Anak Harimau Bagian 38

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 38

Bagian 38

Keluar dari padang ilalang, sampan di ke-mudikan menuju ke arah barat laut.

Setengah jam kemudian, di ujung langit sana muncul bayangan gunung dan hutan yang lebat.

Berdiri di ujung geladak, Lan See giok ber-gumam agak murung. ""Entah si naga sakti pembalik sungai Thio loko serta Thi gou su-dah kembali belum?"

Siau cian termenung sejenak, kemudian sahutnya:

Menurut perhitungan ibuku, seharusnya kemarin malam mereka sudah tiba disini!"

Lan See giok ingin selekasnya mengetahui jejak gurunya serta membalaskan dendam bagi kematian ayahnya, dia berharap si naga sakti pembalik sungai bisa memberi kabar gembira kepadanya.

Sampan masih melaju ke depan dengan kecepatan tinggi ....

Lambat laun di depan situ muncul baya-ngan tanggul, kemudian tampak kaum wanita sedang mencuci pakaian, gadis-gadis nelayan membetulkan jala serta anak-anak yang sedang berlarian ...

Ketika menjelang pantai tersebut. Lan See giok menyaksikan pula di sisi sebaris kapal dimana ia pernah menyembunyikan diri dulu hampir sebagian besar perahu telah turun ke telaga untuk menangkap ikan, kini hanya tertambat satu dua buah sampan belaka.

Peristiwa malam itu, ketika ia menyembu-nyikan diri dibalik sampan melintas kembali dalam benaknya.

Ia seolah-olah menyaksikan wajah To Seng cu yang ramah dicekam perasaan murung dan kesal ....

Diapun seakan akan menjumpai wajah si naga sakti pembalik sungai dicekam kegeli-sahan ....

Diapun seperti melihat adik seperguruan nya Si Cay soat sedang terkejut, gelisah dan tegang ....

Akhirnya Lan See giok tersadar kembali dari lamunannya. Ketika ia mendongakkan kepalanya kembali, ternyata jaraknya dengan tepi pantai tinggal sepuluh kaki.

Setelah menambat sampan di pantai, mereka bertiga segera melompat naik ke atas daratan, sedangkan kedua orang dayang itu kembali ke telaga untuk menantikan datang nya kapal pengangkut yang dikirim koman-dan Ciang.

Kemudian Lan See giok bertiga di pantai telaga itu segera disambut oleh sekelompok, anak-anak kecil yang datang mengerubung.

Mendadak dari belakang mereka kede-ngaran suara teriakan keras:

"Hai, coba lihat, enci Soat telah datang!"

Ketika Lan See giok mendongakkan kepalanya, dia melihat ada sesosok bayangan merah sedang meluncur datang dari balik hutan bambu di depan sana, orang itu adalah adik Soat, dan dia tak menyangka anak-anak di dusun itu masih tetap menge-nal Si Cay soat.

Berpikir demikian, tanpa terasa dia ber-paling dan memandang sekejap kearah bo-cah-bocah itu.

Ketika Lan See giok berpaling, kembali ter-dengar bocah-bocah itu berteriak keras:

"Aaaah, rupanya dia, yaa rupanya dia .... haaahh.... haaahh... dia kan bocah tanggung yang dihajar enci Soat sampai lari terbirit birit?"

Teriakan ini kontan saja membuat paras muka Lan See giok menjadi merah padam.

Si Cay soat tersenyum manis ke arah pe-muda itu, kemudian kepada Siau cian dan Oh Li cu katanya sambil tertawa:

"Begitu kudengar suara teriakan adik-adik kecil ini, sudah kuketahui tentu kalian yang telah datang."

Sambil berkata dia menuding ke arah sekelompok bocah yang mengelilingi mereka berempat.

Siau cian sangat menguatirkan ibunya, dia segera bertanya dengan penuh perhatian:

"Adik Soat, mana ibuku?"

Si Cay soat tertawa, agaknya dia sedang mentertawakan Siau cian yang tak bisa berpisah dengan ibunya, kemudian sahutnya sambil tertawa riang:

"Bibi sedang - berunding dengan Thio loko."

Mendengar jawaban ini, kembali Lan See giok bertanya dengan gelisah:

"Mana adik Thi gou?"

Belum habis dia bertanya, dari balik hutan sudah kedengaran suara teriakan dari -Thi gou yang penuh dengan kegembiraan:

"Heei ... engkoh Giok ... engkoh Giok..."

Mendengar teriakan itu Lan See giok men-dongakkan kepalanya, tampak Siau thi gou yang hitam kulitnya sedang berlarian mendekat dengan cepat.

Baru pertama kali ini Siau cian serta Oh Li cu berjumpa dengan Siau thi gou.

Ketika mereka saksikan bocah itu mengena kan pakaian hitam sehingga membuat kulit tubuhnya yang memang hitam bertambah hitam, di mana cuma nampak ke dua biji matanya yang bulat besar saja, tanpa terasa mereka sama-sama tertawa geli.

Begitu mendekat, Siau thi gou langsung memeluk Lan See giok dan berseru dengan girang bercampur marah:

"Engkoh Giok, cepat amat perjalananmu aku dan Thio loko tak pernah berhasil menyusulmu!"

Lan See giok tertawa terbahak bahak.

"Haahh...haaahhh...haaahhh...aku kan menunggang kuda, sudah barang tentu jauh lebih cepat dari pada kalian!"

"Padahal biar hujan badai pun kami tetap menempuh perjalanan, tapi kenyataannya tidak mampu menyusulmu..."

Sebelum Siau thi gou menyelesaikan per-kataannya, Si Cay soat telah menimbrung dengan tak sabar:

"Sudah, sudahlah, ayo kita balik dulu ke rumah sebelum berbicara lagi."

