan ucapan siang Thiam Chun itu.
"suhengku sudah ke kota
lain, akan pulang beberapa hari kemudian," lanjut siang Thiam Chun,
"maka mulai hari ini,
engkau tidak usah kerja begitu keras."
"Maaf, Paman" sahut
Thio Han Liong.
"Aku justru harus kerja
lebih keras, itu adalah tugasku."
"Thio Liong" Siang
Thiam Chun tersenyum, sikapnya yang tidak seperti biasa, sungguh mengherankan
Thio Han Liong.
"Paman, biar bagaimanapun
aku harus kerja keras seperti biasa. Aku tidak mau malas mEkipun Paman Lie
tidak berada di rumah--.."
Lie Goat Hiang berjalan
perlahan menuju ke halaman. Begitu melihat gadis itu, wajah siang Thiam Chun
langsung ceria.
"Adik kecil" panggil
Lie Goat Hiang.
"Kakak" sahut Thio
Han Liong. Ketika ia hendak menghampiri gadis itu, mendadak siang Thiam Chun
mencegahnya.
"Biar aku yang
menghampirinya" siang Thiam Chun segera menghampiri gadis itu.
sedangkan Thio Han Liong
termangu-mangu di tempat, la tidak habis pikir tentang itu. Karena merasa
curiga, maka ia mengerahkan Iweekangnya untuk mencuri dengar pembicaraan
mereka.
"Goat Hiang...."
Panggil siang Thiam Chun lembut.
"Kini kita punya kesempatan."
"Jangan bicara
sembarangan" tegur Lie Goat Hiang dengan suara rendah.
"Goat Hiang, tidak
leluasa kita bicara di sini. Malam ini kita bertemu di sini saja," bisik
siang Thiam Chun, lalu kembali ke tempat duduknya dengan wajah berseri.
"Aku sudah bilang pada
Goat Hiang, engkau boleh beristirahat satu dua hari," ujarnya kemudian
kepada Thio Han Liong.
"Terima kasih.
Paman" sahut Thio Han Liong, apa yang mereka tadi bicarakan sudah masuk ke
telinganya.
"Adik kecil,"
panggil Lie Goat Hiang.
"ya. Kakak-" Thio
Han Liong segera mendekatinya dengan sikap wajar, bahkan tampak
tersenyum-senyum-
"Engkau sudah makan
belum?" tanya Lie Goat Hiang penuh perhatian.
"sudah. Kakak" Thio
Han Liong mengangguk.-
"Adik kecil, mari kita
membersihkan rumah" ujar Lie Goat Hiang menggandeng bocah itu.
"Engkau harus bantu
membersihkan kamarku." "Baik, Kakak-" Thio Han Liong
tersenyum-"Tapi apakah baik aku ke kamar Kakak?" "Eeeh?"
Lie Goat Hiang tertawa geli-
"Engkau masih kecil,
tentunya boleh ke kamarku. Bukankah aku sering ke kamarmu?"
"Kakak." ujar Thio
Han Liong sambil tertawa, " untung aku masih kecil, kalau aku sebesar
Kakak, tentunya akan merepotkan Kakak,"
"Memangnya kenapa?"
" Kakak pasti terus
memikirkan aku-"
"Idih" Wajah Lie
Goat Hiang kemerah-merahan.
" Kecil-kecil sudah
genit, apalagi setelah besar nanti?"
"Kecil genit tidak
apa-apa, kalau besar genit justru celaka." sahut Thio Han Liong dan
menambahkan.
Kecil genit tapi bersih, besar
genit mengandung hawa nafsu."
Lie Goat Hiang menggeleng-gelengkan
kepala. "Mari kita membersihkan rumah-" -ooo00000ooo-
Thio Han Liong sudah
bersembunyi di belakang pohon, la ingin mengintip siang Thiam Chun dan Lie Goat
Hiang.
Ketika hari mulai gelap, Thio
Han Liong sudah bersembunyi di belakang pohon yang ada dihalaman. Tampaknya ia
ingin mengintip apa yang akan dilakukan siang Thiam Chun dan Lie goat Hiang.
