Keluar dari padang ilalang,
sampan di ke-mudikan menuju ke arah barat laut.
Setengah jam kemudian, di
ujung langit sana muncul bayangan gunung dan hutan yang lebat.
Berdiri di ujung geladak, Lan
See giok ber-gumam agak murung. ""Entah si naga sakti pembalik sungai
Thio loko serta Thi gou su-dah kembali belum?"
Siau cian termenung sejenak,
kemudian sahutnya:
Menurut perhitungan ibuku,
seharusnya kemarin malam mereka sudah tiba disini!"
Lan See giok ingin selekasnya
mengetahui jejak gurunya serta membalaskan dendam bagi kematian ayahnya, dia
berharap si naga sakti pembalik sungai bisa memberi kabar gembira kepadanya.
Sampan masih melaju ke depan
dengan kecepatan tinggi ....
Lambat laun di depan situ
muncul baya-ngan tanggul, kemudian tampak kaum wanita sedang mencuci pakaian,
gadis-gadis nelayan membetulkan jala serta anak-anak yang sedang berlarian ...
Ketika menjelang pantai
tersebut. Lan See giok menyaksikan pula di sisi sebaris kapal dimana ia pernah
menyembunyikan diri dulu hampir sebagian besar perahu telah turun ke telaga
untuk menangkap ikan, kini hanya tertambat satu dua buah sampan belaka.
Peristiwa malam itu, ketika ia
menyembu-nyikan diri dibalik sampan melintas kembali dalam benaknya.
Ia seolah-olah menyaksikan
wajah To Seng cu yang ramah dicekam perasaan murung dan kesal ....
Diapun seakan akan menjumpai
wajah si naga sakti pembalik sungai dicekam kegeli-sahan ....
Diapun seperti melihat adik
seperguruan nya Si Cay soat sedang terkejut, gelisah dan tegang ....
Akhirnya Lan See giok tersadar
kembali dari lamunannya. Ketika ia mendongakkan kepalanya kembali, ternyata
jaraknya dengan tepi pantai tinggal sepuluh kaki.
Setelah menambat sampan di
pantai, mereka bertiga segera melompat naik ke atas daratan, sedangkan kedua
orang dayang itu kembali ke telaga untuk menantikan datang nya kapal pengangkut
yang dikirim koman-dan Ciang.
Kemudian Lan See giok bertiga
di pantai telaga itu segera disambut oleh sekelompok, anak-anak kecil yang
datang mengerubung.
Mendadak dari belakang mereka
kede-ngaran suara teriakan keras:
"Hai, coba lihat, enci
Soat telah datang!"
Ketika Lan See giok
mendongakkan kepalanya, dia melihat ada sesosok bayangan merah sedang meluncur
datang dari balik hutan bambu di depan sana, orang itu adalah adik Soat, dan
dia tak menyangka anak-anak di dusun itu masih tetap menge-nal Si Cay soat.
Berpikir demikian, tanpa
terasa dia ber-paling dan memandang sekejap kearah bo-cah-bocah itu.
Ketika Lan See giok berpaling,
kembali ter-dengar bocah-bocah itu berteriak keras:
"Aaaah, rupanya dia, yaa
rupanya dia .... haaahh.... haaahh... dia kan bocah tanggung yang dihajar enci
Soat sampai lari terbirit birit?"
Teriakan ini kontan saja
membuat paras muka Lan See giok menjadi merah padam.
Si Cay soat tersenyum manis ke
arah pe-muda itu, kemudian kepada Siau cian dan Oh Li cu katanya sambil
tertawa:
"Begitu kudengar suara
teriakan adik-adik kecil ini, sudah kuketahui tentu kalian yang telah
datang."
Sambil berkata dia menuding ke
arah sekelompok bocah yang mengelilingi mereka berempat.
Siau cian sangat menguatirkan
ibunya, dia segera bertanya dengan penuh perhatian:
"Adik Soat, mana
ibuku?"
Si Cay soat tertawa, agaknya
dia sedang mentertawakan Siau cian yang tak bisa berpisah dengan ibunya,
kemudian sahutnya sambil tertawa riang:
"Bibi sedang - berunding
dengan Thio loko."
Mendengar jawaban ini, kembali
Lan See giok bertanya dengan gelisah:
"Mana adik Thi gou?"
Belum habis dia bertanya, dari
balik hutan sudah kedengaran suara teriakan dari -Thi gou yang penuh dengan
kegembiraan:
"Heei ... engkoh Giok ...
engkoh Giok..."
Mendengar teriakan itu Lan See
giok men-dongakkan kepalanya, tampak Siau thi gou yang hitam kulitnya sedang
berlarian mendekat dengan cepat.
Baru pertama kali ini Siau
cian serta Oh Li cu berjumpa dengan Siau thi gou.
Ketika mereka saksikan bocah
itu mengena kan pakaian hitam sehingga membuat kulit tubuhnya yang memang hitam
bertambah hitam, di mana cuma nampak ke dua biji matanya yang bulat besar saja,
tanpa terasa mereka sama-sama tertawa geli.
Begitu mendekat, Siau thi gou
langsung memeluk Lan See giok dan berseru dengan girang bercampur marah:
"Engkoh Giok, cepat amat
perjalananmu aku dan Thio loko tak pernah berhasil menyusulmu!"
Lan See giok tertawa terbahak
bahak.
"Haahh...haaahhh...haaahhh...aku
kan menunggang kuda, sudah barang tentu jauh lebih cepat dari pada
kalian!"
"Padahal biar hujan badai
pun kami tetap menempuh perjalanan, tapi kenyataannya tidak mampu
menyusulmu..."
Sebelum Siau thi gou
menyelesaikan per-kataannya, Si Cay soat telah menimbrung dengan tak sabar:
"Sudah, sudahlah, ayo
kita balik dulu ke rumah sebelum berbicara lagi."
