Anak Berandalan Bagian 15 (Tamat)

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Berandalan Bagian 15 (Tamat)
Anak Berandalan Bagian 15 (TAMAT)

Gigi Sim Pek Kun yang menggigit bibir itu akhirnya membuat pendarahan, di sana tampak merah sedikit, ia menganggukkan kepala.

Tiba2, Lian Seng Pek menerjang pundak Sim Pek Kun, dengan geram dia membentak, “Kau jatuh cinta kepada seorang jago berandalan?”

Sim Pek Kun menganggukkan kepala.

“Katakan,” berteriak Lian Seng Pek, “Dimana letak keunggulannya? Dimana letak kekalahanku?”

Suara Lian Seng Pek hampir habis, berteriak2 seperti manusia gila.

Lian Seng Pek tidak mudah tergoda, biasanya dia bisa mengekang segala gejolak itu. Hari ini tidak, orang yang dikasihi olehnya, isteri yang dicinta olehnya hendak melarikan diri.

Darah panas Lian Seng Pek bergolak mulai memuncak ke atas otak.

Pundak Sim Pek Kun yang dicengkeram seperti itu hampir remuk, dia merasa sakit, diusahakan agar dia tidak menjerit, juga tidak berteriak, diusahakannya menyedot air mata yang jatuh bercucuran.

Menggigit bibir lagi dia berkata, “Mungkin... mungkin juga dia tidak bisa memadaimu. Di beberapa tempat, dia kalah padamu. Tapi dia rela berkorban, dia lebih rela berkorban daripadamu. Demi kepentinganku, dia rela mati... kau... kau bisa mengimbangi kemampuan ini?”

Mata Lian Seng Pek dipentangkan lebar2, tangannya terlepas dari pundak Sim Pek Kun, per-lahan2 tubuh si jago muda mundur ke belakang.

Sim Pek Kun tidak berani menerima pancaran sinar mata Lian Seng Pek, ia mengelakkan sepasang cahaya yang tajam itu, dengan menundukkan kepala dia berkata:

“Aku masih ingat, kau pernah mengatakan tentang hati seorang wanita. Kalau saja seorang wanita itu sudah mengubah hatinya, apapun tidak bisa dicegah, seseorang yang akan mencegah akan menderita penderitaan yang terbesar.”

“Ouw...” Lian Seng Pek mengeluh.

Kemarahan Lian Seng Pek tidak bisa tertahan, tangannya terayun,... Pang... dia menempiling pipi Sim Pek Kun yang putih bersih. Di sana telah bertanda lima jari berwarna merah.

Sim Pek Kun masih diam di tempatnya, dia tidak lagi menangis, tidak bergerak dan juga tidak menjerit.

Sim Pek Kun seperti sudah tersihir, seperti batu, dengan sinar matanya yang dingin, ia berkata:

“Tempilinglah lagi, pukullah lagi, bunuhlah... aku tidak akan membikin perlawanan. Aku tidak akan menyalahkan dirimu. Tapi ingat, tidak mungkin kau bisa mengubah pendirianku...”

Lian Seng Pek membalikkan badan, tiba2 mencelat, meninggalkan isterinya.

Baru sekarang Sim Pek Kun berani mendongakkan kepala, memandang ke arah lenyapnya sang suami.

Mengantarkan lenyapnya bayangan itu, air mata Sim Pek Kun bercucuran pula.

“Oh...,” dia mengeluh. “Maafkan aku, sangat menyesal. Sebenarnya aku tidak memperlakukan dirimu seperti ini, tapi apa boleh buat, dalam keadaan terpaksa tidak ada lain jalan.”

Lian Seng Pek tidak bisa menangkap suara penyesalan isterinya.

Sim Pek Kun bergumam:

“Boleh saja kau anggap aku sebagai wanita jalang, wanita yang tidak tahu diri. Tapi demi kepentinganmu, demi keluarga kalian, aku tidak mau mengikut sertakan banyak dosa.”

Bayangan Lian Seng Pek sudah lenyap dari tempat itu, tentu saja tidak mengikuti jeritan hati istrinya. Rencana apa yang Sim Pek Kun sudah lakukan? Siauw Tjap it-long tidak bisa mengerti, Lian Seng Pek juga tidak mengerti. Penderitaan yang bagaimana dirasakan oleh Sim Pek Kun.

Hanya dia seorang diri yang dapat menyelaminya. Hatinya seperti tersobek dikoyak-koyak oleh tangan si raja boneka Thian koncu.

Dia harus berkorban, dia tidak mau mengikutsertakan Siauw Tjap it-long, dia juga tidak mau mengikutsertakan Lian Seng Pek. Hanya kematianlah yang bisa mengcamkan dirinya. Hanya jalan kematian yang terbentang di depan dirinya.

Malam berkuasa.

Air mata Sim Pek Kun sudah dikuras habis dia masih menangis, menangis dengan air mata kering.

Akhirnya, Sim Pek Kun mengambil putusan, dia membenarkan pakaiannya yang kucel berjalan lurus ke depan.

Hanya ada satu jalan yang berada di depan sang ratu rimba persilatan itulah jalan kematian.

Jalan itu lurus langsung, menuju kearah istana boneka. Di depan bulu mata Sim Pek Kun sudah terbayang wajah raja gila boneka Thian koncu yang tertawa kejam, dengan girangnya, raja gelo itu berkata: “Sudah kuperhitungkan, sudah waktunya kau kembali. Karena kau sudah tidak mempunyai pilihan jalan lain.”

Betul-betul Sim Pek Kun tidak mempunyai pilihan jalan. Dia sedang menuju jalan kematian. Sim Pek Kun balik kembali ke istana boneka.

Siauw Tjap it-long menarik tangan Hong Sie Nio, mengajaknya menegak minum arak. Tenggorokan Siauw Tjap it-long seperti tersumbat, biasanya dia jago arak, ia kuat minum, tapi hari-hari ini terkecuali, cairan minuman keras itu tidak mau masuk kedalam tenggorokannya.

Terlalu banyak urusan yang dipikirkan oleh Siauw Tjap it-long. Terlalu butek pikiran yang mengekang kebebasan Siauw Tjap it-long.

Begitu keadaan Siauw Tjap it-long begitu pula keadaan Hong Sie Nio. Hong Sie Nio sedang menghadapi persoalan rumit. Berbulan-bulan, bertahun-tahun ia menantikan datangnya lamaran Siauw Tjap it-long, lamaran itu tak kunjung datang.

Kini timbul satu lamaran, tapi harapan yang dibangun atas kesengsaraan Sim Pek Kun. Pikiran Hong Sie Nio lebih kusut, biasanya dia senang dan gembira, bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain.

Hari ini tidak. Hong Sie Nio tidak bisa menegak araknya. Arak yang mereka tegak arak kering, arak tawar. Mereka minum arak di dalam sebuah kedai yang kotor.

Hong Sie Nio tidak membawa uang, karena dia baru saja menjadi pengantin perempuan. Kantong Siauw Tjap it-long belum pernah penuh dengan uang, karena itu mereka harus bisa menghemat.

Disaat ini Hong Sie Nio mebuka suara: “Kita berdua sudah ditakdirkan minum arak di tempat ini.”

“Ouw!” berkata Siauw Tjap it-long. “Sudah ditakdirkan seperti ini.”

Siauw Tjap it-long melempar jauh sukmanya, seolah-olah mengikuti dan membayangi Sim Pek Kun.

Disaat hidup sengsara bersama-sama dengan Sim Pek Kun, hatinya riang dan gembira. Tapi rasa itu lenyap, berganti dengan sedih dan perih.

Dengan cepat Hong Sie Nio menuang araknya terus menerus, degan wajah cemberut, ia berkata: “Menurut cerita orang, arak yang tidak enakpun bisa menjadi enak, kalau kau meminumnya cepat.”

Siauw Tjap it-long berkata tawar: “Arak yang enak adalah arak yang bisa membuat kita menjadi mabok.”

Siauw Tjap it-long juga meneguk araknya. Mereka ingin bermabok-mabokan, tapi arak itu kurang keras, mereka belum mabok.

Keadaan seorang yang berada dalam keadaan mabok, bisa melupakan segala sesuatu, melupakan penderitaan dan melupakan kesengsaraan.

