Belum lagi Lan See giok
mengajukan se-suatu pertanyaan. Tiba-tiba terasa bayangan manusia berkelebat
lewat, tahu-tahu Oh Tin San sudah melewati dari sisinya dan meng-hampiri orang
itu.
Paras muka Oh Tin san nampak
pucat pias pula seperti mayat, sementara sepasang mata sesatnya berkedip kedip
tanpa tujuan.
Agaknya waktu itu orang yang
terluka tersebut telah mendengar suara manusia, pelan-pelan diapun membuka
kembali sepasang matanya dengan sayu dan lemah.
Ketika orang itu berjumpa
dengan Oh Tin san, sorot matanya semakin memancarkan rasa kaget dan gelisah,
bibirnya yang pucat pias gemetar tiada hentinya, kulit mukanya mengejang terus.
Dia seperti hendak mengu-capkan sesuatu kepada 0h Tin san, tapi seperti pula
merasa ketakutan setengah mati.
Lan See giok sangat tidak
mengerti menghadapi kejadian seperti itu, baru saja dia hendak berjongkok untuk
mengajukan pertanyaan, mendadak terdengar Oh Tin san membentak keras:
"Jangan kau sentuh dia. .
."
Lan See giok amat terperanjat,
serta merta dia melompat bangun dengan perasaan tak menentu.
Paras muka Oh Tin san
kelihatan berubah sangat aneh, matanya yang sesat ber-keliaran kesana ke mari
dengan panik, akhirnya dengan suara rendah tapi tegang bisiknya:
"Cepat kau lari ke tepi
sungai dan ambil-kan sedikit air!"
Lan See giok tak berani
berayal, dia tahu empek bertelinga satu hendak me-nyelamat-kan orang itu,
cepat-cepat dia lari menuju ke tepi sungai tersebut.
Dengan cepat dia mengambil air
dengan sepasang tangannya, kemudian cepat-cepat lari balik ke tempat semula.
Tapi ketika ia tiba di situ,
tampak oleh-nya Oh Tin san sedang memandang ke arah peti mati itu sambil
menggelengkan kepala-nya berulang kali.
"Lan See giok merasa amat
terperanjat. dia tahu gelagat tidak beres, cepat-cepat diham-pirinya peti mati
itu, ternyata orang tersebut sudah tewas dalam keadaan me-ngerikan. wajahnya
masih diliputi oleh perasaan kaget dan marahnya, sementara sepasang matanya
membalik ke atas.
Ketika melihat pula wajah Oh
Tin san, meski sikapnya jauh lebih tenang namun air keringat nampak membasahi
jidat serta hidungnya.
Dengan perasaan tak habis
mengerti Lan See giok segera bertanya:
"Empek, mengapa orang itu
mati?"
Oh Tin san segera menghela
napas pan-jang, katanya dengan sedih:
"Luka yang dideritanya kelewat
parah"
Seraya berkata, tanpa terasa
dia menyeka air keringat yang membasahi jidatnya, se-te-lah itu ujarnya lebih
jauh.
"Anak Giok, mari kita
pergi!"
Sampai di situ, dia lantas
membalikkan badannya siap berlalu dari situ.
"Empek. apakah kita tak
akan mengubur nya lebih dulu?" seru Lan See giok dengan gelisah.
Mendengar itu. Oh Tin san
segera menghentikan langkahnya sambil membalik kan badan, kemudian setelah
memandang ke arah Lan See-giok, katanya:
"Sungguh tak kusangka kau
si bocah ber-jiwa ksatria dan penuh rasa kemuliaan, baiklah, pergilah kau untuk
mencari bebe-rapa buah peti mati yang sudah rusak!"
Lan See giok tidak menjawab,
dia segera pergi mencari kayu.
Melihat itu. Oh Tin-san segera
mencibir-kan sekulum senyuman dingin yang meng-gidik-kan hati.
Lan See giok merasa tidak
habis mengerti, tapi dia lantas menduga mungkin empeknya menggerutu kepadanya
karena banyak urusan, maka diapun tidak memikirkan per-soalan itu di dalam
hati, papan peti mati yang berhasil dikumpulkan itu lantas dijajar-kan ke atas
tanah.
Mendadak....
Mencorong sinar mata Lan
See-giok. dengan wajah berubah hebat ia membuang kayu peti mati yang masih
dipegangnya tadi dan segera berjongkok.
Ia menyaksikan gumpalan darah
memba-sahi iga kiri orang itu, ternyata pada tulang iga ke tiga di bawah ketiak
kirinya terdapat sebuah mulut luka sebesar buah tho.
Dengan cepat Lan See giok
menjadi sadar kembali, tampaknya orang inilah orang yang kena tertusuk oleh
senjata gurdi emas dari balik dinding ruangan semalam, mungkin oleh si manusia
bermata satu itu dia di buang di sana.
Maka seraya mendongakkan
kepalanya, dia berkata kepada On Tin san.
"Empek tampaknya orang
inilah yang tanpa sengaja dilukai oleh Si bayangan setan bermata tunggal dengan
senjata gurdi emas se-malam. -"
Oh Tin san berlagak seakan
akan terkejut bercampur keheranan, kemudian sorot mata nya dialihkan ke tubuh
mayat tersebut dan tidak berkata apa-apa lagi.
"Coba kalau empek
berhasil menolong jiwa orang ini, keadaannya pasti akan lebih baikan!"
seru Lan See giok kemudian sambil mengawasi mayat tersebut.
"Mengapa?" tanya Oh
Tin san seperti tak mengerti.
"Sudah pasti orang ini
mengetahui siapa-kah pembunuh terkutuk yang telah membi-nasakan ayahku!"
Sembari menggumam dia lantas
bekerja keras untuk mengebumikan jenazah orang itu,
Dengan tenang Oh Tin-san
memperhati-kan Lan See giok bekerja, dia tidak berbicara pun tidak berkutik,
seakan-akan benaknya penuh dengan persoalan.