Selesai berkata dia mengajak
Lan See giok sekalian menuju ke hutan bambu.
Thi gou berjalan pula di depan
dengan langkah lebar, setelah menembusi hutan bambu, di depan sana muncul
beberapa buah bangunan rumah kecil.
Tiba di depan rumah mereka
menembusi sebuah halaman kecil dan masuk ke dalam ruangan, waktu itu Hu yong
siancu sedang berbicara dengan si naga sakti pembalik su-ngai, ketika melihat
kedatangan See giok, kedua orang itu segera muncul untuk me-nyambut.
Dalam sekilas pandangan saja,
Lan See giok dapat melihat si naga sakti pembalik sungai yang bertubuh kekar
itu, hanya di dalam waktu tujuh bulan saja wajahnya keli-hatan sudah jauh lebih
tua dari semula:
Saat ini, meskipun wajahnya
masih tetap segar dan penuh semangat, namun diatas wajahnya yang tua masih
tetap tersisa keleti-han yang mencekam.
Bertemu dengan Lan See giok,
si naga sakti pembalik sungai segera berkata sambil tersenyum:
"Ketika aku tiba kemarin
tengah malam, kudengar dari putraku Ji keng yang menga-takan, saudara cilik
serta adik Soat telah tiba dua hari berselang."
Lan See giok maju ke depan dan
memberi hormat, lalu, sahutnya dengan hangat.
"Siaute dengar dari adik
Soat, katanya ketika engkoh tua ke situ, siaute baru saja turun gunung."
"Haaaahh....haaaaahhh...haaaahh
.... maka itulah, selangkah sudah terlambat, selanjut-nya selalu ketinggalan
......
Selesai berkata kembali dia
tertawa terba-hak bahak.
Dari gelak tertawa si naga
sakti pembalik sungai, Lan See giok bisa merasakan bahwa kegembiraan orang itu
sudah jauh berkurang ketimbang dahulu.
Setelah masuk ke dalam
ruangan, Lan See giok memberi hormat dulu kepada bibinya, kemudian baru
memperkenalkan Oh Li cu kepada si naga sakti pembalik sungai.
Pada dasarnya si naga sakti
pembalik su-ngai adalah kenalan lama dari pemilik ben-teng Wi lim poo yang
terdahulu setelah mendengar penjelasan dari Hu yong siancu tentang asal usul Oh
Li cu yang sebenarnya, diapun menghela napas panjang.
Begitulah, dalam kesempatan
tersebut Lan See giok kembali menanyakan keadaan gu-runya.
"Thio loko, selama
setengah tahun ini, apakah kau berhasil mendapat kabar tentang suhu-"
Begitu menghadapi pertanyaan
ini, paras muka si naga sakti pembalik sungai segera dicekam kemurungan lagi.
"Anak Giok" Hu yong
siancu segera me-nimbrung, "situasi yang kita hadapi saat ini amat kalut,
boleh dibilang menyangkut pula tentang mati hidupnya semua perguruan dan partai
besar di dalam dunia persilatan, soal bertemunya kau dengan Keng hian sian
tiang dibukit Bu tong, juga telah kubicarakan de-ngan Thio lo enghiong..."
Pelan-pelan si naga sakti
pembalik sungai mengangkat kepalanya, kemudian menyela dengan sedih:
"Waktu itu aku bermaksud
untuk mene-nangkan pikiran dan perasaan kalian bertiga, dalam keadaan demikian
terpaksa engkoh tua harus memakai taktik semacam itu un-tuk menghadapi kalian
......
Berbicara sampai di situ dia
melirik sekejap ke arah Lan See giok, Si Cay soat dan Siau thi gou yang menanti
dengan harapan serta kegelisahan, kemudian terusnya:
"Namun surat itu
benar-benar tulisan dari Cia locianpwe sendiri, dia orang tua meme-rintahkan
kepadaku untuk menghantar surat tersebut ke Hoa san dan menyerahkan kepada
kalian bila setengah tahun kemudian masih belum juga nampak dia orang tua
kembali.
"Tampaknya Cia locianpwe
telah menduga bahwa di dalam perjalanannya menuju ke luar lautan kali ini,
masalahnya tidak akan segampang masalah beradu kepandaian bia-sa, karena itu
dia telah persiapkan surat tersebut guna menenteramkan hati kalian bertiga,
dari pada mempengaruhi usaha kalian berlatih ilmu silat "
Belum selesai perkataan itu
diutarakan, Siau thi gou sudah mengucurkan air mata dan bertanya sambil
menangis:
"Thio lo koko, sudah
setahun lebih suhu belum juga kembali, apakah dia tak akan kembali lagi?"
Siau cian teringat pula
bagaimana To Seng cu menghadiahkan pedang kepadanya serta mewariskan ilmu silat
kepadanya, karena itu diapun ikut menangis.
Sebaliknya Oh Li cu yang
melihat semua orang menangis, hatinya ikut sedih hingga air mata bercucuran
membasahi pipinya.
Akibatnya Hu Yong siancu dan
si naga sakti pembalik sungai tak bisa membendung pula kesedihan yang mencekam
perasaan mereka, sepasang mata mereka pun turut berkaca kaca.
Lama kemudian, si naga sakti
pbembalik sungai jbaru dapat mengghibur sambil mabng-gut-manggut.
"Tak usah kuatir Adik Thi
gou, Cia locian-pwe adalah seorang tokoh persilatan yang memiliki kepandaian
silat sangat tangguh, belum ada manusia di dalam dunia ini yang mampu
menandingi dia orang tua..."
Siau thi gou agak tidak
percaya, mende-ngar ucapan itu dia segera membantah.
"Kalau memang begitu,
kenapa suhu belum juga kembali?"
Hu yong siancu ada maksud
untuk meng-hibur Siau thi gou, dia segera menyela:
"Thi gou, biarpun jejak
Cia locianpwe ma-sih belum jelas hingga kini, namun kami su-dah memastikan
bahwa dia terkurung di bukit Wan san..."
"Apa? Terkurung dibukit
Wan san?" tanya Lan See giok dengan paras muka berubah.
Si naga sakti pembalik sungai
manggut-manggut:
"Yaa, inilah hasil
kesimpulan yang berhasil kami tarik berdasarkan kata-kata yang diu-capkan To
Seng-cu Cia locianpwe sebelum berangkat tempo hari, benarkah dia tersekap di
bukit Wan san, hal ini belum bisa dipasti-kan seratus persen."
"Apa yang dikatakan suhu
sebelum be-rangkat?" tanya Lan See giok dan Si Cay-soat hampir bersamaan
waktunya.
"Sebelum berangkat Cia
locianpwe telah berkata kepadaku bahwa kali ini Lam hay lo-koay telah mewakili
Wan san-popo me-ngundang dirinya untuk berkunjung ke bukit Wan-san sambil
membicarakan rencana mereka untuk menyatukan segenap pergu-ruan dan partai
silat yang ada di dunia ini, bila Cia Locianpwe tidak datang dan kemu-dian
terjadi peristiwa besar dalam dunia per-silatan maka Cia locianpwe tidak
diperke-nankan untuk turut mencampurinya.
"Dengan tekad hendak
melenyapkan semua bencana dari muka bumi akhirnya berangkat lah Cia locianpwe
menuju bukit Wan-san untuk turut menghadiri pertemuan- puncak yang kali ini
diselenggarakan Wan san popo sebab Lam-hay-lokoay dan Su-to cinjin telah berada
ditempat kediaman Wan San-popo, maka tidak mungkin Cia locianpwe pergi ke
Hay-lam.
"Berdasarkan hal inilah
Han lihiap dan aku segera menyimpulkan bahwa Cia locianpwe telah disekap di
bukit Wan san atau dikare-nakan pelbagai alasan, ia tak bisa mening-galkan
tempat tersebut untuk sementara waktub."
Lan See jgiok berusaha kgeras
untuk me-nbgendalikan amarah yang berkobar di dalam dadanya, kemudian bertanya
lagi dengan tenang.
"Thio loko, kali ini kau
buru-buru pergi ke Hoa san untuk menjumpai siaute, apakah maksudmu hendak
memberitahukan kepada siaute tentang berita ini?"!
Si naga sakti pembalik sungai
sudah dapat menangkap hawa napsu membunuh yang menyelimuti wajah Lan See giok,
maka dia segera menggeleng sambil menjelaskan.
Semua perbuatan yang kulakukan
hampir semuanya menurut pesan yang ditinggalkan Cia locianpwe. sesungguhnya
kedatanganku ke Hoa san tempo hari adalah hendak berpesan kepada saudara cilik
agar turun gunung dan mulai mencari pembunuh ayah mu, bila urusan telah selesai
kau diminta pergi ke wan san untuk bersama Cia Locian-pwe memecahkan pelbagai
masalah lain"
Dengan kening berkerut dan
amarah mem-bara Lan See giok segera berkata.
"Siaute telah berhasil
menyelidiki bahwa pembunuh ayahku adalah Oh Tin-san, dan kebetulan sekali
diapun berada dibukit Wan san, membalas dendam bagi kematian ayahku. Menolong
guru dari kesulitan, agaknya kedua hal tersebut dapat kita laksanakan bersama
sama, menurut Siaute masalah ini tak bisa ditunda tunda lagi, kita harus
be-rangkat secepatnya"
Si naga sakti pembalik sungai
cukup me-ngetahui bagaimanakah perasaan Lan See giok saat ini, maka diapun
mengangguk:.
"Ucapan saudara cilik
memang benar, kita harus berangkat secepatnya. tapi aku sudah pernah berangkat
ke bukit Wan san dan diam-diam melakukan penyelidikan di situ tatkala kembali
dari bukit Hoa san setengah tahun berselang.
Berkilat sepasang mata Lan See
giok sete-lah mendengar ucapan tersebut, dengan wa-jah terkejut bercampur
girang segera tim-brungnya:
"Apakah kau berhasil mendapat
kabar tentang suhu?"
Dengan wajah serba susah si
naga sakti pembalik sungai menerangkan:
"Wan san terletak
ditengah samudra yang dikelilingi dua ratus empat puluhan pulau kecil, bukan
hanya begitu, ombak samudra amat besar dan mengerikan, kepulauan itu pun
berderet-deret, ada yang lebat rdengan pepohonazn. ada pula yanwg gersang tak
nram-pak tumbuhan apapun, ada pula yang teng-gelam disaat air pasang dan muncul
kembali disaat surut, keadaannya berbahaya dan amat rumit, sudah beberapa bulan
lamanya aku melakukan pemeriksaan namun akhirnya tanpa hasil ...."
Timbul kembali kegelisahan
dalam hati Lan See giok setelah mendengar ucapan ini, tanpa terasa dia menyela:
"Menurut pendapatmu itu,
bagaimanakah kita mesti berbuat? Apakah tahu sukar dan kemudian mengundurkan
diri..."
"Ooooh, tentu saja kita
harus pergi, biar gunung golok kuali berminyak mendidih pun tetap akan kita
datangi, untuk membunuh Oh Tin san dan menolong Cia locianpwe, kita harus
bertindak tanpa memperhitungkan ba-gaimanakah resikonya . . . ."
Berbicara sampai disini, dia
memandang sekejap ke arah Lan See giok dengan tenang, kemudian sambungnya:
"Cuma saja, kita harus
mempunyai suatu rencana yang cermat dan matang, dengan demikian kita baru punya
harapan untuk berhasil di dalam perjalanan kali ini. . ."
"Engkoh tua, rencana
apakah yang kau miliki? Ayo cepat diarahkan keluar. . ." seru Si Cay soat
tidak sabar.