Beberapa saat kemudian, tampak sosok bayangan berkelebat ke halaman, tidak lain
siang Thiam Chun. setelah
itu, menyusul pula sosok
bayangan langsing, ternyata Lie cioat Hiang.
"Mau bicara apa,
cepatlah" ujar gadis itu "Goat Hiang..." ujar siang Thiam Chun.
"Tahukah engkau, aku...
aku sungguh mencintaimu. Namun, belum lama ini, sikapmu telah berubah
banyak-"
Ucapan itu bagaikan geledek
menyambar telinga Thio Han Liong yang mencuri dengar pembicaraan. Dia hampir
keluar mencacinya.
"Paman siang," tegur
Lie tfoat Hiang dingin,
"Kini aku telah sadar,
engkau jangan terus merayu aku lagi-
"
"Goat Hiang...."
siang Thiam Chun memegang tangannya.
"Aku betul-betul
mencintaimu."
"Lepaskan tanganmu"
bentak Lie Goat Hiang. Jangan kurang ajar"
"Aku masih ingat, dulu
engkau baik sekali terhadapku-Kenapa sekarang berubah jadi begini?"
"Dulu aku belum bisa
berpikir karena termakan rayuanmu-Kini pikiranku telah terbuka, aku tersadar
dari kekeliruanku" sahut Lie goat Hiang.
"Sudahlah, jangan
mengganggu aku lagi. Kalau ayah tahu, engkau pasti celaka"
"Hmm" dengus Siang
Thiam Chun.
"Ayahmu berani apa
terhadap diriku? Goat Hiang, betulkah engkau sudah tidak mencintai aku
lagi?"
"Paman siang" Lie
Goat Hiang menghela nafas panjang,
"selama ini, aku tidak
pernah mencintaimu. Aku berlaku baik terhadapmu lantaran menghormatimu sebagai
pamanku."
"omong kosong" siang
Thiam Chun tampak gusar sekali. "Dulu engkau tidak begini-"
sudahlah," potong Lie
Goat Hiang. Jangan mengganggu aku lagi, aku tidak mau celaka di tangan
ayahku."
Gadis itu melesat pergi, siang
Thiam Chun berdiri mematung di tempat, sepertinya memikirkan sesuatu.
"Akan kukerjai nanti
malam. He he he—" siang Thiam Chun tertawa terkekeh-kekeh.
Tersentak Thio Han Liong
mendengar ucapan itu. Timbul dalam hatinya untuk menolong Lie Goat Hiang. Maka
ketika siang Thiam chun berkelebat pergi, anak kecil itu mengikutinya
menggunakan ginkang. Ternyata siang Thiam Chun menuju ke samping rumah yang
terdapat jendela di sana. Itu adalah jendela kamar Lie Goat Hiang. siang Thiam
Chun mengintip ke dalam melalui jendela, kemudian mengeluarkan suatu benda
mirip sebuah suling kecil. Thio Han Liong yang menguntitnya seaera memungut
beberapa batu kecil, la tahu benda itu berisi semacam obat bius, karena pernah
dengar dari Ciu Ci Jiak-
Ketika siang Thiam Chun
mengarahkan benda itu ke dalam jendela, mendadak ia terpekik kaget- Tangannya
dirasakan nyeri sekali- Ternyata Thio Han Liong telah menyambit dengan batu
kecil, dan tepat mengenai tangannya.
Bukan main terkejutnya siang
Thiam Chun, ia segera menengok ke sana ke mari, namun tidak tampak siapapun.
"Heran? Kenapa tanganku
berkesemutan mendadak?" Usai bergumam, ia pun membungkukkan badannya
dengan maksud memungut benda yang jatuh itu Akan tetapi, tiba-tiba.... Taaak
Kepalanya tersambit sesuatu.
"Aduuuh" jeritnya
kesakitan sambil mengusap kepalanya yang dirasakan benjol. Itu sudah tentu
perbuatan Thio Han Liong, setelah menyambit kepala siang Thiam Chun dengan batu
kecil, ia sendiri nyaris tertawa geli-
"siapa yang menyambit
aku?" gumam siang Thiam Chun dengan tubuh agak menggigil. Di saat itulah
ia mendengar suara tawa yang amat perlahan, namun sangat menusuk telinga dan
menyeramkan,
"Iiih Ada setan..."
siang Thiam Chun langsung
kabur, perlahan-lahan Thio Han Liong meninggalkan tempat itu kembali ke
kamarnya, dengan terus tersenyum geli- sebelum meninggalkan tempat itu,
terlebih dahulu ia sempat memungut benda menyerupai suling milik siang Thiam
Chun.
Keesokan harinya, siang Thiam
Chun tidak mengajar para murid itu ilmu silat, la duduk di kursi dengan wajah
agak pucat-
"Paman siang" tanya
Thio Han Liong.
"Tidak minum teh?"
"Tidak" siang Thiam
Chun menggelengkan kepala, kemudian menatapnya seraya bertanya,
"Semalam engkau mendengar
suara yang mencurigakan?"
"tidak, tapi...."
"Ada apa?"
"Iiih" Thio Han
Liong memperlihatkan wajahnya yang diliputi ketakutan.
"Entah melihat atau
bermimpi, aku... aku melihat sosok yang menyeramkan."
"Hah?" Wajah siang
Thiam Chun bertambah pucat. "Be— betulkah itu?"
Thio Han Liong mengangguk dan
nyaris tertawa geli, sebab ia yang tertawa seram semalam dengan mengerahkan
Lweekang.
"Bahkan aku mendengar
suara tawa seram, suara yang mencurigakan"
"oh?" Ketika siang
Thiam Chun ingin mengatakan sesuatu, muncul Lie Goat Hiang.
"Adik kecil"
panggilnya.
"ya" sahut Thio Han
Liong sambil mendekatinya.
"Engkau sudah
membersihkan rumah belum?" tanya Lie Goat Hiang.
Thio Han Liong mengangguk-
"Kalau begitu-—" Lie
Goat Hiang memandangnya dan tersenyum.
"Mari kita makan"
Mereka berdua masuk ke rumah, sedangkan siang Thiam chun duduk tak bergerak di
kursi. Lie Ceng Peng sudah pulang, la duduk beristirahat di ruang tengahi
ketika Thio Han Liong menyuguhkan teh hangat.
"Silakan minum,
Paman"
Lie Ceng Peng tersenyum sambil
menghirup minuman itu, kemudian memandang Thio Han Liong.
"Engkau baik-baik saja
selama aku ke kota lain?"
"Aku baik-baik saja,
Paman" Thio Han Liong mengangguk,
"Oh ya, aku ingin
memberitahukan sesuatu. Tapi aku mohon Paman harus memaafkan Kakak Hiang, sebab
kini dia telah sadar dari kekeliruannya."
"Eh?" Lie Cong Peng
tertegun,
"Memangnya ada apa?"
"Paman siang dan Kakak
Hiang...."
Thio Han Liong memberitahukan
tentang itu. Betapa gusarnya Lie Cong Peng mendengarnya. Wajahnya berubah merah
padam, karena marah
"Tenang, Paman" ujar
Thio Han Liong.
"Kini Hiang telah sadar,
maka Paman harus memaafkannya. Mengenai Paman siang. Paman pun tidak perlu
menghajarnya."
"Tapi suteeku
itu..."
Lie Cong Peng bangkit berdiri
dan berjalan mondar-mandir.
"Biar bagaimanapun, aku
harus menghajarnya"
"Kalau Paman
menghajarnya, yang akan malu adalah Paman dan Kakak Hiang. sebab, semua orang
akan mengetahui kejadian itu." bisik Thio Han Liong.
"Lebih baik Paman suruh
dia pergi saja."
"Ngmm"
Lie Cong Peng manggut-manggut.
"Kalau begitu, cepatlah
panggil dia"
"Ya, Paman" Thio Han
Liong segera pergi memanggil siang Thiam Chun, tak lama ia sudah datang ke
ruang tengah bersama orang tersebut.
"Suheng panggil
aku?" tanya siang Thiam Chun dengan hati kebat-kebit, karena wajah Lie
Cong Peng tampak gusar sekali-
Thio Han Liong seflera
meninggalkan ruang tengah itu, siang Thiam Chun meliriknya dengan mata
berapi-api-
"sutee" Lie Cong
Peng menatapnya dingin-
"Apakah aku kurang baik
terhadapmu selama engkau tinggal di sini,?"
"Suheng sangat baik
terhadapku-" siang Thiam Chun menundukkan kepala. "Memangnya ada
apa?"
"Sekarang juga engkau
harus meninggalkan rumahku ini" bentak Lie Ceng Peng.
"Tentu, engkau
mengerti"
"suheng...."
"Aku sudah tahu urusanmu
dengan putriku, cepatlah engkau enyah dari sini"
"suheng," tanya
siang Thiam Chun. "Thio Liong yang mengadu padamu?"
"Aku yang mengetahuinya,
bukan dia yang mengadu padaku" sahut Lie Ceng Peng.
"Cepatlah engkau enyah
dari sini, jangan sampai aku menghajarmu"
"Baik" siang Thiam
Chun mengangguk, ia yakin Thio Han Liong yang mengadu pada Lie Ceng Peng, maka
ia ingin menghajarnya sebelum meninggalkan rumah itu.sementara itu, Thio Han
Liong berdiri di halaman sambil menonton anak-anak tanggung berlatih Pek Ho
Kun.
"Adik kecil," Lie
Goat Hiang mendekatinya. "Kenapa ayah memanggil Paman siang?"
"Entahlah" Thio Han Liong menggelengkan kepala.
"Bagaimana sikap ayah
ketika menyuruhmu memanggil Paman siang?" tanya Lie Goat Hiang lagi.
"Paman tampak gusar
sekali, tapi aku tidak tahu apa sebabnya-" sahut Thio Han Liong.
"Ayahku...." ucapan
Lie Goat Hiang terputus, karena
melihat ayahnya berjalan
keluar bersama siang Thiam Chun yang membawa sebuah buntalan. Lie Ceng Peng
menghampiri mereka berdua, sedangkan Siang Thiam Chun menghampiri anak-anak
tanggung yang sedang berlatih.
"Anak-anak" ujar
siang Thiam Chun. "Hari ini aku akan berangkat ke kota lain, maka
selanjutnya suhengku akan mengajar kalian."
"Guru mau ke mana?"
tanya salah seorang anak-
"Ke tempat yang jauh
sekali," sahut siang Thiam Chun sambil melirik Thio Han Liong dengan mata
membara.
"Kapan guru pulang?"
tanya salah seorang anak lagi.
" Guru tidak akan
pulang" sahut siang Thiam Chun.
"oleh karena itu, hari
ini guru akan menurunkan kalian beberapa jurus Pek Ho Kun yang paling
hebat."
"Terimakasih, Guru"
"Thio Liong"
Mendadak siang Thiam Chun memanggil anak kecil itu.
"Cepat ke mari"
Thio Han Liong segera mendekatinya.
"Anak-anak" ujar
siang Thiam Chun. "Jurus Pek Ho Kun yang paling dahsyat adalah jurus Pek
Ho Ceng Thian (Bangau Putih Menerjang ke Langit). Aku akan memberi contoh,
kalian harus perhatikan baik-baik,"
Usai berkata begitu, mendadak
siang Thiam Chun langsung memukul Thio Han Liong dengan jurus tersebut. Duuuk
Dada Thio Han Liong terpukul, anak kecil itu termundur-mundur dua tiga langkah,
namun sama sekali tidak menjerit kesakitan. Lie Ceng Peng dan putrinya terkejut
bukan main Mereka berdua tidak menyangka siang Thiam Chun akan menurunkan
tangan jahat terhadap Thio Han Liong itu.
"sutee" bentak Lie
Cong Peng.
" Engkau...."
"suheng," sahut
siang Thiam Chun sambil tertawa dingin-
"Apakah aku tidak boleh
memberi contoh beberapa j urus ilmu silat pada murid-muridmu?"
"Tapi...."
"Paman" ujar Thio
Han Liong pada Lie Cong Peng
"hari ini aku akan
menghajar orang yang tak tahu diri itu"
"Thio Liong...." Lie
Cong Peng kaget mendengar ucapan
bocah kecil itu.
"Adik kecil" Wajah
Lie cioat Hiang berubah pucat mencemaskan Thio Han Liong.
"He h e h e" siang
Thiam chun tertawa terkekeh-kekeh. "Thio Liong, engkau ingin menghajar
diriku?"
"Betul" Thio Han
Liong mengangguk-
"Baik," siang Thiam
Chun menatapnya dengan penuh kebencian, kemudian membentak keras sambil
menyerangnya dengan jurus-jurus Pek Ho Kun.
Thio Han Liong cepat-cepat
berkelit ke sana ke mari, sehingga serangan-serangan siang Thiam Chun jatuh di
tempat kosong. Betapa penasarannya siang Thiam Chun mendapati serangannya tak
satupun mengenai sasaran. Lie Cong Peng dan putrinya sama sekali tidak
menyangka Thio Han Liong mengerti ilmu silat. Kini Thio Han Liong mulai
bergerak lemas, bagaikan gadis kecil yang sedang menari. Bukan main indahnya
gerakannya itu, membuat Lie Cong Peng dan putrinya terperangah menyaksikannya.
siang Thiam Chun terus
menyerang dengan gesit, sedangkan Thio Han Liong berkelit dengan gerakan yang
lemas. Tiba-tiba siang Thiam Chun memekik keras sambil menyerang Thio Han
Liong, dengan jurus Pek Ho Tok Hu (Bangau Putih Mematuk Ikan). Badan siang
Thiam Chun mencelat ke atas, kemudian menukik ke bawah dan dengan dua jari
tangan menyerang mata Thio Han Liong. Di saat itulah Thio Han Liong
menggerakkan sepasang tangannya dengan lemas sekali membentuk dua buah
lingkaran, lalu didorong ke atas.
Buuuk. Dada siang Thiam Chun
terpukul, sehingga badannya terpental ke atas, kemudian terbanting keras di
tanah-
"Aduuuh" siang Thiam
Chun menjerit kesakitan. Tubuhnya terkapar tak mampu bangkit berdiri
"Hihihi" Thio Han
Liong tertawa geli
"Paman siang, kenapa
engkau terus duduk di situ? Tidak mau menghajar aku lagi?"
siang Thiam Chun diam saja, ia
memandang Thio Han Liong dengan mata terbelalak, seakan tidak percaya dirinya
telah dirobohkan anak kecil berusia sebelas tahun.
sementara Lie Ceng Peng dan
putrinya juga tampak tidak percaya akan apa yang disaksikan. Bagaimana mungkin
Thio Han Liong mampu merobohkan siang Thiam Chun? Namun nyatanya memang begitu.
Kejadian itu sangat mencengangkan mereka berdua.
"Kawan-kawan" seru
Thio Han Liong pada para murid Lie Ceng Peng,
"jurus yang diperlihatkan
Paman siang itu namanya jurus 'Menjatuhkan Diri', kalian tidak boleh meniru
gerakannya itu"
"Anak setan" bentak
siang Thiam Chun gusar, mendadak ia menyerang Thio Han Liong.
"Hiaa...?"
Kali ini Thio Han Liong tidak
berkelit, melainkan menyambut serangan itu sambil menggerakkan tangannya
secepat kilat- Rupanya dia menggunakan jurus jurus dari Kiu Im Pek Kut Jiauw
ajaran Ciu Ci Jiak.
Plaaak Tulang iga siang Thiam
Chun terpukul dan patah seketika.
Aduuuh—" siang Thiam Chun
menjerit kesakitan dengan wajah meringis dan pucat pias. Dengan langkah
tertatih-tatih, dia pun pergi. Thio Han Liong mendekati Lie Cong Peng. Dia
memberi hormat.
"Maaf Paman, aku telah
menghajar Paman siang itu" "Ha ha ha" Lie Cong Peng tertawa
gelak-
"Thio Liong, aku tidak
sangka engkau berkepandaian begitu tinggi. Ternyata engkau murid Bu Tong pay,
sebab yang engkau perlihatkan itu pasti ilmu silat Thay Kek Kun yang sangat
terkenal itu"
"Paman...." Thio Han
Liong menundukkan kepala-
"Aku— aku terpaksa
menghajarnya, karena Paman siang jahat sekali."
"Dia memang jahat, harus
dihajar biar kapok" sahut Lie Cong Peng.
"Adik kecil—" Lie
goat Hiang menatapnya dengan kening berkerut-kerut.
"Hiang lie" Lie Cong
Peng menggeleng-gelengkan kepala.
Kalau aku tidak memandang Thio
Liong, aku pasti sudah menghajarmu"
"Ayah—-" gadis itu
tersentak-
"Aku sudah tahu urusanmu
dengan Thiam chun, Thio Liong yang memberitahukan padaku."
"Ayah-—" Lie Goat
Hiang menundukkan kepala.
"Maafkan aku"
"sudahlah, itu telah
berlalu."
Lie ceng Peng tersenyum.
Engkau harus berterima kasih
pada Thio Liong." "Terima kasih. Adik kecil," ucap Lie Goat
Hiang. "Kakak-..." Thio Han Liong tersenyum.
"Kakak sangat baik
terhadapku, maka akupun harus melindungi Kakak"
"Terima kasih..."
Lie Goat Hiang menatapnya dengan haru-
Thio Han Liong mengeluarkan
suatu benda dari dalam bajunya, lalu diserahkan pada Lie Ceng Peng.
"Lihatlah benda ini"
Lie Ceng Peng mengambil benda itu dan memperhatikannya, seketika itu juga air
mukanya berubah hebat.
"Ini... ini adalah
semacam alat yang berisi obat bius, para penjahat menggunakan alat ini. Thio
Liong, dari mana engkau memperoleh alat ini?"
"Paman, malam
itu..." tutur Thio Han Liong tentang kejadian malam itu.
"Maka aku
menghajarnya" "Haaahi-" Wajah Lie Ceng Peng berubah pucat.
"Thio Liong, kalau engkau
tidak berada di sini, Hiangjie pasti sudah celaka."
"Adik kecil...." Lie
Goat Hiang memandangnya dengan
penuh rasa terima kasih.
"Engkau— engkau telah menyelamatkan
diriku. Terima kasih."
"Kakak" Thio Han
Liong tersenyum. "Kakak begitu cantik, kelak pasti ketemu pemuda tampan.
Aku masih kecil sih. Kalau sudah dewasa, aku pasti memperisterl Kakak."
"Eh?" Wajah Lie Goat
Hiang kemerah-merahan. "Engkau mulai genit, ya? Masih kecil"
"Ha ha ha" Mendadak
Lie Cong Peng tertawa gelak sambil bergurau.
"Thio Liong, kalau engkau
betul-betul ingin memperisterl Hiang jie, paman pasti merestuinya."
"Ayah" Wajah Lie
Goat Hiang bertambah merah. "Hi hi hi" Thio Han Liong tertawa geli.
"Paman bisa bergurau juga, ya?"
"Tentu" Lie Cong
Peng manggut-manggut. "Namun alangkah baiknya paman tidak bergurau, karena
Hiang Jie memang menyukaimu."
Thio Han Liong
menggeleng-gelengkan kepala.
"Usiaku lebih kecil dari
Kakak Hiang, bagaimana mungkin aku memperlsterlnya? Tadi itu cuma ingin
menggoda Kakak Hiang."
"Adik kecil, engkau mulai
nakal" tegur Lie Goat Hiang.
"Bukan mulai nakal, aku
memang nakal" sahut Thio Han Liong sambil tertawa.
"Kalau tidak, bagaimana
mungkin aku mencuri dengar pembicaraan paman Siang dengan Kakak?"
Gadis itu merengut menatap
Thio Han Liong.
"Paman" ujar Thio
Han Liong sungguh-sungguh.
"Kini urusan yang tak
menyenangkan itu telah beres, maka aku mau mohon pamit"
"Apa?" Lie Cong Peng
dan putrinya tertegun.
"Aku harus segera
berangkat ke gunung Bu Tong, aku... aku rindu sekali pada ke dua
orangtuaku." ujar Thio Han Liong.
"Ke dua orangtuamu
tinggal di gunung Bu Tong?" tanya Lie Cong Peng.
"tidak," jawab Tiiio
Han Liong memberitahukan.
"Ke dua orangtuaku
tinggal di pulau yang di Pak Hai. Aku berharap pihak Bu Tong Pay bersedia
mengantar aku pulang ke pulau itu"
"oooh" Lie Cong Peng
manggut-manggut. "Kalau begitu... tunggu sebentar"
Lie Cong Peng masuk rumah,
sedangkan Lie cioat Hiang terus menatap Thio Han Liong dengan mata tak
berkedip-
Anak kecil itu tertawa geli-
"Kenapa Kakak menatapku dengan cara begitu? Naksir ya padaku?"
Lie cioat Hiang
menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum-
"Engkau memang nakal,
tapi tidak menyebalkan."
"Kakak, aku berterima
kasih sekali atas kebaikanmu," ujar Thio Han Liong setulus hati.
"Kakak sangat baik
padaku, aku tidak akan lupa selama-lamanya."
"Akupun tidak akan lupa
budi baikmu menolongku dan telah menyelamatkan diriku...." Lie goat Hiang
tersenyum.
"Tapi... kenapa engkau
begitu cepat ingin pergi?"
"Kakak Aku... aku rindu
sekali pada ke dua orangtuaku, aku harus cepat-cepat pulang ke pulau itu."
"Adik kecil...." Lie
Goat Hiang menghela nafas panjang.
"entah kapan kita akan
bertemu lagi?"
"Aku pasti ke mari
menengok Kakak kelak" sahut Thio Han Liong berjanji.
"Sungguh?" Lie Goat
Hiang kelihatan kurang percaya. "Tentu" Thio Han Liong mengangguk,
"Aku tidak akan ingkar janji."
gadis itu tertawa gembira,
bersamaan itu muncullah Lie Cong Peng dengan membawa sebuah bungkusan kecil.
"Thio Liong" Lie
Ceng Peng menyerahkan bungkusan kecil itu padanya- "Ini untuk bekalmu
dalam perjalanan."
"Paman...."
"Terimalah"
"Terima kasih,
Paman" Thio Han Liong menerima pemberian Lie Ceng Peng, sebab ia memang
membutuhkan uang.
"sebetulnya aku bernama
Thio Han Liong."
"oooh" Lie Ceng Peng
manggut-manggut. "Han Liong, engkau akan ke mari lagi menengok kami?"
"Pasti," sahut Thio
Han Liong lalu pamit. "selamat jalan, Han Liong" "sampai jumpa,
Paman"
Thio Han Liong berjalan pergi,
Lie Goat Hiang mengantarnya sampai di depan.
"Adik kecil, jangan lupa
datanglah lagi kelak" pesan gadis itu.
"ya" sahut Thio Han
Liong,
"sampai jumpa.
Kakak"
"selamat jalan. Adik
kecil" ucap Lie Goat Hiang. setelah Thio Han Liong tidak kelihatan, gadis
itu kembali ke dalam.
"Hiang jie" Lie Ceng
Peng menghela nafas panjang. " Kalau Han Liong tidak berada di sini,
engkau pasti sudah dinodai Thiam Chun."
"Ayah Han Liong akan ke
mari lagi?"
"Itu sudah pasti, namun
tidak begitu cepat. Mungkin harus beberapa tahun kemudian.saat itu dia sudah
dewasa."