Hong Sie Nio menatap Siauw Tjap it-long, dia sedang berdaya upaya, bagaimana caranya untuk mengubah pikiran Siauw Tjap it-long yang masih tertuju kearah Sim Pek Kun.

Seribu satu cara telah diusahakan, tidak mungkin menemukan cara yang terbaik. Berapa banyak suara Hong Sie Nio cetuskan, suara-suara itu hanya suara Sim Pek Kun. Akhirnya Hong Sie Nio menghela nafas, ia berkata: “Hei, sudahlah. Jangan kau pikirkan dia lagi. Menurut apa yang kutahu, wanita tadi tidak mempunyai kekejaman yang seperti itu.”

Siauw Tjap it-long berkata: “Tidak ada wanita yang kejam. Hanya ada wanita yang keras hati.” Suara ini disalurkan jauh, seolah-olah hendak disampaikan ke depan Sim Pek Kun.

Hong Sie Nio berkata: “Menurut hematku, wanita tadi sedang tertekan, dia mempunyai penderitaan yang tidak bisa dilampiaskan.”

Siauw Tjap it-long berkata: “Eh, menurut apa yang kau tahu, siapa yang menjagoi rimba persilatan?”

“Untuk jalan mana?” bertanya Hong Sie Nio.

“Untuk jaman-jaman yang sudah lampau dan jaman sekarang.” berkata Siauw Tjap it-long. “Ilmu silat siapakah yang tertinggi?”

Hong Sie Nio berpikir lama, akhirnya dia menjawab pertanyaan itu. “Menurut apa yang kutahu, tokoh silat super sakti tanpa tandingan adalah Siao Yao Hoo pada dua puluh tahun yang lalu.”

“Tepat” berkata Siauw Tjap it-long. “Kini ia mengganti nama menjadi Thian koncu.” Ternyata, raja gila boneka Thian koncu bernama Siao Yao Hoo!

“Bisakah kau ceritakan tentang orang ini?” berkata Siauw Tjap it-long.

“Aku belum pernah melihat wajahnya.” jawab Hong Sie Nio.

Siauw Tjap it-long tertegun, menegak arak dia berkata:

“Menurut apa yang kutahu, kau kenal kepada orang ini, Dan dia pernah mengirim dua bilah pisau yang tajam.”

Hong Sie Nio berkata: “Betul, tapi aku belum pernah melihat wajahnya.”

Siauw Tjap it-long menyengir, dia berkata: “Membuat aku bingung saja.”

Hong Sie Nio tertawa dan berkata: “Setiap kali aku menemuinya, teraling oleh selembar kain, pada suatu hari, aku tidak tahan, kutendang kain itu, menyerobot masuk, dengan maksud bisa melihat wajah asli jago itu.”

“Bagaimana hasilnya? Kau berhasil.” bertanya Siauw Tjap it-long.

Hong Sie Nio menghela nafas, ia berkata:

“Kuanggap gerakanku itu sudah cukup cepat. Tapi gerakannya lebih cepat lagi, saat aku memasuki ruangan itu, ia sudah tidak ada disana.”

Siauw Tjap it-long berkata: “Ternyata dia belum menjadi kawanmu. Dia tidak mau bertemu denganmu.”

Hong Sie Nio berkata: “Salah. Dia adalah kawanku. Karena hendak berkawan dengan diriku, maka dia tidak bertemu muka.”

“Apa artinya?”

Hong Sie Nio berkata: “Hanya dua macam orang yang bisa menemukan wajahnya.”

“Dua macam orang yang bagaimana?”

“Wanita.” berkata Hong Sie Nio. “Wanita yang sudah kena taksirannya, asal saja dia ingini, tidak mungkin bisa lepas dari genggaman tangannya.”

Wajah Siauw Tjap it-long berubah, ia menegak araknya, membasahi tenggorokan itu, kemudian berkata:

“Oh... kau tidak mendapat taksirannya?”

Wajah Hong Sie Nio juga berubah, dia sudah hendak melampiaskan kemarahan itu, secepat itu pula dia bertahan, dan berkata:

“Baiklah, boleh saja menganggap aku tidak laku. Ia tidak tertarik kepada diriku. Aku tidak mau marah. Hari ini, biar apapun yang kau katakan, aku tidak marah.”

Tidak memberi kesempatan kepada Siauw Tjap it-long berkata lai, Hong Sie Nio meneruskan ucapannya:

“Banyak cerita tentang dirinya, ada yang mengatakan dia buta, ada yang mengatakan dia tinggi besar, ada yang mengatakan wajahnya penuh brewok... etc...”

“Tapi tidak pernah ada orang yang mengatakan dia cakap dan tampan?” bertanya Siauw Tjap it-long.

“Kalau betul dia sangat cakap, mengapa tidak mau memperlihatkan wajahnya?”

Siauw Tjap it-long berkata: “Potongan tubuhnya sangat pendek, ia malu dilihat orang.”

Sepasang mata Hong Sie Nio dibelalakan, memandang Siauw Tjap it-long dan berkata: “Kau pernah menemuinya?”

Siauw Tjap it-long tidak menjawab pertanyaan ini, raja gila boneka Thian kongcu bernama Siao Yao Hoo. Dan ini tidak boleh diketahui oleh Hong Sie Nio.

“Eh,” Siauw Tjap it-long mengalihkan bahan pembicaraan. “Kau sudah pergi ke luar daerah?”

“Ngg...” Hong Sie Nio menganggukkan kepala.

“Juga hendak mencari jejaknya?” bertanya Siauw Tjap it-long.

“Menurut cerita orang, dia sudah memasuki daerah Tong goan.”

“Hmmm...” Siauw Tjap it-long mengeluarkan satu suara gerengan kecil.

Hong Sie Nio berkata: “Ilmu silatnya berada di atasmu, ilmu meringankan tubuhnya berada di atasmu. Hanya satu, itulah adatnya yang tidak bisa memenangkan adatmu. Ada sesuatu semangat yang berada padamu, semangat yang belum pernah terpatahkan. Semangat ini tidak bisa ada yang menandingi dirimu.”

Sepasang sinar mata Siauw Cap-it-long memandang jauh ke depan. Dia berkata perlahan, “Kukira kau sedang ber-lebih2an.”

“Tidak,” berkata Hong Sie Nio, bukan ber-lebih2an, inilah kenyataan. Apalagi kau hendak mengadu jiwa, orang lain bisa menjadi takut.”

Siauw Cap-it-long berkata, “Aku belum ada niatan untuk mengadu jiwa dengannya.”

“Bukan maksudku untuk menyuruhmu mengadu jiwa, hanya kukatakan semangatmu yang membara itu bisa menciutkan hati orang.”

Siauw Cap-it-long bisa menerima kebenaran dari apa yang sudah dikatakan oleh Hong Sie Nio. Raja gila boneka Thian kongcu Siao Yao Hoo agak gentar menghadapi dirinya, bilamana dia nekad, tidak mudah orang itu mengalahkan dirinya.

“Oh, mengapa kau hendak mencari tahu tentang keadaan orang itu? Mungkinkah hendak mengadu jiwa?”

Dengan tertawa tawar, Siauw Cap-it-long berkata, “Dengan alasan apa, aku hendak mengadu jiwa dengannya?”

Pandangan mata Hong Sie Nio belum pernah lepas dari wajah Siauw Cap-it-long, sepatah demi sepatah ia berkata, “Karena kau sudah menjadi nekad, kau hendak mencari kematian.”

“Kematian ?!” Siauw Cap-it-long mengulang kata2 itu.

“Anggapmu hanya kematian yang bisa membebaskan penderitaanmu,” berkata Hong Sie Nio. “Kau hendak menghindari kenyataan?”

Daging2 Siauw Cap-it-long berkerinyut, hampir dia tidak bisa menguasai dirinya, bangkit dari tempat duduknya dan berkata, “Aku sudah kenyang makan, arakpun sudah cukup banyak kutenggak, sudah waktunya berangkat. Aku hendak pergi.”

Hong Sie Nio menarik tangan Siauw Cap-it-long dan berkata, “Kau tidak boleh pergi.”

Dengan dingin Siauw Cap-it-long berkata, “Di saat aku hendak pergi, belum pernah ada orang yang bisa menahan kepergianku.”

Tiba2...

Dari luar ruangan masuk seseorang, ia berteriak, “Biar bagaimana aku harus menahan kepergianmu.”