Selesai berkata dia mengajak Lan See giok sekalian menuju ke hutan bambu.

Thi gou berjalan pula di depan dengan langkah lebar, setelah menembusi hutan bambu, di depan sana muncul beberapa buah bangunan rumah kecil.

Tiba di depan rumah mereka menembusi sebuah halaman kecil dan masuk ke dalam ruangan, waktu itu Hu yong siancu sedang berbicara dengan si naga sakti pembalik su-ngai, ketika melihat kedatangan See giok, kedua orang itu segera muncul untuk me-nyambut.

Dalam sekilas pandangan saja, Lan See giok dapat melihat si naga sakti pembalik sungai yang bertubuh kekar itu, hanya di dalam waktu tujuh bulan saja wajahnya keli-hatan sudah jauh lebih tua dari semula:

Saat ini, meskipun wajahnya masih tetap segar dan penuh semangat, namun diatas wajahnya yang tua masih tetap tersisa keleti-han yang mencekam.

Bertemu dengan Lan See giok, si naga sakti pembalik sungai segera berkata sambil tersenyum:

"Ketika aku tiba kemarin tengah malam, kudengar dari putraku Ji keng yang menga-takan, saudara cilik serta adik Soat telah tiba dua hari berselang."

Lan See giok maju ke depan dan memberi hormat, lalu, sahutnya dengan hangat.

"Siaute dengar dari adik Soat, katanya ketika engkoh tua ke situ, siaute baru saja turun gunung."

"Haaaahh....haaaaahhh...haaaahh .... maka itulah, selangkah sudah terlambat, selanjut-nya selalu ketinggalan ......

Selesai berkata kembali dia tertawa terba-hak bahak.

Dari gelak tertawa si naga sakti pembalik sungai, Lan See giok bisa merasakan bahwa kegembiraan orang itu sudah jauh berkurang ketimbang dahulu.

Setelah masuk ke dalam ruangan, Lan See giok memberi hormat dulu kepada bibinya, kemudian baru memperkenalkan Oh Li cu kepada si naga sakti pembalik sungai.

Pada dasarnya si naga sakti pembalik su-ngai adalah kenalan lama dari pemilik ben-teng Wi lim poo yang terdahulu setelah mendengar penjelasan dari Hu yong siancu tentang asal usul Oh Li cu yang sebenarnya, diapun menghela napas panjang.

Begitulah, dalam kesempatan tersebut Lan See giok kembali menanyakan keadaan gu-runya.

"Thio loko, selama setengah tahun ini, apakah kau berhasil mendapat kabar tentang suhu-"

Begitu menghadapi pertanyaan ini, paras muka si naga sakti pembalik sungai segera dicekam kemurungan lagi.



"Anak Giok" Hu yong siancu segera me-nimbrung, "situasi yang kita hadapi saat ini amat kalut, boleh dibilang menyangkut pula tentang mati hidupnya semua perguruan dan partai besar di dalam dunia persilatan, soal bertemunya kau dengan Keng hian sian tiang dibukit Bu tong, juga telah kubicarakan de-ngan Thio lo enghiong..."

Pelan-pelan si naga sakti pembalik sungai mengangkat kepalanya, kemudian menyela dengan sedih:

"Waktu itu aku bermaksud untuk mene-nangkan pikiran dan perasaan kalian bertiga, dalam keadaan demikian terpaksa engkoh tua harus memakai taktik semacam itu un-tuk menghadapi kalian ......

Berbicara sampai di situ dia melirik sekejap ke arah Lan See giok, Si Cay soat dan Siau thi gou yang menanti dengan harapan serta kegelisahan, kemudian terusnya:

"Namun surat itu benar-benar tulisan dari Cia locianpwe sendiri, dia orang tua meme-rintahkan kepadaku untuk menghantar surat tersebut ke Hoa san dan menyerahkan kepada kalian bila setengah tahun kemudian masih belum juga nampak dia orang tua kembali.

"Tampaknya Cia locianpwe telah menduga bahwa di dalam perjalanannya menuju ke luar lautan kali ini, masalahnya tidak akan segampang masalah beradu kepandaian bia-sa, karena itu dia telah persiapkan surat tersebut guna menenteramkan hati kalian bertiga, dari pada mempengaruhi usaha kalian berlatih ilmu silat "

Belum selesai perkataan itu diutarakan, Siau thi gou sudah mengucurkan air mata dan bertanya sambil menangis:

"Thio lo koko, sudah setahun lebih suhu belum juga kembali, apakah dia tak akan kembali lagi?"

Siau cian teringat pula bagaimana To Seng cu menghadiahkan pedang kepadanya serta mewariskan ilmu silat kepadanya, karena itu diapun ikut menangis.

Sebaliknya Oh Li cu yang melihat semua orang menangis, hatinya ikut sedih hingga air mata bercucuran membasahi pipinya.

Akibatnya Hu Yong siancu dan si naga sakti pembalik sungai tak bisa membendung pula kesedihan yang mencekam perasaan mereka, sepasang mata mereka pun turut berkaca kaca.

Lama kemudian, si naga sakti pbembalik sungai jbaru dapat mengghibur sambil mabng-gut-manggut.

"Tak usah kuatir Adik Thi gou, Cia locian-pwe adalah seorang tokoh persilatan yang memiliki kepandaian silat sangat tangguh, belum ada manusia di dalam dunia ini yang mampu menandingi dia orang tua..."

Siau thi gou agak tidak percaya, mende-ngar ucapan itu dia segera membantah.

"Kalau memang begitu, kenapa suhu belum juga kembali?"

Hu yong siancu ada maksud untuk meng-hibur Siau thi gou, dia segera menyela:

"Thi gou, biarpun jejak Cia locianpwe ma-sih belum jelas hingga kini, namun kami su-dah memastikan bahwa dia terkurung di bukit Wan san..."

"Apa? Terkurung dibukit Wan san?" tanya Lan See giok dengan paras muka berubah.

Si naga sakti pembalik sungai manggut-manggut:

"Yaa, inilah hasil kesimpulan yang berhasil kami tarik berdasarkan kata-kata yang diu-capkan To Seng-cu Cia locianpwe sebelum berangkat tempo hari, benarkah dia tersekap di bukit Wan san, hal ini belum bisa dipasti-kan seratus persen."

"Apa yang dikatakan suhu sebelum be-rangkat?" tanya Lan See giok dan Si Cay-soat hampir bersamaan waktunya.

"Sebelum berangkat Cia locianpwe telah berkata kepadaku bahwa kali ini Lam hay lo-koay telah mewakili Wan san-popo me-ngundang dirinya untuk berkunjung ke bukit Wan-san sambil membicarakan rencana mereka untuk menyatukan segenap pergu-ruan dan partai silat yang ada di dunia ini, bila Cia Locianpwe tidak datang dan kemu-dian terjadi peristiwa besar dalam dunia per-silatan maka Cia locianpwe tidak diperke-nankan untuk turut mencampurinya.

"Dengan tekad hendak melenyapkan semua bencana dari muka bumi akhirnya berangkat lah Cia locianpwe menuju bukit Wan-san untuk turut menghadiri pertemuan- puncak yang kali ini diselenggarakan Wan san popo sebab Lam-hay-lokoay dan Su-to cinjin telah berada ditempat kediaman Wan San-popo, maka tidak mungkin Cia locianpwe pergi ke Hay-lam.

"Berdasarkan hal inilah Han lihiap dan aku segera menyimpulkan bahwa Cia locianpwe telah disekap di bukit Wan san atau dikare-nakan pelbagai alasan, ia tak bisa mening-galkan tempat tersebut untuk sementara waktub."

Lan See jgiok berusaha kgeras untuk me-nbgendalikan amarah yang berkobar di dalam dadanya, kemudian bertanya lagi dengan tenang.

"Thio loko, kali ini kau buru-buru pergi ke Hoa san untuk menjumpai siaute, apakah maksudmu hendak memberitahukan kepada siaute tentang berita ini?"!

Si naga sakti pembalik sungai sudah dapat menangkap hawa napsu membunuh yang menyelimuti wajah Lan See giok, maka dia segera menggeleng sambil menjelaskan.

Semua perbuatan yang kulakukan hampir semuanya menurut pesan yang ditinggalkan Cia locianpwe. sesungguhnya kedatanganku ke Hoa san tempo hari adalah hendak berpesan kepada saudara cilik agar turun gunung dan mulai mencari pembunuh ayah mu, bila urusan telah selesai kau diminta pergi ke wan san untuk bersama Cia Locian-pwe memecahkan pelbagai masalah lain"

Dengan kening berkerut dan amarah mem-bara Lan See giok segera berkata.

"Siaute telah berhasil menyelidiki bahwa pembunuh ayahku adalah Oh Tin-san, dan kebetulan sekali diapun berada dibukit Wan san, membalas dendam bagi kematian ayahku. Menolong guru dari kesulitan, agaknya kedua hal tersebut dapat kita laksanakan bersama sama, menurut Siaute masalah ini tak bisa ditunda tunda lagi, kita harus be-rangkat secepatnya"

Si naga sakti pembalik sungai cukup me-ngetahui bagaimanakah perasaan Lan See giok saat ini, maka diapun mengangguk:.

"Ucapan saudara cilik memang benar, kita harus berangkat secepatnya. tapi aku sudah pernah berangkat ke bukit Wan san dan diam-diam melakukan penyelidikan di situ tatkala kembali dari bukit Hoa san setengah tahun berselang.

Berkilat sepasang mata Lan See giok sete-lah mendengar ucapan tersebut, dengan wa-jah terkejut bercampur girang segera tim-brungnya:

"Apakah kau berhasil mendapat kabar tentang suhu?"

Dengan wajah serba susah si naga sakti pembalik sungai menerangkan:

"Wan san terletak ditengah samudra yang dikelilingi dua ratus empat puluhan pulau kecil, bukan hanya begitu, ombak samudra amat besar dan mengerikan, kepulauan itu pun berderet-deret, ada yang lebat rdengan pepohonazn. ada pula yanwg gersang tak nram-pak tumbuhan apapun, ada pula yang teng-gelam disaat air pasang dan muncul kembali disaat surut, keadaannya berbahaya dan amat rumit, sudah beberapa bulan lamanya aku melakukan pemeriksaan namun akhirnya tanpa hasil ...."

Timbul kembali kegelisahan dalam hati Lan See giok setelah mendengar ucapan ini, tanpa terasa dia menyela:

"Menurut pendapatmu itu, bagaimanakah kita mesti berbuat? Apakah tahu sukar dan kemudian mengundurkan diri..."

"Ooooh, tentu saja kita harus pergi, biar gunung golok kuali berminyak mendidih pun tetap akan kita datangi, untuk membunuh Oh Tin san dan menolong Cia locianpwe, kita harus bertindak tanpa memperhitungkan ba-gaimanakah resikonya . . . ."

Berbicara sampai disini, dia memandang sekejap ke arah Lan See giok dengan tenang, kemudian sambungnya:

"Cuma saja, kita harus mempunyai suatu rencana yang cermat dan matang, dengan demikian kita baru punya harapan untuk berhasil di dalam perjalanan kali ini. . ."

"Engkoh tua, rencana apakah yang kau miliki? Ayo cepat diarahkan keluar. . ." seru Si Cay soat tidak sabar.

Dengan pandangan hangat si naga sakti pembalik sungai memandang sekejap ke arah Si Cay soat, kemudian sambungnya:

"Sudah beberapa kali aku dan Han lihiap merundingkan persoalan ini, menurut pen-dapat kami, jika kita hanya mengandalkan kekuatan beberapa orang saja untuk mencari letak pulau tersebut, akhirnya pasti akan mengalami nasib seperti usahaku dulu, gagal total, Sebaiknya bila dibagi menjadi beberapa kelompok, dengan kemampuan Lam hay lo koay dan Si to cinjin di tempat kediaman Wan san popo, andaikata bertemu dengan mereka, selain engkoh Giok mu se-orang, yang lainnya sudah pasti bukan tandingan mereka. . ."



Mendadak berkilat sepasang mata Lan See giok, teriaknya keras-keras.

"Engkoh Thio, aku punya akal!"

Teriakan yang sangat tiba-tiba itu segera membuat ruangan tersebut dicekam kehe-ningan, semua sorot mata orang sama-sama ditujukan kearah anak muda tersebut.

Dengan keyakinan yang sudah mantap, si naga sakti pembalik sungai bertanya:

"Kau mempunyai akal apa? Tak ada salah-nya bila saudara cilik kemukakan disini agar engkoh tua dan Han lihiap bisa turut me-ngetahuinya .-"

Dengan wajah gembira Lan See giok segera berkata.

"Berbicara soal kekuatan yang dimiliki Wi lim poo saat ini, mereka mempunyai ratusan buah kapal perang dan anggota sebanyak dua ribuan lebih, asal kita mengerahkan segenap kekuatan untuk berangkat ke bukit Wan-san, satu diantaranya pasti akan berha-sil menemukan letak pulau tersebut.

Di samping itu kita dapat menyebarkan perhatian dari Wan-san popo, dengan ke-mampuan yang ada, hasil yang bakal diperoleh tentu akan lebih besar malahan bisa jadi sebelum kapal-kapal kita mengu-rung pulau Wan-san, Oh Tin-san suami istri sudah terpancing keluar lebih dulu"

Bersamaan dengan selesainya ucapan itu Siau cian, Cay soat dan Oh Li cu sama-sama berteriak tanda setuju.

Si naga sakti pembalik sungai memandang sekejap kearah Hu-yong siancu sambil terta-wa misterius, kemudian baru menyahut:

"Ternyata apa yang dikatakan saudara cilik sekarang persis seperti hasil perundinganku dengan Han lihiap.."

Kemudian ia berhenti sejenak sambil melirik kearah Oh Li cu, lalu terusnya.

"Cuma hal ini tergantung pada persetujuan nona Oh, apakah ia setuju atau tidak."

Oh Li-cu segera tersenyum.

"Boanpwe tidak mempunyai kemampuan apa-apa, sebab kekuasaan tertinggi di dalam benteng Wi lim poo saat ini berada ditangan adik Giok, segala sesuatunya tergantung pada perintahnya sedang boanpwe hanya akan turubt perintah sajaj "

Ucapan igni begitu diutabrakan, semua orang sama-sama dibikin tertegun, agaknya mereka tidak menyangka kalau Oh Li cu bisa tanpa kekuasaan semacam ini.

Menyaksikan mimik wajah yang diperlihat-kan semua orang, Oh Li cu kembali tertawa sambil melanjutkan:

"Adik Giok mempunyai wibawa dan simpa-tik yang sangat mendalam di benteng Wi lim poo, seperti sambutan yang diberikan segenap anggota benteng kemarin, tentunya bibi serta adik berdua telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri hingga tak usah boanpwe tuturkan lagi, asal adik Giok menu-runkan perintahnya sekarang, niscaya segenap anggota benteng akan melakukan perintah tersebut dengan segera, dalam hal ini boanpwe berani menjamin."

Hu yong siancu berkerut kening, dengan perasaan kuatir katanya tiba-tiba:

"Yang kita kuatirkan sekarang justru ulah dari Be Siong pak, siapa tahu dia bermain gila secara diam-diam?"

Siau cian segera tertawa cekikikan sambil menyela:

"Saat ini, mungkin jenasah Be Siong pak sudah lama menjadi kaku ...."

Begitu ucapan mana diutarakan, selain Lan See giok dan Oh Li cu, semuanya sama-sama berseru kaget dengan wajah berubah:

"Kenapa?" Hu yong siancu segera bertanya dengan wajah tidak mengerti.

Oh Li cu tersenyum, secara ringkas ia lantas menceritakan kisah yang dialami Lan see giok sekalian pada malam itu .....

Sewaktu selesai mendengar kisah mana, si naga sakti pembalik sungai segera menepuk pahanya sambil berseru dengan gembira:

"Bagus sekali kalau begitu, besok, kita bisa segera berangkat, dengan melewati sungai tiangkang, melalui Kim-leng, Go-siong lang-sung menuju samudra dan mencapai pulau Wan-san"

Tiba-tiba Hu yong siancu menyela sambil tersenyum.

"Kalau toh kita sudah mengambil kepu-tusan untuk berbuat demikian, aku rasa kita tak perlu terburu napsu lagi, yang pertama kita mesti lakukan adalah membuat para komandan dan anggota Wi lim poo tahu bahwa mereka hendak melakukan perjalanan jauh, kemudian mereka harus memper-siap-kan pula kebbutuhan bagi ratjusan buah kapalg perang tersebubt dalam melakukan perjalanan jauh. aku rasa untuk kedua hal ini kita me-merlukan waktu cukup lama. di samping itu kita sendiri toh mesti mempunyai persiapan juga, sebab di dalam perjalanan menuju ke Wan-san kali ini. meski hanya membutuhkan waktu setengah bulan, tapi siapapun tak bisa memastikan kalau kita tak akan mengun-jungi Hay lam."

Tidak sampai Hu yong siancu menyelesai-kan kata-katanya, dengan wajah memerah si naga sakti pembalik sungai telah meng-ang-guk berulang kali.

"Benar, benar sekali, kalau begitu kita lak-sanakan sesuai dengan perkataan Han lihiap tadi, tapi kita harus menggunakan alasan apa untuk menggerakkan kapal-kapal perang dari benteng Wi lim-poo tersebut?"

"Apakah Thio locianpwe akan turut serta di dalam perjalanan kali ini?" tiba-tiba Oh Li-cu menyela:

"Tentu saja harus ikut." sela Lan See giok.

""Kalau begitu, jika kita tidak mempunyai sebuah alasan yang cocok dan bisa diterima dengan akal sehat, niscaya perbuatan kita ini akan menimbulkan kecurigaan dari para ko-mandan kapal perang Wi-lim-poo!"

""Ucapan nona memang benar" Si naga sakti pembalik sungai segera manggut- manggut dengan kening berkerut.

Oh Li-cu tertawa hambar.

""Harap Thio locianpwe jangan me-nyebutku dengan nama margaku yang se-benarnya, se-bab dengan panggilan tersebut, tentu akan mudah memancing kecurigaan orang-orang Wi lim-poo"

"Baik, baiklah" sahut naga sakti pembalik sungai sambil mengangguk berulang kali. "aku memang sudah makin tua, sehingga kian tua kian bertambah pikun saja,"

0leh ucapan tersebut, semua orang segera tertawa geli.

Hu yong siancu segera mengulapkan ta-ngan nya mencegah semua orang tertawa le-bih lanjut, setelah itu katanya dengan serius:

"Biarpun aku dan Thio lo enghiong berhasil memikirkan cara tersebut, namun kami se-lalu merasa bahwa carra tersebut kurang be-gitu terbuka dan jujur. . ."

"Untuk menghadapi kawanan manusia yang licik busuk dan berbahaya semacam itu, buat apa kita mesti membicarakan soal jujur, atau tidak apalagi Oh Tin san adalah musuh besar pembunuh ayahku. Dengan cara apapun aku bertekad membinasakan dirinya"."

"Anak Giok" ujar Hu yong siancu dengan sungguh-sungguh. "biarpun orang lain licin dan banyak tipu muslihatnya. Namun jangan mengurangi kejujuran dan kelurusan kita di dalam bertindak, apalagi kitapun harus memikirkan pertanggungan jawab kita terha-dap keselamatan segenap anggota Wi- lim-poo yang kita ajak berangkat bersama-sama itu. . ."

Merah dadu selembar wajah Lan See-giok, namun ia sadar bahwa perkataan itu memang benar, karenanya diapun membisu di dalam seribu bahasa, terdengar Hu-yong siancu berkata lebih jauh.

"Sekarang sudah ada kenyataan bahwa Be Siong-pak hendak menyelidiki gedung kedia-man bagian dalam, apa salahnya jika kita manfaatkan kesempatan ini untuk mem-bongkar rahasia kematian dari Phoa yang ong Kian pocu dimasa lampau? Kita dapat berala-san hendak menangkap pembunuh keji itu di Wan-san, bahkan kemudian setelah persoa-lan itu kita bisa mengajak para komandan bersama-sama melakukan pembuktian di dalam kamar rahasia tersebut aku yakin segenap anggota Wi lim-poo pasti bisa kita tundukkan."

Mendengar sampai di situ, si naga sakti pembalik sungai yang pertama-tama bertepuk tangan lebih dulu tanda setuju, menyusul kemudian Lan See-giok sekalian juga manggut- manggut sambil memuji:



"Kalau memang begitu, kita boleh mulai bekerja sekarang" kata naga sakti pembalik sungai kemudian dengan gembira.

Hu yong siancu segera berpaling kearah Lan See giok dan Oh Li cu, kemudian tanya-nya:

"Apakah kalian sudah mengirim kapal be-sar datang kemari?"

Lan See giok memandang kearah matahari yang ditengah angkasa. kemudian menyahut:

"Yaa, aku mengirim sebuah kapal kemari, mungkin saat ini sudah tiba disini."

""Langkah pertama kita harus mengangkut kuda-kuda itu pulang ke benteng!" kata Hu yong siancu kemudian. "kedua, nona Oh ha-rus mengatur kedua orang dayang agar pu-lang menyampaikan perintah kepada koman-dan kapal agar besok pagi berangkat, di samping itu menyebar luaskan tentang se-bab-sebab kematian Phoa yang ong si pocu di masa lalu kemudian secara diam-diam se-barkan pula kabar yang mengatakan ke-mungkinan besar Oh Tin san suami istri akan terbunuh di luar lautan.. usahakan agar anggota benteng mengetahui tentang berita ini...""

Setelah berhenti sejenak, ia baru meman-dang sekejap semua orang yang hadir dan menambahkan:

""Sekarang secara terpisah kita lakukan persiapan untuk memenuhi barang-barang yang dibutuhkan, besok tengah hari kita naik perahu dari sini dan bersama-sama kembali ke benteng Wi lim poo."

Baru selesai dia berkata, dua orang pela-yan telah muncul menyiapkan makan siang.

Dengan gembira si naga sakti pembalik sungai segera berseru.

"Mari kita bersantap dulu, selesai bersan-tap kita baru melaksanakan tugas masing-masing"."

Dalam kesempatan itu Hu yong siancu berpaling kearah Oh Li-cu dan berpesan:

"Nona 0h, malam nanti kau bersama anak Cian dan anak Giok boleh menginap di tem-patku sana, sebab aku masih ada urusan dan malam ini tak dapat kembali ...."

Belum habis ia berkata, Thi gou telah berteriak dengan marah.

"Tidak, tidak. malam ini semua orang tak boleh tidur bersama engkoh Giok, aku si Thi gou yang akan tidur bersama engkoh Giok..."

Atas teriakan ini, si naga sakbti pembalik sunjgai segera tertgawa terbahak-babhak kege-lian.

Sedangkan Si Cay soat dengan kening berkerut segera mengomel:

"Thi gou, siapa sih yang menyuruh kau mengaco belo tidak karuan ....?"

Sebaliknya paras muka Siau cian dan Oh Li cu berubah menjadi merah padam, mereka tertunduk malu meski matanya sempat me-mandang sekejap ke arah Lan See giok yang berdiri jengah pula di situ.

ooo0ooo

BAB 30

HU YONG SIANCU sendiri hanya ter-senyum sambil membungkam diri, agaknya dia merasa tidak mampu untuk memberi penjelasan kepada Siau thi gou yang polos tapi menyenangkan ini.

Dari mimik muka semua orang, Siau thi gou menyadari kalau dia sudah salah berbi-cara, tak heran kalau enci Soat-nya meng-umpat dan menegurnya.

"Siau thi gou" kata si naga sakti pembalik sungai kemudian dengan gembira, "di kemu-dian hari, bila kau tetap bersikeras demikian, pokoknya kau pasti akan disediakan makanan-makanan yang lezat...."" sambil berkata sekali lagi ia tertawa tergelak.

Merah dadu selembar wajah Si Cay soat, kontan saja ia mengomel: "Thio loko. jeng-gotmu saja sudah memutih semua. Tapi si-fatmu masih saja seperti adik Gou....."

Hu yong siancu tertawa, selanya kemudian: "Kalau memang begitu biarlah Thi gou dan anak Giok tidur di rumahku sedang nona Oh tinggal dirumah kediaman Thio lo enghiong."

"Bibi, anak Cu masih harus menengok enci ku Be Cui peng..." sela Oh Li cu segera, baru sekarang Hu yong siancu teringat kembali akan Tok Nio-cu, maka diapun bertanya de-ngan cemas.

"Saat ini Gui hujin berada dimana?"

"Dia berdiam di sebuah rumah nelayan dalam dusun ini."

"Kalau begitu cepat kau undang dia ke mari" seru naga sakti pembalik sungai de-ngan cepat.

Tapi Oh Li cu segera menggeleng, kata-nya sambil tersenyum:

"Tidak usah, biar kita bersua kembali be-sok pagi diatas perahu saja."

Hu yong siancu dan naga sakti pembalik sungai tahu kalau diantara mereka kakak beradik pasti masih ada persoalan pribadi yang hendak dibicarakan, karena itu merekapun tidak kukuh dengan pendirian "Enci Cu, tolong titip salam buat enci Peng, katakan kepadanya bahwa hari ini siaute belum berkesempatan untuk pergi menengok nya" kata Lan See giok pula sambi1 tertawa.

Oh Li-cu tertawa penuh rasa terima kasih sambil mengangguk, setelah berpamitan kepada semua orang. ia berangkat lebih dulu.

Kemudian Hu yong siancu juga memberi pesan-pesan kepada Siau cian.

Tatkala Lan See giok dan siau cian, berpa-mitan dengan Hu yong siancu serta naga sakti pembalik sungai, tiba-tiba Siau thi gou mengurungkan niatnya untuk pergi bersama pemuda itu.

Melihat hal ini. Naga sakti pembalik sungai segera tertawa terbahak-bahak, teriaknya dengan gembira.

"Haaahh... haaahhh... haaahhh... Thi gou memang tepat sekali bila kau berada disini saja, nah pergilah untuk mencari Sam keng untuk bermain bola dengan mereka"

Siau thi gou bersorak gembira dan segera berlarian keluar dari ruangan.

Lan See giok dan Siau cian tahu sudah pasti Si Cay soat yang secara diam-diam menghalangi niat Siau thi gou tersebut, kalau tidak, tak mungkin Siau Thi gou akan berubah pendirian ditengah jalan.

Berpendapat demikian, tanpa terasa dia memandang sekejap ke arah Si Cay soat sambil tertawa penuh rasa terima kasih.

Setelah keluar dari halaman rumah, untuk menghindari perhatian orang maka kedua orang itu menempuh perjalanannya dengan menelusuri jalan setapak dibelakang dusun,

Waktu itu matahari sedang bersinar cerah ditengah angkasa. langit cerah dan angin berhembus sepoi-sepoi.

Lan See giok dan Siau cian menelusuri jalan yang dikelilingi pemandangan alam in-dah, perasaan mereka terasa lebih lapang dan gembira.

Tak sampai satu jam kemudian, sampailah mereka di dusun nelayan yang lain, ketika Siau cian membuka kunci printu dan masuk zke dalam halamawn, ditemukan rurmahnya berada dalam keadaan bersih dan tak ada sedikit debupun yang menempel di situ, dia tahu tentu ibunya sudah pulang lebih dulu untuk membereskan rumahnya.

Bagi Lan See giok, kali ini merupakan ke-sempatan yang pertama baginya dapat ber-sama-sama enci Ciannya tanpa diganggu oleh kehadiran pihak ketiga, sudah lama dia impikan kesempatan seperti apa yang diala-minya hari ini.

Siau cian pergi menyiapkan air teh, lalu berdua duduk di ruang dalam sambil ber-pandangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Siau cian yang dipandang sedemikian rupa oleh pemuda itu kontan saja merasakan hatinya berdebar dan perasaannya tidak tenang.

Dia tak tahu mengapa bisa begitu, se-makin tenang-tenang suasananya dia merasa hati-nya semakin gugup.

Maka nona itupun bangkit berdiri dan berjalan mondar mandir dalam ruangan dengan perasaan gelisah yang tak terlukiskan dengan kata-kata mencekam benaknya, apa yang digelisahkan? Ia sendiri pun tak mampu mengutarakannya keluar.

Lan See giok yang menyaksikan keadaan tersebut menjadi amat keheranan, dengan kening berkerut tegurnya kemudian:

""Enci Cian, apakah kau sedang memikirkan bibi?"

Tergerak perasaan Siau cian, ia segera ber-henti dan manggut-manggut, sahutnya:

"Yaa, entah sampai kapan ibu baru akan kembali?" .

Ia duduk di depan pembaringan dan mene-guk air teh dengan perasaan tak tenang.

Lan See giok segera teringat akan sesuatu, cepat-cepat dia bertanya:

"Enci Cian, sebenarnya bibi kemana sih?"

"Setiap satu dua bulan sekali, ibu tentu akan pergi ke Kwan im an di Khu leng....."

Dengan perasaan terkejut agak berubah wajah Lan See giok, ia bertanya lagi.



"Bukankah kuil Kwan im an merupakan tempat tinggal kaum rahib.....?"

"Benar...." Siau cian mengangguk sedih, "Pemimpin kuil itu merupakan seorang nikou kenalan ibu semasa masih berkelana di dalam dunia persilatan dulu.."

Sebelum Siau cian menyelesaikan kata katanya, dengan kening berkerut Lan See giok segera bangkit berdiri.

Menjumpai hal tersebut, dengan perasaan terkejut bercampur gelisah Siau cian, segera menegur:

"Adik Giok, mau apa kau?"

""Hmm, aku hendak memperingatkan nikou tersebut, jika ia berani membujuk bibi me-masuki kuil tersebut, akan kubakar Lam hay toa si Kwan im an itu sampai rata dengan tanah..."

Kontan saja Siau cian tertawa cekikikan.

"Coba kau lihat tampangmu yang gelisah itu, biarpun pengalaman ibu selama ini tidak menguntungkan dan selalu menderita, toh dia masih mempunyai anak, sebelum hara-pannya terkabul, masa dia akan menjadi nikou?"

Tergerak hati Lan See giok mendengar uca-pan itu, dia segera teringat kembali dengan pengalaman bibinya yang masih menjadi tanda tanya baginya.

Maka dengan wajah lebih tenang ia duduk kembali di tempat semula, kemudian dengan nada mendatar ia bertanya:

"Enci Cian, mengapa sih bibi begitu benci dengan Pek Im hong dari Lim lo pah terse-but?"

Terbayang kembali pengalaman tragis yang dialami ibunya. segera timbul perasaan mu-rung dan pedih dalam hati Siau cian, perasaan tak tenang yang semula mencekam perasaannya kini turut lenyap pula tak ber-bekas.

Dengan kening berkerut dan pandangan sedih dia memandang sekejap ke arah pemu-da itu, bukan menjawab dia justru balik bertanya:

"Apakah kau mengetahui tentang pengala-man sedih yang dialami ibu sepanjang hidupnya?"

Lan See giok tidak leluasa untuk mengata-kan tak tahu, maka sahutnya kemudian:

"Sewaktu masih kecil dulu, aku sering kali mendengar ibuku membicarakan tentang persoalan ini, cuma saja aku sudah tak dbapat mengingatnjya kembali...""g

Agaknya Siaub cian mengetahui dengan jelas sampai dimanakah hubungan antara ibunya dengan orang tua Lan See giok, maka dengan perasaan tak paham ia bertanya:

"Apa cerita ibumu dulu. . ."

Lan See giok tidak menyangka Siau cian akan bertanya demikian tapi ia segera ber-pikir lain, jawabnya segera:

"Sebelum meninggal ibuku berpesan agar aku jangan melupakan bibi Wan!"

Siau cian segera menghela napas sedih:

"Aaai... semasa masih gadis dulu, nama ibu sudah termasyhur di seantero dunia persila-tan, tatkala mencapai usia sembilan belas tahun ia telah bertemu dengan seorang pe-muda tampan yang mempergunakan sema-cam senjata berbentuk aneh, orang itu adalah Gurdi emas peluru perak paman Lan yang namanya menggetarkan seluruh dunia persilatan."

"Ibu dan paman Lan merasa jatuh hati dalam pandangan pertama, ditambah pula mereka punya urusan untuk bersama-sama pergi ke Ciong-lay-san, maka hubungan yang makin erat menumbuhkan benih cinta, ke-mudian ibu mengetahui bahwa paman Lan sesungguhnya sudah menjalin cinta yang mendalam dengan Ki lu lihiap Ong yan hoa jauh sebelum mereka berdua saling berke-nalan."

"Mungkin ibu beranggapan bahwa ia tak pantas merebut kekasih orang lain, tapi menurut ibu sebenarnya ia kuatir paman Lan tak akan memperoleh kebahagiaan di kemudian hari, maka diapun memutuskan untuk meninggalkan paman Lan...""

Tergerak perasaan Lan See giok setelah mendengar sampai di situ, tiba-tiba dia menimbrung:

"Enci Cian, menurut pendapatmu bagai-manakah keputusan bibi waktu itu? Apakah tindakan yang diambilnya itu benar?"

Siau cian memandang sekejap kearah Lan See giok dengan pandangan cinta, kemudian sambil tertawa paksa dia menggeleng:

"Aku tidak tahu, aku hanya mengetahui bahwa sejak ibu dan ayah kawin, batinnya selalu menderita."

"Enci Cian, maafkan kegegabahanku, se-benarnya siaute ingin sekali mengetahui ala-san bibi sampai kawin dengan ayahmu Ciub ki san...""

Sjenyuman yang segmula menghiasi bwajah Siau cian seketika hilang lenyap tak berbe-kas, katanya kemudian dengan sedih:

"Membicarakan persoalan ini, sebenarnya hal tersebut akan melukai perasaan hatiku, namun akupun mempunyai hal-hal yang pantas dibanggakan, yaitu sejak ibu kawin dengan ayah, ia memang seorang istri yang setia, betul bahwa ibu seringkali bertemu dengan paman Lan semenjak kematian ayah-ku, namun aku tahu ibu selalu menjaga ke-sucian tubuhnya..."

Tiba-tiba Lan See giok merasakan hatinya bergetar keras, bibirnya bergetar tanpa terasa, namun ia toh merasa kurang leluasa untuk bertanya kepada gadis itu darimana ia bisa tahu?

Tampaknya Siau cian dapat meraba suara hati si anak muda tersebut, ia segera menje-laskan:

"Pada mulanya, setiap kali ibu pergi keluar dia selalu kembali dengan cepat, tapi lambat laun ia baru pulang menjelang tengah ma-lam, waktu itu aku merasa amat menderita dan marah, ada suatu waktu aku sengaja menguntit Ibu secara diam-diam, ingin kuli-hat sebenarnya rahasia apakah yang dia miliki..."

Diam-diam Lan See giok mencemaskan ayah dan bibinya, dengan penuh perhatian ia bertanya:

"Tentunya bibi telah pergi ke kuil Kwan im an bukan?"

"Tidak" Siau cian menggeleng, "Ibu mema-suki hutan yang lebat itu dan menuju ke suatu tempat yang sangat gelap, dari situlah melayang turun seorang lelaki setengah umur berdandan sastrawan, dia mempunyai wajah yang tampan dengan sedikit kumis, meski rambutnya mulai berubah, namun tidak menutupi ketampanan nya semasa masih muda dulu...."

"Dia.... dia adalah ayahku!" ucap See giok emosi.

"Siau cian mengangguk, lanjutnya:

"Waktu itu aku sangat gusar, kalau bisa ingin kubunuh sastrawan tampan itu, di samping akupun sangat membenci ibu, aku tidak merasakan lagi kelembutan ibuku.

"Ibuku memanggil ayahmu sebagai engkoh Khong tay, sedang ayahmu menyebut adik Sin kepada ibuku, pada waktu itu aku dapat melihat dengan jelas dari mimik wajah mereka, betapa tulus dan lurusnya sikap mereka, tak ubahnya seperti saudara kan-dung sendiri..."

"Yaa, benar." sela Lan See giok dengan perasaan haru, "ketika ayah memerintahkan siau-te mengirim kotak rkecil tersebut zkemari, berulanwg kali ayah berrpesan kepadaku bahwa bibi adalah orang yang paling dikaguminya, meskipun dia bukan bibi kandungku, namun ayah memerintahkan kepadaku agar selalu menganggapnya sebagai bibi kandung se-panjang masa."

Siau cian memandang sekejap ke arah pe-muda itu dengan perasaan berterima kasih, lalu terusnya:

"Apa yang mereka bicarakan sebenarnya tak sempat kudengar dengan jelas, hanya setelah pulang ke rumah, aku ribut dengan ibuku, dan saat itulah dengan air mata berli-nang ibu baru memberitahukan kepadaku bahwa sebenarnya dia tidak sepantasnya kawin dengan ayahku Ciu Ki san.

"Ayahku berasal dari keluarga pembesar dan muak dengan suasana pemerintahan waktu itu sehingga akhirnya dia pergi ke bukit Kun-lun dan belajar silat di situ, dalam suatu kesempatan ia telah menyelamatkan ibu dari suatu musibah..."

"Kepandaian silat yang dimiliki bibi sangat hebat, waktu itu jarang ada yang mampu menandinginya..." kata See giok dengan perasaan tidak mengerti.

Sebelum pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, Siau cian telah menjelaskan:

"Masalahnya bukan soal kemampuan yang hebat atau bukan, ketika ibu sedang mengi-nap di sebuah rumah penginapan, Pek lm hong si bajingan laknat itu telah mencam-purkan bubuk pembingung sukma di dalam hidangan yang dipesan ibu, akibatnya dalam keadaan tak sadar ibu dibawa oleh manusia laknat itu ke dalam sebuah kuil, ketika ibu mendusin ia mendengar ada suara pertempu-ran sedang berlangsung di halaman kuil dan kedengaran pula jeritan-jeritan ngeri, sedang ibu sendiri menjadi malu sampai merah padam mukanya setelah mengetahui keadaan sendiri yang terikat di atas kursi wanita -Can-tik ...." .

Biarpun Lan See giok merasa gusar, tak urung ia bertanya juga "Apa sih yang di na-makan kursi wanita cantik itu?"

Setelah mengungkap soal 'Kursi wanita Cantik', sebenarnya Siau cian merasa agak menyesal, apalagi setelah mendengar perta-nyaan tersebut ia menjadi tersipu-sipu dibuatnya, dengan perasaan malu bercampur mendongkol segera serunya:

"Siapa yang tahu benda apakah itu, kau ini bagaimana sih? masa bertanya sampai ke dasar-dasarnya?"

Dari sikap si nona yang tersipu-sipu dan mengomel, Lan See giok segera sadar kalau "kursi wanita cantik" tentu termasuk sebuah benda yang tak baik, maka buru-buru dia mengiakan sambil bertanya lebih jauh:

(Bersambung ke Bagian 39)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar