Anak Harimau Bagian 05

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 05

Bagian 05

Belum lagi Lan See giok mengajukan se-suatu pertanyaan. Tiba-tiba terasa bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu Oh Tin San sudah melewati dari sisinya dan meng-hampiri orang itu.

Paras muka Oh Tin san nampak pucat pias pula seperti mayat, sementara sepasang mata sesatnya berkedip kedip tanpa tujuan.

Agaknya waktu itu orang yang terluka tersebut telah mendengar suara manusia, pelan-pelan diapun membuka kembali sepasang matanya dengan sayu dan lemah.

Ketika orang itu berjumpa dengan Oh Tin san, sorot matanya semakin memancarkan rasa kaget dan gelisah, bibirnya yang pucat pias gemetar tiada hentinya, kulit mukanya mengejang terus. Dia seperti hendak mengu-capkan sesuatu kepada 0h Tin san, tapi seperti pula merasa ketakutan setengah mati.

Lan See giok sangat tidak mengerti menghadapi kejadian seperti itu, baru saja dia hendak berjongkok untuk mengajukan pertanyaan, mendadak terdengar Oh Tin san membentak keras:

"Jangan kau sentuh dia. . ."

Lan See giok amat terperanjat, serta merta dia melompat bangun dengan perasaan tak menentu.

Paras muka Oh Tin san kelihatan berubah sangat aneh, matanya yang sesat ber-keliaran kesana ke mari dengan panik, akhirnya dengan suara rendah tapi tegang bisiknya:

"Cepat kau lari ke tepi sungai dan ambil-kan sedikit air!"

Lan See giok tak berani berayal, dia tahu empek bertelinga satu hendak me-nyelamat-kan orang itu, cepat-cepat dia lari menuju ke tepi sungai tersebut.

Dengan cepat dia mengambil air dengan sepasang tangannya, kemudian cepat-cepat lari balik ke tempat semula.

Tapi ketika ia tiba di situ, tampak oleh-nya Oh Tin san sedang memandang ke arah peti mati itu sambil menggelengkan kepala-nya berulang kali.

"Lan See giok merasa amat terperanjat. dia tahu gelagat tidak beres, cepat-cepat diham-pirinya peti mati itu, ternyata orang tersebut sudah tewas dalam keadaan me-ngerikan. wajahnya masih diliputi oleh perasaan kaget dan marahnya, sementara sepasang matanya membalik ke atas.

Ketika melihat pula wajah Oh Tin san, meski sikapnya jauh lebih tenang namun air keringat nampak membasahi jidat serta hidungnya.

Dengan perasaan tak habis mengerti Lan See giok segera bertanya:

"Empek, mengapa orang itu mati?"

Oh Tin san segera menghela napas pan-jang, katanya dengan sedih:

"Luka yang dideritanya kelewat parah"

Seraya berkata, tanpa terasa dia menyeka air keringat yang membasahi jidatnya, se-te-lah itu ujarnya lebih jauh.

"Anak Giok, mari kita pergi!"

Sampai di situ, dia lantas membalikkan badannya siap berlalu dari situ.

"Empek. apakah kita tak akan mengubur nya lebih dulu?" seru Lan See giok dengan gelisah.

Mendengar itu. Oh Tin san segera menghentikan langkahnya sambil membalik kan badan, kemudian setelah memandang ke arah Lan See-giok, katanya:

"Sungguh tak kusangka kau si bocah ber-jiwa ksatria dan penuh rasa kemuliaan, baiklah, pergilah kau untuk mencari bebe-rapa buah peti mati yang sudah rusak!"

Lan See giok tidak menjawab, dia segera pergi mencari kayu.

Melihat itu. Oh Tin-san segera mencibir-kan sekulum senyuman dingin yang meng-gidik-kan hati.

Lan See giok merasa tidak habis mengerti, tapi dia lantas menduga mungkin empeknya menggerutu kepadanya karena banyak urusan, maka diapun tidak memikirkan per-soalan itu di dalam hati, papan peti mati yang berhasil dikumpulkan itu lantas dijajar-kan ke atas tanah.

Mendadak....

Mencorong sinar mata Lan See-giok. dengan wajah berubah hebat ia membuang kayu peti mati yang masih dipegangnya tadi dan segera berjongkok.

Ia menyaksikan gumpalan darah memba-sahi iga kiri orang itu, ternyata pada tulang iga ke tiga di bawah ketiak kirinya terdapat sebuah mulut luka sebesar buah tho.

Dengan cepat Lan See giok menjadi sadar kembali, tampaknya orang inilah orang yang kena tertusuk oleh senjata gurdi emas dari balik dinding ruangan semalam, mungkin oleh si manusia bermata satu itu dia di buang di sana.

Maka seraya mendongakkan kepalanya, dia berkata kepada On Tin san.

"Empek tampaknya orang inilah yang tanpa sengaja dilukai oleh Si bayangan setan bermata tunggal dengan senjata gurdi emas se-malam. -"

Oh Tin san berlagak seakan akan terkejut bercampur keheranan, kemudian sorot mata nya dialihkan ke tubuh mayat tersebut dan tidak berkata apa-apa lagi.

"Coba kalau empek berhasil menolong jiwa orang ini, keadaannya pasti akan lebih baikan!" seru Lan See giok kemudian sambil mengawasi mayat tersebut.

"Mengapa?" tanya Oh Tin san seperti tak mengerti.

"Sudah pasti orang ini mengetahui siapa-kah pembunuh terkutuk yang telah membi-nasakan ayahku!"

Sembari menggumam dia lantas bekerja keras untuk mengebumikan jenazah orang itu,

Dengan tenang Oh Tin-san memperhati-kan Lan See giok bekerja, dia tidak berbicara pun tidak berkutik, seakan-akan benaknya penuh dengan persoalan.

Menanti Lan See-giok selesai bekerja, dia baru berkata lagi:

"Mari kita pergi !"

Sambil berkata, ia lantas berjalan paling dulu.

Lan See-giok memandang sekejap ke arah peti mati yang sudah tertutup rapat itu, ke-mudian baru menyusul di belakang Oh Tin san.

"Empek, apakah kau kenal dengan orang ini?" tanyanya kemudian dengan perasaan ingin tahu.

Oh Tin san termenung dan berpikir bebe-rapa saat, kemudian baru sahutnya:

"Aku tidak kenal dengan orang ini, tapi kalau dilihat dari ciri khas wajahnya yang berbentuk segi tiga, beralis lebar, kepalanya ada benjolan daging, tampaknya dia mirip sekali dengan To ciok-siu (binatang bertan-duk tunggal) Siau gi . . ."

Hampir saja Lan See giok menjerit ter-tahan setelah mendengar nama orang itu, diam-diam dia merasa keheranan, kenapa gelar yang digunakan orang-orang itu semua nya menggunakan kata To ?

Si mata tunggal, si lengan tunggal, si kaki tunggal, si tanduk tunggal, masih ada apa tunggal lagi? Tiada hentinya dia berpikir di dalam hati kecilnya . .

Mendadak, berkedip sepasang mata Lan See giok, sekujur badannya menggigil keras, ketika ia mendongakkan kepala tampak olehnya Oh Tin-san sudah berada puluhan kaki jauhnya di depan sana.

Sekarang dia telah dapat menenangkan kembali hatinya, maka tubuhnya segera ber-gerak lagi ke depan, sementara sepasang matanya yang jeli mengawasi terus telinga Oh Tin san yang tinggal satu itu.

Lan See giok mempunyai persoalan di dalam hati, maka dia pun mengerahkan segenap kekuatannya untuk melakukan per-jalanan, tak selang berapa saat kemudian ia telah berhasil menyusul si kakek itu.

Sekali lagi dia mendongakkan kepalanya memperhatikan telinga Oh Tin san yang ting-gal satu, kemudian bibirnya bergetar bebe-rapa kali seperti menggumamkan se-suatu.

Tapi, bagaimanapun juga dia merasa tak punya keberanian untuk menanyakan julu-kan dari empeknya ini, tapi ingatan lain berkecamuk pula dalam benaknya untuk menyanggah jalan pemikiran yang pertama:

"Aaaah- masa empek pun mempunyai ju-lukan yang mempergunakan julukan To--

Sementara ingatan itu masih melintas di dalam benaknya, kedua orang itu sudah berjalan ke luar dari hutan, di depan mata sekarang terbentang persawahan dan hutan bambu.

Oh Tin san mendongakkan kepalanya me-mandang sekejap matahari yang telah con-dong ke barat, lalu tanyanya dengan suara lembut:



"Giok ji, kita harus menuju ke arah mana?

Lan See giok mengamati sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sambil menunjuk ke arah tenggara. sahutnya:

"Telusuri jalanan kecil itu menuju ke arah tenggara!"

Dengan gembira Oh Tin san mengangguk, lalu serunya, dengan nada tak sabar:

"Giok ji, mari kita lakukan perjalanan dengan sepenuh tenaga!"

Sambil berkata die segera berangkat lebih dulu.

Sambil berjalan cepat, tiada hentinya Lan See giok berpikir, setibanya di rumah bibi Wan nanti, bagaimanakah caranya ia me-ngi-sahkan peristiwa tragis yang telah me-nimpa ayahnya.

Selain itu, diapun hendak memohon kepada bibi Wan untuk mengeluarkan kotak kecil itu, dia ingin memeriksa sendiri isinya apa-kah benar sejilid kitab Hud bun cinkeng yang diidamkan oleh setiap umat persilatan.

Dia hendak menuturkan pula semua kisah kejadian yang dialaminya di makam kuno, dia akan menerangkan pula orang-orang yang mencurigakan itu satu per satu, agar bibi Wan nya bisa menganalisa dan menyim-pulkan siapa gerangan musuh besar yang telah membinasakan ayahnya.

Kemudian, diapun membayangkan kembali si empek bertelinga tunggal itu...

Mendongakkan kepalanya, ia saksikan em-pek bertelinga tunggal itu sudah berada pu-luhan kaki di depan sana, kalau dilihat dari bayangan punggungnya, tampak kalau em-peknya itupun sedang termenung.

Dikejauhan sana sudah muncul sebuah dusun nelayan, di samping dusun merupa-kan sebuah telaga yang luas, itulah telaga Huan yang cu.

Lan See giok menyaksikan Oh Tin san ber-gerak makin lama semakin cepat, jarak mereka pun makin lama selisih semakin jauh..

Dia tak berniat untuk menyusulnya. karena pada detik itu pula dia sedang mem-pertimbangkan perlukah mengajak empeknya berkunjung ke rumah bibi Wannya.

Sekalipun Oh Tin San telah membeli hio dan memeluk jenazah ayahnya sambil me-nangis tersedu sedu, bahkan membantunbya sehingga ia jmemperoleh tenagga dalam yang hbebat, tapi sekarang dia mulai merasakan banyak hal yang mencurigakan.

Yaa, pada hakekatnya pukulan batin yang dirasakan Lan See giok akibat peristiwa yang terjadi semalaman ini terlalu berat, terlalu banyak, persoalan yang dihadapinya pun kelewat banyak.