Dengan pandangan hangat si
naga sakti pembalik sungai memandang sekejap ke arah Si Cay soat, kemudian
sambungnya:
"Sudah beberapa kali aku
dan Han lihiap merundingkan persoalan ini, menurut pen-dapat kami, jika kita
hanya mengandalkan kekuatan beberapa orang saja untuk mencari letak pulau
tersebut, akhirnya pasti akan mengalami nasib seperti usahaku dulu, gagal
total, Sebaiknya bila dibagi menjadi beberapa kelompok, dengan kemampuan Lam
hay lo koay dan Si to cinjin di tempat kediaman Wan san popo, andaikata bertemu
dengan mereka, selain engkoh Giok mu se-orang, yang lainnya sudah pasti bukan
tandingan mereka. . ."
Mendadak berkilat sepasang
mata Lan See giok, teriaknya keras-keras.
"Engkoh Thio, aku punya
akal!"
Teriakan yang sangat tiba-tiba
itu segera membuat ruangan tersebut dicekam kehe-ningan, semua sorot mata orang
sama-sama ditujukan kearah anak muda tersebut.
Dengan keyakinan yang sudah
mantap, si naga sakti pembalik sungai bertanya:
"Kau mempunyai akal apa?
Tak ada salah-nya bila saudara cilik kemukakan disini agar engkoh tua dan Han
lihiap bisa turut me-ngetahuinya .-"
Dengan wajah gembira Lan See
giok segera berkata.
"Berbicara soal kekuatan
yang dimiliki Wi lim poo saat ini, mereka mempunyai ratusan buah kapal perang
dan anggota sebanyak dua ribuan lebih, asal kita mengerahkan segenap kekuatan
untuk berangkat ke bukit Wan-san, satu diantaranya pasti akan berha-sil menemukan
letak pulau tersebut.
Di samping itu kita dapat
menyebarkan perhatian dari Wan-san popo, dengan ke-mampuan yang ada, hasil yang
bakal diperoleh tentu akan lebih besar malahan bisa jadi sebelum kapal-kapal
kita mengu-rung pulau Wan-san, Oh Tin-san suami istri sudah terpancing keluar
lebih dulu"
Bersamaan dengan selesainya
ucapan itu Siau cian, Cay soat dan Oh Li cu sama-sama berteriak tanda setuju.
Si naga sakti pembalik sungai
memandang sekejap kearah Hu-yong siancu sambil terta-wa misterius, kemudian
baru menyahut:
"Ternyata apa yang
dikatakan saudara cilik sekarang persis seperti hasil perundinganku dengan Han
lihiap.."
Kemudian ia berhenti sejenak
sambil melirik kearah Oh Li cu, lalu terusnya.
"Cuma hal ini tergantung
pada persetujuan nona Oh, apakah ia setuju atau tidak."
Oh Li-cu segera tersenyum.
"Boanpwe tidak mempunyai
kemampuan apa-apa, sebab kekuasaan tertinggi di dalam benteng Wi lim poo saat
ini berada ditangan adik Giok, segala sesuatunya tergantung pada perintahnya
sedang boanpwe hanya akan turubt perintah sajaj "
Ucapan igni begitu
diutabrakan, semua orang sama-sama dibikin tertegun, agaknya mereka tidak
menyangka kalau Oh Li cu bisa tanpa kekuasaan semacam ini.
Menyaksikan mimik wajah yang
diperlihat-kan semua orang, Oh Li cu kembali tertawa sambil melanjutkan:
"Adik Giok mempunyai
wibawa dan simpa-tik yang sangat mendalam di benteng Wi lim poo, seperti
sambutan yang diberikan segenap anggota benteng kemarin, tentunya bibi serta
adik berdua telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri hingga tak usah
boanpwe tuturkan lagi, asal adik Giok menu-runkan perintahnya sekarang, niscaya
segenap anggota benteng akan melakukan perintah tersebut dengan segera, dalam
hal ini boanpwe berani menjamin."
Hu yong siancu berkerut
kening, dengan perasaan kuatir katanya tiba-tiba:
"Yang kita kuatirkan
sekarang justru ulah dari Be Siong pak, siapa tahu dia bermain gila secara
diam-diam?"
Siau cian segera tertawa
cekikikan sambil menyela:
"Saat ini, mungkin
jenasah Be Siong pak sudah lama menjadi kaku ...."
Begitu ucapan mana diutarakan,
selain Lan See giok dan Oh Li cu, semuanya sama-sama berseru kaget dengan wajah
berubah:
"Kenapa?" Hu yong
siancu segera bertanya dengan wajah tidak mengerti.
Oh Li cu tersenyum, secara
ringkas ia lantas menceritakan kisah yang dialami Lan see giok sekalian pada
malam itu .....
Sewaktu selesai mendengar
kisah mana, si naga sakti pembalik sungai segera menepuk pahanya sambil berseru
dengan gembira:
"Bagus sekali kalau
begitu, besok, kita bisa segera berangkat, dengan melewati sungai tiangkang,
melalui Kim-leng, Go-siong lang-sung menuju samudra dan mencapai pulau
Wan-san"
Tiba-tiba Hu yong siancu
menyela sambil tersenyum.
"Kalau toh kita sudah
mengambil kepu-tusan untuk berbuat demikian, aku rasa kita tak perlu terburu
napsu lagi, yang pertama kita mesti lakukan adalah membuat para komandan dan
anggota Wi lim poo tahu bahwa mereka hendak melakukan perjalanan jauh, kemudian
mereka harus memper-siap-kan pula kebbutuhan bagi ratjusan buah kapalg perang
tersebubt dalam melakukan perjalanan jauh. aku rasa untuk kedua hal ini kita
me-merlukan waktu cukup lama. di samping itu kita sendiri toh mesti mempunyai
persiapan juga, sebab di dalam perjalanan menuju ke Wan-san kali ini. meski
hanya membutuhkan waktu setengah bulan, tapi siapapun tak bisa memastikan kalau
kita tak akan mengun-jungi Hay lam."
Tidak sampai Hu yong siancu
menyelesai-kan kata-katanya, dengan wajah memerah si naga sakti pembalik sungai
telah meng-ang-guk berulang kali.
"Benar, benar sekali, kalau
begitu kita lak-sanakan sesuai dengan perkataan Han lihiap tadi, tapi kita
harus menggunakan alasan apa untuk menggerakkan kapal-kapal perang dari benteng
Wi lim-poo tersebut?"
"Apakah Thio locianpwe
akan turut serta di dalam perjalanan kali ini?" tiba-tiba Oh Li-cu
menyela:
"Tentu saja harus
ikut." sela Lan See giok.
""Kalau begitu, jika
kita tidak mempunyai sebuah alasan yang cocok dan bisa diterima dengan akal
sehat, niscaya perbuatan kita ini akan menimbulkan kecurigaan dari para
ko-mandan kapal perang Wi-lim-poo!"
""Ucapan nona memang
benar" Si naga sakti pembalik sungai segera manggut- manggut dengan kening
berkerut.
Oh Li-cu tertawa hambar.
""Harap Thio
locianpwe jangan me-nyebutku dengan nama margaku yang se-benarnya, se-bab
dengan panggilan tersebut, tentu akan mudah memancing kecurigaan orang-orang Wi
lim-poo"
"Baik, baiklah"
sahut naga sakti pembalik sungai sambil mengangguk berulang kali. "aku
memang sudah makin tua, sehingga kian tua kian bertambah pikun saja,"
0leh ucapan tersebut, semua
orang segera tertawa geli.
Hu yong siancu segera
mengulapkan ta-ngan nya mencegah semua orang tertawa le-bih lanjut, setelah itu
katanya dengan serius:
"Biarpun aku dan Thio lo
enghiong berhasil memikirkan cara tersebut, namun kami se-lalu merasa bahwa
carra tersebut kurang be-gitu terbuka dan jujur. . ."
"Untuk menghadapi kawanan
manusia yang licik busuk dan berbahaya semacam itu, buat apa kita mesti
membicarakan soal jujur, atau tidak apalagi Oh Tin san adalah musuh besar
pembunuh ayahku. Dengan cara apapun aku bertekad membinasakan
dirinya"."
"Anak Giok" ujar Hu
yong siancu dengan sungguh-sungguh. "biarpun orang lain licin dan banyak
tipu muslihatnya. Namun jangan mengurangi kejujuran dan kelurusan kita di dalam
bertindak, apalagi kitapun harus memikirkan pertanggungan jawab kita terha-dap
keselamatan segenap anggota Wi- lim-poo yang kita ajak berangkat bersama-sama
itu. . ."
Merah dadu selembar wajah Lan
See-giok, namun ia sadar bahwa perkataan itu memang benar, karenanya diapun
membisu di dalam seribu bahasa, terdengar Hu-yong siancu berkata lebih jauh.
"Sekarang sudah ada
kenyataan bahwa Be Siong-pak hendak menyelidiki gedung kedia-man bagian dalam,
apa salahnya jika kita manfaatkan kesempatan ini untuk mem-bongkar rahasia
kematian dari Phoa yang ong Kian pocu dimasa lampau? Kita dapat berala-san
hendak menangkap pembunuh keji itu di Wan-san, bahkan kemudian setelah
persoa-lan itu kita bisa mengajak para komandan bersama-sama melakukan
pembuktian di dalam kamar rahasia tersebut aku yakin segenap anggota Wi lim-poo
pasti bisa kita tundukkan."
Mendengar sampai di situ, si
naga sakti pembalik sungai yang pertama-tama bertepuk tangan lebih dulu tanda
setuju, menyusul kemudian Lan See-giok sekalian juga manggut- manggut sambil
memuji:
"Kalau memang begitu,
kita boleh mulai bekerja sekarang" kata naga sakti pembalik sungai
kemudian dengan gembira.
Hu yong siancu segera
berpaling kearah Lan See giok dan Oh Li cu, kemudian tanya-nya:
"Apakah kalian sudah
mengirim kapal be-sar datang kemari?"
Lan See giok memandang kearah
matahari yang ditengah angkasa. kemudian menyahut:
"Yaa, aku mengirim sebuah
kapal kemari, mungkin saat ini sudah tiba disini."
""Langkah pertama
kita harus mengangkut kuda-kuda itu pulang ke benteng!" kata Hu yong
siancu kemudian. "kedua, nona Oh ha-rus mengatur kedua orang dayang agar
pu-lang menyampaikan perintah kepada koman-dan kapal agar besok pagi berangkat,
di samping itu menyebar luaskan tentang se-bab-sebab kematian Phoa yang ong si
pocu di masa lalu kemudian secara diam-diam se-barkan pula kabar yang
mengatakan ke-mungkinan besar Oh Tin san suami istri akan terbunuh di luar
lautan.. usahakan agar anggota benteng mengetahui tentang berita
ini...""
Setelah berhenti sejenak, ia
baru meman-dang sekejap semua orang yang hadir dan menambahkan:
""Sekarang secara
terpisah kita lakukan persiapan untuk memenuhi barang-barang yang dibutuhkan,
besok tengah hari kita naik perahu dari sini dan bersama-sama kembali ke
benteng Wi lim poo."
Baru selesai dia berkata, dua
orang pela-yan telah muncul menyiapkan makan siang.
Dengan gembira si naga sakti
pembalik sungai segera berseru.
"Mari kita bersantap
dulu, selesai bersan-tap kita baru melaksanakan tugas
masing-masing"."
Dalam kesempatan itu Hu yong
siancu berpaling kearah Oh Li-cu dan berpesan:
"Nona 0h, malam nanti kau
bersama anak Cian dan anak Giok boleh menginap di tem-patku sana, sebab aku
masih ada urusan dan malam ini tak dapat kembali ...."
Belum habis ia berkata, Thi
gou telah berteriak dengan marah.
"Tidak, tidak. malam ini
semua orang tak boleh tidur bersama engkoh Giok, aku si Thi gou yang akan tidur
bersama engkoh Giok..."
Atas teriakan ini, si naga
sakbti pembalik sunjgai segera tertgawa terbahak-babhak kege-lian.
Sedangkan Si Cay soat dengan
kening berkerut segera mengomel:
"Thi gou, siapa sih yang
menyuruh kau mengaco belo tidak karuan ....?"
Sebaliknya paras muka Siau
cian dan Oh Li cu berubah menjadi merah padam, mereka tertunduk malu meski
matanya sempat me-mandang sekejap ke arah Lan See giok yang berdiri jengah pula
di situ.
ooo0ooo
BAB 30
HU YONG SIANCU sendiri hanya
ter-senyum sambil membungkam diri, agaknya dia merasa tidak mampu untuk memberi
penjelasan kepada Siau thi gou yang polos tapi menyenangkan ini.
Dari mimik muka semua orang,
Siau thi gou menyadari kalau dia sudah salah berbi-cara, tak heran kalau enci
Soat-nya meng-umpat dan menegurnya.
"Siau thi gou" kata
si naga sakti pembalik sungai kemudian dengan gembira, "di kemu-dian hari,
bila kau tetap bersikeras demikian, pokoknya kau pasti akan disediakan
makanan-makanan yang lezat...."" sambil berkata sekali lagi ia
tertawa tergelak.
Merah dadu selembar wajah Si
Cay soat, kontan saja ia mengomel: "Thio loko. jeng-gotmu saja sudah
memutih semua. Tapi si-fatmu masih saja seperti adik Gou....."
Hu yong siancu tertawa,
selanya kemudian: "Kalau memang begitu biarlah Thi gou dan anak Giok tidur
di rumahku sedang nona Oh tinggal dirumah kediaman Thio lo enghiong."
"Bibi, anak Cu masih
harus menengok enci ku Be Cui peng..." sela Oh Li cu segera, baru sekarang
Hu yong siancu teringat kembali akan Tok Nio-cu, maka diapun bertanya de-ngan
cemas.
"Saat ini Gui hujin
berada dimana?"
"Dia berdiam di sebuah
rumah nelayan dalam dusun ini."
"Kalau begitu cepat kau
undang dia ke mari" seru naga sakti pembalik sungai de-ngan cepat.
Tapi Oh Li cu segera
menggeleng, kata-nya sambil tersenyum:
"Tidak usah, biar kita
bersua kembali be-sok pagi diatas perahu saja."
Hu yong siancu dan naga sakti
pembalik sungai tahu kalau diantara mereka kakak beradik pasti masih ada
persoalan pribadi yang hendak dibicarakan, karena itu merekapun tidak kukuh
dengan pendirian "Enci Cu, tolong titip salam buat enci Peng, katakan
kepadanya bahwa hari ini siaute belum berkesempatan untuk pergi menengok
nya" kata Lan See giok pula sambi1 tertawa.
Oh Li-cu tertawa penuh rasa
terima kasih sambil mengangguk, setelah berpamitan kepada semua orang. ia
berangkat lebih dulu.
Kemudian Hu yong siancu juga
memberi pesan-pesan kepada Siau cian.
Tatkala Lan See giok dan siau
cian, berpa-mitan dengan Hu yong siancu serta naga sakti pembalik sungai,
tiba-tiba Siau thi gou mengurungkan niatnya untuk pergi bersama pemuda itu.
Melihat hal ini. Naga sakti
pembalik sungai segera tertawa terbahak-bahak, teriaknya dengan gembira.
"Haaahh... haaahhh...
haaahhh... Thi gou memang tepat sekali bila kau berada disini saja, nah
pergilah untuk mencari Sam keng untuk bermain bola dengan mereka"
Siau thi gou bersorak gembira
dan segera berlarian keluar dari ruangan.
Lan See giok dan Siau cian
tahu sudah pasti Si Cay soat yang secara diam-diam menghalangi niat Siau thi
gou tersebut, kalau tidak, tak mungkin Siau Thi gou akan berubah pendirian
ditengah jalan.
Berpendapat demikian, tanpa
terasa dia memandang sekejap ke arah Si Cay soat sambil tertawa penuh rasa
terima kasih.
Setelah keluar dari halaman
rumah, untuk menghindari perhatian orang maka kedua orang itu menempuh
perjalanannya dengan menelusuri jalan setapak dibelakang dusun,
Waktu itu matahari sedang
bersinar cerah ditengah angkasa. langit cerah dan angin berhembus sepoi-sepoi.
Lan See giok dan Siau cian
menelusuri jalan yang dikelilingi pemandangan alam in-dah, perasaan mereka
terasa lebih lapang dan gembira.
Tak sampai satu jam kemudian,
sampailah mereka di dusun nelayan yang lain, ketika Siau cian membuka kunci
printu dan masuk zke dalam halamawn, ditemukan rurmahnya berada dalam keadaan
bersih dan tak ada sedikit debupun yang menempel di situ, dia tahu tentu ibunya
sudah pulang lebih dulu untuk membereskan rumahnya.
Bagi Lan See giok, kali ini
merupakan ke-sempatan yang pertama baginya dapat ber-sama-sama enci Ciannya
tanpa diganggu oleh kehadiran pihak ketiga, sudah lama dia impikan kesempatan
seperti apa yang diala-minya hari ini.
Siau cian pergi menyiapkan air
teh, lalu berdua duduk di ruang dalam sambil ber-pandangan tanpa mengucapkan
sepatah kata pun.
Siau cian yang dipandang
sedemikian rupa oleh pemuda itu kontan saja merasakan hatinya berdebar dan
perasaannya tidak tenang.
Dia tak tahu mengapa bisa
begitu, se-makin tenang-tenang suasananya dia merasa hati-nya semakin gugup.
Maka nona itupun bangkit
berdiri dan berjalan mondar mandir dalam ruangan dengan perasaan gelisah yang
tak terlukiskan dengan kata-kata mencekam benaknya, apa yang digelisahkan? Ia
sendiri pun tak mampu mengutarakannya keluar.
Lan See giok yang menyaksikan
keadaan tersebut menjadi amat keheranan, dengan kening berkerut tegurnya
kemudian:
""Enci Cian, apakah
kau sedang memikirkan bibi?"
Tergerak perasaan Siau cian,
ia segera ber-henti dan manggut-manggut, sahutnya:
"Yaa, entah sampai kapan
ibu baru akan kembali?" .
Ia duduk di depan pembaringan
dan mene-guk air teh dengan perasaan tak tenang.
Lan See giok segera teringat
akan sesuatu, cepat-cepat dia bertanya:
"Enci Cian, sebenarnya
bibi kemana sih?"
"Setiap satu dua bulan
sekali, ibu tentu akan pergi ke Kwan im an di Khu leng....."
Dengan perasaan terkejut agak
berubah wajah Lan See giok, ia bertanya lagi.
"Bukankah kuil Kwan im an
merupakan tempat tinggal kaum rahib.....?"
"Benar...." Siau
cian mengangguk sedih, "Pemimpin kuil itu merupakan seorang nikou kenalan
ibu semasa masih berkelana di dalam dunia persilatan dulu.."
Sebelum Siau cian
menyelesaikan kata katanya, dengan kening berkerut Lan See giok segera bangkit
berdiri.
Menjumpai hal tersebut, dengan
perasaan terkejut bercampur gelisah Siau cian, segera menegur:
"Adik Giok, mau apa
kau?"
""Hmm, aku hendak
memperingatkan nikou tersebut, jika ia berani membujuk bibi me-masuki kuil
tersebut, akan kubakar Lam hay toa si Kwan im an itu sampai rata dengan
tanah..."
Kontan saja Siau cian tertawa
cekikikan.
"Coba kau lihat tampangmu
yang gelisah itu, biarpun pengalaman ibu selama ini tidak menguntungkan dan
selalu menderita, toh dia masih mempunyai anak, sebelum hara-pannya terkabul,
masa dia akan menjadi nikou?"
Tergerak hati Lan See giok
mendengar uca-pan itu, dia segera teringat kembali dengan pengalaman bibinya
yang masih menjadi tanda tanya baginya.
Maka dengan wajah lebih tenang
ia duduk kembali di tempat semula, kemudian dengan nada mendatar ia bertanya:
"Enci Cian, mengapa sih
bibi begitu benci dengan Pek Im hong dari Lim lo pah terse-but?"
Terbayang kembali pengalaman
tragis yang dialami ibunya. segera timbul perasaan mu-rung dan pedih dalam hati
Siau cian, perasaan tak tenang yang semula mencekam perasaannya kini turut
lenyap pula tak ber-bekas.
Dengan kening berkerut dan
pandangan sedih dia memandang sekejap ke arah pemu-da itu, bukan menjawab dia
justru balik bertanya:
"Apakah kau mengetahui
tentang pengala-man sedih yang dialami ibu sepanjang hidupnya?"
Lan See giok tidak leluasa
untuk mengata-kan tak tahu, maka sahutnya kemudian:
"Sewaktu masih kecil
dulu, aku sering kali mendengar ibuku membicarakan tentang persoalan ini, cuma
saja aku sudah tak dbapat mengingatnjya kembali...""g
Agaknya Siaub cian mengetahui
dengan jelas sampai dimanakah hubungan antara ibunya dengan orang tua Lan See
giok, maka dengan perasaan tak paham ia bertanya:
"Apa cerita ibumu dulu. .
."
Lan See giok tidak menyangka
Siau cian akan bertanya demikian tapi ia segera ber-pikir lain, jawabnya
segera:
"Sebelum meninggal ibuku
berpesan agar aku jangan melupakan bibi Wan!"
Siau cian segera menghela
napas sedih:
"Aaai... semasa masih
gadis dulu, nama ibu sudah termasyhur di seantero dunia persila-tan, tatkala
mencapai usia sembilan belas tahun ia telah bertemu dengan seorang pe-muda
tampan yang mempergunakan sema-cam senjata berbentuk aneh, orang itu adalah
Gurdi emas peluru perak paman Lan yang namanya menggetarkan seluruh dunia
persilatan."
"Ibu dan paman Lan merasa
jatuh hati dalam pandangan pertama, ditambah pula mereka punya urusan untuk
bersama-sama pergi ke Ciong-lay-san, maka hubungan yang makin erat menumbuhkan
benih cinta, ke-mudian ibu mengetahui bahwa paman Lan sesungguhnya sudah
menjalin cinta yang mendalam dengan Ki lu lihiap Ong yan hoa jauh sebelum
mereka berdua saling berke-nalan."
"Mungkin ibu beranggapan
bahwa ia tak pantas merebut kekasih orang lain, tapi menurut ibu sebenarnya ia
kuatir paman Lan tak akan memperoleh kebahagiaan di kemudian hari, maka diapun
memutuskan untuk meninggalkan paman Lan...""
Tergerak perasaan Lan See giok
setelah mendengar sampai di situ, tiba-tiba dia menimbrung:
"Enci Cian, menurut
pendapatmu bagai-manakah keputusan bibi waktu itu? Apakah tindakan yang
diambilnya itu benar?"
Siau cian memandang sekejap
kearah Lan See giok dengan pandangan cinta, kemudian sambil tertawa paksa dia
menggeleng:
"Aku tidak tahu, aku
hanya mengetahui bahwa sejak ibu dan ayah kawin, batinnya selalu
menderita."
"Enci Cian, maafkan kegegabahanku,
se-benarnya siaute ingin sekali mengetahui ala-san bibi sampai kawin dengan
ayahmu Ciub ki san...""
Sjenyuman yang segmula
menghiasi bwajah Siau cian seketika hilang lenyap tak berbe-kas, katanya
kemudian dengan sedih:
"Membicarakan persoalan
ini, sebenarnya hal tersebut akan melukai perasaan hatiku, namun akupun
mempunyai hal-hal yang pantas dibanggakan, yaitu sejak ibu kawin dengan ayah,
ia memang seorang istri yang setia, betul bahwa ibu seringkali bertemu dengan
paman Lan semenjak kematian ayah-ku, namun aku tahu ibu selalu menjaga
ke-sucian tubuhnya..."
Tiba-tiba Lan See giok
merasakan hatinya bergetar keras, bibirnya bergetar tanpa terasa, namun ia toh
merasa kurang leluasa untuk bertanya kepada gadis itu darimana ia bisa tahu?
Tampaknya Siau cian dapat
meraba suara hati si anak muda tersebut, ia segera menje-laskan:
"Pada mulanya, setiap
kali ibu pergi keluar dia selalu kembali dengan cepat, tapi lambat laun ia baru
pulang menjelang tengah ma-lam, waktu itu aku merasa amat menderita dan marah,
ada suatu waktu aku sengaja menguntit Ibu secara diam-diam, ingin kuli-hat
sebenarnya rahasia apakah yang dia miliki..."
Diam-diam Lan See giok
mencemaskan ayah dan bibinya, dengan penuh perhatian ia bertanya:
"Tentunya bibi telah
pergi ke kuil Kwan im an bukan?"
"Tidak" Siau cian
menggeleng, "Ibu mema-suki hutan yang lebat itu dan menuju ke suatu tempat
yang sangat gelap, dari situlah melayang turun seorang lelaki setengah umur
berdandan sastrawan, dia mempunyai wajah yang tampan dengan sedikit kumis,
meski rambutnya mulai berubah, namun tidak menutupi ketampanan nya semasa masih
muda dulu...."
"Dia.... dia adalah
ayahku!" ucap See giok emosi.
"Siau cian mengangguk,
lanjutnya:
"Waktu itu aku sangat
gusar, kalau bisa ingin kubunuh sastrawan tampan itu, di samping akupun sangat
membenci ibu, aku tidak merasakan lagi kelembutan ibuku.
"Ibuku memanggil ayahmu
sebagai engkoh Khong tay, sedang ayahmu menyebut adik Sin kepada ibuku, pada
waktu itu aku dapat melihat dengan jelas dari mimik wajah mereka, betapa tulus
dan lurusnya sikap mereka, tak ubahnya seperti saudara kan-dung
sendiri..."
"Yaa, benar." sela
Lan See giok dengan perasaan haru, "ketika ayah memerintahkan siau-te
mengirim kotak rkecil tersebut zkemari, berulanwg kali ayah berrpesan kepadaku
bahwa bibi adalah orang yang paling dikaguminya, meskipun dia bukan bibi
kandungku, namun ayah memerintahkan kepadaku agar selalu menganggapnya sebagai
bibi kandung se-panjang masa."
Siau cian memandang sekejap ke
arah pe-muda itu dengan perasaan berterima kasih, lalu terusnya:
"Apa yang mereka
bicarakan sebenarnya tak sempat kudengar dengan jelas, hanya setelah pulang ke
rumah, aku ribut dengan ibuku, dan saat itulah dengan air mata berli-nang ibu
baru memberitahukan kepadaku bahwa sebenarnya dia tidak sepantasnya kawin
dengan ayahku Ciu Ki san.
"Ayahku berasal dari
keluarga pembesar dan muak dengan suasana pemerintahan waktu itu sehingga
akhirnya dia pergi ke bukit Kun-lun dan belajar silat di situ, dalam suatu
kesempatan ia telah menyelamatkan ibu dari suatu musibah..."
"Kepandaian silat yang
dimiliki bibi sangat hebat, waktu itu jarang ada yang mampu
menandinginya..." kata See giok dengan perasaan tidak mengerti.
Sebelum pemuda itu
menyelesaikan kata-katanya, Siau cian telah menjelaskan:
"Masalahnya bukan soal
kemampuan yang hebat atau bukan, ketika ibu sedang mengi-nap di sebuah rumah
penginapan, Pek lm hong si bajingan laknat itu telah mencam-purkan bubuk
pembingung sukma di dalam hidangan yang dipesan ibu, akibatnya dalam keadaan
tak sadar ibu dibawa oleh manusia laknat itu ke dalam sebuah kuil, ketika ibu
mendusin ia mendengar ada suara pertempu-ran sedang berlangsung di halaman kuil
dan kedengaran pula jeritan-jeritan ngeri, sedang ibu sendiri menjadi malu
sampai merah padam mukanya setelah mengetahui keadaan sendiri yang terikat di
atas kursi wanita -Can-tik ...." .
Biarpun Lan See giok merasa
gusar, tak urung ia bertanya juga "Apa sih yang di na-makan kursi wanita
cantik itu?"
Setelah mengungkap soal 'Kursi
wanita Cantik', sebenarnya Siau cian merasa agak menyesal, apalagi setelah
mendengar perta-nyaan tersebut ia menjadi tersipu-sipu dibuatnya, dengan
perasaan malu bercampur mendongkol segera serunya:
"Siapa yang tahu benda
apakah itu, kau ini bagaimana sih? masa bertanya sampai ke dasar-dasarnya?"
Dari sikap si nona yang
tersipu-sipu dan mengomel, Lan See giok segera sadar kalau "kursi wanita
cantik" tentu termasuk sebuah benda yang tak baik, maka buru-buru dia
mengiakan sambil bertanya lebih jauh:
(Bersambung ke Bagian 39)