Menanti Lan See-giok selesai
bekerja, dia baru berkata lagi:
"Mari kita pergi !"
Sambil berkata, ia lantas
berjalan paling dulu.
Lan See-giok memandang sekejap
ke arah peti mati yang sudah tertutup rapat itu, ke-mudian baru menyusul di
belakang Oh Tin san.
"Empek, apakah kau kenal
dengan orang ini?" tanyanya kemudian dengan perasaan ingin tahu.
Oh Tin san termenung dan
berpikir bebe-rapa saat, kemudian baru sahutnya:
"Aku tidak kenal dengan
orang ini, tapi kalau dilihat dari ciri khas wajahnya yang berbentuk segi tiga,
beralis lebar, kepalanya ada benjolan daging, tampaknya dia mirip sekali dengan
To ciok-siu (binatang bertan-duk tunggal) Siau gi . . ."
Hampir saja Lan See giok
menjerit ter-tahan setelah mendengar nama orang itu, diam-diam dia merasa
keheranan, kenapa gelar yang digunakan orang-orang itu semua nya menggunakan
kata To ?
Si mata tunggal, si lengan
tunggal, si kaki tunggal, si tanduk tunggal, masih ada apa tunggal lagi? Tiada
hentinya dia berpikir di dalam hati kecilnya . .
Mendadak, berkedip sepasang
mata Lan See giok, sekujur badannya menggigil keras, ketika ia mendongakkan
kepala tampak olehnya Oh Tin-san sudah berada puluhan kaki jauhnya di depan
sana.
Sekarang dia telah dapat
menenangkan kembali hatinya, maka tubuhnya segera ber-gerak lagi ke depan,
sementara sepasang matanya yang jeli mengawasi terus telinga Oh Tin san yang
tinggal satu itu.
Lan See giok mempunyai
persoalan di dalam hati, maka dia pun mengerahkan segenap kekuatannya untuk
melakukan per-jalanan, tak selang berapa saat kemudian ia telah berhasil
menyusul si kakek itu.
Sekali lagi dia mendongakkan
kepalanya memperhatikan telinga Oh Tin san yang ting-gal satu, kemudian
bibirnya bergetar bebe-rapa kali seperti menggumamkan se-suatu.
Tapi, bagaimanapun juga dia
merasa tak punya keberanian untuk menanyakan julu-kan dari empeknya ini, tapi
ingatan lain berkecamuk pula dalam benaknya untuk menyanggah jalan pemikiran
yang pertama:
"Aaaah- masa empek pun
mempunyai ju-lukan yang mempergunakan julukan To--
Sementara ingatan itu masih
melintas di dalam benaknya, kedua orang itu sudah berjalan ke luar dari hutan,
di depan mata sekarang terbentang persawahan dan hutan bambu.
Oh Tin san mendongakkan
kepalanya me-mandang sekejap matahari yang telah con-dong ke barat, lalu
tanyanya dengan suara lembut:
"Giok ji, kita harus
menuju ke arah mana?�
Lan See giok mengamati sekejap
sekeliling tempat itu, kemudian sambil menunjuk ke arah tenggara. sahutnya:
"Telusuri jalanan kecil
itu menuju ke arah tenggara!"
Dengan gembira Oh Tin san
mengangguk, lalu serunya, dengan nada tak sabar:
"Giok ji, mari kita
lakukan perjalanan dengan sepenuh tenaga!"
Sambil berkata die segera
berangkat lebih dulu.
Sambil berjalan cepat, tiada
hentinya Lan See giok berpikir, setibanya di rumah bibi Wan nanti, bagaimanakah
caranya ia me-ngi-sahkan peristiwa tragis yang telah me-nimpa ayahnya.
Selain itu, diapun hendak
memohon kepada bibi Wan untuk mengeluarkan kotak kecil itu, dia ingin memeriksa
sendiri isinya apa-kah benar sejilid kitab Hud bun cinkeng yang diidamkan oleh
setiap umat persilatan.
Dia hendak menuturkan pula
semua kisah kejadian yang dialaminya di makam kuno, dia akan menerangkan pula
orang-orang yang mencurigakan itu satu per satu, agar bibi Wan nya bisa
menganalisa dan menyim-pulkan siapa gerangan musuh besar yang telah
membinasakan ayahnya.
Kemudian, diapun membayangkan
kembali si empek bertelinga tunggal itu...
Mendongakkan kepalanya, ia
saksikan em-pek bertelinga tunggal itu sudah berada pu-luhan kaki di depan
sana, kalau dilihat dari bayangan punggungnya, tampak kalau em-peknya itupun
sedang termenung.
Dikejauhan sana sudah muncul
sebuah dusun nelayan, di samping dusun merupa-kan sebuah telaga yang luas,
itulah telaga Huan yang cu.
Lan See giok menyaksikan Oh
Tin san ber-gerak makin lama semakin cepat, jarak mereka pun makin lama selisih
semakin jauh..
Dia tak berniat untuk
menyusulnya. karena pada detik itu pula dia sedang mem-pertimbangkan perlukah
mengajak empeknya berkunjung ke rumah bibi Wannya.
Sekalipun Oh Tin San telah
membeli hio dan memeluk jenazah ayahnya sambil me-nangis tersedu sedu, bahkan
membantunbya sehingga ia jmemperoleh tenagga dalam yang hbebat, tapi sekarang
dia mulai merasakan banyak hal yang mencurigakan.
Yaa, pada hakekatnya pukulan
batin yang dirasakan Lan See giok akibat peristiwa yang terjadi semalaman ini
terlalu berat, terlalu banyak, persoalan yang dihadapinya pun kelewat banyak.
Benar, dia adalah seorang anak
yang cer-das tapi sebelum hatinya menjadi tenang kembali rasanya mustahil
baginya untuk memecahkan rentetan teka teki yang diha-dapinya sekarang.
Mendadak ia mendengar Oh Tin
San se-dang menegur dari depan sana:
"Giok ji, apa yang sedang
kau pikirkan?"
Suaranya agak gemetar, seperti
lagi mena-han rasa kaget yang luar biasa .....
Mendengar teguran itu, Lan See
giok segera menghentikan gerakan tubuhnya sembari menengadah, entah sedari
kapan, empek bertelinga tunggalnya telah berhenti di ping-gir jalan.
Ia menjumpai paras muka kakek
itu pucat pias seperti mayat, perasaan tegang dan ta-kutnya amat tebal
menyelimuti wajahnya, dengan perasaan tidak habis mengerti dia lantas berkata:
"Empek, ada urusan
apa?"
"Giok ji, dapatkah
andaikata kita tak usah melewati kampung nelayan ini . . " tanya Oh Tin
San sambil berusaha untuk menenang-kan hatinya.
Tergerak hati Lan See giok
setelah mendengar ucapan tersebut, sinar matanya segera dialihkan ke depan.
Ternyata mereka sudah tiba di
kampung nelayan di mana dia berkelahi dengan si bo-cah hitam kemarin, maka
tanyanya:
"Kau maksudkan kampung
nelayan ini?"
"Yaa. apakah kita bisa
tak usah melewati tempat ini?"
Dengan cepat anak itu menggeleng.
"Tidak mungkin, karena
aku hanya kenal sebuah jalanan ini saja . . ." Belum habis anak itu
berbicara, Oh Tin san kembali me-nukas dengan perasaan cemas:
"Bibi Wan-mu itu
sebetulnya tinggal di dusun apa?"
"Apa nama dusun itu aku
kurang tahu, tapi aku tahu rumah yang didiami bibi Wan dalam dusun
tersebut."
Perasaan gelisah dan marah
menbyelimuti wajah jOh Tin san, kengingnya yang kelbimis bekernyit, lama
kemudian dia baru ber-tanya lagi:
"Dahulu, bagaimana caramu
untuk pergi ke sana?"
Lan See giok tidak begitu
memperhatikan maksud dari pertanyaan itu, segera jawaban-nya .
"Dulu, ayah melukiskan
sebuah peta jalan untukku, dan akupun berjalan mengikuti peta tersebut"
Mencorong sinar tajam dari
balik mata Oh Tin san setelah mendengar perkataan itu, selintas rasa kejut
bercampur girang, meng-hiasi wajahnya yang jelek, serunya cepat:
"Mana peta itu
sekarang?"
Tak sabar dia lantas
mengulurkan tangan kanannya yang kurus kering.
Sekali lagi Lan See giok
menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Sayang peta itu sudah
diminta oleh bibi Wan!"
Paras muka Oh Tin san kembali
berubah hebat, sekarang wajahnya yang jelek tampak menyeringai seram tangan
kanannya yang kurus gemerutukan keras, seakan akan kalau bisa dia hendak
mencekal Lan See giok sampai mampus. .
"Empek mengapa kita tidak
pergi ber-sama saja?" seru Lan See giok kemudian dengan perasaan tidak
mengerti.
Pelan-pelan air Muka Oh Tin
san ber-ubah menjadi lembut kembali, senyumpun kembali menghiasi wajahnya, cuma
diantara kerutan alis matanya masih nampak perasaan kaget dan gelisahnya.
"Giok ji" kembali
dia berkata setelah melirik sekejap ke arah dusun. "kau boleh melanjut-kan
perjalanan lebih dulu, tunggu aku di de-pan dusun sana, sampai kita ber-temu
lagi, tahu?"
Walaupun Lan See giok tidak
mengerti dengan maksud tujuan orang, tapi ia toh mengangguk juga.
Oh Tin san segera menepuk bahu
Lan See giok dengan hangat, lalu berkata lagi:
"Giok ji, pergilah!
Ingat, sampai kita bertemu lagi!"
Lan See giok mengiakan, dengan
perasaan bimbang dia melanjutkan kembali perjalanan nya memasuki dusun.
Kini, dia sudahr mulai menaruh
zcuriga ter-hadawp kakek bertelirnga tunggal itu, terutama sekali wajah
jeleknya yang berubah ubah tak menentu, makin lama semakin menimbulkan perasaan
muak di dalam hati kecilnya.
Dia ingin sekali meninggalkan
kakek itu, tapi diapun berharap bisa mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi,
meski ilmu silat empek itu tidak begitu lihay, paling tidak setiap bu-lan
setelah menelan pil hitam yang busuk dan amis, tenaga dalamnya akan memperoleh
kemajuan yang cukup pesat.
Ia memang dapat merasakan
manfaatnya, paling tidak tenaga dalam yang dimilikinya sekarang berapa tingkat
lebih dahsyat dari pada kemarin.
Berpikir sampai di situ,
diam-diam ia merasa berterima kasih sekali terhadap jasa empeknya, maka rasa
curiga dan muaknya pun turut lenyap tak berbekas.
Hanya saja, dia masih tidak
habis me-ngerti mengapa empeknya menunjukkan sikap yang begitu tegang dan
gelisah, bahkan menampik untuk bersama sama melalui dusun nelayan itu---
Sementara otaknya berputar.
tanpa terasa ia sudah tiba di depan dusun, ketika men-dongakkan kepalanya. ia
menjadi amat terpe-ranjat.
Kurang lebih lima kaki di
hadapannya, di bawah sebatang potion besar, duduklah si kakek berjubah kuning
yang pernah di jum-painya semalam.
Dengan wajah penuh senyuman
kakek berjubah kuning itu duduk di atas sebuah batu hijau dan sedang
mengawasinya dengan lembut, wajahnya yang merah dan penuh keramahan tampak
berwarna merah ber-ca-haya di bawah sinar matahari sore.
Lan see giok sama sekali tak
menyangka kalau begitu masuk ke dusun nelayan itu, dia lantas berjumpa dengan
kakek berjubah kuning tersebut.
Sekalipun dia sedang
membutuhkan kete-rangan dari kakek berjubah kuning itu ten-tang sebab musabab
yang sebenarnya dari kematian ayahnya serta asal usul orang-orang yang
julukannya dimulai dengan huruf "To" tersebut.
Tapi sekarang ia tak dapat
melakukannya, dia harus berangkat ke rumah kediaman bibi Wan-nya bersama empek
bertelinga tungga1.
Teringat akan empek bertelinga
tunggal itu, kembali tergerak hatinya, jangan-jangan Oh Tin san kenal dengan
kakek berjubah kuning itu? Atau mungkin di antara mereka terikat dendam
kesumat?
Berpikir sampai di situ, serta
merta dia lantas berpaling ke arah belakang, tapi ba-yangan tubuh Oh Tin san
sudah lenyap tak berbekas.
Menanti dia berpaling lagi,
kakek ber-jubah kuning itu telah berada di depan tubuhnya.
Waktu itu dia sedang memandang
Lan See-giok sambil tertawa terbahak bahak, lalu tegurnya dengan ramah:
"Nak, apakah kau datang
untuk mencari diriku?"
Karena ditegur, mau tak mau
Lan See -giok harus menghentikan langkahnya, dengan ce-pat dia menggeleng.
"Mengapa nak?" tanya
kakek berjubah kuning itu sangat terkejut bercampur kehe-ranan.
Sembari berkata, seperti
sengaja tak se-ngaja dia melirik sekejap ke arah bawah di mana Lan See giok
berasal.
Waktu itu Lan See giok ingin
buru-buru pergi ke tempat tinggal Bibi Wannya, diapun takut empek bertelinga
tunggal itu menunggu kelewat lama di depan dusun sana ditambah pula dia memang
mencurigai si kakek ber-jubah kuning sebagai salah seorang yang tu-rut ambil
bagian dalam persekongkolan peristiwa pembunuhan terhadap ayahnya, maka dengan
nada mendongkol dia berkata:
"Mengapa? Apakah aku,
harus memberi-ta-hukan kepadamu? Sekarang aku ada urusan dan tak bisa banyak
berbicara denganmu."
Seraya berkata dia lantas
menghindari si kakek berjubah kuning itu dan berjalan menuju ke dalam dusun.
Kakek berjubah kuning itu
berkerut ke-ning, wajahnya kelihatan agak gelisah, sete-lah memandang sekejap
ke arah dusun, mendadak ia bangkit berdiri kemudian mem-bentak keras:
"Manusia jumawa, hari ini
jikab lohu tidak memjberi pelajaran gkepadamu, kau pbasti akan menganggap di
dunia ini tiada hukum lagi."
Sambil membalikkan badan,
ujung bajunya segera dikebaskan ke depan, menggunakan kesempatan itu kelima
jari tangannya segera diayunkan ke depan menghajar jalan darah Pay wi hiat di
tubuh bocah tersebut.
Lan See giok amat terkejut
setelah men-dengar seruan itu, ia tahu kalau bukan tandingan kakek berjubah
kuning tersebut, terpaksa dia kabur mengambil langkah seribu.
Sayang serangan itu datangnya
lebih cepat, di mana angin serangan berkelebat lewat, jalan darah Pay wi hiat
nya kena tertotok se-cara telak...
Sepasang kakinya segera
menjadi lemas dan "Bluuk!" tubuh Lan See giok segera ter-jungkal ke
atas tanah.
Lan See giok merasa terkejut
bercampur kaget, terkejut karena i1mu silat si kakek berjubah kuning itu sangat
lihay, ternyata ia dapat menotok jalan darahnya yang telah di geserkan
letaknya, malah karena dengan perbuatan ini, maka tak disangkal lagi kakek
berjubah kuning ini adalah salah seorang yang berkomplot untuk membunuh
ayahnya.
Semakin dipikirkan Lan
See-giok merasa semakin gusar, sambil menggertak gigi dia mengawasi kakek
berjubah kuning itu de-ngan penuh kegusaran.
Semakin dipikir Lan See-giok,
merasa makin gusar, akhirnya sambil menggertak gigi dan melotot besar
pelan-pelan dia menghampiri kakek berjubah kuning itu.
Pada saat itu . . . .
Dari dalam dusun sana melesat
ke luar dua sosok bayangan manusia, satu berwarna hitam dan satu berwarna
merah, dengan ke-cepatan bagaikan sambaran petir mereka meluncur tiba.
Ketika Lan See-giok berpaling,
dia segera mengenali kedua orang itu sebagai si nona berbaju merah Si Cay soat
dan si bocah hi-tam Siau Thi gou adanya.
Tampak Siau Thi gou berlari
mendekat sambil berteriak teriak penuh kegembiraan:
"Suhu...suhu, kenapa
sampai sekarang kau baru kembali, semalam Thio lo koko ma-sih menunggu dirimu
untuk minum arak!"
Lan See giok segera mendengus
bdingin, sepasanjg matanya yang gmerah karena meb-ngawasi Si Cay soat dan siau
Thi gou tanpa berkedip.
Bayangan manusia berkelebat
lewat, tahu-tahu mereka berdua telah tiba di depan mata, tapi ketika kedua
orang itu me-nyaksikan Lan See giok yang tergeletak di tanah, kontan saja
mereka jadi tertegun.
Si Cay soat membelalakkan
sepasang ma-tanya lebar-lebar, paras mukanya ber-ubah beberapa kali, kejut dan
girang me-nyelimuti wajahnya, segera teriaknya:
"Suhu, dialah Lan See
giok yang kumaksud kan sebagai bocah lelaki yang tidak roboh meski jalan
darahnya tertotok!"
Paras muka si kakek berjubah
kuning itu bercampur aduk tak karuan, terhadap uca-pan dari bocah perempuan
berbaju merah itu dia hanya mengiakan belaka.
Kemudian kepada Siau Thi gou
katanya dengan suara dalam.
"Thi gou, gusur dia
pulang!"
Siau Thi gou segera
menenangkan hatinya lalu memburu ke depan Lan See giok, dengan kening berkerut
dan menjura, katanya de-ngan suara lantang;
"Saudara . . "
"Tak usah banyak bicara,
cepat gusur pergi!" bentak kakek berjubah kuning itu gusar.
Siau Thi gou amat terperanjat,
buru-buru dia membungkukkan badan dan membopong Lan See giok, kemudian
cepat-cepat mem-balikkan badan dan berlalu dari situ.
Jalan darah di tubuh Lan See
giok sudah tertotok, seluruh badannya terasa lemas tak bertenaga, ia merasa
seakan akan tubuh mulai dari pinggang sampai ke bawah seperti sudah bukan
menjadi miliknya sendiri.
Dalam keadaan seperti ini,
selain gusar diapun merasa takut, dia kuatir kalau empek bertelinga tunggal itu
tak berhasil menemu-kan tempat tinggal bibi Wan nya sehingga tiada orang yang
bisa menyampai kan berita tentang kematian ayahnya.
Ia tahu bahwa ilmu silat yang
dimiliki kakek berjubah kuning itu sangat hebat, setelah tertotok sekarang,
untuk kabur mungkin jauh lebih sukar daripada naik ke langit, maka semakin
dipikirkan dia merasa semakin mendongkol dan gelisah.
Siau Thi gou bernar-benar
berteznaga besar bagawikan kerbau bajra persis seperti nama nya, sekalipun
sedang membopong tubuh Lan See giok, ternyata ia masih bisa berjalan dengan
langkah tegap.
Dengan kening berkerut dan
wajah serius kakek berjubah kuning itupun mengikuti di belakang Thi gou, dia
seperti merasa murung sekali karena masalah Lan See giok.
Si Cay soat, si gadis berbaju
merah itu mengikuti di samping kakek berjubah kuning wajahnya yang cantik
nampak pula diliputi perasaan amat gelisah dan cemas.
Kini dia merasa menyesal,
menyesal telah memberitahukan kepada gurunya bahwa Lan See giok tidak roboh
meski jalan darahnya tertotok.
Dia masih ingat, ketika gurunya
men-de-ngar berita itu kemarin, paras mukanya segera berubah hebat, kemudian
setelah mencari tahu arah yang dituju Lan See giok, dengan langkah tergesa-gesa
dia menyusul ke luar dusun.
Sungguh tak disangka, ternyata
bocah itu berhasil disusul oleh gurunya.
Tapi dia percaya keselamatan
jiwa Lan See giok sudah pasti tak akan terancam, karena dia tahu gurunya adalah
seorang kakek yang saleh dan sangat welas kasih terhadap siapa-pun.
Dalam waktu singkat Siau Thi
gou sudah membopong Lan See giok memasuki hutan bambu dan tiba di depan sebuah
pekarangan rumah.
Lan See giok mencoba untuk
memandang ke depan, ternyata rumah bambu itu berderet dikelilingi sebuah
halaman yang luas.
"Lompat masuk!"
bisik kakek berjubah kuning itu mendadak.
Siau Thi gou mengiakan, dia
segera melompat ke tengah udara dan melayang masuk, ke balik dinding
pekarangan, sekali-pun di bahunya harus membopong tubuh Lan See giok, sewaktu
kakinya mencapai permukaan tanah ternyata tidak menimbul-kan sedikit suarapun.
Lan See giok tak dapat
berbicara, tak dapat berkutik, tapi diam-diam ia merasa kagum sekali atas
kesempurnaan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Siau Thi gou.
Dengan membopong tubuh Lan See
giok, Siau Thi gou mengitari sebuah rumah bambu dan memasuki sebuah halaman
kecil.
Thi gou berpaling dan
memandang sekejap kearah kakek berjubah kuning itu, kemudian dia berjalan masuk
ke dalam ruangan sebe-lah timur.
Sebelum Lan See giok sempat
melihat jelas dekorasi yang berada dalam ruangan itu, tubuhnya sudah di
baringkan oleh Siau Thi gou di atas pembaringan.
Kakek berjubah kuning dan Si
Cay soat segera menyusul pula ke dalam ruangan
Saat itulah mendadak terdengar
suara se-o-rang kakek yang tua dan serak bertanya:
"Apakah Locianpwe telah
kembali?".
Sesosok bayangan tubuh yang
tinggi besar telah muncul dari balik pintu ruangan.
Lan See giok kembali
memperhatikan orang itu, ia saksikan orang tersebut mempunyai perawakan badan
yang tinggi besar dan be-rambut putih, alis matanya tebal, matanya besar,
hidung singa dan mulut lebar, dia nampak gagah dan mentereng sekali.
Kakek berjubah-kuning itu
segera memba-likkan badan sambil menyongsong keda-tangan orang itu.
Si Cay soat dan Siau Thi gou
segera mem-beri hormat pula sambil memanggil:
"Thio toako . . . .
"
Mendengar nama itu, Lan See
giok segera tahu kalau orang yang masuk adalah ayah Thio Toa keng, yaitu orang
yang dimaksud-kan kakek berjubah kuning itu sebagai Huan kang ciong liong (
naga sakti pembalik sungai ) Thio Lok heng .
Gerak gerik Huan kang ciong
liong Thio Lok heng terhadap kakek berbaju kuning itu sa-ngat hormat, tapi
begitu menyaksikan Lan See giok, paras mukanya segera berubah he-bat, serunya
dengan suara rendah:
"Locianpwe, ternyata kau
benar-benar telah menemukan si gurdi emas . - ."
Belum habis Huan kang ciong
liong me-nyelesaikan kata-katanya, kakek berjubah kuning itu telah memberi
tanda agar dia ja-ngan berbicara lebih jauh.
Tergerak hati Lan See giok,
dia tahu yang dimaksudkan sebagai Huan kang-ciong liong adalah gelar ayahnya
yaitu si Gurdi ebmas peluru perajk.
Kalau ditingjau dari hal inbi,
bisa ditarik ke-simpulan kalau Huan kang ciong liong dan kakek berjubah kuning
adalah pembunuh ayahnya.
Sementara itu, Huan kang-ciong
liong Thio Lok-heng telah memburu ke tepi pemba-ringan dan menatap wajah Lan
See giok lekat--lekat, setelah memperhatikan sekejap dengan gelisah, diapun
bertanya lagi kepada kakek berjubah kuning itu dengan nada hormat:
"Locianpwe, bila jalan
darah bocah ini ter-totok kelewat lama, apakah ia tak akan terlu-ka?"
Tampaknya kakek berjubah
tuning itu mempunyai kesulitan untuk diutarakan, maka setelah termenung
sebentar, katanya lembut kepada Si Cay soat, gadis berbaju merah itu:
"Anak Soat, bebaskan
totokan jalan darah-nya!"
Dengan wajah merah dadu Si Cay
soat mengiakan, lalu dengan kepala tertunduk mendekati pembaringan..
Melihat Si Cay soat berjalan
mendekat.
Lan See giok merasa
kehormatannya seba-gai seorang lelaki merasa tersinggung, hawa amarahnya segera
berkobar, dari balik sepasang matanya yang jeli segera terpancar ke luar cahaya
dingin yang menggidikkan hati.
Huan-kang-ciong liong yang
menyaksikan kejadian itu, paras mukanya segera berubah hebat, setelah memandang
sekejap ke arah kakek berjubah kuning itu dia seperti hendak mengatakan:
"Tenaga dalam yang
dimiliki bocah itu, tampaknya jauh melebihi tingkat usianya..."
Sedang kakek berjubah kuning
itu segera mengangkat bahu sambil manggut-manggut, agaknya banyak persoalan
yang mencekam di dalam hatinya.
Pada saat itulah, Si Cay soat
telah ber-jalan ke depan pembaringan dan melepaskan lima buah pukulan berantai
ke atas jalan darah Mia bun hiat di tubuh Lan See giok.
Dua pukulan. yang pertama
tidak menge-nai sasarannya, baru pada tepukan yang ke tiga Si Cay soat baru
menghajar jalan darah-nya secara tepat.
Setelah menarik kembali
tangannya, de-ngan biji mata yang jeli Si Cay soat me-man-dang sekejap ke arah
Lan See giok, lalu de-ngan jantung berdebar keras berjalan kem-bali.
"Thi gou, temanilah dia
bermain main, ingat, jangan tinggalkan tempat ini," pesan kakek berjubah kuning
itu kemudian dbengan wajah serjius.
Setiap organg pasti akan
bmengerti kalau kakek berjubah kuning itu sedang mem-per-ingatkan Siau Thi gou
agar jangan membiar-kan Lan See giok lari.
Siau Thi gou segera
manggut-manggut dengan mata terbelalak lebar.
Tampaknya kakek berjubah
kuning itu ma-sih mempunyai banyak masalah lain yang hendak dirundingkan dengan
Huan-kang -ciong-liong, begitu selesai meninggalkan pesannya, buru-buru dia
berlalu.
"Mari kita pergi!"
Selesai berkata bersama Huan
kang ciong -liong, buru-buru mereka tinggalkan ruangan itu.
Si Cay soat yang menduga Lan
See giok belum bersantap malampun buru-buru ikut berlalu dari sana.
Sepeninggal ke tiga orang itu,
Siau Thi gou baru berpaling ke arah Lan See giok sambil tertawa, kemudian tegurnya:
"Saudara, bagaimana
perasaanmu seka-rang? Apakah ingin turun untuk berjalan jalan?"
Sejak jalan darahnya bebas
dari pengaruh totokan, diam-diam Lan See-giok telah me-ngatur napasnya untuk
memeriksa seluruh tubuhnya, merasa dirinya segar bugar, hati-nya segera
tergerak, ia merasa bila ingin me-loloskan diri dari mulut harimau, maka ha-rus
memperalat si bocah bermuka hitam ini.
Maka dia duduk dan
manggut-manggut, setelah itu turun dari pembaringan.
Tiba-tiba Siau Thi gou merasa
ruangan di tempat itu terlalu gelap, dia segera mendekati meja untuk
membesarkan lampunya.
Melihat itu, mencorong sinar
tajam dari balik mata Lan See giok, dia merasa kesem-patan baik tak boleh di
sia-sia kan dengan begitu saja, maka setelah maju be-berapa langkah, dengan
suatu gerakan yang cepat bagaikan sambaran kilat dia menotok jalan darah tidur
di tubuh Siau Thi gou.
Waktu itu Siau Thi gou sedang
menyulut lampu dan sama sekali tidak melakukan per-siapan apa-apa, mendadak dia
merasakan datangnya ancaman, tahu-tahu jalan darah tidurnya sudah kena
tertotok.
"Bluuk---!" dia
segera terjatuh ke tanah dan tertidur pulas.
Berhasil denganr serangannya,
Lzan See giok merwasa semakin gugrup, pertama tama dia mengendalikan dulu
debaran jantungnya kemudian baru secara diam-diam menyelinap ke luar dari
kamar, lalu kabur ke belakang bangunan rumah itu.
Waktu itu langit sudah gelap,
bintang ber-taburan di angkasa, cahaya rembulan bersi-nar redup menerangi
seluruh jagad.
Tiba di tepi pagar bambu, Lan
See giok menjejakkan kakinya melambung ke angkasa dan melayang turun di luar
dinding.
la tak berarti mengerahkan
ilmu meri-ngankan tubuhnya untuk melarikan diri, se-bab hal ini akan memancing
perhatian dari si kakek berjubah kuning serta si raga sakti pembalik sungai.
Dengan langkah yang sangat
berhati-hati dan penuh kewaspadaan, anak itu menentu-kan arah tujuannya
kemudian bergerak menuju ke luar hutan bambu---
Suasana di dalam dusun sunyi
senyap, selain suara air telaga yang menubruk tang-gul tiada kedengaran suara
lain.
Ke luar dari hutan bambu itu,
Lan See giok merasakan matanya berkilat tajam, ternyata dia berada di luar
hutan di mana Thio Toa keng sekalian berkelahi dengannya, sedang puluhan kaki
lebih ke depan adalah jalan di tepi tanggul menuju ke tempat kediaman bibi Wan
nya.
Lan See giok merasa gembira
sekali, dia tak menyangka kalau kali ini bisa kabur dengan lancar dan cepat.
Setelah memperhatikan sekejap
sekeliling tempat itu dan yakin kalau si kakek ber-jubah kuning maupun si Naga
sakti pem-balik su-ngai tidak mengejarnya, bocah itu segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya dan melesat ke atas tanggul telaga
Tiba di tepi telaga, dia
segera menyembu-nyikan diri ke belakang sebatang pohon ke-mudian dengan sorot
mata yang tajam mem-perhatikan sekejap sekeliling tempat itu.
Tapi selain air telaga yang
hening dengan angin yang berhembus lewat menggoyang-kan daun serta ranting, di
situ tak nampak seso-sok bayangan manusia pun.
Lan See giok merasa gelisah
bercampur tegang, apalagi tidak menjumpai empek bertelinga satu itu berada di
sana, hatinya semakin gugup dan kalut- -
Ia segera mendongakkan
kepalanya me-meriksa setiap cabang pohon yang tumbuh di sana, dia berharap
empek bertelinga satu itu menyembunyikan diri ditempat itu.
Mendadak . . suatu bentakan
gusar yang penuh bertenaga menggema datang dari ke-jauhan sana:
"Thi gou si bocah ini
kelewat jujur!"
Lan See giok merasa terkejut
sekali, karena suara itu berasal dari naga sakti pembalik sungai Thio Lok-heng.
Dalam keadaan demikian ia tak
sempat mencari si empek bertelinga tunggal lagi, ce-pat-cepat dia membalikkan
badan sambil ka-bur ke atas tanggul telaga.
Tapi ingatan lain segera
melintas dalam benaknya. dia merasa kesempurnaan ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya masih bukan tandingan kakek berjubah kuning, maupun si naga sakti
pembalik sungai, bila sampai ditemukan jejaknya, belum sampai setengah li sudah
pasti akan tersusul.
Berpaling ke arah lain, dia
menyaksi-kan di bawah tanggul di tepi telaga tertambat bebe-rapa buah sampan
kecil, ketika sampan-sampan itu saling bersentuhan segera me-nimbulkan suara
benturan yang nyaring.
Pada saat itulah . . .
terdengar suara ujung baju tersampok angin berkumandang datang dari arah hutan
bambu.
Lan See-giok semakin tegang
setelah mendengar suara itu, dia tahu mustahil baginya bisa kabur, maka
diputuskan untuk menyembunyikan diri untuk sementara waktu di atas sampan.
Berpikir sampai di situ,
buru-buru dia menuruni tanggul itu dan melompat naik ke atas sampan yang penuh
dengan tali jerami, kemudian menggunakan tali tersebut untuk menutupi badannya.
Bau amis ikan yang menusuk
hidung dengan cepat menyelimuti sekeliling tubuh-nya....
Dalam keadaan demikian Lan See
giok ti-dak memikirkan hal semacam itu lagi, de-ngan kening berkerut dia
membaringkan diri, pikirnya: "Hitung-hitung masih mendingan bau amis ini
dari pada bau busuk pil hitam pembebrian si empek bjertelinga tungggal."
Ketika diba mencoba untuk
memasang telinga, terdengarlah suara ujung baju ter-hembus angin itu sudah tiba
di atas tanggul.
Diam-diam Lan See giok merasa
amat ter-peranjat, jantungnya berdebar semakin keras, dia tidak menyangka kalau
gerakan tubuh dari kakek berjubah kuning itu jauh lebih cepat berapa kali lipat
dibandingkan dengan apa yang dia bayangkan semula.
Mendadak suara itu terhenti di
atas tang-gul, menyusul kemudian kedengaran suara dari si Naga sakti pembalik
sungai berkata dengan nada sangat gelisah:
"Locianpwe, menurut
pendapat boanpwe tak mungkin bocah itu lari ke arah telaga."
"Tak bakal salah, aku
mendengar jelas sekali, mungkin dia baru mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya
setelah ke luar dari hutan bambu," sahut kakek berjubah kuning itu dengan
nada pasti.
Peluh dingin segera membasahi
seluruh badan Lan See giok, diam-diam ia bersyukur tidak mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya sedari dalam halaman rumah itu.
Kemudian terdengar kakek itu
berkata lagi:
"Waktu itu aku sama
sekali tidak me-nyangka, tapi ia belum pergi jauh, kemung-kinan besar masih
bersembunyi di sekitar tempat ini . ."
Lan See giok semakin tegang
lagi, saking takutnya dia sampai tak berani bernapas keras-keras, sementara
jantungnya berdetak keras sekali, seakan akan hendak melompat ke luar dari
rongga dadanya saja. Ia men-coba mengintip dari balik celah-celah tali, dari
situ ia dapat melihat si kakek berjubah kuning serta naga sakti pembalik sungai
di atas tanggul.
Waktu itu dengan wajah serius
si kakek berjubah kuning itu sedang memperhatikan sekeliling tempat itu, tangan
kanannya mengelus jenggot tiada hentinya, dia seperti me-rasa cemas dan murung
sekali atas ka-burnya Lan See giok.
Sorot matanya yang semula
ramah dan lembut, kini memancarkan sinar tajam yang menggidikkan hati.
Naga Sakti pembalik sungai
Thio Lok-heng juga melototkan sepasang matanya bulat-bulat dengan wajah gusar,
dengan matanya yang tajam dia sedang celingukan ke sana ke mari, nampak pula
dia sedang marah ber-campur gelisah.
Mendadak kakek berjubah
kuningb itu ber-palingj ke arah muka dgusun sebelah debpan sana . . .
Dengan perasaan terkesiap Lan
See giok berpikir: "Jangan-jangan si empek bertelinga tunggal telah
datang?"
Dia mencoba untuk memasang
telinga baik-baik, benar juga dia mendengar suara ujung baju yang terhembus
angin.
Waktu itu si Naga Sakti
pembalik sungai juga telah mendengar suara tersebut, dengan cepat dia berpaling
pula ke luar dusun.
Tiba-tiba terdengar seseorang
berseru de-ngan gelisah:
"Suhu, apakah Lan
See-giok berhasil dite-mukan?"
Mendengar suara itu. Lan
See-giok segera mengenalinya sebagai Si Cay-soat atau gadis cilik berbaju merah
itu.
Kakek berbaju kuning dan naga
Sakti pembalik sungai menggelengkan kepalanya berulang kali, sorot mata mereka
tetap ber-alih ditempat kejauhan sana.
Bayangan merah nampak
berkelebat lewat, tahu-tahu Si Cay-soat telah berhenti di antara si kakek
berjubah kuning, dengan si naga sakti pembalik sungai.
Tampak paras muka Si Cay soat
pucat pias, alis matanya bekernyit dan wajahnya penuh kegelisahan, sepasang
mata yang jeli berkilat.
Akhirnya sinar mata gadis itu
dialihkan ke atas beberapa buah sampan kecil di bawah tanggul.
Lan See-giok amat terkesiap,
dia tahu bakal celaka bila jejaknya ketahuan, tanpa terasa peluh dingin jatuh
bercucuran.
Mendadak sepasang mata Si Cay
soat ber-kilat, paras mukanya berubah hebat dan hampir saja ia menjerit,
rupanya dia telah menemukan dua titik sinar mata tajam di balik tumpukan tali
dalam sampan kecil se-belah tengah.
Melihat itu, Lan See giok
merasa kepala-nya kontan menjadi pusing tujuh keliling, napas-nya, sesak dan
jantungnya seperti melompat ke luar dari rongga dadanya.
Sekarang dia baru menyesal
kenapa me-nyembunyikan diri dalam sampan kecil itu sehingga jejaknya ketahuan.
Berada dalam keradaan seperti
izni, dia tak berwani berkutik, jruga tak berani lari, sebab bila sampai
ketahuan maka ibaratnya katak masuk tempurung, jangan harap bisa me-lo-loskan
diri lagi.
Si Cay soat yang berada di
atas tanggul juga membelalakkan matanya dengan wajah kaget serta tertegun,
mulutnya ditutup de-ngan tangan sementara sorot, matanya nam-pak gugup
bercampur panik.
Peluh bercucuran dengan derasnya
mem-basahi seluruh badan Lan See giok, ia tahu asal Si Cay soat menuding ke
bawah sambil menjerit, niscaya dia akan dibekuk kembali.
Suasana amat hening . . .
beberapa saat kemudian Si Cay soat baru berhasil me-ne-nangkan hatinya seraya
berpaling ke arah lain, sekalipun matanya celingukan kesana ke mari, tapi
wajahnya yang gugup dan ce-mas kelihatan jelas sekali.
Lan See giok turut tertegun,
dia tidak habis mengerti apa sebabnya gadis itu tidak berte-riak? Mungkinkah
dia tidak melihat jelas? Tapi setelah dipikirkan kembali, ia merasa hal ini
mustahil . . .
Atau mungkin gadis itu sengaja
hendak melepaskan dirinya? Tapi mengapa pula dia berbuat demikian . . .
Makin dipikir Lan See giok
merasa makin kebingungan dan tidak habis mengerti, hati nya bergoyang seperti
ayunan sampan, meski sudah diusahakan untuk ditenangkan kem-bali namun tak
bisa.
Sementara butiran air keringat
bercucuran dengan derasnya dan membasahi kepala, rambut dan masuk ke dalam
telinganya....
ooo0ooo
BAB 5
NONA CANTIK BERBAJU PUTIH
DI TENGAH keheningan yang
mencekam seluruh jagat, mendadak terdengar si Naga sakti pembalik sungai
berkata dengan sedih:
"Locianpwe, mungkin bocah
itu sudah lari, lebih baik besok pagi kita langsung mencari Oh Tin san untuk
minta orang ...."
Kakek berbaju kuning itu
menggelengkan kepalanya berulang kali, belum habis si naga Sakti pembalik
sungai menyelesaikan kata katanya, ia te1ah berkata dengan gelisah:
"Tidak, besok pagi
terlalu lambat, sekarang dan malam ini juga kita harus mencegah Lan See-giok
agar jangan pergi ke tempat ke-di-aman Bibi Wan nya..."
Si naga sakti pembalik sungai
termenung sebentar, kemudian tanyanya dengan tidak habis mengerti:
"Locianpwe, apakah kau
menganggap kitab pusaka Hud bun cinkeng tersebut berada di rumah kediaman bibi
Wan nya Lan See giok?"
(Bersambung ke Bagian 06)