Siapakah orang yang datang itu? Apa maksud tujuannya?

Mari kita mengikuti bagian berikutnya.

BANYAK CINTA DI DALAM DUNIA

Dari datangnya bayangan gelap, tampil seorang, wajahnya pucat pasi, matanya bersinar terang, langkahnya tenang, sangat sopan. Inilah orang yang terpelajar.

Seorang terpelajar mendekati Siauw Cap-it-long, pada pinggangnya tergendong pedang, seorang pelajar yang mengerti ilmu silat.

Sarung pedang berwarna hitam mengkilap, tertojos oleh cahaya lampu, membuat lawan menjadi agak seram.

Hong Sie Nio berteriak kaget, “Lian Seng Pek kongcu?”

“Ya,” jawab orang itu.

Orang yang baru datang adalah Lian Seng Pek!

Siauw Cap-it-long memandang ke arah kedatangan Lian Seng Pek, matanya tidak berkesiap.

Lian Seng Pek sudah berdiri di depan mereka, perlahan2 dia berkata, “Di dalam dunia, hanya aku seorang yang bisa menahan keberangkatan Siauw Cap-it-long!”

Wajah Siauw Cap-it-long berubah, segera tercetus pertanyaan keras, “Kau hendak menahan keberangkatanku?”

Lian Seng Pek tertawa tawar, ia berkata, “Ya.”

“Maksudmu?” Siauw Cap-it-long menjadi tegang.

“Aku sedang dirundung murung, aku hendak menahan keberangkatanmu, bersama2 minum arak, menurut cerita orang kekuatan minum arakmu sangat hebat sekali. Mari kita minum bersama.”

Sepasang mata disipitkan, kemudian direntangkan lebar2 pula, di tatap Siauw Cap-it-long, ia berkata, “Keadaanku di hari ini karena disebabkan oleh gara2mu. Hadiah dari tampilnya dirimu. Maka, kukira sudah layak kalau kau bersedia menemani aku minum arak bukan?”

Lama sekali Siauw Cap-it-long memperhatikan gerak-gerik Lian Seng Pek, akhirnya dia mengalah, per-lahan2 duduk kembali.

Baru sekarang Hong Sie Nio bisa mengeluarkan nafas lega, dia berkata, “Lian Seng Pek Kongcu, silahkan duduk.”

Lian Seng Pek tidak ragu-ragu, menyeret kursi di depan Siauw Cap-it-long dan Hong Sie Nio, bertiga mereka duduk di satu meja.

Terjadi perjamuan minum arak gila-gilaan.

* * *

Lampu penerangan sudah menjadi suram. Berapa banyak arak yang diminum oleh Siauw Cap-it-long? Tidak ada orang yang menghitung.

Berapa banyak pula arak yang ditenggak oleh Lian Seng Pek, walalu tidak bisa memadai Siauw Cap-it-long, jumlahnyapun cukup banyak.

Hong Sie Nio memperhatikan kedua laki2 yang berada di kanan dan kirnya itu, meminjam sinar penerangan yang kelap-kelip, agaknya seperti menjadi kaku.

Wajah Lian Seng Pek dalam keadaan mabok seperti orang yang sudah tidak berdarah, seperti bangkai hidup minum arak.

Kini dia menoleh ke arah Siauw Cap-it-long, memperhatikan keadaan Siauw Cap-it-long, entah apa yang hendak ditemukan pada wajah satu itu.

Sepasang sinar mata Siauw Cap-it-long jauh memandang ke depan, melompong, sinar matanya hampa.

Penjual arak sedang memperhatikan tamu aneh itu, teristimewa keanehan Hong Sie Nio. Adanya wanita jago arak yang seperti Hong Sie Nio adalah terkecualian, tidak ada wanita yang kedua bisa menyainginya.

Si tukang jual arak juga seorang mata perempuan, ia mengharapkan Siauw Cap-it-long dan Hong Sie Nio ber-mabuk2an maka ia mempunyai banyak kesempatan.

Walau wajah Siauw Cap-it-long cukup menakutkan, galak dan garang, dalam keadaan mabuk dia bisa berbuat semau-maunya.

Kemudian datang pula sastrawan yang sopan-santun itu, jumlahnya bertambah tiga orang. Harapannya semakin besar, tapi begitu lama mereka ber-mabuk2an, toch tidak satu pun dari ketiganya yang jatuh.

Akhirnya dia ngelojor pergi.

Penjual arak ini betul2 tahu diri, dari adanya hawa sinar cahaya pedang yang garang, hawa itu tidak boleh didekati.

Setiap saat ia mendekati ke arah meja tersebut, tampak keringatnya mengucur keras, itulah hawa keseraman.

Siauw Cap-it-long menuang araknya, dia menenggak lagi.

“Mari! Minum!” dia mengajak Hong Sie Nio dan Lian Seng Pek bertoast.

Hong Sie Nio mengangkat cawannya, dia berkata, “Arak ini kurang baik. Entah bagaimana penilaian Lian Seng Pek Kongcu?”

“Arak baik.” Lian Seng Pek juga menerima tawaran toast itu, dia mengeringkan isinya. “Arak baik,” dia memuji lagi. “Arak yang bisa membuat orang menjadi mabok, itulah arak yang terbaik.”

Siauw Cap-it-long bisa membenarkan kata2 ini, dia berkata, “Tepat! Arak yang bisa membuat orang mabok, arak itu adalah arak yang terbaik.”

Hong Sie Nio menoleh lagi, kedua laki2 itu jatuh cinta kepada seorang wanita, kini mereka bisa minum bersama, sungguh aneh!

Siauw Cap-it-long nakal dan berandalan, Lian Seng Pek alim dan sopan santun, perbedaan mereka sangat menyolok mata.

Sebagai seorang wanita, Hong Sie Nio juga menjatuhkan pilihannya kepada Siauw Cap-it-long.

Sebagai seorang wanita, Sim Pek Kun juga menjatuhkan pilihannya kepada Siauw Cap-it-long.

Perbedaannya, yang disebut lebih dahulu belum menikah, dan yang disebut belakangan sudah kawin.

Karena itulah Hong Sie Nio mencopot pakaian pengantinnya, dengan harapan masih bisa menyeret hati Siauw Cap-it-long.

Tapi kenyataan itu semakin menipis, sesudah menyaksikan bagaimana Siauw Cap-it-long dan Lian Seng Pek minum bersama.

Biar bagaimana, Hong Sie Nio harus bisa memadamkan api cinta kepada Siauw Cap-it-long.

Di saat ini, timbul pula bayangan Yo Khay Thay.

Hong Sie Nio sangat menyesal, ia telah memperlakukan Yo Khay Thay lebih dari keterlaluan sedari pertama kali bertemu, tidak ada cinta kepada laki2 itu.

Siapa yang menyuruh Yo Khay Thay mengikutinya terus menerus?

Oh!

Cinta…

Baru sekarang Hong Sie Nio bisa memahami apa artinya cinta. Dia bisa merasakan bagaimana perasaan yang merangsang seseorang, di saat cintanya ditolak.

Perasaannya juga turut kacau, risau.

Ber-ulang2 Hong Sie Nio menenggak araknya.

Lian Seng Pek memperlihatkan pula cawan araknya, ditujukan kepada Siauw Cap-it-long dan berkata, “Mari! Keringkan lagi!”

Se-olah2 dia sedang meloloh diri sendiri, apa boleh buat, dengan ber-mabok2an, dia bisa melupakan penderitaan, walau untuk sementara.

Siauw Cap-it-long tidak mau kalah, dia memang memiliki daya tahan yang lebih kuat, cawan demi cawan diteguknya masuk.

Mengapa mereka ber-mabuk2an?

Cinta! Cinta bertaburan di dalam dunia.

Hong Sie Nio melirik ke arah Lian Seng Pek, dia menjajalnya, “Mungkinkah Lian Seng Pek Kongcu belum tahu, kalau dia…”

Cepat2 Lian Seng Pek berkata, “Aku tahu, semua aku sudah tahu.”

Hong Sie Nio bertanya, “Kau sudah tah? Sudah tahu kalau ada orang yang sedang mencari dirimu?”

“Sim Pek Kun yang kau maksudkan?” Lian Seng Pek tertawa nyengir.

Hong Sie Nio menganggukkan kepala dan berkata, “Dia sedang berusaha untuk mendapatkanmu.”

Lian Seng Pek tertawa lebih pahit, ia berkata, “Tidak perlu dipersoalkan, sedari dulu aku selalu mencari jejaknya.”

“Kalian sudah bertemu?” bertanya Hong Sie Nio.

“Sudah,” jawab Lian Seng Pek singkat. Kini dia menoleh tempat gelap, entah apa yang sedang dipikirkan.

Dengan perasaan tidak mengerti, Hong Sie Nio bertanya, “Di mana kini dia berada?”

“Sudah pergi lagi,” berkata Lian Seng Pek. “Dia sudah pergi… pergi lagi… dia selalu pergi dari samping sisiku.”

“Dia meninggalkanmu lagi?” Hong Sie Nio menjadi heran.

Tentu saja Hong Sie Nio tidak mengerti, Sim Pek Kun sudah meninggalkan Siauw Cap-it-long. Tentunya hendak kembali dan rujuk kepada suaminya, dengan alasan apa pula meninggalkan Lian Seng Pek?

Sim Pek Kun meninggalkan Siauw Cap-it-long, sesudah itu meninggalkan Lian Seng Pek, kemana kepergiannya ratu rimba persilatan itu?

Biasanya Hong Sie Nio bisa memahami dan menyelami isi hati wanita. Kecuali isi hati Sim Pek Kun.

Dia tidak tahu, kemana kepergiannya Sim Pek Kun.

Tentu saja, Hong Sie Nio tidak bisa menduga, kemana Sim Pek Kun pergi?

Hanya saja Siauw Cap-it-long yang bisa mengetahui, kemana kepergiannya ratu rimba persilatan itu.

Sejulur hawa dingin yang lebih dingin dari es meresap ke tulang2, melalui ujung kakiknya, menembus otak, dan memecah ke seluruh tubuh Siauw Cap-it-long.

Mendengar keterangan itu, hati Siauw Cap-it-long tercekat.

Kemana Sim Pek Kun menuju?

Balik kembali ke istana boneka?

Jawaban ini tidak sulit untuk ditemukan. Inilah yang mencekatkan hatinya, membuat ia menjadi pusing kepala.

Tiba2 hatinya membara, terasa panas, bara itu sukar dipadamkan.

Dendam kemarahan kepada raja gila boneka Thian Kongcu Siao Yao Hoo tidak bisa dipadamkan.

Siauw Cap-it-long bisa menyelami betapa menderitanya Sim Pek Kun.

Kalau dia hendak melarikan diri dari kenyataan, secara ber-mabuk2an minum arak, cara Sim Pek Kun lain daripada yang sudah ditempuh olehnya. Sim Pek Kun hendak mengantarkan jiwa, berkorban atau menuntut balas.

Hanya kematian yang bisa menyelesaikan rasa sengsara badan Sim Pek Kun.

Sim Pek Kun tidak akan mati percuma, tentunya berusaha. Bisakah Sim Pek Kun membunuh raja gila boneka Thian Kongcu?

Siauw Cap-it-long mengepal tangannya keras-keras, kini dia bisa mengerti, cara-cara dan langkah-langkah yang ditempuh Sim Pek Kun.

Siauw Cap-it-long mentololkan otaknya sendiri, mengapa tidak terpikir sejauh itu? Mengapa ia tidak menahan kepergiannya?

Besar hasratnya untuk segera membikin pengejaran, segera mengganti pertukaran jiwa, dia rela berkorban menggantikan pengorbanan Sim Pek Kun.

Tapi bukan sekarang, belum waktunya. Di depan dirinya masih ada Lian Seng Pek dan Hong Sie Nio, dia tidak bisa menyeret kedua jago silat ini.

Ia harus menunaikan tugas itu dengan jiwa tunggalnya. Dia tidak boleh me-nyeret2 orang lain, dia tidak boleh berhutang budi orang kepada orang lain.

Lian Seng Pek menarik sorot matanya dari tempat jauh, kini menatap ke arah Siauw Cap-it-long, per-lahan2 berkata, “Di dalam tanggapanku, kau adalah orang yang patut dikasihani, baru sekarang aku mengerti, keberuntunganmu masih jauh berada di atasku.”

“Keberuntunganku?” bertanya Siauw Cap-it-long.

Lian Seng Pek tertawa, ia berkata, “Sampai saat ini, baru aku mengetahui, kalau aku itu belum berhasil merebut hatinya.”

“Kau salah,” berkata Siauw Cap-it-long.

“Huh!” Lian Seng Pek mengeluarkan suara dengusan dari hidung.

Siauw Cap-it-long menggelengkan kepala berkata, “Menurut yang kutahu, belum pernah ia mengkhianati dirimu.”

Lian Seng Pek mendelikkan matanya, tiba2 saja ia tertawa berkakakan, dan sesudah tertawa berkakakan ia berkata, “Apa artinya menyeleweng? Apa artinya tidak menyeleweng? Bagaimana perbedaan nyeleweng dan tidak nyeleweng? Di dalam dunia ini tidak ada sesuatu yang abadi, mengapa memusingkan persoalan itu?”

Hati Siauw Cap-it-long menjadi panas, ia berteriak, “Tidak percaya?”

Lian Seng Pek sudah menghentikan tawanya, menatap ke arah cawan arak di meja ia bergumam, “Untuk saat ini, apapun tidak kupercayai. Yang bisa dipercayai adalah arak! Arak bisa membuat orang mabuk.”

Tangannya dijulurkan, mengambil cawan arak dan mengeringkan pula. Ia berkata, “Hayo, Hong Sie Nio, Siauw Cap-it-long minum lagi. Jangan berhenti. Harus bisa menghabiskan arak di tempat ini…”

* * *

Seseorang yang sudah tidak kuat minum, kalau saja masih ditantang terus-menerus, karena mempunyai harga diri, tidak mau kalah, semakin cepat dia jatuh mabok.

Kekuatan minum Lian Seng Pek tidak bisa disamakan dengan kekuatan minum Siauw Cap-it-long, ia hanya setanding dengan kekuatan minum Hong Sie Nio, mungkin juga masih berada di bawah jago wanita berandalan itu.

Rasa tekanan Sim Pek Kun terlalu hebat, dia ingin menggunakan air kata2 melupakan segala sesuatu.

Sesudah terus-menerus menenggaknya, akhirnya ia jatuh mabok.

“Hayo!!” tantangnya. “Minum lagi, mengapa tidak diminum? Sudah menyerah kalah?”

Hong Sie Nio juga mengiringi katanya, menenggak arak yang di meja.

“Berapa banyak yang baru kau tenggak, akan kuiringi pula,” dia berkata.

Keadaan Hong Sie Nio juga sudah berada di dalam keadaan mabok.

Baru terasa, betapa kasihnya Lian Seng Pek ini.

Terjadi perobahan yang menyolok, Lian Seng Pek bukan seorang dingin dan kaku. Lian Seng Pek mempunyai cinta kasih, sayang dunia mempermainkan perkawinannya.

Siauw Cap-it-long tidak banyak bicara tapi ia mengiringi segala kemauan2 itu, Lian Seng Pek minum, Hong Sie Nio minum dan Siauw Cap-it-long juga minum.

Siauw Cap-it-long jatuh mabok.

Ia minum lebih banyak daripada kedua kawannya, ia tengkurapkan kedua tangan dan meletakkan kepalanya di atas lingkaran tangan itu.

Siauw Cap-it-long sudah menjatuhkan dirinya di meja.

Lian Seng Pek memandang kepada si jago berandalan, dengan mulut bergumam, “Siauw Cap-it-long, seharusnya aku membunuh kau.”

Tiba2 tubuh Lian Seng Pek meletik, mengeluarkan pedang, dijulurkan ke arah Siauw Cap-it-long.

Tapi kedua kakinya sudah tidak tertahan, karena kerasnya tarikan pedang itu, ia jatuh ngeloso.

Hong Sie Nio menjulurkan tangan, dengan maksud memayang jatuhnya tubuh Lian Seng Pek. Tapi dia tidak berhasil, dia juga berada dalam keadaan mabok, mereka berdua jatuh bersama.

Dengan keras Hong Sie Nio membentak, “Siauw Cap-it-long adalah kawanku, kau tidak boleh membunuh.”

Lian Seng Pek tertawa ter-kekeh2, tanpa bangun dari lantai tanah berkata, “Seharusnya aku membunuh, tapi dia sudah mabok. Dia sudah kalah, ha..ha..ha… dia kalah…! Aku menang!...”

Obrolan para pemabok itu semakin melantur. Mereka melantur terus, apa yang diucapkan sudah lupa sama sekali.

Sesudah itu, merekapun jatuh.

Ketiga-tiganya mabok.

Tidak ada satu yang mulai bicara, mereka sudah menggeletak bagaikan tiga mayat yang bergelimpangan.

Penjual arak memperhatikan para pemabok itu, ia hendak mendekatinya, tapi sinar pedang Lian Seng Pek, kegarangan Siauw Cap-it-long, dan kenekatan Hong Sie Nio membuat ia tidak berani melakukan hal itu.

Takut terancam sesuatu.

Apa yang dikuatirkan itu betul2 terjadi, tiba2 Siauw Cap-it-long bangun berdiri.

Di antara sinar penerangan yang suram, tampak Siauw Cap-it-long memperhatikan Lian Seng Pek, lama sekali diperhatikannya laki2 kasihan itu.

Keadaan Siauw Cap-it-long tidak galak lagi, tidak gagah seperti pertama kali. Penderitaannya dan kepedihannya tidak kepalang, se-olah2 seekor binatang yang sudah berada di ambang pintu kematian.

Di dalam keadaan tidak sadar, masih terdengar suara teriakan Lian Seng Pek, “Hei, kau meninggalkan diriku, tiada maaf bagimu…”

Siauw Cap-it-long mengertek gigi, ia bergumam, “Tenang! Tenangkanlah hatimu, aku akan mengambilnya pulang kembali. Kuharap saja kau bisa baik-baik memperlakukannya, kuharap saja kalian bisa lebih bahagia…”

Siauw Cap-it-long menggeser kursi, meninggalkan Hong Sie Nio dan Lian Seng Pek.

Siauw Cap-it-long menerjang ke arah istana boneka.

Orang pertama yang ditemukan olehnya adalah Siao Kongcu.

Dengan senyumnya yang centil, dengan wajahnya yang riang, dengan kelemah lembutan Siao Kongcu menyambut kedatangan Siauw Cap-it-long.

Siao Kongcu bersandar pada sebuah pohon Siong besar, dengan cara2 itu dia seperti sudah tahu akan kehadiran Siauw Cap-it-long, menantikannya dengan sabar.

“Sudah kuduga akan kedatanganmu. Setiap orang yang pernah memasuki istana boneka, tidak wajib keluar pula, dia akan terus-menerus di tempat ini.”

Wajah Siauw Cap-it-long membeku, sikapnya sangat dingin, tanpa perasaan, dengan wajah yang pucat pasi, dia bertanya, “Di mana dia?”

“Siapa?”

“Sim Pek Kun,” jawab Siauw Cap-it-long ketus.

“Ouw…,” Siao Kongcu Ling Ling menarik suaranya panjang2. “Nyonya Lian Seng Pek yang kau maksudkan?”

Masih tidak terjadi perobahan di wajah Siauw Cap-it-long, dia berkata tetap, “Ya!”

Siao Kongcu tertawa manis, dia berkata, “Kedatangannya lebih cepat dari kedatanganmu, kukira dia sudah tidur.”

Siauw Cap-it-long mendelikkan matanya, istilah kata2 tidur itu sangat menyakiti, mengandung aneka macam arti. Matanya memerah seperti hendak meletus.

Siao Kongcu tidak berani menatap pandangan mata yang seperti itu, memutarkan biji matanya dia berkata, “Mau kuantarkan?”

“Ya!” jawab Siauw Cap-it-long.

Siao Kongcu Ling Ling tertawa cekikikan, ia berkata, “Kau meminta bantuanku, apa jasa imbal balik yang kau berikan sebagai tanda terima kasihmu?”

“Kau mau apa?” bertanya Siauw Cap-it-long.

Lagi2 Siao Kongcu tertawa, tertawa genit, seluruh tubuhnya ber-goyang2, ia berkata, “Berlututlah di depanku. Menyembah kepadaku, maka akan kuajak segera.”

Tanpa mengucapkan ba atau bu, Siauw Cap-it-long segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan Siao Kongcu.

Betul2 dia menyembah!

Di dalam keadaan dan saat yang seperti ini, tidak ada sesuatu yang diharapkan olehnya.

Siao Kongcu menggandeng Siauw Cap-it-long memasuki istana boneka.

Di tempat gardu pemandangan, kedua orang tua itu masih bermain catur.

Kakek berbaju coklat dan kakek berbaju hijau itu menyambung pula permainan mereka, munculnya Siauw Cap-it-long tidak menarik perhatian, se-olah2 tidak ada sesuatu yang bisa menarik perhatian mereka kecuali bermain catur.

Dibiarkan saja Siao Kongcu dan Siauw Cap-it-long lewat.

Di dalam sebuah kamar yang sepi dan sunyi.

Raja gila boneka Thian Kongcu Siao Yao Hoo terbaring pada tempat tidurnya yang seperti tempat tidur raja, sepasang matanya yang liar dan jalang memandang ke arah depan, memandang tanpa berkesiap.

Di sana duduk seorang wanita, sangat cantik. Inilah ratu rimba persilatan Sim Pek Kun.

Sim Pek Kun duduk di depan raja gila boneka dengan maksud bisa menggunakan kesempatan membunuh orang itu.

Dipandang terus menerus, bulu tengkuk Sim Pek Kun menjadi merinding bangun. Ia seperti mendapatkan dirinya berada di depan orang dalam keadaan telanjang bulat, dipandang dan dicemoohkan seperti itu.

Ingin sekali Sim Pek Kun bisa mengorek biji mata raja gila boneka itu, sayang ilmu kepandaiannya terlalu lemah.

Beberapa saat berlalu, raja gila boneka Thian Kongcu berkata, “Bagaimana putusannya?”

Sim Pek Kun menyedot nafasnya dalam2, menggigit bibirnya, dia menggelengkan kepala, menolak permintaan raja gila boneka.

Raja gila boneka Thian Kongcu tertawa, ia berkata, “Lebih baik kau menurut, karena tidak ada lain jalan, kecuali mengikuti petunjuk yang kuberikan. Cepat atau lambat saat itu pasti datang. Lebih baik kau bukalah sendiri, maka kau bisa mendapat penghargaanku, itu waktu baru ada kesempatan.”

Sekujur badan Sim Pek Kun gemetaran.

Raja gila boneka Thian Kongcu Siao Yao Hoo berkata lagi, “Aku tahu kau datang dengan maksud membunuh diriku. Kalau kau tidak berani dekat, harapan dari mana? Maka… berusahalah dekat. Seperti kau tahu, aku tidak suka wanita yang berada di sebelah sisi dengan pakaian lengkap.”

Sim Pek Kun mengertek gigi, dengan gemetaran dia berkata, “Kalau kau sudah tahu bahwa aku ingin membunuhmu, hilanglah sudah kesempatanku.”

Tertawa raja boneka semakin genit, dengan menyipitkan matanya dia berkata, “Kau jangan lupa, aku juga seorang laki2, kalau seorang laki2 sudah lupa daratan, maka wanita itu lebih mudah menggunakan kesempatan…”

Berhenti beberapa saat, Siao Yao Hoo berkata pula, “Pokok persoalannya, bisakah kau membuat aku lupa daratan?”

Tubuh Sim Pek Kun semakin tergetar, goyangnya semakin keras.

“Aaaa… kau bukan manusia,” ia memaki.

“Hua…ha….” Siao Yao Hoo tertawa.

“Bila aku menyebut diriku sebagai manusia? Membunuh seorang manusia sangat mudah. Membunuh aku… hei, hei… harus menggunakan sedikit pengorbanan.”

Sim Pek Kun mendelikkan mata geregetan sekali, mau saja ia menelan hidup2 orang yang berada di depannya itu. Iblis keparat, hantu perempuan, manusia yang menganggap dirinya setengah dewa.

Akhirnya Sim Pek Kun mengambil putusan, per-lahan2 bangkit dari tempat duduk, mengerahkan tenaga menyobek baju.

Sim Pek Kun membuka pakaiannya dengan gerakan yang lambat, karena tangan itu sudah menjadi gemetaran, tidak henti2nya bergoyang.

Baju luar sang ratu sudah tercopot, sebagian besar dari isi daging itu terbelalak di depan mata.

Mata raja gila boneka Siao Yao Hoo memperlihatkan kepuasan, ia tersenyum dan berkata, “Masih putih! Bagus! Betul2 tidak mengecewakan. Kalau suatu hari terjadi aku mati di bawah tanganmu, matipun secara tidak penasaran.”

Sim Pek Kun menggigit bibirnya keras2, dari sana mengalir sedikit darah.

Darah di bibir meleleh turun, membasahi dadanya, membuat satu pemandangan yang kontras antara cairan merah dengan kulit serta badannya yang putih mulus.

Sim Pek Kun dipaksa membuka pakaian, untuk memuaskan nafsu raja gila boneka Siao Yao Hoo.

Maka pakaiannya terbuka, perutnya terbuka dan kakinya pun terbuka, semua terpentang di depan mata.

Tiba2, pintu kamar Siao Yao Hoo ditendang orang.

Jeblak…

Siauw Cap-it-long kini berdiri di depan pintu.

Dada Siauw Cap-it-long dirasakan seperti mau meledak, seluruh badannya gemetar menahan kemarahannya yang bergolak di saat itu.

Seluruh tubuh Sim Pek Kun terasa dingin dan beku, dia berdiri mematung, sinar matanya hampa, tiada bercahaya, wajahnya pucat sekali. Ingatan Sim Pek Kun per-lahan2 hilang dan tubuhnya jatuh menggeletak di lantai.

Hadirnya Siauw Cap-it-long di tempat itu tidak mengejutkan Siao Yao Hoo, dia menghela nafas dan bergumam,

“Mengganggu kesenangan orang adalah perbuatan yang tidak baik, umurmu akan mendapat potongan tidak bisa panjang, tahu?”

Siauw Cap-it-long menggenggam kedua kepalannya, dia berkata, “Kalau aku mati, kaupun harus turut serta.”

“Ouw…?” Siao Yao Hoo memandang Siauw Cap-it-long, “Kau menantang?”

“Ya!” berkata Siauw Cap-it-long.

“Banyak cara untuk menemukan jalan kematian,” berkata raja gila boneka Siao Yao Hoo. “Mengapa kau harus memilih cara yang seperti ini? Cara yang kurang pandai.”

“Hayo!” berkata Siauw Cap-it-long, “Mari kita mengukur kekuatan.”

“Ha…ha…ha…,” raja gila boneka tertawa.

“Apa yang kau tertawakan!” bentak Siauw Cap-it-long.

“Aku mentertawakan seorang yang tidak tahu diri.”

“Kau yang tidak tahu diri. Keluar!” bentak Siauw Cap-it-long. “Jangan kita berada di tempat ini.”

Siao Yao Hoo masih berbaring di tempat tidurnya, dia meremehkan ilmu silat jago ternama seperti Siauw Cap-it-long, dia memperhatikan beberapa saat lalu tertawa.

“Ha..ha..,” katanya. “Di dalam dunia belum pernah ada orang yang berani menantang diriku, kecuali… kau!... Baiklah, akan kukecualikan, kepada seseorang yang sudah berada di ujung maut, aku akan memberi pelajaran se-baik2nya.”

Tubuh raja gila boneka Siao Yao Hoo yang sedang terbaring itu tiba2 melambung ke atas, terbang meluncur bagaikan seekor ayam keluar dari kamarnya.

Dengan mendemonstrasikan ilmu silatnya ini, cukup membuat jago silat manapun pecah nyali.

Kecuali bagi Siauw Cap-it-long!

Siauw Cap-it-long tidak berhasil digentarkan, tekadnya untuk menempur Siao Yao Hoo sudah begitu hebat.

Seseorang yang hendak mengadu jiwa, tentu menganggap kecil apa arti jiwa itu.

Sesudah Siao Yao Hoo keluar meninggalkan kamar itu, Siauw Cap-it-long mendekati Sim Pek Kun, mengambil lembaran baju menutupi bagian2 yang penting.

Diperhatikannya ratu itu dengan penuh penderitaan.

Hati Siauw Cap-it-long berteriak, “Mengapa? Mengapa kau harus melakukan hal seperti ini?”

Per-lahan2 Sim Pek Kun sudah membuka matanya, dia sudah siuman.

Kedua pasang mata beradu, kemudian masing2 tergetar, dan cepat2 beralih ke lain tempat.

Dengan nada perlahan, Siauw Cap-it-long berkata, “Sudah waktunya kau pulang. Lian Seng Pek masih menunggu kehadiranmu.”

Sim Pek Kun mengatupkan mata, dari sana mengalir butiran2 bening, air matanya mengalir dengan deras.

Dengan tenang Siauw Cap-it-long berkata, “Jangan hanya memikir penderitaanmu saja, pikirlah, bukan kau seorang yang menderita, semua orang juga akan merasakan derita. Kita semua orang yang hidup di dalam dunia ini juga telah ditakdirkan di suatu waktu akan menderita dalam hidupnya.”

Sim Pek Kun masih terus menangis dengan sedihnya.

Siauw Cap-it-long kemudian berkata pula, “Pikirlah betapa hebat penderitaan suamimu itu, Lian Seng Pek juga menderita.”

Baru sekarang Sim Pek Kun membuka suara, “Aku tahu. Tapi kecuali penderitaanku ini, tidak ada penderitaan yang lebih hebat lagi.”

“Inilah pikiranmu,” berkata Siauw Cap-it-long. “Pikiran yang salah.”

Sim Pek Kun memperhatikan wajah si jago berandalan, di dalam keadaan terbaring dia bertanya, “Kau…?”

Siauw Cap-it-long hanya mengangguk, “Urusan di sini boleh kau serahkan kepadaku! Lekas pulang! Lian Seng Pek sedang menanti kehadiranmu.”

“Oh…”

Siauw Cap-it-long berusaha menekan segala gejolak hatinya, agaknya menghadapi wanita dalam keadaan yang begitu menggiurkan, yang begitu menegangkan, hampir saja ia tidak kuat menahan hatinya. Pertahanannya itu mulai gugur, hampir ia mengambil langkah yang sesat….

Saat itu ingin sekali Siauw Cap-it-long merangkul tubuh perempuan itu, memeluki dan mengecupnya.

Tapi inilah perbuatan yang terlarang.

Mereka sudah waktunya mengambil selamat berpisah. Atau dua2nya menjadi korban keganasan Siao Yao Hoo.

Siapa yang harus berkorban?

Sim Pek Kun menyerahkan diri? Atau Siauw Cap-it-long yang mengadu jiwa?

Tiba2…

Di saat ini menerjang masuk sesuatu bayangan, itulah Hong Sie Nio!

Keadaan Hong Sie Nio juga tidak kalah tegangnya, dia berteriak, “Sudah kuduga kalian pasti berada di tempat ini, huh! Kau kira aku betul2 sudah mabuk?”

Siauw Cap-it-long kaget, sadar dari hayalan yang bukan2, cepat ia memandang Hong Sie Nio dan berseru, “Hei, bagaimana kau bisa datang ke tempat ini?”

Pertanyaan ini tidak perlu dijawab, karena Siauw Cap-it-long bisa melihat adanya bayangan Siao Kongcu Ling Ling yang tertawa mengikik di balik pintu.

Kedatangan Hong Sie Nio tentu saja atas petunjuk dari Siao Kongcu Ling Ling ini.

Semua rencana2 sudah terpaparkan sudah diatur oleh siasat Siao Kongcu Ling Ling!

Siauw Cap-it-long masih memandang Hong Sie Nio, ia bertanya, “Kau tinggalkan dia? Bagaimana keadaannya? Lian Seng Pek telah kau tinggalkan dalam keadaan mabok?”

Hong Sie Nio menjawab, “Keadaannya aman, jauh lebih aman dari keadaanmu. Ia sudah kupernahkan dengan baik. Tapi… mengapa kau harus mengadu jiwa?”

Siauw Cap-it-long tidak mau menjawab pertanyaan itu, menoleh kepada Sim Pek Kun dan Hong Sie Nio bergantian, terakhir ia berkata, “Baiklah, kau sudah datang. Bawalah pulang.”

Dia memberi perintah kepada Hong Sie Nio untuk mengajak Sim Pek Kun kembali dengan maksud menyerahkan Sim Pek Kun kepada suaminya yang berhak.

Siauw Cap-it-long hendak mengadu jiwa dengan raja gila boneka Thian Kongcu Siao Yao Hoo.

Itulah pertarungan yang mengandung maut, sembilan puluh sembilan persen Siauw Cap-it-long tidak mempunyai harapan hidup.

Siauw Cap-it-long bisa maklum keadaan ini.

Hong Sie Nio juga bisa maklum akan keadaan itu, matanya bendul merah, ia berkata, “Biar aku yang mengawanimu ber-sama2 menempurnya.”

Siauw Cap-it-long menggelengkan kepala, berkata, “Jangan!”

“Mengapa?” bertanya Hong Sie Nio.

“Seumur hidupku kukira kau lebih mengenal watakku. Tapi apa yang kau perlihatkan di saat ini sungguh mengecewakan diriku.”

“Aku bisa menyelami isi hatimu,” berkata Hong Sie Nio.

“Betul? Kalau begitu, bawalah Sim Pek Kun pergi.”

Hong Sie Nio menatapnya lama2 sekali. Akhirnya dia mengeluarkan nafas sedih, dengan terharu berkata, “Mengapa kau tidak memberi dua jalan kepada orang yang berada di dekatmu?”

Siauw Cap-it-long memandang jauh ke pintu, ke arah lenyapnya Siao Yao Hoo, kemudian berkata, “Karena jalan yang berada di depanku pun hanya satu jalan.”

Itulah jalan kematian!

Jalan kematian.

Hanya satu jalan yang terbentang di depan Siauw Cap-it-long, itulah jalan kematian.

Bedanya, kematian Siauw Cap-it-long satu orang, atau kematian Siauw Cap-it-long bersama-sama si raja gila boneka, dua atau satu orang?

Tanpa menunggu bagaimana Hong Sie Nio membenarkan pakaian Sim Pek Kun, tubuh Siauw Cap-it-long sudah mencelat lenyap meninggalkan ruangan itu.

Sim Pek Kun cepat berpakaian, ia hendak menerjang keluar. Tapi keburu dicegah oleh Hong Sie Nio, Hong Sie Nio merangkul si ratu rimba persilatan itu.

“Lepaskan aku!” berkata Sim Pek Kun.

Hong Sie Nio tidak mau melepaskan rangkulannya, ia berkata:

“Kalau Siauw Cap-it-long melakukan sesuatu, tidak seorangpun yang bisa mencegahnya. Atau … ia bisa melakukan sesuatu yang lebih gila.”

Suara ini dicemaskan oleh Hong Sie Nio tapi dicetuskan juga oleh hati Sim Pek Kun.

Sim Pek Kun bisa menyelami bagaimana prestasi2 Siauw Cap-it-long.

Air mata Sim Pek Kun sudah menjadi kering, tidak ada yang bisa ditumpahkan lagi. Disaat ini, tiba-tiba terdengar satu suara cekikikan, itulah suara Siao-kongcu Ling Ling.

Ling Ling berkata:

“Ohoo … kok menangis? Begitu sedih? Akupun hampir dipaksa menumpahkan air mata. Hei, jangan kolokan, jangan manja, karena kau akan mati juga.”

Ling Ling mendekati Sim Pek Kun.

Rasa benci Ling Ling kepada Sim Pek Kun begitu mendalam, hanya karena gara-gara Sim Pek Kun inilah ia tidak berhasil mendapatkan Siauw Cap-it-long.

Hong Sie Nio menghadang didepan satu ratu rimba persilatan, menghadapi Ling Ling, ia membentak:

“Berani kau mengganggu?”

Kecuali Siauw Cap-it-long, hanya Hong Sie Nio yang bisa menandingi ilmu silat Siauw-kongcu.

Ling Ling tertawa manis, ia berkata:

“Mengapa tidak? Aku hendak membunuhnya.”

“Perempuan centil,” bentak Hong Sie Nio. “Betul-betul kau sangat cantik. Akupun tertarik. Tapi kekejaman hatimu cukup membuat orang bergidik. Didepan orang lain, bisa saja kau berbuat sesuatu, tapi didepan aku Hong Sie Nio … hm …”

Siao-kongcu mendelikkan matanya, seperti terkejut, ia mengejek:

“Ouw?”

“Pergi!” Hong Sie Nio membentak.

“Kau melarang aku membunuh Sim Pek Kun?”

“Aku melarang kau membunuh Sim Pek Kun.”

“Ouw! Mau bertanding silat?”

“Boleh saja!” kata Hong Sie Nio.

“Kau berani?”

Wajah Hong Sie Nio berubah.

“Mengapa tidak?”

“Ilmu menakut-nakutimu juga hebat. Sayang tidak bisa digunakan untuk menghadapi aku. Mungkin, kau tidak sadar, sebelum kau memasuki keruangan ini, pada tanganmu itu sudah kuberikan sesuatu.”

Wajah Hong Sie Nio semakin berubah, ia mengangkat tangannya, wajah itu menjadi pucat-pasi.

Pada bagian tangan yang mulus telah matang biru, membengkak, ternyata Siao-kongcu Ling Ling telah meracuninya.

“Tadi disaat aku menuntun tanganmu memasuki ruangan ini, kau tiada sadar sama sekali, karena saat itu hatimu sedang dicurahkan kepada Siauw Cap-it-long.”

Hong Sie Nio tidak berdaya, kini ia sulit menghadapi Ling Ling.

Ling Ling ketawa manis, dan berkata lagi:

“Baru sekarang aku tahu, orang yang jatuh cinta kepadanya tidak sedikit. Tapi tidak apa, kalian berdua segera mati, mati membela lelaki.”

Wanita berandalan Hong Sie Nio bisa menguasi keadaan itu, kini dia memperlihatkan senyumnya, dia berkata:

“Perempuan centil, tidak sedikit permainan yang kau miliki …”

Seiring kata-katanya, Hong Sie Nio menerjang Ling Ling.

Untuk rimba persilatan dimasa itu, semua orang takut pada Siauw Cap-it-long dan Hong Sie Nio.

Karena kecepatan Hong Sie Nio lebih hebat dari kecepatan Siauw Cap-it-long, gerakannya lebih cepat, lebih kejam, kadang kala ia bisa tertawa waktu membunuh orang, inilah yang sering menjebloskan dan menjerumuskan lawannya.

Hanya Ling Ling yang bisa mengerti akan sikap Hong Sie Nio tadi, karena ia juga memiliki kekejaman yang sama, maka gerakan Hong Sie Nio itupun dibarengi pula oleh gerakan tangannya memapaki serangan dari Hong Sie Nio, mereka bertempur.

Seharusnya pertandingan itu adalah pertandingan yang menarik, luar biasa serunya.

Tapi kenyataan tidak, karena didalam sekejap mata, Hong Sie Nio sudah dikalahkan oleh Ling Ling.

Kiranya racun yang bersarang didalam tangannya membuat jago wanita berandalan itu tidak berdaya.

Pertempuran sudah selesai untuk kemenangan Ling Ling.

Membiarkan Hong Sie Nio terkapar, Ling Ling mendekati Sim Pek Kun, hanya menoleh sebentar, ia berkata:

“Aku tidak perlu turun tangan membunuh dirimu, kau sudah terlalu tua.”

Ditatapnya Sim Pek Kun, dan ia berkata:

“Tapi kau lain, kau lebih cantik dari diriku, kau lebih menarik dari aku, bagaimana aku bisa membiarkan kau hidup menjadi satru?”

Hati Sim Pek Kun sudah menjadi beku, apapun yang terjadi tidak dihiraukan lagi olehnya.

Siao-kongcu Ling Ling berkata dengan suara yang merdu:

“Siauw Cap-it-long sudah berada diambang pintu maut, tidak lama lagi dia akan menuju jalan keneraka. Dia tidak mempunyai waktu terluang untuk menolong dirimu. Kau … kau bukan lawanku … kau harus menyerah. Menyerahlah.”

Sim Pek Kun sdauh pasrah, tidak membantah, dan juga tidak memberikan reaksi.

Siao-kongcu Ling Ling mengedip-ngedipkan matanya, ia berkata:

“Ouw? Masih mengharapkan datangnya bantuan? … oh … tentu kucingmu yang tidur pulas itu? Dia sudah jatuh mabuk, sebelum meninggalkan dunia ini, apa kau hendak bertemu dengannya?”

Lian Seng Pek dianggap sebagai seekor kucing? Gila!

Ling Ling bertepuk tangan, maka dari pintu tampak dua gadis pelayan, mereka memayang seseorang, itulah Lian Seng Pek!

Lian Seng Pek juga sudah diculik!

Lian Seng Pek berada didalam keadaan mabuk, rangsangan bau arak membuat kedua gadis pelayan yang memayangnya menutup hidung, hadirnya Lian Seng Pek ditempat itu sangat mengejutkan Sim Pek Kun. Belum pernah Sim Pek Kun melihat Lian Seng Pek bermabuk-mabukan seperti itu, apa lagi sampai tak sadarkan diri.

Inilah karena penderitaannya yang luar biasa, karena rasa cintanya kepada Sim Pek Kun.

Sim Pek Kun bersedih hati, hanya karena dia seorang, telah membawa ekor yang sangat panjang.

Ling Ling mendekati Lian Seng Pek, wanita ini sangat kejam, karena Lian Seng Pek sudah berada didalam keadaan mabuk.

Ia tidak puas. Ditepuknya pundak Lian Seng Pek, ia berkata:

“Hei! Bangun! Aku mau membunuh nyonyamu. Aku tahu, kau sangat bersedih, kau harus bisa turut menyaksikan bagaimana akhirnya kematian nyonyamu ini.”

Tiba-tiba Lian Seng Pek membungkukkan badan dan ia muntah-muntah membuat seluruh ruangan itu menjadi bau.

Kedua gadis pelayan yang memayang Lian Seng Pek semakin membekuk hidung.

Ling Ling mengkerutkan alis, dengan dingin ia berkata:

“Kau juga hendak cari kematian, tapi …”

Tiba-tiba pedang berkilat …

Sebuah pisau panjang nancap diulu hati Siao-kongcu Ling Ling.

Terjadinya tragedi itu membuat Hong Sie Nio tertegun.

Baru sekarang, ia bisa teringat akan si pedang kilat, Liang Seng Pek adalah ahliwaris Pedang Kilat Hong-lay Sian-ong.

Ternyata Lian Seng Pek sudah menggunakan ilmu permainan pedang kilatnya , menusukkan senjatanya kedada Ling Ling.

Belum pernah orang melihat bagaimana Lian Seng Pek menggunakan pedang kilatnya, ada juga yang sudah pernah, kalau orang itu terkena tusukannya dan mati.

Waktu melatih ilmu permainan pedang ini, Lian Seng Pek sudah puluhan tahun.

Didalam keadaan tidurpun, Lian Seng Pek bisa mempergunakannya.

Tapi belum pernah Lian Seng Pek mempermainkan ilmu pedang kilat, karena namanya tersohor, karena ilmu silatnya sudah cukup tinggi.

Hanya kesempatan untuk menghadapi Ling Ling!

Ling Ling sudah jatuh menggeletak, matanya terpelotot lebar2, ia seperti tidak percaya, kalau ada kejadian yang seperti ini.

Belum pernah terbayang dalam alam pikiran Ling Ling, ada begitu cepat kematiannya? Tiba2 tampak senyuman dikulum pada bibir Ling Ling, memandang kearah Lian Seng Pek, dan dia berkata ramah:

“Oh! Terima kasih, terima kasih kepada tusukan pedangmu. Ternyata menghadapi kematian adalah kejadian yang begitu mudah. Kalau begitu, mengapa harus bersusah payah, bersusah payah hidup sengsara didalam dunia....”

Napas Ling Ling sengal2, memandang ke arah Hong Sie Nio dan berkata perlahan:

“Obat penawar racun berada didalam kantong bajuku, kalau kau masih mau hidup terus, ambillah, tapi kuanjurkan, lebih baik jangan kau hidup, keadaan dialam baka lebih enak dari pada hidup sengsara....”

Tubuh Ling Ling tergelepar, ia menghembuskan napasnya yang penghabisan.

Sesudah berhasil membunuh Ling Ling, tubuh Lian Seng Pek juga roboh kembali.

Sim Pek Kun selesai berpakaian, ia membangunkan Lian Seng Pek.

Entah sengaja atau tidak sengaja, Lian Seng Pek belum bisa disadarkan.

Mungkin pula masih dalam keadaan mabok? Mungkin pula sulit meneruskan situasi yang seperti itu.

Dengan dibantu oleh Hong Sie Nio dan Sim Pek Kun, Lian Seng Pek dibangunkan kembali.

Bertiga menuju dan meninggalkan ruangan itu.

Ada jalan yang lurus kedepan.

Seorang kakek berbaju coklat dan seorang kakek berbaju hijau berendeng didepan jalan itu, dua pasang mata mereka ditatapkan jauh keujung jalan tersebut. Hati mereka begitu berat. mereka tidak sadar kalau tiga insan sedang mendatangi kearahnya.

Sim Pek Kun dan Hong Sie Nio sedang memayang Lian Seng Pek.

Mereka tiba dibelakang dua orang tua tukang maen catur itu.

Lian Seng Pek masih juga belum sadarkan diri.

Sim Pek Kun menundukkan kepala, ia tidak berani membentur kenyataan.

Hong Sie Nio mendekati kedua kakek itu dan bertanya:

“Mereka berada disana?”

Orang tua berbaju merah berkata:

“Ng....”

Hong Sie Nio bertanya:

“Kalian menunggu kembalinya?”

Orang tua berbaju hijau berkata:

“Ng....”

Hong Sie Nio menghembuskan napasnya dalam2, seolah2 hendak mengusir keluar hawa lembab itu, ia bertanya:

“Menurut perkiraan kalian, siapa yang bisa balik kembali?”

Pertanyaan ini seharusnya tidak berani diajukan, karena jawabannya lebih seram.

Tapi tiada jalan kedua, dan kini ia telah mengeluarkan perasaan dalam hatinya itu.

Orang tua berbaju merah ragu2 sebentar, akhirnya ia berkata perlahan:

“Yang sudah mati tipis sekali kemungkinannya dia bisa balik.”

Hati Hong Sie Nio seperti terbang, tenggelam kedasar laut.

Siapa yang diartikan oleh orang tua itu. Apakah Siauw Tjap-it-long? Siauw Tjap-it-long sulit bisa hidup kembali? Ya!

Orang tua berbaju hijau berkata:

“Mungkin juga kedua2 tidak balik kembali.”

Orang tua berbaju coklat menganggukkan kepala dan berkat.

“Kuharap saja seperti itu.”

Tiba2 Hong Sie Nio berteriak, dia mengajukan protes.

“Huh! Kalian kira bukan tandingan Siao Yao Hoo! Salah! Mungkin juga ilmu kepandaiannya tidak bisa menandingi Siao Yao Hoo tapi dia mempunyai itu keberanian, dia mempunyai itu semangat, banyak orang tidak bisa mengalahkannya, dengan kelemahannya, dia bisa menangkan yang kuat, karena dengan kemampuan dan kemauan itu. Dan ambisi yang besar.”

Orang tua berbaju coklat dan orang tua berbaju hijau menoleh Hong Sie Nio, memandang dengan putih mata, sesudah itu, lagi-lagi mereka menunjukkan pandangan kearah jauh didepan. Hati semua orang menjadi seperti beku.

Hong Sie Nio masih hendak meneruskan pembicaraannya, tapi tenggorokannya sudah tersumbat.

Sim Pek Kun bergumam: “Tidak mungkin dia bisa balik kembali...”

Orang tua berbaju coklat berkata:

“Ya, Tidak mungkin dia bisa balik kembali.”

Orang tuaberbaju hijau berkata:

“Kuharap saja, kedua2nya tidak balik kembali.”

Hari menjadi pagi.....

Mereka masih menunggu.

Matahari bergeser ketengah, mereka masih menunggu.

Akhirnya matahari tenggelam siangpun berganti malam.

Siauw Tjap-it-long tetap tak kembali.

Raja gila boneka Thian kongcu Siao Yao Hoo juga tidak kembali.

Habislah harapan semua orang itu. Sebab orang yang mereka nantikan sudah tentu tidak akan kembali untuk selama2nya.

Sampai disini akhirnya cerita.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar