Gigi Sim Pek Kun yang
menggigit bibir itu akhirnya membuat pendarahan, di sana tampak merah sedikit,
ia menganggukkan kepala.
Tiba2, Lian Seng Pek menerjang
pundak Sim Pek Kun, dengan geram dia membentak, “Kau jatuh cinta kepada seorang
jago berandalan?”
Sim Pek Kun menganggukkan
kepala.
“Katakan,” berteriak Lian Seng
Pek, “Dimana letak keunggulannya? Dimana letak kekalahanku?”
Suara Lian Seng Pek hampir
habis, berteriak2 seperti manusia gila.
Lian Seng Pek tidak mudah
tergoda, biasanya dia bisa mengekang segala gejolak itu. Hari ini tidak, orang
yang dikasihi olehnya, isteri yang dicinta olehnya hendak melarikan diri.
Darah panas Lian Seng Pek
bergolak mulai memuncak ke atas otak.
Pundak Sim Pek Kun yang
dicengkeram seperti itu hampir remuk, dia merasa sakit, diusahakan agar dia
tidak menjerit, juga tidak berteriak, diusahakannya menyedot air mata yang
jatuh bercucuran.
Menggigit bibir lagi dia
berkata, “Mungkin... mungkin juga dia tidak bisa memadaimu. Di beberapa tempat,
dia kalah padamu. Tapi dia rela berkorban, dia lebih rela berkorban daripadamu.
Demi kepentinganku, dia rela mati... kau... kau bisa mengimbangi kemampuan
ini?”
Mata Lian Seng Pek
dipentangkan lebar2, tangannya terlepas dari pundak Sim Pek Kun, per-lahan2
tubuh si jago muda mundur ke belakang.
Sim Pek Kun tidak berani
menerima pancaran sinar mata Lian Seng Pek, ia mengelakkan sepasang cahaya yang
tajam itu, dengan menundukkan kepala dia berkata:
“Aku masih ingat, kau pernah
mengatakan tentang hati seorang wanita. Kalau saja seorang wanita itu sudah
mengubah hatinya, apapun tidak bisa dicegah, seseorang yang akan mencegah akan
menderita penderitaan yang terbesar.”
“Ouw...” Lian Seng Pek
mengeluh.
Kemarahan Lian Seng Pek tidak
bisa tertahan, tangannya terayun,... Pang... dia menempiling pipi Sim Pek Kun
yang putih bersih. Di sana telah bertanda lima jari berwarna merah.
Sim Pek Kun masih diam di
tempatnya, dia tidak lagi menangis, tidak bergerak dan juga tidak menjerit.
Sim Pek Kun seperti sudah
tersihir, seperti batu, dengan sinar matanya yang dingin, ia berkata:
“Tempilinglah lagi, pukullah
lagi, bunuhlah... aku tidak akan membikin perlawanan. Aku tidak akan
menyalahkan dirimu. Tapi ingat, tidak mungkin kau bisa mengubah pendirianku...”
Lian Seng Pek membalikkan
badan, tiba2 mencelat, meninggalkan isterinya.
Baru sekarang Sim Pek Kun
berani mendongakkan kepala, memandang ke arah lenyapnya sang suami.
Mengantarkan lenyapnya
bayangan itu, air mata Sim Pek Kun bercucuran pula.
“Oh...,” dia mengeluh.
“Maafkan aku, sangat menyesal. Sebenarnya aku tidak memperlakukan dirimu
seperti ini, tapi apa boleh buat, dalam keadaan terpaksa tidak ada lain jalan.”
Lian Seng Pek tidak bisa
menangkap suara penyesalan isterinya.
Sim Pek Kun bergumam:
“Boleh saja kau anggap aku
sebagai wanita jalang, wanita yang tidak tahu diri. Tapi demi kepentinganmu,
demi keluarga kalian, aku tidak mau mengikut sertakan banyak dosa.”
Bayangan Lian Seng Pek sudah
lenyap dari tempat itu, tentu saja tidak mengikuti jeritan hati istrinya.
Rencana apa yang Sim Pek Kun sudah lakukan? Siauw Tjap it-long tidak bisa
mengerti, Lian Seng Pek juga tidak mengerti. Penderitaan yang bagaimana
dirasakan oleh Sim Pek Kun.
Hanya dia seorang diri yang
dapat menyelaminya. Hatinya seperti tersobek dikoyak-koyak oleh tangan si raja
boneka Thian koncu.
Dia harus berkorban, dia tidak
mau mengikutsertakan Siauw Tjap it-long, dia juga tidak mau mengikutsertakan
Lian Seng Pek. Hanya kematianlah yang bisa mengcamkan dirinya. Hanya jalan kematian
yang terbentang di depan dirinya.
Malam berkuasa.
Air mata Sim Pek Kun sudah
dikuras habis dia masih menangis, menangis dengan air mata kering.
Akhirnya, Sim Pek Kun
mengambil putusan, dia membenarkan pakaiannya yang kucel berjalan lurus ke
depan.
Hanya ada satu jalan yang
berada di depan sang ratu rimba persilatan itulah jalan kematian.
Jalan itu lurus langsung,
menuju kearah istana boneka. Di depan bulu mata Sim Pek Kun sudah terbayang
wajah raja gila boneka Thian koncu yang tertawa kejam, dengan girangnya, raja
gelo itu berkata: “Sudah kuperhitungkan, sudah waktunya kau kembali. Karena kau
sudah tidak mempunyai pilihan jalan lain.”
Betul-betul Sim Pek Kun tidak
mempunyai pilihan jalan. Dia sedang menuju jalan kematian. Sim Pek Kun balik
kembali ke istana boneka.
Siauw Tjap it-long menarik
tangan Hong Sie Nio, mengajaknya menegak minum arak. Tenggorokan Siauw Tjap
it-long seperti tersumbat, biasanya dia jago arak, ia kuat minum, tapi
hari-hari ini terkecuali, cairan minuman keras itu tidak mau masuk kedalam
tenggorokannya.
Terlalu banyak urusan yang
dipikirkan oleh Siauw Tjap it-long. Terlalu butek pikiran yang mengekang
kebebasan Siauw Tjap it-long.
Begitu keadaan Siauw Tjap
it-long begitu pula keadaan Hong Sie Nio. Hong Sie Nio sedang menghadapi
persoalan rumit. Berbulan-bulan, bertahun-tahun ia menantikan datangnya lamaran
Siauw Tjap it-long, lamaran itu tak kunjung datang.
Kini timbul satu lamaran, tapi
harapan yang dibangun atas kesengsaraan Sim Pek Kun. Pikiran Hong Sie Nio lebih
kusut, biasanya dia senang dan gembira, bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa
dilakukan oleh orang lain.
Hari ini tidak. Hong Sie Nio
tidak bisa menegak araknya. Arak yang mereka tegak arak kering, arak tawar.
Mereka minum arak di dalam sebuah kedai yang kotor.
Hong Sie Nio tidak membawa
uang, karena dia baru saja menjadi pengantin perempuan. Kantong Siauw Tjap
it-long belum pernah penuh dengan uang, karena itu mereka harus bisa menghemat.
Disaat ini Hong Sie Nio mebuka
suara: “Kita berdua sudah ditakdirkan minum arak di tempat ini.”
“Ouw!” berkata Siauw Tjap
it-long. “Sudah ditakdirkan seperti ini.”
Siauw Tjap it-long melempar
jauh sukmanya, seolah-olah mengikuti dan membayangi Sim Pek Kun.
Disaat hidup sengsara
bersama-sama dengan Sim Pek Kun, hatinya riang dan gembira. Tapi rasa itu
lenyap, berganti dengan sedih dan perih.
Dengan cepat Hong Sie Nio
menuang araknya terus menerus, degan wajah cemberut, ia berkata: “Menurut
cerita orang, arak yang tidak enakpun bisa menjadi enak, kalau kau meminumnya
cepat.”
Siauw Tjap it-long berkata
tawar: “Arak yang enak adalah arak yang bisa membuat kita menjadi mabok.”
Siauw Tjap it-long juga
meneguk araknya. Mereka ingin bermabok-mabokan, tapi arak itu kurang keras,
mereka belum mabok.
Keadaan seorang yang berada
dalam keadaan mabok, bisa melupakan segala sesuatu, melupakan penderitaan dan
melupakan kesengsaraan.
Hong Sie Nio menatap Siauw
Tjap it-long, dia sedang berdaya upaya, bagaimana caranya untuk mengubah
pikiran Siauw Tjap it-long yang masih tertuju kearah Sim Pek Kun.
Seribu satu cara telah
diusahakan, tidak mungkin menemukan cara yang terbaik. Berapa banyak suara Hong
Sie Nio cetuskan, suara-suara itu hanya suara Sim Pek Kun. Akhirnya Hong Sie
Nio menghela nafas, ia berkata: “Hei, sudahlah. Jangan kau pikirkan dia lagi.
Menurut apa yang kutahu, wanita tadi tidak mempunyai kekejaman yang seperti
itu.”
Siauw Tjap it-long berkata:
“Tidak ada wanita yang kejam. Hanya ada wanita yang keras hati.” Suara ini
disalurkan jauh, seolah-olah hendak disampaikan ke depan Sim Pek Kun.
Hong Sie Nio berkata: “Menurut
hematku, wanita tadi sedang tertekan, dia mempunyai penderitaan yang tidak bisa
dilampiaskan.”
Siauw Tjap it-long berkata:
“Eh, menurut apa yang kau tahu, siapa yang menjagoi rimba persilatan?”
“Untuk jalan mana?” bertanya
Hong Sie Nio.
“Untuk jaman-jaman yang sudah
lampau dan jaman sekarang.” berkata Siauw Tjap it-long. “Ilmu silat siapakah
yang tertinggi?”
Hong Sie Nio berpikir lama,
akhirnya dia menjawab pertanyaan itu. “Menurut apa yang kutahu, tokoh silat
super sakti tanpa tandingan adalah Siao Yao Hoo pada dua puluh tahun yang
lalu.”
“Tepat” berkata Siauw Tjap
it-long. “Kini ia mengganti nama menjadi Thian koncu.” Ternyata, raja gila
boneka Thian koncu bernama Siao Yao Hoo!
“Bisakah kau ceritakan tentang
orang ini?” berkata Siauw Tjap it-long.
“Aku belum pernah melihat
wajahnya.” jawab Hong Sie Nio.
Siauw Tjap it-long tertegun,
menegak arak dia berkata:
“Menurut apa yang kutahu, kau
kenal kepada orang ini, Dan dia pernah mengirim dua bilah pisau yang tajam.”
Hong Sie Nio berkata: “Betul,
tapi aku belum pernah melihat wajahnya.”
Siauw Tjap it-long menyengir,
dia berkata: “Membuat aku bingung saja.”
Hong Sie Nio tertawa dan
berkata: “Setiap kali aku menemuinya, teraling oleh selembar kain, pada suatu
hari, aku tidak tahan, kutendang kain itu, menyerobot masuk, dengan maksud bisa
melihat wajah asli jago itu.”
“Bagaimana hasilnya? Kau
berhasil.” bertanya Siauw Tjap it-long.
Hong Sie Nio menghela nafas,
ia berkata:
“Kuanggap gerakanku itu sudah
cukup cepat. Tapi gerakannya lebih cepat lagi, saat aku memasuki ruangan itu,
ia sudah tidak ada disana.”
Siauw Tjap it-long berkata:
“Ternyata dia belum menjadi kawanmu. Dia tidak mau bertemu denganmu.”
Hong Sie Nio berkata: “Salah.
Dia adalah kawanku. Karena hendak berkawan dengan diriku, maka dia tidak
bertemu muka.”
“Apa artinya?”
Hong Sie Nio berkata: “Hanya
dua macam orang yang bisa menemukan wajahnya.”
“Dua macam orang yang
bagaimana?”
“Wanita.” berkata Hong Sie
Nio. “Wanita yang sudah kena taksirannya, asal saja dia ingini, tidak mungkin
bisa lepas dari genggaman tangannya.”
Wajah Siauw Tjap it-long
berubah, ia menegak araknya, membasahi tenggorokan itu, kemudian berkata:
“Oh... kau tidak mendapat
taksirannya?”
Wajah Hong Sie Nio juga
berubah, dia sudah hendak melampiaskan kemarahan itu, secepat itu pula dia
bertahan, dan berkata:
“Baiklah, boleh saja
menganggap aku tidak laku. Ia tidak tertarik kepada diriku. Aku tidak mau
marah. Hari ini, biar apapun yang kau katakan, aku tidak marah.”
Tidak memberi kesempatan
kepada Siauw Tjap it-long berkata lai, Hong Sie Nio meneruskan ucapannya:
“Banyak cerita tentang
dirinya, ada yang mengatakan dia buta, ada yang mengatakan dia tinggi besar,
ada yang mengatakan wajahnya penuh brewok... etc...”
“Tapi tidak pernah ada orang
yang mengatakan dia cakap dan tampan?” bertanya Siauw Tjap it-long.
“Kalau betul dia sangat cakap,
mengapa tidak mau memperlihatkan wajahnya?”
Siauw Tjap it-long berkata:
“Potongan tubuhnya sangat pendek, ia malu dilihat orang.”
Sepasang mata Hong Sie Nio
dibelalakan, memandang Siauw Tjap it-long dan berkata: “Kau pernah menemuinya?”
Siauw Tjap it-long tidak
menjawab pertanyaan ini, raja gila boneka Thian kongcu bernama Siao Yao Hoo.
Dan ini tidak boleh diketahui oleh Hong Sie Nio.
“Eh,” Siauw Tjap it-long
mengalihkan bahan pembicaraan. “Kau sudah pergi ke luar daerah?”
“Ngg...” Hong Sie Nio
menganggukkan kepala.
“Juga hendak mencari
jejaknya?” bertanya Siauw Tjap it-long.
“Menurut cerita orang, dia
sudah memasuki daerah Tong goan.”
“Hmmm...” Siauw Tjap it-long
mengeluarkan satu suara gerengan kecil.
Hong Sie Nio berkata: “Ilmu
silatnya berada di atasmu, ilmu meringankan tubuhnya berada di atasmu. Hanya
satu, itulah adatnya yang tidak bisa memenangkan adatmu. Ada sesuatu semangat
yang berada padamu, semangat yang belum pernah terpatahkan. Semangat ini tidak
bisa ada yang menandingi dirimu.”
Sepasang sinar mata Siauw
Cap-it-long memandang jauh ke depan. Dia berkata perlahan, “Kukira kau sedang
ber-lebih2an.”
“Tidak,” berkata Hong Sie Nio,
bukan ber-lebih2an, inilah kenyataan. Apalagi kau hendak mengadu jiwa, orang
lain bisa menjadi takut.”
Siauw Cap-it-long berkata,
“Aku belum ada niatan untuk mengadu jiwa dengannya.”
“Bukan maksudku untuk
menyuruhmu mengadu jiwa, hanya kukatakan semangatmu yang membara itu bisa
menciutkan hati orang.”
Siauw Cap-it-long bisa
menerima kebenaran dari apa yang sudah dikatakan oleh Hong Sie Nio. Raja gila
boneka Thian kongcu Siao Yao Hoo agak gentar menghadapi dirinya, bilamana dia
nekad, tidak mudah orang itu mengalahkan dirinya.
“Oh, mengapa kau hendak
mencari tahu tentang keadaan orang itu? Mungkinkah hendak mengadu jiwa?”
Dengan tertawa tawar, Siauw
Cap-it-long berkata, “Dengan alasan apa, aku hendak mengadu jiwa dengannya?”
Pandangan mata Hong Sie Nio
belum pernah lepas dari wajah Siauw Cap-it-long, sepatah demi sepatah ia
berkata, “Karena kau sudah menjadi nekad, kau hendak mencari kematian.”
“Kematian ?!” Siauw
Cap-it-long mengulang kata2 itu.
“Anggapmu hanya kematian yang
bisa membebaskan penderitaanmu,” berkata Hong Sie Nio. “Kau hendak menghindari
kenyataan?”
Daging2 Siauw Cap-it-long
berkerinyut, hampir dia tidak bisa menguasai dirinya, bangkit dari tempat
duduknya dan berkata, “Aku sudah kenyang makan, arakpun sudah cukup banyak
kutenggak, sudah waktunya berangkat. Aku hendak pergi.”
Hong Sie Nio menarik tangan
Siauw Cap-it-long dan berkata, “Kau tidak boleh pergi.”
Dengan dingin Siauw
Cap-it-long berkata, “Di saat aku hendak pergi, belum pernah ada orang yang
bisa menahan kepergianku.”
Tiba2...
Dari luar ruangan masuk
seseorang, ia berteriak, “Biar bagaimana aku harus menahan kepergianmu.”
Siapakah orang yang datang
itu? Apa maksud tujuannya?
Mari kita mengikuti bagian
berikutnya.
BANYAK CINTA DI DALAM DUNIA
Dari datangnya bayangan gelap,
tampil seorang, wajahnya pucat pasi, matanya bersinar terang, langkahnya
tenang, sangat sopan. Inilah orang yang terpelajar.
Seorang terpelajar mendekati
Siauw Cap-it-long, pada pinggangnya tergendong pedang, seorang pelajar yang
mengerti ilmu silat.
Sarung pedang berwarna hitam
mengkilap, tertojos oleh cahaya lampu, membuat lawan menjadi agak seram.
Hong Sie Nio berteriak kaget,
“Lian Seng Pek kongcu?”
“Ya,” jawab orang itu.
Orang yang baru datang adalah
Lian Seng Pek!
Siauw Cap-it-long memandang ke
arah kedatangan Lian Seng Pek, matanya tidak berkesiap.
Lian Seng Pek sudah berdiri di
depan mereka, perlahan2 dia berkata, “Di dalam dunia, hanya aku seorang yang
bisa menahan keberangkatan Siauw Cap-it-long!”
Wajah Siauw Cap-it-long
berubah, segera tercetus pertanyaan keras, “Kau hendak menahan
keberangkatanku?”
Lian Seng Pek tertawa tawar,
ia berkata, “Ya.”
“Maksudmu?” Siauw Cap-it-long
menjadi tegang.
“Aku sedang dirundung murung,
aku hendak menahan keberangkatanmu, bersama2 minum arak, menurut cerita orang
kekuatan minum arakmu sangat hebat sekali. Mari kita minum bersama.”
Sepasang mata disipitkan,
kemudian direntangkan lebar2 pula, di tatap Siauw Cap-it-long, ia berkata,
“Keadaanku di hari ini karena disebabkan oleh gara2mu. Hadiah dari tampilnya
dirimu. Maka, kukira sudah layak kalau kau bersedia menemani aku minum arak
bukan?”
Lama sekali Siauw Cap-it-long
memperhatikan gerak-gerik Lian Seng Pek, akhirnya dia mengalah, per-lahan2
duduk kembali.
Baru sekarang Hong Sie Nio
bisa mengeluarkan nafas lega, dia berkata, “Lian Seng Pek Kongcu, silahkan
duduk.”
Lian Seng Pek tidak ragu-ragu,
menyeret kursi di depan Siauw Cap-it-long dan Hong Sie Nio, bertiga mereka
duduk di satu meja.
Terjadi perjamuan minum arak
gila-gilaan.
* * *
Lampu penerangan sudah menjadi
suram. Berapa banyak arak yang diminum oleh Siauw Cap-it-long? Tidak ada orang
yang menghitung.
Berapa banyak pula arak yang
ditenggak oleh Lian Seng Pek, walalu tidak bisa memadai Siauw Cap-it-long,
jumlahnyapun cukup banyak.
Hong Sie Nio memperhatikan
kedua laki2 yang berada di kanan dan kirnya itu, meminjam sinar penerangan yang
kelap-kelip, agaknya seperti menjadi kaku.
Wajah Lian Seng Pek dalam
keadaan mabok seperti orang yang sudah tidak berdarah, seperti bangkai hidup
minum arak.
Kini dia menoleh ke arah Siauw
Cap-it-long, memperhatikan keadaan Siauw Cap-it-long, entah apa yang hendak ditemukan
pada wajah satu itu.
Sepasang sinar mata Siauw
Cap-it-long jauh memandang ke depan, melompong, sinar matanya hampa.
Penjual arak sedang
memperhatikan tamu aneh itu, teristimewa keanehan Hong Sie Nio. Adanya wanita
jago arak yang seperti Hong Sie Nio adalah terkecualian, tidak ada wanita yang
kedua bisa menyainginya.
Si tukang jual arak juga
seorang mata perempuan, ia mengharapkan Siauw Cap-it-long dan Hong Sie Nio
ber-mabuk2an maka ia mempunyai banyak kesempatan.
Walau wajah Siauw Cap-it-long
cukup menakutkan, galak dan garang, dalam keadaan mabuk dia bisa berbuat
semau-maunya.
Kemudian datang pula sastrawan
yang sopan-santun itu, jumlahnya bertambah tiga orang. Harapannya semakin
besar, tapi begitu lama mereka ber-mabuk2an, toch tidak satu pun dari ketiganya
yang jatuh.
Akhirnya dia ngelojor pergi.
Penjual arak ini betul2 tahu
diri, dari adanya hawa sinar cahaya pedang yang garang, hawa itu tidak boleh
didekati.
Setiap saat ia mendekati ke
arah meja tersebut, tampak keringatnya mengucur keras, itulah hawa keseraman.
Siauw Cap-it-long menuang
araknya, dia menenggak lagi.
“Mari! Minum!” dia mengajak
Hong Sie Nio dan Lian Seng Pek bertoast.
Hong Sie Nio mengangkat
cawannya, dia berkata, “Arak ini kurang baik. Entah bagaimana penilaian Lian
Seng Pek Kongcu?”
“Arak baik.” Lian Seng Pek
juga menerima tawaran toast itu, dia mengeringkan isinya. “Arak baik,” dia
memuji lagi. “Arak yang bisa membuat orang menjadi mabok, itulah arak yang
terbaik.”
Siauw Cap-it-long bisa
membenarkan kata2 ini, dia berkata, “Tepat! Arak yang bisa membuat orang mabok,
arak itu adalah arak yang terbaik.”
Hong Sie Nio menoleh lagi,
kedua laki2 itu jatuh cinta kepada seorang wanita, kini mereka bisa minum
bersama, sungguh aneh!
Siauw Cap-it-long nakal dan
berandalan, Lian Seng Pek alim dan sopan santun, perbedaan mereka sangat
menyolok mata.
Sebagai seorang wanita, Hong
Sie Nio juga menjatuhkan pilihannya kepada Siauw Cap-it-long.
Sebagai seorang wanita, Sim
Pek Kun juga menjatuhkan pilihannya kepada Siauw Cap-it-long.
Perbedaannya, yang disebut
lebih dahulu belum menikah, dan yang disebut belakangan sudah kawin.
Karena itulah Hong Sie Nio
mencopot pakaian pengantinnya, dengan harapan masih bisa menyeret hati Siauw
Cap-it-long.
Tapi kenyataan itu semakin
menipis, sesudah menyaksikan bagaimana Siauw Cap-it-long dan Lian Seng Pek
minum bersama.
Biar bagaimana, Hong Sie Nio
harus bisa memadamkan api cinta kepada Siauw Cap-it-long.
Di saat ini, timbul pula
bayangan Yo Khay Thay.
Hong Sie Nio sangat menyesal,
ia telah memperlakukan Yo Khay Thay lebih dari keterlaluan sedari pertama kali
bertemu, tidak ada cinta kepada laki2 itu.
Siapa yang menyuruh Yo Khay
Thay mengikutinya terus menerus?
Oh!
Cinta…
Baru sekarang Hong Sie Nio
bisa memahami apa artinya cinta. Dia bisa merasakan bagaimana perasaan yang
merangsang seseorang, di saat cintanya ditolak.
Perasaannya juga turut kacau,
risau.
Ber-ulang2 Hong Sie Nio
menenggak araknya.
Lian Seng Pek memperlihatkan
pula cawan araknya, ditujukan kepada Siauw Cap-it-long dan berkata, “Mari!
Keringkan lagi!”
Se-olah2 dia sedang meloloh
diri sendiri, apa boleh buat, dengan ber-mabok2an, dia bisa melupakan
penderitaan, walau untuk sementara.
Siauw Cap-it-long tidak mau
kalah, dia memang memiliki daya tahan yang lebih kuat, cawan demi cawan
diteguknya masuk.
Mengapa mereka ber-mabuk2an?
Cinta! Cinta bertaburan di
dalam dunia.
Hong Sie Nio melirik ke arah
Lian Seng Pek, dia menjajalnya, “Mungkinkah Lian Seng Pek Kongcu belum tahu,
kalau dia…”
Cepat2 Lian Seng Pek berkata,
“Aku tahu, semua aku sudah tahu.”
Hong Sie Nio bertanya, “Kau
sudah tah? Sudah tahu kalau ada orang yang sedang mencari dirimu?”
“Sim Pek Kun yang kau
maksudkan?” Lian Seng Pek tertawa nyengir.
Hong Sie Nio menganggukkan
kepala dan berkata, “Dia sedang berusaha untuk mendapatkanmu.”
Lian Seng Pek tertawa lebih
pahit, ia berkata, “Tidak perlu dipersoalkan, sedari dulu aku selalu mencari
jejaknya.”
“Kalian sudah bertemu?”
bertanya Hong Sie Nio.
“Sudah,” jawab Lian Seng Pek
singkat. Kini dia menoleh tempat gelap, entah apa yang sedang dipikirkan.
Dengan perasaan tidak
mengerti, Hong Sie Nio bertanya, “Di mana kini dia berada?”
“Sudah pergi lagi,” berkata
Lian Seng Pek. “Dia sudah pergi… pergi lagi… dia selalu pergi dari samping
sisiku.”
“Dia meninggalkanmu lagi?”
Hong Sie Nio menjadi heran.
Tentu saja Hong Sie Nio tidak
mengerti, Sim Pek Kun sudah meninggalkan Siauw Cap-it-long. Tentunya hendak
kembali dan rujuk kepada suaminya, dengan alasan apa pula meninggalkan Lian
Seng Pek?
Sim Pek Kun meninggalkan Siauw
Cap-it-long, sesudah itu meninggalkan Lian Seng Pek, kemana kepergiannya ratu
rimba persilatan itu?
Biasanya Hong Sie Nio bisa
memahami dan menyelami isi hati wanita. Kecuali isi hati Sim Pek Kun.
Dia tidak tahu, kemana
kepergiannya Sim Pek Kun.
Tentu saja, Hong Sie Nio tidak
bisa menduga, kemana Sim Pek Kun pergi?
Hanya saja Siauw Cap-it-long
yang bisa mengetahui, kemana kepergiannya ratu rimba persilatan itu.
Sejulur hawa dingin yang lebih
dingin dari es meresap ke tulang2, melalui ujung kakiknya, menembus otak, dan
memecah ke seluruh tubuh Siauw Cap-it-long.
Mendengar keterangan itu, hati
Siauw Cap-it-long tercekat.
Kemana Sim Pek Kun menuju?
Balik kembali ke istana
boneka?
Jawaban ini tidak sulit untuk
ditemukan. Inilah yang mencekatkan hatinya, membuat ia menjadi pusing kepala.
Tiba2 hatinya membara, terasa
panas, bara itu sukar dipadamkan.
Dendam kemarahan kepada raja
gila boneka Thian Kongcu Siao Yao Hoo tidak bisa dipadamkan.
Siauw Cap-it-long bisa
menyelami betapa menderitanya Sim Pek Kun.
Kalau dia hendak melarikan
diri dari kenyataan, secara ber-mabuk2an minum arak, cara Sim Pek Kun lain
daripada yang sudah ditempuh olehnya. Sim Pek Kun hendak mengantarkan jiwa,
berkorban atau menuntut balas.
Hanya kematian yang bisa
menyelesaikan rasa sengsara badan Sim Pek Kun.
Sim Pek Kun tidak akan mati
percuma, tentunya berusaha. Bisakah Sim Pek Kun membunuh raja gila boneka Thian
Kongcu?
Siauw Cap-it-long mengepal
tangannya keras-keras, kini dia bisa mengerti, cara-cara dan langkah-langkah yang
ditempuh Sim Pek Kun.
Siauw Cap-it-long mentololkan
otaknya sendiri, mengapa tidak terpikir sejauh itu? Mengapa ia tidak menahan
kepergiannya?
Besar hasratnya untuk segera
membikin pengejaran, segera mengganti pertukaran jiwa, dia rela berkorban menggantikan
pengorbanan Sim Pek Kun.
Tapi bukan sekarang, belum
waktunya. Di depan dirinya masih ada Lian Seng Pek dan Hong Sie Nio, dia tidak
bisa menyeret kedua jago silat ini.
Ia harus menunaikan tugas itu
dengan jiwa tunggalnya. Dia tidak boleh me-nyeret2 orang lain, dia tidak boleh
berhutang budi orang kepada orang lain.
Lian Seng Pek menarik sorot
matanya dari tempat jauh, kini menatap ke arah Siauw Cap-it-long, per-lahan2
berkata, “Di dalam tanggapanku, kau adalah orang yang patut dikasihani, baru
sekarang aku mengerti, keberuntunganmu masih jauh berada di atasku.”
“Keberuntunganku?” bertanya
Siauw Cap-it-long.
Lian Seng Pek tertawa, ia
berkata, “Sampai saat ini, baru aku mengetahui, kalau aku itu belum berhasil
merebut hatinya.”
“Kau salah,” berkata Siauw
Cap-it-long.
“Huh!” Lian Seng Pek
mengeluarkan suara dengusan dari hidung.
Siauw Cap-it-long
menggelengkan kepala berkata, “Menurut yang kutahu, belum pernah ia
mengkhianati dirimu.”
Lian Seng Pek mendelikkan
matanya, tiba2 saja ia tertawa berkakakan, dan sesudah tertawa berkakakan ia
berkata, “Apa artinya menyeleweng? Apa artinya tidak menyeleweng? Bagaimana
perbedaan nyeleweng dan tidak nyeleweng? Di dalam dunia ini tidak ada sesuatu
yang abadi, mengapa memusingkan persoalan itu?”
Hati Siauw Cap-it-long menjadi
panas, ia berteriak, “Tidak percaya?”
Lian Seng Pek sudah
menghentikan tawanya, menatap ke arah cawan arak di meja ia bergumam, “Untuk
saat ini, apapun tidak kupercayai. Yang bisa dipercayai adalah arak! Arak bisa
membuat orang mabuk.”
Tangannya dijulurkan,
mengambil cawan arak dan mengeringkan pula. Ia berkata, “Hayo, Hong Sie Nio,
Siauw Cap-it-long minum lagi. Jangan berhenti. Harus bisa menghabiskan arak di
tempat ini…”
* * *
Seseorang yang sudah tidak
kuat minum, kalau saja masih ditantang terus-menerus, karena mempunyai harga
diri, tidak mau kalah, semakin cepat dia jatuh mabok.
Kekuatan minum Lian Seng Pek
tidak bisa disamakan dengan kekuatan minum Siauw Cap-it-long, ia hanya
setanding dengan kekuatan minum Hong Sie Nio, mungkin juga masih berada di
bawah jago wanita berandalan itu.
Rasa tekanan Sim Pek Kun
terlalu hebat, dia ingin menggunakan air kata2 melupakan segala sesuatu.
Sesudah terus-menerus
menenggaknya, akhirnya ia jatuh mabok.
“Hayo!!” tantangnya. “Minum
lagi, mengapa tidak diminum? Sudah menyerah kalah?”
Hong Sie Nio juga mengiringi
katanya, menenggak arak yang di meja.
“Berapa banyak yang baru kau
tenggak, akan kuiringi pula,” dia berkata.
Keadaan Hong Sie Nio juga
sudah berada di dalam keadaan mabok.
Baru terasa, betapa kasihnya
Lian Seng Pek ini.
Terjadi perobahan yang
menyolok, Lian Seng Pek bukan seorang dingin dan kaku. Lian Seng Pek mempunyai
cinta kasih, sayang dunia mempermainkan perkawinannya.
Siauw Cap-it-long tidak banyak
bicara tapi ia mengiringi segala kemauan2 itu, Lian Seng Pek minum, Hong Sie
Nio minum dan Siauw Cap-it-long juga minum.
Siauw Cap-it-long jatuh mabok.
Ia minum lebih banyak daripada
kedua kawannya, ia tengkurapkan kedua tangan dan meletakkan kepalanya di atas
lingkaran tangan itu.
Siauw Cap-it-long sudah
menjatuhkan dirinya di meja.
Lian Seng Pek memandang kepada
si jago berandalan, dengan mulut bergumam, “Siauw Cap-it-long, seharusnya aku
membunuh kau.”
Tiba2 tubuh Lian Seng Pek
meletik, mengeluarkan pedang, dijulurkan ke arah Siauw Cap-it-long.
Tapi kedua kakinya sudah tidak
tertahan, karena kerasnya tarikan pedang itu, ia jatuh ngeloso.
Hong Sie Nio menjulurkan
tangan, dengan maksud memayang jatuhnya tubuh Lian Seng Pek. Tapi dia tidak
berhasil, dia juga berada dalam keadaan mabok, mereka berdua jatuh bersama.
Dengan keras Hong Sie Nio
membentak, “Siauw Cap-it-long adalah kawanku, kau tidak boleh membunuh.”
Lian Seng Pek tertawa
ter-kekeh2, tanpa bangun dari lantai tanah berkata, “Seharusnya aku membunuh,
tapi dia sudah mabok. Dia sudah kalah, ha..ha..ha… dia kalah…! Aku menang!...”
Obrolan para pemabok itu
semakin melantur. Mereka melantur terus, apa yang diucapkan sudah lupa sama
sekali.
Sesudah itu, merekapun jatuh.
Ketiga-tiganya mabok.
Tidak ada satu yang mulai
bicara, mereka sudah menggeletak bagaikan tiga mayat yang bergelimpangan.
Penjual arak memperhatikan
para pemabok itu, ia hendak mendekatinya, tapi sinar pedang Lian Seng Pek,
kegarangan Siauw Cap-it-long, dan kenekatan Hong Sie Nio membuat ia tidak
berani melakukan hal itu.
Takut terancam sesuatu.
Apa yang dikuatirkan itu
betul2 terjadi, tiba2 Siauw Cap-it-long bangun berdiri.
Di antara sinar penerangan
yang suram, tampak Siauw Cap-it-long memperhatikan Lian Seng Pek, lama sekali
diperhatikannya laki2 kasihan itu.
Keadaan Siauw Cap-it-long
tidak galak lagi, tidak gagah seperti pertama kali. Penderitaannya dan
kepedihannya tidak kepalang, se-olah2 seekor binatang yang sudah berada di
ambang pintu kematian.
Di dalam keadaan tidak sadar,
masih terdengar suara teriakan Lian Seng Pek, “Hei, kau meninggalkan diriku,
tiada maaf bagimu…”
Siauw Cap-it-long mengertek
gigi, ia bergumam, “Tenang! Tenangkanlah hatimu, aku akan mengambilnya pulang
kembali. Kuharap saja kau bisa baik-baik memperlakukannya, kuharap saja kalian
bisa lebih bahagia…”
Siauw Cap-it-long menggeser
kursi, meninggalkan Hong Sie Nio dan Lian Seng Pek.
Siauw Cap-it-long menerjang ke
arah istana boneka.
Orang pertama yang ditemukan
olehnya adalah Siao Kongcu.
Dengan senyumnya yang centil,
dengan wajahnya yang riang, dengan kelemah lembutan Siao Kongcu menyambut
kedatangan Siauw Cap-it-long.
Siao Kongcu bersandar pada
sebuah pohon Siong besar, dengan cara2 itu dia seperti sudah tahu akan
kehadiran Siauw Cap-it-long, menantikannya dengan sabar.
“Sudah kuduga akan kedatanganmu.
Setiap orang yang pernah memasuki istana boneka, tidak wajib keluar pula, dia
akan terus-menerus di tempat ini.”
Wajah Siauw Cap-it-long
membeku, sikapnya sangat dingin, tanpa perasaan, dengan wajah yang pucat pasi,
dia bertanya, “Di mana dia?”
“Siapa?”
“Sim Pek Kun,” jawab Siauw
Cap-it-long ketus.
“Ouw…,” Siao Kongcu Ling Ling
menarik suaranya panjang2. “Nyonya Lian Seng Pek yang kau maksudkan?”
Masih tidak terjadi perobahan
di wajah Siauw Cap-it-long, dia berkata tetap, “Ya!”
Siao Kongcu tertawa manis, dia
berkata, “Kedatangannya lebih cepat dari kedatanganmu, kukira dia sudah tidur.”
Siauw Cap-it-long mendelikkan
matanya, istilah kata2 tidur itu sangat menyakiti, mengandung aneka macam arti.
Matanya memerah seperti hendak meletus.
Siao Kongcu tidak berani
menatap pandangan mata yang seperti itu, memutarkan biji matanya dia berkata,
“Mau kuantarkan?”
“Ya!” jawab Siauw Cap-it-long.
Siao Kongcu Ling Ling tertawa
cekikikan, ia berkata, “Kau meminta bantuanku, apa jasa imbal balik yang kau
berikan sebagai tanda terima kasihmu?”
“Kau mau apa?” bertanya Siauw
Cap-it-long.
Lagi2 Siao Kongcu tertawa,
tertawa genit, seluruh tubuhnya ber-goyang2, ia berkata, “Berlututlah di
depanku. Menyembah kepadaku, maka akan kuajak segera.”
Tanpa mengucapkan ba atau bu,
Siauw Cap-it-long segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan Siao Kongcu.
Betul2 dia menyembah!
Di dalam keadaan dan saat yang
seperti ini, tidak ada sesuatu yang diharapkan olehnya.
Siao Kongcu menggandeng Siauw
Cap-it-long memasuki istana boneka.
Di tempat gardu pemandangan,
kedua orang tua itu masih bermain catur.
Kakek berbaju coklat dan kakek
berbaju hijau itu menyambung pula permainan mereka, munculnya Siauw Cap-it-long
tidak menarik perhatian, se-olah2 tidak ada sesuatu yang bisa menarik perhatian
mereka kecuali bermain catur.
Dibiarkan saja Siao Kongcu dan
Siauw Cap-it-long lewat.
Di dalam sebuah kamar yang
sepi dan sunyi.
Raja gila boneka Thian Kongcu
Siao Yao Hoo terbaring pada tempat tidurnya yang seperti tempat tidur raja,
sepasang matanya yang liar dan jalang memandang ke arah depan, memandang tanpa
berkesiap.
Di sana duduk seorang wanita,
sangat cantik. Inilah ratu rimba persilatan Sim Pek Kun.
Sim Pek Kun duduk di depan
raja gila boneka dengan maksud bisa menggunakan kesempatan membunuh orang itu.
Dipandang terus menerus, bulu
tengkuk Sim Pek Kun menjadi merinding bangun. Ia seperti mendapatkan dirinya
berada di depan orang dalam keadaan telanjang bulat, dipandang dan dicemoohkan
seperti itu.
Ingin sekali Sim Pek Kun bisa
mengorek biji mata raja gila boneka itu, sayang ilmu kepandaiannya terlalu
lemah.
Beberapa saat berlalu, raja
gila boneka Thian Kongcu berkata, “Bagaimana putusannya?”
Sim Pek Kun menyedot nafasnya
dalam2, menggigit bibirnya, dia menggelengkan kepala, menolak permintaan raja
gila boneka.
Raja gila boneka Thian Kongcu
tertawa, ia berkata, “Lebih baik kau menurut, karena tidak ada lain jalan,
kecuali mengikuti petunjuk yang kuberikan. Cepat atau lambat saat itu pasti
datang. Lebih baik kau bukalah sendiri, maka kau bisa mendapat penghargaanku,
itu waktu baru ada kesempatan.”
Sekujur badan Sim Pek Kun
gemetaran.
Raja gila boneka Thian Kongcu
Siao Yao Hoo berkata lagi, “Aku tahu kau datang dengan maksud membunuh diriku.
Kalau kau tidak berani dekat, harapan dari mana? Maka… berusahalah dekat.
Seperti kau tahu, aku tidak suka wanita yang berada di sebelah sisi dengan
pakaian lengkap.”
Sim Pek Kun mengertek gigi,
dengan gemetaran dia berkata, “Kalau kau sudah tahu bahwa aku ingin membunuhmu,
hilanglah sudah kesempatanku.”
Tertawa raja boneka semakin
genit, dengan menyipitkan matanya dia berkata, “Kau jangan lupa, aku juga
seorang laki2, kalau seorang laki2 sudah lupa daratan, maka wanita itu lebih
mudah menggunakan kesempatan…”
Berhenti beberapa saat, Siao
Yao Hoo berkata pula, “Pokok persoalannya, bisakah kau membuat aku lupa
daratan?”
Tubuh Sim Pek Kun semakin
tergetar, goyangnya semakin keras.
“Aaaa… kau bukan manusia,” ia
memaki.
“Hua…ha….” Siao Yao Hoo
tertawa.
“Bila aku menyebut diriku
sebagai manusia? Membunuh seorang manusia sangat mudah. Membunuh aku… hei, hei…
harus menggunakan sedikit pengorbanan.”
Sim Pek Kun mendelikkan mata
geregetan sekali, mau saja ia menelan hidup2 orang yang berada di depannya itu.
Iblis keparat, hantu perempuan, manusia yang menganggap dirinya setengah dewa.
Akhirnya Sim Pek Kun mengambil
putusan, per-lahan2 bangkit dari tempat duduk, mengerahkan tenaga menyobek
baju.
Sim Pek Kun membuka pakaiannya
dengan gerakan yang lambat, karena tangan itu sudah menjadi gemetaran, tidak
henti2nya bergoyang.
Baju luar sang ratu sudah
tercopot, sebagian besar dari isi daging itu terbelalak di depan mata.
Mata raja gila boneka Siao Yao
Hoo memperlihatkan kepuasan, ia tersenyum dan berkata, “Masih putih! Bagus!
Betul2 tidak mengecewakan. Kalau suatu hari terjadi aku mati di bawah tanganmu,
matipun secara tidak penasaran.”
Sim Pek Kun menggigit bibirnya
keras2, dari sana mengalir sedikit darah.
Darah di bibir meleleh turun,
membasahi dadanya, membuat satu pemandangan yang kontras antara cairan merah
dengan kulit serta badannya yang putih mulus.
Sim Pek Kun dipaksa membuka
pakaian, untuk memuaskan nafsu raja gila boneka Siao Yao Hoo.
Maka pakaiannya terbuka,
perutnya terbuka dan kakinya pun terbuka, semua terpentang di depan mata.
Tiba2, pintu kamar Siao Yao
Hoo ditendang orang.
Jeblak…
Siauw Cap-it-long kini berdiri
di depan pintu.
Dada Siauw Cap-it-long
dirasakan seperti mau meledak, seluruh badannya gemetar menahan kemarahannya
yang bergolak di saat itu.
Seluruh tubuh Sim Pek Kun
terasa dingin dan beku, dia berdiri mematung, sinar matanya hampa, tiada
bercahaya, wajahnya pucat sekali. Ingatan Sim Pek Kun per-lahan2 hilang dan
tubuhnya jatuh menggeletak di lantai.
Hadirnya Siauw Cap-it-long di
tempat itu tidak mengejutkan Siao Yao Hoo, dia menghela nafas dan bergumam,
“Mengganggu kesenangan orang
adalah perbuatan yang tidak baik, umurmu akan mendapat potongan tidak bisa
panjang, tahu?”
Siauw Cap-it-long menggenggam
kedua kepalannya, dia berkata, “Kalau aku mati, kaupun harus turut serta.”
“Ouw…?” Siao Yao Hoo memandang
Siauw Cap-it-long, “Kau menantang?”
“Ya!” berkata Siauw
Cap-it-long.
“Banyak cara untuk menemukan
jalan kematian,” berkata raja gila boneka Siao Yao Hoo. “Mengapa kau harus
memilih cara yang seperti ini? Cara yang kurang pandai.”
“Hayo!” berkata Siauw
Cap-it-long, “Mari kita mengukur kekuatan.”
“Ha…ha…ha…,” raja gila boneka
tertawa.
“Apa yang kau tertawakan!”
bentak Siauw Cap-it-long.
“Aku mentertawakan seorang
yang tidak tahu diri.”
“Kau yang tidak tahu diri.
Keluar!” bentak Siauw Cap-it-long. “Jangan kita berada di tempat ini.”
Siao Yao Hoo masih berbaring
di tempat tidurnya, dia meremehkan ilmu silat jago ternama seperti Siauw
Cap-it-long, dia memperhatikan beberapa saat lalu tertawa.
“Ha..ha..,” katanya. “Di dalam
dunia belum pernah ada orang yang berani menantang diriku, kecuali… kau!...
Baiklah, akan kukecualikan, kepada seseorang yang sudah berada di ujung maut,
aku akan memberi pelajaran se-baik2nya.”
Tubuh raja gila boneka Siao
Yao Hoo yang sedang terbaring itu tiba2 melambung ke atas, terbang meluncur
bagaikan seekor ayam keluar dari kamarnya.
Dengan mendemonstrasikan ilmu
silatnya ini, cukup membuat jago silat manapun pecah nyali.
Kecuali bagi Siauw
Cap-it-long!
Siauw Cap-it-long tidak
berhasil digentarkan, tekadnya untuk menempur Siao Yao Hoo sudah begitu hebat.
Seseorang yang hendak mengadu
jiwa, tentu menganggap kecil apa arti jiwa itu.
Sesudah Siao Yao Hoo keluar
meninggalkan kamar itu, Siauw Cap-it-long mendekati Sim Pek Kun, mengambil
lembaran baju menutupi bagian2 yang penting.
Diperhatikannya ratu itu
dengan penuh penderitaan.
Hati Siauw Cap-it-long
berteriak, “Mengapa? Mengapa kau harus melakukan hal seperti ini?”
Per-lahan2 Sim Pek Kun sudah
membuka matanya, dia sudah siuman.
Kedua pasang mata beradu,
kemudian masing2 tergetar, dan cepat2 beralih ke lain tempat.
Dengan nada perlahan, Siauw
Cap-it-long berkata, “Sudah waktunya kau pulang. Lian Seng Pek masih menunggu
kehadiranmu.”
Sim Pek Kun mengatupkan mata,
dari sana mengalir butiran2 bening, air matanya mengalir dengan deras.
Dengan tenang Siauw Cap-it-long
berkata, “Jangan hanya memikir penderitaanmu saja, pikirlah, bukan kau seorang
yang menderita, semua orang juga akan merasakan derita. Kita semua orang yang
hidup di dalam dunia ini juga telah ditakdirkan di suatu waktu akan menderita
dalam hidupnya.”
Sim Pek Kun masih terus
menangis dengan sedihnya.
Siauw Cap-it-long kemudian
berkata pula, “Pikirlah betapa hebat penderitaan suamimu itu, Lian Seng Pek
juga menderita.”
Baru sekarang Sim Pek Kun
membuka suara, “Aku tahu. Tapi kecuali penderitaanku ini, tidak ada penderitaan
yang lebih hebat lagi.”
“Inilah pikiranmu,” berkata
Siauw Cap-it-long. “Pikiran yang salah.”
Sim Pek Kun memperhatikan
wajah si jago berandalan, di dalam keadaan terbaring dia bertanya, “Kau…?”
Siauw Cap-it-long hanya
mengangguk, “Urusan di sini boleh kau serahkan kepadaku! Lekas pulang! Lian
Seng Pek sedang menanti kehadiranmu.”
“Oh…”
Siauw Cap-it-long berusaha
menekan segala gejolak hatinya, agaknya menghadapi wanita dalam keadaan yang begitu
menggiurkan, yang begitu menegangkan, hampir saja ia tidak kuat menahan
hatinya. Pertahanannya itu mulai gugur, hampir ia mengambil langkah yang
sesat….
Saat itu ingin sekali Siauw
Cap-it-long merangkul tubuh perempuan itu, memeluki dan mengecupnya.
Tapi inilah perbuatan yang
terlarang.
Mereka sudah waktunya
mengambil selamat berpisah. Atau dua2nya menjadi korban keganasan Siao Yao Hoo.
Siapa yang harus berkorban?
Sim Pek Kun menyerahkan diri?
Atau Siauw Cap-it-long yang mengadu jiwa?
Tiba2…
Di saat ini menerjang masuk
sesuatu bayangan, itulah Hong Sie Nio!
Keadaan Hong Sie Nio juga
tidak kalah tegangnya, dia berteriak, “Sudah kuduga kalian pasti berada di
tempat ini, huh! Kau kira aku betul2 sudah mabuk?”
Siauw Cap-it-long kaget, sadar
dari hayalan yang bukan2, cepat ia memandang Hong Sie Nio dan berseru, “Hei,
bagaimana kau bisa datang ke tempat ini?”
Pertanyaan ini tidak perlu
dijawab, karena Siauw Cap-it-long bisa melihat adanya bayangan Siao Kongcu Ling
Ling yang tertawa mengikik di balik pintu.
Kedatangan Hong Sie Nio tentu
saja atas petunjuk dari Siao Kongcu Ling Ling ini.
Semua rencana2 sudah
terpaparkan sudah diatur oleh siasat Siao Kongcu Ling Ling!
Siauw Cap-it-long masih
memandang Hong Sie Nio, ia bertanya, “Kau tinggalkan dia? Bagaimana keadaannya?
Lian Seng Pek telah kau tinggalkan dalam keadaan mabok?”
Hong Sie Nio menjawab,
“Keadaannya aman, jauh lebih aman dari keadaanmu. Ia sudah kupernahkan dengan
baik. Tapi… mengapa kau harus mengadu jiwa?”
Siauw Cap-it-long tidak mau
menjawab pertanyaan itu, menoleh kepada Sim Pek Kun dan Hong Sie Nio
bergantian, terakhir ia berkata, “Baiklah, kau sudah datang. Bawalah pulang.”
Dia memberi perintah kepada
Hong Sie Nio untuk mengajak Sim Pek Kun kembali dengan maksud menyerahkan Sim
Pek Kun kepada suaminya yang berhak.
Siauw Cap-it-long hendak
mengadu jiwa dengan raja gila boneka Thian Kongcu Siao Yao Hoo.
Itulah pertarungan yang
mengandung maut, sembilan puluh sembilan persen Siauw Cap-it-long tidak
mempunyai harapan hidup.
Siauw Cap-it-long bisa maklum
keadaan ini.
Hong Sie Nio juga bisa maklum
akan keadaan itu, matanya bendul merah, ia berkata, “Biar aku yang mengawanimu
ber-sama2 menempurnya.”
Siauw Cap-it-long
menggelengkan kepala, berkata, “Jangan!”
“Mengapa?” bertanya Hong Sie
Nio.
“Seumur hidupku kukira kau
lebih mengenal watakku. Tapi apa yang kau perlihatkan di saat ini sungguh
mengecewakan diriku.”
“Aku bisa menyelami isi
hatimu,” berkata Hong Sie Nio.
“Betul? Kalau begitu, bawalah
Sim Pek Kun pergi.”
Hong Sie Nio menatapnya lama2
sekali. Akhirnya dia mengeluarkan nafas sedih, dengan terharu berkata, “Mengapa
kau tidak memberi dua jalan kepada orang yang berada di dekatmu?”
Siauw Cap-it-long memandang
jauh ke pintu, ke arah lenyapnya Siao Yao Hoo, kemudian berkata, “Karena jalan
yang berada di depanku pun hanya satu jalan.”
Itulah jalan kematian!
Jalan kematian.
Hanya satu jalan yang
terbentang di depan Siauw Cap-it-long, itulah jalan kematian.
Bedanya, kematian Siauw
Cap-it-long satu orang, atau kematian Siauw Cap-it-long bersama-sama si raja
gila boneka, dua atau satu orang?
Tanpa menunggu bagaimana Hong
Sie Nio membenarkan pakaian Sim Pek Kun, tubuh Siauw Cap-it-long sudah mencelat
lenyap meninggalkan ruangan itu.
Sim Pek Kun cepat berpakaian,
ia hendak menerjang keluar. Tapi keburu dicegah oleh Hong Sie Nio, Hong Sie Nio
merangkul si ratu rimba persilatan itu.
“Lepaskan aku!” berkata Sim
Pek Kun.
Hong Sie Nio tidak mau
melepaskan rangkulannya, ia berkata:
“Kalau Siauw Cap-it-long
melakukan sesuatu, tidak seorangpun yang bisa mencegahnya. Atau … ia bisa
melakukan sesuatu yang lebih gila.”
Suara ini dicemaskan oleh Hong
Sie Nio tapi dicetuskan juga oleh hati Sim Pek Kun.
Sim Pek Kun bisa menyelami
bagaimana prestasi2 Siauw Cap-it-long.
Air mata Sim Pek Kun sudah
menjadi kering, tidak ada yang bisa ditumpahkan lagi. Disaat ini, tiba-tiba
terdengar satu suara cekikikan, itulah suara Siao-kongcu Ling Ling.
Ling Ling berkata:
“Ohoo … kok menangis? Begitu
sedih? Akupun hampir dipaksa menumpahkan air mata. Hei, jangan kolokan, jangan
manja, karena kau akan mati juga.”
Ling Ling mendekati Sim Pek
Kun.
Rasa benci Ling Ling kepada
Sim Pek Kun begitu mendalam, hanya karena gara-gara Sim Pek Kun inilah ia tidak
berhasil mendapatkan Siauw Cap-it-long.
Hong Sie Nio menghadang
didepan satu ratu rimba persilatan, menghadapi Ling Ling, ia membentak:
“Berani kau mengganggu?”
Kecuali Siauw Cap-it-long,
hanya Hong Sie Nio yang bisa menandingi ilmu silat Siauw-kongcu.
Ling Ling tertawa manis, ia
berkata:
“Mengapa tidak? Aku hendak
membunuhnya.”
“Perempuan centil,” bentak
Hong Sie Nio. “Betul-betul kau sangat cantik. Akupun tertarik. Tapi kekejaman
hatimu cukup membuat orang bergidik. Didepan orang lain, bisa saja kau berbuat
sesuatu, tapi didepan aku Hong Sie Nio … hm …”
Siao-kongcu mendelikkan
matanya, seperti terkejut, ia mengejek:
“Ouw?”
“Pergi!” Hong Sie Nio
membentak.
“Kau melarang aku membunuh Sim
Pek Kun?”
“Aku melarang kau membunuh Sim
Pek Kun.”
“Ouw! Mau bertanding silat?”
“Boleh saja!” kata Hong Sie
Nio.
“Kau berani?”
Wajah Hong Sie Nio berubah.
“Mengapa tidak?”
“Ilmu menakut-nakutimu juga
hebat. Sayang tidak bisa digunakan untuk menghadapi aku. Mungkin, kau tidak
sadar, sebelum kau memasuki keruangan ini, pada tanganmu itu sudah kuberikan
sesuatu.”
Wajah Hong Sie Nio semakin
berubah, ia mengangkat tangannya, wajah itu menjadi pucat-pasi.
Pada bagian tangan yang mulus
telah matang biru, membengkak, ternyata Siao-kongcu Ling Ling telah
meracuninya.
“Tadi disaat aku menuntun
tanganmu memasuki ruangan ini, kau tiada sadar sama sekali, karena saat itu
hatimu sedang dicurahkan kepada Siauw Cap-it-long.”
Hong Sie Nio tidak berdaya,
kini ia sulit menghadapi Ling Ling.
Ling Ling ketawa manis, dan
berkata lagi:
“Baru sekarang aku tahu, orang
yang jatuh cinta kepadanya tidak sedikit. Tapi tidak apa, kalian berdua segera
mati, mati membela lelaki.”
Wanita berandalan Hong Sie Nio
bisa menguasi keadaan itu, kini dia memperlihatkan senyumnya, dia berkata:
“Perempuan centil, tidak
sedikit permainan yang kau miliki …”
Seiring kata-katanya, Hong Sie
Nio menerjang Ling Ling.
Untuk rimba persilatan dimasa
itu, semua orang takut pada Siauw Cap-it-long dan Hong Sie Nio.
Karena kecepatan Hong Sie Nio
lebih hebat dari kecepatan Siauw Cap-it-long, gerakannya lebih cepat, lebih
kejam, kadang kala ia bisa tertawa waktu membunuh orang, inilah yang sering
menjebloskan dan menjerumuskan lawannya.
Hanya Ling Ling yang bisa mengerti
akan sikap Hong Sie Nio tadi, karena ia juga memiliki kekejaman yang sama, maka
gerakan Hong Sie Nio itupun dibarengi pula oleh gerakan tangannya memapaki
serangan dari Hong Sie Nio, mereka bertempur.
Seharusnya pertandingan itu
adalah pertandingan yang menarik, luar biasa serunya.
Tapi kenyataan tidak, karena
didalam sekejap mata, Hong Sie Nio sudah dikalahkan oleh Ling Ling.
Kiranya racun yang bersarang
didalam tangannya membuat jago wanita berandalan itu tidak berdaya.
Pertempuran sudah selesai
untuk kemenangan Ling Ling.
Membiarkan Hong Sie Nio
terkapar, Ling Ling mendekati Sim Pek Kun, hanya menoleh sebentar, ia berkata:
“Aku tidak perlu turun tangan
membunuh dirimu, kau sudah terlalu tua.”
Ditatapnya Sim Pek Kun, dan ia
berkata:
“Tapi kau lain, kau lebih
cantik dari diriku, kau lebih menarik dari aku, bagaimana aku bisa membiarkan
kau hidup menjadi satru?”
Hati Sim Pek Kun sudah menjadi
beku, apapun yang terjadi tidak dihiraukan lagi olehnya.
Siao-kongcu Ling Ling berkata
dengan suara yang merdu:
“Siauw Cap-it-long sudah
berada diambang pintu maut, tidak lama lagi dia akan menuju jalan keneraka. Dia
tidak mempunyai waktu terluang untuk menolong dirimu. Kau … kau bukan lawanku …
kau harus menyerah. Menyerahlah.”
Sim Pek Kun sdauh pasrah,
tidak membantah, dan juga tidak memberikan reaksi.
Siao-kongcu Ling Ling
mengedip-ngedipkan matanya, ia berkata:
“Ouw? Masih mengharapkan
datangnya bantuan? … oh … tentu kucingmu yang tidur pulas itu? Dia sudah jatuh
mabuk, sebelum meninggalkan dunia ini, apa kau hendak bertemu dengannya?”
Lian Seng Pek dianggap sebagai
seekor kucing? Gila!
Ling Ling bertepuk tangan,
maka dari pintu tampak dua gadis pelayan, mereka memayang seseorang, itulah
Lian Seng Pek!
Lian Seng Pek juga sudah
diculik!
Lian Seng Pek berada didalam
keadaan mabuk, rangsangan bau arak membuat kedua gadis pelayan yang memayangnya
menutup hidung, hadirnya Lian Seng Pek ditempat itu sangat mengejutkan Sim Pek
Kun. Belum pernah Sim Pek Kun melihat Lian Seng Pek bermabuk-mabukan seperti
itu, apa lagi sampai tak sadarkan diri.
Inilah karena penderitaannya
yang luar biasa, karena rasa cintanya kepada Sim Pek Kun.
Sim Pek Kun bersedih hati,
hanya karena dia seorang, telah membawa ekor yang sangat panjang.
Ling Ling mendekati Lian Seng
Pek, wanita ini sangat kejam, karena Lian Seng Pek sudah berada didalam keadaan
mabuk.
Ia tidak puas. Ditepuknya
pundak Lian Seng Pek, ia berkata:
“Hei! Bangun! Aku mau membunuh
nyonyamu. Aku tahu, kau sangat bersedih, kau harus bisa turut menyaksikan
bagaimana akhirnya kematian nyonyamu ini.”
Tiba-tiba Lian Seng Pek
membungkukkan badan dan ia muntah-muntah membuat seluruh ruangan itu menjadi
bau.
Kedua gadis pelayan yang
memayang Lian Seng Pek semakin membekuk hidung.
Ling Ling mengkerutkan alis,
dengan dingin ia berkata:
“Kau juga hendak cari
kematian, tapi …”
Tiba-tiba pedang berkilat …
Sebuah pisau panjang nancap
diulu hati Siao-kongcu Ling Ling.
Terjadinya tragedi itu membuat
Hong Sie Nio tertegun.
Baru sekarang, ia bisa
teringat akan si pedang kilat, Liang Seng Pek adalah ahliwaris Pedang Kilat
Hong-lay Sian-ong.
Ternyata Lian Seng Pek sudah
menggunakan ilmu permainan pedang kilatnya , menusukkan senjatanya kedada Ling
Ling.
Belum pernah orang melihat
bagaimana Lian Seng Pek menggunakan pedang kilatnya, ada juga yang sudah
pernah, kalau orang itu terkena tusukannya dan mati.
Waktu melatih ilmu permainan
pedang ini, Lian Seng Pek sudah puluhan tahun.
Didalam keadaan tidurpun, Lian
Seng Pek bisa mempergunakannya.
Tapi belum pernah Lian Seng
Pek mempermainkan ilmu pedang kilat, karena namanya tersohor, karena ilmu
silatnya sudah cukup tinggi.
Hanya kesempatan untuk
menghadapi Ling Ling!
Ling Ling sudah jatuh
menggeletak, matanya terpelotot lebar2, ia seperti tidak percaya, kalau ada
kejadian yang seperti ini.
Belum pernah terbayang dalam
alam pikiran Ling Ling, ada begitu cepat kematiannya? Tiba2 tampak senyuman
dikulum pada bibir Ling Ling, memandang kearah Lian Seng Pek, dan dia berkata
ramah:
“Oh! Terima kasih, terima
kasih kepada tusukan pedangmu. Ternyata menghadapi kematian adalah kejadian
yang begitu mudah. Kalau begitu, mengapa harus bersusah payah, bersusah payah
hidup sengsara didalam dunia....”
Napas Ling Ling sengal2,
memandang ke arah Hong Sie Nio dan berkata perlahan:
“Obat penawar racun berada
didalam kantong bajuku, kalau kau masih mau hidup terus, ambillah, tapi
kuanjurkan, lebih baik jangan kau hidup, keadaan dialam baka lebih enak dari
pada hidup sengsara....”
Tubuh Ling Ling tergelepar, ia
menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Sesudah berhasil membunuh Ling
Ling, tubuh Lian Seng Pek juga roboh kembali.
Sim Pek Kun selesai
berpakaian, ia membangunkan Lian Seng Pek.
Entah sengaja atau tidak
sengaja, Lian Seng Pek belum bisa disadarkan.
Mungkin pula masih dalam
keadaan mabok? Mungkin pula sulit meneruskan situasi yang seperti itu.
Dengan dibantu oleh Hong Sie
Nio dan Sim Pek Kun, Lian Seng Pek dibangunkan kembali.
Bertiga menuju dan
meninggalkan ruangan itu.
Ada jalan yang lurus kedepan.
Seorang kakek berbaju coklat
dan seorang kakek berbaju hijau berendeng didepan jalan itu, dua pasang mata
mereka ditatapkan jauh keujung jalan tersebut. Hati mereka begitu berat. mereka
tidak sadar kalau tiga insan sedang mendatangi kearahnya.
Sim Pek Kun dan Hong Sie Nio
sedang memayang Lian Seng Pek.
Mereka tiba dibelakang dua
orang tua tukang maen catur itu.
Lian Seng Pek masih juga belum
sadarkan diri.
Sim Pek Kun menundukkan
kepala, ia tidak berani membentur kenyataan.
Hong Sie Nio mendekati kedua
kakek itu dan bertanya:
“Mereka berada disana?”
Orang tua berbaju merah
berkata:
“Ng....”
Hong Sie Nio bertanya:
“Kalian menunggu kembalinya?”
Orang tua berbaju hijau
berkata:
“Ng....”
Hong Sie Nio menghembuskan
napasnya dalam2, seolah2 hendak mengusir keluar hawa lembab itu, ia bertanya:
“Menurut perkiraan kalian,
siapa yang bisa balik kembali?”
Pertanyaan ini seharusnya
tidak berani diajukan, karena jawabannya lebih seram.
Tapi tiada jalan kedua, dan
kini ia telah mengeluarkan perasaan dalam hatinya itu.
Orang tua berbaju merah ragu2
sebentar, akhirnya ia berkata perlahan:
“Yang sudah mati tipis sekali
kemungkinannya dia bisa balik.”
Hati Hong Sie Nio seperti
terbang, tenggelam kedasar laut.
Siapa yang diartikan oleh
orang tua itu. Apakah Siauw Tjap-it-long? Siauw Tjap-it-long sulit bisa hidup
kembali? Ya!
Orang tua berbaju hijau
berkata:
“Mungkin juga kedua2 tidak
balik kembali.”
Orang tua berbaju coklat
menganggukkan kepala dan berkat.
“Kuharap saja seperti itu.”
Tiba2 Hong Sie Nio berteriak,
dia mengajukan protes.
“Huh! Kalian kira bukan tandingan
Siao Yao Hoo! Salah! Mungkin juga ilmu kepandaiannya tidak bisa menandingi Siao
Yao Hoo tapi dia mempunyai itu keberanian, dia mempunyai itu semangat, banyak
orang tidak bisa mengalahkannya, dengan kelemahannya, dia bisa menangkan yang
kuat, karena dengan kemampuan dan kemauan itu. Dan ambisi yang besar.”
Orang tua berbaju coklat dan
orang tua berbaju hijau menoleh Hong Sie Nio, memandang dengan putih mata,
sesudah itu, lagi-lagi mereka menunjukkan pandangan kearah jauh didepan. Hati
semua orang menjadi seperti beku.
Hong Sie Nio masih hendak
meneruskan pembicaraannya, tapi tenggorokannya sudah tersumbat.
Sim Pek Kun bergumam: “Tidak
mungkin dia bisa balik kembali...”
Orang tua berbaju coklat
berkata:
“Ya, Tidak mungkin dia bisa
balik kembali.”
Orang tuaberbaju hijau
berkata:
“Kuharap saja, kedua2nya tidak
balik kembali.”
Hari menjadi pagi.....
Mereka masih menunggu.
Matahari bergeser ketengah,
mereka masih menunggu.
Akhirnya matahari tenggelam
siangpun berganti malam.
Siauw Tjap-it-long tetap tak
kembali.
Raja gila boneka Thian kongcu
Siao Yao Hoo juga tidak kembali.
Habislah harapan semua orang
itu. Sebab orang yang mereka nantikan sudah tentu tidak akan kembali untuk
selama2nya.
Sampai disini akhirnya cerita.
TAMAT