Benar, dia adalah seorang anak yang cer-das tapi sebelum hatinya menjadi tenang kembali rasanya mustahil baginya untuk memecahkan rentetan teka teki yang diha-dapinya sekarang.

Mendadak ia mendengar Oh Tin San se-dang menegur dari depan sana:

"Giok ji, apa yang sedang kau pikirkan?"

Suaranya agak gemetar, seperti lagi mena-han rasa kaget yang luar biasa .....

Mendengar teguran itu, Lan See giok segera menghentikan gerakan tubuhnya sembari menengadah, entah sedari kapan, empek bertelinga tunggalnya telah berhenti di ping-gir jalan.

Ia menjumpai paras muka kakek itu pucat pias seperti mayat, perasaan tegang dan ta-kutnya amat tebal menyelimuti wajahnya, dengan perasaan tidak habis mengerti dia lantas berkata:

"Empek, ada urusan apa?"

"Giok ji, dapatkah andaikata kita tak usah melewati kampung nelayan ini . . " tanya Oh Tin San sambil berusaha untuk menenang-kan hatinya.

Tergerak hati Lan See giok setelah mendengar ucapan tersebut, sinar matanya segera dialihkan ke depan.

Ternyata mereka sudah tiba di kampung nelayan di mana dia berkelahi dengan si bo-cah hitam kemarin, maka tanyanya:

"Kau maksudkan kampung nelayan ini?"

"Yaa. apakah kita bisa tak usah melewati tempat ini?"

Dengan cepat anak itu menggeleng.

"Tidak mungkin, karena aku hanya kenal sebuah jalanan ini saja . . ." Belum habis anak itu berbicara, Oh Tin san kembali me-nukas dengan perasaan cemas:

"Bibi Wan-mu itu sebetulnya tinggal di dusun apa?"

"Apa nama dusun itu aku kurang tahu, tapi aku tahu rumah yang didiami bibi Wan dalam dusun tersebut."

Perasaan gelisah dan marah menbyelimuti wajah jOh Tin san, kengingnya yang kelbimis bekernyit, lama kemudian dia baru ber-tanya lagi:

"Dahulu, bagaimana caramu untuk pergi ke sana?"

Lan See giok tidak begitu memperhatikan maksud dari pertanyaan itu, segera jawaban-nya .

"Dulu, ayah melukiskan sebuah peta jalan untukku, dan akupun berjalan mengikuti peta tersebut"

Mencorong sinar tajam dari balik mata Oh Tin san setelah mendengar perkataan itu, selintas rasa kejut bercampur girang, meng-hiasi wajahnya yang jelek, serunya cepat:

"Mana peta itu sekarang?"

Tak sabar dia lantas mengulurkan tangan kanannya yang kurus kering.

Sekali lagi Lan See giok menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Sayang peta itu sudah diminta oleh bibi Wan!"

Paras muka Oh Tin san kembali berubah hebat, sekarang wajahnya yang jelek tampak menyeringai seram tangan kanannya yang kurus gemerutukan keras, seakan akan kalau bisa dia hendak mencekal Lan See giok sampai mampus. .

"Empek mengapa kita tidak pergi ber-sama saja?" seru Lan See giok kemudian dengan perasaan tidak mengerti.

Pelan-pelan air Muka Oh Tin san ber-ubah menjadi lembut kembali, senyumpun kembali menghiasi wajahnya, cuma diantara kerutan alis matanya masih nampak perasaan kaget dan gelisahnya.

"Giok ji" kembali dia berkata setelah melirik sekejap ke arah dusun. "kau boleh melanjut-kan perjalanan lebih dulu, tunggu aku di de-pan dusun sana, sampai kita ber-temu lagi, tahu?"

Walaupun Lan See giok tidak mengerti dengan maksud tujuan orang, tapi ia toh mengangguk juga.

Oh Tin san segera menepuk bahu Lan See giok dengan hangat, lalu berkata lagi:

"Giok ji, pergilah! Ingat, sampai kita bertemu lagi!"

Lan See giok mengiakan, dengan perasaan bimbang dia melanjutkan kembali perjalanan nya memasuki dusun.

Kini, dia sudahr mulai menaruh zcuriga ter-hadawp kakek bertelirnga tunggal itu, terutama sekali wajah jeleknya yang berubah ubah tak menentu, makin lama semakin menimbulkan perasaan muak di dalam hati kecilnya.

Dia ingin sekali meninggalkan kakek itu, tapi diapun berharap bisa mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi, meski ilmu silat empek itu tidak begitu lihay, paling tidak setiap bu-lan setelah menelan pil hitam yang busuk dan amis, tenaga dalamnya akan memperoleh kemajuan yang cukup pesat.

Ia memang dapat merasakan manfaatnya, paling tidak tenaga dalam yang dimilikinya sekarang berapa tingkat lebih dahsyat dari pada kemarin.

Berpikir sampai di situ, diam-diam ia merasa berterima kasih sekali terhadap jasa empeknya, maka rasa curiga dan muaknya pun turut lenyap tak berbekas.

Hanya saja, dia masih tidak habis me-ngerti mengapa empeknya menunjukkan sikap yang begitu tegang dan gelisah, bahkan menampik untuk bersama sama melalui dusun nelayan itu---

Sementara otaknya berputar. tanpa terasa ia sudah tiba di depan dusun, ketika men-dongakkan kepalanya. ia menjadi amat terpe-ranjat.

Kurang lebih lima kaki di hadapannya, di bawah sebatang potion besar, duduklah si kakek berjubah kuning yang pernah di jum-painya semalam.

Dengan wajah penuh senyuman kakek berjubah kuning itu duduk di atas sebuah batu hijau dan sedang mengawasinya dengan lembut, wajahnya yang merah dan penuh keramahan tampak berwarna merah ber-ca-haya di bawah sinar matahari sore.

Lan see giok sama sekali tak menyangka kalau begitu masuk ke dusun nelayan itu, dia lantas berjumpa dengan kakek berjubah kuning tersebut.

Sekalipun dia sedang membutuhkan kete-rangan dari kakek berjubah kuning itu ten-tang sebab musabab yang sebenarnya dari kematian ayahnya serta asal usul orang-orang yang julukannya dimulai dengan huruf "To" tersebut.



Tapi sekarang ia tak dapat melakukannya, dia harus berangkat ke rumah kediaman bibi Wan-nya bersama empek bertelinga tungga1.

Teringat akan empek bertelinga tunggal itu, kembali tergerak hatinya, jangan-jangan Oh Tin san kenal dengan kakek berjubah kuning itu? Atau mungkin di antara mereka terikat dendam kesumat?

Berpikir sampai di situ, serta merta dia lantas berpaling ke arah belakang, tapi ba-yangan tubuh Oh Tin san sudah lenyap tak berbekas.

Menanti dia berpaling lagi, kakek ber-jubah kuning itu telah berada di depan tubuhnya.

Waktu itu dia sedang memandang Lan See-giok sambil tertawa terbahak bahak, lalu tegurnya dengan ramah:

"Nak, apakah kau datang untuk mencari diriku?"

Karena ditegur, mau tak mau Lan See -giok harus menghentikan langkahnya, dengan ce-pat dia menggeleng.

"Mengapa nak?" tanya kakek berjubah kuning itu sangat terkejut bercampur kehe-ranan.

Sembari berkata, seperti sengaja tak se-ngaja dia melirik sekejap ke arah bawah di mana Lan See giok berasal.

Waktu itu Lan See giok ingin buru-buru pergi ke tempat tinggal Bibi Wannya, diapun takut empek bertelinga tunggal itu menunggu kelewat lama di depan dusun sana ditambah pula dia memang mencurigai si kakek ber-jubah kuning sebagai salah seorang yang tu-rut ambil bagian dalam persekongkolan peristiwa pembunuhan terhadap ayahnya, maka dengan nada mendongkol dia berkata:

"Mengapa? Apakah aku, harus memberi-ta-hukan kepadamu? Sekarang aku ada urusan dan tak bisa banyak berbicara denganmu."

Seraya berkata dia lantas menghindari si kakek berjubah kuning itu dan berjalan menuju ke dalam dusun.

Kakek berjubah kuning itu berkerut ke-ning, wajahnya kelihatan agak gelisah, sete-lah memandang sekejap ke arah dusun, mendadak ia bangkit berdiri kemudian mem-bentak keras:

"Manusia jumawa, hari ini jikab lohu tidak memjberi pelajaran gkepadamu, kau pbasti akan menganggap di dunia ini tiada hukum lagi."

Sambil membalikkan badan, ujung bajunya segera dikebaskan ke depan, menggunakan kesempatan itu kelima jari tangannya segera diayunkan ke depan menghajar jalan darah Pay wi hiat di tubuh bocah tersebut.

Lan See giok amat terkejut setelah men-dengar seruan itu, ia tahu kalau bukan tandingan kakek berjubah kuning tersebut, terpaksa dia kabur mengambil langkah seribu.

Sayang serangan itu datangnya lebih cepat, di mana angin serangan berkelebat lewat, jalan darah Pay wi hiat nya kena tertotok se-cara telak...

Sepasang kakinya segera menjadi lemas dan "Bluuk!" tubuh Lan See giok segera ter-jungkal ke atas tanah.

Lan See giok merasa terkejut bercampur kaget, terkejut karena i1mu silat si kakek berjubah kuning itu sangat lihay, ternyata ia dapat menotok jalan darahnya yang telah di geserkan letaknya, malah karena dengan perbuatan ini, maka tak disangkal lagi kakek berjubah kuning ini adalah salah seorang yang berkomplot untuk membunuh ayahnya.

Semakin dipikirkan Lan See-giok merasa semakin gusar, sambil menggertak gigi dia mengawasi kakek berjubah kuning itu de-ngan penuh kegusaran.

Semakin dipikir Lan See-giok, merasa makin gusar, akhirnya sambil menggertak gigi dan melotot besar pelan-pelan dia menghampiri kakek berjubah kuning itu.

Pada saat itu . . . .

Dari dalam dusun sana melesat ke luar dua sosok bayangan manusia, satu berwarna hitam dan satu berwarna merah, dengan ke-cepatan bagaikan sambaran petir mereka meluncur tiba.

Ketika Lan See-giok berpaling, dia segera mengenali kedua orang itu sebagai si nona berbaju merah Si Cay soat dan si bocah hi-tam Siau Thi gou adanya.

Tampak Siau Thi gou berlari mendekat sambil berteriak teriak penuh kegembiraan:

"Suhu...suhu, kenapa sampai sekarang kau baru kembali, semalam Thio lo koko ma-sih menunggu dirimu untuk minum arak!"

Lan See giok segera mendengus bdingin, sepasanjg matanya yang gmerah karena meb-ngawasi Si Cay soat dan siau Thi gou tanpa berkedip.

Bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu mereka berdua telah tiba di depan mata, tapi ketika kedua orang itu me-nyaksikan Lan See giok yang tergeletak di tanah, kontan saja mereka jadi tertegun.

Si Cay soat membelalakkan sepasang ma-tanya lebar-lebar, paras mukanya ber-ubah beberapa kali, kejut dan girang me-nyelimuti wajahnya, segera teriaknya:

"Suhu, dialah Lan See giok yang kumaksud kan sebagai bocah lelaki yang tidak roboh meski jalan darahnya tertotok!"

Paras muka si kakek berjubah kuning itu bercampur aduk tak karuan, terhadap uca-pan dari bocah perempuan berbaju merah itu dia hanya mengiakan belaka.

Kemudian kepada Siau Thi gou katanya dengan suara dalam.

"Thi gou, gusur dia pulang!"

Siau Thi gou segera menenangkan hatinya lalu memburu ke depan Lan See giok, dengan kening berkerut dan menjura, katanya de-ngan suara lantang;

"Saudara . . "

"Tak usah banyak bicara, cepat gusur pergi!" bentak kakek berjubah kuning itu gusar.

Siau Thi gou amat terperanjat, buru-buru dia membungkukkan badan dan membopong Lan See giok, kemudian cepat-cepat mem-balikkan badan dan berlalu dari situ.

Jalan darah di tubuh Lan See giok sudah tertotok, seluruh badannya terasa lemas tak bertenaga, ia merasa seakan akan tubuh mulai dari pinggang sampai ke bawah seperti sudah bukan menjadi miliknya sendiri.

Dalam keadaan seperti ini, selain gusar diapun merasa takut, dia kuatir kalau empek bertelinga tunggal itu tak berhasil menemu-kan tempat tinggal bibi Wan nya sehingga tiada orang yang bisa menyampai kan berita tentang kematian ayahnya.

Ia tahu bahwa ilmu silat yang dimiliki kakek berjubah kuning itu sangat hebat, setelah tertotok sekarang, untuk kabur mungkin jauh lebih sukar daripada naik ke langit, maka semakin dipikirkan dia merasa semakin mendongkol dan gelisah.

Siau Thi gou bernar-benar berteznaga besar bagawikan kerbau bajra persis seperti nama nya, sekalipun sedang membopong tubuh Lan See giok, ternyata ia masih bisa berjalan dengan langkah tegap.

Dengan kening berkerut dan wajah serius kakek berjubah kuning itupun mengikuti di belakang Thi gou, dia seperti merasa murung sekali karena masalah Lan See giok.

Si Cay soat, si gadis berbaju merah itu mengikuti di samping kakek berjubah kuning wajahnya yang cantik nampak pula diliputi perasaan amat gelisah dan cemas.

Kini dia merasa menyesal, menyesal telah memberitahukan kepada gurunya bahwa Lan See giok tidak roboh meski jalan darahnya tertotok.

Dia masih ingat, ketika gurunya men-de-ngar berita itu kemarin, paras mukanya segera berubah hebat, kemudian setelah mencari tahu arah yang dituju Lan See giok, dengan langkah tergesa-gesa dia menyusul ke luar dusun.

Sungguh tak disangka, ternyata bocah itu berhasil disusul oleh gurunya.

Tapi dia percaya keselamatan jiwa Lan See giok sudah pasti tak akan terancam, karena dia tahu gurunya adalah seorang kakek yang saleh dan sangat welas kasih terhadap siapa-pun.

Dalam waktu singkat Siau Thi gou sudah membopong Lan See giok memasuki hutan bambu dan tiba di depan sebuah pekarangan rumah.

Lan See giok mencoba untuk memandang ke depan, ternyata rumah bambu itu berderet dikelilingi sebuah halaman yang luas.

"Lompat masuk!" bisik kakek berjubah kuning itu mendadak.

Siau Thi gou mengiakan, dia segera melompat ke tengah udara dan melayang masuk, ke balik dinding pekarangan, sekali-pun di bahunya harus membopong tubuh Lan See giok, sewaktu kakinya mencapai permukaan tanah ternyata tidak menimbul-kan sedikit suarapun.

Lan See giok tak dapat berbicara, tak dapat berkutik, tapi diam-diam ia merasa kagum sekali atas kesempurnaan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Siau Thi gou.



Dengan membopong tubuh Lan See giok, Siau Thi gou mengitari sebuah rumah bambu dan memasuki sebuah halaman kecil.

Thi gou berpaling dan memandang sekejap kearah kakek berjubah kuning itu, kemudian dia berjalan masuk ke dalam ruangan sebe-lah timur.

Sebelum Lan See giok sempat melihat jelas dekorasi yang berada dalam ruangan itu, tubuhnya sudah di baringkan oleh Siau Thi gou di atas pembaringan.

Kakek berjubah kuning dan Si Cay soat segera menyusul pula ke dalam ruangan

Saat itulah mendadak terdengar suara se-o-rang kakek yang tua dan serak bertanya:

"Apakah Locianpwe telah kembali?".

Sesosok bayangan tubuh yang tinggi besar telah muncul dari balik pintu ruangan.

Lan See giok kembali memperhatikan orang itu, ia saksikan orang tersebut mempunyai perawakan badan yang tinggi besar dan be-rambut putih, alis matanya tebal, matanya besar, hidung singa dan mulut lebar, dia nampak gagah dan mentereng sekali.

Kakek berjubah-kuning itu segera memba-likkan badan sambil menyongsong keda-tangan orang itu.

Si Cay soat dan Siau Thi gou segera mem-beri hormat pula sambil memanggil:

"Thio toako . . . . "

Mendengar nama itu, Lan See giok segera tahu kalau orang yang masuk adalah ayah Thio Toa keng, yaitu orang yang dimaksud-kan kakek berjubah kuning itu sebagai Huan kang ciong liong ( naga sakti pembalik sungai ) Thio Lok heng .

Gerak gerik Huan kang ciong liong Thio Lok heng terhadap kakek berbaju kuning itu sa-ngat hormat, tapi begitu menyaksikan Lan See giok, paras mukanya segera berubah he-bat, serunya dengan suara rendah:

"Locianpwe, ternyata kau benar-benar telah menemukan si gurdi emas . - ."

Belum habis Huan kang ciong liong me-nyelesaikan kata-katanya, kakek berjubah kuning itu telah memberi tanda agar dia ja-ngan berbicara lebih jauh.

Tergerak hati Lan See giok, dia tahu yang dimaksudkan sebagai Huan kang-ciong liong adalah gelar ayahnya yaitu si Gurdi ebmas peluru perajk.

Kalau ditingjau dari hal inbi, bisa ditarik ke-simpulan kalau Huan kang ciong liong dan kakek berjubah kuning adalah pembunuh ayahnya.

Sementara itu, Huan kang-ciong liong Thio Lok-heng telah memburu ke tepi pemba-ringan dan menatap wajah Lan See giok lekat--lekat, setelah memperhatikan sekejap dengan gelisah, diapun bertanya lagi kepada kakek berjubah kuning itu dengan nada hormat:

"Locianpwe, bila jalan darah bocah ini ter-totok kelewat lama, apakah ia tak akan terlu-ka?"

Tampaknya kakek berjubah tuning itu mempunyai kesulitan untuk diutarakan, maka setelah termenung sebentar, katanya lembut kepada Si Cay soat, gadis berbaju merah itu:

"Anak Soat, bebaskan totokan jalan darah-nya!"

Dengan wajah merah dadu Si Cay soat mengiakan, lalu dengan kepala tertunduk mendekati pembaringan..

Melihat Si Cay soat berjalan mendekat.

Lan See giok merasa kehormatannya seba-gai seorang lelaki merasa tersinggung, hawa amarahnya segera berkobar, dari balik sepasang matanya yang jeli segera terpancar ke luar cahaya dingin yang menggidikkan hati.

Huan-kang-ciong liong yang menyaksikan kejadian itu, paras mukanya segera berubah hebat, setelah memandang sekejap ke arah kakek berjubah kuning itu dia seperti hendak mengatakan:

"Tenaga dalam yang dimiliki bocah itu, tampaknya jauh melebihi tingkat usianya..."

Sedang kakek berjubah kuning itu segera mengangkat bahu sambil manggut-manggut, agaknya banyak persoalan yang mencekam di dalam hatinya.

Pada saat itulah, Si Cay soat telah ber-jalan ke depan pembaringan dan melepaskan lima buah pukulan berantai ke atas jalan darah Mia bun hiat di tubuh Lan See giok.

Dua pukulan. yang pertama tidak menge-nai sasarannya, baru pada tepukan yang ke tiga Si Cay soat baru menghajar jalan darah-nya secara tepat.

Setelah menarik kembali tangannya, de-ngan biji mata yang jeli Si Cay soat me-man-dang sekejap ke arah Lan See giok, lalu de-ngan jantung berdebar keras berjalan kem-bali.

"Thi gou, temanilah dia bermain main, ingat, jangan tinggalkan tempat ini," pesan kakek berjubah kuning itu kemudian dbengan wajah serjius.

Setiap organg pasti akan bmengerti kalau kakek berjubah kuning itu sedang mem-per-ingatkan Siau Thi gou agar jangan membiar-kan Lan See giok lari.

Siau Thi gou segera manggut-manggut dengan mata terbelalak lebar.

Tampaknya kakek berjubah kuning itu ma-sih mempunyai banyak masalah lain yang hendak dirundingkan dengan Huan-kang -ciong-liong, begitu selesai meninggalkan pesannya, buru-buru dia berlalu.

"Mari kita pergi!"

Selesai berkata bersama Huan kang ciong -liong, buru-buru mereka tinggalkan ruangan itu.

Si Cay soat yang menduga Lan See giok belum bersantap malampun buru-buru ikut berlalu dari sana.

Sepeninggal ke tiga orang itu, Siau Thi gou baru berpaling ke arah Lan See giok sambil tertawa, kemudian tegurnya:

"Saudara, bagaimana perasaanmu seka-rang? Apakah ingin turun untuk berjalan jalan?"

Sejak jalan darahnya bebas dari pengaruh totokan, diam-diam Lan See-giok telah me-ngatur napasnya untuk memeriksa seluruh tubuhnya, merasa dirinya segar bugar, hati-nya segera tergerak, ia merasa bila ingin me-loloskan diri dari mulut harimau, maka ha-rus memperalat si bocah bermuka hitam ini.

Maka dia duduk dan manggut-manggut, setelah itu turun dari pembaringan.

Tiba-tiba Siau Thi gou merasa ruangan di tempat itu terlalu gelap, dia segera mendekati meja untuk membesarkan lampunya.

Melihat itu, mencorong sinar tajam dari balik mata Lan See giok, dia merasa kesem-patan baik tak boleh di sia-sia kan dengan begitu saja, maka setelah maju be-berapa langkah, dengan suatu gerakan yang cepat bagaikan sambaran kilat dia menotok jalan darah tidur di tubuh Siau Thi gou.

Waktu itu Siau Thi gou sedang menyulut lampu dan sama sekali tidak melakukan per-siapan apa-apa, mendadak dia merasakan datangnya ancaman, tahu-tahu jalan darah tidurnya sudah kena tertotok.

"Bluuk---!" dia segera terjatuh ke tanah dan tertidur pulas.

Berhasil denganr serangannya, Lzan See giok merwasa semakin gugrup, pertama tama dia mengendalikan dulu debaran jantungnya kemudian baru secara diam-diam menyelinap ke luar dari kamar, lalu kabur ke belakang bangunan rumah itu.

Waktu itu langit sudah gelap, bintang ber-taburan di angkasa, cahaya rembulan bersi-nar redup menerangi seluruh jagad.

Tiba di tepi pagar bambu, Lan See giok menjejakkan kakinya melambung ke angkasa dan melayang turun di luar dinding.

la tak berarti mengerahkan ilmu meri-ngankan tubuhnya untuk melarikan diri, se-bab hal ini akan memancing perhatian dari si kakek berjubah kuning serta si raga sakti pembalik sungai.

Dengan langkah yang sangat berhati-hati dan penuh kewaspadaan, anak itu menentu-kan arah tujuannya kemudian bergerak menuju ke luar hutan bambu---

Suasana di dalam dusun sunyi senyap, selain suara air telaga yang menubruk tang-gul tiada kedengaran suara lain.

Ke luar dari hutan bambu itu, Lan See giok merasakan matanya berkilat tajam, ternyata dia berada di luar hutan di mana Thio Toa keng sekalian berkelahi dengannya, sedang puluhan kaki lebih ke depan adalah jalan di tepi tanggul menuju ke tempat kediaman bibi Wan nya.

Lan See giok merasa gembira sekali, dia tak menyangka kalau kali ini bisa kabur dengan lancar dan cepat.

Setelah memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu dan yakin kalau si kakek ber-jubah kuning maupun si Naga sakti pem-balik su-ngai tidak mengejarnya, bocah itu segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan melesat ke atas tanggul telaga

Tiba di tepi telaga, dia segera menyembu-nyikan diri ke belakang sebatang pohon ke-mudian dengan sorot mata yang tajam mem-perhatikan sekejap sekeliling tempat itu.

Tapi selain air telaga yang hening dengan angin yang berhembus lewat menggoyang-kan daun serta ranting, di situ tak nampak seso-sok bayangan manusia pun.



Lan See giok merasa gelisah bercampur tegang, apalagi tidak menjumpai empek bertelinga satu itu berada di sana, hatinya semakin gugup dan kalut- -

Ia segera mendongakkan kepalanya me-meriksa setiap cabang pohon yang tumbuh di sana, dia berharap empek bertelinga satu itu menyembunyikan diri ditempat itu.

Mendadak . . suatu bentakan gusar yang penuh bertenaga menggema datang dari ke-jauhan sana:

"Thi gou si bocah ini kelewat jujur!"

Lan See giok merasa terkejut sekali, karena suara itu berasal dari naga sakti pembalik sungai Thio Lok-heng.

Dalam keadaan demikian ia tak sempat mencari si empek bertelinga tunggal lagi, ce-pat-cepat dia membalikkan badan sambil ka-bur ke atas tanggul telaga.

Tapi ingatan lain segera melintas dalam benaknya. dia merasa kesempurnaan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya masih bukan tandingan kakek berjubah kuning, maupun si naga sakti pembalik sungai, bila sampai ditemukan jejaknya, belum sampai setengah li sudah pasti akan tersusul.

Berpaling ke arah lain, dia menyaksi-kan di bawah tanggul di tepi telaga tertambat bebe-rapa buah sampan kecil, ketika sampan-sampan itu saling bersentuhan segera me-nimbulkan suara benturan yang nyaring.

Pada saat itulah . . . terdengar suara ujung baju tersampok angin berkumandang datang dari arah hutan bambu.

Lan See-giok semakin tegang setelah mendengar suara itu, dia tahu mustahil baginya bisa kabur, maka diputuskan untuk menyembunyikan diri untuk sementara waktu di atas sampan.

Berpikir sampai di situ, buru-buru dia menuruni tanggul itu dan melompat naik ke atas sampan yang penuh dengan tali jerami, kemudian menggunakan tali tersebut untuk menutupi badannya.

Bau amis ikan yang menusuk hidung dengan cepat menyelimuti sekeliling tubuh-nya....

Dalam keadaan demikian Lan See giok ti-dak memikirkan hal semacam itu lagi, de-ngan kening berkerut dia membaringkan diri, pikirnya: "Hitung-hitung masih mendingan bau amis ini dari pada bau busuk pil hitam pembebrian si empek bjertelinga tungggal."

Ketika diba mencoba untuk memasang telinga, terdengarlah suara ujung baju ter-hembus angin itu sudah tiba di atas tanggul.

Diam-diam Lan See giok merasa amat ter-peranjat, jantungnya berdebar semakin keras, dia tidak menyangka kalau gerakan tubuh dari kakek berjubah kuning itu jauh lebih cepat berapa kali lipat dibandingkan dengan apa yang dia bayangkan semula.

Mendadak suara itu terhenti di atas tang-gul, menyusul kemudian kedengaran suara dari si Naga sakti pembalik sungai berkata dengan nada sangat gelisah:

"Locianpwe, menurut pendapat boanpwe tak mungkin bocah itu lari ke arah telaga."

"Tak bakal salah, aku mendengar jelas sekali, mungkin dia baru mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya setelah ke luar dari hutan bambu," sahut kakek berjubah kuning itu dengan nada pasti.

Peluh dingin segera membasahi seluruh badan Lan See giok, diam-diam ia bersyukur tidak mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya sedari dalam halaman rumah itu.

Kemudian terdengar kakek itu berkata lagi:

"Waktu itu aku sama sekali tidak me-nyangka, tapi ia belum pergi jauh, kemung-kinan besar masih bersembunyi di sekitar tempat ini . ."

Lan See giok semakin tegang lagi, saking takutnya dia sampai tak berani bernapas keras-keras, sementara jantungnya berdetak keras sekali, seakan akan hendak melompat ke luar dari rongga dadanya saja. Ia men-coba mengintip dari balik celah-celah tali, dari situ ia dapat melihat si kakek berjubah kuning serta naga sakti pembalik sungai di atas tanggul.

Waktu itu dengan wajah serius si kakek berjubah kuning itu sedang memperhatikan sekeliling tempat itu, tangan kanannya mengelus jenggot tiada hentinya, dia seperti me-rasa cemas dan murung sekali atas ka-burnya Lan See giok.

Sorot matanya yang semula ramah dan lembut, kini memancarkan sinar tajam yang menggidikkan hati.

Naga Sakti pembalik sungai Thio Lok-heng juga melototkan sepasang matanya bulat-bulat dengan wajah gusar, dengan matanya yang tajam dia sedang celingukan ke sana ke mari, nampak pula dia sedang marah ber-campur gelisah.

Mendadak kakek berjubah kuningb itu ber-palingj ke arah muka dgusun sebelah debpan sana . . .

Dengan perasaan terkesiap Lan See giok berpikir: "Jangan-jangan si empek bertelinga tunggal telah datang?"

Dia mencoba untuk memasang telinga baik-baik, benar juga dia mendengar suara ujung baju yang terhembus angin.

Waktu itu si Naga Sakti pembalik sungai juga telah mendengar suara tersebut, dengan cepat dia berpaling pula ke luar dusun.

Tiba-tiba terdengar seseorang berseru de-ngan gelisah:

"Suhu, apakah Lan See-giok berhasil dite-mukan?"

Mendengar suara itu. Lan See-giok segera mengenalinya sebagai Si Cay-soat atau gadis cilik berbaju merah itu.

Kakek berbaju kuning dan naga Sakti pembalik sungai menggelengkan kepalanya berulang kali, sorot mata mereka tetap ber-alih ditempat kejauhan sana.

Bayangan merah nampak berkelebat lewat, tahu-tahu Si Cay-soat telah berhenti di antara si kakek berjubah kuning, dengan si naga sakti pembalik sungai.

Tampak paras muka Si Cay soat pucat pias, alis matanya bekernyit dan wajahnya penuh kegelisahan, sepasang mata yang jeli berkilat.

Akhirnya sinar mata gadis itu dialihkan ke atas beberapa buah sampan kecil di bawah tanggul.

Lan See-giok amat terkesiap, dia tahu bakal celaka bila jejaknya ketahuan, tanpa terasa peluh dingin jatuh bercucuran.

Mendadak sepasang mata Si Cay soat ber-kilat, paras mukanya berubah hebat dan hampir saja ia menjerit, rupanya dia telah menemukan dua titik sinar mata tajam di balik tumpukan tali dalam sampan kecil se-belah tengah.

Melihat itu, Lan See giok merasa kepala-nya kontan menjadi pusing tujuh keliling, napas-nya, sesak dan jantungnya seperti melompat ke luar dari rongga dadanya.

Sekarang dia baru menyesal kenapa me-nyembunyikan diri dalam sampan kecil itu sehingga jejaknya ketahuan.

Berada dalam keradaan seperti izni, dia tak berwani berkutik, jruga tak berani lari, sebab bila sampai ketahuan maka ibaratnya katak masuk tempurung, jangan harap bisa me-lo-loskan diri lagi.

Si Cay soat yang berada di atas tanggul juga membelalakkan matanya dengan wajah kaget serta tertegun, mulutnya ditutup de-ngan tangan sementara sorot, matanya nam-pak gugup bercampur panik.

Peluh bercucuran dengan derasnya mem-basahi seluruh badan Lan See giok, ia tahu asal Si Cay soat menuding ke bawah sambil menjerit, niscaya dia akan dibekuk kembali.

Suasana amat hening . . . beberapa saat kemudian Si Cay soat baru berhasil me-ne-nangkan hatinya seraya berpaling ke arah lain, sekalipun matanya celingukan kesana ke mari, tapi wajahnya yang gugup dan ce-mas kelihatan jelas sekali.

Lan See giok turut tertegun, dia tidak habis mengerti apa sebabnya gadis itu tidak berte-riak? Mungkinkah dia tidak melihat jelas? Tapi setelah dipikirkan kembali, ia merasa hal ini mustahil . . .

Atau mungkin gadis itu sengaja hendak melepaskan dirinya? Tapi mengapa pula dia berbuat demikian . . .

Makin dipikir Lan See giok merasa makin kebingungan dan tidak habis mengerti, hati nya bergoyang seperti ayunan sampan, meski sudah diusahakan untuk ditenangkan kem-bali namun tak bisa.

Sementara butiran air keringat bercucuran dengan derasnya dan membasahi kepala, rambut dan masuk ke dalam telinganya....

ooo0ooo

BAB 5

NONA CANTIK BERBAJU PUTIH

DI TENGAH keheningan yang mencekam seluruh jagat, mendadak terdengar si Naga sakti pembalik sungai berkata dengan sedih:

"Locianpwe, mungkin bocah itu sudah lari, lebih baik besok pagi kita langsung mencari Oh Tin san untuk minta orang ...."

Kakek berbaju kuning itu menggelengkan kepalanya berulang kali, belum habis si naga Sakti pembalik sungai menyelesaikan kata katanya, ia te1ah berkata dengan gelisah:

"Tidak, besok pagi terlalu lambat, sekarang dan malam ini juga kita harus mencegah Lan See-giok agar jangan pergi ke tempat ke-di-aman Bibi Wan nya..."

Si naga sakti pembalik sungai termenung sebentar, kemudian tanyanya dengan tidak habis mengerti:

"Locianpwe, apakah kau menganggap kitab pusaka Hud bun cinkeng tersebut berada di rumah kediaman bibi Wan nya Lan See giok?"

(Bersambung ke Bagian 06)





DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar